11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Epidemi HIV dan AIDS secara Global Berdasarkan catatan historis, pertama kalinya bukti serologis HIV ditemukan pada serum manusia di Zaire pada Tahun 1959, Uganda pada tahun 1972 dan Malawi 1974 - sebagai bukti bahwa HIV sudah menyebar sejak saat itu di Benua Afrika (Marcus dan Boston, 2009a). Kasus AIDS pertama dijelaskan pada tahun 1981 di Amerika Serikat kemudian penemuan HIV sebagai penyebab AIDS dipublikasikan tahun 1983. Sejak AIDS pertama kali mulai didiskripsikan tahun 1981 sebagai kasus pertama di USA dan diperkirakan sebagai epidemi yang akan mengancam penduduk di dunia, hingga tahun 2003 sudah 20 juta kematian penduduk dunia disebabkannya (UNAIDS, 2003). Puluhan juta manusia lagi pada tahun tahun berikutnya terinfeksi HIV dan hidup dengan HIV dan AIDS, jumlahnya semakin meningkat pada populasi perempuan dan orang dewasa. AIDS yang pertama kali dilaporkan pada tahun 1981 di Amerika Serikat tersebut kemudian berkembang menjadi masalah kesehatan masyarakat global. Sampai Tahun 2007, di dunia sekitar 60 juta orang telah tertular HIV dan 25 juta telah meninggal akibat AIDS, sedangkan saat ini orang yang hidup dengan HIV di dunia sekitar 35 juta. Setiap hari terdapat 7400 orang baru terkena HIV atau 5 orang per menit. Pada tahun 2007 terjadi 2,7 juta infeksi baru HIV dan 2 juta kematian akibat AIDS (UNAIDS, 2008). 12 Di Asia terdapat 4,9 juta orang yang terinfeksi HIV, 440 ribu diantaranya adalah infeksi baru dan telah menyebabkan kematian 300 ribu orang di tahun 2007. Cara penularan di Asia sangat bervariasi, namun yang mendorong epidemi adalah tiga perilaku yang berisiko tinggi: seks komersial yang tidak terlindungi, berbagi alat suntik di kalangan pengguna napza dan seks antar lelaki yang tidak terlindungi (KPAN, 2010). Prevalensi HIV dan AIDS digunaan sebagai acuan oleh UNAIDS (2001) dalam menggolongkan epidemi di sebuah negara, yang digolongkan menjadi epidemi rendah (low epidemic), epidemi terkonsentrasi (concentrated epidemic) dan epidemi yang sudah menyebar ke wilayah populasi umum (generalized epidemic). Epidemi rendah bila prevalensi HIV di suatu sub-populasi < 5%, Epidemi terkonsentrasi adalah apabila prevalensi HIV secara konsisten >5% pada sub-populasi tertentu atau Prevalensi HIV pada populasi umum dan ibu hamil < 1%. Sedangkan Epidemi Umum (generalized epidemic) bila prevalensi HIV pada populasi umum dan ibu hamil > 1%. Lain halnya bila disebut hyperendemic berarti keadaan ini adalah epidemi khusus, yakni suatu keadaan yang secara konstan menggambarkan prevalensi dan/atau angka kejadian HIV yang tinggi di suatu daerah, dimana prevalensi pada populasi umum dewasa lebih dari 15% (UNAIDS, 2001). Perkembangan pesat epidemi HIV dan AIDS pada orang dewasa berdasarkan kawasan di dunia sampai akhir tahun 2008 menurut laporan UNAIDS adalah sangat dinamis dan bervariasi pada setiap negara dengan pola atau model yang berbeda beda. Tabel berikut ini menggambarkan kondisi epidemi di dunia yang berbeda beda di setiap kawasan maupun negara (UNAIDS, 2008). 13 Tabel 2.1 Prevalensi HIV dan AIDS secara Global (UNAIDS, 2008) Sumber: UNAIDS 2008 Menurut UNAIDS pada akhir tahun 2008, di kawasan Sub Sahara Afrika dan Caribia, epidemi HIV sudah menjadi epidemi yang digolongkan sebagai epidemi pada masyarakat umum atau generalized epidemic. Sedangkan di Asia Selatan dan Tenggara termasuk Indonesia (<0.3%) sampai saat itu masih digolongkan epidemi yang terkonsentrasi pada kelompok populasi rentan tertentu, atau concentrated epidemic (Marcus dan Boston, 2009b). Walaupun pada awal perkembangan HIV dan AIDS di dunia, pola penularannya terjadi pada kelompok homoseksual yang mana hal ini menimbulkan penilaian masyarakat normatif bahwa AIDS adalah penyakit orang yang mempunyai perilaku seks “menyimpang”. Tetapi hal tersebut tidak terjadi di Indonesia karenapada awal penyebaran HIV dan AIDS, penularan telah didominasi oleh hubungan seks heteroseksual bukan homoseksual yang menjadi stigma selama ini. Ini 14 membuktikan bahwa HIV dan AIDS dapat mengenai siapa saja, bukan hanya orangorang yang khusus. Hal ini dibuktikan bahwa kasus-kasus yang ditemukan banyak yang mempunyai perilaku hubungan seks heteroseksual seperti dapat ditemukan pada kelompok perempuan “baik-baik”. Pola ini terus berlanjut, dengan data penularan perilaku hubungan seks pada kelompok heteroseksual masih mendominasi pola penyebaran HIV dan AIDS terutama di Indonesia sampai saat ini (KPAN, 2010). Pola penularan ini kemudian berubah pada saat ditemukan kasus seorang ibu yang sedang hamil diketahui telah terinfeksi HIV. Bayi yang dilahirkan ternyata juga positif terinfeksi HIV. Ini menjadi awal dari penambahan pola penularan HIV dan AIDS dari ibu ke bayi yang dikandungnya disamping penularan melalui hubungan seks (KPAN, 2009). 2.1.2 HIV dan AIDS di Indonesia Di Indonesia, ada dua cara penularan utama HIV, yaitu melalui jalur seks dengan banyak pasangan seksual yang berganti-ganti dan penggunaan jarum suntik secara bersama pada pengguna narkoba suntik. Dampak penularan pada perilaku seks komersial dapat semakin luas dengan adanya mobilitas LSL termasuk Waria dan pelanggannya yang tinggi. Di samping itu jumlah kontak komersial antara Waria dan pelanggannya tanpa menggunakan kondom akan lebih memudahkan penularan virus ini (KPAN, 2010). Situasi epidemi dan penanggulangan HIV dan AIDS Indonesia sampai saat ini memasuki epidemi terkonsentrasi. 15 Kecenderungan epidemi HIV ke depan menggambarkan perubahan penularan HIV, dimana selain populasi kunci yang sudah ditangani selama ini, penting pula memperhatikan peningkatan infeksi HIV pada LSL (KPAN, 2010). Kecendrungan epidemi di Indonesia di masa datang diproyeksikan oleh KPAN berkembang seperti gambar berikut: Gambar 2.1 Proyeksi Infeksi HIV di Indonesia berdasarkan Kelompok Kunci (KPAN, 2010) HIV menular dari orang ke orang lain, yang pada dasarnya terjadi melalui pertukaran cairan tubuh, seperti berhubungan seks, transfusi darah, menggunakan jarum suntik secara bersama-sama, dari Ibu yang positif HIV pada bayinya yang dilahirkan dan disusui dengan ASI, serta dapat pula melalui penggunaan alat medis yang tidak steril. Pada dasarnya HIV tidaklah terlalu mudah menular dari satu orang ke orang lain, tetapi karena perilaku berisiko yang dilakukan secara berulang dengan 16 jumlah pasangan yang banyak, faktor inilah yang kemudian dapat menyebabkan menambah kasus yang ada pada LSL (KPAN, 2010). 2.1.3 HIV dan AIDS pada LSL Sejak awal epidemi di awal 1980an, laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) termasuk Waria telah terinfeksi oleh human immunodeficiency virus. Pada Tahun 1987, ketika kasus HIV dan AIDS ditemukan oleh Dr Tuti Parwati serta dilaporkan pertama kali di RSUP Sanglah Denpasar Bali, juga dilaporkan terjadi pada seorang LSL. Risiko infeksi tetap tinggi di antara LSL dan telah ada kebangkitan infeksi HIV di antara LSL, khususnya di negara industri. Data mengenai epidemi HIV yang baru atau baru diidentifikasi kemudian pada LSL di Afrika, Asia, Karibia dan Amerika Latin. Sebuah meta-analisis terhadap data surveilans di negara berpenghasilan rendah dan menengah menemukan bahwa LSL 19,3 kali lebih mungkin terinfeksi HIV dibandingkan populasi umum, bahwa prevalensi HIV pada LSL diperkirakan hingga 40%, dengan tingkat melebihi 20% di negara-negara yang beragam seperti Bolivia, Jamaika, Meksiko, Myanmar, Thailand, Trinidad dan Zambia (WHO, 2011). Menurut WHO (2011) insiden HIV di antara LSL berkisar 1,2-14,4 per 100 orang/tahun. Sampai saat ini di Afrika Sub-Sahara melaporkan bahwa prevalensi HIV pada LSL berkisar dari 6% hingga 31%. Di Asia, kemungkinan LSL terinfeksi HIV 18,7 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum. Di Amerika Latin, diperkirakan bahwa separuh dari semua infeksi HIV di wilayah ini telah dihasilkan dari hubungan anal seks tanpa kondom pada sesama laki-laki (WHO, 2011). 17 Sedikitnya studi-studi epidemiologi yang ada di antara Waria di Asia telah menunjukkan angka prevalensi HIV yang amat tinggi berkisar antara 8% sampai 68%, dan kejadian HIV dari 3,4 sampai 7,8 per 100 orang/tahun. Penting untuk dicatat bahwa korelasi yang mendasari risiko HIV dan IMS serta kebutuhan kesehatan seksual yang spesifik untuk Waria dapat berbeda dari LSL lainnya. Meskipun terjadi dampak yang kuat dari epidemi HIV pada LSL termasuk Waria, sampai saat ini, tidak ada rekomendasi teknis telah dibuat untuk memandu sistem kesehatan terhadap epidemi di antara populasi LSL termasuk Waria sebagai penduduk suatu negara (WHO, 2011). Waria tidak mempunyai pengakuan legal di sebagian besar negara di dunia. Kondisi hukum ini memaksa LSL termasuk Waria berisiko sanksi pidana jika mereka ingin mendiskusikan tingkat seksual risiko dengan penyedia layanan. Banyak negara masih memberikan polisi wewenang untuk melecehkan organisasi yang memberikan layanan kepada populasi ini (WHO, 2011). Kriminalisasi dan hambatan hukum dan kebijakan memainkan peran kunci dalam kerentanan ODHA LSL termasuk Waria. Lebih dari 75 negara saat ini mengkriminalisasi kegiatan seksual sesama jenis kelamin di negaranya masing masing. Berbagai masalah kesehatan yang ada pada populasi LSL di dunia lainnya juga yang mendorong dilakukannya pertemuan pada bulan September 2008 oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Pertemuan global ini adalah untuk melakukan konsultasi global tentang "Pencegahan dan pengobatan HIV dan infeksi menular seksual lainnya untuk laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki dan populasi transjender". Rekomendasi dari konsultasi global tersebut, menyerukan perlunya untuk mengembangkan panduan bagi penyampaian paket intervensi esensial 18 berdasarkan bukti (evidence base programming), untuk diterapkan oleh sektor kesehatan untuk mencegah dan mengobati HIV dan IMS lain antara LSL termasuk Waria. Isu-isu yang diberikan rekomendasi tersebut adalah terkait pada: hak asasi manusia dan non-diskriminasi dalam rangkaian layanan kesehatan terhadap LSL termasuk Waria; pencegahan penularan seksual; tes dan konseling HIV; intervensi perubahan perilaku, desiminasi informasi, pendidikan, komunikasi; penggunaan narkoba dan pencegahan penularan melalui darah; perawatan dan pengobatan HIV; serta pencegahan dan perawatan infeksi menular seksual lainnya. Rekomendasi WHO pada pertemuan konsultasi global tahun 2008 tersebut meliputi antara lain: 1). Para pembuat keputusan dan pemerintah harus menetapkan undang-undang anti-diskriminasi dan perlindungan, berdasarkan standar internasional hak asasi manusia, dalam rangka menghapuskan diskriminasi dan kekerasan yang dihadapi oleh LSL termasuk Waria, dan mengurangi kerentanan mereka terhadap infeksi HIV serta dampak sosial dari HIV dan AIDS. 2). Layanan kesehatan harus melibatkan LSL termasuk Waria, berdasarkan asas etika medis dan hak atas kesehatan untuk semua orang. 3). Penggunaan kondom secara konsisten terutama selama seks anal harus disarankan untuk LSL termasuk Waria daripada tidak menggunakan kondom. 4). Penggunaan kondom secara konsisten sangat direkomendasikan meskipun pada hasil sero-konversi HIV negatif untuk LSL termasuk Waria, strategi ini dilakukan sebagai strategi pengurangan dampak buruk. 5.) Menawarkan sunat laki-laki dewasa untuk LSL dan transjender untuk pencegahan HIV. 6). Menganjurkan tes dan konseling HIV kepada LSL termasuk Waria daripada tidak menawarkan intervensi ini. 7). Menawarkan konseling dan tes 19 HIV dikaitkan dengan perawatan dan pengobatan untuk LSL termasuk Waria, ini sangat disarankan daripada tidak menawarkan program ini. 8). Pelaksanaan intervensi perubahan perilaku pada tingkat-individu untuk pencegahan HIV dan IMS antara LSL termasuk Waria. 9). Pelaksanaan intervensi perubahan perilaku di tingkat masyarakat untuk pencegahan HIV dan IMS antara LSL termasuk Waria, sangat disarankan daripada tidak menerapkan intervensi tersebut. 10). Menyampaikan informasi kesehatan yang sebelumnya sudah ditargetkan dalam media elektronik termasuk internet untuk mengurangi perilaku seksual berisiko dan meningkatkan tes HIV dan konseling di antara LSL termasuk Waria, sangat disarankan daripada tidak menawarkan informasi tersebut. 11). Penggunaan strategi pemasaran sosial untuk meningkatkan partisipasi dalam tes dan konseling HIV dan IMS dan layanan HIV terkait lainnya, di antara LSL termasuk Waria sangat disarankan daripada tidak memakai strategi tersebut. 12). Pelaksanaan strategi penjangkauan berdasarkan tempat dimana transaksi seks terjadi dengan tujuan untuk mengurangi perilaku seksual berisiko dan meningkatkan peserta untuk melakukan tes HIV dan konseling pada LSL termasuk Waria sangat disarankan daripada tidak menerapkan strategi tersebut. 13). LSL termasuk Waria yang memakai alkohol atau zat adiktif lain yang berbahaya harus memiliki akses pada program intervensi psikososial berdasarkan fakta (evidence-based) yang mencakup penilaian dan umpan balik yang spesifik. 14). LSL termasuk Waria yang menyuntikkan narkoba (pengguna narkoba suntik) harus memiliki akses kepada layanan jarum suntik steril (LJSS) dan terapi oral substitusi methadone atau opioid. 15). Waria yang menyuntik zat untuk peningkatan status jendernya harus memakai peralatan suntikan steril dan praktik perilaku menyuntik 20 yang aman untuk mengurangi risiko infeksi patogen melalui darah seperti HIV, hepatitis B dan hepatitis C. 16). LSL termasuk Waria yang hidup dengan HIV harus memiliki akses terhadap ART yang sama dengan populasi heteroseksual. 17). ART harus dimulai pada jumlah CD4 < 350 (juga bagi mereka dengan stadium klinis 3 atau 4 jika tes CD4 tidak tersedia). 18). Akses pengobatan juga harus mencakup pengelolaan infeksi oportunistik (OI), komorbiditas (dua infeksi atau lebih) dan kegagalan pengobatan. 19). LSL termasuk Waria yang hidup dengan HIV harus memiliki akses terhadap intervensi esensial untuk mencegah penyakit dan penularan HIV termasuk tidak terbatasi aksesnya pada: perawatan, dukungan, tes, konseling, dan terapi ARV. 20). LSL termasuk Waria dengan IMS bergejala harus mendapatkan akses untuk mencari dan ditawarkan kemudian untuk manajemen dan pengobatan sindromik/simtomatik. 21). Penawaran tes berkala untuk infeksi uretra tanpa gejala dan N. Gonorrhoeae dan C. Trachomatis pada dubur dengan memakai tes amplifikasi asam nukleat disarankan dibandingkan tidak, untuk LSL termasuk Waria. 22). Menawarkan tes berkala untuk infeksi uretra tanpa gejala dan N. gonorrhoeae pada dubur dengan memakai pembiakan disarankan daripada tidak, untuk LSL termasuk Waria. 23). Penawaran tes serologis berkala untuk infeksi sifilis tanpa gejala pada LSL termasuk Waria sangat disarankan daripada tidak. Terakhir LSL termasuk Waria harus dimasukkan sebagai bagian peserta dalam strategi imunisasi Hepatitis B (HBV). 2.1.4 Stigma dan Diskriminasi pada LSL termasuk Waria di Indonesia Sejak 1973, ketika American Psychiatric Association (APA) mengeluarkan homosexuality dari daftar penyakit gangguan mental/phsikis (mental disorder), 21 kemudian diikuti oleh asosiasi di beberapa negara di dunia, diakui bahwa hubungan seksual dengan pasangan jenis kelamin yang sama adalah variasi normal dari seksualitas manusia. Begitu pula dengan berbagai bentuk identitas gender yang bervariasi, satu pun tidak dikaitkan dengan gangguan patalogi yang bersifat phsikis. Tetapi secara konsisten selalu ditemukan stigma, pengalaman yang menekan bagi populasi yang digolongkan gender minoritas ini, mendapatkan perlakuan yang dihakimi, yang kemudian memunculkan permasalahan emosi, keinginan untuk bunuh diri dan peningkatan penyalahgunaan narkoba (Liz Shaw dkk., 2012). Menurut studi kasus Diskriminasi dan Kekerasan terhadap sub populasi homoseksual yang terdiri dari Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender dan Interseksual/LGBTI oleh Ariyanto dan Triawan (2010), Pemerintah Indonesia sepertinya kurang bersemangat mengeluarkan kelompok LGBTI ini dari penderitaan mereka. Kubangan diskriminasi dan intoleransi masih terus menjadi konstruksi sosial dan pandangan dominan masyarakat terhadap kelompok LGBTI. Pemerintah mungkin pandangan khawatir akan berhadapan dengan konstruksi heteroseksual yang mendominasi pola pikir masyarakat. sosial Biasanya, masyarakat melakukan stigmatisasi terhadap mereka dengan menggunakan justifikasi doktrin dan teks-teks suci keagamaan. Oleh tafsir agama koservatif, kelompok LGBTI dianggap sampah masyarakat, menyebarkan penyakit menular, tidak normal, tidak alamiah, sumber datangnya malapetaka, dan penyandang cacat mental. Parahnya lagi, pemerintah turut melegitimasi hal itu dengan mengeluarkan beberapa kebijakan yang diskriminatif terhadap kelompok marginal tersebut (Ariyanto dan Triawan, 2008). 22 Di pulau Bali, seluruh Kabupaten/Kota memiliki sub-populasi LSL yang estimasinya adalah 25.800 orang dan Waria diestimasikan sebanyak 923 orang saat ini berdomisili di Bali (Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2009). Di wilayah pedesaan LSL termasuk Waria belum berani memperlihatkan keberadaannya di ranah publik maupun lingkungan sosialnya karena stigma maupun diskriminasi oleh berbagai faktor maupun motif sosial dan budaya yang terbentuk terhadap sub populasi ini. Menurut Ariyanto dan Triawan (2008) bentuk bentuk stigma dan diskriminasi pada LSL termasuk Waria (yang terdiri dari orientasi seksual: Gay, Bisexual, Transgender dan Interseksual) ini sangat banyak, mulai dari tidak diakuinya status seksual selain hetero seksual oleh negara, yang terlihat dari identitas seks pada kartu tanda penduduk sampai kepada perlakuan masyarakat umum yang memberikan stigma berupa melecehkan maupun kriminalisasi kepada sub-populasi ini. Kriminalisasi dan kekerasan terhadap kaum LSL termasuk Waria ini berbeda motifnya. Seringkali aparat negara dan masyarakat fundamentalist yang melakukan tindak kekerasan hanya karena perbedaan orientasi seksual sub-populasi ini dengan sub populasi heteroseksual yang jumlahnya mayoritas, diakui oleh negara (Ariyanto dan Triawan, 2008). Proses identifikasi diri dari sub-populasi ini bukanlah hal yang mudah dilakukan, umumnya proses identifikasi diri dan pilihan orientasi seksual merupakan proses seumur hidup dengan berbagai penolakan keluarga hingga lingkungan, bahkan penolakan diri sendiri. Penolakan lingkungan terhadap subpopupasi ini diejawantahkan melalui berbagai justifikasi moral dan agama. Mulai dari kata menyimpang hingga sesat muncul untuk menghakimi kaum ini. Kasus-kasus kekerasan terhadap kaum homoseksual jelas memperlihatkan bahwa negara sudah 23 masuk ke dalam ranah privat kaum ini, karena memaksa mereka untuk meninggalkan identifikasi diri yang dianggap menyimpang itu demi sebuah moral publik yang konsepnya terbentuk menggunakan pandangan mayoritas terhadap minoritas dan menggunakan perspektif heteroseksual-normatifisme. Padahal proses identifikasi diri dan pencarian jati diri seorang manusia merupakan sebuah ranah privat yang tidak dapat diintervensi oleh siapa pun, bahkan oleh keluarga maupun orang-orang terdekatnya. Karena dalam proses pengidentifikasian diri inilah harga diri dan martabat (dignity) seorang manusia sebenarnya melekat (Ariyanto dan Triawan, 2008) Martabat manusia adalah hal yang paling hakiki sebagai manusia. Dalam konvensi internasional dan UUD 1945 amandemen beserta UU HAM telah juga dinyatakan bahwa martabat manusia adalah kebebasan pribadi dan haruslah dilindungi tanpa diskriminasi. Membaca kasus-kasus kekerasan terhadap kaum homoseksual dan peraturan yang terbentuk di beberapa daerah di Indonesia jelas memperlihatkan bahwa aparat negara melakukan diskriminasi dan tindak kekerasan terhadap kaum ini karena perbedaan orientasi seksual mereka yang dianggap akan menyebabkan masalah ketertiban umum. Selanjutnya Ariyanto dan Triawan (2008) mengatakan bahwa negara dianggap terlalu membedakan subyek dan obyek hukum dimana dalam beberapa produk peraturan daerah, negara menyamakan pelaku dan tindakan sebagai perbuatan melanggar hukum. Misalnya antara sodomi dan homoseksual didefinisikan sebagai pelacuran yang kemudian dianggap mengganggu ketertiban umum (Ariyanto dan Triawan, 2008). Pada dasarnya semua diskriminasi terhadap kelompok minoritas homoseksual yang juga disebut LGBTI disebabkan oleh stigma sosial yang dihasilkan dari doktrin 24 dan pemahaman agama yang konservatif. Beberapa contoh diskriminasi yang sering dihadapi kelompok LGBTI di Indonesia adalah sebagai berikut (Ariyanto dan Triawan, 2008): 1. Diskriminasi sosial, dalam bentuk stigmatisasi, cemoohan, pelecehan, dan pengucilan, tidak adanya kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan formal, dan kekerasan fisik maupun psikis; contoh melempar batu kerikil ke seorang waria. 2. Diskriminasi hukum meliputi kebijakan Pemerintah daerah tertentu di Indonesia dan Negara yang melanggar hak-hak LGBTI dan perlakuan hukum yang berbeda dengan sub-populasi heteroseksual. 3. Diskriminasi politik, berwujud kesempatan berbeda dalam wilayah politik praktis dan pencekalan atau tidak adanya keterwakilan politik dari kelompok LGBTI pada parlemen. 4. Diskriminasi ekonomi, seperti pelanggaran dan keterbatasan untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal karena orientasi seksualnya adalah Waria, bukan heteroseksual. 5. Diskriminasi budaya, seperti catatan sejarah tentang upaya penghapusan dan penghilangan nilai-nilai budaya yang ramah terhadap kelompok LGBTI, yang menurut Ariyanto dan Triawan (2008) selama dasawarsa 70-80an budaya Bissu di Sulawesi Selatan hampir musnah diberantas oleh kelompok Islam garis keras DI-TII (Darul Islam – Tentara Islam Indonesia). 25 2.1.5 Perilaku Penggunaan Kondom sebagai alat pencegahan HIV dan AIDS pada LSL termasuk Waria Sampai saat ini belum ditemukan vaksin pencegah dan obat yang secara klinis dapat menyembuhkan AIDS. Salah satu pencegahan transmisi HIV lewat hubungan seksual penetratif adalah menggunakan kondom, baik kondom laki laki (pada penis) maupun kondom perempuan (aplikasi di liang vagina). Keefektifan kondom dalam mencegah penularan HIV sudah terbukti dari beberapa penelitian, terutama dapat mencegah penyebaran HIV melalui hubungan seks, semakin tinggi pemakaian kondom maka semakin rendah kasus HIV dan sebagian besar infeksi menular seksual. Untuk itu ketersediaan dan kemudahan memperoleh kondom sebagai alat pencegahan pada saat kondom itu diperlukan, sepatutnya mendapat perhatian khusus. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mencegah penularan HIV dengan menerapkan intervensi penggunaan kondom 100% agar dapat memutus rantai penularan kelompok rawan tertular dan insiden penularan IMS (Sutakertya, 2008). Namun demikian masih adanya keberatan-keberatan dari kelompok-kelompok tertentu menjadikan promosi kondom menjadi isu yang hangat diperdebatkan dalam usaha pencegahan HIV. Kepercayaan akan keefektifan kondom dalam mencegah infeksi HIV dan IMS akan bisa dirusak oleh kondom yang berkualitas jelek. Promosi yang intensif, teratur dan konsisten akan dapat membangkitkan gambaran yang positif tentang kondom dan juga dengan sistem distribusi yang luas dan bervariasi akan memudahkan LSL termasuk Waria untuk mendapatkan kondom saat diperlukan (Sutakertya, 2008). 26 Menurut laporan survey Perilaku yang dilakukan oleh KPAP Bali bekerjasama dengan HIV Cooperation Program for Indonesia dukungan AusAID Tahun 2011 di Bali, intervensi yang terbukti efektif dalam mengubah perilaku berisiko pada LSL termasuk usaha mendorong kemampuan personal seperti menyediakan kondom dan pengaturan perilaku mandiri. Masih lebih banyak studi dibutuhkan untuk menentukan strategi perilaku mana (misalnya, mengurangi seks anal tanpa kondom, melakukan seks oral ketimbang seks anal, mengurangi jumlah pasangan, menghindari pasangan serodiskordan, penempatan yang strategis, atau mengurangi seks anal bahkan dengan menggunakan kondom) paling efektif dalam mengurangi penyebaran HIV (Johnson dkk., 2008). Dengan demikian intervensi dalam mempromosikan pilihan perilaku seks yang tidak menularkan HIV sangat penting untuk diintegrasikan dalam program initervensi penanggulangan HIV. Lawrence Green menganalisa perilaku manusia dari tingkat kesehatan yang menurutnya dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor perilaku dan faktor di luar perilaku (Notoatmojo, 2005). Faktor perilaku terbentuk dari tiga faktor yaitu : 1. Predisposing factors yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan dan sebagainya, 2. Enabling factors yang terwujud dalam lingkungan fisik seperti tersedianya klinik VCT, pedoman konseling dan penyuluhan HIV/AIDS bagi ibu hamil dan pasangannya, serta 3. Reinforsing factors, yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, keluarga, masyarakat yang merupakan kelompok referensi dari perilaku. Teori Health Belief Model (HBM) merupakan salah satu teori perubahan perilaku yang juga sering juga digunakan untuk menganalisa dan memberikan dukungan pada perubahan perilaku kesehatan manusia. HBM 27 menjelaskan perubahan yang terjadi dan bagaimana perubahan perilaku manusia dapat dipertahankan. Seseorang akan melakukan perubahan perilaku jika merasa dirinya berisiko/ terancam (perceived susceptibility), atau takut karena akibat yang ditimbulkan (perceived severity), atau karena perubahan perilaku akan menguntungkannya (perceived benefits), atau karena perubahan perilaku lebih banyak keuntungannya daripada pengorbanan atau hambatan yang ada (perceived barriers) (Glanz dkk., 1997). Perilaku penggunaan kondom oleh LSL terlihat dipengaruhi oleh pendidikan (penggunaan meningkat), usia, dan daya tarik (penggunaan menurun). Studi tentang perilaku LSL di Indonesia saat ini sedang berlangsung dan lebih banyak lagi informasi yang dibutukan untuk menentukan faktor‐faktor yang mempengaruhi penggunaan kondom oleh LSL (Galarraga dan Gutierrez, 2010). Analisis data surveilans perilaku IBBS oleh Kemeterian Kesehatan RI 2011 dibandingkan dengan IBBS 2007, untuk LSL di enam kota besar di Indonesia menunjukkan terjadi peningkatan prevalensi baik pada HIV dan Sifilis sekitar 2-5 kalinya. Prevalensi Klamidia atau gonore rektal hanya meningkat untuk Bandung, tapi cenderung menurun untuk Jakarta dan Surabaya. Prevalensi klamidia dan gonore rektal berkisar antara 25% di Surabaya dan 46% di Bandung yang diambil di tiga area dengan pemeriksaan PCR. Prevalensi sifilis paling tinggi terdapat di Jakarta (17%) dan terendah di Malang (3%). Prevalensi HIV diantara LSL berkisar dari 2.4% di Semarang sampai yang tertinggi 17% di Jakarta. Risiko seksual semakin tinggi pada LSL dengan penggunaan kondom konsisten yang buruk, meskipun sebagian besar LSL memiliki pengetahuan yang baik tentang HIV (HCPI AusAID, 2009) . 28 Jenis kondom yang dipelajari untuk digunakan oleh LSL mencakup kondom Perempuan Reality dan kondom pria lateks. Salah satu studi menunjukkan bahwa kondom lepas lebih sering terjadi pada kondom Reality daripada lateks meskipun kondom rusak, sperma merembes karena kondom bocor, dan perdarahan di rectum tidak jauh berbeda juga terjadi di kondom pria atau Reality. Sebanyak 20% LSL di studi ini mau menggunakan kondom perempuan (Reality) di masa mendatang (Renzi,dkk. 2011). Kondom perempuan Reality dilaporkan disukai oleh LSL karena kepekaan dan spontanitasnya yang tinggi, sementara kesulitan memasukkan dan biaya tinggi merupakan faktor paling tidak disukai dan lebih bisa diterima di kalangan LSL yang hidup dengan HIV, dalam hubungan non‐monogami atau yang memiliki pasangan seks serodiskordan. Ketersediaan kondom perempuan poliuretan di Indonesia memberikan pilihan jenis kondom lainnya bagi LSL termasuk Waria yang merasa sulit menggunakan kondom pria lateks atau membujuk pasangan seksual mereka (Celum dkk., 2002). Penggunaan kondom yang rendah oleh LSL dan meningkatnya prevalensi HIV di Indonesia membutuhkan tindakan inovatif mengingat perkiraan risiko HIV per hubungan seks anal reseptif antara laki‐laki adalah 0,82% (0,24‐2,76%). Dalam survei oleh HCPI 2011, penggunaan kondom oleh LSL agak berkurang sejak 2010. Meskipun waria melaporkan berperilaku lebih aman daripada LSL, penggunaan kondom konsisten masih rendah di tengah tingginya jumlah pasangan seksual dan laporan adanya gejala IMS, hal ini meningkatkan risiko mereka terinfeksi HIV (Vitinghoff E. dkk., 2010). Tingginya prevalensi IMS menunjukkan bahwa memang perilaku seksual berisiko masih banyak terjadi (Sutakertya, 2008). 29 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Waria Gatsu 47.1 Carik P.Galak 44.4 27.9 23.1 20.8 Sanur-1 Sanur-2 19.2 Bungalow 12.2 9 4 Panti Pijat Gay Grafik 2.1 Proporsi HIV melalui Sero-Survei pada Waria, Gay dan PS di beberapa Sentinel (Dinkes Prov Bali dan YKP, 2009) Angka insiden 44,4 % (Waria) dan 9% (Gay) pada beberapa sentinel di provinsi Bali tersebut di atas (Grafik 1) menunjukkan terjadinya transmisi seksual yang mengkawatirkan, sexual mixing sub-populasi resiko tinggi dengan sub-populasi resiko rendah (umum) bukan tidak mungkin terjadi dan menyumbangkan percepatan peningkatan epidemi di Bali dari terkonsentrasi menjadi generalized epidemic (KPAP Bali, 2010). 2.2 Kerangka Berpikir Kerangka berpikir penelitian ini adalah secara khusus dan terfokus mengeksplorasi jaringan seksual dari segi gambaran umum/peta dan bentuknya, serta aspek pilihan orientasi seksual oleh pasangan LSL termasuk Waria serta persepsi, praktek dan pengalaman seksualnya. Risiko penularan HIV semakin diperbesar 30 dengan adanya praktek perilaku seksual pada LSL memperbesar resiko transmisi HIV lewat hubungan seksual (Dowsett dkk., 2003). Diperkuat oleh temuan dari Morris dan Kretzschmar (1997), bahwa beberapa komponen yang ada dalam jaringan seksual seperti kelompok berisiko lainnya, concurrent partnership dan percampuran seksual, bahkan lebih buruk pengaruhnya dari pada perilaku berisiko saja, dan faktor – faktor tersebut akan memperburuk laju penyebaran HIV. Perilaku concurrent partnership pada LSL termasuk Waria sering terjadi di berbagai tempat di seluruh dunia (Toan dkk., 2010) dan hal ini bisa dilatarbelakangi oleh berbagai motif (Charles dan Christen, 2010), yang mana akhirnya justru motif motif yang melatarbelakangi ini memperbesar risiko untuk terjadinya penularan HIV lewat hubungan seksual karena mengabaikan perilaku seks aman untuk menggunakan kondom. Menurut Beyrer (2010), perilaku concurrent partnership di kalangan LSL termasuk Waria ini bisa terjadi dalam lebih dari satu gender, baik laki laki maupun perempuan. Skema (Gambar 2.2) di halaman selanjutnya menjelaskan teori bahwa concurrent partnerships meningkatkan rata rata penyebaran HIV melalui transmisi seksual karena concurrent partnerships memperpendek waktu kontak seksual dengan partner seksual yang lebih dari satu orang dalam kurun waktu yang sama dibandingkan dengan relasi seksual serial monogami. 31 Gambar 2.2 Ilustrasi penyebaran HIV pada Relasi Seksual Concurrent dibandingkan dengan Serial Monogami (Morris 2001) 32 Besaran jaringan seksual di suatu daerah akan bervariasi berdasarkan sosiokultural dan status ekonomi masyarakatnya. Juga dipengaruhi oleh homogenitas etnik dan suku bangsa masyarakatnya. Menurut Stephane Helleringer dan Hans-Peter Kohler (2007), jaringan seksual dapat digambarkan sebagai gambaran bicomponents yang bervariasi. Bicomponents yang paling sederhana pada concurrent partnership adalah berbentuk diamond sederhana, terdiri dari tiga atau empat orang yang menjadi pasangan seks atau sexual relationship, yang terpisah dengan jaringan seksual yang lainnya yang lebih besar. Kemudian bicomponents yang lainnya akan semakin besar jika ada anggota memiliki dengan simple bicomponents lainnya. Hubungan antar bicomponents dapat digambarkan bagan di samping ini: (Keterangan: titik/lingkaran hitam adalah lelaki, lingkaran putih/kosong adalah perempuan, garis adalah relasi seksual, garis tebal adalah relasi seksual yang lebih dari satu tahun). Gambar 2.3 Skema Jaringan Seksual (Helleringer dan Kohler, 2007) 33 Menurut Doherty dkk. (2005) determinan sosial jaringan seksual adalah berkaitan dengan latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan pengaruh politik, termasuk juga ketersediaan tekhnologi di dalam sebuah negara maupun daerah, bahkan sampai ke wilayah komunitas yang lebih kecil yang memiliki akses besar terhadap jaringan informasi. Faktor faktor tersebut di atas mungkin sangat sulit dikuantifikasi dan diteliti secara formal untuk saat ini, kesulitan dalam mengukurnya karena kemungkinan untuk mendapatkan akses dan persetujuan pasanganpasangannya. Seperti misalnya perubahan politik yang terjadi di Uni Soviet, berakibat pada perubahan komposisi penduduk di perkotaan yang melatar belakangi pertumbuhan penduduk di perkotaan dan meningkatkan jumlah pekerja seksual dan meningkatnya kemudian insiden IMS (Doherty dkk., 2005). Dua determinan dari jaringan seksual lainnya adalah norma sosial (social norm) dan ruang (physical space) yang ada di mana jaringan seksual bisa terbentuk. Norma sosial terbentuk dari faktor budaya pada tingkatan sosial tertentu dan secara berkelanjutan berkembang mengikuti perkembangan jaringannya, yang mempengaruhi perilaku individu dan pasangan yang berdampak pada terjadinya struktur, jumlah dan peningkatan besaran jaringan seksual yang ada (Doherty dkk., 2005). Lebih jauh dijelaskan tersediannya ruang gerak di mana sebuah jaringan seksual terbentuk adalah determian yang menentukan terbentuknya jaringan seksual. CDC (The Centers for Disease Control dan Prevention) di Atlanta USA merekomendasikan bahwa ahli investigasi penyakit yang bekerja pada masyarakat sebaiknya mengumpulkan informasi tentang di mana sub-populasi tersebut menemui 34 partnernya (social network) dan di lingkungan mana mereka tinggal untuk mengetahui di mana bisa menemui pasangannya untuk tujuan pencegahan dan pengobatan penyakitnya (Wasserheit, 2003). Dalam dekade terakhir, penelitian–penelitian banyak mengimplikasikan jaringan seksual sebagai determinan kunci dari penyebaran IMS, dimana struktur jaringan seksual tertentu diasosiasikan dengan terjadinya penyebaran IMS secara nyata. Dengan memiliki data jaringan seksual yang akurat, analisa struktur jaringan seksual menunjukkan indikator epidemi IMS yang lebih baik dari pada menganalisa tren data sekuler (Potterat dkk., 2012). Selanjutnya Doherty (2005) menyebutkan identifikasi jaringan perilaku seksual tertentu bisa saja membawa kepada terbentuknya jaringan berdasarkan faktor risiko yang dapat digunakan dalam menangani permasalahan prediktif, yang dapat menciptakan kemungkinan bentuk intervensi yang dilakukan. Apakah satu bentuk partnership lebih berisiko terhadap transmisi IMS dengan bentuk yang lainnya, yang tentu saja investigasi terkait sexual mixing, concurrency dan mengatur sendiri jaringannya menimbulkan potensi risk factor yang baru dari sebuah jaringan seksual yang ada. Sexual mixing adalah topik yang sangat dikaitkan dengan penyebaran IMS dalam jaringan seksual yang memberikan gambaran tentang tipe dari pola hubungan antar kelompok maupun persilangan kelompok resiko. Pola percampuran hubungan seksual dengan latar belakang yang berbada berdasarkan status infeksi, orientasi seksual, kelompok etnik, faktor perilaku risiko dan sebagainya adalah fenomena yang menarik terjadi pada sub populasi LSL termasuk Waria. Sexual mixing yang terjadi dengan berbagai latar belakang tersebut berimplikasi pada peningkatan kemungkinan 35 infeksi menular seksual. Kebalikan dari sexual mixing adalah assortative sexual adalah terminologi yang menjelaskan sebuah hubungan seksual yang memiliki bias atau kecendrungan untuk terjadi dengan orang yang memiliki karakteristik yang sama, misalnya dari segi umur, etnik, bangsa, agama, warna kulit dan sebagainya. Sering disebut juga sebagai homophily (McPherson dkk., 2001). Lawannya adalah dissortative sexual atau sexual mixing dimana sexual network seseorang terjadi dengan karakteristik yang berbeda dari segi umur, etnik, bangsa, agama, warna kulit dan sebagainya. Sebuah Studi tentang network yang dilakuan oleh Mc Pherson et.al (2001) melakukan meta analisis terhadap seratus lebih hasil penelitian tentang bentuk bentuk homophily, termasuk dari segi umur, gender, kelas sosial, peran organisasi dan sebagainya. Homophily ada dua yaitu status homophily dan value homophily. Status homophily artinya jaringan seksual yang kecendrungannya terjadi satu dengan individu yang lainnya berdasarkan status sosial yang sama. Value (nilai) homophily adalah jaringan yang terjadi karena kemiripan atau kesamaan cara berpikir, meskipun status sosialnya berbeda (Renton dkk., 1954). Pada LSL termasuk Waria di Bali, hampir tidak ditemukan seseorang yang assortative tulen, dissortative terjadi berdasar kelompok etnik dan umur. Menurut model matematika dari transmisi dinamik HIV, disassortative mixing (aktivitas seksual antar kelompok berbeda) memiliki dampak yang lebih besar daripada assortative mixing (aktivitas seksual dalam satu karakteristik atau kelompok yang sama) terkait transmisi HIV (Gupta, Danerson, & May, 1989). Sebuah studi menemukan bahwa hubungan percampuran seksual pada orang orang yang terinfeksi Gonorrhoe dengan populasi umum bisa dijelaskan secara matematik (Renton dkk., 1954). Survey kuantitatif tentang sexual mixing oleh Ford, 36 dkk., pada populasi orang dewasa di Amerika Serikat melaporkan proporsi terjadinya percampuran hubungan seks dengan kelompok dari segi mixing umur (45%), mixing dengan etnik latin (42%) sexual mixing dengan populasi kulit putih (14%) dan dengan kulit hitam (15%). Assortative sexual mixing (karakteristik yang sama) muncul ketika hubungan seksual terjadi atas dasar saling menghormati dengan latar belakang yang mirip seperti dari segi umur dan secara tipikal di dalam kelompok umur yang sama. Sedangkan dissortative (beda karakteristik) mixing muncul misalnya pada kelompok yang memiliki percampuran seksual dengan resiko yang berbeda (Doherty dkk., 2005). Lebih jauh dinyatakan bahwa sexual mixing adalah sebuah karakteristik hubungan seksual yang muncul pada jaringan seksual dan berpengaruh terhadap struktur jaringan seksual. Baik assortative maupun dissortative dapat muncul di dalam suatu sub-populasi masyarakat yang dapat mempengaruhi resiko terhadap infeksi maupun insiden individu yang terlibat di dalam jaringan seksual tersebut. Pengembangan intervensi yang berkelanjutan dengan cara mengklasifikasikan kelompok kunci (core group) dan non kelompok kunci (non-coregroup) dan mencegah seorang untuk memasuki relasi seksual yang berisiko tinggi dapat menurunkan prevalensi IMS yang terjadi. Jaringan seksual seksual juga dibentuk karena adanya concurrent partnership, yang mana konsep concurrency semakin mendapat perhatian yang tinggi dari studi epidemiologi HIV dan IMS lainnya. Meskipun kepemilikan partner seksual yang banyak (multiple) sudah jelas menjadi salah satu faktor risiko untuk tertular infeksi menular seksual, pola, durasi dan waktu hubungan seksual concurrent mungkin 37 menjadi indikator struktur jaringan seksual (Doherty dkk., 2005). Menurut Watts dan May (1992) pengembangan model determinan yang mewakili hubungan concurrency, yang menyatakan semakin besar besaran concurrent partnership semakin cepat pula insiden rate pada kelompok yang sebelumnya tidak terinfeksi HIV dan IMS lainnya. Secara teoritis, semakin besar proporsi dari kelompok masyarakat memiliki concurrent partnership akan menciptakan lebih besar jaringan seksual yang menimbulkan lebih besar alur transmisi seksual, yang mana berdampak pada peningkatan insiden infeksi menular seksual. Pada sebuah simulasi yang dilakukan 1000 orang, prevalensi HIV menunjukkan peningkatan sejalan dengan peningkatan concurrent partnership. Varian prevalensi juga meningkat mengikuti peningkatan tingkat concurrency, sehingga insiden dan prevalens menjadi kurang dapat diprediksi dalam sebuah kelompok masyarakat yang memiliki karakter concurrent yang tinggi, yang mana hal ini menjadi pertimbangan penting dalam pengendalian sebuah infeksi menular seksual (Morris dan Kretzschmar, 1997a). Besaran jaringan seksual juga sangat tergantung dari perilaku seksual dari anggota jaringan yang sangat dinamis berdasarkan berbagai kondisi seperti lingkungan yang memungkinkan, tempat, frekuensi dan jumlah pasangan seksual dalam waktu tertentu waktu. Belum dapat dijelaskan apakah orientasi seksual juga menjadi komponen yang memiliki berpengaruh pada besaran jaringan seksual di populasi dalam konteks perluasan transmisi HIV. Belum ada penelitian penelitian yang menggambarkan secara komprehensif komponen jaringan seksual pada subpopulasi non heteroseksual dengan lengkap dan mendalam. 38 2.3 Konsep Penelitian Menurut Bungin (2007), konsep penelitian kualitatif adalah menjelaskan makna emik, bukan makna etik, dari sebuah penelitian, yang mana konsep penelitian menjelaskan makna rasional dari infroman-informan dan subyek abyek penelitian terhadap lingkungannya terhadap fenomena realitas social yang diteliti. Terkait dengan hal tersebut, konsep penelitian ini adalah memperoleh informasi, menggali dan memaknai komponen jaringan seksual yang terjadi pada sub-populasi LSL yang merupakan bagian dari penduduk yang dikelompokkan sebagai kelompok yang rentan terinfeksi HIV. LSL adalah kelompok laki laki atau didefinisikan sebagai perilaku seksual laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, terlepas dari apa yang menjadi motivasi untuk melakukan hubungan seks. Yang dikategorikan LSL adalah kelompok laki laki yang melakukan hubungan seksual dengan laki laki karena pilihan seksualnya dari orientasi seksual Gay, Waria dan LSL lainnya karena motif tertentu melakukan hubungan seksual dengan laki laki seperti laki laki biseksual, laki-laki hetero seksual yang menjual maupun membeli seks dari laki-laki. Kelompok LSL diyakini memiliki jaringan seksual yang rumit dan jaringannya dibentuk oleh berbagai komponen. Dalam analisa konsep jaringan, bahwa jaringan perilaku berisiko dapat menyebabkan meningkatnya transmisi HIV dan infeksi lainnya; jaringan sosial dapat pula mentransmisikan pengaruh sosial dan keduanya dapat membantu dalam terbentuknya norma dan perilaku pada suatu kelompok masyarakat (Friedman dkk., 2006). 39 2.4 Landasan Teori Studi kualitatif ini memiliki maksud untuk mengekslorasi komponen komponen yang terkait dengan jaringan seksual pada LSL termasuk Waria, dengan landasan teori yang digunakan antara lain teori Keeling dan Earnes (2005) yang menyebutkan bahwasanya terdapat beberapa cara yang bisa digunakan untuk menelusuri jaringan seksual, diantaranya adalah infection tracing dan contact tracing. Infection tracing adalah suatu cara identifikasi jejaring seksual dimana individu dihubungkan dengan individu lainnya berdasarkan dari mana ia tertular suatu infeksi, dan kemana ia menularkan infeksi tersebut. Metode yang ke dua adalah dengan contact tracing dimana individu satu berhubungan dengan individu lainnya berdasarkan adanya riwayat hubungan seksual dengan yang bersangkutan, terlepas dari apakah terdapat riwayat penularan infeksi atau tidak, kedua metode ini memiliki kekurangan dan kelebihan masing masing (Keeling dan Earnes, 2005). Di samping itu menurut Morris (1997) dikategorikan ada dikotomi yang digunakan untuk menggambarkan jaringan seksual, yakni local network dan complete network. Dikotomi ini dibedakan berdasarkan adanya identifikasi terhadap konektifitas dalam setiap hubungan seksual dalam setiap anggota populasi. Dalam local network, informasi mengenai konektifitas konektifitas seksual dalam setiap anggota yang ada dalam kelompok tidaklah dipentingkan tetapi hal yang ingin diketahui dalam local network hanyalah pola yang terjadi dalam hubungan seksual yang terjadi. Sedangkan dalam complete network konektifitas antar setiap individu ditelusuri dengan melakukan penelusuran lebih lanjut kepada individu yang disebutkan oleh peserta penelitian sebagai pasangan seksualnya (Morris, 1997b). 40 Cara penelusuran seperti di atas sering tidak realistis untuk dilaksanakan karena terbentur dengan kendala dan beberapa hal seperti tidak praktis dari segi waktu, biaya sumber daya manusia, serta bertentangan dengan etika karena bersifat personal dan konfidential. Dengan pertimbangan praktis dan konfidential, identifikasi jaringan seksual yang lebih masuk akal dilakukan adalah identifikasi local network, yang mana informasi yang diberikan oleh satu individu mengenai pasangan seksualnya tidak dilacak atau dikonfirmasi lebih lanjut kepada pasangan seksual yang bersangkutan. Salah satu komponen penting dalam jaringan seksual adalah concurrent partnership, pasangan seksual concurrent menggambarkan situasi dimana seseorang memiliki lebih dari satu orang pasangan seksual pada waktu yang bersamaan. Pasangan seksual concurrent adalah kebalikan dari serial monogami, ketika seseorang memiliki hubungan seksual dengan satu pasangan tanpa tumpang tindih waktu dengan pasangan berikutnya. Menurut Morris dan Kretzschmar (1997), concurrent partnership tidak hanya secara eksponensial meningkatkan proporsi orang terinfeksi HIV, tetapi juga mengakselerasi pertumbuhan epidemic rate pada setiap tahunnya. Concurrent partnership dapat mempercepat infeksi rata rata 3 kali lebih cepat dibandingkan hubungan monogami serial (Morris, 1997b). Dalam jaringan seksual, adanya sexual mixing antara kelompok yang berbeda dari segi umur, etnik, resiko perilaku yang disebut sebagai core group, memiliki implikasi terhadap perbedaan pola penyebaran HIV di masyarakat umum yang sangat berbeda apabila sexual mixing itu terjadi hanya dalam kelompok kelompok tertentu (UNAIDS, 1998a, Morris, 1997a). 41 Jembatan penularan ke kelompok umum Gambar 2.4 Sexual mixing antar kelompok populasi (SSP, 2004) Penularan antar subpopulasi terjadi jika terjadi sexual mixing antar kelompok yang sangat bisa dijembatani oleh anggota populasi yang dapat memiliki relasi seksual antar sub-populasi. Insiden Infeksi Menular Seksual (IMS) yang tinggi pada Waria merupakan pertanda risiko penyebaran HIV yang makin meluas melalui jejaring hubungan seksual antara waria dengan pelanggan dan pelanggan dengan istri atau pasangan seks tetapnya. 2.5 Model Penelitian Jaringan seksual adalah fenomena yang sudah terjadi sejak dahulu kala sejak manusia ada di dunia ini, aktivitas seksual manusia adalah cara paling klasik untuk 42 mempertahankan ras manusia sampai saat ini. Terkait dengan transmisi HIV pada aktivitas seksual manusia, gambaran concurrent partnership menjadi faktor yang sangat penting di dalam penyebaran HIV lewat hubungan seksual. Model Penelitian ini bermaksud untuk mempelajari dan memetakan concurrent partnership di kalangan LSL termasuk Waria yang diasumsikan menjadi penyebab kenapa penyebaran HIV di kalangan LSL dan terutama Waria di Bali sangat cepat dibandingkan kelompok lainnya. Concurrent partnership di dalam kalangan LSL termasuk Waria juga menjadi semakin menarik untuk dieksplorasi karena diasumsikan tidak terjadi di dalam kelompok LSL saja, tetapi juga terjadi sexual mixing dengan kelompok sub-populasi yang orientasinya berbeda seperti kelompok orientasi seksual mayoritas (heteroseksual) dan kelompok minoritas lainnya yaitu biseksual. Meskipun menurut modeling matematika (matematical modeling) yang diciptakan dan kemudian didukung oleh penelitian Morris (1997) sudah dapat membuktikan bahwa pola sexual mixing antar berbagai kelompok resiko tinggi, dan resiko rendah memiliki implikasi terhadap perbedaan pola penyebaran HIV di masyarakat umum. Tetapi sexual mixing menurut asumsi penulis bisa terjadi antara kelompok yang berbeda orientasi seksualnya juga, dan ini sangat berperan dalam percepatan penyebaran HIV untuk menjadi epidemi yang umum (generalized epidemic), bukan sexual mixing yang terjadi hanya dalam kelompok kelompok sub-populasi berisiko tertentu saja (UNAIDS, 1998) 43 Abstraksi dan sintesis antara teori Morris (1997) dan permasalahan dari interaksi seksual di antara orientasi seksual yang ada adalah seperti gambar berikut ini: Interaksi Interorientasi Seksual (Interorientation Sexual Interaction) Hetorosexual Homoseksual Bisexual Gambar 2. 5 Interaksi seksual antara orientasi seksual 44 Interaksi ini dimungkinkan karena aktivitas seksual bisa dilakukan dengan pasangan seksual yang berbeda orientasi dan didukung oleh teori Kinsey (1953) yang mengatakan bahwa orientasi seksual adalah continuum. Gambar 2.6 Skala Kinsey: Continuum Orientasi Seksual (1953) Menurut Kinsey (1953), orientasi sexual manusia sebagian besar berada pada kisaran 1 sampai 5, sehingga berbagai motif dapat menyebabkan interaksi seksual terjadi pada dua atau lebih jenis orientasi seksual yang berbeda, yang seringkali motif ini akhirnya memperbesar resiko pengabaian sexual practice yang aman termasuk penggunaan kondom. Ditekankan lagi oleh temuan lainnya yang menyatakan bahwa concurency partnership dapat terjadi bahkan dengan dua gender sekaligus, perempuan dan lelaki (Beyrer dkk., 2010). Berdasarkan teori tersebut, model dari penelitian ini juga ingin membuktikan bahwa fenomena sexual mixing ini juga terjadi antar kelompok orientasi seksual yang berbeda, tidak hanya terjadi di dalam kalangan LSL termasuk Waria saja yang menyebabkan transmisi HIV tersebar secara lokal di dalam 45 sub-populasi beresiko tertentu saja. Gambar di bawah ini adalah abstraksi dari rumusan masalah yang ada sebagai model penelitian. Interaksi Interorientasi Seksual Heterosexual Homosexual HIV + Laki HIV - Laki Bisexual HIV + Perempuan HIV - Perempuan Gambar 2.7 Jaringan Seksual antara berbagai Orientasi Seksual