Kala Musibah Melanda CW798 I S B N 978-1-60485-400-8 9 781604 854008 RBC Ministries Indonesia|PO Box 2500, Jakarta 11025, Indonesia|[email protected] Persembahan kasih seberapa pun dari para sahabat memampukan RBC Ministries untuk menjangkau orang-orang dengan hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup. Kami tidak didanai atau berada di bawah kelompok atau denominasi apa pun. Menemukan Rasa Aman di Dunia yang Rawan DAFTAR ISI Kala Musibah Melanda. . . . 1 Sejumlah Ciri Umum dari Musibah. . . . . . . . . . 5 Perasaan yang Dialami Kala Musibah Melanda . . 7 Musibah: Apa yang Direnggutnya dari Kita. 12 Musibah: Apa yang Ditinggalkannya. . . . . . . 17 Musibah: Apa yang Dapat Diajarkannya. . . . 21 Hidup dengan Keyakinan dalam Dunia yang Penuh Bahaya. . . . 25 Bagaimana Dapat Menolong . . . . . . . . . . . 28 Tempat Perlindungan dan Pengharapan Kita yang Utama. . . . . . . . 31 Penerbit: RBC Ministries Penulis: Tim Jackson Editor Pelaksana: David Sper Penerjemah: Yudy Himawan Editor Terjemahan: Dwiyanto, Natalia Endah Penata Letak: Jane Selomulyo Diterjemahkan dari: Discovery Series: When Tragedy Strikes—Finding Security in a Vulnerable World Foto Sampul: Corbis Kutipan ayat-ayat Alkitab dikutip dari ALKITAB terjemahan LAI © 2003. Copyright © 2013 RBC Ministries, Grand Rapids, Michigan. Dicetak di Indonesia. Cetakan kedua. Kala Musibah Melanda Menemukan Rasa Aman di Dunia yang Rawan A “ pakah ada TV di dekatmu?” tanya istri saya ketika saya menjawab teleponnya. “Tidak,” jawab saya, dan saya agak heran karena tidak mendengar sapaan darinya yang biasanya bersemangat. Waktu itu, saya sedang duduk di meja kerja mengerjakan tugastugas yang biasa saya kerjakan di setiap Selasa pagi. “Cepat, lihat TV!” desaknya. “Dua pesawat terbang baru saja menabrak gedung World Trade Center di New York. Banyak yang berpikir ini perbuatan para teroris!” Beberapa saat kemudian saya bersamasama beberapa teman kerja berdesakan di depan layar TV kecil yang ada di ruangan penyuntingan video. Kami menatap TV dan terhenyak dalam keheningan menyaksikan rekaman gambar pesawat United Flight 175 dan American Flight 11 ketika menghantam dua menara kembar tersebut yang ditayangkan berulang-ulang. Ketika kami masih berusaha memahami betapa dahsyatnya peristiwa itu, menara Selatan pun runtuh dalam kepulan asap dan puing-puing reruntuhan. Tak lama kemudian, menara Utara runtuh juga. Sebelumnya, dua menara itu tegak berdiri di tempatnya. Lalu tiba-tiba keduanya runtuh dengan menelan sejumlah korban jiwa yang tidak terhitung banyaknya. Sepanjang hari itu, dan hari-hari berikutnya, saya terpaku menyaksikan setiap siaran berita untuk mendapatkan kabar sebanyak mungkin tentang nasib mereka yang terperangkap dalam salah satu peristiwa terdahsyat yang pernah saya saksikan. Gambar-gambar mengerikan yang saya saksikan itu akan tertanam dalam ingatan saya selamanya. Pada hari itu dunia berubah, bagi kita semua dan bukan saja bagi penduduk di Amerika Serikat. Aksi para teroris pada tanggal 11 September 2001 tersebut menyatakan bahwa tidak ada tempat di mana pun di dunia ini yang benar-benar aman. Jika negara adikuasa saja dapat dihantam sedemikian hebatnya, betapa rentannya kita semua. Seorang spesialis dalam bidang kedukaan menyatakan: “Tidak peduli kehilangan seperti apa yang kita alami, baik yang langsung maupun yang tidak, kita semua kehilangan sesuatu yang sangat bernilai. Kita telah kehilangan ilusi yang menyatakan bahwa kita aman-aman saja.”1 Ketika musibah melanda, rasa aman pun menguap. 2 Keamanan dirusak. Ketidakpastian menyebar. Rasa takut menyeruak masuk. Ketidakberdayaan manusia terkuak. Diperhadapkan pada kefanaan kita sendiri, kerentanan kita menjadi suatu kabut tak tertembus yang menyelimuti hati manusia. Namun, musibah tidaklah semata-mata hasil terorisme. Musibah dapat melanda dari segala sudut tanpa pemberitahuan terlebih dulu. Kehilangan yang dialami seseorang dalam bentuk apa pun dapat mengubah kehidupan mereka yang terkena dampaknya secara langsung. Namun, sejumlah peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba dan sangat mengerikan dapat mengakibatkan trauma bagi masyarakat di sekitarnya. Ketika sedang menulis buklet ini, saya menerima telepon yang memberitahukan bahwa di kota tempat saya dibesarkan telah terjadi peristiwa yang sangat tragis. Mayat keponakan kawan kami telah ditemukan oleh nelayan di danau setempat. Keponakan tersebut berusia 26 tahun. Ia mati dicekik. Musibah melanda paling dahsyat ketika ia melanda di waktu yang sangat tak terduga, hingga itu meruntuhkan rasa aman kita dan mengguncangkan kita dengan perasaan kehilangan dan kerentanan. Apakah yang kita pikirkan dan rasakan ketika hidup kita sendiri dilanda peristiwa buruk dalam skala besar yang tibatiba mengubah kehidupan kita? Apakah kita akan kehilangan segala harapan kita? Atau apakah kita akan mengalami, seperti yang telah dialami orang lain, bahwa masih ada cara untuk bertahan hidup, dan bahkan untuk bertumbuh, ketika kita diperhadapkan pada bencana alam, kecelakaan besar, atau tindak kekerasan? Bencana alam adalah peristiwa yang terjadi secara tibatiba dan membawa akibat yang menghancurkan, berdampak pada kehilangan jiwa dan harta benda dalam jumlah besar. Peristiwaperistiwa seperti: • angin puting beliung yang memporak-porandakan banyak kota di wilayah tengah Amerika Serikat • lumpur longsor yang mengubur satu desa di Kosta Rika • longsoran salju yang memusnahkan satu kota di pegunungan Alpen di Swiss • banjir bandang di Kamboja • angin ribut di Malaysia • kebakaran hutan di pegunungan Rocky Kanada • angin topan di Laut Karibia • letusan gunung berapi di Filipina • gempa bumi di Turki, India dan Iran Kecelakaan besar adalah peristiwa yang tidak terduga dan tidak disengaja yang mengakibatkan luka-luka, kehilangan dan kerusakan. Peristiwa-peristiwa tersebut sering terjadi karena kegagalan mekanis atau kelalaian manusia. • kecelakaan mobil • kecelakaan pesawat terbang • kecelakaan kerja • kebakaran rumah • tenggelamnya kapal laut Musibah kekerasan merupakan akibat dari tindak kekerasan yang disengaja dimana sasarannya adalah seseorang atau suatu kelompok, seperti: • penyerangan • kebakaran yang disengaja • penculikan • pembunuhan • serangan teroris • kasus penyanderaan • peperangan • pemusnahan besar-besaran suatu suku/kelompok tertentu • penyiksaan 3 Meskipun kita telah berusaha untuk membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih aman bagi kita dan anak-anak kita, dunia ini terus diwarnai dengan kekerasan, bencana, dan malapetaka. Di tahun 2003, terjadi 380 bencana alam dan malapetaka buatan manusia yang tercatat telah menelan korban 60.000 orang. Sigma, sebuah perusahaan Swiss yang menyelidiki peristiwa bencana alam dan malapetaka yang disebabkan oleh manusia, menerbitkan angka-angka yang menyebut 2003 sebagai tahun yang menduduki peringkat tertinggi ketujuh yang menelan korban jiwa terbesar dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Gempa Desember 2003 di kota Bam di Iran, yang menelan korban sebanyak 41.000 orang, adalah yang paling mengenaskan—gempa terbesar keempat sejak tahun 1970. Pertanyaan yang bertubi-tubi melanda kita setelah keadaan yang mengenaskan ini terjadi: Apa yang masih kita miliki, ketika banyak hal telah musnah? Bagaimana kita menghadapi musibah seperti ini? Bagaimana kita dapat bertahan hidup? Apa yang kita rasakan? Apa yang sepatutnya kita rasakan? 4 Dapatkan kita merasa aman lagi? Apakah keadaan dapat kembali normal? Bagaimana kita dapat saling menolong dalam menghadapi musibah ini? Banyak di antara kita bertanyatanya bagaimana kita dapat mengatasi ketidakberdayaan kita di tengah-tengah malapetaka yang terjadi. Itulah sebagian alasan mengapa film-film seperti Titanic begitu menarik perhatian. Titanic menjadi film dengan penghasilan terbesar sepanjang masa, antara lain karena berisi kisah cinta tragis yang dilatarbelakangi suatu malapetaka di laut yang telah dikenal luas serta berdampak besar baik bagi orang banyak maupun dunia internasional. Demikian pula halnya dengan semua musibah. Kita melihatnya sebagai peristiwa-peristiwa yang sangat besar dan dahsyat. Namun, peristiwa-peristiwa bencana yang mengguncang dunia ini terdiri dari banyak kisah nyata yang tidak kalah penting dari orangorang biasa yang, sekalipun berada di tengah ketidakpastian, menemukan apa yang paling berarti bagi mereka yang masih terselamatkan. Musibah dapat mendorong munculnya sikap terbaik atau terburuk dari dalam diri kita. Suatu peristiwa yang mendorong pencuri menjarah daerah yang terkena bencana, juga dapat menjadi kesempatan bagi seseorang untuk mengulurkan tangan dan saling menolong, sesuatu yang mungkin belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Bagaimana kita menanggapi apa yang terjadi berbicara banyak tentang siapa diri kita yang sebenarnya. Sejumlah Ciri Umum dari Musibah K etika kita membayangkan suatu musibah, kita tidak membayangkan seseorang yang telah menjalani kehidupan yang panjang, dan meninggal di usia 90-an dengan keluarga dan teman-teman yang mendampingi di akhir hidupnya. Hal seperti itu memang kehilangan yang menyakitkan, tetapi kita tidak akan menyebutnya sebagai suatu musibah. Akhir hidupnya sudah terbayang. Kita dapat memperkirakan waktunya. Yang kita anggap sebagai suatu musibah biasanya adalah suatu kehilangan nyawa atau harta benda akibat malapetaka yang mengerikan, tindak kekerasan, atau bencana alam. Peristiwanya terjadi secara tiba-tiba, dan tidak terduga. Hidup yang sedang berjalan baik-baik saja dan normal bagi kebanyakan orang tiba-tiba saja mengalami interupsi dan berubah selamanya tanpa pemberitahuan terlebih dulu. Seperti ledakan bom di kawasan pertokoan yang ramai atau gempa bumi dahsyat yang mengguncang, kerusakan hebat dari bencana tersebut menjalar luas ke sekitarnya. Joanne Jozefowski telah mengenali sejumlah ciri umum dari bencana besar yang kemungkinan dapat memunculkan reaksi dukacita yang mendalam.2 Ketika Anda meninjau daftar ini, pikirkanlah seberapa banyak dari ciri-ciri ini yang muncul dalam peristiwa-peristiwa yang Anda alami, baik secara langsung atau tidak langsung. Peristiwa Itu Tidak Terduga. Musibah itu menghantam secara tiba-tiba, dahsyat, dan tidak terduga. Kita terhenyak dan terkejut, terguncang oleh hantaman keras yang membuat kita menjadi bingung dan linglung. Kita merasa kewalahan dan sungguh tak siap. 5 Peristiwa Itu Tidak Terkendali. Musibah bukan hanya terjadi secara tidak terduga, tetapi juga jauh melampaui kemampuan kita untuk mencegahnya, mengubahnya, atau mengendalikannya. Kita merasa tidak berdaya untuk menghentikan peristiwa yang sudah terjadi, dan merasa rentan karena kita sadar bahwa sebelum itu terjadi pun kita tidak mungkin mencegahnya. Peristiwa Tersebut Tidak Terbayangkan. Kehancuran yang merupakan akibat dari suatu musibah sungguh melampaui pemahaman kita. Kita sama sekali tidak tahu bagaimana memahami selukbeluk dari apa yang kita alami. Kita melihatnya dengan mata kepala sendiri, tetapi kita tetap tidak dapat percaya bahwa hal itu benar-benar terjadi. Sifat tak terbayangkan dari musibah inilah yang membuat kita terhenyak karena dulu kita anggap hal itu tidak mungkin dapat terjadi. Banyak orang menggambarkan peristiwa 11 September yang mereka lihat di layar TV sebagai pengalaman yang tak terbayangkan. Tayangan TV yang menampilkan pesawat-pesawat yang menabrakkan diri dan 6 gedung-gedung yang luluh lantak itu lebih terlihat seperti suatu adegan dalam film laga daripada kengerian yang sungguh-sungguh terjadi. Ribuan orang biasa seperti kita pagi itu berangkat ke tempat kerja dan tidak kembali lagi. Peristiwa Tersebut Belum Pernah Terjadi Sebelumnya. Belum pernah musibah seperti ini kita alami secara langsung. Sering kita tidak tahu apa yang harus kita lakukan atau bagaimana harus menanggapinya karena kita tidak pernah menghadapi hal seperti itu. Tanpa peristiwa lain yang sebanding dengan musibah ini, kita merasa tersesat, bergumul untuk mencari petunjuk. Peristiwa Tersebut Membuat Kita Merasa Gamang dan Rentan. Setelah musibah berlalu, kerapuhan hidup ini terlihat dengan jelas. Tak seorang pun dapat sepenuhnya memahami dampak luas dan jangka panjang dari musibah itu, baik bagi kita, keluarga, mata pencaharian, atau masa depan kita. Kita merasa terkoyak antara berpengharapan dan rasa takut, putus asa dan tak percaya. Kita tak ingin berhenti berharap, tetapi kita juga takut membiarkan diri kita terus memimpikan atau mendambakan sesuatu atau seseorang lagi. Salah satu dari dampak jangka panjang ketika kita selamat dari musibah yang melanda adalah kita tetap memiliki rasa tidak berdaya. Selama 18 hari pertama di bulan Oktober 2002, keadaan menjadi tidak menentu ketika sepasang penembak gelap meneror daerah di sekitar Washington, DC. Tembakan membabi buta itu akhirnya menyebabkan 10 orang tewas, 3 orang luka berat, dan ribuan orang terguncang. Korban yang acak (tak pandang umur, ras, atau jenis kelamin), kejadian di tempat umum (pertokoan, pompa bensin, lapangan parkir, sekolah), dan dampaknya yang membawa maut telah membuat banyak orang merasa curiga dan khawatir, tidak tahu siapa yang akan menjadi korban berikutnya. Saya dapat merasakan apa yang dirasakan komunitas itu, ketika mendengar bahwa salah satu korban wanita telah tertembak di luar toko, tempat ipar wanita saya baru saja berbelanja beberapa jam sebelumnya. Dalam dunia yang penuh bahaya dan ketidakpastian ini, ada satu hal yang pasti—kita semua rentan terhadap bahaya. Segala hukum kepemilikan senjata, sistem keamanan nasional, dan peralatan pengamanan berteknologi tinggi tidak dapat menjamin dengan mutlak bahwa tidak akan ada serangan teroris. Riset geologis yang efektif pun tidak dapat mencegah terjadinya gempa bumi yang menghancurkan. Radar Doppler dan pantauan satelit tidak dapat menahan banjir bandang, menenangkan angin badai, ataupun menghentikan angin topan yang mematikan. Persoalannya bukanlah kemampuan kita untuk menyelidiki dan meramalkan kapan malapetaka akan terjadi, tetapi ketidakmampuan kita untuk mencegah dan melindungi diri sendiri serta mereka yang kita kasihi dari peristiwa seperti itu. perasaan yang Dialami Kala Musibah Melanda M eskipun saya tidak kehilangan satu anggota keluarga pun dalam peristiwa 11 September tersebut, saya tetap merasa terhenyak dan tidak berdaya. Di lain pihak, 7 Lisa Beamer memang kehilangan seorang yang dikasihinya. Todd, suaminya, adalah salah seorang penumpang pesawat United Flight 93 yang bernasib malang itu. Lisa menggambarkan perasaannya mula-mula ketika ia mendengar berita TV bahwa pesawat Todd jatuh di suatu tanah lapang di Pennsylvania, sebagai berikut: Aku masuk ke kamar tidur dan duduk di tepi ranjang, menatap keluar jendela dalam keadaan yang hampir tak sadar. Aku tak bergerak; tak berbicara, seolah-olah waktu berhenti seketika itu juga, dan aku tak merasakan keberadaanku. Dalam usaha yang sia-sia dan putus asa untuk memahami seluruh keadaan itu, hati dan pikiranku tertutup sementara. Aku seperti mati rasa. Aku bisa melihat dan mendengar, tetapi aku terus saja menatap lurus ke depan.3 Apa yang dialami Lisa adalah hal yang normal. Bagi seseorang yang diterpa secara tiba-tiba dan tak terduga dengan berita yang sedemikian dahsyat mengenai suatu kehilangan yang tragis, atau bagi mereka yang selamat dari suatu bencana, perasaan bingung dan kehilangan arah adalah hal yang normal. Sejumlah perasaan yang pada umumnya melanda setelah kita 8 mengalami terpaan suatu musibah adalah: Terguncang. Ketika suatu malapetaka menghentak dengan kuatnya, reaksi yang wajar dan perlu kita berikan adalah melindungi diri kita sendiri. Terguncang adalah suatu bentuk mati rasa emosional yang seketika melanda setelah kita menyaksikan, mendengar berita, atau terhindar dari suatu musibah. Inilah sekring emosi yang langsung terpicu untuk melindungi kita dari suatu kelebihan beban yang dapat mengakibatkan kehancuran total dan hilangnya kemampuan untuk bekerja. Terguncang dialami ketika kita menjalani begitu saja apa yang terjadi, tetapi tidak sepenuhnya sadar bahwa kita ada pada situasi tersebut. Sejumlah orang mengambarkan kondisi ini seperti sejenis pengalaman supernatural, dimana mereka dapat melihat diri mereka sendiri tetapi tidak dapat memberikan reaksi. Yang lain menyebutnya sebagai pengalaman gerak lambat. Mereka mendengar dan melihat orang lain di sekitar mereka, merasakan betapa mendesak keadaannya, tetapi semuanya terasa bergerak sangat lambat. Suara-suara teredam dan terdengar sayup-sayup. Setiap gerakan terasa begitu lambat dan berat untuk dilakukan. Terguncang adalah pertahanan diri terdepan untuk melawan kekacauan yang menggemparkan dari suatu musibah. Inilah pemutusan emosi jangka pendek, yang memberi kita waktu untuk secara perlahan-lahan menghayati apa yang terjadi. Namun, perasaan ini tidak dapat melindungi kita supaya tidak terluka selamanya. Kepedihannya akan terasa kembali. Kepedihan. Meskipun kita telah berusaha keras mempersiapkan diri, tidak ada apa pun yang dapat melindungi kita dari kepedihan memilukan yang menghujam kita setelah terjadinya suatu musibah, terutama jika kita telah kehilangan orang yang dekat dengan kita. Luka yang dalam telah membuat hati kita terkoyak. Kesedihan mendalam, luka batin ini, terasa terlalu berat untuk ditanggung dan tidak dapat dihindari, karena kita mendadak kehilangan untuk selamanya seseorang dan sesuatu yang telah kita kenal, kita kasihi, tempat kita bergantung. Kepedihan ini adalah suatu ironi yang kejam, karena terdapat hubungan langsung antara dalamnya kepedihan dan kuatnya kelekatan kita dengan apa yang hilang tersebut. Jika kita mengasihi dengan mendalam, kita juga akan merasakan kepedihan yang mendalam ketika kita kehilangan apa yang kita kasihi. C. M. Parkes menulis, “Kepedihan akibat dukacita juga merupakan bagian kehidupan, sama seperti sukacita mengasihi; mungkin inilah harga yang harus kita bayar untuk kasih, harga dari suatu komitmen.”4 Kita menggeliat dalam kesakitan ketika seseorang yang sangat berharga bagi kita direnggut dari kita. Kemudian rasa takut menyelinap masuk— ketakutan untuk hidup dalam dunia yang penuh risiko, bahaya, dan ketidakpastian. Rasa Takut. Rasa takut dan panik menyelimuti mereka yang bergumul mati-matian untuk mencari tempat berpijak yang kokoh setelah diombangambingkan oleh suatu bencana. Dalam kondisi yang rentan ini, orang bergumul dengan pikiranpikiran seperti ini: • Apakah aku akan bisa melaluinya? • Apa yang akan kuperbuat tanpa dirinya? • Apakah aku akan bisa bekerja kembali? • Apa yang akan kukatakan pada 9 para sahabat dan keluarga tentang hal ini? • Bagaimana aku bisa terus menjalani hidup tanpa sahabat terbaikku? • Apakah hidupku akan bisa normal kembali? • Apakah aku bisa tertawa lagi? • Apakah aku akan bisa melupakan apa yang telah kusaksikan? Setiap kali kita menghadapi bencana tragis yang melenyapkan nyawa seperti yang kita ketahui bersama, rasa takut bahwa kita tidak dapat bertahan hidup begitu menguasai pikiran kita. Hidup tanpa rasa aman yang datang dari hadirnya orang-orang yang sangat kita kasihi dan keadaan yang biasa kita kenal tampaknya tak hanya mustahil, tetapi juga tak pernah terpikirkan. Rasa ngeri jika musibah ini akan terulang kembali—kebakaran, banjir, topan, gempa bumi, kekerasan, penyerangan, atau kecelakaan— menyulut ketakutan kita. Ketidakadilan dari seluruh situasi yang ada membawa kita pada kemarahan. Kemarahan. “Hal ini tak mungkin menimpaku! Ini tak adil! Apa yang telah kulakukan hingga aku yang harus mengalaminya?” adalah reaksi wajar dari orang 10 yang sedang bergumul untuk menemukan hikmah di tengah kekalutan suatu bencana. Ingat, kemarahan atas suatu kehilangan tragis memang merupakan reaksi yang wajar. Rencana dan impian telah hancur. Masa depan yang terbayang menjadi berubah selamanya. Apa yang selama ini dianggap normal, wajar dan sering terabaikan, kini tersapu lenyap begitu saja dalam sekejap mata. Normal tidak lagi normal. Segala sesuatu telah berubah. Dan kita tidak menyukai perubahan itu. Kita menginginkan hidup kembali seperti semula. Dan karena kita tidak dapat memperolehnya kembali, kita menjadi marah. Memang semua pergumulan dan kehilangan dapat memicu kemarahan pada tingkat tertentu, tetapi musibah memperkuat kemarahan itu dalam diri mereka yang selamat. Ketika seseorang dianggap sebagai penyebab musibah itu, tingkat kemarahan dapat menjadi lebih kompleks lagi. Keinginan untuk menuntut keadilan dan membalas dendam terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kepedihan dan ketakutan kita telah menaikkan tingkat kemarahan yang dialami seiring dengan rasa kehilangan yang menyakitkan. Terabaikan. Mereka yang terlepas dari suatu bencana sering merasa terabaikan dan kesepian ketika harus membenahi kembali hidup mereka. Orang yang mereka kasihi, tempat tinggal mereka, kota mereka, tempat kerja mereka, situasi hidup yang mereka jalani, kini telah hilang lenyap. Sekarang mereka merasa berbeban berat karena harus menjalani semuanya sendiri. Bagi yang mengalami bencana itu secara langsung dan masih terselamatkan, ada juga semacam keterasingan yang terasa aneh dan tidak diinginkan. Mungkin mereka menjadi obyek perhatian media yang mereka anggap tidak selayaknya mereka terima. Mereka merasa tidak nyaman, jika disebut sebagai “pahlawan”. Yang mereka lakukan hanyalah bertahan hidup, sedangkan orang lain yang tertimpa bencana yang sama mengalami kebinasaan. Serangkaian kemarahan pada tahap-tahap awal kedukaan yang traumatis juga dapat disebabkan oleh perasaan ditelantarkan. Perasaan ini terutama dirasakan pada waktu seseorang yang dikasihi tidak sempat menyelesaikan berbagai hal penting sebelum kematian merenggutnya. Kesulitan keuangan, asuransi yang tidak mencukupi, tidak adanya surat wasiat, atau tidak adanya perencanaan yang baik mengenai harta benda peninggalannya, sering memperkuat perasaan terabaikan yang dialami oleh mereka yang berduka. Seorang janda pernah meratap, “Ia pergi dan meninggalkanku dengan kekacauan yang harus kutangani. Ia pergi begitu saja. Sekarang aku yang terjebak dan harus menangani semuanya sendirian.” Rasa Terasing. Ketika terkena bencana, kita sering merasa kesepian dan terasing oleh kesunyian yang mencekam hati kita. Kita jadi malas berbicara, karena kita berpikir: “Tak seorang pun bisa mengerti apa yang sedang kualami. Mana mungkin? Mereka tak mengalami apa yang kualami. Mereka tak melihat apa yang kulihat. Mereka sama sekali tak bisa merasakan apa yang kurasakan. Tak seorang pun bisa benar-benar memahami kepedihan, kesepian, dan ketakutanku!” Orang sering menarik diri dari kawan dan keluarga yang mungkin dapat menjadi sumber penghiburan yang sangat 11 berharga di tahap-tahap awal yang krusial sepeninggal bencana. Namun, keterkejutan, kepedihan, ketakutan, dan kemarahan yang begitu dahsyat sering membuat mereka yang selamat begitu kewalahan hingga mereka merasa bahwa pengasingan diri adalah jalan terbaik. Rasa Kewalahan. Bencana menghunjam kita dengan beragam perasaan yang sepertinya tiada henti. Ini seperti berada di dalam arena tinju di mana seorang petinju kelas berat terusmenerus melancarkan pukulan kepada sang lawan dengan tinju kirinya untuk kemudian menghempaskannya dengan pukulan tinju kanan. Musibah dapat menghantam hingga kita kehilangan keseimbangan, lalu menghempaskan kita ke tanah. Yang tersisa adalah kegoyahan akibat hentaman itu, terhenyak dan remuk redam secara emosional. Tak dapat memusatkan perhatian. Dampak menumpuk dari beban emosi yang berlebihan ini adalah ketidakmampuan untuk memusatkan perhatian pada kebutuhan-kebutuhan mendasar. Mereka yang selamat dari bencana, para tim penyelamat, 12 dan mereka yang berduka, kadang-kadang lupa untuk makan, tidur, ganti pakaian, menyisir rambut, atau mengurus kebutuhan dasar dari hidup mereka sehari-hari. Kegiatan biasa dirasakan sebagai kerja keras, bahkan terasa mustahil dan siasia untuk dikerjakan. “Untuk apa? Semuanya toh sudah hancur.” Musibah: Apa yang Direnggutnya dari Kita M usibah sering memicu adanya perasaan terganggu yang sangat hebat. Apa yang tadinya kita pikir aman, terjamin dan stabil, tampaknya telah lenyap. Hal-hal yang kita harapkan, impikan, dan andalkan, telah menguap begitu saja di depan mata kita. Alur hidup yang telah kita petakan untuk diri sendiri telah dibelokkan secara tiba-tiba dan drastis ke arah yang menyakitkan. Ini bukan hanya sekadar perasaan bahwa roda-roda kita terlepas, tetapi roda-roda tersebut dicabut dan kita sedang meluncur jatuh ke dalam jurang. Kita merasakan betapa rapuhnya kita melalui serangkaian kehilangan yang dialami setelah terjadinya suatu musibah. Kehilangan Rasa Aman. Dunia bukanlah tempat yang aman. Banyak di antara kita mengetahuinya, tetapi sedikit di antara kita yang hidup dengan benar-benar menyadarinya. Kita malah cenderung untuk memupuk suatu khayalan, meyakinkan diri kita sendiri bahwa kita aman dari bencana. Musibah menguakkan kenyataan yang tidak dapat disangkal betapa kita sebenarnya sangat rentan. Herman Melville menulis mengenai tak adanya tempat yang aman, dalam buku klasiknya, Moby Dick: “Semua orang hidup terkurung dalam perangkap ikan paus. Semua orang dilahirkan dengan tali kekang yang mengalungi leher mereka, tetapi hanya ketika terjerat oleh kematian yang cepat dan tiba-tiba, manusia fana menyadari bahaya dalam hidup yang ternyata selalu ada, hanya tidak kentara.”5 Meskipun kepedihan, penderitaan, pergumulan, kehilangan, dan dukacita pasti terjadi di dunia yang telah rusak dan berdosa ini, kebanyakan di antara kita bekerja sangat keras untuk menghindari risiko dan memperoleh kenyamanan bagi diri sendiri. Hempasan-hempasan musibah yang sangat kuat telah mengoyak tipisnya tirai keamanan yang telah kita dirikan untuk menangani kegelisahan hidup sehari-hari. Kata-kata Melville menggemakan peringatan Yesus kepada para pengikut terdekatNya. Dia tidak ingin mereka terbuai dengan mempercayai bahwa hidup di dunia ini memberikan keamanan dan perlindungan. Di malam terakhir bersama mereka, sambil meyakinkan murid-murid-Nya bahwa Dia tidak akan meninggalkan mereka sendiri, Yesus berkata, “Dalam dunia kamu menderita penganiayaan . . .” (Yoh. 16:33). Kata “menderita penganiayaan” yang digunakan Yesus di ayat tersebut berkaitan dengan tekanan yang kita rasakan di tengahtengah penderitaan, penindasan, dan tekanan yang hebat. Lalu, Rasul Yohanes memakai kata yang sama untuk menggambarkan “kesusahan yang besar” yang akan dihadapi manusia (Why. 7:14). Itu adalah suatu bentuk penderitaan yang tidak hanya mengusik dan mengalihkan perhatian, tetapi suatu penderitaan yang mengakibatkan 13 kita putus asa, tergelincir, dan melumpuhkan, ketika kita mengalaminya. Yesus mengetahui bahwa kita akan menghadapi banyak ancaman terhadap keamanan dan keselamatan kita yang mengakibatkan kita terpuruk di bawah tekanan. Musibah menyingkapkan betapa tidak amannya kita sebenarnya, dan mengingatkan kita bahwa bukanlah kita yang memegang kendali. Kehilangan Kendali. Musibah dapat menghancurkan ilusi bahwa kitalah yang memegang kendali atas dunia yang berbahaya ini. Jika ada satu hikmah yang dapat diambil dari peristiwa 11 September 2001, itu adalah tidak seorang pun benarbenar memegang kendali. Bukan saja hal ini berlaku bagi bencanabencana yang berpengaruh terhadap dunia secara luas, tetapi juga berlaku bagi jutaan bencana yang menimpa orang demi orang yang terjadi setiap hari tetapi tidak menjadi berita besar. Kekuatan bencana alam yang mahadahsyat—taifun, angin puting beliung, angin badai, banjir, atau gempa bumi—seperti halnya beberapa peristiwa lainnya dalam hidup kita, memaksa kita menghadapi kenyataan yang tidak 14 terhindarkan dan jelas di depan mata bahwa kita hanya memiliki sedikit kendali atau bahkan tidak sama sekali atas sejumlah hal dan orang yang dekat dengan kita. Tidak peduli seberapa besar kita mengasihi keluarga atau kawan kita, kasih kita tidak dapat melindungi mereka dari bahaya, sakit, ataupun kematian. Kendali yang awalnya kita yakin memilikinya dengan segera menguap dalam panas terik suatu keadaan yang tragis. Ketika kita akhirnya menyerah kepada kenyataan bahwa hidup itu berbahaya, kematian adalah pasti, dan kerentanan tidak dapat dihindari, dan hanya sedikit yang dapat kita perbuat untuk mengubahnya, kita sadar bahwa kita benar-benar membutuhkan jawaban bagi kepercayaan diri kita yang telah lenyap. Kehilangan Kepercayaan Diri. Philip Yancey menuliskan, “Keraguan segera muncul secara pasti setelah penderitaan, seperti suatu tindakan refleks.”6 Bencana yang tragis dapat meruntuhkan kepercayaan diri bahwa kita dapat mengatasi apa pun yang menimpa hidup kita. Meskipun kita telah dapat mengendalikan hidup kita di masa lampau dengan mantap, musibah terusmenerus memaksa kita untuk mempertanyakan kemampuan kita dalam menangani apa pun juga. Korban suatu bencana, penyerangan, perang, atau kecelakaan, dihantui oleh keragu-raguan dan pemikiran “seandainya”. Hal-hal rinci dari peristiwa menjelang, selama, dan setelah musibah seperti diulang terus-menerus tanpa henti: “Seandainya aku tak pergi bekerja hari itu . . . Seandainya aku masuk kerja . . . Seandainya aku pulang lebih cepat . . . Seandainya aku pulang telat . . .” Seseorang yang selamat dari musibah terus-menerus menyortir semua skenario, berharap akan dapat menemukan seberkas bukti yang mungkin terlewatkan, yang mungkin dapat dipakai untuk menghindari bencana tersebut. Namun, ketika tidak satupun bukti ditemukan, rasa percaya dirinya lenyap begitu saja bersama dengan kehilangan sudut pandangnya. Kehilangan Sudut Pandang. Orang yang tidak beragama atau lemah iman sering diperhadapkan pada pilihan-pilihan rohani yang tidak pernah mereka sadari sebelumnya. Pertama-tama, ketika segala sesuatu jelas menjadi tidak terkendali dan sangat mengkhawatirkan, mereka cenderung secara naluriah berdoa untuk meminta pertolongan dan campur tangan Allah yang mungkin tidak mereka kenal. Lalu, segera setelah keterguncangan yang dialaminya, seperti yang dapat diduga, mereka mulai menyalahkan Allah, atau setidak-tidaknya mempertanyakan kehadiran-Nya atau ketidakhadiran-Nya dalam musibah tersebut. Yancey menulis, “Penderitaan mendorong kita mempertanyakan keyakinan-keyakinan kita yang paling mendasar tentang Allah.”7 Ini terjadi pada orang beriman maupun pada orang yang hubungannya dengan Allah biasa-biasa saja. Pengikut Kristus diundang oleh-Nya untuk percaya bahwa Allah itu baik dan Dia senang memberikan pemberian yang baik kepada anak-anak-Nya (Mat. 7:11; Luk. 11:13). Namun, dampak merusak dari suatu bencana adalah menjerumuskan kita dalam keragu-raguan mengenai Allah dan kebaikan-Nya, yang dulunya kita pikir tidak akan kita alami. Ketika kita ditekan kuat oleh suatu musibah, pertanyaan 15 inti pun tercetus. Larry Crabb bertanya, “Bagaimana kita dapat mempercayai Allah yang kadang-kadang mengecewakan dan tampaknya plin-plan serta tidak melakukan apa yang dapat dilakukan para sahabat kita, jika mereka dapat melakukannya?”8 Bagaimanapun, kita berasumsi, bahwa Dialah Allah, Dialah yang memegang kendali, tetapi ternyata Dia mengecewakan kita. Alkitab menceritakan tentang saksi-saksi iman yang bergumul dengan keraguan mengenai Allah, setelah mereka mengalami peristiwa kehilangan yang tragis: • Ayub menuntut pembicaraan dengan Allah untuk membela perkaranya di hadapan Allah karena ia kehilangan harta benda, keluarga, dan kesehatannya (Ayb. 13:3–14:1). • Asaf mengemukakan kepahitan hatinya kepada Allah karena Dia tampaknya menutup mata terhadap kemakmuran orang fasik ketika dibandingkan dengan penderitaan umat-Nya (Mzm. 73). • Yeremia menyuarakan keluhan bahwa penderitaannya adalah akibat langsung dari bujukan Allah (Yer. 20:7-18). • Ketika Yohanes Pembaptis dipenjara dengan tidak adil, ia 16 mengungkapkan keraguannya terhadap identitas Yesus sebagai Mesias (Mat. 11:2). • Bahkan Yesus pun, ketika menghadapi masa terkelam dalam penderitaan-Nya, meminta supaya Dia dibebaskan dari penderitaan tersebut (Mat. 26:39,42). Dan Yesus merasa diabaikan oleh Bapa-Nya ketika Dia menanggung dosa-dosa dunia (Mat. 27:46). Ketika rasa percaya diri menguap dan sudut pandang memudar karena terjadinya musibah, keputusasaan menyelinap dan mencuri pengharapan. Kehilangan Harapan. Musibah menghempaskan pengharapan dengan kuatnya. Dan pengharapan adalah hal yang menopang kita supaya tetap hidup. Keputusasaan dapat terbentuk ketika mimpi kita hancur (Ams. 13:12). Penderitaan mendalam, ketika melihat bahwa hidup tidak akan pernah sama lagi, telah mendorong kita untuk bertanya: “Mengapa susahsusah melanjutkan hidup, ketika yang sangat kudambakan telah pergi? Ketika pasanganku, anakanakku, kesehatanku, karirku, rumahku, hidupku, semuanya itu telah lenyap, untuk apa lagi aku hidup?” Viktor Frankl, seorang yang selamat dari kengerian Nazi di Perang Dunia II, menuliskan: “Keputusasaan adalah penderitaan tanpa makna.”9 Ketika kita terpuruk oleh musibah—kepercayaan diri kita hancur, keselamatan kita terancam, dan sudut pandang kita buyar—sering kita tidak dapat melihat adanya makna atau hikmah positif dari penderitaan kita. Awalnya, hal ini dapat dimengerti. Namun, menghadapi hidup dan menghadapi kehilangan bukanlah hanya suatu peristiwa, tetapi suatu perjalanan dari mereka yang terluka untuk hidup kembali. Meskipun terluka parah, mereka masih tetap berdiri. Musibah: Apa yang DitinggalkanNya M usibah tidak hanya merenggut sesuatu dari kita, tetapi juga meninggalkan bekas luka yang tak pernah kita inginkan— seperti perasaan bersalah yang dirasakan oleh orang yang selamat dari bencana, rasa duka yang traumatis, dan gangguan stres pasca-trauma yang akut. Mari kita lihat bagaimana setiap bekas luka ini mempengaruhi mereka yang selamat dari suatu musibah. Perasaan Bersalah yang Dirasakan oleh Mereka yang Selamat. Mereka yang selamat dari suatu bencana yang hebat, ketika orang-orang lain di sekitarnya terluka berat atau meninggal, mereka dan keluarga mereka sering merasa sulit merayakan keselamatan mereka, ketika yang lain berduka karena kehilangan yang dialami. Mereka yang selamat dari bencana sering dihantui oleh perasaan bersalah yang menggerogoti karena mereka masih hidup. Alih-alih mengucap syukur, mereka malah merasakan banyak hal yang bertentangan. “Bagaimana aku dapat merayakan keselamatanku, sedangkan yang lain sedang berduka?” “Mengapa aku masih hidup, ketika banyak orang di sekitarku meninggal?” “Mengapa aku tak berusaha lebih keras untuk menyelamatkan orang lain?” Hal ini terutama terjadi ketika mereka selamat sepertinya karena suatu kebetulan dan bukan karena suatu tindakan yang mereka lakukan secara sadar. 17 Sejumlah orang bahkan berpikir terlalu jauh dengan menerima anggapan yang tidak masuk akal yang mengatakan bahwa sebenarnya keselamatan mereka telah mengorbankan orang-orang yang tidak selamat. Kaum pria dapat merasa menjadi “pengecut”, ketika dalam usahanya menyelamatkan diri sendiri, mereka menganggap bahwa mereka telah mencelakakan orang lain. Rasa bersalah yang palsu ini menyulut rasa malu, tidak berdaya, dan benci pada diri sendiri yang tidak sehat dan menghancurkan rasa percaya diri dalam diri seseorang yang selamat. Bagi mereka yang selamat dari suatu bencana, rasa sukacita karena masih hidup bisa tampak tidak pantas sementara ada yang berduka atas mereka yang meninggal dunia. Rasa syukur karena masih hidup dapat membuahkan rasa bersalah. “Bagaimana aku dapat bersukacita ketika yang lain meninggal dan keluarga mereka berduka?” Perasaan yang bertentangan ini dapat menyulitkan proses pemulihan dari mereka yang selamat, beserta keluarga dan kawan-kawan mereka. Sering hal 18 ini menuntun kepada rasa duka yang traumatis. Duka Traumatis. Semua musibah memberikan dampak kehilangan. Apa pun bentuk kehilangannya, pasti menimbulkan duka. Duka adalah proses penyesuaian yang menyakitkan untuk hidup tanpa hal dan orang yang kita kasihi. Namun, gelombang keterkejutan dari suatu kehilangan yang tragis dan tidak terduga telah melontarkan mereka yang ditinggalkan ke dalam tingkat kedukaan yang lebih hebat, yang dikenal sebagai duka traumatis. Joanne Jozefowski menulis, “Duka traumatis adalah respons langsung terhadap peristiwa musibah yang mengancam keamanan, keselamatan, dan kepercayaan yang selama ini telah membentuk dan mengatur hidup kita.”10 Mereka yang kehilangan orang yang dikasihi, rumah atau masyarakat karena peristiwa yang traumatis, cenderung membutuhkan bantuan tenaga profesional dalam menangani rasa duka mereka. Semakin hebat, semakin menakutkan, dan tidak terduganya rasa kehilangan itu, semakin rumit dan berkepanjangan rasa dukanya. Mereka yang dapat mengatasi dukanya, bukan berarti mereka tidak terluka. Bahkan sebaliknya, mereka memanfaatkan perasaan terluka yang mereka alami secara produktif sebagai suatu kesempatan untuk bertumbuh melalui luka itu, daripada hanya sekadar menjalaninya. Proses ini membutuhkan waktu. Duka bukanlah suatu peristiwa, tetapi suatu perjalanan. Hidup tidak akan pernah sama lagi, tetapi dapat menjadi baik kembali. Perjalanan kita melalui duka kadang-kadang menyingkapkan hal-hal yang mungkin tidak pernah kita lihat jika kita tidak mengalami duka tersebut. Yesus mengisahkan suatu cerita mengenai dua rumah yang didirikan di atas dasar yang berbeda (Mat. 7:24-27). Kedua rumah itu terkena hujan badai yang mengakibatkan banjir dan angin ribut. Rumah yang satu rubuh, tetapi yang lain tidak. Rumah yang didirikan di atas batu kokoh bertahan terhadap badai, sedangkan rumah yang didirikan di atas pasir telah hancur. Musibah dapat menyingkapkan dasar apa yang kita miliki. Apa pun yang menjadi penyebabnya, apakah kita dapat bertahan menghadapi badai hidup akan tergantung dari fondasi di mana kita membangun hidup kita. Alkitab memberikan dua kebenaran mendasar yang dapat menjadi tempat bersandar ketika kita mengalami duka traumatis: • Pergumulan dan kehilangan yang tragis, apa pun penyebabnya, sering menjadi kesempatan untuk bertumbuh (Rm. 5:3-5). • Bahkan di tengah pergumulan yang tragis, Allah hadir dan mampu mengerjakan kebaikan bagi kita, meskipun keadaankeadaan di sekitar kita tampaknya mengindikasikan hal yang sebaliknya (Yer. 29:11; Rm. 8:28). Sejumlah pilihan yang kita buat dalam proses ketika kita mengalami dukacita dapat pelanpelan mengembalikan makna dan pengharapan dalam kehidupan kita. Tidak seorang pun memilih untuk berdukacita, tetapi pada akhirnya setiap orang harus memilih bagaimana menanggapi dukacita. Bagi sejumlah orang, peristiwa musibah membawa berbagai komplikasi yang membutuhkan pertolongan khusus. Saat itulah materi-materi dan jasa konselor profesional dapat membantu. 19 Gangguan Stres Akut (GSA). Dalam jangka waktu satu bulan setelah mengalami peristiwa traumatis yang mengancam jiwa, peristiwa yang menimbulkan rasa takut yang amat sangat, tidak berdaya, atau kengerian yang dahsyat, sejumlah orang mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri kembali kepada kehidupan normal. Periode penyesuaian diri ini dapat berlangsung antara dua hari sampai satu bulan. Sejumlah indikator bahwa pertolongan profesional mungkin dibutuhkan bagi seseorang untuk mengatasi akibat dari suatu trauma adalah: • mati rasa, keterasingan, atau hilangnya emosi-emosi normal • kurangnya kesadaran terhadap keadaan sekitar, seperti “linglung” • tidak berminat atau menolak berpartisipasi dalam aktivitasaktivitas yang penting • keterasingan atau menjauh dari orang lain • ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari trauma yang dialaminya • terus mengenang trauma yang dialaminya melalui bayangan, pikiran, impian, ilusi atau kilas balik yang berulang 20 • menghindari apa saja yang berpotensi untuk mengingatkan trauma itu lagi • kecemasan atau meningkatnya keresahan yang terlihat dari sulit tidur, mudah tersinggung, sulit berkonsentrasi, kewaspadaan tinggi, reaksi terkejut yang berlebihan, atau kegelisahan motorik. Sayangnya, liputan media untuk setiap musibah ini meningkatkan persentuhan kita terhadap trauma, jauh melampaui mereka yang mengalami langsung musibah itut. Orang dewasa dan anak-anak secara tidak langsung dapat terguncang oleh tayangan mengerikan dari kejahatan, bencana, dan kecelakaan yang ditayangkan langsung ke rumah kita tanpa henti melalui media elektronik. Ini dapat mengakibatkan terjadinya gejala stres akut. Gejala ini merusak kemampuan kita untuk berfungsi secara normal, dan mengakibatkan gangguan yang berarti di dalam hubungan-hubungan kita. Gangguan Stress Pasca Trauma (GSPT). Menurut Pusat Kajian Nasional untuk GSPT, setiap tahun diperkirakan 17 juta orang di Amerika Utara mengalami trauma dan bencana. Sekitar 25-30 persen di antaranya menderita GSPT akut atau gangguan psikiatris lainnya.11 Sebagian besar dari kita mengenal GSPT dengan menyaksikan pergumulan para veteran tentara Amerika yang kembali dari medan perang Vietnam yang mengerikan. GSPT adalah efek samping yang berkepanjangan dari stres akut yang diakibatkan oleh pengalaman peristiwa traumatis hebat yang melibatkan ancaman kematian atau kematian yang sebenarnya, luka parah, penyiksaan, atau isolasi. Gejalagejala dasar yang sama untuk GSA juga berlaku untuk diagnosa GSPT. Singkatnya, GSPT adalah GSA tingkat tinggi. GSPT adalah bentuk stres akut yang lebih gawat dan berlarut-larut, berlangsung lebih dari satu bulan, dan jika kronis, dapat selama bertahuntahun menyerang orang yang selamat dari bencana. Serangan awal dari gangguan ini dapat tertunda hingga enam bulan setelah trauma terjadi dan baru muncul setelah sesuatu memicu memori-memori yang mengusik dari peristiwa tersebut. GSPT mengakibatkan gangguan, penderitaan, atau kerusakan yang cukup berat di seluruh aspek kehidupan dari orang yang selamat tersebut, baik secara sosial, pekerjaan, hubungan, maupun rohani. Ketika reaksi-reaksi yang penuh tekanan mulai menerobos dan menghambat aktivitas harian kita di rumah, sekolah, dan tempat kerja, kita perlu mengambil langkah untuk meminta pertolongan. Inilah saat ketika para konselor profesional, yang dilatih dalam hal terapi kedukaan dan trauma bagi GSA dan GSPT, dapat menolong para korban yang selamat dan keluarga mereka. Suatu proses yang mereka jalani dengan berbagi cerita, menanggung duka, melepaskan kegelisahan, mengendalikan stres, dan menerima dukungan yang terus-menerus, akan menolong mereka untuk hidup dengan sehat dan produktif, meskipun mereka mempunyai ingatan yang menyakitkan akan trauma-trauma masa lalu. Musibah: Apa yang Dapat Diajarkannya K ebanyakan di antara kita lebih suka menghindari musibah. Itu adalah hal 21 yang wajar. Namun, para pakar pengendali teror mengatakan bahwa musibah dan kematian yang dihadapi mempunyai “potensi sebagai pengalaman yang memerdekakan dan mempercepat pertumbuhan.”12 Kesimpulan mereka sama dengan kesimpulan penulis kitab Pengkhotbah di masa lampau. Ia mengenali adanya nilai berharga dalam menghadapi musibah dan kematian: Pergi ke rumah duka lebih baik dari pada pergi ke rumah pesta, karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia; hendaknya orang yang hidup memperhatikannya (Pkh. 7:2). Musibah, terutama yang membawa kita menyadari tentang kefanaan diri sendiri, sering memaksa kita untuk menantang setiap keyakinan yang belum teruji mengenai tujuan dan maksud kita hidup di dunia. Tidak ada peristiwa lain dalam hidup yang dapat menuntut kita mengevaluasi kembali bagaimana dan mengapa kita hidup dengan cara yang kita lakukan sekarang. Suka atau tidak, terbentuknya keyakinan yang mendalam sering merupakan hasil penempaan dalam perapian trauma dan kesengsaraan berat. 22 Belajar melalui trauma sangatlah sulit karena pembelajaran ini menuntut lebih dari sekadar melihat kenyataan dengan jelas. Pembelajaran ini menuntut kita mengakui dan menerima kenyataan yang paling buruk sekalipun. Dan sering di tengah-tengah keburukan itulah, kita mendapat pelajaran terpenting yang membentuk fondasi bagi sisa hidup kita selanjutnya. Yang Paling Penting. Sebagaimana para pelaut menggunakan Bintang Utara untuk memandu dan mengarahkan kapal mereka ke arah yang benar, krisis traumatis sering memaksa kita untuk memeriksa apakah kita telah benar mengarah kepada hal-hal yang paling penting. Perhatian kita mudah sekali teralih oleh kepentingan dan kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga kita kehilangan sudut pandang yang lebih luas tentang apa yang memberi makna dan tujuan bagi hidup kita dalam dunia yang berbahaya ini. Pada akhirnya, semuanya berujung pada apa yang kita yakini dapat memberikan makna kekal dan penting dalam kehidupan. Menurut Alkitab, keyakinan ini berasal dari hubungan kita dengan Allah dan hubungan kita dengan orang lain melalui Kristus. semestinya, kita bebas meninjau ulang hubungan kita yang lain, dengan Allah sebagai pusatnya. Mengenal dan Mengasihi Allah. Yesus menyarikan semua Yesus melengkapi pemikirannya di ayat 39-40: Mengasihi Orang Lain. tulisan Perjanjian Lama dalam dua perintah dasar yang menolong kita untuk memiliki terus sudut pandang ilahi terhadap hidup kita, bahkan ketika musibah melanda. Perintah pertama ditemukan dalam Matius 22:37-38. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi. “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.” Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Siapa yang paling berharga di mata kita? Pasangan kita? Anakanak kita? Orangtua kita? Kawan kita? Semua hubungan lain akan semakin bernilai karena kasih kita kepada Allah yang mempengaruhi kasih kita terhadap orang lain. Bahkan, kasih yang tulus kepada orang lain merupakan ungkapan ketaatan kasih kita yang terdalam kepada Allah (Rm. 12:9; 1 Ptr. 4:8-11; 1 Yoh. 3:11-18). Mengasihi Allah adalah hubungan dasar yang harus menjadi pusat dari segala hal. Ini bukanlah pilihan. Ini hal yang terpenting. Jika semua hubungan lain, tidak peduli sepenting apa pun itu, mengambil alih kedudukan utama Allah sebagai Bintang Utara kita, setiap hubungan lain pasti akan menemui kegagalan. Kita dapat menjadikan sikap mempercayai dan menyenangkan Dia sebagai tujuan kita (2 Kor. 5:9,15). Tanpa itu, hal yang lain tidaklah berarti. Setelah hubungan kita dengan Allah telah ada pada tempat yang Apa yang Tidak Penting Sama Sekali. Musibah mengajar kita untuk mengabaikan hal yang sepele. Berkebalikan dari apa yang diajarkan oleh budaya populer kepada kita, rencana dan harta benda kita merupakan halhal yang tidak penting sama sekali pada akhirnya. Rencana Kita. Hal apa yang paling kita hargai? Sering, apa 23 yang terungkap di masa-masa kehilangan yang tragis adalah kenyataan bahwa kita bertekad untuk menjalani hidup menurut rencana kita sendiri dan bukan rencana Allah. Kita sering berdoa supaya Dia mengikuti rencana kita untuk memenuhi mimpimimpi kita daripada dengan rendah hati menyerahkan hati kita untuk mengikuti panggilan-Nya. Ketika musibah menyeruak secara tidak terduga, rencana kita yang sebenarnya akan jelas terlihat dalam sifat yang sebenarnya—yaitu, rencanarencana yang bodoh. Harta Benda Kita. Apa yang juga kita temukan, yang membuat kita menyesal, adalah betapa banyak waktu dan tenaga yang telah kita hamburkan untuk mementingkan apa yang tidak penting dan menyepelekan apa yang penting. Prioritas kita sering tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kita mungkin mengatakan betapa pentingnya mengasihi Allah dan orang lain, tetapi kita menggunakan sebagian besar waktu, bakat, dan harta kita untuk menumpuk kekayaan, merencanakan liburan berikutnya, dan menabung untuk masa pensiun. Meskipun ini semua adalah hal yang baik, tetapi 24 kerinduan kita untuk melihat orang bertumbuh di dalam Kristus akan terhilang dalam pergumulan kita untuk melangkah maju. Kenyataan yang menyakitkan timbul di masa-masa terjadinya pergolakan tragis. Di masa-masa yang baik ketika kita merasa puas saat melihat segala sesuatu berjalan baik, kita cenderung melupakan Tuhan, sama seperti yang akan dilakukan bangsa Israel setelah mereka masuk ke Tanah Perjanjian (Ul. 6:10-12). Allah menginginkan penyerahan diri kita yang sepenuh hati baik di masamasa kejayaan ataupun di masamasa musibah menimpa. Hanya saja, Allah sering merasa perlu menggunakan musibah untuk mendapatkan perhatian kita. Jika kita mengizinkan Allah untuk mengajar kita melalui musibah-musibah yang kita alami, Dia kemudian dapat memperlengkapi kita untuk hidup dengan penuh keyakinan di dalam dunia yang penuh bahaya. Hidup dengan Keyakinan dalam Dunia yang Penuh Bahaya D i dalam bukunya The Survivor Personality (Kepribadian Mereka yang Selamat dari Bencana), Al Siebert menuliskan, “Orang jarang menggali kekuatan dan kemampuan terdalamnya sampai ia terpaksa melakukannya karena suatu musibah besar.”13 Dalam tulisannya hampir 70 tahun sebelumnya, Virginia Woolf mungkin akan menyetujui: “Hidup . . . adalah suatu pergumulan sulit dan berat yang tiada henti. Ini membutuhkan kekuatan dan keberanian yang sangat besar. Kemungkinan melebihi dari segalanya, bagi makhluk ilusi seperti kita, pergumulan ini memerlukan kepercayaan pada diri sendiri. Tanpa kepercayaan diri, kita akan terombang-ambing seperti bayi dalam ayunannya.”14 Kata-kata yang serius mengenai kerentanan diri ini dihiasi dengan dorongan semangat. Kata-kata ini bukan sekadar kata-kata kosong, tetapi mencerminkan keyakinan yang kuat terhadap kenyataan yang terjalin dengan pengharapan, sama seperti kata- kata terakhir Yesus kepada para murid-Nya pada malam terakhir mereka bersama. Sebelum Yesus mendoakan mereka, lalu memikul salib, Yesus mengajar mereka: Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia (Yoh. 16:33). Kata-kata ini merupakan peringatan yang serius sekaligus merupakan suatu penguatan bagi para murid Yesus yang akan segera menghadapi penganiayaan, penderitaan, dan trauma berat. Meskipun para murid sama sekali tidak mengetahui apa yang akan dialami pada beberapa jam kemudian, hari demi hari, atau tahun-tahun ke depan bagi sebagian dari mereka, Yesus sedang mempersiapkan mereka untuk apa yang akan terjadi. Yesus tahu bahwa kematianNya akan mencerai-beraikan mereka. Dia tahu bahwa mereka akan ditindas, dianiaya, disiksa, dan ditekan dari segala sisi. Permasalahan akan menjadi makanan mereka sehari-hari. Namun, Yesus tidak akan meninggalkan mereka sendirian. 25 Yesus menawarkan pengharapan kepada mereka. Apa yang dibagikan-Nya kepada mereka adalah memberikan damai kepada mereka di tengah pergumulan mereka dalam menghadapi tantangan hidup. Paulus, murid yang menyusul kemudian, menggambarkan damai ini sebagai sesuatu yang melampaui segala akal, dan yang akan memelihara hati dan pikiran mereka dalam Kristus (Flp. 4:7). Penguatan dari Yesus datang dalam rupa damai di tengah permasalahan yang bergelora— inilah yang akan mereka alami senantiasa. Dorongan untuk tetap setia merupakan perintah-Nya. Dan sang Penghibur yang diutus kepada mereka untuk menjadi sumber kekuatan dari dalam diri adalah bentuk pemeliharaan-Nya (Yoh. 16:7-14). Lalu, setelah mengajar mereka, Yesus memimpin mereka dengan mendahului mereka dalam melalui jalan penderitaan, duka, dan kesengsaraan yang penuh pengorbanan. Dia membuka jalan bagi kita untuk sanggup menang dalam dunia berbahaya, yang penuh musibah dan masalah. apa saja haruslah menghadapi luka dan penderitaan. Hal yang sama juga dialami oleh mereka yang telah menjalani penderitaan hidup. Semua musibah meninggalkan bekas luka. Tidak seorang pun melaluinya tanpa terluka. Kita semua hidup dengan bekas-bekas luka dari pergumulan traumatis yang telah kita alami. Meskipun kita berjalan dengan timpang, sebagai bukti bahwa kita telah membayar harga dan menghadapi pergumulan, kita dapat terus menjalani hidup dengan keyakinan diri karena pengharapan kita dalam Allah dikuatkan melalui penderitaan. Mereka yang selamat dari bencana dan bertumbuh melalui musibah akan menjadi semakin rendah hati dan berpengharapan oleh karena penderitaan yang telah mereka alami. Dan mereka benar-benar dapat bernyanyi bersama pemazmur: unggul dalam cabang olahraga Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti. Sebab itu kita tidak akan takut, . . . . Tuhan semesta alam menyertai kita, kota benteng kita ialah Allah Yakub (Mzm. 46:2-3,8). Menjalani Penderitaan dengan Baik. Atlet yang ingin 26 Ingatlah, kita dapat memanfaatkan ketahanan kita yang menyakitkan terhadap musibah untuk menguatkan iman kita demi menapaki perjalanan selanjutnya. Berpusat kepada Apa yang Masih Anda Miliki. Orang yang menjadi dewasa melalui musibah telah belajar, dan sekarang meyakini, bahwa trauma, bencana, dan bahkan kematian, tidak akan pernah menjadi penentu akhir. Mereka yang mengalami musibah tetap berduka karena kehilangan yang dideritanya, tetapi kedukaannya, sama seperti kehidupannya, dibungkus dengan pengharapan (1 Tes. 4:13), karena mereka memfokuskan diri kepada apa yang masih mereka miliki dan yang tidak pernah dapat hilang. Mereka yang selamat dan berpengharapan ini tidak hanya menghargai yang telah meninggal dunia, tetapi juga menghargai yang masih hidup untuk mengasihi dan menikmati apa pun yang masih mereka miliki. Dengan Kristus sebagai pengharapan kita di masa musibah, kita tidak kehilangan segalanya. Namun, kita memang cenderung kehilangan fokus manakala kita menghadapi permasalahan. Penulis Ibrani mengingatkan kita bahwa ketika penderitaan mengalihkan fokus kita dari Kristus, kita akan menjadi lemah dan putus asa (12:2-3). Pola kehilangan fokus ini terutama merebak setelah terjadinya suatu bencana hebat. Kita harus hati-hati supaya kita tidak kehilangan fokus kepada Kristus. Ketika kita tetap memandang kepada Kristus, kita akan dapat memuji bersama pemazmur dalam Mazmur 119:71, “Bahwa aku tertindas itu baik bagiku, supaya aku belajar ketetapan-ketetapan-Mu.” Meskipun banyak hal di dalam hidup ini dapat melukai kita dengan sangat dalam, tidak ada musibah, bahkan kematian sekalipun, yang dapat mencuri pengharapan kita dalam Kristus atau memisahkan kita dari kasihNya (Rm. 8:35-39). Kenanglah Mereka yang Meninggal. Banyak orang mengenang mereka yang dikasihinya, yang telah tiada, dengan menggunakan kenangan mereka di masa lalu sebagai batu loncatan untuk melakukan hal-hal positif yang memberikan penguatan bagi mereka yang masih hidup. 27 Untuk mengenang Todd, almarhum suaminya, Lisa Beamer mendirikan yayasan untuk menolong anak-anak yang kehilangan orangtua dalam serangan 11 September. Lisa juga menulis buku tentang perjalanannya di dalam melalui dukacita yang traumatis. Ia menerima banyak undangan untuk menceritakan pengalamannya dan menguatkan orang lain dalam musibah mereka. Hal ini bukanlah rencana yang diinginkannya sedari awal, tetapi ia bersedia menggunakan kesempatan tersebut untuk menebus kehilangan tragis yang dahulu tidak terbayangkan akan terjadi. Menjalin Hubungan dengan Orang Lain yang Selamat. Salah satu cara yang paling berhasil untuk menolong mereka yang selamat dari bencana adalah menjalin hubungan dengan mereka yang mempunyai pengalaman serupa. Mereka yang selamat dari bencana perlu bicara. Mereka perlu menceritakan kisahnya. Mereka perlu tahu bahwa pendengarnya benar-benar memahami luka-luka mereka yang tidak terlihat—kengerian, ketakutan, keterasingan, rasa 28 bersalah, kesepian, dan dukacita yang mereka tanggung. Mereka juga perlu mendengar. Mereka perlu mendengarkan cerita orang lain yang selamat dari suatu bencana tentang pergumulanpergumulan mereka di dalam memahami peristiwa yang tidak terpahami. Mereka membutuhkan pengharapan supaya mereka dapat hidup dengan baik, meskipun bekas-bekas luka masih ada. Bagaimana Dapat Menolong O rang mengalami trauma dengan beragam tingkatan. Yang pertama adalah orang-orang yang selamat dari bencana yang mereka alami secara langsung. Kemudian keluarga dari mereka yang selamat dari musibah. Ada pula keluargakeluarga yang berdukacita dari para korban yang meninggal. Ada keluarga-keluarga yang selamat, tetapi kehilangan segalanya. Ada para pekerja yang memberikan pertolongan dan penyelamatan, dan para penyelidik yang juga mengalami trauma atas apa yang dilihatnya dan harus ditanganinya di tempat peristiwa. Ada kalangan media yang meliput peristiwanya, dan ada orang-orang yang secara tidak langsung mengalami trauma ketika mendengar kabar bencana itu diceritakan kembali. Sadarilah bahwa Anda tidak dipanggil untuk menolong semua orang, tetapi Anda mungkin dapat menolong seseorang. Meskipun sejumlah bentuk pertolongan memerlukan pelatihan khusus, tetapi yang sungguh diperlukan adalah kesediaan untuk dipakai Allah untuk saling “bertolongtolongan menanggung beban” (Gal. 6:2). Pertimbangkanlah cara-cara berikut ini yang dapat Anda pakai untuk menolong mereka yang sedang mengalami suatu musibah: sangat penting bagi perjalanan mereka menapaki lembah kepedihan yang traumatis. Philip Yancey menjelaskan komentar seorang yang selamat dari bencana sebagai berikut: “Aku membutuhkan waktu untuk mencerna apa yang terjadi dalam hidupku dan menerima segala perubahannya. . . . Mungkin cara terbaik untuk memberikan waktu bagi mereka yang menderita adalah dengan bersikap sabar terhadap mereka—memberi mereka kesempatan untuk merasa ragu, menangis, bertanya-tanya, dan melampiaskan emosi yang kuat dan sering berlebihan.”15 Beri Mereka Waktu. Jangan Berusaha Memperbaikinya. Janganlah mengharapkan apa pun dari mereka yang selamat dari suatu bencana, atau dari anggota keluarganya, terutama di tahaptahap awal mereka mengalami trauma. Beri mereka waktu dan ruang untuk berduka. Biarkan mereka memproses luka hati mereka, sementara Anda berusaha untuk melihat, mendengar, dan merasakan penderitaan itu bersama mereka. Tanpa penilaian apa pun dari pihak Anda, biarlah mereka tahu bahwa tidak masalah bagi mereka untuk merasakan apa yang mereka rasakan. Hal ini Tidak ada yang dapat Anda lakukan untuk memperbaiki permasalahannya. Anda tidak dapat mengubah apa yang telah terjadi, membangkitkan mereka yang mati, atau mengembalikan apa yang telah hilang. Mendampingi mereka yang menderita sudah cukup menguatkan mereka. Tidak masalah jika kita tidak mempunyai kata-kata untuk diucapkan. Tidak ada sesuatupun yang dapat menghilangkan penderitaannya, tetapi sentuhan atau pelukan yang Anda berikan 29 memastikan mereka akan kehadiran Anda dan membuat mereka mengecap kehadiran Allah yang memberikan pengharapan dalam diri Anda (Kol. 1:27). Jangan pernah menyepelekan kuasa dari kehadiran Anda. Menangislah Bersama Mereka. Air mata merupakan salah satu hadiah paling berharga yang dapat Anda berikan kepada mereka yang telah kehilangan orang-orang yang mereka kasihi. Kita perlu mendengarkan ketika mereka menceritakan penderitaan mereka, turut meneteskan air mata, ikut berduka atas apa yang hilang dari mereka, dan bersukacita bersama mereka untuk apa yang masih mereka miliki (Rm. 12:15). Penuhi Kebutuhan Mereka yang Mendesak. Orang yang berada di tahap awal trauma sangatlah terguncang oleh penderitaannya, sehingga mereka sering lupa untuk mengurus diri mereka sendiri—untuk makan, ganti pakaian, mandi, bahkan tidur. Keputusan-keputusan yang dahulu dapat diambil tanpa pikir panjang, sekarang telah dilupakan sama sekali. Menolong mereka yang berduka dengan mengatur pemakaman, menyortir semua 30 dokumen penting, mengumpulkan sampel-sampel DNA untuk mengenali sang korban yang dikasihinya, memilihkan baju untuk acara pemakaman, mengatur transportasi bagi anggota keluarga, menyeterika kemeja atau gaun untuk acara pemakaman, dan masih banyak kebutuhan mereka lainnya yang mendesak, dapat menolong mereka untuk tidak merasa begitu sendirian selama melakukan tugas-tugas yang sangat menyakitkan tersebut. Berdoa Bersama dan untuk Mereka. Dalam sejumlah tahapan trauma, orang sering merasakan bahwa mereka tidak sanggup berdoa. Menjadi perantara atas nama mereka yang mengalami trauma, berduka, dan luka hati, merupakan suatu hak istimewa yang tidak boleh kita sia-siakan. Betapa besar penguatan yang dapat kita berikan bagi mereka yang merasa terlalu letih untuk berdoa, ketika mereka mendengar kita menyebutkan nama mereka di hadapan takhta Allah. Tempat Perlindungan dan pengharapan Kita yang Utama D i manakah kita dapat menemukan keyakinan yang teguh untuk melanjutkan hidup kita, terutama ketika musibah melanda? Daud, seorang raja yang tidak asing lagi dengan berbagai musibah dalam hidupnya, menulis: Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang, sebab dari pada-Nyalah harapanku. Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah. Pada Allah ada keselamatanku dan kemuliaanku; gunung batu kekuatanku, tempat perlindunganku ialah Allah. Percayalah kepada-Nya setiap waktu, hai umat, curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya; Allah ialah tempat perlindungan kita (Mzm. 62:6-9). Nasihat Daud yang dikumandangkan 1.000 tahun sebelum Masehi itu masih berlaku di masa sekarang. Satu-satunya tempat perlindungan bagi mereka yang terhempas dan patah hati adalah hubungan dengan Allah yang telah memperlihatkan betapa dalamnya Dia telah mengasihi dan mempedulikan kita (Rm. 5:8). Yesus mengundang kita untuk menjalani kehidupan yang penuh keyakinan dan pengharapan, meskipun kita diperhadapkan pada kehilangan: Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku (Yoh. 14:1). Percaya kepada Yesus berarti bergantung kepada-Nya untuk segala sesuatu yang tidak akan pernah musnah (Yoh. 1:12; 3:16; 10:10). Kehidupan, kematian, dan kebangkitan-Nya memberi jaminan bagi yang percaya kepada-Nya bahwa mereka akan menerima dari-Nya anugerah, belas kasihan, damai sejahtera, pengampunan, kehidupan kekal, dan kasih yang tidak berkesudahan (Rm. 8:31-39). Walaupun kita mungkin kehilangan banyak hal dalam hidup ini, Yesus memberikan jaminan bahwa Dia hadir dan tinggal beserta kita sekarang serta berjanji membawa kita tinggal bersama-Nya di surga kekal kelak. Jaminan dan janji ini dapat menjadi benteng pengharapan 31 dan damai sejahtera yang tidak tergoyahkan bagi kita di masamasa sulit yang kita alami. Refleksi CATATAN KAKI 1. Joanne T. Jozefowski, The Phoenix Phenomenon (New Jersey: Jason Aronson Inc., 2001), hlm.229; 2. Jozefowski, hlm.230-231; 3. Lisa Beamer, Let’s Roll! (Wheaton: Tyndale House Publishers, 2002), hlm.10-11; 4. C. M. Parkes, Bereavement: Studies Of Grief In Adult Life, 3rd ed. (New York: International Universities Press, 1998), hlm.5-6; 5. Herman Melville, Moby Dick (New York: Viking Penguin, 1851/1986), hlm.387; 6. Philip Yancey, Where Is God When It Hurts? (Grand Rapids: Zondervan, 1990), hlm.77; 7. Yancey, hlm.77; 8. Larry Crabb, Shattered Dreams (Colorado Springs, WaterBrook Press, 2001), hlm.34; 9. Yancey, hlm.200; 10. Jozefowski, hlm.230; 11. Disaster Mental Health Services: A Guidebook For Clinitians And Administrators, hlm.2; 12. Pyszczynski, Solomon, & Greenberg, In The Wake Of 9/11 (American Psychological Association, 2002), hlm.139; 13. Al Siebert, The Survivor Personality (New York: Berkley, 1996), hlm.7; 14. Virginia Woolf, A Room Of One’s Own, 1929/1981, hlm.34-35, seperti yang dikutip dalam In The Wake Of 9/11, hlm.71; 15. Yancey, hlm.202. Tim Jackson adalah konselor berlisensi di Michigan, AS, dan bekerja di departemen korespendensi alkitabiah RBC Ministries. 32 Misi kami adalah menjadikan hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup dapat dimengerti dan diterima oleh semua orang. Anda dapat mendukung kami dalam melaksanakan misi tersebut melalui persembahan kasih. Klik link di bawah ini untuk informasi dan petunjuk dalam memberikan persembahan kasih. Terima kasih atas dukungan Anda untuk pengembangan materi-materi terbitan Our Daily Bread Ministries. Persembahan kasih seberapa pun dari para sahabat memampukan Our Daily Bread Ministries untuk menjangkau orang-orang dengan hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup. Kami tidak didanai atau berada di bawah kelompok atau denominasi apa pun. DONASI