Tahapan Perkembangan Moral Santri Mahasiswa Menurut Lawrence Kohlberg Anata Ikrommullah (SMA Negeri 1 Lumajang) Corak Humanisme dalam Serikat Buruh Jawa Tahun 1926-1942 Daya Negri Wijaya (Universitas Negeri Malang) Hubungan antara Moral dan Agama dengan Hukum Eri Hendro Kusuma (Universitas Kahuripan Kediri) Aktor Non-Negara dalam Hubungan Internasional Margono (Universitas Negeri Malang) Memahami Indonesia Melalui Prespektif Nasionalisme, Politik Identitas, serta Solidaritas Mifdal Zusron Alfaqi (Universitas Gadjah Mada) Analisis Pelaksanaan Desentralisasi dalam Otonomi Daerah Kota/Kabupaten Muhammad Mujtaba Habibi (Universitas Negeri Malang) Analisis Kinerja Relawan Demokrasi dalam Pemilihan Umum Legislatif di Kota Banda Aceh Nopri Hariadi, Amirullah, Ruslan (Universitas Syiah Kuala) Urgensitas Ombudsman dalam Pengawasan Pelayanan Publik Nurul Laili Fadhilah (Universitas Jember) Penerapan Metide Debat Guna Mengembangkan Sikap Kritis dan Keterampilan Berargumentasi Mahasiswa Petir Pudjantoro (Universitas Negeri Malang) JPPK Nomor 2 Halaman 77-144 Malang Agustus 2015 ISSN 0215-9902 JURNAL PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN ISSN 0215-9902 Tahun 28, Nomor 2 Agustus 2015 Terbit dua kali setahun, bulan Pebruari dan Agustus, ISSN 0215-9902 berisi tulisan ilmiah tentang Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan berupa artikel hasil penelitian, kajian teori, dan penerapanya. Artikel-artikel dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing. Ketua Penyuting Siti Awaliyah Anggota Penyunting Sri Untari A. Rosyid Al Atok Nuruddin Hady Rani Prita Prabawangi Pelaksana Tata Usaha Desinta Dwi Rapita Sudirman Muhammad Mujtaba Habibi Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan diterbitkan oleh jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Malang bekerjasama dengan Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Indonesia (AP3KNI). Alamat Penyuting dan Tata Usaha: Laboraturium HKn, FIS, Universitas Negeri Malang Jl. Semarang 5 Malang gedung I-1 Tlp.(0341) 551-312 (4 saluran), Pesawat 287 Fax.(0341) 566962. Langganan 2 nomor setahun Rp. 80.000,- Uang langganan dapat dikirim melalui wesel pos ke alamat tata usaha. Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan diterbitkan dalam Laboratorium Jurusan HKn FIS Universitas Negeri Malang. Dekan: Sumarmi, Ketua Jurusan: Suparlan Al Hakim. Sekretaris Jurusan: Margono. Kepala Laboratorium: Nur Wahyu Rochmadi. Terbit pertama kali pada tahun 1988 dengan judul CIVICUS. Penyuting menerima tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain. Naskah diketik dengan spasi rangkap pada kertas kwarto, panjang 10-20 halaman sebanyak 2 eksemplar (selanjutnya silahkan membaca petunjuk bagi penulis pada sampul dalam belakang). Naskah yang masuk dievaluasi oleh Penyunting ahli/peninjau ahli. Penyuting dapat melakukan perubahan pada tulisan yang dimuat untuk keseragaman format, tanpa mengubah maksud dan isinya. Berkala ini diterbitkan di bawah tim pengembangan Jurnal dan berkala Universitas Negeri Malang. Pembina: Ach. Rofi’udin (Rektor), Ketua: Ali Saukah, Anggota: Suhadi Ibnu, Amat Mukhadis, M. Guntur, Waseso, Margono. JURNAL PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN ISSN 0215-9902 Tahun 28, Nomor 2, Agustus 2015 DAFTAR ISI Tahapan Perkembangan Moral Santri Mahasiswa Menurut Lawrence Kohlberg Anata Ikrommullah (SMA Negeri 1 Lumajang) 77-87 Corak Humanisme dalam Serikat Buruh Jawa Tahun 1926-1942 Daya Negri Wijaya (Universitas Negeri Malang) 88-95 Hubungan antara Moral dan Agama dengan Hukum Eri Hendro Kusuma (Universitas Kahuripan Kediri) 96-104 Aktor Non-Negara dalam Hubungan Internasional Margono (Universitas Negeri Malang) 105-110 Memahami Indonesia Melalui Perspektif Nasionalisme, Politik Identitas, serta Solidaritas Mifdal Zusron Alfaqi (Universitas Gadjah Mada) 111-116 Analisis Pelaksanaan Desentralisasi dalam Otonomi Daerah Kota/Kabupaten Muhammad Mujtaba Habibi (Universitas Negeri Malang) 117-124 Analisis Kinerja Relawan Demokrasi dalam Pemilihan Umum Legislatif di Kota Banda Aceh Nopri Hariadi, Amirullah, Ruslan (Universitas Syiah Kuala) 125-129 Urgensitas Ombudsman dalam Pengawasan Pelayanan Publik Nurul Laili Fadhilah (Universitas Jember) 130-136 Penerapan Metode Debat Guna Mengembangkan Sikap Kritis dan Keterampilan Berargumentasi Mahasiswa Petir Pudjantoro (Universitas Negeri Malang) 137-144 TAHAPAN PERKEMBANGAN MORAL SANTRI MAHASISWA MENURUT LAWRENCE KOHLBERG Anata Ikrommullah SMA Negeri 1 Lumajang Jl. Jendral A. Yani No. 7 Lumajang email:[email protected] Abstrak: this research was conducted with the aim to describe: (1) the stages of moral development of students grade students Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang, (2) the analysis of the stages of moral development of santri mahasiswa Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang.In this descriptive study, researchers sought to describe how the results of the stages of moral development santri mahasiswa of class IV. Through this type of research data that has been collected in the form of the results of the questionnaire moral dilemmas (DIT) Jamest Rest systematically arranged, accurate and factual.Research findings indicate that (1) the highest level of students are students in Law And Order level of 62.5%, (2) as much as 22.2% in stage Nice Girl and Good Boy, (3) the third largest stages are stages Social Contract which amounted to 12.5%, (4) Stages of Jamest Rest which serves as an internal check that Meaningless much as 2.5%. Keywords: stages of moral development, santri mahasiswa, Lawrence Kohlberg. Abstrak: tujuan penelitian adalah: (1) mendeskripsikan langkah perkembangan moral santri pesantren mahasiswa Al-Hikam Malang, (2) analisis tingkat perkembangan moral santri mahasiswa pesantren Al-Hikam Malang. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, peneliti mendeskripsikan hasil tahap perkembangan moral santri mahasiswa tingkat IV. Penelitian menggunakan data yang dikumpulkan melalui kuesioner dilema moral (DIT) yang dikemukakan James Rest yang akurat dan faktual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) level tertinggi adalah law and order yaitu sebesar 62,5%, (2) sebanyak 22.2% berada pada tahapan nice girl and nice boy, (3) tahap ketiga terluas adalah tahap social contract yang berjumlah 12.5%, (3) pentahapan James Rest pada tahap cek internal meaningless sebanyak 2.5%. Kata kunci: tahap perkembangan moral, santri mahasiswa, Lawrence Kohlberg Tak bisa dipungkiri agama memiliki hubungan yang erat dengan moral, dalam kehidupan sehari-hari seringkali motivasi kita yang terpenting terkait moral yakni agama (Bertens,1993:37). Dengan demikian maka lembaga pesantren yang merupakan lembaga pendidikan keagamaan tentu saja juga mempunyai hubungan yang erat dengan pendidikan moral. Pesantren memberikan porsi yang lebih kepada para peserta didiknya dalam mempelajari moral, Adapun moral itu sendiri menjadi sesuatu yang benar-benar ada dan tak bisa dipungkiri di kehidupan kita. Dalam menjalani kehidupan, moral menjadi semacam rambu atau aturan yang berfungsi untuk mengontrol dan mengarahkan perjalanan seluruh umat manusia untuk mencapai tujuannya. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan salah, maka moral merupakan kendali dengan tingkah laku. Menurut Purwadarminto dalam (Anshoriy, 2008: 29) moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban dan sebagainya. Sehingga menurut Purwadarminto definisi paling dasar dari moral adalah suatu ajaran tentang baik dan buruk yang kemudian akan menjadi dasar pengambilan keputusan bagi tindakan manusia. Ajaran tentang moral diajarkan kepada seluruh umat manusia tanpa peduli tentang umur, jenis kelamin, agama,dan etnis. Ajaran moral secara sama menyentuh semua lapisan masyarakat dan jika ada yang berbeda mungkin hanya frekuensi pengajarannya.Salah satu 77 78 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 lembaga pengajaran formal yang secara intens memberikan penekanan terhadap pengajaran moral yaitu pesantren, pesantren selalu memberikan nilai porsi yang tinggi terhadap pengajaran moral hal ini disebabkan oleh identiknya moral dengan akhlak dalam lingkup pengertian pesantren, hal ini berbeda dengan akal yang berhubungan dengan kecerdasan dan pengertian, moral atau akhlak dalam lingkup pengertian pesantren yaitu suatu kata kerja yang berbentuk suatu perilaku atau tindakan baik maupun sopan santun dll. Namun dalam perkembanganya terdapat banyak hambatan yang ditemukan dalam pengajaran moral tersebut salah satunya yaitu tentang definisi maupun ukuran dari moral itu sendiri. Untuk mengetahui tingkatan moral seseorang selalu diperlukan suatu alat ukur yang sesuai guna mengukur moral orang tersebut, dan jenis alat ukur tersebut tentunya haruslah berhubungan dengan definisi moral yang dipahami oleh si pengukur. Maka jika lembaga pesantren ingin mengetahui tingkatan moral seseorang dengan pengertian moral mereka yakni moral sebagai suatu bentuk tindakan atau perilaku pastilah sulit untuk dapat menemukan alat ukur yang sesuai. Hal ini dikarenakan perilaku seseorang sangat luas dan sulit dikategorikan dan dirumuskan sehingga sangatlah sulit untuk menyimpulkan suatu perilaku seseorang. Di samping itu perilaku moral yang dipahami oleh pesantren yakni suatu perilaku yang baik disertai motif yang baik juga, dan apabila suatu perilaku dapat dikatakan baik akan tetapi memiliki motif yang buruk dan manipulatif tentu perilaku tersebut dalam pemahaman pesantren dapat dikategorikan sebagai perilaku yang buruk, berangkat dari sinilah timbul permasalahan yang lain yakni suatu tindakan moral yang ditentukan oleh motif. Perilaku moral yang ditentukan oleh motif merupakan suatu hal yang tidak bisa diukur, dikarenakan motif merupakan sesuatu yang bersifat sangat pribadi ataupun internal. Berawal dari sinilah timbul berbagai macam problem dan permasalahan dalam mengukur moral santri khususnya di lingkungan pesantren, sehingga problem tersebut terus menerus berlanjut tanpa ada penyelesaian yang sesuai, dan hal ini membuat pesantren tidak mempunya data acuan yang jelas mengenai moral dari peserta didiknya, yang kemudian membuat pesantren lemah dalam memonitor peserta didiknya dalam perilaku moral mereka. Jika lemahnya control pesantren terhadap peserta didiknya dikarenakan kurangnya data tentang tingkatan moral peserta didiknya maka dengan kurangnya data tersebut tentu juga membuat tidak jelasnya evaluasi hasil pengajaran moral yang dilangsungkan oleh pesantren tersebut, Hasil output dari sistem pengajaran moral di pesantren dipertanyakan dikarenakan tidak adanya data yang jelas terkait hasil pengajaran moral tersebut. Jika masalah tersebut diselidiki lebih mendalam sebernarnya akar permasalahannya terletak dalam perbedaan definisi tingkat keberhasilan dari pengajaran moral yang dianut oleh pesantren. Selama tingkat keberhasilan pengajaran moral didefinisikan dengan tindakan peserta didik yang baik disertai motif yang baik maka dapat dipastikan akan terjadi kesulitan dalam mengukur tingkatan moral tersebut, akan tetapi jika pesantren memang ingin mengukur tingkatan moral peserta didiknya, sebenarnya hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan 3 jenis alat ukur tahapan moral dari peserta didik atau individu. Alat ukur tersebut adalah Teori psikoanalisa, kognitif dan social learning. Ketiga alat ukur tersebut memiliki corak penekanan yang berbeda dalam mendefinisikan moral, Psikoanalisa misalnya menekankan tindakan moral terjadi berdasarkan dorongan-dorongan psikoseksual yang bersifat irrasional. Sigmund Freud telah dianggap sebagai orang pertama yang mampu menunjukkan secara sistematis dorongandorongan psikoseksual yang irrasional sebagai faktor utama yang menentukan terjadinya keputusan-keputusan moral (Cheepy,1986: 36). Akan tetapi masih akan terdapat kesulitan yang besar jika psikoanalisa ini dijadikan acuan untuk menganalisa tahapan moral seseorang dikarenakan teori psikoanalisa Freud dalam banyak hal menggunakan konstruk emosi dan motivasi yang dalam metode penelitiannya kurang terperinci dan penjabaran akan 3 tahapan moral (id,ego,super ego) cenderung sangat luas dan sangatlah sulit untuk didefinisikan secara khusus. Pendekatan kedua ialah pendekatan Reinforcement atau Social learning lebih menekankan kepada hal-hal lain diluar variable-variable yang terkait dalam perkembangan moral, pada umumnya mereka lebih tertarik untuk mengkaji aspek-aspek yang spesifik dari tingkah laku moral secara langsung, Para peneliti seperti Bandura dan Ikrommullah, Tahapan Perkembangan Moral Santri Mahasiswa Menurut Lawrence Kohlberg Walters atau Aron Freed telah mencoba menentukan tipe-tipe lingkungan yang bisa menyebabkan adanya perbedaan dalam perubahan tingkah laku (Cheepy, 1986: 26). Sehingga penekanan pendekatan social learning terletak pada lingkungan sosial dari individu sendiri, Akan tetapi jika pendekatan ini diterapkan dalam pesantren maka yang terjadi adalah hasil pengukuran moral seluruh peserta didik adalah baik, hal ini dikarenakan pesantren merupakan lingkungan yang baik dan berbasis moral, sehingga tidaklah tepat jika pendekatan social learning ini dijadikan alat ukur tahapan moral peserta didik di pesantren. Dan yang terakhir ialah pendekatan perkembangan moral melalui teori kognitif sebagaimana yang dikembangkan oleh Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg. Berbeda dengan psikoanalisa dan social learning, pendekatan kognitif ini lebih menekankan pada aspek kognisi, sehingga mengesampingkan peran emosi dan lingkungan dalam perkembangan moral suatu individu, pendekatan kognitif ini sangat cocok diterapkan dilingkungan pesantren yang notabene sebagai lembaga pendidikan dikarenakan pendekatan kognitif memiliki format yang terperinci dalam penelitiannya dan tahapan moral yang dibuat oleh Kohlberg yang berjumlah 6 tahapan perkembangan moral sangatlah rinci dan khusus sehingga akan memudahkan bagi para tenaga pengajar di pesantren untuk memetakan tahapan atau tingkatan moral para peserta dididknya yang kemudian akan membuat pesantren tetap memiliki control terhadap moral peserta didiknya dan dapat juga dapat menjadi data awal tentang evaluasi tingkat keberhasilan pengajaran moral di pesantren. Teori Perkembangan Moral Kognitif Berawal dari Piaget (1932) adalah peneliti pertama yang mempublikasikan konsep perkembangan moral (moral development) dalam monografnya, The Moral Judgment of a Child. Dalam perkembangannya menurut Kohlberg (dalam id.wikipedia.org) teori perkembangan moral berubah atau berkembang menjadi teori perkembangan moral kognitif (cognitive moral development–CMD) modern yang dilahirkan oleh seorang peneliti berkebangsaan Amerika yang bernama Lawrence Kohlberg pada tahun1950an. Penemuan tersebut merupakan hasil dari turunan ide dan gagasan Piaget yang tentunya telah 79 mengalami perluasan dan perluasan tersebut mampu mencangkup remaja hingga orang dewasa. Dalam seluruh karyanya Kohlberg mengakui ketergantungannya kepada psikolog Swiss, Jean Piaget (1896-1980). Sepanjang karirnya sebagai Psikolog, Piaget mempelajari perkembangan pengetahuan manusia, yang disebutnya “Epistemologi Genetis” (Bertens,1993:84). Teori perkembangan moral berusaha untuk menjelaskan kerangka yang mendasari pengambilan keputusan individu dalam konteks dilema etika. Tujuan teori ini adalah memahami proses penalaran kognitif seorang individu dalam mengatasi dilema etika, bukan untuk menilai benar atau salah. Kohlberg bermaksud untuk menemukan secara empiris bagaimana orang-orang memperoleh moralitasnya dan diyakini cara terbaik melakukannya adalah dengan menguji bagaimana orang-orang mengatasi masalahnya. Metode Kohlberg adalah sebagai berikut, ia (bersama para pembantunya) mengemukakan sejumlah dilema moral khayalan kepada subjeksubjek penelitian. “Khayalan” dalam arti : kasuskasus itu tidaklah terjadi secara kongkret , tetapi pada prinsipnya bisa terjadi. Untuk dilema-dilema itu tidak tersedia pemecahan dalam lingkungan anak-anak itu, sehingga mereka harus mencari pemecahan sendiri. Jadi tidak mungkin mereka melaporkan saja apa yang mereka saksikan di sekitarnya, mereka harus menyampaikan keputusan moral mereka sendiri (Bertens, 1993:85). Oleh karena itu, Kohlberg memberikan cerita kepada orang-orang yang memiliki umur berbeda dan budaya yang menempatkan seseorang dalam posisi dan situasi tertentu dikonfrontasi dengan masalah moral standar tertentu. Kohlberg kemudian menanyai orang-orang ini bagaimana mereka akan mengatasi masalah ini dan memberikan alasan atas solusinya. Pertanyaan pertama menyangkut isi keputusan moral, sedangkan kedua menyangkut struktur dan bentuknya. Bisa saja bahwa dua subjek yang dihadapkan dengan suatu dilema moral mereka mungkin saja menjawab sama akan pertanyaan pertama, akan tetapi memiliki jawaban yang berbeda terhadap pertanyaan ke dua (Bertens ,1993 :85). Temuannya yang paling mengejutkan adalah bahwa untuk mengatasi masalah-masalah yang disajikan, orang-orang menggunakan tiga pola, metode atau sistem yang jelas yang disebutnya sebagai struktur, tiap struktur dapat 80 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 dibagi ke dalam dua sub struktur yang berbeda dan ketiga (keenam) struktur ini dapat dikarakterisasi sebagai tiga tingkat (level) atau enam tahap (stages), yang dapat disamakan dengan tiga tingkat (enam tahap) perkembangan kedewasaan moral individu atau masyarakat. Terdapat tiga aspek yang membedakan pertimbangan etis dengan semua proses mental lainnya. Aspek-aspek tersebut adalah : (1) kognisi (cognition) berdasarkan pada nilai dan bukan pada fakta yang tidak nyata, (2) penilaian didasarkan atas beberapa isu yang melibatkan diri sendiri dan orang lain, dan (3) penilaian disusun sekitar isu “seharusnya” daripada berdasarkan kesukaan biasa atau urutan pilihan. Kohlberg menekankan bahwa perkembangan moral individu didasarkan pada penalaran moral dan perkembangannya secara bertahap. Kesimpulan tersebut Kohlberg dapatkan setelah 20 tahun melakukan wawancara yang unik dengan anak-anak. Dalam wawancara, anak-anak diberi serangkaian cerita di mana tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema moral. Setelah membaca cerita, anak-anak yang menjadi responden menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilema moral. Berdasarkan penalaranpenalaran yang diberikan oleh responden dalam merespons dilema moral, Kohlberg percaya terdapat tiga tingkat perkembangan moral, yang setiap tingkatnya ditandai oleh dua tahap, konsep kunci untuk memahami perkembangan moral. Kohlberg menyatakan bahwa proses perkembangan penalaran moral merupakan sebuah proses alih peran, yaitu proses perkembangan yang menuju ke arah struktur yang lebih komprehensif, lebih terdiferensiasi dan lebih seimbang dibandingkan dengan struktur sebelumnya. Melihat pentingnya perkembangan penalaran moral dalam kehidupan manusia, maka berbagai penelitian psikologi di bidang ini dilakukan. Lawrence Kohlberg, memperluas penelitian Piaget tentang penalaran aturan konvensi sosial, menjadi tiga tingkat penalaran moral yang terdiri dari prakonvensional, konvensional, dan pasca konvensional. Kohlberg menemukan bahwa perkembangan moral seorang anak berlangsung menurut enam tahap atau fase. Akan tetapi tidaklah setiap anak mengalami perkembangan yang cepat, sehingga tahap-tahapan ini tidak dengan pasti untuk dikaitkan dengan umur-umur tertentu, bisa jadi seorang anak akan mengalami fiksasi dalam suatu tahap dan tidak akan berkembang lagi (Bertens,1993: 85). Dari hasil penelitian Kohlberg mengemukakan enam tahapan perkembangan moral yang berlangsung secara universal dan dalam urutan tertentu (Sunarto, 2008: 172), Tahap-tahap perkembangan penalaran moral dibagi menjadi 3 tingkat, yang terdiri dari prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional. Tiga tingkat tersebut kemudian dibagi atas enam tahap). Tingkat Prakonvensional Dimana Pada tingkat yang pertama ini seorang individu akan sangat responsif terhadap norma-norma budaya ataupun simbol-simbol kebudayaan lainnya, seperti halnya yang berkaitan dengan baik, buruk, benar, salah dan lain sebagainya. Walupun demikian biasanya individu akan mempresentasikan norma-norma tersebut sesuai konsekuensi atau hasil akhir dari tindakannya hal ini dapat berupa hukuman dan berbagai balasan lainnya. Selain daripada itu pada tahap ini individu juga cenderung untuk menginterpretasikan norma-norma tersebut berdasarkan kekuatan fisik dari mereka yang menerapkan norma tersebut. Sehingga dapat dikatakan dalam kondisi ini berlaku prinsip “Might means right” ( Cheppy,1986:38) Dalam tingkat pra konvensional ini terdapat 2 tahapan, yaitu Orientasi hukuman kepatuhan dan Orientasi relativis instrumental. Tahap pertama Orientasi hukuman dan kepatuhan, yang pada umumnya pada tahap ini Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Dinilai sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas, segala keputusan dari otoritas dipandang sebagai refleksi dari tertib moral. Sehingga kalimat yang paling pas untuk mencerminkan tindakan ini adalah “You do what you’re told” (Rest,1979:24). Tahap kedua adalah Orientasi relativis-instrumental. Dalam tahapan ini tindakan yang benar dibatasi sebagai tindakan yang mampu mempu memberikan berbagai macam kepuasan kepada diri sendiri (Cheppy,1986:38) sehingga tidaklah mengherankan jika tahapan ini juga biasa disebut Hedonistic Orientation. Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang- kadang juga kebutuhan orang lain. Ikrommullah, Tahapan Perkembangan Moral Santri Mahasiswa Menurut Lawrence Kohlberg Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar dimana unsur-unsur terusterang dan rasa timbal balik memiliki kedudukan yang penting. Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan hal “Jika engkau menggaruk punggungku, nanti aku juga akan menggaruk punggungmu”, dan bukan karena loyalitas, rasa terima kasih atau keadilan.Tahapan ini dapat dicerminkan melalui kalimat “Let’s make a deal” (Rest,1979 :26) atau orientasi pada tahapan ini dapat pula dimengerti dengan ungkapan “You Scratch my back and i’ll scratch yours” (Cheppy,1986:38). Tingkat Konvensional Individu pada tingkat konvensional menemukan pemikiran-pemikiran moral pada masyarakat. Pada tingkat ini seseorang menyadari dirinya sebagai seorang individu ditengahtengah keluarga, masyarakat dan bangsanya. Keluarga, masyarakat, bangsa dinilai memiliki kebenarannya sendiri, karena jika menyimpang dari kelompok ini akan terisolasi. Tindakan-tindakan tersebut dilakukan seseorang tanpa harus terikat dengan akibat-akibat yang mungkin muncul, baik dalam jangka pendek ataupun jangka panjang. Sikap seseorang bukanlah satu-satunya yang harus disesuaikan dengan harapan-harapan pribadi dan tertib sosial yang berlaku, akan tetapi hal yang sama dituntut pula dari loyalitas seseorang (Cheppy,1986:39) Oleh karena itu, kecenderungan individu pada tahap ini adalah menyesuaikan diri dengan aturanaturan masyarakat dan mengidentifikasikan dirinya terhadap kelompok sosialnya. Kalau pada tingakat prakonvensional perasaan dominan adalah takut, pada tingkat ini perasaan dominan adalah malu. Biasanya tingkat ini berkisar usia 10 sampai 13 tahun. Tingkat ini mempunyai dua tahap yakni tahap Orientasi “Anak Manis” dan tahap Orientasi hukum dan ketertiban. Tahap pertama dalam tingkatan ialah Orientasi kesepakatan antara pribadi/ orientasi “Anak Manis” dimana perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh anak. Terdapat banyak konformitas terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau “alamiah”. Perilaku sering dinilai menurut niatnya, ungkapan “dia bermaksud baik” untuk pertama 81 kalinya menjadi penting. Dalam tingkatan ini yang dimaksud dengan tindakan ataupun prilaku bermoral adalah setiap prilaku ataupun tindakan yang dapat diterima dan diakui oleh orang lain (Cheppy,1986:40). Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi “baik”tergantung penilaian dari teman, keluarga dan masyarakat. Konsep seperti kesetiaan, kepercayaan dan rasa terima kasih haruslah digunakan. Individu mulai mengisi peran sosial yang diharapkan masyarakatnya. Sesuatu dikata-kan benar jika memenuhi harapan masyarakat dan dikatakan buruk jika melanggar aturan sosial.tahapan ini dapat tercermin dalam kalimat “Be conciderate, nice and kind, and you’ll get along with people” (Rest,1979:27). Tahap kedua ialah Orientasi hukum dan ketertiban dimana pada tahap ini, individu dapat melihat sistem sosial secara keseluruhan. Aturan dalam masyarakat merupakan dasar baik atau buruk, melaksanakan kewajiban dan memperlihatkan penghargaan terhadap otoritas adalah hal yang penting. Alasan mematuhi peraturan bukan merupakan ketakutan terhadap hukuman atau kebutuhan individu, melainkan kepercayaan bahwa hukum dan aturan harus dipatuhi untuk mempertahankan tatanan dan fungsi sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri. Dengan demikian tingkah laku yang dianggap bermoral sebagian dibatasi sebagai tingkah laku yang dibatasi sebagai tingkahlaku yang diarahkan untuk pemenuhan kewajiban seseorang, penghormatan terhadap suatu otoritas, dan pemeliharaan tertib sosial yang diakui sebagai satu-satunya tertib sosial yang ada (Cheepy,1986:40). Tahapan ini dapat tercermin dalam kalimat “Everyone in society is obligated and protected by the law” (Rest,1979:29) Tingkat Pasca-konvensional Tingkat ini disebut juga moralitas yang berprinsip (principled morality). Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilainilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Baik atau buruk didefinisikan pada keadilan yang lebih besar, bukan pada aturan masyarakat yang tertulis atau kewenangan tokoh otoritas. Biasanya tahap ini 82 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 sudah dimulai dari remaja awal sampai seterusnya. Pada tahap ini sudah ada sudah ada suatu usaha yang jelas bagi seorang anak untuk kemudian menentukan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang memiliki validitas dan diwujudkan tanpa harus dikaitkan dengan kelompok-kelompok yang disebutkan di atas (Cheppy,1986:40) Ada dua tahap pada tingkat ini yakni Orientasi kontrak sosial legalistis dan Orientasi prinsip etika universal. Tahap pertama yakni Orientasi kontrak sosial legalistis, Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian. Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Pada tahap kelima ini dalam skema Kohlberg boleh dikatakan sudah merupakan tingkataan moral yang tinggi (Cheppy,1986:41). Sehingga dengan kesadaran yang sedemikian tinggi individu mempertimbangkan aturan –aturan proseduril yang memungkinkan tercapainya konsesus. Selain itu terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi bersesuaian dengannya, terdapat suatu penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan. Terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal “nilai” dan “pendapat” pribadi. Dalam tahap ini tercakup pula apa yang biasa disebut “Utilitarian” Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial (dan bukan membekukan hukum itu sesuai dengan tata tertib gaya tahap 4). Tahap kelima dalam skema Kohlberg ini dapat tercermin dalam kalimat “You are obligated by whatever arrangement are agreed to by due procedd procedure” (Rest,1979: 32). Tahap kedua Orientasi prinsip etika universal dimana hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip- prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis. Dibanding aturan-aturan moral yang kongkrit, prinsip-prinsip ini dipandang lebih baik, lebih luas, dan lebih abstrak dan bisa pula mencangkup prinsip-prinsip umum tentang keadilan, resiproritas, persamaan hak-hak manusia dan penghargaan terhadap martabat manusia sebagai individu. (Cheppy,1986:42). Untuk sekedar contoh misalnya penerimaan orang terhadap aborsi bisa menunjukkan prinsip-prinsip hidup yang dianutnya sekitar kesucian hidup manusia atau bahkan tentang hak-hak manusia sebagai individu untuk mengendalikan dirinya sendiri. Keenam tingkat penalaran moral yang dikemukakan oleh Kohlberg (1995) tersebut dibedakan satu dengan yang lainnya bukan berdasarkan keputusan yang dibuat, tetapi berdasarkan alasan yang dipakai untuk mengambil keputusan.Pada tahap ke enam ini dapat tercermin dalam berbagai sifat yang menurut kalimat “How rational and impartial people would organize cooperation is moral” (Rest ,1979:35). Mengingat pentingnya perkembangan moral dan praktisnya teori moral kognitif Kohlberg, hal ini yang kemudian mendasari peneliti untuk mengadakan suatu analisa tentang tahapan perkembangan moral di pesantren, dengan harapan hasil dari penelitian ini kelak dapat berguna dan bermanfaat bagi para tenaga pengajar di pesantren. Tujuan penulisan ini adalah untuk mendiskripsikan: (1) tahapan perkembangan moral santri mahasiswa di Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang menurut Lawrence Kohlberg, dan (2) tahapan perkembangan moral santri mahasiswa di Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang. METODE Penelitian ini dilaksanakan di Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang yang beralamat di Jalan Cengger Ayam no 25. Penelitian mengenai tahapan perkembangan moral santri mahasiswa di Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang menurut Lawrence Kohlberg ini menggunakan pendekatan pendekatan kuantitatif deskriptif. Pendekatan kuantitatif deskriptif digunakan untuk memperoleh profil tahapan perkembangan moral Santri Mahasisiwa, sedangkan untuk menganalisa datanya digunakan perhitungan-perhitungan secara analisis statistik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik dengan tujuan besaran angka hasil perhitungan statistik yang telah dianalisis mampu memaparkan tingkat penalaran moral santri mahasiswa, perhitungan statistik yang digunakan adalah dengan cara menghitung skor tahapan tertinggi, yang kemudian menunjukkan penalaran santri mahasiswa. Metode pengumpulan data dalam penelitiaan ini secara umum menggunakan kuesioner yang kemudian dalam teknisnya menggunakan aturan kuesioner cerita dilema moral DIT melalui Ikrommullah, Tahapan Perkembangan Moral Santri Mahasiswa Menurut Lawrence Kohlberg kuesioner dan DIT (Defining Issue Test). Kuesioner adalah pertanyaan terstruktur yang diisi sendiri oleh responden atau diisi oleh pewawancara dalam bentuk tulisan. Pertanyaan yang diberikan dalam kuesioner ini adalah pertanyaan yang menyangkut fakta dan pendapat responden, dan kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kuesioner tertutup, dimana responden akan diminta menuliskan jawaban dengan memilih dari sejumlah alternatif. Keuntungan bentuk tertutup ialah mudah diselesaikan, mudah dianalisis, dan mudah memberikan jangkauan jawaban. DIT meupakan alat ukur yang digunakan untuk mengukur tahapan moral seseorang, Alat ukur yang digunakan dalam mengukur tahap moral seseorang dalam penelitian ini ialah alat ukur yang dibuat oleh James Rest (1979) yang disusun berdasarkan teori perkembangan Penalaran Moral dari Lawrence Kohlberg. Alat ukur ini sering disebut sebagai DIT (Defining Issue Test). Yang merupakan suatu tes objektif yang biasa digunakan untuk mengukur penalaran moral dan prinsip moral yang dimiliki saat itu. HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi data masing-masing variable diolah dengan tehnik statistik deskriptif, seperti distribusi frekuensi yang disertai dengan grafik berupa histogram, nilai rata-rata, simpangan baku atau yang lainnya. Temuan penelitian disajikan dalam bentuk angka-angka statistik, tabel, atau grafik. Hasil penelitian dapat dilihat dalam tabel 1 dan 1.1. Moral Stage Development Meaningless 2,5% Stage 5a 10% Stage 3 22,5% Stage 4 62,5% Tabel 1 Moral stage development Pie diagram 83 Moral Stage Development 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% Stage Moral Development i n n n n m es io io io io or io pl at at at at at eg ci nt nt nt nt nt at in e e e e r i i i i e C i P or or or or s or al y er b) a) es t ic ic gl is rd (5 (5 Bo th in O on d ct ct E n d o d a a l e o tr tr a ea an H G rs M on on w ve lc lc La ni cia cia U o o S S Tabel 1.1 Moral stage development column diagram Tahapan Perkembangan Moral Santri Mahasiswa Adapun deskripsi tahapan perkembangan moral santri mahasiswa kelas IV sebagai berikut, Pertama, tahapan perkembangan moral santri mahasiswa terbesar berada dalam tahapan empat yakni tahap Law and Order yakni sebesar 62,5%. Dimana dalam tahapan tersebut, tingkah laku yang dianggap bermoral yakni suatu tingkah laku yang ditujukan dan diarahkan kepada pelaksanaan lewajiban seseorang, penghormatan terhadap suatu otoritas dan pemeliharaan tertib sosial yang diakui sebagai satu-satunya tertib sosial yang ada (Cheepy, 1986:40). Jika dikorelasikan dalam kehidupan santri mahasiswa di dalam berkehidupan baik di dalam lingkungan pesantren maupun di lingkungan perguruan tinggi, Maka santri mahasiswa yang berada dalam tahapan ini dalam berkehidupan akan selalu berfikir bahwa bermoral baik berarti menselaraskan tingkah lakunya dengan peraturanperaturan yang diwajibkan kepadanya , baik dalam lingkungan pesantren, perguruan tinggi maupun masyarakat. Cara berfikir moral seperti ini dapat diwujudkan dalam tingkah laku seperti menjunjung tinggi hukum atau aturan yang berlaku di lingkungan dimanapun ia berada dan selalu berusaha untuk tidak melanggar hukum atau aturan tersebut. Kedua, sebanyak 9 orang (22,2%) berada pada tahapan ke tiga yakni tahap Good Boy and Nice Girl. Dalam tahapan yang berada dalam level Conventional ini santri mahasiswa akan berfikiran bahwa tindakan yang bermoral adalah suatu tindakan yang menyenangkan, membantu, atau tindakan-tindakan yang diakui dan diterima oleh orang lain (Cheepy, 1986:40). Dalam tahapan ini santri mahasiswa akan melakukan tindakan 84 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 bermoral hanya jika tindakan tersebut dapat diterima oleh orang lain sehingga dengan demikian maka santri mahasiswa akan diterima pula oleh masyarakat atau orang lain. Dalam penerapannya di kehidupan sosial biasanya santri mahasiswa yang berada dalam tahapan ini akan selalu menyesuaikan pendiriannya dengan tindakantindakan yang sudah dinggap wajar oleh masyarakat. Pandangan masyarakat merupakan hal yang sangatlah penting bagi Santri mahasiswa dalam melakukan tindakan moral, sehingga bisa dibilang tindakan moral yang dilakukan santri mahasiswa haruslah bertujuan untuk mendapatkan penilaian baik dari masyarakat. Ketiga, tahapan terbanyak selanjutnya ialah tahapan ke lima, yaitu sebanyak 5 orang (12,5%). Tahapan ini biasa disebut dengan tahapan Social Contract. Dalam DIT, James Rest membagi tahap Social Contract menjadi 2, Yakni tahap Social Contract A dan Social Contract B. Dalam Tahap Social Contract A santri mahasiswa meyakini bahwa mereka mematuhi peraturan bukanlah dikarenakan ingin mendapat penilaian baik dari masyarakat ataupun karena peraturan tersebut sebuah kewajiban yang harus dijalankan, Akan tetapi santri mahasiswa melihat peraturan harus ditaati semata-mata dikarenakan merupakan hasil dari kehendak dan komitmen dari masyarakat untuk tetap menjaga keharmonisan dalam hidup bersama Jadi dalam tahapan ini santri mahasiswa melakukan suatu tindakan moral berdasarkan suatu cara berfikir bahwa kewajiban moral menjadi suatu keharusan jika hal tersebut merupakan kesepakatan kesepakatan dari masyarakat secara umum. Jadi dapat dikatakan Konsesus memegang peran penting dalam tahapan ini. Keempat, tahap selanjutnya yakni tahap Meaningless, Dimana tahapan ini memiliki besaran 2,5% . James Rest memasukkan tahap Meaningless ini untuk mengukur tingkat kekonsistenan jawaban dalam angket Dilema Moral DIT. Dari 40 orang santri mahasiswa kelas IV dapat diketahui bahwa ada satu orang yang memiliki tingkat ketidak konsistenan jawaban yang tinggi, sehingga untuk tahapan perkembangan moral santri mahasiswa tersebut tidak dapat dimasukkan ke dalam tahapan manapun. Analisis Tahapan perkembangan moral santri mahasiswa Dari keempat point hasil deskripsi tahapan perkembangan moral santri mahasiswa, dapatlah dianalisa sebagai berikut. Pertama, melihat mayoritas santri mahasiswa berada dalam tahapan Law and Oder, maka dapat sekiranya dihubungkan dengan masifnya pengajaran ilmu Fikih dalam pendidikan Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, pengajaran Fikih di Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang sudah dimulai saat Santri mahasiswa berada dalam kelas 1, hal ini terus berlanjut hingga kelas ke empat, Adapun materi pengajaran fikih sangatlah beragam, hal ini tergantung pula dari sumber referensi yang dipakai dalam pengajarannya. Tahapan ke empat merupakan suatu tahapan yang berada dalam kategori konvensional, Pada tahapan ini cara berfikir yang menjunjung tinggi terhadap hukum atau aturan mutlak diperlukan, santri mahasiswa yang berada dalam tahapan ini menafsirkan bahwa hukum atau aturan merupakan syarat utama agar mampu terciptanya keadilan dan kesejahteraan. Bagi santri mahasiswa yang berada dalam tahapan ini, kebenaran dipandang sebagai aturan (rules), yang memiliki sifat mengikat dan mampu menyelesaikan harapan dari masyarakat luas (Rest,1979: 29). Tidak ada suatu pertimbangan atau keadaan apapun yang dapat memaksa seseorang untuk melampaui hukum atau aturan (Rest,1979: 30), Hukum atau aturan merupakan sesuatu yang lebih dahulu ada sebelum yang lainnya ada, termasuk nilai. Sehingga nilai haruslah berada di bawah aturan sosial atau hukum atau aturan, dan menurut tahapan ini, aturanlah yang membuat sistem di dalam masyarakat. Santri mahasiswa pada tahapan ini akan berfikir untuk selalu menjunjung tinggi peraturan pesantren atau perguruan tinggi dan berusaha mentaatinya tanpa mempertanyakan akan aturan tersebut. Setiap nilai-nilai kebaikan yang diajarkan dalam institusi pendidikan yang ia tempati, bisa dijalankan dengan cara menjalani aturan yang sudah ada, dikarenakan nilai memang seharusnya ada di bawah aturan. Penghormatan terhadap pihak-pihak yang berwenang (Rest,1979: 31) juga merupakan ciri-ciri dari tahapan ini, santri mahasiswa dalam tahap ini memandang bahwa penghormatan terhadap pihak yang berwenang merupakan bagian dari kewajiban terhadap masyarakat. Pihak yang berwenang dalam hal ini diartikan sebagai pihak yang memiliki suatu posisi di masyarakat dan posisi tersebut didapatkan dari hasil pengabdiaanya terhadap masyarakat untuk mewujudkan tujuan dari suatu lembaga ataupun kelompok masyarakat. Penghormatan terhadap orang yang melaksanakan tugas kemasyarakatan Ikrommullah, Tahapan Perkembangan Moral Santri Mahasiswa Menurut Lawrence Kohlberg ini harus dilakukan oleh siapapun tanpa peduli terhadap orang secara khusus, akan tetapi perlu perduli terhadap hak prerogatif, tugas khusus dan penghargaan terhadap kepantasan dia dalam tugas-tugasnya dalam masyarakat. Santri mahasiswa dalam tahapan ini akan selalu menghormati otoritas yang berwenang, dikarenakan dengan menghormati otoritas maka hal tersebut berarti juga menghormati aturan ataupun hukum atau aturan di masyarakat, sehingga sebagai kesimpulan secara umum, dalam tahap Law and Order merupakan bagaimana cara seseorang untuk menstabilkan sistem aturan yang sudah dan bekerja sama dengan masyarakat secara luas. Kedua, tahap selanjutnya dalam perkembangan moral Santri mahasiswa yakni tahap Good Boy and Nice Girl, Dalam tahapan ini santri mahasiswa akan berfikir bahwa pada dasarnya segala tindakan itu baik asalkan sesuai dengan keinginan orang-orang terdekatnya, orangorang terdekat yang dapat berupa keluarga ataupun sahabat dan teman dekat memegang peran sangat penting sebagai penentu prilaku moral, baik dan benar suatu tindakan merupakan hasil dari penilaian keluarga, sahabat dan teman, terlepas dari penilaian tersebut sesuai atau pun tidak sesuai dengan prinsip moral. Penilaian ataupun persetujuan orang-orang terdekat sedemikian penting sehingga rata-rata santri mahasiswa mendasari tindakan moralnya guna mendapatkan persetujuan dari orang-orang terdekatnya. Hubungan dengan orang lain merupakan tujuan tertinggi dalam tahapan ini dan inti dari hubungan ini yakni suatu hubungan yang memiliki sifat timbal balik dalam hal pemahaman, bukan hubungan win-win solution yang hanya mengandalkan kesenangan semata, akan tetapi hubungan ini lebih kepada sikap penghormatan, kerjasama dan kepahaman. Persahabatan dengan orang lain juga merupakan prioritas dalam tujuannya, sehingga tindakan moral seringkali diartikan sebagai bentuk tindakan yang dapat mempererat atau menjaga hubungan persahabatannya dengan orang lain. Secara umum konsep tahapan Good Boy and Nice Girl merupakan suatu tahapan yang sangat mempertimbangkan kesetabilan sistem personal relationship and friendship (Rest,1973:29). Santri mahasiswa akan sangat mempertimbangkan perasaan, kebutuhan dan harapan dari orang lain, sehingga dalam 85 pandangan mereka orang yang mengalami pengasingan ataupun kesulitan dalam melakukan hubungan persahabatan dan relasi personal maka ia merupakan orang yang gagal dalam melakukan tindakan moral Ketiga, tahapan selanjutnya yang memiliki besaran sekitar 12,5% yakni tahapan Social Contract 5a, Tahap Social Contract 5a memiliki perbedaan dengan tahapan Social Contract 5b dimana dalam Social Contract 5a memiliki karakteristik tentang pelaksanaan kewajiban moral yang berasal dari kerelaan masyarakat untuk bekerjasama. Hukum atau aturan disini dibentuk oleh masyarakat berdasarkan suatu alasan yakni agar setiap anggota masyarakat mampu untuk tetap hidup berdampingan dengan yang lain, oleh karena itu perlunya hukum atau aturan dijalankan. Sedangkan pada karakteristik Social Contract 5b, adalah suatu proses logika kritis terhadap seleksi hukum atau aturan, dengan kata lain hukum atau aturan tidaklah harus diterima secara utuh tanpa kritik atau pembenahan, akan tetapi hukum atau aturan tetap perlu pembenahan jika hukum atau aturan tersebut tidak sesuai dengan tujuan masyarakat secara luas. Dua karakteristik dari tahap 5a dan 5b adalah suatu adaptasi atau perkembangan dari teori Social Contract Kohlberg dan dua tahap ini hanyalah merupakan spesifikasi terhadap tahapan 5 yakni Social Contract. Jika harus ditempatkan dalam tahapan Kohlberg, maka santri mahasiswa yang berada dalam tahap 5a merupakan santri mahasiswa yang berada dalam tahapan 5 yakni Social Contract. Akan mulai melihat bahwa tindakan moral berupa konsensus dan tentunya juga merupakan kebaikan bagi masyarakat luas, didalam tahap ini santri mahasiswa mulai memahami mayoritas sebagai suatu kakuatan penting untuk mencetak dan memproduksi hukum atau aturan. Oleh karena itu hukum atau aturan haruslah dibuat oleh masyarakat guna menjaga keharmonisan kehidupan dalam masyarakat dan juga hukum atau aturan haruslah diseleksi dan dicari yang paling bisa mewakili kehendak masyarakat dan meminimalisir kerusakan dalam masyarakat. Ciri terakhir dari santri mahasiswa yang berada dalam tahapan ini ialah memandang bahwa hak dasar manusia sebagai suatu syarat pengandaian sebelum adanya kewajiban sosial (Rest,1979:34). Hak dasar manusia haruslah dilindungi dan dibebaskan terlebih dahulu sebelum individu bisa melakukan perannya dalam 86 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 menjalankan kewajiban-kewajiban sosial di masyarakat, hanya masyarakat yang telah dilindungi hak dasarnya yang dapat menjalankan perannya dalam upaya menyeleksi hukum atau aturan dan membuat hukum atau aturan. Keempat, tahap selanjutnya yakni tahap Meaningless, Dimana tahapan ini memiliki besaran 2,5% . James Rest memasukkan tahap Meaningless ini untuk mengukur tingkat kekonsistenan jawaban dalam angket Dilema Moral DIT. Meaningless bukanlah suatu tahap, akan tetapi hanyalah sebuah tes akan kekonsistenan jawaban bagi para partisipan penelitian, dalam penelitian ini terdapat satu santri mahasiswa yang memiliki jawaban yang tidak mencerminkan tahapan manapun, sehingga dalam penentuan tahapannya tidak mampu didefinisikan. SIMPULAN Berdasarkan fokus penelitian, paparan data, temuan penelitian, dan pembahasan, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:(1) tahapan perkembangan moral Santri Mahasiswa terbesar berada dalam tahapan empat yakni tahap Law and Order yakni sebesar 62,5%, (2) tahapan terbanyak kedua sebesar 22,2% adalah tahapan ke tiga Good Boy and Nice Girl. (3) Tahapan terbanyak berikutnya ialah tahapan ke lima atau Social Contract dengan prosentase sebesar 12,5%, (4) Tahap Terakhir ialah kelompok Meaningless sebesar 2,5 %, suatu kategori yang bukan merupakan tahapan dari Kohlberg, akan tetapi tahapan ini merupakan tahapan untuk cek ketidak konsistenan jawaban dari angket DIT Jamest Rest. DAFTAR RUJUKAN Al-Hikam. 2004. Visi Misi Pesantren Mahasiswa Al-Hikam. Malang: Al-Hikam. Arikunto, Suharsimi. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta:Penerbit PT. Rineka Cipta. Asina, Christina Rosito Pasaribu. 2012.Hubungan AntaraReligiusitasDengan Penalaran Moral Pada Remaja Akhir. Skripsi diterbitkan. Bandung: Universitas Padjadjaran. Dari akademik.nommensenid.org, (online), (http//akademik.nommensen-id.org), diakses pada tanggal 15 juli 2013. Bertens.1993. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Cheepy, Hari Cahyono. 1986. Tahap- Tahap Perkembangan Moral. Malang: Pengembangan Perguruan Tinggi IKIP Malang. Darmadi, Hamid. 2009. Dasar Konsep Pendidikan Moral. Bandung: Alfabeta. Dewi,Chayati Tresna. 2012.Program Bimbingan Pribadi Sosial Meningkatkan Penalaran Moral Siswa. Skripsi diterbitkan. Jakarta: Universitas Pendidikan Indonesia. Dari Repository Universitas Pendidikan Indonesia, (online), (http://a-research. upi.edu/skripsiview.php?start=2459.), diakses pada tanggal 15 juli 2013. Dwiyanti, Retno. 2013. Peran Orang Tua Dalam Perkembangan Moral Anak. Skripsi diterbitkan. Surakarta: Universitas Muhammadiyah surakarta. Dari publikasi- ilmiah.ums.ac.id, (online), (http:// www.publikasiilmiah.ums.ac.id), diakses pada tanggal 15 juli 2013. Fatah, Rohadi Abdul. 2005. Rekonstruksi Pesantren Masa Depan. Jakarta: Pt. Listafariska Putra. Hadi, Sutrisno. 2000. Statistik, Jilid 2. Penerbit ANDI, Yogyakarta Haribi. Kementerian Pendidikan Nasional UM. 2010. PPKI Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Tugas Akhir, Laporan Penelitian. Malang: UM. Kusani, Afin. 2006. Demokratisasi Pendidikan Islam. Skripsi diterbitkan. Malang: Universitas Islam Negeri Malang. Dari lib.uinmalng.ac.id (Online),(http//lib.uinmalang.ac.id/files/thesis/fullchapter/ 97110468.pdf), diakses pada tanggal15 juli 2014 Poespoprodjo.1988. Filsafat Moral. Bandung: Remadja Karya. Rest, James.R. 1979. Development in Judging Moral Issues. Minnesotta: University Of Minnesotta Press. Rest, James.R. 1998. DIT-2 (Defining Issues Test). Minnesota: University Of Minnesotta Shodiq. 2011. Pesantren dan Perubahan Sosial. Jurnal Falasifah. Sudijono, Anas. 2010. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Ikrommullah, Tahapan Perkembangan Moral Santri Mahasiswa Menurut Lawrence Kohlberg Sugiyono. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta. Sunarto, dan A. Hartono. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta. Wiyono, Bambang Budi. 2008. Metodologi Penelitian. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang 87 Kementrian Agama. (online), (http://www. Kemenag.co.id). Pesantren di Indonesia. diakses pada tanggal 21 maret 2014. Ali, M dan M. Ansori. 2008. Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik Jakarta: PT Bumi Aksara. Dari Googlebooks, (online), (http://www.books.google.co.id), diakses pada tanggal 15 juli 2013. CORAK HUMANISME DALAM SERIKAT BURUH JAWA TAHUN 1926-1942 Daya Negri Wijaya Jurusan Sejarah, Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang No.5 Malang [email protected] Abstract:trade union established as a common goal of workers in obtaining life insurance and mutual prosperity. But in its development, trade unions met various obstacles both in the internal context where there are workers who do not want to join the union or the external context where the union is under pressure from the investors and the government. However, they are not desperate and trying to fight the goal. Furthermore, they struggle in perkembangannnya teryata not only the interests of the union but also the interests of the people in general such as issues of racial and class and gender gaps. This paper is expected to provide a historical consciousness of the reader in order to use the past as suggestions and lessons learned in designing a better future. Keywords: national movements, labor, human existence, humanism Abstrak. Serikat buruh terbentuk karena cita-cita bersama buruh dalam memperoleh jaminan hidup dan kesejahteraan bersama. Namun dalam perkembangannya serikat buruh menemui berbagai kendala baik dalam konteks internal dimana ada buruh-buruh yang tidak mau bergabung dengan serikat ataupun konteks eksternal dimana serikat mendapat tekanan dari pihak pemodal serta pemerintah. Walaupun demikian mereka tidak putus asa dan berusaha untuk memperjuangkan tujuannya. Lebih lanjut, perjuangan mereka dalam perkembangannnya teryata bukan hanya memperjuangkan kepentingan serikat tetapi juga kepentingan manusia secara umum seperti permasalahan rasial dan kelas serta kesenjangan gender. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan kesadaran historis pada pembaca agar menggunakan masa lalu sebagai saran dan pelajaran dalam merancang masa depan yang lebih baik Kata-kata Kunci: pergerakan nasional, buruh, eksistensi manusia, humanisme Dewasa ini masyarakat Indonesia digegerkan oleh beberapa video Tenaga Kerja Wanita (TKW) beserta respon dari para suami yang ditinggal ke luar negeri dan Presiden Jokowi yang merespon melalui pemberian nasehat-nasehat yang diunggah ke situs Youtube. Video tersebut memberikan gambaran bagaimana kehidupan seorang tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Ironisnya banyak yang menghabiskan jerih payah tersebut dengan berfoya-foya tanpa mempertimbangkan tabungan hari esok. Selain itu tidak semua tenaga kerja dapat menikmati hasil kerjanya atau tidak digaji. Mereka ada yang disiksa, diperkosa, dicambuk, bahkan tidak diberi makan dan diperlakukan tiada ubahnya seperti budak atau bahkan lebih mirip seperti budak yang dikontrak. Mereka tidak memiliki kekuatan untuk melawan atau memperjuangkan hak-hak dasar mereka sebagai manusia (hak untuk hidup, kebebasan, kepemilikan, dan kesehatan) karena mereka hanya berdiri sendirian. Pada masa kolonial pasca pemberontakan PKI 1926 dan pendudukan Jepang 1942 muncul dua sentimen yang bernada negatif pada citra pekerja atau buruh Indonesia yang mayoritas berasal dari Jawa, termasuk serikat-serikat buruh Indonesia yang pada dasarnya merupakan serikatserikat buruh di Jawa (Ingleson, 2015:14). Penyebab buruh diberi upah rendah dan hidup dalam penderitaan adalah: (1) pada 1833, Gubernur Jenderal J. Van den Bosch menulis, “tidak ada yang lebih menyenangkan bagi orang Jawa selain berada dalam posisi bisa bekerja lebih sedikit dibanding yang diharuskan. Ini akibat kondisi iklim mereka (iklim yang dimaksud apakah cuaca atau lingkungan kerja?); dan (2) pandangan umum di kalangan pejabat dan majikan Eropa 88 Wijaya,Corak Humanisme dalam Serikat Buruh Jawa Tahun 1926-1942 adalah buruh-buruh Indonesia pemalas dan tidak memiliki keinginan meningkatkan kehidupan material mereka. Sebagian besar orang Eropa yakin bahwa menaikkan upah hanya akan membuat orang Indonesia makin malas bekerja (Ingleson, 2015:24-25). Fenomena di atas beserta dua sentimen tersebut memberikan gambaran bahwa tiada seorangpun dapat belajar dari sejarah. Bahkan, adagium Hegel yang sangat terkenal menjelaskan bahwa yang didapat dari belajar sejarah adalah kegagalan dalam memahami dan memaknai sejarah itu sendiri. Mengikuti pola Marx dalam The Eighteenth Brumaire of Louis Napoleon terungkap bahwa sejarah memang tidak mungkin berulang kembali karena hanya terjadi satu kali (einmalig) tetapi pola yang terjadi di masa lalu bisa saja terulang di masa kini walaupun aktor, tempat, dan waktunya yang berbeda. Lebih lanjut, bagi Marx apabila manusia (buruh) di masa lalu menderita dan sengsara itu adalah tragedi tetapi apabila manusia (buruh) di masa kini mengalami hal yang sama adalah suatu lelucon. Mengapa demikian? Karena mereka gagal belajar dari pengalaman masa lalu; pengalaman masyarakatnya; pengalaman dari perjuangan di masa lalu untuk kesejahteraan masa kini; dan yang terpenting adalah mereka lupa hakikat manusia yang memiliki kesadaran historis. Bagi Marx, jalan keluar dari ketidakadilan tersebut adalah seluruh buruh atau tenaga kerja (dalam Orde Baru disebut karyawan) harus bersatu. Mengapa demikian? Pada hakikatnya buruh hidup dalam tangan majikan dan mereka mengikuti kehendak majikannya, jarang ditemui buruh yang memiliki lebih dari satu majikan dan yang ada hanyalah majikan yang mempunyai lebih dari satu buruh. Mengikuti pola materialisme dialektika Marx (it is not consciousness of men that determine their beings, but, on the contrary their social beings determine our consciousness) dalam sejarah (biasanya disebut pula sebagai materialisme historis), aktivitas manusia dimulai dari kehidupan komunalisme yang hidup dalam dua aktivitas yang bertentangan yakni kehidupan berpindah-berpindah dan kehidupan menetap. Kehidupan komunalisme ini yang kemudian menggiring manusia pada persinggungan dan pertentangan sehingga menciptakan tatanan masyarakat yang bersifat feodal. Feodalisme dalam perkembangannya menimbulkan dua kelas yang dominan yakni kelas feodal (tuan tanah) dan kelas budak. 89 Dalam perkembangan ekonomi ternyata hasil pengolahan tanah tidak lagi mencukupi kebutuhan dan menyejahterakan rakyat maka jarum jam beralih pada ekonomi industri dimana para tuan tanah berlomba-lomba untuk menyewakan tanah atau membuat industri di lahan mereka. Dalam situasi inipula banyak budak yang diperjualbelikan dan banyak pula yang melarikan diri. Namun karena tidak mampu mencukupi kebutuhan diri maka mereka harus bekerja, apapun pekerjaan yang didapat. Kondisi ini yang nantinya menciptakan masyarakat kapitalis, bahwa kerabat tuan tanah menjelma menjadi kaum borjuis seperti yang disebut kelas menengah dan kelas bawah adalah transformasi dari budak yang berganti nama menjadi buruh (menjadi alat manusia untuk mengatur metabolismenya dengan alam) tetapi mendapat perlakuan yang sama saja seperti budak (jam kerja yang tidak manusiawi serta wanita dan anak yang dipekerjakan). Para buruh akan tetap tidak mendapatkan keadilan tanpa mereka bersatu untuk berjuang menekan kaum borjuis (majikan). Mereka sudah saatnya sadar bahwa kekuasaan para borjuis atas perekonomian menjadi benteng yang harus segera dihancurkan. Ketika buruh bersatu dan menduduki semua aset serta menyamaratakan properti yang ada maka kesejahteraan akan didapat. Paralel dengan pendapat Marx, Munir (2014) juga menjelaskan bahwa tanpa solidaritas dan persatuan, berbagai tuntutan buruh akan lemah posisi tawarnya. Bahkan hal itu juga berpotensi menihilkan partispasi individu-individu buruh untuk bergabung dalam gerakan buruh. Secara pragmatis sesuai dengan tujuan serikat buruh, kekuasaan borjuasi sepenuhnya didasari oleh persaingan antar buruh sendiri seperti misalnya para borjuasi akan mengganti atau memberhentikan buruh yang mogok dan menggantinya dengan buruh yang lain untuk mendapatkan upah yang murah (Engels, 2014:71). Perjuangan ini setidaknya para buruh harus memiliki suatu kendaraan politik, wadah yang menampung semua aspirasi dan memiliki kesatuan visi, misi, dan cita-cita. Kendaraan tersebut disebut sebagai serikat buruh, organisasi inilah yang kemudian memperjuangkan hampir semua aspirasi dan perlakuan tidak adil pada buruh. Dewasa ini hampir semua perusahaan dan pabrik baik yang berskala nasional dan internasional memiliki serikat buruh ataupun serikat pekerja. Dimana ketika mereka merasa dirugikan atau tidak diberikan haknya, laporan pada serikat akan terjadi dan 90 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 serikat mulai bergerak. Ilustrasi kecil ketika saudara penulis bekerja di salah satu klinik PTPN X, setiap pekerja yang berobat dan obatnya dibatasi (tidak diberikan obatnya sesuai dengan perjanjian) maka mereka akan melapor pada SP dan dampaknya SP sebagai pemegang kekuasaan akan menekan pihak direksi dengan demonstrasi atau mogok kerja. Namun biasanya aksi ini seringkali tidak mendapat reaksi nyata dari direksi. Ingleson (2015:2) menjelaskan bahwa upaya pemerolehan hak-hak buruh dengan cara militansi adalah lelucon yang kedua. Pengalaman pada masa kolonial menunjukkan perjuangan para buruh membuahkan hasil apabila mereka memakai cara yang lebih akomodatif ketika menghadapi penguasa yang cenderung represif pasca pemberontakan PKI 1926. Para buruh dalam pemerolehan hak-hak dasarnya tentunya ingin mendapatkan keadilan bahwa jika perusahaan maju dan berkembang maka kesejahteraan buruh juga ikut naik sebaliknya apabila perusahaan diambang kehancuran maka para buruh harus legawa menerimanya. Fenomena ini adalah cerminan dari teori keadilan sebagai fairness yang dikembangkan oleh John Ralws. Ralws (2011:13) mengungkapkan bahwa setiap orang harus mempertimbangkan manfaat dari keputusan yang dibuat dengan pemikiran rasional sehingga sekelompok orang harus memutuskan apa yang menurut mereka adil dan tidak adil bagi kepentingan bersama. Dengan mengikuti teori Ralws, seyogyanya para buruh melalui serikat buruh melakukan negoisasi dengan para pemilik modal dan atau didampingi oleh negara sebagai penjamin hak-hak setiap warga negara namun perlu dibuat catatan bahwa mereka harus memperhatikan kewajiban-kewajiban sebagai pekerja. Dalam pertemuan tersebut diharapkan menemukan jalan tengah atau konsensus dari pertentangan kepentingan keduanya sehingga buruh menggapai kesejahteraan dan para kapitalis memperkuat pondasi masyarakat pasar dengan masyarakat bersahabat yang menekankan simpati antara satu manusia dengan manusia lainnya. Namun demikian, serikat buruh kini hanya mengejar kesejahteraan buruh atau pekerja sendiri tanpa melihat kepentingan bangsanya dan seolah lupa bahwa buruh pada masa kolonial juga menekankan pada aspek humanisme yang tidak melihat kepentingan buruh, ideologi, rasial, atau kewarganegaraan tetapi melihat tanggung jawab dan toleransi dalam masyarakat. Kini sudah sewajarnya serikat buruh bukan lagi mementingkan kepentingan buruh ataupun kepentingan bangsanya tetapi juga menggerakan humanisme untuk ikut serta dalam menyelesaikan permasalahan dasar yang dihadapi manusia. Tulisan ini akan berusaha membahas lebih dalam tentang perkembangan serikat buruh. Selain itu, akan diulas pula corak humanisme sebagai alternatif blue-print dasar perjuangan serikat buruh. Dengan hadirnya tulisan ini diharapkan setiap insan menyadari kebermaknaan sejarah dan percik-percik humanisme didalamnya. SEKILAS PERKEMBANGAN SERIKAT BURUH Kini pandangan sejarah telah mengalami pergeseran dari yang bersifat sumber pengetahuan menuju sumber kebermaknaan. Masa lalu akan bermakna atau bermanfaat apabila dimaknai secara baik oleh manusia di masa kini. “Ide masa lalu tak kenal waktu” menjelaskan bahwa konsep masa kini dapat dibawa dengan mudah ke masa lalu (Wineburg, 2006:71). Dengan kata lain, manusia akan lebih mudah memahami apa yang terjadi di masa kini apabila melihat bagaimana peristiwa tersebut terkonstruksi dan secara tidak langsung akan berhubungan dengan masa lalu yang menjadi kajian sejarah. Namun bagaimanapun juga konsep tersebut tetap membawa dampak yang berbeda bagi beberapa orang: (1) ada beberapa orang yang dikategorikan sebagai divi past (sebutan dalam Bahasa Inggris bagi orang yang sakit ingatan dan melihat sejarah dengan kegusaran dan penghinaan karena tidak mengerti); (2) melihat sejarah sebagai sistem penjelasan tetapi tidak banyak berusaha memahami masa lalu dari sisi masa lalu itu sendiri; dan (3) melihat perbedaan antara cara berpikir masa lalu dan masa kini atau perubahan zeitgeist dan mentalite dalam sejarah. Oleh karena itu dalam menjalankan pembelajaran sejarah sudah sewajarnya mulai mentransformasikan dari cerita tetap pada serangkaian cerita yang mengundang murid untuk merenungkan keutuhan pengalaman manusia. Dengan mempertanyakan masa lalu, murid menerangi masa kini. Kegiatan-kegiatan apa pada masa lalu dan masa sekarang yang patut mendapat perhatian? Kisah siapa dan persoalan apa yang dimasukkan atau tidak? Siapa yang memutuskan? (Wineburg, 2006:197). Soe Hok Gie dalam Wijaya,Corak Humanisme dalam Serikat Buruh Jawa Tahun 1926-1942 skripsinya yang telah dibukukan berjudul “OrangOrang di Persimpangan Kiri Jalan” memberikan penjelasan bahwa sebenarnya sebuah peristiwa dikonstruksi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya. Dalam konteks pemberontakan PKI 1948 tidak terlepas dari keadaan di Jawa pada 1926, Rusia, Belanda, Australia, Cina, serta Digul yang semuanya meninggalkan jejaknya pada tragedi Madiun. Dengan kata lain seluruh peristiwa yang kita bahas bukan cerita utuh sehingga perlu dilihat apa yang mengonstruksi sebuah peristiwa tersebut terjadi. Mengikuti pola diatas, penulis berusaha menjelaskan perubahan dan kesinambungan serikat buruh Indonesia di masa reformasi dengan memberi penjelasan secara historis yang dimulai dari konstruksi kehidupan buruh dalam pemerintahan otoriter Orde Baru serta warisan buruh pada masa kolonial yang kiranya membentuk ideologi dan praksis serikat buruh kini. Tjandra (2014:790) menunjukkan adanya gerakan buruh yang mencolok dan berbeda dari sebelumnya (orde baru) yakni pembentukan aliansi serikat yang disebut KAJS (Komite Aksi Jaminan Sosial). Mereka melancarkan demonstrasi disertai dengan kampanye publik langsung melalui media massa yang dimulai 5 April 2010 untuk mendorong parlemen nasional dan daerah merekomendasikan dukungan implementasi reformasi jaminan sosial di Indonesia. Perjuangan KAJS sebagai aliansi dari serikat-serikat regional dalam mereformasi sistem jaminan sosial (berhasil mengawal lolosnya RUU BPJS 28 Oktober 2011: BPJS I sebagai jaminan kesehatan dan BPJS II pada ketenagakerjaan) menunjukkan kemungkinan mengembangkan persatuan serikat buruh di tingkat nasional yang kiranya telah merubah orientasi dari yang bersifat pasar atau bisnis (masa orde baru) ke arah yang lebih sosial. Hal ini merupakan suatu terobosan setelah dekade panjang penindasan dan kooptasi negara terhadap gerakan serikat buruh pada masa orde baru. Kehidupan serikat buruh pada masa Orde Baru sungguh memprihatinkan. Buruh memang menempati posisi yang strategis dalam menguatnya industri non-migas, terutama industri manufaktur. Tidak hanya secara ekonomis namun juga secara politis. Dalam rangka memelihara stabilitas sosial dan politik, yang diyakini sebagai prasyarat pokok keberhasilan pembangunan ekonomi, Orde Baru merasa perlu mengadakan pengaturan untuk mengendalikan buruh. 91 Anggapan ini berasal dari sentimen bahwa serikat buruh menjadi ladang basah munculnya kembali pengaruh unsur-unsur kiri yang menonjol dalam gerakan buruh pada masa 1950-an dan 1960-an yang kiranya menjadi ancaman pokok stabilitas dan keamanan negara. Pengendalian buruh pada masa Orde Baru diartikan tidak membuka kemungkinan bagi munculnya serikat buruh independen serta terjaminnya kepatuhan (faktor yang mendorong munculnya gerakan bawah tanah). Satu-satunya organisasi buruh yang diijinkan pemerintah adalah Federasi Seluruh Buruh Indonesia (FBSI) yang berdiri tanggal 20 Juli 1973 dengan membawahi Serikat Buruh Lapangan Pekerjaan (SBLP). Bersamaan dengan itu juga dikeluarkan peraturan yang membatasi kemungkinan terbentukanya organisasi buruh di luar FBSI. Peraturan ini mensyaratkan bahwa sebuah organisasi buruh harus berbentuk gabungan serikat buruh yang membawa 20 daerah dan 15 SBLP. Lebih lanjut konsep hubungan industrial pancasila antara buruh, pengusaha, dan pemerintah yang seimbang, mawas diri, dan memelihara terus ditekankan dan nampaknya hanya menjadi wacana. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari campur tangan pemerintah yang begitu besar seperti misalnya instruksi Laksamana Sudomo bahwa seluruh kodim harus terlibat dalam sengketa industri dan mencegah pemogokan (Warouw, 2000:3-5). Hal tersebut terjadi karena pemerintahan Orde Baru sangat bernafsu sekali untuk membangun citra bahwa era-nya lebih baik dari masa sebelumnya. Peristiwa 1966 yang menyulut mesiu bahwa buruh adalah ladang dari ideologi sosialis-komunis sehingga membuat serikat buruh dilarang keras beredar di masa Orde Baru. Pemerintahan Orde Lama dinilai oleh Orde Baru membuat kebijakan seperti dinamit yang dapat menghabisi pemerintahannya. Orde Lama memberikan kebebasan berserikat dan memberikan kebijakan yang menguntungkan buruh hingga ideologi komunisme masuk. Serikat buruh pada masa Orde Lama sangat kokoh dan kompak bukan tanpa halangan serta bahkan pada awal kemerdekaan masih terpecah-belah. Alimin kemudian menyatukannya dan membentuk SOBSI, disusul kemudian muncul serikat yang lebih radikal yakni GASBRI dan yang lebih moderat yakni POSS (Munir, 2014:12). Selain itu pasca proklamasi 17 Agustus 1945 yang dirasakan sebagai pembebasan dari 92 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 penjajahan dan eksploitasi modal asing yang didukung oleh Pemerintahan Kolonial. Pemerintahan Nasional menjadi unsur penting dalam perjuangan kaum buruh untuk memperbaiki kesejahteraannya. Untuk itu, gerakan buruh dianggap sebagai sesuatu yang penting dalam pembangunan negara di bawah pemerintahan sendiri. Kaum buruh juga turut serta melancarkan aksi perebutan dan pengambilalihan kantor-kantor perusahaan dan sarana penting yang masih dikuasai oleh Jepang. Mereka yang dapat bebas kemudian mulai melucuti apa yang dimiliki oleh asing mengingat gerakan buruh dan serikat buruh dapat dikendalikan dengan baik oleh pemerintah Kolonial Belanda maupun Jepang. Pada masa pendudukan Jepang, semua kegiatan organisasi baik politik maupun sosial-ekonomi dilarang (Munir, 2014:11). Perkembangan buruh seperti yang diuraikan diatas dinilai oleh Ingleson diwarisi oleh pengalaman buruh masa kolonial. Dia melihat bahwa mengapa buruh dapat mendapatkan mimpinya yang salah satunya adalah jaminan sosial karena para pemimpin serikat (Ingleson di buku ini menyebut sarekat) buruh berjuang membangun organisasi-organisasi yang mengabaikan pembagian suku, bahasa, dan kelas sosial tempattempat kerja Indonesia. mereka mendapatkan akses yang terbatas. Selain sebagai kendaraan politik dalam meraih kenaikan upah mereka juga menempati posisi penting dalam perkembangan kesadaran politik, menciptakan berbagai kesempatan bagi orang-orang Indonesia untuk memperoleh keterampilan-keterampilan organisasi dan menyediakan saluran bagi banyak orang Indonesia untuk bergabung dalam partai-partai nasionalis (Ingleson, 2013:409). Dengan kata lain, serikat buruh memiliki suatu kecenderungan untuk melebur dan bersatu dalam memperjuangkan hakhaknya. Hal ini adalah modal penting sekaligus kunci bagi eksistensi serikat buruh yang terus dirongrong oleh kepentingan kapitalis di masa depan. Humanisme sebagai Alternatif Blue-Print Dasar Perjuangan Serikat Buruh Alternatif blue-print dasar perjuangan serikat buruh dapat diretas ketika mereka bersatu pertama kali untuk mencapai tujuan bersama. Tujuan utama tersebut dilihat dari visi dan misi serikat buruh di zaman bergerak yang manifestasinya terlihat ketika Indonesia meraih kemerdekaan. Seringkali dalam perkembangan zaman, orientasi serikat buruh berubah-ubah dan yang terdekat pada masa orde baru lebih ke arah pasar atau bisnis sedangkan masa reformasi ke arah sosial (pada kesejahteraan buruh) tetapi mereka melupakan orientasi luhur yang bersifat humanis bukan saja memperjuangkan hak-haknya tanpa melupakan kewajibannya sebagai seorang pekerja. Buruh dan pekerja atau karyawan sebenarnya memiliki makna yang sama tetapi mengalami penghalusan bahasa. Warouw (2000:10) menjelaskan bahwa Buruh mengandung makna orang yang semata bekerja pada orang lain demi upah tanpa harus terlibat secara rohaniah atas pekerjaannya. Buruh secara implisit sebagai pelaksana perintah atau sebagai alat dalam berproduksi. Selain itu buruh menyimpan pengertian sebagai suatu kelompok yang berada pada posisi yang berkontradiksi dengan majikan. Orde Baru menggunakan politik penghalusan bahasa dengan menggunakan pekerja atau karyawan yang bermakna memiliki ikatan kerohanian dan kebanggaan profesional yang kuat dengan yang dikerjakan serta terdapat jenjang karir yang dapat diperoleh jika berprestasi. Pada masa bergerak (kolonial), buruh bukan hanya sebagai anti-tesis pada kaum pemodal tetapi juga sebagai suatu komunitas yang hidup dalam pertentangan bangsa antara Belanda dan (citacita) Indonesia. Oleh karena itu, buruh dapat dipahami sebagai orang yang kepunyaan dan tanahnya dirampas oleh kapitalis. Mereka yang dulunya adalah petani dan pedagang kecil, dirampas segala miliknya hingga tersisa tenaga, badan, dan nyawa. Kaum kapitalis tidak memberikan gaji yang layak dan tiada jaminan sosial sehingga para buruh menggeliat dan menuntut perbaikan hidup. Pertentangan sosial ini dipertajam oleh perbedaan bangsa dan pemerintahannya masih dijalankan oleh asing yang cenderung mengabaikan kepentingan pribumi (Malaka, 2013:71-75). Kondisi pekerja niscaya tidak bahagia dalam kondisi terhisap karena mereka tidak hidup sebagai manusia seperti dipikirkan dan dibayangkan oleh seorang manusia. oleh karena itu, buruh berusaha keluar dari kondisi kejam untuk mencapai hidup yang lebih baik dan lebih manusiawi. Buruh hanya bisa mencapainya dengan menyerang kepentingan borjuasi yang tetap mengeksploitasi mereka. Namun borjuasi mempertahankan kepentingannya dengan segala kekuatan karena kekayaan dan Wijaya,Corak Humanisme dalam Serikat Buruh Jawa Tahun 1926-1942 kekuasaan negara (Engels, 2014:65). Serikat buruh dibentuk dengan tujuan yang jelas yakni melindungi buruh dari tirani dan pengabaian borjuasi. Tujuan serikat buruh sebagai kekuatan politik adalah membuat kesepakatan umum dengan majikan, mengatur tingkat upah rata-rata sesuai laba yang didapatkan majikan, meningkatkan upah jika ada peluang, dan menyamakan upah bagi semua pekerja (Engels, 2014:67-68). Dapat dipahami mengapa buruh berontak, hal ini karena sistem produksi yang tidak manusiawi akan menentukan bahwa buruh sebagai kelompok tertindas yang selalu memberontak (Warouw, 2000:10). Namun demikian, para buruh bukan hanya di tingkat pimpinannya tetapi juga sampai taraf anggota-anggota biasa melalui serikat buruh memiliki keterkaitan dengan partai-partai politik nasionalis. Hal ini menjadi wajar karena kepentingan buruh dapat terlaksana apabila negara memberikan intervensi pada kaum kapitalis untuk meninjau ulang gaji yang diberikan. Namun apa yang terjadi pada masa kolonial berbeda dengan asumsi tersebut, para pemilik modal akan pergi jika ditekan oleh pemerintah kolonial yang menggantungkan pemasukan dari kaum kapitalis tersebut. Oleh karena syarat utama dalam pemerolehan hak-hak buruh dengan menggapai kemerdekaan maka mereka bergabung dengan partai-partai nasionalis yang menginginkan kemerdekaan. Contohnya adalah serikat buruh Pegawai Pribumi Departemen Pekerjaan Umum cabang Probolinggo di bawah pimpinan Raden Panji Suroso. Dia lulusan sekolah guru di Probolinggo tetapi malah melamar menjadi pegawai di Jawatan Irigasi. Kemudian dia berkembang menjadi pemimpin serikat di sektor publik dan dia menjadi ketua cabang Sarekat Islam Probolinggo (Ingleson, 2015:2). Suroso seperti pimpinan-pimpinan utama serikat buruh besar seperti Hindromartono dari Batavia atau Djoko Said dari Bandung serta Ruslan Wongsokusumo dari Surabaya berjuang dengan cara yang lebih akomodatif (konfrontasi dilarang keras pemerintah terutama pasca pemberontakan PKI 1926 dan pemogokan massa di kota-kota besar) meliputi tulisan rutin di media massa, menyampaikan pidato-pidato, mengaktifkan organisasi-organisasi kesejahteraan sosial dan koperasi selain juga menjadi anggota partai-partai nasionalis. Ingleson (2015:5) menjelaskan bahwa mereka juga menyadari bahwa tujuan yang diperjuangkan masih bersifat imajiner dan tugas 93 utama mereka adalah mendidik buruh-buruh Indonesia agar menyadari bahwa serikat buruh adalah bagian dari gerakan internasional yang lebih besar. Mereka yakin bahwa masyarakat sipil yang lebih kuat perlu dibangun dan bahwa pembentukan koperasi penghimpun dana milik serikat, perpustakaan, aktivitas-aktivitas sosial dan pendidikan, klub-klub olahraga adalah langkah penting untuk mencapainya. Pengetahuan mereka mengenai sejarah buruh internasional meyakinkan mereka bahwa serikat buruh hanya bisa mencapai potensi penuh dalam sebuah masyarakat yang demokratis, tapi masyarakat yang demokratis itu tidak dengan sendirinya menjamin upah dan kondisi kerja yang lebih baik bagi kaum buruh. Hanya serikat buruh yang bisa memperjuangkan itu. Jatuh bangun perjuangan dalam menggapai kemerdekaan dipengaruhi oleh batasan aktivitas oleh negara kolonial yang represif. Setiap terdapat partai politik yang meredup tajinya pasti muncul partai politik yang baru baik sebagai kelanjutan partai yang lama atau gabungan dua partai politik. Setiap partai politik yang ada terus melancarkan propaganda serta menarik para buruh untuk turut serta menyukseskan tujuan partai dan partai berusaha mewujukan keinginan dari serikat buruh. Hal ini terlihat dari konteks politik pada medio 1926-1942: mulai dari perebutan anggota SI dan PKI hingga Parindra dan Gerindo. Pasca gagalnya pemberontakan PKI, para anggota termasuk anggota-anggota serikat buruh diinterogasi oleh polisi serta majikannya, sebagian diasingkan ke Boven Digul, dan yang lain dipenjara. Para anggota serikat buruh yang selamat mulai tertarik pada Sarekat Islam yang tidak seberapa lama juga melemah dan tidak mampu bangkit seperti sebelumnya. Memasuki pertengahan 1927, kekosongan politik itu diisi dengan kelahiran Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Kecuali Soekarno yang saat itu menjadi mahasiswa di ITB, para pemimpin PNI sebagian besar adalah para pemuda yang baru kembali studi dari Belanda. Pada puncak kejayaan anggota PNI berjumlah sekitar 10.000 orang. Sebagian besar bekerja sebagai guru sekolah, pegawai negeri, klerk, dan pedagang. PNI-pun akhirnya tidak bertahan lama dengan ditangkapnya pucuk pimpinannya dan partai tersebut dilarang. Setelah PNI dibubarkan muncul Partindo pimpinan Sartono yang kemudian diambil alih oleh Soekarno dan golongan merdeka yang berkembang menjadi PNI-Baru dibawah 94 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 Hatta dan Sjahrir. PNI-Baru dan Partindo ini yang kemudian merebut kepemimpinan gerakan kebangsaan. Dengan sifat represif, pemerintah kolonial kemudian juga melarang kedua partai tersebut dan Sutomo, seorang dokter membentuk Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) dengan harapan dapat mengisi kekosongan kepemimpinan gerakan kebangsaan. Namun harapan itu tidak tercapai. PBI bersama Budi Utomo melebur menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra). Disisi lain pada medio Mei 1937 lahir partai baru yang lebih radikal bentukan aktivis muda di Batavia yaitu Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia). Parindra dan Gerindo tetap mengahadapi ruang gerak yang sempit di bawah kebijakan pemerintah kolonial (Ingleson, 2015:62-66). Selain orientasi pragmatis pada kebutuhan ekonomi dan politik, serikat buruh ternyata memiliki corak humanisme yang berusaha menyelesaikan permasalahan dasar manusia. Humanisme secara umum dapat dipahami sebagai pandangan yang berfokus pada jalan keluar dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan manusia. Humanisme terbagi dalam dua spektrum yakni humanisme religi dan humanisme sekular. Humanisme religi biasanya berfokus pada martabat dan budi luhur dari keberhasilan yang dihasilkan oleh manusia seperti Santo Agustinus. Namun pandangan ini tidak bertahan lama akibat kritisi bahwa dogma agama membelenggu nalar manusia. Dengan perantara alam pencerahan Eropa, manusia mulai membangun kesadaran kritis dengan memposisikan dirinya sebagai individu yang berpengaruh pada proses sejarah. Gerakan ini disebut humanisme sekular. Humanisme sekular percaya bahwa bahwa martabat dan nilai seseorang dan kemampuan untuk memperoleh kesadaran diri melalui logika. Jean Paul Sartre merupakan filosof yang begitu berpengaruh pada pandangan humanisme dewasa ini. Sartre (2002:41-47) memberikan penjelasan bahwa setiap manusia pasti memiliki esensi, memiliki beragam fungsi, dan berdampak bagi orang lain sehingga setiap tindakan manusia memiliki imbas pada orang lain. Oleh karena itu, jika manusia percaya bahwa eksistensi mendahului esensi maka manusia menjadi bertanggung jawab atas hidupnya. Eksistensi mendahului esensi dapat dianalogikan seperti hubungan antara benda dan pembuat benda tersebut. Sebagai contoh jika benda tersebut adalah pisau pemotong kertas dan dikatakan bahwa pisau tersebut adalah esensi yang memiliki beragam fungsi maka pembuat pisau tersebut adalah eksistensinya karena hanya dia yang mengetahui formula dan kualitas produksi pisau tersebut. Mengikuti alur pola pikir Satre dapat dilihat bagaimana pondasi pemikiran humanisme dalam serikat buruh yang tentunya apapun yang dipikirkan dan dilakukan pasti berpengaruh pada kehidupan masyarakat yang setidaknya meliputi permasalahan rasial dan kelas serta kesenjangan gender. Permasalahan rasial dan pelapisan kelas dalam sebuah organisasi memang menjadi ancaman bukan hanya oleh serikat buruh tetapi oleh semua organisasi karena memang setiap individu berasal dari budaya yang berbeda-beda. Para pemimpin serikat buruh sangat menyadari permasalahan dasar yang menyangkut harkat dan martabat manusia ini. Satu hal yang mungkin mendorong mengapa serikatserikat buruh Eropa mau menerima pribumi Indonesia sebagai anggota lebih karena mereka mengenyam pendidikan barat dan menempati lapisan menengah dalam tatanan masyarakat. Selain itu mereka juga bekerja bersama dengan orang Indo-Eropa dan orang Eropa seperti serikat buruh kereta api, pegawai pos, serta telepon. Mereka ini tidak mau tahu tentang soal “totok”, Indo, atau pribumi. Menariknya, serikat buruh ini juga bersimpati dengan adanya buruh-buruh Indonesia karena juga turut membantu dalam meningkatkan posisi tawar mereka dalam berhadapan dengan pihak majikan. Hal ini yang membuat mereka berusaha dan disisi yang lain berebut untuk merekrut lapisan menengah yang berasal dari pribumi. Namun disisi yang lain mereka juga menyadari mayoritas anggota mereka yakni Indo-Eropa akan semakin gelisah jika suatu saat lapisan menengah Indonesia mengambil pekerjaan mereka (Ingleson, 2015:71). Kesenjangan gender kiranya juga menjadi isu sepanjang hayat dimana aktivitas kehidupan selalu didominasi laki-laki. Bahkan dalam kepemimpinan serikat buruh didominasi oleh laki-laki. Secara umum tidak dapat disangkal bahwa para pemimpin serikat masih berpandangan konservatif terhadap kedudukan perempuan. Mereka lebih terbiasa menempatkan perempuan sebagai pendamping, pengikut, dan menganggap lebih layak mengurus keluarga dibanding menjadi figur publik. Selain itu diskriminasi juga diberlakukan pemerintah kolonial manakala kebangkrutan mulai nampak, pihak pertama yang diPHK adalah perempuan yang sudah menikah dengan alasan melindungi pegawai laki-laki sebagai pencari nafkah keluarga. Namun Wijaya,Corak Humanisme dalam Serikat Buruh Jawa Tahun 1926-1942 demikian, serikat buruh ternyata tidak mengasingkan perempuan tetapi malah memberdayakannya dalam peran sosial dan ekonomi (yang sebenarnya menjadi tujuan utama serikat buruh). Pada 1930-an serikatserikat itu mengorganisir unit tambahan untuk perempuan, seperti yang dilakukan serikat pegawai pegadaian, kantor pos, guru, dan pegawai negeri kolonial. Mereka diberi kewenangan dalam mengorganisir koperasi, perpustakaan, dan yang terpenting membantu menciptakan industri rumah tangga kecil atau yang berskala besar seperti Wanita Utomo di Mataram yang merupakan unit perempuan serikat buruh pegadaian berhasil membangun pabrik tekstik pada pertengahan 1930an (Ingleson, 2015:76-79). Dapat dijadikan kesimpulan bahwa serikat buruh tidak hanya bergerak dalam tataran pragmatis dalam aspek ekonomi dan politik tetapi lebih jauh dalam tataran humanis yang turut serta menyelesaikan permasalahan dasar manusia dalam permasalahan rasial dan kelas serta kesenjangan gender. SIMPULAN Kondisi buruh dan serikat buruh pada masa kolonial memang dapat dipandang sebagai citacita kesejahteraan yang ideal bagi mereka di masa 95 depan. Namun cita-cita ini berarti sudah tergapai dalam alam republik. Bahkan kondisi guru (terutama guru tidak tetap dan honorer) tidak mengalami perubahan mulai dari masa kolonial hingga masa kontemporer yang berpenghasilan jauh dari upah minimal yang telah ditetapkan di masing-masing daerah. Jika dahulu serikat guru berjuang tetapi di masa kini PGRI seolah tidak mau tahu pada nasib guru sebagai profesi tersebut. Contoh lain sebelum pemerintah kolonial menghapus beasiswa bagi pribumi yang ingin studi ke Negeri Belanda, banyak orang yang berduyunduyun mendapatkannya. Namun ketika republik sudah merdeka dan pemerintah memberikan banyak beasiswa ke luar negeri, tidak banyak yang mau mengaksesnya, sungguh ironis dan konyol. Sesungguhnya di era dewasa ini begitu banyak lelucon yang nampak akibat ketidakmauan belajar dari sejarah. Bahkan ada yang mengungkapkan bahwa sejarah tidak penting dan tidak menjual atau tidak menarik untuk dikaji. Sentimen tersebut adalah sentimen yang keluar dari manusia yang tidak tahu hakikatnya sebagai manusia. Dia tidak menyadari bahwa pandangannya pada sejarah tersebut adalah akumulasi pengetahuan yang bersumber dari masa lalu dan sejarah adalah disiplin ilmu yang berusaha mengaji serta merekonstruksi masa lalu. DAFTAR RUJUKAN Engels, Fridrich. 2014. Kondisi Kelas Pekerja Inggris: Embrio Sosialisme Ilmiah. Yogyakarta: Pustaka Nusantara, 2014 Gie, Soe Hok. 2005. Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan. Yogyakarta: Bentang, Ingleson, John. 2015 Buruh, Serikat, dan Politik: Indonesia pada 1920-an-1930-an. Tangerang Selatan: Marjin Kiri. Ingleson, John. 2013. Perkotaan, Masalah Sosial, dan Perburuhan di Jawa Masa Kolonial. Jakarta: Komunitas Bambu. Malaka, Tan. 2013. Aksi Massa. Yogyakarta: Narasi. Marx, Karl. 2006. Brumaire XVIII Louis Bonaparte. Jakarta: Hasta Mitra, 2006 Munir. 2014. Gerakan Perlawanan Buruh: Gagasan Politik dan Pengalaman Pemberdayaan Buruh Pra Reformasi. Malang: Intrans Publishing dan Omah Munir. Ralws, John. 2011. Teori Keadilan: Dasar Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sartre, Jean Paul. 2002. Eksistensialisme dan Humanisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tedjasukmana, Iskandar. 2008. Watak Politik Gerakan Buruh Indonesia. Jakarta: TURC, Tjandra, Surya. 2014. Gerakan Serikat Buruh Indonesia Pasca Orde Baru. Dalam AE Priyono dan Usman Hamid (Eds.), Merancang Arah Baru Demokrasi: Indonesia PascaReformasi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Public Virtue Indonesia, dan TIFA. Warouw, J. Nicolaas. 2000. Pemogokan Buruh: Perjuangan Kaum Buruh pada Masa Orde Baru. Yogyakarta: KesAnt. Wineburg, Sam. 2006. Berpikir Historis: Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa Lalu. Jakarta: Yayasan Obor, 2006 HUBUNGAN ANTARA MORAL DAN AGAMA DENGAN HUKUM Eri Hendro Kusuma Universitas Kahuripan Kediri, Jl. Soekarno-Hatta No. 1 Palem Pare Kediri email:[email protected] Abstract:law, morals, and religion all three interact with each other and equally regulate human behavior. The law requires moral. The law does not mean much if not imbued with morality. Without morality, laws are empty. Therefore, the law must always be measured by moral norms. Legal product which is immoral should not be replaced when the moral consciousness of the community reached a mature enough stage. On the other hand, also need moral law. Moral will dreamily otherwise disclosed and institutionalized in the society in the form one of them is legal. Religion and law are also interrelated and coloring, due to the existence of the law strengthens religious teachings and vice versa. Keywords: moral, religion, law Abstrak:hukum, moral, dan agama ketigaanya saling mengandaikan dan sama-sama mengatur perilaku manusia. Hukum membutuhkan moral. Hukum tidak berarti banyak kalau tidak dijiwai oleh moralitas. Tanpa moralitas, hukum adalah kosong. Karena itu, hukum harus selalu diukur dengan norma moral. Produk hukum yang bersifat imoral tidak boleh tidak harus diganti apabila dalam masyarakat kesadaran moral mencapai tahap cukup matang. Di sisi lain, moral juga membutuhkan hukum. Moral akan mengawang-awang kalau tidak diungkapkan dan dilembagakan dalam masyarakat dalam bentuk salah satunya adalah hukum.Agama dan hukum juga saling berkaitan dan mewarnai, karena keberadaan hukum memperkuat ajaran agama begitu pula sebaliknya. Kata kunci: moral, agama, hukum Antara Hukum, Moral, dan Agama nampaknya seperti pelangi yang memiliki warna yang berbeda akan tetapi menciptakan daya keindahan yang sangat luar biasa. Meskipun demikian diantara ketiganya pasti ada sebuah perbedaan dan persamaan yang mendasar. Petama penulis akan memamparkan perbedaan dari hukum dengan moral dan agama. Perbedaan antara hukum moral dan agama dapat dilihat berdasarkan tiga hal yaitu berdasar sumber, isi, dan sanksi yang diberikan oleh masing-masing kaidah tersebut. Kajian Hukum dan moral mempunyai kaitan erat diantara keduanya, meskipun hukum tidaklah sama dengan moralitas begitu juga sebaliknya. Hukum mengikat kepada semua orang sebagai warga Negara, sedangkan moral hanya mengikat orang sebagai individu. Dalam teori pemisahan antara hukum dan moral bahwa hukum adalah suatu hal dan moralitas adalah hal lain. Artinya bahwa hukum dan moralitas tidaklah sama meski mempunyai hubungan erat diantara keduanya dan juga bukan tidak bisa dipisahkan hubungan antara hukum dan moral. Namun ini bukan berarti bahwa para penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim hanya memberikan perhatian terhadap hukum dan tidak memberikan perhatian terhadap moralitas. Sebenarnya hukum yang baik berasal dari moralitas yang baik, dan moralitas yang baik melahirkan hukum yang baik pula (Ka’bah, 2004:144). Perubahan jamanyang sangat cepat saat ini juga berpengaruh terhadap perilaku dan sikap masyarakat. Seorang pujangga Indonesia pada masa lalu yaitu Ki Ronggo Warsito menuliskan sebuah syair yang menggambarkan kondisi tingkah laku masyarakat pada masa kini. Berikut syair yang menggambarkan kondisi tersebut. Amenangi jaman edan, ewuhaya ing pambudi, Melu edan nora tahan, yen tan melu nglakoni boya kaduman melik 96 Kusuma,Hubungan antara Moral dan Agama dengan Hukum kaliren wekasanipun ndilalah kersa Allah, begja-begjaning kang lali, Luwih begja sing eling lawan waspada Arti ramalan tersebut adalah: hidup di jaman edan/gila,sulit rasanya hati, ikut edan tidak tahan, kalau tidak ikut melaksanakan, tidak mendapat bagian,khirnya kelaparan, ternyata masih kuasa kehendak Allah,seuntung-untungnya yang melupakan, masih untung yang selalu ingat dan waspada(syair Ki RonggoWarsito). Kajian dalam tulisan ini akan membahas beberapa hal, yaitu: (1) kaidah moral, (2) kaidah agama Islam, (3) perbedaan hukum dengan agama dan moral, (4) persamaan hukum dengan agama dan moral, dan (5) hubungan hukum dengan moral dan agama. KAIDAH MORAL “Moral” merupakan kata yang sudah menjadi warna dalam kehidupan kita sehari-hari. Apalagi akhir-akhir ini banyak sekali fenomena sosial yang mengharuskan orang untuk berbicara mengenai kata tersebut. Ketika diberitakan di televisi mengenai sebuah tawuran pelajar maka kita sering mendengarkan istilah “pelajar tak bermoral”, kemudian ketika ada pemberitaan tentang pejabat yang korupsi maka kita sering mendengar istilah “pejabat tak bermoral”. Dari fenomena sosial tersebut lantas muncul sebuah pertanyaan yang mendasar mengenai “apa itu moral?” Moral berasal dari bahasa latin mos (jamak: mores) yang berarti kebiasaan atau adat. Dalam bahasa Inggris, kata mores masih dipakai dalam arti yang sama yaitu kebiasaan. Moral juga mempunyai arti yang sama dengan moralitas yang dalam bahasa latin disebut dengan moralis.Kamus besar bahasa Indonesia mengartikan moral sebagai (1) Ajaran baik atau buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban,dan sebagainya, (2) kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya atau dengan kata lain isi hati/keadaan perasaan sebagaimana terungkap diperbuatan, (3) ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita (Departemen Pendidikan Nasional, 2008:929). Bertens dalam bukunya yang berjudul “Etika” mengatakan bahwa moral merupakan nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pedoman bagi 97 seseorang maupun kelompok yang digunakan untuk mengatur suatu perbuatan (Bertens, 2007:4). Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa moral dijadikan sebuah ukuran seseorang atau kelompok dalam melakukan suatu tindakan atau perbuatan. Misalnya kelompok organisasi masa yang melakukan demonstrasi disertai dengan tindakan anarkis maka mereka berpedoman pada nilai dan norma yang tidak baik, atau beberapa anggota partai politik yang terkena kasus korupsi maka mereka berpedoman pada nilai dan norma yang tidak baik. Ensiklopedi Nasional Indonesia menjelaskan bahwa moral merupakan salah satu cabang ilmu filsafat yang secara khusus mempelajari dan berbicara tentang tingkah laku manusia. Moral dikatakan sebagai norma maka akan berbicara mengenai bagaimana orang harus bertindak. Sehingga dapat dikatakan bahwa moral merupakan suatu ciri berperilaku seseorang yang dihubungkan dengan ukuran yang ada dalam masyarakat, khususnya mengenai perilaku baik atau buruk, moralitas bukan sesuatu yang diperoleh dari kelahiran melainkan tumbuh dan berkembang dalam lingkungan hidup (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1990:371). Dari berbagai perspektif mengenai pengertian moral maka penulis memberikan pengertian moral sebagai suatu prinsip yang mengatur setiap sikap dan perbuatan manusia yang berlandaskan asas kemanusiaan secara universal. “Baik” atau “buruk” nampaknya dua kata yang menjadi dasar dari ukuran moral. Orang yang melakukan amal dari uang hasil korupsi mengatakan bahwa itu adalah perbuatan yang diperbolehkan menurut pemikirannya tapi bertentangan dengan kaidah secara umum. Setiap kasus, perbuatan bisa memiliki moralitas yang berbeda-beda karena dipengaruhi oleh unsur-unsur tertentu. Unsur-unsur penentu moralitas tersebut dapat dibicarakan melalui pertanyaan, apa yang dikerjakan oleh seseorang? Mengapa ia mengerjakan hal itu? Bagaimana Keadaan ketika dia mengerjakan itu?. Dari berbagai pengertian tentang moral diatas maka kita lanjutkan ke pada apa sebenarnya yang dimaksud dengan “kaidah moral”. Kaidah merupakan kata yang berasal dari bahasa arab yang memiliki arti “tata”. Tata merupakan wujud dari aturan-aturan yang menjadi tingkah laku dalam pergaulan hidup manusia yang berguna untuk memelihara dan menjamin kepentingan masing- 98 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 masing individu(Rochman dkk, 2011:79). Kaidah dalam bahasa latin biasa disebut dengan “norma” atau aturan-aturan (dalam bahasa Indonesia”. Isi dari kaidah ada dua yaitu mengenai perintah dan larangan. Perintah merupakan sesuatu yang “harus” dilakukan oleh manusia sedangkan larangan adalah sesuatu yang “tidak boleh” dilakukan oleh manusia dalam kehidpuan seharihari. Dari pengertian tentang kaidah dan moral diatas, maka penulis mendefinisikan kaidah moral sebagai suatu ukuran tingkah laku baik atau buruk manusia yang dipandang benar menurut sudut pandang umum. Sebagai contoh, ketika seseorang melakukan pembunuhan maka mustahil dia sendiri atau keluarganya boleh dibunuh, peristiwa ini mengandung arti subjektif sehingga tidak bisa dikatakan sebagai kaidah moral karena tidak mungkin di buat secara umum. Beda dengan “ketika berjanji maka harus ditepati”, ini bisa dibuat kaidah secara umum karena setiap orang pasti harus menggunakan ini, saya berjanji maka saya wajib menepati janji itu, dan ketika saya di beri janji maka saya berharap janji itu ditepati. KAIDAH AGAMA Agama” merupakan kata yang sudah biasa di dengar dan diucapkan oleh berbagai kalangan masyarakat karena kata tersebut nampaknya sudah menjadi bagian yang mendasar bagi kehidupan manusia. Kata agama memang sulit sekali ketika diberikan sebuah pengertian menurut kebenaran universal, karena berkaitan dengan individu dan sesuatu yang gaib. Akan tetapi bukan tidak mungkin “agama” itu bisa didefinisikan menurut berbagai perspektif. Kata agama berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua perkataan yaitu A dan Gama. A berarti tidak dan Gama yang berarti kocar-kacir atau berantakan. Sehingga kata agama dapat diartikan dari gabungan dua suku kata tersebut yaitu tidak kocar-kacir (Bashori, 2002:22). Berbeda dengan Gazalba yang mengatakan bahwa kata agama berasal dari kata dasar gam yang memiliki pengertian sama dengan go (bahasa Inggris) yang berarti pergi, dan setelah mendapatkan awalan dan akhiran a menjadi agama yang berarti jalan. Dengan demikian pengertian dari kata agama secara etimologis mengandung arti yang bersifat mendasar yang dimiliki oleh berbagai agama yaitu agama adalah jalan, jalan hidup atau jalan yang harus ditempuh oleh manusia dalam kehidupannya di dunia (Muhaimin, 2008:5-6). Selain itu di Indonesia juga sering disebutkan mengenai religi yang berasal dari bahasa Inggris yang berarti “berhati-hati” dan berpegang teguh pada norma-norma atau aturan-aturan secara ketat. Dengan demikian religi dapat dikatakan sebagai suatu keyakinan akan adanya kekuatan gaib yang suci, yang menentukan jalan hidup dan memengaruhi kehidupan manusia, yang dihadapi secara berhati-hati dan diikuti jalan-jalan dan aturan-aturan yang ketat sehingga tidak menyimpang dari jalan yang ditetapkan oleh kekuatan gaib yang suci tersebut (Muhaimin, 2005:6). Dalam kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan bahwa Agama adalah ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan atau kepercayaandan peribadatan yang berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia serta manusia dengan lingkungannya (Departemen Pendidikan Nasional, 2008:15). Agama dalam agama budha berarti tradisi yang diwariskan para guru secara turun temuru atau sabda. Agama juga berarti aturan atau tata cara hidup manusia dalam hubungannya Tuhan dan sesamanya (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1988:125). Lain lagi dalam bahasa arab yang menyebut agama sebagai din. Salah Satu kata din dapat dibaca pada QS- Al Kafirun ayat 6 “Lakum diinukum waliyadin”yang berarti “untukmu agamamu dan untukku agamaku”. Kata din sendiri memiliki arti “hutang” atau sesuatu yang harus dipenuhi. Dalam bahasa semit kata din diartikan sebagai undang-undang atau hukum (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1988:6-7). Dari kedua pengertian tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kata din adalah undangundang atau hukum yang harus ditaati oleh manusia, dan ketika manusia itu tidak taat hukum maka dia berhutang yang akan terus ditagih, serta akan mendapatkan balasan jika tidak segera dibayar. Dari beberapa pandangan mengenai pengertian agama di atas maka penulis mendefinisikan kaidah agama sebagai suatu keyakinan yang dimiliki oleh setiap individu mengenai perintah dan larangan Tuhan (Allah SWT), baik ketika berhubungan dengan sesuatu yang gaib (Allah),individu dengan dengan individu Kusuma,Hubungan antara Moral dan Agama dengan Hukum lainnya, serta individu dengan lingkungannya untuk mencapai sebuah tatanan kehidupan yang baik, dan jika mereka melanggar perintah dan larangan Allah maka akan menerima sanksi yang bukan saja di alam dunia akan tetapi juga diterima pada tempat yang berbeda (alam akhirat). PERBEDAAN HUKUM DENGAN AGAMA DAN MORAL Antara kaidah hukum, moral dan agama memiliki sumber yang berbeda. Kaidah agama biasanya bersumber pada kitab suci ( dalam islam bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist Nabi). Salah satu bukti bahwa Al Qur’an adalah sumber dari segala sumber hukum dalam kehidupan manusia dapat dilihat dalam QS. Al-Ahzab ayat 36 yang artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang Mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah Menetapkan suatu Ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata.” Segala perbuatan manusia menurut kaidah agama haruslah berdasarkan perintah dan larangan Allah SWT yang terdapat pada Kitab Suci Al Qur’an. Tata kehidupan manusia mulai dari hubungannya dengan Allah, hubungan dengan manusia yang lain, serta hubungan dengan alam semesta harus sesuai dengan apa yang sudah tersurat di dalam Al Qur’an. Berbeda dengan kaidah agama yang bersumber dari Kitab Suci, Kaidah Moral bersumber dari dalam diri individu manusia yang kebenarannya diakui secara universal. Kemudian mucul pertanyaan mengapa harus universal/ objektif dan tidak bergantung dari hati nurani saja?. Penulis akan mencoba memberikan sebuah contoh, “seorang teroris” yang melakukan bom bunuh diri dan menyebabkan hilangnya nyawa manusia yang lain, mengaggap bahwa perbuatannya itu baik sesuai hati nuraninya. Akan tetapi jika dilihat dari kacamata manusia lain maka tindakan teroris itu amatlah keji dan bertentangan dengan hati nurani orang lain. Bertens (2007:62) mengatakan kita tidak boleh bertindak yang bertentangan dengan hati nurani, karena itu harus diikuti meski secara objektif ia sesat. Akan tetapi manusia wajib juga 99 mengembangkan hati nurani dan seluruh kepribadian etisnya sampai menjadi matang dan seimbang, pada akhirnya orang yang sungguhsungguh dewasa dalam bidang etis, putusan subjektif dari hati nuraniakan sesuai dengan kualitas objektif dari perbuatannya. Hati nurani sangatlah penting karena itu akan menjadi tembok pertahanan terakhir tindakan manusia. Akan tetapi hati nurani haruslah dibina hingga menuju sebuah kedewasaan etis demi terwujudnya sebuah pernyataan objektif menurut kebenaran universal. Jika kaidah agama bersumber pada kitab suci dan kaidah moral bersumber pada setiap individu manusia, kemudian sumber kaidah hukum apa? Kaidah hukum merupakan segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan memaksa dan jika itu dilanggar maka akan mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Aturan-aturan itu bisa berupa peraturan perundang-undangan, kebiasaan, yurisprudensi, traktat, maupun doktrin (Kansil, 1989:46). Dalam pandangan lain dikatakan bahwa kaidah hukum adalah peraturan –peraturan yang timbul dan dibuat oleh lembaga-lembaga negara tertentu. Isinya mengikat setiap orang dan pelaksanaannya dapat dipertahankan dengan segala paksaan oleh alat-alat negara (Kansil, 1989:82). Sehingga dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa kaidah hukum bersumber dari aturan yang dibuat oleh penguasa suatu negara. Kaidah Hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas, artinya dituliskan dan secara kurang lebih sistematis disusun dalam kitab undang-undang. Karena itu norma yuridis mempunyai kepastian lebih besar dan bersifat lebih objektif. Sebaliknya norma moral bersifat lebih subjek dan akibatnya lebih banyak diganggu oleh diskusi-diskusi yang mencari kejelasan tentang apa yang dianggap etis atau tidak etis. Tentu saja di bidang hukum pun terdapat banyak diskusi dan ketidakpastian tetapi di bidang moral ketidakpastian ini lebih besar karena tidak ada pegangan tertulis. Lain lagi dengan kaidah agama yang terkodifikasi sehingga timbul adanya sebuah kepastian hukum meskipun kepastian itu bersifat abstrak, karena berhubungan dengan hal-hal ghaib.Di dalam kitab suci juga dijelaskan bagaimana tata cara manusia ketika berhubungan dengan manusia yang lain serta dijelaskan juga mengenai ukuran baik manusia ketika bertindak. Menurut hemat penulis ketiganya dapat disimpulkan bahwa hukum membatasi diri pada 100 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut sikap batin seseorang. Niat batin tidak termasuk jangkauan hukum, sebaliknya dalam konteks moralitas sikap batin sangat penting. Sedangkan di dalam agama (Islam)aturan antara lahiriah dan bathiniah keduanya dianggap sangat penting sehingga kedua hal tersebut wajib diwadahi, dalam islam istilah ini disebut dengan Akhlak. . Sanksi yang berkaitan dengan hukum berlainan dengan sanksi yang berkaitan dengan moral mapun agama. Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan, orang yang melanggar hukum akan mendapat sanksi/hukuman. Suatu contoh ketika ada orang yang melakukan pencurian maka di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dikatakan orang yang mencuri tersebut mendapatkan pidana penjara atau denda. Jadi sanksi yang diberikan oleh hukum ini bersifat tegas dan nyata. Tetapi norma-norma etis tidak dapat dipaksakan. Menjalankan paksaan dalam bidang etis tidak efektif juga. Sebab paksaan hanya dapat menyentuh bagian luar saja, sedangkan perbuatanperbuatan etis justru berasal dari dalam. Satusatunya sanksi dalam bidang moralitas adalah hati nurani yang tidak tenang karena telah melakukan perbuatannya yang kurang baik terhadap orang lain. Sedangkan sanksi yang diberikan agama nyata dan juga abstrak karena bukan hanya sekarang (di dunia), akan tetapi setelah manusia itu mengalami kematian (alam barzah dan alam akhirat) juga akan mendapatkan sanksi manakala tidak segera bertobat. Misal di dalam QS. Al Ma’idah Ayat 38 yang artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Secara tegas di katakan dalam ayat tersebut di atas tidak membedakan laki-laki maupun perempuan ketika mereka melakukan pencurian maka harus dipotong tangannya. Bukan hanya itu, ketika mereka tidak mau bertobat atas perbuatannya maka di hari pembalasan (alam akhirat) akan mendapatkan sanksi lagi yang lebih kejam dari pada potong tangan. Ini secara lahiriah orang yang mencuri tersebut akan jerah dan secara bathiniah hatinya akan tersiksa karena hukumannya bukan hanya di dunia tapi berlanjut di akhirat. Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara. Juga kalau hukum tidak secara langsung berasal dari negara seperti hukum adat maka hukum itu harus diakui oleh negara supaya berlaku sebagai hukum. Moralitas didasarkan pada norma-norma moral yang melampaui para individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis ataupun cara lain masyarakat dapat mengubah hukum tetapi tidak pernah masyarakat mengubah atau membatalkan suatu norma moral. Masalah etika tidak dapat diputuskan dengan suara terbanyak. Tetapi kalau hubungan dengan perbuatan yang bersifat melawan hukum, maka agama, moral, dan hukum itu saling bertemu. Disini agama, moral, dan hukum mempunyai bidang bersama. Perbedaan antara hukum dan moral disini ialah bahwa jalan menuju ke bidang bersama itu bertentangan arah, yaitu bagi hukum dari luar (dari perbuatan lahir) ke dalam(ke batiniah). Seringkali hukum harus menghukum perbuatan yang timbul dari motif yang dibenarkan oleh moral. Ini merupakan akibat perbedaan dalam tujuan antara hukum dan moral. Sebab syarat untuk adanya kehidupan bersama yang lebih baik dengan yang baik dengan yang ditentukan oleh moral bagi manusia sebagai individu seperti pembunuhan atas perintah komandan; sumpah diganti janji. Didalam hukum ada kekuasaan luar (kekuasaan diluar “aku”) yaitu masyarakat yang memaksakan kehendak. Kita tunduk pada hukum diluar kehendak kita. Hukum mengikat kita tanpa syarat. Sebaliknya perintah batiniah(moral) itu merupakan syarat yang ditentukan oleh manusia sendiri. Moral mengikat kita karena kehendak kita.Hukum bertujuan tatanan kehidupan bersama yang tertib. Tujuan ini hanya dapat dicapai apabila diatas dan diluar manusia individual ada kekuasaan yang tidak memihak yang mengatur bagaimana mereka harus bertindak satu sama lain. Moral berakar dalam hati nurani manusia, berasal dari kekuasaan dari dalam diri manusia. Disini tidak ada kekuasaan luar yang memaksa manusia mentaati perintah moral. Paksaan lahir dan moral tidak mungkin disatukan. Hakikat perintah moral adalah bahwa harus dijalankan dengan sukarela. Satu-satunya perintah kekuasaan yang ada dibelakang moral adalah kekuasaan hati nurani manusia. Kekuasaan ini tidak asing juga pada hukum, bahkan mempunyai peranan penting. Agama yang bersumber dari kitab suci menjadi pelengkap antara hukum dan moral, Kusuma,Hubungan antara Moral dan Agama dengan Hukum 101 Tabel 1 Perbedaan Hukum dengan Moral dan Agama Kaidah Berdasarkan Hukum Moral Agama Sumber Dari Masyarakat yang diwakili oleh pemerintah Dari dalam diri manusia sendiri Dari Tuhan melalui Kitab Suci Isi Berkenaan dengan sikap lahir Berkenaan dengan sikap bathin Berkenaan dengan sikap Lahir dan bathin Sanksi Eksternal yaitu berupa pidana maupun denda Intern yaitu dari pelaku sendiri Intern yaitu berupa dosa karena antara lahiriah dan bathiniah diatur dalam ajaran agama khususnya Islam. Agama mencoba menyatukan antara paksaan lahir dan bathin. Agama mencoba membina hati nurani manusia menuju kedewasaan, dari hati nurani yang bersih maka akan timbul kegiatan lahiriah yang bersih pula. Untuk memudahkan pemahaman mengenai perbedaan hukum dengan moral dan agama maka penulis membuat sebuah tabel perbandingan di antara ketiga kaedah tersebut. PERSAMAAN HUKUM AGAMA DAN MORAL DENGAN Dalam banyak literatur dikemukakan bahwa tujuan hukum atau cita hukum tidak lain daripada keadilan. Gustav Radbruch, di antaranya menyatakan bahwa cita hukum tidak lain daripada keadilan, Esensi keadilan berpangkal pada moral manusia yang diwujudkan dalam rasa cinta kasih dan sikap kebersamaan (Marzuki, 2009:44).Yang pertama kali mengemukakan moral sebagai dasar aturan adalah Thomas Aquinas (Marzuki, 2009:139).Thomas Aquinas menyatakan manusia tidak dapat mengingkari keberadaan tubuhnya. Tubuh inilah yang memicu adanya tindakan, keinginan dan hawa nafsu. Menurut Thomas Aquinas, manusia melalui kekuatan kemauan dan pikiran yang dimilikinya dapat melepaskan diri dari kendali-kendali tersebut. Daya intelektual manusia dapat memberikan peringkat terhadap makna mengenai apa yang dimiliki manusia. Kekayaan, kesenangan, kekuasaan, dan pengetahuan merupakan objek keinginan yang dapat dimiliki oleh manusia. Akan tetapi semua itu tidak dapat menghasilkan kebahagian manusia yang terdalam. Hal-hal itu tidak memiliki karakter kebaikan yang bersifat universal yang dicari oleh manusia. Aquianas percaya bahwa kebaikan yang universal itu tidak dapat diketemukan pada ciptaan, melainkan pada Allah Sang Pencipta. Menurut Thomas Aquianas, hukum terutama berkaitan dengan kewajiban yang diletakkan oleh nalar. Hukum meliputi kekuasaan, dan kekuasaan inilah yang memberikan kewajiban. Akan tetapi di belakang kekuasaan inilah berdiri nalar. Penguasa melalui hukum positif dapat memberi perintah yang bukan-bukan atau memaksa orang melakukan perbuatan yang tidak benar, tetapi hukum positif tersebut bekerja tidak sesuai dengan hakikat alamiah hukum. Hukum alam ditentukan oleh nalar manusia. Mengingat Allah menciptakan segala sesuatu, hakikat alamiah manusia dan hukum alam paling tepat dipahami sebagai produk kebijaksanaan atau pikiran Allah. Bentuk kaidah hukum, moral, dan agama adalah berupa perintah dan larangan yang harus dilakukan manusia dalam melakukan sebuah tindakan. Larangan untuk melakukan pencurian adalah salah satu contoh perintah untuk menghargai hak milik orang lain. Sehingga negara (melalui peraturan perundang-undangan) melarang perbuatan pencurian tersebut. Moral sebagai “ukuran baik atau buruk” dalam melakukan sebuah tindakan maka akan timbul sebuah perintah dan larangan yang berasal dari hati nurani masingmasing individu untuk tidak melukai lahiriah dan bathiniah individu yang lain. Sedangkan di dalam agama juga sama yaitu berbentu perintah dan larangan. Perintah untuk menghargai sesama dan larangan untuk mencuri adalah salah satu contoh perintah Allah yang tersurat dalam Al Qur’an. Antara kaidah hukum, moral, dan agama bertujuan untuk menciptakan ketertiban individu dilingkungan masyarakat. Hukum ada karena 102 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 Tabel 2 Persamaan Hukum dengan Moral dan Agama Kaidah Berdasarkan Hukum Moral Agama Bentuknya Berupa kewajiban dan larangan Berupa kewajiban dan larangan Berupa kewajiban dan larangan Sifat Memaksa Memaksa Memaksa Tujuan Ketertiban masyarakat Kepentingan pelaku untuk kehidupan di masyarakat Tatanan hidup yang baik di dunia dan di akhirat untuk mengatur tingkah laku individu dalam bertindak dilingkungan masyarakat. Kaidah moral melalui hati nurani membimbing manusia menuju kejalan yang benar ketika individu tersebut menjalani kehidupan di dalam bermasyarakat. Sedangkan agama lebih dari pada hukum dan moral, karena bukan hanya dipertanggung jawabkan di dunia melainkan ketika melakukan kegiatan di masyarakat segala amal perbuatan yang baik maupun buruk akan dicatatdan di pertanggung jawabkan kelak di alam akhirat. Adanya sanksi baik dari kaidah hukum, moral, dan agama tidak lain adalah untuk mengatur tata kehidupan individu di dalam masyarakat. Sanksi adalah sebuah cara untuk memaksa individu untuk berbuat baik, sanksi adalah sebuah keharusan yang harus diterima oleh individu ketika mereka melanggar kaidah. Dengan adanya perintah, larangan, dan sanksi menyebabkan antara hukum, moral, dan agama sama-sama memiliki sifat “memaksa”. Ketiga kaidah tersebut memiliki sifat yang sama karena memiliki tujuan yang sama pula. Sehingga untuk mencapai tujuan tersebut tidak ada jalan yang lain selain harus memaksa individu untuk melakukan tindakan yang baik dari kaca mata objektif. Adanya perbedaan antara hukum, moral, dan agama sebagaimana disampaikan sebelumnya tidaklah menjadi pembeda diantara keduanya. Artinya antara hokum, moral, dan agama sangatlah erat kaitan diantara ketiganya. Sehingga selain ada beberapa perbedaan yang sudah disampaikan sebelumnya berikut juga beberapa persamaan antara hukum, moral, dan agama. HUBUNGAN HUKUM DENGAN MORAL DAN AGAMA Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 29 (2) menyatakan “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamnya dan kepercayaannya itu. Bukti bahwa antara hukum, moral, dan agama tidak bisa dilepaskan dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia. Hukum, moral, dan agama merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia. Antara hukum, moral, dan agama mempunyai hubungan yang erat sehingga diantara ketiganya dapat memperkuat satu sama lain untuk menjalankan kaidah-kaidahnya. Orang yang menganut suatu ajaran agama maka sudah pasti dia bermoral dan taat akan hukum. Hal tersebut didasarkan pada suatu realita bahwa di dalam ajaran agama apapun tidak ada yang mengajarkan tentang bagaimana berbuat buruk atau jahat kepada orang lain.Tidak dapat dipungkiri jika agama mempunyai hubungan erat dengan moral. Setiap agama mengandung suatu ajaran yang menjadi pegangan bagi perilaku para penganutnya. Diantara hukum, moral, dan agama ketigaanya saling mengandaikan dan sama-sama mengatur perilaku manusia. Hukum membutuhkan moral. Hukum tidak berarti banyak kalau tidak dijiwai oleh moralitas. Tanpa moralitas, hukum adalah kosong. Kualitas hukum sebagian besar ditentukan oleh mutu moralnya. Karena itu, hukum harus selalu diukur dengan norma moral. Produk hukum yang bersifat imoral tidak boleh tidak harus diganti bila dalam masyarakat kesadaran moral mencapai tahap cukup matang. Di sisi lain, moral juga membutuhkan hukum. Moral akan mengawang-awang kalau tidak diungkapkan dan dilembagakan dalam masyarakat dalam bentuk salah satunya adalah hukum. Dengan demikian, hukum bisa meningkatkan dampak sosial dari moralitas. “Menghormati milik orang lain” misalnya merupakan prinsip moral yang penting. Ini berarti bukan saja tidak boleh mengambil dompet orang lain tanpa izin, melainkan juga milik dalam Kusuma,Hubungan antara Moral dan Agama dengan Hukum bentuk lain termasuk milik intelektual, hal-hal yang ditemukan atau dibuat oleh orang lain (buku, lagu, komposisi musik, merk dagang dsb).Hal ini berlaku karena alasan etis, sehingga selalu berlaku, juga bila tidak ada dasar hukum. Hukum tanpa moral adalah kezaliman. Moral tanpa hukum adalah anarki dan utopia yang menjurus kepada peri-kebinatangan. Sedangkan hukum dan moral tanpa di landasi agama maka akan sesat. Hanya hukum yang dipeluk oleh kesusilaan dan berakar pada kesusilaan yang dapat mendirikan kesusilaan. Dengan begitu dapat dinyatakan bahwa hukum tanpa keadilan dan moralitas bukanlah hukum dan tidak bisa bertahan lama. Sistem hukum yang tidak memiliki akar substansial pada keadilan dan moralitas pada akhirnya akan terpental. sehingga hukum dan moral harus berdampingan, karena moral adalah pokok dari hukum, maka tidak ada dan tidak pernah ada pemisahan total hukum dari moralitas. Oleh karenanya hukum yang dipisahkan dari keadilan dan moralitas bukanlah hukum. Moral dengan hukum memiliki hubungan yang erat pula, hukum membutuhkan moral, disisi lain moral juga membutuhkan hukum. Tanpa moralitas hukum akan kososng, sedangkan moral akan mengawang-awang jika tidak diungkapkan dan dikembangkan dalam masyarakat. Artinya adalah moral dan hukum senantiasa saling mendukung satu sama lain, tanpa moral lantas apa dasar yang akan diatur dalam hukum. Sedangkan jika tidak ada hukum lantas bagaimana merealisasikan harapan-harapan “baik” yang menjadi dasar dari kaidah moral. Kubu positivisme hukum inklusif mengatakan bahwa kaidah hukum positif yang tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan faktor moral, bisa jadi kaidah hukum positif tersebut menjadi tidak valid. Meskipun demikian pendapat ini juga bersebrangan dengan teori postivisme hukum eksklusif yang menganggap bahwa hukum adalah undang-undang (Fuady, 2013:73-74). Namun pendapat dari teori postivisme hukum postivisme ekslusif yang klasik nampaknya mendapatkan pertentangan dari teori positivisme ekslusif yang lebih moderat yang menganggap bahwa faktor moral juga memberi sumbangan kepada apa yang seharusnya dilakukan ketika hukum itu dilaksanakan. Pada umumnya peraturan-peraturan hukum dilaksanakan secara sukarela oleh karena kita dalam hati nurani kita merasa wajib. Hukum dalam 103 pelaksaannya terdapat dukungan moral.Dasar kekuasaan batiniah dari hukum ini dapat berbeda. Dapat terjadi karena isi peraturan hukum memenuhi keyakinan batin kita. Akan tetapi dapat juga isi peraturan hukum kita mematuhinya. Dibelakang hukum masih ada kekuasaan disamping hati nurani kita. Masyarakat yang menerapkan peraturanperaturan hukum itu mempunyai alat kekuasaan untuk melaksanakan pelaksanaanya kalau tidak dilaksanakan. Pelaksanaan hukum tidak seperti moral yang hanya tergantung pada kekuasaan batiniah, tetapi masih dipaksakan juga oleh alat-alat kekuasaan lahir/luar. Agama dan hukum juga saling berkaitan dan mewarnai, untuk mendapatkan legaltas dari suatu negara maka harus melaksanakan ritual sesuai dengan ajaran agama, Suatu contoh sepasang mempelai yang melakukan pernikahan maka terlebih dahulu harus disahkan menurut ajaran agamanya, sebelum mereka mendapat pengakuan dari negara melalui catatan pernikahan dari Kantor urusan Agama (KUA) maupun catatan sipil. Fenomena ini terjadi karena untuk melaksanakan hukum yang dibuat oleh pemerintah. Pasal 2(1)Undang-Undang Republik IndonesiaNomor I Tahun 1974TentangPerkawinan, menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Meskipun demikian tidak semuanya yang ada di kitab suci bisa diadopsi ke dalam hukum positif. Contohnya adalah sanksi pemotongan tangan kepada pencuri yang dibenarkan oleh agama Islam, akan tetapi itu bertentangan dengan hukum positif di Indonesia karena alasan pertimbangan nilai moral. Hal ini yang memberikan salah satu bukti bahwa antara hukum, moral dan agama memiliki hubungan yang sangat erat. Dari kajian ini agama merupakan suatu kaedah yang di dalamnya sudah mencakupi ciri dari kaedah hukum maupun moral. Di dalam agama sudah terdapat ciri yang ada dalam kaedah hukum yaitu adanya sebuah perintah dan larangan, dan ada sanksi yang jelas. Dalam ajaran agama pun juga sudah terdapat ciri dari kaedah moral yaitu mengatur bagaimana seseorang bisa berbuat sesuatu yang baik dan meninggalkan sesuatu yang buruk demi ketentraman sebuah bathin. Sehingga dapat dikatakan jika seseorang benar-benar menganut ajaran salah satu agama secara benar maka sudah pasti juga melaksanakan kaedahkaedah yang lain. Berikut gambaran yang 104 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 sekiranya dapat menjelaskan hubungan hukum, moral dan agama secara sederhana, Kaidah agama nampak bidang kajiannya cukup luas dibandingkan dengan kedua kaidah lainnya yakni hukum dan moral. Moral hanya sebatas mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk menurut kebenaran umum tanpa adanya sebuah aturan yang jelas mengenai sanksi. Hukum mengatur lar angan dan keharusan dengan aturan sanksi yang jelas akan tetapi hukum hanya berhubungan dengan yang lahiriah saja. Sedangkan agama cakupannya sangatlah luas, bukan hanya sebatas ukuran baik dan buruk menurut kebenaran hati dan pikiran bersih, bukan juga hanya perintah, larangan, dan sanksi yang bersifat lahiriah saja, akan tetapi lebih luas dari apa yang menjadi dasar dari kedua kaidah tersebut. SIMPULAN Moral mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk menurut kebenaran umum tanpa adanya sebuah aturan yang jelas mengenai sanksi.Agama cakupannya sangat luas, bukan hanya sebatas ukuran baik dan buruk menurut kebenaran hati dan pikiran bersih, bukan juga hanya perintah, larangan, dan sanksi yang bersifat lahiriah saja, akan tetapi lebih luas dari apa yang menjadi dasar dari kedua kaidah tersebut yakni ada sanksi pada kehidupan setelah manusia meninggal. Hukum mengatur larangan dan keharusan dengan aturan sanksi yang jelas yang dibuat oleh negara, keberadaan hukum sangat dipengaruhi oleh rasionalitas manusia.. DAFTAR RUJUKAN Bashori. 2007. Ilmu perbandingan agama (suatu pengantar).Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Negeri Malang. Malang. Bertens, K. Etika. 2007. PT. Gramedia Utama. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional. 2008.Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat bahasa Edisi Ke Empat.Jakarta. Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 1. 1988. PT. Cipta Adi Pustaka. Jakarta. Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 10. 1990. PT. Cipta Adi Pustaka. Jakarta. Fuady, Munir. 2013.Teori-Teori Besar dalam Hukum.Kencana. Jakarta. Kansil, C.S.T. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. Muhaimin, dkk. 2005. Kawasan dan Wawasan Studi Islam. Kencana. Jakarta. Marzuki, Peter Mahmud. 2009. Pengantar Ilmu Hukum. Kencana. Jakarta. Rifyal ka’bah. 2004.Menegakkan Syariat Islam di Indonesia.Jakarta. AKTOR NON-NEGARA DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL Margono Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Malang Jl. Semarang No.5 Malang email:[email protected] Abstract: This report aims to describe the role of non-state actors in international relations. Although classically international relations in the information era is still dominated by the relationship between countries, actors non-states increasingly play an important role, even capable of challenging the state with super powers like the United States. Thus, the critical paradigm in the discussion of international relations needs to be done. Keywords: non-governmental actors, international relations, critical. Abstrak: paparan ini bertujuan untuk mendeskripsikan peranan aktor non-negara dalam hubungan internasional. Meskipun secara klasik hubungan internasional pada era informasi masih didominasi oleh hubungan antar negara, secara meyakinkan aktor-aktor non-negara semakin memainkan peranan penting, bahkan mampu menantang negara dengan kekuatan super seperti Amerika Serikat. Dengan demikian, paradigma kritis dalam pembahasan hubungan internasional perlu dilakukan. Kata kunci: aktor nonpemerintah, hubungan internasional, kritis Perkembangan teknologi digital, ekspansi pasar, dan perubahan tatanan politik dunia setelah berakhirnya perang dingin telah merubah hubungan internasional. Semula hubungan internasional diwarnai oleh interaksi antara negara dengan negara. Sekarang, aktor-aktor nonnegara lebih menunjukkan kemampuan internasionalnya terhadap negara adidaya sekalipun. Serangan teroris internasional ke jantung ekonomi dan pertahanan negara adidaya Amerika Serikat mengejutkan semua pihak, bahwa aktor nonnegara sekaliber Al Kaidah secara langsung mampu menggerakkan Amerika Serikat untuk menyerang Afghanistan, dan memperkuat hegemoninya di Timur Tengah. Implikasi selanjutnya, serangan bom terjadi di sejumlah pusat berkumpulnya orang asing di Indonesia yang dimotori oleh alumni Afghanistan. Pendidikan kewarganegaraan pada jenjang sekolah menengah atas memuat materi tentang hubungan internasional. Materinya masih didominasi topik hubungan negara dengan negara. Kendati hal ini masih dianggap sangat penting, pembelajaran tentang hubungan internasional pada jenjang ini harus mulai menyadarkan siswa bahwa aktor-aktor nonnegara telah semakin kuat dalam mempengaruhim tatanan hubungan internasional. Menurut Alatas (dalam Rochmadi, 2008) kecenderungan mutakhir hubungan internasional adalah: Ada empat perubahan mendasar terkait dengan permasalahan di atas yang mempunyai pengaruh sangat besar dalam hubungan antar bangsa, yaitu: (1) kecenderungan ke arah perubahan dalam konstelasi politik global, dari suatu kerangka bi-polar ke kerangka multi-polar; (2) menguatnya gejala saling ketergantungan antarnegara dan saling keterkaitan antarmasalah global di berbagai bidang, politik, keamanan, ekonomi, sosial, lingkungan hidup dan sebagainya. Seiring dengan itu semakin menguat pula dampak globalisasi dengan segala implikasinya, baik yang positif maupun yang negatif; (3) meningkatnya peranan aktor-aktor non-pemerintah dalam tata-hubungan antarnegara; (4) munculnya isu-isu baru dalam agenda internasional seperti masalah hak asasi manusia, intervensi humaniter, demokrasi 105 106 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 dan demokratisasi, “good governance”, lingkungan hidup dan sebagainya. Makalah ini berusaha menyajikan perkembangan terbaru dalam interaksi internasional. Hal ini dimulai dari memasukkannya aktor nonpemerintah dalam definisi hubungan internasional, siapa saja aktor hubungan internasional, tujuan para aktor tersebut, bentuk interaksinya, pergeseran politik internasional ke arah politik dunia, teori internasionalisme liberal dan teori internasional kritis dalam ilmu hubungan internasional. PENGERTIAN HUBUNGAN INTERNASIONAL Secara tradisional hubungan internasional berarti hubungan antar negara. Sekarang definisi ini tidak memadai, karena perkembangan mutakhir tentang kondisi politik dunia menuntut untuk membuat pengertian hubungan internasional lebih luas. Hubungan internasional (Perwita & Yani, 2006) adalah studi tentang interaksi negara-negara berdaulat di dunia, dan juga studi tentang aktor bukan negara yang perilakunya mempunyai pengaruh terhadap kehidupan negara-bangsa (MNC, IGO, INGO, dan TOC, serta teroris internasional). Selama perang dingin, negara-negara di dunia bersitegang dalam dua kelompok besar, yakni blok Timur dan blok Barat. Negara dianggap memiliki kekuatan utama dalam hubungan internasional. Jika ingin damai, maka saat itu negara-negara harus siap berperang. Indonesia tidak mau terjebak. Indonesia bersama sejumlah negara lain menyelenggarakan konferensi Asia-Afrika, dan membentuk Nonblok. Aktor konsepsi untuk mengatasi ketegangan global ini tetap saja konfigurasi antar negara. Perang dingin usai, seolah menunjukkan kapitalisme memperoleh kemenangannya atas komunisme. Amerika Serikat dan sekutunya menjadi satu-satunya kekuatan dunia, tanpa penyeimbang dari negara-negara lain. Kekuatan dominan kapitalisme dalam percaturan dunia dan realitas hubungan internasional, justru membangkitkan kemampuan aktor bukan negara. Teorisme internasional menjadi sesuatu yang menakutkan. Organisasi kriminal internasional seperti Yakusa dan Triad mengatur distribusi heroin di berbagai negara, terutama Amerika Serikat, dan seringkali juga menyuap pejabat-pejabat negara untuk memperlancar operasi kejahatan antar negara. Tekanan organisasi pecinta lingkungan semisal Greenpeace mampu mengawasi penebangan hutan di Indonesia. Laporan Tranparancy Internasional menjadi acuan warga negara Indonesia untuk mengganyang pejabat negara yang terlibat korupsi. Selain dari pada itu, organisasi internasional yang beranggotakan negara-negara, khususnya yang bergerak di bidang ekonomi seperti APEC, WTO, dan IMF telah menjadi entitas tersendiri yang mempengaruhi dan membatasi kedaulatan setiap negara, khususnya mayoritas negara-negara yang lemah secara ekonomi untuk mandiri di bidang pangan dan energi. AKTOR-AKTOR HUBUNGAN INTERNASIONAL Definisi terbaru tentang hubungan internasional mengindikasikan perluasan aktor hubungan internasional. Aktor menunjuk pada pelaku dalam interaksi internasional. Aktor hubungan internasional dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama adalah aktor negara dan yang kedua menyangkut aktor-aktor bukan negara atau disebut aktor nonpemerintah. Aktor negara misalnya Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Timor Leste. Ia merupakan negara berdaulat yang dibangun oleh kesadaran kebangsaan. Oleh karena itu, aktor ini disebut juga negara-bangsa (nation state). Aktor negara ini berbeda-beda sistem politiknya. Pada umumnya mereka mengarah kepada negara demokratis, di mana politik pemerintahnya merupakan representasi dari kemauan rakyatnya. Akan tetapi, banyak juga negara yang dikuasai elit pemerintah dan pengusaha, sehingga seolah lepas dari gambaran politik warganya. Sistem politik dalam negeri ini berpengaruh kuat terhadap karakteristik hubungan internasional. Aktor bukan negara terdiri dari perusahaan multi nasional-MNC, organisasi pemerintah internasional-IGO, organisasi nonpemerintah internasional-INGO, kejahatan transnasional terorganisasi-TOC, dan jaringan teroris internasional (Perwita & Yani, 2006:11). Multy National Corporatios (MNCs) adalah perusahaan multi nasional yang bergerak hampir di seluruh negara di dunia. Misalnya perusahaan Cola Cola. Ia memiliki kantor pusat di Amerika Margono, Aktor Non-Negara dalam Hubungan Internasional Serikat. Kantor cabang, pabrik, dan jaringan pemasarannya berada di berbagai negara. Konon semilyar botol minuman Coca Cola diminum orang setiap hari di seluruh dunia. Setiap botol Coca Cola yang kita minum pasti terdapat sekian persen uang yang kita setor ke Amerika Serikat. Jika satu rupiah saja setiap botol sebagai jatah pemerintah Amerika Serikat, maka Amerika Serikat menerima satu milyar rupiah setiap harinya. Amerika Serikat menjadi sangat kaya. Kekayaan ini antara lain dipergunakan untuk membiayai pengembangan peralatan militer. Dan supremasi kekuatan militer Amerika Serikat, terutama senjata nuklir, kerap kali dipakai untuk mengancam negara-negara yang berpikir selain sistem berpikir pasar bebas. Amerika Serikat tengah mengancam Venezuela melalui perjanjian pangkalan militer dengan Colombia, ketika pemerintah Venezuela menempuh jalur sosialisme yang menasionalisasi kilang minyaknya yang semula dikuasai perusahaan-perusahaan minyak Amerika Serikat. Seolah-olah perusahaan minyak seperti Exon Mobil tengah memperalat pemerintah Amerika Serikat untuk menggunakan kekuatan militernya dalam menggempur Venezuala yang tidak mau tunduk kepada hegemoni MNC ini. Dengan demikian, siapakah yang paling berkuasa, pemerintah Amerika Serikat atau pengusaha minyak? Organisasi pemerintahan internasional atau International Govermental Organizations (IGOs) sudah biasa dipelajari oleh siswa. Mereka adalah PBB, ASEAN, WTO, dan sebagainya. Mereka merupakan aktor tradisional hubungan internasional. Aktor ini sering terlalu dipercaya sebagai wadah untuk mencapai keadilan dan kemajuan ekonomi, tetapi kenyataannya tidak semua IGO menjalankan fungsi emansipatif seperti UNESCO yang dibenci Amerika Serikat. Sebagian besar IGO malah berfungsi eksploitatif bagi anggotanya yang memiliki power lemah. IMF misalnya telah terbukti menjadi instrumen Amerika Serikat dan sekutu kapitalisnya untuk menundukkan sejumlah negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, agar tetap menjadi klien penurut; ketika kebijakan pemerintah, tenaga kerja, sumber alam, dan konsumennya dikerjain (bahasa Malang-nya, diplokotho) habis-habisan. IMF telah berhasil berperan sebagai penjajah yang menggunakan strategi klasik VOC di Indonesia. VOC adalah persekutuan dagang yang diberi wewenang internasional untuk mengancam negara 107 lain, yang antara lain dengan kewenangan membuat senjata dan menggunakannya, dalam transaksi perdagangan rempah di Maluku. Organisasi nonpemerintah internasional (International Nongovermental OrganizationsINGOs) adalah organisasi nonprofit berskala internasional yang biasanya memperjuangkan nilainilai kemanusiaan dan lingkungan hidup. Tranparancy International misalnya memperjuangkan aspirasi antikorupsi sehingga tercipta keadilan. Palang Merah Internasional bergerak di berbagai negara untuk menolong korban perang, bencana alam, dan penyakit endemik. Greenpeace memperjuangkan kelestarian lingkungan hidup sehingga bumi menjadi tempat yang nyaman bagi seluruh penghuninya. Transnational Organized Crime (TOC) yakni kejahatan internasional terorganisir, juga merupakan aktor dalam hubungan internasional, karena prengaruhnya yang signifikan terhadap interaksi antar negara. Kerjasama antar negara digalang untuk mengatasi peredaran narkotika, pencucian uang, perdagangan manusia, dan senjata gelap. Yakuza, kejahatan terorganisasi yang berasal dari Jepang, telah membuka jaringannya di Amerika Serikat dan negara lain, bukan hanya untuk peredaran narkotika, tetapi juga uang palsu, dan perdagangan manusia. Hal serupa juga dilakukan oleh Triad yang semula berasal dari Cina, dan Mafia yang asal-usulnya dari Italia. Belakangan ini dunia dikejutkan dengan apa yang disebut oleh Amerika Serikat sebagai teroris internasional. Al kaidah adalah salah satu aktor yang fenomenal. Aktor baru dalam hubungan internasional ini membuat terperangah Amerika Serikat ketika markas pasar bebasnya (WTC) dan maskas militernya (Pentagon) dihancurkan bom pesawat terbang. Akibatnya, Amerika Serikat menjadi kalap. Ia intensifkan penyerangan terhadap Irak dan Afganistan yang dianggap sebagai sarang teroris internasional. Disebut kalap, karena persenjataan dan tentara sekutunya dikerahkan, tetapi senjata pemusnah massal dan Osama bin Laden tidak kunjung ditemukan. Pegunungan di perbatasan Pakistan telah bombardir. Entah telah berapa tentara dan penduduk sipil yang mati. Teoris internasional tetap menjadi teka-teki dan menghantui hubungan Amerika Serikat dengan negara-negara Timur Tengah dan Asia Selatan. Dampaknya di Indonesia adalah pengeboman bertubi-tubi terhadap apa yang dianggap teroris sebagai simpul kepentingan 108 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 Amerika Serikat. Hal ini direaksi oleh Amerika Serikat dan Australia antara lain dengan memberi bantuan finansial kepada pesantren dan sekolah yang mau mendidikkan demokrasi dan sikap lunak kepada investor asing. TUJUAN AKTOR DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL Tujuan para aktor dalam menjalin hubungan internasional adalah mereka memupuk power. Mereka ingin meningkatkan kemampuan menggerakkan orang lain dengan ancaman, janji, atau konsesi. Para aktor juga ingin memiliki kemampuan memperoleh apa yang diinginkan (output politik luar negeri misalnya) melalui kontrol terhadap lingkungan eksternal. Power digunakan untuk mempengaruhi aktor lain dalam bentuk persuasif atau kekuatan koersif. Jumlah penduduk, teritorial, kapasitas ekonomi, kekuatan militer, stabilitas politik, kepiawean diplomasi internasional, dan potensi lainnya merupakan faktor yang dapat memperlemah dan juga dapat memperkuat power suatu negara atau aktor lainnya dalam percaturan internasional. Keterampilan para diplomat yang tinggi dapat meningkatkan power tersebut, kendati kekayaan alam negerinya tidak seberapa. Posisi suatu negara di lintasan transportasi laut internasional dapat meningkatkan power suatu negara, tetapi sekaligus dapat memperlemah power negara tersebut, manakala penjagaan laut tidak seberapa, sehingga selat hanya dikuasai para perompak. BENTUK INTERAKSI DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL Hubungan internasional seperti yang tercermin pada bentuk interaksi para aktornya, dapat dilihat dari tiga segi yaitu intensitas interaksi, banyaknya aktor yang terlibat, dan pola interaksinya. Intensitas interaksi menyangkut sikap yang ditunjukkan aktor hubungan internasional terhadap aktor lainnya. Mereka dapat bersikap mengakomodasi, mengabaikan, berpura-pura tidak tahu, mengulurulur waktu, menawar, atau menolak. Kelompok warga negara Indonesia berdemo di kedutaan Malaysia menutut klaim budaya yang tidak benar. Kedutaan Malaysia acuh-tak acuh. Dari sudut banyaknya aktor yang terlibat, interaksi hubungan internasional dapat berbentuk interaksi bilateral, trilateral, regional, dan multilateral. Perundingan Indonesia dan Malaysia tentang pencabutan perjanjian sebelumnya mengenai paspor TKI yang dipegang majikan Malaysia, merupakan contoh interaksi bilateral. Interaksi dua negara ini disebut interaksi bilateral. Sedangkan interaksi tiga negara adalah interaksi trilateral. Bentuk kerjasama regional diikat oleh letak geografis yang berdekatan dari sejumlah negara. Dan keanggotaan organisasi internasional yang berisi ratusan negara disebut interaklsi multilateral. Pola interaksi internasional dapat berbentuk kerjasama, persaingan, atau konflik. Hal ini bermuara dari kenyataan bahwa setiap negara memiliki kepentingan nasional masing-masing. Kepentingan ini dapat sama atau berbeda. Keduanya dapat melahirkan kerjasama, persaingan atau konflik. Katakanlah setiap negara memiliki kebutuhan vital untuk dipenuhi. Kebutuhan ini melahirkan kepentingan nasional. Setiap negara membutuhkan rasa aman, sejahtera, dan memiliki kekuatan militer yang mampu mempertahankan teritorial. Usaha memenuhi kebutuhan ini lebih baik dijalankan dengan jalan kerjasama, atau setidaknya persaingan. Komunikasi yang rasional antar aktor hubungan internasional akan melahirkan kesepakatan yang menguntungkan semua pihak, dan menghindari konflik. PERUBAHAN POLITIK INTERNASIONAL MENUJU POLITIK DUNIA Perang dingin yang berakhir dengan runtuhnya Uni Soviet mendorong perubahan konsepsi politik internasional menjadi politik dunia. Politik internasional adalah interaksi antar negara yang bertujuan untuk mewujudkan kepentingan nasional masing-masing. Hal ini banyak terjadi pada sebelum dan selama perang dingin. Setelah perang dingin usai, aktor nonnegara berkembang pesat dan makin mewarnai hubungan internasional, sehingga muncullah konsep politik dunia. Konsep ini berarti interaksi antar aktor negara dan aktor nonnegara untuk mewujudkan kepentingan nasional dan kemanusiaan. Warga dunia menjadi satu komunitas sehingga perkembangannya mengarah kepada pemerintahan dunia yang seharusnya demokratis dan berkeadilan. Tuntutan ini banyak digaungkan oleh lembaga nonpemerintah antar negara. Problem dunia yang sulit diatasi juga menjadi tanggung Margono, Aktor Non-Negara dalam Hubungan Internasional jawab semua warga dunia, misalnya HIV, kerusakan lingkungan, pemanasan global, kemiskinan dan kebodohan. PANDANGAN INTERNASIONALISME LIBERAL TENTANG HUBUNGAN INTERNASIONAL Fukuyama, sang tokoh internasionalisme liberal, berpendapat bahwa demokrasi liberal merupakan titik akhir evolusi ideologi umat manusia. Bentuk pemerintahan, ekonomi, masyarakat, dan politik Barat adalah tujuan puncak yang akan diraih umat manusia. Barat adalah penjaga kebenaran moral, tanpa memandang perbedaan bangsa dan budaya. Amerika Serikat adalah model sempurna yang ditiru oleh negara-negara lain di seluruh dunia. Pasar bebas menghasilkan perdamaian, dan mencegah timbulnya perang. Pasar bebas menghancurkan ambisi para nasionalis yang hidup dalam negara bangsa, menggantinya dengan kosmopolitanisme (bebas dari batasan-batasan nasional). Tugas kaum liberal adalah mengembangkan suatu standar moral (Burchill & Linklater, 2009). Kritik terhadap pandangan internasionalisme liberal tentang hubungan internasional sebagai berikut. Perdagangan bebas dan kekuatan pasar cenderung menghanyutkan dan bahkan menghancurkan relasi dan institusi sosial tradisional. Tidak semua negara mampu mengambil keuntungan yang ditawarkan perdagangan bebas. Hanya masyarakat kaya yang sanggup memanfaatkan kekuatan pasar. Perdagangan bebas merupakan kebijakan yang tepat bagi negara yang kuat industrinya. Kritik ini disebut perlawanan terhadap konsensus Washington (Chomsky, 2005) di mana pasar bebas hanya dilakukan manakala negeri kapitalis yakin mereka sudah kuat dan memenangkan persaingan. Jika tidak, mereka juga melakukan proteksi dengan segala macam dalih. TEORI INTERNASIONAL KRITIS Hubungan internasional menurut teori internasional kritis sebagai berikut. Konfigurasi global hubungan kekuasaan selama ini penuh dengan ketidakadilan dan kesenjangan, akibat penggunaan rasionalitas strategis dan rasionalitas instrumental. Ilmu hubungan internasional harus mampu mentransformasi konfigurasi tersebut. 109 Transformasi itu akan terwujud dengan tindakan komunikatif dan etika diskursus. Tindakan komunikatif merupakan konsep yang memiliki karakteristik (1) berorientasi pada kesepakatan, (2) keterlibatan para aktor secara setara, (3) tidak ada aktor yang disingkirkan— tidak diajak diskusi—diembargo/isolasi, dan (4) Kesediaan menanggung konsekuensi, serta (5) kebebasan mengemukakan argumen dengan bahasa yang dimengerti para aktor. Konsep tindakan komunikatif diterapkan untuk mencari keabsahan moral yang disebut etika diskursus. Karakteristik etika diskursus adalah (1) dialog terbuka dan noneksklusioner, (2) mekanisme untuk menguji prinsip, norma, atau kesepakatan institusional agar menjadi kebaikan semua orang, (3) dibimbing oleh keadilan, bukan kalkulasi keuntungan, dan (4) kesepakatan tentang solusi yang baik bagi semua pihak. Etika diskursus dapat diterapkan pada hubungan internasional, terutama pada permasalah internasional yang dilematik. Dampak penerapan etika diskursus bagi rekonstruksi politik dunia menyangkut (1) pembuatan panduan normatif bagi isu globalisasi (Aids, pemanasan global, hujan asam,dan lain-lain), (2) prosedur regulasi konflik sosial, (3) memberikan resolusi yang bisa diterima oleh semua orang yang terkait, dan (4) alat untuk mengkritisi dan menjustifikasi prinsip-prinsip Hubungan Internasional, terutama prinsip inklusi dan eksklusi. Internasionalisme liberal bukanlah puncak dari peradaban manusia. Etika diskursus yang mendasarkan diri pada tindakan komunikatif dapat meningkatkan keberadaban umat manusia. Liberalisme telah terbukti justru memicu perang. Pembangunan kesepakatan dengan etika diskursus membawa umat manusia kepada perdamaian abadi dan keadilan sosial. SIMPULAN Hubungan internasional telah diwarnai munculnya aktor nonpemerintah sebagai pengimbang aktor pemerintah yang selama ini mendominasi percaturan internasional. Pendidikan kewarganegaraan mestinya memasukkan pendatang baru ini agar siswa tidak kesulitan dalam memahami gejala global dalam kehidupannya. Pengaruh teori internasionalisme liberal pada kurikulum pendidikan kewarganegaraan harus diminimalkan dan diimbangi oleh teori internasional kritis. 110 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 DAFTAR RUJUKAN Burchill, S. & Linklater, A. 2009. Teori-teori Hubungan Internasional. Bandung: Nusa Media. Chomsky, N. 2005. Memeras Rakyat: Neoliberalisme dan Tatanan Global. Jakarta: Profetik. Perwita, A.A.B. & Yani, Y.M. 2006. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Rosda. Rochmadi, N.W. 2008. Hubungan dan Organisasi Internasional. Malang: P4TK PKn dan IPS. MEMAHAMI INDONESIA MELALUI PRESPEKTIF NASIONALISME, POLITIK IDENTITAS, SERTA SOLIDARITAS Mifdal Zusron Alfaqi Jurusan Pertahanan Nasional, Universitas Gadjah Mada Jl. Bulak Sumur email:[email protected] Abstract: The diversity of ethnic identity politics, race, between groups and religions in Indonesia requires us to live tolerance and have a high sense of national solidarity. Besides the emergence of Indonesian nationalism emerged from the resistance against colonialism also arise because of national solidarity Adaiah Indonesia. but now the Indonesian people experiencing problems on all three. So by learning to understand Indonesia of glasses nationalism, identity politics, and solidarity will grow our national spirit. Keywords: nationalism, identity politics, solidarity Abstrak: Keragaman politik identitas suku, ras, antar golongan serta agama yang ada di Indonesia menuntut kita untuk hidup bertoleransi dan memiliki rasa solidaritas kebangsaan yang tinggi. Kemunculan nasionalisme Indonesia selain muncul dari adanya perlawanan terhadap kolonialisme juga muncul karena adaya solidaritas nasional Indonesia. akan tetapi sekarang bangsa Indonesia mengalami permasalahan-permasalahan tentang ketiga hal tersebut. Maka dengan belajar untuk memahami Indonesia dari kaca mata nasionalisme, politik identitas, serta solidaritas akan menumbuhkan semangat kebangsaan kita. Kata Kunci: nasionalisme, politik identitas, solidaritas Nasionalisme merupakan kata yang sering muncul ketika membicarakan tentang sejarah kemerdekaan Indonesia. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terlahir dari semangat nasionalisme. hal ini disebabkan oleh semangat ingin terbebasnya bangsa Indonesia dari belenggu kolonialisme yang dilakukan oleh Belanda dan Jepang. Semangat untuk membentuk sebuah tata kehidupan yang merdeka dan terbebas dari kolonialisme akhirnya melahirkan semangat antar suku, ras, agama dan antar golongan untuk bersatu kemudian membentuk politik identitas serta solidaritas nasional yaitu nasionalisme Indonesia. Semangat nasionalisme di Indonesia pada dasarnya memang lahir dari bentuk perlawanan terhadap kolonialisme. Akan tetapi nasionalisme indonesia juga di pengaruhi oleh adanya politik identitas serta solidaritas nasional. bagaimana suku-suku yang ada di Indonesia memiliki ciri khas sendiri-sendiri antara satu dengan yang lainnya, ini merupakan ciri dari nasionalisme yang ada di Indonesia. Sebagai contoh, Suku Jawa pada awalnya adalah sebuah suku yang terdiri atas komunal-komunal mempunyai norma yang sudah dijalankan dan di taati oleh masyarakat Suku Jawa. Artinya sebelum penjajah datang Suku Jawa sudah memiliki tatanan sosial masyarakat yang dijadikan landasan dalam kehidupan. Tetapi adanya kolonialisme yang datang di Indonesia nilai tersebut menjadi luntur. Seperti yang telah disampaikan oleh George McTurnan kahin (2013:3). “Karakter perpolitikan masyarakat jawa yang sebelum masa penjajahan boleh dikatakan tidak terlalu otoriter menjelma sangat sewenangwenang selama tiga abad pemerintahan kolonial”. Pernyataan tersebut menunjukan bahwa akibat adanya kolonialisme maka politik identitas masyarakat jawa yang menjadi ciri khas masyarakat jawa menjadi luntur. Keinginan mengembalikan politik identitas yang telah lama sebagai aturan atau norma yang ada dimasyarakat tersebut yang akhirnya menjadikan sebagai simbol perlawanan kepada kolonialisme. Nasionalisme juga muncul dari adanya solidaritas yang tinggi 111 112 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 yaitu rasa bahwa bangsa Indonesia tidak lebih rendah dari bangsa penjajah. Seperti keyakinan bahwa bangsa Indonesia memiliki peradaban besar yang pernah terjadi di nusantara. Seperti kerajaan Majapahit, Sriwijaya dan kerajaankerajaan yang lainnya telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia dahulu mampu bersaing dengan bangsa asing. Politik identitas serta solidaritas yang ada di Indonesia sekarang mengalami berbagai masalah. Hal ini terjadi karena adanya beberapa konflik antar suku, etnis, agama dan masalah-masalah lain yang sering terjadi di Indonesia. masalah kegalauan politik identitas ini terjadi karena banyak yang menganggap bahwa identitas hanya diartikan secara sempit yaitu identitas kelompok. Padahal pasca kemerdekaan bangsa Indonesia telah sepakat untuk menjunjung tinggi nilai identitas nasional yang bersumber dari nilai persatuan dan kesatuan dalam kebhinekaan. Artinya identitas antar suku, ras, agama dan antar golongan yang berbeda dijadikan sebagai alat pemersatu bangsa untuk mewujudkan nasionalisme Indonesia. Untuk mewujudkan nasionalisme dan politik identitas nasional Indonesia dibutuhkan solidaritas yang tinggi pada bangsa Indonesia. bangsa Indonesia tidak boleh terjebak pada solidaritas kelompok-kelompok yang melahirkan primordialisme dan chauvinisme. Kemudian kita akan terjebak pada fanatisme kedaerahan, kesukuan, agama, golongan, serta kelompokkelompok lainnya, yang pastinya akan melunturkan jiwa nasionalisme bangsa Indonesia. Konflik antar daerah, suku, agama, serta kelompok yang sekarang sering terjadi hanya akan memecah belah semangat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. NASIONALISME Nasionalisme secara etimologi berasal dari kata “nasional” dan “isme” yaitu paham kebangsaan yang mengandung makna kesadaran dan semangat cinta tanah air, memiliki kebanggaan sebagai bangsa, atau memelihara kehormatan bangsa, memiliki rasa solidaritas terhadap musibah dan kekurangberuntungan saudara setanah air, sebangsa dan senegara serta menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan. Dari pengertian tersebut nasionalisme dapat di artikan sebagai faham tentang kebangsaan dan sikap cinta tanah air yang tinggi yang harus dimiliki oleh warga negara, merasa memiliki sejarah dan cita-cita yang sama dalam tujuan berbangsa dan bernegara. Beberapa ahli juga banyak yang mendefinisikan tentang konsep nasionalisme. Abdul Munir Mulkhan (1996:14), mengatakan bahwa “nasionalisme adalah sebuah gagasan mengenai kesatuan kebangsaan dalam suatu wilayah politik kenegaraan”. Kemudian menurut Marvin Perry (2013:94). “Nasionalisme adalah suatu ikatan sadar yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang yang memiliki kesamaan bahasa, kebudayaan dan sejarah yang ditandai dengan kejayaan dan penderitaan bersama dan saling terikat dalam suatu negeri tertentu”. Pada dasarnya nasionalisme memang lahir dari bermacam-macam cara, mulai dari karena kesamaan akan sejarah, kebudayaan, cita-cita, ketidakadilan, penindasan, serta sebagai wujud perlawanan suatu kelompok bangsa. Bentuk nasionalisme Indonesia tidak semuanya meniru dari nasionalisme yang ada di negara-negara barat. Tidak bisa dipungkiri bahwa nasionalisme Indonesia lahir sebagai alat gerakan perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme. akan tetapi pada dasarnya nasionalisme Indonesia terlahir karena adanya politik identitas serta solidaritas, yaitu sebuah rasa bahwa bangsa Indonesia pernah mempunyai peradaban yang besar. seperti kerajaan sriwijaya dan majapahit dari berbagai peninggalan yang berupa bangunanbangunan misalnya candi sampai peninggalan nilainilai luhur yang pernah ada di nusantara. “Nasionalisme di Indonesia merupakan suatu cara untuk “saringan ideologis” yang berbasis nilai-nilai luhur yang telah lama berkembang di nusantara” (Hariyono, 2014:59). Dengan adanya nasionalisme tersebut maka adanya perasaan bahwa bangsa Indonesia tidak lebih rendah dari bangsa penjajah, akhirnya semangat tersebut melahirkan gerakangerakan perlawanan terhadap kolonialisme. Hal tersebut ditandai mulai dari berdirinya budi utomo sebagai organisasi pada era kebangkitan nasional yang kemudian melahirkan semangat persatuan, sampai proklamasi kemerdekaan Indonesia. POLITIK IDENTITAS Politik identitas secara pengertian berawal dari dua kata yaitu politik dan identitas. Pertama kita melihat dari pengertian politik terlebih dahulu yaitu secara etimologi politik berasal dari bahasa Yunani yaitu Politeia, atau polis yang artinya adalah negara atau kota. Kemudian menurut Alfaqi, Memahami Indonesia melalui Prespektif Nasionalisme, Politik Identitas, serta Solidaritas Miriam Budiardjo (2002:8), “politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau nagara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistim itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu”. Kemudian yang kedua adalah pengertian identitas, secara etimologi identitas berasal dari kata identity yang artinya sebuah ciri yang melekat pada seseorang atau kelompok misalanya suku, ras, agama dan antar golongan yang membedakan dengan yang lainnya. Kemudian pengertian politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu misalnya sebagai bentuk perlawan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut. Menurut Sri Astuti Buchari (2014:20). “Politik identitas merupakan suatu alat perjuangan politik suatu etnis untuk mencapai tujuan tertentu, dimana kemunculannya lebih banyak disebabkan oleh adanya faktor-faktor tertentu yang dipandang oleh suatu etnis sebagai adanya suatu tekanan berupa ketidakadilan politik yang dirasakan oleh mereka”. Pernyataan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa politik identitas merupakan alat perjuangan yang dipakai suatu kelompok untuk memperjuangkan apa yang menjadi keingininan kelompok tersebut. Politik identitas pada dasarnya sering muncul ketika terjadi adanya ketidakadilan atau biasanya hal tersebut juga muncul akibat adanya konflik yang melibatkan kelompok satu dengan kelompok yang lain. Hal tersebut terjadi karena merasa adanya kesamaan karakteristik atau etnis serta kesukuan suatu kelompok tersebut. Kemudian dalam pembangunan arah identitas, maka diperlukan sebuah cara untuk membentuk identitas tersebut, menurut Castells (dalam Sri Astuti Buchari, 2014:23), ada tiga pembentukan dalam membangun sebuah identitas, yaitu identitas legitimasi, identitas resisten, dan identitas proyek. Identitas Legitimasi (legitimizing identity), yaitu identitas yang diperkenalkan oleh sebuah institusi yang mendominasi suatu masyarakat yang merasionalisasikan dan melanjutkan dominasinya terhadap aktor-aktor sosial, seperti misalnya suatu institusi negara yang mencoba meningkatkan identitas kebangsaan anggota masyarakat. Institusi tersebut memang telah mendapatkan legitimasi untuk melakukan hal tersebut. Identitas Resisten (resistance identity) yaitu sebuah proses pembentukan identitas oleh aktoraktor sosial yang dalam kondisi tertekan dengan 113 adanya dominasi dan stereotipe oleh pihak-pihak lain sehingga membentuk resistensi dan pemunculan identitas yang berbeda dari pihak yang mendominasi, dengan tujuan untuk kelangsungan hidup kelompok atau golongannya. Sebuah terminologi yang disebutkan ketika Calhoun mengidentifikasi munculnya politik identitas. Identitas Proyek (project Identity) yaitu suatu identitas dimana aktor-aktor sosial membentuk suatu identitas baru yang dapat menentukan posisi-posisi baru dalam masyarakat sekaligus mentransformasi struktur masyarakat secara keseluruhan. Hal ini misalnya, terjadi ketika sekelompok aktivis feminisme berusaha membentuk identitas baru perempuan, menegosiasikan posisi perempuan dalam masyarakat, dan akhirnya merubah struktur masyarakat secara keseluruhan dalam memandang peranan perempuan. Tiga pembangunan identitas tersebut yang membentuk politik identitas. Politik identitas muncul sebagai alat suatu kelompok untuk menunjukan jatidirinya serta sebagai proses perjuangan suatu kelompok tersebut. mulai dari perjuangan untuk legitimasi identitas suatu kelompok, memperjuangkan ketidakadilan dalam kondisi tertekan oleh kelompok yang lainnya, serta alat perjuangan untuk proyek identitas yang bertujuan untuk membentuk suatu identitas yang baru. SOLIDARITAS Secara pengertian solidaritas adalah sikap kesetiakawanan atau kebersamaan, dalam kepentingan bersama serta rasa simpati terhadap suatu kelompok tertentu. Solidaritas muncul ketika individu merasa cocok terhadap individu yang lain yang akhirnya melahirkan sebuah kesepakatan bersama untuk saling berkomitmen dalam suatu tujuan. Sebagai contoh misalnya, solidaritas suatu suku yang menjadikan seseorang merasa bangga ketika ketemu dengan orang lain yang berasal dari suku yang sama. Solidaritas kadang juga muncul ketika adanya konflik, penindasan, ketidakadilan serta proses menunjukan sebuah identitas tertentu. Dalam konsep solidaritas ada 2 (dua) macam bentuk solidaritas dalam perjalanannya, yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas mekanik merupakan persamaan perilaku atau sikap dari individu satu dengan individu yang lain, sedangkan solidaritas organik adalah 114 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 sifat saling ketergantungan antar masyarakat sosial. Artinya setiap individu satu dengan individu yang lain saling ketergantungan atau saling membutuhkan. Perbedaan solidartitas mekanik dan solidaritas organik dapat dilihat pada table 1. Tabel 1. Perbedaan solidaritas mekanik dan solidaritas organik Solidaritas Mekanik Solidaritas Organik 1. Pembagian kerja rendah 2. Kesadaran kolektif kuat 3. Hukum represif dominan 4. Individualitas rendah 5. Konsensus terhadap pola-pola normatif itu penting 6. Keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang 7. Secara relatif saling ketergantungan 8. Bersifat primitif atau pedesaan 1. Pembagian kerja tinggi 2. Kesadaran kolektif lemah 3. Hukum restitutif dominan 4. Individualitas tinggi 5. Konsensus pada nilai-nilai abstrak dan umum itu penting 6. Badan-badan control sosial yang menghukum orang yang menyimpang 7. Saling ketergantungan yang tinggi 8. Bersifat industrial perkantoran (Sumber: Johnson dalam Sabian Utsman, 2007:29) Kedua perbedaan antara solidaritas mekanik dengan solidaritas organik tersebut dapat disimpulkan bahwa keduanya memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Yaitu masyarakat yang tinggal di suatu tempat tertentu yang sudah berangsur lama serta mempunyai banyak keturunan akan melahirkan solidaritas mekanik. Karena solidaritas dibangun dari kesamaan sifat, sikap, serta tatanan nilai atau norma yang berlaku di suatu daerah tertentu, dan masyarakatnya menjunjung tinggi nilai-nilai solidaritas kelompok tersebut. Sebagai contoh misalnya masyarakat “Suku Tengger” yang menempati lereng Gunung Bromo yang ada di Jawa Timur. Masyarakat suku tersebut memiliki sikap solidaritas sosial yang tinggi. Solidaritas tersebut di wariskan oleh nenek moyang mereka dan terus dilaksanakan secara turun temurun dan menjadi sebuah tatanan nilai tersendiri di masyarakat suku tengger. Ada berbagai macam bentuk solidaritas yang ada di suku tengger, salah satunya adalah nilai sikap gotong royong yang terus dijunjung tinggi oleh masyarakat suku tengger. “suku tengger memiliki bentuk sosial kemasyarakatan yang kuat untuk mewujudkan sikap solidaritas salah satunya dengan nilai gotong royong. Nilai tersebut bahkan sudah ada sejak mereka mendiami kaki lereng gunung semeru yang diwarisi sejak jaman Majapahit” (Sukari Dkk, 2004:171). Kemudian solidaritas mekanik muncul karena ketergantungan individu satu dengan individu yang lain. Sebagai contoh misalnya karena hubungan kerja, kesamaan hobi, kelompok studi, dan berbagai kegiatan yang lain yang biasanya dilakukan oleh orang-orang dilingkungan perkotaan. Solidaritas mekanik biasanya lebih bisa menerima perbedaan yang datang pada kelompoknya dibandingkan dengan solidaritas organik. Hal ini terjadi karena solidaritas organik terjadi pada masyarakat yang sudah berfikiran modern dan mereka tidak membawa nilai-nilai atau norma dari lingkungannya. Solidaritas sosial masyarakat pada era dewasa ini mengalami berbagai tantangan dan gangguan. Gangguan solidaritas bisa disebabkan oleh berbagai macam masalah yang datang. Seperti misalnya dalam solidaritas mekanik terjadi permasalahan yaitu kedatangan suku lain kedaerah suku tertentu yang sangat banyak dan cepat maka akan menyebabkan gangguan terhadap solidaritas itu sendiri. Sebagai contoh kedatangan suku lain ke “Masyarakat Nias” yang ada di Pulau Nias, bagaimana masyarakat nias yang kedatangan suku lain ke daerahnya yang memiliki perbedaan tataran nilai, serta agama. Sejak orang asing atau luar daerah menginjakan kaki di bumi pulau nias maka perubahan exsternal secara pelan menyusupi kehidupan sosial penduduk. Perubahan sosial ini telah menyusupi poros yang paling dalam pranata di nias yaitu agama. Hal tersebut yang menjadikan gangguan terhadap solidaritas sosial masyarakat Pulau Nias (Bambowo Laiya, 1980:90). Dengan adanya perubahan yang sangat cepat maka gangguan terhadap solidaritas akan mengalami permasalahan yang harus segera diatasi supaya terciptanya solidaritas sosial masyarakat yang tangguh. Berikutnya dalam solidaritas organik juga mengalami banyak permasalah. Seperti misalnya karena tingkat solidaritas yang begitu tinggi terhadap suatu kelompok tertentu maka melahirkan konflik dengan kelompok yang lain, ini dapat dilihat dari berbagai contoh misalnya perselisihan antar suporter sepakbola yang sekarang ini sering terjadi di Indonesia. Dengan pembahasan diatas antara solidaritas organik dan mekanik serta perbedaan dan Alfaqi, Memahami Indonesia melalui Prespektif Nasionalisme, Politik Identitas, serta Solidaritas permasalahan, pada dasarnya sikap solidaritas kebangsaan akan menciptakan kekuatan nasionalisme yang tinggi. Adanya solidaritas kebangsaan membuat adanya politik identitas yang begitu beragam di Indonesia tidak menjadi sebuah permasalahan, adanya politik identitas malah akan memperkaya kebangsaan Indonesia. Akan tetapi ketika solidaritas yang begitu tinggi dan diartikan dalam lingkup sempit yaitu sebuah kelompok, maka solidaritas akan menjadi sebuah kefanatikan belaka dan akan menjadi permasalahan baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti munculnya sikap primordialisme dalam solidaritas tersebut. Maka dari itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara solidaritas begitu penting untuk mewujudkan nasionalisme kebangsaan Indonesia dan dalam perjalanan solidaritas memerlukan sebuah kontrol dan pemahaman kebangsaan yang tinggi supaya solidaritas dan politik identitas tidak menjadi sebuah permasalahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan dapat mewujudkan nasionalisme Indonesia yang lebih tinggi. SIMPULAN Nasionalisme begitu penting bagi bangsa dan Negara Indonesia. karena semangat nasionalisme inilah yang akhirnya membawa bangsa Indonesia untuk keluar dari era kolonialisme dan imperialisme yang telah lebih dari tiga abad menjajah Indonesia. Semangat nasionalisme yang tinggi akhirnya melahirkan konsep persatuan dan kesatuan Indonesia. bagaimana sebuah perbedaan mulai dari suku, ras, agama, dan antar golongan serta bahasa dijadikan sebagai alat pemersatu dan sebagai kekayaan keanekaragaman yang ada di Indonesia. Ketika berbicara tentang nasionalisme maka kita seharusnya tidak boleh melupakan adanya politik identitas yang ada di Indonesia. Misalnya di masyarakat Suku Dayak yang ada di Kalimantan, Suku Jawa atau suku-suku yang lainnya. 115 Politik identitas yang ada disetiap suku ada bermacam corak dan latar belakang sendiri-sendiri, mulai dari kemunculan politik identitas yang di sebabkan oleh adanya ketidakadilan, wujud perlawanan, warisan nilai luhur, serta alat untuk menunjukan jati diri suku tertentu dengan suku lain. Politik identitas yang ada di Indonesia yang begitu beragam tersebut harus diperhatikan oleh pemerintah Indonesia supaya adanya politik identitas kesukuan tersebut tidak mengganggu semangat nasionalisme. Akan tetapi adanya politik identitas tersebut bisa menguatkan nasionalisme yang ada di Indonesia dengan bentuk politik identitas nasional yang menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan dalam kebhinekaan. Kemudian sikap nasionalisme dan politik identitas harus dibarengi dingan sikap solidaritas kebangsaan yang kuat. Sikap solidaritas kebangsaan yang kuat akan melahirkan tatanan masyarakat yang stabil dan saling menghargai serta merasa memiliki individu satu dengan individu yang lainnya, dalam hal ini adalah warga negara. Akan tetapi pada dewasa ini tidak jarang solidaritas mengalami berbagai macam permasalahan, karena banyak masyarakat yang terjebak pada solidaritas dalam arti sempit yaitu kelompok. Banyaknya benturan antar suku, kelompok, agama bahkan suporter sepak bola menunjukan bahwa ada yang salah dalam memaknai sikap solidaritas dalam masyarakat. Seharusnya solidaritas dimaknai sebagai sikap yang saling menyayangi antar indivdu, sikap saling memegang teguh norma-norma yang ada di masyarakat, serta sikap saling merasa senasib dan secita-cita dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan sikap solidaritas kebangsaan yang tinggi setiap warga negara maka akan menjadi sebuah gerakan bersama untuk mewujudkan negara yang adil dan makmur, sesuai dengan amanah Pancasila sebagai pandangan hidup bersama bangsa Indonesia. DAFTAR RUJUKAN Mulkhan, Abdul Munir. 1996. Nasionalisme, Refleksi Kritis Kaum Ilmuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kahin, George McTurnan. 2013. Nasionalisme & Revolusi Indonesia. Depok: Komunitas Bambu Perry, Marvin. 2013. Peradaban Barat, Dari Revolusi Perancis Hingga Zaman Globalisasi. Bantul: Kreasi Wacana Hariyono. 2014. Ideologi Pancasila, Roh Progresif Nasionalisme Indonesia. Malang: Intrans Publishing 116 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 Budiardjo, Miriam. 2002. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Buchari, Sri Astuti. 2014. Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia Ustman, Sabian. 2007. Anatomi Konflik & Solidaritas Masyarakat Nelayan, Sebuah Penelitian Sosiologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sukari, Dkk. 2004. Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Tengger. Kabupaten Pasuruan, Provinsi Jawa Timur. Yogyakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Laiya, Bambowo. 1980. Solidaritas Kekeluargaan dalam Salah Satu Masyarakat Desa di Nias-Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press ANALISIS PELAKSANAAN DESENTRALISASI DALAM OTONOMI DAERAH KOTA/KABUPATEN Muhammad Mujtaba Habibi Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Malang Jl. Semarang No.5 Malang email: [email protected] Abstrac : In order to implement regional autonomy based on Law No. 22 of 1999, that the granting of autonomy to the local city / county is based on the principle of decentralization in the form of autonomy, real, and responsible. Granting authority on the basis of the principle of decentralization, causing all fields are left to local governments in the implementation of an autonomous basically become the authority and responsibility of local city and county governments fully, both concerning the determination of policy, planning, implementation, monitoring, control, and evaluation. This study aimed to describe the factors that affect the implementation of regional autonomy and decentralization in the provision of recommendations for the implementation of decentralization in autonomy. The results showed that there are four variables that can explain the performance of the implementation of decentralization in the regional autonomy in the city / county, namely managerial aspects, aspects of Human Resources organization, aspects of bureaucratic culture, and ethics of public service. Keyword: decentralization, regional autonomy Abstrak :Dalam rangka melaksanakan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, bahwa pemberian otonomi kepada daerah kota/kabupaten didasarkan atas asas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Pemberian kewenangan atas dasar asas desentralisasi tersebut, menyebabkan semua bidang pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan suatu otonomi pada dasarnya menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah kota dan kabupaten sepenuhnya, baik yang menyangkut penentuan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Penelitian ini bertujuan untukmendeskripsikan faktoryang mempengaruhipelaksanaan desentralisasidalam otonomi daerah dan pemberianrekomendasi terhadap pelaksanaan desentralisasi dalam otonomi daerah.Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat empat variabel yang dapat menjelaskan kinerja pelaksanaan desentralisasi dalam otonomi daerahdi Kota/kabupaten, yaitu aspek manajerial, aspek Sumber Daya Manusia organisasi, aspek budaya birokrasi, dan etika pelayanan publik. Kata Kunci: desentralisasi, otonomi daerah Kebijakan tentang otonomi daerah, memberikan otonomi yang sangat luas kepada daerah, khususnya kota dan kabupaten. Otonomi daerah dilaksanakan dalam rangka mengembalikan harkat dan martabat masyarakat di daerah, memberikan peluang pendidikan politik dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi di daerah, peningkatan efisiensi pelayanan publik di daerah, peningkatan percepatan pembangunan di daerah, dan pada akhirnya diharapkan pula penciptaan cara berpemerintahan yang baik (good governance). Pemberian dan wewenang dan tanggung jawab sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut, harus diimbangi dengan pembagian sumber-sumber pendapatan yang memadai yang mampu dan mendukung pelaksanaan wewenang dan tanggung jawab yang diberikan. Di era otonomi saat ini,upaya untuk tetap mengandalkan bantuan dari Pemerintah Pusat atau tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi sudah tidak bias dipertahankan lagi. Otonomi menuntut kemandirian daerah di berbagai bidang, termasuk 117 118 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 kemandirian di dalam mendanai dan pelaksanaan pembangunan di daerahnya. Oleh karena itu, daerah dituntut agar berupaya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), guna mengurangi ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat. Pemberlakuan Undang-Undang tersebut menambah kewenangan yang dimiliki daerah, maka tanggung jawab yang diemban oleh Pemerintah Daerah juga akan bertambah banyak. Mahfud MD (2000: 49) mengemukakan implikasi dari adanya kewenangan urusan pemerintahan yang begitu luas yang diberikan kepada daerah dalam rangka otonomi daerah, dapat merupakan berkah bagi daerah, namun pada sisi lain bertambahnya kewenangan daerah tersebut sekaligus juga merupakan beban yang menuntut kesiapan daerah untuk melaksanakannya, karena semakin bertambahnya urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah. Untuk itu ada beberapa aspek yang harus dipersiapkan, yaitu: sumber daya manusia, sumber daya keuangan, sarana, dan prasarana. William N. Dunn (1981: 111-112) menyebutkan bahwa model analisis kebijakan yang dapat dilakukan dengan cara diperbandingkan dan dipertimbangkan menurut sejumlah asumsi, yang paling penting diantaranya: (a) perbedaan menurut tujuan, (b) bentuk penyajian, (c) fungsi metodologis. Sehingga ada dua bentuk pokok dari model kebijakan adalah : (1) model deskriptif, dan (2) model normatif. Hessel Nogi S. (2000: 1-3) kebijakan publik sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri memperlihatkan tiga tampilan dalam cakupan studinya yaitu menentukan arah umum yang harus ditempuh untuk mengelola isu-isu yang ada di tengah masyarakat, menentukan ruang lingkup masalah yang dihadapi pemerintah, dan mengetahui betapa luas dan besarnya organisasi birokrasi publik ini. Kemampuan analisis kebijakan publik amat bergantung pada objektivitas dan keakuratan informasi, serta kepekaan seorang analisis untuk menempatkan masalah publik secara proporsional dengan memperhatikan semua stakeholders yang terlibat. Kepekaan ini perlu diasah melalui pendalaman kasus-kasus kebijakan publik yang terjadi pada masyarakat sekitar dengan memperhatikan faktor rasionalitas serta wacana publik secara kontekstual. PELAKSANAAN DESENTRALISASI DALAM OTONOMI DAERAH Pelaksanaan desentralisasi dalam otonomi daerahdapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek output dan aspek outcomes kebijakan. Kedua aspek tersebut memiliki ukuran atau indikator yang berbeda dalam penilaian keberhasilan. Output Otonomi daerah dan desentralisasi Output kebijakan desentralisasi dapat dilihat dari beberapa aspek antara lain pertumuhan ekonomi masyarakat, peningkatan kualitas pelayanan publik, dan fleksibilitas program pembangunan. Pertumbuhan ekonomi masyarakat, untuk mengetahui apakah program Pemerintah Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dalam otonomi daerahadalah dari sejauh mana dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Asumsinya adalah intervensi Pemerintah Daerah masih memegang peranan penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi masyarakat di daerah. Tanpa program pembangunan ekonomi yang konkret dari Pemerintah Daerah, sukar bagi daerah untuk mengalami kemajuan di bidang ekonomi. Bertitik tolak dari asumsi tersebut, maka keberhasilan pelaksanaan program Pemerintah Daerah, khususnya yang dilakukan oleh dinas di daerah yang memiliki akses langsung dengan kegiatan ekonomi masyarakat adalah relevan dijadikan indikator pertumbuhan ekonomi masyarakat. Dengan catatan bahwa bila program tersebut dalam dua tahun anggaran terakhir berhasil dilaksanakan, maka akan berdampak terhadap kemajuan ekonomi masyarakat di masa yang akan datang. Demikian sebaliknya apabila program tersebut dalam dua tahun anggaran terakhir gagal dilaksanakan (tidak mencapai sasaran) maka dampaknya bagi kemajuan ekonomi masyarakat negatif (rendah). Bidang-bidang yang dapat dijadikan indikator dalam pertumbuhan ekonomi masyarakat, misalnya: perkembangan sektor pertanian, perkembangan sektor pertambangan dan energi, perkembangan sektor industri, perkembangan sektor pariwisata, dan lain-lain. Peningkatan kualitas pelayanan public, untuk melihat sejauh mana dampak pelaksanaan desentralisasi dalam otonomi daerahdapat dilihat dari kualitas pelayanan publik. Beberapa pelayanan yang sering diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada masyarakat, antara lain: pelayanan bidang pertanian, pelayanan bidan pertambangan dan energi, pelayanan bidang perindustrian, pelayanan bidang pariwisata, seni, budaya, dan lain-lain. Fleksibilitas program pembangunan, fleksibilitas program pembangunan berkenaan Habibi, Analisis Pelaksanaan Desentralisasi dalam Otonomi Daerah Kota/Kabupaten di Indonesia dengan kemampuan aparat pelaksana memahami tuntutan masyarakat, tidak kaku dalam memahami prosedur dan aturan-aturan formal, mengedepankan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi, peka terhadap ketidakadilan dan ketidakpuasan yang berkembang di masyarakat, dan dalam setiap langkah dan tindakan berusaha melakukan penyesuaian terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat. Dalam konteks analisis ini, pertanyaan yang relevan diajukan adalah: apakah aparat pemerintah daerah dan instansi teknis (dinas) memiliki keleluasaan (discretion of power) dalam mengelola bidang urusan pemerintah yang diterimanya Outcomes Desentralisasi dalam Otonomi daerah Outcomes desentralisasi terdiri dari dua aspek, yaitu peningkatan partisipasi masyarakat dan fektivitas pelaksanaan koordinasi. Peningkatan partisipasi masyarakat berkaitan dengan diserahkannya sebagian besar urusan pemerintahan di daerah, diharapkan masyarakat bisa mengambil bagian (partisipasi aktif) mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada pengawasan dan pemeliharaan hasil pembangunan. Secara apriori, konsep partisipasi yang dikehendaki oleh desentralisasi dalam otonomi daerahkelihatannya terlampau muluk untuk bisa direalisasikan. Sebab, selama ini (peran pemerintah terlampau dominan) yang menempatkan masyarakat tidak lebih sebagai objek pembangunan atau pihak yang hanya penonton. Efektivitas pelaksanaan koordinasi, yaitu suatu proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatankegiatan dari satuan yang terpisah (unit-unit atau bagian-bagian) suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien. Tanpa koordinasi individu-individu dan bagian-bagian akan kehilangan pandangan tentang peran mereka dalam organisasi. Mereka akan mengejar kepentingannya masingmasing yang khas, seringkali dengan mengorbankan tujuan organisasi. Namun, kebutuhan akan koordinasi tergantung pada sifat dan perlunya komunikasi dari tugas-tugas yang dilakukan dan ketergantungan berbagai subunit yang melaksanakan tugas-tugas tersebut. Koordinasi juga bermanfaat bagi pekerjaan yang tidak rutin dan tidak diperkirakan sebelumnya, dimana pekerjaanpekerjaan ketergantungannya tinggi. Kebutuhan koordinasi dapat dibedakan dalam tiga keadaan, 119 yaitu: (a) kebutuhan koordinasi atas ketergantungan kelompok (pooled interdependence); (b) kebutuhan koordinasi atas ketergantungan sekuensial (sequential interdependence), dan (c) kebutuhan koordinasi atas ketergantungan timbal balik (reciprocal interdependence). Ketergantungan kelompok terjadi apabila unit organisasi tidak tergantung satu sama lain untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari, tetapi tergantung pada prestasi yang memadai dari setiap unit demi tercapainya hasil akhir. Sedang, kebutuhan koordinasi atas ketergantungan sekuensial, terjadi pada suatu unit organisasi yang harus melaksanakan kegiatan (aktivitas) terlebih dahulu sebelum unit-unit selanjutnya dapat bertindak. Sementara, ketergantungan timbal balik terjadi apabila melibatkan hubungan saling memberi dan menerima dan saling menguntungkan diantara unit-unit. Dalam proses pelaksanaan berbagai kegiatan bidang urusan otonomi, terutama dalam hal pelaksanaan program pembangunan, terdapat beberapa unit organisasi yang saling terkait dan melibatkan hubungan secara fungsional yaitu antara lain: Walikota/Bupati (Kepala daerah), organisasi dinas (instansi teknis), Bappeda, dan Kepala Bagian Keuangan, Sekretaris Daerah. Setiap program kerja tahunan dinas daerah, sebelum disetujui oleh Walikota/Bupati (Kepala Daerah) terlebih dahulu diteliti oleh Bappeda dan Bagian Keuangan. Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dilihat dari aspek Output kebijakan, maka implementasi kebijakan desentralisasi dapat dikatakan relatif berhasil. Namun dilihat dari aspek Outcomes kebijakan, ternyata banyaknya urusan yang telah diterima (desentralisasi) oleh Kota/ kabupaten justru menjadi beban berat bagi daerah. Harapan kebijaksanaan seperti memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat berbagai program pembangunan (proyek), pelaksanaannya belum efektif. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELAKSANAAN DESENTRALISASI DALAM OTONOMI DAERAH Terdapat empat variabel yang dapat menjelaskan kinerja pelaksanaan desentralisasi dalam otonomi daerahdi Kota/kabupaten, yaitu aspek manajerial, aspek SDM organisasi, aspek budaya birokrasi, dan etika pelayanan publik. 120 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 Aspek Manajerial Kemampuan kepemimpinan Kepala Daerah selaku top manajer di daerah memegang peranan penting akan keberhasilan pelaksanaan desentralisasi dalam otonomi daerah. Mengingat desentralisasi dalam otonomi daerahmasih merupakan suatu yang baru bagi pemerintah daerah serta memiliki tujuan yang begitu luas dan kompleks, jelas memerlukan suatu kemampuan seorang Walikota/Bupati dalam memanage agar tujuan kebijakan yang begitu luas dan kompleks bisa dipahami oleh semua pihak yang berkepentingan (stakeholders). Dalam manajemen modern, setiap organisasi harus memiliki visi dan misi yang jelas, sebagai acuan bagi semua komponen dalam melaksanakan aktivitasnya. Visi organisasi tersebut sedapat mungkin disosialisasikan kepada pegawai, menjadi visi bersama yang harus diperjuangkan (Ordway Tead, 1954). Kendala yang dihadapi dalam merealisasikan misi yang telah ditetapkan adalah lebih disebabkan oleh pelaksanaan program kerja yang belum terdesain secara baik. Sebagian besar dinas di daerah selaku pelaksana teknis urusan otonomi daerah belum didukung dengan renstra yang memiliki logframe yang baik yang memuat program-program yang dianggap strategis bagi kemajuan daerah. Dari uraian di atas, bahwa kemampuan manajerial pimpinan daerah cukup baik dalam mewujudkan visi, misi, dan tujuan yang telah ditetapkan, tetapi belum didukung oleh SDM pelaksana programnya maupun anggaran yang tersedia. Kondisi ini jelas berimplikasi terhadap kinerja desentralisasi dalam otonomi daerahsebagaimana yang telah dipaparkan di muka. Aspek SDM Organisasi Ketersediaan Sumber daya Manusia (SDM) organisasi (dinas daerah) sangat penting dalam pelaksanaan desentralisasi dalam otonomi daerah. SDM dimaksud antara lain mencakup pegawai yang harus mempunyai keahlian dan kemampuan melaksanakan tugas, perintah, dan anjuran atasan (pimpinan). Di samping itu, harus ada ketepatan dan kelayakan antara jumlah pegawai yang dibutuhkan dan keahlian yang dimiliki sesuai dengan bidang tugas yang akan dikerjakan (Salusu, 1988: 493). Ketercukupan Pegawai Dinas Daerah Waktu yang dibutuhkan Pemerintah daerah dalam membenahi organisasi dinas daerah kurang lebih satu tahun. Dengan jumlah pegawai dari setiap dinas atau instansi yang ada pada kenyataannya kurang mencukupi untuk melayani ara pengguna jasa atau masyarakat yang optimal. Padahal sektor-sektor ini memiliki kedudukan yang strategis untuk menggerakkan perekonomian daerah setempat. Sejauh yang diketahui belum ada suatu analisis yang bisa menyimpulkan bahwa semakin besar jumlah pegawai pada suatu organisasi, maka kinerja organisasi tersebut meningkat. Namun demikian, perlu mencermati bahwa pada organisasi birokrasi, seperti pada beberapa dinas daerah, terdapat suatu budaya birokrasi di mana para pegawai yang menduduki jabatan cenderung bergaya aristokrat, dalam pengertian selalu merasa diri sebagai boss yang termanifestasi di dalam kerja seharian. Untuk pekerjaan administrasi, misalnya mengetik surat, mengantar surat, mengatur kebersihan ruangan, dan sejenisnya, umumnya tidak mau dilakukan oleh pegawai yang memiliki eselon, dan hanya mengharapkan staf atau pegawai bawahan. Budaya kerja dan perilaku seperti ini jelas secara tidak langsung ikut mempengaruhi kinerja organisasi. Berdasarkan kondisi tersebut, bahwa andaikan saja para pegawai mau melakukan pekerjaan apa saja demi berjalannya aktivitas organisasi, tanpa terbelenggu dengan berbagai titel dan jabatan, maka kegiatan organisasi akan berjalan secara lancar, dan pada akhirnya berdampak pada meningkatnya kinerja organisasi dinas. Sebab, dalam realitas keseharian, banyak pegawai yang hanya bersantai-santai pada jam kantor dan pada saat yang sama banyak pekerjaan kantor yang bersifat rutin terabaikan. Dengan demikian, maka sedikitnya jumlah pegawai dinas daerah serta masih terpeliharanya budaya kerja santai dari para pegawai menyebabkan banyak bidang pekerjaan terbengkalai. Implikasi lebih lanjut adalah gagalnya dinas daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan berdasarkan otonomi daerah dan desentralisasi. Kesesuaian Kualifikasi Pendidikan Pegawai Dengan bidang tugas yang diemban SDM yang berkualitas merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan suatu organisasi dalam menjalankan misinya. Untuk mendapatkan SDM yang berkualitas, ada dua jalur yang biasanya ditempuh, yaitu: pertama melalui sistem seleksi Habibi, Analisis Pelaksanaan Desentralisasi dalam Otonomi Daerah Kota/Kabupaten di Indonesia ketat dengan persyaratan tertentu untuk suatu bidang pekerjaan; dan kedua melalui pendidikan/ pelatihan tambahan setelah menjadi pegawai atau melalui model magang (learning by doing). Secara konsepsi, organisasi yang memiliki SDM yang terbatas tetapi berkualitas akan jauh lebih berhasil dibandingkan dengan organisasi yang memiliki jumlah pegawai banyak tetapi kualitas SDMnya rendah. Dan yang lebih parah lagi adalah SDM yang terbatas dengan kualitas yang rendah. Persoalan kualitas SDM akan terasa pengaruhnya ketika organisasi mulai menghadapi pekerjaanpekerjaan yang spesifik yang membutuhkan kualifikasi pendidikan atau skill tertentu. Tidak berjalannya sistem seleksi dan rekrutmen dalam proses pemenuhan kebutuhan pegawai pada sejumlah dinas daerah merupakan faktor utama yang menyebabkan kurangnya jumlah pegawai yang memiliki kualifikasi pendidikan yang cocok dengan bidang tugasnya yang diemban. Prinsip the right men on the right place kurang diperhatikan dalam sistem rekrutmen pada jabatan-jabatan yang ada di dinas daerah. Dari uraian di atas, bahwa minimnya pegawai dinas daerah yang memiliki kualifikasi pendidikan yang cocok dengan tugas bidang pekerjaannya, telah ikut memberi kontribusi terhadap rendahnya kinerja pelaksanaan desentralisasi dalam otonomi daerah, yang terefleksi dari kinerja dinas daerah menjalankan tugasnya. Aspek Budaya Birokrasi Secara nasional birokrasi pemerintah yang ada di Indonesia memiliki ciri-ciri yang hampir sama, di mana unsur paternalisme amat kental dalam pola hubungan yang bersifat internal organisasi maupun pada tataran eksternal organisasi. Hubungan antara bawahan dan pimpinan berada pada posisi di mana bawahan cenderung berusaha melayani dan memuaskan atasan. Kondisi ini secara otomatis akan mengurangi kualitas layanan yang diberikan birokrasi kepada masyarakat sebagai pengguna jasa. Pada sisi lain budaya lokal juga memberikan warna tersendiri terhadap budaya birokrasi pemerintah, terutama pemerintah daerah setempat. Akan berbeda tampilan birokrasi pemerintah di wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali maupun Papua. Hal ini terutama berkaitan dengan pola pengambilan keputusan , dimana kebanyakan birokrasi di pulau Jawa terutama Jawa Tengah dan Yogyakarta, akan sangat berhati-hati 121 untuk membuat keputusan terutama berhubungan dengan keputusan diskresi. Kehati-hatian ini akan berakibat pada lambannya pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat sebagai pengguna jasa. Secara umum tampilan birokrasi pemerintah di Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah masih diwarnai dan dilingkupi oleh sifat feodalisme yang tinggi, sebagai himbasan dari pola kerja birokrasi selama orde baru yang memerintah selama lebih dari tiga puluh dua (32) tahun. Pola kerja yang kental dengan unsur feodalisme ini, terasa terus dipertahankan oleh kelompok yang dalam birokrasi karena berbagai kepentingan ekonomi politik yang ada. Nilai budaya masyarakat yang sebagian besar berkiblat pada sektor agraris, dengan corak utama para pelaku untuk cenderung mempertahankan keharmonisan antar elemen dan menghindari konflik atau friksi yang dianggap akan merugikan semua pihak. Pola pikir dan mental seperti ini menghasilkan suatu kondisi pada habitat birokrasi yang tidak memungkinkan terjadinya kritik maupun autokritik terhadap keputusan atau kebijakan pimpinan, walaupun dampak keputusan itu merugikan bawahan dan masyarakat yang luas. Dari sinilah dapat dilihat garis hubungan antara nilai yang masih dianut dalam masyarakat yang berpola pikir agraris dengan perilaku birokrasi, karena proses adopsi yang terjadi di dalamnya. Pola inipun masih terjadi di kalangan birokrasi pemerintah Kota/kabupaten di Indonesia, sehingga kinerja birokrasi dalam pemberian pelayanan belum berjalan secara optimal. Di samping itu, pilihan sentralisme dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintah telah menimbulkan persoalan tersendiri terhadap kualitas pelayanan kepada masyarakat pengguna jasa, karena kinerja birokrasi menjadi kaku yang disebabkan pengambilan posisi yang lebih tinggi dari pihak birokrasi terhadap masyarakat. Kondisi demikian ini jelas pada era globalisasi dan penguatan civil societyakan semakin berseberangan dengan upaya semua komponen masyarakat untuk menerapkan prinsip good governance yang memprioritaskan asas akuntabilitas, responsibilitas, maupun asas transparansi dalam pelayanan publiknya. Sentralisme ini secara langsung berdampak pada tampilan budaya birokrasi yang lingkungannya bernuansa diskriminatif dan mengandalkan preferensi subjektivitas dalam 122 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 pemberian pelayanan kepada pengguna jasa maupun dalam pola hubungan internal organisasi birokrasi. Sentralisme akan mengakibatkan berkurangnya pertanggungjawaban terhadap publik, karena menciptakan budaya kurang peduli pihak birokrasi terhadap kemajuan maupun perubahan sosial ekonomi sebagai tujuan dari pelaksanaan pembangunan, dimana birokrasi merupakan motor penggeraknya. Fenomena yang ada memperlihatkan bahwa kinerja birokrasi tidak optimal, karena faktor koordinasi yang lemah, etos kerja yang tidak mendukung, serta disiplin kerja yang kurang, sehingga banyak tugas pelayanan kepada para pengguna jasa menjadi terbengkalai dan membutuhkan waktu yang berlarut-larut untuk menyelesaikannya. Pola pikeryang mengungkapkan peraturan secara kaku melalui penerapan dan penafsiran juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis), membuat birokrasi pemerintah menjadi kaku dan tidak luwes dalam pemberian pelayanan publik. Struktur hierarkis birokrasi publik menjadikan aparatur pemerintah menjadi tunduk secara tidak proporsional kepada pimpinan dan melupakan tugasnya sebagai agen perubahan melalui pemberian pelayanan kepada masyarakat. Dari uraian di atas, menunjukkan bahwa sesungguhnya birokrasi pemerintah yang ada di Indonesia masih jauh dari harapan untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat pengguna jasa, akibat pengaruh budaya birokrasi yang mengadopsi budaya masyarakat lokal, yang justru cenderung mengagungkan posisi birokrasi dan menganggap masyarakat lebih rendah daripadanya. Unsur feodalisme, paternalisme dan penggunaan asas sentralisme yang berkolaborasi dengan budaya birokrasi yang mengagungkan otoritas pimpinan sebagai titik sentral jelas semakin memperlemah posisi birokrasi untuk memberikan pelayanan yang berkualitas dan mampu melakukan perubahan sosial ekonomi melalui pelaksanaan pembangunan. Aspek Politik Lokal Perpanjangan proses politik pemerintah pusat yang berupaya menyeragamkan semua institusi birokrasi pemerintah, baik dari segi struktur maupun fungsinya telah menyebabkan kemacetan proses penyelesaian masalah yang telah berlaku secara turun-temurun pada masyarakat melalui pola musyawarah mufakat yang merupakan bentuk penerapan demokrasi lokal. Birokrasi nasional yang perkembangan historisnya berasal dari kaum bangsawan menjadikan birokrasi pemerintah dan aparaturnya mengidentifikasi diri sebagai golongan elite yang memiliki status sosial terhormat dan tinggi di tengah masyarakat. Kondisi ini jelas menjadikan pelayanan ublik tidak akan berfungsi otimal, karena kaum birokrat cenderung ingin dilayani secara internal maupun eksternal, ketika terjadi transaksi sosial berupa pelayanan publik. Indikasi yang terlihat dari kondisi di atas adalah penyebutan yang istimewa kepada para pejabat birokrat yang memiliki status sosial istimewa itu. Keangkuhan yang terkondisi di kalangan birokrat ini menjadikan birokrasi pemerintah menjadi jauh dengan masyarakat, karena persepsi birokrat merasa lebih tinggi dari masyarakat kebanyakan yang menjadi pengguna jasa pelayanan publik. Budaya seperti ini jelas menjadi penghambat bagi birokrat untuk berfungsi optimal dengan kinerja yang memadai dalam pemberian pelayanan publik. Perkembangan politik lokal yang terjadi pada masyarakat di daerah menciptakan iklim bagi perluasan partisipasi politik masyarakat lokal yang berdampak pada proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan persoalan-persoalan publik. Kebijakan publik yang lahir akan terlihat apakah masyarakat lokal ikut dilibatkan atau tidak dan seberapa jauh pelibatan itu terjadi yang mampu mengadopsi aspirasi dan kebutuhan kelompokkelompok yang ada dalam masyarakat. Keseimbangan akan terjadi, jika proses pembuatan kebijakan publik mengikutsertakan kelompok kepentingan yang ada di tengah masyarakat lokal. Penerapan asas desentralisasi dan otonomi luas pasca reformasi memberikan angin segar dalam perubahan hubungan antara pihak pemerintah daerah (aparatur) dengan masyarakat luas yang merupakan mitra dalam pelaksanaan pembangunan. Pada era ini berbagai perubahan telah terjadi, sehingga masyarakat pengguna jasa memiliki akses terhadap proses pembuatan kebijakan publik. Kondisi dan perubahan ini jelas memberikan nuansa baru yang sebelumnya tidak terjadi, di mana elemen-elemen yang ada dalam masyarakat memiliki kesempatan untuk melakukan pengawasan dan memantau kinerja birokrasi secara transparan, terutama dalam hal pengalokasian sumberdaya secara lebih adil sesuai dengan proporsi kelompokkelompok yang eksis di masyarakat lokal tersebut. Hal ini secara otomatis akan mengurangi Habibi, Analisis Pelaksanaan Desentralisasi dalam Otonomi Daerah Kota/Kabupaten di Indonesia 123 penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan dari pihak birokrasi pemerintah, yang pada masa sebelumnya banyak merugikan masyarakat banyak. Kondisi perkembangan politik di daerah menunjukkan mental dari para birokrat belum ada perubahan yang signifikan dan berarti bagi peningkatan kinerja pelayanan publik yang berpihak pada masyarakat kebanyakan. Justru yang terjadi adalah masih menonjolnya penggunaan kekuasaan dari pihak birokrasi pemerintah daerah yang hanya menguntungkan kelompoknya secara sepihak, dan mengorbankan kepentingan masyarakat banyak. Peran dan fungsi legislatif yang diharakan memberikan kontribusi positif dalam proses pembuatan kebijakan publik, ternyata banyak terjebak pada evaluasi kebijakan yang bersifat makro dan kurang bergerak pada kebijakan langsung yang memberikan manfaat bagi masyarakat terutama berkaitan dengan peningkatan pelayanan publik. Pihak legislatif banyak yang terjebak pada persoalan internalnya yang hanya membahas penggunaan dan alokasi APBD dan sering memperjuangkan kesejahteraan pribadi melalui peningkatan honor dan fasilitas kesejahteraannya. kepada jajaran aparatur pemerintah daerah, agar seluruh aparatur yang ada mampu dan mau bergerak sesuai dengan visi, misi, dan tujuan yang telah ditetapkan sebagaimana yang dimuat dalam Rencana Strategi Daerah (Renstrada) maupun Pola Dasar Pembangunan (Poldas). Sementara peranan DPRD sebagai lembaga kontrol perlu melakukan pengawasan terhadap jalannya Renstrada secara berkesinambungan, agar pelaksanaannya tetap berjalan pada koridor yang tepat dan tidak melenceng dari rel yang telah ditetapkan. Perlu pembentukan dinas yang otonom bagi sektor-sektor yang strategis, seperti: pendidikan, tenaga kerja, pertambangan dan energi, perindustrian, pertanian, dan lain-lain. Setiap pimpinan dinas (instansi teknis) harus menyusun rencana strategis (Renstra) dengan mengacu pada visi, misi, dan tujuan yang telah ditetapkan. Renstra yang disusun harus betul-betul memperhatikan dan mempertimbangkan urgensi, dukungan dana, keahlian, serta kepentingan masyarakat dan pembangunan daerah. Dan di dalam pelaksanaannya diperlukan koordinasi lintas instansi teknis (dinas) dan yang terkait lainnya, dibawah Bappeda. REKOMENDASI PELAKSANAAN DESENTRALISASI DALAM OTONOMI DAERAH Aspek SDM Organisasi Pemerintah daerah melalui Badan Kepegawaian Daerah harus memiliki perencanaan pegawai yang komprehensif dan memuat hal-hal antara lain: a) analisis jumlah kebutuhan pegawai untuk jangka kurun waktu tertentu; b) data base pegawai baik dalam hal jumlah, kualifikasi pendidikan dan keahlian; c) jenis keahlian yang dibutuhkan pada setiap dinas; d) Jenis pendidikan dan pelatihan yang harus diikuti pegawai setiap dinas; e) anggaran biaya pendidikan dan pelatihan; dan f) pengembangan kerjasama dengan instansi lain yang terkait. Memperhatikan berbagai kendala yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah Kota/kabupaten dalam pelaksanaan desentralisasi dalam otonomi daerah, maka upaya yang perlu ditempuh dari aspek manajerial, SDM organisasi, budaya organisasi, dan politik lokal. Aspek Manajerial Pemerintah daerah Kota/kabupaten perlu merumuskan kembali visi yang jelas, mengenai gambaran masa depan yang ingin dicapai (untuk kurun waktu tertentu). Isi dari visi tersebut sedapat mungkin dapat mencerminkan substansi dari desentralisasi dalam otonomi daerahserta seluruh harapan masyarakat Kota/kabupaten. Selanjutnya visi yang telah ditetapkan harus disosialisasikan kepada seluruh jajaran pemerintah daerah dan masyarakat, sehingga menjadi visi bersama yang perlu diperjuangkan antara pemerintah daerah Kota/kabupaten dan masyarakat bersama-sama. Bupati/walikota sebagai top manajemen memiliki tugas untuk mentransfer visi yang ada Aspek Budaya Organisasi Perlu adanya perubahan sikap mental dari aparatur pemerintah daerah untuk memiliki komitmen dalam pemberian pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat sebagai pengguna jasa. Bekerjasama dengan instansi terkait dalam menciptakan budaya birokrasi yang legaliter, transparan, dan lebih berorientasi pada sikap profesionalisme daripada berorientasi pada kepentingan atasan. 124 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 Aspek Politik Lokal Perlu adanya pemberdayaan dari pihak legislatif untuk mampu mengusulkan dan merancang Peraturan Daerah (Perda) yang sesuai dengan visi, misi Kota/kabupaten demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakatnya. Menciptakan hubungan yang harmonis antara pihak DPRD (legislatif) dengan pihak eksekutif untuk secara bersama-sama bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pembangunan di Kota/ kabupaten secara optimal dan berkesi-nambungan. SIMPULAN Dari uraian di atas tentang analisis pelaksanaan desentralisasi dalam otonomi daerahKota/kabupaten di Indonesia, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1) pelaksanaan desentralisasi dalam otonomi daerahdapat dilihat dari dua aspek, yaitu: aspek output dan aspek outcomes kebijakan. Kedua aspek tersebut memiliki ukuran atau indikator yang berbeda dalam penilaian keberhasilan; 2) output kebijakan desentralisasi dapat dilihat 3 aspek, yaitu: (a) peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat; (b) peningkatan kualitas pelayanan publik; dan (c) fleksibilitas program pembangun-an; 3) outcomes kebijakan desentralisasi dapat dilihat dari aspek peningkatan partisipasi masyarakat dan efektivitas pelaksanaan koordinasi; 4) faktorfaktor yang mempengaruhi proses pelaksanaan desentralisasi dalam otonomi daerahdi Kota/ kabupaten adalah: (a) aspek manajerial; (b) aspek SDM organisasi; (c) aspek budaya birokrasi; dan (d) aspek politik lokal. Dlihat dari aspek output kebijakan, maka implementasi kebijakan desentralisasi dapat dikatakan relatif berhasil. Namun dilihat dari aspek outcomes kebijakan, ternyata banyaknya urusan yang telah diterima (desentralisasi) oleh Kota/kabupaten justru menjadi beban berat bagi daerah. Harapan kebijaksanaan seperti memacu pertumbuhan ekonomi masyar akat berbagai progr am pembangunan (proyek), pelaksanaannya belum efektif. DAFTAR RUJUKAN Mahfud, MD. 2000. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan. Jakarta: Rineka Cipta. N. Dunn, William. Public Policy Analisys: An Introduction. London: Prentice-Hall Inc. Nogi, S. Hessel. 2000. Analisis Kebijakan Publik Kontemporer. Yogyakarta: Lukman Offset. Syaukani, Affan Gaffar, Ryass Rasyid. 2002. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ANALISIS KINERJA RELAWAN DEMOKRASI DALAM PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF DI KOTA BANDA ACEH Nopri Hariadi Amirullah Ruslan Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Syiah Kuala Jl.Jl. T. Nyak Arief Darussalam Banda Aceh email: [email protected], [email protected], Abstract:the voters who did not vote in the election (white group) legislature is still high. In 2014 the government gave rise to a new program, a program Volunteer Democracy (Relation). Relationships program is expected to create a positive awareness of the importance of the elections in the life of the nation. This study aims to determine the grounding performance, form the performance of “Relasi”, and the constraints faced “Relasi” in the implementation of legislative elections in 2014, especially in the city of Banda Aceh. The method used is descriptive qualitative. Source of data obtained through interviews and documentation. The subjects of the research is determined by purposive sampling method. The subjects in this study is one the group’s chairman and two members of the group of each segment. The results showed that the foundations of the program “Relasi” is the voter turnout tends to decrease. Mechanism of action of different used is adapted to the situation and the conditions required. Overall the entire relationship has been working in accordance with its function as an extension. Obstacles faced when socialization is the style, technique, time, and bounce. In addition to the mindset of the people who mostly do not have awareness about the importance of democracy. Keywords: volunteer democracy, legislative elections Abstrak:pemilih yang tidak memilih dalam pemilu (golongan putih) legislatif masih tinggi. Tahun 2014pemerintah memunculkan program baru yaitu program Relawan Demokrasi (Relasi). Program Relasi diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran positif terhadap pentingnya pemilihan umum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kajianini bertujuan untuk mengetahui landasan kinerja, bentuk kinerja “Relasi”, dan kendala-kendala yang dihadapi “Relasi” dalam pelaksanaan Pileg Tahun 2014 khususnya di Kota Banda Aceh. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Sumber data diperoleh melalui wawancara dan studi dokumentasi. Subyek penelitian ditentukan melalui metode purposive sampling. Subyek dalam penelitian ini adalah satu orang ketua kelompok dan dua orang anggota kelompok dari setiap segmen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa landasan terbentuknya program “Relasi”adalah partisipasi pemilih yang cenderung menurun. Mekanisme kerja yang digunakan berbeda-beda yaitu disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dibutuhkan. Secara keseluruhan seluruh anggota Relasi telah bekerja sesuai dengan fungsinya sebagai penyuluh. Kendala yang dihadapi saat sosialisasi umumnya adalahgaya bahasa, teknik, waktu, dan mental. Selain itu pola pikir masyarakat yang sebagian besar belum memiliki kesadaran mengenai pentingnya demokrasi. Kata kunci: relawan demokrasi, pemilihan umum legislatif Indonesia saat ini sudah melaksanakan 10 kali Pemilihan Umum Legislatif atau Pileg, namun ditemukan bahwa angka golput masyarakat masih tinggi. Pada Pileg tahun 2014 ini mempunyai pemerintah memuncul-kan program baru yaitu program Relawan Demokrasi (Relasi). Program Relasi diharapkan mampu menumbuhkan kembali kesadaran positif terhadap pentingnya pemilu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Relawan demokrasi menjadi mitra KPU dan KIP Aceh dalam menjalankan agenda sosialisasi dan pendidikan pemilih berbasis kabupaten/kota. 125 126 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 Bentuk peran serta masyarakat ini diharapkan mampu mendorong tumbuhnya kesadaran tinggi serta tanggung jawab penuh masyarakat untuk menggunakan haknya dalam pemilu secara optimal. Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai kinerja Relawan Demokrasi pada Pemilu 2014 khususnya di Kota Banda Aceh. METODE Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Sumber data diperoleh melalui wawancara terhadap subjek penelitian serta melalui studi dokumentasi. Dalam pemilihan subjek peneliti menggunakan metode purposive sampling. Ada lima segmen yang menjadi kelompok sampel, yaitu segmen marjinal, perempuan, pemilih pemula, keagamaan, dan disabilitas. Kriteria sampel dalam penelitian ini adalah 1 orang ketua kelompok dan 2 orang anggota kelompok dari masing-masing segmen. Dengan demikian terpilih sebanyak 15 orang (terdiri atas 3 orang dari setiap segmen sesuai kriteria) sebagai subjek penelitian dalam penelitian ini. HASIL DAN PEMBAHASAN Landasan kinerja Relawan Demokrasi Berdasarkan hasil pengumpulan data di lapangan, temuan-temuan melalui wawancara dan dokumentasi menunjukan bahwa dari kelima belas orang yang tergabung dalam program Relawan Demokrasi (Relasi) menyebutkan mengenai landasan terbentuknya Relawan Demokrasi. Landasan terbentuknya program Relawan Demokrasi ini dilatar belakangi oleh partisipasi pemilih yang cenderung menurun, yaitu selama tiga kali pelaksanaan pemilu terjadi kemerosotan jumlah pemilih. Hal ini sesuai dengan penjelasan di dalam Petunjuk Pelaksanaan Program Relawan Demokrasi (Relasi) tahun 2014, menjelaskan bahwa jumlah pemilih pada tahun 1999 berjumlah 92 %, tahun 2004 berjumlah 84 %, dan tahun 2009 berjumlah 71 %. Fenomena pada pemilu nasional tersebut menjadi tantangan bagi pemerintah dan pihakpihak yang pro-demokrasi untuk menyukseskan pelaksanaan pemilu tahun 2014 dengan membentuk Gerakan Sejuta Relawan di kabupaten/kota se- Indonesia. Dengan demikian, diharapkan pemilu tahun 2014 ini mestinya menjadi titik balik terhadap persolan partisipasi pemilih yang sebelumnya ada, yaitu dengan cara menumbuhkan kembali kesadaran positif terhadap pentingnya pemilu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara agar tingkat golput semakin menurun. Program Relawan Demokrasi ini adalah program pemerintah yang legal, karena dari awal proses perekrutan hingga proses berakhirnya tugas sudah disebutkan di dalam Surat Ketetapan (SK) kerja yang diberikan kepada setiap anggota Relawan Demokrasi saat proses pelantikan di gedung lama KIP kota Banda Aceh. Pelantikan tersebut dihadiri 25 orang Relawan Demokrasi, komisioner KIP kota Banda Aceh, serta pihakpihak yang berwenang dalam pemilu legislatif tahun 2014 ini. Isi dari SK kerja juga menjelaskan mengenai anggaran yang yang diproksikan untuk menunjang kegiatan para anggota Relawan Demokrasi dalam bekerja dan disebutkan pula anggaran yang untuk menunjang para anggota Relawan Demokrasi berasal dari DIPA KPU tetapi secara nasional anggaran yang digunakan untuk menunjang kinerja Relawan Demokrasi di Banda Aceh yaitu berasal dari APBN dan APBK. Pos anggaran dalam APBN difungsikan untuk honor bagi Relawan Demokrasi sedangkan pos anggaran dalam APBK difungsikan untuk penyediaan alat peraga, dll. Bentuk kinerja Relawan Demokrasi Berdasarkan hasil pengumpulan data di lapangan, temuan-temuan melalui wawancara dan dokumentasi menunjukan bahwa setelah resmi menjadi Relawan Demokrasi pastinya mereka belum mengetahui pasti bagaimana bentuk kerja yang harus mereka laksanakan, oleh sebab itu pihak KIP kota Banda Aceh memberikan pembekalan berupa bimbingan teknis (Bimtek) sebagai bentuk tanggung jawab pihak KIP kota Banda Aceh terhadap program tersebut, sebagaimana yang disebutkan di dalam petunjuk pelaksanaan program Relawan Demokrasi (Relasi) Pemilu Tahun 2014. Sejauh ini seluruh anggota Relawan Demokrasi sudah diberikan Bimtek sebanyak 4 kali setelah resmi menjadi anggota Relawan Demokrasi yaitu sebelum pesta demokrasi yaitu hari pemilihan. Saat bimtek tersebut berlangsung, seluruh anggota Relawan Demokrasi diberikan pengarahan dan pengenalan mengenai segala hal yang berhubungan dengan Hariadi dkk, Analisis Kinerja Relawan Demokrasi dalam Pemilihan Umum Legislatif di Kota Banda Aceh Relawan Demokrasi, seperti halnya mengenai prosedur, fungsi, perencanaan program, motivasi, dan evaluasi terhadap program yang sudah dijalankan oleh masing-masing segmen. Dengan demikian kinerja Relawan sudah mencapai standar kinerjanya. Standar kinerja tersebut merupakan elemen penting dan sering dilupakan dalam proses review kinerja (Wibowo, 2013:73). Setelah dilakukannya pembekalan atau bimtek kepada seluruh anggota Relawan Demokrasi di kota Banda Aceh, secara keseluruhan mereka sudah paham mengenai halhal yang berhubungan dengan tugas, prosedur, serta fungsi mereka sebagai Relawan Demokrasi karena dengan adanya bimtek tersebut seluruh Relawan Demokrasi menjadi lebih terarah dan terfokus dalam menjalankan tugasnya sebagai RelawanDemokrasi. Di saat Relawan bekerja mereka saling menutupi kekurangan antar anggota kelompoknya, jika satu dari mereka tidak paham, pasti rekan sekolompok selalu siap mambantu. Kemudian mengenai bentuk atau mekanisme kerja yang dilakukan oleh Relawan Demokrasi selama bekerja yaitu sangatlah beragam. Setiap segmen memiliki mekanisme yang berbeda, karena mekanisme tersebut harus sesuai dengan kondisi target masing-masing segmen. Misalnya mekanisme atau prosedur yang digunakan oleh masing-masing segmen yaitu : segmen marginal lebih fokus terhadap kalangan pemulung, nelayan, tukang becak, tukang sayur dan pedagang. Selain itu, segmen disabilitas berfokus terhadap penyandang disabilitas (tuna runga, tuna daksa, tuna netra, dll), segmen pemilih pemula berfokus pada siswa kelas 3 SMA, mahasiswa, Purnawiran. Segmen keagamaan berfokus terhadap lingkup dan komunitas keagamaan. Segmen perempuan lebih fokus terhadap komunitas ibu-ibu. Dengan demikian mekanisme kerja yang digunakan pun berbeda sesuai kebutuhan dari tiap segmen agar target tidak jenuh dan waktu yang digunakan untuk sosialisasi disesuaikan dengan kondisi dari target sosialisasi. Secara keseluruhan mekanisme atau prosedur yang digunakan yaitu dengan cara sosialisasi kepada masyarakat dari masing-masing segmen tersebut dengan berbagai bentuk sosialisasi, dimana segmen agama, segmen pemilih pemula, segmen marginal, dan segmen perempuan menggunakan bentuk sosialisasi yang normal, bahasa yang mudah dipahami, lokasi sosialisasi yang mendukung, dan teknik sosialisasi yang menarik agar tidak membosankan, dan lain 127 sebagainya. Beda halnya dengan segmen disabilitas yaitu menggunakan bentuk sosialisasi dengan cara khusus (misalnya dengan teknik nonverbal). Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Fajri (2014:26) bahwa ada beberapa mekanisme yang digunakan Relawan Demookrasi dalam memberikan penyuluhan yaitu: (a) simulasi, (b) bermain peran, (c) diskusi kelompok, (d) ceramah, (e) alat bantu visual-non visual, (f) posting materi sosialisasi ke media sosial . Selain itu, dalam bekerja seluruh anggota Relawan Demokrasi memiliki motivasi yang berbeda-beda tetapi pada intinya motivasi saat mereka bekerja yaitu dikarenakan kondisi Aceh dulu sampai dengan sekarang ini, dimana jumlah pemilih terus menerus turun artinya masyarakat banyak yang golput, selain itu karena prihatin karena sikap ketidakpercayaan masyarakat terhadap calon legislatif sehingga memaksa mereka untuk apatis. Motivasi bagi mereka dalam bekerja dan mengajak masyarakat untuk menggunakan hak pilih mereka dalam panggung demokrasi di tahun 2014 ini. Hal ini bertujuan agar Aceh lebih maju dari tahun kemarin dikarenakan calon legislatif yang terpilih berdasarkan suara dari sebagian besar masyarakat Aceh. Setelah bekerja pastinya ada indikator yang dapat digunakan oleh masing-masing anggota untuk mengukur dan mengevaluasi bagaimana kinerja Relawan Demokrasi yaitu dengan melihat bagaimana antusias dan respon masyarakat saat diberikan penyuluhan mengenai prosedur pada pemilu tahun ini, dimana hal ini bisa dilihat dari komunikasi interaktif dari masyarakat saat melakukan sosialisasi. Selain itu indikator lain yang digunakan yaitu terselesainya program yang direncanakan dengan baik dan juga dapat dilihat dari jumlah partisipatif pemilih yang dicatat oleh pihak yang berwenang (KPU atau KIP Kota) dalam pileg tahun 2014 di Indonesia. Hal ini sesuai dengan tujuan dibentuknya program Relawan Demokrasi yang tercantum dalam Petunjuk PelaksanaanProgram Relawan Demokrasi (Relasi) Pemilu tahun 2014. Sejauh ini evaluasi terhadap kinerja selalu dilaksanakan dan indikator yang digunakan oleh Relawan Demokrasi sesuai dengan teori yang dijelaskan oleh Dwiyanto (2002:48) yaitu produktivitas, kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas. Produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan. 128 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio antara input dan output. Konsep produktivitas dirasa terlalu sempit dan kemudian General Accounting Office (GAO) mencoba mengembangkan satu ukuran produktivtas yang lebih luas dengan memasukkan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan sebagai salah satu indikator kinerja yang penting. Kualitas layanan menjadi isu yang menjadi semakin penting dalam menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Keuntungan menggunakan kepuasan masyarakat sebagai indikator kinerja adalah informasi mengenai kepuasan masyarakat seringkali tersedia secara mudah dan murah. Informasi mengenai kepuasan terhadap kualitas pelayanan seringkali dapat diperoleh dari media massa atau diskusi publik. Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas di sini menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas dimasukkan sebagai salah satu indikator kinerja karena responsivitas secara langsung menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Responsivitas rendah ditunjukkan dengan ketidakselarasan antara pelayanan dengan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut jelas menunjukkan kegagalan organisasi dalam mewujudkan misi dan tujuan organisasi publik. Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksananan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsipkebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit. Oleh karena itu, responsibilitas bisa saja pada suatu ketika berbenturan dengan responsivitas. Akuntabilitas publik menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Konsep akuntabilitas publik digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak. Suatu kegiatan organisasi publik memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat. Kesesuaian indikator yang digunakan oleh para Relawan Demokrasi dalam mengevaluasi kinerjanya dengan teori indikator kinerja, menyebabkan feed back dari kinerja tersebut sudah tercapai walaupun belum maksimal.Jadi, secara umumterlihat bahwa seluruh anggota Relawan Demokrasi telah bekerja sesuai dengan fungsinya sebagai penyuluh dan Relawan Demokrasi juga telah mencapai sasaran kinerja. Sebagaimana yang disebutkan oleh Wibowo (2013:63) menyebutkan bahwa sasaran kinerja mencakup unsur-unsur sebagai berikut: (a) The performers, yaitu orang yang menjalankan kinerja, (b) The action/ performance, yaitu tentang tindakan atau kinerja yang dilakukan oleh performer, (c) A time element, yaitu menunjukan waktu kapan pekerjaan dilakukan, (d) An evaluation method, yaitu tentang cara penilaian bagaimana hasil pekerjaan dapat dicapai, (e) The place, yaitu menunjukan tempat di mana pekerjaan dilakukan. Kendala-kendala yang dihadapi Relawan Demokrasi Berdasarkan hasil pengumpulan data di lapangan, temuan-temuan melalui wawancara dan dokumentasi menunjukan bahwa, terdapat kendala yang dirasakan oleh setiap anggota Relawan Demokrasi saat sosialisasi kepada masyarakat. Kendala tersebut berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan yang dihadapi saat sosialisasi dari masing-masing segmen. Walaupun ada di antara mereka yang merasa tidak ada kendala sama sekali saat melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Berikut ini merupakan kendala yang dihadapi oleh masing-masing segmen saat sosialisasi yaitu kendala yang dihadapi oleh segmen marginal adalah terkait dengan gaya bahasa dan teknik yang gunakan saat sosialisasi agar mudah dipahami oleh target; segmen disabilitas terkendala dengan kondisi fisik dari target sehingga tidak terbiasa saat berinteraksi dan harus beradaptasi terlebih dahulu; segmen pemilih pemula terkendala dengan waktu yang dipilih untuk sosialisasi sehingga bersamaan dengan waktu persiapan ujian nasional; segmen keagamaan terkendala dengan masih kurangnya keberanian dalam berinteraksi saat penyuluhan karena khawatir akan menyinggung perasaan target yang terdiri dari latar belakang agama yang berbeda; dan segmen perempuan terkendala dengan aktivitas atau kesibukan dari target yang Hariadi dkk, Analisis Kinerja Relawan Demokrasi dalam Pemilihan Umum Legislatif di Kota Banda Aceh terdiri dari ibu-ibu sehingga harus memilih waktu yang tepat untuk melakukan sosialisasi. Selanjutnya, jika kita melihat dari segi situasi objektif masyarakat, yaitu berbeda-beda sesuai dengan persepsi dari masing-masing masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena sebagian besar masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap calon pemimpin dan banyak pemimpin yang hanya mengutamakan kepentingannya sendiri ketika mereka memiliki jabatan tersebut. Kemudian juga disebabkan karena adanya unsur kekhawatiran yang berlebihan dari masyarakat bahwa kegiatan pileg akan menghambat aktivitas mereka untuk mencari nafkah setiap harinya. Uniknya ada sebagian istri yang mengikuti suaminya, maksudnya jika suaminya memberikan hak suara maka mereka juga ikut memberikan suaranya, dan begitu pula sebaliknya. Dengan kata lain kendalanya dalam hal ini yaitu terkait dengan pola pikir masyarakat yang sebagian besarnya belum memiliki kesadaran mengenai pentingnya demokrasi. 129 SIMPULAN Landasan terbentuknya program Relawan Demokrasi ini dilatar belakangi oleh partisipasi pemilih yang cenderung menurun. Sebelum turun ke masyarakat seluruh anggota relawan Demokrasi terlebih dahulu diberikan bimtek, dan sejauh ini sudah 4 kali dilakukan bimtek sebelum hari pemilihan. Kemudian mekanisme yang digunakan oleh Relawan Demokrasi sesuaidenganfungsinya sebagai penyuluh dan telah mencapai sasaran kinerja, serta indikator yang digunakan oleh Relawan Demokrasi dalam mengevaluasi kinerja pun tepat, sehingga feed back dari kinerja tersebut sudah tercapai walaupun belum maksimal. Kendala yang dihadapi dari segi anggota Relawan Demokrasi yaitu berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi namun pada umumnya adalah terkait dengan pola pikir masyarakat yang sebagian besarnya belum memiliki kesadaran mengenai pentingnya demokrasi. DAFTAR RUJUKAN Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang penyelenggara pemilu. Republik Indonesia.Undang-Undang Pemerintah Aceh tentang Pemilu. Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Syarbaini, Syahrial, dkk. 2002. Sosiologi dan Politik. Jakarta:Ghalia Indonesia. Wibowo. 2013. Manajemen Kinerja. Jakarta: Rajawali Pers. Yunus, Hadi Sabari. 2010. Metodologi Penelitian Wilayah Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. URGENSITAS OMBUDSMAN DALAM PENGAWASAN PELAYANAN PUBLIK Nurul Laili Fadhilah Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Jember Jl. Kalimantan Jember Email:[email protected] Abstract: competition some areas as improving the quality of services and satisfaction of the people became the target of the government’s success in serving the community. Ombudsman to monitor the implementation of public service held by the organizer of state and government at both central and local levels including those organized by the State Owned Enterprises, Regional-Owned Enterprises and State Owned Legal Entity as well as private entities or individuals who were given the task of organizing certain public services , The establishment of Ombudsman background for the empowerment of people concerned about state administration, the implementation of the idea of democracy, and as a protection of the rights of community members. The apparatus of government, including the judiciary in charge of creating justice and prosperity. The existence of supervisor institution for public services to the community can be a means of control of people or institutions to maintain the quality of government services. Keywords: decentralization, public services, obudsman Abstrak: Kompetisi beberapa daerah sebagai upaya peningkatan kualitas pelayanan dan kepuasan masyarakat menjadi target keberhasilan pemerintah dalam melayani masyarakat. Ombudsman berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu. Pembentukan Ombudsman dilatar belakangi adanya pemberdayaan masyarakat yang peduli terhadap penyelenggaraan negara, implementasi paham demokrasi, dan sebagai perlindungan terhadap hakhak anggota masyarakat. Aparatur pemerintahan termasuk lembaga peradilan yang bertugas menciptakan keadilan dan kesejahteraan. Keberadaan lembaga pengawas terhadap pelayanan publik kepada masyarakat dapat menjadi alat kontrol dari masyarakat atau lembaga terkait untuk menjaga kualitas layanan pemerintah. Kata Kunci: Otonomi daerah, pelayanan publik, Ombudsman Bahwa pada dasarnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selalu saja ditemukan tarik ulur antara kekuasaan, hukum dan demokrasi yang bersumber pada keserakahan terhadap kekuasaan. Padahal prinsip-prinsip Negara hukum, demokrasi dan hak-hak asasi manusia juga dapat melanggar prinsip-prinsip hukum administrasi dan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang layak. Kajian terhadap bagian-bagian yang mengisahkan jalinan antara sisi hukum demokrasi dan hukum administrasi dirasa sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan Indonesia. Disaat berbagai musibah dan malapetaka berupa musibah korupsi, kolusi dan nepotisme masih terus menerpa praktek penyelenggaraan pemerintahan. Di saat era otonomi menghadapi pemekaran daerah dan pertumbuhan provinsi, kabupaten, kota dan kecamatan yang sering disertai munculnya arogansi rasa kedaerahan yang berlebihan. Otonomi daerah serentak telah dilaksanakan mulai Januari 2001. Dalam tahap awal pelaksanaa otonomi daerah, masih ada beberapa daerah yang belum siap, namun sebagian merasa sudah siap melaksanakan otonomi. Pelaksanaan otonomi 130 Fadhilah, Urgensitas Ombudsman dalam Pengawasan Pelayanan Publik daerah secara tidak langsung akan memaksa daerah untuk melakukan perubahan-perubahan struktur maupun perubahan proses birokrasi dan kultur birokrasi. Perubahan proses meliputi perubahan yang menyentuh keseluruhan aspek dalam siklus pengendalian manajemen di pemerintah daerah, yaitu perumusan strategi, perencanaan strategi, penganggaran, pelaporan kinerja dan mekanisme reward and punishment system (Mardiasmo, 2004:207). Undang-undang Dasar 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dalam Pasal 18 UUD menyebutkan adanya pembagian pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah. Pemberlakuan sistem otonomi daerah merupakan amanat yang diberikan oleh Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Kedua tahun 2000 untuk dilaksanakan berdasarkan undang-undang yang dibentuk khusus untuk mengatur pemerintahan daerah. UUD NRI 1945 pasca-amandemen itu mencantumkan permasalahan pemerintahan daerah dalam Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Sistem otonomi daerah sendiri tertulis secara umum dalam Pasal 18 untuk diatur lebih lanjut oleh undang-undang No. 32 Tahun 2004 dan diubah menjadi Undang-undang No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemerintah Daerah. Otonomi daerah sendiri pada implementasi memiliki dampak tersendiri bagi tiap-tiap daerah. Dampak tersebut bisa positif dan negatif. Dampak positif otonomi daerah adalah bahwa dengan otonomi daerah maka pemerintah daerah akan mendapatkan kesempatan untuk menampilkan identitas lokal yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri. Dengan otonomi daerah maka kebijakan-kebijakan pemerintah akan lebih tepat sasaran, hal tersebut dikarenakan pemerintah daerah cenderung lebih mengerti keadaan dan situasi daerahnya, serta potensi-potensi yang ada di daerahnya daripada pemerintah pusat. Dampak negatif dari otonomi daerah adalah adanya kesempatan bagi oknum-oknum di pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan Negara dan rakyat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu terkadang ada kebijakan-kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan konstitusi Negara yang dapat menimbul- 131 kan pertentangan antar daerah satu dengan daerah tetangganya, atau bahkan daerah dengan Negara, seperti contoh pelaksanaan Undang-undang Anti Pornografi di tingkat daerah. Hal tersebut dikarenakan dengan sistem otonomi daerah maka pemerintah pusat akan lebih susah mengawasi jalannya pemerintahan di daerah, selain itu karena memang dengan sistem otonomi daerah membuat peranan pemeritah pusat tidak begitu berarti. Selain itu juga menimbulkan persaingan antar daerah yang terkadang dapat memicu perpecahan atau (pemekaran daerah yang tidak memenuhi syarat). Dengan otonomi daerah berarti telah memindahkan sebagian besar ke-wenangan yang tadinya berada di pemerintah pusat diserahkan kepada daerah otonom, sehingga pemerintah daerah otonom dapat lebih cepat dalam merespon tuntutan masyarakat daerah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Karena kewenangan membuat kebijakan (Perda) sepenuhnya menjadi wewenang daerah otonom, maka dengan otonomi daerah pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan akan dapat berjalan lebih cepat dan lebih berkualitas. Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah sangat tergantung pada kemampuan keuangan daerah (PAD), sumber daya manusia yang dimiliki daerah, serta kemampuan daerah untuk mengembangkan segenap potensi yang ada di daerah otonom. Terpusatnya SDM berkualitas di kota-kota besar dapat didistribusikan ke daerah seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, karena kegiatan pembangunan akan bergeser dari pusat ke daerah. Dari praktek-praktek otonomi daerah dilapangan ternyata terdapat banyak pelanggaran dari pemerintah daerah dalam penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia. Misalnyanya saja pada masalah pelayanan publik yang berujung pada tindakan korupsi besar-besaran di daerah. Secara umum penilaian berbagai kalangan terhadap pelaksanaan pelayanan pubik masih jauh dari memuaskan, antara lain bahwa: (1) petani belum memperoleh pelayanan tentang informasi pasar komoditi pertanian, (2) pungutan liar masih berlangsung, (3) iklim usaha menjadi tidak jelas, (4) terjadi pungutan yang tumpang tindih, (5) persyaratan tender yang memberatkan, (6) fasilitas pelayanan tidak diperhatikan (Smeru, 2011). Selain itu juga banyak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi setelah menjabat sebagai bupati atau walikota.Oleh karena itu diperlukan suatu lembaga 132 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 untuk mengawasi jalannya penyelenggaraan pemerintah. Berdasarakan latar belakang di atas makalah ini mengambil judul “Pengawasan Dalam Pelayanan Publik Di Daerah” PELAYANAN PUBLIK DI DAERAH Digagasnya otonomi daerah adalah untuk mendekatkan satuan unit pelayanan kepada masyarakat, bukan sebaliknya yaitu semakin menambah panjangnya meja birokrasi. Oleh karena itu, konsepsi otonomi daerah harusnya diikuti dengan adanya desentralisasi pelayanan. Jika hal ini tidak terjadi maka antara konsepsi politik dan kebijakan dengan tingkat pelaksanaan teknis tentu akan terjadi benturan dan kontradiktif. Penyediaan pelayanan publik yang dilakukan oleh negara, saat ini masih diangap kurang dari cukup. Banyak fakta yang menunjukkan bahwa di beberapa daerah yang ada di Indonesia, yang mewartakan tentang buruknya pelayanan publik. Padahal ini sudah merupakan sesuatu yang diatur dalam konstitusi. Konstitusi sebagai bentuk dari adanya kontrak sosial dan politik di dalamnya mengatur tentang pelayanan publik sebagai salah satu tujuan utama dari dibentukknya negara, yaitu mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur (Luthfi, 2007:56). Otonomi yang diharapkan mampu membawa perubahan terhadap pelayanan yang diberikan kepada masyarakat juga mensyaratkan adanya ruang partisipasi bagi rakyat dalam mengelola kebijakan publik. Karena hal ini menjadi sebuah keniscayaan bagi negara untuk mempromosikan, menghormati, melindungi dan mematuhi hakhaknya sebagai pemegang kuasa atas negara ini (Patra, 2006). Isu penyelengaraan pelayanan publik dalam pelaksanaan otonomi daerah menjadi perhatian tersendiri bagi pengambil kebijakan dan birokrasi pemerintah daerah. Kompetisi beberapa daerah sebagai upaya peningkatan kualitas pelayanan dan kepuasan masyarakat menjadi target keberhasilan pemerintah dalam melayani masyarakat. Namun isu pelayanan yang mengemuka hanya di beberapa kabupaten atau kota saja, belum menjadi wabah secara nasional. Sebagaimana penyelenggaraan pelayanan publik pada sektor pendidikan, sektor kesehatan dan sektor layanan dasar lainnya, sektor administrasi dasar merupakan salah satu sektor terpenting dalam tata kelola ketertiban administasi pemerintahan dan kependudukan terutama administrasi yang langusng berkaitan dengan masyarakat seperti halnya KTP, KK, Akta Kelahiran dan berbagai macam bentuk perizinan. Perspektif pihak pemberi/penyelenggaraan layanan publik ini dapat kita lihat dari dua hal, yang pertama pihak pengambil kebijakan di daerah yang menetapkan peraturan dan jaminan pelaksanaan pelayanan. Kedua pihak birokrasi yang mengoperasionalkan kebijakan tersebut dalam teknis layanan langsung ke masyarakat. Namun tidak bisa dipungkiri dalam lini yang ada terbut masih banyak mengalami kekurangan dan kelemahan. Contoh sehari-hari dalam pembuatan KTP merupakan bentuk pelayanan yang tidak efektif, seharusnya hal-hal demikian tidak perlu terjadi dan terulang. Pemborosan baik dari biaya, waktu dan kerumitan dalam mendapatkan pelayanan terjadi dalam kasus ini. Sistem budaya birokrasi yang tidak lepas dari unsur-unsur budaya daerah yang menggunakan bahas jawa “alon-alon asal kelakon” sudah tidak cocok lagi dengan ciri birokrasi modern (Puji, 2006:19). Sehingga seringkali muncul pameo seperti; “Kalau masih ada hari esok kenapa harus diselesaikan sekarang”. “Jika bisa dipersulit kenapa harus dipermudah”. Nilai-nilai semacam ini seringkali muncul dari nilai-nilai kedaerahan yang kurang menunjang keberlangsungan sistem birokrasi (Puji, 2006:20). Kondisi pelayanan publik yang diberikan pemerintah belum sepenuhnya berpihak kepada publik. Bermacam kepentingan seperti halnya kepentingan capital, kepentingan politik, sangat memperngaruhi kebijakanpelayanan yang diberikan. Akibat dari semua hal ini, tidak lebih bahwa pelayanan yang ada saat ini dapat “diperjualbelikan”. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Malang Corruption Watch (MCW) pada bulan Juni 2006, tentang proses pelayanan administrasi dasar, khususnya pembuatan KTP menunjukkan waktu yang dibutuhkan oleh masyarakat berbeda-beda. Perbedaan waktu tersebut bisa dilihat pada tabel 1. Dari tabel 1 menunjukkan bahwa pada tingkatan Kelurahan dan Kecamatan membutuhkan waktu yang relative lama dibandingkan dengan tingkat RT/RW bisa dibilang cukup cepat. Adanya perbedaan waktu tersebut telah menimbulkan persepsi yang berbeda-beda pada masyarakat. Jika sudah demikian maka dapat menimbulkan keengganan masayrakat untuk melewati proses Fadhilah, Urgensitas Ombudsman dalam Pengawasan Pelayanan Publik 133 Tabel 1. Waktu Yang Dibutuhkan Dalam Mengurus KTP Tingkat Pelayanan 1menit1 jam 2 jam 1 hari RT RW Kelurahan Kecamatan 66% 52% 31% 17% 21% 31% 21% 17% 2 hari- Mingggu1minggu 2 1 bulan >2 bulan 0% 7% 41% 52% tahapan-tahapan dalam pengurusan KTP. Sehingga masyarakat untuk melewati ini semua rela merogoh kocek lebih dalam untuk hal pengurusan KTP. Padahal telah jelas dalam UU Pelayanan Publik dinyatakan bahwa pelayanan publik sebagai salah satu fungsi utama pemerintah adalah upaya untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat atas keberadaan barang dan jasa yang diperlukan oleh masyarakat. Pemenuhan kepentingan dan kebutuhan masyarakat sangat menentukan bagi kelangsungan dan tegaknya sistem pemerintahan. Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan kewajiban pemerintah untuk memberikan kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat, yaitu membangun negara kesejahteraan dan tanggung jawab pemerintah memenuhi kebutuhan warga Negara (Sutedi, 2010:147). Disadari bahwa kondisi aparatur negara masih dihadapkan pada sistem manajemen pemerintahan yang belum efisien dan lemah yang antara lain menghasilkan kualitas pelayanan publik rendah dan terjadi berbagai praktik korupsi, kolusi dan nepatisme serta mengakibatkan inefisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Upaya perbaikan dan peningkatan kinerja aparatur, dilaksanakan secara kesisteman diharapkan dapat mewujudkan pelayanan yang cepat, murah, mudah berkeadilan, berkepastian hukum, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan perkembangan masyarakat. Meningkatkan kesadaran masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan bermasyarakat, merupakan faktor pendorong mewujudkan persepsi untuk mendapakan pelayanan yang baik yang merupakan hak warga negara dan sebaliknya aparatur pemerintahan berkewajiban memberikan pelayanan yang baik. Oleh karena itu, aparat penyelenggara pelayanan bertangungjawab melaksanakan pelayanan sesuai dengan standart pelayanan yang telah ditetapkan. Pelayanan publik hakikatnya adalah segala bentuk pelayanan pemerintah kepada masyarakat. 0% 0% 3% 3% Pelayanan publik wajib diberikan oleh badan/ pejabat tata usaha negara di pusat dan di daerah serta pihak swasta yang memproleh wewenang dari undang-undang. Pemberian pelayanan publik oleh badan/pejabat tata usaha negara kepada masyarakat tidak saja dalam rangka melayani masyarakat atau warga negara untuk mendapatkan hak-haknya yangtelah dijamin dan diberikan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi yang lebih penting lagi adalah memberikan pelayana kepada anggota masyarakat yang akan memenuhi kewajibannya yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, perinsip pelayanan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme harus menjadi landasan guna memberikan arahan bagi penyelenggara pemerintahan untuk menagtur barang publik yang harus diproduksi secara efisien, efektif, dan transparan sehingga biaya dan tarifnya murah dan terjangkau oleh masyarakat dan cukup tersedia, sehingga setiap orang dapat memperolehnya. Tidak hanya itu, untuk mengantisipasi adanya sebuah pelanggaran dalam pelayanan publik, pemerintah membentuk sebuah lembaga yang berfungsi mengawasi jalannya pelayanan publik di Indonesia. OMBUDSMAN SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS PELAYANAN PUBLIK Ombudsman berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu. Ombudsman Republik Indonesia (sebelumnya bernama Komisi Ombudsman Nasional) adalah lembaga negara di Indonesia yang mempunyai kewenangan 134 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Lembaga ini dibentuk berdasarkan UndangUndang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Ten Berge menyebutkan bahwa instrumen penegakan hukum administrasi negara meliputi pengawasan dan penegakan sanksi. Pengawasan merupakan langkah preventif untuk memaksakan kepatuhan, sedangkan penerapan sanksi merupakan langkah represif untuk memaksakan kepatuhan Dalam suatu negara hukum, pengawasan terhadap tindakan pemerintah dimaksudkan agar pemerintah dalam menjalankan aktivitasnya sesuai dengan norma-norma hukum, dan juga adanya jaminan terhadap masyarakat dari tindakantindakan pemerintahan sebagai konsekuensi konsep welfarestate pemerinta campur tangan sangat luas dalam kehidupan masyarakat seperti bidang politik, agama, sosial, budaya, dan sebagainya, perlu adanya perlin-dungan kepentingan masyarakat yang diimplemen-tasikan dalam bentuk pengawasan terhadap kegiatan pemerintah (Santosa, 2008). Dalam rangka meningkatkan pengawasan terhadap penyelenggaraan negara serta menjamin perlindungan hak-hak masyarakat, dibentuk suatu komisi pengawasan masyarakat yang bersifat nasional bernama Ombudsman. Penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan efektif merupakan dambaan setiap warga negara di manapun. Hal tersebut telah menjadi tuntutan masyarakat yang selama ini hak-hak sipil mereka kurang memperoleh perhatian dan pengakuan secara layak, sekalipun hidup di dalam negara hukum Republik Indonesia. Padahal pelayanan kepada masyarakat (pelayanan publik) dan penegakan hukum yang adil merupakan dua aspek yang tidak terpisahkan dari upaya menciptakan pemerintahan demokratis yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, keadilan, kepastian hukum dan kedamaian (good governance). Upaya pembentukan lembaga Ombudsman sebagai lembaga pengawasan di Indonesia oleh pemerintah dimulai ketika Presiden B.J. Habibie berkuasa, kemudian dilanjutkan oleh penggantinya, yakni K.H. Abdurrahman Wahid. Masa pemerintahan dapat disebut sebagai masa K.H. Abdurrahman Wahid dapat disebut sebagai tonggak sejarah pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia, sedangkan pada masa pemerintahan B.J. Habibie dapat disebut sebagai masa rintisan dalam pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia. Dalam kondisi masyarakat yang mendapat tekanan dan menghendaki terjadinya perubahan menuju pemerintahan yang transparan, bersih dan bebas KKN, maka pemerintah saat itu berusaha melakukan beberapa perubahan sesuai aspirasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Salah satunya adalah dengan membentuk sebuah lembaga pengawasan terhadap penyelenggara negara, bernama Komisi Ombudsman Nasional. Pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia dilatarbelakangi oleh tiga pemikiran dasar sebagaimana tertuang di dalam konsiderannya, yakni: (1) pemberdayaan masyarakat melalui peranserta mereka melakukan pengawasan akan lebih menjamin peneyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme; (2) pemberdayaan pengawasan oleh masyarakat terhadap penyelenggaraan negara merupakan implementasi demokrasi yang perlu dikembangkan serta diaplikasikan agar penyalahgunaan kekuasaan, wewenang ataupun jabatan oleh aparatur dapat diminimalisasi; (3) penyelenggaraan negara khususnya penyelenggaraan pemerintahan memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat oleh aparatur pemerintah termasuk lembaga peradilan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan. Kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik pusat maupun daerah dalam bentuk barang maupun jasa dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat harus sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tuntutan diatas harus dihadapi setiap pemerintah daerah, terutama pemerinah kabupaten/kota yang merupakan ujung tombak pelaksanaan asas desentralisasi sebagai daerah otonom yang mandiri dan memiliki kewenangan penuh untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Jika tidak mampu beradaptasi dengan perubahan, maka kabupaten/ kota tidak akan mampu memenuhi harapan serta kebutuhan rakyat yang berdomisili di wilayahnya. Fadhilah, Urgensitas Ombudsman dalam Pengawasan Pelayanan Publik Dari aspek kelembagaan juga belum ada prosedur yang dapat menjembatani antara mekanisme yang bersifat kaku sebagai akibat sistem struktural hierarkis di satu pihak dengan mekanisme lentur/pendek dari suatu organisasi yang tidak struktural hierarkis. Dengan demikian diperlukan lembaga Ombudsman sebagai alternatif agar bisa menjadi jalan tengah bagi kepentingan pengembangan sistem non struktural hierarkis serta kepentingan pengembangan sistem non struktural, namun pada sisi lain mampu menampung seluruh aspirasi warga masyarakat tanpa harus melewati sistem prosedur atau mekanisme yang berliku-liku. Ombudsman lahir bersamaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bedanya, lembaga ini jauh dari popularitas. Tapi dari segi penyelesaian pengerjaan, lembaga ini jauh lebih banyak. Dalam setahun rata-rata menyelesaikan 1.000 kasus. Keberhasilan suatu pengawasan sangat ditentukan oleh prosedur ataupun mekanisme yang digunakan, apabila proses pengawasan berbelit-belit melalui liku-liku yang panjang maka pelaksanaan pengawasan akan beralih dari masalah substansional ke masalah prosedural. Padahal inti persoalan pokok adalah penyimpangan dalam pelayanan umum. Semua itu menunjukkan betapa pentingnya penyelenggaraan pelayanan yang baik dan memuaskan diwujudkan dan menjadi perhatian utama pemerintah di era sekarang ini, era reformasi otonomi daerah. Kinerja pelayanan publik menjadi salah satu dimensi yang strategis dalam menilai keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan reformasi tata pemerintahan. Semakin tinggi kepedulian tata pemerintah yang baik (good governance), kinerja pelayanan publik akan semakin baik (Sadane, 2011). Pembentukan lembaga Ombudsman bertujuan untuk membantu menciptakan dan mengembangkan kondisi yang kondusif dalam melaksanakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) melalui peran serta masyarakat. Dalam pasal 4 UU RI No. 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia dijelaskan tentang tujuan Ombudsman: (a) mewujudkan negara hukum yang demokratis, adil, dan sejahtera; (b) mendorong penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang 135 efektif dan efesien, jujur, terbuka, bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme; (c) meningkatkan mutu pelayanan negara di segala bidang agar setiap warga negara dan penduduk memperoleh keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan yang semakin baik; (d) membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk pemberantasan dan pencegahan praktek-praktek maladministrasi, diskriminasi, kolusi, kolusi, serta nepotisme; (e) meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat, dan supremasi hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. George Soresen, berpendapat bahwa Ombudsman merupakan keniscayaan dalam sebuah negara demokratis, yang didalamnya menempatkan transparansi public sebagai factor penting. Dengan demikian demokratisasi dapat diartikan sebagai suatu proses yang mengarahkan agar pemerintah sedang berjalan secara sensitive dapat menangkap aspirasi, melibatkan aspirasi, dan mengutamakan kepentingan rakyat dari kepentingan penguasa.1 Partisipasi masyarakat juga menentukan adanya proses pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah dari berbagai lembaga yang diberi tugas untuk mengawasi jalannya penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Karena partisipasi dari masayarakat akan mempengaruhi adanya keinginan untuk menjadikan birokrasi semakin baik dari hari ke hari sehingga tercipta keadaan yang kondusif bagi terwujudnya birkrasi yang sederhana yang bersih, pelayanan umum yang baik. Ini juga dapat mendorong proses demokratisasi dan transparansi publik di Indonesia berjalan lebih cepat. SIMPULAN Dengan adanya lembaga Ombudsman yang dibentuk oleh pemerintah diharapkan pelayanan publik yang diberikan oleh penyelenggaran pelayanan publik berjalan dengan efektif, efisien dan transparan. Dengan jumlah kasus penyelewengan pelayanan publik yang telah diselesaikan melalui lembaga Ombudsman akan memperbaiki citra pemerintah sebagai pelayan publik dapat memberikan kepercayaan bagi masyarakat luas untuk mengawasi pelayanan publik baik itu di daerah dan dipusat. DAFTAR RUJUKAN Lembaga Penelitian Semeru. http://www.smeru. or.id/report/field/plaksnaanotdasulut/ plaksnaanotdasulut.pdf Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah: 136 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 Kasus Tiga Kabupaten di Sulawesi Utara dan Gorontalo. Diakses tanggal 23 April 2011 Luthfi. 2007. Wajah Buram Pelayanan Publik. Intrans Publishing. Malang Mardiasmo. 2004. Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah Serial Otonomi Daerah. ANDI:Yogyakarta. Patra, A. 2006. Mencegah Penyingkiran Partisipasi Masyarakat. YLBHI. Jakarta. Sadane.http://id.shvoong.com/social-sciences/ 1828653-kapasitas-aparatur-pemda-dalampelayanan/#ixzz1KGgv1yvW Kapasitas Aparatur Pemerintah Daerah Dalam Pelayanan Publik oleh Sadane diakses tanggal 22 April 2011 Sugeng Puji. 2006. Pelayanan Publik Bukan Untuk Publik. MCW. Malang. Sutedi, Adrian. 2010. Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik. Sinar Grafika. Jakarta. PENERAPAN METODE DEBAT GUNA MENGEMBANGKAN SIKAP KRITIS DAN KETERAMPILAN BERARGUMENTASI MAHASISWA Petir Pudjantoro Jurusan Hukum Kewarganegaraan Universitas Negeri Malang Jl. Semarang No.5 Malang email:[email protected] Abstract: this study is the implementation of lesson study that tried to apply the method of debate in political sociology course. Lesson study activities use to three proccess, plan, do, and see. Debate methods purpose to develop the ability to think critically, rationally and creatively to address current issues of politic and citizenship. Through the application of the method of debate in the course, students examine issues of developing the interaction between state and society in the context of political communication. Learning debate practice speaking skills and behave intelligently so as to form a personal democratic and accountable. Through this lesson, learners have different readiness views and have the skills to resolve any issues and differences. Keywords: method of debate, critical attitude, skills of the students argued Abstrak: penelitian inimerupakan penerapan dari lesson study yang mencoba untuk menerapkan metode debat dalam matakuliah Sosiologi Politik. Aktivitas lesson study menggunakan 3 langkah, yaitu plan,do, dan see. Metode debat bertujuan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, rasional, dan kreatif terhadap isu politik dan kewarganegaraan. Melalui penerapan metode debat dalam matakuliah, mahasiswa meneliti masalah perkembangan hubungan antara negara dan masyarakat dalam konteks komunikasi politik. Pembelajaran debat merupakan praktek keahlian praktik berbicara dan berperilaku cerdas dalam menghadapi berbagai perbedaan sudut pandang dan mempunyai keterampilan memecahkan masalah dan perbedaan. Kata kunci: metode debat, sikap kritis, keterampilan berargumentasi Peningkatan mutu perkuliahan merupakan concern utama dalam mewujudkan kualitas pembelajaran di perguruan tinggi. Melalui pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa (student centered learning), disamping memiliki penguasaan bidang ilmu (competence), diharapkan pula mampu menajamkan suara hati (conscience) dan menguatkan hasrat berbela rasa (compassion). Pengembangan sikap kritis dan peduli mahasiswa diposisikan secara integral dan dicapai secara seimbangdengan pembentukan kompetensi ilmiah. Dalam hal ini, perkuliahan perlu didesain sebagai aktivitas mengkonstruksi pengetahuan sekaligus mengeksplorasi nilai-nilai kemanusiaan. Observasi praktik perkuliahan di Jurusan Hukum Kewarganegaraan (HKn) menunjukkan bahwa aktifitas perkuliahan berlangsung secara bervariatif. Sebagian besar perkuliahan berlangsung dengan menerapkan metode diskusi dan sebagian kecil yang lain masih berjalan dengan metode ceramah dan tanya jawab. Penggunaan metode diskusi dan presentasi secara konvensional pada sebagian besar kelas perkuliahan memunculkan fenomena kejenuhan yang berdampak padapenurunan minat dan partisipasi mahasiswa dalam pembelajaran. Hal yang demikian terjadi pula pada pelaksanaan perkuliahan Sosiologi Politik. Sebagai upaya untuk peningkatan kualitas perkuliahan, telah dilaksanakan kegiatan lesson study pada kelas perkuliahan Sosiologi Politik. Lesson study merupakan kegiatan pengkajian pembelajaran yang dilaksanakan secara kolabo137 138 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 ratif. Implementasinya meliputi tahapan perencanaan (Plan), yang bertujuan menghasilkan rancangan pembelajaran yang diyakini mampu membelajarkan peserta didik secara efektif, pelaksanaan (Do), dimaksudkan untuk menerapkan rancangan pembelajaran yang telah dilaksanakan, dan refleksi (See) dimaksudkan untuk menemukan kelebihan dan kekurangan pembelajaran. Ketiga tahapan tersebut dilaksanakan secara berulang (Susilo dkk, 2009:33-36). METODE Aktifitas perencanaan (Plan)dikembangkan melalui, pertama, penyusunan Satuan Acara Perkuliahan (SAP).Standar kompetensi matakuliah Sosiologi Politik yang menjadi acuan kegiatan lesson study secara mendasar berusaha mewujudkan kemampuan berfikir kritis mahasiswa dalam menganalisis fenomena perubahan sosial politik yang terjadi serta mampu berfikir integral dalam mengantisipasi dampak perubahan sosial politik dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dankenegaraan. Hal ini dicapai melalui beberapa kompetensi dasar antara lain mengkaji hubungan negara dan masyarakat maupun menganalisis berbagai fenomena sosialisasi politik, partisipasi politik, rekrutmen politik, partai politik, gerakan sosial dan budaya politik, termasuk pula masalah komunikasi politik (Pudjantoro, 2014:1). Dalam hal ini, fenomena permasalahan komunikasi politik di Indonesia dipilih sebagai pokok bahasan pada pelaksanaan open class. Kedua, collecting bahan ajar dan disosialisasikan kepada mahasiswa. Koleksi bahan ajar berupa hand-out yang meliputi informasi tentang fenomena komunikasi politik kontemporer, urgensi-ruang lingkup dan fungsi komunikasi politik, basis kekuasaan komunikasi politik serta public sphere sebagai ruang komunikasi politik. Bahan ajar juga dikumpulkan melalui penugasan kelompok mahasiswa seminggu sebelum open class dilaksanakan. Materi penugasan berupa identifikasi masalah-masalah krusial pada pratik komunikasi politik di Indonesia.Komunikasi politik sebenarnya merupakan topik yang sangat luas. Cangara (2014:30) menjelaskan komunikasi politik sebagai suatu proses komunikasi yang memiliki implikasi atau konsekuensi terhadap aktivitas politik. Guna membatasi agar lebih fokus, mahasiswa diminta mengidentifikasi isu-isu komunikasi politik di Indonesia dengan kriteria aktual, krusial problematis, mengandung isu pro dan kontra serta berdampak strategis bagi warga negara. Dalam pelaksanaan tugas dimaksud, mahasiswa didukung oleh sumber belajar perpustakaan maupun akses internet yang menyediakan berbagai data dan informasi kajian relevan. Ketiga, memilih metode pembelajaran yang paling cocok guna mencapai outcome pembelajaran yang dikehendaki. Metode debat dipilih dan digunakan guna menstimulasi diskusi kelas. Melalui implementasi metode ini, setiap peserta perkuliahan didorong untuk mengemukakan pendapatnya melalui suatu perdebatan antar kelompok diskusi yang disatukan dalam sebuah diskusi kelas. Implementasi metode debat diawali dengan diskusi singkat guna memantapkan formulasi isu debat, menentukan juru bicara dan mempersiapkan yel-yel kelompok. Dalam hal ini setiap kelompok diminta mendeskripsikan fenomena yang diangkat, menegaskan posisi gagasan kelompok pada isu yang dibahas apakah pro/ kontra/netral, serta bisa memberikan ide pemecahan masalah bila diperlukan. Hal ini dilaksanakan guna mendorong proses elaborasi kognitif dimana peserta didik didorong bekerjasama untuk memahami dan menimba informasi demi peningkatan kapasitas pengetahuan kognitif mereka. Adapun prosedur debat dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagaimana tabel 1. HASIL DAN PEMBAHASAN Perencanaan Setting Kelas Perencanaan setting ruangan debat merupakan bagian penting dalam strategi pengelolaan kelas. Dalam hal ini masing-masing kelas dibagi habis ke dalam lima kelompok. Hal ini agak berbeda dengan pengaturan debat sebagaimana lazimnya dimana ada kelompok penampil dan ada penonton. Peserta perkuliahan pada masing-masing kelas seluruhnya menjadi penampil. Sedangkan penonton hanya melibatkan beberapa observer. Dalam pelaksanaan, keterbatasan jumlah penonton disiasati dengan mengoptimalkan seluruh peserta penampil untuk bertepuk tangan guna membina suasana antusias sepanjang pelaksanaan debat berlangsung. Mengikuti pembagian kelompok, settingkelas diatur sebagaimana gambar 1. Pudjantoro, Penerapan Metode Debat Guna Mengembangkan Sikap Kritis dan Keterampilan Berargugemtasi 139 Tabel 1. Prosedur Debat Fenomena Permasalahan Komunikasi Politik di Indonesia NO. LANGKAH URAIAN WAKTU 1. BRIEFING Pemberian materi pengantar tentang komunikasi politik oleh dosen dan dilanjutkan pembahasan etika debat. Dalam hal ini dosen menyatakan diri sebagai host yang akan bertindak sebagai moderator debat. 15 menit 2. KONSOLIDASI Masing-masing kelompok melaksanakan pemantapan point-point gagasan dan yel-yel yang akan ditampilkan. 5 menit 3. OPENING Pembukaan debat dimana masing-masing juru bicara memperkenalkan anggota kelompok. 10 menit 4. YEL-YEL PEMBUKA Masing-masing kelompok menampilkan yel-yel pembuka. 5. PUTARAN I: PAPARAN IDE 6. PUTARAN II: Masing-masing anggota kelompok menyampaikan pertanyaan/tangPERTANYAAN DAN gapan/penilaian kritis terhadap paparan ide kelompok lain. Langsung TANGGAPAN ditanggapi dan dijawab oleh kelompok yang bersangkutan. 10 menit 7. PUTARAN III: TANGGAPAN BEBAS Anggota kelompok bisa mengajukan pertanyaan/ tanggapan/ sanggahan kepada kelompok lain dan langsung ditanggapi sehingga terjadi diskusi bebas dengan pengaturan lalu-lintas pembicaraan melalui moderator. 20 menit 8. PUTARAN IV: CLOSSING STATEMENT Pernyataan penutup berupa kesimpulan dari masing-masing juru bicara kelompok. 9. YEL-YEL PENUTUP Masing-masing kelompok menampilkan yel-yel kembali sebelum debat diyatakan ditutup oleh moderator. 5 menit 10. REFLEKSI Dilaksanakan komentar, ulasan, penyimpulan dan penegasan oleh dosen bersama-sama mahasiswa. 10 menit Masing-masing juru bicara memaparkan masalah aktual-krusialkontroversial seputar fenomena komunikasi politik di Indonesia disertai penegasan posisi sikap serta solusi atas permasalahan bila diperlukan. TOTALWAKTU PERKULIAHAN 15 menit 10 menit 100 menit dan intensitas pertukaran ide-ide yang saling berseberangan. Sementara posisi kelompok netral memperlancar pula peran dalam membagi perhatian kritis terhadap kedua kelompok yang pro maupun yang kontra secara seimbang. Gambar 1. Setting Ruangan Kelas Pengkondisikan setting ruangan kelas dengan menempatkan kelompok pro dan kontra dalam posisi berhadap-hadapan serta kelompok netral pada posisi di antara kelompok yang pro dan kontra, terbukti mempermudah lalu-lintas gagasan Pemilihan Tema Debat Secara Partisipatif Pemilihan tema debat dilaksanakan melalui penugasan kelompok secara mandiri pada empat kelas pembelajaran sosiologi politik. Masingmasing kelas dibagi ke dalam lima kelompok, dimana masing-masing kelompok menentukan topik debat yang akan diangkat, mengumpulkan bahan secara teliti dan menyusun argumentasi secara cermat. Hal ini dilakukan guna menjamin agar debat berlangsung tidaksaling menjatuhkan atau mengarah ke debatkusir yang kurang bemutu. Sebaliknya bisa berjalan secara argumentatif yang 140 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 KELAS/ KELOMOFF POK A B C URAIAN POSISI GAGASAN I Pilkada Langsung atau Pilkada DPRD dan Permasalahan Politik Uang Pro Pilkada Langsung II Pilkada Langsung atau Pilkada DPRD dan Permasalahan Politik Uang Pro Pilkada melalui DPRD III Fenomena Politik Uang Pada Praktik Pilkada Langsung Kontra Pilkada Langsung IV Menyoroti Kualitas dan Obyektifitas Kinerja DPRD Kontra Pilkada melalui DPRD V Menakar profesionalisme dalam politik dinasti dan keterlibatan artis sebagai politisi Netral I Kontroversi Kebijakan Kenaikan harga BBM Kontra Kenaikan BBM II Kontroversi Kebijakan Kenaikan harga BBM Kontra Kenaikan BBM III Kebijakan Pengalihan Subsidi BBM Pro Kenaikan BBM IV Kebijakan Kenaikan BBM dan Pembangunan Infrastruktur Pro Kenaikan BBM V Isu Persaingan KIH dan KMP dalam kontroversi kebijakan kenaikan BBM Netral I Politik Media Pada Rivalitas antara Ahok dan FPI Kontra terhadap Media II Blusukan: Media Pencitraan dalam Kontra terhadap Media komunikasi politik D III Mengoptimalkan Media Sosial sebagai instrumen komunikasi Politik Pro terhadap Media IV Peran Media dalam Pengawasan Publik Pro terhadap Media V Faktor Media dalam Membentuk Efektifitas Komunikasi dan Kinerja Politik Netral I Bahasa Uang dalam Komunikasi Politik Kontra Politik Uang II Money Politic menciderai demokrasi Kontra Politik Uang III Budaya Politik Uang dan Praktik Demokrasi Pro Politik Uang Kita IV Fenomena Jual Beli Suara Pemilih dalam Pilkada Pro Politik Uang V Strategi Pengembangan Politik Gagasan Netral Tabel 2. Hasil Identifikasi Tema-Tema Debat Pada Seluruh Kelas Pembelajaran didukung data dan informasi yang cukup credible. Adapun tema-tema yang berhasil diidentifikasi dan diangkat dalam debat fenomena masalah komunikasi politik di Indonesia adalah sebagaimana tabel 2. Hasil pemilihan tema debat menunjukkan bahwa mahasiswa relatif mampu memilih berbagai isu aktual (fenomena baru yang berkembang dalam dinamika komunikasi politik nasional maupun lokal), krusial (memiliki problema dan Pudjantoro, Penerapan Metode Debat Guna Mengembangkan Sikap Kritis dan Keterampilan Berargugemtasi dampak strategis) serta kontroversial (cenderung mengundang perdebatan di ranah publik secara pro dan kontra). Pelibatan langsung mahasiswa untuk memilih tema debat sesuai minat diharapkan mampu mendorong tingkatan berfikir yang lebih tinggi yakni daya pikir kritis. Pada taksonomi Bloom yang termasuk tingkatan berfikir tinggi ini adalah menerapkan (applying), menganalisis (analizing), evaluasi (evaluating) dan mencipta (creating) (Churches, 2009:9). Pelibatan mahasiswa untuk mengkaji berbagai sumber belajar dalam pemilihan tema debat diharapkan dapat mendorong mahasiswa berfikir terbuka, bertanya dan bernalar secara kritis dan argumentatif. Langkah pembelajaran dengan metode debat yang diawali dengan penugasan kepada mahasiswa untuk mengidentifikasi isu krusial dan mengumpulkan bahan secara teliti memang terbukti membantu mewujukan pelaksanaan debat secara bermutu. Namun langkah ini dinilai banyak memakan waktu. Oleh karena itu, langkah pembelajaran dapat dimodifikasi secara lebih sederhana lagi. Misalnya dosen cukup mengajak melakukan brainstorming mengenai isu-isu krusial yang dibahas atau bahkan menyodorkan kasus atau isu untuk selanjutnya digunakan oleh siswa sebagai materi debat. Namun demikian, upaya persiapan melalui pengumpulan informasi dan penyusunan argumentasi nampak sebagai kegiatan yang tidak bisa ditawar. Apalagi jika kita ingin mewujudkan kegiatan pembelajaran bermutu melalui metode debat dalam perkuliahan. Yel-Yel: Memproduksi Semangat dan Kekompakan Masing-masing kelompok secara kreatif mempersiapkan dan mendiskusikan yel-yel yang akan ditampilkan. Peserta debat merasa bahwa yel-yel mereka menjadi identitas kelompok di hadapan kelompok lain sekaligus memberikan kebanggaan individukarena menjadi bagian dari tim. Dalam hal ini, yel-yel terbukti berkontribusi cukup besar dalam menumbuhkan kekompakkan kelompok. Yel-yel yang disertai gerakan yang aneh dan lucu mengkondisikan tumbuhnya suasana segar dalam interaksi pembelajaran. Yel-yel dan tepuk tangan sepanjang putaran berlangsungnya debat, efektif memelihara semangat peserta didik untuk terus mengikuti pembelajaran. Hal penting untuk dikemukakan adalah kecenderungan penyikapan mahasiswa dalam 141 produksi dan presentasi yel-yel. Sebagian mahasiswa memiliki minat yang tinggi memformulasikan yel-yel secara kreatif dan berobsesi mempresentasikannya secara menarik. Namun mereka kadang terlalu berlebihan memberi perhatian pada masalah yel-yel dan kurang tertarik mengikuti secara serius substansi debat. Sebaliknya ada pula mereka yang lebih tertarik kepada substansi debat dan kurang apresiatif dengan penampilan yel yang berkepanjangan. Oleh karenanya, demi mewujudkan efektifitas pembelajaran, maka formulasi yel-yel perlu disusun secara menarik namun ringkas. Dalam konteks demikian, implementasi metode debat merupakan pintu bagi perwujudan PAIKEM dimana sesuai dengan Suparlan (2008:70) dijelaskan mengandung unsur aktif dimana pembelajaran sedemikian rupa mengaktifkan peserta didik untuk mengajukan pertanyaan, mengemukakan gagasan, dan memecahkan masalah. Inovatif dimana mampu diciptakan kondisi belajar dan kegiatan pembelajaran yang baru sesuai tuntutan dan perkembangan pendidikan. Kreatif oleh karena mampu diciptakan kegiatan pembelajaran beragam sehingga memenuhi tingkat kemampuan siswa. Efektif dalam konteks pencapaian kompetensi yang telah ditetapkan. Dan menyenangkan oleh karena mampu diciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan sehingga memusatkan konsentrasi dan semangat peserta didik dalam pembelajaran. Materi Pengantar: Fenomena Problematik dan Kontroversial Pengembangan kemampuan berfikir kritis menjadi fokus implementasi metode debat ini. Kemampuan berfikir kritis ditandai oleh kemampuan menganalisis berbagai persoalan atau isu-isu, memberikan argumentasi, memunculkan wawasan dan memberikan argumentasi, serta mengambil keputusan terbaik (Komalasari, 2010:262). Hal ini mempengaruhi keputusan dosen untuk memformulasikan materi pengantar yang lebih menggugah fenomena-fenomena, memaparkan perspektif agar mahasiswa mampu melihat problematik serta merangsang kemampuan kritis dengan melontarkan sejumlah pertanyaan kepada mahasiswa. Sebagai contoh,dalam rangka membentuk kesadaran mahasiswa mengenai urgensi komunikasi politik, maka dosen menayangkan fenomena jaringan Obama dengan 142 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 social media sebagai faktor penting yang mempengaruhi kemenangannya pada kontestasi politik pemilihan presiden di Amerika Serikat. Dosen berusaha mendorong pendapat dan komentar mahasiswa seputar efektifitas komunikasi politik melalui media pada konteks kasus di Indonesia. Materi pengantar disampaikan secara ringkas dengan mengedepankan fakta (kejadian aktual dan problematik di ruang publik), prinsip (unsur, ruang lingkup, fungsi komunikasi politik) dan prosedur (pembahasan basis kekuasaan dalam komunikasi politik). Namun agak kurang menyampaikan materi konseptual. Hal ini penting dilakukan agar mahasiswa berpikiran terbuka, mampu mengembangkan pikiran terbuka serta berbicara dengan bebas dan bertanggung jawab. Etika Yang Dipedomani Pelaksanaan implementasi metode debat diawali dengan pembahasan etika yang harus dipedomani oleh semua peserta debat. Pemahaman terhadap etika debat menyangkut persoalan substantif dan teknis. Ada tiga hal substantif yakni: (i) debat melatih mahasiswa untuk mampu berfikir secara kritis. Yang pertama dan utama dalam hal ini adalah keberanian berbicara, (ii) debat melatih kemampuan berargumentasi. Dalam konteks ini mahasiswa melatih diri menyampaikan gagasan secara logis, sistematis dan didukung oleh hujjah empiris, (iii) debat berusaha melatih mahasiswa untuk mengelola emosi sehingga mampu menghargai dan memahami perbedaan pandangan, (iv) debat melatih mahasiswa untuk berfikir holistik dan mampu memutuskan pilihan tindakan terbaik setelah memahami permasalahan secara mendalam. Sedangkan hal yang bersifat teknis menjelaskan bahwa: (i) lalu-lintas debat dipimpin oleh moderator yang mengatur dan mengendalikan komunikasi selama debat berlangsung. Peran moderator penting untuk mengatur agar lalu-lintas gagasan dapat berjalan sesuai dengan prosedur dan tahapan yang sudah ditetapkan, (ii) setiap pembicara perlu berdiri dan memperkenalkan diri sebelum menyampaikan pertanyaan atau gagasan. Hal ini mengintroduksikan suatu budaya komunikasi yang hormat dan akrab antara sesama peserta debat, (iii) moderator berhak memotong dan mengatur lalu lintas pembicaraan. Ketentuan ini penting demi menjaga agar pembahasan gagasan berjalan fokus dengan intensitas mendalam, (iv) peserta wajib bertepuk tangan secara meriah sebagai bentuk apresiasi terhadap setiap argumentasi dan gagasan yang selesai disampaikan. Ketentuan ini terbukti mampu menjaga ritme suasana antusias sepanjang pelaksanaan debat berlangsung. Indikator-Indikator Yang Mengemuka Beberapa indikator yang mengemuka dalam praktik debat fenomena permasalahan komunikasi politik di Indonesia pada empat kelas perkuliahan Sosiologi Politik antara lain: Pertama: Mampu mengambil keputusan pro-kontra dengan alasan-alasan. Ini tercermin ketika mahasiswa pada kelas A membahas pro kontra Pilkada Langsung versus Pilkada melalui DPRD. Argumen yang dibangun tidak hitam-putih. Namun berusaha menjelaskan alasan kelebihan dan kelemahan pengambilan opsi-opsi dimaksud. Pada kelas B berkaitan dengan kontroversi kenaikan harga BBM. Dalam hal ini yang terpenting bukan memenangkan pandangan mana dan mengalahkan siapa. Namun pemahaman terhadap argumentasi di balik kebijakan akan mengarahkan mahasiswa berfikir secara terbuka dan bijaksana. Kedua: berfikir kritis mengembangkan argumen berbeda dari kelaziman pandangan yang sudah ada. Hal ini tergambarkan ketika kelas B membahas makna oposisi mengkritisi rivalitas Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KIH). Persepsi yang berkembang selama ini memposisikan oposisi sebagai tradisi buruk karena merepresentasikan sikap waton sulaya dan bahkan dikecam sebagai tindakan inkonstitusional. Di dalam debat justru berkembang pandangan berbeda bahwa oposisi adalah tradisi demokrasi yang baik. Keberadaan oposisi kuat memungkinkan mekanisme kontrol secara efektif terhadap kinerja pemerintah. Hal ini merupakan upaya mulia guna memastikan kebijakan pemerintah selalu on the track dan tercegah dari segala bentuk penyimpangan kekuasaan (abuse of power). Ketiga: menerima saran untuk mengembangkan ide-ide baru. Hal ini setidaknya tercermin ketika kelas C ketika membahas strategi kampanye dan komunikasi politik kontemporer dengan memanfaatkan media. Muncul kiat dan gagasan baru yang diterima oleh semua penampil debat dalam rangka lebih mengefektifkan kinerja komunikasi politik para politisi dan parpol. Pudjantoro, Penerapan Metode Debat Guna Mengembangkan Sikap Kritis dan Keterampilan Berargugemtasi Keempat: Kritis membandingkan antara logika dan fakta. Argumentasi yang dibangun oleh peserta debat kadang logis namun tidak empiris. Dalam pembahasan kasus kenaikan harga BBM berkembang argumentasi dari pihak pro bahwa kenaikan BBM dua ribu rupiah saja kok diributkan. Padahal mereka membeli rokok yang harganya lebih mahal mampu dilakukan. Argumentasi ini dinilai manipulatif karena tidak mempertimbangkan kenyataan empiris yang terjadi dimana kenaikan harga BBM berdampak melambungkan harga-harga hampir semua kebutuhan rumah tangga. Dan hal ini dirasakan memberatkan oleh sebagian besar rakyat yang terimbas kebijakan kenaikan BBM. Kelima: berani berbicara dengan pikiran terbuka dan bertanggung jawab. Ini tercermin ketika kegiatan refleksi bersama mahasiswa setelah mereka mengikuti pembelajaran melalui metode debat. Mereka berkomentar mengapa baru saat ini metode ini dipraktikkan. Mereka merasa bebas berekspresi dan menyampaikan pikirannya secara bebas dan terbuka. Sementara ketika mereka mengikuti perkuliahan dengan metode diskusi merasa memiliki keterbatasan dalam mengekpresikan pikirannya. Praktik presentasi diskusi konvensional menunjukkan kecenderungansebagian besar penampil menyampaikan gagasannya dengan membaca. Dalam debat ini, jumlah yang membaca ketika mempresentasikan gagasan sangat kecil. Sebaliknya, sebagian besar penampil berani berbicara secara interaktif dan ekspresional. Keenam: melakukan analisis kritis dan elaborasi jawaban. Hal ini terjadi pada kelas A yang mempertanyakan kinerja anggota dewan. Kenapa sudah tahu banyak anggota dewan tidak bermoral dan terlibat kasus korupsi. Kenapa rakyat masih memilihnya? Gagasan dan pertimbangan macam apa yang sebenarnya ada pada pikiran rakyat pemilih itu? Dalam hal ini, debat memungkinkan terjadinya elaborasi atau pendalaman gagasan dengan cara mempertanyakan dan menguji jawaban-jawaban yang terkemukakan. Ketujuh:menanyakan pertanyaan relevan dan beraturan. Interaksi dalam debat dapat mengkondisikan seluruh peserta debat untuk bertanya secara fokus. Ini berkembang karena ada mekanisme interaktif yang memungkinkan klarifikasi pertanyaan yang tidak jelas dan bisa memotong sekaligus mengarahkan pertanyaan yang out of contect. Pernyataan: apa maksud 143 pertanyaan anda? Saya kira yang anda kemukakan tidak memiliki relevansi dengan topik yang sedang kita perdebatkan? dan sejenisnya banyak berkembang pada semua kelas pembelajaran. Kedelapan:bersikap sopan dalam berbicara dan berkomunikasi. Pada semua kelas pembelajaran yang mengimplementasikan metode debat ini, berkembang sikap sopan dari mahasiswa ketika berbicara dan mengemukakan gagasan. Mereka mendengarkan dengan hati-hati. Untuk selanjutnya memberikan tanggapan dan atau penilaian kritis terhadap informasi yang dipahami. Pada umumnya mereka juga mengembangkan sikap empati dan saling memahami posisi gagasan mereka masing-masing yang saling berbeda. Kesembilan: mengedepankan dasar argumentasi dan adil dalam berfikir. Sebelum pelaksanaan debat berlangsung, masing-masing mahasiswa membaca referensi dan mengumpulkan informasi seputar isu yang diperdebatkan. Dengan posisi gagasan pro kontra maupun abstain, pada umumnya selalu didukung oleh dasar agumentasi yang kuat. Disamping itu, mengacu pada bukti-bukti empiris dan logis mengkondisikan mereka untuk berfikir secara adil dan tidak gampang menuduh atau memberikan prasangka yang tidak berdasar (steriotype). Pada topik debat rivalitas antara Ahok dengan FPI di kelas C setidaknya membuktikan hal ini. Kesepuluh: memungkinkan berkembangnya sikap korektif terhadap informasi atau gagasan. Pada seluruh kelas perkuliahan terjadi mekanisme interaksi dimana kelompok penampil satu meminta klarifikasi, mengajukan koreksi konsep, pengertian dan dasar hukum dari gagasan yang dipresentasikan. Hal ini bisa memupuk sikap hati-hati mahasiswa dalam menerima dan menyerap informasi dari berbagai pihak. Kesebelas: Menghubungkan masalah khusus diskusi dengan prinsip umum dan kaidah kehidupan. Hal ini setidaknya tercermin pada debat pro-kontra yang terjadi di kelas D. Posisi yang pro cenderung menggunakan fakta empiris praktik politik uang yang sudah menggejala sebagai alasan untuk membenarkan politik uang. Namun proses diskusi akhirnya menyepakati bahwa politik uang telah melanggar prinsip umum yang namanya kejujuran dan terbukti mendorong meluasnya perilaku korupsi pada kalangan pejabat dan politisi. Keduabelas:partisipasi dalam berbicara dan mengemukakan gagasan. Terjadi 144 Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 28, Nomor 2, Agustus 2015 kecenderungan bahwa partisipasi dalam berbicara didominasi oleh mahasiswa itu-itu saja. Sedangkan sebagian mahasiswa lain masih kurang berpartisipasi dan asyik dengan kegiatan di luar pembelajaran, misalnya main HP atau bercanda dengan temannya. Refleksi observer menyarankan untuk mencegah hal ini perlu perbaikan desain debat, dimana mahasiswa yang kurang partisipasi diberi tugas untuk melaporkan secara tertulis prosesdan hasil debat yang dilangsungkan. KESIMPULAN DAN SARAN Pembelajaran dengan metode debat terbukti mampu mengembangkan kemampuan mahasiswa untuk berfikir kritis, rasional dan kreatif dalam menanggapi isu-isu politik dan kewarganegaraan. Dalam hal ini, mahasiswa dididik secara aktif bertanggung jawab dan mampu bertindak cerdas serta bijaksana dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pembelajaran debat diyakini mampu membentuk sikap demokratis oleh karena memiliki kesiapan untuk berbeda pandangan dan memiliki ketrampilan untuk menyelesaikan segala masalah dan perbedaan. Oleh karena perkuliahan yang berlangsung masih banyak menggunakan metode diskusi konvensional, maka ke depan implementasi metode debat perlu dipertimbangkan sebagai metode alternatif guna memperkaya variasi metode yang dipraktikkan dalam pembelajaran di kelas-kelas perkuliahan. DAFTAR RUJUKAN Cangara, Hafied, Prof., M.Sc, Ph.D. 2014. Komunikasi Politik: Konsep. Teori dan Strategi. Depok: RajaGrafindo Persada. Churches, A., Blooms Digital Ta x o n o m y. 2 0 0 9 . ( o n l i n e ) ( h t p p : / / endorigami.wikispaces.com), (diakses tanggal 19 November 2014). Komalasari, Kokom, Dr., MP.d. Pembelajaran Kontekstual: Konsep dan Aplikasi. 2010. Bandung: Reflika Aditama. Pudjantoro, Petir, Satuan Acara Perkuliahan Sosiologi Politik. 2014. Malang: Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan (HKn), Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Universitas Negeri Malang (UM). Tidak dipublikasikan. Suparlan, Dasim dan Danny. PAIKEM: Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. 2008, Bandung: PT Genesindo. Susilo, H., Chotimah, H., Joharmawan, R., Jumiati, Dwitasari, Y., Sunarjo. 2009. Lesson Study Berbasis Sekolah Konservatif Menuju Guru Inovatif, Malang: Bayumedia. INDEKS SUBJEK JURNAL PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN TAHUN 2015 agama, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104 aktor nonpemerintah, 105, 106, 107, 108, 109 Bhineka Tunggal Ika, 31, 32, 33, 34, 35, 36 buruh, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95 demokrasi, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14 desentralisasi, 1, 2, 3, 4, 5, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123 desentralisasi asimetris, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14 eksistensi manusia, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95 good governance, 1, 2, 3, 4, 5 hubungan internasional, 105, 106, 107, 108, 109 hukum, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104 humanisme, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95 kekerasan, 15, 16, 17, 18, 19 keterampilan berargumentasi , 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144 konflik, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49 kritis, 105, 106, 107, 108, 109 Lawrence Kohlberg, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86 metode debat, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144 model inkuiri jurisprudensi, 50, 51, 52, 53, 54 modul berbasis kecakapan sosial, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74 moral, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104 multikultural, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 31, 32, 33, 34, 35, 36 nasionalisme, 111, 112, 113, 114, 115 Ombudsman, 130, 131, 132, 134, 135 otonomi daerah, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 130, 131, 132, 134, 135 paradigma antroposentrisme, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66 paradigma religi, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66 pelayanan publik, 130, 131, 132, 134, 135 pembelajaran PPkn, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74 pemilihan umum legislatif , 125, 126, 127, 128, 129 pendidikan karakter, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29 pendidikan kewarganegaraan, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 50, 51, 52, 53, 54 peran negara, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49 perempuan, 15, 16, 17, 18, 19 pergerakan nasional, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95 politik identitas, 111, 112, 113, 114, 115 reformasi birokrasi, 1, 2, 3, 4, 5 relawan demokrasi, 125, 126, 127, 128, 129 revolusi, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66 rumah tangga, 15, 16, 17, 18, 19 santri mahasiswa, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86 sikap kritis, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144 solidaritas, 111, 112, 113, 114, 115 tahap perkembangan moral, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86 tanah perkebunan, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49 tata kelola pemerintahan, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14 INDEKS PENGARANG JURNAL PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN TAHUN 2015 Abd Mu’id Aris Shofa, 1 Anata Ikrommullah, 77 Andhika Yudha Pratama, 7 Arbaiyah Prantiasih dkk, 15 A. Rosyid Al Atok dkk, 20 Daya Negri Wijaya, 88 Eri Hendro Kusuma, 96 Gina Lestari, 31 Ktut Diara Astawa, 38 Margono, 105 Mifdal Zusron Alfaqi, 111 Muhammad Mujtaba Habibi, 117 Nurul Laili Fadhilah, 130 Petir Pudjantoro, 137 Nopri Hariadi dkk, 125 Sumarno, 50 Sutoyo, 56 Zulis Mariastutik, 67 DAFTAR NAMA MITRA BESTARI TAHUN 2015 Untuk menerbitkan jurnal tahun 24 semua naskah yang disumbangkan kepada Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan telah ditelaah oleh mitra bestari sebagai berikut. 1. Udin S. Winataputra (Universitas Terbuka) 2. Dasim Budimanysah (Universitas Pendidikan Indonesia) 3. SukoWiyono (Universitas Negeri Malang) Penyunting Jurnal Pendidikam Pancasila dan Kewarganegaraan menyampaikan penghargaan setinggitingginya dan terima kasih sebesar-besarnya kepada para mitra bestari tersebut atas bantuannya. Petunjuk Bagi Penulis 1. Naskah belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain, diketik dengan spasi rangkap pada kertas kuarto. Panjang 10-20 halaman dan diserahkan paling lambat 3 bulan sebelum penerbitan dalam bentuk ketikan diatas kertas kuarto sebanyak 2 eks, dan disket. Berkas naskah disimpan pada disket yang ditulis/diketik dengan menggunakan pengolah kata Word Perfect, MS Word. 2. Artikel yang dimuat dalam jurnal ini meliputi tulisan tentang hasil penelitian, gagasan konseptual, kajian dan aplikasi teori, tinjauan kepustakaan dan resensi buku baru. 3. Semua karangan ditulis dalam bentuk esai, disertai judul sub-bab ( heading) masingmasing bagian sajian tanpa judul sub-bab. Peringkat judul sub-bab dinyatakan dengan huruf yang berbeda (semua huruf dicetak tebal/bold). Cetak miring dan letaknya pada halaman, bukan dengan angka, sebagai berikut: PERINGKAT 1 (huruf besar semua tebal rata tepi kiri) Peringkat 2 (huruf besar-kecil tebal rata tepi kiri) Peringkat 3 (huruf besar-kecil dengan cetak miring/tebal rata tepi kiri) 4. Setiap karangan harus disertai (a) abstrak (50-75 kata), (b) kata-kata kunci, (c) identitas pengarang (tanpa gelar akademik), (d) pendahuluan (tanpa judul sub-bab) yang berisi latar belakang dan tujuan ruang lingkup tulisan, dan daftar rujukan. Hasil penelitian disajikan dengan sistematika sebagai berikut: (a) judul, (b) nama peneliti, (c) abstrak (50-75 kata), (d) kata-kata kunci, (e) pendahuluan (tanpa judul sub-bab) yang berisi pembahasan kepustakaan dan tujuan penelitian, (f) metode penelitian, (g) hasil, (h) pembahasan, (i) kesimpulan dan saran, (j) daftar rujukan. 5. Daftar rujukan disajikan mengikuti tata cara seperti contoh berikut dan diurutkan secara alpabetis dan kronologis. Cornel, L. dan Weeks, K. 1985. Planning Career Leaders: Lesson from the States, Atlanta. GA: Career leader Clearing House. Kanafi, A. 1989. Partisipasi dalam Siaran Pedesaan dan Adopsi Inovasi. Forum Penelitian. (1):33-47 6. Tata cara penyajian kutipan, rujukan, tabel, dan gambar mengikuti ketentuan dalam Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Artikel, dan Makalah (Universitas Negeri Malang, 2010). Naskah diketik dengan memperhatikan aturan tentang penggunaan tanda baca dan ejaan yang dimuat dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan.