musibah - Santapan Rohani

advertisement
Kala
Musibah
Melanda
CW798
I S B N 978-1-60485-400-8
9
781604 854008
RBC Ministries Indonesia|PO Box 2500, Jakarta 11025, Indonesia|[email protected]
Persembahan kasih seberapa pun dari para sahabat memampukan RBC Ministries
untuk menjangkau orang-orang dengan hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup. Kami tidak didanai atau berada di bawah kelompok atau denominasi apa pun.
Menemukan Rasa Aman di Dunia yang Rawan
DAFTAR ISI
Kala Musibah Melanda. . . . 1
Sejumlah Ciri Umum
dari Musibah. . . . . . . . . . 5
Perasaan yang Dialami
Kala Musibah Melanda . . 7
Musibah: Apa yang
Direnggutnya dari Kita. 12
Musibah: Apa yang
Ditinggalkannya. . . . . . . 17
Musibah: Apa yang
Dapat Diajarkannya. . . . 21
Hidup dengan
Keyakinan dalam Dunia
yang Penuh Bahaya. . . . 25
Bagaimana Dapat
Menolong . . . . . . . . . . . 28
Tempat Perlindungan
dan Pengharapan
Kita yang Utama. . . . . . . . 31
Penerbit: RBC Ministries
Penulis: Tim Jackson
Editor Pelaksana: David Sper
Penerjemah: Yudy Himawan
Editor Terjemahan: Dwiyanto,
Natalia Endah
Penata Letak: Jane Selomulyo
Diterjemahkan dari:
Discovery Series:
When Tragedy Strikes—Finding
Security in a Vulnerable World
Foto Sampul: Corbis
Kutipan ayat-ayat Alkitab dikutip
dari ALKITAB terjemahan LAI
© 2003.
Copyright © 2013
RBC Ministries, Grand Rapids,
Michigan. Dicetak di Indonesia.
Cetakan kedua.
Kala Musibah
Melanda
Menemukan Rasa Aman
di Dunia yang Rawan
A
“
pakah ada TV di dekatmu?” tanya
istri saya ketika saya menjawab
teleponnya. “Tidak,” jawab
saya, dan saya agak heran karena tidak
mendengar sapaan darinya yang biasanya
bersemangat. Waktu itu, saya sedang
duduk di meja kerja mengerjakan tugastugas yang biasa saya kerjakan di setiap
Selasa pagi. “Cepat, lihat TV!” desaknya.
“Dua pesawat terbang baru saja menabrak
gedung World Trade Center di New York.
Banyak yang berpikir ini perbuatan para
teroris!”
Beberapa saat kemudian saya bersamasama beberapa teman kerja berdesakan di
depan layar TV kecil yang ada di ruangan
penyuntingan video. Kami menatap
TV dan terhenyak dalam keheningan
menyaksikan rekaman gambar pesawat
United Flight 175 dan American Flight 11
ketika menghantam dua menara kembar
tersebut yang ditayangkan berulang-ulang.
Ketika kami masih berusaha memahami
betapa dahsyatnya peristiwa itu, menara
Selatan pun runtuh dalam kepulan asap
dan puing-puing reruntuhan. Tak lama
kemudian, menara Utara runtuh juga.
Sebelumnya, dua menara itu tegak berdiri
di tempatnya. Lalu tiba-tiba keduanya
runtuh dengan menelan sejumlah
korban jiwa yang tidak terhitung
banyaknya. Sepanjang hari itu,
dan hari-hari berikutnya, saya
terpaku menyaksikan setiap
siaran berita untuk mendapatkan
kabar sebanyak mungkin tentang
nasib mereka yang terperangkap
dalam salah satu peristiwa
terdahsyat yang pernah saya
saksikan. Gambar-gambar
mengerikan yang saya saksikan
itu akan tertanam dalam ingatan
saya selamanya.
Pada hari itu dunia berubah,
bagi kita semua dan bukan
saja bagi penduduk di Amerika
Serikat. Aksi para teroris pada
tanggal 11 September 2001
tersebut menyatakan bahwa
tidak ada tempat di mana pun
di dunia ini yang benar-benar
aman. Jika negara adikuasa saja
dapat dihantam sedemikian
hebatnya, betapa rentannya kita
semua. Seorang spesialis dalam
bidang kedukaan menyatakan:
“Tidak peduli kehilangan seperti
apa yang kita alami, baik yang
langsung maupun yang tidak,
kita semua kehilangan sesuatu
yang sangat bernilai. Kita telah
kehilangan ilusi yang menyatakan
bahwa kita aman-aman saja.”1
Ketika musibah melanda,
rasa aman pun menguap.
2
Keamanan dirusak. Ketidakpastian menyebar. Rasa
takut menyeruak masuk.
Ketidakberdayaan manusia
terkuak. Diperhadapkan pada
kefanaan kita sendiri, kerentanan
kita menjadi suatu kabut tak
tertembus yang menyelimuti
hati manusia. Namun, musibah
tidaklah semata-mata hasil
terorisme. Musibah dapat
melanda dari segala sudut tanpa
pemberitahuan terlebih dulu.
Kehilangan yang dialami
seseorang dalam bentuk apa
pun dapat mengubah kehidupan
mereka yang terkena dampaknya
secara langsung. Namun,
sejumlah peristiwa yang terjadi
secara tiba-tiba dan sangat
mengerikan dapat mengakibatkan
trauma bagi masyarakat di
sekitarnya.
Ketika sedang menulis buklet
ini, saya menerima telepon yang
memberitahukan bahwa di kota
tempat saya dibesarkan telah
terjadi peristiwa yang sangat
tragis. Mayat keponakan kawan
kami telah ditemukan oleh
nelayan di danau setempat.
Keponakan tersebut berusia 26
tahun. Ia mati dicekik.
Musibah melanda paling
dahsyat ketika ia melanda di
waktu yang sangat tak terduga,
hingga itu meruntuhkan rasa
aman kita dan mengguncangkan
kita dengan perasaan kehilangan
dan kerentanan.
Apakah yang kita pikirkan
dan rasakan ketika hidup kita
sendiri dilanda peristiwa buruk
dalam skala besar yang tibatiba mengubah kehidupan kita?
Apakah kita akan kehilangan
segala harapan kita? Atau apakah
kita akan mengalami, seperti
yang telah dialami orang lain,
bahwa masih ada cara untuk
bertahan hidup, dan bahkan
untuk bertumbuh, ketika kita
diperhadapkan pada bencana
alam, kecelakaan besar, atau
tindak kekerasan?
Bencana alam adalah
peristiwa yang terjadi secara tibatiba dan membawa akibat yang
menghancurkan, berdampak pada
kehilangan jiwa dan harta benda
dalam jumlah besar. Peristiwaperistiwa seperti:
• angin puting beliung yang
memporak-porandakan banyak
kota di wilayah tengah Amerika
Serikat
• lumpur longsor yang mengubur
satu desa di Kosta Rika
• longsoran salju yang
memusnahkan satu kota di
pegunungan Alpen di Swiss
• banjir bandang di Kamboja
• angin ribut di Malaysia
• kebakaran hutan di
pegunungan Rocky Kanada
• angin topan di Laut Karibia
• letusan gunung berapi di
Filipina
• gempa bumi di Turki, India
dan Iran
Kecelakaan besar
adalah peristiwa yang tidak
terduga dan tidak disengaja
yang mengakibatkan luka-luka,
kehilangan dan kerusakan.
Peristiwa-peristiwa tersebut sering
terjadi karena kegagalan mekanis
atau kelalaian manusia.
• kecelakaan mobil
• kecelakaan pesawat terbang
• kecelakaan kerja
• kebakaran rumah
• tenggelamnya kapal laut
Musibah kekerasan
merupakan akibat dari tindak
kekerasan yang disengaja dimana
sasarannya adalah seseorang atau
suatu kelompok, seperti:
• penyerangan
• kebakaran yang disengaja
• penculikan
• pembunuhan
• serangan teroris
• kasus penyanderaan
• peperangan
• pemusnahan besar-besaran
suatu suku/kelompok tertentu
• penyiksaan
3
Meskipun kita telah berusaha
untuk membuat dunia ini menjadi
tempat yang lebih aman bagi kita
dan anak-anak kita, dunia ini
terus diwarnai dengan kekerasan,
bencana, dan malapetaka. Di
tahun 2003, terjadi 380 bencana
alam dan malapetaka buatan
manusia yang tercatat telah
menelan korban 60.000 orang.
Sigma, sebuah perusahaan
Swiss yang menyelidiki peristiwa
bencana alam dan malapetaka
yang disebabkan oleh manusia,
menerbitkan angka-angka yang
menyebut 2003 sebagai tahun
yang menduduki peringkat
tertinggi ketujuh yang menelan
korban jiwa terbesar dalam kurun
waktu 30 tahun terakhir. Gempa
Desember 2003 di kota Bam
di Iran, yang menelan korban
sebanyak 41.000 orang, adalah
yang paling mengenaskan—gempa
terbesar keempat sejak tahun
1970.
Pertanyaan yang bertubi-tubi
melanda kita setelah keadaan
yang mengenaskan ini terjadi:
Apa yang masih kita miliki,
ketika banyak hal telah musnah?
Bagaimana kita menghadapi
musibah seperti ini? Bagaimana
kita dapat bertahan hidup?
Apa yang kita rasakan? Apa
yang sepatutnya kita rasakan?
4
Dapatkan kita merasa aman
lagi? Apakah keadaan dapat
kembali normal? Bagaimana kita
dapat saling menolong dalam
menghadapi musibah ini?
Banyak di antara kita bertanyatanya bagaimana kita dapat
mengatasi ketidakberdayaan kita
di tengah-tengah malapetaka yang
terjadi. Itulah sebagian alasan
mengapa film-film seperti Titanic
begitu menarik perhatian.
Titanic menjadi film dengan
penghasilan terbesar sepanjang
masa, antara lain karena
berisi kisah cinta tragis yang
dilatarbelakangi suatu malapetaka
di laut yang telah dikenal luas
serta berdampak besar baik
bagi orang banyak maupun
dunia internasional. Demikian
pula halnya dengan semua
musibah. Kita melihatnya sebagai
peristiwa-peristiwa yang sangat
besar dan dahsyat. Namun,
peristiwa-peristiwa bencana yang
mengguncang dunia ini terdiri
dari banyak kisah nyata yang
tidak kalah penting dari orangorang biasa yang, sekalipun
berada di tengah ketidakpastian,
menemukan apa yang paling
berarti bagi mereka yang masih
terselamatkan.
Musibah dapat mendorong
munculnya sikap terbaik atau
terburuk dari dalam diri kita.
Suatu peristiwa yang mendorong
pencuri menjarah daerah yang
terkena bencana, juga dapat
menjadi kesempatan bagi
seseorang untuk mengulurkan
tangan dan saling menolong,
sesuatu yang mungkin belum
pernah mereka lakukan
sebelumnya. Bagaimana kita
menanggapi apa yang terjadi
berbicara banyak tentang siapa
diri kita yang sebenarnya.
Sejumlah
Ciri Umum
dari Musibah
K
etika kita membayangkan
suatu musibah, kita tidak
membayangkan seseorang
yang telah menjalani kehidupan
yang panjang, dan meninggal di
usia 90-an dengan keluarga dan
teman-teman yang mendampingi
di akhir hidupnya. Hal seperti
itu memang kehilangan yang
menyakitkan, tetapi kita tidak
akan menyebutnya sebagai
suatu musibah. Akhir hidupnya
sudah terbayang. Kita dapat
memperkirakan waktunya.
Yang kita anggap sebagai suatu
musibah biasanya adalah suatu
kehilangan nyawa atau harta
benda akibat malapetaka yang
mengerikan, tindak kekerasan,
atau bencana alam. Peristiwanya
terjadi secara tiba-tiba, dan tidak
terduga. Hidup yang sedang
berjalan baik-baik saja dan
normal bagi kebanyakan orang
tiba-tiba saja mengalami interupsi
dan berubah selamanya tanpa
pemberitahuan terlebih dulu.
Seperti ledakan bom di
kawasan pertokoan yang ramai
atau gempa bumi dahsyat yang
mengguncang, kerusakan hebat
dari bencana tersebut menjalar
luas ke sekitarnya.
Joanne Jozefowski telah
mengenali sejumlah ciri umum
dari bencana besar yang
kemungkinan dapat memunculkan
reaksi dukacita yang mendalam.2
Ketika Anda meninjau daftar ini,
pikirkanlah seberapa banyak dari
ciri-ciri ini yang muncul dalam
peristiwa-peristiwa yang Anda
alami, baik secara langsung atau
tidak langsung.
Peristiwa Itu Tidak
Terduga. Musibah itu
menghantam secara tiba-tiba,
dahsyat, dan tidak terduga.
Kita terhenyak dan terkejut,
terguncang oleh hantaman keras
yang membuat kita menjadi
bingung dan linglung. Kita merasa
kewalahan dan sungguh tak siap.
5
Peristiwa Itu Tidak
Terkendali. Musibah bukan
hanya terjadi secara tidak terduga,
tetapi juga jauh melampaui
kemampuan kita untuk
mencegahnya, mengubahnya,
atau mengendalikannya. Kita
merasa tidak berdaya untuk
menghentikan peristiwa yang
sudah terjadi, dan merasa rentan
karena kita sadar bahwa sebelum
itu terjadi pun kita tidak mungkin
mencegahnya.
Peristiwa Tersebut
Tidak Terbayangkan.
Kehancuran yang merupakan
akibat dari suatu musibah
sungguh melampaui pemahaman
kita. Kita sama sekali tidak tahu
bagaimana memahami selukbeluk dari apa yang kita alami.
Kita melihatnya dengan mata
kepala sendiri, tetapi kita tetap
tidak dapat percaya bahwa hal
itu benar-benar terjadi. Sifat tak
terbayangkan dari musibah inilah
yang membuat kita terhenyak
karena dulu kita anggap hal itu
tidak mungkin dapat terjadi.
Banyak orang menggambarkan
peristiwa 11 September yang
mereka lihat di layar TV
sebagai pengalaman yang tak
terbayangkan. Tayangan TV yang
menampilkan pesawat-pesawat
yang menabrakkan diri dan
6
gedung-gedung yang luluh lantak
itu lebih terlihat seperti suatu
adegan dalam film laga daripada
kengerian yang sungguh-sungguh
terjadi. Ribuan orang biasa seperti
kita pagi itu berangkat ke tempat
kerja dan tidak kembali lagi.
Peristiwa Tersebut
Belum Pernah Terjadi
Sebelumnya. Belum pernah
musibah seperti ini kita alami
secara langsung. Sering kita
tidak tahu apa yang harus kita
lakukan atau bagaimana harus
menanggapinya karena kita tidak
pernah menghadapi hal seperti
itu. Tanpa peristiwa lain yang
sebanding dengan musibah ini,
kita merasa tersesat, bergumul
untuk mencari petunjuk.
Peristiwa Tersebut
Membuat Kita Merasa
Gamang dan Rentan.
Setelah musibah berlalu,
kerapuhan hidup ini terlihat
dengan jelas. Tak seorang pun
dapat sepenuhnya memahami
dampak luas dan jangka panjang
dari musibah itu, baik bagi kita,
keluarga, mata pencaharian, atau
masa depan kita. Kita merasa
terkoyak antara berpengharapan
dan rasa takut, putus asa dan tak
percaya. Kita tak ingin berhenti
berharap, tetapi kita juga takut
membiarkan diri kita terus
memimpikan atau mendambakan
sesuatu atau seseorang lagi.
Salah satu dari dampak jangka
panjang ketika kita selamat dari
musibah yang melanda adalah
kita tetap memiliki rasa tidak
berdaya.
Selama 18 hari pertama di
bulan Oktober 2002, keadaan
menjadi tidak menentu ketika
sepasang penembak gelap
meneror daerah di sekitar
Washington, DC. Tembakan
membabi buta itu akhirnya
menyebabkan 10 orang tewas,
3 orang luka berat, dan ribuan
orang terguncang. Korban yang
acak (tak pandang umur, ras, atau
jenis kelamin), kejadian di tempat
umum (pertokoan, pompa bensin,
lapangan parkir, sekolah), dan
dampaknya yang membawa maut
telah membuat banyak orang
merasa curiga dan khawatir, tidak
tahu siapa yang akan menjadi
korban berikutnya.
Saya dapat merasakan apa
yang dirasakan komunitas itu,
ketika mendengar bahwa salah
satu korban wanita telah tertembak
di luar toko, tempat ipar wanita
saya baru saja berbelanja beberapa
jam sebelumnya.
Dalam dunia yang penuh
bahaya dan ketidakpastian ini,
ada satu hal yang pasti—kita
semua rentan terhadap bahaya.
Segala hukum kepemilikan
senjata, sistem keamanan
nasional, dan peralatan
pengamanan berteknologi tinggi
tidak dapat menjamin dengan
mutlak bahwa tidak akan ada
serangan teroris. Riset geologis
yang efektif pun tidak dapat
mencegah terjadinya gempa bumi
yang menghancurkan. Radar
Doppler dan pantauan satelit
tidak dapat menahan banjir
bandang, menenangkan angin
badai, ataupun menghentikan
angin topan yang mematikan.
Persoalannya bukanlah
kemampuan kita untuk
menyelidiki dan meramalkan
kapan malapetaka akan terjadi,
tetapi ketidakmampuan kita untuk
mencegah dan melindungi diri
sendiri serta mereka yang kita
kasihi dari peristiwa seperti itu.
perasaan yang
Dialami Kala
Musibah Melanda
M
eskipun saya tidak
kehilangan satu anggota
keluarga pun dalam
peristiwa 11 September tersebut,
saya tetap merasa terhenyak dan
tidak berdaya. Di lain pihak,
7
Lisa Beamer memang kehilangan
seorang yang dikasihinya. Todd,
suaminya, adalah salah seorang
penumpang pesawat United Flight
93 yang bernasib malang itu. Lisa
menggambarkan perasaannya
mula-mula ketika ia mendengar
berita TV bahwa pesawat Todd
jatuh di suatu tanah lapang di
Pennsylvania, sebagai berikut:
Aku masuk ke kamar tidur dan
duduk di tepi ranjang, menatap
keluar jendela dalam keadaan
yang hampir tak sadar. Aku
tak bergerak; tak berbicara,
seolah-olah waktu berhenti
seketika itu juga, dan aku tak
merasakan keberadaanku.
Dalam usaha yang sia-sia dan
putus asa untuk memahami
seluruh keadaan itu, hati dan
pikiranku tertutup sementara.
Aku seperti mati rasa. Aku bisa
melihat dan mendengar, tetapi
aku terus saja menatap lurus
ke depan.3
Apa yang dialami Lisa adalah
hal yang normal. Bagi seseorang
yang diterpa secara tiba-tiba dan
tak terduga dengan berita yang
sedemikian dahsyat mengenai
suatu kehilangan yang tragis, atau
bagi mereka yang selamat dari
suatu bencana, perasaan bingung
dan kehilangan arah adalah hal
yang normal.
Sejumlah perasaan yang pada
umumnya melanda setelah kita
8
mengalami terpaan suatu musibah
adalah:
Terguncang. Ketika
suatu malapetaka menghentak
dengan kuatnya, reaksi yang
wajar dan perlu kita berikan
adalah melindungi diri kita
sendiri. Terguncang adalah suatu
bentuk mati rasa emosional yang
seketika melanda setelah kita
menyaksikan, mendengar berita,
atau terhindar dari suatu musibah.
Inilah sekring emosi yang
langsung terpicu untuk melindungi
kita dari suatu kelebihan beban
yang dapat mengakibatkan
kehancuran total dan hilangnya
kemampuan untuk bekerja.
Terguncang dialami ketika kita
menjalani begitu saja apa yang
terjadi, tetapi tidak sepenuhnya
sadar bahwa kita ada pada
situasi tersebut. Sejumlah orang
mengambarkan kondisi ini seperti
sejenis pengalaman supernatural,
dimana mereka dapat melihat diri
mereka sendiri tetapi tidak dapat
memberikan reaksi. Yang lain
menyebutnya sebagai pengalaman
gerak lambat. Mereka mendengar
dan melihat orang lain di sekitar
mereka, merasakan betapa
mendesak keadaannya, tetapi
semuanya terasa bergerak sangat
lambat. Suara-suara teredam dan
terdengar sayup-sayup. Setiap
gerakan terasa begitu lambat dan
berat untuk dilakukan.
Terguncang adalah pertahanan
diri terdepan untuk melawan
kekacauan yang menggemparkan
dari suatu musibah. Inilah
pemutusan emosi jangka pendek,
yang memberi kita waktu
untuk secara perlahan-lahan
menghayati apa yang terjadi.
Namun, perasaan ini tidak dapat
melindungi kita supaya tidak
terluka selamanya. Kepedihannya
akan terasa kembali.
Kepedihan. Meskipun
kita telah berusaha keras
mempersiapkan diri, tidak ada apa
pun yang dapat melindungi kita
dari kepedihan memilukan yang
menghujam kita setelah terjadinya
suatu musibah, terutama jika kita
telah kehilangan orang yang dekat
dengan kita. Luka yang dalam
telah membuat hati kita terkoyak.
Kesedihan mendalam, luka
batin ini, terasa terlalu berat
untuk ditanggung dan tidak dapat
dihindari, karena kita mendadak
kehilangan untuk selamanya
seseorang dan sesuatu yang telah
kita kenal, kita kasihi, tempat kita
bergantung. Kepedihan ini adalah
suatu ironi yang kejam, karena
terdapat hubungan langsung
antara dalamnya kepedihan dan
kuatnya kelekatan kita dengan
apa yang hilang tersebut. Jika kita
mengasihi dengan mendalam, kita
juga akan merasakan kepedihan
yang mendalam ketika kita
kehilangan apa yang kita kasihi.
C. M. Parkes menulis, “Kepedihan
akibat dukacita juga merupakan
bagian kehidupan, sama seperti
sukacita mengasihi; mungkin
inilah harga yang harus kita bayar
untuk kasih, harga dari suatu
komitmen.”4
Kita menggeliat dalam
kesakitan ketika seseorang
yang sangat berharga bagi kita
direnggut dari kita. Kemudian
rasa takut menyelinap masuk—
ketakutan untuk hidup dalam
dunia yang penuh risiko, bahaya,
dan ketidakpastian.
Rasa Takut. Rasa takut
dan panik menyelimuti mereka
yang bergumul mati-matian
untuk mencari tempat berpijak
yang kokoh setelah diombangambingkan oleh suatu bencana.
Dalam kondisi yang rentan ini,
orang bergumul dengan pikiranpikiran seperti ini:
• Apakah aku akan bisa
melaluinya?
• Apa yang akan kuperbuat
tanpa dirinya?
• Apakah aku akan bisa bekerja
kembali?
• Apa yang akan kukatakan pada
9
para sahabat dan keluarga
tentang hal ini?
• Bagaimana aku bisa terus
menjalani hidup tanpa sahabat
terbaikku?
• Apakah hidupku akan bisa
normal kembali?
• Apakah aku bisa tertawa lagi?
• Apakah aku akan bisa
melupakan apa yang telah
kusaksikan?
Setiap kali kita menghadapi
bencana tragis yang melenyapkan
nyawa seperti yang kita ketahui
bersama, rasa takut bahwa kita
tidak dapat bertahan hidup begitu
menguasai pikiran kita. Hidup
tanpa rasa aman yang datang
dari hadirnya orang-orang yang
sangat kita kasihi dan keadaan
yang biasa kita kenal tampaknya
tak hanya mustahil, tetapi juga
tak pernah terpikirkan. Rasa ngeri
jika musibah ini akan terulang
kembali—kebakaran, banjir,
topan, gempa bumi, kekerasan,
penyerangan, atau kecelakaan—
menyulut ketakutan kita.
Ketidakadilan dari seluruh
situasi yang ada membawa kita
pada kemarahan.
Kemarahan. “Hal ini tak
mungkin menimpaku! Ini tak adil!
Apa yang telah kulakukan hingga
aku yang harus mengalaminya?”
adalah reaksi wajar dari orang
10
yang sedang bergumul untuk
menemukan hikmah di tengah
kekalutan suatu bencana.
Ingat, kemarahan atas suatu
kehilangan tragis memang
merupakan reaksi yang wajar.
Rencana dan impian telah hancur.
Masa depan yang terbayang
menjadi berubah selamanya. Apa
yang selama ini dianggap normal,
wajar dan sering terabaikan, kini
tersapu lenyap begitu saja dalam
sekejap mata.
Normal tidak lagi normal.
Segala sesuatu telah berubah.
Dan kita tidak menyukai
perubahan itu. Kita menginginkan
hidup kembali seperti semula.
Dan karena kita tidak dapat
memperolehnya kembali, kita
menjadi marah.
Memang semua pergumulan
dan kehilangan dapat memicu
kemarahan pada tingkat tertentu,
tetapi musibah memperkuat
kemarahan itu dalam diri
mereka yang selamat. Ketika
seseorang dianggap sebagai
penyebab musibah itu, tingkat
kemarahan dapat menjadi lebih
kompleks lagi. Keinginan untuk
menuntut keadilan dan membalas
dendam terhadap mereka yang
bertanggung jawab atas kepedihan
dan ketakutan kita telah menaikkan tingkat kemarahan yang
dialami seiring dengan rasa
kehilangan yang menyakitkan.
Terabaikan. Mereka yang
terlepas dari suatu bencana sering
merasa terabaikan dan kesepian
ketika harus membenahi kembali
hidup mereka. Orang yang mereka
kasihi, tempat tinggal mereka,
kota mereka, tempat kerja mereka,
situasi hidup yang mereka jalani,
kini telah hilang lenyap. Sekarang
mereka merasa berbeban berat
karena harus menjalani semuanya
sendiri.
Bagi yang mengalami bencana
itu secara langsung dan masih
terselamatkan, ada juga semacam
keterasingan yang terasa aneh
dan tidak diinginkan. Mungkin
mereka menjadi obyek perhatian
media yang mereka anggap tidak
selayaknya mereka terima. Mereka
merasa tidak nyaman, jika disebut
sebagai “pahlawan”. Yang mereka
lakukan hanyalah bertahan
hidup, sedangkan orang lain yang
tertimpa bencana yang sama
mengalami kebinasaan.
Serangkaian kemarahan pada
tahap-tahap awal kedukaan
yang traumatis juga dapat
disebabkan oleh perasaan
ditelantarkan. Perasaan ini
terutama dirasakan pada waktu
seseorang yang dikasihi tidak
sempat menyelesaikan berbagai
hal penting sebelum kematian
merenggutnya. Kesulitan
keuangan, asuransi yang tidak
mencukupi, tidak adanya surat
wasiat, atau tidak adanya
perencanaan yang baik mengenai
harta benda peninggalannya,
sering memperkuat perasaan
terabaikan yang dialami oleh
mereka yang berduka.
Seorang janda pernah meratap,
“Ia pergi dan meninggalkanku
dengan kekacauan yang harus
kutangani. Ia pergi begitu saja.
Sekarang aku yang terjebak dan
harus menangani semuanya
sendirian.”
Rasa Terasing. Ketika
terkena bencana, kita sering
merasa kesepian dan terasing oleh
kesunyian yang mencekam hati
kita. Kita jadi malas berbicara,
karena kita berpikir: “Tak seorang
pun bisa mengerti apa yang
sedang kualami. Mana mungkin?
Mereka tak mengalami apa yang
kualami. Mereka tak melihat apa
yang kulihat. Mereka sama sekali
tak bisa merasakan apa yang
kurasakan. Tak seorang pun bisa
benar-benar memahami kepedihan,
kesepian, dan ketakutanku!”
Orang sering menarik diri
dari kawan dan keluarga yang
mungkin dapat menjadi sumber
penghiburan yang sangat
11
berharga di tahap-tahap awal
yang krusial sepeninggal bencana.
Namun, keterkejutan, kepedihan,
ketakutan, dan kemarahan yang
begitu dahsyat sering membuat
mereka yang selamat begitu
kewalahan hingga mereka merasa
bahwa pengasingan diri adalah
jalan terbaik.
Rasa Kewalahan.
Bencana menghunjam kita dengan
beragam perasaan yang sepertinya
tiada henti. Ini seperti berada
di dalam arena tinju di mana
seorang petinju kelas berat terusmenerus melancarkan pukulan
kepada sang lawan dengan
tinju kirinya untuk kemudian
menghempaskannya dengan
pukulan tinju kanan. Musibah
dapat menghantam hingga kita
kehilangan keseimbangan, lalu
menghempaskan kita ke tanah.
Yang tersisa adalah kegoyahan
akibat hentaman itu, terhenyak
dan remuk redam secara
emosional.
Tak dapat memusatkan perhatian. Dampak
menumpuk dari beban emosi
yang berlebihan ini adalah
ketidakmampuan untuk
memusatkan perhatian pada
kebutuhan-kebutuhan mendasar.
Mereka yang selamat dari
bencana, para tim penyelamat,
12
dan mereka yang berduka,
kadang-kadang lupa untuk
makan, tidur, ganti pakaian,
menyisir rambut, atau mengurus
kebutuhan dasar dari hidup
mereka sehari-hari. Kegiatan biasa
dirasakan sebagai kerja keras,
bahkan terasa mustahil dan siasia untuk dikerjakan. “Untuk apa?
Semuanya toh sudah hancur.”
Musibah: Apa yang
Direnggutnya
dari Kita
M
usibah sering memicu
adanya perasaan
terganggu yang sangat
hebat. Apa yang tadinya kita
pikir aman, terjamin dan stabil,
tampaknya telah lenyap. Hal-hal
yang kita harapkan, impikan, dan
andalkan, telah menguap begitu
saja di depan mata kita. Alur
hidup yang telah kita petakan
untuk diri sendiri telah dibelokkan
secara tiba-tiba dan drastis ke
arah yang menyakitkan. Ini bukan
hanya sekadar perasaan bahwa
roda-roda kita terlepas, tetapi
roda-roda tersebut dicabut dan
kita sedang meluncur jatuh ke
dalam jurang.
Kita merasakan betapa
rapuhnya kita melalui serangkaian
kehilangan yang dialami setelah
terjadinya suatu musibah.
Kehilangan Rasa Aman.
Dunia bukanlah tempat yang
aman. Banyak di antara kita
mengetahuinya, tetapi sedikit di
antara kita yang hidup dengan
benar-benar menyadarinya. Kita
malah cenderung untuk memupuk
suatu khayalan, meyakinkan diri
kita sendiri bahwa kita aman dari
bencana. Musibah menguakkan
kenyataan yang tidak dapat
disangkal betapa kita sebenarnya
sangat rentan.
Herman Melville menulis
mengenai tak adanya tempat yang
aman, dalam buku klasiknya,
Moby Dick: “Semua orang hidup
terkurung dalam perangkap
ikan paus. Semua orang
dilahirkan dengan tali kekang
yang mengalungi leher mereka,
tetapi hanya ketika terjerat oleh
kematian yang cepat dan tiba-tiba,
manusia fana menyadari bahaya
dalam hidup yang ternyata selalu
ada, hanya tidak kentara.”5
Meskipun kepedihan,
penderitaan, pergumulan,
kehilangan, dan dukacita pasti
terjadi di dunia yang telah rusak
dan berdosa ini, kebanyakan di
antara kita bekerja sangat keras
untuk menghindari risiko dan
memperoleh kenyamanan bagi
diri sendiri. Hempasan-hempasan
musibah yang sangat kuat telah
mengoyak tipisnya tirai keamanan
yang telah kita dirikan untuk
menangani kegelisahan hidup
sehari-hari.
Kata-kata Melville
menggemakan peringatan Yesus
kepada para pengikut terdekatNya. Dia tidak ingin mereka
terbuai dengan mempercayai
bahwa hidup di dunia ini
memberikan keamanan dan
perlindungan. Di malam terakhir
bersama mereka, sambil
meyakinkan murid-murid-Nya
bahwa Dia tidak akan
meninggalkan mereka sendiri,
Yesus berkata, “Dalam dunia
kamu menderita penganiayaan . . .”
(Yoh. 16:33).
Kata “menderita penganiayaan”
yang digunakan Yesus di ayat
tersebut berkaitan dengan tekanan
yang kita rasakan di tengahtengah penderitaan, penindasan,
dan tekanan yang hebat. Lalu,
Rasul Yohanes memakai kata
yang sama untuk menggambarkan
“kesusahan yang besar” yang
akan dihadapi manusia (Why.
7:14). Itu adalah suatu bentuk
penderitaan yang tidak hanya
mengusik dan mengalihkan
perhatian, tetapi suatu
penderitaan yang mengakibatkan
13
kita putus asa, tergelincir, dan
melumpuhkan, ketika kita
mengalaminya. Yesus mengetahui
bahwa kita akan menghadapi
banyak ancaman terhadap
keamanan dan keselamatan kita
yang mengakibatkan kita terpuruk
di bawah tekanan.
Musibah menyingkapkan
betapa tidak amannya kita
sebenarnya, dan mengingatkan
kita bahwa bukanlah kita yang
memegang kendali.
Kehilangan Kendali.
Musibah dapat menghancurkan
ilusi bahwa kitalah yang
memegang kendali atas dunia
yang berbahaya ini. Jika ada satu
hikmah yang dapat diambil dari
peristiwa 11 September 2001, itu
adalah tidak seorang pun benarbenar memegang kendali. Bukan
saja hal ini berlaku bagi bencanabencana yang berpengaruh
terhadap dunia secara luas, tetapi
juga berlaku bagi jutaan bencana
yang menimpa orang demi orang
yang terjadi setiap hari tetapi tidak
menjadi berita besar.
Kekuatan bencana alam yang
mahadahsyat—taifun, angin
puting beliung, angin badai,
banjir, atau gempa bumi—seperti
halnya beberapa peristiwa lainnya
dalam hidup kita, memaksa kita
menghadapi kenyataan yang tidak
14
terhindarkan dan jelas di depan
mata bahwa kita hanya memiliki
sedikit kendali atau bahkan tidak
sama sekali atas sejumlah hal
dan orang yang dekat dengan
kita. Tidak peduli seberapa
besar kita mengasihi keluarga
atau kawan kita, kasih kita
tidak dapat melindungi mereka
dari bahaya, sakit, ataupun
kematian. Kendali yang awalnya
kita yakin memilikinya dengan
segera menguap dalam panas
terik suatu keadaan yang tragis.
Ketika kita akhirnya menyerah
kepada kenyataan bahwa hidup
itu berbahaya, kematian adalah
pasti, dan kerentanan tidak dapat
dihindari, dan hanya sedikit
yang dapat kita perbuat untuk
mengubahnya, kita sadar bahwa
kita benar-benar membutuhkan
jawaban bagi kepercayaan diri kita
yang telah lenyap.
Kehilangan
Kepercayaan Diri. Philip
Yancey menuliskan, “Keraguan
segera muncul secara pasti
setelah penderitaan, seperti suatu
tindakan refleks.”6 Bencana
yang tragis dapat meruntuhkan
kepercayaan diri bahwa kita
dapat mengatasi apa pun yang
menimpa hidup kita. Meskipun
kita telah dapat mengendalikan
hidup kita di masa lampau
dengan mantap, musibah terusmenerus memaksa kita untuk
mempertanyakan kemampuan kita
dalam menangani apa pun juga.
Korban suatu bencana,
penyerangan, perang, atau
kecelakaan, dihantui oleh
keragu-raguan dan pemikiran
“seandainya”. Hal-hal rinci dari
peristiwa menjelang, selama, dan
setelah musibah seperti diulang
terus-menerus tanpa henti:
“Seandainya aku tak pergi bekerja
hari itu . . . Seandainya aku
masuk kerja . . . Seandainya aku
pulang lebih cepat . . . Seandainya
aku pulang telat . . .” Seseorang
yang selamat dari musibah
terus-menerus menyortir semua
skenario, berharap akan dapat
menemukan seberkas bukti
yang mungkin terlewatkan, yang
mungkin dapat dipakai untuk
menghindari bencana tersebut.
Namun, ketika tidak satupun
bukti ditemukan, rasa percaya
dirinya lenyap begitu saja
bersama dengan kehilangan sudut
pandangnya.
Kehilangan Sudut
Pandang. Orang yang tidak
beragama atau lemah iman
sering diperhadapkan pada
pilihan-pilihan rohani yang
tidak pernah mereka sadari
sebelumnya. Pertama-tama,
ketika segala sesuatu jelas
menjadi tidak terkendali dan
sangat mengkhawatirkan, mereka
cenderung secara naluriah berdoa
untuk meminta pertolongan
dan campur tangan Allah
yang mungkin tidak mereka
kenal. Lalu, segera setelah
keterguncangan yang dialaminya,
seperti yang dapat diduga,
mereka mulai menyalahkan
Allah, atau setidak-tidaknya
mempertanyakan kehadiran-Nya
atau ketidakhadiran-Nya dalam
musibah tersebut.
Yancey menulis, “Penderitaan
mendorong kita mempertanyakan
keyakinan-keyakinan kita
yang paling mendasar tentang
Allah.”7 Ini terjadi pada orang
beriman maupun pada orang
yang hubungannya dengan Allah
biasa-biasa saja. Pengikut Kristus
diundang oleh-Nya untuk percaya
bahwa Allah itu baik dan Dia
senang memberikan pemberian
yang baik kepada anak-anak-Nya
(Mat. 7:11; Luk. 11:13).
Namun, dampak merusak
dari suatu bencana adalah
menjerumuskan kita dalam
keragu-raguan mengenai Allah
dan kebaikan-Nya, yang dulunya
kita pikir tidak akan kita alami.
Ketika kita ditekan kuat oleh
suatu musibah, pertanyaan
15
inti pun tercetus. Larry Crabb
bertanya, “Bagaimana kita
dapat mempercayai Allah yang
kadang-kadang mengecewakan
dan tampaknya plin-plan serta
tidak melakukan apa yang dapat
dilakukan para sahabat kita, jika
mereka dapat melakukannya?”8
Bagaimanapun, kita berasumsi,
bahwa Dialah Allah, Dialah yang
memegang kendali, tetapi ternyata
Dia mengecewakan kita.
Alkitab menceritakan tentang
saksi-saksi iman yang bergumul
dengan keraguan mengenai
Allah, setelah mereka mengalami
peristiwa kehilangan yang tragis:
• Ayub menuntut pembicaraan
dengan Allah untuk membela
perkaranya di hadapan
Allah karena ia kehilangan
harta benda, keluarga, dan
kesehatannya (Ayb. 13:3–14:1).
• Asaf mengemukakan kepahitan
hatinya kepada Allah karena
Dia tampaknya menutup mata
terhadap kemakmuran orang
fasik ketika dibandingkan
dengan penderitaan umat-Nya
(Mzm. 73).
• Yeremia menyuarakan keluhan
bahwa penderitaannya adalah
akibat langsung dari bujukan
Allah (Yer. 20:7-18).
• Ketika Yohanes Pembaptis
dipenjara dengan tidak adil, ia
16
mengungkapkan keraguannya
terhadap identitas Yesus
sebagai Mesias (Mat. 11:2).
• Bahkan Yesus pun, ketika
menghadapi masa terkelam
dalam penderitaan-Nya,
meminta supaya Dia
dibebaskan dari penderitaan
tersebut (Mat. 26:39,42).
Dan Yesus merasa diabaikan
oleh Bapa-Nya ketika Dia
menanggung dosa-dosa dunia
(Mat. 27:46).
Ketika rasa percaya diri
menguap dan sudut pandang
memudar karena terjadinya
musibah, keputusasaan
menyelinap dan mencuri
pengharapan.
Kehilangan Harapan.
Musibah menghempaskan
pengharapan dengan kuatnya.
Dan pengharapan adalah hal
yang menopang kita supaya
tetap hidup. Keputusasaan dapat
terbentuk ketika mimpi kita
hancur (Ams. 13:12). Penderitaan
mendalam, ketika melihat bahwa
hidup tidak akan pernah sama
lagi, telah mendorong kita untuk
bertanya: “Mengapa susahsusah melanjutkan hidup, ketika
yang sangat kudambakan telah
pergi? Ketika pasanganku, anakanakku, kesehatanku, karirku,
rumahku, hidupku, semuanya itu
telah lenyap, untuk apa lagi aku
hidup?”
Viktor Frankl, seorang
yang selamat dari kengerian
Nazi di Perang Dunia II,
menuliskan: “Keputusasaan
adalah penderitaan tanpa
makna.”9 Ketika kita terpuruk
oleh musibah—kepercayaan diri
kita hancur, keselamatan kita
terancam, dan sudut pandang
kita buyar—sering kita tidak
dapat melihat adanya makna atau
hikmah positif dari penderitaan
kita.
Awalnya, hal ini dapat
dimengerti. Namun, menghadapi
hidup dan menghadapi kehilangan
bukanlah hanya suatu peristiwa,
tetapi suatu perjalanan dari
mereka yang terluka untuk hidup
kembali. Meskipun terluka parah,
mereka masih tetap berdiri.
Musibah:
Apa yang
DitinggalkanNya
M
usibah tidak hanya
merenggut sesuatu
dari kita, tetapi juga
meninggalkan bekas luka yang
tak pernah kita inginkan—
seperti perasaan bersalah yang
dirasakan oleh orang yang selamat
dari bencana, rasa duka yang
traumatis, dan gangguan stres
pasca-trauma yang akut. Mari kita
lihat bagaimana setiap bekas luka
ini mempengaruhi mereka yang
selamat dari suatu musibah.
Perasaan Bersalah yang
Dirasakan oleh Mereka
yang Selamat. Mereka yang
selamat dari suatu bencana yang
hebat, ketika orang-orang lain
di sekitarnya terluka berat atau
meninggal, mereka dan keluarga
mereka sering merasa sulit
merayakan keselamatan mereka,
ketika yang lain berduka karena
kehilangan yang dialami.
Mereka yang selamat
dari bencana sering dihantui
oleh perasaan bersalah yang
menggerogoti karena mereka
masih hidup. Alih-alih mengucap
syukur, mereka malah merasakan
banyak hal yang bertentangan.
“Bagaimana aku dapat merayakan
keselamatanku, sedangkan yang
lain sedang berduka?” “Mengapa
aku masih hidup, ketika banyak
orang di sekitarku meninggal?”
“Mengapa aku tak berusaha lebih
keras untuk menyelamatkan orang
lain?” Hal ini terutama terjadi
ketika mereka selamat sepertinya
karena suatu kebetulan dan
bukan karena suatu tindakan yang
mereka lakukan secara sadar.
17
Sejumlah orang bahkan
berpikir terlalu jauh dengan
menerima anggapan yang tidak
masuk akal yang mengatakan
bahwa sebenarnya keselamatan
mereka telah mengorbankan
orang-orang yang tidak selamat.
Kaum pria dapat merasa menjadi
“pengecut”, ketika dalam
usahanya menyelamatkan diri
sendiri, mereka menganggap
bahwa mereka telah
mencelakakan orang lain.
Rasa bersalah yang palsu
ini menyulut rasa malu, tidak
berdaya, dan benci pada diri
sendiri yang tidak sehat dan
menghancurkan rasa percaya
diri dalam diri seseorang yang
selamat.
Bagi mereka yang selamat
dari suatu bencana, rasa sukacita
karena masih hidup bisa tampak
tidak pantas sementara ada
yang berduka atas mereka yang
meninggal dunia. Rasa syukur
karena masih hidup dapat
membuahkan rasa bersalah.
“Bagaimana aku dapat bersukacita
ketika yang lain meninggal dan
keluarga mereka berduka?”
Perasaan yang bertentangan
ini dapat menyulitkan proses
pemulihan dari mereka yang
selamat, beserta keluarga dan
kawan-kawan mereka. Sering hal
18
ini menuntun kepada rasa duka
yang traumatis.
Duka Traumatis.
Semua musibah memberikan
dampak kehilangan. Apa pun
bentuk kehilangannya, pasti
menimbulkan duka. Duka
adalah proses penyesuaian yang
menyakitkan untuk hidup tanpa
hal dan orang yang kita kasihi.
Namun, gelombang keterkejutan
dari suatu kehilangan yang
tragis dan tidak terduga telah
melontarkan mereka yang
ditinggalkan ke dalam tingkat
kedukaan yang lebih hebat, yang
dikenal sebagai duka traumatis.
Joanne Jozefowski menulis,
“Duka traumatis adalah respons
langsung terhadap peristiwa
musibah yang mengancam
keamanan, keselamatan, dan
kepercayaan yang selama ini telah
membentuk dan mengatur hidup
kita.”10
Mereka yang kehilangan
orang yang dikasihi, rumah atau
masyarakat karena peristiwa
yang traumatis, cenderung
membutuhkan bantuan tenaga
profesional dalam menangani
rasa duka mereka. Semakin
hebat, semakin menakutkan,
dan tidak terduganya rasa
kehilangan itu, semakin rumit dan
berkepanjangan rasa dukanya.
Mereka yang dapat mengatasi
dukanya, bukan berarti mereka
tidak terluka. Bahkan sebaliknya,
mereka memanfaatkan perasaan
terluka yang mereka alami
secara produktif sebagai suatu
kesempatan untuk bertumbuh
melalui luka itu, daripada hanya
sekadar menjalaninya. Proses ini
membutuhkan waktu.
Duka bukanlah suatu
peristiwa, tetapi suatu perjalanan.
Hidup tidak akan pernah sama
lagi, tetapi dapat menjadi
baik kembali. Perjalanan kita
melalui duka kadang-kadang
menyingkapkan hal-hal yang
mungkin tidak pernah kita lihat
jika kita tidak mengalami duka
tersebut.
Yesus mengisahkan suatu
cerita mengenai dua rumah yang
didirikan di atas dasar yang
berbeda (Mat. 7:24-27). Kedua
rumah itu terkena hujan badai
yang mengakibatkan banjir dan
angin ribut. Rumah yang satu
rubuh, tetapi yang lain tidak.
Rumah yang didirikan di atas batu
kokoh bertahan terhadap badai,
sedangkan rumah yang didirikan
di atas pasir telah hancur.
Musibah dapat menyingkapkan
dasar apa yang kita miliki. Apa
pun yang menjadi penyebabnya,
apakah kita dapat bertahan
menghadapi badai hidup akan
tergantung dari fondasi di mana
kita membangun hidup kita.
Alkitab memberikan dua
kebenaran mendasar yang dapat
menjadi tempat bersandar ketika
kita mengalami duka traumatis:
• Pergumulan dan kehilangan
yang tragis, apa pun
penyebabnya, sering menjadi
kesempatan untuk bertumbuh
(Rm. 5:3-5).
• Bahkan di tengah pergumulan
yang tragis, Allah hadir dan
mampu mengerjakan kebaikan
bagi kita, meskipun keadaankeadaan di sekitar kita
tampaknya mengindikasikan
hal yang sebaliknya
(Yer. 29:11; Rm. 8:28).
Sejumlah pilihan yang kita
buat dalam proses ketika kita
mengalami dukacita dapat pelanpelan mengembalikan makna dan
pengharapan dalam kehidupan
kita. Tidak seorang pun memilih
untuk berdukacita, tetapi pada
akhirnya setiap orang harus
memilih bagaimana menanggapi
dukacita.
Bagi sejumlah orang, peristiwa
musibah membawa berbagai
komplikasi yang membutuhkan
pertolongan khusus. Saat itulah
materi-materi dan jasa konselor
profesional dapat membantu.
19
Gangguan Stres Akut
(GSA). Dalam jangka waktu
satu bulan setelah mengalami
peristiwa traumatis yang
mengancam jiwa, peristiwa yang
menimbulkan rasa takut yang
amat sangat, tidak berdaya, atau
kengerian yang dahsyat, sejumlah
orang mengalami kesulitan untuk
menyesuaikan diri kembali
kepada kehidupan normal.
Periode penyesuaian diri ini dapat
berlangsung antara dua hari
sampai satu bulan.
Sejumlah indikator bahwa
pertolongan profesional mungkin
dibutuhkan bagi seseorang untuk
mengatasi akibat dari suatu
trauma adalah:
• mati rasa, keterasingan, atau
hilangnya emosi-emosi normal
• kurangnya kesadaran terhadap
keadaan sekitar, seperti
“linglung”
• tidak berminat atau menolak
berpartisipasi dalam aktivitasaktivitas yang penting
• keterasingan atau menjauh dari
orang lain
• ketidakmampuan untuk
mengingat aspek penting dari
trauma yang dialaminya
• terus mengenang trauma yang
dialaminya melalui bayangan,
pikiran, impian, ilusi atau kilas
balik yang berulang
20
• menghindari apa saja yang
berpotensi untuk mengingatkan
trauma itu lagi
• kecemasan atau meningkatnya
keresahan yang terlihat dari
sulit tidur, mudah tersinggung,
sulit berkonsentrasi,
kewaspadaan tinggi, reaksi
terkejut yang berlebihan, atau
kegelisahan motorik.
Sayangnya, liputan media
untuk setiap musibah ini
meningkatkan persentuhan kita
terhadap trauma, jauh melampaui
mereka yang mengalami langsung
musibah itut. Orang dewasa dan
anak-anak secara tidak langsung
dapat terguncang oleh tayangan
mengerikan dari kejahatan,
bencana, dan kecelakaan
yang ditayangkan langsung ke
rumah kita tanpa henti melalui
media elektronik. Ini dapat
mengakibatkan terjadinya gejala
stres akut.
Gejala ini merusak kemampuan
kita untuk berfungsi secara
normal, dan mengakibatkan
gangguan yang berarti di dalam
hubungan-hubungan kita.
Gangguan Stress Pasca
Trauma (GSPT). Menurut
Pusat Kajian Nasional untuk
GSPT, setiap tahun diperkirakan
17 juta orang di Amerika Utara
mengalami trauma dan bencana.
Sekitar 25-30 persen di antaranya
menderita GSPT akut atau
gangguan psikiatris lainnya.11
Sebagian besar dari kita
mengenal GSPT dengan
menyaksikan pergumulan para
veteran tentara Amerika yang
kembali dari medan perang
Vietnam yang mengerikan.
GSPT adalah efek samping
yang berkepanjangan dari stres
akut yang diakibatkan oleh
pengalaman peristiwa traumatis
hebat yang melibatkan ancaman
kematian atau kematian
yang sebenarnya, luka parah,
penyiksaan, atau isolasi. Gejalagejala dasar yang sama untuk
GSA juga berlaku untuk diagnosa
GSPT.
Singkatnya, GSPT adalah
GSA tingkat tinggi. GSPT adalah
bentuk stres akut yang lebih gawat
dan berlarut-larut, berlangsung
lebih dari satu bulan, dan jika
kronis, dapat selama bertahuntahun menyerang orang yang
selamat dari bencana. Serangan
awal dari gangguan ini dapat
tertunda hingga enam bulan
setelah trauma terjadi dan baru
muncul setelah sesuatu memicu
memori-memori yang mengusik
dari peristiwa tersebut.
GSPT mengakibatkan
gangguan, penderitaan, atau
kerusakan yang cukup berat di
seluruh aspek kehidupan dari
orang yang selamat tersebut,
baik secara sosial, pekerjaan,
hubungan, maupun rohani.
Ketika reaksi-reaksi yang
penuh tekanan mulai menerobos
dan menghambat aktivitas
harian kita di rumah, sekolah,
dan tempat kerja, kita perlu
mengambil langkah untuk
meminta pertolongan. Inilah saat
ketika para konselor profesional,
yang dilatih dalam hal terapi
kedukaan dan trauma bagi GSA
dan GSPT, dapat menolong para
korban yang selamat dan keluarga
mereka. Suatu proses yang mereka
jalani dengan berbagi cerita,
menanggung duka, melepaskan
kegelisahan, mengendalikan stres,
dan menerima dukungan yang
terus-menerus, akan menolong
mereka untuk hidup dengan
sehat dan produktif, meskipun
mereka mempunyai ingatan yang
menyakitkan akan trauma-trauma
masa lalu.
Musibah:
Apa yang Dapat
Diajarkannya
K
ebanyakan di antara kita
lebih suka menghindari
musibah. Itu adalah hal
21
yang wajar. Namun, para pakar
pengendali teror mengatakan
bahwa musibah dan kematian
yang dihadapi mempunyai
“potensi sebagai pengalaman yang
memerdekakan dan mempercepat
pertumbuhan.”12 Kesimpulan
mereka sama dengan kesimpulan
penulis kitab Pengkhotbah di
masa lampau. Ia mengenali
adanya nilai berharga dalam
menghadapi musibah dan
kematian:
Pergi ke rumah duka lebih
baik dari pada pergi ke
rumah pesta, karena di
rumah dukalah kesudahan
setiap manusia; hendaknya
orang yang hidup
memperhatikannya (Pkh. 7:2).
Musibah, terutama yang
membawa kita menyadari tentang
kefanaan diri sendiri, sering
memaksa kita untuk menantang
setiap keyakinan yang belum teruji
mengenai tujuan dan maksud
kita hidup di dunia. Tidak ada
peristiwa lain dalam hidup yang
dapat menuntut kita mengevaluasi
kembali bagaimana dan mengapa
kita hidup dengan cara yang kita
lakukan sekarang. Suka atau
tidak, terbentuknya keyakinan
yang mendalam sering merupakan
hasil penempaan dalam perapian
trauma dan kesengsaraan berat.
22
Belajar melalui trauma
sangatlah sulit karena
pembelajaran ini menuntut lebih
dari sekadar melihat kenyataan
dengan jelas. Pembelajaran ini
menuntut kita mengakui dan
menerima kenyataan yang paling
buruk sekalipun. Dan sering
di tengah-tengah keburukan
itulah, kita mendapat pelajaran
terpenting yang membentuk
fondasi bagi sisa hidup kita
selanjutnya.
Yang Paling Penting.
Sebagaimana para pelaut
menggunakan Bintang
Utara untuk memandu dan
mengarahkan kapal mereka ke
arah yang benar, krisis traumatis
sering memaksa kita untuk
memeriksa apakah kita telah
benar mengarah kepada hal-hal
yang paling penting. Perhatian
kita mudah sekali teralih oleh
kepentingan dan kebutuhan
hidup sehari-hari, sehingga kita
kehilangan sudut pandang yang
lebih luas tentang apa yang
memberi makna dan tujuan bagi
hidup kita dalam dunia yang
berbahaya ini.
Pada akhirnya, semuanya
berujung pada apa yang kita
yakini dapat memberikan
makna kekal dan penting dalam
kehidupan. Menurut Alkitab,
keyakinan ini berasal dari
hubungan kita dengan Allah dan
hubungan kita dengan orang lain
melalui Kristus.
semestinya, kita bebas meninjau
ulang hubungan kita yang lain,
dengan Allah sebagai pusatnya.
Mengenal dan Mengasihi
Allah. Yesus menyarikan semua
Yesus melengkapi pemikirannya di
ayat 39-40:
Mengasihi Orang Lain.
tulisan Perjanjian Lama dalam
dua perintah dasar yang menolong
kita untuk memiliki terus sudut
pandang ilahi terhadap hidup kita,
bahkan ketika musibah melanda.
Perintah pertama ditemukan
dalam Matius 22:37-38.
Dan hukum yang kedua,
yang sama dengan itu, ialah:
“Kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri.”
Pada kedua hukum inilah
tergantung seluruh hukum
Taurat dan kitab para nabi.
“Kasihilah Tuhan, Allahmu,
dengan segenap hatimu dan
dengan segenap jiwamu dan
dengan segenap akal budimu.”
Itulah hukum yang terutama
dan yang pertama.
Siapa yang paling berharga di
mata kita? Pasangan kita? Anakanak kita? Orangtua kita? Kawan
kita? Semua hubungan lain akan
semakin bernilai karena kasih kita
kepada Allah yang mempengaruhi
kasih kita terhadap orang lain.
Bahkan, kasih yang tulus kepada
orang lain merupakan ungkapan
ketaatan kasih kita yang terdalam
kepada Allah (Rm. 12:9;
1 Ptr. 4:8-11; 1 Yoh. 3:11-18).
Mengasihi Allah adalah
hubungan dasar yang harus
menjadi pusat dari segala hal.
Ini bukanlah pilihan. Ini hal
yang terpenting. Jika semua
hubungan lain, tidak peduli
sepenting apa pun itu, mengambil
alih kedudukan utama Allah
sebagai Bintang Utara kita,
setiap hubungan lain pasti akan
menemui kegagalan. Kita dapat
menjadikan sikap mempercayai
dan menyenangkan Dia sebagai
tujuan kita (2 Kor. 5:9,15). Tanpa
itu, hal yang lain tidaklah berarti.
Setelah hubungan kita dengan
Allah telah ada pada tempat yang
Apa yang Tidak Penting
Sama Sekali. Musibah
mengajar kita untuk mengabaikan
hal yang sepele. Berkebalikan dari
apa yang diajarkan oleh budaya
populer kepada kita, rencana dan
harta benda kita merupakan halhal yang tidak penting sama sekali
pada akhirnya.
Rencana Kita. Hal apa yang
paling kita hargai? Sering, apa
23
yang terungkap di masa-masa
kehilangan yang tragis adalah
kenyataan bahwa kita bertekad
untuk menjalani hidup menurut
rencana kita sendiri dan bukan
rencana Allah. Kita sering berdoa
supaya Dia mengikuti rencana
kita untuk memenuhi mimpimimpi kita daripada dengan
rendah hati menyerahkan hati kita
untuk mengikuti panggilan-Nya.
Ketika musibah menyeruak
secara tidak terduga, rencana
kita yang sebenarnya akan
jelas terlihat dalam sifat yang
sebenarnya—yaitu, rencanarencana yang bodoh.
Harta Benda Kita. Apa
yang juga kita temukan, yang
membuat kita menyesal, adalah
betapa banyak waktu dan tenaga
yang telah kita hamburkan untuk
mementingkan apa yang tidak
penting dan menyepelekan apa
yang penting. Prioritas kita sering
tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Kita mungkin
mengatakan betapa pentingnya
mengasihi Allah dan orang lain,
tetapi kita menggunakan sebagian
besar waktu, bakat, dan harta
kita untuk menumpuk kekayaan,
merencanakan liburan berikutnya,
dan menabung untuk masa
pensiun. Meskipun ini semua
adalah hal yang baik, tetapi
24
kerinduan kita untuk melihat
orang bertumbuh di dalam Kristus
akan terhilang dalam pergumulan
kita untuk melangkah maju.
Kenyataan yang menyakitkan
timbul di masa-masa terjadinya
pergolakan tragis. Di masa-masa
yang baik ketika kita merasa
puas saat melihat segala sesuatu
berjalan baik, kita cenderung
melupakan Tuhan, sama seperti
yang akan dilakukan bangsa Israel
setelah mereka masuk ke Tanah
Perjanjian (Ul. 6:10-12). Allah
menginginkan penyerahan diri kita
yang sepenuh hati baik di masamasa kejayaan ataupun di masamasa musibah menimpa. Hanya
saja, Allah sering merasa perlu
menggunakan musibah untuk
mendapatkan perhatian kita.
Jika kita mengizinkan Allah
untuk mengajar kita melalui
musibah-musibah yang kita
alami, Dia kemudian dapat
memperlengkapi kita untuk hidup
dengan penuh keyakinan di dalam
dunia yang penuh bahaya.
Hidup dengan
Keyakinan dalam
Dunia yang
Penuh Bahaya
D
i dalam bukunya The
Survivor Personality
(Kepribadian Mereka
yang Selamat dari Bencana),
Al Siebert menuliskan, “Orang
jarang menggali kekuatan dan
kemampuan terdalamnya sampai
ia terpaksa melakukannya karena
suatu musibah besar.”13
Dalam tulisannya hampir 70
tahun sebelumnya, Virginia Woolf
mungkin akan menyetujui: “Hidup
. . . adalah suatu pergumulan
sulit dan berat yang tiada henti.
Ini membutuhkan kekuatan
dan keberanian yang sangat
besar. Kemungkinan melebihi
dari segalanya, bagi makhluk
ilusi seperti kita, pergumulan ini
memerlukan kepercayaan pada
diri sendiri. Tanpa kepercayaan
diri, kita akan terombang-ambing
seperti bayi dalam ayunannya.”14
Kata-kata yang serius mengenai
kerentanan diri ini dihiasi dengan
dorongan semangat. Kata-kata
ini bukan sekadar kata-kata
kosong, tetapi mencerminkan
keyakinan yang kuat terhadap
kenyataan yang terjalin dengan
pengharapan, sama seperti kata-
kata terakhir Yesus kepada para
murid-Nya pada malam terakhir
mereka bersama. Sebelum Yesus
mendoakan mereka, lalu memikul
salib, Yesus mengajar mereka:
Semuanya itu Kukatakan
kepadamu, supaya kamu
beroleh damai sejahtera dalam
Aku. Dalam dunia kamu
menderita penganiayaan,
tetapi kuatkanlah hatimu,
Aku telah mengalahkan dunia
(Yoh. 16:33).
Kata-kata ini merupakan
peringatan yang serius sekaligus
merupakan suatu penguatan
bagi para murid Yesus yang akan
segera menghadapi penganiayaan,
penderitaan, dan trauma berat.
Meskipun para murid sama
sekali tidak mengetahui apa yang
akan dialami pada beberapa
jam kemudian, hari demi hari,
atau tahun-tahun ke depan bagi
sebagian dari mereka, Yesus
sedang mempersiapkan mereka
untuk apa yang akan terjadi.
Yesus tahu bahwa kematianNya akan mencerai-beraikan
mereka. Dia tahu bahwa mereka
akan ditindas, dianiaya, disiksa,
dan ditekan dari segala sisi.
Permasalahan akan menjadi
makanan mereka sehari-hari.
Namun, Yesus tidak akan
meninggalkan mereka sendirian.
25
Yesus menawarkan
pengharapan kepada mereka.
Apa yang dibagikan-Nya kepada
mereka adalah memberikan
damai kepada mereka di tengah
pergumulan mereka dalam
menghadapi tantangan hidup.
Paulus, murid yang menyusul
kemudian, menggambarkan
damai ini sebagai sesuatu yang
melampaui segala akal, dan yang
akan memelihara hati dan pikiran
mereka dalam Kristus (Flp. 4:7).
Penguatan dari Yesus datang
dalam rupa damai di tengah
permasalahan yang bergelora—
inilah yang akan mereka alami
senantiasa. Dorongan untuk tetap
setia merupakan perintah-Nya.
Dan sang Penghibur yang diutus
kepada mereka untuk menjadi
sumber kekuatan dari dalam diri
adalah bentuk pemeliharaan-Nya
(Yoh. 16:7-14).
Lalu, setelah mengajar mereka,
Yesus memimpin mereka dengan
mendahului mereka dalam
melalui jalan penderitaan, duka,
dan kesengsaraan yang penuh
pengorbanan. Dia membuka jalan
bagi kita untuk sanggup menang
dalam dunia berbahaya, yang
penuh musibah dan masalah.
apa saja haruslah menghadapi
luka dan penderitaan. Hal yang
sama juga dialami oleh mereka
yang telah menjalani penderitaan
hidup. Semua musibah
meninggalkan bekas luka. Tidak
seorang pun melaluinya tanpa
terluka. Kita semua hidup dengan
bekas-bekas luka dari pergumulan
traumatis yang telah kita alami.
Meskipun kita berjalan dengan
timpang, sebagai bukti bahwa
kita telah membayar harga dan
menghadapi pergumulan, kita
dapat terus menjalani hidup
dengan keyakinan diri karena
pengharapan kita dalam Allah
dikuatkan melalui penderitaan.
Mereka yang selamat dari
bencana dan bertumbuh melalui
musibah akan menjadi semakin
rendah hati dan berpengharapan
oleh karena penderitaan yang
telah mereka alami. Dan mereka
benar-benar dapat bernyanyi
bersama pemazmur:
unggul dalam cabang olahraga
Allah itu bagi kita tempat
perlindungan dan kekuatan,
sebagai penolong dalam
kesesakan sangat terbukti.
Sebab itu kita tidak akan
takut, . . . . Tuhan semesta
alam menyertai kita, kota
benteng kita ialah Allah Yakub
(Mzm. 46:2-3,8).
Menjalani Penderitaan
dengan Baik. Atlet yang ingin
26
Ingatlah, kita dapat
memanfaatkan ketahanan kita
yang menyakitkan terhadap
musibah untuk menguatkan iman
kita demi menapaki perjalanan
selanjutnya.
Berpusat kepada Apa
yang Masih Anda Miliki.
Orang yang menjadi dewasa
melalui musibah telah belajar,
dan sekarang meyakini, bahwa
trauma, bencana, dan bahkan
kematian, tidak akan pernah
menjadi penentu akhir. Mereka
yang mengalami musibah tetap
berduka karena kehilangan yang
dideritanya, tetapi kedukaannya,
sama seperti kehidupannya,
dibungkus dengan pengharapan
(1 Tes. 4:13), karena mereka
memfokuskan diri kepada apa
yang masih mereka miliki dan
yang tidak pernah dapat hilang.
Mereka yang selamat dan
berpengharapan ini tidak hanya
menghargai yang telah meninggal
dunia, tetapi juga menghargai
yang masih hidup untuk
mengasihi dan menikmati apa pun
yang masih mereka miliki. Dengan
Kristus sebagai pengharapan
kita di masa musibah, kita tidak
kehilangan segalanya.
Namun, kita memang
cenderung kehilangan fokus
manakala kita menghadapi
permasalahan. Penulis Ibrani
mengingatkan kita bahwa ketika
penderitaan mengalihkan fokus
kita dari Kristus, kita akan
menjadi lemah dan putus asa
(12:2-3).
Pola kehilangan fokus ini
terutama merebak setelah
terjadinya suatu bencana hebat.
Kita harus hati-hati supaya
kita tidak kehilangan fokus
kepada Kristus. Ketika kita tetap
memandang kepada Kristus, kita
akan dapat memuji bersama
pemazmur dalam Mazmur
119:71, “Bahwa aku tertindas itu
baik bagiku, supaya aku belajar
ketetapan-ketetapan-Mu.”
Meskipun banyak hal di
dalam hidup ini dapat melukai
kita dengan sangat dalam, tidak
ada musibah, bahkan kematian
sekalipun, yang dapat mencuri
pengharapan kita dalam Kristus
atau memisahkan kita dari kasihNya (Rm. 8:35-39).
Kenanglah Mereka
yang Meninggal. Banyak
orang mengenang mereka yang
dikasihinya, yang telah tiada,
dengan menggunakan kenangan
mereka di masa lalu sebagai
batu loncatan untuk melakukan
hal-hal positif yang memberikan
penguatan bagi mereka yang
masih hidup.
27
Untuk mengenang Todd,
almarhum suaminya, Lisa
Beamer mendirikan yayasan
untuk menolong anak-anak
yang kehilangan orangtua
dalam serangan 11 September.
Lisa juga menulis buku
tentang perjalanannya di
dalam melalui dukacita yang
traumatis. Ia menerima banyak
undangan untuk menceritakan
pengalamannya dan menguatkan
orang lain dalam musibah mereka.
Hal ini bukanlah rencana yang
diinginkannya sedari awal,
tetapi ia bersedia menggunakan
kesempatan tersebut untuk
menebus kehilangan tragis yang
dahulu tidak terbayangkan akan
terjadi.
Menjalin Hubungan
dengan Orang Lain
yang Selamat. Salah satu
cara yang paling berhasil untuk
menolong mereka yang selamat
dari bencana adalah menjalin
hubungan dengan mereka yang
mempunyai pengalaman serupa.
Mereka yang selamat dari
bencana perlu bicara. Mereka
perlu menceritakan kisahnya.
Mereka perlu tahu bahwa
pendengarnya benar-benar
memahami luka-luka mereka
yang tidak terlihat—kengerian,
ketakutan, keterasingan, rasa
28
bersalah, kesepian, dan dukacita
yang mereka tanggung.
Mereka juga perlu mendengar.
Mereka perlu mendengarkan cerita
orang lain yang selamat dari suatu
bencana tentang pergumulanpergumulan mereka di dalam
memahami peristiwa yang tidak
terpahami. Mereka membutuhkan
pengharapan supaya mereka
dapat hidup dengan baik,
meskipun bekas-bekas luka masih
ada.
Bagaimana Dapat
Menolong
O
rang mengalami trauma
dengan beragam
tingkatan. Yang pertama
adalah orang-orang yang selamat
dari bencana yang mereka alami
secara langsung. Kemudian
keluarga dari mereka yang selamat
dari musibah. Ada pula keluargakeluarga yang berdukacita dari
para korban yang meninggal. Ada
keluarga-keluarga yang selamat,
tetapi kehilangan segalanya. Ada
para pekerja yang memberikan
pertolongan dan penyelamatan,
dan para penyelidik yang juga
mengalami trauma atas apa yang
dilihatnya dan harus ditanganinya
di tempat peristiwa. Ada kalangan
media yang meliput peristiwanya,
dan ada orang-orang yang secara
tidak langsung mengalami trauma
ketika mendengar kabar bencana
itu diceritakan kembali.
Sadarilah bahwa Anda tidak
dipanggil untuk menolong semua
orang, tetapi Anda mungkin dapat
menolong seseorang. Meskipun
sejumlah bentuk pertolongan
memerlukan pelatihan khusus,
tetapi yang sungguh diperlukan
adalah kesediaan untuk dipakai
Allah untuk saling “bertolongtolongan menanggung beban”
(Gal. 6:2).
Pertimbangkanlah cara-cara
berikut ini yang dapat Anda pakai
untuk menolong mereka yang
sedang mengalami suatu musibah:
sangat penting bagi perjalanan
mereka menapaki lembah
kepedihan yang traumatis.
Philip Yancey menjelaskan
komentar seorang yang selamat
dari bencana sebagai berikut:
“Aku membutuhkan waktu untuk
mencerna apa yang terjadi dalam
hidupku dan menerima segala
perubahannya. . . . Mungkin cara
terbaik untuk memberikan waktu
bagi mereka yang menderita
adalah dengan bersikap sabar
terhadap mereka—memberi
mereka kesempatan untuk merasa
ragu, menangis, bertanya-tanya,
dan melampiaskan emosi yang
kuat dan sering berlebihan.”15
Beri Mereka Waktu.
Jangan Berusaha
Memperbaikinya.
Janganlah mengharapkan apa pun
dari mereka yang selamat dari
suatu bencana, atau dari anggota
keluarganya, terutama di tahaptahap awal mereka mengalami
trauma. Beri mereka waktu dan
ruang untuk berduka. Biarkan
mereka memproses luka hati
mereka, sementara Anda berusaha
untuk melihat, mendengar,
dan merasakan penderitaan itu
bersama mereka. Tanpa penilaian
apa pun dari pihak Anda, biarlah
mereka tahu bahwa tidak masalah
bagi mereka untuk merasakan
apa yang mereka rasakan. Hal ini
Tidak ada yang dapat Anda
lakukan untuk memperbaiki
permasalahannya. Anda tidak
dapat mengubah apa yang telah
terjadi, membangkitkan mereka
yang mati, atau mengembalikan
apa yang telah hilang.
Mendampingi mereka
yang menderita sudah cukup
menguatkan mereka. Tidak
masalah jika kita tidak
mempunyai kata-kata untuk
diucapkan. Tidak ada sesuatupun
yang dapat menghilangkan
penderitaannya, tetapi sentuhan
atau pelukan yang Anda berikan
29
memastikan mereka akan
kehadiran Anda dan membuat
mereka mengecap kehadiran Allah
yang memberikan pengharapan
dalam diri Anda (Kol. 1:27).
Jangan pernah menyepelekan
kuasa dari kehadiran Anda.
Menangislah Bersama
Mereka. Air mata merupakan
salah satu hadiah paling berharga
yang dapat Anda berikan kepada
mereka yang telah kehilangan
orang-orang yang mereka kasihi.
Kita perlu mendengarkan ketika
mereka menceritakan penderitaan
mereka, turut meneteskan air
mata, ikut berduka atas apa
yang hilang dari mereka, dan
bersukacita bersama mereka
untuk apa yang masih mereka
miliki (Rm. 12:15).
Penuhi Kebutuhan
Mereka yang Mendesak.
Orang yang berada di tahap awal
trauma sangatlah terguncang oleh
penderitaannya, sehingga mereka
sering lupa untuk mengurus diri
mereka sendiri—untuk makan,
ganti pakaian, mandi, bahkan
tidur. Keputusan-keputusan yang
dahulu dapat diambil tanpa pikir
panjang, sekarang telah dilupakan
sama sekali.
Menolong mereka yang
berduka dengan mengatur
pemakaman, menyortir semua
30
dokumen penting, mengumpulkan
sampel-sampel DNA untuk
mengenali sang korban yang
dikasihinya, memilihkan baju
untuk acara pemakaman,
mengatur transportasi bagi
anggota keluarga, menyeterika
kemeja atau gaun untuk acara
pemakaman, dan masih banyak
kebutuhan mereka lainnya yang
mendesak, dapat menolong
mereka untuk tidak merasa begitu
sendirian selama melakukan
tugas-tugas yang sangat
menyakitkan tersebut.
Berdoa Bersama dan
untuk Mereka. Dalam
sejumlah tahapan trauma, orang
sering merasakan bahwa mereka
tidak sanggup berdoa. Menjadi
perantara atas nama mereka yang
mengalami trauma, berduka,
dan luka hati, merupakan suatu
hak istimewa yang tidak boleh
kita sia-siakan. Betapa besar
penguatan yang dapat kita berikan
bagi mereka yang merasa terlalu
letih untuk berdoa, ketika mereka
mendengar kita menyebutkan
nama mereka di hadapan takhta
Allah.
Tempat
Perlindungan
dan pengharapan
Kita yang Utama
D
i manakah kita dapat
menemukan keyakinan
yang teguh untuk
melanjutkan hidup kita, terutama
ketika musibah melanda? Daud,
seorang raja yang tidak asing lagi
dengan berbagai musibah dalam
hidupnya, menulis:
Hanya pada Allah saja
kiranya aku tenang, sebab
dari pada-Nyalah harapanku.
Hanya Dialah gunung
batuku dan keselamatanku,
kota bentengku, aku tidak
akan goyah. Pada Allah
ada keselamatanku dan
kemuliaanku; gunung
batu kekuatanku, tempat
perlindunganku ialah Allah.
Percayalah kepada-Nya
setiap waktu, hai umat,
curahkanlah isi hatimu di
hadapan-Nya; Allah ialah
tempat perlindungan kita
(Mzm. 62:6-9).
Nasihat Daud yang
dikumandangkan 1.000 tahun
sebelum Masehi itu masih berlaku
di masa sekarang.
Satu-satunya tempat
perlindungan bagi mereka yang
terhempas dan patah hati adalah
hubungan dengan Allah yang
telah memperlihatkan betapa
dalamnya Dia telah mengasihi
dan mempedulikan kita (Rm. 5:8).
Yesus mengundang kita untuk
menjalani kehidupan yang penuh
keyakinan dan pengharapan,
meskipun kita diperhadapkan
pada kehilangan:
Janganlah gelisah hatimu;
percayalah kepada Allah,
percayalah juga kepada-Ku
(Yoh. 14:1).
Percaya kepada Yesus berarti
bergantung kepada-Nya untuk
segala sesuatu yang tidak akan
pernah musnah (Yoh. 1:12; 3:16;
10:10). Kehidupan, kematian,
dan kebangkitan-Nya memberi
jaminan bagi yang percaya
kepada-Nya bahwa mereka akan
menerima dari-Nya anugerah,
belas kasihan, damai sejahtera,
pengampunan, kehidupan
kekal, dan kasih yang tidak
berkesudahan (Rm. 8:31-39).
Walaupun kita mungkin
kehilangan banyak hal dalam
hidup ini, Yesus memberikan
jaminan bahwa Dia hadir dan
tinggal beserta kita sekarang serta
berjanji membawa kita tinggal
bersama-Nya di surga kekal
kelak. Jaminan dan janji ini dapat
menjadi benteng pengharapan
31
dan damai sejahtera yang tidak
tergoyahkan bagi kita di masamasa sulit yang kita alami.
Refleksi
CATATAN KAKI
1. Joanne T. Jozefowski, The Phoenix
Phenomenon (New Jersey: Jason Aronson Inc.,
2001), hlm.229; 2. Jozefowski, hlm.230-231;
3. Lisa Beamer, Let’s Roll! (Wheaton: Tyndale
House Publishers, 2002), hlm.10-11;
4. C. M. Parkes, Bereavement: Studies Of Grief
In Adult Life, 3rd ed. (New York: International
Universities Press, 1998), hlm.5-6; 5. Herman
Melville, Moby Dick (New York: Viking Penguin,
1851/1986), hlm.387; 6. Philip Yancey, Where Is
God When It Hurts? (Grand Rapids: Zondervan,
1990), hlm.77; 7. Yancey, hlm.77; 8. Larry
Crabb, Shattered Dreams (Colorado Springs,
WaterBrook Press, 2001), hlm.34;
9. Yancey, hlm.200; 10. Jozefowski, hlm.230;
11. Disaster Mental Health Services: A Guidebook
For Clinitians And Administrators, hlm.2;
12. Pyszczynski, Solomon, & Greenberg, In
The Wake Of 9/11 (American Psychological
Association, 2002), hlm.139; 13. Al Siebert,
The Survivor Personality (New York: Berkley,
1996), hlm.7; 14. Virginia Woolf, A Room Of
One’s Own, 1929/1981, hlm.34-35, seperti yang
dikutip dalam In The Wake Of 9/11, hlm.71;
15. Yancey, hlm.202.
Tim Jackson adalah konselor berlisensi di
Michigan, AS, dan bekerja di departemen
korespendensi alkitabiah RBC Ministries.
32
Misi kami adalah menjadikan hikmat Alkitab
yang mengubahkan hidup dapat dimengerti dan
diterima oleh semua orang.
Anda dapat mendukung kami dalam melaksanakan misi
tersebut melalui persembahan kasih. Klik link di bawah ini
untuk informasi dan petunjuk dalam memberikan persembahan
kasih. Terima kasih atas dukungan Anda untuk pengembangan
materi-materi terbitan Our Daily Bread Ministries.
Persembahan kasih seberapa pun dari para sahabat
memampukan Our Daily Bread Ministries untuk menjangkau
orang-orang dengan hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup.
Kami tidak didanai atau berada di bawah kelompok atau
denominasi apa pun.
DONASI
Download