perlindungan hukum terhadap pengguna jasa pelayanan bidan

advertisement
i
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA JASA
PELAYANAN BIDAN PRAKTIK DI KABUPATEN TASIKMALAYA
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
SKRIPSI
Disusun oleh :
SATIYA AMI AS’ARI
E1A005024
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2011
ii
LEMBAR PENGESAHAN
SKRIPSI
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA JASA
PELAYANAN BIDAN PRAKTIK DI KABUPATEN TASIKMALAYA
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Oleh :
SATIYA AMI AS’ARI
E1A005024
Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Isi dan Format telah
Diterima dan disetujui
Pada Tanggal,
November 2011
Pembimbing I
I Ketut Karmi Nurjaya, SH,M.Hum.
NIP. 19610520198703 2 001
Menyetujui,
Pembimbing II
Penguji
Suyadi, SH,M.Hum.
NIP. 19611010198703 1 001
Edi Waluyo, SH,MH.
NIP. 1950122298810 1 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Hj. Rochani Urip Salami,S.H.,M.S
NIP. 19520603 198003 2 001
iii
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya :
Nama
: Satiya Ami As’ari
NIM
: E1A005024
SKS
: 2005
Judul
: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGGUNA
JASA PELAYANAN BIDAN PRAKTIK DI KABUPATEN
TASIKMALAYA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN
KONSUMEN
Menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya
sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang
lain.
Dan apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut
di atas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.
Purwokerto, 20 November 2011
SATIYA AMI AS’ARI
NIM. E1A005024
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi robbil’alamin dengan sujud syukur kehadirat Allah SWT yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang, karena rahmat-Nya saja penulis masih diizinkan untuk
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : “PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP PENGGUNA
KABUPATEN
JASA PELAYANAN BIDAN PRAKTIK DI
TASIKMALAYA
BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG
NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN”. Skripsi
ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
Dalam kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Hj. Rochani Urip Salami, S.H, M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman dan Dosen Pembimbing Akademik;
2. Edi Waluyo, SH,.MH. selaku Ketua Bagian Hukum Keperdataan sekaligus Dosen
Penguji;
3. I Ketut Karmi Nurjaya,SH.,M.Hum. Selaku Dosen Pembimbing I;
4. Suyadi,SH.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing II;
5. Seluruh Dosen Pengajar dan segenap staf Administrasi Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman;
6. Ayah, Ibu, Adik-adikku tercinta atas dukungan dan semangatnya;
7. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penyusunan
skripsi ini yang tidak dapat disebutkan setu persatu.
Penulis tidak dapat memberikan suatu balasan apapun kecuali hanya doa,
semoga semua kebaikan, bantuan, dukungan, pengorbanan dan budi baik dari semua
v
pihak mendapat balasan yang baik dari Allah SWT. Penulis sangat menyadari bahwa
skripsi ini jauh dari sempurna, dan semoga dengan ketidaksempurnaan skripsi ini
dapat dipahami sebagai ketidaksempurnaan penulis sebagai manusia biasa, dan penulis
mohon kerelaan hati dari semua pihak untuk memberikan maaf. Akhirul kalam,
semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat.
Purwokerto, 20 November 2011
Penulis
vi
ABSTRAKSI
Peranan tenaga kesehatan sangat penting dalam menunjang
kesehatan masyarakat. Maju atau mundurnya dunia medis akan sangat ditentukan oleh
keberhasilan dari pihak-pihak yang bersangkutan, dalam hal ini dokter, bidan, perawat
dan orang-orang berkompeten dibidang ini. Hak pasien dalam dunia kesehatan adalah
hak untuk memperoleh kesehatan dan mempertahankan kesehatan bagi kesejahteraan
dan kelangsungan hidupnya. Secara khusus mengenai hak-hak konsumen diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Menurut
ketentuan Pasal 4. Pasien sebagai konsumen berkak atas kenyamanan dan keselamatan
atas pelayanan jasa bidan serta berhak mendapatkan kompensasi atau ganti kerugian
apabila jasa yang digunakan tidak sesuai sebagaimana mestinya, seperti yang
tercantum pada Pasal 4 huruf (a) dan huruf (h). Daerah Tasikmalaya khususnya,
dengan melihat kenyataan yang ada dan terkait dengan hal-hal yang telah disebutkan
diatas, maka dapat diketahui bahwa hubungan pasien selaku konsumen tidak selalu
harmonis dengan pelaku kesehatan selaku pemberi jasa, yang dalam hal ini adalah
bidan.
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian dalam karya tulis ini adalah untuk
mengetahui perlindungan hukum yang diberikan terhadap pengguna jasa pelayanan
bidan praktik di Kabupaten Tasikmalaya berdasarkan Pasal 4
huruf (a) dan (h)
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Berdasarkan hasil penlitian dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum
terhadap konsumen pengguna jasa praktik bidan berdasarkan pasal 4 huruf a dan h
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu : Bidan
yang akan melakukan praktik baik di fasilitas pelayanan kesehatan maupun praktik
mandiri harus memenuhi persyaratan tertentu dan Pasien dapat mengajukan tuntutan
pembayaran kompensasi, ganti kerugian dan/ atau penggantian barang dan/ atau jasa
yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian dan/ atau tidak sebagaimana mestinya,
sepanjang bidan bertindak diluar standar profesi dan kewenangannya.
Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Bidan, Ganti Rugi
vii
ABSTRACT
The role of health personnel is critical in supporting public health. Forward or
backwards in the medical world will be determined by the success of the parties
concerned, in this case doctors, midwives, nurses and those competent in the field of
it. Rights of patients in the world of health care is a right to obtain and maintain health
for health welfare and survival. Specifically regarding consumer rights provided for in
Act No. 4 of 1999 on the protection of consumers. According to the provisions of
article 4. The patient as consumer berkak top comfort and safety of services and
reserve the right to get compensation midwives or replace losses if the services are
used is not appropriate as it should, as listed in article 4 (a) and subparagraph (h). In
particular, with the area of Tasikmalaya see reality and related to the things we
mentioned above, then it can be noted that the relationship of the patient as consumer
is not always harmonious with the offender health services as a giver, which in this
case is the midwife.
As for the purpose of the research in this paper is to know the legal protection afforded
to the midwife service users practice in Tasikmalaya Regency under article 4,
subparagraph (a) and (h) Act No. 8 of 1999 on the protection of Consumers.
Based on the results of the studies can be inferred that the legal protection of
consumers ' user services practice midwives under article 4 letter a and h Act No. 8 of
1999 on the protection of Consumers, namely:
Midwives who would do good
practices in health service facilities as well as independent practice must meet certain
requirements and the patient can file charges of compensation payments, replace
losses and/or replacement of the goods and/or services received do not comply with
the agreement and/or not as they should, all the midwives act outside professional
standard and authority.
Keywords: Consumer Protection, A Midwife, Indemnification
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................
ii
PERNYATAAN..........................................................................
iii
KATA PENGANTAR ................................................................
iv
ABSTRAKSI ..............................................................................
vi
ABSTRACT ................................................................................
vii
DAFTAR ISI...............................................................................
viii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................
1
B. Perumusan Masalah.................................................................
7
C. Tujuan Penelitian.....................................................................
8
D. Kegunaan Penelitian ...............................................................
8
1. Kegunaan Teoretis .............................................................
8
2. Kegunaan Praktis ...............................................................
8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Perjanjian Penggunaan Jasa Layanan Praktik Bidan .............
9
1. Perjanjian Pada Umumnya ...............................................
9
2. Hubungan Hukum Bidan dan Pasien ...............................
10
3. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Terapeutik
..........................................................................................
16
ix
B. Jasa Pelayanan Praktik Bidan ..................................................
20
1. Pengertian Tenaga Kesehatan (Bidan) ...............................
20
2. Pengaturan Mengenai Praktik Bidan .................................
26
3. Bidan Desa ........................................................................
27
4. Jasa Pelayanan Praktik Bidan ...........................................
36
5. Pengawasan Pemerintah ....................................................
46
6. Kode Etik Profesi Bidan …………………… ...................
50
C. Perlindungan Hukum Konsumen ............................................
54
1. Perlindungan Hukum Konsumen ......................................
54
2. Hak dan Kewajiban Konsumen ........................................
62
3. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ....................................
64
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan .................................................................
69
B. Spesifikasi Penelitian ..............................................................
69
C. Lokasi Penelitian ....................................................................
69
D. Jenis dan Sumber Data ...........................................................
70
E. Metode Pengumpulan Data .....................................................
71
F. Metode Penyajian Data ............................................................
71
G. Metode Analisis Data ..............................................................
71
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian .......................................................................
72
1. Data Sekunder ..................................................................
72
2. Data Primer ......................................................................
74
x
B. Pembahasan .............................................................................
78
BAB V. PENUTUP
Simpulan ......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
94
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan nasional merupakan peningkatan kualitas manusia dan
masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan berlandaskan
kemampuan nasional dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta dengan memperhatikan tantangan perkembangan global. Salah
satunya adalah dengan dilaksanakan dan ditingkatkan adalah sarana dan prasarana
yang mendukung pelayanan kesehatan.
Penyelenggaraan pembangunan kesehatan meliputi upaya kesehatan dan
sumber dayanya dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Bab V tentang Sumber Daya Di Bidang Kesehatan (Pasal 21 - Pasal 45) dan Bab
VI tentang Upaya Kesehatan (Pasal 46 – Pasal 125), harus dilakukan secara
terpadu dan berkesinambungan guna mencapai hasil yang optimal. Salah satu
bidang yang tercakup dalam aspek pembangunan kesehatan adalah bidang
pelayanan dalam hal pemberian jasa kesehatan. Hal ini penting mengingat
kesehatan memegang peranan penting dalam membina dan mengembangkan
potensi dan kualitas sumber daya manusia sebagai tenaga pembangunan, karena
kesehatan adalah hak bagi semua orang.
Peranan tenaga kesehatan sangat penting dalam menunjang kesehatan
masyarakat. Maju atau mundurnya dunia medis akan sangat ditentukan oleh
2
keberhasilan dari pihak-pihak yang bersangkutan, dalam hal ini dokter, bidan,
perawat dan orang-orang berkompeten dibidang ini. Kerja professional dalam
pelayanan
kesehatan harus
memperhatikan etika profesi tenaga kerja yang
bersangkutan. Apabila para pekerja medis bekerja secara professional yaitu sesuai
dengan aturan yang berlaku, maka akan muncul rasa percaya pasien dan
menyerahkan sepenuhnya kepada tenaga medis tersebut.
Pelayanan kesehatan ( medis ) termasuk praktik bidan merupakan hal yang
penting yang harus dijaga maupun ditingkatkan kualitasnya sesuai standar
pelayanan yang berlaku, agar masyarakat sebagai konsumen dapat merasakan
pelayanan yang diberikan. Pelayanan sendiri hakikatnya merupakan suatu usaha
yang membantu menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan orang lain serta
dapat memberikan kepuasan sesuai dengan keinginan yang diharapkan oleh
konsumen dan supaya tidak terjadi kasus malpraktik.
Kasus malpraktik umumnya dipicu oleh ketidak hati-hatian. Kewaspadaan
tenaga medis menjadi faktor utama terjadinya malpraktik. Kesalahan fatal
tersebut umumnya terjadi pada saat diagnosis, terapi, pemberian obat sampai
operasi. Malpraktik tidak hanya dapat mengarah pada penurunan derajat
kesehatan klien, namun juga dapat menyebabkan kematian dan kecacatan seumur
hidup.
Di Tasikmalaya yang terjadi pada Ny. Ida warga Kampung Bagendit Desa
Linggaraja Kec. Sukaraja yang harus kehilangan anaknya akibat keterlambatan
penanganan persalinan yang dilakukan oleh bidan. Dalam kasus ini Ny. Ida tidak
3
langsung meminta bantuan pertolongan kepada bidan tapi kepada dukun yang
akibatnya persalinan terhambat dan akhirnya sang dukun meminta bantuan
kepada bidan terdekat. Setelah dilakukan tindakan pertolongan oleh bidan namun
tidak ada perkembangan yang berarti, karena placenta sang ibu masih tertinggal
sebagian dalam rahim maka bidan bermusyawarah dengan keluarga untuk
melakukan rujukan ke puskesmas terdekat. Seminggu kemudian bidan melakukan
kunjungan PNC ternyata bayi dalam keadaaan sakit karena dilihat dari prilaku
bayi yang tidak mau netek. Bidan melakukan rujukan lagi ke puskesmas terdekat,
dan setelah dilakukan pertolongan pertama kemudian di rujuk lagi ke RSIA atas
keinginan pasien. Setelah dilakukan pertolongan selama sembilan jam, bayi tidak
dapat tertolong dan dinyatakan meninggal dunia dengan diagnose penyakit
hyperbilirubin dan infeksi.
Kasus kesalahan tindakan medis bukan hanya terjadi di Indonesia yang
saat ini kualitas pelayanan kesehatannya masih rendah, namun masih sering
terjadi di negara maju. Sementara itu, kasus malpraktik yang terjadi di Indonesia
masih sangat sedikit yang terungkap. Kebanyakan klien atau keluarganya memilih
untuk tidak mengungkapkan
penderitaannya. Umumnya, mereka tidak
mengetahui bahwa kasus malpraktik dapat diajukan ke meja hijau dan sebagian
memilih untuk pasrah dan enggan terlibat dalam konflik hukum yang biasanya
sangat melelahkan.1
1
Dudi Zulvadi, Etika dan Manajemen Kebidanan, Cahaya Ilmu, Yogyakarta, 2010. Hal. 187.
4
Malpraktik di Indonesia belum diatur secara jelas dalam undang-undang.
Undang-undang kesehatan belum dilengkapi dengan aturan teknis yang mengatur
secara khusus mengenai malpraktik. Biasanya, jika kasus malpraktik diajukan ke
pengadilan, aturan yang digunakan adalah aturan pidana dan para politisi
sebenarnya telah lama mendesak agar departemen kesehatan segera merumuskan
aturan malpraktik secara gamblang. Oleh karena itu, baik bidan dan terutama
pasien harus selalu waspada terhadap segala bentuk isu etik yang banyak
berkembang di dunia kesehatan dan harus menyikapi secara bijak sehingga tidak
akan terjadi penyimpangan kewenangan dan setiap tindakan sesuai dengan etika
profesi kebidanan.2
Rendahnya tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh pasien pengguna jasa
pelayanan bidan praktik menjadikan dilema tersendiri. Kebanyakan pasien justru
telah memberikan kepercayaan kepada bidan yang telah memberikan pertolongan
apapun resikonya, padahal pasien sendiri mempunyai hak yang dilindungi oleh
Undang-undang yaitu dalam Undang-undang dasar 1945 yang di dalamnya
menjamin warga Negara dalam memperoleh dan menikmati haknya. Dengan
demikian
apabila terjadi suatu kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan
praktik, tenaga medis tidak bisa lepas dari tanggung jawab maka harus tetap
diproses sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
Hak pasien dalam dunia kesehatan adalah hak untuk memperoleh
kesehatan dan mempertahankan kesehatan bagi kesejahteraan dan kelangsungan
2
Ibid,. Hal. 187-188.
5
hidupnya. Meskipun dalam Undang-undang Dasar 1945 tidak diatur secara
khusus, namun termasuk dalam hak asasi manusia, dan hak ini secara mendasar
dapat di terima oleh konstitusi kita.
Salah satu hak pasien adalah hak untuk mendapat informasi, yaitu
informasi mengenai penyakit yang di derita oleh pasien dan informasi tentang
tindakan medik yang akan dilakukan kepada pasien berikut dengan resikonya,
serta tentang informasi biaya yang harus dibayar konsumen atas tindakan medik
yang dilakukan. Implementasi hak-hak atas informasi memang belum sepenuhnya
dapat dinikmati oleh konsumen jasa kesehatan di Indonesia. Terkait dengan
kondisi yang ada sekarang ini angka kematian ibu dan bayi masih belum bisa
dikatakan sedikit, salah satu penyebabnya adalah kurangnya profesionalita para
tenaga kesehatan, yang dalam hal ini adalah bidan serta sarana dan prasarana yang
bisa dikatakan jauh dari persaratan minimum yang menjadi standar dalam
penyelenggaraan pelayanan. Bidan dalam menjalankan tugasnya memiliki peran
yang penting sebagai pemberi pelayanan terdepan kepada masyarakat, oleh
karena itu peningkatan mutu bagi bidan juga sangatlah penting.
Praktik dunia usaha menuntut upaya pemberian pemahaman dan
peningkatan kesadaran akan hak-hak konsumen yang tentu saja tidak mudah
dilakukan dengan kondisi masyarakat (konsumen) sekarang ini, khususnya
tingkat pendidikan dan kesadaran hukumnya yang masih rendah.
Berdasarkan Pasal 182 sampai dengan Pasal 188 Undang-undang No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan, peran Pemerintah melalui Dinas Kesehatan
6
memegang
peranan
penting
dalam
melakukan
pengawasan
terhadap
penyelenggaraan praktik pelayanan jasa kesehatan, praktik bidan khususnya
dalam hal pemberian pelayanan yang memadai sehingga konsumen dapat
terhindar dari bahaya-bahaya yang dapat merugikan bagi kesehatan dan
keselamatannya. Dalam Pasal 30 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen juga terdapat pernyataan bahwa pengawasan terhadap
penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan
perundangan diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
Secara khusus mengenai hak-hak konsumen diatur dalam Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Menurut ketentuan Pasal 4.
Pasien sebagai konsumen berkak atas kenyamanan dan keselamatan atas
pelayanan jasa bidan serta berhak mendapatkan kompensasi atau ganti kerugian
apabila jasa yang digunakan tidak sesuai sebagaimana mestinya, seperti yang
tercantum pada Pasal 4 huruf (a) dan huruf (h)3. Pasal 4 huruf (a) adalah hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa merupakan hal yang paling pokok dan paling utama dalam perlindungan
konsumen. Barang dan/atau jasa yang tidak memberikan kenyamanan, terlebih
lagi tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak
3
Pasal 4 Hak konsumen adalah:
(a) : hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan /
jasa.
(h) : hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
7
diedarkan dalam masyarakat. Sedangkan Pasal 4 huruf (h) adalah hak untuk
mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya. Pasal 4 huruf (h) ini juga sangat penting sebagai langkah refresive
penyelesaian masalah perlindungan konsumen.
Daerah Tasikmalaya khususnya, dengan melihat kenyataan yang ada dan
terkait dengan hal-hal yang telah disebutkan diatas, maka dapat diketahui bahwa
hubungan pasien selaku konsumen tidak selalu harmonis dengan pelaku kesehatan
selaku pemberi jasa, yang dalam hal ini adalah bidan berkaitan dengan hak-hak
konsumen khususnya Pasal 4 huruf (a) dan Pasal 4 huruf (h).
Berdasarkan apa yang diuraian dalam latar belakang di atas maka penulis
tertarik untuk melakukan penelitian guna menyusun skripsi dengan judul
“Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Jasa Pelayanan Bidan Praktik
di Kabupaten Tasikmalaya Berdasarkan Undang-Undang No.8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan apa yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik
perumusan masalah sebagai berikut : Bagaimanakah perlindungan hukum yang
diberikan kepada konsumen pengguna jasa pelayanan bidan praktik di Kabupaten
Tasikmalaya berdasarkan Pasal 4 huruf (a) dan Pasal 4 huruf (h) Undang-undang
No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen?
8
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian dalam karya tulis ini adalah
untuk mengetahui perlindungan hukum yang diberikan terhadap pengguna jasa
pelayanan bidan praktik berdasarkan Pasal 4 Undang-undang No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis dan para pembaca
pada umumnya, dalam bidang hukum dagang khususnya dalam hukum
perlindungan konsumen mengenai perlindungan hukum terhadap pengguna
pelayanan jasa kesehatan bidan praktik.
2. Kegunaan Praktis
Penelitian ini juga diharapkan memberikan pengetahuan tentang perlindungan
hukum terhadap konsumen agar konsumen lebih kritis dan antisipasif dalam
menggunakan jasa pelayanan bidan praktik serta dapat digunakan sebagai
bahan referensi dengan memberikan informasi bagi pihak-pihak yang
membutuhkan seperti untuk penulisan skripsi yang menyangkut Hukum
Perlindungan Konsumen.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perjanjian Penggunaan Jasa Layanan Praktik Bidan
1. Perjanjian Pada Umumnya
Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena kedua belah
pihak setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan
(perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya 4. KUHPerdata
memberikan pengertian tentang “perjanjian” seperti yang terkandung di
dalam Pasal 1313 KUHPerdata, bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang
atau lebih.
Menurut Setiawan, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana
salah satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih5. “Menurut Sudikno Mertokusumo, perjanjian adalah “Hubungan hukum
antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan
akibat hukum. Dua pihak itu sepakat untuk menentukan peraturan atau
kaidah atau hak dan kewajiban yang mengikat mereka untuk ditaati dan
dijalani. Kesepakatan ini adalah untuk menimbulkan. Akibat hukum,
4
5
Subekti, Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke XII (Jakarta : PT Intermasa, 1987), hal. 1
Setiawan, R., Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Bandung : PT. Bina Cipta, 1986), hal.3
10
menimbulkan hak dan kewajiban dan kalaukesepakatan itu dilanggar maka
ada akibatnya, si pelanggar dapat dikenakan akibat hukum atau sanksi”6.
2. Hubungan Hukum Bidan dan Pasien
Hubungan hukum antara bidan dan pasien merupakan hubungan yang
sangat pribadi karena didasarkan atas kepercayaan dari pasien terhadap bidan
untuk memberikan pertolongan medis kepadanya. Hubungan tersebut dapat
disebut sebagai transaksi terapeutik, yaitu perjanjian antara bidan sebagai
tenaga kesehatan dan pasien berupa hubungan hukum yang melahirkan hak
dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Objek perjanjian ini dalah berupa
upaya atau terapi untuk menyembuhkan pasien7.
Pengertian transaksi terapeutik ada beberapa definisi dari sarjana, yaitu :
1. H.H. Koeswadji : transaksi terapeutik adalah perjanjian (Verbintenis)
untuk mencari atau menentukan terapi yang paling tepat bagi pasien oleh
dokter.8
2. Veronica Komalawati : transaksi terapeutik adalah hubungan hokum
antara dokter dan pasien dalam pelayanan medis secara professional,
didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan ketrampilan
tertentu di bidang kedokteran.9
6
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta : Penerbit Liberty, 1986), hal 97
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggung Jawaban Dokter, (Jakarta : Rineka Cipta,
2005), Hal 11
8
Hermien Hadiati Koeswadji, Beberapa Permasalahan Mengenai Kode Etik Kedokteran, Ceramah Dalam
Forum Diskusi oleh IDI Jawa Timur, tanggal 11 Maret 1984.
7
11
3. Harmien Hadiati Koswadji10 mengemukakan bahwa : Hubungan dokter
dan pasien dalam transaksi terapeutik (perjanjian medis) bertumpu pada
dua macam hak asasi yang merupakan hak dasar Manusia, yaitu :
a) Hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self-determinations);
b) Hak atas dasar informasi (the right to informations).
4. Pengertian perjanjian terapeutik menurut Salim H.S. 11, yaitu sebagai
berikut : Kontrak yang dibuat antara pasien dengan tenaga kesehatan
dan/atau dokter atau dokter gigi, dimana tenaga kesehatan dan/atau dokter
atau dokter gigi berusaha melakukan upaya maksimal untuk melakukan
penyembuhan terhadap pasien sesuai dengan kesepakatan yang dibuat
antara
keduanya
dan
pasien
berkewjiban
membayar
baiaya
penyembuhannya.
Hubungan hukum dalam perjanjian terapeutik oleh undang-undang
Indonesia diinterprestasikan berbeda, walaupun secara prinsip hubungan
hukum perjanjian terapeutik adalah sama yaitu hubungan antara pasien dan
petugas medis. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
menyatakan bahwa para pihak dalam perjanjian terapeutik adalah pasien
dengan tenaga kesehatan. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 29
9
Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, (Bandung : PT. Cipta
Aditya Bhakti, 1999), hal. 1
10
Harmien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran di Dunia Internasional, (Jakarta : Makalah
Simposium, Medical Law, 1993), Hal 143
11
Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPerdata, (Jakarta : Rajawali Press, 2006),
Hal 46
12
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa para pihak
dalam kontrak terapeutik adalah pasien dan dokter/dokter gigi.
Hubungan hukum terapeutik bersumber pada kepercayaan pasien
terhadap bidan sehingga pasien bersedia memberikan persetujuan tindakan
medis (informed consent), yaitu suatu persetujuan pasien untuk menerima
upaya medis yang akan dilakukan terhadapnya. Hal ini dilakukan setelah ia
mendapatkan informasi dari bidan mengenai kondisi kesehatan pasien dan
upaya medis yang akan dilakukan bidan untuk menolong pasien, termasuk
memperoleh informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.
Dikaitkan dengan UUPK, perangkat hukum informed consent tersebut
diarahkan untuk :
a. Menghormati harkat dan martabat pasien melalui pemberian informasi dan
persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan;
b. Meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat;
c. Menumbuhkan sikap positif dan itikad baik serta profesionalisme pada
peran bidan, mengingat pentingnya harkat dan martabat pasien;
d. Memelihara dan meningkatkan mutu pelayanan sesuai standard an
persyaratan yang berlaku.
Hubungan pasien dengan bidan adalah suatu perikatan berusaha
(inspannings verbintenia) yaitu dimana dalam melaksanakan tugasnya bidan
berusaha untuk menyembuhkan atau memulihkan kesehatan pasien. Bidan
dalam memberikan jasa ini tidak boleh dan tidak mungkin dapat memberikan
13
jaminan/garansi kepada pasiennya. Bidan juga tidak dapat dipersalahkan
begitu saja apabila usahanya itu tidak sesuai dengan yang diharapkan pasien,
sepanjang dalam melakukannya bidan telah memenuhi standar profesi dan
menghormati hak-hak pasien.
Hal-hal yang perlu disampaikan dalam Informed concent :
1. Maksud dan tujuan tindakan medis tersebut;
2. Resiko yang melekat pada tindakan medis itu;
3. Kemungkinan timbulnya efek samping;
4. Alternatif lain tindakan medis itu;
5. Kemungkinan-kemungkinan (sebagai konsekuensi) yang terjadi bila
tindakan medis itu tidak dilakukan;
6. Dalam menjelaskan mengenai resiko perlu dikatakan mengenai :
a) Sifat dan resiko tindakan
b) Berat ringannya resiko yang terjadi
c) Kemungkinan resiko itu terjadi
d) Kapan resiko tersebut akan timbul seandainya terjadi
Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perikatan (van
verbintenissen), termuat ketentuan-ketentuan tentang perikatan yang terjadi
karena undang-undang maupun perikatan yang timbul karena perjanjian.
Perikatan yang terjadi karena undang-undang dapat timbul baik karena
perintah undang-undang maupun sebagai akibat perbuatan seseorang.
14
Perbuatan itu dapat berupa perbuatan yang diperbolehkan (halal) atau
perbuatan yang melanggar hukum.
Hubungan pasien dengan bidan merupakan hubungan yang erat dan
kompleks keeratan hubungan antara pasien karena diharuskan adanya
kesalingpercayaan dan keterbukaan. Dalam hukum pasien dan bidan
masing-masing memiliki hak dan kewajiban. Hubungan terapeutik antara
pasien dengan bidan terdiri dari lima asas yang berlaku dalam hubungan
kontraktual yaitu :
a) Asas konsensual
Dalam asas ini bidan dan pasien harus menyatakan persetujuannya,
baik secara eksplisit (misalnya, secara lisan sanggup) atau secara
implisit (misalnya menerima pendaftaran pasiennya, memberikan
nomor urut).
b) Asas itikad baik
Itikad baik dari kedua belah pihak merupakan hal yang paling utama di
dalam hubungan terapeutik antara pasien dan bidannya
c) Asas bebas
Dalam asas ini antara pasien dan bidannya mengikatkan diri bebas
untuk menentukan hal-hal mengenai hak dan kewajiban masingmasing.
d) Asas tidak melanggar hukum
15
Berdasarkan asas bebas, bidan dan pasiennya mengikatkan diri bebas
untuk menentukan hal-hal mengenai hak dan kewajiban masing-masing
tetapi dibatasi oleh asas ini yaitu isi perjanjiannya tidak boleh
melanggar hukum.
e) Asas kepatutan dan kebiasaan
Disamping tunduk kepada hukum dan hal-hal yang telah disepakati
oleh bidan dan pasien tetapi kepatutan dan kebiasaan harus diikuti.
Dalam perikatan yang timbul karena perjanjian, tidak dipenuhinya atau
dilanggarnya butir-butir perjanjian dapat mengakibatkan terjadinya cidera
janji (wanprestasi). Perbuatan tersebut memberikan hak kepada para pihak
yang dicederai janjinya untuk menggugat ganti rugi berupa biaya, kerugian
dan bunga. Hak tersebut timbul akibat pihak yang dicederai janjinya
mengalami kerugian berupa biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah
dikeluarkan, kerugian yang dialami, dan keuntungan (wintsderving) yang
diharapkan yang tidak diterima karena perbuatan ingkar janji tersebut.
Pengaturan mengenai hak ganti rugi dalam jasa pelayanan kesehatan
diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan yang mengatur sebagai berikut :
(1) Setiap orang berhak menuntut gnati rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian
akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang
diterimanya
16
(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku
bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau
pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
3. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Terapeutik
Menurut Titik Triwulan Tutik
12
, bidang pelayanan kesehatan
mempunyai ciri khas yang berbeda dengan pelayanan jasa atau produk
lainnya, yaitu ketidaktahuan konsumen (costumer ignorance), pengaruh
penyedia jasa kesehatan konsumen/konsumen tidak memiliki daya tawar dan
daya pilih (Supply induced demand), produk pelayanan kesehatan bukan
konsep homogeny, pembatalan terhadap kompetisi, ketidakpastian tentang
sakit, serta kesehatan sehat sebagai hak asasi.
Berdasarkan dimensi kualitas layanan kesehatan maka harapan pasien
sebagai konsumen pelayanan medis meliputi13 :
a. Pemberian pelayanan yang dijanjikan dengan segera dan memuaskan;
b. Membantu
dan
memberikan
pelayanan
dengan
tanggap
membedakan unsure sara (suku, agama, ras dan antar golongan);
c. Jaminan keamanan, keselamatan, dan kenyamanan
d. Komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan pasien.
12
Titik Triwulan Tutik dan Shita Febriana, Perlindungan Hukum bagi Pasien, (Jakarta : Prestasi
Pustaka, 2010), Hal 27
13
Lock cit
tanpa
17
Pasien selaku konsumen juga mempunyai hak-hak yang sama dengan
pengguna barang dan/atau jasa lainnya. Dijelaskan dalam Pasal 4, Pasal 56,
Pasal 57, dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, bahwa pasien sebagai konsumen pelayanan kesehatan memiliki
perlindungan diri dari kemungkinan upaya-upaya pelayanan kesehatan yang
tidak bertanggungjawab, seperti penelantaran. Pasien juga berhak atas
keselamatan, keamanan dan kenyamanan terhadap pelayanan jasa kesehatan
yang diterimanya. Dengan hak tersebut maka konsumen akan terlindungi dari
praktik yang mengancam keselamatan atau kesehatannya.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
mengatur mengenai hak setiap orang terhadap pelayanan kesehatan, yaitu :
(1) setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas
sumber daya di bidang kesehatan;
(2) setiap orang mempunyai hak dalam meperoleh pelayanan kesehatan yang
aman, bermutu, dan terjangkau;
(3) setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan
sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
Hak pasien yang lainnya sebagai konsumen adalah hak untuk didengar
dan mendapatkan ganti rugi apabila pelayanan yang didapatkan tidak
sebagaimana mestinya, seperti yang tercantum dalam Pasal 56 ayat 1 dan 2
serta Pasal 58 ayat 1, 2, dan 3 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. Pasal 56 ayat 1 mengatur bahwa “setiap orang berhak menerima
18
atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan
kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan
tersebut secara lengkap. Hak tersebut tidak berlaku pada pasien dengan
kondisi sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat 2, yaitu :
a. Penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam
masyarakat yang lebih luas;
b. Keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri;
c. Gangguan mental berat.
Pasien berhak menuntut ganti rugi atas terganggunya kesehatan, cacat,
atau kematian yang terjadi karena kesalahan dan kelalaian tenaga kesehatan,
sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun
1996 tentnag Tenaga Kesehatan. Masyarakat sebagai konsumen berhak untuk
mendapatkan opini kedua (second opinion), juga rekam medic (medical
record) yang berisikan riwayat penyakit dirinya 14.
Setiap hubungan hukum selalu mempunyai dua segi yang isinya disatu
sisi hak dan disisi lain berupa kewajiban. Tiada hak tanpa kewajiban dan
begitu pula sebaliknya, tiada kewajiban tanpa hak. Di dalam perlindungan
konsumen juga terdapat hak dan kewajiban antara konsumen dan pelaku
usaha/tenaga kesehatan.
Kewajiban konsumen dalam hubungan hukum pelayanan kesehatan
diantaranya sebagai berikut :
14
Ibid. Hal 31
19
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. Membayar dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.15
Bidan selaku pelaku usaha di bidang jasa pelayanan kesehatan,
sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan
Praktik Bidan, mempunyai hak sebagai berikut :
a. memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan praktik/kerja
sepanjang sesuai dengan standar;
b. memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien dan/atau
keluarganya;
c. melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangan dan standar;
d. menerima imbalan jasa profesi.
Dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan diatur mengenai kewajiban Tenaga Kesehatan termasuk
bidan, yaitu sebagai berikut :
a. Menghormati hak pasien;
b. Menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien;
15
Ibid, hal. 35.
20
c. Memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang
akan diberikan;
d. Meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan;
e. Membuat dan memelihara rekam medic.
Kewajiban bidan selaku tenaga kesehatan dalam Pasal 18 Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
1464/Menkes/Per/X/2010
tentang
Izin
Penyelenggaraan Praktik Bidan adalah :
a. Menghormati hak pasien;
b. Memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan pelayanan
yang dibutuhkan;
c. Merujuk kasus yang bukan kewenangannya atau tidak dapat ditangani
dengan tepat waktu;
d. Meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan;
e. Menyimpan rahasian pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
f. Melakukan pencatatan asuhan kebidanan dan pelayanan lainnya secara
sistematia;
g. Mematuhi standar; dan
h. Melakukan pencatatan dan pelaporan penyelenggaraan praktik kebidanan
termasuk pelaporan kelahiran dan kematian.
B. Jasa Pelayanan Praktik Bidan
21
1.
Pengertian Tenaga Kesehatan (Bidan)
Pengertian bidan dan bidang praktiknya secara internasional telah
diakui oleh internasional Confederation of Midwives (ICM) pada tahun
1972, International Federation of Gynaecologist and Obstetrician (FIGO)
pada tahun 1973, WHO, dan badan lainnya. Pada Pertemuan Dewan di
Kobe tahun1990, ICM menyempurnakan definisi tersebut dan kemudian
disahkan oleh FIGO (1991) dan WHO (1992). Kemudian pada tanggal 19
Juli 2005, ICM memperbaharui kembali definisi bidan. Secara lengkap
definisi bidan adalah :
Bidan adalah seseorang yang telah menjalani program pendidikan
bidan, yang telah diakui oleh Negara tempat ia tinggal, dan telah berhasil
menyelesaikan studi terkait kebidanan serta memenuhi persyaratan untuk
terdaftar dan/atau memiliki izin formal untuk praktik bidan.
Bidan dikenal sebagai professional yang bertanggung jawab yang
bekerja sebagai mitra perempuan dalam memberikan dukungan yang
diperlukan, asuhan dan saran selama kehamilan, periode persalinan, dan
pospsrtum, melakukan pertolongan persalinan di bawah tanggung
jawabnya sendiri, serta memberikan perawatan pada bayi baru lahir dan
bayi. Asuhan ini termasuk tindakan pencegahan, promosi persalinan
normal, deteksi komplikasi pada ibu dan anaknya, akses untuk perawatan
medis atau pertolongan semestinya lainnya, serta pemberian tindakan
kedaruratan.
22
Bidan memiliki tugas penting dalam konseling dan pendidikan
kesehatan, Tidak hanya pada perempuan tetapi juga pada keluarga dan
masyarakat. Kegiatan ini harus mencakup pendidikan antenatal dan
persiapan menjadi orang tua serta dapat meluas kepada kesehatan
perempuan, kesehatan seksual atau kesehatan reproduksi dan perawatan
anak.16
Dalam melaksanakan profesinya bidan
memiliki peran sebagai
pelaksana, pengelola, pendidik, dan peneliti.
Peran bian sebagai pelaksana, bidan memiliki tiga kategori tugas,
yaitu :
1. Tugas Mandiri, terdiri dari :
a. Menetapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan kebidanan
yang diberikan.
b. Memberi pelayanan dasar pranikah pada anak remaja dan wanita
dengan melibatkan mereka sebagai klien.
c. Memberi asyhab kebidanan kepada klien selama kehamilan
normal.
d. Memberi asuhan kebidanan kepada klien dalam masa persalinan
dengan meilbatkan klien/keluarga.
e. Memberi asuhan kebidanan pada bayi baru lahir.
16
Dudi Zulvadi, op.cit,. hal 22
23
f. Memberi asuhan kebidanan pada klien dalam masa nifas dengan
melibatkan klien/keluarga.
g. Memberi asuhan kebidanan pada wanita usia subur yang
membutuhkan pelayanan keluarga berencana.
h. Memberi asuhan kebidanan pada wanita dengan gangguan system
reproduksi dan wanita dalam klimekterium serta menopause.
i. Memberi asuhan kebidanan pada bayi dan balita dengan
melibatkan keluarga.
2. Tugas Kolaborasi, sebagi berikut :
a. Menerapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan kebidanan
sesuai fungsi kolaborasi dengan melibatkan klien dan keluarga.
b. Memberi asuhan kebidanan pada ibu hamil dengan risiko tinggi
dan pertolongan pertama pada kegawatdaruratan yang memerlukan
tindakan kolaborasi.
c. Memberi asuhan kebidanan pada ibu dalam masa persalinan
dengan resiko tinggi serta keadaan kegawatdaruratan yang
memerlukan pertolongan pertama dengan tindakan kolaborasi
dengan melibatkan klien dan keluarga.
d. Memberi asuhan kebidanan pada ibu hamil dalam masa nifas
dengan resiko tinggi serta pertolongan pertama dalam keadaan
kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi bersama
klien dan keluarga.
24
e. Memberi asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan resiko
tinggi serta pertolongan pertama dalam keadaan kegawatdaruratan
yang memerlukan tindakan kolaborasi bersama klien dan keluarga.
f. Memberi asuhan kebidanan pada balita dengan resiko tinggi serta
pertolongan pertama dalam keadaan kegawatdaruratan yang
memerlukan tindakan kolaborasi bersama klien dan keluarga
3. Tugas Ketergantungan, sebagai berikut :
a. Menerapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan kebidanan
sesuai dengan fungsi keterlibatan klien dan keluarga.
b. Memberi asuhan kebidanan melalui konsultasi dan rujukan pada
kasus kehamilan dengan resiko tinggi serta kegawatdaruratan.
c. Memberi asuhan kebidanan melalui konsultsi dan rujukan pada
masa persalinan dengan penyulit tertentu dengan melibatkan klien
dan keluarga.
d. Memberi asuhan kebidanan melalui konsultasi dan rujukan pada
ibu dalam masa nifas yang disertai penyulit tertentu dan
kegawatdaruratan dengan melibatkan klien dan keluarga.
e. Memberi asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan kelainan
tertentu dan kegawatdaruratan yang memerlukan konsultasi serta
rujukan dengan melibatkan keluarga.
25
f. Memberi asuhan kebidanan kepada anak balita dengan kelainan
tertentu dan kegawatdaruratan yang memerlukan konsultasi serta
rujukan dengan melibatkan klien/keluarga.
Peran sebagai Pengelola, bidan mempunyai 2 tugas, yaitu :
a. Mengembangkan pelayanan dasar kesehatan terutama pelayanan
kebidanan untuk individu, keluarga, kelompok khusus, dan
masyarakat di wilayah kerja dengan melibatkan masyakat/klien.
b. Berpartisipasi dalam tim untuk melaksanakan program kesehatan
dan sector lain di wilayah kerjanya melalui peningkatan
kemampuan dukun bayi, kader kesehatan serta tenaga kesehatan
lainnya yang berada dibawah bimbingan dalam wilayah kerjanya.
Peran sebagai Pendidik, bidan memiliki tugas sebagai berikut :
a. Memberi pendidikan dan penyuluhan kesehatan kepada klien
(individu,
keluarga,
kelompok,
serta
masyarakat)
tentang
penanggulangan masalah kesehatan, khususnya yang berhubungan
dengan kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana.
b. Melatih dan membimbing kader, peserta didik kebidanan dan
keperawatan serta membina dukun bayi diwilayah atau tempat
kerjanya.
Peran sebagai Peneliti, bidan mempunyai tugas melakukan
investigasi atau penelitian terapan dalam bidang kesehatan baik secara
mandiri maupun berkelompok
26
Definisi Bidan dalam Pasal 1 angka 6 KEPMENKES No.
369/MENKES/SK/III/2007 Tentang Standar Profesi Bidan adalah :
“Bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan Bidan
yang diakui pemerintah dan organisasi profesi di wilayah Negara Republik
Indonesia serta memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk diregister,
sertifikasi dan atau secara sah mendapat lisensi untuk menjalankan praktik
kebidanan”.17
2.
Pengaturan Mengenai Praktik Bidan
Pengaturan bidan praktek telah diatur sejak tahun 1963 dengan
ditetapkannya Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 5380/Hukum Tahun
1963 tentang Wewenang Terbatas bagi Bidan yang dicabut dan diganti
dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 363/Menkes/Per/IX/1980
tentang Wewenang Bidan kemudian diganti dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 623//Menkes/Per/IX/1989 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 363/Menkes/Per/IX/1980 tentang
Wewenang Bidan.
Ditetapkannya
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
572/Menkes/Per/VI/1996 tentang Registrasi dan Praktik Bidan, maka
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 363/Menkes/Per/IX/1980 dan
17
Pasal 1 angka 6 keputusan menteri
369/MENKES/SK/III/2007 Tentang Standar Profesi Bidan.
kesehatan
republik
Indonesia
No.
27
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 623//Menkes/Per/IX/1989, menjadi
tidak berlaku lagi. Peraturan ini juga kemudian direvisi dan diganti dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 900//Menkes/SK/VII/2002 tentang
Registrasi dan Praktik Bidan, dimana peraturan ini juga diperbaharui dan
dicabut
dengan
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan.
3.
Bidan Desa
Bidan desa adalah bidan yang ditempatkan, diwajibkan tinggal serta
bertugas melayani masyarakat di wilayah kerjanya, yang meliputi satu atau
dua desa yang dalam melaksanakan tugas pelayanan medik baik di dalam
maupun di luar jam kerjanya bertanggung jawab langsung kepada kepala
Puskesmas dan bekerja sama dengan perangkat desa.
Salah satu program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) adalah
menurunkan kematian dan kejadian sakit di kalangan ibu, dan untuk
mempercepat penurunan angka Kematian Ibu dan Anak adalah dengan
meningkatkan mutu pelayanan dan menjaga kesinambungan pelayanan
kesehatan ibu dan perinatal. Dalam usaha meningkatkan mutu pelayanan
kebidanan dan kesehatan anak terutama di desa maka tenaga kesehatan
(medis) seperti bidan harus menjalin kerjasama yang baik dengan tenaga
non medis seperti dukun dengan mengajak dukun untuk melakukan
pelatihan dengan harapan dapat:
a. meningkatkan kemampuan dalam menolong persalinan
28
b. dapat mengenal tanda-tanda bahaya dalam kehamilan dan persalinan
Selain bekerja sama dengan tenaga non medis seperti dukun,bidan
desa juga bekerja sama dengan masyarakat yang secara sukarela membantu
dan
melaksanakan pos yandu. Biasanya masyarakat tersebut telah
mendapat pelatihan dalam menjalankan tugasnya tersebut sebagai kader.
Tugas dan fungsi bidan utama bidan desa adalah memberikan
pelayanan kesehatan ibu dan anak, sebagaimana tertuang dalam SE Dirjen
Binkesmas No. 492/Binkesmas/Dj/89 yang menyatakan penempatan bidan
desa adalah memberikan pelayanan ibu dan anak serta KB dalam rangka
menurunkan angka kematian ibu dan bayi serta kelahiran.
Kehadiran bidan di desa diharapkan mampu memperluas
jangkauan pelayanan yang telah ada sekaligus dapat meningkatkan cakupan
program pelayanan KIA melalui:
a. peningkatan pemeriksaan kesehatan ibu hamil yang bermutu
b. pertolongan persalinan
c. deteksi dini faktor kehamilan dan peningkatan pelayanan neonatal.
d. Promosi kesehatan dan pencegahan penyakit pada bayi
e. Serta bekerja sama dengan kader posyandu mencari sasaran ibu hamil
dengan melakukan :

kunjungan rumah

sosialisasi pentingnya pemeriksaan kesehatan antenatal
29
memotivasi ibu hamil untuk memeriksakan kehamilan secara rutin
minimal empat kali selama kehamilannya.
Prinsip Pelayanan Kebidanan di Desa
a. Pelayanan di komunitas desa sifatnya multi disiplin meliputi
ilmu kesehatan masyarakat, kedokteran, sosial, psikologi,
komunikasi, ilmu kebidanan, dan lain-lain yang mendukung
peran bidan di komunitas
b. Dalam memberikan pelayanan di desa bidan tetap berpedoman
pada standar dan etika profesi yang menjunjung tinggi harkat
dan martabat manusia
c. Dalam memberikan pelayanan bidan senantiasa memperhatikan
dan memberi penghargaan terhadap nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat, sepanjang tidak merugikan dan tidak bertentangan
dengan prinsip kesehatan.
Fungsi bidan desa , yaitu :
1. Memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di
rumah-rumah,menangani
persalinan,pelayanan
keluarga
berencana dan pengayoman medis kontrasepsi
2. Menggerakkan dan membina para serta masyarakat dalam
bidang
kesehatan,yang sesuai dengan
kesehatan setempat
permasalahan
30
3. Membina dan memberikan bimbimngan teknis kepada kader
serta dukun bayi
4. Membina kelompok dasa wisma dibidang kesehatan
5. Membina kerja sama lintas program,lintas sektoral,dan
lembaga swadaya masyarakat
6. Melakukan rujukan medis maupun rujukan kesehatan
kepada puskesmas kecuali dalam keadaan darurat harus
dirujuk ke fasilitas kesehatan lainnya
7. Mendeteksi secara dini adanya efek samping dan komplikasi
pemakaian alat kontrasepsi serta adanya penyakit-penyakit
dan berusaha mengatasi sesuai kemampuan.
Tujuan penempatan bidan desa secara umum adalah meningkatkan
mutu dan pemerataan pelayanan dalam rangka menurunkan angka
kematian
ibu,anak
balita,dan
menurunkan
angka
kelahiran
serta
meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup sehat.
Secara khusus tujuan penempatan bidan di desa adalah :
1)
Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat
2)
Meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan
3)
Meningkatnya
mutu
persalinan,perawatan
kontrasepsi.
pelayanan
nifas
dan
ibu
perinatal,
hamil,pertolongan
serta
pelayanana
31
4)
Menurunnya
jumlah
kasus-kasus
yang
berkaitan
penyulit
kehamilan,persalinan,dan perinatal.
5)
Menurunnya jumlah balita yang menderita gizi buruk dan diare.
6)
Meningkatnya kemampuan keluarga untuk hidup sehat dengan
membantu pembinaan kesehatan masyarakat.
7)
Meningkatnya peran serta masyarakat melalui pendekatan PKMD
termasuk gerakan dana sehat.
Menurut Azrul Azwar pelayanan kesehatan yang terdapat dalam
masyarakat secara umum dapat dibedakan atas tiga macam,yaitu :
1)
Pelayanan kesehatan tingkat I
Pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan pelayanan yang
bersifat dasar.
2)
Pelayanan Kesehatan tingkat II
Pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan pelayanan spesialis
atau bahkan kadang-kadang pelayanan subspesialisi tetapi terbatas.
3)
Pelayanan Kesehatan tingkat III
Pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan pelayanan spesialis
dan subspesialisi.
Dari ketiga klasifikasi di atas dapat diketahui bahwa pelayanan
kesehatan yang dilaksanakan oleh bidan desa lebih cenderung dalam
pelayanan
tingkat dasar pertama. Selain membantu penurunan angka
kematian dan peningkatan kesehatan ibu dan anak termasuk keluarga
32
berencana. Bidan desa juga membantu memberikan pengobatan pertama
pada masyarakat yang membutuhkan sebelum mendapatkan pertolongan
yang lebih efisien di rumah sakit.
Tugas Pokok bidan desa adalah sebagai berikut :
1) Melakukan pelayanan kesehatan,khususnya kesehatan ibu dan anak di
desa wilayah kerjanya berdasarkan urutan prioritas masalah kesehatan
yang dihadapi sesuai dengan kewenangan yang dimiliki.
2) Menggerakkan dan membina masyarakat desa di wilayah kerjanya agar
memiliki kesadaran berperilaku hidup bersih dan sehat
Wewenang bidan desa sama dengan wewenang yang diberikan kepada
bidan lainnya. Hal ini diatur dalam peraturan Menteri Kesehatan.
Wewenang tersebut adalah sebagai berikut :
1)
Wewenang umum
Kewenangan
yang diberikan untuk melaksanakan tugas yang
dapat dipertanggungjawabkan secara mandiri.
2)
Wewenang khusus
Wewenang khusus adalah wewenang untuk melaksanakan
kegiatan yang memerlukan pengawasan dokter. Tanggung jawab
pelaksanaannya berada pada dokter yang diberikan wewenang
tersebut.
3)
Wewenang pada keadaan darurat
33
Bidan diberikan wewenang melakukan pertolongan pertama untuk
menyelamatkan penderita atas tanggung jawabnya sebagai insane
profesi. Segera setelah melakukan tindakan darurat tersebut, bidan
diwajibkan membuat laporan ke Puskesmas di wilayah kerjanya.
4)
Wewenang tambahan
Bidan dapat diberi wewenang tambahan oleh atasannya dalam
pelaksanaan pelayanan kesehatan masyarakat lainnya sesuai
dengan program pemerintah,pendidikan dan pelatihan yang
diterimanya.
Sesuai dengan kewenangan
bidan yang diatur dalam Peraturan
Menteri Kesehatan No.363/Menkes/Per/IX/1990, maka kegiatan bidan desa
adalah :
1)
Mengenal wilayah,struktur kemasyarakatan dan komposisi penduduk
serta sistem pemerintahannya.
2)
Merencanakan dan menganalisa data serta mengidentifikasi masalah
kesehatan untuk merencanakan penanggulangannya.
3)
Menggerakkan peran serta masyarakat melalui pendekatan PKMD
dengan melaksanakan Pertemuan Tingkat Desa ( PTD ),Supaya
Mawas Diri ( SMD ) dan Musyawarah Masyarakat Desa ( MMD )
yang diikuti dengan menghimpun dan melatih kader sesuai dengan
kebutuhan.
4)
Memberikan pertolongan persalinan
34
5)
Memberikan pertolongan kepada pasien ( orang sakit ),kecelakaan dan
kedaruratan.
6)
Kunjungan
rumah
untuk
melaksanakan
perawatan
kesehatan
masyarakat di wilayah kerja bidan.
7)
Melatih dan membina dukun bayi agar mampu melaksanaka
penyuluhan dan membantu deteksi ibu hamil risiko tinggi.
8)
Menggerakkan masyarakat agar melaksanakan kegiatan dana sehat di
wilayah kerjanya.
Peranan teknik yang dimiliki bidan desa meliputi semua upaya
dan kegiatan untuk melaksanakan pelayanan kebidanan dan pelayanan
KIA pada umumnya ( termasuk KB ), manajemen pelayanan KIA di
wilayah kerjanya dan peningkatan peran serta masyarakat dalam bidang
KIA,
khususnya
pembinaan
dukun
bayi
yang
bertujuan
untuk
meningkatkan kemampuan bidan dalam aspek fungsi teknisnya, agar dapat
berperan dalam mempercepat penurunan kematian ibu dan bayi dan
meningkatkan
kemampuan
dalam
manajemen
KIA
dan
upaya
pendukungnya.
Kebijaksanaan yang ditetapkan dalam pembinaan peranan teknik
bidan desa adalah sebagai berikut :
1) Pendayagunaan bidan desa ditujukan untuk mendukung percepatan
penurunan AKI dan AKB
35
2) Bertujuan untuk memastikan bahwa mereka melaksankan tugas
pokoknya sesuai standar yang ditetapkan dan mempunyai bekal
pengetahuan serta keterampilan cukup untuk memberikan pelayanan
yang berkualitas.
3) Pembinaan bidan desa hendaknya dikembangkan per kabupaten sesuai
kondisi setempat di bawah pembinaan tingkat propinsi dengan mengacu
kepada pola pembinaan teknis yang berlaku nasional.
Selain kewenganan sebagaimana yang diuraikan sebelumnya,
bidan desa juga memiliki wewenang sebagai berikut :
1) Melakukan penyuluhan kesehatan
Penyuluhan yang khususnya mengenai kesehatan reproduksi kepada
masyarakat.
Penyuluhan
ini
diharapkan
dapat
meningkatkan
pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya melakukan pemeriksaan
kehamilan serta persalinan yang ditolong oleh tenaga bidan desa.
2) Melakukan pelayanan rujukan
Jika bidan desa tak mampu menangani pasien atau pasien mengalami
kegawatdaruratan,maka diharapkan bidan desa melakukan rujukan ke
puskesmas atau Rumah sakit
3) Memberikan pelayanan antenatal
Antenatal care adalah merupakan cara penting untuk memonitoring dan
mendukung kesehatan ibu hamil normal dan mendeteksi ibu dengan
36
kehamilan normal, ibu hamil sebaiknya dianjurkan mengunjungi bidan
atau dokter sedini mungkin semenjak ia merasa dirinya hamil untuk
mendapatkan pelayanan dan asuhan antenatal.
4.
Jasa Pelayanan Praktik Bidan
Bidan yang akan menjalankan praktek mandiri dan/atau bekerja di
fasilitas pelayanan kesehatan harus menempuh pendidikan minimal
Diploma III (DIII) kebidanan. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 2 ayat
(2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang
Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan. Setelah menempuh pendidikan
tersebut bidan harus mengajukan permohonan pendaftaran untuk memiliki
Surat Izin Kerja Bidan (SIKB) untuk bidan yang bekerja di fasilitas
pelayanan kesehatan dan Surat Izin Praktik Bidan (SIPB) untuk bidan yang
akan menjalankan praktik mandiri, sebagaimana diatur dalam Pasal 3
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin
dan Penyelenggaraan Praktik Bidan.
Untuk mendapatkan SIKB dan/atau SIPB, bidan harus mengajukan
kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan melampirkan syaratsyarat sebagai berikut :
a. Fotocopy STR yang masih berlaku dan di legalisasi;
b. Surat keterangan sehat fisik dari dokter yang memiliki Surat Izin
Praktik;
37
c. Surat pernyataan memiliki tempat kerja di fasilitas pelayanan kesehatan
atau tempat praktik;
d. Pas foto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar.
e. Rekomendasi dari kepala dinas kesehatan kabupaten/kota atau pejabat
yang ditunjuk; dan
f. Rekomendasi dari organisasi profesi.
Pelayanan kebidanan adalah penerapan ilmu kebidanan melalui
asuhan kebidanan kepada klien yang menjadi tanggug jawab bidan, mulai
dari kehamilan, persalinan, nifas, bayi baru lahir, keluarga berencana,
termasuk
kesehatan
reproduksi
wanita
dan
pelayanan
kesehatan
masyarakat. 18
Pelayanan kebidanan merupakan bagian integral dari pelayanan
kesehatan yang diarahkan untuk mewujudkan kesehatan wanita dalam
siklus reproduksi, bayi baru lahir, dan balita untuk mewujudkan kesehatan
keluarga sehingga tersedia sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas di
masa depan. Pelayanan kebidanan dibedakan berdasarkan kewenangan
bidan, yaitu :
Pertama, Layanan kebidananan primer atau mandiri, merupakan
asuhan kebidanan yang diberikan kepada klien dan sepenuhnya menjadi
tanggug jawab bidan.
18
Dudi Zulvadi, op.cit,. hal 24.
38
Kedua, Layanan kolaborasi, merupakan asuhan kebidanan yang
diberikan kepada klien dengan tanggung jawab bersama semua pemberi
layanan yang terlibat (misalnya bidan, dokter dan/atau tenaga kesehatan
professional lainnya). Bidan adalah anggota tim.
Ketiga, Layanan rujukan, merupakan asuhan kebidanan yang
dilakukan dengan menyerahkan tanggung jawab kepada dokter, ahli
dan/atau tenaga kesehatan professional lainnya untuk mengatasi masalah
kesehatan klien di luar kewenangan bidan dalam rangka menjamin
kesejahteraan ibu dan anaknya. 19
Bentuk pelayanan kebidanan tersebut harus berpedoman pada
standar pelayanan kebidanan yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
No.
369/MENKES/SK/III/2007 Tentang Standar Profesi Bidan.
Praktik kebidanan adalah penerapan ilmu kebidanan melalui
pelayanan / asuhan kebidanan kepada klien dengan pendekatan kebidanan.
Lingkungan praktik kebidanan meliputi asuhan mandiri / otonomi pada
anak perempuan, remaja putri, dan wanita dewasa sebelum, selama
kehamilan, dan sesudahnya. Ini berarti bidan melakukan pengawasan,
member asuhan dan saran yang diperlukan kepada wanita selama masa
hamil, bersalin, dan masa nifas. Praktik kebidanan dilakukan dalam sistem
pelayanan kesehatan yang berorientasi pada masyarakat, dokter, perawat,
19
Ibid., hal 25.
39
dan dokter spesialis di pusat-pusat rujukan. Bidan dapat praktik diberbagai
tatanan pelayanan, termasuk di rumah, masyarakat, Rumah Sakit, klinik
atau unit kesehatan lainnya.
Asuhan kebidanan adalah penerapan fungsi, kegiatan, dan
bertanggung jawab bidan dalam pelayanan yang diberikan kepada klien
yang memiliki kebutuhan dan/atau masalah kebidanan (kehamilan,
persalinan, nifas, bayi baru lahir, keluarga berencana, kesehatan reproduksi
wanita, dan pelayanan kesehatan masyarakat).
Berdasarkan penjelasan mengenai asuhan / pelayanan kebidanan di
atas, tugas bidan adalah sebagai berikut :
a.
Memberikan bimbingan, asuhan, dan nasihat kepada remaja (sebagai
calon ibu), ibu hamil termasuk ibu hamil dengan resiko tinggi, ibu
melahirkan, ibu nifas, ibu menyusui, serta ibu dalam masa
klimakterium dan menopause.
b.
Menolong ibu yang melahirkan dan member asuhan pada bayi dan
anak-anak prasekolah.
c.
Memberi pelayanan keluarga berencana dalam rangka mewujudkan
keluarga kecil, sehat, dan sejahtera.
d.
Melakukan tindakan pencegahan dan deteksi terhadap kondisi ibu dan
anak balita yang mengalami ganguan kesehatan, serta memberi
bantuan pengobatan sebagai pertolongan pertama sebelum tindakan
medis lebih lanjut dilakukan.
40
e.
Melakukan penyuluhan kesehatan khususnya mengenai kehamilan,
perkawinan, penyakit kandungan yang terkait dengan kehamilan dan
keluarga berencana, kesehatan balita, gizi, dan kesehatan lingkungan
keluarga.
f.
Membimbing dan melatih calon bidan, dukun bayi, serta kader
kesehatan dalam lingkup pelayanan kebidanan.
g.
Mengkaji kegiatan pelayanan asuhan kebidanan yang dilakukan untuk
perbaikan dan peningkatan.
h.
Memotivasi dan menggerakan masyarakat terutama kaum wanita
dalam rangka mewujudkan kesehatan serta kesejahteraan keluarga. 20
Dalam Pasal 9 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 Tentang Izin Penyelenggaraan Praktik
Bidan diatur mengenai kewenangan bidan, yaitu :
a. Pelayanan kesehatan ibu;
b. Pelayanan kesehatan anak; dan
c. Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana.
Pelayanan kesehatan ibu yang dilayani bidan meliputi pelayanan
pada masa pra hamil, masa nifas, masa menyusui dan masa antara dua
kehamilan. Dalam memberikan pelayanan yang dimaksudkan tersebut,
bidan mempunyai wewenang sebagai berikut :
a. Episiotomy;
20
Ibid., hal 54-55.
41
b. Penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II;
c. Penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan;
d. Pemberian tablet Fe pada ibu hamil;
e. Pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas;
f. Fasilitas/bimbingan inisiasi menyusu dini dan promosi air susu ibu
eksklusif;
g. Pemberian oterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum;
h. Penyuluhan dan konseling;
i. Bimbingan pada kelompok ibu hamil;
j. Pemberian surat keterangan kematian; dan
k. Pemberian surat keterangan cuti bersalin
Pelayanan kesehatan anak yang dilakukan bidan diberikan pada
bayi baru lahir, bayi, anak balita, dan anak pra sekolah. Dalam memberikan
pelayanan tersebut bidan berwenang untuk :
a. Melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk resusitasi,
pencegahan hipotermia, inisiasi menyusu diri, injeksi vitamin K 1,
perawatan bayi baru lahir pada masa neonatal (0-28 hari), dan
perawatan tali pusat;
b. Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk;
c. Penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan;
d. Pemberian imunisasi rutin sesuar program pemerintah;
e. Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak pra sekolah;
42
f. Pemberian konseling dan penyuluhan;
g. Pemberian surat keterangan kelahiran; dan
h. Pemberian surat keterangan kematian
Bidan
dalam
memberikan
pelayanan
kesehatan
reproduksi
perempuan dan keluarga berencana, berwenang untuk :
a. Memberikan
penyuluhan
dan
konseling
kesehatan
reproduksi
perempuan dan keluarga berebcana; dan
b. Memberikan alat kontrasepsi oral dan kondom
Berkaitan dengan kesehatan, penjelasan umum Undang-undang No.
36 tahun 2009 tentang Kesehatan, menyatakan bahwa pembangunan
kesehatan sebagai salah satu bagian dari pembangunan nasional diarahkan
demi tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat
bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal. Oleh karena itu diperlukannya pengawasan dari pemerintah secara
terus menerus dan berkesinambungan.
Bidan dalam memberikan jasa pelayanan kesehatan dilarang
menjalankan praktik apabila tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum
dalam izin praktik dan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
standar profesi kebidanan. Ketentuan tersebut dikecualikan bagi bidan yang
memberikan pertolongan dalam keadaan darurat atau menjalankan tugas di
daerah terpencil yang tidak ada tenaga kesehatan lain yang berwenang.
43
Bidan sebagai tenaga kesehatan harus memiliki kesiapan untuk
merujuk ibu atau bayi ke fasilitas kesehatan rujukan secara optimal dan
tepat waktu jika menghadapi penyulit. Rujukan kebidanan adalah kegiatan
pemindahan tanggungjawab terhadap kondisi klien/pasien ke fasilitas
pelayanan yang lebih memadai (tenaga atau pengetahuan, obat, dan
peralatannya).
Adapun jenis-jenis rujukan yaitu :
a. Rujukan medik
Yaitu pelimpahan tanggung jawab secara timbal balik atas satu
kasus yang timbul baik secara vertical maupun horizontal kepada yang
lebih berwenang dan mampu menangani secara rasional.
Jenis rujukan medic antara lain:
Transfer of patient. Konsultasi penderita untuk keperluaan
diagnostic, pengobatan, tindakan opertif dan lain – lain.
Transfer of specimen. Pengiriman bahan (spesimen) untuk
pemeriksaan laboratorium yang lenih lengkap.
Transfer of knowledge / personal. Pengiriman tenaga yang lebih
kompeten atau ahli untuk meningkatkan mutu layanan setempat.
b.
Rujukan kesehatan
44
Yaitu hubungan dalam pengiriman, pemeriksaan bahan atau
specimen ke fasilitas yang lebih mampu dan lengkap. Ini adalah
rujukan uang menyangkut masalah kesehatan yang sifatnya pencegahan
penyakit (preventif) dan peningkatan kesehatan (promotif). Rujukan ini
mencakup rujukan teknologi, sarana dan operasional.
Mekanisme Rujukan
a. Menentukan kegawatdaruratan pada tingkat kader, bidan desa,
pustu dan puskesmas :
Pada tingkat Kader
Bila ditemukan penderita yang tidak dapat ditangani
sendiri maka segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
terdekat karena mereka belum dapat menetapkan tingkat
kegawatdaruratan
Pada tingkat bidan desa, puskesmas pembantu dan puskesmas
Tenaga kesehatan harus dapat menentukan tingkat
kegawatdaruratan
kasus
yang
ditemui.
Sesuai
dengan
wewenang dan tanggung jawabnya mereka harus menentukan
kasus mana yang boleh ditangani sendiri dan kasus mana yang
harus dirujuk
b. Menentukan tempat tujuan rujukan
45
Prinsip dalam menentukan tempat rujukan adalah fasilitas
pelayanan yang mempunyai kewenangan terdekat, termasuk
fasilitas pelayanan swasta dengan tidak mengabaikan kesediaan dan
kemampuan penderita.
c. Memberikan informasi kepada penderita dan keluarganya. Klien
dan keluarga perlu diberikan informasi tentang perlunya penderita
segera dirujuk untuk mendapatkan pertolongan pada fasilitas
pelayanan kesehatan yang lebih mampu
d. Mengirimkan informasi pada tempat rujukan yang dituju melalui
telepon atau radio komunikasi pelayanan kesehatan yang lebih
mampu.
e. Persiapan penderita
Sebelum dikirim keadaan umum penderita harus diperbaiki
terlebih dahulu atau dilakukan stabilisasi. Keadaan umum ini perlu
dipertahankan selama dalam perjalanan. Surat rujukan harus
dipersiapkan sesuai dengan format rujukan dan seorang bidan harus
mendampingi penderita dalam perjalanan sampai ke tempat
rujukan.
f. Pengiriman penderita
Untuk mempercepat sampai ke tujuan, perlu diupayakan
kendaraan/sarana transportasi yang tersedia untuk mengangkut
penderita.
46
g. Tindak lanjut penderita
Untuk penderita yang telah dikembalikan dan memrlukan tindak
lanjut, dilakukan tindakan sesuai dengan saran yang diberikan.
Bagi penderita yang memerlukan tindak lanjut tapi tidak
melapor, maka perlu dilakukan kunjungan rumah
5.
Pengawasan Pemerintah
Pemerintah merupakan pihak yang mempunyai wewenang untuk
membuat peraturan melaksanakan pelaksanaan peraturan yang dibuat
tersebut untuk ditaati oleh masyarakat.
Pelaksanaan perlindungan konsumen juga melibatkan pihak-pihak
yang secara langsung melaksanakan fungsi perlindungan konsumen yaitu :
a. Departemen atau instansi yang berwenang.
Yang dimaksud departemen atau instansi yang terkait dengan produk
(departemen teknis) yang menangani produk yang bersangkutan
misalnya pemberian izin, penentuan standar mutu, dan sebagainya yang
dilakukan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).
Sedangkan departemen di bidang Perbankan adalah Departemen
Keuangan, Bank Indonesia yang berwenang dalam kebijakan moneter
dan perbankan.
b. Organisasi pelaku usaha atau pengusaha.
Pelaku usaha dalam keanggotaan sebuah organisasi pengusaha wajib
mentaati ketentuan yang dikeluarkan oleh organisasi pengusaha, dalam
47
dunia perbankan, bang milik pemerintah maupun swasta tunduk pada
Bank Indonesia sebagai lembaga, pengawas dan Pembina perbankan.
Bidan juga mempunyai organisasi, dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor Hk.02.02/Menkes/149/2010 Tentang Izin
Dan Penyelenggaraan Praktik Bidan Pasal 1 huruf (h) Organisasi
profesi bidan adalah Ikatan Bidan Indonesia (IBI)
c. Organisasi konsumen
Organisasi yang dibentuk khusus untuk melindungi hak-hak konsumen
yang dirugikan oleh pelaku usaha. Organisasi perlindungan konsumen
di Indonesia yaitu YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia)
yang didirikan sejak tahun 1973.
Tanggung jawab pemerintah di sektor kesehatan didasarkan pada
Pasal 14 ayat (1) Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
sebagai berikut :
“
Pemerintah
bertanggung
jawab
merencanakan,
mengatur,
menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya
kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.”
Pengawasan pemerintah di sektor kesehatan didasarkan pada Pasal
182 ayat (1)
Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan,
sebagai berikut “menteri melakukan pengawasan terhadap masyarakat dan
setiap penyelenggaraan kegiatan yang berhubungan dengan sumberdaya di
bidang kesehatan dan upaya kesehatan”, dan Pasal 188 ayat (1) berbunyi “
48
menteri dapat mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan
dan fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana
diatur dalam undang-undang ini”.
Masalah pengawasan juga diatur dalam UUPK yaitu dalam Pasal 30
sebagai berikut :
Ayat (1)
: Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan
konsumen
serta
penerapan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan diselenggarakan oleh pemerintah,
masyarakat,
dan
lembaga
perlindungan
konsumen
swadaya masyarakat.
Ayat (2)
: Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh Menteri teknis terkait.
Ayat (6)
: Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sbagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Tindakan ini cukup menjanjikan upaya perlindungan konsumen
melalui pemberdayaan setiap unsur yang ada yaitu masyarakat dan
perlindungan swadaya masyarakat disamping pemerintah sendiri melalui
menteri dan/atau menteri teknis yang terkait.
Berdasarkan hal tersebut diatas, bahwa yang terpenting adalah
pengawasan diupayakan untuk memberikan perlindungan hukum bagi
rakyat dalam kedudukan yang tidak lain adalah konsumen.
49
Bentuk pengawasan yang dilakukan Pemerintah dalam pelaksanaan
jasa pelayanan bidan praktik dapat berupa pemberian sanksi. Dalam Pasal
33 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan diatur mengenai kewenangan Menteri untuk mengambil
tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan tugas
sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan yang bersangkutan.
Tindakan disiplin yang dimaksud dapat berupa :
a. Teguran
b. Pencabutan izin untuk melakukan upaya kesehatan.
Pasal
23
Peratuan
Menteri
Kesehatan
Nomor
1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan,
mengatur bahwa Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota dapat memberikan tindakan administratif kepada
bidan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan
praktik dalam peraturan tersebut. Tindakan administratif yang dimaksud
dapat berupa :
a. Teguran lisan;
b. Teguran tertulis;
c. Pencabutan SIKB/SIPB untuk sementara paling lama 1 (satu) tahun;
atau
d. Pencabutan SIKB/SIPB selamanya
50
Selain ketentuan mengenai sanksi diatas, Pasal 24 ayat (1) Peratuan
Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Bidan mengatur bahwa Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota
dapat
memberikan
sanksi
berupa
rekomendasi
pencabutan izin/STR kepada Kepala Dinas kesehatan Provinsi/Majelis
Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) terhadap bidan yang melakukan
praktik tanpa memiliki SIPB atau kerja di fasilitas pelayanan kesehatan
tanpa memiliki SIKB. Pada ayat (2) diatur mengenai kewenangan
Pemerintah Daerah Kabuoaten/Kota untuk menjatuhkan snksi teguran
lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan izin fasilitas pelayanan
kesehatan sementara kepada pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan yang
mempekerjakan bidan yang tidak memiliki SIKB.
6.
KodeEtik Profesi Bidan
Setiap profesi mutlak mengenal atau mempunyai kode etik. Dengan
demikian dokter, perawat,bidan, guru dan sebagainya yang merupakan
bidang pekerjaan profesi mempunyai kode etik. Kode etik suatu profesi
adalah berupa norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota
profesi yang bersangkutan didalam melaksanakan tugas profesinya dan
dalam hidupnya di masyarakat.
51
Pengertian kode etik dalam buku Dudi Zulvadi 21, adalah normanorma yang harus diindahkan oleh setiap profesi dalam melaksanakan
tugas profesinya dan hidupnya di masyarakat. Norma tersebut
berisi
petunjuk bagi anggota profesi tentang bagaimana mereka harus
menjalankan profesinya dan larangan, yaitu ketentuan tentang apa yang
boleh dan tidak boleh diperbuat atau dilaksanakan oleh anggota profesi,
tidak saja dalam menjalankan tugas profesinya melainkan juga
menyangkut tingkah laku pada umumnya dalam pergaulan sehari-hari
dalam masyarakat.
Pengertian kode etik dalam buku yang diterbitkan Departemen
Kesehatan22, adalah suatu kesepakatan yang diterima dan dianut bersama
(kelompok tradisional) sebagai tuntunan dalam melakukan praktik. Kode
etik disusun oleh profesi berdasarkan pada keyakinan dan kesadaran
profesional serta tanggung jawab yang berakar pada kekuatan moral dan
kemampuan manusia.
Praktik Kebidanan adalah implementasi dari ilmu kebidanan oleh
Bidan
yang
bersifat
otonom,
kepada
perempuan,
keluarga
dan
komunitasnya, didasari etika dan kode etik Bidan.
Etika, moral, dan nilai-nilai :
21
Dudi Zulvadi, Etika dan Manajemen Kebidanan, Cahaya Ilmu,Yogyakarta, 2010, hal 108
Departemen Kesehatan, Komunikasi Efektif Ibu Selamat, Bayi Sehat, Keluarga Berencana,
Pelatihan Keterampilan Komunikasi Interpersonal/Konseling, Buku Bantu Bidan Siaga, Jakarta, 2002
22
52
1. Etik merupakan suatu pertimbangan yang sistematis tentang perilaku
benar atau salah, kebajikan atau kejahatan yang berhubungan dengan
perilaku.
2. Etika merupakan aplikasi atau penerapan teori tentang filosofi moral ke
dalam situasi nyata dan berfokus pada prinsip-prinsip dan konsep yang
membimbing manusia berpikir dan bertindak dalam kehidupannya yang
dilandasi oleh nilai-nilai yang dianutnya. Banyak pihak yang
menggunakan istilah etik untuk mengambarkan etika suatu profesi
dalam hubungannya dengan kode etik profesional seperti Kode Etik
PPNI atau IBI.
3. Nilai-nilai (values) adalah suatu keyakinan seseorang tentang
penghargaan terhadap suatu standar atau pegangan yang mengarah pada
sikap/perilaku seseorang. Sistem nilai dalam suatu organisasi adalah
rentang nilai-nilai yang dianggap penting dan sering diartikan sebagai
perilaku personal.
4. Moral hampir sama dengan etika, biasanya merujuk pada standar
personal tentang benar atau salah. Hal ini sangat penting untuk
mengenal antara etika dalam agama, hukum, adat dan praktek
professional.
Pada dasarnya tujuan menciptakan atau merumuskan kode etik
suatu profesi adalah untuk kepentingan anggota dan kepentingan
53
organisasi. Secara umum tujuan menciptakan kode etik adalah sebagai
berikut:
1. Untuk menjunjung tinggi martabat dan citra profesi
Dalam hal ini yang dijaga adalah image dari pihak luar atau masyarakat
mencegah orang luar memandang rendah atau remeh suatu profesi.
Oleh karena itu, setiap kode etik suatu profesi akan melarang berbagai
bentuk tindak tanduk atau kelakuan anggota profesi yang dapat
mencemarkan nama baik profesi di dunia luar. Dari segi ini kode etik
juga disebut kode kehormatan.
2. Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota
Yang dimaksud kesejahteraan ialah kesejahteraan material dan spiritual
atau mental. Dalam hal kesejahteraan materil angota profesi kode etik
umumnya menerapkan larangan-larangan bagi anggotanya untuk
melakukan perbuatan yang merugikan kesejahteraan. Kode etik juga
menciptakan peraturan-peraturan yang ditujukan kepada pembahasan
tingkah laku yang tidak pantas atau tidak jujur para anggota profesi
dalam interaksinya dengan sesama anggota profesi.
3. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi
Dalam hal ini kode etik juga berisi tujuan pengabdian profesi tertentu,
sehingga para anggota profesi dapat dengan mudah mengetahui tugas
dan tanggung jawab pengabdian profesinya. Oleh karena itu kode etik
54
merumuskan ketentuan-ketentuan yang perlu dilakukan oleh para
anggota profesi dalam menjalankan tugasnya.
4. Untuk meningkatkan mutu profesi
Kode etik juga memuat tentang norma-norma serta anjuran agar profesi
selalu berusaha untuk meningkatkan mutu profesi sesuai dengan bidang
pengabdiannya. Selain itu kode etik juga mengatur bagaimana cara
memelihara dan meningkatkan mutu organisasi profesi.
C. Perlindungan Hukum Konsumen
1. Perlindungan Hukum Konsumen
Perlindungan hukum adalah jaminan perlindungan pemerintah dan atau
masyarakat kepada warga negara dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban,
dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Perlindungan hukum adalah upaya melindungi secara hukum
terhadap riwa raga, harta benda seseorang dan Hak Asasi Manusia (HAM),
yang terdiri dari hak untuk hidup, hak kemerdekaan, hak beragama dan lain
sebagainya. Jadi pelanggaran hukum apapun yang dilakukan terhadap hal-hal
tersebut diatas akan dikenakan sanksi hukum/hukuman.23
Perlindungan hukum merupakan hak setiap warga negara Indonesia,
maksudnya adalah bahwa setiap atau seluruh warga negara Indonesia tanpa
23
http://www.fakultashukum-universitaspancasakti.com, Bahan Kuliah HAN, diakses
tanggal 5 april 2011
55
membedakan
berdasarkan
golongan
tertentu,
berhak
mendapatkan
perlindungan hukum dari sesuatu yang mengancam dirinya.
Perlindungan kepada segenap bangsa Indonesia dapat berupa perlindungan
secara fisik maupun perlindungan secara hukum. Perlindungan fisik adalah
perlindungan yang berkaitan dengan kebendaan atau materi. Perlindungan
hukum adalah perlindungan terhadap hak-hak yang dimiliki oleh setiap warga
negara Indonesia.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dalam Pasal 7 disebutkan bahwa :
“Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum
yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama
terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini,
dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam
ini“.
Hukum merupakan penceminan dari jiwa dan pikiran rakyat. Konstitusi
dasar Negara kita, secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah
negara yang berlandaskan hukum. Salah satu unsur yang dimiliki oleh negara
hukum adalah pemenuhan akan hak-hak dasar manusia (fundamental rights).
Pemerintah telah mengatur secara jelas tentang perlindungan yang
diberikan kepada warga negaranya dalam perundang-undangan, termasuk juga
hak-hak masyarakat selaku warga Negara Indonesia.
Indonesia seperti halnya negara berkembang lainnya menghadapi
permasalahan yang tidak jauh berbeda dalam bidang hukum perlindungan
56
konsumen. Kondisi konsumen di negara kita masih sering mengalami hal-hal
yang merugikan dirinya, posisi konsumen lebih lemah dibandingkan dengan
pengusaha dan organisasinya.
Permasalahan ketidakseimbangan kedudukan konsumen tersebut
kemudian dijembatani oleh hokum perlindungan konsumen. Hukum
perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang
memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang mengatur sifat yang melindungi
kepentingan konsumen24.
Hukum Konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan asas-asas atau
kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan
masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara
penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat25.
Hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan peraturanperaturan yang mengatur segala tingkah laku manusia yang berhubungan
dengan pihak konsumen, pelaku usaha dan pihak lain yang berkaitan dengan
masalah konsumen yang disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya. Hal ini
tercermin dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, yang merupakan perundang-undangan di Indonesia dengan
kepentingan pemberian perlindungan hukum kepada konsumen.
24
A.Z. Nasution (a), Konsumen dan Konsumen; Tinjauan Sosial, Ekonomi, dan Hukum pada
Perlindungan Konsumen Indonesia, cet.1. (Jakarta : Pustaka Sinar, 1995), Hal : 65.
25
A.Z. Nasution (b), Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, cet 2, (Jakarta : Diadit Media,
2002), Hal 22.
57
Pengertian perlindungan konsumen sebagaimana terdapat dalam Pasal
1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, yaitu:
“perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.
Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1
Angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen /
UUPK) tersebut cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya
yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk
hak untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku
usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.26
Pelindungan konsumen yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah kepastian hukum
terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen. Kepastian hukum meliputi
segala
upaya
berdasarkan hukum
untuk memberdayakan konsumen
memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa
kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila
dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut.
26
.Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers,
Jakarta, 2010, hal. 1.
58
Menurut Purba, perlindungan hukum bagi konsumen sebagai satu konsep
terpadu merupakan hal baru, yang perkembangannya dimulai dari negaranegara maju. Namun demikian, saat ini konsep ini sudah tersebar ke bagian
dunia lain. Lebih jauh menurut Purba terdapat sendi-sendi pokok pengaturan
perlindungan hukum bagi konsumen, sebagai berikut :
a.
Kesederajatan antara konsumen dan pelaku usaha;
b.
Konsumen mempunyai hak;
c.
Pelaku usaha mempunyai kewajiban;
d.
Pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi konsumen menyumbang
pada pembangunan nasional;
e.
Pengaturan tidak merupakan syarat;
f.
Perlindungan hukum bagi konsumen dalam iklim hubungan bisnis yang
sehat;
g.
Keterbukaan dalam promosi produk;
h.
Pemerintah berperan aktif;
i.
Peran serta masyarakat;
j.
Implementasi asas kesadaran hukum;
k.
Perlindungan hukum bagi konsumen memerlukan penerobosan konsepkonsep hukum tradisional;
59
l.
Konsep perlindungan hukum bagi konsumen memerlukan penerobosan
konsep-konsep hukum.27
Menurut undang-undang No.8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen dalam Pasal 1 angka (1) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
perlindungan konsumen adalah segala usaha yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk member perlindungan kepada konsumen.
Berdasarkan Pasal 3 Undang-undang perlindungan konsumen,
perlindungan konsumen bertujuan:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan
dari ekses negative pemakaian barang dan atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan
kesadaran
pelaku
usaha
mengenai
pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggungjawab dalam berusaha.28
27
Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, Nusa Media, Bandung, 2010, hal.3
60
Perlindungan konsumen didasarkan atas 5 (lima) asas seperti yang
terurai dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen bahwa : “Perlindungan konsumen berasaskan
manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen,
serta kepastian hukum”.
Abdul Hakim Barkatullah dalam bukunya menuliskan bahwa untuk
mewujudkan
tujuan
perlindungan
hukum
bagi
konsumen,
negara
bertanggungjawab atas pembinaan dan penyelenggaraan perlindungan hukum
bagi konsumen. Pembinaan dan penyelenggaraan perlindungan hukum bagi
konsumen dilakukan melalui upaya-upaya sebagai berikut :
a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara
pelaku usaha dan konumen;
b. berkembangnya lembaga perlindungan hukum bagi konsumen baik oleh
negara atau swadaya masyarakat;
c. meningkatnya kualitas
sumber daya manusia serta meningkatnya
kegiatan penelitian dan pengembangan dibidang perlindungan hukum
bagi konsumen.29
Perlindungan konsumen didasarkan atas 5 (lima) asas seperti yang terurai
dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
28
Kansil, C.S.T, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Aksara Baru ,
Jakarta, 1985, hal. 217.
29
Abdul Hakim Barkatullah , Op.cit, hal. 27.
61
Konsumen bahwa : Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
Perlindungan
konsumen
diselenggarakan
sebagai
usaha
bersama
berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu :
b.
Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha
secara keseluruhan.
c.
Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen
dan
pelaku
usaha
untuk
memperoleh
haknya
dan
melaksanakan kewajibannya secara adil.
d.
Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti
materiil dan spirituil.
e.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk
memberikan jaminan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,
pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
digunakan.
f.
Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun
konsumen
menaati
hukum
dan
memperoleh
keadilan
dalam
62
menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta menjamin kepastian
hukum.
Untuk mewujudkan tujuan perlindungan hukum bagi konsumen, negara
bertanggungjawab atas pembinaan dan penyelenggaraan perlindungan hukum
bagi konsumen. Pembinaan dan penyelenggaraan perlindungan hukum bagi
konsumen dilakukan melalui upaya sebagai berikut :
a.
terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara
pelaku usaha dan konumen;
b.
berkembangnya lembaga perlindungan hukum bagi konsumen baik oleh
negara atau swadaya masyarakat;
c.
meningkatnya kualitas
sumber daya manusia serta meningkatnya
kegiatan penelitian dan pengembangan dibidang perlindungan hukum
bagi konsumen.30
2. Hak dan Kewajiban Konsumen
Bentuk
perlindungan
hukum
bagi
konsumen
adalah
dengan
melindungi hak-hak konsumen. Secara garis besar hak konsumen dapat dibagi
dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu31 :
a. Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik
kerugian personal maupun kerugian harta kekayaan;
30
31
Ibid, hal. 27.
Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, (Bandung : Nusa Media, 2010), Hal 25
63
b. Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga wajar;
c. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan
yang dihadapi.
Pasal 4 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menetapkan 9 (Sembilan) hak konsumen :
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Terlihat bahwa masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan
konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan
kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan
konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat. Selanjutnya,
untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa dalam penggunaannya
akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan konsumen penggunaannya,
64
maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang
dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas dan
jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk
didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, konpensasi
sampai ganti rugi.32
Betapa pentingnya hak-hak konsumen, sehingga melahirkan pemikiran
yang berpendapat bahwa hak-hak konsumen merupakan “generasi keempat
hak asasi manusia”, yang merupakan kata kunci dalam konsepsi hak asasi
manusia dalam perkembangan di masa-masa yang akan datang.33
3. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Pelaku usaha diberikan hak-hak sebagaimana diatur dalam Pasal 6
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan sebagai
keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen.
Hak pelaku usaha adalah:
a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/ atau jasa yang
diperdagangkan;
b. hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang beritikad tidak baik;
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen;
32
33
Abdul Hakim Barkatullah, Op.cit, hal. 34.
Ibid.
65
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan /atau jasa
yang diperdagangkan;
e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai dengan kondisi
dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan
bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang
dan/atau jasa yang diberikan kepada konsumen tidak atau kurang memadai
menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang
sama.34
Hak-hak pelaku usaha tersebut pada huruf b, c, dan d, sesungguhnya
merupakan hak-hak yang lebih banyak berhubungan dengan pihak aparat
pemerintah dan/atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen/pengadilan
dalam tugasnya melakukan penyelesaian sengketa.
Konsekuensi dari hak konsumen yang telah diuraikan tersebut, maka
kepada pelaku usaha dibebankan pula kewajiban-kewajiban sebagaimana
diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen.
Kewajiban Pelaku Usaha :
a.
beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
34
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit, hal. 50.
66
b.
memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa, serta memberikan penjelasan penggunaan,
perbaikan, dan pemeliharaan;
memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur, serta
tidak diskriminatif;
menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku;
memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tersebut, serta memberi jaminan dan/atau
garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;
memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan;
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau jasa penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
c.
d.
e.
f.
g.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
mewajibkan pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya,
sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad baik dalam melakukan
transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
Kewajiban pelaku usaha yang kedua yaitu memberikan informasi yang
benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa
serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan,
disebabkan karena informasi disamping merupakan hak konsumen, juga
karena ketiadaan informasi yang memadai dari pelaku usaha merupakan salah
satu jenis cacat produk (cacat informasi), yang merugikan konsumen. 35
35
44.
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, 2008, hal.
67
Cacat peringatan atau instruksi adalah cacat produk karena tidak
dilengkapi dengan peringatan-peringatan tertentu atau instruksi penggunaan
tertentu.36
Produk cacat di Indonesia menurut Emma Suratman adalah setiap produk
yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya baik karena kesengajaan
ataupun kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal lain
yang terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat
keamanan bagi manusia atau harta benda dalam penggunaannya, sebagaimana
diharapkan orang.37
Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen
mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran
mengenai suatu produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen
tersebut dapat berupa representasi, peringatan, maupun yang berupa instruksi.
Bentuk informasi tentang barang dan/atau jasa yang diperlukan
konsumen, tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah informasi
yang bersumber dari pelaku usaha. Bentuk-bentuk informasi tentang barang
dan/atau jasa antara lain sebagai berikut :
a.
Iklan
Kedudukan periklanan dalam masyarakat usaha, terdapat dua batasan
iklan, yaitu yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan dan yang lainnya
oleh sistem penyiaran nasional.
Departemen Kesehatan (Peraturan Menteri Kesehatan No. 329 Tahun
1976, Pasal 1 Butir 13) menetapkan sebagai “iklan adalah usaha dengan
cara apapun untuk meningkatkan penjualan, baik secara langsung,
maupun tidak langsung”.
36
37
Ibid, hal. 104.
Ibid, hal. 103.
68
Adapun sistem penyiaran nasional (Pasal 1 Butir 5 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran) merumuskan siaran iklan
adalah siaran informasi yang bersifat komersial dan layanann masyarakat
tentang tersedianya jasa, barang, dan gagasan yang dapat dimanfaatkan
oleh khalayak dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang
bersangkutan.
b.
Label
Informasi produk konsumen dapat ditemukan dalam penandaan atau
informasi lain, seperti iklan dalam segala bentuk dan/atau kretivitasnya,
tetapi dengan batas-batas minimum sehingga tidak menyesatkan atau
menipu (iklan melawan hukum). Pada penandaan, label atau etiket
pemuatan informasi yang bersifat wajib dilakukan dengan sanksi-sanksi
administratif dan/atau pidana tertentu apabila tidak dipenuhi persyaratanpersyaratan etiket dan/atau label tersebut.
c.
Hal-hal yang berkaitan dengan perikatan
Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Tentang Perikatan
(van Verbintenissen), termuat ketentuan-ketentuan tentang subyek-subyek
hukum dari perikatan, syarat-syarat perikatan, tentang resiko dan jenisjenis perikatan tertentu, syarat-syarat pembatalannya dan berbagai bentuk
perikatan yang dapat ditiadakan (Pasal 1233 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata). Selanjutnya , Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata menyebutkan jenis-jenis
perjanjian (prestasi) yang dapat
diadakan terdiri atas memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak
berbuat sesuatu.
Perikatan yang terjadi karena undang-undang, dapat timbul baik
karena undang-undang maupun sebagai akibat perbuatan seseorang.
Perbuatan itu dapat berupa perbuatan yang diperbolehkan (halal), atau
perbuatan yang melanggar hukum. Dalam perikatan yang timbul karena
perjanjian, tidak dipenuhi atau dilanggarnya butir-butir perjanjian itu,
setelah dipenuhinya syarat tertentu dapat mengakibatkan terjadinya cidera
janji (wanprestatie). Perbuatan cidera janji ini memberikan hak pada para
pihak yang diciderai janji untuk menggugat ganti rugi berupa biaya,
kerugian, dan bunga (Pasal 1236 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dalam hal perjanjian memberikan sesuatu, Pasal 1239 dan Pasal 1242
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam hal perjanjian berbuat atau
tidak berbuat sesuatu, Pasal 1243, 1244, 1246 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata) dan seterusnya. 38
38
Ibid, hal. 72-78.
69
Kerugian-kerugian itu selain dari biaya-biaya yang sungguhsungguh telah dikeluarkan, kerugian yang dialami, juga termasuk
keuntungan (wintsderving) yang diharapkan yang tidak diterima karena
karena perbuatan ingkar janji tertentu.
.
70
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode
pendekatan Yuridis Normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legis
positivis yang menyatakan bahwa hukum identik dengan norma tertulis yang
dibuat oleh pejabat yang berwenang, selain itu konsepsi ini melihat hukum
sebagai suatu sistem normatif yang bersifat otonom terlepas dari kehidupan
masyarakat.39
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi
penelitian deskriptif. Spesifikasi penelitian deskriptif oleh Soerjono Soekanto
dalam bukunya Pengantar Penelitian Hukum dijelaskan, sebagai berikut :
Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan untuk
memberikan data yang diteliti, mungkin dengan manusia, keadaan atau
gejala-gejala lainnya, serta hanya menjelaskan keadaan objek masalahnya
tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang bersifat umum.40
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada lembaga atau instansi yang terkait, yaitu
Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya, Pusat Informasi Ilmiah Universitas
39
Ronny Hanintijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1990. Hal. 13-14.
40
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1981. Hal. 10.
71
Jenderal Soedirman dan Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman.
D. Jenis dan Sumber Data
1. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data pokok atau utama yang bersumber dari
peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur, maupun surat-surat resmi
yang ada hubungannya dengan obyek penelitian.
a. Bahan Hukum Primer
1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
3) Peraturan lain yang ada relevansinya dengan permasalahan penelitian.
b. Bahan Hukum Sekunder :
Adalah pustaka-pustaka hasil penelitian yang menunjang atau ada
relevansinya dengan penelitian ini.
c. Bahan Hukum Tertier :
1) Kamus Hukum
2) Kamus Bahasa Indonesia
3) Kamus Bahasa Inggris Indonesia
2. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari obyek penelitian
yang berupa keterangan-keterangan hasil interview atau wawancara dengan
72
salah satu pihak terkait dengan objek penelitian sebagai penunjang dan atau
pendukung data sekunder.
E. Metode Pengumpulan Data
1. Data Sekunder
Data yang diperoleh dari studi pustaka yaitu mengumpulkan bahan-bahan
kepustakaan yang berupa peraturan perundang-undangan, literatur dan
dokumen yang terkait dengan permasalahan yang diteliti.
2. Data Primer
Data yang diperoleh dari interview atau wawancara dengan pihak yang terkait
dengan masalah yang diteliti pada Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya untuk
melengkapi data sekunder.
F. Metode Penyajian Data
Metode penyajian data dalam penelitian ini akan disajikan dalam bentuk
uraian yang disusun secara sistematis, logis dan rasional. Dalam arti keseluruhan
data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan
dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan suatu kesatuan
yang utuh.
G. Metode Analisis Data
Seluruh data dianalisis dengan menggunakan metode normatif kualitatif
yaitu menafsirkan dan menjabarkan data berdasarkan teori hukum atau kaidah-
73
kaidah hukum serta doktrin hukum yang relevan guna menjawab permasalahan
yang telah dirumuskan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Berdasarkan penelitian di Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya, didapat datadata sebagai berikut :
1. Data Sekunder
a. Identitas Pasien
Nama
: Ny. Ida
74
Alamat
: Kampung Bagendit Desa Linggaraja Kec. Sukaraja
Usia
: 32 tahun
b. Identitas Bidan
Nama
: Susi Susilawati
Alamat
: Kampung Bagendit Desa Linggaraja Kec. Sukaraja
c. Kronologis
Sekitar tanggal 15 juli 2011 di Tasikmalaya yang terjadi pada Ny. Ida
warga Kampung Bagendit Desa Linggaraja Kec. Sukaraja harus
kehilangan anaknya akibat keterlambatan penanganan persalinan yang
dilakukan oleh bidan. Dalam kasus ini Ny. Ida tidak langsung meminta
bantuan pertolongan kepada bidan tapi kepada dukun yang akibatnya
persalinan terhambat dan akhirnya sang dukun meminta bantuan kepada
bidan terdekat. Setelah dilakukan tindakan pertolongan oleh bidan namun
tidak ada perkembangan yang berarti, karena placenta sang ibu masih
tertinggal sebagian dalam rahim maka bidan bermusyawarah dengan
keluarga untuk melakukan rujukan ke puskesmas terdekat. Seminggu
kemudian bidan melakukan kunjungan PNC ternyata bayi dalam keadaaan
sakit karena dilihat dari prilaku bayi yang tidak mau netek dan bdan bayi
membiru. Bidan melakukan rujukan lagi ke puskesmas terdekat, dan
setelah dilakukan pertolongan pertama kemudian di rujuk lagi ke RSIA
atas keinginan pasien. Setelah dilakukan pertolongan selama sembilan
75
jam, bayi tidak dapat tertolong dan dinyatakan meninggal dunia dengan
diagnose penyakit hyperbilirubin dan infeksi..
d. Penyelesaian Perkara
Pasien menuntut agar bidan bertanggungjawab atas kematian bayinya.
Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Tasikmalaya yang berwenang
melakukan pengawasan terhadap praktik bidan mencoba melakukan upaya
perdamaian antara pasien dan biadn yang bersangkutan. Pada saat kedua
belah pihak (pasien dan bidan) bertemu dengan dihadiri oleh pejabat dari
Dinkes Kabupaten Tasikmalaya, bidan menjelaskan bahwa tindakan medis
yang dilakukan telah sesuai dengan kewenangannya dan standar
profesinya sebagai bidan. Pada saat bayi dalam keadaan kritis dengan
ditandai badan membiru, bidan menganjurkan agar pasien membawa
bayinya ke Puskesmas terdekat untuk mendapatkan perawatan yang lebih
memadai. Namun pihak Puskesmas sudah tidak sanggup sehingga
merujuk bayi tersebut untuk dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah
Tasikmalaya atau Rumah Sakit lain yang memiliki kelengkapan peralatan
yang memadai. Namun pihak keluarga membawa bayi tersebut ke tempat
persalinan swasta (RSIA). Kondisi bayi yang sudah sangat kritis dan
lambatnya penanganan terhadap bayi tersebut menyebabkan nyawa bayi
tidak dapat tertolong lagi.
Setelah mendengarkan penjelasan dari bidan serta masukan pendapat dari
Dinkes Kabupaten Tasikmalaya, maka pasien pihak pasien bersedia untuk
76
melakukan perdamaian dan mencabut gugatan ganti ruginya kepada bidan
atas kematian bayinya.
2. Data Primer
Dalam penelitian ini penulis melakukan wawancara dengan bidan desa yang
bersangkutan dengan kasus diatas serta staff dinas kesehatan Tasikmalaya.
Adapun hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut :
2.1. Narasumber I
2.1.1. Identitas Narasumber
Nama
:
Susi Susilawati, A.Md.Keb
Alamat
:
Kampung Bagendit Desa Linggaraja
Kec. Sukaraja
Pekerjaan
:
Bidan Desa Linggaraja
2.1.2. Hasil Wawancara
-
Bahwa narasumber bekerja sebagai bidan desa di Desa
Linggaraja
-
Bahwa narasumber memiliki Surat Izin Kerja Bidan (SIKB)
dan Surat Izin Praktek Bidan (SIPB)
-
Bahwa narasumber telah menempuh pendidikan kebidanan
sesuai dengan prosedur untuk menjadi bidan.
-
Bahwa prosedur penyelenggaraan praktik bidan mengacu pada
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
77
1464/Menkes/Per/X/2010
tentang
Izin
Penyelenggaraan
Praktik Bidan dank ode etik profesi bidan.
-
Bahwa memang benar pada tahun 2011 narasumber pernah
diadukan dan dituntut ganti rugi oleh Ny. Ida atas kematian
bayinya.
-
Bahwa kematian bayi Ny. Ida pada awalnya disebabkan oleh
penanganan kelahiran yang tidak sesuai dengan prosedur medis
yang aman. Narasumber menangani bayi tersebut setelah
proses kelahiran dilakukan oleh dukun beranak (paraji) yang
tidak disertai dengan peralatan medis yang mendukung proses
kelahiran tersebut. Dengan demikian, narasumber berpendapat
agar bayi dan ibunya dirujuk ke puskesmas atau rumah sakit
yang memiliki fasilitas pendukung medis yang memadai.
-
Bahwa narasumber merasa berkewajiban untuk merujuk bayi
pasien ke tenaga kesehatan lainnya yang berwenang atau ke
fasilitas kesehatan yang dapat menangani bayi pasien karena
narasumber merasa tidak dapat dan tidak berwenang untuk
melakukan tindakan medis terhadap bayi pasien tersebut. Hal
tersebut dikarenakan kondisi bayi yang sudah kritis dan lemah.
-
Bahwa pada dasarnya sesuai peraturan yang berlaku pasien
berhak untuk menuntut ganti rugi kepada tenaga kesehatan
yang menyebabkan cacat atau kematian akibat kesalahan atau
78
kelalaian tenaga kesehatan yang bersangkutan. Namun dalam
kasus tersebut narasumber merasa tidak melakukan kesalahan
ataupun kelalaian karena ia telah melakukan tindakan medis
sesuai dengan standar profesi dan aturan yang berlaku.
2.2. Narasumber II
2.2.1. Identitas Narasumber
Nama
: Hj. Damiasih A.Md.keb
Alamat
: Jalan Perintis Kemerdekaan, Desa
Karsamenak,
Kecamatan
Kawalu,
Kota Tasikmalaya
Pekerjaan
: Staff Dinas Kesehatan Kabupaten
Tasikmalaya
2.2.2. Hasil Wawancara
-
Bahwa bidan yang terdaftar di Dinas Kesehatan kabupaten
Tasikmalaya telah menempuh pendidikan Diploma III (DIII)
Kebidanan.
-
Bahwa untuk memperoleh SIKB dan SIPB di Dinas Kesehatan
Kabupaten Tasikmalaya telah sesuai ketentuan sebagaimana
diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor1464/Menkes/Per/X/2010 tentang
Izin Penyelenggaraan Praktik Bidan.
79
-
Bahwa tindakan medis yang dilakukan bidan yang terdaftar di
Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya telah sesuai dengan
ketentuan Pasal yang berlaku.
-
Bahwa sepanjang periode 2008-2011 tidak diketemukan kasus
pelanggaran praktik bidan, baik tindakan medis diluar
kewenangan bidan sebagaimana diatur dalam Pasal 9-12
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1464/Menkes/Per/X/2010
tentang
Izin
Penyelenggaraan
Praktik Bidan maupun diluar standar profesi bidan.
-
Bahwa pada tahun 2011 terdapat pengaduan dari masyarakat
terhadap bidan desa Linggaraja bahwa bidan telah melakukan
kelalaian yang menyebabkan kematian bayinya. Kasus tersebut
diselesaikan secara damai karena tidak terbukti bahwa bidan
telah melakukan kelalaian melainkan bidan telah melakukan
tindakan sesuai prosedur dan standar profesi bidan.
-
Bahwa bidan yang tidak dapat menangani pasien atau tidak
sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya harus merujuk ke
tenaga kesehatan lainnya yang berwenang untuk melakukan
tindakan medis atau ke fasilitas kesehatan yang memadai.
Pengecualian terhadap ketentuan tersebut adalah apabila di
pasien berada jauh dari tenaga kesehatan lain atau fasilitas
pelayanan kesehatan.
80
B. Pembahasan
Pengertian produsen atau pelaku usaha menurut Pasal 1 angka 3 UndangUndang Perlindungan Konsumen, yaitu :
Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi.
Menurut AZ Nasution, pelaku usaha berdasarkan Pasal tersebut di atas
terdiri dari41 :
1. Pelaku usaha sebagai pencipta/pembuat barang yang menjadi sumber
terwujudnya barang yang aman dan tidak merugikan konsumen.
2. Pedagang sebagai pihak yang menyampaikan barang kepada konsumen.
3. Pengusaha jasa.
Berdasarkan definisi bidan yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
1464/Menkes/Per/X/2010
tentang
Izin
Penyelenggaraan Praktik Bidan dan definisi tenaga kesehatan dalam Pasal 1
angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
serta hak bidan untuk mendapatkan kompensasi/imbalan jasa sebagaimana diatur
dalam Pasal 19 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010
tentang Izin Penyelenggaraan Praktik Bidan bial dikaitkan dengan Pasal 1 angka
3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan
pendapat A.Z. Nasution, maka dapat dideskripsikan yang dimaksud dengan
pelaku usaha adalah bidan.
41
Ibid, hal 32
81
Pengertian Konsumen sesungguhnya dapat terbagi dalam tiga bagian,
yaitu :
1. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.
2. Konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaatan barang
dan/atau jasa untuk produksi (produsen) menjadi barang atau jasa lain untuk
memperdagangkan (distributor), dengan tujuan komersil. Konsumen antara ini
sama dengan pelaku usaha.
3. Konsumen akhir, yaitu pemekai, pengguna dan/atau pemanfaatan barang
dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi diri sendiri, keluarga, atau rumah
tangganya dan tidak untutk diperdagangkan kembali.
Istilah konsumen sebagai definisi yuridis formal ditentukan dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam
Pasal 1 ayat (2), yang menyatakan sebagai berikut :
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Menurut penjelasan Pasal tersebut, bahwa konsumen yang dimaksud
aadlah adanya syarat “tidak untuk diperdagangkan” yang menunjukkan sebagai
konsumen akhir dan sekaligus membedakan dengan konsumen antara.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dideskripsikan bahwa yang
dimaksud konsumen dalam bidang jasa pelayanan kesehatan adalah pasien.
82
Perlindungan hukum merupakan salah satu upaya yang ditujukan untuk
memberikan rasa aman kepada seseorang dengan membatasi hak dan
kewajibannya berdasarkan suatu peraturan dengan tujuan agar terpeliharanya
keamanan dan ketertiban sehingga dapat menjamin adanya kepastian hukum.
Indonesia sebagai negara hukum mempunyai kewajiban untuk memberikan
jaminan perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia. Jaminan tersebut
dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang menjadi pedoman
bagi setiap warga negara dalam melakukan hubungan hukum.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, pengertian perlindungan konsumen adalah
segala upaya yang menjamin adanya kepastian hokum untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen. Perlindungan tersebut ditujukan untuk
melindungi dan menegakkan hal-hak asasi konsumen yang harus dihormati orang
lain. Hak-hak konsumen yang dilindungi oleh undang-undang sebagaimana
diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlidungan
Konsumen adalah sebagai berikut :
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
83
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
a. Perlindungan hukum terhadap pengguna jasa praktik bidan terkait Pasal 4
huruf (a) dan (h) Undang-Undang Perlindungan Konsumen diuraikan
sebagai berikut : hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa
Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf a menyatakan
bahwa “Konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
dalam mengkonsumsi barang dan/ atau jasa”.
84
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo berpendapat bahwa42:
Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin
keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang atau
jasa yang diperolehnya, sehingga konsumen dapat terhindar dari
kerugian (fisik maupun psikis) apabila mengkonsumsi suatu produk.
Konsumen
berhak
mendapatkan
kenyamanan,
keamanan,
dan
keselamatan barang dan/ atau jasa yang diberikan kepadanya. Artinya produk
barang dan/atau jasa tidak boleh membahayakan apabila dikonsumsi, sehingga
konsumen tidak dirugikan baik secara materiil maupun fisik.
Kewenangan
bidan
dalam
memberikan
pelayanan
kebidanan,
diantaranya memberikan layanan kebidanan primer artinya bidan berwenang
dan bertanggung jawab sepenuhnya dalam memberikan asuhan kebidanan
kepada klien. Selain itu, bidan juga berwenang untuk memberikan layanan
rujukan yang merupakan asuhan kebidanan yang dilakukan dengan
menyerahkan tanggung jawab kepada dokter, ahli dan/atau tenaga kesehatan
professional lainnya untuk mengatasi masalah kesehatan klien diluar
kewenangan bidan dalam rangka menjamin kesejahteraan ibu dan anaknya.
Berkaitan dengan hal tersebut, asuhan kebidanan yang menjadi tugas bidan
diantaranya adalah melakukan tindakan pencegahan dan deteksi terhadap
kondisi ibu dan anak balita yang mengalami gangguan kesehatan, serta
memberi bantuan pengobatan sebagai pertolongan pertama sebelum tindakan
medis lebih lanjut dilakukan.
42
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Rajagrafindo Persada,
Jakarta, 2004. Hal 41.
85
Berdasarkan
Pasal
9
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin Penyelenggaraan Praktik Bidan
kewenangan bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu pada ibu
yang melahirkan adalah :
a) Penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II;
b) Penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan;;
c) Pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas;
Sedangkan kewenangan bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan
anak pada bayi baru lahir adalah :
a) Melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk resusitasi, pencegahan
hipotermia, inisiasi menyusu diri, injeksi vitamin K 1, perawatan bayi
baru lahir pada masa neonatal (0-28 hari), dan perawatan tali pusat;
b) Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk;
c) Penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan;
d) Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak pra sekolah;
Bidan tidak dapat melayani pasien diluar kewenangan yang diatur dalam
ketentuan tersebut dan diluar standar profesinya. Sehingga pasien dapat
terlindungi dari tindakan malpraktik yang dilakukan bidan, karena bidan
hanya akan melayani pasien sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh
peraturan yang berlaku, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin Penyelenggaraan
Praktik Bidan.
86
Bidan sebagai tenaga kesehatan harus memiliki kesiapan untuk merujuk
ibu atau bayi ke fasilitas kesehatan rujukan secara optimal dan tepat waktu
jika menghadapi penyulit. Rujukan kebidanan adalah kegiatan pemindahan
tanggungjawab terhadap kondisi klien/pasien ke fasilitas pelayanan yang lebih
memadai (tenaga atau pengetahuan, obat, dan peralatannya).
Adapun mekanisme rujukan yang harus diperhatikan oleh bidan, sebagai
berikut :
a. Menentukan
kegawatdaruratan, yaitu tenaga kesehatan harus dapat
menentukan tingkat kegawatdaruratan kasus yang ditemui. Sesuai dengan
wewenang dan tanggung jawabnya mereka harus menentukan kasus mana
yang boleh ditangani sendiri dan kasus mana yang harus dirujuk
b.
Menentukan tempat tujuan rujukan, dengan prinsip dalam menentukan
tempat rujukan adalah fasilitas pelayanan yang mempunyai kewenangan
terdekat, termasuk fasilitas pelayanan swasta dengan tidak mengabaikan
kesediaan dan kemampuan penderita
c.
Memberikan informasi kepada penderita dan keluarganya. Klien dan
keluarga perlu diberikan informasi tentang perlunya penderita segera
dirujuk untuk mendapatkan pertolongan pada fasilitas pelayanan
kesehatan yang lebih mampu
d. Mengirimkan informasi pada tempat rujukan yang dituju melalui telepon
atau radio komunikasi pelayanan kesehatan yang lebih mampu
87
e. Sebelum dikirim keadaan umum penderita harus diperbaiki terlebih
dahulu atau dilakukan stabilisasi. Keadaan umum ini perlu dipertahankan
selama dalam perjalanan. Surat rujukan harus dipersiapkan sesuai dengan
format rujukan dan seorang bidan harus mendampingi penderita dalam
perjalanan sampai ke tempat rujukan
f. Untuk mempercepat sampai ke tujuan, perlu diupayakan kendaraan/sarana
transportasi yang tersedia untuk mengangkut penderita
g. Untuk penderita yang telah dikembalikan dan memrlukan tindak lanjut,
dilakukan tindakan sesuai dengan saran yang diberikan. Sedangkan bagi
penderita yang memerlukan tindak lanjut tapi tidak melapor, maka perlu
dilakukan kunjungan rumah.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan narasumber Susi
Susilawati, A.Md.Keb yang menyatakan bahwa prosedur penyelenggaraan
praktik bidan yang ia lakukan mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
1464/Menkes/Per/X/2010
tentang
Izin
Penyelenggaraan Praktik Bidan dan kode etik profesi bidan. Hal ini dikuatkan
dengan hasil waancara penulis dengan narasumber Hj. Damiasih A.Md.Keb,
diperoleh data bahwa tindakan medis yang dilakukan bidan yang terdaftar di
Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya telah sesuai dengan ketentuan pasal
yang berlaku.
Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat diancam dengan
ancaman pidana denda yang diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23
88
Tahun 1992 tentang Kesehatan atau dapat dikenakan sanksi disiplin
sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun
1996 tentang Tenaga Kesehatan atau Pasal 23 Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 1464/Menkes/Per/2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik
Bidan.
Tindakan disiplin yang dapat dijatuhkan terhadap bidan yang
melanggar ketentuan penyelenggaraan praktik bidan dan standar profesinya
dapat berupa :
a. Teguran lisan
b. Teguran tertulis
c. Pencabutan surat tanda registrasi
d. Pencabutan sikb/sipb sementara waktu paling lama 1 (satu) tahun; atau
e. Pencabutan sikb/sipb selamanya
Bidan yang memberikan pertolongan dalam keadaan darurat atau
menjalankan tugas didaerah terpencil yang tidak ada tenaga kesehatan lain,
dikecualikan dari laranagn penanganan luar batas kewenangan dan standar
profesinya. Bahkan bidan dapat diancam pidanan penjara paling lama 2 (dua)
tahun dan denda palinng banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
apabila dengan sengaja tidak melakukan tindakan pertolongan pertama pada
pasien yang mengalami keadaan gawat darurat, sebagaimana yang diatur
dalam pasal 190 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin Penyelenggaraan Praktik Bidan
89
mengatur bahwa seorang bidan dapat melaksanakan praktik harus menempuh
pendidikan Diploma III (DIII) Kebidanan. Hal ini dimaksudkan agar dalam
melayani pasien bidan dapat mengetahui tindakan medis apa yang harus ia
lakukan sehingga tindakan medis tersebut sesuai dengan standar profesi, ilmu
pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan.
Berdasarkan data hasil wawancara dengan bidan Susi Susilawati,
A.Md.Keb yang menyatakan bahwa seorang bidan harus menempuh
pendidikan Diploma III (DIII) Kebidanan agar dapat menjalankan praktek
atau bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan termasuk bekerja sebagai bidan
desa. Hal tersebut didukung oleh data hasil wawancara dengan Bidan Hj.
Damiasih, A.Md.Keb yang menyatakan bahwa bidan yang terdaftar di Dinas
Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya telah menempuh pendidikan Diploma III
(DIII) Kebidanan
Bidan yang akan melakukan praktik mandiri dan/atau bekerja di fasilitas
pelayanan kesehatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
1464/Menkes/Per/X/2010
tentang
Izin
Penyelenggaraan Praktik Bidan, harus memiliki Surat Izin Praktik Bidan
(SIPB) bagi bidan yang akan menjalankan praktik mandiri dan Surat Izin
Kerja Bidan (SIKB) bagi bidan yang akan bekerja di fasilitas pelayanan
kesehatan.
Surat Tanda Registrasi (STR) adalah bukti tertulis yang diberikan oleh
Pemerintah Daerah kepada tenaga kesehatan (bidan) yang diregistrasikan oleh
90
Instansi Pendidikan tenaga kesehatan yang bersangkutan setelah ia
mendapatkan sertifikat kompetensi. Untuk mendapatkan STR tersebut, bidan
harus lulus dari masa pendidkan minimal Diploma III (DIII) Kebidanan.
Rekomendasi dari kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota serta organisasi
profesi dimaksudkan untuk menghindari praktek malpraktek yang disebabkan
oleh ketidakmampuan bidan dalam menjalankan wewenangnya sesuai dengan
standar profesi, ilmu pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan narasumber Hj. Damiasih
A.Md.Keb. diperoleh data bahwa untuk memperoleh SIKB dan SIPB di Dinas
Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya telah seuai dengan ketentuan sebagaimana
diatur dalam Pasal 3 dan 4 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1464/Menkes/Per/2010 Tentang Izin Penyelenggaraan Praktik Bidan.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan narasumber Hj. Damiasih,
A.Md.Keb diperoleh data bahwa sepanjang periode tahun 2008-2011 tidak
diketemukan kasus pelanggaran malpraktik yang dilakukan bidan, baik
tindakan medis diluar kewenangan yang diatur dalam Pasal 9-12 Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 Tentang Izin dan
Penyelengaraan Praktik Bidan maupun diluar standar profesi kebidanan.
Adapun pada tahun 2011 terdapat pengaduan dari masyarakat terhadap bidan
desa Linggaraja bahwa bidan telah melakukan kelalaian yang menyebabkan
kematian bayinya. Mengenai kasus tersebut penulis melakukan wawancara
dengan bidan yang bersangkutan, yaitu bidan Susi Susilawati yang juga
91
merupakan narasumber, diperoleh data memang benar pada tahun 2011
narasumber pernah diadukan dan dituntut ganti rugi oleh Ny. Ida atas
kematian bayinya. Kematian bayi Ny. Ida pada awalnya disebabkan oleh
penanganan kelahiran yang tidak sesuai dengan prosedur medis yang aman.
Narasumber menangani bayi tersebut setelah proses kelahiran dilakukan oleh
dukun beranak (paraji) yang tidak disertai dengan peralatan medis yang
mendukung proses kelahiran tersebut. Dengan demikian, narasumber
berpendapat agar bayi dan ibunya dirujuk ke puskesmas atau rumah sakit yang
memiliki fasilitas pendukung medis yang memadai.
Berdasarkan data sekunder, kronologis kasus pengaduan bidan desa bila
dikaitkan dengan data primer hasil wawancara dengan Bidan Susi Susilawati,
A.Md.Keb
dan
Hj.Damiasih,
A.Md.Keb,
kewenangan
bidan
dalam
memberikan layanan primer dan rujukan serta Pasal 9 Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 Tentang Izin dan Penyelengaraan
Praktik Bidan dan Pasal 4 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang perlidungan Konsumen, maka dapat dideskripsikan bahwa pelayanan
kebidanan yang dilakukan oleh bidan Susi Susilawati telah sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dan telah memenuhi hak konsumen atas kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa .
Keselamatan dapat dicapai apabila persyaratan dan prosedur dalam
melakukan proses penyelenggaraan jasa Bidan praktik sudah terpenuhi
meskipun dalam hal transaksi terapetik seperti pada transaksi medis yang
92
diutamakan adalah dalam melaksanakan prosedur bukan hasil dari tindakan
medis itu sendiri
b. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
Hak ini tercantum dalam Pasal 4 huruf h Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, yang menyatakan :
“Konsumen konsumen berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti
rugi dan/ atau penggantian barang dan/ atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian dan/ atau tidak sebagaimana mestinya”.
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian
merupakan hak konsumen apabila mengalami kerugian akibat mengkonsumsi
barang dan/ atau jasa yang dihasilkan pelaku usaha. Kerugian dalam hal ini
bukan hanya kerugian materi saja akan tetapi termasuk juga kerugian terhadap
fisik, seperti sakit, cacat maupun kematian.
Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, hak atas ganti
kerugian dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah menjadi
rusak (tidak seimbang) akibat adanya penggunaan barang dan/ atau
jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini sangat terkait
dengan penggunaan produk yang telah merugikan konsumen, baik
yang berupa kerugian materi, maupun kerugian yang menyangkut diri
(sakit, cacat, bahkan kematian) konsumen. Untuk merealisasikan hak
ini tentu saja harus melalui prosedur tertentu, baik yang diselesaikan
secara damai (di luar pengadilan) maupun yang diselesaikan melalui
pengadilan.43
43
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit. Hal 44.
93
Perjanjian antara pasien dan bidan selaku tenaga kesehatan berbeda
konsep dengan perjanjian antara konsumen dan produsen pada umumnya.
Perjanjian antara pasien dan bidan didasarkan pada kepercayaan pasien
kepada bidan untuk melakukan tindakan medis yang menjadi kewenangan
bidan. Kepercayaan pasien tersebut ditunjukkan dengan cara memberikan
persetujuan kepada bidan atas tindakan medis yang akan dilakukan bidan
setelah pasien mendengarkan informasi mengenai kondisi dan tindakan yang
akan dilakukn bidan. Perjanjian tersebut dikenal dengan istilah perjanjian
terapeutik.
Perjanjian terapeutik pada dasarnya merupakan hubungan perikatan
yang khusus, oleh karena itu apabial terjadi konflik atau sengketa antara
penyedia jasa dan penerima jasa pelayanan kesehatan maka masing-masing
pihak tunduk pada konsep hukum yang mengaturnya. Karakteristik perjanjian
teraupetik tidak berorientasi pada hasil yang akan dicapai, melainkan
berorientasi pada usaha yang dilakukan bidan untuk memberikan pelayanan
kesehatan sesuai prosedur profesi yang berlaku. Bidan tidak dapat
memberikan jaminan/garansi akan hasil yang diinginkan pasien.
Seorang bidan selaku pelaku usaha jasa dapat dituntut pembayaran
kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian barang dan/ atau jasa yang
diterima tidak sesuai dengan perjanjian dan/ atau tidak sebagaimana mestinya,
apabila dalam memberikan pelayanan kesehatan bidan tidak sesuai dengan
standar profesi.
94
Ketentuan mengenai hak pasien untuk menuntut ganti rugi terhadap
tenaga kesehatan dan/atau penyelenggara pelayanan kesehatan yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan dan kelalaian dalam pelayanan
kesehatan yang diterimanya diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan. Selain itu, diatur pula dalam Pasal 23 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan bidan Susi Susilawati,
A.Md.Keb diperoleh data bahwa pada dasarnya sesuai peraturan yang berlaku
pasien berhak untuk menuntut ganti rugi kepada tenaga kesehatan yang
menyebabkan cacat atau kematian akibat kesalahan atau kelalaian tenaga
kesehatan yang bersangkutan. Namun dalam kasus tersebut narasumber
merasa tidak melakukan kesalahan ataupun kelalaian karena ia telah
melakukan tindakan medis sesuai dengan standar profesi dan aturan yang
berlaku. Ia merasa berkewajiban untuk merujuk bayi pasien ke tenaga
kesehatan lainnya yang berwenang atau ke fasilitas kesehatan yang dapat
menangani bayi pasien karena narasumber merasa tidak dapat dan tidak
berwenang untuk melakukan tindakan medis terhadap bayi pasien tersebut.
Hal tersebut dikarenakan kondisi bayi yang sudah kritis dan lemah.
Pernyataan bidan Susi Susilawati, A.Md.Keb dikuatkan dengan hasil
wawancara penulis dengan Hj. Damiasih, A.Md.Keb yang menyatakan bahwa
bidan yang tidak dapat menangani pasien atau tidak sesuai dengan
kewenangan yang dimilikinya harus merujuk ke tenaga kesehatan lainnya
95
yang berwenang untuk melakukan tindakan medis atau ke fasilitas kesehatan
yang memadai. Pengecualian terhadap ketentuan tersebut adalah apabila di
pasien berada jauh dari tenaga kesehatan lain atau fasilitas pelayanan
kesehatan.
Berdasarkan data sekunder mengenai kronologis dan penyelesaian
perkara bila dikaitkan dengan hasil wawancara penulis dengan bidan Susi
Susilawati, A.Md.Keb dan Hj. Damiasih, A.Md.Keb serta kewenangan bidan
dalam memberikan layanan primer dan rujukan serta Pasal 9 Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 Tentang Izin dan Pasal 4
huruf h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlidungan
Konsumen, maka dapat dideskripsikan bahwa tindakan medis yang dilakukan
bidan Susi Susilawati, A.Md.Keb tidak dapat dituntut ganti rugi karena yang
bersangkutan telah sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam peraturan
yang berlaku dan standar profesi bidan.
96
BAB V
SIMPULAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
Jasa pelayanan bidan praktik di Kabupaten Tasikmalaya telah memenuhi
ketentuan Pasal 4 huruf a dan huruf h Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen berupa:
-
Bidan yang akan melakukan praktik baik di fasilitas pelayanan kesehatan
maupun praktik mandiri di Kabupaten Tasikmalaya telah memenuhi
persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Ijin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan.
-
Bidan dalam melakukan praktik di Kabupaten Tasikmalaya telah sesuai
dengan kewenangan yang dianut dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 12
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Ijin
dan Penyelenggaraan Praktik Bidan, yaitu dalam pelayanan kesehatan ibu dan
anak serta kesehatan reproduksi dan Keluarga Berencana.
-
Pasien dapat mengajukan tuntutan pembayaran kompensasi, ganti kerugian
dan/atau pergantian barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian dan atau tidak sebagaimana mestinya, sepanjang bidan bertindak
97
diluar standar profesi dan kewenangannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 58
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Literatur :
Barkatullah, Abdul Hakim. 2010. Hak-Hak Konsumen. Bandung : Nusa Media.
H.S, Salim. 2006. Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPerdata. Jakarta :
Rajawali Press.
Kansil, C.S.T. 1985. Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia. Jakarta :
Aksara Baru.
Komalawati,Veronica. 1999. Peranan Informed Consent
Terapeutik. Bandung : PT. Cipta Aditya Bhakti.
dalam
Transaksi
Mertokusumo, Sudikno. 1986. Mengenel Hukum. Yogyakarta : Liberty.
Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. 2010. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta :
PT. Rajawali Pers.
Nasution, A.Z. 1999. Konsumen dan Hukum : Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum
pada Perlindungan Konsumen. Jakarta : Puataka Sinar Harapan.
Nasution, B.J. 2005. Hokum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter. Jakarta :
Rineka Cipta.
Setiawan, R. 1986. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung : PT Bina Cipta.
Shidarta. 2006. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta : Gramedia.
Soekanto, Soerjono. 1981. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press.
98
Soemitro, Ronny Hanintijo. 1990. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta :
Ghalia Indonesia.
Subekti. 1987. Hukum Perjanjian.Jakarta : PT Intermasa.
Sutopo. 2000. Standar Kualitas Pelayanan Medis. Jakarta : Mandar Maju.
Tutik, Titik Triwulan dan Shita Febriana. 2010. Perlindungan Hukum bagi Pasien.
Jakarta : PT. Prestasi Pustakaraya.
Zulvadi, Dudi. 2010. Etika dan Manajemen Kebidanan. Yogyakarta : Cahaya Ilmu.
B. Sumber Perundang-Undangan :
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 369/MENKES/SK/III/2007
Tentang Standar Profesi Bidan.
C. Referensi lain
Pedoman Sistem Rujukan Maternal dan Neonatal di Tingkat Kabupaten/Kota.
http://bidanshop.blogspot.com/2010/04/kematian-di-tangan-bidan.ht. diakses 5 April
2011.
http://www.organisasi.org, Hak dan Kewajiban Sebagai Warga Negara Indonesia Ilmu PPKn : Pendidikan Kewarganegaraan / PMP : Pendidikan Moral
Pancasila, diakses 31 Januari 2011.
Hermien hadiati Koeswadji. Beberapa Permasalahan Mengenai Kode Etik
Kedoktern. Ceramah Dalam Forum Diskusi oleh IDI Jawa Timur, tanggal 11
Maret 1984.
Harmien Hadiati Koeswadji. Hukum Kedokteran di Dunia Internasional. Jakarta :
Makalah Simposium, Medical Law. 1993.
Download