Buku Seri Pendidikan Publik JP 89 RUU PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL 1 Pendidikan Publik JP89 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Senin, 23 Mei 2016, 09.00-13.00 WIB Gedung AAC Dayan Dawood, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh Sambutan: Prof. Dr. Ir. Hasanudin MS (Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) Universitas Syiah Kuala) Keynote Speech: Dr. Gadis Arivia (Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan) Moderator: Anita Dhewy (Sekretaris Jurnal Perempuan) Pembicara: 1. Samsidar (Ketua Dewan Pengarah Nasional Forum Pengada Layanan) 2. Amrina Habibi (Sekretaris Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak P2TP2A Provinsi Aceh) 3. Khairani Arifin (Dewan Pembina Pusat Studi Gender Universitas Syiah Kuala) Pembacaan Puisi: Zubaidah Djohar (Direktur Timang Research Center) 2 1 PEMBUKAAN Annisa Novianty Kurniawan (Pembawa Acara) Assalammualaikum wr. wb. Selamat pagi Bapak, Ibu dan teman-teman semua, terima kasih sudah hadir di acara Pendidikan Publik JP89 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Puji syukur kita panjatkan ke Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatnya sehingga acara pada pagi hari ini dapat terselenggara. Tidak lupa pula kita sanjung-sanjungkan kepada Nabi besar kita Nabi Muhammad SAW. Baiklah, Yayasan Jurnal Perempuan lahir sejak tahun 1995 dengan menerbitkan Jurnal Perempuan yang telah terbit sejak tahun 1996. Pada tahun ini Jurnal Perempuan berumur dua puluh tahun. Jurnal feminis ini merupakan jurnal pertama di Indonesia yang dibaca oleh kalangan mahasiswa, pengambil kebijakan, intelektual, akademisi, dan aktivis gerakan sosial. 3 Jurnal Perempuan memiliki ratusan pelanggan yang tersebar di seluruh Indonesia. Adapun visi dan misi Jurnal Perempuan, yakni Yayasan Jurnal Perempuan adalah organisasi nirlaba yang bergerak di bidang pemberdayaan dan penegakan hak-hak perempuan. Memfokuskan diri pada kegiatan pendidikan, penelitian dan penerbitan. Motto Yayasan Jurnal Perempuan yaitu untuk pencerahan dan kesetaraan. Hingga saat ini Jurnal Perempuan sudah mencapai edisi ke-89, dan edisi ini akan didiskusikan pada hari ini. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai produk Jurnal Perempuan bisa dilihat di stan yang sudah kami sediakan di depan ruangan ini atau jadilah Sahabat Jurnal Perempuan agar tidak ketinggalan isu-isu perempuan. Yang kami hormati Ibu Gadis Arivia serta rekan-rekan Jurnal Perempuan yang jauh-jauh datang dari Jakarta dan selamat datang di Banda Aceh. Yang kami hormati dosen-dosen Universitas Syiah Kuala Banda Aceh dan dosen-dosen dari universitas lainnya. Yang kami hormati instansi-instansi pemerintahan Banda Aceh dan serta mahasiswa, tamu undangan yang telah menyempatkan hadir pada diskusi yang bertemakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Acara ini merupakan kerjasama antara Jurnal Perempuan dengan Pusat Studi Gender Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Aceh Woman For Peace Foundation. Acara ini didukung juga oleh Ford Foundation. Pertama-tama marilah kita mendengarkan kata sambutan dari Prof. Dr. Ir. Hasanudin MS, beliau merupakan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat atau LP2M. Kepada Bapak Hasanudin, waktu dan tempat kami sediakan. 4 2 SAMBUTAN “Kekerasan seksual jadi urgensi dan harus diberikan perhatian serius”-Prof. Hasanudin Prof. Dr. Ir. Hasanudin MS (Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) Universitas Syiah Kuala) Assalammu’alaikum wr. wb. Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayahnya kita bisa berkumpul di ruangan ini dalam kaitan dengan Pendidikan Publik Jurnal Perempuan Nomor 89 dan akan didiskusikan tentang Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Nah seperti kita ketahui bahwa kegiatan ini merupakan kerjasama antara majalah Jurnal Perempuan, Badan Hukum Hubungan Masyarakat Fakultas Hukum Unsyiah, Pusat Studi Gender Unsyiah, dan Aceh Woman For Peace Foundation. Selanjutnya sholawat serta salam kita sampaikan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah mengajarkan kita untuk selalu menuntut ilmu pengetahuan dan telah membimbing kita dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat melalui panduan Alquran dan Hadis. Yang kami hormati Ibu Gadis Arivia, nama Bu Gadis sudah lima belas tahun yang lalu saya tahu, tetapi baru sekarang saya ketemu. Yang terhormat bapak-ibu dari Badan Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak atau BP3A Banda Aceh. Yang saya hormati Ibu Samsidar, Bu Samsidar ini anak saya angkatan 86 di Fakultas Pertanian Unsyiah, yang sekarang adalah Ketua Dewan Pengarah Nasional Forum Pengada Layanan. Ibu Amrina Habibi, Sekretaris P2TP2A Aceh. Ibu Khairani Arifin yang merupakan nanti sebagai pembicara. Bapakbapak, ibu-ibu, saudara-saudara para undangan baik dari kalangan akademisi, LSM, mahasiswa, dan tamu undangan lainnya. 5 Jadi kalau bercerita tentang kekerasan seksual, tadi pagi saya menonton di RCTI, ada seorang anak perempuan berumur 14 tahun, diperkosa dan telah hamil delapan bulan dan menteri sosial telah berkunjung ke tempat korban tersebut. Tapi bukan Yuyun, ya. Nah dari pemberitaan berbagai media diketahui bahwa kasus kekerasan seksual baik terhadap perempuan maupun anak terus meningkat sejak awal tahun. Nah, salah satu yang mengundang perhatian adalah kasus Yuyun, seorang anak berusia 14 tahun dari Bengkulu yang mengalami pemerkosaan kemudian dibuang ke jurang. Kasus kekerasan seksual juga terjadi hampir di seluruh tempat di Indonesia termasuk di Aceh. Baru-baru ini, BP2KT kota Banda Aceh melaporkan dua anak di bawah umur menjadi korban pelecehan seksual. Para korban berusia rata-rata delapan sampai sepuluh tahun dan pelaku merupakan orang yang bertempat tinggal dekat dengan sekolah para korban. Jadi kalau kita baca buku ini, ya saya baru baca tadi pagi dan memang pelakunya adalah yang dekat dengan para korban dari sisi intern lokasi. Akibat yang paling dikhawatirkan dari kekerasan seksual terhadap anak adalah dampak psikologis yang akan terus dialami selama mereka hidup sehingga saya kira membutuhkan penanganan secara khusus. Anak menjadi korban tetapi di sisi lain ternyata anak-anak juga bertindak sebagai pelaku seperti pada kasus Yuyun, dua pelaku dari empat belas pelaku adalah anak-anak di bawah umur. kasus kekerasan seksual tidak hanya dialami anak-anak tetapi juga perempuan dan itu membutuhkan perhatian dan penanganan yang serius. Kalau kita baca buku ini, ya saya baca buku, penulis pertama adalah Livia Iskandar, sepertinya itu orang Aceh ya? bukan? atau pernah kerja di Aceh? Ya, jadi Livia Iskandar punya yayasan di Jakarta dan Aceh. Nah saya baca beberapa kasus, jadi mau menjelaskan ini, di sini sudah ada semua contoh-contoh kasus dari kasus satu sampai kasus empat dan saya baca terakhir itu tulisan dari Puitri Hati Ningsih. Em, ya, saya tambahkan sajalah, jadi gambar ini sebenarnya adalah gambar yang dibuat oleh orang JP juga, ya, yang namanya Doktor Dewi Ciptaningrum? Dewi Candraningrum. Jadi, beliau telah membuat ini dan memang dalam buku ini adalah hanya tentang yang akan kita bahas saat ini tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Nah kasus-kasus ini menyadarkan kita tentang keseriusan masalah kekerasan seksual yang membutuhkan perhatian dari semua pihak sehingga perlu adanya tindak lanjut dalam pembentukan perundangundangan tentang penghapusan kekerasan seksual di Indonesia. Di samping itu perlu dipastikan adanya penegakan hukum yang konsisten sesuai dengan rasa keadilan masyarakat dan memberi kepastian hukum bagi korban dan pelaku. Kalau bercerita tentang ini, kita baca bagian belakang yang ditulis oleh Azriana, sepertinya dia kuliah di Fakultas Hukum Unsyiah angkatan 90-an dan menjadi lawyer di Lhokseumawe dan sekarang Ketua Komnas Perempuan. Nah ini saya bacakan, “Sementara itu hukum yang ada tidak berjalan maju secepat perkembangan kasusnya sendiri. Kasus kekerasan terhadap perempuan mempunyai KUHP yang bisa digunakan oleh korban kekerasan untuk mengakses keadilan tetapi KUHP tersebut sudah tidak mampu menjawab perkembangan pada kasus kekerasan seksual tersebut.” Jadi memang perlu adanya undang-undang. Terus di samping itu, masyarakat perlu ikut serta mengambil peran dalam menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan kapasitas dan tanggung jawab masing-masing. Sesuai dengan kegiatan ini 6 yaitu satu untuk mendiskusikan tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Nah pembahasan tentang penghapusan kekerasan seksual, nah ini bahan, jadi, sepertinya buku ini merupakan panduan untuk diskusi pada hari ini. Dan yang kedua untuk melibatkan berbagai pihak agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera diundangkan. Maka kami berpendapat bahwa acara ini merupakan salah satu wujud partisipasi akademisi dan masyarakat pada umumnya untuk memberikan sumbangan, pemikiran dan solusi yang diharapkan dapat mempercepat diundangkannya penghapusan kekerasan seksual. Saya menambahkan bahwa Pusat Studi Gender itu berada di bawah Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Unsyiah. Tadi saya telah berdiskusi dengan Bu Gadis, Pak Saleh dengan Pak Bakti, kita berharap Pusat Studi Gender atau PSG ini juga dapat membuat salah satu kegiatan yaitu membuat jurnal. Nah karena dia PSG sebaiknya dia membuat jurnal tentang perempuan. Dan memang mengelola jurnal sangat berat sekali. Saya dulu pernah mengelola selama sepuluh tahun sampai terakreditasi. Kita berharap juga bahwa PSG ini dapat membuat jurnal yang dalam hal ini kaitannya dengan perempuan. Tadi pun saya berdiskusi dengan Bu Gadis kalau bisa jurnal yang ada di Unsyiah mungkin dalam bentuk yang hard dibuat itu masuk DWAJ setelah DWAJ kalau nilainya sudah tinggi bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, nanti menjadi jurnal internasional dan kalau lebih tinggi lagi jurnal internasional terindeks scopus. Nah kita berharap Bu Safrina bisa membuat ini, kan karena memang orang-orang di Pusat Studi Gender orang-orangnya pintar-pintar dan kerjanya superaktif. Para hadirin yang saya hormati perkenankan kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada bapak-ibu sekalian karena dengan kehadiran bapak-ibu maka acara ini dapat terlaksana. Terima kasih juga kepada panitia yang telah bekerja keras untuk mengadakan acara ini, akhirnya kami ucapkan selamat mengikuti kegiatan pendidikan publik tentang Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dan sekaligus izinkan kami membuka acara ini, semoga berkenan. Walaupun tidak disuruh saya akan buka dengan mengucapkan bismillahirahmanirrahim, acara Pendidikan Publik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, saya buka. Wabillahi taufik wal hidayah wassalammu’alaikum wr. wb. Annisa Novianty Kurniawan (Pembawa Acara): Terima kasih Bapak Iskandar atas sambutannya. Selanjutnya marilah kita dengarkan keynote speech oleh Ibu Doktor Gadis Arivia, di mana beliau adalah pendiri Jurnal Perempuan yang sekarang menjabat sebagai Direktur Eksekutif dan juga dosen filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Kepada Ibu Gadis waktu dan tempat kami sediakan. 7 3 KEYNOTE SPEECH “Hukuman Kebiri dan mati untuk pelaku kekerasan seksual tidak bisa dibenarkan, karena perkosaan adalah soal kuasa” -Dr. Gadis Arivia Dr. Gadis Arivia (Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan) Assalammu’alaikum wr. wb. Salam sejahtera untuk kita semua dan selamat pagi. Aceh sangat dekat di hati saya, terutama saya sudah lama bekerjasama dengan teman-teman dari LSM maupun dari universitas sejak zaman dulu. Sampai kami ada yang belum berjumpa selama sepuluh tahun, jadi kemarin sempat reunian. Jadi, saya sangat senang berada di Aceh dan juga ini adalah rumah almarhumah nenek saya, nenek saya dari Aceh Besar. Jadi bagi saya Aceh adalah tempat yang sangat menyenangkan. Saya ingin pertama-tama mengucapkan terima kasih kepada Prof. Hasanudin dan juga kepada Ibu Safrina dari Pusat Studi Gender Unsyiah dan Pak Bakti yang saya dengar adalah feminis laki-laki di Aceh dari Fakultas Hukum dan juga Ibu Irma dari AWPF, terima kasih banyak atas semua bantuannya untuk kami di sini. Dan saya juga berterima kasih kepada para pembicara dan juga nanti ada pembacaan puisi dari Ibu Zubaidah Djohar yang adalah teman baik saya. Jadi terima kasih banyak untuk semua teman-teman yang berpartisipasi. Saya sudah menyiapkan sebuah paper kecil tentang apa yang akan saya bicarakan di keynote saya Isi paper saya adalah tentang apa yang ditulis di JP 89. Kami merasa bahwa isu ini adalah isu yang sangat penting dan melihat bahwa hampir di semua daerah, kemarin kami juga berbicara dengan teman-teman, betapa juga di Aceh persoalan kekerasan seksual juga meningkat. 8 “JP 89 hadir untuk memberikan pencerahan pengetahuan kepada publik tentang kekerasan seksual yang mana masih salah kaprah” Nah, kalau bapak ibu melihat jurnal kami, JP89, Soka Handinah Katjasungkana memulai tulisannya dengan memaparkan berita-berita kekerasan seksual yang tadi Prof. Hasanudin juga sudah singgung, soal Yuyun yang berumur 14 tahun, dia asal Bengkulu diperkosa oleh lakilaki secara bergantian. Ada juga kasus lain dan ini semakin mengkhawatirkan, semakin muda anak-anak yakni umur delapan, sembilan tahun yang ini juga jadi suatu fenomena yang baru, diperkosa oleh anak-anak yang masih remaja atau anak-anak laki-laki yang dewasa tetapi secara bergerombolan. Ini sepertinya sekarang semakin sadis kasus-kasus pemerkosaan di masyarakat. Nah saya kira kasus Yuyun inilah yang menjadi pemicu bagi pejabat publik untuk kemudian mereka mulai memerhatikan untuk mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Tetapi sayangnya baru bergerak ketika sudah ada korban yang begitu banyak, ya itu biasalah pejabat publik kita, bergerak karena reaksi, baik yang eksekutif maupun yang legislatif. Jadi, RUU kekerasan ini memang sudah disepakati sejak lama dan sekarang kita berharap bahwa pemerintah dan legislatif mulai memperbincangkannya lagi dan mengesahkannya segera. Tetapi tentunya kita mempunyai catatan terhadap yang diusulkan baru-baru ini yaitu tentang Perppu hukuman kebiri dan hukuman mati untuk pelaku pemerkosaan, kami menganggap bahwa itu tidak bisa dibenarkan karena persoalan kekerasan seksual itu bukan persoalan seks tetapi persoalan kuasa. Jadi di delapan tulisan yang kami hadirkan di Topik Empu Jurnal Perempuan ini sebenarnya ada tiga hal yang ingin kami capai, pertama, adalah mengajak publik untuk menghentikan kekerasan seksual, kedua, menuntut disahkannya RUU Penghapusan kekerasan seksual dan yang ketiga, memberikan pencerahan pengetahuan tentang kekerasan seksual yang masih salah kaprah. Mengapa salah kaprah? Karena kesalahan pemahaman bahwa kekerasan seksual itu berkaitan dengan power, jadi akhirnya ada kesalahan paradigma, kesalahan-kesalahan paradigma mengakibatkan ada kesalahan kebijakan. Kemudian ada masalah pernyataan-pernyataan pejabat publik yang tidak bertanggungjawab. 9 Seperti tadi saya katakan bahwa ini bukan persoalan seks tapi ini adalah persoalan kuasa, persoalan tentang relasi kuasa. Anda bisa baca di halaman 83 tulisannya Diah Irawaty. Diah Irawaty menjelaskan bahwa kekerasan seksual itu “posisi istimewa, posisi kekuasaan, ekspresi maskulinitas, laki-laki yang mendapat otoritas sosial dari masyarakat untuk menunjukkan kejantanan dan keperkasaannya. Kekerasan seksual memiliki akar pada konstruksi sosial-politik yang menempatkan laki-laki dalam hierarki kekuasaan sosial dan seksual yang membuatnya seakan-akan memiliki posisi keistimewaan alamiah.” Jadi ada posisi kekuasaan, ada ekspresi maskulinitas, yang mendapat otorisasi untuk mengobjekkan perempuan secara seksual, adanya kontruksi sosial-politik, kekuasaan, dan adanya posisi keistimewaan laki-laki yang menurutnya secara alamiah mereka peroleh. inilah sebetulnya politik kuasa yang kita ingin garis bawahi dan ini juga disebut oleh Abby Gina di halaman 162 dalam pengertiannya dan juga disebut oleh Prof. Muhammad Mustofa karena beliau pahami ini sebagai persoalan relasi kuasa. Oleh sebab itu, hukuman kebiri tidak akan efektif. Karena ini sekali lagi bukan persoalan seks, ini persoalan kuasa. Meskipun orang itu dihukum kebiri, dia masih bisa memerkosa karena keinginannya adalah kuasa dan dia bisa memasukkan benda-benda tajam yang sebagaimana saya sudah dengar sewaktu DOM (Daerah Operasi Militer) dulu bagaimana diperkosa dengan bendabenda tajam dan sebagainya. Jadi hukuman kebiri tidak akan menyelesaikan masalah. Selain itu yang juga penting untuk digaris bawahi adalah soal akuntabilitas pejabat publik kita. Livia Iskandar dan juga Baby Jim Aditya dan juga Kristi Poerwandari, penulis-penulis di JP ini menggarisbawahi pernyataan pejabat, pernyataan yang sangat diskriminatif seperti Gubernur DKI pernah mengatakan bahwa pemerkosaan terjadi karena perempuan memakai rok mini tahun 2011, Mendikbud mengatakan bisa saja seorang gadis yang melaporkan pemerkosaan melakukannya atas suka sama suka pada tahun 2012 hingga pejabat publik di Sumatera Selatan yang menganjurkan tes keperawanan tahun 2013 dan sampai detik ini pada kasus Yuyun, masih saja ada pejabat publik yang mengatakan, ya mungkin saja itu suka sama suka. Jadi ini adalah pernyataanpernyataan yang sangat tidak bertanggung jawab dan seharusnya seperti di negaranegara lainnya, pejabat publik yang membuat pernyataan-pernyataan yg tidak bertanggung jawab seharusnya malu dan mengundurkan diri. Sebagai contoh kasus Rektor di Harvard, AS, yang pernah memberikan pernyataan bahwa perempuan yang tidak bisa masuk bidang ilmu sains karena mereka kurang ilmunya langsung mengundurkan diri, karena pernyataan tersebut dianggap tidak pantas diungkap pejabat publik. Jadi menurut saya, pejabat publik harus punya tanggung jawab baru kemudian masyarakat kita bisa mencapai keadilan gender. 10 Nah, ibu-ibu dan bapak-bapak beserta teman-teman yang saya kasihi, menurut saya memang apa yang dikatakan Azriana Rambe Manalu benar bahwa kita harus membereskan persoalan hukum ini, tetapi ternyata hukum bukan yang satu-satunya penting di dalam menghentikan kekerasan terhadap perempuan, ada peranan keluarga, lingkungan terdekat, komunitas, dan masyarakat adalah kunci untuk memberantas kekerasan seksual di halaman 202, wawancara dengan beliau. Termasuk juga tenaga pimpinan institusi pendidikan, termasuk saya sebagai dosen,, harusnya di kampus kita sendiri bisa menghentikan kekerasan seksual dan juga bisa menegakkan keadilan gender. “Agama Islam itu tidak pernah menganjurkan kekerasan dan perkawinan tidak dibentuk atas dasar kekerasan tetapi kasih sayang” Berikutnya saya ingin menyinggung sedikit, meskipun sangat sensitif adalah soal agama. Kita tahu bahwa agama Islam adalah agama yang besar, agama kasih sayang atau yang dikatakan rahmatan lil alamin. Ayat pertama dalam Alquran disebut: “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. Firman Allah mengatakan: “Dan tiadalah kami mengutus kamu melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam”. Pengasih dan penyayang artinya apa? Artinya bahwa agama Islam itu tidak pernah menganjurkan kekerasan dan agama Islam itu selalu mengatakan berbuatlah baik, rahmat bagi semesta alam. Masthuriyah Sa’dan menulis dengan sangat indah di halaman 97 tentang apa itu fondasi Islam? Fondasi yang dibuat atas dasar berbuat baik kepada sesama, memberikan manfaat, saling membantu, larangan menipu, larangan bertindak kekerasan dan menzalimi orang lain. Maka atas dasar fondasi tersebut tidak benar bahwa Islam membenarkan pemukulan terhadap istri dan memaksa istri harus patuh terhadap suami, istri harus patuh kepada Allah demikian pula suami. Alquran tidak pernah menyatakan ketaatan kepada suami merupakan ciri-ciri perempuan yang baik. Perkawinan tidak dibentuk atas dasar kekerasan tetapi kasih sayang. Jadi kalau ada yang mempersoalkan kata dharaba, ini kan yang dipakai sebagai rujukan, ayat 34 surat An-Nisa, maksudnya bukan memukul tetapi menasihati, karena Allah Maha Pengasih dan Penyayang tidak pernah menganjurkan untuk menyakiti orang lain. Bagaimana perkawinan sangat sulit, nah Islam memberikan solusinya adalah selalu memberikan nasihat, selalu mendengarkan. 11 Maksud dari surat An-Nisa ayat 34 ini sebetulnya penekanannya pada bagaimana perlakuan suami terhadap istri, bagaimana laki-laki mengendalikan diri, itu sebetulnya pesan dari ayat 34 tersebut. Kita ini hidup di bumi nusantara, jadi kita tidak mengenal apa yang disebut tradisi jahiliyyah di masyarakat Arab, jahiliyyah yang menghalalkan seorang bayi perempuan dibunuh hidup-hidup dan dikubur hidup- hidup, perlakuan sadis terhadap seorang perempuan adalah pandangan umum mayoritas bangsa Arab bahwa anak perempuan adalah aib keluarga, membuat malu keluarga, dan beban keluarga. Kita ini hidup di bumi nusantara, Islam yang tumbuh di negeri ini adalah cerminan budaya kita sendiri, budaya nusantara yang menghargai perempuan. Dan tokoh-tokoh yang memimpin negeri ini ada yang perempuan sepertidi bumi Nanggroe Aceh memiliki pemimpin perempuan membanggakan seperti Cut Nyak Dien di tahun 1848-1908. Bahkan bapak-bapak dan ibu-ibu juga teman-teman sekalian, kita harus sangat kagum dengan Bumi Nanggroe karena mempunyai pemimpin perempuan di abad ke-17, selama 58 tahun perempuan memimpin bumi ini setelah Sultan Iskandar Muda II wafat pada tahun 1596, siapa mereka? Safiyatuddin Tajul Alam menjadi ratu dan memimpin selama 34 tahun hingga 1675, Naqiyatudin Nur Alam menjadi ratu disambung dengan Zakiyatudin Inayat Syah 1678 sampai 1688, dia ini sangat spesial karena dikenal kegigihannya melawan Inggris yang hendak membangun benteng di bumi Nanggroe. Setelah Zakiyatudin Inayat Syah meninggal, Kamalat Syah menggantikan, dia menjadi ratu pada 1688-1699. Setelah Kamalat Syah meninggal pada tahun 1699 ini, kepemimpinan perempuan di Aceh dihentikan oleh maklumat perintah dari Mekah yang menyatakan perempuan tidak boleh memimpin. Jadi, ibu-ibu, bapak-bapak yang saya kasihi, sesungguhnya perempuan di bumi pertiwi ini sudah berdaya sejak dulu, budaya kita, sejarah kita memperlihatkan bahwa perempuan itu sudah mulia dan pantas untuk memimpin, itulah sebetulnya budaya kita. Hanya budaya patriarki yang terus menggerus kekuasaan mereka, dihina dan dijadikan objek kekerasan. Saya kira saatnya kita untuk kembali memartabatkan perempuan di nusantara ini, demi menyelamatkan generasi masa depan dan saya selalu percaya bahwa perempuan bersatu tak dapat dikalahkan. Demikian, terima kasih. Annisa Novianty Kurniawan (Pembawa Acara): Terima kasih ibu Gadis selaku Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, acara selanjutnya marilah kita sama-sama mendengarkan pembacaan puisi dari Ibu Zubaidah Djohar, di mana beliau adalah Direktur Timang Research Center. Kepada Ibu Zubaidah waktu dan tempat kami sediakan. 12 4 PEMBACAAN PUISI Zubaidah Djohar (Direktur Timang Research Center) Assalammu’alaikum wr. wb. Terima kasih kepada mbak Gadis dan teman-teman Jurnal Perempuan yang sudah memberi ruang bersama bagi kita untuk membaca “Puisi Mana Yang Akan Kubacakan”. Puisi Mana Yang Akan KuBacakan Aku kehilangan kata-kata melihat luka berpacu menyembur di setiap liang kehidupan Rahim-rahim ibu dicabik-hancur, oleh lidah-lidah patah anak mereka Sekelebat kalimat, penuh sayat, menebas dinding Rahim ibu “pakaianmu terlalu mini..” “minuman keras, video porno penyebab birahi kami..” “langkahmu itu mengundang hasrat tak terkendali..” “harusnya kalian pandai menjaga diri..” “beladiri, karate, bersikap tegas, keras, jangan lembek..” “nah.. bila ini masih terjadi, engkau ya.. duhai perempuan ibu, yang patut dipersalahkan.. malu pada diri, sudah menuntut, masih ada kekerasan..” 13 Aku kehilangan kata-kata melihat nurani tercampak jauh dari negeri putih bersih itu Kepercayaan runtuh di tengah alunan merdu ayat-ayat Syahdu Kekasih Kalbu Berlindung pada penguasa? bergelimpang nista lahir penuh cerca dalam murka panjang. Berlindung pada keluarga? Mangsa terbesar lahir dari sana, dalam senyap suara keperihan. Berlindung pada wajah-wajah berkopiah suci? Di antara tangan mereka, nyaris penuh darah Menyambar tubuh kaum ibu, anak-anak perempuan, bocah-bocah lelaki lugu Entah, kopiah mana yang mampu merekatkan nyali Berlindung pada keadilan? Keadilan yang mana? Dari tangan siapa? Bagaimana bentuk rupanya? Siapa pembawanya? Aku semakin kehilangan kata-kata melihat perampasan Tubuh perempuan. Hinggap di segala lini. Hukum tak berkutik. Hilang denyut. Bahkan, mati di bumi Syar’i. Ya, negeri putih itu. yang sangat santun dalam simbol itu. Tinggal sebut sesat.. Semua siap bertarung berparang serang. Tak peduli paham hilang dari badan.Tinggal sebut haram.. Semua moncong berlakon suci, pasti datang tanpa diundang. Siap menghadang melempar garang.Tinggal sebut perempuan durhaka Segala kezaliman lelaki, pudar seketika. Musnah di ambang caci maki Hilangnya jiwa. Tapi ini tak berlaku di negeri kami Yang sangat menyanyangi perempuan-perempuan kami Yang menempatkan mereka pada martabat tertinggi. Hingga hari ini semua mata terjerembab dalam bentang fakta yang sulit Diingkari. Surat kabar kebanggaan mengirim berita lantang Empat tahun terakhir. Seribu lebih anak perempuan mengalami kekerasan seksual. Tak ada soal benang pembungkus badan di sana Tak ada soal mabuk arak, tayangan perangsang. Tak ada soal lemah, hilang daya menjaga diri. “Saya tak bisa mengendalikan nafsu..” Ucapnya tertunduk lesu. Dan.. kata-kataku semakin hilang dalam bentang zikir yang dikumandangkan. Kejahatan kemanusiaan begitu nyata memberangus peradaban. Masihkah kita memilih diam? Membungkam jeritan alam Atas nyeri anak negeri, perempuan-perempuan ibu sendiri dalam balutan suci yang tak membumi? Yang hilang kekuatan. Mencincang Persoalan hakiki, kehidupan Manusia. 14 Negeri kita, negeri darurat kemanusiaan. Darurat Kekerasan Seksual. Akankah kita pancangkan? Mewujud dalam dekap peraturan yang melindungi Kaum perempuan Nabi. Yang Ia sendiri Berdiri tegak. Menyelamatkan! Negeri ini butuh kerendahan hati, para penghuninya Para penguasanya. Mengenali diri. Jalan Pulang. Kebermaknaan hidup. Suara-suara korban bukan gelimang kebisingan Ia adalah amanah Kitab Suci yang memanggil sunyimu tiba Menyembuhkan, membongkar segala isi kebenaran, keadilan Tunaikan janji sebelum jingga membawa pergi Karena, kesungguhan memanusiakan diri Pintu peradaban. Akankah ia Engkau ketuk? Banda Aceh, 22 Mei 2016 Annisa Novianty Kurniawan (Pembawa Acara): Terima kasih Ibu Zubaidah Djohar dan inilah acara yang kita tunggu-tunggu diskusi Pendidikan Publik Jurnal Perempuan edisi 89 yang bertemakan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dan saya akan limpahkan kepada Ibu Anita Dhewy, di mana beliau adalah Sekretaris Redaksi Jurnal Perempuan dan juga moderator kita pada hari ini. Langsung saja saya persilakan kepada Ibu Anita Dhewy. 15 5 DISKUSI Anita Dhewy (Moderator, Sekretaris Redaksi Jurnal Perempuan) Baik, saya panggilkan Kak Samsidar, Ibu Amrina Habibi dan Ibu Khairani Arifin mohon berkenan maju ke depan. Assalammu’alaikum wr. wb. Selamat pagi bapak-ibu dan kawankawan semua. Ketiga pembicara yang ada di hadapan kita pada pagi hari ini tentu sudah tidak asing bagi bapak ibu dan kawan-kawan semua, tetapi saya tetap akan memperkenalkan satu persatu. Kita awali dari Kak Samsidar, Kak Samsidar saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Pengarah Nasional Forum Pengada Layanan yang bersama Komnas Perempuan juga mendorong untuk pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Kak Samsidar seorang aktivis yang fokus dengan isu perempuan dan sudah berkiprah dan berkarya tidak hanya di Aceh namun juga di tingkat nasional. Pernah menjabat sebagai Komisioner Komnas Perempuan dan pernah juga menjadi koordinator International Centre for Transitional Justice dan juga menjadi ahli gender untuk sejumlah lembaga seperti Unifem Aceh, juga di IOM (International Organization for Migration), organisasi yang berfokus pada migrasi dan juga Aus-Aid. Pengalaman yang tentu saja sungguh luar biasa. 16 Lalu, pembicara kedua Ibu Khairani Arifin, Dewan Pembina Pusat Studi Gender atau PSG Universitas Syiah Kuala, beliau adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dan sekaligus pengurus Flower Aceh. Ibu Rani menempuh studi Sarjana di Universitas Syiah Kuala Fakultas Hukum untuk jurusan Hukum dan Masyarakat Pembangunan, lalu studi S2-nya diambil di Universitas Sumatra Utara Medan mengambil Ilmu Hukum juga. Ibu Rani selain mengajar juga pernah menjabat sebagai Ketua Pusat Studi Hak Asasi Manusia atau PUSHAM Universitas Syiah Kuala sejak 2009 hingga sekarang dan menjadi Sekjen Tim Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPUK) pada tahun 2000 hingga 2010 dan menjadi pengurus LBH APIK Aceh pada tahun 2002 hingga 2010. Sebagai dosen sekaligus juga aktif di dalam gerakan perempuan, Ibu Khairani juga menulis di sejumlah jurnal. Lalu saya juga akan memperkenalkan Ibu Amrina Habibi, Sekretaris Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Aceh. Ibu Amrina saat ini menjabat sebagai Kepala Subbidang Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan pada Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh dan juga sekaligus Kepala Subbidang Data dan Kebijakan di lembaga yang sama. Sebelumnya beliau menjabat sebagai Kepala Subbidang Kebijakan dan Program pada tahun 2013-2014 dan Kepala Subbidang Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan sejak tahun 2009 hingga 2013. Sebelum menjabat sebagai Kepala Subbidang di Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ibu Amrina bekerja sebagai staf pada Dinas Pendidikan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan staf Bagian Hukum Sekda. Ibu Amrina tercatat aktif dalam berorganisasi dari mahasiswa bahkan hingga saat ini. Baik kita akan memulai diskusi kita pada pagi hari ini, kita tentu masih ingat pada akhir Januari 2016 lalu, Rapat Pleno Badan Legislasi atau Baleg DPR RI tidak memasukkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Prolegnas Prioritas 2016 tetapi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tetap masuk dalam Prolegnas 2014-2019 artinya ini tetap menjadi tugas atau mandat bagi DPR RI periode 2014-2019 untuk mengesahkan RUU ini. Nah kabar baik kita dengar bahwa Rabu 14 Mei kemarin kita mendengar ada perkembangan positif terkait RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini bahwa DPR RI menyepakati RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk dalam Prolegnas Prioritas 2016. Kalau kita kilas balik ke belakang, upaya untuk mendorong lahirnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini sebenarnya sudah dimulai sejak sepuluh tahun terakhir diinisiasi oleh LBH APIK Jakarta kemudian pada 2014 Komnas Perempuan bersama mitranya Badan, em maaf Forum Pengada Layanan mengeluarkan usulan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai lex specialis dari KUHP. Nah, bersama kita sekarang sudah hadir Kak Samsidar yang akan membahas urgensi dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai payung hukum perlindungan bagi perempuan korban kekerasan seksual dan bagaimana upaya legislasi yang berjalan sejauh ini. Kepada Kak Samsidar saya persilakan. 17 DISKUSI “Kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan, bentuk diskriminasi gender, dan merupakan pelanggaran HAM yang harus dihapus”-Samsidar Samsidar (Ketua Dewan Pengarah Nasional Forum Pengada Layanan) Terima kasih Anita, Assalammu’alaikum wr. wb. Selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semua. Yang terhormat Bu Gadis Arivia dan teman-teman dari Jurnal Perempuan, teman-teman dari PSG Unsyiah dan teman-teman dari Fakultas Hukum, dan teman-teman lainnya serta adik-adik mahasiswa yang saya cintai. Saya diminta untuk membahas urgensi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai payung hukum perlindungan korban kekerasan seksual. Sebagai mana tadi sudah disebutkan Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan itu sudah menggagas penyusunan naskah akademik Rancangan UndangUndang Penghapusan Kekerasan Seksual dari tahun 2014. Kenapa kami menyusunnya? Sebagian data yang ada di Komnas Perempuan itu berasal dari pengalaman empirik teman-teman dari Pengada Layanan yang ada di dua puluh provinsi yaitu ada 115 lembaga yang sehari-hari bekerja untuk penanganan korban, salah satunya adalah korban kekerasan seksual. Yang angka kekerasan seksual itu semakin hari itu semakin meningkat dan berkembang termasuk bentuknya. Jadi kita itu paling sering mendengar pemerkosaan tetapi bentuknya bukan hanya pemerkosaan. Hal tersebutlah yang sebenarnya membuat bukan sekadar gelisah tetapi ada konsekuensi yang diterima oleh korban, keluarga, dan komunitas serta organisasiorganisasi yang menangani kasus-kasus kekerasan seksual yang selama ini sebenarnya dianggap sepi. bukan mendapat penghargaan tetapi kecaman. 18 Jadi sebenarnya teman-teman yang bekerja untuk melayani, mendengarkan, mendampingi korban itu bekerja dalam situasi yang tidak populer bahkan disalahkan dan sebagai organisasi masyarakat yang banyak volunteer itu. Ya, termasuk untuk kita di Aceh, seringkali ketika menangani kasus kekerasan seksual dari sisi biaya kami bahkan urun rembug. Kalau pengacara juga paling pengacara probono yang mendampingi tapi tetap juga mendapat hujatan. Nah, hal seperti ini kalau kita berbicara bagaimana kehadiran negara dan kualitas hidup khususnya perempuan termasuk anak perempuan itu? Kekerasan seksual itu biasanya akan membuat kehidupan korban dan bahkan keluarganya itu menurun dari sebelum terjadinya kasus kekerasan seksual. Secara angka, setiap hari sedikitnya ada 35 perempuan termasuk perempuan yang mengalami kasus kekerasan seksual, nah setiap dua jam tiga perempuan Indonesia menjadi korban kekerasan seksual. Nah, apakah data ini baru tahun kemarin? Tidak, ini data yang kita himpun selama dua belas tahun tetapi itu belum dianggap. Dan kekerasan seksual tadi Bu Gadis sudah menjelaskan ketika ada kasus yang mencuat dan sampai terdengar ke luar negeri baru kemudian pemerintah bereaksi dan menetapkan darurat. Padahal kedaruratan itu karena tidak tertanganinya kasus kekerasan seksual dengan begitu lama. Jadi, sudah bertumpuk-tumpuk tidak ditangani. Nah saya bicarakan tadi ditanya urgensinya, kita bicara dulu tentang fakta sosial, setidaknya ada delapan kategori bentuk kekerasan seksual pada saat ini. Komnas Perempuan menyebutnya ada lima belas tapi kita melakukan kajian, nah ada pelecehan seksual, ada eksploitasi seksual, ada pemerkosaan, ada pemaksaan sterilisasi, ada pemaksaan perkawinan, ada pemaksaan pelacuran, ada penyiksaan seksual dan ada perbudakan seksual. Sebelumnya penyiksaan seksual dan perbudakan seksual ini hanya kita temui ketika masa konflik bersenjata tetapi pascakonflik bersenjata itu dilakukan bukan oleh aparatur keamanan tetapi juga oleh masyarakat biasa bahkan keluarga. 19 “Definisi perkosaan pada KUHP sangat sempit dan prosedur pembuktiannya masih membebani korban soal bukti” Bagaimana fakta hukum yang ada? Saat ini kita mengenal KUHP dan KUHP mengenal pemerkosaan, sudah ada tetapi terbatas pada ruang lingkup definisi yang sangat sempit hanya mengenal ya intercourse alat kelamin dan prosedur pembuktiannya diatur di dalam KUHAP itu masih membebani korban soal bukti. Mana ada orang diperkosa di tengah keramaian dan lagi soal bukti, banyak sekali, apalagi anak-anak dia menghilangkan buktinya termasuk perempuan dewasa karena itu suatu hal yang dianggap aib. Pelecehan seksual tidak dikenali padahal pelecehan seksual juga masif, biasanya permisif itu dimulai dari pelecehan seksual sehingga dia meningkat pada bentuk kekerasan yang lain. Ah biasa kok, memegang-megang, merabaraba kalau hal tersebut sudah biasa, biasanya akan meningkat. Ada eksploitasi seksual diatur dalam Undang-Undang Pornografi tetapi dalam penjelasannya tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan eksploitasi seksual. Pada pasal 4 Undang-Undang Pornografi eksploitasi seksual dilekatkan dengan memamerkan aktivitas seksual. Padahal ketika kita membicarakan dalam konteks kekerasan seksual itu bukan memamerkan tetapi itu ada orang yang menjadi korban seperti yang saya katakan tadi. Akibatnya UndangUndang Pornografi tidak lagi menempatkan pornografi sebagai ajang eksploitasi seksual sebagaimana niatnya tetapi lebih pada kerangka moralitas yang berujung pada kontrol seksual perempuan. Jadi ketika pelecehan seksual terjadi dianggap perempuan yang tidak bisa menjaga dirinya dan kemudian karena tidak bisa menjaga dirinya, dikontrollah dia untuk berperilaku, berekspresi termasuk berpakaian, ruang geraknya pada malam hari dilihat bisa mengundang. Itu hal yang terjadi di Undang-Undang Pornografi. Penyiksaan dan perbudakan seksual tidak dikenal dalam hukum pidana umum, hanya ada dalam hukum pidana khusus yaitu konteks genosida dan kejahatan kemanusiaan, itu Undang-Undang Pengadilan HAM. Akibatnya penyiksaan yang terjadi berulang kali di luar konteks pelanggaran HAM berat karena pelanggaran HAM di Indonesia mengatur tentang serious crime ya, pelanggaran berat HAM dan dia harus sistematis dan meluas. Kalau yang ditemui di luar konteks pelanggaran HAM itu tidak dikenakan. 20 Di sejumlah daerah itu mengatur tentang larangan prostitusi yang justru mengriminalkan perempuan korban eksploitasi seksual dan perdagangan orang karena yang dianggap perbuatan kejahatan itu bukan eksploitasi seksualnya, dan malah korban dikriminalkan bukan sebaliknya. Padahal kan korban harusnya dilindungi dan keadilannya dinomorsatukan. Ada aturan-aturan diskriminatif yang banyak sekali berhubungan dengan tubuh dan seksualitas perempuan yang lagi-lagi mengriminalkan perempuan korban. Sejumlah regulasi khusus yang ada pada saat ini seperti Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang mengatur kekerasan seksual lebih luas dari KUHP. Namun tidak bisa digunakan untuk melindungi korban kekerasan seksual di ruang lingkup yang tidak dimaksud oleh undang-undang khusus ini, jadi dia memang sangat khusus. Kalau anak itu sebenarnya sudah lebih terakomodir juga untuk yang perdagangan orang dan KDRT. KDRT pun dia adalah delik aduan dan sampai sekarang sebenarnya sedikit sekali tentang marital rape, pemerkosaan dalam rumah tangga yang diangkat. Bahkan kalau pengalaman di Lembaga Pengadaan Layanan hampir tidak ada yang diproses lebih lanjut. Karena dari sisi penyidik pun karena lagi-lagi visum et rebertum itu menjadi landasan untuk hukum, sulit sekali untuk kemudian ada pernyataan visum et rebertum untuk pengakuan dari marital rape. Undang-Undang Hukum Pidana maupun Undang-Undang Kesehatan, pada UndangUndang Kesehatan menekankan pada larangan aborsi jadi larangan tanpa melihat konteks pemaksaan aborsi. Padahal ada orang yang aborsi itu dipaksa, bukan dari dia. Tetapi ketika dia berada dalam sebuah praktik terjadi aborsi, siapapun dia tidak dipandang apakah dia korban langsung dikriminalkan. Nah ini yang lagi-lagi korbannya dipidanakan. Kitab Hukum Pidana dan Hukum Acara ini revisinya berjalan lambat bahkan kehilangan arah kalau kita katakan sudah dari tahun berapa, situasi ini bisa ditunjukkan dalam sejumlah diskusi. Kalau kita mendiskusikan pembahasan kekerasan seksual itu masih dianggap persoalan susila atau kesopanan. Padahal dan kalau itu kesopanan kan itu sudah moralitas. Padahal kita tahu faktanya itu adalah kejahatan, nah ini paradigma yang sangat melekat, jadi benar kalau Azriana mengatakan bahwa hukum saja tidak menjawab. Tetapi bagaimana paradigma dalam memandang kekerasan seksual tersebut? Nah, fakta sosialnya juga kekerasan seksual itu menyebabkan dampak yang lebih masif, jadi kalau dia mengalami kekerasan seksual itu tidak hanya berdampak pada satu sisi korbannya, keluarganya bahkan komunitasnya. Kita melihat dari dampak fisik sampai pada dampak hilangnya hakhak pendidikan, sosial, budaya bahkan sebenarnya pencerabutan hak-hak politik ketika seseorang sudah menjadi korban kekerasan seksual. Jadi dia multidimensi dampaknya, itu fakta sosial. 21 Fakta hukumnya KUHAP tidak menjadikan korban sebagai subjek dalam peradilan pidana, tidak mengatur mekanisme melihat bagi korban, lebih mendekatkan pada penghukuman dan itupun tidak mudah. Kalau ibu-ibu melihat dicantumkan di Jurnal Perempuan itu sedikit sekali yang masuk wilayah hukum kalaupun sudah diproses penyidikan dan proses lanjutnya cuma sepuluh persen. Kemudian tanggung jawab pada pelaku, itu tadi menyangkut hukuman tanpa ada tanggung jawab untuk pemulihan atau restitusi kepada korban, jadi dia cuma kurungan tetapi bagaimana dengan pemulihan? Karena bagi korban ketika dia sudah mengalami kekerasan pemerkosaan itu tidak akan bisa pulih kalau pelakunya dihukum. Bagaimana dengan kerusakan yang sudah dialaminya? Kerusakan fisik maupun nonfisik itu tidak ada dalam hukum kita. Tidak ada sanksi apapun bagi petugas dan lembaga yang menangani korban kekerasan seksual apabila menghambat proses hak-hak korban. Kita melihat ada hak-hak korban untuk kebenaran, keadilan, pemulihan, dan ketidakberulangan lagi, nah itu yang tidak diatur, tidak ada. Jadi bisa saja lembaga yang lain kalau misalnya dibentuk SK, sanksinya tidak ada sanksi apapun. Sanksinya hanya administratif dan di lembaga masing-masing yang tidak bisa dikontrol oleh hakim ketua sehingga proses imunitas terjadi. Kita juga tidak mengenal rekam jejak penyidik sampai pada hakim yang mengaitkan kasus-kasus kekerasan seksual, kita tidak punya rekam jejak itu dan rekam jejak untuk misalnya memandu SK untuk memberikan hukuman yang pantas, itu menjadi pertimbangan untuk kasus selanjutnya. Itu yang menyebabkan proses pengadilan mengalami banyak sekali hambatan walaupun tidak bisa dibilang buntu. Fakta sosialnya kekerasan seksual itu adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan itu mengenai diskriminasi gender, tadi sudah dijelaskan dan itu adalah soal relasi kuasa yang berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Karena tadi, ada otoritas politik, otoritas budaya, dan sebagainya. Pelanggaran hak asasi manusia yang harus dihapuskan itu fakta sosialnya ketika orang sudah kehilangan nyawa, tidak bisa sekolah, tidak bisa bekerja, terganggu fungsi-fungsi organ reproduksinya, psikologisnya dan termasuk ada kemiskinan. Ini kan sebenarnya kejahatan atau pelanggaran hak asasi manusia. Tetapi fakta hukumnya, kekerasan seksual adalah persoalan kesusilaan, lebih melindungi rasa kesusilaan masyarakat. Jadi kalau masyarakat itu melihat yang tidak sopan maka masyarakatlah yang dijadikan acuan soal kesopanan. Nah jadi korbannya bisa disalah-salahkan karena korban tidak sopan, tidak bermoral. Secara singkat kita menyebutkan bahwa sistem hukum Indonesia belum secara sistematis dan menyeluruh mampu mencegah, melindungi, mengayomi, memberdayakan korban serta memberikan kesadaran pada masyarakat untuk menghapuskan kekerasan seksual. Atas dasar hal inilah mengapa penting adanya undang-undang khusus tentang penghapusan kekerasan seksual dan ini menjadi lex specialis karena tidak bisa diatur secara umum. Saya ingin menampilkan apa saja yang diatur dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini. Tadi juga sudah dijelaskan kami sudah bekerja untuk menyusunnya sebenarnya sebelum 2014, tetapi 2014 mulai lebih solid dan 2015 mulai mengajak orang- orang untuk terlibat di dalam penyusunan, lagilagi orang tidak tertarik. 22 Forum Pengada Layanan dan Komnas Perempuan, kita berkampanye hampir di seluruh wilayah Indonesia untuk pengesahan, legislatif tidak tertarik walaupun sudah disms setiap hari. Baru kemudian kami pada 2016 masuk dalam Prolegnas tambahan kalau Prolegnas tambahan sebenarnya tidak ada garansi untuk dibahas. Kemudian apa yang terjadi ketika tadi kasus YY di Bengkulu mencuat? Kami tim penyusun yang selama ini bekerja dalam sunyi, volunterisme didesak oleh berbagai pihak termasuk, ya saya tidak bisa mengatakan, bagian legislatif, “Mana, mana?” Nah, kami belum selesai karena membuat undangundang ini bukan persoalan yang mudah seperti memesan roti, banyak hal yang harus dipertimbangkan tadi bagaimana persoalan sosial, paradigma. Kita tidak mau mengulangi Undang-Undang Pornografi jilid dua yang keluar dari makna dan niat awalnya. Jadi tidak bisa dipaksa-paksa, tapi sekarang dipaksa terus. Itu yang saya “Produk hukum kita ungkapkan adalah hal yang belum final walaupun sudah di belum bisa mencegah dan dalam kerangka apa yang diatur sekadar menjadi menangani kekerasan pengetahuan publik. Kami menargetkan awal Juli naskah seksual serta melindungi akan masuk menjadi rancangan undang-undang dan penjelasannya, bukan penjelasan yang pasal sekian sudah korban” jelas tetapi akan membuat orang melihat konteksnya apa, biar dia tidak dipolitisir lagi. Kami menargetkan awal Juli itu semua akan dipublikasikan. Saya ingin menjelaskan kerangkanya sedikit, ada asasnya, kalau teman-teman melihat mungkin ada asas yang tidak ada di dalam produk hukum yang tadi sudah saya sebutkan. Yang salah satunya adalah penghargaan atas keberagaman situasi dan kondisi korban, tidak ada asas itu dalam KUHP karena tadi korban tidak dilihat sebagai subjek hukum. Undang-undang kita masih mengakui dengan keras dan kuat soal hak-hak pelaku bukan hak-hak korban. Tujuannya bukan cuma menghukum tetapi mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi korban itu yang selama ini miskin dari produk hukum kita. Karena tadi kita terangkan dari sisi pemikiran dan teori-teori feminist legal system justru menangani, melindungi korban, nah inilah yang dimaksud sebagai tujuannya menjamin terlaksana kewajibannya negara, keluarga, partisipasi masyarakat, tanggung jawab korporasi dalam mewujudkan lingkungan yang bebas kekerasan seksual. 23 Jadi tadi Mbak Gadis sudah mengajak kalau sebuah lembaga pendidikan dilihat sebagai sebuah “korporasi” bahkan ya lebih ya, dia harusnya sudah mulai ada sistem pencegahan di sini. Adapun ruang lingkupnya penghapusan kekerasan seksual meliputi pencegahan, penanganan, perlindungan yang selama ini perlindungan tidak ada, dan pemulihan serta penindakan pelaku. Yang selama ini ada adalah penanganan dan penindakan pelaku. Jadi untuk yang dua tidak ada. Ini pencegahan yang bisa kita lihat meliputi bidang pendidikan, infrastruktur, pelayanan publik, tata ruang sampai sosial-budaya. Tindak pidananya ada delapan, ada pelecehan seksual, ada eksploitasi seksual, ada pemerkosaan, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, penyiksaan seksual dan perbudakan seksual. Ada hak-hak korban, hak atas penanganan, hak atas perlindungan, hak atas pemulihan jadi banyak sekali terobosan-terobosannya. Nah karena dia lex specialis, ada acara peradilan pidananya di dalam undangundang ini dari mulai pelaporan sampai kepada pelaksanaan keputusan dan pengawasan juga pengawasan putusan pengadilan oleh hakim pengawas dan pengamat khusus karena tidak bisa dia hakim pengawas dan pengamat umum. Untuk di kita kalau mau jujur sebenarnya hakim pengawas dan pengamat putusan belum berjalan dengan optimal. Ini ada hukum acaranya dan juga kewajiban melaksanakan hak korban. Soal alat bukti juga ada terobosan jadi yang sangat ingin saya garis bawahi keterangan seorang saksi korban harus dianggap cukup untuk membuktikan peristiwa kekerasan yang didakwakan kepada terdakwa apabila disertai dengan satu alat bukti lainnya. Jadi ini sebenarnya merujuk pengalaman dari Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, karena kalau tidak begitu, kasus-kasus kekerasan seksual sulit sekali ditangani dan diproses secara hukum. Ada pendamping korban juga saksinya, selama ini pengalaman kita ya di dalam kasus kekerasan termasuk yang diperkosa oleh WH di Langsa, kami tidak boleh masuk ke ruangan. Bahkan beberapa bulan yang lalu termasuk di Bireun, pengacara korban tidak boleh masuk karena memang yang aktif itu pengacara pelaku. Ya untuk di undang-undang ini ditekankan. Jadi banyak hal ya bahkan untuk petugasnya akan mengalami sanksi apabila tidak melakukan. Saya rasa cukup dulu ya karena waktunya terbatas nanti kita diskusikan. Anita Dhewy (Moderator): Baik terima kasih Kak Idar atas pemaparan yang sangat menarik ya tentang fakta hukum dan fakta sosial yang menjelaskan bahwa RUU ini sangat penting untuk segera disahkan. Belum lama kita juga mendengar ya di Nagan Raya bahwa seorang anak berumur delapan tahun diperkosa lalu ada juga di Aceh Timur ada anak yang diperkosa oleh beberapa orang yang seumuran. Lima belas menit ke depan kita akan mendengar paparan dari Ibu Amrina Habibi yang akan menjelaskan dan berbagi pengalaman tentang bagaimana upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh dalam penanganan korban kekerasan seksual. Ibu Amrina, saya persilakan. 24 DISKUSI “Masih banyak kendala teknis di lapangan dalam menangani korban kekerasan seksual”Amrina Habibi Amrina Habibi (Sekretaris Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak P2TP2A Provinsi Aceh) Assalammu’alaikum wr. wb. Syukur Alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Sholawat serta salam kepada baginda junjungan Muhammad SAW. Yang kami hormati Bu Gadis Arivia dari Jurnal Perempuan beserta dengan timnya. Kami memberikan apresiasi atas pelaksaan kegiatan pada pagi hari ini dengan memberikan suatu ruang untuk kemudian mendatangkan salah satu solusi guna mencegah, menangani dan melakukan pemberdayaan pada korban kekerasan seksual, khususnya. Teman-teman, teristimewa beberapa dosen kami yang ikut hadir di sini yang hampir semuanya adalah orang-orang terpilih yang mempunyai komitmen yang luar biasa. Di sini sebenarnya ada Ketua P2TP2A Provinsi Aceh tetapi karena beliau saat ini sedang dalam cuti maka saya yang diberikan kepercayaan menggantikan beliau untuk menyampaikan beberapa hal terkait dengan pengalaman yang dialami dan dilakukan oleh P2TP2A Provinsi Aceh terkait dengan pencegahan, penanganan dan pemberdayaan kepada perempuan korban kekerasan seksual. 25 Pertama kami ingin menyampaikan bahwa sebenarnya bicara soal regulasi bahwa Pemerintah Aceh sudah memberikan respons dengan adanya beberapa Qanun. Katakanlah Qanun No. 6 tahun 2009 tentang Pemberdayaan Perempuan dan Qanun No. 8 tahun 2011 tentang Perlindungan Anak. Beberapa pasal di sana dengan sangat tegas menjelaskan tentang tanggung jawab dan kewajiban kepada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memberikan dan mengembangkan Pusat Pelayanan Terpadu yang tentunya harapannya adalah bisa bekerja pada tiga level yaitu pencegahan, penanganan dan pemberdayaan. Kemudian secara spesifik ada satu Pergub sebenarnya yang menjadi indikator dan panduan buat Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pergub ini dulu diinisiasi oleh Ibu Khairani dengan bantuan dari program Logika, Pergub No. 109 tahun 2013 tentang Standar Pelayanan Minimal bagi perempuan dan anak korban kekerasan di Aceh. Ini menegaskan bahwa Bupati dan Walikota beserta juga dengan Gubernur itu menetapkan kebijakan dan anggaran untuk pemenuhan hak perempuan dan anak korban kekerasan. Pada salah satu pasal yang lain kewajiban untuk membentuk dan mengembangkan P2TP2A dengan prinsip koordinasi dengan lembaga lainnya menyangkut dengan lima jenis pemenuhan layanan dasar kepada korban. Akan tetapi, persoalannya adalah tentu pada implementasinya yang sangat menjadi kendala sehingga beberapa bulan terakhir merespons situasi terkini dengan perubahan undang-undang pemerintah daerah ada satu harapan besar yang kami harapkan bisa terjadi terkait dengan upaya untuk meningkatkan status nomenklatur dari badan ataupun kantor yang menangani urusan pemberdayaan perempuan. Karena ini menjadi salah satu akar masalah yang kemudian berimbas pada kerja-kerja yang dilakukan oleh unit pelayanan terpadu. Bapak-ibu bisa bayangkan bahwa masih ada urusan pemberdayaan perempuan yang itu hanya menjadi subbidang di bawah Sekretariat Pemerintah Daerah, hanya satu kabupaten/kota yang statusnya kantor, yang lainnya itu bercampur aduk, ada bercampur dengan BBM dan lain-lain, hanya provinsi yang berdiri mandiri, ini menjadi akar permasalahan. Kenapa? Karena ini berbicara dengan besarnya kewenangan yang dimiliki, berkaitan juga dengan sumber daya manusia yang tersedia, berbanding lagi dengan populasi dan jumlah penduduk. Misalnya seperti Aceh Utara, dia hanya memiliki 28 orang pegawai di Kantor Pemberdayaan Perempuan sementara kecamatan dan desanya itu ada 840 desa, jadi bisa dibayangkan. Ditambah lagi ada pelanggengan stigma bahwa sumber daya manusia, pejabat yang kemudian ditempatkan itu mayoritas perempuan karena yang dibangun itu adalah urusan perempuan harus diselesaikan oleh perempuan. Kemudian bisa kita lihat lagi bahwa bicara soal kapasitas dan kualitas ini menjadi masalah. Kemudian bicara juga soal koordinasi, bagaimana kita bisa membangun dan melakukan koordinasi kalau status kita ini, eselon kita ini, berada di bawah lembaga yang harus kita lakukan advokasi, ini menjadi masalah teman-teman. Kami pikir merebut peluang untuk mengadvokasi supaya undang-undang ini nanti bisa berkontribusi secara baik pada status dari badan atau lembaga yang akan menangani kasus kekerasan perempuan ini menjadi tanggung jawab bersama. Karena pada beberapa indikator sangat tergantung dari temanteman yang berada dalam jaringan sipil. Nanti ada pertanyaan menyangkut dengan berapa banyak jumlah lembaga, organisasi yang bekerja untuk isu pemberdayaan, perlindungan perempuan dan anak. Kemudian bicara juga bahwa soal anggaran untuk pemerintah provinsi. Ya untuk BP3A Provinsi persoalan anggaran saat ini menjadi anggaran tertinggi dari 26 seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Kita pernah mendapatkan angka walaupun kalau mau dibuat perbandingan dengan SKPA yang lain ini masih belum cukup memadai. Tetapi kalau kita buat perbandingan dengan Indonesia, Provinsi Aceh itu mendapatkan anggaran yang sangat besar sekitar 33 M dengan Sumatra Utara mereka hanya 2,5 M hanya dengan Kalimantan yang punya perbandingan cukup berimbang dengan provinsi Aceh. Kemudian bicara soal operasional juga terkendala, teman-teman ketika turun ke lapangan tidak punya mobilisasi, tidak punya kendaraan dan juga bicara soal masalah, masalahnya ada di mekanisme penganggaran dan perencanaan. Sampai hari ini kita belum punya mata anggaran khusus kalau mau dibuat lagi anggaran yang sangat spesifik untuk korban ini masih membutuhkan advokasi. Kita sudah melakukan lobi-lobi dengan Dinas Keuangan Aceh agar kemudian mata anggaran khusus untuk pemenuhan hak kepada korban itu akan keluar dengan nomor rekening yang tersendiri, karena apa? Kalau bicara pada penerapan SPM, rehabilitasi dan reintegrasi sosial, misalnya, ada di bawah Dinas Sosial. Tetapi ternyata mata anggaran di Dinas Sosial tidak mampu mengakomodir kriteria korban kekerasan seksual yang kita tangani. Jadi masih membutuhkan satu tahapan untuk advokasi lebih lanjut. Bapak-ibu sekalian yang berbahagia kalau bicara soal jumlah kasus mungkin semuanya sudah tahu bahwa terjadi lonjakan kasus yang sangat luar biasa. Untuk tiga tahun mulai dari 2013 sampai 2015 kasus terhadap perempuan, P2TP2A Aceh mencatat dan menangani hampir 1387 kasus dan 954 itu memang dominannya adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga atau sekitar 70,4% kasus KDRT, pada korban yang perempuan dewasa itu pemerkosaan ada 45 kasus persentasenya adalah sekitar 3,41%, sementara pada kasus kekerasan terhadap anak dengan jumlah total 854 kasus, perkosaan itu 270 kasus atau sekitar 31,6% sebuah angka yang sangat luar biasa. Mungkin teman-teman akan bertanya apakah Badan Pemberdayaan Perempuan tidak melakukan apa-apa? Kami ingin menyatakan bahwa kami sudah bekerja, kita sudah berbuat dan menggunakan peluang untuk melakukan revitalisasi terhadap P2TP2A Kabupaten/Kota itu dari tahun 2013 dan dampak dari revitalisasi itu berdasarkan pemetaan yang dilakukan lembaga independen dari kampus UIN Ar-Raniry, posisinya yang kemudian dapat kami katakan sebagai kinerja dari hasil revitalisasi bahwa saat ini ada lima kabupaten/kota yang P2TP2A dapat kita kategorikan sebagai yang maju, berkembang, sudah bagus artinya ketika datang kasus bisa dilayani, bisa ditangani dan bisa dirujuk. Akan tetapi, ada dua belas yang statusnya masih berkembang artinya sudah mulai berjalan tetapi dengan masih banyak catatan-catatan dan mirisnya ada lima yang sama sekali belum berjalan, masih masuk pada kategori dasar dan salah satunya adalah kabupaten yang aksesnya sangat jauh dari provinsi yaitu Kabupaten Simbuluh. Ternyata temanteman berdasarkan hasil laporan masyarakat kasus kekerasan seksual di sana itu sangat luar biasa. Dalam minggu ini kami mendapatkan tiga email laporan dari Forum Anak Kota Simbuluh melaporkan tentang kasus kekerasan seksual dan intervensi yang diberikan oleh Pemerintah Daerah setempat itu belum cukup merupakan upaya yang menggembirakan buat kita semuanya. 27 “Kendala lapangan khususnya yang dialami oleh teman-teman pendamping baik sebagai psikolog, sebagai paralegal, sebagai pengacara kami menghadapi masalah hari ini yaitu belum memiliki rumah aman” Merujuk juga kepada hasil pemetaan fungsi P2TP2A, ada empat hal yang kemudian hendak diberikan respons oleh Pemerintah Provinsi yang pertama adalah memastikan adanya regulasi soal advokasi anggaran untuk P2TP2A. Hari ini ada P2TP2A yang punya uang hanya dua puluh juta dengan jumlah penduduk hampir 6.000. Kemudian advokasi pengembangan P2TP2A ketika ada keperluan pada tiga unsur, unsur masyarakat, unsur dunia usaha dan unsur pemerintah. Kita harus punya manajemen, harus punya mekanisme, kerjasama yang terukur yang kemudian ini bisa dipertanggungjawabkan kaitannya dengan pengayaan dan akses mata anggaran yang beda sehingga kemudian tidak menjadi masalah bagi pejabat masalah teknis keuangan. Yang berikutnya adalah kerja jamaah tidak bisa hanya kerja pemerintah, tadi Kak Samsidar sudah katakan bahwa kita harus bergerak bersama-sama untuk melakukan satu rekayasa mengubah situasi dan kondisi bukan berbicara pada saat kasus terjadi. Tetapi mengapa dan bagaimana mencari akar masalahnya? Melakukan suatu upaya untuk membangun edukasi pada masyarakat agar sedini mungkin bisa menjaga diri, mencegah. Bapak-ibu sekadar untuk diketahui misalnya ada Qanun No. 10 tahun 2008 tentang 18 Perkara, baru-baru ini kami melatih sekitar dua puluh aparat gampong. Mereka tidak pernah tahu tentang Qanun ini bahwa ada hal-hal, kasus-kasus perkara termasuk kasus-kasus kekerasan seksual yang harusnya tidak menjadi ranah mereka untuk diselesaikan baik internal maupun eksternal. Ingin kami sampaikan juga beberapa kendala lapangan khususnya yang dialami oleh teman-teman pendamping baik sebagai psikolog, sebagai paralegal, sebagai pengacara kami menghadapi masalah hari ini yaitu belum memiliki rumah aman. Ada rumah aman yang berada di bawah koordinasi Dinas Sosial tetapi kriterianya tidak bisa menampung korbankorban kekerasan yang kita tangani sepenuhnya. Jadi kita memang butuh konsep rumah aman yang lebih komprehensif. Untuk provinsi dalam waktu dekat kemungkinannya kita bisa menggunakan fasilitas gedung P2TP2A. Alhamdulillah ini juga berdasarkan perjuangan bersama kita sudah punya kantor yang cukup komprehensif dengan tiga lantai dan luas yang sangat lumayan. Salah satu lantainya akan kita gunakan sebagai center sementara tetapi itu juga tidak sepenuhnya menjawab persoalan, kenapa? 28 Ternyata dari pengalaman kami selama ini proses rehabilitasi dan reintegrasi kepada korban itu juga menjadi masalah. Kasus yang terbaru bagi P2TP2A Kota Banda Aceh baru melahirkan masa darurat mungkin sepuluh hari tetapi bagaimana setelah sepuluh hari ini apa yang akan kita lakukan? Bicara soal aparatur gampong kami sebenarnya pada forum hari ini, aparatur gampong mungkin beberapa diantaranya bisa ikut diskusi ini, supaya mereka juga bisa mendapatkan wawasan begitu juga dengan aparat penegak hukum. Aparatur gampong dari pengalaman teman-teman sering melakukan bujuk rayu kepada korban agar tidak membawa kasus ini ke ranah hukum dan mereka ternyata mendapatkan bayaran dari pelaku. Kami pernah menemukan kasus pak keuchiknya dibayar dua puluh juta oleh pelaku sehingga kemudian membujuk korban untuk tidak meneruskan, “Kita diam-diam saja,” katanya. Ada juga kebijakankebijakan desa karena faktor relasi kuasa karena ketidakpahamannya memilih untuk mengusir korban bukan mengusir pelaku. Padahal kalau kita bicara kesadaran saja itu pelaku yang harus diusir bukan korban, apalagi kalau statusnya korban itu hamil itu menjadi lebih berat. Kaitannya dengan aparat penegak hukum, secara umum walaupun tidak semuanya, penyidik kepolisian maupun kejaksaan jarang ada yang mau menggunakan satu alat bukti dan ini menjadi masalah. Anehnya, akhirnya kadang-kadang yang dihadirkan untuk menghadirkan alat bukti baik saksi itu adalah pelaku. Kami di P2TP2A ini yang kerepotan mencari, ya tapi situasinya memang seperti itu. Kemudian juga perspektif hakim terhadap korban dalam pemeriksaan perkara seringkali masih melontarkan pertanyaanpertanyaan yang sangat tidak pantas dan mengiris hati korban karena sangat miris dengan pertanyaan-pertanyaan yang sangat vulgar, dengan pertanyaanpertanyaan, “Anda menikmati?”, “Kalau lebih dari satu kali anda pasti menikmati?” Saya ingin mengatakan tulisan ini saya angkat berdasarkan pengalaman temanteman, Kak Dina Ketua P2TP2A mengatakan bahwa untuk penegak hukum bahkan pendamping haruslah cerdas, kreatif, dan juga sensitif untuk mengungkap kasus, kenapa? Ketika itu kita punya, artinya pendamping itu harus punya skill yang lebih yang akan memengaruhi kebijakan, memengaruhi keputusan dan itu sudah kita buktikan. Tahun 2013 ketika kita fokus untuk pendampingan kasus itu sulit sekali masuk ke persidangan, misalnya. Sulit sekali untuk bertemu dengan aparat penegak hukum tetapi ternyata berdasarkan hubungan emosional, sering kali dilihat, seringkali datang, ini berimbas pada hubungan yang akan sangat menguntungkan bagi korban. Misalnya dulu ya, pada 2013 putusan yang diberikan penegak hukum itu rata-rata 4 sampai 6 tahun ya. Tetapi di tahun ini malah ada tuntutan putusan hakim itu yang melebihi dari jaksa, dituntut 20 tahun dengan denda 5 M itu belum pernah terjadi. Artinya jaksanya sudah mulai, ketika kita memang sudah melakukan pendekatan-pendekatan. Kemudian yang berikutnya teman-teman di lapangan itu menurut kami sudah banyak mencapai catatan keberhasilan walaupun masih punya banyak masalah yang tetap harus kita selesaikan. Bahwa bicara tentang 29 membangun jaringan dengan lintas sektor pemenuhan hak-hak anak korban kekerasan, satu tadi sudah ada mulai muncul keputusan-keputusan yang sudah cukup adil walaupun masih dengan catatan. Kemudian juga ketika mampu melakukan lobi dan negosiasi pada saat kita kehabisan anggaran untuk penanganan kasus di P2TP2A maka misalnya jaksa bisa mengalokasikan dana untuk menghadirkan pengacara, ini yang sebelumnya tidak pernah ada. Jadi kita dengan ini bisa melakukan pressure, “Pak kami sudah tidak punya duit, anda punya kewajiban kalau memang kami harus hadir, kami akan hadir kalau difasilitasi oleh kejaksaan yang bersangkutan,” dan ini sudah mulai terjadi. Kemudian yang berikutnya dana untuk pembuktian sudah mulai ditanggung oleh aparat penegak hukum dan kerjasama untuk melakukan rujukan. Bahwa di provinsi, misalnya, Rumah Sakit Zainal Abidin sudah punya Poli KDRT, Rumah Sakit Ibu dan Anak menerima rujukan korban kasus perempuan dan anak gratis, PPT Rumah Sakit Bhayangkara juga seperti itu. Tapi yang masih menjadi persoalan adalah dana untuk melakukan visum. Visum secara gratis ini masih menjadi persoalan apalagi di 23 kabupaten/kota. Kalau hari ini misalnya Rumah Sakit Bhayangkara melakukan visum itu berdasarkan dana yang ditempatkan Badan Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi Aceh. Barangkali ini beberapa hal yang dapat kami sampaikan dengan satu harapan bahwa kami sangat menerima untuk menerima masukan. Ya, ini adalah kerja bersama dan kami tidak mungkin bisa sendiri melakukan ini. Dengan terus mendorong partisipasi yang tinggi dari masyarakat, di samping secara internal dan eksternal kita harus melakukan penguatan kapasitas, memperluas jaringan kerjasama dengan sejumlah organisasi dan lembaga, dan mengintegrasikan isu ini, misalnya dalam kurikulum Dinas Pendidikan ya. Membangun kerjasama, misalnya, ketika kabupaten/kota mengeluhkan tentang ketiadaan pengacara maka harus ada kerjasama dengan Fakultas Hukum, misalnya, supaya ada alokasi beasiswa untuk kemudian ketika selesai sarjana, mereka diberikan pendidikan khusus untuk menjadi paralegal yang sensitif terhadap korban. Begitu juga dengan Fakultas Psikologi Unsyiah misalnya, kenapa? Karena kabupaten/kota tidak punya psikolog-psikolog. Jadi mudah-mudahan ini bisa diperbaiki ke depan sehingga kita bisa melakukan dan khususnya kami bisa memenuhi hak korban yang lebih berkeadilan. Demikian terima kasih, lebih dan kurang saya mohon maaf, wassalammu’alaikum wr. wb. Anita Dhewy (Moderator): Terima kasih Ibu Amrina, paparan tadi membuka mata kita ya bagaimana kompleksnya persoalan kekerasan seksual ini, banyak sekali hambatan-hambatan, tantangan-tantangan yang ini menjadi kerja bersama kita. Kita akan mendengar ulasan dari ibu Khairani yang akan mengupas soal bagaimana sebenarnya kontribusi dari feminis legal theory atau teori hukum feminis bagi lahirnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Kepada Ibu Khairani saya persilakan, lima belas menit ke depan, terima kasih. 30 DISKUSI “Feminist Legal Theory (FLT) menggugat hukum yang menggunakan pola pikir dan logika patriarkis”-Khairani Arifin Khairani Arifin (Dewan Pembina Pusat Studi Gender Universitas Syiah Kuala) Terima kasih Anita, Assalammu’alaikum wr. wb. Segala puji bagi Allah SWT, sholawat salam keharibaaan Rasulullah SAW. Selamat pagi dan salam sejahtera buat kita semua. Bapak ibu sekalian hari ini saya pikir sedikit istimewa ketika saya berangkat dari rumah tadi, saya pikir yang hadir adalah orang-orang yang berbeda ternyata yang hadir adalah orang-orang yang seperti ini terus-menerus di setiap pertemuan. Selamat datang pejuang, ya dimana-mana orangnya cuma ini saja. Saya berharap ada orang lain yang tertarik untuk mendiskusikan diskusi seperti ini di masa depan. Baik, Ibu Samsidar sudah menyampaikan banyak hal tentang mengapa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini begitu penting dilakukan sekarang dengan berbagai upaya yang dilakukan oleh teman-teman Lembaga Pengada Layanan juga Komnas Perempuan dan teman-teman lain yang sudah saya katakan. 31 Amrina sudah banyak sekali memaparkan tentang kondisi-kondisi korban yang ada di Aceh berikut upaya-upaya pemerintah yang sudah dilakukan. Walaupun sampai kini kita masih mendengar korban masih menjerit-jerit, memohon agar hak-hak mereka dipenuhi, baik hak hukum, ekonomi maupun hak pemulihan yang lain. Kalau berbicara mengenai feminist legal theory sebenarnya kita bisa melihat banyak contoh persoalan-persoalan hukum yang berada dalam peraturan hukum kita. Tadi Samsidar sudah menyampaikan banyak hal yang terkait dengan ini, di KUHP sendiri banyak sekali hukum yang patriarki. Ia hanya mengenal bentuk pemerkosaan yang sifatnya itu eksklusif, dia benar-benar hanya dengan menggunakan penis dan sebagainya, tidak mengenal model-model kekerasan seksual yang lain, kemudian untuk pembuktiannya juga sangat rumit di mana harus ada visum kemudian yang berikutnya harus dengan dua orang saksi yang sulit sekali diperoleh oleh korbannya. Di lingkup KDRT juga membahas perihal kekerasan seksual tetapi itu hanya terbatas yang terjadi dalam rumah tangga. Kemudian dalam Undang-Undang Pornografi disebutkan juga oleh Ibu Samsidar di mana perempuan itu malah dikriminalkan menjadi pelaku tidak dapat melihat bagaimana kondisi relasi kekuasaan di dalam prosesnya. Kemudian Aceh sendiri, kita juga kaya akan pengalaman-pengalaman yang kalau kita kaji Qanun Jinayah, misalnya Qanun No. 6 tahun 2014 di situ juga diatur mengenai kekerasan seksual khususnya pemerkosaan kemudian pelecehan seksual. Tetapi sekali lagi kita menemukan bahwa budaya patriarki ada di belakangnya, mengapa? Perspektif penyusunnya itu masih pada perspektif pelaku dan melihat bagaimana cara menyelamatkan pelaku. Contohnya adalah misalnya pasal yang berbicara mengenai apabila pelaku bersumpah bahwa tidak melakukan pemerkosaan dan sebagainya maka hakim bisa mengatakan melepaskan dia dari tuntutan. Ini kan tujuannya untuk melindungi laki-laki baik-baik atas tuduhan dari melakukan kekerasan seksual. Ini adalah contoh-contoh bahwa hukum itu disusun dan dibuat oleh orang-orang yang masih memegang budaya patriarki di belakangnya dan masih banyak lagi peraturan-peraturan hukum yang lain yang bisa membuktikan bahwa hukum itu patriakis, maaf kalau nanti salah. Untuk konteks Aceh saya sudah mengulang bagaimana peraturan tadi berkontribusi menciptakan kekerasan, diskriminasi, dan sebagainya. Kalau tadi yang disampaikan oleh Ibu Amrina tadi kita punya pusat layanan yang sudah diperkuat dan sebagainya, kita masih melihat bahwa kasus kekerasan seksual ini dicatat oleh Jaringan Pemantau Aceh dalam catatan tahun lalu. Tahun 2015 disebutkan bahwa kekerasan seksual yang ada di Aceh ini pelakunya tidak tersentuh oleh hukum. Mereka masih bebas berkeliaran padahal korban sudah mengaku dan menunjuk pelaku bahwa dialah yang telah melakukan pemerkosaan kepada saya. Tapi itu oleh kepolisian tidak pernah dijadikan bukti karena tadi dibutuhkan visum kemudian dibutuhkan dua orang saksi dan korban tidak bisa menyediakan saksi itu. Ini sepenuhnya dilema kita ke depan untuk pemenuhan hak korban. Kemudian banyak sekali kasus kekerasan seksual yang diselesaikan melalui mekanisme adat dengan mengacu pada Qanun No. 10 tahun 2008 mengenai penyelesaian kasus-kasus secara adat yang ada 18 itu. Nah ketika kasus diselesaikan secara adat, Ibu Amrina mengatakan tadi 32 bahwa perspektif aparatur penegak hukum sedikit sekali yang punya keberpihakan terhadap korban. Sehingga putusanputusan pengadilan itu hanya menikahkan korban dengan pelakunya, membayar ganti rugi kepada korban dan selesailah. Menganggap bahwa kekerasan seksual itu adalah jual beli, kekerasan seksual itu adalah transaksi. Sama sekali tidak melihat dampak baik secara fisik, psikologis, dan sebagainya kepada perempuan itu dan semua orang merasa puas termasuk keluarga korban. Di Simbuluh, misalnya, guru memerkosa muridnya sendiri dan ia guru agama kemudian hanya membayar sepuluh juta kepada keluarga korban maka dia sudah selesai dengan itu. Sayangnya kepolisian juga ikut menangani berita acara penyerahan uang itu. Persoalan seperti ini misalnya membuat hukum kita ini sangat patriarki. Kemudian hukuman bagi pelaku juga masih ringan. Tadi Bu Amrina bilang memang benar hakim sekarang sudah melihat bahwa kasus kekerasan seksual adalah kasus yang serius dan hukuman yang cukup besar sampai dengan ancaman dua puluh tahun, bagus sih kami bangga dengan itu. Tetapi kalau acuannya masih KUHP ini hanya bisa menjerat kekerasan seksual yang sifatnya eksklusif, khusus yang menggunakan kelamin, lagi-lagi padahal kekerasan seksual lebih luas, lebih jauh, dari yang Samsidar sampaikan tadi ada delapan bentuknya. Kita juga senang dan bangga ya bahwa BP3A itu sudah cukup memperkuat lembaga layanan tapi tidak bisa dipungkiri P2TP2A banyak yang mati suri di kabupaten/kota. Jadi kalau kita datang ke sana masih melihat bahwa P2TP2Anya belum berjalan. Padahal Aceh adalah lumbung dana tetapi kita tidak/belum bisa mengalokasikan anggaran untuk pelayanan korban kekerasan di Aceh khususnya agarn penanganan itu bisa berjalan dengan baik. Jadi sayang sekali uang 13 triliun dalam satu tahun anggaran saja P2TP2A hanya dua puluh juta untuk korban yang jumlahnya sangat banyak sekali di daerah itu. Benar-benar sangat tidak masuk akal menurut kita, menurut mereka masuk akal, menurut kita tidak. Di komunitas kita ada dua hal yang terjadi yaitu pemerintah mendiskusikan persoalan kekerasan seksual ini sering disebut memalukan. Kalau kita diskusi dengan pemerintah kota seringkali mengatakan di wilayah kami tidak ada kekerasan, semuanya baik-baik saja dan aman-aman saja. Kadang-kadang, maaf ya Bu Amrina, BP3A sendiri yang ada di sebelah saya bahkan beliau juga menganggap hal yang sama. Jadi bahwa, “Jangan mendiskusikan inilah, kita diskusikan saja tentang pornografi jadi perempuan seharusnya berpakaian dengan benar dan sebagainya, dan sebagainya,” itu masih terjadi di tengah-tengah kita. Berikutnya masyarakat masih menganggap kekerasan seksual adalah aib jadi harus ditutupi. Untuk bisa menutupi apa namanya kehidupan sosial yang lebih nyaman, aman di desa, sama sekali tidak memerhatikan perasaan, kehidupan dan rasa keadilan korban, itu sedikit sekali dan dampaknya pasti banyak. Kawan-kawan pasti tahu dalam keseharian kita karena di sini yang hadir adalah orangorang yang selama ini memang melakukan ini semua. Masih ada diskriminasi, pengabaian, kesenjangan hak dan biasanya pelaku lebih diuntungkan karena aparatur penegak hukum baik di tingkat gampong maupun di tingkat yang lebih formal sifatnya belum bisa meninggalkan cara berpikir atau pola berpikir yang patriarkis. 33 “Konsep feminist legal theory ini sampai hari ini belum banyak dikenal di tingkat universitas atau di tingkat lain, sehingga hukum yang diproduksi bias gender” Lalu apa sumbangan dari feminist legal theory? Kita melihat bahwa konsep-konsep untuk melihat hukum secara lebih adil dalam berbagai pandangan bukan hanya pandangan-pandangan patriarki itu mulai dikembangkan. Jadi orang mulai melakukan kritikankritikan terhadap aturan hukum itu baik dari tulisantulisan, konsep-konsep terus dibuktikan bahwa hukumhukum yang dibuat di Indonesia, di daerah maupun di dunia itu harus merepresentasikan kebutuhan, pengalaman, masalah dan juga masukan-masukan perempuan. Jadi bukan hanya hukum yang apa namanya, biasanya hukum-hukum itu yang dibuat oleh legal drafter yang masih menyimpang dengan budaya patriarki yang masih menguasai. Tidak bisa dipungkiri kan oleh kita, kalau di DPR, misalnya, berbicara dengan mereka, kepentingan-kepentingan individu, kepentingan-kepentingan kelompok, kemudian budaya-budaya yang ada di tengah mereka itu akan turut menjadi apa namanya hukum. Mereka akan menggunakannya untuk kepentingan-kepentingan melanggengkan kekuasaan itu, nggak bisa dipungkiri. Maka diharapkan selalu bahwa ada orang lain dengan pandangan yang berbeda, ada perempuan yang hadir dengan pengalaman yang berbeda mewarnai hukum sehingga dia lebih adil buat semua orang. Kemudian konsep-konsep feminist legal theory ini sampai hari ini belum banyak dikenal di tingkat universitas atau di tingkat lain. Jadi kritikan hukum itu sebagian besar ditujukan pada kritikan keadilan, ya apa namanya, bias gender. Dari pandangan-pandangan feminist legal theory menyebutkan memang benar kebijakan-kebijakan itu selalu mementingkan pertimbangan pembuatnya nggak mungkin enggak. Justru itu, kita merasa bahwa banyak kebijakankebijakan yang disebut, yang kita saksikan tadi maupun yang saya sampaikan di slide yang panjang tadi itu menjadi bias gender. Dan kemudian sama sekali tidak berpihak pada kepentingan perempuan. Dari banyak tulisan dan termasuk yang ada pada Jurnal Perempuan, dari banyak tulisan kita melihat bahwa tulisan-tulisan feminist legal theory berikhtiar dari pentingnya pengalaman perempuan dalam proses-proses hukum baik penyusunannya maupun substansinya. Kedua, perlu disebutkan bahwa semua peraturan yang dibuat itu bias gender walaupun tidak disebut secara eksklusif tapi dia implisit. 34 Kalau kita lihat seolah-olah apa namanya ketika diatur mengenai pakaian perempuan itu seolah-olah bisa melindungi perempuan. Justru nanti akhirnya malah apa namanya mencerabut hak-hak perempuan jadi seperti ini terusmenerus. Kemudian cerita, konsep yang dibangun diharapkan ada reproduksi dari model dominasi laki-laki dalam isu dari substansi sebuah hukum itu. Terusmenerus disebutkan oleh penulis, penyusun konsep dan sebagainya bahwa apapun yang terjadi dengan perempuan terkait dengan kekerasan seksual itu tanggung jawabnya sendiri. Sering kita menghadiri pertemuan, pesertanya sering bilang kalau ada pemerkosaan yang salah ya perempuannya, kenapa? Karena dia tidak bisa menjaga marwahnya, perempuan genit terus perempuan berpakaian tidak benar, perempuan memakai make up yang tebal, selalu itu yang didiskusikan. Artinya apa? Kalau terjadi sesuatu diharapkan perempuan bertanggung jawab atas kenakalannya. Nakal, nggak berpakaian dengan baik. Nakal, tidak berperilaku dengan baik. Nakal karena keluar malam. Nakal itu semuanya jadi itu tanggung jawab mereka. Saya juga mengutip beberapa contoh di dalam buku ini menurut saya itu harus menjadi pertimbangan kita semua ya, Diah Irawaty, misalnya, saya suka sekali membaca beberapa tulisan di sini. Mudahmudahan Jurnal Perempuan ini juga dipakai juga oleh Pak Saleh di jurusan Humas Fakultas Hukum kemudian Fakultas Ilmu Sosial dan Politik juga menggunakan ini untuk mengupas berbagai persoalanpersoalan politik, sosial dan sebagainya yang berdampak pada kekerasan terhadap perempuan. Yang kemudian berdampak pada munculnya hukum-hukum yang bersifat diskriminatif. Mengapa negara mengabaikan korban? Kalau kata Diah Irawaty ini tidak terlepas dari pola pikir yang melihat kekerasan seksual sebagai risiko dari suatu relasi kekuasaan patriakal di antara pelaku dan korban. Jadi risiko, jadi kita melihat bahwa kalau kamu nggak pakai baju yang benar maka pantas diperkosa, kamu pacaran dengan laki-laki pantas kamu dilecehkan, dan sebagainya, seperti itu ujungnya. Mereka menganggap kekerasan seksual itu bukan apa-apa. Kemudian bagaimana hukum menjawab? Itu juga yang dibahas, di sini banyak ya, kalau kata Azriana, ini teman saya dari kuliah sampai dengan kami sama-sama di RPuK, sekarang dia menjadi Komisioner, Ketua Komnas Perempuan. Katanya, undang-undang yang ada sekarang belum mampu menjawab kebutuhan korban dan aparatur penegak hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual masih bersifat pasif, menunggu korban melapor, mengumpulkan alat bukti, dan sebagainya, ya mereka pasif seperti itu dengan bilang kami tidak menemukan buktinya, bereslah. Nah kemudian satu lagi, katanya hukum-hukum yang ada sekarang itu ditulis, dinarasikan oleh lakilaki, otomatis kalau dia menulis hukum tujuannya memperkuat dan melestarikan relasi sosial yang patriarkis yang ada di kepalanya. Sehingga hukum yang ditulis itu akan bias dan berdampak pada larinya tujuan dari hukum sendiri yaitu untuk memberi perlindungan. Selain itu adalah ini penting banget menurut saya, tulisan-tulisan kita, konsepkonsep feminist legal theory itu yang melihat itu terbatas dan pembaca terbatas. Jurnal Perempuan sepertinya ini harus mengopi banyak dan memaksa anggota dewan baca bab satu, baca bab dua agar tidak menjadi hiasan di lemari mereka dan kita juga tidak mendapatkan apa-apa. Tapi gerakan sosial yang mendorong agar RUU 35 ini ada didukung oleh teori-teori feminis, hukum feminis itu banyak gunanya. Buktinya adalah nah ini besar sekali gaungnya di mana aksi-aksi di seluruh Indonesia untuk mendesak diberlakukannya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual itu sangat bunyi sekali. Aceh sendiri kemarin ketika aksinya dilakukan itu yang datang bukan hanya aktivis seperti hari ini tapi ada pemerintah, ada orang-orang lain banyak sekali mereka tertarik dengan isunya. Jadi saya pikir koordinasi antara aksi-aksi yang seperti ini ditambah dengan penguatan konsep-konsep teori hukum feminis akan semakin bagus. Hasilnya sudah banyak seperti dikatakan masuk ke Prolegnas RUUnya, tapi nggak tahu juga Prolegnas itu biasanya disusun banyak, dibahas nanti lama. Sekarang menyenang-nyenangkan kita saja ke Prolegnas, masuk nih kita sudah berbangga hati. Tapi saya setuju dengan Samsidar tidak perlu terburu-buru memasukkan undang-undang ini pada DPR kemudian mereka menjadikannya Undang-Undang Pornografi kedua. Ada baiknya kita menyelesaikannya dengan baik, menyusun dengan maksimal, mengadvokasi secara baik sehingga yang kita harapkan akan terjadi. Katanya juga Jokowi mengatakan bahwa mengharapkan akan segera mengeluarkan Perppu, ini saya baca di media, saya belum mendapatkan konfirmasi dari penyusunnya, Ibu Samsidar. Dalam konteks Aceh sendiri ini menarik, di beberapa waktu lalu bicara kekerasan seksual itu nggak mudah selalu ada resistensi-resistensi yang mengatakan bahwa ini isu tidak penting, ini salah perempuan, dan sebagainya. Tapi setelah kasus ini muncul diaksikan, saya bicara di media di pertemuan ketiga, bicara mengenai kekerasan seksual, wah bagus sekali saya merasa dukungan itu luar biasa, nggak ada resistensi sedikitpun, nah itu adalah hal yang positif. Jadi mereka mengatakan bahwa kita harus mendukung upaya-upaya penghapusan kekerasan seksual. Ini yang lain saya pikir, waduh kok hari ini saya aman sekali, biasanya ada saja yang tidak suka, marah dan sebagainya, ini adalah yang lain. Nah peluang kita banyak, Undang-Undang Dasar 1945 ada, CEDAW pasal 2 menyebutkan bahwa pemerintah diwajibkan untuk membuat undangundang apabila kondisi itu dibutuhkan dan sebagainya. Kemudian konteks aceh kita punya Qanun No. 6 tahun 2009 dan No. 11 tahun 2008. Bagaimana menginternalisasikannya? Konsep-konsep yang ada dalam feminist legal theory dengan apa yang terjadi kalau menurut saya ada empat hal. Pertama adalah kita bisa menginternalisasi konsep-konsep ini dalam proses penyusunan, bagaimana partisipasi perempuan dipastikan hadir, ada, dan dia hidup dan dia bunyi dalam proses penyusunan undang-undang bukan di luar forum. Paling enggak kita menjadi staf ahli di DPR, staf ahli di mana dan itu bisa dikatakan kita bunyi. Kedua, substansisubstansinya itu harus dikawal dengan maksimal dengan memasukkan konsepkonsep feminist legal theory di dalamnya sehingga nanti tidak ada substansi yang diskriminatif. Berikutnya penting juga saya pikir mengatur dengan baik mengenai kesiapan aparatur, banyak sekali kasusnya peraturannya sangat baik tetapi begitu di lapangan gak bisa diimplementasikan, kenapa? Karena aparatur tidak siap melaksanakannya. 36 “RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini bukanlah tujuan tetapi alat bagi kita untuk mencapai tujuan yang lain yaitu keadilan gender” Berikutnya adalah kesiapan sarana dan prasarana, anggaran kemudian fasilitas dan sebagainya baru undang-undang ini bisa terwujud dengan baik dan sumbangan dari kita mungkin bisa membuat indikator atau membuat apapun yang bisa dipakai secara teknis karena pemerintah itu selalu nggak mau rumit dengan teori-teori sukanya yang praktis. Jadi sudah saatnya semua pihak melihat bahwa konsep-konsep yang ada pada feminist legal theory ini menjadi acuan semua ketika menyusun peraturan perundang-undangan. Kemudian tidak lagi alergi dengan kata feminis, gender, dan sebagainya karena realitasnya adalah kita berada pada budaya yang terus melemahkan peran dan fungsi perempuan. Jangan lupa juga kita memperjuangkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini bukanlah tujuan. Kalau ini menjadi tujuan itu sangat mudah tetapi ini adalah alat bagi kita untuk mencapai tujuan yang lain yaitu keadilan gender. Jadi kalau begitu jika ini masalahnya tidaklah gampang, setelah undangundangnya disahkan pun kita masih punya PR yang besar sekali agar dapat mendorong tujuan kita tercapai. Menurut saya semuanya nggak mudah, tapi bukan tak mungkin. Jadi tak mudah, tapi bukan tidak mungkin. Saya juga sepakat ketika perempuan bersatu nggak bisa dikalahkan, terima kasih, assalammu’alaikum wr. wb. Anita Dhewy (Moderator): Ya, baik kita sudah mendengar paparan dari ketiga pembicara, baik dari fakta-fakta hukum yang ada juga fakta-fakta sosial dan apa langkah-langkah yang sudah dilakukan pemerintah. Sekarang kita masuk pada sesi diskusi, kami buka forum untuk peserta yang ingin mengajukan pertanyaan. Silakan angkat jari, kita ada waktu sekitar tiga puluh menit ke depan. Untuk sesi yang awal, saya beri kesempatan pada tiga penanya, silakan sebutkan nama, dari mana dan ditujukan ke siapa. 37 6 SESI TANYA JAWAB Penanya Pertama—Suraiya Kamaruzzaman Terima kasih, saya Suraiya Kamruzzaman, ah ini menarik tadi ada teman perempuan ikut pertemuan ini lalu dia memposting di grup whatsapp akademisi yang minimal anggotanya master, rata-rata doktor, sekolahnya Australia, Jepang, Amerika, dan seterusnya. Jadi dia membuat sedikit pengantar dan menjelaskan ini lalu yang merespons semuanya laki-laki, mulai dari soal pakaian, pakaian perempuan begini-begini, ditambah lagi perempuanperempuan Aceh sekarang duduknya di kafe, dan segala macam. Akhirnya saya kesal karena mereka bawa ayat dan segala macam ayat. Lalu saya bilang, bukankah Tuhan itu maha adil, bukan cuma perempuan yang diatur masalah pakaian, laki-laki juga diatur untuk menundukkan pandangan, itu pertama kalau bicara agama. Yang kedua bagaimana anak umur dua tahun diperkosa, lima tahun diperkosa, apa urusannya dengan pakaian? Masih terus… nah, ini konteksnya dan itu terjadi yang saya ingin dapat masukan apa yang bisa kita lakukan? Karena ini diskusi bukan hanya di ruangan ini, kita sudah bolak-balik dan menyebar di mana-mana dengan cara yang model begitu. Kebetulan bagaimana bagi yang tidak hadir, kebetulan tadi ada kawan yang hadir jadi bisa komunikasi tapi banyak forum yang tidak ada teman yang concern tentang masalah ini dan itu di forum akademisi. Nah saya ingin mendapat masukan, mungkin dari pengalaman-pengalam peneliti dan kita bisa melakukan karena kita harus mulai dari kampus. Seperti yang tadi Kak Rani bilang, kalau dosen-dosen kemudian menyebarkan isu ini ke mahasiswa, mahasiswa kan generasi muda jadi akan ada perubahan yang luar biasa sebenarnya. Makasih. 38 Penanya Kedua—Ida Keumala Jempa (Dosen FH Unsyiah) Assalammu’alaikum wr. wb. Saya pertama menanggapi dulu statement-nya Ibu Rani ya, atau mengabari juga yang hadir, tadi kan Ibu Khairani mengatakan agak kecewa karena yang datang pejuang-pejuang dan pemain lama ya? Saya merasa mewakili pemain-pemain baru dan mudahmudahan sebagai pemain baru, pertanyaannya dapat dimaklumin juga karena pertanyaannya mungkin terlalu dangkal. Saya melihat begini, ini tidak menunjukkan ke salah satu pembicara tapi bisa sekalian karena saya ingin banyak ilmu yang bisa dibagi gitu. Saya memang punya background bidang hukum pidana, jadi ketika isu ini ditawarkan berminat untuk hadir karena memang ada kaitannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Kalau bicara hukum pidana mungkin ini kaitannya dengan hukum pidana yang sangat banyak, kita bicara pada dua hal yang pertama mengenai pidana materiilnya, jadi hukum pidana materiil mengatur mengenai perbuatannya, mengatur mengenai hukumannya dan juga bicara tentang hukum acara atau pidana formal. Nah tadi saya juga setuju bahwa kita tidak perlu terburu-buru karena ini isunya memang lagi booming ya, artinya ini lagi booming, kapan-kapan sebentar lagi adem lagi, kalau sudah selesai, kalau sudah ribut-ribut pesta usai juga. Jadi ini perlu ditingkatkan, artinya jika kita ingin membangun RUU ini yang kemudian nanti disahkan jadi undang-undang itu betulbetul berbeda dengan undang-undang yang berkaitan, seperti Undang-Undang Pornografi, UU KDRT, dan segala macam, ah ya UU Perlindungan Anak, satu lagi. Jadi saya ingin rumusan peraturan hukum pidana dirumuskan yang betul-betul berbeda dari yang sudah ada sebelumnya, kalau tidak nanti kita dikatakan melakukan hal yang tumpang tindih. Itu menyulitkan juga nanti ketika jaksa atau polisi membuat berita acara ataupun nanti dilanjutkan dengan surat dakwaan nanti kan ujungujungnya muaranya pada putusan pengadilan. Kalau surat dakwaannya sudah tumpang tindih nanti banyak perbuatan 39 pidana yang kita masukkan di situ, undangundang yang kita masukkan di situ. Kemudian ada beberapa perbuatan pidana, yang maaf sebelumnya saya tidak/belum membaca secara keseluruhan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual itu. Tapi mungkin beberapa hal yang harus bisa kita akomodir, misalnya apakah ini masih ingin kita katakan sebagai delik aduan? Itu harus kita pastikan kalau kita ingin mengatakan itu bukan delik aduan, itu harus tegas karena konsekuensi dari delik aduan itu pasti ada. Nah yang ditempuh oleh Undang-Undang KDRT adalah memperluas orang yang bisa mengadukannya, nah kalau kita mungkin hanya menyatakannya saja sebagai delik biasa, artinya itu tidak memerlukan pengaduan cukup laporan dan konsekuensinya jelas beda antara pengaduan dengan laporan. Kalau pengaduan bisa dicabut kalau laporan tidak bahkan kita bisa dikenakan laporan palsu. Nah kemudian restitusi terhadap korban itu juga harus tegas karena memang yang namanya KUHP, KUHAP ataupun undang-undang apapun itu sangat offender centris itu sangat mementingkan pelaku ketimbang korban. Dan bentuk restitusi korban kalau bisa jangan hukuman denda. Karena ini dilaksanakan misalnya di Undang-Undang Perlindungan Anak, itu dendanya memang sangat tinggi, enam puluh juta, delapan puluh juta, seratus juta tapi itu masuknya ke mana? Semuanya masuk ke kas negara, ujung- ujungnya undang-undang itu jadi macan ompong, dia hanya keras ketika di undang- undang namun ketika pelaksanaan itu masuk ke mana sekian ratus juta itu? Nah, itu maksud saya, kita harus pastikan bahwa denda yang kita masukkan itu bukan denda yang masuk ke kas negara, itu yang saya harapkan rumusannya. Maaf terlalu panjang, mungkin, ya kemungkinan perspektif hakim ini, ini harus ada apa ya roadshow atau kerjasama dengan pengadilan. Karena ada beberapa kasus yang menurut pendapat hakim, undangundangnya sudah mengatur baik, dendanya tinggi, misalnya atau hukumannya tinggi. Kemudian ketika diterapkan hakim menyatakan begini, yang paling tahu soal kemampuan pelaku itu adalah kami, ketika kami menyidangkan perkara. Jadi untuk apa kita menerapkan denda yang tinggi, toh pelaku juga tidak bisa memenuhi. Nah juga itu kan artinya ada miss-komunikasi antara pegiat atau pejuang penghapusan kekerasan dengan yang terjadi di dalam praktik. Soal satu lagi, saya heran juga ya masalah visum, kenapa masalah visum jadi biaya? kalau kita bicara hukum, visum itu adalah permintaan penyidik karena itu pengganti korban karena ketika dalam persidangan korban tidak perlu hadir, misalnya. Itu pengganti di persidangan untuk memeriksa korban karena nggak mungkin hakim di persidangan akan suruh buka baju korban, misalnya gitu, tetapi kenapa harus ada biaya di situ? Padahal itu memang penyidik yang harus lakukan karena permintaan penyidik. Kemudian satu lagi soal pemberitaan pers, ya, saya ingin kalau pemberitaan media itu tidak menjadi faktor kriminogen orang melakukan pidana. Diungkapkan caranya, modusnya yang justru membuat orang ingin melakukan. Kemudian saya ingin ada pemberatan hukuman, diatur kalau bisa pemberatan hukuman karena pelakunya, misalnya seorang pendidik, seorang ustaz, seorang guru itu ada pemberatan hukumannya. Demikian saja, wabillahi taufik wal hidayah wassalammu’alaikum wr. wb. 40 Penanya Ketiga—Murni (PNS di Puskesmas) Terima kasih, assalammu’alaikum wr. wb. Dari tadi saya mendengar pemateri, ibuibu tercinta ada di depan, memang kita selalu bertemu kemudian kita bahas lagi dengan Ibu Samsidar. Jadi ya mungkin sharing, yang selama ini Ibu Samsidar terus berjuang untuk berbagai hal yang terjadi pada perempuan dari dulu sampai sekarang dan banyak sekali yang kita suarakan tetapi belum maksimal dilakukan oleh pemerintah. Dan kemudian saya sendiri, Ibu Murni, saya bekerja di puskesmas kemudian saya sering sekali mengikuti forum ini dan meninggalkan tugas saya sebagai PNS, tidak lain karena panggilan hati nurani saya. Sampai saya meinggalkan dinas sampai saya dipotong kesejahteraan pun di puskesmas, saya tetap ke sini. Kami bekerja sebagai PNS, mungkin Ibu Amrina Habibi juga tahu kalau kami keluar kami dipotong kesejahteraannya. Namun saya tidak hiraukan hal itu karena isu kekerasan seksual ini jauh lebih besar, ini bencana nasional. Jadi saya rasa tidak mengapa kesejahteraan saya sebagai PNS yang bekerja di puskesmas dipotong untuk semangatin Ibu Samsidar. Dengan apa yang kita lakukan selama ini, tidak begitu wah di masyarakat bahkan dapat kecaman. Saya yang selama ini rutin jadi paralegal dan saya di Desa Comalin, Kecamatan Ranintang Dua itu menjadi Ibu Keuchik. Saya selama menjadi paralegal bahkan sebelum menjadi paralegal dengan minimnya pengetahuan sebagai paralegal. Kita juga di sana tidak dihiraukan dan malah dikecam, itu seperti aksi mengadaada saja. Kami di kalangan Aceh Besar sendiri bahkan kalau saya lihat entah pemerintah tidak tahu tentang seberapa besar kekerasan seksual di Aceh besar ataupun minimnya pengetahuan masyarakat secara umum. Kemudian dengan Ibu Amrina Habibi, kami di Aceh Besar memang belum begitu berdenyut tapi P2TP2A dengan Ibu Erlina memang masih terus bergerak namun dengan luasnya wilayah Aceh Besar ini masih menjadi persoalan. Mungkin tiga ya paralegalnya. Saya mohon kemarin ada masukan untuk Pemerintah Kabupaten Aceh Besar, di mana saat menyusun struktur desa pelibatan perempuan itu harus ada. Apabila tidak ada saya mohon orang yang membuat kebijakan di Aceh Besar jangan menandatangani, mengapa? 41 Karena luasnya wilayah Aceh Besar membuat kami paralegal kesulitan. Dengan harapan adanya perempuan menjadi perpanjangan tangan kami, menjawab semua kasus-kasus yang tidak mampu kami jangkau. Kemudian dengan Ibu Khairani Arifin, ibu yang mulia, mungkin kami di sini orang yang sama terus tetapi hari ini ada ibu-ibu yang baru ya dan mungkin insya Allah di pertemuan yang akan datang akan ada ibu-ibu baru yang lain. Kemudian dengan Ibu Khairani, dengan wajah-wajah ini saja, saya mungkin sudah bosan ibu lihat selalu ada. Itu menandakan PR buat LSM, ini ada RPuK, WAPF, dan lainnya bahwa hari ini kita dengan forum-forum terus, bapak-bapak, ibu-ibu, tapi hari ini harus kita tunjukkan aksi di masyarakat. Kenapa saya bilang demikian? Karena kalau saya lihat secara keseluruhan, minimnya informasi yang didapat masyarakat. Di tempat saya sendiri kalau saya ngomong tentang perempuan, perempuan sendiri pasti bilang, halah ngapain itu kan bukan urusan besar. Jadi itu artinya masih minimnya informasi tentang penghapusan kekerasan seksual di masyarakat secara umum. Mungkin inilah tugas kita semua bukan tugas LSM saja atau pemerintah atau masyarakat. Tetapi ini adalah kerja jamaah, kerja kita semua. Apabila kerja masing-masing tidak akan terlihat aksinya perempuan dan dari dulu sampai sekarang banyak aktivis perempuan bekerja untuk perempuan namun kenapa tidak menggelora, tidak terlihat karena bekerjanya berkelompokkelompok. Nah kelompok inilah yang harus kita satukan untuk kita beraksi bersama di dalam satu komando, misalnya, bisa dikoordinir oleh ibu yang di depan sehingga kerja kita lebih terlihat, informasi yang kita sampaikan lebih sampai. Di mana hari ini ada pelatihan Bapak Keuchik mengenai penghapusan kekerasan seksual di masyarakat namun tidak sampai di masyarakat, saya pastikan. Saya di dua puluh enam desa Kecamatan Ronintang, seketika kami arisan ibu-ibu Keuchik, saya tanya satu-satu, tidak ada satupun sepulang, pula Pak Keuchik mendapat pelatihan. Informasi yang demikian ketika saya sampai di desa, desa tidak menyampaikan kembali informasi yang demikian ke masyarakat. Jadi saya mohon pemerintah jangan hanya memberikan pelatihan tetapi mengevaluasi kembali di masyarakat, sampai tidak informasi ini. Jadi sepulang pelatihan, Bapak Keuchik semua bahan disimpan di lemarinya. Nah itu juga bagian dari tugas kita semua, billahi taufik wal hidayah, assalammu’alaikum wr. wb. Anita Dhewy (Moderator): Baik, terima kasih ibu, kami berikan kesempatan kepada ketiga pembicara menanggapi pertanyaan dan pernyataan dari peserta, terima kasih. Samsidar (Pembicara): Terima kasih teman-teman yang sudah bertanya, tadi Suraiya menyampaikan kenapa ya? Ya itu tadi, kita yang mayoritas laki-laki bagian dari masyarakat kalau tadi budaya patriarki memandang perempuan termasuk soal seksualitas sebenarnya masih, kalau yang tadi kan sebenarnya sudah masuk ke misoginis ya, sudah kebencian, jadi bukan ke soal ketidakpahaman, sudah dalam ranah kebencian. Ya itu tadi sebenarnya saya melihat ke sisi defensif yang seolah-olah ini perang antara laki-laki dan perempuan padahal kita tidak sedang perang antara laki-laki dan perempuan. Karena apa? Dia merepresentasikan dirinya sebagai pelaku sehingga terjadilah defensif yang bukan sekadar defensif tetapi misoginis. 42 Kalau berdasarkan pengalaman dari teman yang pengalaman menghadapi itu sebaiknya dari teman-teman laki-laki. Nah saya melihat di beberapa tempat termasuk di Jakarta, ada band yang namanya Simponi yang terus-menerus mereka berkampanye, mereka mengusung bahwa ajarkan lelaki jangan perkosa bukan menyalahkan perempuan atas pakaiannya dan sekarang itu semakin banyak. Jadi memang, di sini ada Pak Saleh, Pak Bakti, dan yang lain, ya mungkin mereka lebih efektif berdiskusi dibandingkan dengan yang perempuan. Tadi dari Keumala Jempa, saya sudah lama sekali tidak jumpa dengan Kemala Jempa, yang pasti delik aduan. Dibentuk kejahatan seksual itu kan tadi ada delapan, jelas itu berbeda dari yang ada di KUHP, nah dari yang delapan itu, yang delik aduan itu cuma satu pelecehan seksual, yang lain itu delik umum. Nah ada ketentuan di dalam rancangan undang-undang ini bahwa laporan korban, korban yang melapor tidak bisa dikenakan sanksi, tidak bisa dikriminalkan. Ini yang menurut saya juga kita sudah belajar dari Qanun Jinayat di Aceh bahwa ketika korban tidak bisa membuktikan, dia kena apa artinya, dia seperti mengada-ada, itu satu ya, jadi itu jelas. Restitusi di dalam rancangan undangundang ini dia itu bukan diberikan kepada kas negara, restitusi itu adalah yang diberikan kepada korban, nah kalau negara itu sifatnya kompensasi. Kalau pelaku tidak bisa membayar restitusi di dalam rancangan undang-undang yang sudah digodok ini, dia harus bekerja untuk membayar dinilai secara upah sehingga korban itu tidak terbiarkan dan ketika dia tidak mampu melakukan bahwa di sini adalah tanggung jawab negara menggantikan restitusi. Jadi restitusi bukan diberikan ke kas negara tetapi diberikan untuk korban. Kalau hukuman pemberat itu jelas ada karena itu sebenarnya hal yang umum. Kalau soal perspektif di dalam rancangan undangundang ini termasuk di dalamnya kapasitas itu sudah diatur bukan hanya hakim, penyidik, jasa dan pengawas tetapi pendamping dan petugas medis pun dia harus punya syarat-syarat tertentu. Tadi kan seperti visum, harusnya memang visum gratis, nah visum gratis itu bisa apabila memakai regulasi pemerintah daerah, tapi untuk Aceh belum ada satupun mulai dari provinsi sampai kabupaten yang membuat regulasi visum gratis. Harusnya kalau tadi sudah ngomong darurat, ya salah satunya adalah visum gratis. Nah minggu lalu saya bertemu dengan salah satu Dirjen di Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), dia mengatakan bahwa kita sudah mendorong pemerintah daerah untuk membuat regulasi visum gratis. Jadi saya katakan itu sangat normatif, jadi coba diawasin, terimplementasi tidak? Nah sekarang, yang terjadi visum itu saweran jadi kalau polisi tidak punya dana, ya termasuk temanteman pengada layanan saweran untuk visum, itu satu sisi. Satu sisi lagi sebenarnya secara keilmuan visum itu membutuhkan keilmuan yang tinggi di kedokteran dan dia masuk di bagian forensik. Tapi kan tidak mungkin ahli forensik yang sangat sedikit itu yang melakukan, tetapi di kesehatan tidak melatih dokter-dokter umum untuk bagaimana melakukan visum khususnya untuk kekerasan seksual. Di dalam rancangan undang-undang ini dari mulai pendamping sampai ke sana harus punya kapasitas kalau tidak itu tidak mungkin berjalan juga. Saya rasa itu dulu, nanti teman-teman yang lain bisa menanggapi. Nah untuk ibu Murni, terima kasih kepada teman-teman yang sudah secara volunter menjadi paralegal komunitas dan dengan 43 kondisi kekurangan kita sebenarnya paralegal komunitas inilah yang menjadi ujung tombak untuk penanganan korban. Nah kesempatan ini saya ingin applause paralegal-paralegal komunitas. Jadi ini sebenarnya kalau dari pengalaman kami, kita sangat sedikit dan sebernarnya paralegal komunitaslah yang bekerja di garda paling depan dan tanpa ada insentif apapun. Kita catatkan hampir seluruh paralegal itu 95% adalah perempuan, jadi itu luar biasa ya. Tapi di satu sisi sedih kekerasan seksual ini dianggap urusan perempuan. Amrina Habibi (Pembicara): Bapak ibu sekalian yang berbahagia tadi yang disampaikan Kak Suraiya tadi realitasnya, jangankan aparatur gampong yang ada di tingkat pemerintah dan kalangan masyarakat umum, ternyata akademisi pun belum selesai. Nah ini tentunya di satu sisi menjadi hambatan, di lain sisi ini adalah peluang untuk melakukan diskusi-diskusi secara intens baik dalam bentuk diskusi tertutup maupun secara terbuka. Namun sampai saat ini masalahnya juga kita masih kurang tulisan-tulisan yang kemudian bisa dijadikan referensi buat mereka. Konon lagi kalau ada tulisan-tulisan kita yang secara rutin dimuat media, dan kemudian itu bisa dibaca oleh banyak kalangan. Kami pikir juga perlu bagi kita untuk memperbanyak tokoh-tokoh kunci dari kalangan laki-laki misalnya seperti Pak Bakti, tidak cukup hanya dengan Pak Bakti, tidak cukup hanya dengan Pak Saleh tapi kita harus memperbanyak kawan-kawan yang kalau kita lakukan pasti itu akan ada. Kemudian menyangkut dengan visum, idealnya memang visum itu gratis. Tapi kita sudah coba bangun hubungan dengan BPJS berkali-kali, Kak Dian Marina itu, kita sudah mencoba berkali-kali mendiskusikan ini tetapi sampai hari ini belum membuahkan hasil ya. Untuk mengantisipasi itu dari tahun 2007, Badan Pemberdayaan Perempuan itu memberikan pagu khusus untuk menempatkan dana visum walaupun terbatas di Rumah Sakit Bhayangkara dan itu lumayan tinggi, satu kasus itu empat ratus ribu. Kami ingin mengatakan ketika P2TP2A itu sudah aktif memberikan pelayanan sudah ada perubahan ya, tidak lagi empat ratus ribu tetapi kita hanya membayarkan jasa dokter yang kita hitung perbulan. Jadi menjadi lebih murah dan membuka akses pada korban. Tidak lagi dilihat kalau kita anggarkan dua puluh orang maka hanya bisa memeriksa dua puluh orang. Tetapi dengan mencari celah membayar jasa dokter maka berapapun korban tetap bisa divisum. Masalahnya juga adalah bagi korban yang berasal dari kabupaten/kota, ketersediaan tenaga untuk melakukan visum juga sangat terbatas sehingga kemudian mereka merujuk ke provinsi. Katakanlah biaya visumnya gratis, tapi biaya pemberangkatan korban dengan pendamping ini juga menjadi persoalan dan ini juga butuh advokasi. 44 Kami secara pribadi ingin mengatakan bahwa masih banyak tantangan seperti Kak Khairani katakan bahwa masih banyak pejabat di lingkungan Badan Pemberdayaan Perempuan yang mungkin belum sesuai dengan harapan kita bersama. Tetapi kenapa ini terjadi? Yang pertama bahwa unsur politis itu masih sangat memengaruhi. Yang kedua bicara soal kompetensi, kompetensi secara umum mungkin tidak jadi persoalan. Tetapi kalau mau ditelisik lebih lanjut, kompetensi khusus, belum lagi yang punya sikap perspektif korban, keberpihakan kepada kerja-kerja kemanusiaan. Ini kemudian menjadi peluang advokasi bahwa penempatan figur, pejabat di lingkungan ini harus ada standar, harus ada kriteria yang dikenal dengan kompetensi dan itu perlu advokasi bersama. Kemudian juga soal sistem dan rekrutmen, budaya mutasi yang sangat tinggi di Provinsi Aceh ini berpengaruh pada pejabat, pada komitmen mereka. Kita sudah melakukan capacity building itu tiap tahun karena mungkin orangnya sudah berganti. Ada orang yang kita anggap sudah cukup komitmen, kerjanya bagus dan menaruh harapan besar, kemudian diganti dan ketika diganti tertutup kemungkinan untuk dia juga memberikan intervensi kepada kerja sebelumnya. Jangankan beda kantor, satu kantor saja kalau saya pindah saya hanya akan mengurusi bidang saya saja karena kalau kita ikut turut campur artinya ada persoalan di koordinasi. Ada personalpersonal yang berkaitan dengan kompetensi yang dimiliki jadi ini masih menjadi hal yang perlu kita perhatikan bersama. Kami di dalam meminta temanteman untuk tidak pernah bosan dan berhenti. Saya yakin di tengah kesulitan tetap ada orang, tetap ada personal di jajaran pemerintah yang bisa dipegang untuk menjadi kawan sebagai vocal point. Yang kemudian pada saat beberapa tahun ke depan hubungan ini terus dibangun ketika berada di posisi puncak dan itu bisa kita andalkan. Yang terkahir kita memberikan apresiasi kepada Pemerintah Aceh Besar. Setelah kita membantu audiensi dengan bapak bupati itu terjadi perubahan komitmen, terjadi perubahan anggaran. Ada satu hal terobosan yang dilakukan Pemerintah Aceh Besar dalam beberapa waktu lalu di lapangan, mulai melatih paralegal di tingkat komunitas. Karena memang Aceh Besar terdiri dari 604 desa dan itu masuk ke dalam, jauh-jauh tempatnya. Sehingga P2TP2A Provinsi walaupun pusatnya menjadi pusat rujukan kasus dari kabupaten/kota tetapi juga dalam praktiknya harus menerima kasus dari Aceh Besar karena memang persoalan letak dan lokasi. Yang dikembangkan oleh Pemerintah Aceh Besar tadi karena 45 kaitannya dengan faktor lokasi dan wilayah adalah melatih paralegal di tingkat komunitas. Sistem yang dikembangkan adalah di kampung-kampung itu akan ada posko layanan pengaduan dan juga pengembangan mekanisme komunitas aman. Provinsi sedang melakukan final project dan mereka sendiri Alhamdulillah merespons ini dengan dana APBD mereka sendiri. Saya sepakat bahwa segala upaya yang kita lakukan harus ada evaluasinya dan kita lemah untuk ini. Kalaupun kita melakukan evaluasi selalu di akhir, harusnya evaluasi selalu beriringan dengan proses perencanaan, barangkali itu, terima kasih. Khairani Arifin (Pembicara): Terima kasih dan yang terakhir ini saya, sepertinya. Menurut Suraiya kan sebenarnya beberapa waktu lalu kita coba buat roundtable discussion dengan mengajak aparatur penegak hukum, teman-teman dosen untuk mendiskusikan persoalan-persoalan yang terkini terjadi. Tetapi kenyataannya orang-orang pada bubar satu-persatu karena tidak gampang mengajak seseorang mendiskusikan sesuatu yang mereka tidak tertarik. Akhirnya kita beralih, sepertinya generasi muda lah yang harus diajak berdiskusi. Kita mengadakan diskusi bulanan, kita memanggil beberapa mahasiswa dari berbagai fakultas, lima belas orang, dua puluh orang dan mendiskusikan isu-isu terkini misalnya kekerasan seksual, dan sebagainya. Ternyata ketertarikan mereka belum berkurang sampai sekarang. Nah saya pikir kalau kita tidak bisa mengubah mindset orang yang sudah tua, mari kita ubah mindset orang yang masih muda, pasti kita masih punya peluang untuk mengharapkan seseorang yang berbeda di masa depan. Berikutnya untuk ibu Murni, paralegalparalegal kan diharapkan dapat menyelesaikan permasalahanpermasalahan yang dapat diselesaikan secara adat, keputusan yang aneh-aneh itu. Mungkin diantara paralegal-paralegal kita ada yang bisa ikut terlibat menjadi bagian daripada penyelesaian sengketa itu sehingga sengketa-sengketa yang diputuskan oleh para aparatur penegak hukum itu menjadi adil bagi perempuan khususnya korban. Ini kan gampang merayu suami nih, saya harus hadir nih untuk memberikan masukan dan ini lebih besar peluangnya bagi ibu-ibu yang punya komitmen luar biasa itu. Nah kemudian untuk sahabat saya Ida, saya bersyukur sekali dia datang karena keahliannya di bidang pidana dan sebagainya itu sangat kita butuhkan untuk kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan seksual. Mudah-mudahan Ida menjadi bagian dari pejuang-pejuang yang ada di sini dan menjadi teman diskusi kita untuk masa depan, saya pikir itu, terima kasih banyak. Anita Dhewy (Moderator): Baik, terima kasih Ibu Khairani, tadi masih ada penanya di ujung sini yang ingin bertanya, wah kok malah tambah. Sebenarnya waktu kita sangat terbatas tetapi sepertinya antusias sekali kawankawan untuk bertanya. Baik, bapak yang di sini dulu, silakan mic-nya, tolong sebutkan nama, dari mana dan mohon pertanyaan ringkas, terima kasih. 46 Penanya Keempat—Muhammad Al Fakih (HMI Provinsi Aceh) Assalammu’alaikum wr. wb. Saya rasa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini sudah bagus, nama saya Muhammad Al Fakih, saya dari organisasi mahasiswa. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini sudah bagus tetapi ini menjadi isu yang tidak hangat dan tidak menarik bagi kaum laki-laki dikarenakan saya mendengarkan dari tadi yang menjadi pelakunya pasti kaum laki-laki walaupun dari yang diundang pun dari peremuan-perempuan yang bergiat cuma perempuan saja yang harus dilindungi, dihormati jadi terjadi kesenjanganlah antara perempuan dan laki-laki. Jadi mereka membuatlah kiat-kita untuk mereka yang menyebabkan, ngapain kita harus hadir? Jadi isu ini harus menjadi isu yang hangat dan dibuat semenarik mungkin. Karena bukan saja perempuan yang menjadi orang yang didiskriminasi dan laki-laki pun ada juga, banyak hal-hal mungkin seorang lelaki tidak memikirkan lebih karena keegoannya. Tetapi bicara persamaan kita harus menyetarakannya dulu jangan membuat gap-gap tersendiri. Misalnya waktu pemilihan perempuan tidak bisa terpilih karena perempuan sendiri tidak mau memilih perempuan, itu membuktikan kalau perempuan sendiri tidak “menarik” bagi perempuan, sekian. 47 Penanya Kelima—Riris (Flower Aceh) Assalammu’alaikum wr. wb. Terima kasih Mbak moderator, saya mungkin langsung menanyakan yang pertama, saya Riris dari Flower Aceh yang merupakan bagian dari JPA (Jaringan Pemantauan Aceh). Saya sendiri sangat mendukung agar Rancangan UndangUndang Penghapusan Kekerasan Seksual dibahas dengan sangat maksimal dan disahkan karena memang ini menjadi payung hukum upaya-upaya perlindungan perempuan, perlindungan hak-hak perempuan terutama korban kekerasan seksual di Indonesia dan juga di Aceh. Nah satu hal yang ingin saya tanyakan, selama ini kan kita banyak kebijakan baik itu level nasional dan provinsi yang sesungguhnya ada yang memang melindungi perempuan tetapi hanya saja dalam proses pelaksanaannya di tingkat akar rumput atau di desa yang justru masyarakat yang berada di situ, tidak berjalan. Apalagi banyak aturan-aturan gampong di desa-desa atau bahkan kesepakatan-kesepakatan di tingkat desa yang justru menjadi acuan utama dan banyak sekali yang mendiskriminasikan korban. Contohnya kasus yang ditangani oleh Flower Aceh, perempuan, anak perempuan korban pemerkosaan, hamil tapi dia tidak diterima oleh kampungnya hanya karena dia hamil tanpa suami. Bagaimana mungkin anakanak tidak punya suami karena memang dia korban pemerkosaan, nah justru rekomendasi ini dikeluarkan oleh pihak gampong. Yang ingin saya pastikan adalah bagaimana supaya ke depan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini memang ada tetapi memang sinergis atau sesuai dengan aturan gampong atau aturan adat yang justru itu seringkali menjadi acuan di tengahtengah komunitas kita, itu yang pertama. Kemudian yang kedua, terkait alokasi dana untuk perlindungan korban kekerasan seksual memang jumlah ini sangat tidak maksimal apalagi di kabupaten/kota. Mungkin ini berbicara otonomi daerah ya Kak Amrina sehingga P2TP2A Provinsi banyak dananya tetapi di kabupaten/kota itu sangat minim dan memang komitmen bupati atau walikotanya tidak semua punya komitmen untuk pengalokasian dana yang cukup untuk penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Nah yang ingin saya tanyakan pertama, sejauh mana upaya BP3A untuk mengakumulasikan supaya perencanaan yang mainstreaming gender itu, saya sempat ngobrol dengan kalian mengenai perencanaan dan penganggaran yang responsif 48 gender. Harusnya kalau ini dijalankan tentunya semua dinas itu bisa menyisipkan upayaupaya penanganan untuk perempuan korban kekerasan di dalam perencanaannya. Sehingga tidak melulu menunggu dari kabupaten karena agak apatis sedikit, tingkat kabupaten/kota yang mempunyai pemahaman yang memadai. Kemudian yang kedua, di kabupaten/kota ada MoU lintas sektoral, di situ ada Dinas Sosial dan lain-lainnya. Nah sejauh mana efektifitas MoU ini? Karena ini dulu sangat maksimal dilaksanakan kalau memang ini jalan, Dinas Sosial bisa mengeluarkan dananya untuk rumah aman di Kabupaten/Kota atau mungkin dari rumah sakitnya bisa memberikan gratis visum dari dalam rumah sakitnya. Hal-hal ini kan mungkin saja dilakukan. Saya kira itu saja, terima kasih, wassalammu’alaikum wr. wb. Penanya Keenam—Monalisa (Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala) Assalammu’alaikum wr. wb. Saya Monalisa, staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh di Prodi Agribisnis, saya dosen di ilmu-ilmu pengembangan masyarakat. Yang kami hormati Ibu Khairani yang luar biasa, Ibu Amrina Habibi yang kadangkadang saya sebut kakak saya, beliau juga merangkap Ketua di Forhati Aceh untuk saat ini, Ibu Samsidar dan Ibu Gadis Arivia dan juga Zubaidah Djohar, beberapa pakar gender juga ada di sini, teman yang juga aktif dalam kegiatan ini. Saya kebetulan spesifikasi di pengembangan masyarakat jadi saya tidak bertanya, saya hanya menyediakan diri saya untuk membantu ibuibu dan adik-adik, teman di sini, kebetulan kami sering kerja di lapangan tetapi untuk persoalan lingkungan. Jadi memang awal yang sangat menarik bagi saya ketika saya melakukan riset di bidang lingkungan hidup, sebenarnya saya harus melihat permasalahan di lingkungan hidup di sebuah daerah tetapi kemudian pada perjalanannya masalah lingkungan hidup ini banyak sekali aspeknya termasuk juga masalah yang kita bicarakan ini. Jadi barangkali di tingkat gampong nanti kita bisa sosialisasikan lagi. 49 Saya tidak sampaikan untuk penghapusan kekerasan seksual, itu strategi kita tetapi untuk lingkungan hidup, mungkin ada teman yang mau nebeng dengan kegiatan kami, kami persilakan. Kami kemarin membuat kegiatan bersama untuk pembersihan pantai tetapi juga sosialisasi kesehatan ibu dan anak. Jadi saya lihat apa ya, resistensi di tingkat gampong itu pasti ada, khususnya di Aceh tetapi kalau kita kaitkan, kita kombinasikan, kita sisipkan dengan kegiatan yang lain, mungkin bisa Bu Amrina. Selanjutnya tadi, adik kami dari HMI, saya lupa namanya, kita sebenarnya tidak dikotomi di sini, mohon maaf kalau saya salah karena masalah ini kan masalah bersama. Jadi memang bagaimana kalau kita menganggap itu sebagai dua orang yang berbeda, memang kita berbeda antara laki-laki dan perempuan secara penampilan fisik kita dan lain-lainnya secara fungsi seksualitas kita berbeda untuk itulah kita harus sama-sama menjaga. Kita tidak bicara soal permusuhan, jadi kemungkinan ini yang harus diluruskan. Kemudian untuk alokasi dana gampong, Ibu Amrina barangkali bisa dimasukkan program ini ya tapi tidak kita beri judul. Saya harus sampaikan karena kondisinya di gampong ini memang jangan judulnya kekerasan seksual karena memang bapak-bapak dan adik-adik kita yang laki-laki ini tidak sepakat, seolah-olah merekalah pelaku utama dan kami perempuan juga tidak sepakat kalau dijadikan sebagai faktor penyebabnya. Bahwa ini masalah kita bersama jadi barangkali dibuat judul yang menarik. Kalau bisa bekerja sama dengan Unsyiah nanti, bisa juga bekerja sama dengan risetriset kita di kampus Unsyiah, masih minim sekali riset kita tentang ini. Kami di Fakultas Pertanian Unsyiah di Prodi Agribisnis di Bidang Gender ada dua orang, di sebelah kanan saya ada Ibu Sofridah dan Ibu Eli Susanti. Saya sendiri di pengembangan masyarakat secara umum. Mungkin itu dari saya, terima kasih, assalammu’alaikum wr. wb. Anita Dhewy (Moderator): Baik, terima kasih. Saya rasa ini cukup kesempatan bagi penanya, mungkin nanti di luar ini masih bisa berdiskusi lebih lanjut. Baik silakan Kak Samsidar, Ibu Amrina, dan Ibu Khairani. Samsidar (Pembicara): Terima kasih Anita. Kalau judul, kalau dari saya ditanya bukan kekerasan seksual saya usulkan kejahatan seksual karena itu kejahatan bukan sekadar kekerasan. Kalau mau pakai untuk yang tertarik, itu mungkin sangat personal ya, saya juga tidak paham juga mungkin untuk diskusi yang seperti ini harus dibuat semenarik mungkin karena kalau berbicara Rancangan UndangUndang Penghapusan Kekerasan Seksual itu bukan berbicara tentang perempuan saja, siapapun yang mengalami kekerasan seksual ya dia terlindungi di dalam ini karena memang ya seperti itu. Ya, tidak apa-apa kalau memang itu perspektifnya anda karena kalau membacanya tidak ada “Perempuan yang menjadi korban harus dilindungi”, tetapi kita bicaranya universal, korban, pelaku, keluarga korban dan saksi itu menjadi subjeknya itu. Jadi ini berbicara hanya soal perasaan dan ketidaknyamanan, kalau berbicara soal perasaan itu sangat personal dan saya tidak mau masuk ke sana. Yang pasti Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual ini di situ ada pencegahan, penanganan, dan sebagainya untuk pemulihan. Tadi kalau berbicara bagaiamana di akar rumput? Ya, memang inilah budaya kita karena sistem hukum kita ada yang sudah sangat lama, misalnya adalah KUHP, dia sebenarnya berkontribusi dalam 50 membangun perspektif hukum yang sangat maskulin dan mengabaikan faktafakta bahwa korban itu disisihkan. Nah ini sebenarnya mengapa produk hukum itu harus sangat hati-hati karena dia akan sangat lama sekali, sama juga seperti yang di akar rumput. Kita juga sebenarnya harus bicara kalau di tataran hukum mengenal yang namanya harmonisasi, harusnya peraturan yang di bawah itu tidak bisa bertentangan dengan peraturan yang di atasnya dan bahkan sebenarnya tidak bisa bertentangan. Tetapi tadi itu kan, fakta karena hukum kan juga diterjemahkan, penerjemahan hukum, pengimplementasian sangat tergantung dari bagaimana perspektif dan budayanya. Bahkan kadang-kadang orang yang berkuasa itu sangat personal, hakim mempunyai kekuasaan yang sangat besar termasuk penyidik dan sebagainya gitu tetapi karena dia dibentuk dari budaya tersebut. Saya rasa untuk rancangan undang-undang ini saya belum melihat apakah ada gap di antara laki-laki dan perempuan walaupun kalau kita bicara fakta sosial 98% korban adalah perempuan dan pelakunya laki-laki. Jadi itu berdasarkan catatan kami, terima kasih. Amrina Habibi (Pembicara): Buat adik kita dari HMI ya, saya pikir kita perlu belajar kembali, ya. Termasuk melihat proses pengkaderan di HMI yang di sana ada ex officio Kohati. Sebetulnya itu menunjukkan antara perempuan dan lakilaki itu punya peluang, kesempatan untuk memberikan partisipasi, kontrol dan menerima manfaat yang sama. Tetapi realitasnya ya, pada berbagai hasil penelitian, pada berbagai pengalaman di level pemangku kebijakan sekalipun yang kemudian berpengaruh pada kebijakan yang ditetapkan itu masih ranahnya lakilaki. Sehingga adik masih melihat persoalan kekerasan seksual sebagai masalah yang berkaitan dengan anatomi tubuh, persoalan relasi kuasa dan bicara soal relasi kuasa, relasi kuasa laki-laki lah yang dominan dan kemudian harus kita diskusikan untuk mencari jalan keluar. Karena laki-laki juga ada yang menjadi korban tetapi jumlahnya sangat kecil dan kita harus bersepakat bahwa bicara tentang rancangan undang-undang ini kita bicara soal laki-laki dan perempuan. Kemudian menyangkut tentang intervensi kebijakan pada akar rumput, sesuai Qanun No. 5 tahun 2007 tentang Kewenangan Badan Pemberdayaan Perempuan. Tugas pokok dan fungsinya adalah menyusun, mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang responsif gender. Untuk turun ke lapangan itu sebenarnya dilihat hanya pada sebatas melakukan final-final project, artinya provinsi dalam hal ini Badan Pemberdayaan Perempuan tidak bisa langsung tapi harus membangun koordinasi, artinya intervensi ke masyarakat itu harusnya dilakukan oleh kabupaten/kota. Tetapi tadi saya sampaikan ada peluang untuk merembug perubahan peraturan undang-undang daerah dengan perubahan status ketika nanti menjadi dinas maka ini intervensinya bisa diteknis. Akan tetapi ketika dikaitkan dengan Undang-Undang Otonomi Daerah yang nanti nomenklatur ini tergantung pada komitmen pemerintah daerah. Kita juga masih belum yakin sepenuhnya dengan komitmen dan kemauan dari bapak bupati atau walikota untuk merespons ini secara positif. Kemudian menyangkut anggaran, apa yang sudah kita lakukan? Kita komitmen untuk melakukan advokasi dan membangun hubungan dengan kabupaten/kota tetapi dari 23 kabupaten/kota yang sudah kita bangun hubungan berkomunikasi langsung, turun ke lapangan, hanya 5 kabupaten/kota yang memberikan respons yang cukup baik walaupun belum 51 menggembirakan tetapi sudah memberi respons, artinya ini harus ditingkatkan. Saya juga melihat begini, peran pengawasan dari lembaga legislatif yang fokusnya pada pengawasan pembangunan fisik, tidak melakukan pengawasan pada pembangunan nonfisik khususnya pengawasan terhadap sumber daya manusia. Ini juga menjadi masalah sehingga dalam pelaksanaan kabupaten/kota itu keluar dari mata anggaran yang seharusnya menjadi fungsi pokok malah tidak dilakukan karena lemahnya pengawasan juga kaitannya dengan komitmen bupati, kepala daerah. Kemudian sejauh mana efektifitas MoU lintas sektoral? Kita kan sudah gagas itu, di provinsi sudah berjalan tapi tetap dengan beberapa catatan dan koreksi. Misalnya tadi SPM dalam bidang rehabilitasi dan reintegrasi sosial ada di bawah tanggung jawab Dinsos tetapi ternyata untuk mengakomodir kebutuhan korban sesuai dengan kriteria kerja kita tidak sepenuhnya bisa diakomodir, di bawah mata anggaran mereka. Sehingga ini juga sedang dikoreksi kembali supaya Badan PP ketika menjadi dinas nanti secara teknis bisa mengakomodir lima jenis layanan dasar tetapi tetap membangun koordinasi supaya lintas sektor terkait tetap bisa berkontribusi. Untuk kesehatan, misalnya sudah ada aturan bahwa setiap kabupaten/kota itu minimal punya satu rumah sakit rujukan dan diatur di dalam Permenkes, ya kan? Kemudian di level kecamatan untuk puskesmasnya minimal ada dua untuk mampu tata laksana terhadap kekerasan seksual perempuan dan anak. Menurut informasi Dinas Kesehatan mereka sudah meningkatkan kapasitas terhadap aparatur puskesmas tetapi yang menjadi kendala setelah dievaluasi ternyata mereka banyak sekali yang mutasi, itu menjadi persoalan. Nah kemudian yang berikutnya adalah saya sangat apresiasi oleh tawaran yang diberikan oleh adinda Monalisa dan bicara soal lingkungan hidup sebenarnya adalah isu yang memang sangat berkaitan dengan perempuan. Kami juga sudah mulai bekerja supaya isu perlindungan kepada perempuan mampu diintegrasikan kepada semua isu yang dikenal dengan mainstreaming gender. Dan kita sudah melakukan sejumlah pelatihan, menggelontorkan dana hampir 3M dalam dua tahun ini untuk melatih para perencana membuat perencanaan yang responsif gender dan mendorong gubernur juga untuk membuat pergub untuk menekankan SKPA sebagai final project PPRD. Artinya ketika masuk rancangan anggaran dokumen ke Bapeda itu harus ada lampiran, harus ada analisis gendernya tetapi ini juga belum berjalan sesuai dengan harapan sangat tergantung kepada komitmen Kepala SKPA. Kami ingin memberikan apresiasi kepada Prof. Dr. Abubakar yang saat itu sudah ada semangat yang luar biasa karena ketika itu kita berikan sepuluh final project lalu beliau bilang kalau bisa semua, kenapa tidak. Di saat kita sangat semangat melakukan itu, berganti orang lain, jadi ini masalah ya. Terpikirkan oleh kami adalah bagaimana kami bisa mengikat pejabat yang sudah mendapatkan pelatihan untuk tetap bisa dipegang sebagai vocal point yang akan mengawal proses integrasi perlindungan perempuan dalam berbagai sektor. Soal kita bisa menggunakan strategi untuk tandem artinya pada setiap mata kuliah, pada setiap aktivitas, lokakarya, pelatihan harusnya isu ini masuk. Ini adalah strategi yang sangat efektif karena katakanlah di Dinas Pendidikan dulu kita sudah coba pada buku pelajaran yang mereka buat masuk salah satu materi tentang perlindungan perempuan. Saya sepakat untuk komunitas memang ada penolakan isu ketika kita bilang ini 52 pelatihan gender yang dikirim perempuan semua. Sekarang kita mencoba mengubah strategi itu, misalnya kita coba ganti nama mekanisme membangun perlindungan kepada masyarakat atau mekanisme membangun perlindungan komunitas aman. Kita sudah buktikan ini jauh lebih efektif. Pada dua pelatihan yang kami buat beberapa hari yang lalu 85% pesertanya itu adalah laki-laki. Ini bisa menjadi salah satu strategi yang patut kita pertimbangkan. Khairani Arifin (Pembicara): Saya menambah sedikit saja untuk Riris, desa itu kan sekarang punya dana yang banyak sekali ya, Ibu Riris jadi bisa diadvokasi. Bagaimana dari desa itu bisa dipergunakan untuk mensosialisasikan undang-undang, mendiksusikan undangundang kemudian pelatihan PPRG buat aparatur gampong juga buat masyarakatnya. Jadi itu yang harus kita lakukan secara sederhana saya pikir, karena kalau kita mengintervensi dari luar itu agak sulit. Jadi poros desa sebagai pembangunan itu harus dimulai dari mereka sendiri dan bisa dilakukan untuk membangun perubahan untuk mereka sendiri. Termasuk dana untuk melakukan penanganan terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan juga bisa diambil dari dana desa itu. Jadi dengan itu otomatis korban mendapat hak-haknya secara mudah. Untuk adik yang dari HMI tadi, dua kakak sudah menjawab dengan baik jadi harus dipahami bahwa ada pola yang tidak seimbang dari laki-laki dan perempuan sehingga perempuan menjadi korban. Mungkin nanti bisa baca buku ini, kalau habis buku ini berarti khatam. Terima kasih. Anita Dhewy (Moderator): Baik, terima kasih, hampir dua jam kita berdiskusi, menarik sekali ya. Dari paparan ketiga pembicara kita bisa semakin memahami bahwa persoalan ini adalah persoalan kita bersama. Kita semua bisa terlibat dalam proses agar undang-undang yang berpihak pada korban ini bisa lahir. Di sisi lain kita juga harus sadar bahwa perubahan perspektif, perubahan pola pikir juga penting. Dari saya itu saja, tepuk tangan kita berikan kepada ketiga pembicara dan terima kasih juga kepada ketiga pembicara dan kita semua yang sudah terlibat dalam diskusi yang menarik ini. Sedikit tambahan bagi keenam penanya ada cenderamata dari Jurnal Perempuan nanti bisa diminta pada panitia di belakang. Itu dulu dari saya, akhir kata, wassalammu’alaikum wr. wb. 53 7 PENUTUP Annisa Novianty Kurniawan (Pembawa Acara): Wa’alaikumsalam wr. wb. Terima kasih kepada pemateri dan juga moderator kita, Ibu Anita Dhewy. Tadi kita sudah menyimak Pendidikan Publik Jurnal Perempuan edisi 89 yang bertemakan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Selain isu-isu yang sudah kita diskusikan tadi bersama para pemateri kita, masih ada isu-isu lainnya yang perlu bapak-ibu ketahui dengan mengunjungi stan Jurnal Perempuan di depan ruangan ini. Dan di depan juga kami sudah menyediakan kotak penanggulangan dana untuk pemerintahan Aceh yaitu bertujuan untuk peningkatan kualitas layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan seksual. Kenapa untuk Pemerintah Aceh? Karena alokasi anggaran sangat terbatas untuk korban kekerasan di Banda Aceh ini. Selanjutnya marilah kita mendengarkan puisi kedua dari Ibu Zubaidah Djohar, kepada Ibu Zubaidah Djohar waktu dan tempat kami sediakan. Pembacaan Puisi, Zubaidah Djohar Saya pikir tadi kita sudah selesai, baik kalau tadi puisi yang lahir dari seorang perempuan, yang saya bacakan kali ini adalah bagaimana seorang laki-laki membicarakan luka hati seorang perempuan. Kita tahu Deny JA, dan puisi ini sudah dibacakan ketika Nyala Untuk Yuyun. Nah ini akan saya bacakan lagi untuk lahirnya Deny JA, Deny JA di Aceh. Walaupun laki-laki yang hadir sedikit tetapi semoga ini menjadi pemantik lahirnya laki-laki feminis di Aceh. “Tangis Yuyun Kepada Ibunya” Karya: Deny JA Ibu, sempat terdengarkah suaraku? Kupanggil berkali-kali namamu Saat belasan orang memerkosaku yang ingin kulihat hanya wajahmu "Ibu, tolong aku.." "Ibuuuuuuu, ibuuuuuuu...." Kuteriakkan lagi dan lagi Saat Aku takut Saat Aku sakit Saat Aku menjerit Saat Aku menangis sejadi-jadinya Bulan ditusuk samurai Melati putih disiram lumpur Ranting muda patah Tak kuasa dideru angin 54 Siang itu 2 April hari sabtu Dari sekolah kubawa bendera Tugasku mencucinya di rumah Untuk hari senin upacara Tiada istimewa Kulewati kebun karet biasa Aku pulang sendiri berjalan kaki Seperti saban hari Sambil berjalan selalu Kubayangkan cita-citaku menjadi guru 14 tahun sudah usiaku Kuingin sekali membuatmu bangga ibu Di dahan pohon itu Kulihat seekor burung berkicau selalu Tak pernah kulihat sebelumnya Kicauannya kudengar tiada pernah Aku terdiam berhenti Menyimaknya dengan teliti Entah mengapa Hatiku tiba-tiba hampa Seperti luka Yang menganga Aku terus saja berjalan Kujumpa remaja bergerombol belasan Kukenali yang ini dan itu Mereka kakak kelasku Tapi Aku mulai was-was Karena mereka bau minum keras Mata mereka ganas Menjelma menjadi harimau buas Tapi ibu Cepat sekali mereka menerkamku Dengan paksa ingin menciumku Astaga, mereka merobek bajuku Aku takut, ibu Kupanggil namamu Aku melawan sebisaku Sekuat tenagaku Aku meronta Aku berteriak Aku menangis keras 55 Tapi mereka lebih kuat, ibu Mereka pukul kepalaku keras sekali dengan kayu Mereka ikat tanganku Mereka cekik leherku Aku mereka bawa paksa Menjauh ke semak-semak sana Tempat itu sepi sekali Tambah membuatku ngeri Astaga ibuuuuu.. Mereka memerkosaku Belasan mereka bergiliran Lagi dan lagi bergantian Ampuuuunnnn... Aku menangis Aku diterjang Melawan yang Aku bisa Berkali- kali ibu Kupanggil namamu Hingga tiada lagi rasa Tiada suara Tiada warna Tiada apa Bunga segar jatuh ke tanah Tak berdaya dan punah Ibu, tak kuduga Aku mati muda kini aku di alam berbeda Kulihat jasadku merana Mereka tutupi dengan daun Seolah tanaman yang rimbun Burung yang Aku lihat di kebun karet itu Kulihat lagi di alamku yang baru Ia terus berkicau Kini bisa kulihat suaranya Di hati banyak orang bergema Membangunkan nurani sebuah negeri Kulihat para sahabat di banyak tempat Menyalakan lilin untukku Agar tiada lagi kekerasan Bagi perempuan Bagi bocah ingusan Ibu, burung itu berbisik teduh Ia berkata padaku Jangan lagi aku bersedih Kematianku tidak sia-sia 56 para pejuang di seluruh negeri Menjadikan deritaku Sebagai derita mereka Aku menangis ibu Terharu Kukatakan pada burung itu Jangan lagi ada seperti aku Jakarta, Mei 2016 Semoga tidak ada lagi Yuyun-Yuyun baru di Aceh, Pidie, dan dimanapun di bumi serambi Mekah. Wasslammu’alaikum wr. wb. Annisa Novianty Kurniawan (Pembawa Acara): Terima kasih banyak Ibu Zubaidah. Sebelum meinggalkan tempat kita akan melakukan sesi foto bersama dan diharapkan seluruh tamu undangan dan peserta untuk maju ke depan dan melakukan sesi foto. Terima kasih. -Selesai- 57 Yayasan Jurnal Perempuan Jl. Karang Pola Dalam II, no. 9a, Jatipadang Pasar Minggu-Jakarta Selatan Telp. (021) 22701689 Email: [email protected] Facebook: Jurnal Perempuan Twitter: @jurnalperempuan www.jurnalperempuan.org 58