Manusia Dalam Perjalanan Menjumpai Allah Yang Kudus : Suatu

advertisement
Bab II
Aspek Pertama Perayaan Keselamatan
Pengantar
Keselamatan yang disediakan Allah bagi
manusia lewat karya Yesus Kristus dan yang diperoleh
manusia di dalam Kerajaan Allah itu oleh kuat kuasa
Roh Kudus sebagaimana yang diyakini gereja di dalam
credo adalah: persekutuan orang kudus, pengampunan
dosa, kebangkitan daging dan kehidupan kekal. Mereka
yang dibawa masuk ke dalam gereja menikmati
keselamatan dalam empat aspek tadi. Ini identik dengan
isi dari perjanjian yang tetapkan Allah sejak kekal dan
yang dikerjakan Allah di dalam waktu. Keempat aspek
ini terbagi dalam dua kategori: persekutuan dan
individu. Sekali lagi kita lihat di sini orde yang sudah
dibahas ditegaskan kembali: persekutuan mendahului
individu.
Aspek persekutuan
Manusia yang diselamatkan dituntun untuk
ambil bagian di dalam persekutuan. Mereka dibimbing
untuk menjadi satu keluarga. Gereja merumuskan itu di
dalam
frasa
persekutuan
orang-orang
kudus
(communion sanctorum). Dosa membuat manusia tidak
49
lagi hidup dalam persekutuan. Kalau pun manusia tetap
bertahan dalam persekutuan, ada banyak masalah dan
persoalan yang mereka hadapi. Persekutuan menjadi hal
yang hanya pro forma saja. Oleh sebab dosa manusia
hidup yang diciptakan sebagai being in relation (berada
dalam persekutuan) hidup sebagai being in alienation
(berada dalam keterasingan).
Manusia yang bukan kepala bagi ciptaan
menjadi kepala atas ciptaan. Akibatnya sangat
mengerikan; ia terasing dari dirinya sendiri, dari
sesamanya, dari habitatnya dan dari Allah sumber
hidupnya. Dalam keterasingan itu manusia terperosok
makin jauh ke dalam dosa dan tidak dapat
menyelamatkan dirinya sendiri. Allah mengutus Yesus
Kristus untuk menyelamatkan manusia tadi yang
hasilnya adalah pembenaran, pengudusan dan
penugasan.
Manusia yang terasing dari dirinya, dari
sesamanya dan dari Allah ditarik masuk oleh Allah ke
dalam gereja untuk mengalami kembali hidup dalam arti
yang sesungguhnya, yakni being in relation. Penguatan
persekutuan itu terjadi dalam gereja yang memiliki tiga
fungsi yang sudah kita sebut. Pertama, merawat
pertumbuhan iman mereka yang dibenarkan oleh Allah
melalui pemberitaan firman.
Kedua,
untuk mengefektifkan pengudusan
manusia melalui perayaan sakramen. Ketiga, memimpin
penugasan orang percaya lewat konstitusi gerejawi. Roh
Kudus memampukan manusia untuk kembali hidup
sebagai being in relation sebagai ganti being in
50
alienation. Manusia yang dibenarkan, dikuduskan dan
ditugaskan Allah secara obyektif dalam karya Yesus
Kristus oleh Roh Kudus dipanggil dan dihimpun
menjadi satu umat baru. Wujud konkret dari
persekutuan baru itu adalah dalam makan bersama di
sekeliling meja (tafelgemeenschap).47 Jadi gereja adalah
keluarga Allah yang bersekutu di sekeliling meja untuk
ambil bagian dalam santapan keselamatan.
Tafelgemeenschap
Istilah ini menunjuk pada persekutuan di sekitar
meja di mana terjadi perbuatan berbagi atau
memecahkan roti. Pdt. Kuntadi Sumadikarya dalam
sebuah ceramahnya di Abepura48 menunjukan bahwa
hal “memecahkan roti” dan “berbagi roti” merupakan
hal sangat sentral dari kata perusahaan. Kata perusahaan
dalam bahasa Inggris company. Akar katanya berasal
dari dua kata Latin cum (bersama-sama) dan panis (roti).
Jadi company berarti orang yang memecahkan roti
secara
bersama-sama.
Sayangnya,
perusahaanperusahaan saat ini lebih cenderung mengambil roti
47
J. Greven. “Jezus, Amen op de Schepping.” Dalam:
Gereformeerd Theologische Tijdschrift. No. 1. Februari 1975 /
Vijfenzeventigste Jaargang. Kampen: J.H. Kok. 1975. hlm. 5.
48
Pdt. Kuntadi Sumadikarya. “Pendidikan Kristen Sebagai
Ziarah Spiritual. Kasus GKI Sinwil Jabar dan BPK Penabur.”
Makalah yang dipresentasikan dalam Konsultasi Nasional
Gereja dan Pendidikan Kristen Tahun 2012 di Abepura, 22-15
Nopember 2012.
51
untuk diri sendiri dan bukan berbagi roti dengan orang
lain.
Berbagi roti dengan orang lain yang merupakan
arti sentral dari perusahaan juga merupakan komitmen
dasariah persekutuan yang dibentuk oleh Yesus.
Tafelgemeenschap yang diwujudkan Yesus sudah
diantisipasi jauh hari dalam ritus-ritus peribadahan
Israel dan berbagai akta sosial atau pertemuan raya
lainnya. Binatang korban syukur yang darahnya
dipersembahkan kepada Allah dagingnya harus dimakan
bersama-sama oleh peserta ibadah bersama-sama dengan
imam yang menjadi representasi kehadiran Allah (Im.
7:15; 8:31).
D.J. Baarslag menjelaskan makna tradisi makan
bersama yang dipraktekan secara luas oleh setiap
komunitas masyarakat sebagai berikut. Gambaran
tafelgemeenschap bagi orang timur merupakan simbol
yang mengandung pesan yang sangat dalam dan kuat.
Makan dan minum bersama menghadirkan suasana
dunia ilahi dan persekutuan dengan Allah.49 Beberapa
imam dalam agama pribumi menjelaskan makan
bersama yang terjadi dalam setiap ritus tradisional
mengandung pesan kesediaan dari tiap peserta ritus
untuk membuat pesan dan nilai-nilai yang dijalani
dalam ritus itu menjadi darah dan daging dalam hidup
mereka pasca penyelenggaraan ritus dimaksud.
D.J. Baarslag Dzn. Gelijkenissen de Heeren. Baarn:
Bosch & Keuning N.V. 1940. hlm. 114.
49
52
Pesan perdamaian dan keselamatan tampil
secara nyata dalam ritual makan bersama. Ritus itu
merupakan sebuah proklamasi kepada masyarakat
bahwa ada persaudaraan yang rukun dan ramah serta
keselamatan di antara orang-orang yang ambil bagian
dalam ritus makan bersama. Joanne Shelter & Patricia
Pruvis dua orang misionaris yang lama bekerja di
tengah-tengah orang-orang Balangao menulis begini:
“Mengunyah pinang adalah satu kebiasaan yang
berfungsi sebagai alat mengakrabkan masyarakat.
Makan bersama merupakan wujud dari saling
menerima. Hal seperti ini dilakukan kalau orang
Balangao bertemu dalam acara-acara sosial, waktu
mereka berkumpul dan duduk dalam lingkaran untuk
mencari jalan keluar dari masalah.”50 Permusuhan dan
perseteruan tidak dikenal di antara mereka yang makan
bersama dalam persekutuan. Dalam suasana inilah Yesus
mengadakan atau menghadiri jamuan makan bersama
dengan orang-orang berdosa.51
Wujud konkret dari persekutuan keselamatan
yang Allah nyatakan di antara manusia adalah dalam
makan bersama di sekeliling meja (tafelgemeenschap).
Ingat juga Yohanes 6 yang menyebutkan bahwa orangorang yang hidup dalam iman akan Kristus makan
Joanne Shetler & Patricia Purvis. Firman itu Datang
Dengan Penuh Kuasa. hlm. 127.
51 D.J. Baarslag Dzn. Gelijkenissen de Heeren. hlm. 117.
50
53
daging dan minum darah Yesus Kristus.52 Suasana
keselamatan ini ternyata berkorenspondensi secara
terbalik dengan peristiwa jatuhnya manusia ke dalam
dosa. Alkitab menunjukkan bahwa kejatuhan manusia
ke dalam dosa terjadi justru ketika Adam dan Hawa
makan buah pengetahuan baik dan jahat (Kej. 3:6-7).
Di Eden manusia jatuh ke dalam dosa karena
mereka makan. Isi perayaan keselamatan dalam
persekutuan yang diciptakan Roh Kudus adalah makan
bersama antara Yesus dan orang berdosa. Akta
penyelesaian atas dosa diwujudkan Yesus dengan
mengundang manusia makan bersama. Makan yang
dijalani di Eden yang mendatangkan dosa berbeda
dengan makan yang dirayakan di Kerajaan Allah. Makan
yang mendatangkan dosa seperti yang terjadi di Eden
dicirikan oleh tiga hal berikut: manusia itu makan
sendiri-sendiri, makan sembunyi-sembunyi dan makan
membelakangi Tuhan. Yudas mempertontonkan hal itu
secara kasat mata dalam episode perjamuan paskah yang
diselenggarakan Yesus dengan murid-murid. Begitu Ia
menerima roti yang telah dicelupkan dari Yesus ia pun
pergi, yakni membelakangi Yesus (Yoh. 13:26-30).
Sikap Yudas ini menurut teks Yohanes tadi dan
juga Lukas 22:3 adalah karena dia dirasuk Iblis. Ini
paralel dengan cerita kejatuhan manusia dalam dosa
dalam kitab Kejadian. Makan sendiri-sendiri, makan
sembunyi-sembunyi dan makan membelakangi Tuhan
Karl Barth. The Faith of the Church. A Commentary on
the Apostles‟ Creed according to the Catechism of Calvin .
52
New York: Living age Books. 1958. hlm. 122. hlm. 154.
54
adalah perbuatan orang-orang yang hidupnya telah
dipengaruhi oleh Iblis. Sedangkan makan yang
dirayakan di dalam kerajaan Allah yang menjadi
antisipasi dari jamuan makan yang Yesus adakan selama
pelayanannya ditandai dalam tiga hal berikut: manusia
makan bersama-sama, manusia makan secara terbuka
(setiap orang mendapat jatah yang layak) dan makan di
hadapan Allah.
Tiga cara makan yang baru ini berkorespondensi
dengan tiga isi karya pendamaian: pembenaran,
pengudusan dan penugasan. Makan bersama-sama
berhubungan dengan pembenaran (justification), makan
secara terbuka dengan pengudusan (sanctification) dan
makan di hadapan Tuhan berhubungan dengan
penugasan (vocation). Baiklah korespondensi kelipatan
tiga ini kita jelaskan satu demi satu.
Pertama, pembenaran manusia oleh Yesus
Kristus diimplementasikan ke dalam manusia oleh Roh
Kudus dengan menyatukan manusia di sekeliling meja
keselamatan untuk makan bersama-sama. Sakramen
perjamuan kudus adalah akta yang menunjuk kepada
karya pembenaran. Tafefgemeenschap juga merupakan
tradisi yang dianggap sakral dalam berbagai ritus
perdamaian dan pertemuan raya agama-agama manusia
baik agama berkitab maupun agama asli di Indonesia.
Dulunya,
ketika
masih
hidup
dalam
keterasingan, manusia makan sendiri-sendiri. Akibatnya
muncul kecurigaan di antara mereka yang makan. Yang
satu mempersalahkan yang lain, seperti yang terjadi di
Eden.
Adam
mempersalahkan
Hawa,
Hawa
55
mempersalahkan Allah yang menciptakan ular (Kej.
3:10-13). Di mana saja dan kapan saja jika ada orang
yang makan sendiri-sendiri bakal muncul sikap saling
mempersalahkan. Tidak ada kebenaran dan kejujuran
dalam sikap makan seperti ini. Yang ada ialah kebenaran
versi aku dan versi engkau. Kebenaran seperti itu
memecah belah persekutuan dan merusak persaudaraan.
Makan sendiri-sendiri bakal mendatangkan
disharmoni dalam persekutuan. Kedua belas anak Yakub
mengalami akibat buruk dari cara ayah Yakub mengajar
anak-anaknya makan sendiri-sendiri. Permusuhan
antara Esau dan Yakub juga dipicu oleh kebiasaan Isak
yang suka makan sendiri-sendiri. Kalau saja Samuel
tidak mencegah Isai yang menawarkan makan tanpa
peduli dengan kehadiran Daud, maka bakal terjadi
perang saudara di antara kedelapan anak Isai (I Sam.
16:11).
Damai
baru
tercipta
jika
makanan
didistribusikan secara merata untuk semua orang. Masao
Takenaka mengatakan bahwa dalam bahasa Mandarin
kata damai atau harmoni adalah wa yang berarti beras
dan mulut. Jika mulut setiap manusia di dunia mendapat
beras maka hidup akan jadi damai.53 Makanan bukan
hanya memberi kekuatan. Ia juga menciptakan
Masao Takenaka. Nasi dan Allah. Jakarta: BPK Gunung
Mulia. 1993. hlm. 19. Diterjemahkan oleh Suparto
Purbojuwono.
53
56
perdamaian. Makanan adalah simbol kehidupan kekal.54
Bagi orang primitif, ritus makan bersama mempunyai
sifat keagamaan. Barang siapa makan, ia mendapat
bagian kekuatan ilahi dan oleh kekuatan ilahi itu ia juga
memperoleh bagian dari mereka yang bersama-sama
makan dengan dia.55
Roh Kudus membawa manusia untuk bersekutu
di satu meja untuk menyantap sajian keselamatan secara
bersama-sama. Dengan makan bersama di satu meja
tercipta habitus baru, yakni keberanian untuk berbagi
sehingga semua orang bisa menikmati dan kenyang
bersama. Egoisme berubah menjadi altruisme saat
saudara-saudara berkumpul di satu meja makan. Park
Jae Soon dengan sangat tepat merumuskan nilai tadi
dalam kalimat berikut: “Gerakan persekutuan di meja
makan (yang diprakarsai Yesus) adalah gerakan yang
membebaskan manusia dri egoism kepada persekutuan
sejati yang telah diperdamaikan.”56 Nilai ini mengkristal
secara kasat mata dalam ritus tafelgemeenschap yang
merupakan
momen
penuh
kehangatan
dan
persaudaraan.
Choan-seng Song. Third-Eye Theology. Theology in
Formation in Asian Settings. Revised Edition. New York:
Orbis Book. 1991. hlm. 165.
55 A.G. Honig. Ilmu Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
1994. hlm. 15.
56 Park Jae Soon. “Jesus‟ Table Community Movement and
The Church.” Dalam: Asia Journal of Theology. Volume 7.
No. 1. April. 1993. hlm. 74.
54
57
Di kalangan suku Meto di Timor ritus makan
bersama ini disebut me tolas (meja makan suku).57
Mariana Ungirwalu menunjukan bahwa ritus serupa
juga dipraktekkan oleh masyarakat suku-suku di
kepulauan Maluku yang disebut dengan nama Meja
Gandong. Me tolas adalah ritus makan bersama setelah
panen atau usai musyawarah keluarga di mana para
tetua suku mengambil keputusan tentang satu persoalan
kemasyarakatan yang menentukan kehidupan seluruh
anggota persekutuan. Meja gadong adalah jamuan yang
diadakan oleh mempelai laki-laki untuk memperkenalkan istrinya kepada anggota keluarganya.58
Mereka tidak akan mulai menyantap hidangan
jika ada anggota komunitas yang belum hadir. Pada saat
akan mulai makan tiap-tiap orang memberi tahu semua
yang hadir atau minta ijin satu sama lain. Mereka juga
akan saling menunggu untuk menghabiskan makanan di
piring secara bersama. Pantanglah jika seorang teman
dalam kelompok menghabiskan makanannya lebih awal.
Bagi anggota komunitas yang memang berhalangan
hadir, makanan yang menjadi jatahnya akan dikirim ke
rumahnya. Anggota-anggota yang sudah tiada juga
diingat dalam jamuan itu. Jatah mereka disajikan dalam
57
Yaty Mella. Me Afu Bijeli Mei Afu Bijoba. Tinjauan
Anthropologi Budaya tentang Pengrusakan Benda-Benda
Bersejarah dari Marga Mella Sanam. Skripsi Sarjana Teologi.
Kupang: Universitas Kristen Artha Wacana. 2003.
58 Anna Ungirwalu. Makna Meja Gandong. Suatu Analisis
Anthropologi Budaya terhadap Adat Perkawinan di Paperu.
Proposal Penulisan Thesis Magister Sosiologi Agama. Salatiga:
Universitas Kristen Satya Wacana. Juli 2012.
58
mangkuk kecil. Tafelgemeenshap dalam kehidupan
masyarakat tradisional mengekspresikan persaudaraan
dalam wujud yang sangat akrab dan hangat.
Nilai ini ditransformasi Gereja dalam wujud
berpikir, berbicara dan bertindak persekutuan. Bahkan
pengharapannya pun harus persekutuan. Saudara yang
belum hadir dalam tafelgemeenschap itu tidak
dilupakan. Roh Kudus mengutus gereja untuk membawa
keselamatan kepada mereka. Mereka belum hadir dalam
tafelgemeenshap tapi bagian mereka tetap ada. Ini suatu
isyarat yang kuat bahwa tuan pesta tetap mengharapkan
kehadirannya dalam tafelgemeenschap berikut. Saudara
yang sudah meninggal dunia tidak dilupakan. Mereka
tetap diingat dan dikenang. Tafelgemeenschap menjadi
satu wujud konkret perayaan keselamatan yang bersifat
non diskirminatif dan inklusif.
Makan bersama-sama bukan hanya meniadakan
curiga dan sikap saling mempersalahkan melainkan juga
sebagai tanda adanya hubungan baik di antara saudarasaudara. Pada acara makan bersama tidak ada lagi
kebenaranku dan kebenaranmu. Yang ada ialah
kebenaran kita. Persekutuan dikuatkan dan dikokohkan.
Dosa dari anggota diampuni dan kesalahan dimaafkan.
Kebenaran yang ada dalam acara makan bersama
bersifat merekatkan persekutuan dan memulihkan
persaudaraan. Makan bersama merupakan inti terdalam
dari persekutuan keselamatan karena di sana
dipentaskan drama egalitarianisasi. Fransiskus Borgias
berkata: “Dalam pandangan Yesus, makanan adalah
simbol sentral Kerajaan, yaitu suatu keadaan dalam
59
mana semua diterima pada meja perjamuan dan semua
bisa memiliki secukupnya.”59
Kedua, pengudusan manusia oleh karya Kristus
diterapkan Roh Kudus dengan membuat manusia makan
dalam terang atau di tempat terbuka. Kata pengudusan
merupakan bentuk partisipum dan kata dasar kudus.
Kudus menurut Alkitab tidak menunjuk kepada
pemisahan diri secara fisik dari realitas yang lain, hidup
dalam keterpisahan dan keterasingan dengan manusia
lainnya dan berdiam dalam satu domain yang steril dari
dosa dan kefasikan. Tidak! Kudus menunjuk kepada
kehidupan di tengah-tengah masyarakat dan terusmenerus berinteraksi dengan masyarakat di mana ia
berada dengan memperlihatkan kualitas yang lain.
Hadiwijono berkata: "Kudus artinya menampakkan
hidup baru di tengah-tengah segala hubungan hidup di
dalam dunia ini."60
Makan bersama-sama di tempat terbuka jelas
memiliki nilai yang berbeda dengan makan sendirisendiri dan sembunyi-sembunyi. Orang yang makan di
tempat terbuka biasanya mengambil secukupnya sesuai
dengan kebutuhannya sebab ia ikut mempertimbangkan
kebutuhan dan kepentingan orang lain. Makan bersama
selalu menjadi kesempatan di mana ada kesediaan untuk
membagi hasil keringat sendiri dengan orang lain. Tidak
Fransiskus Borgias.”Teologi Makanan. Menyimak Kitab
Suci Sebagai Kritik Kebudayaan.” Dalam: Forum Biblika. No.
18 – 2005. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia. 2005. hlm. 31.
60 H. Hadiwijono, Iman Kristen., hlm. 376.
59
60
ada lagi ''makan seberapa banyak anda mampu'' tetapi
berbagi rezeki bersama kawan dan sahabat.61
Waktu Yohanes pembaptis sedang berkhotbah
tentang kedatangan Kerajaan Allah datang beberapa
prajurit mengajukan pertanyaan mengenai apa saja yang
harus mereka lakukan supaya beroleh keselamatan.
Yohanes menjawab mereka: "Jangan merampas dan
jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan
gajimu" (Lk. 3:14). Ini implementasi konkret dari
pengudusan yang diberikan Kristus yang harus
diwujudkan orang percaya dalam hidup tiap hari.
Yesus juga mengajarkan hal itu, yaitu agar kita
mempertimbangkan bagian yang disediakan bagi orang
lain, waktu kita mengambil untuk diri sendiri.
“Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang
secukupnya” (Mt. 6:11). Jauh hari sebelum Yesus
mengajarkan doa ini, Allah meminta Musa untuk
memperingatkan orang Israel untuk memungut manna
secukupnya hanya untuk kebutuhan makan dalam
sehari (Kel. 16:16-19). Orang yang memunggut lebih
dari kebutuhannya justru membawa masuk ulat ke
rumahnya dan rumahnya dipenuhi bau busuk (Kel.
16:20).
Makan secara terang-terangan dan di tempat
terbuka mengandaikan bahwa makanan harus dibagibagikan, terutama dengan mereka yang lapar dan
61
Ebenhaizer Nuban Timo. “Makanlah Seberapa Banyak
Anda Bisa.” Dalam: Pos Kupang. Harian Umum Nusa
Tenggara Timur. 2001. hlm. 2.
61
berkekurangan. Makan bersama dengan mereka yang
lapar adalah simbol sentral dari Kerajaan Allah.62
Seorang penyair asal Korea mengatikulasikan nilai ini
dalam sebuah puisi yang menggugah dengan judul:
Lambung tidak dapat menunggu.63
Makanan adalah sorga
Engkau tak boleh menguasai
dan memonopolinya sendiri
Makanan harus dibagikan
Makanan adalah sorga
Begitu kita memakannya
Allah masuk dalam diri kita
Makanan adalah sorga
Oh, makanan harus dibagi
Dan dimakan oleh semua orang
Makanan adalah sorga. Berbagai makanan dan
makan di tempat terbuka dan secara terang-terangan
arti berbagi sorga. Takenaka menulis: “Kalau setiap
mulut dalam dunia yang didiami orang penuh dengan
makanan sehari-hari, maka kita akan memiliki damai di
bumi.”64 Menumpuk makanan bagi diri sendiri dan
makan sendiri-sendiri arti berada dalam perjalanan ke
neraka.
Albert Lachance dan John Carrol. Embracing Earth.
Catholic Aprroches to Ecology. New York: Orbis Books. 1994.
hlm. 12-13.
63 Fransiskus Borgias.”Teologi Makanan. hlm. 31.
64 Masao Takenaka. Nasi dan Allah. hlm. 19.
62
62
Ketiga, makan di hadapan Allah berhubungan
erat dengan aspek ketiga dari karya pendamaian Kristus
yakni penugasan manusia. Makan di hadapan Allah
sebagaimana yang disaksikan Alkitab berhubungan
dengan tugas khusus (misi) yang harus dikerjakan. Allah
memerintahkan Israel melalui Musa untuk makan
paskah dengan pinggang dalam keadaan terikat, sambil
mengenakan kasut pada kaki dan memegang tongkat,
juga makan dalam keadaan tergesa-gesa (Kel. 12:11),
sebab mereka makan bukan untuk bersenang-senang
atau menetap di Mesir tetapi makan untuk segera
melakukan perjalanan, makan untuk bereksodus, pergi
dari rumah perbudakan (Kel. 12:17).
Elia, nabi besar Israel lainnya setelah Musa juga
diperintahkan Allah untuk bangun dan makan. Setelah
makan Elia tidur lagi. Lalu Allah mengirim malaikat
membangunkan Elia. Dia disuruh bangun dan makan
sekali lagi dari santapan yang disediakan Allah. Kali ini
disertai dengan penjelasan bahwa ia disuruh makan
karena perjalanan yang akan dilakukannya masih sangat
jauh (I Raj. 19:5-8). Yesus Kristus yang kehadiranNya
menggenapi tugas kedua tokoh besar Perjanjian Lama
(Musa dan Elia), juga menyelenggarakan upacara makan
di hadapan Allah pada saat-saat menjelang akhir
pelaksanaan tugas istimewa sebagai utusan Sang Bapa
(Mt. 26:19 dst).65
65
Selain ketiga contoh tadi, masih banyak contoh dalam
PL di mana tokoh-tokoh seperti Abraham, Lot, Yakub dan
Laban, Yusuf dan saudara-saudaranya menyelenggarakan
63
Makan di hadapan Allah berkaitan erat dengan
penugasan yang harus segera diselesaikan. Ini juga yang
menjadi pesan sentral dalam perayaan sakramen
perjamuan kudus yang diselenggarakan gereja. Upacara
makan itu diadakan sebagaimana yang dipesankan Yesus
Kristus demi tugas yang harus dijalankan. Paulus
menegaskan hal itu dalam kalimat: “Sebab setiap kali
kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu
memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang” (I
Kor. 11:26). Di penghujung perayaan sakramen itu,
imam berkata: “Pulanglah kamu ke dalam hidup, rumah
tangga dan tugasmu. Ingatlah untuk menjadi saksi
Kristus dalam seluruh laku hidupmu.”
Hubungan antara makan bersama dengan
pelaksanaan tugas kita temukan juga dalam sarapan pagi
yang diselenggarakan Yesus bersama Petrus dan keenam
murid lainnya di Tiberias (Yph. 21). Petrus memahami
tiga kali penyangkalannya terhadap Yesus sebagai akhir
dari tugasnya untuk menjadi penjala manusia. Itu
sebabnya ia mengajak teman-teman lainnya untuk
kembali kepada pekerajaan lama sebagai penjala ikan.
Yesus yang bangkit menjumpai mereka di pantai yang
dulu itu. Pada saat makan bersama, Yesus menugaskan
kembali Petrus untuk memelihara kawanan domba
Tuhan.
Makan di hadapan Allah adalah demi
menunaikan tugas memberitakan kematian Kristus
sampai Ia datang kembali. Makan untuk pergi ke dalam
upacara makan bersama di hadapan Allah sebagai tanda dari
permulaan pelaksanaan satu tugas khusus.
64
dunia menjadi saksi, memperlihatkan pembenaran dan
pengudusan yang dikerjakan Kristus kepada dunia,
menjadi terang yang bercahaya di depan orang, supaya
mereka melihat perbuatanmu yang baik dan
memuliakan Bapamu yang di sorga (Mt. 5:16).
Meminjam penjelasan beberapa imam dalam ritus agama
pribumi, makan bersama merupakan moment di mana
semua partisipan dalam ritus memperkokoh tekad untuk
membuat pesan dan nilai-nilai yang dilakoni dalam ritus
tadi menjadi darah dan daging dalam hidup setiap hari.
Tafelgemeenschap dan Bruiloftmaal
Dengan memampukan manusia untuk makan
bersama-sama, makan di tempat terbuka dan makan di
hadapan Tuhan dalam tafelgemeenschap maka
pembenaran (justification) orang-orang percaya yang
dikerjakan Kristus bukan hanya dilestarikan tetapi juga
ditumbuh-kembangkan. Kebenaran versi tiap anggota
persekutuan disinkronisasikan menjadi kebenaran
bersama yang bertumbuh ke arah persesuaian dengan
kebenaran Allah. Orang-orang yang dibenarkan
ditolong untuk hidup dalam iman, yakni menaruh
paham-paham mereka tentang kebenaran di bawah
kritik kebenaran Allah.
Dengan ambil bagian dalam tafelgemeenschap
pengudusan (sanctivication) individu-individu diperluas
jangkauannya dan diperdalam maknanya. Pengudusan
tidak lagi dipahami sebagai hak istimewa yang harus
dipertahankan tetapi sebagai tugas istimewa yang patut
65
digenapi. Persekutuan keselamatan yang berwujud
sebagai gereja menjadi persekutuan yang terbuka kepada
sesama. Dengan itu orang-orang tebusan Allah belajar
untuk hidup dalam kasih.
Dengan makan di hadapan Tuhan karya
penugasan (vocation) Kristus kepada manusia mendapat
wujud yang konkret dalam tugas missioner gereja dan
orang-orang percaya yang pergi ke dalam dunia untuk
menjadikan karya pendamaian Kristus menjadi
pengharapan bagi dunia dan semua manusia. Dengan
demikian the new story of man yang sudah diwujudkan
pada hari yang ketiga bukan hanya menjadi milik orangorang percaya tetapi juga menjadi milik dunia dan segala
makhluk (Mk. 16:15).
Aspek persekutuan dari karya penyelamatan
yang dikerjakan Roh Kudus membuat gereja bertumbuh
dalam kebenaran, berakar dalam kasih dan berbuahkan
pengharapan. Tafelgemeenschap adalah tempat di mana
hasil karya pendamaian ditanamkan dalam hidup tiap
anggota persekutuan yang menjadi dasar bagi
pertumbuhan iman, kasih dan pengharapan akan
kemanusiaan baru itu. Dalam tiga aspek ini gereja
belajar hidup dalam iman kepada pembenaran Kristus,
makin kokok dalam kasih Kristus yang menguduskan
dan berbuahkan pengharapan sebagai tujuan dari tugas
kesaksian gereja di dalam dunia. Tiga aspek ini berkaitan
erat dengan isi dari karya pendamaian yang dikerjakan
Kristus yakni pembenaran, pengudusan dan penugasan.
Tafelgemeenschap juga merupakan antisipasi
dari perwujudan final keselamatan pada parousia. Dosa
66
bermula dari soal makan. Penyelesaian terhadap dosa
juga dihubungkan dengan soal makan. Itu terwujud
dalam tafelgemeenschap yang ditetapkan Yesus untuk
dirayakan Gereja menunjuk kepada kematian dan
kedatanganNya kembali (Mt. 26:29, Mk. 14:25, Lk.
22:18). Dalam tafelgemeenschap itu umat bukan hanya
mengingat kematian Yesus Kristus, tetapi juga
mengantisipasi kedatangan kembaliNya. Pada waktu itu
sebagai raja Ia akan mengadakan perjamuan kawin anak
domba dan mengundang semua orang miliknya makan
bersama (bruiloftmaal). Makan bersama dengan Yesus
Kristus pada saat ini menegaskan bahwa sebagaimana
mereka bersatu dengan Dia dalam kematianNya, mereka
juga akan bersatu dengan Dia dalam kemuliaanNya.
Mengatakan ini kami teringat pada hikmat
tradisional yang dipraktekkan orang-orang bersaudara
yang harus berpisah untuk waktu yang lama karena satu
dan lain alasan. Untuk mengantisipasi kemungkinan
mereka tidak lagi saling mengenal ketika perjumpaan
kembali, mereka mengambil satu benda berharga milik
bersama. Benda itu dipecah-pecahkan dan dibagibagikan di antara mereka. Tiap orang menyimpan
pecahan sebagai tanda ingatan. Kelak ketika mereka
atau generasi anak-anak mereka bertemu pecahanpecahan itu disatukan untuk membuktikan bahwa
mereka sesungguhnya adalah satu keluarga dan orangorang bersaudara.
Hikmat tradisionil ini yang diperagakan Gereja
dalam tafelgemeenschapnya. Sebelum berpisah dengan
Yesus untuk waktu yang lama dan sesama anggota
67
tafelgemeesnchap menyebar ke dunia masing-masing
mereka memecah-mecahkan roti yang adalah tubuh
Tuhan mereka. Mereka makan roti itu, yang tidak lain
artinya menjadikan tubuh Yesus menjadi darah dan
daging dalam mereka.
Tiap-tiap mereka pergi ke dunianya dengan
membawa potongan tubuh Kristus itu di dalam dirinya.
Masing-masing mereka menyatu dengan Kristus dalam
hidup dan kerjanya. Potongan tubuh Kristus yang ada
masing-masing mereka kelak akan menjadi bukti yang
boleh mereka jadikan tiket untuk ambil bagian dalam
bruiloftmaal dalam rumah Bapa. Dalam bruiloftmaal
pembenaran, pengudusan dan penugasan yang sudah
mereka terima dalam tafelgemeenschap dimeteraikan
selama-lamanya.
Sebuah pertanyaan: “Seperti apakah persekutuan
tafelgemeenschap itu, yang merupakan jantung hati dari
persekutuan keselamatan, yakni gereja? Siapakah orangorang
yang
diundang
ambil
bagian
dalam
tafelgemeenschap tersebut? Pertanyaan ini akan kita
bahas dalam bagian berikut ini.
Persekutuan yang Inklusif
Semua orang diundang Allah untuk ambil bagian
dalam tafelgemeenschap. Gereja menegaskan itu dengan
memberi sifat katholik atau am kepada gereja dalam
pengakuan imannya. Am artinya terbuka. Tidak ada
pembatasan ruang, waktu dan apa pun. Ini bertolak dari
kenyataan bahwa Kristus adalah juruselamat untuk
68
dunia dan seluruh umat manusia.66 Ia adalah Tuhan
yang memenuhi semua dan segala sesuatu (Ef. 1:23). Ini
menegaskan bahwa semua umat manusia dipanggil ke
dalam keselamatan, mereka sudah ditentukan untuk
menjadi anggota Gereja, meskipun kenyataannya ada
yang masih menyangkal hal ini.67 Tafelgemeenschap
sebagai wujud konkret dari perayaan keselamatan
merupakan sebuah persekutuan yang bercorak inklusif,
mencakup semua orang. Yesus sendiri menegaskan hal
itu dalam perumpamaan tentang perjamuan kawin (Mt.
22:1-10).
Corak inklusif dari tafelgemeenschap juga dikenal
dalam ritus agama-agama primitif dari suku-suku di
Indonesia, tetapi dengan rujukan makna yang berbeda.
Paham inklusivitas dalam suku-suku itu merujuk kepada
persekutuan dengan warga suku yang sudah meninggal
dunia. Makan dan minum itu bukan hanya dihadiri oleh
mereka yang hidup. Leluhur atau tete nenek moyang
ikut juga ambil bagian dalam ritus sakral di sekitar meja
makan. C.S. Song menulis: “Nasi satu mangkuk
mempersekutukan yang hidup dan yang mati. Itu adalah
moment di mana semua anggota keluarga yang hidup
dan mati dipersatukan kembali.”68
Kalau nasi itu adalah Kristus (Yoh. 6:35), maka
persekutuan di sekitar meja keselamatan di mana
G.C van Niftrik & B.J. Boland. Dogmatika Masa Kini.
Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1958. hlm. 279.
67 Michael Pomazansky. Orthodox Dogmatic Theol ogy.
California: Platina, 1984. hlm. 240.
68 Choan-seng Song. Third-Eye Theology... hlm. 162.
66
69
persatuan dengan Kristus mendapat wujud paling
konkret dalam makan bersama adalah persekutuan
melampaui batas-batas, bukan hanya etis, nasionalitas,
tetapi juga perbatasan antara kehidupan dan kematian.
Praktek dan paham-paham masyarakat para Kristen
tidak seluruhnya anti injil. Ada sejumlah pranata dan
paham dalam masyarakat itu yang berfungsi sebagai
aanknopingspunt, titik temu untuk menjadi jalan masuk
bagi pemberitaan akan Kristus. Untuk pokok yang kita
bahas ini, titik temu itu adalah sifat inklusif dari
tafelgemeenschap.
Dalam hampir setiap ritus kemasyarakat dan
keagamaan suku-suku warga dari komunitas suku yang
sudah meninggal diyakini ikut berpartisipasi. Kematian
mereka tidak dianggap sebagai sebuah perpisahan
melainkan perubahan modus dan tempat kehidupan.
Sebelum mati mereka hidup secara fisik di dunia. Pada
waktu mati mereka berpindah ke dunia roh dan
menjalani hidup sebagai roh, yakni mereka lebih
mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk melindungi
yang masih hidup.69
Keyakinan inilah yang melatarbelakangi
berbagai sesajen yang disediakan kepada mereka yang
sudah meninggal. Porsi yang disediakan bagi roh-roh
warga yang sudah meninggal tidak harus dalam jumlah
besar. Yang penting bukan jumlahnya tetapi melibatkan
mereka dalam akta makan bersama itu. Melibatkan
mereka yang sudah mati artinya mengingat mereka.
Bandingkan Andreas. A. Yewangoe. Pendamaian.
Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1983. hlm. 55.
69
70
Koentjaraningrat benar saat berkata bahwa makan
bersama dalam upacara banyak religi dan agama
bercorak keramat70 karena di situ terwujud pula
persekutuan antara mereka yang hidup dengan saudarasaudara yang sudah meninggal.
Muncul
pertanyaan
apakah
ungkapan
communion sanctrum dalam credo gereja juga
mengakomodir paham inklusivitas dalam agama-agama
suku tadi? Orang-orang di Asia yang hidup dalam
keyakinan akan persekutuan yang tak berakhir dengan
saudara-saudari mereka yang sudah meninggal
dikejutkan dengan cap kekafiran dari gereja terhadap
praktek itu. Robert Schrieter mengisahkan satu kasus
yang menuntut pendalaman.
Seorang laki-laki dewasa berlatar belakang Tao
mengikuti katekesasi untuk persiapan baptisan.
Beberapa hari sebelum penyelenggaraan sakramen
dimaksud dia diundang bertemu pemimpin jemaat
untuk percakapan pastoral. Majelis menasehati dia
untuk membuang semua berhala. Laki-laki tadi
menyanggupi permintaan itu. Tetapi diakhir percakapan
laki-laki itu memilih untuk tidak menjadi Kristen atau
menolak sakramen baptisan gara-gara majelis jemaat
menjelaskan kepadanya bahwa setelah menjadi Kristen
ia harus menghentikan kebiasaan berkunjung ke makam
orang tua dan sanak saudaranya yang sudah meninggal.
Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Anthropologi Sosial.
Jakarta: Dian Rakyat. 1967. hlm. 240.
70
71
Haruskah hal itu dilakukan? Apakah dengan
menerima Kristus ziarah ke makam keluarga dan orang
yang kita kasihi harus dihentikan? Kami setuju untuk
menghentikan sesajen tetapi memutuskan hubungan
dengan saudara-saudara yang sudah mati, tidak boleh
lagi mengingat mereka dan menahan diri untuk tidak
lagi berkunjung ke makam terlalu berat untuk
dilakukan. Jawaban kristen untuk pertanyaan ini perlu
kita gali dari pemahaman yang benar terhadap hakikat
perayaan sakramen perjamuan kudus serta kisah
penampakan diri Yesus setelah kebangkitan. Baiklah
kami bicarakan dua pokok itu secara detail dalam dua
sub bahasan berikut.
Sakramen Perjamuan Kudus
Gereja-gereja protestan menetapkan baptisan
dan perjamuan sebagai sakramen kudus. Kedua
sakramen ini memiliki status yang sama dan setara.
Fungsinya adalah memeteraikan di dalam manusia
keselamatan yang sudah dikerjakan di dalam kematian
dan kebangkitan Kristus. Sakramen baptisan kudus
menunjuk pada proses penyatuan manusia pada Kristus
dan pada gereja sedangkan sakramen perjamuan kudus
mengaktualisasikan persekutuan manusia dengan kristus
dan juga dengan sesama warga gereja lainnya.
Gereja Katholik Roma menetapkan adanya tujuh
sakramen. Betapa pun begitu baptisan dan perjamuan
72
dipahami sebagai sacramenta maiora.71 Kedua ini
berperan secara khusus dan lebih penting peranannya
dalam pembangunan gereja karena secara lebih nyata
berakar di dalam perbuatan Yesus dan memiliki
hubungan dengan kematian dan kebangkitan Kristus
secara langsung dan menyeluruh.
Mengenai sakramen perjamuan kudus ada dua
rujukan yang dijadikan gereja sebagai titik tolak
pemaknaannya. Pertama, jamuan malam yang diadakan
Yesus dengan murid-murid sehari sebelum Dia
menjalani kematian. Itu merupakan makan malam
perpisahan. Yesus memecah-mecahkan roti dan
membagikannya kepada murid-murid. Hal yang sama
Yesus buat dengan anggur. Pada saat roti dipecahpecahkan dan anggur dituangkan Yesus berkata bahwa
roti itu adalah tubuhNya dan anggur itu adalah
darahNya. Sambil membagi-bagikan roti dan anggur itu
untuk dimakan murid-murid, Yesus berpesan:
“Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (Lk.
22:19-21).
Kedua, dalam I Korintus 11:23-26. Apa yang
diceritakan dalam kitab-kitab Injil ditegaskan lagi oleh
Paulus. Pada penegasan ulang ini ada dimensi baru yang
muncul. Sakramen ini harus dilakukan gereja bukan
sekedar untuk mengingat Yesus Kristus tetapi juga
untuk memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang
kembali.
Georg Kirchberger. Allah Menggugat. Sebuah
Dogmatik Kristiani. Maumere: Penerbit Ledalero. 2007. hlm.
71
484.
73
Sakramen Perjamuan Kudus, tafelgemeenchap
menunjuk kepada dua demensi waktu: mengingat masa
lalu dan mengantisipasi masa depan. Masa lalu itu
menunjuk kematian Yesus Kristus sedangkan masa
depan menunjuk pada bruiloftmaal, makan bersama
dalam pesta perkawinan anak domba.72 Song
menegaskan makna dari sakramen ini sebagai berikut:
“Di dalam sakramen Perjamuan Yesus bukan hanya
diingat tetapi benar-benar hidup. Roti dan anggur yang
digunakan dalam ritus ini bukan lagi sekedar roti dan
anggur.” Keduanya sekarang memiliki makna sakramen,
yakni menghadirkan Kristus di tengah-tengah jemaat
yang sedang bersekutu untuk makan bersama. Roti,
memori dan kehidupan dalam Kristus menyatu dalam
sakramen perjamuan untuk menguatkan iman, kasih
dan pengharapan.73
Apa yang terjadi pada makan malam terakhir
atau jamuan perpisah Yesus dengan murid-murid
terulang lagi dalam dua kejadian segera setelah Yesus
bangkit dari antara orang mati. Kejadian pertama
dialami dua orang murid yang berjalan ke Emaus.
Selama di perjalanan mereka mempercakapkan
kematian
Yesus.
Kesedihan
memenuhi
hati.
Bergabungnya Yesus dan penjelasan yang diberikanNya
kepada mereka juga tidak membuat mereka mengerti.
Pengertian itu barulah mereka peroleh ketika mereka di
rumah dan ambil bagian dalam tafelgemeenschap,
makan bersama (Lk. 24:13-32).
72
73
74
D.J. Baarslag. (tanpa tahun). op.cit., hlm. 117.
Choan-seng Song. Third-Eye Theology... hlm. 165.
Tentang ini Song berkata: “Hanya dengan
berpartisipasi dalam memecah-mecahkan roti mereka
bertemu dengan Yesus dalam memori mereka. Memori
yang mereka miliki menghubungan Yesus yang
disalibkan dan Yesus yang dibangkitkan. Memori adalah
saluran yang membawa mereka dari kematian menuju
kepada kehidupan, dari keputus-asaan kepada
pengharapan.”74
Kejadian kedua adalah episode di pantai Tiberias
ketika Yesus yang bangkit menjumpai Petrus yang
sedang melaut bersama enam murid lainnya. Yesus
makan bersama dengan mereka sama seperti yang Dia
adakan sebelum penyaliban. Bedanya, sebelum
penyaliban Yesus memperingatkan Petrus akan
penyangkalannya sementara setelah kebangkitan Yesus
memanggil Petrus untuk kembali ke dalam lingkungan
ke-12 rasul. Pada peristiwa makan bersama ini,
demikian kata Song, memori murid-murid akan Kristus
yang mati disatukan dengan keberadaan Kristus sebagai
yang hidup.75
Ini aspek pertama dari makna perayaan
sakramen perjamuan. Aspek kedua yang tidak kalah
penting dari itu adalah pengharapan atau antisipasi akan
kedatangan kembali Kristus yang bangkit. Orang kristen
bersekutu untuk makan bersama dalam sakramen
perjamuan (tafelgemeenschap) bukan hanya untuk
mengingat Yesus Kristus yang mati tetapi juga karena
percaya dan berharap akan kedatanganNya kembali
74
75
Choan-seng Song. Third-Eye Theology... hlm. 165-6.
Choan-seng Song. Third-Eye Theology... hlm. 166.
75
sebagai yang hidup di mana mereka akan diundang
ambil bagian dalam bruiloftmaal (perjamuan kawin). Ini
yang membuat makan bersama dalam perjamuan kudus
berbeda dengan tafelgemeenschap lainnya. Yesus yang
mati itu dihidupkan dalam memori (diingat) karena
orang kristen percaya bahwa Dia yang mati itu hidup
dan akan datang kembali ke tengah-tengah mereka
sebagai yang hidup dan berkuasa.
Perspektif ini harus menjadi titik tolak kita
untuk memahami kebiasaan jutaan bahkan miliyaran
penduduk Asia menyediakan sedikit porsi makanan bagi
saudara dan kekasih-kekasih hati mereka yang sudah
meninggal saat mereka berkumpul untuk makan
bersama. Memang makan bersama yang mereka
selenggarakan berbeda latar belakang dan makna
dengan makan bersama dalam sakramen perjamuan
kudus. Kebiasaan jutaan orang Asia menyediakan sedikit
porsi dari makanan untuk kekasih hati yang sudah
meninggal dalam ritus makan bersama juga
dilatarbelakangi oleh motif dan imajinasi yang berbeda
dengan kebiasaan memecah-mecahkan roti dalam
sakramen perjamuan.
Perbedaan itu perlu disadari tetapi tidak harus
ditolak apalagi dikafirkan atas nama iman kepada Yesus
Kristus. Jika itu yang dibuat gereja akan menerima
reaksi yang sama dengan penganut Tao dalam cerita di
atas: menolak menjadi Kristen karena tidak ingin
bercerai dengan kekasih-kasih mereka yang sudah
meninggal. Yang perlu gereja buat adalah memberikan
pemahaman baru kepada kebiasaan tadi dari perspektif
76
sakramen perjamuan kudus. Untuk itu gereja dapat
menjadikan tiga faktor penting dalam sakramen
perjamuan sebagai titik berangkatnya: roti, memori dan
kehidupan dalam Kristus.
Makanan, lilin atau bunga yang disiapkan bagi si
mati menghidupkan memori keluarga akan dia yang
sudah meninggal. Ini perasaan paling dalam yang
mengendap di alam bawah sadar mereka. Kekasih
mereka itu sudah mati, tetapi ia masih tetap hidup
dalam memori mereka. Kebiasaan menyediakan
makanan, lilin, bunga, berziarah ke kubur sebelum atau
setelah ritus makan bersama adalah ekspresi dari
perasaan tadi. Dari pada menyuruh mereka menghapus
memori tadi, suatu hal yang tidak mungkin dan tidak
akan pernah berhasil,76 gereja perlu membimbing
mereka untuk menyatukan memori mereka akan
saudara yang sudah meninggal itu dengan memori akan
Yesus Kristus yang juga mati bersama-sama dan
dikuburkan seperti kekasih hati mereka.
Dengan jalan menyatukan memori mereka
dengan memori akan Yesus Kristus, kehidupan saudara
76
Alex Jebadu, dalam bukunya berjudul Bukan Berhala!
Penghormatan Kepada Para Leluhur menunjukkan bahwa
betapapun gereja secara terang-terangan melakukan usaha
pembasmian terhadap penghormatan kepada leluhur, tetapi
praktik itu tetap saja ada. Ini menunjukkan bahwa praktek itu
memiliki nilai-nilai intrsitik yang luhur dan sanggup
memenuhi kebutuhan para pelakunya. Lihat. Alex Jebadu.
Bukan Berhala! Penghormatan Kepada Para Leluhur.
Maumere: Penerbit Ledalero. 2009. hlm. 2.
77
mereka yang sudah meninggal memperoleh makna
baru. Si mati bukan lagi sekedar hidup dalam memori
mereka, tetapi ia akan benar-benar hidup dan
dibangkitkan dari antara orang mati pada saat Kristus
yang mati dan yang bangkit datang kembali dalam
kemuliaan. Kalau pemahaman baru ini dijelaskan
dengan baik kepada saudara penganut Tao yang mau
dibaptis itu, ia tidak akan menunda-nunda untuk
dibaptis. Dengan menjadi pengikut Kristus relasinya
dengan leluhur dan kekasih-kekasihnya yang sudah
mati bukan hanya tetap terpelihara, bukan sekedar
hidup di dalam memorinya tetapi juga akan kembali
dialami lagi secara konkret pada waktu Kristus datang
kembali.
Belajar dari makna sakramen perjamuan yang
ditetapkan Kristus kita sampai pada kesimpulan bahwa
sifat inklusif dari rumusan credo: communio sanctorum
tidak hanya terbatas pada orang-orang yang masih
hidup. Perjamuan keselamatan yang diadakan Yesus
Kristus memang diadakan bersama-sama dengan orangorang percaya yang hidup kini dan di sini. Meskipun
begitu pada saat mereka ambil bagian dalam makan
bersama orang-orang percaya lainnya, memori mereka
akan kekasih hati yang sudah meninggal menyatu
dengan memori akan Kristus yang juga mati dan
dikuburkan bersama-sama dengan kekasih hati mereka.
Memori akan kematian kristus dan kekasih hati mereka
diikat jadi satu dalam akta makan bersama itu. Memori
itu sekaligus menjadi terowongan yang menghubungkan
kematian dengan kebangkitan yang berlaku bagi Kistus
tetapi juga bagi kekasih hati yang sudah meninggal.
78
Jadi keselamatan juga disediakan dan ditawarkan
Yesus Kristus kepada orang-orang yang sudah
meninggal sebagaimana yang kami tegaskan dalam
pembahasan mengenai perginya Yesus Kristus ke dunia
orang mati sebagaimana yang diikrarkan gereja dalam
credonya.
Yesus Menampakkan Diri Sebagai yang Hidup
Miliyaran penduduk dunia di Asia, Afrika,
Australia, Amerika dan juga Eropa memelihara
kebiasaan berikut. Mereka menyediakan sajian berupa
makanan atau bunga atau lilin kepada kekasih hati
mereka yang sudah meninggal serta merawat makam
secara khusus. Motif dari kebiasaan ini bervariasi.
Sebagian orang percaya bahwa kematian hanya berlaku
pada tubuh sementara roh tetap hidup. Roh yang masih
hidup itu meninggalkan tubuh dan pergi ke dunia para
leluhur. Di sana roh itu memperoleh status baru
menjadi yang berkuasa mengatur dan menentukan
kehidupan di bumi: bisa memberi berkat dan
mendatangkan
bencana
bagi
keluarga
yang
77
ditinggalkan. Memang aneh juga bagaimana mungkin
seseorang yang selama hidup baik terhadap keluarga
segera menjadi ancaman bagi keluarga setelah mati. Tapi
inilah paham yang hidup dalam hati banyak orang
tentang si mati. Kebiasaan menyediakan sesajen bagi si
77
L.P. van den Bosch. “Dood en religie.” Dalam:
Nederlands Theologische Tijdschrift.40e Jaargang. Juli 1986.
S-Gravenhage: Boekencentrum. hlm. 211.
79
mati dilakukan untuk membangun hubungan baik
dengan roh si mati agar terhindar dari ancamannya.
Sebagian lain menyakini bahwa kematian
berlaku bagi tubuh, jiwa dan roh. Manusia seutuhnya
mati. Si mati tidak lagi punya sangkut paut dengan
kehidupan di bumi. Mereka memperlakukan si mati
secara hormat seperti membawa bunga, lilin dan
merawat makam secara rutin hanya sebagai tanda cinta
bahwa betapa pun si mati telah tiada, ia belum berlalu
dari memori keluarga. Tidak ada motif lain di balik
kebiasaan itu. Paham ini umum dianut oleh manusia
modern yang berfikir rasional. Sementara paham
pertama masih hidup dalam penghayatan manusia
modern yang tetap berpegang pada dinamisme dan
animisme dan berfikir mistis.
Ada dua masalah teologis dalam praktek ini.
Pertama, apakah kematian hanya terjadi pada tubuh
ataukah manusia seutuhnya mati? Kedua, apakah
menyediakan sajian dibutuhkan oleh si mati? Dua
pertanyaan ini akan kami jawab secara terpisah.
Pertanyaan pertama akan kami bahas pada sub judul
kebangkitan daging. Di bagian ini kami akan membahas
pertanyaan kedua.
Apakah menyediakan sajian dibutuhkan oleh si
mati ataukah sekedar sebuah tindakan sukarela dari
mereka yang ditinggalkan. Jawaban untuk pertanyaan
ini dapat kita temukan dari pemahaman yang benar
akan realita kebangkitan Yesus. Yesus yang bangkit,
sebagaimana disaksikan Alkitab, menampakan diri
kepada para pengikutNya dalam rentang waktu 40 hari.
80
Dari 10 kali penampakan diri Yesus yang bangkit itu
empat di antaranya disertai dengan makan bersama.
Dari keempat kejadian makan bersama ada satu yang
menarik, yakni penampakan Yesus kepada murid-murid
sebelum Ia naik ke sorga (Lk. 24:36 dst).
Dikatakan di situ bahwa sementara mereka
bercakap-cakap setelah mendengar cerita perjumpaan
Yesus dengan dua murid dari Emaus, Yesus hadir di
tengah-tengah mereka. Murid-murid menjadi takut
karena menyangka mereka melihat hantu. Untuk
meyakinkan bahwa diriNya bukan hantu, Yesus
menyuruh mereka melakukan dua hal. Pertama
menjamah tubuhNya, sebab hantu memang tidak
memiliki tubuh, daging dan tulang. Setelah menjamah
tubuhNya, murid-murid tetap saja masih bimbang.
Karena itu Yesus meminta hal kedua dari mereka, yakni
menyediakan baginya makanan. Yesus menerima dari
mereka sepotong ikan goreng. Ikan itu Yesus makan di
hadapan mereka (Lk. 24: 42-43). Melihat Yesus makan,
hilanglah keragu-raguan mereka.
Untuk membuktikan kepada murid-murid
bahwa diriNya bukan hantu, Yesus makan sepotong
ikan goreng. Yesus hendak menunjukkan bahwa hantu
tidak bisa. Hanya orang-orang hidup saja yang bisa
makan. Hantu atau roh tidak makan dan tidak
membutuhkan makan. Di lihat dari titik ini, sajian yang
disiapkan keluarga tidak memberi manfaat apa pun bagi
si mati. Si mati tidak membutuhkan makanan, bunga
dan lilin. Ia juga tidak membutuhkan batu nisan yang
mahal dan makam yang mentereng.
81
Bahwa si mati tidak membutuhkan makanan,
bunga, lilin, batu kubur dari marmer dan makam yang
megah juga disinyalir Yesus ketika menjawab beberapa
orang yang memprotes tindakan seorang perempuan
yang dianggap melakukan pemborosan karena
meminyaki Yesus dengan minyak yang mahal. Tindakan
perempuan itu dipandang baik oleh Yesus karena ia
melakukan persiapan bagi penguburanNya (Mk. 14:1-8).
Jawaban Yesus ini dapat kita pahami sebagai seruan
untuk lebih baik memperhatikan seseorang selama
hidupnya dari pada ketika yang bersangkutan sudah
mati.
Perbuatan-perbuatan kepada si mati berupa
makanan, bunga, lilin, batu kubur dari marmer dan
makam yang megah dan mentereng lebih merupakan
ekspresi dari kegoncangan emosional keluarga yang
ditinggalkan karena belum siap menerima ada
perpisahan akibat kematian. Praktek-praktek itu
dilakukan mengisi kekosongan demi memulihkan
keseimbangan yang sempat terganggu akibat kematian.78
Bentuk-bentuk ekspresi mengatasi kegoncangan
itu memang berguna tetapi bersifat temporal. Itu baru
akan memberikan ketenangan yang parmanen jika
solusi itu okulasikan pada Kristus sebagaimana yang
kami sudah jelaskan dalam uraian mengenai makna
sakramen perjamuan. Si mati tidak hanya tetap hidup
dalam memori keluarga, ia benar-benar akan
78
82
L.P. van den Bosch. “Dood en religie.” hlm. 215.
dibangkitan dan akan ada pertemuan kembali saat
kedatangan Kristus kembali.
Penutup
Sebagai rangkuman dari semua yang sudah kami
katakan dalam sub bagian ini adalah bahwa rumusan
credo: communio santorum, persekutuan orang kudus
memiliki dua arti. Pertama, orang-orang itu disebut
kudus karena mereka dihubungkan kepada yang kudus.
Alkitab berkata bahwa yang kudus itu adalah Allah di
dalam Yesus Kristus. Roh Kuduslah yang membuat
manusia itu dipersatukan dengan Kristus dan
sebaliknya.
Persekutuan dengan Kristus itu adalah realitas
iman, tapi bukan sesuatu yang abstrak dan spiritual.
Persekutuan dengan Kristus itu berwujud secara nyata
dalam sakramen perjamuan kudus di mana manusia
diundang ke tafelgemeenschap dengan Allah. Di sana
mereka makan roti dan minum anggur yang adalah
tubuh dan darah Kristus. Kesatuan dengan Kristus itu
ditunjukan secara konkret dalam akta tadi: makan dan
minum tubuh dan darah Kristus. Makan dan minum
sesuatu artinya kita menjadikan makanan dan minuman
itu menyatu dalam darah dan daging kita. Jadi dengan
makan dan minum roti dan anggur yang adalah tubuh
dan darah Kristus manusia menjadi satu dengan Kristus.
Kedua,
communio
sanctorum
didemonstrasikan dalam tafelgemeenschap
yang
pada
sakramen perjamuan kudus tidak hanya mempersatukan
83
manusia dengan Yesus Kristus tetapi juga di antara
semua
saudara
yang
ambil
bagian
dalam
tafelgemeenschap itu. Orang-orang yang berkumpul
dalam sakramen perjamuan kudus adalah saudara dan
saudari. Persaudaraan mereka terjadi di dalam dan
diteguhkan oleh Kristus. Kesatuan masing-masing
mereka dengan Kristus dan di antara masing-masing
mereka merupakan persekutuan yang kokoh dan lestari.
Dalam Roma 8:38-39 Paulus menegaskan bahwa baik
maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun
pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang,
maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang
di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu
makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari
kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.
Ini mengandaikan bahwa kasih, persekutuan
dan persaudaraan di antara orang-orang kudus tidak
berakhir. Kematian tidak membuat persekutuan dan
kasih di antara mereka berhenti. Persekutuan orang
kudus yang dimaksud dalam rumusan credo: communio
sanctorum meliputi mereka yang hidup maupun yang
mati. Yesus Kristus mengikat satukan mereka dalam
persekutuan yang tak terpisahkan, persekutuan yang
kudus. Di luar Kristus persekutuan mereka tetap ada
tetapi tidak kudus karena terjadi semacam eksplotasi
timbal-balik dari kedua pihak. Jadi adalah penting kita
membawa hubungan kita dengan kekasih hati kita yang
sudah meninggal untuk diteguhkan oleh hubungan kita
dengan Kristus.
84
Download