BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Penggunaan media SMS berfitur suara di kalangan difabel netra yang mennjadi peserta workshop tesis ini menyimpan dinamika yang menarik. Media SMS dengan mesin pembaca banyak mengubah relasi mereka satu sama lain, dan tak menutup kemungkinan memperlebar cakrawala baru interaksi mereka dengan orang lain. Konsep yang dipakai untuk menjelaskan itu adalah konsep mediatisasi yang banyak dikembangkan oleh pemikirpemikir media seperti Andreas Hepp, Knut Lundby dan Stig Hjarvard.Nama yang terkahir ini yang banyak dipakai dalam peneltian ini. Mediatisasi sendiri sudah banyak diterapkan dalam berbagai bidang terkait kenyataan bahwa ini adalah jaman dimana semuanya termediasi, mediation of everything, seperti kata Sonia Livingstone (2009).Sejumlah tokoh seperti Kent Asp, Mazzoleni dan Schultz menerapkan konsep mediatisasi pada bidang politik.Auslander memperhatikan tontonan (music) secara langsung dan akibatnya setelah termediasi.Valliveronen menggarisbawahi peran media dalam dunia pengetahuan dan pendidikan. Hjarvard melihat proses mediatisasi pada agama. Sejumlah konsep besar seperti kutub otonom dan heteronom (Bourdieu), meta-kapital (Bourdieu), meta-kapital media (Couldry) perilaku belakang panggung dan panggung (Erving Goffman) digunakan untuk melihat proses mediatisasi yang terjadi baik dalam tingkatan perubahan interaksi (mikro) maupun dinamika institusi yang berhadapan (makro). Pada tingkatan mikro kita melihat kemampuan mengeloka interaksi bersamaan dengan media seperti dalam kasus Harjito.Perbandingan ber-SMS di akhir latihan dan dalam situasi baby-sitting anak di rumah menjadi catatan penting bagaimana dua interaksi sosial yang dilakukan bersamaan (ber-SMS fitur suara dan mendengarkan orang lain) memungkinkan media SMS ini membantu kita untuk berpindah dari atas dan belakang panggung secara pararel.Kemungkinan perpindahan atas/ belakang panggung itu hanya bisa dilakukan jika karakter interaksi sosial memiliki derajat kepentingan yang 89 berbeda.Kemungkinan ini juga diperkuat penjelasan Hjarvard bahwa sebagian media memang dirancang agar tidak hanya menjadi yang utama diakses, namun juga sebagai latar. Misalnya radio yang dapat diperkecil suaranya ketika kita berbicara, atau suara dering telepon yang diganti getaran. Media, termasuk SMS berfitur suara dapat membantu kita mengelola impresi yang kita proyeksikan ke dunia sekitar kita untuk kepentingan kita sendiri.Kasus Bejo yang mengumumkan perkara nomer untuk kepentingan pencarian zakat sesuai dengan pendapat Hjarvard bahwa semakin sempit saluran komunikasi yang ditawarkan sebuah medium, semakin gampang mengelola komunikasinya.Paradoksnya, meskipun media semakin melebarkan penawarannya dalam hal saluran komunikasi (gambar high definition, tata suara stereo lima saluran) orang masih memilih melalui media yang hanya menyediakan saluran komunikasi terbatas seperti SMS berfitur suara maupun yang biasa.Keterbatasan SMS berfitur suara ini, di satu sisi justru ada di suara itu sendiri.Suara mesin pembaca yang menjadikan difabel netra ini terdengar tanpa emosi dan sangat monoton.Dengan begitu impresi-impresi yang dapat muncul karena luasnya saluran komunikasi justru terminimalisir.Ada kemungkinan seseorang melepaskan (give off) impresi lain dan bukan hanya memberi (give) impresi saat bermedia. Nalar pemanfaatan „belakang panggung‟ untuk merumuskan situasi baru yang disepakati dalam interaksi bermedia melatarbelakangi ide penugasan SMS #3. Jika semua penerima SMS „semakin‟ memahami kemampuan para peserta difabel netra untuk menggunakan SMS berfitur suara (situasi baru), maka pemahaman kemampuan memasak, menjelajah hingga ke Amplas, mengurus sekolah anak dengan beasiswa adalah asumsi baru yang akan masuk ke „belakang panggung‟ pada difabel netra dan akhirnya bisa dibawa ke „atas panggung‟ ketika proses interaksi terjadi. Situasi belakang panggung menjadi kunci bagaimana difabilitas netra diterima dan berada pada posisi setara dengan orang lain. Lewat pintu masuk bernama media SMS berfitur suara ini negosiasi dengan orang lain terjadi dalam interaksi. Jika dilihat dari kasus-kasus di atas negosiasi ini nampaknya menguntungkan teman-teman difabel netra.Ilustrasi Harjito yang menanyakan arah ke Ambarukmo Plaza serta memancing penerima SMS itu mengeksplorasi situasi belakang panggung Harjito. 90 Terkait perkara tabu dan tidak tabu dalam sebuah interaksi Hjarvard memberi catatan jarak dan keterputusan yang menjadi karakter interaksi termediasi menyebabkan penerapan mekanisme penekanan norma tesebut menjadi kurang menggangu (intrusive) dan kurang memunculkan konsekuensi (consequential) dibanding saat diterapkan dalam pertemuan langsung. Alasan Harjito dan Getir menceritakan saya secara langsung pendapat mereka soal Ibu Ketua dan soal guru pelatih kursus pijat yang pilih kasih mempunyai alasan seperti itu.Sama seperti gossip cinta segitiga di Distra Budaya, semua hal itu seperti kurang nendang jika disampaikan lewat media, baik itu SMS ataupun telepon.Ia lebih memunculkan konsekuensi jika diomongkan langsung. Terkait partikularitas SMS berfitur suara, gossip sepertinya semakin kecil kemungkinannya dilakukan lewat media ini.Karakter SMS yang akhirnya dibacakan mesin pembaca membuat karakter pesan di dalamnya berkurang personalitasnya.Gosip dapat tersebar dengan cepat karena sesuatu yang harus „diam-diam‟ menjadi terucapkan sekalipun dalam nada monoton mesin penjawab. Hjarvard menyebut semua bagian yang terjelaskan di atas sebagai proses mediatisasi tingkat mikrososial dimana kita bisa melihat akibat media yang menstrukturkan interaksi manusia. Selain memungkinkan kita berinteraksi dengan media secara bersamaan, media memungkinkan kita mengelola setiap interaksi yang terjadi untuk kepentingan kita sendiri. Terkait dengan relasi mutual antar partisipan penggunaan media juga memungkinkannya berubah-ubah, termasuk ketika masuk pada wilayah norma yang diterima secara bersama, mana yang tabu, mana yang boleh dibicarakan. SMS berfitur suara telah memberi pembuktian perubahan-perubahan itu. Sementara dalam tingkat yang makro kita melihat ada mediatisasi difabilitas dan difabilitasi media.Di tengah pembahasan keduanya kita menemukan satu ruang resistensi mereka pada media SMS berfitur suara ini. Di satu sisi mereka terbantu, namun di sisi lain mereka kehilangan dua hal yang mereka paling butuhkan untuk merasakan dunia yakni suara dan sentuhan. Di satu sisi mereka dipanjangkan telinganya karena SMS dibacakan oleh mesin, di sisi lain dunia mereka semakin digelapkan karena tak ada lagi tabrakan, injakan atau suara teman. Dalam proses itu komersialisasi ikut 91 berperan menghubungkan keduanya. Sementara dalam difabililtasi media, politisasi juga terjadi. Terkait ruang pengalaman bersama saya melihat bahwa lewat media itu para difabel netra sedang memaknai sebuah jalan tengah. Jalan itu sebagaimana gagasan jurnalisme sebagai ideology mencoba berkompromi dan menegosisasikan ulang kekuasaan media.Dalam SMS berfitur suara, para difabel netra memang justru tergelapkan jalannya karena hilangnya sentuhan dan suara dunia nyata. Namun di sisi lain bersama kekuatan SMS berfitur suara ini mereka menyusun satu rencana untuk menuju situasi yang lebih baik. Situasi inklusi dimana di sana tidak ada diskriminasi. Bagian akhir tesis ini membawa pertanyaanyang lebih berfokus pada relasi antara kaum difabel (netra) dan non-difabel.Apa yang harus kita (nondifabel) “ubah” terkait persepsi kita terhadap mereka?Penelitian ini setidaknya menggarisbawahi beberapa hal mendasar soal persepsi itu sendiri.Situasi peminggiran difabel netra dalam kehidupan dan relasi sosial tidak lepas dari konstruksi sosial yang berlangsung dimana mereka dianggap cacat, tidak mampu dan tidak bisa mandiri.Penggunaan SMS berfitur suara di kalangan mereka membuktikan sebaliknya. Dalam hal berinteraksi, kemampuan yang sama dan relasi yang setara dapat dicapai dengan SMS ini. Praktik penggunaan SMS berfitur suara dengan kaum non-difabel mendorong pemahaman yang lebih luas dari kaum non-difabel seperti kita. Pembayangan soal „belakang panggung‟ mereka membuat kita paham bahwa mereka juga mempunyai kemampuan-kemampuan praktis sehari-hari yang sama dengan kita seperti menemukan jalan, memasak, merawat anak, mengurus kredit, pendidikan dan lain sebagainya. Pemahaman ini perlu diproyeksikan dalam skala lebih luas dalam berbagai bidang (sosial, budaya, ekonomi, politik,) karena diperlukan dalam mewujudkan masyarakat inklusi yang menghargai berbagai perbedaan.Prinsip „nothing about us without us’ (tanpa keterlibatan difabel, semua tentang difabel tidak berarti) yang dikemukakan oleh berbagai gerakan difabilitas juga dapat kita jadikan panduan untuk menindaklanjuti perubahan persepsi ini.Prinsip partisipasi ini membuka ruang dialog yang lebih luas ketika kita membicarakan kehidupan mereka dalam kaitan perwujudan masyarakat inklusi tadi. 92 Langkah kecil lainnya yang juga dapat dilakukan adalah dengan melengkapi komunikasi termediasi dengan komunikasi langsung dan tatap muka. Selain kita sendiri juga dapat melihat lebih jelas interaksi ini, para difabel netra juga menemukan lebih banyak petunjuk untuk masuk dalam interaksi itu. Dengan interaksi langsung mereka dapat mendengar suara kita dan berjabat tangan.Semua ini „cahaya‟ yang hilang jika kita melakukan komuniasi termediasi. B. Catatan Akhir Tesis ini, mengikuti jejak Hjarvard, berusaha merangkai dinamika pengaruh media yang disebut mediatisasi, ke dalam satu laporan penelitian.Ia mencoba menghubungkan konsep mediatisasi dengan sejumlah teori besar.Meski sudah menampilkan bingkai besar analisa mediatisasi difabilitas, tesis ini mempunyai keterbatasan dalam mengeksplorasi masing-masing bagian.Perkara kutub heteronom dan otonom antara SMS jenis ini dan difabilitas sendiri juga layak berdiri sebagai tesis mandiri.Juga pertemuan mediatisasi dengan meta-capital. Besar harapan saya masing-masing kajian yang lebih dalam akan ditemukan untuk saling melengkapi satu sama lain dengan tesis ini. Peluang lain yang bisa diperoleh dari keterbatasan tesis ini adalah menerapkan mediatisasi tidak hanya untuk satu jenis difabilitas. Ada banyak difabilitas lain yang juga penting dikaji. Lebih dari itu sebagaimana mediatisasi masuk ke banyak arena, semua yang termediasi tentu dapat kita uji proses mediatisasinya. Bagaimana mediatisasi gender terjadi?Bagaimana mediatiasasi homoseksualitas luang?Bagaimana mediatisasi terjadi?Bagaimana dunia mediatisasi akademik?Bagiamana waktu mediatisasi pemilu?Semua adalah rentetan panjang janji konsep mediatisasi yang dirumuskan oleh Hjarvad, Lundby, Hepp dan para pemikir media lainnya. Akhir kata, semoga dengan penelitian ini penggunaan SMS berfitur suara mengembangkan relasi sosial mereka terlebih potensi penerimaan sosial. Sebagai media komunikasi para difabel netra, semoga SMS berfitur suara ini semakin disadari bahwa ia menjadi jalan menuju kesetaraan dan masyarakat inklusi yang semakin lebar. Jalan yang meskipun tanpa cahaya, tapi tetap 93 bersuara.Sekalipun itu adalah suara mesin penjawab, dan bukan suara teman yang mereka akrabi dalam kehidupan sosial nyata sehari-hari. 94