Fasilitas Pembiayaan Darurat vs BLBI1 S. Batunanggar2 Tampaknya masih banyak pihak yang berpandangan bahwa Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD) sama dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Pandangan itu tidak hanya melekat pada publik masyarakat umum, tetapi sayangnya masih menghantui para pengamat dan juga akademisi. Sebagian pengamat tampaknya cukup memahami bahwa FPD memang dibutuhkan untuk memelihara stabilitas sistem keuangan, namun masih menghawatirkan adanya moral hazard belajar dari kasus BLBI (Bisnis Indonesia, 6 Januari 2006). Sementara itu, ada reporter yang berpandangan ekstrim bahwa FPD merupakan reinkarnasi BLBI (TRUST No.13 tahun IV, 9-15 Januari 2006). Lebih ironis, ternyata ada akademisi yang juga menganggap bahwa FPD adalah reinkarnasi BLBI yang sangat potensial menimbulkan moral hazard” (Investor Daily, 17 Januari 2005). Jaring Pengaman Keuangan Melihat kenyataan tersebut, adalah penting untuk menjelaskan secara rasional dan transparan mengenai kebijakan FPD dan BLBI tersebut sehingga tidak menimbulkan kesalahan persepsi publik. Bagi praktisi keuangan – banker dan central banker, pengamat keuangan dan akademisi, seyogianya FPD tidak asing lagi. Semestinya piranti tersebut diadakan untuk menambah rasa aman bagi para pelaku pasar khususnya dan publik umumnya, bukannya menjadi momok yang menakutkan. FPD adalah suatu piranti yang umum disediakan oleh bank sentral dalam perannya sebagai lender of the last resort (LLR) (Bisnis Indonesia, 9 Januari 2006). Secara umum fasilitas LLR dapat dibedakan dalam dua jenis yakni LLR untuk kondisi normal dan LLR untuk mengatasi risiko (dampak) sistemik. Prinsip-prinsip LLR telah dikenalkan pada awal abad ke-19 oleh Henry Thornton (1802) dan kemudian dipopularkan oleh Walter Bagehot (1873). Bagehot merumuskan tiga prinsip LLR yakni: (i) pinjaman hanya untuk bank illikuid tetapi solven yang memiliki agunan memadai; (ii) kenakan suku bunga tinggi; dan umumkan kesediaan meminjamkan tanpa batas untuk meyakinkan kredibilitas. Semua bank sentral di dunia menyediakan fasilitas LLR tersebut sebagai bagian dari jaring pengaman keuangan (financial safety nets) yang diperlukan untuk memelihara stabilitas sistem keuangan. Stabilitas sistem keuangan tersebut mutlak dipelihara untuk mendukung stabilitas moneter dalam rangka menunjang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. 1 2 Versi ringkasnya telah dimuat di harian Investor Daily, 2 Februari 2006. Peneliti Senior di Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia. Tulisan ini adalah pendapat pribadi. Alamat e-mail [email protected] Fasilitas Pembiayaan Darurat vs BLBI Selain harus mengacu pada prinsip-prinsip tersebut, terdapat prinsip tambahan yang harus diperhatikan untuk kondisi krisis yakni: (i) kebijakan LLR harus terintegrasi dengan strategi manajemen krisis dan harus diputuskan bersama otoritas moneter, pengawas dan fiskal; (ii) proses pemberian harus terbuka sepanjang tidak menggangu stabilitas keuangan; dan (iii) persyaratan dapat dilonggarkan untuk mengakomodasi implementasi program restrukturisasi bank sistemik (He, 2000). Walaupun kerangka yang digunakan berbeda dari satu negara dengan negara lain, terdapat suatu konsensus umum mengenai pertimbangan utama dalam pemberian pinjaman darurat pada kondisi normal dan krisis. Pada intinya LLR diberikan untuk mengatasi kesulitan likuiditas (mismatch). Kesenjangan likuiditas merupakan salah satu risiko yang dialami oleh bank sehari-hari mengingat bank memiliki leverage (rasio hutang terhadap modal) yang tinggi dan ketidak-seimbangan dalam struktur asset (umumnya berjangka menengah-panjang) dan kewajiban (umumnya berjangka pendek). Kesulitan likuiditas umumnya diselesaikan oleh bank dengan meminjam overnight di pasar uang antar bank (PUAB). Adakalanya likuiditas di PUAB sangat terbatas sehingga terpaksa harus meminjam dari Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dari BI. Pada umumnya, jarang sekali bank yang meminjam FPJP karena selain harus dijamin dengan jaminan likuid dan bernilai tinggi seperti surat utang negara, bank juga dikenakan suku bunga (penalty rate) yang tinggi. Disamping itu, terdapat kemungkinan bahwa suatu bank dilanda penarikan dana besarbesaran (run) oleh nasabahnya. Dalam beberapa kasus masalah likuiditas yang dihadapi oleh satu bank, jika tidak segera diselesaikan dapat merembet ke bank-bank lainnya sehingga dapat mengganggu kepercayaan publik terhadap sistem perbankan. Kalau hal itu terjadi dan dibiarkan begitu saja akan terjadi systemic bank run sehingga dapat meruntuhkan sistem perbankan. Itulah yang terjadi pada tahun 1997/1998 sehingga BI harus mengucurkan BLBI untuk menyelamatkan sistem perbankan. Tak bisa dibayangkan apa yang terjadi dengan sistem perbankan dan perekonomian, jika BLBI tidak diberikan pada saat bank-bank mengalami systemic bank run. Moral Hazard Memang terdapat kelemahan dalam pemberian BLBI tersebut. Kritik utama yang dilontarkan banyak pihak terutama BPK dan IMF (Enoch, 2001) terhadap proses pemberian BLBI adalah kelemahan pengawasan sehingga menimbulkan moral hazard oleh pemilik dan pengurus bank. Idealnya, BI harus mengecek apakah penggunaan BLBI benar-benar untuk membayar penarikan simpanan nasabah. Sebenarnya, BI telah menempatkan beberapa pengawas di masing-masing bank bermasalah. Namun, tentunya sulit memverifikasi seluruh transaksi bank. Sayangnya, kasus-kasus penyalahgunaan BLBI tersebut hingga saat ini belum diproses secara konsisten akibat lemahnya proses peradilan dan law enforcement. Disamping itu, pada saat krisis terjadi tidak terdapat suatu kebijakan manajemen krisis dan peraturan yang jelas. 2 Fasilitas Pembiayaan Darurat vs BLBI Beberapa pengamat seperti Sinclair (2000) dan Goodhart (2002) berpendapat bahwa dalam waktu terbatas, sulit dan mungkin mustahil bagi bank sentral untuk membedakan antara masalah likuiditas dan solvensi Karena itu, masalah pokok BLBI adalah ketidakjelasan kriteria untuk membedakan antara bank yang sehat dan yang sakit, serta tiadanya kebijakan dan pedoman LLR yang jelas untuk meyakinkan akuntabilitas. Juga terdapat kelemahan koordinasi antar lembaga dalam menangani krisis pada saat itu. Pengalaman historis menunjukkan bahwa fungsi LLR efektif dapat mencegah panik pada berbagai kejadian (Bordo, 2002). Meskipun terdapat alasan yang tepat untuk menjaga ambiguitas atas kriteria dalam pemberian bantuan likuiditas, He (2000) berargumen bahwa prosedur yang tepat, kejelasan akuntabilitas dan kewenangan serta aturan disklosur akan meningkatkan stabilitas keuangan, mengurangi moral hazard, dan melindungi LLR dari pengaruh politik yang tinggi. Terdapat manfaat penting bagi negara-negara berkembang dan transisi untuk menerapkan pendekatan berbasis aturan (rule-based) dengan menetapkan sebelumnya (ex ante) kondisi yang diperlukan untuk pemberian bantuan. Dengan pemikiran serupa, Nakaso (2001) mengemukakan bahwa pendekatan LLR Jepang telah beralih dari “ambiguitas konstruktif” ke arah kebijakan transparansi dan akuntabilitas. Walaupun kerangka yang digunakan berbeda dari satu negara dengan negara lain, terdapat suatu konsensus umum mengenai pertimbangan utama dalam pemberian pinjaman darurat pada kondisi normal dan krisis. Belajar dari pengalaman pahit kasus BLBI, Pemerintah (cq Departemen Keuangan) dan Bank Indonesia kemudian merumuskan kebijakan FDP secara jelas mengacu pada praktek LLR yang diadopsi negara-negara lain serta dan saran IMF. FPD adalah fasilitas pembiayaan dari BI kepada bank solven yang mengalami kesulitan lkuiditas yang berdampak sistemik. Pemberian FPD didasarkan pada keputusan rapat Menteri Keuangan dan Gubernur BI sedangkan pendanaannya menjadi beban Pemerintah (APBN). Dampak sistemik adalah potensi penyebaran masalah (contagion effect) dari satu bank bermasalah yang dapat mengakibatkan kesulitan likuiditas bankbank lain sehingga dapat mengganggu kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan dan membahayakan stabilitas sistem keuangan. FPD vs BLBI Berikut ini diuraikan karakteristik pokok FPD yang membedakannya dengan BLBI. Pertama, kebijakan tentang FPD diatur secara tegas dalam peraturan per-undangundangan yang berlaku untuk meyakinkan transparansi dan akuntabilitas dalam pemberiannya. UU Nomor 23/1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor 3/2004 menetapkan bahwa “Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, BI dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah” (pasal 11 ayat 4). Dalam Nota Kesepakatan antara 3 Fasilitas Pembiayaan Darurat vs BLBI Menteri Keuangan dengan Gubernur BI tanggal 17 Maret 2004 telah dimuat mengenai ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan terhadap kesulitan keuangan bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Selanjutnya, telah ditetapkan mekanisme pemberian FPD bagi Bank Umum dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/1/2006 tanggal 3 Januari 2006 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136/PMK.05/2005 tanggal 30 Desember 2005. Kedua, pemberian FPD dilakukan secara sangat selektif yakni hanya bank yang memenuhi persyaratan yang ketat yakni harus solven, menghadapi masalah likuidtas yang berdampak sistemik dan agunan. Bank yang mengalami kesulitan likuiditas wajib mencari sumber dana lain termasuk dari pasar uang antar bank (PUAB). Kalau tidak berhasil memperoleh pinjaman dari PUAB bank dapat mengajukan untuk memperoleh FPJP dengan menyerahkan agunan likuid dan bernilai tinggi yakni SUN. Jika kesulitan likuiditas tersebut tidak bisa diatasi dengan FPJP dan permasalahan bank berdampak sistemik, bank dapat mengajukan untuk memperoleh FPD. Namun demikian, keputusan pemberian FPD sepenuhnya berada pada keputusan rapat Menteri Keuangan dan Gubernur BI. Selain dinilai mengalami kesulitan likuiditas yang berdampak sistemik bank penerima FPD wajib memiliki rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) bank paling sedikit 5% (lima persen) dan wajib menjamin FPD dengan agunan. Dengan kata lain, tidak semua bank yang mengajukan FPD serta merta memperoleh FPD. Ketiga, pemberian FPD didasarkan pada keputusan bersama Menteri Keuangan dan Gubernur BI secara obyektif sehingga potensi konflik dapat dihindarkan. Dalam hal BI mengindikasikan bahwa Bank yang mengajukan permohonan FPD berdampak sistemik, Gubernur BI segera meminta Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan rapat. Indikasi mengenai adanya bank yang berdampak sistemik tersebut didasarkan antara lain pada analisis BI terhadap kondisi keuangan Bank dan dampaknya terhadap sistem perbankan. Selanjutnya, Rapat Menteri Keuangan dengan Gubernur BI membahas permasalahan dan prospek keuangan Bank serta menetapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasinya. Keempat, pendanaan FPD bersumber dari APBN termasuk dengan penerbitan SUN sehingga BI tidak menghadapi risiko kredit. Apabila Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam kondisi sulit, untuk pendanaan tersebut Menteri Keuangan dapat menerbitkan SUN sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kelima, FPD wajib dijamin dengan agunan yang memadai untuk meminimalkan risiko kredit. Aset yang dapat dijadikan agunan oleh Bank adalah aset Bank yang tersedia dengan prioritas dari aset yang paling likuid dan berkualitas dan dapat ditambah dengan aset lainnya termasuk namun tidak terbatas pada aset pemegang saham pengendali dan/atau saham yang telah tercatat dari pemegang saham pengendali bank. Aset yang dijadikan agunan oleh Bank tersebut harus bebas dari sitaan, tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain, serta tidak tersangkut dalam suatu perkara atau 4 Fasilitas Pembiayaan Darurat vs BLBI sengketa. Disamping itu, aset yang dijadikan agunan tidak dapat dialihkan, diperjualbelikan atau dijaminkan kembali oleh Bank. Untuk meyakinkan akuntablitas, agunan dimaksud dinilai oleh penilai independen yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan daftar nominasi penilai independen yang disampaikan Bank. Agunan tersebut wajib ditambah dengan Personal Guarantee dari pemegang saham pengendali dan/atau Corporate Guarantee dari perusahaan milik pemegang saham pengendali yang dilengkapi dengan daftar aset lainnya. Personal Guarantee dan/atau Corporate Guarantee tersebut harus dibuat secara notariil dan harus diserahkan kepada BI paling lambat pada saat FPD ditandatangani. Keenam, untuk meyakinkan agar tidak terjadi penyalahgunaan (moral hazard), BI akan mengawasi bank penerima FPD secara khusus. Bank tersebut akan dimasukkan dalam pengawasan khusus sesuai dengan PBI mengenai Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank. Status Bank dalam Pengawasan Khusus tersebut berakhir apabila Bank penerima FPD telah menyelesaikan kewajiban pelunasan FPD dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam PBI yang berlaku tersebut. Bank penerima FPD juga diwajibkan menyusun action plan untuk menyelesaikan masalah likuiditas dan rencana pengembalian FPD paling lambat lima hari kerja setelah realisasi FPD. Action plan tersebut wajib disampaikan kepada BI dengan tembusan kepada Menteri Keuangan. Selanjutnya, Bank wajib menyampaikan laporan pelaksanaan action plan secara mingguan kepada BI dengan tembusan kepada Menteri Keuangan. Bank penerima FPD wajib melaporkan kondisi likuiditasnya kepada BI secara harian. Juga terdapat beberapa larangan bagi pengurus dan pemegang saham pengendali bank penerima FPD. Bank penerima FPD dilarang untuk : (i) mencairkan rekening simpanan pihak terkait di Bank penerima FPD kecuali ditetapkan lain oleh rapat Menteri Keuangan dengan Gubernur BI; dan (ii) membagikan dividen dalam bentuk apapun selama kewajiban atas FPD belum lunas. Pemegang Saham Pengendali Bank penerima FPD juga dilarang mengalihkan kepemilikan sahamnya kepada pihak lain tanpa seijin BI. Bagi bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan PBI dimaksud dikenakan sanksi administratif berupa pemberhentian pengurus bank dan atau larangan turut serta dalam kegiatan kliring. Disamping itu, tentunya pemilik dan pengurus bank yang melanggar dapat dijerat dengan sanksi administratif sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998. Dengan ketentuan yang jelas dan transparan, persyaratan yang selektif – hanya untuk bank solven dan berdampak sistemik, adanya agunan – serta keputusan bersama Menteri Keuangan dan Gubernur BI diyakini pengalaman pahit kasus BLBI tidak akan terulang lagi. Jakarta, 23 Januari 2006 5