satuan fisiografis atau ekosistem bentanglahan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang
Kab. Gunungkidul terdiri atas 3 (tiga) satuan fisiografis atau ekosistem
bentanglahan (landscape ecosystem), yang selanjutnya dipakai sebagai dasar bagi
pembagian satuan wilayah pengembangan, yaitu:
(i)
Wilayah Pengembangan Utara disebut Zona Perbukitan Baturagung
dengan ketinggian 200-700 meter dpal. Topografi berbukit-bukit, terdapat
sungai yang mengalir di permukaan dan sumber-sumber air tanah dengan
kedalaman berkisar antara 6-12 meter. Wilayah ini ditunjukan untuk
pengembangan pertanian tanaman pangan, peternakan, industri kecil,
pariwisata, kawasan lindung, dan hutan rakyat.
(ii)
Wilayah Pengembangan Tengah disebut Zona Basin Wonosari dengan
ketinggian 150-200 meter dpal. Topografi berupa dataran tinggi, dengan
banyak dijumpai mata air, dan kaya akan sumberdaya air tanah. Wilayah
ini ditetapkan sebagai wilayah pengembangan pertanian tanaman pangan,
holtikultura, peternakan, pengolahan hasil tambang galian C, kawasan
lindung, hutan wisata, dan hutan rakyat.
(iii)
Wilayah Pengembangan Tengah disebut Zona Perbukitan Kars Gunung
Sewu, dengan ketinggian 100-300 meter dpal. Topografi berbukit-bukit
yang tersusun atas batugamping (kars), banyak dijumpai telaga (danau
doline), tidak terdapat sungai dipermukaan, tetapi banyak ditemukan
1
sungai bawah tanah. Wilayah ini ditujukan untuk pengembangan pertanian
tanaman pangan, tanaman keras, peternakan, pariwisata pantai, budidaya
laut, kawasan lindung, hutan rakyat, dan pelestarian sumber air bawah
tanah. (PERDA Kab. Gunungkidul Nomer 2 Tahun 2001).
Pembagian wilayah pengembangan di Kab. Gunungkidul di atas didasarkan atas
kerangka pemikiran yang lebih sistematis dalam kaitannya dengan upaya
pengambilan kebijakan dalam pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan.
Ekosistem bentanglahan terbentuk oleh komponen lingkungan abiotik, biotik,
dan kultural (sosial-ekonomi-budaya), yang saling berinteraksi, interelasi, dan
interdepedensi. Ekosistem bentanglahan tersusun atas beberapa sub sistem yang perlu
dipahami dalam pengelolaan susmber daya yang ada, sebagai bagian tidak
terpisahkan dalam konsepsi pengelolaan lingkungan hidup di Kab. Gunungkidul
harus menekankan pada aspek keterpaduan pengelolaan sumberdaya lahan,
sumberdaya air, sumberdaya hayati, sumberdaya mineral, dan sumberdaya manusia,
dengan pendekatan keterpaduan antara Satuan Wilayah Pangembangan (SWP). Oleh
karenanya batas fisiografi sebagai satuan ekosistem bentanglahan, seperti yang ada di
Kab. Gunungkidul.
Di Kab. Gunungkidul terdapat sekurang-kurangnya 250 telaga atau lebih yang
terbesar di 10 Kecamatan pada ekosistem perbukitan karst Kab. Gunungkidul. Namun
demikian, tidak semua telaga atau bahkan sebagian kecil saja yang dapat
dimanfaatkan sepanjang tahun dengan kualitas air relatif rendah. Pemanfaatan air
2
telaga digunakan untuk keperluan domestik, seperti mandi dan mencuci, serta untuk
memenuhi kebutuhan air minum ternak. Pada beberapa telaga dimanfaatkan
penduduk hanya sebagai tempat mandi ternak, karena kebutuhan air telah terpenuhi
oleh air bersih yang berasal dari mata air atau gua-gua.
Di samping itu, lahan di sekitar telaga biasanya berupa bukit-bukit karst
dengan lereng-lerengnya yang dimanfaatkan sebagai lahan pertanian tadah hujan atau
irigasi sederhana. Penggunaan pupuk buatan maupun pupuk organik juga dapat
berpengaruh terhadap peningkatan unsur-unsur tertentu yang bersifat pencemar
terhadap air telaga.
Dari perkiraan 250 telaga yang ada di Ekosistem Perbukitan Karst, tercatat
oleh Sub Dinas Pengairan, DPU Kab. Gunungkidul tahun 2005 sebanyak 193 telaga
yang selalu berisi air sepanjang tahun, sedangkan yang lainnya mengalami
kekeringan saat musim kemarau.
Ekosistem Perbukitan Kars merupakan ekosistem bentanglahan yang
secara geomorfologis memang paling banyak mempunyai masalah atau kendala
secara fisik. Kondisi morfologi yang berupa perbukitan-perbukitan kerucut kars
dengan lembah-lembah drainase di sekitarnya berupa doline, uvala, polje, dan
sebagainya, yang tersusun atas batugamping dan dikontrol oleh struktur retakan yang
sangat banyak dan tidak teratur, menimbulkan berbagai permasalahan bio-fisik dan
kultur yang sangat kompleks.
Secara alami, satuan ini sangat potensial untuk mengalami kekritisan atau
kekeringan, sumber-sumber air sangat terbatas, dan lebih dipengaruhi lagi oleh
3
kegiatan manusia dalam bentuk penambangan liar dan penebangan atau
penggundulan hutan untuk tujuan tertentu. Kondisi ini semakin memicu atau
meningkatkan resiko bahaya longsor.
Kondisi hutan di Indonesia semakin mengalami deforestasi. Hal ini
disebabkan oleh berbagai macam aspek, yaitu aspek ekonomi, sosial politik dan
budaya. Kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat telah mempengaruhi
pengelolaan sumber daya hutan. Tingkat ekonomi masyarakat sekitar hutan yang
kebanyakan rendah akan mempengaruhi tekanan terhadap kondisi hutan. Keinginan
masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dalam kehidupan dengan melakukan
berbagai macam usaha merupakan salah satu faktor yang dapat menunjukkan peran
masyarakat dalam pengelolaan hutan. Manusia akan cenderung mengambil sumber
daya alam yang ada disekitarnya. Sementara sumber daya alam yang cukup tersedia
adalah hutan yang telah dikuasai negara. Oleh karena itu, pemanfaatan yang tidak
terkendali dapat mengganggu terwujutnya kelestarian hutan.
Kondisi ekonomi masyarakat yang rendah telah mempengaruhi perilaku
masyarakat dalam menyingkapi sumber daya alam. Aspek ekonomi ini erat kaitannya
dengan aspek sosial masyarakat. Tingkat ekonomi masyarakat yang telah baik
cenderung mempengaruhi kondisi sosial masyarakat yang lebih stabil. Budaya
masyarakat yang sudah cenderung luntur tentunya telah mempengaruhi tindakan
masyarakat terutama dalam mengelola sumber daya alam. Masyarakat akan
cenderung melakukan eksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan dampak
kerusakan ekologi yang mungkin akan terjadi.
4
Penebangan secara besar-besaran di beberapa kawasan hutan terutama di Kab.
Gunungkidul di dorong oleh permasalahan kemiskinan struktural dan mentalitas
konsultif dimasa jatuhnya orde baru. Kesadaran bahwa hutan juga merupakan milik
rakyat bukan menjadi paradigma mereka karena selama ini mesyarakat telah
dipinggirkan peran dan haknya pada sumber daya hutan ( Sepsiaji dan Faudi, 2004).
Kesadaran masyarakat akan pentingnya keberadaan hutan bagi kehidupan dan
lingkungan sangatlah dibutuhkan perannya mengelola hutan kemasyarakatan (HKm).
Kondisi hutan Indonesia yang telah rusak, termasuk hutan Gunungkidul, telah
memberikan dampak kerusakan ekosistem (ekologi) yang cukup besar. Misalnya
kegiatan illegal logging yang telah terjadi dalam skala besar telah mengakibatkan
penurunan produktivitas tanah dan hilangnya komunitas mahluk hidup yang tentunya
ada.
Dengan melihat kondisi hutan Indonesia yang cukup memperihatinkan maka
Pemerintah telah berusaha melakukan perbaikan langkah dalam pengelolaan hutan ke
depan. Pemerintah mulai mendukung perubahan sistem kebijakan yang bersifat
sentralistik menjadi desentralistik termasuk dalam pengelolaan hutan di Indonesia.
Salah satu kebijakan tersebut adalah adanya program berbasis masyarakat, yaitu
hutan kemasyarakatan (HKm) yang diterapkan di berbagai daerah, salah satunya di
Kab. Gunungkidul.
Program HKm di Kab. Gunungkidul merupakan salah satu proyek pemerintah
dalam pengelolaan hutan yang di mulai pada tahun 1995 dengan di keluarkannya SK
Menteri Kehutanan
No. 662/Kpts-II/1995. Tujuan dari program ini adalah
5
meningkatkan manfaat sosial hutan dengan mewujutkan peran serta masyarakat
dalam pengelolaan hutan. Dalam pelaksanaan program HKm ini peran serta atau
keikutsertaan masyarakat sangat dibutuhkan untuk mewujutkan keberhasilannya.
Baik dalam kegiatan yang bersifat teknis maupun non-teknis.
I.2
Rumusan Masalah
1. Apakah ada beberapa perbedaan antara komunitas pohon di daerah tangkapan
air (DTA) pada 6 (enam) telaga di Kab. Gunungkidul dilihat dari parameter
fisik,kimia dan biologi.
2. Bagaimana pengaruh faktor lingkungan dan hubungannya dengan komunitas
pohon antar daerah tangkapan air dilihat dari parameter fisik dan kimia.
I.3
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui komunitas (densitas, diversitas) pohon yang ada di daerah
tangkapan air di 6 (enam) telaga di Kab. Gunungkidul.
2. Untuk mengetahui kondisi fisik dan kimia tanah di kawasan hutan daerah
tangkapan air di Gunungkidul.
6
I.4
Manfaat Penelitian
1. Penelitian diharapkan dapat memberikan manfaaat sebagai media informasi
dasar untuk kepentingan monitoring, konservasi dan pengelolaan daerah
tangkapan air (Catchment hydrology).
2. Memberikan manfaat sebagai informasi tentang keanekaragaman pohon yang
terdapat dikawasan hutan.
3. Hasil penelitian ini dapat manjadi media informasi potensi dan pelestarian
hutan bagi masyarakat
7
Download