WASIAT SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN MASALAH PEMBAGIAN HARTA PENINGGALAN Sidik Tono dan M.Roem Syibly FAI Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Email : [email protected] Abstrak Fokus utama dari studi ini adalah untuk menjawab mengapa, dalam buku-buku fiqh, wasiyat dipisahkan dari kompleksitas pembagian warisan, dan bagaimana pelaksanaan wasiyat dalam distribusi sistem warisan mengakomodasi kebutuhan untuk memperbarui dan mengembangkan hukum Islam di Indonesia. Penelitian ini adalah murni deskriptif dalam arti bahwa ia examineds data deskriptif analitis. Penelitian ini menyimpulkan bahwa: pertama, pemisahan bukti dari kompleksitas warisan hukum disebabkan oleh dasar yang berbeda dari hukum waris serta perbedaan penafsiran teks di antara para pendeta. Dengan demikian, pembahasan model teknis tentang kehendak dan warisan atau warisan dan lainnya tematis dibahas terjadi untuk memudahkan dalam memahami jenis warisan. Kedua, bukti merupakan bagian integral dalam distribusi sistem warisan. Pelaksanaan itu, oleh karena itu, membuka jalan untuk mengisi kekosongan dalam pelaksanaan membagi warisan karena dalam ahli waris sistem pewarisan Islam kadang-kadang tidak dapat menikmati warisan. Kata kunci: Wasiyat, Pembagian Warisan, Hukum Islam di Indonesia Abstract The main focus of this study is to answer why, in the books of fiqh, the testament is separated from the complexity of the division of inheritance, and how the implementation of the testamen in the distribution of legacy systems accommodates the needs to reform and to develop Islamic law in Indonesia? This study is purely descriptive in the sense that it examineds descriptive data analytically. This study concludes that: first, the separation of testament from the complexity of law inheritance is caused by a different basis of the inheritance law as well as the differences in the interpretation of the text among the clergy. Thus, the discussion of technical models about the will and inheritance or inheritance and other thematically discussed occurs for ease in understanding the types of inheritance. Second, testament is an integral part in the distribution of legacy systems. The implementation of it, therefore, paves the way to fill in the gaps in the implementation of dividing inheritance because in the Islamic inheritance system heirs sometimes can not enjoy the inheritance. Keywords: the Will, Dividing inheritance, Islamic law in Indonesia Pendahuluan Indonesia dewasa ini sedang melaksanakan pembangunan di segala bidang termasuk pembangunan di bidang hukum. Umat Islam merupakan bagian dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang tidak bisa dipisahkan dengan negara, pemerintah dan hukumnya, ia terjalin secara religius yang diaplikasikan dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu maupun kelompok. Karena itu negara sudah semestinya memberikan peluang konstitusional berlakunya hukum Islam dalam tata hukum nasional Indonesia, sebab Islam datang ke Indonesia jauh sebelum masa penjajahan dan hukum Islam, baik sebelum, pada masa dan sesudah penjajahan, telah diikuti dan dilaksanakan para pemeluk agama Islam dalam kehidupan sehari- hari1. Sehingga realitas ini dengan sendirinya membantah teori reseptio yang menyatakan bahwa berlakunya hukum Islam itu disubordinasikan dengan hukum adat2, dan juga membantah tori Max Weber yang menyatakan bahwa Islam lebih banyak menjadi sebuah agama akomodatif3, dan syari‟at adalah hukum para yuris atau faqih4. Interpretasi sosiologis Max Weber itu pada dasarnya baru merupakan tesa tuduhan terhadap Islam dan hukum Islam yang masih bersifat subyektif. Teori tersebut diatas pada dasarnya tidak dapat dipertahankan dan diterapkan di Indonesia, sebab internalisasi ajaran Islam yang berkaitan dengan hukum itu telah nampak menjadi kesatuan paritas hukum yang tereduksi dari beberapa mazhab fiqih yang telah menjadi reduplikasi hukum yang kondusif dengan metode pembaharuan dan pengembangan hukum dalam kesatuan arah pedoman yang berkepribadian bangsa Indonesia5. Meskipun pengaruh penjajahan itu pada masa kemerdekaan menimbulkan tata hukum yang pluralistis6. Karena itu tidak berlebihan apabila hukum Islam dijadikan salah satu sumber atau bahan hukum dalam pembentukan hukum nasional, sebab Islam adalah agama hukum dalam arti kata yang sesungguhnya7 yang ditunjukan dari kemauan setiap orang Islam baik pribadi maupun kelompok yang memiliki komitmen terhadap Islam dan menginginkan hukum Islam berlaku bagi umat Islam dalam negara Pancasila republik Indonesia. Di Indonesia, hukum Islam menempati posisi penting dalam pandangan umat Islam, sebab Islam dan hukum Islam merupakan ajaran yang menjadi kesatuan paritasnya artinya tidak mungkin memahami Islam tanpa memahami hukum Islam8, begitu pula M. Daud Ali, 1986, Asas-asas Hukum Islam. Jakarta: Rajawali, h. 189 Hazairin, 1982, Hukum Kekeluargaan Nasional. Jakarta: Tinta Mas, h. 37 3 Bryan S. Turner, 1991, Sosiologi Islam. Jakarta: Rajawali, h. 330 4 Ibid, h. 211 5 Wasit Aulawi, Panji Masyarakat, No. 701, Edisi Nopember 1991, h. 56 6 Roni Hanitijo Soemitro, 1984, Masalah-masalah Sosiologi Hukum. Bandung: Sinar Baru, h. 53 7 M. Daud Ali, 1986, Asas-asas., hal 241 8 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, h. 33 1 2 tidak mungkin memahami kondisi politik negara Indonesia tanpa memahami dan mengikut-sertakan umat Islam. Eksistensi Islam, hukum Islam dan umat Islam yang berada di Indonesia merupakan realita interaksi sosial keagamaan yang sosiologis telah mensejarah. Pengkajian dan pengembangan hukum secara normatif sebagai upaya mewujudkan keadilan hukum yang dapat diterapkan di tengah-tengah masyarakat merupakan suatu hal yang sangat penting sebagai wahana pembinaan dan pengembangan hukum nasional di Indonesia. Ajaran-ajaran hukum Islam merupakan salah satu aspek yang tidak dapat diabaikan dalam pembinaan hukum nasional sebagai norma hukum yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan-ketentuan hukum Islam memiliki hubungan yang sangat erat sebagai kewajiban bagi setiap orang yang beragama Islam. Negara Indonesia adalah negara hukum yang kebetulan mayoritas penduduknya beragama Islam, sedangkan bingkai dari sistem hukum nasional itu harus sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, karena itu wujud hukum nasional itu merupakan hasil sintesis dari hukum Islam, hukum Adat, dan hukum kontinental (Barat). Banyak aspek hukum dalam Islam yang tidak mungkin semua itu dapat dituangkan dalam penelitian ini, maka penelitian ini difokuskan pada salahsatu aspek dalam hukum keluarga, khususnya yang berhubungan dengan masalah hukum harta peninggalan, dimana terdapat pluralitas hukum seiring dengan pluralitas masyarakat, seperti penyelesaian masalah harta peninggalan ditengah masyarakat Indonesia dengan hukum Islam, hukum perdata, dan hukum adat, yang akibatnya menimbulkan ketidakpastian hukum karena hukum harus tunduk dengan keinginan masyarakat bukan hukum mengatur masyarakat. Untuk mengatasi itu semua hukum Islam menawarkan konsep wasiat sebagai jalan keluar penyelesaian hukum harta peninggalan yang pluralitas menjadi hukum yang bersifat unity di Indonesia, caranya melakukan positivisasi hukum wasiat, dimana ketentuannya lebih fleksibel dan akomodatif untuk menyelesaikan perkara masyarakat muslim dan non muslim (beda agama) yang berhubungan dengan harta peninggalan, sehingga sistem hukum yang pluralistik akan dapat diatasi dan tidak perlu adanya opsi seperti dalam penjelasan hukum kewarisan menurut UU No. 7 tahun 1989 dan masalah-masalah substansial dalam pembagian harta peninggalan akan dapat diselesaikan dengan sistem hukum yang bersifat unity. Sebab jika secara normatif warisan itu hanya menjangkau substansi ahli waris secara permanen, di luar itu tidak pernah terjangkau, maka cara wasiat hanya menjangkau berdasarkan tindakan hukum yang bersifat tasharruf yang disandarkan setelah matinya pemilik harta, sedang cara hibah hanya menjangkau kepada pemberian ketika pemilik harta itu masih hidup. Oleh karena itu dapatkah diformulasikan materi hukum pembagian harta peninggalan yang integratif antara hukum waris dan hukum wasiat yang mampu mengakomodasi pluralitas sosial dalam sistem hukum yang unity dalam bentuk hukum nasional tetapi juga dapat menampung aspek-aspek yang menjadi realitas sosial yang berkembang dalam ketiga sistem hukum di atas, dengan sendirinya berusaha menghindari hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Hukum Islam bertujuan mewujudkan kemaslahatan umat, salah satu aspek untuk mewujudkan kemaslahatan yang menjadi perhatian dalam kajian ini adalah “wasiat”, yakni bagaimana wasiat dan waris dapat diimplementasikan dalam kerangka hukum nasional yang berbentuk perundang-undangan, yang diantaranya bertujuan untuk menciptakan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Hukum wasiat dengan pembatasanpembatasannya akan lebih luwes dalam aturan hukumnya dalam tatanan sosial masyarakat, sebab menurut hukum Islam tidak mungkin seorang anak angkat atau anak asuh akan menerima seluruh harta peninggalan dari orang tua angkatnya, atau jika tidak ada hukum wasiat, seorang anak angkat tidak akan menerima sedikitpun harta peninggalan dari orang tua atau orang tua angkatnya, termasuk bagian perempuan pun akan dapat diatasi dengan jalan wasiat. Latar belakang masalah di atas telah memberikan gambaran betapa kompleknya masalah pembagian harta peninggalan, sehingga diperlukan penelitian mendasar mengenai pemikiran dan pengembangan hukum Islam yang lebih bersifat komprehensif di Indonesia. Setidaknya ada dua persoalan utama yang menjadi fokus dari pemabahasan ini, yaitu: Mengapa dalam kitabkitab fiqh masalah hukum wasiat dipisahkan dari kompleksitas pembagian harta penginggalan, tidak seutuhnya sebagaimana rumusan al-qur`an surat an-Nisa‟ (4): 11-12? Dan bagaimankah implementasi wasiat dalam sistem pembagian harta peninggalan yang akomodatif sebagai upaya pembaharuan dan pengembangan hukum di Indonesia? Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat dan memberikan sumbangan pemikiran terhadap: Ditemukannya alasan-alasan mendasar dalam kitab-kitab fiqh masalah hukum wasiat dipisahkan dari kompleksitas pembagian harta peninggalan, tidak seutuhnya sebagaimana rumusan al-qur`an surat an-Nisa‟ (4): 11-12 dan ditemukan substansi pengembangan ilmu hukum dan sistem hukum dari aspek hukum wasiat Islam dengan memahami secara komprehensif dalam sistem pembagian harta peninggalan yang dapat diterima dan akomodatif bagi bangsa Indonesia yang plural dalam rangka pembentukan hukum nasional. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan eksplanatoris dengan pendekatan filosofis, untuk melakukan kajian secara kritis mengenai hukum harta peninggalan dalam sistem hukum Indonesia dengan instrumen hukum wasiat dan waris dalam hukum Islam, sehingga pendekatan ini digunakan untuk melihat permasalahan hukum harta peninggalan secara jernih dan tidak terjebak pada kesempitan pemahaman yang diperoleh dengan pendekatan doktrinal-teologis dan pendekatan kulturalhistoris.9 Sedangkan teknik analisis akan dilakukan dengan cara non-statistik yaitu secara kualitatif dengan menggunakan metode “reflektive thinking” dengan pola deduksi-induksi dan tata pikir devergen yaitu tata pikir kreatif inovatif.10 9 M. Amin Abdullah, 2001, “Relevansi Studi Agama dalam Melinium Ketiga”, dalam M. Amin Abdullah, 2001, Mencari Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana 10 Noeng Muhajir, 1990, Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rakesarasin, h. 109 Pembahasan A. Pengembangan Hukum Islam. Deskripsi pemikiran dan pengembangan hukum Islam menurut Abdullah Ahmed an Na‟im secara ideal teoritis akan nampak bahwa Islam dan hukum Islam itu bersifat universal, tetapi dalam kerangka elaborasinya pada dataran praksis sangat dipengaruhi oleh kondisi sosiologis, ekonomi, dan politik masyarakat tertentu,11 sebab secara faktual tidak dapat disangkal yakni adanya aspek elastis yang memberi peluang timbulnya perbedaan menurut kondisi sosiologis masyarakat tertentu. Apabila dicermati hukum Islam dalam pengertian fiqih, maka hukum Islam itu sebagai produk pemikiran dan penafsiran fuqaha terhadap syari‟at yang memiliki toleransi terhadap kebudayaan yang bersifaat kedaerahan. Toleransi ini dalam kaidah fiqih disebut “al’âdah muhakkamah”12, yang memiliki kriteria ma‟ruf menurut ukuran agama, masyarakat dan negara. Tujuan hukum Islam pada dasarnya adalah kemaslahatan manusia, sehingga hukum Islam mencoba mempromosikan maslahah dan mencegah mafsadat13 untuk menjadmin kehidupan yang lebih baik di dunia dan di akhirat. Karena itu dalam memahami hukum Islam itu tidak hanya didasarkan pada makna literalnya saja, tetapi juga dilihat konteks historis sosiologisnya sebagaimana yang pernah dilakukan khalifah Umar bin Khattab yang berpijak pada jiwa dan semangat tujuan hukum Islam. Pokok-pokok pikiran tersebut di atas menunjukkan adanya kecenderungan perlunya pola pengembangan hukum Islam di Indonesia dewasa ini, dalam hal ini Mun‟im A. Sirry14 telah mengidentifikasi empat pola pengembangan hukum Islam yaitu: Pertama, Modernisme merupakan pola pemikiran dari sejumlah pemikir muslim yang terdidik dalam alam sekuler, yang menyatakan bahwa hukum islam tidak lagi mampu merespon 11 Abdullah Ahmed an Na‟im, 1994, Dekonstruksi Syari’ah, Alih Bahasa: Ahmad Suady dan Amiruddin ar Rani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. xx 12 Abdul Wahhab Khallaf, 1972, Ilm Usul al Fiqh, Al Majlis a’la Indonesia li Da’wat al Islamiyah. Jakarta, h. 90 13 TM Hasbi Ash Shiddieqy, 1975, Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, h. 177 14 Mun‟im A. Sirry, 1995, Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar, Cet. 1. Surabaya: Pustaka Pelajar, h. 155 berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu gagasan utamanya adalah meninggalkan fiqih yang sudah ada dan membangun fiqih baru yang kontekstual; Kedua, Survivalisme merupakan pola pemikiran yang memiliki gagasan utama membangun fiqih berdasarkan mazhab-mazhab yang sudah ada. Kelompok ini menganggap bahwa keluasan fiqih mazhab yang sudah ada harus dikembangkan dan bukan dikorbankan karena secara faktual pola ini telah berhasil memberi jawaban hukum yang diangkat dari kajian fiqih mazhab tanpa kehilangan kepedulian sosialnya; Ketiga, Tradisionalisme merupakan pola pemikiran yang memiliki gagasan utama adanya keharusan kembali kepada al-qur`an dan as Sunnah dan mengecam taqlid; dan Keempat, Neo-survivalisme merupakan pola pemikiran yang memiliki gagasan utama dengan menawarkan concernnya terhadap kepedulian sosial15. Kompilasi Hukum Islam, sebagai contoh, merupakan produk fiqih Indonesia yang bernuansa pengembangan dan pembaharuan hukum Islam di Indonesia, ternyata telah banyak mengundang perhatian pemikir hukum Islam di Indonesia. Dalam Kompilasi Hukum Islam buku II tentang kewarisan terdapat beberapa ketentuan baru antara lain Bab II pasal 175:(1) dan Bab V mengenai wasiat yaitu pasal 194:(1), pasal 195: (1), (3), pasal 207, 208, 209, sebagai fokus perhatian peneliti. Metode penyusunan dalam merumuskan pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam itu menurut M.Yahya Harahap dalam buku: “Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia” adalah pertama. Menggunakan pendekatan tekstual dengan titik sentral pada al-qur`an dan as Sunnah dengan melepaskan diri dari keterikatan kitab-kitab fiqih, dengan langkah-langkah pemikiran dan pengkajian bahwa al-qur`an dan as Sunnah bukan kitab hukum, pendekatan eksperimental alqur`an dan as Sunnah dijadikan dasar pembenaran penyusunan perumusan kompilasi Hukum Islam, syari‟at itu terikat dengan batasan-batasannya tetapi bergerak sejalan dengan waktu dan tempat sehingga memerlukan pemikiran baru bagi kaum muslimin, dan merumuskan suatu yang baru yang tidak terdapat dalam nas. Kedua, mengutamakan pemecahan problem masa kini. 15 Ibid Ketiga, unity dan variety dalam hal-hal yang berhubungan dengan akidah dan keimanan, dunia Islam itu unity (satu), tetapi dalam hal penerapan hukum-hukum mu‟amalah, Islam memiliki corak yang beragam. Keempat, pendekatan kompromi dengan hukum adat, dengan tujuan untuk mengantisipasi perumusan hukum yang tidak dijumpai dalam al-qur`an dan as Sunnah. 16. Reaktualisasi dalam bidang hukum kekeluargaan dan kewarisan di Indonesia dengan landasan mencari kemaslahatan dan meniadakan kesulitan bagi bangsa Indonesia ini merupakan tanggungjawabnegarauntukmewjudkannya,karenaitudibitahkan mekanisme yang mampu memberikan peluang konstitusional. Hal ini dilakukan untuk membuktikan teori maslahah dalam fiqh tentang penetapan wasiat dan waris. Pendekatan ini dilakukan untuk mengkaji secara kritis latarbelakang, perubahan, dan perkembangan hukum wasiat dan waris dalam hukum Islam. Dari kajian ini akan terlihat hal-hal yang dilupakan oleh fuqaha‟ dalam membuat ketentuan hukum wasiat, yang berimplikasi pada terpisahnya hukum tersebut dari persoalan kompleksitas pembagian harta peninggalan. Dari sini diharapkan muncul pemikiran alternatif yang solutif. Menurut Moh. Mahfud MD (1998:8), paling tidak ada tiga macam pola hubungan antara politik dan hukum; Pertama, hukum determinan terhadap politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, politik determinan terhadap hukum, karena hukum merupakan hasil atau krestalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berintegrasi dan bahkan saling bersaingan. Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinannya seimbang antara yang satu dengan yang lain, karena meskipun hukum merupakan keputusan politik tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Terdapat sejumlah prinsip pokok untuk menentukan pada hukum yang kuat di antara yang masih diperdebatkan, dan menciptakan pendapat baru atau semi baru dari kegiatan ijtihad 16 Moh. Mahfudz MD. (ed), 1993, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta: UII Press, h. 69-76 tersebut. Prinsip-prinsip pokok tersebut adalah: Pertama, berpegang pada dalil (nash) yang belaku umum selama tidak ada petunjuk bahwa dalil itu berlaku khusus. Pada dasarnya sebagian besar dalil-dalil hukum berbentuk pernyataanpernyataan umum, supaya lingkup pengertiannya meliputi orangorang atau bagian-bagian yang banyak. Ini merupakan salahsatu rahasia yang membuat hukum Islam abadi dan cocok buat setiap masa dan tempat. Kedua, menghormati konsensus ulama (ijma‟) secara kritis, yakni konsensus ulama (ijma‟) tentang suatu hukum, terutama pada abad-abad pertama dulu membuktikan dengan jelas bahwa mereka sudah mendasari konsensus mereka itu pada pertimbangan keagamaan yang benar baik dari sudut nash, kemanfaatan, atau keperluan yang sangat mendesak. Maka selayaknyalah konsensus itu dihormati, supaya posisi konsensus dalam hukum tetap dapat dijadikan alat penjaga keseimbangan dalam menyingkirkan distorsi intelektual. Namun demikian, konsensus itu perlu disikapi secara kritis terutama untuk melihat relevansinya dengan kekinian. Ketiga, mengfungsikan analogi (qias) yang benar. Analogi adalah memberikan hukum yang sama kepada sesuatu oleh karena illat (sebab) yang sama. Metode analogi ini tidak dapat diterapkan pada ibadah khusus (murni), seperti shalat, puasa, dan haji. Berbeda halnya dengan hukum wasiat dan waris yang termasuk ibadah umum, sehingga hukum wasiat dan waris merupakan ketentuan hukum dari bagian sistem hukum harta peninggalan, disamping itu mengandung nilai-nilai ibadah dan pemerataan kekayaan dalam suatu keluarga, sedangkan illat pengundangan dan hukum-hukumnya secara menyeluruh jelas. Keempat, mempertimbangkan tujuan hukum dan manfaat. Dalam hal ini para ulama menegaskan bahwa hukum Islam sematamata ditujukan untuk kebutuhan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Sehingga pengujian terhadap tujuan hukum tidak boleh terbatas pada suatu teks atau kasus tertentu saja, sebab syari‟at itu secara keseluruhan merupakan lapangan pengujian. Dengan demikian, hukum wasiat dan waris pada dasarnya bukanlah ibadah murni, seperti shalat, tetapi lebih tepat bila disebut bagian dari kehidupan sosial-ekonomi (muammalat), karena ia merupakan persoalan kekayaan bagi umat. Hukum wasiat dan waris merupakan alat penghubung antara negara dan orang-orang yang memiliki kekayaan untuk ikut melakukan pengaturan dalam rangka menegakkan keadilan. Alasannya bahwa buku-buku fiqh memasukkan hukum wasiat di dalam pembahasan tersendiri. Dalam penyusunan fiqh modern, hukum harta peninggalan harus dijadikan sebagai bagian dari fiqh sosial-ekonomi. Begitu pula dengan kodifikasi, hukum harta peninggalan haruslah termasuk dalam ruang lingkup perundangan sosial-ekonomi. B. Kompleksitas dan Implementasi Wasiat 1. Pengertian Wasiat Istilah wasiat berasal dari bahasa arab yang berarti tausiyah17, kata kerjanya berasal dari ausa, dan secara etimologi wasiat berarti pesan, nasehat dan juga diartikan mensyari‟atkan18. Adapun wasiat dalam pengertian mensyari‟atkan dapat dijumpai pada firman Allah swt:19 yang artinya “Allah swt mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan” Pengertian syari‟at dalam firman Allah swt di atas mengandung prinsip dasar dalam sistem pembagian harta peninggalan, sebab wasiat itu hanya dikaitkan dengan masalah harta benda atau hal yang dikategorikan sebagai harta benda.20 Apabila diperhatikan pada Kompilasi Hukum Islam Bab I Ketentuan Umum Pasal 171 butir f wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia21. Karena itu, setelah memperhatikan pengerian-pengertian di atas, penyusun berpendapat bahwa pengertian wasiat itu lengkapnya adalah suatu sistem perpindahan hak kepemilikan harta atau manfaatnya 17 Muhammad Zaid al Ibyani, tt, Syarh al Ahkam asy Syari;at fi al ahwali asy Syakhsiyyah, Juz 2. Beirut: Maktabah Nahdah, h. 269 18 Ahmad Azhar Basyir, 1979, Kawin Campur, Adopsi, Wasiat menurut Ajaran Islam. Bandung: PT. Almaarif, h. 30. Selanjutnya Periksa: Muhammad Idris Marbawi, 1350 H, Kamus Marbawi, Juz 2, Mesir h. 150 19 Qs. An Nisa‟ (4): 11 20 Muhammad Zaid al Ibyani, tt, Syarh al Ahkam., h. 269 21 Moh. Mahfud MD (ed), 1993, Peradilan.,h. 214 dari orang yang berwasiat secara sukarela, dengan tidak melebihi harta peninggalan, yang berlaku setelah orang yang berwasiat itu meninggal dunia. 2. Dasar Hukum Wasiat Hukum wasiat merupakan salah satu bagian dari alqur`an sebagai sumber hukum Islam, yang pada permulaan Islam, wasiat adalah suatu kewajiban yang berlaku untuk semua harta benda22. Dasar hukum wasiat ini adalah pada firman Allah swt yang artinya:23“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. Sasaran Hukum wasiat di atas ditujukan kepada ibubapak dan karib kerabat. Sasaran ini yang perlu direspon dalam pengembangan hukum Islam di Indonesia sebab istilah yang dipergunakan al-qur`an itu apakah mencakup orang tua angkat, anak angkat atau mencakup batasan yang lebih luas secara kontekstual dalam menampung perkembangan hukum yang semakin komplek. Wasiat itu mengandung perbuatan sosiologis karena menyangkut harta benda yang diwasiatkan, orang yang berwasiat dan penerima wasiat. Dalam hal ini Allahh swt berfirman24 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian”. Ayat tersebut memberikan petunjuk perlunya persaksian yang adil dalam wasiat, yakni pemberian kesaksian yang sebenarnya, dan akan lebih memberi keyakinan apabila saksi itu disumpah terlebih dahulu sebelum memberikan kesaksiannya, tetapi apabila terdapat kecurangan dalam persaksian tersebut maka ahli waris boleh mengganti saksi sampai ditemukan saksi 22 Taqiyuddin Abi Bakar bin Muhammad al Musaini, tt, Kifayah alAkhyar. Semarang Indonesia: That Putra, h.3 23 Qs Al Baqarah (2): 180 24 QS. Al-Maidah, (5): 106 yang adil meskipun berlainan agama. Wasiat berlaku setelah orang berwasiat itu meniggal dunia, dan menurut ketentuan hukum Islam pelaksanaan wasiat itu harus didahulukan dari pelaksanaan kewarisan dengan memperhatikan batasan-batasannya. Allah swt menjelaskan empat tempat pada surat an Nisa‟ yakni satu tempat pada ayat 11 dan tiga tempat pada ayat 12 yaitu dengan ungkapan yang maksudnya “sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat dan atau sesudah dibayar hutangnya”. C. Pemisahan Hukum Wasiat dari Kompleksitas Pembagian Harta Penginggalan dalam Kitab-Kitab Fiqh Istilah “kitab fiqh” dalam pemahaman masyarakat umum lebih dikenal dengan “kitab kuno” atau kitab klasik atau lebih familier disebut dengan kitab kuning adalah sebutan kitab karena rentangan waktu yang begitu jauh sejak kemunculannya dibanding sekarang25. Kitab kuning, dalam agama Islam, merujuk kepada sebuah kitab tradisional yang berisi pelajaranpelajaran agama Islam (dirâsah al-islamiyyah), mulai dari fiqh, aqidah, akhlaq/tasawuf, tata bahasa arab (`ilmu nahwu dan `ilmu sharf), hadits, tafsir, `ulumul qur’ân, hingga pada ilmu sosial dan kemasyarakatan (mu`amalah). Disebut juga dengan “kitab gundul” karena memang tidak memiliki harakat (fathah, kasrah, dhammah, sukun), tidak seperti kitab al-Quran pada umumnya. Oleh sebab itu, untuk bisa membaca kitab kuning berikut arti harfiah kalimat per kalimat agar bisa dipahami secara menyeluruh, dibutuhkan waktu lama.26 Meski atas dasar rentang waktu yang begitu jauh, ada yang menyebutnya dengan sebutan “kitab klasik” (al-kutub alqadimah). Secara umum, kitab kuning dipahami oleh beberapa kalangan sebagai kitab referensi keagamaan yang merupakan produk pemikiran para ulama pada masa lampau (al-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M.27 Amirul Ulum, Interpretasi Kitab Kuning, dalam http://www.nu.or.id Kitab kuning dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_kuning 27 Amirul Ulum, Interpretasi Kitab Kuning, dalam http://www.nu.or.id 25 26 Ada banyak kitab fiqh yang dikenal dalam khasanah keilmuan pengetahuan agama Islam, namun yang cukup masyhur di Indonesia sesuai dengan aliran sunni, adalah kitab-kitab fiqh karangan 4 (empat) madzab terkenal yaitu, madzab Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hanbali. Peneliti tidak membahas seluruh kitab-kitab fiqh diatas, hanya memberikan contoh beberapa kitab yang membahas tentang waris dan wasiat, satu contoh kitab yang paling dipegangi oleh masyarakat Indonesia adalah kitab al-Umm, karangan Imam Syafi‟i. Kitab Al-Umm adalah kitab terbaik yang menjadi pegangan hukum (fiqih) para Madzhab Syafi‟i di Indonesia yang merupakan Madzhab terbesar, kitab ini mencakup berbagai macam pembahasan hukum (fiqih), dan menjadi fase awal perkembangan ilmu hadits menjadi ushul Fiqih sebagai suatu disiplin ilmu. Kitab ini juga menjadi rujukan utama bagi kalangan ahli fikih Syafi‟iyyah dalam menyusun karya-karya mereka hingga saat ini. Pada kitab al Umm ini bahasan tentang wasiat ada pada Kitab Jilid 2, dan jelas ada pemisahan pembahasan tentang wasiat dan waris. Hukum waris dibahas dalam sub-tema faraid dan setelah itu pembahasan tentang wasiat. Kitab kedua yang cukup terkenal bagi masyarakat Indonesia adalah kitab Bidayah Al-Mujtahid, yang dikarang oleh Ibnu Rusyd. Kitab ini adalah kitab Madzab Hanafi. Kitab ini sebagai mana kitab-kitab fiqih lainnya dalam bahasannya meliputi : Ibadah, Mu‟amalah dan Jinayah. Kitab ini hanya terdiri dari satu jilid besar dan terbagi dalam dua juz. Pada juz pertama berisi pembahasan tentang ibadah, dimulai Kitab At Thoharoh sampai kitab Al Atimah wa Al Asyribah. Sedangkan pada juz kedua dimulai Kitab An Nikah sampai Kitab Al Aqdiyah. Kedua juz tersebut berisi Aqwal Aimmah semenjak masa shahabat sampai masa itu, dengan dilandasi dalil naqli maupun aqli dari berbagai madzhab, metode istimbat hukum dan penjelasan ilatnya. Mula-mula beliau memaparkan qaul madzhab yang dipeluknya (malikiyah) beserta dalil, istidlal sekaligus wajh istidlalnya, lalu diikuti aqwal aimmah lain dengan metode yang sama sebelum beliau mentarjihnya.28 Dalam kitab fiqh Bidayah al-Mujtahid ini pembahasan tentang wasiat ada pada bab II. Sebagaimana pada kitab al-Umm, pembahasan tentang wasiat dipisahkan dengan waris yang keduanya merupakan sama-sama harta peninggalan. Kitab ketiga, adalah kitab Al-Mughni, kitab ini dianggap sebagai salah satu kitab yang membahas tentang fiqih Islam secara umum dan terutama fiqh dalam madzab Hambali. Imam Ibnu Qudamah telah menyusunnya dalam bentuk fiqh muqorrin (perbandingan antar madzab). Imam Ibnu Qudamah tidak hanya menjelaskan ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam kitab mukhtashor dan menerangkan maksud-maksud yang terkandung didalamnya, namun juga menganalisa semua point utama yang berkaitan dengan suatu masalah yang disebutkan didalamnya. Beliau juga menyebutkan perbedaan riwayat yang berkembang di kalangan para pengikut madzab Hambali mengenai masalah tersebut. kemudian beliau juga memaparkan perbedaan riwayat yang terjadi diantara sejumlah imam yang berasal dari berbagai madzab. Bahkan, beliau juga menyebutkan pendapat madzab sejumlah ulama yang sudah tidak berkembang lagi karena tidak adanya pengikut yang berusaha untuk menyebarluaskan, seperti madzab Hasan Al Basri, Atha‟, Sufyan Ats Tsauri dan lainnya. Imam Ibnu Qudamah juga menyebutkan dalil-dalil yang digunakan oleh ulama lainnya yang mengungkap suatu pendapat dalam masalah tertentu kemudian dalil tersebut beliau jelaskan sisi kekuatan dan kelemahannya. Tanpa diragukan lagi, Kitab Al Mughni ini merupakan kajian fiqih terbaik yang telah disusun dalam format Fiqih Perbandingan, ketika itu belum banyak ulama yang menyusun kitab dengan metodologi semacam ini. Oleh karena itu, para ulama yang berasal dari berbagai 28 Diringkas oleh Pondok Al-Munawir, Krapyak, Yogyakarta dalam http://htmaalmunawwir.wordpress.com. Lebih detail tentang kitab ini lihat dalam Ibnu Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid Nihayah Al-Muqtashid, Libanon: Dar AlKutub Al-Ilmiyyah madzab pun memandang bahwa kitab ini dengan pandangan penuh penghargaan dan diaggap sebagai salahsatu referensi dalam bidang Fiqih Perbandingan, sehingga diharapkan dpat meningkatkan keilmuan pembacanya dari hanya sekedar taqlid ke madzab tertentu ke tingkat At tarjih Ah Shahih (menggangap kuat suatu pendapat dengan cara yang benar).29 Dari contoh tiga kitab klasik diatas dapat dijumpai bahwa pembahasan tentang hukum wasiat dipisahkan dengan pembahasan tentang hukum waris yang merupakan sama-sama harta peninggalan. Tidak ada penjelasan secara eksplisit maupun implisit dari kitab-kitab fiqh tersebut tentang alasan pemisahan ini, tetapi menurut analisa peneliti ada beberapa alasan kenapa hukum wasiat dipisahkan dari kompleksitas harta peninggalan, yaitu: Pertama, Dasar Hukum Wasiat berbeda dengan Waris. Dalil yang paling pokok tentang wasiat adalah ayat dalam Q.S. al-Baqarah (2): 180, yang artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.30 Kedua, kemudahan dalam memahami jenis-jenis harta peninggalan, sehingga model teknis pembahasan tentang wasiat atau waris, atau pusaka dan lainnya dibahas secara tematis. Hampir seluruh model kitab-kitab studi Islam saat ini disusun secara tematis, demikian juga dengan kitab-kitab fiqh yang disajikan secara tematis atau lebih dikenal dengan metode maudhu‟i. Secara Lebih lanjut tentang kitab ini dapat dilihat pada versi Indonesianya, Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni. Jakarta: Pustaka Azzam 30 Sebagian besar ahli hukum Islam setuju bahwa ayat ini di-nasakh ketika ayat-ayat Alquran yang mengatur kewarisan diturunkan. Namun demikian, ulama–ulama lain mengajukan argumen yang lebih kuat bahwa ayat tentang wasiat tersebut sesungguhnya hanya dihapus sebagaian saja, yaitu, hanya yang bersangkutan dengan kerabat dekat yang telah menjadi ahl al-fara’id (orangorang yang menerima bagian tertentu dalam pembagian warisan). Ayat wasiat juga terdapat pada beberapa ayat yang lain, yakni : Q.S. al-Nisa (4): 11-12 mengenai pembayaran hutang si pewasiat, dan Q.S. al-Baqarah (2): 181-182. Lihat Ratno Lukito, 1998, Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia. Jakarta: INIS, h. 85 29 bahasa kata maudhu‟i berasal dari kata yang merupakan isim maf’ul dari kata yang artinya masalan atau pokok 31 pembicaraan . Ketiga, Adanya perbedaan dalam interpretasi teks. Reinterpretasi Q.S. al-Nisa„ (4):12 mendorong untuk memperhatikan kembali hubungan antara Q.S. al-Baqarah (2):180 dan 240 (ayat-ayat wasiat) dengan Q.S. al Nisa„(4):11-12 (ayatayat warisan). Vokalisasi yang ditawarkan sepenuhnya tidak menghadapi masalah dari segi sintaksis yang dihadapi Thabari: subjek ganda terpisah rajulun…au imratun hilang; kata kalalah sekarang muncul sebagai objek langsung dari kata transitif yurîu; kata ganti dalam frase preposisional wa lahu tidak lagi merujuk ke subjek ganda; dan kata kerja yûi yang terikat dengan kata benda rajulun memiliki arti yang lebih baik daripada kata kerja pasif impersonal yûa.32 Ada alasan signifikan mengapa muncul perdebatan di kalangan pembaca Alquran tentang cara yang tepat dalam membaca Q.S. al-Baqarah (2):12, dan ini dapat dipahami bahwa perdebatan itu melibatkan dua kelompok: mereka yang setiap ada yurîu/imra’atan/yûi, dan mereka yang mendukung yurâu/ imra’atun/yûa. Indikasi yang diberikan Umar bahwa jika makna kalalah telah diketahui para wanita, maka mereka akan “membicarakannya di kediaman mereka”, mungkin dapat dikaitkan dengan pernyataan bahwa kalalah sebenarnya adalah sebuah istilah untuk kerabat perempuan, dan bahwa Q.S.4:12 berisi tentang penunjukan seorang menantu (perempuan) atau isteri sebagai ahli waris. Lebih tepatnya, pembacaan yûi dan yuriu diperbolehkan beredar, tetapi mereka beredar dalam suatu keadaan di mana mereka tidak menimbulkan ancaman terhadap pembacaan yang diterima. Menurut Ibnu Mujahid, sebagaimana dikutip Powers bahwa secara rutin, pembacaan ini disebutkan dalam hampir seluruh kitab tafsir Alquran dan dikutip dengan Ahmad Warson Munawir, 1987, al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia. Surabaya:Pustaka Progesif, h.1565 32 David S. Powers, 2001, Studies in al-qur`an and Hadith: The Formation of the Islamic Law of Inheritance, terj. Arif Maftuhin, cet. ke-1. Yogyakarta: LKiS, h. 63 31 kepercayaan penuh dalam buku-buku koleksi standar qira’ah sab’ah. 33 D. Implementasi Wasiat dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan yang Akomodatif Sebelum ketentuan kewarisan Islam dalam al-qur`an itu diproklamirkan, sejarah kewarisan pada masyarakat Arab sebelum Islam itu dalam menjalankan aturan kewarisan selalu berpedoman kepada tradisi-tradisi, seperti pemberian warisan kepada anak angkat, pemberian warisan dengan sistem kelaki-lakian dan harus yang telah dewasa. Setelah Islam datang, sistem itu dirombak dan disempurnakan. Meskipun telah diadakan perubahan, ternyata hukum Islam masih memberikan peluang berlakunya hukum berdasarkan tradisi di atas dengan jalan wasiat, sebagai alternatif terhadap hal-hal yang tidak tercakup dalam sistem kewarisan Islam tersebut. Sistem kewarisan Islam mempunyai nilai-nilai yang tinggi, mengandung unsur-unsur keadilan sesuai dengan proporsinya. Karena itu keistimewaan sistem kewarisan Islam ini sesuai dengan prinsip-prinsip sistem kewarisan Islam. Oleh karena itu posisi hukum wasiat adalah sebagai upaya, sebagai jalan keluar dalam pelaksanaan pembagian harta peninggalan, bukan bermaksud untuk mengambangkan atau mendangkalkan nilai-nilai ketinggian sistem kewarisan Islam tetapi justru hukum wasiat itu merupakan kelengkapan yang tidak terpisahkan dari sistem kewarisan Islam yang sebenarnya, yaitu untuk menampakkan keluwesan dan kesempurnaan hukum Islam dalam menghadapi masalah-masalah yang melingkupinya, seperti apakah tidak ada jalan keluar bahwa wanita harus menerima bagian separoh dari bagian laki-laki?, apakah itu merupakan ketentuan mutlak tidak boleh ditambah dengan cara wasiat?. Hal inilah yang menunjukkan bahwa hubungan dan implementasi hukum wasiat dan kewarisan Islam akan nampak sinergi (saling mengisi dan melengkapi) dalam sistem pembagian harta peninggalan. 33 Ibid. hal 56-59 1. Bukti konkrit hubungan yang sinergi di atas, akan ditunjukkan bahwa dalam pembagian warisan itu antara ahli waris yang satu dengan yang lain kadar penerimaannya berbeda ada yang mendapat seperdua, sepertiga, seperempat, seperenam, seperdelapan, dan ada yang mendapat seluruh sisa sebagai ahli waris asabat, apalagi ada yang tidak mendapat bagian sama sekali. Maka disinilah fungsi dan peranan hukum wasiat dalam menghadapi fakta dan realitas para penerima harta peninggalan yang berbeda-beda latar belakang sosial ekonominya, sesuai dengan musyawarah dan persetujuan para ahli waris, yakni seperti pemilik harta peninggalan berwasiat kepada ahli waris yang kaya agar merelakan bagiannya diberikan kepada ahli waris yang miskin, dan sebagainya. 2. Secara yuridis tindakan tersebut di atas adalah dibenarkan secara hukum, karena pemberian wasiat kepada ahli waris yang miskin sebagai imbangan penerimaan harta peninggalan adalah berdasarkan alasan yang tepat dan dapat dijadikan illat hukum, yaitu untuk kemaslahatan dan kemanfaatan serta menegakkan asas keadilan dan kekeluargaan sesama ahli awaris. Jadi segala sesuatu yang bertujuan memelihara jiwa dan ruh hukum Islam dalam pembinaan dan pengembangan hukum, untuk mewujudkan gagasan-gagasan yang kreatif dan inovatif, baik mengenai hak, kewajiban, keadilan, persamaan maupun dalam pembinaan dan pengembangan yang didasari oleh maslahat, serta memperhatikan keadaan dan lingkungan yang mendukungnya adalah merupakan dasar-dasar pengembangan hukum yang dibolehkan oleh syara‟.34 Agar supaya pemberian wasiat merupakan jalan keluar dalam pelaksanaan pembagian harta peninggalan itu mempunyai legalitas dan berperan dalam masyarakat muslim terutama yang memiliki harta kekayaan yang banyak menurut ukuran adat kebiasaan masyarakat, maka perlu didukung adanya otoritas 34 TM. Hasbi ash Shiddieqy, 1975, Falsafah., h. 434 hukum yang mantap dengan meningkatkan bentuk hukum Kompilasi Hukum Islam, supaya implementasinya menurut legalitas sistem kewarisan Islam itu merupakan hukum yang mengikat secara hukum positif dalam kehidupan masyarakat Indonesia khususnya yang beragama Islam. Pemberian wasiat itu merupakan peristiwa hukum yang pelaksanaannya digantungkan kepada matinya orang yang berwasiat, hal ini sesuai kaidah hukum: al aslu izafah al hadis ila aqrab auqatih35 (Hukum pokok adalah menyandarkan sesuatu kepada waktu yang paling dekat kepadanya). Maksudnya adalah yang kuat sebagai faktor hukum itu penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat, sehingga peristiwa wasiat itu mempunyai akibat hukum antara lain: Bagi yang memiliki harta yang banyak berkewajiban untuk membuat wasiat yang ditujukan kepada ibu-bapakk dan karib kerabat yang tidak berhak atau tidak dapat menerima harta peninggalan, dengan kadar maksimal sepertiga harta peninggalan, artinya apabila yang diberi wasiat itu lebih dari satu, maka sepertiga harta peninggalan itu dibagi sama rata. Dalam hal ini khalifah Abu Bakar dan Umar ibn Khattab menyatakan bahwa lebih baik wasiat itu kurang dari sepertiga harta peninggalan yaitu dengan seperempat atau seperlima, karena orang yang memiliki harta yang banyak itu apabila menyia-nyiakan wasiat termasuk dosa besar (al idrar fi al wasiah min al kabair) yang berarti dapat dikenakan sanksi maksiat, dan juga orang yang berwasiat tidak boleh merugikan hak para ahli waris. Apabila ternyata keluarga dekat yang tidak termasuk ahli waris tidak ada, maka menurut mazhab Hanafi dianjurkan berwasiat kepada fakir miskin dengan tidak melebihi sepertiga harta peninggalan, dan boleh berwasiat kepada ahli waris yang mendapat persetujuan para ahli waris lainnya. Jadi peristiwa pemberian wasiat itu harus tunduk kepada pertimbangan-pertimbangan bahwa wasiat tidak boleh mendatangkan mudarat kepada para ahli waris, adanya hasrat yang sebenarnya dari orang yang berwasiat, pemberian itu tidak menyalahi 35 Ibid, h.474 ketentuan-ketentuan yang ada dalam al-qur`an dan Sunnah, dan bentuk pemberian dengan jalan wasiat itu dapat berupa barang atau manfaatnya, boleh dalam bentuk hibbah, wakaf dan sebagainya tetapi pelaksanaan yang terkandung dalam peristiwa hukum itu harus dilaksanakan sesudah matinya orang yang berwasiat. Simpulan Tidak ada penjelasan secara eksplisit maupun implisit dari kitab-kitab fiqh tentang alasan pemisahan wasiat dan waris dari kompleksitas hukum harta peninggalan, tetapi menurut analisa peneliti ada beberapa alasan kenapa hukum wasiat dipisahkan dari kompleksitas harta peninggalan, yaitu: Pertama, Dasar Hukum Wasiat berbeda dengan Waris, bahkan diantara para ulama terjadi ikhtilaf. Kedua, untuk kemudahan dalam memahami jenis-jenis harta peninggalan, sehingga model teknis pembahasan tentang wasiat atau waris, atau pusaka dan lainnya dibahas secara tematis, dan ketiga, Adanya perbedaan dalam interpretasi teks. Wasiat merupakan bagian tak terpisahkan dalam sistem pembagian harta peninggalan, maka implementasinya adalah merupakan jalan keluar untuk melengkapi, mengisi celahcelah peristiwa hukum dalam pelaksanaan pembagian harta peninggalan, sebab dalam sistem kewarisan Islam adakalanya ahli waris tidak dapat menikmati bagian harta warisan, atau menambah bagian ahli waris tertentu dengan persetujuan para ahli waris, dan sebagainya, sehingga perlu ditingkatkan efektifitas dan optimalisasi pelaksanaan sistem kewarisan Islam Indonesia agar harta peninggalan itu beredar pada lingkungan kekerabatan yang lebih luas. Sehingga hubungan dan implementasi hukum wasiat dan hukum kewarisan Islam akan nampak sinergi dalam sistem pembagian harta peninggalan. Daftar Pustaka Abdullah, M. Amin, 2001, “Relevansi Studi Agama dalam Melinium Ketiga”, dalam M. Amin Abdullah, 2001, Mencari Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana. al Ibyani, Muhammad Zaid, tt, Syarh al Ahkam asy Syari;at fi al ahwali asy Syakhsiyyah, Juz 2. Beirut: Maktabah Nahdah al Musaini, Taqiyuddin Abi Bakar bin Muhammad, tt, Kifayah alAkhyar. Semarang Indonesia: That Putra. Ali, M. Daud, 1986, Asas-asas Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Amal, Taufik Adnan. 1990, Islam dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan. Ash Shiddieqy, TM Hasbi, 1975, Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang Aulawi, Wasit, Panji Masyarakat, No. 701, Edisi Nopember 1991. Basyir, Ahmad Azhar, 1979, Kawin Campur, Adopsi, Wasiat menurut Ajaran Islam. Bandung: PT. Almaarif Hazairin, 1982, Hukum Kekeluargaan Nasional. Jakarta: Tinta Mas Khallaf, Abdul Wahhab, 1972, Ilm Usul al Fiqh, Al Majlis a’la Indonesia li Da’wat al Islamiyah. Jakart Kitab kuning dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_ kuning Lukito, Ratno, 1998, Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia. Jakarta: INIS Mahfudz MD, Moh.. (ed), 1993, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta: UII Pres Marbawi, Muhammad Idris, 1350 H, Kamus Marbawi, Juz 2, Mesir Muhajir, Noeng, 1990, Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rakesarasin Munawir, Ahmad Warson, 1987, al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia. Surabaya:Pustaka Progesif Na‟im, Abdullah Ahmed an, 1994, Dekonstruksi Syari’ah, Alih Bahasa: Ahmad Suady dan Amiruddin ar Rani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Powers, David S., 2001, Studies in al-qur`an and Hadith: The Formation of the Islamic Law of Inheritance, terj. Arif Maftuhin, cet. ke-1. Yogyakarta: LKiS Qudamah, Imam Ibnu, Al Mughni. Jakarta: Pustaka Azzam. Rusyd, Ibnu, Bidayah Al-Mujtahid Nihayah Al-Muqtashid, Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah. Sirry, Mun‟im A., 1995, Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar, Cet. 1. Surabaya: Pustaka Pelajar Soemitro, Roni Hanitijo, 1984, Masalah-masalah Sosiologi Hukum. Bandung: Sinar Baru Turner, Bryan S., 1991, Sosiologi Islam. Jakarta: Rajawali Ulum, Amirul, Interpretasi Kitab Kuning, dalam http://www. nu.or.id Jurnal Hukum, Vol. 11 Nomor 1