1 ANALISA YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN SEWA-MENYEWA SAFE DEPOSIT BOX BANK INTERNASIONAL INDONESIA ASEP ARI FIRMANSYAH, AKHMAD BUDI CAHYONO FAKULTAS HUKUM, PROGRAM KEKHUSUSAN HUBUNGAN SESAMA ANGGOTA MASYARAKAT, DEPOK [email protected] Abstrak Salah satu jenis usaha bank yang terdapat dalam Undang-Undang Perbankan Tahun 1998 yaitu menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga atau lebih dikenal dengan istilah Safe Deposit Box (SDB). SDB mulai berkembang pesat, hal itu terbukti dengan banyaknya bank yang melakukan kegiatan usaha ini. Nasabah yang ingin menikmati jasa SDB dapat melakukan perjanjian dengan pihak bank. Perjanjian antara bank dengan nasabah didasari oleh perjanjian sewa-menyewa. Pada prakteknya, Perjanjian SDB menimbulkan beberapa masalah, diantaranya mengenai konstruksi hukum yang mendasari perjanjian dan penerapan klausula eksonerasi dalam perjanjian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penerapan sewa-menyewa pada Perjanjian SDB sudah sesuai dengan konstruksi sewa-menyewa dalam KUH Perdata. Selain itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat apa yang menjadi alasan dan dasar penerapan klausula eksonerasi dalam perjanjian SDB. Penelitian akan dilakukan terhadap Perjanjian Safe Deposit Box yang terdapat pada Bank Internasional Indonesia (BII). Juridical Analysis of Safe Deposit Box Agreement Against Bank Internasional Indonesia Abstract One type of banking business contained in the Banking Act of 1998 which provides a place to store goods and securities or better known as the Safe Deposit Box (SDB). SDB began to grow rapidly, it is evidenced by the many banks conducting this business. Customers who want to enjoy the services of SDB may enter into agreements with the bank. Agreement between the bank and its customers is based on the lease agreement. In practice, the Treaty of SDB raises several problems, including laws regarding the construction and application of the agreement underlying the exoneration clause in the agreement. This study aims to determine whether the application of the tenancy agreement is in conformity with the construction of SDB tenancy in the Civil Code. Moreover, the purpose of this study is to see what is the reason and basis for the exoneration clause in the agreement SDB. Research will be conducted on Safe Deposit Box Agreement contained in Bank Internasional Indonesia (BII). Lease Agreement, Safe Deposit Box, Exoneration Clause Analisa yuridis ..., Asep Ari Firmansyah, FH UI, 2013 2 Pendahuluan Sektor perbankan memiliki peran penting dalam perkembangan perekonomian di Indonesia. Perbankan diatur dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Pasal 4 UU Perbankan 1998 menyatakan bahwa: “Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak”. Bank merupakan salah satu bagian dalam Perbankan. Semakin banyaknya bank yang berdiri membuktikan bahwa peran bank dalam pembangunan nasional khususnya di bidang perekonomian sangat besar. Pengertian bank berdasarkan berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU Perbankan 1998 yaitu : “Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. Sebagai suatu lembaga keuangan, bank harus dapat menjaga kepercayaan para nasabahnya. Kepercayaan nasabah terhadap suatu bank merupakan faktor penentu bank tersebut agar dapat selalu bereksistensi. Dalam Pasal 6 huruf h UU Perbankan 1998 dijelaskan bahwa salah satu jenis usaha bank yaitu “menyediakan tempat” untuk menyimpan barang dan surat berharga atau lebih dikenal dengan istilah Safe Deposit Box (SDB). Nasabah mengikatkan diri dengan pihak bank melalui Perjanjian Sewa-Menyewa SDB. Dalam praktek perbankan yang lazim di Indonesia, pada umumnya perjanjian yang merupakan produk bank adalah perjanjian standar atau perjanjian baku yang klausula-klausulanya telah disusun sebelumnya oleh bank, sehingga nasabah hanya mempunyai pilihan antara menerima isi perjanjian dengan klausula-klausula baku atau tidak mengikatkan diri sama sekali. Salah satu permasalahan yang terdapat dalam Perjanjian SDB yaitu mengenai konstruksi hukum dan klausula baku. Seperti yang telah disampaikan di atas bahwa dalam Perjanjian SDB, hubungan antara bank dan nasabah adalah hubungan sewa-menyewa. Bank sebagai pihak yang menyewakan (menyediakan tempat) sedangkan nasabah sebagai penyewa. Analisa yuridis ..., Asep Ari Firmansyah, FH UI, 2013 3 Dalam Perjanjian SDB, bank menyatakan tidak bertanggung jawab terhadap barang atau dokumen yang disimpan dalam SDB jika terjadi kehilangan, musnah, susut, keaslian, berubah wujud atau kualitas dari barang-barang yang disimpan. Dalam praktek banyak nasabah yang merasa dirugikan atas klausula tersebut. Nasabah beranggapan bahwa klausula tersebut seakan menjadi perisai ampuh bagi bank agar bisa terbebas dari tanggung jawab. Konsep pertanggung jawaban yang dipahami oleh kebanyakan nasabah adalah konsep pertanggung jawaban dalam penitipan barang, Melihat permasalahan di atas, penulis berminat untuk melakukan penelitian lebih jauh terhadap perjanjian sewa-menyewa SDB yang terdapat pada Bank Internasional Indonesia (BII) dengan judul Analisa Yuridis Terhadap Perjanjian Sewa-Menyewa Safe Deposit Box Bank Internasional Indonesia. Dari uraian di atas timbul beberapa permasalahan hukum yang terkait dengan perjanjian sewa menyewa SDB, diantaranya adalah : 1. Bagaimana ketentuan sewa-menyewa jika dibandingkan dengan ketentuan penitipan barang menurut KUH Perdata ? 2. Apakah sewa-menyewa pada Perjanjian SDB BII sesuai dengan ketentuan sewamenyewa dalam KUH Perdata ? 3. Apakah penerapan Klausula Eksonerasi dalam Perjanjian SDB BII sudah tepat jika diterapkan dalam sewa-menyewa ? Tujuan penelitian ini diantaranya adalah : a) Untuk mencari persamaan dan perbedaan antara ketentuan sewa-menyewa dengan ketentuan penitipan barang menurut KUH Perdata. b) Untuk mengetahui apakah sewa-menyewa pada perjanjian SDB sudah sesuai dengan ketentuan sewa-menyewa dalam KUH Perdata. c) Untuk mengetahui apakah Klausula Eksonerasi dalam perjanjian SDB sudah tepat jika diterapkan dalam sewa-menyewa Analisa yuridis ..., Asep Ari Firmansyah, FH UI, 2013 4 Tinjauan Teoritis 1. Perjanjian Dalam buku Hukum Perjanjian, Perjanjian adalah Suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 2. Sewa-menyewa Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak terakhir disanggupi pembayarannya. 3. Safe Deposit Box Salah satu jasa perbankan yang menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga sehingga barang-barang tersebut terjamin dari kerusakan maupun kehilangan. 4. Risiko Kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak. 5. Perjanjian penitipan barang Perjanjian dimana pihak satu menerima barang dari pihak lainnya, dengan janji untuk menyimpan dan kemudian mengembalikannya dalam keadaan seperti semula. 6. Perjanjian baku Perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. 7. Klausula Eksonerasi Klausula Eksonerasi adalah syarat yang secara khusus membebaskan pengusaha dari tanggung jawab terhadap akibat yang merugikan, yang timbul dari pelaksanaan perjanjian. Analisa yuridis ..., Asep Ari Firmansyah, FH UI, 2013 5 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan salah satu bentuk karya tulis ilmiah, yang membutuhkan data penunjang. Untuk dapat memperoleh data tersebut maka dilakukan metode tertentu yaitu metode penelitian hukum. Fungsi dari metode penelitian hukum tersebut adalah menentukan, merumuskan, dan menganalisa serta memecahkan masalah tertentu untuk dapat mengungkapkan kebenaran-kebenaran. Kajian terhadap perjanjian sewa menyewa SDB ini menggunakan penelitian hukum normatif. Biasanya, pada penelitian hukum normatif yang diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder, yang mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Penelitian dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau disebut juga sebagai studi kepustakaan. Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini bersifat deskriptif analitis, yaitu hanya menggambarkan atau melukiskan permasalahan yang ada, kemudian melakukan analisa berdasarkan bahan hukum yang relevan. Lazimnya di dalam penelitian, dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan dari bahan pustaka. Data yang diperoleh dari masyarakat adalah data primer, sedangkan yang diperoleh dari bahan pustaka adalah data sekunder. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Akan tetapi dalam penelitian ini, data sekunder lebih banyak digunakan melalui penelusuran kepustakaan atau studi kepustakaan. Hasil Penelitian Perjanjian sewa-menyewa merupakan salah satu perjanjian khusus yang ketentuan-ketentuannya terdapat dalam Buku III KUH Perdata. Sistematika Buku III KUH Perdata terdiri dari dua bagian, yaitu ketentuan umum yang memuat peraturanperaturan yang berlaku bagi perikatan pada umumnya dan ketentuan khusus yang memuat peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian yang telah ditentukan oleh KUH Perdata. Seperti halnya jual beli, sewa-menyewa merupakan perjanjian konsensuil. Perjanjian ini sah dan mengikat para pihak sejak tercapainya kesepakatan mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga. Pasal 1548 berbunyi: “Sewa-menyewa Analisa yuridis ..., Asep Ari Firmansyah, FH UI, 2013 6 adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya”. Perjanjian sewa-menyewa bersifat konsensuil artinya perjanjian telah sah dan mengikat kedua belah pihak pada saat kata sepakat mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga sewa. Dapat dikatakan bahwa kesepakatan para pihak mengenai barang dan harga merupakan unsur yang mutlak perjanjian sewa-menyewa terbentuk. Tetapi perlu dibedakan antara lahirnya perjanjian sewa-menyewa dengan sahnya perjanjian sewamenyewa. Untuk melahirkan sewa-menyewa adalah cukup dengan tercapainya kesepakatan kedua belah pihak mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga. Namun demikian, untuk sahnya perjanjian sewa-menyewa di samping harus ada kesepakatan mengenai pokok perjanjian, juga harus memenuhi syarat-syarat lain yang telah ditentukan oleh Pasal 1320 KUH Perdata. Sebagaimana diketahui bahwa perjanjian sewa-menyewa merupakan perjanjian timbal balik, artinya masing-masing pihak harus berprestasi, sehingga dalam hal apa yang merupakan hak penyewa menjadi kewajiban yang menyewakan dan sebaliknya kewajiban penyewa merupakan hak bagi yang menyewakan. Definisi penitipan dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1694 KUH Perdata yang berbunyi: “Penitipan adalah terjadi apabila seorang menerima sesuatu barang dari seorang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam ujud asalnya”. Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa terdapat dua (2) orang yang merupakan pihak pertama dan pihak kedua, dimana pihak pertama adalah pihak yang menitipkan barang, sedangkan pihak kedua adalah pihak yang menerima barang titipan atau penerima titipan. Pada umumnya suatu perjanjian lahir sejak adanya kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengikatkan diri atau dikenal dengan asas konsensualisme. Pada perjanjian penitipan barang, sifat konsensualisme belum dapat mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian. Perjanjian penitipan barang merupakan salah satu bentuk perjanjian yang bersifat riil, yang artinya persetujuan baru terjadi dengan dilakukannya Analisa yuridis ..., Asep Ari Firmansyah, FH UI, 2013 7 suatu perbuatan nyata, yaitu pada saat barang yang dititipkan diserahkan, maka lahirlah perjanjian itu. Seperti yang pernah dibahas pada bab sebelumnya, dalam hukum perjanjian, kewajiban yang harus dilaksanakan merupakan hak bagi pihak lainnya. Jadi, hak dan kewajiban selalu berdampingan dan berhadapan. Dalam perjanjian penitipan barang, antara pihak yang melakukan penitipan dan yang menerima titipan masing-masing memiliki hak dan kewajiban. Perjanjian penitipan adalah terjadi apabila seorang menerima sesuatu barang dari seorang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpan dan mengembalikannya dalam wujud asalnya. Jika dilihat dari definisi di atas, maka mengenai berakhirnya perjanjian penitipan barang adalah ketika barang yang dititipkan itu telah dikembalikan seperti wujud asalnya kepada pihak penitip. Perjanjian penitipan merupakan perjanjian riil, sehingga berakhirnya perjanjian penitipan adalah saat barang yang dititipkan dikembalikan kepada penitip atau kuasanya. Perjanjian sewa-menyewa Safe Deposit Box (SDB) merupakan salah satu bentuk perjanjian baku, dimana pihak bank sebelumnya telah menyusun dan membuat suatu formulir perjanjian baku dengan menetapkan syarat serta ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut. SDB merupakan salah satu jasa perbankan yang menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga sehingga barang-barang tersebut terjamin dari kerusakan maupun kehilangan. Subyek hukum dalam Perjanjian SDB adalah bank selaku pihak yang menyewakan dengan nasabah sebagai pihak penyewa. Penyewa atau nasabah yang ingin menggunakan SDB harus memiliki rekening pada bank yang bersangkutan. Obyek sewa-menyewa dalam Perjanjian SDB adalah kotak penyimpanan yang dipakai untuk menyimpan barang berharga. Untuk memiliki atau menjadi pemegang SDB tidaklah terlalu rumit, bahkan sangat sederhana, nasabah cukup mengisi formulir dan menyerahkan fotocopy KTP/SIM/Paspor serta pas foto. Selain mengisi formulir dan menyerahkan kartu identitas, calon penyewa juga harus memberikan tanda tangan yang kemudian dibuat menjadi kartu tanda tangan, membayar uang jaminan dan uang sewanya, menyetujui syarat-syarat yang tertuang di dalam perjanjian dan kemudian menaatinya. SDB hanya dapat dibuka dengan menggunakan 2 (dua) buah anak kunci yang berbeda, yaitu jenis anak kunci (Guard Key) yang dipegang oleh pihak bank dan kunci masternya (Master Key) yang dipegang oleh Analisa yuridis ..., Asep Ari Firmansyah, FH UI, 2013 8 pihak nasabah atau penyewa. Jika salah satu kunci hilang, baik yang dipegang oleh pihak bank maupun nasabah, maka SDB tersebut tidak dapat dibuka dan harus dibongkar. Pembahasan Bahwa antara sewa-menyewa dengan penitipan barang, memiliki lebih banyak perbedaan dibandingkan persamaannya. Seharusnya akan menjadi lebih mudah untuk menentukan perjanjian mana yang sesuai dengan Perjanjian SDB. Kebanyakan orang berpendapat bahwa Perjanjian SDB itu merupakan perjanjian penitipan barang, karena dalam hal ini nasabah menyimpan barangnya pada suatu ruangan atau tempat milik bank, walaupun sebenarnya nasabah melakukan penyewaan, bukan penitipan. Pada Perjanjian SDB permasalahan yang lebih sering muncul adalah ketika barang atau benda berharga milik nasabah hilang pada ruangan atau tempat menyimpan barang. Hal ini erat hubungannya dengan masalah tanggung jawab. Pada beberapa kasus yang ada, dalam hal terjadi kehilangan barang, nasabah pasti meminta tanggung jawab kepada pihak bank untuk memberikan ganti rugi seperti halnya dalam perjanjian penitipan barang. Bank mendasari perjanjian SDB melalui ketentuan Pasal 6 huruf h UU Perbankan 1998 yang bunyinya: “usaha bank umum meliputi: menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga”. Dalam penjelasan pasal di atas, yang dimaksud dengan “menyediakan tempat” dalam ketentuan ini adalah kegiatan bank yang sematamata melakukan “penyewaan” tempat penyimpanan barang dan surat berharga (safety box) tanpa perlu diketahui mutasi dan isinya oleh bank. Jadi jelas bahwa bank dalam mendasari perjanjian SDB dengan konstruksi sewa-menyewa sudah sesuai dengan apa yang dimaksudkan dalam undang-undang. Seharusnya Perjanjian SDB tidak menimbulkan perbedaan pemahaman, karena jelas bahwa judul dalam perjanjian tersebut adalah sewa-menyewa, bukan penitipan barang. Perjanjian SDB BII diatur dalam sebuah Perjanjian yang diberi nama Perjanjian Sewa-Menyewa Safe Deposit Box Bank Internasional Indonesia. Dalam KUH Perdata definisi sewa-menyewa terdapat pada Pasal 1548 KUH Perdata. Dari ketentuan Pasal di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam pengertian sewa-menyewa terdapat tiga unsur penting yaitu, menyerahkan suatu barang untuk Analisa yuridis ..., Asep Ari Firmansyah, FH UI, 2013 9 dinikmati, selama waktu tertentu, dan pembayaran suatu harga. Berhubungan dengan unsur pertama yaitu “menyerahkan suatu barang untuk dinikmati” terjadi perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat bahwa dalam Perjanjian SDB BII unsur ini tidak terpenuhi dan ada juga yang berpendapat bahwa unsur ini terpenuhi. Secara fisik, memang tidak terjadi penyerahan barang karena kotak box tersebut tidak diserahkan kepada penyewa melainkan tetap berada pada penguasaan pihak bank. Melihat kondisi ini, memang unsur menyerahkan barang tidak terpenuhi. Pendapat lain menyatakan bahwa pada unsur menyerahkan suatu barang untuk dinikmati, yang utama adalah penyewa dapat menikmati sesuatu barang yang disewanya. Substansinya adalah penyewa menerima kenikmatan dari sesuatu barang yang disewa sesuai fungsinya, hal itu menjadikan penyewa tidak harus menguasai fisik barang. Implikasi dari penyerahan barang dalam sewa-menyewa yaitu memberikan kenikmatan atas obyek sewa, tetapi tidak hanya sebatas itu saja karena penyerahan barang sangat erat hubungannya dengan pertanggung jawaban terhadap obyek sewa. Keadaan ini menimbulkan perdebatan mengenai siapa pihak yang bertanggung jawab terhadap kotak box tersebut. Ketidak pastiaan mengenai siapa pihak yang bertanggung jawab terhadap barang yang disimpan dalam kotak box terjadi pula jika Perjanjian SDB BII dianggap sebagai perjanjian penitipan barang. Agar dapat dikatakan sebagai penitipan, menurut ketentuan Pasal 1694 KUH Perdata dinyatakan bahwa penitipan terjadi jika seorang menerima sesuatu barang dari orang lain dimana si penerima titipan diwajibkan untuk menyimpan dan mengembalikannya dalam wujud asalnya. Pada Perjanjian SDB BII bank tidak pernah menerima barang apapun dari nasabah, karena nasabah menyimpan sendiri barang tersebut ke dalam kotak box, sementara untuk bisa dikatakan sebagai penitipan, nasabah berkewajiban untuk menyerahkan barang tersebut kepada pihak bank, sehingga bank memiliki kewajiban untuk menyimpan dan mengembalikannya dalam wujud semula. Melihat hal ini, penulis berpendapat bahwa pertanggung jawaban terhadap obyek hukum dalam Perjanjian SDB BII tidak termasuk ke dalam pertanggung jawaban pada perjanjian sewa-menyewa ataupun perjanjian penitipan barang, karena konstruksi hukum mana pun yang digunakan pada Perjanjian SDB BII tidak memberikan kepastian hukum mengenai siapa pihak yang bertanggung jawab. Perjanjian SDB sebaiknya dimasukkan sebagai jenis perjanjian tidak bernama (innominat), karena hingga sekarang belum ada peraturan Analisa yuridis ..., Asep Ari Firmansyah, FH UI, 2013 10 perundang-undangan yang mengatur secara khusus. Perjanjian SDB lahir berdasarkan perkembangan masyarakat yang mengikuti kepentingannya masing-masing berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Pada Perjanjian SDB BII jelas dinyatakan dalam Pasal 3 angka 8 dan angka 13 yang pada intinya menyatakan bahwa bank tidak bertanggung jawab terhadap isi dari kotak box atau bank tidak bertanggung jawab terhadap barang simpanan milik nasabah yang disimpan dalam kotak box tersebut. Kebanyakan orang berpendapat bahwa ketentuan ini termasuk ke dalam klausula eksonerasi, karena berisi suatu pernyataan yang intinya bank melepaskan tanggung jawab atas barang-barang milik nasabah yang disimpan dalam kotak box. Menurut penulis, alasan bank menerapkan klausula eksonerasi cukup beralasan, pertama yaitu karena bank mendasari Perjanjian SDB BII dengan konstruksi sewamenyewa, pada Pasal 1564 sampai 1566 KUH Perdata dijelaskan bahwa dalam sewamenyewa, pihak penyewa bertanggung jawab terhadap obyek sewa selama masa sewa berlangsung, Alasan kedua adalah berhubungan dengan obyek sewa, dimana dalam Perjanjian SDB BII yang menjadi obyek sewa adalah kotak box, bukan mengenai barang yang disimpan dalam kotak box tersebut. ketiga yaitu berhubungan dengan barang yang disimpan dalam kotak box tersebut. Dalam Perjanjian SDB BII bank tidak pernah berhubungan langsung dengan barang yang disimpan dalam kotak box, karena pada prakteknya penyewa atau nasabah menyimpan sendiri barang ke dalam kotak box yang disewanya. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa pada Perjanjian SDB BII, siapa pihak yang harus bertanggung jawab terhadap obyek sewa dan barang yang disimpan dalam kotak box mengalami ketidak pastian jika kita hanya melihat berdasarkan konstruksi hukum yang mendasarinya. Untuk itu adanya Penerapan klausula baku seperti yang terdapat dalam Pasal Pasal 3 angka 8 dan angka 13 Perjanjian SDB BII tidak sematamata mengalihkan tanggung jawab, tetapi merupakan suatu penegasan sekaligus menjawab ketidak pastiaan mengenai siapa pihak yang harus bertanggung jawab. Bukan tidak mungkin akan timbul permasalahan baru jika bank tidak menerapkan klausula tersebut. Dalam Putusan Pengadilan Nomor 21/Pdt.G/2009/PN.JKT.PST pada kasus hilangnya barang berharga milik nasabah atau penyewa dalam SDB milik Bank Analisa yuridis ..., Asep Ari Firmansyah, FH UI, 2013 11 Internasional Indonesia (BII), diketahui bahwa Majelis Hakim menolak gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat. Dalam perkara ini, nasabah atau penyewa merupakan pihak Penggugat, sedangkan BII merupakan pihak Tergugat. Penggugat mengajukan tuntutan kepada Tergugat untuk membayar kerugian atas hilangnya barang yang disimpan dalam kotak box. Majelis Hakim dalam perkara tersebut menolak gugatan penggugat dengan berbagai pertimbangan, Salah satu pertimbangan hakim menolak tuntutan ganti rugi pihak Penggugat adalah ketentuan Pasal 3 angka 8 dan 13 Perjanjian SDB BII. Disini terlihat bahwa hakim tidak melihat dari konstruksi yang mendasari Perjanjian SDB BII, tetapi lebih melihat pada isi dari sebuah perjanjian yang merupakan kesepakatan para pihak. Putusan hakim memang menimbulkan pro dan kontra, karena jika kita melihat dari pihak nasabah sebagai konsumen, putusan tersebut sangatlah tidak adil. Perjanjian SDB yang sekarang ini jelas tidak memberikan perlindungan hukum bagi nasabah, sehingga pemerintah perlu turun tangan dalam menyelesaikan permasalahan ini melalui suatu peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur perjanjian baku seperti Perjanjian SDB. Undang-Undang Perlindungan Konsumen saja tidaklah cukup, sejauh ini belum memberikan perlindungan yang efektif. Kesimpulan 1. Antara Perjanjian sewa-menyewa dengan Perjanjian penitipan barang merupakan dua perjanjian yang memiliki karakteristik yang berbeda. Perjanjian SDB merupakan perjanjian yang didasari oleh adanya hubungan sewa-menyewa antara bank sebagai pihak yang menyewakan dengan nasabah sebagai penyewa. Dalam ketentuan Pasal 6 huruf h UU Perbankan 1998, dijelaskan bahwa salah satu usaha bank adalah menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga. Menyediakan tempat dalam pasal tersebut adalah kegiatan bank yang semata-mata melakukan penyewaan tempat penyimpanan barang dan surat berharga (safety box). Jadi menurut penulis, sewa-menyewa yang dijadikan sebagai dasar Perjanjian SDB telah sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh ketentuan perundang-undangan. 2. Penerapan sewa-menyewa pada Perjanjian SDB merupakan suatu implementasi dari ketentuan yang terdapat dalam UU Perbankan 1998. Dalam sewa-menyewa, salah satu kewajiban dari pihak yang menyewakan adalah menyerahkan barang yang menjadi Analisa yuridis ..., Asep Ari Firmansyah, FH UI, 2013 12 obyek sewa kepada pihak penyewa. Kewajiban di atas tidak sepenuhnya dipenuhi oleh pihak bank, karena bank hanya menyerahkan haknya saja tanpa ada penyerahan fisik dari obyek sewa. Dapat dikatakan bahwa sewa-menyewa dalam Perjanjian SDB BII berbeda dengan sewa-menyewa pada umumnya, sehingga menimbulkan ketidak pastian mengenai pihak yang harus bertanggung jawab terhadap obyek sewa. Seharusnya Perjanjian SDB BII tidak menggunakan konstruksi sewa-menyewa, tetapi dapat dikategorikan sebagai Perjanjian Innominat, tumbuh dan berkembangnya SDB mengikuti perkembangan dalam masyarakat. Perjanjian SDB dapat lahir berdasarkan kesepakatan dan asas kebebasan berkontak, sehingga isi perjanjian mengikuti kepentingan para pihak dan memberikan kepastian hukum, khususnya mengenai tanggung jawab terhadap kotak box dan barang yang disimpan dalam kotak box. 3. Berdasarkan analisa, penulis berpendapat bahwa penerapan klausula ini sudah tepat, karena yang mendasari Perjanjian SDB BII adalah sewa-menyewa. Alasan pertama adalah menurut Pasal 1564 dan 1566 KUH Perdata menerangkan bahwa penyewa bertanggung jawab secara penuh terhadap obyek sewa selama waktu sewa berlangsung. Kedua adalah berhubungan dengan obyek sewa. Pada Perjanjian SDB BII yang menjadi obyek sewa adalah kotak box yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang dan surat berharga, bukan mengenai barang yang disimpan dalam kotak box tersebut. Ketiga adalah terkait dengan barang yang disimpan dalam kotak box. Mengenai barang yang disimpan dalam kotak box, pihak bank sama sekali tidak pernah mengetahui apa-apa saja yang disimpan, karena pada Perjanjian SDB BII penyewa menyimpan sendiri barang tersebut ke dalam kotak box tanpa melalui pihak bank, dengan kata lain bank tidak berhubungan secara langsung dengan barang yang disimpan dalam kotak box tersebut, jadi tidak ada unsur penitipan barang. Saran 1. Sebaiknya Perjanjian SDB dikategorikan sebagai Perjanjian Innominat, sehingga kedepannya dapat dilakukan pengaturan ke dalam perundang-undangan, tidak hanya didasari oleh kesepakatan dan asas kebebasan berkontrak, sehingga dapat menjamin kepentingan para pihak. Analisa yuridis ..., Asep Ari Firmansyah, FH UI, 2013 13 2. Perlu dibentuk suatu aturan khusus yang mengatur mengenai perjanjian yang sifatnya sudah dibakukan seperti Perjanjian SDB dengan tetap memperhatikan ketentuan yang terdapat dalam Hukum Perjanjian, Undang-Undang Perbankan 1998 dan peraturanperaturan lain yang terkait, sehingga pada prakteknya tidak menimbulkan masalah. Daftar Referensi BUKU Badrulzaman, Mariam Darus. et al. Kompilasi Hukum Perikatan. Cet. Kesatu. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001. Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006. Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perikatan. Cet. Ketiga. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992. Nasution, AZ. Hukum Perlindungan Konsumen, Cet. Ketiga. Jakarta: Diadit Media, 2002. Sjahdeini, Sutan Remi. Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia. Cet. Kesatu. Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993. Subekti, R. Aneka Perjanjian. Cet. Kesepuluh. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995. Subekti, R. Hukum Perjanjian. Cet. Ketujuh belas. Jakarta: Intermasa, 1998. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia. Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. UU No. 10 Tahun 1998. LN No. 182 Tahun 1998. TLN No. 3790. Kitab Undang-Undang Hukum perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya Paramita, 1984. Analisa yuridis ..., Asep Ari Firmansyah, FH UI, 2013