i PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA JASA PELAYANAN BIDAN PRAKTIK DI KABUPATEN TASIKMALAYA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SKRIPSI Disusun oleh : SATIYA AMI AS’ARI E1A005024 Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2011 ii LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA JASA PELAYANAN BIDAN PRAKTIK DI KABUPATEN TASIKMALAYA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Oleh : SATIYA AMI AS’ARI E1A005024 Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Isi dan Format telah Diterima dan disetujui Pada Tanggal, November 2011 Pembimbing I I Ketut Karmi Nurjaya, SH,M.Hum. NIP. 19610520198703 2 001 Menyetujui, Pembimbing II Penguji Suyadi, SH,M.Hum. NIP. 19611010198703 1 001 Edi Waluyo, SH,MH. NIP. 1950122298810 1 001 Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Hj. Rochani Urip Salami,S.H.,M.S NIP. 19520603 198003 2 001 iii SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya : Nama : Satiya Ami As’ari NIM : E1A005024 SKS : 2005 Judul : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA JASA PELAYANAN BIDAN PRAKTIK DI KABUPATEN TASIKMALAYA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain. Dan apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas. Purwokerto, 20 November 2011 SATIYA AMI AS’ARI NIM. E1A005024 iv KATA PENGANTAR Alhamdulillahi robbil’alamin dengan sujud syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, karena rahmat-Nya saja penulis masih diizinkan untuk dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA KABUPATEN JASA PELAYANAN BIDAN PRAKTIK DI TASIKMALAYA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Dalam kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Hj. Rochani Urip Salami, S.H, M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman dan Dosen Pembimbing Akademik; 2. Edi Waluyo, SH,.MH. selaku Ketua Bagian Hukum Keperdataan sekaligus Dosen Penguji; 3. I Ketut Karmi Nurjaya,SH.,M.Hum. Selaku Dosen Pembimbing I; 4. Suyadi,SH.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing II; 5. Seluruh Dosen Pengajar dan segenap staf Administrasi Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; 6. Ayah, Ibu, Adik-adikku tercinta atas dukungan dan semangatnya; 7. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan setu persatu. Penulis tidak dapat memberikan suatu balasan apapun kecuali hanya doa, semoga semua kebaikan, bantuan, dukungan, pengorbanan dan budi baik dari semua v pihak mendapat balasan yang baik dari Allah SWT. Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, dan semoga dengan ketidaksempurnaan skripsi ini dapat dipahami sebagai ketidaksempurnaan penulis sebagai manusia biasa, dan penulis mohon kerelaan hati dari semua pihak untuk memberikan maaf. Akhirul kalam, semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat. Purwokerto, 20 November 2011 Penulis vi ABSTRAKSI Peranan tenaga kesehatan sangat penting dalam menunjang kesehatan masyarakat. Maju atau mundurnya dunia medis akan sangat ditentukan oleh keberhasilan dari pihak-pihak yang bersangkutan, dalam hal ini dokter, bidan, perawat dan orang-orang berkompeten dibidang ini. Hak pasien dalam dunia kesehatan adalah hak untuk memperoleh kesehatan dan mempertahankan kesehatan bagi kesejahteraan dan kelangsungan hidupnya. Secara khusus mengenai hak-hak konsumen diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Menurut ketentuan Pasal 4. Pasien sebagai konsumen berkak atas kenyamanan dan keselamatan atas pelayanan jasa bidan serta berhak mendapatkan kompensasi atau ganti kerugian apabila jasa yang digunakan tidak sesuai sebagaimana mestinya, seperti yang tercantum pada Pasal 4 huruf (a) dan huruf (h). Daerah Tasikmalaya khususnya, dengan melihat kenyataan yang ada dan terkait dengan hal-hal yang telah disebutkan diatas, maka dapat diketahui bahwa hubungan pasien selaku konsumen tidak selalu harmonis dengan pelaku kesehatan selaku pemberi jasa, yang dalam hal ini adalah bidan. Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian dalam karya tulis ini adalah untuk mengetahui perlindungan hukum yang diberikan terhadap pengguna jasa pelayanan bidan praktik di Kabupaten Tasikmalaya berdasarkan Pasal 4 huruf (a) dan (h) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan hasil penlitian dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa praktik bidan berdasarkan pasal 4 huruf a dan h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu : Bidan yang akan melakukan praktik baik di fasilitas pelayanan kesehatan maupun praktik mandiri harus memenuhi persyaratan tertentu dan Pasien dapat mengajukan tuntutan pembayaran kompensasi, ganti kerugian dan/ atau penggantian barang dan/ atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian dan/ atau tidak sebagaimana mestinya, sepanjang bidan bertindak diluar standar profesi dan kewenangannya. Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Bidan, Ganti Rugi vii ABSTRACT The role of health personnel is critical in supporting public health. Forward or backwards in the medical world will be determined by the success of the parties concerned, in this case doctors, midwives, nurses and those competent in the field of it. Rights of patients in the world of health care is a right to obtain and maintain health for health welfare and survival. Specifically regarding consumer rights provided for in Act No. 4 of 1999 on the protection of consumers. According to the provisions of article 4. The patient as consumer berkak top comfort and safety of services and reserve the right to get compensation midwives or replace losses if the services are used is not appropriate as it should, as listed in article 4 (a) and subparagraph (h). In particular, with the area of Tasikmalaya see reality and related to the things we mentioned above, then it can be noted that the relationship of the patient as consumer is not always harmonious with the offender health services as a giver, which in this case is the midwife. As for the purpose of the research in this paper is to know the legal protection afforded to the midwife service users practice in Tasikmalaya Regency under article 4, subparagraph (a) and (h) Act No. 8 of 1999 on the protection of Consumers. Based on the results of the studies can be inferred that the legal protection of consumers ' user services practice midwives under article 4 letter a and h Act No. 8 of 1999 on the protection of Consumers, namely: Midwives who would do good practices in health service facilities as well as independent practice must meet certain requirements and the patient can file charges of compensation payments, replace losses and/or replacement of the goods and/or services received do not comply with the agreement and/or not as they should, all the midwives act outside professional standard and authority. Keywords: Consumer Protection, A Midwife, Indemnification viii DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL .................................................................. i LEMBAR PENGESAHAN ....................................................... ii PERNYATAAN.......................................................................... iii KATA PENGANTAR ................................................................ iv ABSTRAKSI .............................................................................. vi ABSTRACT ................................................................................ vii DAFTAR ISI............................................................................... viii BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ........................................................................ 1 B. Perumusan Masalah................................................................. 7 C. Tujuan Penelitian..................................................................... 8 D. Kegunaan Penelitian ............................................................... 8 1. Kegunaan Teoretis ............................................................. 8 2. Kegunaan Praktis ............................................................... 8 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Penggunaan Jasa Layanan Praktik Bidan ............. 9 1. Perjanjian Pada Umumnya ............................................... 9 2. Hubungan Hukum Bidan dan Pasien ............................... 10 3. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Terapeutik .......................................................................................... 16 ix B. Jasa Pelayanan Praktik Bidan .................................................. 20 1. Pengertian Tenaga Kesehatan (Bidan) ............................... 20 2. Pengaturan Mengenai Praktik Bidan ................................. 26 3. Bidan Desa ........................................................................ 27 4. Jasa Pelayanan Praktik Bidan ........................................... 36 5. Pengawasan Pemerintah .................................................... 46 6. Kode Etik Profesi Bidan …………………… ................... 50 C. Perlindungan Hukum Konsumen ............................................ 54 1. Perlindungan Hukum Konsumen ...................................... 54 2. Hak dan Kewajiban Konsumen ........................................ 62 3. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha .................................... 64 BAB III. METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan ................................................................. 69 B. Spesifikasi Penelitian .............................................................. 69 C. Lokasi Penelitian .................................................................... 69 D. Jenis dan Sumber Data ........................................................... 70 E. Metode Pengumpulan Data ..................................................... 71 F. Metode Penyajian Data ............................................................ 71 G. Metode Analisis Data .............................................................. 71 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ....................................................................... 72 1. Data Sekunder .................................................................. 72 2. Data Primer ...................................................................... 74 x B. Pembahasan ............................................................................. 78 BAB V. PENUTUP Simpulan ...................................................................................... DAFTAR PUSTAKA 94 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional merupakan peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan berlandaskan kemampuan nasional dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dengan memperhatikan tantangan perkembangan global. Salah satunya adalah dengan dilaksanakan dan ditingkatkan adalah sarana dan prasarana yang mendukung pelayanan kesehatan. Penyelenggaraan pembangunan kesehatan meliputi upaya kesehatan dan sumber dayanya dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Bab V tentang Sumber Daya Di Bidang Kesehatan (Pasal 21 - Pasal 45) dan Bab VI tentang Upaya Kesehatan (Pasal 46 – Pasal 125), harus dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan guna mencapai hasil yang optimal. Salah satu bidang yang tercakup dalam aspek pembangunan kesehatan adalah bidang pelayanan dalam hal pemberian jasa kesehatan. Hal ini penting mengingat kesehatan memegang peranan penting dalam membina dan mengembangkan potensi dan kualitas sumber daya manusia sebagai tenaga pembangunan, karena kesehatan adalah hak bagi semua orang. Peranan tenaga kesehatan sangat penting dalam menunjang kesehatan masyarakat. Maju atau mundurnya dunia medis akan sangat ditentukan oleh 2 keberhasilan dari pihak-pihak yang bersangkutan, dalam hal ini dokter, bidan, perawat dan orang-orang berkompeten dibidang ini. Kerja professional dalam pelayanan kesehatan harus memperhatikan etika profesi tenaga kerja yang bersangkutan. Apabila para pekerja medis bekerja secara professional yaitu sesuai dengan aturan yang berlaku, maka akan muncul rasa percaya pasien dan menyerahkan sepenuhnya kepada tenaga medis tersebut. Pelayanan kesehatan ( medis ) termasuk praktik bidan merupakan hal yang penting yang harus dijaga maupun ditingkatkan kualitasnya sesuai standar pelayanan yang berlaku, agar masyarakat sebagai konsumen dapat merasakan pelayanan yang diberikan. Pelayanan sendiri hakikatnya merupakan suatu usaha yang membantu menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan orang lain serta dapat memberikan kepuasan sesuai dengan keinginan yang diharapkan oleh konsumen dan supaya tidak terjadi kasus malpraktik. Kasus malpraktik umumnya dipicu oleh ketidak hati-hatian. Kewaspadaan tenaga medis menjadi faktor utama terjadinya malpraktik. Kesalahan fatal tersebut umumnya terjadi pada saat diagnosis, terapi, pemberian obat sampai operasi. Malpraktik tidak hanya dapat mengarah pada penurunan derajat kesehatan klien, namun juga dapat menyebabkan kematian dan kecacatan seumur hidup. Di Tasikmalaya yang terjadi pada Ny. Ida warga Kampung Bagendit Desa Linggaraja Kec. Sukaraja yang harus kehilangan anaknya akibat keterlambatan penanganan persalinan yang dilakukan oleh bidan. Dalam kasus ini Ny. Ida tidak 3 langsung meminta bantuan pertolongan kepada bidan tapi kepada dukun yang akibatnya persalinan terhambat dan akhirnya sang dukun meminta bantuan kepada bidan terdekat. Setelah dilakukan tindakan pertolongan oleh bidan namun tidak ada perkembangan yang berarti, karena placenta sang ibu masih tertinggal sebagian dalam rahim maka bidan bermusyawarah dengan keluarga untuk melakukan rujukan ke puskesmas terdekat. Seminggu kemudian bidan melakukan kunjungan PNC ternyata bayi dalam keadaaan sakit karena dilihat dari prilaku bayi yang tidak mau netek. Bidan melakukan rujukan lagi ke puskesmas terdekat, dan setelah dilakukan pertolongan pertama kemudian di rujuk lagi ke RSIA atas keinginan pasien. Setelah dilakukan pertolongan selama sembilan jam, bayi tidak dapat tertolong dan dinyatakan meninggal dunia dengan diagnose penyakit hyperbilirubin dan infeksi. Kasus kesalahan tindakan medis bukan hanya terjadi di Indonesia yang saat ini kualitas pelayanan kesehatannya masih rendah, namun masih sering terjadi di negara maju. Sementara itu, kasus malpraktik yang terjadi di Indonesia masih sangat sedikit yang terungkap. Kebanyakan klien atau keluarganya memilih untuk tidak mengungkapkan penderitaannya. Umumnya, mereka tidak mengetahui bahwa kasus malpraktik dapat diajukan ke meja hijau dan sebagian memilih untuk pasrah dan enggan terlibat dalam konflik hukum yang biasanya sangat melelahkan.1 1 Dudi Zulvadi, Etika dan Manajemen Kebidanan, Cahaya Ilmu, Yogyakarta, 2010. Hal. 187. 4 Malpraktik di Indonesia belum diatur secara jelas dalam undang-undang. Undang-undang kesehatan belum dilengkapi dengan aturan teknis yang mengatur secara khusus mengenai malpraktik. Biasanya, jika kasus malpraktik diajukan ke pengadilan, aturan yang digunakan adalah aturan pidana dan para politisi sebenarnya telah lama mendesak agar departemen kesehatan segera merumuskan aturan malpraktik secara gamblang. Oleh karena itu, baik bidan dan terutama pasien harus selalu waspada terhadap segala bentuk isu etik yang banyak berkembang di dunia kesehatan dan harus menyikapi secara bijak sehingga tidak akan terjadi penyimpangan kewenangan dan setiap tindakan sesuai dengan etika profesi kebidanan.2 Rendahnya tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh pasien pengguna jasa pelayanan bidan praktik menjadikan dilema tersendiri. Kebanyakan pasien justru telah memberikan kepercayaan kepada bidan yang telah memberikan pertolongan apapun resikonya, padahal pasien sendiri mempunyai hak yang dilindungi oleh Undang-undang yaitu dalam Undang-undang dasar 1945 yang di dalamnya menjamin warga Negara dalam memperoleh dan menikmati haknya. Dengan demikian apabila terjadi suatu kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan praktik, tenaga medis tidak bisa lepas dari tanggung jawab maka harus tetap diproses sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. Hak pasien dalam dunia kesehatan adalah hak untuk memperoleh kesehatan dan mempertahankan kesehatan bagi kesejahteraan dan kelangsungan 2 Ibid,. Hal. 187-188. 5 hidupnya. Meskipun dalam Undang-undang Dasar 1945 tidak diatur secara khusus, namun termasuk dalam hak asasi manusia, dan hak ini secara mendasar dapat di terima oleh konstitusi kita. Salah satu hak pasien adalah hak untuk mendapat informasi, yaitu informasi mengenai penyakit yang di derita oleh pasien dan informasi tentang tindakan medik yang akan dilakukan kepada pasien berikut dengan resikonya, serta tentang informasi biaya yang harus dibayar konsumen atas tindakan medik yang dilakukan. Implementasi hak-hak atas informasi memang belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh konsumen jasa kesehatan di Indonesia. Terkait dengan kondisi yang ada sekarang ini angka kematian ibu dan bayi masih belum bisa dikatakan sedikit, salah satu penyebabnya adalah kurangnya profesionalita para tenaga kesehatan, yang dalam hal ini adalah bidan serta sarana dan prasarana yang bisa dikatakan jauh dari persaratan minimum yang menjadi standar dalam penyelenggaraan pelayanan. Bidan dalam menjalankan tugasnya memiliki peran yang penting sebagai pemberi pelayanan terdepan kepada masyarakat, oleh karena itu peningkatan mutu bagi bidan juga sangatlah penting. Praktik dunia usaha menuntut upaya pemberian pemahaman dan peningkatan kesadaran akan hak-hak konsumen yang tentu saja tidak mudah dilakukan dengan kondisi masyarakat (konsumen) sekarang ini, khususnya tingkat pendidikan dan kesadaran hukumnya yang masih rendah. Berdasarkan Pasal 182 sampai dengan Pasal 188 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, peran Pemerintah melalui Dinas Kesehatan 6 memegang peranan penting dalam melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan praktik pelayanan jasa kesehatan, praktik bidan khususnya dalam hal pemberian pelayanan yang memadai sehingga konsumen dapat terhindar dari bahaya-bahaya yang dapat merugikan bagi kesehatan dan keselamatannya. Dalam Pasal 30 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga terdapat pernyataan bahwa pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundangan diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Secara khusus mengenai hak-hak konsumen diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Menurut ketentuan Pasal 4. Pasien sebagai konsumen berkak atas kenyamanan dan keselamatan atas pelayanan jasa bidan serta berhak mendapatkan kompensasi atau ganti kerugian apabila jasa yang digunakan tidak sesuai sebagaimana mestinya, seperti yang tercantum pada Pasal 4 huruf (a) dan huruf (h)3. Pasal 4 huruf (a) adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa merupakan hal yang paling pokok dan paling utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak 3 Pasal 4 Hak konsumen adalah: (a) : hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan / jasa. (h) : hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. 7 diedarkan dalam masyarakat. Sedangkan Pasal 4 huruf (h) adalah hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Pasal 4 huruf (h) ini juga sangat penting sebagai langkah refresive penyelesaian masalah perlindungan konsumen. Daerah Tasikmalaya khususnya, dengan melihat kenyataan yang ada dan terkait dengan hal-hal yang telah disebutkan diatas, maka dapat diketahui bahwa hubungan pasien selaku konsumen tidak selalu harmonis dengan pelaku kesehatan selaku pemberi jasa, yang dalam hal ini adalah bidan berkaitan dengan hak-hak konsumen khususnya Pasal 4 huruf (a) dan Pasal 4 huruf (h). Berdasarkan apa yang diuraian dalam latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian guna menyusun skripsi dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Jasa Pelayanan Bidan Praktik di Kabupaten Tasikmalaya Berdasarkan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan apa yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik perumusan masalah sebagai berikut : Bagaimanakah perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen pengguna jasa pelayanan bidan praktik di Kabupaten Tasikmalaya berdasarkan Pasal 4 huruf (a) dan Pasal 4 huruf (h) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen? 8 C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian dalam karya tulis ini adalah untuk mengetahui perlindungan hukum yang diberikan terhadap pengguna jasa pelayanan bidan praktik berdasarkan Pasal 4 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis dan para pembaca pada umumnya, dalam bidang hukum dagang khususnya dalam hukum perlindungan konsumen mengenai perlindungan hukum terhadap pengguna pelayanan jasa kesehatan bidan praktik. 2. Kegunaan Praktis Penelitian ini juga diharapkan memberikan pengetahuan tentang perlindungan hukum terhadap konsumen agar konsumen lebih kritis dan antisipasif dalam menggunakan jasa pelayanan bidan praktik serta dapat digunakan sebagai bahan referensi dengan memberikan informasi bagi pihak-pihak yang membutuhkan seperti untuk penulisan skripsi yang menyangkut Hukum Perlindungan Konsumen. 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Penggunaan Jasa Layanan Praktik Bidan 1. Perjanjian Pada Umumnya Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena kedua belah pihak setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya 4. KUHPerdata memberikan pengertian tentang “perjanjian” seperti yang terkandung di dalam Pasal 1313 KUHPerdata, bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Menurut Setiawan, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana salah satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih5. “Menurut Sudikno Mertokusumo, perjanjian adalah “Hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dua pihak itu sepakat untuk menentukan peraturan atau kaidah atau hak dan kewajiban yang mengikat mereka untuk ditaati dan dijalani. Kesepakatan ini adalah untuk menimbulkan. Akibat hukum, 4 5 Subekti, Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke XII (Jakarta : PT Intermasa, 1987), hal. 1 Setiawan, R., Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Bandung : PT. Bina Cipta, 1986), hal.3 10 menimbulkan hak dan kewajiban dan kalaukesepakatan itu dilanggar maka ada akibatnya, si pelanggar dapat dikenakan akibat hukum atau sanksi”6. 2. Hubungan Hukum Bidan dan Pasien Hubungan hukum antara bidan dan pasien merupakan hubungan yang sangat pribadi karena didasarkan atas kepercayaan dari pasien terhadap bidan untuk memberikan pertolongan medis kepadanya. Hubungan tersebut dapat disebut sebagai transaksi terapeutik, yaitu perjanjian antara bidan sebagai tenaga kesehatan dan pasien berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Objek perjanjian ini dalah berupa upaya atau terapi untuk menyembuhkan pasien7. Pengertian transaksi terapeutik ada beberapa definisi dari sarjana, yaitu : 1. H.H. Koeswadji : transaksi terapeutik adalah perjanjian (Verbintenis) untuk mencari atau menentukan terapi yang paling tepat bagi pasien oleh dokter.8 2. Veronica Komalawati : transaksi terapeutik adalah hubungan hokum antara dokter dan pasien dalam pelayanan medis secara professional, didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan ketrampilan tertentu di bidang kedokteran.9 6 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta : Penerbit Liberty, 1986), hal 97 Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggung Jawaban Dokter, (Jakarta : Rineka Cipta, 2005), Hal 11 8 Hermien Hadiati Koeswadji, Beberapa Permasalahan Mengenai Kode Etik Kedokteran, Ceramah Dalam Forum Diskusi oleh IDI Jawa Timur, tanggal 11 Maret 1984. 7 11 3. Harmien Hadiati Koswadji10 mengemukakan bahwa : Hubungan dokter dan pasien dalam transaksi terapeutik (perjanjian medis) bertumpu pada dua macam hak asasi yang merupakan hak dasar Manusia, yaitu : a) Hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self-determinations); b) Hak atas dasar informasi (the right to informations). 4. Pengertian perjanjian terapeutik menurut Salim H.S. 11, yaitu sebagai berikut : Kontrak yang dibuat antara pasien dengan tenaga kesehatan dan/atau dokter atau dokter gigi, dimana tenaga kesehatan dan/atau dokter atau dokter gigi berusaha melakukan upaya maksimal untuk melakukan penyembuhan terhadap pasien sesuai dengan kesepakatan yang dibuat antara keduanya dan pasien berkewjiban membayar baiaya penyembuhannya. Hubungan hukum dalam perjanjian terapeutik oleh undang-undang Indonesia diinterprestasikan berbeda, walaupun secara prinsip hubungan hukum perjanjian terapeutik adalah sama yaitu hubungan antara pasien dan petugas medis. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa para pihak dalam perjanjian terapeutik adalah pasien dengan tenaga kesehatan. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 29 9 Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, (Bandung : PT. Cipta Aditya Bhakti, 1999), hal. 1 10 Harmien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran di Dunia Internasional, (Jakarta : Makalah Simposium, Medical Law, 1993), Hal 143 11 Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPerdata, (Jakarta : Rajawali Press, 2006), Hal 46 12 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa para pihak dalam kontrak terapeutik adalah pasien dan dokter/dokter gigi. Hubungan hukum terapeutik bersumber pada kepercayaan pasien terhadap bidan sehingga pasien bersedia memberikan persetujuan tindakan medis (informed consent), yaitu suatu persetujuan pasien untuk menerima upaya medis yang akan dilakukan terhadapnya. Hal ini dilakukan setelah ia mendapatkan informasi dari bidan mengenai kondisi kesehatan pasien dan upaya medis yang akan dilakukan bidan untuk menolong pasien, termasuk memperoleh informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi. Dikaitkan dengan UUPK, perangkat hukum informed consent tersebut diarahkan untuk : a. Menghormati harkat dan martabat pasien melalui pemberian informasi dan persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan; b. Meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat; c. Menumbuhkan sikap positif dan itikad baik serta profesionalisme pada peran bidan, mengingat pentingnya harkat dan martabat pasien; d. Memelihara dan meningkatkan mutu pelayanan sesuai standard an persyaratan yang berlaku. Hubungan pasien dengan bidan adalah suatu perikatan berusaha (inspannings verbintenia) yaitu dimana dalam melaksanakan tugasnya bidan berusaha untuk menyembuhkan atau memulihkan kesehatan pasien. Bidan dalam memberikan jasa ini tidak boleh dan tidak mungkin dapat memberikan 13 jaminan/garansi kepada pasiennya. Bidan juga tidak dapat dipersalahkan begitu saja apabila usahanya itu tidak sesuai dengan yang diharapkan pasien, sepanjang dalam melakukannya bidan telah memenuhi standar profesi dan menghormati hak-hak pasien. Hal-hal yang perlu disampaikan dalam Informed concent : 1. Maksud dan tujuan tindakan medis tersebut; 2. Resiko yang melekat pada tindakan medis itu; 3. Kemungkinan timbulnya efek samping; 4. Alternatif lain tindakan medis itu; 5. Kemungkinan-kemungkinan (sebagai konsekuensi) yang terjadi bila tindakan medis itu tidak dilakukan; 6. Dalam menjelaskan mengenai resiko perlu dikatakan mengenai : a) Sifat dan resiko tindakan b) Berat ringannya resiko yang terjadi c) Kemungkinan resiko itu terjadi d) Kapan resiko tersebut akan timbul seandainya terjadi Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perikatan (van verbintenissen), termuat ketentuan-ketentuan tentang perikatan yang terjadi karena undang-undang maupun perikatan yang timbul karena perjanjian. Perikatan yang terjadi karena undang-undang dapat timbul baik karena perintah undang-undang maupun sebagai akibat perbuatan seseorang. 14 Perbuatan itu dapat berupa perbuatan yang diperbolehkan (halal) atau perbuatan yang melanggar hukum. Hubungan pasien dengan bidan merupakan hubungan yang erat dan kompleks keeratan hubungan antara pasien karena diharuskan adanya kesalingpercayaan dan keterbukaan. Dalam hukum pasien dan bidan masing-masing memiliki hak dan kewajiban. Hubungan terapeutik antara pasien dengan bidan terdiri dari lima asas yang berlaku dalam hubungan kontraktual yaitu : a) Asas konsensual Dalam asas ini bidan dan pasien harus menyatakan persetujuannya, baik secara eksplisit (misalnya, secara lisan sanggup) atau secara implisit (misalnya menerima pendaftaran pasiennya, memberikan nomor urut). b) Asas itikad baik Itikad baik dari kedua belah pihak merupakan hal yang paling utama di dalam hubungan terapeutik antara pasien dan bidannya c) Asas bebas Dalam asas ini antara pasien dan bidannya mengikatkan diri bebas untuk menentukan hal-hal mengenai hak dan kewajiban masingmasing. d) Asas tidak melanggar hukum 15 Berdasarkan asas bebas, bidan dan pasiennya mengikatkan diri bebas untuk menentukan hal-hal mengenai hak dan kewajiban masing-masing tetapi dibatasi oleh asas ini yaitu isi perjanjiannya tidak boleh melanggar hukum. e) Asas kepatutan dan kebiasaan Disamping tunduk kepada hukum dan hal-hal yang telah disepakati oleh bidan dan pasien tetapi kepatutan dan kebiasaan harus diikuti. Dalam perikatan yang timbul karena perjanjian, tidak dipenuhinya atau dilanggarnya butir-butir perjanjian dapat mengakibatkan terjadinya cidera janji (wanprestasi). Perbuatan tersebut memberikan hak kepada para pihak yang dicederai janjinya untuk menggugat ganti rugi berupa biaya, kerugian dan bunga. Hak tersebut timbul akibat pihak yang dicederai janjinya mengalami kerugian berupa biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan, kerugian yang dialami, dan keuntungan (wintsderving) yang diharapkan yang tidak diterima karena perbuatan ingkar janji tersebut. Pengaturan mengenai hak ganti rugi dalam jasa pelayanan kesehatan diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengatur sebagai berikut : (1) Setiap orang berhak menuntut gnati rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya 16 (2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat. 3. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Terapeutik Menurut Titik Triwulan Tutik 12 , bidang pelayanan kesehatan mempunyai ciri khas yang berbeda dengan pelayanan jasa atau produk lainnya, yaitu ketidaktahuan konsumen (costumer ignorance), pengaruh penyedia jasa kesehatan konsumen/konsumen tidak memiliki daya tawar dan daya pilih (Supply induced demand), produk pelayanan kesehatan bukan konsep homogeny, pembatalan terhadap kompetisi, ketidakpastian tentang sakit, serta kesehatan sehat sebagai hak asasi. Berdasarkan dimensi kualitas layanan kesehatan maka harapan pasien sebagai konsumen pelayanan medis meliputi13 : a. Pemberian pelayanan yang dijanjikan dengan segera dan memuaskan; b. Membantu dan memberikan pelayanan dengan tanggap membedakan unsure sara (suku, agama, ras dan antar golongan); c. Jaminan keamanan, keselamatan, dan kenyamanan d. Komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan pasien. 12 Titik Triwulan Tutik dan Shita Febriana, Perlindungan Hukum bagi Pasien, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2010), Hal 27 13 Lock cit tanpa 17 Pasien selaku konsumen juga mempunyai hak-hak yang sama dengan pengguna barang dan/atau jasa lainnya. Dijelaskan dalam Pasal 4, Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, bahwa pasien sebagai konsumen pelayanan kesehatan memiliki perlindungan diri dari kemungkinan upaya-upaya pelayanan kesehatan yang tidak bertanggungjawab, seperti penelantaran. Pasien juga berhak atas keselamatan, keamanan dan kenyamanan terhadap pelayanan jasa kesehatan yang diterimanya. Dengan hak tersebut maka konsumen akan terlindungi dari praktik yang mengancam keselamatan atau kesehatannya. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur mengenai hak setiap orang terhadap pelayanan kesehatan, yaitu : (1) setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan; (2) setiap orang mempunyai hak dalam meperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau; (3) setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Hak pasien yang lainnya sebagai konsumen adalah hak untuk didengar dan mendapatkan ganti rugi apabila pelayanan yang didapatkan tidak sebagaimana mestinya, seperti yang tercantum dalam Pasal 56 ayat 1 dan 2 serta Pasal 58 ayat 1, 2, dan 3 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 56 ayat 1 mengatur bahwa “setiap orang berhak menerima 18 atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap. Hak tersebut tidak berlaku pada pasien dengan kondisi sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat 2, yaitu : a. Penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas; b. Keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; c. Gangguan mental berat. Pasien berhak menuntut ganti rugi atas terganggunya kesehatan, cacat, atau kematian yang terjadi karena kesalahan dan kelalaian tenaga kesehatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentnag Tenaga Kesehatan. Masyarakat sebagai konsumen berhak untuk mendapatkan opini kedua (second opinion), juga rekam medic (medical record) yang berisikan riwayat penyakit dirinya 14. Setiap hubungan hukum selalu mempunyai dua segi yang isinya disatu sisi hak dan disisi lain berupa kewajiban. Tiada hak tanpa kewajiban dan begitu pula sebaliknya, tiada kewajiban tanpa hak. Di dalam perlindungan konsumen juga terdapat hak dan kewajiban antara konsumen dan pelaku usaha/tenaga kesehatan. Kewajiban konsumen dalam hubungan hukum pelayanan kesehatan diantaranya sebagai berikut : 14 Ibid. Hal 31 19 a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar dengan nilai tukar yang disepakati; d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.15 Bidan selaku pelaku usaha di bidang jasa pelayanan kesehatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan, mempunyai hak sebagai berikut : a. memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan praktik/kerja sepanjang sesuai dengan standar; b. memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien dan/atau keluarganya; c. melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangan dan standar; d. menerima imbalan jasa profesi. Dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan diatur mengenai kewajiban Tenaga Kesehatan termasuk bidan, yaitu sebagai berikut : a. Menghormati hak pasien; b. Menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien; 15 Ibid, hal. 35. 20 c. Memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan diberikan; d. Meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan; e. Membuat dan memelihara rekam medic. Kewajiban bidan selaku tenaga kesehatan dalam Pasal 18 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin Penyelenggaraan Praktik Bidan adalah : a. Menghormati hak pasien; b. Memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan pelayanan yang dibutuhkan; c. Merujuk kasus yang bukan kewenangannya atau tidak dapat ditangani dengan tepat waktu; d. Meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan; e. Menyimpan rahasian pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; f. Melakukan pencatatan asuhan kebidanan dan pelayanan lainnya secara sistematia; g. Mematuhi standar; dan h. Melakukan pencatatan dan pelaporan penyelenggaraan praktik kebidanan termasuk pelaporan kelahiran dan kematian. B. Jasa Pelayanan Praktik Bidan 21 1. Pengertian Tenaga Kesehatan (Bidan) Pengertian bidan dan bidang praktiknya secara internasional telah diakui oleh internasional Confederation of Midwives (ICM) pada tahun 1972, International Federation of Gynaecologist and Obstetrician (FIGO) pada tahun 1973, WHO, dan badan lainnya. Pada Pertemuan Dewan di Kobe tahun1990, ICM menyempurnakan definisi tersebut dan kemudian disahkan oleh FIGO (1991) dan WHO (1992). Kemudian pada tanggal 19 Juli 2005, ICM memperbaharui kembali definisi bidan. Secara lengkap definisi bidan adalah : Bidan adalah seseorang yang telah menjalani program pendidikan bidan, yang telah diakui oleh Negara tempat ia tinggal, dan telah berhasil menyelesaikan studi terkait kebidanan serta memenuhi persyaratan untuk terdaftar dan/atau memiliki izin formal untuk praktik bidan. Bidan dikenal sebagai professional yang bertanggung jawab yang bekerja sebagai mitra perempuan dalam memberikan dukungan yang diperlukan, asuhan dan saran selama kehamilan, periode persalinan, dan pospsrtum, melakukan pertolongan persalinan di bawah tanggung jawabnya sendiri, serta memberikan perawatan pada bayi baru lahir dan bayi. Asuhan ini termasuk tindakan pencegahan, promosi persalinan normal, deteksi komplikasi pada ibu dan anaknya, akses untuk perawatan medis atau pertolongan semestinya lainnya, serta pemberian tindakan kedaruratan. 22 Bidan memiliki tugas penting dalam konseling dan pendidikan kesehatan, Tidak hanya pada perempuan tetapi juga pada keluarga dan masyarakat. Kegiatan ini harus mencakup pendidikan antenatal dan persiapan menjadi orang tua serta dapat meluas kepada kesehatan perempuan, kesehatan seksual atau kesehatan reproduksi dan perawatan anak.16 Dalam melaksanakan profesinya bidan memiliki peran sebagai pelaksana, pengelola, pendidik, dan peneliti. Peran bian sebagai pelaksana, bidan memiliki tiga kategori tugas, yaitu : 1. Tugas Mandiri, terdiri dari : a. Menetapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan kebidanan yang diberikan. b. Memberi pelayanan dasar pranikah pada anak remaja dan wanita dengan melibatkan mereka sebagai klien. c. Memberi asyhab kebidanan kepada klien selama kehamilan normal. d. Memberi asuhan kebidanan kepada klien dalam masa persalinan dengan meilbatkan klien/keluarga. e. Memberi asuhan kebidanan pada bayi baru lahir. 16 Dudi Zulvadi, op.cit,. hal 22 23 f. Memberi asuhan kebidanan pada klien dalam masa nifas dengan melibatkan klien/keluarga. g. Memberi asuhan kebidanan pada wanita usia subur yang membutuhkan pelayanan keluarga berencana. h. Memberi asuhan kebidanan pada wanita dengan gangguan system reproduksi dan wanita dalam klimekterium serta menopause. i. Memberi asuhan kebidanan pada bayi dan balita dengan melibatkan keluarga. 2. Tugas Kolaborasi, sebagi berikut : a. Menerapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan kebidanan sesuai fungsi kolaborasi dengan melibatkan klien dan keluarga. b. Memberi asuhan kebidanan pada ibu hamil dengan risiko tinggi dan pertolongan pertama pada kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi. c. Memberi asuhan kebidanan pada ibu dalam masa persalinan dengan resiko tinggi serta keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan pertolongan pertama dengan tindakan kolaborasi dengan melibatkan klien dan keluarga. d. Memberi asuhan kebidanan pada ibu hamil dalam masa nifas dengan resiko tinggi serta pertolongan pertama dalam keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi bersama klien dan keluarga. 24 e. Memberi asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan resiko tinggi serta pertolongan pertama dalam keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi bersama klien dan keluarga. f. Memberi asuhan kebidanan pada balita dengan resiko tinggi serta pertolongan pertama dalam keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi bersama klien dan keluarga 3. Tugas Ketergantungan, sebagai berikut : a. Menerapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan kebidanan sesuai dengan fungsi keterlibatan klien dan keluarga. b. Memberi asuhan kebidanan melalui konsultasi dan rujukan pada kasus kehamilan dengan resiko tinggi serta kegawatdaruratan. c. Memberi asuhan kebidanan melalui konsultsi dan rujukan pada masa persalinan dengan penyulit tertentu dengan melibatkan klien dan keluarga. d. Memberi asuhan kebidanan melalui konsultasi dan rujukan pada ibu dalam masa nifas yang disertai penyulit tertentu dan kegawatdaruratan dengan melibatkan klien dan keluarga. e. Memberi asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan kelainan tertentu dan kegawatdaruratan yang memerlukan konsultasi serta rujukan dengan melibatkan keluarga. 25 f. Memberi asuhan kebidanan kepada anak balita dengan kelainan tertentu dan kegawatdaruratan yang memerlukan konsultasi serta rujukan dengan melibatkan klien/keluarga. Peran sebagai Pengelola, bidan mempunyai 2 tugas, yaitu : a. Mengembangkan pelayanan dasar kesehatan terutama pelayanan kebidanan untuk individu, keluarga, kelompok khusus, dan masyarakat di wilayah kerja dengan melibatkan masyakat/klien. b. Berpartisipasi dalam tim untuk melaksanakan program kesehatan dan sector lain di wilayah kerjanya melalui peningkatan kemampuan dukun bayi, kader kesehatan serta tenaga kesehatan lainnya yang berada dibawah bimbingan dalam wilayah kerjanya. Peran sebagai Pendidik, bidan memiliki tugas sebagai berikut : a. Memberi pendidikan dan penyuluhan kesehatan kepada klien (individu, keluarga, kelompok, serta masyarakat) tentang penanggulangan masalah kesehatan, khususnya yang berhubungan dengan kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana. b. Melatih dan membimbing kader, peserta didik kebidanan dan keperawatan serta membina dukun bayi diwilayah atau tempat kerjanya. Peran sebagai Peneliti, bidan mempunyai tugas melakukan investigasi atau penelitian terapan dalam bidang kesehatan baik secara mandiri maupun berkelompok 26 Definisi Bidan dalam Pasal 1 angka 6 KEPMENKES No. 369/MENKES/SK/III/2007 Tentang Standar Profesi Bidan adalah : “Bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan Bidan yang diakui pemerintah dan organisasi profesi di wilayah Negara Republik Indonesia serta memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk diregister, sertifikasi dan atau secara sah mendapat lisensi untuk menjalankan praktik kebidanan”.17 2. Pengaturan Mengenai Praktik Bidan Pengaturan bidan praktek telah diatur sejak tahun 1963 dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 5380/Hukum Tahun 1963 tentang Wewenang Terbatas bagi Bidan yang dicabut dan diganti dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 363/Menkes/Per/IX/1980 tentang Wewenang Bidan kemudian diganti dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 623//Menkes/Per/IX/1989 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 363/Menkes/Per/IX/1980 tentang Wewenang Bidan. Ditetapkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 572/Menkes/Per/VI/1996 tentang Registrasi dan Praktik Bidan, maka Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 363/Menkes/Per/IX/1980 dan 17 Pasal 1 angka 6 keputusan menteri 369/MENKES/SK/III/2007 Tentang Standar Profesi Bidan. kesehatan republik Indonesia No. 27 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 623//Menkes/Per/IX/1989, menjadi tidak berlaku lagi. Peraturan ini juga kemudian direvisi dan diganti dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 900//Menkes/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan, dimana peraturan ini juga diperbaharui dan dicabut dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan. 3. Bidan Desa Bidan desa adalah bidan yang ditempatkan, diwajibkan tinggal serta bertugas melayani masyarakat di wilayah kerjanya, yang meliputi satu atau dua desa yang dalam melaksanakan tugas pelayanan medik baik di dalam maupun di luar jam kerjanya bertanggung jawab langsung kepada kepala Puskesmas dan bekerja sama dengan perangkat desa. Salah satu program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) adalah menurunkan kematian dan kejadian sakit di kalangan ibu, dan untuk mempercepat penurunan angka Kematian Ibu dan Anak adalah dengan meningkatkan mutu pelayanan dan menjaga kesinambungan pelayanan kesehatan ibu dan perinatal. Dalam usaha meningkatkan mutu pelayanan kebidanan dan kesehatan anak terutama di desa maka tenaga kesehatan (medis) seperti bidan harus menjalin kerjasama yang baik dengan tenaga non medis seperti dukun dengan mengajak dukun untuk melakukan pelatihan dengan harapan dapat: a. meningkatkan kemampuan dalam menolong persalinan 28 b. dapat mengenal tanda-tanda bahaya dalam kehamilan dan persalinan Selain bekerja sama dengan tenaga non medis seperti dukun,bidan desa juga bekerja sama dengan masyarakat yang secara sukarela membantu dan melaksanakan pos yandu. Biasanya masyarakat tersebut telah mendapat pelatihan dalam menjalankan tugasnya tersebut sebagai kader. Tugas dan fungsi bidan utama bidan desa adalah memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak, sebagaimana tertuang dalam SE Dirjen Binkesmas No. 492/Binkesmas/Dj/89 yang menyatakan penempatan bidan desa adalah memberikan pelayanan ibu dan anak serta KB dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan bayi serta kelahiran. Kehadiran bidan di desa diharapkan mampu memperluas jangkauan pelayanan yang telah ada sekaligus dapat meningkatkan cakupan program pelayanan KIA melalui: a. peningkatan pemeriksaan kesehatan ibu hamil yang bermutu b. pertolongan persalinan c. deteksi dini faktor kehamilan dan peningkatan pelayanan neonatal. d. Promosi kesehatan dan pencegahan penyakit pada bayi e. Serta bekerja sama dengan kader posyandu mencari sasaran ibu hamil dengan melakukan :  kunjungan rumah  sosialisasi pentingnya pemeriksaan kesehatan antenatal 29 memotivasi ibu hamil untuk memeriksakan kehamilan secara rutin minimal empat kali selama kehamilannya. Prinsip Pelayanan Kebidanan di Desa a. Pelayanan di komunitas desa sifatnya multi disiplin meliputi ilmu kesehatan masyarakat, kedokteran, sosial, psikologi, komunikasi, ilmu kebidanan, dan lain-lain yang mendukung peran bidan di komunitas b. Dalam memberikan pelayanan di desa bidan tetap berpedoman pada standar dan etika profesi yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia c. Dalam memberikan pelayanan bidan senantiasa memperhatikan dan memberi penghargaan terhadap nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, sepanjang tidak merugikan dan tidak bertentangan dengan prinsip kesehatan. Fungsi bidan desa , yaitu : 1. Memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di rumah-rumah,menangani persalinan,pelayanan keluarga berencana dan pengayoman medis kontrasepsi 2. Menggerakkan dan membina para serta masyarakat dalam bidang kesehatan,yang sesuai dengan kesehatan setempat permasalahan 30 3. Membina dan memberikan bimbimngan teknis kepada kader serta dukun bayi 4. Membina kelompok dasa wisma dibidang kesehatan 5. Membina kerja sama lintas program,lintas sektoral,dan lembaga swadaya masyarakat 6. Melakukan rujukan medis maupun rujukan kesehatan kepada puskesmas kecuali dalam keadaan darurat harus dirujuk ke fasilitas kesehatan lainnya 7. Mendeteksi secara dini adanya efek samping dan komplikasi pemakaian alat kontrasepsi serta adanya penyakit-penyakit dan berusaha mengatasi sesuai kemampuan. Tujuan penempatan bidan desa secara umum adalah meningkatkan mutu dan pemerataan pelayanan dalam rangka menurunkan angka kematian ibu,anak balita,dan menurunkan angka kelahiran serta meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup sehat. Secara khusus tujuan penempatan bidan di desa adalah : 1) Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat 2) Meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan 3) Meningkatnya mutu persalinan,perawatan kontrasepsi. pelayanan nifas dan ibu perinatal, hamil,pertolongan serta pelayanana 31 4) Menurunnya jumlah kasus-kasus yang berkaitan penyulit kehamilan,persalinan,dan perinatal. 5) Menurunnya jumlah balita yang menderita gizi buruk dan diare. 6) Meningkatnya kemampuan keluarga untuk hidup sehat dengan membantu pembinaan kesehatan masyarakat. 7) Meningkatnya peran serta masyarakat melalui pendekatan PKMD termasuk gerakan dana sehat. Menurut Azrul Azwar pelayanan kesehatan yang terdapat dalam masyarakat secara umum dapat dibedakan atas tiga macam,yaitu : 1) Pelayanan kesehatan tingkat I Pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan pelayanan yang bersifat dasar. 2) Pelayanan Kesehatan tingkat II Pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan pelayanan spesialis atau bahkan kadang-kadang pelayanan subspesialisi tetapi terbatas. 3) Pelayanan Kesehatan tingkat III Pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan pelayanan spesialis dan subspesialisi. Dari ketiga klasifikasi di atas dapat diketahui bahwa pelayanan kesehatan yang dilaksanakan oleh bidan desa lebih cenderung dalam pelayanan tingkat dasar pertama. Selain membantu penurunan angka kematian dan peningkatan kesehatan ibu dan anak termasuk keluarga 32 berencana. Bidan desa juga membantu memberikan pengobatan pertama pada masyarakat yang membutuhkan sebelum mendapatkan pertolongan yang lebih efisien di rumah sakit. Tugas Pokok bidan desa adalah sebagai berikut : 1) Melakukan pelayanan kesehatan,khususnya kesehatan ibu dan anak di desa wilayah kerjanya berdasarkan urutan prioritas masalah kesehatan yang dihadapi sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. 2) Menggerakkan dan membina masyarakat desa di wilayah kerjanya agar memiliki kesadaran berperilaku hidup bersih dan sehat Wewenang bidan desa sama dengan wewenang yang diberikan kepada bidan lainnya. Hal ini diatur dalam peraturan Menteri Kesehatan. Wewenang tersebut adalah sebagai berikut : 1) Wewenang umum Kewenangan yang diberikan untuk melaksanakan tugas yang dapat dipertanggungjawabkan secara mandiri. 2) Wewenang khusus Wewenang khusus adalah wewenang untuk melaksanakan kegiatan yang memerlukan pengawasan dokter. Tanggung jawab pelaksanaannya berada pada dokter yang diberikan wewenang tersebut. 3) Wewenang pada keadaan darurat 33 Bidan diberikan wewenang melakukan pertolongan pertama untuk menyelamatkan penderita atas tanggung jawabnya sebagai insane profesi. Segera setelah melakukan tindakan darurat tersebut, bidan diwajibkan membuat laporan ke Puskesmas di wilayah kerjanya. 4) Wewenang tambahan Bidan dapat diberi wewenang tambahan oleh atasannya dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan masyarakat lainnya sesuai dengan program pemerintah,pendidikan dan pelatihan yang diterimanya. Sesuai dengan kewenangan bidan yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.363/Menkes/Per/IX/1990, maka kegiatan bidan desa adalah : 1) Mengenal wilayah,struktur kemasyarakatan dan komposisi penduduk serta sistem pemerintahannya. 2) Merencanakan dan menganalisa data serta mengidentifikasi masalah kesehatan untuk merencanakan penanggulangannya. 3) Menggerakkan peran serta masyarakat melalui pendekatan PKMD dengan melaksanakan Pertemuan Tingkat Desa ( PTD ),Supaya Mawas Diri ( SMD ) dan Musyawarah Masyarakat Desa ( MMD ) yang diikuti dengan menghimpun dan melatih kader sesuai dengan kebutuhan. 4) Memberikan pertolongan persalinan 34 5) Memberikan pertolongan kepada pasien ( orang sakit ),kecelakaan dan kedaruratan. 6) Kunjungan rumah untuk melaksanakan perawatan kesehatan masyarakat di wilayah kerja bidan. 7) Melatih dan membina dukun bayi agar mampu melaksanaka penyuluhan dan membantu deteksi ibu hamil risiko tinggi. 8) Menggerakkan masyarakat agar melaksanakan kegiatan dana sehat di wilayah kerjanya. Peranan teknik yang dimiliki bidan desa meliputi semua upaya dan kegiatan untuk melaksanakan pelayanan kebidanan dan pelayanan KIA pada umumnya ( termasuk KB ), manajemen pelayanan KIA di wilayah kerjanya dan peningkatan peran serta masyarakat dalam bidang KIA, khususnya pembinaan dukun bayi yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan bidan dalam aspek fungsi teknisnya, agar dapat berperan dalam mempercepat penurunan kematian ibu dan bayi dan meningkatkan kemampuan dalam manajemen KIA dan upaya pendukungnya. Kebijaksanaan yang ditetapkan dalam pembinaan peranan teknik bidan desa adalah sebagai berikut : 1) Pendayagunaan bidan desa ditujukan untuk mendukung percepatan penurunan AKI dan AKB 35 2) Bertujuan untuk memastikan bahwa mereka melaksankan tugas pokoknya sesuai standar yang ditetapkan dan mempunyai bekal pengetahuan serta keterampilan cukup untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. 3) Pembinaan bidan desa hendaknya dikembangkan per kabupaten sesuai kondisi setempat di bawah pembinaan tingkat propinsi dengan mengacu kepada pola pembinaan teknis yang berlaku nasional. Selain kewenganan sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, bidan desa juga memiliki wewenang sebagai berikut : 1) Melakukan penyuluhan kesehatan Penyuluhan yang khususnya mengenai kesehatan reproduksi kepada masyarakat. Penyuluhan ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya melakukan pemeriksaan kehamilan serta persalinan yang ditolong oleh tenaga bidan desa. 2) Melakukan pelayanan rujukan Jika bidan desa tak mampu menangani pasien atau pasien mengalami kegawatdaruratan,maka diharapkan bidan desa melakukan rujukan ke puskesmas atau Rumah sakit 3) Memberikan pelayanan antenatal Antenatal care adalah merupakan cara penting untuk memonitoring dan mendukung kesehatan ibu hamil normal dan mendeteksi ibu dengan 36 kehamilan normal, ibu hamil sebaiknya dianjurkan mengunjungi bidan atau dokter sedini mungkin semenjak ia merasa dirinya hamil untuk mendapatkan pelayanan dan asuhan antenatal. 4. Jasa Pelayanan Praktik Bidan Bidan yang akan menjalankan praktek mandiri dan/atau bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan harus menempuh pendidikan minimal Diploma III (DIII) kebidanan. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan. Setelah menempuh pendidikan tersebut bidan harus mengajukan permohonan pendaftaran untuk memiliki Surat Izin Kerja Bidan (SIKB) untuk bidan yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan dan Surat Izin Praktik Bidan (SIPB) untuk bidan yang akan menjalankan praktik mandiri, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan. Untuk mendapatkan SIKB dan/atau SIPB, bidan harus mengajukan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan melampirkan syaratsyarat sebagai berikut : a. Fotocopy STR yang masih berlaku dan di legalisasi; b. Surat keterangan sehat fisik dari dokter yang memiliki Surat Izin Praktik; 37 c. Surat pernyataan memiliki tempat kerja di fasilitas pelayanan kesehatan atau tempat praktik; d. Pas foto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar. e. Rekomendasi dari kepala dinas kesehatan kabupaten/kota atau pejabat yang ditunjuk; dan f. Rekomendasi dari organisasi profesi. Pelayanan kebidanan adalah penerapan ilmu kebidanan melalui asuhan kebidanan kepada klien yang menjadi tanggug jawab bidan, mulai dari kehamilan, persalinan, nifas, bayi baru lahir, keluarga berencana, termasuk kesehatan reproduksi wanita dan pelayanan kesehatan masyarakat. 18 Pelayanan kebidanan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang diarahkan untuk mewujudkan kesehatan wanita dalam siklus reproduksi, bayi baru lahir, dan balita untuk mewujudkan kesehatan keluarga sehingga tersedia sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas di masa depan. Pelayanan kebidanan dibedakan berdasarkan kewenangan bidan, yaitu : Pertama, Layanan kebidananan primer atau mandiri, merupakan asuhan kebidanan yang diberikan kepada klien dan sepenuhnya menjadi tanggug jawab bidan. 18 Dudi Zulvadi, op.cit,. hal 24. 38 Kedua, Layanan kolaborasi, merupakan asuhan kebidanan yang diberikan kepada klien dengan tanggung jawab bersama semua pemberi layanan yang terlibat (misalnya bidan, dokter dan/atau tenaga kesehatan professional lainnya). Bidan adalah anggota tim. Ketiga, Layanan rujukan, merupakan asuhan kebidanan yang dilakukan dengan menyerahkan tanggung jawab kepada dokter, ahli dan/atau tenaga kesehatan professional lainnya untuk mengatasi masalah kesehatan klien di luar kewenangan bidan dalam rangka menjamin kesejahteraan ibu dan anaknya. 19 Bentuk pelayanan kebidanan tersebut harus berpedoman pada standar pelayanan kebidanan yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 369/MENKES/SK/III/2007 Tentang Standar Profesi Bidan. Praktik kebidanan adalah penerapan ilmu kebidanan melalui pelayanan / asuhan kebidanan kepada klien dengan pendekatan kebidanan. Lingkungan praktik kebidanan meliputi asuhan mandiri / otonomi pada anak perempuan, remaja putri, dan wanita dewasa sebelum, selama kehamilan, dan sesudahnya. Ini berarti bidan melakukan pengawasan, member asuhan dan saran yang diperlukan kepada wanita selama masa hamil, bersalin, dan masa nifas. Praktik kebidanan dilakukan dalam sistem pelayanan kesehatan yang berorientasi pada masyarakat, dokter, perawat, 19 Ibid., hal 25. 39 dan dokter spesialis di pusat-pusat rujukan. Bidan dapat praktik diberbagai tatanan pelayanan, termasuk di rumah, masyarakat, Rumah Sakit, klinik atau unit kesehatan lainnya. Asuhan kebidanan adalah penerapan fungsi, kegiatan, dan bertanggung jawab bidan dalam pelayanan yang diberikan kepada klien yang memiliki kebutuhan dan/atau masalah kebidanan (kehamilan, persalinan, nifas, bayi baru lahir, keluarga berencana, kesehatan reproduksi wanita, dan pelayanan kesehatan masyarakat). Berdasarkan penjelasan mengenai asuhan / pelayanan kebidanan di atas, tugas bidan adalah sebagai berikut : a. Memberikan bimbingan, asuhan, dan nasihat kepada remaja (sebagai calon ibu), ibu hamil termasuk ibu hamil dengan resiko tinggi, ibu melahirkan, ibu nifas, ibu menyusui, serta ibu dalam masa klimakterium dan menopause. b. Menolong ibu yang melahirkan dan member asuhan pada bayi dan anak-anak prasekolah. c. Memberi pelayanan keluarga berencana dalam rangka mewujudkan keluarga kecil, sehat, dan sejahtera. d. Melakukan tindakan pencegahan dan deteksi terhadap kondisi ibu dan anak balita yang mengalami ganguan kesehatan, serta memberi bantuan pengobatan sebagai pertolongan pertama sebelum tindakan medis lebih lanjut dilakukan. 40 e. Melakukan penyuluhan kesehatan khususnya mengenai kehamilan, perkawinan, penyakit kandungan yang terkait dengan kehamilan dan keluarga berencana, kesehatan balita, gizi, dan kesehatan lingkungan keluarga. f. Membimbing dan melatih calon bidan, dukun bayi, serta kader kesehatan dalam lingkup pelayanan kebidanan. g. Mengkaji kegiatan pelayanan asuhan kebidanan yang dilakukan untuk perbaikan dan peningkatan. h. Memotivasi dan menggerakan masyarakat terutama kaum wanita dalam rangka mewujudkan kesehatan serta kesejahteraan keluarga. 20 Dalam Pasal 9 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 Tentang Izin Penyelenggaraan Praktik Bidan diatur mengenai kewenangan bidan, yaitu : a. Pelayanan kesehatan ibu; b. Pelayanan kesehatan anak; dan c. Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana. Pelayanan kesehatan ibu yang dilayani bidan meliputi pelayanan pada masa pra hamil, masa nifas, masa menyusui dan masa antara dua kehamilan. Dalam memberikan pelayanan yang dimaksudkan tersebut, bidan mempunyai wewenang sebagai berikut : a. Episiotomy; 20 Ibid., hal 54-55. 41 b. Penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II; c. Penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan; d. Pemberian tablet Fe pada ibu hamil; e. Pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas; f. Fasilitas/bimbingan inisiasi menyusu dini dan promosi air susu ibu eksklusif; g. Pemberian oterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum; h. Penyuluhan dan konseling; i. Bimbingan pada kelompok ibu hamil; j. Pemberian surat keterangan kematian; dan k. Pemberian surat keterangan cuti bersalin Pelayanan kesehatan anak yang dilakukan bidan diberikan pada bayi baru lahir, bayi, anak balita, dan anak pra sekolah. Dalam memberikan pelayanan tersebut bidan berwenang untuk : a. Melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk resusitasi, pencegahan hipotermia, inisiasi menyusu diri, injeksi vitamin K 1, perawatan bayi baru lahir pada masa neonatal (0-28 hari), dan perawatan tali pusat; b. Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk; c. Penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan; d. Pemberian imunisasi rutin sesuar program pemerintah; e. Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak pra sekolah; 42 f. Pemberian konseling dan penyuluhan; g. Pemberian surat keterangan kelahiran; dan h. Pemberian surat keterangan kematian Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana, berwenang untuk : a. Memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berebcana; dan b. Memberikan alat kontrasepsi oral dan kondom Berkaitan dengan kesehatan, penjelasan umum Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, menyatakan bahwa pembangunan kesehatan sebagai salah satu bagian dari pembangunan nasional diarahkan demi tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Oleh karena itu diperlukannya pengawasan dari pemerintah secara terus menerus dan berkesinambungan. Bidan dalam memberikan jasa pelayanan kesehatan dilarang menjalankan praktik apabila tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam izin praktik dan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan standar profesi kebidanan. Ketentuan tersebut dikecualikan bagi bidan yang memberikan pertolongan dalam keadaan darurat atau menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada tenaga kesehatan lain yang berwenang. 43 Bidan sebagai tenaga kesehatan harus memiliki kesiapan untuk merujuk ibu atau bayi ke fasilitas kesehatan rujukan secara optimal dan tepat waktu jika menghadapi penyulit. Rujukan kebidanan adalah kegiatan pemindahan tanggungjawab terhadap kondisi klien/pasien ke fasilitas pelayanan yang lebih memadai (tenaga atau pengetahuan, obat, dan peralatannya). Adapun jenis-jenis rujukan yaitu : a. Rujukan medik Yaitu pelimpahan tanggung jawab secara timbal balik atas satu kasus yang timbul baik secara vertical maupun horizontal kepada yang lebih berwenang dan mampu menangani secara rasional. Jenis rujukan medic antara lain: Transfer of patient. Konsultasi penderita untuk keperluaan diagnostic, pengobatan, tindakan opertif dan lain – lain. Transfer of specimen. Pengiriman bahan (spesimen) untuk pemeriksaan laboratorium yang lenih lengkap. Transfer of knowledge / personal. Pengiriman tenaga yang lebih kompeten atau ahli untuk meningkatkan mutu layanan setempat. b. Rujukan kesehatan 44 Yaitu hubungan dalam pengiriman, pemeriksaan bahan atau specimen ke fasilitas yang lebih mampu dan lengkap. Ini adalah rujukan uang menyangkut masalah kesehatan yang sifatnya pencegahan penyakit (preventif) dan peningkatan kesehatan (promotif). Rujukan ini mencakup rujukan teknologi, sarana dan operasional. Mekanisme Rujukan a. Menentukan kegawatdaruratan pada tingkat kader, bidan desa, pustu dan puskesmas : Pada tingkat Kader Bila ditemukan penderita yang tidak dapat ditangani sendiri maka segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat karena mereka belum dapat menetapkan tingkat kegawatdaruratan Pada tingkat bidan desa, puskesmas pembantu dan puskesmas Tenaga kesehatan harus dapat menentukan tingkat kegawatdaruratan kasus yang ditemui. Sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya mereka harus menentukan kasus mana yang boleh ditangani sendiri dan kasus mana yang harus dirujuk b. Menentukan tempat tujuan rujukan 45 Prinsip dalam menentukan tempat rujukan adalah fasilitas pelayanan yang mempunyai kewenangan terdekat, termasuk fasilitas pelayanan swasta dengan tidak mengabaikan kesediaan dan kemampuan penderita. c. Memberikan informasi kepada penderita dan keluarganya. Klien dan keluarga perlu diberikan informasi tentang perlunya penderita segera dirujuk untuk mendapatkan pertolongan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih mampu d. Mengirimkan informasi pada tempat rujukan yang dituju melalui telepon atau radio komunikasi pelayanan kesehatan yang lebih mampu. e. Persiapan penderita Sebelum dikirim keadaan umum penderita harus diperbaiki terlebih dahulu atau dilakukan stabilisasi. Keadaan umum ini perlu dipertahankan selama dalam perjalanan. Surat rujukan harus dipersiapkan sesuai dengan format rujukan dan seorang bidan harus mendampingi penderita dalam perjalanan sampai ke tempat rujukan. f. Pengiriman penderita Untuk mempercepat sampai ke tujuan, perlu diupayakan kendaraan/sarana transportasi yang tersedia untuk mengangkut penderita. 46 g. Tindak lanjut penderita Untuk penderita yang telah dikembalikan dan memrlukan tindak lanjut, dilakukan tindakan sesuai dengan saran yang diberikan. Bagi penderita yang memerlukan tindak lanjut tapi tidak melapor, maka perlu dilakukan kunjungan rumah 5. Pengawasan Pemerintah Pemerintah merupakan pihak yang mempunyai wewenang untuk membuat peraturan melaksanakan pelaksanaan peraturan yang dibuat tersebut untuk ditaati oleh masyarakat. Pelaksanaan perlindungan konsumen juga melibatkan pihak-pihak yang secara langsung melaksanakan fungsi perlindungan konsumen yaitu : a. Departemen atau instansi yang berwenang. Yang dimaksud departemen atau instansi yang terkait dengan produk (departemen teknis) yang menangani produk yang bersangkutan misalnya pemberian izin, penentuan standar mutu, dan sebagainya yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Sedangkan departemen di bidang Perbankan adalah Departemen Keuangan, Bank Indonesia yang berwenang dalam kebijakan moneter dan perbankan. b. Organisasi pelaku usaha atau pengusaha. Pelaku usaha dalam keanggotaan sebuah organisasi pengusaha wajib mentaati ketentuan yang dikeluarkan oleh organisasi pengusaha, dalam 47 dunia perbankan, bang milik pemerintah maupun swasta tunduk pada Bank Indonesia sebagai lembaga, pengawas dan Pembina perbankan. Bidan juga mempunyai organisasi, dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.02.02/Menkes/149/2010 Tentang Izin Dan Penyelenggaraan Praktik Bidan Pasal 1 huruf (h) Organisasi profesi bidan adalah Ikatan Bidan Indonesia (IBI) c. Organisasi konsumen Organisasi yang dibentuk khusus untuk melindungi hak-hak konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha. Organisasi perlindungan konsumen di Indonesia yaitu YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) yang didirikan sejak tahun 1973. Tanggung jawab pemerintah di sektor kesehatan didasarkan pada Pasal 14 ayat (1) Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan sebagai berikut : “ Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.” Pengawasan pemerintah di sektor kesehatan didasarkan pada Pasal 182 ayat (1) Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, sebagai berikut “menteri melakukan pengawasan terhadap masyarakat dan setiap penyelenggaraan kegiatan yang berhubungan dengan sumberdaya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan”, dan Pasal 188 ayat (1) berbunyi “ 48 menteri dapat mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”. Masalah pengawasan juga diatur dalam UUPK yaitu dalam Pasal 30 sebagai berikut : Ayat (1) : Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Ayat (2) : Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri teknis terkait. Ayat (6) : Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sbagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Tindakan ini cukup menjanjikan upaya perlindungan konsumen melalui pemberdayaan setiap unsur yang ada yaitu masyarakat dan perlindungan swadaya masyarakat disamping pemerintah sendiri melalui menteri dan/atau menteri teknis yang terkait. Berdasarkan hal tersebut diatas, bahwa yang terpenting adalah pengawasan diupayakan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat dalam kedudukan yang tidak lain adalah konsumen. 49 Bentuk pengawasan yang dilakukan Pemerintah dalam pelaksanaan jasa pelayanan bidan praktik dapat berupa pemberian sanksi. Dalam Pasal 33 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan diatur mengenai kewenangan Menteri untuk mengambil tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan yang bersangkutan. Tindakan disiplin yang dimaksud dapat berupa : a. Teguran b. Pencabutan izin untuk melakukan upaya kesehatan. Pasal 23 Peratuan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan, mengatur bahwa Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat memberikan tindakan administratif kepada bidan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan praktik dalam peraturan tersebut. Tindakan administratif yang dimaksud dapat berupa : a. Teguran lisan; b. Teguran tertulis; c. Pencabutan SIKB/SIPB untuk sementara paling lama 1 (satu) tahun; atau d. Pencabutan SIKB/SIPB selamanya 50 Selain ketentuan mengenai sanksi diatas, Pasal 24 ayat (1) Peratuan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan mengatur bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat memberikan sanksi berupa rekomendasi pencabutan izin/STR kepada Kepala Dinas kesehatan Provinsi/Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) terhadap bidan yang melakukan praktik tanpa memiliki SIPB atau kerja di fasilitas pelayanan kesehatan tanpa memiliki SIKB. Pada ayat (2) diatur mengenai kewenangan Pemerintah Daerah Kabuoaten/Kota untuk menjatuhkan snksi teguran lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan izin fasilitas pelayanan kesehatan sementara kepada pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan yang mempekerjakan bidan yang tidak memiliki SIKB. 6. KodeEtik Profesi Bidan Setiap profesi mutlak mengenal atau mempunyai kode etik. Dengan demikian dokter, perawat,bidan, guru dan sebagainya yang merupakan bidang pekerjaan profesi mempunyai kode etik. Kode etik suatu profesi adalah berupa norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi yang bersangkutan didalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidupnya di masyarakat. 51 Pengertian kode etik dalam buku Dudi Zulvadi 21, adalah normanorma yang harus diindahkan oleh setiap profesi dalam melaksanakan tugas profesinya dan hidupnya di masyarakat. Norma tersebut berisi petunjuk bagi anggota profesi tentang bagaimana mereka harus menjalankan profesinya dan larangan, yaitu ketentuan tentang apa yang boleh dan tidak boleh diperbuat atau dilaksanakan oleh anggota profesi, tidak saja dalam menjalankan tugas profesinya melainkan juga menyangkut tingkah laku pada umumnya dalam pergaulan sehari-hari dalam masyarakat. Pengertian kode etik dalam buku yang diterbitkan Departemen Kesehatan22, adalah suatu kesepakatan yang diterima dan dianut bersama (kelompok tradisional) sebagai tuntunan dalam melakukan praktik. Kode etik disusun oleh profesi berdasarkan pada keyakinan dan kesadaran profesional serta tanggung jawab yang berakar pada kekuatan moral dan kemampuan manusia. Praktik Kebidanan adalah implementasi dari ilmu kebidanan oleh Bidan yang bersifat otonom, kepada perempuan, keluarga dan komunitasnya, didasari etika dan kode etik Bidan. Etika, moral, dan nilai-nilai : 21 Dudi Zulvadi, Etika dan Manajemen Kebidanan, Cahaya Ilmu,Yogyakarta, 2010, hal 108 Departemen Kesehatan, Komunikasi Efektif Ibu Selamat, Bayi Sehat, Keluarga Berencana, Pelatihan Keterampilan Komunikasi Interpersonal/Konseling, Buku Bantu Bidan Siaga, Jakarta, 2002 22 52 1. Etik merupakan suatu pertimbangan yang sistematis tentang perilaku benar atau salah, kebajikan atau kejahatan yang berhubungan dengan perilaku. 2. Etika merupakan aplikasi atau penerapan teori tentang filosofi moral ke dalam situasi nyata dan berfokus pada prinsip-prinsip dan konsep yang membimbing manusia berpikir dan bertindak dalam kehidupannya yang dilandasi oleh nilai-nilai yang dianutnya. Banyak pihak yang menggunakan istilah etik untuk mengambarkan etika suatu profesi dalam hubungannya dengan kode etik profesional seperti Kode Etik PPNI atau IBI. 3. Nilai-nilai (values) adalah suatu keyakinan seseorang tentang penghargaan terhadap suatu standar atau pegangan yang mengarah pada sikap/perilaku seseorang. Sistem nilai dalam suatu organisasi adalah rentang nilai-nilai yang dianggap penting dan sering diartikan sebagai perilaku personal. 4. Moral hampir sama dengan etika, biasanya merujuk pada standar personal tentang benar atau salah. Hal ini sangat penting untuk mengenal antara etika dalam agama, hukum, adat dan praktek professional. Pada dasarnya tujuan menciptakan atau merumuskan kode etik suatu profesi adalah untuk kepentingan anggota dan kepentingan 53 organisasi. Secara umum tujuan menciptakan kode etik adalah sebagai berikut: 1. Untuk menjunjung tinggi martabat dan citra profesi Dalam hal ini yang dijaga adalah image dari pihak luar atau masyarakat mencegah orang luar memandang rendah atau remeh suatu profesi. Oleh karena itu, setiap kode etik suatu profesi akan melarang berbagai bentuk tindak tanduk atau kelakuan anggota profesi yang dapat mencemarkan nama baik profesi di dunia luar. Dari segi ini kode etik juga disebut kode kehormatan. 2. Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota Yang dimaksud kesejahteraan ialah kesejahteraan material dan spiritual atau mental. Dalam hal kesejahteraan materil angota profesi kode etik umumnya menerapkan larangan-larangan bagi anggotanya untuk melakukan perbuatan yang merugikan kesejahteraan. Kode etik juga menciptakan peraturan-peraturan yang ditujukan kepada pembahasan tingkah laku yang tidak pantas atau tidak jujur para anggota profesi dalam interaksinya dengan sesama anggota profesi. 3. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi Dalam hal ini kode etik juga berisi tujuan pengabdian profesi tertentu, sehingga para anggota profesi dapat dengan mudah mengetahui tugas dan tanggung jawab pengabdian profesinya. Oleh karena itu kode etik 54 merumuskan ketentuan-ketentuan yang perlu dilakukan oleh para anggota profesi dalam menjalankan tugasnya. 4. Untuk meningkatkan mutu profesi Kode etik juga memuat tentang norma-norma serta anjuran agar profesi selalu berusaha untuk meningkatkan mutu profesi sesuai dengan bidang pengabdiannya. Selain itu kode etik juga mengatur bagaimana cara memelihara dan meningkatkan mutu organisasi profesi. C. Perlindungan Hukum Konsumen 1. Perlindungan Hukum Konsumen Perlindungan hukum adalah jaminan perlindungan pemerintah dan atau masyarakat kepada warga negara dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perlindungan hukum adalah upaya melindungi secara hukum terhadap riwa raga, harta benda seseorang dan Hak Asasi Manusia (HAM), yang terdiri dari hak untuk hidup, hak kemerdekaan, hak beragama dan lain sebagainya. Jadi pelanggaran hukum apapun yang dilakukan terhadap hal-hal tersebut diatas akan dikenakan sanksi hukum/hukuman.23 Perlindungan hukum merupakan hak setiap warga negara Indonesia, maksudnya adalah bahwa setiap atau seluruh warga negara Indonesia tanpa 23 http://www.fakultashukum-universitaspancasakti.com, Bahan Kuliah HAN, diakses tanggal 5 april 2011 55 membedakan berdasarkan golongan tertentu, berhak mendapatkan perlindungan hukum dari sesuatu yang mengancam dirinya. Perlindungan kepada segenap bangsa Indonesia dapat berupa perlindungan secara fisik maupun perlindungan secara hukum. Perlindungan fisik adalah perlindungan yang berkaitan dengan kebendaan atau materi. Perlindungan hukum adalah perlindungan terhadap hak-hak yang dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dalam Pasal 7 disebutkan bahwa : “Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini“. Hukum merupakan penceminan dari jiwa dan pikiran rakyat. Konstitusi dasar Negara kita, secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara yang berlandaskan hukum. Salah satu unsur yang dimiliki oleh negara hukum adalah pemenuhan akan hak-hak dasar manusia (fundamental rights). Pemerintah telah mengatur secara jelas tentang perlindungan yang diberikan kepada warga negaranya dalam perundang-undangan, termasuk juga hak-hak masyarakat selaku warga Negara Indonesia. Indonesia seperti halnya negara berkembang lainnya menghadapi permasalahan yang tidak jauh berbeda dalam bidang hukum perlindungan 56 konsumen. Kondisi konsumen di negara kita masih sering mengalami hal-hal yang merugikan dirinya, posisi konsumen lebih lemah dibandingkan dengan pengusaha dan organisasinya. Permasalahan ketidakseimbangan kedudukan konsumen tersebut kemudian dijembatani oleh hokum perlindungan konsumen. Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang mengatur sifat yang melindungi kepentingan konsumen24. Hukum Konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan asas-asas atau kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat25. Hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan peraturanperaturan yang mengatur segala tingkah laku manusia yang berhubungan dengan pihak konsumen, pelaku usaha dan pihak lain yang berkaitan dengan masalah konsumen yang disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya. Hal ini tercermin dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang merupakan perundang-undangan di Indonesia dengan kepentingan pemberian perlindungan hukum kepada konsumen. 24 A.Z. Nasution (a), Konsumen dan Konsumen; Tinjauan Sosial, Ekonomi, dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, cet.1. (Jakarta : Pustaka Sinar, 1995), Hal : 65. 25 A.Z. Nasution (b), Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, cet 2, (Jakarta : Diadit Media, 2002), Hal 22. 57 Pengertian perlindungan konsumen sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu: “perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen / UUPK) tersebut cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk hak untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.26 Pelindungan konsumen yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen. Kepastian hukum meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut. 26 .Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hal. 1. 58 Menurut Purba, perlindungan hukum bagi konsumen sebagai satu konsep terpadu merupakan hal baru, yang perkembangannya dimulai dari negaranegara maju. Namun demikian, saat ini konsep ini sudah tersebar ke bagian dunia lain. Lebih jauh menurut Purba terdapat sendi-sendi pokok pengaturan perlindungan hukum bagi konsumen, sebagai berikut : a. Kesederajatan antara konsumen dan pelaku usaha; b. Konsumen mempunyai hak; c. Pelaku usaha mempunyai kewajiban; d. Pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi konsumen menyumbang pada pembangunan nasional; e. Pengaturan tidak merupakan syarat; f. Perlindungan hukum bagi konsumen dalam iklim hubungan bisnis yang sehat; g. Keterbukaan dalam promosi produk; h. Pemerintah berperan aktif; i. Peran serta masyarakat; j. Implementasi asas kesadaran hukum; k. Perlindungan hukum bagi konsumen memerlukan penerobosan konsepkonsep hukum tradisional; 59 l. Konsep perlindungan hukum bagi konsumen memerlukan penerobosan konsep-konsep hukum.27 Menurut undang-undang No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dalam Pasal 1 angka (1) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah segala usaha yang menjamin adanya kepastian hukum untuk member perlindungan kepada konsumen. Berdasarkan Pasal 3 Undang-undang perlindungan konsumen, perlindungan konsumen bertujuan: a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan dari ekses negative pemakaian barang dan atau jasa; c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. Menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha.28 27 Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, Nusa Media, Bandung, 2010, hal.3 60 Perlindungan konsumen didasarkan atas 5 (lima) asas seperti yang terurai dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa : “Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”. Abdul Hakim Barkatullah dalam bukunya menuliskan bahwa untuk mewujudkan tujuan perlindungan hukum bagi konsumen, negara bertanggungjawab atas pembinaan dan penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen. Pembinaan dan penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen dilakukan melalui upaya-upaya sebagai berikut : a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konumen; b. berkembangnya lembaga perlindungan hukum bagi konsumen baik oleh negara atau swadaya masyarakat; c. meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan dibidang perlindungan hukum bagi konsumen.29 Perlindungan konsumen didasarkan atas 5 (lima) asas seperti yang terurai dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan 28 Kansil, C.S.T, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Aksara Baru , Jakarta, 1985, hal. 217. 29 Abdul Hakim Barkatullah , Op.cit, hal. 27. 61 Konsumen bahwa : Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu : b. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. c. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. d. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spirituil. e. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. f. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam 62 menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta menjamin kepastian hukum. Untuk mewujudkan tujuan perlindungan hukum bagi konsumen, negara bertanggungjawab atas pembinaan dan penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen. Pembinaan dan penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen dilakukan melalui upaya sebagai berikut : a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konumen; b. berkembangnya lembaga perlindungan hukum bagi konsumen baik oleh negara atau swadaya masyarakat; c. meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan dibidang perlindungan hukum bagi konsumen.30 2. Hak dan Kewajiban Konsumen Bentuk perlindungan hukum bagi konsumen adalah dengan melindungi hak-hak konsumen. Secara garis besar hak konsumen dapat dibagi dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu31 : a. Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal maupun kerugian harta kekayaan; 30 31 Ibid, hal. 27. Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, (Bandung : Nusa Media, 2010), Hal 25 63 b. Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga wajar; c. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi. Pasal 4 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan 9 (Sembilan) hak konsumen : a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Terlihat bahwa masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat. Selanjutnya, untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa dalam penggunaannya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan konsumen penggunaannya, 64 maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, konpensasi sampai ganti rugi.32 Betapa pentingnya hak-hak konsumen, sehingga melahirkan pemikiran yang berpendapat bahwa hak-hak konsumen merupakan “generasi keempat hak asasi manusia”, yang merupakan kata kunci dalam konsepsi hak asasi manusia dalam perkembangan di masa-masa yang akan datang.33 3. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Pelaku usaha diberikan hak-hak sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen. Hak pelaku usaha adalah: a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan; b. hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; 32 33 Abdul Hakim Barkatullah, Op.cit, hal. 34. Ibid. 65 d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan /atau jasa yang diperdagangkan; e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai dengan kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa yang diberikan kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama.34 Hak-hak pelaku usaha tersebut pada huruf b, c, dan d, sesungguhnya merupakan hak-hak yang lebih banyak berhubungan dengan pihak aparat pemerintah dan/atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen/pengadilan dalam tugasnya melakukan penyelesaian sengketa. Konsekuensi dari hak konsumen yang telah diuraikan tersebut, maka kepada pelaku usaha dibebankan pula kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Kewajiban Pelaku Usaha : a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 34 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit, hal. 50. 66 b. memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan; memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur, serta tidak diskriminatif; menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tersebut, serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan; memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau jasa penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. c. d. e. f. g. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen mewajibkan pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Kewajiban pelaku usaha yang kedua yaitu memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, disebabkan karena informasi disamping merupakan hak konsumen, juga karena ketiadaan informasi yang memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat informasi), yang merugikan konsumen. 35 35 44. Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, 2008, hal. 67 Cacat peringatan atau instruksi adalah cacat produk karena tidak dilengkapi dengan peringatan-peringatan tertentu atau instruksi penggunaan tertentu.36 Produk cacat di Indonesia menurut Emma Suratman adalah setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya baik karena kesengajaan ataupun kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda dalam penggunaannya, sebagaimana diharapkan orang.37 Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapat berupa representasi, peringatan, maupun yang berupa instruksi. Bentuk informasi tentang barang dan/atau jasa yang diperlukan konsumen, tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang bersumber dari pelaku usaha. Bentuk-bentuk informasi tentang barang dan/atau jasa antara lain sebagai berikut : a. Iklan Kedudukan periklanan dalam masyarakat usaha, terdapat dua batasan iklan, yaitu yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan dan yang lainnya oleh sistem penyiaran nasional. Departemen Kesehatan (Peraturan Menteri Kesehatan No. 329 Tahun 1976, Pasal 1 Butir 13) menetapkan sebagai “iklan adalah usaha dengan cara apapun untuk meningkatkan penjualan, baik secara langsung, maupun tidak langsung”. 36 37 Ibid, hal. 104. Ibid, hal. 103. 68 Adapun sistem penyiaran nasional (Pasal 1 Butir 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran) merumuskan siaran iklan adalah siaran informasi yang bersifat komersial dan layanann masyarakat tentang tersedianya jasa, barang, dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan. b. Label Informasi produk konsumen dapat ditemukan dalam penandaan atau informasi lain, seperti iklan dalam segala bentuk dan/atau kretivitasnya, tetapi dengan batas-batas minimum sehingga tidak menyesatkan atau menipu (iklan melawan hukum). Pada penandaan, label atau etiket pemuatan informasi yang bersifat wajib dilakukan dengan sanksi-sanksi administratif dan/atau pidana tertentu apabila tidak dipenuhi persyaratanpersyaratan etiket dan/atau label tersebut. c. Hal-hal yang berkaitan dengan perikatan Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Tentang Perikatan (van Verbintenissen), termuat ketentuan-ketentuan tentang subyek-subyek hukum dari perikatan, syarat-syarat perikatan, tentang resiko dan jenisjenis perikatan tertentu, syarat-syarat pembatalannya dan berbagai bentuk perikatan yang dapat ditiadakan (Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Selanjutnya , Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan jenis-jenis perjanjian (prestasi) yang dapat diadakan terdiri atas memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Perikatan yang terjadi karena undang-undang, dapat timbul baik karena undang-undang maupun sebagai akibat perbuatan seseorang. Perbuatan itu dapat berupa perbuatan yang diperbolehkan (halal), atau perbuatan yang melanggar hukum. Dalam perikatan yang timbul karena perjanjian, tidak dipenuhi atau dilanggarnya butir-butir perjanjian itu, setelah dipenuhinya syarat tertentu dapat mengakibatkan terjadinya cidera janji (wanprestatie). Perbuatan cidera janji ini memberikan hak pada para pihak yang diciderai janji untuk menggugat ganti rugi berupa biaya, kerugian, dan bunga (Pasal 1236 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam hal perjanjian memberikan sesuatu, Pasal 1239 dan Pasal 1242 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam hal perjanjian berbuat atau tidak berbuat sesuatu, Pasal 1243, 1244, 1246 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan seterusnya. 38 38 Ibid, hal. 72-78. 69 Kerugian-kerugian itu selain dari biaya-biaya yang sungguhsungguh telah dikeluarkan, kerugian yang dialami, juga termasuk keuntungan (wintsderving) yang diharapkan yang tidak diterima karena karena perbuatan ingkar janji tertentu. . 70 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode pendekatan Yuridis Normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legis positivis yang menyatakan bahwa hukum identik dengan norma tertulis yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, selain itu konsepsi ini melihat hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat otonom terlepas dari kehidupan masyarakat.39 B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi penelitian deskriptif. Spesifikasi penelitian deskriptif oleh Soerjono Soekanto dalam bukunya Pengantar Penelitian Hukum dijelaskan, sebagai berikut : Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang diteliti, mungkin dengan manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, serta hanya menjelaskan keadaan objek masalahnya tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang bersifat umum.40 C. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada lembaga atau instansi yang terkait, yaitu Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya, Pusat Informasi Ilmiah Universitas 39 Ronny Hanintijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990. Hal. 13-14. 40 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1981. Hal. 10. 71 Jenderal Soedirman dan Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. D. Jenis dan Sumber Data 1. Data Sekunder Data sekunder merupakan data pokok atau utama yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur, maupun surat-surat resmi yang ada hubungannya dengan obyek penelitian. a. Bahan Hukum Primer 1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 3) Peraturan lain yang ada relevansinya dengan permasalahan penelitian. b. Bahan Hukum Sekunder : Adalah pustaka-pustaka hasil penelitian yang menunjang atau ada relevansinya dengan penelitian ini. c. Bahan Hukum Tertier : 1) Kamus Hukum 2) Kamus Bahasa Indonesia 3) Kamus Bahasa Inggris Indonesia 2. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari obyek penelitian yang berupa keterangan-keterangan hasil interview atau wawancara dengan 72 salah satu pihak terkait dengan objek penelitian sebagai penunjang dan atau pendukung data sekunder. E. Metode Pengumpulan Data 1. Data Sekunder Data yang diperoleh dari studi pustaka yaitu mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan yang berupa peraturan perundang-undangan, literatur dan dokumen yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. 2. Data Primer Data yang diperoleh dari interview atau wawancara dengan pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti pada Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya untuk melengkapi data sekunder. F. Metode Penyajian Data Metode penyajian data dalam penelitian ini akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis, logis dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh. G. Metode Analisis Data Seluruh data dianalisis dengan menggunakan metode normatif kualitatif yaitu menafsirkan dan menjabarkan data berdasarkan teori hukum atau kaidah- 73 kaidah hukum serta doktrin hukum yang relevan guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berdasarkan penelitian di Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya, didapat datadata sebagai berikut : 1. Data Sekunder a. Identitas Pasien Nama : Ny. Ida 74 Alamat : Kampung Bagendit Desa Linggaraja Kec. Sukaraja Usia : 32 tahun b. Identitas Bidan Nama : Susi Susilawati Alamat : Kampung Bagendit Desa Linggaraja Kec. Sukaraja c. Kronologis Sekitar tanggal 15 juli 2011 di Tasikmalaya yang terjadi pada Ny. Ida warga Kampung Bagendit Desa Linggaraja Kec. Sukaraja harus kehilangan anaknya akibat keterlambatan penanganan persalinan yang dilakukan oleh bidan. Dalam kasus ini Ny. Ida tidak langsung meminta bantuan pertolongan kepada bidan tapi kepada dukun yang akibatnya persalinan terhambat dan akhirnya sang dukun meminta bantuan kepada bidan terdekat. Setelah dilakukan tindakan pertolongan oleh bidan namun tidak ada perkembangan yang berarti, karena placenta sang ibu masih tertinggal sebagian dalam rahim maka bidan bermusyawarah dengan keluarga untuk melakukan rujukan ke puskesmas terdekat. Seminggu kemudian bidan melakukan kunjungan PNC ternyata bayi dalam keadaaan sakit karena dilihat dari prilaku bayi yang tidak mau netek dan bdan bayi membiru. Bidan melakukan rujukan lagi ke puskesmas terdekat, dan setelah dilakukan pertolongan pertama kemudian di rujuk lagi ke RSIA atas keinginan pasien. Setelah dilakukan pertolongan selama sembilan 75 jam, bayi tidak dapat tertolong dan dinyatakan meninggal dunia dengan diagnose penyakit hyperbilirubin dan infeksi.. d. Penyelesaian Perkara Pasien menuntut agar bidan bertanggungjawab atas kematian bayinya. Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Tasikmalaya yang berwenang melakukan pengawasan terhadap praktik bidan mencoba melakukan upaya perdamaian antara pasien dan biadn yang bersangkutan. Pada saat kedua belah pihak (pasien dan bidan) bertemu dengan dihadiri oleh pejabat dari Dinkes Kabupaten Tasikmalaya, bidan menjelaskan bahwa tindakan medis yang dilakukan telah sesuai dengan kewenangannya dan standar profesinya sebagai bidan. Pada saat bayi dalam keadaan kritis dengan ditandai badan membiru, bidan menganjurkan agar pasien membawa bayinya ke Puskesmas terdekat untuk mendapatkan perawatan yang lebih memadai. Namun pihak Puskesmas sudah tidak sanggup sehingga merujuk bayi tersebut untuk dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Tasikmalaya atau Rumah Sakit lain yang memiliki kelengkapan peralatan yang memadai. Namun pihak keluarga membawa bayi tersebut ke tempat persalinan swasta (RSIA). Kondisi bayi yang sudah sangat kritis dan lambatnya penanganan terhadap bayi tersebut menyebabkan nyawa bayi tidak dapat tertolong lagi. Setelah mendengarkan penjelasan dari bidan serta masukan pendapat dari Dinkes Kabupaten Tasikmalaya, maka pasien pihak pasien bersedia untuk 76 melakukan perdamaian dan mencabut gugatan ganti ruginya kepada bidan atas kematian bayinya. 2. Data Primer Dalam penelitian ini penulis melakukan wawancara dengan bidan desa yang bersangkutan dengan kasus diatas serta staff dinas kesehatan Tasikmalaya. Adapun hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut : 2.1. Narasumber I 2.1.1. Identitas Narasumber Nama : Susi Susilawati, A.Md.Keb Alamat : Kampung Bagendit Desa Linggaraja Kec. Sukaraja Pekerjaan : Bidan Desa Linggaraja 2.1.2. Hasil Wawancara - Bahwa narasumber bekerja sebagai bidan desa di Desa Linggaraja - Bahwa narasumber memiliki Surat Izin Kerja Bidan (SIKB) dan Surat Izin Praktek Bidan (SIPB) - Bahwa narasumber telah menempuh pendidikan kebidanan sesuai dengan prosedur untuk menjadi bidan. - Bahwa prosedur penyelenggaraan praktik bidan mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 77 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin Penyelenggaraan Praktik Bidan dank ode etik profesi bidan. - Bahwa memang benar pada tahun 2011 narasumber pernah diadukan dan dituntut ganti rugi oleh Ny. Ida atas kematian bayinya. - Bahwa kematian bayi Ny. Ida pada awalnya disebabkan oleh penanganan kelahiran yang tidak sesuai dengan prosedur medis yang aman. Narasumber menangani bayi tersebut setelah proses kelahiran dilakukan oleh dukun beranak (paraji) yang tidak disertai dengan peralatan medis yang mendukung proses kelahiran tersebut. Dengan demikian, narasumber berpendapat agar bayi dan ibunya dirujuk ke puskesmas atau rumah sakit yang memiliki fasilitas pendukung medis yang memadai. - Bahwa narasumber merasa berkewajiban untuk merujuk bayi pasien ke tenaga kesehatan lainnya yang berwenang atau ke fasilitas kesehatan yang dapat menangani bayi pasien karena narasumber merasa tidak dapat dan tidak berwenang untuk melakukan tindakan medis terhadap bayi pasien tersebut. Hal tersebut dikarenakan kondisi bayi yang sudah kritis dan lemah. - Bahwa pada dasarnya sesuai peraturan yang berlaku pasien berhak untuk menuntut ganti rugi kepada tenaga kesehatan yang menyebabkan cacat atau kematian akibat kesalahan atau 78 kelalaian tenaga kesehatan yang bersangkutan. Namun dalam kasus tersebut narasumber merasa tidak melakukan kesalahan ataupun kelalaian karena ia telah melakukan tindakan medis sesuai dengan standar profesi dan aturan yang berlaku. 2.2. Narasumber II 2.2.1. Identitas Narasumber Nama : Hj. Damiasih A.Md.keb Alamat : Jalan Perintis Kemerdekaan, Desa Karsamenak, Kecamatan Kawalu, Kota Tasikmalaya Pekerjaan : Staff Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya 2.2.2. Hasil Wawancara - Bahwa bidan yang terdaftar di Dinas Kesehatan kabupaten Tasikmalaya telah menempuh pendidikan Diploma III (DIII) Kebidanan. - Bahwa untuk memperoleh SIKB dan SIPB di Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya telah sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin Penyelenggaraan Praktik Bidan. 79 - Bahwa tindakan medis yang dilakukan bidan yang terdaftar di Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya telah sesuai dengan ketentuan Pasal yang berlaku. - Bahwa sepanjang periode 2008-2011 tidak diketemukan kasus pelanggaran praktik bidan, baik tindakan medis diluar kewenangan bidan sebagaimana diatur dalam Pasal 9-12 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin Penyelenggaraan Praktik Bidan maupun diluar standar profesi bidan. - Bahwa pada tahun 2011 terdapat pengaduan dari masyarakat terhadap bidan desa Linggaraja bahwa bidan telah melakukan kelalaian yang menyebabkan kematian bayinya. Kasus tersebut diselesaikan secara damai karena tidak terbukti bahwa bidan telah melakukan kelalaian melainkan bidan telah melakukan tindakan sesuai prosedur dan standar profesi bidan. - Bahwa bidan yang tidak dapat menangani pasien atau tidak sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya harus merujuk ke tenaga kesehatan lainnya yang berwenang untuk melakukan tindakan medis atau ke fasilitas kesehatan yang memadai. Pengecualian terhadap ketentuan tersebut adalah apabila di pasien berada jauh dari tenaga kesehatan lain atau fasilitas pelayanan kesehatan. 80 B. Pembahasan Pengertian produsen atau pelaku usaha menurut Pasal 1 angka 3 UndangUndang Perlindungan Konsumen, yaitu : Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Menurut AZ Nasution, pelaku usaha berdasarkan Pasal tersebut di atas terdiri dari41 : 1. Pelaku usaha sebagai pencipta/pembuat barang yang menjadi sumber terwujudnya barang yang aman dan tidak merugikan konsumen. 2. Pedagang sebagai pihak yang menyampaikan barang kepada konsumen. 3. Pengusaha jasa. Berdasarkan definisi bidan yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin Penyelenggaraan Praktik Bidan dan definisi tenaga kesehatan dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan serta hak bidan untuk mendapatkan kompensasi/imbalan jasa sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin Penyelenggaraan Praktik Bidan bial dikaitkan dengan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan pendapat A.Z. Nasution, maka dapat dideskripsikan yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah bidan. 41 Ibid, hal 32 81 Pengertian Konsumen sesungguhnya dapat terbagi dalam tiga bagian, yaitu : 1. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaatan barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu. 2. Konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaatan barang dan/atau jasa untuk produksi (produsen) menjadi barang atau jasa lain untuk memperdagangkan (distributor), dengan tujuan komersil. Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha. 3. Konsumen akhir, yaitu pemekai, pengguna dan/atau pemanfaatan barang dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi diri sendiri, keluarga, atau rumah tangganya dan tidak untutk diperdagangkan kembali. Istilah konsumen sebagai definisi yuridis formal ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 ayat (2), yang menyatakan sebagai berikut : Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Menurut penjelasan Pasal tersebut, bahwa konsumen yang dimaksud aadlah adanya syarat “tidak untuk diperdagangkan” yang menunjukkan sebagai konsumen akhir dan sekaligus membedakan dengan konsumen antara. Berdasarkan uraian diatas maka dapat dideskripsikan bahwa yang dimaksud konsumen dalam bidang jasa pelayanan kesehatan adalah pasien. 82 Perlindungan hukum merupakan salah satu upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada seseorang dengan membatasi hak dan kewajibannya berdasarkan suatu peraturan dengan tujuan agar terpeliharanya keamanan dan ketertiban sehingga dapat menjamin adanya kepastian hukum. Indonesia sebagai negara hukum mempunyai kewajiban untuk memberikan jaminan perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia. Jaminan tersebut dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang menjadi pedoman bagi setiap warga negara dalam melakukan hubungan hukum. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pengertian perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hokum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Perlindungan tersebut ditujukan untuk melindungi dan menegakkan hal-hak asasi konsumen yang harus dihormati orang lain. Hak-hak konsumen yang dilindungi oleh undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlidungan Konsumen adalah sebagai berikut : a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 83 c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. Hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. a. Perlindungan hukum terhadap pengguna jasa praktik bidan terkait Pasal 4 huruf (a) dan (h) Undang-Undang Perlindungan Konsumen diuraikan sebagai berikut : hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf a menyatakan bahwa “Konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/ atau jasa”. 84 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo berpendapat bahwa42: Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang atau jasa yang diperolehnya, sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila mengkonsumsi suatu produk. Konsumen berhak mendapatkan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan barang dan/ atau jasa yang diberikan kepadanya. Artinya produk barang dan/atau jasa tidak boleh membahayakan apabila dikonsumsi, sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara materiil maupun fisik. Kewenangan bidan dalam memberikan pelayanan kebidanan, diantaranya memberikan layanan kebidanan primer artinya bidan berwenang dan bertanggung jawab sepenuhnya dalam memberikan asuhan kebidanan kepada klien. Selain itu, bidan juga berwenang untuk memberikan layanan rujukan yang merupakan asuhan kebidanan yang dilakukan dengan menyerahkan tanggung jawab kepada dokter, ahli dan/atau tenaga kesehatan professional lainnya untuk mengatasi masalah kesehatan klien diluar kewenangan bidan dalam rangka menjamin kesejahteraan ibu dan anaknya. Berkaitan dengan hal tersebut, asuhan kebidanan yang menjadi tugas bidan diantaranya adalah melakukan tindakan pencegahan dan deteksi terhadap kondisi ibu dan anak balita yang mengalami gangguan kesehatan, serta memberi bantuan pengobatan sebagai pertolongan pertama sebelum tindakan medis lebih lanjut dilakukan. 42 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2004. Hal 41. 85 Berdasarkan Pasal 9 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin Penyelenggaraan Praktik Bidan kewenangan bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu pada ibu yang melahirkan adalah : a) Penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II; b) Penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan;; c) Pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas; Sedangkan kewenangan bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan anak pada bayi baru lahir adalah : a) Melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk resusitasi, pencegahan hipotermia, inisiasi menyusu diri, injeksi vitamin K 1, perawatan bayi baru lahir pada masa neonatal (0-28 hari), dan perawatan tali pusat; b) Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk; c) Penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan; d) Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak pra sekolah; Bidan tidak dapat melayani pasien diluar kewenangan yang diatur dalam ketentuan tersebut dan diluar standar profesinya. Sehingga pasien dapat terlindungi dari tindakan malpraktik yang dilakukan bidan, karena bidan hanya akan melayani pasien sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh peraturan yang berlaku, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin Penyelenggaraan Praktik Bidan. 86 Bidan sebagai tenaga kesehatan harus memiliki kesiapan untuk merujuk ibu atau bayi ke fasilitas kesehatan rujukan secara optimal dan tepat waktu jika menghadapi penyulit. Rujukan kebidanan adalah kegiatan pemindahan tanggungjawab terhadap kondisi klien/pasien ke fasilitas pelayanan yang lebih memadai (tenaga atau pengetahuan, obat, dan peralatannya). Adapun mekanisme rujukan yang harus diperhatikan oleh bidan, sebagai berikut : a. Menentukan kegawatdaruratan, yaitu tenaga kesehatan harus dapat menentukan tingkat kegawatdaruratan kasus yang ditemui. Sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya mereka harus menentukan kasus mana yang boleh ditangani sendiri dan kasus mana yang harus dirujuk b. Menentukan tempat tujuan rujukan, dengan prinsip dalam menentukan tempat rujukan adalah fasilitas pelayanan yang mempunyai kewenangan terdekat, termasuk fasilitas pelayanan swasta dengan tidak mengabaikan kesediaan dan kemampuan penderita c. Memberikan informasi kepada penderita dan keluarganya. Klien dan keluarga perlu diberikan informasi tentang perlunya penderita segera dirujuk untuk mendapatkan pertolongan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih mampu d. Mengirimkan informasi pada tempat rujukan yang dituju melalui telepon atau radio komunikasi pelayanan kesehatan yang lebih mampu 87 e. Sebelum dikirim keadaan umum penderita harus diperbaiki terlebih dahulu atau dilakukan stabilisasi. Keadaan umum ini perlu dipertahankan selama dalam perjalanan. Surat rujukan harus dipersiapkan sesuai dengan format rujukan dan seorang bidan harus mendampingi penderita dalam perjalanan sampai ke tempat rujukan f. Untuk mempercepat sampai ke tujuan, perlu diupayakan kendaraan/sarana transportasi yang tersedia untuk mengangkut penderita g. Untuk penderita yang telah dikembalikan dan memrlukan tindak lanjut, dilakukan tindakan sesuai dengan saran yang diberikan. Sedangkan bagi penderita yang memerlukan tindak lanjut tapi tidak melapor, maka perlu dilakukan kunjungan rumah. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan narasumber Susi Susilawati, A.Md.Keb yang menyatakan bahwa prosedur penyelenggaraan praktik bidan yang ia lakukan mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin Penyelenggaraan Praktik Bidan dan kode etik profesi bidan. Hal ini dikuatkan dengan hasil waancara penulis dengan narasumber Hj. Damiasih A.Md.Keb, diperoleh data bahwa tindakan medis yang dilakukan bidan yang terdaftar di Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya telah sesuai dengan ketentuan pasal yang berlaku. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat diancam dengan ancaman pidana denda yang diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 88 Tahun 1992 tentang Kesehatan atau dapat dikenakan sanksi disiplin sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan atau Pasal 23 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan. Tindakan disiplin yang dapat dijatuhkan terhadap bidan yang melanggar ketentuan penyelenggaraan praktik bidan dan standar profesinya dapat berupa : a. Teguran lisan b. Teguran tertulis c. Pencabutan surat tanda registrasi d. Pencabutan sikb/sipb sementara waktu paling lama 1 (satu) tahun; atau e. Pencabutan sikb/sipb selamanya Bidan yang memberikan pertolongan dalam keadaan darurat atau menjalankan tugas didaerah terpencil yang tidak ada tenaga kesehatan lain, dikecualikan dari laranagn penanganan luar batas kewenangan dan standar profesinya. Bahkan bidan dapat diancam pidanan penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda palinng banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) apabila dengan sengaja tidak melakukan tindakan pertolongan pertama pada pasien yang mengalami keadaan gawat darurat, sebagaimana yang diatur dalam pasal 190 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin Penyelenggaraan Praktik Bidan 89 mengatur bahwa seorang bidan dapat melaksanakan praktik harus menempuh pendidikan Diploma III (DIII) Kebidanan. Hal ini dimaksudkan agar dalam melayani pasien bidan dapat mengetahui tindakan medis apa yang harus ia lakukan sehingga tindakan medis tersebut sesuai dengan standar profesi, ilmu pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan. Berdasarkan data hasil wawancara dengan bidan Susi Susilawati, A.Md.Keb yang menyatakan bahwa seorang bidan harus menempuh pendidikan Diploma III (DIII) Kebidanan agar dapat menjalankan praktek atau bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan termasuk bekerja sebagai bidan desa. Hal tersebut didukung oleh data hasil wawancara dengan Bidan Hj. Damiasih, A.Md.Keb yang menyatakan bahwa bidan yang terdaftar di Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya telah menempuh pendidikan Diploma III (DIII) Kebidanan Bidan yang akan melakukan praktik mandiri dan/atau bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin Penyelenggaraan Praktik Bidan, harus memiliki Surat Izin Praktik Bidan (SIPB) bagi bidan yang akan menjalankan praktik mandiri dan Surat Izin Kerja Bidan (SIKB) bagi bidan yang akan bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan. Surat Tanda Registrasi (STR) adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada tenaga kesehatan (bidan) yang diregistrasikan oleh 90 Instansi Pendidikan tenaga kesehatan yang bersangkutan setelah ia mendapatkan sertifikat kompetensi. Untuk mendapatkan STR tersebut, bidan harus lulus dari masa pendidkan minimal Diploma III (DIII) Kebidanan. Rekomendasi dari kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota serta organisasi profesi dimaksudkan untuk menghindari praktek malpraktek yang disebabkan oleh ketidakmampuan bidan dalam menjalankan wewenangnya sesuai dengan standar profesi, ilmu pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan narasumber Hj. Damiasih A.Md.Keb. diperoleh data bahwa untuk memperoleh SIKB dan SIPB di Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya telah seuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan 4 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464/Menkes/Per/2010 Tentang Izin Penyelenggaraan Praktik Bidan. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan narasumber Hj. Damiasih, A.Md.Keb diperoleh data bahwa sepanjang periode tahun 2008-2011 tidak diketemukan kasus pelanggaran malpraktik yang dilakukan bidan, baik tindakan medis diluar kewenangan yang diatur dalam Pasal 9-12 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 Tentang Izin dan Penyelengaraan Praktik Bidan maupun diluar standar profesi kebidanan. Adapun pada tahun 2011 terdapat pengaduan dari masyarakat terhadap bidan desa Linggaraja bahwa bidan telah melakukan kelalaian yang menyebabkan kematian bayinya. Mengenai kasus tersebut penulis melakukan wawancara dengan bidan yang bersangkutan, yaitu bidan Susi Susilawati yang juga 91 merupakan narasumber, diperoleh data memang benar pada tahun 2011 narasumber pernah diadukan dan dituntut ganti rugi oleh Ny. Ida atas kematian bayinya. Kematian bayi Ny. Ida pada awalnya disebabkan oleh penanganan kelahiran yang tidak sesuai dengan prosedur medis yang aman. Narasumber menangani bayi tersebut setelah proses kelahiran dilakukan oleh dukun beranak (paraji) yang tidak disertai dengan peralatan medis yang mendukung proses kelahiran tersebut. Dengan demikian, narasumber berpendapat agar bayi dan ibunya dirujuk ke puskesmas atau rumah sakit yang memiliki fasilitas pendukung medis yang memadai. Berdasarkan data sekunder, kronologis kasus pengaduan bidan desa bila dikaitkan dengan data primer hasil wawancara dengan Bidan Susi Susilawati, A.Md.Keb dan Hj.Damiasih, A.Md.Keb, kewenangan bidan dalam memberikan layanan primer dan rujukan serta Pasal 9 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 Tentang Izin dan Penyelengaraan Praktik Bidan dan Pasal 4 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlidungan Konsumen, maka dapat dideskripsikan bahwa pelayanan kebidanan yang dilakukan oleh bidan Susi Susilawati telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan telah memenuhi hak konsumen atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa . Keselamatan dapat dicapai apabila persyaratan dan prosedur dalam melakukan proses penyelenggaraan jasa Bidan praktik sudah terpenuhi meskipun dalam hal transaksi terapetik seperti pada transaksi medis yang 92 diutamakan adalah dalam melaksanakan prosedur bukan hasil dari tindakan medis itu sendiri b. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya Hak ini tercantum dalam Pasal 4 huruf h Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan : “Konsumen konsumen berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian barang dan/ atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian dan/ atau tidak sebagaimana mestinya”. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian merupakan hak konsumen apabila mengalami kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/ atau jasa yang dihasilkan pelaku usaha. Kerugian dalam hal ini bukan hanya kerugian materi saja akan tetapi termasuk juga kerugian terhadap fisik, seperti sakit, cacat maupun kematian. Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, hak atas ganti kerugian dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya penggunaan barang dan/ atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini sangat terkait dengan penggunaan produk yang telah merugikan konsumen, baik yang berupa kerugian materi, maupun kerugian yang menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan kematian) konsumen. Untuk merealisasikan hak ini tentu saja harus melalui prosedur tertentu, baik yang diselesaikan secara damai (di luar pengadilan) maupun yang diselesaikan melalui pengadilan.43 43 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit. Hal 44. 93 Perjanjian antara pasien dan bidan selaku tenaga kesehatan berbeda konsep dengan perjanjian antara konsumen dan produsen pada umumnya. Perjanjian antara pasien dan bidan didasarkan pada kepercayaan pasien kepada bidan untuk melakukan tindakan medis yang menjadi kewenangan bidan. Kepercayaan pasien tersebut ditunjukkan dengan cara memberikan persetujuan kepada bidan atas tindakan medis yang akan dilakukan bidan setelah pasien mendengarkan informasi mengenai kondisi dan tindakan yang akan dilakukn bidan. Perjanjian tersebut dikenal dengan istilah perjanjian terapeutik. Perjanjian terapeutik pada dasarnya merupakan hubungan perikatan yang khusus, oleh karena itu apabial terjadi konflik atau sengketa antara penyedia jasa dan penerima jasa pelayanan kesehatan maka masing-masing pihak tunduk pada konsep hukum yang mengaturnya. Karakteristik perjanjian teraupetik tidak berorientasi pada hasil yang akan dicapai, melainkan berorientasi pada usaha yang dilakukan bidan untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai prosedur profesi yang berlaku. Bidan tidak dapat memberikan jaminan/garansi akan hasil yang diinginkan pasien. Seorang bidan selaku pelaku usaha jasa dapat dituntut pembayaran kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian barang dan/ atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian dan/ atau tidak sebagaimana mestinya, apabila dalam memberikan pelayanan kesehatan bidan tidak sesuai dengan standar profesi. 94 Ketentuan mengenai hak pasien untuk menuntut ganti rugi terhadap tenaga kesehatan dan/atau penyelenggara pelayanan kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan dan kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Selain itu, diatur pula dalam Pasal 23 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan bidan Susi Susilawati, A.Md.Keb diperoleh data bahwa pada dasarnya sesuai peraturan yang berlaku pasien berhak untuk menuntut ganti rugi kepada tenaga kesehatan yang menyebabkan cacat atau kematian akibat kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan yang bersangkutan. Namun dalam kasus tersebut narasumber merasa tidak melakukan kesalahan ataupun kelalaian karena ia telah melakukan tindakan medis sesuai dengan standar profesi dan aturan yang berlaku. Ia merasa berkewajiban untuk merujuk bayi pasien ke tenaga kesehatan lainnya yang berwenang atau ke fasilitas kesehatan yang dapat menangani bayi pasien karena narasumber merasa tidak dapat dan tidak berwenang untuk melakukan tindakan medis terhadap bayi pasien tersebut. Hal tersebut dikarenakan kondisi bayi yang sudah kritis dan lemah. Pernyataan bidan Susi Susilawati, A.Md.Keb dikuatkan dengan hasil wawancara penulis dengan Hj. Damiasih, A.Md.Keb yang menyatakan bahwa bidan yang tidak dapat menangani pasien atau tidak sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya harus merujuk ke tenaga kesehatan lainnya 95 yang berwenang untuk melakukan tindakan medis atau ke fasilitas kesehatan yang memadai. Pengecualian terhadap ketentuan tersebut adalah apabila di pasien berada jauh dari tenaga kesehatan lain atau fasilitas pelayanan kesehatan. Berdasarkan data sekunder mengenai kronologis dan penyelesaian perkara bila dikaitkan dengan hasil wawancara penulis dengan bidan Susi Susilawati, A.Md.Keb dan Hj. Damiasih, A.Md.Keb serta kewenangan bidan dalam memberikan layanan primer dan rujukan serta Pasal 9 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 Tentang Izin dan Pasal 4 huruf h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlidungan Konsumen, maka dapat dideskripsikan bahwa tindakan medis yang dilakukan bidan Susi Susilawati, A.Md.Keb tidak dapat dituntut ganti rugi karena yang bersangkutan telah sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam peraturan yang berlaku dan standar profesi bidan. 96 BAB V SIMPULAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : Jasa pelayanan bidan praktik di Kabupaten Tasikmalaya telah memenuhi ketentuan Pasal 4 huruf a dan huruf h Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen berupa: - Bidan yang akan melakukan praktik baik di fasilitas pelayanan kesehatan maupun praktik mandiri di Kabupaten Tasikmalaya telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Ijin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan. - Bidan dalam melakukan praktik di Kabupaten Tasikmalaya telah sesuai dengan kewenangan yang dianut dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 12 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Ijin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan, yaitu dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak serta kesehatan reproduksi dan Keluarga Berencana. - Pasien dapat mengajukan tuntutan pembayaran kompensasi, ganti kerugian dan/atau pergantian barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian dan atau tidak sebagaimana mestinya, sepanjang bidan bertindak 97 diluar standar profesi dan kewenangannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 58 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. DAFTAR PUSTAKA A. Sumber Literatur : Barkatullah, Abdul Hakim. 2010. Hak-Hak Konsumen. Bandung : Nusa Media. H.S, Salim. 2006. Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPerdata. Jakarta : Rajawali Press. Kansil, C.S.T. 1985. Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia. Jakarta : Aksara Baru. Komalawati,Veronica. 1999. Peranan Informed Consent Terapeutik. Bandung : PT. Cipta Aditya Bhakti. dalam Transaksi Mertokusumo, Sudikno. 1986. Mengenel Hukum. Yogyakarta : Liberty. Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. 2010. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta : PT. Rajawali Pers. Nasution, A.Z. 1999. Konsumen dan Hukum : Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen. Jakarta : Puataka Sinar Harapan. Nasution, B.J. 2005. Hokum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter. Jakarta : Rineka Cipta. Setiawan, R. 1986. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung : PT Bina Cipta. Shidarta. 2006. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta : Gramedia. Soekanto, Soerjono. 1981. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press. 98 Soemitro, Ronny Hanintijo. 1990. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta : Ghalia Indonesia. Subekti. 1987. Hukum Perjanjian.Jakarta : PT Intermasa. Sutopo. 2000. Standar Kualitas Pelayanan Medis. Jakarta : Mandar Maju. Tutik, Titik Triwulan dan Shita Febriana. 2010. Perlindungan Hukum bagi Pasien. Jakarta : PT. Prestasi Pustakaraya. Zulvadi, Dudi. 2010. Etika dan Manajemen Kebidanan. Yogyakarta : Cahaya Ilmu. B. Sumber Perundang-Undangan : Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 369/MENKES/SK/III/2007 Tentang Standar Profesi Bidan. C. Referensi lain Pedoman Sistem Rujukan Maternal dan Neonatal di Tingkat Kabupaten/Kota. http://bidanshop.blogspot.com/2010/04/kematian-di-tangan-bidan.ht. diakses 5 April 2011. http://www.organisasi.org, Hak dan Kewajiban Sebagai Warga Negara Indonesia Ilmu PPKn : Pendidikan Kewarganegaraan / PMP : Pendidikan Moral Pancasila, diakses 31 Januari 2011. Hermien hadiati Koeswadji. Beberapa Permasalahan Mengenai Kode Etik Kedoktern. Ceramah Dalam Forum Diskusi oleh IDI Jawa Timur, tanggal 11 Maret 1984. Harmien Hadiati Koeswadji. Hukum Kedokteran di Dunia Internasional. Jakarta : Makalah Simposium, Medical Law. 1993.