PAKET INVESTASI AIPMNH: PROGRAM SISTER HOSPITAL

advertisement
PAKET INVESTASI AIPMNH:
PROGRAM SISTER HOSPITAL
AIPMNH is managed by Coffey on behalf of the Australian Government
1
Konteks, latar belakang, hasil
Apa intervensi yang dilakukan dan bagaimana cara kerjanya?
1.1 Gambaran umum
Program Sister Hospital (SH) mengembangkan kemitraan jangka menengah (3 sampai 5 tahun)
antara Rumah Sakit (RS) pendidikan dan rujukan yang ada di kota-kota besar di Indonesia
dengan RSUD yang ada di NTT. RS pendidikan menyediakan tim klinis untuk pelayanan dokter
spesialis serta membangun kapasitas tenaga kesehatan di RSUD sehingga nantinya bisa
melanjutkan pelayanan PONEK. Selama kemitraan ini, Pemerintah Kabupaten menyediakan
beasiswa bagi dokter lokal untuk melanjutkan pendidikan spesialis sehingga bisa mendukung
keberlanjutan program ini dalam jangka panjang.
1.2 Konteks dan latar belakang desain awal program
Program SH dikembangkan untuk mendukung rumahsakit kabupaten di NTT. RSUD di NTT
terletak di pulau yang terpisah atau yang jaraknya jauh dari RS provinsi, yang menghambat
efektifitas rujukan ke ibukota provinsi. Di samping itu terdapat juga beberapa rumah sakit
swasta. Populasi penduduk yang masuk dalam wilayah kerja RSUD relatif kecil jumlahnya
(100.000–500.000) tetapi lokasinya tersebar bahkan sampai mencakup kabupaten tetangga
yang tidak memiliki rumah sakit. Dalam konteks ini pemerintah daerah mengalami kesulitan
untuk menarik dokter spesialis agar mau bekerja memberikan pelayanan PONEK di RSUD,
sedangkan rujukan ke rumahsakit provinsi atau rumahsakit terdekat lainnya masih problematis
dan membutuhkan biaya mahal bagi keluarga pasien. Hanya ada beberapa RSUD yang berhasil
menarik dokter spesialis. Pendanaan untuk RS sangat kurang memadai, manajemen RS yang
belum optimal, kompetensi staf yang masih kurang dan juga isu terkait motivasi dan disiplin.
1
Program SH dilaksanakan sebagai bagian dari sebuah program pendanaan multi-sektor
(AIPMNH) untuk mengurangi kematian ibu dan bayi baru lahir. Upaya yang dilakukan oleh
program AIPMNH berkaitan dengan program prioritas pemerintah provinsi NTT dalam
menurunkan kematian ibu dan bayi baru lahir(Revolusi KIA). AIPMNH berupaya untuk menangani
elemen-elemen lainnya seperti membangun kapasitas PONED di Puskesmas, meningkatkan
kapasitas Dinas Kesehatan Kabupaten, memperbaiki proses pengumpulan dan pelaporan data,
dan meningkatkan keterlibatan masyarakat dari sisi permintaan pelayanan kesehatan;
1.3 Permasalahan atau kebutuhan
‡ Ketiadaan dokter spesialis dan kurangnya kapasitas RSUD untuk memberikan pelayanan
PONEK 24 jam; termasuk fasilitas yang kurang memadai dan ketersediaan peralatan yang
masih kurang ; masih kurangnya kapasitas staf keperawatan dan staf pendukung yang lain;
kurangnya dokter ahli anaestesi dan tidak tersedianya transfusi darah setiap saat ketika
dibutuhkan. Terlambat merujuk ibu risti saat persalinan sehingga menyebabkan tingginya
angka kematian. Transportasi menuju RS provinsi seringkali bukanlah merupakan pilihan. Ada
beberapa RS swasta selain RS provinsi tetapi tidak satupun yang memiliki kapasitas untuk
memberikan pelayanan PONEK.
‡ Pihak RS dan Pemda telah berupaya untuk menyediakan insentif bagi dokter spesialis secara
perorangan; dan walaupun beberapa RS telah memiliki dokter spesialis dengan mekanisme
tersebut tetapi permasalahan dalam hal sistim pendukung mengakibatkan ketersediaan
PONEK 24 jam di RSUD menjadi kurang efektif dan tidak bisa tercapai secara optimal.
‡ RSUD juga tidak bisa berfungsi sebagai tempat pendidikan atau pelatihan bagi staf
Puskesmas, sehingga kesempatan bagi staf Puskesmas untuk meningkatkan keterampilan
klinis mereka menjadi terbatas.
2
1.4 Tujuan
‡ Memberikan pelayanan PONEK 24/7, termasuk pelayanan dokter spesialis dan layanan
pendukung lainnya (anaestesi, keperawatan, transfusi darah, laundry, pemeliharaan
peralatan).
‡ Memperkuat sistem rujukan dengan meningkatkan kapasitas Puskesmas dalam memberikan
pelayanan PONED; serta menangani dan merujuk kasus-kasus secara tepat
‡ Memperkuat manajemen RS untuk mendukung pemberian pelayanan yang baik
‡ RSUD mendapatkan status BLUD agar bisa mempunyai mekanisme pembiayaan yang fleksibel
untuk mendukung pemberian pelayanan yang lebih baik.
‡ Mendorong peningkatan dana dan dukungan dari pemerintah daerah, khususnya beasiswa
bagi dokter lokal untuk melanjutkan pendidikan spesialis
‡ Terlibat bersama pemerintah daerah dan masyarakat dalam meningkatkan dukungan yang
lebih luas.
1.5 Hasil yang dicapai (dalam 3 tahun)
Program SH di NTT dimulai pada tahun 2011 di 6 RS yang tidak memiliki layanan dokter spesialis
(disebut Grup 1), dan diperluas ke lima RS lain yang sudah memiliki beerapa layanan dokter
spesialis (disebut Grup 2) pada tahun 2012. Dukungan untuk RS Grup 1 berlanjut sampai 2015
tetapi dengan tingkatan dukungan yang semakin menurun, sedangkan dukungan untuk RS Grup
2 dihentikan pada tahun 2014. Sampai tahun 2015, 31 dokter telah menyelesaikan pendidikan
spesialis dan telah kembali bekerja di RSUD, sedangkan 39 lainnya masih mengikuti pendidikan.
Hasil di bawah ini berasal dari Grup 1.
‡ PONEK 24/7- tersedia di semua RSUD
‡ Meningkatnya persalinan di RS: rata-rata meningkat 18% selama 4 tahun, berkisar antara 6%
sampai 32% di setiap RS, dimana jumlah persalinan di 5 dari 6 RS mencapai 20% atau lebih
dari estimasi persalinan di wilayah kerjanya
3
‡ Meningkatnya penanganan komplikasi: rata-rata meningkat 90%, tetapi terdapat variasi antar
RS yang mungkin disebabkan oleh adanya perbedaan definisi dan tingkat kelengkapan dalam
pencatatan;
‡ Meningkatnya rujukan – rata-rata meningkat 30%, tetapi berkisar antara nol sampai
peningkatan 150% untuk kasus rujukan ibu;
‡ Tingkat kematian ibu dan bayi baru lahir – awalnya meningkat sejalan dengan meningkatnya
jumlah persalinan kemudian terjadi penurunan jumlah kematian ibu di RS, serta penurunan
jumlah kematian bayi baru lahir + stillbirth sebagaimana disajikan pada Gambar 1
‡ Meningkatnya pendanaan Pemda kabupaten, disertai dukungan luas dari masyarakat:
sampai tahun 2015, enam Pemda kabupaten telah mengalokasikan total Rp 15,2 milyar untuk
membiayai program SH di enam RSUD.
‡ Empat dari enam RS grup 1 telah mendapatkan status BLUD
Gambar 1: Estimasi tingkat kematian Ibu & Neonatus + Stillbirth di RS
Hospital death rate as a % deliveries
7%
6%
Maternal
5%
4%
Stillbirth +
Neonatal
3%
2%
1%
0%
Jan-June
2011
July-Dec
2011
Jan-June
2012
July-Dec
2012
Jan-June
2013
July-Dec
2013
Jan-June
2014
July-Dec
2014
1.6 Organisasi yang terlibat: syarat dan peran
RS pendidikan/rujukan (Mitra A): Menyeleksi dan mengelola pengiriman tim klinis secara
reguler; mendukung tim dalam mengkaji kebutuhan kapasitas di RS mitra kabupaten, menyusun
rencana dan kegiatan pengembangan kapasitas klinis staf RSUD kabupaten; memberikan dan
mendukung pengembangan kapasitas manajemen; pencatatan dan pelaporan; serta upaya
advokasi ke Pemda kabupaten. Peran ini sangat signifikan dan membutuhkan komitmen jangka
panjang (3 – 5 tahun) dan jika sudah dilaksanakan maka tidak bisa ditarik kembali tanpa ada
penggantinya.
RSUD (Mitra B): kesiapan dan kemauan untuk melakukan perubahan; staf siap untuk
berpartisipasi secara aktif dalam pelatihan dan bekerja lebih keras; siap dan mau untuk
mendukung perubahan dalam budaya kerja; direktur dan staf senior RS mendukung dan memiliki
kemampuan; dokter lokal mau untuk mengikuti pendidikan spesialis dan kembali bekerja di
Kabupaten.
4
Pemerintah kabupaten: Siap untuk terlibat dan berkomitmen terhadap pengembangan RS;
menyediakan sumber daya tambahan / renovasi dan perbaikan yang dibutuhkan; dan
mendukung transisi RSUD menjadi BLUD
Koordinator / pengawas teknis: Melakukan kontak dan rekrutmen terhadap RS Mitra A;
mengawasi arah dan kemajuan program; mengelola hubungan antara Mitra A dan B, dengan
Pemda dan masyarakat; mengelola pelaporan dan kualitas input; mengelola pelaksanaan
monitoring evaluasi yang independen. Catatan; Di NTT, tugas ini dilakukan oleh institusi
akademik, PKMK-FK UGM.
Donor dan inisiator program, AIPMNH: Peran AIPMNH selanjutnya bisa dilaksanakan oleh
Dinas Kesehatan Provinsi atau instansi lainnya. Menyusun strategi keseluruhan, mengontrak RS
Mitra A Hospitals, mengontrak Koordinator, mengelola dan mencairkan dana, pemantauan dan
pelaporan, serta memberikan bantuan teknis, mengontrak dan mengawasi kegiatan-kegiatan
penting lainnya (misalnya perbaikan sistim informasi RS dan Billing Systems).
Organisasi Profesi: Ikut serta dalam monitoring dan evaluasi, mencari resolusi untuk isu-isu
spesifik (misalnya izin praktik untuk dokter spesialis yang sedang dalam pendidikan), advokasi ke
pemerintah pusat untuk mendapat dukungan pendanaan dan kebijakan.
1.7 Isu-isu kontekstual
Masyarakat perlu memiliki keinginan untuk menggunakan pelayanan dan memberikan suaranya
secara politis untuk mendukung keberlanjutan pelayanan kesehatan; Pemerintah daerah perlu
melihat bahwa pelayanan kesehatan di RS adalah hal yang penting dan mau serta mampu untuk
melakukan investasi yang diperlukan; organisasi profesi lokal harus siap untuk secara aktif
mendukung program dan pihak Kemkes mau dan mampu untuk memberikan dukungan politik
dan pendanaan.
5
2
Desain intervensi dan
pelaksanaan
2.1 Elemen-elemen intervensi
‡ Identifikasi, briefing, dan mendorong RS Mitra A untuk
berkomitmen terhadap program; menggunakan jasa mitra dari
pihak akademis yang memiliki jejaring dan kredibilitas dengan
rumah sakit pendidikan dalam proses ini memiliki keuntungan
tersendiri
‡ Melibatkan pemerintah daerah dan mendapatkan dukungan
serta komitmen jangka panjang
‡ Melakukan kajian awal mengenai kebutuhan-kebutuhan di
RSUD; dan menyusun perencanaan berbasis hasil kajian
tersebut untuk memperkuat keterampilan dan pelayanan klinis
‡ Rotasi tim klinis RS Mitra A: pengelolaan, pengaturan izin
praktik, pembayaran jasa medis untuk pelayanan, akomodasi
dan transport (biaya untuk dua item terakhir ini dibayarkan
oleh Pemda)
‡ Melakukan kajian mengenai kapasitas Manajemen RSUD dan
menyusun rencana penguatan manajemen
‡ Implementasi kegiatan pengembangan kapasitas di RS di
bidang pelayanan klinis maupun manajemen
‡ Pengembangan kapasitas pengajaran klinis di RSUD bagi staf
Puskesmas (on the job training atau magang)
‡ Pencatatan dan pelaporan
‡ Audit independen dan monitoring evaluasi yang dilakukan
secara periodik
‡ Melakukan identifikasi, kajian dan pengaturan dokter lokal
untuk melanjutkan pendidikan spesialis
6
2.2 Input yang dibutuhkan dan biaya
Perkiraan biaya untuk satu RSUD, sesuai RS Grup 1 (tidak ada dokter spesialis). Biaya-biaya ini
akan dibutuhkan sampai para dokter menyelesaikan pendidikan spesialisnya (3 – 5 tahun).
Mitra A: koordinator ditempatkan di RSUD + manajer di RS mitra A; rotasi tim klinis + biaya
perjalanan, akomodasi, biaya hidup; penempatan staf dari RSUD untuk mengikuti pelatihan
tertentu di RS Mitra A; koordinator manajemen + staf ahli teknis khusus
Item
Biaya rata-rata per tahun (Rp.)
Biaya untuk rotasi tim (3 orang)
Biaya perjalanan, dan biaya hidup
Biaya untuk tim manajemen
Biaya supervisi (3 orang)
Biaya administrasi
Total Biaya
540.000.000
180.000.000
372.000.000
240.000.000
60.000.000
1.392.000.000
Mitra B dan Pemerintah Daerah (Biaya tambahan untuk anggaran dan dana operasional rutin)
Item
Biaya rata-rata per Tahun (Rp.)
Akomodasi untuk tim medis RS Mitra A (in kind)
Transpor lokal untuk tim medis RS Mitra A (in kind)
Jasa medis untuk 3 dokter spesialis
Beasiswa pendidikan dokter spesialis
Tambahan peralatan, obat dan persediaan
Renovasi RS
Total Biaya
in kind
in kind
360.000.000 – 540.000.000
Berbeda-beda
Berbeda-beda
Berbeda-beda
360.000.000–540.000.000
Koordinator
Item
Biaya rata-rata per Tahun (Rp.)
Tim konsultan– (ketua tim, konsultan klinis, manajemen,
koordinator program)
Monitoring evaluasi oleh pihak eksternal (1x), klinis dan kualitatif) x
2 per tahun
Biaya operasional
Total Biaya
700.000.000
7
200.000.000
72.000.000
972.000.000
2.3 Potensi Sumber dana/opsi untuk replikasi
‡ $3%1 .HPHQNHV GDQD XQWXN SHOD\DQDQ NHVHKDWDQ <DQNHV GL ZLOD\DK SHGHVDDQGDHUDK
terpencil
‡%3-6GDQDXQWXNSHVHUWD%3-6GDODPPHQJDNVHV<DQNHVELD\DVLVWHUKRVSLWDO
‡%3-6SHPED\DUDQMDVDPHGLVGDQDSHQGXNXQJ
Peran koordinator program: potensial dilakukan oleh Kemenkes, Dinkes Provinsi baik sebagai
penyedia dana maupun sebagai koordinator; atau mengontrak salah satu organisasi (akademik,
profesi, atau manajemen) - mungkin diperlukan jika dana berasal dari BPJS
2.4 Risiko/tantangan dan cara mengatasi
‡ Dokter umum yang saat ini bertugas di RSUD yang perannya digantikan oleh tim residen
spesialis RS Mitra A bisa menyebabkan timbulnya kemarahan atau kebencian. Jika sejak tahap
persiapan sudah diberikan klarifikasi mengenai kejelasan peran dan tanggung jawab dokter
umum hal ini akan sangat membantu dalam meminimalkan atau menghindarkan risiko
timbulnya persoalan tersebut.
‡ Meningkatnya jumlah persalinan dan jumlah rujukan di RS bisa menyebabkan bertambahnya
beban kerja. Sebelum program dimulai, sebaiknya diperkirakan jumlah kasus yang dapat
ditangani (dan sesuai standar kualitas penanganan) dengan jumlah staf yang ada dan memiliki
rencana cadangan apabila jumlah kasus melebihi kapasitas staf yang ada. Bila jumlah kasus
melebihi kapasitas staf maka bisa membahayakan keselamatan pasien. Masalah inilah yang
mungkin menjadi penyebab meningkatnya jumlah kematian di RS pada awal program
meskipun kemudian diikuti dengan penurunan.
‡ Harapan masyarakat akan hadirnya pelayanan dokter spesialis di RS bisa dipenuhi dengan
menyebarkan informasi melalui kanal media yang ada. Dengan adanya pemahaman mengenai
pelayanan ini maka bisa mencegah terjadinya salah konsepsi dan harapan yang tidak realistis
di masyarakat. Penyebaran informasi mengenai kemajuan program juga bisa meningkatkan
dukungan melalui interaksi antara masyarakat dengan DPRD.
‡ Proses identifikasi para dokter lokal yang mampu untuk melanjutkan pendidikan spesialis perlu
diantisipasi dan dilakukan sesingkat mungkin. Jika prosesnya lama, ditambah dengan masa
pendidikan spesialis yang lama, maka butuh waktu lama bagi masyarakat untuk mendapatkan
pelayanan dokter spesialis.
www.aipmnh.org
8
2.3 Potential Sources of funding / options for replication
APBN
BPJS
BPJS
Kemenkes – funding for rural / remote services
funding for members without access to services – sister hospital costs
reimbursement of hospital procedures / jasa medis – supportive funding
Program coordinator role: potential for Kemenkes, PHO as both funder and coordinator; or to
contract organisation to undertake this role (academic, professional, management as options) –
probably necessary if funding from BPJS
2.4 Risks / challenges and how to resolve
‡ General doctors currently practicing in District hospitals may be displaced from their roles by
the visiting specialists and this may result in resentment and ill feeling. If roles and
responsibilities can be clarified during the preparation stage it will assist in ameliorating this
risk.
‡ Increased births in the hospital and increased numbers of referrals may result in additional
workloads. Prior to program commencement it is advisable to estimate case numbers that can
be managed (and to quality standards) with existing staff and have contingency plans in place
when the additional case numbers exceeds staffing capacity. If case numbers exceed capacity,
patient safety may be compromised. This is probably responsible for the observed initial rise in
hospital mortality rates, which is then followed by a fall.
‡ Community expectations from the presence of hospital specialist services can be managed
through dissemination of information through local channels. Widespread and correct
understanding of the new services will prevent possible misconstructions and unrealistic
expectations by the community. Systematic dissemination of program progress can also
promote support through community interaction with local representatives.
‡ The process of identification of local doctors capable of undertaking specialist training needs to
be anticipated and kept to as short a period as possible. If the process is lengthy and coupled
with the time taken for specialty training, this results in many years before specialty services
can be provided by a local doctor.
www.aipmnh.org
8
2.2 Inputs required and costs
Estimated costs for one district hospital, based on Group 1 hospital (no existing specialist staff).
These costs will be required until completion of specialist training (3 – 5 years) by a local doctor.
Partner A: coordinator stationed at district hospital + manager at mitra A; rotating clinical team
staff + costs of travel, accommodation, living expenses; hosting of staff from district hospital for
special training at Mitra A; management coordinator + specific management technical experts.
540.000.000
180.000.000
372.000.000
240.000.000
60.000.000
1.392.000.000
Fee for clinical rotating team (3 person)
Cost of travel, and living expenses
Cost for management team
Supervision cost (3 person)
Administration cost
Total Cost
Average Cost per year (Rp.)
Item
Partner B and Local Government (Costs additional to regular budget and operational funding)
In kind
In kind
360.000.000 – 540.000.000
Housing of rotating medical teams ( in kind)
Local transport for visiting medical teams (in kind)
Allowances to visiting medical staff (jasa medis) for 3
essential specialists
Scholarship for specialist training
Additional equipment, medicines and supplies
Renovation of hospital facilities
Total Cost
Average Cost per <ear (Rp.)
Item
varies
Varies
Varies
360.000.000 – 540.000.000
Coordinator
700.000.000
Consultant team– (team leader, clinical consultant,
management consultant,, program coordinator)
External monitoring evaluation (1x), clinical and
qualitative) x 2 per year
Operational cost
Total Cost
Average Cost per <ear (Rp.)
Item
200.000.000
72.000.000
972.000.000
7
2
Intervention design and
implementation
2.1 Intervention elements
‡ Identification, briefing, and encouraging the Partner A hospital
to commit to the program; use of an academic partner in this
process that has longstanding links and credibility with
teaching hospitals is advantageous
‡ Engaging the district governments and gaining their support
and long term commitment
‡ Initial assessments of district hospital needs; based on the
assessment developing a plan for strengthening clinical skills
and services
‡ Rotating clinical teams from Partner A: management;
arrangement of practice licences, payment of jasa medis for
procedures, accommodation and transport (costs of these
latter two were paid by District Governments)
‡ Assessment of District Hospitals Management capacity and
development of a management strengthening plan
‡ Implementation of capacity building activities within the
hospital for both clinical services and management
‡ Development of clinical teaching capacity in the District
Hospitals for Puskesmas staff (on the job training or
internships)
‡ Recording and reporting
‡ Periodic independent audits and monitoring and evaluation
‡ Identification, assessment and arrangements for local doctors
to undertake specialist training
6
District government: Readiness to engage and commit to hospital development; provision of
additional resources / renovations and repairs as required; support transition to BLUD
Coordinator / technical oversight: Liaison with and recruitment of Partner A hospitals; oversight
of program direction and development; management of relationship between Partner A and B,
with local government and communities; management of reporting and quality of inputs;
management of independent M&E. Note; In NTT this was undertaken by an academic institution,
PKMK-UGM.
Program funder and initiator, AIPMNH: The role of AIPMNH would need to be implemented by
the Provincial Health Office or other organisation. Development of overall strategy, contracting of
Partner A Hospitals, contracting of Coordinator, management and disbursement of funds,
monitoring and reporting, provision of technical assistance and contracting and oversight of other
essential activities (for example upgraded HIS and Billing Systems).
Professional Organisations: Participation in external monitoring and evaluation, resolution of
specific issues (such as practicing licenses for trainee specialists), advocacy to central
government for funding support and policy input.
1.7 Contextual issues
Communities need to be willing to utilise the services and able to give political voice to support
continuity of these services; District governments need to perceive provision of hospital services
as essential and be willing and able to invest the necessary funds; local professional
organisations ready to actively support the program and the MOH willing and capable of providing
political and monetary support.
5
‡ Increase in complications managed: average increase of 90%, with considerable variation
among hospitals, probably due to differing definitions and levels of completeness in recording;
‡ Increase in referrals – average increase of 30%, but ranging from no increase to 150% increase
in maternal referrals;
‡ Maternal and newborn mortality – initial rise with increase in deliveries then fall in both
maternal in hospital mortality, and the combined newborn + stillbirth mortality as illustrated in
Figure 1
‡ Increased District government funding, underpinned by widespread community support: by
2015, six local governments had allocated a total of Rp 15.2 billion rupiah to cover SH costs in
the six district hospitals
‡ Four of the six group 1 hospitals have attained BLUD status
Gambar 1: Estimasi tingkat kematian Ibu & Neonatus + Stillbirth di RS
7%
Hospital death rate as a % deliveries
6%
Maternal
5%
4%
Stillbirth +
Neonatal
3%
2%
1%
0%
Jan-June
2011
July-Dec
2011
Jan-June
2012
July-Dec
2012
Jan-June
2013
July-Dec
2013
Jan-June
2014
July-Dec
2014
1.6 Organisations involved: requirements and role
Teaching/referral hospital (Partner A): Selection and management of rotating clinical teams;
support for teams in assessing capacity needs in partner hospital and developing capacity
building plans and activities; provision of management capacity building and support; recording
and reporting; advocating to local government. This is a very significant and ongoing role requiring
long-term commitment (3 – 5 years) and once commenced, cannot be withdrawn without
replacement.
District hospital (Partner B): Readiness and willingness to undergo change; staff prepared to
actively participate in training and to work harder; prepared and willing to support change in work
culture; director and senior staff capable and supportive; local doctors willing to be trained and to
return to work in the Districts.
4
1.4 Objectives
‡ Provide 24/7 PONEK, including specialist services and support services (anaesthetics, nursing,
blood transfusion, laundry, equipment maintenance).
‡ Strengthen referral system by improving capacity of Puskesmas to provide PONED; and manage
and refer cases as appropriate
‡ Strengthen hospital management to support delivery of the improved services
‡ District hospitals attain BLUD status to access flexible funding to support improved services
‡ Leverage increased funding and support from the district government, specifically for
scholarships for local doctors to undertake specialist training
‡ Engage with local government and communities to foster broad based support.
1.5 Outcomes achieved (at 3 years)
The SH program in NTT commenced in 2011 with 6 hospitals which had no specialist services
(termed Group 1), and expanded to a further five hospitals with some specialist services (termed
Group 2) in 2012. The support for the Group 1 hospitals continued until 2015 at decreasing
levels, while support for the Group 2 hospitals ceased in 2014. By 2015, 31 doctors had
completed specialist training and returned, and 39 were still in training. The outcomes below refer
to Group 1.
‡ PONEK 24/7- available in all hospitals
‡ Increase in hospital deliveries: average increase of 18% over 4 years, range from 6% to 32% in
each hospital, with 5 out of 6 hospitals achieving 20% or more of estimated catchment
deliveries
3
The SH Program was undertaken as part of a larger multi-sectoral donor funded program
(AIPMNH) to reduce maternal and neonatal mortality. AIPMNH was linked to support of the NTT
provincial government level initiative to prioritize efforts to reduce maternal and neonatal
mortality (Revolusi KIA). AIPMNH addressed other elements such as building PONED capacity in
Puskesmas, improving capacity of District Health Offices, improving collection and reporting of
data, and increasing community engagement to improve demand;
1.3 Problem or need
‡ Absence of specialist doctors and capacity to provide 24 hour PONEK at district hospitals;
including poor facilities and lack of equipment; lack of or low capacity of nursing and support
staff; lack of anaesthetists and readily available blood transfusion.
‡ Referral of critically ill women in labour delayed; with further delays on arrival resulting in high
death rates. Transport to provincial hospital is usually not an option. Few private hospital
facilities outside of the provincial capital and none with PONEK capacity.
‡ Hospitals and local governments had tried providing allowances and additional funding to
individual specialist doctors; some hospitals had such individuals, but problems in supporting
systems prevented full effectiveness.
‡ District hospitals also unable to function as clinical training sites for Puskesmas staff, limiting
opportunities for Puskesmas staff to gain / refresh clinical skills.
2
1
Context, rationale, outcomes
What is the intervention and what will it do?
1.1 Overview
The Sister Hospital (SH) program establishes medium term (3 to 5 years) partnerships between
teaching and referral hospitals in large cities in Indonesia with remote District hospitals. The
teaching hospitals provide rotating expert clinical teams for specific specialist services, while
building the capacity of the district hospital health care workers to take over and continue
provision of PONEK services. During the partnership, the District governments provide
scholarships for local doctors to undertake specialist training to support long-term sustainability.
1.2 Context and rationale for original design
The program was developed to cover district hospitals in NTT. District hospitals in NTT are situated
in different islands or long distances from the provincial hospital, effectively preventing referral to
the provincial capital. There are few non-government or private hospitals. District hospitals provide
services to relatively small populations (100,000 – 500,000) but geographically dispersed and
may extend to adjacent districts which lack hospitals. In this context it has been difficult for district
governments to attract specialists to provide PONEK services and referral to provincial or adjacent
hospitals was also problematic and expensive for families. A few of the District hospitals had
attracted some of the necessary specialists while others had none. Hospitals were poorly funded,
generally not well managed, competency of staff was generally poor and there were issues with
motivation and discipline.
1
AIPMNH INVESTMENT PACKAGE:
SISTER HOSPITAL PROGRAM
AIPMNH is managed by Coffey on behalf of the Australian Government
Download