PEMULIHAN HAK-HAK PEJABAT TERSANGKA KORUPSI YANG DIPUTUS BEBAS BERDASARKAN KUHAP Oleh, FACHRUDIN RAZI ABSTRAK Seringkali penegak hukum memahami pemaknaan keliru atas fungsi, tugas dan wewenang pejabat aparatur negara maupun pejabat Daerah itu sebagai tindak pidana, meski kadangkala pemaknaan area Hukum Pidana tidak terlepas terhadap persoalan implementasi fungsi tersebut. Putusan bebas dalam perkara korupsi dibenarkan dalam hukum formil KUHAP, tetapi fenomena tersebut seringkali menimbulkan kecurigaan masyarakat terhadap hakim yang menjatuhkan putusan bebas. Putusan hukum tidak secara otomatis menghasilkan keadilan, atau justru sebaliknya menciptakan ketidak adilan. Terdakwa yang diputus bebas harus mendapatkan rehabilitasi berupa pemulihan hak-hak dan kedudukannya sesuai dengan ketentuan Pasal 95-97 KUHAP, akan tetapi dalam kenyataan rehabilitasi tersebut sulit untuk didapatkan terdakwa, sehingga penerapan Pasal 94 sampai dengan Pasal 97 KUHAP belum tercapai. Adapun permasalahan Bagaimanakah efektifitas pemulihan hak-hak pejabat pemerintah daerah terduga korupsi yang dinyatakan tidak bersalah berdasrkan ketentuan KUHAP ? Bagaimanakah kendala dalam pemulihan hak-hak pejabat pemerintah atau Daerah yang dinyatakan tidak bersalah dalam perkara korupsi? Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu menetapkan standar norma tertentu terhadap suatu fenomena dengan mengkaji data-data sekunder serta membahas Efektiftas pemulihan hak-hak tersangka atau terdakwa berdasarkan Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan analisis data menggunakan metode yuridis kualitatif, yaitu bersumber dari studi kepustakaan dan studi lapangan, kemudian disusun secara sistematis, setelah dianalisa disajikan secara diskriptif. Penelitian lebih menekankan pada kajian analisis data sekunder atau studi kepustakaan yang ditunjang dengan data primer yaitu studi lapangan. Berdasarkan pembahasan tersebut diatas penulis menarik sebuah kesimpulan sebagai berikut: Pertama, Efektifitas pemulihan hak-hak pejabat Pemerintah dan Daerah tersangka atau terdakwa perkara korupsi berdasarkan ketentuan Pasal 95 dan Pasal 97 KUHAP pada saat ini tidak efektif, dikarenakan pejabat Pemerintah atau Daerah yang diduga melakukan korupsi akan tetapi dalam pengadilan di putus bebas tidak dikembalikan kembali harkat, martabat serta kedudukannya, dimana pengadilan hanya memberikan putusan bebas saja tanpa adanya perintah untuk memulihkan hak-hak pejabat Pemerintah atau Daerah tersebut, seharusnya didalam amar putusannya harus mencamtumkan pemulihan hak-hak dan mengembalikan kedudukan atau jabatan semula yang ditempati oleh Pejabat Pemerintah atau daerah tersebut karena tidak terbukti perbuatan korupsi tersebut. Kedua, kendala-kendala dalam pelaksanaan pemulihan hakhak terhadap pejabat Pemerintah atau Daerah yang diduga melakukan korupsi dikarenakan tidak adanya ketentuan yang mengatur ganti kerugian atau pemulihan hak terhadap putusan bebas, disamping itu hakim didalam putusannya tidak mencamtumkan mengenai pemulihan hak atau ganti kerugian, serta harus ada kekuatan hukum tetap (Ingkrah), dimana untuk proses ini membutuhkan waktu yang sangat lama sehingga untuk melakukan pemulihan hak-hak terhadap tersangka atau terdakwa menjadi proses yang panjang. Dikarenakan jabatan yang dijabat oleh tersangka atau terdakwa tersebut telah digantikan oleh orang lain sehingga tidak dapat menduduki jabatan semula. Kata Kunci : Efektifitas Pemulihan Hak-hak pejabat tersangka korupsi yang di putus bebas PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penegakan hukum (law enforcement) yang seharusnya memperlihatkan tegaknya sendi-sendi hukum dan terwujudnya keadilan sebagai tujuan utama dari hukum, ternyata tidak selamanya berjalan lurus sesuai dengan yang diharapkan.1) Bahkan seringkali penegakan hukum itu mempertontonkan fakta yang sebaliknya, yaitu terlanggarnya kaidah-kaidah hukum yang dilakukan oleh penegak hukum itu sendiri. Hal ini seolaholah semakin menunjukkan kepada publik bahwa penegakan hukum hanyalah suatu proses formal yang hasilnya sangat bergantung pada subyektivitas dan keberpihakan para penegaknya. Bila demikian, maka hal itu telah mengenyampingkan makna filosofis dari penegakan hukum itu sendiri. Putusan bebas dalam perkara pidana tidak hanya menimbulkan persoalan baru dalam dunia hukum, tetapi juga dalam penerimaan masyarakat yang acapkali dinilai legalitas hukum tidak berpihak pada rasa keadilan masyarakat.2)Meskipun putusan bebas dibenarkan dalam hukum formil Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (yang selanjutnya disingkat KUHAP), tetapi fenomena tersebut seringkali menimbulkan kecurigaan masyarakat terhadap hakim yang menjatuhkan putusan bebas. Putusan hukum tidak secara otomatis menghasilkan keadilan, atau justru sebaliknya menciptakan ketidakadilan. Kaidah hukum yang terurai dalam peraturan perundang-undangan, hanya dapat hidup dan bekerja apabila digerakkan oleh para pelaksananya. Kenyataan para pelanggar hukum yang dapat lolos dari jeratan hukum, merupakan tantangan bagi aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) yang perlu dijawab. Tentu amat melukai rasa keadilan masyarakat, jika hukum tidak mampu memberikan keadilan akibat manuver para kriminal yang tidak diantisipasi oleh hakim dalam sidang pengadilan. Pada kondisi tersebut, hukum lebih cenderung digunakan secara keliru atau menyimpang dari fungsi dan tujuan asasinya. Mestinya hukum ditentukan dan dilaksanakan berdasarkan itikad yang otentik, dan hal ini banyak dikaji dalam teori sosiologi hukum bahwa hukum bukan hanya peraturan, melainkan juga komitmen, perilaku, dan struktur sosial. Semangat reformasi untuk menegakkan supremasi hukum, masih jauh dari harapan karena belum dikelola oleh manusia pilihan yang bernama hakim yang seharusnya memiliki integritas dan komitmen moral yang tinggi. Berkaitan perkara korupsi Terdakwa yang diputus bebas tersebut Pasal 97 dan Pasal 194 ayat (2) dan (3) KUHAP dapat dijadikan dasar telah terjadi perbuatan melawan hukum oleh jaksa penuntut umum sehingga dijadikan alasan hukum untuk menuntut ganti rugi tersebut. Dengan catatan setelah hakim mempertimbangkan alasanalasan yang sah dan selanjutnya dalam putusannya mencantumkan penetapan supaya barang bukti diserahkan kepada yang berhak segera setelah sidang selesai. Dengan demikian tidak ada lagi hak jaksa penuntut umum untuk menahan barang bukti terdakwa yang diduga selama ini sebagai barang bukti tindak kejahatan. Perlindungan yang ada dalam KUHAP lebih banyak melindungi hak asasi si pelaku tindak pidana dari pada hak asasi/kepentingan korban tindak pidana, untuk hal tersebut dapat di kemukakan ketentuan-ketentuan yang melindungi atau memperhatikan kepentingan korban hanya mengenai praperadilan dan gabungan gugatan ganti kerugian, degan kata lain sistem yang dianut oleh KUHAP adalah retributivejustice, yaitu suatu 1) Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Refika Aditama Bandung; 2003, hlm. 20 2) Soeharto, ,Hukum Pidana Materiil, Sinar Grafika Jakarta, 1993, hlm. 60 kebijakan yang titik perlindungannya adalah si pelaku tind pidana (offender oriented) bukan restorative justice yang fokus kebijakan perlindungan terhadap korban tindak pidana (victim oriented).3) Hal yang sering muncul dalam penanganan perkara korupsi yaitu adanya putusan bebas terhadap tersangka pejabat yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. B. Identifikasi Masalah Berdasarakan latar belakang tersebut diatas maka penulis mengangkat permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah efektifitas pemulihan hak-hak pejabat pemerintah atau daerah terduga korupsi yang dinyatakan tidak bersalah berdasarkan ketentuan KUHAP ? 2. Bagaimanakah kendala dalam pemulihan hak-hak pejabat pemerintah atau Daerah yang dinyatakan tidak bersalah dalam perkara korupsi? C. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu menetapkan standar norma tertentu terhadap suatu fenomena dengan mengkaji data-data sekunder serta membahas Efektiftas pemulihan hak-hak tersangka atau terdakwa berdasarkan Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan analisis data menggunakan metode yuridis kualitatif, yaitu bersumber dari studi kepustakaan dan studi lapangan, kemudian disusun secara sistematis, setelah dianalisa disajikan secara diskriptif. Penelitian lebih menekankan pada kajian analisis data sekunder atau studi kepustakaan yang ditunjang dengan data primer yaitu studi lapangan. TINJAUAN PUSTAKA Kewenangan Pejabat pemerintah Negara dan pejabat pemerintah Daerah Istilah “Pejabat pemerintah” atau “Pejabat Publik” terdiri dari dua suku kata, yaitu “Pejabat” dan “Publik”. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBIH) memberi pengertian “Pejabat” dengan: pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting (unsur pimpinan) . Sementara, istilah „Publik: diartikan dengan: orang banyak (umum).4)Dari pengertian ini, dapat dipahami bahwa “Pejabat Publik” adalah pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting sebagai pimpinan yang mengurusi kepentingan orang banyak. Dengan defenisi yang demikian, seseorang dapat dikatakan sebagai “Pejabat Publik” apabila memenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu: (i) bahwa dia adalah pegawai pemerintah; (ii) menjabat sebagai pimpinan dan (iii) bahwa tugasnya adalah mengurusi kepentingan orang banyak.Dalam kaitannya dengan hukum tata negara dan hukum administrasi negara, istilah ”Pejabat Publik” memiliki makna yang similar (sama) dengan istilah ”Pejabat Tata Usaha Negara”. Oleh karenanya, perlu dikemukakan pendapat Hans Kelsen sebagaimana dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie , bahwa setiap jabatan yang menjalankan fungsi-fungsi „law creating function and law applying function‟ adalah pejabat tata usaha negara.5) Artinya, bahwa setiap jabatan 3) Parman Soeparman, Kepentingan Korban Tindak Pidana Dilihat Dari Sudut Viktimologi, Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun Ke XXII No. 260 Juli 2007, hlm. 50. 4) Soetidjo, “Hubungan Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah.PT. Rineka Cipta, Jakarta 1990, hlm. 5 5) Jimly Asshiddiqie dalam Suharizal, Reformulasi Hubungan Pusat dan Daerah, Harian Mimbar Minang, 23 Februari 2001, hlm. 20 yang melaksanakan fungsi-fungsi pembuatan dan pelaksanaan norma hukum negara dapat disebut sebagai pejabat tata usaha negara atau pejabat publik. Pandangan Hans Kelsen tersebut juga mensyaratkan 3 (tiga) hal, yaitu : 6) (i) adanya jabatan; (ii) adanya fungsi pembentukan norma hukum negara yang melekat pada jabatan tersebut; dan (ii) selain fungsi pembuatan norma hukum negara, juga melekat fungsi pelaksanaan norma hukum negara pada jabatan tersebut. Pengertian jabatan disini barangkali dapat dirujuk sebagaimana dikemukakan di atas. Dalam menggali pengertian yang lebih mendalam tentang ”Pejabat Publik”, dalam hal ini Pejabat Tata Usaha Negara”, perlu dikemukakan bagaimana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 juncto Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 juncto Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, pada Pasal 1 angka 2 menyatakan : Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Badan yang dimaksudkan disini adalah institusi atau organ, sementara pejabat adalah orang perorangan yang menduduki jabatan tertentu. Jika dicermati bunyi ketentuan tersebut, bahwa Pejabat Tata usaha Negara itu bukan hanya pegawai pemerintah saja, akan tetapi siapapun, institusi atau orang perorang, yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan atas amanat dari peraturan perundangundangan, dapat disebut sebagai Pejabat Tata Usaha Negara. UU No. 8 tahun 2008 memberi peristilahan yang lebih tegas dan jelas, hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 8 : Pejabat Publik adalah orang yang ditunjuk dan diberi tugas untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu pada badan publik. Sementara, yang dimaksud badan publik sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang yang sama : Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.Dari berbagai pandangan yang dipaparkan mengenai pengertian ”Pejabat Publik”, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan ”Pejabat Publik” adalah orang yang menduduki jabatan pada organ pemerintahan atau nonpemerintahan, yang tugas dan fungsi pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, dimana untuk menjalankan tugas dan fungsi tersebut digunakan dana yang bersumber dari keuangan negara (APBN dan/atau APBD), apakah sebagian atau seluruhnya. 7) Penyelenggaraan pemerintahan negara Indonesia meliputi pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintahan pusat di jalankan oleh presiden, seperti yang di atur dalam Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi ”presiden republik Indonesia memegag kekuasaan pemerintahan menurut UUD”. Dalam menjalankan pemerintahan, presiden di Bantu oleh wakil presiden, menteri-menteri, dan kepala lembaga pemerintahan nondepartemen.Kesemua tingkatan tersebut kemudian di sebut pemerintah pusat atau pemerintah. 6) Hans Kelsen dalam Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) FH-UII, Yogyakarya, 2001, hlm. 7 7) S.H Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Cetakan I, Juli 1999, hlm. 20 Kelembagaan Pemerintah Daerah merupakan elemen dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan di suatu daerah, selain elemen urusan pemerintahan dan kapasitas aparatur pemerintah daerah itu sendiri. Pengaturan terhadap kelembagaan atau sering disebut dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), telah diatur dan ditetapkan berdasarkan PP No. 84 Tahun 2000, yang diganti dengan PP No. 8 Tahun 2003, dan kemudian direvisi menjadi PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dalam PP No. 41 Tahun 2007 tersebut, disebutkan bahwa pelaksanaan peraturan perundangan ini diharapkan dapat selesai dalam waktu 1 tahun sejak ditetapkan. Akhir tahun 2008 merupakan batas waktu bagi pemerintah daerah untuk menetapkan Peraturan Daerah mengenai Organisasi Perangkat Daerah berdasarkan PP No. 41 Tahun Definisi Pemerintahan Daerah berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah Pasal 1 ayat 2, adalah sebagai berikut : “Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NegaraKesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” Melihat definisi pemerintahan daerah seperti yang telah dikemukakan diatas,maka yang dimaksud pemerintahan daerah disini adalah penyelenggaraan daerah otonom oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas desentralisasi dan unsur penyelenggara pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat daerah.8)Secara konseptual perlu dipahami tentang posisi pemerintah daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yaitu bahwa yang dimaksud dengan pemerintahan daerah adalah: penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Dengan demikian peran pemerintah daerah adalah segala sesuatu yang dilakukan dalam bentuk cara tindak baik dalam rangka melaksanakan otonomi daerah sebagai suatu hak, wewenang, dan kewajiban pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Juga sebagai daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, peran pemerintah daerah juga dimaksudkan dalam rangka melaksanakan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas perbantuan sebagai wakil pemerintah di daerah otonom yaitu untuk melakukan: 1. Desentralisasi yaitu melaksanakan semua urusan yang semula adalah kewewenang pemerintahan menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 8) Ibid. hlm. 35 2. Dekonsentrasi yaitu menerima pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu untuk dilaksanakan; dan 3. Tugas pembantuan yaitu melaksanakan semua penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Pemerintah daerah mampu menerima semua kewenangan yang diserahkan untuk dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.Untuk melaksanakan semua tugas-tugas tersebut semua kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah hendaknya selalu dipertimbangkan dan dikaitkan dengan kepentingan pemerintah pusat dan kepentingan daerah. Karena itu, diperlukan pemahaman dan persepsi yang sama terhadap kebijakan nasional agar dapat dijadikan kebijakan daerah, karena memiliki kepentingan bagi dua pihak. Sedangkan Mustopadidjaja menyatakan bahwa pemerintah sangat ditentukan oleh tiga hal yaitu aparatur pemerintah, organisasi birokrasi, dan prosedur tatalaksananya, karena itu apabila operasionalisasi suatu kebijakan ingin dapat berjalan secara optimal dan sebagaimana mestinya perlu dilakukan sosialisasi dan pemberdayaan terhadap aparatur pemerintahan agar prosedur ketata laksanaan dan bentuk organisasi birokrasinya sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan dari misi yang akan dicapai. 9) Karena itu dalam mengoperasionalkan kebijakan manajemen aset di kabupaten atau kota diperlukan peran pemerintah daerah kabupaten atau kota dalam hal ini, persepsi atau pemahaman dari pelaksananya haruslah sesuai dengan maksud, tujuan, dan sasaran dari kebijakan tersebut, dengan demikian setiap pelaksanan harus mengerti benar tentang konsep persepsi sebagai langkah awal dari motivasi yang akan mewarnai cara bertindak. Menurut Bagir Manan dengan mengacu kepada beberapa pendapat para sarjana, menjelaskan pula bahwa secara yuridis ada perbedaan yang sangat nyata antara „negara‟ dan „pemerintah‟. Negara adalah sebuah badan (body), sedangkan „pemerintah‟ adalah alat kelengkapan negara (organ).10) Tindak Pidana Korupsi. Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio – corruptus, dalam Bahasa Indonesia disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption, dan dalam Bahasa Sansekerta yang tertuang dalam Naskah Kuno Negara Kertagama arti harfiah corrupt menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejad, tidak jujur yang disangkut pautkan dengan keuangan.11) Pengertian lain korupsi dapat pula dilihat sebagai perilaku tidak mematuhi prinsip, artinya dalam pengambilan keputusan di bidang ekonomi, baik dilakukan oleh perorangan di sektor swasta maupun pejabat publik, menyimpang dari aturan yang berlaku.12)Hakekat korupsi berdasarkan hasil penelitian World Bank adalah ”An Abuse 9) Mustopadidjaja dalam Ranny Emilia, dalam makalah “Suatu Kajian Otonomi Daerah Menuju Optimalisasi Sumber Daya, Guna Mencapai Masyarakat Adil dan Makmur”, disampaikan pada simposium nasional dan dialog mahasiswa se-Sumatera barat di Padang, 29-31 Oktober 1998 tanggal akses 1 Desember 2012 10) Bagir Manan Op.cit.hlm. 45 11) Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, Cetakan Keempat, 1996, hlm. 115. 12) Vito Tanzi, Corruption, Governmental Activities, and Markets, IMF Working Paper, Agustus 1994. Of Public Power For Private Gains”13, penyalahgunaan kewenangan / kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Pengertian korupsi secara yuridis, baik arti maupun jenisnya telah dirumuskan, di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Dalam pengertian yuridis, pengertian korupsi tidak hanya terbatas kepada perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, tetapi meliputi juga perbuatanperbuatan yang memenuhi rumusan delik, yang merugikan masyarakat atau orang perseorangan. Oleh karena itu, rumusannya dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, (sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). 2. Kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif (yang disuap) serta gratifikasi. (sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat(1) dan ayat (2), Pasal 6 ayat(1) dan ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c, dan d, serta Pasal 12B ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Piddana Korupsi). 3. Kelompok delik penggelapan. (sebagaimana diatur dalam Pasal 8, Pasal 10 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). 4. Kelompok delik pemerasan dalam jabatan (knevelarij, extortion). (sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf e dan huruf f UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). 5. Kelompok delik pemalsuan. (sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi). 6. Kelompok delik yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan rekanan. (sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 12 huruf g dan huruf i Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Dari 6 (enam) kelompok delik di atas, hanya 1 (satu) kelompok saja yang memuat unsur merugikan negara diatur di dalam 2 pasal yaitu pasal 2 dan 3, sedangkan 5 kelompok lainnya yang terdiri dari 28 pasal terkait dengan perilaku menyimpang dari penyelenggara negara atau pegawai negeri dan pihak swasta. Perlindungan Hak-hak Terduga Korupsi dalam Proses Peradilan Pidana Definisi di dalam KUHAP tentang tersangka dan terdakwa terdapat pada Pasat 1 Butir 14, mengenai tersangka sebagai berikut: 13) World Bank, World Development Report – The State in Changing World, Washington, DC, World Bank, 1997. “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”. Sedangkan butir 15 mengenai terdakwa ialah sebagai berikut: “Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan”. Definisi di atas berlainan dengan Wetboek van Strafvordering (W.Sv.) Belanda yang tidak lagi membedakan istilah beklaagde dan verdachte, tetapi hanya satu istilah saja untuk kedua macam pengertian itu, yaitu verdachte. Meskipun demikian, tetap dibedakan pengertian verdachte sebelum penuntutan yang sepadan dengan istilah tersangka dan verdachte sesudah penuntutan yang sepadan pula dengan istilah terdakwa.14) Yang sejajar dengan KUHAP kita ialah KUHAP Inggris dan Amerika Serikat yang membedakan istilah the suspect sebelum penuntutan dan the accused sesudah penuntutan. Salah satu hak tersangka / terdakwa yang sering dipermasalahkan ialah hak untuk memilih menjawab atau tidak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh penyidik, penuntut umum dan hakim. Sering hak ini dikaitkan orang dengan asas akusator (accusatoir). Di Inggris berlaku hak untuk tidak menjawab pertanyaan, bahkan sangat ketat. Pemeriksa harus mulai dengan mengatakan kepada the suspect bahwa Ia mempunyai hak untuk diam, tidak menjawab pertanyaan.15) Tidak ada di dalam KUHAP ketentuan demikian, karena ini akan sangat mempersulit pemeriksaan. Pada Pasal 52 KUHAP hanya dikatakan: “Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadiian, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim”. Dalam penjelasan pasal itu, jelas yang dimaksud yaitu tersangka tidak boleh dipaksa atau ditekan. Jadi, tidak dijelaskan apakah tersangka atau terdakwa berhak berdiam tidak menjawab pertanyaan. Penjelasan itu mengatakan: “Supaya pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya, tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu, wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan kepada tersangka atau terdakwa”. Menurut pendapat Mardjono,16) hak-hak yang diberikan oleh KUHAP tersebut di atas bukan kepada tersangka/terdakwa sebagai pelanggar hukum, tetapi sebagai “manusia” yang mempunyai hak dan kewajiban, manusia sebagai objek dan subjek anggota masyarakat. Jika seorang tersangka/terdakwa yang diperiksa karena kebenaran material sungguh-sungguh adalah pelaku suatu delik, hal itu merupakan suatu risiko perbuatannya sendiri yang melanggar hukum itu. Akan tetapi, seorang tersangka/ terdakwa belum tentu sungguh-sungguh bersalah seperti yang dilaporkan, diadukan atau didakwakan. Setiap orang dianggap tidak bersalah sampai ada keputusan hakim yang tetap bahwa ia bersalah (presumption of innocence). Rehabilitasi Dan Ganti Rugi Dimaksud dengan penahanan dalam rangka rehabilitasi dan ganti kerugian ini, maka perlu kita tinjau sepintas lalu apa yang dimaksud dengan rehabilitasi dan ganti 14) Andi Hamzah, dalam Mien Rukmini, Op.cit hlm. 90 Patrick Devlin, Terpetik dari Mardjono Reksodiputro, The Criminal Prosecution in England, london: Oxford University Press, 1966, hIm. 26. 16) Mardjono dalam Mien Rukmini, Op.cit. hlm. 92 15) rugi dan apa yang menjadi tujuannya. Telah diuraikan bahwa dalam Pasal 98 KUHAP dan penjelasan Pasal 9 Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman diterangkan bahwa pengertian rehabilitasi dalam undang-undang ini adalah pemulihan hak seseorang dalam kemampuan atau posisi semula yang diberikan oleh pengadilan. Apa yang dapat diberikan oleh pengadilan ialah suatu keputusan bahwa tersangka berhak atas rehabilitasi. Misalnya tersangka seorang pegawai negeri dan sehubungan dengan perkaranya, oleh intansi di mana dia bekerja telah dipecat atau diskors, maka dengan hak rehabilitasi yang diberikan oleh pengadilan, ia mengharapkan segera direhabilitasi oleh intansi yang bersangkutan. Mengenai ganti rugi, bagaimana hakim harus menilai kerugian yang diderita tersangka. Bagaimana prosedurnya untuk mendapat ganti rugi. Siapa yang harus mengganti kerugian.Bagaimana kalau tersangka mati dalam tahanan. Apa yang menjadi rujukan dan rehabilitasi dan ganti rugi tersebut juga sudah disinggung dalam Penjelasan Umum Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu untuk menjaga supaya keadilan dijalankan seobyektif mungkin.17)Dalam praktek artinya ialah supaya yang lemah itu haknya dilindungi, sebab yang kuat dengan sendirinya haknya sudah terjamin. Menurut Pasal 9 Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, ganti rugi dan rehabilitasi dilakukan bagi orang yang salah atau keliru ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili. Yang selama ini biasa kita dengar ialah tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi setelah diputus oleh pengadilan, yaitu tadinya dituntut melakukan suatu tindak pidana, kemudian oleh pengadilan diputus bebas.18Yang bersangkutan menuntut ganti rugi melalui suatu tuntutan perdata, dan kalau pegawai negeri minta direhabilitasi kepada intansi yang telah memecatnya atau menjatuhkan skorsing terhadap dirinya.Tetapi dalam soal ditangkap atau ditahan, di mana terhadap yang bersangkutan belum dilakukan pemecatan oleh intansi di mana dia bekerja, maka di sini soal rehabilitasi belum menjadi masalah.Ganti rugi dapat diajukan sebagai akibat kerugian material dan moral yang dideritanya disebabkan penangkapan atau penahanan tersebut.19) Cara untuk menuntut ganti kerugian, rehabilitasi dan pembebanan ganti kerugian, diatur lebih lanjut dengan undang-undang sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Rehabilitasi dan Ganti rugi Sehubungan dengan Penahanan yang Keliru atau Tidak Sah telah dijelaskan bahwa kita berpangkal tolak dari ketentuan dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menetapkan bahwa seseorang berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi apabila ia ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena terjadi kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan (ayat 1).20) Di sini dikatakan orang itu berhak menuntut jadi artinya ia bisa menuntut kalau mau dan bisa juga tidak menuntut kalau tidak mau. Tentu ia mempertimbangkan dulu untung ruginya dan penuntutan tersebut.Dalam ayat 3 ditentukan bahwa cara menuntut 17) Harris, Rehabilitasi Serta Ganti Rugi Sehubungan dengan Penahanan yang Keliru atau Tidak Sah, Binacipta, Jakarta, 1983. hlm 123 18) Ibid. hlm 124 19) Ibid. hlm 125 20) Ibid. hlm 126 ganti kerugian, rehabilitasi dan pembebanan ganti kerugian diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Di sini ada 3 fokok yang perlu diatur dengan undang-undang yaitu : 1. jumlah kerugian yang harus diganti, 2. siapa yang harus dibebani ganti kerugian itu, pejabat yang berwenang memutuskan tentang ganti rugi dan masalah rehabilitasi. Telah disinggung bahwa berdasarkan Pasal 22 Algemeene Bepalingen wetgeving, hakim tidak boleh menolak mengadili dengan dalih bahwa undang-undangnya belum ada.Tidak ada jalan lain kecuali menuntut melalui proses perkara perdata yaitu berdasarkan Pasal 1365 B.W. (Burgerlijk Wetboek). Pasal 1365 B.W. ini berbunyi: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Peraturan ini termuat dalam B.W. yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berlaku bagi golongan Eropa dan Timur Asing.Mengapa peraturan ini dapat diberlakukan terhadap pelanggaran KUHP, yaitu pelanggaran di bidang hukum pidana, khusus di sini mengenai penahanan. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Perbuatan Melanggar Hukum cetakan III halaman 81 dan 82 sebagai berikut: “Suatu peraturan hukum perdata yang berlaku dalam hal pertanggungjawaban negara atas perbuatan alat-alat perlengkapan pemerintah adalah Pasal 1365 B.W. B.W. pada umumnya merupakan hukum perdata bagi orang Eropa dan bangsa Timur Asing seperti Tionghoa, Arab dan sebagainya, sedang hukum perdata bagi orang Indonesia asli pada umumnya adalah hukum adat.Perihal Pasal 1365 B.W. dapat dikatakan sebagai berikut: Pasal 1365 B.W. ini mengenai pertanggungjawaban negara atas perbuatan alat perlengkapan pemerintah yang melanggar hukum, boleh dianggap bahwa Pasal 1365 B.W. tidak hanya berlaku bagi tindakan pemerintah terhadap orang Eropa dan bangsa Timur Asing saja. Kalau dalam suatu peristiwa, pemerintah dipertanggungjawabkan atas perbuatan alat perlengkapannya berdasar Pasal 1365 B.W., maka harus dianggap bahwa pertanggungjawaban itu tidak terbatas pada kepentingan orang Eropa dan bangsa Timur Asing saja yang berhak menuntut perlindungan bagi badan dan harta hendaknya. Dengan tidak adanya lagi pemerintah Hindia Belanda dan telah digantikannya oleh pemerintah Republik Indonesia, maka dilihat dari sudut Pasal 1365 B.W. antara pemerintah dulu dan pemerintah sekarang samasekali tidak ada perbedaan. Pasal 1365 B.W. ini sejak tahun 1924, dimulai dengan suatu putusan pengadilan tertinggi di Negeri Belanda (Ostermannarrest), oleh yurisprudensi diartikan sedemikian rupa, bahwa pemerintah bertanggung jawab atas segala perbuatan alat perlengkapannya tidak hanya yang melanggar hukum perdata, melainkan juga melanggar hukum publik, termasuk juga hukum tata usaha pemerintahan. Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga telah diatur tentang bantuan hukum yaitu dalam Bab VII yang mencakup Pasal-Pasal 35, 36, 37 dan 38. Sesuai dengan ketentuan mengenai ganti rugi, bantuan hukum ini juga merupakan kebijaksanaan agar usaha di bidang peradilan ini dapat pula dinikmati oleh rakyat bawahan.Pasal 35 menetapkan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum. Dalam penjelasan pasalnya diterangkan: “Merupakan suatu asas yang penting bahwa seorang yang terkena perkara mempunyai hak untuk memperoleh bantuan hukum. Hal ini dianggap perlu karena ia wajib diberi perlindungan sewajarnya. Perlu diingat juga ketentuan dalam Pasal 8, di mana seorang tertuduh wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.Karena pentingnya, supaya diadakan undang-undang tersendiri tentang bantuan hukum”. Sama dengan ganti rugi, masalah bantuan hukum ini juga mengalami kemacetan oleh karena undang-undang yang mengaturnya belum ada. Sudah banyak suara yang mendesak baik dan kalangan rakyat biasa maupun dan kalangan sarjana hukum tetapi rupanya masih banyak hal lain yang perlu diprioritaskan.21) Dikemukakan pula bahwa dalam bidang pelayanan hukum, pemerataan keadilan masih belum tercapai sebagaimana yang diharapkan. Diharapkan agar kita bersama hendaknya dapat mengatur sistem pelayanan hukum sedemikian rupa, sehingga benarbenar setiap warga negara mendapat perlakuan hukum yang sama tanpa pandang kedudukan, keturunan ataupun kekayaan.22)Dikatakan pula bahwa masih ada golongan dalam masyarakat kita yang masih kekurangan biaya dan pengertian serta pengetahuan tentang hukum, seolah-olah mereka tidak dilindungi oleh hukum.Inilah yang dimaksudkan dengan kemiskinan struktural di bidang pelayanan hukum. Dalam uraian diatas belum banyak disinggung mengenai rehabilitasi. Dalam praktek, rehabilitasi hingga kini hanya berlaku bagi pegawai negeri yang tersangkut suatu perkara dan dipecat dan kemudian dibebaskan oleh hakim. Yang memberikan rehabilitasi itu bukan hakim tetapi intansi di mana yang bersangkutan bekerja, artinya oleh intansi ini ia ditetapkan kembali sebagai pegawai negeri. 23) Dalam penjelasan Pasal 9 Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman antara lain diterangkan bahwa pengertian rehabilitasi dalam undang-undang ini adalah pemulihan hak seseorang dalam kemampuan atau posisi semula yang diberikan oleh pengadilan. Rehabilitasi yang diberikan oleh pengadilan ini tidak sesuai dengan praktek sebab yang merehabilitasi ialah intansi yang memecat. Jadi yang diberikan oleh pengadilan ialah hak untuk direhabilitasi.Kalau itutansi yang memecat tidak mau merehabilitasinya, tidak mau memulihkannya dalam kedudukan semula. Di sinilah diperlukan undang-undang di mana dapat diatur adanya sanksi pidana atau administratif bagi intansi yang tidak mau merehabilitasi yang bersangkutan. PEMBAHASAN A. Efektifitas pemulihan hak-hak pejabat pemerintah daerah terduga korupsi yang di putus bebas berdasrkan ketentuan KUHAP Ganti rugi dan “rehabilitasi” diatur dalam Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 yang merupakan Perubahan Peraturan Pemerintah RI No. 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, juga Keputusan Menteri Keuangan RI No. 983/KMK.01/1983 tanggal 31 Desember 1983 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian sedangkan di dalam UndangUndang No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mengatur mengenai rehabilitasi dan ganti kerugian terhadap tersangka atau terdakwa korupsi. Berdasarkan ketentuan Pasal 95 KUHAP, tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau 21) Ibid Roeslan Saleh, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional, Jakarta: Karya Dunia Fikir, 1996, hlm. 1 23) Harris Op.cit. hlm 50 22) dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Ganti kerugian yang berupa imbalan itu serendah-rendahnya berjumlah Rp 5.000,- (lima ribu rupiah), dan setinggi-tingginya sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah). Apabila penangkapan, penahanan dan tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP mengakibatkan yang bersangkutan sakit atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan atau mati, besarnya ganti kerugian berjumlah setinggitingginya Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah). Tuntutan ganti kerugian tersebut diajukan dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (dalam hal perkaranya diperiksa dan diputus oleh pengadilan). Sedangkan terhadap perkara yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan, maka jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung dari saat pemberitahuan penetapan pra pengadilan. Selanjutnya di dalam Pasal 97 KUHAP disebutkan bahwa seseorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau dituntut lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan dimaksud. Rehabilitasi terhadap mereka yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan dan diputuskan oleh hakim pra pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 KUHAP, diajukan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah putusan mengenai sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan diberitahukan kepada pemohon. Amar putusan dari pengadilan dan amar penetapan pra pengadilan mengenai rehabilitasi tersebut berbunyi sebagai berikut: “Memulihkan hak terdakwa atau hak pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya”. Ada ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai ganti kerugian penuntutan dan penahanan tanpa alasan atau karena kekeliruan. Ketentuan mengenai hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 9 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Selain mengacu pada UU Kekuasaan Kehakiman, tersangka yang dibebaskan dapat melakukan gugatan perdata atas dasar pada perbuatan melawan hukum (“PMH”) (lihat Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Di sisi lain, mengenai apakah hakim di pengadilan dapat turut digugat perdata, perlu diketahui bahwa Surat Edaran Mahkamah Agung No. 09 Tahun 1976 tentang Gugatan Terhadap Pengadilan dan Hakim (“SEMA 09/1976”) menyebutkan: “Hakim atau seorang pejabat yang bertindak sebagai Hakim Tidak Akan Dapat dipertanggungjawabkan dan digugat di depan Pengadilan secara Perdata untuk suatu tindakan yang dilakukan dalam melaksanakan tugas peradilannya, tanpa dihiraukan apakah tindakan tersebut melampaui batas-batas Kewenangannya, begitu pula tidak dapat diperintahkan pada Hakim pembayaran ganti rugi, asal saja hakim tersebut patuh waktu itu secara itikad baik berpendapat bahwa ia berwenang untuk melakukan atau memerintahkan perbuatan yang digugat tersebut.” Tersangka yang diputus bebas tidak dapat menggugat hakim yang menjalankan tugasnya untuk membayar ganti kerugian. Lebih jauh simak artikel Menggugat Pengadilan Negeri. Kecuali, dalam hal hakim melakukan pelanggaran ketika melaksanakan kewenangannya, maka hakim tersebut dapat dilaporkan ke Komisi Yudisial. Akan tetapi, pengaturan SEMA 09/1976 ini tidak berlaku bagi penyidik kepolisian maupun jaksa penuntut umum. Jadi, penyidik kepolisian dan jaksa penuntut umum yang melakukan kekeliruan penahanan dapat digugat secara perdata untuk membayar ganti kerugian atas dasar Putusan. Jadi, apabila seorang terdakwa diputus bebas, ataupun diputus lepas oleh suatu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, ia berhak untuk memperoleh suatu rehabilitasi. Rehabilitasi ini dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan yang membebaskan atau melepaskan terdakwa tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 97 ayat (2) KUHAP Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 11 Tahun 1985 tentang Permohonan Rehabilitasi dari Terdakwa yang Dibebaskan atau Dilepas dari Segala Tuntutan Hukum (“SEMA No. 11 Tahun 1985”). Dalam SEMA ini diatur bahwa dalam hal putusan bebas/lepas tidak mencantumkan mengenai rehabilitasi terdakwa, maka apabila orang tersebut menghendaki agar rehabilitasinya diberikan oleh Pengadilan, ia dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkaranya dalam tingkat pertama. Ketua Pengadilan Negeri setelah menerima permohonan itu kemudian memberikan rehabilitasi dalam bentuk penetapan. Sedangkan rehabilitasi untuk tersangka, diatur dalam Pasal 97 ayat (3) KUHAP: Jadi, seseorang yang menjadi tersangka berhak untuk menuntut rehabilitasi, apabila penangkapan, penahanan, penggeledahan atau penyitaan dilakukan tanpa alasan hukum yang sah. Pasal 97 ayat (3) KUHAP mengatur bahwa rehabilitasi diputuskan oleh hakim praperadilan. Jadi, permintaan rehabilitasi untuk tersangka yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan dilakukan melalui proses praperadilan. Hal demikian untuk memastikan keabsahan penangkapan atau penahanan yang dialami seseorang dalam tahap penyidikan. Pasal 81 KUHAP selanjutnya mengatur bahwa permintaan rehabilitasi untuk tersangka yang demikian diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Nama baik merupakan tujuan utama orang hidup. Nama baik adalah nama yang tidak tercela. Setiap orang menjaga dengan hati-hati agar namanya tetap baik. Lebihlebih jika ia menjadi teladan bagi orang/tetangga disekitarnya adalah suatu kebanggaan batin yang tak ternilai harganya. Betapa besar nilai nama baik itu sehingga nyawa menjadi taruhannya. Setiap orang tua selalu berpesan kepada anak-anaknya “Jagalah nama keluargamu!” Dengan menyebut “nama” berarti sudah mengandung arti “nama baik” Ada pula pesan orang tua “Jangan membuat malu” pesan itu juga berarti menjaga nama baik. Orang tua yang menghadapi anaknya yang sudah dewasa sering kali berpesan “laksanakan apa yang kamu anggap baik, dan jangan kau laksanakan apa yang kamu anggap tidak baik” dengan melaksanakan apa yang dianggap baik berarti pula menjaga nama baik dirinya sendiri, yang berarti menjaga nama baik keluarga. Penjagaan nama baik erat hubunganya dengan tingkah laku atau perbuatan. Atau bisa dikatakan nama baik atau tidak baik itu adalah tingkah laku atau perbuatannya. Yang dimaksud dengan tingkah laku dan perbuatan itu, antara lain cara berbahasa, cara bergaul, sopan santun, disiplin pribadi, cara menghadapi orang, perbuatan-perbuatan yang dihalalkan agama dan lain sebagainya. Pada hakekatnya, pemulihan nama baik adalah kesadaran manusia akan segala kesalahannya; bahwa apa yang telah diperbuatnya tidak sesuai dengan ukuran moral atau tidak sesuai dengan akhlak. Oleh karena itu, tingkah laku dan perbuatan manusia harus disesuaikan dengan penciptanya sebagai manusia. untuk itu, orang harus bertingkah laku dan berbuat sesuai dengan ahlak yang baik. Pemulihan kepada kedudukan atau keadaan yang dahulu atau semula. Pasal 9 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatakan bahwa seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan UU, atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. Pengertian rehabilitasi dalam UU No. 48 Tahun 2009 pemulihan hak seseorang dalam kemampuan atau posisi semula yang diberikan oleh pengadilan. Kemudian menurut Pasal 1 butir 22 KUHAP. Artinya praperadilan dilakukan karena permohonan ganti kerugian, karena aparat salah melakukan penangkapan, atau tidak sesuai dengan hukum dan sebagainya dan setelah itu (setelah praperadilannya dikabulkan oleh hakim) maka yang bersangkutan bisa meminta rehabilitasi agar nama baiknya dipulihkan kembali. Pihak-pihak yang berhak mengajukan rehabilitasi itu adalah pihak yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Misalnya seseorang diadili, kemudian diputuskan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, maka dia itu berhak memperoleh rehabilitasi atas pemulihan nama baiknya. Perbedaan antara rehabilitasi dengan pencemaran nama baik adalah bahwa rehabilitasi dilakukan karena perbuatan aparat penegak hukum. Artinya si pemohon rehabilitasi adalah tersangka, terdakwa, terpidana yang permohonan praperadilannya dikabulkan (ada campur tangan aparat) karena rehabilitasi itu adalah hak yang diberikan oleh KUHAP kepada tersangka atau terdakwa. Rehabilitasi lebih kepada hal yang tidak berhubungan dengan materi melainkan hanya menyangkut nama baik saja karena rehabilitasi adalah pemulihan hak seseorang hak atau kemampuan seseorang dalam posisi semula. Sementara pencemaran nama baik diatur dalam KUHP (mengenai pencemaran nama baik) adalah gugatan dari seseorang kepada orang lain yang dianggap telah mencemarkan nama baiknya. Jadi tidak ada campur tangan aparat dalam hal upaya paksa. Permintaan rehabilitasi bisa diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya. Jadi ahli waris juga bisa mengajukan rehabilitasi. Begitu juga halnya dengan ganti kerugian. Ganti kerugian ini tidak hanya dihubungkan dengan Pasal 1 butir ke 22 KUHAP saja, tetapi juga dihubungkan dengan Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, sehingga meliputi tindakan lain seperti kerugian yang ditimbulkan karena pemasukan rumah, penggeledahan, dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum, termasuk penahanan yang lebh lama daripada pidana yang dijatuhkan (Penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP). Selain itu Ganti Kerugian dapat juga dimintakan jika terjadi penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan (Pasal 77 huruf b KUHAP) Kewenangan memeriksa /mengadili dan memutus tuntutan ganti kerugian dapat dilakukan oleh hakim sidang praperadilan atau hakim pada sidang pengadilan negeri yang berwenang mengadili perkara pidana yang bersangkutan. Dalam memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud Pasal 95 ayat (1) KUHAP, Ketua pengadilan negeri sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang pernah mengadili perkara pidana yang bersangkutan (Pasal 95 ayat (4) KUHAP), namun pemeriksaanya masih menurut tata cara pemeriksaan dalam sidang praperadilan. Ketentuan ini kemudian banyak menimbulkan kebingungan dan dalam praktik hukum tidak jarang menimbulkan kekeliruan hukum. Tuntutan ganti kerugian yang berkaitan dengan pemeriksaan perkara pidana yang penanganannya tidak dilanjutkan/dilimpahkan ke sidang pengadilan, karena dilakukan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, pemeriksaanya dilakukan oleh hakim praperadilan. Jangka waktu untuk melakukan tuntutan ganti kerugian sahnya penghentian penyidikan atau akibat sahnya penghentian penuntutan diajukan kepada ketua pengadilan negeri dalam waktu 3 (tiga) bulan dihitung dari saat pemberitahuan mengenai penetapan praperadilan (Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 58 Tahun 2010). Penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang tidak melalui putusan praperadilan adalah sah jika tidak ada perlawanan dari pihak penyidik/penuntut umum atau pihak ketiga. Untuk hal ini jangka waktu melakukan ganti rugi adalah 3 (tiga) bulan semenjak diterimanya putusan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Dalam ketentuan yang diatur dalam Pasal 97 ayat (1) dan (2) KUHAP apabila seorang yang diadili oleh pengadilan diputus bebas (vijspraak) atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtvervolging) maka kepadanya ”harus” diberikan rehablitasi yang secara ”sekaligus” dicantumkan dalam putusan pengadilan (vonis/verdict). Dengan demikian pemberian rehabilitasi tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari putusan pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 97 KUHAP. Ketentuan ini adalah bersifat imperatif sehingga harus dilaksanakan. Ketentuan ini lebih dipertegas lagi dengan penjelasan umum KUHAP butir 3 huruf d mengenai penjabaran asas-asas yang telah diletakkan dalam UU kekuasaan kehakiman. Putusan atau penetapan rehabilitasi kemudian dimumukan oleh panitera dengan menempatkannya pada papan pengumuman pengadilan (Pasal 15 PP NO. 27/1983). B. Kendala dalam pemulihan hak-hak pejabat pemerintah atau Daerah yang di putus bebas dalam perkara korupsi Terkait dengan hak-hak tersangka dan terdakwa hak-hak pejabat pemerintah atau Daerah yang dinyatakan tidak bersalah dalam perkara korupsi setidaknya mencatat sejumlah persoalan yang diantaranya adalah: Pertama, sering terjadi peristiwa pelanggaran hak-hak tersangka dan terdakwa perkara korupsi Pejabat pemerintah atau Daerah yang dinyatakan tidak bersalah yang berada dalam penahanan sebelum persidangan oleh aparat penegak hukum. Penyiksaan dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat merupakan kejadian yang rutin di tempat-tempat penahanan tersangka. Bahkan ketika tersangka perkara korupsi Pejabat pemerintah atau Daerah yang dinyatakan tidak bersalah akan ditangkap, sering terjadi penggunaan kekuatan dan senjata api, sehingga banyak dari mereka bukan saja menderita luka tembak, lebih dari itu adalah kematian. Penggunaan senjata api pun bisa melukai atau membunuh orang-orang yang tidak terkait kriminal. Kedua, sudah menjadi kebiasaan, polisi tidak menegaskan tentang hak-hak orang yang ditangkap dan ditahan. Kelemahan administrasi ini memang tidak terkandung dalam KUHAP, sehingga bukan saja hak-hak orang yang ditangkap dan ditahan tidak masuk dalam pandangan resmi polisi, namun juga berakibat terbukanya praktik dan kebiasaan petugas kepolisian untuk merendahkan martabat manusia. Ketiga, banyak kasus yang dialami tersangka dan terdakwa perkara korupsi Pejabat pemerintah atau Daerah yang dinyatakan tidak bersalah tanpa memperoleh akses bantuan hukum, sehingga dipastikan sulit untuk merealisasikan suatu peradilan kriminal yang fair. Tanpa terbukanya akses bantuan hukum bagi tersangka kriminal dari kalangan masyarakat bawah atau miskin merupakan indikasi kuat tentang minimnya jaminan perlindungan hukum. Dampak buruknya adalah sering terjadi pemaksaan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) oleh polisi yang melakukan interogasi terhadap tersangka dan saksi. Keempat, banyak kasus di mana seseorang yang semula sebagai saksi justru diubah menjadi tersangka. Tidak ada jaminan perlindungan hukum dalam prosedur peradilan, dapat menimbulkan terjadinya penyelewengan. Bentuk penyelewengan dengan cara memaksakan BAP, polisi pun dapat mengubah seorang saksi justru diseret menjadi tersangka perkara korupsi. Namun sebaliknya, terbuka pula praktik untuk melemahkan BAP untuk meringankan hukuman atas seorang terdakwa. Kelima, sering terjadi dalam penahanan tidak ada medical record atas tersangka dan terdakwa perkara korupsi. Demikian pula, tersangka yang mengalami penyiksaan, sering diabaikan untuk memperoleh perawatan medis. Tanpa prosedur ini dapat menimbulkan kondisi di mana orang-orang yang ditahan dapat merosot kesehatannya tanpa memperoleh pertolongan medis. Sedangkan dalam kasus penyiksaan, orang-orang yang ditahan dan diinterogasi tidak dapat menunjukkan secara medis bekas-bekas penyiksaan itu. Keenam, waktu menuju persidangan bisa berlangsung lama, karena penahanan yang diterapkan cenderung bertele-tele. Sering terjadi proses penyidikan oleh aparat penegak hukum dilakukan penahanan tersangka dan terdakwa dalam waktu yang panjang. KUHAP membenarkan penahanan maksimum 120 hari di kepolisian, 110 hari di kejaksaan, dan 150 hari di pengadilan tingkat pertama. Bila dihitung secara keseluruhan dapat mencapai 380 hari, lebih dari setahun. Ketujuh, banyak terjadi di mana tersangka Pejabat Pemerintah atau Daerah dalam perkara korupsi yang ditahan tidak dibawa kepada pejabat yang berwenang untuk menentukan penahanannya. Tanpa penentuan oleh pejabat yang berwenang ini dapat mengakibatkan tersangka Pejabat Pemerintah atau Daerah dalam perkara korupsi dan keluarganya menjadi sasaran pemerasan atau bentuk perlakuan buruk lainnya. Para petugas yang menahan tersangka dapat melakukan praktik yang sewenang-wenang. Kedelapan, sulitnya memperoleh penangguhan dan/atau pengalihan penahanan selama proses penyidikan berlangsung. Kultur untuk menggunakan atau menyalahgunakan wewenang dalam memupuk penghasilan tambahan dan “unjuk kekuasaan” sebagai pemegang otoritas yang tidak dapat diganggu gugat yang masih melekat pada petugas penegak hukum menyebabkan orang-orang yang ditahan menghadapi kesulitan untuk meminta penangguhan dan/atau pengalihan penahanan. Kesembilan, pengujian terhadap prosedur penahanan seseorang hanya bersifat formal administrasi. Bila terdapat kesalahan, hanya diakui saja, namun tidak berefek pada pemulihan hak-hak tersangka. Sebaliknya, petugas penegak hukum yang melakukan penahanan, tetap mengulangi perbuatan mereka. Sehingga apa pun prosedur peradilan kriminal ditempuh untuk menggugat penegak hukum, tetap tidak menjamin orang-orang yang sudah ditahan untuk dipulihkan hak-haknya. Ganti kerugian dalam hukum pidana hanya terhadap ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak korban. Artinya yang immateril itu tidak termasuk. Ganti kerugian dalam hukum pidana dapat diminta terhadap 2 (dua) perbuatan, yaitu karena perbuatan aparat penegak hukum dan karena perbuatan terdakwa. Ganti kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum, pihak yang berhak mengajukan permohonan ganti kerugian terhadap perbuatan aparat penegak hukum itu adalah tersangka, terdakwa atau terpidana. Tersangka atau terdakwa dapat mengajukan ganti kerugian jika terjadi penghentian penyidikan ataupun penuntutan atas perkaranya dia. Tersangka atau terdakwa juga dapat melakukan gugatan ganti kerugian lewat praperadilan. Tetapi untuk terdakwa yang sudah diputus perkaranya, dan dalam putusan itu dia dinyatakan tidak bersalah, maka dia bisa mengajukan ganti kerugian juga atas perbuatan ini karena dia sudah dirugikan. Dia bisa mengajukan permohonan ke pengadilan setidak-tidaknya dalam jangka waktu 3 bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (diatur di dalam PP Nomor 58 Tahun 2010. 3 bulan). Jika permohonan diajukan setelah lewat 3 bulan maka ia sudah tidak memiliki hak lagi untuk mengajukan ganti kerugian. Seorang tersangka, terdakwa, terpidana Pejabat Pemerintah atau Daerah dalam perkara korupsi dapat mengajukan ganti kerugian jika penahanan, penangkapan, penggeledahan, pengadilan dan tindakan lain (tindakan diluar penangkapan, penahanan, penyidikan, penuntutan, dan tindakan tersebut memang tidak seharusnya dilakukan kepada tersangka oleh aparat penegak hukum) atas dirinya tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Saat yang tepat untuk mengajukan ganti kerugian atas sah tidaknya penangkapan atau sah tidaknya penahanan adalah sekaligus pada saat mengajukan praperadilan (sebelum pengadilan dimulai). Seorang tersangka atau terdakwa tidak bisa menuntut ganti kerugian yang besarnya semaunya/sesuka-suka dia, karena KUHAP menentukan jumlah maksimal tuntutan ganti kerugian yang dapat dimintakan, yaitu minimal Rp.5.000,- dan maksimal Rp. 1 juta atau Rp. 3 juta (jika tindakan aparat penegak hukum telah menyebabkan sakit atau cacat). Permohonan ganti kerugian apabila akibat penghentian penyidikan ataupun penuntutan, itu melawati jalur praperadilan. Itu sama saja berarti seperti kita mengajukan praperadilan. Acara praperadilan diatur dalam Pasal 82 ayat (1) KUHAP, acaranya itu sama saja seperti mengajukan praperadilan, yaitu mengajukan permohonan ke pengadilan negeri, yang memang berwenang, 3 (tiga) hari setelah mengajukan permohonan tersebut pengadilan harus sudah menetapkan hari sidang. Hakim dalam praperadilan hanya berjumlah satu orang dengan persidangan yang dilakukan secara cepat paling lama selama 7 (tujuh) hari. Setalah itu hakim harus sudah menjatuhkan putusan atas permohonan praperadilan ganti kerugian yang dimohonkan tersebut. Jika terdakwa bebas, tuntutan ganti kerugian dimohonkan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu maksimal 3 (tiga) bulan sejak putusan bebas berkekuatan hukum tetap. Dalam jangka waktu 3 (tiga) hari setelah permohonan diterima pengadilan negeri harus menentukan hakim yang akan memutus permohonan tersebut. Dalam hal ini (masalah ganti kerugian) sebisa mungkin hakimnya adalah hakim yang memutuskan yang dulu menangani perkara yang bersangkutan. Namun tidak terutup kemungkinan pada prakteknya hakim yang menangani permohonan ganti kerugian akan berbeda misalnya karena hakim yang menangani dimutasi atau sibuk dengan kasus lain. Permohonan ganti kerugian tersebut harus sudah diputus maksimal 7 (tujuh) hari setelah sidang pertama. Bentuk putusan tersebut berupa penetapan yang berisi besar jumlah ganti kerugian atau mungkin juga penolakan atas permohonan ganti kerugian. Penetapan dikeluarkan maka akan dilaksanakan eksekusi yang dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai eksekusi. Prosesnya adalah sebagai berikut: ketua pengadilan negeri setempat yang memeriksa perkara tersebut mengajukan permohonan penyediaan dana kepada menteri kehakiman Sekretaris Jenderal Depkeh yang selanjutnya akan meneruskan kepada Menteri Keuangan Dirjen Anggaran dengan menerbitkan surat keputusan otorisasi. Ada surat keputusan SKO gitu. Kemudian aslinya itu akan disampaikan kepada si terdakwa. Setelah SKO itu diterima maka ia mengajukan pembayaran kepada kantor perbendaharaan negara melalui ketua pengadilan setempat. Jadi pada dasarnya terdakwa Pejabat Pemerintah atau Daerah dalam perkara korupsi itu hanya ke pengadilan negeri dan yang melaksanakan segala prosedur adalah pengadilan negeri. Proses ini biasanya akan memakan waktu sekitar 6 bulan sampai 1 tahun. Ganti kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum syarat-syaratnya antara lain adanya penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, dan sebagainya yang diminta melalui praperadilan. Tapi tanpa praperadilan pun bisa yaitu melalui permohonan permintaan ganti kerugian yang jumlahnya minimal adalah Rp. 5000,- dan maksimal 1 juta rupiah, sementara kalau misalnya ada cacat tetap maupun tidak itu maksimalnya 3 juta rupiah. Prosedur untuk permintaan ganti kerugian melalui praperadilan itu berbarengan, bersamaan dengan gugatan praperadilan. Sementara prosedur permintaan ganti kerugian diluar praperadilan itu diajukan kepada PN yang memeriksa perkara atau kasus tersebut. Begitu rumitnya proses ganti kerugian dan rehabilitasi terhadap tersangka, sehingga menjadi kendala dalam pemulihan hak-hak tersangka korupsi yang diputus bebas atau dinyatakan tidak bersalah yang semestinya dipulihkan hak-haknya sehingga tersangka tersebut dapat kembali menduduki jabatannya yang pernah dia tempati yang sampai saat ini belum ada pelaksanaan pemulihan hak-hak terhadap Pejabat Pemerintah atau Daerah dalam perkara korupsi yang dinyatakan tidak bersalah dipulihkan hakhaknya PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka dalam tesis ini penulis menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Efektifitas pemulihan hak-hak pejabat Pemerintah dan Daerah tersangka atau terdakwa perkara korupsi berdasarkan ketentuan Pasal 95 dan Pasal 97 KUHAP pada saat ini tidak efektif, dikarenakan pejabat Pemerintah atau Daerah yang diduga melakukan korupsi akan tetapi dalam pengadilan di putus bebas tidak dikembalikan kembali harkat, martabat serta kedudukannya, dimana pengadilan hanya memberikan putusan bebas saja tanpa adanya perintah untuk memulihkan hak-hak pejabat Pemerintah atau Daerah tersebut, seharusnya didalam amar putusannya harus mencamtumkan pemulihan hak-hak dan mengembalikan kedudukan atau jabatan semula yang ditempati oleh Pejabat Pemerintah atau daerah tersebut karena tidak terbukti perbuatan korupsi tersebut. 2. Kendala-kendala dalam pelaksanaan pemulihan hak-hak terhadap pejabat Pemerintah atau Daerah yang diduga melakukan korupsi dikarenakan tidak adanya ketentuan yang mengatur ganti kerugian atau pemulihan hak terhadap putusan bebas, disamping itu hakim didalam putusannya tidak mencamtumkan mengenai pemulihan hak atau ganti kerugian, serta harus ada kekuatan hukum tetap (Ingkrah), dimana untuk proses ini membutuhkan waktu yang sangat lama sehingga untuk melakukan pemulihan hak-hak terhadap tersangka atau terdakwa menjadi proses yang panjang. Dikarenakan jabatan yang dijabat oleh tersangka atau terdakwa tersebut telah digantikan oleh orang lain sehingga tidak dapat menduduki jabatan semula B. Saran 1. Ketentuan Pasal 95 dan Pasal 97 KUHAP harus di Implementasikan dalam hal pemulihan hak-hak terdakwa yang diputus bebas dan mempunyai kekuatan hukum tetap, disamping itu perlu adanya sosialiasasi atau informasi terhadap masyarakat luas mengenai hak-hak dan ganti kerugian terdakwa apabila diputus bebas. 2. Sangat diperlukan profesionalisme penegak hukum dan kehati-hatian dalam menetapkan tersangka dalam perkara korupsi, disamping itu harus ada pasal yang mengatur pemulihan hak-hak terhadap tersangka atau terdakwa di dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi DAFTAR PUSTAKA Buku Andrew Ashworth, Victim Impact Statements and Sentencing, The Criminal Law Review, Agustus 1993 Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, GhaIia Indonesia:Jakarta, 1986. ----------------, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2004 Harris, Rehabilitasi serta ganti rugi sehubungan dengan penahanan yang keliru atau tidak sah, Binacipta, Jakarta, 1983 Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Penerbit Aksara Baru, Jakarta, 1984, Indriyanto Seno Adji, ,Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Penerbit Kantor Pengacara dan Konsultasi Hukum “Prof Oemar Seno Adji, SH &Rekan”, Jakarta, 2006 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, 2002 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1992 Patrick Devlin, Terpetik dari Mardjono Reksodiputro, The Criminal Prosecution in England, london: Oxford University Press, 1966 Oemar Seno Adji, PeradilanBebas Negara Hukum, PenerbitErlangga, Jakarta, 1980, Roeslan Saleh, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional, Karya Dunia Fikir, Jakarta: 1996 Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Penerbit Alumni, Cet. ke-1, Bandung, 1985, Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan Di Indonesia (Suatu Tinjauan Secara Sosiologis), Penerbit UI Press, Jakarta, 1983, Soedarto, ,Hukum Pidana Materiil, Sinar Grafika Jakarta, 1993, WirjonoProdjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Refika Aditama Bandung; 2003, Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Sumber Lain Bagir Manan,Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Menurut UUD 1945, Makalah, Univ. Padjadjaran, Bandung, 1994, ---------------, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) FH-UII, Yogyakarya, 2001, I Gde Pantja Astawa, Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menuru tUndang-Undang Dasar 1945, Disertasi, Univ. Padjadjaran, Bandung, 2000, Mustopadidjaja dalam Ranny Emilia, dalam makalah “Suatu Kajian Otonomi Daerah Menuju Optimalisasi Sumber Daya, Guna Mencapai Masyarakat Adil dan Makmur”, disampaikan pada symposium nasional dan dialog mahasiswa seSumatera barat di Padang, 29-31 Oktober 1998 tanggal akses 1 Desember 2012 Mannoto “Jurnal ganti kerugian perkara pidana” Kompas.com, tanggal akses 29 Oktober 2012 Paulus E. Lotulung, “Kebebasan Hakim dalam Sistem Penegakan Hukum”, dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakimandan HAM RI, 2003 RomliAtmasasmita, Korupsi, Good Governance Dan Komisi Anti Korupsi Di Indonesia, Penerbit Badan Pembinaaan Hukum Nasional Departemen Kehakimandan HAM RI, Jakarta, 2002 S.H Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Cetakan I, Juli 1999 Soetidjo,“Hubungan Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah. PT.Rineka Cipta, Jakarta 1990, Suharizal, Reformulasi Hubungan Pusatd an Daerah, Harian Mimbar Minang, 23 Februari 2001, Vito Tanzi, Corruption, Governmental Activities, and Markets, IMF Working Paper, Agustus 1994 Media cetak dan Elektronik Nasrullah,http://202.153.129.35berita/baca/hol21009/KasasiatasVonisBebas,Yurisprude nsi yang MenerobosKUHAP, diaksestanggal 6Maret 2011 pukul 21.00 WIB Supriyadi,http://www.kr.co.id/web/detail.php=195159&actmenu=42,diakses tanggal 6 Oktober 2012 pukul 21.00 WIB www. Hukum.online Kemungkaran.blogspot.com/2011/03/kasus-korupsi-di-singapura.html, tanggalakses 2 Desember 2012 http://dunia.news.viva.co.id/news/read/333tiga-bulan--waktu-china investigasi korupsiztanggalakses 2 Desember 2012 http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ internasionalpolisi-senior-cinadijatuhi-hukuman-mati-karena-korupsitanggalakses 2 Desember 2012 http:// forum. detik. com/ cina- hukum- mati-100-koruptor-bagaimanaindonesia.htmtanggalakses 2 Desember 201 http://www.solopos.com/2012/11/07/kongres-partai-komunis-awali-transisi-china345810tanggalakses 2 Desember 2012