BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Konflik kekerasan yang terjadi di Halmahera pada akhir tahun 1999 sampai dengan pertengahan tahun 2000, telah meninggalkan sejumlah kenangan pahit dan menyedihkan bagi kehidupan masyarakat. Berawal dari tindakan provokasi oleh beberapa oknum tertentu dengan menyebarkan isu ’perang agama’ dalam konteks kerusuhan Ambon dan Kao-Malifut,1 telah mengakibatkan sejumlah tatanan kehidupan masyarakat rusak. Mulai dari harta dan nyawa manusia hilang secara sadis, sampai pada struktur masyarakat yang mula-mula menjunjung tinggi sikap kekeluargaan dan saling hormat menghormati, berubah menjadi saling membenci dan saling membunuh. Masyarakat yang beragama Islam dan Kristen saling menyerang dan membinasakan. Tri Ratnawati seorang peneliti dari LIPI, mencatat: jumlah korban jiwa akibat konflik tersebut mencapai 4000 orang, disamping rusaknya sejumlah infrastruktur dalam masyarakat.2 Nampaknya agama telah dipakai sebagai alat, bahkan penyebab timbulnya kejahatan dan kekerasan di Halmahera. Kini, setelah ada upaya transformasi konflik yang dilakukan oleh berbagai pihak seperti: Pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan Gereja, maka keadaan yang penuh kekacauan dan krisis itu perlahan-lahan dapat diatasi. Situasi kembali stabil dan semua orang mulai membangun lagi. 1 Konflik Ambon berawal 19 Januari 1999. Konflik Kao-Malifut tahap pertama 18-20 Agustus 1999, dan tahap kedua 24 Oktober 1999. Dalam: Ruddy Tindage, Damai Yang Sejati: Rekonsiliasi Di Tobelo, Kajian Teologi dan Komunikasi. (Jakarta: YAKOMA-PGI, 2006), hlm. 8-15. 2 Tri Ratnawati, Maluku Dalam Catatan Seorang Peneliti, (Yogyakarta-Jakarta: Pustaka PelajarP2P.LIPI, 2006), hlm. 73. Lihat juga: Syafuan Rozi, et. al, (ed). Kekerasan Komunal: Anatomi dan Resolusi konflik di Indonesia, (Jakarta-Yogyakarta: P2P-LIPI-Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 3. 1 Salah satu fenomena menarik dalam proses pembangunan masyarakat Halmahera di era pasca konflik adalah pembangun pusara3 korban. Umumnya pusara korban dibangun secara permanen di sejumlah lokasi khusus, terutama di halaman rumah ibadah. Dalam pengamatan penulis, hampir di seluruh halaman gedung gereja dan beberapa mesjid tempat terjadinya konflik, telah didirikan sejumlah pusara untuk para korban. Pertanyaan penting yang perlu dikemukakan melihat fenomena tersebut adalah: mengapa pusara korban harus dibangun di sejumlah lokasi khusus, terutama di halaman rumah ibadah? Apa arti realita itu bagi upaya rekonsiliasi? Bukankah dengan membangun pusara korban seperti itu, dapat menyebabkan masyarakat dan keluarga korban akan selalu dibayang-bayangi oleh kenangan masa lalunya, sehingga dapat menimbulkan niat untuk balas dendam? Berkaitan dengan hal itu, Rene Girard4 seorang kritikus sastra asal Prancis menegaskan bahwa tradisi membangun dan memelihara pusara korban tindak kekerasan dapat berakibat pada kontinuitas tindak kekerasan dalam masyarakat. Mengutip perkataan Yesus dalam Injil Lukas 11:47-48: ”Celakalah kamu, sebab kamu membangun makam nabi-nabi, tetapi nenek moyangmu telah membunuh mereka. Dengan demikian kamu mengaku, bahwa kamu membenarkan perbuatan-perbuatan nenek moyangmu, sebab mereka telah membunuh nabi-nabi dan kamu membuat makamnya”, Girard menegaskan bahwa orang-orang Yahudi dalam teks tersebut pertama-tama ingin membangun pusara para nabi yang dibunuh oleh leluhur mereka, bertujuan untuk menghormati dan menghargai para nabi, tetapi pada saat yang sama mereka juga telah menelanjangi dan membenarkan tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh leluhur 3 Pusara artinya: kubur atau kuburan. Dalam: W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Eds III), (Jakarta: Balai Pustaka, 2006), hlm. 926. 4 Dalam: Sindhunata, Kambing Hitam: Teori Rene Girard, (Jakarta: Gramedia, 2006), hlm. 239-246. 2 mereka. Mereka seolah-olah mau melepas tangannya dari peristiwa pembunuhan, tetapi justru melalui pembangunan pusara para nabi itu, mereka memperlihatkan diri bahwa mereka juga terlibat dalam lingkaran peristiwa pembunuhan tersebut. Jadi melalui pembangunan pusara para nabi, menurut Girard orang Yahudi secara langsung membenarkan dan mendukung tindak kekerasan dan pembunuhan yang telah dilakukan oleh leluhur mereka. Berangkat dari pemikiran seperti itu, dapat dikatakan bahwa fenomena pembangunan pusara korban memperlihatkan tentang sesuatu yang tidak dapat disangkal oleh masyarakat, yaitu bahwa pembunuhan yang terjadi pada masa lampau tidak dapat disembunyikan pada masa kini. Bahkan fenomena itu sekaligus juga memperlihatkan bahwa para pembangun pusara korban adalah orang-orang yang mendukung fakta pembunuhan itu. Menurut Girard inilah mental yang ada di sekitar fenomena pembangunan pusara korban tindak kekerasan. Pembunuhan menghendaki adanya pembangunan pusara korban, dan pembangunan pusara korban menghendaki adanya pembunuhan berikutnya. Berdasarkan pemikiran Girard tersebut, maka keberadaan pusara korban yang ada di Halmahera tersebut perlu dipertanyakan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat. Jangan sampai dengan adanya sejumlah pusara korban yang dibangun secara permanen di sejumlah lokasi khusus tersebut, dapat menyebabkan kehidupan masyarakat berada dalam siklus kekerasan yang tidak dapat diputuskan. Akhirnya dapat mengganggu juga upaya-upaya dalam rangka membangun perdamaian dan rekonsiliasi. 3 B. Judul dan Penjelasan. Berangkat dari latar belakang masalah di atas, maka penulis memberi judul tesis ini adalah ”Rekonsiliasi Halmahera di Sekitar Pusara Korban”, dengan sub judul ”Kajian Teologi Sosial”. Dari judul dan sub judul tersebut, penulis membagi pengertiannya dalam tiga bagian, yakni: ”Rekonsiliasi Halmahera”, ”di Sekitar Pusara Korban”, dan ”Kajian Teologi Sosial”. Pertama, kalimat ”Rekonsiliasi Halmahera”. Kata rekonsiliasi yang terpakai di sini berarti: upaya memulihkan kembali kerukunan atau persahabatan antara dua pihak yang sebelumnya pernah renggang atau terganggu karena konflik. Kata rekonsiliasi dalam bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu reconciliation, yang berarti: ’perdamaian atau perukunan kembali.5 Dalam diskursus teologi, aslinya kata reconciliation berasal dari kata Yunani kattalaso (kata kerja, yang terdapat dalam Roma 5:10, 1 Korintus 7:11, 2 Korintus 5:18, 19, 20), dan apokattalaso (kata kerja, yang terdapat dalam Efesus 2:16, Kolose 1:20, 22). Sekalipun kata dasar kattalaso (mendamaikan, merekonsiliasikan) tersebut dalam kesusasteraan Yunani dipakai secara sekuler (yang menunjuk pada situasi pemulihan hubungan antara manusia), namun dalam perbendaharaan teologi (terutama teologi Paulus), kata tersebut telah dipakai secara khusus untuk memperlihatkan pemulihan hubungan antara Allah dan manusia.6 Dalam tesis ini, kata rekonsiliasi dipakai juga dengan maksud yang sama. Selain memperlihatkan adanya proses pemulihan hubungan antara manusia dengan sesamanya, kata ini (rekonsiliasi) juga dipakai untuk memperlihatkan 5 David Noel Freedman (ed), Eermands Dictionary of the Bible, (Michigan-Chambrigde:Grand RapidsWiliam B. Eerdmans Publishing Company, 2000), p. 112. Juga dalam: John M Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2005), hlm. 470. 6 Yusak Tridarmanto, ‘Perdamaian dan Rekonsiliasi: Telaah Dari Sisi Perjanjian Baru’, dalam Basilica Dyah Putranti & Asnath Niwa Natar (ed), Perempuan, Konflik dan Rekonsiliasi; Perspektif Teologi dan Praksis, (Yogyakarta: Pusat Studi Feminis UKDW, 2004), hlm. 15-20. 4 pemulihan hubungan antara Allah dengan manusia. Bahkan makna pemulihan hubungan antara Allah dan manusia itulah yang akan menjadi dasar dan semangat (roh) bagi pemulihan hubungan antara manusia dengan sesamanya. Sedangkan Halmahera lebih menunjuk pada daerah yang menjadi objek penelitian dalam tesis ini. Halmahera adalah pulau yang terbesar di propinsi Maluku Utara dengan luas 20.585 km², panjang 170 km, dan lebar 80 km.7 Secara etimologis, kata Halmahera berasal dari bahasa Ternate alu ma eira, yang artinya lunas perahu.8 Secara pemerintahan (sejak 1999) pulau ini terbagi dalam lima (5) wilayah Kabupaten yakni, Kabupaten Halmahera Barat, Halmahera Timur, Halmahera Tengah, Halmahera Selatan, dan Halmahera Utara. Jika kata Halmahera ini dihubungan dengan kata rekonsiliasi, maka yang dimaksudkan dengan Rekonsiliasi Halmahera dalam judul tesis ini adalah ”proses pemulihan hubungan antara masyarakat yang beragama Kristen dan yang beragama Islam di pulau Halmahera”. Kedua, kalimat di Sekitar Pusara Korban. Kalimat ini terdiri dari kata di sebagai penunjuk kata depan yang menandai tempat,9 Sekitar yang berarti ’sekeliling’,10 Pusara yang artinya ’kubur atau kuburan’,11 dan Korban yang berarti: ’orang yang mati akibat tertimpa bencana’,12 dalam hal ini peristiwa kerusuhan. Jadi kalimat di Sekitar Pusara Korban berarti: ’di sekeliling kubur orang-orang yang mati akibat kerusuhan’. Jika pengertian ini dihubungkan dengan bagian pertama dari judul tesis ini, yakni Rekonsiliasi Halmahera, maka pengertian judul tesis ini adalah ”proses pemulihan 7 Ruddy Tindage, Damai Yang Sejati; Rekonsiliasi di Tobelo, Kajian Teologi dan Komunikasi, hlm. 2. Kemungkinan nama itu diberikan berkaitan dengan kisah seorang saudagar Arab yang bernama Ibnu Harta Zaba, yang perahunya terdampar di suatu tempat di pulau Halmahera, yang kemudian disebut alu ma eira. Dalam: M. Th. Magany, Bahtera Injil di Halmahera, (Jakarta: CV Nasional, 1984), hlm. 8. 9 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 290. 10 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 1054. 11 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 926. 12 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 615. 8 5 hubungan antara masyarakat yang beragama Kristen dan Islam di Halmahera, yang dilakukan di sekeliling kubur orang-orang yang mati akibat peristiwa kerusuhan tahun 1999-2000”. Ketiga, kalimat Kajian Teologi Sosial. Kata kajian berasal dari kata dasar ’kaji’ yang diberi akhiran ’-an’, dapat berarti ’penyelidikan’.13 Sedangkan Teologi Sosial berarti suatu pendekatan teologi atau suatu upaya berteologi yang dilakukan dengan cara berdialog dengan ilmu-ilmu lain (interdisipliner) dalam rangka menjawab segenap persoalan yang sedang dihadapi oleh gereja di tengah masyarakat. Berdialog dengan ilmu lain yang dimaksudkan di sini ialah berdialog dengan ilmu sosial.14 Jadi pengertian sub judul tersebut lebih mengarah kepada suatu proses penyelidikan atau pendekatan yang akan penulis gunakan dalam rangka pembahasan tesis ini, yaitu dengan cara membangun suatu dialog secara kritis berdasarkan ilmu sosial dan teologi. Dengan begitu, maka secara keseluruhan pengertian dari judul dan sub judul tesis ini dapat dirumuskan sebagai suatu upaya penyelidikan yang dilakukan berdasarkan ilmu sosial dan teologi, terhadap proses pemulihan hubungan antara masyarakat yang beragama Kristen dan Islam di Halmahera, yang terjadi di sekeliling kubur orang-orang yang mati akibat peristiwa kerusuhan tahun 1999-2000. C. Permasalahan Teologis dan Fokus Penelitian. Berangkat dari latar belakang permasalahan dan penjelasan judul tesis di atas, maka secara teologis rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: mungkinkah tercipta rekonsiliasi yang sejati di antara masyarakat Halmahera yang beragama Islam 13 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 507. J.B. Banawiratma & J. Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu; Kemiskinan Sebagai Tantangan Hidup Beriman, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 23-31. 14 6 dan Kristen, jika setiap hari selalu menyaksikan sejumlah pusara korban? Berdasarkan rumusan masalah tersebut, menurut penulis kajian dan analisa terhadap penghayatan dan pemahaman masyarakat Halmahera terhadap realita pusara korban, menjadi hal yang penting. Paling tidak dengan memahami bentuk-bentuk penghayatan dan pemahaman masyarakat Halmahera tentang realita pusara korban, maka dampak yang ditimbulkan olehnya dapat dipahami, dimengerti, dan diantisipasi. Atas dasar pemikiran seperti itu, maka hal-hal yang akan dikaji dalam tulisan ini berorientasi pada tiga (3) pertanyaan sebagai berikut: 1). Apa tujuan pembangunan pusara korban di halaman rumah ibadah? 2). Bagaimana pemahaman masyarakat terhadap realita pusara korban di halaman rumah ibadah? 3). Dapatkah rekonsiliasi dilakukan di sekitar pusara korban? D. Tujuan Penulisan. Berdasarkan tiga (3) fokus penelitian tersebut di atas, maka tujuan dari penulisan tesis ini adalah: 1). Menganalisa dan merumuskan latar belakang dan tujuan pembangunan pusara korban di halaman rumah ibadah. 2). Menganalisa dan merumuskan pemahaman masyarakat terhadap realita pusara korban di halaman rumah ibadah. 3). Menganalisa dan merumuskan langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk membangun rekonsiliasi di sekitar pusara korban. 7 E. Metode dan Tempat Penelitian. Untuk membahas persoalan tersebut penulis akan menggunakan dua metode penelitian; yakni penelitian lapangan dan penelitian pustaka. Pertama, dalam rangka melakukan penelitian lapangan, penulis akan menggunakan metode penelitian kualitatif-fenomenologis, yaitu suatu pendekatan penelitian lapangan yang mengedepankan pemeriksaan terhadap pengalaman dan kesadaran (worldview) masyarakat yang berkaitan dengan suatu fenomena tertentu.15 Dalam penelitian ini, yang dimaksudkan dengan fenomena tertentu itu adalah fenomena yang berkaitan dengan realita pusara korban yang ada di sejumlah lokasi khusus, terutama di halaman rumah ibadah di Halmahera. Pertanyaan mendasar di sini adalah: mengapa ada sejumlah pusara korban di halaman rumah ibadah? Apa tujuan dan manfaat dari pembangunan itu? Bagaimana hal itu dilakukan? Bagaimana masyarakat menghayati dan memaknainya? Selanjutnya, dalam rangka memperoleh data lapangan tersebut, maka penulis akan melakukan kegiatan wawancara terhadap sejumlah orang (narasumber) yang dianggap dapat memberi masukan tentang hal tersebut. Narasumber dalam penelitian ini terdiri dari keterwakilan keluarga korban dan masyarakat, serta pemerintah dan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bekerja di daerah-daerah dimana telah dibangun sejumlah pusara untuk para korban. Narasumber ini akan dipilih secara sengaja dan berlanjut, untuk kemudian diadakan wawancara yang mendalam dan pemeriksaan ulang hasil wawancara tersebut. Tujuannya adalah 15 Andreas B. Subagyo, Pengantar Riset Kuantitatif &Kualitatif; Termasuk Riset Teologi dan Keagamaan, (Bandung: Kalam Hidup, 2004), hlm. 111-113. 8 untuk memperoleh gambaran tentang latar belakang, tujuan, fungsi, dan manfaat pembangunan pusara korban di halaman rumah ibadah. Kedua, seluruh hasil dari pengumpulan data lapangan tersebut akan penulis analisa dan refleksikan berdasarkan penelitian pustaka. Penelitian pustaka ini dilakukan dalam rangka memperoleh dua hal penting. Pertama, memperoleh gambaran dan pengetahuan tentang akibat yang ditimbulkan oleh pemahaman masyarakat Halmahera terhadap realita pusara korban dalam hubungannya dengan upaya dan proses rekonsiliasi. Kedua, dalam rangka memberi sumbangan pemikiran kepada masyarakat di Halmahera untuk membangun rekonsiliasi di sekitar pusara korban. Untuk maksud yang pertama, penulis akan membuat analisa secara sosiologis berdasarkan teori sosial, sedangkan untuk maksud yang kedua penulis akan membuat suatu refleksi secara etis teologis. Dalam analisa dan refleksi tersebut, penulis akan memanfaatkan sejumlah pendapat ahli yang berbicara tentang pokok yang relevan. Sedangkan tempat penelitian akan berlangsung di tiga wilayah Kecamatan, yaitu Kecamatan Galela Timur, Kecamatan Galela Selatan, dan Kecamatan Galela Barat, di wilayah Kabupaten Halmahera Utara, Propinsi Maluku Utara. Pemilihan tiga daerah kecamatan tersebut didorong oleh alasan karena hampir di setiap desa di tiga wilayah kecamatan tersebut, terdapat lokasi pusara untuk para korban yang dibangun secara khusus dan permanen di halaman rumah ibadah. 9 F. Landasan Teoretis. Untuk membahas persoalan yang telah dirumuskan di atas, penulis akan mendasarkan pemikiran kepada dua (2) orang ahli dengan teorinya masing-masing, sebagai berikut: F.1. Tradisi Menghormati Jasad Yang Berjasa Simbol Mekanisme Kambing Hitam. Umumnya pembangunan pusara yang dilakukan secara khusus dan permanen di sejumlah lokasi khusus, dimaksudkan sebagai wujud penghormatan dan penghargaan dari orang-orang yang masih hidup terhadap orang-orang yang sudah mati. Hal seperti ini nampaknya merupakan gejala yang berlaku hampir di setiap kebudayaan manusia. Dalam dunia kekerasan, Rene Girard seorang kritikus sastra asal Perancis, yang pemikirannya dibahas oleh Sindhunata dalam ”Kambing Hitam Teori Rene Girard” berpendapat bahwa tradisi membangun dan memelihara pusara orang mati tersebut, pada dasarnya berhubungan erat dengan konsep ’mekanisme kambing hitam’ yang selalu terjadi dalam masyarakat. Membahas perkataan Yesus dalam Injil Matius 23:34-36 (Terjemahan Baru (TB) Lembaga Alkitab Indonesia (LAI): ”Sebab itu, lihatlah, Aku mengutus kepadamu nabi-nabi, orang-orang bijaksana dan ahli-ahli Taurat: separuh di antara mereka akan kamu bunuh dan kamu salibkan, yang lain akan kamu sesah di rumah-rumah ibadatmu dan kamu aniaya dari kota ke kota, supaya kamu menanggung akibat penumpahan darah16 orang-orang yang tidak bersalah mulai dari Habel, orang yang benar itu, sampai kepada Zakharia anak Berekhya yang kamu bunuh di antara tempat kudus dan mezbah. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya semuanya ini akan ditanggung angkatan ini!”. 16 Tulisan miring tersebut merupakan buatan penulis untuk lebih memperlihatkan pemikiran Girard tentang prose atau’mekanisme kambing hitam’ yang ada dalam pemikiran Yesus berdasarkan teks itu. 10 Girard menegaskan bahwa kata-kata Yesus tersebut mengandung suatu kebenaran tentang pembongkaran proses dan ’mekanisme kambing hitam’ yang selalu ada dalam setiap agama dan kultur masyarakat. Sekalipun kata-kata tersebut ditujukan oleh Yesus kepada masyarakat Yahudi, tetapi menurut Girard justru masyarakat Yahudi dalam teks itu merupakan wakil dari seluruh masyarakat, karena dasar dari kata-kata Yesus adalah Kitab Suci. Menurut Girard, Kitab Suci pada jaman Yesus merupakan dasar untuk menjelaskan suatu realita kemanusiaan secara umum.17 Hal ke-universal-an itu, menurut Girard akan semakin jelas, jika membandingkan teks tersebut dengan rumusan lain oleh penginjil Lukas dalam pasal 11:50-51 (TB LAI): ”...... supaya dari angkatan ini dituntut darah semua nabi yang telah tertumpah sejak dunia dijadikan,18 mulai dari darah Habel sampai kepada darah Zakharia yang telah dibunuh di antara mezbah dan rumah Allah. Bahkan, Aku berkata kepadamu: Semuanya itu akan dituntut dari angkatan ini.” Kalimat ’sejak dunia dijadikan’ menurut Girard adalah gambaran dari pandangan Yesus tentang konteks universal yang menjadi sasaran ungkapanNya. Oleh karena kalimat ’sejak dunia dijadikan’ merupakan terjemahan dari kata Yunani apokataboles kosmou, maka yang dimakudkan dengan proses penjadian dunia dalam teks itu adalah suatu proses penjadian dunia yang terjadi sebagai akibat dari suatu krisis kekerasan. Kata kataboles dalam teks tersebut, menurut Girard mengandung pengertian tentang tata tertib dan ketenteraman masyarakat, sejauh berasal dari kekacauan sebelumnya.19 17 Sindhunata, Kambing Hitam: Teori Rene Girard, (Jakarta: Gramedia, 2006), hlm. 239-243. Tulisan miring tersebut merupakan buatan penulis untuk lebih memperlihatkan pemikiran Girard tentang konsep universal dari proses dan mekanisme kambing hitam dalam pemikiran Yesus berdasarkan teks itu. 19 Sindhunata, Kambing Hitam: Teori Rene Girard, (Jakarta: Gramedia, 2006), hlm. 240. 18 11 Realita ’mekanisme kambing hitam’ yang dimaksudkan oleh Girard dalam kedua teks tersebut terlihat jelas pada nama dua (2) orang yang secara eksplisit tertulis dalam teks itu, yakni Habel sebagai orang pertama dan Zakharia sebagai orang terakhir, yang telah dibunuh tanpa kesalahan oleh orang-orang Yahudi. Kedua orang tersebut menurut Girard, adalah dua (2) nama yang sempat tertulis dalam Kitab Suci sebagai yang mewakili sejumlah orang yang tidak disebutkan namanya, yang mati dibunuh sebagai akibat dari proses dan ’mekanisme kambing hitam’ dalam masyarakat.20 Melalui pembunuhan orang-orang itu (termasuk Habel dan Zakharia), menurut Girard masyarakat mengharapkan akan tercipta ketenteraman dan ketertiban, sambil menuduh orang-orang itu sebagai penyebab dari ketidak-tenteraman dan ketidak-tertiban. Orangorang itu harus menjadi ’kabing hitam’ dari seluruh realita ketidak-tenteraman dan ketidak-tertiban agar tercipta ketenteraman dan ketertiban. Dalam kata yang singkat: mereka (orang-orang itu) perlu dikorbankan (dikambing-hitamkan) demi ketenteraman dan ketertiban itu. Itulah yang telah terjadi dengan masyarakat Yahudi dalam kedua teks tersebut, bahkan seluruh realita masyarakat secara universal. Ketenteraman dan ketertiban selalu menuntut adanya proses dan ’mekanisme kambing hitam’, bahkan ketenteraman dan ketertiban masyarakat hanya dapat dibangun atas dasar ’mekanisme kambing hitam’. Menurut Girard itulah kultur dan mental dimana manusia dan masyarakat dapat eksis dan membangun kebudayaannya. Suatu eksistensi yang hanya dapat dibangun atas dasar melakukan kekerasan semua melawan satu.21 20 Sindhunata, Kambing Hitam: Teori Rene Girard, (Jakarta: Gramedia, 2006), hlm. 239-243. Sindhunata, Kambing Hitam: Teori Rene Girard, (Jakarta: Gramedia, 2006), hlm. 239-243. Lihat dalam: Rene Girard, Ayub Korban Masyarakat, terj.Daniel. K. Listijabudi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm. 3-10, 25-39. dan Daniel K. Listijabudi, Tragedi Kekerasan: Menelusuri Akar dan Dampaknya dari Balada Kain-Habel, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1997), hlm. 77-79. 21 12 Jika ketenteraman dan ketertiban dibangun atas dasar proses ’mekanisme kambing hitam’ (kekerasan semua melawan satu), maka menurut Girard budaya membangun pusara korban yang bertujuan untuk menghormati orang-orang yang dibunuh sebagai akibat dari proses ’mekanisme kambing hitam’ itu, justru akan menjadi bukti dari proses ’mekanisme kambing hitam’ itu sendiri. Pembangunan pusara untuk para korban yang menjadi akibat dari proses ’mekanisme kambing hitam’ sebenarnya adalah suatu proses dari upaya penelanjangan dan pembongkaran tentang realita ’mekanisme kambing hitam’ yang telah terjadi pada masa lampau. Realita pusara korban sekaligus memperlihatkan bahwa proses ’mekanisme kambing hitam’ yang telah terjadi pada masa lampau, tidak dapat disembunyikan pada kini, melainkan telah dibuka kembali secara lebih tegas dan gamblang melalui realita itu. Singkat kata: realita pusara korban adalah wujud dari upaya pembukaan, pembongkaran, serta penelanjangan ’mekanisme kambing hitam’ yang telah terjadi pada masa lampau dan tidak dapat disembunyikan pada masa kini.22 Jika realita pusara korban merupakan proses pembukaan, pembongkaran, serta penelanjangan ’mekanisme kambing hitam’ yang ada dalam suatu konteks masyarakat, maka menurut Girard realita pusara korban juga memperlihatkan bahwa orang-orang yang membangun pusara korban adalah orangorang yang turut terlibat dan mendukung terjadinya ’mekanisme kambing hitam’. 23 Mengutip perkataan Yesus dalam Injil Lukas 11:47-48: ”Celakalah kamu, sebab kamu membangun makam nabi-nabi, tetapi nenek moyangmu telah membunuh mereka. Dengan demikian kamu mengaku, bahwa kamu membenarkan perbuatan-perbuatan nenek moyangmu, sebab mereka telah membunuh nabi-nabi dan kamu membuat makamnya”, 22 23 Sindhunata, Kambing Hitam: Teori Rene Girard, (Jakarta: Gramedia, 2006), hlm. 243-246. Sindhunata, Kambing Hitam: Teori Rene Girard, (Jakarta: Gramedia, 2006), hlm. 243-246. 13 Girard menegaskan bahwa orang-orang Yahudi dalam teks tersebut, pertama-tama ingin membangun pusara para nabi yang dibunuh oleh leluhur mereka, bertujuan untuk menghormati dan menghargai para nabi, tetapi pada saat yang sama mereka juga telah menelanjangi dan membenarkan tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh leluhur mereka. Mereka seolah-olah mau melepas tangannya dari peristiwa pembunuhan itu, tetapi justru melalui pembangunan pusara itu mereka memperlihatkan diri bahwa mereka juga terlibat dalam lingkaran peristiwa pembunuhan yang sama. Jadi melalui pembangunan pusara para nabi tersebut, menurut Girard orang Yahudi secara langsung membenarkan dan mendukung tindak kekerasan dan pembunuhan yang telah dilakukan oleh leluhur mereka. Fenomena pembangunan pusara korban telah memperlihatkan bahwa pembunuhan yang terjadi pada masa lampau tidak dapat disembunyikan pada masa kini, dan para pembangun pusara korban adalah orang-orang yang mendukung fakta pembunuhan itu. Girard menyebut kenyataan itu sebagai suatu fenomena paradoksal dari budaya kekerasan dalam masyarakat. Pada satu pihak, melalui pusara korban, kekerasan hendak disembunyikan, tetapi pada saat yang sama kekerasan itu telah terungkap dan ditelanjangi. Malah proses penelanjangan kekerasan melalui realita pusara korban, justru memperlihatkan juga tentang keterlibatan secara langsung dari orang-orang yang membangun pusara korban terhadap kekerasan yang telah terjadi atas para korban. Inilah mental yang ada di sekitar fenomena pembangunan pusara korban tindak kekerasan. Pembunuhan menghendaki adanya pembangunan pusara korban, dan pembangunan pusara korban menghendaki adanya pembunuhan berikutnya.24 Menurut penulis, jika masyarakat di Halmahera membangun pusara korban dengan maksud untuk menghormati dan menghargai para korban sebagai orang-orang 24 Sindhunata, Kambing Hitam: Teori Rene Girard, (Jakarta: Gramedia, 2006), hlm. 243-246. 14 yang layak untuk itu, maka masyarakat di Halmahera akan sama persis dengan orangorang Yahudi yang dikecam oleh Yesus dalam teks yang ditulis oleh penginjil Lukas di atas. Satu pihak, melalui realita pusara korban masyarakat di Halmahera hendak menyembunyikan kekerasan yang telah terjadi, tetapi pada pihak yang lain kekerasan itu telah terbuka dan ditelanjangi. Satu pihak masyarakat hendak melepas tangannya dari peristiwa kekerasan yang telah terjadi, tetapi pada pihak yang lain justru melalui pembangunan pusara itu masyarakat juga hendak memperlihatkan diri sebagai orangorang yang terlibat dan mendukung kekerasan yang sama. Masyarakat di Halmahera, berdasarkan kecaman Yesus dalam teks Lukas itu akan menjadi masyarakat yang mendukung kekerasan dari generasi ke generasi, melalui fakta pembangunan pusara korban. Dalam kata yang singkat, jika masyarakat di Halmahera bertujuan membangun pusara korban, hanya untuk menghormati dan menghargai para korban, maka pemahaman seperti itu akan menjadi unsur yang dapat menghambat terjadinya proses rekonsiliasi yang sejati di antara sesama yang berbeda agama. F.2. Membangun Rekonsiliasi di Sekitar Pusara Korban. Jika kenyataan sebagaimana yang dijelaskan pada bagian akhir di atas yang ada dan terjadi dalam realita masyarakat di Halmahera ketika membangun pusara korban, maka pertanyaan crucial yang ketiga dalam tesis ini menjadi sesuatu yang crucial pula bagi masyarakat di Halmahera. Bagaimana dapat membangun rekonsiliasi yang sejati di sekitar pusara korban? Bagaimana dapat membangun rekonsiliasi yang sejati di antara masyarakat yang beragama Kristen dan Islam di sekitar pusara orangorang yang dihormati dan dihargai atas nama agama? 15 Dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dan sekaligus membuat refleksi etis teologis terhadap pemahaman masyarakat Halmahera tentang realita pusara korban, penulis akan menggunakan pemikiran Robert J. Schreiter dalam ”Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru”.25 Persoalan utama yang dibahas oleh Schreiter dalam tulisannya adalah bagaimana dapat membangun rekonsiliasi yang sejati di tengah-tengah pengalaman kekerasan yang dialami oleh masyarakat korban pada era pasca kekerasan? Mungkinkah rekonsiliasi yang sejati dapat diwujudkan? Bagaimana masyarakat korban dapat melupakan kenangan masa lalunya yang sadis dan kejam itu, lalu mengulurkan tangannya untuk memberi maaf dan pengampunan kepada orangorang yang telah menyebabkan penderitaan dan beban traumatik bagi mereka? Bagaimana hubungan antara orang-orang yang telah menyebabkan kematian para korban dengan keluarga korban dapat didamaikan? Mungkinkah mereka dapat membangun sikap saling mengampuni?26 Atas dasar persoalan-persoalan itu, Schreiter menegaskan dua (2) hal yang perlu diperhatikan dalam rangka membangun rekonsiliasi, antara lain sebagai berikut: a). Berhati-hati dengan beberapa konsep yang hampir sama pengertiannya dengan rekonsiliasi. Menurut Schreiter dalam upaya rekonsiliasi terdapat beberapa pendekatan yang hampir sama nilainya dengan rekonsiliasi, tetapi sesungguhnya hal itu bukan arti rekonsiliasi yang sesungguhnya. Antara lain: rekonsiliasi 25 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, terj. Biro penerbitan Propinsi SVD Ende, (Flores NTT: Nusa Indah, 2000), hlm. 6-85. 26 Pertanyaan-pertanyaan itu dihubungkan oleh Schreiter dengan konteks perubahan tatanan sosial masyarakat dunia dalam masa peralihan abad 20 ke abad 21. Dalam pandangannya ia berpendapat bahwa warna kehidupan manusia di abad 20 adalah warna kehidupan yang penuh dengan kekerasan. Menjelang peralihan ke abad 21 (ketika ia menulis bukunya ini) menurut Schreiter pertanyaanpertanyaan di atas adalah hal yang mendesak untuk dijawab. Hal itu juga dimaksudkan sebgai suatu jalan keluar bagi umat manusia untuk mengisi kehidupannya yang berbeda di abad 21. Jalan keluar yang dimaksudnya adalah dengan proses rekonsiliasi. Dalam: Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 6-23. 16 sebagai perdamaian yang tergesa-gesa, rekonsiliasi tidak sama dengan pembebasan dari kekerasan fisik, dan rekonsiliasi sebagai proses yang terkendali.27 Rekonsiliasi yang tergesa-gesa adalah suatu proses rekonsiliasi yang dilakukan dengan cara menuntut agar para korban kekerasan segera melupakan dan menguburkan masa lalunya. Masa lalu dalam proses rekonsiliasi seperti ini dianggap sebagai sesuatu yang dapat menghambat orang untuk membuat pemulihan hubungan yang baru pada masa kini. Tetapi menurut Schreiter, pemulihan hubungan yang baru pada masa kini, dengan cara melupakan kenangan kekerasan pada masa lalu, adalah suatu proses rekonsiliasi yang tidak menghargai martabat para korban sebagai manusia. Selain itu, proses rekonsiliasi seperti ini sama dengan proses menyembunyikan fakta kekerasan yang telah terjadi. Akibatnya kekerasan tetap berputar dan eksis di tengah masyarakat. Menurut Schreiter, rekonsiliasi bukan sekedar upaya untuk menghentikan kekerasan, melainkan lebih dari itu, yakni upaya menghilangkannya (kekerasan) dari struktur dan tatanan sosial masyarakat. Oleh karena itu, maka rekonsiliasi bukan suatu proses yang tergesa-gesa, melainkan membutuhkan suatu proses yang lama dan dilakukan untuk memperbaharui martabat dan derajat manusia.28 Rekonsiliasi juga tidak bisa disamakan begitu saja dengan pembebasan dari kekerasan fisik semata (-mata), melainkan juga dan terutama terhadap kekerasan struktural. Rekonsiliasi yang tidak memperhatikan kekerasan secara struktural dan hanya menekankan pada pembebasan kekerasan fisik, menurut Schreiter adalah rekonsiliasi yang sering dilakukan oleh para pelaku kekerasan. Bahkan lebih jauh 27 28 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 23-33. Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 23-27. 17 dari itu, menurut Schreiter, rekonsiliasi bukan pertama-tama dimaksudkan untuk sebuah karya pembebasan demi keharmonisan atau keselarasan, melainkan rekonsiliasi dilakukan untuk menangani eksistensi konflik sebagai suatu realitas dalam kehidupan manusia. Konflik menurut Schreiter adalah lahan dimana rekonsiliasi harus diejawantahkan oleh manusia, dan lahan itu adalah suatu realita yang konfliktif. Persolannya bukan terletak pada bagaimana dapat membebaskan diri dari suatu konflik, melainkan bagaimana konflik itu dapat dan harus ditangani oleh manusia, yakni melalui proses rekonsiliasi. Rekonsiliasi yang bermakna pembebasan; baik pembebasan dari kekerasan secara fisik dan pembebasan dari masalah konflik, menurut Schreiter adalah seperti gencatan senjata, tidak lebih dari itu.29 Rekonsiliasi juga bukan suatu proses yang terkendali. Menurut Schreiter rekonsiliasi bukan semata (-mata) masalah teknis atau ketrampilan manusia, melainkan adalah persoalan yang berhubungan dengan spiritualitas. Kalau rekonsiliasi itu identik dengan masalah teknis dan ketrampilan, maka rekonsiliasi itu dapat dikendalikan oleh orang-orang tertentu saja. Kalau rekonsiliasi itu hanya dikendalikan oleh orang-orang tertentu saja, maka ia (rekonsiliasi) tidak menjadi suatu spirit dalam diri setiap manusia. Rekonsiliasi menurut Schreiter, sebaiknya dipahami sebagai suatu sikap dan bukan ketrampilan, ia lebih merupakan suatu mental dari pada hanya sekedar alat, ia juga lebih dari sesuatu yang bersifat strategis, ia adalah sebuah spiritualitas yang harus ada dalam diri setiap manusia.30 29 30 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 27-31. Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 31-33. 18 b). Memahami rasionalitas kekerasan dan akibat penderitaan yang ditimbulkannya. Rasionalitas kekerasan menurut Schreiter adalah suatu kondisi dimana seseorang atau masyarakat berada dalam suatu konteks yang rawan dan rapuh terhadap unsur-unsur yang dapat mengganggu keutuhan dan keamanan dirinya. Itulah yang dimaksudkan dengan rasionalitas kekerasan, yakni sesuatu yang menggambarkan kerapuhan dan ketidak-utuhan serta ketidak-amanan diri manusia dalam kehidupannya. Jika hal ini bisa disadari dan menjadi bagian dari kesadaran diri manusia, maka menurut Schreiter ia (rasonalitas kekerasan) akan menjadi motivasi bagi manusia dan masyarakat untuk membangun kembali keutuhan dan keamanan diri secara terus menerus, ketika diganggu oleh kekerasan. Menurut Schreiter, inilah jalan keluar bagi setiap orang atau masyarakat agar terbebas dari cengkeraman kekerasan. Secara fisik kekerasan dapat berakibat pada rasa sakit, tetapi secara psikis kekerasan dapat mendatangkan penderitaan. Sedangkan penderitaan adalah perjuangan manusia untuk keluar dari rasa sakit karena kekerasan. Penderitaan adalah pengalaman manusia dalam menata ulang keutuhan dan keamanan dirinya. Penderitaan dapat menjadi sesuatu yang luhur, jika ada upaya menata ulang keutuhan dan keamanan diri walau terasa sakit, dan tidak menjadi luhur karena hal itu hanya merupakan erosi dari keutuhan dan keamanan diri manusia dan masyarakat.31 Menurut Schreiter, untuk dapat menata ulang keutuhan dan keamanan diri tersebut atau untuk menjadikan penderitaan itu luhur, maka ada dua hal yang perlu dilakukan oleh manusia dan masyarakat. Pertama, seseorang atau kelompok 31 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 34-39. 19 masyarakat perlu menyadari bahwa dalam struktur kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya seringkali terdapat nilai-nilai kekerasan yang dapat dipakai untuk melegitimasi suatu kebijakan publik (suatu cerita bohong dalam istilah Schreiter). Misalnya perang agama, pembelaan tanah air,dll. Kedua, setelah menyadari bahwa dalam suatu struktur sosial terdapat kemungkinan penggunaan nilai-nilai kekerasan dalam suatu kebijakan publik, maka langkah berikutnya adalah seseorang atau masyarakat perlu membangun atau mencari suatu cerita baru, cerita yang menyelamatkan; cerita yang bertentangan dengan cerita bohong tersebut.32 Sedangkan cerita baru yang menyelamatkan itu, menurut Schreiter hanya dapat ditemukan jika seseorang atau masyarakat dapat membangun suatu kenangan masa lalunya sebagai sarana untuk menyingkapkan betapa dasyatnya nilai-nilai kekerasan itu. Tetapi karena kenangan masa lalu itu telah dipenuhi dengan ’luka-luka’ akibat kekerasan, maka kenangan masa lalu itu harus dilepaskan dan dibebaskan dari nilai-nilai kekerasan. Upaya melepaskan nilai-nilai kekerasan itu hanya dapat dilakukan dengan cara menemukan cerita-cerita lain sebagai sarana yang dapat meneguhkan psike masyarakat sebagai suatu narasi tandingan terhadap narasi kenangan luka masa lalu tersebut.33 Nampaknya yang dimaksudkan oleh Schreiter dengan cerita baru atau cerita yang lain itu adalah bahwa rekonsiliasi harus dipahami dalam alur penderitaan, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus. Melalui penderitaan Yesus, tergambar bagaimana manusia harus selalu berusaha untuk memulihkan keutuhan dan keamanan diri ketika diganggu oleh kekerasan. 32 33 Melalui kematian Yesus, Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 39-41. Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 41-44. 20 tergambar betapa sadisnya gangguan kekerasan itu sehingga mendorong manusia untuk menghindarkan diri dan keluar dari padanya. Sedangkan melalui kebangkitan Yesus, tergambar bahwa upaya memulihkan keutuhan diri dengan memperhatikan akibat serius dari kekerasan itu, maka ada hidup baru yang kepadanya semua orang yang terlibat dalam rekonsiliasi akan sampai.34 Dalam bahasanya sendiri Schreiter merumuskan bahwa kedua hal tersebut di atas merupakan langkah awal menuju rekonsiliasi, yaitu bagaimana dapat mengatasi penderitaan sebagai akibat dari peristiwa kekerasan masa lalu. Kekerasan yang dimaksudkan oleh Schreiter adalah bukan sesuatu yang anti-nalar, melainkan adalah nalar tandingan yang dapat menghancurkan keamanan dan keutuhan diri seseorang atau masyarakat. Nalar tandingan itu dapat menciptakan cerita-cerita bohong yang dapat menghancurkan cerita-cerita kebenaran yang selalu menjaga keutuhan dan keamanan diri seseorang atau masyarakat. Untuk mengatasi penderitaan akibat nalar tandingan (kekerasan) itu, menurut Schreiter manusia dan masyarakat perlu membangun ceritacerita baru yang membebaskan dan memulihkan cerita-cerita kebenaran, yaitu hal keamanan dan keutuhan diri individu dan masyarakat.35 Selanjutnya berdasarkan pemikiran seperti itu, Schreiter kemudian merumuskan beberapa pandangan etis-teologis tentang rekonsiliasi berdasarkan surat Paulus dan surat-surat pasca Paulus agar menjadi dasar bagi gereja dan orang Kristen dalam membangun pelayanan rekonsiliasi. Mengikuti pemikiran Jose Comblin, Schreiter membagi level rekonsiliasi dalam teologi Kristen menjadi tiga bagian, yakni: level kristologis; yang di dalamnya Kristus adalah pengantara melalui mana Allah 34 35 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 45-66. Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 45 21 mendamaikan dunia dengan diri-Nya, level eklesiologis; yang di dalamnya Kristus mendamaikan orang Yahudi dan bangsa-bangsa lain, dan level kosmis; yang di dalamnya Kristus mendamaikan semua kekuatan di sorga dan di bumi.36 Schreiter mendasarkan level kristologis pada Roma 5:10-11: ”Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidupNya. Dan bukan hanya itu saja! Kita malah bermegah dalam Allah oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, sebab oleh Dia kita telah menerima pendamaian itu”. dan 2 Korintus 5:18-19: ”Semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya, dan yang telah mempercayakan pelayanan pendamaian kepada kami. Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka. Ia telah mempercayakan pelayanan pendamaian itu kepada kami”. Berdasarkan kedua teks tersebut, Schreiter menegaskan bahwa rekonsiliasi yang ditawarkan oleh orang Kristen adalah rekonsiliasi yang berasal dari Allah yang telah terlaksana di dalam diri Yesus Kristus. Pertanyaan mendasar dalam rekonsiliasi menurut Schreiter adalah bukan saya sanggup atau tidak untuk melakukan rekonsiliasi, melainkan bagaimana saya dapat menemukan karya Allah itu untuk melakukan rekonsiliasi. Inilah sumber kekuatan dan keberanian dari warga gereja dan orang Kristen untuk masuk dalam proses rekonsiliasi. Jadi rekonsiliasi sebenarnya bukan hasil yang dicapai oleh manusia, melainkan adalah anugerah Allah yang dengannya mendorong manusia untuk selalu membuat pemulihan hubungan dengan sesamanya. Anugerah yang dimaksudkan di sini bukan suatu anugerah yang ’netral’, melainkan suatu anugerah yang 36 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 46 22 diberikan setelah timbul ’amarah’ dan ’murka’ terhadap dosa dan pelanggaran; suatu anugerah pengampunan.37 Hal itu dibicarakan oleh Schreiter secara menarik dengan memberi makna kepada apa yang ia sebut sebagai sarana rekonsiliasi di dalam Kristus, yakni kematian, salib, dan darah. Ketiga simbol itu, menurut Schreiter pada satu pihak telah menggambarkan betapa dasyatnya kekerasan itu, tetapi sekaligus melaluinya terlihat betapa indahnya kehidupan yang keluar dari perjuangan untuk mengatasi penderitaan akibat kekerasan; betapa bermaknanya proses rekonsiliasi. Melalui tiga simbol itu, Schreiter memperlihatkan bahwa upaya mengatasi kekerasan harus diwujudkan pula dengan pemahaman yang jelas terhadap apa itu kekerasan. Melalui tiga simbol tersebut, menurut Schreiter secara terus terang kesadisan dan kekejaman dari suatu tindak kekerasan telah terungkap dan ditelanjangi, tetapi sekaligus melaluinya (ketiga simbol itu) ada kehidupan baru yang muncul. Tiga simbol tersebut menurut Schreiter, tidak berbicara tentang siapa yang menjadi korban dan siapa yang telah menjadi pelaku dari suatu tindak kekerasan, melainkan baik korban maupun pelaku tindak kekerasan akan sama-sama digiring masuk pada suatu kondisi yang baru, yaitu suatu kondisi pertobatan yang sungguh-sungguh, sebagai langkah awal untuk menuju rekonsiliasi. Berdasarkan pemikiran seperti itu, Schreiter menegaskan bahwa rekonsiliasi sebenarnya adalah sebuah proses pertemuan bersama Allah dan harus berada dalam semangat pemulihan dan anugerah Allah. Oleh karena rekonsiliasi adalah sebuah proses pertemuan bersama dan di dalam semangat pemulihan Allah, maka rekonsiliasi sekaligus adalah sebuah proses spiritualitas, rekonsiliasi melebihi suatu masalah teknis atau suatu strategi belaka. Rekonsiliasi adalah gaya hidup, bukan sekedar suatu tugas yang dapat 37 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 46-54. 23 dikerjakan dan selesai, ia adalah bentuk dari kehidupan yang dituntut hingga akhir hayat.38 Dalam level eklesiologis, Schreiter mendasarkan pada Efesus 2:12-16 ”....... bahwa waktu itu kamu tanpa Kristus, tidak termasuk kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia. Tetapi sekarang di dalam Yesus Kristus kamu, yang dahulu ”jauh” sudah menjadi ”dekat” oleh darah Kristus. Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan telah merobohkan tembok pemisah, yaitu perseturuan, sebab dengan matinya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseturuan pada salib itu”. dan Kolose 1:21-22; ”Juga kamu yang dahulu hidup jauh dari Allah dan yang memusuhi-Nya dalam hati dan pikiran seperti yang nyata dari perbuatanmu yang jahat, sekarang diperdamaikan-Nya, di dalam tubuh jasmani Kristus oleh kematian-Nya, untuk menempatkan kamu kudus yang tak bercela dan tak bercacat di hadapan-Nya”. Berdasarkan dua teks tersebut, Schreiter menegaskan upaya membangun rekonsiliasi membutuhkan suatu pandangan yang komprehensif tentang ’yang lain’ (the other). Hal ini dimaksudkan sebagai suatu upaya dalam rangka melenyapkan masalah alienasi (keterasingan). Pada satu pihak, pandangan tentang the other juga bisa menjerumuskan orang pada anggapan bahwa mereka adalah bukan ’manusia’ dan karena itu ’wajar’ ditindaki, tetapi pada pihak lain the other juga perlu dihargai dan diakui karena mereka adalah manusia yang tidak layak untuk ditindaki.39 Selanjutnya berdasarkan pemikiran seperti itu, Schreiter menegaskan bahwa rekonsiliasi yang sesungguhnya tidak pernah akan membawa kembali masyarakat pada kondisi awal 38 39 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 46-54. Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 54-60. 24 sebelum terjadi konflik, melainkan akan membawah masyarakat kepada suatu kondisi yang baru, suatu kondisi yang dibaharui. Rekonsiliasi bukan sekedar usaha menghapus penderitaan para korban dan menuntut pertobatan sang pelaku kekerasan, melainkan lebih dari itu, yakni usaha menciptakaan suatu kondisi hidup yang baru. Baik korban dan pelaku tindak kekerasan sama-sama digiring ke kondisi yang baru tersebut. Hal itu dipertegas lagi dengan mengutip 2 Korintus 5:17: ”Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, dia adalah ciptaan baru: yang lama telah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang”.40 Selanjutnya pada level kosmis, Schreiter mengutip Kolose 1:19-20: ”Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan di dalam Dia, dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di surga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus”. dan Efesus1:9-10 ”Sebab Ia telah menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada kita, sesuai dengan rencana kerelaan-Nya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkan-Nya di dalam Kristus sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik di sorga maupun yang di bumi”. Berdasarkan dua teks itu, Schreiter menegaskan (berdasarkan konteks pemaknaan dalam pandangan Yahudi dan Helenis) bahwa rekonsiliasi sesungguhnya adalah karya Allah yang ke dalamnya semua orang diundang untuk menemukan sesuatu yang baru secara misteri. Dikatakan misteri karena rekonsiliasi tidak dapat dipandang sebagai suatu persoalan teknis semata-mata, melainkan adalah suatu proses dimana manusia harus masuk ke dalam pengalaman kasih dan pengampunan Allah tersebut. Kasih dan pengampunan Allah adalah dasar dari suatu upaya rekonsiliasi yang dilakukan 40 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 54-60. 25 oleh manusia dan masyarakat dalam menangani masalah-masalah kekerasan yang telah terjadi. Tanpa kasih dan pengampunan Allah, maka upaya rekonsilaisi adalah sesuatu yang tanpa dasar dan tidak terwujud secara maksimal.41 Menurut penulis, dengan mengkaji sejumlah ayat Alkitab di atas, Schreiter hendak menekankan bahwa rekonsiliasi adalah wujud panggilan hidup yang harus diejawantahkan oleh umat manusia di dalam dunia ini. Rekonsiliasi pada dasarnya adalah sesuatu yang inherent bagi perealisasian diri manusia dalam keberadaannya. Terutama, hal seperti itu harus menjadi wujud panggilan dan pengabdian diri dari gereja dan warga gereja kepada Allah yang dipercayai dalam diri Tuhan Yesus Kristus. Tanpa melakukan prose rekonsiliasi sebagai perwujudan hidup, panggilan, dan pengabdian diri yang merupakan hal utama yang selalu ditekankan dalam dunia kepercayaan dan keagamaan, maka menurut Schreiter, semua itu (hidup, panggilan, dan pengabdian diri) belum sepenuhnya menggambarkan hidup, pangggilan, dan pengabdian diri kepada Allah. Berdasarkan pemikiran itu, maka dapat dikatakan bahwa menurut Schreiter, rekonsiliasi bukanlah sekedar alat untuk mencari solusi dalam dunia kekerasan, melainkan dalam solusi itu sekaligus terwujud dan terkandung sebuah perealisasian diri manusia yang beragama atau yang percaya kepada Allah di dalam dunia, terutama di dalam dunia kekerasan. Dunia kekerasan dalam pandangan Schreiter bukanlah sesuatu yang dapat menghalangi pelaksanaan proses rekonsiliasi, melainkan di dalam dunia kekerasan itulah terdapat undangan istimewa yang menghadirkan segenap upaya manusia untuk mewujudkan rekonsiliasi yang sejati. Menurut Schreiter, hal undangan seperti itulah yang telah dikerjakan oleh Allah dalam diri Yesus Kristus sebagai yang 41 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 60-63. 26 sulung, yang telah mengambil langkah untuk diteruskan oleh orang-orang yang percaya kepadaNya. Dapat dikatakan bahwa karya Allah di dalam diri Yesus Kristus adalah dasar bagi umat manusia, terutama bagi gereja dan warga gereja untuk berkarya dalam dunia kekerasan melalui rekonsiliasi. Oleh karena itu, gereja dan warga gereja yang mengklaim diri sebagai pengikut Kristus, adalah gereja dan warga gereja yang harus hidup dalam rekonsiliasi yang sejati. Dimana hal itu harus dilakukan secara terus-menerus di dalam dunia, dan terutama di dalam dunia kekerasan. Gereja dan warga gereja yang tidak hidup dalam proses rekonsiliasi secara terus-menerus, adalah gereja dan warga gereja yang tidak hidup atau tidak berada dalam karya Allah di dalam Yesus Kristus. Inilah mental dari gereja dan warga gereja yang percaya dan mengklaim diri sebagai pengikut Kristus, dan inilah wujud konkrit dari iman geraja dan warga gereja yang percaya kepada Allah di dalam Yesus Kristus. Rekonsiliasi adalah sebuah proses perwujudan iman dari setiap orang Kristen, karena rekonsiliasi adalah hakekat dalam karya Allah di dalam diri Yesus Kristus. Dapat dikatakan bahwa iman tanpa rekonsiliasi adalah iman yang kosong, sebaliknya rekonsiliasi tanpa iman adalah rekonsiliasi yang berpura-pura saja. Dalam konteks masyarakat di Halmahera, menurut penulis, orang Kristen dan warga gereja adalah orang Kristen dan warga yang harus melakukan rekonsiliasi dengan sesamanya yang beragama Islam. Proses rekonsiliasi ini bukan semata-semata diarahkan untuk sebuah solusi terhadap peristiwa kekerasan yang telah terjadi, melainkan dalam solusi itu sekaligus terkandung sebuah perwujudan iman kepada Yesus Kristus. Pengalaman konflik di tahun 1999-2000 bukanlah dasar untuk bermusuhan, melainkan dasar untuk beriman yang sungguh-sungguh kepada Yesus Kristus, mulai hari ini dan sampai nanti. 27 Berkaitan dengan semua hal di atas, maka yang menarik dalam pemikiran Schreiter adalah terletak pada bagaimana ia memanfaatkan realita dan budaya membangun pusara korban tindak kekerasan sebagai salah satu ‘sumber daya’ (istilah Schreiter) untuk membentuk dan membangun cerita-cerita baru yang membebaskan. Menurut Schreiter Gereja atau siapapun tidak bisa meremehkan ‘apa-apa’ yang berhubungan dengan tradisi atau budaya membangun pusara, terutama pusara para korban tindak kekerasan. Misalnya proses pemakaman jenasah, proses pembangunan pusara, bahkan sejumlah simbol yang menyertainya. Hal-hal tersebut menurut Schreiter adalah unsur-unsur yang dapat membantu keluarga korban dan masyarakat untuk eksis di tengah-tengah akibat tindak kekerasan. Kepedulian Gereja terhadap peradaban pusara (istilah Girard) pada dasarnya dapat menjadi satu langkah peralihaan bagi masyarakat, terutama masyarakat korban untuk masuk pada proses rekonsiliasi. Menurut Schreiter, untuk menolong masyarakat korban maka tidak ada cara lain yang dapat dipakai untuk menanggulangi penderitaan mereka, selain dengan melayani jasadjasad korban melalui segenap tradisi yang berlaku.42 Oleh karena itu menurut Schreiter gereja harus menghargai hal-hal yang berhubungan dengan budaya membangun pusara korban tindak kekerasan. Bukti yang ditunjukkan Schreiter untuk mendukung pemikiran itu adalah menghubungkan realita dan budaya membangun pusara korban dengan persoalan di sekitar pertanyaan “apakah perlu mengingat atau melupakan, ketika membangun proses rekonsiliasi? Oleh karena hal mengingat menurut Schreiter adalah unsur yang sangat penting dalam rangka membangun proses rekonsiliasi, maka menurutnya realita pusara korban yang muncul akibat dari adanya budaya membangun pusara, dapat dipakai sebagai sarana penunjang 42 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 77-80. 28 (sumber daya) bagi proses mengingat untuk rekonsiliasi. Melalui pembangunan dan realita pusara korban, kenangan masyarakat akan masa lalunya akan tetap terbentuk dan terbangun.43 Berangkat dari pemikiran seperti itu, maka menurut penulis realita pusara korban yang ada di Halmahera juga dapat menjadi sarana penunjang atau sumber daya (istilah Schreiter) bagi masyarakat untuk membangun proses rekonsiliasi. Tetapi bagaimana dengan pemikiran yang telah dikemukakan oleh Rene Girard di atas (F.1)? Bukankah realita dan budaya membangun pusara korban juga mengandung nalar kekerasan yang terdapat dalam masyarakat? Bagaimana cara dapat menemukan sesuatu yang baru, yang dapat dipakai untuk membebaskan masyarakat dari nalar kekerasan, sementara hal yang mau dimanfaatkan itu juga mengandung nalar kekerasan? Bagaimana realita pusara korban dapat bermanfaat untuk membangun rekonsilaisi? Berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan itu, maka Schreiter berbicara tentang unsur kemarahan dan ‘teriakan’. Menurut Schreiter kemarahan dan ‘teriakan’ adalah unsur yang dapat membantu masyarakat untuk mengungkapkan kejujuran tentang penderitaan yang sedang melingkupi mereka. Di samping itu, unsur kemarahan dan ‘teriakan’ juga bertujuan membongkar segala kemunafikan dan kekejian dalam budaya kekerasan. Unsur kemarahan dan teriakan menurut Schreiter bukan dipakai sebagai sarana pengosongan kekerasan. Kalau unsur kemarahan dan teriakan dipakai sebagai sarana pengosongan kekerasan, maka yang akan terjadi adalah manusia sedang melakukan kekerasan terhadap sesamanya, yaitu menjadikan sesamanya sebagai objek 43 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 77-80. 29 dan sasaran (musuh) dari kemarahan dan teriakan itu.44 Menurut Schreiter, unsur kemarahan dan teriakan jangan dipakai sebagai sarana pengosongan kekerasan, melainkan sebagai sarana penelanjangan penderitaan yang sedang dialami oleh masyarakat sebagai akibat kekerasan itu sendiri. Inilah cara yang dapat dilakukan oleh masyarakat korban agar dapat keluar dari nalar kekerasan yang terdapat dalam realitasnya. Kemarahan dan ‘teriakan’ menurut Schreiter adalah sarana yang tepat untuk menelanjangi betapa jahat dan sadisnya akibat kekerasan yang dialami oleh masyarakat. Hal seperti ini menurut Schreiter merupakan proses dasariah bagi upaya membentuk cerita baru yang akan menjadi nalar tandingan terhadap nalar kekerasan yang telah terjadi pada masa lalu.45 Dengan begitu, maka menurut penulis realita pusara korban yang ada di Halmahera dapat pula berfungsi sebagai ‘suara’ kemarahan dan teriakan masyarakat tentang penderiataan yang sedang dialami dalam rangka menelanjangi dan membongkar betapa sadis, jahat, kejam, dan brutalnya akibat dari tindak kekerasan dalam masyarakat. Kalau realita pusara korban dipakai sebagai sarana penelanjangan penderiataan dan pembongkaran betapa jahat dan kejamnya akibat dari tindak kekerasan, maka realita pusara korban dapat pula membawa manfaat bagi masyarakat untuk membangun rekonsiliasi dan perdamaian. Ia (pusara korban) jangan dipakai sebagai sarana pengosongan kekerasan, melainkan sebagai sarana penelanjangan penderitaan sebagai akibat dari kekerasan itu sendiri. Kalau ia (pusara korban) dapat dipakai sebagai sarana penelanjangan penderitaan sebagai akibat dari kekerasan, maka 44 Kalau kemarahan dan teriakan dipakai sebagai sarana pengosongan kekerasan, maka yang terjadi adalah manusia sedang melakukan kekerasan terhadap sesamanya, yaitu menjadikan sesama sebagai objek dan sasaran (musuh) dari kemarahan dan teriakan. Bandingkan pemikiran Girard, dalam: Sindhunata, Kambing Hitam: Teori Rene Girard, hlm. 107-123. 45 Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru, hlm. 41-44. 30 ia (pusara korban) dapat pula menjadi sarana untuk membentuk suatu cerita baru yang membebaskan masyarakat dari penderiataan dan nalar kekerasan yang selama ini telah membentuk dan mempengaruhi mereka. Kalau ia (pusara korban) dapat menjadi suatu sarana untuk membetuk suatu cerita baru, maka ia (pusara korban) juga bisa bermanfaat untuk membangun rekonsiliasi. Tetapi bagaimana hal itu dapat dilakukan? Menurut penulis, hal itu dapat dilakukan jika nilai-nilai kekerasan yang terdapat dalam realita pusara korban itu ditransformasikan. Tanpa upaya mentransformasikan nilai-nilai itu, maka ia (pusara korban) adalah sesuatu yang menakutkan bagi upaya dan proses rekonsiliasi. Demikianlah, maka melalui tesis ini, penulis hendak menampilkan bagaimana dan dalam unsur-unsur apa realita pusara korban di Halmahera itu, dapat dimanfaatkan untuk mendukung proses rekonsiliasi. G. Hipotesa. Berdasarkan landasan teoretis di atas, maka dalam pembahasan tesis ini penulis mempunyai tiga (3) hipotesa sebagai berikut: 1). Pembangunan pusara korban di halaman rumah ibadah dilatari oleh tradisi masyarakat yang berkaitan dengan sikap memberi penghormatan terhadap jasad dari orang-orang yang dianggap berjasa. 2). Pemahaman masyarakat Halmahera terhadap realita pusara korban dapat menjadi unsur yang menghambat proses rekonsiliasi. 3). Rekonsiliasi Halmahera di sekitar pusara korban hanya dapat dilakukan, jika ada upaya transformasi pemahaman dalam diri masyarakat Halmahera terhadap realita pusara korban. 31 H. Desain Penelitian. Berdasarkan seluruh uraian tentang landasan teoretis di atas, maka pertanyaan-pertanyaan yang akan membimbing penulis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: mengapa pusara korban harus dibangun di halaman rumah ibadah? Bukankah di setiap masyarakat (di Halmahera) selalu terdapat lokasi pekuburan massal yang disiapkan untuk orang-orang yang meninggal dunia? Mengapa jasad korban tidak dimakamkan di lokasi pekuburan umum/massal, melainkan di lokasi tempat ibadah? Tradisi apa yang telah melatari fenomena ini? Apa tujuan dan sasarannya? Bagaimana pembangunan itu dilaksanakan? Siapakah yang melakukannya? Kapan penempatan jasad korban di halaman rumah ibadah itu dilaksanakan? Pada masa konflik atau pasca konflik? Dengan daya dan dana dari manakah pusara korban dibangun? Apa yang terjadi setelah pusara korban dibangun? Bagaimana perasaan keluarga korban dan masyarakat? Apa yang mereka pikirkan atau harapkan dari realita itu? Hal apa saja yang dilakukan di sekitar pusara korban? Bagaimana bentuk penghayatan masyarakat terhadap realita pusara korban? Adakah unsur-unsur yang terdapat di pusara korban yang memperlihatkan tentang pemahaman masyarakat? Jika ada, apakah unsur-unsur itu? Bagaimana unsur itu dihayati, dimaknai dan dimanfaatkan? Apakah penghayatan terhadap unsur-unsur itu dapat menunjang proses rekonsiliasi? Ataukah justru dapat menghambat? Jika menghambat adakah hal yang harus dilakukan? Mungkinkah pemahaman masyarakat terhadap realita pusara korban dapat ditransformasikan? Jika dapat, unsur-unsur apakah dan yang manakah yang perlu ditransformasikan? Atas dasar apa melakukan transformasi itu? Bagaimana hal itu dilakukan, dijelaskan dan diterapkan? Demikianlah sejumlah pertanyaan yang akan membimbing penulis dalam melakukan penelitian dan pembahasan tesis ini. 32 I. Komposisi Bab-bab. Tesis ini terdiri atas lima bab, yang masing-masing bab menguraikan pokokpokok sebagai berikut: Bab I menguraikan tentang Pendahuluan tesis, yang terdiri dari: Latar belakang masalah, Judul dan Penjelasannya, Perumusan masalah teologis dan fokus pembahasan, Tujuan penelitian, Metode dan tempat penelitian, Kerangka teoretis, Hipotesa, Desain penelitian, dan Komposisi bab-bab. Bab II menguraikan tentang realita permasalahan yang dibahas dalam tesis ini, diberi judul ”Wilayah Galela: Konflik, Rekonsiliasi, dan Pembangunan Pusara Korban.” Pembahasan terdiri dari: Mengenal wilayah Galela, Akar dan dinamika konflik, Upaya rekonsiliasi, Pembangunan pusara korban, diakhiri dengan kesimpulan. Bab III menguraikan tentang analisa secara sosiologis terhadap permasalahan yang terdapat dalam Bab II, diberi judul ”Pusara Korban: Antara Tradisi, Konflik, dan Rekonsiliasi.” Pembahasan terdiri dari: Konflik Halmahera (Galela); Realita Konflik Agama, Rekonsiliasi Halmahera (Galela) dalam Pandangan Schreiter, Pusara Korban; Realita Tradisi Masyarakat, Pemahaman Masyarakat Tentang Pusara Korban dan Nilai-nilai Kekerasan. diakhiri dengan kesimpulan. Bab IV menguraikan refleksi etis teologis terhadap hasil analisa dalam bab III, diberi judul ”Rekonsiliasi di Sekitar Pusara Korban”. Pembahasan terdiri dari: Rekonsiliasi sebagai Kritik Diri, Girard dan Schreiter Dalam Kritik Diri Masyarakat Halmahera, Pusara Korban Sebagai Cerita Baru Yang Membebaskan, Rekonsiliasi Sebagai Pengampunan; Mengingat Untuk Melupakan, Rekonsiliasi Halmahera di Sekitar Pusara Korban, dan diakhiri dengan kesimpulan. Bab V menguraikan Penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari penulis. 33