BAB III KESIMPULAN DAN SARAN Analisis yang telah dilakukan terhadap novel Allah n’est pas obligé menghasilkan kesimpulan bahwa teori naratologi, poskolonial, dan identitas berhasil mengungkap kolonialisme dan pembentukan identitas dalam novel tersebut. Tema poskolonial beserta pengaruh kolonialisme muncul secara implisit melalui narasi yang disampaikan oleh narator yang juga berperan sebagai tokoh utama bernama Birahima. Narator homodiegetik sekaligus autodiegetik digunakan oleh pengarang agar pembaca menyelami semua peristiwa yang dilihat, dirasakan, dan dialami oleh Birahima sehingga pembaca seolah dipaksa untuk fokus terhadap perasaan Birahima. Narator menceritakan pengalaman hidupnya dengan menggunakan bahasa Prancis yang sederhana serta bahasa Malinke untuk menunjukkan identitasnya sebagai suku Malinke yang terkena dampak kolonialisme Prancis. Cerita dalam novel ini disampaikan dengan alur campuran atau tidak sesuai dengan urutan kronologis. Narator menyampaikan pengalaman tersebut secara acak sesuai dengan suasana hatinya kepada seorang narratee. Hal ini menimbulkan kesan bahwa cerita disampaikan secara lisan. Selain menceritakan kisah hidupnya, narator juga bercerita tentang kisah hidup temantemannya sesama tentara anak dan para diktator di Afrika. Teknik penceritaan yang digunakan pengarang tersebut membuat kisah Birahima seolah nyata atau benar-benar terjadi. 68 Pengaruh kolonialisme yang ditemukan dalam novel adalah konstruksi identitas dan stereotip kulit hitam, kemiskinan, kepercayaan terhadap hal-hal irasional, rasisme, dan perubahan identitas. Penjajahan dan perbudakan terhadap kulit hitam yang dilakukan kulit putih pada jaman dahulu mempengaruhi munculnya stereotip buruk terhadap kulit hitam. Stereotip negatif terhadap kulit hitam ini muncul karena identitas mereka yang dikonstruksi oleh kulit putih. Misalnya, dalam novel, narator menunjukkan hal tersebut dengan pemakaian bahasa Prancis yang sederhana dan tidak sesuai dengan aturan tata bahasa Prancis. Hal ini menunjukkan identitas kaum kulit hitam yang mengalami keterbelakangan intelektual. Identitas ini sengaja dikonstruksi agar mereka tidak bisa melawan kesuperioran kaum penjajah. Kolonialisme juga mempengaruhi masyarakat terjajah dalam bidang ekonomi. Adanya konstruksi identitas yang melahirkan stereotip buruk terhadap kaum kulit hitam membuat mereka terbatasi perkembangannya dalam berbagai hal, salah satunya dalam bidang ekonomi. Identitas kulit hitam sebagai bangsa yang miskin ditunjukkan melalui kehidupan Birahima semasa hidup di desa. Birahima hidup sederhana di sebuah gubuk bersama ibunya yang sedang sakit. Keadaan ekonomi yang rendah juga ditunjukkan dengan pengobatan tradisional yang dijalani ibu Birahima bersama seorang dukun. Akibat keadaan ini Birahima kehilangan ibunya dan harus mencari bibinya agar mendapat pengasuh. Kulit hitam identik dengan stereotip mereka sebagai bangsa yang mempunyai kepercayaan terhadap sihir, benda gaib, jimat, ritual-ritual, dan halhal supernatural lainnya. Kepercayaan tersebut diwariskan secara turun-temurun 69 sehingga masih dimiliki sampai generasi sekarang. Pemikiran primitif dan irasional tersebut ditanamkan dan dibiarkan berkembang oleh kaum penjajah agar masyarakat terjajah menjaga kelangsungan proses kolonialisme. Kolonialisme juga mempengaruhi timbulnya rasisme karena adanya dinding yang membedakan bangsa timur dan bangsa barat atau kulit hitam dan kulit putih. Bangsa barat dan kulit putih dianggap lebih baik dari segala aspek daripada bangsa kulit hitam atau bangsa timur. Pembedaan tersebut menciptakan kelompok-kelompok ras yang berkembang menjadi rasisme. Dalam novel, rasisme ditunjukkan melalui perseteruan antar suku karena kulit hitam pribumi merasa diperlakukan tidak adil oleh kaum Afro-Amerika. Perseteruan ini menjadi semakin rumit dan berkembang menjadi perang saudara. Situasi Afrika Barat pada masa poskolonial menjadi tidak stabil dengan adanya konflik dan perang saudara. Hal tersebut membuat Birahima yang sedang melakukan perjalanan mencari bibinya terjebak menjadi tentara anak. Ketidakstabilan situasi ini juga membuatnya berpindah-pindah dari satu pasukan tentara ke pasukan yang lain. Banyaknya interaksi dengan tentara-tentara dan para pemimpin yang kejam membuat Birahima menyesuaikan identitasnya menjadi serupa dengan mereka. Setelah menjadi tentara anak, Birahima melakukan tindakan kriminal seperti mencuri, memakai obat-obatan terlarang, menyiksa dan membunuh. Interaksi tersebut juga membuat Birahima tidak lagi memiliki kepercayaan terhadap hal-hal irasional. Allah n’est pas obligé d’être juste dans toutes ses choses ici-bas merupakan judul yang dipilih Birahima untuk mewakili kisah hidup yang ia 70 ceritakan. Kalimat tersebut menggambarkan kekuasaan kaum penjajah terhadap kaum terjajah khususnya bangsa kulit hitam di Afrika Barat dengan menanamkan kepercayaan kepada mereka untuk menerima takdir Tuhan sesuai dengan ajaran agama mereka agar masyarakat terjajah bersikap pasrah dan tidak menyalahkan penjajah atas penderitaan dan kesedihan yang disebabkan oleh kolonialisme. Ahmadou Kourouma, sebagai seorang muslim, mencoba menyampaikan pesan religius kepada pembaca melalui tokoh Birahima. Pesan dalam novel adalah manusia tidak boleh hanya berdiam diri menerima takdir karena Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka. Oleh karena itu, sebagai makhluk Allah, manusia harus selalu berusaha. Hasil analisis yang telah dipaparkan telah menjawab dua permasalahan dalam penelitian, yaitu tentang teknik penceritaan dan pengaruh kolonialisme serta pembentukan identitas tokoh dalam novel Allah n’est pas obligé. Penelitian ini belum membahas hal-hal menarik lain yang dapat ditemukan dalam novel Allah n’est pas obligé, misalnya psikologi tokoh, religiusitas, dan pembahasan dengan pendekatan sosiologi sastra. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya diharapkan dapat membahas tema tersebut atau tema menarik lainnya yang masih bisa digali dari novel Allah n’est pas obligé. 71