MEMBANGUN KARAKTER SISWA MELALUI METODE KLARIFIKASI NILAI DALAM PEMBELAJARAN PKn Ari Wibowo PGSD – Universitas PGRI Yogyakarta Abstrak Dewasa ini, nilai dan moralitas merupakan sesuatu yang sulit untuk ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Di kalangan pejabat, masyarakat, bahkan pelajar sekalipun, moralitas luhur bangsa belum tampak secara nyata dalam kehidupan disehari-hari. Oleh karenanya makalah ini dibuat untuk memberikan rekomendasi kepada guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran yang dapat menumbuh-kembangkan karakter siswa. Untuk mencapai tujuan pendidikan agar sesuai dengan yang inginkan, perlu dirancang dan dilaksanakan pendidikan yang baik dengan pembangunan karakter siswa dalam pendidikan nilai. Melalui metode klarifikasi nilai siswa dapat memiliki kebebasan dalam berpikir, menjadi kreatif dalam mengembangkan imajinasi, dan mewujudkan nilai-nilai yang mereka percaya untuk menjadi baik dan benar dalam kehidupan mereka. Pokok bahasan dalam makalah ini antara lain pendahuluan, pendidikan karakter, kegagalan PKn dalam membentuk kakrakter siswa, mengembangkan karakter melalui Klarifikasi Nilai dan Metode Klarifikasi Nilai dalam pembelajaran PKn. Kata kunci: Klarifikasi Nilai, Karakter A. Pendahuluan Beberapa tahun belakangan ini, Indonesia dihadapkan pada krisis multi dimensi yang menyinggung persoalan mendasar bagi kehidupan manusia. Mulai dari aspek ekonomi, sosial, moral, budaya dan utamanya adalah krisis akhlak. Krisis pada aspek sosial khususnya sudah sampai pada bentuk yang memprihatinkan. Berbagai bentuk penyimpangan perilaku sosial diperlihatkan tidak hanya oleh para siswa tetapi juga oleh mahasiswa, bahkan orang dewasa. Banyak media massa yang memperlihatkan kebiasaan mereka seperti korupsi, ketidakjujuran, dan ketidakpedulian terhadap sesama. Tidak kalah pula munculnya kemiskinan sosial yang banyak diperlihatkan dengan berbagai bentuknya, seperti miskin kejujuran, miskin toleransi, miskin pengabdian, miskin disiplin dan miskin empati terhadap masalah sosial. Perilaku masyarakat yang semakin liar dalam menanggapi isu-isu, menambah panjang catatan buruk bangsa. 63 Masalah tersebut tidak terlepas dari proses pendidikan yang terjadi dewasa ini, mengingat bahwa pendidikan adalah pilar utama berdirinya sebuah negara. Melalui pendidikan akan tercetak warga masyarakat sesuai dengan karakter bangsa. Baik buruknya suatu negara di masa kini tidak terlepas dari pola pendidikan yang diselenggarakan di masa lampau. Banyak pertanyaan muncul terkait dengan penyelenggaran pendidikan di Indonesia, bagaimana peran pendidikan? Bisakah hal tersebut hanya dibebankan pada pendidikan sekolah? Bagaimana kualitas pendidikan, yang semestinya tidak hanya mengajarkan aspek kognitif dan psikomotor, tetapi juga pendidikan afeksi? Kenyataan seperti di atas terjadi pada setiap mata pelajaran, tidak terkecuali mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Kegagalan pendidikan terkait dengan pembentukan karakter bangsa tersebut, tidak terlepas dari kegagalan mata pelajaran PKn dalam usaha menginternalisasi nilai-nilai Pancasila. Praktik pendidikan yang semestinya memperkuat aspek karakter atau nilai-nilai kebaikan sejauh ini hanya mampu menghasilkan berbagai sikap dan perilaku manusia yang nyata-nyata malah bertolak belakang dengan apa yang diajarkan. Tilaar (2008:142) menyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan sangat penting dalam pembinaan ideologi Pancasila. Ideologi sangat penting dalam meracik kesatuan bangsa Indonesia, namun perlu hati-hati dalam perumusan dan metodologinya karena dalam prosesnya dapat jatuh kepada praktik-praktik yang justru bertentangan dengan proses pendidikan dan nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Pada masa lalu Ideologi Pancasila diartikan sebagai proses indoktrinasi dari pemerintah kepada generasi muda melalui pendidikan Kewarganegaraan. Hasilnya justru mengalami kegagalan karena caranya bertentangan dengan hakikat pendidikan. Dari pernyataan di atas, diperlukan pembenahan di bidang pendidikan. Mendidik tidak hanya sekedar mengajarkan pengetahuan (transfer of knowledge), akan tetapi juga memberikan keteladanan dan bimbingan untuk menerapkan nilainilai kejujuran, keadilan, penghargaan terhadap orang lain, dan lain-lain. Oleh karenanya pendidikan harus dapat membangun aspek kognitif, afektif dan psikomotor secara seimbang dan berkesinambungan. 64 Selain itu, restorasi di bidang pendidikan sangat mendesak karena pergeseran paradigma pembelajaran dari kognitifistik menjadi konstruktifistik. Hal tersebut berimplikasi pula terhadap proses pembelajaran yang akan dilaksanakan. Paradigma konstruktifistik tidak lagi menempatkan siswa sebagai objek pembelajaran, melainkan menempatkan siswa sebagai subjek pembelajaran dan guru sebagai fasilitatornya. Dalam hal ini siswalah yang aktif ketika proses pembelajaran berlangsung. Siswa lebih banyak diberikan kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai dengan minat dan bakatnya, sedangkan guru hanya memberikan arahan serta fasilitas agar proses pembelajaran tidak menyimpang dari kurikulum yang sudah ditetapkan. Upaya yang dapat dilakukan untuk menginternalisasikan nilai-nilai karakter bangsa adalah melalui kegiatan pembelajaran. Internalisasi nilai-nilai karakter bangsa pada kegiatan pembelajaran dapat dilakukan melalui tahap perencanaan, implementasi dan evaluasi. B. Pendidikan Karakter Awilson (Tadkiroatun Musfiroh, 2008: 27) mendefinisikan karakter sebagai gambaran tingkah laku yang menonjolkan nilai benar salah, baik-buruk, baik secara eksplisit maupun implisit. Studi tentang karakter telah lama menjadi pokok perhatian para psikolog, pedagogi atau pendidikan. Apa yang disebut karakter bisa dipahami berbeda-beda oleh pemikir sesuai penekanan dan pendekatan mereka masing-masing. Secara umum istilah karakter sering diasosiasikan dengan apa yang disebut tempramen. Selain itu, karakter dilihat dari sudut pandang behavior yang menekankan unsur somatropsikis yang dimiliki manusia sejak lahir. Dalam hal ini istilah karakter dianggap sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan juga bawaan dari seseorang sejak lahir. Doyle & Ponder (Easterbrooks, 2004:255) 65 Character education is the effort to teach basic values and moral reasoning to primary and secondary school students; it is based in the premise that children can be thought basic values and moral reasoning. Jadi menurut Doyle & Ponder pendidikan karakter adalah upaya untuk mengajarkan nilai-nilai dasar dan penalaran moral siswa sekolah dasar dan menengah, hal ini didasarkan pada premis bahwa anak-anak dapat dianggap memiliki nilai-nilai dasar dan penalaran moral. Lebih lanjut dalam pendidikan karakter Lickona (1991: 53-62) menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik (competents of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan moral, moral feeling atau perasaan moral, dan moral action atau perbuatan bermoral seperti pada gambar berikut. Gambar 1. Komponen Karakter MORAL KNOWING 1. 2. 3. 4. 5. 6. MORAL FEELING Moral awareness Knowing moral values Perspective-talking Moral reasoning Dicsision-macing Self-knowledge 1. 2. 3. 4. 5. Conscience Self-esteem Empathy Loving the good Self-control MORAL ACTION 1. 2. 3. Competenc e Will Habit Dari berbagai pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah merupakan sebuah proses yang membantu menumbuhkan, mengembangkan, mendewasakan, membentuk kepribadian seseorang yang merupakan karakteristik ciri khas dari orang tersebut. Proses tersebut dilakukan secara sadar dan sistematis, sehingga terbentuk kepribadian yang digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berfikir, bersikap dan bertindak. 66 Zubaedi (2011:17) mengemukakan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya penanaman kecerdasan dalam berpikir, penghayatan dalam bentuk sikap, dan pengalaman dalam bentuk perilaku sesuai dengan nilai-nilai luhur yang menjadi jati dirinya. Proses pengajaran karakter yang dikemukakan oleh Kirschenbaum (2000: 16) bahwa: If we teach or tell something directly, people may remember a certain amount of it. If we demonstrate what we are teaching, they will remember even more. But if we also give them an opportunity to process that information and make personal meaning out of it, they will remember still more and retain it longer, and it will have a deeper impact on their behavior. Values education must be comprehensive to be most effective. Dari pernyataan diatas dapat dilihat bahwa dalam mengajarkan karakter, jika kita menunjukkan apa yang kita ajarkan, mereka akan mengingat lebih banyak. Tetapi jika kita juga memberi mereka kesempatan untuk memproses informasi tersebut dan membuat makna pribadi, mereka akan mengingat lebih banyak dan mempertahankan lebih lama, dan itu akan memiliki dampak yang lebih pada perilaku mereka. Oleh karena itu pendidikan nilai harus komprehensif agar lebih efektif. C. Kegagalan PKn dalam Pengembangan karakter Siswa Mata pelajaran PKn merupakan mata pelajaran wajib di semua jenjang pendidikan dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi. Mata pelajaran PKn merupakan bagian integral dari muatan kurikulum yang memikul tanggung jawab untuk mewujudkan salah satu aspek yang berkaitan dengan kepribadian. Dalam Lampiran UU No 22 Tahun 2006 menyembutkan bahwa Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Samsuri (2011:18) menyatakan bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan upaya pendagogis pembentukan watak warga negara yang baik, yakni memiliki 67 penalaran moral untuk bertindak atau tidak bertindak dalam urusan publik maupun privat. Perlu dijelaskan bahwa dalam pembelajaran PKn yang menjadi target yaitu terintegrasinya ketiga aspek pendidikan yaitu aspek pemahaman (teoritik), sikap dan tingkah laku (praktik). Atas pemahaman yang benar diharapkan suatu materi pembelajaran (nilai-nilai) maka diharapkan diwujudkan dalam sikap dan perilaku sesuai warga negara yang baik atau berbudi pekerti luhur. Sikap sebenarnya merupakan hasil belajar yang merupakan kecenderungan bertindak atas pemahaman suatu objek tertentu yang berada dalam hati seseorang. Sedangkan perilaku adalah suatu tindakan atau perbuatan sebagai cerminan dari sikapnya. Sikap merupakan hasil belajar yang berupa kecenderungan bertindak terhadap sesuatu objek sosial yang terbentuk berdasarkan pengetahuan. Melalui sikap akan menumbuhkan perilaku-perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai yang dipelajari. Gambar 2. Struktur Keilmuan PKn Pengetahuan PKn Percaya diri Kompeten WNI yang baik Komitmen Keterampilan PKn Kebajikan PKn Kebajikan Kn (Mawardi, 2011:13) Kegagalan dunia pendidikan dalam upaya membangun karakter bangsa terutama dalam mata pelajaran PKn disinyalir karena proses pembelajaran selama 68 ini yang cenderung kognitifistik. Strategi pembelajaran yang sering disebut sebagai pembelajaran konvensional dianggap gagal mendidik perilaku siswa karena tidak mengabungkan ketiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Tidak sedikit pendidik yang lebih mengedepankan nilai-nilai kognitif dari peserta didiknya. Mereka beranggapan bahwa ranah kognitif menyumbang lebih besar dalam keberhasilan anak didiknya. Seorang siswa dianggap berprestasi dan mendapat predikat sebagai pelajar teladan berdasarkan nilai mata pelajaran yang bagus. Akibatnya, praktik pembelajaran yang selama ini berlangsung, siswa dijejali dengan teori-teori dan konsep-konsep tanpa diberikan kesempatan untuk memberikan pandangan dan pendapatnya terkait dengan materi pembelajaran yang diajarkan. Strategi konvensional yang banyak menggunakan metode ceramah cenderung meletakan siswa sebagai objek pembelajaran. Guru menganggap bahwa dia yang paling tau materi pembelajaran dan kebutuhan siswa. Padahal menurut Goleman (Darmiyati,2008:67) berpendapat bahwa EQ (Emotional Quotient) menyumbang 80% terhadap keberhasilan seseorang dalam kehidupan, dan IQ (Intelligencie Quotient) hanya menyumbang 20% saja. Akibat dari proses belajar yang demikian adalah peserta didik hanya memiliki pengetahuan, tetapi tanpa memahami nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Seperti yang sudah diketahui, menurut beberapa praktisi pendidikan, pembelajaran konvensional memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan yang sering terjadi antara lain: 1) kurangnya pengalaman belajar, 2) prestasi belajar diantara siswa tidak seimbang, 3) kurangnya motivasi siswa dalam pembelajaran. D. Mengembangkan Karakter melalui metode klarifikasi Nilai Sejalan dengan paradigma pembelajaran saat ini yaitu kontruktifistik, maka strategi pembelajaranpun harus dibenahi. Belajar tidak lagi memindahkan pengetahuan dari guru kepada murid, melainkan belajar adalah proses untuk memaknai pengetahuan. Pembelajaran merupakan sarana untuk menggali kreativitas dan potensi yang dimiliki oleh siswa. Paradigma konstruktifistik dikembangkan dalam dunia pendidikan untuk megembangkan kemampuan siswa agar dapat memanfaatkan pengetahuannya didalam kehidupan sehari-hari. 69 Paradigma ini meletakkan siswa sebagai subjek pembelajaran, sedangkan guru sebagai fasilitator. Tugas guru sebagai fasilitor antara lain: (1) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menampilkan, menciptakan, menghasilkan, atau melakukan sesuatu; (2) Mendorong tingkat berpikir yang lebih tinggi dan keterampilan pemecahan masalah; (3) Memberikan tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna; (4) Menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata. Misi sebagai pendidikan aspek afeksi ini terutama berkaitan dengan fungsi pengembangan sikap kewarganegaraan (civic skills). Dalam Pembelajaran moral siswa pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Oleh sebab itu, model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Salah satu alternatif yang bisa dipilih guru dalam pembelajaran adalah mengunakan metode klarifikasi nilai. Melalui klarifikasi nilai diharapkan dapat menjadikan anak didik memiliki sikap kritis dalam menghadapi dinamika interaksi sosialnya. Kemampuannya seperti memilih dan memilah, memahami dan mengeksplorasi dari beragam konsekuensi nilainilai moral yang telah didapatnya melalui klarifikasi nilai dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui klarifikasi nilai ini siswa diharapkan mampu menetapkan mana nilai-nilai moral yang terbaik bagi kebaikan dan kehormatan dirinya. Anak akan selalu berhati-hati dan kritis terhadap nilainilai yang berlangsung dalam interaksi sosialnya, baik pada kondisi yang memang diciptakan untuk melahirkan nilai-nilai moral maupun pada kondisikondisi dilematis moral yang dihadapinya. Wina Sanjaya (2008:283) menjelaskan bahwa teknik klarifikasi nilai atau sering disebut Value Clarification Technique dapat diartikan sebagai teknik pembelajaran untuk membentuk siswa dalam mencapai dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa. Hall (1973:11) mengartikan teknik klarifikasi nilai (VCT) sebagai: 70 By value clarification we mean a methodology or process by which we help a person to discover values through behavior, feelings, ideas, and through important choises he has made and is continually, in fact, acting upon in and through his life. Menurut Hall VCT adalah metode klarifikasi nilai, di mana peserta didik tidak disuruh menghafal dan tidak “disuapi” dengan nilai-nilai yang sudah dipilihkan pihak lain, melainkan dibantu untuk menemukan, menganalisis, mempertanggungjawabkan, mengembangkan, memilih, mengambil sikap dan mengamalkan nilai-nilai hidupnya sendiri. Dengan demikian, penggunaan metode klarifikasi nilai ini akan membantu siswa untuk mengambil keputusan sendiri, mengarahkan kehidupannya sendiri, tanpa campur tangan yang tidak perlu dari pihak lain. Rath, Harmin, dan Simon (1966: 30), mengemukakan ada tujuh langkah dalam metode klarifikasi nilai yaitu: 1) Memilih a) Memilih dengan bebas b) Memilih dari berbagai alternatif c) Memilih dari berbagai pertimbangan alternatif setelah mengadakan pertimbangan tentang berbagai akibatnya. 2) Menghargai d) Menghargai dan merasakan bahagia dengan pilihannya e) Bersedia mengakui/menegaskan pilihannya di depan umum 3) Bertindak f) Berbuat/berperilaku sesuai dengan pilihannya g) Berulang-ulang betindak sesuai dengan pilihannya hingga akhirnya menjadi kebiasaan/pola hidupnya E. Metode Klarifikasi Nilai dalam Pembelajaran PKn Cheppy (Sotarjo 2009: 89) mengemukakan beberapa metode yang dapat dilakukan agar proses klarifikasi nilai dapat berlangsung secara efektif dalam proses pembelajaran, antara lain: 1) Metode dialog 71 Pendidik menawarkan nilai tertentu untuk dibicarakan, dibahas secara dialogis di antara perserta didik. Dialog ini garis besarnya sebagai berikut: a) Pendidik menawarkan nilai tertentu dalam suatu dilema moral, peserta didik mendalami dengan metode inkuiri, analisis dilema moral b) Peserta didik diberikan kebebasan untuk menanggapi, bertanya, menjelaskan satu sama lain yang berlangsung dalam diskusi kelompok. c) Peserta didik bebas mengambil pilihan, keputusan dan kesimpulan terkait dengan nilai yang jadi bahan dialog. d) Pilihan ini diberi alasan dan dikemukakan pada teman yang lain lewat presentasi. e) Pendidik atau teman sejawat memberikan pertanyaan kritis terhadap nilai pilihan peserta didik. f) Peserta didik menyampaikan niat untuk melaksanakan pilihannya. 2) Diskusi kelompok- cooperative learning Pendidik membentuk kelompok-kelompok dalam kelas, dan kepada kelompok pendidik menyampaikan sejumlah daftar nilai berserta pernyataan kritis terkait dengan nilai-nilai tersebut secara berbeda. Masing-masing peserta didik secara bebas dalam kelompok berdiskusi, menanggapi pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap nilai yang ditawarkan, memberi argumentasi atas pilihannya. Kemudian setiap kelompok mencoba merangkum pendapat bersama dan dalam pleno peserta didik atau kelompok diberi kebebasan mengutarakan pilihan serta alsannya, termasuk niat untuk melaksanakan pilihan yang telah dipilih. Peran pendidik di sini adalah sebagai pendamping dan fasilitator dalam proses diskusi agar jalannya diskusi dapat berjalan dengan lancar. 72 3) Studi kasus dengan problem solving, studi kasus moral yang berdilema Pendidik memberikan cerita berkasus yang menngudang unsurunsur problem solving atau pemecahan kasus yang mengundang dilema moral atau nilai tertentu, disertai sejumlah pertanyaan untuk ditanggapi peserta didik baik secara individual maupun secara kolektif dalam diskusi kelompok dan dipresentasikan dalam pleno. Penggunaan metode problem moral sebaiknya mengandung dilema nilai ata moral yang jelas dan tajam sehingga peserta didik ditantang untuk mencari penyelesaian. Dalam diskusi kelompok peserta didik bebas memilih jalan keluar dari dilema yang ada, dengan disertai alasannya. Peran pendidik sebagai fasilitator dalam diskusi, hanya memberi petanyaan-pertanyaan kritis terhadap argumen peserta didik, tanpa memaksakan pendapatnnya. Dari beberapa metode diatas, langkah-langkah pembelajaran menggunakan metode klarifikasi nilai secara umum dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar 3. Kerangka Pikir Metode Klarifikasi Nilai Mata Pelajaran PKn Kondisi Awal Siswa Pemahaman dan nilai yang dimiliki siswa sebelum proses pembelajaran Dilema Moral Deskripsi faktual baik normatif maupun empirik problema/dilema moral untuk dipecahkan Proses Klarifikasi Kemampuan perilaku cognitive : mengidentifikasi, mendifinisikan, memecahkan, mengevaluasi dan memprediksi behavior /life style : menunjukkan, menjelaskan, menganalisis berargumentasi, menilai dan menyimpulkan. Perubahan Perilaku Namun demikian, ada kelemahan-kelemahan yang perlu diperhatikan dalam metode klarifikasi nilai antara lain guru harus memiliki persiapan 73 yang baik untuk merancang pembelajaran. Kelemahan lainnya adalah kemungkinan materi tidak dapat luas karena siswa yang asik berdiskusi. Selain itu kriteria benar-salah dapat relatif, karena sangat mementingkan nilai individu. Dengan demikian guru harus mempersiapkan rancangan pembelajaran dengan matang agar proses pembelajaran menggunakan metode klarifikasi nilai dapat berjalan dengan baik dan dapat meminimalisir kelemahan yang ada. F. Kesimpulan Mata pelajaran PKn merupakan mata pelajaran yang bertujuan untuk membentuk karakter yang sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan. PKn tidak hanya mengajarkan tentang konsep bernegara, tetapi mengajarkan pula bagaimana menjadi warga negara yang baik. Oleh karena itu dalam pembelajaran PKn sangat dimungkinkan adanya pengintegrasian nilai-nilai dan moralitas sebagai upaya pendidikan karakter menuju perbaikan kualitas moral bangsa Indonesia. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan afeksi yaitu model pembejaran yang berusaha mengembangkan aspek emosi atau perasan yang umumnya terdapat dalam pendidikan humaniora dan seni, namun juga dihubungkan dengan sistem nilai hidup, sikap, dan keyakinan untuk mengembangkan moral dan watak seseorang (Nurul Zuriah, 2007: 19). Implementasi pendidikan afeksi salah satunya adalah dengan menggunakan VCT. Metode VCT merupakan salah satu metode yang paling cocok untuk meningkatkan sikap, nilai, dan kemandirian siswa. Kecocokan ini didasarkan pada tekniknya yang melibatkan diri siswa dalam menentukan nilai-nilai yang akan diputuskan. Dilema moral merupakan salah satu metode yang sangat penting untuk mengetahui sampai dimanakah pemikiran dan pemahaman moral seseorang menurut teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh Kohlberg. Dengan diketahuinya tingkat pemahaman moralnya, maka kita akan dapat mengetahui bagaimanakah sikap dan tanggapan mahasiswa ketika berada dalam situasi-situasi yang dilematis. 74 Daftar Pustaka Bunyamin Maftuh. (2008). Internalisasi Nilai-Nilai Pancasila dan Nasionalisme Melalui Pendidikan Kewarganegaraan. Educationist Vol. 2 No. 2, 60-78. Darmiyati Yuchdi. (2008). Humanisme Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Diknas. (2006). Peraturan Mentri Pendidikan Nasional RI Nomor 22 Tahun 2006, tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Doni Koesoema (2007). Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Easterbrooks, S. R. & Scheetz N.A. (2004). Applying Critical Thinking Skills to Character Education and Values Clarification With Students Who Are Deaf or Hard of Hearing. American Annals of the Deaf,149, 255-26. Goleman, D. (2002). Emotional Intelegence : Kecerdasan Emosional, (Terjemahan T. Hermaya) Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. H.A.R., Tilaar. (2004). Multikulturalisme Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Tranformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo. Ine K.A. & Markum S. (2010). Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Nilai. Bogor: Ghalia Indonesia. Kirschenbaum, H. (2000). From Values Clarification to Character Education: A Personal Journey. Journal of Humanistic Counseling, Education & Development, 39(1), 4-20. Retrieved from EBSCOhost. Krathwohl, D. R., Benjamin S. B., & Betarm B M. (1964). Taxonomy of educational objectives: the classification of educational goal handbook II: affective domain. London: Longman. Lickona, T. (1991). Educating fot Character. How Our Schools can Theach Respect and Responsibility. New York: Batam Books. Raths, L. E., Merrill H. & Sidney B. S. (1966) Values and Teaching: Working with Values in the Classroom. Columbus, Ohio : Charles E. Marrill Publishing Co. Samsuri, 2011. Pendidikan Karakter Warga Negara. Yogyakarta: Diandara Pustaka Indonesia. Simon, S. B. (1972).Values Clarification. New York : Hart Publishing Company. 75 Tadkiroatun Musfiroh. (2008). Pengembangan Karakter Anak Melalui Pendidikan Karakter Dalam Tinjauan Berbacai Aspek, Character Building, Yogyakarta: lembaga pelitian UNY. Wina Sanjaya. (2008). Strategi pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Preanda Media Group. 76