ruu penghapusan kekerasan seksual

advertisement
Buku Seri Pendidikan Publik JP 89
RUU PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL
1
Pendidikan Publik JP89
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Senin, 23 Mei 2016, 09.00-13.00 WIB
Gedung AAC Dayan Dawood, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
Sambutan:
Prof. Dr. Ir. Hasanudin MS (Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
(LP2M) Universitas Syiah Kuala)
Keynote Speech:
Dr. Gadis Arivia (Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan)
Moderator:
Anita Dhewy (Sekretaris Jurnal Perempuan)
Pembicara:
1. Samsidar (Ketua Dewan Pengarah Nasional Forum Pengada Layanan)
2. Amrina Habibi (Sekretaris Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan
Perempuan dan Anak P2TP2A Provinsi Aceh)
3. Khairani Arifin (Dewan Pembina Pusat Studi Gender Universitas Syiah Kuala)
Pembacaan Puisi:
Zubaidah Djohar (Direktur Timang Research Center)
2
1
PEMBUKAAN
Annisa Novianty Kurniawan (Pembawa Acara)
Assalammualaikum wr. wb. Selamat pagi
Bapak, Ibu dan teman-teman semua,
terima kasih sudah hadir di acara
Pendidikan Publik JP89 RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual. Puji syukur kita
panjatkan ke Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmatnya sehingga acara
pada pagi hari ini dapat terselenggara.
Tidak lupa pula kita sanjung-sanjungkan
kepada Nabi besar kita Nabi Muhammad
SAW. Baiklah, Yayasan Jurnal Perempuan
lahir
sejak
tahun
1995
dengan
menerbitkan Jurnal Perempuan yang telah
terbit sejak tahun 1996. Pada tahun ini
Jurnal Perempuan berumur dua puluh
tahun. Jurnal feminis ini merupakan jurnal
pertama di Indonesia yang dibaca oleh
kalangan mahasiswa, pengambil kebijakan,
intelektual, akademisi, dan aktivis gerakan
sosial.
3
Jurnal Perempuan memiliki ratusan pelanggan yang tersebar di seluruh Indonesia. Adapun visi
dan misi Jurnal Perempuan, yakni Yayasan Jurnal Perempuan adalah organisasi nirlaba yang
bergerak di bidang pemberdayaan dan penegakan hak-hak perempuan. Memfokuskan diri
pada kegiatan pendidikan, penelitian dan penerbitan. Motto Yayasan Jurnal Perempuan yaitu
untuk pencerahan dan kesetaraan. Hingga saat ini Jurnal Perempuan sudah mencapai edisi
ke-89, dan edisi ini akan didiskusikan pada hari ini. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai
produk Jurnal Perempuan bisa dilihat di stan yang sudah kami sediakan di depan ruangan ini
atau jadilah Sahabat Jurnal Perempuan agar tidak ketinggalan isu-isu perempuan.
Yang kami hormati Ibu Gadis Arivia serta rekan-rekan Jurnal Perempuan yang jauh-jauh
datang dari Jakarta dan selamat datang di Banda Aceh. Yang kami hormati dosen-dosen
Universitas Syiah Kuala Banda Aceh dan dosen-dosen dari universitas lainnya. Yang kami
hormati instansi-instansi pemerintahan Banda Aceh dan serta mahasiswa, tamu undangan
yang telah menyempatkan hadir pada diskusi yang bertemakan RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual. Acara ini merupakan kerjasama antara Jurnal Perempuan dengan Pusat Studi Gender
Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum
Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Aceh Woman For Peace Foundation. Acara ini didukung
juga oleh Ford Foundation.
Pertama-tama marilah kita mendengarkan kata sambutan dari Prof. Dr. Ir. Hasanudin MS,
beliau merupakan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat atau LP2M.
Kepada Bapak Hasanudin, waktu dan tempat kami sediakan.
4
2
SAMBUTAN
“Kekerasan seksual jadi urgensi dan harus
diberikan perhatian serius”-Prof. Hasanudin
Prof. Dr. Ir. Hasanudin MS (Ketua Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat (LP2M) Universitas Syiah Kuala)
Assalammu’alaikum wr. wb. Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah
SWT karena berkat rahmat dan hidayahnya kita bisa berkumpul di ruangan ini dalam kaitan
dengan Pendidikan Publik Jurnal Perempuan Nomor 89 dan akan didiskusikan tentang
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Nah seperti kita ketahui bahwa
kegiatan ini merupakan kerjasama antara majalah Jurnal Perempuan, Badan Hukum
Hubungan Masyarakat Fakultas Hukum Unsyiah, Pusat Studi Gender Unsyiah, dan Aceh
Woman For Peace Foundation. Selanjutnya sholawat serta salam kita sampaikan kepada
junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah mengajarkan kita untuk selalu menuntut ilmu
pengetahuan dan telah membimbing kita dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat
melalui panduan Alquran dan Hadis.
Yang kami hormati Ibu Gadis Arivia, nama Bu Gadis sudah lima belas tahun yang lalu saya
tahu, tetapi baru sekarang saya ketemu. Yang terhormat bapak-ibu dari Badan Pemberdayaan
dan Perlindungan Perempuan dan Anak atau BP3A Banda Aceh. Yang saya hormati Ibu
Samsidar, Bu Samsidar ini anak saya angkatan 86 di Fakultas Pertanian Unsyiah, yang sekarang
adalah Ketua Dewan Pengarah Nasional Forum Pengada Layanan. Ibu Amrina Habibi,
Sekretaris P2TP2A Aceh. Ibu Khairani Arifin yang merupakan nanti sebagai pembicara. Bapakbapak, ibu-ibu, saudara-saudara para undangan baik dari kalangan akademisi, LSM,
mahasiswa, dan tamu undangan lainnya.
5
Jadi kalau bercerita tentang kekerasan
seksual, tadi pagi saya menonton di RCTI,
ada seorang anak perempuan berumur 14
tahun, diperkosa dan telah hamil delapan
bulan dan menteri sosial telah berkunjung
ke tempat korban tersebut. Tapi bukan
Yuyun, ya. Nah dari pemberitaan berbagai
media diketahui bahwa kasus kekerasan
seksual baik terhadap perempuan maupun
anak terus meningkat sejak awal tahun.
Nah, salah satu yang mengundang
perhatian adalah kasus Yuyun, seorang
anak berusia 14 tahun dari Bengkulu yang
mengalami
pemerkosaan
kemudian
dibuang ke jurang. Kasus kekerasan seksual
juga terjadi hampir di seluruh tempat di
Indonesia termasuk di Aceh. Baru-baru ini,
BP2KT kota Banda Aceh melaporkan dua
anak di bawah umur menjadi korban
pelecehan seksual. Para korban berusia
rata-rata delapan sampai sepuluh tahun
dan pelaku merupakan orang yang
bertempat tinggal dekat dengan sekolah
para korban. Jadi kalau kita baca buku ini,
ya saya baru baca tadi pagi dan memang
pelakunya adalah yang dekat dengan para
korban dari sisi intern lokasi. Akibat yang
paling dikhawatirkan dari kekerasan
seksual terhadap anak adalah dampak
psikologis yang akan terus dialami selama
mereka hidup sehingga saya kira
membutuhkan penanganan secara khusus.
Anak menjadi korban tetapi di sisi lain
ternyata anak-anak juga bertindak sebagai
pelaku seperti pada kasus Yuyun, dua
pelaku dari empat belas pelaku adalah
anak-anak di bawah umur. kasus kekerasan
seksual tidak hanya dialami anak-anak
tetapi juga perempuan dan itu
membutuhkan perhatian dan penanganan
yang serius.
Kalau kita baca buku ini, ya saya baca buku,
penulis pertama adalah Livia Iskandar,
sepertinya itu orang Aceh ya? bukan? atau
pernah kerja di Aceh? Ya, jadi Livia Iskandar
punya yayasan di Jakarta dan Aceh. Nah
saya baca beberapa kasus, jadi mau
menjelaskan ini, di sini sudah ada semua
contoh-contoh kasus dari kasus satu
sampai kasus empat dan saya baca terakhir
itu tulisan dari Puitri Hati Ningsih. Em, ya,
saya tambahkan sajalah, jadi gambar ini
sebenarnya adalah gambar yang dibuat
oleh orang JP juga, ya, yang namanya
Doktor Dewi Ciptaningrum? Dewi
Candraningrum. Jadi, beliau telah
membuat ini dan memang dalam buku ini
adalah hanya tentang yang akan kita bahas
saat ini tentang RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual.
Nah kasus-kasus ini menyadarkan kita
tentang keseriusan masalah kekerasan
seksual yang membutuhkan perhatian dari
semua pihak sehingga perlu adanya tindak
lanjut dalam pembentukan perundangundangan
tentang
penghapusan
kekerasan seksual di Indonesia. Di samping
itu perlu dipastikan adanya penegakan
hukum yang konsisten sesuai dengan rasa
keadilan masyarakat dan memberi
kepastian hukum bagi korban dan pelaku.
Kalau bercerita tentang ini, kita baca
bagian belakang yang ditulis oleh Azriana,
sepertinya dia kuliah di Fakultas Hukum
Unsyiah angkatan 90-an dan menjadi
lawyer di Lhokseumawe dan sekarang
Ketua Komnas Perempuan. Nah ini saya
bacakan, “Sementara itu hukum yang ada
tidak
berjalan
maju
secepat
perkembangan kasusnya sendiri. Kasus
kekerasan
terhadap
perempuan
mempunyai KUHP yang bisa digunakan
oleh korban kekerasan untuk mengakses
keadilan tetapi KUHP tersebut sudah tidak
mampu menjawab perkembangan pada
kasus kekerasan seksual tersebut.” Jadi
memang perlu adanya undang-undang.
Terus di samping itu, masyarakat perlu ikut
serta
mengambil
peran
dalam
menyelesaikan masalah tersebut sesuai
dengan kapasitas dan tanggung jawab
masing-masing. Sesuai dengan kegiatan ini
6
yaitu satu untuk mendiskusikan tentang
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Nah
pembahasan
tentang
penghapusan
kekerasan seksual, nah ini bahan, jadi,
sepertinya buku ini merupakan panduan
untuk diskusi pada hari ini. Dan yang kedua
untuk melibatkan berbagai pihak agar RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual segera
diundangkan.
Maka kami berpendapat bahwa acara ini
merupakan salah satu wujud partisipasi
akademisi dan masyarakat pada umumnya
untuk memberikan sumbangan, pemikiran
dan solusi yang diharapkan dapat
mempercepat
diundangkannya
penghapusan kekerasan seksual.
Saya menambahkan bahwa Pusat Studi
Gender itu berada di bawah Lembaga
Penelitian
dan
Pengabdian
pada
Masyarakat Unsyiah. Tadi saya telah
berdiskusi dengan Bu Gadis, Pak Saleh
dengan Pak Bakti, kita berharap Pusat Studi
Gender atau PSG ini juga dapat membuat
salah satu kegiatan yaitu membuat jurnal.
Nah karena dia PSG sebaiknya dia
membuat jurnal tentang perempuan. Dan
memang mengelola jurnal sangat berat
sekali. Saya dulu pernah mengelola selama
sepuluh tahun sampai terakreditasi. Kita
berharap juga bahwa PSG ini dapat
membuat jurnal yang dalam hal ini
kaitannya dengan perempuan. Tadi pun
saya berdiskusi dengan Bu Gadis kalau bisa
jurnal yang ada di Unsyiah mungkin dalam
bentuk yang hard dibuat itu masuk DWAJ
setelah DWAJ kalau nilainya sudah tinggi
bisa diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris,
nanti menjadi jurnal internasional dan
kalau lebih tinggi lagi jurnal internasional
terindeks scopus. Nah kita berharap Bu
Safrina bisa membuat ini, kan karena
memang orang-orang di Pusat Studi
Gender orang-orangnya pintar-pintar dan
kerjanya superaktif.
Para hadirin yang saya hormati
perkenankan kami menyampaikan terima
kasih dan penghargaan sebesar-besarnya
kepada bapak-ibu sekalian karena dengan
kehadiran bapak-ibu maka acara ini dapat
terlaksana. Terima kasih juga kepada
panitia yang telah bekerja keras untuk
mengadakan acara ini, akhirnya kami
ucapkan selamat mengikuti kegiatan
pendidikan publik tentang Rancangan
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan
Seksual dan sekaligus izinkan kami
membuka acara ini, semoga berkenan.
Walaupun tidak disuruh saya akan buka
dengan
mengucapkan
bismillahirahmanirrahim, acara Pendidikan Publik RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual, saya
buka. Wabillahi taufik wal hidayah
wassalammu’alaikum wr. wb.
Annisa Novianty Kurniawan (Pembawa
Acara):
Terima kasih Bapak Iskandar atas
sambutannya. Selanjutnya marilah kita
dengarkan keynote speech oleh Ibu Doktor
Gadis Arivia, di mana beliau adalah pendiri
Jurnal Perempuan yang sekarang menjabat
sebagai Direktur Eksekutif dan juga dosen
filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya, Universitas Indonesia. Kepada Ibu
Gadis waktu dan tempat kami sediakan.
7
3
KEYNOTE SPEECH
“Hukuman Kebiri dan mati untuk pelaku
kekerasan seksual tidak bisa dibenarkan, karena
perkosaan adalah soal kuasa” -Dr. Gadis Arivia
Dr. Gadis Arivia (Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan)
Assalammu’alaikum wr. wb. Salam sejahtera untuk kita semua dan selamat pagi. Aceh sangat
dekat di hati saya, terutama saya sudah lama bekerjasama dengan teman-teman dari LSM
maupun dari universitas sejak zaman dulu. Sampai kami ada yang belum berjumpa selama
sepuluh tahun, jadi kemarin sempat reunian. Jadi, saya sangat senang berada di Aceh dan juga
ini adalah rumah almarhumah nenek saya, nenek saya dari Aceh Besar. Jadi bagi saya Aceh
adalah tempat yang sangat menyenangkan. Saya ingin pertama-tama mengucapkan terima
kasih kepada Prof. Hasanudin dan juga kepada Ibu Safrina dari Pusat Studi Gender Unsyiah dan
Pak Bakti yang saya dengar adalah feminis laki-laki di Aceh dari Fakultas Hukum dan juga Ibu
Irma dari AWPF, terima kasih banyak atas semua bantuannya untuk kami di sini. Dan saya juga
berterima kasih kepada para pembicara dan juga nanti ada pembacaan puisi dari Ibu Zubaidah
Djohar yang adalah teman baik saya. Jadi terima kasih banyak untuk semua teman-teman
yang berpartisipasi.
Saya sudah menyiapkan sebuah paper kecil tentang apa yang akan saya bicarakan di keynote
saya Isi paper saya adalah tentang apa yang ditulis di JP 89. Kami merasa bahwa isu ini adalah
isu yang sangat penting dan melihat bahwa hampir di semua daerah, kemarin kami juga
berbicara dengan teman-teman, betapa juga di Aceh persoalan kekerasan seksual juga
meningkat.
8
“JP 89 hadir untuk
memberikan
pencerahan
pengetahuan kepada
publik tentang
kekerasan seksual yang
mana masih salah
kaprah”
Nah, kalau bapak ibu melihat jurnal kami, JP89, Soka
Handinah Katjasungkana memulai tulisannya dengan
memaparkan berita-berita kekerasan seksual yang tadi
Prof. Hasanudin juga sudah singgung, soal Yuyun yang
berumur 14 tahun, dia asal Bengkulu diperkosa oleh lakilaki secara bergantian. Ada juga kasus lain dan ini semakin
mengkhawatirkan, semakin muda anak-anak yakni umur
delapan, sembilan tahun yang ini juga jadi suatu
fenomena yang baru, diperkosa oleh anak-anak yang
masih remaja atau anak-anak laki-laki yang dewasa tetapi
secara bergerombolan. Ini sepertinya sekarang semakin
sadis kasus-kasus pemerkosaan di masyarakat. Nah saya
kira kasus Yuyun inilah yang menjadi pemicu bagi pejabat
publik untuk kemudian mereka mulai memerhatikan
untuk mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual. Tetapi sayangnya baru bergerak ketika sudah ada
korban yang begitu banyak, ya itu biasalah pejabat publik
kita, bergerak karena reaksi, baik yang eksekutif maupun
yang legislatif. Jadi, RUU kekerasan ini memang sudah
disepakati sejak lama dan sekarang kita berharap bahwa
pemerintah dan legislatif mulai memperbincangkannya
lagi dan mengesahkannya segera. Tetapi tentunya kita
mempunyai catatan terhadap yang diusulkan baru-baru
ini yaitu tentang Perppu hukuman kebiri dan hukuman
mati untuk pelaku pemerkosaan, kami menganggap
bahwa itu tidak bisa dibenarkan karena persoalan
kekerasan seksual itu bukan persoalan seks tetapi
persoalan kuasa.
Jadi di delapan tulisan yang kami hadirkan di Topik Empu
Jurnal Perempuan ini sebenarnya ada tiga hal yang ingin
kami capai, pertama, adalah mengajak publik untuk
menghentikan kekerasan seksual, kedua, menuntut
disahkannya RUU Penghapusan kekerasan seksual dan
yang ketiga, memberikan pencerahan pengetahuan
tentang kekerasan seksual yang masih salah kaprah.
Mengapa salah kaprah? Karena kesalahan pemahaman
bahwa kekerasan seksual itu berkaitan dengan power, jadi
akhirnya ada kesalahan paradigma, kesalahan-kesalahan
paradigma mengakibatkan ada kesalahan kebijakan.
Kemudian ada masalah pernyataan-pernyataan pejabat
publik yang tidak bertanggungjawab.
9
Seperti tadi saya katakan bahwa ini bukan
persoalan seks tapi ini adalah persoalan
kuasa, persoalan tentang relasi kuasa.
Anda bisa baca di halaman 83 tulisannya
Diah Irawaty. Diah Irawaty menjelaskan
bahwa kekerasan seksual itu “posisi
istimewa, posisi kekuasaan, ekspresi
maskulinitas, laki-laki yang mendapat
otoritas sosial dari masyarakat untuk
menunjukkan kejantanan dan keperkasaannya. Kekerasan seksual memiliki akar
pada konstruksi sosial-politik yang
menempatkan laki-laki dalam hierarki
kekuasaan sosial dan seksual yang
membuatnya seakan-akan memiliki posisi
keistimewaan alamiah.” Jadi ada posisi
kekuasaan, ada ekspresi maskulinitas, yang
mendapat otorisasi untuk mengobjekkan
perempuan secara seksual, adanya
kontruksi sosial-politik, kekuasaan, dan
adanya posisi keistimewaan laki-laki yang
menurutnya secara alamiah mereka
peroleh. inilah sebetulnya politik kuasa
yang kita ingin garis bawahi dan ini juga
disebut oleh Abby Gina di halaman 162
dalam pengertiannya dan juga disebut oleh
Prof. Muhammad Mustofa karena beliau
pahami ini sebagai persoalan relasi kuasa.
Oleh sebab itu, hukuman kebiri tidak akan
efektif. Karena ini sekali lagi bukan
persoalan seks, ini persoalan kuasa.
Meskipun orang itu dihukum kebiri, dia
masih
bisa
memerkosa
karena
keinginannya adalah kuasa dan dia bisa
memasukkan benda-benda tajam yang
sebagaimana saya sudah dengar sewaktu
DOM (Daerah Operasi Militer) dulu
bagaimana diperkosa dengan bendabenda tajam dan sebagainya. Jadi
hukuman kebiri tidak akan menyelesaikan
masalah.
Selain itu yang juga penting untuk digaris
bawahi adalah soal akuntabilitas pejabat
publik kita. Livia Iskandar dan juga Baby Jim
Aditya dan juga Kristi Poerwandari,
penulis-penulis di JP ini menggarisbawahi
pernyataan pejabat, pernyataan yang
sangat diskriminatif seperti Gubernur DKI
pernah mengatakan bahwa pemerkosaan
terjadi karena perempuan memakai rok
mini tahun 2011, Mendikbud mengatakan
bisa saja seorang gadis yang melaporkan
pemerkosaan melakukannya atas suka
sama suka pada tahun 2012 hingga pejabat
publik di Sumatera Selatan yang
menganjurkan tes keperawanan tahun
2013 dan sampai detik ini pada kasus
Yuyun, masih saja ada pejabat publik yang
mengatakan, ya mungkin saja itu suka sama
suka. Jadi ini adalah pernyataanpernyataan yang sangat tidak bertanggung
jawab dan seharusnya seperti di negaranegara lainnya, pejabat publik yang
membuat pernyataan-pernyataan yg tidak
bertanggung jawab seharusnya malu dan
mengundurkan diri.
Sebagai contoh kasus Rektor di Harvard,
AS, yang pernah memberikan pernyataan
bahwa perempuan yang tidak bisa masuk
bidang ilmu sains karena mereka kurang
ilmunya langsung mengundurkan diri,
karena pernyataan tersebut dianggap tidak
pantas diungkap pejabat publik. Jadi
menurut saya, pejabat publik harus punya
tanggung jawab
baru kemudian
masyarakat kita bisa mencapai keadilan
gender.
10
Nah, ibu-ibu dan bapak-bapak beserta teman-teman yang
saya kasihi, menurut saya memang apa yang dikatakan
Azriana Rambe Manalu benar bahwa kita harus
membereskan persoalan hukum ini, tetapi ternyata hukum
bukan yang satu-satunya penting di dalam menghentikan
kekerasan terhadap perempuan, ada peranan keluarga,
lingkungan terdekat, komunitas, dan masyarakat adalah
kunci untuk memberantas kekerasan seksual di halaman
202, wawancara dengan beliau. Termasuk juga tenaga
pimpinan institusi pendidikan, termasuk saya sebagai
dosen,, harusnya di kampus kita sendiri bisa menghentikan
kekerasan seksual dan juga bisa menegakkan keadilan
gender.
“Agama Islam itu tidak
pernah menganjurkan
kekerasan dan
perkawinan tidak
dibentuk atas dasar
kekerasan tetapi kasih
sayang”
Berikutnya saya ingin menyinggung sedikit, meskipun
sangat sensitif adalah soal agama. Kita tahu bahwa agama
Islam adalah agama yang besar, agama kasih sayang atau
yang dikatakan rahmatan lil alamin. Ayat pertama dalam
Alquran disebut: “Dengan menyebut nama Allah yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang”. Firman Allah mengatakan:
“Dan tiadalah kami mengutus kamu melainkan untuk
menjadi rahmat bagi semesta alam”. Pengasih dan
penyayang artinya apa? Artinya bahwa agama Islam itu
tidak pernah menganjurkan kekerasan dan agama Islam itu
selalu mengatakan berbuatlah baik, rahmat bagi semesta
alam. Masthuriyah Sa’dan menulis dengan sangat indah di
halaman 97 tentang apa itu fondasi Islam? Fondasi yang
dibuat atas dasar berbuat baik kepada sesama, memberikan
manfaat, saling membantu, larangan menipu, larangan
bertindak kekerasan dan menzalimi orang lain. Maka atas
dasar fondasi tersebut tidak benar bahwa Islam
membenarkan pemukulan terhadap istri dan memaksa istri
harus patuh terhadap suami, istri harus patuh kepada Allah
demikian pula suami. Alquran tidak pernah menyatakan
ketaatan kepada suami merupakan ciri-ciri perempuan yang
baik. Perkawinan tidak dibentuk atas dasar kekerasan tetapi
kasih sayang. Jadi kalau ada yang mempersoalkan kata
dharaba, ini kan yang dipakai sebagai rujukan, ayat 34 surat
An-Nisa, maksudnya bukan memukul tetapi menasihati,
karena Allah Maha Pengasih dan Penyayang tidak pernah
menganjurkan untuk menyakiti orang lain. Bagaimana
perkawinan sangat sulit, nah Islam memberikan solusinya
adalah selalu memberikan nasihat, selalu mendengarkan.
11
Maksud dari surat An-Nisa ayat 34 ini
sebetulnya penekanannya pada bagaimana perlakuan suami terhadap istri,
bagaimana laki-laki mengendalikan diri, itu
sebetulnya pesan dari ayat 34 tersebut.
Kita ini hidup di bumi nusantara, jadi kita
tidak mengenal apa yang disebut tradisi
jahiliyyah di masyarakat Arab, jahiliyyah
yang
menghalalkan
seorang
bayi
perempuan dibunuh hidup-hidup dan
dikubur hidup- hidup, perlakuan sadis
terhadap seorang perempuan adalah
pandangan umum mayoritas bangsa Arab
bahwa anak perempuan adalah aib
keluarga, membuat malu keluarga, dan
beban keluarga. Kita ini hidup di bumi
nusantara, Islam yang tumbuh di negeri ini
adalah cerminan budaya kita sendiri,
budaya nusantara yang menghargai
perempuan. Dan tokoh-tokoh yang
memimpin negeri ini ada yang perempuan
sepertidi bumi Nanggroe Aceh memiliki
pemimpin perempuan membanggakan
seperti Cut Nyak Dien di tahun 1848-1908.
Bahkan bapak-bapak dan ibu-ibu juga
teman-teman sekalian, kita harus sangat
kagum dengan Bumi Nanggroe karena
mempunyai pemimpin perempuan di abad
ke-17, selama 58 tahun perempuan
memimpin bumi ini setelah Sultan Iskandar
Muda II wafat pada tahun 1596, siapa
mereka? Safiyatuddin Tajul Alam menjadi
ratu dan memimpin selama 34 tahun
hingga 1675, Naqiyatudin Nur Alam
menjadi
ratu
disambung
dengan
Zakiyatudin Inayat Syah 1678 sampai 1688,
dia ini sangat spesial karena
dikenal
kegigihannya melawan
Inggris yang hendak membangun benteng
di bumi Nanggroe. Setelah Zakiyatudin
Inayat Syah meninggal, Kamalat Syah
menggantikan, dia menjadi ratu pada
1688-1699.
Setelah Kamalat Syah meninggal pada
tahun 1699 ini, kepemimpinan perempuan
di Aceh dihentikan oleh maklumat perintah
dari Mekah yang menyatakan perempuan
tidak boleh memimpin. Jadi, ibu-ibu,
bapak-bapak
yang
saya
kasihi,
sesungguhnya perempuan di bumi pertiwi
ini sudah berdaya sejak dulu, budaya kita,
sejarah kita memperlihatkan bahwa
perempuan itu sudah mulia dan pantas
untuk memimpin, itulah sebetulnya
budaya kita. Hanya budaya patriarki yang
terus menggerus kekuasaan mereka,
dihina dan dijadikan objek kekerasan. Saya
kira saatnya kita untuk kembali
memartabatkan perempuan di nusantara
ini, demi menyelamatkan generasi masa
depan dan saya selalu percaya bahwa
perempuan bersatu tak dapat dikalahkan.
Demikian, terima kasih.
Annisa Novianty Kurniawan (Pembawa
Acara):
Terima kasih ibu Gadis selaku Direktur
Eksekutif Jurnal Perempuan, acara
selanjutnya marilah kita sama-sama
mendengarkan pembacaan puisi dari Ibu
Zubaidah Djohar, di mana beliau adalah
Direktur Timang Research Center. Kepada
Ibu Zubaidah waktu dan tempat kami
sediakan.
12
4
PEMBACAAN PUISI
Zubaidah Djohar (Direktur Timang Research Center)
Assalammu’alaikum wr. wb. Terima kasih kepada mbak Gadis dan teman-teman Jurnal
Perempuan yang sudah memberi ruang bersama bagi kita untuk membaca “Puisi Mana Yang
Akan Kubacakan”.
Puisi Mana Yang Akan KuBacakan
Aku kehilangan kata-kata melihat luka berpacu menyembur di setiap liang kehidupan
Rahim-rahim ibu dicabik-hancur, oleh lidah-lidah patah anak mereka
Sekelebat kalimat, penuh sayat, menebas dinding Rahim ibu
“pakaianmu terlalu mini..”
“minuman keras, video porno penyebab birahi kami..”
“langkahmu itu mengundang hasrat tak terkendali..”
“harusnya kalian pandai menjaga diri..”
“beladiri, karate, bersikap tegas, keras, jangan lembek..”
“nah.. bila ini masih terjadi, engkau ya.. duhai perempuan ibu,
yang patut dipersalahkan.. malu pada diri, sudah menuntut,
masih ada kekerasan..”
13
Aku kehilangan kata-kata melihat nurani tercampak jauh dari negeri putih bersih itu
Kepercayaan runtuh di tengah alunan merdu ayat-ayat Syahdu Kekasih Kalbu
Berlindung pada penguasa? bergelimpang nista lahir penuh cerca dalam murka panjang.
Berlindung pada keluarga? Mangsa terbesar lahir dari sana, dalam senyap suara keperihan.
Berlindung pada wajah-wajah berkopiah suci? Di antara tangan mereka, nyaris penuh darah
Menyambar tubuh kaum ibu, anak-anak perempuan, bocah-bocah lelaki lugu
Entah, kopiah mana yang mampu merekatkan nyali
Berlindung pada keadilan? Keadilan yang mana?
Dari tangan siapa? Bagaimana bentuk rupanya? Siapa pembawanya?
Aku semakin kehilangan kata-kata melihat perampasan
Tubuh perempuan. Hinggap di segala lini. Hukum tak berkutik.
Hilang denyut. Bahkan, mati di bumi Syar’i.
Ya, negeri putih itu. yang sangat santun dalam simbol itu.
Tinggal sebut sesat.. Semua siap bertarung berparang serang.
Tak peduli paham hilang dari badan.Tinggal sebut haram..
Semua moncong berlakon suci, pasti datang tanpa diundang.
Siap menghadang melempar garang.Tinggal sebut perempuan durhaka
Segala kezaliman lelaki, pudar seketika. Musnah di ambang caci maki
Hilangnya jiwa.
Tapi ini tak berlaku di negeri kami
Yang sangat menyanyangi perempuan-perempuan kami
Yang menempatkan mereka pada martabat tertinggi.
Hingga hari ini semua mata terjerembab dalam bentang fakta yang sulit
Diingkari. Surat kabar kebanggaan mengirim berita lantang
Empat tahun terakhir. Seribu lebih anak perempuan
mengalami kekerasan seksual.
Tak ada soal benang pembungkus badan di sana
Tak ada soal mabuk arak, tayangan perangsang.
Tak ada soal lemah, hilang daya menjaga diri.
“Saya tak bisa mengendalikan nafsu..”
Ucapnya tertunduk lesu.
Dan.. kata-kataku semakin hilang dalam bentang zikir yang dikumandangkan.
Kejahatan kemanusiaan begitu nyata memberangus peradaban.
Masihkah kita memilih diam? Membungkam jeritan alam
Atas nyeri anak negeri, perempuan-perempuan ibu sendiri
dalam balutan suci yang tak membumi?
Yang hilang kekuatan. Mencincang
Persoalan hakiki, kehidupan
Manusia.
14
Negeri kita, negeri darurat kemanusiaan.
Darurat Kekerasan Seksual. Akankah kita pancangkan?
Mewujud dalam dekap peraturan yang melindungi
Kaum perempuan Nabi. Yang Ia sendiri
Berdiri tegak. Menyelamatkan!
Negeri ini butuh kerendahan hati, para penghuninya
Para penguasanya. Mengenali diri. Jalan Pulang.
Kebermaknaan hidup.
Suara-suara korban bukan gelimang kebisingan
Ia adalah amanah Kitab Suci yang memanggil sunyimu tiba
Menyembuhkan, membongkar segala isi kebenaran, keadilan
Tunaikan janji sebelum jingga membawa pergi
Karena, kesungguhan memanusiakan diri
Pintu peradaban. Akankah ia
Engkau ketuk?
Banda Aceh, 22 Mei 2016
Annisa Novianty Kurniawan (Pembawa Acara):
Terima kasih Ibu Zubaidah Djohar dan inilah acara yang kita tunggu-tunggu diskusi Pendidikan
Publik Jurnal Perempuan edisi 89 yang bertemakan Rancangan Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan Seksual dan saya akan limpahkan kepada Ibu Anita Dhewy, di mana beliau adalah
Sekretaris Redaksi Jurnal Perempuan dan juga moderator kita pada hari ini. Langsung saja saya
persilakan kepada Ibu Anita Dhewy.
15
5
DISKUSI
Anita Dhewy (Moderator, Sekretaris Redaksi Jurnal Perempuan)
Baik, saya panggilkan Kak Samsidar, Ibu Amrina Habibi dan Ibu Khairani Arifin mohon
berkenan maju ke depan. Assalammu’alaikum wr. wb. Selamat pagi bapak-ibu dan kawankawan semua. Ketiga pembicara yang ada di hadapan kita pada pagi hari ini tentu sudah tidak
asing bagi bapak ibu dan kawan-kawan semua, tetapi saya tetap akan memperkenalkan satu
persatu. Kita awali dari Kak Samsidar, Kak Samsidar saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan
Pengarah Nasional Forum Pengada Layanan yang bersama Komnas Perempuan juga
mendorong untuk pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Kak Samsidar seorang
aktivis yang fokus dengan isu perempuan dan sudah berkiprah dan berkarya tidak hanya di
Aceh namun juga di tingkat nasional. Pernah menjabat sebagai Komisioner Komnas
Perempuan dan pernah juga menjadi koordinator International Centre for Transitional Justice
dan juga menjadi ahli gender untuk sejumlah lembaga seperti Unifem Aceh, juga di IOM
(International Organization for Migration), organisasi yang berfokus pada migrasi dan juga
Aus-Aid. Pengalaman yang tentu saja sungguh luar biasa.
16
Lalu, pembicara kedua Ibu Khairani Arifin,
Dewan Pembina Pusat Studi Gender atau
PSG Universitas Syiah Kuala, beliau adalah
dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah
Kuala dan sekaligus pengurus Flower Aceh.
Ibu Rani menempuh studi Sarjana di
Universitas Syiah Kuala Fakultas Hukum
untuk jurusan Hukum dan Masyarakat
Pembangunan, lalu studi S2-nya diambil di
Universitas Sumatra Utara Medan
mengambil Ilmu Hukum juga. Ibu Rani
selain mengajar juga pernah menjabat
sebagai Ketua Pusat Studi Hak Asasi
Manusia atau PUSHAM Universitas Syiah
Kuala sejak 2009 hingga sekarang dan
menjadi Sekjen Tim Relawan Perempuan
untuk Kemanusiaan (RPUK) pada tahun
2000 hingga 2010 dan menjadi pengurus
LBH APIK Aceh pada tahun 2002 hingga
2010. Sebagai dosen sekaligus juga aktif di
dalam gerakan perempuan, Ibu Khairani
juga menulis di sejumlah jurnal.
Lalu saya juga akan memperkenalkan Ibu
Amrina Habibi, Sekretaris Pusat Pelayanan
Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan
Anak (P2TP2A) Provinsi Aceh. Ibu Amrina
saat ini menjabat sebagai Kepala
Subbidang Peningkatan Kualitas Hidup
Perempuan pada Badan Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh
dan juga sekaligus Kepala Subbidang Data
dan Kebijakan di lembaga yang sama.
Sebelumnya beliau menjabat sebagai
Kepala Subbidang Kebijakan dan Program
pada tahun 2013-2014 dan Kepala
Subbidang Peningkatan Kualitas Hidup
Perempuan sejak tahun 2009 hingga 2013.
Sebelum menjabat sebagai Kepala
Subbidang di Badan Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak, Ibu
Amrina bekerja sebagai staf pada Dinas
Pendidikan Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dan staf Bagian Hukum Sekda.
Ibu Amrina tercatat aktif dalam
berorganisasi dari mahasiswa bahkan
hingga saat ini.
Baik kita akan memulai diskusi kita pada
pagi hari ini, kita tentu masih ingat pada
akhir Januari 2016 lalu, Rapat Pleno Badan
Legislasi atau Baleg DPR RI tidak
memasukkan
RUU
Penghapusan
Kekerasan Seksual dalam Prolegnas
Prioritas 2016 tetapi RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual tetap masuk dalam
Prolegnas 2014-2019 artinya ini tetap
menjadi tugas atau mandat bagi DPR RI
periode 2014-2019 untuk mengesahkan
RUU ini. Nah kabar baik kita dengar bahwa
Rabu 14 Mei kemarin kita mendengar ada
perkembangan positif terkait RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual ini bahwa
DPR RI menyepakati RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual masuk dalam Prolegnas
Prioritas 2016. Kalau kita kilas balik ke
belakang, upaya untuk mendorong
lahirnya RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual ini sebenarnya sudah dimulai sejak
sepuluh tahun terakhir diinisiasi oleh LBH
APIK Jakarta kemudian pada 2014 Komnas
Perempuan bersama mitranya Badan, em
maaf
Forum
Pengada
Layanan
mengeluarkan usulan RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual sebagai lex specialis dari
KUHP. Nah, bersama kita sekarang sudah
hadir Kak Samsidar yang akan membahas
urgensi dari RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual
sebagai
payung
hukum
perlindungan bagi perempuan korban
kekerasan seksual dan bagaimana upaya
legislasi yang berjalan sejauh ini. Kepada
Kak Samsidar saya persilakan.
17
DISKUSI
“Kekerasan seksual adalah kejahatan
kemanusiaan, bentuk diskriminasi gender, dan
merupakan pelanggaran HAM yang harus
dihapus”-Samsidar
Samsidar (Ketua Dewan Pengarah Nasional Forum Pengada Layanan)
Terima kasih Anita, Assalammu’alaikum
wr. wb. Selamat pagi, salam sejahtera
untuk kita semua. Yang terhormat Bu Gadis
Arivia dan teman-teman dari Jurnal
Perempuan, teman-teman dari PSG
Unsyiah dan teman-teman dari Fakultas
Hukum, dan teman-teman lainnya serta
adik-adik mahasiswa yang saya cintai. Saya
diminta untuk membahas urgensi
Rancangan Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan Seksual sebagai payung hukum
perlindungan korban kekerasan seksual.
Sebagai mana tadi sudah disebutkan
Komnas Perempuan dan Forum Pengada
Layanan itu sudah menggagas penyusunan
naskah akademik Rancangan UndangUndang Penghapusan Kekerasan Seksual
dari
tahun
2014.
Kenapa
kami
menyusunnya? Sebagian data yang ada di
Komnas Perempuan itu berasal dari
pengalaman empirik teman-teman dari
Pengada Layanan yang ada di dua puluh
provinsi yaitu ada 115 lembaga yang
sehari-hari bekerja untuk penanganan
korban, salah satunya adalah korban
kekerasan seksual. Yang angka kekerasan
seksual itu semakin hari itu semakin
meningkat dan berkembang termasuk
bentuknya. Jadi kita itu paling sering
mendengar
pemerkosaan
tetapi
bentuknya bukan hanya pemerkosaan. Hal
tersebutlah yang sebenarnya membuat
bukan sekadar gelisah tetapi ada
konsekuensi yang diterima oleh korban,
keluarga, dan komunitas serta organisasiorganisasi yang menangani kasus-kasus
kekerasan seksual yang selama ini
sebenarnya
dianggap
sepi.
bukan
mendapat penghargaan tetapi kecaman.
18
Jadi sebenarnya teman-teman yang
bekerja untuk melayani, mendengarkan,
mendampingi korban itu bekerja dalam
situasi yang tidak populer bahkan
disalahkan dan sebagai organisasi
masyarakat yang banyak volunteer itu. Ya,
termasuk untuk kita di Aceh, seringkali
ketika menangani kasus kekerasan seksual
dari sisi biaya kami bahkan urun rembug.
Kalau pengacara juga paling pengacara
probono yang mendampingi tapi tetap juga
mendapat hujatan. Nah, hal seperti ini
kalau kita berbicara bagaimana kehadiran
negara dan kualitas hidup khususnya
perempuan termasuk anak perempuan
itu? Kekerasan seksual itu biasanya akan
membuat kehidupan korban dan bahkan
keluarganya itu menurun dari sebelum
terjadinya kasus kekerasan seksual.
Secara angka, setiap hari sedikitnya ada 35
perempuan termasuk perempuan yang
mengalami kasus kekerasan seksual, nah
setiap dua jam tiga perempuan Indonesia
menjadi korban kekerasan seksual. Nah,
apakah data ini baru tahun kemarin? Tidak,
ini data yang kita himpun selama dua belas
tahun tetapi itu belum dianggap. Dan
kekerasan seksual tadi Bu Gadis sudah
menjelaskan ketika ada kasus yang
mencuat dan sampai terdengar ke luar
negeri baru kemudian
pemerintah
bereaksi dan menetapkan darurat. Padahal
kedaruratan itu karena tidak tertanganinya
kasus kekerasan seksual dengan begitu
lama. Jadi, sudah bertumpuk-tumpuk tidak
ditangani. Nah saya bicarakan tadi ditanya
urgensinya, kita bicara dulu tentang fakta
sosial, setidaknya ada delapan kategori
bentuk kekerasan seksual pada saat ini.
Komnas Perempuan menyebutnya ada
lima belas tapi kita melakukan kajian, nah
ada pelecehan seksual, ada eksploitasi
seksual, ada pemerkosaan, ada pemaksaan
sterilisasi, ada pemaksaan perkawinan, ada
pemaksaan pelacuran, ada penyiksaan
seksual dan ada perbudakan seksual.
Sebelumnya penyiksaan seksual dan
perbudakan seksual ini hanya kita temui
ketika masa konflik bersenjata tetapi
pascakonflik bersenjata itu dilakukan
bukan oleh aparatur keamanan tetapi juga
oleh masyarakat biasa bahkan keluarga.
19
“Definisi perkosaan pada
KUHP sangat sempit dan
prosedur pembuktiannya
masih membebani
korban soal bukti”
Bagaimana fakta hukum yang ada? Saat ini kita
mengenal KUHP dan KUHP mengenal pemerkosaan,
sudah ada tetapi terbatas pada ruang lingkup definisi
yang sangat sempit hanya mengenal ya intercourse alat
kelamin dan prosedur pembuktiannya diatur di dalam
KUHAP itu masih membebani korban soal bukti. Mana
ada orang diperkosa di tengah keramaian dan lagi soal
bukti, banyak sekali, apalagi anak-anak dia
menghilangkan buktinya termasuk perempuan dewasa
karena itu suatu hal yang dianggap aib. Pelecehan
seksual tidak dikenali padahal pelecehan seksual juga
masif, biasanya permisif itu dimulai dari pelecehan
seksual sehingga dia meningkat pada bentuk kekerasan
yang lain. Ah biasa kok, memegang-megang, merabaraba kalau hal tersebut sudah biasa, biasanya akan
meningkat. Ada eksploitasi seksual diatur dalam
Undang-Undang Pornografi tetapi dalam penjelasannya
tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan eksploitasi
seksual. Pada pasal 4 Undang-Undang Pornografi
eksploitasi seksual dilekatkan dengan memamerkan
aktivitas seksual. Padahal ketika kita membicarakan
dalam konteks kekerasan seksual itu bukan
memamerkan tetapi itu ada orang yang menjadi korban
seperti yang saya katakan tadi. Akibatnya UndangUndang Pornografi tidak lagi menempatkan pornografi
sebagai ajang eksploitasi seksual sebagaimana niatnya
tetapi lebih pada kerangka moralitas yang berujung pada
kontrol seksual perempuan. Jadi ketika pelecehan
seksual terjadi dianggap perempuan yang tidak bisa
menjaga dirinya dan kemudian karena tidak bisa
menjaga dirinya, dikontrollah dia untuk berperilaku,
berekspresi termasuk berpakaian, ruang geraknya pada
malam hari dilihat bisa mengundang. Itu hal yang terjadi
di Undang-Undang Pornografi.
Penyiksaan dan perbudakan seksual tidak dikenal dalam
hukum pidana umum, hanya ada dalam hukum pidana
khusus yaitu konteks genosida dan kejahatan
kemanusiaan, itu Undang-Undang Pengadilan HAM.
Akibatnya penyiksaan yang terjadi berulang kali di luar
konteks pelanggaran HAM berat karena pelanggaran
HAM di Indonesia mengatur tentang serious crime ya,
pelanggaran berat HAM dan dia harus sistematis dan
meluas. Kalau yang ditemui di luar konteks pelanggaran
HAM itu tidak dikenakan.
20
Di sejumlah daerah itu mengatur tentang
larangan
prostitusi
yang
justru
mengriminalkan
perempuan
korban
eksploitasi seksual dan perdagangan orang
karena
yang
dianggap
perbuatan
kejahatan itu bukan eksploitasi seksualnya,
dan malah korban dikriminalkan bukan
sebaliknya. Padahal kan korban harusnya
dilindungi
dan
keadilannya
dinomorsatukan.
Ada
aturan-aturan
diskriminatif
yang
banyak
sekali
berhubungan
dengan
tubuh
dan
seksualitas perempuan yang lagi-lagi
mengriminalkan perempuan korban.
Sejumlah regulasi khusus yang ada pada
saat
ini
seperti
Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga, Undang-Undang Perlindungan
Anak, Undang-Undang Penghapusan
Tindak Pidana Perdagangan Orang
mengatur kekerasan seksual lebih luas dari
KUHP. Namun tidak bisa digunakan untuk
melindungi korban kekerasan seksual di
ruang lingkup yang tidak dimaksud oleh
undang-undang khusus ini, jadi dia
memang sangat khusus. Kalau anak itu
sebenarnya sudah lebih terakomodir juga
untuk yang perdagangan orang dan KDRT.
KDRT pun dia adalah delik aduan dan
sampai sekarang sebenarnya sedikit sekali
tentang marital rape, pemerkosaan dalam
rumah tangga yang diangkat. Bahkan kalau
pengalaman di Lembaga Pengadaan
Layanan hampir tidak ada yang diproses
lebih lanjut. Karena dari sisi penyidik pun
karena lagi-lagi visum et rebertum itu
menjadi landasan untuk hukum, sulit sekali
untuk kemudian ada pernyataan visum et
rebertum untuk pengakuan dari marital
rape.
Undang-Undang Hukum Pidana maupun
Undang-Undang Kesehatan, pada UndangUndang Kesehatan menekankan pada
larangan aborsi jadi larangan tanpa melihat
konteks pemaksaan aborsi. Padahal ada
orang yang aborsi itu dipaksa, bukan dari
dia. Tetapi ketika dia berada dalam sebuah
praktik terjadi aborsi, siapapun dia tidak
dipandang apakah dia korban langsung
dikriminalkan. Nah ini yang lagi-lagi
korbannya dipidanakan. Kitab Hukum
Pidana dan Hukum Acara ini revisinya
berjalan lambat bahkan kehilangan arah
kalau kita katakan sudah dari tahun
berapa, situasi ini bisa ditunjukkan dalam
sejumlah diskusi. Kalau kita mendiskusikan
pembahasan kekerasan seksual itu masih
dianggap persoalan susila atau kesopanan.
Padahal dan kalau itu kesopanan kan itu
sudah moralitas. Padahal kita tahu
faktanya itu adalah kejahatan, nah ini
paradigma yang sangat melekat, jadi benar
kalau Azriana mengatakan bahwa hukum
saja tidak menjawab. Tetapi bagaimana
paradigma dalam memandang kekerasan
seksual tersebut?
Nah, fakta sosialnya juga kekerasan seksual
itu menyebabkan dampak yang lebih masif,
jadi kalau dia mengalami kekerasan seksual
itu tidak hanya berdampak pada satu sisi
korbannya,
keluarganya
bahkan
komunitasnya. Kita melihat dari dampak
fisik sampai pada dampak hilangnya hakhak pendidikan, sosial, budaya bahkan
sebenarnya pencerabutan hak-hak politik
ketika seseorang sudah menjadi korban
kekerasan seksual. Jadi dia multidimensi
dampaknya, itu fakta sosial.
21
Fakta hukumnya KUHAP tidak menjadikan
korban sebagai subjek dalam peradilan
pidana, tidak mengatur mekanisme
melihat bagi korban, lebih mendekatkan
pada penghukuman dan itupun tidak
mudah. Kalau ibu-ibu melihat dicantumkan
di Jurnal Perempuan itu sedikit sekali yang
masuk wilayah hukum kalaupun sudah
diproses penyidikan dan proses lanjutnya
cuma sepuluh persen. Kemudian tanggung
jawab pada pelaku, itu tadi menyangkut
hukuman tanpa ada tanggung jawab untuk
pemulihan atau restitusi kepada korban,
jadi dia cuma kurungan tetapi bagaimana
dengan pemulihan? Karena bagi korban
ketika dia sudah mengalami kekerasan
pemerkosaan itu tidak akan bisa pulih
kalau pelakunya dihukum. Bagaimana
dengan kerusakan yang sudah dialaminya?
Kerusakan fisik maupun nonfisik itu tidak
ada dalam hukum kita. Tidak ada sanksi
apapun bagi petugas dan lembaga yang
menangani korban kekerasan seksual
apabila menghambat proses hak-hak
korban. Kita melihat ada hak-hak korban
untuk kebenaran, keadilan, pemulihan,
dan ketidakberulangan lagi, nah itu yang
tidak diatur, tidak ada. Jadi bisa saja
lembaga yang lain kalau misalnya dibentuk
SK, sanksinya tidak ada sanksi apapun.
Sanksinya hanya administratif dan di
lembaga masing-masing yang tidak bisa
dikontrol oleh hakim ketua sehingga
proses imunitas terjadi. Kita juga tidak
mengenal rekam jejak penyidik sampai
pada hakim yang mengaitkan kasus-kasus
kekerasan seksual, kita tidak punya rekam
jejak itu dan rekam jejak untuk misalnya
memandu SK untuk memberikan hukuman
yang pantas, itu menjadi pertimbangan
untuk kasus selanjutnya. Itu yang
menyebabkan
proses
pengadilan
mengalami banyak sekali hambatan
walaupun tidak bisa dibilang buntu.
Fakta sosialnya kekerasan seksual itu
adalah kejahatan terhadap kemanusiaan
dan itu mengenai diskriminasi gender, tadi
sudah dijelaskan dan itu adalah soal relasi
kuasa yang berdasarkan perbedaan jenis
kelamin. Karena tadi, ada otoritas politik,
otoritas
budaya,
dan
sebagainya.
Pelanggaran hak asasi manusia yang harus
dihapuskan itu fakta sosialnya ketika orang
sudah kehilangan nyawa, tidak bisa
sekolah, tidak bisa bekerja, terganggu
fungsi-fungsi
organ
reproduksinya,
psikologisnya
dan
termasuk
ada
kemiskinan. Ini kan sebenarnya kejahatan
atau pelanggaran hak asasi manusia. Tetapi
fakta hukumnya, kekerasan seksual adalah
persoalan kesusilaan, lebih melindungi
rasa kesusilaan masyarakat. Jadi kalau
masyarakat itu melihat yang tidak sopan
maka masyarakatlah yang dijadikan acuan
soal kesopanan. Nah jadi korbannya bisa
disalah-salahkan karena korban tidak
sopan, tidak bermoral.
Secara singkat kita menyebutkan bahwa
sistem hukum Indonesia belum secara
sistematis dan menyeluruh mampu
mencegah,
melindungi,
mengayomi,
memberdayakan
korban
serta
memberikan kesadaran pada masyarakat
untuk menghapuskan kekerasan seksual.
Atas dasar hal inilah mengapa penting
adanya undang-undang khusus tentang
penghapusan kekerasan seksual dan ini
menjadi lex specialis karena tidak bisa
diatur secara umum. Saya ingin
menampilkan apa saja yang diatur dalam
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini.
Tadi juga sudah dijelaskan kami sudah
bekerja untuk menyusunnya sebenarnya
sebelum 2014, tetapi 2014 mulai lebih solid
dan 2015 mulai mengajak orang- orang
untuk terlibat di dalam penyusunan, lagilagi orang tidak tertarik.
22
Forum Pengada Layanan dan Komnas Perempuan, kita
berkampanye hampir di seluruh wilayah Indonesia untuk
pengesahan, legislatif tidak tertarik walaupun sudah disms setiap hari. Baru kemudian kami pada 2016 masuk
dalam Prolegnas tambahan kalau Prolegnas tambahan
sebenarnya tidak ada garansi untuk dibahas. Kemudian
apa yang terjadi ketika tadi kasus YY di Bengkulu mencuat?
Kami tim penyusun yang selama ini bekerja dalam sunyi,
volunterisme didesak oleh berbagai pihak termasuk, ya
saya tidak bisa mengatakan, bagian legislatif, “Mana,
mana?” Nah, kami belum selesai karena membuat undangundang ini bukan persoalan yang mudah seperti memesan
roti, banyak hal yang harus dipertimbangkan tadi
bagaimana persoalan sosial, paradigma. Kita tidak mau
mengulangi Undang-Undang Pornografi jilid dua yang
keluar dari makna dan niat awalnya. Jadi tidak bisa
dipaksa-paksa, tapi sekarang dipaksa terus. Itu yang saya
“Produk hukum kita
ungkapkan adalah hal yang belum final walaupun sudah di
belum bisa mencegah dan dalam kerangka apa yang diatur sekadar menjadi
menangani kekerasan
pengetahuan publik. Kami menargetkan awal Juli naskah
seksual serta melindungi akan masuk menjadi rancangan undang-undang dan
penjelasannya, bukan penjelasan yang pasal sekian sudah
korban”
jelas tetapi akan membuat orang melihat konteksnya apa,
biar dia tidak dipolitisir lagi. Kami menargetkan awal Juli
itu semua akan dipublikasikan.
Saya ingin menjelaskan kerangkanya sedikit, ada asasnya,
kalau teman-teman melihat mungkin ada asas yang tidak
ada di dalam produk hukum yang tadi sudah saya
sebutkan. Yang salah satunya adalah penghargaan atas
keberagaman situasi dan kondisi korban, tidak ada asas itu
dalam KUHP karena tadi korban tidak dilihat sebagai
subjek hukum. Undang-undang kita masih mengakui
dengan keras dan kuat soal hak-hak pelaku bukan hak-hak
korban. Tujuannya bukan cuma menghukum tetapi
mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani,
melindungi korban itu yang selama ini miskin dari produk
hukum kita. Karena tadi kita terangkan dari sisi pemikiran
dan teori-teori feminist legal system justru menangani,
melindungi korban, nah inilah yang dimaksud sebagai
tujuannya menjamin terlaksana kewajibannya negara,
keluarga, partisipasi masyarakat, tanggung jawab
korporasi dalam mewujudkan lingkungan yang bebas
kekerasan seksual.
23
Jadi tadi Mbak Gadis sudah mengajak kalau
sebuah lembaga pendidikan dilihat sebagai
sebuah “korporasi” bahkan ya lebih ya, dia
harusnya sudah mulai ada sistem
pencegahan di sini. Adapun ruang
lingkupnya
penghapusan
kekerasan
seksual meliputi pencegahan, penanganan,
perlindungan yang selama ini perlindungan
tidak ada, dan pemulihan serta penindakan
pelaku. Yang selama ini ada adalah
penanganan dan penindakan pelaku. Jadi
untuk yang dua tidak ada. Ini pencegahan
yang bisa kita lihat meliputi bidang
pendidikan, infrastruktur, pelayanan
publik, tata ruang sampai sosial-budaya.
Tindak pidananya ada delapan, ada
pelecehan seksual, ada eksploitasi seksual,
ada pemerkosaan, pemaksaan sterilisasi,
pemaksaan
perkawinan,
pemaksaan
pelacuran, penyiksaan seksual dan
perbudakan seksual. Ada hak-hak korban,
hak atas penanganan, hak atas
perlindungan, hak atas pemulihan jadi
banyak sekali terobosan-terobosannya.
Nah karena dia lex specialis, ada acara
peradilan pidananya di dalam undangundang ini dari mulai pelaporan sampai
kepada pelaksanaan keputusan dan
pengawasan juga pengawasan putusan
pengadilan oleh hakim pengawas dan
pengamat khusus karena tidak bisa dia
hakim pengawas dan pengamat umum.
Untuk di kita kalau mau jujur sebenarnya
hakim pengawas dan pengamat putusan
belum berjalan dengan optimal. Ini ada
hukum acaranya dan juga kewajiban
melaksanakan hak korban. Soal alat bukti
juga ada terobosan jadi yang sangat ingin
saya garis bawahi keterangan seorang saksi
korban harus dianggap cukup untuk
membuktikan peristiwa kekerasan yang
didakwakan kepada terdakwa apabila
disertai dengan satu alat bukti lainnya. Jadi
ini sebenarnya merujuk pengalaman dari
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga, karena kalau tidak
begitu, kasus-kasus kekerasan seksual sulit
sekali ditangani dan diproses secara
hukum.
Ada pendamping korban juga saksinya,
selama ini pengalaman kita ya di dalam
kasus kekerasan termasuk yang diperkosa
oleh WH di Langsa, kami tidak boleh masuk
ke ruangan. Bahkan beberapa bulan yang
lalu termasuk di Bireun, pengacara korban
tidak boleh masuk karena memang yang
aktif itu pengacara pelaku. Ya untuk di
undang-undang ini ditekankan. Jadi banyak
hal ya bahkan untuk petugasnya akan
mengalami sanksi apabila tidak melakukan.
Saya rasa cukup dulu ya karena waktunya
terbatas nanti kita diskusikan.
Anita Dhewy (Moderator):
Baik terima kasih Kak Idar atas pemaparan
yang sangat menarik ya tentang fakta
hukum dan fakta sosial yang menjelaskan
bahwa RUU ini sangat penting untuk
segera disahkan. Belum lama kita juga
mendengar ya di Nagan Raya bahwa
seorang anak berumur delapan tahun
diperkosa lalu ada juga di Aceh Timur ada
anak yang diperkosa oleh beberapa orang
yang seumuran. Lima belas menit ke depan
kita akan mendengar paparan dari Ibu
Amrina Habibi yang akan menjelaskan dan
berbagi pengalaman tentang bagaimana
upaya yang dilakukan oleh Pemerintah
Aceh dalam penanganan korban kekerasan
seksual. Ibu Amrina, saya persilakan.
24
DISKUSI
“Masih banyak kendala teknis di lapangan
dalam menangani korban kekerasan seksual”Amrina Habibi
Amrina Habibi (Sekretaris Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan
Perempuan dan Anak P2TP2A Provinsi Aceh)
Assalammu’alaikum wr. wb. Syukur Alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allah SWT.
Sholawat serta salam kepada baginda junjungan Muhammad SAW. Yang kami hormati Bu
Gadis Arivia dari Jurnal Perempuan beserta dengan timnya. Kami memberikan apresiasi atas
pelaksaan kegiatan pada pagi hari ini dengan memberikan suatu ruang untuk kemudian
mendatangkan salah satu solusi guna mencegah, menangani dan melakukan pemberdayaan
pada korban kekerasan seksual, khususnya. Teman-teman, teristimewa beberapa dosen kami
yang ikut hadir di sini yang hampir semuanya adalah orang-orang terpilih yang mempunyai
komitmen yang luar biasa. Di sini sebenarnya ada Ketua P2TP2A Provinsi Aceh tetapi karena
beliau saat ini sedang dalam cuti maka saya yang diberikan kepercayaan menggantikan beliau
untuk menyampaikan beberapa hal terkait dengan pengalaman yang dialami dan dilakukan
oleh P2TP2A Provinsi Aceh terkait dengan pencegahan, penanganan dan pemberdayaan
kepada perempuan korban kekerasan seksual.
25
Pertama kami ingin menyampaikan bahwa
sebenarnya bicara soal regulasi bahwa
Pemerintah Aceh sudah memberikan
respons dengan adanya beberapa Qanun.
Katakanlah Qanun No. 6 tahun 2009 tentang
Pemberdayaan Perempuan dan Qanun No. 8
tahun 2011 tentang Perlindungan Anak.
Beberapa pasal di sana dengan sangat tegas
menjelaskan tentang tanggung jawab dan
kewajiban kepada Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota untuk memberikan dan
mengembangkan Pusat Pelayanan Terpadu
yang tentunya harapannya adalah bisa
bekerja pada tiga level yaitu pencegahan,
penanganan dan pemberdayaan. Kemudian
secara spesifik ada satu Pergub sebenarnya
yang menjadi indikator dan panduan buat
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Pergub ini dulu diinisiasi oleh Ibu Khairani
dengan bantuan dari program Logika,
Pergub No. 109 tahun 2013 tentang Standar
Pelayanan Minimal bagi perempuan dan
anak korban kekerasan di Aceh. Ini
menegaskan bahwa Bupati dan Walikota
beserta juga dengan Gubernur itu
menetapkan kebijakan dan anggaran untuk
pemenuhan hak perempuan dan anak
korban kekerasan. Pada salah satu pasal
yang lain kewajiban untuk membentuk dan
mengembangkan P2TP2A dengan prinsip
koordinasi dengan lembaga lainnya
menyangkut dengan lima jenis pemenuhan
layanan dasar kepada korban. Akan tetapi,
persoalannya
adalah
tentu
pada
implementasinya yang sangat menjadi
kendala sehingga beberapa bulan terakhir
merespons situasi terkini dengan perubahan
undang-undang pemerintah daerah ada satu
harapan besar yang kami harapkan bisa
terjadi terkait dengan upaya untuk
meningkatkan status nomenklatur dari
badan ataupun kantor yang menangani
urusan pemberdayaan perempuan. Karena
ini menjadi salah satu akar masalah yang
kemudian berimbas pada kerja-kerja yang
dilakukan oleh unit pelayanan terpadu.
Bapak-ibu bisa bayangkan bahwa masih ada
urusan pemberdayaan perempuan yang itu
hanya menjadi subbidang di bawah
Sekretariat Pemerintah Daerah, hanya satu
kabupaten/kota yang statusnya kantor, yang
lainnya itu bercampur aduk, ada bercampur
dengan BBM dan lain-lain, hanya provinsi
yang berdiri mandiri, ini menjadi akar
permasalahan. Kenapa? Karena ini berbicara
dengan besarnya kewenangan yang dimiliki,
berkaitan juga dengan sumber daya manusia
yang tersedia, berbanding lagi dengan
populasi dan jumlah penduduk. Misalnya
seperti Aceh Utara, dia hanya memiliki 28
orang pegawai di Kantor Pemberdayaan
Perempuan sementara kecamatan dan
desanya itu ada 840 desa, jadi bisa
dibayangkan.
Ditambah lagi ada pelanggengan stigma
bahwa sumber daya manusia, pejabat yang
kemudian ditempatkan itu mayoritas
perempuan karena yang dibangun itu adalah
urusan perempuan harus diselesaikan oleh
perempuan. Kemudian bisa kita lihat lagi
bahwa bicara soal kapasitas dan kualitas ini
menjadi masalah. Kemudian bicara juga soal
koordinasi, bagaimana kita bisa membangun
dan melakukan koordinasi kalau status kita
ini, eselon kita ini, berada di bawah lembaga
yang harus kita lakukan advokasi, ini menjadi
masalah teman-teman. Kami pikir merebut
peluang untuk mengadvokasi supaya
undang-undang ini nanti bisa berkontribusi
secara baik pada status dari badan atau
lembaga yang akan menangani kasus
kekerasan perempuan ini menjadi tanggung
jawab bersama. Karena pada beberapa
indikator sangat tergantung dari temanteman yang berada dalam jaringan sipil.
Nanti ada pertanyaan menyangkut dengan
berapa banyak jumlah lembaga, organisasi
yang bekerja untuk isu pemberdayaan,
perlindungan perempuan dan anak.
Kemudian bicara juga bahwa soal anggaran
untuk pemerintah provinsi. Ya untuk BP3A
Provinsi persoalan anggaran saat
ini
menjadi anggaran tertinggi dari
26
seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Kita
pernah mendapatkan angka walaupun kalau
mau dibuat perbandingan dengan SKPA
yang lain ini masih belum cukup memadai.
Tetapi kalau kita buat perbandingan dengan
Indonesia, Provinsi Aceh itu mendapatkan
anggaran yang sangat besar sekitar 33 M
dengan Sumatra Utara mereka hanya 2,5 M
hanya dengan Kalimantan yang punya
perbandingan cukup berimbang dengan
provinsi Aceh. Kemudian bicara soal
operasional juga terkendala, teman-teman
ketika turun ke lapangan tidak punya
mobilisasi, tidak punya kendaraan dan juga
bicara soal masalah, masalahnya ada di
mekanisme
penganggaran
dan
perencanaan. Sampai hari ini kita belum
punya mata anggaran khusus kalau mau
dibuat lagi anggaran yang sangat spesifik
untuk korban ini masih membutuhkan
advokasi. Kita sudah melakukan lobi-lobi
dengan Dinas Keuangan Aceh agar
kemudian mata anggaran khusus untuk
pemenuhan hak kepada korban itu akan
keluar dengan nomor rekening yang
tersendiri, karena apa? Kalau bicara pada
penerapan SPM, rehabilitasi dan reintegrasi
sosial, misalnya, ada di bawah Dinas Sosial.
Tetapi ternyata mata anggaran di Dinas
Sosial tidak mampu mengakomodir kriteria
korban kekerasan seksual yang kita tangani.
Jadi masih membutuhkan satu tahapan
untuk advokasi lebih lanjut.
Bapak-ibu sekalian yang berbahagia kalau
bicara soal jumlah kasus mungkin semuanya
sudah tahu bahwa terjadi lonjakan kasus
yang sangat luar biasa. Untuk tiga tahun
mulai dari 2013 sampai 2015 kasus terhadap
perempuan, P2TP2A Aceh mencatat dan
menangani hampir 1387 kasus dan 954 itu
memang dominannya adalah
kasus
kekerasan dalam rumah tangga atau sekitar
70,4% kasus KDRT, pada korban yang
perempuan dewasa itu pemerkosaan ada 45
kasus persentasenya adalah sekitar 3,41%,
sementara pada kasus kekerasan terhadap
anak dengan jumlah total 854 kasus,
perkosaan itu 270 kasus atau sekitar 31,6%
sebuah angka yang sangat luar biasa.
Mungkin teman-teman akan bertanya
apakah Badan Pemberdayaan Perempuan
tidak melakukan apa-apa? Kami ingin
menyatakan bahwa kami sudah bekerja, kita
sudah berbuat dan menggunakan peluang
untuk melakukan revitalisasi terhadap
P2TP2A Kabupaten/Kota itu dari tahun 2013
dan dampak dari revitalisasi itu berdasarkan
pemetaan
yang dilakukan
lembaga
independen dari kampus UIN Ar-Raniry,
posisinya yang kemudian dapat kami
katakan sebagai kinerja dari hasil revitalisasi
bahwa saat ini ada lima kabupaten/kota
yang P2TP2A dapat kita kategorikan sebagai
yang maju, berkembang, sudah bagus
artinya ketika datang kasus bisa dilayani,
bisa ditangani dan bisa dirujuk. Akan tetapi,
ada dua belas yang statusnya masih
berkembang artinya sudah mulai berjalan
tetapi dengan masih banyak catatan-catatan
dan mirisnya ada lima yang sama sekali
belum berjalan, masih masuk pada kategori
dasar dan salah satunya adalah kabupaten
yang aksesnya sangat jauh dari provinsi yaitu
Kabupaten Simbuluh. Ternyata temanteman
berdasarkan
hasil
laporan
masyarakat kasus kekerasan seksual di sana
itu sangat luar biasa. Dalam minggu ini kami
mendapatkan tiga email laporan dari Forum
Anak Kota Simbuluh melaporkan tentang
kasus kekerasan seksual dan intervensi yang
diberikan oleh Pemerintah Daerah setempat
itu belum cukup merupakan upaya yang
menggembirakan buat kita semuanya.
27
“Kendala lapangan
khususnya yang dialami
oleh teman-teman
pendamping baik
sebagai psikolog,
sebagai paralegal,
sebagai pengacara kami
menghadapi masalah
hari ini yaitu belum
memiliki rumah aman”
Merujuk juga kepada hasil pemetaan fungsi P2TP2A, ada
empat hal yang kemudian hendak diberikan respons oleh
Pemerintah Provinsi yang pertama adalah memastikan
adanya regulasi soal advokasi anggaran untuk P2TP2A.
Hari ini ada P2TP2A yang punya uang hanya dua puluh juta
dengan jumlah penduduk hampir 6.000. Kemudian
advokasi pengembangan P2TP2A ketika ada keperluan
pada tiga unsur, unsur masyarakat, unsur dunia usaha dan
unsur pemerintah. Kita harus punya manajemen, harus
punya mekanisme, kerjasama yang terukur yang
kemudian ini bisa dipertanggungjawabkan kaitannya
dengan pengayaan dan akses mata anggaran yang beda
sehingga kemudian tidak menjadi masalah bagi pejabat
masalah teknis keuangan.
Yang berikutnya adalah kerja jamaah tidak bisa hanya
kerja pemerintah, tadi Kak Samsidar sudah katakan bahwa
kita harus bergerak bersama-sama untuk melakukan satu
rekayasa mengubah situasi dan kondisi bukan berbicara
pada saat kasus terjadi. Tetapi mengapa dan bagaimana
mencari akar masalahnya? Melakukan suatu upaya untuk
membangun edukasi pada masyarakat agar sedini
mungkin bisa menjaga diri, mencegah. Bapak-ibu sekadar
untuk diketahui misalnya ada Qanun No. 10 tahun 2008
tentang 18 Perkara, baru-baru ini kami melatih sekitar dua
puluh aparat gampong. Mereka tidak pernah tahu tentang
Qanun ini bahwa ada hal-hal, kasus-kasus perkara
termasuk kasus-kasus kekerasan seksual yang harusnya
tidak menjadi ranah mereka untuk diselesaikan baik
internal maupun eksternal. Ingin kami sampaikan juga
beberapa kendala lapangan khususnya yang dialami oleh
teman-teman pendamping baik sebagai psikolog, sebagai
paralegal, sebagai pengacara kami menghadapi masalah
hari ini yaitu belum memiliki rumah aman.
Ada rumah aman yang berada di bawah koordinasi Dinas
Sosial tetapi kriterianya tidak bisa menampung korbankorban kekerasan yang kita tangani sepenuhnya. Jadi kita
memang butuh konsep rumah aman yang lebih
komprehensif. Untuk provinsi dalam waktu dekat
kemungkinannya kita bisa menggunakan fasilitas gedung
P2TP2A. Alhamdulillah ini juga berdasarkan perjuangan
bersama kita sudah punya kantor yang cukup
komprehensif dengan tiga lantai dan luas yang sangat
lumayan. Salah satu lantainya akan kita gunakan sebagai
center sementara tetapi itu juga tidak sepenuhnya
menjawab persoalan, kenapa?
28
Ternyata dari pengalaman kami selama ini
proses rehabilitasi dan reintegrasi kepada
korban itu juga menjadi masalah. Kasus
yang terbaru bagi P2TP2A Kota Banda Aceh
baru melahirkan masa darurat mungkin
sepuluh hari tetapi bagaimana setelah
sepuluh hari ini apa yang akan kita
lakukan?
Bicara soal aparatur gampong kami
sebenarnya pada forum hari ini, aparatur
gampong mungkin beberapa diantaranya
bisa ikut diskusi ini, supaya mereka juga
bisa mendapatkan wawasan begitu juga
dengan aparat penegak hukum. Aparatur
gampong dari pengalaman teman-teman
sering melakukan bujuk rayu kepada
korban agar tidak membawa kasus ini ke
ranah hukum dan mereka ternyata
mendapatkan bayaran dari pelaku. Kami
pernah menemukan kasus pak keuchiknya
dibayar dua puluh juta oleh pelaku
sehingga kemudian membujuk korban
untuk tidak meneruskan, “Kita diam-diam
saja,” katanya. Ada juga kebijakankebijakan desa karena faktor relasi kuasa
karena ketidakpahamannya memilih untuk
mengusir korban bukan mengusir pelaku.
Padahal kalau kita bicara kesadaran saja itu
pelaku yang harus diusir bukan korban,
apalagi kalau statusnya korban itu hamil itu
menjadi lebih berat.
Kaitannya dengan aparat penegak hukum,
secara umum walaupun tidak semuanya,
penyidik kepolisian maupun kejaksaan
jarang ada yang mau menggunakan satu
alat bukti dan ini menjadi masalah.
Anehnya, akhirnya kadang-kadang yang
dihadirkan untuk menghadirkan alat bukti
baik saksi itu adalah pelaku. Kami di
P2TP2A ini yang kerepotan mencari, ya tapi
situasinya memang seperti itu. Kemudian
juga perspektif hakim terhadap korban
dalam pemeriksaan perkara seringkali
masih
melontarkan
pertanyaanpertanyaan yang sangat tidak pantas dan
mengiris hati korban karena sangat miris
dengan pertanyaan-pertanyaan yang
sangat vulgar, dengan pertanyaanpertanyaan, “Anda menikmati?”, “Kalau
lebih dari satu kali anda pasti menikmati?”
Saya ingin mengatakan tulisan ini saya
angkat berdasarkan pengalaman temanteman, Kak Dina Ketua P2TP2A
mengatakan bahwa untuk penegak hukum
bahkan pendamping haruslah cerdas,
kreatif, dan juga sensitif untuk
mengungkap kasus, kenapa? Ketika itu kita
punya, artinya pendamping itu harus
punya skill yang lebih yang akan
memengaruhi kebijakan, memengaruhi
keputusan dan itu sudah kita buktikan.
Tahun 2013 ketika kita fokus untuk
pendampingan kasus itu sulit sekali masuk
ke persidangan, misalnya. Sulit sekali untuk
bertemu dengan aparat penegak hukum
tetapi ternyata berdasarkan hubungan
emosional, sering kali dilihat, seringkali
datang, ini berimbas pada hubungan yang
akan sangat menguntungkan bagi korban.
Misalnya dulu ya, pada 2013 putusan yang
diberikan penegak hukum itu rata-rata 4
sampai 6 tahun ya. Tetapi di tahun ini
malah ada tuntutan putusan hakim itu
yang melebihi dari jaksa, dituntut 20 tahun
dengan denda 5 M itu belum pernah
terjadi. Artinya jaksanya sudah mulai,
ketika kita memang sudah melakukan
pendekatan-pendekatan. Kemudian yang
berikutnya teman-teman di lapangan itu
menurut kami sudah banyak mencapai
catatan keberhasilan walaupun masih
punya banyak masalah yang tetap harus
kita selesaikan. Bahwa bicara tentang
29
membangun jaringan dengan lintas sektor
pemenuhan hak-hak anak korban
kekerasan, satu tadi sudah ada mulai
muncul keputusan-keputusan yang sudah
cukup adil walaupun masih dengan
catatan. Kemudian juga ketika mampu
melakukan lobi dan negosiasi pada saat
kita
kehabisan
anggaran
untuk
penanganan kasus di P2TP2A maka
misalnya jaksa bisa mengalokasikan dana
untuk menghadirkan pengacara, ini yang
sebelumnya tidak pernah ada. Jadi kita
dengan ini bisa melakukan pressure, “Pak
kami sudah tidak punya duit, anda punya
kewajiban kalau memang kami harus hadir,
kami akan hadir kalau difasilitasi oleh
kejaksaan yang bersangkutan,” dan ini
sudah mulai terjadi. Kemudian yang
berikutnya dana untuk pembuktian sudah
mulai ditanggung oleh aparat penegak
hukum dan kerjasama untuk melakukan
rujukan. Bahwa di provinsi, misalnya,
Rumah Sakit Zainal Abidin sudah punya Poli
KDRT, Rumah Sakit Ibu dan Anak menerima
rujukan korban kasus perempuan dan anak
gratis, PPT Rumah Sakit Bhayangkara juga
seperti itu. Tapi yang masih menjadi
persoalan adalah dana untuk melakukan
visum. Visum secara gratis ini masih
menjadi persoalan apalagi di 23
kabupaten/kota. Kalau hari ini misalnya
Rumah Sakit Bhayangkara melakukan
visum itu berdasarkan dana yang
ditempatkan
Badan
Perlindungan
Perempuan dan Anak Provinsi Aceh.
Barangkali ini beberapa hal yang dapat
kami sampaikan dengan satu harapan
bahwa kami sangat menerima untuk
menerima masukan.
Ya, ini adalah kerja bersama dan kami tidak
mungkin bisa sendiri melakukan ini.
Dengan terus mendorong partisipasi yang
tinggi dari masyarakat, di samping secara
internal dan eksternal kita harus
melakukan
penguatan
kapasitas,
memperluas jaringan kerjasama dengan
sejumlah organisasi dan lembaga, dan
mengintegrasikan isu ini, misalnya dalam
kurikulum
Dinas
Pendidikan
ya.
Membangun kerjasama, misalnya, ketika
kabupaten/kota mengeluhkan tentang
ketiadaan pengacara maka harus ada
kerjasama dengan Fakultas Hukum,
misalnya, supaya ada alokasi beasiswa
untuk kemudian ketika selesai sarjana,
mereka diberikan pendidikan khusus untuk
menjadi paralegal yang sensitif terhadap
korban. Begitu juga dengan Fakultas
Psikologi Unsyiah misalnya, kenapa?
Karena kabupaten/kota tidak punya
psikolog-psikolog. Jadi mudah-mudahan
ini bisa diperbaiki ke depan sehingga kita
bisa melakukan dan khususnya kami bisa
memenuhi hak korban yang lebih
berkeadilan. Demikian terima kasih, lebih
dan
kurang
saya mohon
maaf,
wassalammu’alaikum wr. wb.
Anita Dhewy (Moderator):
Terima kasih Ibu Amrina, paparan tadi
membuka mata kita ya bagaimana
kompleksnya persoalan kekerasan seksual
ini, banyak sekali hambatan-hambatan,
tantangan-tantangan yang ini menjadi
kerja bersama kita. Kita akan mendengar
ulasan dari ibu Khairani yang akan
mengupas soal bagaimana sebenarnya
kontribusi dari feminis legal theory atau
teori hukum feminis bagi lahirnya RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual. Kepada
Ibu Khairani saya persilakan, lima belas
menit ke depan, terima kasih.
30
DISKUSI
“Feminist Legal Theory (FLT) menggugat hukum
yang menggunakan pola pikir dan logika
patriarkis”-Khairani Arifin
Khairani Arifin (Dewan Pembina Pusat Studi Gender Universitas Syiah
Kuala)
Terima kasih Anita, Assalammu’alaikum wr. wb. Segala puji bagi Allah SWT, sholawat salam
keharibaaan Rasulullah SAW. Selamat pagi dan salam sejahtera buat kita semua. Bapak ibu
sekalian hari ini saya pikir sedikit istimewa ketika saya berangkat dari rumah tadi, saya pikir
yang hadir adalah orang-orang yang berbeda ternyata yang hadir adalah orang-orang yang
seperti ini terus-menerus di setiap pertemuan. Selamat datang pejuang, ya dimana-mana
orangnya cuma ini saja. Saya berharap ada orang lain yang tertarik untuk mendiskusikan
diskusi seperti ini di masa depan. Baik, Ibu Samsidar sudah menyampaikan banyak hal tentang
mengapa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini begitu penting dilakukan sekarang dengan
berbagai upaya yang dilakukan oleh teman-teman Lembaga Pengada Layanan juga Komnas
Perempuan dan teman-teman lain yang sudah saya katakan.
31
Amrina sudah banyak sekali memaparkan
tentang kondisi-kondisi korban yang ada di
Aceh berikut upaya-upaya pemerintah
yang sudah dilakukan. Walaupun sampai
kini kita masih mendengar korban masih
menjerit-jerit, memohon agar hak-hak
mereka dipenuhi, baik hak hukum,
ekonomi maupun hak pemulihan yang lain.
Kalau berbicara mengenai feminist legal
theory sebenarnya kita bisa melihat banyak
contoh persoalan-persoalan hukum yang
berada dalam peraturan hukum kita. Tadi
Samsidar sudah menyampaikan banyak hal
yang terkait dengan ini, di KUHP sendiri
banyak sekali hukum yang patriarki. Ia
hanya mengenal bentuk pemerkosaan
yang sifatnya itu eksklusif, dia benar-benar
hanya dengan menggunakan penis dan
sebagainya, tidak mengenal model-model
kekerasan seksual yang lain, kemudian
untuk pembuktiannya juga sangat rumit di
mana harus ada visum kemudian yang
berikutnya harus dengan dua orang saksi
yang sulit sekali diperoleh oleh korbannya.
Di lingkup KDRT juga membahas perihal
kekerasan seksual tetapi itu hanya terbatas
yang terjadi dalam rumah tangga.
Kemudian
dalam
Undang-Undang
Pornografi disebutkan juga oleh Ibu
Samsidar di mana perempuan itu malah
dikriminalkan menjadi pelaku tidak dapat
melihat
bagaimana
kondisi
relasi
kekuasaan di dalam prosesnya. Kemudian
Aceh sendiri, kita juga kaya akan
pengalaman-pengalaman yang kalau kita
kaji Qanun Jinayah, misalnya Qanun No. 6
tahun 2014 di situ juga diatur mengenai
kekerasan
seksual
khususnya
pemerkosaan
kemudian
pelecehan
seksual. Tetapi sekali lagi kita menemukan
bahwa budaya patriarki ada di
belakangnya,
mengapa?
Perspektif
penyusunnya itu masih pada perspektif
pelaku dan melihat bagaimana cara
menyelamatkan pelaku. Contohnya adalah
misalnya pasal yang berbicara mengenai
apabila pelaku bersumpah bahwa tidak
melakukan pemerkosaan dan sebagainya
maka hakim bisa mengatakan melepaskan
dia dari tuntutan. Ini kan tujuannya untuk
melindungi laki-laki baik-baik atas tuduhan
dari melakukan kekerasan seksual. Ini
adalah contoh-contoh bahwa hukum itu
disusun dan dibuat oleh orang-orang yang
masih memegang budaya patriarki di
belakangnya dan masih banyak lagi
peraturan-peraturan hukum yang lain yang
bisa membuktikan bahwa hukum itu
patriakis, maaf kalau nanti salah.
Untuk konteks Aceh saya sudah mengulang
bagaimana peraturan tadi berkontribusi
menciptakan kekerasan, diskriminasi, dan
sebagainya. Kalau tadi yang disampaikan
oleh Ibu Amrina tadi kita punya pusat
layanan yang sudah diperkuat dan
sebagainya, kita masih melihat bahwa
kasus kekerasan seksual ini dicatat oleh
Jaringan Pemantau Aceh dalam catatan
tahun lalu. Tahun 2015 disebutkan bahwa
kekerasan seksual yang ada di Aceh ini
pelakunya tidak tersentuh oleh hukum.
Mereka masih bebas berkeliaran padahal
korban sudah mengaku dan menunjuk
pelaku bahwa dialah yang telah melakukan
pemerkosaan kepada saya. Tapi itu oleh
kepolisian tidak pernah dijadikan bukti
karena tadi dibutuhkan visum kemudian
dibutuhkan dua orang saksi dan korban
tidak bisa menyediakan saksi itu. Ini
sepenuhnya dilema kita ke depan untuk
pemenuhan hak korban.
Kemudian banyak sekali kasus kekerasan
seksual
yang
diselesaikan
melalui
mekanisme adat dengan mengacu pada
Qanun No. 10 tahun 2008 mengenai
penyelesaian kasus-kasus secara adat yang
ada 18 itu. Nah ketika kasus diselesaikan
secara adat, Ibu Amrina mengatakan tadi
32
bahwa perspektif aparatur penegak hukum
sedikit sekali yang punya keberpihakan
terhadap korban. Sehingga putusanputusan pengadilan itu hanya menikahkan
korban dengan pelakunya, membayar
ganti rugi kepada korban dan selesailah.
Menganggap bahwa kekerasan seksual itu
adalah jual beli, kekerasan seksual itu
adalah transaksi. Sama sekali tidak melihat
dampak baik secara fisik, psikologis, dan
sebagainya kepada perempuan itu dan
semua orang merasa puas termasuk
keluarga korban. Di Simbuluh, misalnya,
guru memerkosa muridnya sendiri dan ia
guru agama kemudian hanya membayar
sepuluh juta kepada keluarga korban maka
dia sudah selesai dengan itu. Sayangnya
kepolisian juga ikut menangani berita acara
penyerahan uang itu. Persoalan seperti ini
misalnya membuat hukum kita ini sangat
patriarki. Kemudian hukuman bagi pelaku
juga masih ringan. Tadi Bu Amrina bilang
memang benar hakim sekarang sudah
melihat bahwa kasus kekerasan seksual
adalah kasus yang serius dan hukuman
yang cukup besar sampai dengan ancaman
dua puluh tahun, bagus sih kami bangga
dengan itu. Tetapi kalau acuannya masih
KUHP ini hanya bisa menjerat kekerasan
seksual yang sifatnya eksklusif, khusus
yang menggunakan kelamin, lagi-lagi
padahal kekerasan seksual lebih luas, lebih
jauh, dari yang Samsidar sampaikan tadi
ada delapan bentuknya.
Kita juga senang dan bangga ya bahwa
BP3A itu sudah cukup memperkuat
lembaga layanan tapi tidak bisa dipungkiri
P2TP2A banyak yang mati suri di
kabupaten/kota. Jadi kalau kita datang ke
sana masih melihat bahwa P2TP2Anya
belum berjalan. Padahal Aceh adalah
lumbung dana tetapi kita tidak/belum bisa
mengalokasikan
anggaran
untuk
pelayanan korban kekerasan di Aceh
khususnya agarn penanganan itu bisa
berjalan dengan baik. Jadi sayang sekali
uang 13 triliun dalam satu tahun anggaran
saja P2TP2A hanya dua puluh juta untuk
korban yang jumlahnya sangat banyak
sekali di daerah itu. Benar-benar sangat
tidak masuk akal menurut kita, menurut
mereka masuk akal, menurut kita tidak.
Di komunitas kita ada dua hal yang terjadi
yaitu pemerintah mendiskusikan persoalan
kekerasan seksual ini sering disebut
memalukan. Kalau kita diskusi dengan
pemerintah kota seringkali mengatakan di
wilayah kami tidak ada kekerasan,
semuanya baik-baik saja dan aman-aman
saja. Kadang-kadang, maaf ya Bu Amrina,
BP3A sendiri yang ada di sebelah saya
bahkan beliau juga menganggap hal yang
sama. Jadi bahwa, “Jangan mendiskusikan
inilah, kita diskusikan saja tentang
pornografi jadi perempuan seharusnya
berpakaian dengan benar dan sebagainya,
dan sebagainya,” itu masih terjadi di
tengah-tengah kita. Berikutnya masyarakat
masih menganggap kekerasan seksual
adalah aib jadi harus ditutupi. Untuk bisa
menutupi apa namanya kehidupan sosial
yang lebih nyaman, aman di desa, sama
sekali tidak memerhatikan perasaan,
kehidupan dan rasa keadilan korban, itu
sedikit sekali dan dampaknya pasti banyak.
Kawan-kawan pasti tahu dalam keseharian
kita karena di sini yang hadir adalah orangorang yang selama ini memang melakukan
ini semua. Masih ada diskriminasi,
pengabaian, kesenjangan hak dan biasanya
pelaku lebih diuntungkan karena aparatur
penegak hukum baik di tingkat gampong
maupun di tingkat yang lebih formal
sifatnya belum bisa meninggalkan cara
berpikir atau pola berpikir yang patriarkis.
33
“Konsep feminist legal
theory ini sampai hari ini
belum banyak dikenal di
tingkat universitas atau di
tingkat lain, sehingga
hukum yang diproduksi
bias gender”
Lalu apa sumbangan dari feminist legal theory? Kita
melihat bahwa konsep-konsep untuk melihat hukum
secara lebih adil dalam berbagai pandangan bukan
hanya pandangan-pandangan patriarki itu mulai
dikembangkan. Jadi orang mulai melakukan kritikankritikan terhadap aturan hukum itu baik dari tulisantulisan, konsep-konsep terus dibuktikan bahwa hukumhukum yang dibuat di Indonesia, di daerah maupun di
dunia itu harus merepresentasikan kebutuhan,
pengalaman, masalah dan juga masukan-masukan
perempuan. Jadi bukan hanya hukum yang apa
namanya, biasanya hukum-hukum itu yang dibuat oleh
legal drafter yang masih menyimpang dengan budaya
patriarki yang masih menguasai. Tidak bisa dipungkiri
kan oleh kita, kalau di DPR, misalnya, berbicara dengan
mereka,
kepentingan-kepentingan
individu,
kepentingan-kepentingan
kelompok,
kemudian
budaya-budaya yang ada di tengah mereka itu akan
turut menjadi apa namanya hukum. Mereka akan
menggunakannya untuk kepentingan-kepentingan
melanggengkan kekuasaan itu, nggak bisa dipungkiri.
Maka diharapkan selalu bahwa ada orang lain dengan
pandangan yang berbeda, ada perempuan yang hadir
dengan pengalaman yang berbeda mewarnai hukum
sehingga dia lebih adil buat semua orang.
Kemudian konsep-konsep feminist legal theory ini
sampai hari ini belum banyak dikenal di tingkat
universitas atau di tingkat lain. Jadi kritikan hukum itu
sebagian besar ditujukan pada kritikan keadilan, ya apa
namanya, bias gender. Dari pandangan-pandangan
feminist legal theory menyebutkan memang benar
kebijakan-kebijakan
itu
selalu
mementingkan
pertimbangan pembuatnya nggak mungkin enggak.
Justru itu, kita merasa bahwa banyak kebijakankebijakan yang disebut, yang kita saksikan tadi maupun
yang saya sampaikan di slide yang panjang tadi itu
menjadi bias gender. Dan kemudian sama sekali tidak
berpihak pada kepentingan perempuan. Dari banyak
tulisan dan termasuk yang ada pada Jurnal Perempuan,
dari banyak tulisan kita melihat bahwa tulisan-tulisan
feminist legal theory berikhtiar dari pentingnya
pengalaman perempuan dalam proses-proses hukum
baik penyusunannya maupun substansinya. Kedua,
perlu disebutkan bahwa semua peraturan yang dibuat
itu bias gender walaupun tidak disebut secara eksklusif
tapi dia implisit.
34
Kalau kita lihat seolah-olah apa namanya
ketika
diatur
mengenai
pakaian
perempuan
itu
seolah-olah
bisa
melindungi perempuan. Justru nanti
akhirnya malah apa namanya mencerabut
hak-hak perempuan jadi seperti ini terusmenerus. Kemudian cerita, konsep yang
dibangun diharapkan ada reproduksi dari
model dominasi laki-laki dalam isu dari
substansi sebuah hukum itu. Terusmenerus disebutkan oleh penulis,
penyusun konsep dan sebagainya bahwa
apapun yang terjadi dengan perempuan
terkait dengan kekerasan seksual itu
tanggung jawabnya sendiri. Sering kita
menghadiri pertemuan, pesertanya sering
bilang kalau ada pemerkosaan yang salah
ya perempuannya, kenapa? Karena dia
tidak
bisa
menjaga
marwahnya,
perempuan genit terus perempuan
berpakaian tidak benar, perempuan
memakai make up yang tebal, selalu itu
yang didiskusikan. Artinya apa? Kalau
terjadi sesuatu diharapkan perempuan
bertanggung jawab atas kenakalannya.
Nakal, nggak berpakaian dengan baik.
Nakal, tidak berperilaku dengan baik. Nakal
karena keluar malam. Nakal itu semuanya
jadi itu tanggung jawab mereka.
Saya juga mengutip beberapa contoh di
dalam buku ini menurut saya itu harus
menjadi pertimbangan kita semua ya, Diah
Irawaty, misalnya, saya suka sekali
membaca beberapa tulisan di sini. Mudahmudahan Jurnal Perempuan ini juga
dipakai juga oleh Pak Saleh di jurusan
Humas Fakultas Hukum kemudian Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik juga menggunakan
ini untuk mengupas berbagai persoalanpersoalan politik, sosial dan sebagainya
yang berdampak pada kekerasan terhadap
perempuan. Yang kemudian berdampak
pada munculnya hukum-hukum yang
bersifat diskriminatif. Mengapa negara
mengabaikan korban? Kalau kata Diah
Irawaty ini tidak terlepas dari pola pikir
yang melihat kekerasan seksual sebagai
risiko dari suatu relasi kekuasaan patriakal
di antara pelaku dan korban. Jadi risiko,
jadi kita melihat bahwa kalau kamu nggak
pakai baju yang benar maka pantas
diperkosa, kamu pacaran dengan laki-laki
pantas kamu dilecehkan, dan sebagainya,
seperti itu ujungnya. Mereka menganggap
kekerasan seksual itu bukan apa-apa.
Kemudian bagaimana hukum menjawab?
Itu juga yang dibahas, di sini banyak ya,
kalau kata Azriana, ini teman saya dari
kuliah sampai dengan kami sama-sama di
RPuK, sekarang dia menjadi Komisioner,
Ketua Komnas Perempuan. Katanya,
undang-undang yang ada sekarang belum
mampu menjawab kebutuhan korban dan
aparatur
penegak
hukum
dalam
penanganan kasus kekerasan seksual
masih bersifat pasif, menunggu korban
melapor, mengumpulkan alat bukti, dan
sebagainya, ya mereka pasif seperti itu
dengan bilang kami tidak menemukan
buktinya, bereslah. Nah kemudian satu
lagi, katanya hukum-hukum yang ada
sekarang itu ditulis, dinarasikan oleh lakilaki, otomatis kalau dia menulis hukum
tujuannya memperkuat dan melestarikan
relasi sosial yang patriarkis yang ada di
kepalanya. Sehingga hukum yang ditulis itu
akan bias dan berdampak pada larinya
tujuan dari hukum sendiri yaitu untuk
memberi perlindungan.
Selain itu adalah ini penting banget
menurut saya, tulisan-tulisan kita, konsepkonsep feminist legal theory itu yang
melihat itu terbatas dan pembaca terbatas.
Jurnal Perempuan sepertinya ini harus
mengopi banyak dan memaksa anggota
dewan baca bab satu, baca bab dua agar
tidak menjadi hiasan di lemari mereka dan
kita juga tidak mendapatkan apa-apa. Tapi
gerakan sosial yang mendorong agar RUU
35
ini ada didukung oleh teori-teori feminis,
hukum feminis itu banyak gunanya.
Buktinya adalah nah ini besar sekali
gaungnya di mana aksi-aksi di seluruh
Indonesia
untuk
mendesak
diberlakukannya
Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan Seksual itu sangat
bunyi sekali. Aceh sendiri kemarin ketika
aksinya dilakukan itu yang datang bukan
hanya aktivis seperti hari ini tapi ada
pemerintah, ada orang-orang lain banyak
sekali mereka tertarik dengan isunya. Jadi
saya pikir koordinasi antara aksi-aksi yang
seperti ini ditambah dengan penguatan
konsep-konsep teori hukum feminis akan
semakin bagus.
Hasilnya sudah banyak seperti dikatakan
masuk ke Prolegnas RUUnya, tapi nggak
tahu juga Prolegnas itu biasanya disusun
banyak, dibahas nanti lama. Sekarang
menyenang-nyenangkan kita saja ke
Prolegnas, masuk nih kita sudah berbangga
hati. Tapi saya setuju dengan Samsidar
tidak perlu terburu-buru memasukkan
undang-undang ini pada DPR kemudian
mereka menjadikannya Undang-Undang
Pornografi kedua. Ada baiknya kita
menyelesaikannya dengan baik, menyusun
dengan maksimal, mengadvokasi secara
baik sehingga yang kita harapkan akan
terjadi. Katanya juga Jokowi mengatakan
bahwa mengharapkan akan segera
mengeluarkan Perppu, ini saya baca di
media,
saya
belum
mendapatkan
konfirmasi dari
penyusunnya, Ibu
Samsidar.
Dalam konteks Aceh sendiri ini menarik, di
beberapa waktu lalu bicara kekerasan
seksual itu nggak mudah selalu ada
resistensi-resistensi yang mengatakan
bahwa ini isu tidak penting, ini salah
perempuan, dan sebagainya. Tapi setelah
kasus ini muncul diaksikan, saya bicara di
media di pertemuan ketiga, bicara
mengenai kekerasan seksual, wah bagus
sekali saya merasa dukungan itu luar biasa,
nggak ada resistensi sedikitpun, nah itu
adalah hal yang positif. Jadi mereka
mengatakan bahwa kita harus mendukung
upaya-upaya penghapusan kekerasan
seksual. Ini yang lain saya pikir, waduh kok
hari ini saya aman sekali, biasanya ada saja
yang tidak suka, marah dan sebagainya, ini
adalah yang lain.
Nah peluang kita banyak, Undang-Undang
Dasar 1945 ada, CEDAW pasal 2
menyebutkan
bahwa
pemerintah
diwajibkan untuk membuat undangundang apabila kondisi itu dibutuhkan dan
sebagainya. Kemudian konteks aceh kita
punya Qanun No. 6 tahun 2009 dan No. 11
tahun
2008.
Bagaimana
menginternalisasikannya? Konsep-konsep
yang ada dalam feminist legal theory
dengan apa yang terjadi kalau menurut
saya ada empat hal. Pertama adalah kita
bisa menginternalisasi konsep-konsep ini
dalam proses penyusunan, bagaimana
partisipasi perempuan dipastikan hadir,
ada, dan dia hidup dan dia bunyi dalam
proses penyusunan undang-undang bukan
di luar forum. Paling enggak kita menjadi
staf ahli di DPR, staf ahli di mana dan itu
bisa dikatakan kita bunyi. Kedua, substansisubstansinya itu harus dikawal dengan
maksimal dengan memasukkan konsepkonsep feminist legal theory di dalamnya
sehingga nanti tidak ada substansi yang
diskriminatif. Berikutnya penting juga saya
pikir mengatur dengan baik mengenai
kesiapan aparatur, banyak sekali kasusnya
peraturannya sangat baik tetapi begitu di
lapangan gak bisa diimplementasikan,
kenapa? Karena aparatur tidak siap
melaksanakannya.
36
“RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual ini
bukanlah tujuan tetapi
alat bagi kita untuk
mencapai tujuan yang
lain yaitu keadilan
gender”
Berikutnya adalah kesiapan sarana dan prasarana,
anggaran kemudian fasilitas dan sebagainya baru
undang-undang ini bisa terwujud dengan baik dan
sumbangan dari kita mungkin bisa membuat indikator
atau membuat apapun yang bisa dipakai secara teknis
karena pemerintah itu selalu nggak mau rumit dengan
teori-teori sukanya yang praktis. Jadi sudah saatnya
semua pihak melihat bahwa konsep-konsep yang ada
pada feminist legal theory ini menjadi acuan semua
ketika menyusun peraturan perundang-undangan.
Kemudian tidak lagi alergi dengan kata feminis, gender,
dan sebagainya karena realitasnya adalah kita berada
pada budaya yang terus melemahkan peran dan fungsi
perempuan. Jangan lupa juga kita memperjuangkan
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini bukanlah
tujuan. Kalau ini menjadi tujuan itu sangat mudah
tetapi ini adalah alat bagi kita untuk mencapai tujuan
yang lain yaitu keadilan gender. Jadi kalau begitu jika
ini masalahnya tidaklah gampang, setelah undangundangnya disahkan pun kita masih punya PR yang
besar sekali agar dapat mendorong tujuan kita
tercapai. Menurut saya semuanya nggak mudah, tapi
bukan tak mungkin. Jadi tak mudah, tapi bukan tidak
mungkin. Saya juga sepakat ketika perempuan bersatu
nggak
bisa
dikalahkan,
terima
kasih,
assalammu’alaikum wr. wb.
Anita Dhewy (Moderator):
Ya, baik kita sudah mendengar paparan dari ketiga
pembicara, baik dari fakta-fakta hukum yang ada juga
fakta-fakta sosial dan apa langkah-langkah yang sudah
dilakukan pemerintah. Sekarang kita masuk pada sesi
diskusi, kami buka forum untuk peserta yang ingin
mengajukan pertanyaan. Silakan angkat jari, kita ada
waktu sekitar tiga puluh menit ke depan. Untuk sesi
yang awal, saya beri kesempatan pada tiga penanya,
silakan sebutkan nama, dari mana dan ditujukan ke
siapa.
37
6
SESI TANYA JAWAB
Penanya Pertama—Suraiya Kamaruzzaman
Terima kasih, saya Suraiya Kamruzzaman, ah ini menarik tadi ada teman perempuan ikut
pertemuan ini lalu dia memposting di grup whatsapp akademisi yang minimal anggotanya
master, rata-rata doktor, sekolahnya Australia, Jepang, Amerika, dan seterusnya. Jadi dia
membuat sedikit pengantar dan menjelaskan ini lalu yang merespons semuanya laki-laki,
mulai dari soal pakaian, pakaian perempuan begini-begini, ditambah lagi perempuanperempuan Aceh sekarang duduknya di kafe, dan segala macam. Akhirnya saya kesal karena
mereka bawa ayat dan segala macam ayat. Lalu saya bilang, bukankah Tuhan itu maha adil,
bukan cuma perempuan yang diatur masalah pakaian, laki-laki juga diatur untuk
menundukkan pandangan, itu pertama kalau bicara agama. Yang kedua bagaimana anak
umur dua tahun diperkosa, lima tahun diperkosa, apa urusannya dengan pakaian? Masih
terus… nah, ini konteksnya dan itu terjadi yang saya ingin dapat masukan apa yang bisa kita
lakukan? Karena ini diskusi bukan hanya di ruangan ini, kita sudah bolak-balik dan menyebar
di mana-mana dengan cara yang model begitu. Kebetulan bagaimana bagi yang tidak hadir,
kebetulan tadi ada kawan yang hadir jadi bisa komunikasi tapi banyak forum yang tidak ada
teman yang concern tentang masalah ini dan itu di forum akademisi. Nah saya ingin mendapat
masukan, mungkin dari pengalaman-pengalam peneliti dan kita bisa melakukan karena kita
harus mulai dari kampus. Seperti yang tadi Kak Rani bilang, kalau dosen-dosen kemudian
menyebarkan isu ini ke mahasiswa, mahasiswa kan generasi muda jadi akan ada perubahan
yang luar biasa sebenarnya. Makasih.
38
Penanya Kedua—Ida Keumala Jempa (Dosen FH Unsyiah)
Assalammu’alaikum wr. wb. Saya pertama
menanggapi dulu statement-nya Ibu Rani
ya, atau mengabari juga yang hadir, tadi
kan Ibu Khairani mengatakan agak kecewa
karena yang datang pejuang-pejuang dan
pemain lama ya? Saya merasa mewakili
pemain-pemain baru dan mudahmudahan
sebagai
pemain
baru,
pertanyaannya dapat dimaklumin juga
karena pertanyaannya mungkin terlalu
dangkal. Saya melihat begini, ini tidak
menunjukkan ke salah satu pembicara tapi
bisa sekalian karena saya ingin banyak ilmu
yang bisa dibagi gitu. Saya memang punya
background bidang hukum pidana, jadi
ketika isu ini ditawarkan berminat untuk
hadir karena memang ada kaitannya RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual. Kalau
bicara hukum pidana mungkin ini
kaitannya dengan hukum pidana yang
sangat banyak, kita bicara pada dua hal
yang
pertama
mengenai
pidana
materiilnya, jadi hukum pidana materiil
mengatur
mengenai
perbuatannya,
mengatur mengenai hukumannya dan juga
bicara tentang hukum acara atau pidana
formal. Nah tadi saya juga setuju bahwa
kita tidak perlu terburu-buru karena ini
isunya memang lagi booming ya, artinya ini
lagi booming, kapan-kapan sebentar lagi
adem lagi, kalau sudah selesai, kalau sudah
ribut-ribut pesta usai juga. Jadi ini perlu
ditingkatkan, artinya jika kita ingin
membangun RUU ini yang kemudian nanti
disahkan jadi undang-undang itu betulbetul berbeda dengan undang-undang
yang berkaitan, seperti Undang-Undang
Pornografi, UU KDRT, dan segala macam,
ah ya UU Perlindungan Anak, satu lagi. Jadi
saya ingin rumusan peraturan hukum
pidana dirumuskan yang betul-betul
berbeda dari yang sudah ada sebelumnya,
kalau tidak nanti kita dikatakan melakukan
hal yang tumpang tindih. Itu menyulitkan
juga nanti ketika jaksa atau polisi membuat
berita acara ataupun nanti dilanjutkan
dengan surat dakwaan nanti kan ujungujungnya muaranya pada putusan
pengadilan. Kalau surat dakwaannya sudah
tumpang tindih nanti banyak perbuatan
39
pidana yang kita masukkan di situ, undangundang yang kita masukkan di situ.
Kemudian ada beberapa perbuatan
pidana, yang maaf sebelumnya saya
tidak/belum membaca secara keseluruhan
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual itu.
Tapi mungkin beberapa hal yang harus bisa
kita akomodir, misalnya apakah ini masih
ingin kita katakan sebagai delik aduan? Itu
harus kita pastikan kalau kita ingin
mengatakan itu bukan delik aduan, itu
harus tegas karena konsekuensi dari delik
aduan itu pasti ada. Nah yang ditempuh
oleh Undang-Undang KDRT adalah
memperluas
orang
yang
bisa
mengadukannya, nah kalau kita mungkin
hanya menyatakannya saja sebagai delik
biasa, artinya itu tidak memerlukan
pengaduan
cukup
laporan
dan
konsekuensinya jelas beda antara
pengaduan dengan laporan. Kalau
pengaduan bisa dicabut kalau laporan
tidak bahkan kita bisa dikenakan laporan
palsu. Nah kemudian restitusi terhadap
korban itu juga harus tegas karena
memang yang namanya KUHP, KUHAP
ataupun undang-undang apapun itu sangat
offender centris itu sangat mementingkan
pelaku ketimbang korban. Dan bentuk
restitusi korban kalau bisa jangan hukuman
denda. Karena ini dilaksanakan misalnya di
Undang-Undang Perlindungan Anak, itu
dendanya memang sangat tinggi, enam
puluh juta, delapan puluh juta, seratus juta
tapi itu masuknya ke mana? Semuanya
masuk ke kas negara, ujung- ujungnya
undang-undang itu jadi macan ompong,
dia hanya keras ketika di undang- undang
namun ketika pelaksanaan itu masuk ke
mana sekian ratus juta itu? Nah, itu
maksud saya, kita harus pastikan bahwa
denda yang kita masukkan itu bukan denda
yang masuk ke kas negara, itu yang saya
harapkan rumusannya. Maaf terlalu
panjang, mungkin, ya kemungkinan
perspektif hakim ini, ini harus ada apa ya
roadshow atau kerjasama dengan
pengadilan. Karena ada beberapa kasus
yang menurut pendapat hakim, undangundangnya sudah mengatur
baik,
dendanya
tinggi,
misalnya
atau
hukumannya tinggi. Kemudian ketika
diterapkan hakim menyatakan begini, yang
paling tahu soal kemampuan pelaku itu
adalah kami, ketika kami menyidangkan
perkara. Jadi untuk apa kita menerapkan
denda yang tinggi, toh pelaku juga tidak
bisa memenuhi. Nah juga itu kan artinya
ada miss-komunikasi antara pegiat atau
pejuang penghapusan kekerasan dengan
yang terjadi di dalam praktik. Soal satu lagi,
saya heran juga ya masalah visum, kenapa
masalah visum jadi biaya? kalau kita bicara
hukum, visum itu adalah permintaan
penyidik karena itu pengganti korban
karena ketika dalam persidangan korban
tidak perlu hadir, misalnya. Itu pengganti di
persidangan untuk memeriksa korban
karena nggak mungkin hakim di
persidangan akan suruh buka baju korban,
misalnya gitu, tetapi kenapa harus ada
biaya di situ? Padahal itu memang penyidik
yang harus lakukan karena permintaan
penyidik. Kemudian satu lagi soal
pemberitaan pers, ya, saya ingin kalau
pemberitaan media itu tidak menjadi
faktor kriminogen orang melakukan
pidana. Diungkapkan caranya, modusnya
yang justru membuat orang ingin
melakukan. Kemudian saya ingin ada
pemberatan hukuman, diatur kalau bisa
pemberatan hukuman karena pelakunya,
misalnya seorang pendidik, seorang ustaz,
seorang guru itu ada pemberatan
hukumannya. Demikian saja, wabillahi
taufik wal hidayah wassalammu’alaikum
wr. wb.
40
Penanya Ketiga—Murni (PNS di Puskesmas)
Terima kasih, assalammu’alaikum wr. wb.
Dari tadi saya mendengar pemateri, ibuibu tercinta ada di depan, memang kita
selalu bertemu kemudian kita bahas lagi
dengan Ibu Samsidar. Jadi ya mungkin
sharing, yang selama ini Ibu Samsidar terus
berjuang untuk berbagai hal yang terjadi
pada perempuan dari dulu sampai
sekarang dan banyak sekali yang kita
suarakan tetapi belum maksimal dilakukan
oleh pemerintah. Dan kemudian saya
sendiri, Ibu Murni, saya bekerja di
puskesmas kemudian saya sering sekali
mengikuti forum ini dan meninggalkan
tugas saya sebagai PNS, tidak lain karena
panggilan hati nurani saya. Sampai saya
meinggalkan dinas sampai saya dipotong
kesejahteraan pun di puskesmas, saya
tetap ke sini. Kami bekerja sebagai PNS,
mungkin Ibu Amrina Habibi juga tahu kalau
kami
keluar
kami
dipotong
kesejahteraannya. Namun saya tidak
hiraukan hal itu karena isu kekerasan
seksual ini jauh lebih besar, ini bencana
nasional. Jadi saya rasa tidak mengapa
kesejahteraan saya sebagai PNS yang
bekerja di puskesmas dipotong untuk
semangatin Ibu Samsidar. Dengan apa
yang kita lakukan selama ini, tidak begitu
wah di masyarakat bahkan dapat kecaman.
Saya yang selama ini rutin jadi paralegal
dan saya di Desa Comalin, Kecamatan
Ranintang Dua itu menjadi Ibu Keuchik.
Saya selama menjadi paralegal bahkan
sebelum menjadi paralegal dengan
minimnya pengetahuan sebagai paralegal.
Kita juga di sana tidak dihiraukan dan
malah dikecam, itu seperti aksi mengadaada saja. Kami di kalangan Aceh Besar
sendiri bahkan kalau saya lihat entah
pemerintah tidak tahu tentang seberapa
besar kekerasan seksual di Aceh besar
ataupun
minimnya
pengetahuan
masyarakat secara umum.
Kemudian dengan Ibu Amrina Habibi, kami
di Aceh Besar memang belum begitu
berdenyut tapi P2TP2A dengan Ibu Erlina
memang masih terus bergerak namun
dengan luasnya wilayah Aceh Besar ini
masih menjadi persoalan. Mungkin tiga ya
paralegalnya. Saya mohon kemarin ada
masukan untuk Pemerintah Kabupaten
Aceh Besar, di mana saat menyusun
struktur desa pelibatan perempuan itu
harus ada. Apabila tidak ada saya mohon
orang yang membuat kebijakan di Aceh
Besar jangan menandatangani, mengapa?
41
Karena luasnya wilayah Aceh Besar
membuat kami paralegal kesulitan.
Dengan harapan adanya perempuan
menjadi perpanjangan tangan kami,
menjawab semua kasus-kasus yang tidak
mampu kami jangkau. Kemudian dengan
Ibu Khairani Arifin, ibu yang mulia,
mungkin kami di sini orang yang sama terus
tetapi hari ini ada ibu-ibu yang baru ya dan
mungkin insya Allah di pertemuan yang
akan datang akan ada ibu-ibu baru yang
lain. Kemudian dengan Ibu Khairani,
dengan wajah-wajah ini saja, saya mungkin
sudah bosan ibu lihat selalu ada. Itu
menandakan PR buat LSM, ini ada RPuK,
WAPF, dan lainnya bahwa hari ini kita
dengan forum-forum terus, bapak-bapak,
ibu-ibu, tapi hari ini harus kita tunjukkan
aksi di masyarakat. Kenapa saya bilang
demikian? Karena kalau saya lihat secara
keseluruhan, minimnya informasi yang
didapat masyarakat. Di tempat saya sendiri
kalau saya ngomong tentang perempuan,
perempuan sendiri pasti bilang, halah
ngapain itu kan bukan urusan besar. Jadi
itu artinya masih minimnya informasi
tentang penghapusan kekerasan seksual di
masyarakat secara umum. Mungkin inilah
tugas kita semua bukan tugas LSM saja
atau pemerintah atau masyarakat. Tetapi
ini adalah kerja jamaah, kerja kita semua.
Apabila kerja masing-masing tidak akan
terlihat aksinya perempuan dan dari dulu
sampai
sekarang
banyak
aktivis
perempuan bekerja untuk perempuan
namun kenapa tidak menggelora, tidak
terlihat karena bekerjanya berkelompokkelompok. Nah kelompok inilah yang harus
kita satukan untuk kita beraksi bersama di
dalam satu komando, misalnya, bisa
dikoordinir oleh ibu yang di depan
sehingga kerja kita lebih terlihat, informasi
yang kita sampaikan lebih sampai. Di mana
hari ini ada pelatihan Bapak Keuchik
mengenai penghapusan kekerasan seksual
di masyarakat namun tidak sampai di
masyarakat, saya pastikan. Saya di dua
puluh enam desa Kecamatan Ronintang,
seketika kami arisan ibu-ibu Keuchik, saya
tanya satu-satu, tidak ada satupun
sepulang, pula Pak Keuchik mendapat
pelatihan. Informasi yang demikian ketika
saya sampai di desa, desa tidak
menyampaikan kembali informasi yang
demikian ke masyarakat. Jadi saya mohon
pemerintah jangan hanya memberikan
pelatihan tetapi mengevaluasi kembali di
masyarakat, sampai tidak informasi ini. Jadi
sepulang pelatihan, Bapak Keuchik semua
bahan disimpan di lemarinya. Nah itu juga
bagian dari tugas kita semua, billahi taufik
wal
hidayah,
assalammu’alaikum wr. wb.
Anita Dhewy (Moderator):
Baik, terima kasih ibu, kami berikan
kesempatan kepada ketiga pembicara
menanggapi pertanyaan dan pernyataan
dari peserta, terima kasih.
Samsidar (Pembicara):
Terima kasih teman-teman yang sudah
bertanya, tadi Suraiya menyampaikan
kenapa ya? Ya itu tadi, kita yang mayoritas
laki-laki bagian dari masyarakat kalau tadi
budaya patriarki memandang perempuan
termasuk soal seksualitas sebenarnya
masih, kalau yang tadi kan sebenarnya
sudah masuk ke misoginis ya, sudah
kebencian,
jadi
bukan
ke
soal
ketidakpahaman, sudah dalam ranah
kebencian. Ya itu tadi sebenarnya saya
melihat ke sisi defensif yang seolah-olah ini
perang antara laki-laki dan perempuan
padahal kita tidak sedang perang antara
laki-laki dan perempuan. Karena apa? Dia
merepresentasikan dirinya sebagai pelaku
sehingga terjadilah defensif yang bukan
sekadar defensif tetapi misoginis.
42
Kalau berdasarkan pengalaman dari teman
yang pengalaman menghadapi itu
sebaiknya dari teman-teman laki-laki. Nah
saya melihat di beberapa tempat termasuk
di Jakarta, ada band yang namanya
Simponi yang terus-menerus mereka
berkampanye, mereka mengusung bahwa
ajarkan lelaki jangan perkosa bukan
menyalahkan perempuan atas pakaiannya
dan sekarang itu semakin banyak. Jadi
memang, di sini ada Pak Saleh, Pak Bakti,
dan yang lain, ya mungkin mereka lebih
efektif berdiskusi dibandingkan dengan
yang perempuan.
Tadi dari Keumala Jempa, saya sudah lama
sekali tidak jumpa dengan Kemala Jempa,
yang pasti delik aduan. Dibentuk kejahatan
seksual itu kan tadi ada delapan, jelas itu
berbeda dari yang ada di KUHP, nah dari
yang delapan itu, yang delik aduan itu
cuma satu pelecehan seksual, yang lain itu
delik umum. Nah ada ketentuan di dalam
rancangan undang-undang ini bahwa
laporan korban, korban yang melapor tidak
bisa dikenakan sanksi, tidak bisa
dikriminalkan. Ini yang menurut saya juga
kita sudah belajar dari Qanun Jinayat di
Aceh bahwa ketika korban tidak bisa
membuktikan, dia kena apa artinya, dia
seperti mengada-ada, itu satu ya, jadi itu
jelas. Restitusi di dalam rancangan undangundang ini dia itu bukan diberikan kepada
kas negara, restitusi itu adalah yang
diberikan kepada korban, nah kalau negara
itu sifatnya kompensasi. Kalau pelaku tidak
bisa membayar restitusi di dalam
rancangan undang-undang yang sudah
digodok ini, dia harus bekerja untuk
membayar dinilai secara upah sehingga
korban itu tidak terbiarkan dan ketika dia
tidak mampu melakukan bahwa di sini
adalah
tanggung
jawab
negara
menggantikan restitusi. Jadi restitusi
bukan diberikan ke kas negara tetapi
diberikan untuk korban. Kalau hukuman
pemberat itu jelas ada karena itu
sebenarnya hal yang umum. Kalau soal
perspektif di dalam rancangan undangundang ini termasuk di dalamnya kapasitas
itu sudah diatur bukan hanya hakim,
penyidik, jasa dan pengawas tetapi
pendamping dan petugas medis pun dia
harus punya syarat-syarat tertentu.
Tadi kan seperti visum, harusnya memang
visum gratis, nah visum gratis itu bisa
apabila memakai regulasi pemerintah
daerah, tapi untuk Aceh belum ada
satupun mulai dari provinsi sampai
kabupaten yang membuat regulasi visum
gratis. Harusnya kalau tadi sudah ngomong
darurat, ya salah satunya adalah visum
gratis. Nah minggu lalu saya bertemu
dengan salah satu Dirjen di Kementerian
Koordinator Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan (PMK), dia mengatakan
bahwa kita sudah mendorong pemerintah
daerah untuk membuat regulasi visum
gratis. Jadi saya katakan itu sangat
normatif,
jadi
coba
diawasin,
terimplementasi tidak? Nah sekarang, yang
terjadi visum itu saweran jadi kalau polisi
tidak punya dana, ya termasuk temanteman pengada layanan saweran untuk
visum, itu satu sisi. Satu sisi lagi sebenarnya
secara keilmuan visum itu membutuhkan
keilmuan yang tinggi di kedokteran dan dia
masuk di bagian forensik. Tapi kan tidak
mungkin ahli forensik yang sangat sedikit
itu yang melakukan, tetapi di kesehatan
tidak melatih dokter-dokter umum untuk
bagaimana melakukan visum khususnya
untuk kekerasan seksual. Di dalam
rancangan undang-undang ini dari mulai
pendamping sampai ke sana harus punya
kapasitas kalau tidak itu tidak mungkin
berjalan juga. Saya rasa itu dulu, nanti
teman-teman yang lain bisa menanggapi.
Nah untuk ibu Murni, terima kasih kepada
teman-teman yang sudah secara volunter
menjadi paralegal komunitas dan dengan
43
kondisi kekurangan kita sebenarnya
paralegal komunitas inilah yang menjadi
ujung tombak untuk penanganan korban.
Nah kesempatan ini saya ingin applause
paralegal-paralegal komunitas. Jadi ini
sebenarnya kalau dari pengalaman kami,
kita sangat sedikit dan sebernarnya
paralegal komunitaslah yang bekerja di
garda paling depan dan tanpa ada insentif
apapun. Kita catatkan hampir seluruh
paralegal itu 95% adalah perempuan, jadi
itu luar biasa ya. Tapi di satu sisi sedih
kekerasan seksual ini dianggap urusan
perempuan.
Amrina Habibi (Pembicara):
Bapak ibu sekalian yang berbahagia tadi
yang disampaikan Kak Suraiya tadi
realitasnya, jangankan aparatur gampong
yang ada di tingkat pemerintah dan
kalangan masyarakat umum, ternyata
akademisi pun belum selesai. Nah ini
tentunya di satu sisi menjadi hambatan, di
lain sisi ini adalah peluang untuk
melakukan diskusi-diskusi secara intens
baik dalam bentuk diskusi tertutup
maupun secara terbuka. Namun sampai
saat ini masalahnya juga kita masih kurang
tulisan-tulisan yang kemudian bisa
dijadikan referensi buat mereka. Konon
lagi kalau ada tulisan-tulisan kita yang
secara rutin dimuat media, dan kemudian
itu bisa dibaca oleh banyak kalangan. Kami
pikir juga perlu bagi kita untuk
memperbanyak tokoh-tokoh kunci dari
kalangan laki-laki misalnya seperti Pak
Bakti, tidak cukup hanya dengan Pak Bakti,
tidak cukup hanya dengan Pak Saleh tapi
kita harus memperbanyak kawan-kawan
yang kalau kita lakukan pasti itu akan ada.
Kemudian menyangkut dengan visum,
idealnya memang visum itu gratis. Tapi kita
sudah coba bangun hubungan dengan BPJS
berkali-kali, Kak Dian Marina itu, kita sudah
mencoba berkali-kali mendiskusikan ini
tetapi sampai hari ini belum membuahkan
hasil ya. Untuk mengantisipasi itu dari
tahun 2007, Badan Pemberdayaan
Perempuan itu memberikan pagu khusus
untuk menempatkan dana visum walaupun
terbatas di Rumah Sakit Bhayangkara dan
itu lumayan tinggi, satu kasus itu empat
ratus ribu. Kami ingin mengatakan ketika
P2TP2A itu sudah aktif memberikan
pelayanan sudah ada perubahan ya, tidak
lagi empat ratus ribu tetapi kita hanya
membayarkan jasa dokter yang kita hitung
perbulan. Jadi menjadi lebih murah dan
membuka akses pada korban. Tidak lagi
dilihat kalau kita anggarkan dua puluh
orang maka hanya bisa memeriksa dua
puluh orang. Tetapi dengan mencari celah
membayar jasa dokter maka berapapun
korban tetap bisa divisum. Masalahnya
juga adalah bagi korban yang berasal dari
kabupaten/kota, ketersediaan tenaga
untuk melakukan visum juga sangat
terbatas sehingga kemudian mereka
merujuk ke provinsi. Katakanlah biaya
visumnya
gratis,
tapi
biaya
pemberangkatan
korban
dengan
pendamping ini juga menjadi persoalan
dan ini juga butuh advokasi.
44
Kami secara pribadi ingin mengatakan
bahwa masih banyak tantangan seperti Kak
Khairani katakan bahwa masih banyak
pejabat
di
lingkungan
Badan
Pemberdayaan Perempuan yang mungkin
belum sesuai dengan harapan kita
bersama. Tetapi kenapa ini terjadi? Yang
pertama bahwa unsur politis itu masih
sangat memengaruhi. Yang kedua bicara
soal kompetensi, kompetensi secara
umum mungkin tidak jadi persoalan. Tetapi
kalau mau ditelisik lebih lanjut, kompetensi
khusus, belum lagi yang punya sikap
perspektif korban, keberpihakan kepada
kerja-kerja kemanusiaan. Ini kemudian
menjadi peluang
advokasi
bahwa
penempatan figur, pejabat di lingkungan
ini harus ada standar, harus ada kriteria
yang dikenal dengan kompetensi dan itu
perlu advokasi bersama. Kemudian juga
soal sistem dan rekrutmen, budaya mutasi
yang sangat tinggi di Provinsi Aceh ini
berpengaruh
pada
pejabat,
pada
komitmen mereka. Kita sudah melakukan
capacity building itu tiap tahun karena
mungkin orangnya sudah berganti. Ada
orang yang kita anggap sudah cukup
komitmen, kerjanya bagus dan menaruh
harapan besar, kemudian diganti dan
ketika diganti tertutup kemungkinan untuk
dia juga memberikan intervensi kepada
kerja sebelumnya. Jangankan beda kantor,
satu kantor saja kalau saya pindah saya
hanya akan mengurusi bidang saya saja
karena kalau kita ikut turut campur artinya
ada persoalan di koordinasi. Ada personalpersonal
yang
berkaitan
dengan
kompetensi yang dimiliki jadi ini masih
menjadi hal yang perlu kita perhatikan
bersama. Kami di dalam meminta temanteman untuk tidak pernah bosan dan
berhenti. Saya yakin di tengah kesulitan
tetap ada orang, tetap ada personal di
jajaran pemerintah yang bisa dipegang
untuk menjadi kawan sebagai vocal point.
Yang kemudian pada saat beberapa tahun
ke depan hubungan ini terus dibangun
ketika berada di posisi puncak dan itu bisa
kita andalkan.
Yang terkahir kita memberikan apresiasi
kepada Pemerintah Aceh Besar. Setelah
kita membantu audiensi dengan bapak
bupati itu terjadi perubahan komitmen,
terjadi perubahan anggaran. Ada satu hal
terobosan yang dilakukan Pemerintah
Aceh Besar dalam beberapa waktu lalu di
lapangan, mulai melatih paralegal di
tingkat komunitas. Karena memang Aceh
Besar terdiri dari 604 desa dan itu masuk
ke dalam, jauh-jauh tempatnya. Sehingga
P2TP2A Provinsi walaupun pusatnya
menjadi pusat rujukan kasus dari
kabupaten/kota tetapi juga dalam
praktiknya harus menerima kasus dari
Aceh Besar karena memang persoalan
letak dan lokasi. Yang dikembangkan oleh
Pemerintah Aceh Besar tadi karena
45
kaitannya dengan faktor lokasi dan wilayah
adalah melatih paralegal di tingkat
komunitas. Sistem yang dikembangkan
adalah di kampung-kampung itu akan ada
posko layanan pengaduan dan juga
pengembangan mekanisme komunitas
aman. Provinsi sedang melakukan final
project dan mereka sendiri Alhamdulillah
merespons ini dengan dana APBD mereka
sendiri. Saya sepakat bahwa segala upaya
yang kita lakukan harus ada evaluasinya
dan kita lemah untuk ini. Kalaupun kita
melakukan evaluasi selalu di akhir,
harusnya evaluasi selalu beriringan dengan
proses perencanaan, barangkali itu, terima
kasih.
Khairani Arifin (Pembicara):
Terima kasih dan yang terakhir ini saya,
sepertinya.
Menurut
Suraiya
kan
sebenarnya beberapa waktu lalu kita coba
buat roundtable discussion dengan
mengajak aparatur penegak hukum,
teman-teman dosen untuk mendiskusikan
persoalan-persoalan yang terkini terjadi.
Tetapi kenyataannya orang-orang pada
bubar satu-persatu karena tidak gampang
mengajak
seseorang
mendiskusikan
sesuatu yang mereka tidak tertarik.
Akhirnya kita beralih, sepertinya generasi
muda lah yang harus diajak berdiskusi. Kita
mengadakan diskusi bulanan, kita
memanggil beberapa mahasiswa dari
berbagai fakultas, lima belas orang, dua
puluh orang dan mendiskusikan isu-isu
terkini misalnya kekerasan seksual, dan
sebagainya. Ternyata ketertarikan mereka
belum berkurang sampai sekarang. Nah
saya pikir kalau kita tidak bisa mengubah
mindset orang yang sudah tua, mari kita
ubah mindset orang yang masih muda,
pasti kita masih punya peluang untuk
mengharapkan seseorang yang berbeda di
masa depan.
Berikutnya untuk ibu Murni, paralegalparalegal
kan
diharapkan
dapat
menyelesaikan
permasalahanpermasalahan yang dapat diselesaikan
secara adat, keputusan yang aneh-aneh
itu. Mungkin diantara paralegal-paralegal
kita ada yang bisa ikut terlibat menjadi
bagian daripada penyelesaian sengketa itu
sehingga
sengketa-sengketa
yang
diputuskan oleh para aparatur penegak
hukum itu menjadi adil bagi perempuan
khususnya korban. Ini kan gampang
merayu suami nih, saya harus hadir nih
untuk memberikan masukan dan ini lebih
besar peluangnya bagi ibu-ibu yang punya
komitmen luar biasa itu. Nah kemudian
untuk sahabat saya Ida, saya bersyukur
sekali dia datang karena keahliannya di
bidang pidana dan sebagainya itu sangat
kita butuhkan untuk
kasus-kasus
kekerasan terhadap perempuan termasuk
kekerasan seksual. Mudah-mudahan Ida
menjadi bagian dari pejuang-pejuang yang
ada di sini dan menjadi teman diskusi kita
untuk masa depan, saya pikir itu, terima
kasih banyak.
Anita Dhewy (Moderator):
Baik, terima kasih Ibu Khairani, tadi masih
ada penanya di ujung sini yang ingin
bertanya, wah kok malah tambah.
Sebenarnya waktu kita sangat terbatas
tetapi sepertinya antusias sekali kawankawan untuk bertanya. Baik, bapak yang di
sini dulu, silakan mic-nya, tolong sebutkan
nama, dari mana dan mohon pertanyaan
ringkas, terima kasih.
46
Penanya Keempat—Muhammad Al Fakih (HMI Provinsi Aceh)
Assalammu’alaikum wr. wb. Saya rasa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini sudah bagus,
nama saya Muhammad Al Fakih, saya dari organisasi mahasiswa. RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual ini sudah bagus tetapi ini menjadi isu yang tidak hangat dan tidak menarik
bagi kaum laki-laki dikarenakan saya mendengarkan dari tadi yang menjadi pelakunya pasti
kaum laki-laki walaupun dari yang diundang pun dari peremuan-perempuan yang bergiat
cuma perempuan saja yang harus dilindungi, dihormati jadi terjadi kesenjanganlah antara
perempuan dan laki-laki. Jadi mereka membuatlah kiat-kita untuk mereka yang
menyebabkan, ngapain kita harus hadir? Jadi isu ini harus menjadi isu yang hangat dan dibuat
semenarik mungkin. Karena bukan saja perempuan yang menjadi orang yang didiskriminasi
dan laki-laki pun ada juga, banyak hal-hal mungkin seorang lelaki tidak memikirkan lebih
karena keegoannya. Tetapi bicara persamaan kita harus menyetarakannya dulu jangan
membuat gap-gap tersendiri. Misalnya waktu pemilihan perempuan tidak bisa terpilih karena
perempuan sendiri tidak mau memilih perempuan, itu membuktikan kalau perempuan sendiri
tidak “menarik” bagi perempuan, sekian.
47
Penanya Kelima—Riris (Flower Aceh)
Assalammu’alaikum wr. wb. Terima kasih Mbak moderator, saya mungkin langsung
menanyakan yang pertama, saya Riris dari Flower Aceh yang merupakan bagian dari JPA
(Jaringan Pemantauan Aceh). Saya sendiri sangat mendukung agar Rancangan UndangUndang Penghapusan Kekerasan Seksual dibahas dengan sangat maksimal dan disahkan
karena memang ini menjadi payung hukum upaya-upaya perlindungan perempuan,
perlindungan hak-hak perempuan terutama korban kekerasan seksual di Indonesia dan juga
di Aceh. Nah satu hal yang ingin saya tanyakan, selama ini kan kita banyak kebijakan baik itu
level nasional dan provinsi yang sesungguhnya ada yang memang melindungi perempuan
tetapi hanya saja dalam proses pelaksanaannya di tingkat akar rumput atau di desa yang
justru masyarakat yang berada di situ, tidak berjalan. Apalagi banyak aturan-aturan gampong
di desa-desa atau bahkan kesepakatan-kesepakatan di tingkat desa yang justru menjadi acuan
utama dan banyak sekali yang mendiskriminasikan korban. Contohnya kasus yang ditangani
oleh Flower Aceh, perempuan, anak perempuan korban pemerkosaan, hamil tapi dia tidak
diterima oleh kampungnya hanya karena dia hamil tanpa suami. Bagaimana mungkin anakanak tidak punya suami karena memang dia korban pemerkosaan, nah justru rekomendasi ini
dikeluarkan oleh pihak gampong. Yang ingin saya pastikan adalah bagaimana supaya ke depan
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini memang ada tetapi memang sinergis atau sesuai
dengan aturan gampong atau aturan adat yang justru itu seringkali menjadi acuan di tengahtengah komunitas kita, itu yang pertama.
Kemudian yang kedua, terkait alokasi dana untuk perlindungan korban kekerasan seksual
memang jumlah ini sangat tidak maksimal apalagi di kabupaten/kota. Mungkin ini berbicara
otonomi daerah ya Kak Amrina sehingga P2TP2A Provinsi banyak dananya tetapi di
kabupaten/kota itu sangat minim dan memang komitmen bupati atau walikotanya tidak
semua punya komitmen untuk pengalokasian dana yang cukup untuk penanganan kasus
kekerasan seksual terhadap perempuan. Nah yang ingin saya tanyakan pertama, sejauh mana
upaya BP3A untuk mengakumulasikan supaya perencanaan yang mainstreaming gender itu,
saya sempat ngobrol dengan kalian mengenai perencanaan dan penganggaran yang responsif
48
gender. Harusnya kalau ini dijalankan tentunya semua dinas itu bisa menyisipkan upayaupaya penanganan untuk perempuan korban kekerasan di dalam perencanaannya. Sehingga
tidak melulu menunggu dari kabupaten karena agak apatis sedikit, tingkat kabupaten/kota
yang mempunyai pemahaman yang memadai. Kemudian yang kedua, di kabupaten/kota ada
MoU lintas sektoral, di situ ada Dinas Sosial dan lain-lainnya. Nah sejauh mana efektifitas MoU
ini? Karena ini dulu sangat maksimal dilaksanakan kalau memang ini jalan, Dinas Sosial bisa
mengeluarkan dananya untuk rumah aman di Kabupaten/Kota atau mungkin dari rumah
sakitnya bisa memberikan gratis visum dari dalam rumah sakitnya. Hal-hal ini kan mungkin
saja dilakukan. Saya kira itu saja, terima kasih, wassalammu’alaikum wr. wb.
Penanya Keenam—Monalisa (Pengajar Fakultas Pertanian
Universitas Syiah Kuala)
Assalammu’alaikum wr. wb. Saya Monalisa, staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas
Syiah Kuala Banda Aceh di Prodi Agribisnis, saya dosen di ilmu-ilmu pengembangan
masyarakat. Yang kami hormati Ibu Khairani yang luar biasa, Ibu Amrina Habibi yang kadangkadang saya sebut kakak saya, beliau juga merangkap Ketua di Forhati Aceh untuk saat ini, Ibu
Samsidar dan Ibu Gadis Arivia dan juga Zubaidah Djohar, beberapa pakar gender juga ada di
sini, teman yang juga aktif dalam kegiatan ini. Saya kebetulan spesifikasi di pengembangan
masyarakat jadi saya tidak bertanya, saya hanya menyediakan diri saya untuk membantu ibuibu dan adik-adik, teman di sini, kebetulan kami sering kerja di lapangan tetapi untuk
persoalan lingkungan. Jadi memang awal yang sangat menarik bagi saya ketika saya
melakukan riset di bidang lingkungan hidup, sebenarnya saya harus melihat permasalahan di
lingkungan hidup di sebuah daerah tetapi kemudian pada perjalanannya masalah lingkungan
hidup ini banyak sekali aspeknya termasuk juga masalah yang kita bicarakan ini. Jadi
barangkali di tingkat gampong nanti kita bisa sosialisasikan lagi.
49
Saya tidak sampaikan untuk penghapusan
kekerasan seksual, itu strategi kita tetapi
untuk lingkungan hidup, mungkin ada
teman yang mau nebeng dengan kegiatan
kami, kami persilakan. Kami kemarin
membuat kegiatan bersama untuk
pembersihan pantai tetapi juga sosialisasi
kesehatan ibu dan anak. Jadi saya lihat apa
ya, resistensi di tingkat gampong itu pasti
ada, khususnya di Aceh tetapi kalau kita
kaitkan, kita kombinasikan, kita sisipkan
dengan kegiatan yang lain, mungkin bisa
Bu Amrina.
Selanjutnya tadi, adik kami dari HMI, saya
lupa namanya, kita sebenarnya tidak
dikotomi di sini, mohon maaf kalau saya
salah karena masalah ini kan masalah
bersama. Jadi memang bagaimana kalau
kita menganggap itu sebagai dua orang
yang berbeda, memang kita berbeda
antara laki-laki dan perempuan secara
penampilan fisik kita dan lain-lainnya
secara fungsi seksualitas kita berbeda
untuk itulah kita harus sama-sama
menjaga. Kita tidak bicara soal
permusuhan, jadi kemungkinan ini yang
harus diluruskan. Kemudian untuk alokasi
dana gampong, Ibu Amrina barangkali bisa
dimasukkan program ini ya tapi tidak kita
beri judul. Saya harus sampaikan karena
kondisinya di gampong ini memang jangan
judulnya kekerasan seksual karena
memang bapak-bapak dan adik-adik kita
yang laki-laki ini tidak sepakat, seolah-olah
merekalah pelaku utama dan kami
perempuan juga tidak sepakat kalau
dijadikan sebagai faktor penyebabnya.
Bahwa ini masalah kita bersama jadi
barangkali dibuat judul yang menarik.
Kalau bisa bekerja sama dengan Unsyiah
nanti, bisa juga bekerja sama dengan risetriset kita di kampus Unsyiah, masih minim
sekali riset kita tentang ini. Kami di Fakultas
Pertanian Unsyiah di Prodi Agribisnis di
Bidang Gender ada dua orang, di sebelah
kanan saya ada Ibu Sofridah dan Ibu Eli
Susanti. Saya sendiri di pengembangan
masyarakat secara umum. Mungkin itu dari
saya, terima kasih, assalammu’alaikum wr.
wb.
Anita Dhewy (Moderator):
Baik, terima kasih. Saya rasa ini cukup
kesempatan bagi penanya, mungkin nanti
di luar ini masih bisa berdiskusi lebih lanjut.
Baik silakan Kak Samsidar, Ibu Amrina, dan
Ibu Khairani.
Samsidar (Pembicara):
Terima kasih Anita. Kalau judul, kalau dari
saya ditanya bukan kekerasan seksual saya
usulkan kejahatan seksual karena itu
kejahatan bukan sekadar kekerasan. Kalau
mau pakai untuk yang tertarik, itu mungkin
sangat personal ya, saya juga tidak paham
juga mungkin untuk diskusi yang seperti ini
harus dibuat semenarik mungkin karena
kalau berbicara Rancangan UndangUndang Penghapusan Kekerasan Seksual
itu bukan berbicara tentang perempuan
saja, siapapun yang mengalami kekerasan
seksual ya dia terlindungi di dalam ini
karena memang ya seperti itu. Ya, tidak
apa-apa kalau memang itu perspektifnya
anda karena kalau membacanya tidak ada
“Perempuan yang menjadi korban harus
dilindungi”, tetapi kita bicaranya universal,
korban, pelaku, keluarga korban dan saksi
itu menjadi subjeknya itu. Jadi ini berbicara
hanya
soal
perasaan
dan
ketidaknyamanan, kalau berbicara soal
perasaan itu sangat personal dan saya
tidak mau masuk ke sana. Yang pasti
Rancangan Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan Seksual ini di situ ada
pencegahan, penanganan, dan sebagainya
untuk pemulihan.
Tadi kalau berbicara bagaiamana di akar
rumput? Ya, memang inilah budaya kita
karena sistem hukum kita ada yang sudah
sangat lama, misalnya adalah KUHP, dia
sebenarnya
berkontribusi
dalam
50
membangun perspektif hukum yang
sangat maskulin dan mengabaikan faktafakta bahwa korban itu disisihkan. Nah ini
sebenarnya mengapa produk hukum itu
harus sangat hati-hati karena dia akan
sangat lama sekali, sama juga seperti yang
di akar rumput. Kita juga sebenarnya harus
bicara kalau di tataran hukum mengenal
yang namanya harmonisasi, harusnya
peraturan yang di bawah itu tidak bisa
bertentangan dengan peraturan yang di
atasnya dan bahkan sebenarnya tidak bisa
bertentangan. Tetapi tadi itu kan, fakta
karena hukum kan juga diterjemahkan,
penerjemahan
hukum,
pengimplementasian sangat tergantung
dari bagaimana perspektif dan budayanya.
Bahkan kadang-kadang orang yang
berkuasa itu sangat personal, hakim
mempunyai kekuasaan yang sangat besar
termasuk penyidik dan sebagainya gitu
tetapi karena dia dibentuk dari budaya
tersebut. Saya rasa untuk rancangan
undang-undang ini saya belum melihat
apakah ada gap di antara laki-laki dan
perempuan walaupun kalau kita bicara
fakta sosial 98% korban adalah perempuan
dan pelakunya laki-laki. Jadi itu
berdasarkan catatan kami, terima kasih.
Amrina Habibi (Pembicara):
Buat adik kita dari HMI ya, saya pikir kita
perlu belajar kembali, ya. Termasuk
melihat proses pengkaderan di HMI yang di
sana ada ex officio Kohati. Sebetulnya itu
menunjukkan antara perempuan dan lakilaki itu punya peluang, kesempatan untuk
memberikan partisipasi, kontrol dan
menerima manfaat yang sama. Tetapi
realitasnya ya, pada berbagai hasil
penelitian, pada berbagai pengalaman di
level pemangku kebijakan sekalipun yang
kemudian berpengaruh pada kebijakan
yang ditetapkan itu masih ranahnya lakilaki. Sehingga adik masih melihat
persoalan kekerasan seksual sebagai
masalah yang berkaitan dengan anatomi
tubuh, persoalan relasi kuasa dan bicara
soal relasi kuasa, relasi kuasa laki-laki lah
yang dominan dan kemudian harus kita
diskusikan untuk mencari jalan keluar.
Karena laki-laki juga ada yang menjadi
korban tetapi jumlahnya sangat kecil dan
kita harus bersepakat bahwa bicara
tentang rancangan undang-undang ini kita
bicara soal laki-laki dan perempuan.
Kemudian menyangkut tentang intervensi
kebijakan pada akar rumput, sesuai Qanun
No. 5 tahun 2007 tentang Kewenangan
Badan Pemberdayaan Perempuan. Tugas
pokok dan fungsinya adalah menyusun,
mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang
responsif gender. Untuk turun ke lapangan
itu sebenarnya dilihat hanya pada sebatas
melakukan final-final project, artinya
provinsi
dalam
hal
ini
Badan
Pemberdayaan Perempuan tidak bisa
langsung
tapi
harus
membangun
koordinasi,
artinya
intervensi
ke
masyarakat itu harusnya dilakukan oleh
kabupaten/kota.
Tetapi
tadi
saya
sampaikan ada peluang untuk merembug
perubahan peraturan undang-undang
daerah dengan perubahan status ketika
nanti menjadi dinas maka ini intervensinya
bisa diteknis. Akan tetapi ketika dikaitkan
dengan Undang-Undang Otonomi Daerah
yang nanti nomenklatur ini tergantung
pada komitmen pemerintah daerah. Kita
juga masih belum yakin sepenuhnya
dengan komitmen dan kemauan dari bapak
bupati atau walikota untuk merespons ini
secara positif.
Kemudian menyangkut anggaran, apa yang
sudah kita lakukan? Kita komitmen untuk
melakukan advokasi dan membangun
hubungan dengan kabupaten/kota tetapi
dari 23 kabupaten/kota yang sudah kita
bangun
hubungan
berkomunikasi
langsung, turun ke lapangan, hanya 5
kabupaten/kota yang memberikan respons
yang cukup baik walaupun belum
51
menggembirakan tetapi sudah memberi
respons, artinya ini harus ditingkatkan.
Saya juga melihat begini, peran
pengawasan dari lembaga legislatif yang
fokusnya pada pengawasan pembangunan
fisik, tidak melakukan pengawasan pada
pembangunan
nonfisik
khususnya
pengawasan terhadap sumber daya
manusia. Ini juga menjadi masalah
sehingga
dalam
pelaksanaan
kabupaten/kota itu keluar dari mata
anggaran yang seharusnya menjadi fungsi
pokok malah tidak dilakukan karena
lemahnya pengawasan juga kaitannya
dengan komitmen bupati, kepala daerah.
Kemudian sejauh mana efektifitas MoU
lintas sektoral? Kita kan sudah gagas itu, di
provinsi sudah berjalan tapi tetap dengan
beberapa catatan dan koreksi. Misalnya
tadi SPM dalam bidang rehabilitasi dan
reintegrasi sosial ada di bawah tanggung
jawab Dinsos tetapi ternyata untuk
mengakomodir kebutuhan korban sesuai
dengan kriteria kerja kita tidak sepenuhnya
bisa diakomodir, di bawah mata anggaran
mereka. Sehingga ini juga sedang dikoreksi
kembali supaya Badan PP ketika menjadi
dinas
nanti
secara
teknis
bisa
mengakomodir lima jenis layanan dasar
tetapi tetap membangun koordinasi
supaya lintas sektor terkait tetap bisa
berkontribusi. Untuk kesehatan, misalnya
sudah ada aturan bahwa setiap
kabupaten/kota itu minimal punya satu
rumah sakit rujukan dan diatur di dalam
Permenkes, ya kan? Kemudian di level
kecamatan untuk puskesmasnya minimal
ada dua untuk mampu tata laksana
terhadap kekerasan seksual perempuan
dan anak. Menurut informasi Dinas
Kesehatan mereka sudah meningkatkan
kapasitas terhadap aparatur puskesmas
tetapi yang menjadi kendala setelah
dievaluasi ternyata mereka banyak sekali
yang mutasi, itu menjadi persoalan.
Nah kemudian yang berikutnya adalah saya
sangat apresiasi oleh tawaran yang
diberikan oleh adinda Monalisa dan bicara
soal lingkungan hidup sebenarnya adalah
isu yang memang sangat berkaitan dengan
perempuan. Kami juga sudah mulai bekerja
supaya
isu
perlindungan
kepada
perempuan mampu diintegrasikan kepada
semua isu yang dikenal dengan
mainstreaming gender. Dan kita sudah
melakukan
sejumlah
pelatihan,
menggelontorkan dana hampir 3M dalam
dua tahun ini untuk melatih para
perencana membuat perencanaan yang
responsif gender dan mendorong gubernur
juga untuk membuat pergub untuk
menekankan SKPA sebagai final project
PPRD. Artinya ketika masuk rancangan
anggaran dokumen ke Bapeda itu harus
ada lampiran, harus ada analisis gendernya
tetapi ini juga belum berjalan sesuai
dengan harapan sangat tergantung kepada
komitmen Kepala SKPA. Kami ingin
memberikan apresiasi kepada Prof. Dr.
Abubakar yang saat itu sudah ada
semangat yang luar biasa karena ketika itu
kita berikan sepuluh final project lalu
beliau bilang kalau bisa semua, kenapa
tidak. Di saat kita sangat semangat
melakukan itu, berganti orang lain, jadi ini
masalah ya. Terpikirkan oleh kami adalah
bagaimana kami bisa mengikat pejabat
yang sudah mendapatkan pelatihan untuk
tetap bisa dipegang sebagai vocal point
yang akan mengawal proses integrasi
perlindungan perempuan dalam berbagai
sektor. Soal kita bisa menggunakan strategi
untuk tandem artinya pada setiap mata
kuliah, pada setiap aktivitas, lokakarya,
pelatihan harusnya isu ini masuk. Ini adalah
strategi yang sangat efektif karena
katakanlah di Dinas Pendidikan dulu kita
sudah coba pada buku pelajaran yang
mereka buat masuk salah satu materi
tentang perlindungan perempuan. Saya
sepakat untuk komunitas memang ada
penolakan isu ketika kita bilang ini
52
pelatihan gender yang dikirim perempuan
semua. Sekarang kita mencoba mengubah
strategi itu, misalnya kita coba ganti nama
mekanisme membangun perlindungan
kepada masyarakat atau mekanisme
membangun perlindungan komunitas
aman. Kita sudah buktikan ini jauh lebih
efektif. Pada dua pelatihan yang kami buat
beberapa hari yang lalu 85% pesertanya itu
adalah laki-laki. Ini bisa menjadi salah satu
strategi yang patut kita pertimbangkan.
Khairani Arifin (Pembicara):
Saya menambah sedikit saja untuk Riris,
desa itu kan sekarang punya dana yang
banyak sekali ya, Ibu Riris jadi bisa
diadvokasi. Bagaimana dari desa itu bisa
dipergunakan untuk mensosialisasikan
undang-undang, mendiksusikan undangundang kemudian pelatihan PPRG buat
aparatur
gampong
juga
buat
masyarakatnya. Jadi itu yang harus kita
lakukan secara sederhana saya pikir,
karena kalau kita mengintervensi dari luar
itu agak sulit. Jadi poros desa sebagai
pembangunan itu harus dimulai dari
mereka sendiri dan bisa dilakukan untuk
membangun perubahan untuk mereka
sendiri. Termasuk dana untuk melakukan
penanganan
terhadap
kasus-kasus
kekerasan terhadap perempuan juga bisa
diambil dari dana desa itu. Jadi dengan itu
otomatis korban mendapat hak-haknya
secara mudah. Untuk adik yang dari HMI
tadi, dua kakak sudah menjawab dengan
baik jadi harus dipahami bahwa ada pola
yang tidak seimbang dari laki-laki dan
perempuan sehingga perempuan menjadi
korban. Mungkin nanti bisa baca buku ini,
kalau habis buku ini berarti khatam. Terima
kasih.
Anita Dhewy (Moderator):
Baik, terima kasih, hampir dua jam kita
berdiskusi, menarik sekali ya. Dari paparan
ketiga pembicara kita bisa semakin
memahami bahwa persoalan ini adalah
persoalan kita bersama. Kita semua bisa
terlibat dalam proses agar undang-undang
yang berpihak pada korban ini bisa lahir. Di
sisi lain kita juga harus sadar bahwa
perubahan perspektif, perubahan pola
pikir juga penting. Dari saya itu saja, tepuk
tangan kita berikan kepada ketiga
pembicara dan terima kasih juga kepada
ketiga pembicara dan kita semua yang
sudah terlibat dalam diskusi yang menarik
ini. Sedikit tambahan bagi keenam
penanya ada cenderamata dari Jurnal
Perempuan nanti bisa diminta pada panitia
di belakang. Itu dulu dari saya, akhir kata,
wassalammu’alaikum wr. wb.
53
7
PENUTUP
Annisa Novianty Kurniawan (Pembawa Acara):
Wa’alaikumsalam wr. wb. Terima kasih kepada pemateri dan juga moderator kita, Ibu Anita
Dhewy. Tadi kita sudah menyimak Pendidikan Publik Jurnal Perempuan edisi 89 yang
bertemakan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Selain isu-isu yang
sudah kita diskusikan tadi bersama para pemateri kita, masih ada isu-isu lainnya yang perlu
bapak-ibu ketahui dengan mengunjungi stan Jurnal Perempuan di depan ruangan ini. Dan di
depan juga kami sudah menyediakan kotak penanggulangan dana untuk pemerintahan Aceh
yaitu bertujuan untuk peningkatan kualitas layanan bagi perempuan dan anak korban
kekerasan seksual. Kenapa untuk Pemerintah Aceh? Karena alokasi anggaran sangat terbatas
untuk korban kekerasan di Banda Aceh ini. Selanjutnya marilah kita mendengarkan puisi
kedua dari Ibu Zubaidah Djohar, kepada Ibu Zubaidah Djohar waktu dan tempat kami
sediakan.
Pembacaan Puisi, Zubaidah Djohar
Saya pikir tadi kita sudah selesai, baik kalau tadi puisi yang lahir dari seorang perempuan, yang
saya bacakan kali ini adalah bagaimana seorang laki-laki membicarakan luka hati seorang
perempuan. Kita tahu Deny JA, dan puisi ini sudah dibacakan ketika Nyala Untuk Yuyun. Nah
ini akan saya bacakan lagi untuk lahirnya Deny JA, Deny JA di Aceh. Walaupun laki-laki yang
hadir sedikit tetapi semoga ini menjadi pemantik lahirnya laki-laki feminis di Aceh.
“Tangis Yuyun Kepada Ibunya”
Karya: Deny JA
Ibu, sempat terdengarkah suaraku?
Kupanggil berkali-kali namamu Saat
belasan orang memerkosaku yang
ingin kulihat hanya wajahmu "Ibu,
tolong aku.."
"Ibuuuuuuu, ibuuuuuuu...."
Kuteriakkan lagi dan lagi
Saat Aku takut
Saat Aku sakit
Saat Aku menjerit
Saat Aku menangis sejadi-jadinya
Bulan ditusuk samurai
Melati putih disiram lumpur
Ranting muda patah
Tak kuasa dideru angin
54
Siang itu
2 April hari sabtu
Dari sekolah kubawa bendera
Tugasku mencucinya di rumah
Untuk hari senin upacara
Tiada istimewa
Kulewati kebun karet biasa
Aku pulang sendiri
berjalan kaki
Seperti saban hari
Sambil berjalan selalu
Kubayangkan cita-citaku
menjadi guru
14 tahun sudah usiaku
Kuingin sekali membuatmu bangga ibu
Di dahan pohon itu
Kulihat seekor burung berkicau selalu
Tak pernah kulihat sebelumnya
Kicauannya kudengar tiada pernah
Aku terdiam berhenti
Menyimaknya dengan teliti
Entah mengapa
Hatiku tiba-tiba hampa
Seperti luka
Yang menganga
Aku terus saja berjalan
Kujumpa remaja bergerombol belasan
Kukenali yang ini dan itu
Mereka kakak kelasku
Tapi Aku mulai was-was
Karena mereka bau minum keras
Mata mereka ganas
Menjelma menjadi harimau buas
Tapi ibu
Cepat sekali mereka menerkamku
Dengan paksa ingin menciumku
Astaga, mereka merobek bajuku
Aku takut, ibu
Kupanggil namamu
Aku melawan sebisaku
Sekuat tenagaku
Aku meronta
Aku berteriak
Aku menangis keras
55
Tapi mereka lebih kuat, ibu
Mereka pukul kepalaku
keras sekali dengan kayu
Mereka ikat tanganku
Mereka cekik leherku
Aku mereka bawa paksa
Menjauh ke semak-semak sana
Tempat itu sepi sekali
Tambah membuatku ngeri
Astaga ibuuuuu..
Mereka memerkosaku
Belasan mereka bergiliran
Lagi dan lagi bergantian
Ampuuuunnnn...
Aku menangis
Aku diterjang
Melawan yang Aku bisa
Berkali- kali ibu
Kupanggil namamu
Hingga tiada lagi rasa
Tiada suara
Tiada warna
Tiada apa
Bunga segar jatuh ke tanah
Tak berdaya dan punah
Ibu, tak kuduga Aku mati muda
kini aku di alam berbeda
Kulihat jasadku merana
Mereka tutupi dengan daun
Seolah tanaman yang rimbun
Burung yang Aku lihat di kebun karet itu
Kulihat lagi di alamku yang baru
Ia terus berkicau
Kini bisa kulihat suaranya
Di hati banyak orang bergema
Membangunkan nurani sebuah negeri
Kulihat para sahabat di banyak tempat
Menyalakan lilin untukku
Agar tiada lagi kekerasan
Bagi perempuan
Bagi bocah ingusan
Ibu, burung itu berbisik teduh
Ia berkata padaku
Jangan lagi aku bersedih
Kematianku tidak sia-sia
56
para pejuang di seluruh negeri
Menjadikan deritaku
Sebagai derita mereka
Aku menangis ibu
Terharu
Kukatakan pada burung itu
Jangan lagi ada seperti aku
Jakarta, Mei 2016
Semoga tidak ada lagi Yuyun-Yuyun baru di Aceh, Pidie, dan dimanapun di bumi serambi
Mekah. Wasslammu’alaikum wr. wb.
Annisa Novianty Kurniawan (Pembawa Acara):
Terima kasih banyak Ibu Zubaidah. Sebelum meinggalkan tempat kita akan melakukan sesi
foto bersama dan diharapkan seluruh tamu undangan dan peserta untuk maju ke depan dan
melakukan sesi foto. Terima kasih.
-Selesai-
57
Yayasan Jurnal Perempuan
Jl. Karang Pola Dalam II, no. 9a, Jatipadang
Pasar Minggu-Jakarta Selatan
Telp. (021) 22701689
Email: [email protected]
Facebook: Jurnal Perempuan
Twitter: @jurnalperempuan
www.jurnalperempuan.org
58
Download