peranan wayang kulit cenk blonk sebagai media penyampaian

advertisement
Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012
PERANAN WAYANG KULIT CENK BLONK SEBAGAI MEDIA
PENYAMPAIAN PENDIDIKAN ETIKA
Ni Nyoman Sudiani
Abstrak
Wayang kulit Cenk Blonk memiliki corak yang berbeda dengan wayang kulit
lainnya, walaupun sama-sama mengajarkan pendidikan etika. Wayang kulit Cenk Blonk
lebih digemari oleh masyarakat dibandingkan dengan wayang kulit lainnya di Bali,
karena wayang kulit Cenk Blonk merupakan wayang kulit kreasi dan inovasi yang
mengikuti perkembangan teknologi, namun tidak meninggalkan sarana tradisional.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui peranan wayang kulit
Cenk Blonk dalam pendidikan etika, nilai-nilai etika yang terkandung didalamnya, serta
strategi penyampaian pendidikan etika Hindu dalam pertunjukannya. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif deskriptif, dan dalam mengumpulkan data digunakan
instrumen observasi, wawancara dan kajian pustaka.
Munculnya wayang kulit Cenk Blonk ternyata dapat menarik perhatian
masyarakat khususnya generasi muda untuk kembali menonton pertunjukan wayang
kulit, yang selama ini mulai ditinggalkan akibat adanya degradasi ketertarikan
masyarakat untuk menonton wayang kulit, yang diakibatkan oleh kemonotonan dari
pertunjukan yang ditampilkan selama ini. Adapun yang membedakan antara wayang
kulit pada zaman dulu (tradisional) dengan wayang kulit Cenk Blonk (kontemporer)
terdapat pada metode atau strategi penyampaian cerita dan peralatan yang digunakan
dalam pertunjukan wayang kulit.
Dengan berhasilnya wayang kulit Cenk Blonk menarik kembali perhatian
masyarakat untuk menonton wayang kulit, maka dapatlah dikatakan bahwa wayang kulit
Cenk Blonk mempunyai peranan yang cukup besar sebagai media penyampaian nilainilai pendidikan etika kepada masyarakat.
Keywords: Wayang Kulit Cenk Blonk, Media, Pendidikan Etika
Abstract
Wayang Kulit Cenk Blonk has a different style to another puppet, although both teach
ethics education. Wayang Cenk Blonk is more favored by the people as compared to
others in the Balinese shadow puppets, shadow puppets Cenk Blonk as a puppet
creations and innovations that keep up with technology, but do not abandon traditional
means.
The study was done in order to determine the role of puppet Cenk Blonk in ethics
education, ethical values contained therein, as well as Hindu ethics education delivery
strategies in the show. This study used a qualitative descriptive methods, and
instruments used in collecting the data of observation, interviews and literature review.
The emergence of shadow puppets Cenk Blonk was able to attract the attention of the
public especially the younger generation to re-watch a puppet show, which has begun to
be abandoned due to the degradation of the public interest to watch a puppet show,
which is caused by the monotony of the show is shown over the years. As for the
difference between shadow play on the old (traditional) with puppet, Cenk Blonk
(contemporary) contained in the storytelling methods or strategies and tools used in the
puppet show.
16
Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012
With the success of Cenk Blonk shadow puppets draw attention back to watch the
puppet show, it can be said that the puppet Cenk Blonk has a significant role as a
medium for the delivery of ethics education value to the community.
Keywords: Wayang Cenk Blonk Skin, Media, Ethics Education
A. Pendahuluan
Seni
pertunjukan
wayang
kulit
adalah
suatu
bentuk
kesenian
yang
mempertunjukan wayang kulit yang dimainkan oleh seorang dalang dengan diiringi oleh
musik gamelan dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan
wayang kulit di balik layar yang terbuat dari kain putih, sementara dari belakang
disorotkan lampu listrik atau lampu minyak, sehingga para penonton di sisi lain dari
layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh di layar.
Pertunjukan wayang kulit mengandung beberapa unsur seni misalnya: seni lukis,
seni pentas, seni kriya, seni musik tradisional dan sebagainya. Pertunjukan wayang kulit
selain berfungsi sebagai media hiburan juga dapat digunakan sebagai media untuk
menyampaikan informasi yang efektif dan cepat kepada masyarakat. Selain
mengandung unsur-unsur seni, pertunjukan wayang kulit juga mengandung unsur-unsur
pendidikan budi pekerti. Pertunjukan wayang kulit dengan segala keindahan yang
terkandung di dalamnya merupakan suatu cermin kehidupan tentang kehalusan jiwa
manusia, serta nilai-nilai luhur ajaran budi pekerti yang dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
Masyarakat sesungguhnya telah menempatkan wayang kulit sebagai kesenian yang
bernilai tinggi, bahkan pada zaman lampau kesenian wayang kulit sering
dijadikan ”guru” untuk menularkan nilai-nilai moral dan etika karena dalam cerita
wayang kulit banyak terkandung nilai filosofi yang dapat dijadikan tuntunan hidup bagi
masyarakat.
Seni wayang kulit sebagai hasil karya budaya lokal bangsa Indonesia tidak hanya
dikenal di lingkungan masyarakat Hindu di Bali tetapi juga dikenal oleh seluruh
masyarakat nusantara. I Nyoman Sedana seorang dosen jurusan pedalangan dari Institut
Seni Indonesia (ISI) Denpasar mengatakan bahwa kesenian wayang kulit memiliki
muatan nilai filosofi yang prospektif ditransfer kepada generasi muda. Nilai filosofi
17
Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012
yang tinggi dalam seni pewayangan sesungguhnya telah diakui oleh dunia internasional
sebagai buktinya pada tanggal 7 November 2003 di Paris, UNESCO secara internasional
memproklamirkan pertunjukan wayang kulit sebagai masterpiece of the oral and
intangeble heritage of humanity, itu berarti keinginan untuk menjadikan wayang kulit
sebagai milik dunia sudah terbukti, kendati baru tahap pengakuan.
Wayang kulit biasanya dipentaskan pada waktu upacara keagamaan seperti
Dewa Yadnya, Manusa Yadnya, Bhuta Yadnya dan Pitra Yadnya. Pertunjukan wayang
kulit di Bali identik dengan pertunjukan untuk melengkapi upacara keagamaan,
sedangkan sebagai tontonan seni hiburan kurang begitu menarik minat masyarakat,
terutama bagi kaum muda. Parade wayang kulit yang digelar pada Pesta Kesenian Bali
(PKB), diharapkan dapat lebih mendekatkan masyarakat, khususnya generasi muda
terhadap pertunjukan seni wayang kulit, sekaligus memberi ruang bagi para dalang
untuk berkreasi.
Wayang kulit dapat dijadikan sebagai media pencerahan karena sarat dengan
nilai filosofi, etika dan estetika, sehingga cukup beralasan jika kesenian wayang kulit
dilestarikan dan lebih didekatkan kepada masyarakat, terutama kepada generasi muda,
karena wayang kulit sarat dengan tuntunan hidup, disamping memberikan hiburan.
Wayan Supartha seorang seniman dalang, sangat salut pada panitia PKB yang
mempertunjukan parade wayang kulit, hal ini menandakan pemerintah Bali masih
menaruh perhatian pada kesenian wayang kulit. Tindakan pemerintah Bali patut dipuji
karena kesenian wayang kulit kini terpuruk akibat pengaruh teknologi canggih seperti
televisi yang menyodorkan berbagai macam hiburan.
Untuk membangkitkan kembali kejayaan wayang kulit pada tahun 1960-an,
Wayan Nardayana salah seorang dalang lulusan STSI Denpasar, Jurusan Pedalangan
yang dikenal dengan nama Cenk Blonk berani melakukan inovasi dengan menambahkan
instrumen gamelan modern dan kidung yang mengiringi pertunjukan wayang kulit agar
wayang kulit kembali diminati oleh masyarakat. Suparta mengatakan bahwa fungsi
kesenian wayang kulit di Bali tidak saja sebagai hiburan, akan tetapi juga berfungsi
sebagai pendidikan. Seorang dalang sering disebut sebagai ”guru loka” yakni guru
masyarakat (http//www.balipost.co.id/Bali Post cetak/2005/7/2/bd2htm).
18
Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012
Seni pertunjukan wayang kulit merupakan seni budaya yang pokok ceritanya
bersumber dari ajaran Veda yang umumnya diambil dari cerita Ramayana dan
Mahabharata. Cerita yang disampaikan oleh seorang dalang banyak berisi ajaran-ajaran
yang dapat digunakan sebagai pegangan serta tauladan hidup, dimana isi cerita yang
disampaikan secara garis besar memuat ajaran atau nilai-nilai etika dan estetika dari
Bhagavad Gita, seperti ajaran Ketuhanan, pelaksanaan bhakti, ahlak dan moral,
kepahlawanan maupun cita-cita hidup untuk mendapatkan kesejahteraan dan
kebahagiaan sejati. Agar dapat menyimak nilai-nilai adi luhung dalam wayang kulit,
maka pada penelitian ini akan dikaji mengenai ”Peranan Wayang Kulit Cenk Blonk
sebagai Media Penyampaian Pendidikan Etika”. Kajian dalam penelitian wayang kulit
Cenk Blonk ini difokuskan pada judul ”Kumbakarna Lina”, dengan alasan karena di
dalam cerita Kumbakarna Lina banyak pendidikan etika yang dapat dijadikan panutan
oleh masyarakat.
B. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Untuk mengetahui dan
mendeskripsikan peranan wayang kulit Cenk Blonk dalam pendidikan etika, (2) Untuk
mengetahui dan mendeskripsikan nilai-nilai etika yang terdapat dalam wayang kulit
Cenk Blonk, dan (3) Untuk mengetahui strategi penyampaian nilai-nilai pendidikan
etika Hindu dalam pertunjukan wayang kulit Cenk Blonk.
C. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan filosofi
yaitu suatu metode penelitian yang sifatnya mengkaji nilai-nilai filosofis yang terdapat
dalam suatu data. Untuk memperoleh data-data atau informasi serta analisis datanya,
maka penelitian ini menggunakan beberapa metode seperti:
1. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:
(1) Observasi yang dilakukan melalui pengamatan secara langsung terhadap
pertunjukan wayang kulit Cenk Blonk, (2) Wawancara yang dilakukan dengan para
narasumber untuk memperoleh informasi atau data-data dengan cara memberikan
19
Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012
pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun sebelumnya seperti; dalang, tokoh
masyarakat, dan orang-orang yang memahami seni wayang kulit, dan (3) Kajian
pustaka yaitu pengumpulan data mengenai wayang kulit yang diperoleh dari bukubuku yang relevan dengan penelitian ini.
2. Metode Pengolahan dan analisis Data
Data-data yang telah terkumpul kemudian diseleksi terlebih dahulu agar
mendapatkan
data
yang
relevan,
valid,
dan
keabsahannya
dapat
dipertanggungjawabkan, selanjutnya dilakukan pemetaan terhadap data-data tersebut
untuk memudahkan peneliti dalam analisis data. Data yang diperoleh akan dianalisis
dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif, sehingga mendapatkan data yang
jelas mengenai peranan wayang kulit Cenk Blonk sebagai media penyampaian
pendidikan etika Hindu.
D. Pengertian Wayang Kulit
Wayang dalam bahasa Jawa dapat diartikan bayangan. Dalam bahasa Melayu
disebut bayang-bayang. Wayang atau bayang dalam bahasa Bikol dikenal kata bayang
artinya barang, yaitu apa yang dapat dilihat dengan nyata. Akar kata dari wayang antara
lain terdapat dalam kata layang terbang, doyong miring, tidak stabil, royong (selalu
bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain), poyang payingan (berjalan
sempoyongan), tidak tenang dan sebagainya (Mulyono, 1982:9).
Wayang adalah gambar atau tiruan orang dan sebagainya yang terbuat dari kulit,
lakon kayu, kayu dan sebagainya untuk mempertunjukan suatu lakon yang biasanya
melakonkan cerita-cerita yang berasal dari kitab Mahabharata dan Ramayana
(Poerwadarminto, 1976:1150).
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa wayang adalah
suatu bentuk pertunjukan tradisional yang menggunakan bayangan sebagai gambaran
kehidupan manusia. Wayang kulit yang dimainkan oleh dalang dapat mempengaruhi
emosi penonton, hal ini disebutkan di dalam kekawin Arjuna Wiwaha (V:9) yang ditulis
20
Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012
oleh Empu Kanwa, sebagai berikut: Hananonton ringgit manangis asekel mudha
hidepan/huwus wruh towin yang walulang inukir molah, angucap/hatur tar
wihikana/ritatwanyan maya sadhana hana bhawa siluman, artinya ada orang yang asyik
melihat pertunjukan wayang kulit, merasa sedih, menangis dengan tersedu-sedu dan
merasa terharu hatinya, sekalipun mereka tahu dengan jelas bahwa wayang itu adalah
kulit sapi yang ditatah, dibuat dapat bergerak dan berkata-kata oleh ki dalang
(Ki Nirdon, 1993).
E. Etika dalam Wayang Kulit
Bastomi Suwaji (1993:33) mengatakan bahwa etika wayang kulit yang
dipertunjukan kepada masyarakat atau penonton perlu dibakukan baik dalam
pertunjukan-pertunjukan wayang kulit utuh (semalam suntuk) maupun pertunjukanpertunjukan singkat (pakeliran padat).
Menurut dalang I Wayan Nardayana bahwa ada beberapa etika dalam
pertunjukan wayang kulit, antara lain: etika berhadapan atau penempatan wayang, etika
berkomunikasi atau berbahasa, dan etika dalam tema cerita wayang kulit. Etika
penempatan wayang kulit merupakan aturan-aturan yang digunakan dalam pertunjukan
wayang kulit berkaitan dengan posisi tokoh wayang berdasarkan kedudukannya dalam
kerajaan dan karakter dari tokoh wayang kulit, misalnya etika penempatan seorang raja
dengan punakawan, antara punakawan dengan raja, antara punakawan dengan
punakawan dan sebagainya. Begitu pula penempatan Kurawa yang melambangkan
kejahatan di sebelah kiri sedangkan Pandawa yang melambangkan kebaikan
ditempatkan di sebelah kanan (Said Muh, 1980:38).
Etika komunikasi dalam pertunjukan wayang kulit berkaitan dengan penggunaan
tata bahasa (sor singgih basa) halus, sedang dan kasar. Etika punakawan ketika
berbicara kepada raja menggunakan bahasa halus, sedangkan seorang raja berbicara
dengan seorang punakawan menggunakan bahasa Kawi, dan antara punakawan dengan
punakawan menggunakan bahasa Bali biasa. Etika tema cerita wayang kulit dalam
pertunjukan berkaitan dengan tema cerita dalam penyampaian cerita wayang kulit tanpa
meninggalkan inti sari cerita tersebut.
21
Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012
F. Pendidikan dalam Agama Hindu
Pengertian pendidikan secara luas menurut Richey dalam bukunya “Planning for
Teaching, an Intoduction to Education” menyatakan pendidikan adalah suatu aktivitas
sosial yang sangat penting bagi masyarakat yang kompleks dan modern dalam
melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya dalam mencapai suatu perbaikan
kehidupan (1980:4). Begitu pula Brubacher dalam bukunya ”Modern philosophies of
Education” sebagaimana diuraikan dalam Pengantar Dasar Kependidikan (1980:6-7)
mengatakan pendidikan merupakan proses timbal-balik dari tiap pribadi manusia dengan
mengembangkan potensi dalam dirinya seperti moral, intelektual dan jasmani dalam
penyesuaian dirinya dengan Tuhan, dengan teman, dan dengan alam semesta untuk
mencapai tujuan akhir hidupnya (menolong dirinya sendiri dan orang lain). Pendidikan
secara sempit memiliki pengertian bahwa tujuan dari pendidikan adalah mendewasakan
anak didik dengan memberikan bimbingan dan bantuan rohani (Barnadib, 1983:28).
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan suatu usaha
sadar yang dilakukan oleh orang yang memiliki tanggung jawab atas pertumbuhan dan
perkembangan seorang anak agar kelak dapat tumbuh menjadi dewasa baik jasmani
maupun rohani untuk mencapai perbaikan hidup.
Tujuan pendidikan nasional adalah membentuk manusia dewasa jasmani dan
rohani. Hadari Nawawi (1985:3) menyebutkan bahwa tujuan akhir kegiatan pendidikan
adalah mendewasakan anak sebagai mahluk yang bermoral, mampu bertanggung jawab
terhadap diri sendiri, masyarakat, maupun kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan
pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila bertujuan untuk meningkatkan
ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan ketrampilan; mempertinggi
budi pekerti; memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar
dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya
sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa (Tim
Penyusun, 1977:45).
Agar pendidikan dapat diimplementasikan dengan baik, maka diperlukan media
pendidikan. Kata media berasal dari bahasa Latin medius, yang secara harfiah
berarti ”tengah atau pengantar”. Menurut Hamidjojo dalam Latuheru (1993) media
merupakan sebuah bentuk peranan yang digunakan oleh manusia untuk menyampaikan
22
Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012
atau menyebar ide, gagasan atau pendapat sehingga ide atau gagasan yang dikemukakan
sampai pada penerima yang dituju. Media pendidikan ditinjau dari wujudnya ada dua
macam yaitu: pertama perbuatan mendidik mencakup nasehat; teladan; hukuman dan
larangan-larangan, dan kedua yaitu benda-benda sebagai alat bantu seperti buku, gambar,
wayang kulit dan sebagainya (Tim Penyusun, 1996:52).
Lingkungan pendidikan menurut ajaran Hindu adalah lingkungan keluarga,
sekolah dan masyarakat. Sekolah-sekolah pada zaman Veda disebut shaka atau patasala,
pada masa sekarang dikenal dengan nama pasraman, sedangkan pemberi pendidikan
disebut “tri kang sinangguh guru” artinya tiga macam guru yaitu guru rupaka, guru
pengajyan, dan guru wisesa. Konsepsi catur guru dijelaskan dalam lontar Sila Krama,
yaitu:
“Guru susrusa, bakti ring guru ngaranya wang awreddha, tapo wreddha, jnana
wreddha wang awreddha, sang matuha ring wayah, kadyanganing bapa ibu,
pengajyan nyami weh sang samaggaskara ri tapo wreddhasang matuhu ring aji”
Artinya
“Guru susrusa berarti sujud bhakti kepada guru, namanya orang yang sudah
awreddha, tapo wreddha dan jnana wreddha. Orang awreddha namanya orang
yang lanjut usianya sebagai bapak-ibu, yang mengajar (pengajyan) lebih-lebih
orang yang menstabihkan (sumangaskara) kamu. Tapo wreddha orang yang
lanjut usia (tua dan matang) dalam brata, jnana wreddha orang yang lanjut usia
(tua dan matang) dalam ilmu pengetahuan (Subagiasta, 1994:72).
Kegiatan pendidikan menurut agama Hindu dilaksanakan melalui sistem aguronguron atau param-para yaitu tahapan kehidupan bagi seorang kerohanian dalam
menerima ilmu pengetahuan dari seorang guru. Adapun unsur-unsur pendidikan agama
Hindu antara lain: tujuan pendidikan agama Hindu yaitu menanamkan ajaran Hindu
Tattwa, Susila, dan Yajna menjadi keyakinan dan landasan dalam kehidupan yang
tercermin dalam sikap bhakti kepada Sang Hyang Widhi sehingga pertumbuhan tata
kemasyarakatan umat Hindu selaras dengan Pancasila, membentuk manusia yang utuh,
susila, dan bijaksana; dan subyek pendidikan agama Hindu yaitu para pendidik dan
peserta didik. Pendidik adalah seorang yang memiliki kepribadian dewasa, bertanggung
jawab untuk mendidik peserta didik agar kelak tumbuh menjadi pribadi yang dewasa
23
Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012
dan berjiwa sosial, dan pendidik yang paling utama adalah orang tua itu sendiri (Tim
Penyusun, 1996:14-26).
Manusia yang hidup di dalam masyarakat dibatasi oleh berbagai norma agar
masyarakat berjalan dengan teratur. Norma atau aturan dalam kehidupan ini dalam
agama Hindu disebut susila atau etika. Etika adalah suatu bentuk pengendalian diri
dalam pergaulan hidup bersama (Sura, 1993:38), hal ini juga dijelaskan oleh I made
Titib
dalam
bukunya
“Veda
Sabda
Suci
(Pedoman
Praktis
Kehidupan)”
mengungkapkan bahwa Etika merupakan tingkah laku yang baik dan benar untuk
mencapai kebahagiaan hidup serta keharmonisan hubungan antara manusia dengan
Hyang Widhi Wasa, hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan
alam semesta beserta isinya.
Tujuan pendidikan etika Hindu tidak terlepas dari tujuan agama Hindu, yaitu
“moksartham jagadhita” artinya bahwa dharma bertujuan untuk mencapai kebahagiaan
rohani dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan bhatin.
Tujuan hidup menurut agama Hindu secara terinci disebutkan dalam Catur Purusa
Artha yaitu empat tujuan hidup manusia yakni dharma, artha, kama dan moksa (Tim
Penyusun, 2006).
Dengan demikian pendidikan etika Hindu sangatlah penting karena tujuan
pendidikan etika Hindu adalah untuk membina moral manusia yang berkepribadian dan
berbudi luhur sehingga tercapai tujuan hidup yang bahagia dan sejahtera serta mampu
membedakan yang baik dan tidak.
G. Sejarah dan Perkembangan Wayang Kulit Cenk Blonk
Wayang kulit merupakan kebudayaan Indonesia asli, dimana pertunjukannya
berhubungan erat dengan pemujaan Hyang. Pernyataan tersebut disebutkan dalam
prasasti Balitung yang berangka tahun 907 Masehi, yang berbunyi ”Mawayang buat
Hyang” (Mulyono, 1982:65). Di dalam pertunjukan wayang kulit digunakan sarana
seperti: wayang, kelir, blencong, kotak, dan keprek, adapun orang yang memainkan
wayang kulit itu disebut dalang.
24
Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012
Pertunjukan wayang kulit di Bali semakin hari semakin mengalami kemunduran,
hal itu disebabkan oleh semakin merebaknya hiburan yang terdapat di Televisi. Namun
saat ini pertunjukan wayang kulit mulai menggeliat lagi sejak munculnya wayang kulit
Cenk Blonk dengan dalangnya yang bernama I Wayan Nardayana. Sebelum bernama
Wayang Kulit Cenk Blonk, nama wayang kulit yang dipakai oleh I Wayan Nardayana
adalah Gitaloka yang berdiri pada tanggal 11 April 1992. Akan tetapi pada tahun 1995
Wayang Kulit Gitaloka dirubah namanya menjadi Wayang Kulit Cenk Blonk yang
diambil dari nama dua panakawan yaitu Nang Kleceng dan Nang Ceblong.
Menurut I Wayan Nardayana pertunjukan wayang kulit berfungsi sebagai wali,
tuntunan dan tontonan. Sebagai tuntunan seorang dalang harus memberikan tuntunan
pada masyarakat, namun tuntunan tersebut hanya bisa sampai kepada masyarakat
apabila yang menonton pertunjukan wayang kulit tersebut cukup banyak. Begitu pula
sebagai tontonan, pertunjukan wayang kulit harus mampu menarik dan menghibur
masyarakat, untuk itu I Wayan Nardayana berusaha untuk melakukan inovasi di dalam
pertunjukannya. Inovasi yang dilakukan adalah dalam hal sarana prasarana maupun
dalam teknik pertunjukannya. I Wayan Nardayana dalam setiap pertunjukan wayang
kulitnya selalu memberi muatan-muatan agama, politik, ekonomi yang dikaitkan dengan
kondisi yang terjadi saat ini serta humor-humor yang bersifat menghibur, sehingga
mampu memikat penonton sehingga wayang Kulit Cenk Blonk tetap eksis.
Salah satu cerita yang diangkat dalam pertunjukan wayang kulit Cenk Blonk
adalah Kumbakarna Lina. Kumbakarna adalah adik raja Alengka yang bernama
Rahwana. Kumbakarna Lina menceritakan pertempuran antara Kumbakarna dengan
Rama sebagai akibat keserakahan Rahwana yang menculik Dewi Sita istri Rama. Akibat
ulah Rahwana akhirnya Sri Rama yang dibantu oleh para kera menyerbu kerajaan
Alengka. Wibisana adik Rahwana menasehati Rahwana agar mengembalikan Dewi Sita,
namun Rahwana tidak setuju malah mengusir Wibisana. Rahwana akhirnya meminta
Kumbakarna maju ke medan perang untuk bertempur melawan Rama.
Kumbakarna akhirnya maju ke medan perang atas permintaan Rahwana, namun
Kumbakarna bertempur bukan untuk membela Rahwana melainkan untuk membela
negeri Alengka. Kumbakarna adalah seorang kesatria agung yang sangat mencintai
tanah kelahiran para leluhurnya, dan tidak pernah memihak pada kejahatan walaupun
25
Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012
yang berbuat kejahatan tersebut adalah Rahwana seorang raja Alengka sekaligus
kakaknya sendiri. Kumbakarna dengan gagah berani maju ke medan pertempuran,
walaupun Kumbakarna mengetahui tidak akan menang melawan Rama tetapi sebagai
seorang kesatria Kumbakarna merasa tetap mempunyai kewajiban untuk membela
negeri Alengka. Akhirnya Kumbakarnapun gugur di tangan Sri Rama.
Pujangga Sri Mangkunegara IV (1809-1881) dalam bukunya berbahasa Jawa
berbentuk tembang yang berjudul Tripama 3-4 menggambarkan tentang Kumbakarna,
dalam tejemahannya sebagai berikut:
3.
Ada lagi teladan baik, satria agung di negeri Alengka, Sang Kumbakarna
namanya, padahal ia bersifat raksasa, meskipun demikian meraih keutamaan,
sejak perang Alengka, telah mengajukan pendapat kepada kakandanya agar
selamat, tetapi Dasamuka tak tergoyahkan oleh pendapat baik, sebab hanya
melawan kera.
4. Kumbakarna disuruhnya maju perang, oleh kakanya ia tak menolak, menepati
(hakekat) kesatrianya, (sebenarnya) dalam tekadnya ia tak mau, kecuali khusus
membela Negara dan mengingat ayah bundanya, telah hidup sampai mati di
Alengka, yang sekarang mau dirusak oleh tentara kera, Kumbakarna bersumpah
mati dalam peperangan (Kamajaya, 1985:56).
Berdasarkan kutipan tembang tersebut, dapatlah dikatakan bahwa Kumbakarna
adalah sosok raksasa yang berjiwa kesatria selalu membela kebenaran dan senantiasa
membela kedaulatan tanah kelahiran para leluhurnya sampai titik darah penghabisan.
Sosok Kumbakarna merupakan tokoh yang patut ditauladani oleh pecinta
wayang kulit khususnya dan oleh masyarakat umumnya, karena Kumbakarna adalah
sosok kesatria yang selalu siap membela negara tanpa pamrih. Ada pendidikan etika
seorang kesatria yang dapat diambil dari jiwa kepahlawanan Kumbakarna tersebut.
Apabila dianalogikan dengan kehidupan bermasyarakat di Indonesia saat ini,
maka Kumbakarna adalah sosok prajurit TNI yang mempunyai kewajiban untuk
membela negara, maju ke medan perang bukan untuk membela sosok presiden akan
tetapi bertempur untuk membela Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Seorang prajurit (TNI) harus dengan gagah berani pantang mundur maju ke medan
pertempuran untuk membela kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia walaupun
nyawa menjadi taruhannya.
26
Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012
H. Peranan Wayang Kulit Cenk Blonk terhadap Pendidikan Etika Hindu
Wayang kulit pada umumnya memiliki fungsi sebagai tontonan dan tuntunan
atau selain berfungsi sebagai tontonan juga berfungsi sebagai tuntunan. Wayang kulit
sebagai tontonan merupakan hiburan yang dipertunjukan kepada penonton, sedangkan
sebagai tuntunan pertunjukan wayang kulit selalu menyampaikan pesan-pesan moral
atau pendidikan etika kepada masyarakat atau penonton. Dewasa ini pertunjukan
wayang kulit kurang menarik minat penonton, sehingga fungsi wayang kulit sebagai
tuntunan atau sebagai media penyampaian pendidikan etika tidak dapat berjalan dengan
maksimal. Fenomena tersebut tidak menyurutkan hati seorang dalang I Wayan
Nardayana (dalang Cenk Blonk) untuk melakukan perubahan. Dia menjadikan keadaan
tersebut sebagai tantangan untuk terus melakukan kreasi dan inovasi dalam pertunjukan
wayang kulit, yaitu dengan melakukan penambahan pada sarana-prasarana seperti
lighting, dimmer dan sebagainya, juga dengan menambahkan punakawan Cenk dan
Blonk yang berfungsi sebagai punakawan bebas yaitu punakawan yang tidak memihak
kepada salah satu tokoh sentral. Punakawan Cenk dan Blonk berfungsi untuk mengkritik
dan pemberi saran kepada pemerintahan tokoh sentral yang berada ditengah-tengah
masyarakat yang kontradiktif. Melalui kreasi dan inovasinya akhirnya wayang kulit
Cenk Blonk mampu menarik minat masyarakat khususnya generasi muda untuk
menggemari wayang kulit. Hal ini merupakan kesempatan bagi dalang Cenk Blonk
untuk menyampaikan pendidikan etika, melalui tokoh pewayangan yang diambil dari
cerita Mahabharata dan Ramayana kepada masyarakat atau penonton.
Pendidikan etika yang disampaikan dalam pertunjukan wayang kulit Cenk Blonk
adalah pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai kepahlawanan, kepemimpinan, rela
berkorban, pengendalian diri, kejujuran, tidak iri hati, keikhalasan dan sebagainya
seperti yang dimiliki oleh tokoh Kumbakarna dalam cerita Kumbakarna Lina. Nilai-nilai
pendidikan etika tidak iri hati dan serakah ditunjukkan oleh Kumbakarna ketika
mengingatkan Rahwana agar tidak mengambil milik orang lain seperti menculik Dewi
Sita yang merupakan istri Sri Rama. Kumbakarna juga telah melakukan tindakan yang
dipandang dari segi etika deontologi dengan melakukan kewajiban yang bersifat prima
facie yaitu melakukan kewajiban yang lebih utama yaitu berperang untuk membela
tanah air. Selain dipandang dari etika deontologi, tindakan yang dilakukan oleh
27
Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012
Kumbakarna juga mengandung nilai etika teleologi, hal tersebut dapat dijelaskan ketika
Kumbakarna tetap memutuskan untuk berperang dengan Sri Rama walaupun
Kumbakarna telah mengetahui bahwa Sri Rama adalah awatara Dewa Wisnu. Cerita
Kumbakarna Lina selain mengajarkan nilai kepahlawanan, juga mengajarkan nilai-nilai
rela berkorban dan keikhlasan yang ditunjukkan dengan tindakan gagah berani
Kumbakarna pada saat berperang membela negara, meskipun pada akhirnya
Kumbakarna wafat di tangan Sri Rama.
Dalam cerita ini selain menunjukkan nilai-nilai kebenaran seperti yang
ditunjukkan oleh Kumbakarna, Dalang Cenk Blonk juga menyampaikan contoh nilainilai kejahatan yang diperankan oleh tokoh Rahwana ketika menculik Dewi Sita untuk
memenuhi hawa nafsunya. Dengan menampilkan contoh-contah yang saling berlawanan
maka masyarakat atau penonton disuguhkan nilai-nilai pendidikan yang mana
masyarakat akan bisa memilih mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk ditiru
atau diteladani. dengan menyampaikan contoh-contoh yang riil diharapkan masyarakat
akan mudah memahami nilai-nilai etika yang disampaikan oleh dalang dalam
pertunjukan wayang kulit.
I. Nilai Etika yang terdapat dalam Wayang Kulit Cenk Blonk
Nilai etika yang terdapat dalam wayang kulit Cenk Blonk adalah etika
berkomunikasi, etika berhadapan atau penempatan wayang kulit, etika tema cerita
wayang kulit.
Etika berkomunikasi adalah aturan-aturan yang menyangkut tata bahasa dalam
pertunjukan wayang kulit. Etika komunikasi dalam wayang kulit dapat dilihat dari
karakter-karakter tokoh wayang kulit, misalnya tokoh Delem yang selalu berbicara
tentang keburukan dan tidak mungkin berbicara tentang agama, sedangkan tokoh Tualen
selalu berbicara tentang kebenaran atau nilai-nilai agama. Begitu pula tokoh raja yang
berada di sisi kanan dalang tidak mungkin berbicara kasar karena sisi kanan merupakan
simbol kebaikan, sedangkan tokoh raja yang berada di sebelah kiri adalah simbol
kejahatan sehingga raja tersebut selalu ditampilkan dengan berkata kasar.
28
Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012
Etika penempatan wayang kulit berkaitan dengan kedudukan tokoh wayang kulit
tersebut dalam kerajaan dan sifat-sifat atau karakter dari para tokoh wayang kulit,
misalnya posisi raja selalu berada di depan punakawan. Menurut I wayan Nardayana
penempatan raja di depan punakawan karena posisi seorang raja merupakan suatu
penghormatan, sebab seorang raja dianggap sebagai utusan atau wakil Tuhan. Zaman
dulu raja-raja Majapahit dilambangkan sebagai Wisnu yang lahir ke dunia yang dapat
memberikan kemakmuran kepada kepada rakyat, oleh karena itu raja-raja dihormati
sebagai wakil Tuhan. Seorang raja harus menguasai ajaran-ajaran kepemimpinan yang
terdapat dalam ajaran Astabrata agar menjadi raja yang bijaksana. Seorang raja
dihormati karena kepribadiannya bukan karena kedudukannya.
Selain etika penempatan raja, pada wayang kulit juga ada penempatan menurut
posisi kanan dan kiri. Menurut dalang Nardayana, konsep etika berhadapan wayang kulit
Bali dimana kanan menurut penonton adalah kiri menurut dalang atau sebaliknya,
karena posisi dalang dalam pertunjukan wayang kulit Bali berhadapan dengan penonton,
berbeda dengan wayang kulit Jawa dimana penonton berada di belakang dalang. Adapun
makna dari etika tersebut adalah bahwa posisi tersebut merupakan refleksi dari
kehidupan manusia yang dapat dianalogikan dalam pertunjukan wayang kulit, misalnya
pada awal pertunjukan baik tokoh-tokoh baik maupun jahat semuanya keluar dari
sebelah kanan, karena semua manusia lahir pada dasarnya adalah suci. Akan tetapi pada
saat pertunjukan berlangsung para tokoh yang mencerminkan kejahatan berada di
sebelah kiri, sedangkan tokoh yang mewakili kebaikan berada di sebelah kanan, adapun
maknanya adalah karena manusia lahir dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh maya
(awidya). Posisi kanan dipihak dalang dan kiri dipihak penonton juga memiliki makna
bahwa kebenaran yang disampaikan sangat sulit dilaksanakan oleh masyarakat atau
penonton.
Dalam pertunjukan wayang kulit, tema cerita yang diangkat umumnya berasal
dari kitab Mahabharata dan Ramayana. Menurut Wayan Nardayana bahwa cerita yang
disampaikan oleh dalang dalam pertunjukannya dapat dimodifikasi, namun harus tetap
mempertahankan inti cerita dan nilai filosofi dari cerita yang disampaikan.
Dalam pertunjukan wayang Kulit Cenk Blonk pendidikan etika Hindu yang
sering disampaikan adalah pesan-pesan moral yang terdapat pada kitab Mahabharata dan
29
Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012
Ramayana, dimana cara penyampaiannya telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan
zaman. Strategi yang dilakukan agar masyarakat berkenan mendengarkan pesan-pesan
moral atau pendidikan etika Hindu melalui pertunjukannya adalah dengan melakukan
modifikasi terhadap sarana dan prasarana yang dipergunakan pada pertunjukan wayang
kulit. Selain menggunakan blencong seperti pada pertunjukan wayang kulit tradisional,
pada pertunjukan wayang kulit Cenk Blonk juga digunakan sarana tambahan seperti
lighting, dimmer, dan piano, Disamping memodifikasi peralatan, Wayan Nardayana
(dalang Cenk Blonk) juga menambahkan sinden dalam pertunjukannya, hal itu
dilakukan agar pertunjukan lebih pariatif dan lebih menghibur, sehingga dapat menarik
minat masyarakat untuk menonton pertunjukannya. Dengan demikian diharapkan
pendidikan etika yang ingin disampaikan oleh dalang dapat sampai ke masyarakat.
J. Penutup
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dengan berhasilnya
wayang kulit Cenk Blonk menarik kembali perhatian masyarakat khususnya generasi
muda untuk menonton wayang kulit, maka dapatlah dikatakan bahwa wayang kulit Cenk
Blonk memiliki peranan yang cukup besar dalam pendidikan etika Hindu, karena
wayang kulit merupakan media komunikasi yang dapat berfungsi untuk menyampaikan
pesan-pesan moral kepada masyarakat.
Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa wayang kulit Cenk Blonk
berpotensi sebagai media komunikasi yang cukup efektif dalam pendidikan etika Hindu,
karena dengan melakukan berbagai inovasi yang kreatif seperti mempergunakan lighting,
piano, dimmer, dan sinden mampu menarik minat masyarakat khususnya generasi muda
untuk menonton wayang kulit Cenk Blonk.
Melihat keberhasilan wayang kulit Cenk Blonk dalam melaksanakan fungsinya
sebagai media komunikasi dalam pendidikan etika Hindu, melalui pertunjukan yang
kreatif dengan memodifikasi sarana-prasarana yang dipergunakan dalam pertunjukan
wayang kulit, maka perlu kiranya bagi dalang yang lain menjadikan wayang kulit Cenk
Blonk sebagai bahan pertimbangan dalam rangka melakukan inovasi-inovasi dalam
setiap pertunjukannya sehingga mampu menarik minat masyarakat khususnya generasi
muda untuk menonton wayang kulit. Juga bagi pemerhati wayang kulit dan perguruan
30
Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012
tinggi seperti STSI khususnya jurusan pedalangan dapat menjadikannya sebagai bahan
pertimbangan dalam mempersiapkan materi pelajaran yang berkaitan dengan wayang
kulit, sehingga wayang kulit dapat menjalankan fungsinya sebagai media pendidikan
etika Hindu, serta keberadaan wayang kulit dapat dilestarikan.
Daftar Pustaka
Bastomi, Suwaji. 1995. Gemar Wayang. Jakarta
……………….... 1993. Nilai-nilai Seni Pewayangan. Jakarta
Brabrata, Surya Sumadi. 1983. Metode Penelitian. Bandung: Jembatan
Ismoyo, Tejo. 1999. Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Merupakan Esensi dari Nilainilai Ajaran Agama Hindu. Skripsi. Semarang: Program Studi Ilmu
Kependidikan dan Keguruan Agama Hindu, Sekolah Tinggi Agama Hindu Jawa
Tengah
Mudiasa, I Nyoman. 2000. Peranan Pertunjukan Wayang Kulit di dalam Menanamkan
Nilai-Nilai Pendidikan Agama Hindu. Skripsi. Jakarta: Program Studi Ilmu
Kependidikan dan Keguruan Agama Hindu, Sekolah Tinggi Agama Hindu
Dharma Nusantara Jakarta
Mulyono, Sri. 1979. Wayang dan Karakter Manusia. Jakarta: Gunung Agung
........................1989. Sebuah tinjauan Filosofis Simbolisme dan Mekanisme dalam
Wayang. Jakarta: Gunung Agung
Musman Asti, I Wayan. ”Cenk Blonk”Nardayana: Wayang Jadi Hiburan Favorit,
(http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/6/29/potl.html), diakses
18 Juni
2007 pukul 11.30.
Ngurah, I Gusti Made, dkk. 2006. Buku Pendidikan Agama Hindu untuk Perguruan
Tinggi. Surabaya: Paramita
Nirdon, Ki. 1993. kelir. Warta Hindu Dharma, No. 316
Said, Muhamad. 1980. Etik Masyarakat Indonesia. IKIP Jakarta: Pradnya Paramita
Sedana, I Nyoman. Parade Wayang Kulit dalam PKB sebagai Wahana menularkan
Nilai Moral dan Etika,
(http://www.balipost.co.id/BALIPOSTCETAK/2005/7/2/bd2.html),
diakses 18 Juni 2007 pukul 11.30
31
Jurnal Pasupati Vol. 1 No. 1/2012
Sumantika, W. Wayang Kulit Meretas Jalan Taklukkan Dunia,
(http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/12/9/bd2.html),
diakses 16 Juni 2007 pukul 11.30
Suparta, I Wayan. 1988. Kumbakarna. Warta Hindu Dharma, No.293
Sura, I Gede.2001. Buku Pengendalian Diri Dan Etika Dalam Ajaran Hindu, Hanoman
Sakti
Titib, I Made. 1996. Kitab Veda Sabda Suci (Pedoman Praktis Kehidupan),
Surabaya:Paramita
Purwodarminto, WJS. 1979. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
32
Download