penggeledahan dalam keadaan mendesak

advertisement
PENGGELEDAHAN DALAM KEADAAN MENDESAK
Oleh : Dewa Putu Tagel
ABSTRACT
KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) merupakan suatu
produk hukum yang diharapkan dalam pelaksanaannya dapat menjamin adanya
kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dalam Pasal 7
KUHAP dinyatakan bahwa tugas dan wewenang penyidik adalah menerima laporan
atau pengaduan, menangkap, menahan, menggeledah, menyita, menyidik dan
mengadakan tindakan lain yang berdasarkan undang-undang.
Penggeledahan
adalah
tindakan penyidik atau perwakilannya
untuk
melakukan pemeriksaan baik terhadap badan dan pakaian seseorang maupun terhadap
kediaman seseorang. Untuk melakukan penggeledahan, penyidik harus mendapatkan
ijin dari Ketua Pengadilan Negeri. Tetapi, dalam hal keadaan yang sangat perlu dan
mendesak, penyidik dapat melakukan penggeledahan tanpa mendapatkan ijin terlebih
dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri. Hal ini sesuai dengan Pasal 34 KUHAP.
Apabila Ketua Pengadilan Negeri tidak memberikan persetujuan/ijin terhadap
penggeledahan yang telah dilakukan tersebut, maka tersangka atau keluarganya dapat
mengajukan tuntutan ganti rugi melalui praperadilan.
Penggeledahan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak yang
dilakukan oleh penyidik tidak semuanya berjalan lancar, adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi penggeledahan tersebut, antara lain : faktor hukum, faktor penegak
hukum, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan.
Key Words : Pasal 34 KUHAP, Penggeledahan, Penggeledahan Dalam
Keadaan Mendesak, Praperadilan.
ABSTRACT
KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) is a legal product that
is expected in the implementation to ensure legal certainty and the protection of
human rights. In Pasal 7 KUHAP stated that the duties and authority of the
investigator is to receive reports or complaints, arrest, detain, search, seize,
investigate and conduct other actions under the law.
The search of an investigator or a representative action is to do a good
inspection of the body and clothing of the person or person's residence. To perform a
search, the investigator must obtain permission from the Chairman of the District
Court. However, in the case of a state that is very necessary and urgent, investigators
can conduct a search without obtaining prior permission of the Chairman of the
District Court. This is in accordance with the Pasal 34 KUHAP. If the Chairman of
the District Court did not give consent / permission of the searches that have been
done, then the suspect or his family can file a claim for compensation through the
pretrial.
A search in a very necessary and urgent conducted by investigators not
everything is running smoothly, while the factors that influence the search, among
others: the factors of law, law enforcement factors, factor means or facilities,
community factors, and cultural factors.
Key Words: Pasal 34 KUHAP, The search, search of In Case of Urgent, Pre-Trial.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebagai negara hukum, Indonesia menjunjung hukum dan hak asasi manusia
yang menjamin warga negaranya berkedudukan sama dalam hukum dan
pemerintahan serta wajib menjunjung tinggi hukum tanpa kecuali. Konsekuensinya
adalah adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, dimana
tindakan
negara
dalam
arti
tindakan
aparatur
pemerintah
harus
dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum dan terpenuhinya peradilan yang bebas. Untuk
itu perlu didukung oleh penegak hukum yang berwibawa, jujur dan konsekuen.
Karenanya dipandang perlu untuk menelaah secara mendalam masalah-masalah dan
fakta-fakta serta cara-cara untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan
penegakkan hukum, penegak hukum dan kesadaran hukum.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan suatu
produk hukum dari hasil perjuangan dan perwujudan cita-cita bangsa Indonesia yang
diharapkan dalam pelaksanaannya dapat menjamin adanya kepastian hukum dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dalam Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana khususnya Pasal 7, dijelaskan bahwa tugas dan wewenang dari
penyidik adalah menerima laporan atau pengaduan, menangkap, menahan,
menggeledah, menyita, menyidik dan mengadakan tindakan lain yang berdasarkan
undang-undang.
Menurut
M.
Yahya
Harahap
(2003:249),
yang
dimaksud
dengan
“Penggeledahan adalah tindakan penyidik yang dibenarkan undang-undang untuk
memasuki dan melakukan pemeriksaan di rumah tempat kediaman seseorang atau
untuk melakukan pemeriksaan terhadap badan dan pakaian seseorang. Bahkan tidak
hanya melakukan pemeriksaan, tapi bisa juga sekaligus untuk melakukan
penangkapan dan penyitaan”.
Untuk melakukan penggeledahan rumah atau tempat tertutup atau
penggeledahan badan, maka penyidik harus sesuai dengan Ketentuan Pasal 33
KUHAP yang menyatakan bahwa :
(1) Dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat penyidik dalam
melakukan penyidikkan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang
diperlukan.
(2) Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas
kepolisian negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah.
(3) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal
tersangka atau penghuni menyetujuinya.
(4) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua
lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni
menolak atau tidak hadir.
(5) Dalam waktu dua hari setelah memasuki rumah dan atau menggeledah
rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada
pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan.
Adanya izin dari Ketua Pengadilan Negeri bertujuan untuk menjamin hak
asasi manusia atau seseorang atau rumah kediamannya. Apabila yang melakukan
penggeledahan
bukan
penyidik
sendiri,
maka
petugas
kepolisian
yang
melaksanakannya harus dapat menunjukkan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri
setempat, surat perintah dari penyidik, membawa dua orang saksi warga lingkungan
tersebut apabila pemilik menyetujuinya, apabila tidak disetujuinya maka harus
dengan membawa Kepala Desa atau Kepala Lingkungan setempat dan dua orang
saksi.
Dalam keadaan yang sangat perlu atau mendesak, penyidik dapat melakukan
penggeledahan tanpa mendapat surat izin terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan
Negeri. Hal ini sesuai dengan Pasal 34 ayat (1) yang menyatakan bahwa :
Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera
bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu,
dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan
penggeledahan :
a.
Pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada, dan
yang ada diatasnya.
b.
Pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam, atau ada.
c.
Di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya.
d.
Di tempat penginapan dan tempat umum lainnya.
Menurut penjelasan Pasal 34 ayat (1), yang dimaksud dengan :
“keadaan yang sangat perlu atau mendesak adalah bilamana di tempat yang hendak
digeledah diduga keras terdapat tersangka atau terdakwa yang patut dikhawatirkan
segera melarikan diri atau mengulangi tindak pidana atau benda yang dapat disita
dikhawatirkan segera dimusnahkan atau dipindahkan sedangkan surat izin dari Ketua
Pengadilan Negeri tidak mungkin diperoleh dengan cara yang layak dan dalam waktu
yang singkat”.
Dalam keadaan yang demikian penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau
menyita surat, buku dan tulisan baik yang tidak merupakan benda yang berhubungan
dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda atau surat yang berhubungan
atau disangka telah digunakan dalam tindak pidana tersebut. Untuk itu penyidik wajib
segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna memperoleh
persetujuan.
1.2. Rumusan Masalah
Adapaun permasalahan yang dibahas dalam karya tulis ini, yaitu :
1. Apakah yang dimaksud dengan Penggeledahan Dalam Keadaan Mendesak?
2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi penggeledahan dalam keadaan
mendesak?
3. Bagaimanakah akibat hukum dari penggeledahan dalam keadaan mendesak?
1.3. Tujuan dan Metodologi
Secara umum karya tulis ini bertujuan untuk memberikan gambaran dari
penggeledahan dalam keadaan mendesak. Untuk membahas permasalahan tersebut,
maka digunakan jenis penelitian hukum dengan aspek normatif dengan menggunakan
metode pendekatan peraturan perundang-undangan.
2.
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Penggeledahan
Pada dasarnya seseorang tidak boleh memasuki rumah dan menginjak
pekarangan orang lain atau mencari sesuatu yang tersembunyi di pakaian atau di
badan orang lain tanpa izin dari yang bersangkutan, karena hal tersebut bertentangan
dengan hak asasi manusia. Namun untuk kepentingan penyidikan, Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana memberikan kewenangan kepada penyidik untuk
memasuki tempat-tempat tertentu guna menemukan tersangka dan atau barang yang
tersangkut dalam suatu tindak pidana untuk dijadikan barang bukti. Dalam Hukum
Acara Pidana tindakan tersebut dikenal dengan istilah penggeledahan.
Pasal 32 KUHAP menyebutkan bahwa :
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau
penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan
dalam undang-undang ini.
Penyidikan dalam tahap penggeledahan merupakan tindakan yang dapat dan
segera dilakukan oleh penyidik jika terjadi atau jika ada persangkaan telah terjadi
tindak pidana. Dimana penyidikan ini dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan
bukti-bukti yang pada taraf pertama harus dapat memberikan keyakinan.
Menurut Pasal 1 KUHAP, penggeledahan meliputi penggeledahan rumah dan
penggeledahan badan. Pasal 1 angka (17) KUHAP menyatakan bahwa :
Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah
tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan
pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal menurut
cara yang diatur dalam undang-undang.
Sedangkan penggeledahan badan diatur dalam Pasal 1 angka (18) yang
bunyinya sebagai berikut :
Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan
pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang
diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta untuk disita.
Dengan demikian ditinjau dari segi hak asasi, tindakan penggeledahan
merupakan pelanggaran hak asasi manusia, yang melarang setiap orang untuk
mencampuri kehidupan pribadi, keluarga, dan tempat tinggal kediaman seseorang.
Akan tetapi oleh karena undang-undang telah membolehkannya, mau tidak mau hak
asasi tersebut dilanggar demi kepentingan penyelidikan atau pemeriksaan penyidikan
dalam rangka menegakkan hukum dan ketertiban masyarakat. Penggeledahan disini
bisa mempunyai arti antara lain tindakan penyidik yang dibenarkan undang-undang
untuk memasuki dan melakukan pemeriksaan dirumah tempat kediaman seseorang
atau untuk melakukan pemeriksaan terhadap badan dan pakaian seseorang.
Menurut C. Djisman Samosir (1985:41) bahwa “untuk kepentingan penyidik,
sehingga suatu perkara itu semakin jelas dengan ditemukan suatu barang bukti
melalui suatu penggeledahan”.
Disamping itu dapat pula dikemukakan pendapat Andi Hamzah (2001:138),
yang mengemukakan bahwa “Dalam peraturan perundang-undangan tersebut diatur
dalam hal-hal apa, menurut cara bagaimana dan pejabat mana saja yang dibolehkan
melakukan pemasukkan rumah atau penggeledahan itu. Menggeledah atau memasuki
rumah atau tempat kediaman orang dalam rangka menyidik suatu delik menurut
hukum acara pidana, harus dibatasi dan diatur secara cermat. Menggeledah rumah
atau tempat kediaman merupakan suatu usaha mencari kebenaran, untuk mengetahui
baik salah maupun tidak salahnya seseorang”.
Menurut M. Yahya Harahap (2003:249) bahwa “penggeledahan adalah
tindakan penyidik yang dibenarkan oleh undang-undang untuk memasuki dan
melakukan pemeriksaan rumah atau tempat kediaman seseorang dan untuk
melakukan pemeriksaan terhadap badan dan pakaian seseorang untuk kepentingan
penyidikan agar dapat ditemukan barang bukti dan atau tersangka”.
Dalam Pasal 33 ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa hanya penyidik atau
anggota kepolisian yang diperintah olehnya yang boleh melakukan penggeledahan
atau memasuki rumah orang, itupun dibatasi dengan ketentuan bahwa penggeledahan
rumah hanya dapat dilakukan atas izin Ketua Pengadilan Negeri. Diharuskan adanya
izin dalam hal melakukan penggeledahan adalah untuk menjamin hak asasi seseorang
atas kediaman atau tempat tinggalnya. Selain itu didalam melakukan penggeledahan
rumah harus dihadiri oleh dua orang saksi yang merupakan warga lingkungan
setempat. Tanpa dihadiri dan didampingi oleh saksi-saksi maka penggeledahan rumah
tersebut dianggap merupakan penggeledahan liar dan tidak sah. Ketentuan lain dalam
KUHAP ialah bahwa jika yang melakukan penggeledahan itu bukan penyidik sendiri,
maka petugas kepolisian yang diperintahkan melakukan penggeledahan itu harus
dapat menunjukkan surat izin Ketua Pengadilan Negeri juga surat perintah tertulis
dari penyidik. Perkecualian keharusan adanya izin Ketua Pengadilan Negeri itu diatur
dalam Pasal 34 KUHAP. Dalam Pasal 34 KUHAP disebutkan bahwa dalam keadaan
yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak
mungkin mendapatkan surat izin terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan
penggeledahan. Keadaan yang sangat perlu dan mendesak ialah bilamana tempat
yang akan digeledah diduga keras terdapat tersangka atau terdakwa yang patut
dikhawatirkan segera melarikan diri atau mengulangi tindak pidana atau benda yang
dapat disita dikhawatirkan segera dimusnahkan atau dipindahkan, sedangkan surat
izin Ketua Pengadilan Negeri tidak mungkin diperoleh dengan cara yang layak dan
dalam waktu yang singkat. Sehubungan dengan hal tersebut, de Pinto (dalam Andi
Amzah, 2001:141) menyebutkan bahwa : “dalam hal yang sangat perlu dan mendesak
ada terutama jika ada bahaya tersangka akan memusnahkan atau menghilangkan
surat-surat atau barang-barang bukti yang lain”.
Dari uraian diatas, maka menurut hemat penulis penggeledahan dalam
keadaan mendesak adalah tindakan penyidik yang dibenarkan oleh undang-undang
untuk memasuki dan melakukan pemeriksaan di rumah tempat kediaman seseorang
yang diduga keras terdapat tersangka atau terdakwa yang patut dikhawatirkan segera
melarikan diri atau mengulangi tindak pidana atau benda yang dapat disita
dikhawatirkan
segera
dimusnahkan
atau
dipindahkan.
Akan
tetapi
dalam
melaksanakan penggeledahan, penyidik wajib memerlukan izin/persetujuan dan
pengawasan Ketua Pengadilan Negeri. Izin/persetujuan itu diminta pada :
a.
Kalau keadaan penggeledahan secara biasa atau dalam keadaan normal,
penggeledahan baru dapat dilakukan penyidik setelah lebih dahulu
meminta izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Atas permintaan izin
tersebut,
Ketua
Pengadilan
Negeri
memberikan
surat
izin
penggeledahan.
b.
Dalam keadaan luar biasa dan mendesak, penyidik dapat melakukan
penggeledahan tanpa lebih dahulu mendapat surat izin dari Ketua
Pengadilan Negeri, namun segera sesudah penggeledahan penyidik
wajib
meminta
persetujuan
Ketua
Pengadilan
Negeri
yang
bersangkutan.
Disamping mendapatkan pengawasan dari Ketua Pengadilan Negeri, dalam
melakukan penggeledahan juga diperlukan adanya hubungan kerjasama dengan
pemilik tempat yang digeledah, dengan jalan mewajibkan penyidik memberikan
salinan berita acara penggeledahan kepada penghuni atau pemilik tempat yang
digeledah. Setiap penggeledahan harus disaksikan oleh dua orang saksi, atau dalam
keadaan penghuni atau pemilik rumah menolak tindakan penggeledahan, harus
disaksikan oleh kepala desa atau kepala lingkungan, ditambah dua orang saksi yang
harus ikut menyaksikan jalannya penggeledahan.
2.2
Dasar Hukum Penggeledahan
Pada dasarnya setiap anggota polisi yang bertugas dilapangan merupakan
penerjemah-penerjemah hukum yang hidup dan paling mudah ditemui oleh
masyarakat untuk menanyakan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
hukum. Hukum yang harus diterjemahkan oleh polisi tersebut ternyata jumlahnya
sangat banyak antara lain menerjemahkan hukum yang termuat dalam KUHAP.
Dalam KUHAP banyak dimuat tentang masalah wewenang penyidik antara lain :
wewenang menggeledah, menyita, menangkap dan wewenang mengadakan tindakan
lain yang tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.
Masyarakat mengharapkan setiap petugas penyidik mampu menerjemahkan pasalpasal yang tercantum dalam KUHAP yang berhubungan dengan petugas-petugas
penyidik.
Oleh sebab itu penegak hukum khususnya penyidik dalam melakukan
penggeledahan tidak bisa sewenang-wenang, akan tetapi pelaksanaan penggeledahan
tersebut harus didasari atau dilandasi oleh suatu peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Hal ini dimaksudkan supaya penegak hukum khususnya penyidik
menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia di dalam menjalankan tugasnya. Sehingga
akan dapat diciptakan atau diselenggarakannya negara hukum yang cukup mantap
dan berwibawa.
Pada hakekatnya secara yuridis penggeledahan diatur dalam KUHAP yaitu
Pasal 5, Pasal 7, Pasal 11, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37,
Pasal 75, Pasal 125, dan Pasal 126.
Disamping KUHAP, ada ketentuan
lain
yang
mengatur
mengenai
penggeledahan yakni Undang-undang Pokok Kepolisian Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2002 dalam Pasal 14 ayat (1) yang menyatakan bahwa : “Dalam melaksanakan
tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik
Indonesia bertugas : melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua
tindakan pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan peraturan perundangundangan lainnya”.
Ini berarti bahwa ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana
memberikan peranan utama kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
penyelidikan dan penyidikan sehingga secara umum diberi kewenangan untuk
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Namun
demikian, hal tersebut tetap memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan yang
dimiliki oleh penyidik lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar hukumnya masing-masing.
Mengenai penggeledahan juga diatur dalam beberapa peraturan yaitu pada
berbagai tindak pidana khusus antara lain : Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi
(UU Nomor 7 (drt) Tahun 1955), Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU Nomor 3 Tahun 1971), Undang-undang (pnps) tentang Pemberantasan
Kegiatan Subversi (UU Nomor 11 (pnps) Tahun 1963), Undang-undang Narkotika
(UU Nomor 22 Tahun 1997). Dalam undang-undang tersebut diatur tentang
penggeledahan seperti dalam ketentuan yang diatur dalam KUHAP, kecuali tentang
keharusan adanya izin Ketua Pengadilan Negeri yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat
(1) KUHAP. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut tidak diharuskan adanya
ijin seperti itu.
2.3
Tata Cara Penggeledahan
Penyidikan tindak pidana pada umumnya didahului dengan melakukan
penangkapan, pemeriksaan, penggeledahan dan penahanan orang-orang yang diduga
keras melakukan pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan, membuat berita
acara pemeriksaan perkara, serta mengajukan perkara tersebut kepada penuntut
umum. Menurut Pasal 6 KUHAP bahwa :
(1) Penyidik adalah :
a.
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus
oleh undang-undang.
(2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan
diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Agar seorang pejabat kepolisian dapat diberi jabatan sebagai penyidik, maka
pejabat kepolisian tersebut harus memenuhi syarat kepangkatan yang diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah yaitu PP Nomor 27 Tahun 1983. Kepangkatan
tersebut diatur dalam Pasal 2 PP Nomor 27 Tahun 1983 yang menyatakan bahwa :
(1) Penyidik adalah :
a.
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurangkurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi;
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang-kurangnya
berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b) atau yang
disamakan dengan itu.
(2) Dalam hal disuatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, maka Komandan Sektor
Kepolisian yang berpangkat bintara dibawah Pembantu Letnan Dua
Polisi, karena jabatannya adalah penyidik.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a ditunjuk oleh
Kepala Kepolisian Republik Indonesia sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku.
(4) Wewenang penunjukkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat
dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Penyidik sebagaimana diatur dalam ayat (1) huruf b diangkat oleh
Menteri atas usul dari Departemen yang membawahi Pegawai Negeri
tersebut, Menteri sebelum melaksanakan pengangkatan terlebih dahulu
mendengar pertimbangan Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia.
(6) Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dapat
dilimpahkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.
Meskipun
KUHAP
memberikan
wewenang kepada
penyidik
untuk
melakukan penggeledahan, penyidik tidak dapat melakukan tindakan tersebut dengan
sewenang-wenang, akan tetapi harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Hal ini
dimaksud untuk menjamin hak asasi manusia khususnya hak asasi tersangka pelaku
tindak pidana itu sendiri.
Mengenai kewajiban-kewajiban dari penyidik dapat dilihat dalam Pasal 7
KUHAP, yang menyatakan bahwa :
1.
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena
kewajibannya mempunyai wewenang :
a.
Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya
tindak pidana.
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.
c.
Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka.
d. Melakukan
penangkapan,
penahanan,
penggeledahan
dan
penyitaan.
e.
Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
f.
Mengambil sidik jari dan memotret seorang.
g.
Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi.
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara.
2.
i.
Mengadakan penghentian penyidikan.
j.
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b
mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi
dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya
berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf a.
3.
Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
Dari uraian tersebut diatas tampak apabila dikaitkan dengan proses
penyelesaian perkara pidana, khususnya fase penyidikan, maka penyidik memegang
peranan yang sangat penting, penyidikan merupakan tindakan awal permulaan dari
tindakan-tindakan dalam rangka proses penyelesaian suatu perkara pidana. Hal
tersebut perlu dipahami dan dijelaskan secara transparan agar di dalam pelaksanaan
kegiatan penyidikan maupun tugas dan fungsi penyidik jangan sampai keliru dan
kurang hati-hati, karena kegiatan penyidikan itu adalah kegiatan yang berkaitan
dengan hak-hak asasi manusia/tersangka.
Menurut Pasal 32 KUHAP menyatakan bahwa Penyidik dapat melakukan
penggeledahan rumah dan penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan
menurut tata cara yang ditentukan dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana. Ada
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan penggeledahan yaitu :
1.
Dalam hal penggeledahan rumah dan tempat lain
Rumah atau tempat tinggal termasuk di dalamnya pekarangan
merupakan tempat yang tidak boleh dimasuki orang tanpa ijin
pemiliknya, namun untuk kepentingan penyidikan, Pasal 33 KUHAP
memberikan ketentuan bahwa untuk melakukan penggeledahan rumah
guna kepentingan penyidikan, penyidik harus ada surat ijin dari Ketua
Pengadilan Negeri setempat. Surat ijin dari Ketua Pengadilan Negeri
tersebut dimaksudkan untuk menjamin hak asasi seseorang atas
kediamannya. Sehubungan dengan ketentuan-ketentuan tersebut diatas,
bila anggota penyidik dalam rangka penyidikan perkara perlu memasuki
atau menggeledah rumah atau pekarangan untuk mencari barang-barang
bukti, haruslah benar-benar memperhatikan ketentuan-ketentuan seperti
yang diatur dalam undang-undang.
Walaupun
wewenang
penyidik
untuk
menginjak
suatu
pekarangan tempat kediaman atau memasuki rumah untuk melakukan
penggeledahan tidak diatur secara mendetail dalam KUHAP, akan tetapi
berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang penyidik, penyidik pembantu,
penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat yang
terdapat dalam KUHAP, maka dapatlah dikemukakan beberapa
wewenang penyidik dalam melakukan penggeledahan rumah sebagai
berikut :
1. Penyidik berwenang memasuki halaman atau pekarangan rumah,
ruangan, tempat-tempat lainnya, seperti : penginapan, restaurant,
gedung dan lain-lain.
2. Penyidik berwenang memeriksa surat-surat atau tulisan-tulisan serta
benda-benda lainnya yang diduga keras ada hubungannya dengan
tindak pidana yang disangkakan, serta berwenang menyitanya.
3. Penyidik berwenang menangkap pemilik rumah atau tempat lain
untuk diperiksa lebih lanjut, jika dlam penggeledahan ditemukan
atau terdapat cukup bukti.
4. Penyidik berwenang melakukn penggeledahan rumah atau tempat
lain di luar daerah hukumnya, dengan syarat diketahui oleh
penyidik dari daerah hukum dimana penggeledahan tersebut
dilakukan.
Wewenang penggeledahan dibatasi pula oleh Pasal 34 ayat (2)
KUHAP, yang menyatakan bahwa dalam hal penyidik melakukan
penggeledahan, penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita
surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang
berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda
yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan atau yang
diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut. Hal
ini merupakan bentuk perlindungan hak asasi orang yaitu rahasia surat,
yang hanya dapat diterobos dalam keadaan luar biasa, yaitu dalam hal
surat itu berhubungan dengan tindak pidana tersebut, yang maksudnya
untuk mengetahui salah tidaknya seseorang.
Meskipun KUHAP memberikan kewenangan kepada penyidik
untuk melakukan penggeledahan, bukanlah berarti bahwa penyidik
dapat melakukan tindakan tersebut dengan sewenang-wenang. Akan
tetapi harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk
menjamin hak asasi manusia, khususnya hak asasi tersangka pelaku
tindak pidana itu sendiri.
Dengan demikian apabila suatu penggeledahan dilakukan tidak
berdasarkan ketentuan yang berlaku, maka pelaku penggeledahan dapat
dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 167 KUHP bagi orang-orang yang
biasa dan Pasal 429 KUHP bagi Pegawai Negeri dalam melakukan
pekerjaan jabatannya misalnya penyidik.
2.
Dalam hal penggeledahan pakaian dan badan
Pasal 37 KUHAP menentukan bahwa pada waktu menangkap
tersangka, penyidik hanya berwenang menggeledah pakaian termasuk
benda yang dibawanya serta apabila terdapat dugaan keras dengan
alasan yang cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang
dapat disita. Selanjutnya penyidik pada waktu menangkap tersangka
atau dalam hal tersangka setelah ditangkap oleh penyidik dibawa ke
penyidik, maka penyidik berwenang menggeledah pakaian dan atau
menggeledah badan tersangka.
Penggeledahan badan meliputi pemeriksaan seluruh rongga
badan dari tersangka, seperti : pemeriksaan seluruh rongga mulut,
rongga telinga, rongga hidung dan rongga-rongga lainnya, pada wanita
dilakukan oleh pejabat wanita. Dalam hal penyidik berpendapat perlu
dilakukan pemeriksaan rongga badan, penyidik minta bantuan kepada
pejabat kesehatan.
Pada umumnya penggeledahan pakaian atau badan dilakukan
pada saat tersangka pelaku tindak pidana ditangkap atau dihadapkan
kepada penyidik. Menurut R. Soesilo (1985:133) tujuan dilakukannya
penggeledahan pakaian dan atau badan tersangka adalah :
a.
Guna menjaga jangan sampai pada waktu orang lain itu dibawa
sekonyong-konyong mencabut senjatanya dan menyerang polisi.
b. Jangan sampai orang itu sekonyong-konyong membuang misalnya
barang yang habis dicuri untuk menghilangkan bukti atas
tertangkap tangan.
Penggeledahan pakaian dan atau badan dilakukan oleh petugas
kepolisian pada saat tertangkap tangan, wewenang penyidik untuk
melakukan penggeledahan lebih luas. Penyidik dapat melakukan
penggeledahan tanpa surat ijin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat,
juga tidak perlu disertai dengan surat perintah penggeledahan.
Walaupun penyidik berwenang melakukan penggeledahan badan
terhadap diri tersangka, namun tetap harus menjunjung tinggi pedoman
pelaksanaan mengenai praktek melakukan penggeledahan badan.
Adapun pedoman-pedoman tersebut adalah sebagai berikut :
1. Tidak boleh sekali-kali dilakukan dihadapan orang banyak.
2. Selalu harus diketahui oleh dua orang saksi.
3. Dari penggeledahan senantiasa harus dibuat berita acara.
4. Penggeledahan pada wanita hendaknya dilakukan oleh polisi
wanita, atau oleh wanita dengan disaksikan oleh seorang polisi (M.
Karjadi, 1976:112).
Jadi secara umum penyidik diberi wewenang untuk melakukan penyidikan
terhadap semua tindak pidana. Namun demikian, hal tersebut tetap memperhatikan
dan tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh penyidik lainnya.
2.4
Tujuan Penggeledahan Dalam Keadaan Mendesak
Setiap tindakan yang dilakukan oleh penyidik memiliki tujuan tertentu,
menurut M. Yahya Harahap (2003:249) bahwa “Penggeledahan yang dilakukan oleh
penyidik bertujuan untuk kepentingan penyelidikan dan atau penyidikan, agar dapat
dikumpulkan fakta dan bukti yang menyangkut suatu tindak pidana atau untuk
menangkap seseorang yang sedang berada di dalam rumah atau suatu tempat yang
diduga keras tersangka melakukan tindak pidana”.
Dalam proses penyelesaian perkara pidana, penyidik sering kali menjumpai
kesulitan dalam mencari dan mengumpulkan alat bukti maupun barang bukti tersebu.
Dimana
tersangka
atau
terdakwa
berusaha
semaksimal
mungkin
untuk
menghilangkan jejaknya, hal ini merupakan upaya yang dilakukan oleh tersangka
untuk menghindari tuntutan dari petugas yang berwenang. Mereka berusaha mencari
keselamatan dengan cara melarikan diri, atau mencari perlindungan pada orang yang
dianggap kuat melindunginya untuk menggagalkan tuntutan. Bahkan seringkali ada
usaha mempengaruhi dengan berbagai ancaman pada orang lain agar berbohong.
Mengingat hal tersebut, maka untuk menghindari diri dari kesulitan
pemeriksaan perkara bagi petugas hukum untuk mendapatkan keterangan dari orang
yang bersangkutan dan mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan dalam
pembuktian pada waktu persidangan, maka perlu ditempuh dengan jalan
memerintahkan kepada setiap orang yang dianggap perlu untuk tetap tinggal disuatu
tempat penggeledahan selama penggeledahan masih berlangsung dan untuk menarik
barang-barang dari penguasanya untuk diserahkan kepada petugas hukum yang
berwenang. Terhadap benda maka penyidik mempunyai kewenangan atas seijin
Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk melakukan penyitaan, penggeledahan rumah
dan memeriksa surat atau menyita buku, tulisan yang ada hubungannya dengan tindak
pidana yang disangka. Sedangkan terhadap tersangka, penyidik berwenang
melakukan penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan jika didapat benda atau
barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana dapat disita.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dikatakan bahwa penggeledahan dalam
keadaan mendesak mempunyai tujuan untuk :
a.
Mencari dan menemukan tersangka yang patut dikhawatirkan akan
melarikan diri atau mengulangi tindak pidana, dan
b.
Mencegah
atau
menghindari
hilangnya,
musnahnya
atau
dipindahtangankannya objek atau tujuan dari tindak pidana yang
dilakukan oleh tersangka.
Dengan demikian agar dapat dicapainya tujuan tersebut maka para penegak
hukum khususnya pejabat yang berwenang terpaksa mengekang, merampas hak asasi
tersangka baik berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan
pemeriksaan surat yang kesemuanya itu merupakan upaya untuk dapat ditemukannya
alat-alat bukti dalam proses pidana sesuai dengan undang-undang.
2.5
Pelaksanaan Penggeledahan Dalam Keadaan Mendesak
Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, bilamana penyidik harus
segera bertindak dan tidak mungkin untuk lebih dulu mendapatkan surat izin dari
Ketua Pengadilan Negeri, maka penyidik dapat langsung bertindak melakukan
penggeledahan. Akan tetapi, surat perintah penggeledahan diterbitkan dan
diberlakukan tanpa menunggu adanya surat izin/surat izin khusus dari Ketua
Pengadilan Negeri. Adapun tata cara pelaksanaan penggeledahan dalam keadaan
mendesak menurut M. Yahya Harahap (2003:256-257), yaitu antara lain :
1.
Penggeledahan dapat langsung dilaksanakan tanpa terlebih dahulu ada
izin Ketua Pengadilan Negeri.
2.
Dalam tempo paling lama 2 hari sesudah penggeledahan, penyidik
membuat berita acara yang berisi jalannya dan hasil penggeledahan :
a.
Berita acara dibacakan lebih dahulu kepada yang bersangkutan,
b. Kemudian diberi tanggal,
c.
Dan ditandatangani oleh penyidik maupun oleh tersangka dan
keluarganya,
d. Turunan berita acara disampaikan kepada pemilik atau penghuni
rumah yang bersangkutan.
3.
Kewajiban penyidik, segera melapor :
a.
Melaporkan penggeledahan yang telah dilakukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri, dan
b. Sekaligus dalam laporan tersebut, penyidik meminta persetujuan
Ketua Pengadilan Negeri atas penggeledahan yang telah dilakukan
dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak.
Ditinjau dari segi moral, adat istiadat dan agama, suatu masyarakat memberi
penghormatan tertentu terhadap beberapa tempat. Suatu tempat yang diistimewakan
masyarakat, dengan sendirinya menuntut perlakuan khusus yang perlu dijaga
kesuciannya. Apabila ditempat yang diistimewakan sedang berlangsung upacara
kegiatan, harus dijaga upacara tersebut agar jangan terganggu kekhidmatannya, maka
undang-undang melarang penyidik memasuki dan melakukan penggeledahan
didalamnya kecuali dalam hal tertangkap tangan. Selain daripada kejadian tertangkap
tangan, penyidik dilarang bertindak memasuki dan melakukan penggeledahan yang
dinyatakan dalam Pasal 35 KUHAP, yaitu pada saat :
a.
Ruang dimana sedang berlangsung sidang MPR, DPR atau DPRD.
b.
Tempat dimana sedang berlangsung ibadah atau upacara keagamaan,
dan
c.
Ruang dimana sedang berlangsung sidang pengadilan.
Ketiga tempat tersebut dilarang undang-undang untuk dimasuki penyidik pada
saat-saat tertentu yakni selama tempat itu sedang berlangsung acara kegiatan yang
sesuai dengan fungsi gedung atau acara diluar fungsi dan tugas badan serta tempat
tersebut, tidak ada larangan bagi penyidik untuk memasukinya. Atau jika dalam
keadaan tertangkap tangan penyidik dapat langsung masuk dan mengadakan
penggeledahan sekalipun di dalam ruangan tempat tersebut masih berlangsung acara
sidang atau peribadatan.
Penegakkan hukum merupakan penyerasian nilai-nilai, kaidah-kaidah, dan
pola prilaku atau sikap yang bertujuan untuk menegakkan keadilan. Masalah
penegakkan pokok dari penegakkan hukum secara umum terletak pada faktor-faktor
yang mempengaruhinya. Liliana Tedjosaputro menyatakan bahwa :
Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakkan hukum mempunyai arti netral,
sehingga dampak negatif atau positifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.
Menurut Soerjono Soekanto (2003:68) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum meliputi :
a.
Faktor hukum itu sendiri
b.
Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum
c.
Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan hukum
d.
Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan
e.
Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Faktor-faktor penegakkan hukum tersebut diatas, jika dikaitkan dengan
penggeledahan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, maka faktor-faktor
yang mempengaruhi dari pelaksanaan penggeledahan tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut :
a.
Faktor hukum
Setiap tindakan penyidik dalam melaksanakan tugasnya harus
sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku. Oleh karena itu,
diperlukan aturan hukum yang jelas dan sistematis untuk menunjang
kelancaran
tugasnya
tersebut,
khususnya
dalam
melaksanakan
penggeledahan.
Menurut M. Yahya Harahap (2003:248) bahwa penyusunan
pengaturan bab dan pasal-pasal permasalahan penggeledahan dalam
KUHAP kurang sistematis, sehingga bagi yang kurang teliti
kemungkinan besar kurang serasi mengaitkan dalam penerapannya.
Sebagian besar pasal-pasalnya terdapat pada Bab V Bagian Ketiga yang
dituangkan dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 37 dan Bab XIV
(Penyidikan) Bagian Kedua seperti yang dirumuskan dalam Pasal 125
sampai dengan Pasal 127.
lebih lanjut dikatakan bahwa penilaian keadaan yang sangat
perlu dan mendesak lebih dititik beratkan kepada penilaian subjektif
penyidik,
terutama
sepanjang
mengenai
pengertian
“patut
dikhawatirkan”. Membuat ukuran umum atas kekhawatiran tidak
mungkin, karena pengertian kekhawatiran erat hubungannya dengan
perasaan seseorang, penilaian kekhawatiran dalam praktek penegakkan
hukum banyak ditentukan oleh subjektivitas penyidik (M. Yahya
Harahap, 2003:255).
Dari
pernyataan diatas
terlihat bahwa dalam
peraturan
perundang-undangan, dalam hal ini adalah KUHAP khususnya masalah
penggeledahan disusun kurang sistematis, serta adanya penafsiran yang
beraneka ragam tentang “kekhawatiran”. Dimana kekhawatiran lebih
menekankan perasaan seseorang terhadap sesuatu hal atau kondisi.
b.
Faktor penegak hukum
Penegak hukum mempunyai peranan yang sangat penting dalam
penegakkan hukum, karena penegak hukum mempunyai hak dan
kewajiban menegakkan dan mengawasi agar fungsi hukum itu dapat
tercapai. Untuk itu penegak hukum harus memiliki mental yang kuat
disamping memiliki pengetahuan dan kemampuan yang tinggi untuk
mendukung pelaksanaan tugasnya.
Menurut M. Yahya Harahap (2003:61) bahwa suatu gerak
pembaruan hukum yang tidak dibarengi dengan peningkatan pembinaan
aparatnya, mengakibatkan hukum yang diperbarui tidak berarti apa-apa.
Kebaikan, kebagusan dan kesempurnaan hukum acara pidana sangat
ditentukan oleh baik buruknya mental aparat pelaksanaannya.
Seorang penyidik yang berjiwa sehat akan dapat mengontrol
segala perbuatan yang dilakukannya dan dapat membedakan atau
memilih serta dapat mengklasifikasikan tindakan-tindakan yang harus,
boleh dan tidak boleh ia lakukan.
Dalam melakukan penggeledahan, penyidik harus memiliki
persyaratan-persyaratan baik secara yuridis maupun kwalitasnya. Secara
yuridis berarti mereka harus memenuhi syarat-syarat kepangkatan
minimal yang telah ditentukan di dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.
Sedangkan secara kwalitas berarti harus memiliki pengetahuan umum
yang luas, penguasaan Undang-undang, memiliki kemampuan taktik dan
teknik Reserse, serta harus memenuhi persyaratan fisik dan mental.
c.
Faktor sarana atau fasilitas
Mengenai
pentingnya
faktor
fasilitas
dalam
proses
penggeledahan, menurut Soerjono Soekanto (1983:32) menyatakan
bahwa “Fasilitas dapat dirumuskan sebagai sarana untuk mencapai
tujuan. Ruang lingkupnya terutama adalah sarana fisik yang berfungsi
sebagai faktor pendukung”.
Selaras dengan ilmu pengetahuan dan teknologi maka kwalitas
dan kwantitas kejahatan semakin meningkat. Tanpa adanya fasilitas
yang memadai sudah barang tentu proses penegakkan hukum pidana
tidak akan berjalan dengan lancar.
d.
Faktor masyarakat
Penggeledahan dapat dilaksanakan apabila terdapat dua orang
saksi yang berasal dari lingkungan tempat penggeledahan tersebut, hal
ini sesuai dengan Pasal 33 KUHAP bahwa “yang dimaksud dua orang
saksi adalah warga dari lingkungan yang bersangkutan”.
Oleh karena itu, warga masyarakat pada tempat penggeledahan
merupakan salah satu unsur dari penggeledahan tersebut, akan tetapi
kadangkala masyarakat enggan untuk dijadikan saksi dengan alasan jika
menjadi saksi akan banyak biaya yang harus dikeluarkan dan akan
menyita waktu karena harus memenuhi panggilan petugas untuk
dimintai keterangan.
Dengan tidak adanya saksi tentunya penggeledahan tidak dapat
dilakukan mengingat keberadaan saksi sangat penting disamping untuk
mencegah terjadinya penyangkalan tersangka atas barang bukti yang
ditemukan dari proses penggeledahan yang dimaksud.
2.6
Akibat Hukum dari Penggeledahan
Menurut M. Yahya Harahap (2003:258) bahwa “Apabila Ketua Pengadilan
Negeri tidak bersedia memberikan persetujuan, hal ini merupakan isyarat bagi
tersangka atau keluarganya bahwa penggeledahan yang dilakukan penyidik tidak
menurut hukum. Untuk itu tersangka dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada
praperadilan”. Selanjutnya M. Yahya Harahap (2003:258) menjelaskan bahwa
“Penolakkan Ketua Pengadilan Negeri untuk memberikan persetujuan atas
penggeledahan tersebut, kemungkinan disebabkan ada perbedaan pendapat antara
penyidik dengan Ketua Pengadilan Negeri dalam menilai keadaan yang sangat perlu
dan mendesak”.
Dalam hal ini sangat diperlukan keberanian moral dari Ketua Pengadilan
Negeri untuk menilai dengan objektif dan saksama laporan dan permintaan
persetujuan serta untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan penggeledahan
dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak. Apabila setiap penggeledahan dalam
keadaan sangat perlu dan mendesak selalu disetujui oleh Ketua Peradilan Negeri
tanpa menilai laporan dan permintaan persetujuan tersebut, maka penyidik akan
selalu menggunakan Pasal 34 tersebut untuk melakukan penggeledahan tanpa harus
menunggu izin dari Ketua Pengadilan Negeri.
3.
Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.
Yang dimaksud dengan penggeledahan dalam keadaan mendesak adalah
tindakan penyidik yang dibenarkan undang-undang untuk memasuki rumah
atau melakukan penggeledahan dimana tempat yang hendak digeledah
diduga keras terdapat tersangka yang patut dikhawatirkan melarikan diri atau
mengulangi tindak pidana atau benda yang dapat disita dikhawatirkan
dihilangkan atau dimusnahkan atau dipindahtangankan, sedangkan surat ijin
Ketua Pengadilan Negeri tidak mungkin didapat dalam waktu yang singkat.
2.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penggeledahan dalam
keadaan mendesak dalam rangka mengungkap suatu tindak pidana, yaitu :
3.
a.
Faktor peraturan perundang-undangan
b.
Faktor aparat penegak hukum
c.
Faktor sarana atau fasilitas
d.
Faktor masyarakat
Penolakkan
persetujuan
oleh
Ketua
Pengadilan
Negeri
terhadap
penggeledahan yang telah dilakukan oleh penyidik terjadi akibat perbedaan
penilaian dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak antara penyidik
dengan Ketua Pengadilan Negeri, akibatnya penggeledahan tersebut tidak
sesuai dengan hukum. Dalam hal ini, pihak yang dikenakan penggeledahan
tersebut dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian melalui praperadilan.
4.
Daftar Pustaka
Djisman Samosir, C., Hukum Acara Pidana Dalam Perbandingan, Cetakan
Pertama, Bina Cipta, 1985.
Hamzah Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Sinar Grafika,
Cetakan Pertama, Jakarta, September 2001.
Gumilang, A., Kriminalistik : Pengetahuan Tentang Teknik dan Taktik
Penyidikan, Angkasa, Bandung, 1993.
Karjadi, M., Tindakan dan Penyidikan Pertama Di Tempat Kejadian, Politea,
Bogor, 1971.
, Polisi, Politeia, Bogor, 1976.
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Polri
di Lapangan, CV. Tamita Utama, Jakarta, 2000.
, Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara Polri di Lapangan, Mabes
Polri Lembaga Pendidikan Dan Latihan, Jakarta, 2003.
Rahardjo, Satjipto, Masalah Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan Sosiologis,
Sinar Baru, Bandung, 1983.
Sitompul, DMP., Polisi dan Penangkapan, Transito, Bandung, 1985.
Soedjono D., Pemeriksaan Pendahuluan Menurut KUHAP, Penerbit Alumni,
Bandung, 1985.
Soekanto, Soerjono, Penegak Hukum, Bina Cipta, Bandung, 1984.
, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali,
Jakarta, 1983.
, Peningkatan Wibawa Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan SosioYuridis, Variasi Peradilan Tahun III No. 28, Bandung, 1988.
Soekanto Soerjono, Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dan Masyarakat, CV.
Rajawali, 1980.
Soesilo R., Taktik dan Teknik Penyidikan Perkara Kriminal, Politeia, Bogor,
1985.
, Kriminalistik : Ilmu Penyidikan Kejahatan, Politeia, Bogor, 1992.
Subanyak F.S., Prakarsa Sumitro L.S., Danu Redjo, Beberapa Pemikiran Kearah
Pemantapan Penegakan Hukum, IND, Hill Co., 1985.
Tedjosaputro Liliana, Etika Profesi dan Profesi Hukum, CV. Aneka Ilmu,
Semarang, 2003.
Yahya Harahap M., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP :
Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2003.
Download