PENGGELEDAHAN DALAM KEADAAN MENDESAK Oleh : Dewa Putu Tagel ABSTRACT KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) merupakan suatu produk hukum yang diharapkan dalam pelaksanaannya dapat menjamin adanya kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dalam Pasal 7 KUHAP dinyatakan bahwa tugas dan wewenang penyidik adalah menerima laporan atau pengaduan, menangkap, menahan, menggeledah, menyita, menyidik dan mengadakan tindakan lain yang berdasarkan undang-undang. Penggeledahan adalah tindakan penyidik atau perwakilannya untuk melakukan pemeriksaan baik terhadap badan dan pakaian seseorang maupun terhadap kediaman seseorang. Untuk melakukan penggeledahan, penyidik harus mendapatkan ijin dari Ketua Pengadilan Negeri. Tetapi, dalam hal keadaan yang sangat perlu dan mendesak, penyidik dapat melakukan penggeledahan tanpa mendapatkan ijin terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri. Hal ini sesuai dengan Pasal 34 KUHAP. Apabila Ketua Pengadilan Negeri tidak memberikan persetujuan/ijin terhadap penggeledahan yang telah dilakukan tersebut, maka tersangka atau keluarganya dapat mengajukan tuntutan ganti rugi melalui praperadilan. Penggeledahan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak yang dilakukan oleh penyidik tidak semuanya berjalan lancar, adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penggeledahan tersebut, antara lain : faktor hukum, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan. Key Words : Pasal 34 KUHAP, Penggeledahan, Penggeledahan Dalam Keadaan Mendesak, Praperadilan. ABSTRACT KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) is a legal product that is expected in the implementation to ensure legal certainty and the protection of human rights. In Pasal 7 KUHAP stated that the duties and authority of the investigator is to receive reports or complaints, arrest, detain, search, seize, investigate and conduct other actions under the law. The search of an investigator or a representative action is to do a good inspection of the body and clothing of the person or person's residence. To perform a search, the investigator must obtain permission from the Chairman of the District Court. However, in the case of a state that is very necessary and urgent, investigators can conduct a search without obtaining prior permission of the Chairman of the District Court. This is in accordance with the Pasal 34 KUHAP. If the Chairman of the District Court did not give consent / permission of the searches that have been done, then the suspect or his family can file a claim for compensation through the pretrial. A search in a very necessary and urgent conducted by investigators not everything is running smoothly, while the factors that influence the search, among others: the factors of law, law enforcement factors, factor means or facilities, community factors, and cultural factors. Key Words: Pasal 34 KUHAP, The search, search of In Case of Urgent, Pre-Trial. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara hukum, Indonesia menjunjung hukum dan hak asasi manusia yang menjamin warga negaranya berkedudukan sama dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung tinggi hukum tanpa kecuali. Konsekuensinya adalah adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, dimana tindakan negara dalam arti tindakan aparatur pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan terpenuhinya peradilan yang bebas. Untuk itu perlu didukung oleh penegak hukum yang berwibawa, jujur dan konsekuen. Karenanya dipandang perlu untuk menelaah secara mendalam masalah-masalah dan fakta-fakta serta cara-cara untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan penegakkan hukum, penegak hukum dan kesadaran hukum. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan suatu produk hukum dari hasil perjuangan dan perwujudan cita-cita bangsa Indonesia yang diharapkan dalam pelaksanaannya dapat menjamin adanya kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana khususnya Pasal 7, dijelaskan bahwa tugas dan wewenang dari penyidik adalah menerima laporan atau pengaduan, menangkap, menahan, menggeledah, menyita, menyidik dan mengadakan tindakan lain yang berdasarkan undang-undang. Menurut M. Yahya Harahap (2003:249), yang dimaksud dengan “Penggeledahan adalah tindakan penyidik yang dibenarkan undang-undang untuk memasuki dan melakukan pemeriksaan di rumah tempat kediaman seseorang atau untuk melakukan pemeriksaan terhadap badan dan pakaian seseorang. Bahkan tidak hanya melakukan pemeriksaan, tapi bisa juga sekaligus untuk melakukan penangkapan dan penyitaan”. Untuk melakukan penggeledahan rumah atau tempat tertutup atau penggeledahan badan, maka penyidik harus sesuai dengan Ketentuan Pasal 33 KUHAP yang menyatakan bahwa : (1) Dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikkan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan. (2) Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah. (3) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya. (4) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir. (5) Dalam waktu dua hari setelah memasuki rumah dan atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan. Adanya izin dari Ketua Pengadilan Negeri bertujuan untuk menjamin hak asasi manusia atau seseorang atau rumah kediamannya. Apabila yang melakukan penggeledahan bukan penyidik sendiri, maka petugas kepolisian yang melaksanakannya harus dapat menunjukkan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, surat perintah dari penyidik, membawa dua orang saksi warga lingkungan tersebut apabila pemilik menyetujuinya, apabila tidak disetujuinya maka harus dengan membawa Kepala Desa atau Kepala Lingkungan setempat dan dua orang saksi. Dalam keadaan yang sangat perlu atau mendesak, penyidik dapat melakukan penggeledahan tanpa mendapat surat izin terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri. Hal ini sesuai dengan Pasal 34 ayat (1) yang menyatakan bahwa : Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan : a. Pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada, dan yang ada diatasnya. b. Pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam, atau ada. c. Di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya. d. Di tempat penginapan dan tempat umum lainnya. Menurut penjelasan Pasal 34 ayat (1), yang dimaksud dengan : “keadaan yang sangat perlu atau mendesak adalah bilamana di tempat yang hendak digeledah diduga keras terdapat tersangka atau terdakwa yang patut dikhawatirkan segera melarikan diri atau mengulangi tindak pidana atau benda yang dapat disita dikhawatirkan segera dimusnahkan atau dipindahkan sedangkan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri tidak mungkin diperoleh dengan cara yang layak dan dalam waktu yang singkat”. Dalam keadaan yang demikian penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan baik yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda atau surat yang berhubungan atau disangka telah digunakan dalam tindak pidana tersebut. Untuk itu penyidik wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna memperoleh persetujuan. 1.2. Rumusan Masalah Adapaun permasalahan yang dibahas dalam karya tulis ini, yaitu : 1. Apakah yang dimaksud dengan Penggeledahan Dalam Keadaan Mendesak? 2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi penggeledahan dalam keadaan mendesak? 3. Bagaimanakah akibat hukum dari penggeledahan dalam keadaan mendesak? 1.3. Tujuan dan Metodologi Secara umum karya tulis ini bertujuan untuk memberikan gambaran dari penggeledahan dalam keadaan mendesak. Untuk membahas permasalahan tersebut, maka digunakan jenis penelitian hukum dengan aspek normatif dengan menggunakan metode pendekatan peraturan perundang-undangan. 2. PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Penggeledahan Pada dasarnya seseorang tidak boleh memasuki rumah dan menginjak pekarangan orang lain atau mencari sesuatu yang tersembunyi di pakaian atau di badan orang lain tanpa izin dari yang bersangkutan, karena hal tersebut bertentangan dengan hak asasi manusia. Namun untuk kepentingan penyidikan, Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana memberikan kewenangan kepada penyidik untuk memasuki tempat-tempat tertentu guna menemukan tersangka dan atau barang yang tersangkut dalam suatu tindak pidana untuk dijadikan barang bukti. Dalam Hukum Acara Pidana tindakan tersebut dikenal dengan istilah penggeledahan. Pasal 32 KUHAP menyebutkan bahwa : Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini. Penyidikan dalam tahap penggeledahan merupakan tindakan yang dapat dan segera dilakukan oleh penyidik jika terjadi atau jika ada persangkaan telah terjadi tindak pidana. Dimana penyidikan ini dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang pada taraf pertama harus dapat memberikan keyakinan. Menurut Pasal 1 KUHAP, penggeledahan meliputi penggeledahan rumah dan penggeledahan badan. Pasal 1 angka (17) KUHAP menyatakan bahwa : Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Sedangkan penggeledahan badan diatur dalam Pasal 1 angka (18) yang bunyinya sebagai berikut : Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta untuk disita. Dengan demikian ditinjau dari segi hak asasi, tindakan penggeledahan merupakan pelanggaran hak asasi manusia, yang melarang setiap orang untuk mencampuri kehidupan pribadi, keluarga, dan tempat tinggal kediaman seseorang. Akan tetapi oleh karena undang-undang telah membolehkannya, mau tidak mau hak asasi tersebut dilanggar demi kepentingan penyelidikan atau pemeriksaan penyidikan dalam rangka menegakkan hukum dan ketertiban masyarakat. Penggeledahan disini bisa mempunyai arti antara lain tindakan penyidik yang dibenarkan undang-undang untuk memasuki dan melakukan pemeriksaan dirumah tempat kediaman seseorang atau untuk melakukan pemeriksaan terhadap badan dan pakaian seseorang. Menurut C. Djisman Samosir (1985:41) bahwa “untuk kepentingan penyidik, sehingga suatu perkara itu semakin jelas dengan ditemukan suatu barang bukti melalui suatu penggeledahan”. Disamping itu dapat pula dikemukakan pendapat Andi Hamzah (2001:138), yang mengemukakan bahwa “Dalam peraturan perundang-undangan tersebut diatur dalam hal-hal apa, menurut cara bagaimana dan pejabat mana saja yang dibolehkan melakukan pemasukkan rumah atau penggeledahan itu. Menggeledah atau memasuki rumah atau tempat kediaman orang dalam rangka menyidik suatu delik menurut hukum acara pidana, harus dibatasi dan diatur secara cermat. Menggeledah rumah atau tempat kediaman merupakan suatu usaha mencari kebenaran, untuk mengetahui baik salah maupun tidak salahnya seseorang”. Menurut M. Yahya Harahap (2003:249) bahwa “penggeledahan adalah tindakan penyidik yang dibenarkan oleh undang-undang untuk memasuki dan melakukan pemeriksaan rumah atau tempat kediaman seseorang dan untuk melakukan pemeriksaan terhadap badan dan pakaian seseorang untuk kepentingan penyidikan agar dapat ditemukan barang bukti dan atau tersangka”. Dalam Pasal 33 ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa hanya penyidik atau anggota kepolisian yang diperintah olehnya yang boleh melakukan penggeledahan atau memasuki rumah orang, itupun dibatasi dengan ketentuan bahwa penggeledahan rumah hanya dapat dilakukan atas izin Ketua Pengadilan Negeri. Diharuskan adanya izin dalam hal melakukan penggeledahan adalah untuk menjamin hak asasi seseorang atas kediaman atau tempat tinggalnya. Selain itu didalam melakukan penggeledahan rumah harus dihadiri oleh dua orang saksi yang merupakan warga lingkungan setempat. Tanpa dihadiri dan didampingi oleh saksi-saksi maka penggeledahan rumah tersebut dianggap merupakan penggeledahan liar dan tidak sah. Ketentuan lain dalam KUHAP ialah bahwa jika yang melakukan penggeledahan itu bukan penyidik sendiri, maka petugas kepolisian yang diperintahkan melakukan penggeledahan itu harus dapat menunjukkan surat izin Ketua Pengadilan Negeri juga surat perintah tertulis dari penyidik. Perkecualian keharusan adanya izin Ketua Pengadilan Negeri itu diatur dalam Pasal 34 KUHAP. Dalam Pasal 34 KUHAP disebutkan bahwa dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin mendapatkan surat izin terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan penggeledahan. Keadaan yang sangat perlu dan mendesak ialah bilamana tempat yang akan digeledah diduga keras terdapat tersangka atau terdakwa yang patut dikhawatirkan segera melarikan diri atau mengulangi tindak pidana atau benda yang dapat disita dikhawatirkan segera dimusnahkan atau dipindahkan, sedangkan surat izin Ketua Pengadilan Negeri tidak mungkin diperoleh dengan cara yang layak dan dalam waktu yang singkat. Sehubungan dengan hal tersebut, de Pinto (dalam Andi Amzah, 2001:141) menyebutkan bahwa : “dalam hal yang sangat perlu dan mendesak ada terutama jika ada bahaya tersangka akan memusnahkan atau menghilangkan surat-surat atau barang-barang bukti yang lain”. Dari uraian diatas, maka menurut hemat penulis penggeledahan dalam keadaan mendesak adalah tindakan penyidik yang dibenarkan oleh undang-undang untuk memasuki dan melakukan pemeriksaan di rumah tempat kediaman seseorang yang diduga keras terdapat tersangka atau terdakwa yang patut dikhawatirkan segera melarikan diri atau mengulangi tindak pidana atau benda yang dapat disita dikhawatirkan segera dimusnahkan atau dipindahkan. Akan tetapi dalam melaksanakan penggeledahan, penyidik wajib memerlukan izin/persetujuan dan pengawasan Ketua Pengadilan Negeri. Izin/persetujuan itu diminta pada : a. Kalau keadaan penggeledahan secara biasa atau dalam keadaan normal, penggeledahan baru dapat dilakukan penyidik setelah lebih dahulu meminta izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Atas permintaan izin tersebut, Ketua Pengadilan Negeri memberikan surat izin penggeledahan. b. Dalam keadaan luar biasa dan mendesak, penyidik dapat melakukan penggeledahan tanpa lebih dahulu mendapat surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri, namun segera sesudah penggeledahan penyidik wajib meminta persetujuan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Disamping mendapatkan pengawasan dari Ketua Pengadilan Negeri, dalam melakukan penggeledahan juga diperlukan adanya hubungan kerjasama dengan pemilik tempat yang digeledah, dengan jalan mewajibkan penyidik memberikan salinan berita acara penggeledahan kepada penghuni atau pemilik tempat yang digeledah. Setiap penggeledahan harus disaksikan oleh dua orang saksi, atau dalam keadaan penghuni atau pemilik rumah menolak tindakan penggeledahan, harus disaksikan oleh kepala desa atau kepala lingkungan, ditambah dua orang saksi yang harus ikut menyaksikan jalannya penggeledahan. 2.2 Dasar Hukum Penggeledahan Pada dasarnya setiap anggota polisi yang bertugas dilapangan merupakan penerjemah-penerjemah hukum yang hidup dan paling mudah ditemui oleh masyarakat untuk menanyakan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum. Hukum yang harus diterjemahkan oleh polisi tersebut ternyata jumlahnya sangat banyak antara lain menerjemahkan hukum yang termuat dalam KUHAP. Dalam KUHAP banyak dimuat tentang masalah wewenang penyidik antara lain : wewenang menggeledah, menyita, menangkap dan wewenang mengadakan tindakan lain yang tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Masyarakat mengharapkan setiap petugas penyidik mampu menerjemahkan pasalpasal yang tercantum dalam KUHAP yang berhubungan dengan petugas-petugas penyidik. Oleh sebab itu penegak hukum khususnya penyidik dalam melakukan penggeledahan tidak bisa sewenang-wenang, akan tetapi pelaksanaan penggeledahan tersebut harus didasari atau dilandasi oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan supaya penegak hukum khususnya penyidik menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia di dalam menjalankan tugasnya. Sehingga akan dapat diciptakan atau diselenggarakannya negara hukum yang cukup mantap dan berwibawa. Pada hakekatnya secara yuridis penggeledahan diatur dalam KUHAP yaitu Pasal 5, Pasal 7, Pasal 11, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 75, Pasal 125, dan Pasal 126. Disamping KUHAP, ada ketentuan lain yang mengatur mengenai penggeledahan yakni Undang-undang Pokok Kepolisian Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 dalam Pasal 14 ayat (1) yang menyatakan bahwa : “Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas : melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindakan pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan peraturan perundangundangan lainnya”. Ini berarti bahwa ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana memberikan peranan utama kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam penyelidikan dan penyidikan sehingga secara umum diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Namun demikian, hal tersebut tetap memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh penyidik lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Mengenai penggeledahan juga diatur dalam beberapa peraturan yaitu pada berbagai tindak pidana khusus antara lain : Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi (UU Nomor 7 (drt) Tahun 1955), Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 3 Tahun 1971), Undang-undang (pnps) tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi (UU Nomor 11 (pnps) Tahun 1963), Undang-undang Narkotika (UU Nomor 22 Tahun 1997). Dalam undang-undang tersebut diatur tentang penggeledahan seperti dalam ketentuan yang diatur dalam KUHAP, kecuali tentang keharusan adanya izin Ketua Pengadilan Negeri yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat (1) KUHAP. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut tidak diharuskan adanya ijin seperti itu. 2.3 Tata Cara Penggeledahan Penyidikan tindak pidana pada umumnya didahului dengan melakukan penangkapan, pemeriksaan, penggeledahan dan penahanan orang-orang yang diduga keras melakukan pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan, membuat berita acara pemeriksaan perkara, serta mengajukan perkara tersebut kepada penuntut umum. Menurut Pasal 6 KUHAP bahwa : (1) Penyidik adalah : a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. (2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Agar seorang pejabat kepolisian dapat diberi jabatan sebagai penyidik, maka pejabat kepolisian tersebut harus memenuhi syarat kepangkatan yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah yaitu PP Nomor 27 Tahun 1983. Kepangkatan tersebut diatur dalam Pasal 2 PP Nomor 27 Tahun 1983 yang menyatakan bahwa : (1) Penyidik adalah : a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurangkurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi; b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b) atau yang disamakan dengan itu. (2) Dalam hal disuatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, maka Komandan Sektor Kepolisian yang berpangkat bintara dibawah Pembantu Letnan Dua Polisi, karena jabatannya adalah penyidik. (3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. (4) Wewenang penunjukkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (5) Penyidik sebagaimana diatur dalam ayat (1) huruf b diangkat oleh Menteri atas usul dari Departemen yang membawahi Pegawai Negeri tersebut, Menteri sebelum melaksanakan pengangkatan terlebih dahulu mendengar pertimbangan Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. (6) Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dapat dilimpahkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. Meskipun KUHAP memberikan wewenang kepada penyidik untuk melakukan penggeledahan, penyidik tidak dapat melakukan tindakan tersebut dengan sewenang-wenang, akan tetapi harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Hal ini dimaksud untuk menjamin hak asasi manusia khususnya hak asasi tersangka pelaku tindak pidana itu sendiri. Mengenai kewajiban-kewajiban dari penyidik dapat dilihat dalam Pasal 7 KUHAP, yang menyatakan bahwa : 1. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang : a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana. b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian. c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka. d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat. f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang. g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi. h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara. 2. i. Mengadakan penghentian penyidikan. j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a. 3. Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Dari uraian tersebut diatas tampak apabila dikaitkan dengan proses penyelesaian perkara pidana, khususnya fase penyidikan, maka penyidik memegang peranan yang sangat penting, penyidikan merupakan tindakan awal permulaan dari tindakan-tindakan dalam rangka proses penyelesaian suatu perkara pidana. Hal tersebut perlu dipahami dan dijelaskan secara transparan agar di dalam pelaksanaan kegiatan penyidikan maupun tugas dan fungsi penyidik jangan sampai keliru dan kurang hati-hati, karena kegiatan penyidikan itu adalah kegiatan yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia/tersangka. Menurut Pasal 32 KUHAP menyatakan bahwa Penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah dan penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan penggeledahan yaitu : 1. Dalam hal penggeledahan rumah dan tempat lain Rumah atau tempat tinggal termasuk di dalamnya pekarangan merupakan tempat yang tidak boleh dimasuki orang tanpa ijin pemiliknya, namun untuk kepentingan penyidikan, Pasal 33 KUHAP memberikan ketentuan bahwa untuk melakukan penggeledahan rumah guna kepentingan penyidikan, penyidik harus ada surat ijin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. Surat ijin dari Ketua Pengadilan Negeri tersebut dimaksudkan untuk menjamin hak asasi seseorang atas kediamannya. Sehubungan dengan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, bila anggota penyidik dalam rangka penyidikan perkara perlu memasuki atau menggeledah rumah atau pekarangan untuk mencari barang-barang bukti, haruslah benar-benar memperhatikan ketentuan-ketentuan seperti yang diatur dalam undang-undang. Walaupun wewenang penyidik untuk menginjak suatu pekarangan tempat kediaman atau memasuki rumah untuk melakukan penggeledahan tidak diatur secara mendetail dalam KUHAP, akan tetapi berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang penyidik, penyidik pembantu, penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat yang terdapat dalam KUHAP, maka dapatlah dikemukakan beberapa wewenang penyidik dalam melakukan penggeledahan rumah sebagai berikut : 1. Penyidik berwenang memasuki halaman atau pekarangan rumah, ruangan, tempat-tempat lainnya, seperti : penginapan, restaurant, gedung dan lain-lain. 2. Penyidik berwenang memeriksa surat-surat atau tulisan-tulisan serta benda-benda lainnya yang diduga keras ada hubungannya dengan tindak pidana yang disangkakan, serta berwenang menyitanya. 3. Penyidik berwenang menangkap pemilik rumah atau tempat lain untuk diperiksa lebih lanjut, jika dlam penggeledahan ditemukan atau terdapat cukup bukti. 4. Penyidik berwenang melakukn penggeledahan rumah atau tempat lain di luar daerah hukumnya, dengan syarat diketahui oleh penyidik dari daerah hukum dimana penggeledahan tersebut dilakukan. Wewenang penggeledahan dibatasi pula oleh Pasal 34 ayat (2) KUHAP, yang menyatakan bahwa dalam hal penyidik melakukan penggeledahan, penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan atau yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut. Hal ini merupakan bentuk perlindungan hak asasi orang yaitu rahasia surat, yang hanya dapat diterobos dalam keadaan luar biasa, yaitu dalam hal surat itu berhubungan dengan tindak pidana tersebut, yang maksudnya untuk mengetahui salah tidaknya seseorang. Meskipun KUHAP memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penggeledahan, bukanlah berarti bahwa penyidik dapat melakukan tindakan tersebut dengan sewenang-wenang. Akan tetapi harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin hak asasi manusia, khususnya hak asasi tersangka pelaku tindak pidana itu sendiri. Dengan demikian apabila suatu penggeledahan dilakukan tidak berdasarkan ketentuan yang berlaku, maka pelaku penggeledahan dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 167 KUHP bagi orang-orang yang biasa dan Pasal 429 KUHP bagi Pegawai Negeri dalam melakukan pekerjaan jabatannya misalnya penyidik. 2. Dalam hal penggeledahan pakaian dan badan Pasal 37 KUHAP menentukan bahwa pada waktu menangkap tersangka, penyidik hanya berwenang menggeledah pakaian termasuk benda yang dibawanya serta apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang dapat disita. Selanjutnya penyidik pada waktu menangkap tersangka atau dalam hal tersangka setelah ditangkap oleh penyidik dibawa ke penyidik, maka penyidik berwenang menggeledah pakaian dan atau menggeledah badan tersangka. Penggeledahan badan meliputi pemeriksaan seluruh rongga badan dari tersangka, seperti : pemeriksaan seluruh rongga mulut, rongga telinga, rongga hidung dan rongga-rongga lainnya, pada wanita dilakukan oleh pejabat wanita. Dalam hal penyidik berpendapat perlu dilakukan pemeriksaan rongga badan, penyidik minta bantuan kepada pejabat kesehatan. Pada umumnya penggeledahan pakaian atau badan dilakukan pada saat tersangka pelaku tindak pidana ditangkap atau dihadapkan kepada penyidik. Menurut R. Soesilo (1985:133) tujuan dilakukannya penggeledahan pakaian dan atau badan tersangka adalah : a. Guna menjaga jangan sampai pada waktu orang lain itu dibawa sekonyong-konyong mencabut senjatanya dan menyerang polisi. b. Jangan sampai orang itu sekonyong-konyong membuang misalnya barang yang habis dicuri untuk menghilangkan bukti atas tertangkap tangan. Penggeledahan pakaian dan atau badan dilakukan oleh petugas kepolisian pada saat tertangkap tangan, wewenang penyidik untuk melakukan penggeledahan lebih luas. Penyidik dapat melakukan penggeledahan tanpa surat ijin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, juga tidak perlu disertai dengan surat perintah penggeledahan. Walaupun penyidik berwenang melakukan penggeledahan badan terhadap diri tersangka, namun tetap harus menjunjung tinggi pedoman pelaksanaan mengenai praktek melakukan penggeledahan badan. Adapun pedoman-pedoman tersebut adalah sebagai berikut : 1. Tidak boleh sekali-kali dilakukan dihadapan orang banyak. 2. Selalu harus diketahui oleh dua orang saksi. 3. Dari penggeledahan senantiasa harus dibuat berita acara. 4. Penggeledahan pada wanita hendaknya dilakukan oleh polisi wanita, atau oleh wanita dengan disaksikan oleh seorang polisi (M. Karjadi, 1976:112). Jadi secara umum penyidik diberi wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Namun demikian, hal tersebut tetap memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh penyidik lainnya. 2.4 Tujuan Penggeledahan Dalam Keadaan Mendesak Setiap tindakan yang dilakukan oleh penyidik memiliki tujuan tertentu, menurut M. Yahya Harahap (2003:249) bahwa “Penggeledahan yang dilakukan oleh penyidik bertujuan untuk kepentingan penyelidikan dan atau penyidikan, agar dapat dikumpulkan fakta dan bukti yang menyangkut suatu tindak pidana atau untuk menangkap seseorang yang sedang berada di dalam rumah atau suatu tempat yang diduga keras tersangka melakukan tindak pidana”. Dalam proses penyelesaian perkara pidana, penyidik sering kali menjumpai kesulitan dalam mencari dan mengumpulkan alat bukti maupun barang bukti tersebu. Dimana tersangka atau terdakwa berusaha semaksimal mungkin untuk menghilangkan jejaknya, hal ini merupakan upaya yang dilakukan oleh tersangka untuk menghindari tuntutan dari petugas yang berwenang. Mereka berusaha mencari keselamatan dengan cara melarikan diri, atau mencari perlindungan pada orang yang dianggap kuat melindunginya untuk menggagalkan tuntutan. Bahkan seringkali ada usaha mempengaruhi dengan berbagai ancaman pada orang lain agar berbohong. Mengingat hal tersebut, maka untuk menghindari diri dari kesulitan pemeriksaan perkara bagi petugas hukum untuk mendapatkan keterangan dari orang yang bersangkutan dan mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan dalam pembuktian pada waktu persidangan, maka perlu ditempuh dengan jalan memerintahkan kepada setiap orang yang dianggap perlu untuk tetap tinggal disuatu tempat penggeledahan selama penggeledahan masih berlangsung dan untuk menarik barang-barang dari penguasanya untuk diserahkan kepada petugas hukum yang berwenang. Terhadap benda maka penyidik mempunyai kewenangan atas seijin Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk melakukan penyitaan, penggeledahan rumah dan memeriksa surat atau menyita buku, tulisan yang ada hubungannya dengan tindak pidana yang disangka. Sedangkan terhadap tersangka, penyidik berwenang melakukan penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan jika didapat benda atau barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana dapat disita. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dikatakan bahwa penggeledahan dalam keadaan mendesak mempunyai tujuan untuk : a. Mencari dan menemukan tersangka yang patut dikhawatirkan akan melarikan diri atau mengulangi tindak pidana, dan b. Mencegah atau menghindari hilangnya, musnahnya atau dipindahtangankannya objek atau tujuan dari tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka. Dengan demikian agar dapat dicapainya tujuan tersebut maka para penegak hukum khususnya pejabat yang berwenang terpaksa mengekang, merampas hak asasi tersangka baik berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat yang kesemuanya itu merupakan upaya untuk dapat ditemukannya alat-alat bukti dalam proses pidana sesuai dengan undang-undang. 2.5 Pelaksanaan Penggeledahan Dalam Keadaan Mendesak Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk lebih dulu mendapatkan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri, maka penyidik dapat langsung bertindak melakukan penggeledahan. Akan tetapi, surat perintah penggeledahan diterbitkan dan diberlakukan tanpa menunggu adanya surat izin/surat izin khusus dari Ketua Pengadilan Negeri. Adapun tata cara pelaksanaan penggeledahan dalam keadaan mendesak menurut M. Yahya Harahap (2003:256-257), yaitu antara lain : 1. Penggeledahan dapat langsung dilaksanakan tanpa terlebih dahulu ada izin Ketua Pengadilan Negeri. 2. Dalam tempo paling lama 2 hari sesudah penggeledahan, penyidik membuat berita acara yang berisi jalannya dan hasil penggeledahan : a. Berita acara dibacakan lebih dahulu kepada yang bersangkutan, b. Kemudian diberi tanggal, c. Dan ditandatangani oleh penyidik maupun oleh tersangka dan keluarganya, d. Turunan berita acara disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan. 3. Kewajiban penyidik, segera melapor : a. Melaporkan penggeledahan yang telah dilakukan kepada Ketua Pengadilan Negeri, dan b. Sekaligus dalam laporan tersebut, penyidik meminta persetujuan Ketua Pengadilan Negeri atas penggeledahan yang telah dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak. Ditinjau dari segi moral, adat istiadat dan agama, suatu masyarakat memberi penghormatan tertentu terhadap beberapa tempat. Suatu tempat yang diistimewakan masyarakat, dengan sendirinya menuntut perlakuan khusus yang perlu dijaga kesuciannya. Apabila ditempat yang diistimewakan sedang berlangsung upacara kegiatan, harus dijaga upacara tersebut agar jangan terganggu kekhidmatannya, maka undang-undang melarang penyidik memasuki dan melakukan penggeledahan didalamnya kecuali dalam hal tertangkap tangan. Selain daripada kejadian tertangkap tangan, penyidik dilarang bertindak memasuki dan melakukan penggeledahan yang dinyatakan dalam Pasal 35 KUHAP, yaitu pada saat : a. Ruang dimana sedang berlangsung sidang MPR, DPR atau DPRD. b. Tempat dimana sedang berlangsung ibadah atau upacara keagamaan, dan c. Ruang dimana sedang berlangsung sidang pengadilan. Ketiga tempat tersebut dilarang undang-undang untuk dimasuki penyidik pada saat-saat tertentu yakni selama tempat itu sedang berlangsung acara kegiatan yang sesuai dengan fungsi gedung atau acara diluar fungsi dan tugas badan serta tempat tersebut, tidak ada larangan bagi penyidik untuk memasukinya. Atau jika dalam keadaan tertangkap tangan penyidik dapat langsung masuk dan mengadakan penggeledahan sekalipun di dalam ruangan tempat tersebut masih berlangsung acara sidang atau peribadatan. Penegakkan hukum merupakan penyerasian nilai-nilai, kaidah-kaidah, dan pola prilaku atau sikap yang bertujuan untuk menegakkan keadilan. Masalah penegakkan pokok dari penegakkan hukum secara umum terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Liliana Tedjosaputro menyatakan bahwa : Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakkan hukum mempunyai arti netral, sehingga dampak negatif atau positifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Menurut Soerjono Soekanto (2003:68) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum meliputi : a. Faktor hukum itu sendiri b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan hukum d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Faktor-faktor penegakkan hukum tersebut diatas, jika dikaitkan dengan penggeledahan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, maka faktor-faktor yang mempengaruhi dari pelaksanaan penggeledahan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : a. Faktor hukum Setiap tindakan penyidik dalam melaksanakan tugasnya harus sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku. Oleh karena itu, diperlukan aturan hukum yang jelas dan sistematis untuk menunjang kelancaran tugasnya tersebut, khususnya dalam melaksanakan penggeledahan. Menurut M. Yahya Harahap (2003:248) bahwa penyusunan pengaturan bab dan pasal-pasal permasalahan penggeledahan dalam KUHAP kurang sistematis, sehingga bagi yang kurang teliti kemungkinan besar kurang serasi mengaitkan dalam penerapannya. Sebagian besar pasal-pasalnya terdapat pada Bab V Bagian Ketiga yang dituangkan dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 37 dan Bab XIV (Penyidikan) Bagian Kedua seperti yang dirumuskan dalam Pasal 125 sampai dengan Pasal 127. lebih lanjut dikatakan bahwa penilaian keadaan yang sangat perlu dan mendesak lebih dititik beratkan kepada penilaian subjektif penyidik, terutama sepanjang mengenai pengertian “patut dikhawatirkan”. Membuat ukuran umum atas kekhawatiran tidak mungkin, karena pengertian kekhawatiran erat hubungannya dengan perasaan seseorang, penilaian kekhawatiran dalam praktek penegakkan hukum banyak ditentukan oleh subjektivitas penyidik (M. Yahya Harahap, 2003:255). Dari pernyataan diatas terlihat bahwa dalam peraturan perundang-undangan, dalam hal ini adalah KUHAP khususnya masalah penggeledahan disusun kurang sistematis, serta adanya penafsiran yang beraneka ragam tentang “kekhawatiran”. Dimana kekhawatiran lebih menekankan perasaan seseorang terhadap sesuatu hal atau kondisi. b. Faktor penegak hukum Penegak hukum mempunyai peranan yang sangat penting dalam penegakkan hukum, karena penegak hukum mempunyai hak dan kewajiban menegakkan dan mengawasi agar fungsi hukum itu dapat tercapai. Untuk itu penegak hukum harus memiliki mental yang kuat disamping memiliki pengetahuan dan kemampuan yang tinggi untuk mendukung pelaksanaan tugasnya. Menurut M. Yahya Harahap (2003:61) bahwa suatu gerak pembaruan hukum yang tidak dibarengi dengan peningkatan pembinaan aparatnya, mengakibatkan hukum yang diperbarui tidak berarti apa-apa. Kebaikan, kebagusan dan kesempurnaan hukum acara pidana sangat ditentukan oleh baik buruknya mental aparat pelaksanaannya. Seorang penyidik yang berjiwa sehat akan dapat mengontrol segala perbuatan yang dilakukannya dan dapat membedakan atau memilih serta dapat mengklasifikasikan tindakan-tindakan yang harus, boleh dan tidak boleh ia lakukan. Dalam melakukan penggeledahan, penyidik harus memiliki persyaratan-persyaratan baik secara yuridis maupun kwalitasnya. Secara yuridis berarti mereka harus memenuhi syarat-syarat kepangkatan minimal yang telah ditentukan di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. Sedangkan secara kwalitas berarti harus memiliki pengetahuan umum yang luas, penguasaan Undang-undang, memiliki kemampuan taktik dan teknik Reserse, serta harus memenuhi persyaratan fisik dan mental. c. Faktor sarana atau fasilitas Mengenai pentingnya faktor fasilitas dalam proses penggeledahan, menurut Soerjono Soekanto (1983:32) menyatakan bahwa “Fasilitas dapat dirumuskan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Ruang lingkupnya terutama adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung”. Selaras dengan ilmu pengetahuan dan teknologi maka kwalitas dan kwantitas kejahatan semakin meningkat. Tanpa adanya fasilitas yang memadai sudah barang tentu proses penegakkan hukum pidana tidak akan berjalan dengan lancar. d. Faktor masyarakat Penggeledahan dapat dilaksanakan apabila terdapat dua orang saksi yang berasal dari lingkungan tempat penggeledahan tersebut, hal ini sesuai dengan Pasal 33 KUHAP bahwa “yang dimaksud dua orang saksi adalah warga dari lingkungan yang bersangkutan”. Oleh karena itu, warga masyarakat pada tempat penggeledahan merupakan salah satu unsur dari penggeledahan tersebut, akan tetapi kadangkala masyarakat enggan untuk dijadikan saksi dengan alasan jika menjadi saksi akan banyak biaya yang harus dikeluarkan dan akan menyita waktu karena harus memenuhi panggilan petugas untuk dimintai keterangan. Dengan tidak adanya saksi tentunya penggeledahan tidak dapat dilakukan mengingat keberadaan saksi sangat penting disamping untuk mencegah terjadinya penyangkalan tersangka atas barang bukti yang ditemukan dari proses penggeledahan yang dimaksud. 2.6 Akibat Hukum dari Penggeledahan Menurut M. Yahya Harahap (2003:258) bahwa “Apabila Ketua Pengadilan Negeri tidak bersedia memberikan persetujuan, hal ini merupakan isyarat bagi tersangka atau keluarganya bahwa penggeledahan yang dilakukan penyidik tidak menurut hukum. Untuk itu tersangka dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada praperadilan”. Selanjutnya M. Yahya Harahap (2003:258) menjelaskan bahwa “Penolakkan Ketua Pengadilan Negeri untuk memberikan persetujuan atas penggeledahan tersebut, kemungkinan disebabkan ada perbedaan pendapat antara penyidik dengan Ketua Pengadilan Negeri dalam menilai keadaan yang sangat perlu dan mendesak”. Dalam hal ini sangat diperlukan keberanian moral dari Ketua Pengadilan Negeri untuk menilai dengan objektif dan saksama laporan dan permintaan persetujuan serta untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan penggeledahan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak. Apabila setiap penggeledahan dalam keadaan sangat perlu dan mendesak selalu disetujui oleh Ketua Peradilan Negeri tanpa menilai laporan dan permintaan persetujuan tersebut, maka penyidik akan selalu menggunakan Pasal 34 tersebut untuk melakukan penggeledahan tanpa harus menunggu izin dari Ketua Pengadilan Negeri. 3. Kesimpulan Dari pembahasan tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Yang dimaksud dengan penggeledahan dalam keadaan mendesak adalah tindakan penyidik yang dibenarkan undang-undang untuk memasuki rumah atau melakukan penggeledahan dimana tempat yang hendak digeledah diduga keras terdapat tersangka yang patut dikhawatirkan melarikan diri atau mengulangi tindak pidana atau benda yang dapat disita dikhawatirkan dihilangkan atau dimusnahkan atau dipindahtangankan, sedangkan surat ijin Ketua Pengadilan Negeri tidak mungkin didapat dalam waktu yang singkat. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penggeledahan dalam keadaan mendesak dalam rangka mengungkap suatu tindak pidana, yaitu : 3. a. Faktor peraturan perundang-undangan b. Faktor aparat penegak hukum c. Faktor sarana atau fasilitas d. Faktor masyarakat Penolakkan persetujuan oleh Ketua Pengadilan Negeri terhadap penggeledahan yang telah dilakukan oleh penyidik terjadi akibat perbedaan penilaian dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak antara penyidik dengan Ketua Pengadilan Negeri, akibatnya penggeledahan tersebut tidak sesuai dengan hukum. Dalam hal ini, pihak yang dikenakan penggeledahan tersebut dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian melalui praperadilan. 4. Daftar Pustaka Djisman Samosir, C., Hukum Acara Pidana Dalam Perbandingan, Cetakan Pertama, Bina Cipta, 1985. Hamzah Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Sinar Grafika, Cetakan Pertama, Jakarta, September 2001. Gumilang, A., Kriminalistik : Pengetahuan Tentang Teknik dan Taktik Penyidikan, Angkasa, Bandung, 1993. Karjadi, M., Tindakan dan Penyidikan Pertama Di Tempat Kejadian, Politea, Bogor, 1971. , Polisi, Politeia, Bogor, 1976. Kepolisian Negara Republik Indonesia, Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Polri di Lapangan, CV. Tamita Utama, Jakarta, 2000. , Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara Polri di Lapangan, Mabes Polri Lembaga Pendidikan Dan Latihan, Jakarta, 2003. Rahardjo, Satjipto, Masalah Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru, Bandung, 1983. Sitompul, DMP., Polisi dan Penangkapan, Transito, Bandung, 1985. Soedjono D., Pemeriksaan Pendahuluan Menurut KUHAP, Penerbit Alumni, Bandung, 1985. Soekanto, Soerjono, Penegak Hukum, Bina Cipta, Bandung, 1984. , Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta, 1983. , Peningkatan Wibawa Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan SosioYuridis, Variasi Peradilan Tahun III No. 28, Bandung, 1988. Soekanto Soerjono, Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dan Masyarakat, CV. Rajawali, 1980. Soesilo R., Taktik dan Teknik Penyidikan Perkara Kriminal, Politeia, Bogor, 1985. , Kriminalistik : Ilmu Penyidikan Kejahatan, Politeia, Bogor, 1992. Subanyak F.S., Prakarsa Sumitro L.S., Danu Redjo, Beberapa Pemikiran Kearah Pemantapan Penegakan Hukum, IND, Hill Co., 1985. Tedjosaputro Liliana, Etika Profesi dan Profesi Hukum, CV. Aneka Ilmu, Semarang, 2003. Yahya Harahap M., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2003.