Level Perkembangan Moral Kognitif Akuntan Dalam Pengambilan

advertisement
II. KERANGKA TEORITIS DAN HIPOTESIS
Perkembangan
Moral
Kognitif
Akuntan
Dan
Permasalahan Akuntansinya
Saat ini profesi akuntan menjadi sorotan tajam karena
munculnya “malpraktik akuntansi” yang merugikan banyak
pihak. Sehingga profesi akuntan baik itu auditor internal
maupun auditor eksternal dituntut untuk bekerja secara
profesional dengan mengutamakan etika. Namun seringkali
dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, seorang
akuntan
diperhadapkan
dalam
situasi
munculnya
pertimbangan untuk melakukan sesuatu dan pertimbangan
untuk tidak melakukan sesuatu. Situasi inilah yang disebut
sebagai dilema etis. Dilema etis merupakan sebuah masalah
yang muncul akibat pertimbangan untuk bertindak dengan
cara tertentu dan diimbangi dengan pertimbangan untuk tidak
melakukannya (Duska et al., 2011).
Sebagai profesional, akuntan saat ini mengalami
peningkatan peran dalam pengambilan keputusan (IFAC,
2004). Pengambilan keputusan yang etis dipengaruhi oleh
perkembangan moral kognitif dari akuntan itu sendiri.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah ada
perbedaan level perkembangan moral kognitif dari auditor
eksternal dan auditor internal dalam pengambilan keputusan
etis. Meskipun kedua profesi tersebut memiliki perbedaaan
karakteristik, peran dan tanggung jawab baik auditor internal
maupun auditor eksternal keduanya saling membutuhkan
untuk membantu menghasilkan laporan audit dan tata kelola
perusahaan yang baik.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan level
perkembangan moral kognitif akuntan yaitu auditor internal
dan auditor eksternal dalam pengambilan keputusan etis pada
saat menghadapi dilema etis pada saat mereka melakukan
penugasan dalam suatu perusahaan. Hasil penelitian ini
diharapkan memberikan kontribusi dalam fakta tentang
perkembangan moral akuntan di Indonesia, serta mendorong
upaya peningkatan kesadaran pentingnya perkembangan moral
akuntan dalam bidang bisnis saat ini. Kontribusi yang dapat
diberikan dalam penelitian ini adalah mendorong perusahaan
untuk lebih selektif dalam perekrutan karyawan sebagai
auditor supaya memiliki auditor dengan moral kognitif yang
tinggi. Sehingga dapat menjalankan tugas dan tanggung jawab
dengan menjunjung etika dan kode etik profesi yang berlaku,
serta dapat mengambil keputusan etis pada saat menghadapi
dilema etis. Selain itu, mendorong perusahaan untuk
menyadari pentingnya penerapan etika dan kode etik yang
ketat supaya perusahaan dapat menjalankan bisnis etis.
Dilema Etis, Keputusan Etis Dan Perkembangan Moral
Kognitif Akuntan
Dilema etis sering kali dihadapi oleh banyak profesi
pekerjaan. Dilema etis muncul ketika ketaatan terhadap prinsip
menimbulkan penyebab konflik dalam bertindak. Setiap
profesi diharapkan mampu mengambil keputusan yang etis
ketika menghadapi dilema etis dalam menjalankan tanggung
jawabnya. Keputusan etis (ethical decision) adalah keputusan
yang baik secara legal maupun moral yang dapat diterima oleh
masyarakat luas (Trevino, 1986).
Kohlberg (1995) dalam
Wisesa (2011) mengatakan keputusan moral (etis) bukanlah
soal perasaan atau “nilai’, melainkan selalu mengandung
tafsiran kognitif terhadap dilema moral (etika). Pengambilan
keputusan etis melibatkan proses penalaran etis yang
didalamnya mengolaborasi kesadaran moral dan kemampuan
moral kognitif seseorang yang pada akhirnya diwujudkan di
dalam proses tindakan sebagai bentuk implementasi keputusan
yang diambil. Akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga
standar perilaku etis tertinggi mereka kepada organisasi di
mana mereka bernaung, profesi mereka, masyarakat dan diri
mereka sendiri.
Akuntan
mempunyai
tanggung
jawab
menjadi
kompeten dan untuk menjaga integritas dan obyektivitas
mereka (Husein, 2008). Akuntan dituntut untuk dapat
mengambil keputusan yang etis pada saat diperhadapkan
dengan dilema etis. Perkembangan moral kognitif dapat
berpengaruh terhadap keputusan yang diambil oleh akuntan
ketika
menghadapi
dilema
etis.
Ketika
seseorang
diperhadapkan pada sebuah dilema etika, maka individu
tersebut akan mempertimbangkan secara kognitif dalam
benaknya (Abdurrahman dan Yuliani, 2011).
Dilema Etis dan Perkembangan Moral Kognitif Auditor
Internal
Auditor internal sebagai salah satu pembuat keputusan
akan mempengaruhi kebijakan organisasi dalam mencapai
suatu tujuan yang telah ditetapkan sehingga peran auditor
internal menjadi penting (Abdurrahman dan Yuliani, 2011).
Tugas auditor internal adalah melakukan pemeriksaan intern.
Agoes dan Ardana (2009), tujuan pemeriksaan yang dilakukan
internal
auditor
adalah
membantu
semua
pimpinan
perusahaan (manajemen) dalam melaksanakan tanggung
jawabnya dengan memberi analisa, penilaian, saran dan
komentar mengenai kegiatan yang diperiksanya.
Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) (2006)
menyatakan bahwa auditor internal bertanggungjawab untuk
menyediakan jasa analisis dan evaluasi, memberi keyakinan,
rekomendasi dan informasi kepada manajemen entitas dan
dewan komisaris atau pihak lain yang setara wewenang dan
tanggung
jawabnya
tersebut.
Auditor
internal
mempertahankan objektivitasnya yang berkaitan dengan
aktivitas yang diauditnya dan sebagai katalisator (ACIIA,
2014) untuk mencapai tujuan perusahaan. Dalam hal ini
seorang auditor internal berperan dalam menemukan indikasi
kecurangan dan melakukan investigasi. Hasil dari temuan
tersebut harus diberitahukan kepada top manajemen.
Auditor internal mungkin menghadapi situasi yang
dilematis dalam menjalankan tugasnya. Selain harus patuh
terhadap pimpinan tempat ia bekerja, auditor internal juga
harus menghadapi tuntutan publik untuk memberikan laporan
yang jujur sesuai dengan etika profesi. Konflik audit muncul
ketika auditor internal menjalankan aktivitas audit internal.
Auditor internal sebagai pekerja di dalam organisasi yang
diauditnya akan menjumpai masalah etika ketika melaporkan
temuan-temuan yang mungkin tidak menguntungkan dalam
penelitian kinerja
manajemen atau obyek audit yang
dilakukannya, padahal imbalan yang diterima berasal dari
manajemen. Sehingga hal ini dapat membuat auditor internal
kehilangan independensinya ketika mengambil keputusan
yang etis (Abdurrahman dan Yuliani, 2011).
Auditor
internal
seharusnya
secara
sosial
juga
bertanggung jawab kepada masyarakat dan profesinya
daripada mengutamakan kepentingan dan pertimbangan
pragmatis
pribadi atau kepentingan ekonomis
semata,
sehingga auditor seringkali dihadapkan kepada masalah
dilema etika dalam pengambilan keputusannya. Auditor
internal harus memiliki sikap mental dan etika serta tanggung
jawab profesi yang tinggi, sehingga kualitas hasil kerjanya
dapat dipertanggungjawabkan dan dapat digunakan untuk
membantu terwujudnya perkembangan perusahaan yang wajar
dan sehat (Siswati, 2012).
Dilema Etis dan Perkembangan Moral Kognitif Auditor
Eksternal
Auditor eksternal melakukan fungsi pengauditan atas
laporan
keuangan
yang
diterbitkan
oleh
perusahaan.
Pengauditan ini dilakukan pada perusahaan terbuka, yaitu
perusahaan yang go public, perusahaan-perusahaan besar dan
juga perusahaan kecil serta organisasi-organisasi yang tidak
bertujuan mencari laba (Hidayat dan Handayani, 2010). Dalam
menjalankan fungsinya mungkin saja auditor eksternal
diperhadapkan
dengan
konflik
audit.
Konflik
audit
kemungkinan akan berkembang menjadi sebuah dilema etika
ketika akuntan publik diharuskan melakukan pilihan-pilihan
pengambilan keputusan etis dan tidak etis (Abdurrahman dan
Yuliani, 2011).
Situasi dilematis dalam setting audit dapat terjadi ketika
akuntan dan klien tidak sepakat terhadap beberapa aspek
fungsi dan tujuan pemeriksaan. Dalam kondisi ini, klien dapat
mempengaruhi proses pemeriksaan yang dilakukan oleh
auditor eksternal. Klien bisa menekan auditor tersebut untuk
mengambil tindakan yang melanggar standar pemeriksaan.
Karena secara umum dianggap bahwa auditor termotivasi oleh
etika profesi dan standar pemeriksaan, maka akuntan tersebut
akan berada dalam situasi konflik. Memenuhi keinginan klien
berarti melanggar standar. Penolakan terhadap permintaan
klien dapat menghasilkan sanksi berupa kemungkinan
penghentian penugasan dan hal ini tentu saja sangat merugikan
auditor (Hidayat dan Handayani, 2010).
Etika profesi akuntan publik di Indonesia dikodifikasi
dalam bentuk kode etik, yang mana struktur kode etik ini
meliputi prinsip etika, aturan etika, dan interpretasi aturan
etika (IAI, 1998 dalam Ludigdo, 2007). Dalam menjalankan
tugasnya auditor eksternal harus bertindak objektif dan
independen berdasarkan kode etik profesi mereka pada saat
menghadapi dilematis dalam pengambilan keputusan. Hal ini
karena auditor eksternal tidak hanya bertanggung jawab pada
klien yang membayarnya, namun bertanggung jawab juga
terhadap publik.
Zarkasyi (2009) menyatakan bahwa profesi akuntan
harus sangat berhati-hati pada saat melakukan tugasnya,
karena mempunyai tanggung jawab kepada masyarakat umum
tidak hanya kepada clientnya. Walaupun yang memberikan
audit fee adalah perusahaan, sebenarnya tanggung jawab yang
dipikul profesi akuntan adalah tanggung jawab kepada
“stakeholders”, termasuk didalamnya pemegang saham,
kreditor dan pihak-pihak lain yang menyandarkan kepentingan
bisnisnya berdasarkan laporan audit (auditor’s opinion).
Mengingat tanggung jawab profesinya yang mempunyai
dampak kepada masyarakat umum sudah selayaknya jika
auditor
eksternal
diharapkan
mempunyai
professional
commitment yang tinggi, sehingga dapat mengambil keputusan
yang etis ketika diperhadapkan dengan dilema etis.
Pada situasi dilematis auditor eksternal membutuhkan
pedoman dan dukungan dari pihak lain (misal pimpinan atau
rekan) untuk menentukan pilihannya. Penentuan pilihan pada
situasi dilematis yang dihadapi akuntan tersebut dalam banyak
hal tidak hanya menyangkut pertimbangan personal semata
tetapi lebih menyangkut pertimbangan organisasional. Oleh
karena menyangkut pertimbangan organisasional maka nilai-
nilai yang dianut organisasi tersebut tentunya akan dijadikan
rujukan akuntan untuk menentukan sikapnya (Ludigdo, 2007).
Teori Perkembangan Moral Kognitif
Dalam praktek kerja, perkembangan kognitif individu
terjadi dalam interaksi dengan orang lain (Busch, 2007). Izzo
(2000) mengatakan, perkembangan moral meningkat secara
bertahap berdasarkan komponen perkembangan kognitif. Saat
ini penelitian-penelitian etika akuntansi berfokus pada konsep
perkembangan etika yang dipengaruhi oleh penelitian psikolog
Law Kohlberg dan James Rest (Loh dan Wong, 2009).
Teori Kohlberg terdiri dari 3 level dan masing-masing
level terdiri dari dua perkembangan moral yang berbeda
(Dellaportas et al., 2006), yaitu level pre-conventional, level
conventional dan level post-conventional (Tarigan dan
Satyanugraha, 2005). Hipotesis teori perkembangan moral
Kohlberg menyatakan bahwa individu bergerak secara
berurutan dari tahap ke tahap semakin maju dari tingkat
moralitas yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi (Venezia et
al., 2011).
Pada level pre-conventional, keputusan etis individu
dibentuk oleh otoritas eksternal, minat diri, dan penghargaan
serta hukuman yang dikaitkan dengan hasil berbagai pilihan.
Kohlberg menganggap hal ini sebagai tingkat terendah dari
perkembangan
moral
atau etika
kognitif.
Pada
level
conventional, Kohlberg menyatakan bahwa keputusan etis
individu dibentuk oleh pertimbangan hukum dan norma sosial.
Level post-conventional disebut oleh Kohlberg sebagai rangka
tertinggi dari pengembangan etika dimana pengambilan
keputusan etika individu dipengaruhi oleh prinsip-prinsip
keadilan yang universal, hati nurani dan peradilan (Loh dan
Wong, 2009).
Tahap-tahap moral menurut Kolhberg adalah sebagai
berikut (Duska dan Whelan, 1982; Kohlberg, 1995; Bertens,
2011):

Level Pre-Conventional
Tahap 1. Orientasi hukuman dan kepatuhan. Akibat-
akibat fisik dari tindakan menentukan baik-buruknya tindakan
itu, entah apa pun arti atau nilai akibat-akibat itu bagi manusia.
Menghindari hukuman dan tunduk pada kekuasaan (tanpa
mempersoalkan) mempunyai nilai pada dirinya; bukan dasar
hormat pada peraturan moral yang mendasari, yang didukung
oleh hukuman dan otoritas.
Tahap 2. Orientasi relativis instrumental. Tindakan
benar adalah tindakan yang ibarat alat dapat memenuhi
kebutuhan sendiri atau kadang-kadang juga memenuhi
kebutuhan orang-orang lain.
Hubungan antar
manusia
dianggap sebagaimana hubungan orang di pasar. Unsur-unsur
sikap fair, hubungan timbal balik, kesamaan dalam ambil
bagian sudah ada, tetapi semuanya dimengerti secara fisis dan
pragmatis. Hubungan timbal balik antar manusia adalah soal
“kalau kamu menggarukkan punggungku, saya akan garukkan
punggungmu”, bukan soal loyalitas (kesetiaan), rasa terima
kasih atau keadilan.

Level Conventional
Tahap 3. Orientasi masuk ke kelompok “anak baik” dan
“anak manis”. Tingkah laku yang baik adalah tingkah laku
yang menyenangkan atau membantu orang-orang lain dan
yang mendapat persetujuan mereka. Ada banyak usaha
menyesuaikan diri dengan gambaran-gambaran stereotip yang
ada pada mayoritas atau dengan tingkah laku yang dianggap
lazim. Tingkah laku sering kali dinilai menurut intensinya.
“Dia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting.
Orang berusaha untuk diterima oleh lingkungan dan bersikap
“manis”.
Tahap 4. Orientasi hukum dan ketertiban. Ada orientasi
kepada otoritas, peraturan-peraturan yang sudah pasti, dan
usaha memelihara ketertiban sosial. Tingkah laku yang benar
berupa melakukan kewajiban, menunjukkan rasa hormat
kepada otoritas, dan memelihara ketertiban sosial yang sudah
ada demi ketertiban itu sendiri.

Level Post-Conventional
Tahap 5. Orientasi kontrak-sosial legalitas. Biasanya
dengan tekanan utilitaritis (mementingkan kegunaannya).
Tindakan benar cenderung dimengerti dari segi hak-hak
individual yang umum dan dari segi patokan-patokan yang
sudah dikaji dengan kritis dan disetujui oleh seluruh
masyarakat. Ada kesadaran yang jelas bahwa nilai-nilai dan
opini pribadi itu relatif dan oleh karenanya perlu adanya
peraturan prosedural untuk mencapai konsensus.
Tahap 6. Orientasi asas etika universal. Benar diartikan
dengan keputusan suara hati, sesuai prinsip-prinsip etika yang
dipilih sendiri, dengan berpedoman pada kekomprehensifan
logis, universalitas dan konsisten. Prinsip-prinsip ini bersifat
abstrak dan etis dan bukan peraturan-peraturan moral konkret
seperti sepuluh perintah Allah. Pada intinya itulah prinsipprinsip universal mengenai keadilan, pertukaran hak dan
kesamaan hak asasi manusia dan penghormatan kepada
martabat manusia sebagai pribadi.
Implikasi
dari
teori
Kohlberg
adalah
bahwa
pertimbangan moral dari orang pada tahapan lebih lanjut
perkembangan moralnya lebih baik dari pertimbangan moral
mereka yang baru pada tahap lebih awal. Orang pada tahapan
akhir memiliki kemampuan untuk melihat segala sesuatu dari
perspektif yang lebih luas dan dalam daripada mereka yang
berada pada tahapan awal. Implikasi yang lain adalah bahwa
orang pada tahapan akhir mampu mempertahankan keputusan
mereka daripada orang pada tahapan awal (Tarigan dan
Satyanugraha, 2005).
Defining Issues Test (DIT)
Instrumen
yang
paling
sering
digunakan
untuk
menerapkan pengembangan moral dan menempatkan individu
dalam tingkat Kohlberg adalah Defining Issues Test (DIT)
Rest (White Jr., 1999). DIT pertama kali dikembangkan di
awal tahun 1970-an (Thoma dan Dong, 2012). Walaupun DIT
didasarkan pada model perkembangan moral Kohlberg (1969),
akan tetapi tidak sama dengan ukuran yang dikembangkan
sendiri oleh Kohlberg untuk pengujian teorinya (Tarigan dan
Satyanugraha, 2005). Rest mempunyai pokok bahasan bahwa
individu dapat menggunakan kombinasi berbagai macam
kemampuan penalaran moral secara bersama-sama (Venezia et
al., 2011). Rest (1986), menegaskan bahwa ada empat
komponen proses yang terlibat dalam mengambil tindakan
moral: (1) mengenali masalah moral, (2) membuat penilaian
moral, (3) menetapkan tujuan moral, (4) mengeksekusi dan
melaksanakan rencana tindakan moral (Sheppard dan Young,
2007).
Awal pengembangan DIT, Rest mempertanyakan
penerimaan tahapan model perkembangan moral teori
Kohlberg yang mana individu akan bergerak dari tahap satu ke
tahap yang lain. Sehingga, DIT dibuat untuk mendukung
model pengembangan yang mendefinisikan pertumbuhan
sebagai tahap demi tahap dari moral yang rendah ke yang
lebih kompleks. Kemudian, para peneliti DIT mengasumsikan
bahwa pada waktu-waktu tertentu ada konsep multiple yang
tersedia untuk individu. Sehingga untuk menyediakan strategi
pengukuran harus menilai tidak hanya dengan konsep itu
tersedia, tetapi lebih pada sistemnya. Di tahun 1990-an, para
peneliti
DIT
mengadopsi
pandangan
skema
dari
perkembangan moral judgement yang di dasarkan pada
hubungan pengetahuan yang diorganisir melalui peristiwa
hidup yang biasa terjadi dan keberadaannya untuk membantu
individu memahami informasi baru berdasarkan pengalaman
(Thoma dan Dong, 2012).
Dalam Thoma dan Dong (2012), DIT menyajikan
kepada partisipan dilema moral dan kemudian menanyakan
kepada mereka untuk memberi peringkat dan merangking 12
item untuk setiap dilema. Masing-masing item kasus khusus
tersebut meningkat yang mendefinisikan fitur-fitur utama dari
dilema berdasarkan perbedaan pertimbangan skema moral.
Item-item tersebut tidak menyajikan sebuah rasional yang
lengkap dan menginterpretasikan dilema tersebut tetapi
menyediakan intisari dari penjelasan yang menggunakan
pendekatan
penggalan-penggalan
penggalan-penggalan
kalimat
kalimat.
tersebut
Pendekatan
diadopsi
karena
awalnya dalam pengembangan DIT, hal tersebut dicatat bahwa
item-item pertanyaan yang mengandung interpretasi lebih
detail dari dilema yang menghasilkan sedikit indeks bagian
karena item-item tersebut mudah untuk diinterpretasikan
kembali dan ditanggapi secara istimewa (Rest, 1987).
Penggunaan kalimat
penggalan-penggalan tersebut
dapat menyediakan informasi yang cukup memberi kesan
dalam sebuah interpretasi dan setiap partisipan dapat mengisi
informasi yang dibutuhkan dengan menggunakan pemikiran
dari setiap item-item pertanyaan dalam DIT dan kemudian
akan merangking setiap item-item pertanyaan tersebut.
Dengan kata lain, para peneliti DIT mengasumsikan bahwa
peringkat dan rangking dari item-item pertanyaan uraian kasus
dari DIT menyediakan indeks dari skema yang lebih disukai
oleh partisipan dan lebih umum, kembali menyajikan
bagaimana partisipan secara umum mendekati keputusan
moral melalui DIT (Thoma dan Dong, 2012).
Penelitian
Perkembangan
Moral
Kognitif
dan
Pengembangan Hipotesis
Banyak penelitian-penelitian pengembangan moral yang
dikaitkan dengan pengambilan keputusan dalam konteks
akuntansi yang menggunakan teori perkembangan moral
Kohlberg dan instrumen DIT dari Rest.
Penelitian yang dilakukan oleh Throne et al. (2002),
bertujuan
menginvestigasi
apakah
konteks
institusional
kebangsaan berasosiasi dengan perbedaan dalam penalaran
moral auditor dengan menguji tiga komponen proses
keputusan moral auditor. Tiga komponen tersebut meliputi
perkembangan moral, penalaran preskriptif dan penalaran
deliberatif. Mereka membandingkan dua kebangsaan yang
dimiliki oleh auditor-auditor yang diteliti yaitu Canada dan
Amerika
Serikat.
Penelitian
ini
menemukan
bahwa
institusional kebangsaan lebih berasosiasi dengan faktor
penalaran deliberatif daripada penalaran preskriptif.
Tarigan dan Satyanugraha (2005) dalam studinya
menggunakan teori moral kognitif Kohlberg dan DIT untuk
mengetahui level perkembangan moral kognitif auditor
Indonesia sebanyak 100 auditor di KAP Jakarta. Hasilnya
menunjukkan bahwa tidak ada beda antara perkembangan
moral kognitif auditor dengan umur dan pendidikan. Penelitian
yang dilakukan Dellaportas et al. (2006) menemukan bahwa
dalam konteks dilema yang dirancang khusus, melalui cerita,
keakraban, edukasi berpengaruh terhadap kedewasaan moral
mahasiswa. Peningkatan nilai DIT P-Scores mengindikasikan
bahwa mahasiswa akuntansi dapat bergerak menuju pada
penalaran moral level tertinggi tetapi juga dapat mengalami
rasional pengambilan keputusan moral pada tahap terendah.
Penelitian Loh dan Wong (2009) menguji hubungan
perkembangan etika dan sikap etis yang dikaitkan dengan
pengambilan
keputusan
etis.
Dalam
hipotesis
mereka
menyatakan bahwa individu yang memiliki perkembangan
etika yang lebih tinggi menunjukkan sikap etis yang lebih
tinggi. Penelitian ini dilakukan terhadap mahasiswa akuntansi
yang rata-rata berumur 22 tahun. Penelitian ini menggunakan
teori perkembangan moral Kohlberg dan pengukuran moral
DIT dari Rest. Namun penelitian ini tidak dapat membuktikan
hubungan linier antara perkembangan etika dengan sikap etis.
Adapula Venesia et al. (2011), meneliti hubungan antara
pengalaman kerja, edukasi, umur, gender dan pengalaman
manajemen
berhubungan
dengan
kedewasaan
moral,
pengambilan keputusan etis dan etika bisnis.
Pengambilan keputusan yang bertanggung jawab secara
etis memerlukan penentuan fakta-fakta di dalam situasi
dilematis. Sebuah penilaian etis yang dibuat berdasarkan
penentuan yang cermat atas fakta-fakta yang ada merupakan
sebuah penilaian etis yang lebih masuk akal daripada penilaian
yang tidak berdasarkan fakta-fakta. Seseorang yang bertindak
sesuai dengan pertimbangan yang cermat akan fakta telah
bertindak dalam cara yang mendalam dengan pertimbangan
yang lebih bertanggung jawab secara etis daripada orang yang
bertindak tanpa pertimbangan mendalam (Hartman dan
DesJardins, 2011). Tindakan yang etis inilah yang akan
membantu seseorang untuk memecahkan dilema
yang
dihadapi. Tindakan etis menyangkut tentang tindakan untuk
melakukan sesuatu atau tidak melakukannya.
Semua tindakan yang seharusnya dilakukan oleh
akuntan dalam hal pengambilan keputusan etis pada saat
menghadapi dilema etis, menyangkut tentang keputusan yang
berasal dalam diri akuntan tersebut. Keputusan yang berasal
dari dalam diri merupakan keputusan yang berasal dari suara
hati atau hati nurani pihak yang bersangkutan. Hati nurani
adalah “instansi” dalam diri kita yang menilai tentang
moralitas perbuatan-perbuatn kita, secara langsusng, kini dan
disini. Hati nurani itulah yang akan memerintahkan atau
melarang seseorang untuk melakukan sesuatu, sekaligus
menjadi saksi terhadap perbuatan yang dilakukan oleh
manusia (Bertens, 2011).
Menurut Rindjin (2004), hati nurani semacam cahaya
yang menerangi hati kita. Hati nurani memiliki dimensi
subyektif mengenai rasa dan rasio, dimana pernyataan moral
dikaitkan dengan perasaan dan keputusan etis lahir dari
penalaran yang rasional. Dimensi inilah yang membuat
seseorang akan mengambil keputusan dengan pertimbangan
untuk mentolerir suatu tindakan yang benar menurut Tuhan,
subyektifitas individu, maupun solidaritas umum.
Dalam kepentingan pelaksanaan tugas audit, auditor
internal harus memahami aturan perusahaan dan profesi yang
berlaku. Namun ketika diperhadapkan dengan dilema etis,
keputusan yang diambil tidak semata-mata berpedoman pada
aturan saja berbeda dengan auditor eksternal yang lebih
mengedepankan peraturan yang berlaku. Tentu saja karena
auditor internal merupakan bagian dalam dari perusahaan akan
lebih memahami situasi perusahaan dimana ia bekerja dan ia
terlibat
langsung
secara
emosional
dalam operasional
perusahaan. Sehingga auditor internal akan melibatkan hati
nuraninya sebagai pertimbangan kognitif dalam mengambil
keputusan daripada auditor eksternal. Hal ini dikarenakan
auditor eksternal berada di luar perusahaan dan lebih
berpedoman pada kebijakan-kebijakan profesinya daripada
keterlibatan hati nuraninya, sehingga kognitif yang dimiliki
oleh auditor eksternal tidaklah sebesar yang dimiliki oleh
auditor internal.
Dalam teori perkembangan moral Kolhberg pada tahap
tertinggi, menempatkan suara hati atau hati nurani sebagai
pertimbangan dalam keputusan etis setelah prinsip-prinsip
peraturan. Kohlberg menegaskan hanya pikiran atau bahasa
tahap 6-lah yang sepenuhnya bersifat moral, bahwa setiap
tahap yang lebih tinggi semakin mendekati karakteristik
bahasa moral (Kohlberg, 1995). Sehingga hipotesis yang dapat
disusun dalam penelitian ini adalah:
H1: Auditor internal mencapai perkembangan moral kognitif
lebih
tinggi
daripada
auditor
eksternal
dalam
pengambilan keputusan etis saat menghadapi dilema etis.
Telah banyak penelitian yang menggunakan faktor
demografi
sebagai
perkembangan
tersebut
faktor
moral
meliputi
yang
kognitif.
umur,
menentukan
Faktor-faktor
jenjang
pendidikan,
level
demografi
gender,
pengalaman kerja (Tarigan dan Satyanugraha, 2005; Venesia
et al., 2011). Penelitian Trevino (1986) mengungkapkan
variabel model interaksi pembuatan keputusan etis dalam
organisasi yaitu variabel individu (ego strength, field
dependence, locus of control) dan variabel situasional
(characteristics of work, organizational culture, immediate
job context).
Penelitian ini juga akan menambahkan beberapa faktorfaktor yang dapat mempengaruhi perkembangan moral
kognitif seseorang yaitu gender, umur, pengalaman kerja dan
jenjang pendidikan (White Jr.,1999; Izzo, 2000; Tarigan dan
Satyanugraha, 2005; Venesia et al., 2011 dan Thoma dan
Dong, 2012). Teori perkembangan moral Kohlberg (1969)
mengasumsikan bahwa nilai moral seseorang meningkat
sejalan dengan umur (Tarigan dan Satyanugraha, 2005). Rest
(1986) melaporkan bahwa ada dua hal dominan yang
menentukan perkembangan moral seseorang adalah umur dan
pendidikan (White Jr., 1999).
Selain itu, gender juga memainkan peranan penting
dalam perkembangan moral seseorang (Eynon et al., 1997;
White Jr., 1999). Venesia et al. (2011), meneliti hubungan dan
menemukan korelasi antara pengalaman kerja, edukasi, umur,
gender dan pengalaman manajemen berhubungan dengan
kedewasaan moral, pengambilan keputusan etis dan etika
bisnis.
Thoma
dan
Dong
(2012)
menyatakan
umur,
pendidikan, gender memiliki korelasi yang tinggi terhadap
perkembangan moral yang diukur dengan DIT. Seseorang
yang mempunyai perasaan dan intuitif yang kuat memiliki
perkembangan moral yang lebih tinggi dari yang lain.
H2: Level perkembangan moral kognitif auditor dipengaruhi
secara signifikan oleh gender subyek.
H3: Level perkembangan moral kognitif auditor dipengaruhi
secara signifikan oleh tingkat umur subyek.
H4: Level perkembangan moral kognitif auditor dipengaruhi
secara signifikan oleh pengalaman kerja subyek.
H5: Level perkembangan moral kognitif auditor dipengaruhi
secara signifikan oleh tingkat pendidikan kerja subyek.
Download