1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit diare merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting karena merupakan penyumbang utama ketiga angka kesakitan dan kematian anak diberbagai negara termasuk Indonesia. Penyebab utama kematian akibat diare adalah dehidrasi akibat kehilangan cairan dan elektrolit melalui tinja. Penyebab kematian lainnya adalah disentri, kurang gizi dan infeksi. Golongan umur yang paling banyak menderita akibat diare adalah anak-anak karena daya tahan tubuhnya yang masih rendah (Widoyono, 2009). Di Dunia, sebanyak 6 juta anak meninggal setiap tahun karena diare, sebagian kematian tersebut terjadi dinegara berkembang. Menurut WHO, di negara berkembang diperkirakan 1,87 juta anak balita meninggal karena diare, 8 dari 10 kematian tersebut pada umur kurang dari 2 tahun. Rata-rata anak usia kurang dari 3 tahun di negara berkembang mengalami episode diare 3 kali dalam setahun (Kemenkes RI, 2010). Di Indonesia, hasil Survey Subdit Diare pada Survey Kesehatan Rumah Tangga angka kesakitan diare semua umur tahun 2003 adalah 374/1000 penduduk, tahun 2006 adalah 423/1000 penduduk. Kematian diare pada balita75,3/100.000 balita dan semua umur 23,2/100.000 penduduk semua umur, dan hasil Riskesda (2008) diare merupakan penyebab kematian no 4 (13,2%) pada 2 semua umur dalam kelompok penyakit menular. Proporsi diare sebagai penyebab kematian no 1 pada bayi postneonatal (31,4%) dan pada anak balita (25,2%) (Kemenkes RI, 2010). Hingga saat ini penyakit diare masih menjadi penyebab utama kesakitan dan kematian pada bayi dan anak-anak. Berbagai sebab diantaranya akibat pemberian susu formula yang tidak higyenis dan makanan pendamping ASI (MPASI) yang terlalui dini (Depkes RI, 2007). Jumlah kasus diare di Provinsi Aceh secara keseluruhan mencapai 256.386 penderita dengan Incidence Rate (IR) 31,35%. Sementera itu, kasus diare pada bayi rata-rata pertahunnya mencapai 13%, hal ini menunjukkan bahwa kasus diare pada bayi tinggi di Provinsi Aceh. Data dari Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh, jumlah kasus diare 9.484 kasus, kasus diare pada bayi mencapai 11,9% (Dinkes Provinsi Aceh, 2010). Kecamatan Kuta Raja merupakan salah satu Kecamatan yang terletak di Kota Banda Aceh. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh jumlah penderita diare anak usia bayi lebih tinggi dibandingkan Kecamatan lain yang ada di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh, dimana jumlah penderita diare pada tahun 2011 di Puskesmas Kopelma mencapai 552 kasus, dan jumlah bayi yang menderita diare mencapai 132 balita (Laporan Kopelma Banda Aceh, 2011). Bertambahnya usia bayi mengakibatkan bertambah pula kebutuhan gizinya. Ketika bayi memasuki usia 6 bulan ke atas, beberapa elemen nutrisi seperti karbohidrat, protein dan beberapa vitamin serta mineral yang terkandung 3 di dalam ASI atau susu formula tidak lagi mencukupi, oleh sebab itu setelah usia 6 bulan, bayi perlu mulai diberi MP-ASI agar kebutuhan anak terpenuhi. Dalam pemberian MP-ASI, perlu diperhatikan usia pemberian MP-ASI, frekuensi dalam pemberian MP-ASI, porsi dalam pemberian MP-ASI, dan cara pemberian MPASI pada tahap awal, pemberian MP-ASI diharapkan tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi, namun juga merangsang keterampilan makan anak dan rasa percaya dirinya (Depkes RI, 2007). Pemberian MP-ASI merupakan proses transisi dari asupan yang semata berbasis susu menuju ke makanan yang semi padat. Untuk proses ini juga dibutuhkan keterampilan motorik oral. Keterampilan motorik oral berkembang dari refleks menghisap menjadi menelan makanan yang berbentuk bukan cairan dengan memindahkan makanan dari lidah bagian depan ke lidah bagian belakang. Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan pencernaan bayi. Pemberian MPASI yang cukup dalam hal kualitas dan kuantitas penting untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan bayi yang bertambah pesat pada periode ini (Ariani, 2008). Pemberian MP-ASI setelah bayi berusia 6 bulan akan memberikan perlindungan besar pada bayi dari berbagai ancaman penyakit, sehingga pemberian MP-ASI dini (kurang dari 6 bulan) sama saja dengan membuka pintu gerbang masuknya berbagai jenis kuman penyakit, dan pemberian MP-ASI merupakan salah stu faktor yang mempengaruhi kejadian diare. Faktor perilaku 4 juga mempengaruhi kejadian diare, misalnya perilaku tidak mencuci tangan dengan bersih sebelum makan, tidak memasak air yang akan diminum sampai mendidih, serta makanan yang sudah lewat masa pakainya (kadarluarsa) dan terkontaminasi parasit (Widjaja, 2002). Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Kopelma Darussalam Banda Aceh, diperoleh data bahwa pada bulan Mei 2012 terjadinya peningkatan jumlah diare dibandingkan pada bulan-bulan sebelumnya, dan hasil wawancara terhadap 3 orang ibu diperoleh hasil bahwa seluruh ibu memberikan MP-ASI pada bayinya sebelum berusia 6 bulan, dengan frekuensi 3 kali sehari, jenis MP-ASI yang diberikan yang tidak disesuaikan dengan usia bayi (seperti memberikan makanan lunak pada balita usia 6 bulan, yang seharusnyalah balita diberi MP-ASI makanan lumat halus, dan ibu kurang memperhatikan dari cara memasak dan mempersiapkan makanannya untuk bayinya, sehingga beberapa bayi ibu pernah beberapa kali menderita diare, dan ibu mengemukakan hal yang dilakukan diatas adalah hal yang wajar. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh penulis di Kopelma Darussalam Banda Aceh mepunyai wilayah kerja sebanyak 5 desa yaitu Kopelma, Rukoh, Lamgugob, IMKA, Deah raya. Jumlah bayi di wilayah kerja Puskesmas tersebut pada periode Desember 2012 sampai dengan Juni 2013 sebanyak 218 bayi yang berusia 6-12 bulan, terdiri dari 101 (46,33%) bayi laki-laki dan 117 (53,7%) bayi perempuan. 5 Berdasarkan permasalahan di atas penulis tertarik untuk melihat lebih jauh “Hubungan Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Pada Bayi Usia 6-12 Bulan Dengan Kejadian Diare Di Wilayah Kerja Puskesmas Kopelma Darussalam Banda Aceh Tahun 2013”. B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi usia 6-12 bulan dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas Kopelma Darussalam Banda Aceh tahun 2013?. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi usia 6-12 bulan dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas Kopelma Darussalam Banda Aceh tahun 2013?. 2. Tujuan Khusus a) Untuk mengetahui hubungan usia pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi usia 6-12 bulan dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas Kopelma Darussalam Banda Aceh tahun 2013. b) Untuk mengetahui hubungan resiko pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi usia 6-12 bulan dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas Kopelma Darussalam Banda Aceh tahun 2013. c) Untuk mengetahui hubungan cara pemberian makanan pendamping ASI 6 (MP-ASI) pada bayi usia 6-12 bulan dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas Kopelma Darussalam Banda Aceh Tahun 2013. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti Diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan pengetahuan dan pengalaman dalam melaksanakan penelitian yang berhubungan dengan faktorfaktor yang berhubungan dengan pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) pada bayi usia 6-12 bulan dengan kejadian diare. 2. Bagi tempat penelitian Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi yang signifikan baik dalam membantu untuk meningkatkan pengetahuan ibu tentang dampak negatif dari pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi usia 612 bulan dengan kejadian diare. 3. Bagi institusi pendidikan Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan masukan dalam membimbing dan menambah pengetahuan mahasiswi kebidanan tentang pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi usia 6-12 bulan. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) 1. Pengertian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Pemberian makanan pendamping ASI (MP ASI) merupakan proses transisi dari asupan yang semata berbasis susu menuju ke makanan yang semi padat. Untuk proses ini juga dibutuhkan ketrampilan motorik oral. Ketrampilan motorik oral berkembang dari reflek menghisap menjadi menelan makanan yang berbentuk bukan cairan dengan memindahkan makanan dari lidah bagian depan ke lidah bagian belakang. Makanan pendamping ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi, diberikan kepada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain ASI. Sedangkan pengertian makanan itu sendiri adalah merupakan suatu kebutuhan pokok manusia yang dibutuhkan setiap saat dan memerlukan pengelolaan yang baik dan benar agar bermanfaat bagi tubuh (Irianto dan Waluyo, 2004). Makanan tambahan berarti memberikan makanan lain selain ASI dimana selama periode pemberian makanan tambahan seorang bayi terbiasa memakan maknan keluarga. MP-ASI merupakan proses transisi dari asupan yang semata berbasis susu menuju ke makanan yang semi padat. Untuk proses ini juga dibutuhkan keterampilan motorik oral. Keterampilan motorik oral berkembang dari refleks menghisap menjadi menelan makanan yang 8 berbentuk bukan cairan dengan memindahkan makanan dari lidah bagian depan ke lidah bagian belakang. Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan pencernaan bayi. Pemberian MP-ASI yang cukup dalam hal kualitas dan kuantitas penting untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan anak yang bertambah pesat pada periode ini (Ariani, 2008). Menurut Irianto dan Waluyo (2004) dalam pemberian makanan pendamping ASI yang dikonsumsi hendaknya memenuhi kriteria bahwa makanan tersebut layak untuk dimakan dan tidak menimbulkan penyakit, serta makanan tersebut sehat diantaranya: a. Berada dalam derajat kematangan b. Bebas dari pencemaran pada saat menyimpan makanan tersebut dan menyajikan hingga menyuapi pada bayi atau anak c. Bebas dari perubahan fisik, kimia yang tidak dikehendaki, sebagai akibat dari pengaruh enzim, aktifitas mikroba, hewan pengerat, serangga, parasit dan kerusakan-kerusakan karena tekanan, pemasakan dan pengerikan d. Bebas dari mikroorganisme dan parasit yang menimbulkan penyakit yang dihantarkan oleh makanan (food borne ilnes) e. Harus cukup mengandung kalori dan vitamin f. Mudah dicerna oleh alat pencernaan Selain melihat kriteria diatas, menurut Departemen Kesehatan (Depkes)RI (2007) menyatakan bahwa pemberian makanan pendamping ASI 9 hendaknya melihat juga usia pemberian makanan pendamping ASI pada anak, apakah pemberian makanan pendamping yang diberikan sudah pada usia yang tepat atau tidak. 2. Usia pemberian makanan pendamping ASI Arif (2009) mengemukakan bahwa MP-ASI dapat diberikan saat usia bayi mencapai 6 bulan. Ukuran kecukupan produksi ASI bagi bayi dapat dilihat dari kenaikan berat badan dan kesehatan bayi. Bila diberikan saat usia dibawah 6 bulan, sistem pencernaannya belum memiliki enzim untuk mencerna makanan, sehingga memberatkan kerja pencernaan dan ginjal bayi. Selain itu, usus bayi belum dapat menyaring protein dalam jumlah besar, sehingga dapat menimbulkan reaksi batuk, diare, kolik dan diare. Terlalu dini pemberian MP-ASI akan menyebabkan kebutuhan ASI bayi berkurang. Sebaliknya, bila terlambat akan sulit mengembangkan keterampilan makan seperti mengigit, mengunyah, tidak menyukai makanan padat, kekurangan gizi penting MP-ASI diberikan pada bayi sejak usia 6 bulan keatas karena pada usia 6 bulan kebutuhan nutrisi bayi sudah tidak bisa dipenuhi hanya oleh ASI. Usia bayi diatas 6 bulan, syaraf dan otot dimulut bayi sudah mulai berkembang dan dapat digunakan untuk menggigit atau mengunyah, pada usia tersebut bayi juga sudah mulai tumbuh gigi dan bisa mengontrol pergerakan lidah, mulai menaruh barang dimulutnya dan tertarik untuk mencoba rasa yang baru, dan pencernaan bayi sudah cukup baik untuk mencerna makanan (WVI, 2009). 10 Menurut Departemen Kesehatan (Depkes) RI (2007), usia pada saat pertama kali pemberian makanan pendamping ASI pada anak yang tepat dan benar adalah setelah anak berusia enam bulan, dengan tujuan agar anak tidak mengalami infeksi atau gangguan pencernaan akibat virus atau bakteri. Berdasarkan usia anak, dapat dikatagorikan menjadi: a. Pada usia 6 sampai 9 bulan 1) Memberikan makanan lumat dalam tiga kali sehari dengan takaran yang cukup. 2) Memberikan makanan selingan satu hari sekali dengan porsi kecil. 3) Memperkenalkan bayi atau anak dengan beraneka ragam bahan makanan b. Pada usia lebih dari 9 sampai 12 bulan 1) Memberikan makanan lunak dalam tiga kali sehari dengan takaran yang cukup. 2) Memberikan makanan selingan satu hari sekali. 3) Memperkenalkan bayi atau anak dengan beraneka ragam bahan makanan c. Pada usia lebih dari 12 sampai 24 bulan 1) Memberikan makanan keluarga tiga kali sehari. 2) Memberikan makanan selingan dua kali sehari 3) Memberikan beraneka ragam bahan makanan setiap hari. 3. Frekuensi pemberian makanan pendamping ASI 11 Menurut Departemen Kesehatan (Depkes) RI (2007), frekuensi dalam pemberian makanan pendamping ASI yang tepat biasanya diberikan tiga kali sehari. Pemberian makanan pendamping ASI dalam frekuensi yang berlebihan atau diberikan lebih tiga kali sehari, kemungkinan dapat mengakibatkan terjadinya diare. Menurut Irianto dan Waluyo (2004), apabila dalam pemberian makanan pendamping ASI terlalu berlebihan atau diberikan lebih dari tiga kali sehari, maka sisa bahan makanan yang tidak digunakan untuk pertumbuhan, pemeliharaan sel, dan energi akan diubah menjadi lemak. Sehingga apabila anak kelebihan lemak dalam tubuhnya, dimungkinkan akan mengakibatkan alergi atau infeksi dalam organ tubuhnya dan bisa mengakibatkan kelebihan berat badan(obesitas). 4. Porsi pemberian makanan pendamping ASI Menurut Departeman Kesehatan (Depkes) RI (2007), untuk tiap kali makan, dalam pemberian porsi yang tepat adalah sebagai berikut: a. Pada usia enam bulan, beri 6 sendok makan b. Pada usia tujuh bulan, beri 7 sendok makan c. Pada usia delapan bulan, beri 8 sendok makan d. Pada usia Sembilan bulan, beri 9 sendok makan e. Pada usia 10 bulan, diberi 10 sendok makan, dan usia selanjutnya porsi pemberiannya menyesuaikan dengan usia anak 5. Jenis-jenis MP-ASI 12 Wordvision indonensia (2009) mengemukakan bahwa seiring dengan bertambahnya umur bayi, pertumbuhan dan aktivitasnya akan bertambah, hal ini mmbuat ASI tidak lagi mencukupi kebutuhan bayi, timbul perbedaan antara jumlah makanan yang diperlukan dan makanan yang dapat disediakan oleh ASI, dimana kekurangan tersebut akan di dapat melalui MP-ASI. Adapun jenis-jnis MP-ASI, yaitu : a. Makanan lumat halus, yaitu makanan yang dihancurkan dibuat dari tepung dan tampak homogen (sama/rata) seperti bubur susu, bubur sumsum, biskuit ditambah air panas, pepaya saring, pisang saring. b. Makanan lumat, yaitu makanan yang dihancurkan atau disaring tampak kurang merata, seperti pepaya dihancurkan dengan sendok, pisang dikerik dengan sendok, nasi tim pisang, bubur kacang hijau dan kentang rebus. c. Makanan lunak, yaitu makanan yang dimasak dengan banyak air dan tampak berair, seperti bubur nasi, bubur ayam, bubur kacang hijau. d. Makanan padat, yaitu makanan lunak yang tidak nampak air, seperti nasi. MP-ASI hendaknya berupa makanan alami, yang dibuat sendiri di rumah. Makanan alami tidajk mengandung bahan tambahan (food additives), seperti esens dan bahan pewarna yang memberatkan organ pencernaan bayi, terutama hati (liver) dan ginjal. Walaupun demikian, makanan kemasan untuk bayi tetap bisa digunakan sesekali pada kondisi darurat, misalnya saat berpergian, namun bukan sebagai makanan sehari-hari untuk bayi (Arif, 2009). 13 6. Resiko Pemberian MP-ASI Terlalu Dini Pada Bayi Ariani (2009) mengemukakan bahwa telah diketahui bahwa bayi kurang dari 6 bulan belum siap untuk menerima makanan semipadat sebelum berusia 6 bulan, adapun resiko yang mungkin dihadapi akibat MP-ASI terlalu dini pada bayi kurang dari 6 bulan yaitu : a. Seorang anak belum memerlukan makanan tambahan saat ini. Makanan tersebut dapat menggantikan ASI, jika makanan diberikan maka anak akan minum ASI lebih sedikit dan ibu pun akan memproduksi ASInya lebih sedikit sehingga akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bayi.faktor pelindung dari ASI lebih sedikit sehingga resiko infeksi meningkat. b. Resiko diare juga meningkat karena makanan timbagan tidak sebersih ASI. c. Makanan yang diberikan sebagai pengganti ASI sering encer, buburnya berkuah ataupun berupa sup karena mudah dimakan bayi, makanan ini memang membuat lambung penuh tetapi memberikan nutrisi yang sedikit. d. Ibu mempunyai resiko lebih tinggi untuk hamil kembali Wordvision indonensia (2008) juga mengemukakan bahwa bahaya pemberian MP-ASI terlalu dini, yaitu : 14 a. Bayi sebenarnya belum terlalu membutuhkan makanan tambahan selain ASI sehingga bayi tidak mau menyusu lagi, hal ini bisa berpengaruh terhadap produksi ASI. b. Bayi kurang mendapat zat antibodi yang ada di dalam ASI sehingga bayi lebih mudah sakit. c. MP-ASI tidak sebersih ASI sehingga kemungkinan terkena diare akan meningkat. d. MP-ASI akan mengenyangkan bayi tetapi jumlah nutrisi yang mereka dapatkan tidak sebanyak ASI. e. Ibu akan beresiko untuk hamil karena frekuensi menyusu berkurang 7. Cara pemberian makanan pendamping ASI Menurut Departemen Kesehatan Rakyat Indonesia (2007) pemberian makanan pendamping ASI pada anak yang tepat dan benar adalah sebagai berikut: a. Selalu mencuci tangan sebelum mulai mempersiapkan makanan pada bayi atau anak, terutama bila kontak dengan daging, telur, atau ikan mentah, dan sebelum memberi makanan pada bayi atau anak. Selain itu, juga mencuci tangan bayi atau anak. b. Mencuci bahan makanan (sayuran, beras, ikan, daging, dll) dengan air mengalir sebelum diolah menjadi makanan yang akan diberikan kepada bayi atau anak. 15 c. Mencuci kembali peralatan dapur sebelum dan sesudah digunakan untuk memasak, walaupun peralatan tersebut masih tampak bersih. d. Peralatan makan bayi atau anak, seperti mangkuk, sendok dan cangkir, harus dicuci kembali sebelum digunakan oleh bayi atau anak. e. Dalam pemberian makanan pendamping pada bayi atau anak, hendaknya berdasarkan tahapan usia. f. Jangan menyimpan makanan yang tidak dihabiskan bayi atau anak. Ludah yang terbawa oleh sendok bayi atau anak akan menyebarkan bakteri. B. Konsep Penyakit Diare 1. Pengertian Penyakit Diare Diare adalah perubahan frekuensi dan kosistensi tinja. WHO pada mendefiniskan bahwa diare sebagai berak cair tiga kali atau lebih dalam sehari semalam (24 jam). Para ibu mungkin mempunyai istilah tersendiri untuk diare seperti berak lembek, cair, berdarah, berlendir atau dengan muntah (muntaber) (Widoyono, 2009). Menurut Hannemann (2005) diare terjadi saat dinding bagian dalam dari usus terbuka. Tinja menjadi lunak karena zat-zat gizi yang dimakan dan diminum oleh anak anda tidak dicerna dengan baik atau tidak diserap oleh usus. Juga, lapisan dinding yang terluka cendrung untuk membocorkan cairannya. 16 Widoyono (2009) mengemukakan bahwa Diare dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan waktu serangan (onset) yaitu : a. Diare akut Diare akut adalah buang air besar yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (pada umumnya 3 kali atau lebih) perhari dengan konsistensi cair dan berlangsung kurang dari 7 hari. Khusus pada neonatus yang mendapat ASI, biasanya buang air besar dengan frekuensi lebih sering (biasanya 5-6 kali perhari) tetapi konsistensi tinjanya baik, ini bukan diare (Kemenkes RI, 2010). b. Diare kronik (patologi) Menurut Kemenkes RI (2010) diare patologi dibagi menjadi : 1) Diare sekretorik, diare ini disebabkan oleh sekresi air dan elektrolit ke dalam usus halus yang terjadi akibat gangguan absorpsi natrium oleh villus saluran cerna, sedangkan sekresi klorida tetap berlangsung atau meningakt. Kedaan ini menyebabkan air dan elektrolit keluar dari tubuh ssebagai tinja cair. 2) Diare osmotik, yaitu mukosa usus halus adalah epitel berpori yang dapat dilalui oleh air dan elektrolit dengan cepat untuk mempertahankan tekanan osmotik antara lumen usus dan cairan ekstrasel, oleh karena itu bila di lumen usus terdapat bahan yang secara osmotik aktif dan sulit diserap akan menyebabkan diare. 2. Penyebab diare 17 Menurut Mansjoer (2008) diare disebabkan oleh : a. Infeksi : virus (Rotavirus, adenovirus, Norwalk), bakteri (Shigella, Salmonella, E.Coli Vibrio), Parasit (protozoa : E. Histolytica, G. Lamblia, balantidium coli, cacing perut, askariasis, trikuris, strongiloideus dan jamur : kandida). b. Mallabsorpsi : karbohidrat (intoleransi laktosa), lemak atau protein. c. Makanan : makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan. d. Imunodefisiensi. e. Psikologis : rasa takut dan cemas. Mansjoer (2008) juga mengemukakan berdasarkan patofisiologinya, maka penyebab diare dibagi menjadi : a. Diare sekresi, yang dapat disebabkan oleh infeksi virus, kuman patogen dan apatogen, hiperperistaltik usus halus akibat bahan kimia atau makanan, gangguan psikis, gangguan saraf, hawa dingin, alergi, dan defisiensi imun terutama IgA sekretorik. b. Diare osmotik, yang dapat disebabkan oleh malabsorpsi makanan, kekurangan kalori protein (KKP), atau bayi berat badan lahir rendah dan bayi baru lahir. Pada diare akan terjadi kekurangan air (dehidrasi), gangguan keseimbangan asam-basa (asidosis metabolik) yang secara klinis berupa pernafasan Kussmaul, hipoglikemia, gangguan gizi dan gangguan sirkulsi. 18 3. Tanda dan Gejala Diare Widoyono (2009) mengemukakan beberapa tanda dan gejala diare antara lain : a. Gejala umum 1) Berak cair atau lembek dan sering adalah gejala khas diare 2) Muntah, biasanya menyertai diare ada gastroenteritis akut 3) Demam, dapat mendahului atau tidak mendahului gejala diare 4) Gejala dehidrasi yaitu mata cekung, ketengangan kulit menurun, apatis bahkan gelisah. b. Gejala spesifik 1) Vibrio cholera : diare hebat, warna tinja seperti cucian beras dan berbau amis. 2) Disenteriform : tinja berlendir dan berdarah. Widoyono (2009) juga mengemukakan, diare yang berkepanjangan dapat menyebabkan : a. Dehidrasi (kekurangan cairan), tergantung dari persentase cairan tubuh yang hilang, dehidrasi dapat terjadi ringan, sedang atau berat. b. Gangguan sirkulasi, pada diare akut kehilangan cairan dapat terjadi dalam waktu yang singkat, bila kehilangan cairan ini lebih dari 10% berat badan, pasien dapat mengalami syok atau presyok yang disebabkan oleh berkurangnya volume darah (hipovolemia) 19 c. Gangguan asam-basa, hal ini terjadi akibat kehilangan cairan elektrolit (bikarbonat) dari dalam tubuh, sebagai kopensasinya tubuh akan bernafas cepat untuk membantu meningkatkan pH arteri. d. Hipoglikemia, sering terjadi pada anak yang sebelumnya mengalami malnutrisi (kurang gizi). Hipoglikemia dapat mengakibatkan koma, penyebab pastinya belum diketahui, kemungkinan karena cairan eksteseluler menjadi hipotonik dan air masuk ke dalam cairan intraseluler sehingga menjadi edema otak yang mengakibatkan koma. e. Gangguan gizi, hal ini terjadi karena asupan makanan yang kurang dan output yang berlebihan, hal ini akan bertambah berat bila emberian makanan dihentikan, serta sebelumnya penderita sudah mengalami kekurangan gizi (malnutrisi). Widoyono (2009) juga mengemukakan derajat dehidrasi akibat diare dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu : a. Tanpa dehidrasi, biasanya anak merasa normal, tidak rewel, masih bisa berteman seperti biasa. Umumnya karena diarenya tidak berat, anak masih mau makan dan minum seperti biasa. b. Dehidrasi ringan atau sedang, menyebabkan anak rewel atau gelisah, mata sedikit cekung, tugor kulit masih kembali dengan cepat jika dicubit. c. Dehidrasi cekung, anak apatis (kesadaran berkabut), mata cekung, pada cubitan kulit tugor kembali lambat, nafas cepat, anak terlihat lemah. 4. Prinsip Penatalaksanaan Diare 20 Kementrian Kesehatan Rakyat Indonesia (2010) mengemukakan prinsip tatalaksama diare adalah LINTAS diare (Lima Langkah Tuntaskan Diare), yang terdiri atas : a. Oralit osmolaritas Rendah Mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah dengan memberikan oralit, bila tidak tersedia berikan lebih banyak cairan rumah tangga yang mempunyai osmolaritas rendah yang dianjurkan seperti air tajin, kuah sayur dan air matang. Bila terjadi dehidrasi terutama pada anak, penderita harus segera dibawa ke petugas kesehatan atau sarana kesehatan untuk mendapatkan pengobatan yang cepat dan tepat dengan oralit. Widoyono (2009) menyatakan bahwa pengobatan diare berdasarkan dehidrasinya dibagi menjadi : 1) Tanpa dehidrasi, dapat dilakukan di rumah oleh ibu atau anggota keluarga lainnya dengan memberikan makanan dan minuman yang ada di rumah seerti air kelapa, larutan gula garam (LGG), air tajin, air teh, maupun oralit. Ada tiga cara pemberian cairan yang dapat dilakukan dirumah yaitu memberikan anak lebih banyak cairan, memberikan makanan terus menerus, membawa ke petugas kesehatan bila anak tidak membaik dalam 3 hari. 2) Dehidrasi ringan atau sedang, diare dengan dehidrasi ringan ditandai dengan hilangnya cairan sampai 5% dari berat badan, sedangkan pada 21 diare sedang terjadi kehilangan cairan 6-10% dari berat badan. Untuk mengobatinya diperlukan oralit yang disesuaikan dengan umur anak. 3) Dehidrasi berat, diare dengan dehidrasi berat ditandai dengan mencret yang terus menerus, biasanya lebih dari 10 kali disertai muntah, kehilangan cairan lebih dari 10% berat badan, perawatan yang dilakukan adalah pengobatan di Puskesmas atau Rumah Sakit untuk di infus RL (ringer laktat). 4) Teruskan emberiana makan. Untuk bayi ASI tetap diberikan bila sebelumnya mendapatkan ASI, namun bila sebelumnya tidak mendapatkan ASI dapat diteruskan dengan memberikan susu formula. 5) Antiboitik bila perlu, sebagian besar penyebab diare adalah rotavirus yang tidak memerlukan antibiotik dalam penatalaksanaan kasus diare karena tidak bermanfaat dan efek sampingnya bahkan merugikan penderita. b. Zinc Dinegara berkembang, umumnya anak sudah mulai mengalami defisiensi zinc, bila anak diare, kehilangan zinc bersama tinja, menyebakan defisiensi menjadi lebih berat. Pemberian zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan tingkat keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja, serta 22 menurunkan kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan berikutnya. Zinc diberikan pada setia diare dengan dosis, untuk anak berumur kurang daro 6 bulan diberi 10 mg (1/2 tablet) zinc perhari, sedangkan untuk anak berumur lebih dari 6 bulan diberi 1 tablet zinc 20 mg, pemberian zinc diteruskan sampai 10 hari walaupun diare sudah membaik (Kemenkes RI, 2010). c. Pemberian ASI Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi pada penderita terutama pada anak agar tetap tumbuh kuat serta mencegah berkurangnya berat badan. Anak yang masih minum ASI harus lebih sering diberi ASI. Anak yang minum susu formula diberika lebih sering dari biasanya. Anak usia 6 bulan atau lebih termasuk bayi yang telah mendapat makanan padat harus diberikan makanan yang mudah dicerna sedikit demi sedikit tetapi sering. d. Pemberian Antibiotik hanya atas indikasi Antibiotik tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya kejadian diare yang memerlukan antibiotik (8,4%). Antibiotik hanya bermanfaat pada anak dengan diare berdarah, suspek kolera, dan infeksi di luar saluran pencernaan yang berat seperti pneumonia. 23 C. Landasan Teori Menurut Depkes RI (2007) : Usia pemberian MP-ASI Resiko Pemberian MP-ASI Kejadian Diare Pada Bayi Usia 6-12 Bulan Cara Pemberian MP-ASI Frekuansi pemberian MP-ASI Porsi Pemberian MP-ASI Keterangan : Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti 24 BAB III KERANGKA KONSEP A. Kerangka Konsep Menurut Departemen Kesehatan (Depkes) RI (2007), bertambahnya usia bayi mengakibatkan bertambah pula kebutuhan gizinya. Ketika bayi memasuki usia 6 bulan ke atas, beberapa elemen nutrisi seperti karbohidrat, protein dan beberapa vitamin serta mineral yang terkandung di dalam ASI atau susu formula tidak lagi mencukupi, oleh sebab itu setelah usia 6 bulan, bayi perlu mulai diberi MP-ASI agar kebutuhan anak terpenuhi. Berdasarkan teori tersebut, maka secara skematis kerangka konsep penelitian ini dapat dilihat pada bagian di bawah ini. Variabel Independen Variabel Dependen Usia pemberian MP- ASI Resiko pemberian MP-ASI Cara pemberian MP-ASI Kejadian Diare Pada Bayi Usia 6-12 Bulan 25 Gambar 3. 1 Kerangka Konsep Penelitian B. Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi Operasional N Variabel Definisi o 1 Cara Ukur Alat Ukur Operasional Skala Hasil Ukur Ukur Dependen Kejadian Suatu Kuesioner sebanyak 1 diare keadaan pertanyaan, dengan dimana kriteria : terjadinya - Diare bila buang air besar cair, berlendir Kuesioner - Diare Nominal Tidak diare Ya - Tidak diare bila Tidak dengan frekuensi lebih dari 3x/hari 2 Independen Usia Usia bayi saat Kuesioner sebanyak 1 pemberian mendapatkan pertanyaan, dengan MP-ASI kriteria : MP-ASI Kuesioner - Tepat Nominal Tidak tepat 26 pertama - kalinya Tepat bila pemberian ASI diberikan pada usia 6 bulan keatas - Tidak tepat bila bila pemberian ASI diberikan pada usia kurang dari 6 bulan Resiko Dampak yang Kuesioner sebanyak 7 Kuesioner - Beres pemberia terjadi dalam pertanyaan, dengan n MP- pemberian kriteria : ASI MP-ASI -Beresiko bila x ≥ ̅ beresi -Tidak beresiko ko Ordinal iko - Tidak Bila x < ̅ Cara Tata cara Kuesioner sebanyak 7 pemberia dalam pertanyaan, dengan n MP- memberikan kriteria ASI MP-ASI pada - Tepat bila bayi x≥ ̅ - Tidak tepat bila x < ̅ Kuesioner - Tepat Nominal Tidak tepat 27 C. Hipotesa Ha : Ada hubungan usia pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi usia 6-12 bulan dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas Kopelma Banda Aceh tahun 2013. Ha : Ada hubungan resiko pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi usia 6-12 bulan dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas Kopelma Banda Aceh tahun 2013. Ha : Ada hubungan cara pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi usia 6-12 bulan dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas Kopelma Kota Banda Aceh tahun 2013. 28 BAB IV METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat survey analitik dengan pendekatan cross sectional untuk mengetahui hubungan pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada anak usia 6-12 bulan dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas Kopelma Darussalam Banda Aceh tahun 2013. B. Populasi Dan Sampel 1. Populasi Menurut Notoatmodjo (2010) populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti. Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang memiliki bayi usia 6-12 bulan dan tinggal Wilayah Kerja Puskesmas Kopelma Darussalam Banda Aceh tahun 2013, berjumlah 218 orang. 2. Sampel Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh dari populasi (Notoatmodjo, 2010). dengan penetapan jumlah sampel minimum menggunakan rumus Slovin (Notoatmodjo, 2010), sebagai berikut : n N 1 N (d 2 ) 29 Keterangan : N : Besar populasi n : Besar sampel d : Tingkat kepercayaan (ketepatan yang diinginkan) sebesar 90% n N 1 N (d ) 2 218 1 218(0,12 ) 218 n 1 218(0,01) 218 n 1 21,8 218 n 3,18 n 69 n Dibulatkan menjadi 69 orang ibu Agar semua Gampong yang ada di Wilayah Kerja Kopelma darusssalam Banda Aceh terwakili, maka penelitian ini menggunakan teknik purposive random sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan pada karakteristik tertentu yang dianggap mempunyai sangkut paut dengan kerakteristik populasi yang sudah di ketahui sebelumnya yang dianggap dapat mewakili berdasarkan penyelidikan ataupun kenyataan sebelumnya (Mustafa, 2008). Diambil secara acak disetiap desa dengan menggunakan rumus sehingga dapat diambil sampel dari desa Kopelma 18 sampel, Rukoh 13 sampel, Lamgugob 11 sampel, IMKA 12 sampel, Deah Raya 14 30 sampel Kriteria sampel yang diharapkan yaitu : ibu-ibu Bersedia menjadi respoden, bisa membaca dan menulis. C. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Penelitian ini telah dilakukan Di Wilayah Kerja Puskesmas Kopelma Darussalam Banda Aceh. 2. Penelitian ini telah dilakukan pada tanggal 03 s/d 10 September 2012. D. Instrumen penelitian Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan kuesioner yang berbentuk pilihan dhichotomous choise untuk mengukur hubungan pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada anak usia 6-12 bulan dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas Kopelma Darussalam Banda Aceh tahun 2013, Dimana kuesioner berisikan pertanyaan tentang variabel penelitian yang terdiri dari 1 soal untuk pemberian MP-ASI, 1 soal untuk usia, , 6 soal untuk resiko pemberian MP-ASI, 7 soal untuk cara pemberian MP-ASI, untuk jawaban benar diberi skor 1 dan salah diberi skor 0. E. Cara Pengumpulan Data 1. Data Primer Data yang langsung diperoleh dari lapangan dengan cara menyebarkan kuesioner yang berisi pertanyaan untuk mendapatkan data mengenai variabel penelitian. 31 2. Data Skunder Didapat dari bagian KIA Puskesmas Kopelma Darussalam Banda Acegserta referensi buku-buku perpustakaan yang berhubungan dengan penelitian serta pendukung lainnya. F. Pengolahan dan Analisa Data 1. Pengolahan Data Proses pengolahan data dapat dilakukan melalui beberapa tahap. Menurut Budiarto (2001) tahap pengolahan data meliputi : a. Editting, adalah melakukan pemeriksaan data yang telah dikumpulkan baik berupa daftar pertanyaan, kartu ataupun buku register, yang dilakukan pada kegiatan pemeriksaan data adalah menjumlahkan data dan melakukan pengkoreksian, dengan memeriksa apakah semua pertanyaan telah diisi dan apakah jawaban sesuai dengan pertanyaan. b. Coding, adalah memberikan kode untuk semua variabel berupa nomor pada setiap kuesioner yang di isi oleh responden pda saat penelitian. c. Transfering, adalah memindahan data dari kuesioner kedalam tabel pengolahan data secara berurutan sesuai dengan variabel penelitian d. Tabulating, adalah pengorganisasian data sedemikian rupa agar dengan mudah dapat dijumlahkan, disusun dan ditata untuk disajikan dan dianalisa. 2. Analisa Data 32 a. Analisa Univariat Analisis data yang digunakan untuk melihat distribusi frekuensi variabelvariabel yang diteliti, baik variabel independen maupun variabel dependen. dengan kriteria untuk penilaian masing-masing variabel penelitian adalah sebagai berikut : 1) Kejadian diare, dengan kriteria : a) Diare bila x > 3 b) Tidak diare bila x < 3 2) Resiko pemberian MP-ASI, dengan kriteria : a) Bersiko apabila ada gejala suatu penyakit b) Tidak beresiko bila tidak ada gejala suatu penyakit 3) Usia pemberian MP-ASI, dengan kriteria : a) Tepat bila pemberian ASI diberikan pada usia 6 bulan keatas b) Tidak tepat bila pemberian ASI diberikan pada usia kurang 6 bulan 4) Cara pemberian MP-ASI, dengan kriteria : a) Tepat bila x 5,33 b) Tidak tepat bila x 5,33 Selanjutnya data dimasukkan dalam tabel distribusi frekuensi, menurut Sudjana (2005) analisis ini dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dari masing-masing variabel dengan rumus sebagai berikut : 33 P f1 100% n Keterangan P : Persentase f1 : Frekuensi teramati n : Jumlah responden menjadi sampel b. Analisis data bivariat Analisis ini digunakan untuk menguji hipotesis, yang diolah dengan komputer menggunakan SPSS versi 16, untuk menentukan hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen melalui uji ChiSquare Tes (x 2 ), Untuk melihat hasil kemaknaan perhitungan statistik antara 2 variabel digunakan batas kemaknaan (CI) 0,05 (95%) (Arikunto, 2006), dengan ketentuan bila nilai p < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima, yang menunjukkan ada hubungan bermakna antara variabel terikat dengan variabel bebas. Untuk menentukan nilai p-value pada ChiSquare Tes (x 2 ) tabel, memiliki ketentuan sebagai berikut : 1) Bila pada tabel 2x2 dijumpai nilai Expected (harapan) kurang dari 5, maka yang digunakan adalah “Fisher’s Excact test”. 2) Bila pada tabel 2x2 dan tidak dijumpai nilai Expected (harapan) kurang dari 5, maka nilai yang digunakan adalah “Countinuity Correction”. 34 BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Puskesmas Kopelma Darussalam terletak di dusun sederhana, Desa Kopelma Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh yang mempunyai jarak 8 km dari pusat kota dan berbatasan dengan : 1. Sebelah Barat : Berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas Jeulingke Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh 2. Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kecamatan Darussalam Kabupaten Aceh Besar 3. Sebelah Selatan : Berbatasan dengan wilayah kerja Puskesma Ulee Kareng Kecamatan Ulee Kareng 4. .Sebelah Utara : Dengan Selat Malaka Puskesmas Kopelma Darussalam memiliki luas bangunan 150 M 2 dengan luas tanah 2558 m2 yang terdiri dari : 1 Unit Bangunan induk, 3 Unit Perumahan dokter, 2 Unit Perumahan paramedis Wilayah Kerja Puskesmas Kopelma Darussalam seluas 7,376 Ha, yang meliputi 5 lima) desa dan 23 (dua puluh tiga) dusun, dengan jumlah penduduk 19,726 jiwa. 35 B. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Kopelma Banda Aceh dengan jumlah responden 69 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan cara membagikan kuesioner yang berisi 16 pertanyaan, sehingga diperoleh hasil sebagai berikut : 1. Analisa Univariat a. Kejadian Diare Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Kejadian Diare di Puskesmas Kopelma Darussalam Banda Aceh Tahun 2013 No. Kejadian Diare 1 Diare 2 Tidak Ada Total Sumber : Data Primer (2013) Frekuensi 36 33 69 Persentase (%) 52,2 47,8 100 Berdasarkan tabel 5.1 dapat dilihat bahwa dari 68 responden mayoritas berada pada kategori yang ada mengalami kejadian diare yaitu sebanyak 36 responden (52,2 %). b. Usia Pemberian MP-ASI Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Usia Pemberian MP-ASI di Puskesmas Kopelma Darusalam Banda Aceh Tahun 2013 No. Usia Pemberian MP-ASI 1 Tepat 2 Tidak Tepat Total Sumber : Data Primer (2013) Frekuensi 38 31 Persentase (%) 55,1 44,9 69 100 36 Berdasarkan tabel 5.2 dapat dilihat bahwa dari 69 responden mayoritas berada pada kategori yang tepat pada usia pemberian MP-ASI yaitu sebanyak 38 responden (55,1%). c. Resiko Pemberian MP-ASI Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Resiko Pemberian MP-ASI di Puskesmas Kopelma Darusslam Banda Aceh Tahun 2013 No. Resiko Pemberian MP-ASI 1 Beresiko 2 Tidak Beresiko Total Sumber : Data Primer (2013) Frekuensi Persentase (%) 37 32 53,6 46,4 69 100 Berdasarkan tabel 5.3 dapat dilihat bahwa dari 69 responden mayoritas berada pada kategori beresiko dalam pemberian MP-ASI yaitu sebanyak 37 responden (53,6 %). d. Cara Pemberian MP-ASI Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Cara Pemberian MP-ASI di Puskesmas Kopelma Darussalam Banda Aceh Tahun 2013 No. Cara Pemberian MP-ASI 1 Tepat 2 Tidak Tepat Total Sumber : Data Primer (2013) Frekuensi Persentase (%) 34 35 49,3 50,7 69 100 37 Berdasarkan tabel 5.4 dapat dilihat bahwa dari 69 responden mayoritas berada pada kategori yang tidak cepat dengan cara pemberian MP-ASI yaitu sebanyak 35 responden (50,7%). 2. Analisa Bivariat a. Hubungan usia pemberian MP-ASI pada bayi usia 6-12 bulan dengan kejadian diare Tabel 5.5 Hubungan usia pemberian MP-ASI pada bayi usia 6-12 bulan dengan kejadian diare di Puskesmas Kopelma Darussalam Banda Aceh Tahun 2013 Usia pemberian No. MP-ASI 1 Tepat 2 Tidak tepat Total Kejadian Diare Diare Tidak Diare f 14 22 36 % 36,8 71 f 24 9 33 % 63,2 29 p Total 38 31 69 % 100 100 value 0,005 Sumber : Data Primer (2013) Berdasarkan tabel 5.5 menunjukkan bahwa dari 38 responden yang tepat pada usia pemberian MP_ASI ternyata sebanyak (63,2%) yang tidak mengalami kejadian diare, Sedangkan dari 31 responden yang tidak tepat pada usia pemberian MP-ASI ternyata mayoritas (71%) yang mengalami kejadian diare. Hasil analisa statistik menggunakan uji chi-square didapatkan nilai p value = 0,005. Sehingga didapat kesimpulan bahwa p < 0,05 yang artinya Ha 38 diterima atau terdapat hubungan usia pemberian MP-ASI pada bayi usia 612 bulan dengan kejadian diare. b. Hubungan resiko pemberian MP-ASI pada bayi usia 6-12 bulan dengan kejadian diare Tabel 5.6 Hubungan resiko pemberian MP-ASI pada bayi usia 6-12 bulan dengan kejadian diare di Puskesmas Kopelma Darusslam Banda Aceh Tahun 2013 No. Resiko pemberian MP-ASI Kejadian Diare Diare Total Tidak Diare f % f % f % 1 Beresiko 25 67,6 12 32,4 37 100 2 Tidak beresiko 11 34,4 21 65,6 32 10 Total 36 33 p value 0,006 69 Sumber : Data Primer (2013) Berdasarkan tabel 5.6 menunjukkan bahwa dari 37 responden yang beresiko dalam pemberian MP-ASI ternyata sebanyak (67,6%) yang tidak mengalami kejadian diare, Sedangkan dari 32 responden yang tidak beresiko dalam pemberian MP-ASI ternyata mayoritas (65,6%) yang tidak mengalami kejadian diare. Hasil analisa statistik menggunakan uji chi-square didapatkan nilai p value = 0,006. Sehingga didapat kesimpulan bahwa p < 0,05 yang artinya Ha diterima atau terdapat hubungan resiko pemberian MP-ASI pada bayi usia 612 bulan dengan kejadian diare. 39 c. Hubungan cara pemberian MP-ASI pada bayi usia 6-12 bulan dengan kejadian diare Tabel 5.7 Hubungan cara pemberian MP-ASI pada bayi usia 6-12 bulan dengan kejadian diare di Puskesmas Kopelma Darussalam Banda Aceh Tahun 2013 p Kejadian Diare Diare Tidak Diare No. Cara pemberian MP-ASI Total 1 Tepat f 12 % 35,3 f 22 % 64,7 f 34 % 100 2 Tidak tepat 24 68,6 11 31,4 35 100 Total 36 33 value 0,006 69 Sumber : Data Primer (2013) Berdasarkan tabel 5.7 menunjukkan bahwa dari 34 responden yang tepat dengan cara pemberian MP-ASI ternyata sebanyak (64,7%) yang tidak mengalami kejadian diare, Sedangkan dari 35 responden yang tidak tepat dengan cara pemberian MP-ASI ternyata mayoritas (68,6%) yang ada mengalami kejadian diare. Hasil analisa statistik menggunakan uji chi-square didapatkan nilai p value = 0,006. Sehingga didapat kesimpulan bahwa p < 0,05 yang artinya Ha diterima atau terdapat hubungan cara pemberian MP-ASI pada bayi usia 612 bulan dengan kejadian diare. 40 C. Pembahasan 1. Hubungan usia pemberian MP-ASI pada bayi usia 6-12 bulan dengan kejadian diare Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan dari 38 responden yang tepat pada usia pemberian MP_ASI ternyata sebanyak (63,2%) yang tidak mengalami kejadian diare, Sedangkan dari 31 responden yang tidak tepat pada usia pemberian MP-ASI ternyata mayoritas (71%) yang mengalami kejadian diare. Hasil analisa statistik menggunakan uji chi-square didapatkan nilai p value = 0,005. Sehingga didapat kesimpulan bahwa p < 0,05 yang artinya Ha diterima atau terdapat hubungan usia pemberian MP-ASI pada bayi usia 6-12 bulan dengan kejadian diare. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nutrisiani (2010) yang berjudul faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya diare pada anak umur 6 bulan - 2 tahun di wilayah kerja puskesmas Kuta Malaka Aceh Besar tahun 2010 menunjukkan bahwa ada pengaruh usia pemberian MP-ASI pada anak dengan kejadian diare (p value = 0,016). Menurut toeri Arif (2009) mengemukakan bahwa MP-ASI dapat diberikan saat usia bayibayi mencapai 6 bulan. Ukuran kecukupan produksi ASI bagi bayi dapat dilihat dari kenaikan berat badan dan kesehatan bayi. Bila diberikan saat usia dibawah 6 bulan, sistem pencernaannya belum memiliki 41 enzim untuk mencerna makanan, sehingga memberatkan kerja pencernaan dan ginjal bayi. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang di sampaikan oleh Departemen Kesehatan (Depkes) RI (2007), bahwa usia pada saat pertama kali pemberian makanan pendamping ASI pada anak yang tepat dan benar adalah setelah usia anak 6 bulan, dengan tujuan agar anak tidak mengalami infeksi atau gangguan pencernaan akibat virus atau bakteri. Menurut peneliti, usia yang tepat saat mulai memberikan MP-ASI akan sangat mempengaruhi kesehatan bayi. Bila MP-ASI diberikan ketika usia bayi dibawah 6 bulan, maka sistem pencernaan bayi belum siap untuk menerima makanan tersebut sehingga akan rentang terjadi gangguan pencernaan yang salah satunya seperti diare. Selain itu, MP-ASI juga harus diberikan pada bayi yang berusia diatas 6 bulan dikarenakan oleh ketika usia 6 bulan kebutuhan nutrisi bayi sudah tidak bisa dipenuhi hanya oleh ASI. 2. Hubungan resiko pemberian MP-ASI pada bayi usia 6-12 bulan dengan kejadian diare Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan dari 37 responden yang beresiko dalam pemberian MP-ASI ternyata sebanyak (67,6%) yang tidak mengalami kejadian diare, Sedangkan dari 32 responden yang tidak beresiko dalam pemberian MP-ASI ternyata mayoritas (65,6%) yang tidak mengalami kejadian diare. 42 Hasil analisa statistik menggunakan uji chi-square didapatkan nilai p value = 0,006. Sehingga didapat kesimpulan bahwa p < 0,05 yang artinya Ha diterima atau terdapat hubungan resiko pemberian MP-ASI pada bayi usia 6-12 bulan dengan kejadian diare. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Juraidah (2011) yang berjudul yang berhubungan dengan kejadian diare di wilayah kerja puskesmas Kota Panjang Kecamatan Kota Panjang Gayo Lues menunjukkan bahwa ada hubungan resiko pemberian makanan dengan kejadian diare (p value = 0,009). Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Ariani (2009) bahwa bayi kurang dari 6 bulan belum siap untuk menerima makanan semi padat sebelum berusia 6 bulan, karena resiko yang mungkin dihadapi akibat MP-ASI terlalu dini pada bayi kurang dari 6 bulan diantaranya adalah meningkatkan resiko terjadinya diare karena makanan tambahan tidak sebersih ASI. Menurut peneliti, resiko dalam pemberian MP-ASI akan timbul apabila MP-ASI tidak diberikan sesuai dengan prosedur yang seharusnya. Resiko yang terutama sekali dapat muncul terhadap bayi adalah gangguan kesehatan, salah satu diantaranya adalah seperti terjadinya diare. Selain itu resiko lainnya yang dapat timbul adalah bayi kurang mendapatkan zat antibody yang ada didalam ASI sehingga bayi lebih mudah sakit. 43 3. Hubungan cara pemberian MP-ASI pada bayi usia 6-12 bulan dengan kejadian diare Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan dari 34 responden yang tepat dengan cara pemberian MP-ASI ternyata sebanyak (64,7%) yang tidak mengalami kejadian diare, Sedangkan dari 35 responden yang tidak tepat dengan cara pemberian MP-ASI ternyata mayoritas (68,6%) yang ada mengalami kejadian diare. Hasil analisa statistik menggunakan uji chi-square didapatkan nilai p value = 0,006. Sehingga didapat kesimpulan bahwa p < 0,05 yang artinya Ha diterima atau terdapat hubungan cara pemberian MP-ASI pada bayi usia 6-12 bulan dengan kejadian diare. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nutrisiani (2010) yang berjudul faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya diare pada anak umur 6 bulan - 2 tahun di wilayah kerja puskesmas Kuta Malaka Aceh Besar tahun 2010 menunjukkan bahwa ada pengaruh cara pemberian MP-ASI pada anak dengan kejadian diare (p value = 0,001). Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Depkes RI (2007) bahwa cara pemberian makanan pendamping ASI pada anak yang tepat dan benar akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan anak. Adapun cara memberikan MP-ASI yang benar diantaranya adalah selalu mencuci tangan sebelum memulai mempersiapkan makanan untuk bayi atau anak, mencuci 44 bahan makanan dengan air mengalir sebelum diolah, mencuci peralatan dapur, dll. Menurut peneliti, cara pemberian makanan pendamping ASI yang sesuai akan mempengaruhi keberhasilan ibu dalam memberikan MP-ASI kepada bayinya. Pemberian MP-ASI dengan memperhatikan cara-cara tertentu seperti memperhatikan kebersihan makanan serta wadah yang digunakan akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan bayi. Bila makanan yang diberikan kepada bayi serta wadah yang digunakan ketika memberikan makanan tidak bersih, maka efek utama yang dapat timbul pada bayi adalah diare, hal ini disebabkan oleh bakteri dan virus yang mungkin terbawa pada makanan dan wadah makanan yang digunakan. 45 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Setelah dilakukan penelitian dan uji statistik tentang hubungan pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi usia 6-12 bulan dengan kejadian diare diwilayah kerja Puskesmas Kopelma Banda Aceh, 1. Ada hubungan usia pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi usia 6-12 bulan dengan kejadian diare di wilayah kerja Puskesmas Kopelma Darussalam Banda Aceh tahun 2013. 2. Ada hubungan resiko pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi usia 6-12 bulan dengan kejadian diare di wilayah kerja Puskesmas Kopelma Darussalam Banda Aceh tahun 2013. 3. Ada hubungan cara pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi usia 6-12 bulan dengan kejadian diare di wilayah kerja Puskesmas Kopelma Darussalam Banda Aceh tahun 2013. B. Saran 1. Bagi Peneliti Diharapkan dengan adanya penelitian ini, dapat menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti dalam bidang penelitian, khususnya penelitian tentang hubungan pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi usia 6-12 46 bulan dengan kejadian diare sehingga dapat menambah ilmu yang dimiliki peneliti. 2. Institusi Pendidikan Diharapkan bagi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan U’Budiyah khususnya Program Studi D-III Kebidanan, agar hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk menambah khasanah ilmu kesehatan terutama tentang hubungan pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi usia 6-12 bulan dengan kejadian diare serta dapat dijadikan bahan bacaan untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa kebidanan. 3. Bagi Tempat Penelitian Diharapkan agar hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tolak ukur dalam menilai tingkat pelayanan kesehatan dan bahan kajian serta informasi bagi tenaga kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan terutama dalam masalah pemberian makanan pendamping ASI (MPASI).