INFLASI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI: PENDUGAAN AMBANG BATAS INFLASI DI INDONESIA NANANG WIDARYOKO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi: Pendugaan Ambang Batas Inflasi di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2013 Nanang Widaryoko NIM H151114174 RINGKASAN NANANG WIDARYOKO. Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi: Pendugaan Ambang Batas Inflasi di Indonesia. Dibimbing oleh IMAN SUGEMA dan TONI BAKHTIAR. Inflasi yang tinggi dianggap sebagai masalah dalam perekonomian. Indonesia pernah mengalami keterpurukan ekonomi akibat gagal mengendalikan volatilitas inflasi. Hal ini digunakan sebagai landasan bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan inflasi rendah. Para ekonom pernah menyatakan bahwa inflasi yang rendah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat. Faktanya, kebijakan inflasi rendah tidak menguntungkan karena bisa mengganggu iklim investasi. Di sisi lain pola data inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia sebenarnya juga tidak konsisten (menunjukkan hubungan positif, negatif, dan netral). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi serta mencari ambang batas (threshold) inflasi di Indonesia pada periode 1970-2012. Dengan menggunakan regresi linear berganda, penelitian ini menunjukkan bahwa inflasi berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Identifikasi threshold inflasi melalui model Khan dan Senhadji (2001) menyatakan bahwa threshold inflasi di Indonesia adalah 7.11%. Sedangkan menurut model Hansen (1997, 2000), threshold inflasi di Indonesia sebesar 9.53%. Berdasarkan beberapa kriteria pemilihan model, threshold inflasi menurut model Hansen (1997, 2000) dianggap lebih ideal. Inflasi memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi ketika nilainya kurang dari threshold dan berpengaruh negatif ketika melebihi threshold. Hasil ini mendukung temuan Chowdhury dan Ham (2009) yang menyatakan bahwa threshold inflasi di Indonesia berkisar antara 8.5 persen dan 11 persen. Dari hasil studi disimpulkan bahwa bank sentral harus aktif mengendalikan inflasi ketika nilainya berada di atas threshold. Dengan demikian, ITF tidak dapat digeneralisasi untuk semua tingkat inflasi. Kata kunci: inflasi, pertumbuhan ekonomi, threshold SUMMARY NANANG WIDARYOKO. Inflation and Economic Growth: Estimation the Threshold Level in Indonesia. Under direction of IMAN SUGEMA and TONI BAKHTIAR. High inflation is regarded as a problems in the economy. Indonesia experienced economic collapse as a result of failing to control inflation volatility. This is used as a reason for the current authorities to implement low-inflation policy. The economist argues that low-inflation can promote economic growth faster. In fact, low-inflation policy is not favorable because it interferes the business investment climate. On the other hand the pattern of the inflation and economic growth data in Indonesia is also inconsistent (indicating a positive relationship, negative and neutral). The purpose of this study is to determine the effect of inflation on economic growth, as well as to search inflation threshold in Indonesia in the period 19702012. Using multiple linear regression, this study shows that inflation negatively impacts on economic growth. Inflation threshold identification by Khan and Senhadji model (2001) stated that inflation threshold in Indonesia is 7.11%. While according to Hansen model (1997, 2000), inflation threshold in Indonesia is 9.53%. Based on some model selection criterias, the inflation threshold implied by Hansen model is more apropriate. Inflation has a positive effect on economic growth if the value is less than the thresholds and negative when it exceeds the thresholds. This result supports Chowdhury and Ham (2009) finding who stated that inflation threshold in Indonesia is between 8.5 per cent and 11 per cent. The two studies imply that the central bank should only pursue active policy measures when inflation is above the threshold. Thus, ITF cannot be generalized to all levels of inflation. Keywords: economic growth, inflation, threshold © Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB INFLASI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI: PENDUGAAN AMBANG BATAS INFLASI DI INDONESIA NANANG WIDARYOKO Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Noer Azam Achsani, MS Judul Tesis Nama NIIM : Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi: Pendugaan Ambang Batas Inflasi di Indonesia : Nanang Widaryoko : H151 ll4l74 Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr Toni Bakhtiar SSi MSc Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Dekan S ekol ah P ascasarj arLa r' y'^V^'5 *t) t Dr [r RNLI#ng Nuryartooo, MSi Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr Tanggal {Jjian: 30 Agustus 2AI3 Tanggal Lulus: PRAKATA Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah inflasi, dengan judul Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi: Pendugaan Ambang Batas Inflasi di Indonesia. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Iman Sugema, MEc, dan Bapak Dr Toni Bakhtiar, SSi, MSc selaku pembimbing, serta Bapak Prof Dr Ir Noer Azam Achsani, MS, dan Ibu Dr Lukytawati Anggraeni, SP, MSi yang telah banyak memberikan saran. Kepada Prof Bruce E Hansen, Prof Anis Chowdhury dan Dr Kevin Greenidge terimakasih atas masukan yang sangat berguna terkait isu ekonometrika. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada segenap pimpinan dan pegawai Badan Pusat Statistik (BPS) RI, BPS Provinsi Kalimantan Selatan, Bapak Dr Ir R Nunung Nuryartono, MSi dan jajarannya, serta staf-staf Perpustakaan Bank Indonesia yang telah membantu baik pada waktu pengumpulan data dan pelaksanaan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri penulis, Ulfatul Umami, SST, MSc atas cinta, do’a, serta dorongan semangatnya, Ayah, Ibu, Abi, Umi beserta seluruh keluarga, atas segala restu dan kasih sayangnya. Untuk sahabat sekaligus mentor penulis, Miyan Andi Irawan, SST, MSE, dan seluruh rekan-rekan Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi kelas BPS Batch 4, terimakasih atas diskusi dan ilmu yang telah diberikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2013 Nanang Widaryoko DAFTAR ISI DAFTAR TABEL viii DAFTAR GAMBAR viii DAFTAR LAMPIRAN viii 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 1 1 2 4 4 2 TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teori Hubungan Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi Tinjauan Empiris Hubungan Linear Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi Hubungan Taklinear Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian 5 5 5 10 10 13 17 18 3 METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Analisis Deskriptif Analisis Regresi Linear Berganda Analisis Regresi Threshold Spesifikasi Model Definisi Variabel Operasional Prosedur Analisis 19 19 19 20 20 21 24 25 26 4 HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Pengaruh Inflasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Seleksi Model Terbaik 27 27 31 40 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Implikasi Kebijakan Saran Penelitian Lanjutan 41 41 41 42 DAFTAR PUSTAKA 43 LAMPIRAN 47 RIWAYAT HIDUP 63 DAFTAR TABEL 1 Jumlah M1, pertumbuhan M1, inflasi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 1958-1966 2 Studi threshold inflasi berbagai negara yang melibatkan Indonesia sebagai salah satu sampel 3 Variabel dan sumber data penelitian 4 Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian 5 Statistik deskriptif variabel penelitian (%) 6 Pengujian kestasioneran variabel penelitian 7 Hasil estimasi model linear pertumbuhan ekonomi 8 Hasil uji signifikansi threshold inflasi model Khan dan Senhadji (2001) 9 Hasil estimasi model threshold Khan dan Senhadji (2001) 10 Hasil uji signifikansi threshold inflasi model Hansen (1997, 2000) 11 Hasil estimasi model threshold Hansen (1997, 2000) 12 Kriteria seleksi model 1 16 19 25 30 31 31 35 36 38 38 40 DAFTAR GAMBAR 1 Rata-rata pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia tahun 1950-2012 (%) 2 “Dynamic adjustment” hubungan inflasi dan output 3 Mekanisme portofolio model Tobin 4 Alur kerangka pemikiran 5 Ringkasan prosedur analisis 6 Pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia tahun 1970-2012 (%) 7 Rata-rata pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia 8 Nilai threshold inflasi dan Residual Sum of Squares (RSS) model Khan dan Senhadji (2001) 9 Nilai threshold inflasi dan Residual Sum of Squares (RSS) model Hansen (1997,2000) 3 6 8 18 20 27 29 35 37 DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 Data yang digunakan dalam penelitian Hasil uji unit root Output model linear pertumbuhan ekonomi Output model threshold Khan dan Senhadji (2001) Output model threshold Hansen (1997, 2000) 47 49 57 59 61 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Inflasi yang rendah selama ini dianggap sebagai prasyarat untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi (Munir dan Mansur 2009). Banyak fakta yang menunjukkan bahwa inflasi tinggi dan tidak terkendali dapat merusak aktivitas perekonomian. Indonesia termasuk negara yang pernah mengalami keterpurukan ekonomi akibat tidak mampu menekan laju inflasi. Selama tahun 1958 hingga 1966, perekonomian Indonesia secara rata-rata hanya mampu tumbuh sebesar 0.18%. Pada waktu itu rata-rata inflasi mencapai 199%, bahkan sempat menyentuh level 636% di tahun 1966. Menurut Subekti (2011), penyebab utama tingginya inflasi Indonesia era 1960-an adalah anggaran belanja pemerintah yang tidak berimbang serta tertutupnya akses untuk memperoleh pinjaman dari luar negeri, sehingga segala kegiatan yang melibatkan peran pemerintah sebagian besar harus dibiayai dengan pencetakan uang. Jadi tidak mengherankan apabila pertumbuhan jumlah uang beredar (M1) di era tersebut selalu mengiringi lonjakan inflasi dengan persentase kenaikan yang cukup pesat yaitu rata-rata sebesar 99.57% (Tabel 1). Tabel 1 Jumlah M1, pertumbuhan M1, inflasi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 1958-1966 Jumlah M1 Pertumbuhan Pertumbuhan Tahun Inflasi (%) (juta rupiah) M1 (%) Ekonomi (%) (1) (2) 1958 29 1959 35 1960 48 1961 68 1962 136 1963 263 1964 675 1965 2,713,688 1966 5,164,552 Sumber: Bank Indonesia-Sejarah (2003), diolah (3) 55.56 18.78 37.13 41.40 100.89 93.79 156.34 301.96 90.31 Moneter Periode (4) (5) 46 5.26 22 –1.91 38 –1.54 27 1.77 174 –2.74 119 –2.68 135 2.33 594 0.55 636 0.62 1959-1966 dan Tambunan Perhatian Indonesia terhadap inflasi baru terlihat saat rezim Orde Baru mulai berkuasa di tahun 1967. Seluruh perangkat birokrasi Orde Baru memiliki kesamaan visi bahwa inflasi merupakan masalah utama dalam perekonomian sehingga upaya pengendalian dipandang perlu. Untuk mengontrol pengeluaran, pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Program tersebut terbukti cukup efektif. Pertumbuhan jumlah uang beredar (M1) dalam kurun 1967 hingga 1997 secara rata-rata dapat dikurangi hingga ke level 52.7%1. Sektor usaha 1 data diolah dari Hossain (2005) 2 berhasil berproduksi dengan baik dan daya beli masyarakat juga terjaga. Hampir dua dekade, ekonomi tumbuh sekitar 7% dengan inflasi rata-rata sebesar 12%. Upaya-upaya pengendalian inflasi terus berlanjut hingga masa reformasi, bahkan semakin diintensifkan pascakrisis moneter tahun 1998. Pada tahun 2005 Indonesia secara resmi mulai menerapkan Inflation Targeting Framework yaitu suatu kebijakan yang bertujuan mencapai kestabilan inflasi di level-level tertentu yang berkisar 4% hingga 10% untuk jangka pendek dan 3% sampai dengan 5% untuk jangka panjang (Chowdhury dan Ham 2009). Dalam implementasinya, kebijakan-kebijakan anti inflasi yang diterapkan Indonesia ternyata tidak sepenuhnya berjalan lancar. Praktisi bank sentral tak jarang masih menghadapi sebuah dilema2, yaitu konsisten menjaga inflasi tetap rendah dengan konsekuensi tertekannya sektor produksi, atau membiarkan inflasi sedikit terdeviasi namun mendukung produsen untuk terus beraktivitas. Sebagaimana diketahui instrumen yang digunakan untuk mengendalikan inflasi adalah suku bunga. Inflasi rendah dapat tercapai melalui penetapan tingkat suku bunga tinggi yang pada umumnya tidak terlalu disukai oleh dunia usaha. Sebagai bukti, pada bulan Agustus 2006 suku bunga pinjaman di Indonesia mencapai 15.75%. Dengan tingkat inflasi berkisar 9%, suku bunga tersebut bisa dikategorikan sangat tinggi yang seharusnya mampu menarik aliran modal asing. Anehnya, justru di periode yang sama pertumbuhan portofolio turun sekitar 0.60% hingga 0.10%. Di sisi lain, nilai tukar rupiah juga terkoreksi sebesar 40% yang tentu saja tidak baik bagi kinerja ekspor manufaktur di mana hampir 70% produksinya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri (Chowdhury dan Ham 2009). Perumusan Masalah Diskusi tentang pengendalian inflasi tidak bisa terlepas dari studi hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Walaupun telah terjadi konsensus bahwa inflasi tinggi berdampak buruk bagi perekonomian, hubungan dari kedua variabel tersebut pada dasarnya masih menjadi perdebatan yang cukup panjang (Mansur dan Munir 2009). Pada era 1950-an, suatu kelompok ilmuwan yang disebut dengan kaum structuralist berpendapat bahwa inflasi berpengaruh positif terhadap perekonomian, sedangkan kelompok monetarist menyimpulkan inflasi berdampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi (Mallik dan Chowdhury 2001). Studi terkini pun memberikan hasil identik, seperti Lucas (1973) serta Mallik dan Chowdhury (2001) yang membuktikan adanya hubungan positif dan signifikan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Sementara Fisher (1993), Barro (1995a), termasuk Ghosh dan Philips (1998a) mendapatkan hasil sebaliknya yaitu inflasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Perdebatan mengenai hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi sangat relevan untuk kasus Indonesia (Chowdhury 2002). Data yang ditunjukkan oleh Gambar 1 mengindikasikan adanya anomali hubungan di antara kedua indikator tersebut. Pada tahun 1950 hingga 1959, inflasi tercatat sebesar 22.67% dengan pertumbuhan ekonomi 4.98%. Satu dekade berikutnya yaitu 1960 sampai 1969 2 menurut Chowdhury dan Siregar (2004), Bank Indonesia (2002) pernah menyatakan, “Apabila Bank Indonesia konsisten menjaga target inflasi, maka suku bunga yang tinggi harus diterapkan yang justru mengganggu proses recovery” 3 perekonomian hanya tumbuh sebesar 3.91% sebagai dampak meningkatnya inflasi yang mencapai 196.02%. Sampai periode ini terbukti bahwa inflasi tinggi berdampak buruk bagi perekonomian. Pada tahun 1970 sampai dengan tahun 1979, inflasi di Indonesia berada pada level 17.21% dengan pertumbuhan ekonomi 7.82%. Sementara di tahun 1980 hingga 20123, secara rata-rata inflasi tergolong cukup moderat yaitu sebesar 8.13%. Ironisnya, perekonomian Indonesia di periode ini justru bergerak lebih lambat jika dibandingkan dengan dekade 1970an yaitu hanya sebesar 6.10%. Keterangan: data diambil dari Woo et al. (1994) dan BPS, diolah Gambar 1 Rata-rata pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia tahun 19502012 (%) Dalam kaitannya dengan Inflation Targeting Framework, secara mengejutkan ditemukan bahwa capaian pertumbuhan ekonomi sebelum dan sesudah skema tersebut diterapkan tidak mengalami perubahan yang terlalu signifikan, bahkan cenderung melemah (masing-masing sebesar 6.63% dan 5.92%4). Inflasi memang bukan satu-satunya determinan pertumbuhan ekonomi, akan tetapi fenomena tersebut setidaknya kontradiktif dengan gagasan yang sering dikemukakan para ekonom (sebagaimana juga telah disebutkan di awal) bahwa inflasi rendah akan mendorong tingginya kinerja ekonomi. Beberapa peneliti menduga target inflasi yang ditetapkan terlalu rendah atau dengan kata lain target tersebut belum optimal. McNelis et al. (2001) dalam Chowdhury dan Siregar (2004) pernah menyatakan, program “moderate inflation” yang diadopsi Indonesia selama proses pemulihan ekonomi lebih tepat disebut sebagai kebijakan “very low inflation” 3 4 tanpa memasukkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi tahun 1998 diolah dari data BPS dan World Bank (2013), pra Inflation Targeting Framework diasumsikan mulai 1966 hingga 2005, tanpa memasukkan periode krisis 1998 4 yang akhirnya menghambat proses pemulihan ekonomi itu sendiri. Chowdhury dan Ham (2009) menambahkan, sasaran inflasi jangka panjang sebesar 3% hingga 5% sebenarnya tidak berdasar karena bertentangan dengan sejarah inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hal ini pada akhirnya mengundang pertanyaan, seberapa rendah inflasi seharusnya dijaga? Melalui analisis data panel, para ekonom seperti Fischer (1993), Sarel (1996) serta Khan dan Senhadji (2001) sebelumnya telah menjawab pertanyaan tersebut dengan cara mencari titik optimal inflasi atau sering disebut dengan istilah ambang batas (threshold) inflasi. Akan tetapi, hasil yang didapat cukup bervariasi sehingga belum bisa dijadikan rujukan bagi negara-negara di dunia. Selain itu studi data panel juga mengandung kelemahan yaitu nilai threshold dari setiap negara diasumsikan sama. Sepehri dan Moshiri (2004) serta Kremer et al. (2012) mengungkapkan, setiap negara memiliki struktur ekonomi dan mekanisme transmisi kebijakan moneter yang berbeda. Oleh karena itu, penentuan nilai threshold inflasi sebaiknya didasarkan pada sejarah inflasi dan pertumbuhan ekonomi di negara itu sendiri. Identifikasi nilai threshold inflasi di Indonesia pernah dilakukan oleh Chowdhury dan Siregar (2004) serta Chowdhury dan Ham (2009). Kedua kajian tersebut sangat informatif namun baru menggunakan analisis bivariate. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia? 2. Berapa nilai threshold inflasi di Indonesia? Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini ingin mengulas hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Adapun tujuan khususnya adalah: 1. Mengidentifikasi pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia 2. Mengetahui besaran nilai threshold inflasi di Indonesia. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengayaan literatur kepada akademisi, praktisi bank sentral, dan pemerintah, terutama yang terkait dengan kebijakan penargetan inflasi. Sebagai catatan unsur novelty yang diajukan terletak pada penggunaan dua model regresi threshold multivariate. Bagi penulis, semoga penelitian ini bisa menjadi sarana peningkatan wawasan ekonomi sekaligus media aplikasi konsep dan metode yang telah didapat di jenjang pendidikan. 5 2 TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teori Hubungan Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi Berbagai teori ekonomi telah banyak membahas hubungan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi, namun kesimpulan yang dihasilkan cenderung beragam, yaitu berhubungan positif, berhubungan negatif serta netral atau tidak ada hubungan sama sekali. Teori-teori tersebut di antaranya adalah: Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik Teori pertumbuhan ekonomi klasik dikemukakan oleh Adam Smith dan sering disebut sebagai dasar teori pertumbuhan. Dalam makalahnya, Smith mengemukakan bahwa output merupakan fungsi dari kapital (K) atau investasi, tenaga kerja (L) serta tanah (T), sehingga kalau dimodelkan menjadi: Y = f (K,L,T) (1) Dalam kaitannya dengan inflasi, Smith hanya mengulas secara implisit yaitu tingginya inflasi akan berdampak pada tingginya upah sehingga akan menghambat aktivitas produksi. Oleh karena itu inflasi diindikasikan memiliki hubungan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Teori Keynesian Para ilmuwan aliran Keynesian mencoba memaparkan hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi (output) melalui skema Agregat Demand (AD) dan Agregat Supply (AS). Kelompok Keynesian mengemukakan bahwa dalam jangka pendek kurva AS memiliki gradien positif, artinya perubahan yang terjadi pada permintaan agregat atau kurva AD seperti perubahan ekspektasi, jumlah tenaga kerja, harga faktor produksi termasuk perubahan kebijakan fiskal dan moneter akan berdampak tidak hanya pada harga tetapi juga pada output. Dalam jangka panjang, yaitu ketika kurva AS berbentuk vertikal, terjadi penyesuaian atau “dynamic adjustment”, di mana hubungan inflasi dan output yang awalnya positif berubah menjadi negatif. Sebagaimana yang terlihat pada Gambar 2, hubungan jangka pendek antara inflasi dan output terdeskripsikan pada pergerakan anak panah dari titik E menuju titik E1, di mana peningkatan harga diikuti oleh bertambahnya output. Ide yang mendasari adalah dimisalkan ada seorang produsen menaikkan harga komoditas, dan produsen tersebut beranggapan bahwa harganyalah yang paling tinggi. Pada kenyataannya produsen-produsen lain melakukan hal yang sama, menyebabkan harga meningkat secara agregat, yang pada akhirnya mendorong produsen untuk menambah output. Blanchard dan Kiyotaki (1987) mengemukakan hubungan positif inflasi dan output bisa disebabkan oleh adanya kesepakatan harga antara produsen dan konsumen. Produsen berkewajiban memenuhi seluruh permintaan konsumen, sementara konsumen wajib menerima berapapun harga yang ditawarkan produsen. Dengan demikian tingginya harga tidak akan menyebabkan penurunan output. 6 Sumber: Gokal dan Hanif (2004) Gambar 2 “Dynamic adjustment” hubungan inflasi dan output Dalam proses transisi jangka panjang, peningkatan harga menjadi insentif bagi para pekerja untuk menuntut kenaikan upah, yang sekaligus merupakan shock supply bagi perusahaan. Untuk mengimbangi hal tersebut produsen kembali meningkatkan harga disertai rasionalisasi output, yang tergambar pada perpindahan titik E2 menuju E3 yaitu peningkatan harga menyebabkan turunnya jumlah output. Kesimpulan teori Keynesian adalah tidak ada trade off permanen antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi, yang artinya inflasi bisa berpengaruh positif ataupun negatif terhadap output/pertumbuhan ekonomi. Teori Monetaris Tokoh utama aliran Monetaris adalah Milton Friedman, yang menghasilkan dua gagasan penting yaitu The Quantity Theory of Money dan The Neutrality of Money. Menurut Friedman, The Quantity Theory of Money menghubungkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi melalui konsep jumlah uang yang dikeluarkan sama dengan jumlah uang yang beredar atau: MV = PY (2) di mana: M : jumlah uang beredar V : kecepatan perputaran uang (velositas) P : harga output Y : output. Ide yang mendasari adalah jumlah uang beredar atau velositas merupakan representasi suatu transaksi yang sekaligus menggambarkan aktivitas ekonomi. Inflasi terjadi ketika jumlah uang beredar atau velositas tumbuh lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi. Sementara The Neutrality of Money menjelaskan independensi variabel riil terhadap pergerakan jumlah uang beredar dalam jangka panjang. Friedman memaparkan, ketika terjadi inflasi masyarakat dihadapkan pada biaya hidup yang lebih tinggi. Akan tetapi hal tersebut tidak menjadi masalah karena pendapatan yang diperoleh juga meningkat dengan jumlah sama. Oleh karena itu, segala bentuk perubahan jumlah uang beredar yang akhirnya menyebabkan inflasi akan direspon seketika dengan tingkat upah. Hal inilah yang menyebabkan variabel riil 7 seperti output (dalam bentuk level) dan tingkat pengangguran tidak mengalami perubahan. Friedman kemudian mengungkapkan bahwa uang bisa bersifat netral, namun belum tentu uang tersebut supernetral, dalam arti meskipun secara level jumlah uang beredar tidak memengaruhi variabel riil, tingkat pertumbuhan uang bisa saja memengaruhi variabel tersebut. Untuk itu dia menambahkan konsep The Superneutrality of Money. Sebagaimana dikutip dari Gokal dan Hanif (2004), The Superneutrality of Money terjadi tatkala variabel riil seperti pertumbuhan ekonomi tidak terpengaruh oleh dinamika pertumbuhan uang beredar. Bila kondisi ini terjadi, bisa dikatakan inflasi tidak berdampak apapun terhadap perekonomian. Secara ringkas, aliran Monetaris menyatakan bahwa dalam jangka panjang inflasi dipengaruhi oleh pertumbuhan uang, yang tidak berdampak apapun terhadap pertumbuhan ekonomi. Walaupun demikian, hal tersebut tidak terjadi dalam kenyataan, di mana pergerakan inflasi justru memiliki konsekuensi negatif terhadap akumulasi modal, investasi dan ekspor, yang pada akhirnya memengaruhi pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Teori Pertumbuhan Neo-Klasik Teori pertumbuhan Neo-Klasik menyatakan, tenaga kerja, kapital dan teknologi adalah faktor utama yang memengaruhi output. Terkait dengan hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, kelompok Neo-Klasik menemukan kesimpulan yang beragam. Pada tahun 1963, Mundell menyatakan bahwa inflasi akan menurunkan daya beli uang, yang selanjutnya mengurangi kekayaan individu. Kondisi ini kemudian direspon masyarakat dengan cara merelokasi uang tunai yang dipegang ke dalam bentuk tabungan, akumulasi modal meningkat dan pada akhirnya menstimulus pembentukan output. Pendapat Mundell didukung oleh Tobin (1965). Menurut Tobin seorang individu memiliki dua opsi konsumsi, yaitu konsumsi sekarang dan konsumsi di masa yang akan datang. Penentuan opsi tersebut didasarkan pada seberapa besar nilai uang yang dimiliki. Bila nilainya tinggi, dia akan memegang banyak uang, sedangkan bila nilainya rendah, dia akan membelanjakan uang tersebut dalam bentuk kapital. Tobin menjelaskan alur pikir teorinya melalui mekanisme portofolio dengan visualisasi seperti pada Gambar 3. 8 Sumber: Gokal dan Hanif (2004) Gambar 3 Mekanisme portofolio model Tobin Penjelasannya adalah, diasumsikan terjadi kenaikan tingkat inflasi dari π0 menjadi π1, yang menyebabkan nilai uang turun. Dalam kondisi demikian, masyarakat akan mengalihkan kekayaannya ke dalam bentuk kapital, sebagaimana tergambar dengan pergeseran kurva Sk menuju Sk’, yang selanjutnya menghasilkan steady state kapital yang lebih tinggi (dari K0 menjadi K1). Model Tobin berkesimpulan, kenaikan tingkat inflasi akan mendorong bertambahnya level output secara permanen di mana dalam transisinya, terjadi pertumbuhan ekonomi secara temporer. Secara ringkas, Tobin menyatakan inflasi berhubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 1967, Miguel Sidrauski menambahkan peran uang dalam model perekonomian. Melalui disertasi yang berjudul “Rational Choice and Patterns of Growth in a Monetary Economy”, Sidrauski beranggapan bahwa uang bersifat supernetral sehingga berapapun pertumbuhan uang hanya akan menyebabkan inflasi dan tidak akan mengubah steady state kapital. Oleh karena itu, level output termasuk pertumbuhan ekonomi juga tidak akan berubah. Stockman (1981) mengemukakan bahwa inflasi berhubungan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut Stockman, kenaikan inflasi akan menurunkan level steady state output. Selain itu inflasi juga membuat nilai kekayaan masyarakat berkurang. Dia menambahkan uang tergolong unsur komplemen dalam pembentukan modal. Logika yang dikemukakan oleh Stockman adalah belanja barang dan proses akumulasi modal diawali oleh ketersediaan kas/tabungan yang memadai. Ketika terjadi inflasi, daya beli uang turun, masyarakat dan perusahaan akan mengurangi konsumsinya baik dalam bentuk barang ataupun aset. Akibatnya akumulasi modal juga berkurang sehingga berdampak pada turunnya aktivitas perekonomian. Kesimpulan akhir teori NeoKlasik adalah inflasi bisa berdampak positif, berdampak negatif atau netral terhadap pertumbuhan ekonomi. Teori Neo-Keynesian Konsep terkenal yang dihasilkan teori Neo-Keynesian adalah “output potensial”, yaitu tingkat output optimal di mana seluruh kapasitas produksi sudah 9 digunakan. Konsep output potensial juga berhubungan erat dengan pengangguran natural atau sering disebut dengan istilah Non-Accelerating Inflation Rate of Unemployment (NAIRU). NAIRU merupakan tingkat pengangguran di saat inflasi sudah tidak mengalami perubahan (konstan). Menurut ekonom Neo-Keynesian, seperti yang dipaparkan oleh Gokal dan Hanif (2004), inflasi dalam model ini ditentukan secara endogen yang besarannya tergantung pada output aktual dan tingkat pengangguran natural (NAIRU). Ketika output aktual lebih besar dari nilai potensialnya sementara pengangguran lebih rendah dari NAIRU (ceteris paribus), maka inflasi akan direspon produsen dengan cara meningkatkan harga komoditasnya. Selain itu rasionalisasi jumlah tenaga kerja juga dilakukan, yang hasil akhirnya kurva Philips bergeser menuju kondisi stagflasi, yaitu inflasi semakin tinggi dan tingkat pengangguran semakin besar. Sebaliknya saat output aktual berada di bawah nilai potensial dan tingkat pengangguran melebihi NAIRU (ceteris paribus), produsen berupaya mengurangi excess supply dengan jalan menurunkan harga komoditas yang diproduksinya. Kesediaan para pekerja untuk dibayar lebih murah asal mendapat pekerjaan, semakin memperlancar langkah produsen untuk mengambil kebijakan disinflasi. Akibatnya kurva Philips bergeser menuju kondisi yang diharapkan, inflasi rendah dan tingkat pengangguran kecil. Kelompok Neo-Keynesian melanjutkan, tatkala output aktual sama dengan nilai potensialnya dan tingkat pengangguran berada pada NAIRU (ceteris paribus), inflasi tidak akan berubah, kecuali ada supply shock. Dalam jangka panjang, kurva Philips berbentuk vertikal. Dari ketiga kemungkinan di atas, terdapat satu masalah yang kemudian muncul, yaitu nilai output potensial dan NAIRU tidak diketahui secara pasti. Identik dengan ekonom Neo-Klasik, kelompok Neo-Keynesian juga menyimpulkan bahwa inflasi bisa berpengaruh positif, berpengaruh negatif atau netral terhadap pertumbuhan ekonomi. Teori Pertumbuhan Endogen Menurut teori pertumbuhan Endogen, skala ekonomi, increasing return of scale serta perkembangan teknologi memegang peranan penting dalam pertumbuhan output. Dalam teori ini, pertumbuhan output sangat tergantung pada satu variabel, yaitu tingkat pengembalian modal (the rate of return in capital). Variabel-variabel seperti inflasi yang dapat menurunkan nilai pengembalian tersebut pada gilirannya juga akan mengurangi akumulasi modal, sehingga mengkonstraksi output (Gokal dan Hanif 2004). Berbeda dengan Neo-Klasik, teori Pertumbuhan Endogen menyatakan bahwa perkembangan teknologi bersifat endogen. Selain itu produk marginal dari kapital adalah konstan, bukan diminishing return. Secara sederhana teori ini bisa dijabarkan melalui model berikut: (3) Y = f (A,K) di mana: Y : output A : teknologi dan semua faktor yang memengaruhinya K : modal, yang terdiri atas modal fisik dan sumber daya manusia. Dari formula di atas terlihat bahwa pertumbuhan output tidak hanya dipengaruhi oleh the rate of return physical capital, tetapi juga the rate of return human capital. Gokal dan Hanif (2004) menyatakan, keberadaan inflasi atau pajak 10 akan mengurangi nilai return dari kedua modal tersebut yang pada akhirnya juga menurunkan output. Kesimpulan teori pertumbuhan Endogen adalah inflasi berhubungan negatif dengan pertumbuhan ekonomi. Tinjauan Empiris Hubungan Linear Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi Pada tataran empiris, studi untuk menguji hubungan linear inflasi dan pertumbuhan ekonomi umumnya menggunakan pendekatan ordinary least squares (OLS), baik dalam bentuk analisis data panel ataupun regresi deret waktu. Lingkup variabel yang digunakan pun dibagi dua, bivariate yaitu hanya inflasi dan pertumbuhan ekonomi, serta multivariate, yaitu inflasi dan pertumbuhan ekonomi ditambah beberapa variabel kontrol. Sama halnya dengan kajian teoritis, hasil yang didapat dalam uji empiris juga cenderung divergen, yaitu inflasi berhubungan positif, berhubungan negatif dan netral terhadap pertumbuhan ekonomi. Ulasan mengenai inflasi dan pertumbuhan ekonomi pertama kali dirintis oleh seorang ekonom IMF yang bernama U Tun Wai di tahun 1959. Dengan unit observasi 31 negara dalam kurun 1938 hingga 1954 (periode setiap negara berbeda-beda), Wai mengkorelasikan inflasi dengan pertumbuhan ekonomi5 dan memplotkan koefisien yang signifikan ke dalam sebuah grafik. Sebelumnya, periode pengamatan dikelompokkan menjadi 4 hingga 9 tahunan. Hasil plotting tersebut selanjutnya digunakan untuk membuat suatu garis sehingga bisa dilihat bagaimana keterkaitan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Kesimpulan yang diperoleh adalah tidak terdapat hubungan yang signifikan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 1963, Dorrance mencoba membandingkan rata-rata tingkat inflasi dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi di 31 negara dari tahun 1948 sampai dengan 1961. Dalam penelitian ini, unit observasi dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu negara dengan inflasi rendah, negara berinflasi moderat serta negara dengan inflasi tinggi. Sama dengan Wai (1959), Dorrance tidak mendapatkan bukti yang cukup bahwa inflasi memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Tahun 1973, Robert E. Lucas melakukan penelitian dengan judul “Some International Evidence on Output-Inflation Tradeoff”. Unit observasi yang diambil adalah gabungan 18 negara maju dan berkembang dari tahun 1951 hingga 1967. Hasil OLS bivariate menyatakan terdapat hubungan positif dan signifkan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Fischer (1983) membangun sebuah model bivariate dengan menggunakan data gabungan cross-sections dan time-series dari 53 negara (31 negara berkembang dan 22 negara maju). Melalui artikel yang berjudul “Inflation and Growth”, Fischer membagi periode penelitian menjadi dua yaitu 1961-1973 dan 1973-1981. Kesimpulan yang diperoleh adalah terdapat hubungan negatif dan signifikan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. 5 inflasi didekati oleh indeks biaya hidup, sedangkan pertumbuhan ekonomi diproksi dengan pendapatan nasional, pendapatan perkapita serta pendapatan nasional dan pendapatan nasional perkapita yang telah disesuaikan dengan term of trade 11 Jung dan Marshall (1986) mengidentifikasi hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi di 57 negara (38 negara berkembang dan 19 negara maju) dari tahun 1950 sampai dengan 19806. Berdasarkan uji kausalitas Granger, disimpulkan bahwa inflasi di 16 negara berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Di dua negara yang lain yaitu Mesir dan Urugay, inflasi berhubungan positif. Sedangkan sisanya, yaitu 38 negara, Jung dan Marshall tidak menemukan adanya hubungan dari kedua variabel tersebut. Karena hasil yang diperoleh cukup beragam, akhirnya penelitian ini tidak berhasil memberikan kesimpulan yang pasti mengenai hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Barro (1995a) merupakan ekonom berikutnya yang membuktikan adanya hubungan negatif antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Melalui makalah yang berjudul “Inflation and Growth”, Barro mengulas pengaruh inflasi dan beberapa variabel kontrol7 terhadap pertumbuhan ekonomi di 78-89 negara maju dan berkembang dari tahun 1965 sampai dengan 19908. Alat analisis yang digunakan berupa regresi instrumental variable. Sepehri dan Moshiri (2004) melalui regresi data panel menyimpulkan, inflasi berdampak negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Analisis dilakukan pada data 92 negara dari tahun 1960 hingga 1996, dengan variabel berupa inflasi, pertumbuhan ekonomi, investasi, PDB perkapita, tingkat partisipasi sekolah, pertumbuhan penduduk, ekspor dan defisit anggaran. Pada tahun 2006, Min Li meneliti fenomena inflasi dan pertumbuhan ekonomi di 117 negara. Dalam penelitiannya, Li mengadopsi dua model, pertama growth equation dengan sampel 27 negara maju dan 90 negara berkembang mulai tahun 1961 hingga 2004. Variabel yang digunakan terdiri dari pertumbuhan PDB, inflasi, pembentukan modal tetap bruto (PMTB), PDB perkapita awal tahun, pengeluaran pemerintah serta terms of trade. Model kedua growth accounting equation, yang meliputi 27 negara maju (1961-2004) dan 63 negara berkembang (1961-1990), dengan variabel pertumbuhan PDB, inflasi, total faktor produktivitas (TFP) dan pertumbuhan angkatan kerja. Hasil regresi data panel menyimpulkan inflasi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Liwan dan Lau (2007) melakukan penelitian dengan judul “Managing Growth: The Role of Export, Inflation and Investment in three ASEAN Neighboring Countries”. Lingkup observasi adalah Indonesia, Malaysia dan Thailand dari tahun 1976 sampai 2005. Hasil uji vector error correction model menyatakan inflasi berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi di negara Malaysia dan Thailand, sedangkan di Indonesia, inflasi justru berkontribusi positif. Variabel yang digunakan meliputi PDB, ekspor, investasi dan inflasi. Analisis grafik tiga dimensi dan regresi fixed effect oleh Rousseau dan Yilmazkuday (2009) menyimpulkan inflasi berhubungan negatif dengan pertumbuhan ekonomi. Unit observasi terdiri dari 84 negara maju dan berkembang dengan periode penelitian 1960 hingga 2004. Variabel yang digunakan adalah pertumbuhan PDB perkapita, inflasi, PDB awal tahun, derajat 6 7 8 panjang tahun berbeda-beda di setiap negara rata-rata lama sekolah, angka harapan hidup, pengeluaran pemerintah, indeks demokrasi, indeks kepastian hukum, investasi dan angka kelahiran Barro membagi periode penelitian menjadi tiga dan disesuaikan dengan ketersediaan data, yaitu 1965-1975 (78 negara), 1975-1985 (89 negara) dan 1985-1990 (84 negara) 12 keterbukaan ekonomi, pengeluaran pemerintah, jumlah uang beredar serta tingkat partisipasi sekolah. Yeh (2012) mengeksplorasi kemungkinan hubungan dua arah antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi di 140 negara dari 1970 sampai 2005. Alat analisis yang digunakan berupa panel OLS dan model persamaan simultan dengan variabel seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, rasio pendapatan perkapita negara sampel terhadap pendapatan perkapita Amerika Serikat, investasi, pengeluaran pemerintah, jumlah uang beredar, keterbukaan ekonomi serta pertumbuhan penduduk. Di akhir makalahnya, Yeh menyimpulkan bahwa inflasi berdampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara pertumbuhan ekonomi dapat menyebabkan terjadinya inflasi. Smyth (1992) merupakan ekonom pertama yang fokus meneliti perilaku inflasi dan pertumbuhan ekonomi di satu negara. Unit observasi yang diambil adalah Amerika Serikat dengan rentang penelitian 1955 hingga 1990. Dari estimasi OLS bivariate disimpulkan bahwa inflasi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Nell (2000), dengan vector autoregressions mengidentifikasi hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Afrika Selatan dari tahun 1960 sampai dengan 1999. Di akhir tulisan, Nell mengemukakan bahwa inflasi tinggi berdampak buruk bagi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya inflasi rendah (satu digit) justru mendorong pertumbuhan ekonomi. Black et al. (2001), dengan pendekatan regresi data panel dan regresi crosssection menyatakan, pada era 1980-an inflasi di Amerika Serikat berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan era 1960-an ataupun 1970-an, inflasi berhubungan negatif dengan pertumbuhan ekonomi. Gokal dan Hanif (2004) menyatakan, ada hubungan negatif antara inflasi dengan pertumbuhan ekonomi di Fiji, namun hubungan tersebut lemah. Metode yang digunakan berupa matriks korelasi dan uji kausalitas Granger dengan jangka waktu observasi 1970 hingga 2003. Nasir dan Saima (2010) menyatakan, dalam kurun 1961 sampai 2008, kenaikan inflasi di Pakistan sebesar 10% akan menurunkan pertumbuhan ekonomi sekitar 19%. Dengan kata lain penelitian yang menggunakan OLS multivariate dengan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, investasi dan jumlah penduduk tersebut mendukung argumen bahwa inflasi berdampak negatif terhadap perekonomian. Hasil berbeda ditunjukkan Hussain dan Malik di tahun 2011. Berdasarkan uji error correction model, disimpulkan bahwa ada hubungan positif dua arah antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Pakistan selama 1960 hingga 2006. Dalam studi yang menggunakan observasi beberapa negara, Indonesia telah dilibatkan sebagai salah satu sampel, misalnya Fischer (1993), Barro (1995a), Sepehri dan Moshiri (2004), Li (2006), Rousseau dan Yilmazkuday (2009) serta Yeh (2012) yang seluruhnya menyatakan inflasi berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, Liwan dan Lau (2007) menyimpulkan inflasi akan mendorong tumbuhnya ekonomi. Sementara Dorrance (1963) atau Jung dan Marshall (1986), justru tidak menemukan bukti yang kuat adanya hubungan dari kedua variabel tersebut. Penelitian tentang inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang secara spesifik mengambil kasus Indonesia masih sangat terbatas. Walaupun demikian, ada satu 13 kajian yang cukup populer yaitu “Indonesia's Monetary Policy Dilemma: Constraints of Inflation Targeting” oleh Chowdhury dan Siregar di tahun 2004. Melalui uji kausalitas Granger, ditemukan bahwa ada hubungan timbal balik antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Hasil analisis lebih lanjut dengan bivariate vector autoregressions menunjukkan shock satu standar deviasi terhadap inflasi tidak memberikan efek yang besar pada pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia tidak terlalu signifikan (beberapa periode berpengaruh negatif, positif dan netral). Hubungan Taklinear Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi Berdasarkan beberapa uji hubungan linear seperti yang telah diuraikan sebelumnya, disimpulkan bahwa inflasi bisa berpengaruh positif ataupun negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam perkembangannya, para ekonom menyatakan dampak buruk inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi hanya terjadi ketika angka inflasi tersebut tinggi. Sementara bila inflasi masih tergolong rendah justru bisa mendorong tumbuhnya ekonomi. Meskipun demikian, belum ada kesepakatan pada level berapa inflasi dikatakan rendah dan pada level berapa inflasi disebut tinggi. Hal ini mendorong para peneliti untuk mencari titik optimal/ambang batas (threshold) inflasi melalui uji hubungan taklinear. Deteksi kemungkinan munculnya hubungan taklinear antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi telah diawali oleh Stanley Fischer pada tahun 1993. Dengan pendekatan spline regressions pada data 93 negara maju dan berkembang dari tahun 1965 hingga 1990, dibuktikan bahwa inflasi tinggi (di atas 40%) memiliki dampak negatif yang lebih besar dibandingkan inflasi rendah. Dalam penelitian tersebut nilai threshold ditentukan secara arbitrase yaitu 15% dan 40%. Tiga variabel dependen yang digunakan meliputi pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan investasi dan total produktivitas. Sedangkan enam indikator yang berfungsi sebagai variabel independen terdiri dari inflasi rendah (kurang dari 15%), inflasi moderat (antara 15% dan 40%), inflasi tinggi (di atas 40%), defisit fiskal, terms of trade, dan the black market premium. Barro (1995b) dalam makalah yang berjudul “Inflation and Economic Growth” menyimpulkan inflasi akan berpengaruh negatif dan signifikan ketika nilainya melebihi 40% (sama seperti Fischer, nilai threshold ditetapkan 15% dan 40%). Data 78-89 negara maju dan berkembang dari tahun 1965 sampai dengan 19909 digunakan sebagai obyek penelitian. Dengan metode 3SLS instrumental variable, Barro meregresikan pertumbuhan ekonomi, inflasi, variabilitas inflasi, partisipasi sekolah menurut jenis kelamin, angka harapan hidup, modal manusia, angka kelahiran, rasio investasi terhadap PDB, rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDB, rasio pengeluaran pendidikan terhadap PDB, the black market premium, indeks kepastian hukum, pertumbuhan terms of trade, indeks demokrasi dan indeks demokrasi dikuadatkan. Bruno dan Easterly (1995) juga mendapatkan nilai threshold di 127 negara maju dan berkembang sebesar 40%. Alat analisis yang digunakan berupa pooled panel regressions, dengan variabel pertumbuhan PDB perkapita, inflasi dan deviasi pertumbuhan PDB perkapita dari rata-rata PDB perkapita dunia. 9 Barro membagi periode penelitian menjadi tiga dan disesuaikan dengan ketersediaan data, yaitu 1965-1975 (78 negara), 1975-1985 (89 negara) dan 1985-1990 (84 negara) 14 Judson dan Orphanides (1996) menggunakan panel spline regressions untuk menemukan titik optimal inflasi di 142 negara maju dan berkembang. Dengan beberapa variabel seperti pertumbuhan PDB perkapita, inflasi rendah (kurang dari 10%), inflasi sedang (antara 10% dan 40%,) inflasi tinggi (lebih dari 40%), logaritma rasio investasi terhadap PDB, logaritma standar deviasi inflasi rendah (kurang dari 0.05), logaritma standar deviasi inflasi sedang (antara 0.05 dan 0.10), serta logaritma standar deviasi inflasi tinggi (lebih dari 0.10), dua ekonom ini menyatakan inflasi masih relatif aman bila nilainya kurang dari 10%. Sebagai informasi, periode penelitian dimulai dari tahun 1959 hingga 1992. Sarel (1996), melalui OLS mengidentifikasi nilai structural break inflasi di 87 negara maju dan berkembang mulai tahun 1970 sampai 1990 (20 series data dibagi menjadi 4 periode). Variabel yang digunakan terdiri dari pertumbuhan ekonomi, inflasi, ekstra inflasi, terms of trade, nilai tukar riil, pengeluaran pemerintah, serta investasi. Prosedur pemilihan nilai structural break didasarkan pada dummy ekstra inflasi yang memaksimumkan besaran R2 atau meminimumkan RSS. Dari uji coba beberapa kandidat, akhirnya diperoleh angka structural break 8%. Pada tahun 2001, Khan dan Senhadji menerapkan uji panel conditional least square untuk mencari nilai threshold inflasi di 140 negara maju dan berkembang selama 1960 sampai dengan 1998. Variabel yang diambil terdiri dari pertumbuhan ekonomi, inflasi (untuk menjaga normalitas, Khan dan Senhadji menggunakan logaritma inflasi), rasio investasi terhadap PDB, pertumbuhan penduduk, pendapatan perkapita awal tahun (karena seluruh data observasi dirata-rata menjadi lima tahunan) dan pertumbuhan terms of trade. Uji coba threshold inflasi dimulai dari angka 1% hingga 100% (kecuali negara maju, maksimal 30%), yang kemudian dipilih berdasarkan nilai RSS paling minimum. Kesimpulan yang diperoleh adalah, untuk seluruh sampel nilai threshold inflasi sebesar 11%. Di negara maju, titik inflasi optimal berada di angka 1-3%. Sementara bagi negara berkembang nilai threshold inflasi berkisar 11% sampai 12 %. Sepehri dan Moshiri (2004) mencari threshold inflasi di 92 maju dan berkembang dari tahun 1960 sampai dengan 1996. Dalam penelitian ini, Sepehri dan Moshiri mengelompokkan sampel menjadi empat, yaitu OECD, negara berpendapatan menengah atas, negara berpendapatan menengah bawah dan negara berpendapatan rendah. Variabel yang digunakan terdiri dari inflasi, pertumbuhan ekonomi, investasi, PDB perkapita, tingkat partisipasi sekolah, pertumbuhan penduduk, ekspor dan defisit anggaran. Melalui analisis panel spline regressions ditemukan bahwa threshold inflasi di negara berpendapatan menengah atas sebesar 4%, di negara berpendapatan menengah bawah 15% dan di negara berpendapatan rendah sebesar 21%. Sementara di negara yang tergabung dalam OECD tidak ditemukan nilai threshold. Li (2006) mengadopsi metode Khan dan Senhadji (2001) untuk mendeteksi titik optimal inflasi (pistar) di 117 negara. Model yang dianalisis ada dua, pertama growth equation dengan sampel 27 negara maju dan 90 negara berkembang mulai tahun 1961 hingga 2004. Variabel yang digunakan terdiri dari pertumbuhan PDB, inflasi, PMTB, PDB perkapita awal tahun, pengeluaran pemerintah serta terms of trade. Model kedua growth accounting equation, yang meliputi 27 negara maju (1961-2004) dan 63 negara berkembang (1961-1990), dengan variabel pertumbuhan PDB, inflasi, total faktor produktivitas (TFP) dan pertumbuhan 15 angkatan kerja. Kesimpulan Li adalah titik optimal inflasi (pistar) di seluruh negara sampel dan di negara berkembang berada pada angka yang sama yaitu 14% dan 38%. Sedangkan titik optimal inflasi (pistar) di negara maju sebesar 24%. Rousseau dan Yilmazkuday (2009) menemukan nilai threshold inflasi di 84 negara maju dan berkembang berada di antara 4% dan 19%. Alat analisis yang digunakan berupa TSLS instrumental variable dan pendekatan grafik trilateral dengan variabel meliputi inflasi, pertumbuhan ekonomi, angka partisipasi sekolah sekunder, pengeluaran pemerintah, derajat keterbukaan ekonomi serta jumlah uang beredar (M1 dan M3). Periode penelitian mulai dari 1960 hingga 2004. Kremer et al. (2012) mengidentifikasi nilai threshold inflasi di 124 negara maju dan berkembang mulai tahun 1950 sampai 2004. Metode yang digunakan berupa regresi panel dinamis, dengan variabel meliputi inflasi, pertumbuhan ekonomi, investasi, term of trade, pertumbuhan penduduk, PDB perkapita awal tahun serta derajat keterbukaan ekonomi. Hasil yang didapat adalah nilai threshold inflasi di negara maju sebesar 2%, sementara untuk negara berkembang sebesar 17%. Studi threshold inflasi untuk kasus satu negara bisa dikatakan sangat terbatas. Pada umumnya studi-studi tersebut mengambil sampel negara berkembang (Morrar 2011). Kannan dan Joshi (1998) mengawali studi threshold inflasi di India (1981/1982-1995/1996). Variabel yang digunakan terdiri dari IHPB, pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan sektor pertanian, terms of trade serta investasi. Prosedur pencarian nilai threshold dan alat analisis mengacu pada Sarel (1996). Kesimpulan yang diperoleh adalah inflasi berdampak negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi ketika nilainya berada di atas 6%. Apabila inflasi berada dibawah 6%, dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi tidak signifikan. Gokal dan Hanif (2004) menggunakan distribusi frekuensi (analisis bivariate) untuk mencari nilai threshold inflasi di Fiji pada periode 1970 hingga 2003. Kesimpulan yang didapat adalah inflasi akan menghambat perekonomian apabila nilainya melebihi 5%. Lee dan Wong (2005) mendapatkan nilai threshold inflasi di Jepang sebesar 9.66% dan di Taiwan 7.25%. Metode yang digunakan berupa threshold autoregressions (TAR), dengan variabel meliputi pertumbuhan ekonomi, inflasi, pertumbuhan penduduk, pertumbuhan PMTB, perkembangan keuangan, serta pertumbuhan ekspor. Periode penelitian adalah 1970Q1 sampai 2001Q4 untuk Jepang dan 1965Q1 hingga 2002Q4 untuk Taiwan. Munir dan Mansur (2009) menemukan nilai threshold inflasi di Malaysia selama 1970 hingga 2005 sebesar 3.89%. Metode yang digunakan adalah conditional least square dengan variabel inflasi, pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan uang beredar (M2), pertumbuhan PMTB, FDI dan pertumbuhan ekspor. Frimpong dan Oteng-Abayie (2010) mencari nilai threshold inflasi di Ghana pada periode 1960 sampai 2008. Melalui metode Khan dan Senhadji (2001) serta alat analisis OLS dan TSLS, ditemukan bahwa nilai threshold inflasi di Ghana sebesar 11%. Inflasi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi ketika nilainya di bawah 11% dan akan berdampak negatif apabila nilainya melebihi 11%. Variabel yang digunakan terdiri atas inflasi, pertumbuhan ekonomi, 16 pertumbuhan investasi, pertumbuhan jumlah uang beredar, pertumbuhan angkatan kerja, dan pertumbuhan terms of trade. Doguwa (2013) membandingkan metode Sarel (1996), Khan dan Senhadji (2001) serta Drukker et al. (2005) untuk mendeteksi threshold inflasi di Nigeria selama 2005Q1 hingga 2012Q1. Variabel yang digunakan terdiri atas inflasi, pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi dunia. Dari ketiga metode tersebut, hanya metode Khan dan Senhadji (2001) dan Drukker et al. (2005) yang berhasil menemukan threshold inflasi di Nigeria, yaitu masing-masing sebesar 10.50% dan 12%. Indonesia pada dasarnya telah dilibatkan sebagai salah satu sampel dalam studi threshold inflasi di beberapa negara. Hasil yang didapat sebagaimana terlihat pada Tabel 2 berikut ini: Tabel 2 Studi threshold inflasi berbagai negara yang melibatkan Indonesia sebagai salah satu sampel Studi Nilai threshold Dampak inflasi Dampak inflasi inflasi ketika di bawah ketika di atas threshold threshold (2) (3) Fischer (1993) (1) 15% dan 40% <15%: tidak signifikan Barro (1995b) 15% dan 40% <15%: tidak signifikan Bruno dan Easterly (1995) Judson dan Orphanides (1996) Sarel (1996) 40% Khan dan Senhadji (2001) Sepehri dan Moshiri (2004) Li (2006) 11%-12% positif, signifikan positif, tidak signifikan positif, tidak signifikan positif, tidak signifikan positif, signifikan <14%: positif, signifikan Rousseau dan Yilmazkuday (2009) 10% 8% 4% 14% dan 38% 4%-19% <4%: positif, signifikan Kremer et al. (2012) 17% tidak signifikan Sumber: Kompilasi penulis dari berbagai jurnal (4) 15%-40%: negatif dan signifikan >40%: negatif dan signifikan 15%-40%: negatif dan signifikan >40%: negatif dan signifikan negatif, signifikan negatif, signifikan negatif, signifikan negatif, signifikan negatif, signifikan 14%-38%: negatif dan signifikan >38%: negatif dan signifikan 4%-19%: negatif dan signifikan >19%: negatif dan signifikan negatif, signifikan 17 Studi threshold inflasi yang secara spesifik meneliti Indonesia, sepanjang pengetahuan penulis baru ada dua, yaitu Chowdhury dan Siregar (2004) dan Chowdhury dan Ham (2009). Chowdhury dan Siregar (2004) menggunakan persamaan kuadratik dan menemukan nilai threshold inflasi di Indonesia sebesar 20.50%. Interpretasinya adalah inflasi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi ketika nilainya di bawah 20% dan akan berdampak negatif apabila nilainya melebihi 20%. Sementara hasil estimasi threshold vector autoregressions (TVAR) yang dilakukan oleh Chowdhury dan Ham (2009) menyimpulkan threshold inflasi di Indonesia berada di antara 8.50% hingga 11%. Kerangka Pemikiran Beberapa teori ekonomi dan temuan empiris menyatakan bahwa inflasi tinggi berdampak buruk terhadap perekonomian, walaupun hubungan dari kedua variabel tersebut sebenarnya masih menjadi perdebatan. Indonesia pernah mengalami keterpurukan ekonomi sebagai akibat tingginya inflasi yang akhirnya mendorong pemerintah menerapkan kebijakan inflasi rendah. Dalam praktiknya pengendalian inflasi di Indonesia memunculkan dilema. Selain itu, ketika inflasi ditekan hingga ke level rendah, pertumbuhan ekonomi ternyata juga tidak terlalu tinggi. Hal ini kontradiktif dengan gagasan para ekonom yang pernah menyatakan inflasi rendah dan stabil dapat mendorong laju pertumbuhan ekonomi dengan cepat. Di sisi lain pola data inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia sebenarnya juga tidak konsisten (menunjukkan hubungan positif, negatif dan netral). Dari dua masalah di atas perlu diketahui bagaimana pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi, dan berapa inflasi optimal yang seharusnya ada di Indonesia, sehingga bisa dirumuskan kebijakan yang ideal. Secara ringkas alur pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4. 18 Inflasi tinggi berdampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi, meskipun hubungan keduanya masih diperdebatkan Data inflasi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan pola tidak konsisten Perekonomian Indonesia pernah terpuruk akibat tidak mampu menekan laju inflasi Pengendalian inflasi di Indonesia Pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia Implementasi Hasil Dilema Kebijakan Biaya oportunitas pengendalian inflasi cukup tinggi Era Orde Baru: inflasi 11.15%, pertumbuhan ekonomi 6.63% Era ITF: inflasi 6.01%, pertumbuhan ekonomi 5.92% Variabel kontrol: ï‚· Investasi ï‚· Angkatan kerja ï‚· Terms of trade ï‚· Uang beredar Estimasi inflasi optimal di Indonesia Implikasi kebijakan Gambar 4 Alur kerangka pemikiran Hipotesis Penelitian Berdasarkan latar belakang, permasalahan, dan tinjauan pustaka, maka hipotesis yang diuji melalui penelitian ini adalah inflasi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. 19 3 METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder tahunan mulai dari 1970 hingga 2012 yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia dan Bank Dunia. Data-data tersebut selanjutnya dijadikan dasar untuk membangun variabel-variabel dalam regresi seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, pertumbuhan investasi, pertumbuhan angkatan kerja, pertumbuhan terms of trade, dan pertumbuhan jumlah uang beredar. Pertumbuhan ekonomi dihitung dari pertumbuhan PDB riil. Inflasi diperoleh dari perubahan Indeks Harga Konsumen (IHK) tahunan dengan tahun dasar 2007. Pertumbuhan investasi diproksi dengan perubahan nilai Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB). Sementara pertumbuhan angkatan kerja dihitung dari perubahan jumlah angkatan kerja. Karena data jumlah angkatan kerja series tahunan di Indonesia secara resmi (dari Sakernas) baru rilis mulai tahun 1984, sedangkan di periode sebelumnya hanya ada pada tahun-tahun tertentu (1961 (Sensus Penduduk), 1971 (Sensus Penduduk) serta 1976 (Sakernas)), maka untuk melengkapi data yang kosong dilakukan metode interpolasi. Pertumbuhan terms of trade diproksi dengan perubahan rasio jumlah ekspor terhadap impor, sedangkan pertumbuhan jumlah uang beredar diperoleh dari perubahan jumlah uang beredar dalam arti luas (M2). Variabel dan sumber data penelitian secara ringkas bisa dilihat pada Tabel 3 berikut ini: Tabel 3 Variabel dan sumber data penelitian Variabel Keterangan Satuan (1) (2) Sumber (3) (4) Pertumbuhan ekonomi Pertumbuhan PDB Riil Persen BPS Pertumbuhan investasi Pertumbuhan PMTB nominal Perubahan IHK Perubahan jumlah angkatan kerja Perubahan rasio jumlah ekspor terhadap jumlah impor Perubahan jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) Persen Bank Dunia Persen Persen BPS BPS Persen Bank Dunia, BPS Persen Bank Indonesia Inflasi Pertumbuhan angkatan kerja Pertumbuhan terms of trade Pertumbuhan jumlah uang beredar Metode Analisis Metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian terdiri atas analisis deskriptif dan analisis ekonometrika berupa regresi linear berganda dan regresi threshold yang keduanya diestimasi dengan ordinary least square (OLS). Prosedur analisis secara ringkas disajikan dalam gambar berikut: 20 Prosedur Analisis Gambaran inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia ï‚· Pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia ï‚· Estimasi nilai threshold inflasi di Indonesia Analisis Deskriptif Analisis Ekonometrika Analisis Trend Analisis Regresi Linear Berganda Analisis Regresi Threshold Implikasi dan Kebijakan Gambar 5 Ringkasan prosedur analisis Analisis Deskriptif Analisis deskriptif merupakan analisis statistik yang menggambarkan atau mendeskripsikan data menjadi informasi yang lebih jelas dan mudah dipahami, dengan bantuan tabel dan grafik yang berhubungan dengan penelitian. Analisis deskripsi yang disajikan dalam penelitian ini berupa gambaran umum perkembangan inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia mulai tahun 1970 hingga 2012. Analisis Regresi Linear Berganda Analisis regresi linear berganda adalah suatu analisis yang digunakan untuk mengetahui pengaruh suatu variabel yang disebut variabel independen (variabel bebas) terhadap variabel dependen (variabel takbebas). Untuk memastikan tidak terjadi spurious regressions, maka semua data yang digunakan harus diuji kestasionerannya, baik data pada variabel dependen maupun variabel independen. Uji Unit Root Data deret waktu dikatakan stasioner jika memenuhi tiga kriteria yaitu nilai tengah (rata-rata) dan ragamnya konstan dari waktu ke waktu serta peragam (covariance) antara dua deret waktu hanya bergantung pada lag di antara dua periode waktu tersebut. Metode yang banyak digunakan untuk menguji kestasioneran data adalah uji unit root (uji akar-akar unit). Ada beberapa cara untuk melakukan uji unit root, namun yang paling banyak diadopsi adalah Augmented Dicky Fuller (ADF) test dengan rumus: (4) 21 di mana adalah white noise, , T merupakan tren, dan . Pada ADF, yang akan diuji adalah apakah δ = 0, dengan hipotesis alternatif δ < 0. Jika t-hitung untuk δ lebih kecil dari nilai ADF, maka hipotesis nol yang mengatakan bahwa data tidak stasioner ditolak. Persamaan Regresi Linear Berganda Persamaan yang digunakan dalam regresi linear berganda adalah: (5) di mana: i t = = = = = = = variabel dependen variabel independen konstanta (intercept) perubahan Y akibat perubahan Xi, ceteris paribus error (kesalahan pengganggu) pada waktu ke-t 1...k = banyak variabel periode Analisis Regresi Threshold Analisis regresi threshold merupakan pengembangan dari analisis regresi linear berganda, yang pada intinya membagi unit estimasi menjadi dua rezim atau lebih. Secara umum, model yang digunakan dalam analisis regresi threshold adalah sebagai berikut: (6) di mana adalah variabel dependen, Xt merupakan matriks variabel independen, I fungsi indikator, adalah variabel threshold, k merupakan nilai threshold dan adalah residual. Untuk mengestimasi model, ada dua cara yang bisa dilakukan, yang pertama melalui OLS apabila nilai threshold sudah diketahui dan yang kedua dengan conditional least squares apabila nilai threshold belum diketahui. Prinsip dari conditional least squares adalah mencari nilai threshold dan nilai parameter slope secara bersama-sama. Hansen (1997) merekomendasikan model yang dipilih adalah model dengan nilai residual sum of squares (RSS) minimal. Enders (2004) menyarankan 15% nilai minimum dan 15% nilai maksimum pada variabel threshold tidak dimasukkan sebagai kandidat nilai threshold untuk menjamin kecukupan derajat bebas pada masing-masing rezim. Dalam penelitian ini nilai threshold belum diketahui sehingga estimasi model menggunakan cara yang kedua yaitu conditional least squares dengan prosedur sebagai berikut: untuk setiap nilai threshold k model diestimasi melalui OLS yang kemudian diperoleh residual sum of squares (RSS) sebagai fungsi dari k. Secara statistik prosedur conditional least squares bisa dinotasikan: (7) di mana Y adalah variabel dependen, X merupakan matriks variabel independen dan adalah vektor parameter. Pada persamaan tersebut terlihat bahwa vektor koefisien diindekskan dengan k yang menunjukkan adanya ketergantungan pada nilai threshold yang berkisar dari hingga . Apabila RSS dinotasikan sebagai S1(k), maka nilai threshold k yang dipilih (k*) adalah nilai k yang meminimumkan RSS, atau: k* = argmin [ S1(k), ] (8) 22 Setelah nilai threshold didapatkan, perlu diuji apakah keberadaan threshold tersebut signifikan. Menurut Hansen (1999), cara melakukan uji signifikansi nilai threshold adalah melalui penghitungan nilai Likelihood Ratio pada H0, yaitu: (9) di mana n merupakan jumlah sampel, S0 adalah RSS untuk H0: dan S1 adalah RSS untuk H1: . Dengan kata lain, S0 merupakan RSS pada model tanpa efek threshold (linear/persamaan 5) dan S1 adalah RSS pada model dengan efek threshold (persamaan 6). Hansen (1999) mengemukakan, dalam model tanpa threshold, nilai k tidak didefinisikan, sehingga tes statistik konvensional seperti uji t memiliki distribusi yang tidak standar. Begitu pula dengan distribusi asymptotic dari yang juga 2 tidak standar dan cenderung mendominasi distribusi χ . Secara umum distribusi uji-uji statistik tersebut bergantung pada moments of sample, sehingga nilai-nilai kritis tidak dapat ditabulasikan. Hansen (1997, 1999, 2000) menyarankan penggunaan metode bootstrap untuk mensimulasikan distribusi asymptotic dari Likelihood Ratio test pada H0 dengan tahapan sebagai berikut: 1. Cari nilai RSS pada model tanpa threshold atau model linear (S0) (persamaan 5) 2. Cari nilai RSS pada model dengan threshold (S1) (persamaan 6) berdasarkan nilai threshold (k) yang meminimumkan RSS 3. Hitung (persamaan 9) 4. Bangun sebuah variabel dependen Y, yaitu berupa nilai ditambah error yang diambilkan secara acak dari distribusi , di mana adalah residual OLS pada model linear. Sebagai catatan, nilai Y berdistribusi normal dengan rata-rata nol dan varian satu, yaitu N(0,1) 5. Gunakan nilai Y hasil bootstrap untuk mengestimasi model tanpa threshold atau model linear dan model dengan threshold, kemudian dapatkan nilai RSS masing-masing (S0(bootstrap), S1(bootstrap)) yang rumusnya sama dengan (persamaan 9) tetapi nilai 6. Hitung RSSnya berasal dari hasil bootstrap 7. Bandingkan nilai dengan , jika nilai lebih besar dari beri angka 1 8. Ulangi langkah 4 sampai 7 sebanyak 1000 kali. Nilai p-value Likelihood Ratio test adalah peluang nilai yang melebihi . Untuk memastikan estimasi bersifat BLUE, maka seluruh model regresi baik yang linear (persamaan 5) maupun model threshold (persamaan 6), harus diuji asumsi dan model regresinya. Uji Asumsi 1. Uji Kenormalan Uji asumsi kenormalan bertujuan untuk mengetahui apakah distribusi dari error menyebar normal dengan rata-rata nol dan varian . Salah satu metode yang banyak digunakan adalah Jarque-Bera test. Uji ini mengukur perbedaan skewness dan kurtosis data yang dibandingkan dengan data dalam kondisi normal. Jarque-Bera test mempunyai distribusi chi-square ( ) dengan derajat bebas dua. Jika hasil Jarque-Bera test lebih kecil dari nilai pada α = 5%, maka terima hipotesis nol yang berarti error berdistribusi normal. Cara lain adalah 23 dengan melihat nilai p-value, apabila nilainya lebih besar dari 5% maka terima hipotesis nol yang berarti error berdistribusi normal dan sebaliknya. 2. Uji Multikolinearitas Multikolinearitas merupakan hubungan linear antarvariabel independen dalam model. Ada tidaknya multikolinearitas dapat dideteksi misalnya dengan melihat korelasi antara dua variabel independen. Bila nilainya lebih besar dari 0.8, maka diindikasikan terjadi masalah multikolinearitas. Cara mengatasi multikolinearitas di antaranya dengan mengeluarkan variabel dengan kolinearitas tinggi atau melakukan transformasi variabel (Juanda 2009). 3. Uji Heteroskedastisitas Salah satu asumsi dari model regresi linear adalah bahwa ragam sisaan ( sama atau homogen atau untuk setiap pengamatan ke-t dari variabel-variabel independen dalam regresi. Apabila kondisi tersebut tidak terpenuhi berarti ada masalah heteroskedastisitas. Metode untuk mendeteksi ada tidaknya masalah heteroskedastisitas salah satunya dengan uji Breusch-Pagan-Godfrey test yang dapat dihitung melalui hasil kali jumlah observasi (Obs) dan R-squared (R2). Secara matematika dirumuskan sebagai berikut: ε = Obs*R-squared (10) Breusch-Pagan test mempunyai distribusi chi-square ( ) dengan derajat bebas satu. Apabila hitung lebih besar dari tabel pada α = 5%, maka tolak hipotesis nol yang berarti terjadi heteroskedastisitas. Apabila hitung lebih kecil dari tabel pada α = 5%, maka terima hipotesis nol yang berarti tidak ada heteroskedastisitas. Cara lain yaitu dengan melihat nilai p-value, apabila nilainya lebih kecil dari 5% maka tolak hipotesis nol yang berarti terjadi heteroskedastisitas dan apabila nilainya lebih besar dari 5% maka terima hipotesis nol yang berarti tidak ada heteroskedastisitas. Heteroskedastisitas bisa diatasi melalui estimasi weighted least squares (WLS) atau metode Newey-West. 4. Uji Autokorelasi Autokorelasi menggambarkan terdapatnya hubungan antarerror. Adanya autokorelasi ini menyebabkan parameter yang akan diestimasi menjadi tidak efisien. Untuk menguji ada tidaknya autokorelasi menggunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. Hipotesis ujinya adalah : H0 : tidak ada masalah autokorelasi. H1 : ada masalah autokorelasi. Jika nilai Obs*R-squared > nilai kritis maka H0 ditolak yang berarti terdapat autokorelasi atau p-value < α maka H0 ditolak yang berarti terdapat autokorelasi. Untuk mengatasi autokorelasi bisa melalui metode Newey-West. Uji Model Regresi 1. Uji F Uji F digunakan untuk melihat pengaruh variabel-variabel independen terhadap variabel dependen secara bersamaan, dengan hipotesis: H0: β1 = β2 = …. = βi = 0; H1: sedikitnya ada satu βi ≠ 0; Statistik uji: (11) 24 dengan RSS adalah residual sum of squares, ESS merupakan error sum of squares, k jumlah variabel independen dan n adalah jumlah sampel. Jika nilai F hitung > Fα;(k-1,n-k) tabel, maka H0 ditolak yang artinya variabel independen dalam persamaan secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen. 2. Uji t Uji t bertujuan untuk menguji signifikansi masing-masing penduga parameter. Hipotesis yang digunakan adalah: H0 : βi = 0 H1 : βi ≠ 0 Statistik uji: (12) di mana adalah penduga koefisien βi (persamaan 5 dan persamaan 6) dan merupakan standar error . Jika nilai t hitung > t tabel (α/2,n-k) maka tolak H0 yang berarti variabel independen tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Cara lain dengan melihat nilai p-value, jika lebih besar dari taraf uji (α) maka H0 diterima. 3. Koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi menjelaskan seberapa besar proporsi variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen. Selain itu, juga untuk mengukur seberapa baik garis regresi yang terbentuk. Koefiesien determinasi merupakan besaran tak negatif dan bernilai antara 0 dan 1 serta dilambangkan dengan nilai R-squared (R2). Semakin dekat R2 dengan nilai satu maka model dapat dikatakan tepat untuk menaksir nilai populasi, dan sebaliknya. Formula untuk menghitung koefisien determinasi adalah: (13) dengan RSS adalah residual sum of squares, ESS merupakan error sum of squares dan TSS adalah total sum of squares. Spesifikasi Model Spesifikasi model dalam penelitian ini mengacu pada model yang digunakan Frimpong dan Oteng-Abayie (2010) dengan variabel utama pertumbuhan ekonomi ( ) dan inflasi ( ), ditambah empat variabel kontrol yaitu pertumbuhan investasi (INVGR), pertumbuhan angkatan kerja (LFGR), pertumbuhan terms of trade (TOTGR), serta pertumbuhan jumlah uang beredar (M2GR) (Tabel 4). Model Linear Model linear pada dasarnya digunakan untuk identifikasi awal apakah terdapat hubungan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Pada model ini, hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi diasumsikan linear. GDPGRt = β0 + β1INFt + β2INVGRt + β3LFGRt + β4TOTGRt + β5M2GRt + (14) Model Threshold Dalam berbagai kajian empiris tentang threshold inflasi, banyak metode yang digunakan sebagai alat analisis, misalnya Metode Sarel (1996), Metode Hansen (1997, 2000), Metode Khan dan Senhadji (2001) serta Metode Drukker et.al (2005). Penelitian ini secara substansi tetap menggunakan model Frimpong dan Oteng-Abayie (2010) namun untuk prosedur mengadopsi dua metode, yaitu 25 Metode Khan dan Senhadji (2001) dan Metode Hansen (1997, 2000) dengan pertimbangan kedua model tersebut cukup sering digunakan. 1. Metode Khan dan Senhadji (2001) Ide Metode Khan dan Senhadji adalah mencari selisih antara inflasi dengan nilai thresholdnya. GDPGRt = β0 + β1 (1–I) (INFt – k) + β2 I (INFt – k) + β3INVGRt +β4LFGRt + β5TOTGRt + β6M2GRt + (15) 2. Metode Hansen (1997, 2000) Ide dari Metode Hansen adalah menggunakan nilai threshold untuk membagi pengamatan menjadi dua rezim, yaitu di bawah nilai threshold atau di atas nilai threshold. GDPGRt = (β10 + β11INFt + β12INVGRt + β13LFGRt + β14TOTGRt + β15M2GRt) I(INFt k) + (β20 + β21INFt + β22INVGRt + β23LFGRt + β24TOTGRt + β25M2GRt) I(INFt > k) + (16) Notasi Tabel 4 Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian Variabel Keterangan (1) (2) GDPGR INF INVGR M2GR I Pertumbuhan PDRB riil Tingkat inflasi Pertumbuhan investasi (pertumbuhan PMTB nominal tahun berjalan) Pertumbuhan angkatan kerja Pertumbuhan terms of trade (pertumbuhan rasio jumlah ekspor terhadap jumlah impor) Pertumbuhan jumlah uang beredar M2 Variabel dummy k ε t Nilai threshold Error term periode LFGR TOTGR (3) Kontinu dalam persen Kontinu dalam persen Kontinu dalam persen Kontinu dalam persen Kontinu dalam tahun Kontinu dalam persen 1, jika INFt > k 0, jika INFt k Diskret dalam persen Definisi Variabel Operasional Definisi variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan perubahan nilai output (Real GDP) dari waktu ke waktu dan diformulasikan sebagai berikut: 2. 3. Inflasi adalah proses meningkatnya harga-harga secara umum dan kontinu berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor Pembentukan modal tetap bruto (PMTB) adalah semua barang modal baru yang digunakan/dipakai sebagai alat untuk berproduksi. PMTB mencakup 26 pengadaan, pembuatan dan pembelian barang-barang modal baru ataupun bekas dari luar negeri. 4. Angkatan kerja adalah jumlah penduduk berusia produktif yang sedang bekerja dan mencari pekerjaan. Indikator ini menggambarkan secara kasar bagian dari penduduk berusia kerja yang terlibat aktif dalam kegiatan perekonomian. 5. Pertumbuhan angkatan kerja adalah pertumbuhan angkatan kerja selama selama tahun berjalan dengan tahun sebelumnya. 6. Terms of trade adalah perbandingan kuantitatif (jumlah atau nilai) antara ekspor dan impor yang mencerminkan posisi perdagangan suatu negara untuk periode watu tertentu 7. Uang beredar adalah kewajiban sistem moneter (Bank Sentral, Bank Umum, dan Bank Perkreditan Rakyat/BPR) terhadap sektor swasta domestik (tidak termasuk pemerintah pusat dan bukan penduduk). Kewajiban tersebut terdiri dari uang kartal yang dipegang masyarakat (di luar Bank Umum dan BPR), uang giral, uang kuasi yang dimiliki oleh sektor swasta domestik, dan surat berharga selain saham yang diterbitkan oleh sistem moneter yang dimiliki sektor swasta domestik dengan sisa jangka waktu sampai dengan satu tahun 8. Uang beredar dalam arti sempit (M1) merupakan uang kartal yang dipegang masyarakat dan uang giral 9. Jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) meliputi M1, uang kuasi, dan surat berharga yang diterbitkan oleh sistem moneter yang dimiliki sektor swasta domestik dengan sisa jangka waktu sampai dengan satu tahun. Prosedur Analisis Pengaruh inflasi dan pertumbuhan ekonomi dianalisis dengan regresi linear berganda. Selain kedua variabel tersebut juga dimasukkan variabel-variabel kontrol lainnya seperti pertumbuhan investasi, pertumbuhan angkatan kerja, pertumbuhan terms of trade serta pertumbuhan jumlah uang beredar. Nilai threshold inflasi dideteksi melalui dua metode regresi threshold yang kemudian diuji signifikansinya dengan skema bootsrapp. Pengolahan data sebagian besar dilakukan melalui program komputer Microsoft Excel 2007 dengan didukung Eviews 7.0 dan SPSS 19. 27 4 HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Selama kurun 1970 hingga 2012, pergerakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia bisa dikatakan tidak memiliki pola yang jelas, beberapa periode menunjukkan hubungan searah, tetapi di periode lain bisa berkebalikan. Pada tahun 1970, inflasi tercatat sebesar 8.94% dengan pertumbuhan ekonomi 8.15%. Setahun kemudian inflasi mampu ditekan hingga level 2.62%, namun pertumbuhan ekonomi ternyata tidak lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu sebesar 7% yang secara tidak langsung menunjukkan bahwa inflasi rendah bukan jaminan tingginya kinerja ekonomi. Dalam rentang 1972 sampai dengan 1977, inflasi di Indonesia berada pada kisaran dua digit. Pada tahun 1972, inflasi tercatat sebesar 25.81% yang diduga merupakan dampak ikutan terjadinya krisis pangan dunia dan meningkatnya jumlah uang beredar. Apabila dibandingkan dengan tahun 1971, angka ini jauh lebih tinggi. Menariknya, pertumbuhan ekonomi tahun 1972 tetap tumbuh impresif yaitu sebesar 7.88%. Sumber: Bank Dunia dan BPS 2013, diolah Gambar 6 Pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia tahun 1970-2012 (%) Fenomena serupa juga terjadi pada tahun 1973 di mana kenaikan inflasi 27.17% justru diikuti semakin cepatnya laju perekonomian yang mencapai 9.78%. Begitu pula di tahun 1974, lonjakan inflasi sebesar 33.41% masih mampu mendorong laju perekonomian hingga level 8.26%. Selain belum pulihnya krisis pangan serta meningkatnya jumlah uang beredar, tingginya inflasi tahun 1973 dan 1974 dipicu oleh kenaikan tajam harga minyak dunia yang mencapai angka 21.07% pada tahun 1973 dan terus melonjak hingga 158.93% di tahun 1974 28 (Sadikin 2010). Sementara dari sisi pengeluaran, pemerintah cenderung melakukan kebijakan fiskal ekspansif di mana setiap tahunnya pengeluaran pemerintah rata-rata meningkat 36.5%, seperti di tahun 1973 yang meningkat tajam sebesar 72.9% dibandingkan tahun 1972. Karena saat itu Indonesia masih merupakan negara eksportir minyak neto, anggaran pemerintah sangat diuntungkan. Rezeki minyak sepertinya memberi ruang gerak bagi pemerintah untuk membiayai proyek-proyek ambisius yang padat modal maupun terlibat langsung dalam produksi (Pangestu 1996 dalam Sadikin 2010). Tren penurunan inflasi Indonesia era 1970-an baru terjadi tahun 1975 hingga 1977 yang secara bersamaan diikuti oleh peningkatan kinerja ekonomi. Menurut Sadikin (2010), penyebab inflasi dalam interval tersebut adalah meningkatnya harga komoditas nonmigas dunia. Pada tahun 1975 inflasi tercatat 19.76% dengan pertumbuhan ekonomi 6.18%. Sedangkan di tahun 1977 inflasi mampu dikendalikan sampai ke angka 11.86%, yang akhirnya mampu mendorong perekonomian tumbuh sebesar 8.64%. Tren tersebut terus berlanjut pada tahun 1978 di mana inflasi sebesar 6.69% diiringi pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yaitu 9.21%. Berbeda dengan era 1970-an awal, fenomena antara 1975 sampai dengan 1978 ini secara empiris menunjukkan bahwa semakin rendah inflasi, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi. Oil boom yang terjadi pada tahun 1979, kembali memicu inflasi hingga mencapai 21.77%, walaupun secara umum aktivitas ekonomi masih tumbuh meyakinkan yaitu 7.09%. Pada saat itu kenaikan harga minyak dunia mencapai 118.86% (Sadikin 2010). Antara tahun 1981 dan 1985 inflasi Indonesia secara rata-rata 8.26% dengan pertumbuhan ekonomi 5.67%. Pada tahun 1981 inflasi sebesar 7.09% dan pertumbuhan ekonomi 8.15%. Sementara tahun 1982, inflasi berada di angka 9.69%. Di waktu yang sama perekonomian hanya tumbuh 1.10% yang secara kebetulan merupakan angka pertumbuhan ekonomi terendah dalam dekade 1970an dan 1980-an. Fakta unik terjadi di tahun 1983, di mana peningkatan inflasi menjadi 11.46% justru diikuti semakin cepatnya laju perekonomian yang mencapai 8.45%. Apabila diperhatikan, angka inflasi Indonesia di awal 1980-an tersebut cukup terkendali. Hal ini diduga sebagai dampak menurunnya harga minyak dunia, yang menyebabkan pemerintah harus melakukan perubahan orientasi kebijakan untuk mencari pembiayaan alternatif bagi pembangunan dan banyak memangkas pengeluaran. Selama periode tersebut kenaikan pengeluaran pemerintah rata-rata hanya 14.5% per tahun, dibandingkan dengan periode sebelumnya yang mencapai 36.5% per tahun (Sadikin 2010). Periode 1986 hingga 1997 secara umum inflasi Indonesia terjaga pada kisaran satu digit (kecuali tahun 1997) dengan rata-rata 8.19%, sedangkan pertumbuhan ekonomi berada di angka 7.28%. Periode tersebut juga diiringi dengan semakin gencarnya penerapan kebijakan liberalisasi ekonomi. Akibat yang ditimbulkan adalah aliran modal asing semakin banyak masuk ke Indonesia yang pada gilirannya membuat perekonomian menjadi rentan terhadap guncangan dunia. Krisis mata uang Asia di tahun 1998 kembali menyebabkan inflasi Indonesia menyentuh level dua digit yaitu 77.63% yang sekaligus menjadi inflasi tertinggi sejak rezim Orde Baru memimpin. Pada waktu itu perekonomian terkonstraksi hingga –13%. Di saat yang sama pertumbuhan jumlah uang beredar 29 (M2) meningkat sebesar 62.28% sebagai konsekuensi upaya stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap dolar yang terdepresiasi demikian hebat, mengingat Indonesia masih menganut sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) (Subekti 2011). Pasca krisis ekonomi 1998, Indonesia berusaha menekan inflasi di level rendah, misalnya dengan mengadopsi kebijakan inflation targeting framework. Sistem nilai tukar mata uang juga diubah menjadi nilai tukar fleksibel (flexible exchange rate). Pengertian nilai tukar fleksibel bukan berarti nilai tukar sepenuhnya diserahkan ke pasar, tetapi otoritas moneter masih ikut campur tangan dalam rangka stabilisasi nilai tukar terhadap valuta asing yang pada akhirnya akan membantu stabilitas inflasi (Subekti 2011). Dalam kurun 1999 sampai 2012 rata-rata inflasi Indonesia berada di angka 7.47% dengan pertumbuhan ekonomi 5.06%. Meskipun demikian, inflasi dua digit masih terjadi di tahun 2005 yang mencapai 17.11% serta tahun 2008 yaitu sebesar 11.06% sebagai dampak kenaikan harga minyak dunia. Sama dengan periode oil boom era 1970-an, kenaikan harga minyak dunia tersebut ternyata juga tidak terlalu menekan aktivitas ekonomi yang masih tumbuh sebesar 5.69% (2005) dan 6.01% (2008). Untuk lebih memahami pola hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia secara lebih detail, ada cara lain yang bisa digunakan yaitu melalui plot data sebagaimana dicontohkan Mubarik (2005). Langkah-langkah yang diambil adalah pertama, inflasi diurutkan mulai dari nilai terkecil hingga terbesar. Kedua, seluruh observasi inflasi dibagi menjadi beberapa kelompok dan dipilih angka p untuk mewakili nilai tersebut serta nilai di bawahnya. Misalnya, inflasi kurang dari 5% diwakili oleh angka 5%. Dengan kata lain apabila nilai inflasi 5% atau lebih, bisa diwakili oleh angka 7%, dan seterusnya. Langkah terakhir adalah merata-ratakan pertumbuhan ekonomi di setiap kelompok inflasi yang telah terbentuk. Sumber: Bank Dunia dan BPS 2013, diolah Gambar 7 Rata-rata pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia Tahun 1970-2012 (%) 30 Berdasarkan pendekatan Mubarik (2005) seperti yang divisualisasikan Gambar 7, terlihat bahwa hubungan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi pada awalnya positif. Kenaikan inflasi diikuti oleh meningkatnya laju perekonomian. Akan tetapi ketika inflasi melewati sebuah titik tertentu, hubungan tersebut berubah menjadi negatif. Semakin tinggi inflasi, semakin rendah pertumbuhan ekonomi. Analisis sederhana ini memberikan sedikit gambaran bahwa kemungkinan hubungan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah taklinear. Walaupun demikian, perlu sebuah uji ekonometrik untuk membuktikan kebenaran dugaan tersebut. Statistik Deskriptif dan Pengujian Kestasioneran Tabel 5 menunjukkan statistik deskriptif semua variabel yang digunakan dalam penelitian. Selama kurun 1970 hingga 2012, rata-rata inflasi di Indonesia adalah 11.86% dengan nilai minimum 2.01% dan nilai maksimum 77.63%. Sementara rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 6.05% dengan nilai minimum –13.13% dan nilai maksimum 9.78%. Rata-rata pertumbuhan investasi mencapai 9.22%, pertumbuhan angkatan kerja 2.56%, pertumbuhan terms of trade 1.69%, sedangkan rata-rata pertumbuhan jumlah uang beredar (M2) adalah 25.59%. Tabel 5 Statistik deskriptif variabel penelitian (%) Variabel T Rata-rata Standar Deviasi (4) Nilai Minimum (5) Nilai Maksimum (1) (2) (3) Pertumbuhan Ekonomi Inflasi Pertumbuhan Investasi Pertumbuhan Angkatan Kerja Pertumbuhan Terms of Trade Pertumbuhan Jumlah Uang Beredar (M2) 43 43 43 6.053 11.859 9.224 3.609 12.263 12.037 –13.127 2.010 –39.037 9.776 77.630 32.589 (6) 43 2.565 1.772 –0.459 9.976 43 1.694 12.955 –28.519 33.092 43 25.586 13.242 4.761 62.763 Sumber: BPS (2013), Bank Indonesia (2013) dan Bank Dunia (2013), diolah Keterangan: T adalah jumlah observasi Untuk memastikan hasil analisis regresi linear berganda tidak spurious, maka semua variabel yang dilibatkan dalam model harus diuji kestasionerannya. Dalam penelitian ini uji kestasioneran dilakukan dengan cara memeriksa apakah terdapat akar-akar unit (unit roots) dalam series data. Alat uji yang digunakan adalah Augmented Dickey Fuller (ADF) Test. Hasil Augmented Dickey Fuller (ADF) Test pada data level menunjukkan, variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, pertumbuhan investasi, pertumbuhan angkatan kerja, pertumbuhan terms of trade dan pertumbuhan jumlah uang beredar (M2) tidak mengandung akar-akar unit (unit roots), di mana hipotesis nol (series data mengadung akar-akar unit) ditolak pada taraf nyata 1%. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa keenam data tersebut stasioner (Tabel 6). 31 Tabel 6 Pengujian kestasioneran variabel penelitian Level Tanpa Tren Dengan Tren Variabel (1) (2) Pertumbuhan Ekonomi Inflasi Pertumbuhan Investasi Pertumbuhan Angkatan Kerja Pertumbuhan Terms of Trade Pertumbuhan Jumlah Uang Beredar (M2) Hasil (3) (4) –4.42996 –5.99796 –4.38375 –5.15151 –5.53766 –4.64643 –6.19604 –4.60221 –5.66862 –5.78496 Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner –3.66615 –5.12467 Stasioner Keterangan: Nilai kritis untuk α = 1% tanpa tren –3.5966, dengan tren –4.1923 Penentuan lag optimum menggunakan kriteria AIC. Pengaruh Inflasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia diidentifikasi melalui analisis regresi linear berganda, yang dilakukan dengan menggunakan dua model utama, yaitu model linear (untuk menjawab pertanyaan pertama) dan model taklinear/threshold (untuk menjawab pertanyaan kedua). Model Linear Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, penelitian ini menggunakan pendekatan multivariate. Oleh karena itu selain inflasi, juga dianalisis peran beberapa variabel kontrol yang diduga memengaruhi pertumbuhan ekonomi seperti pertumbuhan investasi, pertumbuhan angkatan kerja, pertumbuhan terms of trade dan pertumbuhan jumlah uang beredar (M2). Dengan Microsoft Excell 2007, diperoleh estimasi persamaan sebagai berikut: Tabel 7 Hasil estimasi model linear pertumbuhan ekonomi Variabel Koefisien Standar error t-statistik Probabilitas (1) (2) (3) (4) (5) 4.83462*** C –0.16598*** INF INVGR 0.15612*** LFGR –0.03628*** TOTGR –0.00896*** M2GR 0.07202*** R-squared 0.71644 F-statistic 18.69709 Prob(F-statistic) 0.00000 0.82202 0.04204 0.03233 0.18548 0.02813 0.03692 5.88141 –3.94810 4.82931 –0.19561 –0.31854 1.95057 0.00000 0.00034 0.00002 0.84599 0.75187 0.05871 Keterangan: *** signifikan pada taraf nyata 1%, **signifikan pada taraf nyata 5%, * signifikan pada taraf nyata 10% Uji normalitas melalui Jarque-Bera menunjukkan bahwa residual berdistribusi normal dengan nilai probabilitas sebesar 0.64 atau lebih besar dari 32 nilai 5%. Sementara korelasi antarvariabel independen tidak ada yang lebih besar dari 0.8, sehingga dapat disimpulkan bahwa model telah memenuhi asumsi terbebas dari multikolinearitas. Pengujian heteroskedastisitas melalui BreuschPagan-Godfrey test menjamin model tidak ada masalah heteroskedastisitas, di mana angka probabilitas chi-square sebesar 0.43. Yang terakhir, nilai probabilitas chi-square pada Breusch-Godfrey Serial Correlation LM test sebesar 0.37 menyatakan model bebas dari masalah autokorelasi. Nilai F-stastistic sebesar 18.70, dengan nilai Prob(F-statistic) 0.00 (lebih kecil dari α = 0.05) mengindikasikan terdapat satu di antara variabel inflasi, pertumbuhan investasi, pertumbuhan angkatan kerja, pertumbuhan terms of trade dan pertumbuhan jumlah uang beredar (M2) yang berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, dari tingkat signifikansi uji t pada masingmasing variabel independen (Tabel 7) dapat disimpulkan bahwa inflasi, pertumbuhan investasi dan pertumbuhan jumlah uang beredar (M2) berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebaliknya variabel pertumbuhan angkatan kerja serta pertumbuhan terms of trade tidak berpengaruh signifikan. Pengujian goodness of fit atau uji kelayakan model ditunjukkan oleh nilai Rsquared yang mencerminkan seberapa besar variabel independen mampu menjelaskan keragaman variabel dependen. Dalam model linear di atas diperoleh nilai R-squared sebesar 0.71644. Artinya sebesar 71.64% keragaman variabel pertumbuhan ekonomi mampu dijelaskan oleh inflasi, pertumbuhan investasi, pertumbuhan angkatan kerja, pertumbuhan terms of trade dan pertumbuhan jumlah uang beredar (M2). Sementara sisanya yaitu 28.36% dijelaskan oleh variabel-variabel lain di luar model. Estimasi Model Linear Inflasi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dengan koefisien –0.17. Artinya setiap kenaikan inflasi sebesar 1%, akan menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.17% ceteris paribus. Hasil tersebut sesuai dengan temuan beberapa ekonom seperti Fischer (1983), Barro (1995a) ataupun Li (2006). Teori ekonomi yang menyatakan bahwa inflasi akan mengurangi efisiensi distribusi sumber daya yang pada akhirnya menurunkan output terbukti pada penelitian ini. Menurut Gokal dan Hanif (2004) inflasi dapat menimbulkan ketidakpastian hasil investasi, mengurangi daya saing suatu negara di kancah perdagangan internasional sehingga memperburuk neraca pembayaran, mengganggu kinerja pasar finansial dalam hal ini interaksi antara kreditur dan debitur, serta menghambat optimalisasi produksi barang dan jasa (karena tingginya biaya produksi). Li (2006) menambahkan, ketika terjadi inflasi nilai return riil dan suku bunga riil akan turun, sehingga menyebabkan banyak orang yang ingin menjadi borrowers dan sedikit yang bersedia menjadi lenders. Banyaknya borrowers memicu terjadinya adverse selection yang berujung diberlakukannya credit reatoning, pasar finansial tidak dapat memberikan pinjaman yang lebih banyak lagi, alokasi dana ke investasi tidak efisien, fungsi intermediasi terganggu dan investasi kapital berkurang. Akibatnya pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang akan turun seiring dengan meningkatnya inflasi. 33 Pertumbuhan investasi yang didekati dengan pertumbuhan PMTB berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Temuan ini sejalan dengan penelitian Kannan dan Joshi (1998). Koefisien pertumbuhan investasi sebesar 0.16 yang berarti setiap kenaikan 1% investasi, akan mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 0.16% ceteris paribus. Dalam beberapa literatur ekonomi seperti teori pertumbuhan ekonomi Klasik ataupun teori pertumbuhan Neo-Klasik disebutkan bahwa investasi atau kapital merupakan determinan penting dalam pertumbuhan ekonomi. Tobin (1965) mengemukakan peningkatan investasi akan menumbuhkan level output secara permanen. Jhingan (2010) mengungkapkan investasi berperan dalam menciptakan pendapatan dan mampu memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stok modal. Jhingan mempertegas bahwa melalui investasi kegiatan ekonomi dapat berkembang sehingga kesejahteraan masyarakat semakin meningkat. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Harrold-Domard dalam Todaro dan Smith (2006) yang mengemukakan bahwa negara-negara maju telah melampaui tahapan “tinggal landas menuju pertumbuhan ekonomi berkesinambungan yang berlangsung secara otomatis”. Sedangkan negara berkembang baru menyusun kerangka tahapan tinggal landas. Menurut Harrold-Domard, salah satu strategi pokok untuk mencapai tinggal landas adalah mobilisasi dana tabungan (dalam mata uang domestik ataupun asing) untuk menciptakan bekal investasi dalam jumlah yang memadai untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. Pendapat Prof. Friedman sebagaimana dikutip dari Gokal dan Hanif (2004), yang menyatakan uang adalah komponen penting dalam perekonomian berhasil dibuktikan dalam penelitian ini. Dalam makalahnya The Quantity Theory of Money, Friedman berargumen bahwa uang adalah representasi suatu transaksi yang sekaligus menggambarkan aktivitas ekonomi. Semakin banyak uang beredar, semakin dinamis perekonomian bergerak. Hal inilah yang masih dijadikan landasan bank sentral untuk turut memengaruhi sektor riil, baik melalui kebijakan ekspansif ataupun kontraktif. Walaupun demikian, memang harus ditentukan porsi yang tepat agar perekonomian yang overheated bisa dihindari. Koefisien pertumbuhan uang beredar yang diproxy dengan pertumbuhan M2 sebesar 0.07. Artinya setiap peningkatan uang beredar 1% akan mendorong tumbuhnya ekonomi sebesar 0.07% ceteris paribus. Mansur dan Munir (2009) serta Frimpong dan Oteng-Abayie (2010) juga menemukan pertumbuhan uang beredar berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan angkatan kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Artinya walaupun jumlah angkatan kerja terus meningkat ataupun menurun dari waktu ke waktu, dinamika pertumbuhan ekonomi tidak terpengaruh sama sekali. Diduga, yang menjadi penyebab adalah masih rendahnya kualitas angkatan kerja, sehingga kontribusinya terhadap pembentukan outputpun tidak terlalu tampak. Yang menarik adalah pengaruh pertumbuhan angkatan kerja tersebut memiliki tanda negatif dengan koefisien –0.04. Setiap kenaikan angkatan kerja sebesar 1% akan menurunkan pertumbuhan ekonomi 0.04%. Temuan ini secara implisit menggambarkan bahwa perkembangan angkatan kerja di Indonesia menjadi beban berat bagi perekonomian. Kualitas memang hal mutlak yang harus dipenuhi sehingga keberadaan angkatan kerja bisa diserap optimal dunia kerja. 34 Secara tradisional, pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja dianggap sebagai salah satu faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar akan menambah jumlah tenaga kerja produktif, sedang pertumbuhan penduduk yang lebih besar berarti akan meningkatkan ukuran pasar domestiknya (Todaro dan Smith 2006). Pada beberapa kasus di negara-negara berkembang, hubungan ini dapat berdampak sebaliknya. Hubungan positif atau negatif pertumbuhan penduduk dengan pembangunan ekonomi sepenuhnya tergantung pada kemampuan sistem perekonomian yang bersangkutan untuk menyerap dan secara produktif memanfaatkan tambahan tenaga kerja tersebut. Adapun kemampuan daya serap ini dipengaruhi oleh tingkat dan jenis akumulasi modal dan tersedianya input atau faktor-faktor penunjang, seperti kecakapan manajerial dan kualitas SDMnya (Sulistyowati 2011). Pertumbuhan terms of trade yang diproxy dengan pertumbuhan rasio nilai ekspor terhadap nilai impor tidak berpengaruh signifikan. Hal ini disebabkan kontribusi ekspor ataupun impor Indonesia terhadap PDB nasional tidak terlalu besar, yaitu hanya berkisar 11%. Sementara arah koefisien negatif menandakan bahwa postur impor Indonesia melebihi ekspor, sehingga perubahan terms of trade lebih didominasi oleh nilai impor yang secara otomatis berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Model Threshold Estimasi model linear menunjukkan bahwa secara umum inflasi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun berdasarkan plot data yang sebelumnya disajikan pada bagian gambaran umum, dinyatakan bahwa hubungan atau pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi ada kemungkinan taklinear. Salah satu metode untuk mengidentifikasi ketaklinearan model adalah melalui analisis regresi threshold. Dalam penelitian ini nilai threshold inflasi dicari mulai dari angka 5% hingga 16% dengan increment 0.01. Terdapat dua alasan pengambilan interval tersebut, yang pertama untuk memenuhi ketentuan yang dikemukakan Enders (2004). Alasan kedua sesuai dengan target inflasi Bank Indonesia yang berkisar 3% sampai 5%, yang secara tidak langsung beranggapan bahwa ketika inflasi di atas 5%, akan berdampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain penelitian ini bermaksud mengkonfirmasi secara ekonometrik anggapan tersebut. Model Threshold Khan dan Senhadji (2001) Dari berbagai kandidat yang telah ditentukan, diperoleh nilai threshold inflasi yang meminimalkan RSS terletak pada angka 7.11% dengan nilai RSS 119.10 (Gambar 8). 35 Gambar 8 Nilai threshold inflasi dan Residual Sum of Squares (RSS) model Khan dan Senhadji (2001) Untuk memastikan bahwa keberadaan nilai threshold tersebut signifikan, harus diuji melalui skema bootstrapping sebanyak 1000 kali. Hasilnya adalah threshold inflasi 7.11% signifikan pada taraf nyata 1% dengan bootsrap p-value 0.004. Tabel 8 Hasil uji signifikansi threshold inflasi model Khan dan Senhadji (2001) Nilai Hipotesis LR-test Bootstrap p-value Threshold (1) H0: β1 = β2 (tidak ada threshold) Keterangan: (2) (3) (4) 12.99196*** 0.004 7.11% *** signifikan pada taraf nyata 1%, **signifikan pada taraf nyata 5%, * signifikan pada taraf nyata 10% Karena nilai threshold 7.11% merupakan angka yang ideal (signifikan), maka estimasi model threshold Khan dan Senhadji (2001) dilakukan pada nilai threshold tersebut. Hasilnya sebagaimana yang disajikan pada Tabel 9 berikut: 36 Tabel 9 Hasil estimasi model threshold Khan dan Senhadji (2001) Variabel Koefisien Standar error (1) (2) C 4.490997*** INF > 7.11 –0.240609*** INF ≤ 7.11 0.568529*** INVGR 0.111299*** LFGR –0.090165*** TOTGR 0.007551*** M2GR 0.097920*** R-squared 0.782133 F-statistic 21.53971 Prob(F-statistic) 0.00000 t-statistik Probabilitas (3) (4) (5) 0.808691 0.043670 0.225823 0.031773 0.165589 0.025486 0.033729 5.553417 –5.509714 2.517587 3.502953 –0.544512 0.296292 2.903099 0.000003 0.000003 0.016407 0.001249 0.589446 0.768710 0.006273 Keterangan: *** signifikan pada taraf nyata 1%, **signifikan pada taraf nyata 5%, * signifikan pada taraf nyata 10% Uji Jarque-Bera untuk memeriksa asumsi kenormalan menyimpulkan residual model threshold Khan dan Senhadji (2001) berdistribusi normal dengan probabilitas Jarque-Bera 0.51. Nilai korelasi antarvariabel independen tidak ada yang melebihi 0.8, sehingga model tidak mengalami masalah multikolinearitas. Sementara probabilitas Breusch-Pagan-Godfrey test dan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM test masing-masing sebesar 0.34 dan 0.44 yang menandakan model terbebas dari masalah autokorelasi dan heteroskedastisitas. Hasil uji F model threshold Khan dan Senhadji (2001) pada nilai threshold 7.11% menghasilkan angka statistik sebesar 21.54 dengan probabilitas 0.00. Dengan kata lain model layak digunakan karena mampu menjelaskan keragaman variabel tak bebas. Dari keseluruhan nilai signifikansi variabel independen (Tabel 9), dapat disimpulkan bahwa inflasi lebih besar dari threshold, inflasi kurang dan sama dengan threshold, pertumbuhan investasi dan pertumbuhan jumlah uang beredar (M2) berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sedangkan variabel pertumbuhan angkatan kerja serta pertumbuhan terms of trade tidak berpengaruh signifikan, sama dengan hasil yang didapat pada model linear. Nilai R-squared sebesar 0.7821 menunjukkan bahwa 78.21% variasi pertumbuhan ekonomi mampu dijelaskan oleh model. Estimasi Model Threshold Khan dan Senhadji (2001) Inflasi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi ketika nilainya melebihi angka 7.11%, dengan koefisien –0.24. Sebaliknya ketika inflasi kurang dari 7.11%, pengaruhnya justru positif terhadap pertumbuhan ekonomi dengan koefisien yang lebih besar yaitu 0.57. Nilai threshold ini lebih rendah jika dibandingkan dengan temuan Chowdhury dan Siregar (2004) yang menemukan inflasi optimal di Indonesia 20.50% atau Chowdhury dan Ham (2009) yang menyimpulkan inflasi di Indonesia berbahaya ketika nilainya melebihi interval 8.50% dan 11%. Inflasi berpengaruh positif ketika nilainya kurang dan sama dengan 7.11% juga membuktikan bahwa asumsi Bank Indonesia yang menyatakan inflasi melebihi 5% berbahaya tidak sepenuhnya benar. Dengan kata 37 lain masih ada “ruang” yang cukup bagi Bank Indonesia untuk melakukan kebijakan diskresi dengan maksud merangsang perekonomian agar lebih dinamis. Koefisien yang cukup besar, bahkan paling besar jika dibandingkan dengan variabel independen lain mengindikasikan keberadaan inflasi di Indonesia sangat penting dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi (ditinjau dari perspektif supply). Sama dengan analisis linear, pertumbuhan investasi dan pertumbuhan jumlah uang beredar juga berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dengan koefisien masing-masing sebesar 0.11 dan 0.09. Begitu pula pertumbuhan angkatan kerja dan pertumbuhan terms of trade yang masih tidak signifikan dengan koefisien masing-masing –0.09 dan 0.007. Model Threshold Hansen (1997, 2000) Berbeda dengan model threshold Khan dan Senhadji (2001), identifikasi nilai threshold melalui model threshold Hansen (1997, 2000) menemukan threshold inflasi di Indonesia sebesar 9.53% dengan nilai RSS 88.53 (Gambar 9). Gambar 9 Nilai threshold inflasi dan Residual Sum of Squares (RSS) model Hansen (1997, 2000) Skema bootstrapping mengkonfirmasi bahwa nilai threshold inflasi 9.53% signifikan pada taraf nyata 1%, dengan bootstrap p-value 0.006. Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa keberadaan threshold memberikan pengaruh yang berbeda dalam model. 38 Tabel 10 Hasil uji signifikansi threshold inflasi model Hansen (1997, 2000) Nilai Hipotesis LR-test Bootstrap p-value Threshold (1) H0: βi1 = βi2 (tidak ada threshold) Keterangan: (2) (3) (4) 32.32738*** 0.006 9.53% *** signifikan pada taraf nyata 1%, **signifikan pada taraf nyata 5%, * signifikan pada taraf nyata 10% Keunggulan model threshold Hansen (1997, 2000) adalah mampu menyajikan pengaruh semua variabel independen terhadap variabel dependen, baik dalam kondisi di bawah nilai threshold maupun di atas nilai threshold (9.53%). Hasil estimasinya adalah sebagai berikut: Tabel 11 Hasil estimasi model threshold Hansen (1997, 2000) Variabel (1) Inflasi ≤ 9.53% Koefisien Probabilitas (2) 2.66479*** C 0.34130*** INF 0.04925*** INVGR –0.24284*** LFGR –0.04488*** TOTGR 0.08028*** M2GR R-squared 0.838038 F-statistic 59.296 Prob(F-statistic) 0.00000 (3) 0.03584 0.03674 0.21328 0.15568 0.15125 0.05078 Inflasi > 9.53% Koefisien Probabilitas (4) (5) 5.22091*** –0.24811*** 0.15433*** 0.10077*** 0.03268*** 0.11094*** 0.00241 0.00167 0.01857 0.89254 0.43702 0.04292 Keterangan: *** signifikan pada taraf nyata 1%, **signifikan pada taraf nyata 5%, * signifikan pada taraf nyata 10% Probabilitas Jarque-Bera sebesar 0.54 menyatakan bahwa residual berdistribusi normal. Angka korelasi antarvariabel independen ada yang melebihi 0.8, yaitu INF1 dengan LFGR2, INF2 dengan M2GR2, serta antara LFGR2 dengan M2GR2 (lampiran 5) sehingga dapat disimpulkan bahwa model terkena masalah multikolinearitas. Untuk menjamin model bersifat BLUE maka beberapa variabel yang terlibat multikolinearitas bisa dihilangkan. Akan tetapi dengan alasan agar analisis dapat lebih komprehensif, maka tindakan tersebut tidak dilakukan. Walaupun tidak BLUE, model yang mengandung multikolinearitas masih bersifat unbiased. Sementara itu asumsi bebas autokorelasi dan heteroskedastisitas dibuktikan melalui probabilitas Breusch-Pagan-Godfrey test dan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM test yang masing-masing sebesar 0.91 dan 0.46. Berdasarkan uji F diperoleh angka statistik sebesar 59.30 dan probabilitas 0.00. Dengan demikian model threshold Hansen (1997, 2000) layak digunakan karena mampu menjelaskan keragaman variabel dependen. Tingkat signifikansi uji t pada masing-masing variabel independen (Tabel 11) menunjukkan bahwa 39 inflasi di bawah threshold, inflasi saat lebih besar dari threshold, pertumbuhan investasi ketika inflasi di atas threshold serta pertumbuhan jumlah uang beredar (M2), baik saat inflasi berada di bawah threshold ataupun ketika inflasi berada di atas threshold berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebaliknya variabel pertumbuhan angkatan kerja serta pertumbuhan terms of trade tidak berpengaruh signifikan. Nilai R-squared model threshold Hansen sebesar 0.8380, yang artinya 83.80 variasi pertumbuhan ekonomi mampu dijelaskan oleh model, sedangkan 16.20% sisanya dijelaskan faktor lain di luar model. Estimasi Model Threshold Hansen (1997, 2000) Ketika inflasi kurang dari 9.53%, setiap kenaikan inflasi 1% akan mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 0.34% ceteris paribus. Pengusaha adalah pihak yang paling diuntungkan dengan adanya inflasi. Laba produksi meningkat seiring dengan melonjaknya harga. Apalagi daya beli masyarakat tidak terlalu terdistorsi ketika inflasi masih dalam batas kewajaran, sehingga permintaan barang dan jasa relatif tidak terganggu. Mohanty et al (2011) menyatakan inflasi yang rendah dan stabil dapat meningkatkan fungsi pasar serta membantu rumah tangga dan pengusaha dalam menyusun perencanaan bisnis tanpa harus terbebani ketidakpastian pergerakan harga. Sebaliknya ketika inflasi melebihi 9.53%, peningkatan inflasi 1% berakibat pada melemahnya kinerja ekonomi sebesar 2.48% ceteris paribus. Dalam kondisi inflasi tinggi, masyarakat enggan melakukan konsumsi, karena mata uang tidak ada nilainya. Kondisi ini membuat pengusaha melakukan rasionalisasi output yang berakibat pertumbuhan ekonomi melambat. Temuan yang cukup menarik adalah pertumbuhan investasi di Indonesia justru berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi ketika inflasi melebihi threshold. Hal ini memberikan gambaran bahwa inflasi yang tinggi berdampak pada rendahnya suku bunga riil sehingga memberikan insentif bagi pengusaha untuk memproduksi lebih banyak output melalui aliran investasi. Selain itu, bisa dipastikan bahwa ketika inflasi tinggi, masyarakat banyak merelokasi kekayaannya ke dalam bentuk aset, karena nilai mata uang riil turun drastis. Temuan ini sebenarnya tidak terlalu mengherankan karena Mundell (1963) pernah menyatakan bahwa peningkatan akumulasi investasi akibat adanya inflasi dapat menstimulus output. Sementara itu pertumbuhan uang beredar konsisten berpengaruh positif, baik ketika berada pada kondisi inflasi rendah ataupun pada inflasi tinggi. Sama dengan model linear, pertumbuhan angkatan kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Begitu pula dengan pertumbuhan terms of trade. Hal yang perlu dicatat adalah pengaruh pertumbuhan angkatan kerja berubah tanda menjadi positif ketika inflasi tinggi (di atas threshold). Diduga yang menjadi penyebab adalah, saat inflasi tinggi sektor-sektor padat karya seperti pertanian ataupun sektor informal justru bergerak lebih dinamis. Identik dengan sektor usaha menengah besar, keberadaan inflasi sedikit banyak juga menjadi daya tarik bagi kelompok ekonomi kecil untuk meraup untung. Dalam kondisi tersebut, masyarakat senantiasa berupaya memenuhi kebutuhan hidup dengan membuka usaha-usaha kecil. Tenaga-tenaga muda yang awalnya tidak bekerja pun urun serta membantu perekonomian keluarga. Semakin 40 bertambah angkatan kerja, semakin meningkat output. Bukti kongkrit sebagaimana terjadi saat krisis 1998, di mana saat itu inflasi tinggi namun tingkat pengangguran secara ironis menurun. Lee dan Wong (2005) menemukan saat inflasi tinggi, pertumbuhan angkatan kerja di Jepang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan terms of trade yang berpengaruh positif ketika inflasi tinggi (di atas threshold) dipicu oleh posisi nilai tukar rupiah yang melemah (saat inflasi tinggi jumlah uang beredar meningkat sehingga berdampak pada melemahnya nilai tukar) sehingga menjadi stimulus bagi eksportir untuk meningkatkan kapasitas produknya. Seleksi Model Terbaik Dari ketiga model yaitu linear, Khan dan Senhadji (2001) serta Hansen (1997, 2000), diperoleh hasil yang berbeda-beda. Pertanyaannya adalah, model mana yang selanjutnya dipilih? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, beberapa kriteria seleksi model digunakan, di antaranya Residual Sum of Squares (RSS), log likelihood (LogLL), Akaike Information Criteria (AIC) serta Log likelihood Ratio Test (LR-test). Karena model threshold Khan dan Senhadji (2001) non-nested dengan model threshold Hansen (1997, 2000) dan non-nested test bisa diaplikasikan pada model nested, maka AIC dan LR-test akan digunakan sebagai kriteria utama untuk memilih model. Hasil pengujian secara lengkap bisa dilihat pada Tabel 12 berikut: Kriteria/uji (1) RSS Log likelihood AIC LR-test Tabel 12 Kriteria seleksi model Model Khan dan Model Linear Senhadji (2001) (2) 155.0850268*** –88.60219*** 4.400102*** 31.67216528*** (3) 119.1002348 –82.93639 4.183088 14.3457838** Model Hansen (1997, 2000) (4) 89.30578252 –76.56114 4.119123 Keterangan: *** signifikan pada taraf nyata 1%, **signifikan pada taraf nyata 5%, * signifikan pada taraf nyata 10%. Karena model Hansen (1997, 2000) lebih umum, maka LR-test dilakukan pada model Linear serta model Khan dan Senhadji (2001) terhadap model Hansen (1997, 2000). Berdasarkan semua kriteria/uji seleksi model diperoleh bahwa model threshold Hansen (1997, 2000) merupakan model terbaik untuk kasus Indonesia. Oleh karena itu, nilai threshold inflasi di Indonesia adalah sebesar 9.53% sebagaimana yang disarankan oleh model threshold Hansen (1997, 2000). 41 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil penelitian dan analisis yang sudah dilakukan dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1. Secara umum, inflasi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Setiap kenaikan inflasi sebesar 1%, akan menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.17% ceteris paribus. Penelitian ini mengakomodir pendapat Sepehri dan Moshiri (2004) serta Kremer et al. (2012) bahwa studi inflasi dan pertumbuhan ekonomi hendaknya fokus di satu negara, karena struktur ekonomi masing-masing negara berbeda. Dalam beberapa studi data panel, Indonesia telah dilibatkan sebagai sampel, namun hasil yang didapat adalah inflasi di Indonesia bisa berpengaruh positif, negatif bahkan netral terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini menjawab temuan inconclusive yang ada 2. Berdasarkan historis data tahun 1970 hingga 2012, diperoleh nilai threshold inflasi di Indonesia sebesar 7.11% (model threshold Khan dan Senhadji (2001)) dan 9.53% (model threshold Hansen (1997, 2000)). Selama inflasi kurang dari angka-angka tersebut, pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi positif, sebaliknya apabila inflasi melebihi angka-angka tersebut, pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi negatif. Dari beberapa uji seleksi model disimpulkan bahwa model threshold Hansen (1997, 2000) merupakan model yang terbaik. Oleh karena itu nilai threshold inflasi di Indonesia sebesar 9.53%. Implikasi Kebijakan 1. Upaya pengendalian inflasi tetap harus dilakukan untuk meminimalisir dampak buruk inflasi, karena inflasi yang bergejolak memang tidak terlalu bagus bagi perekonomian. Bank Indonesia sebagai otoritas moneter harus terus intens menjaga kestabilan nilai tukar rupiah sehingga pergerakan imported inflation sebagai pemicu utama inflasi di Indonesia bisa dibatasi. Artinya arah kebijakan moneter yang selama ini diterapkan sudah tepat 2. Bank Indonesia sebaiknya menerapkan dua kebijakan yang berbeda. Ketika inflasi kurang dari threshold (9.53%), pengendalian inflasi hendaknya tidak terlalu ketat, karena akan memerlukan “biaya” yang sangat besar. Sebaliknya, ketika inflasi lebih besar dari threshold, kebijakan anti inflasi memang sangat relevan. Dengan kata lain ITF tidak bisa digeneralisasi di semua level inflasi. Implementasi ITF yang terlalu membabi buta dapat menghambat pertumbuhan ekonomi yang justru merupakan kebijakan lebih penting bagi negara berkembang seperti Indonesia 3. Penelitian ini secara implisit memberikan pesan bahwa inflasi yang stabil lebih utama daripada inflasi yang rendah. Koefisien pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi yang lebih besar dan bertanda positif ketika inflasi rendah menjadi bukti bahwa tidak selamanya inflasi merupakan sumber masalah dalam perekonomian. 42 Saran Penelitian Lanjutan 1. Series data dalam penelitian ini masih relatif pendek. Oleh karena itu dalam penelitian selanjutnya bisa menggunakan series data yang lebih panjang 2. Membandingkan threshold inflasi sebelum dan setelah penerapan inflation targeting framework (ITF) dapat menjadi topik yang menarik, sehingga dalam penelitian selanjutnya bisa melakukan kajian tersebut, misalnya dengan menggunakan data triwulanan 3. Inflasi merupakan variabel makroekonomi yang memiliki keterkaitan dan implikasi sangat luas dalam perekonomian, salah satunya terhadap kemiskinan. Uji dampak threshold inflasi terhadap tingkat kemiskinan juga bisa dilakukan untuk menambah literatur penelitian. 43 DAFTAR PUSTAKA Barro RJ. 1995a. Inflation and economic growth. Bank of England Quarterly Bulletin No 35. Bank of England. _______. 1995b. Inflation and economic growth. Working Paper No 5326. National Bureau of Economic Research. Black DC, Dowd MR, Keith K. 2001. The inflation/growth relationship: evidence from state panel data. Applied Economics Letters. 8(12):771-774. Blanchard OJ, Kiyotaki N. 1987. Monopolistic competition and the effects of agregate demand. The American Economic Review. 77(4):647-666. Bruno M, Easterly W. 1995. Inflation crises and long-run growth. Working Paper No 5209. National Bureau of Economic Research. Chowdhury A. 2002. Does inflation affect economic growth? the relevance of the debate for Indonesia. Journal of the Asia Pacific Economy. 7(1):20-34. Chowdhury A, Siregar H. 2004. Indonesia’s monetary policy dilemma: constraints of inflation targeting. The Journal of Developing Areas. 37(2):137–153. Chowdhury A, Ham R. 2009. Inflation targeting in Indonesia: searching for a threshold. The Singapore of Economic Review. 54(4):645–655. Dorrance GS. 1963. The effect of inflation on economic development. IMF Staff Papers. 10(1):1-47. __________. 1966. Inflation and growth. IMF Staff Papers. 13(1):82-102. Doguwa SI. 2013. Inflation and economic growth in Nigeria: detecting the threshold level. CBN Journal of Applied Statistics. 3(2):99-124. Drukker D, Gomis-Porqueras P, Hernandez-Verme P. 2005. Threshold effects in the relationship between inflation and growth: a new panel-data approach. MPRA Paper No 38225, Ludwig Maximilian University of Munich, Germain. Enders W. 2004. Applied Econometric Time Series 2nd. New York (US): John Wiley & Sons Inc. Frimpong JM, Oteng-Abayie EF. 2010. When is inflation harmful? estimating the threshold effect for Ghana. American Journal of Economics and Business Administration. 2(3):232-239. Fischer S. 1983. Inflation and growth. Working Paper No 1235. National Bureau Of Economic Research. _______. 1993. The role of macroeconomic factors in growth. Working Paper No 4565. National Bureau Of Economic Research. Ghosh A, Phillips S. 1998a. Inflation, disinflation and growth. Working Paper No 96/68. International Monetary Fund. ________________. 1998b. Warning: inflation may be harmful to your growth. IMF Staff Papers. 45(4):672–710. Gokal V, Hanif S. 2004. Relationship between inflation and economic growth. Working Paper 2004/04. Reserve Bank of Fiji. Hansen B. 1996. Inference when a parameter is not identified under the null hypothesis. Econometrica. 64(2):413–430. _________. 1997. Inference in TAR models. Studies in Non-Linear Dynamics and Econometrics. 2(1):1–14. _________. 1999. Threshold effects in non-dynamic panels: estimation, testing, and inference. Journal of Econometrics. 93(2):345-368. 44 ________. 2000. Sample splitting and threshold estimation. Econometrica. 68(3):575–603. Hossain A. 2005. The sources and dynamics of inflation in indonesia: an ECM model estimation for 1952-2002. Applied Econometrics and International Development, AEID. 5(4):93-116. Hussain S, Malik S. 2011. Inflation and economic growth: evidence from Pakistan. International Journal of Economics and Finance. 3(5):262-276. Jhingan ML. 2010. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Edisi ke-16. D Guritno (penerjemah). Jakarta (ID): PT Raja Grafindo Persada. Juanda B. 2009. Ekonometrika: Pemodelan dan Pendugaan. Bogor (ID): IPB Press. Judson R, Orphanides A. 1996. Inflation, volatility and growth. Finance and Economics Discussion Papers No 96-19. Board of Governors of the Federal Reserve System. Jung WS, Marshall PJ. 1986. Inflation and economic growth: some international evidence on Structuralist and Distortionist positions: note. Journal of Money, Credit and Banking. 18(2):227–232. Kannan R, Joshi H. 1998. Growth-inflation trade-off: empirical estimation of threshold rate of inflation for India. Economic and Political Weekly. 33 (42/43):2724-2728. Khan MS, Senhadji AS. 2001. Threshold effects in the relationship between inflation and growth. IMF Staff Papers. 48(1):1–21. Kormendi RC, Meguire PG. 1985. Macroeconomic determinants of growth: crosscountry evidence. Journal of Monetary Economics. 16(2):141–163. Kremer S, Nautz D, Bick A. 2012. Inflation and growth: new evidence from a dynamic panel threshold analysis. Empirical Economics. 44(2):861–878. Lee CC, Wong SY. 2005. Inflationary threshold effects in the relationship between financial development and economic growth: evidence from Taiwan and Japan. Journal of Economic Development. 30(1):49-69. Li M. 2006. Inflation and economic growth: threshold effects and transmission mechanisms. Working Paper No 0176, University of Alberta, Canada. Liwan A, Lau E. 2007. Managing growth: the role of export, inflation and investment in three ASEAN neighboring countries. MPRA Paper No 3952, Ludwig Maximilian University of Munich, Germain. Lucas RE. 1973. Some international evidence on output-inflation tradeoffs. The American Economic Review. 63(3):326–334. Mallik G, Chowdhury A. 2001. Inflation and economic growth: evidence from four south asian countries. Asia-Pacific Development Journal. 8(1):123– 135. Mohanty D, Chakraborty AB, Das A, John J. 2011. Inflation threshold in India: an empirical investigation. RBI Working Paper Series No 18. Reserve Bank of India Morrar D. 2011. Inflation threshold and nonlinearity: implications for inflation targeting in south africa [thesis]. Grahamstown (ZA): Rhodes University. Mubarik YA. 2005. Inflation and growth: an estimate of the threshold level of inflation in Pakistan. SBP-Research Bulletin. 1(1):35-44. Mundell RA. 1963. Inflation and real interest. Journal of Political Economy. 71(3):280-283. 45 Munir Q, Mansur K. 2009. Non-linearity between inflation rate and GDP growth in Malaysia. Economic Bulletin. 29(3):1555-1569. Nasir I, Saima N. 2010. Investment, inflation and economic growth nexus. MPRA Paper No. 27163, Ludwig Maximilian University of Munich, Germain. Nell KS. 2000. Is inflation and precondition for faster growth? The case of South Africa. Studies in Economics No 0011, University of Kent, UK. Rousseau PL, Yilmazkuday H. 2009. Inflation, financial development and growth: A trilateral analysis. Economic Systems. 33(4):1-15. Sadikin FI. 2010. Identifikasi faktor-faktor yang memengaruhi inflasi sebelum dan sesudah krisis moneter 1997: suatu pendekatan var [tesis]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. Sarel M. 1996. Nonlinear effects of inflation on economic growth. IMF Staff Papers. 43(1):199–215. Sepehri A, Moshiri S. 2004. Inflation-growth profiles across countries: evidence from developing and developed countries. International Review of Applied Economics. 18(2):191–207. Sidrauski M. 1967. Inflation and economic growth. Journal of Political Economy. 75(6):796-810. Smyth DJ. 1992. Inflation and the growth rate in the united states’ natural output. Applied Economics. 24(6):567–570. Stockman AC. 1981. Anticipated inflation and the capital stock in a cash inadvance economy. Journal of Monetary Economics. 8(3):387-393. Subekti A. 2011. Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sulistyowati N. 2011. Dampak investasi sumberdaya manusia terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di Jawa Tengah [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Tambunan TH. 2003. Perekonomian Indonesia: Beberapa Masalah Penting. Jakarta (ID): Erlangga. Tobin J. 1965. Money and economic growth. Econometrica. 33(4):671–684. Todaro MP, Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jilid I Edisi Kesembilan. Haris Munandar (penerjemah). Jakarta (ID): Erlangga. ________________________. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jilid II Edisi Kesembilan. Andri Yelvi (penerjemah). Jakarta (ID): Erlangga. Wai UT. 1959. The relationship between inflation and economic development: a statistical inductive study. IMF Staff Papers. 7(2):302-17. Woo WT, Glassburner B, Nasution A. 1994. Macroeconomic policies, crises, and long-term growth in Indonesia 1965–90. Washington DC (US): World Bank. Yeh CC. 2012. The inflation-growth nexus across countries under simultaneous equations model. Academic Research International. 2(2):18-32. Elektronik Bank Indonesia. Sejarah Moneter Periode 1959-1966. [http://bi.go.id]. [diunduh 2013 Apr 18]. Bank Indonesia. 2002. Laporan Tahunan 2001. [http://bi.go.id]. [diunduh 2013 Sept 4]. 46 http://bi.go.id http://bps.go.id http://worldbank.org 47 LAMPIRAN Lampiran 1 Data yang digunakan dalam penelitian Tahun GDPGR INF INVGR LFGR TOTGR M2GR (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1.61 1.58 3.48 3.36 3.25 3.15 3.05 2.88 2.80 2.73 2.65 2.58 2.52 2.46 2.40 7.09 9.98 2.92 3.25 2.00 2.25 0.84 2.87 0.92 5.32 0.68 4.34 1.35 1.54 2.28 0.85 3.31 1.99 –0.46 3.65 33.09 4.19 15.97 4.02 28.94 –21.57 –0.21 13.57 –10.17 16.54 24.80 –28.52 –13.00 –10.10 22.57 –6.33 –12.38 12.34 5.50 0.64 –5.93 0.29 4.41 0.73 –7.15 –8.94 2.62 1.38 23.77 5.64 3.91 –5.68 –2.39 6.35 –11.20 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 8.15 7.00 7.88 9.78 8.26 6.18 5.99 8.64 9.21 7.09 8.72 8.15 1.10 8.45 7.17 3.48 5.96 5.30 6.36 9.08 9.00 8.93 7.22 7.25 7.54 8.40 7.64 4.70 –13.13 0.79 4.92 3.64 4.50 4.78 5.03 8.94 2.62 25.81 27.17 33.41 19.76 14.08 11.85 6.69 21.77 15.97 7.09 9.69 11.46 8.76 4.31 8.83 8.90 5.47 5.97 9.53 9.52 4.94 9.77 9.24 8.64 6.47 11.05 77.63 2.01 9.35 12.55 10.03 5.06 6.40 32.59 21.77 19.03 17.05 19.21 14.58 6.00 15.95 15.04 24.79 24.37 12.40 5.65 4.30 –4.75 6.80 8.87 5.48 24.69 12.31 10.88 9.57 10.25 –0.22 16.68 13.06 4.94 6.31 –39.04 –23.24 17.47 8.56 –4.46 10.84 6.90 39.57 42.68 44.32 49.47 47.27 37.25 31.20 19.50 21.62 36.97 49.00 26.34 14.07 32.16 22.64 29.06 19.48 22.79 24.32 38.17 44.56 17.53 19.62 20.06 20.20 27.52 27.08 25.25 62.76 12.23 16.62 12.12 4.76 8.41 8.43 48 Lampiran 1 Data yang digunakan dalam penelitian (lanjutan) Tahun GDPGR INF INVGR LFGR TOTGR M2GR (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Sumber: GDPGR INF INVGR LFGR TOTGR 5.69 5.50 6.35 6.01 4.63 6.22 6.49 6.23 M2GR 17.11 6.60 6.59 11.06 2.78 6.96 3.79 4.30 12.38 1.34 1.93 12.44 2.43 11.10 10.56 13.30 1.76 0.55 3.34 1.82 1.68 2.37 0.72 0.58 –2.65 6.38 –4.30 –10.57 9.14 –5.15 –1.54 –6.18 16.34 14.94 19.33 14.92 12.95 15.40 16.43 14.86 : BPS RI : BPS RI : Bank Dunia : BPS RI, interpolasi : dihitung dari rasio nilai ekspor terhadap impor, Bank Dunia dan BPS RI : Bank Indonesia Metode interpolasi data angkatan kerja dengan Microsoft Excell 2007 Tentukan nilai start dan end dari data angkatan kerja. Nilai start dan end adalah sel data terkecil dan sel data terbesar pada Microsoft Excell 2007. 1. Karena yang tersedia adalah data tahun 1961, 1971, 1976 serta mulai 1984 hingga 2012, maka data pada tahun-tahun tersebut dijadikan benchmark. Misal untuk mengisi data antara tahun 1961 dan 1971, maka nilai start dan end masing-masing adalah data tahun 1961 dan data tahun 1971, begitu seterusnya 2. Tentukan penambahan/langkah data, dengan rumus: penambahan = (end–start)/(Row(end)–Row(start)) 3. Dapatkan angka interpolasi mulai dari data yang berfungsi sebagai start hingga data sebelum end, dengan penambahan/langkah seperti yang diperoleh pada langkah 2 4. Ulangi langkah 2 dan 3 untuk mengisi seluruh data yang kosong 49 Lampiran 2 Hasil uji unit root Null Hypothesis: GDPGR has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on AIC, maxlag=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -4.429960 -3.596616 -2.933158 -2.604867 0.0010 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(GDPGR) Method: Least Squares Date: 08/25/13 Time: 23:06 Sample (adjusted): 1971 2012 Included observations: 42 after adjustments Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. GDPGR(-1) C -0.654160 3.911175 0.147667 1.040131 -4.429960 3.760271 0.0001 0.0005 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) 0.329135 0.312364 3.453977 477.1982 -110.6309 19.62455 0.000071 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat -0.045714 4.165240 5.363378 5.446124 5.393707 1.968945 Null Hypothesis: GDPGR has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic - based on AIC, maxlag=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. t-Statistic Prob.* -4.646428 -4.192337 -3.520787 -3.191277 0.0030 50 Lampiran 2 Hasil uji unit root (lanjutan) Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(GDPGR) Method: Least Squares Date: 08/25/13 Time: 23:08 Sample (adjusted): 1971 2012 Included observations: 42 after adjustments Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. GDPGR(-1) C @TREND(1970) -0.717000 5.567688 -0.059368 0.154312 1.645549 0.045949 -4.646428 3.383484 -1.292037 0.0000 0.0016 0.2039 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) 0.356672 0.323681 3.425435 457.6106 -109.7507 10.81115 0.000184 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat -0.045714 4.165240 5.369083 5.493203 5.414578 1.934693 Null Hypothesis: INF has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on AIC, maxlag=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -5.997956 -3.596616 -2.933158 -2.604867 0.0000 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(INF) Method: Least Squares Date: 08/25/13 Time: 23:10 Sample (adjusted): 1971 2012 Included observations: 42 after adjustments Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. INF(-1) C -0.950989 11.33831 0.158552 2.718190 -5.997956 4.171270 0.0000 0.0002 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) 0.473514 0.460352 12.54172 6291.792 -164.7914 35.97548 0.000000 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat -0.110476 17.07269 7.942447 8.025193 7.972776 1.986737 51 Lampiran 2 Hasil uji unit root (lanjutan) Null Hypothesis: INF has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic - based on AIC, maxlag=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -6.196036 -4.192337 -3.520787 -3.191277 0.0000 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(INF) Method: Least Squares Date: 08/25/13 Time: 23:11 Sample (adjusted): 1971 2012 Included observations: 42 after adjustments Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. INF(-1) C @TREND(1970) -0.988873 16.39560 -0.214010 0.159598 4.655308 0.160713 -6.196036 3.521915 -1.331630 0.0000 0.0011 0.1907 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) 0.496411 0.470586 12.42223 6018.160 -163.8576 19.22208 0.000002 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat -0.110476 17.07269 7.945601 8.069721 7.991096 2.001015 Null Hypothesis: INVGR has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on AIC, maxlag=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. t-Statistic Prob.* -4.383747 -3.596616 -2.933158 -2.604867 0.0011 52 Lampiran 2 Hasil uji unit root (lanjutan) Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(INVGR) Method: Least Squares Date: 08/25/13 Time: 23:12 Sample (adjusted): 1971 2012 Included observations: 42 after adjustments Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. INVGR(-1) C -0.599340 4.977400 0.136719 2.072185 -4.383747 2.402006 0.0001 0.0210 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) 0.324521 0.307634 10.66569 4550.277 -157.9862 19.21724 0.000082 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat -0.542381 12.81802 7.618389 7.701135 7.648719 1.952402 Null Hypothesis: INVGR has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic - based on AIC, maxlag=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -4.602214 -4.192337 -3.520787 -3.191277 0.0034 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(INVGR) Method: Least Squares Date: 08/25/13 Time: 23:14 Sample (adjusted): 1971 2012 Included observations: 42 after adjustments Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. INVGR(-1) C @TREND(1970) -0.686550 10.18455 -0.204835 0.149178 4.287467 0.148152 -4.602214 2.375422 -1.382607 0.0000 0.0225 0.1747 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) 0.356083 0.323062 10.54619 4337.665 -156.9813 10.78340 0.000187 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat -0.542381 12.81802 7.618156 7.742275 7.663651 1.892470 53 Lampiran 2 Hasil uji unit root (lanjutan) Null Hypothesis: LFGR has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on AIC, maxlag=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -5.155700 -3.596616 -2.933158 -2.604867 0.0001 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LFGR) Method: Least Squares Date: 08/25/13 Time: 23:17 Sample (adjusted): 1971 2012 Included observations: 42 after adjustments Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LFGR(-1) C -0.810399 2.092353 0.157185 0.493800 -5.155700 4.237249 0.0000 0.0001 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) 0.399230 0.384211 1.777833 126.4276 -82.73742 26.58125 0.000007 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat -0.024524 2.265557 4.035115 4.117861 4.065445 2.034841 Null Hypothesis: LFGR has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic - based on AIC, maxlag=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. t-Statistic Prob.* -5.673467 -4.192337 -3.520787 -3.191277 0.0002 54 Lampiran 2 Hasil uji unit root (lanjutan) Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LFGR) Method: Least Squares Date: 08/25/13 Time: 23:18 Sample (adjusted): 1971 2012 Included observations: 42 after adjustments Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LFGR(-1) C @TREND(1970) -0.893941 3.273819 -0.044802 0.157565 0.765046 0.022687 -5.673467 4.279243 -1.974770 0.0000 0.0001 0.0554 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) 0.453842 0.425834 1.716697 114.9349 -80.73604 16.20396 0.000008 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat -0.024524 2.265557 3.987431 4.111550 4.032925 2.042708 Null Hypothesis: TOTGR has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic - based on AIC, maxlag=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -5.537657 -3.600987 -2.935001 -2.605836 0.0000 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(TOTGR) Method: Least Squares Date: 08/25/13 Time: 23:19 Sample (adjusted): 1972 2012 Included observations: 41 after adjustments Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. TOTGR(-1) D(TOTGR(-1)) C -1.284509 0.125685 1.291881 0.231959 0.149003 1.962814 -5.537657 0.843508 0.658178 0.0000 0.4042 0.5144 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) 0.577474 0.555236 12.35300 5798.668 -159.6886 25.96765 0.000000 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat -0.252927 18.52283 7.936030 8.061413 7.981688 1.979139 55 Lampiran 2 Hasil uji unit root (lanjutan) Null Hypothesis: TOTGR has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 1 (Automatic - based on AIC, maxlag=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -5.784965 -4.198503 -3.523623 -3.192902 0.0001 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(TOTGR) Method: Least Squares Date: 08/25/13 Time: 23:20 Sample (adjusted): 1972 2012 Included observations: 41 after adjustments Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. TOTGR(-1) D(TOTGR(-1)) C @TREND(1970) -1.379689 0.179646 6.697772 -0.238805 0.238496 0.151861 4.267652 0.167987 -5.784965 1.182960 1.569428 -1.421569 0.0000 0.2444 0.1251 0.1635 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) 0.599356 0.566872 12.19034 5498.359 -158.5985 18.45046 0.000000 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat -0.252927 18.52283 7.931632 8.098810 7.992509 2.001140 Null Hypothesis: M2GR has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on AIC, maxlag=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. t-Statistic Prob.* -3.666152 -3.596616 -2.933158 -2.604867 0.0083 56 Lampiran 2 Hasil uji unit root (lanjutan) Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(M2GR) Method: Least Squares Date: 08/25/13 Time: 23:21 Sample (adjusted): 1971 2012 Included observations: 42 after adjustments Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. M2GR(-1) C -0.497261 12.26159 0.135636 3.931868 -3.666152 3.118516 0.0007 0.0034 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) 0.251506 0.232794 11.54670 5333.054 -161.3196 13.44067 0.000716 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat -0.588333 13.18263 7.777125 7.859871 7.807455 2.154212 Null Hypothesis: M2GR has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic - based on AIC, maxlag=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -5.124674 -4.192337 -3.520787 -3.191277 0.0008 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(M2GR) Method: Least Squares Date: 08/25/13 Time: 23:21 Sample (adjusted): 1971 2012 Included observations: 42 after adjustments Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. M2GR(-1) C @TREND(1970) -0.806153 31.74961 -0.535153 0.157308 7.155373 0.170481 -5.124674 4.437170 -3.139085 0.0000 0.0001 0.0032 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) 0.402478 0.371836 10.44813 4257.373 -156.5889 13.13478 0.000044 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat -0.588333 13.18263 7.599472 7.723591 7.644967 1.965984 57 Lampiran 3 Output model linear pertumbuhan ekonomi Hasil Estimasi Variabel Dependen: GDPGR Variabel Koefisien Standar error t-statistik Probabilitas (1) (2) (3) (4) (5) 4.83462 –0.16598 0.15612 –0.03628 –0.00896 0.07202 0.82202 0.04204 0.03233 0.18548 0.02813 0.03692 5.88141 –3.94810 4.82931 –0.19561 –0.31854 1.95057 C INF INVGR LFGR TOTGR M2GR R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) 0.716444 0.678125 2.047703 155.1442 –88.60219 18.69709 0.00000 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat Uji normalitas dengan metode Jarque-Bera Matriks korelasi antarvariabel independen INF INVGR LFGR TOTGR M2GR INF 1 0.2620 -0.3991 -0.0210 0.3973 INVGR 0.2620 1 0.1523 0.1203 -0.0170 LFGR -0.3991 0.1523 1 0.0693 0.0149 TOTGR -0.0210 0.1203 0.0693 1 -0.1894 M2GR 0.3973 -0.0170 0.0149 -0.1894 1 0.00000 0.00034 0.00002 0.84599 0.75187 0.05871 6.053023 3.609303 4.400102 4.645851 4.490726 1.692793 58 Lampiran 3 Output model linear pertumbuhan ekonomi (lanjutan) Nilai Obs*R-squared dan Prob. Chi-Square(5) dari pengujian Breusch-Pagan-Godfrey test Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey F-statistic Obs*R-squared 0.9488 4.8867 Prob. F(5,37) Prob. Chi-Square(5) 0.4614 0.4299 Nilai Obs*R-squared dan Prob. Chi-Square(5) dari pengujian Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test F-statistic Obs*R-squared 0.8434 1.9771 Prob. F(5,37) Prob. Chi-Square(5) 0.4388 0.3721 59 Lampiran 4 Output model threshold Khan dan Senhadji (2001) Hasil estimasi Variabel Dependen: GDPGR Variabel Koefisien (1) Standar error (2) C INF > 7.11 INF ≤ 7.11 INVGR LFGR TOTGR M2GR 4.490997 –0.240609 0.568529 0.111299 –0.090165 0.007551 0.097920 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) 0.782133 0.745822 1.81967 119.2032 -82.93639 21.53971 0.00000 t-statistik (3) 0.808691 0.043670 0.225823 0.031773 0.165589 0.025486 0.033729 Probabilitas (4) (5) 5.553417 –5.509714 2.517587 3.502953 –0.544512 0.296292 2.903099 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat 0.000003 0.000003 0.016407 0.001249 0.589446 0.768710 0.006273 6.053023 3.609303 4.183088 4.469795 4.288817 1.560146 Uji normalitas dengan metode Jarque-Bera Matriks korelasi antarvariabel independen INF >7.11 INF ≤7.11 INVGR LFGR TOTGR M2GR INF >7.11 1 0.2620 0.1523 0.1203 -0.0170 0.2016 INF ≤ 7.11 0.2620 1 -0.3991 -0.0210 0.3973 0.6494 INVGR 0.1523 -0.3991 1 0.0693 0.0149 0.1046 LFGR 0.1203 -0.0210 0.0693 1 -0.1894 0.0940 TOTGR -0.0170 0.3973 0.0149 -0.1894 1 0.4194 M2GR 0.2016 0.6494 0.1046 0.0940 0.4194 1 60 Lampiran 4 Output model threshold Khan dan Senhadji (2001) (lanjutan) Nilai Obs*R-squared dan Prob. Chi-Square(6) dari pengujian Breusch-Pagan-Godfrey test Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey F-statistic Obs*R-squared 1.1188 6.7581 Prob. F(6,36) Prob. Chi-Square(6) 0.371 0.3488 Nilai Obs*R-squared dan Prob. Chi-Square(2) dari pengujian Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test F-statistic Obs*R-squared 0.6723 1.6358 Prob. F(2,34) Prob. Chi-Square(2) 0.5172 0.4414 61 Lampiran 5 Output model threshold Hansen (1997, 2000) Hasil estimasi Variabel Dependen: GDPGR Inflasi ≤ 9.53% Variabel Koefisien Probabilitas (1) C INF INVGR LFGR TOTGR M2GR Inflasi > 9.53% Koefisien Probabilitas (2) (3) (4) (5) 2.66479 (1.21445) 0.34130 (0.15635) 0.04925 (0.03876) –0.24284 (0.16688) –0.04488 (0.03050) 0.08028 (0.03950) 0.03584 5.22091 (1.57979) –0.24811 (0.07207) 0.15433 (0.06211) 0.10077 (0.73985) 0.03268 (0.04151) 0.11094 (0.05255) 0.00241 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) 0.838038 0.780567 1.690729 88.61546 -76.56114 59.296 0.00000 0.03674 0.21328 0.15568 0.15125 0.05078 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat Keterangan: angka dalam kurung merupakan nilai standar error Uji normalitas dengan metode Jarque-Bera 0.00167 0.01857 0.89254 0.43702 0.04292 6.053023 3.609303 4.119123 4.610621 4.300372 1.679561 62 Lampiran 5 Output model threshold Hansen (1997, 2000) (lanjutan) Matriks korelasi antarvariabel independen INF1 INVGR1 LFGR1 TOTGR1 M2GR1 INF2 INVGR2 LFGR2 TOTGR2 M2GR2 1 0.58 0.60 0.04 0.77 -0.61 -0.38 -0.82 -0.15 -0.73 INVGR1 0.58 1 0.27 0.04 0.67 -0.36 -0.23 -0.49 -0.09 -0.44 LFGR1 0.60 0.27 1 -0.22 0.57 -0.42 -0.26 -0.57 -0.11 -0.51 TOTGR1 0.04 0.04 -0.22 1 0.13 -0.02 -0.01 -0.03 -0.01 -0.03 M2GR1 0.77 0.67 0.57 0.13 1 -0.58 -0.37 -0.79 -0.15 -0.71 INF2 -0.61 -0.36 -0.42 -0.02 -0.58 1 -0.09 0.63 0.51 0.85 INVGR2 -0.38 -0.23 -0.26 -0.01 -0.37 -0.09 1 0.58 0.08 0.32 LFGR2 -0.82 -0.49 -0.57 -0.03 -0.79 0.63 0.58 1 0.21 0.83 TOTGR21 -0.15 -0.09 -0.11 -0.01 -0.15 0.51 0.08 0.21 1 0.45 M2GR2 -0.73 -0.44 -0.51 -0.03 -0.71 0.85 0.32 0.83 0.45 1 INF1 Nilai Obs*R-squared dan Prob. Chi-Square(11) dari pengujian Breusch-Pagan-Godfrey test Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey F-statistic Obs*R-squared 0.4029 5.3780 Prob. F(11,31) Prob. Chi-Square(11) 0.944 0.9115 Nilai Obs*R-squared dan Prob. Chi-Square(2) dari pengujian Breusch-Godfrey Serial Correlation LM test Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test F-statistic Obs*R-squared 0.5480 1.5658 Prob. F(2,29) Prob. Chi-Square(2) 0.584 0.4571 63 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Trenggalek (Jawa Timur) pada tanggal 9 April 1982 dari pasangan Widaryadi dan Nunik Sulistyani serta merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Penulis menikah dengan Ulfatul Umami. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar hingga jenjang SMA di Trenggalek, pada tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Jakarta Jurusan Statistik Ekonomi hingga 2006. Sejak Maret 2007, penulis bekerja di BPS Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalimantan Selatan dan bertugas sebagai Staf Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik. Pada tahun 2011 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor melalui Program S2 kerjasama antara BPS dan IPB di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, setelah sebelumnya menyelesaikan program alih jenis Ilmu Ekonomi dan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di tahun dan tempat yang sama.