BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi TB Paru Kategori 2 Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri aerob, Mycobacterium tuberculosis yang dapat hidup di organ yang nempunyai tekanan parsialoksigen yang tinggi terutama di paru-paru (Rab, T., 2010). Tuberkulosis paru merupakan penyakit yang menyerang saluran pernapasan bagian bawah (Alsagaff, dkk, 2005). Perkembangan penyakit ini tergantung pada daya tahan tubuh dan virulensi bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagai penyebab utama, dan pada beberapa kasus dapat ditemukan bakteri yang bersifat dormant yang dapat aktif apabila penderita mengalami penurunan daya tahan tubuh, kekurangan gizi, penyakit infeksi, dan faktor usia yang menua (Crofton, dkk, 2002). Tuberkulosis kategori 2 adalah penderita TB paru yang sebelumnya pernah menjalani pengobatan karena penyebab yang berbeda harus melakukan pengobatan ulang, yang dibagi menjadi kasus kambuh, kasus gagal, dan kasus putus obat (Aditama, TY., 2002). 2.2 Etiologi Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis yang mempunyai ukuran panjang 0,5-4 mikron dan lebar 0,3-0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, kurus, dan agak bengkok, bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan luar yang tebal. Bakteri tuberkulosis akan mati dengan pemanasan C selama 5-10 menit atau C selama 30 menit. Bakteri juga dapat mati dengan alkohol 70-95% selama 15-30 detik (Widoyono, 2008). Bakteri tuberkulosis dapat tumbuh optimal pada suhu C dengan tingkat 11 Universitas Sumatera Utara 12 pH optimal berkisar 6,4-7 (Aditama, TY, 2002). Dinding bakteri terdiri dari asam lemak (lipid), peptidoglikan, dan arabinomannam. Lipid inilah yang membuat bakteri lebih tahan terhadap asam sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis (Suyono, S., 2001). 2.3 Patogenesis 2.3.1 Tuberkulosis Primer Penyakit tuberkulosis ditularkan melalui batuk atau bersin oleh penderita menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel infeksi dapat bertahan dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada atau tidaknya sinar matahari dalam hal ini sinar ultraviolet, ventilasi yang baik dan kelembaban ruangan. Dalam suasana yang lembab dan gelap, bakteri tuberkulosis dapat bertahan berhari-hari sampai berbulan-bulan (Sudoyono A., dkk, 2010). Bakteri tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan membentuk sarang pneumoni yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer akan terbentuk di bagian mana saja yang ada di dalam paru (PDPI, 2006). Dari sarang primer akan timbul peradangan getah bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenifitis regional). Sarang primer bersama-sama dengan limfangitis lokal dan limfadenitis regional dikenal dengan kompleks primer. Kompleks primer selanjutnya akan menjadi salah satu dari: 1. Penderita akan sembuh dengan tidak meninggalkan cacat (restirution ad integrum) 2. Sembuh dengan meninggalkan bekas (seperti Ghon, fibrotik, perkapuran) Universitas Sumatera Utara 13 3. Menyebar dengan cara: a. Perkontinuitatum ke jaringan sekitarnya Sebagai contoh adalah pembesaran kelenjar limfe di hilus, sehingga menyebabkan penekanan bronkus lobus medius, berakibat atelektasis. Bakteri akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat menuju lobus yang atelektasis, menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis, hal ini disebut sebagai epituberkulosis. Pembesaran kelenjar limfe di leher, dapat menjadi abses yang disebut scrofuloderma. Penyebaran ke pleura menyebabkan efusi pleura. b. Penyebaran bronkogen ke paru bersangkutan atau paru sebelahnya, atau tertelan bersama dahak sehingga terjadi penyebaran di usus. c. Penyebaran secara hematogen dan lomfogen ke organ lain seperti tuberkulosis milier, meningitis, tulang, ginjal, dan genetalia (Wibisono, MJ., dkk, 2010) 2.3.2 Tuberkulosis Postprimer Tuberkulosis postprimer terjadi karena bakteri yang dormant pada tuberkulosis primer muncul setelah bertahun-tahun setelahnya sebagai infeksi endogen. Tuberkulosis ini muncul kembali disebabkan oleh imunitas menurun karena malnutrisi, alkohol, penyakit malagna, diabetes, AIDS, gagal ginjal. Tuberkolusis postprimer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior menginvasi daerah parenkim paru-paru. TB postprimer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda Universitas Sumatera Utara 14 menjadi TB usia tua, yang bergantung pada jumlah bakteri, virulensi dan imunitas seseorang. Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang yakni: 1. Sarang yang sudah sembuh yang tidak memerlukan pengobatan lagi 2. Sarang aktif eksudatif butuh pengobatan yang lengkap dan sempurna. 3. Sarang yang berada antara aktif dan sembuh yang dapat sembuh spontan tetapi dapat berkemungkinan terjadinya eksaserbi kembali, seharusnya diberikan pengobatan yang sempurna (Sudoyono, A., dkk, 2010). 2.4 Diagnosis Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik, dan pemeriksaan penunjang lainnya seperti analisis cairan pleura, pemeriksaan histopatologi jaringan, pemeriksaan darah, uji tuberkulin (PDPI, 2006). 2.4.1 Gejala Klinis Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu gejala lokal (apabila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokalnya adalah gejala respiratorik) dan gejala sistemik. a. Gejala Respiratorik 1. Batuk Batuk merupakan gejala yang paling banyak ditemukan dan yang paling dini dikeluhkan. Batuk baru timbul apabila proses penyakit telah melibatkan bronkus. Batuk mula-mula terjadi oleh karena iritasi bronkus, selanjutnya akibat adanya peradangan pada bronkus batuk akan menjadi produktif. Batuk produktif ini berguna untuk membuang produk ekskresi Universitas Sumatera Utara 15 peradangan. Dahak dapat bersifat mukoid atau purulen. Batuk yang dicurigai sebagai tuberkulosis adalah batuk yang berlangsung selama ≥ 2 minggu. 2. Batuk darah Batuk darah terjadi karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Berat ringannya batuk darah yang timbul, tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah. Batuk darah tidak selalu timbul akibat pecahnya aneurisma pada dinding kavitas, juga dapat terjadi akibat ulserasi pada mukosa bronkus. Batuk darah inilah yang paling sering membawa penderita untuk berobat ke dokter. Sesak napas 3. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut dengan kerusakan paru yang cukup luas. Pada awal penyakit gejala ini tidak pernah didapat 4. Nyeri dada Gajala ini timbul apabila sistem persarafan yang terdapat di pleura terkena, gejala ini bersifat lokal atau pleuritik. b. Gejala Sistemik 1. Demam Demam merupakan gejala pertama dari tuberkulosis paru, biasanya timbul pada sore dan malam hari disertai keringat mirip dengan demam influenza yang segera mereda. Demam dapat mencapai suhu tinggi yaitu - C. Universitas Sumatera Utara 16 2. Malaise Karena tuberkulosis bersifat radang menahun maka dapat terjadi rasa tidak enak badan, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, badan semakin kurus, sakit kepala, mudah lelah, dan pada wanita kadang-kadang dapat terjadi gangguan siklus menstruasi (Yunus, F., dkk, 1992). 2.4.2 Pemeriksaan Jasmani Pemeriksaan jasmani pada tuberkulosis paru terdapat kelainan anatomis yang terletak pada lobuli yang meliputi alveoli dan beberapa bronkiolus terminalis (Alsagaff, dkk, 2005). Pada stadium awal penemuan yang utama adalah ronki basah halus waktu inspirasi dalam yang diikuti dengan ekspirasi dalam, terdengar di daerah lesi. Pada stadium yang lebih lanjut karena proses menjalar pelan-pelan dan menahun, maka penderita akan datang dengan keadaan yang sudah lanjut dan kelainan fisik yang mudah diketahui, berupa: a. Kelainan pleura yaitu konsolidasi, fibrosis, atelektasis, dan/atau kerusakan parenkim dengan sisa suatu kavitas. b. Kelainan saluran pernapasan (berupa radang dari mukosa disertai dengan penyempitan maupun penimbunan sekret). c. Kelainan pleura (oleh karena proses terletak dekat pleura, maka hampir selalu terjadi reaksi pleura berupa penebalan atau nyeri pleura). Universitas Sumatera Utara 17 Kelainan-kelainan tersebut akan menimbulkan tanda-tanda fisik sebagai berikut: a. Perubahan volume paru Konsolidasi pada parenkim tidak mengubah volume paru. Fibrosis, atelektasis dan kavitas memperkecil volume jaringan paru yang terkena sehingga menarik jaringan sekitar. b. Perubahan pergerakan pernapasan Daerah yang terkena penyakit akan berkurang gerakannya. c. Perubahan penghantaran getaran suara Konsolidasi dan fibrosis pada parenkim paru dengan saluran pernapasan yang masih terbuka akan meningkatkan penghantaran getaran suara sehingga fremitus suara meningkat. Suara napas menjadi bronko-vesikuler atau bronkial, didapatkan bronkofoni atau suara bisik yang disebut whispered pectoriloque ( Alsagaff, dkk, 2005). 2.4.3 Pemeriksaan Bakteriologik Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik dapat berupa dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, faeces, dan jaringan biopsi. Pemeriksaan dahak atau sputum adalah penting karena dapat menemukan bakteri tahan asam (BTA) yang merupakan diagnosis pasti dalam penegakan diagnosa tuberkulosis dan juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan selain pemeriksaan dahak yang mudah dan murah untuk dilakukan di pelayan kesehatan primer seperti puskesmas (PDPI, Universitas Sumatera Utara 18 2006, Sudoyono A., dkk, 2010). Metode pemeriksaan dahak adalah dengan mengumpulkan dahak sebanyak 3 kali (SPS), yaitu: 1. S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. 2. P (pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di unit pelayanan kesehatan. 3. S (sewaktu): dahak dikumpulkan di Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi (Depkes RI, 2006). Pemeriksaan dahak membutuhkan ±5 mL dahak dan menggunakan pewarnaan seperti dengan metode Ziehl Neelseen (NZ) atau pewarnaan KinyounGabbet (Widoyono, 2008). Pemeriksaan sediaan dahak dapat juga dilakukan dengan pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa, pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop flourensens (pewarnaan khusus), pemeriksaan dengan biakan (kultur), dan pemeriksaan terhadap resitensi obat. Interpertasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD (International Against Tuberculosis and Lung Disease) yang direkomendasikan WHO, adalah sebagai berikut: 1. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif. 2. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah bakteri yang ditemukan. 3. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+). Universitas Sumatera Utara 19 4. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+). 5. Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+) (PDPI, 2006). 2.4.4 Pemeriksaan Radiologik Tuberkulosis dapat memberikan gambaran karakteristik untuk tuberkulosis paru melalui foto rontgen toraks, yaitu: 1. Apabila lesi terdapat terutama di lapangan atas paru 2. Bayangan berawan atau berbecak 3. Terdapat kavitas tunggal atau multipel 4. Terdapat kalsifikasi 5. Apabila lesi lateral terutama bila terdapat pada lapangan atas paru 6. Bayangan abnormal yang menetap pada foto toraks setelah foto ulang beberapa minggu kemudian (Yunus, F., dkk, 1992). Pemeriksaan khusus yang sering kadang-kadang juga digunakan adalah bronkografi, yakni untuk melihat kerusakan bronkus akibat tuberkulosis, yang dilakukan apabila penderita akan menjalani pembedahan paru. Pemeriksaan radiologis yang lebih canggih dan sudah banyak digunakan adalah Computed Tomography Scanning (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) (Sudoyono, A., dkk, 2010). Pemeriksaan foto rontgen toraks dibutuhkan untuk kasus yang sulit seperti penderita suspek tuberkulosis HIV positif. Pemeriksaan foto toraks masih kurang akurat bila dibandingkan dengan hasil pemeriksaan sputum. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan yang lebih akurat (Crofton, dkk, 2002). Universitas Sumatera Utara 20 2.4.5 Pemeriksaan Penunjang 1. Analisis Cairan Pleura Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah. 2. Pemeriksaan histopatologi jaringan Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histopatologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu : a. Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB) b. Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen Silverman) c. Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans thoracal needle aspiration/TTNA, biopsi paru terbuka). d. Otopsi Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi. Universitas Sumatera Utara 21 2. Pemeriksaan darah Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Pemeriksaan Limfosit juga kurang spesifik sebagai indikator spesifik. 3. Uji tuberkulin Uji tuberkulin yang positif menunjukkan ada infeksi tuberkulosis. Di Indonesia dengan prevalens tuberkulosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositivan dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif (PPDI, 2006). Universitas Sumatera Utara 22 Gambar 2.1 Skema alur diagnosis TB paru pada orang dewasa 2.5 Klasifikasi 2.5.1 Klasifikasi Berdasarkan Organ Tubuh yang Terkena 1. TB paru. TB paru adalah TB yang menyerang jaringan (parenkim) paru. Tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. 2. TB ekstra paru. TB yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Universitas Sumatera Utara 23 2.5.2 Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak Mikroskopis 1. TB paru BTA positif a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran TB. c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. 2. TB paru BTA negatif Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi: a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif. b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran TB. c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan. 2.5.3 Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Keparahan Penyakit 1. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Universitas Sumatera Utara 24 Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk. 2. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu: a. TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. b. TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin. 2.5.4 Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu: 1. Baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). 2. Kambuh (Relapse) Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). Universitas Sumatera Utara 25 3. Pengobatan setelah putus berobat (Default) Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. 4. Gagal (Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 5. Pindahan (Transfer In) Adalah pasien yang dipindahkan dari sarana pelayanan kesehatan yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya. 6. Lain-lain: Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan. TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik (Kemenkes, 2014). 2.6 2.6.1 a. Epidemiologi TB Paru Distribusi Frekuensi Berdasarkan Orang Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1 %, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 Universitas Sumatera Utara 26 (sepuluh) orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB. Penyakit TB paru sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB (Kemenkes, 2005). Menurut jenis kelamin, kasus BTA+ pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan yaitu 1,5 kali dibandingkan kasus BTA+ pada perempuan. Menurut kelompok umur, kasus baru paling banyak ditemukan pada kelompok umur 25-34 tahun yaitu sebesar 20,76% diikuti kelompok umur 45-54 tahun sebesar 19,57% dan pada kelompok umur 35-44 tahun sebesar 19,24% (Kemenkes, 2015). Kasus TB kategori 2 di Sumatera Barat tahun 2014 yang terdiri dari kasus kambuh, default, gagal terdapat 268 kasus. Menurut kelompok umur, kasus kategori 2 paling banyak ditemukan pada kelompok umur 45-54 tahun yaitu dengan 57 kasus (21,27%) diikuti kelompok umur 25-34 tahun yaitu sebanyak 56 kasus (20,89%) dan pada kelompok umur 55-64 tahun sebanyak 52 kasus (19,40%). Menurut jenis kelamin, kasus TB paru kategori 2 paling banyak diderita oleh jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 170 kasus (63,4%) dan jenis kelamin perempuan sebanyak 98 kasus (36,5%). Perbandingan kasus kategori 2 antara jenis kelamin adalah 1,7 kali (Dinkes Sumbar, 2015). b. Berdasarkan Tempat Pada tahun 2014 ditemukan jumlah kasus baru BTA+ sebanyak 176.677 kasus, menurun bila dibandingkan kasus baru BTA+ yang ditemukan tahun 2013 yang sebesar 196.310 kasus (Kemenkes, 2015). Menurut hasil Riskesdas 2013, Universitas Sumatera Utara 27 prevalensi TB berdasarkan diagnosis sebesar 0,4% dari jumlah penduduk. Menurut provinsi, prevalensi TB paru tertinggi berdasarkan diagnosis yaitu Jawa Barat sebesar 0,7%, DKI Jakarta dan Papua masing-masing sebesar 0,6%. Sedangkan Provinsi Riau, Lampung, dan Bali merupakan provinsi dengan prevalensi TB paru terendah berdasarkan diagnosis yaitu masing-masing sebesar 0,1% (Riskesdas, 2013). Provinsi Sumatera Barat mempunyai jumlah kasus baru BTA+ tahun 2014 adalah sebesar 5.018 kasus. Sedangkan untuk kasus TB paru kategori 2 di provinsi Sumatera Barat tahun 2014, Kab/ Kota dengan kasus terbanyak adalah di Kabupaten Padang Pariaman dengan 43 kasus (16,04%), diikuti oleh Kabupaten Pasaman Barat dengan 40 kasus (14,92%) dan Kota Padang dengan 37 kasus (13,80%) (Dinkes Sumbar, 2015). c. Berdasarkan Waktu Angka notifikasi kasus BTA+ pada tahun 2014 di Indonesia sebesar 70 per 100.000 penduduk, menurun dibandingkan tahun 2013 yang sebesar 81 per 100.000 penduduk. Begitu juga dengan angka notifikasi seluruh kasus TB per 100.000 penduduk yang menurun dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 113 per 100.000 penduduk. Sedangkan menurut Global Tuberculosis Control, estimasi insidens semua tipe TB tahun 2013 yang sebesar 183 per 100.000 penduduk mengalami penurunan dibandingkan tahun 1990 yang sebesar 343 per 100.000 penduduk. Begitu juga dengan prevalensi TB dan mortalitas yang mengalami penurunan pada tahun 2013 (Kemenkes, 2015). Universitas Sumatera Utara 28 2.6.2 Determinan a. Umur TB Paru dapat menyerang semua golongan umur. Beberapa penelitian menunjukkan kecenderungan pada kelompok usia produktif. Hal ini disebabkan karena pada usia produktif mempunyai mobilitas yang tinggi sehingga kemungkinan untuk terpapar kuman TB Paru lebih besar. Penelitian Meirta (2007) menyatakan bahwa proporsi kasus kambuh selama tahun 2000-2007 di BP4 Medan paling banyak pada kelompok umur 15-55 tahun yaitu 92,8%. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kartika (2008) di RSUD Budhi Asih penderita TB paru putus obat (default) yang berobat adalah usia produktif yaitu pada kelompok umur 15-54 tahun sebesar 75,5%. b. Jenis Kelamin Kepekaan untuk terinfeksi penyakit TB paru adalah sama untuk semua penduduk, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Penyakit TB paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki daripada perempuan. Kasus TB paru pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan yaitu 1,5 kali dibandingkan kasus pada perempuan (Kemenkes, 2015). Menurut WHO sedikitnya dalam satu tahun terdapat satu juta perempuan yang meninggal akibat tuberkulosis dan bahkan lebih tinggi kasus kematian akibat tuberkulosis pada perempuan daripada kasus kematian perempuan akibat kehamilan dan persalinan (Aditama, TY., 2002). Universitas Sumatera Utara 29 c. Gizi Keadaan malnutrisi akan menurunkan resistensi terhadap penyakit infeksi termasuk penyakit tuberkulosis. Keadaan ini yang mempengaruhi di negara miskin, baik pada usia dewasa maupun anak-anak (Crofton, dkk, 2002). Akan tetapi diet bukanlah paparan tunggal dalam timbulnya penyakit melainkan sekumpulan variabel yang saling berinterkolerasi (Almaser, S, 2004). d. Faktor Toksik Merokok tembakau dan minum alkohol dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh. Selain itu obat-obat kortikosteroid dan imunosupresan juga dapat menurunkan kekebalan tubuh. Kebiasaan merokok merupakan faktor dalam progresivitas TB paru dan terjadinya fibrosis. Secara umum, perokok ternyata lebih sering mendapat infeksi TB dan kebiasaan merokok memegang peranan penting sebagai penyebab kematian pada TB (Crofton, dkk, 2002). Penelitian yang dilakukan di RS Persahabatan Jakarta dengan desain case control menyatakan bahwa mereka yang merokok akan 3-4 kali lebih sering terinfeksi TB daripada yang tidak merokok (Firdaus, U, dkk, 2006). e. Kemiskinan Kemiskinan masyarakat mengarah pada menyebabkan kepadatan di dalam rumah (overcrowding), higiene yang rendah yang menyebabkan keadaan gizi yang rendah sehingga lebih memudahkan TB berkembang menjadi penyakit (Djojodibroto, 2009). Universitas Sumatera Utara 30 f. Penyakit Lain Pada beberapa negara infeksi HIV sekarang sangat penting. Kerusakan pertahanan tubuh seringkali menyebabkan komplikasi akibat tuberkulosis. Tuberkulosis juga sering terjadi pada penderita dengan diabetes, leukimia, atau lepra (Crofton, dkk, 2002). 2.7 Pengobatan Pada pengobatan tuberkulosis pengobatan terbagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Panduan obat yang digunakan terdiri dari panduan utama dan panduan obat tambahan. 2.7.1 Obat Anti Tuberkulosis (OAT) 1. 2. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: a. INH (H) b. Rifampisin (R) c. Pirazinamid (Z) d. Streptomisin (S) e. Etambutol (E) Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) a. Kanamisin b. Amikasin c. Kuinolon Universitas Sumatera Utara 31 Tabel 2.1 Jenis dan Dosis OAT Dosis yg dianjurkan Dosis (mg/kg BB/Hari) Dosis (mg) / berat badan (kg) Dosis Maks (mg) < 40 40-60 >60 600 300 300 150 450 300 600 450 R H 8-12 4-6 Harian (mg/ kgBB / hari) 10 5 Z 20-30 25 35 750 1000 1500 E 15-20 15 30 750 1000 1500 S 15-18 15 15 Sesuai BB 750 1000 Obat Intermitten (mg/Kg/BB/kali) 10 10 1000 Tabel 2.2 Dosis obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap Harian BB Fase intensif 2 bulan Harian RHZE RHZ 150/75/400/275 150/75/400 30-37 38-54 55-70 >71 2 3 4 5 2 3 4 5 3x/minggu Fase lanjutan 4 bulan Harian 3x/minggu RHZ 150/150/500 RH 150/75 RH 150/150 2 3 4 5 2 3 4 5 2 3 4 5 Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit/ dokter spesialis paru/ fasilitas yang mampu menanganinya. Universitas Sumatera Utara 32 2.7.2 Panduan Obat Anti Tuberkulosis Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi: 1. TB paru BTA positif Merupakan TB kasus baru yaitu penderita TB yang belum pernah mendapatkan pengobatan sebelumnya atau apabila pernah mendapat pengobatan tidak lebih dari 1 bulan. Pengobatan yang diberikan adalah : RHZE/ 4RH, atau : 2RHZE/ 6HE, atau : 2 RHZE/ 4R3H3 Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi. Panduan yang dianjurkan untuk: a. TB paru BTA +, kasus baru b. TB paru BTA -, dengan lesi luas pada foto toraks. c. TB diluar paru, pada keadaan khusus. 2. TB paru BTA negatif dengan lesi tidak luas, merupakan kasus baru. Pengobatan yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau : 6 RHE atau : 2 RHZE/ 4R3H3 3. TB paru kasus kambuh (relapse) Adalah TB paru yang telah dinyatakan sembuh, akan tetapi bakteriologik (mikrokopis dan atau biakan) kembali positif. Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi kembali aktif, maka kemungkinan adanya infeksi sekunder maupun infeksi jamur. Universitas Sumatera Utara 33 Pada TB kasus kambuh, bila ada pola resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji resistensi, dengan minimal menggunakan 4 macam OAT pada fase intensif selama 3 bulan. Lama pengobatan fase lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari pengobatan sebelumnya, sehingga diberikan panduan pengobatan: 3 RHZE/ 6 RH. Bila tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan panduan obat: 2 RHZES/ 1 RHZE/ 5 R3H3E3. 3. TB paru kasus gagal pengobatan Adalah TB paru dengan sputum BTA yang tidak mengalami konversi setelah pengobatan 5-6 bulan, atau positif kembali pada bulan ke 5/6 pengobatan. Pengobatan sebaiknya berdasarkan uji resistensi, dengan minimal menggunakan 4-5 OAT dengan 2 macam yang masih sensitif, dengan lama pengobatan minimal selama 1-2 tahun. Menunggu hasil resistensi dapat diberikan dahulu 2 RHZES, untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi. Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal. Bila tidak ada uji resistensi, maka alternatif diberikan panduan obat: 2 RHZES/ 1 RHZEI/ 5 H3R3E3, dan sebaiknya pasien dirujuk ke dokter spesial paru. 4. TB paru dengan putus berobat Adalah penderita TB paru yang sedang menjalani pengobatan telah menghentikan pengobatan OAT selama fase intensif atau fase lanjutan sesuai jadwal yang ditentukan dan belum dinyatakan sembuh. Penderita yang menghentikan pengobatannya < 2 minggu, maka pengobatan dilanjutkan sesuai jadwal. Penderita yang menghentikan pengobatannya ≥ 2 minggu, maka (1) berobat ≥ 4 bulan, BTA negatif dan klinis, radiologis negatif pengobatan OAT Universitas Sumatera Utara 34 STOP, (2) berobat ≥ 4 bulan, BTA positif: pengobatan dimulai dari awal dengan panduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama, (3) berobat > 4 bulan, BTA positif: pengobatan dimulai dari awal dengan panduan obat yang sama, (4) berobat > 4 bulan, berhenti berobat > 1 bulan, BTA negatif, akan tetapi klinis dan atau radiologis positif: pengobatan dimulai dari awal dengan panduan obat yang sama, (5) berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2-4 minggu: pengobatan diteruskan kembali sesuai jadwal. 5. TB paru kronik Adalah TB paru denga sputum BTA positif setelah menjalani pengobatan ulang dengan pengawasan yang baik. Pengobatan yang dilakukan jika belum ada hasil uji resistensi, maka panduan obat yang diberikan adalah RHZES. Jika hasil uji resistensi sudah ada, maka diberikan minimal 2 OAT yang sensitif ditambah dengan obat lain seperti kuinolon, betalaktam, makrolid (pengobatan minimal 18 bulan) atau jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup, dan dapat pula dipertimbangkan tindakan pembedahan untuk mendapatkan kemungkinan kesembuhan. 6. TB parus Resisten Ganda (Multi Drug Resisntence) Adalah TB paru dengan menunjukkan resistensi terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya. TB MDR sering menyebabkan TB paru kronik. Pengobatan yang dianjurkan adalah sesuai uji resistensi dengan menggunakan minimal 2-3 OAT yang sensitif ditambah obat (kuinolon), yaitu Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg atau ofloksasin 1x400mg, yang umumnya membutuhkan waktu pengobatan minimal 12 bulan (Aditama, TY., 2002). Universitas Sumatera Utara 35 Tabel 2.3 Ringkasan panduan obat Kategori I II II III IV IV Panduan obat yang Keterangan dianjurkan 1. TB paru BTA + 2 RHZE / 4 RH atau 2. TB paru BTA – 2 RHZE / 6 HE dengan lesi luas *2RHZE / 4R3H3 1. Kambuh 1. RHZES / 1RHZE/ Bila streptomisin 2. Gagal sesuai hasil uji resistensi alergi, dapat atau 2RHZES/ 1RHZE / diganti kanamisin 5 RHE 2. 3-6 kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin/ 15-18 ofloksasin, etionamid, sikloserin atau 2RHZES / 1RHZE / 5RHE putus berobat Sesuai lama pengobatan sebelumnya, lama berhenti minum obat dan keadaan klinis, bakteriologi dan radiologi saat ini (lihat uraiannya) atau *2RHZES / 1RHZE / 5R3H3E3(program P2TB) TB paru BTA– lesi 2 RHZE / 4 RH atau minimal 6 RHE atau 2RHZE /4 R3H3 (program P2TB) Kronik RHZES/ sesuai hasil uji resistensi (minimal OAT yang sensitif) + obat lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan) MDR TB Sesuai uji resistensi + OAT lini 2 atau H seumur hidup Kasus 2.8 Pencegahan 2.8.1 Pencegahan Primer 1. Kebersihan lingkungan a. Mengurangi kepadatan hunian (overcrowding) dirumah Universitas Sumatera Utara 36 b. Ventilasi rumah memenuhi standar kesehatan yaitu > 10% dari luas lantai, dan bebas dari kotoran. c. Pendidikan kesehatan: penyuluhan kepada masyrakat tentang akibat membuang ludah sembarangan. 2. Meningkatkan daya tahan tubuh a. b. 2.8.2 Memperbaiki satandar hidup i. Makan makanan dengan menu seimbang ii. Usahakan setiap hari tidur yang cukup dan teratur iii. Lakukan olahraga di tempat dengan udara yang segar Melakukan vaksinasi BCG Pencegahan Sekunder a. Penemuan kasus (case finding) yang dilakukan secara aktif dengan mencari penderita TB paru di masyarakat ataupun secara pasif dengan menunggu penderita yang datang ke fasilitas kesehatan. b. Mengobati penderita yang sakit dengan pengobatan adekuat. 2.8.3 Pencegahan Tersier a. Memberikan makanan yang tinggi kalori, tinggi protein untuk mengatasi penurunan berat badan b. Memperpanjang pengobatan sesuai dengan sistem untuk menghindarkan penyakit yang berkepanjangan ataupun kecacatan bahkan kematian (Alsagaff, dkk, 2005). Universitas Sumatera Utara 37 2.9 Komplikasi Penyakit tuberkulosis paru apabila tidak ditangani dengan tepat akan menyebabkan komplikasi. Komplikasi dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi lanjut. 2.9.1 Komplikasi dini a. Pleuritis Merupakan manifestasi dari tuberkulosis primer atau tuberkulosis post primer (reaktivasi) ditandai dengan menumpuknya cairan di rongga paru, tepatnya diantara lapisan luar dan lapisan dalam paru. Pleuritis terdiri dari pleuritis kering dan pleuritis basah (Efusi Pleura/ Pleuritis eksudatif). Efusi pleura terbentuk sebagai reaksi hipersensitivitas bakteri M. tubercolosis dalam rongga pleura (Alsagaff, dkk, 2005). b. Pneumotoraks Spontan Pneumotoraks spontan terjadi bila udara memasuki rongga pleura sesudah terjadi robekan pada kavitas tuberkulosis. Hal ini mengakibatkan rasa sakit pada dada secara kuat dan tiba-tiba pada bagian itu bersamaan dengan sesak napas (Suyono, S., 2001). c. Empiema Merupakan akibat dari pneumutoraks spontan yang berlanjut dimana terkumpulnya nanah (pus) di dalam rongga pleura yang terjadi akibat pecahnya kavitas TB dan keluarnya udara ke dalam rongga pleura (Crofton, dkk, 2002). Universitas Sumatera Utara 38 d. Tuberkulosis Laring Merupakan akibat dari tuberkulosis paru yang terjadi karena menjalarnya bakteri tuberkulosis ke laring melalui peredaran darah.tuberkulosis laring sering salah didiagnosa sebagai kanker laring. Kasus tuberkulosis laring jarang terjadi, jumlah kasusnya hanya sekitar 110% dari seluruh kasus tuberkulosis (Crofton, dkk, 2002). e. Aspergillomata Kavitas tuberkulosis yang sudah diobati dengan baik dan sudah sembuh kadang-kadang dapat terinfeksi dengan jamur Aspergillus fumigatus. Secara klinis, hemoptisis (batuk darah) merupakan gejala utama yang berat bahkan dapat mengancam jiwa penderita (Crofton, dkk, 2002). 2.9.2 Komplikasi lanjut a. Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT) SOPT disebabkan reaksi imunologis perorangan sehingga terjadi mekanisme magrofag aktif yang menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik yang luas. Peradangan yang lama menyebabkan proses proteolisis dan beban oksidasi sangat meningkat untuk jangka waktu yang lama sehingga destruksi matriks alveoli terjadi cukup luas dan akhirnya mengakibatkan gangguan faal paru (Aida, N., 2006). b. Kor Pulmonal Kor pulmonal (gagal jantung karena tekanan balik akibat kerusakan paru) dapat terjadi bila terdapat destruksi paru yang amat luas. Keadaan Universitas Sumatera Utara 39 ini juga dapat terjadi sekalipun punyakit tuberkulosis sudah tidak aktif lagi, tetapi meninggalkan banyak jaringan parut (Crofton, dkk, 2002). c. Sindrom Gagal Napas Dewasa (ARDS) Sindrom gagal napas dewasa (acute respiratory distress syndrome [ARDS]) adalah gangguan fungsi paru akibat kerusakan alveoli yang difus, ditandai dengan kerusakan sawar membran kapiler aveoli sehingga menyebabkan terjadinya edema alveoli yang kaya protein disertai dengan adanya hipoksemia. ARDS biasanya terjadi pada pasien yang sudah pernah menderita penyakit tertentu, seperti tuberkulosis (Davey, P., 2005, Suyono, S., 2001). 2.10 Kerangka Konsep Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka dibuat kerangka konsep penelitian tentang karakteristik penderita TB paru kategori 2 rawat jalan di Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru (BP4) Lubuk Alung tahun 2015- Juni 2016 sebagai berikut: Karakterisktik Penderita TB Paru Kategori 2: 1. Sosiodemografi a. Umur b. Jenis Kelamin c. Status Pekerjaan d. Asal daerah 2. Hasil Pemeriksaan 3. Tipe Penderita 4. Riwayat Penyakit 5. Kebiasaan Merokok 6. Kebiasaan Konsumsi Alkohol 7. Komplikasi Universitas Sumatera Utara