1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan dapat dikatakan sebagai salah satu kebutuhan manusia yang harus diperoleh sejak dini. meningkatkan dirinya Dengan memperoleh pendidikan, manusia dapat menjadi individu yang berkualitas dan dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah agar dapat menjadi individu yang berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal I (2003: 2) dinyatakan bahwa; Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Terciptanya suatu pendidikan yang berkualitas dapat diwujudkan melalui sekolah dan guru yang berkualitas. Oleh sebab itu, upaya peningkatan kualitas sekolah dan guru merupakan titik sentral upaya menciptakan pendidikan yang berkualitas demi terciptanya tenaga kerja yang berkualitas pula. Dengan kata lain upaya peningkatan kualitas sekolah adalah merupakan tindakan yang tidak pernah terhenti, kapanpun, dimanapun dan dalam kondisi apapun. Pendidikan di Indonesia, saat ini didominasi oleh kelas yang berfokus pada metode ceramah. Metode yang tanpa disadari menjadi pilihan terlaris dalam strategi belajar oleh guru. Guru hanya memberikan informasi dan siswa menjadi penerima. Oleh karena itu, banyak pengetahuan siswa yang seharusnya digali potensinya sering terabaikan. Hal tersebut juga berpengaruh terhadap proses pembelajaran yang menurut siswa dirasa membosankan, karena siswa merasa kurang terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Menurut Dunn dan Dunn (Huda, 2013:7) Agar pengajaran menjadi lebih efeketif dan afektif, pembelajar seharusnya dipahami lebih dari sekedar penerima pasif pengetahuan, melainkan 1 2 seseorang yang secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran yang diarahkan oleh guru menuju lingkungan kelas yang nyaman. Matematika dapat dikatakan sebagai bidang studi yang berguna dalam menyelesaikan berbagai masalah di kehidupan sehari-hari. Susanto (2015: 195) menyatakan “bidang studi matematika merupakan bidang studi yang berguna dan membantu dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan hitung-menghitung atau yang berkaitan dengan urusan angka-angka berbagai macam masalah, yang memerlukan suatu keterampilan untuk memecahkannya.” Dengan demikian, pelatihan dan kebiasaan berpikir untuk menyelesaikan masalah harus selalu dilaksanakan kepada siswa. Bahan kajian dalam matematika merupakan objek abstrak yang mana kebenaran suatu konsep diperoleh dari akibat logis siswa, dimana siswa sekolah dasar merasa sulit untuk memahami masalah-masalah yang ada, berikut dengan bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah yang ditemui dalam kehidupan sehari-sehari. Standar Kompetensi (2004: 5) menyatakan bahwa matematika merupakan suatu bahan kajian yang memiliki objek abstrak dan dibangun melalui proses penalaran deduktif. Sedangkan, bagi siswa kelas 5 sekolah dasar (umur 9-11 tahun) belum mampu berpikir formal maka dalam pembelajaran, sehingga untuk memahami bahan kajian dari matematika yang bersifat abstrak mengalami kesulitan. Sebagaimana yang diklasifikasikan oleh Piaget (Susanto, 2015: 184) menyatakan bahwa anak umur 9-11 tahun masuk dalam tahap operasional konkret. Berdasarkan perkembangan kognitif ini, maka anak usia sekolah dasar pada umumnya mengalami kesulitan dalam memahami matematika yang bersifat abstrak. Dalam proses pembelajaran guru perlu merancang model pembelajaran yang inovatif dan sesuai dengan karakteristik siswa. Salah satunya adalah konsep belajar yang membantu siswa dalam menyelesaikan masalah berdasarkan masalah yang kelak ditemui. Berdasarkan nilai Ulangan Tengah Semester (UTS) satu pada mata pelajaran matematika yaitu sebanyak 14 siswa dari 29 siswa atau 48,27% memperoleh nilai di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), sedangkan 15 siswa dari 29 siswa atau 51,72% mendapatkan nilai di atas Kriteria Ketuntasan 3 Minimum (KKM) dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yakni 64. Maka dari itu, guru yang dianggap sebagai tenaga professional dituntut untuk mengaktifkan siswa dan melaksanakan pembelajaran yang menarik, menyenangkan, dan bermakna bagi siswa. Ada beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya hasil belajar matematika siswa kelas V SD Negeri 1 Kedungwinangun, yaitu proses keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajar. Hal ini dapat ditemui saat peneliti melakukan observasi awal pada tanggal 16 November 2015 dalam proses pembelajaran matematika di SD Negeri 1 Kedungwinangun siswa kelas V tentang soal cerita, metode yang digunakan oleh guru merujuk pada dominannya pemakaian metode ceramah, kemudian siswa mencatat dan mengerjakan soal cerita tanpa adanya penjabaran dari masalah yang ada pada soal cerita tersebut, sehingga tidak dapat menemukan konsep materi tersebut baik secara individu ataupun kekompok. Pada saat pembelajaran, tidak ada siswa yang berinisiatif mengacungkan jari untuk bertanya dan sangat jarang ada siswa yang berani mengungkapkan pendapatnya tentang masalah yang ada, padahal dari pihak guru itu sendiri sudah mencoba mencoba memancing siswa untuk mengajukan pertanyaan, sehingga pembelajaran dirasa pasif. Ketika mengerjakan latihan soal yang diberikan guru, hanya ada beberapa siswa mampu mengerjakan soal dengan baik dan dilain sisi ada beberapa siswa yang mengandalkan jawaban teman. Kondisi tersebut menjadi hal yang seharusnya diperhatikan oleh guru. Berdasarkan hasil perolehan nilai siswa pada ulangan tengah semester serta proses pembelajaran yang dirasa kurang mengaktifkan siswa, guru dituntut untuk mengembangkan pembelajaran dengan menggunakan berbagai model yang dapat mengaktifkan siswa dan menghidupkan suasana belajar, sehingga lebih bermakna dimana siswa mampu memahami masalah dan konsep yang dipelajari. Salah satu cara yang dapat dilakukan guru untuk membangkitkan semangat siswa, meningkatkan pemahaman konsep, serta mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa untuk menyelesaikan masalah dalam pembelajaran matematika adalah dengan menggunakan model Problem Based Learning. Menurut Hamdani (2011: 87 ) berpendapat bahwa Problem Based Learning 4 menekankan masalah kehidupan yang bermakna bagi siswa dan peran guru dalam menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan, dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog. Model pembelajaran yang sesuai dengan uraian di atas salah satunya adalah dengan menggunakan model Problem Based Learning atau pembelajaran berbasis masalah dimana guru memberikan contoh masalah yang dialami oleh siswa sehari-hari, sehingga terjadi proses pembelajaran yang bermakna dan perubahan paradigm dimana biasanya dalam pembelajaran hanya terpusat pada guru (teaching centered) berubah menjadi pembelajaran yang terpusat pada siswa (teaching centered). Dalam model pembelajaran Problem Based Learning, tugas guru yaitu mengatur strategi belajar dan membantu menghubungkan pengetahuan yang sudah dimiliki siswa dengan masalah yang hendak diselesaikan. Pada saat proses pembelajaran guru cenderung berperan dalam mengatur strategi dari pada hanya memberikan informasi, karena dalam model Problem Based Learning terdapat berbagai rangkaian aktivitas kegiatan yang dilakukan siswa, tidak hanya mendengarkan ceramah guru, mencatat, kemudian menghafal materi, akan tetapi siswa diarahkan untuk berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data, dan akhirnya menyimpulkan. Hal tersebut bertujuan untuk mengarahkan siswa untuk meningkatkan kemampuannya dalam menyelesaikan masalah, dimana guru menempatkan masalah sebagai kata kunci dari proses pembelajaran. Masalah yang menjadi fokus dalam pembelajaran dipecahkan melalui proses berpikir kritis, sistematis, dan empiris. Siswa diminta untuk menyelesaikan masalah dengan berpikir secara ilmiah yang dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu, selanjutnya proses penyelesaian masalah tersebut didasarkan pada data dan fakta yang jelas. Dengan demikian, diharapkan pengetahuan yang dimiliki itu dapat bertahan lama (long term memory) dan bermanfaat dalam pemecahan persoalan dalam jangka panjang. Penggunaan model Problem Based Learning dianggap tepat dalam peningkatan pembelajaran, karena menurut Amir (2015:27) Problem Based Learning mempunyai keunggulan yaitu (1) menjadi lebih ingat dan meningkat pemahamannya atas materi ajar, (2) meningkatkan fokus pada pengetahuan yang 5 relevan, (3) mendorong untuk berpikir, (4) membangun kerja tim, kepemimpinan, dan keterampilan sosial, (5) membangun kecakapan belajar (life-long learning skill), (6) memotivasi pemelajar. Dengan penerapan model pembelajaran Problem Based Learning yang digunakan peneliti dalam pembelajaran matematika tentang soal cerita pecahan pada siswa kelas V SD Negeri 1 Kedungwinangun diharapkan mampu meningkatkan pembelajaran siswa di SD Negeri 1 Kedungwinangun, yang nantinya mampu meningkatkan kualitas masing-masing siswa. Oleh karena itu, peneliti akan melaksanakan penelitian tindakan kelas guna meningkatkan pembelajaran di kelas tersebut dengan judul “Penerapan Model Problem Based Learning dalam Peningkatan Pembelajaran Matematika tentang Soal Cerita Pecahan pada Siswa Kelas V SD N 1 Kedungwinangun Tahun Ajaran 2015/2016”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, guna memfokuskan kegiatan penelitian yang akan dilakukan, maka perlu dirumuskan masalah yang akan diteliti. Dalam penelitian ini rumusan masalah yang diambil sebagai berikut: 1. Bagaimanakah langkah penerapan model Problem Based Learning dalam peningkatan pembelajaran matematika tentang soal cerita pecahan pada siswa kelas V SD Negeri 1 Kedungwinangun tahun ajaran 2015/2016? 2. Apakah penerapan model Problem Based Learning dapat meningkatan pembelajaran matematika tentang soal cerita pecahan pada siswa kelas V SD Negeri 1 Kedungwinangun tahun ajaran 2015/2016? 3. Apa kendala dan solusi penerapan model Problem Based Learning dalam peningkatan pembelajaran tentang soal cerita pecahan pada siswa kelas V SD Negeri 1 Kedungwinangun tahun ajaran 2015/2016? 6 C. Tujuan Penelitian Penelitian tindakan kelas yang dilakukan memiliki tujuan sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan langkah-langkah penerapan model Problem Based Learning dalam peningkatan pembelajaran matematika tentang soal cerita pecahan pada siswa kelas V SD Negeri 1 Kedungwinangun tahun ajaran 2015/2016. 2. Meningkatkan pembelajaran matematika tentang soal cerita pecahan menggunakan model Problem Based Learning pada siswa kelas V SD Negeri 1 Kedungwinangun tahun ajaran 2015/2016. 3. Untuk mendeskripsikan kendala dan solusi dalam penerapan model pembelajaran Problem Based Learning dalam peningkatan pembelajaran matematika tentang soal cerita pecahan pada siswa kelas V SD Negeri 1 Kedungwinangun tahun ajaran 2015/2016. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dalam penelitian ini maliputi manfaat teoretis dan manfaat praktis. 1. Manfaat Teoretis a. Dapat menambah pengetahuan tentang penerapan model Problem Based Learning (PBL) dalam peningkatan pembelajaran matematika tentang soal cerita pecahan. b. Dapat dijadikan sebagai dasar penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan penerapan model Problem Based Learning (PBL) dalam peningkatan pembelajaran matematika. 2. Manfaat Praktis Dari setiap kegiatan penelitian ilmiah, diharapkan hasil penelitian dapat bermanfaat bagi individu atau lembaga. Maka memberikan manfaat praktis sebagai berikut: a. Guru Dapat menjadi acuan dalam perbaikan kualitas pengajaran mata pelajaran matematika dan dapat mengembangkan model Problem Based Learning 7 (PBL) dalam pembelajaran selanjutnya sebagai sarana untuk menumbuhkan kreativitas dalam mengajar. b. Siswa 1) Dapat berperan aktif dalam pembelajaran matematika tentang soal cerita pecahan dengan penerapan model Problem Based Learning (PBL). 2) Dapat belajar secara mandiri dan mampu memecahkan masalah dalam pembelajaran matematika tentang soal cerita pecahan dengan penerapan model Problem Based Learning (PBL). 3) Siswa lebih mudah memahami materi pembelajaran dalam pembelajaran matematika tentang soal cerita pecahan dengan penerapan model Problem Based Learning (PBL). c. Sekolah Dapat meningkatkan kualitas pembelajaran di SD Negeri 1 Kedungwinangun melalui penerapan model Problem Based Learning (PBL) serta dapat digunakan sebagai buku referensi dalam perpustakaan sekolah dasar. d. Bagi peneliti Dapat menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti, khususnya dalam penerapan model Problem Based Learning (PBL) dalam peningkatan pembelajaran dan dijadikan sebagai tambahan dokumen ilmiah agar ditindaklanjuti oleh peneliti yang selanjutnya.