BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Risk Perception 2.1.1 Definisi risk perception Risk perception didefinisikan sebagai pikiran, kepercayaan, dan konstruk seseorang akan kejadian-kejadian negatif yang mungkin terjadi pada suatu kejadian (Oltedal, 2004). Selain itu risk perception dapat dijelaskan juga sebagai hal yang dapat menimbulkan protective behavior (perilaku perlindungan ataupun perilaku pencegahan) pada individu (Brewer, 2004). Pendapat lain oleh Weber, Blais, dan Betz (2002) menyatakan bahwa risk perception adalah sekumpulan pikiran yang tidak realistis terhadap risiko dan pikiran ini terlibat dalam proses pengambilan keputusan, yang pada akhirnya keputusan ini disebut sebagai perilaku-perilaku berisiko, perilaku yang terlibat didalamnya seperti berjudi, merokok, mengebut, dan mencontek. Lennart Sjöberg (2004) memberikan padangan lain mengenai risk perception yaitu penilaian subjektif terhadap kemungkinan terjadinya suatu kecelakaan dan kecenderungan seseorang peduli akan konsekuensi yang ditimbulkannya. Sedangkan penelitian lain mengenai risk perception dari sudut pandang teori budaya menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara persepsi tentang risiko terhadap informasi dan pengetahuan yang dimiliki oleh individu. Risk perception lebih didasari pada kepercayaan dan nilai yang ditanamkan oleh lingkungan sosial pada individu (Rippl, 2002). Pandangan lain dari Wolff (2012) tentang pengambilan keputusan dan perilaku berisiko mendapatkan hasil yang berbeda dari penelitian oleh Rippl. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa perilaku berisiko merupakan hasil integrasi dari faktor kognitif dan juga dari faktor afektif. Hal ini diperkuat dengan dual model process theory yang menyatakan bahwa pengambilan keputusan terhadap perilaku-perilaku berisiko terjadi bukan hanya berdasarkan pemikiran rasional saja, melainkan ada faktor afektif juga yang berperan didalamnya (Machin, 2007). Pendapat lain mengenai risk perception dikemukakan oleh Inouye. Inouye (2014) mendefinisikan risk perception sebagai 7 8 kemampuan individu untuk memahami kondisi dari risiko yang akan diterimanya dari perilaku yang dilakukannya. Definisi utama yang akan dipergunakan dalam mendefinsikan risk perception dalam penelitian ini adalah definisi yang dikemukakan oleh Rhodes (2010), yaitu risk perception merupakan pandangan individu mengenai risiko dan manfaat dari perilaku yang dilakukannya. 2.1.2 Faktor pembentuk risk perception Menurut Inouye (2014) ada tiga faktor penyebab atau pembentuk risk perception pada individu. Ketiga faktor tersebut adalah: a) Faktor level makro, yaitu kebudayaan dan lingkungan disekitar individu yang pada akhirnya membentuk kepercayaan inidividu bahwa risiko yang akan diterima rendah. Contohnya adalah banyaknya pengendara kendaraan yang menggunakan telepon genggam mereka ketika sedang mengemudi. Karena di lingkungan sekitar banyak yang melakukan hal ini, maka orang akan mempersepsikan bahwa hal ini bukanlah yang yang berisiko. b) Faktor level meso, yaitu komunitas ataupun lingkungan pertemanan yang menenekan individu untuk percaya bahwa perilaku berisiko yang dilakukannya adalah perilaku yang tidak berisiko, dalam hal ini biasanya terjadi pada remaja. Contohnya adalah individu akan mengebut atau membuat manuver yang berbahaya karena mendapat tekanan dari penumpang (teman). c) Faktor level mikro, yaitu pengetahuan yang dimiliki oleh individu terhadap situasi yang dihapainya. Selain itu ada juga bias optimisme dalam faktor level mikro ini. Bias optimisme adalah kepercayaan individu bahwa hal buruk jarang terjadi padanya sehingga ia akan cenderung melakukan perilaku berisiko. Contohnya adalah keengganan pengendara mengenakan peralatan keamanan seperti helm maupun sabuk pengaman karena merasa selama ia berkendara, ia tidak mengenakannya, dan selama itu pula ia tidak pernah mengalami kecelakaan, atupun karena ia percaya kemampuannya mengemudi sudah mumpuni, jadi ia tidak akan mengalami kecelakaan. 9 2.2 Risky Driving Behaviour 2.2.1 Definisi risky driving behaviour Risky driving behaviour didefinisikan sebagai perilaku dalam berkendara yang melingkupi kegiatan mengebut, mengemudi dengan kondisi mabuk, mengemudi ketika lelah, dan tidak menggunakan sabuk pengaman (Fernandes, 2006). Selain itu, risky driving behaviour menurut Parker (2012) adalah perilaku-perilaku yang meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan. Contoh perilaku-perilaku ini adalah mengemudi pada saat lelah, mendahului kendaraan melalui lajur kiri, dan melakukan putaran balik (u-turn) illegal. Definisi dari Parker sekaligus menjadi definisi utama dalam menjelaskan variabel risky driving behaviour dalam penelitian ini. Pendapat lain menyatakan bahwa risky driving behaviour adalah perilaku mengemudi yang dicirikan dengan adanya desakan untuk menonjolkan diri dalam berkendara, mengebut, dan melanggar peraturan (Machin, 2007). Sedangkan menurut Nancy Rhodes (2010), risky driving behaviour adalah meremehkan risiko dalam berkendara, dan menaksir terlalu tinggi pada kemampuan dalam mengenali bahaya berkendara. Jadi risky driving behaviour adalah perilaku-perilaku yang meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan di jalan dengan seperti mengebut, mengemudi ketika mabuk, mengemudi ketika lelah, dan tidak menggunakan sabuk pengaman. 2.2.2 Dimensi perilaku mengemudi berisiko Menurut Parker (2012) risky driving behaviour adalah perilaku-perilaku yang meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan. Dalam perilaku berisiko ini, terdapat berapa dimensi yang mempengaruhinya. Dimensi-dimensi tersebut adalah: a) Transient violation (pelanggaran tidak tetap) Transient violation adalah kecenderungan individu dalam melakukan perilakuperilaku berisiko secara berulang tetapi belum tentu ada dalam setiap dalam kegiatan berkendara. Contohnya seperti melakukan u-turn (putaran balik) secara illegal. b) Fixed violation (pelanggaran tetap) 10 Fixed violation adalah kecenderungan individu dalam melakukan perilakuperilaku berisiko secara berulang dalam setiap kegiatan berkendara. Hal ini bisa dikatan pula sebagai perilaku mengemudi berisiko yang sudah menjadi kebiasaan dari pengendaranya. Contohnya adalah tidak mengenakan sabuk pengaman/ helm. c) Misjudgment (salah perkiraan/ penilaian) Misjudgment adalah kesalahan-kesalahan secara penghitungan, baik waktu maupun jarak yang dilakukan pengendara dalam berkendara. Contoh kesalahan ini adalah kesalahan dalam melakukan rem atau biasa disebut rem mendadak. d) Risky exposure (kecenderungan terpapar situasi berisiko) Risky exposure adalah kecenderungan pengendara untuk memaparkan diri dalam kegiatan berkendara pada waktu dan situasi berisiko yang sebenarnya risiko sudah diketahui oleh pengendara. Contohnya adalah sengaja mengemudi dalam kondisi cuaca buruk (badai/ hujan deras). e) Driver mood (kondisi emosi pada saat berkendara) Driver mood adalah kondisi emosi pengendara pada saat mengemudi. Contohnya adalah mengebut pada saat sedang merasakan emosi negatif seperti marah dan frustasi. 2.3 Remaja Remaja merupakan golongan usia transisi dari kanak-kanak menjadi dewasa. Menurut Erickson, remaja memiliki rentangan usia dari 11-18 tahun. Pada masa perkembangan ini, seseorang akan mengalami identity vs role confusion. Hal ini dicirikan dengan mulai mempertanyakan jati dirinya dan mencari jati diri dengan masuk dalam kelompok–kelompok (Milkman, 2010). Tahapan remaja ini (usia 17-20) juga dicirikan dengan meningkatnya pandangan atau persepsi akan kekebalan (invulnerability) dan memuluk-mulukan kemampuan (grandiose). Kedua hal ini yang menjadi dasar munculnya perilaku berisiko pada remaja. Selain itu kedua hal ini terbentuk karena adanya kemampuan fisik dan kognitif yang sedang berkembang pesat (Milkman, 2010). Pendekatan neurobiology menjelaskan bahwa dalam tahapan perkembangan remaja, bagian otak yang banyak berperan dalam pengambilan keputusan dipengaruhi 11 banyak oleh amygdala. Amygdala berperan dalam respon emosi, bagian inilah yang paling sering digunakan dalam proses pengambilan keputusan oleh remaja dibandingkan dengan penggunaan bagian lainnya yang lebih rasional seperti korteks frontal. Penjelasan lain mengenai kecenderungan remaja terlibat dalam kondisi atau perilaku berisiko adalah karena pada usia remaja, bagian otak yang berkembang terlebih dahulu adalah bagian sensori dan motor, sedangkan bagian pemberian keputusan dan pemberian alasan mulai berkembang di akhir masa remaja. Hasil penelitian ini oleh pandangan para neuropsikologis dipercayai menjadi bukti kuat unyuk menjelaskan perilaku berisiko yang terjadi di remaja. (Milkman, 2010) 2.4 Kerangka Berpikir Adanya risk perception dalam perilaku mengemudi remaja Adanya risky driving behaviour Kecelakaan lalu lintas di Jakarta yang banyak melibatkan remaja Gambar 2.1 Diagram kerangka berpikir Angka kecelakaan yang kian meningkat dari tahun ke tahun makin mengkhawatirkan. Data yang dihimpun oleh Polda Metro Jaya dari tahun 2006 hingga tahun 2011, terjadi peningkatan 1,000 kasus kecelakaan lalu lintas setiap tahunnya (Dephub, 2013). Hal ini diperparah dengan adanya dua temuan, temuan pertama adalah 12 faktor terbesar penyebab kecelakaan ini adalah faktor kelalaian manusia. Kedua adalah remaja menjadi golongan usia yang paling banyak terlibat dalam kecelakaan lalu lintas. Adanya faktor kelalaian manusia ini tentu tidak terlepas karena adanya sebuah risky driving behaviour dari pengemudinya. Apalagi pengemudi yang notabene adalah remaja, yang melalui beberapa penelitian mendapati hasil bahwa kemampuan memberikan penilaian beserta dengan alasan belum matang. Sehingga hal ini dapat dirujuk pada variable risk perception. Bahwa dengan kondisi pemberian keputusan dan alasan yang belum matang sepenuhnya, akan dapat mempengaruhi risk perception remaja dalam mengemudi. 2.5 Asumsi Penelitian Dalam penelitian kali ini, Peneliti berasumsi bahwa kedua variable, yaitu risk perception dan risky driving behavior memiliki hubungan yang signifikan.