kinerja pelayan publik: pengalaman beberapa negara

advertisement
REFORMASI MANAJEMEN KEUANGAN PEMERINTAH :
SEBUAH TINJAUAN
Awan Setiawan *)
Pengantar
Tulisan ini diharapakan dapat menjadi input bagi para perencana di Bappenas
khususnya dalam pelaksanaan 3 (tiga) agenda Repenas Transisi, yang salah satunya adalah
“mempercepat reformasi”, yang dalam tulisan ini fokus pada manajemen keuangan
pemerintah. Walapun informasi yang disampaikan tidak cukup komprehensif, namun menurut
hemat kami isu tersebut masih cukup aktual, terutama mendorong Reposisi Bappenas dan
kembali kepada track yang benar.
Pendahuluan
Manajemen keuangan pemerintah merupakan salah satu kunci penentu keberhasilan
pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan dalam kerangka nation and state building.
Adanya manajemen keuangan pemerintah yang baik akan menjamin tercapainya tujuan
pembangunan secara khusus, dan tujuan berbangsa dan bernegara secara umum. Karenanya,
langkah-langkah strategis dalam konteks penciptaan, pengembangan, dan penegakan sistem
manajemen keuangan yang baik merupakan tuntutan sekaligus kebutuhan yang semakin tak
terelakkan dalam dinamika pemerintahan dan pembangunan.
Munculnya perhatian yang besar akan pentingnya manajemen keuangan pemerintah
dilatarbelakangi oleh banyaknya tuntutan, kebutuhan atau aspirasi yang harus diakomodasi di
satu sisi, dan terbatasnya sumberdaya keuangan pemerintah di sisi lain. Dengan demikian,
pencapaian efektivitas dan efisiensi keuangan pemerintah semakin mengemuka untuk
diperjuangkan perwujudnya.
Dalam upaya perwujudan manajemen keuangan pemerintah yang baik, terdapat pula
tuntutan yang semakin aksentuatif untuk mengakomodasi, menginkorporasi, bahkan
mengedepankan nilai-nilai good governance. Beberapa nilai yang relevan dan urgen untuk
diperjuangkan adalah antara lain transparansi, akuntabilitas, serta partisipasi masyarakat
dalam proses pengelolaan keuangan dimaksud, disamping nilai-nilai efektivitas dan efisiensi
tentu saja. Dalam konteks yang lebih visioner, manajemen keuangan pemerintah tidak saja
harus didasarkan pada prinsip-prinsip good governance, tetapi harus diarahkan untuk
mewujudkan nilai-nilai dimaksud.
Sebagaimana dibahas dalam artikel Mulia P. Nasution berjudul “Reformasi
Manajemen Keuangan Pemerintah” (Jurnal Forum Inovasi, Desember – Februari 2003),
pemerintah Indonesia sebenarnya sudah memberi perhatian yang sungguh-sungguh untuk
mengakomodasi dan mewujudkan harapan dan tuntutan di atas. Upaya mewujudkan
manajemen keuangan pemerintah yang baik, antara lain, diperjuangkan dengan
memperhatikan prinsip dan nilai-nilai good governance. Yang selama ini sudah dilakukan
adalah dengan membahas RUU Keuangan Negara yang sudah diundangkan DPR pada tanggal
*)
Awan Setiawan, SE, MM adalah Kepala Seksi di Direktorat Kerjasama Pembangunan Sektoral dan Daerah Kantor
Meneg PPN/Bapppenas & Mahasiswa Program Pasca Sarjana MPKP Universitas Indonesia (UI)-red
9 Maret 2003 lalu (jadi setelah artikel ini ditulis) menjadi UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara. Terdapat 4 prinsip dasar pengelolaan keuangan negara yang menjadi fokus
perhatian utama dalam UU ini, yaitu (1) akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja, sehingga
muncul kerangka kerja baru dengan nama “Anggaran Berbasis Kinerja (Performance
Budget)” yang pada saat ini sedang diujicobakan pelaksasanaannya dan diharapkan dimulai
pada tahun anggaran 2005; (2) keterbukaan dan setiap transaksi keuangan pemerintah; (3)
pemberdayaan manajer profesional; dan (4) adanya lembaga pemeriksa eksternal yang kuat,
profesional, dan mandiri serta dihindarinya duplikasi dalam pelaksanaan pemeriksaan (double
accounting). Berdasarkan keempat prinsip tersebut, maka artikel ini menempatkan reformasi
perbendaharaan dan reformasi di bidang auditing sebagai agenda yang mendesak.
Urgensi
Pentingnya reformasi keuangan pemerintah dengan beberapa bidang di atas sebagai
fokusnya, dalam penilaian penulis ini, dilatarbelakangi oleh beberapa pertimbangan strategis
yang terutama diwakili oleh luasnya skala persoalan yang harus diatasi. Persoalan-persoalan
dimaksud antara lain :
Pertama, rendahnya efektivitas dan efisiensi penggunaan keuangan pemerintah akibat
maraknya irasionalitas pembiayaan kegiatan negara. Kondisi ini disertai oleh rendahnya
akuntabilitas para pejabat pemerintah dalam mengelola keuangan publik. Karenanya, muncul
tuntutan yang meluas untuk menerapkan sistem anggaran berbasis kinerja.
Kedua, tidak adanya skala prioritas yang terumuskan secara tegas dalam proses
pengelolaan keuangan negara yang menimbulkan pemborosan sumber daya publik. Selama
ini, hampir tidak ada upaya untuk menetapkan skala prioritas anggaran di mana ada
keterpaduan antara rencana kegiatan dengan kapasitas sumber daya yang dimiliki. Juga harus
dilakukan analisis biaya-manfaat (cost and benefit analysis) sehingga kegiatan yang
dijalankan tidak saja sesuai dengan skala prioritas tetapi juga mendatangkan tingkat
keuntungan atau manfaat tertentu bagi publik.
Persoalan ketiga yang menuntut dilakukannya reformasi manajemen keuangan
pemerintah adalah terjadinya begitu banyak kebocoran dan penyimpangan, misalnya sebagai
akibat adanya praktek KKN.
Keempat dan terakhir adalah rendahnya profesionalisme aparat pemerintah dalam
mengelola anggaran publik. Inilah merupakan sindrom klasik yang senantiasa menggerogoti
negara-negara yang ditandai oleh superioritas pemerintah. Dinamika pemerintah, termasuk
pengelolaan keuangan di dalamnya, tidak dikelola secara profesional sebagaimana dijumpai
dalam manajemen sektor swasta. Jarang ditemukan ada manajer yang profesional dalam
sektor publik. Bahkan terdapat negasi yang tegas untuk memasukkan kerangka kerja sektor
swasta ke dalam sektor publik di mana nilai-nilai akuntabilitas, profesionalisme, transparansi,
dan economic of scale menjadi kerangka kerja utamanya.
Dengan memperhatikan beberapa patologi tersebut, artikel ini sampai pada beberapa
rekomendasi strategis yang pada intinya ingin mengembalikan manajemen keuangan
pemerintah dalam bentuk anggaran sebagai alat akuntabilitas, manajemen dan kebijakan
ekonomi yang sehat.
Menarik dari pembahasan penulis ini adalah adanya upaya untuk memisahkan secara
tegas antara kewenangan administratif dan kewenangan kebendaharaan. Dalam penilaian
penulis ini kewenangan administratif seyogyanya berada dan diatur oleh masing-masing
departemen/lembaga pemerintah, sementara kewenangan kebendaharaan berada di tangan
Menteri Keuangan. Kewenangan administratif meliputi otoritas untuk melakukan perikatan
(kontrak) atau tindakan-tindakan lain yang mengakibatkan terjadinya penerimaan atau
pengeluaran negara serta perintah untuk melakukan pembayaran atau menagih penerimaan
yang timbul sebagai konsekuensi dari suatu perikatan. Sedangkan kewenangan kebendaharaan
meliputi tidak boleh secara sempit ditafsirkan sebagai sekedar fungsi kasir untuk
membayarkan tagihan atau mengelola penerimaan, tetapi juga meliputi otoritas untuk meneliti
kebenaran penerimaan dan pengeluaran tersebut. Dalam konteks ini, Menteri Keuangan
bertindak sebagai kasir, pengawas, sekaligus sebagai fund manager.
Pembagian yang demikian sangat menarik untuk dibahas sejalan dengan munculnya
kontroversi yang luas pasca diundangkannya UU Nomor 17 Tahun 2003. Bagi mereka yang
pro dengan UU tersebut, Menteri Keuangan dan Departemen Keuangan sudah saaatnya diberi
kewenangan yang lebih luas, tidak saja untuk mengelola keuangan negara an sich tetapi juga
melakukan verifikasi atas penerimaan dan pengeluaran tersebut serta otoritas di bidang
perencanaan yang secara langsung maupun tidak langsung akan menghapus – atau tepatnya
mengurangi – peran dan fungsi Bappenas serta keberadaan BUMN lainnya (Kontan, 24 Maret
2003, Republika, 15 April 2003, Koran Tempo 27 Maret 2003). Argumentasi yang demikian
dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa badan yang mengelola anggaran seharusnya
dilibatkan secara aktif untuk turut menentukan perencanaan pembangunan. Dengan demikian,
ada sinergi dan rasionalitas yang tinggi antara rencana kegiatan yang diusulkan dengan
kapasitas anggaran yang tersedia.
Sementara itu muncul juga kelompok kedua yang menentang diberlakukannya UU ini.
Bagi mereka, mendelegasikan wewenang penganggaran dan perencanaan yang begitu besar
kepada Departemen Keuangan sama halnya dengan memberi “cek kosong” kepada lembaga
tersebut. Argumentasi ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa, pertama, penyerahan
mandat absolut kepada Departemen Keuangan jelas sangat bertentangan dengan prinsip
pemerintahan yang baik (good governance), terutama transparansi dan akuntabilitas. Adanya
wewenang perencanaan dan penganggaran pada satu lembaga akan menyebabkan tidak
bekerjanya mekanisme check and balance, dan kedua, UU tersebut secara langsung telah
mempreteli hak prerogatif presiden dalam melakukan reorganisasi dan restrukturisasi
Kementerian Negara; dan ketiga, Departemen Keuangan diidentifikasi sebagai salah satu
pusat masalah dalam pengelolaan anggaran di Indonesia sehingga sangat tidak bijak untuk
mendelegasikan wewenang yang besar kepada sebuah lembaga yang memang bermasalah
(Forum Indonesia Raya, 2003).
Terlepas dari pro dan kontra di atas, UU tersebut sebenarnya ingin mengintroduksi
sebuah kerangka kerja baru yang bersemangatkan nilai-nilai good governance, terutama
efektivitas dan efisiensi walaupun kurang memberikan garansi bagi terwujudnya akuntabilitas
dan transparansi karena absennya mekanisme check and balance. UU ini berusaha mendorong
terwujudnya suatu kerangka hukum yang jelas tentang tata cara pengelolaan keuangan negara
yang bersih dari korupsi, penyelewengan, atau penyimpangan. Misalnya ada ketentuan untuk
membatasi defisit anggaran sebesar maksimum 60% dari PDB dan dalam penyusunan APBD,
defisit anggaran tidak boleh melebihi 3% dan utang tidak boleh melebihi 60% dari PDRB.
UU tersebut sekaligus mengganti pedoman pelaksanaan keuangan negara yang masih
merupakan warisan Hindia Belanda, yaitu ICW Stbl 1925 Nomor 448.
Semangat baru yang dikedepankan oleh UU ini adalah adanya pengawasan yang
semakin meningkat dimana diamanatkan bahwa laporan kepada badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) harus diajukan selambat-lambatnya 6 bulan setelah tahun anggaran berakhir. Demikian
juga, para pejabat maupun publik yang terbukti merugikan keuangan negara diwajibkan untuk
mengganti kerugian dimaksud (Pasal 35 Ayat 1). Demikian halnya dengan kemungkinan
untuk menuntut bendahara negara secara pribadi yang terbukti melakukan kelalaian,
penyelewengan, atau korupsi termasuk kewajiban untuk mengganti kerugian atas keuangan
negara (Sinar Harapan, 6 Mei 2003).
Selain nilai-nilai yang diperjuangkan melalui UU di atas, ada juga langkah maju –
walaupun masih pada tataran wacana – yang sedang diupayakan dan menjadi kesepakatan
semua pihak, yaitu perlunya upaya untuk mengefektifkan fungsi pengawasan dan
pemeriksaan pengelolaan keuangan negara. Selama ini, fungsi tersebut dijalankan oleh BPKP
sebagai state auditor. Lembaga ini diberi kewenangan untuk melakukan verifikasi atas semua
pos penerimaan dan pengeluaran pembangunan negara yang dilakukan setiap akhir tahun
anggaran. Banyak temuan yang berhasil menyelamatkan sumberdaya negara, walaupun tidak
sedikit juga yang luput dari pengawasan. Pembenahan internal dalam tubuh BPKP mutlak
dilakukan karena lembaga yang dianggapa sebagai benteng terakhir dalam manajemen
keuangan negara ini juga tidak lepas dari masalah. Muncul penilaian bahwa BPKP adalah
bagian dari masalah (a part of the problem). Lembaga itu tidak jarang terlibat dalam
konspirasi dengan pihak kedua yang sangat merugikan keuangan negara.
Jika BPKP sebagai state auditor masih terbelit pada berbagai masalah, maka salah
satu alternatif yang bisa ditempuh adalah dengan mendayagunakan independent external
auditor. Ini merupakan lembaga pemeriksa independen yang berasal dari luar pemerintah
semisal konsultan-konsultan akuntansi publik yang kini banyak berkembang. Banyak contoh
yang memperlihatkan bagaimana kiprah dan kontribusi positif lembaga-lembaga tersebut
dalam menyelematkan keuangan negara. Sebut saja apa yang dilakukan Anderson
Counsultant, sebuah perusahaan konsultan internasional, yang berhasil membongkar kroni
Soeharto. Lembaga-lembaga semacam itu bisa dipekerjakan untuk menopangan kinerja
keuangan pemerintah.
Apa yang telah dipaparkan di atas tidak hanya menjadi pekerjaan rumah pemerintah
pusat. Bersamaan implementasi otonomi daerah, reformasi manajemen keuangan pemerintah
perlu juga dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Bahkan reformasi keuangan pemerintah
daerah semakin mendesak dilakukan mengingat masih terbatasnya kemampuan manajemen
keuangan di kalangan pemerintah daerah di satu sisi, dan semakin banyaknya anggaran
pembangunan dan pelayanan publik yang mengalir ke daerah menyusul implementasi
otonomi daerah di sisi lain. Gejala-gejala KKN dalam manajemen keuangan daerah, proses
tender yang tidak terbuka, dan parktek-praktek manipulatif lainnya kini sudah semakin
merebak di daerah. Muncul pula keluhan bahwa implementasi otonomi daerah hanya
memindahkan borok permasalah dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah justru
ketika masyaraklat semakin mengharapkan kondisi kehidupan dan kesejahteraan yang
semakin baik. Fasilitasi yang dilakukan oleh World Bank bekerjasama dengan Bappenas,
Departemen Dalam Negeri, dan Departemen Keuangan RI dalam skema program Initiatives
for Local Governance Reform (ILGR) adalah dalam kerangka penegakan transparansi dan
akuntabilitas pengelolaan keuangan negara itu.
Di atas semua itu, tulisan singkat ini juga memberikan perhatian khusus pada
penegakan integritas dan profesionalisme SDM aparat pelaksana. Bagaimanapun idealnya
sebuah aransemen kebijakan, jika tidak didukung oleh kapasitas dan moral pejabat yang baik
maka kebijakan tersebut tidak akan banyak bermanfaat. Langkah-langkah capacity building
untuk peningkatan profesionalisme aparat pelaksana, baik yang berwenang mengelola
keuangan negara maupun pejabat yang menggunakannya, sangat mendesak dilakukan karena
diidentifikasi bahwa salah satu persoalan yang menimbulkan kesemrawutan pengelolaan
keuangan pemerintah terletak pada rendahnya kapasitas aparat. Pemberdayaan kapasitas
aparat tersebut, sekali lagi, tidak hanya terbatas pada aparat di pusat tetapi juga aparat daerah.
Hanya jika terdapat SDM yang memiliki integritas dan moral yang tinggi serta kemampuan
manajerial dan operasional yang tinggi baru langkah-langkah reformasi keuangan pemerintah
yang telah dirumuskan dalam berbagai paket kebijakan tersebut berhasil diimplementasikan.
Kesimpulan
Dari beberapa poin yang disampaikan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut.
Pertama, langkah-langkah reformasi keuangan pemerintah sangat diperlukan
mengingat banyaknya persoalan yang berkembang pada sektor itu seperti rendahnya tingkat
efektivitas dan efisiensi pemanfaatan anggaran, irasionalitas dalam pengelolaan, serta
banyaknya penyimpangan atau penyalahgunaan.
Kedua, langkah-langkah reformasi keuangan pemerintah harus dituntun oleh dan
diarahkan menuju terwujudnya nilai-nilai good governance yang dilakukan secara serentak
baik di pusat maupun daerah.
Ketiga, mengingat masalah kebendaharaan dan auditing dilihat sebagai dua titik
terlemah dalam manajemen keuangan pemerintah, maka langkah-langkah reformasi harus
diarahkan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Untuk masalah kebendaharaan, langkah
reformasi bisa dilakukan dengan menegakkan sistem check and balance di mana ada
pembagian peran yang jelas antara Departemen Keuangan dan departemen teknis lainnya.
Pembagian kerja dimaksud tetap harus diarahkan pada perwujudan efisiensi dan efektivitas
pengelolaan anggaran di samping adanya jaminan transparansi dan akuntabilitas.
Keempat, di luar berbagai paket kebijakan yang sudah bagus, diperlukan satu langkah
lagi yang sangat menentukan yaitu peningkatan kapasitas aparat, baik yang berhubungan
langsung dengan pengelolaan anggaran maupun tidak langsung. Kunci keberhasilan reformasi
manajemen keuangan daerah tidak hanya terletak pada kebijakan yang didesain dengan baik
tetapi juga pada SDM yang akan mengimplementasikanī‚ˇ
Download