pemetaan kawasan rawan bencana dan analisis

advertisement
PEMETAAN KAWASAN RAWAN BENCANA DAN
ANALISIS RESIKO BENCANA TANAH LONGSOR DENGAN
SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)
(Studi Kasus Kawasan Kaki Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka)
ABDUL HAMID RAHMAT
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
PEMETAAN KAWASAN RAWAN BENCANA DAN
ANALISIS RESIKO BENCANA TANAH LONGSOR DENGAN
SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)
(Studi Kasus Kawasan Kaki Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka)
ABDUL HAMID RAHMAT
Skripsi
Sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
RINGKASAN
Abdul Hamid Rahmat (E34102014). Pemetaan Kawasan Rawan Bencana
dan Analisis Resiko Bencana Tanah Longsor dengan Sistem Informasi
Geografis (SIG) (Studi Kasus Kawasan Kaki Gunung Ciremai, Kabupaten
Majalengka). Di bawah bimbingan Lilik Budi Prasetyo dan Omo Rusdiana.
Bencana tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering
terjadi di Indonesia dan umumnya sering terjadi di wilayah pegunungan, musim
hujan serta berkaitan erat dengan kondisi alam seperti jenis tanah, jenis batuan,
curah hujan, kemiringan lahan serta penutupan lahan. Penelitian ini bertujuan
untuk memetakan kawasan rawan bencana tanah longsor serta menganalisis resiko
bencana tanah longsor di kawasan kaki gunung Ciremai Kabupaten Majalengka.
Untuk menganalisis kerawanan longsor digunakan model pendugaan yang
mengacu pada penelitian Puslittanak tahun 2004 dengan formula : Skor Total
=0,3FCH+0,2FBD+0,2FKL+0,2FPL+0,1FJT. Tingkat resiko longsor dianalisis
dengan mengacu pada penelitian Alhasanah (2006) melalui overlay skor peta
properti dengan peta tingkat kerawanan longsor.
Pada lokasi penelitian, kelas kerawanan longsor rendah didominasi
pemukiman dengan topografi datar, jenis batuan dominan Qa (Aluvial) dan tanah
Latosol serta curah hujan 2500-3000 mm/tahun. Kerawanan longsor sedang
didominasi oleh batuan Qyu, tanah Latosol dengan curah hujan 2500-3000
mm/tahun dan sebagian besar berada pada topografi datar. Pada kerawanan
longsor tinggi, penutupan lahan berupa hutan mendominasi dengan topografi
terjal (15-30 %), didominasi batuan Qvu dan tanah Andosol dengan curah hujan
3000-3500 mm/tahun. Kerawanan longsor sangat tinggi sebagian besar pada areal
hutan dengan curah hujan 3000-3500 mm/tahun dengan kemiringan dominan
lebih dari 45 %, serta didominasi satuan batuan Qyu dan jenis tanah Andosol.
Berdasarkan hasil analisis peta kerawanan, kelas kerawanan longsor
rendah memiliki luas 2160,45 Ha, kerawanan longsor sedang 15319,71 Ha,
kerawanan longsor tinggi 21992,49 Ha serta kerawanan longsor sangat tinggi
6191,91 Ha. Kerawanan longsor sangat tinggi sebagian besar berada di Argapura
dengan luas 2811,78 Ha (45,41%). Wilayah dengan tingkat resiko rendah
memiliki luas 13212,36 Ha (28,93%), tingkat resiko sedang 31507,38 Ha
(69,00%), tingkat resiko tinggi 806,94 Ha (1,77%) dan tingkat resiko sangat
tinggi 137,88 Ha (0,30%). Maja merupakan wilayah yang memiliki areal tingkat
resiko sangat tinggi yang paling luas yaitu 32,67 Ha (23,69%).
Kata kunci : Pemetaan, Kerawanan Longsor, Resiko
SUMMARY
Abdul Hamid Rahmat (E34102014). Mapping of Hazard Areas and Risk
Analysis of Landslide Disaster with Geographic Information Systems (GIS)
(Case Study in Ciremai Foothills Region, Majalengka District). Under
Supervision of Lilik Budi Prasetyo and Omo Rusdiana.
Landslide disaster is one of the natural disasters that often occur in
Indonesia and is generally common in mountainous regions, the rainy season and
is closely related to natural conditions such as soil type, rock type, rainfall, land
slope and land cover. The aim of this study is to mapping hazard landslide areas
and to analyze the risk of landslides in the Ciremai foothills region Majalengka
district.
Puslittanak (2004) is using to be a model of analyzing landslide
susceptibility prediction in study area, the formula is Total Score = 0,3 FRain
Falls +0,2 FGeology +0,2 FLand Slope +0,2 FLand Cover +0,1 FSoil Types. Risk
analysis was analyzed by quantitative models based on research of Alhasanah
(2006) through the overlaying property map score (infrastructure map, road map
and land cover) with landslide vulnerability map.
In study area, low landslide susceptibility class dominated by flat
topography, the dominant rock type is Qa (Aluvium), soil type is Latosol and
rainfall intensity 2500-3000 mm/year. Medium landslide susceptibility occur in
flat to a relatively steep slope with the type soil dominated by Andosol and level
of rainfall intensity is 2500-3000 mm/year. At high landslide susceptibility,
dominated land cover is forest with steep topography (15-30%), rock type is
dominated by Qvu and the soil type is Andosol with rainfall 3000-3500 mm /
year. Very high vulnerability to landslides mostly located in forest areas with very
steep slope (>45%), high rainfall intensity 3000-3500 mm/year and dominated by
Qyu rock type and Andosol soil type.
Based on the analysis of vulnerability map, in area study obtained low
vulnerability covered area 2160,45 hectares, medium vulnerability with covered
15319,71 hectares, 21992,49 hectares of high landslide vulnerability and very
high vulnerability covered 6191, 91 hectares. Very high vulnerability mostly
located in Argapura with 2811,78 hectares (45,41%). Based on the analysis of risk
maps, the area of research has a low risk area with a wide level of 13212,36
hectares (28,93%), medium risk level covered 31507,38 hectares (69,00%), high
risk level covered 806,94 hectares ( 1,77%) and very high risk level covered
137,88 hectares (0,30%). Areal distribution of very high risk level areas are the
largest in the Maja with covered area 32,67 hectares (23,69%).
Keywords : Mapping, Landslide vulnerability, Risk
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
”Pemetaan Kawasan Rawan Bencana dan Analisis Resiko Bencana Tanah
Longsor dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) (Studi Kasus Kawasan Kaki
Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka)”
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah dilakukan
sebelumnya oleh pihak lain baik di perguruan tinggi IPB maupun perguruan tinggi
yang lain. Data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini merupakan data
yang diperoleh dari hasil penelitian dan pengamatan yang telah dilakukan. Semua
sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2010
Abdul Hamid Rahmat
E34102014
Judul Skripsi : Pemetaan Kawasan Rawan Bencana dan Analisis Resiko Bencana
Tanah Longsor dengan Sistem Informasi Geografis (SIG)
(Studi Kasus Kawasan Kaki Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka)
Nama
: Abdul Hamid Rahmat
NIM
: E34102014
Departemen
: Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Menyetujui :
Dosen Pembimbing I,
Dosen Pembimbing II,
Prof Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M. Sc
NIP. 196203161988031002
Dr. Ir. Omo Rusdiana, M. Sc
NIP. 196301191989031003
Mengetahui :
Dekan Fakultas Kehutanan IPB
Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr
NIP. 196111261986011001
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT. Berkat rahmat dan karunia-Nya yang telah
diberikan kepada penulis, skripsi yang berjudul ”Pemetaan Kawasan Rawan
Bencana dan Analisis Resiko Bencana Tanah Longsor dengan Sistem Informasi
Geografis (SIG) (Studi Kasus Kawasan Kaki Gunung Ciremai, Kabupaten
Majalengka)”
dapat
diselesaikan.
Skripsi
ini
disusun dalam
rangka
menyelesaikan tugas akhir sebagai prasyarat kelulusan.
Skripsi ini merupakan hasil pembahasan secara ilmiah terhadap
perkembangan teknologi Sistem Informasi Geografis yang diharapkan dapat
bermanfaat di dunia kehutanan masa kini dan masa yang akan datang. Semoga
tulisan ini dapat menjadi salah satu bagian dari ilmu pengetahuan yang dapat
berguna bagi kita semua. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
Bapak Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M. Sc. dan Dr. Ir. Omo Rusdiana, M. Sc
selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada
penulis selama proses penyusunan skripsi ini.
Penulis sadar betul skripsi yang disusun ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, penulis berharap banyak atas masuknya saran dan kritik yang
bersifat membangun. Terlepas dari segala kekurangan, semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi siapapun yang berkepentingan.
Bogor, September 2010
Penyusun
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 2 Nopember 1983 di Maja. Anak ke-4
dari pasangan Aton Nadjib (Alm.) dan Siti Sarah.
Pendidikan dasar diselesaikan penulis di SD Negeri Langensari pada tahun
1996. Kemudian penulis melanjutkan sekolah di SLTP Negeri 1 Maja dan lulus
pada tahun 1999. Pendidikan formal selanjutnya diselesaikan penulis di SMU
Negeri 1 Maja pada tahun 2002. Selepas SMU, penulis melanjutkan studinya pada
tahun 2002 di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi
Masuk IPB) pada Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas
Kehutanan.
Selama masa studi di IPB, penulis tinggal di Asrama Sylvalestari dan
terlibat dalam kepengurusan Sylvalestari dan beberapa kegiatan seperti
Sylvalestari Futsal 2003, Festival Film Indonesia Baru @ Bogor 2005 serta
beberapa kegiatan lain. Selama kuliah penulis telah melaksanakan Praktek
Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di KPH Banyumas Timur, Perum
Perhutani Unit I Jawa Tengah pada bulan Agustus – September 2005 dan Praktek
Kerja Lapang Profesi (PKLP) pada tahun 2006 di Taman Nasional Baluran Jawa
Timur.
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis
menyusun Skripsi dengan judul “Pemetaan Kawasan Rawan Bencana dan
Analisis Resiko Bencana Tanah Longsor dengan Sistem Informasi Geografis
(SIG) (Studi Kasus Kawasan Kaki Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka)” di
bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. dan Dr. Ir. Omo
Rusdiana, M.Sc.
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam proses penyelesaian studi untuk mendapatkan gelar sarjana
Kehutanan IPB, penulis mendapat banyak bantuan dan perhatian. Oleh karena itu,
dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya.
2. Ibu, Bapak (Alm.),
Kakak-kakakku serta semua saudaraku, yang selalu
memberikan dukungan dan doa
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Omo
Rusdiana, M. Sc. selaku dosen pembimbing yang telah sabar meluangkan
waktu, tenaga dan fikiran dalam memberikan bimbingan, pengarahan, dan
saran selama penelitian hingga penyelesaian karya ilmiah ini.
4. Bapak Ir. Sucahyo Sadiyo, MS. selaku dosen penguji dari Departemen Hasil
Hutan dan Ibu Dra. Sri Rahayu, M.Si. selaku dosen penguji dari Departemen
Manajemen Hutan.
5. Bapak dan ibu dosen Fakultas Kehutanan IPB yang dengan kemuliannya telah
membekali penulis dengan ilmu-ilmu yang tak ternilai hanya dengan ucapan
terima kasih.
6. Keluarga Besar Sylvalestari atas motivasi dan dorongannya dalam berbagai
bentuk dan metode.
7. Bapak dan ibu Staff Departemen KSH dan Fakultas Kehutanan IPB yang
dengan ketulusannya memberikan motivasi.
8. Rekan-rekan KSH 39 atas kebersamaannya.
9. Semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
DAFTAR TABEL .......................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. viii
I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
I.1. Latar Belakang................................................................................. 1
I.2. Tujuan Penelitian ............................................................................. 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 3
2.1. Tanah Longsor ................................................................................ 3
2.2. Bahaya dan Resiko Bencana Tanah Longsor ................................... 8
2.3. Penginderaan Jauh........................................................................... 9
2.4. Sistem Informasi Geografis ............................................................. 10
III. METODE PENELITIAN ........................................................................ 14
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................................... 14
3.2. Alat dan Bahan................................................................................ 14
3.3. Metode Penelitian ........................................................................... 15
3.3.1. Pengumpulan Data .................................................................. 15
3.3.2. Penyiapan Data........................................................................ 15
3.3.3. Analisis Data Kerawanan Bencana Tanah Longsor .................. 17
3.3.4. Analisis Resiko Bencana Tanah Longsor ................................. 17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 24
4.1. Kondisi Biofisik ............................................................................. 24
4.1.1. Lokasi....................................................................................... 24
4.1.2. Iklim dan Curah Hujan ............................................................. 24
4.1.3. Jenis Batuan ............................................................................. 28
4.1.4. Jenis Tanah .............................................................................. 31
4.1.5. Kemiringan Lahan .................................................................... 33
4.1.6. Penutupan Lahan ...................................................................... 36
4.2. Analisis Kerawanan Tanah Longsor................................................ 39
4.2.1. Model Pendugaan Kerawanan Tanah Longsor ......................... 39
4.2.2. Distribusi Kawasan Rawan Tanah Longsor ............................. 40
4.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Kerawanan Tanah Longsor ......... 44
4.3. Analisis Resiko Tanah Longsor ...................................................... 48
V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 50
5.1. Kesimpulan ..................................................................................... 54
5.2. Saran............................................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Daftar jenis data dasar ...................................................................................15
2. Klasifikasi Curah Hujan (mm/tahun) .............................................................18
3. Klasifikasi Jenis Batuan ................................................................................19
4. Skor Parameter Kemiringan Lahan ................................................................20
5. Kelas Penutupan Lahan .................................................................................20
6. Klasifikasi Kondisi Tanah .............................................................................21
7. Skor parameter pembentuk Peta Properti .......................................................23
8. Intensitas dan Distribusi Curah Hujan ...........................................................26
9. Luas dan Distribusi Jenis Batuan ...................................................................30
10. Luas dan Distribusi Jenis Tanah ..................................................................31
11. Luas dan Distribusi Kemiringan Lahan .......................................................34
12. Luas dan Distribusi Penutupan Lahan ..........................................................36
13. Interval Skor Kelas Tingkat Kerawanan Tanah Longsor ..............................40
14. Luas dan Distribusi Tingkat Kerawanan Longsor ........................................40
15. Tabulasi Tingkat Kerawanan dengan Parameter dalam Hektar ....................44
16. Interval Skor Kelas Properti ........................................................................48
17. Distribusi Kelas Properti per Kecamatan .....................................................50
18. Interval Skor Kelas Resiko ..........................................................................51
19. Distribusi Kelas Resiko per Kecamatan .......................................................51
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Peta Lokasi Penelitian ................................................................................... 14
2. Bagan Alir Pembuatan Peta Digital ............................................................... 16
3. Peta Lokasi Penelitian ................................................................................... 25
4. Peta Curah Hujan .......................................................................................... 27
5. Peta Jenis Batuan .......................................................................................... 29
6. Peta Jenis Tanah ........................................................................................... 32
7. Peta Kemiringan Lahan ................................................................................. 35
8. Peta Penutupan Lahan ................................................................................... 38
9. Peta Tingkat Kerawanan Bencana Tanah Longsor ......................................... 41
10. Peta Properti ............................................................................................... 49
11. Peta Resiko Bencana Tanah Longsor......................................................... 52
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Report Hasil Akurasi .................................................................... 59
Lampiran 2. Gambar Penutupan Lahan ............................................................. 61
I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Bencana tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering
terjadi di Indonesia dan umumnya sering terjadi di wilayah pegunungan serta pada
musim hujan. Bencana ini berkaitan erat dengan kondisi alam seperti jenis tanah,
jenis batuan, curah hujan, kemiringan lahan serta penutupan lahan. Selain itu
faktor manusia juga sangat menentukan terjadinya bencana longsor seperti alih
fungsi lahan yang tidak bijak, penggundulan hutan, pembangunan pemukiman
pada wilayah dengan topografi yang curam.
Menurut Naryanto (2009), Jawa Barat termasuk salah satu provinsi yang
mempunyai tingkat resiko bencana tanah longsor paling tinggi dibandingkan
dengan provinsi lain di Indonesia. Daerah yang terletak di tengah dan selatan Jawa
Barat memiliki tingkat kerawanan bencana tanah longsor tinggi, yaitu meliputi
Kabupaten Garut, Majalengka, Kuningan, Tasikmalaya, Bandung, Bogor,
Sukabumi, Sumedang dan Cianjur.
Surono (2009) menyatakan bahwa berdasarkan data Badan Geologi, pada
tahun 2008 di Jawa Barat terjadi 76 kali longsor dengan jumlah korban meninggal
dunia 27 orang dan 13 orang luka-luka. Banyaknya jumlah kejadian dan korban
itu membuat Jawa Barat menempati posisi pertama dalam jumlah kasus dan
korban longsor, diikuti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sementara Jawa Barat
berada di posisi kedua setelah Jawa Tengah dalam kerugian akibat longsor dengan
jumlah rumah rusak 448 unit dan hancur 61 unit.
Kawasan kaki gunung Ciremai yang berada di wilayah Kabupaten
Majalengka merupakan kawasan sentra
produksi pertanian hortikulura serta
memiliki beberapa tempat tujuan wisata yang cukup penting di kawasan
Ciayumajakuning. Penutupan lahan di wilayah tersebut terdiri dari hutan (hutan
alam dan hutan tanaman), lahan pertanian (ladang, sawah, kebun), pemukiman,
semak belukar. Topografi wilayah tersebut sebagian besar berbukit-bukit dengan
kemiringan 20-45% serta curah hujan yang tinggi antara 2000-4500 mm/tahun.
Perencanaan pemanfaatan sumberdaya alam dan pembangunan di suatu
wilayah harus didasarkan pada berbagai faktor diantaranya potensi bencana tanah
2
longsor yang akan terjadi di wilayah tersebut. Identifikasi dan pemetaan kawasan
rawan bencana tanah longsor bisa menjadi salah satu bahan panduan dalam
pemanfaatan sumber daya alam.
I.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memetakan kawasan rawan bencana tanah
longsor serta menganalisis resiko bencana tanah longsor di kawasan kaki gunung
Ciremai Kabupaten Majalengka.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanah Longsor
2.1.1. Definisi Tanah Longsor
Tanah longsor adalah gerakan tanah berkaitan langsung dengan berbagai
sifat fisik alami seperti struktur geologi, bahan induk, tanah, pola drainase,
lereng/bentuk lahan, hujan maupun sifat-sifat non-alami yang bersifat dinamis
seperti penggunaan lahan dan infra-struktur (Barus 1999).
Menurut Suripin (2002) tanah longsor merupakan bentuk erosi dimana
pengangkutan atau gerakan masa tanah terjadi pada suatu saat dalam volume yang
relatif besar. Peristiwa tanah longsor dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan
atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alam atau buatan dan
sebenarnya merupakan fenomena alam yaitu alam mencari keseimbangan baru
akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya dan menyebabkan
terjadinya pengurangan kuat geser serta peningkatan tegangan geser tanah
(Anonim 2002). Kamus wikipedia menambahkan bahwa tanah longsor merupakan
suatu peristiwa geologi di mana terjadi pergerakan tanah seperti jatuhnya
bebatuan atau gumpalan besar tanah.
Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005) menyatakan
bahwa tanah longsor bisa disebut juga dengan gerakan tanah. Didefinisikan
sebagai masa tanah atau material campuran lempung, kerikil, pasir, dan kerakal
serta bongkah dan lumpur, yang bergerak sepanjang lereng atau keluar lereng
karena faktor gravitasi bumi. Ditinjau dari kenampakannya jenis gerakan tanah
longsor dapat dibedakan menjadi beberapa macam antara lain :
a. Jenis jatuhan
Material batu atau tanah dalam longsor jenis ini jatuh bebas dari atas
tebing. Material yang jatuh umumnya tidak banyak dan terjadi pada lereng yang
terjal.
b. Longsoran
Longsoran yaitu masa tanah yang bergerak sepanjang lereng dengan
bidang longsoran melengkung (memutar) dan mendatar. Longsoran dengan
bidang longsoran melengkung, biasanya gerakannya cepat dan mematikan karena
4
tertimbun material longsoran. Sedangkan longsoran dengan bidang longsoran
mendatar gerakannya perlahan-lahan, merayap tetapi dapat merusakkan dan
meruntuhkan bangunan di atasnya.
c. Jenis aliran
Jenis aliran yaitu masa tanah bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran
bergantung pada sudut lereng, tekanan air dan jenis materialnya. Umumnya
gerakannya di sepanjang lembah dan biasanya panjang gerakannya sampai ratusan
meter, di beberapa tempat bahkan sampai ribuan meter seperti di daerah aliran
sungai daerah gunung api. Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup banyak.
d. Gerakan tanah gabungan
Gerakan tanah gabungan yaitu gerakan tanah gabungan antara longsoran
dengan aliran atau jatuhan dengan aliran. Gerakan tanah jenis gabungan ini yang
banyak terjadi di beberapa tempat akhir-akhir ini dengan menelan korban cukup
tinggi.
Peristiwa tanah longsor dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau
kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alam atau buatan dan sebenarnya
merupakan fenomena alam yaitu alam mencari keseimbangan baru akibat adanya
gangguan atau faktor yang mempengaruhinya dan menyebabkan terjadinya
pengurangan kuat geser serta peningkatan tegangan geser tanah (Anonim 2002).
2.1.2. Penyebab Tanah Longsor
Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005)
tanah longsor dapat terjadi karena faktor alam dan faktor manusia sebagai pemicu
terjadinya tanah longsor, yaitu :
a. Faktor alam
Meliputi lereng terjal yang diakibatkan oleh patahan dan lipatan kulit
bumi, erosi dan pengikisan, daerah longsoran lama, ketebalan tanah pelapukan
bersifat lembek, butiran halus, jenuh karena air hujan, adanya retakan karena
proses alam (gempa bumi, tektonik), air (hujan di atas normal, susut air cepat,
banjir, aliran air bawah tanah pada sungai lama), lapisan batuan yang kedap air
miring ke arah lereng yang berfungsi sebagai bidang longsoran.
5
b. Faktor manusia
Lereng menjadi terjal akibat pemotongan lereng dan penggerusan oleh air
saluran di tebing, tanah lembek dipicu oleh perubahan tata lahan menjadi lahan
basah, adanya kolam ikan, genangan air, retakan akibat getaran mesin, ledakan,
beban masa yang bertambah dipicu oleh beban kendaraan, bangunan dekat tebing,
tanah kurang padat karena material urugan atau material longsoran lama pada
tebing, bocoran air saluran, luapan air saluran, kolam ikan, penggundulan hutan
sehingga terjadi pengikisan oleh air permukaan.
Karnawati (2003) menyatakan bahwa salah satu faktor
penyebab
terjadinya bencana alam tanah longsor adalah air hujan. Air hujan yang telah
meresap ke tanah lempung pada lereng akan tertahan oleh batuan yang lebih
kompak dan lebih kedap air. Derasnya hujan mengakibatkan air yang tertahan
semakin menekan butiran-butiran tanah dan mendorong tanah lempung pasiran
untuk bergerak longsor. Batuan yang kompak dan kedap air berperan sebagai
penahan air dan sekaligus sebagai bidang gelincir longsoran, sedangkan air
berperan sebagai penggerak massa tanah yang tergelincir di atas batuan kompak
tersebut. Semakin curam kemiringan lereng maka kecepatan penggelinciran juga
semakin cepat. Semakin gembur tumpukan tanah lempung maka semakin mudah
tanah tersebut meloloskan air dan semakin dan semakin cepat ke dalam tanah.
Semakin tebal tumpukan tanah, maka semakin besar juga volume massa tanah
yang longsor. Tanah yang longsor dengan cara demikian umumnya dapat berubah
menjadi aliran lumpur yang pada saat longsor menimbulkan suara gemuruh.
Menurut Arsyad (1989), longsoran akan terjadi jika terpenuhi tiga keadaan
sebagai berikut :

Adanya lereng yang cukup curam sehingga masa tanah dapat bergerak
atau meluncur ke bawah.

Adanya lapisan di bawah permukaan massa tanah yang agak kedap air dan
lunak, yang akan menjadi bidang luncur.

Adanya cukup air dalam tanah sehingga lapisan massa tanah yang tepat di
atas lapisan kedap air tersebut menjadi jenuh.
Lapisan kedap air dapat berupa tanah liat atau mengandung kadar tanah liat tinggi
atau dapat juga berupa lapisan batuan, seperti Napal Liat (Clay shale).
6
Secara umum ada dua tipe hujan pemicu longsoran di Indonesia yaitu tipe
hujan deras (misalnya dengan intensitas 50 mm sampai 70 mm per hari) dan tipe
hujan normal tapi lama. Tipe hujan deras hanya akan efektif memicu longsoran
pada lereng-lereng yang tanahnya mudah menyerap air, seperti misalnya tanah
lempung pasiran dan tanah pasir. Pada lereng demikian longsoran dapat terjadi
pada bulan-bulan awal musim hujan. Sedangkan tipe hujan normal tapi lama akan
lebih efektif memicu longsoran pada lereng-lereng yang tersusun oleh tanah yang
lebih kedap air, misalnya lereng dengan tanah lempung dan biasanya terjadi pada
pertengahan musim hujan.
Hermawan dan Darmawan (2000) mengemukakan bahwa longsoran
disebabkan oleh kondisi tata air tanah dan sifat fisik /mekanik tanah tidak baik
sehingga pada saat musim hujan telah terjadi peresapan air yang berlebihan
mengakibatkan tingkat
kejenuhan kejenuhan air tinggi sehingga dapat
menimbulkan peningkatan tekanan air. Dan disertai penurunan kekuatan dan
tahanan geser tanah sehingga terjadi longsoran.
Menurut Direktorat Geologi Tata Lingkungan (1981), faktor-faktor
penyebab terjadinya gerakan tanah khususnya tanah longsor antara lain sebagai
berikut:
a. Topografi atau lereng
b. Keadaan tanah atau batuan, termasuk struktur dan pelapisan
c. Keairan, termasuk curah hujan
d. Gempa bumi
e. Keadaan vegetasi/hutan dan penggunaan lahan.
Faktor-faktor penyebab tersebut di atas saling mempengaruhi satu sama
lain dan menentukan besar dan luasnya bencana tanah longsor. Kepekaan suatu
daerah terhadap tanah longsor ditentukan pula oleh pengaruh dan kaitan faktorfaktor ini satu sama lainnya.
Faktor-faktor penyebab tanah longsor menurut Sadisun (2005) adalah
kondisi morfologi (sudut lereng, relief), kondisi geologi (jenis batuan/tanah,
karakteristik
keteknikan
batuan/tanah,
proses
pelapukan,
bidang-bidang
diskotinuitas seperti perlapisan dan kekar, permeabilitas batuan/tanah, kegempaan
dan vulkanisme), kondisi klimatologi seperti curah hujan, kondisi lingkungan/tata
7
guna lahan (hidrologi dan vegetasi) dan aktivitas manusia ( penggemburan tanah
untuk pertanian dan perladangan dan irigasi).
2.1.3. Jenis-jenis Tanah Longsor
Nandi (2007) mengklasifikasikan tanah longsor menjadi 6 jenis yaitu :
1. Longsoran Translasi
Jenis longsoran ini berupa gerakan massa tanah dan batuan pada bidang
gelincir berbentuk merata atau menggelombang landai.
2. Longsoran Rotasi
Jenis ini merupakan bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang
gelincir berbentuk cekung.
3. Pergerakan Blok
Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang
gelincir berbentuk rata.
4. Runtuhan Batu
Runtuhan batuan terjadi ketika sejumlah besar batuan atau material lain
bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng yang
terjal hingga menggantung terutama di daerah pantai,
5. Rayapan Tanah
Rayapan tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis
tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak
dapat dikenal. Setelah waktu yang cukup lama, longsor jenis rayapan ini bias
menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah.
6. Aliran Bahan Rombakan
Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh
air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air
serta jenis materialnya. Gerakan terjadi di sepanjang lembah dan mampu
mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat bisa sampai ribuan meter
seperti di daerah aliran sungai di sekitar gunung api.
Menurut Eckel (1958) dalam Febriana (2004) tanah longsor dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, yaitu :
-Lawina bahan rombakan (debris avalanche)
-Gelinciran bongkah (block slide)
8
-Peluncuran bahan rombakan (debris slide)
-Peluncuran batuan (rock slide)
-Aliran bahan rombakan (debris flow)
-Robohan batuan (rock fall)
-Aliran tanah lambat (slow earth flow)
-Robohan tanah (soil fall)
-Aliran Lumpur (mud flow)
-Pengocoran pasir (sand run)
-Nendat/batuan dasar (bed rock slump)
-Nendat (slump)
-Rayapan (creep)
-Erosi ke hulu (headward erosion)
2.2. Bahaya dan Resiko Bencana Tanah Longsor
Paripurno (2004) mengemukakan bencana (disaster) merupakan fenomena
sosial yang terjadi akibat kolektivitas atas komponen ancaman (hazard) berupa
fenomena alam dan atau buatan di satu pihak, dengan kerentanan (vulnerability)
komunitas di pihak lain serta resiko (risk ) yang ditimbulkan. Ancaman menjadi
bencana apabila komunitas rentan, atau memiliki kapasitas lebih rendah dari
tingkat ancaman tersebut, atau bahkan menjadi sumber ancaman tersebut.
Dalam Sistem Informasi Geografis (SIG) pembuatan peta bahaya dan
resiko atas suatu bencana dapat dilakukan dengan lebih kuantitatif. UNDRO
(1991) menyatakan bahwa resiko merupakan gabungan dari unsur-unsur resiko itu
sendiri dan bahaya serta kerentanan.
Hubungan antara resiko dan unsur-unsurnya, bahaya, dan kerentanan
secara metematis diformulasikan sebagai berikut :
Rt= (E)(Rs) = (E)(HxV)
Rt : Resiko
V : Kerentanan
H : Bahaya
E : Unsur-unsur dari Resiko
Resiko biasanya dihitung secara matematis yang merupakan probabilitas
dari dampak konsekuensi suatu ancaman. Selanjutnya, hasil dari analisis resiko
perlu ditindaklanjuti dengan rekomendasi-rekomendasi untuk mengurangi resiko
9
tersebut. Rekomendasi tersebut apabila dikaitkan dengan rencana pembangunan
disebut dengan rencana mitigasi.
2.3. Penginderaan Jauh
Menurut
Manual
of
Remote
Sensing
(American
Society
of
Photogrammetry 1983) dalam Howard (1996), dalam pengertian yang lebih luas
Penginderaan Jauh adalah pengukuran atau pemerolehan informasi dari beberapa
sifat objek atau fenomena, dengan menggunakan alat perekam yang secara fisik
tidak terjadi kontak langsung atau bersinggungan dengan objek atau fenomena
yang dikaji.
Lo (1995) menyatakan bahwa penginderaan jauh merupakan suatu teknik
untuk mengumpulkan informasi mengenai obyek dan lingkungannya dari jarak
jauh tanpa sentuhan fisik. Biasanya teknik ini menghasilkan beberapa bentuk citra
yang selanjutnya diproses dan diinterpretasi guna membuahkan data yang
bermanfaat untuk aplikasi di bidang pertanian, arkeologi, kehutanan, geografi,
geologi, perencanaan, dan bidang-bidang lain.
Untuk mendeteksi energi elektromagnetik di alam diperlukan berbagai
macam alat penginderaan jauh yang berbeda, tipe alat penginderaan jauh yang
menghasilkan citra mengenai lingkungan dalam bentuk yang sesuai dengan
interpretasi visual, yaitu : kamera fotografik, detektor elektro optikal, kamera
televisi vidicom, penyiam inframerah termal, penyial multi spektral, pencitra
gelombang mikro pasif, dan pencitra gelombang mikro aktif (Lo 1995).
Citra satelit Landsat merupakan salah satu hasil rekaman penginderaan
jauh hasil rekaman suatu wilayah menggunakan satelit Landsat yang mengorbit
pada ketinggian tertentu yang biasa digunakan untuk kepentingan pemantauan
penutupan lahan permukaan bumi, pemetaan tanah, pemetaan struktur batuan,
pemetaan suhu permukaan laut, pemetaan dan pemantauan daerah bencana dll.
Citra satelit Landsat TM 5 merupakan salah satu jenis citra yang banyak
digunakan untuk pemantauan sumberdaya alam, dengan resolusi spasial 30x30
meter dan luas liputan satuan citra 175x185 km pada permukaan bumi.
Berdasarkan karakteristiknya, citra satelit Landsat TM 5 cukup layak untuk
digunakan sebagai dasar pembuatan peta penutupan lahan untuk pemetaan
kawasan bencana tanah longsor.
10
2.4. Sistem Informasi Geografi
2.4.1. Definisi SIG
Sistem Informasi Geografi (SIG) menurut Aronoff (1989) dalam Prahasta
(2001) merupakan suatu sistem (berbasiskan komputer) yang digunakan untuk
menyimpan dan memanipulasikan informasi-informasi geografis. SIG dirancang
untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis obyek-obyek dan fenomena
dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang memiliki empat kemampuan
berikut dalam menangani data yang bersifat geografi: (a) masukan, (b) manajemen
data (penyimpanan dan pengambilan data), (c) analisis dan manipulasi data, (d)
keluaran. Selain itu juga, Barus (1999) mengatakan bahwa SIG sebagai sarana
untuk menyimpan, menggali, dan memanipulasi data serta menghasilkan produk.
SIG banyak dimanfaatkan dalam berbagai studi dan kegiatan pengelolaan
sumberdaya lahan maupun pemetaan bahaya longsoran.
Menurut Purwadhi (1999) dalam Purwonegoro (2005) Sistem Informasi
Geografis adalah suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk
mengumpulkan, menyimpan, mentranformasikan, menampilkan, memanipulasi,
dan memadukan informasi dari berbagai sektor sehingga dapat dihasilkan
informasi berharga yang diperoleh dari mengkolerasikan dan menganalisis data
spasial dari fenomena geografis suatu wilayah.
Kelebihan SIG terutama berkaitan dengan kemampuannya dalam
menggabungkan berbagai data yang berbeda struktur, format, dan tingkat
ketepatan. Sehingga memungkinkan integrasi berbagai disiplin keilmuan yang
sangat diperlukan dalam pemahaman fenomena bahaya longsoran, dapat
dilakukan lebih cepat. Salah satu kemudahan utama penggunaan SIG dalam
pemetaan bahaya longsoran adalah kemampuannya menumpang-tindihkan
longsoran dalam unit peta tertentu sehingga dapat dianalisis secara kuantitatif
melalui pendekatan geomorfologi, deterministik, penyebaran, multivariate dll
(Barus 1999).
Menurut Lo (1995) Sistem Informasi Geografi (SIG) paling tidak terdiri
dari subsistem pemprosesan, subsistem analisis data dan subsistem menggunakan
informasi. Subsistem pemprosesan data mencakup pengambilan data, input dan
penyimpanan. Subsistem analisis data mencakup perbaikan, analisis data dan
11
keluaran informasi dalam berbagai bentuk. Subsistem yang memakai informasi
memungkinkan informasi relevan diterapkan pada suatu masalah.
Dalam rancangan SIG komponen input dan output data memiliki peranan
dominan membentuk arsitektur suatu sistem. Hal tersebut penting untuk
memahami kedalam prosedur yang dipakai dalam kaitannya dengan masalah
input/output data, juga organisasi data dan pemprosesan data. Ada 3 kategori data
secara luas untuk input pada suatu sistem, yaitu : alfanumerik, piktorial atau grafik
dan data penginderaan jauh dari bentuk digital (Lo 1995).
Gistut (1994) dalam Prahasta (2001) SIG merupakan sistem kompleks
yang biasanya terintegrasi dengan lingkungan sistem-sistem komputer yang lain
ditingkat fungsional dan jaringan. Sistem terdiri dari beberapa komponen, yaitu :
a. Perangkat keras
SIG tersedia untuk berbagai platform perangkat keras mulai dari PC
desktop, workstation, hingga multiuser host yang dapat digunakan oleh banyak
orang secara bersamaan dalam jaringan komputer yang luas, berkemampuan
tinggi, memiliki ruang penyimpanan (harddisk) yang besar, dan mempunyai
kapasitas memori (RAM) yang besar. Walaupun demikian, fungsionalitas SIG
tidak terikat secara ketat terhadap karakteristik-karakteristik fisik perangkat keras
ini sehingga keterbatasan memori pada PC pun dapat diatasi. Adapun perangkat
keras yang sering digunakan untuk SIG adalah komputer (PC), mouse, digitizer,
printer, plotter, dan scanner.
b. Perangkat lunak
SIG juga merupakan sistem perangkat lunak yang tersusun secara modular
dengan basis data memegang peranaan kunci. Setiap subsistem diimplementasikan
dengan menggunakan perangkat lunak yang terdiri dari beberapa modul sehingga
tidak mengherankan jika ada perangkat SIG yang terdiri dari ratusan modul
program (*.exe) yang masing-masing dapat dieksekusi sendiri.
c. Data dan Informasi Geografi
SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data dan informasi yang
diperlukan baik secara tidak langsung dengan cara meng-Import-nya dari
perangkat-perangkat lunak SIG yang lain maupun secara langsung dengan cara
12
mendigitasi data spasial-nya dari peta dan memasukkan data atributnya dari tabeltabel dan laporan dengan menggunakan keyboard.
d. Manajemen
Suatu proyek SIG akan berhasil jika dikelola dan diatur dengan baik dan
dikerjakan oleh orang-orang yang memiliki keahlian yang tepat pada semua
tingkatan.
Johnston (1985) dalam Geertman dan Eck (1995) menyatakan bahwa
model adalah sesuatu yang diidealkan dan dibentuk untuk menggambarkan suatu
bagian realita.
Menurut Geertman dan Eck (1995), dalam SIG suatu model dapat
dibangun dengan dua cara, yaitu: (1) model dibangun
dalam SIG dengan
menggunakan fungsi standar SIG, dan (2) model dibangun dengan menggunakan
bahasa pemrograman di luar paket SIG.
2.4.2. Aplikasi SIG dan Penginderaan Jauh dalam Studi Pemetaan Tanah
Longsor dan Banjir
Sistem Informasi Geografi saat ini telah banyak berkembang dan
digunakan untuk berbagai hal dalam berbagai disiplin ilmu.Hal tersebut
dikarenakan penggunakannya yang cukup mudah untuk dipelajari dan prosesnya
cukup cepat. SIG dapat diterapkan dalam bidang perencanaan (pemukiman,
transmigrasi, rencana tata ruang wilayah, perencanaan kota, relokasi industri, dan
pasar),
bidang
kependudukan
dan
demografi,
bidang
lingkungan
dan
pemantauannya (pencemaran sungai, danau, laut, evaluasi pengendapan lumpur
atau sedimen baik disekitar danau, sungai/pantai, permodelan pencemaran udara,
limbah berbahaya), bidang sumberdaya alam (inventarisasi manajemen dan
kesesuian lahan untuk pertanian, perkebunan, kehutanan, perencanaan tata guna
lahan dan analisis daerah bencana alam) dan lain-lain (Prahasta 2001).
Aplikasi SIG dan penginderaan jauh telah banyak dilakukan. Adapun
diantaranya adalah berkaitan dengan lahan kritis baik itu longsor maupun banjir,
yaitu Identifikasi dan Pemetaan Kawasan Rawan Bencana Tanah Longsor dengan
Menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG) (Studi Kasus Kawasan Gunung
Mandalawangi, Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut). Di daerah sekitar
Gunung Mandalawangi tipe penutupan lahan yang terluas adalah tegalan
13
(3.860,29 Ha/47,99%) dari tujuh tipe penutupan lahan yang terdapat di daerah
penelitian. Enam diantaranya adalah hutan, kebun campuran, sawah, pemukiman,
semak belukar dan tanah kosong. Parameter yang digunakan dalam penentuan
kawasan rawan bencana tanah longsor terdiri dari 5 parameter yaitu: penggunaan
lahan, jenis tanah, geologi (bahan induk), curah hujan dan kemiringan lereng.
Berdasarkan parameter tersebut diperoleh peta kerawanan tanah longsor yang
dibagi menjadi 4 kelas yaitu kelas kerawanan tanah longsor sangat rendah (408,96
Ha/5,08%), kelas kerawanan tanah longsor rendah (2.340,63 Ha/29,10%), kelas
kerawanan tanah longsor menengah (4.901,95 Ha/60,93%), dan kelas kerawanan
tanah longsor tinggi (393,02 Ha/4,89%). Model penggunaan yang digunakan
dalam menentukan kerawanan tanah longsor adalah bersumber dari DVMG tahun
2004 (Febriana 2004).
Aplikasi SIG dan Penginderaan Jauh untuk Model Hidrologi ANSWERS
dalam Memprediksi Erosi dan Sedimentasi (Studi kasus DTA Cipopokol sub DAS
Cisadane Hulu, Kab Bogor). Penggunaan aplikasi SIG dan Penginderaan Jauh
dapat
dikombinasikan
ke
dalam
Model
Hidrologi
ANSWERS
untuk
mempermudah dalam memperoleh data masukan. Berdasarkan hasil keluaran
ANSWERS penyebaran luas nilai erosi dan sedimentasi terbesar adalah untuk
sedimen 0 – 0.5 ton/Ha dengan luas 19,84 Ha dan erosi 1-5 ton/Ha dengan luas
72,80 Ha. Kelas penutupan lahan berupa perkebunan dan lahan kering memiliki
luas terbesar untuk kehilangan tanah/erosi. Sedangkan penutupan lahan berupa
semak belukar seluruhnya mengalami pengendapan (Arini 2005).
III. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2008 - Agustus 2009.
Lokasi penelitian terletak di kawasan gunung Ciremai wilayah administrasi
Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Secara administrasi wilayah tersebut
meliputi 9 kecamatan yaitu : Argapura, Banjaran, Cikijing, Cingambul, Maja,
Rajagaluh, Sindangwangi, Sukahaji dan Talaga dengan gambaran lokasi seperti
pada Gambar 1.
Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian.
15
3.2. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit Landsat TM
5 path/row 121/065 tahun 2005, Peta Kontur, Peta Jenis Tanah Kabupaten
Majalengka, Peta Geologi Lembar Arjawinangun dan Tasikmalaya, Peta Rupa
Bumi Indonesia. Program yang digunakan adalah Arc View 3.3, Erdas Imagine
9.1, dan MS Office serta satu set Komputer, Scanner, Printer, GPS, kamera dan
alat tulis.
3.3. Metode Penelitian
3.3.1.Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam proses penelitian terdiri dari beberapa jenis
data dasar berupa peta seperti tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1 Daftar jenis data dasar
No
1.
Sumber Data
Bakosurtanal
Keterangan
Skala 1:25.000
DVMBG
4.
Jenis Data
Peta RBI Lembar 1309-112, 1309-121,
1309-123, 1309-114, 1308-443
Peta Geologi Lembar Arjawinangun dan
Tasikmalaya
Peta Tanah Tinjau Kabupaten
Majalengka
Peta Curah Hujan Kabupaten Majalengka
5.
Citra Satelit Landsat 5 TM tahun 2005
PPLH
6.
Peta Kontur Digital Kabupaten
Majalengka
Bakosurtanal
Skala
1:100.000
Skala
1:100.000
Skala
1:100.000
Path/Row
121/065
Skala
1:100.000
2.
3.
Puslittanak
BMG
Selain itu juga diperlukan data atribut yang menyatakan posisi suatu lokasi
atau kondisi di permukaan bumi dalam bentuk koordinat atau data Ground Check
Points (GCP). Data tersebut didapatkan dengan melakukan survei langsung di
lapangan, serta merupakan salah satu acuan interpretasi citra satelit Landsat TM 5
dengan klasifikasi terbimbing untuk membuat peta penutupan lahan.
3.3.2. Penyiapan Data
a. Pengolahan Data Spasial
Data spasial yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis
yaitu data peta analog dan data digital. Data analog berupa Peta RBI, Peta Jenis
16
Tanah, Peta Curah Hujan dan Peta Geologi. Sedangkan yang berupa data digital
adalah citra Landsat TM dan Peta Kontur. Dalam pengolahan tahap awal setiap
data harus dijadikan peta digital. Data digital format vektor berupa Peta RBI, Peta
Jenis Tanah, Peta Geologi, Peta Kontur serta Peta Curah Hujan, sedangkan data
format raster berupa citra satelit Landsat (path/row: 121/065). Tahapan dalam
pengolahan data spasial tersebut meliputi:
- Pembuatan Peta Digital
Data analog berupa Peta RBI, Peta Jenis Tanah, Peta Geologi serta Peta
Curah Hujan diolah dan masing-masing dijadikan peta digital format vektor .Peta
digital format vektor merupakan salah satu jenis data masukan yang disimpan
dalam bentuk garis, titik dan poligon. Proses pengolahan data analog dijadikan
peta digital dapat dilihat pada Gambar 2.
Proses pemasukan data-data dilakukan melalui seperangkat komputer
dengan software Arc View 3.3. Data keluaran ini kemudian digunakan sebagai
data acuan penentuan wilayah penelitian serta untuk koreksi geometrik pada
pengolahan citra.
- Pet a Geologi
- Peta Curah Hujan
Scanning Peta
-Peta Jenis Tanah
- Peta RBI
Koreksi koordinat
Digitasi on Screen
Atributing
Input
-Peta Geologi Digital
-Peta Curah Hujan Digital
-Peta Jenis Tanah Digital
-Peta RBI Digital
Proses
Output
Gambar 2 Bagan Alir Pembuatan Peta Digital.
- Pembuatan DEM (Digital Elevation Model)
DEM merupakan gambaran 3 dimensi permukaan bumi atau citra yang
memetakan ketinggian suatu wilayah pada permukaan bumi. DEM dihasilkan dari
Peta Kontur digital melalui proses surfacing pada Arc View, konversi TIN ke grid
dan dilanjutkan dengan operasi pemodelan pada Model Maker Arc View. Output
dari proses ini adalah Peta Ketinggian serta Peta Kemiringan Lahan.
17
b. Pengolahan Citra
Data raster adalah salah satu jenis data masukan untuk pengolahan data
yang dinyatakan dalam baris dan kolom dengan satuan pixel. Data raster ini
berupa citra satelit Landsat TM 5 (path/row: 121/065). Citra kemudian diolah
dengan menggunakan ERDAS Imagine 9.1 untuk menentukan tipe penutupan
lahan daerah dengan tahapan sebagai berikut:
- Koreksi Geometri
Koreksi geometri atau rektifikasi (rectification) merupakan proses
memproyeksi peta ke dalam suatu sistem proyeksi peta tertentu. Penyeragaman
data-data kedalam sistem koordinat dan proyeksi yang sama perlu dilakukan, guna
mempermudah proses pengintegrasian data-data. Proyeksi yang digunakan adalah
proyeksi UTM (Universal Transverse Mercator) zona 48 South dan sistem
koordinat geografik Lintang Bujur. Perbaikan distorsi geometrik dapat dilakukan
dengan mengambil titik-titik ikat/kontrol di lapangan atau menggunakan peta/citra
acuan yang telah terkoreksi.
- Pemotongan citra
Pemotongan citra dilakukan dengan memotong wilayah yang menjadi
obyek penelitian, Peta Rupa Bumi hasil digitasi (peta digital) dapat dijadikan
acuan pemotongan citra untuk mendapatkan peta daerah penelitian hasil
pemotongan.
- Klasifikasi citra
Sebelum melakukan pengklasifikasian persiapan yang harus dilakukan
adalah menetapkan kelas-kelas spektral yang terliput oleh citra satelit. Pembagian
kelas klasifikasi dibuat berdasarkan kondisi penutupan lahan dilapangan dan
dibatasi menurut kebutuhan pengklasifikasian. Proses tersebut dilakukan dengan
teknik klasifikasi terbimbing (supervised classification), sehingga diperoleh peta
penutupan lahan (landcover).
- Akurasi
Pengukuran tingkat akurasi (Accuracy Assessment) citra hasil klasifikasi
dilakukan dengan menggunakan Erdas Imagine dan data GCP (Ground Check
18
Point) dari GPS. Pengukuran akurasi dilakukan untuk melihat keterwakilan
kondisi di lapangan dengan hasil klasifikasi.
3.3.3 Analisis Data Kerawanan Bencana Tanah Longsor
Analisis peta kerawanan tanah longsor dilakukan setelah peta-peta tematik
parameter yaitu Peta Curah Hujan, Peta Jenis Tanah, Peta Geologi, Peta
Kemiringan Lahan dan Peta Penutupan Lahan wilayah tersebut tersedia dan siap
dalam bentuk peta digital. Setiap jenis peta tersebut dilakukan klasifikasi
berdasarkan skor serta diberi bobot kemudian ditumpangsusunkan (overlay)..
Berdasarkan model pendugaan Puslittanak 2004, parameter-parameter
yang digunakan untuk menentukan tingkat kerawanan adalah penutupan lahan
(landcover), jenis tanah, kemiringan lahan, curah hujan dan formasi geologi
(batuan induk). Overlay tersebut dilakukan dengan menggunakan software Arc
View 3.3 . Pada proses overlay setiap parameter memiliki klasifikasi skor yang
dikalikan dengan bobot masing-masing parameter, kemudian hasil perkalian skor
dan bobot tersebut dijumlahkan berdasarkan kesesuaian lokasi geografisnya.
Dalam penentuan skor curah hujan Puslittanak membagi menjadi 5 (lima)
kelas, semakin besar curah hujan yang turun maka semakin tinggi skor curah
hujan tersebut seperti tercantum pada Tabel 2. Curah hujan yang turun akan
mempengaruhi kondisi air tanah, tanah yang kandungan air tanahnya meningkat
maka akan meningkat massanya dan semakin rendah tingkat kepadatan dan
kekompakannya.
Tabel 2 Klasifikasi Curah Hujan (mm/tahun)
Parameter
Bobot
Curah Hujan (mm/tahun)
30 %
Skor
a. Sangat Basah (>3000)
5
b. Basah (2501-3000)
4
c. Sedang (2001-2500)
3
d. Kering (1501-2000)
2
e. Sangat kering (< 1500)
1
Sumber: Puslittanak Bogor (2004)
Hermawan dan Darmawan (2000) mengemukakan bahwa longsoran
disebabkan oleh kondisi tata air tanah dan sifat fisik/mekanik tanah yang tidak
baik, sehingga pada saat musim hujan telah terjadi air tinggi sehingga dapat
19
menimbulkan peningkatan tekanan air tanah (pore water pressure), penurunan
kekuatan dan tahanan geser tanah akan menyebabkan longsoran.
Jenis batuan diklasifikasikan berdasarkan asal bentuknya yaitu batuan
vulkanik, batuan sedimen serta batuan aluvial. Batuan vulkanik merupakan batuan
gunung api yang tidak teruraikan dan terdiri dari tufa, breksi dan lava. Jenis ini
memiliki sifat lulus air dan biasanya merupakan akuifer atau daerah imbuhan air
yang baik. Batuan vulkanik di lokasi penelitian merupakan batuan gunung api
muda yang mudah tererosi dan rawan longsor jika jenuh air. Dalam kejadian tanah
longsor batuan vulkanik biasanya merupakan bidang gelincir karena sifatnya yang
kompak apabila tanah di atasnya jenuh air. Skoring dan pembobotan pada tiap
jenis batuan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Klasifikasi Jenis Batuan
Parameter
Bobot
Jenis Batuan
20 %
Skor
a. Batuan Vulkanik
3
b. Batuan Sedimen
2
c. Batuan Aluvial (Berbahan Resent)
1
Sumber: Puslittanak Bogor (2004)
Wilopo dan Agus (2005), batuan formasi andesit dan breksi merupakan
faktor pemicu terjadinya longsor karena sifatnya yang kedap air, sehingga bisa
menjadi bidang gelincir untuk terjadinya longsor.
Batuan sedimen merupakan batuan yang terbentuk dari lingkungan laut
dan pesisir serta perairan lain seperti sungai dan danau kuno sampai batuan
tersebut terangkat menjadi daratan pada masa lalu. Umumnya batuan ini memiliki
permeabilitas kecil bahkan kedap air kecuali jika batuan banyak mempunyai
rekahan atau telah mengalami pelarutan, maka dapat bersifat lulus air sehingga
menjadi akuifer (batuan penyimpan air tanah) atau dapat berfungsi sebagai
imbuhan air.
Batuan aluvial merupakan batuan berbahan resent atau hasil endapan
proses geodinamika yang terjadi pada batuan di wilayah tersebut. Jenis batuan ini
merupakan akuifer serta bisa berfungsi sebagai imbuhan tanah air dangkal.
Dalam bencana tanah longsor faktor kemiringan lahan sangat berpengaruh,
semakin tinggi dan semakin tegak lereng maka kemungkinan terjadinya longsoran
20
semakin tinggi. Hal tersebut berkaitan dengan kestabilan lereng, semakin curam
lereng maka lereng akan mengalami tekanan beban yang lebih besar sehingga
makin tidak stabil untuk menahan beban di atasnya dari pengaruh gravitasi bumi.
Skor dan bobot parameter kemiringan lahan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Skor Parameter Kemiringan Lahan
Parameter
Kemiringan Lahan (%)
a. > 45
b. 30-45
c. 15-30
d. 8-15
e. < 8
Bobot
20 %
Skor
5
4
3
2
1
Sumber: Puslittanak Bogor (2004)
Kondisi penutupan lahan sebagai faktor penyebab tanah longsor
berkaitan dengan kestabilan lahan, kontrol terhadap kejenuhan air serta kekuatan
ikatan partikel tanah. Tegalan dan sawah memiliki vegetasi yang tidak bisa
menjaga stabilitas permukaan karena bersifat tergenang, serta memiliki sistem
perakaran yang dangkal sehingga kurang menjaga kekompakan partikel tanah.
Tabel 5 Kelas Penutupan Lahan
Parameter
Tutupan Lahan
a. Tegalan, sawah
b. Semak- belukar
c. Hutan dan perkebunan
d. Kota/pemukiman, bandara, lapangan golf
e. Tambak, waduk, perairan
Bobot
20 %
Skor
5
4
3
2
1
Sumber: Puslittanak Bogor (2004)
Untuk penentuan skor jenis tanah dilakukan berdasarkan tingkat
permeabilitas jenis tanah tersebut, semakin lambat permeabilitasnya maka
semakin tinggi skor yang diberikan. Hal tersebut berhubungan dengan tingkat
kemampuan tanah menahan dan melepaskan air yang masuk, tanah dengan
permeabilitas sangat lambat sangat kuat menahan air yang masuk dan sangat sulit
untuk melepaskannya, hal itu akan meyebabkan tanah menahan beban yang lebih
besar dan apabila curah hujan semakin tinggi serta tanah tersebut berada pada
wilayah yang memiliki topografi yang terjal sampai sangat curam maka longsor
kemungkinan besar terjadi. Secara umum tingkat permeabilitas tanah berbanding
21
terbalik dengan kepekaan terhadap erosi, semakin lambat permeabilitasnya maka
semakin peka terhadap erosi.
Lahan yang ditutupi hutan dan perkebunan relatif lebih bisa menjaga
stabilitas lahan karena sistem perakaran yang dalam sehingga bisa menjaga
kekompakan antar partikel tanah serta partikel tanah dengan batuan dasar dan bisa
mengatur limpasan dan resapan air ketika hujan. Pemukiman dan lahan kosong
memiliki andil yang lebih kecil karena limpasan air lebih banyak terjadi di
banding genangan dan resapan karena
sifat permukaan yang kedap air baik
kondisi tanah permukaan maupun karena penutup tanah berupa beton atau
sejenisnya.
Tabel 6 Klasifikasi Kondisi Tanah
Parameter
Permeabilitas Tanah
a. Sangat lambat
b. Lambat
c. Sedang
d. Cepat
e. Sangat cepat
Bobot
10 %
Skor
5
4
3
2
1
Sumber: Puslittanak Bogor (2004)
Penentuan skor tiap kelas parameter didasarkan pada hasil penelitian
yang dilakukan oleh Puslittanak (2004). Skor dari yang paling tinggi sampai yang
paling rendah sebanding dengan tingkat bahaya yang tanah longsor yang akan
ditimbulkan. Semakin tinggi skor, maka semakin tinggi pula potensi tanah longsor
yang akan terjadi.
Model yang digunakan untuk menganalisis kerawanan kongsor adalah
model pendugaan yang mengacu pada penelitian Puslittanak tahun 2004 dengan
formula :
SKOR TOTAL = 0,3FCH+0,2FBD+0,2FKL+0,2FPL+0,1FJT
Keterangan:
FCH
= Faktor Curah Hujan
FBD
= Faktor Jenis Batuan
FKL
= Faktor Kemiringan Lereng
FPL
= Faktor Penutupan Lahan
FJT
= Faktor Jenis Tanah
0,3;0,2;0,1
= Bobot nilai
22
Besarnya bobot parameter ditentukan berdasarkan pada penelitian
Savitri (2007) dengan menggunakan rumus :
Wj =
Keterangan:
n – rj+1
∑ (n-rj+1)
Wj
= nilai yang dinormalkan (bobot nilai)
n
= jumlah kriteria ( k=1,2,3…n)
rj
= posisi urutan kriteria
Klasifikasi hasil akhir overlay dilakukan dengan membuat 4 kelas
kerawanan longsor yaitu : -rendah, -sedang, -tinggi dan -sangat tinggi berdasarkan
jumlah skor akhir, semakin besar jumlah skor maka semakin tinggi tingkat
kerawanan, dengan penentuan selang skor :
Selang Skor =
Skor Tertinggi - Skor Terendah
Jumlah Kelas Klasifikasi
3.3.4. Analisis Resiko Tanah Longsor
Resiko bencana tanah longsor sangat berkaitan erat dengan aktifitas
manusia di wilayah tersebut, semakin tinggi aktifitas manusia di suatu wilayah
maka akan semakin tinggi pula resiko yang akan terjadi. Analisis resiko atas
terjadinya bencana tanah longsor secara spasial bisa di dapatkan dengan cara
menganalisis peta resiko bencana tanah longsor. Menurut Alhasanah (2006) peta
resiko bencana tanah longsor merupakan hasil overlay antara peta properti dengan
peta kerawanan. Secara matematis, nilai resiko longsor dapat dihitung dengan
persamaan sebagai berikut:
R=H+P
Dimana: R = Resiko
H = Hazard (bahaya)
P = Properti
Peta properti merupakan peta yang menggambarkan model pendekatan
nilai manfaat ekonomi dari suatu bentang alam/lahan baik dengan atau tanpa
aktifitas manusia pada wilayah tersebut. Peta properti dihasilkan melalui
penggabungan peta penutupan lahan, peta infrastuktur dan peta jaringan jalan.
Skor akhir yang dihasilkan atas tumpang susun setiap parameter
pembentuk peta properti yang terdapat pada Tabel 7 diklasifikasikan menjadi
23
empat kelas properti yaitu properti rendah, properti sedang, properti tinggi dan
properti sangat tinggi.
Tabel 7 Skor parameter pembentuk Peta Properti
No
Parameter/Jenis
A. Infrastruktur
1.
Pasar
2.
Bangunan
3.
Sekolah
4.
Puskesmas
5.
Kantor Desa
6.
Masjid
7.
Kantor Pos
8.
Kantor Camat
9.
Pos Polisi
10
Pelayanan Telepon
B. Jaringan Jalan
1.
Jalan Utama
2.
Jalan Lokal
3.
Jalan Lain
4.
Jalan Setapak
C. Penutupan Lahan
1.
Hutan
2.
Kebun
3.
Sawah
4.
Pemukiman
5.
Semak Belukar
6.
Ladang
7.
Lahan Kosong
Sumber: Alhasanah (2006)
Skor Kriteria Penilaian
Manusia
Manfaat
Buffering
(meter)
Fisik
100
50
50
50
20
20
20
20
20
20
3
3
3
3
2
2
2
2
2
2
3
2
3
3
2
2
2
2
2
2
3
2
3
3
2
2
2
2
2
2
9
7
9
9
6
6
6
6
6
6
100
80
50
20
3
3
2
1
-
3
2
2
1
6
5
4
2
-
1
2
3
3
1
1
1
1
1
1
3
1
1
1
1
3
3
3
1
1
1
3
6
7
9
3
3
3
Total
Penentuan kelas properti dilakukan berdasarkan interval kelas yang
didapatkan dengan persamaan :
Interval Kelas
Skor tertinggi - Skor terendah
Jumlah kelas klasifikas i
Untuk membuat peta resiko, peta properti yang dihasilkan dengan metode
di atas ditumpangsusunkan dengan peta kerawanan tanah longsor yaitu dengan
menjumlahkan bobot nilai pada tiap kelas pada peta properti dengan bobot nilai
tiap kelas kerawanan pada peta kerawanan tanah longsor sehingga menghasilkan
bobot nilai baru untuk menentukan kelas resiko. Skor akhir hasil tumpang susun
peta properti dengan peta kerawanan diklasifikasi menjadi empat kelas tingkat
resiko tanah longsor yaitu kelas resiko rendah, kelas resiko sedang, kelas resiko
tinggi dan kelas resiko sangat tinggi.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Biofisik
4.1.1. Lokasi
Secara geografis lokasi penelitian berada pada 108o12’45” – 108o24’41”
Bujur Timur (BT) dan
6o04’09”– 6o44’16” Lintang Selatan (LS). Daerah
penelitian memiliki luas 45.665,6 Ha yang meliputi 9 kecamatan yaitu Maja,
Sukahaji, Rajagaluh, Cikijing, Talaga, Argapura, Sindangwangi, Banjaran dan
Cingambul seperti tertera pada Gambar 3 dengan batas wilayah sebagai berikut :
-sebelah Utara
: Kecamatan Cigasong, Leuwimunding, Palasah, dan Jatiwangi
-sebelah Selatan : Kabupaten Ciamis
-sebelah Barat
: Kecamatan Majalengka, Bantarujeg dan Kabupaten Sumedang
-sebelah Timur : Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Cirebon.
Daerah penelitian merupakan kawasan gunung Ciremai sebelah Barat yang
secara administrasi merupakan wilayah Kabupaten Majalengka dan meliputi
wilayah Taman Nasional Gunung Ciremai serta Wilayah Kerja Perum Perhutani
KPH Majalengka. Wilayah tersebut menjadi penghubung antara Kabupaten
Bandung dan Cirebon dengan Kabupaten Kuningan.
4.1.2. Iklim dan Curah Hujan
Lokasi penelitian termasuk dalam wilayah yang memiliki iklim tropis tipe
C dengan suhu
udara antara 21,4-30 ºC. Rata-rata hari hujan sebanyak 11
hari/bulan. Angin pada umumnya bertiup dari arah Selatan dan Tenggara, kecuali
pada bulan April sampai dengan Juli bertiup dari arah Barat Laut dengan
kecepatan antara 3-6 knot (1 Knot = 1.285 m/jam).
Intensitas serta distribusi curah hujan di lokasi penelitian dipengaruhi oleh
faktor gunung Ciremai. Angin musim yang membawa awan hujan di sekitar
gunung Ciremai akan menjatuhkan hujan dengan intensitas serta ketinggian curah
mengikuti bentang alamnya. Hal itu akan menyebabkan tingginya curah hujan di
wilayah yang semakin dekat dengan gunung Ciremai.
25
Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian.
26
Berdasarkan data BMG, curah hujan di lokasi penelitian termasuk tinggi
yaitu antara
2500-4500 mm/tahun. Sebagai salah satu parameter untuk
menentukan wilayah rawan longsor, faktor-faktor curah hujan seperti besarnya
curah hujan, intensitas hujan dan distribusi curah hujan akan menentukan
seberapa besar peluang terjadinya longsoran dan di mana longsor itu akan terjadi.
Intensitas serta distribusi curah hujan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel
8 dan Gambar 4.
Tabel 8 Luas dan Distribusi Curah Hujan
Kecamatan
Sukahaji
Argapura
Maja
Talaga
Banjaran
Cingambul
Cikijing
Sindangwangi
Rajagaluh
2500-3000
702,45
0,00
0,00
3910,23
2691,00
3777,93
3931,56
1391,22
313,02
Luas Curah Hujan (mm/tahun) dalam Hektar
3000-3500
3500-4000
2683,35
3199,32
4141,08
3462,39
3951,27
3078,00
165,24
0,00
1202,31
0,00
0,00
0,00
0,000
0,00
0,00
1251,81
865,44
1212,12
1353,78
Total (Ha)
16717,41
Sumber : Peta Curah Hujan Jawa Barat
14607,18
11958,93
4000-4500
162,90
749,16
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
655,83
814,23
2382,12
Berdasarkan klasifikasi kelas curah hujan Puslittanak, lokasi penelitian
memiliki empat kelas curah hujan yaitu 2500-3000 mm/th, 3000-3500 mm/th,
3500-4000 mm/th dan 4000-4500 mm/th.
Curah hujan dengan intensitas 2500-3000 mm/th merupakan intensitas
curah hujan yang memiliki luasan terbesar yaitu meliputi luasan 16.717,41 Ha
dengan presentase 36,61 % dari luas lokasi penelitian. Kecamatan Cikijing
merupakan wilayah yang seluruh wilayahnya memiliki intensitas curah hujan
2500-3000 mm/th serta merupakan wilayah yang memiliki liputan curah hujan
dengan intensitas ini yang paling luas yaitu 3931,56 Ha dengan presentase 23,52
% dari luas liputan wilayah dengan intensitas curah hujan 2500-3000 mm/th.
Kecamatan Maja dan Talaga adalah wilayah yang tidak memiliki liputan curah
hujan dengan intensitas 2500-3000 mm/th.
27
Gambar 4 Peta Curah Hujan.
28
Curah hujan dengan intensitas 3000-3500 mm/th meliputi 31,99 % dari
luas lokasi penelitian dengan luas 14.607,18 Ha. 28,35 % dari liputan curah hujan
ini berada di Kecamatan Argapura dengan luas 4141,08 Ha atau meliputi 49,58 %
dari luas wilayah Kecamatan Argapura. Curah hujan ini tidak terdapat di
Kecamatan Cikijing dan Cingambul.
Wilayah seluas 11.958,93 Ha atau 26,19 % dari luas lokasi penelitiaan
memiliki intensitas curah hujan 3500-4000 mm/th. 28,96 % dari luasan tersebut
berada di Kecamatan Argapura dengan luas 3462,39 Ha serta sisanya di
Kecamatan Sukahaji, Maja, Sindangwangi dan Rajagaluh serta tidak terdapat di
Kecamatan Talaga, Banjaran, Cingambul dan Cikijing.
Curah hujan dengan intensitas paling tinggi (4000-4500 mm/th) memiliki
luasan 2382,12 Ha (5,22 %). Sebagian besar berada di Kecamatan Rajagaluh
dengan luas 814,23 Ha atau 34,18 % dari total liputan wilayah curah hujan ini.
Sisanya terdapat di Kecamatan Sindangwangi, Sukahaji dan Argapura serta tidak
terdapat di Kecamatan Maja, Talaga, Banjaran, Cingambul dan Cikijing.
4.1.3. Jenis Batuan
Secara geologi lokasi penelitian merupakan wilayah dengan struktur
batuan yang sangat dipengaruhi oleh kondisi gunung Ciremai. Sifat-sifat teknis
batuan berbeda-beda tergantung pada asal-usulnya. Secara umum sifat-sifat teknis
batuan dipengaruhi oleh : struktur dan tekstur, kandungan mineral, kekar/bentuk
gabungan lapisan bidang dasar, kondisi cuaca, dan sedimentasi/rekatan.
Berdasarkan pengklasifikasian Puslittanak batuan pembentuk
yang
terdapat di lokasi penelitian terdiri dari 3 jenis batuan yaitu batuan Vulkanik,
batuan Sedimen dan batuan Aluvial. Batuan Vulkanik terdiri atas satuan batuan
Qvb, Qyl, Qvl, Qyu, Qvu, Qyi, Qvk, dan ha. Batuan Sedimen terdiri atas satuan
batuan Tmhl, Tomcu, Tmhu, Tpc, Tomcl, Tpk, Tmph, Tpkw dan Tpa. Satuan
batuan Aluvial yang terdapat di lokasi penelitian adalah Qa. Distribusi spasial
setiap jenis satuan batuan dapat terlihat pada Gambar 5.
29
Gambar 5 Peta Jenis Batuan.
30
Tabel 9 Luas dan Distribusi Jenis Batuan
Kecamatan
Vulkanik
Luas Jenis Batuan dalam Hektar
Sedimen
Aluvial
Sukahaji
Argapura
Maja
5975,10
7346,70
3256,56
772,92
1005,93
3772,71
0,00
0,00
0,00
Talaga
Banjaran
Cingambul
2673,36
3890,52
366,66
993,96
3772,710
2,79
2280,06
408,15
0,00
1131,21
Cikijing
Sindangwangi
Rajagaluh
3001,86
3881,79
3543,75
52,92
3772,710
282,51
149,40
876,78
0,00
0,00
Total (Ha)
33936,30
9313,20
3772.710
Sumber : Peta Geologi Lembar Arjawinangun dan Tasikmalaya
2416,14
Berdasarkan hasil tabulasi antara jenis batuan dengan wilayah administrasi
kecamatan seperti tertera pada Tabel 9 dapat
dilihat bahwa jenis batuan Vulkanik
3772.710
merupakan jenis batuan yang paling dominan di lokasi penelitian yaitu 74,32 %
(33.936,30 Ha) dari luas total lokasi penelitian merupakan jenis batuan Vulkanik.
3772.710
Jenis satuan batuan yang paling luas adalah Qyu seluas 12.128,94 Ha dan yang
paling sempit adalah satuan batuan Ha seluas 26,28 Ha. Kecamatan Argapura
3772.710
merupakan wilayah yang memiliki jenis batuan Vulkanik paling luas yaitu
7346,70 Ha atau 21,65 % dari luasan batuan Vulkanik, sedangkan Kecamatan
Cingambul memiliki liputan batuan Vulkanik yang paling sempit yaitu 366,66 Ha
dan sisanya tersebar merata di setiap kecamatan.
Jenis Batuan Sedimen memiliki luas 9313,20 Ha yaitu 20,39 % dari luas
total lokasi penelitian. Tomcl merupakan satuan batuan sedimen yang memiliki
luasan paling luas yaitu 3103,04 Ha, sedangkan yang paling sempit adalah satuan
batuan Tpa seluas 90,45 Ha. Kecamatan Maja merupakan wilayah yang memiliki
batuan Sedimen paling luas yaitu 3772,71 Ha atau 40,51 % dari luas total jenis
batuan Sedimen. Jenis batuan yang ketiga adalah jenis Aluvial, jenis ini Hanya
memiliki satu satuan batuan yaitu Qa. Batuan Aluvial memiliki luas 2416,14 Ha
atau 5,29 % dari luas total lokasi penelitian. Kecamatan Cingambul merupakan
wilayah dengan luasan batuan Aluvial paling luas yaitu 1131,21 Ha (46,82 %),
Cikijing dengan luas 876,78 Ha serta Talaga dengan luas 408,15 Ha dan jenis
batuan ini tidak terdapat di Kecamatan Sukahaji, Argapura, Maja, Banjaran,
Sindangwangi serta Rajagaluh.
31
4.1.4. Jenis Tanah
Jenis Tanah di lokasi penelitian berdasarkan Peta Tanah Tinjau terdiri dari
tanah Podsolik, Grumosol, Latosol, Regosol, Mediteran, Aluvial, Andosol dan
Glei. Mengacu pada klasifikasi Puslittanak berdasarkan kepekaan terhadap erosi,
maka jenis tanah di lokasi penelitian terbagi menjadi kelas Sangat Peka
Erosi/Permeabilitas sangat Lambat (Regosol), Peka Erosi/Permeabilitas Lambat
(Podsolik, Grumosol dan Andosol), Agak Peka Erosi/Permeabilitas Cepat
(Latosol), Kurang Peka Erosi/Permeabilitas Sedang (Mediteran) dan Tidak Peka
Erosi/Permeabilitas Sangat Cepat (Aluvial dan Glei). Distribusi spasial jenis tanah
di lokasi penelitian terlihat pada Gambar 6.
Tabel 10 Luas dan Distribusi Jenis Tanah
Luas Jenis Tanah dalam Hektar
Kecamatan
Sukahaji
Podsolik
Grumosol
0,00
Argapura
Maja
Talaga
Banjaran
Cingambul
0,00
Latosol
Regosol
Mediteran
Aluvial
Andosol
0,00
1840,77
2227,77
0,00
1546,92
Glei
0,00
0,00
318,60
1325,34
0,00
0,00
6708,69
1132,56
0
0,00
3212,82
369,63
2071,44
1067,85
0,00
0,00
307,53
0,00
653,22
164,43
2252,70
0,00
0,00
482,85
522,27
0,00
0,00
29,70
1981,53
0,00
0,00
0,00
1882,08
0,00
1032,84
0,00
2338,02
0,00
0,00
407,07
0,00
0,00
Cikijing
0,00
0,00
2683,71
0,00
0,00
627,03
620,82
0,00
Sindangwangi
0,00
0,00
3403,17
53,46
0,00
0,00
707,67
0,00
Rajagaluh
0,00
0,00
502,92
1243,17
5,31
0,00
1941,750
0,00
Total (Ha)
4898,88
563,76 15552,09
5530,59
2233,08
1516,95
14237,73
1132,56
0
Sumber : Peta Tanah Tinjau Kab. Majalengka
Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat bahwa jenis tanah Regosol yang
merupakan tanah sangat peka erosi memiliki areal penyebaran seluas 5530,59 Ha
atau 12,11% dari luas total lokasi penelitian. Kecamatan Sukahaji merupakan
yang memiliki areal penyebaran tanah ini yang paling luas yaitu 1840,77 Ha yaitu
33,28 % dari luas areal jenis tanah ini serta jenis tanah ini tidak terdapat di
Kecamatan Talaga, Banjaran, Cingambul dan Cikijing.
Jenis tanah Latosol yang memiliki sifat agak peka erosi merupakan jenis
tanah dengan areal penyebaran paling luas yaitu dengan luas 15.552,09 Ha (34,06
%). Areal penyebaran jenis tanah ini yang paling luas terdapat di Kecamatan
Sindangwangi yaitu 3403,17 Ha atau 21,88 % dari luas total penyebaran jenis
tanah
ini,
sedangkan
di
Sukahaji
tidak
terdapat
jenis
tanah
ini
32
Gambar 6 Peta J enis Tanah.
33
Jenis tanah peka erosi yaitu Podsolik memiliki areal penyebaran seluas
4898,88 Ha (10,728 %). Penyebaran paling luas berada di Kecamatan Maja yaitu
3212,82 Ha (65,58 %) dan sisanya tersebar di Kecamatan Cingambul 1032,84 Ha
dan Talaga seluas 653,22 Ha. Jenis Grumosol tersebar seluas 563,76 Ha atau 1,24
% dari luas total lokasi penelitian, serta 65,57 % (369,63 Ha)
penyebarannya berada di Kecamatan Maja, kemudian
areal
di Kecamatan Talaga
164,43 Ha dan Banjaran dengan luas 29,70 Ha.
Jenis tanah Mediteran memiliki luas 2233,08 Ha atau 4,89 % dari luas
lokasi penelitian. Areal penyebaran sebagian besar terdapat di Kecamatan
Sukahaji dengan luas 2227,77 Ha yaitu 99,76 % dari luas total areal tanah ini dan
sisanya terdapat di Kecamatan Rajagaluh dengan luas 5,31 Ha. Jenis tanah ini
memiliki sifat kurang peka terhadap erosi.
Jenis tanah yang tidak peka terhadap erosi yang memiliki areal penyebaran
paling luas adalah Aluvial yaitu 1516,95 Ha atau 3,32 % dari luas total lokasi
penelitian kemudian jenis tanah Glei yang hanya terdapat di Kecamatan Sukahaji
dengan luas 1132,56 Ha (2,48 %). Tanah Aluvial memiliki areal penyebaran di
Kecamatan Cikijing yaitu seluas 627,03 Ha, Talaga dengan luas 482,85 Ha dan
Kecamatan Cingambul dengan luas 407,07 Ha.
4.1.5. Kemiringan Lahan
Kemiringan Lahan di lokasi penelitian bervariasi mulai dari datar sampai
sangat curam. Berdasarkan hasil klasifikasi DEM (Digital Elevation Model) lokasi
penelitian didapatkan klasifikasi kemiringan lahan Datar (kemiringan <8 %),
Landai (8-15 %), Terjal (15-30 %), Curam (30-45 %) dan Sangat Curam (>45 %)
seperti terlihat pada Gambar 7. Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa tipe
wilayah yang memiliki topografi Datar dengan kemiringan kurang dari 8%
memiliki areal penyebaran paling luas yaitu 13.596,84 Ha atau 29,775 % dari luas
total lokasi penelitian. Tipe topografi ini paling banyak terdapat di Kecamatan
Sukahaji dengan luas 3692,79 Ha sebanding dengan 19,30 % dari luas total area
penyebaran tipe topografi ini, sedangkan Argapura merupakan kecamatan yang
paling sedikit memiliki wilayah dengan topografi datar yaitu hanya 761,31 Ha.
Sedangkan sisanya menyebar hampir merata di setiap kecamatan.
34
Tabel 11 Luas dan Distribusi Kemiringan Lahan
Luas Kemiringan Lahan dalam Hektar
Kecamatan
< 8%
8 – 15%
15 – 30%
30 – 45%
>45%
Sukahaji
3692,79
1274,85
1404,54
291,24
84,60
Argapura
761,31
1321,65
2403,81
1693,17
2172,69
Maja
1366,20
1348,11
2316,87
1275,03
723,06
Talaga
1409,85
1118,16
1168,29
278,91
100,26
881,82
783,99
1159,65
619,02
448,83
Cingambul
1402,92
489,42
956,43
512,55
416,61
Cikijing
1828,44
638,91
931,14
343,62
189,45
Sindangwangi
1001,07
702,90
623,70
751,23
Rajagaluh
1252,44
587,97
1085,40
931,140
1026,36
453,33
Total (Ha)
13596,84
8265,96
12452,49
6090,57
373,05
Cccc
5259,78
Banjaran
Sumber : Peta Kontur Wilayah Majalengka
931.140
Wilayah dengan kemiringan 8-15% (kategori Landai) memiliki areal
penyebaran dengan luas 8265,96 Ha (18,10 %). Wilayah dengan tipe topografi ini
931.140
paling banyak terdapat di Kecamatan Maja dengan
luas 1348,11 Ha atau 16,31%
dari luas total area penyebarannya. Sedangkan Kecamatan Cingambul merupakan
yang paling sedikit memiliki tipe wilayah dengan topografi landai yaitu hanya
489,42 Ha.
Wilayah terjal dengan kemiringan 15-30% tersebar seluas 12.452,49 Ha
(27,69 %).
Kecamatan Argapura merupakan yang paling banyak memiliki
wilayah dengan topografi terjal, 19,30% dari luas total areal penyebaran tipe
topografi lahan ini berada di Kecamatan Argapura dengan luas 2403,81 Ha.
Sisanya menyebar di setiap kecamtan dan yang paling sempit berada di
Kecamatan Cikijing yaitu 931,14 Ha.
Wilayah dengan kemiringan 30-45% (Curam) memiliki luas areal
penyebaran 6090,57 Ha atau 13,38% dari luas total lokasi penelitian. Areal
penyebaran paling luas terdapat di Kecamatan Argapura dengan luas 1693,17 Ha (
27,78 % luas total areal penyebaran). Sedangkan yang paling sempit berada di
Kecamatan Talaga yaitu 278,91 Ha.
35
Gambar 7 Peta Kemiringan Lahan.
36
Kemiringan lahan lebih dari 45% memiliki luas areal penyebaran 5259,78
Ha (11,16%). Sebagian besar berada di wilayah gunung Ciremai yaitu Kecamatan
Argapura dengan luas 2172,69 Ha (41,31 %). Kecamatan Sukahaji merupakan
wilayah yang sedikit lahan dengan kemiringan sangat curam (>45 %) yaitu hanya
84,60 Ha.
4.1.6. Penutupan Lahan
Penutupan lahan di suatu wilayah berkaitan erat dengan kondisi ekonomi
dan tipe masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Berdasarkan hasil
interpretasi Citra Satelit Landsat TM 5 Path/Row 121/065 tahun 2005 diperoleh
delapan tipe penutupan lahan serta dua komponen tidak ada data karena terhalang
awan dan bayangan awan dengan gambar dapat dilihat pada Lampiran 2. Tipe
penutupan lahan memiliki kontribusi yang berbeda-beda tergantung pada sifat dan
kondisi penutupan lahan tersebut seperti bentuknya berupa bangunan atau
tanaman, jenis tanaman, sifat tanaman, serta luasan penutupan serta lokasi
penutupan lahan itu berada adalah hal-hal yang berpengaruh dalam penentuan
kerawanan wilayah. Distribusi spasial tipe penutupan lahan dapat dilihat pada
Tabel 12 dan Gambar 8.
Tabel 12 Luas dan Distribusi Penutupan Lahan
Luas Tipe Penutupan Lahan dalam Hektar
Kecamatan
Hutan
Kebun
Sukahaji
1461,06
1363,95
Argapura
4432,86
1238,22
Maja
1809,18
Talaga
1138,32
Banjaran
Cingambul
Ladang
Sawah Pemukiman
325,17
Semak
belukar
535,23
777,15
Lahan
kosong
164,43
Tubuh
Air
43,11
Tidak
ada Data
0,00
2077,90
303,84
1124,19
718,56
260,28
271,71
1,98
0,99
2066,67
527,94
691,92
968,58
211,50
592,83
1199,61
508,41
216,36
9,18
0,00
612,00
397,17
111,15
43,92
1651,14
809,01
126,00
0,00
636,39
416,70
117,81
124,47
11,79
0,00
933,03
1016,82
365,40
453,51
557,01
331,29
35,10
85,68
0,09
Cikijing
1001,07
1013,22
338,76
338,85
694,44
457,92
55,17
32,13
0,00
Sindangwangi
1216,53
502,92
140,85
402,39
1097,91
223,38
571,14
7,74
1,44
Rajagaluh
1545,57
465,12
74,07
340,65
767,97
339,03
156,51
4,23
1,98
Total (Ha)
15188,76
9444,51
2413,53
5115,96
8142,12
3412,44
1706,00
239,76
2,52
Sumber : Klasifikasi 660
Citra Landsat TM 5 Wilayah Majalengka
Tipe penutupan lahan berupa hutan merupakan tipe penutupan paling luas
yaitu 15.188,76 Ha atau 33,26 % dari luas total lokasi penelitian. Hutan paling
banyak berada di Kecamatan Argapura dengan luas 4432,86 Ha. Vegetasi yang
membentuk tipe penutupan lahan hutan berupa hutan alam dengan jenis tanaman
37
yang heterogen seperti Rasamala, Pasang, Jamuju, Saninten, Walen, Nangsi.
Sedangkan vegetasi pembentuk hutan tanaman didominasi Pinus. Sebagian besar
hutan alam yang terdapat di lokasi penelitian berada di sekitar gunung Ciremai.
Sedangkan hutan tanaman tersebar hampir merata di wilayah lain.
Kebun yang terdapat di lokasi penelitian merupakan kebun campuran
milik penduduk dan memiliki vegetasi berupa tanaman budidaya campuran seperti
mangga, pisang, rambutan dan lain-lain. Luas perkebunan mencapai 9444,51 Ha.
Areal perkebunan paling luas terdapat di Kecamatan Maja dengan luas 2066,67
Ha atau 21,88 % dari luas total areal penyebaran kebun di lokasi penelitian.
Ladang merupakan areal budidaya yang terdapat di wilayah yang akses
terhadap pengairan cukup sulit, biasanya ditanami jenis palawija seperti jagung,
cabe, kacang tanah serta jenis sayuran seperti kol, kentang, wortel dan lain-lain.
Berdasarkan hasil interpretasi luas areal ladang adalah 2413,53 Ha (5,29 %).
Wilayah dengan areal ladang paling luas adalah Kecamatan Maja dengan luas
527,94 Ha.
Semak belukar memiliki luas areal penyebaran 5115,96 Ha (11,20 %) dan
yang paling luas terdapat di Kecamatan Argapura yaitu 1124,19 Ha. Semak
belukar didominasi oleh jenis rumput-rumputan dan gulma seperti rumput gajah,
alang-alang, jenis tanaman perdu, rumput teki dan lain-lain. Semak belukar yang
terdapat di areal penelitian biasanya berupa lahan tidur, lahan yang berada pada
kemiringan yang curam atau terjal serta areal yang sulit akses irigasi.
Sawah
yang terdapat di lokasi penelitian memiliki luas total areal
penyebaran 8142,12 Ha atau 17,83 % dari luas total lokasi penelitian. Penutupan
lahan berupa sawah yang paling luas terdapat di Kecamatan Sukahaji dengan luas
2077,92 Ha. Sedangkan yang paling sempit terdapat di Kecamatan Banjaran
dengan luas 416,70 Ha.
Lahan
kosong yang terdapat di lokasi penelitian biasanya berupa
lapangan, lahan galian, dan lain-lain. Luas total lahan kosong adalah 1706,04 Ha
atau 3,74 % dari luas total area penelitian. Areal penyebaran lahan kosong yang
paling luas terdapat di Kecamatan Sindangwangi yaitu 571,14 Ha dan yang paling
sempit terdapat di Kecamatan Cingambul dengan luas 35,10 Ha.
38
Gambar 8 Peta Penutupan Lahan.
39
Jenis penutupan lahan tersebut merupakan hasil klasifikasi terbimbing dan
telah dilakukan uji akurasi (Accuracy Assessment) dengan tingkat akurasi 75,36 %
dan nilai
Kappa Statistik
0,7159 (Lampiran 1). Kappa Statistik merupakan
perbandingan antara jumlah sample GCP yang sesuai hasil klasifikasi dengan
jumlah total GCP yang diambil untuk tiap tipe penutupan lahan.
4.2. Analisis Kerawanan Tanah Longsor
4.2.1. Model Pendugaan Kawasan Rawan Tanah Longsor
Pendugaan kawasan bencana Rawan Tanah Longsor dilakukan dengan
menggunakan model pendugaan yang bersumber pada penelitian Puslittanak
tahun 2004.
Berdasarkan model tersebut
parameter yang digunakan untuk
menduga kawasan rawan longsor meliputi parameter Jenis Tanah, Penutupan
Lahan, Jenis Batuan, Curah Hujan, serta Kemiringan Lahan. Semua parameter
tersebut diklasifikasikan berdasarkan skor kemudian diberi bobot sesuai
kontribusinya masing-masing dan kemudian ditumpangsusunkan (overlay).
Berdasarkan hasil analisis 5 parameter kerawanan longsor
dengan
menggunakan model Pendugaan Kerawanan Longsor Puslittanak tahun 2004,
diperoleh 4 kriteria kerawanan longsor yaitu Rendah, Sedang, Tinggi dan Sangat
Tinggi. Tingkat Kerawanan Tanah Longsor yang tersebar di lokasi penelitian
terbentuk setelah penggabungan
(overlay) faktor-faktor penyebabnya. Pada
model Pendugaan Kerawanan Tanah Longsor yang bersumber dari Puslittanak
tahun 2004 faktor curah hujan mendapat bobot 30 %, faktor jenis batuan,
kemiringan lahan dan tipe penutupan lahan dengan bobot 20 %, sedangkan
faktor jenis tanah memiliki bobot 10 %. Berdasarkan penjelasan tersebut, model
yang digunakan untuk menganalisa kerawanan tanah longsor di lokasi penelitian
adalah sebagai berikut :
SKOR TOTAL = 0,3FCH+0,2FBD+0,2FKL+0,2FPL+0,1FJT
Keterangan:
FCH
= Faktor Curah Hujan
FBD
= Faktor Jenis Batuan
FKL
= Faktor Kemiringan Lereng
FPL
= Faktor Penutupan Lahan
FJT
= Faktor Jenis Tanah
0,3;0,2;0,1
= Bobot nilai
40
Berdasarkan hasil analisis skor total hasil tumpang susun (overlay)
parameter yang ada di lokasi penelitian diperoleh klasifikasi kelas kerawanan
dengan interval skor masing-masing kelas seperti tercantum pada Tabel 13.
Tabel 13 Interval Skor Kelas Tingkat Kerawanan Tanah Longsor
Kelas Kerawanan
Interval Skor
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
2,000-2,775
2,776-3,550
3,551-4,325
663,840
2828,340
4,326-5,100
1154,520
4876.290
3424.770
2592.180
Penentuan kelas didasarkan pada rumus
penentuan kelas berdasarkan
1511.730
419.040
1051.650 Semakin tinggi total skor
rataan skor total hasil tumpang susun semua parameter.
4448.790
0.000
maka semakin tinggi tingkat kerawanan di wilayah
tersebut.
54.630
1070.010
4.2.2. Distribusi Kawasan Rawan Tanah Longsor
2811.780
Hasil analisis kerawanan tanah longsor dibagi ke dalam 4 kelas kerawanan
longsor yaitu wilayah dengan tingkat kerawanan longsor rendah, sedang, tinggi
dan sangat tinggi dengan gambaran distribusi spasial dapat dilihat pada Gambar 9.
Berdasarkan hasil tumpang susun antara peta tingkat kerawanan longsor dengan
wilayah administrasi kecamatan dapat dilihat bahwa pada sebagian besar
kecamatan terdapat semua tipe tingkat kerawanan kecuali Kecamatan Argapura
yang tidak memiliki wilayah dengan tingkat kerawanan rendah seperti terlihat
pada Tabel 14.
Tabel 14 Luas dan Distribusi Tingkat Kerawanan Longsor
Kecamatan
Sukahaji
Argapura
Maja
Talaga
Banjaran
Cingambul
Cikijing
Sindangwangi
Rajagaluh
Total (Ha)
Luas Tingkat Kerawanan Longsor dalam Hektar
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
74,70
0,00
0,27
375,03
1154,520
64,80
810,90
704,25
129,33
1,17
2160,45
2828,34
663,84
1511,73
2592,18
1744,11
1761,30
2103,30
1231,02
883,89
15319,71
3424,77
4876,29
4448,79
1051,65
1585,71
0,000
1148,85
1042,29
2182,05
2232,09
21992,49
419,04
2811,78
1070,01
54,63
498,78
58,95
80,91
621,90
575,91
6191,91
41
Gambar 9 PetaTingkat Kerawanan Bencana Tanah Longsor.
42
Pendugaan kawasan Rawan Bencana Tanah Longsor dilakukan dengan
menggunakan model pendugaan yang bersumber pada penelitian Puslittanak
tahun 2004.
Berdasarkan model tersebut
parameter yang digunakan untuk
menduga kawasan rawan longsor meliputi parameter Jenis Tanah, Penutupan
Lahan, Jenis Batuan, Curah Hujan, serta Kemiringan Lahan. Semua parameter
tersebut diklasifikasikan berdasarkan skor kemudian diberi bobot sesuai
kontribusinya masing-masing dan kemudian ditumpangsusunkan (overlay).
Berdasarkan peta Kerawanan Longsor hasil analisis maka
di lokasi
penelitian terdapat wilayah-wilayah yang memiliki :
a. Kelas Kerawanan Longsor Rendah
Kelas kerawanan longsor ini memiliki luas area penyebaran 2169,54 Ha
atau 4,74 % dari luas total lokasi penelitian.
Penyebarannya sebagian besar
berada di bagian Selatan lokasi penelitian terutama di Kecamatan Cingambul
dengan luas 810,90 Ha dan Kecamatan Cikijing dengan luas 704,25 Ha.
Berdasarkan Hasil tumpang susun dengan tipe penutupan lahan, 36,09 % kelas
kerawanan ini merupakan areal pemukiman kemudian yang berupa kebun dengan
luas 619,29 Ha.
Sebagian besar dari kelas kerawanan longsor rendah berada di wilayah
dengan topografi datar (< 8 %) dengan luas 2069,46 Ha atau 95,39 % dari luas
total area penyebarannya serta tidak terdapat pada wilayah dengan kemiringan
>45 %. Jenis batuan yang mendominasi kelas kerawanan ini adalah jenis satuan
Qa yang merupakan jenis batuan Alluvial dengan luas 1272,51 Ha atau 58,65 %
dari luas areal penyebaran. Berdasarkan data peta curah hujan, 99,52 % (2159,19
Ha) dari areal penyebaran kelas kerawanan ini berada pada areal dengan curah
hujan 2500-3000 mm/tahun serta tidak memiliki areal dengan curah hujan di atas
4000 mm/tahun. Jenis tanah Latosol merupakan jenis yang dominan pada kelas
kerawanan longsor rendah dengan luas 1459,35 Ha atau 67,27% dari luas total
areal penyebaran kelas kerawanan ini.
b. Kelas Kerawanan Longsor Sedang
Berdasarkan hasil analisis kelas kerawanan ini memiliki luas total
15324,03 Ha (33,56%), tersebar di setiap kecamatan dan yang paling luas terdapat
di Kecamatan Sukahaji dengan luas 2828,34 Ha atau 18,46% dari luas
43
total areal penyebaran. Penutupan lahan pada kelas ini didominasi oleh hutan
sebesar 31,47% (4821,93 Ha) kemudian berupa kebun dengan luas 3579,57 Ha.
Jenis batuan yang dominan pada kelas ini adalah satuan batuan Qyu
dengan luas 5262,12 Ha (34,34%). Sedangkan untuk jenis tanah didominasi oleh
jenis Latosol dengan luas 8133,66 Ha (53,08%). 61,38% (9405,63 Ha) dari luas
total areal penyebaran kelas kerawanan ini memiliki curah hujan 2500-3000
mm/tahun. Berdasarkan topografi wilayah, seluas 8830,89 Ha (57,00%) kelas
kerawanan ini berada pada topografi datar dengan kemiringan kurang dari 8%.
c. Kelas Kerawanan Longsor Tinggi
Wilayah dengan kelas kerawanan longsor tinggi memiliki luas 21992,49
Ha. Jenis kelas ini sebagian besar berada di Kecamatan Argapura dengan luas
4876,29 Ha atau 22,17% dari luas total areal penyebaran. Penutupan lahan berupa
hutan mendominasi pada kelas ini dengan luas 7574,67 Ha (34,52%) kemudian
kebun 4520,97 Ha dan sawah dengan luas 4490,82 Ha. Sebagian besar kelas ini
berada pada wilayah dengan topografi terjal (15-30%) dengan luas 9189,36 Ha
(41,88%), kemudian pada topografi curam (30-45%) dengan luas 4437,45%.
Berdasarkan peta Geologi, satuan batuan Qvu merupakan jenis batuan
yang dominan pada kelas ini dengan luas 6964,56 Ha atau 31,74% dari luas areal
penyebaran kelas ini. Jenis tanah Andosol merupakan jenis tanah yang dominan
dengan luas 8937,72 Ha. Curah hujan yang mendominasi kelas kerawanan ini
adalah curah hujan dengan intensitas 3000-3500 mm/tahun dengan luas 8033,94
Ha (36,61 %).
d. Kelas Kerawanan Longsor Sangat Tinggi
Wilayah yang termasuk kriteria Kerawanan Longsor Sangat Tinggi
memiliki luas areal penyebaran 6191,91 Ha atau 13,56%. Yang paling luas
terdapat di Kecamatan Argapura dengan luas 2811,78 Ha atau 45,41% dari luas
total areal penyebarannya. Kelas ini sebagian besar berada pada wilayah dengan
curah hujan 3000-3500 mm/tahun dengan luas 2793,15 Ha (44,85%).
Jenis batuan yang dominan pada kelas ini adalah satuan batuan Qyu yang
merupakan batuan vulkanik dengan luas 1907,55 Ha atau 30,63% dari luas total
area penyebaran kelas ini. Sedangkan untuk jenis tanah yang mendominasi kelas
ini adalah jenis tanah Andosol dengan luas tutupan 3707,05 Ha atau 59,46% dari
44
luas total penyebaran kelas kerawanan longsor sangat tinggi. Berdasarkan
topografi wilayah, kelas kerawanan longsor sangat tinggi sebagian besar berada
pada wilayah sangat curam dengan kemiringan lebih dari 45% yang memiliki luas
3890,34 Ha atau 62,46% dari luas total areal penyebaran kelas kerawanan ini,
kemudian pada topografi curam (30-45 %) dengan luas 1474,20 Ha.
4.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Kerawanan Tanah Longsor
Berdasarkan hasil analisis terhadap parameter-parameter penyebab tanah
longsor serta berdasarkan model yang digunakan, parameter yang paling besar
pengaruhnya terhadap tingkat kerawanan bencana longsor di lokasi penelitian
adalah curah
hujan dan kemiringan lahan, sementara jenis batuan dan tipe
penutupan lahan memiliki bobot yang sama kemudian jenis tanah merupakan
parameter dengan pengaruh yang paling kecil hal tersebut dapat dilihat pada Tabel
15.
Tabel 15 Tabulasi Tingkat Kerawanan dengan Parameter dalam Hektar
Parameter/Jenis
Tingkat Kerawanan Longsor
Rendah
%
Sedang
%
Tinggi
%
Sangat Tinggi
%
619,29
46,08
203,22
183,51
139,05
28,54
2,12
9,37
8,46
6,41
3579,57
2035,62
4821,93
743,49
1448,28
23,36
13,28
31,47
4,85
9,45
4520,97
4490,82
7574,67
606,78
2872,89
20,60
20,47
34,52
2,77
13,09
724,68
1569,60
2588,94
172,26
655,74
11,64
25,20
41,57
2,77
10,53
41,94
783,18
153,27
0,00
1,93
36,10
7,06
0,00
747,45
1876,50
71,01
0,18
4,88
12,25
0,46
0,00
1139,31
721,44
14,76
2,25
5,19
3,29
0,07
0,03
484,83
31,32
0,72
0,09
7,78
0,50
0,01
0,00
1. Penutupan Lahan
Kebun
Sawah
Hutan
Lahan Kosong
Semak Belukar
Ladang
Pemukiman
Tubuh Air
Tidak Ada Data
Luas (Ha)
2. Jenis Tanah
Podsolik
Grumosol
Latosol
Regosol
Mediteran
Aluvial
Andosol
Glei
Luas (Ha)
2169,54 100,00 15324,03 100,00 21943,89 100,00
13,14 0,61
891,00
5,81 3085,20
1,35 0,06
103,05
0,67
336,51
1459,35 67,27 8133,66 53,08 5371,47
0,09 0,00 1547,73 10,10 3137,58
3,78 0,17 1100,79
7,18 1068,57
615,60 28,37
897,30
5,86
4,05
4,59 0,21 1592,37 10,39 8937,72
71,64 3,30 1058,13
6,91
2,79
2169,54 100,00 15324,03 100,00 21943,89
14,06
1,53
24,48
14,30
4,87
0,02
40,73
0,01
100,00
6228,18 100,00
909,54
122,85
587,61
845,19
59,94
0,00
3703,05
0,00
6228,18
14,60
1,97
9,43
13,57
0,96
0,00
59,46
0,00
100,00
45
Tabel 15 (Lanjutan)
Parameter/Jenis
Rendah
%
Tingkat Kerawanan Longsor
Sedang
%
Tinggi
% Sangat Tinggi
%
3. Curah Hujan
2500-3000
2159,19
99,52 9405,63
61,38
4735,26 21,58
417,33
6,70
3000-3500
0,54
0,02 2110,77
13,77
7592,67 34,60
2254,95
36,21
3500-4000
9,81
0,45 3770,28
24,60
8033,94 36,61
2793,15
44,85
>4000
0,00
0,00
762,75
12,25
Luas (Ha)
4. Jenis Batuan
37,35
0,24
1582,02
7,21
2169,54 100,00 15324,03 100,00 21943,89 100,00
QVB
216,36
9,97 1117,17
7,29
QVL
0,00
0,00
385,92
2,52
QYL
23,67
1,09
532,44
3,47
QYU
199,35
9,19 5262,12
34,34
989,19
6228,18 100,00
4,51
154,80
2,49
3075,21 14,01
1511,28
24,27
1,45
17,64
0,28
4759,92 21,69
1907,55
30,63
317,25
TMHL
0,72
0,03
109,35
0,71
71,91
0,33
3,96
0,06
TOMCU
0,00
0,00
312,48
2,04
1177,92
5,37
133,65
2,15
12,51
0,58
238,32
1,56
170,28
0,78
2,07
0,03
5,31
0,24
320,22
2,09
618,84
2,82
80,55
1,29
5,52 3633,75
23,71
6964,56 31,74
1434,15
23,03
TMHU
TPC
QVU
119,70
TOMCL
0,27
0,01
346,14
2,26
1992,60
9,08
764,19
12,27
QYI
0,09
0,00
223,83
1,46
371,34
1,69
19,08
0,31
TPK
45,72
2,11
224,28
1,46
335,16
1,53
17,01
0,27
QVK
2,79
0,13
99,81
0,65
410,04
1,87
161,01
2,59
HA
0,00
0,00
0,00
0,00
12,60
0,06
13,68
0,22
QA
1272,51
58,65 1140,21
7,44
3,42
0,02
0,00
0,00
TMPH
207,45
9,56
986,31
6,44
544,50
2,48
7,29
0,12
TPKW
53,55
2,47
327,24
2,14
112,68
0,51
0,27
0,00
9,54
0,44
64,44
0,42
16,47
0,08
0,00
0,00
Luas (Ha)
2169,54 100,00 15324,03 100,00 21943,89
5. Kemiringan Lahan
<8%
2069,46 95,39 8830,89 57,63 2680,29
8 – 15 %
83,61
3,85 3819,15 24,92 4291,38
15 – 30 %
15,57
0,72 2471,94 16,13 9189,36
30 – 45 %
0,90
0,04 178,02
1,16 4437,45
> 45 %
0,00
0,00
24,03
0,16 1345,41
100,00
TPA
Luas (Ha)
12,21
19,56
41,88
20,22
6,13
2169,54 100,00 15324,03 100,00 21943,89 100,00
6228,18 100,00
16,20
71,82
775,62
1474,20
3890,34
0,26
1,15
12,45
23,67
62,46
6228,18 100,00
46
Berdasarkan hasil analisis peta Kerawanan Longsor dan tabel 15 di lokasi
penelitian terdapat wilayah-wilayah yang memiliki :
a. Kelas Kerawanan Longsor Rendah
Kelas kerawanan longsor ini memiliki luas area penyebaran 2169,54 Ha
(4,74 %). Penyebarannya sebagian besar berada di bagian Selatan lokasi
penelitian terutama di Kecamatan Cingambul dengan luas 810,90 Ha dan
Kecamatan Cikijing 704,25 Ha. 36,10 % (783,18 Ha) dari kelas kerawanan ini
merupakan areal pemukiman dan yang berada pada penutupan lahan berupa kebun
619,29 Ha.
Sebagian besar dari kelas kerawanan longsor rendah berada di wilayah
dengan topografi datar (< 8 %) dengan luas 2069,46 Ha atau 95,39 % dari luas
total area penyebarannya,serta tidak terdapat pada wilayah dengan kemiringan
>45 %. Jenis batuan yang mendominasi kelas kerawana ini adalah jenis satuan Qa
yang merupakan jenis batuan Alluvial dengan luas 1272,51 Ha atau 58,65 % dari
luas areal penyebaran. Berdasarkan data peta curah hujan sebesar 99,52 %
(2159,19 Ha) dari areal penyebaran kelas kerawanan ini berada pada areal dengan
curah hujan 2500-3000 mm/tahun serta tidak memiliki areal dengan curah hujan
di atas 4000 mm/tahun. Jenis tanah Latosol merupakan jenis yang dominan pada
kelas kerawanan longsor rendah dengan luas 1459,35 Ha atau 67,27 % dari luas
total areal penyebaran kelas kerawanan ini.
b. Kelas Kerawanan Longsor Sedang
Berdasarkan Hasil analisis kelas kerawanan ini memiliki luas total
15324,03 Ha (33,56%), tersebar di setiap kecamatan dan yang paling luas terdapat
di Kecamatan Sukahaji dengan luas 2828,34 Ha atau 18,46 % dari luas total areal
penyebaran. Penutupan lahan pada kelas ini didominasi oleh hutan dengan luas
4821,93 Ha (31,47 %) kemudian berupa kebun dengan luas 3579,57 Ha.
Jenis batuan yang dominan pada kelas ini adalah satuan batuan Qyu
dengan luas 5262,12 Ha (34,34 %). Sedangkan untuk jenis tanah di dominasi oleh
jenis Latosol dengan luas 8133,66 Ha (53,08 %), 61,38 % (9405,63 Ha) dari luas
total areal penyebaran kelas kerawanan ini memiliki curah hujan 2500-
47
3000 mm/tahun. Berdasarkan topografi wilayah, seluas 8830,89 Ha (57 %) kelas
kerawanan ini berada pada topografi datar dengan kemiringan kurang dari 8 %.
c. Kelas Kerawanan Longsor Tinggi
Wilayah dengan kelas kerawanan longsor tinggi memiliki luas 21992,49
Ha. Jenis kelas ini sebagian besar berada di Kecamatan Argapura dengan luas
4876,29 Ha atau 22,17 % dari luas total areal penyebaran. Penutupan lahan berupa
hutan mendominasi pada kelas ini dengan luas 7574,67 Ha (34,52 %) kemudian
kebun 4520,97 Ha dan sawah dengan luas 4490,82 Ha. Sebagian besar kelas ini
berada pada wilayah dengan topografi terjal (15-30 %) dengan luas 9189,36 Ha
(41,88 %), kemudian pada topografi curam (30-45 %) dengan luas 4437,45 %.
Berdasarkan peta Geologi, satuan batuan Qvu merupakan jenis batuan
yang dominan pada kelas ini dengan luas 6964,56 Ha atau 31,74 % dari luas areal
penyebaran kelas ini. Jenis tanah Andosol merupakan jenis tanah yang dominan
dengan luas 8937,72 Ha. Curah hujan yang mendominasi kelas kerawanan ini
adalah curah hujan dengan intensitas 3000-3500 mm/tahun dengan luas 8033,94
Ha (36,61 %).
d. Kelas Kerawanan Longsor Sangat Tinggi
Wilayah yang termasuk kriteria Kerawanan Longsor Sangat Tinggi
memiliki luas areal penyebaran 6191,91 Ha atau 13,56 %. Kelas ini sebagian
besar terdapat di Kecamatan Argapura dengan luas 2811,78 Ha atau 45,41 %
dari luas total areal penyebarannya. Kelas ini sebagian besar
berada pada
wilayah dengan curah hujan 3000-3500 mm/tahun dengan luas 2793,15 Ha (44,85
%).
Jenis batuan yang dominan pada kelas ini adalah satuan batuan Qyu yang
merupakan batuan vulkanik dengan luas 1907,55 Ha atau 30,63 % dari luas total
area penyebaran kelas ini. Sedangkan untuk jenis tanah yang mendominasi kelas
ini adalah jenis tanah Andosol dengan luas tutupan 3707,05 Ha atau 59,46 % dari
luas total penyebaran kelas kerawanan longsor sangat tinggi. Berdasarkan
topografi wilayah, kelas kerawanan longsor sangat tinggi sebagian besar berada
pada wilayah sangat curam dengan kemiringan lebih dari 45 % yang memiliki
luas 3890,34 Ha atau 62,46 % dari luas total areal penyebaran kelas kerawanan
ini, kemudian pada topografi curam (30-45 %) dengan luas 1474,20 Ha.
48
4.3. Analisis Resiko Tanah Longsor
Adanya wilayah yang diidentifikasi memiliki tingkat kerawanan yang
tinggi terhadap bencana tanah longsor harus ditanggapi secara strategis, taktis dan
praktis sesuai dengan kebijakan, panduan serta kondisi lingkungan setempat untuk
mencegah atau memperkecil resiko, baik kerugian ekonomi, jiwa, sosial ataupun
fungsi lingkungan.
Berdasarkan hasil tumpang susun antara peta kerawanan tanah longsor
dengan peta penutupan lahan menggambarkan bahwa ada areal pusat kegiatan
masyarakat berupa wilayah pemukiman serta kawasan budidaya produktif
pertanian berupa sawah, kebun dan ladang yang berada pada wilayah dengan
tingkat kerawanan longsor tinggi dan sangat tinggi.
Untuk mengetahui seberapa besar resiko yang akan terjadi jika ada
bencana tanah longsor dibutuhkan pendekatan nilai resiko dapat dibuat dengan
cara tumpang susun Peta Properti dan Peta Tingkat Kerawanan.
Dalam proses pembentukan Peta Properti dilakukan mekanisme skoring
dengan memberikan skor berdasarkan kriteria penilaian pada masing-masing
parameter yaitu jenis infrastruktur, tipe jaringan jalan dan tipe penutupan lahan.
Kriteria penilaian yang digunakan meliputi fisik, manusia dan manfaat. Nilai skor
dinyatakan dalam angka tertentu berdasarkan nilai kegunaan yang dimilikinya
(Alhasanah 2006). Semakin tinggi nilai atau atribut yang dimiliki, maka semakin
tinggi nilai skor yang diberikan, begitu pula sebaliknya. Nilai skor yang
digunakan adalah 1 untuk properti bernilai rendah, 2 untuk properti bernilai
sedang, 3 untuk properti bernilai tinggi dan 4 untuk properti bernilai sangat tinggi.
Berdasarkan hasil tumpang susun untuk Peta Properti didapatkan klasifikasi kelas
properti dengan interval skor seperti tercantum pada Tabel 16 serta distribusi
spasial tiap kelas properti dapat dilihat pada Gambar 10.
Tabel 16 Interval Skor Kelas Properti
No
Interval
Kelas Properti
1.
3-8,25
Rendah
2.
8,25-13,5
Sedang
3.
13,5-18,75
Tinggi
4.
18,75-24
Sangat Tinggi
49
Gambar 10 Peta Properti.
50
.
Berdasarkan hasil analisis seperti tercantum pada Tabel 17, luas total
wilayah yang memiliki nilai properti rendah adalah 37.052,10 Ha atau 81,15%
dari luas total wilayah penelitian dan sebagian besar berada di Kecamatan
Argapura yaitu 20,11% dengan luas 7451,91 Ha. Sedangkan kecamatan yang
memiliki wilayah dengan nilai properti paling kecil adalah Cikijing dengan luas
2902,50 Ha (7,83%). Wilayah dengan nilai properti sedang memiliki luas total
7247,34 Ha dan areal penyebaran paling luas terdapat di Kecamatan Sukahaji
dengan luas 1366,00 Ha (18,85%), sedangkan wilayah yang memiliki sebaran
properti sedang paling kecil adalah Sindangwangi yaitu 561,15 Ha (7,71%).
Tabel 17 Distribusi Kelas Properti per Kecamatan
Luas Kelas Properti dalam Hektar
Kecamatan
Sukahaji
Argapura
Maja
Talaga
Banjaran
Cingambul
Cikijing
Sindangwangi
Rajagaluh
Luas (Ha)
%
Rendah
%
Sedang
%
Tinggi
%
5135,49
7451,91
5814,63
3173,58
3179,16
2919,51
2902,50
3508,20
2967,12
37052,10
81,15
13,86
20,11
15,69
8,57
8,58
7,88
7,83
9,47
8,01
100,00
1365,84
786,15
1066,32
752,22
599,13
662,94
878,13
561,15
575,46
7247,34
15,87
18,85
10,85
14,71
10,38
8,27
9,15
12,12
7,74
7,94
100,00
212,13
101,79
126,81
128,61
84,60
156,15
122,13
76,68
120,78
1129,68
2,47
18,78
9,01
11,23
11,38
7,49
13,82
10,81
6,79
10,69
100,00
Sangat Tinggi
29,88
9,45
21,51
19,17
32,67
42,03
28,44
17,19
29,52
229,86
0,50
%
13,00
4,11
9,36
8,34
14,21
18,29
12,37
7,48
12,84
100,00
Wilayah dengan nilai properti tinggi memiliki luas 1129,68 Ha (2,47%)
serta memiliki sebaran yang cukup merata di tiap Kecamatan. Sukahaji
merupakan yang memiliki sebaran areal dengan nilai properti tinggi yang paling
luas yaitu 212,13 Ha (18,78%) dan yang paling kecil adalah Sindangwangi
dengan luas areal sebaran 76,68 Ha (6,79).
Wilayah dengan nilai properti sangat tinggi merupakan memiliki luas total
areal penyebaran yang paling kecil dibanding wilayah dengan nilai properti yang
lain yaitu hanya memiliki luas 229,86 Ha atau 0,503% dari luas total area
penelitian. Sebesar 18,29% (42,03 Ha) dari areal penyebarannya berada di
Kecamatan Cingambul, sedangkan yang paling kecil berada di Argapura dengan
luas 9,45 Ha (4,11%).
51
Tumpang susun antara Peta Properti dan Peta Kerawanan menghasilkan
Peta Resiko dengan 4 kelas klasifikasi serta interval skor tiap kelas seperti
tercantum pada Tabel 18 serta distribusi spasial seperti terlihat pada Gambar 11.
Tabel 18 Interval Skor Kelas Resiko
No
Kelas Resiko
Interval Skor
Luas (Ha)
%
1.
Rendah
2-3
13212,36
28,93
2.
Sedang
4
31507,38
69,00
3.
Tinggi
5
806,94
1,77
4.
Sangat Tinggi
6-8
137,88
0,30
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa 69,00 % (31507,38 Ha) dari luas
wilayah penelitian merupakan areal dengan resiko sedang dan merupakan kelas
resiko yang paling luas area penyebarannya. Sedangkan sisanya merupakan
wilayah dengan resiko rendah 28,93% (13212,36 Ha), wilayah dengan resiko
tinggi yang memiliki luas 806,94 Ha (1,77%) serta wilayah resiko sangat tinggi
yang memiliki areal penyebaran paling kecil yaitu 137,88 Ha (0,30%).
Tabel 19 Distribusi Kelas Resiko per Kecamatan
Luas Kelas Resiko dalam Hektar
Kecamatan
Rendah
%
Sedang
%
Tinggi
%
Sangat Tinggi
%
Sukahaji
1889,28
14,30
4720,95
14,98
116,91
14,49
18,90
13,71
Argapura
414,63
3,14
7734,24
24,55
184,59
22,88
19,26
13,97
Maja
1087,11
8,23
5761,53
18,29
148,50
18,40
32,67
23,69
Talaga
2434,59
18,43
1598,40
5,07
36,90
4,57
4,77
3,46
Banjaran
1393,29
10,55
2399,67
7,62
87,75
10,87
11,52
8,36
Cingambul
2105,91
15,94
1636,92
5,20
31,32
3,88
6,30
4,57
Cikijing
2291,94
17,35
1591,65
5,05
44,28
5,49
3,24
2,35
Sindangwangi
1050,66
7,95
3028,41
9,61
70,11
8,69
14,76
10,70
Rajagaluh
544,95
4,12
3035,61
9,63
86,58
10,73
26,46
19,19
Luas (Ha)
13212,36
100,00
31507,38
100,00
806,94
100,00
137,88
100,00
Berdasarkan Tabel 19 serta analisis terhadap peta resiko longsor, sebagian
besar wilayah di areal penelitian memiliki resiko sedang dengan presentase
69,00% atau 31507,38 Ha dari luas total wilayah penelitian.
52
Gambar 11 Peta Resiko Bencana Tanah Longsor .
53
Areal penyebaran wilayah dengan resiko rendah yang paling besar berada
di Kecamatan Talaga dengan luas 2434,59 Ha (18,43%), sedangkan yang paling
kecil adalah Kecamatan Argapura 414,63 Ha (3,14%). Wilayah dengan resiko
sedang paling sempit adalah Cikijing dengan luas 1591,65 Ha (5,05%), sedangkan
Kecamatan Argapura merupakan wilayah yang memiliki kawasan resiko sedang
paling tinggi dengan luas 7734,24 Ha (24,55%).
Penyebaran wilayah dengan resiko tinggi yang paling luas berada di
Kecamatan Argapura yaitu 22,88% dengan luas 184,59 Ha, sedangkan Kecamatan
Cingambul merupakan dengan areal penyebaran wilayah resiko tinggi paling kecil
yaitu hanya 3,88% atau 31,32 Ha.
Areal penyebaran wilayah dengan resiko sangat tinggi yang paling besar
berada di Kecamatan Maja dengan luas 32,67 Ha (23,69%), kemudian Rajagaluh
dengan luas 26,46 Ha (19,19%), Argapura dengan luas 19,26 Ha (13,97%), dan
Sukahaji 13,71% (18,90 Ha). Sedangkan kecamatan dengan sebaran wilayah
dengan resiko sangat tinggi yang paling kecil adalah Kecamatan Cikijing 3,24 Ha
(2,35%).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Berdasarkan model pendugaan kerawanan tanah longsor Puslittanak
(2004), di lokasi penelitian diperoleh 4 kelas kerawanan longsor yaitu
kerawanan longsor rendah dengan luas 2160,45 Ha, kerawanan longsor
sedang 15319,71 Ha, kerawanan longsor tinggi 21992,49 Ha serta
kerawanan longsor sangat tinggi dengan luas 6191,91 Ha. Kecamatan
Argapura merupakan wilayah dengan tingkat kerawanan longsor sangat
tinggi yang paling luas yaitu 2811,78 Ha (45,41%).
2. Berdasarkan analisis peta resiko, wilayah penelitian memiliki luas areal
tingkat resiko rendah dengan luas 13212,36 Ha (28,93%), tingkat resiko
sedang memiliki luas 31507,38 Ha (69,00%), tingkat resiko tinggi 806,94
Ha (1,77%) dan tingkat resiko sangat tinggi 137,88 Ha (0,30%). Wilayah
yang memiliki tingkat resiko sangat tinggi paling luas adalah Kecamatan
Maja dengan luas 32,67 Ha (23,69%).
Saran
1. Pada wilayah dengan tingkat kerawanan sangat tinggi terutama Kecamatan
Argapura yang memiliki wilayah distribusi paling luas harus dilakukan
sosialisasi mitigasi bencana longsor, penggunaan dan pemanfaatan
sumberdaya alam yang mengikuti kaidah pelestarian lingkungan serta
larangan pembangunan pemukiman di kawasan dengan tingkat kerawanan
bencana sangat tinggi.
2. Diperlukan kebijakan yang jelas dalam pengelolaan wilayah berkaitan
dengan resiko bencana tanah longsor yang tinggi seperti relokasi
pemukiman yang berada di wilayah dengan tingkat kerawanan dan resiko
tinggi serta sangat tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Alhasanah. F. 2006. Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Bencana Tanah
Longsor serta Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi
Geografis. [Tesis]. Pascasarjana. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Anonim. 2002. Laporan Singkat Hasil Pemeriksaan Bencana Gerakan Tanah di
Kabupaten Sumedang,1985-2002. Direktorat Jenderal Geologi dan
Sumberdaya Lingkungan, Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi. Bandung.
Arini, D. I. D. 2005. Aplikasi SIG dan Penginderaan Jauh Untuk Model Hidrologi
Answer dalam Prediksi Erosi dan Sedimentasi. [Skripsi]. Jurusan
Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Aronnof, S. 1989. GIS A Manajemen Perspective. WDL Publication. Ottawa.
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.
Barus, B. 1999. Pemetaan Bahaya Longsoran Berdasarkan Klasifikasi Statistik
Peubah Tunggal Menggunakan SIG. J. Ilmu Tanah dan Lingkungan. 2:716.
Deputi Bidang Tata Lingkungan. 2007. Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(KHLS) Pilot Project Ciayumajakuning. Kementrian Negara Lingkungan
Hidup. Jakarta.
Dibyosaputro, S. 1999. Longsor Lahan di Daerah Kecamatan Semigaluh,
Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Majalah Geografi
Indonesia. Th. 13, No. 23. Maret: 13 – 34.
Direktorat Geologi Tata Lingkungan. 1981. Gerakan Tanah di Indonesia.
Direktorat Jenderal Pertambangan Umum. Departemen Pertambangan
Dan Energi. Jakarta.
Djumhana, D. 1998. Wilayah Tanah Longsor Di Jawa Barat Ditinjau Dari Segi
Kondisi Geologi. Makalah Teknik, No. 14 Tahun 7, Oktober: 1 – 5.
(DVMBG) Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2005.
Managemen
Bencana
Tanah
Longsor.
http://pikiranrakyat.com/cetak/2005/0305/22/0802.htm . Diakses 30 Juli 2007.
Febriana, Indra. 2004. Identifikasi dan Pemetaan Kawasan Rawan Bencana Tanah
Longsor Dengan Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh dan
Sistem Informasi Geografis. [Skripsi]. Jurusan Konservasi Sumberdaya
Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Geertman, S.C.M.; van Eck, J.R.R. 1995. GIS and Models of Accessibility
Potential: An Application in Planning. International Journal of
Geographical Information Systems. 9: 67-80.
Hermawan dan A. Darmawan. 2000. Pencegahan dan Penaggulanagan Longsoran
Pada Ruas Jalan Beton PC. IV PT. Badak NGL – Bontang, Kalimantan
Timur, Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral X Oktober: 20 – 30.
Howard, J.A. 1996. Penginderaan Jauh Untuk Sumberdaya Hutan: Teori dan
Aplikasi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Karnawati, D. 2003. Himbauan Untuk Antisipasi Longsoran Susulan. Tim
Longsoran Teknik Geologi UGM. Tidak Diterbitkan.
Lo, C. P. 1995. Penginderaan Jauh Terapan Terjemahan. Penerbit Universitas
Indonesia Jakarta.
Nandi. 2007. Longsor. http://file.upi.edu/Direktori/B%20-% 20FPIPS/JUR.%20
PEND. % 20 GEOGRAFI /197901012005011%20-%20NANDI/BUKU
%20LONGSOR .pdf_% 20Pengayaan % 20Geologi%20Lingkungan.pdf.
Diakses 12 mei 2008.
Paripurno, E.T. 2004. Partisipasi Masyarakat Dalam Penanggulangan Bencana
Longsor, Dalam Permasalahan, Kebijakan dan Penanggulangan Bencana
Tanah Longsor di Indonesia. P3-TPSLK BPPT dan HSF. Jakarta
Purwonegoro, H. 2005. Evaluasi Kawasan Lindung dengan Menggunakan Citra
Satelit Landsat ETM dan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus di
Wilayah Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur). [Skripsi]. Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan. IPB. Bogor.
(Puslittanak) Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2004.
Laporan Akhir Pengkajian Potensi Bencana Kekeringan, Banjir dan
Longsor di Kawasan Satuan Wilayah Sungai Citarum-Ciliwung, Jawa
Barat Bagian Barat Berbasis Sistem Informasi Geografi. Bogor.
Prahasta, E. 2001. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Informatika
Bandung. Bandung.
Sadisun. 2005. Usaha Pemahaman terhadap Stabilitas Lereng dan Longsoran
sebagai Langkah Awal dalam Mitigasi Bencana Longsoran
http//:www.sadisun.enggeol.org/pdf/2005-Workshop-Longsoran-IAS.pdf.
Diakses 25 Juni 2008.
Savitri, Evi. 2007. Analisis Pemanfaatan Ruang dalam Kaitan dengan Resiko
Tanah Longsor di Kabupaten Tanah Datar. [Tesis]. Pascasarjana
Pengelolaan Sumberdaya Lahan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Scholten, H.J. dan J.C.H. Stillwell. 1990. Geographical Information System for
Urban and Regional Planning. Kluwer academic Publishers. Boston.
Suripin. 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. ANDI Yogyakarta.
Surono. 2009.Jabar Terbanyak Korban Longsor. http://www .ahmadheryawan
.com/lintas
jabar/lingkungan-hidup/1603-jabar-terbanyak-korbanlongsor.html. Diakses 23 Maret 2009.
Sutikno. 1999. Penanggulangan Bencana Tanah Longsor. Buletin Geologi Tata
Lingkungan. Vol. 11 No. 3. Desember: 159 – 165.
Tim Sebelas. 2003. Keputusan Alam Semakin Nyata: Evaluasi Musibah Tanah
Longsor dan Banjir Bandang di Gunung Mandalawangi, Kabupaten
Garut, Jawa Barat. Tidak Diterbitkan.
(UNDRO) Office of The United Nations Disaster Relief Co-Ordinator.1991.
Mitigating Natural Disasters Phenomena, Effect, and Options : A
Manual for Policy Makers and Planners. United Nations. New York.
Wilopo, W. dan H. Agus. 2004. Bencana Alam Longsor di Indonesia ; Kasus
Longsoran Yang Terjadi di Kabupaten Purworejo dan Gunung Kidul.
Yogyakarta.
LAMPIRAN
59
Lampiran 1 Report Hasil Akurasi Klasifikasi Citra Landsat
CLASSIFICATION ACCURACY ASSESSMENT REPORT
----------------------------------------Image File : d:/dat/cliptnh/coba/asssuuuu.img
User Name : HAMID DOW
Date
: Sat Dec 19 02:27:31 2009
ERROR MATRIX
Classified Data
--------------no data
hutan
kebun
sawah
ladang
semak belukar
pemukiman
lahan kosong
tubuh air
awan
bayangan awan
Reference Data
-------------no data
hutan
kebun
sawah
---------- ---------- ---------- ---------1
0
0
0
0
4
3
0
0
3
6
0
0
0
0
10
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
0
Column Total
1
Classified Data
--------------no data
hutan
kebun
sawah
ladang
semak belukar
pemukiman
lahan kosong
tubuh air
awan
bayangan awan
Reference Data
-------------ladang semak belu pemukiman lahan koso
---------- ---------------------------0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
9
1
0
0
2
10
0
0
0
0
6
2
0
1
2
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Column Total
11
Classified Data
--------------no data
hutan
kebun
sawah
ladang
semak belukar
pemukiman
lahan kosong
tubuh air
awan
bayangan awan
Reference Data
-------------tubuh air
awan bayangan a
---------- ---------- ---------0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3
0
0
5
0
0
0
0
0
0
0
0
Column Total
7
12
9
12
8
3
0
0
69
----- End of Error Matrix -----
6
Row Total
---------1
7
9
11
10
12
8
6
60
ACCURACY TOTALS
---------------Class
Name
---------no data
hutan
kebun
sawah
ladang
semak belukar
pemukiman
lahan kosong
tubuh air
awan
bayangan awan
Reference
Totals Totals
---------- ---------1
7
9
12
11
12
8
6
3
0
0
Totals
69
Overall Classification Accuracy =
ClassifiedNumber ProducersUsers
Correct Accuracy
Accuracy
--------------- ----1
1
----57,14%
57,14%
7
4
9
6
66,67%
66,67%
11
10
83,33%
90,91%
10
9
81,82%
90,00%
12
10
83,33%
83,33%
8
6
75,00%
75,00%
6
3
50,00%
50,00%
5
3
100,00%
60,00%
0
0
----0
0
----69
52
75,36%
----- End of Accuracy Totals -----
KAPPA (K^) STATISTICS
--------------------Overall Kappa Statistics = 0,7159
Conditional Kappa for each Category
-----------------------------------Class Name
---------no data
hutan
kebun
sawah
ladang
semak belukar
pemukiman
lahan kosong
tubuh air
awan
bayangan awan
Kappa
----1
0,523
0,6167
0,89
0,881
0,7982
0,7172
0,4524
0,5818
0
0
----- End of Kappa Statistics -----
61
Lampiran 2 Gambar Penutupan Lahan
Semak Belukar
Semak Belukar
Sawah
Sawah
Ladang
Ladang
62
Hutan Alam
Hutan Tanaman
Lahan Kosong
Kebun Campuran
Pemukiman
Pemukiman
Download