wasiat sebagai alternatif penyelesaian masalah

advertisement
WASIAT SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN
MASALAH PEMBAGIAN HARTA PENINGGALAN
Sidik Tono dan M.Roem Syibly
FAI Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
Email : [email protected]
Abstrak
Fokus utama dari studi ini adalah untuk menjawab mengapa,
dalam buku-buku fiqh, wasiyat dipisahkan dari kompleksitas
pembagian warisan, dan bagaimana pelaksanaan wasiyat dalam
distribusi sistem warisan mengakomodasi kebutuhan untuk
memperbarui dan mengembangkan hukum Islam di Indonesia.
Penelitian ini adalah murni deskriptif dalam arti bahwa ia
examineds data deskriptif analitis. Penelitian ini menyimpulkan
bahwa: pertama, pemisahan bukti dari kompleksitas warisan
hukum disebabkan oleh dasar yang berbeda dari hukum waris
serta perbedaan penafsiran teks di antara para pendeta. Dengan
demikian, pembahasan model teknis tentang kehendak dan
warisan atau warisan dan lainnya tematis dibahas terjadi untuk
memudahkan dalam memahami jenis warisan. Kedua, bukti
merupakan bagian integral dalam distribusi sistem warisan.
Pelaksanaan itu, oleh karena itu, membuka jalan untuk mengisi
kekosongan dalam pelaksanaan membagi warisan karena dalam
ahli waris sistem pewarisan Islam kadang-kadang tidak dapat
menikmati warisan.
Kata kunci: Wasiyat, Pembagian Warisan, Hukum Islam di
Indonesia
Abstract
The main focus of this study is to answer why, in the books of fiqh,
the testament is separated from the complexity of the division
of inheritance, and how the implementation of the testamen in
the distribution of legacy systems accommodates the needs to
reform and to develop Islamic law in Indonesia? This study is
purely descriptive in the sense that it examineds descriptive data
analytically. This study concludes that: first, the separation of
testament from the complexity of law inheritance is caused by
a different basis of the inheritance law as well as the differences
in the interpretation of the text among the clergy. Thus, the
discussion of technical models about the will and inheritance
or inheritance and other thematically discussed occurs for ease
in understanding the types of inheritance. Second, testament
is an integral part in the distribution of legacy systems. The
implementation of it, therefore, paves the way to fill in the gaps
in the implementation of dividing inheritance because in the
Islamic inheritance system heirs sometimes can not enjoy the
inheritance.
Keywords: the Will, Dividing inheritance, Islamic law in
Indonesia
Pendahuluan
Indonesia dewasa ini sedang melaksanakan pembangunan
di segala bidang termasuk pembangunan di bidang hukum.
Umat Islam merupakan bagian dari perjalanan sejarah bangsa
Indonesia yang tidak bisa dipisahkan dengan negara, pemerintah
dan hukumnya, ia terjalin secara religius yang diaplikasikan
dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik secara
individu maupun kelompok. Karena itu negara sudah semestinya
memberikan peluang konstitusional berlakunya hukum Islam
dalam tata hukum nasional Indonesia, sebab Islam datang ke
Indonesia jauh sebelum masa penjajahan dan hukum Islam, baik
sebelum, pada masa dan sesudah penjajahan, telah diikuti dan
dilaksanakan para pemeluk agama Islam dalam kehidupan sehari-
hari1. Sehingga realitas ini dengan sendirinya membantah teori
reseptio yang menyatakan bahwa berlakunya hukum Islam itu
disubordinasikan dengan hukum adat2, dan juga membantah tori
Max Weber yang menyatakan bahwa Islam lebih banyak menjadi
sebuah agama akomodatif3, dan syari‟at adalah hukum para yuris
atau faqih4. Interpretasi sosiologis Max Weber itu pada dasarnya
baru merupakan tesa tuduhan terhadap Islam dan hukum Islam
yang masih bersifat subyektif.
Teori tersebut diatas pada dasarnya tidak dapat
dipertahankan dan diterapkan di Indonesia, sebab internalisasi
ajaran Islam yang berkaitan dengan hukum itu telah nampak
menjadi kesatuan paritas hukum yang tereduksi dari beberapa
mazhab fiqih yang telah menjadi reduplikasi hukum yang kondusif
dengan metode pembaharuan dan pengembangan hukum dalam
kesatuan arah pedoman yang berkepribadian bangsa Indonesia5.
Meskipun pengaruh penjajahan itu pada masa kemerdekaan
menimbulkan tata hukum yang pluralistis6. Karena itu tidak
berlebihan apabila hukum Islam dijadikan salah satu sumber
atau bahan hukum dalam pembentukan hukum nasional, sebab
Islam adalah agama hukum dalam arti kata yang sesungguhnya7
yang ditunjukan dari kemauan setiap orang Islam baik pribadi
maupun kelompok yang memiliki komitmen terhadap Islam
dan menginginkan hukum Islam berlaku bagi umat Islam dalam
negara Pancasila republik Indonesia.
Di Indonesia, hukum Islam menempati posisi penting dalam
pandangan umat Islam, sebab Islam dan hukum Islam merupakan
ajaran yang menjadi kesatuan paritasnya artinya tidak mungkin
memahami Islam tanpa memahami hukum Islam8, begitu pula
M. Daud Ali, 1986, Asas-asas Hukum Islam. Jakarta: Rajawali, h. 189
Hazairin, 1982, Hukum Kekeluargaan Nasional. Jakarta: Tinta Mas, h. 37
3
Bryan S. Turner, 1991, Sosiologi Islam. Jakarta: Rajawali, h. 330
4
Ibid, h. 211
5
Wasit Aulawi, Panji Masyarakat, No. 701, Edisi Nopember 1991, h. 56
6
Roni Hanitijo Soemitro, 1984, Masalah-masalah Sosiologi Hukum.
Bandung: Sinar Baru, h. 53
7
M. Daud Ali, 1986, Asas-asas., hal 241
8
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan,
h. 33
1
2
tidak mungkin memahami kondisi politik negara Indonesia tanpa
memahami dan mengikut-sertakan umat Islam. Eksistensi Islam,
hukum Islam dan umat Islam yang berada di Indonesia merupakan
realita interaksi sosial keagamaan yang sosiologis telah mensejarah.
Pengkajian dan pengembangan hukum secara normatif sebagai
upaya mewujudkan keadilan hukum yang dapat diterapkan di
tengah-tengah masyarakat merupakan suatu hal yang sangat
penting sebagai wahana pembinaan dan pengembangan hukum
nasional di Indonesia.
Ajaran-ajaran hukum Islam merupakan salah satu
aspek yang tidak dapat diabaikan dalam pembinaan hukum
nasional sebagai norma hukum yang hidup dalam masyarakat.
Ketentuan-ketentuan hukum Islam memiliki hubungan yang
sangat erat sebagai kewajiban bagi setiap orang yang beragama
Islam. Negara Indonesia adalah negara hukum yang kebetulan
mayoritas penduduknya beragama Islam, sedangkan bingkai dari
sistem hukum nasional itu harus sesuai dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, karena itu wujud hukum nasional
itu merupakan hasil sintesis dari hukum Islam, hukum Adat, dan
hukum kontinental (Barat).
Banyak aspek hukum dalam Islam yang tidak mungkin
semua itu dapat dituangkan dalam penelitian ini, maka
penelitian ini difokuskan pada salahsatu aspek dalam hukum
keluarga, khususnya yang berhubungan dengan masalah hukum
harta peninggalan, dimana terdapat pluralitas hukum seiring
dengan pluralitas masyarakat, seperti penyelesaian masalah
harta peninggalan ditengah masyarakat Indonesia dengan
hukum Islam, hukum perdata, dan hukum adat, yang akibatnya
menimbulkan ketidakpastian hukum karena hukum harus
tunduk dengan keinginan masyarakat bukan hukum mengatur
masyarakat.
Untuk mengatasi itu semua hukum Islam menawarkan
konsep wasiat sebagai jalan keluar penyelesaian hukum harta
peninggalan yang pluralitas menjadi hukum yang bersifat unity di
Indonesia, caranya melakukan positivisasi hukum wasiat, dimana
ketentuannya lebih fleksibel dan akomodatif untuk menyelesaikan
perkara masyarakat muslim dan non muslim (beda agama) yang
berhubungan dengan harta peninggalan, sehingga sistem hukum
yang pluralistik akan dapat diatasi dan tidak perlu adanya opsi
seperti dalam penjelasan hukum kewarisan menurut UU No. 7
tahun 1989 dan masalah-masalah substansial dalam pembagian
harta peninggalan akan dapat diselesaikan dengan sistem hukum
yang bersifat unity. Sebab jika secara normatif warisan itu hanya
menjangkau substansi ahli waris secara permanen, di luar itu
tidak pernah terjangkau, maka cara wasiat hanya menjangkau
berdasarkan tindakan hukum yang bersifat tasharruf yang
disandarkan setelah matinya pemilik harta, sedang cara hibah
hanya menjangkau kepada pemberian ketika pemilik harta itu
masih hidup. Oleh karena itu dapatkah diformulasikan materi
hukum pembagian harta peninggalan yang integratif antara
hukum waris dan hukum wasiat yang mampu mengakomodasi
pluralitas sosial dalam sistem hukum yang unity dalam bentuk
hukum nasional tetapi juga dapat menampung aspek-aspek yang
menjadi realitas sosial yang berkembang dalam ketiga sistem
hukum di atas, dengan sendirinya berusaha menghindari hal-hal
yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Hukum Islam bertujuan mewujudkan kemaslahatan umat,
salah satu aspek untuk mewujudkan kemaslahatan yang menjadi
perhatian dalam kajian ini adalah “wasiat”, yakni bagaimana
wasiat dan waris dapat diimplementasikan dalam kerangka
hukum nasional yang berbentuk perundang-undangan, yang
diantaranya bertujuan untuk menciptakan keadilan, kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat. Hukum wasiat dengan pembatasanpembatasannya akan lebih luwes dalam aturan hukumnya dalam
tatanan sosial masyarakat, sebab menurut hukum Islam tidak
mungkin seorang anak angkat atau anak asuh akan menerima
seluruh harta peninggalan dari orang tua angkatnya, atau jika tidak
ada hukum wasiat, seorang anak angkat tidak akan menerima
sedikitpun harta peninggalan dari orang tua atau orang tua
angkatnya, termasuk bagian perempuan pun akan dapat diatasi
dengan jalan wasiat.
Latar belakang masalah di atas telah memberikan gambaran
betapa kompleknya masalah pembagian harta peninggalan,
sehingga diperlukan penelitian mendasar mengenai pemikiran
dan pengembangan hukum Islam yang lebih bersifat komprehensif
di Indonesia. Setidaknya ada dua persoalan utama yang menjadi
fokus dari pemabahasan ini, yaitu: Mengapa dalam kitabkitab fiqh masalah hukum wasiat dipisahkan dari kompleksitas
pembagian harta penginggalan, tidak seutuhnya sebagaimana
rumusan al-qur`an surat an-Nisa‟ (4): 11-12? Dan bagaimankah
implementasi wasiat dalam sistem pembagian harta peninggalan
yang akomodatif sebagai upaya pembaharuan dan pengembangan
hukum di Indonesia?
Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat dan memberikan
sumbangan pemikiran terhadap: Ditemukannya alasan-alasan
mendasar dalam kitab-kitab fiqh masalah hukum wasiat
dipisahkan dari kompleksitas pembagian harta peninggalan,
tidak seutuhnya sebagaimana rumusan al-qur`an surat an-Nisa‟
(4): 11-12 dan ditemukan substansi pengembangan ilmu hukum
dan sistem hukum dari aspek hukum wasiat Islam dengan
memahami secara komprehensif dalam sistem pembagian harta
peninggalan yang dapat diterima dan akomodatif bagi bangsa
Indonesia yang plural dalam rangka pembentukan hukum
nasional.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan
eksplanatoris dengan pendekatan filosofis, untuk melakukan kajian
secara kritis mengenai hukum harta peninggalan dalam sistem
hukum Indonesia dengan instrumen hukum wasiat dan waris
dalam hukum Islam, sehingga pendekatan ini digunakan untuk
melihat permasalahan hukum harta peninggalan secara jernih
dan tidak terjebak pada kesempitan pemahaman yang diperoleh
dengan pendekatan doktrinal-teologis dan pendekatan kulturalhistoris.9 Sedangkan teknik analisis akan dilakukan dengan cara
non-statistik yaitu secara kualitatif dengan menggunakan metode
“reflektive thinking” dengan pola deduksi-induksi dan tata pikir
devergen yaitu tata pikir kreatif inovatif.10
9
M. Amin Abdullah, 2001, “Relevansi Studi Agama dalam Melinium
Ketiga”, dalam M. Amin Abdullah, 2001, Mencari Islam. Yogyakarta: Tiara
Wacana
10
Noeng Muhajir, 1990, Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta:
Rakesarasin, h. 109
Pembahasan
A. Pengembangan Hukum Islam.
Deskripsi pemikiran dan pengembangan hukum Islam
menurut Abdullah Ahmed an Na‟im secara ideal teoritis akan
nampak bahwa Islam dan hukum Islam itu bersifat universal,
tetapi dalam kerangka elaborasinya pada dataran praksis sangat
dipengaruhi oleh kondisi sosiologis, ekonomi, dan politik
masyarakat tertentu,11 sebab secara faktual tidak dapat disangkal
yakni adanya aspek elastis yang memberi peluang timbulnya
perbedaan menurut kondisi sosiologis masyarakat tertentu.
Apabila dicermati hukum Islam dalam pengertian fiqih, maka
hukum Islam itu sebagai produk pemikiran dan penafsiran fuqaha
terhadap syari‟at yang memiliki toleransi terhadap kebudayaan
yang bersifaat kedaerahan. Toleransi ini dalam kaidah fiqih disebut
“al’âdah muhakkamah”12, yang memiliki kriteria ma‟ruf menurut
ukuran agama, masyarakat dan negara.
Tujuan hukum Islam pada dasarnya adalah kemaslahatan
manusia, sehingga hukum Islam mencoba mempromosikan
maslahah dan mencegah mafsadat13 untuk menjadmin kehidupan
yang lebih baik di dunia dan di akhirat. Karena itu dalam
memahami hukum Islam itu tidak hanya didasarkan pada makna
literalnya saja, tetapi juga dilihat konteks historis sosiologisnya
sebagaimana yang pernah dilakukan khalifah Umar bin Khattab
yang berpijak pada jiwa dan semangat tujuan hukum Islam.
Pokok-pokok pikiran tersebut di atas menunjukkan
adanya kecenderungan perlunya pola pengembangan hukum
Islam di Indonesia dewasa ini, dalam hal ini Mun‟im A. Sirry14
telah mengidentifikasi empat pola pengembangan hukum Islam
yaitu: Pertama, Modernisme merupakan pola pemikiran dari
sejumlah pemikir muslim yang terdidik dalam alam sekuler, yang
menyatakan bahwa hukum islam tidak lagi mampu merespon
11
Abdullah Ahmed an Na‟im, 1994, Dekonstruksi Syari’ah, Alih Bahasa:
Ahmad Suady dan Amiruddin ar Rani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. xx
12
Abdul Wahhab Khallaf, 1972, Ilm Usul al Fiqh, Al Majlis a’la Indonesia li
Da’wat al Islamiyah. Jakarta, h. 90
13
TM Hasbi Ash Shiddieqy, 1975, Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan
Bintang, h. 177
14
Mun‟im A. Sirry, 1995, Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar, Cet. 1.
Surabaya: Pustaka Pelajar, h. 155
berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat akibat kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu gagasan utamanya
adalah meninggalkan fiqih yang sudah ada dan membangun
fiqih baru yang kontekstual; Kedua, Survivalisme merupakan
pola pemikiran yang memiliki gagasan utama membangun fiqih
berdasarkan mazhab-mazhab yang sudah ada. Kelompok ini
menganggap bahwa keluasan fiqih mazhab yang sudah ada harus
dikembangkan dan bukan dikorbankan karena secara faktual
pola ini telah berhasil memberi jawaban hukum yang diangkat
dari kajian fiqih mazhab tanpa kehilangan kepedulian sosialnya;
Ketiga, Tradisionalisme merupakan pola pemikiran yang memiliki
gagasan utama adanya keharusan kembali kepada al-qur`an dan
as Sunnah dan mengecam taqlid; dan Keempat, Neo-survivalisme
merupakan pola pemikiran yang memiliki gagasan utama dengan
menawarkan concernnya terhadap kepedulian sosial15.
Kompilasi Hukum Islam, sebagai contoh, merupakan
produk fiqih Indonesia yang bernuansa pengembangan dan
pembaharuan hukum Islam di Indonesia, ternyata telah banyak
mengundang perhatian pemikir hukum Islam di Indonesia. Dalam
Kompilasi Hukum Islam buku II tentang kewarisan terdapat
beberapa ketentuan baru antara lain Bab II pasal 175:(1) dan Bab V
mengenai wasiat yaitu pasal 194:(1), pasal 195: (1), (3), pasal 207,
208, 209, sebagai fokus perhatian peneliti.
Metode penyusunan dalam merumuskan pasal-pasal
Kompilasi Hukum Islam itu menurut M.Yahya Harahap dalam
buku: “Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia” adalah pertama. Menggunakan pendekatan
tekstual dengan titik sentral pada al-qur`an dan as Sunnah
dengan melepaskan diri dari keterikatan kitab-kitab fiqih, dengan
langkah-langkah pemikiran dan pengkajian bahwa al-qur`an dan
as Sunnah bukan kitab hukum, pendekatan eksperimental alqur`an dan as Sunnah dijadikan dasar pembenaran penyusunan
perumusan kompilasi Hukum Islam, syari‟at itu terikat dengan
batasan-batasannya tetapi bergerak sejalan dengan waktu
dan tempat sehingga memerlukan pemikiran baru bagi kaum
muslimin, dan merumuskan suatu yang baru yang tidak terdapat
dalam nas. Kedua, mengutamakan pemecahan problem masa kini.
15
Ibid
Ketiga, unity dan variety dalam hal-hal yang berhubungan dengan
akidah dan keimanan, dunia Islam itu unity (satu), tetapi dalam
hal penerapan hukum-hukum mu‟amalah, Islam memiliki corak
yang beragam. Keempat, pendekatan kompromi dengan hukum
adat, dengan tujuan untuk mengantisipasi perumusan hukum
yang tidak dijumpai dalam al-qur`an dan as Sunnah. 16.
Reaktualisasi dalam bidang hukum kekeluargaan dan
kewarisan di Indonesia dengan landasan mencari kemaslahatan
dan meniadakan kesulitan bagi bangsa Indonesia ini merupakan
tanggungjawabnegarauntukmewjudkannya,karenaitudibitahkan
mekanisme yang mampu memberikan peluang konstitusional.
Hal ini dilakukan untuk membuktikan teori maslahah dalam fiqh
tentang penetapan wasiat dan waris. Pendekatan ini dilakukan
untuk mengkaji secara kritis latarbelakang, perubahan, dan
perkembangan hukum wasiat dan waris dalam hukum Islam.
Dari kajian ini akan terlihat hal-hal yang dilupakan oleh fuqaha‟
dalam membuat ketentuan hukum wasiat, yang berimplikasi
pada terpisahnya hukum tersebut dari persoalan kompleksitas
pembagian harta peninggalan. Dari sini diharapkan muncul
pemikiran alternatif yang solutif.
Menurut Moh. Mahfud MD (1998:8), paling tidak ada tiga
macam pola hubungan antara politik dan hukum; Pertama, hukum
determinan terhadap politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan
politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
Kedua, politik determinan terhadap hukum, karena hukum
merupakan hasil atau krestalisasi dari kehendak-kehendak politik
yang saling berintegrasi dan bahkan saling bersaingan. Ketiga,
politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada
pada posisi yang derajat determinannya seimbang antara yang
satu dengan yang lain, karena meskipun hukum merupakan
keputusan politik tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan
politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
Terdapat sejumlah prinsip pokok untuk menentukan
pada hukum yang kuat di antara yang masih diperdebatkan, dan
menciptakan pendapat baru atau semi baru dari kegiatan ijtihad
16
Moh. Mahfudz MD. (ed), 1993, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum
Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta: UII Press, h. 69-76
tersebut. Prinsip-prinsip pokok tersebut adalah:
Pertama, berpegang pada dalil (nash) yang belaku umum
selama tidak ada petunjuk bahwa dalil itu berlaku khusus. Pada
dasarnya sebagian besar dalil-dalil hukum berbentuk pernyataanpernyataan umum, supaya lingkup pengertiannya meliputi orangorang atau bagian-bagian yang banyak. Ini merupakan salahsatu
rahasia yang membuat hukum Islam abadi dan cocok buat setiap
masa dan tempat.
Kedua, menghormati konsensus ulama (ijma‟) secara kritis,
yakni konsensus ulama (ijma‟) tentang suatu hukum, terutama
pada abad-abad pertama dulu membuktikan dengan jelas bahwa
mereka sudah mendasari konsensus mereka itu pada pertimbangan
keagamaan yang benar baik dari sudut nash, kemanfaatan, atau
keperluan yang sangat mendesak. Maka selayaknyalah konsensus
itu dihormati, supaya posisi konsensus dalam hukum tetap dapat
dijadikan alat penjaga keseimbangan dalam menyingkirkan distorsi
intelektual. Namun demikian, konsensus itu perlu disikapi secara
kritis terutama untuk melihat relevansinya dengan kekinian.
Ketiga, mengfungsikan analogi (qias) yang benar. Analogi
adalah memberikan hukum yang sama kepada sesuatu oleh karena
illat (sebab) yang sama. Metode analogi ini tidak dapat diterapkan
pada ibadah khusus (murni), seperti shalat, puasa, dan haji.
Berbeda halnya dengan hukum wasiat dan waris yang termasuk
ibadah umum, sehingga hukum wasiat dan waris merupakan
ketentuan hukum dari bagian sistem hukum harta peninggalan,
disamping itu mengandung nilai-nilai ibadah dan pemerataan
kekayaan dalam suatu keluarga, sedangkan illat pengundangan
dan hukum-hukumnya secara menyeluruh jelas.
Keempat, mempertimbangkan tujuan hukum dan manfaat.
Dalam hal ini para ulama menegaskan bahwa hukum Islam sematamata ditujukan untuk kebutuhan hidup manusia di dunia dan di
akhirat. Sehingga pengujian terhadap tujuan hukum tidak boleh
terbatas pada suatu teks atau kasus tertentu saja, sebab syari‟at itu
secara keseluruhan merupakan lapangan pengujian.
Dengan demikian, hukum wasiat dan waris pada dasarnya
bukanlah ibadah murni, seperti shalat, tetapi lebih tepat bila
disebut bagian dari kehidupan sosial-ekonomi (muammalat), karena
ia merupakan persoalan kekayaan bagi umat. Hukum wasiat dan
waris merupakan alat penghubung antara negara dan orang-orang
yang memiliki kekayaan untuk ikut melakukan pengaturan dalam
rangka menegakkan keadilan. Alasannya bahwa buku-buku fiqh
memasukkan hukum wasiat di dalam pembahasan tersendiri.
Dalam penyusunan fiqh modern, hukum harta peninggalan harus
dijadikan sebagai bagian dari fiqh sosial-ekonomi. Begitu pula
dengan kodifikasi, hukum harta peninggalan haruslah termasuk
dalam ruang lingkup perundangan sosial-ekonomi.
B. Kompleksitas dan Implementasi Wasiat
1.
Pengertian Wasiat
Istilah wasiat berasal dari bahasa arab yang berarti tausiyah17,
kata kerjanya berasal dari ausa, dan secara etimologi wasiat berarti
pesan, nasehat dan juga diartikan mensyari‟atkan18. Adapun wasiat
dalam pengertian mensyari‟atkan dapat dijumpai pada firman
Allah swt:19 yang artinya “Allah swt mensyari’atkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu: bahagian seorang anak
lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”
Pengertian syari‟at dalam firman Allah swt di atas
mengandung prinsip dasar dalam sistem pembagian harta
peninggalan, sebab wasiat itu hanya dikaitkan dengan masalah
harta benda atau hal yang dikategorikan sebagai harta benda.20
Apabila diperhatikan pada Kompilasi Hukum Islam Bab
I Ketentuan Umum Pasal 171 butir f wasiat adalah pemberian
suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang
akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia21. Karena itu,
setelah memperhatikan pengerian-pengertian di atas, penyusun
berpendapat bahwa pengertian wasiat itu lengkapnya adalah
suatu sistem perpindahan hak kepemilikan harta atau manfaatnya
17
Muhammad Zaid al Ibyani, tt, Syarh al Ahkam asy Syari;at fi al ahwali asy
Syakhsiyyah, Juz 2. Beirut: Maktabah Nahdah, h. 269
18
Ahmad Azhar Basyir, 1979, Kawin Campur, Adopsi, Wasiat menurut
Ajaran Islam. Bandung: PT. Almaarif, h. 30. Selanjutnya Periksa: Muhammad
Idris Marbawi, 1350 H, Kamus Marbawi, Juz 2, Mesir h. 150
19
Qs. An Nisa‟ (4): 11
20
Muhammad Zaid al Ibyani, tt, Syarh al Ahkam., h. 269
21
Moh. Mahfud MD (ed), 1993, Peradilan.,h. 214
dari orang yang berwasiat secara sukarela, dengan tidak melebihi
harta peninggalan, yang berlaku setelah orang yang berwasiat itu
meninggal dunia.
2. Dasar Hukum Wasiat
Hukum wasiat merupakan salah satu bagian dari alqur`an sebagai sumber hukum Islam, yang pada permulaan
Islam, wasiat adalah suatu kewajiban yang berlaku untuk semua
harta benda22. Dasar hukum wasiat ini adalah pada firman Allah
swt yang artinya:23“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara
kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf,
(Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.
Sasaran Hukum wasiat di atas ditujukan kepada ibubapak dan karib kerabat. Sasaran ini yang perlu direspon dalam
pengembangan hukum Islam di Indonesia sebab istilah yang
dipergunakan al-qur`an itu apakah mencakup orang tua angkat,
anak angkat atau mencakup batasan yang lebih luas secara
kontekstual dalam menampung perkembangan hukum yang
semakin komplek.
Wasiat itu mengandung perbuatan sosiologis karena
menyangkut harta benda yang diwasiatkan, orang yang berwasiat
dan penerima wasiat. Dalam hal ini Allahh swt berfirman24 yang
artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu
menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, Maka hendaklah
(wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua
orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan
dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian”.
Ayat tersebut memberikan petunjuk perlunya persaksian
yang adil dalam wasiat, yakni pemberian kesaksian yang
sebenarnya, dan akan lebih memberi keyakinan apabila saksi itu
disumpah terlebih dahulu sebelum memberikan kesaksiannya,
tetapi apabila terdapat kecurangan dalam persaksian tersebut
maka ahli waris boleh mengganti saksi sampai ditemukan saksi
22
Taqiyuddin Abi Bakar bin Muhammad al Musaini, tt, Kifayah alAkhyar.
Semarang Indonesia: That Putra, h.3
23
Qs Al Baqarah (2): 180
24
QS. Al-Maidah, (5): 106
yang adil meskipun berlainan agama.
Wasiat berlaku setelah orang berwasiat itu meniggal dunia,
dan menurut ketentuan hukum Islam pelaksanaan wasiat itu harus
didahulukan dari pelaksanaan kewarisan dengan memperhatikan
batasan-batasannya. Allah swt menjelaskan empat tempat pada
surat an Nisa‟ yakni satu tempat pada ayat 11 dan tiga tempat
pada ayat 12 yaitu dengan ungkapan yang maksudnya “sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat dan atau sesudah dibayar hutangnya”.
C. Pemisahan Hukum Wasiat dari Kompleksitas
Pembagian Harta Penginggalan dalam Kitab-Kitab
Fiqh
Istilah “kitab fiqh” dalam pemahaman masyarakat umum
lebih dikenal dengan “kitab kuno” atau kitab klasik atau lebih
familier disebut dengan kitab kuning adalah sebutan kitab
karena rentangan waktu yang begitu jauh sejak kemunculannya
dibanding sekarang25. Kitab kuning, dalam agama Islam,
merujuk kepada sebuah kitab tradisional yang berisi pelajaranpelajaran agama Islam (dirâsah al-islamiyyah), mulai dari fiqh,
aqidah, akhlaq/tasawuf, tata bahasa arab (`ilmu nahwu dan `ilmu
sharf), hadits, tafsir, `ulumul qur’ân, hingga pada ilmu sosial dan
kemasyarakatan (mu`amalah). Disebut juga dengan “kitab gundul”
karena memang tidak memiliki harakat (fathah, kasrah, dhammah,
sukun), tidak seperti kitab al-Quran pada umumnya. Oleh sebab
itu, untuk bisa membaca kitab kuning berikut arti harfiah kalimat
per kalimat agar bisa dipahami secara menyeluruh, dibutuhkan
waktu lama.26
Meski atas dasar rentang waktu yang begitu jauh, ada
yang menyebutnya dengan sebutan “kitab klasik” (al-kutub alqadimah). Secara umum, kitab kuning dipahami oleh beberapa
kalangan sebagai kitab referensi keagamaan yang merupakan
produk pemikiran para ulama pada masa lampau (al-salaf) yang
ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an
M.27
Amirul Ulum, Interpretasi Kitab Kuning, dalam http://www.nu.or.id
Kitab kuning dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_kuning
27
Amirul Ulum, Interpretasi Kitab Kuning, dalam http://www.nu.or.id
25
26
Ada banyak kitab fiqh yang dikenal dalam khasanah
keilmuan pengetahuan agama Islam, namun yang cukup masyhur
di Indonesia sesuai dengan aliran sunni, adalah kitab-kitab fiqh
karangan 4 (empat) madzab terkenal yaitu, madzab Hanafi, Maliki,
Syafi‟i dan Hanbali.
Peneliti tidak membahas seluruh kitab-kitab fiqh diatas,
hanya memberikan contoh beberapa kitab yang membahas
tentang waris dan wasiat, satu contoh kitab yang paling
dipegangi oleh masyarakat Indonesia adalah kitab al-Umm,
karangan Imam Syafi‟i. Kitab Al-Umm adalah kitab terbaik
yang menjadi pegangan hukum (fiqih) para Madzhab Syafi‟i di
Indonesia yang merupakan Madzhab terbesar, kitab ini mencakup
berbagai macam pembahasan hukum (fiqih), dan menjadi fase
awal perkembangan ilmu hadits menjadi ushul Fiqih sebagai
suatu disiplin ilmu. Kitab ini juga menjadi rujukan utama bagi
kalangan ahli fikih Syafi‟iyyah dalam menyusun karya-karya
mereka hingga saat ini.
Pada kitab al Umm ini bahasan tentang wasiat ada pada
Kitab Jilid 2, dan jelas ada pemisahan pembahasan tentang wasiat
dan waris. Hukum waris dibahas dalam sub-tema faraid dan
setelah itu pembahasan tentang wasiat.
Kitab kedua yang cukup terkenal bagi masyarakat
Indonesia adalah kitab Bidayah Al-Mujtahid, yang dikarang
oleh Ibnu Rusyd. Kitab ini adalah kitab Madzab Hanafi. Kitab
ini sebagai mana kitab-kitab fiqih lainnya dalam bahasannya
meliputi : Ibadah, Mu‟amalah dan Jinayah. Kitab ini hanya
terdiri dari satu jilid besar dan terbagi dalam dua juz. Pada juz
pertama berisi pembahasan tentang ibadah, dimulai Kitab At
Thoharoh sampai kitab Al Atimah wa Al Asyribah. Sedangkan
pada juz kedua dimulai Kitab An Nikah sampai Kitab Al
Aqdiyah.
Kedua juz tersebut berisi Aqwal Aimmah semenjak masa
shahabat sampai masa itu, dengan dilandasi dalil naqli maupun
aqli dari berbagai madzhab, metode istimbat hukum dan
penjelasan ilatnya. Mula-mula beliau memaparkan qaul madzhab
yang dipeluknya (malikiyah) beserta dalil, istidlal sekaligus wajh
istidlalnya, lalu diikuti aqwal aimmah lain dengan metode yang
sama sebelum beliau mentarjihnya.28
Dalam kitab fiqh Bidayah al-Mujtahid ini pembahasan
tentang wasiat ada pada bab II. Sebagaimana pada kitab al-Umm,
pembahasan tentang wasiat dipisahkan dengan waris yang
keduanya merupakan sama-sama harta peninggalan.
Kitab ketiga, adalah kitab Al-Mughni, kitab ini dianggap
sebagai salah satu kitab yang membahas tentang fiqih Islam
secara umum dan terutama fiqh dalam madzab Hambali. Imam
Ibnu Qudamah telah menyusunnya dalam bentuk fiqh muqorrin
(perbandingan antar madzab). Imam Ibnu Qudamah tidak
hanya menjelaskan ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam
kitab mukhtashor dan menerangkan maksud-maksud yang
terkandung didalamnya, namun juga menganalisa semua point
utama yang berkaitan dengan suatu masalah yang disebutkan
didalamnya.
Beliau juga menyebutkan perbedaan riwayat yang
berkembang di kalangan para pengikut madzab Hambali mengenai
masalah tersebut. kemudian beliau juga memaparkan perbedaan
riwayat yang terjadi diantara sejumlah imam yang berasal dari
berbagai madzab. Bahkan, beliau juga menyebutkan pendapat
madzab sejumlah ulama yang sudah tidak berkembang lagi karena
tidak adanya pengikut yang berusaha untuk menyebarluaskan,
seperti madzab Hasan Al Basri, Atha‟, Sufyan Ats Tsauri dan
lainnya.
Imam Ibnu Qudamah juga menyebutkan dalil-dalil yang
digunakan oleh ulama lainnya yang mengungkap suatu pendapat
dalam masalah tertentu kemudian dalil tersebut beliau jelaskan
sisi kekuatan dan kelemahannya.
Tanpa diragukan lagi, Kitab Al Mughni ini merupakan
kajian fiqih terbaik yang telah disusun dalam format Fiqih
Perbandingan, ketika itu belum banyak ulama yang menyusun
kitab dengan metodologi semacam ini.
Oleh karena itu, para ulama yang berasal dari berbagai
28
Diringkas oleh Pondok Al-Munawir, Krapyak, Yogyakarta dalam
http://htmaalmunawwir.wordpress.com. Lebih detail tentang kitab ini lihat
dalam Ibnu Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid Nihayah Al-Muqtashid, Libanon: Dar AlKutub Al-Ilmiyyah
madzab pun memandang bahwa kitab ini dengan pandangan
penuh penghargaan dan diaggap sebagai salahsatu referensi
dalam bidang Fiqih Perbandingan, sehingga diharapkan dpat
meningkatkan keilmuan pembacanya dari hanya sekedar taqlid
ke madzab tertentu ke tingkat At tarjih Ah Shahih (menggangap
kuat suatu pendapat dengan cara yang benar).29
Dari contoh tiga kitab klasik diatas dapat dijumpai
bahwa pembahasan tentang hukum wasiat dipisahkan dengan
pembahasan tentang hukum waris yang merupakan sama-sama
harta peninggalan. Tidak ada penjelasan secara eksplisit maupun
implisit dari kitab-kitab fiqh tersebut tentang alasan pemisahan
ini, tetapi menurut analisa peneliti ada beberapa alasan kenapa
hukum wasiat dipisahkan dari kompleksitas harta peninggalan,
yaitu:
Pertama, Dasar Hukum Wasiat berbeda dengan Waris.
Dalil yang paling pokok tentang wasiat adalah ayat dalam Q.S.
al-Baqarah (2): 180, yang artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila
seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa”.30
Kedua, kemudahan dalam memahami jenis-jenis harta
peninggalan, sehingga model teknis pembahasan tentang wasiat
atau waris, atau pusaka dan lainnya dibahas secara tematis. Hampir
seluruh model kitab-kitab studi Islam saat ini disusun secara
tematis, demikian juga dengan kitab-kitab fiqh yang disajikan
secara tematis atau lebih dikenal dengan metode maudhu‟i. Secara
Lebih lanjut tentang kitab ini dapat dilihat pada versi Indonesianya,
Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni. Jakarta: Pustaka Azzam
30
Sebagian besar ahli hukum Islam setuju bahwa ayat ini di-nasakh ketika
ayat-ayat Alquran yang mengatur kewarisan diturunkan. Namun demikian,
ulama–ulama lain mengajukan argumen yang lebih kuat bahwa ayat tentang
wasiat tersebut sesungguhnya hanya dihapus sebagaian saja, yaitu, hanya yang
bersangkutan dengan kerabat dekat yang telah menjadi ahl al-fara’id (orangorang
yang menerima bagian tertentu dalam pembagian warisan). Ayat wasiat juga
terdapat pada beberapa ayat yang lain, yakni : Q.S. al-Nisa (4): 11-12 mengenai
pembayaran hutang si pewasiat, dan Q.S. al-Baqarah (2): 181-182. Lihat Ratno
Lukito, 1998, Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia. Jakarta: INIS,
h. 85
29
bahasa kata maudhu‟i berasal dari kata
yang merupakan
isim maf’ul dari kata
yang artinya masalan atau pokok
31
pembicaraan .
Ketiga, Adanya perbedaan
dalam interpretasi teks.
Reinterpretasi Q.S. al-Nisa„ (4):12
mendorong untuk
memperhatikan kembali hubungan antara Q.S. al-Baqarah (2):180
dan 240 (ayat-ayat wasiat) dengan Q.S. al Nisa„(4):11-12 (ayatayat warisan). Vokalisasi yang ditawarkan sepenuhnya tidak
menghadapi masalah dari segi sintaksis yang dihadapi Thabari:
subjek ganda terpisah rajulun…au imratun hilang; kata kalalah
sekarang muncul sebagai objek langsung dari kata transitif yurîu;
kata ganti dalam frase preposisional wa lahu tidak lagi merujuk
ke subjek ganda; dan kata kerja yûi yang terikat dengan kata
benda rajulun memiliki arti yang lebih baik daripada kata kerja
pasif impersonal yûa.32
Ada alasan signifikan mengapa muncul perdebatan di
kalangan pembaca Alquran tentang cara yang tepat dalam
membaca Q.S. al-Baqarah (2):12, dan ini dapat dipahami
bahwa perdebatan itu melibatkan dua kelompok: mereka yang
setiap ada yurîu/imra’atan/yûi, dan mereka yang mendukung
yurâu/ imra’atun/yûa. Indikasi yang diberikan Umar bahwa jika
makna kalalah telah diketahui para wanita, maka mereka akan
“membicarakannya di kediaman mereka”, mungkin dapat
dikaitkan dengan pernyataan bahwa kalalah sebenarnya adalah
sebuah istilah untuk kerabat perempuan, dan bahwa Q.S.4:12
berisi tentang penunjukan seorang menantu (perempuan) atau
isteri sebagai ahli waris.
Lebih tepatnya, pembacaan yûi dan yuriu diperbolehkan
beredar, tetapi mereka beredar dalam suatu keadaan di mana
mereka tidak menimbulkan ancaman terhadap pembacaan
yang diterima. Menurut Ibnu Mujahid, sebagaimana dikutip
Powers bahwa secara rutin, pembacaan ini disebutkan dalam
hampir seluruh kitab tafsir Alquran dan dikutip dengan
Ahmad Warson Munawir, 1987, al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia.
Surabaya:Pustaka Progesif, h.1565
32
David S. Powers, 2001, Studies in al-qur`an and Hadith: The Formation of
the Islamic Law of Inheritance, terj. Arif Maftuhin, cet. ke-1. Yogyakarta: LKiS, h.
63
31
kepercayaan penuh dalam buku-buku koleksi standar qira’ah
sab’ah. 33
D. Implementasi Wasiat dalam Sistem Pembagian Harta
Peninggalan yang Akomodatif
Sebelum ketentuan kewarisan Islam dalam al-qur`an itu
diproklamirkan, sejarah kewarisan pada masyarakat Arab sebelum
Islam itu dalam menjalankan aturan kewarisan selalu berpedoman
kepada tradisi-tradisi, seperti pemberian warisan kepada anak
angkat, pemberian warisan dengan sistem kelaki-lakian dan harus
yang telah dewasa. Setelah Islam datang, sistem itu dirombak dan
disempurnakan. Meskipun telah diadakan perubahan, ternyata
hukum Islam masih memberikan peluang berlakunya hukum
berdasarkan tradisi di atas dengan jalan wasiat, sebagai alternatif
terhadap hal-hal yang tidak tercakup dalam sistem kewarisan
Islam tersebut.
Sistem kewarisan Islam mempunyai nilai-nilai yang
tinggi, mengandung unsur-unsur keadilan sesuai dengan
proporsinya. Karena itu keistimewaan sistem kewarisan Islam
ini sesuai dengan prinsip-prinsip sistem kewarisan Islam. Oleh
karena itu posisi hukum wasiat adalah sebagai upaya, sebagai
jalan keluar dalam pelaksanaan pembagian harta peninggalan,
bukan bermaksud untuk mengambangkan atau mendangkalkan
nilai-nilai ketinggian sistem kewarisan Islam tetapi justru hukum
wasiat itu merupakan kelengkapan yang tidak terpisahkan
dari sistem kewarisan Islam yang sebenarnya, yaitu untuk
menampakkan keluwesan dan kesempurnaan hukum Islam
dalam menghadapi masalah-masalah yang melingkupinya,
seperti apakah tidak ada jalan keluar bahwa wanita harus
menerima bagian separoh dari bagian laki-laki?, apakah itu
merupakan ketentuan mutlak tidak boleh ditambah dengan
cara wasiat?. Hal inilah yang menunjukkan bahwa hubungan
dan implementasi hukum wasiat dan kewarisan Islam akan
nampak sinergi (saling mengisi dan melengkapi) dalam sistem
pembagian harta peninggalan.
33
Ibid. hal 56-59
1. Bukti konkrit hubungan yang sinergi di atas, akan
ditunjukkan bahwa dalam pembagian warisan itu
antara ahli waris yang satu dengan yang lain kadar
penerimaannya berbeda ada yang mendapat seperdua,
sepertiga, seperempat, seperenam, seperdelapan, dan ada
yang mendapat seluruh sisa sebagai ahli waris asabat,
apalagi ada yang tidak mendapat bagian sama sekali.
Maka disinilah fungsi dan peranan hukum wasiat dalam
menghadapi fakta dan realitas para penerima harta
peninggalan yang berbeda-beda latar belakang sosial
ekonominya, sesuai dengan musyawarah dan persetujuan
para ahli waris, yakni seperti pemilik harta peninggalan
berwasiat kepada ahli waris yang kaya agar merelakan
bagiannya diberikan kepada ahli waris yang miskin, dan
sebagainya.
2. Secara yuridis tindakan tersebut di atas adalah dibenarkan
secara hukum, karena pemberian wasiat kepada ahli
waris yang miskin sebagai imbangan penerimaan harta
peninggalan adalah berdasarkan alasan yang tepat dan
dapat dijadikan illat hukum, yaitu untuk kemaslahatan
dan kemanfaatan serta menegakkan asas keadilan dan
kekeluargaan sesama ahli awaris.
Jadi segala sesuatu yang bertujuan memelihara jiwa dan
ruh hukum Islam dalam pembinaan dan pengembangan hukum,
untuk mewujudkan gagasan-gagasan yang kreatif dan inovatif,
baik mengenai hak, kewajiban, keadilan, persamaan maupun
dalam pembinaan dan pengembangan yang didasari oleh
maslahat, serta memperhatikan keadaan dan lingkungan yang
mendukungnya adalah merupakan dasar-dasar pengembangan
hukum yang dibolehkan oleh syara‟.34
Agar supaya pemberian wasiat merupakan jalan keluar
dalam pelaksanaan pembagian harta peninggalan itu mempunyai
legalitas dan berperan dalam masyarakat muslim terutama yang
memiliki harta kekayaan yang banyak menurut ukuran adat
kebiasaan masyarakat, maka perlu didukung adanya otoritas
34
TM. Hasbi ash Shiddieqy, 1975, Falsafah., h. 434
hukum yang mantap dengan meningkatkan bentuk hukum
Kompilasi Hukum Islam, supaya implementasinya menurut
legalitas sistem kewarisan Islam itu merupakan hukum yang
mengikat secara hukum positif dalam kehidupan masyarakat
Indonesia khususnya yang beragama Islam. Pemberian wasiat itu
merupakan peristiwa hukum yang pelaksanaannya digantungkan
kepada matinya orang yang berwasiat, hal ini sesuai kaidah
hukum: al aslu izafah al hadis ila aqrab auqatih35 (Hukum pokok
adalah menyandarkan sesuatu kepada waktu yang paling dekat
kepadanya). Maksudnya adalah yang kuat sebagai faktor hukum
itu penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat,
sehingga peristiwa wasiat itu mempunyai akibat hukum antara
lain:
Bagi yang memiliki harta yang banyak berkewajiban
untuk membuat wasiat yang ditujukan kepada ibu-bapakk dan
karib kerabat yang tidak berhak atau tidak dapat menerima
harta peninggalan, dengan kadar maksimal sepertiga harta
peninggalan, artinya apabila yang diberi wasiat itu lebih dari
satu, maka sepertiga harta peninggalan itu dibagi sama rata.
Dalam hal ini khalifah Abu Bakar dan Umar ibn Khattab
menyatakan bahwa lebih baik wasiat itu kurang dari sepertiga
harta peninggalan yaitu dengan seperempat atau seperlima,
karena orang yang memiliki harta yang banyak itu apabila
menyia-nyiakan wasiat termasuk dosa besar (al idrar fi al wasiah
min al kabair) yang berarti dapat dikenakan sanksi maksiat, dan
juga orang yang berwasiat tidak boleh merugikan hak para ahli
waris.
Apabila ternyata keluarga dekat yang tidak termasuk
ahli waris tidak ada, maka menurut mazhab Hanafi dianjurkan
berwasiat kepada fakir miskin dengan tidak melebihi sepertiga
harta peninggalan, dan boleh berwasiat kepada ahli waris yang
mendapat persetujuan para ahli waris lainnya.
Jadi peristiwa pemberian wasiat itu harus tunduk
kepada pertimbangan-pertimbangan bahwa wasiat tidak boleh
mendatangkan mudarat kepada para ahli waris, adanya hasrat yang
sebenarnya dari orang yang berwasiat, pemberian itu tidak menyalahi
35
Ibid, h.474
ketentuan-ketentuan yang ada dalam al-qur`an dan Sunnah, dan
bentuk pemberian dengan jalan wasiat itu dapat berupa barang atau
manfaatnya, boleh dalam bentuk hibbah, wakaf dan sebagainya
tetapi pelaksanaan yang terkandung dalam peristiwa hukum itu
harus dilaksanakan sesudah matinya orang yang berwasiat.
Simpulan
Tidak ada penjelasan secara eksplisit maupun implisit
dari kitab-kitab fiqh tentang alasan pemisahan wasiat dan waris
dari kompleksitas hukum harta peninggalan, tetapi menurut
analisa peneliti ada beberapa alasan kenapa hukum wasiat
dipisahkan dari kompleksitas harta peninggalan, yaitu: Pertama,
Dasar Hukum Wasiat berbeda dengan Waris, bahkan diantara
para ulama terjadi ikhtilaf. Kedua, untuk kemudahan dalam
memahami jenis-jenis harta peninggalan, sehingga model teknis
pembahasan tentang wasiat atau waris, atau pusaka dan lainnya
dibahas secara tematis, dan ketiga, Adanya perbedaan dalam
interpretasi teks.
Wasiat merupakan bagian tak terpisahkan dalam sistem
pembagian harta peninggalan, maka implementasinya adalah
merupakan jalan keluar untuk melengkapi, mengisi celahcelah peristiwa hukum dalam pelaksanaan pembagian harta
peninggalan, sebab dalam sistem kewarisan Islam adakalanya
ahli waris tidak dapat menikmati bagian harta warisan, atau
menambah bagian ahli waris tertentu dengan persetujuan para
ahli waris, dan sebagainya, sehingga perlu ditingkatkan efektifitas
dan optimalisasi pelaksanaan sistem kewarisan Islam Indonesia
agar harta peninggalan itu beredar pada lingkungan kekerabatan
yang lebih luas. Sehingga hubungan dan implementasi hukum
wasiat dan hukum kewarisan Islam akan nampak sinergi dalam
sistem pembagian harta peninggalan.
Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin, 2001, “Relevansi Studi Agama dalam
Melinium Ketiga”, dalam M. Amin Abdullah, 2001,
Mencari Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana.
al Ibyani, Muhammad Zaid, tt, Syarh al Ahkam asy Syari;at fi al
ahwali asy Syakhsiyyah, Juz 2. Beirut: Maktabah Nahdah
al Musaini, Taqiyuddin Abi Bakar bin Muhammad, tt, Kifayah
alAkhyar. Semarang Indonesia: That Putra.
Ali, M. Daud, 1986, Asas-asas Hukum Islam. Jakarta: Rajawali
Amal, Taufik Adnan. 1990, Islam dan Tantangan Modernitas.
Bandung: Mizan.
Ash Shiddieqy, TM Hasbi, 1975, Falsafah Hukum Islam. Jakarta:
Bulan Bintang
Aulawi, Wasit, Panji Masyarakat, No. 701, Edisi Nopember 1991.
Basyir, Ahmad Azhar, 1979, Kawin Campur, Adopsi, Wasiat menurut
Ajaran Islam. Bandung: PT. Almaarif
Hazairin, 1982, Hukum Kekeluargaan Nasional. Jakarta: Tinta Mas
Khallaf, Abdul Wahhab, 1972, Ilm Usul al Fiqh, Al Majlis a’la
Indonesia li Da’wat al Islamiyah. Jakart
Kitab kuning dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_
kuning
Lukito, Ratno, 1998, Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di
Indonesia. Jakarta: INIS
Mahfudz MD, Moh.. (ed), 1993, Peradilan Agama dan Kompilasi
Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta: UII
Pres
Marbawi, Muhammad Idris, 1350 H, Kamus Marbawi, Juz 2,
Mesir
Muhajir, Noeng, 1990, Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta:
Rakesarasin
Munawir, Ahmad Warson, 1987, al-Munawwir Kamus Arab –
Indonesia. Surabaya:Pustaka Progesif
Na‟im, Abdullah Ahmed an, 1994, Dekonstruksi Syari’ah, Alih
Bahasa: Ahmad Suady dan Amiruddin ar Rani. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Powers, David S., 2001, Studies in al-qur`an and Hadith: The
Formation of the Islamic Law of Inheritance, terj. Arif Maftuhin,
cet. ke-1. Yogyakarta: LKiS
Qudamah, Imam Ibnu, Al Mughni. Jakarta: Pustaka Azzam.
Rusyd, Ibnu, Bidayah Al-Mujtahid Nihayah Al-Muqtashid, Libanon:
Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.
Sirry, Mun‟im A., 1995, Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar, Cet.
1. Surabaya: Pustaka Pelajar
Soemitro, Roni Hanitijo, 1984, Masalah-masalah Sosiologi Hukum.
Bandung: Sinar Baru
Turner, Bryan S., 1991, Sosiologi Islam. Jakarta: Rajawali
Ulum, Amirul, Interpretasi Kitab Kuning, dalam
http://www. nu.or.id
Jurnal Hukum, Vol. 11 Nomor 1
Download