Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012

advertisement
PENGELOLA
ISSN: 2088-4133
• Pemimpin Umum: Rudy Gunawan, • Pemimpin Redaksi: Khairunnisa,
• Penyunting Ahli: Muhammad Zamzam Fauzanafi, Sita Hidayah, • Redaktur
Usaha: Adela Nisita Nari Arundita, • Redaktur Fotografi: Dian Ayu Aryani,
Muhammad Arief Al Fikri, • Anggota Redaksi: Elvina Handayani, Muhammad
Ichsan Rahmanto, Nur Rosyid, • Penyunting: Des Christy, • Keuangan: Ellin
Khairani, • Humas: Yulina Dwita Putri, • Pemasaran dan Sirkulasi: Agnes Gita
Cahyandari, Brigitta Engla Aprianti, Fata Hanifa, Fatiha Akbari Rochimawati,
Tabita Termiati Makitan, • Artistik dan Tata Letak: Antonius Nurhadi Kusno,
Gregorius Septian Christianto, • Foto Sampul: Muhammad Ichsan Rahmanto
Alamat Redaksi
Sekretariat Keluarga Mahasiswa Antropologi (KEMANT)
Gedung Laboratorium dan Perpustakaan Jurusan Antropologi
Jl. Sosio-Humaniora No. 1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada
Bulaksumur, Yogyakarta 55281
Surat elektronik: [email protected]
Situs internet: www.kemant.or.id
Jurnal RANAH adalah jurnal mahasiswa Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas
Ilmu Budaya (FIB), Universitas Gadjah Mada (UGM) yang dikelola oleh Keluarga
Mahasiswa Antropologi (KEMANT) FIB UGM. Jurnal ilmiah ini terbit dua kali
setahun pada bulan April dan Oktober. Harga eceran Rp. 25.000,-/eksemplar.
Redaksi menerima naskah artikel baik yang bersifat teoritis, metodologis, hasil
penelitian (laboratorium, lapangan, kepustakaan) maupun etnografis, atau tinjauan
buku atau wacana yang masuk wilayah kajian antropologi. Artikel harus sesuai
dengan tema yang ditawarkan tiap nomor terbitan. Naskah yang masuk diseleksi
dan disunting oleh redaksi bekerjasama dengan penyunting ahli.
ISSN: 2088-4133
Hak cipta © 2012 KEMANT dan para kontributor.
Dilarang menggandakan, menyalin, atau menerbitkan ulang artikel atau bagianbagian artikel dalam jurnal ini tanpa seizin penerbit/redaksi.
RANAH
ISSN: 2088-4133
JURNAL MAHASISWA ANTROPOLOGI UNIVERSITAS GADJAH MADA
Budaya Digital dan Netnografi
Th. II, No. 1, April 2012
DAFTAR ISI
Kata Pengantar____________________________________________________ii
ARTIKEL
Antropologi Digital dan Hiperteks: Sebuah Eksplorasi Awal ________________2
Sita Hidayah
Konsep Diri dan Penyebaran Wacana dalam Cyberspace: Tantangan Bagi
Penelitian Antropologi__________________________________________12
Nindyo Budi Kumoro
Budaya Manusia Digital____________________________________________22
Rio Heykhal Belvage
Jejaring Sosial: Memupus Sekaligus Mengalienasi_______________________30
Gaffari Rahmadian
Jejaring Sosial: Ruang Besi pada Konstruksi Inovasi dan Identitas Budaya
Massa_____________________________________________________38
Yuda Rasyadian
Jejaring Sosial: Lahan Reproduksi Kekerasan Terhadap Perempuan__________46
Gregorius Septian Christianto
Jangan Melihat Buku dari Wajahnya: Studi tentang Interaksi dan Komunikasi
dalam Facebook_______________________________________________54
Odit Budiawan
BERITA
Tantangan Antropologi Menghadapi Ruang Maya: Sebuah Intisari Diskusi____63
Dian Ajeng Pangestu, Muhammad Ichsan Rahmanto, Nur Rosyid
Berita Buku_____________________________________________________67
i
KATA PENGANTAR
Salam hangat. Mulai tahun ini RANAH terbit dengan format baru. Jika
sebelumnya berupa majalah semi-jurnal, maka saat ini RANAH hadir di hadapan
pembaca dalam format jurnal ilmiah (seutuhnya) yang menyajikan tulisan-tulisan
dari dosen, mahasiswa, alumni, dan segenap keluarga Antropologi Universitas
Gadjah Mada (UGM). Dengan format baru RANAH diharapkan menjadi ruang
untuk mengkritisi permasalahan yang sedang terjadi saat ini lewat tulisan ilmiah.
Budaya Digital dan Netnografi adalah tema yang diangkat redaksi dalam
edisi RANAH kali ini. Internet merupakan salah satu media yang erat kaitannya
dengan kehidupan sehari-hari. Banyak hal yang terkait dengan internet, seperti
berkirim surat elektronik, pencarian data, unggah-unduh, hingga jejaring sosial.
Kehadiran dunia maya (cyberspace) dan revolusi informasi ditengarai
telah membawa banyak sekali perubahan yang ditandai dengan meningkatnya
kompleksitas kehidupan sosial-budaya masyarakat itu sendiri. Kompleksitas terus
berkembang tidak lain karena ekspansi teknologi informasi yang tidak terbatas. Di
satu sisi, ekspansi ini patut dihargai karena kemajuan inovasi-inovasi baru telah
membuat banyak aktivitas manusia menjadi semakin terbantukan. Di sisi lain,
ketidaksiapan atas kehadiran suatu teknologi informasi bisa menimbulkan tekanan
sosio-kultural yang menyebabkan manusia menjadi kaget (shock). Bahkan hal ini
bisa jadi melahirkan dua kemungkinan dampak terhadap kultur suatu masyarakat,
yakni kontinuitas dan diskontinuitas budaya.
Perubahan-perubahan ini tidak hanya berimplikasi pada terbenturnya
budaya lama saja. Kehadiran teknologi informasi telah melahirkan “ruangruang sosial baru”, yakni jejaring sosial. Di dalamnya orang dapat berinteraksi
dan membangun relasi tanpa harus menghadirkan tubuhnya. Realitas kehidupan
sosial baru ini ternyata terekonstruksi dalam sebuah laman jejaring sosial seperti
Facebook, Twitter, dan sebagainya. Bahkan laman sederhana itu bisa menciptakan
interdependensi yang begitu kuat. Dalam jejaring sosial orang menjadi “dikejar”
oleh informasi-informasi yang menuntut untuk selalu up-to-date. Ini hanyalah
sekelumit fenomena baru yang bisa ditangkap dari munculnya revolusi informasi.
Sayangnya meski internet secara mangkus dan sangkil telah mempengaruhi
kehidupan (termasuk kebudayaan) manusia, dalam ranah antropologi Indonesia
“dunia maya” ini masih menjadi terra incognito, tanah tak dikenal. Kajian-kajian
antropologis/etnografis mengenai bidang ini masih terhitung sedikit di Indonesia.
Melalui tema edisi ini RANAH mencoba merangsang para antropolog (maupun
calon antropolog) untuk turut mewarnai kajian baru ini dengan tulisan-tulisan
ilmiah—baik berupa gagasan konseptual maupun hasil penelitian.
ii
Warga Antropologi Bulaksumur cukup antusias menyambut tema ini,
terlihat dari banyaknya naskah tulisan yang masuk ke meja redaksi. Dari belasan
naskah tulisan yang masuk, redaksi harus memilih tujuh artikel terbaik untuk
dimuat pada RANAH nomor ini—sesuai dengan tema, memenuhi syarat artikel
ilmiah, dan beberapa kali direvisi oleh penulisnya sesuai saran penyunting ahli.
Pada nomor ini terdapat delapan tulisan yang terangkum dalam tujuh
artikel dan satu berita. Artikel pertama oleh Sita Hidayah, staf pengajar Jurusan
Antropologi Budaya UGM. Ia membahas kajian teoritis antropologi/etnografi di
dunia internet, yang sangat cocok sebagai pengantar sebelum melangkah lebih
jauh. Selanjutnya diisi oleh Nindyo Budi Kumoro, mahasiswa Antropologi
Budaya UGM, yang menulis tentang fenomena penyebaran wacana di internet.
Lalu tulisan Rio Heykhal Belvage membahas bagaimana budaya cyber ditilik
dari kacamata eksistensialisme. Lantas ada Gregorius Septian Christianto yang
menganalisis kekerasan terhadap perempuan yang direproduksi ke dalam lahan
baru berupa jejaring sosial. Terdapat juga tulisan dari mahasiswa pascasarjana
Antropologi Budaya UGM, Gaffari Rahmadian dan Odit Budiawan. Masingmasing menulis tentang kaitan antara jejaring sosial dan teori alienasi, juga studi
interaksi dan komunikasi dalam Facebook. Artikel tentang jejaring sosial dan
teori alienasi ini (ternyata) mendapat sanggahan dari Yuda Rasyadian dengan
tulisannya terkait jejaring sosial dan teori iron cage (kurungan besi).
Selain tujuh artikel tadi, ada pula tulisan kolaborasi yang dibuat oleh Tim
Divisi Pengembangan Sumberdaya Mahasiswa (PSDM) Keluarga Mahasiswa
Antropologi (KEMANT) UGM. Tim ini membuat intisari diskusi mengenai kajian
antropologi di ranah internet. Terdapat pula rubrik Berita Buku yang menyajikan
informasi seputar buku-buku terbaru terkait dengan tema nomor terbitan ini.
Akhirnya melalui pengantar singkat ini kami menyampaikan terima
kasih kepada seluruh pihak yang telah turut serta berpartisipasi dalam pembuatan
RANAH. Semoga dengan adanya jurnal ini wacana-wacana ilmu antropologi
makin berkembang di Indonesia. Selain memperkaya wawasan dan pengetahuan,
diharapkan jurnal ini bisa membuat para pembaca lebih lebih dalam mengkritisi
suatu fenomena sosial-budaya. Jurnal yang hadir di hadapan pembaca ini jelas tidak
lepas dari kekurangan, maka redaksi mengharapkan pembaca dapat memberikan
kritik dan saran yang nantinya sangat berguna bagi untuk peningkatan kualitas
jurnal ke depannya.
Tabik.
Redaksi
iii
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
Foto: Dian Ayu Aryani
ANTROPOLOGI DIGITAL
Era digital kian berwarna dan mewabah, antropologi pun bergerak cepat untuk mencoba
masuk ke dalamnya. Dengan berbagai perspektif berbeda dari ilmu-ilmu lainnya, sesuatu
yang berbeda akan dikaji. Artikel berikut akan menelaah tentang antropologi digital dan
hiperteks, sebagai sebuah eksplorasi awal.
1
Sita Hidayah - Antropologi Digital dan Hiperteks
TH. II NO. 1 APRIL 2012
RANAH
HALAMAN 2-10
ANTROPOLOGI DIGITAL DAN HIPERTEKS: SEBUAH
PEMBAHASAN AWAL
Sita Hidayah1
ABSTRAK
Tulisan ini adalah sebuah pengantar mengenai antropologi
digital pada umumnya. Tulisan ini dibuat berdasarkan
pengamatan bahwa meski akses internet di Indonesia tumbuh
dengan kecepatan eksponesial, dan hampir tidak ada lagi aspek
kehidupan yang tak termediasi teknologi digital, jagad digital
masih menjadi tanah tak dikenal—terra incognito antropologi
Indonesia. Selain ingin mengangkat antropologi digital dalam
perbincangan ilmiah, tulisan ini ingin mengajak para pembaca
untuk mencermati komunitas-komunitas online yang terus
bermunculan dan juga melihat potensi netnografi dan etnografi
hiperteks dalam memperkaya kajian mengenai manusia dan
kemanusiaan Indonesia.
Kata Kunci: antropologi digital, netnografi, hiperteks, komunitas
online
Kilasan Awal mengenai Digital Ethnography dan Hypertext dalam Antropologi
Sebelum kita memulai perbincangan mengenai digital etnografi dan
hiperteks dalam antropologi, saya membuat pembedaan mengenai (1) digital
etnografi, yaitu etnografi yang dihasilkan melalui perangkat digital. Pada etnografi
ini, meski field penelitian bukan komunitas online, istilah digital etnografi bisa
dipakai sepanjang proses penelitian memakai perangkat digital. Lalu (2) digital
etnografi sebagai metode yang dipakai untuk mempelajari dan memahami dunia
digital dan online communities yang umumnya dikenal sebagai netnography.
Pada pengertian yang pertama, kita akan melihat suatu etnografi yang
termediasi komputer (computer-mediated ethnography), di mana keseluruhan
kerja etnografi bisa dan telah dilakukan dengan teknologi digital. Sementara
pengertian yang kedua lebih menekankan pada etnografi tentang budaya dan
jaringan sosial yang termediasi melalui internet (internet-mediated culture).
1 Staf Pengajar Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
2
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
Pada bagian pengantar ini kita akan membahas mengenai hubungan
antropolog dengan teknologi digital yang semakin erat. Bahkan bagi para penentang
digital etnografi yang paling kukuh sekali pun akan sulit mengabaikan realita
bahwa teknologi digital telah mewarnai kehidupan dan merasuki kemanusiaan kita
yang paling mendasar: cinta, identitas, tubuh, kekerabatan, politik, agama bahkan
realita. Teknologi digital tidak hanya mempengaruhi kehidupan orang kebanyakan,
teknologi digital juga mempengaruhi bagaimana cara para antropolog merekam,
menyimpan, menganalisis, menghasilkan, dan menyebarkan kerja ilmiah mereka.
Jika kita melihat situasi saat ini, kita bisa menemukan banyak sekali yang
bisa dilakukan para antropolog dengan teknologi digital yang mereka punya.
Pandangan bahwa digital etnografi melulu tentang etnografi visual (film dan foto)
tidaklah benar. Para antropolog dengan mangkus telah memanfaatkan komputer,
kamera dan perekam digital, bahkan telepon seluler dalam kerja etnografi mereka.
Perekam digital, baik perekam suara maupun gambar semakin meluas
penggunaannya dalam etnografi. Para antropolog kontemporer menyimpan
data etnografi dalam bentuk digital karena keuntungan dari format ini: mudah
disimpan, disebarluaskan, dan mudah dipakai. Pada tataran analisis, makin banyak
antropolog memanfaatkan komputer untuk membuat hubungan berbagai variabel
penelitian dan menafsirkan data awal mereka. Kita bicara mengenai beragam
software untuk menganalisis data kualitatif mau pun data kualitatif: mulai dari
Windows Excel, SPSS, Athena, MACQDA sampai CAQDAS. Dengan mediasi
komputer, para antropolog menghasilkan tidak hanya teks etnografi tunggal, tapi
juga dokumen etnografi yang hypertext.
Etnografi dalam format hypertext biasanya berwujud teks dengan
rujukan teks atau informasi lain yang tertaut link. Hiperteks adalah struktur yang
membangun internet (World Wide Web) sehingga tidak heran etnografi hiperteks
memiliki domain di internet2. Dengan platform web.2.0 yang ada saat ini, masa
depan etnografi tidak lagi harus berupa dokumen hypertext, tapi juga hypermedia.
Pada akhirnya kita akan melihat suatu etnografi dalam bentuk dokumen teks yang
terhubung tidak hanya dengan teks/informasi lain, tapi juga dengan gambar/grafis
yang tak terbatas kecuali kapasitas komputer dan jaringan internet.
Setelah fokus pada kerja antropolog dan hubungannya dengan teknologi
digital dan hiperteks, kita akan beralih pada fokus mengenai etnografi mengenai
dunia yang termediasi teknologi digital dan dalam wadah hiperteks.
Etnografi tentang Budaya Internet
Saya tidak terlalu menguasai komputer jaringan, kurang paham mengenai
2 Apple “hypercard program” menggunakan format hypertext untuk fungsi pencarian.
3
Sita Hidayah - Antropologi Digital dan Hiperteks
wacana netnografi dan juga tidak terlalu terlibat dalam komunitas online. Dengan
keterbatasan-keterbatasan saya, pembahasan ini hanya akan membicarakan
mengenai online ethnography dan lapangannya (field).
Sarjana paling otoritatif dalam studi mengenai budaya dan komunitas
online adalah Robert V. Kozinets yang sudah menulis banyak sekali buku mengenai
netnografi. Salah satu karya Kozinets yang paling bernas berjudul Netnography:
Doing Ethnographic Research Online yang terbit tahun 2009. Dalam bukunya
terdapat pernyataan bahwa komunitas-komunitas online membentuk dan
mengejawantahkan nilai-nilai, adat kebiasaan dan kepercayaan yang mengatur dan
mengarahkan tingkah laku komunitas tersebut (Kozinets, 2010:12). Singkatnya,
meski interaksi sosial anggota komunitas online ini termediasi komputer,
komunitas online membentuk dan dibentuk suatu kebudayaan. Segala bentuk
kebudayaan manusia adalah subjek pembicaraan antropologi.
Anggaplah kita menerima asumsi bahwa sebuah komunitas online adalah
subjek penelitian yang sama derajatnya dengan satu komunitas di lereng Merapi,
komunitas online tetap akan mengusik pandangan tradisional kita mengenai
lapangan (field) penelitian etnografi. Diawali dengan munculnya webnography
sebagai sub disiplin antropologi, lapangan etnografi baru tergelar: suatu lapangan
sosial yang mewujud melalui teknologi digital dan jaringan internet. Lantas
sesuatu yang sebelumnya dianggap tidak mungkin dalam antropologi—etnografi
tanpa ethnos, tidak hanya mungkin tapi menjadi keniscayaan (Wittel, 2010).
Merangkum dua paparan singkat mengenai budaya internet dan lapangan
penelitian antropologi baru ini, kita tidak perlu membatasi cakrawala pandang
kita pada anggapan bahwa internet semata produk material kebudayaan (Paterson,
2002). George Marcus (1998:79 dalam Wittel 2010) telah mengingatkan kita
mengenai perlunya para antropolog untuk mencermati “sirkulasi makna-makna,
objek-objek dan identitas kultural dalam ruang dan waktu yang difusif” ini.
Marcus secara tidak langsung mengarahkan kita pada definisi lapangan online ini.
Lapangan yang difusif, yang tidak lagi terikat pada batasan-batasan
teritorial geografis dan tidak terikat waktu linear, dengan tautan (link) informasi
dan media yang menggurita, secara langsung menguji metode etnografi yang biasa
dipakai dalam antropologi. Lapangan etnografi ini sulit karena pengertian baru
ini menentang asumsi dasar etnografi yang menekankan pentingnya mempelajari
sebuah kebudayaan dalam lingkungan alaminya. Ditambah lagi dengan anggapan
bahwa lapangan online ini tidak hanya tidak alami, tapi juga bersifat imajiner—
tidak dalam pengertian Anderson dalam bukunya Imagined Communities, tapi
pada sesuatu yang tidak sungguh-sungguh ada dan sepele—membuat lapangan
etnografi baru ini tidak menarik bagi beberapa kalangan. Tulisan ini tidak akan
membahas persoalan mengenai pembedaan realitas nyata dan tidak nyata dalam
4
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
dunia digital ini. Tulisan ini dibuat dengan asumsi bawa meski tanpa kontak fisik
dan tatap muka langsung, para anggota komunitas online (netizen: internet citizen)
mengaggap pengalaman sosial online mereka tidak hanya nyata dan otentik tapi
juga bermakna.
Seperti yang ditulis Kozniaks (2009) ratusan juta penduduk dunia
berinteraksi dalam dunia cyber setiap hari. Ini berarti bahwa lebih dari 22 persen
penduduk dunia terhubung melalui internet. Dalam laporan Digital Future yang
dikeluarkan oleh University of Southern California tahun 2008, kenaikan jumlah
netizen di Amerika melonjak lebih dari 100 persen selama tiga tahun terakhir dan
penggunaan internet di Asia meningkat lebih dari 400 persen pada kurun waktu
2000-2008 (Kozniaks, 2009). Perlu ditekankan di sini, para netizens ini tidak hanya
mengunjungi web: mereka secara berkala berinteraksi serta menemukan kepuasan
dan makna dalam berbagai aktivitas blogging, micro blogging, videocasting,
social networking, online gaming, instant messaging, emailing, dan seterusnya
dalam world wide web ini.
Ada beragam nama disematkan pada sub disiplin antropologi yang
mempelajari budaya dan komunitas online, mulai dari webnography, virtual
ethnography, digital ethnography, cyber anthropology dan juga netnography
dengan berbagai nuansa dan spektrum paradigma (Kozinets, 2009:5). Menurut
saya, akan lebih produktif apabila kita meneruskan perbincangan kita mengenai
netnografi daripada membahas mengenai beragam penamaan sub disiplin
antropologi ini.
Persoalan kita selanjutnya adalah, apa itu komunitas online yang menjadi
“lokasi” penelitian etnografi kita? Mengikuti definisi Howard Reingold dalam
buku Virtual Community: Homesteading on The Electronic Frontier, komunitas
online adalah: “Social aggregations that emerge from the net when enough people
carry on…public discussions long enough, with sufficient human feelings, to form
webs of personal relationships in cyberspace” (Kozinets, 2009:8).
Melalui pengertian di atas, kita bisa menarik beberapa batasan mengenai
komunitas online: komunitas bersifat kolektif dengan interaksi individu-individu
yang termediasi komputer, memiliki simbol-simbol yang dipertukarkan oleh
minimal 20 orang (batas minimal yang dibuat Kozinets) dan pertukaran ini
bisa diakses oleh peneliti, di mana interaksi-interaksi online ini berlaku seperti
hubungan yang berkelanjutan dan melibatkan perasaan-perasaan manusiawi
sehingga menghasilkan sebuah jaringan sosial dengan identitas bersama (Ibid.
2009:8-9).
Batasan-batasan yang dibuat Kozinets ini cukup berguna bagi kita untuk
mengidentifikasi komunitas online yang hendak dipelajari. Apabila kita sudah
5
Sita Hidayah - Antropologi Digital dan Hiperteks
menemukan komunitas pilihan, maka langkah selanjutnya adalah mencari tahu
bagaimana kita akan melakukan penelitian etnografi melalui internet.
Netnography: Sebuah Metode
Tahapan penelitian etnografi online ini hampir serupa dengan tahapan
etnografi tradisional. Tahap awal dimulai dengan membuat batasan penelitian
dan membuat pertanyaan, menyeleksi komunitas online, melakukan partisipasi
observasi, dilanjutkan dengan menganalisis data dan menyajikan laporan etnografi
kita. Dari segi substansi, etnografi tradisional dan netnografi tidak banyak berbeda.
Sebelum membahas mengenai perbedaan kedua hal ini, apa itu netnografi?
Dalam buku Netnography, netnografi didefinisikan sebagai “sebuah
bentuk etnografi yang diadaptasi untuk dunia sosial yang dimediasi perangkat
komputer” (Kozniaks, 2009:1). Singkatnya, netnografi adalah sebuah metode
untuk mempelajari cybernetics space (cyberspace). Belakangan ini netnografi
telah diusung sebagai sebuah satu-satunya metode yang secara khusus dirancang
untuk mempelajari kebudayan dan komunitas online (Bowler Jr, 2010).
Kozniaks lebih lanjut menerangkan keunggulan-keunggulan netnografi
dalam mempelajari interaksi sosial online: “…online interactions are valued
as a cultural reflection that yields deep human understanding. Like in-person
ethnography, netnography is naturalistic, immersive, descriptive, multi-method,
adaptable, and focused on context. Used to inform consumer insight, netnography
is less intrusive than ethnography or focus groups, and more naturalistic than
surveys, quantitative models, and focus groups. Netnography fits well in the frontend stages of innovation, and in the discovery phases of marketing and brand
management.”
Kelebihan-kelebihan netnography ini membuat metode pengamatan
(sering dianggap metode “menguntit”/lurking), content analysis dan text mining
yang dulu biasa dipakai untuk meneliti aktifitas-aktifitas online menjadi kurang
mendalam dan kurang menghasilkan dalam memahami para netizen.
Karena pada prinsipnya sama, etnografi dan netnografi memiliki banyak
persamaan. Persamaan yang paling fundamental dari kedua metode ini adalah:
sama-sama menekankan pentingnya keterlibatan peneliti dan pentingnya konteks
dalam penggambaran kebudayaan online ini. Perbedaan antara kedua metode
ini terletak pada bagaimana penelitian dilakukan dan bagaimana antropolog
melakukan penelitian. Bagaimana mencari, mencatat dan merekam, menyimpan,
menganalisis dan menampilkan representasi kebudayaan online? Mencari data di
dunia maya tentu tidak sama dengan penelitian lapangan pada sebuah komunitas di
pesisir Jawa, misalnya. Kalau dalam penelitian etnografi data terutama diperoleh
6
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
melalui wawancara mendalam, dalam netnografi data terutama diperoleh dari
interaksi hiperteks para netizen. Kelebihan format hiperteks, segala bentuk
pertukaran simbol yang berupa tulisan, suara atau gambar bisa disimpan dalam
format asli, sehingga makna mencatat data juga bergeser. Dalam netnografi, jotting
dan transkrip tidak lagi perlu. Seperti yang sudah dipaparkan pada bagian pertama
tulisan, para antropolog sekarang bisa menganalisis data dan menampilkan laporan
etnografi dalam bentuk hypertext (hypermedia).
Sedikit pembahasan mengenai analisis data dan penulisan hypertext:
karena sifatnya yang multilinear, proses penelitian tidak lagi kronologis. Dokumen
data dan dokumen analisis bisa saling bertautan sehingga batasan antara data
dan analisis menjadi kabur. Kita bisa membaca tautan sebagai sebuah dokumen
analisis, dan sebaliknya satu dokumen analisis bisa menjadi dokumen data pada
tautan dokumen yang lain. Tentu saja kita bisa memutuskan sebuah dokumen
sebagai sebuah teks akhir, akan tetapi dengan kemudahan tautan (link) hiperteks,
sangat mudah bagi kita tergoda untuk mengikuti tautan tersebut. Bandingkan
perbedaan tanggapan kita ketika membaca sebuah dokumen dengan rujukan
berupa catatan kaki dan dokumen dengan rujukan berupa tautan hiperteks.
Dalam tahap analisis, penggunaan kerangka berfikir dan teori dalam
netnografi akan sangat bergantung pada keputusan sang antropolog, seperti halnya
dalam etnografi biasa. Akan tetapi karena sifat hiperteks, tentu saja pelukisan
hiperteks mengubah pemaknaan dan hubungan antara pengarang (dalam hal ini
antropolog) dan pembaca. Etnografi online mutakhir sangat partisipatoris dan
demokratis, sehingga pembacaan akan teks bisa menjadi sangat cair. Bahkan
saking partisipatoris dan demokratis, pembaca bisa menggeser peneliti dalam
membangun wacana mengenai sebuah representasi kebudayaan.
Menutup pembahasan mengenai metode netnografi ini, perbedaan yang
paling menyolok antara etnografi dan netnografi terutama terlihat dalam aspek
etika penelitian. Interaksi sosial ini termediasi teknologi menyebabkankehadiran
peneliti tidak serta merta bisa tampak, sehingga sangat penting bagi para peneliti
online untuk mendapatkan persetujuan dari para netizen yang menjadi subjek
penelitian mereka. Aspek privasi juga harus menjadi prioritas karena dalam
interaksi online, batasan publik dan privat sangat tipis. Batasan publik dan privat
bisa jadi sangat subjektif, meski pun ada undang-undang yang mengatur interaksi
dan transaksi internet, misalnya. Persoalan etika ini cukup penting sehingga
persoalan kehadiran peneliti dalam komunitas masih akan dibahas pada bagian di
bawah.
Beranjak dari perdebatan mengenai lapangan, mengutip Wittel (2010),
ada beberapa hal yang perlu kita bahas lebih lanjut: “(1) Ethnographic practice is
attendance, is a co-presence of ethnographer and the observed social situation.
7
Sita Hidayah - Antropologi Digital dan Hiperteks
Whether this co-presence requires one single shared space, is a problem worth
discussing, particularly in the context of online-ethnographies… (2) Ethnography
is about revealing context and thus complexity. The potential of this method lies
not in a reduction of complexity, not in the construction of models, but in what
Geertz calls “thick description”.”
Prinsip kehadiran dalam etnografi penting untuk ditekankan dalam
penelitian etnografi online ini. Meski dalam etnografi online ruang dan waktu
tidak lagi bersifat tunggal dan linear, namun partisipasi observasi tetap menjadi
patokan untuk menggali pengetahuan komunitas online ini. Partisipasi observasi
ini yang membedakan metode etnografi online atau netnografi dengan metode
yang dipakai untuk memetakan jaringan, analisis user-generated content atau
metode pencarian dan penggunaan web lainnya.
Kedua, etnografi bertujuan untuk menemukan hubungan-hubungan yang
kompleks dan holistik dan juga harus mampu mengungkapkan konteks yang
mendalam mengenai sebuah kebudayaan. Pertanyaan besar untuk kita adalah
bagaimana membuat pelukisan yang mendalam mengenai komunitas online ini
sementara ada lubang besar yang belum juga bisa ditutup dalam netnografi ini:
anonimitas pengguna internet.
Menyoal Internet di Indonesia: Awal Kesimpulan?
Sebelum mengakhiri tulisan ini saya ingin memaparkan beberapa data
menarik mengenai pemanfaatan internet di Indonesia. Data terakhir menunjukkan
bahwa Indonesia adalah negara dengan pengguna Facebook terbesar di dunia
setelah Amerika Serikat dan juga merupakan negara dengan pengguna Twitter
terbanyak di dunia setelah Jepang dan India (Kompas, 28 November 2011).
Untuk sebuah negara dengan akses internet yang tidak masuk dalam peta internet
superpower dunia, Indonesia sungguh istimewa.
Dengan pengguna internet lebih dari 55 juta orang dan dengan angka
penetrasi lebih dari 30 persen di wilayah perkotaan Indonesia (Mark Plus Insight
2011 dalam Kompas, 28 Oktober 2011), sudah sepantasnya para antropolog
memberikan perhatian lebih pada fenomena ini. Di tengah ketakjuban saya akan
kenaikan jumlah pengguna internet di Indonesia, saya juga merasa prihatin.
Dari dua data di atas kita bisa langsung membuat hubungan sederhana:
dari 55 juta orang pengguna internet di Indonesia, 40,8 juta adalah pengguna
Facebook. Kesimpulan ini diperkuat oleh data yang dikumpulkan oleh Kementrian
Komunikasi dan Informatika bahwa penggunaan internet di Indonesia sebagian
besar dipakai untuk jejaring sosial (58 persen) dan online gaming (35 persen)
(Bisnis, 21 Desember 2010). Mengapa bangsa Indonesia sangat gandrung dengan
8
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
jejaring sosial dan online gaming ini?
Mungkin saya tidak tahu jawaban dari pertanyaan saya sendiri, sebuah
persoalan muncul di sini. Dari paragraf-paragraf di atas, kita para antropolog bisa
melakukan penelitian dan membuat representasi kebudayaan dengan perangkat
digital hiperteks atau melakukan penelitian kebudayaan melalui perangkat digital
hiperteks. Saya ingin memanfaatkan ruang yang sempit ini untuk mengingat
sebuah cara pandang yang paling umum dalam penelitian budaya internet.
Saya memakai contoh untuk menggambarkan pandangan yang paling
umum dalam penelitian mengenai internet sekarang ini: adanya hubungan
langsung dan berarti antara dunia maya dan dunia nyata. Misalnya, bagaimana
kehidupan offline kita berjalan dalam logika jejaring sosial online. Dalam logika
semisal Facebook dan Twitter, pengguna selalu ditantang untuk menampilkan
diri, sehingga tidak heran para pengguna menjadi sangat sadar akan pentingnya
dokumentasi. Peristiwa tidak lagi bisa berlalu begitu saja tanpa catatan atau foto
di profil akun Facebook seseorang. Kedua, emoticon dalam microblogging dan
instant messenger. Emoticon adalah gambar-gambar wajah yang melukiskan
beragam perasaan dan emosi manusia. Penggunaan emoticon memang bertujuan
untuk memampatkan berjuta kesan dalam ikon yang sangat sederhana. Apabila
dicermati lebih dalam, emoticon tidak hanya menyederhanakan komunikasi, tapi
juga menumpulkannya. Benarkah demikian?
Bibliografi
Buku
Anderson, Benedict. 2001. Komunitas Terbayang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dicks, Bella, Bruce Mason et. al. 2005. Qualitative Research and Hypermedia
Ethnography for the Digital Age. London: Sage.
Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Culture. New York: Basic Books.
Kozinets, Robert V. 2009. Netnography: Doing Ethnographic Research Online. London:
Sage.
Marcus, George. 1998. Ethnography through Thick and Thin. Princeton: Princeton
University Press.
Jurnal
Coleman, E. Gabriella. 2010. ”Ethnographic Approach to Digital Media” dalam Annual
Reviews of Anthropology Vol. 39 (2010).
Mason, Bruce, dan Bella Dicks. 2001. “Going Beyond the Code: The Production of
Hypermedia Ethnography” dalam Social Science Computer Review Vol. 19
(2001).
9
Sita Hidayah - Antropologi Digital dan Hiperteks
Wilson, Samuel M. dan Leighton C. Peterson. 2002. “The Anthropology of Online
Communities” dalam Annual Reviews of Anthropology. Vol. 31 (2002).
Wittel, Andreas. 2000. “ Ethnography on the Move: From Field to Net to Internet” dalam
Forum: Qualitative Social Research, Vol. 1 No. 1 Art. 21. Januari 2000.
Koran
Wahyudi, Reza dan Tri Wahono. “Naik 13 Juta, Pengguna Internet Indonesia 55 Juta
Orang” dalam www.teknokompas.com edisi 28 Oktober 2011 dan diakses pada
tanggal 17 Desember 2011.
Zuhri, Sepudin. “Penggunaan Internet belum Produktif” dalam www.bisnis.com edisi 21
Desember 2010 diakses pada tanggal 17 Desember 2011.
Mark Plus Insight via “Pengguna Facebook Indonesia 40,8 Juta” dalam www.
femalekompas.com. edisi 28 November 2011 dan diakses pada tanggal 17
Desember 2011.
Internet
Kozinets, Robert V. 2010. “Netnography: the Marketers’s Secret Weapon: How Social
Media Understand Drives Innovation” [http://info.netbase.com/rs/netbase/
images/Netnography_WP.pdf] diunduh tanggal 13 Desember 2011.
10
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
Foto: Dian Ayu Aryani
TENTANG SEMBILAN KATA
Peduli atau tidak, disadari ataupun tidak, jejaring sosial telah mengalihkan kita untuk
berekspresi lebih bebas. Mereka mampu membuat kita untuk berkembang dan tumbuh
sebebas mungkin di dunia maya. Menjadi apa yang kita mau apa yang kita sukai.
Sedikitnya seperti itu tentang sembilan kata di atas.
11
Nindyo Budi Kumoro - Konsep Diri dan Penyebaran Wacana dalam Cyberspace
TH. II NO. 1 APRIL 2012
RANAH
HALAMAN 12-20
KONSEP DIRI DAN PENYEBARAN WACANA DALAM
CYBERSPACE: TANTANGAN BAGI PENELITIAN
ANTROPOLOGI
Nindyo Budi Kumoro1
ABSTRAK
Perkembangan teknologi informasi melahirkan dunia baru bagi
manusia, yaitu yang sekarang disebut dengan “ruang maya”
atau cyberspace. Struktur cyberspace dalam internet memberi
ruang yang bebas bagi setiap individu untuk melakukan tindakan
apapun. Orang juga tak lagi pasif menerima informasi-informasi
dari media massa, namun dapat secara aktif memproduksi dan
menyebarkan informasinya sendiri. Saat ini kekuasaan wacana
tidak lagi dipegang oleh pusat-pusat penyebar informasi seperti
negara atau media massa melainkan pada setiap individu yang
dapat mengakses teknologi informasi. Di sisi lain fenomena ini
juga memicu booming informasi di mana orang tak lagi dapat
membedakan yang bermanfaat atau tidak, yang pantas atau
tidak. Tentunya penggunaan interaksi dalam dunia maya ini
berpengaruh pada kehidupan masyarakat nyata dan membentuk
pola-pola baru dalam hubungan sosial manusia.
Kata Kunci: cyberspace, realitas, identitas, wacana
Pendahuluan
Masih ingat peristiwa antre BlackBerry yang berujung rusuh? Memang
sebuah fenomena yang menarik, karena sebelumnya orang antre panjang berdesakdesakan biasanya berebut sembako kalau bukan tiket sepakbola. Kejadian ini,
berebut sebuah gadget canggih seharga jutaan rupiah yang katanya sudah kena
potongan harga. Padahal masih banyak orang Indonesia dengan uang segitu bisa
untuk hidup berbulan-bulan. Lalu apa yang menyebabkan semua itu?
Mungkin saja taraf hidup orang Indonesia sudah meningkat, tapi mungkin
juga karena suatu permasalahan lain: munculnya cyberspace2 sebagai dunia baru
1 Mahasiswa Angkatan 2007 Program Studi S1 Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
2 Di sini saya menggunakan istilah cyberspace, ruang maya, dan dunia maya secara bergantian.
12
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
saat ini. Semua orang kini digiring untuk menggunakan internet sebagai dunianya
yang “lain”, yang tak kalah penting dari dunia nyata. BlackBerry diperebutkan
karena ia adalah alat yang paling populer digunakan orang untuk menjelajah dunia
cyberspace. Bukan BlackBerry yang akan saya bahas, namun apa yang membuat
alat-alat itu menjadi kebutuhan primer manusia saat ini, yakni realitas dunia maya.
Di Indonesia sendiri, orang yang sudah menggunakan internet mencapai
kurang lebih 50 juta3, tapi saya yakin jumlah sebenarnya jauh melebihi angka itu.
Ini dikarenakan pengguna internet tak hanya dari komputer atau kepemilikan akun
web saja, tetapi saat ini hampir semua handphone dapat untuk mengakses internet.
Dari waktu ke waktu harga gadget semakin murah hingga menjangkau semua
kalangan, juga hampir semua ruang publik telah terkoneksi internet (hotspot, wifi, warnet). Sama saja membicarakan keadaannya di desa dan kota.
Walaupun tidak secara aktif menggunakan, tapi semua orang kini
“dipaksa” untuk mengenal internet. Lihat saja kebijakan e-KTP, e-pajak, sistem
Real Time On-line (RTO) pendaftaan sekolah, sampai ojek online pun di manamana. Artinya kini semua orang disuruh “melek” teknologi. Ia bukan lagi sebuah
dunia asing/canggih seperti saat orang tua mendongeng masa depan, namun ia
ada di tempat kita duduk saat ini, ada di setiap sudut perkotaan, ia ada di sebuah
kampung yang sedang kekeringan, ada di ruang operasi rumah sakit, dan di sudut
paling terpencil di dunia sekalipun. Disadari atau tidak, diinginkan atau tidak.
Sederhananya, cyberspace telah menjadi fenomena umum dalam
masyarakat saat ini. Walaupun menggunakan istilah “maya” (virtual/cyber),
namun kita tidak bisa serta merta menilai bahwa ruang tersebut fiktif atau imajiner
belaka. Contohnya saja kita bertransaksi secara maya, tapi uangnya bisa kita
cairkan untuk membeli sesuatu; atau misalnya kita mempunyai pacar di dunia
maya, namun setelah janjian bertemu nyatanya orang itu bisa kita sentuh. Semua
itu dikarenakan komunikasi yang berlangsung di dalamnya bersifat aktual, meski
segala sesuatu yang hadir di hadapan kita bersifat maya (Supelli dalam Hardiman,
2010:329).
Tulisan di bawah ini akan akan membahas bagaimana fenomena ruang
maya secara lebih jauh hadir dan bersanding dengan realitas nyata. Selain itu
bagaimana kebebasan beridentitas dan berwacana muncul dalam cyberspace
mutakhir. Di bagian akhir tulisan secara singkat akan disampaikan uneg-uneg
dan pertanyaan saya tentang bagaimana seharusnya peran ilmu antropologi dalam
membaca realitas cyberspace ini.
3 Berdasarkan berita detikinet.com <http://www.detikinet.com/read/2010/06/09/121652/1374756
/398/pengguna-internet-indonesia-capai-45-juta> diunduh pada tanggal 1 Desember 2011.
13
Nindyo Budi Kumoro - Konsep Diri dan Penyebaran Wacana dalam Cyberspace
Sekilas Tentang Cyberspace
Mungkin keadaan di dunia saat ini mirip dengan apa yang digambarkan
William Gibson dalam novelnya Neuromancer (1984) bahwa “ruang” tak lagi
berbentuk fisik. Ruang itulah yang disebut Gibson sebagai cyberspace, sebuah
ruang yang berisi bit-bit data terprogram dalam komputer yang memungkinkan
orang saling berkomunikasi. Cyberspace juga disebut sebagai fenomena
“pascaruang” yang di dalamnya berlangsung bukan lagi tindakan sosial seperti
yang dibicarakan oleh sosiolog klasik, tetapi sebuah teleaksi sosial, yaitu tindakan
sosial yang termediasi oleh komputer (Piliang, 2011:62). Di dalamnya kehadiran
bukan dalam bentuk ruang-waktu nyata tapi maya, sebuah pelipatan dunia yang
menyebabkan perpindahan fisik tak diperlukan lagi. Dalam komunikasi ini
representasi diri, peran dan penampilan fisik tersirat dari citra visual dan teks
tertulis dalam layar. Singkatnya cyberspace adalah “dunia” dalam dunia. Itulah
posisi internet saat ini.
Sebagai pemikir awal tentang cyberspace, Jean Baudrillard telah menyebut
fenomena ini sejak kemunculan televisi dan media massa yang lain pasca perang
dunia di masyarakat Barat. Munculnya media elektronik televisi dalam sekejab
membuat kesadaran manusia tentang dunia menjadi mengecil. Dimensi-dimensi
ruang dunia dilipat dalam sebuah kotak layar kaca. Hanya dengan menekan
remote control kita dapat berkeliling dunia tanpa memindahkan tubuh sedikitpun.
Tak hanya itu, realitas yang ada di bagian bumi lain sampai ke kita bukan dalam
bentuk fakta atau real tapi direkayasa oleh media agar tampak lebih menghibur,
yang oleh Baudrillard disebut simulasi. Dunia cyberspace saat ini merupakan efek
lanjut dari gejala simulasi tersebut.
Bersamaan dengan perkembangan globalisasi, teknologi membuat dunia
ini menjadi apa yang disebut Marshall McLuhan sebagai global village. Realitas
simulasi tak terjadi di masyarakat Barat saja namun sudah menjalar ke seluruh
dunia. Dunia ibarat menjadi kampung global karena terpasok aras informasi yang
sama melalui media massa, televisi, dan media online. Dalam realitas simulasi ini
manusia dianggap tak lebih dari “massa diam” yang menerima segala informasi
yang datang melalui media populer dan komunikasi hanya berjalan satu arah.
Jika Baudrillard dan pemikir awal cyberspace lainnya menganggap
era televisi membentuk massa diam dalam kendali informasi terpusat, maka
perkembangan cyberspace mutakhir saat ini menunjukkan gejala yang berbeda.
Hal ini terutama dengan hadirnya jejaring sosial (social network) seperti
Facebook, Twitter, MySpace, Youtube, Yahoo!Messanger, Skype, Kaskus dan
lainnya. Ciri pasif massa “diam” sebelumnya yang bersifat fisik (sedentarity)
maupun tak dapat merespon mengalami perubahan saat ini. Pertama, individu
tidak hanya lebih banyak “diam” secara fisik, namun lebih-lebih pergerakan fisik
14
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
pun terancam punah karena segala aktivitas sosial dan kebutuhan hidup dapat
terpenuhi lewat layar komputer. Kedua, manusia tak hanya menjadi obyek pasif
yang menerima segala informasi, tapi dapat merespon aktif informasi tersebut
bahkan memproduksi informasi itu sendiri. Dengan adanya internet, kita dapat
membuat wacana dan berita sendiri dengan efek penyebarannya sekelas dengan
media-media massa besar. Setiap individu dapat menyebarkan berita, lagu, filmnya
sendiri ke seluruh dunia. Hal ini juga yang membuat jejaring sosial marak di
mana-mana dan menjadi fenomena masyarakat saat ini. Ia bagaikan negara yang
setiap orang bisa menjadi penduduknya dan bebas berbuat apapun di dalamnya.
Jejaring Sosial: Kebebasan Beridentitas dan Berwacana
Sebagian besar orang saat ini, lebih-lebih masyarakat perkotaan mempunyai
“kehidupan” lain yaitu di dalam akun Facebook, BlackBerry Messenger (BBM)
atau Twitter-nya. Ada semacam mitos bahwa hidup kita akan sulit jika tidak
meng-update atau tak punya akun jejaring sosial tersebut. Kadangkala ini saya
rasakan sendiri, semisal ketinggalan suatu acara atau info-info penting dari teman
hanya karena tak meng-update Facebook maupun Twitter, atau kalau tidak, kabarkabar tersebut di-broadcast lewat BBM yang saya sendiri tidak punya. Semakin
lama ini membuat orang yang tak punya akun jejaring sosial merasa terasingkan
oleh lingkungannya karena orang-orang sekelilingnya telah berkomunikasi lewat
internet. Artinya bahwa keterlibatan seseorang ke dalam cyberspace tak hanya
keinginan pribadi atau alasan mengikuti trend semata, namun secara sosial kita
digiring untuk masuk ke dalamnya. Orang menjadi betah setelah menghuni
dan menemukan berbagai kemudahan. Lama-lama orang menjadi sulit lepas,
kecanduan dunia maya karena ia membuat orang “takut” ketinggalan informasi.
Setelah menghuni dalam dunia cyberspace (baca: jejaring sosial), interaksi
individu dengan lain “diwakili” oleh avatar atau perwujudan diri dalam bentuk
citra yang ditampilkan dalam layar komputer. Menariknya di dalam jejaring
sosial representasi diri dan identitas dapat dikonsep sebebas mungkin. Struktur
cyberspace memberi ruang lebar bagi setiap orang untuk menciptakan identitasnya
secara artifisial. Dalam Facebook maupun Twitter kita dapat membuat avatar diri
sesuai dengan yang diinginkan. Apakah itu tidak mencerminkan diri kita yang
sesungguhnya tak jadi soal. Misalnya saja jika kita hendak mengunggah foto untuk
profil Facebook pasti akan memilih yang terlihat paling tampan atau cantik. Sudut
yang membuat kita terlihat kurang menarik dihilangkan dan kalau perlu di-edit
terlebih dahulu. Tak masalah jika foto itu jauh dari wajah kita sesungguhnya. Fotofoto yang lain akan dimasukkan dengan syarat dapat mencerminkan kita sebagai
pribadi yang menarik dan ideal. Status, wall, atau twit yang tampil harus menarik,
lucu atau sebijak mungkin, bahkan jika ada foto atau komentar dari orang lain
15
Nindyo Budi Kumoro - Konsep Diri dan Penyebaran Wacana dalam Cyberspace
yang akan merusak citra kita dengan mudah akan kita hapus. Dengan demikian
jejaring sosial bersifat free society (Awang, 2009:105) memberi kesempatan
setiap orang menampilkan citra diri ideal yang sulit ditampilkan dalam realitas
nyata dikarenakan sekat-sekat sosial tertentu. Ini membuat identitas orang dalam
cyberspace tampak manipulatif dan tidak menampilkan citra diri secara utuh.
Sejalan dengan hal ini, fenomena lain yang muncul adalah kecenderungan
mengunggah foto di manapun kita berada ke dalam jejaring sosial. Seperti
halnya jauh-jauh ke tempat wisata, yang paling penting bukan untuk menikmati
pemandangan, tetapi mengambil foto kita dan nantinya ditampilkan di Facebook
agar semua orang tahu kita pernah ke sana. Tujuan dari semua itu hanyalah untuk
mendapatkan penghargaan sosial dan menunjukkan eksistensi semata. Inilah era
yang disebut Guy Debord sebagai “masyarakat tontonan” yang segalanya hanya
untuk menampilkan citra, penampilan, permukaan artifisial tanpa kedalaman
makna (Piliang, 2011:348).
Selain konsep diri, aspek cyberspace lain yang penting untuk dicermati
adalah kebebasan dalam mengeluarkan wacana. Kebebasan berwacana ini salah
satu aspek yang membuat jejaring sosial berkembang sangat pesat beberapa tahun
terakhir. Tidak seperti jejaring sosial sebelumnya, Facebook muncul dengan
fitur update status yang paling menarik minat masyarakat. Bahkan Twitter yang
menggeser kepopuleran Facebook hanya memberi fitur twit yang fungsinya
mirip dengan update status. Keduanya memungkinkan orang menyuarakan
pendapat sebebas mungkin untuk didengar khalayak jejaring sosial. Kita dapat
curhat, memprotes sesuatu, menanggapi pendapat, menyiarkan berita, beriklan,
menunjukkan posisi, berkuis, dan banyak lagi.
Seringkali fitur ini menjadi ajang keluh kesah yang tidak secara eksplisit
ditujukan kepada seseorang. Ini seperti seseorang yang berbicara kepada “entah”
atau sedang ber-soliloquy4. Misalnya “Kenapa kamu berbeda?”; “bab 3 selesai,
lanjut ke bab 4”, maupun menggambarkan kegalauan hatinya: “lalu kapan aku
akan diwisuda...” atau “Ya Allah, kapan skripsiku akan selesai?”. Mungkin
dikiranya Tuhan memiliki akun Facebook atau Twitter, meskipun jelas yang dituju
sesungguhnya bukan Tuhan ataupun sedang soliloquy belaka, tapi bermaksud
agar semua orang tahu apa yang sedang dirasakan. Belum tentu dalam dunia nyata
orang berani mengungkapkan apa yang ditulisnya dalam status/twit. Tujuannya
pun bukan agar doanya terkabul tetapi agar mendapat respon dan mencari
perhatian orang lain. Dengan demikian isi hati seseorang kini bukan lagi dimensi
pribadi, namun sudah menjadi urusan publik. Publik dipaksa untuk mengetahui,
memikirkan, dan menanggapi perasaan seseorang.
4 Yaitu “omongan dengan diri sendiri dalam batin” mengambil istilah Laksono, Soliloquy, dalam
Esei-Esei Antropologi, Ahimsa-Putra (ed.) (Yogyakarta: Kepel Press, 2006), 229.
16
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
Fenomena status dan twit di atas seperti apa yang dikatakan Abraham
Maslow bahwa kebutuhan (needs) manusia telah sampai pada taraf membutuhkan
penghargaan dari orang lain (esteem needs) dan pengaktualisasian diri (selfactualization) (Awang, 2009:115) yang merupakan ciri masyarakat urban saat
ini. Melalui psikoanalisa Sigmund Freud kita menjadi tahu bahwa situasi diri
yang terbahasakan melalui jejaring sosial merupakan id (motif tak sadar), ego
(akal rasional), dan super ego (kesadaran sosial), sehingga apa yang dikatakan
bukanlah hasil dari diri yang utuh (Ibid. 116). Apa yang disampaikan yaitu
antara ketidaksadaran dan juga motif kepentingan tertentu. Dengan adanya fitur
penyampaiaan pendapat dalam jejaring sosial tersebut, kekuasaan memproduksi
dan menyebarkan wacana berlaku bebas dan menjadi milik semua orang. Apalagi
setiap orang dituntut selalu update status atau menulis twit agar mendapatkan
eksistensinya.
Selain dapat membentuk identitas dan bereksistensi, melalui jejaring
sosial wacana dapat diproduksi dan disebarkan terus-menerus dengan bebas.
Suatu topik pembicaraan dapat didiskusikan oleh berapapun orang dan di manapun
mereka berada. Fitur Trending Topic dalam Twitter dapat menjadi contoh. Fitur
ini menampilkan wacana yang paling banyak didiskusikan oleh “rakyat” Twitter
di seluruh dunia. Ini membuat orang dengan mudah mengerti dan mengobrolkan
apa yang sedang tren di dunia setiap harinya. Lewat Twitter dunia benarbenar merealisasi gagasan global village McLuhan. Penduduk sedunia dapat
memperbincangkan satu topik seperti halnya orang-orang yang sedang mengobrol
di pos ronda kampung. Jangan berharap sebuah diskusi yang berbobot, mendalam
dan bermanfaat, karena orang dengan mudah dapat offline atau berpindah topik.
Orang juga mudah lupa akan sebuah wacana yang didiskusikan karena banyaknya
wacana lain setiap harinya. Di dunia internet informasi penting bercampur baur
dengan informasi remeh-temeh sehingga tak ada beda antara “yang penting” dan
“yang tidak penting” (Supelli dalam Hardiman, 2010:343).
Efek lanjut dari booming informasi ini dapat berakibat menggeser nilai
dan norma yang ada di masyarakat menjadi semakin permisif. Konsep cyberspace
sebagai free society dan open society (Awang, 2009) membuat orang dengan
mudah dapat masuk dan berbuat di dalamnya. Bentuk komunikasinya yang
tidak tatap muka seringkali membuat nilai dan norma yang ada di masyarakat
diabaikan. Kemudahan untuk mengakses cyberspace membuat lenyapnya batas
antara anak dan dewasa, ketika anak-anak dapat melihat tontonan-tontonan
dewasa (video porno atau kekerasan). Orang lama-lama juga akan kehilangan
kepedulian dan sensivitas secara sosial ketika semua kebutuhan hidup tercukupi
tanpa tatap muka (online). Sebagaimana pasar yang dulunya tempat terjalinnya
relasi sosial, saat ini hilang tergantikan dengan logika kepraktisan, individual,
17
Nindyo Budi Kumoro - Konsep Diri dan Penyebaran Wacana dalam Cyberspace
dan ekonomis semata. Lenturnya komitmen dan ikatan tanggung jawab dalam
cyberspace kerap digunakan sebagai wadah untuk cybercrime, seperti ancaman,
penipuan, pelecehan seksual. Dunia maya yang menawarkan sejuta pesona baru
dapat membuat kita terlena dan melupakan realitas sosial sesungguhnya di sekitar.
Walaupun demikian, kebebasan yang luas dalam berwacana dapat menjadi
ruang alternatif bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasi, kreativitas dan
mengimbangi kekuasaan informasi dari media-media besar. Lewat Twitter berita
yang datang bisa kita tanggapi dan sanggah; lewat Youtube film yang kita tonton
bisa kita parodikan; lewat Facebook masyarakat dapat melakukan gerakan sosial
melawan ketidakadilan5; lewat blog kita dapat menyebarkan gagasan; fenomena
citizen journalism bahkan membuat individu dapat memproduksi berita yang
aksesnya sama dengan media-media besar6. Fenomena ini mempertegas pendapat
Michel Foucault bahwa kekuasaan sudah tidak terpusat tetapi menyebar. Kuasa
wacana (informasi) sekarang ada di tangan individu yang mempunyai akses
teknologi informasi. Jika Foucault sebelumnya berpendapat kekuasaan bersumber
pada kuasa pengetahuan (power/knowledge), maka sekarang juga ditentukan
oleh kuasa kecepatan (power/speed), yaitu mereka yang mempunyai kecepatan
mengakses informasi, kecepatan menyebarkan wacana, kecepatan mengetahui hal
baru, dan kecepatan mengikuti perkembangan teknologi baru (Piliang, 2011:82).
Penutup: Sikap Antropologi dalam Cyberspace
Perkembangan jagad Teknologi Informasi yang sangat pesat melahirkan
adanya cyberspace “generasi kedua”, yaitu orang tidak hanya pasif mendapatkan
informasi dari seluruh dunia, namun setiap orang di seluruh dunia sudah dapat
memproduksi dan menyebarkan informasinya sendiri. Tidak hanya itu, kemudahan
berkomunikasi yang ditawarkan internet membuat realitas-realitas sosial di dunia
nyata dapat “dipindahkan” ke dunia maya. Setiap orang dapat berinteraksi,
membentuk komunitas, bermasyarakat dan berkebudayaan melalui avatar-avatar
yang diciptakan dalam jejaring sosial. Pada kenyataannya relasi yang terbangun
melalui cyberspace telah mengurangi hubungan face to face secara substansial;
diri hanya ditampilkan oleh citra yang dapat direkayasa; struktur cyberspace yang
bebas membuat lemahnya komitmen dan tanggung jawab pada relasi sosial yang
dibangun; nilai dan norma di masyarakat terancam hilang karena relasi sosial yang
terbangun hanya bersandar pada logika kepraktisan, penampilan dan ekonomis
semata.
Realitas cyberspace ini bukan semata-mata realitas semu yang terpisah
5 Seperti halnya gerakan 1 juta Facebookers dukung Bibit-Chandra atau Prita.
6 Baru-baru ini Metro TV meluncurkan program baru yang bertemakan citizen journalism, yang
menayangkan liputan berita yang dibuat oleh masyarakat.
18
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
dari dunia nyata, tapi mempunyai implikasi riil di masyarakat. Bahkan bisa
jadi dengan semakin terjangkaunya teknologi semua orang lebih memilih
berkomunikasi melalui cyberspace. Lantas tidak ada lagi batas-batas geografis
maupun kultural, karena orang dapat berinteraksi dan membangun komunitas
dengan orang lain di seluruh dunia. Ini menyebabkan akan sangat usang jika kita
membicarakan esensi kebudayaan dari sebuah masyarakat “nyata”. Dalam konteks
perubahan ini, tentunya antropologi sebagai ilmu yang membaca realitas sosial
budaya di masyarakat mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan adanya
realitas cyberspace. Bukankah cyberspace juga sebuah “dunia” atau “ruang” yang
di dalamnya terdapat “masyarakat” dengan “kebudayaannya” sendiri? Jika benar,
maka bagaimana dengan persoalan metodologis antropologi paling tidak dalam
rangka “to grasp the native’s point of view”? Selain itu jika semua orang telah
saling berinteraksi di dalam cyberspace, apakah antropolog masih harus blusukan
seperti halnya observasi partisipasi di Petungkriyono?
Munculnya istilah etnografi internet atau netnografi mungkin sebuah
upaya agar antropologi dapat masuk dan melihat realitas cyberspace secara lebih
dalam. Kelihatannya akan muncul persoalan jika kita masih menggunakan sudut
pandang etnografi konvensional walaupun praktiknya dalam dunia internet.
Pertama, Seperti yang kita tahu sebelumnya, dengan adanya globalisasi informasi
seperti saat ini kita akan sulit menemukan simbol-simbol yang esensial dari sebuah
kebudayaan karena individu sudah mengalami pengayaan budaya dari mana saja
melalui internet.
Kedua, tak adanya komunikasi yang face to face di internet membuat kita
tidak bisa secara langsung mengidentifikasi realitas sosial yang melatarbelakangi
informan yang sebelumnya merupakan bagian dari sensibilitas etnografi.
Serangkaian teknis dan analisis wawancara mengalami hambatan karena kita
tidak memahami konteks sosial di mana ia berada (Abdullah, 2006:23).
Ketiga, individu-invividu yang hanya terwakili oleh avatar ini membuat
kita sulit untuk menetapkan informan atau subyek yang akan diteliti. Kita tidak
akan tahu mana orang-orang yang paling representatif untuk dijadikan informan.
Keempat, kebebasan membuat identitas diri dan berwacana membuat tak
bisa mengambil data “lapangan” dari apa yang tertampilkan dalam cyberspace
karena segalanya mengandung unsur rekayasa dan manipulasi.
Kelima, interaksi sosial dalam cyberspace bisa saja merupakan
“pindahan” dari interaksi sosial yang terjadi di dunia nyata sebelumnya, sehingga
makna-makna dari relasi sosial yang terjalin mudah ditangkap. Lebih banyak
dunia maya saat ini membangun realitasnya sendiri yang hanya bersandar pada
logika pencitraan, ekonomis, individualistis sehingga makna-makna yang terlihat
19
Nindyo Budi Kumoro - Konsep Diri dan Penyebaran Wacana dalam Cyberspace
terkesan dangkal. Dengan demikian pembacaan etnografis dari suatu realitas
cyberspace dengan mudah dapat ditebak.
Persoalan-persoalan di atas memang tidak mudah dipecahkan. Diinginkan
atau tidak, teknologi informasi saat ini telah menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat sehari-hari dan mempengaruhi masyarakat itu sendiri. Diperlukan
penelitian lebih lanjut secara antropologis untuk mendapatkan metodologi yang
mampu membaca realitas cyberspace, agar ilmu antropologi tetap relevan dalam
mengikuti perkembangan zaman.
Bibliografi
Buku
Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ahimsa-Putra, Heddy Shri (ed.). 2006. Esei-Esei Antropologi: Teori, Metodologi, dan
Etnografi. Yogyakarta: Kepel Press.
Hardiman, F. Budi (ed.). 2010. Ruang Publik: Melacak “Partisipasi Demokratis” dari
Polis sampai Cyberspace. Yogyakarta: Kanisius.
Laksono, Paschalis Maria. 2011. Memahami Kebudayaan (Indonesia) Dari Perspektif
Antropologi. Bahan untuk Pembahasan RUU Kebudayaan dari Pendamping
Ahli Komisi X DPR untuk Pembahasan RUU Kebudayaan.
Piliang, Yasraf Amir. 2011. Sebuah Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui BatasBatas Kebudayaan. Bandung: Matahari.
_______________. 2004. Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Posmetafisika.
Yogyakarta: Jalasutra.
Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi, edisi kedua. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Jurnal
Awang, E.N.R. 2009. “Dunia Maya Sebagai Media Komunikasi Alternatif: Studi
Facebook Sebagai Menia Komunikasi Virtual” dalam Majalah Dimensi vol.7No.1 hal. 105, 2009.
Internet
Djibran, Fahd. 2011. Cyberculture, Transformasi Kebudayaan Pascaruang, dan Bayangbayang Kematian Sosial, 2007 <http://komahi.umy.ac.id/2010/12>, diunduh 25
November 2011.
Hidayat, Medhy Aginta. 2011. Kebudayaan Posmodern Menurut Jean Baudrillard,
<http://elasgary.wordpress.com/2011/09/11/>, diunduh 25 November 2011.
20
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
Foto: Muhammad Arief Al Fikri
DUNIA TANPA BATAS
Internet adalah media serbaguna. Di dalamnya, manusia bisa dengan bebas melakukan
apa saja. Jaringan-jaringan yang terjalin di situ tidak akan pernah melarang manusia
untuk mengekspresikan apa saja. Justru manusialah yang membuat larangan atau
peraturan tersebut, karena pada hakikatnya manusia jugalah yang menciptakan internet.
Pada jaringan internet yang sungguh kompleks itu, manusia bisa memindahkan kegiatan
yang biasanya dilakukan di “kehidupan nyata” ke suatu dunia yang seakan tanpa sekat
ruang dan waktu. Kegiatan-kegiatan tersebut, misalnya berdagang, memamerkan foto,
merekam video, mengobrol dengan teman atau bahkan orang yang tidak dikenal, dan
masih banyak lagi. Ajaibnya, manusia dari belahan dunia manapun dapat mengakses
atau menyaksikan itu semua secara bersamaan, meskipun misalnya di sini siang dan di
sana malam, di sini ujung utara dan di sana ujung selatan.
21
Rio Heykhal Belvage - Budaya Manusia Digital
TH. II NO. 1 APRIL 2012
RANAH
HALAMAN 22-28
BUDAYA MANUSIA DIGITAL
Rio Heykhal Belvage1
ABSTRAK
Fenomena cyberspace sudah bukan lagi hal yang wah di
masyarakat kita—terutama di perkotaan. Komunikasi manusia
di cyberspace dengan sesamanya terjalin melalui teks, gambar,
video dan suara. Manusia mengenali dirinya melalui hal itu—
yang entah disadari ataupun tidak merepresentasikan identitas
manusia cyber. Melalui pendekatan eksistensialisme saya akan
mencoba menerapkan bagaimana aliran filsafat ini berbicara
ketika ia digunakan untuk meneropong dunia cyberspace—
dengan disertai beberapa penerapan dari konsep yang dicetuskan
oleh para pemikir kebudayaan.
Kata Kunci: cyberspace, manusia cyber, kebudayaan, digital
“Mereka tak lekang oleh ruang maupun waktu. Mereka terus tumbuh, terjaga
dalam centang-perenang dunia. Sebuah dunia karya manusia yang lebih dikenal
dengan nama cyberspace. Di dalamnya manusia adalah teks, manusia adalah
gambar, ia adalah suara, video—dan oksigen yang merupa uang.”
Pendahuluan
Eksistensi dalam KBBI (2008:378) diartikan sebagai “keberadaan”.
Dalam dunia filsafat, istilah ini identik dengan jenis aliran pemikiran yang digagas
oleh Soren Abey Kierkegaard. Dia adalah seorang filsuf Denmark, murid Georg
Wilhelm Friedrich Hegel yang tidak sepakat dengan proyek besar gurunya saat
hendak merangkum filsafat menjadi satu kesatuan dan kebenaran tunggal yang
mencakup semua hal.
Demi membatasi ruang penulisan agar tak jauh melenceng dari tema
yang akan dibahas, saya tidak akan menerangkan lebih jauh perihal apa itu
eksistensialisme. Di sini saya akan mencoba menerapkan bagaimana aliran filsafat
ini ketika digunakan untuk meneropong dunia cyberspace—dengan disertai
1 Alumni Program Studi S1 Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
22
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
beberapa penerapan dari konsep yang dicetuskan oleh para pemikir kebudayaan.
Pada pendahuluan ini perlu saya sampaikan bahwasanya meski mungkin
pembaca akan menganggap tulisan ini sebagai imajinasi belaka, akan tetapi
bukan di situ poinnya, melainkan saya ingin mengajak pembaca yang setia pada
pandangan teoritis untuk sekali-kali keluar dari “kotak” dengan kemampuan
imajinasi yang dimiliki. Saya beranggapan bahwa tanpa campur tangan imajinasi,
ilmu pengetahuan ibarat padang gersang yang sama sekali tidak menarik untuk
dilalui. Di sini saya akan membuktikan bagaimana imajinasi juga mampu
menyajikan hasil analisis yang menarik. Terkait dengan tema tulisan ini, bukankah
cyberspace juga bermula dari konstruksi imajiner yang akhirnya menciptakan
sebuah dunia? Sebuah dunia yang sebelumnya hanya berada dalam angan seperti
dalam novel Neuromancer (1984) karya William Gibson.
Dunia dalam Cyberspace
Pengertian cyberspace seperti yang kita tahu adalah dunia maya. Alangkah
lebih baik jika di sini dikemukakan terlebih dahulu definisi cyberspace sebagai
syarat tulisan ilmiah. Telah banyak pemikir kebudayaan mendefinisikan apa itu
cyberspace, namun saya lebih tertarik untuk mengikuti definisi si pembuat istilah
cyberspace sendiri. Menurut Gibson, cyberspace dipahami sebagai sebuah “dunia”
di mana masyarakat berkomunikasi secara virtual melalui jaringan komputer2.
Fenomena cyberspace sudah bukan lagi hal yang wah di masyarakat
kita—terutama di perkotaan. Akhir-akhir ini kita bisa dengan mudah menjumpai
fenomena cyberspace. Dari cyberspace dalam monitor berukuran 14 inch sampai
monitor selebar cermin bedak. Di mana ada sinyal, di situ ada cyberspace. Kadang
kita jadi penonton, namun tak jarang juga kita jadi pelaku di dalamnya.
Tidak perlu dipertanyakan lagi, cyberspace memang sebuah fenomena
menarik. Bukan cuma menarik untuk dinikmati, tapi juga menarik untuk dikaji,
dijadikan hidangan di meja akademis. Cyberspace adalah sebuah produk yang
menandai tingginya ilmu pengetahuan saat ini. Tanpa kejeniusan manusia
menyatukan ilmu pengetahuan dan imajinasi (dalam hal ini para ilmuwan di
bidangnya), tak akan ada cyberspace. Kita tidak akan mengenalnya. Industri
teknologi tak akan menciptakan sebuah budaya konsumsi yang semeledak
sekarang dan tak ada kajian mengenai cyberspace—yang berarti mustahil tulisan
ini ada di depan pembaca.
Telaah mengenai cyberspace bukan hal baru. Jejaknya sudah tampak
sejak beragam konsep lahir dari para pemikir postmodernisme, seperti Althusser,
Baudrillard, Barthes, Deleuze-Guattari, sampai yang lokal: Piliang.
2 Definisi diambil dari <http://kuliahade.wordpress.com/2010/04/05> diakses 6 Desember 2011.
23
Rio Heykhal Belvage - Budaya Manusia Digital
Menggunakan istilah Piliang (2006), saya membayangkan cyberspace
sebagai sebuah tempat di mana ruang, waktu, benda, dan juga manusia mampat ke
dalam satu dunia. Sebuah dunia lain yang disusun sedemikian rupa dengan sistem
yang kompleks, mulai logam, optik, sampai jaringan kabel yang dialiri listrik.
Sebuah dunia “lain”, berarti lain pula ruang dan waktu yang berlaku di
dalamnya. Kalau boleh saya mengutip sebuah buku yang berjudul Dunia yang
Dilipat perihal dunia cyber, penulis buku tersebut memberi gambaran cukup
menarik untuk disampaikan di sini:
“Pada abad 21 ini pengertian waktu di dalam batasan ruang yang ada
telah lenyap. Kita hidup di dalam awal miniaturisasi aksi dan waktu yang bersifat
paradoks. Pengerutan waktu, lenyapnya ruang teritorial membawa pada situasi di
mana pengertian masa lalu dan masa kini lenyap di dalam kecepatan citraan waktu
di dalam media simulasi. Dengan dikuasainya medan dan teritorial oleh waktu,
maka yang menjadi persoalan sosial abad ke-21 tak lain dari permainan waktu
semata” (Piliang, 2006:237).
Bisa dibayangkan, ruang dan waktu di dunia sungguhan yang semula
tak lepas dari rezimentasi dan kapitalisasi kini memperoleh kemerdekaannya
di dunia cyber. Kesadaran manusia berubah, ruang dan waktu yang semula
mengontrol perilaku namun di dalam dunia cyber, manusia bisa dengan mudah
melenturkannya. Di dunia cyber setiap ruang adalah liminal, begitu juga dengan
waktu. Dalam hitungan detik manusia bisa beralih dari satu ruang ke ruang lain,
dalam hitungan detik manusia bisa beralih dari satu waktu ke waktu yang lain. Ia
bisa bertemu masa lalu melalui video-video rekaman di Youtube misalnya, atau ia
juga bisa berpindah dari ruang religius (website yang berisi pengetahuan tentang
religi) ke ruang tabu (bokep, pornografi).
Begitulah gambaran umum tentang sebuah dunia. Dunia cyber, sebuah
dunia yang sama sekali lain dari dunia yang dikenal manusia pada abad-abad
sebelumnya.
Manusia dalam Cyberspace
Seperti yang telah diungkapkan di bagian awal tulisan ini, tubuh manusia
cyber tersusun dari rangkaian organ non-biologis yang mampu berdiri sendirisendiri. Singkatnya, eksistensi manusia cyber bukan diwakili oleh tubuh secara
nyata, melainkan diwakili oleh teks, oleh gambar, video, dan suara. Semakin
banyak ia diwakili oleh organ-organ tersebut, semakin eksis ia dalam dunia cyber.
Jika dibandingkan dengan dunia nyata, pakem etika-moral dalam dunia
cyber lebih renggang. Seperti yang telah saya sampaikan, dunia cyber pada akhirnya
24
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
menjadi semacam area pembebasan terhadap segala macam rezimentasi—karena
bagaimana mungkin merepresi ide dan imajinasi dalam dunia yang bebas? Hal ini
bukan kemudian bebas diartikan sebagai lepas dari tanggung jawab dan komitmen.
Tetap ada polisi di sana (cyber-law). Hanya tak seketat seperti di dunia nyata.
Komunikasi manusia cyber dengan sesamanya terjalin melalui teks,
gambar, video dan suara. Ia mengenali dirinya melalui hal itu—yang entah
disadari ataupun tidak hal tersebut merepresentasikan identitas manusia cyber.
Ketika dalam dunia nyata manusia tidak bisa memperoleh eksistensi seperti yang
dikehendakinya, eksistensi masih bisa didapat di dunia cyber. Di dalamnya,
manusia bisa hidup gagah dengan idenya, dengan alter-ego, dengan hasratnya,
dan dengan imajinasinya. Seperti di dunia sungguhan, ada beragam karakter
manusia yang bisa dengan mudah ditemui dalam dunia cyber. Tinggal mengakses
www.google.com dan kita tuliskan kata kunci, kita bisa bertemu manusia-manusia
cyber bertebaran di sana, dari karakter yang seolah memberi kesan serius, religius,
sampai karakter yang humoris, nakal, dan lain sebagainya.
Jangan dikira di dunia cyber tak ada siklus kehidupan seperti halnya di
dunia sungguhan. Dalam dunia cyber juga ada yang namanya kelahiran, rejeki,
jodoh, dan kematian. Hanya saja kuasa tersebut bukan berada pada tampuk
kekuasaan Tuhan, melainkan di tangan manusia cyber itu sendiri. Kelahiran adalah
saat manusia meninggalkan jejak dan bergabung dalam jejaring sosial di dunia
cyber, entah itu berupa teks, gambar, suara maupun video—entah itu Facebook,
Twitter, web, ataupun blog, dan lain-lain. Siklus rejeki misalnya saat manusia
mencoba peruntungan dagang di dunia cyber, siklus jodoh saat manusia mendapat
kenalan baru dan kencan dalam dunia cyber. Manusia juga bisa mati di dalamnya,
setelah ia menon-aktifkan segala akun jejaring sosial yang sebelumnya ia miliki
karena tidak mendapatkan ekstasi seperti yang diharapkan. Di dunia cyber bukan
berarti kemudian manusia terbebas dari berbagai tindakan orang yang punya
niatan jahat. Kejahatan tetap berlangsung, seperti pencurian dan pembunuhan.
Barangkali masing-masing dari kita juga pernah merasakannya, merasakan siklus
kehidupan dan bentuk kejahatan dalam dunia cyber.
Kebudayaan dalam Cyberspace
Ada dunia, ada manusia, tentu juga ada kebudayaan. “Kebudayaan
merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia”
(Koentjaraningrat, 1990:180). Jika di dunia nyata Koentjaraningrat mendefinisikan
mengenai tujuh unsur yang membentuk suatu kebudayaan dalam masyarakat,
pada bagian ini saya akan mencoba meneropong kebudayaan masyarakat cyber
melalui tujuh unsur seperti yang didefinisikan oleh antropolog kawakan tersebut.
25
Rio Heykhal Belvage - Budaya Manusia Digital
Bahasa. Dalam kehidupannya di dunia cyber, manusia memiliki beragam
bahasa; dari bahasa tanda yang berupa gambar, sampai bahasa lisan dan tulisan.
Misalnya bahasa tanda, kita bisa membayangkan dalam sebuah jejaring sosial
komunitas fotografi, percakapan yang berlangsung di sana adalah percakapan
yang disampaikan melalui objek gambar dan warna. Meski kebudayaan manusia
cyber hanya berada dalam dunia cyber, namun tetap tidak menutup kemungkinan
adanya bentuk rezimentasi—sebab bukankah bahasa merupakan wajah lain dari
kolonialisme? Saat kita mulai bermigrasi dari dunia nyata ke dunia cyber, yang
paling sering kita temui adalah jenis bahasa Inggris. Kenapa demikian? Silahkan
dijawab sendiri.
Kepercayaan dan Organisasi Sosial. Ada banyak ragam kepercayaan
dalam dunia cyber dan setiap manusia cyber bebas memilih kepercayaan mana
yang menjadi keyakinannya. Kepercayaan berasal dari kata dasar “percaya”. Saat
manusia cyber sudah menyerahkan kepercayaannya pada salah satu jejaring sosial
misalnya, maka pada saat yang bersamaan manusia cyber sudah menjatuhkan
pilihannya. Perlu ditegaskan bahwa kepercayaan yang saya maksud berbeda
dengan agama. Kepercayaan lebih bersifat personal, tidak butuh institusi seperti
halnya agama. Contoh kepercayaan yang sedang populer misalnya Facebook dan
Twitter. Saat sebelum tidur dan bangun pagi, tak lupa kita “beribadah”, membuka
Facebook atau Twitter untuk sekedar mengecek ada pesan masuk atau tidak.
Selain kepercayaan, jejaring sosial juga bisa menciptakan organisasi sosial
baru. Ketika dalam suatu jejaring sosial terbentuk beberapa komunitas, misalkan
komunitas sepeda, komunitas penggemar kopi, komunitas film, komunitas sastra,
dan lain sebagainya, di situlah organisasi sosial manusia cyber terjalin.
Kesenian dan Teknologi. Ada banyak ragam kesenian dalam dunia
cyber—bahkan bukan lagi bisa dibilang banyak, melainkan semua kesenian yang
pernah kita dengar dan kita tahu di dunia nyata semua ada di sana. Dari mulai taritarian, teater, seni rupa, seni lukis, dan banyak lagi lainnya.
Kesenian-kesenian dalam dunia cyber diangkut dari dunia nyata ke dunia
cyber melalui teknologi tinggi yang bisa menghentikan ruang dan waktu (kamera
dan video). Berkat munculnya teknologi-teknologi tinggi ini jugalah dunia cyber
ada dan bisa kita nikmati sekarang. Sudah sepatutnya kita berterima kasih pada
para pembuat teknologi tinggi tersebut, yang membuat kita lupa bahwa estetika
seni dikenal melalui keotentikannya.
Mata Pencaharian. Dalam dunia cyber ada banyak sekali mata
pencaharian yang bisa ditemukan. Mulai dari bisnis pemasaran sampai pasar
cyber yang di dalamnya berkumpul pedagang dari semua kalangan. Dunia cyber
membuka peluang kerja yang instan dan lebih praktis bagi manusia cyber yang
26
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
kreatif. Sebab dalam dunia cyber kreatifitas lebih unggul daripada gelar akademis
dan bukan sebaliknya seperti yang terjadi di dunia nyata.
Ilmu Pengetahuan. Dunia cyber memang lebih praktis dan instan,
termasuk dalam konteks ilmu pengetahuan (maupun pengetahuan). Dapat
dibayangkan betapa ajaibnya saat hampir sebagian besar ilmu pengetahuan
manusia sejak kemunculan manusia pertama di bumi sampai sekarang mampat jadi
satu dalam sebuah dunia yang lain, dunia cyber. Industri ilmu pengetahuan dalam
dunia nyata yang semula berada dalam etalase-etalase mewah, kini bisa diakses
oleh siapa saja. Ilmu pengetahuan pada akhirnya menjadi lebih manusiawi—
meski tak dapat dikesampingkan adanya distorsi-distorsi dalam penyampaiannya
kepada manusia.
Refleksi
Berbicara tentang dunia cyber, manusia cyber dan alam kebudayaan
manusia cyber, adalah proses belajar untuk mengenali diri dengan liyan. Saya
sendiri adalah bagian dari mereka, orang-orang cyber. Saya hidup di dalamnya dan
saya juga berkebudayaan seperti mereka. Mungkin begitu juga Anda, atau semua
orang yang ada di sekeliling kita saat ini. Inilah fenomena sosio-kultural di mana
perubahan demi perubahan terus berlangsung. Begitu juga dengan antropologi.
Seorang pengamat ibarat seekor semut yang mencoba menggambarkan bentuk
seekor gajah, dan bukan sebaliknya.
Penjelasan di atas tentu masih sebatas permukaan saja. Setiap bagian
dalam tulisan ini sangat bisa untuk dikritik maupun ditelisik lebih jauh. Inilah
usaha manusia yang berposisi sebagai semut ketika mencoba menjelaskan bentuk
induk seekor gajah bernama netnografi.
Bibliografi
Buku
Piliang, Yasraf Amir. 2006. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas
Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra.
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Hardiman, Budi. F. 2010. Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokrasi dari Polis
sampai Cyberspace. Yogyakarta: Kanisius.
Laksono, Paschalis Maria. 2011. Memahami Kebudayaan (Indonesia) Dari Perspektif
Antropologi. Bahan untuk pembahasan RUU Kebudayaan dari Pendamping
Ahli Komisi X DPR untuk pembahasan RUU Kebudayaan.
27
Rio Heykhal Belvage - Budaya Manusia Digital
Lyotard, Jean-Francois. 2009. Kondisi Postmodern: Suatu Laporan mengenai
Pengetahuan. Surabaya: Selasar Surabaya Publishing.
O’Donnell, Kevin. 2009. Sejarah Ide-ide. Yogyakarta: Kanisius.
Tim Redaksi Sugono, Dendy dkk. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa:
Departemen Pendidikan Nasional.
28
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
Foto: Dian Ayu Aryani
DUA DIMENSI, DUA GENERASI
Apakah waktu pernah memaksa kita untuk diasingkan atau mengasingkan dunia? Ketika
era modern telah muncul dengan berbagai teknologi canggih, riil adanya untuk duduk
seolah berdiam diri dalam sepi. Pada nyatanya eksistensi dalam relasi telah dijalin lebih
hebat di dunia baru yang bernama dunia maya.
Berbagai kafe, restoran, dan kafe baca saat ini didesain sedemikian rupa sehingga
menjadi tempat nongkrong favorit masyarakat urban. Laki-perempuan, tua-muda banyak
ditemui di tempat-tempat seperti ini, sendiri atau bersama kerabat dekat. Apalagi jika
tersedia fasilitas wireless fidelity (wi-fi).
Sekarang ini para pelanggan tidak hanya pesan makan-minum di kafe atau membaca
di perpustakaan, tapi juga berselancar di dunia maya. Bahkan keinginan berinternetlah
yang acap kali menjadi niat utama mengunjungi tempat-tempat seperti itu. Seperti yang
sering dijumpai, mereka paling banyak memilih tenggelam atau ditenggelamkan oleh
dunia jejaring sosial, sadar atau tidak sadar. Interaksi dengan teman, keluarga, atau
pelanggan lain kerap terdistorsi oleh interaksi jejaring sosial di dunia maya. Ambiguitas
antara yang nyata dan maya pun tercipta; yang manakah sebenarnya dunia nyata dan
dunia maya? Di manakah mereka sebenarnya hadir?
29
Gaffari Rahmadian - Jejaring Sosial: Memupus Sekaligus Mengalienasi
TH. II NO. 1 APRIL 2012
RANAH
HALAMAN 30-36
JEJARING SOSIAL: MEMUPUS SEKALIGUS
MENGALIENASI
Gaffari Rahmadian1
ABSTRAK
Jejaring sosial sebagai sebuah fenomena sosial yang berkembang
di Indonesia ditandai dengan kemunculan Friendster pada tahun
2000-an. Maraknya jejaring sosial sebagai sebuah fenomena
sosial ini tidak terlepas dari pengaruh ekonomi kapitalis yang
berkembang di Indonesia sendiri yang selanjutnya membawa
masyarakat Indonesia menjadi masyarakat konsumsi. Dalam
analisisnya Marx mengatakan bahwa keterputusan pekerja
dari barang yang diproduksi akhirnya mengalienasi pekerja
di dalam masyarakat yang kapitalis. Lalu ketika masyarakat
kapitalis tersebut bertransformasi menjadi masyarakat konsumtif
bentuk alienasinya pun berubah. Hal inilah yang saya lihat
dalam fenomena jejaring sosial yang berkembang di masyarakat
Indonesia saat ini.
Kata Kunci: jejaring sosial, alienasi, interaksi, kapitalisme
Pendahuluan
Jika kita berbicara jejaring sosial pikiran kita pasti akan tertuju pada
dunia maya yang di dalamnya terdapat Facebook dan Twitter. Hal ini tidak salah
mengingat betapa masifnya media massa mengiklankan Facebook dan Twitter
baik sebagai alat jual sebuah produk, smartphones misalnya atau sebagai sebuah
fenomena sosial. Masifnya pemberitaan tersebut tidak terlepas dari popularitas
jejaring sosial di masyarakat. Popularitas jejaring sosial di dalam masyarakat ini
menyisakan pertanyaan, mengapa jejaring sosial begitu populer di masyarakat
Indonesia? Apa yang ditawarkan oleh jejaring sosial tersebut? Apa yang ingin
diungkapkan orang melalui jejaring sosial? Lalu apa yang bisa kita tangkap dari
fenomena maraknya pengguna jejaring sosial?
Untuk menjawab pertanyaan di atas saya mencoba melihatnya melalui
teks-teks yang beredar di jejaring sosial, terutama Facebook dan Twitter. Dari
1 Mahasiswa Angkatan 2011 Program Studi S2 (Pascasarjana) Jurusan Antropologi Budaya,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
30
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
penangkapan saya mengenai teks-teks tersebut saya mencoba melihat lebih jauh
apa sebenarnya yang terjadi sehingga jejaring sosial begitu populer.
Alienasi menurut Karl Marx terjadi karena “di bawah kapitalisme semua
agen-agen pasar, dalam hal ini pekerja, produsen kecil, dan pemilik modal besar
harus menjual baik tenaga kerja mereka atau barang sebagai komoditas abstrak
di dalam pasar untuk dipertukarkan dengan uang yang kemudian digunakan oleh
mereka sebagai konsumer untuk membeli komoditas-komoditas abstrak lainnya.
Hasilnya adalah orang, ketimbang terhubung satu sama lain melalui produksi dan
distribusi barang, terhubung melalui pasar sebagai agen-agen kecil yang untuk
memperoleh informasi mengenai seberapa bagus sebuah barang diproduksi
menggunakan kebutuhan individual mereka untuk menentukan pilihan pasar”
(Marx dalam Fridell, 2007:4). Artinya, alienasi terjadi karena relasi sosial tidak
terjadi antar personal, namun terjadi melalui perantara pasar dalam kegiatan
konsumsi.
Alienasi juga terjadi, menurut Lasch, karena “masyarakat kapitalis
menempatkan mereka dalam posisi yang bertentangan satu sama lain di dalam
lingkungan kompetitif tingkat tinggi dalam mencari pekerjaan dan keabsahan.
Sementara itu pada saat yang bersamaan, orang dibebaskan dari ikatan-ikatan
institusi (agama) dan kekeluargaan, yang pada akhirnya meninggalkan perasaanperasan kesepian serta terisolasi. Hal ini pada akhirnya memunculkan impulsimpuls narsistik. Untuk melawan perasaan terisolasi itu, lanjut Lasch, kapitalisme
menawarkan konsumsi sebagai penyembuh” (Lasch via Fridell, 2007:8).
Senada dengan Lasch, Baudrillard mengatakan bahwa dalam masyarakat
saat ini, yang dia sebut sebagai masyarakat konsumsi, alienasi tidak hanya terjadi
ketika kita kehilangan—atau menjual citra, imaji dan bayangan diri, namun ketika
sebuah hasil kerja selesai diproduksi dan mulai diobjektifikasi (Baudrillard dalam
Putranto, Hendar dan Mudji Sutrisno ed., 2005:264). Artinya alienasi saat ini
terjadi ketika barang hasil produksi menjadi objek. Oleh karena itu media massa,
lanjut Baudrillard, menjadi mukjizat dalam liturgi objek (Ibid.)
Mengenai masyarakat konsumsi sendiri, Roberta Sassateli mengatakan
jika masyarakat konsumsi adalah masyarakat yang kebutuhan sehari-harinya
dipuaskan oleh cara-cara kapitalis melalui akusisi komoditas, maka hal itu juga
terjadi ketika setiap konsumen harus terhubung secara terus-menerus dalam reevaluasi objek-objek tersebut melampaui harganya, untuk menstabilkan makna
dan relasi sosial.
Jejaring Sosial
31
Jejaring sosial merupakan situs pertemanan dalam bentuk halaman
Gaffari Rahmadian - Jejaring Sosial: Memupus Sekaligus Mengalienasi
elektronik. Bentuk dari jejaring sosial ini sangatlah beragam. Ada Friendster, yang
menawarkan fasilitas menyimpan foto dan berkomentar antara satu dan pengguna
yang lain. Jejaring sosial Friendster tersebut mulai booming pada tahun 2003
akan tetapi popularitasnya menurun dan digantikan oleh popularitas Facebook.
Facebook sendiri menawarkan fasilitas untuk mengunggah foto, membuat
status, membuat hubungan kekerabatan. Sementara itu Twitter, menawarkan
penggunanya kemampuan berekspresi dalam 140 karakter, mengikuti/diikuti
pengguna lain, dan mengutip kata-kata yang dituliskan oleh pengguna lain.
Meskipun kemampuan setiap jejaring sosial berbeda, media ini menawarkan hal
yang sama, yaitu berekspresi dan menjalin relasi dengan orang lain.
Berdasarkan berita yang dirilis oleh Tempo pada tanggal 5 Agustus
2008, Facebook untuk sementara mengungguli situs-situs jejaring sosial lainnya.
Pertumbuhannya terbilang pesat, 135 persen per tahun. Berdasarkan data
comScore, sebuah lembaga metrik online, Facebook memiliki 132,1 juta pengguna
unik sampai Juni 2011 lalu.
Lebih lanjut, Hermawan, dalam Kompas pada tanggal 7 September 2009,
mengatakan bahwa, “penduduk di Facebook memiliki rata-rata 120 kawan. 30
juta orang terus mengabarkan statusnya setiap hari paling tidak sekali. Salah
satu kekuatan yang mendorong pertumbuhan jumlah pengguna Facebook adalah
mobile connector. Di dunia, ada sekitar 65 juta user aktif yang mengakses jejaring
sosial ini lewat handphone. Menurut data yang dikeluarkan oleh Facebook, user
yang menggunakan aplikasi Facebook di handphone praktis menjadi 50 persen
lebih aktif ketimbang mereka yang non Facebook-mobile. Sejak Juni 2009 lalu,
menurut kabar, Facebook telah menjadi web nomor satu yang paling sering diakses
oleh orang di Indonesia yang kini jumlah pengguna internet diperkirakan sekitar
31 juta orang”.
Menurut Suci Lestari Yuana melalui tulisannya di forum Kompas
tertanggal 21 Desember 2010, jejaring sosial ini telah berhasil menyentuh hampir
seluruh kalangan masyarakat, tua-muda, pelajar-karyawan, lebih-lebih dengan
adanya persaingan ketat provider seluler untuk memberikan layanan internet
tanpa batas dengan biaya yang cukup murah, sosial media pun bisa dikonsumsi
masyarakat menengah ke bawah.
Dari data yang diambil melalui media elektronik di atas, dapat diketahui
bahwa pertumbuhan jejaring sosial di Indonesia sendiri sangat pesat, dari tahun ke
tahun jumlah penggunanya terus meningkat. Peningkatan tersebut tidak terlepas
dari campur tangan pasar dalam hal penyediaan layanan internet melalui telepon
seluler, provider dalam hal ini, sehingga menambah pengguna aktif jejaring sosial
dengan menggunakan mobile connector. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan
apa sebenarnya yang ingin dilakukan orang dengan aktif berjejaring sosial? Apa
32
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
yang bisa ditangkap dari teks-teks yang hadir di jejaring sosial?
Galau, Sebuah Ekspresi Keterasingan dalam Jejaring Sosial
Kata demi kata, kalimat demi kalimat, tulisan demi tulisan berganti setiap
detik dan menit. Sebagai sebuah arena berekspresi jejaring sosial berisi berbagai
macam “celotehan” yang dibuat oleh para anggotanya. Satu hal yang menarik
perhatian saya dari berbagai bentuk ekspresi di jejaring sosial adalah “galau”.
Kata “galau” dalam jejaring sosial merupakan kata yang bisa ditemui
setiap hari. Arti dari kata galau yang dimaksud oleh para pemakai jejaring sosial
sendiri tidak pernah jelas. Jika merunut kepada definisi “galau” berdasarkan
Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, maka:
“ga·lau a, ber·ga·lau a sibuk beramai-ramai; ramai sekali;
kacau tidak keruan (pikiran);
ke·ga·lau·an n sifat (keadaan hal) galau”
Pada bagian ini saya akan berusaha menangkap apa yang dimaksud
dengan “galau” di jejaring sosial. Lebih jauh, apa yang ingin diungkapakan oleh
para pemakai jejaring sosial? Berikut saya contohkan pemakaian kata “galau”
dalam jejaring sosial Twitter.
“@Kuntil: udah, buat apa pacaran kalau sering disakitin,
mending putusin aja #penggalauanmassal”
Pada kutipan twit ini, pemilik akun @kuntil menyatakan bahwa hubungan
kalau hanya menyakiti lebih baik diakhiri, kemudian ia menambahkan dengan
tanda pagar kalau celotehannya ini untuk membuat galau banyak orang. Di sini
“galau” oleh akun @kuntil diartikan keresahan yang berkaitan dengan hubungan
berpasangan. Akun @kuntil berasumsi banyak yang akan galau karena ocehannya
yang ia tandai dengan tanda pagar.
“@manika: huks... no words could explain my feeling...#galau”
Di sini pemilik akun @manika mengekspresikan rasa sedihnya yang
ditampilkan dengan kata “huks”. Lebih lanjut akun @manika menjelaskan karena
tidak ada kata yang bisa mengekspresikan perasaanya, akhirnya ia menandai
ekpresinya ini dengan tanda pagar #galau. “Galau” di sini berarti kebingungan
karena tidak ada kata yang bisa mengekpresikan perasaannya.
Selanjutnya adalah yang diekpresikan oleh nama akun @Deborah.
“@Deborah nyampe kampus bersiap buat presentasi, tp gak tau
bahan presentasinya kaya gimana #GALAU.
33
Gaffari Rahmadian - Jejaring Sosial: Memupus Sekaligus Mengalienasi
Pemilik akun @Deborah di sini menjadi galau karena dia akan melakukan
presentasi, sedangkan dia tidak tahu bahan yang akan dipresentasikannya.
Pemakaian kata “galau” di atas berbeda-beda, akan tetapi bila dicermati
terdapat satu persamaan, yaitu kata “galau” dikaitkan dengan perasaan yang
mengambang, tidak menentu, tidak pasti, yang disebabkan oleh suatu hal. Pada
akun @kuntil, galau disebabkan hubungan yang tak menentu, pada akun @manika
disebabkan oleh ketidakbisaanya mengungkapkan perasaan, sementara pada akun
@Deborah karena ketidaktahuannya mengenai bahan yang akan dipresentasikan.
Pemaknaan kembali kata “galau” dalam jejaring sosial ini oleh para
penggunanya bagi saya menandakan adanya kebutuhan masyarakat terhadap
sebuah kata yang bisa mewakili perasaan mereka, yaitu perasaan mengambang,
liminal, tidak pasti sebagai akibat dari alienasi pada masyarakat konsumtif.
Membuat Relasi Sekaligus Mengalienasi
Semua halaman elektronik yang disebutkan di atas menawarkan hal yang
sama, yaitu membangun jaringan baik dengan orang yang kita sudah kenal di
dunia nyata maupun dengan orang yang kita kenal di dunia maya. Hal ini bisa
dilihat dari tampilan di halaman muka, yang menunjukan berapa teman yang
dimiliki, dan darimana teman tersebut terhubung. Selain itu, jejaring sosial juga
memungkinkan kita berkomunikasi dengan teman yang jaraknya sangat jauh, baik
itu melalui sapaan di kotak tertimonial pada Friendster, wall di Facebook, atau
fungsi mention di Twitter. Dalam arti lain, jejaring sosial memungkinkan sesorang
untuk membangun berkomunikasi dan membangun relasi sosial laiknya relasi
sosial di dunia nyata.
Dimas (21 tahun) misalnya, mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta
ini mengatakan kalau hampir 75 persen waktunya dalam sehari digunakan untuk
melihat Twitter baik melalui laptop ataupun smartphone miliknya. Aktivitas itu
terjadi bahkan ketika dia sedang berkumpul bersama teman satu rumah kontrakan
ataupun pacarnya. Alasan yang ia kemukakan sederhana saja, “ya pengen tau aja
perkembangan temen-temen di Twitter”. Jawaban Dimas menyiratkan kalau ia
tidak tahu kabar teman-temannya, oleh karena itu ia melihat Twitter. Jika dilihat
lebih jauh lagi jawaban Dimas menandakan kalau ia ingin berelasi dan dengan
“membuka” Twitter ia menjadi terhubung dengan teman-temannya..
Serupa dengan Dimas, Diana (23 tahun) seorang perempuan asal Sumatra,
juga senang ber-Twitter ria, menurut dia hal pertama yang dilakukannya ketika
terbangun dari tidur adalah melihat Twitter. Saat ditanya lebih jauh apa yang ingin
dilihatnya, dia menjawab, “ya update temen-temen deket, soal cinta-cintaan,
kan biasanya temen-temen suka galau tuh di Twitter”. Teman-teman dekat yang
34
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
dimaksud oleh Diana di sini adalah temannya beraktivitas sehari-hari. Di sini
Diana dengan lebih gamblang menyatakan kalau dia melihat perkembangan
teman-temannya yang notabene ia jumpai setiap hari terutama yang berkaitan
dengan cinta. Artinya, walaupun setiap hari Diana bertemu dengan temantemannya tidak menjadikan Diana mengetahui perkembangan mereka. Diana
melihat perkembangannya di Twitter. Lebih jauh, hal ini juga menunjukan kalau
Diana mencoba berelasi dengan teman-temannya karena relasi yang terjalin di
kehidupan sehari-hari tidaklah cukup bagi Diana untuk mengetahui perkembangan
teman-temannya.
Apa yang diungkapkan oleh Dimas dan Diana, memberikan penjelasan
peran jejaring sosial dalam masyarakat konsumsi seperti saat ini, yaitu
menawarkan ruang untuk membangun relasi sosial yang tidak didapatkan lagi
di dunia nyata. Semakin menghilangnya relasi sosial tersebut dalam analisis
Baudrillard (Baudrillard dalam Putranto, Hendar dan Mudji Sutrisno eds., 2005)
karena setiap individu diasingkan antara yang satu dan lainnya, melalui konsumsi
komoditas. Lebih lanjut, orang dalam masyarakat konsumsi seperti itu dijauhkan
dari institusi keagamaan dan keluarga yang pada akhirnya meninggalkan perasaan
kesepian serta keterasingan (Lasch dalam Fridell, 2007). Akan tetapi di sisi lain,
“convinced that they are too powerless to affect life in a meaningful way, people
turn toward self improvement and building superficial identity based on “material
furnished by advertising and mass culture” (Lasch dalam Fridell, 2007:8).
Jejaring sosial sebagai sebuah komoditas budaya massa justru mengalienasi
penggunanya dengan menempatkan mereka sebagai objek di dalam jejering sosial
itu sendiri melalui objektifikasi terhadap teknologi yang digunakan mengakses
jejaring sosial. Artinya, relasi sosial yang dibentuk dalam sebuah jejaring sosial
pada akhirnya hanyalah menjadi relasi sosial yang semu.
Kesimpulan
Makin merajalelanya kapitalisme dalam masyarakat Indonesia mendorong
masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang kapitalistik. Perkembangan
tersebut selain membuat masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang
konsumtif juga membuat setiap personal menjadi terasing dalam masyarakatnya
sendiri. Hal ini dapat dilihat melalui kata galau dan penggunaan mobile connector
untuk mengakses jejaring sosial.
Keterasingan itu yang akhirnya mendorong individu-individu untuk
membuat menjalin kembali relasi sosial yang semu di dalam ruang baru bernama
jejaring sosial. Di sisi lain jejaring sosial sebagai sebuah komoditas justru semakin
mengasingkan para penggunanya.
35
Gaffari Rahmadian - Jejaring Sosial: Memupus Sekaligus Mengalienasi
Bibliografi
Buku
Putranto, Hendar dan Mudji Sutrisno (eds.). 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta:
Kanisius.
Piliang, Yasraf Amir. 1999. Hiper-realitas Kebudayaan. Yogyakarta: LKIS
Sassateli, Roberta. 2007. Consumer Culture: History, Theory, and Politics. London:
Sage.
Jurnal
Fridell, Gavin. 2007. “Fair Trade Coffee and Commodity Fetishism: The Limits of
Market-Driven Social Justice” dalam Journal of Historical Materialism Vol. 15,
No. 2.
Media cetak dan internet
Kertajaya, Hermawan. “From Belief to Humanity”. Senin, 7 September 2009 | 15:35
WIB, diunduh 6 Desember 2011.
Yuana, Suci Lestari. “Merayakan Perdamaian dengan Jejaring Sosial”. Forum Kompas.
Selasa, 21 September 2010 | 11:43 WIB, diunduh Senin 6 Desember 2001.
Tempointeraktif. “Facebook Dominasi Jejaring Sosial”. Jum’at, 15 Agustus 2008 | 10:35
WIB Tempointeraktif.com. Diunduh Senin 6 Desember 2011.
36
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
Foto: Muhammad Arief Al Fikri
KEBUTUHAN MASYARAKAT GLOBAL
Jejaring sosial adalah candu bagi sebagian besar orang. Sekali merasakannya, timbul
semacam efek ketergantungan yang makin lama tidak disadari. Di mana pun dan kapan
pun, banyak orang yang selalu berpikir untuk mengakses akun jejaring sosialnya.
Tidak peduli koneksinya lambat, akan ditunggu sampai ia bisa melihat status yang
berseliweran, foto dan video yang diunggah, atau mungkin informasi terbaru apa saja
yang sedang hangat diperbincangkankan di situ.
Tidak hanya pada level individu, media jejaring sosial juga dimanfaatkan sebagai lahan
pasar oleh para instansi atau korporasi. Mereka mempromosikan barang dan jasanya
dengan beriklan di sana. Berbagai strategi dilakukan demi merangkul target pasar.
Demikian, pada akhirnya kita akan sampai pada wacana globalisasi. Pengaruhnya
yang sungguh luar biasa ini terkait jejaring sosial telah mengungkung masyarakat
dan membuat mereka tidak sadar terperangkap di dalam kungkungannya. Alih-alih
menemukan jalan keluar agar bisa bebas, media jejaring sosial terus berinovasi
memperkokoh dinding-dinding ruang kungkungannya.
37
Yuda Rasyadian - Jejaring Sosial: Ruang Besi pada Konstruksi Inovasi dan Identitas Budaya Massa
TH. II NO. 1 APRIL 2012
RANAH
HALAMAN 38-44
JEJARING SOSIAL: RUANG BESI PADA KONSTRUKSI
INOVASI DAN IDENTITAS BUDAYA MASSA
Yuda Rasyadian1
ABSTRAK
Saya memperkuat konteks komoditas dan inovasi sebagai latar
belakang dalam melihat jejaring sosial adalah hasil dari daya
kreativitas manusia untuk menciptakan cara-cara baru dalam
komunikasi yang memiliki interdependensi dengan tetakan
komoditas sosial serta ekonomi yang baru untuk membentuk
identitas. Singkatnya, saya mencoba menganalisis bagaimana
jejaring sosial dapat membuat—meminjam istilah Weber—
“ruang besi” dalam kehidupan manusia.
Kata Kunci: jejaring sosial, simbol, ruang besi, kapitalisme
Latar Belakang
Masyarakat dunia mutakhir tampaknya tumbuh beriringan dengan
globalisasi dan transformasi kapitalisme media. Fenomena ini ditandai dengan
menjamurnya ruang-ruang relasi baru dengan media baru seperti internet atau
cyberspace. Terdapat perubahan besar pada pandangan diri manusia dalam
menemukan cara pemasaran ekonomi, cara mengekspresikan relasi yang lebih
luas, proses interaksi dalam menumbuhkan identitas dan memperkuat identitas,
juga memanipulasi diri dalam konteks sosial yang ada setelah adanya internet.
Hal ini, tidak luput saya lihat, mendapat pengaruh kuat dari media-media
sosial yang dibentuk lewat jaringan internet—yang kita sebut “jejaring sosial”,
atau dalam istilah lain adalah social media network, seperti Friendster, MySpace,
Twitter dan lainnya—sebagai paham baru dalam komunikasi dan relasi sosial.
Jejaring sosial ini adalah sebuah invention dan inovasi yang dibangun untuk
membentuk kekuatan baru dalam budaya massa, serta model interaksionisme
simbolik yang baru.
Interaksionisme simbolik biasanya memfokuskan pada interaksi tatap
muka (face-to-face) dalam konteks kehidupan sehari-hari (George H. Mead).
1 Mahasiswa Angkatan 2006 Program Studi S1 Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
38
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
Munculnya jejaring sosial saat ini merubah proses simbolik tersebut—mungkin
bisa saya sebut sebagai tahapan yang baru. Mead memandang interaksi sosial
dalam masyarakat terjadi dalam dua bentuk, yakni percakapan isyarat (interaksi
non-simbolis) dan penggunaan simbol-simbol penting (interaksi simbolis).
Dalam berbagai realitas, manusia banyak sekali terlibat dalam interaksi
non-simbolis, ketika mereka merespon dengan cepat dan tanpa sadar satu sama
lain. Seperti gerakan badan, ekspresi, dan nada suara.
Sedangkan interaksi simbolis adalah pada konteks simbol, sebab mereka
mencoba mengerti makna atau maksud dari suatu aksi yang dilakukan satu dengan
yang lain. Pada konteks jejaring sosial saat ini, interaksi tersebut diimplementasikan
pada bentuk yang lain, tidak pada ranah tubuh yang nyata, atau aktif. Seperti gerak
badan, ekspresi dan sebagainya ditunjukkan melalui “emoticon”, yaitu simbolsimbol yang ada pada jejaring sosial sebagai pengganti bentuk ekspresi yang nyata.
Begitu pula dengan interaksi simbolis, bagaimana menyusun gambar-gambar yang
diunggah ke jejaring sosial, sebagai informasi yang mengkomunikasikan sebuah
kegiatan (yang aktif pada tubuh nyata) tanpa “melihat” dengan empiris sejauh apa
kegiatan tersebut dilakukan, apakah manipulasi ataupun “hanya mewakili”.
Pada akhirnya, jejaring sosial menjadi: (1) komoditas utama dari kendaraan
sosial untuk menemukan/memperluas ruang relasi, (2) sebagai kendaraan
ekonomi (dimana jejaring sosial mencakup lingkaran strategi kapitalisme yang
baru) dengan teks-teks simbolnya, (3) menjadi konsep baru komoditas ikonografi,
serta (4) tempat bernaung identitas/entitas individu maupun komunitas.
Permasalahan
Proses komunikasi adalah proses pengoperan lambang yang mengandung
arti dari individu satu ke individu lain, atau dari kelompok satu ke kelompok
lain. Harold Lasswell (1969:71) mengatakan “the social process is the totally of
value processes for all the valuer important in the society”, maka dapat dikatakan
lebih lanjut bahwa proses komunikasi adalah masalah proses pembentukan nilainilai baru. Di sinilah kita dapat melihat bahwa nilai-nilai baru dibentuk dari
munculnya jejaring sosial tersebut sebagai langkah dari transformasi komunikasi.
Nilai keintiman berubah, yaitu konsep interrelasi sesama antar-individu mulai
berkurang untuk hal aktualisasi diri. Konsep komunitas juga berubah, yaitu proses
komunikasi yang bersifat diskusi berubah (di mana interaksi langsung dalam
public sphere menjadi berkurang) menjadi diskusi di dunia maya. Lalu nilai baru
muncul dengan pandangan bahwa kepemilikan identitas yang tercirikan dalam
jejaring sosial adalah hal yang eksklusif.
39
Dalam tulisan ini saya memperkuat konteks komoditas dan inovasi
Yuda Rasyadian - Jejaring Sosial: Ruang Besi pada Konstruksi Inovasi dan Identitas Budaya Massa
sebagai latar belakang. Saya melihat jejaring sosial adalah hasil dari daya
kreativitas manusia untuk menciptakan cara-cara baru dalam komunikasi yang
memiliki interdependensi dengan tetakan komoditas sosial serta ekonomi yang
baru untuk membentuk identitas.
Freud (2006:379) berkata bahwa ada hubungan yang erat antara
kreativitas dengan values, bahwa fragment yang ada pada jejaring sosial ini sarat
akan nilai. Inovasi, dibentuk dengan dasar untuk melakukan suatu perubahan yang
lebih efisien terhadap kebutuhan-kebutuhan yang ada pada manusia, kebutuhan
akan relasi, identitas dan kapital. Sistem ini mengkonstruksi respon massa akan
ruang interrelasi gaya baru, serta menembus konsep promosi/iklan (salah satu
komponen dalam konsep ekonomi-produksi) sebagai strategi baru dalam budaya
massa. Secara tidak langsung saya juga menyadari ada yang berubah dari nilai
lama, ada yang berubah dari keadaan yang nyata, konsepsi hubungan yang
nyata. Terlihat juga ada perasaan terikat yang kuat dari masyarakat sosial akan
ruang kehidupannya seakan-akan dipindah ke lingkaran dunia maya ini, yang
disebabkan oleh terserapnya secara cepat sistem kasat mata yang dibangun oleh
adanya jejaring sosial.
Apa yang terjadi selanjutnya pada inovasi kapitalisme media ini?
Bagaimana pengaruh relasi sosial yang ada pada “tubuh nyata” di kondisi tersebut?
Analisis apa yang bisa dibangun dalam wacana kontrol masa depan dari inovasi
sistem relasi ini? Hal inilah yang mendasari tulisan saya tentang budaya digital
ini. Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi mercusuar serta menjadi bagian dari
sejuta ilmu hasil pikiran dan pengalaman yang bisa menjadi warisan, tidak hanya
sebagai selembar kertas yang jadi usang.
Pembahasan Masalah
Manusia selalu mencari cara untuk dapat memperluas wawasan serta
memperluas jaringan. Sekarang hal tersebut didukung dengan teknologi yang
mapan yaitu internet, sehingga munculnya jejaring sosial dengan fondasi jaringan
internet pun mendapat respon yang sangat luar biasa. Hal ini memang dipengaruhi
oleh keinginan manusia untuk mencari inovasi akan modal-modal simbolik, yang
dalam pengejawantahannya menjadi gaya hidup massa.
Pandangan saya bahwa gaya hidup adalah cara hidup terpola yang dapat
dicirikan oleh tema-tema tertentu dalam situs dan strategi. Jejaring sosial sekarang
ini juga menampilkan kondisi di mana ikonografi baru berperan dalam strategi
massa, baik dalam menggambarkan maupun melihat bentuk-bentuk baru asosiasi
sosial, adalah sarana yang paling mendasar dalam menampilkan gaya hidup
(Chaney, 1996:168). Lifestyle atau gaya hidup dalam konteks ini bukan pula
40
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
melulu monopoli diri atau pasar dalam penggunaan media jejaring sosial, tetapi
lebih kepada bagaimana pelaku terlibat aktif dalam jejaring sosial sebagai budaya
massa. Dalam budaya massa si pelaku cenderung “latah” menyulap atau meniru
segala sesuatu yang sedang naik daun atau laris dilakukan oleh orang lain.
Pada umumnya budaya massa dipengaruhi oleh budaya populer. Pemikiran
tentang budaya populer menurut Ben Agger (1992:24) dapat dikelompokkan
menjadi: (1) budaya dibangun berdasarkan kesenangan namun tidak substansial
dan mengentaskan orang dari kejenuhan kerja sepanjang hari, (2) kebudayaan
populer menghancurkan nilai budaya tradisional, (3) kebudayaan menjadi
masalah besar dalam pandangan ekonomi Marx kapitalis, (4) kebudayaan populer
merupakan budaya yang menetes dari atas.
Pemikiran Ben Agger tersebut sangat fondasional untuk mengungkapkan
bagaimana inovasi dari kapitalisme media yang mereproduksi jejaring sosial ini
muncul. Satu poin yang menarik dari pendapat Ben Agger di atas, kebudayaan
“populer” menghancurkan nilai budaya “tradisional”. Pendapat tersebut saya
padankan dengan pola pergeseran yang terjadi pada konsep relasi manusia yang
umum dan nyata (interaksi yang sejak lama dimiliki), yaitu keintiman interaksi
pada dunia nyata. Inilah yang mendasari posisi interrelasi nyata pada manusia
mengalami dekadensi dalam batasan tertentu. Jejaring sosial yang diterima secara
cepat sebagai mass culture, perlahan-lahan membuat manusia menjadi teralienasi
dengan manusia lainnya. Individu yang satu mulai tidak tertarik untuk berbagi
permasalahan dengan individu lain, lebih tertarik untuk mengangkatnya ke dalam
jejaring sosial, yang mungkin dianggap mempunyai kebanggaan, atau memang
sudah terpancing kedalam kebanggaan terlibat dalam budaya massa. Nilai lama
(tradisional) dalam cara berelasi memudar.
Pengakomodiran akan sebuah gerakan ataupun ide reaktif juga mengalami
perubahan ruang dan langkah ke arah jejaring sosial tersebut sebagai medianya.
Dengan ini, ide reaktif akan dapat disebarkan lebih luas sekaligus membuka
relasi akan informasi yang dimiliki satu kelompok ke kelompok lain ataupun
satu individu ke individu lain. Begitu pula dalam relasi ekonomi, di mana orang
masa kini banyak menjalankan roda ekonominya melalui jejaring sosial (konsep
promosi/iklan yang saya bicarakan di atas), juga promosi akan ruang kata, ruang
budaya, serta simbol-simbol transnasional, semua melalui hasil dari transformasi
kapitalisme media yang baru ini.
Jejaring sosial menjadi ruang tontonan bagi inovasi baru dalam komoditas
ikonografi dan ekonomi. Sementara itu, tubuh sebenarnya dari relasi humanis
menjadi sebatas ikon yang tertinggal, ruang kedekatan nyata malah menjadi
ajang terjadinya alienasi antar individu maupun kelompok, serta terdapat rasa
kenyamanan dan kebanggaan ketika menonton interaksi simbolik individu atau
41
Yuda Rasyadian - Jejaring Sosial: Ruang Besi pada Konstruksi Inovasi dan Identitas Budaya Massa
kelompok di ruang jejaring sosial sebagai komoditi sosial. Hal ini menunjukkan
bahwa pada akhirnya kreativitas modern milik manusia telah menjadi suatu
budaya tontonan (a culture of spectacle).
Perlu diperhatikan bahwa ruang relasi ini bisa menutup kemungkinan
kita untuk mengetahui bagaimana identitas asli seseorang atau jaringan ekonomi
yang menggunakan jejaring sosial. Semua orang, kaya, miskin, baik, atau bahkan
orang buruk/jahat sekalipun bisa terlibat aktif dalam memainkan peran di jejaring
sosial. Dalam jejaring sosial seseorang dapat bersandiwara, meniru-niru, ataupun
berpura-pura. Seperti halnya orang yang kaya bisa berlagak miskin, bukan karena
penganut ideologi asketisme, dan bukan pula pengaruh kampanye akan Pola
Hidup Sederhana di jejaring sosial, tetapi lebih karena itu pilihan orang tersebut
untuk membentuk identitas yang ingin di tampilkan di jejaring sosial.
Jejaring sosial kini mungkin malah bergeser konsepnya dari ruang untuk
kebutuhan relasi sosial, dengan memunculkan identitas yang dicirikan untuk
mendapatkan aktualisasi diri di dunia yang lebih luas (tidak sebatas komunitas
sekitar pada lingkaran sosial yang nyata, yang mungkin terbatas), menjadi
kebutuhan untuk membentuk kepribadian/entitas individu yang berbeda dari
kenyataan. Ruang jejaring sosial yang ada menjadi tempat pengaburan identitas
demi interaksi-interaksi luas dengan tendensi yang bermacam-macam. Ini
memungkinkan manusia menjadi lebih memilih untuk terlibat dalam jejaring
sosial ini, karena “kita tidak terlihat seperti kita”, semua bisa dimanipulasi, yang
sudah terlihat bagus secara virtual dan visual, bisa dibuat lebih bagus, yang tidak
bagus pun bisa dibuat menjadi bagus. Ini mengarah pada kesimpulan bahwa
krisis identitas pun terjadi karena proses penyerapan yang tidak sempurna akan
kapitalisme media yang sarat kepentingan ini. Fenomena ini harus diwaspadai,
karena aplikasinya sebagai ritus dan strategi baru dalam komoditas sosial-ekonomi,
dapat membuat manusia menjadi terjebak semakin jauh dalam lingkup entitas diri
dan budaya baru dimana fondasinya semakin melemahkan perikemanusiaan.
Ruang baru jejaring sosial memberikan hawa baru dalam gaya hidup dan
budaya massa tadi, tetapi kontinuitas konstruksinya akan membawa “kerangkeng”
bagi interaksi aktif pada keadaan riil antar manusia menuju ke batas irasional.
Irasionalitas bentukan yang terkait dengan jejaring sosial memberikan pertanyaan
serius mengenai masa depan cara komunikasi dan inter-relasi pada masyarakat.
Konstruksi interaksi dan identitas yang terjadi ketika manusia menjadi teralienasi
dengan adanya reproduksi jejaring sosial ini, dapat mencengkram ikatan manusia
itu sendiri ke dalam “kurungan besi” (Weber, 2000). “Kurungan besi” yang
saya maksud adalah jejaring sosial memiliki kemungkinan akan mendominasi
lebih banyak sektor kemasyarakatan, yang akan lebih tidak mungkin lagi bagi
masyarakat untuk “melepaskan diri” darinya.
42
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
Frasa “kurungan besi” mengimplikasikan pandangan negatif akan sesuatu
yang memenjarakan orang-orang. Weber mengatakan, ada kerangkeng besi
dalam konsep rasionalitas yang sangat tidak manusiawi bahkan mengakibatkan
dehumanisasi. Lalu, sistem rasional akan menimbulkan berbagai dampak irasional.
Irasionalitas utama dari jejaring sosial ialah kemungkinan orang-orang akan
kehilangan kontrol atas sistem relasi dan komunikasi tersebut, yang suatu saat
bisa mengontrol mereka. Seperti yang telah terjadi, sistem-sistem yang dianggap
rasional ini mau tak mau telah mengontrol banyak aspek kehidupan orang-orang.
Gaya hidup, roda ekonomi, komunikasi, serta pembentukan identitas-identitas
yang kadang menyimpang dari praktik sebenarnya. Konteks komunal semakin
hancur lebur karena dilindas individu-individu yang menyerang rasionalitas
interaksi lahiriah manusia itu sendiri (konsep interrelasi yang nyata sebagai
keabsahan komunikasi antar manusia yang sebenarnya).
Gambaran kerangkeng besi mengilustrasikan rasa kebekuan, kesulitan,
dan ketidaksenangan. Saat ini hampir sebagian besar manusia sadar jejaring
sosial telah mengkungkungnya, namun mereka mendapati diri mereka
menikmati kenyamanannya. Mereka menyukai, bahkan menggandrungi, dunia
yang dibungkus dalam jejaring sosial serta menyambut perkembangannya dan
penyebarannya. Mereka menyukai sebuah dunia yang tertata rapi secara simbolik
dan bisa membolak-balikan identitas diri mereka. Mereka menyukai keberadaan
individu yang masing-masing berkutat di depan layar komputer atau pun
smartphone, dengan bertegur ide lewat dunia maya tanpa melihat kondisi "alien"
yang ada di sekitarnya. Mereka bersandar pada dunia impersonal sebagai tempat
berinteraksi dengan manusia, bahkan benda-benda otomatis non-manusia. Bagi
sementara orang yang mewakili sejumlah besar populasi pengguna, jejaring sosial
bukanlah suatu ancaman melainkan surga.
Bagi yang lainnya, jejaring sosial itu tidak ubahnya kerangkeng karet
dengan jeruji yang bisa diulur. Dalam hal ini, ketersediaan untuk bergulat
dalam jejaring sosial dengan segala bentuk relasi dan interaksi simboliknya,
akan membuat mereka bisa melakukan aktivitas non-rasional lain. Bahkan, jika
semakin terbuai tanpa disikapi, jejaring sosial online benar-benar dapat menjadi
kerangkeng besi yang seakan berbagi kelam dengan pandangan pesimistis Weber
terhadap sistem seperti ini.
Selanjutnya, meski orang-orang masih nampak mengontrol keadaan ini
(ruang jejaring sosial), sistem-sistem rasional ini bisa berputar di luar kontrol
mereka yang menduduki posisi tertinggi dalam sistem tersebut, dan yang lebih
mengerikan lagi adalah orang-orang akan kehilangan identitasnya di dalam tubuh
yang nyata, men are avatars.
43
Yuda Rasyadian - Jejaring Sosial: Ruang Besi pada Konstruksi Inovasi dan Identitas Budaya Massa
Kesimpulan
Di tengah krisis nasional yang melunturkan jati diri bangsa Indonesia,
ada baiknya ketika kita mau mengkaji lagi konsep atau tujuan seperti apa yang
seharusnya diterapkan dalam mengimplementasikan entitas diri dan ide di jejaring
sosial, agar tidak terjebak juga tidak sampai teralienasi atau mengalienasi individu
lain serta komunitas sekitar. Hal itu akan terjadi, jika memang masing-masing dari
kita mau memompa dengan penuh perpindahan identitas dari kehidupan nyata ke
dalam dunia maya tersebut. Paling tidak, tak ada yang salah dalam konsep inovasi
dan kreativitas, karena mungkin yang paling penting bahwa apresiasi terhadap
mudahnya cara komunikasi dan membangun relasi sekaranglah yang patut disikapi
dengan penghargaan, walaupun transformasi ini datang menggunakan kendaraan
kapitalisme media untuk menyokong komoditas sosial yang baru. Dalam usahausaha semacam itu, orang-orang bisa mengekspresikan alasan paling manusiawi
dalam dunia yang dalam beberapa hal telah mempersiapkan sistem-sistem
terasionalisasi guna mengingkari ekspresi orang-orang.
Motivasi utama saya di kesempatan kali ini ialah untuk memperingatkan
para pembaca akan fragmen lain dari jejaring sosial yang mempunyai potensi jerat
dehumanisasi, potensi berbahaya bagi rasa penghargaan kepada cara komunikasi
tradisional, serta mengajak untuk menyikapi dengan bijak gelombang jejaring
sosial agar tidak terjadi krisis identitas. Ketahanan konseptual dan pemahaman
amat diperlukan antar-individu ataupun antar-komunitas, dengan harapan tidak
dicengkeram oleh “ruang besi” yang memenjarakan humanisme, serta dapat
menciptakan dunia yang lebih manusiawi dan masuk akal.
Bibliografi
Buku
Chaney, David. 1996. Lifestyle. London: Routledge.
Scott, James C. 1998. Seeing Like A State. New York: Yale University Press.
Storey, John. 2003. Teori Budaya Dan Budaya Pop. Yogyakarta: Qalam Press.
Tabrani, Primadi. 2006. Kreativitas dan Humanitas. Yogyakarta: Jalasutra.
Tester, Keith. 1994. Media, Culture and Morality. London: Routledge.
Wardhana, Veven S.P. Kapitalisme Televisi dan Strategi Budaya Massa. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Weber, Max. 2000. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Surabaya: Pustaka
Promethea.
44
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
Foto: Dian Ayu Aryani
ARAH MANA YANG ANDA PILIH?
Hebatnya, dalam dunia teknologi serba canggih Anda juga dituntut untuk memilih arah
tujuan diri dalam dunia maya. Keberadaan jejaring sosial yang telah membebaskan kita
untuk berekspresi diri telah dijadikan berbagai kalangan untuk melakukan motif-motif
tertentu, salah satunya telah marak kekerasan terhadap perempuan di dunia maya.
Banyak jalan menuju Roma, banyak jalan untuk kebaikan dan kejahatan pula. Jadi, mana
arah yang akan Anda pilih untuk diri di dunia maya?
45
Gregorius Septian Christianto - Jejaring Sosial: Lahan Reproduksi Kekerasan terhadap Perempuan
TH. II NO. 1 APRIL 2012
RANAH
HALAMAN 46-52
JEJARING SOSIAL: LAHAN REPRODUKSI
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
Gregorius Septian Christianto1
ABSTRAK
Kita mungkin sering mendengar pernyataan: kenyataan di
dunia nyata telah dipindahkan ke dunia maya. Terkait dengan
itu, tulisan ini mencoba melihat bagaimana fenomena kekerasan
muncul di internet dengan mengambil contoh kasus pada
jejaring sosial. Kekerasan terhadap perempuan tak hanya terjadi
secara langsung di “dunia nyata”, namun juga melalui media
internet. Jejaring sosial, sebagai ruang publik baru menjadi
lahan baru tempat kekerasan terhadap perempuan. Tulisan ini
mencoba memaparkan bagaimana fenomena kekerasan terhadap
perempuan direproduksi ke dalam ruang baru, yakni jejaring
sosial di internet.
Kata Kunci: jejaring sosial, gender, perempuan, kekerasan
Pendahuluan
Suatu waktu saya bersama seorang teman dekat berkendara menuju ke
Kota Ngawi, untuk mengunjungi kakek dan nenek saya. Di perjalanan, di sekitar
Kota Sragen, saya melihat sepasang laki-laki yang mengemudikan sepeda motor
dan berkendara dekat dengan sepasang perempuan yang juga bersepeda motor.
Dari belakang mereka, kami menyaksikan sepasang laki-laki itu menggoda
sepasang perempuan dengan menyiuli lalu menggoda dengan kata-kata. Tangan si
laki-laki yang duduk di jok bagian belakang kemudian mencubit kaki pengendara
perempuan. Dua perempuan itu tersebut lantas mengendarai kencang sepeda
motornya meninggalkan sepasang laki-laki yang menggoda mereka. Sepasang
laki-laki mengakhiri tindakan mereka dengan tertawa keras-keras.
Perilaku semacam ini tentu tidak terjadi sekali saja sewaktu saya
melihatnya dalam perjalanan ke Ngawi. Lain waktu lagi, saya menyaksikan pula
kejadian yang serupa di jalanan di Yogyakarta pada malam hari. Laki-laki di atas
sepeda motor menggoda perempuan di jalan dengan siulan dan senyum, tak jarang
1 Mahasiswa Angkatan 2008 Program Studi S1 Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
46
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
pula dibumbui dengan cubitan dan jawilan ke anggota tubuh perempuan. Kejadiankejadian serupa selanjutnya saya rekam dalam ingatan saya terhitung sejak saya
mengendarai sendiri sepeda motor di awal tahun 2000-an. Bentuk-bentuk perilaku
tidak menyenangkan baik verbal maupun nonverbal terhadap perempuan kerap
sekali terjadi. Tindakan yang paling kerap saya lihat adalah siulan dan kata-kata
yang menggoda, meskipun tak jarang kontak fisik juga terjadi. Bentuk-bentuk
perilaku ini adalah bentuk konkrit kekerasan di ruang publik, di ruang yang
terbuka bagi semua orang dan bukan menjadi tempat dominasi laki-laki (Wattie,
2002). Kekerasan terhadap perempuan di ruang publik ini semakin sering saya
sadari sejak saya mengenal kata gondes (gentho ndeso), sebuah label bagi lakilaki yang berperilaku norak dan cenderung menyebalkan bagi perempuan.
Merujuk pada data Hubungan Sosial Pelaku-Korban KTP (Kekerasan
Terhadap Perempuan) Seksual dan KTP Nonseksual di Empat Provinsi (2002:11),
bentuk-bentuk kekerasan seksual baik verbal maupun non-verbal terhadap
perempuan di Yogyakarta didominasi oleh orang tidak dikenal, yakni 53,6 persen
di desa dan 63,3 persen di kota (lihat gambar 1).
Gambar 1: Pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan di Yogyakarta
Sumber: Hubungan Sosial Pelaku-Korban KTP Seksual dan KTP Nonseksual di Empat Provinsi, 2011
Kekerasan terhadap perempuan di ruang publik dilakukan secara acak dan
spontan. Ruang publik juga menjadi tempat yang paling banyak tercatat sebagai
lokasi terjadinya tindak kekerasan, baik verbal maupun non-verbal terhadap
perempuan di Yogyakarta, yakni 82,0 persen di desa dan 74,1 persen di kota untuk
tindakan kekerasan seksual; 46,5 persen di desa dan 45,2 persen di kota untuk
tindakan kekerasan non-seksual (lihat gambar 2).
47
Gregorius Septian Christianto - Jejaring Sosial: Lahan Reproduksi Kekerasan terhadap Perempuan
Gambar 2: Bentuk kekerasan terhadap perempuan di ruang publik di Yogyakarta
Sumber: Hubungan Sosial Pelaku-Korban KTP Seksual dan KTP Nonseksual di Empat Provinsi, 2011
Kekerasan terhadap perempuan di ruang-ruang publik menjamur
seiring banyaknya gondes yang berkeliaran dengan sepeda motornya. Dengan
keangkuhannya di jalanan, gondes menjadi teror bagi perempuan di ruang publik
dengan menebarkan rasa tidak aman lewat godaan-godaannya yang mengganggu,
bahkan sering dengan menggunakan tangan. Apakah kekerasan terhadap
perempuan semacam ini masih akan terjadi di jejaring sosial, yang dewasa ini
menjadi ruang publik baru?
Hubungan Teman-dari-Temannya-Teman-Temanku
Pada tahun-tahun berikutnya, di era awal 2000-an mulailah mewabah
jejaring sosial, sebuah wadah pertemanan di dunia maya yang memberikan bentuk
identitas baru melalui akun pribadi. Ramai-ramai anak muda membuat akun
jejaring sosial dan memperluas pertemanan mereka dengan saling menambahkan
nama dalam daftar teman mereka di dunia maya. Para gondes yang juga bagian
dari anak muda tak luput melakukan hal yang sama.
Dimulai dengan jejaring sosial bernama Friendster, anak-anak muda
mulai membangun relasi di dunia maya dengan akun pribadinya. Menawarkan
pertemanan dan relasi lewat foto sebagai identitas profil, anak-anak muda mulai
saling menyapa. Dengan adanya foto dalam tampilan profil, memilih siapa saja
yang akan menjadi teman di dunia maya semakin seru. Tak lama setelah itu,
jejaring sosial diramaikan dengan kehadiran Facebook. Kehadiran Facebook
48
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
membuat kehidupan dunia maya semakin kompleks dengan fitur-fitur yang
ditawarkan. Pemilik akun Facebook dapat saling berbagi foto dan video; juga fitur
chat antar pemilik akun yang sudah berteman.
Persamaan antara Friendster dan Facebook adalah pada pemilihan siapa
saja yang layak dianggap sebagai teman. Pada hal ini bentuknya dua arah, kedua
belah pihak harus sama-sama setuju untuk berteman di dunia maya. Keinginan
untuk membangun relasi dan menambah pertemanan membuat semakin
maraknya jejaring sosial ini merebak. Ditambah lagi dengan adanya jaringanjaringan pertemanan (dalam Facebook dikenal kolom “people you may know”)
yang semakin memperluas bertemunya dua pribadi yang sebelumnya tidak pernah
bertemu. Proses penambahan teman ini kemudian semakin menemui titik “temandari-temannya-teman-temanku” atau dengan kata lain sampai pada jaringan
yang sangat jauh sehingga kemungkinan untuk benar-benar bertemu di dunia
nyata sangat minim. Pada titik ini, dengan embel-embel menambah teman, pihak
yang dimintai konfirmasi untuk mau diajak berteman biasanya masih menerima
permintaan penambahan teman walaupun entah siapa itu yang meminta.
Ketidaktahuan pada siapa-siapa saja yang sudah ada dalam daftar pertemanan
ini tidaklah dirasa begitu penting, yang terpenting adalah seberapa banyak teman
baru yang bisa didapat dari jejaring sosial.
Dunia (Seperti) Baru
Merebaknya jejaring sosial secara masif ini menandai lahirnya dunia
baru. Dunia maya dengan ketidaknyataannya menggeser dunia yang nyata.
Obrolan-obrolan saat anak manusia berkumpul dipenuhi topik-topik mengenai
jejaring sosial. Manusia dan manusia bukan lagi bertemu di ruang publik yang
dahulu menjadi tempat bagi semua orang, melainkan di dunia maya, lewat akunakun yang sudah tertera info dan fotonya. Wadah pertemuan bukan lagi di jalanan,
taman, alun-alun, dan tempat-tempat bebas lainnya namun menjadi lebih sempit
lagi: layar monitor. Obrolan-obrolan yang dulu dilakukan secara lisan juga berubah
menjadi barisan kata-kata dengan tulisan (Mulyana dan Rakhmat eds., 2003).
Remaja berkumpul lebih banyak diam memandangi layar telepon selulernya
ketimbang melakukan obrolan ringan, alasannya sama: mengakses dunia maya.
Selanjutnya, proses menambah teman di dunia maya tentu saja tidak
terjadi begitu saja. Ada unsur memilih siapa yang akan menjadi teman atau tidak.
Dapat dilihat tanpa riset yang mendalam di jejaring sosial, perempuan dengan
paras yang dianggap ayu (cantik) oleh orang banyak akan lebih banyak memiliki
teman di dunia maya daripada perempuan yang dianggap buruk wajahnya.
Foto yang dipajang sebagai gambar profil merupakan syarat yang menentukan
49
Gregorius Septian Christianto - Jejaring Sosial: Lahan Reproduksi Kekerasan terhadap Perempuan
bagaimana seseorang akan menjadi “terkenal” di dunia maya.
Sejalan dengan semakin bertambahnya teman di dunia maya semakin
banyak pula orang-orang tak dikenal yang “merasa” mengenali satu sama lain.
Taruh saja contoh akun Facebook milik Denis2, lebih dari separuh temannya di
dunia maya adalah orang-orang yang belum pernah bertemu. Sebagian besar
isi dari daftar pertemanannya di jejaring sosial adalah orang-orang dari lingkup
sepakbola, yang tidak benar-benar berinteraksi di dunia nyata dengannya. Denis
sendiri memang seorang penonton sepakbola yang kerap muncul di stadion,
namun ia mengaku bahwa sebagian orang yang menulis di beranda akun
profilnya di jejaring sosial tidak ia ketahui bagaimana bentuk aslinya di dunia
nyata. Bentuk-bentuk sapaan yang ditulis di jejaring sosial dirasa Denis kerap
mengganggu karena banyaknya notifikasi yang masuk ke email-nya, sedangkan
bentuk sapaannya sangatlah tidak penting dan cenderung mengganggu karena
berisi gombalan-gombalan.
Kasus lain terjadi pada Dita. Ia dulunya menerima permintaan pertemanan
dari siapapun. Pada awal menggunakan Friendster dan Facebook, ia belum merasa
terganggu sampai akhir-akhir ini sudah terlalu banyak orang tidak dikenal yang
ada di daftar pertemanannya. Seringkali ketika online, banyak chat (yang menjadi
fitur andalan Facebook) masuk dari orang-orang tidak dikenal yang mengajak
berkenalan. Tidak hanya sekali, chat yang masuk bahkan bisa berulang kali dari
orang yang sama setiap hari. Bahkan pernah terjadi ada akun yang tidak diketahui
siapa pemilik aslinya yang menyindirnya lewat chat.
Kasus chat yang mengganggu tidak hanya dialami Dita, ada lagi contoh
kasus yang dialami oleh Stefi. Stefi juga seringkali diajak mengobrol lewat chat di
jejaring sosial sampai harus menonaktifkan fitur chat di akun Facebook miliknya
karena merasa terganggu dengan ajakan yang datang tiap kali ia online. Bukan
hanya itu saja, Stefi kerap pula dikirimi direct message dengan isi yang juga mirip
dengan ajakan chat dari orang tak dikenal, bahkan sampai pada ajakan untuk
melakukan hubungan seksual dari akun yang di luar daftar pertemanan sekalipun.
Ajakan-ajakan ini dirasa sangat mengganggu karena baik Dita maupun
Stefi akhirnya harus menonaktifkan fitur chat mereka, padahal mereka juga ingin
berhubungan dengan orang-orang yang benar-benar mereka kenal, yang terpisah
jarak sehingga tidak memungkinkan bertemu secara langsung. Belum lagi dengan
keharusan untuk memutus pertemanan di dunia maya satu persatu dengan orang
yang dianggap mengganggu ketika mereka sedang online. Selain menyita waktu,
terlalu banyak yang harus dihilangkan dari daftar mereka.
2 Nama samaran, bukan nama sebenarnya. Selanjutnya semua contoh memakai nama samaran.
50
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
Reproduksi Kekerasan
Bentuk-bentuk ajakan untuk chat yang menggoda dan juga mengganggu
bukan hal yang luar biasa terjadi. Sudah banyak kasus terjadi seperti yang saya
paparkan di bagian sebelumnya. Tidak jauh berbeda dengan bentuk godaan
berupa siulan dan kata-kata serta cubitan dan jawilan oleh para gondes di jalanan.
Kekerasan-kekerasan terhadap perempuan terjadi pula di jejaring sosial sebagai
ruang publik dunia maya. Bentuk-bentuk kekerasan yang kerap terjadi ini
merupakan sebuah kebiasaan yang dahulu kerap dilakukan di jalanan.
Praktik-praktik kekerasan verbal di dunia maya terhadap perempuan,
baik seksual maupun non-seksual, bagi saya merupakan bentuk kebiasaan
yang direproduksi. Kekerasan verbal terhadap perempuan masih sama, hanya
bentuknya saja yang berbeda. Kata-kata yang dahulu diucapkan, sekarang berubah
menjadi tulisan. Esensinya dari keduanya masih sama, ucapan dan tulisan adalah
membentuk kata-kata (Ibid.). Rayuan dan godaan yang tidak menyenangkan di
jejaring sosial, lewat cara apapun (chat, direct message, tulisan di beranda profil),
masih sama mengganggunya dengan godaan dan siulan para gondes di jalanan.
Para pelaku kekerasan ini memiliki moral budayanya sendiri yang
mereka anggap benar dan dilakukan terus-menerus di ruang publik (Harker
et. al., 1990). Kebiasaan-kebiasaan ini tidak terbatasi dengan dikotomi maya
dan nyata. Perbedaannya hanya pada pertemuan yang tidak tatap muka. Jika di
jalanan gondes-gondes harus mendekati dulu perempuan sebelum menggodanya,
di jejaring sosial para penggoda harus mengajak si perempuan untuk sama-sama
masuk dalam daftar pertemanan. Godaan-godaan dan bentuk kekerasan terhadap
perempuan di dunia nyata berupa aksi nyata dan dapat dilihat secara langsung.
Sedangkan di dunia maya, kekerasan verbal terhadap perempuan dapat dilakukan
secara langsung maupun tidak.
Pada kasus kekerasan saat chat di Facebook dengan akun milik Dita,
kekerasan berlangsung secara live, berbeda dengan kasus tulisan di beranda akun
profil milik Denis dan ajakan melakukan hubungan seksual di direct message pada
akun milik Stefi yang dapat dilakukan kapan saja dan akan secepatnya diterima
oleh korban (si penerima godaan dan rayuan, serta tindakan tidak menyenangkan
yang mengganggu lainnya) ketika mereka membuka akun jejaring sosial mereka.
Kekerasan-kekerasan ini menjadi praktik yang berulang-ulang karena
adanya kebiasaan-kebiasaan yang dibawa dari ruang publik jalanan ke ruang
publik jejaring sosial (Ibid.). Tidak ada batasan yang berarti antara nyata dan maya
saat kekerasaan verbal terhadap perempuan yang dilakukan di jalanan terjadi pula
di jejaring sosial. Dunia maya sebagai ruang publik baru menjadi lahan reproduksi
kekerasan yang masih saja merugikan perempuan, sama merugikannya dengan
51
Gregorius Septian Christianto - Jejaring Sosial: Lahan Reproduksi Kekerasan terhadap Perempuan
praktik-praktik godaan dan rayuan di jalanan.
Kesimpulan
Perempuan kerap mendapat kekerasan seksual dan nonseksual baik verbal
maupun nonverbal. Contoh nyata kekerasan terhadap perempuan adalah kebiasaan
gondes untuk mbajul, menggoda dengan kata-kata dan siulan, bahkan cubitan dan
jawilan terhadap perempuan di jalanan. Bentuk-bentuk kebiasaan gondes yang
merupakan tindak kekerasan terhadap perempuan di jalanan dilakukan secara
acak, bukan terhadap orang yang dikenalnya. Jalanan sebagai ruang publik
menjadi lahan praktik kebiasaan-kebiasaan yang merugikan perempuan.
Kebiasaan yang dilakukan secara acak juga terlihat di jejaring sosial
sebagai ruang publik baru yang hadir di masyarakat. Permintaan pertemanan di
berbagai jejaring sosial dilakukan secara acak dengan melihat foto profil akun
jejaring sosial. Hal ini mengakibatkan banyak perempuan yang tidak mengenal
secara pasti akun laki-laki yang menjadi temannya dalam jejaring sosial. Dari
daftar teman yang tidak diketahui betul siapa pemilik akunnya tersebut lalu muncul
tindakan-tindakan tidak menyenangkan berupa godaan dan rayuan, bahkan sampai
pada ajakan melakukan hubungan seksual. Kata-kata yang dulu diucapkan gondes
di jalanan untuk menggoda perempuan direproduksi lewat tulisan.
Dalam kasus kekerasan terhadap perempuan, tidak ada batasan yang nyata
antara dunia nyata dan maya. Jalanan dan jejaring sosial sebagai ruang publik
sama-sama menjadi lahan terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan
terhadap perempuan lewat kata-kata yang tertulis terjadi lewat fitur-fitur yang
ditawarkan sebagai ajang mencari teman. Kebiasaan-kebiasaan menggoda
perempuan yang dilakukan gondes di jalanan direproduksi lagi di jejaring sosial
sebagai ruang publik yang baru, yang masih saja merugikan perempuan.
Bibliografi
Buku
Harker, Richard, Mahar, C., dan Wilkes, C. 1990. (Habitus x Modal) + Ranah =
Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu.
(diterjemahkan oleh: Pipit Maizier). Yogyakarta: Jalasutra.
Mulyana, D. dan J. Rakhmat. 2003. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi
dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Wattie, Anna Marie. 2002. Kekerasan terhadap Perempuan di Ruang Publik : Fakta,
Penanganan, dan Rekomendasi. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan
Kebijakan UGM.
52
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
Foto: Muhammad Arief Al Fikri
DUNIA DAN FACEBOOK
Facebook merupakan salah satu media jejaring sosial yang sangat populer di seluruh
dunia. Jika Facebook adalah negara, maka ia merupakan negara yang mungkin jumlah
penduduknya paling banyak. Masyarakat Facebook mempunyai gaya berinteraksi dan
berkomunikasi yang beragam, seperti layaknya yang terjadi di “dunia nyata”. Di sana,
manusia bisa membagi ungkapan isi hatinya atau memberitahukan sedang melakukan
aktifitas apa dan di mana melalui fasilitas update status, bisa mengobrol dengan “teman”
mereka lewat fasilitas chatting, saling menyapa, mengucapkan selamat ulang tahun,
mengundang orang ke suatu acara, berbagi foto dan video, dan sebagainya. Bahkan ada
yang memanfaatkan Facebook sebagai sarana diskusi, meskipun para anggota yang
terlibat di dalamnya belum pernah bertemu secara tatap muka langsung.
53
Odit Budiawan - Jangan Melihat Buku dari Wajahnya
TH. II NO. 1 APRIL 2012
RANAH
HALAMAN 54-62
JANGAN MELIHAT BUKU DARI WAJAHNYA1: STUDI
TENTANG INTERAKSI DAN KOMUNIKASI DALAM
FACEBOOK
Odit Budiawan2
ABSTRAK
Tulisan ini mencoba memaparkan secara detail bagaimana proses
interaksi dan komunikasi di dalam jejaring sosial Facebook.
Bagaimana Facebook mampu menyebar dan “menjangkiti”
hampir seluruh penduduk dunia, menjadikan dunia tanpa batas.
Kajian ini terkait dengan Facebook sebagai ruang publik baru.
Kata Kunci: jejaring sosial, Facebook, interaksi, komunikasi
Pengantar
“Facebook helps you connect and share with the people in your life.”
Beranjak dari kalimat itu, dua kolom tersedia untuk memasukkan alamat
surel berserta kata kuncinya di sudut kanan atas, sign in lalu bersiaplah untuk
“terjebak” dalam duduk manis yang menghabiskan detik ke menit hingga putaran
jam terlalui untuk online. Aktifitas sosial hari ini terjadi dalam “jejaring maya”.
Setelah log in itu, halaman Home (beranda) akan langsung menghadirkan
berbagai berita, rentetan status (ataupun gambar) milik teman. Informasi tentang
siapa yang berulang-tahun hari ini, bahkan “siapa mengkomentari siapa”
juga dihadirkan di sana. Kemudian di dalam halaman Profile, di sudut sebelah
kiri atas ada foto untuk mewakili dirinya (sesuai subjek dimakud) yang asli,
kemudian terdapat pula Wall yang berisi keluhan-pernyataan aktivitas si pemilik
di Facebook. Di Wall ini, orang lain yang telah menjadi teman bisa menuliskan
testimoni maupun mengomentari status (selama pemilik menyediakannya).
Menghapus testimoni maupun komentar status update di Wall, adalah hak
sepenuhnya pemilik account, pada halaman itu pula terdapat sarana info tentang
pemilik account, Photos, Boxes, Video, dan aplikasi lain yang bisa ditambahkan
1 Plesetan pameo “jangan melihat buku dari sampulnya” (don’t judge a book by its cover). Artikel
ini dibuat tahun 2009 lalu, namun atas kepentingan penulisan RANAH maka disunting dan
dirombak kembali pada bulan Desember 2011
2 Mahasiswa Angkatan 2008 Program Studi S2 (Pascasarjana) Jurusan Antropologi Budaya,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
54
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
sendiri. Pada setiap halaman, di sudut kanan bawah adalah notification yang
memberi setiap info terbaru, sedangkan di sebelah kirinya terdapat fasilitas untuk
chatting (fasilitas untuk mengobrol langsung sesama pengguna Facebook yang
sedang online). Sebagian besar pemilik akun Facebook (yang menjadi “teman”
saya) biasanya punya nama, foto, status serta keterangan personal seperti KTP
(Kartu Tanda Penduduk). Bahkan siapa pacar, kakak, adik, paman, suami, istri
juga bisa dicantumkan dalam profil Facebook. Persoalan apakah nama palsu atau
akun buatan milik orang lain hingga bisa jadi seorang “teman” yang berinteraksi
tidak terlalu diperdulikan (selama tidak ada konfirmasi), karena “figur imajiner”lah yang sedang dipakai guna berinteraksi dalam Facebook.
Itulah Facebook, dan jika saya merefleksi diri saya sendiri aktivitas yang
saya lakukan ketika membuka Facebook adalah: saya menulis apa yang sedang
saya lakukan pada suatu hari, dan orang lain silahkan berkomentar. Saya memasang
foto-foto di sana, bukan saja untuk kenang-kenangan, namun juga untuk dipuja,
pamer. Sesekali saya juga menanyakan kabar seorang kawan dengan klik namanya
akan terbuka profilnya. Jika orang itu gemar update status, saya merasa cukup tahu
kabarnya sekarang tanpa bertanya. Fasilitas chating disediakan untuk mengobrol
dengan “teman” yang juga online. Pun jika ada orang yang mengundang saya
menjadi temannya, saya bebas untuk menerima atau menolaknya.
Itulah kiranya asumsi saya ketika membuka halaman Facebook yang
sudah saya miliki sejak 2008 lalu. Tentu saja orang lain punya pendapat lain soal
“jejaring dunia maya” itu, “dunia” di mana orang-orang “seolah-olah” menjadi
dirinya sendiri. Dunia berbagai hasrat dan kepentingan ada tercurah, mungkin
demi pergaulan, sarana komunikasi, mencari pekerjaan, hingga berkampanye3.
Inilah buah karya Mark Elliot Zuckerberg4. Di usia 25 tahun, dia
memperkenalkan “The Facebook” (namanya saat itu), pada Februari 2004
dari kamarnya di asrama Harvard University. Dengan dibantu tiga temannya;
Eduardo Saverin, Dustin Moskovitz dan Chris Hughes, mereka membuat jejaring
mahasiswa melalui internet agar dapat saling kenal. Dalam dua puluh empat jam,
3 Seperti Presiden Amerika, Barack Hussein Obama yang memanfaatkan situs ini sebagai salah
satu cara untuk meraih dukungan dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat, 2008 lalu.
4 Nama Zuckerberg sudah melejit ke seluruh dunia bak meteor. Banyak pengguna Facebook
merupakan orang-orang elit dunia. Facebook juga menjadi sarana komunikasi para karyawan
Toyota, Ernst & Young, dan perusahaan kaliber dunia lainnya. Di Facebook, Zuckerberg
bertanggung jawab untuk urusan garis kebijakan umum dan penyusunan strategi perusahaan
yang kini menjadi rebutan para pemasang iklan dan para investor. Oleh Forum Ekonomi Davos
2009, Zuckerberg termasuk dalam daftar pemimpin muda karena prestasi dan komitmennya
terhadap masyarakat serta berpotensi menyumbangkan ide untuk membentuk tatanan dunia
baru. Sedang oleh majalah TIME, Zuckerberg diberi julukan sebagai “salah satu orang yang
paling berpengaruh pada tahun 2008” dan juga mendapat penghargaan sebagai “TIME Person
of the Year 2010”.
55
Odit Budiawan - Jangan Melihat Buku dari Wajahnya
1.200 mahasiswa Harvard bergabung dan dengan segera jejaring ini menyebar ke
kampus lain. Kini, Facebook telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa,
termasuk bahasa Indonesia dan Arab5 (Kompas, 23 Juni 2009).
Sebuah artikel Kompas yang bertajuk “Dunia tersihir Facebook”,
menceritakan tentang Facebook yang sudah menjadi konsumsi dunia, beberapa
orang seperti keranjingan berbagi informasi, rasa, canda, tawa, hasrat, ekspresi,
dan impian lewat jaring sosial di dunia maya ini. Perihal beberapa orang yang
merasa kurang lengkap hidupnya jika dalam sehari tidak membuka Facebook,
sampai pada Facebook mampu memenuhi hasrat narsistik pada orang yang
menggunakannya, dijabarkan dengan baik. Apa pun itu yang dibicarakan orang
di Facebook, situs itu terbukti sukses menjadi media komunikasi baru yang
sanggup merajut relasi sosial. Proses terbentuknya jaring sosial dan persahabatan
di Facebook berlangsung cepat. Di Facebook, orang tak hanya mencari, tetapi
juga dicari. Facebook disebut sebagai cara paling modern generasi sekarang
memelihara relasi sosial, kekerabatan, dan bahkan dianggap sebagai media
komunikasi baru yang menembus batas negara juga budaya.
Bahasa, mulut bicara, gerak, ekspresi, bertemu, berjabat tanggan dianggap
bagian dari interaksi dunia nyata. Bagaimana bisa, internet seperti halnya Facebook
yang notabene adalah dunia maya (yang artifisial) bisa menjadi kenyataan dan
fakta sosial? Mengapa tatanan sosial dalam berinteraksi dan berkomunikasi bisa
terbentuk dengan adanya “jejaring media sosial” seperti Facebook? Tulisan ini
akan mencoba menelusuri persoalan ini.
Sepakat Media Sosial
Sedikit menilik pada peranan media massa yang pernah ada dalam
masyarakat kita saja sudah cukup beragam. Saya menengarai bahwa media massa
acap kali mencerminkan harapan dan keinginan “politis” yang berubah setiap
zaman terhadap alat komunikasi massa ini. Misal dahulu radio dipakai sebagai alat
perjuangan, alat revolusi, media pembangunan, hingga menjadi pers Pancasila.
Kini, fungsi media massa (tidak terkecuali internet) pada intinya sudah banyak
berubah dari yang dahulu. Fungsi pokoknya bisa saja meliputi pengamatan atau
pengawasan lingkungan (surveillance of the environment), membangun korelasi
dari berbagai bagian masyarakat guna menciptakan konsensus (mufakat),
sosialisasi atau pewarisan budaya dan fungsi hiburan. Fungsi-fungsi ini tidak
selalu dapat dijalankan sekaligus. Salah satu diantaranya mungkin mendapat
prioritas utama oleh suatu media (pada suatu ketika), sehingga mengabaikan
fungsi lainnya. Bila fungsi hiburan yang diutamakan misalnya, maka komunikasi
5 Sejak artikel ini selesai dibuat Facebook kini tersedia dalam 64 bahasa.
56
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
yang memenuhi fungsi pengamatan tidak akan mungkin dijalankan dengan efektif.
Efektivitas media dalam mengkomunikasikan suatu substansi ikut ditentukan oleh
fungsi yang diutamakan media yang bersangkutan.
Fungsi internet-Facebook yang sering diutamakan adalah fungsi yang
pertama. Bagi kebanyakan pemilik akun Facebook biasanya menggunakannya
sebagai sumber informasi serta sarana komunikasi untuk mengamati perubahan
“lingkungan” yang langsung dapat mempengaruhi kehidupan. Media ini dapat
online kapan saja (saat ini pengguna ponsel yang terdapat fasilitas internet bisa)
di mana saja, sehingga dapat memberitahukan perubahan keadaan terakhir secara
cepat. Makin tidak menentu keadaan, makin tinggi rasa ketidakpastian, makin
ramai isu, makin cepat perkembangan. Fungsi kedua, pengembangan konsensus
melalui media massa, biasanya mengemuka pada waktu timbulnya perkembangan
ke arah perubahan. Setelah mendapat informasi tentang perkembangan baru
yang dianggap penting, masyarakat membicarakannya dari berbagai segi serta
menelaah implikasinya bagi mereka. Secara formal khalayak bertukar pikiran
melalui Facebook—atau tanpa media namun dirangsang oleh media—dan
mencoba mencari kesepakatan: apa perlu reaksi bersama, (dan jika demikian)
apa yang harus dilakukan. Kesepakatan ini tidak hanya soal yang serius seperti
masalah politik, tetapi dapat juga sepele. Banyak hal, termasuk nilai sosial budaya
tentang apa yang baik dan buruk, gaya hidup baru, penyakit, cuaca, bisa jadi
disepakati melalui wacana yang beredar lewat media internet. Terkait erat dengan
konsensus adalah sosialisasi. Secara ringkas, sosialisasi adalah fungsi pendidikan
dalam arti kata yang luas. Media massa meneruskan apa yang telah disepakati,
baik yang baru maupun yang lama. Kesepakatan (perihal konsensus) lama yang
telah menjadi warisan budaya termasuk pengalaman bangsa, nilai-nilai tradisional,
adat istiadat bisa dimuat media untuk melengkapi pengetahuan generasi muda
dan mengingatkan generasi tua. Barulah disosialisasikan untuk mengukuhkan dan
mengajarkan konsensus yang baru diputuskan. Paparan di bawah ini mungkin
akan lebih memudahkan penjelasan di atas.
Mengentas Interaksi dan Komunikasi dalam Facebook
Pengguna Facebook itu manusia (yang bisa membaca), dan manusia
selalu berinteraksi dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka, dari kebutuhan
ekonomis hingga kebutuhan sosial dalam berkelompok (Malinowski 1938 dalam
Apadurai, 1996). Pemenuhan kebutuhan sosial manusia baik untuk berkelompok
maupun bergaul mencirikan manusia sebagai makluk homo socious yang
mempunyai kecenderungan untuk berinteraksi dalam wujud berkelompok dan
berkomunikasi, dengan demikian manusia juga tidak akan lepas dari sebutan
57
Odit Budiawan - Jangan Melihat Buku dari Wajahnya
homo symbolicum yang mempunyai kemampuan untuk menggunakan simbolsimbol dalam berinteraksi antara satu dengan yang lain (Turner, 1990:63).
Interaksi juga merupakan kebutuhan psikologis bagi kelompok ataupun
bagi individu yang antara lain untuk memenuhi keinginan mendapatkan rasa aman.
Schultz (dalam Verhaar, 1989:41) menjelaskan bahwa setiap orang memerlukan
kebutuhan kendali (control), afeksi (affection), dan inklusi (inclusion). Kebutuhan
kendali dimaksudkan bahwa setiap orang ingin mencari kedudukan tertentu,
menyangkut hal mengontrol dan dikontrol orang lain. Kebutuhan afeksi (rasa
kasih) mempunyai makna bahwa setiap orang memiliki hubungan antar pribadi,
menemukan seseorang yang dapat dicintai dan mencintai, sehingga terjadi
hubungan yang intens, intim. Sedangkan kebutuhan inklusi (atau ketermasukan)
dimaksudkan bahwa setiap orang ingin agar menjadi bagian atau termasuk ke
dalam golongan tertentu, sehingga mereka merasa dirinya dikatakan sebagai
orang yang mempunyai jati diri atau identitas6. Kesemuanya disediakan di
Facebook yang merupakan public sphere, istilah yang pertama kali dikemukakan
oleh Juergen Habermas.
Terminasi public sphere biasanya digunakan dalam kerangka komunikasi
politik yang positif. Public sphere digambarkan oleh Habermas sebagai sebuah
ruang inklusif di mana masyarakat secara kolektif membuat sebuah opini publik
dalam sebuah lingkungan terkait dengan kondisi sosial politik maupun ekonomi.
Kebutuhan interaksi bagi manusia merupakan hal yang pasti dialami oleh setiap
manusia. Kini, dalam dunia yang multikultur, dunia kita tengah menuju proses
untuk menjadi sebuah pemukiman global (a global village)7.
Karenanya Facebook merupakan public sphere namun inklusif,
semua orang asal “melek” komputer bisa menggunakannya. Pun tujuan orang
menggunakan Facebook juga kian berkembang. Orang mulai meliriknya sebagai
tempat untuk melemparkan sebuah wacana. Ketika wacana yang dilemparkan
ditanggapi oleh pihak lain, mereka merasa eksis di sana hingga seterusnya
berkembang tanpa sadar menjadi sebuah opini publik. Bisa jadi dalam situasi
seperti ini yang paling diuntungkan adalah dunia marketing, dari marketing barang
elektronik, tas, baju, sepatu sampai “marketing politik”. Ada sebuah peluang
yang harus dimanfaatkan dalam public sphere ini baik dalam mengarahkan opini
maupun memobilisasi dukungan8. Facebook sebagai sebuah jejaring sosial diakui
6 Konsep identitas yang saya pakai merujuk pada sesuatu yang dianggap mewakili diri sendiri,
dianggap sama, dan merupakan hasil interaksi dengan orang lain.
7 Lihat Appadurai: Teori global village dimunculkan oleh Marshal McLuhan, kata ini sering
digunakan untuk menilai sebuah media baru pada satu komunitas.
8 Pionirnya yang (mungkin) melegenda adalah Barack Obama. Grupnya yang bertajuk “One
Million Strong for Barack” mampu mengumpulkan 300.000 lebih pendukung dalam kurun
waktu kurang dari tiga minggu saja. Hal itu wajar karena 90 persen masyarakat Amerika telah
memiliki akses internet dan sebagian besar memiliki account Facebook. Di Indonesia lebih
58
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
memang cukup ampuh untuk mengikat modal sosial. Facebook banyak membantu
orang untuk berhubungan dengan kolega lamanya, berinteraksi secara langsung
dengan orang yang terpisah jarak dan hubungan-hubungan tersebut sering kali
menghasilkan sebuah keuntungan bersama.
Pranata Jejaring Dunia (Maya) dalam Facebook
Facebook, sejak kelahirannya di tahun 2004 lalu telah berhasil membuat
penggunanya jenak di depan monitor ataupun layar ponsel. Ia membuat orang
menghabiskan waktunya untuk terus-menerus mengonsumsi kehidupan orang
lain atau “menghias” profilnya sendiri dengan serangkaian argumen di wall yang
biasanya remeh-temeh. Facebook sedang membuat perubahan kultural dalam
berinteraksi. Banyak hal yang tidak bisa dilakukan dalam Facebook, seperti
pertanyaan bagaimana cara orang menghadapi komunikasi verbal misalnya,
wawancara perkerjaan, pidato, berekspresi, bersopan santun, memperhatikan cara
bicara, tentu saja tidak terjawab. Karena itu, bagi saya Facebook justru membentuk
sifat komunikasi yang loyo dan merusak keterampilan dalam berkomuikasi.
Tidak berhenti sampai di situ saja, Facebook juga mempunyai potensi
terhadap bergesernya “tatanan sosial”. Hal ini terjadi pada perubahan arti kata
“teman” misalnya. Sikap ini di kemudian hari bisa menimbulkan beberapa resiko,
karena “teman” di sini bersifat verbal, artinya hanya teman dalam sebutan. Setelah
itu “mereka adalah orang asing”. Sebuah tulisan dalam harian Kompas Minggu
(2009) pernah menyebutnya sebagai “the illusion of intimacy”. Relasi sosial di
dalam Facebook hanyalah sebuah ilusi belaka, palsu. Orang merasa dekat dan
intim di dunia maya, namun tidak saling menyapa di dunia nyata. Inilah "ilusi
akan keintiman" yang berusaha dijembatani, dan Facebook menjadi penting
dalam masyarakat yang lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas hubungan
sosial, karena tidak memungkinkan untuk mewacanakan esensi pertemanan
sesungguhnya seperti kepercayaan dan kasih.
Adapun fenomena ini malah mengakibatkan orang untuk menghindari
komunikasi secara tatap muka. Alasan klasik yang biasa dikemukakan adalah
karena lebih mudah. Sedikit cerita, beberapa waktu lalu saya mendengar dua
orang (sebut saja X dan Y) bergosip–penasaran tentang kawannya yang “putus”
dengan pacarnya. “Eh si A putus ya sama B?” tanya Y. “Lho kamu tahu dari
mana?” sambut X balas bertanya. “Kok, statusnya B sering galau-galau terus ya?
fenomenal lagi, sebuah page bernama Say No To Megawati mampu meraup hampir 100.000
pendukung hanya dalam tiga hari. Padahal di negeri ini hanya ada lima belas juta orang yang
memiliki akses internet dengan jumlah account Facebook dua juta saja. Entah berpengaruh
secara langsung atau tidak, yang jelas keesokan harinya perolehan suara Partai Demokrasi
Indonesia-Perjuangan (PDI-P) turun hingga lima persen dalam pemilu legislatif.
59
Odit Budiawan - Jangan Melihat Buku dari Wajahnya
Bentar, coba aku lihat di Facebook dulu”, kata Y sembari membuka Facebook.
Dilihatnya kolom info yang menyediakan pilihan single, in relationship with,
married, cerai, bahkan cerai mati. Pertanyaan langsung bertatap muka menjadi
sungkan untuk ditanyakan, karena (jawabnya ketika saya tanya) selain tidak mau
turut campur urusan orang lain (meski tetap bergosip) juga takut jika nanti malah
menginggatkan luka hatinya.
Terjadinya gap antara dunia nyata dengan dunia maya yang dikhawatirkan
akan mengancam kemampuan seseorang untuk berkomunikasi secara verbal
tidak sepenuhnya tepat. Bergosip yang dianggap sebagai kontrol sosial dalam
masyarakat masih saja dilakukan di dunia nyata. Bahan pembicaraan yang terjadi
di jejaring dunia maya bisa jadi fakta dari kenyataan di dunia nyata. Begitu juga
sebaliknya, segala yang ada di Facebook bisa juga menjadi bahan pembicaraan
ketika bertatap muka.
Sedangkan yang terakhir adalah memudarnya “nuansa privasi seseorang”
dalam masyarakat. Sudah barang tentu apa yang “dibagikan” dalam situs ini
mudah sekali dibaca oleh orang lain (kecuali memang benar-benar sudah diatur
dengan cermat). Kurangnya rasa tanggung jawab sosial pengguna Facebook
terkait privasi masih nyata. Mereka mungkin sangat ketat menjaga privasi masingmasing namun tanpa disadari mereka sangat mungkin melanggar privasi orang
lain. Hal ini bisa dibuktikan dengan maraknya posting yang berbau bullying dan
hal-hal yang bertujuan untuk membuat malu orang lain.
Sebuah Penutup
Facebook sebagai sebuah jejaring sosial diakui memang cukup ampuh
untuk mengikat modal sosial. Ia banyak membantu orang untuk berhubungan
dengan kolega lamanya, berinteraksi secara “langsung” dengan orang yang
terpisah jarak dan hubungan-hubungan tersebut sering kali menghasilkan sebuah
keuntungan bersama. Di balik kekuatannya ini Facebook juga menyimpan potensi
bagi terbentuknya “tatanan sosial” baru yang berbeda dengan sebelumnya.
Sebanyak apapun orang berkata jika “Facebook adalah suatu temuan besar
yang mengubah dunia dalam berkomunikasi”. Nyatanya Facebook tetaplah salah
satu cara dalam berinteraksi hingga kini. Linda M. Gallant (dalam Kompas, 2009)
berargumen bahwa Facebook melejit adalah karena, "situs internet umumnya
menyajikan informasi dan para penjelajahnya hanya menerima apa adanya.
Sekarang ini para penjelajah ingin berpartisipasi sebagai pengisi situs. Facebook
memenuhi hasrat itu".
Dunia digital mengubah interaksi manusia yang secara evolutif
membutuhkan pertemuan fisik dan psikis menjadi pertemuan virtual yang dingin.
60
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
Jika jejaring sosial seperti Facebook tidak digunakan dengan bijak, hubungan
kekerabatan antar manusia bakal kehilangan keintimannya.
Evolusi tubuh kita dirancang untuk bertemu secara fisik dan psikis. Dari
kedua hal itu, manusia diarahkan untuk masuk situasi konflik, ada perasaan senang,
gembira, bengong, marah, benci. Ragam cara itu manusia bisa bertahan hidup,
dengan kontak fisik manusia bisa mengasah kewaspadaannya, mampu mengenali
orang lain, bahkan bisa membaca emosi seseorang. Manusia yang (kecanduan)
membangun pertemanan lewat internet tanpa disertai pertemuan fisik dengan
orang tersebut akan kehilangan pijakan dengan dunia nyata. Ia masuk dalam dunia
simulasi yang seolah-olah punya banyak teman, padahal tidak. Tanpa monitor dan
internet dia akan kaku, sulit bicara dan menyampaikan bahasa. Jadi waspadalah.
Bibliografi
Buku
Askew, Kelly dan Richard R.Wilk. 2000. The Anthropology of Media. Minneapolis:
University of Minneapolis Press.
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2006. Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra.
Yogyakarta: Kepel Press.
Ajidarma, Seno Gumira. 2002. Kisah Mata. Yogyakarta: Galang Press.
Apadurai, Arjun.1996. Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization.
London: Routledge
Bakhtin, M.M. 1981. The Dialogic Imagination. Austin: University of Texas Press.
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies, Teori dan Praktik. Yogyakarta: Bentang.
Barnard, Alan. 2000. History and Theory in Anthropology. Cambridge University Press.
Barth, Fredrik. 2005. One Discipline. Four Ways: British, German, French, and
American Anthropology ED. University of Chicago Press.
Bellah, R.N. 1976. Habits of the Heart: Individualism and Commitment in American
Life. New York: Harper and Row.
Boudrillard, Jean. 2004. Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Featherstone, Mike. 1995. Consumer Culture and Postmodernism. London: Sage.
Douglas, Mary dan Baron Isherwood. 1996. The World of Goods, towards an
Anthropology of Consumtion. London and New York: Routledge.
Daiches, David. 1981. Critical Approaches to Literature. New York: Longman.
De Certeau, Michel. 1984. The Practice of Everyday Life. Berkeley: University of
California Press.
Dominick, Josep R. 1990. The Dynamics of Mass Communication, Third Edition.
61
Odit Budiawan - Jangan Melihat Buku dari Wajahnya
McGraw-Hill
Harvey, David. 1989. The Condition Of Postmodernisme. Oxford: Basil Blackwell.
Hojsgaard, Morten T. dan Margaret Wartbung (eds.). 2005. Religion and Cyberspace.
New York: Routledge.
_________. 2007. Cyber Religion on the Cutting Edge Between the Virtual and the Real.
New York: Routledge.
Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES
Laksono, Paschalis Maria. 2004. “Memotret Wajah Kita Sendiri (kata pengantar)” dalam
Roem Topatimasang (ed.), Orang-orang Kalah. Yogyakarta: Insist Press.
_________. 2007. Visualitas Gempa Yogya 27 Mei 2006. Yogyakarta: Rumah Sinema.
Miller, Daniel. 2000. The Internet: An Ethnographic Approach. New York: Berg.
Mrazek, Rudolf. 2006. Engineers Of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan
Nasionalisme di Sebuah Koloni. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Rogers, Everett M. 1994. A History of Communication Study: A Biographical Approach.
Free Press.
Strinati, Dominic. 2003. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Popular.
Yogyakarta: Bentang.
Turner, Victor. 1990. Beyond the Body Proper: Reading the Anthropology of Material
Life (Body, Commodity, Text). Duke University Press.
Verhaar. J.W.M. 1989. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: UGM Press.
Walker, John A. dan Sarah Chaplin. 1997. Visual Culture. Manchester & New York:
Manchester University Press.
Wirodono, Suwardian. 2005. Matikan TVmu: Teror Media Televisi di Indonesia.
Yogyakata: Resist Book.
Winangun, Wartaya. 1990. Masyarakat Bebas Struktur, Liminalitas dan Komunitas
Menurut Victor Turner. Yogyakarta: Pustaka Filsafat Kanisius.
Jurnal
Kleden, Ignas. 1987. “Kebudayaan Pop: Kritik dan Pengakuan” dalam Prisma No. 5
Tahun XVI Mei 1987. Hal: 3-7.
Surat kabar
Kompas. 2009. Dunia tersihir Facebook, 15 Maret.
Kompas. 2009. Kekerabatan Baru itu Facebook, 15 Maret.
Koran Tempo. 2009. Waspada dengan Jejaring dunia Maya, no. 7, 19 April.
62
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
BERITA
TANTANGAN ANTROPOLOG(I) MENGHADAPI
RUANG MAYA: SEBUAH INTISARI DISKUSI1
Dian Ajeng Pangestu, Muhammad Ichsan Rahmanto, Nur Rosyid2
Kehadiran jejaring sosial dalam dunia maya ditengarai membawa berbagai
dampak signifikan dalam relasi antar manusia atau komunitas belakangan ini.
Orang sekarang tidak perlu menghadirkan tubuhnya secara langsung untuk
bertatap muka dan berkomunikasi. Jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter
telah menyediakan fasilitas untuk tidak hadirnya tubuh dalam berelasi itu. Di sana
orang bisa berteriak, curhat, bercanda, nggombal, dan mengumpat sesukanya.
Tidak hanya itu saja, ada berbagai persoalan baru yang muncul dari perubahan
cara orang berkomunikasi.
Tulisan hasil diskusi ini hendak memberikan beberapa gambaran baru
mengenai social network (jejaring sosial) dalam kacamata antropologi. Sehingga
ke depannya para (calon) antropolog bisa mengembangkan penelitian dan
etnografi ke sana.
Jejaring Sosial sebagai Ruang Sosial Baru
Sebelum kita memahami lebih lanjut mengenai bagaimana kultur yang
terkonstruksi dari tumbuhnya jejaring sosial yang baru itu, Muhammad Zamzam
Fauzanafi menjelaskan, dunia internet termasuk rumit untuk dipahami daripada
organisasi sosial yang nyata, seperti masyarakat, komunitas, atau kelas tertentu.
Dunia internet harus dipahami ke dalam tiga hal yang membangunnya, yakni
manusia, media, dan teks. Pertama, manusia yang menggunakan internet harus
dibedakan dengan “penonton” (audience). Penonton di sini mempunyai dua arti:
penonton yang pasif sebagai pemirsa dan penonton interaktif sebagaimana yang
ada ketika pertunjukan sedang berlangsung. Kemudian ada konsep lain yang
disebut sebagai “pengguna’”(user). Pengguna ini sifatnya lebih interaktif dari
1 Diskusi bertemakan “Budaya Digital dan Netnografi” diselenggarakan pada tanggal 7 Desember
2011 pukul 15.00 WIB di Perpustakaan Jurusan Antropologi dengan menghadirkan pemantik
Muhammad Zamzam Fauzanafi, S.Ant., M.A., Staf Pengajar Jurusan Antropologi Budaya,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
2 Tim Divisi Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa (PSDM) Keluarga Mahasiswa Antropologi
(KEMANT) Periode 2011/2012, Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta. Tim ini mencatat/merekam hasil diskusi dan menuliskan kembali
dalam bentuk artikel utuh. PSDM rutin menyelenggarakan diskusi terbuka setiap bulan..
63
Tantangan Antropolog(i) Menghadapi Ruang Maya
penonton jenis kedua. Mereka mempunyai posisi yang sentral dalam membangun
jejaring sosial tersebut.
Kedua adalah “teks”. Teks ini ditulis oleh user, dibaca dan dikomentari
oleh user itu sendiri. Singkatnya, user itulah yang membangun wacana. Akan
tetapi, wacana yang dibangun di jejaring sosial satu dengan yang lain, antara
di Facebook dengan Twitter misalnya, itu berbeda. Salah satunya terlihat dari
bentuk curhatan di Facebook yang berbeda dengan Twitter. Hal ini salah satunya
dikarenakan karakter yang disediakan berbeda. Sehingga “bangunan” media
jejaring sosial ikut menentukan kecenderungan wacana yang dibangun. Antara
user, wacana (teks, audio dan/atau visual), dan media merupakan tiga elemen dari
jejaring sosial.
Jejaring Sosial dan Isu Perubahan Sosial
Ada beberapa informasi dari hasil penelitian yang pernah dilakukan
terkait dengan hadirnya jejaring sosial, seperti contohnya: internet menyebabkan
identitas ganda (multiple identity) pada user, revolusi di negara-negara Arab,
gerakan Facebookers “Koin Untuk Prita”, relawan twit untuk korban Merapi, dan
sebagainya. Inti dari penelitian-penelitian itu mengindikasikan, jejaring sosial
mendorong terjadinya perubahan sosial-budaya, ekonomi, dan politik. Asumsi ini
berawal dari gagasan bahwa sebelum lahirnya jejaring sosial, belum pernah ada
gerakan-gerakan sosial yang masif dan berpengaruh.
Fauzanafi pertama-tama menjelaskan kasus multiple identity. Beberapa
peneliti berasumsi, “semenjak ada internet dan orang mempunyai akun Facebook,
mereka lebih banyak meninggalkan dunia nyatanya. Mereka lebih suka curhat di
dunia maya. Mereka lebih suka menggunakan akun yang lain dari namanya dan
kadang tidak jelas”. Fenomena ini memang menarik untuk diteliti. Apa memang
benar orang meninggalkan dunia nyata? Apa dunia maya berbeda dengan dunia
nyata? Apa konektornya?
Dosen alumni University of Manchester ini menjelaskan, pernah ada
seorang temannya meneliti fenomena “relawan Twitter” ketika erupsi Merapi
berlangsung. Peneliti menemukan bahwa kejadian meningkatnya aktivitas erupsi
berbarengan dengan meningkatnya pemberitaan erupsi di Twitter atau “aktivitas
nge-twit”. Selain itu, orang-orang juga semakin ramai menjadi relawan. Cara
menelitinya sangat sederhana dengan menggunakan metode kuantitatif.
Peneliti tersebut menghitung frekuensi aktivitas erupsi Merapi bersamaan
dengan aktivitas orang mengabarkan berita erupsi itu melalui Twitter. Ternyata
kedua hal ini menunjukkan grafik frekuensi yang ekuivalen. Merapi meletus ini
merupakan kejadian alam dan Twitter adalah kejadian media. Seorang teoritikus
64
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
dari Israel pernah menyatakan bahwa hal ini disebut sebagai gejala media event.
Seperti halnya kasus “Koin Untuk Prita”, kasus ini sama-sama dikompori oleh
gerakan kolektif. Dalam bencana Merapi, ketika Merapi meletus, frekuensi
pemberitaan kejadian melalui Twitter meningkat, ada orang beramai-ramai
menjadi relawan. Jika dihubungkan, ada tiga ruang yang terbentuk: Merapi
meletus adalah kejadian alam, Twitter adalah media kultural, dan relawan adalah
kejadian di dunia nyata (sehari-hari). Bagaimana hubungan ketiga hal tersebut?
Relasi antara tiga ruang ini merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji lebih
lanjut dengan pendekatan antropologis.
Sebelum solidaritas “Koin Untuk Prita” tersebut terbentuk sebenarnya
sudah ada penggalangan solidaritas yang sejenis untuk korban Lapindo melalui
jejaring sosial. Ada asumsi dari sebuah penelitian yang mengatakan, “jejaring
sosial atau internet bisa memancing solidaritas”. Menurut Fauzanafi, “jika
memang demikian, mengapa hasil kasus Prita dengan kasus Lapindo berbeda?”.
Penggalangan dana untuk Prita yang sukses ini harus diakui bukan karena jejaring
sosial, tetapi ada syarat-syarat dasarnya: konteks. Kasus Prita jelas berbeda
dengan Lapindo. Prita adalah seorang pribadi yang teraniaya, ia berasal dari kelas
menengah yang kebetulan mengakses sebuah rumah sakit elit. Ini berarti ketika
kita bersimpati kepada Prita lalu meng-klik tombol dukungan, maka tidak akan
beresiko apa-apa. Sedangkan Lapindo adalah kasus yang berspektrum luas, ada
unsur kekerasan, ekonomi, dan bahkan politik. Sudah jelas ini cukup beresiko.
Sehingga dalam memahami suatu gejala sosial-budaya, harus dikembalikan
kepada konteksnya. Di sinilah antropologi mempunyai peran yang potensial.
Kesimpulan lain yang bisa kita petik dari hal di atas adalah hadirnya
jejaring sosial bukan merupakan penyebab tumbuhnya solidaritas. jejaring sosial
berperan hanya sebatas memfasilitasi berbagai solidaritas itu.
Jejaring Sosial sebagai Lapangan Baru bagi Kerja Antropolog(i)
Salah satu kunci dari penelitian antropologi untuk memahami kelompokkelompok manusia tertentu adalah merasakan langsung dan hadir di dunia mereka.
Kerja lapangan ini perlu dilakukan agar kontekstualitas suatu fenomena tidak
hilang dalam memahaminya.
Apa yang pertama-tama dilakukan antropolog dalam menghadapi
dunia maya, adalah mengenali “bangunan” jejaring sosial dan bahasa-bahasa
yang dipakai di sana. Tanpa pengetahuan akan dua elemen itu, kita belum bisa
memaksimalkan pemahaman kita mengenai konstruksi kultur baru dalam ruang
maya. Selanjutnya yang membedakan penelitian antropologi dengan disiplin ilmu
lain ialah terletak pada penggunaan kata tanya “bagaimana” dalam menyusun
65
Tantangan Antropolog(i) Menghadapi Ruang Maya
permasalahannya, bukan “mengapa”, “kapan”, atau yang lainnya.
Seorang antropolog bisa mengembangkan penelitiannya pada tiga
elemen atau hanya salah satunya saja, kemudian diwacanakan ke aspek lain,
apakah ekologi, politik, ekonomi, gender, aktivitas user di luar dunia maya,
teks atau perbincangan yang di-share-kan, dan lain sebagainya. Seorang peneliti
harus memahami sejauh mana gejala di ruang maya itu berhubungan dengan
penggunanya. Sebagai contoh, kalau seseorang hendak memahami user lewat
lingkungannya, akan tidak jauh berbeda dengan seseorang yang meneliti petani
dengan sawahnya. Selain itu relasi manusia dengan media internet dan jejaring
sosialnya bukan hanya apa yang diterima user dari media itu, tetapi bagaimana
benda atau media itu digunakan.
Di era digital ini, kalau antropologi ingin tetap diakui dalam memberikan
sumbangsih pada pengetahuan maka kerja lapangan harus tetap dijalankan. Bisa
dikatakan lapangan yang dipakai sudah berubah, tidak selalu di desa atau kota
yang batas-batasnya sudah tidak tampak lagi. Dunia maya sangat potensial untuk
digarap karena alasan-alasan di atas.
Pada akhirnya, jika ingin meneliti sesuatu, maka fokuslah pada apa yang
ingin diketahui. Jangan berpatok pada tema yang ditentukan, apakah itu netnografi
atau tema lainnya. Sekarang yang mesti dipikirkan adalah apa yang ingin peneliti
ketahui, sementara masalah istilah itu belakangan. Fokus dan pegangan awal yang
jelas yakni: “aku ingin meneliti yang berhubungan dengan internet”. Begitu[.]
66
Jurnal RANAH Th. II, No. 1, April 2012
BERITA BUKU
Digital Anthropology
Daniel Miller dan Heather Horst
Oxford: Berg Publishers, 2012, 256 halaman
Antropologi memiliki dua tugas utama: untuk memahami apa artinya
menjadi manusia, dan untuk mengkaji bagaimana kemanusiaan diwujudkan secara
berbeda dalam keragaman budaya. Tugas-tugas ini telah mendapatkan sokongan
baru dari perkembangan jagad digital yang sangat drastis. Buku ini menyajikan
beberapa kajian antropologi pada budaya digital, antara lain untuk menunjukkan
betapa produktifnya pendekatan antropologis pada bidang ini.
Buku ini mengungkapkan bagaimana etnografi dapat menyajikan asumsi
tentang dampak budaya digital dan mengungkapkan konsekuensi yang mendalam
bagi kehidupan sehari-hari. Miller dan Horst menggabungkan ketegasan penjelasan
ala buku teks dengan gaya penyampaian yang menarik, sehingga buku ini menjadi
bacaan penting bagi mahasiswa maupun praktisi antropologi, sosiologi, ilmu
komunikasi, atau disiplin ilmu sosial-budaya lainnya.
____________________________________
Virtual Lives: A Reference Handbook
James D. Ivory
Santa Barbara: ABC-CLIO, 2012, 300 halaman
Buku pengantar ini memaparkan sejarah, perkembangan, dan peran dunia
maya dengan latar belakang mendalam tentang dunia maya dan dampak sosialnya.
Beberapa kunci dari kajian dunia digital dipaparkan, seperti deskripsi fungsi dunia
maya dan diskusi masalah sosial-virtual.
Dunia maya dalam bentuknya saat ini, yakni lingkungan sosial online
adalah fenomena yang relatif baru. Isi buku ini meliputi beberapa perkembangan
teknologi virtual, yang dapat ditarik sejak pertengahan abad ke-XX. Fokus utama
adalah pada perkembangan internet dan masyarakat online sejak pertengahan
1990-an dan dampak sosial dunia maya di seluruh dunia.
67
Download