4 Pembahasan

advertisement
4 Pembahasan
Proses pengolahan biodiesel dari biji nyamplung hampir sama dengan pengolahan biodiesel
dari minyak sawit, jarak pagar, dan jarak kepyar. Tetapi karena biji nyamplung mengandung
zat ekstraktif yang cukup tinggi, maka pada proses pengeringan biji dengan pengukusan
dibutuhkan waktu yang lebih lama, serta proses pemisahan getah (degumming) dilakukan
pada konsentrasi tinggi. Berikut gambar sampel minyak nyamplung mula-mula :
Gambar 4.1. Sampel minyak nyamplung (crude oil)
4.1. Degumming
Minyak lemak mentah yang diproses lanjut guna menghilangkan kadar fosfor (degumming)
dan asam-asam lemak bebas (dengan netralisasi dan steam refining) disebut dengan refined
fatty oil atau straight vegetable oil (SVO) (Soeradjaja, 2005a). Degumming bertujuan untuk
memisahkan minyak dari getah (gum) yang terbawa pada proses pengepresan minyak.
Kandungan getah ini dapat mencapai 30% dari crude oil minyak nyamplung (Johansyah,
1988). Sehingga diperlukan proses degumming yang tepat untuk memisahkan getah dari
minyaknya. Proses degumming dilakukan pada suhu dan konsentrasi tinggi. Minyak
dipanaskan terlebih dahulu sampai suhu 750C kemudian diambahkan asam fosfat 85%
sebesar 1% (b/b) minyak dan diaduk sampai campuran berubah warna menjadi coklat
kemerahan. Suhu yang tinggi dimaksudkan agar reaksi antara asam fosfat dengan getah
dapat berlangsung. Kemudian reaksi ini didiamkan selama minimal 1x24 jam, agar
pembentukan senyawa fosfasida dapat berlangsung maksimal. Kurang dari 24 jam, senyawa
fosfasida yang terbentuk kurang stabil sehingga akan kembali pada keadaan semula ketika
senyawa fosfasida akan dipisahkan dari minyaknya. Yaitu ditandai dengan kembalinya
warna minyak seperti semula, hijau tua pekat.
Setelah didiamkan selama 1x24 jam, senyawa fosfasida yang terbentuk dapat dipisahkan dari
minyak dengan melakukan pencucian menggunakan pelarut metanol : air : heksana berkalikali sampai terbentuk 2 fasa. Dengan pertimbangan, minyak akan terikat dengan heksana
yang non polar, sedangkan senyawa fosfasida terikat dengan air dan metanol yang lebih
polar. Kemudian campuran tersebut dimasukkan ke dalam corong pisah, untuk memisahkan
fraksi polar (metanol, fosfasida dan air) dengan fraksi non polar (minyak dan heksana).
Fraksi non polar kemudian dievaporasi untuk menghilangkan pelarut heksana.
Diperoleh minyak nyamplung bebas getah berwarna coklat kemerahan. Namun dari hasil
eksperimen yang didapatkan, minyak tersebut masih mengandung getah dan senyawa lain
yang terpisah dari minyak, ketika minyak ditambahkan alkohol 95%, pada proses penentuan
bilangan asam. Berat minyak hasil degumming didapatkan sebesar 90 gram atau 90% (w/w).
Gambar 4.2. Minyak hasil degumming
4.2. Reaksi Pra-esterifikasi atau Esterifikasi
Bila bahan baku yang digunakan adalah minyak mentah yang mengandung kadar asam
lemak bebas (free fatty acid - FFA) tinggi (yakni lebih dari 2% - Ramadhas dkk. (2005)),
maka perlu dilakukan proses praesterifikasi untuk menurunkan kadar asam lemak bebas
hingga sekitar 2%.
Menurut (Sudradjat R, 2008), proses esterifikasi minyak nyamplung yang optimum
diperoleh pada suhu 60°C, asam klorida 6% dan rasio mol metanol-FFA 20 : 1, lama reaksi 1
jam. Pada kondisi tersebut dapat menurunkan kandungan asam lemak bebas dari 28,7%
menjadi 4,7%.
Proses praesterifikasi ini bertujuan untuk menurnkan kadar asam lemak bebas dalam minyak.
Kadar asam lemak bebas juga mempengaruhi kualitas minyak, semakin banyak asam lemak
bebas, semakin turun kualitas suatu minnyak karena semakin banyak minyak yang telah
terhidrolisis. Kadar asam lemak bebas dalam SVO juga mempengaruhi kualitas biodiesel
yang dihasilkan. Asam lemak bebas akan membentuk sabun dengan katalis basa (KOH) saat
reaksi transesterifikasi. Reaksi penyabunan yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut :
Gambar 4.3. Reaksi penyabunan
Pada proses praesterifikasi, dengan pelarut metanol menggunakan katalis asam, asam lemak
bebas akan dijadikan sebagai suatu metil ester terbih dahulu. Hal ini dapat dilihat dari
gambar hasil KLT setelah proses praesterifikasi, menunjukkan bahwa telah terbentuk
sebagian metil ester. Diperoleh minyak berwarna oranye dengan berat sebesar 60 gram.
Gambar 4.4. Minyak hasil praesterifikasi
4.3. Reaksi Transesterifikasi
Reaksi transesterifikasi minyak nyamplung dengan pereaksi metanol menggunakan katalis
basa akan menghasilkan metil ester suatu asam lemak. Pada penelitian ini kondisi reaksi
transesterifikasi adalah dengan mencampurkan minyak, metanol, dan katalis dengan
perbandingan minyak : metanol : katalis adalah 5 : 30 : 1 pada suhu 60 0C selama 2 jam.
Katalis yang digunakan adalah NaOCH3. Katalis NaOCH3 dibuat dengan cara memasukkan
sejumlah logam natrium ke dalam metanol. Terjadi reaksi oksidasi pada natrium dan reduksi
pada metanol menghasilkan NaOCH3 dan gas hidrogen. Setelah beberapa saat, reaksi selesai
ditandai dengan hilangnya gelembung-gelembung gas hidrogen. Larutan NaOCH3 dalam
metanol ini siap digunakan untuk reaksi transesterifikasi.
Setelah pemanasan 2 jam, dilakukan pencucian pada campuran hasil reaksi. Tidak dilakukan
pemisahan gliserol dikarenakan gliserol akan memisah dalam jangka waktu yang lama
hingga 12 hari lamanya. Pencucian dilakukan dengan cara mengalirkan aquadest hangat
secara pelahan tanpa pengocokan. Penggunaan aquadest hangat lebih baik dibanding dengan
aquadest dingin. Aquadest hangat akan lebih mudah larut dalam campuran minyak untuk
melarutkan sabun yang terbentuk dibanding dengan aquadest dingin. Pengaliran aquadest
dilakukan berulang hingga fasa bawah yang merupakan fasa air tidak lagi keruh. Pencucian
dilanjutkan dengan penambahan aquadest hangat kemudian dilakukan pengocokkan dan
pemisahan. Pencucian dihentikan hingga air cucian tidak lagi keruh. Fasa organik
selanjutnya dikeringkan dari air dengan menambahkan Na2SO4 dan dilajutkan dengan
penyaringan. Hasil akhir berupa minyak yang berwarna kuning cerah. Dengan berat sebesar
45 gram
Gambar 4.5. Biodiesel dari minyak nyamplung
4.4. Karakterisasi Hasil
Dilakukan karakterisasi terhadap sampel minyak awal (crude oil) dan biodiesel nyamplung.
Karakterisasi tersebut meliputi KLT, massa jenis, viskositas, bilangan asam, bilangan iod,
angka penyabunan, penentuan cloud point (khusus biodiesel) serta spektrometer Infra Red
4.4.1. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Eluen = n-heksana : eter = 7 : 3
Gambar 4.6. Profil KLT minyak
Hasil analisa KLT, seperti terlihat pada Gambar 4.6, antara sampel minyak (crude oil)
dengan minyak hasil degumming menunjukkan spot-spot yang hampir sama. Dapat ditarik
kesimpulan bahwa minyak tidak mengalami reaksi ketika proses degumming. Hal ini sesuai
dengan tujuan dilakukannya degumming itu sendiri, yakni memisahkan getah dari minyak,
namun tidak melibatkan minyak dalam proses reaksinya.
Pada profil KLT minyak hasil esterifikasi, muncul spot besar di bagian atas yang
menunjukkan bahwa telah terbentuk sebagian metil ester dari asam lemak. Komponenkomponen lain yang tersisa tinggal sedikit, ditandai dengan munculnya spot kecil di bagian
bawah. Dapat ditarik kesimpulan bahwa pada proses esterifikasi, telah terbentuk sebagian
metil ester asam lemak, dan ada sebagian komponen minyak yang belum berubah menjadi
metil ester.
Pada profil KLT minyak hasil transesterifikasi, terdapat spot tunggal yang cukup besar di
bagian atas plat. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar komponen minyak telah
membentuk suatu metil ester atau yang dikenal sebagai biodiesel.
4.4.2. Spektrum Infra Red
Perbandingan spektrum IR antara crude oil nyamplung memperlihatkan bahwa telah terjadi
reaksi pada minyak tersebut.
Gambar 4.7. Spektrum IR crude oil minyak nyamplung
Setelah menjadi biodiesel, spektrum IR diperlihatkan pada Gambar 4.8.
Gambar 4.8. Spektrum IR biodiesel nyamplung
Perbedaan terlihat pada spektrum biodiesel yang lebih halus serta lebih tajam puncak-puncak
gugus fungsinya. Pada biodiesel nyamplung terdapat gugus fungsi alkaena yang merupakan
gugus alkena dari metil oleat. Asam oleat merupakan asam lemak dominan yang terdapat
pada minyak nyamplung (sekitar 36-53%).
Tabel 11. Puncak serapan penting spektrum IR biodiesel nyamplung
No.
Puncak serapan (cm-1)
Gugus
1.
3011
CH2=CH2
2.
2927 & 2851
—CH
3.
1739
C=O
4.
1444
C—H
5.
1193
O-C-O
Gambar 4.9. Struktur metil oleat
4.4.3. Karakterisasi biodiesel
Karakterisasi awal biodiesel meliputi massa jenis, viskositas, angka penyabunan, angka
asam, bilangan iod, serta cloud point. Berikut merupakan perbandingan kondisi crude oil
dengan biodiesel nyamplung :
Tabel 4.2. Karakteristik crude oil dan biodiesel nyamplung
Crude Oil
Biodiesel
nyamplung
Nyamplung
Massa jenis (kg/m3)
934,408
877,78
Viskositas 25 0C (cp)
50.3758
2,7436
Angka penyabunan
215,6
213,64
Bilangan Asam
3,58
2,225
Bilangan iod
109,42
105,51
Cloud point
-
11,50 0C
Karakterisasi
Dari tabel karakterisasi diatas dapat dilihat bahwa crude oil nyamplung mengalami
perubahan sifat yang cukup signifikan. Perubahan tersebut antara lain:
•
Massa jenis
Massa jenis minyak mentah mengalami penurunan saat terbentuk biodiesel. Hal ini
dikarenakan komponen-komponen dalam getah, yang telah dipisahkan saat proses
degumming, memiliki berat jenis yang cukup besar, contohnya : protein, karbohidrat,
serta senyawa fosfatida.
•
Viskositas
Crude oil didominasi oleh trigliserida dan pengotor lainnya, sehingga memiliki
viskositas dinamik yang sangat tinggi dibandingkan dengan solar. Pengolahan crude
oil dan SVO menjadi biodiesel dapat menurnkan viskositas dari minyak tersebut.
Perbedaan viskositas antara minyak mentah atau SVO dengan biodiesel juga bisa
digunakan sebagai salah satu indikator dalam proses produksi biodiesel. (Knothe,
2005).
•
Bilangan asam
Terjadi penurunan bilangan asam dari minyak mentah menjadi biodiesel. Penurunan
bilangan asam terjadi setelah proses esterifikasi, saat proses tersebut asam lemak
bebas yang terdapat dalam minyak dijadikan sebagai metil ester asam lemak
menggunakan pelarut metanol dan katalis asam.
•
Bilangan iod
Terjadi penurunan nilai bilangan iod. Hal ini mungkin dikarenakan komponenkomponen dalam getah, yang telah dipisahkan saat proses degummin, seperti protein,
memiliki ikatan rangkap yang membentuk senyawaan dengan iod. Sehingga minyak
mentah memiliki nilai bilangan iod yang lebih tinggi.
•
Angka penyabunan
Terjadi penurunan angka penyabunan dari minyak mentah menjadi biodiesel.
Penurunan angka penyabunan mungkin dikarenakan saat proses esterifikasi, asam
lemak bebas yang terdapat dalam minyak dijadikan sebagai metil ester asam lemak,
jumlah asam lemak bebas makin berkurang, sehingga angka penyabunan juga
mengalami penurunan.
Berikut merupakan perbandingan karakterstik biodiesel nyamplung hasil eksperimen dengan
literatur biodiesel tercantum pada tabel 4.3.
Tabel 4.3. Perbandingan biodiesel eksperimen dengan literatur
Karakterisasi
Biodiesel
eksperimen
Biodiesel jarak
Literatur
nyamplung
Biodiesel sawit
Massa jenis (kg/m3)
877,78
879
910.0
868,0
Viskositas 25 0C (cp)
2,7436
4,2 (40 0C)
32,48 (40 0C)
5,30(40 0C)
Angka penyabunan
213,64
196,3
191- 202
209,7
Bilangan Asam
2,225
4,75
4,76
2,5-4,2
Bilangan iod
105,51
95-106
82-98
45-62
Cloud point
11,50 0C
16 0C
-
16 0C
Download