BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Orang Katobengke

advertisement
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Orang Katobengke adalah salah satu subetnik Buton yang berada di
wilayah Kota Baubau Sulawesi Tenggara. Menurut tradisi lisan1 yang
berkembang di kalangan elite tradisional, mereka adalah migran dari Pulau
Muna2, yang dibawa oleh Sultan Buton pertama, Lakilaponto pada akhir abad ke17. Mereka dikenal memiliki keterampilan membuat gerabah (bhosu). Mata
pencaharian utama mereka bemula dari petani peladang berpindah hingga
kemudian oleh elite kesultanan diberikan kepercayaan untuk membuka lahan
perkebunan sebagai peladang menetap di Lipu Morikana sekitar dua kilometer
dari luar tembok benteng Keraton Buton.
Wilayah kekuasaan Kesultanan Buton masa itu dapat dibagi atas “pusat
pemerintahan
kesultanan”
dan
“daerah
kekuasaan
kesultanan”.
Pusat
pemerintahan adalah Wolio atau lazim disebut Keraton Wolio, sebagai unifikasi
1
2
Tradisi lisan diartikan sebagai “segala wacana yang diungkapkan meliputi yang lisan dan yang beraksara
atau dikatakan juga sebagai “sistem wacana yang bukan aksara (Pudentia, 1998:viii). Di Indonesia lahirnya
kajian tradisi lisan digagas oleh Dirjen Dikti tahun 2009 bekerja sama dengan dengan Asosiasi Tradsi Lisan
Lisan (ATL), antara lain dilandasi persepsi negatif, takhyul oleh berbagai kalangan tentang
ketidakberadaban yang dilamatkan kepada masyarakat tradisional yang berada di antara 550 etnis dan 750
bahasa yang ada di Nusantara. Sumber utama kajian tradisi lisan adalah penutur, pembawa, narasumber
pemilik tradisi, seperti pementasam, pertunjukan, atau peragaan (Buku Pedoman Kajian Tradisi Lisan,
2009)
Orang Muna yang mendiami Pulau Muna, salah satu dari empat etnik besar di Sulawesi Tenggara. Etnik
lainnya, seperti etnik Wolio Buton, etnik Tolaki, dan etnik Mekongga mendiami pulau dan daratan di
Sulawesi Tenggara. Orang Muna menggunakan bahasa Muna dikenal dengan kelompok bahasa Pancana
sebagaimana bahasa yang digunakan orang Katobengke, Kecamatan Mawasangka, Gu, Lombe wilayah
Kabupaten Buton. Muna sebelumnya adalah bagian dari wilayah Kabupaten Buton yang sejak tahun 1959
berdiri sendiri menjadi Kabupaten Muna. Menurut catatan Naskah Kesultanan Buton, Muna salah satu
pertahanan Kesultanan Buton yang disebut barata.
2
sembilan perkampungan yang didirikan pada masa awal terbentuknya kerajaan.
Wilayah ini merupakan tempat tinggal golongan penguasa atau bangsawan, raja,
dan pejabat pemerintahan kesultanan, sedangkan daerah kekuasaan, ada yang
secara langsung berada di bawah kekuasaan pemerintah pusat dan ada yang tidak.
Yang pertama disebut kadie (wilayah kampung) dengan 72 kadie dan kedua
disebut barata (pertahanan) yang berstatus daerah otonom atau semacam negara
bagian yang mengatur pemerintahannya sendiri yang terdiri atas empat barata,
yaitu Barata Muna, Barata Tiworo, Barata Kulisusu, dan Barata Kaledupa
(Maulana dkk, 2011: 69-70).
Rudyansyah (1997: 44--53) dalam bukunya berjudul Kekuasaan, Sejarah
dan Tindakan menyakatan bahwa klasifikasi kelas penguasa dan kelas yang
dikuasai dalam Kesultanan Buton menjadikan struktur masyarakat Buton dalam
tiga lapisan3 masyarakat, yakni (1) kaomu (bangsawan), dan (2) walaka
(menengah), dan (3) papara (rakyat desa) yang menempati 70 wilayah desa
(kadie) dan dua kadie berada dalam benteng Keraton Buton yang ditempati
golongan penguasa atau elite tradisional, yaitu golongan kaomu dan walaka.
Kaomu dan walaka adalah golongan penguasa dan sebagai pendiri kerajaan,
sedangkan kelompok papara sebagai golongan yang dikuasai adalah penduduk
desa (kadie). Beberapa papara adalah pribumi daerah itu dan sebagian orang
didatangkan sebagai budak untuk menambah jumlah penduduk desa. Ligtvoet
(1878) dalam bukunya berjudul Beschrijving en Geshiedenis van Boeton yang
3
Susanto Zuhdi (2010:76) mengklasifikasikan bahwa kaomu dan walaka adalah peletak dasar kerajaan
Buton sedangkan lapisan papara adalah orang jauh yang tidak diketahui asal usulnya. Selanjutnya ia
memerinci lapisan keempat adalah batua atau budak yang berasal dari papara karena tidak membayar
pajak. Kantinale adalah budak yang dimerdekakan dan paraka adalah budak yang dirampas dari tangan
musuh.
3
dikutip oleh Schoorl (2003: 3) menyatakan bahwa perdagangan budak4 sangat
penting bagi Buton pada abad ke-17 dan ke-18. Sistem “perbudakan”5 pada
zaman kesultanan pada abad tersebut, merupakan implikasi dari kewajiban Buton
atas tekanan Belanda untuk membayar upeti kepada Ternate.
Di samping itu,
juga sebagai konsekuensi kontrak perjanjian antara Sultan Buton Muhammad
Asyikin dan Brugman tahun 1906. Kemudian pascakontrak politik 1906 itulah
kekuasaan di Buton mengalami perubahan, yaitu Belanda melanggar perjanjian
atas kesultanan Buton. Jika selama ini hubungan sebagai sahabat sederajat,
kemudian berubah menjadi tuan dan hamba. Sultan Buton dan semua menterinya
dipaksa berjanji harus patuh pada Raja Belanda.
Tatanan pemerintahan
tradisional kesultanan dan beberapa jabatan dihapuskan oleh pemerintah kolonial.
Akibatnya, rakyatlah menjadi tumbal, dan tekanan kewajiban membayar pajak.
Peristiwa pada 20 November 1912, merupakan awal mulainya perlawanan
rakyat atas kebijakan Belanda tersebut. Para kepala distrik sebagai pemungut
pajak sebagai akibat tekanan Belanda menjadi sasaran protes rakyat atas kebijakan
tersebut.
Perlawanan La Ode Boha atas kebijakan perpajakan Belanda,
menimbulkan korban antara lain terbunuhnya Kepala Distrik Tiworo La Raa Eta
oleh rakyatnya yang dianggap terlalu tinggi menetapkan pajak. Selain itu, La Ode
Sambira seorang Kepala Distrik (sekarang camat) Pasar Wajo yang dianggap
sangat otoriter dalam menerapkan sistem membayar pajak juga menjadi korban.
4
5
Sistem budak Brazil sangat paternalistik, budak–budak pertama dipasok ke Brazil dari Afrika sekitar
pertengahan abad ke-16. Pekerjaan mereka di samping di perkebunan juga sebagai budak rumah tangga
(Sanderson, 2011: 362)
Blandier (1986: 67) menyatakan bahwa dalam masyarakat segmenter yang memiliki sistem perbudakan
domestik itu, status para budaknya didefinisikan terutama dalam pengertian pengucilannya, dari sebuah
garis keturunan dan setiap ambil bagian dalam kontrol atas kehidupan masyarakat secara terang
memperlihatkan berfungsinya metode keturunan itu.
4
Rakyat Laporo melakukan perlawanan, yang dipimpin oleh Maatalagi seorang
tokoh Laporo yang kemudian diketahui secara geneologis keturunan bangsawan
Keraton Buton. Maatalagi dan kelompoknya melakukan penyergapan terhadap
kepala Distrik dan berhasil menangkap kepala distrik tersebut, kemudian
dieksekusi tragis, yaitu dipenggal kepalanya (Zahari 1977: 99; Fahimudin, 2011:
34). Penghujung pemerintahan Kesultanan Buton memasuki era kemerdekaaan,
era orde lama dan pemerintahan orde baru menandai mulainya pergulatan antara
golongan elite tradisional, bangsawan (kaomu), dan golongan walaka (menengah)
memperebutkan kekuasaan pemerintahan di Kota Baubau hingga diskriminasi
elite-elite terhadap rakyat (papara).
Orang Katobengke dalam struktur Kesultanan Buton tergolong kelas
papara (rakyat). Sebagian kalangan elite tradisional mengidentifikasikan mereka
sebagai budak dengan ciri khas pakaian yang ditampal-tampal (kabhaleko) dan
kotor. Dalam tradisi lisan berkembang pula di kalangan elite bahwa stigma yang
dialamatkan atas diri mereka berkaitan dengan perlawanan yang dilakukan
terhadap kebijakan sultan, yang konon ditunggangi orang Muna.
Sebagai
konsekuensinya, mereka dijatuhi hukuman sebagai budak oleh aparat kesultanan.
Stigma tersebut terus terwariskan ke alam pikiran elite tradisional dari generasi ke
generasi. Di tengah perlakuan tidak adil atas kelompok papara selama tiga abad
terhegemoni pemerintahan kesultanan, terlebih lagi orang Katobengke sebagai
sasaran utamanya karena wilayah permukiman mereka berlokasi sekitar dua
kilometer di luar pagar benteng keraton. Tugas wanita Katobengke, di samping
keistimewaan mereka sebagai pembuat gerabah (bhosu) juga bertugas sebagai
5
pengasuh bayi bangsawan dan bagi laki-lakinya memiliki kekuatan fisik sebagai
tenaga buruh tani. Sesemua itu untuk kebutuhan elite kesultanan, tetapi kemudian
keisitimewaan itu, justru menjadi sasaran kekerasan pemerintah kolonial Belanda.
Mereka memperlakukan orang Katobengke sebagai buruh tani yang sadis. Selain
itu, para wanita sering dijadikan sebagai the second sex yang keberadaannya tidak
diperhitungkan. Tampaknya pada era orde baru birokrasi pemerintahan di Kota
Baubau masih mewarisi birokrasi kolonial Belanda. Artinya, memperlakukan
rakyat secara semena-mena, khususnya stigmatisasi terhadap orang Katobengke.
Senada dengan tulisan Setiono (2002: 115) dalam buku yang berjudul
Jaring Birokrasi bahwa budaya birokrasi Indonesia masih tetap seperti birokrat
300 tahun lalu, yaitu mulai zaman Kerajaan Majapahit, Mataram, VOC, dan
Hindia Belanda yang menganggap bahwa bawahan dan rakyat adalah inlander
dan kawulo yang harus dieksploitasi. Rakyat tetap saja pada posisi tertindas
sebagaimana ditindas (dieksploitasi) oleh para punggawa kerajaan kuno.
Ketertindasan tersebut sebagaimna tulisan Yekti Maunati (2006) dalam bukunya
Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan.
Di dalam buku itu
dibahas konstruksi pemerintahan orde baru terhadap identitas6 orang Dayak
tentang pencitraan mereka yang dilabelkannya sebagai etnik primitif. Demikian
6
Gidden (1991:219--220), identitas diri tercipta dari kemampuan untuk mempertahankan
narasi perihal diri dan dogma membangun perasaan yang konsisten perihal kesinambungan
biografis. Identitas sebagai proyek yang merupakan ciptaan kita, sesuatu yang selalu berproses
berdasarkan situasi masa lalu, dan masa kini dan suatu gerak menuju masa depan yang kita
inginkan. Barker mengutip Gidden (1984) menyebutkan bahwa identitas menjadi penting
tidak hanya penggambaran diri, tetapi juga ciri-ciri sosial. Identitas sosial .terkait dengan hakhak, kewajiban-kewajiban, dan sanksi-sanksi normatif yang dalam masyarakat tertentu
menjadi penentuan peran.
6
pula orang Katobengke, yaitu mulai era orde baru, sudah mendapat stigma dan
kekerasan fisik yang menjadi korban dari keganasan rezim ABRI.
Mereka
dituduh terlibat G30 S PKI. Akibatnya hampir seluruh tokoh dan pemuda
Katobengke ditangkap dan dimasukkan ke penjara, tetapi sebagian di antara
mereka terpaksa melarikan diri keluar daerah Buton. Hingga sekarang orang
Katobengke telah banyak beranak cucu di Kalimantan, Ambon, dan Jayapura.
Dengan demikian, stigma atas diri mereka sudah diperlakukan tidak adil sejak era
kesultanan dan kolonialisme Belanda. Kekerasan rezim Zainal Arifin yang sejak
menduduki takhta Bupati Buton pada tahun 1969 mulai menerapkan kebijakan
melarang orang Katobengke mengenakan pakaian adat, yang biasanya dipakai,
baik dalam ritual maupun dalam aktivitas sehari-hari.
Bentuk kekerasan simbolik yang paling menonjol dialamatkan kepada
orang Katobengke sebagai warisan kesultanan adalah penerapan tabu adat elite,
seperti ” orang Katobengke tidak boleh kawin dengan kaomu dan walaka dan
tidak boleh melaksanakan ibadah haji”. Hal itu, sesuai dengan bentuk kekerasan
simbolis menurut Bourdieu (dalam Jenkins, 2010: 157), yaitu pemaksaan sistem
simbolisme dan makna (misalnya kebudayaan) terhadap kelompok atau kelas
sehingga hal itu sebagai sesuatu yang sah. Legitimasinya meneguhkan relasi
kekuasaan yang menyebabkan pemaksaan tersebut berhasil. Sebagaimana bagi
orang Katobengke, hingga tahun 1980-an pendidikan mereka rata-rata hanya
sampai tingkat SLTP. Hal tersebut berkaitan dengan kebijakan elite yang terkesan
membatasi ruang mereka untuk tidak bebas memilih sekolah lanjutan. Strategi
pembatasan itu dilakukan oleh para guru sekolah biasanya dengan cara
7
memberikan anjuran, agar anak-anak Katobengke mendirikan sekolah di
lingkungan mereka sendiri. Hal itu dimaksudkan agar anak-anak Katobengke
tidak bergabung dengan anak-anak non-Katobengke. Beberapa anak Katobengke
yang
memiliki
keinginan
tinggi
untuk
bersekolah
terpaksa
harus
menyembunyikan identitas sebagai orang Katobengke agar dapat bebas
bersekolah di mana saja di Kota Baubau. Strategi tersebut tampaknya efektif
karena beberapa di antara mereka berhasil menamatkan pendidikan hingga
perguruan tinggi.
Inilah sumber motivasi anak-anak Katobengke generasi
sekarang. Motivasi ini pulalah tampaknya memperoleh dukungan dari pemuda
Katobengke lainnya yang sudah berhasil menyelesaikan pendidikan di daerah
perantauan. Pilihan pendidikan yang paling disukai adalah bidang pendidikan
ketentaraan.
Sejak era reformasi ini beberapa di antara mereka mulai mampu
beradaptasi dengan orang-orang non-Katobengke. Namun, secara umum masih
tampak jarak komunikasi sosial budaya dengan elite tradisional yang masih
merasa sebagai kelas penguasa, sedangkan orang Katobengke tetap diposisikan
sebagai kelas dikuasai. Salah satu indikatornya adalah masih bertahannya sistem
taboo (incest) adat “larangan perkawinan antara stratifikasi sosial tradisional”.
Pada era kesultanan pernah terjadi revisi adat untuk memperbolehkan adat
perkawinan antara kaomu dan walaka dengan prasyarat harus mematuhi tata cara
perhitungan besarnya mas kawin (popolo).
Suatu kekecualian bagi orang
Katobengke yang masih tetap berlakunya taboo antara perkawinan kaomu dan
mereka.
Bilamana terjadi perkawinan laki-laki bangsawan dengan mereka,
8
apalagi sebaliknya perempuan bangsawan dengan laki-laki yang disebut budak
adat, maka yang bersangkutan akan “dihukum buang”. Di samping itu, budak
adat tersebut dilarang bercerita tentang hubungan kekerabatan dengan bangsawan
Buton.
Dalam konteks inilah perlunya penggalian orang Katobengke yang dalam
tradisi lisan berkembang adanya stigma atas diri mereka oleh elite kaomu dan
walaka.
Kebijakan elite tradisional dari era kesultanan hingga orde baru,
berkaitan dengan soal perkawinan. Hal itu, terus bertahan di kalangan kaum elite
sampai pada akhirnya mereka melakukan berbagai cara penolakan, baik secara
pasif maupun aktif.
Diskriminasi dalam bentuk stereotipe negatif itu,
sebagaimana ditulis Tasrifin (2010: 1). Bahkan, dicontohkan dalam ungkapan
tradisional, yaitu suatu kekesalan dalam kehidupan sehari-hari yang bersifat
ejekan atau konotasi negatif, seperti pernyataan pakemu yitu pasea miana
Katobengke (perilakumu seperti orang Katobengke); kawarena aemu yitu pasea
miana Katobengke (lebarnya kakimu persis orang Katobengke).
Di pihak lain, sejak era kesultanan elite tradisional sangat membutuhkan
jasa orang Katobengke berkaitan dengan kemampuan mereka merawat dan
mengobati anak bayi bangsawan secara ritul. Sehubungan dengan itu, jadilah
semacam kelaziman bagi golongan elite bahwa memanggil orang Katobengke
dengan panggilan Naa Laode (ibu bangsawan La Ode) bagi ibu-ibu Katobengke
dan Maa Laode (bapak bangsawan La Ode) bagi orang tua laki-laki Katobengke,
sedangkan para gadis terpilih bertugas sebagai belobamba (dayang-dayang) sultan
(Ruslan, 2005: 71).
Istilah panggilan Maa Laode tidak pernah dicantumkan di
9
depan nama mereka. Namun, kini mulai tampak seorang elite Katobengke
mencatumkan gelar tersebut pada layar baliho “Maa Laode Zaami” dalam
rangka pemilihan legislatif dan calon Walikota Bau-Bau 2014. Hal itu merupakan
suatu keberanian yang tidak pernah dilakukan selama ini. Elite tradisional menilai
bahwa orang Katobengke dikenal sebagai penurut hingga awal tahun 80-an. Akan
tetapi, kemudian berbalik melakukan perlawanan, baik laten maupun manifes atau
kekerasan fisik.
Perlawanan pasif hingga fisik mulai tampak menonjol dalam satu
dasawarsa ini. Mereka mulai memberikan penilaian terhadap sikap dan perangai
elite tradisional, khususnya yang bermukim dalam lingkaran keraton dan
sekitarnya dengan menyatakan “La Ode yang tidak sopan di depan kami dan bisa
kami jatuhkan sumpah, niscaya mereka tidak akan selamat”. Lebih lanjut adanya
indikasi kelompok generasi muda atau elite Katobengke modern melakukan
perlawanan, baik atas identitas mereka sendiri seperti elite agama7 maupun
golongan terpelajar menyembunyikan identitasnya, khususnya ketika mereka
berada di luar daerah Buton yang lebih senang menyebut diri “orang Lipu” dan
atau “orang Betoambari”. Mereka tidak pernah mengaku sebagai orang
Katobengke. Indikator perlawanan fisik orang Katobengke secara terorganisasi
mulai tampak ke permukaan ketika terjadi peristiwa berdarah pada tahun 2000
antara orang Katobengke dan eksodus Ambon. Peristiwa itu merenggut korban
7
Penelitian Japri Basri (dalam Abdullah, 1988: 140) di Aceh Tengah dan Aceh Tenggara menganalisis elite
agama antara dua aliran Islam yang berlawanan paham, yaitu “paham golongan tua” yang cenderung
mempertahankan tradisi lama dan “paham baru” yang melaksanakan ajaran Islam murni, yang pada
umumnya meninggalkan tradisi dan kepercayaan yang tidak bersumber pada ajaran Islam.
10
kedua belah pihak, antara lain terbunuhnya dua orang polisi yang bermaksud
mengamankan peristiwa tersebut dan kemudian pelakunya diketahui orang
Katobengke sendiri.
Orang–orang non-Katobengke di sekitar Kota Baubau
keheranan menyaksikan perilaku orang Katobengke yang dulunya dikenal sebagai
penurut, bodoh, dan penakut, kemudian berbalik menjadi pemberani, menakutkan,
dan para tokohnya menunjukkan kesaktian di depan lawan-lawannya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, diketahui bahwa orang Katobengke
memiliki kesadaran diri dan merasakan sudah terlampau lama diperlakukan tidak
adil, yaitu sejak era kesultanan hingga orde baru. Fokus kajian, penelitian ini
adalah “mengapa orang Katobengke mendapat stigma dari elite tradisional,
sementara pada sisi lain elite tradisional mengagungkan peran mereka sebagai
pengasuh anak-anak bangsawan (maa laaode dan Naa Laode)”. Kemudian sejak
reformasi berjalan, orang Katobengke menunjukkan indikasi melakukan
perlawanan terhadap sistem pengetahuan elite tradisional maupun perlawanan
secara terbuka di Kota Baubau.
Dengan demikian, masalah penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut.
1.
Bentuk-bentuk perlawanan apa sajakah yang dilakukan oleh orang
Katobengke terhadap hegemoni elite tradisional di Kota Baubau?
2.
Mengapa orang Katobengke melakukan perlawanan terhadap elite
tradisional di Kota Baubau?
11
3.
Bagaimana implikasi perlawanan orang Katobengke, baik bagi kelompok
sendiri maupun terhadap kelompok elite?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan memahami dan menjelaskan praktek
hegemoni elite tradisional dan perlawanan orang Katobengke terhadap hegemoni
elite tradisional berdasarkan pengalaman sejarah serta implikasinya baik dari
kelompok sendiri maupun terhadap elite tradisional Buton di Kota Baubau.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara spesifik tujuan khusus penelitian ini sebagai berikut.
1. Mengetahui bentuk-bentuk perlawanan orang Katobengke dan praktik
sistem stratifikasi sosial tradisional di Kota Baubau
2. Mengkaji
dan
memahami
lebih
mendalam
faktor-faktor
yang
melatarbelakangi perlawanan orang Katobengke di Kota Baubau
3. Memahami implikasi perlawanan orang Katobengke, baik bagi kelompok
sendiri maupun terhadap kelompok elite tradisional.
1.4 Manfaat Penelitian
1. 4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis manfaat penelitian ini dapat digunakan, baik sebagai bahan
referensi maupun penemuan model, konsep, dan metode baru sebagai berikut.
12
1. Sebagai bahan referensi studi lebih lanjut bagi peneliti yang tertarik untuk
lebih mendalami masalah perlawanan dan kekuasaan, khususnya bidang
kajian perlawanan rakyat terhadap hegemoni elite
2. Agar dapat ditemukan model, konsep, dan metode baru dalam rangka
pengembangan studi kajian budaya dan tradisi lisan.
1.4.2 Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktisnya adalah sebagai masukan terhadap pemerintah
agar dijadikan referensi dalam memberdayakan masyarakat termarginalkan yang
diklasifikasikan sebagai berikut.
1. Memberikan masukan bagi para pengambil kebijakan, terutama pemerintah
dalam upaya memediasi kepentingan kelompok dan subetnik.
2. Menjadi bahan masukan bagi pemerintah dalam menciptakan keteraturan
sosial dan pelestarian identitas budaya orang Katobengke dengan
memanfaatkan potensi kearifan lokalnya. `
Download