II. KERANGKA TEORITIS DAN HIPOTESIS Perkembangan Moral Kognitif Akuntan Dan Permasalahan Akuntansinya Saat ini profesi akuntan menjadi sorotan tajam karena munculnya “malpraktik akuntansi” yang merugikan banyak pihak. Sehingga profesi akuntan baik itu auditor internal maupun auditor eksternal dituntut untuk bekerja secara profesional dengan mengutamakan etika. Namun seringkali dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, seorang akuntan diperhadapkan dalam situasi munculnya pertimbangan untuk melakukan sesuatu dan pertimbangan untuk tidak melakukan sesuatu. Situasi inilah yang disebut sebagai dilema etis. Dilema etis merupakan sebuah masalah yang muncul akibat pertimbangan untuk bertindak dengan cara tertentu dan diimbangi dengan pertimbangan untuk tidak melakukannya (Duska et al., 2011). Sebagai profesional, akuntan saat ini mengalami peningkatan peran dalam pengambilan keputusan (IFAC, 2004). Pengambilan keputusan yang etis dipengaruhi oleh perkembangan moral kognitif dari akuntan itu sendiri. Berdasarkan latar belakang tersebut maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah ada perbedaan level perkembangan moral kognitif dari auditor eksternal dan auditor internal dalam pengambilan keputusan etis. Meskipun kedua profesi tersebut memiliki perbedaaan karakteristik, peran dan tanggung jawab baik auditor internal maupun auditor eksternal keduanya saling membutuhkan untuk membantu menghasilkan laporan audit dan tata kelola perusahaan yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan level perkembangan moral kognitif akuntan yaitu auditor internal dan auditor eksternal dalam pengambilan keputusan etis pada saat menghadapi dilema etis pada saat mereka melakukan penugasan dalam suatu perusahaan. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi dalam fakta tentang perkembangan moral akuntan di Indonesia, serta mendorong upaya peningkatan kesadaran pentingnya perkembangan moral akuntan dalam bidang bisnis saat ini. Kontribusi yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah mendorong perusahaan untuk lebih selektif dalam perekrutan karyawan sebagai auditor supaya memiliki auditor dengan moral kognitif yang tinggi. Sehingga dapat menjalankan tugas dan tanggung jawab dengan menjunjung etika dan kode etik profesi yang berlaku, serta dapat mengambil keputusan etis pada saat menghadapi dilema etis. Selain itu, mendorong perusahaan untuk menyadari pentingnya penerapan etika dan kode etik yang ketat supaya perusahaan dapat menjalankan bisnis etis. Dilema Etis, Keputusan Etis Dan Perkembangan Moral Kognitif Akuntan Dilema etis sering kali dihadapi oleh banyak profesi pekerjaan. Dilema etis muncul ketika ketaatan terhadap prinsip menimbulkan penyebab konflik dalam bertindak. Setiap profesi diharapkan mampu mengambil keputusan yang etis ketika menghadapi dilema etis dalam menjalankan tanggung jawabnya. Keputusan etis (ethical decision) adalah keputusan yang baik secara legal maupun moral yang dapat diterima oleh masyarakat luas (Trevino, 1986). Kohlberg (1995) dalam Wisesa (2011) mengatakan keputusan moral (etis) bukanlah soal perasaan atau “nilai’, melainkan selalu mengandung tafsiran kognitif terhadap dilema moral (etika). Pengambilan keputusan etis melibatkan proses penalaran etis yang didalamnya mengolaborasi kesadaran moral dan kemampuan moral kognitif seseorang yang pada akhirnya diwujudkan di dalam proses tindakan sebagai bentuk implementasi keputusan yang diambil. Akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga standar perilaku etis tertinggi mereka kepada organisasi di mana mereka bernaung, profesi mereka, masyarakat dan diri mereka sendiri. Akuntan mempunyai tanggung jawab menjadi kompeten dan untuk menjaga integritas dan obyektivitas mereka (Husein, 2008). Akuntan dituntut untuk dapat mengambil keputusan yang etis pada saat diperhadapkan dengan dilema etis. Perkembangan moral kognitif dapat berpengaruh terhadap keputusan yang diambil oleh akuntan ketika menghadapi dilema etis. Ketika seseorang diperhadapkan pada sebuah dilema etika, maka individu tersebut akan mempertimbangkan secara kognitif dalam benaknya (Abdurrahman dan Yuliani, 2011). Dilema Etis dan Perkembangan Moral Kognitif Auditor Internal Auditor internal sebagai salah satu pembuat keputusan akan mempengaruhi kebijakan organisasi dalam mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan sehingga peran auditor internal menjadi penting (Abdurrahman dan Yuliani, 2011). Tugas auditor internal adalah melakukan pemeriksaan intern. Agoes dan Ardana (2009), tujuan pemeriksaan yang dilakukan internal auditor adalah membantu semua pimpinan perusahaan (manajemen) dalam melaksanakan tanggung jawabnya dengan memberi analisa, penilaian, saran dan komentar mengenai kegiatan yang diperiksanya. Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) (2006) menyatakan bahwa auditor internal bertanggungjawab untuk menyediakan jasa analisis dan evaluasi, memberi keyakinan, rekomendasi dan informasi kepada manajemen entitas dan dewan komisaris atau pihak lain yang setara wewenang dan tanggung jawabnya tersebut. Auditor internal mempertahankan objektivitasnya yang berkaitan dengan aktivitas yang diauditnya dan sebagai katalisator (ACIIA, 2014) untuk mencapai tujuan perusahaan. Dalam hal ini seorang auditor internal berperan dalam menemukan indikasi kecurangan dan melakukan investigasi. Hasil dari temuan tersebut harus diberitahukan kepada top manajemen. Auditor internal mungkin menghadapi situasi yang dilematis dalam menjalankan tugasnya. Selain harus patuh terhadap pimpinan tempat ia bekerja, auditor internal juga harus menghadapi tuntutan publik untuk memberikan laporan yang jujur sesuai dengan etika profesi. Konflik audit muncul ketika auditor internal menjalankan aktivitas audit internal. Auditor internal sebagai pekerja di dalam organisasi yang diauditnya akan menjumpai masalah etika ketika melaporkan temuan-temuan yang mungkin tidak menguntungkan dalam penelitian kinerja manajemen atau obyek audit yang dilakukannya, padahal imbalan yang diterima berasal dari manajemen. Sehingga hal ini dapat membuat auditor internal kehilangan independensinya ketika mengambil keputusan yang etis (Abdurrahman dan Yuliani, 2011). Auditor internal seharusnya secara sosial juga bertanggung jawab kepada masyarakat dan profesinya daripada mengutamakan kepentingan dan pertimbangan pragmatis pribadi atau kepentingan ekonomis semata, sehingga auditor seringkali dihadapkan kepada masalah dilema etika dalam pengambilan keputusannya. Auditor internal harus memiliki sikap mental dan etika serta tanggung jawab profesi yang tinggi, sehingga kualitas hasil kerjanya dapat dipertanggungjawabkan dan dapat digunakan untuk membantu terwujudnya perkembangan perusahaan yang wajar dan sehat (Siswati, 2012). Dilema Etis dan Perkembangan Moral Kognitif Auditor Eksternal Auditor eksternal melakukan fungsi pengauditan atas laporan keuangan yang diterbitkan oleh perusahaan. Pengauditan ini dilakukan pada perusahaan terbuka, yaitu perusahaan yang go public, perusahaan-perusahaan besar dan juga perusahaan kecil serta organisasi-organisasi yang tidak bertujuan mencari laba (Hidayat dan Handayani, 2010). Dalam menjalankan fungsinya mungkin saja auditor eksternal diperhadapkan dengan konflik audit. Konflik audit kemungkinan akan berkembang menjadi sebuah dilema etika ketika akuntan publik diharuskan melakukan pilihan-pilihan pengambilan keputusan etis dan tidak etis (Abdurrahman dan Yuliani, 2011). Situasi dilematis dalam setting audit dapat terjadi ketika akuntan dan klien tidak sepakat terhadap beberapa aspek fungsi dan tujuan pemeriksaan. Dalam kondisi ini, klien dapat mempengaruhi proses pemeriksaan yang dilakukan oleh auditor eksternal. Klien bisa menekan auditor tersebut untuk mengambil tindakan yang melanggar standar pemeriksaan. Karena secara umum dianggap bahwa auditor termotivasi oleh etika profesi dan standar pemeriksaan, maka akuntan tersebut akan berada dalam situasi konflik. Memenuhi keinginan klien berarti melanggar standar. Penolakan terhadap permintaan klien dapat menghasilkan sanksi berupa kemungkinan penghentian penugasan dan hal ini tentu saja sangat merugikan auditor (Hidayat dan Handayani, 2010). Etika profesi akuntan publik di Indonesia dikodifikasi dalam bentuk kode etik, yang mana struktur kode etik ini meliputi prinsip etika, aturan etika, dan interpretasi aturan etika (IAI, 1998 dalam Ludigdo, 2007). Dalam menjalankan tugasnya auditor eksternal harus bertindak objektif dan independen berdasarkan kode etik profesi mereka pada saat menghadapi dilematis dalam pengambilan keputusan. Hal ini karena auditor eksternal tidak hanya bertanggung jawab pada klien yang membayarnya, namun bertanggung jawab juga terhadap publik. Zarkasyi (2009) menyatakan bahwa profesi akuntan harus sangat berhati-hati pada saat melakukan tugasnya, karena mempunyai tanggung jawab kepada masyarakat umum tidak hanya kepada clientnya. Walaupun yang memberikan audit fee adalah perusahaan, sebenarnya tanggung jawab yang dipikul profesi akuntan adalah tanggung jawab kepada “stakeholders”, termasuk didalamnya pemegang saham, kreditor dan pihak-pihak lain yang menyandarkan kepentingan bisnisnya berdasarkan laporan audit (auditor’s opinion). Mengingat tanggung jawab profesinya yang mempunyai dampak kepada masyarakat umum sudah selayaknya jika auditor eksternal diharapkan mempunyai professional commitment yang tinggi, sehingga dapat mengambil keputusan yang etis ketika diperhadapkan dengan dilema etis. Pada situasi dilematis auditor eksternal membutuhkan pedoman dan dukungan dari pihak lain (misal pimpinan atau rekan) untuk menentukan pilihannya. Penentuan pilihan pada situasi dilematis yang dihadapi akuntan tersebut dalam banyak hal tidak hanya menyangkut pertimbangan personal semata tetapi lebih menyangkut pertimbangan organisasional. Oleh karena menyangkut pertimbangan organisasional maka nilai- nilai yang dianut organisasi tersebut tentunya akan dijadikan rujukan akuntan untuk menentukan sikapnya (Ludigdo, 2007). Teori Perkembangan Moral Kognitif Dalam praktek kerja, perkembangan kognitif individu terjadi dalam interaksi dengan orang lain (Busch, 2007). Izzo (2000) mengatakan, perkembangan moral meningkat secara bertahap berdasarkan komponen perkembangan kognitif. Saat ini penelitian-penelitian etika akuntansi berfokus pada konsep perkembangan etika yang dipengaruhi oleh penelitian psikolog Law Kohlberg dan James Rest (Loh dan Wong, 2009). Teori Kohlberg terdiri dari 3 level dan masing-masing level terdiri dari dua perkembangan moral yang berbeda (Dellaportas et al., 2006), yaitu level pre-conventional, level conventional dan level post-conventional (Tarigan dan Satyanugraha, 2005). Hipotesis teori perkembangan moral Kohlberg menyatakan bahwa individu bergerak secara berurutan dari tahap ke tahap semakin maju dari tingkat moralitas yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi (Venezia et al., 2011). Pada level pre-conventional, keputusan etis individu dibentuk oleh otoritas eksternal, minat diri, dan penghargaan serta hukuman yang dikaitkan dengan hasil berbagai pilihan. Kohlberg menganggap hal ini sebagai tingkat terendah dari perkembangan moral atau etika kognitif. Pada level conventional, Kohlberg menyatakan bahwa keputusan etis individu dibentuk oleh pertimbangan hukum dan norma sosial. Level post-conventional disebut oleh Kohlberg sebagai rangka tertinggi dari pengembangan etika dimana pengambilan keputusan etika individu dipengaruhi oleh prinsip-prinsip keadilan yang universal, hati nurani dan peradilan (Loh dan Wong, 2009). Tahap-tahap moral menurut Kolhberg adalah sebagai berikut (Duska dan Whelan, 1982; Kohlberg, 1995; Bertens, 2011): Level Pre-Conventional Tahap 1. Orientasi hukuman dan kepatuhan. Akibat- akibat fisik dari tindakan menentukan baik-buruknya tindakan itu, entah apa pun arti atau nilai akibat-akibat itu bagi manusia. Menghindari hukuman dan tunduk pada kekuasaan (tanpa mempersoalkan) mempunyai nilai pada dirinya; bukan dasar hormat pada peraturan moral yang mendasari, yang didukung oleh hukuman dan otoritas. Tahap 2. Orientasi relativis instrumental. Tindakan benar adalah tindakan yang ibarat alat dapat memenuhi kebutuhan sendiri atau kadang-kadang juga memenuhi kebutuhan orang-orang lain. Hubungan antar manusia dianggap sebagaimana hubungan orang di pasar. Unsur-unsur sikap fair, hubungan timbal balik, kesamaan dalam ambil bagian sudah ada, tetapi semuanya dimengerti secara fisis dan pragmatis. Hubungan timbal balik antar manusia adalah soal “kalau kamu menggarukkan punggungku, saya akan garukkan punggungmu”, bukan soal loyalitas (kesetiaan), rasa terima kasih atau keadilan. Level Conventional Tahap 3. Orientasi masuk ke kelompok “anak baik” dan “anak manis”. Tingkah laku yang baik adalah tingkah laku yang menyenangkan atau membantu orang-orang lain dan yang mendapat persetujuan mereka. Ada banyak usaha menyesuaikan diri dengan gambaran-gambaran stereotip yang ada pada mayoritas atau dengan tingkah laku yang dianggap lazim. Tingkah laku sering kali dinilai menurut intensinya. “Dia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang berusaha untuk diterima oleh lingkungan dan bersikap “manis”. Tahap 4. Orientasi hukum dan ketertiban. Ada orientasi kepada otoritas, peraturan-peraturan yang sudah pasti, dan usaha memelihara ketertiban sosial. Tingkah laku yang benar berupa melakukan kewajiban, menunjukkan rasa hormat kepada otoritas, dan memelihara ketertiban sosial yang sudah ada demi ketertiban itu sendiri. Level Post-Conventional Tahap 5. Orientasi kontrak-sosial legalitas. Biasanya dengan tekanan utilitaritis (mementingkan kegunaannya). Tindakan benar cenderung dimengerti dari segi hak-hak individual yang umum dan dari segi patokan-patokan yang sudah dikaji dengan kritis dan disetujui oleh seluruh masyarakat. Ada kesadaran yang jelas bahwa nilai-nilai dan opini pribadi itu relatif dan oleh karenanya perlu adanya peraturan prosedural untuk mencapai konsensus. Tahap 6. Orientasi asas etika universal. Benar diartikan dengan keputusan suara hati, sesuai prinsip-prinsip etika yang dipilih sendiri, dengan berpedoman pada kekomprehensifan logis, universalitas dan konsisten. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis dan bukan peraturan-peraturan moral konkret seperti sepuluh perintah Allah. Pada intinya itulah prinsipprinsip universal mengenai keadilan, pertukaran hak dan kesamaan hak asasi manusia dan penghormatan kepada martabat manusia sebagai pribadi. Implikasi dari teori Kohlberg adalah bahwa pertimbangan moral dari orang pada tahapan lebih lanjut perkembangan moralnya lebih baik dari pertimbangan moral mereka yang baru pada tahap lebih awal. Orang pada tahapan akhir memiliki kemampuan untuk melihat segala sesuatu dari perspektif yang lebih luas dan dalam daripada mereka yang berada pada tahapan awal. Implikasi yang lain adalah bahwa orang pada tahapan akhir mampu mempertahankan keputusan mereka daripada orang pada tahapan awal (Tarigan dan Satyanugraha, 2005). Defining Issues Test (DIT) Instrumen yang paling sering digunakan untuk menerapkan pengembangan moral dan menempatkan individu dalam tingkat Kohlberg adalah Defining Issues Test (DIT) Rest (White Jr., 1999). DIT pertama kali dikembangkan di awal tahun 1970-an (Thoma dan Dong, 2012). Walaupun DIT didasarkan pada model perkembangan moral Kohlberg (1969), akan tetapi tidak sama dengan ukuran yang dikembangkan sendiri oleh Kohlberg untuk pengujian teorinya (Tarigan dan Satyanugraha, 2005). Rest mempunyai pokok bahasan bahwa individu dapat menggunakan kombinasi berbagai macam kemampuan penalaran moral secara bersama-sama (Venezia et al., 2011). Rest (1986), menegaskan bahwa ada empat komponen proses yang terlibat dalam mengambil tindakan moral: (1) mengenali masalah moral, (2) membuat penilaian moral, (3) menetapkan tujuan moral, (4) mengeksekusi dan melaksanakan rencana tindakan moral (Sheppard dan Young, 2007). Awal pengembangan DIT, Rest mempertanyakan penerimaan tahapan model perkembangan moral teori Kohlberg yang mana individu akan bergerak dari tahap satu ke tahap yang lain. Sehingga, DIT dibuat untuk mendukung model pengembangan yang mendefinisikan pertumbuhan sebagai tahap demi tahap dari moral yang rendah ke yang lebih kompleks. Kemudian, para peneliti DIT mengasumsikan bahwa pada waktu-waktu tertentu ada konsep multiple yang tersedia untuk individu. Sehingga untuk menyediakan strategi pengukuran harus menilai tidak hanya dengan konsep itu tersedia, tetapi lebih pada sistemnya. Di tahun 1990-an, para peneliti DIT mengadopsi pandangan skema dari perkembangan moral judgement yang di dasarkan pada hubungan pengetahuan yang diorganisir melalui peristiwa hidup yang biasa terjadi dan keberadaannya untuk membantu individu memahami informasi baru berdasarkan pengalaman (Thoma dan Dong, 2012). Dalam Thoma dan Dong (2012), DIT menyajikan kepada partisipan dilema moral dan kemudian menanyakan kepada mereka untuk memberi peringkat dan merangking 12 item untuk setiap dilema. Masing-masing item kasus khusus tersebut meningkat yang mendefinisikan fitur-fitur utama dari dilema berdasarkan perbedaan pertimbangan skema moral. Item-item tersebut tidak menyajikan sebuah rasional yang lengkap dan menginterpretasikan dilema tersebut tetapi menyediakan intisari dari penjelasan yang menggunakan pendekatan penggalan-penggalan penggalan-penggalan kalimat kalimat. tersebut Pendekatan diadopsi karena awalnya dalam pengembangan DIT, hal tersebut dicatat bahwa item-item pertanyaan yang mengandung interpretasi lebih detail dari dilema yang menghasilkan sedikit indeks bagian karena item-item tersebut mudah untuk diinterpretasikan kembali dan ditanggapi secara istimewa (Rest, 1987). Penggunaan kalimat penggalan-penggalan tersebut dapat menyediakan informasi yang cukup memberi kesan dalam sebuah interpretasi dan setiap partisipan dapat mengisi informasi yang dibutuhkan dengan menggunakan pemikiran dari setiap item-item pertanyaan dalam DIT dan kemudian akan merangking setiap item-item pertanyaan tersebut. Dengan kata lain, para peneliti DIT mengasumsikan bahwa peringkat dan rangking dari item-item pertanyaan uraian kasus dari DIT menyediakan indeks dari skema yang lebih disukai oleh partisipan dan lebih umum, kembali menyajikan bagaimana partisipan secara umum mendekati keputusan moral melalui DIT (Thoma dan Dong, 2012). Penelitian Perkembangan Moral Kognitif dan Pengembangan Hipotesis Banyak penelitian-penelitian pengembangan moral yang dikaitkan dengan pengambilan keputusan dalam konteks akuntansi yang menggunakan teori perkembangan moral Kohlberg dan instrumen DIT dari Rest. Penelitian yang dilakukan oleh Throne et al. (2002), bertujuan menginvestigasi apakah konteks institusional kebangsaan berasosiasi dengan perbedaan dalam penalaran moral auditor dengan menguji tiga komponen proses keputusan moral auditor. Tiga komponen tersebut meliputi perkembangan moral, penalaran preskriptif dan penalaran deliberatif. Mereka membandingkan dua kebangsaan yang dimiliki oleh auditor-auditor yang diteliti yaitu Canada dan Amerika Serikat. Penelitian ini menemukan bahwa institusional kebangsaan lebih berasosiasi dengan faktor penalaran deliberatif daripada penalaran preskriptif. Tarigan dan Satyanugraha (2005) dalam studinya menggunakan teori moral kognitif Kohlberg dan DIT untuk mengetahui level perkembangan moral kognitif auditor Indonesia sebanyak 100 auditor di KAP Jakarta. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada beda antara perkembangan moral kognitif auditor dengan umur dan pendidikan. Penelitian yang dilakukan Dellaportas et al. (2006) menemukan bahwa dalam konteks dilema yang dirancang khusus, melalui cerita, keakraban, edukasi berpengaruh terhadap kedewasaan moral mahasiswa. Peningkatan nilai DIT P-Scores mengindikasikan bahwa mahasiswa akuntansi dapat bergerak menuju pada penalaran moral level tertinggi tetapi juga dapat mengalami rasional pengambilan keputusan moral pada tahap terendah. Penelitian Loh dan Wong (2009) menguji hubungan perkembangan etika dan sikap etis yang dikaitkan dengan pengambilan keputusan etis. Dalam hipotesis mereka menyatakan bahwa individu yang memiliki perkembangan etika yang lebih tinggi menunjukkan sikap etis yang lebih tinggi. Penelitian ini dilakukan terhadap mahasiswa akuntansi yang rata-rata berumur 22 tahun. Penelitian ini menggunakan teori perkembangan moral Kohlberg dan pengukuran moral DIT dari Rest. Namun penelitian ini tidak dapat membuktikan hubungan linier antara perkembangan etika dengan sikap etis. Adapula Venesia et al. (2011), meneliti hubungan antara pengalaman kerja, edukasi, umur, gender dan pengalaman manajemen berhubungan dengan kedewasaan moral, pengambilan keputusan etis dan etika bisnis. Pengambilan keputusan yang bertanggung jawab secara etis memerlukan penentuan fakta-fakta di dalam situasi dilematis. Sebuah penilaian etis yang dibuat berdasarkan penentuan yang cermat atas fakta-fakta yang ada merupakan sebuah penilaian etis yang lebih masuk akal daripada penilaian yang tidak berdasarkan fakta-fakta. Seseorang yang bertindak sesuai dengan pertimbangan yang cermat akan fakta telah bertindak dalam cara yang mendalam dengan pertimbangan yang lebih bertanggung jawab secara etis daripada orang yang bertindak tanpa pertimbangan mendalam (Hartman dan DesJardins, 2011). Tindakan yang etis inilah yang akan membantu seseorang untuk memecahkan dilema yang dihadapi. Tindakan etis menyangkut tentang tindakan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukannya. Semua tindakan yang seharusnya dilakukan oleh akuntan dalam hal pengambilan keputusan etis pada saat menghadapi dilema etis, menyangkut tentang keputusan yang berasal dalam diri akuntan tersebut. Keputusan yang berasal dari dalam diri merupakan keputusan yang berasal dari suara hati atau hati nurani pihak yang bersangkutan. Hati nurani adalah “instansi” dalam diri kita yang menilai tentang moralitas perbuatan-perbuatn kita, secara langsusng, kini dan disini. Hati nurani itulah yang akan memerintahkan atau melarang seseorang untuk melakukan sesuatu, sekaligus menjadi saksi terhadap perbuatan yang dilakukan oleh manusia (Bertens, 2011). Menurut Rindjin (2004), hati nurani semacam cahaya yang menerangi hati kita. Hati nurani memiliki dimensi subyektif mengenai rasa dan rasio, dimana pernyataan moral dikaitkan dengan perasaan dan keputusan etis lahir dari penalaran yang rasional. Dimensi inilah yang membuat seseorang akan mengambil keputusan dengan pertimbangan untuk mentolerir suatu tindakan yang benar menurut Tuhan, subyektifitas individu, maupun solidaritas umum. Dalam kepentingan pelaksanaan tugas audit, auditor internal harus memahami aturan perusahaan dan profesi yang berlaku. Namun ketika diperhadapkan dengan dilema etis, keputusan yang diambil tidak semata-mata berpedoman pada aturan saja berbeda dengan auditor eksternal yang lebih mengedepankan peraturan yang berlaku. Tentu saja karena auditor internal merupakan bagian dalam dari perusahaan akan lebih memahami situasi perusahaan dimana ia bekerja dan ia terlibat langsung secara emosional dalam operasional perusahaan. Sehingga auditor internal akan melibatkan hati nuraninya sebagai pertimbangan kognitif dalam mengambil keputusan daripada auditor eksternal. Hal ini dikarenakan auditor eksternal berada di luar perusahaan dan lebih berpedoman pada kebijakan-kebijakan profesinya daripada keterlibatan hati nuraninya, sehingga kognitif yang dimiliki oleh auditor eksternal tidaklah sebesar yang dimiliki oleh auditor internal. Dalam teori perkembangan moral Kolhberg pada tahap tertinggi, menempatkan suara hati atau hati nurani sebagai pertimbangan dalam keputusan etis setelah prinsip-prinsip peraturan. Kohlberg menegaskan hanya pikiran atau bahasa tahap 6-lah yang sepenuhnya bersifat moral, bahwa setiap tahap yang lebih tinggi semakin mendekati karakteristik bahasa moral (Kohlberg, 1995). Sehingga hipotesis yang dapat disusun dalam penelitian ini adalah: H1: Auditor internal mencapai perkembangan moral kognitif lebih tinggi daripada auditor eksternal dalam pengambilan keputusan etis saat menghadapi dilema etis. Telah banyak penelitian yang menggunakan faktor demografi sebagai perkembangan tersebut faktor moral meliputi yang kognitif. umur, menentukan Faktor-faktor jenjang pendidikan, level demografi gender, pengalaman kerja (Tarigan dan Satyanugraha, 2005; Venesia et al., 2011). Penelitian Trevino (1986) mengungkapkan variabel model interaksi pembuatan keputusan etis dalam organisasi yaitu variabel individu (ego strength, field dependence, locus of control) dan variabel situasional (characteristics of work, organizational culture, immediate job context). Penelitian ini juga akan menambahkan beberapa faktorfaktor yang dapat mempengaruhi perkembangan moral kognitif seseorang yaitu gender, umur, pengalaman kerja dan jenjang pendidikan (White Jr.,1999; Izzo, 2000; Tarigan dan Satyanugraha, 2005; Venesia et al., 2011 dan Thoma dan Dong, 2012). Teori perkembangan moral Kohlberg (1969) mengasumsikan bahwa nilai moral seseorang meningkat sejalan dengan umur (Tarigan dan Satyanugraha, 2005). Rest (1986) melaporkan bahwa ada dua hal dominan yang menentukan perkembangan moral seseorang adalah umur dan pendidikan (White Jr., 1999). Selain itu, gender juga memainkan peranan penting dalam perkembangan moral seseorang (Eynon et al., 1997; White Jr., 1999). Venesia et al. (2011), meneliti hubungan dan menemukan korelasi antara pengalaman kerja, edukasi, umur, gender dan pengalaman manajemen berhubungan dengan kedewasaan moral, pengambilan keputusan etis dan etika bisnis. Thoma dan Dong (2012) menyatakan umur, pendidikan, gender memiliki korelasi yang tinggi terhadap perkembangan moral yang diukur dengan DIT. Seseorang yang mempunyai perasaan dan intuitif yang kuat memiliki perkembangan moral yang lebih tinggi dari yang lain. H2: Level perkembangan moral kognitif auditor dipengaruhi secara signifikan oleh gender subyek. H3: Level perkembangan moral kognitif auditor dipengaruhi secara signifikan oleh tingkat umur subyek. H4: Level perkembangan moral kognitif auditor dipengaruhi secara signifikan oleh pengalaman kerja subyek. H5: Level perkembangan moral kognitif auditor dipengaruhi secara signifikan oleh tingkat pendidikan kerja subyek.