PENGGUNAAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PENYELESAIAN KASUS LINGKUNGAN DI KALIMANTAN BARAT Yenny AS, SH, MH Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti Pontianak Abstract Alternative Dispute Resolutions (ADR) in environmental field could be used as instrument to solve the environmental problem and environmental violation, in order to anticipate environmental damage. To support the implementation of the ADR which is based on joint problem solving, the government and the society have to be installed an institution which supply a kind of service for solving environmental disputes of course, this institution must be non partisan and independent in order to make its function effectively. Keywords: Environment, disputes, violation, damage, service, institution. A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Seiring dengan laju pembangunan yang pesat dengan tema besar dalam rangka membasmi kemiskinan dari kehidupan masyarakat maka seiring itu juga semangat eksploitatif menggelora dihampir semua lini pengambil kebijakan. Eforia otonomi daerah semakin melancarkan perijinan yang selama ini tersumbat oleh berbagai macam kebijakan dan rentang kendali yang rumit. Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (Emil Salim, 1992: 3) dan semangat pelestarian fungsi lingkungan (RM. Gatot Sumartono, 1999: 14 dan Syahrul Mahmud, 2007: 35) dianggap menjadi poin penghambat. Akibatnya penegakan hukum lingkungan dikesampingkan dan menimbulkan banyaknya permasalahan lingkungan baik yang dilakukan oleh perorangan, kelompok maupun korporasi. Indonesia sebagai negara yang berlandaskan hukum sudah tentu menginginkan adanya penegakan hukum dalam tata pergaulan wilayah maupun nasional. Hukum sebagai hasil pemikiran abstraksi yang dituangkan dalam bentuk konsep abstrak yang selanjutnya diformalkan dalam bentuk Peraturan Perundangan-undangan diharapkan dapat berfungsi sebagai alat untuk menertibkan kehidupan umat manusia baik secara politik, sosial budaya, ekonomi dalam satu wilayah hukum. Disamping itu juga hukum sebagai alat rekayasa sosial diharapkan mampu membentuk sikap mental dan pola pikir masyarakat yang dikehendaki dalam pembangunan hukum itu sendiri. Berdasarkan konsep tersebut maka dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia semua orang sama di depan hukum, pelakunya akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Oleh karena itu dalam rangka mewujudkan ketertiban dan ketentraman hidup bermasyarakat setiap warga negara Indonesia wajib menjujung tinggi hukum yang berlaku. Namun kenyataan dimasyarakat menunjukan bahwa banyak terjadi pelanggaranpelanggaran hukum. diantaranya adalah pelanggaran hukum terhadap lingkungan hidup. Di Kalimantan Barat sendiri dalam beberapa tahun terakhir ini setidaknya, terdapat beberapa kasus pelanggaran lingkungan hidup yang terjadi. Pembukaan lahan dengan cara bakar yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan di Kabupaten Ketapang, Sambas, Landak, Sanggau, Sintang dan Kapuas Hulu, pertambangan emas di Cagar Alam Mandor, Sungai Kapuas dan sungai-sungai lainnya, di beberapa kabupaten, diantaranya Kabupaten Bengkayang, Landak, Sintang do sebagainya, penebangan hutan (illegal loging) pencemaran sungai akibat pembuangan limbah oleh pabrik setidaknya telah mulai memberikan konstribusi berupa rentetan bencana di Kalimantan Barat. Kabut asap yang datang setiap tahun, pencemaran sungai, timbulnya penyakit gatal-gatal dan gangguan pernapasan Yang menyebabkan kerugian serta terganggunya aktifitas masyarakat adalah merupakan bentuk lemahnya fungsi negara dalam menjamin hak-hak dasar masyarakat dalam memperoleh lingkungan yang bersih Permasalahan akibat pelanggaran hukum di bidang lingkungan hidup telah berlangsung lama dan terjadi di sekitar kita. Dampak-dampak negatif yang diakibatkannya sudah sedemikian terasa, tercemarnya Sungai Kapuas dan sungai-sungai lainnya oleh logam berat Merkuri, banjir di Sambas, Melawi, Mempawah dan Sintang, kabut asap yang menimbulkan penyakit saluran pernapasan, melumpuhkan aktifitas perekonomian dan bahkan dampaknya sampai ke negara tetangga Pelanggaran hukum terhadap lingkungan adalah merupakan pengingkaran manusia terhadap amanah dan anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Sumber daya alam yang melimpah yang disediakan diseluruh penjuru jagat raya ini diberikan keleluasaan kepada umat manusia untuk memanfaatkanya dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya, namun pada sisi lain manusia juga diberikan kewajiban untuk menjaga, melindungi dan melestarikannya. Kejahatan terhadap lingkungan juga merupakan perwujudan dari ketamakan dan kerakusan manusia, betapa tidak eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan dengan prinsip ekonomi yang sangat ketat yakni “dengan modal yang sekecil-kecilnya menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya” menyebabkan para pelaku usaha dalam melakukan usahanya senantiasa mengabaikan prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan. Pembukaan lahan agar mudah, murah efisien dan efektif dilakukan dengan cara bakar, limbah industri agar tidak mengeluarkan biaya dalam pembangunan IPAL cukup dibuang ke sungai, penambangan agar keuntungannya besar tidak perlu dilakukan reklamasi dan masih banyak perilaku para pelaku usaha lainnya yang senantiasa enggan mengalokasikan anggarannya untuk menjaga, melestarikan dan mengembalikan fungsi lingkungan yang dirusaknya. Di tengah banyaknya para pelaku usaha yang melakukan kegiatannya dengan tidak memperhatikan aspek kelestarian fungsi lingkungan, sampai saat ini sekalipun kerusakan lingkungan sudah sedemikian mengkhawatirkan para pelaku pelanggaran terhadap lingkungan hidup masih saja berkeliaran bebas dan bahkan masih melanjutkan usahanya dengan tidak memperdulikan kaidah-kaidah hukum lingkungan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan masalah lingkungan tersebut adalah penggunaan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 2. Permasalahan Bertitik dari uraian pada latar belakang masalah tersebut di atas, maka permasalahan yang dianggap signifikan dalam penulisan ilmiah ini adalah sebagai berikut: a. Bagaimanakah mekanisme pelaksanaan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan digunakan dalam penanganan kasus lingkungan hidup di Kalimantan Barat ? b. Faktor apakah yang menjadi kendala dalam pelaksanaan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan dalam penanganan kasus lingkungan hidup di Kalimantan Barat ? c. Bagaimanakah upaya mengefektifkan pelaksanaan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan dalam penanganan kasus lingkungan hidup di Kalimantan Barat ? B. PEMBAHASAN 1. Mekanisme Pelaksanaan Alternatif Penyelesaian Sengketa Lingkungan Dalam Penanganan Kasus Lingkungan Hidup Di Kalimantan Barat Andi Hamzah, menguraikan hukum lingkungan merupakan hukum fungsional, karena bertujuan untuk menanggulangi pencemaran, pengurasan dan perusakan lingkungan, sehingga tercipta lingkungan yang baik, sehat, indah dan nyaman bagi seluruh rakyat. Untuk fungsi itu ia mempunyai instrumen penegakan hukum yang dapat dipergunakan secara selektif dan jika perlu secara simultan (Andi Hamzah, 1997:12). Dari segi praktis, penegakan hukum merupakan upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan yang secara umum dan individual berlaku melalui pengawasan dan penerapan sanksi. Esensi dari penegakan hukum lingkungan adalah sebagai upaya preventif maupun represif dalam menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, baik dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja. Hal tersebut perlu, karena dalam proses pembangunan, dampak berupa pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sulit dihindari. Mas Achmad Santosa (Arief Hidayat dan Adji Samekto, 1998: 23) mengemukakan, penegakan hukum lingkungan sesungguhnya bukan satusatunya cara atau alat penataan (compliance tool). Penataan dapat ditempuh melalui cara-cara lain seperti instrumen ekonomi, public pressure yang efektif, company’s rating (mengumumkan perusahaan yang berprestasi dalam pengelolaan lingkungan dan yang melakukan pelanggaran), pendekatan melalui mekanisme negosiasi dan mediasi, AMDAL dan perizinan. Piranti penataan seperti ini juga merupakan strategi penataan yang dikembangkan pemerintah Indonesia. Penyelesaian memerlukan kondisi yang mampu memaksa pihak-pihak yang terlibat peduli dan berbuat sesuatu untuk penyelesaian sengketa yang berbeda dibanding apabila kedua belah pihak mempunyai kepedulian yang sama. Cara-cara yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa sangat dipengaruhi oleh sistem yang berlaku di masyarakat. Aspek ini akan menjadi pertimbangan bagi para pihak yang terlibat dalam menentukan cara yang dianggapnya terbaik dan berisiko kecil. Pada hakekatnya untuk mengembangkan sistem penyelesaian sengketa lingkungan perlu memperhatikan paling tidak enam aspek, yaitu: 1) karakteristik kasus, 2) kelembagaan, 3) hukum, 4) pemberdayaan masyarakat, 5) dukungan publik, dan 6) kemauan politik. Pengembangan sistem ini harus dilihat sebagai bagian dari sistem pengelolaan pembangunan, karena pelaksanaannya tidak akan terlepas dan sistem hukum, kelembagaan, dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang berlaku. Sehingga pendekatannya harus komprehensif dan dilandasi oleh suatu kajian potensi dan kendala pelaksanaan suatu sistem. Fakta secara empiris menunjukkan peningkatan pembangunan di sektor industri, di samping telah memperbesar usaha pendayagunaan sumber daya alam, juga mempengaruhi keadaan lingkungan yang kurang menguntungkan bagi kelestariannya. Hal ini seringkali menimbulkan pengaduan kasus-kasus lingkungan yang semakin meningkat, bahkan tidak jarang menimbulkan keresahan sosial dan berdampak politis. Sejak disahkannya UU No. 4, 1982 sampai saat ini belum terwujud adanya suatu produk hukum yang mengatur secara efektif sistem pengelolaan pengaduan dan penyelesaian sengketa lingkungan secara kooperatif. Namun demikian SE Meneg KLH No. 3/SE/MENKLH/6/1987 dapat dikatakan sebagai embrio dari suatu sistem pengelolaan pengaduan dan penyelesaian sengketa lingkungan yang perlu disempurnakan. Untuk itu perlu segera dipikirkan adanya suatu sistem pengelolaan pengaduan dan penyelesaian sengketa lingkungan secara kooperatif melalui mekanisme “bottom up” dengan memfungsikan secara optimal lembaga-lembaga daerah yang mempunyai ruang lingkup tugas dan fungsi yang sesuai dengan permasalahan dimaksud. Berpijak pada pemikiran tersebut, maka lebih lanjut dikeluarkan kebijakan Kepmen Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus Pencemaran dan atau Perusakan Lingkungan Hidup, dimana pada ketentuan tersebut diantaranya merumuskan Pengelolaan pengaduan kasus pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk menerima, menelaah, mengklarifikasi, memverifikasi dan menindaklanjuti hasil verifikasi. Pengaduan kasus pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup adalah pengaduan yang berkaitan dengan adanya dugaan terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup. Sementara verifikasi adalah serangkaian kegiatan yang meliputi pemeriksaan kebenaran pengadan, meneliti sumber pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup, tingkat pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup, perkiraan jenis dan besarnya kerugian, lokasi terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup, luas lokasi yang terkena dampak serta pihak yang bertanggungjawab atas terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup. Dalam melakukan verifikasi, Tim Verifikasi dapat meminta keterangan atau keterlibatan di lapangan dari pihak pengadu dan atau pihak yang diadukan terhadap kasus pencemarn dan atau perusakan lingkungan hidup. Berdasarkan hasil verifikasi atas pengaduan dugaan terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan, maka Tim verifikasi dapat mengusulkan rekomendasi penanganan: a. Bukan kasus pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup, maka segera diteruskan kepada instansi teknis yang membidangi usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan; b. Telah mengakibatkan terjadinya pelanggaran administraif, tetapi tidak mengakibatkan terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup, maka perlu dilakukan pembinaan teknis kinerja pengendalian pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup oleh unit teknis yang berwenang melakukan pembinaan teknis kinerja pengendalian pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup; c. Telah terjadi pelanggaran administratif, dan mengakibatkan terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup, maka perlu dijatuhkan tindakan administrative dan dilakukan pembinaan teknis kinerja pengendalian pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup oleh kepala instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup atau instansi yang berwenang; d. Telah terjaidi pencemaran dan atau perusakan lingkungan yang mengakibatkan kerugian, maka perlu dilakukan langkah-langkah untuk memfasilitasi dan menggkoordinasikan penyelesaian sengketa lingkungan hidup baik melalui pengadilan atau di luar pengadilan; e. Telah terjadi pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup dan ditemukan bukti-bukti awal terjadinya tindak pidana, maka perlu dilakukan langkah penegakan hukum pidana oleh Penyidik Polri atau Penyidik PNS Lingkungan Hidup yang berwenang. Adanya suatu sistem pengelolaan pengaduan dan penyelesaian sengketa lingkungan merupakan hal yang sudah lama dinantikan dan diharapkan dapat menangani kasus-kasus lingkungan dan meredam kemungkinan adanya ledakan sosial yang lebih besar. Kesulitan yang dihadapi dalam membahas prasyarat bagi sistem yang baru adalah adanya pesimisme yang kuat dan keengganan berubah di dalam masyarakat kita. Prasyarat yang dimaksud menyangkut struktur lembaga, sumber daya manusia dan pendanaan. Idealnya, lembaga yang diharapkan dapat mengawasi, mencegah dan menanggulangi dampak lingkungan serta meningkatkan peran masyarakat adalah Badan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten/Kota. Untuk itu diperlukan sumber daya manusia yang dapat menunjang agar BLH di tingkat kabupaten/kota berfungsi dengan baik, dan untuk mewujudkannya diperlukan pendanaan yang besar guna menunjang pembiayaan kegiatan operasional. Berbagai komponen penting yang harus ada dalam pengelolaan pengaduan antara lain : a. keberadaan instansi penerimaan pengaduan, b. tata cara pengelolaan pengaduan yang memberi kemudahan bagi masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam pengendalian dampak lingkungan mempunyai arti penting yaitu: 1) hak masyarakat untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat; 2) hak dan kewajiban masyarakat untuk berperan serta. Disamping itu beberapa hal pokok yang perlu diperhatikan dalam pengembangan sistem penyelesaian sengketa lingkungan adalah: a) persepsi yang sama antara pihak yang terkait mengenai pilihan penyelesaian sengketa; b) keberadaan pihak ketiga yang netral; c) diperlukan adanya kesetaraan antara pihak-pihak yang terkait dalam penyelesaian sengketa merupakan hal yang sudah lama dinantikan dan diharapkan dapat menangani kasus-kasus lingkungan dan meredam kemungkinan adanya ledakan sosial yang lebih besar. Kesulitan yang dihadapi dalam membahas prasyarat bagi sistem yang baru adalah adanya pesimisme yang kuat dan keengganan berubah di dalam masyarakat kita. Prasyarat yang dimaksud menyangkut struktur lembaga, sumber daya manusia dan pendanaan. Berkenaan hal tersebut Provinsi Kalimantan Barat telah membentuk Pos Pengaduan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (P3 SLH) dengan Keputusan Gubernur Kalimantan Barat Nomor : 574 Tahun 2006 tentang Pembentukan Pos Pengaduan Kasus Lingkungan Hidup di Kalimantan Barat. Disamping itu di beberapa kabupaten/kota juga telah membentu lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup, seperti pada tiga daerah kabupaten/kota yang menjadi wilayah pengkajian hukum ini, terdapat 2 (dua) daerah wilayah kabupaten/kota yang telah memiliki lembaga penyedia jasa sengketa lingkungan hidup tersebut, yaitu pada wilayah kabupaten Sambas melalui Keputusan Bupati Sambas Nomor 214 Tahun 2007 tentang Pembentukan Pos Pengadaan Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup di Kabupaten Sambas. Selanjutnya di Kota Singkawang juga telah dibentuk melalui Keputusan Waikota Singkawan Nomor 160 Tahun 2009 tentang Pembentukan Pos Pengaduan Lingkungan Hidup Kota Singkawang. Sementara di Kabupaten Bengkayang sampai saat ini belum terbentuk lembaga penyedia jasa atau pos pengaduan yang melayani penyelesian sengketa lmgkungan hidup. Secara umum Pos Pengaduan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup atau disingkat P3SLH tersebut memiliki tugas baik di bidang kesekretariatan yang bertanggungjawab atas kelancaran dan ketertiban administrasi mulai pada saat informasi pengaduan masuk ke Pos Pengaduan sampai dengan penanganan kasus, maupun tugas di bidang verifikasi yang bertanggungjawab untuk memeriksa dan meneliti kebenaran pengaduan, sumber pencemar/perusak lingkungan, tingkat pencemaran/perusakan lingkungan dan mengidentifikasi pihak yang bertanggungjawab atas terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup. Berikut adalah ragaan mengenai mekanisme pengelolaan pengaduan kasus pencemaran dan atau perusakan lingkungan dan mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadian; Ragaan 1 MEKANISME PENGELOLAAN PENGADUAN KASUS PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LINGKUNGAN (KepMENLH 19/2004) Ragaan 2 MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA LH DI LUAR PENGADILAN Namun realitas di lapangan menujukkan penyelesaian sengketa lebih ditangani pada upaya pemantauan dan belum ditindaklanjuti secara tegas instrument hukum apa yang digunakan, dan dari beberapa penanganan kasus tersebut belum banyak menggunakan instrument penyelesaian sengketa di luar pengadilan, baik melalui negosiasi dan mediasi, maupun arbitrase. Fakta juga menunjukkan bahwa belum semua Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) di setiap kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat memiliki Lembaga Penyelesasian Sengketa berupa Pos Pengadian Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (P3SLH), dimana dari 14 kabupaten/kota yang ada baru terdapat 3 kabupaten/kota yang telah membentuk P3SLH, yaitu BLHD di kabupaten Sintang, Sambas dan Singkawang, sehingga dari 3 lokasi pengkajian hukum yang dilakukan, hanya terdapat 2 kabupaten/kota yang telah memiliki P3SLH, yaitu kabupaten Sambas dan kota Singkawang, sementara Kabupaten Bengkayang belum terdapat P3SLH, sehingga kasus-kasus yang ada masih ditangani PSLH di Provinsi, yang akan mempengaruhi efisiensi pelayanan pengaduan. 2. Faktor Kendala Dalam Pelaksanaan Alternatif Penyelesaian Sengketa Lingkungan Dalam Penanganan Kasus Lingkungan Hidup di Kalimantan Barat Sekalipun masalah lingkungan saat ini sudah menjadi isu global dan berbagai bencana yang diakibatkan oleh pencemaran maupun kerusakan lingkungan kerap terjadi namun dalam hal penanganan dan penerapan hukum terhadap para pelaku kejahatan lingkungan masih mengalami banyak hambatan, hambatan tersebut diantaranya : a. Lemahnya kelembagaan dan Kapasitas institusi Lingkungan Hidup di Daerah Kelembagaan institusi lingkungan hidup di daerah (kabupaten/kota) belum mendapat perhatian yang selayaknya baik dari legislatif maupun eksekutif. Kelembagaan institusi lingkungan hidup selama ini keberadaannya hanya menumpang atau bergabung pada dinas lain. Sehingga pejabat yang menangani masalah lingkungan hidup hanya menduduki jabatan eselon III dan bahkan ada yang hanya eselon IV, sebagaimana halnya di kabupaten Bengkayang persoalan lingkungan hidup ditangani pada Kantor Lingkungan Hidup, Kebersihan dan Pemadam Kebakaran. Keragaman dan ketidakjelasan bentuk dan nomenklatur lembaga pengelola lingkungan hidup menggambarkan kegagalan membangun struktur organisasi pengelolaan yang layak yang bukan hanya terjadi di Kalimantan Barat namun terjadi di seluruh Indonesia. Kondisi ini menimbulkan konsekwensi pada pengambilan kebijakan dimana seorang pejabat Eselon III akan tidak maksimal dalam menjalankan tugasnya karena berada di bawah atasannya yang merupakan kepala dari sebuah unstitusi yang menaunginya. Disamping itu dengan kepasitas sebagai eselon III juga tidak mempunyai keleluasaan dalam mengadakan rapat maupun koordinasi dengan instansi terkait yang Eselonnya lebih tinggi. b. Minimnya Sumber Daya Manusia baik dari kualitas maupun kuantitas sebagai konsekwensi dari lemahnya kelembagaan institusi lingkungan hidup, personil yang bertugas pada institusi lingkungan hiduppun sangat minim baik dari segi jumlah maupun kualitas. Tidak jarang dalam sebuah institusi yang khusus membidangi lingkungan hidup. Ini terbukti dimana personil yang bertugas di bidang lingkungan hidup baik pejabat struktural maupun staf tidak memiliki dasar ilmu lingkungan yang memadai. Kondisi ini akan sangat berpengaruh dalam melakukan pengawasan maupun pemantauan terhadap kegiatan-kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan. c. Kurangnya Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup dan Mediator/Arbiter serta minimnya kemampuan dalam melakukan penyidikan dan penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Tidak semua institusi lingkungan hidup yang berada di Kabupaten/ Kota di Kalimantan Barat memiliki Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan kalaupun ada bukan berarti kemudian penyidik tersebut aktif untuk melakukan penyidikan terhadap kasus lingkungan yang terjadi diwilayahnya. Khusus di Kalimantan Barat Saat ini dari 14 kabupaten/Kota yang ada hanya 4 diantaranya yang memiliki PPNS-LH, itupun belum ada yang berani melakukan penyidikan. Disamping itu juga tidaknya mediator dan/atau arbiter yang menyelesaikan sengketa-sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan. Minimnya anggaran dan bahkan tidak tersedianya anggaran dalam penegakan hukum lingkungan membuat PPNS-LH tidak leluasa untuk melakukan penyidikan. Disamping itu tidak adanya pemberdayaan PPNS-LH oleh korwas Polri ditengarai sebagai pemicu belum beraninya PPNS-LH dalam melakukan penyidikan. d. Struktur kelembagaan PPNS-LH yang tidak jelas Selama ini PPNS-LH belum berstatus sebagai pegawai fungsional. PPNS-LH masih bergabung dalam unit-unit srtuktural yang tidak secara khusus membidangi penegakan hukum. Hal ini menimbulkan konsekwensi seorang PPNS-LH tidak dapat fokus dalam melakukan tugasnya sebagai penyidik karena pada sisi lain disibukkan dengan kegiatan rutinasnya baik sebagai staf maupun pimpinan dalam unit struktural tempat dia bertugas. Selain itu PPNSLH untuk level pemangku jabatan srruktural tidak jarang baru sebulan atau setahun dilantik menjadi Penyidik namun kemudian dipindahkan ke instansi lain. Pelatihan PPNS-LH yang diselenggarakan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup menjadi tidak efektif, Pelatihan dengan menelan biaya yang besar serta waktu yang cukup lama menjadi sia-sia dan berakibat pada tidak akan pemah terpenuhinya target Kementerian Negara Lingkungan hidup yang menargetkan satu institusi Lingkungan Hidup memiliki 3 orang PPNS-LH. Ada kecenderungan bahwa pelatihan yang diadakan hanya sekedar formalitas menghabiskan anggaran proyek tanpa memperhatikan azas manfaat. e. Perbedaan Persepsi dalam penegakan hukum lingkungan. Dalam menyikapi masalah/ sengketa lingkungan hidup, masih belum adanya persepsi yang sama antar para pihak dan instansi terkait sangat mempengaruhi dalam penanganannya, dimana dalam mengaktualisasikan mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan hidup saja menimbulkan intepretasi yang berbeda dari berbagai pihak yang terkait dalam penanganan, sehingga dalam penanganannya menjadi tidak optimal. f. Rendahnya kemauan politis para pengambil keputusan untuk menjalankan upaya penegakan hukum. Kemauan politis Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati maupun Walikota serta dukungan dari DPRD dalam penegakan hukum lingkungan sangat lemah. Kepala Daerah beranggapan bahwa isu hngkungan adalah isu yang menjadi beban dalam menghambat investasi, mengurangi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan mempengaruhi iklim sejuk usaha perusahaan. Sementara anggota DPRD dengan kapasitasnya dalam melakukan fungsi budgeter juga tidak peduli dengan isu-isu lingkungan sehingga anggaran yang dialokasikan untuk institusi pengelola lingkungan hidup tidak mendapat perhatian yang cukup. Beberapa pelanggaran maupun kejahatan lingkungan yang terjadi juga kurang mendapat perhatian dari para politisi, kasus pemberian ijin usaha yang masuk kawasan hutan dan bahkan kawasan lindung tidak jarang terjadi di daerahdaerah. Pemerintah daerah dan anggota DPRD terkesan tutup mata terhadap kebijakan-kebijakan yang cenderung kontra lingkungan. Kasus pemberian ijin perkebunan yang sebagian masuk wilayah Taman Nasional dan pemberian ijin pertambakan di kawasan hutan Mangrove Kakap, kubu Raya adalah sebagian kecil dari kasus-kasus ketidakpedulian para pengambil kebijakan dalam mengelola lingkungan hidup. g. Rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap masalah lingkungan hidup di sekitarnya. Masyarakat merupakan komponen penting dalam kerangka penegakan hukum, oleh karenanya tigkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat merupakan indikator penting menyikapi masalah lingkungan hidup. Realitas menunjukkan ditemui masyarakat yang belum memehami sepenuhnya persoalan lingkungan hidup, terlebih berkenaan mekanisme pengelolaan pengaduan masalah lingkungan hidup, sehingga dapat ditangai secara lebih optimal. h. Upaya Mengefektifkan Pelaksanaan Alternatif Penyelesaian Sengketa Lingkungan Dalam Penanganan Kasus Lingkungan Hidup. Untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam rangka penyelesaian sengketa lingkungan hidup perlu dilakukan langkah-langkah sebagi berikut : 1) Reformasi birokrasi kelembagaan lingkungan hidup. Penguatan kelembagaan lngkungan hidup harusnya menjadi agenda dan prioritas penting dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup. Membentuk institusi lingkungan hidup minimal selevel dengan institusi lamnya akan menghindari kemacetan komunikasi birokrasi. Keberadaan institusi lingkungan hidup setara dengan instansi sektor lainnya juga akan mempermudah dalam mengkoordinasikan serta mensinergikan kebijakan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Penguatan kelembagaan lingkungan hidup termasuk didalamnya juga adanya pembentukan sistem informasi manajemen, ketatalaksanaan kegiatan, perbaikan struktur organisasi dan pengambilan keputusan serta pengembangan sumber daya manusia. 2) Menambah jumlah Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup (PPNS-LH). Penambahan jumlah Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup mutlak diperlukan baik yang berada di tingkat Kabupaten/ Kota maupun di tingkat Provinsi. Penambahan ini harus diikuti dengan pembenahan status PPNS-LH dan keberadaan sub bidang khusus yang mengurus PPNS-LH minimal pada level eselon IV. Pembenahan status PPNS-LH dari struktural menjadi fungsional akan mendorong kemandirian dan keprofesionalan personil PPNS-LH dalam menjalankan tugas dan fungsinya. PPNS-LH dengan statusnya sebagai pegawai fungsional akan terpacu untuk senantiasa berinovasi dan meningkatkan kreatifitasnya. Pembenahan status PPNS-LH ini juga harus dibarengi dengan tingkat kesejahteraan karena PPNS-LH dalam menjalankan tugas dilapangan akan berhadapan dengan banyaknya godaangodaan baik dalam bentuk amplop, nota dinas dan lain sebagainya. Seiring dengan itu juga mengikutsertakan PPNS-LH dalam berbagai macam pendidikan dan pelatihan dalam rangka meningkatkan kualitas dan pengetahuan PPNS-LH dalam melakukan tugas-tugasnya juga perlu mendapat perhatian. Banyak PPNS-LH yang hanya dibekali ilmu penyidikan yang bersifat umum namun tidak dibekali dengan ilmu-ilmu teknis lingkungan. 3) Peningkatan kerjasama dan koordinasi lintas sektor. Peningkatan kerjasama dan koordinasi seluruh instansi yang mengurusi berbagai macam kegiatan yang berdampak pada lingkungan hidup menjadi prioritas penting dalam menetapkan strategi pembangunan jangka panjang. Koordinasi dan kerjasama antar instansi lebih ditekankan pada dinas/instansi yang mengurusi kegiatan kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Divas/ instansi tersebut diantaranya Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian, Divas Kehutanan, Divas Perkebunan, Dinas Perindustrian, Dinas Kehewanan, Dinas Tanaman Pangan, Dinas Parawisata serta dinas-dinas lainnya sehingga diperoleh sebuah konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan serta adanya pembagian peran dan tugas yang jelas dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan pembinaan. Koordinasi dan kerjasama tersebut juga wajib dilakukan dengan unit-unit vertikal yang berada di daerah seperti Taman Nasional, Balai Konservasi Sumber Daya Alam, Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai dan unit-unit vertikal lainnya yang bertugas mengurusi lingkungan. Kaitan dengan penegakan hukum koordinasi dan kerjasama juga perlu dibangun dengan aparat kepolisian dan aparat kejakaaan. Kasus yang banyak ditemui pihak kepolisian dan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan banyak mengalami kesulitan dalam mengungkap bukti-bukti tentang telah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan. Hal ini disebabkan kasus kejahatan lingkungan memiliki karakteristik yang berbeda denganan kejahatan umum, dimana pada kasus lingkungan hidup, pembuktian yang bersifat ilmiah lebih dominan. 4) Alokasi anggaran yang cukup. Sudah menjadi alasan yang klasik bahwa setiap kegiatan tidak dapat berjalan dengan maksimal jika tidak didukung oleh anggaran yang memadai. Pengalokasian anggaran bagi institusi lingkungan hidup di daerah sangat memprihatinkan. Baik eksekutif maupun legeslatif berpandangan sama bahwa lingkungan hidup bukan masalah urgen untuk ditangani dan dikelola. Institusi Lingkungan hidup menjadi tidak leluasa dalam menjalankan program-programnya karena keterbatasan dana. Padahal dalam menangani satu kasus kejahatan lingkungan saja, untuk bisa sampai pada putusan pengadilan negeri butuh dana antara seratus juta sampai dua ratus juta. Biaya tersebut meliputi biaya pengukuran dan pengambilan sampel, pemeriksaa laboratorium, mendatangan tenaga ahli, pemantauan, pemeriksaan saksi-saksi, pemberkasan sampai pada penyerahan berkas perkara kepada pihak kejakatan melalui kepolisian. 5) Optimalisasi penmgkatan peran dan pengetahuan hukum masyarakat terhadap aspek pengelolaan lingkungan hidup. Dalam kerangka penegakan hukum lingkungan, maka diperlukan peran serta dan partisipasi masyarakat dalam hal mencegah dan menanggulangi terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan. Untuk itu perlu ditingkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap aspek pengelolaan lingkungan hidup, baik melalui pendidikan formal maupun informal dan non formal, seperti melalui pendidikan hukum, sosialisasi dan penyuluhan hukum di bidang lingkungan hidup. C. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan analisis pada bab terdahulu, maka disimpulkan hal-hal sebagai berikut : a. Dalam upaya menangani permasalahan lingkungan hidup di setiap pemerintah daerah baik provinsi maupun pemerintah daerah kabupaten/kota, terutama berkaitan dugaan terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup maka perlu dibentuk suatu Pos Pengaduan Penyelesaian Sengketa Lingkungan (P3SLH) yang berwenang melakukan pengelolaan pengaduan masyarakat setiap terjadinya masalah yang mengarah pada terjadinya pencemaran/ perusakan lingkungan. Namun belum semua daerah kabupaten/kota di Kalimantan Barat membentuk Pos Pelayanan Pengaduan Sengketa Lingkungan Hidup, sehingga setiap terjadinya permasalahan lingkungan belum dapat terakomodir secara komprehensif dalam penangannnya. b. Salah satu instrumen hukum yang dapat digunakan dalam mengatasi permasalahan/sengketa lingkungan hidup adalah melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan, baik melalu negosiasi, mediasi dan arbitrase. Namun mekanisme pelaksanaan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan dalam penanganan kasus lingkungan hidup di Kalimantan Barat berdasarkan hasil pengkajian tim, belum berjalan secara optimal, dimana terlihat dalam pengelolaan dan penanganan pengaduan masalah lingkungan hidup bersifat parsial dan belum jelas instrumen hukum apa yang digunakan, termasuk belum melembaganya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan. c. Faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan dalam penanganan kasus lingkungan hidup di Kalimantan Barat antara lain dipengaruhi : (a) Lemahnya kelembagaan dan Kapasitas institusi Lingkungan Hidup diDaerah; (b) Mininmya Sumber Daya Manusia baik dari kualitas maupun kuantitas pada institusi lingkungan hidup; (c) Kurangnya Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup dan Mediator/Arbiter serta minimnya kemampuan dalam melakukan penyidikan dan penyelesaian sengketa lingkungan hidup; (d) sering terjadinya perbedaan persepsi dan mtepretasi terhadap segala kebijakan dalam kerangka penegakan hkum lingkungan sehingga sering tidak koordinatif dan sinergis antar para pihak dalam menangani masalah atau menyelesaikan sengketa lingkungan hidup; (e) Rendahnya kemauan politis para pengambil keputusan untuk menjalankan upaya penegakan hukum, yang dapat mengakomodir kepentingan semua pihak, ketika terjadi masalah/sengketa lingkungan hidup; (f) Rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap masalah lingkungan hidup di sekitarnya; d. Upaya mengefektifkan pelaksanaan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan dalam penanganan kasus lingkungan hidup di Kalimantan Barat, dilakukan melalui beberapa hal, diantaranya: (a) Mendorong penguatan kelembagaan lingkungan hidup di setiap daerah kabupaten/kota di Kalimantan Barat mengingat persoalan lingkungan hidup merupakan permasalahan global; (b) Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM yang menangani pengelolaan lingkungan hidup, baik melalui peningkatan pendidikan formal yang khusus di bidang lingkungan hidup, maupun pendidikan kursus dan pelatihan dan forum lainnya, agar terakomodir tenaga dan SDM yang khusus menangani permasalahan lingkungan hidup; (c) Peningkatan jaringan dan kerjasama dan koordinasi antar institusi dan aparat terkait dalam menangani masalah-masalah yang berkaitan dan berdampak terhadap lingkungan hidup, (d) Pengalokasian yang memadai dalam upaya melakukan pengelolaan dan penyelesaian sengketa lingkungan hidup; (e) Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan lngkungan hidup, baik melalui pendidikan non formal, maupun sosialisiasi, bimtek dan penyuluhan maupun bentuk-bentuk lainnya guna meningkatkan partisipasi dan peran serta masyarakat dalam menangani permasalahan lingkungan hidup. 2. Saran Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, maka dikemukakan beberapa saran yang dapat dijadikan sebagai rekomendasi sebagai berikut : a. Perlu diregulasinya suatu kebijakan melalui Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat yang mengatur secara teknis mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa lingkungan, khususnya dengan menggunakan instrumen penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadian, agar terwujud suatu mekanisme yang komprehensif dan sinergis dalam penanganan masalah lngkungan hidup. b. Perlunya Penguatan kelembagaan lingkungan hidup sebagai agenda dan prioritas penting dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup. Membentuk institusi lingkungan hidup minimal selevel dengan institusi lainnya akan menghindari kemacetan komunikasi birokrasi. c. Perlunya pengalokasian anggaran yang khusus guna operasional penanganan penyelesaian masalah lingkungan hidup yang lebih komprehensif d. Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM yang menangani masalah lingkungan hidup. D. DAFTAR PUSTAKA Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1997. Arief Hidayat dan Adji Samekto, Hukum Lingkungan Dalam Perspektif Global dan Nasional, Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1998. Dhanny Rahmawan, Reformasi Peraturan di Bidang Lingkungan Hidup; Majalah TriSakti, no.22, 1996. Emil Salim, Pembangunan Berkelanjutan, Keperluan Penerapannya di Indonesia, dalam Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia, Mencari Format Politik, Gramedia, LP3ES, Jakarta, 1992. ______________, Pembangunan Berwawasan Lingkungan; Pustaka, LP3ES, Jakarta 1993 Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Lingkungan Internasional (Perspektif Bisnis Internasional), Refika Aditama, Bandung, 2003. Mas Achmad Santosa dan Sulaiman N Sembiring, Pengaduan Masyarakat dan Penyelesaian Sengketa Lingkungan, ICEL, Jakarta, 1998. RM Gatot P Soemartono, Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996. Sudharto P. Hadi, Dimensi Hukum Pembangunan Berkelanjutan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2002. Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Settlement of Enviromental Disputes), tanpa tahun. Syahrul Mahmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2007.