perjanjian penyerahan benda bergerak yang terikat leasing sebagai

advertisement
PERJANJIAN PENYERAHAN BENDA BERGERAK YANG TERIKAT
LEASING SEBAGAI JAMINAN HUTANG
Amelia Friskila (Penulis Pertama)
Abdul Salam (Penulis Kedua)
Wenny Setiawati (Penulis Ketiga)
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia
ABSTRAK
Skripsi ini menganalisis mengenai keabsahan perjanjian jaminan gadai dimana obyek yang
diperjanjikan masih terikat dengan leasing. Selain itu, di sini juga membahas mengenai
perlindungan hukum bagi kreditur yang telah beritikad baik dan tidak mengetahui mengenai
status obyek yang diperjanjikan tersebut. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan
desain deskriptif analitis yang menekankan penelitian secara yuridis normatif. Hasil penelitian
yang didapat disini menunjukkan bahwa perjanjian penyerahan benda bergerak yang masih
terikat leasing sebagai jaminan hutang tidaklah sah. Obyek perjanjian yang terikat leasing ini
telah didaftarkan ke lembaga fidusia, sehingga tidak boleh digadaikan atau dialihkan tanpa
sepengetahuan penerima fidusia.
Kata kunci:
Perjanjian, Leasing, Jaminan, Hutang
ABSTRACT
The focus of this study is to analyze about the validity contract of pawn guarantee which the
object of contract is leased. Besides that, this thesis also explains about the legal protection
for creditor whose didn’t know about the status of the object of contract. This research is
qualitative descriptive interpretive. Type of this research is normative juridical. The result of
the research show that the transfer contract of leased movable thing as debt’s guarantee is not
valid. The object has registered in Fiduciary. The rules of Fiduciary prohibit the object to
pawned or transferred to other parties without agreement from Fiduciary receiver
Keywords:
Contract, Leasing, Guarantee, Debt
Perjanjian penyerahan..., Amelia Friskila, FH UI, 2013
PENDAHULUAN
Di Indonesia leasing baru dikenal melalui Surat Keputusan Bersama Menteri
Keuangan dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia dengan No. KEP-122/MK/IV/2/1974,
No. 32/M/SK/2/1974 dan No. 30/Kpb/I1974 tanggal 7 Februari 1974 tentang perizinan usaha
leasing. Pengertian leasing menurut Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.
1169/KMK.01/1991 adalah “suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang
modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha
tanpa hak opsi (operating lease) untuk secara berkala”.1 Seiring perkembangannya, leasing
tidak hanya melakukan pembiayaan terhadap perusahaan, tetapi juga melakukan pembiayaan
terhadap perorangan.
Dalam leasing, lessee tidak perlu menyediakan jaminan karena aset yang diperoleh
melalui leasing tersebut sekaligus merupakan jaminan bagi perusahaan leasing, sehingga pada
saat terjadinya wanprestasi yang dilakukan oleh lessee, aset dari leasing tersebut akan ditarik
kembali oleh lessor. Hubungan lessor dan lessee merupakan hubungan timbal balik,
menyangkut pelaksanaan kewajiban dan peralihan suatu hak atau tuntutan kewajiban dari
kenikmatan menggunakan fasilitas pembiayaan. Untuk itu antara lessor dan lessee dibuat
perjanjian financial lease atau kontrak leasing, dimana perjanjian yang dimuat dan disepakati
harus berbentuk perjanjian tertulis.
Dalam kegiatan leasing yang menjadi kendala adalah hingga saat ini belum ada
ketentuan khusus untuk melindungi perjanjian leasing ini, sehingga dirasakan belum adanya
kepastian hukum dalam industri leasing. Hingga saat ini para pengusaha leasing melakukan
perjanjian dengan berdasarkan pada Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri, yaitu Menteri
Republik Indonesia No. KEP 122/MK/IV/2/1974 beserta Surat Keputusan dan Surat Edaran
Menteri dan ketentuan perjanjian yang terdapat dalam KUHPerdata mengenai perjanjian pada
umumnya. Di sini kita dapat melihat bahwa leasing termasuk bisnis yang loosely regulated,
dimana perlindungan para pihaknya hanya sebatas itikad dari masing-masing pihak tersebut
yang dituangkan dalam bentuk perjanjian leasing. Dalam hal ini terdapat kemungkinan salah
satu pihak dalam perjanjian tidak dapat melaksanakan prestasinya sesuai dengan perjanjian,
sebagai contoh kelalaian pihak lessee dalam menjaga barang modal di tengah berlangsungnya
proses pelaksanaan leasing tersebut.
1
Indonesia, Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha
(Leasing), Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 1169/KMK.01/1991, ps. 1 huruf (a).
Perjanjian penyerahan..., Amelia Friskila, FH UI, 2013
Dengan melihat pada kondisi tersebut maka sebenarnya pembiayaan melalui leasing
ini memiliki resiko yang lebih tinggi dibanding pembiayaan yang dilakukan oleh bank. Dalam
prakteknya penggunaan jasa leasing sering terjadi permasalahan antara lessor dan lessee,
sehingga mengakibatkan aset tersebut diambil kembali oleh lessor. Kebanyakan permasalahan
leasing yang terjadi di masyarakat disebabkan karena lessee lalai melakukan pembayaran,
sehingga lessor menarik kembali barang tersebut. Namun, sering ditemukan kasus ketika
barang tersebut akan diambil oleh lessor, ternyata barang tersebut sudah dialihkan
kekuasaannya kepada pihak lain tanpa sepengetahuan leasing. Bahkan dalam praktek ada juga
yang menjadikan barang yang masih terikat leasing tersebut sebagai jaminan hutang dan
dipindahkan kekuasaannya oleh lessee. Kebanyakan kasus-kasus seperti ini terjadi pada benda
bergerak seperti kendaraan bermotor yang cenderung mudah dialihkan kekuasaannya.
Dalam hal ini, penulis juga menemukan kasus dimana seorang lessee membuat sebuah
perjanjian di bawah tangan tanpa sepengetahuan lessor. Dalam perjanjian itu dinyatakan
bahwa ada penyerahan sebuah kendaraan bermotor untuk dijadikan jaminan hutang kepada
pihak ketiga yang merupakan kreditur dari lessee tersebut, dimana ternyata kendaraan tersebut
masih terikat pada perusahaan leasing. Hal inilah yang kemudian menjadi permasalahan
terutama permasalahan terkait hukum yang berlaku atas perjanjian penyerahan benda
bergerak ini. Dengan alasan tersebut, maka penulis menuangkannya ke dalam skripsi yang
berjudul “Perjanjian Penyerahan Benda Bergerak yang Terikat Leasing Sebagai
Jaminan Hutang” dengan studi kasus pada Ny. X dan Ny. Y.
Dalam penulisan ini ada tiga pokok permasalahan yang akan dibahas, yaitu:
1. Siapakah pemegang hak milik atas kebendaan dari benda bergerak yang terikat
leasing?
2. Bagaimana keabsahan dari perjanjian penyerahan benda bergerak yang terikat leasing
sebagai jaminan hutang?
3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap kreditur yang diberikan jaminan atas benda
bergerak tersebut jika perjanjian tersebut tidaklah sah?
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk menganalisis pihak mana yang menjadi pemegang hak milik dari benda
bergerak yang masih terikat leasing.
Perjanjian penyerahan..., Amelia Friskila, FH UI, 2013
2. Untuk menelaah secara yuridis mengenai keabsahan dari perjanjian penyerahan benda
bergerak sebagai jaminan hutang yang masih terikat leasing.
3. Untuk menganalisis bagaimana perlindungan hukum terhadap kreditur yang diberikan
jaminan atas benda bergerak tersebut jika diketahui perjanjian tersebut tidaklah sah.
TINJAUAN TEORITIS
Dalam penelitian ini ada beberapa konsep teori yang dipergunakan untuk menganalisis, yaitu:
1. Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada
seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal. 2 Menurut ketentuan pasal 1313 KUHPerdata Perjanjian didefinisikan sebagai
“suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih.” Dari peristiwa ini maka timbul suatu hubungan diantara
kedua pihak yang saling berjanji tersebut yang dinamakan sebagai perikatan. didalam
pasal 1320 KUHPerdata disebutkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus
memenuhi syarat-syarat berikut :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
3. Mengenai suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab halal.
Persyaratan adanya kata sepakat dan kecakapan bertindak dalam hukum
adalah syarat subyektif atau syarat yang melekat pada orang yang membuat
perjanjian yang apabila tidak dipenuhi dalam sebuah perjanjian mengakibatkan
perjanjian itu dapat dibatalkan (voidable), perjanjian tersebut dapat dimintakan
pembatalan kepada hakim melalui pengadilan oleh salah satu pihak. Kemudian
persyaratan adanya suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal adalah syarat yang
berhubungan dengan obyek perjanjian yang disebut juga dengan syarat obyektif
perjanjian yang apabila tidak dipenuhi dapat mengakibatkan perjanjian tersebut batal
demi hukum (null and void), artinya sejak awal perjanjian itu tidak pernah ada dalam
2
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2004), hal. 1.
Perjanjian penyerahan..., Amelia Friskila, FH UI, 2013
perikatan sebab perikatan itu tidak pernah lahir jadi tidak ada akibat hukum apapun
sehingga tidak ada dasar hukum yang dapat dijadikan alas hak untuk melakukan
penuntutan atau gugatan.3
2. Leasing
Mengenai definisi leasing, sampai saat ini belum ada satu definisi pun yang
diterima oleh semua pihak. Ini disebabkan pada kenyataannya, bahwa leasing itu
muncul dalam berbagai bentuk, dimana leasing merupakan nama kumpulan dari
semua bentuk perjanjian leasing, maka untuk mendefinisikan leasing itu sendiri para
ahli menemui kesulitan. 4 Jika dilihat dari arti katanya, leasing berasal dari bahasa
Inggris lease yang berarti menyewakan dimana ini merupakan suatu pengertian yang
kompleks. Akan tetapi, secara umum leasing dipandang sebagai kontrak antara
pemilik atau penyewa barang (lessee), dimana pemilik barang memberikan
penempatan sementara dalam penggunaan barang kepada pihak pemakai untuk jangka
waktu tertentu. Pengertian leasing menurut Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia No. 169/KMK.01/1991 adalah “suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk
penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance
lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk secara
berkala.”5
3. Gadai
Ketentuan mengenai Gadai diatur dalam buku II, bab XIX, pasal 1150 sampai
dengan pasal 1160 KUHPerdata. Gadai sebagaimana yang diuraikan dalam pasal 1150
KUHPerdata adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak,
yang diserahkan kepadanya oleh seorang debitur atau seorang lain atas nama debitur,
dan yang memberikan kekuasaan kepada kreditur untuk mengambil pelunasan dari
barang tersebut secara didahulukan daripada kreditur-kreditur lainnya.6
Dari definisi ini dapat dilihat beberapa unsur yang pokok, yaitu:
a.
Gadai lahir karena penyerahan kekuasaan atas barang gadai kepada kreditur
pemegang gadai.
3
I.G. Rai Widjaja, Merancang Suatu Kontrak, Contract Drafting dalam Teori dan Praktek, (Jakarta :
Megapoin Kesaint Blanc, 2001), hal.55.
4
Komar Andasasmita, Leasing, (Bandung: Ikatan Notaris Indonesia, 1983), hal.34.
5
Indonesia, Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha
(Leasing), Op.cit., ps. 1 huruf (a).
6
Oey Hoey Tiong, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1985), hal. 14.
Perjanjian penyerahan..., Amelia Friskila, FH UI, 2013
b. Penyerahan itu dapat dilakukan oleh debitur/pemberi gadai atau orang lain atas
nama debitur.
c. Barang yang menjadi obyek gadai atau barang gadai hanyalah barang bergerak.
d. Kreditur/pemegang gadai berhak untuk mengambil pelunasan dari barang gadai
lebih dahulu daripada kreditur-kreditur lainnya.
Unsur yang pertama ini menunjukkan bahwa gadai merupakan perjanjian yang
riil. Adapun yang dimaksud dengan perjanjian riil ialah perjanjian yang disamping
kata sepakat diperlukan suatu perbuatan yang nyata, 7 yang dalam hal ini adalah
penyerahan atas kekuasaan barang gadai. Biasanya penyerahan ini terjadi antara
debitur/pemberi gadai dan kreditur/pemegang gadai, tetapi dalam pasal 1152 ayat (1)
KUHPerdata diperbolehkan penyerahan itu ditujukan kepada orang ketiga yang
disetujui bersama antara kedua belah pihak.8 Meskipun demikian, pasal 1152 ayat (2)
KUHPerdata melarang penguasaan barang gadai oleh debitur atau pemberi gadai
lainnya, dengan ancaman batalnya gadai. Selain, itu dapat dilihat disini bahwa
kreditur/ pemegang gadai mempunyai hak didahulukan (preferent) dalam hal
pelunasan.
4. Fidusia
Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun Pasal 1
ayat (8) dinyatakan bahwa defisini fidusia adalah “hak jaminan yang berupa
penyerahan hak atas benda berdasarkan kepercayaan yang disepakati sebagai jaminan
bagi pelunasan hutang kreditur”.9 Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Fidusia) disebutkan bahwa definisi
fidusia adalah “pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan
dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap
dalam penguasaan pemilik benda.”
10
Definisi jaminan fidusia, sebagaimana yang
dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (2) UU Fidusia adalah:
Hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat
7
R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung : Alumni, 1977), hal.14.
8
Oey Hoey Tiong, Fidusia Sebagai Jaminan, Loc.cit.
9
Indonesia, Undang-Undang tentang Rumah Susun, Undang-Undang No. 16 Tahun 1985, LN No. 75
Tahun 1985, TLN No. 3318, ps. 1 ayat (8).
10
Indonesia, Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia, Undang-Undang No. 42 Tahun 1999, LN No.
168 Tahun 1999, TLN No. 3889, ps. 1 ayat (1).
Perjanjian penyerahan..., Amelia Friskila, FH UI, 2013
dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam
penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan hutang tertentu,
yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia
terhadap kreditur lainnya.11
Dari definisi-definisi tersebut di atas dapat dilihat bahwa pada prinsipnya
pengertian fidusia terdiri dari unsur-unsur :
a. Merupakan penyerahan hak milik suatu benda dari pemiliknya secara
kepercayaan;
b. Adanya benda yang diserahkan, baik benda bergerak maupun benda tidak
bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan;
c. Adanya perjanjian hutang-piutang;
d. Merupakan jaminan hutang debitur kepada kreditur;
e. Benda yang telah diserahkan hak kepemilikannya tersebut tetap dikuasai oleh
pemilik bendanya;
f. Pemilik benda bukan lagi sebagai pemilik, tetapi sebagai peminjam.
PEMBAHASAN
Pada bulan Juli 2009, Ny. X membeli sebuah mobil melalui lembaga pembiayaan
yaitu melalu perusahaan leasing yaitu PT. Intensif Multi Finance. Dalam perjanjiannya, Ny. X
harus membayar sejumlah uang setiap bulannya sebagai angsuran dalam jangka waktu 3
tahun. Dalam perjanjian dengan leasing, barang leasing berupa mobil ini didaftarkan ke
lembaga fidusia dimana Ny. X berkedudukan sebagai pihak pemberi fidusia dan perusahaan
leasing berkedudukan sebagai pihak penerima fidusia. Dengan adanya pendaftaran fidusia ini,
hak milik mobil berada di tangan perusahaan leasing hingga jangka waktu angsuran berakhir.
Mobil ini baru benar-benar sah beralih kepemilikannya jika angsuran telah lunas dibayar.
Pada bulan Mei 2010 Ny. X yang ternyata memiliki hutang dengan Ny. Y mengalami
kesulitan untuk melunasi hutangnya kepada Ny. Y. Kemudian sebagai jaminan pelunasan
hutang tersebut, Ny. X membuat sebuah perjanjian dibawah tangan dengan Ny. Y, dimana
11
Ibid., ps. 1 ayat (2).
Perjanjian penyerahan..., Amelia Friskila, FH UI, 2013
dalam isinya Ny. X menyerahkan mobil tersebut kedalam tangan Ny. Y hingga pelunasan
hutang terjadi. Jika Ny. X telah melunasi hutangnya kepada Ny. Y, maka mobil tersebut baru
dikembalikan lagi oleh Ny. Y. Pada saat megadakan perjanjian Ny. X berusia 38 tahun dan
Ny. Y berusia 51 tahun. Setelah perjanjian dilakukan, mobil tersebut kemudian berpindah
penguasaan dari Ny. X kepada Ny. Y, namun disisi lain mobil tersebut masih terikat dengan
leasing dan menjadi obyek lembaga jaminan fidusia hingga jangka waktu cicilan 3 (tiga)
tahun tersebut berakhir. Ny. Y sendiri tidak mengetahui bahwa mobil yang dijadikan jaminan
tersebut masih terikat dengan leasing karena Ny. X tidak memberitahukan status mobil
tersebut. Perjanjian ini juga dibuat tanpa sepengetahuan pihak leasing. Hal inilah yang
membuat penulis ingin meneliti mengenai keabsahan perjanjian yang dilakukan oleh Ny. X
dengan Ny. Y. Selain itu, penulis juga ingin mengetahui bagaimana perlindungan kepada Ny.
Y jika perjanjian tersebut tidak lah sah.
1.
Analisis Keabsahan Perjanjian Penyerahan Benda Bergerak yang Terikat Leasing
Sebagai Jaminan Hutang
Perjanjian merupakan kebebasan bagi setiap orang, maksudnya disini adalah bahwa
setiap orang bebas untuk membuat ataupun tidak membuat perjanjian, dan setiap orang bebas
menentukan apa yang ingin diperjanjikan. Dalam hal ini Ny. X dan Ny. Y mengadakan suatu
perjanjian mengenai jaminan dimana yang menjadi obyek dalam perjanjiannya adalah mobil
yang masih terikat dengan leasing.
Jika dianalisis jenis jaminan yang digunakan dalam perjanjian penyerahan benda
bergerak antara Ny. X dan Ny. Y ini yaitu berupa gadai. Dalam pasal 1150 KUHPerdata
disebutkan bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak,
yang diserahkan kepadanya oleh seorang debitur atau seorang lain atas nama debitur, dan
yang memberikan kekuasaan kepada kreditur untuk mengambil pelunasan dari barang
tersebut secara didahulukan daripada kreditur-kreditur lainnya. 12 Penyerahan mobil dalam
perjanjian ini terjadi karena adanya hubungan hutang-piutang antara Ny. X dan Ny. Y. Dalam
kasus ini Ny. X merupakan debitur dari Ny. Y. Sebagai jaminan atas pelunasan hutangnya,
maka Ny. X menyerahkan kekuasaan mobil yang ia beli melalui perusahaan leasing kepada
kreditur. Dengan adanya penyerahan mobil ini, maka Ny. Y menjadi kreditur preferen, karena
12
Oey Hoey Tiong, Fidusia Sebagai Jaminan, Op.cit, hal. 17.
Perjanjian penyerahan..., Amelia Friskila, FH UI, 2013
Ny. X memberinya penguasaan atas barang bergerak yang dibeli Ny. X melalui lembaga
gadai.
Dalam kasus ini mobil yang dijadikan sebagai jaminan hutang tersebut masih terikat
dengan perusahaan leasing. Sebagaimana yang telah dijabarkan di awal di dalam Peraturan
Presiden No. 9 tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, pasal 1 Angka (5) disebutkan
bahwa “Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan
barang modal baik secara Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (Finance lease) maupun Sewa
Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha
(Lesseee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran”. Dari
pengertian ini diketahui bahwa ada jangka waktu dalam pembiayaan untuk barang modal
dimana pihak lessee memiliki kewajiban untuk melakukan pembayaran secara angsuran.
Angsuran ini berakhir jika jumlah yang disepakati telah lunas dibayar dan hubungan
pembiayaan juga menjadi berakhir saat jangka waktu dan angsuran yang ditetapkan sudah
selesai.
Salah satu ciri leasing yang membedakan dengan sewa beli dan jual beli secara
angsuran adalah hak milik benda yang di-lease ada pada lessor walaupun penguasaan benda
berada ditangan lessee. Namun, jika dianalisis dalam perjanjian dengan perusahaan leasing
tersebut, maka tidak cocok jika dikatakan bahwa perjanjian leasing tersebut benar-benar
berbentuk leasing, karena dalam perjanjian antara Ny. X dan perusahaan leasing hak milik
telah beralih kepada Ny. X Hal ini terbukti dengan pada saat mendaftarkan ke lembaga fidusia
Ny. X bertindak sebagai pemberi fidusia. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 5 UU
Fidusia bahwa “Pemberi fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik benda
yang menjadi obyek jaminan fidusia.” Jelas di sini bahwa hak milik telah dipegang oleh Ny.
X sebelum didaftarkan ke lembaga fidusia, sehingga konsep leasing sebagaimana yang telah
dijelaskan sebelumnya telah berubah.
Secara hukum, akan lebih cocok bahwa isi perjanjian dengan perusahaan leasing ini
berbentuk perjanjian jual beli angsuran. Jual beli secara angsuran (credit sale) adalah jual beli
dimana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara menerima pelunasan
pembayaran barang yang dilakukan oleh pembeli dalam beberapa kali angsuran atas harga
barang yang telah disepakati bersama dan yang diikat dalam suatu perjanjian serta hak milik
atas barang tersebut beralih dari penjual kepada pembeli pada saat barangnya diserahkan
Perjanjian penyerahan..., Amelia Friskila, FH UI, 2013
penjual kepada pembeli.13 Di sini jelas terlihat bahwa hak milik telah beralih kepada pembeli
mobil walaupun harga barang tersebut belum lunas dibayar. Penguasaan terhadap barang juga
telah beralih kepada Ny. X. Konsep jual beli angsuran ini menjadi lebih cocok jika dipakai
dalam perjanjian antara Ny. X dengan PT. Intensif Multi Finance.
Dalam perjanjian antara Ny. X dan PT. Intensif Multi Finance, mobil sebagai obyek
perjanjian didaftarkan ke lembaga fidusia. Dalam hal ini pihak perusahaan berkedudukan
sebagai penerima fidusia dan kedudukan Ny. X adalah sebagai pemberi fidusia. Pendaftaran
ke lembaga fidusia ini dibuktikan dengan diterbitkannya sertifikat jaminan fidusia.
Akibat adanya Pendaftaran Jaminan Fidusia tersebut, maka Ny. X yang berkedudukan
sebagai pihak pemberi fidusia hanya memegang penguasaan benda. Pemberi fidusia tidak lagi
berhak untuk memperjualbelikan atau memindahtangankan obyek jaminan fidusia tersebut,
kecuali memang atas persetujuan penerima fidusia. Pemberi fidusia bertanggungjawab penuh
terhadap keselamatan obyek jaminan fidusia sebagai akibat pemakaian dan keadaan obyek
jaminan fidusia yang berada dalam penguasaannya, karena obyek jaminan fidusia sepenuhnya
berada dalam penguasaan pemberi fidusia termasuk memperoleh manfaat dari obyek jaminan
fidusia tersebut.14
Bagi perusahaan yang berkedudukan sebagai penerima fidusia setelah dilakukan
pendaftaran jaminan fidusia, maka penerima fidusia menjadi kreditur preferen atau
mempunyai hak didahulukan untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi
benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. Dengan diterbitkannya sertifikat jaminan fidusia,
maka penerima fidusia mempunyai hak eksekutorial yaitu penerima fidusia langsung dapat
melaksanakan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia. Apabila pemberi fidusia melakukan
cidera janji terhadap pelunasan hutang yang dijamin dengan benda yang menjadi obyek
jaminan fidusia tanpa harus melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak
untuk melaksanakannya. Dengan adanya hak ini, maka jika Ny. X diketahui telah melakukan
wanprestasi, maka mobil yang merupakan obyek jaminan tersebut dapat sewaktu-waktu
ditarik kembali oleh perusahaan karena hak milik atas mobil itu telah berada ditangan
perusahaan dan baru beralih kembali kepada Ny. X jika angsuran dan jangka waktu yang
ditetapkan telah terpenuhi.
13
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, ( Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), hal.109.
14
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Jaminan Fidusia (Seri Hukum Bisnis), Cet. II, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2001), hal. 129.
Perjanjian penyerahan..., Amelia Friskila, FH UI, 2013
Dalam pasal 1338 KUHPerdata disebutkan bahwa semua perjanjian yang sah, langsung
mengikat bagi para pihak yang membuat perjanjian. Untuk menganalisis keabsahan perjanjian
yang dilakukan antara Ny. X dan Ny. Y, maka kita harus melihat kembali kedalam pasal 1320
KUHPerdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian. Didalam pasal 1320 KUHPerdata
disebutkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat
barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya
dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut (pasal 1321
KUHPerdata); adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut
ancaman (Pasal 1324 KUHPerdata); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai
kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 KUHPerdata). Jika dilihat
dalam kasus diatas antara Ny. X dan Ny. Y telah melakukan persetujuan kehendak atas
perjanjian tersebut. Namun dalam hal ini Ny. Y tidak mengetahui bahwa mobil tersebut
masih terikat dengan perusahaan pembiayaan leasing karena Ny. X tidak
memberitahukan fakta-fakta mengenai mobil tersebut kepada Ny. Y.
Jika ditinjau dari pasal 1331 KUHPerdata dimana kesepakatan harus tanpa
adanya unsur paksaan, kehilafan, atau penipuan, maka kesepakatan yang dilakukan oleh
Ny. X dan Ny. Y menjadi tidak sah. Kesepakatan ini terjadi tanpa adanya keterbukaan
dari Ny. X kepada Ny. Y mengenai status obyek yang diperjanjikan tersebut, sehingga
ada unsur kebohongan atau penipuan dalam perjanjian ini.
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
Maksud syarat ini adalah para pihak mampu membuat suatu perjanjian. Kata
mampu dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dewasa, tidak dibawah
pengawasan karena perilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam
undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian. Pasal 1330 KUHPerdata
menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :
a. Orang-orang yang belum dewasa.
Dalam pasal 330 KUHPerdata dijelaskan bahwa yang tergolong belum dewasa
adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun, dan
tidak lebih dahulu telah kawin.
Perjanjian penyerahan..., Amelia Friskila, FH UI, 2013
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan.
c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan
pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan pasal 31 UndangUndang No. 1 Tahun 1974, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai
yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan
atau izin suaminya.
Dalam perjanjian ini, para pihak yaitu Ny. X dan Ny. Y telah mencapai batas
usia dewasa sebagaimana dimaksud oleh KUHPerdata yaitu telah mencapai 21 tahun
atau telah menikah. Pada saat perjanjian dibuat Ny. X telah berusia 39 tahun dan Ny.
Y telah berusia 51 tahun dan masing-masing dari mereka tidak ada yang berada
dibawah pengampuan, sehingga mereka telah memenuhi syarat kecakapan untuk
melakukan suatu perbuatan hukum. Para pihak dalam perjanjian penyerahan benda
bergerak sebagai jaminan ini berdasarkan hukum dianggap mampu untuk mengadakan
perjanjian dalam bentuk apapun sesuai kehendaknya sendiri.
3. Mengenai suatu hal tertentu;
Perjanjian harus menentukan jenis obyek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka
perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 KUHPerdata menentukan hanya barangbarang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan
berdasarkan Pasal 1334 KUHPerdata barang-barang yang baru akan ada di kemudian
hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara
tegas. Dalam perjanjian penyerahan benda bergerak ini sudah ditentukan bahwa obyek
yang diperjanjikan adalah mobil yang sudah ada dimana jelas bahwa mobil adalah
obyek yang dapat diperdagangkan atau dengan kata lain bernilai ekonomis. Mobil juga
merupakan obyek yang dapat dihitung atau ditentukan nilainya, sehingga mobil bisa
dijadikan obyek dalam suatu perjanjian.
4. Suatu sebab halal.
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat.
Suatu sebab dinyatakan terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila
berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum (pasal 1337 KUHPerdata).
Dalam perjanjian ini isinya menyangkut penyerahan benda bergerak yaitu mobil
sebagai jaminan atas pelunasan hutang. Kenyataannya mobil tersebut masih terikat
Perjanjian penyerahan..., Amelia Friskila, FH UI, 2013
dengan sebuah lembaga pembiayaan leasing dengan alas hak perjanjian secara hukum
berbenntuk jual beli secara angsuran. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa mobil
ini juga sudah didaftarkan ke lembaga fidusia, sehingga segala hal mengenai mobil
tersebut terikat oleh aturan-aturan yang berkaitan dengan fidusia. Dalam pasal 23 ayat
(2) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Fidusia)
disebutkan bahwa “Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau
menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia yang
tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu
dari Penerima Fidusia”. Dalam pasal ini jelas terlihat bahwa undang-undang melarang
adanya pengalihan obyek fidusia dalam bentuk apapun jika tidak ada persetujuan dari
penerima fidusia.
Dalam kasus ini Ny. X sebagai pemberi fidusia telah menggadaikan mobil
yang menjadi obyek jaminan fidusia tersebut kepada pihak lain yaitu Ny. Y tanpa
adanya persetujuan tertulis dari PT. Intensif Multi Finance yang merupakan penerima
fidusia, padahal jelas perbuatan Ny. X tersebut telah melanggar aturan dari pasal 23
ayat (2) UU Fidusia. Selain itu, sebagaimana yang telah dijelaskan di awal bahwa
benda yang dapat dijadikan sebagai jaminan adalah benda yang merupakan hak milik
atau penjamin memiliki kewenangan atas benda tersebut. Dalam hal ini, Ny. X tidak
memiliki kewenangan untuk menjaminkan mobil tersebut, karena hak milik atas mobil
tersebut telah beralih kepada perusahaan pembiayaan melalui lembaga jaminan
Fidusia.
Berdasarkan pasal 1337 KUHPerdata, isi perjanjian tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan baik, maupun ketertiban umum telah dilanggar
disini, karena isi perjanjian menyangkut gadai mobil tersebut telah dilarang oleh UU
Fidusia karena mobil tersebut masih terikat dengan lembaga fidusia. Sehingga, dalam
hal ini syarat suatu sebab yang halal tidak terpenuhi.
Syarat pertama dan kedua disebut dengan syarat subyektif sebab menyangkut subyek
perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif karena menyangkut
obyek perjanjian. Dari analisis ini, maka dapat dinyatakan bahwa perjanjian penyerahan
benda bergerak sebagai jaminan hutang tersebut tidaklah sah, karena ada syarat-syarat yang
tidak terpenuhi, yaitu syarat subyektif dan syarat obyektif. Dalam hal tidak terjadi
Perjanjian penyerahan..., Amelia Friskila, FH UI, 2013
kesepakatan secara bebas, maka pihak yang khilaf, dipaksa, atau ditipu tersebut, memiliki hak
untuk meminta pembatalan perjanjian pada saat ia mengetahui telah terjadinya kekhilafan,
paksaan, atau penipuan pada dirinya. Konsekuensi dari syarat subyektif yang tidak terpenuhi
adalah perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalan ke pengadilan atau arbitrase oleh
pihak yang merasa dirugikan. Apabila pihak yang dirugikan tidak memintakan pembatalan,
maka ketentuan dalam perjanjian tersebut tetap harus dilaksanakan. Dengan terjadinya
pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi unsur persyaratan subyektif, maka perikatan
yang lahir dari perjanjian tersebut hapus demi hukum.15
Jika dalam suatu perjanjian terjadi pelanggaran terhadap syarat objektif dari sahnya
suatu perikatan, maka perjanjian tersebut dikatakan batal demi hukum.16 Dalam hal ini secara
yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orangorang yang membuat perjanjian itu.17 Artinya disini tidak pihak yang dapat menuntut pihak
lain karena dasar hukumnya tidak ada sebab tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan
karena perjanjian tersebut telah batal demi hukum. Walaupun tidak ada pihak yang meminta
perjanjian untuk dibatalkan, tetapi jika syarat objektif tidak terpenuhi, maka secara otomatis
perjanjian itu menjadi tidaklah sah. Dari kasus ini, klausul penyerahan barang jaminan yaitu
mobil dapat dinyatakan tidak berlaku atau batal demi hukum karena klausul ini bertentangan
dengan aturan yang terdapat dalam UU Fidusia.
Dalam kasus ini, syarat subyektif juga tidak terpenuhi dan Ny. Y memiliki wewenang
untuk menuntut pembatalan ke pengadilan sebagaimana aturan yang terdapat dalam pasal
1449 KUHPerdata. Namun, disini juga dilihat bahwa perjanjian ini juga bertentangan dengan
hukum, maka syarat suatu sebab yang halal tidak terpenuhi. Akibatnya dari objek perjanjian
yang bertentangan dengan hukum yang berlaku, maka perjanjian ini menjadi batal demi
hukum, yang artinya meskipun tanpa adanya tuntutan dari pengadilan maka perjanjian
jaminan antara Ny. X dan Ny. Y tetap batal dan tidak sah.
Perjanjian jaminan merupakan perjanjian accesoir yang artinya perjanjian ini timbul
karena adanya perjanjian pokok. Perjanjian pokok dari perjanjian jaminan kebendaan ini
adalah perjanjian hutang-piutang. Dalam kasus ini walaupun perjanjian jaminannya batal
15
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Hapusnya Perikatan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003), hal.186.
16
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002), hal.182.
17
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Op.cit., hal. 22.
Perjanjian penyerahan..., Amelia Friskila, FH UI, 2013
demi hukum, tetapi kewajiban untuk pelunasan hutang oleh Ny. X tetap ada, karena tidak
berlakunya perjanjian accesoir tidak secara otomatis menyebabkan perjanjian pokoknya
menjadi batal. Disini Ny. X tetap harus melunasi hutangnya karena perjanjian pokoknya tetap
sah, sehingga kewajiban Ny. X sebagai debitur tetap harus dilaksanakan dan Ny. Y tetap
memiliki hak untuk menagih pelunasan hutang dari Ny. X. Jadi, dalam hal ini perjanjian
penyerahan mobil sebagai jaminan hutang ini dinyatakan secara hukum tidak sah.
2.
Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur
Dari analisis diatas, diketahui bahwa perjanjian tersebut tidak lah sah, karena adanya
syarat subyektif dan syarat obyektif yang tidak terpenuhi. Dalam hal ini Ny. Y sebagai pihak
yang dirugikan memiliki hak untuk dilindungi kepentingannya sebagaimana ia telah memiliki
itikad baik pada saat mengadakan perjanjian. Adapun yang menjadi perlindungan hukum bagi
Ny. Y sebagai kreditur yang beritikad baik, yaitu :
1. Berhak menerima jaminan umum dari debitur
Dalam pasal 1133 KUHPerdata disebutkan bahwa “Hak untuk didahulukan
diantara orang-orang berpiutang terbit dari hak istimewa, dari gadai, dan dari hipotik”.
Dari pasal ini dapat dilihat bahwa gadai merupakan jaminan khusus karena ada hak
istimewa dalam jaminan dalam bentuk gadai ini. Dari kasus ini perjanjian jaminan
gadai tidak sah karena selain karena adanya unsur penipuan juga objek perjanjian yang
dijadikan gadai bertentangan dengan hukum, sehingga jaminan khusus berupa gadai
ini dianggap tidak pernah ada. Oleh karena jaminan khusus tidak ada, maka Ny. Y
sebagai kreditur tetap memiliki hak atas jaminan umum karena Ny. Y memiliki
piutang kepada Ny. X. Dalam pasal 1131 KUHPerdata disebutkan bahwa:
“Segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari,
menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.
Dari pasal ini dapat dilihat bahwa kreditur tetap memiliki hak jaminan yang
menyangkut semua harta kekayaan debitur. Namun, tidak seperti jaminan khusus
dimana kreditur merupakan kreditur preferen, dalam jaminan umum ini kreditur
merupakan kreditur yang memiliki kedudukan yang sama atau seimbang (kreditur
konkuren). Maksudnya dalam jaminan umum ini, jika Ny. X memiliki lebih dari satu
kreditur, yaitu kreditur selain Ny. Y, maka seluruh harta benda Ny. X ini menjadi
jaminan untuk semua kreditur. Jadi, jika ada jumlah kreditur yang lebih dari satu dan
Perjanjian penyerahan..., Amelia Friskila, FH UI, 2013
hasil penjualan harta benda Ny. X cukup untuk menutupi hutang-hutangnya kepada
kreditur, maka seluruh kreditur berhak masing-masing mendapat bagiannya sesuai
dengan piutang-piutangnya.18
2. Hak retensi
Hak retensi adalah hak kreditur untuk menahan benda didalam kekuasaannya
oleh karena debitur tidak memenuhi prestasi yang berupa tagihan yang bertalian
dengan benda itu. 19 Jadi asal mula dari hak retensi ini adalah karena tagihan
(vordering). Adapun yang menjadi ciri dari hak retensi adalah sebagai berikut:20
a. Hak retensi adalah hak perseorangan (persoonlijk) yang mengandung aspek hak
kebendaan.
b. Hak retensi tidak menimbulkan hak didahulukan. Debitur berkedudukan sebagai
konkuren kreditur
c. Hak retensi adalah hak accesoir, tergantung pada perjanjian pokok.
d. Hak retensi tidak dapat dibagi.
e. Hak retensi memberikan jaminan terhadap kreditur bahwa tagihannya terpenuhi
f. Hak retensi tidak menimbulkan hak untuk menikmati atau memakai benda.
Dalam kasus ini, walaupun Ny. Y tidak memiliki hak sebagai pemegang gadai
karena perjanjian jaminan dengan bentuk gadai ini tidak sah, tetapi Ny. Y tetap
memiliki hak retensi untuk menahan harta benda Ny. X karena Ny. X memiliki hutang
dengan Ny. Y. Hubungan hutang piutang antara Ny. X dan Ny. Y tetap ada meskipun
perjanjian jaminannya tidak sah. Dengan adanya hubungan hutang piutang ini maka
ada hak tagih yang dimiliki Ny. Y. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya adanya
tagihan bisa menimbulkan hak retensi, sehingga Ny. Y juga memiliki hak retensi
untuk menahan harta benda Ny. X sebagai jaminan agar tagihannya terpenuhi. Namun,
walaupun Ny. Y menahan mobil tersebut atau benda lainnya milik Ny. X, karena ia
hanya memegang hak retensi maka Ny. Y tetap tidak memiliki hak untuk didahulukan
dalam pelunasan atau sebagai kreditur preferen karena hak retensi tidak menimbulkan
18
Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak yang Memberi Kenikmatan Jilid 1,
(Jakarta: Ind-Hil-Co, 2005), hal.8.
19
Mariam Darus Badrulzaman, Permasalahan Hukum Hak Jaminan, Hukum Bisnis, Vol.11, Jakarta,
2000, hal. 87.
20
Ibid.
Perjanjian penyerahan..., Amelia Friskila, FH UI, 2013
hak untuk didahulukan. Selain itu, Ny. Y juga tidak boleh menggunakan atau
menikmati benda yang ditahannya dari Ny. X. Hak retensi ini hanya digunakan
sebagai jaminan untuk pemenuhan tagihan tanpa adanya hak khusus untuk kreditur.
3. Hak mengajukan gugatan ganti rugi
Sebagai kreditur yang telah beritikad baik Ny. Y juga memiliki hak untuk
mengajukan gugatan kepada Ny. X jika dirasakan apa yang diperbuat Ny. X
merugikan diri Ny. Y sebagaimana disebutkan dalam pasal 1365 KUHPerdata yang
berbunyi “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut”. Dengan landasan pasal ini, Ny. Y bisa mengajukan gugatan
perbuatan melawan hukum untuk meminta ganti kerugian, karena dalam perjanjian
tersebut ia telah ditipu dan perjanjian tersebut tidak sah sehingga mobil tersebut
seharusnya tidak dapat digadaikan.
Dalam hal ini Ny. Y tidak memiliki hak untuk menguasai barang jaminan
sebagai jaminan pelunasan hutangnya karena pasal 23 ayat (3) UU Fidusia melarang
barang yang masih terikat lembaga fidusia digadaikan tanpa ijin tertulis dari penerima
fidusia. Tentu saja dengan tidak sah nya perjanjian ini maka hak menguasai barang
jaminan sebagai pemegang gadai tidak sah serta kedudukan sebagai kreditur preferen
juga menjadi tidak sah dan hal ini tentu saja merugikan Ny. Y baik dari segi materiil
dan immaterial. Maka, selain kewajiban Ny. Y sebagai pemegang gadai dihapuskan
karena perjanjian tersebut batal, Ny. Y berhak menuntut ganti rugi kepada Ny. X atas
semua biaya yang dikeluarkannya dan kerugian yang dideritanya diluar dari
perhitungan hutang Ny. X kepada Ny. Y. Disamping membayar ganti rugi, Ny. X juga
harus tetap berkewajiban untuk melunasi hutangnya kepada Ny.Y.
KESIMPULAN
Berdasarkan apa yang telah dijabarkan sebelumnya, maka dalam penelitian ini dapat diambil
simpulan sebagai berikut :
1. Pada hakekatnya leasing merupakan salah satu cara pembiayaan yang mirip dengan
kredit bank. Hanya bedanya adalah leasing memberikan bantuan dalam bentuk
barang modal, sedangkan bank memberikan bantuan berupa permodalan. Sebelum
Perjanjian penyerahan..., Amelia Friskila, FH UI, 2013
memulai kegiatan usaha di bidang leasing ini, maka antara pihak penyewa dengan
pihak yang menyewakan (lessor dan lessee) harus terlebih dahulu membuat kontrak
leasing. Dalam usaha leasing tentunya terdapat beberapa pihak yang bersangkutan
dalam perjanjian leasing yang terdiri dari :
a. Pihak yang disebut lessor, yaitu pihak yang menyewakan barang, dapat terdiri dari
perusahaan. Pihak penyewa ini disebut juga sebagai investor.
b. Pihak yang disebut dengan lessee, yaitu pihak yang menikmati barang tersebut
dengan membayar sewa guna usaha yang mempunyai hak opsi.
c. Pihak yang disebut dengan lender atau disebut juga debt-holders atau loan
participants dalam transaksi leasing. Mereka umumya terdiri dari bank, insurance
company, trust dan yayasan.
d. Pihak supplier, yaitu penjual dan pemilik barang yang disewakan. Dalam leasing
yang memegang status hak milik atas barang modal adalah lessor meskipun
penguasaan barang berada ditangan lessee. Hal ini pula yang menjadi pembeda
antara leasing dengan sewa beli ataupun jual beli secara angsuran. Hak milik dapat
beralih kepada lessee jika sudah tercapai kesepakatan harga barang dan jumlah
harga tersebut telah lunas dibayar. Selama hak milik masih berada ditangan lessor,
maka lessee hanya memiliki hak untuk menguasai barang tersebut tapi tidak boleh
memperjualbelikan ataupun memindahtangankan barang tersebut tanpa seijin
lessor.
2. Dalam perjanjian penyerahan benda bergerak sebagai jaminan hutang ini ada syaratsyarat untuk sah nya perjanjian sebagaimana yang terdapat didalam pasal 1320
KUHPerdata tidak semuanya terpenuhi. Syarat subyektif perjanjian yaitu kesepakatan
tidak terpenuhi sebab adanya unsur penipuan dalam perjanjian ini. Selain itu, syarat
obyektif perjanjian yaitu suatu sebab yang halal juga tidak terpenuhi karena klausul
penyerahan mobil sebagai jaminan hutang bertentangan dengan UU Fidusia pasal 23.
Oleh karena syarat subyektif dan syarat obyektif perjanjian, maka perjanjian ini
menjadi tidak sah. Tidak terpenuhinya syarat subyektif mengakibatkan perjanjian
dapat dimintakan pembatalan, dan tidak terpenuhinya syarat obyektif, maka klausul
yang bertentangan menjadi batal demi hukum dan menjadi tidak sah mengikat para
pihak. Dalam hal ini, karena syarat subjektif dan syarat objektif secara bersama-sama
Perjanjian penyerahan..., Amelia Friskila, FH UI, 2013
tidak terpenuhi, maka secara otomatis perjanjian menjadi batal dan tidak sah meskipun
tidak ada pihak yang menuntut agar perjanjian dibatalkan.
3. Sebagai pihak yang memiliki itikad baik, maka Ny. Y sebagai kreditur memiliki hak
untuk dilindungi. Ny. Y sebagai kreditur meskipun tidak memiliki hak sebagai
kreditur preferen tetap mendapat hak untuk memegang jaminan umum yaitu jaminan
yang diberikan bagi kepentingan semua kreditur dan menyangkut semua harta
kekayaan debitur. Selain memiliki hak atas jaminan umum, Ny. Y juga memiliki hak
retensi yang timbul karena adanya tagihan atas piutangnya dari Ny. X. Tidak hanya itu
Ny. Y dapat mengajukan gugatan untuk meminta ganti kerugian jika ia merasa
dirugikan atas perbuatan Ny. X berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut”. Tidak hanya itu, dengan diakuinya asas itikad baik dalam
berkontrak di Indonesia, maka hakim dapat membatasi atau meniadakan perjanjian
yang dianggap beritikad merugikan salah satu pihak, atau dapat juga mengubah atau
menambah isi perjanjian yang dinilai tidak sesuai dengan nilai kepatutan yang berlaku
dimasyarakat guna melindungi Ny. Y yang telah beritikad baik dalam melaksanakan
perjanjian ini.
SARAN
Berdasarkan pokok permasalahan dan analisis, maka penulis memberikan saran
sebagai berikut:
1. Leasing sering disebut sebagai bisnis yang loosely regulated, karena hingga saat ini tidak
ada undang-undang yang secara khusus mengaturnya kecuali melalui peraturan presiden
ataupun keputusan menteri. Seharusnya mulai dirancang suatu undang-undang khusus
yang mengatur tentang leasing karena perkembangan bisnis leasing saat ini sangat pesat.
Disisi lain, karena leasing hanya dijalankan sebagaimana berdasarkan ketentuanketentuan yang ada dalam perjanjian leasing, maka seringkali dalam bisnis ini timbul
banyak masalah terutama disebabkan oleh cidera janji oleh pihak lessee. Penyelesaian
masalah secara non-hukum lebih menjadi pilihan, karena aturan-aturan mengenai leasing
sangat terbatas, sehingga banyak lessor yang lebih memilih tindakan langsung secara non
hukum yang bisa saja akhirnya tindakan ini saling merugikan kedua belah pihak. Oleh
Perjanjian penyerahan..., Amelia Friskila, FH UI, 2013
sebab itu, sangat disarankan agar dibuat suatu undang-undang yang khusus mengatur
mengenai kegiatan leasing demi memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi
para pihak.
2. Dalam perjanjian leasing pada perusahaan PT. Intensif Multi Finance meskipun title-nya
adalah perjanjian leasing, tetapi isi perjanjian ini tidaklah tepat dikatakan perjanjian
leasing. Isi perjanjian tersebut lebih tepat jika dikatakan sebagai jual beli dengan
angsuran karena hak milik telah beralih kepada debitur pada saat awal perjanjian dibuat.
Sehingga konsep leasing di sini tidak tepat diterapkan. Seharusnya konsep leasing pada
perusahaan ini diubah menjadi jual beli secara angsuran.
3. Sebaiknya para pihak yang ingin mengadakan perjanjian harus benar-benar aktif
menggali terlebih dahulu informasi mengenai obyek yang akan diperjanjikan agar tidak
bertentangan dengan undang-undang maupun nilai kesusilaan dan ketertiban umum yang
berlaku dimasyarakat. Dengan mengetahui seluruh informasi tentang obyek yang
diperjanjikan, maka nantinya akan menghindarkan perjanjian yang telah disepakati
menjadi batal demi hukum. Adanya keterbukaan informasi dan itikad baik para pihak
dalam mengadakan kesepakatan akan membantu mempermudah para pihak untuk
melaksanakan hal-hal yang telah disepakatinya yang dituangkan dalam bentuk perjanjian.
Perjanjian penyerahan..., Amelia Friskila, FH UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Andasasmita, Komar. Leasing. Bandung: Ikatan Notaris Indonesia. 1983.
Badrulzaman, Mariam Darus. Permasalahan Hukum Hak Jaminan. Hukum Bisnis. Vol.11.
Jakarta. 2000.
Hasbullah, Frieda Husni. Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak yang Memberi Kenikmatan
Jilid 1. Jakarta: Ind-Hil-Co. 2005.
Simatupang, Richard Burton. Aspek Hukum Dalam Bisnis. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2003.
Subekti, R. Aneka Perjanjian. Bandung : Alumni. 1977.
_________ . Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa. 2004.
Tiong, Oey Hoey. Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan. Jakarta: Ghalia
Indonesia. 1985.
Widjaja, Gunawan & Ahmad Yani. Jaminan Fidusia (Seri Hukum Bisnis). Cet. II. Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada. 2001.
Widjaja, Gunawan dan Kartini Muljadi. Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada. 2002.
_______________________________ . Hapusnya Perikatan. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. 2003.
Widjaja, I.G. Rai. Merancang Suatu Kontrak, Contract Drafting dalam Teori dan Praktek.
Jakarta : Megapoin Kesaint Blanc. 2001.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia. Undang-Undang tentang Rumah Susun. Undang-Undang No. 16 Tahun 1985. LN
No. 75 Tahun 1985. TLN No. 3318.
________. Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia. Undang-Undang No. 42 Tahun 1999.
LN No. 168 Tahun 1999. TLN No. 3889.
________. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia tentang Kegiatan Sewa Guna
Usaha (Leasing). Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.
1169/KMK.01/1991.
Perjanjian penyerahan..., Amelia Friskila, FH UI, 2013
Kitab Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek). Diterjemahkan oleh R. Subekti
dan R. Tjitrosudibio. Edisi Revisi. Cet. XVIII. Jakarta: PT Pradnya Paramita,
1996.
Perjanjian penyerahan..., Amelia Friskila, FH UI, 2013
Perjanjian penyerahan..., Amelia Friskila, FH UI, 2013
Download