Bab II Aspek Pertama Perayaan Keselamatan Pengantar Keselamatan yang disediakan Allah bagi manusia lewat karya Yesus Kristus dan yang diperoleh manusia di dalam Kerajaan Allah itu oleh kuat kuasa Roh Kudus sebagaimana yang diyakini gereja di dalam credo adalah: persekutuan orang kudus, pengampunan dosa, kebangkitan daging dan kehidupan kekal. Mereka yang dibawa masuk ke dalam gereja menikmati keselamatan dalam empat aspek tadi. Ini identik dengan isi dari perjanjian yang tetapkan Allah sejak kekal dan yang dikerjakan Allah di dalam waktu. Keempat aspek ini terbagi dalam dua kategori: persekutuan dan individu. Sekali lagi kita lihat di sini orde yang sudah dibahas ditegaskan kembali: persekutuan mendahului individu. Aspek persekutuan Manusia yang diselamatkan dituntun untuk ambil bagian di dalam persekutuan. Mereka dibimbing untuk menjadi satu keluarga. Gereja merumuskan itu di dalam frasa persekutuan orang-orang kudus (communion sanctorum). Dosa membuat manusia tidak 49 lagi hidup dalam persekutuan. Kalau pun manusia tetap bertahan dalam persekutuan, ada banyak masalah dan persoalan yang mereka hadapi. Persekutuan menjadi hal yang hanya pro forma saja. Oleh sebab dosa manusia hidup yang diciptakan sebagai being in relation (berada dalam persekutuan) hidup sebagai being in alienation (berada dalam keterasingan). Manusia yang bukan kepala bagi ciptaan menjadi kepala atas ciptaan. Akibatnya sangat mengerikan; ia terasing dari dirinya sendiri, dari sesamanya, dari habitatnya dan dari Allah sumber hidupnya. Dalam keterasingan itu manusia terperosok makin jauh ke dalam dosa dan tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Allah mengutus Yesus Kristus untuk menyelamatkan manusia tadi yang hasilnya adalah pembenaran, pengudusan dan penugasan. Manusia yang terasing dari dirinya, dari sesamanya dan dari Allah ditarik masuk oleh Allah ke dalam gereja untuk mengalami kembali hidup dalam arti yang sesungguhnya, yakni being in relation. Penguatan persekutuan itu terjadi dalam gereja yang memiliki tiga fungsi yang sudah kita sebut. Pertama, merawat pertumbuhan iman mereka yang dibenarkan oleh Allah melalui pemberitaan firman. Kedua, untuk mengefektifkan pengudusan manusia melalui perayaan sakramen. Ketiga, memimpin penugasan orang percaya lewat konstitusi gerejawi. Roh Kudus memampukan manusia untuk kembali hidup sebagai being in relation sebagai ganti being in 50 alienation. Manusia yang dibenarkan, dikuduskan dan ditugaskan Allah secara obyektif dalam karya Yesus Kristus oleh Roh Kudus dipanggil dan dihimpun menjadi satu umat baru. Wujud konkret dari persekutuan baru itu adalah dalam makan bersama di sekeliling meja (tafelgemeenschap).47 Jadi gereja adalah keluarga Allah yang bersekutu di sekeliling meja untuk ambil bagian dalam santapan keselamatan. Tafelgemeenschap Istilah ini menunjuk pada persekutuan di sekitar meja di mana terjadi perbuatan berbagi atau memecahkan roti. Pdt. Kuntadi Sumadikarya dalam sebuah ceramahnya di Abepura48 menunjukan bahwa hal “memecahkan roti” dan “berbagi roti” merupakan hal sangat sentral dari kata perusahaan. Kata perusahaan dalam bahasa Inggris company. Akar katanya berasal dari dua kata Latin cum (bersama-sama) dan panis (roti). Jadi company berarti orang yang memecahkan roti secara bersama-sama. Sayangnya, perusahaanperusahaan saat ini lebih cenderung mengambil roti 47 J. Greven. “Jezus, Amen op de Schepping.” Dalam: Gereformeerd Theologische Tijdschrift. No. 1. Februari 1975 / Vijfenzeventigste Jaargang. Kampen: J.H. Kok. 1975. hlm. 5. 48 Pdt. Kuntadi Sumadikarya. “Pendidikan Kristen Sebagai Ziarah Spiritual. Kasus GKI Sinwil Jabar dan BPK Penabur.” Makalah yang dipresentasikan dalam Konsultasi Nasional Gereja dan Pendidikan Kristen Tahun 2012 di Abepura, 22-15 Nopember 2012. 51 untuk diri sendiri dan bukan berbagi roti dengan orang lain. Berbagi roti dengan orang lain yang merupakan arti sentral dari perusahaan juga merupakan komitmen dasariah persekutuan yang dibentuk oleh Yesus. Tafelgemeenschap yang diwujudkan Yesus sudah diantisipasi jauh hari dalam ritus-ritus peribadahan Israel dan berbagai akta sosial atau pertemuan raya lainnya. Binatang korban syukur yang darahnya dipersembahkan kepada Allah dagingnya harus dimakan bersama-sama oleh peserta ibadah bersama-sama dengan imam yang menjadi representasi kehadiran Allah (Im. 7:15; 8:31). D.J. Baarslag menjelaskan makna tradisi makan bersama yang dipraktekan secara luas oleh setiap komunitas masyarakat sebagai berikut. Gambaran tafelgemeenschap bagi orang timur merupakan simbol yang mengandung pesan yang sangat dalam dan kuat. Makan dan minum bersama menghadirkan suasana dunia ilahi dan persekutuan dengan Allah.49 Beberapa imam dalam agama pribumi menjelaskan makan bersama yang terjadi dalam setiap ritus tradisional mengandung pesan kesediaan dari tiap peserta ritus untuk membuat pesan dan nilai-nilai yang dijalani dalam ritus itu menjadi darah dan daging dalam hidup mereka pasca penyelenggaraan ritus dimaksud. D.J. Baarslag Dzn. Gelijkenissen de Heeren. Baarn: Bosch & Keuning N.V. 1940. hlm. 114. 49 52 Pesan perdamaian dan keselamatan tampil secara nyata dalam ritual makan bersama. Ritus itu merupakan sebuah proklamasi kepada masyarakat bahwa ada persaudaraan yang rukun dan ramah serta keselamatan di antara orang-orang yang ambil bagian dalam ritus makan bersama. Joanne Shelter & Patricia Pruvis dua orang misionaris yang lama bekerja di tengah-tengah orang-orang Balangao menulis begini: “Mengunyah pinang adalah satu kebiasaan yang berfungsi sebagai alat mengakrabkan masyarakat. Makan bersama merupakan wujud dari saling menerima. Hal seperti ini dilakukan kalau orang Balangao bertemu dalam acara-acara sosial, waktu mereka berkumpul dan duduk dalam lingkaran untuk mencari jalan keluar dari masalah.”50 Permusuhan dan perseteruan tidak dikenal di antara mereka yang makan bersama dalam persekutuan. Dalam suasana inilah Yesus mengadakan atau menghadiri jamuan makan bersama dengan orang-orang berdosa.51 Wujud konkret dari persekutuan keselamatan yang Allah nyatakan di antara manusia adalah dalam makan bersama di sekeliling meja (tafelgemeenschap). Ingat juga Yohanes 6 yang menyebutkan bahwa orangorang yang hidup dalam iman akan Kristus makan Joanne Shetler & Patricia Purvis. Firman itu Datang Dengan Penuh Kuasa. hlm. 127. 51 D.J. Baarslag Dzn. Gelijkenissen de Heeren. hlm. 117. 50 53 daging dan minum darah Yesus Kristus.52 Suasana keselamatan ini ternyata berkorenspondensi secara terbalik dengan peristiwa jatuhnya manusia ke dalam dosa. Alkitab menunjukkan bahwa kejatuhan manusia ke dalam dosa terjadi justru ketika Adam dan Hawa makan buah pengetahuan baik dan jahat (Kej. 3:6-7). Di Eden manusia jatuh ke dalam dosa karena mereka makan. Isi perayaan keselamatan dalam persekutuan yang diciptakan Roh Kudus adalah makan bersama antara Yesus dan orang berdosa. Akta penyelesaian atas dosa diwujudkan Yesus dengan mengundang manusia makan bersama. Makan yang dijalani di Eden yang mendatangkan dosa berbeda dengan makan yang dirayakan di Kerajaan Allah. Makan yang mendatangkan dosa seperti yang terjadi di Eden dicirikan oleh tiga hal berikut: manusia itu makan sendiri-sendiri, makan sembunyi-sembunyi dan makan membelakangi Tuhan. Yudas mempertontonkan hal itu secara kasat mata dalam episode perjamuan paskah yang diselenggarakan Yesus dengan murid-murid. Begitu Ia menerima roti yang telah dicelupkan dari Yesus ia pun pergi, yakni membelakangi Yesus (Yoh. 13:26-30). Sikap Yudas ini menurut teks Yohanes tadi dan juga Lukas 22:3 adalah karena dia dirasuk Iblis. Ini paralel dengan cerita kejatuhan manusia dalam dosa dalam kitab Kejadian. Makan sendiri-sendiri, makan sembunyi-sembunyi dan makan membelakangi Tuhan Karl Barth. The Faith of the Church. A Commentary on the Apostles‟ Creed according to the Catechism of Calvin . 52 New York: Living age Books. 1958. hlm. 122. hlm. 154. 54 adalah perbuatan orang-orang yang hidupnya telah dipengaruhi oleh Iblis. Sedangkan makan yang dirayakan di dalam kerajaan Allah yang menjadi antisipasi dari jamuan makan yang Yesus adakan selama pelayanannya ditandai dalam tiga hal berikut: manusia makan bersama-sama, manusia makan secara terbuka (setiap orang mendapat jatah yang layak) dan makan di hadapan Allah. Tiga cara makan yang baru ini berkorespondensi dengan tiga isi karya pendamaian: pembenaran, pengudusan dan penugasan. Makan bersama-sama berhubungan dengan pembenaran (justification), makan secara terbuka dengan pengudusan (sanctification) dan makan di hadapan Tuhan berhubungan dengan penugasan (vocation). Baiklah korespondensi kelipatan tiga ini kita jelaskan satu demi satu. Pertama, pembenaran manusia oleh Yesus Kristus diimplementasikan ke dalam manusia oleh Roh Kudus dengan menyatukan manusia di sekeliling meja keselamatan untuk makan bersama-sama. Sakramen perjamuan kudus adalah akta yang menunjuk kepada karya pembenaran. Tafefgemeenschap juga merupakan tradisi yang dianggap sakral dalam berbagai ritus perdamaian dan pertemuan raya agama-agama manusia baik agama berkitab maupun agama asli di Indonesia. Dulunya, ketika masih hidup dalam keterasingan, manusia makan sendiri-sendiri. Akibatnya muncul kecurigaan di antara mereka yang makan. Yang satu mempersalahkan yang lain, seperti yang terjadi di Eden. Adam mempersalahkan Hawa, Hawa 55 mempersalahkan Allah yang menciptakan ular (Kej. 3:10-13). Di mana saja dan kapan saja jika ada orang yang makan sendiri-sendiri bakal muncul sikap saling mempersalahkan. Tidak ada kebenaran dan kejujuran dalam sikap makan seperti ini. Yang ada ialah kebenaran versi aku dan versi engkau. Kebenaran seperti itu memecah belah persekutuan dan merusak persaudaraan. Makan sendiri-sendiri bakal mendatangkan disharmoni dalam persekutuan. Kedua belas anak Yakub mengalami akibat buruk dari cara ayah Yakub mengajar anak-anaknya makan sendiri-sendiri. Permusuhan antara Esau dan Yakub juga dipicu oleh kebiasaan Isak yang suka makan sendiri-sendiri. Kalau saja Samuel tidak mencegah Isai yang menawarkan makan tanpa peduli dengan kehadiran Daud, maka bakal terjadi perang saudara di antara kedelapan anak Isai (I Sam. 16:11). Damai baru tercipta jika makanan didistribusikan secara merata untuk semua orang. Masao Takenaka mengatakan bahwa dalam bahasa Mandarin kata damai atau harmoni adalah wa yang berarti beras dan mulut. Jika mulut setiap manusia di dunia mendapat beras maka hidup akan jadi damai.53 Makanan bukan hanya memberi kekuatan. Ia juga menciptakan Masao Takenaka. Nasi dan Allah. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1993. hlm. 19. Diterjemahkan oleh Suparto Purbojuwono. 53 56 perdamaian. Makanan adalah simbol kehidupan kekal.54 Bagi orang primitif, ritus makan bersama mempunyai sifat keagamaan. Barang siapa makan, ia mendapat bagian kekuatan ilahi dan oleh kekuatan ilahi itu ia juga memperoleh bagian dari mereka yang bersama-sama makan dengan dia.55 Roh Kudus membawa manusia untuk bersekutu di satu meja untuk menyantap sajian keselamatan secara bersama-sama. Dengan makan bersama di satu meja tercipta habitus baru, yakni keberanian untuk berbagi sehingga semua orang bisa menikmati dan kenyang bersama. Egoisme berubah menjadi altruisme saat saudara-saudara berkumpul di satu meja makan. Park Jae Soon dengan sangat tepat merumuskan nilai tadi dalam kalimat berikut: “Gerakan persekutuan di meja makan (yang diprakarsai Yesus) adalah gerakan yang membebaskan manusia dri egoism kepada persekutuan sejati yang telah diperdamaikan.”56 Nilai ini mengkristal secara kasat mata dalam ritus tafelgemeenschap yang merupakan momen penuh kehangatan dan persaudaraan. Choan-seng Song. Third-Eye Theology. Theology in Formation in Asian Settings. Revised Edition. New York: Orbis Book. 1991. hlm. 165. 55 A.G. Honig. Ilmu Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1994. hlm. 15. 56 Park Jae Soon. “Jesus‟ Table Community Movement and The Church.” Dalam: Asia Journal of Theology. Volume 7. No. 1. April. 1993. hlm. 74. 54 57 Di kalangan suku Meto di Timor ritus makan bersama ini disebut me tolas (meja makan suku).57 Mariana Ungirwalu menunjukan bahwa ritus serupa juga dipraktekkan oleh masyarakat suku-suku di kepulauan Maluku yang disebut dengan nama Meja Gandong. Me tolas adalah ritus makan bersama setelah panen atau usai musyawarah keluarga di mana para tetua suku mengambil keputusan tentang satu persoalan kemasyarakatan yang menentukan kehidupan seluruh anggota persekutuan. Meja gadong adalah jamuan yang diadakan oleh mempelai laki-laki untuk memperkenalkan istrinya kepada anggota keluarganya.58 Mereka tidak akan mulai menyantap hidangan jika ada anggota komunitas yang belum hadir. Pada saat akan mulai makan tiap-tiap orang memberi tahu semua yang hadir atau minta ijin satu sama lain. Mereka juga akan saling menunggu untuk menghabiskan makanan di piring secara bersama. Pantanglah jika seorang teman dalam kelompok menghabiskan makanannya lebih awal. Bagi anggota komunitas yang memang berhalangan hadir, makanan yang menjadi jatahnya akan dikirim ke rumahnya. Anggota-anggota yang sudah tiada juga diingat dalam jamuan itu. Jatah mereka disajikan dalam 57 Yaty Mella. Me Afu Bijeli Mei Afu Bijoba. Tinjauan Anthropologi Budaya tentang Pengrusakan Benda-Benda Bersejarah dari Marga Mella Sanam. Skripsi Sarjana Teologi. Kupang: Universitas Kristen Artha Wacana. 2003. 58 Anna Ungirwalu. Makna Meja Gandong. Suatu Analisis Anthropologi Budaya terhadap Adat Perkawinan di Paperu. Proposal Penulisan Thesis Magister Sosiologi Agama. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana. Juli 2012. 58 mangkuk kecil. Tafelgemeenshap dalam kehidupan masyarakat tradisional mengekspresikan persaudaraan dalam wujud yang sangat akrab dan hangat. Nilai ini ditransformasi Gereja dalam wujud berpikir, berbicara dan bertindak persekutuan. Bahkan pengharapannya pun harus persekutuan. Saudara yang belum hadir dalam tafelgemeenschap itu tidak dilupakan. Roh Kudus mengutus gereja untuk membawa keselamatan kepada mereka. Mereka belum hadir dalam tafelgemeenshap tapi bagian mereka tetap ada. Ini suatu isyarat yang kuat bahwa tuan pesta tetap mengharapkan kehadirannya dalam tafelgemeenschap berikut. Saudara yang sudah meninggal dunia tidak dilupakan. Mereka tetap diingat dan dikenang. Tafelgemeenschap menjadi satu wujud konkret perayaan keselamatan yang bersifat non diskirminatif dan inklusif. Makan bersama-sama bukan hanya meniadakan curiga dan sikap saling mempersalahkan melainkan juga sebagai tanda adanya hubungan baik di antara saudarasaudara. Pada acara makan bersama tidak ada lagi kebenaranku dan kebenaranmu. Yang ada ialah kebenaran kita. Persekutuan dikuatkan dan dikokohkan. Dosa dari anggota diampuni dan kesalahan dimaafkan. Kebenaran yang ada dalam acara makan bersama bersifat merekatkan persekutuan dan memulihkan persaudaraan. Makan bersama merupakan inti terdalam dari persekutuan keselamatan karena di sana dipentaskan drama egalitarianisasi. Fransiskus Borgias berkata: “Dalam pandangan Yesus, makanan adalah simbol sentral Kerajaan, yaitu suatu keadaan dalam 59 mana semua diterima pada meja perjamuan dan semua bisa memiliki secukupnya.”59 Kedua, pengudusan manusia oleh karya Kristus diterapkan Roh Kudus dengan membuat manusia makan dalam terang atau di tempat terbuka. Kata pengudusan merupakan bentuk partisipum dan kata dasar kudus. Kudus menurut Alkitab tidak menunjuk kepada pemisahan diri secara fisik dari realitas yang lain, hidup dalam keterpisahan dan keterasingan dengan manusia lainnya dan berdiam dalam satu domain yang steril dari dosa dan kefasikan. Tidak! Kudus menunjuk kepada kehidupan di tengah-tengah masyarakat dan terusmenerus berinteraksi dengan masyarakat di mana ia berada dengan memperlihatkan kualitas yang lain. Hadiwijono berkata: "Kudus artinya menampakkan hidup baru di tengah-tengah segala hubungan hidup di dalam dunia ini."60 Makan bersama-sama di tempat terbuka jelas memiliki nilai yang berbeda dengan makan sendirisendiri dan sembunyi-sembunyi. Orang yang makan di tempat terbuka biasanya mengambil secukupnya sesuai dengan kebutuhannya sebab ia ikut mempertimbangkan kebutuhan dan kepentingan orang lain. Makan bersama selalu menjadi kesempatan di mana ada kesediaan untuk membagi hasil keringat sendiri dengan orang lain. Tidak Fransiskus Borgias.”Teologi Makanan. Menyimak Kitab Suci Sebagai Kritik Kebudayaan.” Dalam: Forum Biblika. No. 18 – 2005. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia. 2005. hlm. 31. 60 H. Hadiwijono, Iman Kristen., hlm. 376. 59 60 ada lagi ''makan seberapa banyak anda mampu'' tetapi berbagi rezeki bersama kawan dan sahabat.61 Waktu Yohanes pembaptis sedang berkhotbah tentang kedatangan Kerajaan Allah datang beberapa prajurit mengajukan pertanyaan mengenai apa saja yang harus mereka lakukan supaya beroleh keselamatan. Yohanes menjawab mereka: "Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu" (Lk. 3:14). Ini implementasi konkret dari pengudusan yang diberikan Kristus yang harus diwujudkan orang percaya dalam hidup tiap hari. Yesus juga mengajarkan hal itu, yaitu agar kita mempertimbangkan bagian yang disediakan bagi orang lain, waktu kita mengambil untuk diri sendiri. “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya” (Mt. 6:11). Jauh hari sebelum Yesus mengajarkan doa ini, Allah meminta Musa untuk memperingatkan orang Israel untuk memungut manna secukupnya hanya untuk kebutuhan makan dalam sehari (Kel. 16:16-19). Orang yang memunggut lebih dari kebutuhannya justru membawa masuk ulat ke rumahnya dan rumahnya dipenuhi bau busuk (Kel. 16:20). Makan secara terang-terangan dan di tempat terbuka mengandaikan bahwa makanan harus dibagibagikan, terutama dengan mereka yang lapar dan 61 Ebenhaizer Nuban Timo. “Makanlah Seberapa Banyak Anda Bisa.” Dalam: Pos Kupang. Harian Umum Nusa Tenggara Timur. 2001. hlm. 2. 61 berkekurangan. Makan bersama dengan mereka yang lapar adalah simbol sentral dari Kerajaan Allah.62 Seorang penyair asal Korea mengatikulasikan nilai ini dalam sebuah puisi yang menggugah dengan judul: Lambung tidak dapat menunggu.63 Makanan adalah sorga Engkau tak boleh menguasai dan memonopolinya sendiri Makanan harus dibagikan Makanan adalah sorga Begitu kita memakannya Allah masuk dalam diri kita Makanan adalah sorga Oh, makanan harus dibagi Dan dimakan oleh semua orang Makanan adalah sorga. Berbagai makanan dan makan di tempat terbuka dan secara terang-terangan arti berbagi sorga. Takenaka menulis: “Kalau setiap mulut dalam dunia yang didiami orang penuh dengan makanan sehari-hari, maka kita akan memiliki damai di bumi.”64 Menumpuk makanan bagi diri sendiri dan makan sendiri-sendiri arti berada dalam perjalanan ke neraka. Albert Lachance dan John Carrol. Embracing Earth. Catholic Aprroches to Ecology. New York: Orbis Books. 1994. hlm. 12-13. 63 Fransiskus Borgias.”Teologi Makanan. hlm. 31. 64 Masao Takenaka. Nasi dan Allah. hlm. 19. 62 62 Ketiga, makan di hadapan Allah berhubungan erat dengan aspek ketiga dari karya pendamaian Kristus yakni penugasan manusia. Makan di hadapan Allah sebagaimana yang disaksikan Alkitab berhubungan dengan tugas khusus (misi) yang harus dikerjakan. Allah memerintahkan Israel melalui Musa untuk makan paskah dengan pinggang dalam keadaan terikat, sambil mengenakan kasut pada kaki dan memegang tongkat, juga makan dalam keadaan tergesa-gesa (Kel. 12:11), sebab mereka makan bukan untuk bersenang-senang atau menetap di Mesir tetapi makan untuk segera melakukan perjalanan, makan untuk bereksodus, pergi dari rumah perbudakan (Kel. 12:17). Elia, nabi besar Israel lainnya setelah Musa juga diperintahkan Allah untuk bangun dan makan. Setelah makan Elia tidur lagi. Lalu Allah mengirim malaikat membangunkan Elia. Dia disuruh bangun dan makan sekali lagi dari santapan yang disediakan Allah. Kali ini disertai dengan penjelasan bahwa ia disuruh makan karena perjalanan yang akan dilakukannya masih sangat jauh (I Raj. 19:5-8). Yesus Kristus yang kehadiranNya menggenapi tugas kedua tokoh besar Perjanjian Lama (Musa dan Elia), juga menyelenggarakan upacara makan di hadapan Allah pada saat-saat menjelang akhir pelaksanaan tugas istimewa sebagai utusan Sang Bapa (Mt. 26:19 dst).65 65 Selain ketiga contoh tadi, masih banyak contoh dalam PL di mana tokoh-tokoh seperti Abraham, Lot, Yakub dan Laban, Yusuf dan saudara-saudaranya menyelenggarakan 63 Makan di hadapan Allah berkaitan erat dengan penugasan yang harus segera diselesaikan. Ini juga yang menjadi pesan sentral dalam perayaan sakramen perjamuan kudus yang diselenggarakan gereja. Upacara makan itu diadakan sebagaimana yang dipesankan Yesus Kristus demi tugas yang harus dijalankan. Paulus menegaskan hal itu dalam kalimat: “Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang” (I Kor. 11:26). Di penghujung perayaan sakramen itu, imam berkata: “Pulanglah kamu ke dalam hidup, rumah tangga dan tugasmu. Ingatlah untuk menjadi saksi Kristus dalam seluruh laku hidupmu.” Hubungan antara makan bersama dengan pelaksanaan tugas kita temukan juga dalam sarapan pagi yang diselenggarakan Yesus bersama Petrus dan keenam murid lainnya di Tiberias (Yph. 21). Petrus memahami tiga kali penyangkalannya terhadap Yesus sebagai akhir dari tugasnya untuk menjadi penjala manusia. Itu sebabnya ia mengajak teman-teman lainnya untuk kembali kepada pekerajaan lama sebagai penjala ikan. Yesus yang bangkit menjumpai mereka di pantai yang dulu itu. Pada saat makan bersama, Yesus menugaskan kembali Petrus untuk memelihara kawanan domba Tuhan. Makan di hadapan Allah adalah demi menunaikan tugas memberitakan kematian Kristus sampai Ia datang kembali. Makan untuk pergi ke dalam upacara makan bersama di hadapan Allah sebagai tanda dari permulaan pelaksanaan satu tugas khusus. 64 dunia menjadi saksi, memperlihatkan pembenaran dan pengudusan yang dikerjakan Kristus kepada dunia, menjadi terang yang bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga (Mt. 5:16). Meminjam penjelasan beberapa imam dalam ritus agama pribumi, makan bersama merupakan moment di mana semua partisipan dalam ritus memperkokoh tekad untuk membuat pesan dan nilai-nilai yang dilakoni dalam ritus tadi menjadi darah dan daging dalam hidup setiap hari. Tafelgemeenschap dan Bruiloftmaal Dengan memampukan manusia untuk makan bersama-sama, makan di tempat terbuka dan makan di hadapan Tuhan dalam tafelgemeenschap maka pembenaran (justification) orang-orang percaya yang dikerjakan Kristus bukan hanya dilestarikan tetapi juga ditumbuh-kembangkan. Kebenaran versi tiap anggota persekutuan disinkronisasikan menjadi kebenaran bersama yang bertumbuh ke arah persesuaian dengan kebenaran Allah. Orang-orang yang dibenarkan ditolong untuk hidup dalam iman, yakni menaruh paham-paham mereka tentang kebenaran di bawah kritik kebenaran Allah. Dengan ambil bagian dalam tafelgemeenschap pengudusan (sanctivication) individu-individu diperluas jangkauannya dan diperdalam maknanya. Pengudusan tidak lagi dipahami sebagai hak istimewa yang harus dipertahankan tetapi sebagai tugas istimewa yang patut 65 digenapi. Persekutuan keselamatan yang berwujud sebagai gereja menjadi persekutuan yang terbuka kepada sesama. Dengan itu orang-orang tebusan Allah belajar untuk hidup dalam kasih. Dengan makan di hadapan Tuhan karya penugasan (vocation) Kristus kepada manusia mendapat wujud yang konkret dalam tugas missioner gereja dan orang-orang percaya yang pergi ke dalam dunia untuk menjadikan karya pendamaian Kristus menjadi pengharapan bagi dunia dan semua manusia. Dengan demikian the new story of man yang sudah diwujudkan pada hari yang ketiga bukan hanya menjadi milik orangorang percaya tetapi juga menjadi milik dunia dan segala makhluk (Mk. 16:15). Aspek persekutuan dari karya penyelamatan yang dikerjakan Roh Kudus membuat gereja bertumbuh dalam kebenaran, berakar dalam kasih dan berbuahkan pengharapan. Tafelgemeenschap adalah tempat di mana hasil karya pendamaian ditanamkan dalam hidup tiap anggota persekutuan yang menjadi dasar bagi pertumbuhan iman, kasih dan pengharapan akan kemanusiaan baru itu. Dalam tiga aspek ini gereja belajar hidup dalam iman kepada pembenaran Kristus, makin kokok dalam kasih Kristus yang menguduskan dan berbuahkan pengharapan sebagai tujuan dari tugas kesaksian gereja di dalam dunia. Tiga aspek ini berkaitan erat dengan isi dari karya pendamaian yang dikerjakan Kristus yakni pembenaran, pengudusan dan penugasan. Tafelgemeenschap juga merupakan antisipasi dari perwujudan final keselamatan pada parousia. Dosa 66 bermula dari soal makan. Penyelesaian terhadap dosa juga dihubungkan dengan soal makan. Itu terwujud dalam tafelgemeenschap yang ditetapkan Yesus untuk dirayakan Gereja menunjuk kepada kematian dan kedatanganNya kembali (Mt. 26:29, Mk. 14:25, Lk. 22:18). Dalam tafelgemeenschap itu umat bukan hanya mengingat kematian Yesus Kristus, tetapi juga mengantisipasi kedatangan kembaliNya. Pada waktu itu sebagai raja Ia akan mengadakan perjamuan kawin anak domba dan mengundang semua orang miliknya makan bersama (bruiloftmaal). Makan bersama dengan Yesus Kristus pada saat ini menegaskan bahwa sebagaimana mereka bersatu dengan Dia dalam kematianNya, mereka juga akan bersatu dengan Dia dalam kemuliaanNya. Mengatakan ini kami teringat pada hikmat tradisional yang dipraktekkan orang-orang bersaudara yang harus berpisah untuk waktu yang lama karena satu dan lain alasan. Untuk mengantisipasi kemungkinan mereka tidak lagi saling mengenal ketika perjumpaan kembali, mereka mengambil satu benda berharga milik bersama. Benda itu dipecah-pecahkan dan dibagibagikan di antara mereka. Tiap orang menyimpan pecahan sebagai tanda ingatan. Kelak ketika mereka atau generasi anak-anak mereka bertemu pecahanpecahan itu disatukan untuk membuktikan bahwa mereka sesungguhnya adalah satu keluarga dan orangorang bersaudara. Hikmat tradisionil ini yang diperagakan Gereja dalam tafelgemeenschapnya. Sebelum berpisah dengan Yesus untuk waktu yang lama dan sesama anggota 67 tafelgemeesnchap menyebar ke dunia masing-masing mereka memecah-mecahkan roti yang adalah tubuh Tuhan mereka. Mereka makan roti itu, yang tidak lain artinya menjadikan tubuh Yesus menjadi darah dan daging dalam mereka. Tiap-tiap mereka pergi ke dunianya dengan membawa potongan tubuh Kristus itu di dalam dirinya. Masing-masing mereka menyatu dengan Kristus dalam hidup dan kerjanya. Potongan tubuh Kristus yang ada masing-masing mereka kelak akan menjadi bukti yang boleh mereka jadikan tiket untuk ambil bagian dalam bruiloftmaal dalam rumah Bapa. Dalam bruiloftmaal pembenaran, pengudusan dan penugasan yang sudah mereka terima dalam tafelgemeenschap dimeteraikan selama-lamanya. Sebuah pertanyaan: “Seperti apakah persekutuan tafelgemeenschap itu, yang merupakan jantung hati dari persekutuan keselamatan, yakni gereja? Siapakah orangorang yang diundang ambil bagian dalam tafelgemeenschap tersebut? Pertanyaan ini akan kita bahas dalam bagian berikut ini. Persekutuan yang Inklusif Semua orang diundang Allah untuk ambil bagian dalam tafelgemeenschap. Gereja menegaskan itu dengan memberi sifat katholik atau am kepada gereja dalam pengakuan imannya. Am artinya terbuka. Tidak ada pembatasan ruang, waktu dan apa pun. Ini bertolak dari kenyataan bahwa Kristus adalah juruselamat untuk 68 dunia dan seluruh umat manusia.66 Ia adalah Tuhan yang memenuhi semua dan segala sesuatu (Ef. 1:23). Ini menegaskan bahwa semua umat manusia dipanggil ke dalam keselamatan, mereka sudah ditentukan untuk menjadi anggota Gereja, meskipun kenyataannya ada yang masih menyangkal hal ini.67 Tafelgemeenschap sebagai wujud konkret dari perayaan keselamatan merupakan sebuah persekutuan yang bercorak inklusif, mencakup semua orang. Yesus sendiri menegaskan hal itu dalam perumpamaan tentang perjamuan kawin (Mt. 22:1-10). Corak inklusif dari tafelgemeenschap juga dikenal dalam ritus agama-agama primitif dari suku-suku di Indonesia, tetapi dengan rujukan makna yang berbeda. Paham inklusivitas dalam suku-suku itu merujuk kepada persekutuan dengan warga suku yang sudah meninggal dunia. Makan dan minum itu bukan hanya dihadiri oleh mereka yang hidup. Leluhur atau tete nenek moyang ikut juga ambil bagian dalam ritus sakral di sekitar meja makan. C.S. Song menulis: “Nasi satu mangkuk mempersekutukan yang hidup dan yang mati. Itu adalah moment di mana semua anggota keluarga yang hidup dan mati dipersatukan kembali.”68 Kalau nasi itu adalah Kristus (Yoh. 6:35), maka persekutuan di sekitar meja keselamatan di mana G.C van Niftrik & B.J. Boland. Dogmatika Masa Kini. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1958. hlm. 279. 67 Michael Pomazansky. Orthodox Dogmatic Theol ogy. California: Platina, 1984. hlm. 240. 68 Choan-seng Song. Third-Eye Theology... hlm. 162. 66 69 persatuan dengan Kristus mendapat wujud paling konkret dalam makan bersama adalah persekutuan melampaui batas-batas, bukan hanya etis, nasionalitas, tetapi juga perbatasan antara kehidupan dan kematian. Praktek dan paham-paham masyarakat para Kristen tidak seluruhnya anti injil. Ada sejumlah pranata dan paham dalam masyarakat itu yang berfungsi sebagai aanknopingspunt, titik temu untuk menjadi jalan masuk bagi pemberitaan akan Kristus. Untuk pokok yang kita bahas ini, titik temu itu adalah sifat inklusif dari tafelgemeenschap. Dalam hampir setiap ritus kemasyarakat dan keagamaan suku-suku warga dari komunitas suku yang sudah meninggal diyakini ikut berpartisipasi. Kematian mereka tidak dianggap sebagai sebuah perpisahan melainkan perubahan modus dan tempat kehidupan. Sebelum mati mereka hidup secara fisik di dunia. Pada waktu mati mereka berpindah ke dunia roh dan menjalani hidup sebagai roh, yakni mereka lebih mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk melindungi yang masih hidup.69 Keyakinan inilah yang melatarbelakangi berbagai sesajen yang disediakan kepada mereka yang sudah meninggal. Porsi yang disediakan bagi roh-roh warga yang sudah meninggal tidak harus dalam jumlah besar. Yang penting bukan jumlahnya tetapi melibatkan mereka dalam akta makan bersama itu. Melibatkan mereka yang sudah mati artinya mengingat mereka. Bandingkan Andreas. A. Yewangoe. Pendamaian. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1983. hlm. 55. 69 70 Koentjaraningrat benar saat berkata bahwa makan bersama dalam upacara banyak religi dan agama bercorak keramat70 karena di situ terwujud pula persekutuan antara mereka yang hidup dengan saudarasaudara yang sudah meninggal. Muncul pertanyaan apakah ungkapan communion sanctrum dalam credo gereja juga mengakomodir paham inklusivitas dalam agama-agama suku tadi? Orang-orang di Asia yang hidup dalam keyakinan akan persekutuan yang tak berakhir dengan saudara-saudari mereka yang sudah meninggal dikejutkan dengan cap kekafiran dari gereja terhadap praktek itu. Robert Schrieter mengisahkan satu kasus yang menuntut pendalaman. Seorang laki-laki dewasa berlatar belakang Tao mengikuti katekesasi untuk persiapan baptisan. Beberapa hari sebelum penyelenggaraan sakramen dimaksud dia diundang bertemu pemimpin jemaat untuk percakapan pastoral. Majelis menasehati dia untuk membuang semua berhala. Laki-laki tadi menyanggupi permintaan itu. Tetapi diakhir percakapan laki-laki itu memilih untuk tidak menjadi Kristen atau menolak sakramen baptisan gara-gara majelis jemaat menjelaskan kepadanya bahwa setelah menjadi Kristen ia harus menghentikan kebiasaan berkunjung ke makam orang tua dan sanak saudaranya yang sudah meninggal. Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Anthropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat. 1967. hlm. 240. 70 71 Haruskah hal itu dilakukan? Apakah dengan menerima Kristus ziarah ke makam keluarga dan orang yang kita kasihi harus dihentikan? Kami setuju untuk menghentikan sesajen tetapi memutuskan hubungan dengan saudara-saudara yang sudah mati, tidak boleh lagi mengingat mereka dan menahan diri untuk tidak lagi berkunjung ke makam terlalu berat untuk dilakukan. Jawaban kristen untuk pertanyaan ini perlu kita gali dari pemahaman yang benar terhadap hakikat perayaan sakramen perjamuan kudus serta kisah penampakan diri Yesus setelah kebangkitan. Baiklah kami bicarakan dua pokok itu secara detail dalam dua sub bahasan berikut. Sakramen Perjamuan Kudus Gereja-gereja protestan menetapkan baptisan dan perjamuan sebagai sakramen kudus. Kedua sakramen ini memiliki status yang sama dan setara. Fungsinya adalah memeteraikan di dalam manusia keselamatan yang sudah dikerjakan di dalam kematian dan kebangkitan Kristus. Sakramen baptisan kudus menunjuk pada proses penyatuan manusia pada Kristus dan pada gereja sedangkan sakramen perjamuan kudus mengaktualisasikan persekutuan manusia dengan kristus dan juga dengan sesama warga gereja lainnya. Gereja Katholik Roma menetapkan adanya tujuh sakramen. Betapa pun begitu baptisan dan perjamuan 72 dipahami sebagai sacramenta maiora.71 Kedua ini berperan secara khusus dan lebih penting peranannya dalam pembangunan gereja karena secara lebih nyata berakar di dalam perbuatan Yesus dan memiliki hubungan dengan kematian dan kebangkitan Kristus secara langsung dan menyeluruh. Mengenai sakramen perjamuan kudus ada dua rujukan yang dijadikan gereja sebagai titik tolak pemaknaannya. Pertama, jamuan malam yang diadakan Yesus dengan murid-murid sehari sebelum Dia menjalani kematian. Itu merupakan makan malam perpisahan. Yesus memecah-mecahkan roti dan membagikannya kepada murid-murid. Hal yang sama Yesus buat dengan anggur. Pada saat roti dipecahpecahkan dan anggur dituangkan Yesus berkata bahwa roti itu adalah tubuhNya dan anggur itu adalah darahNya. Sambil membagi-bagikan roti dan anggur itu untuk dimakan murid-murid, Yesus berpesan: “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (Lk. 22:19-21). Kedua, dalam I Korintus 11:23-26. Apa yang diceritakan dalam kitab-kitab Injil ditegaskan lagi oleh Paulus. Pada penegasan ulang ini ada dimensi baru yang muncul. Sakramen ini harus dilakukan gereja bukan sekedar untuk mengingat Yesus Kristus tetapi juga untuk memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang kembali. Georg Kirchberger. Allah Menggugat. Sebuah Dogmatik Kristiani. Maumere: Penerbit Ledalero. 2007. hlm. 71 484. 73 Sakramen Perjamuan Kudus, tafelgemeenchap menunjuk kepada dua demensi waktu: mengingat masa lalu dan mengantisipasi masa depan. Masa lalu itu menunjuk kematian Yesus Kristus sedangkan masa depan menunjuk pada bruiloftmaal, makan bersama dalam pesta perkawinan anak domba.72 Song menegaskan makna dari sakramen ini sebagai berikut: “Di dalam sakramen Perjamuan Yesus bukan hanya diingat tetapi benar-benar hidup. Roti dan anggur yang digunakan dalam ritus ini bukan lagi sekedar roti dan anggur.” Keduanya sekarang memiliki makna sakramen, yakni menghadirkan Kristus di tengah-tengah jemaat yang sedang bersekutu untuk makan bersama. Roti, memori dan kehidupan dalam Kristus menyatu dalam sakramen perjamuan untuk menguatkan iman, kasih dan pengharapan.73 Apa yang terjadi pada makan malam terakhir atau jamuan perpisah Yesus dengan murid-murid terulang lagi dalam dua kejadian segera setelah Yesus bangkit dari antara orang mati. Kejadian pertama dialami dua orang murid yang berjalan ke Emaus. Selama di perjalanan mereka mempercakapkan kematian Yesus. Kesedihan memenuhi hati. Bergabungnya Yesus dan penjelasan yang diberikanNya kepada mereka juga tidak membuat mereka mengerti. Pengertian itu barulah mereka peroleh ketika mereka di rumah dan ambil bagian dalam tafelgemeenschap, makan bersama (Lk. 24:13-32). 72 73 74 D.J. Baarslag. (tanpa tahun). op.cit., hlm. 117. Choan-seng Song. Third-Eye Theology... hlm. 165. Tentang ini Song berkata: “Hanya dengan berpartisipasi dalam memecah-mecahkan roti mereka bertemu dengan Yesus dalam memori mereka. Memori yang mereka miliki menghubungan Yesus yang disalibkan dan Yesus yang dibangkitkan. Memori adalah saluran yang membawa mereka dari kematian menuju kepada kehidupan, dari keputus-asaan kepada pengharapan.”74 Kejadian kedua adalah episode di pantai Tiberias ketika Yesus yang bangkit menjumpai Petrus yang sedang melaut bersama enam murid lainnya. Yesus makan bersama dengan mereka sama seperti yang Dia adakan sebelum penyaliban. Bedanya, sebelum penyaliban Yesus memperingatkan Petrus akan penyangkalannya sementara setelah kebangkitan Yesus memanggil Petrus untuk kembali ke dalam lingkungan ke-12 rasul. Pada peristiwa makan bersama ini, demikian kata Song, memori murid-murid akan Kristus yang mati disatukan dengan keberadaan Kristus sebagai yang hidup.75 Ini aspek pertama dari makna perayaan sakramen perjamuan. Aspek kedua yang tidak kalah penting dari itu adalah pengharapan atau antisipasi akan kedatangan kembali Kristus yang bangkit. Orang kristen bersekutu untuk makan bersama dalam sakramen perjamuan (tafelgemeenschap) bukan hanya untuk mengingat Yesus Kristus yang mati tetapi juga karena percaya dan berharap akan kedatanganNya kembali 74 75 Choan-seng Song. Third-Eye Theology... hlm. 165-6. Choan-seng Song. Third-Eye Theology... hlm. 166. 75 sebagai yang hidup di mana mereka akan diundang ambil bagian dalam bruiloftmaal (perjamuan kawin). Ini yang membuat makan bersama dalam perjamuan kudus berbeda dengan tafelgemeenschap lainnya. Yesus yang mati itu dihidupkan dalam memori (diingat) karena orang kristen percaya bahwa Dia yang mati itu hidup dan akan datang kembali ke tengah-tengah mereka sebagai yang hidup dan berkuasa. Perspektif ini harus menjadi titik tolak kita untuk memahami kebiasaan jutaan bahkan miliyaran penduduk Asia menyediakan sedikit porsi makanan bagi saudara dan kekasih-kekasih hati mereka yang sudah meninggal saat mereka berkumpul untuk makan bersama. Memang makan bersama yang mereka selenggarakan berbeda latar belakang dan makna dengan makan bersama dalam sakramen perjamuan kudus. Kebiasaan jutaan orang Asia menyediakan sedikit porsi dari makanan untuk kekasih hati yang sudah meninggal dalam ritus makan bersama juga dilatarbelakangi oleh motif dan imajinasi yang berbeda dengan kebiasaan memecah-mecahkan roti dalam sakramen perjamuan. Perbedaan itu perlu disadari tetapi tidak harus ditolak apalagi dikafirkan atas nama iman kepada Yesus Kristus. Jika itu yang dibuat gereja akan menerima reaksi yang sama dengan penganut Tao dalam cerita di atas: menolak menjadi Kristen karena tidak ingin bercerai dengan kekasih-kasih mereka yang sudah meninggal. Yang perlu gereja buat adalah memberikan pemahaman baru kepada kebiasaan tadi dari perspektif 76 sakramen perjamuan kudus. Untuk itu gereja dapat menjadikan tiga faktor penting dalam sakramen perjamuan sebagai titik berangkatnya: roti, memori dan kehidupan dalam Kristus. Makanan, lilin atau bunga yang disiapkan bagi si mati menghidupkan memori keluarga akan dia yang sudah meninggal. Ini perasaan paling dalam yang mengendap di alam bawah sadar mereka. Kekasih mereka itu sudah mati, tetapi ia masih tetap hidup dalam memori mereka. Kebiasaan menyediakan makanan, lilin, bunga, berziarah ke kubur sebelum atau setelah ritus makan bersama adalah ekspresi dari perasaan tadi. Dari pada menyuruh mereka menghapus memori tadi, suatu hal yang tidak mungkin dan tidak akan pernah berhasil,76 gereja perlu membimbing mereka untuk menyatukan memori mereka akan saudara yang sudah meninggal itu dengan memori akan Yesus Kristus yang juga mati bersama-sama dan dikuburkan seperti kekasih hati mereka. Dengan jalan menyatukan memori mereka dengan memori akan Yesus Kristus, kehidupan saudara 76 Alex Jebadu, dalam bukunya berjudul Bukan Berhala! Penghormatan Kepada Para Leluhur menunjukkan bahwa betapapun gereja secara terang-terangan melakukan usaha pembasmian terhadap penghormatan kepada leluhur, tetapi praktik itu tetap saja ada. Ini menunjukkan bahwa praktek itu memiliki nilai-nilai intrsitik yang luhur dan sanggup memenuhi kebutuhan para pelakunya. Lihat. Alex Jebadu. Bukan Berhala! Penghormatan Kepada Para Leluhur. Maumere: Penerbit Ledalero. 2009. hlm. 2. 77 mereka yang sudah meninggal memperoleh makna baru. Si mati bukan lagi sekedar hidup dalam memori mereka, tetapi ia akan benar-benar hidup dan dibangkitkan dari antara orang mati pada saat Kristus yang mati dan yang bangkit datang kembali dalam kemuliaan. Kalau pemahaman baru ini dijelaskan dengan baik kepada saudara penganut Tao yang mau dibaptis itu, ia tidak akan menunda-nunda untuk dibaptis. Dengan menjadi pengikut Kristus relasinya dengan leluhur dan kekasih-kekasihnya yang sudah mati bukan hanya tetap terpelihara, bukan sekedar hidup di dalam memorinya tetapi juga akan kembali dialami lagi secara konkret pada waktu Kristus datang kembali. Belajar dari makna sakramen perjamuan yang ditetapkan Kristus kita sampai pada kesimpulan bahwa sifat inklusif dari rumusan credo: communio sanctorum tidak hanya terbatas pada orang-orang yang masih hidup. Perjamuan keselamatan yang diadakan Yesus Kristus memang diadakan bersama-sama dengan orangorang percaya yang hidup kini dan di sini. Meskipun begitu pada saat mereka ambil bagian dalam makan bersama orang-orang percaya lainnya, memori mereka akan kekasih hati yang sudah meninggal menyatu dengan memori akan Kristus yang juga mati dan dikuburkan bersama-sama dengan kekasih hati mereka. Memori akan kematian kristus dan kekasih hati mereka diikat jadi satu dalam akta makan bersama itu. Memori itu sekaligus menjadi terowongan yang menghubungkan kematian dengan kebangkitan yang berlaku bagi Kistus tetapi juga bagi kekasih hati yang sudah meninggal. 78 Jadi keselamatan juga disediakan dan ditawarkan Yesus Kristus kepada orang-orang yang sudah meninggal sebagaimana yang kami tegaskan dalam pembahasan mengenai perginya Yesus Kristus ke dunia orang mati sebagaimana yang diikrarkan gereja dalam credonya. Yesus Menampakkan Diri Sebagai yang Hidup Miliyaran penduduk dunia di Asia, Afrika, Australia, Amerika dan juga Eropa memelihara kebiasaan berikut. Mereka menyediakan sajian berupa makanan atau bunga atau lilin kepada kekasih hati mereka yang sudah meninggal serta merawat makam secara khusus. Motif dari kebiasaan ini bervariasi. Sebagian orang percaya bahwa kematian hanya berlaku pada tubuh sementara roh tetap hidup. Roh yang masih hidup itu meninggalkan tubuh dan pergi ke dunia para leluhur. Di sana roh itu memperoleh status baru menjadi yang berkuasa mengatur dan menentukan kehidupan di bumi: bisa memberi berkat dan mendatangkan bencana bagi keluarga yang 77 ditinggalkan. Memang aneh juga bagaimana mungkin seseorang yang selama hidup baik terhadap keluarga segera menjadi ancaman bagi keluarga setelah mati. Tapi inilah paham yang hidup dalam hati banyak orang tentang si mati. Kebiasaan menyediakan sesajen bagi si 77 L.P. van den Bosch. “Dood en religie.” Dalam: Nederlands Theologische Tijdschrift.40e Jaargang. Juli 1986. S-Gravenhage: Boekencentrum. hlm. 211. 79 mati dilakukan untuk membangun hubungan baik dengan roh si mati agar terhindar dari ancamannya. Sebagian lain menyakini bahwa kematian berlaku bagi tubuh, jiwa dan roh. Manusia seutuhnya mati. Si mati tidak lagi punya sangkut paut dengan kehidupan di bumi. Mereka memperlakukan si mati secara hormat seperti membawa bunga, lilin dan merawat makam secara rutin hanya sebagai tanda cinta bahwa betapa pun si mati telah tiada, ia belum berlalu dari memori keluarga. Tidak ada motif lain di balik kebiasaan itu. Paham ini umum dianut oleh manusia modern yang berfikir rasional. Sementara paham pertama masih hidup dalam penghayatan manusia modern yang tetap berpegang pada dinamisme dan animisme dan berfikir mistis. Ada dua masalah teologis dalam praktek ini. Pertama, apakah kematian hanya terjadi pada tubuh ataukah manusia seutuhnya mati? Kedua, apakah menyediakan sajian dibutuhkan oleh si mati? Dua pertanyaan ini akan kami jawab secara terpisah. Pertanyaan pertama akan kami bahas pada sub judul kebangkitan daging. Di bagian ini kami akan membahas pertanyaan kedua. Apakah menyediakan sajian dibutuhkan oleh si mati ataukah sekedar sebuah tindakan sukarela dari mereka yang ditinggalkan. Jawaban untuk pertanyaan ini dapat kita temukan dari pemahaman yang benar akan realita kebangkitan Yesus. Yesus yang bangkit, sebagaimana disaksikan Alkitab, menampakan diri kepada para pengikutNya dalam rentang waktu 40 hari. 80 Dari 10 kali penampakan diri Yesus yang bangkit itu empat di antaranya disertai dengan makan bersama. Dari keempat kejadian makan bersama ada satu yang menarik, yakni penampakan Yesus kepada murid-murid sebelum Ia naik ke sorga (Lk. 24:36 dst). Dikatakan di situ bahwa sementara mereka bercakap-cakap setelah mendengar cerita perjumpaan Yesus dengan dua murid dari Emaus, Yesus hadir di tengah-tengah mereka. Murid-murid menjadi takut karena menyangka mereka melihat hantu. Untuk meyakinkan bahwa diriNya bukan hantu, Yesus menyuruh mereka melakukan dua hal. Pertama menjamah tubuhNya, sebab hantu memang tidak memiliki tubuh, daging dan tulang. Setelah menjamah tubuhNya, murid-murid tetap saja masih bimbang. Karena itu Yesus meminta hal kedua dari mereka, yakni menyediakan baginya makanan. Yesus menerima dari mereka sepotong ikan goreng. Ikan itu Yesus makan di hadapan mereka (Lk. 24: 42-43). Melihat Yesus makan, hilanglah keragu-raguan mereka. Untuk membuktikan kepada murid-murid bahwa diriNya bukan hantu, Yesus makan sepotong ikan goreng. Yesus hendak menunjukkan bahwa hantu tidak bisa. Hanya orang-orang hidup saja yang bisa makan. Hantu atau roh tidak makan dan tidak membutuhkan makan. Di lihat dari titik ini, sajian yang disiapkan keluarga tidak memberi manfaat apa pun bagi si mati. Si mati tidak membutuhkan makanan, bunga dan lilin. Ia juga tidak membutuhkan batu nisan yang mahal dan makam yang mentereng. 81 Bahwa si mati tidak membutuhkan makanan, bunga, lilin, batu kubur dari marmer dan makam yang megah juga disinyalir Yesus ketika menjawab beberapa orang yang memprotes tindakan seorang perempuan yang dianggap melakukan pemborosan karena meminyaki Yesus dengan minyak yang mahal. Tindakan perempuan itu dipandang baik oleh Yesus karena ia melakukan persiapan bagi penguburanNya (Mk. 14:1-8). Jawaban Yesus ini dapat kita pahami sebagai seruan untuk lebih baik memperhatikan seseorang selama hidupnya dari pada ketika yang bersangkutan sudah mati. Perbuatan-perbuatan kepada si mati berupa makanan, bunga, lilin, batu kubur dari marmer dan makam yang megah dan mentereng lebih merupakan ekspresi dari kegoncangan emosional keluarga yang ditinggalkan karena belum siap menerima ada perpisahan akibat kematian. Praktek-praktek itu dilakukan mengisi kekosongan demi memulihkan keseimbangan yang sempat terganggu akibat kematian.78 Bentuk-bentuk ekspresi mengatasi kegoncangan itu memang berguna tetapi bersifat temporal. Itu baru akan memberikan ketenangan yang parmanen jika solusi itu okulasikan pada Kristus sebagaimana yang kami sudah jelaskan dalam uraian mengenai makna sakramen perjamuan. Si mati tidak hanya tetap hidup dalam memori keluarga, ia benar-benar akan 78 82 L.P. van den Bosch. “Dood en religie.” hlm. 215. dibangkitan dan akan ada pertemuan kembali saat kedatangan Kristus kembali. Penutup Sebagai rangkuman dari semua yang sudah kami katakan dalam sub bagian ini adalah bahwa rumusan credo: communio santorum, persekutuan orang kudus memiliki dua arti. Pertama, orang-orang itu disebut kudus karena mereka dihubungkan kepada yang kudus. Alkitab berkata bahwa yang kudus itu adalah Allah di dalam Yesus Kristus. Roh Kuduslah yang membuat manusia itu dipersatukan dengan Kristus dan sebaliknya. Persekutuan dengan Kristus itu adalah realitas iman, tapi bukan sesuatu yang abstrak dan spiritual. Persekutuan dengan Kristus itu berwujud secara nyata dalam sakramen perjamuan kudus di mana manusia diundang ke tafelgemeenschap dengan Allah. Di sana mereka makan roti dan minum anggur yang adalah tubuh dan darah Kristus. Kesatuan dengan Kristus itu ditunjukan secara konkret dalam akta tadi: makan dan minum tubuh dan darah Kristus. Makan dan minum sesuatu artinya kita menjadikan makanan dan minuman itu menyatu dalam darah dan daging kita. Jadi dengan makan dan minum roti dan anggur yang adalah tubuh dan darah Kristus manusia menjadi satu dengan Kristus. Kedua, communio sanctorum didemonstrasikan dalam tafelgemeenschap yang pada sakramen perjamuan kudus tidak hanya mempersatukan 83 manusia dengan Yesus Kristus tetapi juga di antara semua saudara yang ambil bagian dalam tafelgemeenschap itu. Orang-orang yang berkumpul dalam sakramen perjamuan kudus adalah saudara dan saudari. Persaudaraan mereka terjadi di dalam dan diteguhkan oleh Kristus. Kesatuan masing-masing mereka dengan Kristus dan di antara masing-masing mereka merupakan persekutuan yang kokoh dan lestari. Dalam Roma 8:38-39 Paulus menegaskan bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita. Ini mengandaikan bahwa kasih, persekutuan dan persaudaraan di antara orang-orang kudus tidak berakhir. Kematian tidak membuat persekutuan dan kasih di antara mereka berhenti. Persekutuan orang kudus yang dimaksud dalam rumusan credo: communio sanctorum meliputi mereka yang hidup maupun yang mati. Yesus Kristus mengikat satukan mereka dalam persekutuan yang tak terpisahkan, persekutuan yang kudus. Di luar Kristus persekutuan mereka tetap ada tetapi tidak kudus karena terjadi semacam eksplotasi timbal-balik dari kedua pihak. Jadi adalah penting kita membawa hubungan kita dengan kekasih hati kita yang sudah meninggal untuk diteguhkan oleh hubungan kita dengan Kristus. 84