PEMULIHAN HAK-HAK PEJABAT TERSANGKA KORUPSI YANG

advertisement
PEMULIHAN HAK-HAK PEJABAT TERSANGKA KORUPSI YANG DIPUTUS
BEBAS BERDASARKAN KUHAP
Oleh,
FACHRUDIN RAZI
ABSTRAK
Seringkali penegak hukum memahami pemaknaan keliru atas fungsi, tugas dan
wewenang pejabat aparatur negara maupun pejabat Daerah itu sebagai tindak pidana, meski
kadangkala pemaknaan area Hukum Pidana tidak terlepas terhadap persoalan implementasi
fungsi tersebut. Putusan bebas dalam perkara korupsi dibenarkan dalam hukum formil KUHAP,
tetapi fenomena tersebut seringkali menimbulkan kecurigaan masyarakat terhadap hakim yang
menjatuhkan putusan bebas. Putusan hukum tidak secara otomatis menghasilkan keadilan, atau
justru sebaliknya menciptakan ketidak adilan. Terdakwa yang diputus bebas harus mendapatkan
rehabilitasi berupa pemulihan hak-hak dan kedudukannya sesuai dengan ketentuan Pasal 95-97
KUHAP, akan tetapi dalam kenyataan rehabilitasi tersebut sulit untuk didapatkan terdakwa,
sehingga penerapan Pasal 94 sampai dengan Pasal 97 KUHAP belum tercapai. Adapun
permasalahan Bagaimanakah efektifitas pemulihan hak-hak pejabat pemerintah daerah terduga
korupsi yang dinyatakan tidak bersalah berdasrkan ketentuan KUHAP ? Bagaimanakah kendala
dalam pemulihan hak-hak pejabat pemerintah atau Daerah yang dinyatakan tidak bersalah
dalam perkara korupsi?
Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu
menetapkan standar norma tertentu terhadap suatu fenomena dengan mengkaji data-data
sekunder serta membahas Efektiftas pemulihan hak-hak tersangka atau terdakwa berdasarkan
Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana,
Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan
analisis data menggunakan metode yuridis kualitatif, yaitu bersumber dari studi kepustakaan
dan studi lapangan, kemudian disusun secara sistematis, setelah dianalisa disajikan secara
diskriptif. Penelitian lebih menekankan pada kajian analisis data sekunder atau studi
kepustakaan yang ditunjang dengan data primer yaitu studi lapangan.
Berdasarkan pembahasan tersebut diatas penulis menarik sebuah kesimpulan sebagai
berikut: Pertama, Efektifitas pemulihan hak-hak pejabat Pemerintah dan Daerah tersangka atau
terdakwa perkara korupsi berdasarkan ketentuan Pasal 95 dan Pasal 97 KUHAP pada saat ini
tidak efektif, dikarenakan pejabat Pemerintah atau Daerah yang diduga melakukan korupsi akan
tetapi dalam pengadilan di putus bebas tidak dikembalikan kembali harkat, martabat serta
kedudukannya, dimana pengadilan hanya memberikan putusan bebas saja tanpa adanya perintah
untuk memulihkan hak-hak pejabat Pemerintah atau Daerah tersebut, seharusnya didalam amar
putusannya harus mencamtumkan pemulihan hak-hak dan mengembalikan kedudukan atau
jabatan semula yang ditempati oleh Pejabat Pemerintah atau daerah tersebut karena tidak
terbukti perbuatan korupsi tersebut. Kedua, kendala-kendala dalam pelaksanaan pemulihan hakhak terhadap pejabat Pemerintah atau Daerah yang diduga melakukan korupsi dikarenakan tidak
adanya ketentuan yang mengatur ganti kerugian atau pemulihan hak terhadap putusan bebas,
disamping itu hakim didalam putusannya tidak mencamtumkan mengenai pemulihan hak atau
ganti kerugian, serta harus ada kekuatan hukum tetap (Ingkrah), dimana untuk proses ini
membutuhkan waktu yang sangat lama sehingga untuk melakukan pemulihan hak-hak terhadap
tersangka atau terdakwa menjadi proses yang panjang. Dikarenakan jabatan yang dijabat oleh
tersangka atau terdakwa tersebut telah digantikan oleh orang lain sehingga tidak dapat
menduduki jabatan semula.
Kata Kunci : Efektifitas Pemulihan Hak-hak pejabat tersangka korupsi yang di putus bebas
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penegakan hukum (law enforcement) yang seharusnya memperlihatkan tegaknya
sendi-sendi hukum dan terwujudnya keadilan sebagai tujuan utama dari hukum, ternyata
tidak selamanya berjalan lurus sesuai dengan yang diharapkan.1) Bahkan seringkali
penegakan hukum itu mempertontonkan fakta yang sebaliknya, yaitu terlanggarnya
kaidah-kaidah hukum yang dilakukan oleh penegak hukum itu sendiri. Hal ini seolaholah semakin menunjukkan kepada publik bahwa penegakan hukum hanyalah suatu
proses formal yang hasilnya sangat bergantung pada subyektivitas dan keberpihakan
para penegaknya. Bila demikian, maka hal itu telah mengenyampingkan makna filosofis
dari penegakan hukum itu sendiri.
Putusan bebas dalam perkara pidana tidak hanya menimbulkan persoalan baru
dalam dunia hukum, tetapi juga dalam penerimaan masyarakat yang acapkali dinilai
legalitas hukum tidak berpihak pada rasa keadilan masyarakat.2)Meskipun putusan
bebas dibenarkan dalam hukum formil Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(yang selanjutnya disingkat KUHAP), tetapi fenomena tersebut seringkali menimbulkan
kecurigaan masyarakat terhadap hakim yang menjatuhkan putusan bebas.
Putusan hukum tidak secara otomatis menghasilkan keadilan, atau justru
sebaliknya menciptakan ketidakadilan. Kaidah hukum yang terurai dalam peraturan
perundang-undangan, hanya dapat hidup dan bekerja apabila digerakkan oleh para
pelaksananya. Kenyataan para pelanggar hukum yang dapat lolos dari jeratan hukum,
merupakan tantangan bagi aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) yang perlu
dijawab. Tentu amat melukai rasa keadilan masyarakat, jika hukum tidak mampu
memberikan keadilan akibat manuver para kriminal yang tidak diantisipasi oleh hakim
dalam sidang pengadilan.
Pada kondisi tersebut, hukum lebih cenderung digunakan secara keliru atau
menyimpang dari fungsi dan tujuan asasinya. Mestinya hukum ditentukan dan
dilaksanakan berdasarkan itikad yang otentik, dan hal ini banyak dikaji dalam teori
sosiologi hukum bahwa hukum bukan hanya peraturan, melainkan juga komitmen,
perilaku, dan struktur sosial. Semangat reformasi untuk menegakkan supremasi hukum,
masih jauh dari harapan karena belum dikelola oleh manusia pilihan yang bernama
hakim yang seharusnya memiliki integritas dan komitmen moral yang tinggi.
Berkaitan perkara korupsi Terdakwa yang diputus bebas tersebut Pasal 97 dan
Pasal 194 ayat (2) dan (3) KUHAP dapat dijadikan dasar telah terjadi perbuatan
melawan hukum oleh jaksa penuntut umum sehingga dijadikan alasan hukum untuk
menuntut ganti rugi tersebut. Dengan catatan setelah hakim mempertimbangkan alasanalasan yang sah dan selanjutnya dalam putusannya mencantumkan penetapan supaya
barang bukti diserahkan kepada yang berhak segera setelah sidang selesai. Dengan
demikian tidak ada lagi hak jaksa penuntut umum untuk menahan barang bukti
terdakwa yang diduga selama ini sebagai barang bukti tindak kejahatan.
Perlindungan yang ada dalam KUHAP lebih banyak melindungi hak asasi si
pelaku tindak pidana dari pada hak asasi/kepentingan korban tindak pidana, untuk hal
tersebut dapat di kemukakan ketentuan-ketentuan yang melindungi atau memperhatikan
kepentingan korban hanya mengenai praperadilan dan gabungan gugatan ganti kerugian,
degan kata lain sistem yang dianut oleh KUHAP adalah retributivejustice, yaitu suatu
1)
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Refika Aditama Bandung;
2003, hlm. 20
2)
Soeharto, ,Hukum Pidana Materiil, Sinar Grafika Jakarta, 1993, hlm. 60
kebijakan yang titik perlindungannya adalah si pelaku tind pidana (offender oriented)
bukan restorative justice yang fokus kebijakan perlindungan terhadap korban tindak
pidana (victim oriented).3) Hal yang sering muncul dalam penanganan perkara korupsi
yaitu adanya putusan bebas terhadap tersangka pejabat yang diduga melakukan tindak
pidana korupsi.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarakan latar belakang tersebut diatas maka penulis mengangkat
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah efektifitas pemulihan hak-hak pejabat pemerintah atau daerah
terduga korupsi yang dinyatakan tidak bersalah berdasarkan ketentuan
KUHAP ?
2. Bagaimanakah kendala dalam pemulihan hak-hak pejabat pemerintah atau
Daerah yang dinyatakan tidak bersalah dalam perkara korupsi?
C. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu
menetapkan standar norma tertentu terhadap suatu fenomena dengan mengkaji data-data
sekunder serta membahas Efektiftas pemulihan hak-hak tersangka atau terdakwa berdasarkan
Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana,
Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan
analisis data menggunakan metode yuridis kualitatif, yaitu bersumber dari studi kepustakaan
dan studi lapangan, kemudian disusun secara sistematis, setelah dianalisa disajikan secara
diskriptif. Penelitian lebih menekankan pada kajian analisis data sekunder atau studi
kepustakaan yang ditunjang dengan data primer yaitu studi lapangan.
TINJAUAN PUSTAKA
Kewenangan Pejabat pemerintah Negara dan pejabat pemerintah Daerah
Istilah “Pejabat pemerintah” atau “Pejabat Publik” terdiri dari dua suku kata,
yaitu “Pejabat” dan “Publik”. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBIH) memberi
pengertian “Pejabat” dengan: pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting
(unsur pimpinan) . Sementara, istilah „Publik: diartikan dengan: orang banyak
(umum).4)Dari pengertian ini, dapat dipahami bahwa “Pejabat Publik” adalah pegawai
pemerintah yang memegang jabatan penting sebagai pimpinan yang mengurusi
kepentingan orang banyak. Dengan defenisi yang demikian, seseorang dapat dikatakan
sebagai “Pejabat Publik” apabila memenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu: (i) bahwa dia adalah
pegawai pemerintah; (ii) menjabat sebagai pimpinan dan (iii) bahwa tugasnya adalah
mengurusi kepentingan orang banyak.Dalam kaitannya dengan hukum tata negara dan
hukum administrasi negara, istilah ”Pejabat Publik” memiliki makna yang similar
(sama) dengan istilah ”Pejabat Tata Usaha Negara”. Oleh karenanya, perlu
dikemukakan pendapat Hans Kelsen sebagaimana dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie
, bahwa setiap jabatan yang menjalankan fungsi-fungsi „law creating function and law
applying function‟ adalah pejabat tata usaha negara.5) Artinya, bahwa setiap jabatan
3)
Parman Soeparman, Kepentingan Korban Tindak Pidana Dilihat Dari Sudut Viktimologi,
Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun Ke XXII No. 260 Juli 2007, hlm. 50.
4)
Soetidjo, “Hubungan Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah.PT. Rineka Cipta,
Jakarta 1990, hlm. 5
5)
Jimly Asshiddiqie dalam Suharizal, Reformulasi Hubungan Pusat dan Daerah, Harian Mimbar
Minang, 23 Februari 2001, hlm. 20
yang melaksanakan fungsi-fungsi pembuatan dan pelaksanaan norma hukum negara
dapat disebut sebagai pejabat tata usaha negara atau pejabat publik.
Pandangan Hans Kelsen tersebut juga mensyaratkan 3 (tiga) hal, yaitu : 6) (i)
adanya jabatan; (ii) adanya fungsi pembentukan norma hukum negara yang melekat
pada jabatan tersebut; dan (ii) selain fungsi pembuatan norma hukum negara, juga
melekat fungsi pelaksanaan norma hukum negara pada jabatan tersebut. Pengertian
jabatan disini barangkali dapat dirujuk sebagaimana dikemukakan di atas. Dalam
menggali pengertian yang lebih mendalam tentang ”Pejabat Publik”, dalam hal ini
Pejabat Tata Usaha Negara”, perlu dikemukakan bagaimana Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 juncto Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 juncto Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004, pada Pasal 1 angka 2 menyatakan : Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah
Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Badan yang dimaksudkan disini adalah institusi atau
organ, sementara pejabat adalah orang perorangan yang menduduki jabatan tertentu.
Jika dicermati bunyi ketentuan tersebut, bahwa Pejabat Tata usaha Negara itu bukan
hanya pegawai pemerintah saja, akan tetapi siapapun, institusi atau orang perorang,
yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan atas amanat dari peraturan perundangundangan, dapat disebut sebagai Pejabat Tata Usaha Negara. UU No. 8 tahun 2008
memberi peristilahan yang lebih tegas dan jelas, hal ini sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 1 angka 8 : Pejabat Publik adalah orang yang ditunjuk dan diberi tugas untuk
menduduki posisi atau jabatan tertentu pada badan publik. Sementara, yang dimaksud
badan publik sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang yang
sama : Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan lain yang
fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian
atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah
yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat,
dan/atau luar negeri.Dari berbagai pandangan yang dipaparkan mengenai pengertian
”Pejabat Publik”, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan ”Pejabat Publik”
adalah orang yang menduduki jabatan pada organ pemerintahan atau nonpemerintahan,
yang tugas dan fungsi pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, dimana
untuk menjalankan tugas dan fungsi tersebut digunakan dana yang bersumber dari
keuangan negara (APBN dan/atau APBD), apakah sebagian atau seluruhnya. 7)
Penyelenggaraan pemerintahan negara Indonesia meliputi pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Pemerintahan pusat di jalankan oleh presiden, seperti yang di atur
dalam Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi ”presiden republik Indonesia memegag
kekuasaan pemerintahan menurut UUD”. Dalam menjalankan pemerintahan, presiden
di Bantu oleh wakil presiden, menteri-menteri, dan kepala lembaga pemerintahan
nondepartemen.Kesemua tingkatan tersebut kemudian di sebut pemerintah pusat atau
pemerintah.
6)
Hans Kelsen dalam Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum
(PSH) FH-UII, Yogyakarya, 2001, hlm. 7
7)
S.H Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
Cetakan I, Juli 1999, hlm. 20
Kelembagaan Pemerintah Daerah merupakan elemen dasar dalam
penyelenggaraan pemerintahan di suatu daerah, selain elemen urusan pemerintahan dan
kapasitas aparatur pemerintah daerah itu sendiri. Pengaturan terhadap kelembagaan atau
sering disebut dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), telah diatur dan ditetapkan
berdasarkan PP No. 84 Tahun 2000, yang diganti dengan PP No. 8 Tahun 2003, dan
kemudian direvisi menjadi PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.
Dalam PP No. 41 Tahun 2007 tersebut, disebutkan bahwa pelaksanaan peraturan
perundangan ini diharapkan dapat selesai dalam waktu 1 tahun sejak ditetapkan. Akhir
tahun 2008 merupakan batas waktu bagi pemerintah daerah untuk menetapkan
Peraturan Daerah mengenai Organisasi Perangkat Daerah berdasarkan PP No. 41 Tahun
Definisi Pemerintahan Daerah berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah Pasal 1 ayat 2, adalah sebagai berikut :
“Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintahan daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip
NegaraKesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
Melihat definisi pemerintahan daerah seperti yang telah dikemukakan
diatas,maka yang dimaksud pemerintahan daerah disini adalah penyelenggaraan daerah
otonom oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas desentralisasi dan unsur
penyelenggara pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat
daerah.8)Secara konseptual perlu dipahami tentang posisi pemerintah daerah sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yaitu bahwa
yang dimaksud dengan pemerintahan daerah adalah: penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Dengan demikian peran
pemerintah daerah adalah segala sesuatu yang dilakukan dalam bentuk cara tindak baik
dalam rangka melaksanakan otonomi daerah sebagai suatu hak, wewenang, dan
kewajiban pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Juga sebagai daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, peran pemerintah daerah juga dimaksudkan
dalam rangka melaksanakan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas perbantuan sebagai
wakil pemerintah di daerah otonom yaitu untuk melakukan:
1. Desentralisasi yaitu melaksanakan semua urusan yang semula adalah
kewewenang pemerintahan menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
8)
Ibid. hlm. 35
2. Dekonsentrasi yaitu menerima pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi
vertikal di wilayah tertentu untuk dilaksanakan; dan
3. Tugas pembantuan yaitu melaksanakan semua penugasan dari Pemerintah
kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota
dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk
melaksanakan tugas tertentu.
Pemerintah daerah mampu menerima semua kewenangan yang diserahkan untuk
dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.Untuk melaksanakan semua
tugas-tugas tersebut semua kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah hendaknya selalu
dipertimbangkan dan dikaitkan dengan kepentingan pemerintah pusat dan kepentingan
daerah. Karena itu, diperlukan pemahaman dan persepsi yang sama terhadap kebijakan
nasional agar dapat dijadikan kebijakan daerah, karena memiliki kepentingan bagi dua
pihak. Sedangkan Mustopadidjaja menyatakan bahwa pemerintah sangat ditentukan
oleh tiga hal yaitu aparatur pemerintah, organisasi birokrasi, dan prosedur
tatalaksananya, karena itu apabila operasionalisasi suatu kebijakan ingin dapat berjalan
secara optimal dan sebagaimana mestinya perlu dilakukan sosialisasi dan pemberdayaan
terhadap aparatur pemerintahan agar prosedur ketata laksanaan dan bentuk organisasi
birokrasinya sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan dari misi yang akan dicapai. 9)
Karena itu dalam mengoperasionalkan kebijakan manajemen aset di kabupaten atau
kota diperlukan peran pemerintah daerah kabupaten atau kota dalam hal ini, persepsi
atau pemahaman dari pelaksananya haruslah sesuai dengan maksud, tujuan, dan sasaran
dari kebijakan tersebut, dengan demikian setiap pelaksanan harus mengerti benar
tentang konsep persepsi sebagai langkah awal dari motivasi yang akan mewarnai cara
bertindak.
Menurut Bagir Manan dengan mengacu kepada beberapa pendapat para sarjana,
menjelaskan pula bahwa secara yuridis ada perbedaan yang sangat nyata antara „negara‟
dan „pemerintah‟. Negara adalah sebuah badan (body), sedangkan „pemerintah‟ adalah
alat kelengkapan negara (organ).10)
Tindak Pidana Korupsi.
Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio – corruptus, dalam Bahasa
Indonesia disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption, dan dalam
Bahasa Sansekerta yang tertuang dalam Naskah Kuno Negara Kertagama arti harfiah
corrupt menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejad, tidak jujur yang
disangkut pautkan dengan keuangan.11)
Pengertian lain korupsi dapat pula dilihat sebagai perilaku tidak mematuhi
prinsip, artinya dalam pengambilan keputusan di bidang ekonomi, baik dilakukan oleh
perorangan di sektor swasta maupun pejabat publik, menyimpang dari aturan yang
berlaku.12)Hakekat korupsi berdasarkan hasil penelitian World Bank adalah ”An Abuse
9)
Mustopadidjaja dalam Ranny Emilia, dalam makalah “Suatu Kajian Otonomi Daerah Menuju
Optimalisasi Sumber Daya, Guna Mencapai Masyarakat Adil dan Makmur”, disampaikan pada
simposium nasional dan dialog mahasiswa se-Sumatera barat di Padang, 29-31 Oktober 1998 tanggal
akses 1 Desember 2012
10)
Bagir Manan Op.cit.hlm. 45
11)
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, Cetakan Keempat, 1996, hlm. 115.
12)
Vito Tanzi, Corruption, Governmental Activities, and Markets, IMF Working Paper, Agustus
1994.
Of Public Power For Private Gains”13, penyalahgunaan kewenangan / kekuasaan untuk
kepentingan pribadi.
Pengertian korupsi secara yuridis, baik arti maupun jenisnya telah dirumuskan,
di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan undang-undang sebelumnya,
yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Dalam pengertian yuridis, pengertian
korupsi tidak hanya terbatas kepada perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, tetapi meliputi juga perbuatanperbuatan yang memenuhi rumusan delik, yang merugikan masyarakat atau orang
perseorangan.
Oleh karena itu, rumusannya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara, (sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1)
dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi).
2. Kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun
pasif (yang disuap) serta gratifikasi. (sebagaimana diatur dalam
Pasal 5 ayat(1) dan ayat (2), Pasal 6 ayat(1) dan ayat (2), Pasal 11,
Pasal 12 huruf a, b, c, dan d, serta Pasal 12B ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Piddana Korupsi).
3. Kelompok delik penggelapan. (sebagaimana diatur dalam Pasal 8,
Pasal 10 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi).
4. Kelompok delik pemerasan dalam jabatan (knevelarij, extortion).
(sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf e dan huruf f UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
5. Kelompok delik pemalsuan. (sebagaimana diatur dalam Pasal 9
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi).
6. Kelompok delik yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir
dan rekanan. (sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 12 huruf g dan huruf i Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
Dari 6 (enam) kelompok delik di atas, hanya 1 (satu) kelompok saja yang
memuat unsur merugikan negara diatur di dalam 2 pasal yaitu pasal 2 dan 3, sedangkan
5 kelompok lainnya yang terdiri dari 28 pasal terkait dengan perilaku menyimpang dari
penyelenggara negara atau pegawai negeri dan pihak swasta.
Perlindungan Hak-hak Terduga Korupsi dalam Proses Peradilan Pidana
Definisi di dalam KUHAP tentang tersangka dan terdakwa terdapat pada Pasat 1
Butir 14, mengenai tersangka sebagai berikut:
13)
World Bank, World Development Report – The State in Changing World, Washington, DC,
World Bank, 1997.
“Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”.
Sedangkan butir 15 mengenai terdakwa ialah sebagai berikut:
“Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di
sidang pengadilan”.
Definisi di atas berlainan dengan Wetboek van Strafvordering (W.Sv.) Belanda
yang tidak lagi membedakan istilah beklaagde dan verdachte, tetapi hanya satu istilah
saja untuk kedua macam pengertian itu, yaitu verdachte. Meskipun demikian, tetap
dibedakan pengertian verdachte sebelum penuntutan yang sepadan dengan istilah
tersangka dan verdachte sesudah penuntutan yang sepadan pula dengan istilah
terdakwa.14) Yang sejajar dengan KUHAP kita ialah KUHAP Inggris dan Amerika
Serikat yang membedakan istilah the suspect sebelum penuntutan dan the accused
sesudah penuntutan.
Salah satu hak tersangka / terdakwa yang sering dipermasalahkan ialah hak
untuk memilih menjawab atau tidak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh penyidik,
penuntut umum dan hakim. Sering hak ini dikaitkan orang dengan asas akusator
(accusatoir).
Di Inggris berlaku hak untuk tidak menjawab pertanyaan, bahkan sangat ketat.
Pemeriksa harus mulai dengan mengatakan kepada the suspect bahwa Ia mempunyai
hak untuk diam, tidak menjawab pertanyaan.15) Tidak ada di dalam KUHAP ketentuan
demikian, karena ini akan sangat mempersulit pemeriksaan.
Pada Pasal 52 KUHAP hanya dikatakan:
“Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadiian, tersangka atau
terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau
hakim”.
Dalam penjelasan pasal itu, jelas yang dimaksud yaitu tersangka tidak boleh
dipaksa atau ditekan. Jadi, tidak dijelaskan apakah tersangka atau terdakwa berhak
berdiam tidak menjawab pertanyaan. Penjelasan itu mengatakan:
“Supaya pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang daripada
yang sebenarnya, tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh
karena itu, wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan kepada tersangka atau
terdakwa”.
Menurut pendapat Mardjono,16) hak-hak yang diberikan oleh KUHAP tersebut di
atas bukan kepada tersangka/terdakwa sebagai pelanggar hukum, tetapi sebagai
“manusia” yang mempunyai hak dan kewajiban, manusia sebagai objek dan subjek
anggota masyarakat. Jika seorang tersangka/terdakwa yang diperiksa karena kebenaran
material sungguh-sungguh adalah pelaku suatu delik, hal itu merupakan suatu risiko
perbuatannya sendiri yang melanggar hukum itu. Akan tetapi, seorang tersangka/
terdakwa belum tentu sungguh-sungguh bersalah seperti yang dilaporkan, diadukan atau
didakwakan. Setiap orang dianggap tidak bersalah sampai ada keputusan hakim yang
tetap bahwa ia bersalah (presumption of innocence).
Rehabilitasi Dan Ganti Rugi
Dimaksud dengan penahanan dalam rangka rehabilitasi dan ganti kerugian ini,
maka perlu kita tinjau sepintas lalu apa yang dimaksud dengan rehabilitasi dan ganti
14)
Andi Hamzah, dalam Mien Rukmini, Op.cit hlm. 90
Patrick Devlin, Terpetik dari Mardjono Reksodiputro, The Criminal Prosecution in England,
london: Oxford University Press, 1966, hIm. 26.
16)
Mardjono dalam Mien Rukmini, Op.cit. hlm. 92
15)
rugi dan apa yang menjadi tujuannya. Telah diuraikan bahwa dalam Pasal 98 KUHAP
dan penjelasan Pasal 9 Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman diterangkan bahwa pengertian rehabilitasi dalam undang-undang ini adalah
pemulihan hak seseorang dalam kemampuan atau posisi semula yang diberikan oleh
pengadilan.
Apa yang dapat diberikan oleh pengadilan ialah suatu keputusan bahwa
tersangka berhak atas rehabilitasi. Misalnya tersangka seorang pegawai negeri dan
sehubungan dengan perkaranya, oleh intansi di mana dia bekerja telah dipecat atau
diskors, maka dengan hak rehabilitasi yang diberikan oleh pengadilan, ia mengharapkan
segera direhabilitasi oleh intansi yang bersangkutan.
Mengenai ganti rugi, bagaimana hakim harus menilai kerugian yang diderita
tersangka. Bagaimana prosedurnya untuk mendapat ganti rugi. Siapa yang harus
mengganti kerugian.Bagaimana kalau tersangka mati dalam tahanan. Apa yang menjadi
rujukan dan rehabilitasi dan ganti rugi tersebut juga sudah disinggung dalam Penjelasan
Umum Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu untuk
menjaga supaya keadilan dijalankan seobyektif mungkin.17)Dalam praktek artinya ialah
supaya yang lemah itu haknya dilindungi, sebab yang kuat dengan sendirinya haknya
sudah terjamin.
Menurut Pasal 9 Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, ganti rugi dan rehabilitasi dilakukan bagi orang yang salah atau keliru
ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili. Yang selama ini biasa kita dengar ialah
tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi setelah diputus oleh pengadilan, yaitu tadinya
dituntut melakukan suatu tindak pidana, kemudian oleh pengadilan diputus
bebas.18Yang bersangkutan menuntut ganti rugi melalui suatu tuntutan perdata, dan
kalau pegawai negeri minta direhabilitasi kepada intansi yang telah memecatnya atau
menjatuhkan skorsing terhadap dirinya.Tetapi dalam soal ditangkap atau ditahan, di
mana terhadap yang bersangkutan belum dilakukan pemecatan oleh intansi di mana dia
bekerja, maka di sini soal rehabilitasi belum menjadi masalah.Ganti rugi dapat diajukan
sebagai akibat kerugian material dan moral yang dideritanya disebabkan penangkapan
atau penahanan tersebut.19)
Cara untuk menuntut ganti kerugian, rehabilitasi dan pembebanan ganti
kerugian, diatur lebih lanjut dengan undang-undang sebagaimana yang ditentukan
dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Rehabilitasi dan Ganti rugi Sehubungan dengan Penahanan yang Keliru atau
Tidak Sah telah dijelaskan bahwa kita berpangkal tolak dari ketentuan dalam Pasal 9
Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menetapkan
bahwa seseorang berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi apabila ia ditangkap,
ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau
karena terjadi kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan (ayat 1).20)
Di sini dikatakan orang itu berhak menuntut jadi artinya ia bisa menuntut kalau
mau dan bisa juga tidak menuntut kalau tidak mau. Tentu ia mempertimbangkan dulu
untung ruginya dan penuntutan tersebut.Dalam ayat 3 ditentukan bahwa cara menuntut
17)
Harris, Rehabilitasi Serta Ganti Rugi Sehubungan dengan Penahanan yang Keliru atau Tidak
Sah, Binacipta, Jakarta, 1983. hlm 123
18)
Ibid. hlm 124
19)
Ibid. hlm 125
20)
Ibid. hlm 126
ganti kerugian, rehabilitasi dan pembebanan ganti kerugian diatur lebih lanjut dengan
undang-undang. Di sini ada 3 fokok yang perlu diatur dengan undang-undang yaitu : 1.
jumlah kerugian yang harus diganti, 2. siapa yang harus dibebani ganti kerugian itu,
pejabat yang berwenang memutuskan tentang ganti rugi dan masalah rehabilitasi. Telah
disinggung bahwa berdasarkan Pasal 22 Algemeene Bepalingen wetgeving, hakim tidak
boleh menolak mengadili dengan dalih bahwa undang-undangnya belum ada.Tidak ada
jalan lain kecuali menuntut melalui proses perkara perdata yaitu berdasarkan Pasal 1365
B.W. (Burgerlijk Wetboek). Pasal 1365 B.W. ini berbunyi: “Tiap perbuatan melanggar
hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Peraturan ini termuat dalam B.W. yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata
yang berlaku bagi golongan Eropa dan Timur Asing.Mengapa peraturan ini dapat
diberlakukan terhadap pelanggaran KUHP, yaitu pelanggaran di bidang hukum pidana,
khusus di sini mengenai penahanan. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Perbuatan
Melanggar Hukum cetakan III halaman 81 dan 82 sebagai berikut:
“Suatu peraturan hukum perdata yang berlaku dalam hal pertanggungjawaban
negara atas perbuatan alat-alat perlengkapan pemerintah adalah Pasal 1365 B.W.
B.W. pada umumnya merupakan hukum perdata bagi orang Eropa dan bangsa
Timur Asing seperti Tionghoa, Arab dan sebagainya, sedang hukum perdata bagi orang
Indonesia asli pada umumnya adalah hukum adat.Perihal Pasal 1365 B.W. dapat
dikatakan sebagai berikut:
Pasal 1365 B.W. ini mengenai pertanggungjawaban negara atas perbuatan alat
perlengkapan pemerintah yang melanggar hukum, boleh dianggap bahwa Pasal 1365
B.W. tidak hanya berlaku bagi tindakan pemerintah terhadap orang Eropa dan bangsa
Timur Asing saja. Kalau dalam suatu peristiwa, pemerintah dipertanggungjawabkan
atas perbuatan alat perlengkapannya berdasar Pasal 1365 B.W., maka harus dianggap
bahwa pertanggungjawaban itu tidak terbatas pada kepentingan orang Eropa dan bangsa
Timur Asing saja yang berhak menuntut perlindungan bagi badan dan harta hendaknya.
Dengan tidak adanya lagi pemerintah Hindia Belanda dan telah digantikannya oleh
pemerintah Republik Indonesia, maka dilihat dari sudut Pasal 1365 B.W. antara
pemerintah dulu dan pemerintah sekarang samasekali tidak ada perbedaan. Pasal 1365
B.W. ini sejak tahun 1924, dimulai dengan suatu putusan pengadilan tertinggi di Negeri
Belanda (Ostermannarrest), oleh yurisprudensi diartikan sedemikian rupa, bahwa
pemerintah bertanggung jawab atas segala perbuatan alat perlengkapannya tidak hanya
yang melanggar hukum perdata, melainkan juga melanggar hukum publik, termasuk
juga hukum tata usaha pemerintahan.
Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga telah
diatur tentang bantuan hukum yaitu dalam Bab VII yang mencakup Pasal-Pasal 35, 36,
37 dan 38. Sesuai dengan ketentuan mengenai ganti rugi, bantuan hukum ini juga
merupakan kebijaksanaan agar usaha di bidang peradilan ini dapat pula dinikmati oleh
rakyat bawahan.Pasal 35 menetapkan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara
berhak memperoleh bantuan hukum. Dalam penjelasan pasalnya diterangkan:
“Merupakan suatu asas yang penting bahwa seorang yang terkena perkara mempunyai
hak untuk memperoleh bantuan hukum. Hal ini dianggap perlu karena ia wajib diberi
perlindungan sewajarnya.
Perlu diingat juga ketentuan dalam Pasal 8, di mana seorang tertuduh wajib
dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.Karena pentingnya,
supaya diadakan undang-undang tersendiri tentang bantuan hukum”.
Sama dengan ganti rugi, masalah bantuan hukum ini juga mengalami kemacetan
oleh karena undang-undang yang mengaturnya belum ada. Sudah banyak suara yang
mendesak baik dan kalangan rakyat biasa maupun dan kalangan sarjana hukum tetapi
rupanya masih banyak hal lain yang perlu diprioritaskan.21)
Dikemukakan pula bahwa dalam bidang pelayanan hukum, pemerataan keadilan
masih belum tercapai sebagaimana yang diharapkan. Diharapkan agar kita bersama
hendaknya dapat mengatur sistem pelayanan hukum sedemikian rupa, sehingga benarbenar setiap warga negara mendapat perlakuan hukum yang sama tanpa pandang
kedudukan, keturunan ataupun kekayaan.22)Dikatakan pula bahwa masih ada golongan
dalam masyarakat kita yang masih kekurangan biaya dan pengertian serta pengetahuan
tentang hukum, seolah-olah mereka tidak dilindungi oleh hukum.Inilah yang
dimaksudkan dengan kemiskinan struktural di bidang pelayanan hukum.
Dalam uraian diatas belum banyak disinggung mengenai rehabilitasi. Dalam
praktek, rehabilitasi hingga kini hanya berlaku bagi pegawai negeri yang tersangkut
suatu perkara dan dipecat dan kemudian dibebaskan oleh hakim. Yang memberikan
rehabilitasi itu bukan hakim tetapi intansi di mana yang bersangkutan bekerja, artinya
oleh intansi ini ia ditetapkan kembali sebagai pegawai negeri. 23)
Dalam penjelasan Pasal 9 Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman antara lain diterangkan bahwa pengertian rehabilitasi dalam
undang-undang ini adalah pemulihan hak seseorang dalam kemampuan atau posisi
semula yang diberikan oleh pengadilan. Rehabilitasi yang diberikan oleh pengadilan ini
tidak sesuai dengan praktek sebab yang merehabilitasi ialah intansi yang memecat. Jadi
yang diberikan oleh pengadilan ialah hak untuk direhabilitasi.Kalau itutansi yang
memecat tidak mau merehabilitasinya, tidak mau memulihkannya dalam kedudukan
semula. Di sinilah diperlukan undang-undang di mana dapat diatur adanya sanksi pidana
atau administratif bagi intansi yang tidak mau merehabilitasi yang bersangkutan.
PEMBAHASAN
A. Efektifitas pemulihan hak-hak pejabat pemerintah daerah terduga korupsi
yang di putus bebas berdasrkan ketentuan KUHAP
Ganti rugi dan “rehabilitasi” diatur dalam Undang-undang No. 8 tahun 1981
tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 yang merupakan Perubahan Peraturan Pemerintah RI
No. 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana,
juga Keputusan Menteri Keuangan RI No. 983/KMK.01/1983 tanggal 31 Desember
1983 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian sedangkan di dalam UndangUndang No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak
mengatur mengenai rehabilitasi dan ganti kerugian terhadap tersangka atau terdakwa
korupsi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 95 KUHAP, tersangka, terdakwa atau terpidana
berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau
21)
Ibid
Roeslan Saleh, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional, Jakarta: Karya Dunia
Fikir, 1996, hlm. 1
23)
Harris Op.cit. hlm 50
22)
dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
Ganti kerugian yang berupa imbalan itu serendah-rendahnya berjumlah Rp
5.000,- (lima ribu rupiah), dan setinggi-tingginya sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta
rupiah). Apabila penangkapan, penahanan dan tindakan lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 95 KUHAP mengakibatkan yang bersangkutan sakit atau cacat sehingga
tidak dapat melakukan pekerjaan atau mati, besarnya ganti kerugian berjumlah setinggitingginya Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah).
Tuntutan ganti kerugian tersebut diajukan dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan
sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (dalam hal perkaranya
diperiksa dan diputus oleh pengadilan). Sedangkan terhadap perkara yang dihentikan
pada tingkat penyidikan atau penuntutan, maka jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung
dari saat pemberitahuan penetapan pra pengadilan. Selanjutnya di dalam Pasal 97
KUHAP disebutkan bahwa seseorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh
pengadilan diputus bebas atau dituntut lepas dari segala tuntutan hukum yang
putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Rehabilitasi tersebut diberikan dan
dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan dimaksud.
Rehabilitasi terhadap mereka yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan dan
diputuskan oleh hakim pra pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 KUHAP,
diajukan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah putusan mengenai sah atau
tidaknya penangkapan atau penahanan diberitahukan kepada pemohon. Amar putusan
dari pengadilan dan amar penetapan pra pengadilan mengenai rehabilitasi tersebut
berbunyi sebagai berikut: “Memulihkan hak terdakwa atau hak pemohon dalam
kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya”.
Ada ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai ganti kerugian
penuntutan dan penahanan tanpa alasan atau karena kekeliruan. Ketentuan mengenai hal
ini dapat kita lihat dalam Pasal 9 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Selain mengacu pada UU Kekuasaan Kehakiman, tersangka yang
dibebaskan dapat melakukan gugatan perdata atas dasar pada perbuatan melawan
hukum (“PMH”) (lihat Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Di sisi lain, mengenai apakah hakim di pengadilan dapat turut digugat perdata,
perlu diketahui bahwa Surat Edaran Mahkamah Agung No. 09 Tahun 1976 tentang
Gugatan Terhadap Pengadilan dan Hakim (“SEMA 09/1976”) menyebutkan: “Hakim
atau seorang pejabat yang bertindak sebagai Hakim Tidak Akan Dapat
dipertanggungjawabkan dan digugat di depan Pengadilan secara Perdata untuk suatu
tindakan yang dilakukan dalam melaksanakan tugas peradilannya, tanpa dihiraukan
apakah tindakan tersebut melampaui batas-batas Kewenangannya, begitu pula tidak
dapat diperintahkan pada Hakim pembayaran ganti rugi, asal saja hakim tersebut patuh
waktu itu secara itikad baik berpendapat bahwa ia berwenang untuk melakukan atau
memerintahkan perbuatan yang digugat tersebut.”
Tersangka yang diputus bebas tidak dapat menggugat hakim yang menjalankan
tugasnya untuk membayar ganti kerugian. Lebih jauh simak artikel Menggugat
Pengadilan Negeri. Kecuali, dalam hal hakim melakukan pelanggaran ketika
melaksanakan kewenangannya, maka hakim tersebut dapat dilaporkan ke Komisi
Yudisial. Akan tetapi, pengaturan SEMA 09/1976 ini tidak berlaku bagi penyidik
kepolisian maupun jaksa penuntut umum. Jadi, penyidik kepolisian dan jaksa penuntut
umum yang melakukan kekeliruan penahanan dapat digugat secara perdata untuk
membayar ganti kerugian atas dasar Putusan. Jadi, apabila seorang terdakwa diputus
bebas, ataupun diputus lepas oleh suatu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap, ia berhak untuk memperoleh suatu rehabilitasi. Rehabilitasi ini dicantumkan
sekaligus dalam putusan pengadilan yang membebaskan atau melepaskan terdakwa
tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 97 ayat (2) KUHAP
Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 11
Tahun 1985 tentang Permohonan Rehabilitasi dari Terdakwa yang Dibebaskan atau
Dilepas dari Segala Tuntutan Hukum (“SEMA No. 11 Tahun 1985”). Dalam SEMA ini
diatur bahwa dalam hal putusan bebas/lepas tidak mencantumkan mengenai rehabilitasi
terdakwa, maka apabila orang tersebut menghendaki agar rehabilitasinya diberikan oleh
Pengadilan, ia dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang
memutus perkaranya dalam tingkat pertama. Ketua Pengadilan Negeri setelah menerima
permohonan itu kemudian memberikan rehabilitasi dalam bentuk penetapan.
Sedangkan rehabilitasi untuk tersangka, diatur dalam Pasal 97 ayat (3) KUHAP:
Jadi, seseorang yang menjadi tersangka berhak untuk menuntut rehabilitasi, apabila
penangkapan, penahanan, penggeledahan atau penyitaan dilakukan tanpa alasan hukum
yang sah.
Pasal 97 ayat (3) KUHAP mengatur bahwa rehabilitasi diputuskan oleh hakim
praperadilan. Jadi, permintaan rehabilitasi untuk tersangka yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan dilakukan melalui proses praperadilan. Hal
demikian untuk memastikan keabsahan penangkapan atau penahanan yang dialami
seseorang dalam tahap penyidikan. Pasal 81 KUHAP selanjutnya mengatur bahwa
permintaan rehabilitasi untuk tersangka yang demikian diajukan oleh tersangka atau
pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Nama baik merupakan tujuan utama orang hidup. Nama baik adalah nama yang
tidak tercela. Setiap orang menjaga dengan hati-hati agar namanya tetap baik. Lebihlebih jika ia menjadi teladan bagi orang/tetangga disekitarnya adalah suatu kebanggaan
batin yang tak ternilai harganya. Betapa besar nilai nama baik itu sehingga nyawa
menjadi taruhannya. Setiap orang tua selalu berpesan kepada anak-anaknya “Jagalah
nama keluargamu!” Dengan menyebut “nama” berarti sudah mengandung arti “nama
baik” Ada pula pesan orang tua “Jangan membuat malu” pesan itu juga berarti menjaga
nama baik. Orang tua yang menghadapi anaknya yang sudah dewasa sering kali
berpesan “laksanakan apa yang kamu anggap baik, dan jangan kau laksanakan apa yang
kamu anggap tidak baik” dengan melaksanakan apa yang dianggap baik berarti pula
menjaga nama baik dirinya sendiri, yang berarti menjaga nama baik keluarga.
Penjagaan nama baik erat hubunganya dengan tingkah laku atau perbuatan. Atau
bisa dikatakan nama baik atau tidak baik itu adalah tingkah laku atau perbuatannya.
Yang dimaksud dengan tingkah laku dan perbuatan itu, antara lain cara berbahasa, cara
bergaul, sopan santun, disiplin pribadi, cara menghadapi orang, perbuatan-perbuatan
yang dihalalkan agama dan lain sebagainya.
Pada hakekatnya, pemulihan nama baik adalah kesadaran manusia akan segala
kesalahannya; bahwa apa yang telah diperbuatnya tidak sesuai dengan ukuran moral
atau tidak sesuai dengan akhlak. Oleh karena itu, tingkah laku dan perbuatan manusia
harus disesuaikan dengan penciptanya sebagai manusia. untuk itu, orang harus
bertingkah laku dan berbuat sesuai dengan ahlak yang baik.
Pemulihan kepada kedudukan atau keadaan yang dahulu atau semula. Pasal 9
UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatakan bahwa seseorang
yang ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan UU, atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan berhak menuntut ganti
kerugian dan rehabilitasi. Pengertian rehabilitasi dalam UU No. 48 Tahun 2009
pemulihan hak seseorang dalam kemampuan atau posisi semula yang diberikan oleh
pengadilan. Kemudian menurut Pasal 1 butir 22 KUHAP. Artinya praperadilan
dilakukan karena permohonan ganti kerugian, karena aparat salah melakukan
penangkapan, atau tidak sesuai dengan hukum dan sebagainya dan setelah itu (setelah
praperadilannya dikabulkan oleh hakim) maka yang bersangkutan bisa meminta
rehabilitasi agar nama baiknya dipulihkan kembali. Pihak-pihak yang berhak
mengajukan rehabilitasi itu adalah pihak yang diputus bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Misalnya seseorang diadili, kemudian diputuskan bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum, maka dia itu berhak memperoleh rehabilitasi atas pemulihan nama baiknya.
Perbedaan antara rehabilitasi dengan pencemaran nama baik adalah bahwa
rehabilitasi dilakukan karena perbuatan aparat penegak hukum. Artinya si pemohon
rehabilitasi adalah tersangka, terdakwa, terpidana yang permohonan praperadilannya
dikabulkan (ada campur tangan aparat) karena rehabilitasi itu adalah hak yang diberikan
oleh KUHAP kepada tersangka atau terdakwa. Rehabilitasi lebih kepada hal yang tidak
berhubungan dengan materi melainkan hanya menyangkut nama baik saja karena
rehabilitasi adalah pemulihan hak seseorang hak atau kemampuan seseorang dalam
posisi semula. Sementara pencemaran nama baik diatur dalam KUHP (mengenai
pencemaran nama baik) adalah gugatan dari seseorang kepada orang lain yang dianggap
telah mencemarkan nama baiknya. Jadi tidak ada campur tangan aparat dalam hal upaya
paksa. Permintaan rehabilitasi bisa diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya.
Jadi ahli waris juga bisa mengajukan rehabilitasi. Begitu juga halnya dengan ganti
kerugian.
Ganti kerugian ini tidak hanya dihubungkan dengan Pasal 1 butir ke 22 KUHAP
saja, tetapi juga dihubungkan dengan Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, sehingga
meliputi tindakan lain seperti kerugian yang ditimbulkan karena pemasukan rumah,
penggeledahan, dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum, termasuk penahanan
yang lebh lama daripada pidana yang dijatuhkan (Penjelasan Pasal 95 ayat (1)
KUHAP). Selain itu Ganti Kerugian dapat juga dimintakan jika terjadi penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan (Pasal 77 huruf b KUHAP)
Kewenangan memeriksa /mengadili dan memutus tuntutan ganti kerugian dapat
dilakukan oleh hakim sidang praperadilan atau hakim pada sidang pengadilan negeri
yang berwenang mengadili perkara pidana yang bersangkutan. Dalam memeriksa dan
memutus perkara tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud Pasal 95 ayat (1)
KUHAP, Ketua pengadilan negeri sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang
pernah mengadili perkara pidana yang bersangkutan (Pasal 95 ayat (4) KUHAP), namun
pemeriksaanya masih menurut tata cara pemeriksaan dalam sidang praperadilan.
Ketentuan ini kemudian banyak menimbulkan kebingungan dan dalam praktik hukum
tidak jarang menimbulkan kekeliruan hukum.
Tuntutan ganti kerugian yang berkaitan dengan pemeriksaan perkara pidana
yang penanganannya tidak dilanjutkan/dilimpahkan ke sidang pengadilan, karena
dilakukan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, pemeriksaanya
dilakukan oleh hakim praperadilan. Jangka waktu untuk melakukan tuntutan ganti
kerugian sahnya penghentian penyidikan atau akibat sahnya penghentian penuntutan
diajukan kepada ketua pengadilan negeri dalam waktu 3 (tiga) bulan dihitung dari saat
pemberitahuan mengenai penetapan praperadilan (Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 58 Tahun
2010). Penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang tidak melalui putusan
praperadilan adalah sah jika tidak ada perlawanan dari pihak penyidik/penuntut umum
atau pihak ketiga. Untuk hal ini jangka waktu melakukan ganti rugi adalah 3 (tiga)
bulan semenjak diterimanya putusan penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan.
Dalam ketentuan yang diatur dalam Pasal 97 ayat (1) dan (2) KUHAP apabila
seorang yang diadili oleh pengadilan diputus bebas (vijspraak) atau diputus lepas dari
segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtvervolging) maka kepadanya ”harus”
diberikan rehablitasi yang secara ”sekaligus” dicantumkan dalam putusan pengadilan
(vonis/verdict). Dengan demikian pemberian rehabilitasi tersebut merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari putusan pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 97
KUHAP. Ketentuan ini adalah bersifat imperatif sehingga harus dilaksanakan.
Ketentuan ini lebih dipertegas lagi dengan penjelasan umum KUHAP butir 3 huruf d
mengenai penjabaran asas-asas yang telah diletakkan dalam UU kekuasaan kehakiman.
Putusan atau penetapan rehabilitasi kemudian dimumukan oleh panitera dengan
menempatkannya pada papan pengumuman pengadilan (Pasal 15 PP NO. 27/1983).
B. Kendala dalam pemulihan hak-hak pejabat pemerintah atau Daerah yang di
putus bebas dalam perkara korupsi
Terkait dengan hak-hak tersangka dan terdakwa hak-hak pejabat pemerintah
atau Daerah yang dinyatakan tidak bersalah dalam perkara korupsi setidaknya mencatat
sejumlah persoalan yang diantaranya adalah:
Pertama, sering terjadi peristiwa pelanggaran hak-hak tersangka dan terdakwa
perkara korupsi Pejabat pemerintah atau Daerah yang dinyatakan tidak bersalah yang
berada dalam penahanan sebelum persidangan oleh aparat penegak hukum. Penyiksaan
dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat merupakan
kejadian yang rutin di tempat-tempat penahanan tersangka. Bahkan ketika tersangka
perkara korupsi Pejabat pemerintah atau Daerah yang dinyatakan tidak bersalah akan
ditangkap, sering terjadi penggunaan kekuatan dan senjata api, sehingga banyak dari
mereka bukan saja menderita luka tembak, lebih dari itu adalah kematian. Penggunaan
senjata api pun bisa melukai atau membunuh orang-orang yang tidak terkait kriminal.
Kedua, sudah menjadi kebiasaan, polisi tidak menegaskan tentang hak-hak
orang yang ditangkap dan ditahan. Kelemahan administrasi ini memang tidak
terkandung dalam KUHAP, sehingga bukan saja hak-hak orang yang ditangkap dan
ditahan tidak masuk dalam pandangan resmi polisi, namun juga berakibat terbukanya
praktik dan kebiasaan petugas kepolisian untuk merendahkan martabat manusia.
Ketiga, banyak kasus yang dialami tersangka dan terdakwa perkara korupsi
Pejabat pemerintah atau Daerah yang dinyatakan tidak bersalah tanpa memperoleh
akses bantuan hukum, sehingga dipastikan sulit untuk merealisasikan suatu peradilan
kriminal yang fair. Tanpa terbukanya akses bantuan hukum bagi tersangka kriminal dari
kalangan masyarakat bawah atau miskin merupakan indikasi kuat tentang minimnya
jaminan perlindungan hukum. Dampak buruknya adalah sering terjadi pemaksaan Berita
Acara Pemeriksaan (BAP) oleh polisi yang melakukan interogasi terhadap tersangka
dan saksi.
Keempat, banyak kasus di mana seseorang yang semula sebagai saksi justru
diubah menjadi tersangka. Tidak ada jaminan perlindungan hukum dalam prosedur
peradilan, dapat menimbulkan terjadinya penyelewengan. Bentuk penyelewengan
dengan cara memaksakan BAP, polisi pun dapat mengubah seorang saksi justru diseret
menjadi tersangka perkara korupsi. Namun sebaliknya, terbuka pula praktik untuk
melemahkan BAP untuk meringankan hukuman atas seorang terdakwa.
Kelima, sering terjadi dalam penahanan tidak ada medical record atas tersangka
dan terdakwa perkara korupsi. Demikian pula, tersangka yang mengalami penyiksaan,
sering diabaikan untuk memperoleh perawatan medis. Tanpa prosedur ini dapat
menimbulkan kondisi di mana orang-orang yang ditahan dapat merosot kesehatannya
tanpa memperoleh pertolongan medis. Sedangkan dalam kasus penyiksaan, orang-orang
yang ditahan dan diinterogasi tidak dapat menunjukkan secara medis bekas-bekas
penyiksaan itu.
Keenam, waktu menuju persidangan bisa berlangsung lama, karena penahanan
yang diterapkan cenderung bertele-tele. Sering terjadi proses penyidikan oleh aparat
penegak hukum dilakukan penahanan tersangka dan terdakwa dalam waktu yang
panjang. KUHAP membenarkan penahanan maksimum 120 hari di kepolisian, 110 hari
di kejaksaan, dan 150 hari di pengadilan tingkat pertama. Bila dihitung secara
keseluruhan dapat mencapai 380 hari, lebih dari setahun.
Ketujuh, banyak terjadi di mana tersangka Pejabat Pemerintah atau Daerah
dalam perkara korupsi yang ditahan tidak dibawa kepada pejabat yang berwenang untuk
menentukan penahanannya. Tanpa penentuan oleh pejabat yang berwenang ini dapat
mengakibatkan tersangka Pejabat Pemerintah atau Daerah dalam perkara korupsi dan
keluarganya menjadi sasaran pemerasan atau bentuk perlakuan buruk lainnya. Para
petugas yang menahan tersangka dapat melakukan praktik yang sewenang-wenang.
Kedelapan, sulitnya memperoleh penangguhan dan/atau pengalihan penahanan
selama proses penyidikan berlangsung. Kultur untuk menggunakan atau
menyalahgunakan wewenang dalam memupuk penghasilan tambahan dan “unjuk
kekuasaan” sebagai pemegang otoritas yang tidak dapat diganggu gugat yang masih
melekat pada petugas penegak hukum menyebabkan orang-orang yang ditahan
menghadapi kesulitan untuk meminta penangguhan dan/atau pengalihan penahanan.
Kesembilan, pengujian terhadap prosedur penahanan seseorang hanya bersifat
formal administrasi. Bila terdapat kesalahan, hanya diakui saja, namun tidak berefek
pada pemulihan hak-hak tersangka. Sebaliknya, petugas penegak hukum yang
melakukan penahanan, tetap mengulangi perbuatan mereka. Sehingga apa pun prosedur
peradilan kriminal ditempuh untuk menggugat penegak hukum, tetap tidak menjamin
orang-orang yang sudah ditahan untuk dipulihkan hak-haknya.
Ganti kerugian dalam hukum pidana hanya terhadap ongkos atau biaya yang
telah dikeluarkan oleh pihak korban. Artinya yang immateril itu tidak termasuk. Ganti
kerugian dalam hukum pidana dapat diminta terhadap 2 (dua) perbuatan, yaitu karena
perbuatan aparat penegak hukum dan karena perbuatan terdakwa.
Ganti kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum, pihak yang berhak
mengajukan permohonan ganti kerugian terhadap perbuatan aparat penegak hukum itu
adalah tersangka, terdakwa atau terpidana. Tersangka atau terdakwa dapat mengajukan
ganti kerugian jika terjadi penghentian penyidikan ataupun penuntutan atas perkaranya
dia. Tersangka atau terdakwa juga dapat melakukan gugatan ganti kerugian lewat
praperadilan. Tetapi untuk terdakwa yang sudah diputus perkaranya, dan dalam putusan
itu dia dinyatakan tidak bersalah, maka dia bisa mengajukan ganti kerugian juga atas
perbuatan ini karena dia sudah dirugikan. Dia bisa mengajukan permohonan ke
pengadilan setidak-tidaknya dalam jangka waktu 3 bulan sejak putusan pengadilan
mempunyai kekuatan hukum tetap (diatur di dalam PP Nomor 58 Tahun 2010. 3 bulan).
Jika permohonan diajukan setelah lewat 3 bulan maka ia sudah tidak memiliki hak lagi
untuk mengajukan ganti kerugian.
Seorang tersangka, terdakwa, terpidana Pejabat Pemerintah atau Daerah dalam
perkara korupsi dapat mengajukan ganti kerugian jika penahanan, penangkapan,
penggeledahan, pengadilan dan tindakan lain (tindakan diluar penangkapan, penahanan,
penyidikan, penuntutan, dan tindakan tersebut memang tidak seharusnya dilakukan
kepada tersangka oleh aparat penegak hukum) atas dirinya tanpa alasan yang
berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkan. Saat yang tepat untuk mengajukan ganti kerugian atas sah tidaknya
penangkapan atau sah tidaknya penahanan adalah sekaligus pada saat mengajukan
praperadilan (sebelum pengadilan dimulai). Seorang tersangka atau terdakwa tidak bisa
menuntut ganti kerugian yang besarnya semaunya/sesuka-suka dia, karena KUHAP
menentukan jumlah maksimal tuntutan ganti kerugian yang dapat dimintakan, yaitu
minimal Rp.5.000,- dan maksimal Rp. 1 juta atau Rp. 3 juta (jika tindakan aparat
penegak hukum telah menyebabkan sakit atau cacat).
Permohonan ganti kerugian apabila akibat penghentian penyidikan ataupun
penuntutan, itu melawati jalur praperadilan. Itu sama saja berarti seperti kita
mengajukan praperadilan. Acara praperadilan diatur dalam Pasal 82 ayat (1) KUHAP,
acaranya itu sama saja seperti mengajukan praperadilan, yaitu mengajukan permohonan
ke pengadilan negeri, yang memang berwenang, 3 (tiga) hari setelah mengajukan
permohonan tersebut pengadilan harus sudah menetapkan hari sidang. Hakim dalam
praperadilan hanya berjumlah satu orang dengan persidangan yang dilakukan secara
cepat paling lama selama 7 (tujuh) hari. Setalah itu hakim harus sudah menjatuhkan
putusan atas permohonan praperadilan ganti kerugian yang dimohonkan tersebut. Jika
terdakwa bebas, tuntutan ganti kerugian dimohonkan ke pengadilan negeri dalam jangka
waktu maksimal 3 (tiga) bulan sejak putusan bebas berkekuatan hukum tetap. Dalam
jangka waktu 3 (tiga) hari setelah permohonan diterima pengadilan negeri harus
menentukan hakim yang akan memutus permohonan tersebut. Dalam hal ini (masalah
ganti kerugian) sebisa mungkin hakimnya adalah hakim yang memutuskan yang dulu
menangani perkara yang bersangkutan. Namun tidak terutup kemungkinan pada
prakteknya hakim yang menangani permohonan ganti kerugian akan berbeda misalnya
karena hakim yang menangani dimutasi atau sibuk dengan kasus lain. Permohonan ganti
kerugian tersebut harus sudah diputus maksimal 7 (tujuh) hari setelah sidang pertama.
Bentuk putusan tersebut berupa penetapan yang berisi besar jumlah ganti kerugian atau
mungkin juga penolakan atas permohonan ganti kerugian.
Penetapan dikeluarkan maka akan dilaksanakan eksekusi yang dilaksanakan
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai eksekusi. Prosesnya adalah
sebagai berikut: ketua pengadilan negeri setempat yang memeriksa perkara tersebut
mengajukan permohonan penyediaan dana kepada menteri kehakiman Sekretaris
Jenderal Depkeh yang selanjutnya akan meneruskan kepada Menteri Keuangan Dirjen
Anggaran dengan menerbitkan surat keputusan otorisasi. Ada surat keputusan SKO gitu.
Kemudian aslinya itu akan disampaikan kepada si terdakwa. Setelah SKO itu diterima
maka ia mengajukan pembayaran kepada kantor perbendaharaan negara melalui ketua
pengadilan setempat. Jadi pada dasarnya terdakwa Pejabat Pemerintah atau Daerah
dalam perkara korupsi itu hanya ke pengadilan negeri dan yang melaksanakan segala
prosedur adalah pengadilan negeri. Proses ini biasanya akan memakan waktu sekitar 6
bulan sampai 1 tahun.
Ganti kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum syarat-syaratnya antara
lain adanya penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, dan sebagainya yang
diminta melalui praperadilan. Tapi tanpa praperadilan pun bisa yaitu melalui
permohonan permintaan ganti kerugian yang jumlahnya minimal adalah Rp. 5000,- dan
maksimal 1 juta rupiah, sementara kalau misalnya ada cacat tetap maupun tidak itu
maksimalnya 3 juta rupiah. Prosedur untuk permintaan ganti kerugian melalui
praperadilan itu berbarengan, bersamaan dengan gugatan praperadilan. Sementara
prosedur permintaan ganti kerugian diluar praperadilan itu diajukan kepada PN yang
memeriksa perkara atau kasus tersebut.
Begitu rumitnya proses ganti kerugian dan rehabilitasi terhadap tersangka,
sehingga menjadi kendala dalam pemulihan hak-hak tersangka korupsi yang diputus
bebas atau dinyatakan tidak bersalah yang semestinya dipulihkan hak-haknya sehingga
tersangka tersebut dapat kembali menduduki jabatannya yang pernah dia tempati yang
sampai saat ini belum ada pelaksanaan pemulihan hak-hak terhadap Pejabat Pemerintah
atau Daerah dalam perkara korupsi yang dinyatakan tidak bersalah dipulihkan hakhaknya
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka dalam tesis ini penulis
menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Efektifitas pemulihan hak-hak pejabat Pemerintah dan Daerah tersangka atau
terdakwa perkara korupsi berdasarkan ketentuan Pasal 95 dan Pasal 97
KUHAP pada saat ini tidak efektif, dikarenakan pejabat Pemerintah atau
Daerah yang diduga melakukan korupsi akan tetapi dalam pengadilan di
putus bebas tidak dikembalikan kembali harkat, martabat serta
kedudukannya, dimana pengadilan hanya memberikan putusan bebas saja
tanpa adanya perintah untuk memulihkan hak-hak pejabat Pemerintah atau
Daerah tersebut, seharusnya didalam amar putusannya harus mencamtumkan
pemulihan hak-hak dan mengembalikan kedudukan atau jabatan semula
yang ditempati oleh Pejabat Pemerintah atau daerah tersebut karena tidak
terbukti perbuatan korupsi tersebut.
2. Kendala-kendala dalam pelaksanaan pemulihan hak-hak terhadap pejabat
Pemerintah atau Daerah yang diduga melakukan korupsi dikarenakan tidak
adanya ketentuan yang mengatur ganti kerugian atau pemulihan hak
terhadap putusan bebas, disamping itu hakim didalam putusannya tidak
mencamtumkan mengenai pemulihan hak atau ganti kerugian, serta harus
ada kekuatan hukum tetap (Ingkrah), dimana untuk proses ini membutuhkan
waktu yang sangat lama sehingga untuk melakukan pemulihan hak-hak
terhadap tersangka atau terdakwa menjadi proses yang panjang. Dikarenakan
jabatan yang dijabat oleh tersangka atau terdakwa tersebut telah digantikan
oleh orang lain sehingga tidak dapat menduduki jabatan semula
B. Saran
1. Ketentuan Pasal 95 dan Pasal 97 KUHAP harus di Implementasikan dalam
hal pemulihan hak-hak terdakwa yang diputus bebas dan mempunyai
kekuatan hukum tetap, disamping itu perlu adanya sosialiasasi atau informasi
terhadap masyarakat luas mengenai hak-hak dan ganti kerugian terdakwa
apabila diputus bebas.
2. Sangat diperlukan profesionalisme penegak hukum dan kehati-hatian dalam
menetapkan tersangka dalam perkara korupsi, disamping itu harus ada pasal
yang mengatur pemulihan hak-hak terhadap tersangka atau terdakwa di
dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak
pidana korupsi
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Andrew Ashworth, Victim Impact Statements and Sentencing, The Criminal Law
Review, Agustus 1993
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, GhaIia
Indonesia:Jakarta, 1986.
----------------, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Sinar
Grafika, Jakarta, 2004
Harris, Rehabilitasi serta ganti rugi sehubungan dengan penahanan yang keliru atau
tidak sah, Binacipta, Jakarta, 1983
Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Penerbit Aksara Baru, Jakarta, 1984,
Indriyanto Seno Adji, ,Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Penerbit Kantor
Pengacara dan Konsultasi Hukum “Prof Oemar Seno Adji, SH &Rekan”,
Jakarta, 2006
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan
dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, 2002
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1992
Patrick Devlin, Terpetik dari Mardjono Reksodiputro, The Criminal Prosecution in
England, london: Oxford University Press, 1966
Oemar Seno Adji, PeradilanBebas Negara Hukum, PenerbitErlangga, Jakarta, 1980,
Roeslan Saleh, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional, Karya Dunia
Fikir, Jakarta: 1996
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia,
Penerbit Alumni, Cet. ke-1, Bandung, 1985,
Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan
Di Indonesia (Suatu Tinjauan Secara Sosiologis), Penerbit UI Press, Jakarta,
1983,
Soedarto, ,Hukum Pidana Materiil, Sinar Grafika Jakarta, 1993,
WirjonoProdjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Refika Aditama
Bandung; 2003,
Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Sumber Lain
Bagir Manan,Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Menurut UUD
1945, Makalah, Univ. Padjadjaran, Bandung, 1994,
---------------, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) FH-UII,
Yogyakarya, 2001,
I Gde Pantja Astawa, Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menuru
tUndang-Undang Dasar 1945, Disertasi, Univ. Padjadjaran, Bandung, 2000,
Mustopadidjaja dalam Ranny Emilia, dalam makalah “Suatu Kajian Otonomi Daerah
Menuju Optimalisasi Sumber Daya, Guna Mencapai Masyarakat Adil dan
Makmur”, disampaikan pada symposium nasional dan dialog mahasiswa seSumatera barat di Padang, 29-31 Oktober 1998 tanggal akses 1 Desember 2012
Mannoto “Jurnal ganti kerugian perkara pidana” Kompas.com, tanggal akses 29
Oktober 2012
Paulus E. Lotulung, “Kebebasan Hakim dalam Sistem Penegakan Hukum”, dalam
Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Departemen Kehakimandan HAM RI, 2003
RomliAtmasasmita, Korupsi, Good Governance Dan Komisi Anti Korupsi Di
Indonesia, Penerbit Badan Pembinaaan Hukum Nasional Departemen
Kehakimandan HAM RI, Jakarta, 2002
S.H Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, Cetakan I, Juli 1999
Soetidjo,“Hubungan Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah. PT.Rineka Cipta,
Jakarta 1990,
Suharizal, Reformulasi Hubungan Pusatd an Daerah, Harian Mimbar Minang, 23
Februari 2001,
Vito Tanzi, Corruption, Governmental Activities, and Markets, IMF Working Paper,
Agustus 1994
Media cetak dan Elektronik
Nasrullah,http://202.153.129.35berita/baca/hol21009/KasasiatasVonisBebas,Yurisprude
nsi yang MenerobosKUHAP, diaksestanggal 6Maret 2011 pukul 21.00 WIB
Supriyadi,http://www.kr.co.id/web/detail.php=195159&actmenu=42,diakses tanggal 6
Oktober 2012 pukul 21.00 WIB
www. Hukum.online
Kemungkaran.blogspot.com/2011/03/kasus-korupsi-di-singapura.html, tanggalakses 2
Desember 2012
http://dunia.news.viva.co.id/news/read/333tiga-bulan--waktu-china
investigasi
korupsiztanggalakses 2 Desember 2012
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/
internasionalpolisi-senior-cinadijatuhi-hukuman-mati-karena-korupsitanggalakses 2 Desember 2012
http:// forum. detik. com/ cina- hukum- mati-100-koruptor-bagaimanaindonesia.htmtanggalakses 2 Desember 201
http://www.solopos.com/2012/11/07/kongres-partai-komunis-awali-transisi-china345810tanggalakses 2 Desember 2012
Download