BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT A

advertisement
16
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT
A. Pengertian Perjanjian
Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi: “Suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1
(satu) orang lain atau lebih”.
Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi
perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan pula
terlalu luas. 2
Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian
sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan
di lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga,
tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur di dalam KUH Perdata Buku
III. Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai
secara materil, dengan kata lain dinilai dengan uang.
Menurut M. Yahya Harahap perjanjian atau verbintennis mengandung
pengertian: “suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau
lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi
dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasinya”. 3
Berdasarkan pengertian singkat di atas dijumpai di dalamnya beberapa
unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain “hubungan hukum
2
Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2001, hal. 65.
3
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 6.
9
Universitas Sumatera Utara
17
(rechtbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (person)
atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain
tentang suatu prestasi “. 4
Sesuai dengan pengertian di atas, perjanjian/verbintennis adalah hubungan
hukum/ rechtbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan
cara perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung
hubungan hukum antara perseorangan/person adalah hal-hal yang terletak
dan berada dalam lingkungan hukum. 5
Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan
yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam harta benda
kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya
timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang
diatur dalam hukum waris. Lain halnya dalam perjanjian. Hubungan hukum antara
pihak yang satu dengan yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan
itu
tercipta
oleh
Tindakan/perbuatan
karena
hukum
adanya
yang
tindakan
dilakukan
menimbulkan hubungan hukum perjanjian,
oleh
sehingga
hukum/rechtshandeling.
pihak-pihaklah
terhadap
satu
yang
pihak
diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang
lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan
prestasi. 6
Jadi satu pihak memperoleh hak/recht dan pihak yang laim memikul
kewajiban/plicht menyerahkan/menunaikan prestasi. Prestasi ini adalah objek atau
4
Ibid., hal. 6.
Ibid., hal. 7.
6
Ibid., hal. 7.
5
Universitas Sumatera Utara
18
voorwerp dari verbintenis. Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan
berdasar tindakan hukum, sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum
perjanjian. Pihak yang berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai
kreditur atau schuldeiser. Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan
sebagai schuldenaar atau debitur. 7
Karakter hukum kekayaan/harta benda ini bukan hanya terdapat dalam
hukum perjanjian. Malahan dalam hubungan keluarga, hukum kekayaan
mempunyai karakter yang paling mutlak. Akan tetapi seperti yang telah pernah
disinggung di atas, karakter hukum kekayaan dalam harta benda keluarga adalah
lahir dengan sendirinya, semata-mata karena ketentuan undang-undang. Hukum/
vermogenrecht kekayaan yang bersifat pribadi dalam perjanjian/verbintenis baru
bisa tercipta apabila ada tindakan hukum/rechthandeling.
Sekalipun yang menjadi objek atau vorwerp itu merupakan benda, namun
hukum
perjanjian
hanya
mengatur
dan
mempermasalahkan
hubungan
benda/kekayaan yang menjadi objek perjanjian antara pribadi tertentu (bepaalde
persoon).
Selanjutnya dapat dilihat perbedaan antara hukum benda/zakenrecht
dengan hukum perjanjian:
1. Hak kebendaan melekat pada benda dimana saja benda itu berada, jadi
mempunyai melekat/droit de suite.
2. Semua orang secara umum terikat oleh suatu kewajiban untuk
menghormati hak seseorang atas benda tadi, tidak dapat diganggu
gugat/in violable et sacre.
3. Si empunya hak atas benda, dapat melakukan segala tindakan sesukanya
atas benda tersebut. 8
7
8
Ibid., hal. 8.
Ibid., hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
19
Kalau hukum kebendaan bersifat hak yang absolut, hukum kebendaan
dalam perjanjian adalah bersifat “ hak relatif “/relatief recht. Dia hanya mengatur
hubungan antara pribadi tertentu. Bepaalde persoon, bukan terhadap semua orang
pemenuhan prestasi dapat dimintanya. Hanya kepada orang yang telah melibatkan
diri padanya berdasar suatu tindakan hukum. Jadi hubungan hukum/recht
berrekking dalam perjanjian hanya berkekuatan hukum antara orang-orang
tertentu saja. 9
Hanya saja dalam hal ini perlu diingatkan, bahwa gambaran tentang
pengertian hukum benda yang diatur dalam KUHPerdata dalam Buku II, yang
menganggap hak kebendaan itu “hak yang tidak dapat diganggu gugat/inviolable
et sacre“ dan memiliki hak melekat kepada pemilikinta/droit de suite, tidak
mempunyai daya hukum lagi. Sebab dengan berlakunya Undang-Undang Pokok
Agraria sesuai dengan asas unifikasi hukum pertanahan, buku II KUH Perdata
tidak dinyatakan berlaku lagi.
Terutama mengenai hubungan tanah dengan seseorang, tidak lagi
ditekankan pada faktor hak. Tetapi dititik beratkan pada segi penggunaan dan
fungsi sosial tanah, agar selaras dengan maksud dan jiwa pada Pasal 33 ayat 3
Undang-Undang Dasar 1945.
Seperti telah dikemukakan di atas, pada umumnya hak yang lahir dari
perjanjian itu bersifat hak relatif, artinya hak atas prestasi baru ada pada
orang/persoon tertentu, jika hal itu didasarkan pada hubungan hukum yang lahir
atas perbuatan hukum.
9
Ibid., hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
20
Akan tetapi ada beberapa pengecualian :
1. Sekalipun tidak ada hubungan hukum yang mengikat antara dua orang
tertentu (bepaalde persoon), verbintenis bisa terjadi oleh suatu
keadaan/kenyataan tertentu. Misalnya karena pelanggaran kendaraan.
2. Atau oleh karena suatu kewajiban hukum dalam situasi yang nyata,
dapat dikonkritisasi sebagai verbintenis. Sekalipun sebelumnya tidak
ada hubungan hukum antara dua orang tertentu, seperti yang dapat
dilihat pada Waterkraan Arrest (H.R. 10 Juni 1910). 10
Perjanjian/verbintenis mempunyai sifat yang dapat dipaksakan. Dalam
perjanjian, kreditur berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan. Hak
mendapatkan prestasi tadi dilindungi oleh hukum berupa sanksi. Ini berarti
kreditur diberi kemampuan oleh hukum untuk memaksa kreditur menyelesaikan
pelaksanaan kewajiban/prestasi yang mereka perjanjikan.
Apabila debitur enggan secara sukarela memenuhi prestasi, kreditur dapat
meminta kepada Pengadilan untuk melaksanakan sanksi, baik berupa eksekusi,
ganti rugi atau uang paksa. Akan tetapi, tidak seluruhnya verbintenis mempunyai
sifat yang dapat dipaksakan.
Pengecualian terdapat misalnya pada natuurlijke verbintenis. Dalam hal ini
perjanjian tersebut bersifat tanpa hak memaksa. Ajdi natuurlijk verbintenis adalah
perjanjian tanpa mempunyai kekuatan memaksa.
Dengan demikian, perjanjian dapat dibedakan antara :
1. Perjanjian tanpa kekuatan hukum (zonder rechtwerking).
Perjanjian tanpa kekuatan hukum ialah perjanjian yang ditinjau dari
segi hukum perdata tidak mempunyai akibat hukum yang mengikat.
Misalnya perjanjian keagamaan, moral, sopan santun dan sebagainya.
2. Perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum tak sempurna seperti
natuurlijke verbintenis.
Ketidak sempurnaan daya hukumnya terletak pada sanksi
memaksanya, yaitu atas keengganan debitur memenuhi kewajiban
10
Ibid., hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
21
prestasi, kreditur tidak diberi kemampuan oleh hukum untuk
melaksanakan pemenuhan prestasi. Jadi tidak dapat dipaksakan.
3. Verbintenis yang sempurna daya kekuatan hukumnya, Disini
pemenuhan dapat dipaksakan kepada debitur jika ia ingkar secara
sukarela melaksanakan kewajiban prestasi. Untuk itu kreditur diberi
hak oleh hukum menjatuhkan sanksi melalui tuntutan eksekusi
pelaksanaan (perintah eksekusi) dan eksekusi riel (waktu eksekusi),
ganti rugi serta uang paksa. 11
B. Pelaksanaan Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada
orang lain atau dimana dua pihak saling berjanji melaksanakan sesuatu.
Hal ini adalah baru suatu gambaran saja yang nantinya bersama
dilaksanakan atau diwujudkan oleh kedua belah pihak tadi. Sering terjadi didalam
pelaksanaan perjanjian menimbulkan persoalan-persoalan yang pada waktu
perjanjian dibentuk belum nampak jelas persoalan tersebut, oleh masing-masing
memberi penafsiran sendiri-sendiri tentang maksud perjanjian yang mereka buat,
sehingga menimbulkan perbedaan pendapat maupun pertikaian-pertikaian diantara
para pihak tersebut. Karena itu perlu adanya ketentuan-ketentuan mengenai
bagaimana melaksanakan dan memberi tafsiran pada pelaksanaan suatu perjanjian
itu.
Untuk melaksanakan suatu perjanjian lebih dahulu harus ditetapkan
secara tegas dan cermat apa saj isi dari perjanjian tersebut atau dengan kata lain
apa saja hak dan kewajiban masing-masing pihak. Biasanya orang-orang yang
mengadakan suatu perjanjian dengan tidak mengatur atau menetapkan dengan
tegas hak dan kewajiban mereka maka perjanjian itu kurang baik.
11
Ibid., hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
22
Pasal 1138 ayat 1 KUH Perdata menerangkan bahwa semua persetujuan
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Artinya bahwa janji itu mengikat kedua belah pihak.
Namun demikian menurut Pasal 1339 KUH Perdata bahwa setiap
perjanjian itu tidak saja hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan dalam perjanjian, tetapi untuk segala sesuatu yang menurut sifatnya
perjanjian tersebut diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.
Menurut Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata mengatur bahwa perjanjian
harus dilakukan dengan itikad baik. Pasal ini merupakan salah satu sendi yang
penting dalam hukum perjanjian. Artinya bahwa pelaksanaan perjanjian itu harus
berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan kesusilaan.
Didalam pelaksanaan perjanjian tersebut idberikan hak atau kekuasaan
untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian berdasarkan undang-undang yang
berlaku serta keadilan.
Dari 2 ayat yang terdapat dalam Pasal 1338 KUH Perdata yaitu ayat (1)
dan ayat (3) dapat dilihat bahwa ayat (1) adalah sebagai syarat tuntutan kepastian
hukum bahwa perjanjian yang dibuat adalah bebas tetapi sifatnya mengikat.
Sedangkan ayat (3) tersebut harus dipandang sebagai suatu “tuntutan keadilan”
yang artinya hukum itu selalu mengejar dua tujuan yaitu menjamin kepastian
hukum dan memenuhi tuntutan keadilan.
Tentang bagaimana memberikan tujuan untuk melaksanakan perjanjian
itu dapat diambil pedoman Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai
berikut:
Universitas Sumatera Utara
23
1. Semua perjanjian yang sah mengikat para pihak yang membuatnya sebagai
undang-undang (Pasal 1338 KUH Perdata).
2. Jika kata-kata dalam suatu perjanjian cukup jelas maka tidak dibenarkan
untuk memberikan penafsiran yang menyimpang dari padanya (Pasal 1342
KUH Perdata).
3. Apabila kata-kata dalam perjanjian dapat menimbulkan penafsiran yang
berlainan, maka lebih dahulu harus diteliti apakah yang dimaksud pihakpihak sebelum mengikat diri pada perjanjian itu (Pasal 1343 KUH
Perdata).
4. Jika suatu janji dapat memberikan dua pengertian maka harus dipilih
pengertian yang memungkinkan untuk pelaksanaan perjanjian itu (Pasal
1344 KUH Perdata).
5. Jika kata-kata dalam suatu perjanjian dapat menimbulkan dua macam
pengertian maka harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat
perjanjian (Pasal 1345 KUH Perdata).
6. Apabila ada yang meragukan dalam suatu perjanjian maka harus
ditafsirkan menurut apa yang menajdi kebiasaan setempat dimana
perjanjian itu dibuat (Pasal 1346 KUH Perdata).
7. Hal-hal yang menurut kebiasaan selemanya diperjanjian dianggap secara
diam-diam dimaksudkan dalam persetujuan walaupun tidak dengan tegas
dinyatakan (Pasal 1347 KUH Perdata).
8. Semua janji yang dibuat dalam suatu perjanjian harus diartikan dalam
hubungan satu sama lain, tetapi janji harus ditafsirkan dalam rangka
Universitas Sumatera Utara
24
perjanjian seluruhnya (Pasal 1348 KUH Perdata).
9. Jika dalam suatu perjanjian terdapat keragu-raguan maka perjanjian itu
harus ditafsirkan atas kerugian orang lain yang telah meminta
diperjanjikan, atau hal dan untuk keuntungan orang telah mengikatkan
dirinya untuk itu (Pasal 1349 KUH Perdata).
10. Meskipun bagaimana luasnya kata-kata dalam suatu perjanjian disusun,
namun persetujuan itu hanya meliputi hal-hal yang dimaksudkan oleh
kedua belah pihak tersebut (Pasal 1350 KUH Perdata).
11. Jika seseorang dalam suatu perjanjian menyatakan sesuatu hendak
menjelaskan perikatan, tidaklah ia dianggap mengurangi atau membatasi
kekuatan persetujuan atau perjanjiannya untuk hukum dalam hal-hal yang
tidak dinyatakan (Pasal 1351 KUH Perdata).
C. Syarat Sahnya Perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
3. Mengenai suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena
mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,
sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai
Universitas Sumatera Utara
25
perjanjian sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan, bahwa kedua
subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seiasekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu.
Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak
yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik, si
penjual mengingini sesuatu barang si penjual. 12
Perjanjian atau kesepakatan dari masing-masing pihak itu harus
dinyatakan dengan tegas, bukan diam-diam. Perjanjian itu juga harus diberikan
bebas dari pengaruh atau tekanan yaitu paksaan.
Suatu kesepakatan dikatakan mengandung cacat, apabila kehendakkehendak itu mendapat pengaruh dari luar sedemikian rupa, sehingga dapat
mempengaruhi pihak-pihak bersangkutan dalam memberikan kata sepakatnya.
Misalnya karena ditodong, dipaksa atau karena kekeliruan mengenai suatu
sifat dari pada benda yang diperjanjikan dan dapat pula karena penipuan.
Pendek kata ada hal-hal yang luar biasa yang mengakibatkan salah satu pihak
dalam perjanjian tersebut telah memberikan perizinannya atau kata
sepakatnya secara tidak bebas dengan akibat perizinan mana menjadi pincang
tidak sempurna. 13
Perjanjian yang diadakan dengan kata sepakat yang cacat itu dianggap
tidak mempunyai nilai. Lain halnya dalam suatu paksaan yang bersifat relatif,
dimana orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan apakah ia akan mengikuti
kemauan orang yang memaksa atau menolaknya, sehingga kalau tidak ada
perjanjian dari orang yang dipaksa itu maka jelas bahwa perjanjian yang telah
diberikan itu adalah perjanjian yang tidak sempurna, yaitu tidak memenuhi syaratsyarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Paksaan
12
13
seperti
inilah
yang
dimaksudkan
undang-undang
dapat
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung, 1981, hal. 17.
Ibid, hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
26
dipergunakan
sebagai
alasan
untuk
menuntut
batalnya perjanjian, yaitu
suatu paksaan yang membuat perjanjian atau perizinan diberikan, tetapi secara
tidak benar.
Mengenai kekeliruan atau kesilapan undang-undang tidak memberikan
penjelasan ataupun pengertian lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan
kekeliruan tersebut. Untuk itu penulis harus melihat pendapat doktrin yang mana
telah memberikan pengertian terhadap kekeliruan itu, terhadap sifat-sifat pokok
yang terpenting dari obyek perjanjian itu. Dengan perkataan lain bahwa
kekeliruan itu terhadap unsur pokok dari barang–barang yang diperjanjikan yang
apabila diketahui atau seandainya orang itu tidak silap mengenai hal-hal tersebut
perjanjian itu tidak akan diadakan. Jadi sifat pokok dari barang yang diperjanjikan
itu adalah merupakan motif yang mendorong pihak-pihak yang bersangkutan
untuk mengadakan perjanjian.
Sesuatu kekeliruan atau kesilapan untuk dapat dijadikan alasan guna
menuntut pembatalan perjanjian maka haruslah dipenuhi persyaratan bahwa
barang-barang yang menjadi pokok perjanjian itu dibuat, sedangkan sebagai
pembatasan yang kedua dikemukakan oleh doktrin adalah adanya alasan yang
cukup menduga adanya kekeliruan atau dengan kata lain bahwa kesilapan itu
harus diketahui oleh lawan, atau paling sedikit pihak lawan itu sepatutnya harus
mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan seseorang yang silap.
Misalnya si penjual lukisan harus mengetahui bahwa si pembelinya
mengira bahwa lukisan itu adalah buah tangan asli dari Basuki Abdullah dan
ia memberikan pembeli itu dalam kesilapannya. Atau dalam hal penyanyi
yang mengetahui bahwa sang Direktur Operasi itu secara silap telah
Universitas Sumatera Utara
27
mengadakan kontrak dengan penyanyi kesohor yang sama namanya. 14
Kekeliruan
atau kesilapan sebagaimana yang dikemukakan diatas
adalah kekeliruan terhadap orang yang dimaksudkan dalam perjanjian. Jadi orang
itu mengadakan perjanjian justru karena ia mengira bahwa penyanyi tersebut
adalah orang yang dimaksudkannya.
Dalam halnya ada unsur penipuan pada perjanjian yang dibuat, maka pada
salah satu pihak terdapat gambaran yang sebenarnya mengenai sifat-sifat pokok
barang-barang yang diperjanjikan, gambaran dengan sengaja diberikan oleh pihak
lawannya. Dalam hal penipuan inipun dapat pula diajukan sanksi atas dasar
perbuatan melawan hukum atau sebagaimana yang diatur Pasal 1365 KUH
Perdata.
Perihal adanya penipuan itu harus dibuktikan, demikian hal tersebut
ditegaskan dalam Pasal 1328 ayat 1 KUH Perdata. , Yurisprudensi dalam hal
penipuan ini menerangkan bahwa untuk dapat dikatakan adanya suatu penipuan
atau tipu muslihat tidak cukup kalau seseorang itu hanya melakukan kebohongan
mengenai suatu hal saja, paling sedikit harus ada sesuatu rangkaian kebohongan.
Karena muslihat itu, pihak yang tertipu terjerumus pada gambaran yang keliru
dan membawa kerugian kepadanya. Syarat kedua untuk sahnya suatu perjanjian
adalah, kecakapan para pihak. Untuk hal ini penulis kemukakan Pasal 1329 KUH
Perdata, dimana kecakapan itu dapat kita bedakan:
1. Secara umum dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian secara
sah.
14
Ibid, hal. 24.
Universitas Sumatera Utara
28
2. Secara khusus dinyatakan bahwa seseorang dinyatakan tidak cakap untuk
mengadakan perjanjian tertentu, misalnya Pasal 1601 KUH Perdata yang
menyatakan batalnya suatu perjanjian perburuhan apabila diadakan antara
suami isteri.
Perihal ketidak cakapan pada umumnya itu disebutkan bahwa orang-orang
yang tidak cakap sebagaimana yang diuraikan oleh Pasal 1330 KUH Perdata ada
tiga, yaitu :
1. Anak-anak atau orang yang belum dewasa
2. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampunan
3. Wanita yang bersuami
Ketidak cakapan ini juga ditentukan oleh undang-undang demi
kepentingan curatele atau orang yang ditaruh di bawah pengampuan itu sendiri.
Menurut Pasal 1330 KUH Perdata diatas wanita bersuami pada umumnya adalah
tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, kecuali kalau ditentukan lain oleh
undang-undang. Ia bertindak dalam lalu lintas hukum harus dibantu atau
mendapat izin dari suaminya.
Hal ini mengingat bahwa kekuasaan sebagai kepala rumah tangga adalah
besar sekali. Sesuai kemajuan zaman, dimana kaum wanita telah berjuang
membela haknya yang kita kenal dengan emansipasi, kiranya sudah tepatlah
kebijaksanaan Mahkamah Agung yang dengan surat edarannya No. 3 Tahun 1963
Tanggal 4 Agustus 1963 telah menganggap Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata
tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk
menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya sudah
Universitas Sumatera Utara
29
tidak berlaku lagi.
Dalam halnya perjanjian-perjanjian yang dibuat mereka yang tergolong
tidak cakap ini, pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan oleh mereka yang
dianggap tidak cakap itu sendiri, sebab undang-undang beranggapan bahwa
perjanjian ini dibatalkan secara sepihak, yaitu oleh pihak yang tidak cakap itu
sendiri, akan tetapi apabila pihak yang tidak cakap itu mengadakan bahwa
perjanjian itu berlaku penuh baginya, akan konsekwensinya adalah segala akibat
dari perjanjian yang dilakukan oleh mereka yang tidak cakap dalam arti tidak
berhak atau tidak berkuasa adalah bahwa pembatalannya hanya dapat dimintakan
oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.
Pembatalan terhadap orang-orang tertentu dalam hal kecakapan membuat
suatu perjanjian sebagaimana dikemukakan Pasal 1330 KUH Perdata tersebut,
kiranya dapat kita mengingat bahwa sifat dari peraturan hukum sendiri pada
hakekatnya selalu mengejar dua tujuan yaitu rasa keadilan di satu pihak dan
ketertiban hukum dalam masyarakat di pihak lain. Maka demikianlah bilamana
dari sudut tujuan hukum yang pertama ialah mengejar rasa keadilan memang
wajarlah apabila orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya terikat oleh
perjanjian itu harus pula mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyapi akan
tanggung-jawab yang harus dipikulkan dan tujuan yang satu inilah akan sulit
diharapkan apabila orang-orang yang merupakan pihak dalam suatu perjanjian itu
adalah orang-orang di bawah umur atau orang sakit ingatan atau pikiran yang
pada umumnya dapat dikatakan sebagai belum atau tidak dapat menginsyapi apa
sesungguhnya tanggung-jawab itu.
Universitas Sumatera Utara
30
Pembatasan termaksud di atas itu kiranya sesuai apabila dipandang dari
sudut tujuan hukum dalam masyarakat, yaitu mengejar ketertiban hukum dalam
masyarakat, dimana seseorang yang membuat perjanjian itu pada dasarnya berarti
juga mempertaruhkan harta kekayaannya. Maka adalah logis apabila orang-orang
yang dapat berbuat itu adalah harus orang-orang yang sungguh-sungguh berhak
berbuat bebas terhadap harta kekayaannya itu. Dimana kenyataan yang demikian
itu tidaklah terdapat dalam arti orang–orang yang sungguh tidak ditaruh di bawah
pengampuan atau orang-orang yang tidak sehat pikirannya, karena sebab-sebab
lainnya ataupun pada diri orang-orang yang masih di bawah umur.
Selanjutnya syarat yang ketiga untuk sahnya satu perikatan adalah adanya
hal tertentu yang diperjanjikan maka ini berarti bahwa apa yang diperjanjikan
harus cukup jelas dalam arti barang atau benda yang dimaksudkan dalam
perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya (Pasal 1333 ayat (1) KUH
Perdata) dengan pengertian bahwa jumlahnya barang tidak menjadi syarat, asal
saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.
Syarat yang ketiga ini menjadi penting, terutama dalam hal terjadi
perselisihan di antara kedua belah pihak, guna dapat menetapkan apa-apa saja
yang menjadi hak dan kewajiban dari pada pihak-pihak dalam perjanjian yang
mereka buat itu.
“Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan ,
maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat tidak dipenuhi syarat ini,
perjanjian itu batal demi hukum (voidneiting)”. 15
15
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal. 94.
Universitas Sumatera Utara
31
Akhirnya selalu syarat untuk sahnya suatu perjanjian itu, Pasal 1320 KUH
Perdata menyebutkan sebagai syarat ke-empat ialah adanya suatu sebab yang
halal. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian itu sendiri.
Atau seperti dikemukakan R. Wirjono Prodjodikoro, yaitu :
“Azas-azas hukum perjanjian, bahwa dengan pengertian causa adalah bukan hal
yang mengakibatkan hal sesuatu keadaan belaka. Selanjutnya beliau mengatakan
dalam pandangan saya, causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu
persetujuan, yang menyebabkan adanya perjanjian itu”. 16
Selaku suatu causa dalam perjanjian, haruslah berupa causa yang halal,
dalam arti bahwa isi perjanjian itu harus bukan sesuatu hal yang terlarang.
“Sebagai sontoh dari suatu perjanjian yang mengandung causa yang
terlarang, adalah si penjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau si pembeli
membunuh orang”. 17
Sehubungan dengan perbedaan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian
telah penulis kemukakan terlebih dahulu, yaitu syarat obyektif dan syarat
subyektif, maka apabila syarat obyektif tersebut tidak dipenuhi, perjanjian itu
dapat dikatakan batal demi hukum. Sedangkan dalam hal syarat subyektif yang
tidak dipenuhi, maka terhadap perjanjian yang demikian itu salah satu pihak
mempunyai hak untuk menuntut perjanjian yang telah dibuat menjadi batal.
Dengan perkataan lain, bahwa bila syarat subyektif tidak dipenuhi maka
dapat dituntut pembatalannya, sedangkan bila syarat subyektif yang tidak
dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum.
16
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Penerbit Sumur, Bandung, 1984,
17
R. Subekti, Op.Cit, hal. 20.
hal. 36.
Universitas Sumatera Utara
32
D. Perjanjian Kredit
Menurut Mariam Darus dalam bukunya yang berjudul “Perjanjian Kredit
Bank” menyatakan bahwa : “Kata kredit berasal dari bahasa Romawi yaitu
credere yang artinya kepercayaan, yang dalam bahasa Belanda disebut vertrowen,
dalam bahasa Prancis disebut believe trust of confidence”.
Dari pengertian ini dapatlah dikatakan bahwa dasar dari kredit adalah
kepercayaan. Thomas Suyanto, dkk dalam bukunya Dasar-Dasar Perkreditan
menyatakan :
“Seseorang atau suatu badan yang memberikan kredit (kreditur) percaya
bahwa penerima kredit (debitur) pada masa yang akan datang akan
sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah dijanjikan”.
Disini kepercayaan merupakan tiang transaksi bahwa Bank percaya
masyarakat (peminjam) melaksanakan kewajibannya dan begitu juga sebaliknya
masyarakat harus memberikan kepercayaan penuh pada Bank bahwa uang yang
disimpan di Bank sewaktu-waktu dapat diambil kembali bila sudah jatuh
waktunya. Dari uraian ini nampak jelas bahwa tanpa adanya kepercayaan tidak
mungkin terjadi pinjam meminjam antara kreditur dengan debitur.
Namun disamping adanya kepercayaan juga mutlak adanya jaminan dalam
perjanjian kredit, sebab jaminan ini mempunyai peranan penting yaitu, apabila
penerima kredit tidak melunasi hutangnya, Bank dapat menjual barang jaminan
untuk melunasi hutangnya di debitur.
Mengenai istilah kredit ini, Mariam darus Lebih cenderung untuk
menamakannya dengan perjanjian kredit Bank. Bank diletakkan di sini adalah
Universitas Sumatera Utara
33
untuk membedakannya dengan perjanjian pinjam uang, dimana yang memberikan
pinjaman uang bukan Bank.
Untuk dapat membahas pengertian perjanjian kredit ini ada baiknya
penulis lebih dahulu menjelasakan apa yang dimaksud dengan Bank, mengingat
bahwa salah satu tugas dari Bank ialah memberikan kredit dari dana-dana yang
diperolehnya. Menurut Pasal 1 UU Perbankan No. 7 Tahun 1992 yang dimaksud
dengan Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk
simpanan,
dan
menyalurkan
kepada
masyarakat
dalam
rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Sedangkan pengertian kredit menurut Undang-Undang Perbankan No. 7
Tahun 1992 adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara
Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau
pembagian hasil keuntungan.
Di dalam pengertian kredit tersebut diatas, kita jumpain kata persetujuan
atau kesepakatan, ini berarti dua pihak berjanji untuk melakukan sesuatu yaitu
pinjam meminjam uang. Suatu perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban bagi
pihak-pihak yang membuatnya dan jika salah satu pihak cidera janji, maka
berhaklah pihak lainnya untuk menuntut pemenuhan akan janji yang diperbuatnya
dengan pihak lawannya sehingga apa yang diperjanjian itu akan dipenuhi pihak
yang belakangan ini. Agar tidak timbul kesulitan di belakang hari maka perjanjian
itu berbentuk perjanjian tertulis.
Universitas Sumatera Utara
34
Setiap Bank telah menyediakan blanko atau formulir model perjanjian
kredit yang isinya disiapkan terlebih dahulu, hal ini untuk menjaga keseragaman
praktek perbankan yang disesuaikan dengan kebutuhan kredit bagi setiap
pemohon yang akan mendapatkan kredit dari Bank, baik Bank pemerintah
maupun Bank swasta.
Formulir disediakan bagi pemohon, tentang isinya tidak diperbincangkan
dengan pemohon, hanya yang dimintakan pendapatnya apakah dapat menerima
syarat-syarat yang ditentukan dalam formulir atau tidak. Hal-hal yang kosong
dalam blanko adalah hal yang tidak mungkin diisi sebelumnya.
Dengan demikian perjanjian kredit adalah perjanjian standard, karena
dalam praktek, setiap Bank telah menyediakan formulir dengan berbagai syarat
yang harus dipenuhi dan dituruti oleh pemohon kredit tanpa diperbincang lebih
dahulu dengan mereka.
Hal ini menunjukkan bahwa perjanjian kredit sepanjang mengenai bunyi
perjanjian standard itu tidak pernah dipersoalkan oleh penerima kredit, pada
umumnya mereka menerima saja syarat-syarat yang ditentukan oleh Bank
tersebut. Memang adalah pekerjaan yang sulit kiranya bagi Bank apabila setiap
saat membuat perjanjian.
Jadi menurut pendapat penulis dibuatnya perjanjian standard adalah alasan
praktis karena pada umumnya nasabah Bank bukan satu dua, tetapi sangatlah
banyak terutama Bank-bank yang sudah berkembang pesat. Di samping itu alasan
lain berhubung karena besarnya risiko yang akan dihadapi oleh Bank dalam
memberikan kredit kepada nasabahnya dari pada risiko yang akan ditanggung
Universitas Sumatera Utara
35
oleh penerima kredit. Dan itulah sebabnya Undang-Undang Perbankan kita tidak
menentukan bentuk perjanjian kredit itu.
Tetapi hendaknya perjanjian kredit itu sekalipun dibuat dalam bentuk
standard, disesuaikan dengan fungsi sosialnya agar tidak terlalu memberatkan
debitur secara sepihak sehingga benar-benar dapat membantu perekonomian
masyarakat.
Dari uraian tersebut diatas dapatlah kita simpulkan bahwa perkataan kredit
dan perkataan Bank adalah hal yang tidak dapat dipisahkan apabila kita tinjau
lebih dalam mengenai pemberian pinjaman uang antara nasabah dengan sebuah
Bank dengan suatu keterikatan yaitu perjanjian kredit.
Jadi dengan jelas terlihat di sini bahwa objek perjanjian kredit adalah uang.
Dan jika kita menghubungkan perjanjian ini dengan yang disebut dalam KUH
Perdata, maka menurut Mariam Darus bahwa :
“Perjanjian kredit adalah perjanjian berbuat sesuatu...dimana masingmasing pihak berhak menuntut pemenuhan dan pemutusan perjanjian
dengan ganti rugi”.
Mengenai pengertian perjanjian kredit itu, maka perlulah dicari secara
penafsiran perhubungan hukum tersebut dengan perjanjian-perjanjian khusus yang
terdapat dapat KUH Perdata.
Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa perjanjian kredit berdasarkan
persetujuan atau perjanjian pinjaman uang, maka perjanjian kredit adalah
mendekati pengertian perjanjian pinjam mengganti yang diatur dalam Buku III
KUH Perdata Bab XIII. Baik menurut Undang-Undang Perbankan dan KUH
Universitas Sumatera Utara
36
Perdata ada diatur unsur yang sama yaitu kewajiban untuk mengembalikan
pinjaman. Namun demikian bukanlah berarti perjanjian kredit yang diatur dalam
Undang-Undang Perbankan dikuasai oleh Bab XIII Buku III KUH Perdata, karena
kewajiban untuk mengembalikan pinjaman didalam Undang-Undang Perbankan
berpedoman kepada akad perjanjian kredit yang telah diikat antara pihak Bank
dengan si peminjam kredit.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa baik perjanjian pinjam
mengganti yang diatur KUH Perdata maupun perjanjian kredit yang diatur oleh
Undang-Undang Perbankan tetap mempunyai corak tersendiri dan dapat
dibedakan karena :
1. Perjanjian
kredit
yang
diatur
dalam
Undang-Undang
Perbankan
merupakan perjanjian pinjam meminjam uang, sedangkan perjanjian
pinjam meminjam dalam KUH Perdata termasuk barang;
2. Perjanjian kredit diatur dalam Undang-Undang Perbankan, terjadi
dikalangan Bank, sedangkan pinjam meminjam dalam KUH Perdata
terjadi di masyarakat umum;
3. Perjanjian kredit diadakan untuk jangka waktu tertentu, sedangkan
perjanjian pinjam meminjam dalam KUH Perdata ditentukan berdasarkan
jangka waktu tertentu;
4. Dalam perjanjian kredit penerima kredit tidak bebas untuk menentukan
sendiri tujuan penggunaan kredit, sedangkan dalam KUH Perdata
peminjam berhak menentukan pinjamannya dengan bebas;
Universitas Sumatera Utara
37
5. Dalam perjanjian kredit ada bunga yang telah ditentukan, sedangkan
dalam
KUH
Perdata
boleh
atau
diperbolehkan
memperjanjikan
pembayaran bunga dalam arti bukan suatu keharusan.
Dari uraian di atas kelihatan bahwa kedua perjanjian tersebut sama-sama
mengenai perjanjian pinjam meminjam uang tetapi peraturan-peraturan (undangundang) yang mengaturnya adalah berbeda, yakni bahwa pinjam meminjam uang
diatur dalam KUH Perdata sedangkan perjanjian kredit diatur dalam UndangUndang Perbankan. Tetapi oleh karena perjanjian kredit tidak diatur secara
lengkap dalam Undang-Undang Perbankan maka apabila timbul sengketa, kita
harus berpedoman pada akad perjanjian kredit yang telah diikat antara pihak Bank
dengan si peminjam kredit.
Universitas Sumatera Utara
Download