Morphology, physiology, preservation of climbing perch Anabas

advertisement
Jurnal Iktiologi Indonesia, 14(3):211-223
Morfologi, fisiologi, preservasi sel sperma ikan betok,
Anabas testudineus Bloch 1792 dan ketahanannya terhadap kejut listrik
[Morphology, physiology, preservation of climbing perch Anabas testudineus Bloch 1792
sperm and the endurance to electric shock]
Fajar Maulana1, Alimuddin2, M. Zairin Junior2
1
Program Studi Ilmu Akuakultur, SPs IPB
Jln. Agatis Kampus IPB Dramaga Bogor 16680
2
Departemen Budi Daya Perairan, FPIK-IPB
Jln. Agatis Kampus IPB Dramaga Bogor 16680
Diterima: 6 Juli 2014; Disetujui: 30 September 2014
Abstrak
Kualitas sperma yang baik dan dalam keadaan tak aktif selama proses elektroporasi sangat menentukan keberhasilan
transgenesis. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi karakter morfologis dan fisiologis sel sperma, serta mengevaluasi efek voltase dan jumlah kejut listrik berbeda terhadap motilitas dan viabilitas sperma ikan betok. Pengamatan
karakter morfologi dilakukan pada mikroskop dengan pembesaran 400x, karakter fisiologi dengan berbagai parameter
yakni tingkat osmolaritas, volume, pH, kepadatan dan total sperma. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sperma ikan
betok terdiri atas tiga bagian, yakni kepala yang berbentuk oval, bagian tengah, dan ekor sperma. Viabilitas sperma ikan
betok dalam air adalah selama 116±34 detik. Induksi ovaprim dapat meningkatkan volume sperma, pH, kepadatan dan
total sperma (p<0,05). Tingkat osmolaritas tubuh dan testis ikan betok (390-405 mOsmol kg-1). Penyimpanan sperma
yang diencerkan dengan larutan NaCl 1,3% hanya dapat bertahan maksimum selama 60 menit pada suhu ruang (26˚C)
dan suhu dingin (4˚C), sedangkan tanpa pengenceran dapat bertahan selama 360 menit. Derajat pembuahan dan
kelangsungan hidup larva hingga 10 hari pascatetas menggunakan sperma dari testes cacah sama dengan pemijahan semi alami. Elektroporasi sperma ikan betok dengan pengencer larutan NaCl 1,3% berhasil dilakukan menggunakan lama
kejut 0,5 milidetik, dan jeda antar kejut 0,1 detik. Peningkatan voltase dan jumlah kejut yang diberikan saling berinteraksi menurunkan motilitas dan viabilitas sperma (p<0,05). Metode kejut listrik tersebut berpotensi digunakan untuk
menghasilkan ikan betok transgenik dengan metode elektroporasi.
Kata penting: elektroporasi, fisiologis, ikan betok, morfologi, sperma
Abstract
Good sperm quality and inactive condition during the electroporation process determines the success of transgenesis.
The study aims to observe the morphology and physiology of sperm, and evaluate the effects of different voltage and
number of electric shocks on motility and viability of climbing perch sperm. Observation of morphological characters
by microscope with a magnification of 400X, physiological character with various parameters, such as the level of osmolarity, volume, pH, density and total of sperm. The climbing perch sperm consisted of three parts, namely the ovoid
head, middle, and tail. Sperm viability in the water was 116±34 seconds. Sperm quantity, volume of semen, pH, and
sperm density were increased after ovaprim injection (p<0.05). Osmolarity levels of body and testes of climbing perch
ranged at 390-405 mOsmol kg-1. Sperm diluted in 13 g L-1 NaCl solution could be kept for a maximum of 60 minutes at
room temperature (26˚C) and cold temperature (4˚C), while without NaCl solution could be 360 minutes. Fertilization
and hatching rates of eegs fertilized by sperm form the minced testes, and larval survival up to 10 days post-hatching
were similar with semi-natural spawning. Electroporation of climbing perch sperm diluted in 13 g/L NaCl solution was
successfully performed using a program with a long shock of 0.5 milliseconds and the interval shock of 0.1 seconds.
Increasing the voltage and number of shock decreased motility and viability of sperm (p<0.05). Those electric shock
parameters can potentially be used to generate climbing perch transgenic by electroporation method.
Keywords: electroporation, physiology, climbing perch, morphology, sperm
Ikan ini termasuk ke dalam jenis ikan ekonomis
Pendahuluan
Ikan betok (Anabas testudineus Bloch
1924) merupakan ikan asli perairan Indonesia
yang memiliki potensi untuk dikembangkan.
tinggi di daerah Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
Dalam rangka pemenuhan permintaan dari produksi budi daya ikan betok, metode pembe-
 Penulis korespondensi
Alamat surel: [email protected]
nihannya telah berhasil dikembangkan (Widodo
Masyarakat Iktiologi Indonesia
Karakter sel sperma ikan betok, Anabas testudineus
et al. 2007). Namun demikian, kendala berikut-
(Plecoglossus altivelis) menurun hingga 50% pa-
nya yang perlu dipecahkan adalah pertumbuhan
da 120 detik setelah diberi kejutan dengan volta-
ikan betok relatif lambat. Berbagai metode dapat
se 9 kV. Symonds et al. (1994) juga mengemu-
diterapkan untuk menghasilkan induk dan benih
kakan bahwa aktivitas sperma ikan chinook sal-
dengan pertumbuhan lebih cepat, di antaranya
mon (Oncorhynchus tshawytscha) menurun dari
transgenesis. Prasyarat transgenesis adalah pe-
82% menjadi 2% setelah sperma dielektroporasi
nguasaan metode pemijahan buatan yang terkon-
dengan voltase yang meningkat dimulai dari 625
trol, teknik preservasi sperma yang baik, serta
V cm-1 sampai 1000 V cm-1. Dengan demikian
pengetahuan terkait sel gamet ikan uji.
voltase yang sesuai untuk sperma ikan yang akan
Transgenesis memiliki kelebihan diban-
dibuat menjadi transgenik perlu diketahui agar
dingkan dengan metode lainnya, di antaranya
pembuahan dan persentase ikan transgenik yang
adalah waktu yang diperlukan untuk mencapai
dihasilkan menjadi tinggi. Dalam rangka pembu-
efek perbaikan genetik yang diinginkan adalah
atan ikan betok transgenik, pada penelitian ini di-
lebih cepat (Yaskowiak et al. 2006), dan tingkat
lakukan eksplorasi karakter morfologis dan fisio-
perbaikan kualitas genetik lebih tinggi daripada
logis sel sperma ikan betok, serta penentuan pa-
metode pemuliaan lainnya. Telur ikan betok rela-
rameter elektroporasi yang mendukung motilitas,
tif kecil sehingga metode mikroinjeksi agak sulit
viabilitas, dan fertilitas sperma pada telur.
diterapkan. Altenatifnya adalah metode elektroporasi pada sperma, kemudian sperma tersebut
Bahan dan metode
digunakan untuk membuahi telur (Inoue et al.
Pengamatan morfologis sperma
1990 dan Lu et al. 2002). Faktor utama penentu
Parameter morfologi sperma yang diukur
keberhasilan transgenesis ke sel sperma adalah
meliputi panjang dan lebar kepala, panjang bagi-
keberhasilan mempertahankan sperma dalam ke-
an tengah dan ekor sperma. Sampel sperma diko-
adaan tak aktif, dan mampu membuahi telur.
leksi dari empat ekor ikan betok jantan (panjang
Sperma ikan betok dapat dikeluarkan dari tubuh
10±2 cm; bobot tubuh 20±5 gram). Sperma diko-
induk jantan melalui pengalinan (stripping), teta-
leksi dengan cara melakukan pengalinan pada
pi dalam praktiknya sperma yang dikeluarkan pa-
bagian perut ikan, kemudian sperma diencerkan
da proses pengalinan telah aktif dikarenakan
menggunakan larutan eosin 0,2% sebanyak 10
keluarnya cairan urin bersamaan dengan sperma.
kali pengenceran. Parameter morfologis diukur
Penggunaan larutan fisiologis yang sesuai akan
dengan bantuan mikroskop Olympus CX31 ter-
mendukung keberhasilan transgenesis pada ikan
sambung dengan kamera Sony (Color Video Ca-
betok. Oleh karena itu, kesesuaian antara larutan
mera), dan komputer yang dilengkapi dengan pe-
bufer DNA dan larutan fisiologis ikan merupa-
rangkat lunak OptiLab image raster versi 1.3.2.
kan suatu parameter yang harus diketahui terle-
Pengamatan dilakukan pada pembesaran 400 dan
bih dahulu sebelum melakukan elektroporasi.
1000 kali.
Motilitas sperma pascaelektroporasi dipengaruhi oleh kuat medan listrik, panjang kejutan,
Pengukuran osmolaritas
jumlah kejutan, dan kekuatan ionik bufer
Pengukuran tingkat osmolaritas tubuh
(Symonds et al. 1994). Berdasarkan penelitian
ikan betok dilakukan pada bagian tubuh ikan to-
Cheng et al. (2002), motilitas sperma ikan ayu
tal dan gonad dengan cara: ikan uji yang diguna-
212
Jurnal Iktiologi Indonesia
Maulana et al.
kan dicacah sampai halus, lalu diambil hasil cacahan sebanyak 1 gram kemudian dicampur dengan larutan Na-sitrat (3,8%) sebanyak 3 ml
(Marlina 2011). Campuran tersebut diambil sebanyak 1,5 ml, dimasukkan ke dalam tabung mikro,
dan disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 6000 rpm. Supernatan yang terbentuk diambil sebanyak 1 ml, diencerkan dengan akuabides sebanyak 15 ml, lalu nilai osmolaritas hasil
pengenceran diukur menggunakan Osmometer
tipe Osmotat 030, Gonotec (Germany). Nilai osmolaritas tubuh dan gonad dihitung mengguna-
Penentuan larutan fisiologis, lama waktu dan
suhu penyimpanan
Penentuan larutan fisiologis (NaCl) yang
sesuai untuk sperma ikan betok dilakukan dengan mengamati motilitasnya. Konsentrasi larutan NaCl, lama waktu dan suhu penyimpanan
yang diuji disajikan pada Tabel 1. Perangsangan
spermiasi ikan jantan yang telah matang gonad
dilakukan menggunakan ovaprim (Ovaprim,
Syntex USA) dengan dosis 0,5 ml kg-1 bobot
ikan pada bagian intramuskuler (Widodo et al.
2007). Tindakan ini dilakukan dengan tujuan
penyeragaman pematangan sel gamet ikan. Pro-
kan rumus:
𝑉1 × 𝑁1 = 𝑉2 × 𝑁2
Keterangan: V1= volume larutan daging dengan Natrium Sitrat 3,8% (ml), N1= konsentrasi cairan tubuh
ikan yang dinyatakan dalam DHL (mS cm-1), V2= volume larutan campuran supernatant dengan akuabides
(ml), N2= konsentrasi cairan tubuh/gonad ikan serta
pelarut antikoagulan dan akuabides yang dinyatakan
dalam Osmolaritas (mOsmol kg-1).
ses induksi dilakukan 10-12 jam sebelum ikan
dibedah untuk koleksi sel gamet. Gamet dibagi
ke masing-masing tabung mikro dan ditambahkan larutan fisiologis. Setelah 3 hingga 5 detik,
dilakukan pengujian tingkat motilitas sperma di
bawah mikroskop dengan pembesaran 400 kali.
Guna memastikan bahwa sperma belum aktif,
Pengukuran volume dan pH semen, spermatokrit,
dan jumlah sperma
maka sperma dicampur dengan air untuk meng-
Sperma dikoleksi dengan pengalinan in-
aktifkannya. Penilaian motilitas sperma didasar-
duk jantan, dikumpulkan di dalam tabung mikro
kan pada banyaknya sperma yang aktif bergerak
berukuran 200 µL. Volume semen diukur meng-
maju (progresif) dengan penilaian mengikuti me-
gunakan pipet mikro. Penentuan volume semen
tode Guest et al. (1976).
pada ikan betok tanpa perlakuan penyuntikan
hormon ovaprim dilakukan secara kumulatif
dengan mengumpulkan cairan sperma dari 3-4
ekor ikan dengan total 16 ekor, sedangkan pada
ikan yang telah diinjeksi hormon dilakukan untuk setiap ekor ikan uji lainnya sebanyak 16 ekor.
Metode pengukuran spermatokrit dan kepadatan
sperma merujuk pada metode Tvedt (2001).
Pengukuran nilai pH cairan sperma, dilakukan
menggunakan kertas uji pH (Darmstadt, Germany). Sebanyak 10 µL cairan sperma hasil koleksi
dipaparkan ke atas kertas pH tersebut, selanjutnya kertas pH disandingkan pada gambar pH indikator.
Volume 14 Nomor 3, Oktober 2014
Pengujian pemijahan ikan betok dengan metode
berbeda
Pemijahan ikan betok dilakukan menggunakan tiga metode berbeda, yaitu pemijahan semi-alami, pemijahan buatan dengan pengalinan
induk, dan metode pemijahan buatan menggunakan sperma hasil preservasi. Setiap metode pemijahan tersebut dicobakan menggunakan tiga set
induk ikan betok. Satu set adalah 1 ekor betina :
3 ekor jantan.
Sebanyak 500 butir embrio hasil pemijahan ikan betok pada masing-masing metode dikoleksi, dan ditempatkan pada wadah plastik bervolume 0,5 L. Pengamatan derajat pembuahan
213
Karakter sel sperma ikan betok, Anabas testudineus
Tabel 1. Perlakuan dalam pengujian fisiologis sel sperma ikan betok
Konsentrasi larutan fisiologis (NaCl, %)
Lama penyimpanan (menit)
0, 3, 5, 10, 15, 30, 60, 120, 180, 360,
720, dan 1440
0; 0,9; 1,0; 1,1; dan 1,2
Suhu penyimpanan
Suhu kamar (26 ˚C),
suhu dingin (4 ˚C)
dilakukan setelah 12 jam pascapembuahan. Pe-
viabilitas sperma didasarkan pada perbedaan kri-
ngamatan derajat penetasan dilakukan setelah 30
teria kepala sperma yang bewarna transparan dan
jam pascapembuahan. Larva yang berhasil mene-
aktif bergerak (hidup), sedangkan sperma yang
tas kemudian dipindahkan ke dalam akuarium
mati akan bewarna merah muda buram dan tidak
berisi air 10 L, dan dipelihara selama 10 hari.
bergerak serta mengembang.
Derajat kelangsungan hidup dihitung pada hari
terakhir pemeliharaan.
Parameter uji dan analisis statistik
Parameter yang diamati meliputi panjang
Evaluasi viabilitas sel sperma pascakejut listrik
kepala, lebar kepala, panjang bagian tengah,
Pemberian kejut listrik terhadap sel sper-
panjang ekor, panjang total sperma, pH cairan
ma ikan betok dilakukan dalam dua tahap. Tahap
sperma, motilitas sperma (MS), viabilitas sperma
pertama adalah penentuan batas voltase maksi-
(VS), derajat pembuahan (DP), derajat penetasan
mum yang diberikan pada sperma, dan tahap ke-
(DT), dan tingkat kelangsungan hidup larva
dua adalah penentuan jumlah kejut listrik yang
(Khl). Data dianalisis menggunakan statistik
optimal. Kejut listrik dilakukan menggunakan
non-parametrik dengan membandingkan nilai ra-
elektroporator Gene Pulser II (Biorad, USA) de-
taan pada parameter morfologi sperma, MR, dan
ngan tipe kejut square wave. Tipe kejut square
nilai osmolaritas tubuh ikan diolah dengan ban-
wave diketahui memberikan efek lebih baik dan
tuan program Microsoft Excel 2013. Parameter
lebih efisien bila dibandingkan dengan tipe expo-
volume sperma, spermatokrit, kepadatan sperma,
nential; tingkat efektivitas transfernya mencapai
jumlah total sperma, DP, DT, Khl, dan VS hasil
3-10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan tipe
elektroporasi dianalisis menggunakan analisis
exponential (Takahashi et al. 1991). Program
sidik ragam (ANOVA), dan jika terdapat penga-
pengujian kejut listrik disajikan pada Tabel 2.
ruh nyata dilanjutkan dengan uji Duncan dengan
Viabilitas sperma hasil elektroporasi diamati dengan metode pewarnaan eosin
bantuan program SPSS versi 17.0.
0,2%
(Hafez 1987). Satu tetes sperma diteteskan de-
Hasil
ngan menggunakan mikropipet di atas gelas
Morfologi dan durasi viabilitas sperma
obyek dan ditambahkan pewarna eosin 0,2% de-
Sperma ikan betok terdiri atas tiga bagian
ngan perbandingan 1:1, kemudian kedua larutan
utama, yaitu kepala berbentuk oval, bagian te-
tersebut dicampurkan secara merata. Penilaian
ngah, dan bagian ekor (Gambar 1). Panjang total,
Tabel 2. Program pengujian kejut listrik terhadap sperma ikan betok
Voltase Kejut (V)
0
50
125
250
500
214
Jumlah kejut
1, 3, dan 5
1, 3, dan 5
1, 3, dan 5
1, 3, dan 5
1, 3, dan 5
Lama kejut (milidetik)
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
Jeda waktu kejut (detik)
0,1
0,1
0,1
0,1
0,1
Jurnal Iktiologi Indonesia
Maulana et al.
rendah menyebabkan sperma aktif bergerak.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa larutan
NaCl 1,3% yang digunakan bersifat isotonis terhadap cairan sperma ikan betok. Osmolaritas larutan NaCl 1,3% adalah 407 mOsmol kg-1. Nilai
tersebut relatif sama dengan osmolaritas tubuh
ikan betok, berkisar 390-405 mOsmol kg-1. Nilai
osmolaritas gonad relatif sama dengan osmolariGambar 1. Sperma ikan betok (a. kepala sperma,
b. bagian tengah, c. ekor sperma)
panjang kepala, panjang bagian tengah, dan pan-
tas tubuh, sebesar 390 mOsmol kg-1.
Motilitas sperma pascasimpan pada suhu ruang
dan suhu dingin
jang ekor sperma berturut-turut 35,54±4,66;
Seperti ditunjukkan pada Tabel 5, preser-
1,83±0,20; 0,93±0,23; 33,05±1,40 µm. Lebar ke-
vasi sperma menggunakan NaCl 1,3% dapat
pala sebesar 1,48±0,21 µm. Total estimasi durasi
mempertahankan kualitas sperma pada kondisi
pergerakan sperma adalah 116±34 detik.
maksimal (skala 5) dalam waktu 60 menit, baik
pada suhu dingin maupun suhu ruang. Penyim-
Efek induksi hormon
panan pada suhu dingin mengakibatkan penurun-
Penyuntikan induk jantan ikan betok de-
an kualitas sperma yang lebih cepat bila diban-
ngan hormon ovaprim memberikan perbedaan
dingkan dengan suhu ruang, sedangkan sperma
yang signifikan (p<0,05) pada semua parameter
yang disimpan tanpa pengencer dapat bertahan
uji (Tabel 3). Pada ukuran induk yang sama, in-
hingga 360 menit pascakoleksi.
duksi ovaprim meningkatkan volume semen ikan
sekitar 11 kali lipat, dan kepadatan sperma sekitar 58% daripada yang tidak diinduksi.
Derajat pembuahan, derajat penetasan, dan
kelangsungan hidup larva
Derajat pembuahan, derajat penetasan,
dan kelangsungan hidup larva ikan betok disaji-
Larutan fisiologis NaCl untuk ikan betok
Konsentrasi dan motilitas sperma sebelum
kan pada Gambar 2. Derajat pembuahan telur
dan pascapengaktifan ditunjukkan pada Tabel 4.
menggunakan sperma dari testis cacah untuk pe-
Konsentrasi NaCl 1,3% adalah yang terbaik se-
mijahan buatan adalah sama dengan pemijahan
bagai media pelarut dalam proses penyimpanan
semi alami (p>0,05), sedangkan yang mengguna-
sperma, sedangkan konsentrasi NaCl yang lebih
kan sperma dari pengalinan lebih rendah. Daya t
Tabel 3. Bobot induk dan karakteristik fisiologis cairan sperma ikan betok jantan
Parameter
Bobot induk (gram)
Volume semen (µL)
pH sperma
Spermatokrit (%)
Kepadatan sperma (x109 mL-1)
Non induksi
19,76±7,06a
9,33±2,21b
7-8a
53,42±12,17a
16,95±9,71b
Induksi hormonal
20,00±6,66a
102,78±22,78a
9-10b
46,45±11,84b
26,78±9,91a
Keterangan: Induksi hormonal menggunakan ovaprim 0,5 mL kg-1 induk. Huruf tika atas berbeda pada lajur yang sama
menunjukkan nilai yang berbeda nyata (p<0,05).
Volume 14 Nomor 3, Oktober 2014
215
Karakter sel sperma ikan betok, Anabas testudineus
Tabel 4. Konsentrasi larutan NaCl dan motilitas sperma sebelum dan pascapengaktifan dengan air
Konsentrasi larutan
NaCl (%)
0
0,9
1,0
1,1
1,2
1,3
1,4
1,5
Motilitas sebelum pengaktifan
Kondisi osmotik
0 (Tidak aktif)
5 (Aktif bergerak)
3 (Banyak bergerak)
3 (Banyak bergerak)
1 (Bergetar sedikit)
1 (Bergetar sedikit)
0 (Diam)
0 (Diam)
0 (Diam)
Motilitas pascapengaktifan
Hipo-osmotik
Hipo-osmotik
Hipo-osmotik
Hipo-osmotik
Hipo-osmotik
Iso-osmotik
Hiper-osmotik
Hiper-osmotik
5 (Aktif bergerak)
5 (Aktif bergerak)
5 (Aktif bergerak)
5 (Aktif bergerak)
5 (Aktif bergerak)
5 (Aktif bergerak)
5 (Aktif bergerak)
4 (Banyak bergerak)
3 (Banyak bergerak)
Keterangan: Motilitas sebelum pengaktifan menunjukkan aktivitas sperma pascacampur larutan NaCl; Motilitas pascapengaktifan menunjukkan motilitas sperma pascacampur dengan air. Penilaian berdasarkan Guest et al.
(1976).
Tabel 5. Motilitas sperma pascasimpan pada suhu ruang dan suhu dingin, dengan pengencer larutan NaCl
1,3%
Penyimpanan
0
5
5
5
Suhu ruang 26 ˚C
Suhu 4 ˚C
Kontrol
3
5
5
5
5
5
5
5
10
5
5
5
15
5
5
5
30
5
5
5
45
5
5
5
Waktu (menit)
60
120
5
4
5
4
5
5
150
1
3
5
180
0,5
1
5
240
0,5
0,5
5
360
0,5
0
5
720
0
0
0
Keterangan: Kontrol merupakan sperma tanpa pengenceran yang ditempatkan pada suhu ruang 26˚C.
Persen (%)
100
80
60
40
20
0
DP
Pemijahan semi-alami
DT
Khl
Pengalinan sperma
Testis cacah
Gambar 2. Derajat pembuahan (DP), derajat penetasan (DT), dan kelangsungan hidup larva pada 10 hari
pascatetas (Khl) ikan betok menggunakan berbagai sperma dengan cara koleksi berbeda.
etas telur dan kelangsungan hidup larva hingga
seiring dengan meningkatnya voltase dan jumlah
10 hari pascatetas adalah sama pada semua per-
kejut listrik yang diberikan. Selain itu, terdapat
lakuan.
interaksi antara faktor voltase dan jumlah kejut
terhadap viabilitas sperm, semakin tinggi voltase
Viabilitas sperma pascakejut listrik
dan jumlah kejut maka semakin rendah tingkat
Viabilitas sperma ikan betok pascakejut
viabilitas sperma (p<0,05). Viabilitas sperma
listrik disajikan pada Gambar 3. Hasil penelitian
perlakuan 50 volt dan jumlah kejut 1 kali adalah
menunjukkan bahwa viabilitas sperma menurun
sama dengan kontrol.
216
Jurnal Iktiologi Indonesia
Maulana et al.
Viabilitas Sperma (%)
[CELLRANGE]
[CELLRANGE]
[CELLRANGE]
[CELLRANGE]
[CELLRANGE]
100 [CELLRANGE]
[CELLRANGE]
[CELLRANGE]
[CELLRANGE]
[CELLRANGE]
[CELLRANGE]
[CELLRANGE]
[CELLRANGE]
[CELLRANGE]
[CELLRANGE]
[CELLRANGE]
80
[CELLRANGE]
[CELLRANGE]
[CELLRANGE]
[CELLRANGE]
60
1
[CELLRANGE]
3
40
5
20
0
[CELLRANGE]
0
Awal
0
50
125
250
500
Voltase (Volt)
Gambar 3. Viabilitas sperma ikan betok setelah diberi kejut listrik dengan voltase dan jumlah kejut berbeda.
Angka 1,3, dan 5 menunjukkan jumlah kejut listrik yang diberikan, kontrol merupakan sperma
tanpa kejut listrik.
Pembahasan
European perch sebesar 0,87 µm dan panjang
Morfologi dan fisiologi
ekor 30-35 µm. Ukuran panjang total sperma
Pada penelitian ini diketahui bahwa mor-
ikan European perch sebesar 30,4-32,4 µm
fologi sperma ikan betok sama halnya dengan
(Lahnsteiner & Patzner 1995) juga hampir sama
sperma ikan pada umumnya, yakni terdiri atas
dengan panjang total sperma ikan betok (35,54
kepala, bagian tengah, dan ekor (Mattei 1991),
±4,66 µm). Ukuran panjang bagian tengah dan
tetapi berbeda bila dibandingkan dengan kerabat-
ekor sperma ikan betok juga mendekati ukuran
nya pada subordo Anabantoidei yaitu ikan gura-
sperma ikan Northern pike (Esox lucius) yang
mi (Osphronemus gouramy) yang hanya memi-
berukuran berturut-turut 1,04±0,32 µm dan 30,12
liki kepala dan ekor sperma (Hardita 2010). Ke-
±4,08 µm (Alavi et al. 2009). Panjang ekor sper-
pala sperma ikan betok berbentuk oval (Gambar
ma ikan betok lebih pendek daripada ikan gurami
2), hal ini berbeda serta berukuran lebih kecil di-
(42,8±5,60 µm).
bandingkan dengan sperma ikan gurami yang
Bagian tengah dan bagian ekor sperma
berbentuk bulat berdiameter 4,8±1,53 µm (Har-
merupakan bagian yang mengatur kecepatan dan
dita 2010). Ukuran dan bentuk kepala sperma
lama waktu pergerakan sperma. Total estimasi
ikan betok mirip dengan sperma ikan European
durasi pergerakan sperma ikan betok pada pene-
perch (Perca fluviatilis) yang berukuran panjang
litian ini adalah selama 116±34 detik, lebih lama
kepala 1,87 µm dan lebar kepala 1,78 µm
daripada sperma ikan gurami (103,67±2,52 de-
(Lahnsteiner & Patzner 1995), ikan Barbus bar-
tik), dan sperma ikan Northern pike (90 detik).
buda (Teleostei: Cyprinidae) berukuran panjang
Perbedaan lama waktu pergerakan sperma diduga
kepala sperma 1,80±0,06 µm (Alavi et al. 2008),
terkait dengan perbedaan jumlah mitokondria
ikan Atlantic halibut (Hippoglossus hippoglos-
dan panjang ekor. Hal tersebut sejalan dengan
sus) dengan panjang kepala 1,43±0,01 µm dan
pernyataan Bacceiti et al. (1984) bahwa lama
lebar kepala 1,55±0,01 µm (Alavi et al. 2011).
waktu pergerakan sperma dapat dikaitkan dengan
Panjang bagian tengah (0,93±0,23 µm)
panjang ekor serta jumlah mitokondria yang ber-
dan ekor (33,05±1,40 µm) sperma ikan betok
ada pada bagian tengah sperma. Jumlah mitokon-
mendekati ukuran panjang bagian tengah ikan
dria ikan ordo Perciformes dari jenis famili Ana-
Volume 14 Nomor 3, Oktober 2014
217
Karakter sel sperma ikan betok, Anabas testudineus
bantoidei sebanyak dua buah (Mattei 1991). De-
ma ikan tanpa induksi sebesar 7-8, dan mening-
ngan ukuran sperma yang hampir sama, sperma
kat menjadi 9-10 pascainduksi. Peningkatan pH
ikan betok dan ikan gurami memiliki lama waktu
diduga terjadi akibat perubahan pengaturan hor-
pergerakan yang lebih panjang bila dibandingkan
mon di dalam testis. Hasil yang sama juga dila-
dengan sperma ikan Northern pike. Jumlah mito-
porkan oleh Alavi & Cosson (2005) bahwa pH
kondria ikan Northern pike adalah satu buah
sperma ikan salmon meningkat dari 7,5 menjadi
(Alavi et al. 2009).
8,0 saat disalurkan dari testis menuju saluran
Volume cairan sperma ikan betok pada
sperma yang diakibatkan oleh pengaruh hormo-
penelitian diketahui meningkat secara signifikan
nal. Peningkatan pH yang signifikan (p<0,01) ju-
(p<0,05) akibat induksi ovaprim yang diberikan.
ga terjadi pada ikan mas pascainduksi dengan
Hal yang sama telah dilaporkan oleh Kowalski et
ovaprim dan ekstrak pituitari (Seifi et al. 2011).
al. (2012) pada ikan European smelt (Osmerus
Induksi ovaprim pada induk ikan betok ti-
eperlanu) bahwa volume semen dan kepadatan
dak mengubah nilai spermatokrit (Tabel 3). Hal
sel sperma meningkat sangat drastis pascainduksi
yang sama juga ditemukan pada ikan gurami pas-
ovaprim, yaitu sebesar 13 kali lipat. Penyuntikan
cainduksi ovaprim (Hardita 2010) dan ikan
induk ikan gurami menggunakan ovaprim de-
Atlantic halibut (Hippoglossus hippoglossus)
ngan dosis 0,7 mL kg-1 bobot induk juga terbukti
yang diberi perlakuan implantasi GnRH(a) Ova-
meningkatkan volume sperma dari 0,013±0,01
plant (Tvedt et al. 2001). Nilai spermatokrit ikan
-1
-1
mL kg menjadi 0,184±0,13 mL kg bobot tu-
gurami (6%) lebih rendah bila dibandingkan de-
buh, atau meningkat sebesar 14 kali lipat (Hardi-
ngan nilai spermatokrit ikan betok. Hal yang
ta 2010). Induksi ovaprim pada ikan mas yang
sebaliknya terjadi pada ikan Brycon amazonicus
dipelihara pada wadah terkontrol serta di alam
yang menunjukkan penurunan nilai spermatokrit
bebas memberikan peningkatan sebesar 12 kali
pascainduksi ekstrak pituitari ikan mas dan hor-
lipat dan 10 kali lipat terhadap perlakuan kontrol
mon sintesis (GnRH-a) (Pardo-Carrasco et al.
(Seifi et al. 2011). Peningkatan volume semen
2006). Perbedaan tersebut diduga terkait dengan
tersebut merupakan efek induksi spermiogene-
perbedaan respons ikan terhadap hormon yang
sis. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan
diberikan.
Nagahama (1994) bahwa hormon gonadotropin
Tingkat kepadatan dan jumlah total sper-
akan merangsang sintesis testosteron dan 11-
ma ikan betok meningkat 1,6 dan 1,8 kali lipat
ketotestosteron yang mengakibatkan spermato-
dibandingkan dengan ikan tanpa induksi ova-
genesis dan spermiogenesis. Selain itu, Sukuma-
prim. Peningkatan kepadatan dan jumlah total
savin (2007) mengemukakan bahwa 17a-20ß-
sperma juga terjadi pada ikan gurami akibat in-
dihidroprogesteron yang berasal dari rangsangan
duksi ovaprim yang diberikan, yaitu sebesar 1,2
LH, menyebabkan sperma dihidrasi oleh larutan
kali lipat (Hardita 2010). Hal serupa juga telah
seminal yang menghasilkan larutan sperma yang
dilaporkan
disebut cairan semen, sehingga volume semen
(Rhomboselea tapirina) (Lim et al. 2004), ikan
meningkat.
European sea bass (Dicentrarchus labrax)
Peningkatan pH yang terjadi pada penelitian ini adalah sebesar 2 satuan. pH cairan sper-
218
pada
ikan
Greenback
flounder
(Schiavone et al. 2006) dan ikan bawal air tawar
Colossoma macropomum (Maria et al. 2010).
Jurnal Iktiologi Indonesia
Maulana et al.
Larutan fisiologis ikan betok
Hal ini menunjukkan bahwa larutan tersebut ber-
Osmolaritas semen ikan betok lebih tinggi
dibandingkan dengan osmolaritas ikan air tawar
pada umumnya, seperti ikan mas koki Carassius
-1
auratus (317±11 mOsmol kg ), ikan mas (254±
-1
16,7 mOsmol kg ) (Morisawa 1985), ikan Tinca
-1
sifat hipo-osmotik terhadap cairan sperma dan
merangsang sperma untuk aktif dan bergerak.
Penggunaan larutan fisiologis dengan
konsentrasi yang lebih tinggi, yaitu: 1,4 dan
1,5% bersifat hiper-osmotik dapat mempertahan-
tinca (230±82 mOsmol kg ) (Psenicka et al.
kan sperma dalam keadaan diam atau tidak aktif.
2006),
(283,88±33,05
Namun demikian, konsentrasi NaCl tersebut ber-
mOsmol kg ) (Alavi et al. 2009), dan ikan muja-
dampak pada penurunan tingkat motilitas sperma
ir (Oreochromis mossambicus) yang diaklimati-
ikan betok (Tabel 4). Hal ini dapat diakibatkan
ikan
Northern
pike
-1
-1
sasi pada air laut (351 mOsmol kg ) (Linhart et
oleh rusaknya sperma ikan betok karena pemapa-
al. 1999). Nilai osmolaritas pada penelitian ini
ran sperma pada larutan NaCl yang melebihi
mendekati nilai osmolaritas ikan air laut seperti
tingkat osmolaritas tubuh. Dampaknya adalah
-1
ikan European sea bass (400 mOsmol kg ), dan
sperma terangsang untuk mengembang atau ter-
ikan Atlantic cod (Gadus morhua) (414±30
jadi pembengkakan, gangguan ini terjadi pada
-1
mOsmol kg ) (Litvak & Trippel 1998). Tingkat
membran plasma diakibatkan oleh perubahan
osmolaritas tubuh dan gonad ikan betok yang
osmotik yang sangat tinggi. Tingkat osmolaritas
tinggi diakibatkan oleh kandungan dan kompo-
pada kadar NaCl 1,4% (425 mOsmol kg-1) dan
sisi biokimiawi di dalam cairan sperma. Hal ini
1,5 % (445 mOsmol kg-1) lebih tinggi daripada
sejalan dengan Billard et al. (1995) dan Alavi et
osmolaritas tubuh dan gonad ikan betok. Hal
al. (2007). Secara umum komposisi ion-ion di
yang sama juga ditemukan pada sperma ikan air
+
2+
+
-
dalam semen meliputi Na , Ca , K , Cl dan
tawar lainnya. Sperma bergerak dalam waktu
lainnya, dengan tingkat osmolaritas sebesar 300-
singkat atau bahkan mati saat terpapar larutan
-1
350 mOsmol kg (Perez et al. 2003, Asturiano et
dengan osmolaritas melebihi 450 mOsmol kg-1
al. 2004, dan Morisawa 2001, 2008).
(Cosson 2004). Alasan lain adalah karena ion
Tingkat osmolaritas yang tepat untuk
Na+ dan Cl- yang bersifat toksik pada sperma, se-
mempertahankan sperma ikan betok dalam kea-
hingga berakibat pada sistem biologis sperma.
daan diam seperti di dalam gonad adalah pada la-
Salinitas merupakan salah satu parameter kimia-
rutan fisiologis NaCl 1,3% atau setara pada ting-
wi air yang keberadaannya dapat bersifat mema-
kat osmolaritas 407 mOsmol/kg (Tabel 4). Ting-
tikan jika nilainya berada di luar batas toleransi
kat osmolaritas tersebut mendekati tingkat osmo-
(masking factor) (Affandi & Tang 2002).
laritas tubuh dan gonad ikan betok, sehingga
Penelitian ini menunjukkan bahwa peng-
sperma terbukti dapat dipertahankan dalam ke-
gunaan larutan fisiologis NaCl 1,3% sebagai pe-
daan diam atau tidak aktif. Hal ini seperti yang
larut proses preservasi sperma ikan betok berha-
diungkapkan oleh Cosson (2004) bahwa sperma
sil mempertahankan sperma pada kualitas skor 5
ikan pada umumnya bersifat tidak aktif atau diam
(Guest et al. 1976) dengan maksimal selama
saat berada di dalam testis dan cairan sperma pa-
waktu penyimpanan 60 menit, baik yang dilaku-
da banyak spesies. Penggunaan larutan fisiologis
kan pada suhu dingin 4˚C maupun suhu ruang
dengan konsentrasi NaCl lebih rendah dari 1,3%
26˚C. Durasi penyimpanan sperma ikan betok
menyebabkan sperma masih aktif dan bergerak.
yang singkat dapat diakibatkan oleh berbagai
Volume 14 Nomor 3, Oktober 2014
219
Karakter sel sperma ikan betok, Anabas testudineus
faktor, di antaranya adalah ketidakcocokan me-
dibandingkan hasil penelitian Sembiring (2011)
dia pelarut sebagai media penyimpanan sperma,
sebesar 28,47% pada umur pengamatan 13 hari.
yaitu terkait aspek pH dan tingkat osmolaritasnya
Tingkat kelangsungan hidup yang rendah pada
(Bobe & Labbe 2010), perbandingan jumlah pe-
penelitian ini dapat diakibatkan oleh faktor eks-
larut dan sperma, dan suhu inkubasi yang opti-
ternal, yaitu ketersediaan pakan yang berkualitas
mum. Berbeda dengan hasil pada penelitian ini,
bagi larva untuk perkembangan organ tubuh
penyimpanan sperma dalam suhu dingin telah
yang masih sederhana menuju kesempurnaan
sukses dilakukan pada kebanyakan jenis ikan,
(Effendi 2004), dan kualitas air berupa suhu, sa-
bahkan sperma dapat disimpan selama 2-3 ming-
linitas, kandungan oksigen, pH, cahaya, kadar
gu menggunakan metode sederhana (Kang et al.
karbondioksida, dan amonia (Lagler et al. 1977).
2004). Namun demikian, Labbe et al. (1997) menyatakan berapapun suhu penetasan embrio, pe-
Pengaruh kejut listrik
nanganan sperma pada suhu 0-4˚C lebih tepat di-
Viabilitas sperma tertinggi didapat pada
gunakan untuk menurunkan laju metabolisme sel
perlakuan kontrol, selanjutnya menurun dengan
sperma, karena kebanyakan sperma ikan tidak
meningkatnya voltase dan jumlah kejut, serta
terlalu sensitif terhadap suhu, sehingga tidak
voltase dan jumlah kejut yang diberikan saling
akan mengakibatkan kerusakan yang berbahaya.
berinteraksi menurunkan tingkat motilitas dan
Sementara itu, penyimpanan sperma tanpa pela-
viabilitas sperma (p<0,05). Hal tersebut serupa
rut yang dilakukan pada penelitian ini dapat
dengan pernyataan Sin et al. (2000) yang menya-
mempertahankan sperma ikan betok dengan
takan bahwa motilitas sperma ikan merupakan
kualitas yang sama pada suhu ruang hingga 360
ukuran kelangsungan hidup sperma akibat elek-
menit. Hal ini sudah cukup lama untuk mendu-
troporasi, semakin tinggi tegangan dan lama
kung pemijahan buatan pada ikan betok.
waktu papar kejutan akan menurunkan motilitas
sperma. Pada penelitian ini perlakuan voltase 50
Pengaruh metode pembuahan
volt dan jumlah kejut satu kali tidak memberikan
Nilai DP telur pada perlakuan pangalinan
perbedaan yang signifikan terhadap perlakuan
sperma lebih rendah daripada perlakuan lainnya
kontrol pada parameter motilitas dengan nilai
(Gambar 2). Nilai DP yang rendah tersebut dia-
skor 5 dan viabilitas sperma sebesar 99,00±
kibatkan oleh menurunnya kualitas sperma (ting-
0,00%.
kat motilitasnya) sebelum mencapai telur, se-
Keberhasilan fertilisasi telur oleh sperma
hingga jumlah telur yang berhasil dibuahi menja-
pascakejut sangat dipengaruhi oleh kemampuan
di rendah. Motilitas yang menurun adalah akibat
motilitas sperma tersebut. Terdapat korelasi po-
pengaktifan sperma oleh cairan urin yang keluar
sitif terkait kemampuan DNA asing masuk dan
bersamaan dengan sperma, sehingga kemampuan
berintegrasi dengan inti sperma dengan kualitas
jelajah dan waktu hidup sperma menurun. Hal ini
semen dan tingkat motilitas sperma. Untuk itu
sesuai dengan pernyataan Trippel (2003) bahwa
diperlukan progresivitas sperma paling tidak
kemampuan fertilisasi induk jantan terhadap telur
80% dan tidak boleh lebih kecil dari 65% (Lavi-
sangat dipengaruhi oleh kualitas sperma.
trano et al. 2006). Selain itu sperma dalam kon-
Nilai kelangsungan hidup yang didapat
disi motil akan lebih mampu mengikat DNA
dalam penelitian ini (37,21-51,96%) lebih tinggi
asing yang ditransfer hingga mencapai 30% dari
220
Jurnal Iktiologi Indonesia
Maulana et al.
keseluruhan sperma (Sin et al. 2000). Dengan de-
Daftar pustaka
mikian, perlakuan voltase dan jumlah kejut yang
Affandi R, Tang UM. 2002. Fisiologi hewan air.
Unri Pers, Pekanbaru, Riau. 213 hlm.
didapat pada penelitian ini berpeluang untuk digunakan dalam memproduksi ikan betok transgenik. Setidaknya ada dua parameter penting
yang harus optimal dalam teknik transgenesis
melalui mediasi sperma agar lebih efisien, yaitu
keberhasilan proses preservasi sperma, kualitas
sperma yang baik serta keberhasilan proses pembuahan telur oleh sperma. Proses ini sangat dipengaruhi oleh viabilitas dan motilitas sperma
yang tinggi.
Simpulan
Penelitian ini telah berhasil mengidentifikasi karakter morfologi dan fisiologi sperma ikan
betok. Sperma ikan betok terdiri atas tiga bagian
utama dengan ukuran panjang total, panjang kepala, panjang bagian tengah, dan panjang ekor
adalah berturut-turut 35,54±4,66 µm; 1,83±0,20
µm; 0,93±0,23 µm; dan 33,05±1,40 µm, sedangkan lebar kepala sebesar 1,48±0,21 µm. Lama
gerak sperma dalam air adalah 116±34 detik.
Tingkat osmolaritas tubuh dan testis ikan betok
berkisar antara 390-405 mOsmol kg-1, setara dengan osmolaritas larutan NaCl 1,3% (407
mOsmol kg-1). Larutan fisiologis NaCl 1,3%
efektif dalam preservasi sperma jangka pendek
(maks 60 menit) pada suhu ruang dan suhu dingin, sedangkan penyimpanan yang dilakukan
tanpa pengenceran dapat bertahan selama 360
menit pada suhu ruang. Viabilitas dan motilitas
sperma ikan betok sangat dipengaruhi oleh voltase, dan jumlah kejut listrik yang diberikan, kedua faktor saling berinteraksi. Voltase 50 volt
dan jumlah kejut satu kali berpotensi digunakan
sebagai metode kejut listrik terhadap sperma ikan
betok untuk memperoleh ikan transgenik melalui
Alavi SMH, Butts IAE, Hatef A, Mommens M,
Trippel EA, Litvak MK, Babiak I. 2011.
Sperm morphology, ATP content, and analysis of motility in Atlantic halibut Hippoglossus hippoglossus. Canadian Journal of
Zoology, 89(3):219-228.
Alavi SMH, Cosson J. 2005. Sperm motility in
fishes. I. Effects of temperature and pH: A
review. Cell Biology International, 29(2):
101-110.
Alavi SMH, Linhart O, Coward K, Rodina M.
2007. Fish spermatology: implications for
aquaculture management. In: Alavi SMH,
Cosson JJ, Coward K, Rafiee G, (ed.). Fish
spermatology. Alpha Science Ltd. Oxford.
pp. 397-460.
Alavi SMH, Psenicka M, Policar T, Linhart O.
2008. Morphology and fine structure of
Barbus barbus Teleostei: Cyprinidae spermatozoa. Journal of Applied Ichthyology,
24(4):378-381.
Alavi SMH, Rodina M, Viveiros ATM, Cosson
J, Gela D, Boryshpolets S, Linhart O. 2009.
Effects of osmolality on sperm morphology,
motility and flagellar wave parameter in
Northern pike Esox lucius L. Theriogenology, 72(1):32-43.
Asturiano JF, Pérez L, Garzón DL, MarcoJiménez F, Peñaranda DS, Vicente JS, Jover M. 2004. Physio-chemical characteristics of seminal plasma and development of
media and methods for the cryopreservation
of European eel sperm. Fish Physiology
and Biochemistry, 30(3-4):283-293.
Baccetti B, Burrini AG, Callaini G, Gibertini G,
Mazzini M, Zerunian S. 1984. Fish germinal cells. I. Comparative spermatology of
seven cyprinid species. Gamete Research,
10(4):373-396.
Billard R, Cosson J, Crim LW, Suquet M. 1995.
Sperm physiology and quality. In: Bromage
NR, Roberts RJ, (ed.). Brood stock management and egg and larval quality. Blackwell Science, Amsterdam. pp. 25-52.
Bobe J, Labbe C. 2008. Chilled storage of sperm
and eggs. In: Cabrita E, Robles V, Herraez
P (editors). Methods in reproductive aquaculture: Marine and freshwater species.
metode elektroporasi.
Volume 14 Nomor 3, Oktober 2014
221
Karakter sel sperma ikan betok, Anabas testudineus
CRC Press, Taylor and Francis Group, London (UK). pp. 219-235.
greenback flounder Rhombosolea tapirina.
Aquaculture, 240(1-4):505-516.
Cheng CA, Lu KL, Lau EL, Yang TY, Lee CY,
Wu JL, Chang CY. 2002. Growth promotion in ayu (Plecoglossus altivelis) by gene
transfer of the rainbow trout growth hormone gene. Zoological Studies, 41(3):303310.
Linhart O, Walford J, Sivaloganathan B, Lam TJ.
1998. Effects of osmolarity and ions on the
motility of stripped and testicular sperm of
freshwater- and sea-water-acclimated tilapia, Oreochromis mossambicus. Journal
of Fish Biology, 55(6):1344-1358.
Cosson J. 2004. The ionic and osmotic factors
controlling motility of fish spermatozoa.
Aquaculture International, 12(1):69-85.
Litvak MK, Trippel EA. 1998. Sperm motility
patterns of Atlantic cod (Gadus morhua) in
relation to salinity: effects of ovarian and
egg presence. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, 55(8):18711877.
Effendi I. 2004. Pengantar akuakultur. Penebar
Swadaya, Jakarta. 192 hlm.
Guest WC, Avault JW, Rousel JA. 1976. Spermatogeny study of chanel catfish (Ictalurus
punctatus). Transactions of the American
Fisheries Society, 105(5):463-468.
Hafez ESE. 1987. Semen evaluation. In Hafez
ESE (Ed.). Reproduction in farm animals,
Lea and Febiger. Philadelphia. pp. 287-297.
Hardita AG. 2010. Evaluasi kualitas dan kuantitas sperma ikan gurame Osphronemus
gouramy dengan penyuntikan ovaprim pada
tingkatan dosis yang berbeda. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 56 hlm.
Inoue K, Yamashita S, Hata J, Kabeno S, Asada
S, Nagahisa E, Fujita T. 1990 Electroporation as a new technoloque for producing
transgenic fish. Cell Differentiation and Development, 29(2):123-128.
Kang KH, Shao MY, Kho KH, Zhag ZF. 2004.
Short-term storage and cryopreservation of
Urechis unicinctus (Echlua: Urechidae)
sperm. Aquaculture Research, 35(13):
1195-1201.
Kowalski RK, Hliwa P, Cejko BI, Krol J, Stabinski R, Ciereszko A. 2012. Quality and
quantity of smelt (Osmerus eperlanus L.)
sperm in relation to time after hormonal
stimulation. Society for Biology of Reproduction, 12(2): 231-246.
Labbe C, Crowe LM, Crowe JH. 1997. Stability
of the lipid component of trout sperm plasma membrane during freeze–thawing.
Cryobiology, 34(2): 176–182.
Lahnsteiner F, Patzner RA. 2007. Sperm morphology and ultrastructure in fish. In: Alavi
SMH, Cosson J, Coward K, Rafiee G (Editors). Fish spermatology. Alpha Science International Ltd, Oxford. pp. 1–61.
Lim HK, Pankhurst NW, Fitzgibbon QP. 2004.
Effects of slow release gonadotropin releasing hormone analog on milt characteristics
and plasma levels of gonadal steroids in
222
Lavitrano M, Marcho B, Maria GC, Roberto G,
Stefano M, Alessia. 2006. Sperm mediated
gene transfer. Reproduction, fertility and
development, 18(1-2):19-23.
Lu JK, Fu BH, Wu JL, Chen TT. 2002. Production of transgenic silver sea bream (Sparus
sarba) by different gene transfer methods.
Marine Biotechnology, 4(3):328-337.
Maria AN, Azevedo HC, Santos JP, Carneiro
PCF. 2012. Hormonal induction and semen
characteristics of tambaqui Colossoma
macropomum. Zygote, 20(1):39-43
Marlina E. 2011. Optimasi osmolaritas media
dan hubungannya dengan respons fisiologis
benih ikan baung (Hemibagrus nemurus).
Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 108
hlm.
Mattei X. 1991. Spermatozoon ultrastructure and
its systematic implication in fishes. Canadian Journal of Zoology, 69(12):3038-3055.
Morisawa M. 1985. Initiation mechanism of
sperm motility at spawning in teleosts. Zoological Science, 2:605-615.
Morisawa M. 2008. Adaptation and strategy for
fertilization in the sperm of teleost fish.
Journal of Applied Ichthyology, 24(4):362370.
Morisawa S. 2001. Ultrastructural studies of latestage spermatids and mature spermatozoa
of the pufferfish, Takifugu niphobles (Tetraodontiformes) and the effects of osmolality
on spermatozoan structure. Tissue & Cell,
33(1):78-85.
Nagahama Y. 1994. Endocrine regulation of gametogenesis in fish. International Journal
of Developmental Biology, 38(2):217-229.
Pardo-Carrasco SC, Zaniboni-Filho E, AriasCastellanos J, Suarez-Mahecha H, AtencioGarcia VJ, Cruz-Casallas PE. 2006. Evaluation of milt quality of the yamu Brycon
Jurnal Iktiologi Indonesia
Maulana et al.
amazonicus under hormonal induction. Revista Colombiana de Ciencias Pecuarias,
19(2):134-139.
Pérez, L, Asturiano JF, Martínez S, Tomás A,
Olivares L, Mocé E, Lavara R, Vicente JS,
Jover M. 2003. Ionic composition and physio-chemical parameters of the European
eel (Anguilla anguilla) seminal plasma.
Fish Physiology and Biochemistry, 28(1):
221-222.
Psenicka M, Rodina M, Nebesarova J, Linhart O.
2006. Ultrastructure of spermatozoa of tech
Tinca tinca observed by means of scanning
and transmission electron microscopy. Theriogenology, 66(5):1355-1363.
Schiavonea R, Zillia L, Vilellaa S, Fauvelb C.
2006. Human chorionic gonadotropin induces spermatogenesis and spermiation in
1-year-old European sea bass Dicentrarchus labrax: Assessment of sperm quality.
Aquaculture, 255(1-4):522-531.
Seifi T, Imanpoor MR, Golpour A. 2011. The
effect of different hormonal treatment on
semen quality parameter in cultured and
wild carp. Turkish Journal of Fisheries and
Aquatic Sciences, 11(4):595-602.
Sembiring APV. 2011. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan betok (Anabas testudineus) pada pH 4, 5, 6, dan 7. Skripsi.
Institut Pertanian Bogor. Bogor. 39 hlm.
Sin FYT, Walker SP, Symonds JE, Mukherjee
UK, Khoo JGI, Sin IL. 2000. Electroporation of salmon sperm for gene transfer: efficiency, reliability, and fate of transgene.
Molecular Reproduction and Development,
56(52):285-288.
Symonds JE, Walker SP, Sin FYT. 1994. Development of mass gene transfer method in
chinook salmon: optimization of gene transfer by electroporated sperm. Molecular Marine Biology and Biotechnology, 3:
104-111.
Takahashi M, Furukawa T, Saitoh H, Aoki A,
Koike T, Moriyama Y, Shibata A. 1991.
Gene transfer into human leukemia cell
lines by electroporation: Experience with
exponentially decaying and square wave
pulse. Leukimia Research, 15(6):507-513.
Trippel EA. 2003. Estimation of male reproductive success of marine fishes. Journal of
Northwest Atlantic Fishery Science, 33:81113.
Tvedt HB. Benfey TJ. Martin-Robichaud DJ.
Power J. 2001. The relationship between
sperm density, spermatocrit, sperm motility
and fertilization success in halibut, Hippoglossus hippoglossus. Aquaculture, 194(12):192-200.
Widodo P, Bunasir, Fauzan G, Syafrudin. 2007.
Kaji terap pembesaran ikan papuyu (Anabas testudineus Bloch) dengan pemberian
kombinasi pakan pelet dan keong mas dalam jaring tancap di perairan rawa. Balai
Budidaya Air Tawar Mandiangin. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan. Banjarmasin.
26 hlm.
Yaskowiak ES, Shears MA, Agarwal-Mawal A,
Fletcher GL. 2006. Characterization and
multi-generational stability of the growth
hormone transgene (EO-1α) responsible for
enhanced growth rates in Atlantic Salmon.
Transgenic Research, 15(4):465-480.
Sukumasavin N. 2007. Fish reproduction. Advanced Freshwater Aquaculture: Fish Reproduction, 5(4):132-159.
Volume 14 Nomor 3, Oktober 2014
223
Download