Goyangan Lembut Jemari Dukun Bayi Oyog Diyah Sri Yuhandani Karlina Suratm i Rika Subarniati Suharmiati i Goyangan Lembut Jemari Dukun Bayi, Oyog ©2014 Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Penulis Diyah Sri Yuhandani Karlina Suratm i Rika Subarniati Suharmiati Editor Suharmiati Desain Cover Agung Dwi Laksono Cetakan 1, November 2014 Buku ini diterbitkan atas kerjasama PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Jl. Indrapura 17 Surabaya Telp. 031-3528748, Fax. 031-3528749 dan LEMBAGA PENERBITAN BALITBANGKES (Anggota IKAPI) Jl. Percetakan Negara 20 Jakarta Telepon: 021-4261088; Fax: 021-4243933 e mail: [email protected] ISBN 978-602-1099-13-1 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit. ii Buku seri ini merupakan satu dari dua puluh buku hasil kegiatan Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2014 di 20 etnik. Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/1/45/2014, tanggal 3 Januari 2014, dengan susunan tim sebagai berikut: Pembina : Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari H., MMed (PH) Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, MSc Ketua Tim Teknis : dra. Suharmiati, M.Si Anggota Tim Teknis : drs. Setia Pranata, M.Si Agung Dwi Laksono, SKM., M.Kes drg. Made Asri Budisuari, M.Kes Sugeng Rahanto, MPH., MPHM dra.Rachmalina S.,MSc. PH drs. Kasno Dihardjo Aan Kurniawan, S.Ant Yunita Fitrianti, S.Ant Syarifah Nuraini, S.Sos Sri Handayani, S.Sos iii Koordinator wilayah : 1. dra. Rachmalina Soerachman, MSc. PH : Kab. Boven Digoel dan Kab. Asmat 2. dr. Tri Juni Angkasawati, MSc : Kab. Kaimana dan Kab. Teluk Wondama 3. Sugeng Rahanto, MPH., MPHM : Kab. Aceh Barat, Kab. Kep. Mentawai 4. drs. Kasno Dihardjo : Kab. Lebak, Kab. Musi Banyuasin 5. Gurendro Putro : Kab. Kapuas, Kab. Landak 6. Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) : Kab. Kolaka Utara, Kab. Boalemo 7. Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes : Kab. Jeneponto, Kab. Mamuju Utara 8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes : Kab. Sarolangun, Kab. Indragiri Hilir 9. dr. Betty Roosihermiatie, MSPH., Ph.D : Kab. Sumba Timur. Kab. Rote Ndao 10. dra. Suharmiati, M.Si : Kab. Buru, Kab. Cirebon iv KATA PENGANTAR Mengapa Riset Etnografi Kesehatan 2014 perlu dilakukan ? Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan. Dengan mempertemukan pandangan rasional dan indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan caracara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. Simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan di Indonesia. Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 20 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2014 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal. Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan-Kementerian Kesehatan v RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2014, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini. Surabaya, Nopember 2014 Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI. drg. Agus Suprapto, M.Kes vi DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR v vii xi xii BAB 1 PENDAHULUAN ................................................... 1 1.1. Latar Belakang ....................................................... 1.2. Masalah Penelitian ................................................. 1.3. Topik Penelitian ..................................................... 1.4. Pertanyaan Penelitian ............................................ 1.5. Tujuan Penelitian ................................................... 1.5.1. Tujuan Umum ..................................................... 1.5.2. Tujuan Khusus ..................................................... 1.6. Luaran .................................................................... 1.7. Manfaat Penelitian ................................................ 1.8. Metode .................................................................. 1.8.1. Kerangka Teori .................................................... 1.8.2. Kerangka Konsep ................................................ 1.9. Tempat dan Waktu Penelitian ................................ 1.10. Jenis Penelitian .................................................... 1.11. Desain Penelitian ................................................. 1.12. Populasi dan Informan Penelitian ......................... 1.13. Cara Pemilihan Informasn .................................... 1.14. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data ............... 1.14.1. Instrumen .......................................................... 1.14.2. Cara Pengumpulan Data..................................... 1.15. Analisis Data ........................................................ 1 7 8 8 9 9 9 9 9 11 11 12 13 14 14 14 15 15 15 16 17 vii BAB 2 GAMBARAN UMUM KABUPATEN CIREBON ........ 19 2.1. Gambaran Umum Wilayah ..................................... 2.1.1. Sejarah Cirebon .................................................. 2.1.2. Pusat Pemerintahan Kabupaten Cirebon ............ 2.1.3. Kecamatan Pabedilan ......................................... 2.1.4. Desa Dukuh Widara ............................................ 2.2. Kependudukan ...................................................... 2.2.1. Bahasa ................................................................ 2.2.2. Sarana dan Prasarana ......................................... 2.2.3. Ekonomi dan Mata Pencaharian ......................... 2.2.4. Perekonomian .................................................... 2.2.5. Organisasi Sosial ................................................. 2.2.6. Sistem Pemukiman ............................................. 2.2.7. Sistem Religi ....................................................... 2.2.8. Kesenian ............................................................. 2.2.9. Pengetahuan ...................................................... 19 20 27 33 34 39 39 41 43 49 50 55 57 61 68 BAB 3 GAMBARAN KESEHATAN MASYARAKAT DUKUH WIDARA ............................................................................ 77 3.1. Budaya Kesehatan Ibu dan Anak ............................ 3.1.1. Gambaran Kondisi KIA ........................................ 3.1.2. Remaja ............................................................... 3.1.3. Penantian Kehamilan .......................................... 3.1.4. Masa Kehamilan ................................................. 3.1.5. Persalinan ........................................................... 3.1.6. Nifas ................................................................... 3.1.7. Neonatus dan Bayi .............................................. 3.1.8. Anak dan Balita ................................................... 3.2. Penyakit Menular .................................................. 3.2.1. TB Paru ............................................................... viii 77 77 78 96 100 111 116 126 132 139 140 3.2.2. Kusta ................................................................... 3.3. Penyakit Tidak Menular ......................................... 3.3.1. Hipertensi ........................................................... 3.3.2. Diabetes Melitus ................................................. 3.3.3. Gangguan Jiwa .................................................... 3.4. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ............................ 3.4.1. Persalinan oleh Tenaga Kesehatan ....................... 3.4.2. Melakukan Penimbangan Bayi dan Balita ............. 3.4.3. Memberikan ASI Ekslusif ...................................... 3.4.4. Mencuci Tangan dengan Air Bersih dan Sabun ..... 3.4.5. Memakai Jamban Sehat ....................................... 3.4.6. Aktivitas Fisik Masyarakat .................................... 3.4.7. Konsumsi Buah dan Sayur .................................... 4.3.8. Merokok Dalam Rumah ....................................... 4.3.9. Penggunaan Air Bersih ......................................... 4.3.10. Memberantas Jentik Nyamuk............................. 144 152 153 154 156 161 161 164 171 176 177 179 181 183 185 187 BAB IV OYOG, GOYANGAN LEMBUT JEMARI DUKUN BAYI ............................................................................. 191 4.1. Dukun Bayi.............................................................. 4.1.1. Karakteristik Dukun Bayi ..................................... 4.1.2. Peran Dukun Bayi ................................................ 4.1.3. Prinsip Kerja Sak Iklase ........................................ 4.2. Tradisi Pijat ............................................................ 4.2.1. Jenis-jenis Pijat .................................................... 4.3. Oyog ...................................................................... 4.3.1. Definisi Oyog ....................................................... 4.3.2. Proses Oyog: Komunikasi Yang Hangat ................ 4.3.3. Gerakan Oyog ..................................................... 4.3.4. Oyog, Anjuran Dari Para Orang Tua ..................... 4.3.5. Jenis-jenis Oyog .................................................. 4.3.6. Manfaat Oyog ..................................................... 192 194 202 222 223 223 228 228 232 234 237 240 259 ix 4.3.7. Pro-kontra Oyog ................................................. 4.3.8. Gerakan Oyog dan Leopold ................................ 4.3.9. Faktor-faktor Yang Mungkin Mendorong Seseorang Untuk Dioyog ...................................................... 4.3.10. Kontradiksi Oyog ............................................... 4.3.11. Keberlangsungan Oyog ...................................... 4.3.12. Jangkauan Dukun Bayi Melakukan Oyog ............ 262 265 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ..................... 277 5.1. Kesimpulan ............................................................ 5.2. Rekomendasi.......................................................... 277 285 INDEKS .......................................................................... 287 GLOSARIUM .................................................................. DAFTAR PUSTAKA .......................................................... 292 295 x 268 270 276 276 DAFTAR TABEL Tabel 3.1. Tabel 4.1. Kegiatan Posyandu di Desa Dukuh Widara, tahun 2014 Dukun Bayi Yang Ada di Wilayah Kerja Puskesmas Kalibuntu, 2014 xi 167 193 DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1. Gambar 2.1. Gambar 2.2. Gambar 2.3. Gambar 2.4. Gambar 2.5. Gambar 2.6. Gambar 2.7. Gambar 2.8. Gambar 2.9. Gambar 2.10. Gambar 2.11. Gambar 2.12. Gambar 2.13. Gambar 2.14. Kerangka Konsep Penelitian Keraton Kesepuhan Cirebon Ornamen di Istana Kesultanan Cirebon yang bercorak Tiongkok Gebang, salah satu pelabuhan laut terbesar di Kabupaten Cirebon Peta Wilayah Cirebon Mega Mendung, motif batik khas Cirebon Peta Desa Dukuh Widara Pohon Bidara/Widara Struktur Pemerintahan Desa Dukuh Widara Jalan antar kabupaten yang membelah desa Pertanian padi sawah, salah satu mata pencaharian utama penduduk Desa Dukuh Widara Bawang merah, salah satu hasil pertanian Desa Dukuh Widara Pembuatan batu bata dengan memanfaatkan endapan lumpur sungai Cisanggarung Lembaga kursus bahasa asing untuk memfasilitasi masyarakat yang ingin keluar negeri Diagram kekerabatan masyarakat Desa Dukuh Widara xii 13 22 25 28 29 32 34 36 38 41 43 44 46 48 52 Gambar 2.15. Gambar 2.16. Gambar 2.17. Gambar 2.18. Gambar 3.1. Gambar 3.2. Gambar 3.3. Gambar 3.4. Gambar 3.5. Gambar 3.6. Gambar 3.7. Gambar 3.8. Gambar 3.9. Gambar 3.10. Gambar 3.11. Gambar 3.12. Gambar 3.13. Gambar 3.14. Pemukiman Desa Dukuh WIdara Kompleks makam Sunan Gunung Jati yang banyak dikunjungi Barongan dan pentul Rombongan Burokan yang akan melakukan pertunjukan Jamu bersalin komplit Perawatan bayi oleh dukun bayi Kegiatan Posyandu Penderita gangguan jiwa yang dipasung oleh keluarganya Tempat Kegiatan Posyandu Blok Kliwon Desa Dukuh Widara Kegiatan kelas ibu hamil di Desa Dukuh Widara Jamu tradisional yang dikonsumsi saat ibu nifas Anak yang sedang buang air besar di pekarangan pohon bambu Pembakaran sampah oleh warga di pekarangan Peralatan masak yang digunakan salah satu warga masyarakat Tempat masak menggunakan kayu di rumah salah satu warga Suami yang merokok di dalam rumah dekat istrinya yang sedang hamil Tempat mandi dan sumber air untuk mandi warga Tempat penampungan air sementara untuk minum dan masak xiii 56 58 64 66 118 129 139 161 170 172 174 178 179 182 183 184 185 186 Gambar 3.15. Gambar 3.16. Gambar 3.17. Gambar 4.1. Gambar 4.2. Gambar 4.3. Gambar 4.4. Gambar 4.5. Gambar 4.6. Gambar 4.7. Gambar 4.8. Gambar 4.9. Gambar 4.10. Tempat penampungan air sementara untuk keperluan sehari-hari Tempat mandi warga Penggunaan kelambu di dalam kamar tidur warga Perlengkapan nebus weteng Bubur lolosan Memandikan bayi oleh dukun bayi Bayi dalam geyongan yang dihias aneka bunga dan perwanten Ritual mangku Ari-ari yang disimpan di dalam kendi tanah liat, dengan bunga-bungaan, lowe ginjel dan angen-angen Ritual nyukur, sajen, dan candil Salah satu gerakan oyog Gerakan oyog yang lain Persamaan manuver Leopold dengan gerakan oyog xiv 188 188 189 203 206 210 211 213 215 218 235 236 266 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah kesehatan tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat tempat mereka berada. Faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi-konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab-akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan, dan pengetahuan tentang kesehatan, dapat membawa dampak positif maupun negatif terhadap kesehatan. Hal tersebut merupakan potensi dan kendala yang perlu digali. Semakin disadari bahwa budaya tidak bisa diabaikan dalam mempengaruhi status kesehatan masyarakat. Oleh karena itu sangat penting dilakukan Riset Khusus Budaya Kesehatan sebagai upaya peningkatan status kesehatan di masyarakat. Konsekuensi logis harus dipahami bahwa keanekaragam budaya yang ada di wilayah Indonesia memerlukan pemahaman yang cermat untuk setiap daerah dengan Etnik tertentu. Dengan demikian diharapkan adanya pemahaman budaya daerah secara spesifik, dengan menggali unsur kearifan lokal akan dapat digunakan sebagai strategi upaya kesehatan dengan tepat secara lokal spesifik. Secara objektif, setiap kelompok masyarakat tertentu mempunyai persepsi kesehatan (konsep sehat sakit) yang berbeda. Hal ini sangat ditentukan oleh kebudayaan masyarakat 1 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 yang bersangkutan. Sehingga setiap orang yang terganggu kesehatannya akan mencari jalan untuk menyembuhkan diri dari gangguan kesehatan atau penyakit yang dialaminya. Berbagai upaya tentunya akan dilakukan oleh setiap orang untuk mengatasi masalah tersebut, melalui pencarian pengobatan dengan self treatment maupun upaya mencari pengobatan ke tenaga kesehatan. Keberadaan budaya kesehatan yang menjadi ciri khas pola kehidupan, dan yang telah menjadi tradisi yang turun temurun, memiliki potensi sangat besar untuk mempengaruhi kesehatan baik dari sisi negatif maupun positif. Kebudayaan yang memiliki dampak positif sudah semestinya dilestarikan, agar tidak pudar bahkan punah oleh arus modernisasi. Namun demikian terhadap budaya yang memiliki pengaruh negatif tidak serta merta harus dihilangkan, karena hal tersebut akan sangat sulit dilakukan. Pemberian pengetahuan kepada masyarakat dan upaya mengkreasikan/memodifikasi budaya itu sendiri untuk mengurangi/menghilangkan pengaruh dari budaya/tradisi tersebut. Memahami status kesehatan masyarakat berdasarkan budaya merupakan salah satu upaya meningkatkan status kesehatan itu sendiri. Indikator penting yang menentukan derajat kesehatan masyarakat adalah kematian ibu dan bayi. Angka Kematian Ibu (AKI) yaitu sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup, dan Angka Kematian Bayi ( AKB ) yaitu sebesar 32 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2012, menunjukkan bahwa AKI dan AKB di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan untuk mencapai target Millenium Development Goal’s (MDG’s) pada tahun 2015 , yaitu 102 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB sebesar 23 per 1000 kelahiran hidup1. Morbiditas dan mortalitas pada wanita hamil 1 Sumber: Badan Pusat Statistik. 2012 2 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat dan bersalin merupakan masalah yang besar bagi negara miskin dan berkembang seperti Indonesia. Kondisi tersebut sangat memprihatinkan banyak pihak, khususnya Angka Kematian Ibu, yang meningkat sangat signifikan dibandingkan dengan survei 5 tahun sebelumnya, yang angkanya hanya berkisar 278/100.000 kelahiran hidup.2 Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia pada tahun 2011, dan merupakan penyumbang terbesar kedua kematian ibudi Indonesia setelah Provinsi Papua. Berbagai upaya Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dilakukan untuk mengatasi perbedaan yang sangat besar antara AKI dan AKB di negara maju dan di negara berkembang seperti Indonesia. Selain AKI dan AKB data tentang kondisi kesehatan di masyarakat didapatkan dari Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar). Berdasarkan data Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi hipertensi sebesar 31,7%, Balita stunting (36,8%) dan akses sanitasi (43%), sedangkan data Riskesdas 2010 menunjukkan insidens malaria (22,9‰), Balita stunting (35,7%), akses terhadap sumber air minum terlindung (45%), dan akses terhadap pembuangan tinja yang layak sebesar 55,5%. Hal ini menunjukkan bahwa masalah kesehatan tidak hanya pada status kesehatan ibu dan anak saja, namun termasuk masalah penyakit tidak menular, penyakit menular, gizi dan PHBS.3 Data Susenas 2007 menunjukkan bahwa hanya sekitar 35 persen penduduk sakit yang mencari pertolongan ke fasilitas pelayanan kesehatan.4 Dari data tersebut di atas nampak bahwa cukup banyak penduduk yang tidak memanfaatkan fasilitas kesehatan terbukti sebesar 55,4% persalinan terjadi di fasilitas 2 Sumber: Badan Pusat Statistik. 2007 3 Sumber : Kementerian Kesehatan R.I, 2010 4 Sumber: Badan Pusat Statistik. 2007 3 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 kesehatan dan sebesar 43,2% melahirkan di rumah. Dari jumlah ibu yang melahirkan di rumah 51,9 persen ditolong bidan dan sebesar 40,2% ditolong dukun bersalin. Masih tingginya pemanfaatan dukun bersalin serta keinginan masyarakat untuk melahirkan di rumah, terkait dengan faktor-faktor sosial budaya.Hasil penelitian Riset Etnografi Kesehatan (REK) tahun 2012 di 12 Etnik di Indonesia menunjukkan masalah kesehatan ibu dan anak terkait budaya kesehatan sangat memprihatinkan. Pantangan mengkonsumsi makanan yang justru mengurangi asupan pemenuhan gizi sangat mempengaruhi status gizi ibu hamil.5 Keharusan ibu hamil untuk tetap bekerja keras sampai mendekati persalinan juga sangat membahayakan baik bagi ibu maupun janinnya. Mereka beranggapan bahwa ibu yang bekerja keras saat hamil akan memudahkan dan melancarkan persalinannya. Pilihan utama untuk persalinan dilakukan dirumah dan dibantu oleh dukun karena ibu merasa aman dari gangguan roh jahat serta nyaman karena ditunggui oleh keluarga. Pola dasar kesehatan masyarakat tidak terlepas dari masalah sosial budaya. Rencana Strategi Kementerian Kesehatan tahun 2010-2014 tentang program Gizi dan KIA menyebutkan indikator tercapainya sasaran hasil tahun 2014 yaitu persentase pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih sebesar 90 persen dan kunjungan neonatal pertama (KN1) sebesar 90 persen serta persentase balita yang ditimbang berat badannya (jumlah balita ditimbang/balita seluruhnya atau D/S) sebesar 85 persen.6 Luaran yang diharapkan adalah meningkatnya kualitas pelayanan ibu dan anak serta pelayanan reproduksi. Untuk mencapai hal tersebut bukanlah hal mudah. Strategi 5 Sumber: Kementerian Kesehatan R.I, 2012 6 Sumber: Kementerian Kesehatan R.I, 2010 4 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat pembangunan kesehatan seperti yang tertuang dalam Rencana Pengembangan Jangka Panjang Bidang Kesehatan tahun 2005 – 2025 antara lain menyebutkan tentang pemberdayaan masyarakat. Peran masyarakat dalam pembangunan kesehatan semakin penting. Masalah kesehatan perlu diatasi oleh masyarakat sendiri dan pemerintah. Keberhasilan pembangunan kesehatan, penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan harus berangkat dari masalah dan potensi spesifik daerah termasuk di dalamnya sosial dan budaya setempat. Pemberdayaan masyarakat berbasis pada masyarakat artinya pembangunan kesehatan berbasis pada tata nilai perorangan, keluarga dan masyarakat sesuai dengan keragaman sosial budaya, kebutuhan permasalahan serta potensi masyarakat (modal sosial).7 Kekayaan budaya Indonesia dari berbagai Etnik bangsa yang tersebar di seluruh Indonesia telah mewarnai upaya kesehatan. Upaya kesehatan bisa berupa pelayanan konvensional maupun tradisional dan alternatif komplementer berupa kegiatan preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif. Upaya kesehatan diselenggarakan guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Dalam hal pelayanan kesehatan meliputi pula pelayanan kesehatan berbasis masyarakat, di dalamnya termasuk pengobatan dan cara-cara tradisional yang terjamin keamanan dan khasiatnya. Salah satu unsur budaya dalam masyarakat yang terkait dengan kesehatan adalah adanya tenaga tradisional yang berperan dalam bidang kesehatan. Tenaga tradisional dalam bidang kesehatan yang terlibat langsung dalam asuhan kesehatan ibu dan anak adalah dukun bayi. Tenaga tradisional tersebut, merupakan salah satu upaya pelayanan kebidanan dalam etnomedis berupa perawatan dalam pemeliharaan kesehatan 7 Sumber: Kementerian Kesehatan R.I, 2012 5 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 atau penyembuhan dari sakit yang dilakukan oleh dukun, baik pria maupun wanita, biasanya dilakukan di rumah pasien/penderita atau rumah dukun tersebut. Cara-cara mengobati penderita itu sendiri antara lain: 1) Dengan membaca mantra-mantra sebagai ungkapan memohon pertolongan kepada Tuhan YME. Selain itu, doa atau mantra ini akan menciptakan semacam gelombang suara dengan frekuensi tertentu yang mampu memberikan rangsang atau impuls pada otak sehingga memicu dikeluarkannya hormon-hormon yang sifatnya menenangkan. Kondisi demikian hampir menyerupai fungsi dari obat penenang namun tanpa efek samping. 2) Dengan mengusir setan-setan yang mengganggu. Pada umumnya kegiatan tersebut, disertai dengan menyajikan kurban-kurban ditempat itu. Upacara pengusiran setan memiliki makna sebagai pelepas dosa. Hal ini akan menimbulkan efek secara fisik dan psikologis sehingga pasien merasa terbebaskan dari beban perasaan perbuatan di masa lalu. Efek fisiknya adalah memberikan rasa nyaman dan rileks dikarenakan perasaan sudah terhapus dosa yang perah dilakukannya. 3) Melakukan massage/pijat/mengurut penderita. Hal ini dilakukan sebagai bentuk asuhan sayang pada ibu, karena diyakini oleh para ibu bahwa setiap pijatan memberikan efek relaksasi dan mampu mengurangi rasa nyeri karena berbagai ketidaknyamanan baik dalam kehamilan ataupun dalam persalinan dengan melakukan pemijatan pada daerah tertentu. 4) Pantangan makanan. Pada jenis pengobatan ini, penderita harus melakukan pantangan atau diet yang ditentukan oleh dukun dan pada umumnya berlaku untuk makanan yang berbau amis/anyir, seperti ikan atau ayam. 6 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat 5) Bertapa. Ritual ini juga sering dilakukan oleh dukun dengan tujuan untuk mendapatkan ilham. Kadang-kadang dukun juga bertapa untuk menyembuhkan penderita. 6) Pemberian obat tradisional. Obat tradisional yang dimaksud berasal dari tumbuh-tumbuhan segar baik dari daun mudanya, batang, kembang maupun akarnya. Hasil survey menunjukkan bahwa 84,2% desa/kelurahan di Jawa Barat masih memiliki dukun bayi. Di Wilayah Kabupaten Cirebon terdapat sebanyak 448 orang dukun bayi,8 dan di Desa Dukuh Widara Kecamatan Pabedilan Kabupaten Cirebon terdapat 6 dukun bayi. Data tersebut menunjukkan bahwa masih tingginyaperan dukun bayi dalam pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di masyarakat,khususnya dalam pelayanan kehamilan, pertolongan persalinan dan nifas. 1.2. Masalah Penelitian Dari pemaparan latar belakang tersebut diatas, bisa dipahami bahwa masalah kesehatan terkait erat dengan kondisi sosial budaya masyarakat. Oleh karena itu sangat diperlukan adanya kajian yang mendalam dan spesifik di setiap daerah dengan Etnik tertentu. Berbagai aspek yang terkait dengan 7 unsur budaya sangat penting dikaji. Harapannya penggalian tentang kondisi kesehatan masyarakat Desa Dukuh Widara yang meliputi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Penyakit Tidak Menular (PTM), Penyakit Menular (PM) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan menyertakan unsur-unsur budaya tersebut, akan 8 Sumber: Kementerian Kesehatan RI .Diretorat Jenderal Bina Gizi dan KIA Provinsi Jawa Barat. 2011. 7 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 membuat gambaran tersebut menjadi lebih konkrit. Pada akhirnya upaya kesehatan yang dilakukan menjadi tepat sasaran. Selain itu pada bidang KIA khususnya didapatkan informasi masih dilakukannya budaya oyog pada ibu hamil. Budaya tersebut masih berlaku secara turun temurun, namun hingga kini, belum ditemukan bukti tentang kemanfaatannya. Oleh karena itu diperlukannya riset untuk mengetahui bagaimana gambaran Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) khususnya budaya oyog dalam kehamilan, Penyakit Tidak Menular (PTM), Penyakit Menular (PM) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Desa Dukuh Widara? 1.3. Topik Penelitian Penelitian ini mengambil topik budaya kesehatan terkait masalah kesehatan yang meliputi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Penyakit Tidak Menular (PTM), Penyakit Menular (PM) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang dilaksanakan di Desa Dukuh Widara, Kecamatan Pabedilan kabupaten Cirebon. 1.4. Pertanyaan Penelitian Dari uraian di atas maka pertanyaan penelitian adalah bagaimana gambaran secara menyeluruh aspek potensi budaya masyarakat terkait masalah Kesehatan Ibu dan Anak, Penyakit Tidak Menular, Penyakit Menular dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat didi Desa Dukuh Widara, Kecamatan Pabedilan kabupaten Cirebon? 8 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat 1.5. Tujuan 1.5.1. Tujuan Umum Mendapatkan gambaran secara menyeluruh aspek potensi budaya masyarakat terkait masalah kesehatan yang meliputi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Penyakit Tidak Menular (PTM), Penyakit Menular (PM) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang dilaksanakan di Desa Dukuh Widara, Kecamatan Pabedilan Kabupaten Cirebon. 1.5.2. Tujuan Khusus 1) Mengidentifikasi secara mendalam unsur-unsur budaya yang mempengaruhi kesehatan meliputi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Penyakit Tidak Menular (PTM), Penyakit Menular (PM) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di masyarakat Desa Dukuh Widara. 2) Mengidentifikasi peran dan fungsi sosial masyarakat yang berpengaruh terhadappengambilan keputusan terkait dengan pelayanan kesehatan. 1.6. Luaran/Output 1) Satu buah buku seri Etnografi Kesehatan kabupaten Cirebon 2) Satu buah dokumentasi film Budaya Kesehatan di Kabupaten Cirebon. 3) Satu buah Draf Modul: “Oyog sebagai langkah awal Leopold.” 1.7. Manfaat Hasil riset ini akan sangat bermanfaat untuk menentukan strategi pembangunan kesehatan dengan memperhatikan 9 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 kearifan lokal di berbagai elemen antara lain untuk pengelola program kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Pemerintah Daerah/Provinsi/Kabupaten/Kota, dan Dinas Kesehatan Daerah. Sementara itu,sebagai pembekalan pengetahuan sangat bermanfaat bagi institusi pendidikan terutama Perguruan Tinggi dan Pendidikan Tenaga Kesehatan lainnya. 1) Bagi Kementerian Kesehatan RI: Menentukan strategi pembangunan kesehatan di berbagai elemen dengan unsurbudaya lokal spesifik. Bagi Dinas kesehatan dan jajarannya: 2) Memberikan masukan pada program untuk peningkatan status kesehatan, khususnyaakselerasi penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB), penanggulangan penyakit tidak menular dan penyakit menular serta peningkatan perilakuhidup bersih dan sehat dengan pendekatan sosial budaya masyarakat setempat. 3) Bagi perguruan tinggi/akademisi: Menambah pengetahuan dan informasi tentang variasi potensi budaya terkait statuskesehatan masyarakat di Indonesia. Selain itu sangat memungkinkan ditemukan hal-hal baru/inovasi sebagai hasil riset yang dapat diterapkan dalam kurikulum. 4) Bagi masyarakat umum: Diharapkan dapat meningkatkan status kesehatan masyarakat dengan pendekatan sosial budaya setempat/ kearifan lokal. 10 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat 1.8. Metode 1.8.1. Kerangka Teori Kesehatan merupakan bagian integral dari kebudayaan. Manusia mampu melakukan aktivitas kebudayaan jika dalam keadaan sehat, baik lahir maupun batin sehingga dapat dipahami bahwa kesehatan merupakan elemen penting bagi kebudayaan. Begitu pula sebaliknya, kebudayaan juga menjadi pedoman bagi masyarakat dalam memahami kesehatan. Untuk itu, memahami masalah kesehatan yang ada di masyarakat melalui kebudayaan sangat penting dilakukan, karena masalah kesehatan tidak pernah lepas dari situasi dan kondisi masyarakat dan budayanya9. Mengutip pandangan dari Heddy Shri Ahimsa-putra (2005), bahwa dalam pandangan pakar ilmuwan sosial budaya, masalah kesehatan dalam suatu masyarakat sangat erat kaitannya antara fasilitas kesehatan, sarana transportasi dan komunikasi yang ada dalam suatu masyarakat, dengan kepercayaan, jenis mata pencaharian serta lingkungan masyarakat tersebut berada. Dilihat dari perspektif ini masalah kesehatan tidak lagi dipahami dan diatasi hanya dengan memusatkan perhatian pada kesehatan tubuh tetapi memiliki makna yang kompleks, yaitu hasil dari proses interaksi antara unsur-unsur internal dengan unsur ekternal tubuh. Pada masa kehamilan, persalinan dan nifas serta bayi baru lahir, budaya juga memberikan kontribusi atau pengaruhnya, misalnya adanya pantangan-pantangan atau anjuran yang masih dilakukan pada masa-masa tersebut. Pantangan ataupun anjuran ini biasanya berkaitan dengan proses pemulihan kondisi fisik, misalnya ada makanan tertentu yang dilarang dikonsumsi misalnya telur, daging dan ikan saat ibu pada 9 Sumber: Ahimsa, Putra, Heddy Shri. 2005 11 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 masa nifas. Selain itu secara tradisional juga terdapat praktekpraktek yang dilakukan oleh dukun bayi untuk mengembalikan kondisi fisik dan kesehatan ibu. Misalnya mengurut perut yang bertujuan untuk menggembalikan rahim ke posisi semula, memasukkan ramuan-ramuan tertentu seperti daun-daunan ke dalam vagina dengan maksud membersihkan darah dan cairan yang keluar karena proses persalinan. 1.8.2. Kerangka Konsep Penelitian Teori Blum menjelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi status kesehatan seseorang antara lain perilaku, lingkungan, pelayanan kesehatan dan faktor keturunan.10 Lingkungan yang dimaksud dalam definisi tersebut adalah, lingkungan fisik, sosial, ekonomi dan budaya. Teori Koentjaraningrat menjelaskan tentang pengaruh tujuh unsur budaya terhadap kesehatan yang meliputi 1) alam, kedudukan dan tempat tinggal; 2) organisasi sosial dan sistem kekerabatan; 3) sistem teknologi; 4) sistem pengetahuan; 5) system mata pencaharian; 6) sistem religi dan 7) kesenian.11 Kerangka konsep dalam penelitian ini menggabungkan antara kedua teori tersebut. Kerangka konsep tersebut digambarkan dalam gambar sebagai berikut: 10 Sumber: Ahimsa, Putra, Heddy Shri, 2005 11 Sumber: Koentjaraningrat, 2011 12 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat 1. Keturunan 2. Pelaya nan Status Kesehatan n Lingkungan Perilaku 3. 4. 5. 6. 7. UNSUR- UNSUR BUDAYA Kondisi alam, kependudukan & tempat Organisasi sos & sistem kekerabatan Sistem pengetahuan Sistem Teknologi Sistem Mata Pencaharian Sistem religi Kesenian Gambar 1.1. Kerangka konseppenelitian modifikasi H.L. Blumdan Koentjaraningrat 1.9. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Desa Dukuh Widara Kecamatan Pabedilan. Kabupaten Cirebon yang merupakan daerah tidak bermasalah kesehatan dan tidak miskin (KaF). Pertimbangan khusus pada lokasi ini karena di Kabupaten Cirebon terdapat 448 orang dukun bayi(paraji). Para dukun bayitersebut masih berperan melakukan praktek pelayanan kehamilan dengan budaya oyog, yaitu melakukan pijatan pada daerah perut ibu hamil yang bertujuan untuk mengurangi berbagai keluhan dalam kehamilan seperti nyeri perut bagian bawah dan memperlancar persalinan. 13 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 1.10. Jenis Penelitian Secara konseptual penelitian ini adalah penelitian kualitatif etnografi. 1.11. Desain Penelitian Riset ini didesain sebagai riset khusus kesehatan nasional dengan desain eksploratif dengan metode etnografi. Pada penelitian etnografi ini, peneliti diharuskan terjun secara langsung ke lapangan untuk mencari data melalui informan yang terpilih. Desain penelitian dengan etnografi memiliki beberapa manfaat. Beberapa manfaat tersebut antara lain, yaitu 1) memberikan informasi tentang adanya teori-teori ikatan budaya, 2) menemukan teori baru sekaligus mengoreksi teori formal, 3) memahami masyarakat kecil sekaligus masyarakat kompleks, 4) memahami perilaku manusia sebagai perilaku yang bermakna sekaligus perbedaannya dengan perilaku binatang dan 5) yang terpenting adalah memahami manusia sekaligus kebutuhannya.12 1.12. Populasi dan Informan Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat di Desa Dukuh Widara. Informan adalah masyarakat yang terlibat secara budaya dan berpengaruh terhadap kesehatan baik dari sisi provider kesehatan, pengguna fasilitas kesehatan, tokoh-tokoh yang berpengaruh, dan semua orang yang dapat memberikan informasiterkait dengan topik penelitian ini. 12 Sumber: Spradley, James P. 1997 14 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat 1.13. Cara Pemilihan Informan Pemilihan informan secara purposif dengan teknik snowball sampling. Kriteria informan dalam penelitian ini adalah: 1) Remaja, keluarga, dan tetangganya. 2) Ibu yang sedang atau pernah hamil dan bersalin, suaminya, dan keluarganya. 3) Ibu yang memiliki anak bayi atau balita, suaminya, dan keluarganya. 4) Tokoh masyarakat, tokoh agama, atau tokoh adat yang mengetahui budaya setempat. 5) Pengobat tradisional, seperti dukun, paraji (dukun bayi), dan pengobatan alternatif lainnya. 6) Petugas kesehatan Puskesmas dan jaringannya. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah Informan berasal dari warga masyarakat yang merupakan warga asli dan bertempat tinggal di Desa Dukuh Widara serta bersedia menjadi informan penelitian yang dibuktikan dengan pernyataan persetujuan informan. Sedangkan kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah informan yang tidak paham atau kurang memahami unsur-unsur budaya yang diteliti. 1.14. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data 1.14.1.Instrumen Dalam metode penelitian etnografi, instrumen penelitian adalah peneliti itu sendiri. Sebagai instrumen penelitian, peneliti melakukan observasi partisipasi, yaitu peneliti tinggal dan hidup bersama masyarakat untuk mengeksplorasi dan mengamati 15 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 informasi yang ingin diketahui terkait dengan kesehatan masyarakat setempat. Instrumen pendukung sebagai pedoman untuk mencari data. Instrumen tersebut meliputi: 1. Pedoman Indepth Interview Indepth Interview dilakukan kepada key informant (informan utama), yaitu pelaku budaya itu sendiri atau informan lain yang mengetahui tentang budaya setempat. 2. Pedoman pengamatan Pedoman pengamatan dibuat sebagai pedoman peneliti dalam mengamati fenomenayang ada. 3. Buku catatan harian (logbook). Buku ini digunakan untuk mencatat setiap kejadian yang dialami peneliti setiapharinya. 4. Kamera foto, video dan perekam suara. 1.14.2. Cara Pengumpulan Data Cara pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan secara langsung (observasi partisipatoris), wawancara mendalam dan dokumentasi serta penelusuran referensi dan data sekunder. Dalam metode kualitatif, yang perlu digali adalah berbagai informasi yang bersumber dari masyarakat itu sendiri (emic). Validitas data diukur dari pemahaman masyarakat (yang dijadikan informan penelitian) atas berbagai aspek dari kehidupannya, dan keberadaan program/kebijakan kesehatan. Selain wawancara dan observasi partisipatoris, peneliti juga akan melakukan penelusuran data sekunder, referensi dan pustaka yang berkaitan dengan substansi peneltian.Wawancara mendalam, observasi partisipatif dan bila dibutuhkan kajian dokumen digunakan untuk memperoleh informasi yang lebih 16 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat mendetail dan mendalam mengenai produk, sarana dan prasarana upaya kesehatan di masyarakat. 1.15. Analisis data Terdapat empat jenis analisis data yang digunakan dalam penelitian kualitatif,yaitu analisis domain, analisis taksonomi, analisis komponensial, analisis tema kultural. 1. Analisis Domain. Analisis domain dilakukan untuk memperoleh gambaran atau pengertianyang bersifat umum dan relatif menyeluruh tentang apa yang tercakup di suatu focus atau pokok permasalahan yang tengah diteliti. 2. Analisis Taksonomi Analisis domain jelas masih belum rinci dan mendalam karena ia merupakan produk kegiatan penjelasan umum. Hasil penjajakan menyeluruh tentu saja masih bergerak di tingkat permukaan. Namun demikian hasil analisis domain tersebut dapat dijadikan sandaran bertolak untuk penelaahan yang lebih rinci dan mendalam, yang perlu difokuskan kepada masalah-masalah atau domain-domain tertentu. Analisis lebih lanjut yang lebih rinci dan mendalam disebut analisis taksonomi. Fokus penelitian ditetapkan terbatas pada domain tertentu yang sangat berguna dalam upaya mendeskripsikan atau menjelaskan fenomena atau fokus yang menjadi sasaran semua penelitian. 3. Analisis Komponensial Pada analisis taksonomi, yang ditunjukan ialah sruktur internal masing-masing domain dengan mengorganisasikan atau menghimpun elemen-elemen yang berkesamaan di suatu domain. Hal ini diperoleh melalui observasi dan 17 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 wawancara terfokus. Sedang pada analisis komponensial, yang diorganisasikan bukanlah kesamaan elemen dalam domain, melainkan kontras antar elemen dalam domain yang diperoleh melalui observasi dan wawancara terseleksi. Analisis komponen memfokuskan pada hubungan ganda antara sebuah istilah asli informan dengan simbol-simbol lain. 4. Analisis Tema Kultural Analisis tema atau discovering cultural themes, mencari ’benang merah’ yang mengintegrasikan lintas domain yang ada dengan dikaitkannya hasil penelitian dengan konsep – konsep seperti nilai-nilai, orientasi nilai, nilai budaya, simbol budaya, premis, etos, ide-ide, pandangan dunia dan orientasi kognitif. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa dalam penelitian kualitatif, analisis sudah dilakukan sejak awal mencari data sampai akhir penelitian. Jadi, sepanjang penelitian dilakukan, peneliti terus menganalisis data yang telah peroleh. Keabsahan data untuk menjamin kredibilitas data kualitatif. Kredibilitas data membuktikan data yang berhasil dikumpulkan sesuai dengan dunia nyata serta yang terjadi sebenarnya. Terdapat beberapa teknik yang disampaikan untuk mencapai kredibilitas, yaitu dengan teknik triangulasi sumber, pengecekan antar anggota peneliti, perpanjangan kehadiran peneliti, diskusi teman sejawat, pengamatan secara terus menerus, dan penelusuran referensi. 18 BAB 2 GAMBARAN UMUM KABUPATEN CIREBON 2.1. Gambaran Umum Wilayah Cirebon, namanya tercatat dalam sejarah sebagai salah satu tempat awal perkembangan Islam di negeri ini. Dimulai sejak abad 15. “Caruban”, konon itulah nama awal wilayah ini atau “tjarbon” (baca: carbon, dalam Babad Tanah Cirebon13) yang konon berarti: campuran, menandai beraneka ragam masyarakat yang menempatinya. Hal ini bisa mengacu pada percampuran antara masyarakat Jawa dan Sunda yang tinggal di Cirebon mengingat wilayah ini berada di perbatasan antara masyarakat Jawa (Jawa Tengah) dan masyarakat Sunda (Jawa Barat) atau percampuran yang lebih luas karena awal mula berdirinya Cirebon ini dimulai dari sebuah pelabuhan yang di masalalu menjadi tempat persinggahan berbagai Etnik bangsa. Belakangan, pelafalan istilah “Caruban” berubah menjadi “Cerbon” dan pada akhirnya “Cirebon” seperti yang dikenal saat ini. Sebutan “Cirebon” sendiri juga sering dianggap berasal dari kata “Ci” (Ci/ Cai yang dalam Bahasa Sunda berarti air dan sering menandai nama-nama tempat di Jawa Barat seperti: Ciamis, Cipanas, dll) dan “rebon” (sejenis udang kecil yang 13 Sumber: Tim Keraton Kasepuhan Cirebon. 2003. Dalam “Babad Cirebon, Koleksi Naskah Kuno Keraton Kasepuhan Cirebon”,. Perpustakaan Nasional RI. 19 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 banyak dijumpai di perairan laut Cirebon sebagai bahan utama pembuat terasi). Selain itu, istilah lain untuk menyebut Cirebon adalah “Grage” yang konon berasal dari sebutan masyarakat ketika masa kerajaan untuk “Negara Gede” yang kemudian pengucapannya berubah menjadi “Garage/ Grage.” 2.1.1. Sejarah Cirebon Sejarah Cirebon dimulai dari kisah Prabu Siliwangi yang beristrikan Nyai Subanglarang dari Kerajaan Pajajaran memiliki dua orang anak: Pangeran Walangsungsang dan Nyai Larang Santang.14 Ketika beranjak dewasa, Walangsungsang tertarik untuk mempelajari agama Islam yang kemudian mendapat penolakan dari ayahandanya. Ia pun kemudian meninggalkan istana, disusul adiknya, Nyai Larang Santang. Walangsungsang kemudian menikah dengan Nyai Endang Geulis, anak dari Ki Gedheng Danuwarsih. Walangsungsang kemudian melanjutkan perjalanan menyinggahi berbagai pertapaan seperti Pertapaan Ciangkup di Desa Panongan (Sedong), Petapaan Gunung Kumbang di daerah Tegal, serta Petapaan Gunung Cangak di Desa Mundu Mesigit, hingga akhirnya sampai di Gunung Amparan Jati, dimana ia bertemu dengan Syekh Datuk Kahfi yang konon berasal dari Parsi. Setelah memeluk agama Islam, Walangsungsang pun kemudian bergelar Ki Samadollah. Sementara itu, menurut Manuskrip Purwaka Caruban 15 Nagari , pada abad XIV di pantai Laut Jawa ada sebuah desa 14 Sumber: Dalam “Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon” P.S Sulendraningrat, 1984. Cerita dalam buku ini juga nyaris seperti sebuah ‘dongeng’ dan berbau mitos dengan bukti-bukti sejarah yang minim sehingga kebenaran sejarahnya masih perlu banyak pembuktian. 15 Sumber: Seperti termuat dalam website Pemerintahan Kota Cirebon: http://www.cirebonkota.go.id/ 20 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat nelayan kecil bernama Muara Jati, yang menjadi tempat singgah kapal-kapal asing. Penguasa kerajaan Galuh (Pajajaran) menunjuk Ki Gedeng Alang-Alang (Ki Danu Sela, adik dari Ki Danurwasih), sebagai pengurus pelabuhan. Ia kemudian memindahkan pemukiman di Lemah Wungkuk dan kemudian diangkat sebagai Kuwu atau pemimpin pemukiman, dan sebagai wakilnya adalah Ki Samadollah. Ki Danu Sela kemudian bergelar Ki Ageng Pengalang Alang dan Ki Samadollah begelar Ki Cakrabumi. Ki Samadollah dan adiknya, Nyai Larang Santang kemudian pergi ke Tanah Suci atas perintah gurunya.16 Sementara istri Ki Samadollah tidak bisa ikut karena sedang hamil. Di sanalah, Nyai Larang Santang kemudian dinikahi oleh Maulana Sultan Muhammad yang bergelar Syarif Abdullah yang konon merupakan keturunan Bani Hasyim. Nyi Larang Santang kemudian berganti nama menjadi Syarifah Mudaim dan dari pernikahan ini melahirkan putra, Syarif Hidayatullah yang kelak bergelar Sunan Gunung Jati. Konon Syarif Hidayatullah ini masih menduduki generasi ke-22 dari Nabi Muhammad SAW. Sepulang dari Tanah Suci, Ki Samadollah kemudian diberi nama Haji Abdullah Iman. Ketika kemudian Ki Ageng Alang-alang wafat, ia menggantikannya menjadi kuwu dan bergelar Pangeran Cakrabuana. Pada masa kepemimpinan Cakrabuana inilah Kebon Pesisir ramai dikunjungi banyak orang dari berbagai tempat. Cakrabuana pun kemudian membangun Keraton Pangkungwati, nama yang diambil dari nama putri sulungnya hasil pernikahan dengan Nyai Endang Geulis. Cakrabuana kemudian mendapat gelar Tumenggung (Naradipa) dari Prabu Siliwangi dan bergelar Sri Mangana. 16 Sumber: Dalam Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon. P.S. Sulendraningrat. 1984 21 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Syarif Hidayatullah yang kemudian bergelar Syekh Jati mulai mengajarkan Islam. Ia menyinggahi beberapa tempat, salah satu di antaranya Banten. Ia kemudian menikahi adik dari Bupati Kawunganten. Dari perkawinan dengan Nyai Kawunganten inilah kemudian lahir Pangeran Saba Kingkin, yang kelak bergelar Maulana Hasanuddin dan mendirikan Kerajaan Banten. Gambar 2.1. Keraton Kasepuhan, Cirebon Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 Pada tahun 1479 M, Pangeran Cakrabuana menyerahkan Istana Pakungwati kepada Syarif Hidayatullah, keponakan sekaligus menantunya. Ia kemudian dinobatkan sebagai kepala Nagari dan digelari Susuhunan Jati atau Sunan Jati atau Sunan Caruban atau Cerbon. Sejak tahun 1479 itulah, Caruban Larang dari sebuah nagari mulai dikembangkan sebagai Pusat Kesultanan dan namanya diganti menjadi Cerbon. Pangkungwati berada di bawah kekuasaan Pajajaran, yang ditandai dengan pengiriman upeti. Namun pada masa kepemimpinan Syekh Syarif Hidayatullah, yakni pada tahun 1482 22 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Masehi, ia membuat maklumat kepada Raja Pajajaran untuk tidak mengirim upeti lagi dan menyatakan kemerdekaan Cirebon.17 Dalam hal ini, Cirebon mendapat dukungan Kerajaan Demak18. Hal itu konon dipicu karena Kerajaan Pajajaran menolak ajakan masuk Islam dari Syarif Hidayatullah yang sudah berulangkali mengirimkan permohonan. Peristiwa tersebut tercatat dalam sejarah, terjadi pada tanggal Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala, bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijiriah atau 2 April 1482 Masehi yang sekarang kemudian diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon. 19 Tindakan Cirebon ini kemudian menimbulkan kekhawatiran Pajajaran, bahwa negeri-negeri lain akan terpengaruh juga. Oleh karena itu selanjutnya Pajajaran mengirimkan pasukan untuk menangkap Syarif Hidayatullah tapi mengalami kegagalan. Dengan kemenangan Cirebon, kemudian banyak pengikut Pajajaran yang menyatakan diri masuk Islam dibawah pengaruh Kesultanan Cirebon . Dalam sejarah, tercatat bahwa Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati memerintah Pangkungwati dari tahun 14791568. Pada masa pemerintahannya ini, Kesultanan Cirebon berkembang dengan pesat. Demikian juga dengan penyebaran agama Islam. Ia pun bergelar Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah. Pedagang-pedagang asing ramai menyinggahi Pelabuhan Muara Jati, terutama pedagang Tiongkok 17 Sumber: Negara Gede (Grage) bernama Cirebon. Referensi : Negara Kerthabumi (karya P.Wangsakerta 1702 M) http://paguyubanwongcirebon. wordpress.com/ (akses: 22 Agustus 2014) 18 “Sekitar Komplek Makam Sunan Gunung Jati dan Sekilas Riwayatnya. Hasan Basyari. Zul Fana: Cirebon, 1989. 19 Sumber: “Sejarah Kabupaten Cirebon”, http://sraksruk.blogspot.com/ 2012/11/ sejara-kabcirebonjawa-Barat.html (akses tanggal 22 Agustus2014) 23 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 yang memperdagangkan keramik atau porselen. Untuk memperkuat hubungan antara dua negeri, Syarif Hidayatullah kemudian menikahi Putri Tiongkok yang bernama Ong Tien yang kemudian berganti nama Nyi Ratu Rara Sumanding.20 Bisa dipahami kemudian jika pengaruh Tiongkok ini demikian kental dalam bangunan-bangunan istana yang dihiasi berbagai ornamen khas Tiongkok. Dalam upaya pengembangan kekuasaan Kesultanan Cirebon, Syarif Hidayatullah dibantu oleh Fatahillah/ Falatehan21, seorang Panglima Perang dari Demak yang diutus Kesultanan Demak untuk memimpin pasukan yang akan diperbantukan kepada Kesultanan Cirebon untuk merebut Pelabuhan Sunda Kelapa dari Portugis. Fatahillah kemudian menikah dengan salah seorang putri Syarif Hidayatullah, Ratu Wulung Ayu yang kemudian melahirkan putra, Pangeran Muhammad Arifin. 20 Sumber: Sekitar Komplek Makam Sunan Gunung Jati dan Sekilas Riwayatnya. Hasan Basyari. Zul Fana: Cirebon, 1989. 21 Sumber: Ada beberapa versi tentang identitas Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dalam buku yang ditulis oleh Hasan Basyari, “Sekitar Komplek Makam Sunan Gunung Jati dan Sekilas Riwayatnya” dinyatakan secara tegas bahwa Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah bukanlah Fatahillah. Sementara dalam beberapa buku sejarah, seperti yang ditulis oleh Prof. Dr. Slamet Muljana (2009), disebutkan bahwa kemungkinan Fatahillah, Syarif Hidayatullah dan Sunan Gunung Jati adalah orang yang sama. Lihat juga “Kerajaan Islam Nusantara abad XVI & XVII”, Drs. M. Harun Yahya, PT. Kurnia Kalam Sejahtera, Yogyakarta, 1995. 24 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Gambar 2.2. Ornamen di Istana Kesultanan Cirebon yang bercorak Tiongkok Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 Ketika Sunan Gunung Jati memutuskan untuk memfokuskan diri pada kegiatan dakwah, ada beberapa versi yang menyebut tentang penerus kekuasaan. Satu versi menyebutkan bahwa Kesultanan Cirebon diserahkan kepada Fatahillah. Namun Fatahillah hanya memerintah selama dua tahun karena pada tahun 1570 ia meninggal dunia dan kemudian dimakamkan bersebelahan dengan makam Sunan Gunung Jati. Penerus selanjutnya adalah Pangeran Pasarean. Versi lain menyebutkan bahwa Fatahillah tidak pernah menjadi pemimpin Cirebon (namanya memang tidak tertera dalam silsilah di Keraton Kasepuhan). Oleh karena itu, ketika Sunan Gunung Jati berhenti menjadi Sultan, pemerintahan kemudian diserahkan kepada putranya, Pangeran Pasarean dengan Fatahillah sebagai penasehatnya. Namun tak lama memerintah, ia kemudian wafat. Sepeninggal Pangeran Pasarean tidak ada penerus yang bisa dicalonkan sebagai Sultan. Kemudian diangkatlah Aria Kamuning, anak angkat Syarif Hidayatullah yang juga menantu dari Fatahillah. Ia kemudian bergelar Dipati Carbon 1. Pengangkatan Aria Kamuning ini menimbulkan kontroversi 25 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 karena ia bukanlah keturunan langsung dari Sultan Carbon. Setelah memerintah selama sekitar 12 tahun, pada tahun 1565, pemerintahan kemudian diserahkan kepada putranya yang masih muda, Pangeran Mas yang kemudian bergelar Panembahan Ratu I. Pada masa kepemimpinan Panembahan Ratu, konon Cirebon mengalami kemunduran, sementara Kerajaan Banten semakin berkembang. Setelah Panembahan Ratu wafat, ia kemudian digantikan oleh cucunya, Pangeran Karim atau Pangeran Rasmi yang kemudian bergelar Panembahan Girilaya yang kemudian bergelar Panembahan Ratu II, karena ayahnya, Pangeran Sedaing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah sudah meninggal. Dari pernikahannya dengan Putri Tegalsari, Panembahan Ratu II dikarunia 3 orang putra: Pangeran Martawijaya, Pangeran Kertawijaya dan Pangeran 22 Wangsakerta. Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu II ini, Kesultanan Cirebon terjepit di antara dua Kesultanan Besar: Kerajaan Banten dan Mataram. Sepeninggal Panembahan Ratu II, Kesultanan Cirebon mengalami kekosongan karena Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya di Mataram. Di bawah perlindungan Banten, Kesultanan Cirebon kemudian terbagi tiga: Kesultanan Kasepuhan, dipimpin oleh Pangeran Martawijaya, atau dikenal dengan Sultan Sepuh I. Kesultanan Kanoman, yang dikepalai oleh Pangeran Kertawijaya dikenal dengan Sultan Anom I dan ketiga Kasultanan Katjarbonan yang dikepalai Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon I. Pembagian wilayah kesultanan ini juga dimaksudkan sebagai upaya Kesultanan Banten untuk memecah kekuatan Cirebon agar tidak beraliansi kepada Mataram. 22 Sumber: Nina H. Lubis (ed.), Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, 2000. 26 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Perpecahan di Kesultanan Cirebon pun kemudian tak bisa terhindarkan lagi. Kondisi ini diperparah dengan masuknya Kolonial Belanda yang selanjutnya banyak mencampuri dalam hal mengatur Kesultanan Cirebon dalam upaya mengendalikan daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa.23 Cirebon kemudian berkembang menjadi Karesidenan Chirebon yang meliputi Kotamadya dan empat Kabupaten: Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan. Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Cirebon pun kemudian menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah Cirebon pun kemudian tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing-masing dipimpin oleh walikota dan bupati. 2.1.2. Pusat Pemerintahan Kabupaten Cirebon Pada awalnyaPusat pemerintahan Kabupaten Cirebon juga berada di Kotamadya Cirebon. Tetapi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1979 Tanggal 2 Oktober 1979, ibukota Kabupaten Dati II Cirebon dipindahkan ke Kota Sumber, Kecamatan Sumber, yang berada di sebelah Selatan Kota Cirebon. Secara administratif, Kabupaten Cirebon merupakan salah satu kabupaten yang masuk dalam wilayah Provinsi Jawa Barat. Letaknya strategis, karena berada di jalur pantura, jalan 23 Sumber: Website Pemerintah Kota Cirebon: www.cirebonkota.go.id/ 27 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 antar provinsi yang menghubungkan kota-kota di Pulau Jawa. Secara geografis, kabupaten ini terletak pada 108°40’ - 108°48’ Bujur Timur dan 6°30’ - 7°00’ Lintang Selatan.24 Luas wilayah daerah administratifnya adalah 990, 36 Km², dengan jarak terjauh Barat-Timur: 54 km dan Utara-Selatan: 39 km, sedangkan ketinggian dari permukaan laut adalah 0-130 mdpl. Topografi wilayahnya beraneka ragam. Laut, dataran rendah hingga pegunungan. Gunung tertinggi adalah Gunung Ceremai, dengan ketinggian 3076 m, merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat, dan tertinggi kedua di Pulau Jawa setelah Gunung Semeru. Gambar 2.3. Gebang, salah satu pelabuhan laut (nelayan) terbesar di Kabupaten Cirebon Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 Adapun batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut: - Sebelah Utara: Kabupaten Indramayu (Jawa Barat) - Sebelah Barat: Kabupaten Majalengka (Jawa Barat) - Sebelah Selatan : Kabupaten Kuningan (Jawa Barat) 24 Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Cirebon, 2013 28 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat - Sebelah Timur: Kabupaten Brebes (Jawa Tengah) Gambar 2.4. Peta Wilayah Cirebon Sumber: httP://wisatacrb.wordpress.com/ Kabupaten Cirebon terdiri atas 40 kecamatan, terbagi atas 412 desa dan 12 kelurahan. Tiga kecamatan yang baru terbentuk pada tahun 2007 adalah Kecamatan Jamblang (Pemekaran Kecamatan Klangenan sebelah Timur), Kecamatan Suranenggala (Pemekaran Kecamatan Kapetakan sebelah Selatan), dan Kecamatan Greged (Pemekaran Kecamatan Beber sebelah Timur). Berikut adalah nama-nama kecamatan yang ada di Kabupaten Cirebon: 1. Waled 2. Pasaleman 3. Ciledug 4. Pabuaran 5. Losari, 29 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 30 Pabedilan Babakan Gebang, Karangsembung Karangwareng, Lemahabang, Susukan Lebak Sedong Astanajapura Pangenan Mundu Beber Greged Talun Sumber Dukupuntang Palimanan Plumbon Depok Weru Plered Tengah Tani Kedawung Gunungjati Kapetakan Waled Pasaleman Ciledug Pabuaran Losari, Pabedilan Babakan Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. Gebang, Karangsembung Karangwareng, Lemahabang, Susukan Lebak Sedong Astanajapura Pangenan Mundu Beber Greged Talun Sumber Dukupuntang Palimanan Plumbon Depok Weru Plered Tengah Tani Kedawung Gunungjati Kapetakan Menurut data statistik tahun 2013, jumlah penduduk di kabupaten ini sebesar 2.281.204 jiwa tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Cirebon dengan penduduk terbesar berada di Kecamatan Sumber (86.415 jiwa). Kepadatan penduduk di masing-masing kecamatan memang tidak merata karena penduduk cenderung lebih banyak di daerah-daerah perkotaan, yang menyediakan lapangan kerja relatif lebih banyak. Mata pencaharian utama penduduk adalah pertanian, sektor tersebut menyumbang 30% dari Pendapatan Domestik 31 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Regional Bruto (PDRB) dengan produk utama adalah padi, selanjutnya perikanan dan peternakan. Salah satu produk perikanan yang terkenal dari Cirebon adalah petis dan terasi. Terasi Cirebon konon sudah terkenal sejak jaman dulu. Terasi terbuat dari rebon, sejenis udang kecil, oleh karena itu sebutan “Kota Udang” seringkali disematkan untuk menyebut Kota Cirebon. Gambar 2.5 Mega Mendung, motif batik khas Cirebon Sumber: Muha, Sejarah Batik Trusmi, http://sanggarbatikkatura.com/sejarah-batik-trusmi Cirebon juga dikenal sebagai daerah penghasil batik yang berpusat di Desa Trusmi, Plered. Istilah Trusmi sendiri konon berasal dari kata “terus bersemi”, yang menandai adanya pohon di daerah tersebut yang setiap kali ditebang akan tumbuh/ bersemi kembali.25 Pembuatan batik ini konon sudah dimulai sejak jaman Kesultanan Cirebon. Pada masa itu, salah seorang dari Desa Trusmi diminta Sultan untuk membuat duplikat batik yang ada di Keraton tanpa boleh membawa contohnya. Ternyata 25 Sumber: Sejarah Batik, (http://sanggarbatikkatura.com/) 32 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat pembatik Trusmi tersebut mampu melakukannya. Maka selanjutnya dikenal daerah Trusmi sebagai daerah pembuat batik. Adapun motif yang terkenal adalah motif batik Mega Mendung. 2.1.3. Kecamatan Pabedilan Kecamatan Pabedilan terletak di bagian Timur Kabupaten Cirebon. Ibukota kecamatan terletak di Desa Pabedilan Kidul, sekitar 43 km dari ibukota Kabupaten. Kecamatan ini terbentuk pada tahun 1994, dahulu sebagian wilayahnya masuk Kecamatan Losari, dan sebagian Kecamatan Ciledug. Bisa dipahami kemudian kalau desa-desa di kecamatan ini memiliki dua budaya, yakni Sunda (untuk desa-desa yang dulunya masuk Kecamatan Ciledug yang berbatasan dengan Kab. Kuningan) dan Jawa (untuk desadesa yang dulunya masuk Kecamatan Losari, berbatasan dengan Kabupaten Brebes). Menurut data Sensus tahun 2013, jumlah penduduknya adalah sebesar 60.667 jiwa dengan luas wilayah adalah 22. 824 ha, yang meliputi 13 desa, yaitu: 1) Dukuhwidara 2) Kalimukti 3) Kalibuntu 4) Sidaresmi 5) Babakan Losari 6) Babakan Losari Lor 7) Pabedilan Kidul 8) Pabedilan Kulon 9) Pabedilan Kaler 10) Pabedilan Wetan 11) Pasuruan 12) Silihasih 13) Tersana 33 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 2.1.4. Desa Dukuh Widara Desa Dukuh Widara merupakan salah satu desa di Kecamatan Pabedilan dan dulunya masuk dalam wilayah Kecamatan Losari. Luas wilayah desa ini adalah 203, 908 ha, 42, 147 ha diantaranya adalah pemukiman, 147, 888 ha persawahan dan sisanya berupa kebun, makam, pekarangan dan prasarana umum lainnya. 26 Gambar 2.6. Peta Desa Dukuh Widara Sumber: Profil Desa Dukuh Widara, Kecamatan Pabedilan, Pemerintah Kabupaten Cirebon. Wilayah desa dibagi ke dalam 5 RW dan 5 Dusun (1 RW: 1 Dusun). Dusun, lebih dikenal dengan sebutan “Blok”. Nama-nama Blok, terutama untuk wilayah pemukiman, umumnya mengacu kepada 5 hari pasaran dalam Bahasa Jawa, yakni Blok Pon, Blok Wage, Blok Kliwon, Blok Manis dan Blok Pahing (nama-nama yang sama dijumpai di hampir semua desa sekitar, termasuk 26 Sumber: Data Profil Desa/ Kelurahan Desa Dukuh Widara, Kec. Pabedilan, PemKab Cirebon. Badan Pembangunan Masyarakat & Pemerintahan Desa tahun 2013. 34 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat desa-desa yang penduduknya adalah Etnik Sunda seperti Sidaresmi, Babakan Losari dan sekitarnya). Batas-batas desa adalah: - Sebelah Utara : Desa Pasuruan (Kecamatan Pabedilan) Sebelah Selatan : Desa Kalimukti (Kecamatan Pabedilan) Sebelah Timur : Kali Cisanggarung (berbatasan dengan Kabupaten Brebes, Jawa Tengah) Sebelah Barat : Desa Kalibuntu (Kecamatan Pabedilan) Topografi Desa Dukuh Widara merupakan dataran rendah, dengan ketinggian 4 mdpl dan suhu harian rata-rata 29°C. 2.1.4.1. Sejarah Desa Dukuh Widara Nama Desa Dukuh Widara konon berasal dari nama sejenis tumbuhan, “pohon widara/bidara” yang dulunya banyak tumbuh di tempat itu.27 Adalah Pangeran Suryanegara dari Keraton Cirebon yang memimpin “babat alas” (pembukaan lahan) di daerah itu pada tahun 1800-an. Desa pertama yang didirikan adalah Astana Langgar (Kecamatan Losari), dua desa dari Desa Dukuh Widara sekarang. Perluasan desa ini kelak akan sampai ke tempat yang sekarang adalah Desa Kalibuntu (4 desa ke arah Selatan Astana Langgar). Setelah beberapa waktu, Syekh Muhkyidin, cucu Suryanegara, melakukan babat alas Dukuh Widara dengan dibantu Pangeran Singadiladri, Pangeran Buyut Sajem dan Pangeran Jasanulun. Lokasi yang pertama kali dibuka sekarang merupakan Blok Pon yang kemudian juga dikenal sebagai Blok Desa yang berada di pinggir Sungai Cisanggarung. Pembukaan ini 27 Sumber: Wawancara dengan Ulis/Sekretaris Desa Dukuh Widara, 19 Mei 2014 35 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 awalnya belum dimaksudkan untuk mendirikan desa, tapi lebih sebagai tempat semedi di pinggir Kali Cisanggarung. Hingga seiring waktu, semakin banyak orang yang berdatangan dan terbentuklah pemukiman. Gambar 2.7. Pohon Bidara/Widara (Ziziphus Mauritiana). Sumber: http://terapiherbaldaunbidara.wordpress.com/ Dukuh Widara terbentuk menjadi Pedukuhan pada masa kolonial Belanda, tahun 1916. Pemimpinnya adalah Wilaharta dengan juru tulis Martadisastra. Pada tahun 1918, terjadi pergantian pemimpin oleh Cakmat dengan juru tulisnya, Kindi. Setelah masa itu tak diketahui lagi catatan sejarahnya hingga pada tahun 1941, kepemimpinan Dukuh Widara oleh Bunaim yang menjadi pejabat sementara untuk kemudian digantikan oleh KH Abdul Kohar. Keturunan KH Abdul Kohar ini masih bisa hidup dan tinggal di Desa Dukuh Widara. Selanjutnya pada tahun 1942 dipimpin oleh KH Mukaral, yang merupakan pemimpin pertama yang dipilih menggunakan sistem kelompok. Tahun 1944, 36 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat pemimpinnya adalah Kuwu Sulkim, selanjutnya pada tahun 1947 dipimpin oleh Kuwu Muja. Pada tahun 1948, adalah awal digunakannya pemilihan dengan sistem biting (lidi) yang menetapkan Kuwu Salim, dilanjutkan oleh KH Mukarom (1967) dan Pejabat Moh Idris (1969), selanjutnya Haji Mukarom terpilih lagi tahun 1971. Selanjutnya pada tahun 1980 merupakan awal pemilihan dengan sitem coblos dan terpilih Haji Mudri. Pergantian pimpinan berturut-turut Sudarno (tahun 1990), PJS Sungkono (tahun 1998), dan Sofiudin pada tahun 2001, beliau menjabat selama 10 tahun (2 x 5 tahun) hingga tahun 2011. Pemilihan dengan sistem contreng dilakukan setelah kepemimpinan Sofiudin berakhir dan menobatkan Slamet sebagai Kuwu Desa Dukuh Widara hingga sekarang (masa jabatan 6 tahun). Pohon Widara, yang dulunya banyak tumbuh di desa itu saat ini nyaris tak bisa dijumpai lagi. Pohon Widara yang cenderung besar dengan dahan dan daun yang rimbun (mirip pohon beringin), acapkali dianggap masyarakat sebagai ‘pohon yang berpenunggu’ sehingga masyarakat kemudian lebih memilih menebangnya daripada membiarkannya tumbuh. 2.1.4.2. Pemerintahan Desa Pemerintahan desa di Desa Dukuh Widara, sebagaimana umumnya sistem adminsitrasi yang sudah diseragamkan oleh pemerintah, yakni dipimpin oleh seorang Kepala Desa dan dipilih melalui sistem pemungutan suara. Sedangkan pejabat-pejabat di bawahnya dipilih oleh Kepala Desa. Dalam Undang-Undang RI No. 22 tahun 1999, pemerintah desa diberi kewenangan untuk mengatur pemerintahannya sendiri, termasuk implementasi budaya lokal. Salah satunya diwujudkan dalam peristilahan, 37 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 dimana istilah-istilah dalam jabatan menggunakan istilah lokal. Yakni: pemerintahan desa - Kuwu : Kepala Desa - Ulis : Sekretaris Desa - Lebe :Kepala Urusan (Kaur) Kesra - Polisi Desa :Kaur Pemerintahan - Raksa Bumi :Kaur Ekbang (Ekonomi Pembangunan) - Cap Gawe :Kaur Umum - Lugu : Kepala Dusun Berikut struktur organisasi pemerintahan di Desa Dukuh Widara: Gambar 2.8. Struktur Pemerintahan Desa Dukuh Widara Sumber: Profil Desa Dukuh Widara, Kecamatan Pabedilan, Pemerintah Kabupaten Cirebon. 38 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat 2.2. Kependudukan 2.2.1. Bahasa Jumlah penduduk pada akhir tahun 2013 adalah 6443 jiwa (3273 laki-laki dan 3170 perempuan) yang terbagi ke dalam 1825 KK.28 Kepadatan penduduk adalah 316/km. Mayoritas penduduk adalah ber-Etnik Jawa (±98 %) dan sisanya adalah berEtnik Sunda, dan satu dua orang pendatang. Etnik Jawa di Desa Dukuh Widara adalah “Jawa Cirebon” terutama dalam hal bahasa, memiliki perbedaan dengan mayoritas Etnik Jawa di Jawa Tengah, Yogyakarta ataupun Jawa Timur. Bahasa Jawa Cirebon sekilas mirip dengan dialek “ngapak” Banyumasan atau Tegal, tapi juga tidak bisa dibilang sama karena memilki beberapa kosakata yang berbeda. Hal ini disebabkan interaksi dengan berbagai Etnik bangsa sejak berabad silam, terutama Cina, Arab, Belanda dan juga Sunda. Beberapa kosakata adalah bentuk lama, yang masih digunakan dalam pewayangan seperti “isun (ingsun)” , “manjing”, dan “sira”. Adanya perbedaan bahasa ini, menyebabkan tercetusnya wacana bahwa orang Jawa Cirebon bisa dikategorikan sebagai Etnik tersendiri, yakni “Etnik Cirebon” atau “Etnik Bangsa Cirebon” yang tersebar di sekitar Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon dan juga wilayah-wilayah sekitarnya seperti Kabupaten Indramayu, bagian Utara Kabupaten Majalengka , bagian Utara Kabupaten Kuningan, bagian Utara Kabupaten Subang, serta sebagian Pesisir Utara Kabupaten Karawang, lalu di sekitar Kecamatan Losari di Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah.29 Meski begitu, hal ini masih perlu pembuktian lebih lanjut, apakah 28 Sumber: Data Profil Desa/ Keluharahan Desa Dukuh Widara, Kec. Pabedilan, Pemkab. Cirebon, Badan Pemb. Masy. & Pemerintahan Desa tahun 2013 29 Sumber: “Orang Cirebon”, http://wikipedia.org/ 39 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Bahasa Jawa Cirebon adalah bahasa yang mandiri atau sebenarnya hanya dialek bahasa saja. Karena berdasarkan penelitian perbedaan kosakata Bahasa Jawa Cirebon dengan bahasa Jawa di Jawa Tengah/Yogyakarta hanya mencapai 75% dan 76 % dengan dialek Jawa Timur, sementara untuk bisa diakui sebagai bahasa tersendiri, suatu bahasa setidaknya membutuhkan sekitar 80% perbedaan dengan bahasa terdekatnya. Sementara itu, menurut Koentjaraningrat (1984), bahasa Cirebon termasuk dalam rumpun bahasa Jawa Pesisir Utara bagian Barat, dengan Cirebon sebagai pusatnya.30 Berikut beberapa contoh perbedaan bahasa Jawa Cirebon dengan bahasa Jawa Tengah/Yogyakarta/Jawa Timur: Bhs Indonesia Jawa Cirebon Jateng/ DIY Saya/Aku Isun/Kita Kamu Sira Tidak Beli/ Ora Masuk Manjing Dari Sing Akan Pan Tidak Ada Langka Dapat Buleh Aku Kowe Ora Mlebu Seko Arep Ora Ono Entuk Bagi orang Jawa yang memilki dialek berbeda, mungkin memang akan sedikit kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang yang menggunakan dialek Jawa Cirebon, namun setelah beberapa waktu, biasanya akan mulai terbiasa dan bisa memahaminya dengan baik. 30 Sumber: Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka. 40 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat 2.2.2. Sarana dan Prasarana Desa Dukuh Widara bisa dikategorikan sebagai sebuah desa semi urban. Hal ini ditandai dengan kemudahan akses terhadap berbagai layanan publik mulai dari transportasi, pendidikan, kesehatan dan sarana umum lainnya. Desa Dukuh Widara hanya berjarak sekitar 4 km dari ibu kota kecamatan dan sekitar 45 km dari ibu kota kabupaten. Kota-kota terdekat adalah Losari (±3 km) dan Ciledug (±3 km). Transportasi sangatlah mudah. Desa ini dilalui oleh jalan antar provinsi (alternatif) yang menghubungkan jalur pantura (Kecamatan Losari) di sebelah Utara ke Kecamatan Ciledug, Waled hingga Kabupaten Kuningan, dengan kondisi jalan beraspal yang cukup baik. Selain kendaraan pribadi, untuk mempermudah akses masyarakat, tersedia angkutan umum berupa mobil angkudes dan andong yang beroperasi dari pagi hingga sore hari, dengan rute Losari-Ciledug. Sementara untuk menuju ibu kota kabupaten, angkutan umum Cirebon-Losari beroperasi setiap waktu. Gambar 2.9. Jalan antar kabupaten yang membelah desa Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 41 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Untuk sarana telekomunikasi, telepon seluler paling banyak digunakan masyarakat di Desa Dukuh Widara. Berbagai operator telepon seluler memiliki sinyal yang cukup bagus sehingga masyarakat tak kesulitan dalam memilih layanan. Gerai pulsa (voucher) pengisian ulang untuk kartu telepon juga mudah ditemukan, demikian juga dengan berbagai perangkat telepon seluler. Sementara untuk sarana informasi, televisi dimiliki hampir setiap rumah tangga. Sarana hiburan seperti sinetron hingga berbagai berita nasional bisa diakses masyarakat setiap saat. Saluran-saluran televisi nasional dapat menjangkau siaran tanpa harus menggunakan antena parabola. Akses-akses masyarakat terhadap layanan umum juga relatif mudah karena tersedianya berbagai fasilitas umum. Untuk sarana pendidikan juga cukup lengkap. Mulai dari Playgroup (3 buah), TK (1 buah), Madrasah Diniyah (3), SD/MI (5 buah). Sementara untuk pendidikan lanjutan, sebuah Madrasah Tsanawiyah terdekat berada di Desa Kalimukti dengan jaraksekitar 1 km dari Desa Dukuh Widara dan SMP di Losari (± 2 km), sementara untuk Sekolah Lanjutan Atas, terdapat di Losari, Ciledug atau Pabedilan. Sedangkan untuk sarana kesehatan, ada tiga tenaga kesehatan yang tinggal dan membuka praktek di Desa Dukuh Widara (2 bidan dan 1 mantri). Puskesmas Pembantu berada di tengah-tengah desa, menyediakan pelayanan dari pagi hingga tengah hari, enam hari dalam seminggu (Senin-Sabtu). Pelayanan yang relatif lebih lengkap ada di Puskesmas utama, Puskesmas Kalibuntu yang berjarak sekitar 2 km dari desa. Sedangkan rumah sakit terdekat ada di Kecamatan Waled, Kota Cirebon, Kabupaten Tegal atau Kabupaten Kuningan. 42 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat 2.2.3. Ekonomi dan Mata Pencaharian 2.2.3.1. Pertanian Mayoritas mata pencaharian penduduk Desa Dukuh Widara adalah bertani, baik sebagai petani pemilik/ penggarap lahan maupun buruh tani berjumlah 2454 orang. Jenis pertanian di Desa Dukuh Widara adalah pertanian sawah dengan luas areal persawahan 147,888 ha yang dimiliki oleh kurang dari 500 orang, dimana kepemilikan lahan mayoritas kurang dari 10 ha. Persawahan di Desa Dukuh Widara adalah persawahan dengan sistem irigasi dengan tanaman utama berupa padi. Gambar 2.10. Pertanian padi sawah, salah satu mata pencaharian utama penduduk Desa Dukuh Widara Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 Masa tanam 2-3 kali dalam setiap tahunnya. Masa tanam 3 kali hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki sawah di sebelah Barat sedangkan untuk yang di sebelah Timur hanya 2 kali. Hal ini disebabkan sistem pengairan irigasi akan terhenti pada musim kemarau (Agustus-Oktober). Pemilik/penggarap 43 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 sawah di bagian Barat diuntungkan karena berdekatan dengan Kali Cisanggarung sehingga masih bisa mendapatkan pengairan pada musim seperti itu. Pada musim tanam ke-3, biasanya petani akan menanam tanaman selain padi, seperti jagung, bawang merah atau jenis palawija lainnya. Untuk tanaman padi, biasanya dihasilkan 4 ton gabah/ha. Umumnya petani akan menjual dalam bentuk gabah ke para tengkulak. Sementara dalam proses penanaman dan pemanenan padi, biasanya masyarakat akan menggunakan sistem derep, dengan pembagian 5:1 (panen 5 kg akan mendapatkan 1 kg). Gambar 2.11. Bawang merah, salah satu hasil pertanian Desa Dukuh Widara Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 Sedangkan untuk buruh tani, biasanya dikenal buruh tani bedugan dan buruh tani seharian. Buruh tani bedugan dimulai dari jam 7 pagi hingga tengah hari (waktu bedug/sholat dzuhur, sekitar jam 12), dan buruh harian dari jam 7 pagi hingga jam 3 sore (waktu Asar). Upah buruh bedugan bervariasi antara laki-laki dan perempuan. Untuk buruh laki-laki adalah Rp. 40.000,-/hari tanpa makan, dan buruh perempuan Rp. 25.000,’/hari tanpa makan. Sedangkan untuk seharian, Rp. 55.000,- untuk laki-laki 44 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat dan Rp.35.000 untuk perempuan. Perbedaan yang cukup mencolok antara buruh laki-laki dan perempuan ini disebabkan beban kerjanya berbeda. Kaum perempuan biasanya hanya bertugas mencabuti rumput atau menyingkirkan ulat, sedangkan buruh laki-laki harus bekerja lebih keras seperti mencangkul. 2.2.3.2. Pengrajin Batu-bata Selain bertani, pekerjaan lain yang cukup banyak dikerjakan oleh penduduk Desa Dukuh Widara adalah membuat batu-bata. Pembuatan batu-bata ini berpusat di ujung Barat desa, tepatnya di bantaran Kali Cisanggarung. Hal ini disebabkan bahan utama pembuatan batu-bata adalah endapan lumpur dari Kali Cisanggarung yang biasanya muncul setelah banjir. Endapan lumpur ini konon menghasilkan batu-bata yang berkualitas bagus sehingga batu-bata dari Desa Dukuh Widara cukup diminati. Pemesan biasanya tidak hanya berasal dari desa atau desa tetangga, tetapi sampai ke wilayah-wilayah yang agak jauh. Harga untuk 1000 keping bata adalah Rp. 800.000,- (sudah termasuk biaya antar). Dalam proses pembuatan batu-bata, setiap harinya bisa dihasilkan 1000 keping bata. Pembakaran akan dilakukan minimal 10.000 keping bata. Untuk pembakaran, diperlukan kayu yang harus dibeli dengan harga 1,8 juta untuk satu truk, yang bisa digunakan untuk membakar sekitar 7000 keping bata. Meskipun begitu, masyarakat menganggap bahwa usaha pembuatan bata cukup menguntungkan. Biasanya warga akan mengerjakannya bersama-sama para anggota keluarga sehingga tidak diperlukan tenaga upahan. Namun pembuatan batu-bata hanya bisa dilakukan pada musim kemarau. Kerugian seringkali terjadi jika hujan deras tiba-tiba terjadi dan batu-bata yang tertumpuk di pinggir sungai dihanyutkan banjir. 45 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Gambar 2.12. Pembuatan batu-bata dengan memanfaatkan endapan lumpur Sungai Cisanggarung Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 2.2.3.3. Migrasi Migrasi dilakukan oleh masyarakat Desa Dukuh Widara sejak lama31. Di masa lalu, migrasi biasanya lebih bersifat migrasi musiman. Masyarakat mencari pekerjaan ke kota ketika musim tanam sudah usai dan tinggal menunggu padi untuk dipanen. Daripada menganggur di desa, masyarakat akan pergi ke kota terdekat mencari pekerjaan untuk mengisi waktu-waktu yang kosong. Kota tujuan utama adalah Jakarta, yang relatif dekat dan menjanjikan banyak lowongan pekerjaan. Dengan semakin banyaknya pertambahan penduduk dan semakin terbatasnya lowongan pekerjaan, migrasi ini perlahan berubah menjadi migrasi yang tetap. Tidak hanya ke kota-kota di dalam negeri tapi juga keluar negeri. 31 Sumber: Wawancara dengan Sekretaris Desa Dukuh Widara, 20 Mei 2014 46 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Migrasi ke luar negeri sudah dimulai sejak awal tahun ’90an, tetapi jumlahnya masih sedikit. Baru setelah terjadinya krisis moneter tahun 1998, jumlah buruh migran ke luar negeri meningkat. Tujuan utamanya negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi atau Kuwait dengan lowongan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga untuk kaum perempuan dan sopir untuk kaum lelaki. Migrasi ke luar negeri ini masih berlanjut hingga sekarang, bahkan cenderung mengalami peningkatan. Pada akhir tahun 2013, jumlah penduduk Desa Dukuh Widara yang menjadi buruh migran sebanyak 424 orang, dengan komposisi 33 orang perempuan dan 88 orang laki-laki. Negara tujuan dan jenis pekerjaan pun bervariasi. Singapura, Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan adalah negara-negara tujuan yang sedang populer karena kondisi kerja dan gaji yang lebih menjanjikan. Taiwan dan Hongkong umumnya menjadi tujuan para perempuan muda, dengan lowongan pekerjaan sebagai baby sitter atau pekerja pabrik. Sementara Korea Selatan diminati oleh kebanyakan kaum lelaki muda. Korea Selatan merupakan negara tujuan favorit karena tawaran gaji yang tinggi (konon gajinya bisa mencapai hingga Rp. 20-an juta/ bulan). Meski prosedurnya sedikit lebih rumit karena mensyaratkan ijazah minimal SMA/ sederajat, memiliki sertifikat lulus tes Bahasa Korea dan biaya keberangkatan yang cukup besar (bisa mencapai sekitar Rp. 30 juta), tapi dianggap sebanding dengan gaji yang didapat. Bekerja ke luar negeri seolah menjadi gengsi tersendiri bagi masyarakat Desa Dukuh Widara, terutama ke negara-negara dengan gaji yang tinggi. Peningkatan ekonomi bisa terlihat dari rumah-rumah yang dibangun. Bentuk rumah bisa menjadi indikasi ke negara mana anggota keluarga tersebut bekerja, 47 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 sehingga di masyarakat sering dikenal istilah ‘Araban’, ‘Korea-an’, ‘Taiwanan’ dsb. Gambar 2.13. Lembaga Kursus Bahasa Asing untuk memfasilitasi masyarakat yang ingin ke luar negeri (Dokumentasi Peneliti, 2014) Di samping itu, migrasi ke kota-kota terdekat masih dilakukan dan umumnya dilakukan oleh orang-orang muda, selepas mereka lulus dari sekolah menengah (umumnya SMP/sederajat) dengan kota tujuan utama Jakarta atau Bandung. Kaum perempuan biasanya menjadi baby sitter atau pembantu rumah tangga. Sementara kaum lelaki kebanyakan memilih usaha wiraswasta, seperti pedagang. Bekerja ke kota tidak hanya dilakukan oleh orang-orang muda yang belum menikah. Pasangan yang sudah menikah pun cukup banyak yang bekerja di kota. Kadang hanya salah satu dari mereka, suami/istri, sementara pasangan satunya tinggal di rumah mengasuh anak. Tak jarang juga kedua orang tuanya bekerja di kota, sementara anak-anak ditinggalkan di desa untuk diasuh oleh kakek-nenek mereka atau anggota keluarga yang lain (paman, bibi) dan bahkan ada yang diasuh oleh tetangga. 48 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Keterbatasan jenis pekerjaan agaknya menjadi faktor tingginya minat masyarakat untuk mencari pekerjaan ke luar kota atau luar negeri. Meski sebenarnya lowongan pekerjaan mencukupi, tetapi menjadi petani tentulah bukan pilihan pekerjaan yang diminati oleh kaum muda. 2.2.4. Perekonomian Kegiatan perdagangan di Desa Dukuh Widara kebanyakan jual beli hasil-hasil pertanian. Hanya sedikit yang menjadi tengkulak bawang merah, padi gabah atau hasil pertanian lainnya seperti sayur-sayuran dan palawija. Hasil-hasil pertanian tersebut, terutama palawija, akan dijual di pasar-pasar terdekat. Tidak ada pasar di Desa Dukuh Widara. Pasar terdekat berada di Losari, sekitar 3 km dari desa. Pasar ini buka setiap hari, dengan puncak keramaian dari pagi hingga tengah hari. Barang-barang yang diperjual belikan mulai dari sayur-sayuran, aneka bahan makanan, buah-buahan, pakaian, dan aneka kebutuhan rumah tangga lainnya. Toko-toko dengan berbagai spesialisasi barang dagangan berderet di pinggir jalan utama di depan pasar, termasuk juga dua toko waralaba terbesar di tanah air, Alfamart dan Indomaret. Namun begitu, untuk kebutuhan sehari-hari, masyarakat biasanya cukup membeli di warung-warung terdekat. Warung-warung kelontong tersebar di seluruh desa. Tidak hanya itu, untuk kebutuhan makanan, masyarakat juga dimudahkan dengan adanya penjual makanan siap saji, mulai dari nasi beraneka macam (nasi uduk, nasi putih, nasi kuning), bubur, serta beraneka macam lauk pauk. Masyarakat disibukkan dengan kegiatan bertani, sehingga biasanya enggan memasak di rumah. Membeli makanan jadi, dianggap lebih praktis. Warung-warung kecil yang menjual makanan siap saji tersebut kebanyakan buka pagi-pagi sekali. Usai subuh, warga akan berkerumun untuk 49 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 membeli makanan sebelum berangkat ke sawah atau melakukan pekerjaan lainnya. Warung-warung makanan ini biasanya akan tutup ketika matahari sudah terbit sekitar pukul 7 pagi dengan dagangan yang sudah habis terjual. Beberapa warung makanan yang lain membuka warungnya menjelang siang hari. Mereka biasanya menjual aneka rujak, pecel, atau gado-gado. Penjual nasi beserta lauk pauknya juga masih bisa ditemui. Seminggu sekali, pada Jum’at malam, diadakan pasar malam di pinggir desa yang menjadi perbatasan dengan desa tetangga, Pasuruan. Pasar malam ini biasanya tidak terlalu lengkap. Barang-barang yang dijual mulai dari peralatan rumah tangga, baju, mainan anak-anak dan aneka penganan seperti martabak atau gorengan. Namun begitu, masyarakat, terutama anak-anak biasanya akan sangat antusias dengan datang beramai-ramai ke pasar malam. Pasar ini buka dari petang hingga sekitar jam 9 malam. Para pedagang kebanyakan berasal dari desa-desa di luar Dukuh Widara. Pasar malam ini sifatnya ‘bergiliran.’ Pada Rabu malam misalnya, di desa sebelah diadakan pasar malam, kemudian pada Minggu malam dilakukan di desa sebelahnya lagi. Sementara untuk kebutuhan keuangan, beberapa bank lengkap dengan mesin ATM juga tersedia di Losari. 2.2.5. Organisasi Sosial 2.2.5.1. Sistem kekerabatan Seperti masyarakat Etnik Jawa lainnya, masyarakat Desa Dukuh Widara menganut sistem kekerabatan bilineal/bilateral, yakni menarik garis keturunan dari pihak ayah maupun ibu. Anak laki-laki maupun perempuan sama saja nilainya di masyarakat. Meskipun ada kecenderungan anggapan bahwa anak laki-laki memikul tanggung jawab untuk bekerja lebih keras. Ketika 50 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat seorang anak laki-laki memasuki usia yang dianggap dewasa (sekitar 18 tahun), ia dituntut untuk mempunyai pekerjaan. Sementara seorang anak perempuan biasanya akan mencari pekerjaan di usia remaja dan ketika menikah biasanya berhenti untuk memfokuskan diri menjadi ibu rumah tangga, meski kenyataannya banyak seorang perempuan tetap bekerja setelah berumah tangga. Garis keturunan biasanya bisa dirunut hingga generasi ke4, yakni buyut hingga ke cicit, meski masyarakat mengenal penyebutan keturunan hingga 7 generasi, yakni: anak, putu, buyut, canggah, wareh, udek-udek dan gantung siwur. Sementara untuk penyebutan anggota keluarga adalah: 1. Buyut Lanang (buyut laki-laki) – Buyut Wadon (buyut perempuan) 2. Bapak Tua (kakek) – Mbok Tua (nenek) 3. Mimi (ibu) – Mamak/Bapak (Bapak) 4. Paman/Mamang (adik laki-laki ibu/ayah) – Bibi (adik perempuan ibu/ayah) 5. Uwak (kakak laki-laki maupun perempuan ayah/ibu) 6. Ipar (istri/suami kakak/adik) 7. Kakang/ Aang Wadon (kakak perempuan/laki-laki) 8. Adi (adik, laki-laki/perempuan) 9. Putu (cucu laki-laki/perempuan) 10. Kakang/Adi Ponakan (kakak/adik sepupu lakilaki/perempuan) 11. Keponakan (anak dari adik/kakak baik laki-laki maupun perempuan) 12. Nok (sebutan untuk anak perempuan) 13. Tong/ Cung/ Cong (sebutan untuk anak laki-laki) 14. Mak/ Bi, sebutan untuk tetangga perempuan yang sudah dianggap tua 51 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Meskipun begitu, saat ini, sebutan-sebutan itu sudah banyak mengalami banyak variasi sebagai pengaruh dari berbagai interaksi. Ada yang menyebut “Mama”, “Umi”, “Bunda” , “Ibu” untuk Ibu, ada yang menyebut “Ayah”, “ Papa”, “Abi”, “Ayah” untuk ayah, “Mbak” atau “Yayuk” untuk kakak perempuan, dan “Mas” untuk kakak laki-laki. Gambar 2. 14. Diagram kekerabatan masyarakat Desa Dukuh Widara Sumber : Visualisasi peneliti 2.2.5.2. Pernikahan Pernikahan bagi masyarakat Desa Dukuh Widara bukanlah hal yang rumit. Pernikahan umumnya dilangsungkan karena keinginan masing-masing pasangan. Orang tua cenderung memberi kebebasan bagi anak-anaknya untuk mencari pasangannya masing-masing, meski saran-saran tentang pasangan yang dianggap terbaik tetap diberikan. Proses pernikahan juga tidak rumit. Pasangan yang akan menikah biasanya sudah saling mengenal dan telah melalui proses yang 52 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat disebut ‘pacaran’. Jika masing-masing sudah siap menikah (pengecualian pada pasangan yang menikah karena ‘kecelakaan’), pihak laki-laki akan menanyakan kepada pihak perempuan. Jika sudah dicapai persetujuan, akan dicari tanggal baik untuk pernikahan yang biasanya didasarkan pada primbon Jawa. Usia pernikahan di Desa Dukuh Widara adalah 18-25 tahun, dimana kebanyakan pasangan menikah pada usia 20 tahunan. Meski pada beberapa kasus, terjadi pernikahan di usia yang masih sangat muda (15-17 tahun), dan ada juga yang menikah di atas usia 30 tahun. Biasanya usia pasangan laki-laki lebih tua 3 hingga 5 tahun dari usia pasangan perempuan. Meskipun hal ini juga bukan hal yang mutlak. Sebelum pernikahan, mempelai perempuan biasanya akan menjalani pingitan, yakni tidak boleh bertemu calon mempelai laki-laki selama beberapa waktu dan juga menjalani perawatan diri dengan berbagai produk kecantikan, seperti luluran. Pada hari-H, akan dilakukan ijab kabul dengan cara-cara Islam yang biasanya akan dilanjutkan dengan resepsi pernikahan. Meski pada beberapa pasangan, karena alasan biaya, kadang resepsi dilangsungkan beberapa bulan kemudian atau bahkan tidak dilaksanakan. Pada resepsi pernikahan ini, juga dilakukan ritual adat yang disebut sebagai ‘tandur penganten’. Tandur adalah pembacaan kidung yang berisi doa-doa memohon kebahagiaan kepada kedua mempelai.32 Sebagian masyarakat juga mempercayai bahwa dilakukannya ritual tandur juga memohonkan agar kedua mempelai lekas dikaruniai keturunan. Ritual tandur biasanya dipimpin oleh seorang lebe. Di Desa 32 Sumber: Wawancara dengan lebe Desa Dukuh Widara yang sering melakukan tandur penganten 53 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Dukuh Widara, seorang bapak bernama Pak Sum, meski sudah menjadi mantan lebe masih dipercaya untuk melakukan tandur. Prosesi tandur adalah kedua pengantin berdiri atau ‘ditandur’ (ditanam), diapit kedua orang tua mereka, lalu lebe akan berdiri di tengah-tengah dan mulai menyanyikan kidung. Kidung yang dinyanyikan berbahasa Jawa. Menurut Pak Sum, tradisi tandur ini berasal dari masa Kerajaan Demak oleh Ki Mangun Rasa, sahabat dari Sunan Kali Jaga. Ki Mangun Rasa ini konon adalah orang yang sering menggantikan ndalang Sunan Kali Jaga ketika Sunan Kali Jaga sedang berhalangan. Tradisi lain yang khas adalah jamu-jamu, tradisi yang dilakukan untuk anak bungsu ketika menjadi pengantin. Pengantin akan berpura-pura menjual jamu dengan maksud meminta sumbangan dari para sanak-saudara. Sumbangan yang diberikan bersifat sukarela dan jumlahnya tidak ditentukan. Setelah pernikahan, biasanya perempuan akan dibawa suaminya. Tapi tak jarang juga seorang suami ikut tinggal dengan keluarga istri. 2.2.5.3. Organisasi Masyarakat Sementara itu organisasi-organisasi kemasyarakatan ada yang masih di bawah pemerintahan desa, ada pula yang dikelola secara bersama oleh masyarakat. Organisasi-organisasi yang dikelola oleh desa antara lain: PKK, Karang Taruna dan Kelompok Tani. PKK adalah organisasi untuk ibu-ibu yang diketuai oleh istri kuwu. Kegiatannya berupa pengajian Fatayat & Muslimat (organisasi Islam untuk perempuan di bawah NU) yang diadakan sekali setiap sebulan, arisan yang diadakan setiap minggu ke-2 setiap bulannya, dan senam khusus ibu-ibu diadakan seminggu sekali. Kegiatan-kegiatan ini bersifat sukarela dan terbuka bagi siapa saja. 54 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Karang Taruna sebagaimana namanya, diperuntukkan untuk kaum muda, terutama laki-laki. Menurut salah seorang pejabat desa, organisasi ini, meski masih berjalan tapi juga tidak terlalu aktif. Kegiatan biasanya hanya berupa olahraga bersama seperti voli atau sepak bola. Sedangkan Kelompok Tani lebih berfungsi dalam mengatur hal-hal teknis dalam kegiatan pertanian seperti penggunaan saluran irigasi dan distribusi pupuk. Organisasi-organisasi yang dibentuk masyarakat biasanya lebih bersifat keagamaan yang dikenal dengan istilah ‘jemiahan’ berupa kegiatan pengajian. Kelompok jemiahan biasanya dipisahkan berdasarkan jenis kelamin. Jemiahan khusus perempuan dan jemiahan khusus laki-laki. Lingkup kelompok biasanya lebih kecil, mereka yang tinggal di satu RT atau satu lingkungan pemukiman mengacu pada letak mushalla terdekat. Jemiahan dilakukan pada sore maupun malam hari, sekali dalam seminggu. Selain jemiahan juga dikenal istilah ‘nariahan’, mengacu pada pembacaan Surat Nariah, dan yasinan (pembacaan Surat Yasin) untuk kaum lelaki yang biasanya diadakan pada malam Jum’at. Organisasi-organisasi pengajian ini biasanya juga akan mengorganisasikan kegiatan-kegiatan terkait peringatan hari besar keagamaan seperti Maulid Nabi atau Rajaban. Biasanya pembiayaan untuk kegiatan seperti itu akan ditanggung bersama dengan sistem iuran. 2.2.6. Sistem Pemukiman Pemukiman di Desa Dukuh Widara memiliki kepadatan penduduk 316 per km. Pemukiman bersifat komunal atau berkelompok. Terjadi pemisahan yang tegas antara pemukiman penduduk dan persawahan. Pemukiman di Desa Dukuh Widara umumnya sangat padat. Hanya rumah-rumah yang berada di pinggir jalan besar yang biasanya memilki halaman atau 55 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 pekarangan, sedangkan rumah-rumah di bagian tengah saling berhimpitan, membentuk gang-gang kecil layaknya rumah-rumah di kota besar. Bentuk dan ukuran rumah juga bervariasi. Tapi, umumnya rumah-rumah di Desa Dukuh Widara adalah rumah permanen; berdinding tembok, atap genteng, dan berlantai semen/keramik. Gambar 2.15 . Pemukiman Desa Dukuh Widara Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 Wilayah pemukiman di bagi ke dalam blok-blok, yang terdiri dari lima blok. Tiga blok; Blok Pon, Blok Wage dan Blok Kliwon berada di sebelah Timur jalan utama, berbatasan langsung dengan Sungai Cisanggarung. Sedangkan Blok Manis dan Blok Pahing berada di sebelah Barat. Blok Pon dikenal juga sebagai Blok Desa karena merupakan tempat awal mula didirikannya pemukiman. Blok Wage dan Blok Kliwon dikenal dengan sebutan Blok Bojong, karena letaknya yang menjorok ke Sungai Cisanggarung.33 Sedangkan Blok Manis dan Blok Pahing 33 bojong: menjorok ke sudut/ ujung atau tanah yang menjorok ke sungai/ laut) 56 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat terletak di dataran yang agak tinggi disebut sebagai Blok Mengger.34 2.2.7. Sistem Religi Berdasarkan profil Desa, tercatat bahwa masyarakat Desa Dukuh Widara 100 % beragama Islam dan menyebut bahwa Islam yang mereka anut adalah “Islam NU (Nahdatul Ulama”. Ada sebagian kecil yang befaham Muhammadiyah, umumnya adalah kaum muda yang telah menempuh pendidikan di luar daerah seperti Yogyakarta, dan berusaha mengembangkannya tapi konon tidak pernah cukup mendapat pengikut. NU atau Nahdatul ‘Ulama adalah salah satu organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia. NU berfaham Ahlussunah Wal Jamaah, merupakan faham yang bersifat akomodatif terhadap nilai-nilai lokal. Bisa dipahami jika Islam seperti ini banyak berkembang di Desa Dukuh Widara, karena Islam aliran ini berakar sejak jaman Kesultanan Cirebon dahulu kala dan Cirebon merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam pada masa itu, dengan Sunan Gunung Jati, yaitu satu di antara 9 wali, sebagai salah satu tokohnya. Salah satu ciri dari Islam ini adalah adanya penghormatan yang besar terhadap tokoh-tokoh yang dianggap memiliki peran dalam penyebaran agama Islam, salah satunya ditunjukkan dengan melakukan ziarah ke makam tokoh-tokoh tersebut untukmelakukan pembacaan doa. Di Desa Dukuh Widara juga terdapat makam tokoh yang dianggap berperan dalam pengembangan agama Islam, yakni Syekh Ma’arif yang makamnya masih dipelihara para keturunannya dan pada waktuwaktu tertentu diziarahi pengunjung. Kegiatan ziarah ini biasanya 34 Mengger (jw): bukit 57 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 dilakukan pada malam Jum’at, utamanya adalah malam Jum’at Kliwon. Hari Jum’at dalam ajaran Islam dianggap sebagai hari yang baik, sedangkan Jum’at Kliwon lebih pada kepercayaan tradisional (Jawa) yang dipercaya sebagai malam yang keramat. Gambar 2.16. Kompleks Makam Sunan Gunung Jati yang banyak dikunjungi Sumber gambar: http://www.disparbud.jabarprov.go.id/ Percampuran nilai-nilai lokal dan agama juga terlihat pada acara slametan. Pada acara seperti ini, biasanya seseorang akan mengundang tetangga sekitar untuk membacakan doa-doa dan kemudian diakhiri dengan berkatan, yakni membagi-bagikan makanan (biasanya nasi lengkap dengan lauk-pauknya) kepada para tetangga yang hadir untuk dibawa pulang. Slametan yang bersifat massal adalah sedekah bumi, yang diadakan sebagai ucapan syukur usai panen padi. Acara ini biasanya diselenggarakan sekaligus dengan perayaan 17-an pada bulan Agustus. Pada kesempatan ini, seluruh masyarakat diajak berkumpul di lapangan desa, masing-masing membawa makanan, biasanya berupa nasi dan lauk pauknya. Makanan ini kemudian dikumpulkan dan dimakan bersama-sama. Dalam 58 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat acara tersebut biasanya juga dipanjatkan doa-doa sebagai ucapan syukur dan permohonan keselamatan. Slametan bagi masyarakat Desa Dukuh Widara dimaknai sebagai bentuk syukur atas rezeki yang diberikan oleh Tuhan atau juga sebagai permohonan agar diberikan keselamatan. Slametan yang bersifat ‘syukuran’ adalah slametan yang berkaitan dengan ritus kehidupan seperti pernikahan, sunatan, empat/tujuh bulanan kehamilan, panen padi dan kelahiran. Sedangkan slametan yang bersifat ‘mengirim doa’ adalah slametan yang berkaitan dengan ritus kematian yang dilangsungkan pada tujuh hari setelah kematian, empat puluh hari, seratus hari dan mendak tahun/ tepung tahun (setahun setelah kematian). Ada juga unggah-unggah, yakni slametan beserta tahlilan yang dilakukan menjelang bulan Ramadhan, dengan maksud untuk mengirim doa pada kerabat yang meninggal. Unggah-unggah akan diikuti dengan udun-udun, dilakukan ketika hari ke-20 bulan Ramadhan dengan tujuan yang sama. Selain slametan juga dikenal istilah sajen. Sajen adalah ritual yang dilakukan sebelum melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu yang umumnya berkaitan dengan ‘pekerjaan besar’, seperti ketika hendak menanam padi atau membakar batu-bata. Tujuan sajen hampir sama dengan slametan, hanya saja, sajen sifatnya lebih pribadi, tanpa perlu melibatkan banyak orang. Sajen seringkali juga menjadi bagian penting dalam slametan. Sajen, seperti istilahnya yang kemungkinan berasal dari kata ‘saji’/‘sajian’ dilakukan dengan ‘menyajikan’ jenis makanan atau benda tertentu. Untuk sajen tanam padi misalnya, dibuat bogana yakni nasi yang dicampur dengan aneka sayuran. Ada juga yang menaburkan garam di sawah sebelum ditanami sambil mengucap doa-doa. Meski begitu, berdasarkan obrolan dengan beberapa orang di Desa Dukuh Widara, ritual-ritual semacam ini sudah 59 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 jarang dilakukan saat ini dan banyak kaum muda yang sudah tidak memahami lagi maknanya. Ruwatan adalah ritual yang dilakukan untuk menghindarkan seseorang dari hal-hal yang buruk. Ruwatan biasanya dilakukan ketika seseorang hendak memasuki rumah baru. Dalam ruwatan juga dibuat sajen. Untuk ruwatan rumah baru, biasanya akan diundang pemain barongan. Ritual semacam ini, juga sudah jarang dilakukan oleh masyarakat Desa Dukuh Widara. Sementara itu, perayaan-perayaan yang bersifat keagamaan mengacu pada hari-hari besar agama Islam. Perayaan terbesar adalah Hari Raya Idul Fitri, ditandai dengan pulangnya para sanak keluarga dari rantau untuk berkumpul bersama. Sebagaimana umumnya, pada hari raya seperti ini, masingmasing rumah akan menyiapkan berbagai penganan berupa kuekue dan para tetangga serta handai-taulan akan saling mengunjungi. Hari Raya Idul Adha juga dirayakan,tapi tidak sebesar Hari Raya Idul Fitri dan hanya ditandai dengan sembahyang bersama dan pemotongan hewan kurban. Hari-hari besar seperti Maulid Nabi, Tahun Baru Islam (1 Muharram) dan Rajaban, diperingati dengan pengajian, baik itu pengajian yang bersifat lebih sederhana atau pengajian besar dengan mengundang penceramah dari luar desa. Sementara untuk perayaan yang bersifat ‘nasional’ adalah perayaan 17-an, untuk memperingati Hari Kemerdekaan RI, yang biasanya dirayakan dengan mengadakan berbagai lomba, seperti pertandingan olahraga, panjat pinang dan aneka lomba untuk anak-anak. Puncak perayaan ini biasanya dengan mengadakan pertunjukan seni. 60 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat 2.2.8. Kesenian Kesenian bagi masyarakat Desa Dukuh Widara erat kaitannya dengan perayaan. Suatu pertunjukan seni diadakan jika sedang merayakan sesuatu, entah itu secara massal maupun individual. Perayaan yang bersifat massal biasanya terkait dengan hari-hari besar, seperti peringatan Hari Kemerdekaan RI pada bulan Agustus. Sedangkan perayaan yang bersifat individual biasanya terkait dengan fase-fase penting dalam kehidupan seseorang seperti sunatan pada anak-anak lelaki, aqiqahan, dan terutama adalah pernikahan. Meski begitu, ada juga jenis kesenian yang dimaksudkan sebagai tolak bala atau ruwatan. Ada beberapa jenis kesenian yang dikenal masyarakat Desa Dukuh Widara. Mulai dari kesenian tradisional hingga modern. Berikut beberapa jenis kesenian yang sering diadakan di Desa Dukuh Widara: 2.2.8.1. Barongan Asal-usul mengenai barongan sendiri cukup sulit untuk diperoleh informasinya dari para pegiat seni ini di Desa Dukuh Widara. Mereka mengaku tidak memahami lagi ceritanya, atau hanya memahami sepotong-sepotong. Somat, anak Pak Tam— pemilik barongan—, misalnya, yang juga aktif sebagai pemain seruling di kelompok barongan ayahnya, mengaku tak tahu persis bagaimana awal mula barongan ada.35 Orang-orang tua yang dianggap memahami ceritanya sudah meninggal dan tak menurunkan cerita itu pada keturunannya. Somat hanya tahu bahwa barongan dulunya berada di dalam laut dan ada tokoh bernama Sumbing Klabang Kara yang melukis di dalam laut. 35 Sumber: Wawancara dengan Somat, 24 Mei 2014 61 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Sementara itu, berdasarkan sumber dari situs Dinas Pariwisata Jawa Barat, barongan dikenal juga dengan sebutan berokan.36 Tersebutlah dulu Yudhayaka, anak angkat dari Prabu Sulangkara. Yudhayaka sangat senang melukis. Suatu hari ayahnya menyuruhnya melukis lautan. Ketika sedang menyelam di laut, Yudhayaka bertemu dengan binatang yang hanya terlihat kepalanya saja di dalam lubang (rong). Dia berusaha untukmelihatnya, tapi binatang itu tidak juga mau keluar dan tidak jelas (ora babar-babar). Yudhayaka pun kemudian menyerahkan lukisannya lengkap dengan binatang aneh itu. Ayahnya merasa kagum, dan kemudian memintanya untuk mewujudkan binatang tersebut ke bentuk kesenian. Dan Yudhayaka pun menciptakan “barongan”, binatang yang “ora babar-babar neng jero rong”. Versi lain menyebut bahwa istilah “barongan juga di sebut “barokan” yang berasal dari kata barokahan (berkah) yang berarti selamatan.37 Kepala barongan adalah tiruan kepala singa, sedang badannya adalah tiruan tubuh raksasa Syiwa Durga yang digunakan oleh Pangeran Cakrabuana sebagai alat penyebaran Islam pada masyarakat Jawa Barat yang kala itu masih memeluk agama Sanghyang (agama Sunda Wiwitan yang bercampur Hindu Syiwa). Kata Sanghyang sendiri kemudian berubah menjadi Sembahyang (sholat). Versi lain menyebutkan bahwa dulunya barongan diciptakan untuk mengusir makhluk halus yang mengganggu tanaman di sawah.38 36 Sumber: “Berokan.” Yuli Adam Panji & Toto Amsar Suanda. http://www. disparbud.jabarprov.go.id/ 37 Sumber:“Dialektika Islam dan Kebudayaan Cirebon, A. Chozin Nasuh. http://dualmode.kemenag.go.id/acis11/file/dokumen/12.a.chozinnasuha.pdf (akses 23 Agustus 2014) 38 Sumber:“Barongan Cirebon”, Uun Halimah. (http://uun-halimah.blogspot. com/2007/11/barongan) (16 Juli 2014) 62 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Di Desa Dukuh Widara, masih ada satu kelompok Barongan yang masih aktif hingga saat ini. Pak Tam, adalah ketua kelompok Barongan sekaligus pemilik Barongan. Ia mewarisi barongan itu dari ayahnya. Kelompok barongan milik Pak Tam anggotanya tidak hanya berasal dari Desa Dukuh Widara saja, tetapi juga desa-desa sekitar. Mereka juga melakukan pentas tidak hanya di Dukuh Widara, tapi juga ke desa-desa sekitar. Barongan merupakan sejenis topeng kayu, dengan kepala berbentuk binatang dengan mulut lebar, dipenuhi gigi besarbesar yang bisa dibuka dan ditutup. Bagian kepala dan wajahnya biasanya dicat merah dan hitam, sedangkan giginya dicat putih. Bola matanya dibuat besar dan terlihat mengerikan. Bagian kepala dibuat rambut dari bulu domba dan ijuk, sementara bagian badannya dari karung goni. Jika hendak dimainkan, pemain akan masuk ke dalam karung tersebut. Dalam sebuah pertunjukan, barongan biasanya ditemani oleh ‘topeng’ lain, yakni pentul/ bodhor. Berbeda dengan barongan yang berwujud menyeramkan, pentul terkesan lebih lucu, berupa topeng berwarna merah dengan hidung besar dan kepala gundul. Ketika menari, barongan akan diiringi oleh musik yang terdiri dari suling, terompet, saron, kleningan, gender, konang, gong dan ketuk. Sambil menari, biasanya juga diringi dengan lagu-lagu dan lawakan. Pertunjukan barongan bisa terdiri dari beberapa babak, tergantung dari keinginan yang menanggapnya. Barongan biasanya ditanggap untuk acara-acara sunatan dan ruwatan, terutama ruwatan rumah baru yang dianggap ada ‘penunggunya.’ Pada acara ruwatan rumah ini, barongan akan menari, kemudian mengambil bantal dari dalam kamar dan melemparkannya ke atap sebagai tanda bahwa hal-hal buruk telah dibuang. Sebagai penebusan, sang empunya rumah diharapkan memberi uang kepada barongan yang jumlahnya 63 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 seikhlas si empunya. Dalam acara ini juga disediakan sajen antara lain terdiri air bunga tujuh rupa, uang receh, beras, umbi-umbian dan ayam dan salah seorang anggota barongan membaca doadoa pengusir bala. Pertunjukan biasanya diakhiri dengan barongan yang mengejar-ngejar penonton hingga anak-anak berlarian karena ketakutan. Para penonton kemudian biasanya akan memberi ‘sawer’ atau memberikan uang receh yang jumlahnya terserah masing-masing orang. Gambar 2.17. Barongan (atas) & Pentul (bawah) Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 Kesenian barongan memang unik karena justru unsur hiburannya terletak pada ‘menakut-nakuti’, semakin menakutkan semakin menarik. Seperti yang diungkapkan oleh Pak Lam, salah 64 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat seorang warga Desa Dukuh Widara, bahwa barongan dulu lebih menarik karena lebih menakutkan, matanya seperti hidup. Ia beranggapan hal tersebut karena barongan dulu adalah barongan keramat, sedangkan sekarang sudah tidak lagi. Barongan milik ayah Pak Tam yang dianggap asli dan keramat memang sudah dijual dan saat ini disimpan di Bali. Sedangkan barongan yang ada sekarang adalah gantinya. Meski sudah tidak sekeramat dulu, barongan ini juga masih dianggap keramat oleh keluarga Pak Tam. Setiap malam Jum’at Kliwon, barongan itu disajeni dan dibakari kemenyan. Saat ini, barongan sudah semakin jarang ditanggap. Alasannya, karena biayanya dianggap cukup mahal. Selain itu, kesenian-kesenian baru seperti organ dianggap lebih menarik. 2.2.8.2. Genjring Genjring adalah alat musik semacam rebana. Seni genjring bernapaskan Islami, biasanya berupa shalawatan dengan diiringi tetabuhan genjring. Kesenian ini biasanya dipentaskan pada acara-acara keagamaan. 2.2.8.3. Burokan Burokan, bisa dibilang kesenian yang paling populer di Desa Dukuh Widara. Banyak acara-acara hajatan seperti pesta pernikahan dan sunatan yang menanggap burokan. Satu kelompok Burokan bisa mencapai puluhan orang dan bisa dikatakan sangat meriah karena diminati oleh anak-anak. Saat ini, tidak ada pegiat seni burokan di Desa Dukuh Widara, sehingga biasanya mereka mengundang rombongan burokan dari wilayah terdekat seperti Losari. Istilah “burokan” sendiri berasal dari kata “buroq”, kuda terbang bersayap, mengacu pada kendaraan yang 65 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 digunakan oleh Nabi Muhammad dalam melakukan Isra Mi’raj menurut ajaran Islam. Gambar 2.18. Rombongan Burokan yang akan melakukan pertunjukan Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 Dalam pertunjukan burokan,biasanya ada sepasang boneka burok yang dimainkan oleh empat orang (dua di depan dan dua di belakang), kemudian diikuti boneka aneka binatang seperti macan, kuda, gajah, kera dan juga badut-badut yang mengenakan kostum lucu. Anak-anak diperbolehkan menaiki boneka-boneka tersebut dengan biaya tersendiri. Selama pertunjukan, burokan melibatkan tarian dan nyanyian yang diiringi musik, dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Musik yang ada biasanya terdiri dari tiga buah dogdog (besar, sedang, kecil), empat buah genjring, simbal, organ, gitar, gitar melodi, kromong, suling, dan kecrek.39 39 Sumber: “Burokan” (http://www.disparbud.jabarprov.go.id/) 66 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat 2.2.8.4. Tari Topeng Tari Topeng adalah pertunjukan tari yang pemainnya mengenakan topeng dengan diiringi musik gamelan. Tari Topeng yang terkenal dari daerah Cirebon adalah Topeng Losari, berasal dari Kecamatan Losari, sekitar 3 km dari Desa Dukuh Widara dengan tokoh yang terkenal, Mimi Sawitri (alm). Di Desa Dukuh Widara ada juga beberapa pegiat topeng, terutama sebagai penarinya. Pertunjukan tari topeng biasanya ditanggap pada hajatan desa seperti acara tujuh belas Agustusan. Konon, Tari Topeng Losari adalah buah kreasi dari Pangeran Angkawijaya, cucu Sunan Gunung Jati yang memilih untuk menyepi di daerah Losari dalam memperdalam bakat seninya40. Rupa topeng bermacam-macam, ada yang menampilkan watak-watak tokoh yang diambil dari cerita pewayangan, seperti Topeng Panji, Topeng Samba, Topeng Rumyang, Topeng Tumenggung dan Topeng Kelana. 2.2.8.5. Sandiwara Sandiwara mirip dengan ketoprak di daerah Jawa Tengah. Sandiwara biasanya ditanggap ketika ada acara-acara besar di desa, seperti tujuh belas Agustusan.41 Lakon yang dimainkan biasanya diambil dari cerita Babad Cirebon seperti Pangeran Walangsungsang, Ki Gede Trusmi, dan sebagainya, disamping juga menampilkan cerita legenda yang ada di masyarakat. Untuk menambah kemeriahan pertunjukan, kadang-kadang diselipkan pula kemasan musik dangdut atau tayuban. Sementara alat-alat musik yang digunakan biasanya berupa perangkat gamelan dan 40 Sumber: (Pangeran Losari ‘Angkawijaya’ Tali Sejarah Cirebon Brebes, http://www.radarcirebon.com/) 41 Sumber: “Sandiwara Cirebon”, (http://www.disparbud.jabarprov.go.id/) 67 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 dalam perkembangannya sering ditambah keyboard dan gitar. Sandiwara kebanyakan diadakan pada malam hari, dimulai pada sekitar pukul 08.00 malam hingga menjelang dinihari. 2.2.8.6. Organ Tunggal Orgen Tunggal adalah kesenian yang juga populer di masyarakat karena berkesan lebih modern dan meriah. Orgen tunggal melibatkan musik dari orgen dan biduan yang menyanyikan lagu-lagu masakini dengan berbagai variasi seperti dangdut, populer dan musik daerah. 2.2.8.7. Tarling Tarling merupakan jenis musik yang populer di daerah pantura, terutama Cirebon (Cerbonan) dan Indramayu (Dermayon). Tarling merupakan kependekan dari ‘gitar’ dan ‘suling’, alat musik yang digunakan dalam kesenian ini tapi sering juga dipahami sebagai "yen wis mlatar kudu eling" (jika sudah berbuat negatif, maka harus bertaubat. Tarling biasanya mengiringi lagu-lagu dalam bahasa Lokal yang seringkali berisikan pesan-pesan moral. Tarling merupakan kesenian rakyat, dan mulai populer sejak tahun ’30-an. Belakangan, untuk memberi kesan modern, tarling juga dipadukan dengan musik dangdut sehingga dikenal Tarling-Dangdut.42 2.2.9. Pengetahuan 2.2.9.1. Sakit dan Penyakit “Sehat itu ya awakenteng. Nggak ada yang dirasa. Perasaan punya fisik itu memang besar. Tapi kalau nggak 42 Sumber:“Musik Tradisional Cirebon.” http://id.voi.co.id/) 68 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat sehat, ting greges, saya ke Patrol saja saya ngantuk” cerita Pak Mat, pria yang berumur sekitar 50 tahun. Demikianlah pemahaman sehat dan sakit bagi kebanyakan masyarakat Desa Dukuh Widara. Sehat adalah ketika badan terasa nyaman dan tidak ada yang dikeluhkan. Umumnya tidak dikenal istilah-istilah khusus untuk penyakit. Masyarakat biasanya menyebut nama-nama penyakit sebagaimana yang lazim dikenal seperti kencing manis untuk diabetes mellitus, stroke, maag, kusta, jantung. Beberapa bahasa lokal (Jawa) digunakan untuk menyebut beberapa penyakit seperti edanuntuk gangguan jiwa, ting greges untuk kondisi tubuh demam , watuk pilek untuk batuk pilek. Ketika sakit, jika sakit dirasa tidak parah, masyarakat Desa Dukuh Widara umumnya melakukan pengobatan diri sendiri dengan membeli obat-obat generik yang dijual di warungwarung. Ketika dirasa agak parah, umumnya masyarakat Desa Dukuh Widara akan mencari pengobatan ke tenaga kesehatan yang dipercaya. Mulai dari Puskesmas (Puskesmas pembantu maupun Puskesmas), tenaga kesehatan yang membuka praktek swasta seperti Bidan Desa, Mantri atau Dokter, hingga ke klinik atau Rumah Sakit. Preferensi layanan/tenaga kesehatan ini berbeda-beda pada masing-masing orang. Ada yang memilih berobat ke Puskesmas karena biayanya yang murah, tapi ada juga yang memang percaya dengan pengobatan di sana. Sementara pilihan-pilihan ke praktek swasta, ada yang didasarkan pada faktor kedekatan, baik itu kedekatan jarak tempat tinggal maupun kedekatan karena hubungan kekeluargaan dan juga kepercayaan terhadap layanan tersebut. Sementara untuk praktek swasta yang jauh letaknya dan umumnya lebih mahal, biasanya didasarkan pada faktor kepercayaan. 69 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Mak Isah43 misalnya, yang mengalami gangguan lambung kronis, awalnya berobat ke Puskesmas karena biayanya murah. Setelah tak kunjung sembuh, ia pun mencoba pengobatan pada tenaga kesehatan yang membuka praktek di dekat rumahnya. Masih belum juga sembuh, anak-anaknya pun kemudian menyarankannya untuk berobat ke dokter yang membuka praktek swasta, yang jarak dan biayanya jauh lebih mahal. Dan Ibu Ani merasa kondisinya menjadi lebih baik. Lain halnya dengan Pak Mat yang lebih mempercayakan pelayanan kesehatan keluarganya pada tenaga kesehatan yang ada di desa.44 Selain alasan kepercayaan, juga karena lebih praktis, karena tenaga kesehatan tersebut bersedia dipanggil ke rumah. Pak Mat memiliki pengalaman, ketika salah satu anaknya sakit tipus, setelah pulang dari rumah sakit anak tersebut kambuh lagi. Pak Mat pun kemudian memanggil tenaga kesehatan tersebut yang kemudian memberikan perawatan di rumah dan beberapa hari kemudian si anak berangsur pulih. Sementara Bu Yah45, yang menderita Kencing Manis, lebih percaya pada salah seorang tenaga kesehatan karena memiliki kedekatan hubungan. Seorang bidan yang membuka praktek di desa, di masa lalu pernah tinggal di rumahnya sehingga terjalin hubungan yang akrab antara dirinya dengan sang bidan. Berkaitan dengan biaya misalnya, Bu Yah sering mendapat potongan harga dari bidan tersebut. Pak Mis46, menderita stroke. Begitu divonis sakit, ia langsung mencari pengobatan ke rumah sakit di kabupaten karena berharap ingin mendapatkan pengobatan terbaik. 43 Sumber: Wawancara dengan Mak Isah 3 Juni 2014 44 Sumber: Wawancara dengan Pak Mat, 26 Mei 2014 45 Sumber: Wawancara dengan Bu Yah, 9 Juni 2014 46 Sumber: Wawancara dengan Pak Mis, 11 Juni 2014 70 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Baginya, rumah sakit di kabupaten pasti lebih baik pelayanan dan fasilitasnya. Di Desa Dukuh Widara, meski tingkat kepercayaan masyarakat kepada tenaga kesehatan cukup tinggi, namun masyarakat seringkali mengkombinasikan pengobatan medis dengan pengobatan non medis seperti pengobatan herbal, pengobatan alternatif atau bahkan pergi ke ‘orang pintar.’ Orang pintar adalah sebutan untuk orang-orang yang dipercaya memilki kemampuan untuk berkomunikasi dengan roh-roh halus dan karenanya juga memiliki kemampuan mengobati. Kebanyakan orang pintar adalah kyai, yang juga memiliki ilmu agama yang tinggi. Pengobatan herbal biasanya dilakukan dengan mengkonsumsi jenis tumbuh-tumbuhan tertentu yang dipercaya bisa menyembuhkan penyakit. Pengetahun ini biasanya didapat dari saran sanak keluarga atau para tetangga. Pak Mat misalnya, ketika sakit, selain minum obat dari tenaga kesehatan juga merebus jenis daun tertentu yang dipercaya akan mengurangi penyakitnya. Demikian juga dengan Bu Ani, yang memakan kunyit mentah untuk mengurangi keluhan pada lambungnya. Sementara itu, pengobatan ke tenaga kesehatan alternatif atau ‘orang pintar’ biasanya dilakukan ketika suatu penyakit, setelah berobat ke tenaga kesehatan biasa, tak kunjung sembuh. Pak Sum47 terserang vertigo hingga tak bisa berdiri. Ia telah berobat ke Puskesmas, meski mengalami kesembuhan, tapi cukup lambat. Oleh karena itu ketika ada seorang tukang pijat refleksi ingin membantunya, ia tidak menolak karena berharap proses kesembuhannya lebih cepat. Hal yang hampir sama juga dialami Pak Sam, yang sakit stroke. Selain rutin menjalani pengobatan dan terapi di rumah sakit, ia juga berobat ke tukang 47 Sumber: Wawancara dengan Pak Sum, 5 Juni 2014 71 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 pijat alternatif dengan harapan mempercepat proses kesembuhan. Semantara itu, Bu Ida48, suaminya menderita sakit tulang punggung beberapa tahun belakangan. Keluarganya sudah berobat ke rumah sakit dan dokter spesialis, tapi tak kunjung sembuh. Akhirnya mencari ‘orang pintar’ untuk mencari pengobatan disamping juga mengkonsumsi ramuan-ramuan herbal. Berbagai jenis pengobatan ini, bagi masyarakat bukan sesuatu yang kontradiktif, tapi mendukung satu sama lain. 2.2.9.2. Kesambet, Penyakit Kiriman, Teluh & Sawan Penyakit, bagi masyarakat Desa Dukuh Widara, tidak selalu hanya disebabkan oleh sumber-sumber penyakit seperti yang dipahami dalam dunia medis. Penyakit, bisa juga disebabkan oleh kekuatan-kekuatan buruk seperti makhlukmakhluk halus. Dikenal beberapa istilah untuk jenis-jenis penyakit ini, yakni kesambet, penyakit kiriman, teluh dan sawan. a. Kesambet Kesambet adalah penyakit yang disebabkan karena seseorang dirasuki makhluk halus. Hal ini bisa terjadi ketika seseorang tidak sengaja melewati tempat tertentu yang menjadi tempat tinggal makhluk halus, melakukan sesuatu yang menyinggung perasaan si makhluk halus, atau juga ketika seseorang sedang melamun (kosong pikirannya) dan ada makhluk halus di sekitarnya. Ada beberapa hal yang mendasari anggapan bahwa seseorang mengalami sakit karena kesambet. Kesambet ditandai dengan gejala penyakitnya yang tidak wajar, atau gejala penyakit wajar tapi tak kunjung sembuh, meski sudah dibawa berobat ke tenaga kesehatan. 48 Sumber: Wawancara Bu Ida, 21 Mei 2014 72 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Idah49, karena pekerjaannya mengunjungi daerah pedesaan yang masih berhutan-hutan. Setelah pulang dari kunjungan itu, Idah menjerit-jerit dan berteriak-teriak dalam tidurnya seperti orang ketakutan. Keluarganya pun menyimpulkan bahwa Idah kesambet. Maka, dipanggillah ‘orang pintar’, dan orang tersebut ini mengatakan bahwa Idah diikuti makhluk halus dan setelah dibacakan doa-doa akhirnya Idah sembuh. Demikian juga yang dialami oleh istri Pak Sum. Awalnya, ia mengira istrinya sakit panas biasa dan dibawa berobat ke Puskesmas, namun tak kunjung sembuh. Di bawa berobat ke dokter juga tak kunjung sembuh, tetapi justru bertambah parah. Pak Sum disarankan untuk pergi ke ‘orang pintar’, seorang kyai yang juga dipercaya memiliki kemampuan menyembuhkan. Oleh sang kyai, Pak Sum disarankan untuk mencari air hujan dan membaca ayat-ayat tertentu dari Al Qur’an dalam jumlah serta lama waktu tertentu. Pak Sum menuruti perintah itu, dan istrinya pun perlahan sembuh. b. Penyakit Kiriman Penyakit kiriman juga ditandai dengan gejala penyakit yang tidak wajar. Penyakit ini disebabkan oleh seseorang yang menginginkan orang tertentu sakit. Jenis penyakitnya bisa bermacam-macam. Biasanya seseorang ‘mengirim’ suatu penyakit kepada seseorang karena faktor dendam atau ketidak sukaan. Pak Sum dahulunya adalah seorang pedagang makanan. Suatu hari, mendadak ia mengalami gatal-gatal tapi hanya separuh badan. Ia mencoba untuk berobat ke dokter, tapi tak sembuh. Kemudian dia diberitahu orang bahwa penyakitnya bukan penyakit biasa, tetapi karena dikirim seseorang. Ia pun 49 Sumber: Wawancara dengan Idah, 3 Juni 2014 73 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 diobati dengan cara dibacakan doa-doa. Selanjutnya seorang anak kecil yang kebetulan berada di sekitarnya, melihat seseorang keluar dari tubuhnya. Meski takbisa melihat, tapi Pak Sum bisa merasakan ada sesuatu yang keluar dari tubuhnya. Esok harinya, gatal-gatalnya perlahan sembuh. Beberapa waktu kemudian, Pak Sum juga melihat ada seseorang mendatanginya dengan cara menempel di dinding. Wajahnya dilihat samar-samar seperti pedagang yang sering berjualan di sekitarnya. Ketika sembuh dan kembali berjualan, Pak Sum merasa heran karena tak pernah lagi bertemu dengan pedagang itu lagi. Bisa disimpulkan bahwa pedagang itu lah yang ‘mengirimi’ penyakit kepada Pak Sum. c. Teluh Teluh berbentuk bola api yang terbang di malam hari, menyinggahi atap-atap rumah. Sasarannya adalah keluarga yang memiliki bayi yang baru lahir. Bola api teluh adalah jelmaan seseorang yang sedang mempelajari ilmu hitam atau mencari pesugihan (kekayaan) dengan cara pergi ke gunung-gunung untuk bersemedi. Jika seorang bayi terkena teluh, bayi tersebut tiba-tiba akan jatuh sakit dan beberapa hari kemudian meninggal. Agar bayi terhindar dari teluh, diadakan melekan, biasanya sang ayah ditemani beberapa orang tetangga laki-laki akan begadang hingga dini hari, sejak bayi lahir hingga umur 7 hari atau malah hingga 40 hari. d. Sawan Sawan adalah penyakit yang juga disebabkan oleh makhluk halus dan hanya dialami oleh anak-anak, terutama bayi. Ada dua jenis sawan yang dikenal di masyarakat, yakni sawan wangke dan sawan burok. Sawan wangke adalah sawan yang disebabkan karena adanya suatu kondisi kematian. Si bayi berada di sekitar 74 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat seseorang yang meninggal. Jika seorang bayi terkena sawan ini, pertumbuhannya akan terhambat. Ia seolah mengecil dan kakinya tak mau lurus. Jika sudah disimpulkan bahwa si bayi terkena sawan wangke, maka pengobatannya adalah dengan mencuri salah satu pakaian milik orang mati, celana atau sarungnya. Selanjutnya pakaian tersebut diselimutkan pada tubuh si bayi, namun jika sudah sembuh, kain itu harus dikembalikan. Tapi dalam proses pengambilan, tidak boleh diketahui orang lain. Sawan burok disebabkan karena si bayi kelewatan mahkluk penghuni burok. Burok/burokan adalah sejenis kesenian tradisional dengan menggunakan boneka burok. Seorang bayi yang terkena sawan burok ditandai dengan mata yang tidak mau mengedip, seperti mata boneka burok. Untuk mengobatinya, dengan meraupi burok. Ketika ada burok lewat (bisa juga diundang), orang tua si bayi harus mengusapkan telapak tangannya di wajah boneka burok dan kemudian mengusap ke wajah si bayi. Hal ini dilakukan berulang-ulang hingga 3 kali. Diharapkan selanjutnya orang tua memberikan sejumlah uang kepada si pemain burok dengan jumlah yang tidak ditentukan. 75 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 76 BAB 3 GAMBARAN KESEHATAN MASYARAKAT DUKUH WIDARA 3.1. Budaya Kesehatan Ibu dan Anak 3.1.1. Gambaran Kondisi Kesehatan Ibu dan Anak Desa Dukuh Widara memiliki kondisi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang hampir sama dengan beberapa wilayah di Puskesmas Kalibuntu. Berdasarkan data laporan KIA tahun 2013, salah satu masalah yang terjadi di Desa Dukuh Widara adalah adanya ibu hamil yang masih kurang dari 20 tahun dan KEK (Kurang Energi Kronis) yang ditandai dengan LILA <23,5 cm. Pada periode persalinan, Desa Dukuh Widara memiliki permasalahan yang cukup berarti, yaitu masih rendahnya cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan. Pada masa nifas, selain tradisi yang masih kental, angka cakupan pemberian ASI eksklusif juga masih sangat rendah. Pada fase kehidupan anak dan balita, masalah yang cukup menonjol di Desa Dukuh Widara adalah pola asuh orang tua, baik yang tinggal bersama dengan orang tua kandung maupun orang tua asuh. Sebelum membahas tentang KIA, maka akan dibahas tahapan sebelum fase menjadi ibu/membentuk keluarga. Fase tersebut adalah masa remaja dan pra kehamilan. 77 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 3.1.2. Remaja 3.1.2.1. Pengertian Remaja Secara etimiologi, remaja berarti “tumbuh menjadi dewasa”. Definisi remaja (adolescence) menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) adalah periode usia antara 10 sampai 19 tahun, sedangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut kaum muda (youth) untuk usia antara 15 sampai 24 tahun. Sementara itu, menurut The Health Resources and Services Administrations Guidelines Amerika Serikat, rentang usia remaja adalah 11-21 tahun dan terbagi menjadi tiga tahap yaitu remaja awal (11-14 tahun); remaja menengah (15-17 tahun); dan remaja akhir (18-21 tahun). Definisi ini kemudian disatukan dalam terminologi kaum muda (young people) yang mencakup usia 1024 tahun. Definisi remaja sendiri dapat ditinjau dari tiga sudut pandang, yaitu: 1) Secara kronologis, remaja adalah individu yang berusia antara 11-12 tahun sampai 20-21 tahun; 2) Secara fisik remaja ditandai oleh ciri perubahan pada penampilan fisik dan fungsi fisiologis, terutama yang terkait dengan kelenjar seksual; 3) Secara psikologis, remaja merupakan masa dimana individu mengalami perubahan-perubahan dalam aspek kognitif, emosi, sosial, dan moral, diantara masa anak-anak menuju masa dewasa. Gunarsa (1978) yang dikutip oleh Eny Kusmiran (2011) mengungkapkan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa. 78 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Masa remaja adalah masa yang penting dalam perjalanan kehidupan manusia. Golongan umur ini penting karena menjadi jembatan antara masa kanak-kanak yang bebas menuju masa dewasa yang menuntut tanggung jawab. 3.1.2.2. Perubahan Fisik pada Masa Remaja Masa remaja terjadi ketika seseorang mengalami perubahan struktur tubuh dari anak-anak menjadi dewasa (pubertas). Pada masa ini terjadi suatu perubahan fisik yang cepat disertai banyak perubahan, termasuk didalamnya pertumbuhan organ-organ reproduksi (organ seksual) untuk mencapai kematangan yang ditunjukkan dengan kemampuan melaksanakan fungsi reproduksi. Perubahan yang terjadi pada pertumbuhan tersebut diikuti munculnya tanda-tanda seks primer dan seks sekunder “Mah” adalah pelajar berumur 19 tahun, telah mengalami menstruasi sejak kelas 6 SD, dan sampai dengan sekarang periode menstruasinya selalu lancar dan tidak ada masalah apapun. Pada saat ditanya pengetahuannya tentang kesehatan reproduksi seperti ciri-ciri remaja laki-laki dan perempuan, penyakit menular seksual, alat kontrasepsi dan sunat baik kepada laki-laki maupun perempuan, berikut jawaban “Mah, “Penyakit menular kalau di reproduksi itu yang kayak HIV/AIDS, Sipilis dan GO, kalau itu sudah belajar di pelajaran”. “Kalau alat kontrasepsi saya ga tahu banyak (sambil tertawa) paling pernah tahu mamah pakai pil, gitu”. Di Desa Dukuh Widara, usia pernikahan rata-rata 18 tahun, setingkat SMA. Awalnya mbak “Mah” tidak bercerita banyak tentang penyebab pernikahan, tetapi saat dtanyakan tentang apakah disini ada kejadian“kecelakaan?”. 79 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 “Wah, kalau seperti itu disini banyak mbak.. ada temen saya juga, waktu kelas satu ada, pas naik kelas dua ada yang kemarin-kemarin juga ada... terlihat penuh semangat bercerita. Menurut “Mah” banyak faktor yang menyebabkan kejadian ini antara lain: itu anak cewenya, yang bangga kalau punya cowo dan deket deket cowe, terus juga ada lagi karena anak cowonya sudah pada gede-gede dan ada juga beberapa itu kejadian karena ditinggal orang tuanya pergi keluar negeri. “Jadikan mbak, mereka tinggal sama orang lain seperti nenek atau bibi dan biasanya terlalu ketat atau ada juga yang terlalu longgar. Kalau yang ketat merekakanjadinya ga bebas, jadi sering bohong. Contohnya mau pacaran tapi alasannya belajar kelompok, ngerjain PR.” Biasanya mereka akan ketahuan kalau sudah hamil besar, ada juga sih yang mereka cerita sendiri, ceritanya tapi ga ke orang tuanya, ke nenek atau cerita ke bibinya dan itu biasanya kalau sudah hamil besar, malah ada yang sudah 6 bulan. Pada umumnya peristiwa ini, mereka akan langsung dinikahkan dan tidak ada sanksi dari masyarakat atas perilaku mereka”. Saat ditanyakan tentang pengetahuan remaja, tentang pacaran yang sehat dan akibatnya, mbah Mah, menjawab seperti ini: ”ya, lah mba, mereka pasti tahu wong suka ngobrol dan akibatnya pasti tahu, kan sudah ada pelajarannya di penjas (pedidikan jasmani), yaitu tentang seks bebas dan narkoba. Jadi dipelajaran itu diajarkan tentang pacaran sebaiknya di rumah, bareng dengan orang tua, kalau denger-denger cerita mereka, biasanya gitu-gitu terjadi di rumah cowonya jadi si cewe main ke rumah cowonya. 80 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Sudah tahu, sudah diingatkan selanjutnya semua tergantung orang yang menjalaninya.”50 Selain “Mah” salah seorang remaja di Desa Dukuh Widara yang temui adalah AN. Ia kini berusia 15 tahun dan duduk di bangku kelas 3 sebuah sekolah MTs di sebuah desa yang bersebelahan langsung dengan Desa Dukuh Widara. AN mulamula terlihat malu-malu saat diberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan kedatangan penulis. Namun tak lama kemudian, AN menyatakan bersedia menjadi informan tetapi berdua dengan sepupunya. Sepupunya tersebut bernama EL, yang juga bertempat tinggal di blok yang sama, dan lokasi yang sangat berdekatan dengan rumah AN. Pada saat ditanya tentang menstruasi pertama, El ternyata memiliki jawaban yang sama dengan AN, menstruasi pertama EL, terjadi kelas 2 MTs (Madrasah Tsanawiyah). Tidak ada acara khusus yang dilakukan oleh keluarga AN maupun diyakini oleh masyarakat sebagai tradisi yang harus dilakukan pada saat remaja putrinya menstruasi yang pertama. Keluarga terutama ibu hanya pernah membekali pengetahuan tentang menstruasi yang akan dialami oleh setiap anak perempuan yang sudah baligh. Namun demikian pengetahuan yang didapatkan AN, hanya sebatas pengetahuan menghadapi menstruasi yang akan terjadi saja, namun pengetahuan tentang cara menggunakan dan membersihkan pembalut AN mendapatkan dari teman. Pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi remaja sangat penting dan sangat berpengaruh terhadap sikap remaja untuk menjaga kesehatan reproduksinya. Pada saat ditanyakan tentang sunat perempuan, AN tidak bisa menjawab, ia hanya tersenyum saja. Pengetahuan tentang sunat perempuan 50 Sumber: Wawancara dengan responden remaja, pra kehamilan 81 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 nampaknya belum sampai kepada AN. Tetapi pada saat pertanyaan itu disampakan kepada Mbok (panggilan untuk perempuan tua) Kasep, yang tidak lain adalah nenek AN, dijawab seperti ini ”Sunat perempuan itu wajib dilakukan, kan muslim, yo nek muslim kudu disunat, sunate neng bidan, mak mung terima beres.” “Sunat bagi perempuan itu wajib dilakukan, ya kalau seorang muslim wajib disunat, sunatnya dilakukan oleh bidan, saya terima beres saja”51 Informasi lain tentang sunat perempuan didapatkan dari Bi Irah, salah seorang dukun bayi di Desa Dukuh Widara. “Kalau cewek kalau 40 hari boleh disunat, sama nindik ya boleh. Nindik kalau di dokter... dokter saja. kalau perempuan disunat kan Cuma buang apanya yang pamali itu yang agak kayak menir. Beras yang kecil. udah dicuik udah kena, ya sudah lain sama cowok. Kalau disini namanya korenah, tamba pamali. Kalau misalnya cewek nggak sunat masaknya nggak enak. katanya najisnya yang putih yang kayak menir. Bawahnya pakai kunyir, yang penting netes darah sedikit, dicuwik pakai gunting. Nyarinya juga hari manis, katanya biar manis yang cewek, sekalian nindik biar pakai anting manis”. Tentang sunat laki-laki, informasi yang kami dapatkan dari putra ibu Iyah, Iwan (14 tahun). “Kadang yang sama puput sunat. Ada yang empat tahun. Tujuh tahun”. AN mengetahui sedikit tentang penyakit menular seksual, karena itu telah dipelajari di sekolah. Namun pada saatharus menyebutkan, AN hanya tersenyum saja dan bilang lupa. Seperti umumnya remaja yang lainnya, AN juga memiliki ketertarikan 51 Sumber: Wawancara Dukun Bayi 82 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat dengan lawan jenis. AN, memiliki pacar, dan sudah menjalin hubungan cukup lama. Ia memahami rambu-rambu dalam berpacaran seperti tidak berciuman baik bibir maupun pipi, jangan mau kalau dipegang-pegang, dan hati-hati dengan ajakan hubungan seksual, katanya kemudian. Pengetahuan seperti ini didapatkan AN dari pelajaran di sekolah. Dalam pacaran AN memperhatikan hal tersebut, “saya ga pernah gitu-gituan, pernah sih berpegangan tangan, cuman itu saja ko,” akunya kemudian. Peristiwa yang baru-baru ini menimpa teman sekolahnya, membuat orang tua dan keluarga besarnya (nenek) menjadi lebih protektif lagi. Menurut cerita AN, peristiwa yang dialami oleh temannya tersebut adalah perkosaan. Temennya tersebut diperkosa oleh teman dekat/pacar yang kenal dan dekat dari Facebook. Peristiwa itu terjadi di malam hari di tempat mereka sekolah. Pada saat ditanya, kenapa mereka bisa masuk ke sekolah, AN tidak tahu jawabannya. Contoh kejadian tersebut, hanyalah satu cerita dari banyak cerita yang terjadi di lingkungan sekitar mereka. Kalau ditanya tentang Facebook, AN mengaku sering facebook-an, tetapi bisa mejaga diri, antara lain berpegang teguh pada prinsip, yaitu tidak pernah mau main-main, ga pernah yang kayak gitugituan. AN mengatakan, bahwa ia cukup tertekan dengan aturan nenek dan orang tuanya, yang sangat membatasi pergaulan AN, ia sebenarnya ingin main dan bertemu dengan pacarnya lebih sering daripada biasanya, namun pengawasan orang tua sangat ketat, AN merasa takut juga ketika orang tuanya marah. Selain bersekolah pada siang hari, AN tidak memiliki kegiatan rutin yang lainnya, kecuali bila sudah sore hari, AN mempunyai kesempatan/waktu bermain. Itu pun ia manfaatkan hanya untuk 83 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 bermain di sekitar rumah saja. Pada malam harinya, orang tua akan menyuruhnya ke masjid. Pada usia remaja, terdapat masa transisi yang akan dialami. Kedua remaja tersebut diatas mengalami tahapan perkembangan yang berbeda. Dalam konteks kesehatan reproduksi, masa perubahan ini dikenal sebagai masa transisi. Masa transisi tersebut menurut Gunarsa (1978) dalam disertasi PKBI (2000) adalah sebagai berikut. a. Transisi fisik berkaitan dengan perubahan bentuk tubuh. Bentuk tubuh remaja sudah berbeda dengan anak-anak, tetapi belum sepenuhnya menampilkan bentuk tubuh orang dewasa. Hal ini menyebabkan kebingungan peran, didukung pula dengan sikap masyarakat yang kurang konsisten. b. Transisi dalam kehidupan emosi Perubahan hormonal dalam tubuh remaja berhubungan erat dengan peningkatan kehidupan emosi. Remaja sering memperlihat ketidakstabilan emosi. Remaja tampak sering gelisah, cepat tersinggung, melamun, dan sedih, tetapi di lain sisi akan gembira, tertawa, ataupun marah-marah. c. Transisi dalam kehidupan sosial Lingkungan sosial anak semakin bergeser ke luar dari keluarga, dimana lingkungan teman sebaya mulai memegang peranan penting. Pergeseran ikatan pada teman sebaya merupakan upaya remaja untuk mandiri (melepaskan ikatan dengan keluarga). d. Transisi dalam nilai-nilai moral Remaja mulai meninggalkan nilai-nilai yang dianutnya dan menuju jilai-nilai yang dianut orang dewasa. Saat ini remaja mulai meragukan nilai-nilai yang diterima pada waktu anakanak dan mulai mencari nilai sendiri. 84 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat e. Transisi dalam pemahaman Remaja mengalami perkembangan kognitif yang pesat sehingga mulai mengembangkan kemampuan berfikir abstrak. Dari penjelasan tersebut, dijelaskan bahwa masa transisi dalam kehidupan remaja meliputi berbagai aspek, dari mulai perubahan fisik, perubahan kehidupan emosi, kehidupan sosial, transisi nilai moral dan transisi dalam pemahaman. Beberapa ciri penting perkembangan heteroseksual remaja secara umum antara lain: a. Remaja mempelajari perilaku orang dewasa sesuai dengan jenis kelaminnya untuk menarik perhatian lawan jenisnya. b. Minat terhadap lawan jenis makin kuat disertai keinginan kuat untuk memperoleh dukungan dari lawan jenis. c. Minat terhadap kehidupan seksual. d. Remaja mulai mencari-cari informasi tentang kehidupan seksual orang dewasa, bahkan juga muncul rasa ingin tahu dan keinginan bereksplorasi untuk melakukannya. e. Minat dalam keintiman secara fisis. Dengan adanya dorongan seksual dan ketertarikan terhadap lawan jenis. Beberapa masalah umum yang dialami remaja berkaitan dengan tumbuh kembangnya yaitu: a. Masalah yang berkaitan dengan lingkungan rumahnya seperti relasi dengan anggota keluarga, disiplin, dan pertentangan dengan orangtua. b. Masalah-masalah yang berkaitan dengan lingkungan sekolah. c. Kondisi fisik (kesehatan atau latihan), penampilan (berat badan, ciri-ciri daya tarik, bau badan, jerawat, kesesuaian dengan jenis kelamin). d. Emosi (temperamen yang meledak-ledak, suasana hati berubah-ubah). 85 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 e. Penyesuaian sosial (minder, sulit bergaul, pacaran, penerimaan oleh teman sebaya, peran pemimpin). f. Masalah pekerjaan (pilihan pekerjaan, pengangguran). g. Nilai-nilai (moral, penyalahgunaan obat-obatan, dan hubungan seksual). h. Masalah yang berkaitan dengan hubungan lawan jenis (heteroseksual), seperti putus pacar, proses pacaran, backstreet, sulit punya pacar, dan lain-lain. 3.1.2.3. Nutrisi Untuk pemenuhan kebutuhan nutrisi pada masa remaja, menurut “Mah” sudah terpenuhi. “Mah” remaja, 19 tahun, lulus SMA dengan tinggi 160 memiliki berat badan 60kg, ia selalu makan 3 kali sehari dengan semua menu yang dia suka, artinya dia tidak pernah pilih-pilih makanan. Berbagai jenis karbohidrat, protein,lemak, sayuran dan buah-buahan yang dikonsumsi tanpa adanya pantangan. Memang tidak setiap hari mengkonsumsi sayur dan buah-buahan, tergantung yang dimasak. Pada waktu sekolah dulu, ia selalu membawa makanan ke sekolah dan jarang jajan, begitu pula dengan teman-temannya. Makanan favoritnya bakso, namun ia jarang mengkonsumsinya lagi karenakan takut gemuk. Sedikit berbeda halnya dengan Mah, An jarang makan, remaja 15 tahun tersebut hanya memiliki tinggi badan sekitar 135 cm dengan berat badan 35 kg, sehingga nampak kurus. Secara sekilas selain faktor kebiasaan An yang jarang makan, sepertinya ada faktor keturunan untuk badan yang kurus dari orang tua dan neneknya, karena semuanya memang memiliki tipikal badan yang kurus. An lebih suka jajan daripada makanmakanan olahan atau masakan rumah, dan untuk makanan favoritnya sama dengan Mah, yaitu bakso, selain itu bermacam- 86 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat macam masakan yang pedas juga menjadi menu kesukaannya, seperti rujak sayur yang pedas. Kebanyakan gadis remaja ingin langsing dan berdiet. Makan sangat sedikit atau menggunakan obat untuk mempercepat makanan melewati usus mereka. Gangguan makan nampak biasa pada remaja, seperti anorexia nervosa dan bulimia nervosa. Penyakit ini mempengaruhi sekitar 5 dari setiap 100 wanita di akhir masa remaja atau awal kedewasaan. Kedua penyakit ini akan menyebabkan berbagai keluhan dalam kesehatan tubuhnya, seperti gangguan siklus haid pada anoreksia. Pada remaja dengan bulimia nervosa, biasanya remaja akan makan sangat banyak namun selanjutnya mereka tidak makan sampai beberapa hari. Selain kedua jenis permasalahan tersebut, jerawat juga merupakan masalah yang sangat sering dialami remaja. Jerawat mempengaruhi 60% sampai dengan 80% remaja dan 15% adalah penderita jerawat parah. Jerawat disebabkan kelenjar sebaceous dalam kulit yang peka terhadap hormon androgen. Hormon androgen menyebabkan pertumbuhan secara berlebihan sel-sel yang membangun pembuluh yang menghubungkan kelenjar sebaceous ke permukaan kulit. Jerawat tidak disebabkan oleh makanan yang tidak dapat dicerna sempurna atau kurang olah raga. Mah bercerita bahwa masalah jerawat menjadi diskusi yang sangat hangat bersama dengan teman-temannya, mulai dari makanan yang berpengaruh pada timbulnya jerawat sampai obat penyembuh jerawat. 3.1.2.4. Pola interaksi sosial Sebagai remaja akhir, Mah sudah memiliki pola hubungan yang jelas, dia memilih bergaul hanya dengan teman sekolah pada siang hari, selama sekolah dan bergaul dengan 87 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 teman di desanya pada malam hari di mushola di desanya. Ia memiliki pacar dan telah bisa mengatur diri tentang waktu untuk bersama-sama pacarnya. Kebanyakan remaja di desanya juga memiliki pola yang sama. Akan tetapi Mah tidak memahami apakah di desanya ada kegiatan karang taruna atau tidak. Sebagai tambahan ada kegiatan sepak bola pada sore hari untuk laki-laki dan biasanya perempuannya menonton. Informasi yang didapatkan dari Mah, sedikit berbeda dari informasi yang didapatkan dari AN yang mengatakan, bahwa ia cukup tertekan dengan aturan nenek dan orang tuanya, yang sangat membatasi pergaulannya. Ia merasakan bahwa berbagai aturan yang diberikan oleh keluarga besarnya, terutama neneknya tidak memberikan manfaat untuknya dan justru bersifat mengekang. Dari deskripsi tentang remaja dan beberapa aspek yang mempengaruhinya, nampak ada beberapa aspek yang berbeda antara kedua kelompok remaja tersebut. Hal ini sesuai dengan ciri-ciri Kejiwaan dan Psikososial Remaja. Ciri-ciri Kejiwaan dan Psikososial remaja menurut Arifin (2003) yang dikutip Eny Kusmiran (2011) :52 a. Usia Remaja Muda (12-15 Tahun) 1) Sikap protes terhadap orang tua Remaja pada usia ini cenderung tidak menyetujui nilai-nilai hidup orangtuanya, sehingga sering menunjukkan sikap protes terhadap orangtuanya. Mereka berusaha mencari identitas diri dan sering kali disertai dengan menjauhkan diri dari orangtuanya. Dalam upaya pencarian identitas diri, remaja cenderung melihat kepada tokoh-tokoh diluar lingkungan keluarganya, yaitu guru, figur ideal yang terdapat di film, atau tokoh idola. 52 Sumber: Kusmiran, Eny. 2011 88 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat 2) Preokupasi dengan badan sendiri Tubuh seorang remaja usia ini mengalami perubahan yang cepat sekali. Perubahan-perubahan ini menjadi perhatian khusus bagi diri remaja. 3) Kesetiakawanan dengan kelompok seusia Para remaja pada kelompok umur ini merasakan keterikatan dan kebersamaan dengan kelompok seusia dalam upaya mencari kelompok senasib. Hal ini tercermin dalam cara berperilaku sosial. Kemampuan untuk berpikir secara abstrak. Daya kemampuan berfikir seorang remaja mulai berkembang dan dimanifestasikan dalam bentuk diskusi untuk mempertajam kepercayaan diri. 4) Perilaku yang labil dan berubah-ubah 5) Remaja sering memperlihatkan perilaku yang berubahubah. Pada suatu waktu tampak bertanggung jawab, tetapi dalam waktu lain tampak masa bodoh dan tidak bertanggung jawab. Remaja merasa cemas akan perubahan dalam dirinya. Perilaku demikian menunjukkan bahwa dalam diri remaja terdapat konflik yang memerlukan pengertian dan penanganan yang bijaksana. b. Usia Remaja Penuh (16-19 Tahun) 1) Kebebasan dari orang tua Dorongan untuk menjauhkan diri dari orangtua menjadi realitas. Remaja mulai merasakan kebebasan, tetapi juga merasa kurang menyenangkan. Pada diri remaja timbul kebutuhan untuk terikat dengan orang lain melalui ikatan cinta yang stabil. 2) Ikatan terhadap pekerjaan atau tugas Sering kali remaja menunjukkan minat pada suatu tugas tertentu yang ditekuni secara mendalam. Terjadi pengembangan akan cita-cita masa depan yaitu mulai 89 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 memikirkan melanjutkan sekolah atau langsung bekerja untuk mencari nafkah. 3) Pengembangan nilai moral dan etis yang mantap Remaja mulai menyusun nilai-nilai moral dan etis sesuai dengan cita-cita. 4) Pengembangan hubungan pribadi yang labil Adanya tokoh panutan atau hubungan cinta yang stabil menyebabkan terbentuknya kestabilan diri remaja. 5) Penghargaan kembali pada orangtua dalam kedudukan yang sejajar. Menganalisis dari hasil wawancara pada kasus remaja, bisa dicermati, salah satu masalah dalam kesehatan reproduksi remaja, antara lain kasus kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Masalah ini semakin meningkat seiring perkembangan informasi dan teknologi. Banyak faktor yang bisa menyebabkan kasus ini. Jika ditelaah lebih lanjut, salah satu faktor mungkin menjadi penyebab terjadinya KTD di Desa dukuh Widara adalah pola asuh orang tua terhadap remaja. Gaya pengasuhan orang tua didefinisikan oleh Darling dan Steinberg (1993) sebagai “sekumpulan sikap yang dikomunikasikan kepada remaja dan bersama menciptakan suasana emosional dimana perilaku orang tua diekspresikan. Gaya pengasuhan tidak hanya terdiri atas peraturan, pembatasan, dan tuntutan tetapi juga aspek yang sangat penting yaitu komunikasi dan kehangatan orang tua. Etzkin (2004) menyatakan bahwa komunikasi orang tua tentang isu seksual adalah kunci penting dalam keterlibatan keluarga pada kehidupan remaja53. Pengasuhan orang tua erat dengan banyak aspek dan perkembangan remaja, orang tua yang berwibawa 53 Sumber: Etzkin. 2004 90 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat dicirikan oleh tingginya tingkat kehangatan, adanya dukungan orang tua, pengaturan batasan komunikasi terbuka dan pengawasan tinggi telah lama diyakini sebagai gaya pengasuhan yang ideal54. Menurut Santrock (2003) pengasuhan orang tua tersusun berurutan. Pertama pengasuhan tidak meliputi tema penting dari sosialisasi timbal balik dan kesesuaian, remaja mensosialisasikan orang tua seperti orang tua mensosialisasikan remaja. Kedua orang tua menggunakan kombinasi dari beberapa tehnik dari pada hanya satu tehnik, walaupun beberapa tehnik lebih dominan. Pengasuhan yang konsisten akan mempengaruhi remaja terhadap gaya pengasuhan yang diterapkan. Orang tua yang bijaksana dapat merasakan pentingnya bersikap lebih permisif dalam situasi tertentu, dan lebih otoriter pada situasi yang lain namun dapat lebih otoritatif disituasi yang lain lagi.55 Pandangan yang lebih dikenal adalah pandangan Diana Baumrind, yang menyakini bahwa orang tua seharusnya tidak bersikap menghukum maupun menjauhi remaja tetapi sebaiknya membuat aturan dan menyayangi mereka. Dia menekankan tiga jenis cara menjadi orang tua, yang berhubungan dengan aspekaspek yang berbeda dalam perilaku sosial remaja yaitu otoriter, otoritatif, dan permisif (Santrock, 2003). Orang tua dengan gaya pengasuhan otoritatif (dukungan yang tinggi dengan pengawasan yang moderate)konsisten berhubungan dengan remaja yang berperilaku positif, sedangkan gaya pengasuhan otoriter (pengawasan yang tinggi dan dukungan yang rendah) atau orang 54 Sumber: Devore & Ginsburg. 2005 55 Sumber: Santrock, John W. 2007 91 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 tua yang permisif neglectful secara umum berhubungan dengan remaja yang berperilaku negatif (Baumrind, 1991). Huebner dan Howell (2003) dalam penelitian yang dilakukannya membagi gaya pengasuhan orang tua atas pengasuhan otoritatif dan non otoritatif. Gaya pengasuhan otoritatif adalah pengasuhan yang mendorong remaja untuk bebas tetapi tetap memberi batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Gaya pengasuhan ini memberi kesempatan remaja untuk memiliki otoritas akan perilakunya. Komunikasi verbal timbal-balik dapat berlangsung dengan bebas, orang tua bersikap hangat dan membesarkan hati remaja. Gaya pengasuhan non otoritatif terdiri atas pengasuhan otoriter dan permisif. Gaya pengasuhan otoriter merupakan gaya pengasuhan yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak remaja untuk mengikuti petunjuk orang tua untuk menghormati pekerjaan dan usaha. Gaya pengasuhan ini membuat remaja tidak memiliki kebebasan dalam berperilaku. Orang tua otoriter membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan hanya melakukan sedikit komunikasi verbal. Gaya pengasuhan permisif terdiri dari pengasuhan permisif tidak peduli dan memanjakan. Pengasuhan permisif tidak peduli adalah suatu pola dimana orang tua sangat tidak ikut campur dalam kehidupan remaja, hal ini berkaitan dengan perilaku sosial yang tidak cakap terutama kurangnya mengendalian diri. Pengasuhan permisif memanjakan merupakan suatu pola dimana orang tua sangat terlibat dengan remaja tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan mereka. Menurut Maccoby dan Martin (1983) gaya pengasuhan orang tua sendiri terdiri dari dua elemen penting yaitu pengasuhan responsiveness (mengacu pada pengasuhan hangat dan memberikan dukungan) dan demandingness mengacu pada kontrol tingkah laku). Hal ini juga merupakan suatu penerapan 92 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat metode disiplin pada remaja. Metode disiplin ini meliputi konsep positif dan konsep negatif. Konsep positif terjadi bila penerapan disiplin merupakan pendidikan dan bimbingan yang menekankan pengendalian diri. Konsep negatif terjadi apabila pengendalian diri remaja berasal dari kekuatan luar. Aspek-aspek gaya pengasuhan orang tua meliputi pengawasan yaitu usaha orang tua untuk mengawasi dan mempengaruhi kegiatan remaja, komunikasi orang tua dan remaja, disiplin yang diterapkan dengan fungsi sebagai pedoman dalam melakukan penilaian terhadap tingkah laku remaja, hukuman dan hadiah. Menurut Santrock (2003) terdapat peningkatan secara drastis penelitian mengenai pengasuhan bersama antara ayah dan ibu. Hasil penelitian tersebut menunjukkan kurangnya koordinasi antara ayah dan ibu, kurang berperannya salah satu orang tua, kurangnya kerjasama dan kehangatan dan tiadanya hubungan dengan salah satu orang tua, semuanya merupakan kondisi yang menyebabkan remaja berada dalam risiko masalah. Tradisi sunat perempuan di kabupaten Cirebon, nampaknya masih cukup banyak dilakukan. Dari beberapa wawancara yang dilakukan pada remaja, baik laki-laki maupun perempuan belum pernah mendengar dan mengetahui tentang sunat perempuan. Informasi tentang sunat perempuan banyak didapatkan dari paraji atau dukun bayi dan ibu dari remaja tersebut. WHO mendefinisikan sunat perempuan sebagai semua tindakan/prosedur meliputi pengangkatan sebagian atau seluruh organ genitalia eksterna perempuan atau bentuk perlukaan lain terhadap organ genetalia perempuan dengan alasan budaya, atau alasan nonmedis lainnya. Tindakan bedah transeksual tidak termasuk dalam hal ini. Medikalisasi artinya keterlibatan tenaga kesehatan dalam pelaksanaan sunat perempuan.Hal ini mungkin dimaksudkan untuk risiko kesehatan dibandingkan jika dikerjakan 93 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 oleh dukun bayi atau tukang sunat tanpa sepengetahuan kesehatan yang adekuat. Tetapi, hal ini ternyata dianggap menjadi berbahaya dan bertentangan dengan etika dasar kesehatan. WHO secara konsisten dan jelas menyampaikan bahwa sunat perempuan dalam bentuk apapun tidak boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan di manapun, termasuk rumah sakit dan sarana kesehatana lainnya. WHO berdasar pada etika dasar kesehatan bahwa mutilasi tubuh yang tidak perlu tidak boleh di lakukan oleh tenaga kesehatan. Female Genital Mutilation (FGM) membahayakan dan tidak berguna bagi wanita. Medikalisasi sunat perempuan juga cenderung akan mempertahankan tradisi ini. Masyarakat akan lebih yakin dengan anggapan adanya dukungan dan legalitas dari provider kesehatan. Di Indonesia sendiri pada 31 Mei sampai 1 Juni 2005 telah diselenggarakan ”Lokakarya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan” berkaitan dengan sunat. Peserta lokakarya terdiri dari unsur-unsur Menteri Pemberdayaan Perempuan, Departemen Kesehatan, Departemen Agama, Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Kesehatan Rakyat, Institusi Pendidikan (Fakultas Kedokteran, Sekolah Kebidanan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Islam Negeri), organisasi profesi (IBI, IDAI, POGI), ormas perempuan termasuk agama, media massa, yayasan yang berkaitan dengan pelayanan medis, dan institusi penelitian. Kesimpulan yang dihasilkan yaitu bahwa sunat perempuan tidak memiliki landasan ilmiah dan lebih didasari pada tradisi dan budaya, tidak ada landasan agama. Atas dasar tersebut, di sampaikan rekomendasi yang berisi : 94 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat 1) Mendukung kebijakan Kemenkes untuk melarang tenaga kesehatan dan sarana kesehatan melakukan sunat perempuan. 2) Mendesak semua pihak terkait untuk melakukan pendidikan publik tentang risiko sunat perempuan merupakan pelanggaran hak asasi. 3) Meningkatkan pemahaman pada kalangan tokoh agama, adat, dan penegak hokum terhadap masalah sunat perempuan. 4) Memasukkan larangan melakukan sunat perempuan dalam kurikulum pendidikan serta menjelaskan dampak negatifnya. 5) Mendesak Menteri Kesehatan, Menteri Pemberdayaan Perempuan, dan Menteri Agama untuk minta fatwa MUI yang melarang dilakukannya sunat perempuan. Rekomendasi tersebut telah diikuti dengan dikeluarkannya surat edaran tentang larangan medikalisasi sunat perempuan bagi petugas kesehatan oleh Depkes RI, yang mengharapkan agar semua tenaga kesehatan secara tegas menolak permintaan sunat perempuan.56 Bidan dan dukun bayi yang berada di Desa Dukuh Widara dalam melaksanakan sunat perempuan berbeda-beda mulai hanya ditoreh saja dan tidak ada jaringan atau selaput yang terbawa, sampai denganterdapat dukun bayi yang melakukan sunat dengan ditoreh sampai ada darah yang menetes. Penggalian tentang alasan yang melatar belakangi tindakan sunat perempuan, diungkapkan oleh beberapa dukun antara lain karena alasan agama maka mereka wajib disunat. Ada juga bidan 56 Sumber: Kebijakan Departemen Kesehatan Terhadap Medikalisasi Sunat Perempuan Selasa, 13 Mar 2007 09:49:48 Jakarta 95 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 yang melakukan sunat tersebut hanya mengikuti tradisi yang berlaku dimasyarakat, jadi melakukannya hanya untuk memenuhi permintaan. 3.1.3. Penantian Kehamilan Masalah ledakan penduduk, adalah masalah dunia yang harus diatasi, namun demikian dibalik masalah tersebut banyak pula wanita yang bersusah payah berusaha agar dikaruniai anak. Pada zaman dahulu, apabila perkawinan tidak menghasilkan keturunan, maka perempuan akan mengalami diskriminasi dengan disalahkan atau sebagai penyebabnya, dalam artian jika pasangan suami istri belum memiliki keturunan atau anak, maka keluarga besar mereka beranggapan bahwa perempuanlah yang menjadi penyebab belum diberikannya keturunan. Oleh karena itu, istilah mandul lebih sering disematkan pada perempuan dibandingkan laki-laki. Pada kondisi normal/cukup subur, dan melakukan senggama dengan teratur, kemungkinan terjadi kehamilan dalam tahun pertama adalah 90%. Atas dasar itu, maka pasangan yang telah satu tahun menikah dan belum dikarunia anak, maka disebut kurang subur. Pada beberapa penelitian tentang sebab-sebab kemandulan membuktikan bahwa 35% kelainan terletak pada istri, 35% terletak pada suami dan 30% sisanya pada kedua belah pihak.57 Salah satu keluarga yg mengalami kondisi ini adalah Mb Ira berdasarkan informasi dari Mbok Eni, salah satu dukun bayi di Desa Dukun Widara. 57 Sumber: Derek Llewellyn , Jones. 1997. 96 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat “Assalamu’alaikum...,” Cukup lama kami menunggu pemilik rumah membukakan pintu. Menurut keterangan Mbok Eni, pemilik rumah tersebut adalah Bu Ira, ibu hamil pertama berusia 38 tahun. Walaupun belum mengenal, Ibu Ira tetap mengajak kami duduk disofa panjang yang berada di ruang tamunya. Sofa tersebut nampak memudar warnanya, menandakan rentang waktu yang cukup lama. Ruangan yang ditempatipun nampak telah menua. Meskipun masih nampak rapi, namun disana sini sudah nampak retak-retak tanda rumah tersebut adalah rumah tua. Beberapa saat setelah kami duduk dan memperkenalkan diri serta menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan kami, Ibu Ira bercerita bahwa rumah yang didiaminya adalah rumah bapaknya yang telah renta, bahkan lebih dari 75 tahun. Ibu Ira sendiri baru menempati rumah tersebut sekitar 7 bulan semenjak ia dinyatakan hamil oleh seorang dokter spesialis kandungan di Arab Saudi tempatnya bekerja, kemudian dia pulang ke Indonsia untuk merawat kehamilannya serta merawat orang tuanya. Berbicara tentang kehamilannya adalah kehamilannya yang sangat dinantikannya Ibu Ira menikah sejak berusia 19 tahun. Pernikahan yang sekarang adalah pernikahannya yang kedua. Lama pernikahan, baik pernikahan pertama maupun pernikahan kedua, sekitar 10 tahun. Sepanjang waktu tersebut, Ibu Ira belum dikaruniani seorang putra, baik pada perkawinannya yang pertama, maupun perkawinannya yang kedua. Suami yang pertama hanya bertahan 2 tahun saja dan kemudian bercerai, dan belum pernah hamil dan memiliki putra. Ibu Ira tinggal di luar negeri di Arab Saudi dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga, suaminya juga bekerja di sana sebagai supir dan berlokasi tidak berada jauh dengan tempat bu Ira bekerja. Menurut Ibu Ira, majikannya sangat baik, sehingga ia 97 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 diberikan keleluasaan waktu khususnya pada hari libur untuk bertemu dengan suaminya. Ibu Ira dan suaminya meyakini bahwa kondisi mereka yang belum pernah hamil dan memiliki anak adalah ujian dari Allah. Namun demikian menurutnya, tetap perlu adanya ikhtiar agar harapan atau doanya terwujud. Baik keluarga Ibu Ira, maupun suami, tidak pernah secara terang-terangan mengungkapkan harapan mereka untuk segera memiliki momongan, namun secara tersirat, harapan tersebut sering diungkapkan oleh orang tua, terutama orang tua ibu Ira. Wajar saja harapan itu disampaikan, dikarenakan usia Ibu Ira yang sudah tidak muda lagi, sudah mencapai 37 tahun. Ibu Ira adalah anak yang sangat menghargai orangtuanya, oleh karena itu ia bersama suaminya mulai melakukan ikhtiar untuk memenuhi harapan orang tuanya. Usaha yang pertama dijalankan oleh pasangan ini adalah mendatangi ahli pijat/urut. Tukang pijat ini adalah orang Indonesia yang bekerja pada perusahaan tour and travel, haji dan umroh. Ibu Ira menyebutnya “umrohan”. Jadi selain bekerjadalam bidang tersebut, orang tersebut juga sering melakukan pijat/urut, bahkan dikenal sebagai orang yang paham kandungan. “Orang terus udah gitu bilangnya sih calon punya, tapi suruh sabar, tersebut berasal dari Madura”. Setelah dipijat/urut, Ibu Ira diberitahu bahwa ia bisa memiliki anak, asalkan istirahat satu tahun. Selain itu menurut dokter juga, Ibu Ira bisa memiliki anak, asalkan istriahat setahun. Saat ditanyakan tentang keterangan lain menurut dokter tentang penyebab klinisnya belum hamilnya, Ibu Ira mengatakan bahwa dokternya hanya berkata seperti itu saja, Namun dari dokter spesialis tempatnya memeriksakan diri, Ibu Ira mendapatkan obat yang disebut oleh dokternya obat penyubur. Obat tersebut diberikan khusus buat saya saja, karena suami Ibu Ira telah pernah memiliki anak dari isterinya yang pertama. 98 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Mengetahui informasi tersebut, Ibu Ira memutuskan untuk berhenti bekerja, ikut suami sambil terus berdoa, ziarah dan haji. Saat musim hajian usai ternyata Ibu Ira belum mendapatkandatang bulan. Seperti kebanyakan wanita yang akan menunaikan ibadah haji, biasanya mereka mengkonsumsi obat (pil kontrasepsi) yang berkhasiatsebagai penghambat haid. Ia berfikir mungkin tidak datang bulannya, disebabkan hal tersebut. Akan tetapi yang lebih menggembirakan baginya adalah pada bulan berikutnya saat teman-temannya mens, Ibu Ira tidak mens. Berikut ini ungkapan kegembiraan Ibu Ira saat mengetahui kehamilannya: “Terus alhamdulillah, pulang dari hajian, eh empat hari sampai rumah terus mabok. Bilang suami masuk angin, capean. Tapi sudah empat hari, beda mabuknya, pas lima hari cek urin. Langsung positif. Saya juga sering dulu lambat setengah bulan, udah nggak aneh, satu bulan sdh sering, tapi nggak kayak gitu mabuknya. Terus udah setengah bulan disana, karena sudah janji ortu klo positif hamil saya pulang setengah bulan kemudian saya pulang. Jadi makanya saya pertama datang kontrol hampir setiap bulan sekali karena saya takut lah, namanya satu orang capek, kedua bener-bener minta, kan, tapi Alhamdulillah sampai sekarang.” Kegembiraan tersebut tentunya juga dirasakan oleh suami. Seperti tidak percaya dengan pemeriksaan kehamilan istrinya, suami Ibu Ira sering mempertanyakan ulang apakah istrinya benar-benar hamil, kalau iya apakah perutnya tambah besar? Wajar saja hal tersebut dilakukan, karena penantian kehamilan ini telah cukup lama. Dengan penuh semangat Ibu Ira menceritakan kepada suaminya bahwa kehamilannya benarbenar ada, perut yang tambah membesar dan telah dilakukakn pemeriksaan USG yang lebih memastikan karena terlihat bayi. 99 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Tentunya suami Ibu Ira sangat bahagia mendengar kabar tersebut. 3.1.4. Masa kehamilan Banyak wanita yang sudah merasamengandung, meskipun mereka belum memeriksakan diri ke dokter. Sebagian besar menyambut kehamilan itu dengan gembira, namun sebagian yang lain disertai kecemasan dan ketakutan.Beberapa wanita yang sangat mendambakan kehamilannya, cenderung meniru segala gejala kehamilan dan kemudian percaya pada kebohongannaya sendiri (Derek, 1997). Masa kehamilan akan dimulai dari konsepsi (pertemuan antara sel telur dan sel sperma) dan akan berakhir saat lahirnya janin. Lamanya kehamilan yang normal adalah 280 hari (40 minggu atau 9 bulan 7 hari) dihitung dari Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT). Tahapan masa kehamilan dibagi dalam 3 tahapa, yang selanjutnya lebih dikenal istilah triwulan. Triwulan pertama dimulai dari hasil konsepsi sampai 3 bulan, triwulan kedua dimulai dari bulan keempat sampai 6 bulan, triwulan ketiga dari bulan ketujuh sampai 9 bulan (Saifuddin, 2008). Sedikit berbeda dengan pembagian tersebut, menurut Wiknjosastro (1994), ditinjau dari tuanya kehamilan, kehamilan dibagi dalam 3 bagian, yaitu: a. Kehamilan triwulan pertama (antara 0-12 minggu) b. Kehamilan triwulan kedua (antara 12-28 minggu) c. Kehamilan triwulan ketiga (antara 28-40 minggu) 3.1.4.1. Pendapat masyarakat terhadap kehamilan Masyarakat Desa Dukuh Widara, adalah masyarakat desa yang cukup modern.Penyebutan istilah desa mengacu kepada ciri-ciri desa menurut Undang-undang No 5 tahun 1979 tentang 100 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat pemerintahan masyarakat desa dan pengertian desa menurut Sutardjo Kartohadikusumo. Menurut Undang-undang No 5 tahun 1979 tentang pemerintahan masyarakat desa, disebutkan bahwa desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum, yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah, langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Rebuplik Indonesia. Pengertian desa menurut Sutardjo Kartohadikusumo tidak berbeda jauh dengan pengertian sebelumnya yang mengacu kepada hak/kekuasaan mengatur daerahnya sendiri. Sedikit berbeda ditambahkan oleh Paul H. Landis, tentang ciri-ciri masyarakat desa, antara lain mempunyai pergaulan hidup yang saling mengenal dan biasanya memiliki hubungan kekerabatan. Cara pandang masyarakat secara umum terhadap kehamilan adalah suatu proses yang sangat penting dalam siklus kehidupan, disebabkan pada saat itulah akan dimulainya kehidupan baru, generasi baru. Adanya cara pandang yang demikian dari masyarakat terhadap kehamilan, sangat memungkinkan peran yang tinggi dari seluruh keluarga dalam siklus kehamilan ini. 3.1.4.2.Tradisi masyarakat dalam perawatan kehamilan Dengan melihat cara pandang masyarakat Desa Dukuh Widara yang memandang masa kehamilan adalah salah satu masa yang sangat penting, memungkinkan peran yang tinggi dari seluruh anggota keluarga dari awal masa kehamilan sampai saat kelahiran. Dalam hal tradisi masyarakat dalam perawatan kehamilan dbedakan menjadi tradisi di saat hamil muda, hamil sedang dan hamil tua. Klasifikasi usia kehamilan dalam tradisi ini berbeda halnya dengan klasifikasi kehamilan di asuhan 101 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 kebidanan/dunia kesehatan. Pada konteks budaya masyarakat Desa Dukuh Widara, disebut kehamilan/hamil muda (hamil enom) jika usia kehamilan 1 sampai 4 bulan, disebut hamil sedang jika usia kehamilan antara 4-7 bulan dan disebut hamil tua jika usia kehamilan 7-9/10 bulan. Sedangkan kriteria usia kehamilan/trimester dalam kehamilan dibedakan menjadi trimester 1 (usia kehamilan 1 minggu s.d 12 minggu), trimester 2 (usia kehamilan 13-28 minggu) dan trimester ke 3 (usia kehamilan 28-40 minggu) Pada pembahasan berikut, akan didiskripsikan tentang berbagai tradisi dalam perawatan kehamilan. 1) Masa hamil Muda (1-3 bulan/4 bulan pertama) Pada pengumpulan data yang kami dapatkan, berbagai tradisi dalam perawatan kehamilan di Desa Dukuh Widara telah dimulai sejak awal kehamilan, bahkan saat menentukan hamil/tidaknya seorang wanita. Walaupun tidak semua ibu melaksanakan tradisi ini, tetapi sebagain ibu masih mendatangi paraji untuk dipegang dan diketahui kehamilannya. Menurut Bi lyah satu dukun bayi di DesaWidara “...dadi apa arane, isun iki meteng opo dirung? Dadi dimek-mek, meteng, oleh loro oleh telu kan krasa. Krasane kan kalau udah hamil ada ini ini, mblendung2, atos. Ilmune dari ibu. ibunya saya kan awit buyut, arane nolong lairan. Dadi temurun-temurun.”58 “...jadi apa namanya, saya ini hamil atau tidak? Jadi dipegang, hamil, dapat 2 atau 3 bulan terasa. Rasananya kan kalau sudah hamil ada yang seperti ini, perutnya membesar, keras”. 58 Sumber: Wawancara dengan dukun bayi. 102 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Pada masa kehamilan ini, sebagian besar ibu hamil mengalami keluhan sakit pada perut bagian bawah, atau “mbateg”, selanjutnya akan mendatangi dukun bayi/paraji untuk doyog (dioyog). Menurut Bi Arofah(47 tahun) salah seorang dukun bayi/paraji di Desa Dukuh Widara, mengatakan tentang cara dan tujuan dioyog pada usia kehamilan 4 bulan “Ora ana tempate, nggak ditempatnya. Sakit. di sininya (bagian bawah perut) cengkrang cengkring, dibawa jalan, duduk. Gerakannya beda? Iya beda. Cuma benerin kalau hamil muda. Nek hamil tua nggoblak, ininya sudah turun. yang empat bulan jangan sampai turun, dinaikkan, disengkak. Nggak ditempatnya jadi ditempatnya. Kalau empat bulan kan dekat puser. Kalau masih tiga bulan di bawah” “Tidak ada di tempatnya. Rasanya sakit di sini (di perut bagian bawah), terasa nyeri berdenyut, kalau dibawa jalan , duduk juga. Gerakannya beda?, hanya dibetulkan saja kalau hamil muda. Kalau hamil tua longgar, ininya sudah turun. Kalau hamil emat bulan jangan sampai turun jadi dinaikkan. Yang tadinya ga ditempatnya, menjadi ditempatnya. Kehamilan 4 bulan, dekat pusat, kalau masih tiga bulan di bawah.” Selain tradisi tersebut, sebagian ibu hamil juga melakukan tradisi 4 bulanan, yang sering disebut ngupati. Acara ini diisi dengan pengajian/membaca Al Qur’an, ada juga yang membaca kitab berjanji (sering disebut berjanjen/marhabanan). 2) Masa hamil sedang 5-7 bulan Pada masa kehamilan ini, tidak ada tradisi yang dilakukan oleh ibu hamil. 103 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 3) Masa hamil tua (7-9 bulan) Pada masa hamil tua maka beberapa tradisi yang dilakukan oleh ibu hamil dan keluarga antara lain membuat acara nujuh bulanan dan membuat lolosan. 3.1.4.3. Peran suami dalam merawat kehamilan Pada perawatan kehamilan, para suami cenderung mempercayakan hal tersebut kepada istrinya dan ibunya atau mertuanya. Para suami lebih banyak berperan pada peran dan fungsinya sebagai kepala keluarga untuk mencari nafkah. Dengan mata pencaharian yang ada seperti pertanian, pembuatan batu bata dan migran, suami sudah merasa sangat repot. Selain itu perasaan tidak memiliki pengetahuan tentang perawatan dalam kehamilan membuat para suami tidak perlu lagi membantu peran istrinya tersebut. Peran yang sering dilakukan oleh suami adalah hal-hal yang praktis saja, seperti mengantar ibu hamil untuk melakukan pemeriksaan kehamilan. Sebenarnya peran ini akan menjadi ideal dan sangat membantu ibu hamil dalam seluruh siklus kehamilannya, jika suami juga tidak hanya mengantar sampai tempat pemeriksaan kehamilan saja/tempat bidan praktek saja, namun juga ikut masuk kedalam ruangan pemeriksaan, sehingga mengetahui hasil pemeriksaan atau perkembangan bayinya, mengetahui ada tidaknya keluhan serta masalah pada kehamilan. Selain itu dengan suami terlibat langsung dalam pemeriksaan kehamilan maka ia bisa juga terlibat untuk mengingatkan ibu hamil untuk semua nasehat yang diberikan oleh bidan dalam asuhan kehamilannya. Ibu akan diingatkan oleh suami untuk selalu mengkonsumsi tablet tambah darah yang merupakan suplemen yang sangat penting baik untuk ibu maupun bayinya, suami juga akan respon ketika ibu mengalami tanda bahaya dan segera mengambil keputusan yang 104 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat tepat diperlukan untuk dirujuk. Hal-hal tersebut akan dapat terjadi jika suami ikut berperan dalam pemeriksaan kehamilan. Dampak yang besar akan didapatkan ketika suami melakukan berbagai peran tersebut. Dengan diingatkan oleh suami untuk selalu mengkonsumsi tablet tambah darah yang merupakan suplemen yang sangat penting baik untuk ibu maupun bayinya, maka ibu akan terhindar dari anemia. Jika suami juga ikut berperan dalam pemeriksaan kehamilan atau mengikuti kelas ibu, maka suami akan memiliki respon yang tinggi ketika ibu mengalami tanda bahaya dan segera mengambil keputusan yang tepat tentang proses rujukan, dan akan menyelamatkan ibu dan bayi karena tidak mengalami keterlambatan dalam mengambil keputusan dan keterlambatan merujuk yang merupakan penyebab kematian ibu dan bayi secara tidak langsung. 3.1.4.4. Pola makan dan asupan Pola makan dan asupan nutrisi menjadi sangat penting dan menetukan kesehatan ibu dan bayinya. - jenis - sesuai dengan daya beli masyarakat 3.1.4.5. Pola pemeriksaan kehamilan Pemeriksaan kehamilan merupakan komponen yang sangat penting dalam asuhan kehamilan. Pemeriksaan kehamilan telah dilakukan oleh ibu hamil sejak awal kehamilan/sejak ia merasa hamil. Ibu yang merasa hamil akan melakukan pemeriksaan, untuk mengetahui hamil atau tidaknya dan mengurangi beberapa keluhan yang mungkin muncul dalam kehamilan muda. Selain itu Ibu bidan Desa dan Bidan koordinator juga bekerjasama dengan kader Posyandu untuk segera 105 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 menginformasikan kepada bidan desa, jika mendengar ada ibu yang hamil. Dan dari informasi tersebut maka akan ditindaklanjuti oleh ibu bidan dengan melakukan kunjungan kerumah ibu hamil. Pada pemeriksaan berikutnya, biasanya ibu hamil akan melakukan pemeriksaan sesuai dengan waktu yang telah diberikan oleh bidan/tanggal kembali dan ditulis dalam buku pemeriksaan. Ibu hamil di Desa Dukuh Widara sebagian besar melakukan pemeriksaan di Puskesmas pembantu Desa Dukuh Widara setiap hari Senin, mulai jam 08.00 s.d selesai. Selain itu kadang-kadang ibu hamil tersebut di kumpulkan diBalai Desa yang berfungsi sebagai Poskesdes, untuk mengikuti kelas ibu hamil. Secara keseluhan pola pemeriksaan yang telah dilakukan oleh ibu hamil di Desa Dukuh Widara telah sesuai dengan standar minimal pemeriksaan kehamilan yang distandarkan oleh Kementerian Kesehatan. Selain di Puskesmas pembantu, ada juga ibu hamil yang melakukan pemeriksaan di Praktek Swasta baik kepada Bidan maupun Dokter Spesialis kandungan. Menurut Saleha (2009), Jadwal kunjungan ulang padakehamilan yaitu: a. Kunjungan I (16 minggu), dilakukan untuk: 1) Persiapan dan pengobatan anemia 2) Perencanaan persalinan 3) Pengenalan komplikasi akibat kehamilan dan pengobatannya b. Kunjungan II (24-28 minggu) dan kunjungan III (32 minggu), dilakukan untuk: 1) Pengenalan komplikasi akibat kehamilan dan pengobatannya 2) Penapisan pre eklampsia, gemeli, infeksi alat reproduksi, dan saluran perkemihan 106 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat 3) Mengulang perencanaan persalinan c. Kunjungan IV (36 minggu sampai lahir): 1) Sama seperti kegiatan kunjungan II dan III 2) Mengenali adanya kelainan letak dan presentasi 3) Memantapkan rencana persalinan 4) Mengenali tanda-tanda persalinan Setiap kehamilan dapat berkembang menjadi masalah atau komplikasi setiap saat. Itu sebabnya mengapa ibu hamil memerlukan pemantauan selama kehamilannya 59 Penatalaksanaan ibu hamil secara keseluruhan meliputi komponen-komponen sebagai berikut: a. Mengupayakan kehamilan yang sehat. b. Melakukan deteksi dini komplikasi, melakukan penatalaksanaan awal serta rujukan bila diperlukan. c. Persiapan persalinan yang bersih dan aman. d. Perencanaan antisipatif dan persiapan dini untuk melakukan rujukan jika terjadi komplikasi60. 3.1.4.6. Permasalahan kesehatan Desa Dukuh Widara memiliki kondisi Kesehatan Ibu dan Anak hampir sama dengan beberapa wilayah di Puskesmas Kalibuntu. Berdasarkan data laporan KIA tahun 2013, salah satu masalah yang terjadi di Desa Dukuh Widara adalah adanya ibu hamil yang masih kurang dari 20 tahun sebanyak 2 orang dan KEK (Kurang Energi Kronis) yang ditandai dengan LILA<23, 5 cm sebanyak 1 orang. Salah satu ibu hamil dengan usia muda adalah Ny Nur. Pada saat kita temui didalam rumahnya Ny. Nur ternyata sudah 59 Sumber: Saifuddin, AB. 2008 60 Sumber: Idem 107 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 melairkan bayinya. Persalinan Ny. Nur yang sekarang, berusia 19 tahun. Jadi pada saat kehamilan pertama Ny Nur pada waktu itu masih berusia 17 tahun dan pernikahannya dilakukan saat usia Ny. Nur berusia 16 tahun. Jika melihat dari sisi usia, pernikahan yang dilakukannya sudah sesuai dengan Undang-undang perkawinan tahun 1974. Dalam UU perkawinan tersebut, disebutkan bahwa usia perkawinan diperbolehkan pada wanita yang telah berusia 16 tahun dan pria yang berusia 19 tahun. Pernikahan usia muda adalah pernikahan yang dilakukan oleh sepasang laki-laki perempuan remaja. Menurut UU Pernikahan No. 1 Tahun 1974 Pasal 7 ”Pernikahan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai 16 tahun”. Namun pemerintah mempunyai kebijakan tentang perilaku reproduksi manusia yang ditegaskan dalam UU No. 10 Tahun 1992 yang menyebutkan bahwa pemerintah menetapkan kebijakan upaya penyelenggaraan keluarga berencana. Banyaknya risiko kehamilan yang terjadi jika usia pernikahan usia muda adalah pernikahan yang dilakukan bila pria kurang 21 tahun dan perempuan kurang dari 19 tahun. Ada banyak faktor yang mempengaruhi remaja dan orang tua untuk memilih menikah dan menikahkan anaknya diusia muda. Beberapa faktor tersebut adalah61, a. Faktor sosial budaya Beberapa daerah di Indonesia masih menerapkan praktek kawin muda, karena mereka menganggap anak perempuan yang terlambat menikah merupakan aib bagi keluarga. 61 Sumber: Kumalasari, Intan. 2012. 108 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat b. Desakan ekonomi Desakan ekonomi bisa menjadikan pilihan pernikahan usia muda. Jika dilihat dari faktor ini, adanya pernikahan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya, maka anak perempuannya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu. c. Tingkat pendidikan Pendidikan yang rendah makin mendorong cepatnya pernikahan usia muda. Kaum wanita dengan pendidikan yang rendah, memiliki kecenderungan untuk memilih menikah usia muda. Tidak adanya kegiatan yang rutin, seperti waktu sekolah merupakan salah satu pemicunya. d. Sulit mendapatkan pekerjaan Banyak dari remaja yang menganggap kalau mereka menikah muda, tidak perlu lagi mencari pekerjaan atau mengalami kesulitan lagi dalam hal keuangan karena keungannnya sudah ditanggung suaminya. e. Media massa Gencarnya ekspos seks di media massa menyebabkan remaja modern kian permisif terhadap seks. Kondisi ini diperparah dengan semakin bebasnya arus edia baik cetak maupun elektronik. Internet yang telah masuk ke daerahdaerah pedesaan, menjadikan mereka dengan mudah mengakses pornografi sehingga mendorong mereka untuk menikah. Di sisi lainnya kondisi ini juga semakin parah, ketika bukan menikah yang menjadi pilihan mereka, melainkan hubungan seks. Hal ini semakin membuat remaja terpuruk tentunya. f. Agama Dari sudut pandang agama, menikah di usia muda tidak ada pelarangan bahkan dianggap lebih baik daripada 109 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 melakukan perzinahan. Pandangan ini memang ada kemungkinan pro dan kontra. g. Pandangan dan kepercayaan Banyak di daerah ditemukan pandangan dan kepercayaan yang salah misalnya kedewasaan dinilai dari status pernikahan, status janda dianggap lebih baik daripada perawan tua. Perawan tua, adalah label yang diberikan kepada perempuan dan memiliki makna deskriminatif. Berbeda dengan laki-laki, kalaupun mereka belum menikah diusia yang cukup matang untuk menikah, sangat jarang disebut sebagai jejaka tua. Menurut pengakuan Ny Nur, ia memilih menikah diusia muda karena tidak melanjutkan sekolah lagi, sehingga tidak ada kegiatan. 3.1.4.7 . Pola Pengobatan Pola pengobatan pada ibu hamil di Desa Dukuh widara, tidak berbeda dengan pola pengobatan pada masyarakat pada umumnya. Namun ketika ibu hamil tersebut sakit, maka segera melakukan pengobatan ke fasilitas kesehatan. Berbeda halnya dengan masyarakat umumnya, jika sakit dirasa tidak parah, pengobatan dilakukan secara pribadi dengan membeli obat-obat generik yang dijual di warung-warung. Namun ketika dirasa agak parah, umumnya masyarakat Desa Dukuh Widara akan mencari pengobatan ke tenaga kesehatan yang dipercaya. Mulai dari Puskesmas (Puskesmas pembantu maupun Puskesmas), tenaga kesehatan yang membuka praktek swasta seperti bidan desa, mantri atau dokter, hingga ke klinik atau rumah sakit 110 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat 3.1.5. Persalinan 3.1.5.1. Menunggu Persalinan Sore itu, tanggal 27 Mei 2014 kami berhasil menemukan rumah Mb Warni. Sebenarnya telah beberapa kali kunjungan rumah dilakukan kepada Mb Warni, namun baru pada kunjungan ketiga, kami bisa bertemu dengan Mb Warni. Pada awalnya baik Mb Warni maupun suaminya nampak bertanya-tanya tentang keberadaan kami. Pa Ahmad, suaminya turut serta duduk di kursi tamu yang terbuat dari rotan. Pembicaraan dimulai oleh Pa Ahmad, yang mempertanyakan tentang keberadaan kami. Sorot mata keduanya nampak sedikit menyelidik. Wajar saja karena memang keluarga tersebut belum mengetahui keberadaan kami. Setelah menjelaskan maksud dan tujuan kunjungan tersebut, Mb Marni mulai bercerita tentang kehamilannya. “Pemeriksaan kehamilan di Puskesmas (pustu) mulai umur kehamilan 5 bulan. Keluhan mual, pusing, muntah. Ulu hatinya sakit, katanya kakinya di atas (maksudnya letak sungsang, bokong berada di bagian bawah). Terus kemarin ke dukun bayi katanya ini, pantatnya di atas.” Pada saat menceritakan kondisinya tersebut, nampak berulang kali Mb Warni secara berulang-ulang memegang dadanya, tepatnya ulu hatinya disertai dengan ekspresi wajah yang menahan sakit, meringgis. Berikutnya Mb Warni juga bercerita bahwa dukun bayinya mengatakan kalau Mb Warni akan segera melahirkan. Sangat heran nampaknya, Mb Warni dan suaminya mendengar kabar itu, karena dalam hitungan mereka umur kehamilan Mb warni baru 8 bulan, belum masuk 9 bulan. Namun demikian Mb warni dan suaminya tetap mempercayai informasi yang disampaikan oleh dukun dan mempersiapkan segala sesuatunya. 111 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Keluarga kecil tersebut, kemudian pindah rumah ke rumah yang sekarang kami kunjungi. Rumah ini adalah rumah kakak Pa Ahmad dan dia yang sudah berpengalaman sudah mengurusi persalinan, nifas dan bayi. Dengan pengalaman yang ada maka Mb Warni dan Pa Akhmad mempercayakan semua hal kepada kakaknya. Bahkan tentang pilihan penolong persalinan, keluarga tersebut tidak memiliki rencana, intinya semua diserahkan kepada kakaknya. Keluarga (kakak) mengharapkan kelahiran itu bisa berlangsung di rumah, biar enak, tenang. Keinginan keluarga tetap melahirkan di rumah akan tetapi tetap ditolong tenaga kesehatan (bidan). Ekspresi Mb Warni belum berubah juga, sesekali meringgis dan memegang seperti mengelus ulu hatinya. “Mb, apa ada mules2? Iya. Terus kencing terus. Boyoknya ga panas. Kenceng aja. Kata dukun bayinya sudah nggak bisa digerakin. Kalau duduk kelamaan itu nggak kuat.” “Rasanya sakit banget mbak? Iya. Pedes. Di sini (ulu hati). Punya sakit mag? Nggak. mual sekarang nggak. katanya sih ketonjok. Kalau tiduran malah nggak bisa.” Mba Marni ternyata belum mendatangi bidan sebagai upaya untuk menyelesaikan masalahnya atau memeriksakan keluhan yang dialaminya. Walaupun masih sangat muda, Mba Warni nampak begitu tegar/tidak manja, serta cukup kuat menahan nyeri yang dirasakan. Sebenarnya kemarin sudah berencana melahirkan di salah satu bidan yang berada di Blok sebelah, namun bidan tersebut tidak ada di tempat disebabkan tugas kedinasan. Mba Warni merencanakan persalinannya dilakukan oleh bidan dan di rumah. Walau sudah mendekati persalinan, Mba Warni ternyata belum memiliki pilihan yang tetap tentang penolong persalinan. Siapa penolong 112 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat persalinannya akan dipercayakan kepada pilihan suami dan keluarganya. Sebagai perempuan dan istri, ia sering mengungkapkan tentang berbagai keputusan yang menyangkut kehamilan dan persalinannya, semuanya tergantung kepada suaminya dan keluarga yang sekarang tinggal bersamanya. Tidak ada perasaan tertekan rupanya, ketika ia tidak pernah memiliki wewenanguntuk mengambil keputusannya sendiri. Dua hari kemudian, pada saat kami melakukan kunjungan ke rumah Mba Warni, ternyata ia telah melahirkan anak pertama, laki-laki dengan berat 3 kilogram. Mba warni tidak melahirkan di rumah, tetapi melahirkan di sarana kesehatan. Semua itu atas anjuran suami dan keluarganya. Menyertakan suami dan keluarga dalam pendidikan kesehatan dalam masa kehamilan, persalinan, nifas maupun bayi sangat bermanfaat ketika menghadirkan suami dan keluarga. Hal tersebut sangat penting karena suami dan keluarga yang akan mendukung keputusan menyangkut berbagai hal yaitu masa kehamilan, persalinan, nifas maupun bayi. 3.1.5.2. Proses Persalinan Persalinan adalah proses dimana bayi, plasenta dan selaput ketuban keluar dari uterus ibu. Persalinan dianggap normal jika prosesnya terjadi pada usia kehamilan cukup bulan (setelah 37 minggu) tanpa disertai adanya penyulit. Persalinan dimulai (inpartu) sejak uterus berkontraksi dan menyebabkan perubahan pada serviks (membuka dan menipis) dan berakhir dengan lahirnya plasenta secara lengkap. Ibu belum inpartu jika kontraksi uterus tidak mengakibatkan perubahan serviks. Persalinan adalah proses membuka dan menipisnya serviks dan janin turun ke dalam jalan lahir. Kelahiran adalah 113 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 proses di mana janin dan ketuban didorong keluar melalui jalan lahir62. Berdasarkan data laporan KIA tahun 2013, salah satu masalah yang terjadi di Desa Dukuh Widara pada periode persalinan, yaitu masih rendahnya cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan. Pada profil Puskesmas Kalibuntu angka cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan hanya mencapai 69,4%, sangat jauh dari cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan dalam lingkup nasional, yang mencapai 90%. Namun demikian, menurut bidan koordinator di Puskesmas Kalibuntu pada tahun 2013, angka cakupan persalinan tenaga kesehatan mencapai 100 persen. Kesenjangan tersebut menurut bidan koordinator tersebut disebabkan estimasi persalinan yang ditargetkan terlalu tinggi, jika dibandingkan capaian jumlah persalinan yang ada. Hal ini telah disampaikan kepada Dinas Kesehatan dan sebagai tindak lanjutnya, pada tahun ini dievaluasi kembali tentang estimasi jumlah persalinan. Hal ini tentunya akan berdampak kepada cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan di Desa Dukuh Widara.Selain itu nampaknya perlu ditata kembali pendataannya sehingga estimasi yang muncul sesuai dengan kondisi riil daerah. Namun demikian, masih menurut bidan koordinator tersebut, ada kekhawatiran baru seiring dengan kebijakan pemerintah untuk menerapkan BPJS dan menghilangkan program Jaminan Persalinan (Jampersal). Karena tingginya cakupan persalinan tenaga kesehatan pada tahun kemarin, sangat dipengaruhi oleh adanya Jampersal yang digulirkan oleh pemerintah. Kekhawatiran tersebut menjadi kenyataan. Pada tanggal 16 Mei 2014 saat melakukan kunjungan ke salah satu dukun 62 Sumber: Saifuddin, AB. 2008 114 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat bayi/paraji, Bi Irah, ia bercerita bahwa tadi malam telah melakukan pertolongan persalinan kepada Ibu Yul, ibu hamil ke-5 yang memang bersebelahan tempat tinggal dengan bi Irah. Menurut cerita Bi Irah, sebenarnya ibu Yul ingin memanggil ibu bidan, tetapi sebelumnya memanggil terlebih dahulu Bi irah. Pada saat Bi Irah datang pada pukul 11 malam (23.00), ternyata ibu Yuli sudah ingin mengedan. Melihat kondisi tersebut suami Ibu Yul telah menyiapkan becak, untuk memanggil bidan. Namun tidak disangka, tidak berapa lama dari itu, Ibu Yul sudah ingin mengedan dan hanya 2 kali mengedan bayi ibu Yul sudah lahir dan langsung menangis. Pada saat itu bi Irah langsung menolong kelahiran bayinya. “Tinggal ditampani saja, pakai tampah, alhamdulillah langsung nangis, trus pusernya dipotong pakai silet, siletnya baru ko, mbak, jadi biar ga infeks. Kalau ari-ari pasti bisa lair ga lama dari bayi lahir.” Paling sedikit diteken perutnya, nanti ari-ari lair” “Cukup diterima saja, dengan menggunakan tampah, alhamdulillah bayinya langsung menangis, terus tali pusatnya saya potong denga menggunakan silet, siletnya masih baru ko Mbak, agar tidak infeksi. Dan kalau tentang ari-ari pasti bisa lahir, tidak lama setelah bayi lahir, tinggal ditekan sedikit saja, bayinya bisa langsung lahir.” Bi Irah adalah salah satu dukun di Desa Dukuh Widara akan tetapi termasuk yang tidak terlatih, sangat jarang memang ia menolong kelahiran karena memang bi Irah lebih terkenal sebagai dukun pijat. Namun demikian pada saat ditanya Bi Irah memang telah beberapa kali menolong persalinan. 115 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Pada keesokan harinya keluarga Ibu Yuli melaporkan tentang persalinannya ke bidan desa Di Desa Dukuh Widara. Dan tidak berapa lama dari waktu tersebut, ibu bidan datang dengan membawa perlengkapan imunisasi untuk bayinya. Ibu bidan menanyakan tentang alasan tidak melahirkan dengan tenaga kesehatan Dan diperoleh jawaban sebagai berikut: “Niki kebrosotan ko bu, wong tadinya mau manggil ibu bidan, tapi wong cepet banget, jadi ga keburu, langsung ngeden 2 kali dan lahir.” Menurut Ibu bidan desa tersebut, selain memang Ibu Yul sudah hamil ke lima, atau melahirkan 4 kali, memang kebiasaan ibu Yul kalau melahirkan selalu cepat. Bidan tersebut juga pernah menolong kelahiran anak ketiga ibu Yul. Namun demikian, menurut Ibu bidan Koordinator, sebagai bidan tetap harus melakukan pengawasan kepada ibu hamil dan selalu memotivasi persalinan oleh tenaga kesehatan. Karena alasan-alasan seperti yang disampaikan ibu Yul sudah sering dsampaikan oleh ibu yang melahirkan dan ditolong oleh dukun bayi. Para ibu tersebut akan mengatakan bahwa persalinannya kebrojolan, padahal memang merencakan persalinan ke non tenaga kesehatan. Terlebih dengan dihapuskannya program Jampersal dan keberadaan dukun bayi yang dekat dengan tempat tinggal ibu hamil. 3.1.6. Nifas Masa nifas dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas berlangsung selama kira-kira 6 minggu63. 63 Sumber: Saifuddin, AB. 2008 116 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Masa puerperium atau masa nifas adalah mulai setelahpartus selesai, dan berakhir setelah kira-kira 6 minggu. Akan tetapi, seluruh alat genital baru pulih kembali seperti sebelum kehamilan dalam waktu 3 bulan (Wiknjosastro, 1994). Masa nifas disebut juga masa post partum atau puerperium adalah masa atau waktu sejak bayi dilahirkan dan plasenta keluar dari rahim, sampai enam minggu berikutnya, disertai dengan pulihnya kembali organ-organ yang berkaitan dengan kandungan, yang mengalami perubahan seperti perlukaan dan lain sebagainya berkaitan dengan melahirkan64. 3.1.6.1 . Tradisi dalam masa nifas. Sebagaimana telah diceritakan di atas, masyarakat Dukuh Widara masih sangat kental dengan tradisi, termasuk saat masa nifas. Ibu Yul, 38 tahun, Ibu rumah tangga, melahirkan anak ke 4nya, tadi malam, tanggal 15 Mei 2014, jam 23.00. Pada saat tim peneliti berkunjung ke rumah Ibu Yul nampak sedang menggunakan lulur di seluruh tubuhnya termasuk mukanya juga seperti memakai lulur, putih seluruh mukanya dan juga menggunakan jarit (sinjang). Kami berkesempatan mengunjungi Ibu Yul dengan diantar oleh Bi Irah, dukun bayi yang semalam menolong kelahirannya. Begitu sampai di depan pintu rumahnya, Ibu Yul langsung membukakan pintu dan menyambut kedatangan kami dengan ramah. Setelah menjelaskan tentang maksud dan tujuan berkunjung, kami menanyakan tentang berbagai kebiasaan yang dilakukan oleh ibu nifas. Sambil tersenyum lagi, ibu Yul menjawab: 64 Sumber: Suherni, 2009 117 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 “Namanya di kampung mbak, kebiasaannya banyak, ya kayak gini, pakai parem (sambil menunjukkan kotak berisi jamu yang berada di atas meja)”. Gambar 3.1. Jamu bersalin komplit Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 Menurut keterangan ibu Yul, jamu bersalin komplit yang digunakannya terdiri dari parem untuk dibalurkan ke seluruh tubuh, ada jamu yang diminum sertsminyak telon untuk menghangatkan tubuh bayi. Ada 3 jenis parem yang digunakan, yaitu parem yang dipakai untuk muka, parem yang dipakai untuk badan dan satu lagi parem yang dipakai untuk tangan dan kaki. Sedangkan jenis jamu-jamuan yang dikonsumsi ibu Yul terdiri dari 1 bungkus jamu bersalin 1 yang terdiri dari 10 bungkus berfungsi untuk mengembalikan otot-otot perut, agar kembali seperti semula, jamu bersalin 2 yang tersiri dari 3 bungkus dan masingmasing berisi 10 bungkus dan jamu bersalin 3 yang terdiri dari 2 bungkus dan masing-masing berisi 10 bungkus. Jamu bersalin 3 118 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat berfungsi untuk memperlancar ASI. Keseluruhan jamu bersalin tersebut harus diminum oleh ibu bersalin secara berurutan. Semua jenis parem dan jamu yang dikonsumsi oleh ibu nifas tersebut jika digunakan secara teratur, maka akan membuat ibu nifas menjadi pangling, nanti pada saat 40 hari ibu nifas akan tampak putih dan cantik. Ibu Yul, sedikit berbeda dengan Ibu Kas. Untuk jamujamuan Ibu Kus tidak menggunakan jamu-jamuan buatan pabrik, melainkan menggunakan bahan-bahan alami. Seperti untuk memeprlancar ASI, Ibu Kus menggunakan kuyit yang dicampur dengan sayur kangkung. Tujuan ramuan ini untuk menambah produksi ASI, juga agar air susu enak rasanya, anak/bayinya tidak mual-mual. 3.1.6.2 . Pantangan Pantangan merupakan hal lain yang diyakini oleh ibu nifas selain dari tradisi yang diikuti. Bagi Ibu Yul, saat ditanyakan tentang pantangan masa nifas, ibu Yul menjawab: “Kalau makan yang jorok-jorok, ikan, telor nggak boleh. Nanti lama sembuh, ayam bole, tahu tempe. Buah2an nanas, salak, yang gatel-gatel nggak boleh. Kalau sudah sembuh ya boleh semua. Udah kering. Kalau ibunya jorok ya nggak sembuh-sembuh, ijo terus (pusernya).” “Tidur siang boleh, tapi kalau pusernya sudah copot sampai 40 hari nggak boleh. Katanya ntar rusak matanya, nggak jelas. Kalau belum puput boleh. Harus keluar, petan, jalan-jalan, jangan tidur. Biar nggak ngantuk mandi, pakai kecombrang. Digecek, diperes airnya, diteteskan ke mata. Perih, tapi nanti nggak ngantuk.“ 119 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Dari wawancara tersebut, Ibu Yul mengatakan bahwa pantangan yang diyakininya selama masa nifas adalah tidak boleh makan makanan yang amis dan yang membuat gatal. Alasan yang diungkapkan oleh Ibu Yul, semua makanan jenis ini akan memperlambat penyembuhan rahim, apalagi jika ibu nifas tersebut mengalami luka jahitan. Selain pantangan dalam hal makanan, pantangan lain yang diyakini oleh ibu nifas adalah tidak boleh tidur pada siang hari, tetapi ini berlaku setelah tali pusat puput. Ibu Nifas menurut Ibu Yul, masih boleh tidur siang sebelum tali pusat puput, sekitar 1-7 hari pertama setelah persalinan, karena tenaga yang dipakai untuk melahirkan belum pulih. Sebenarnya menurut Ibu Yul, setiap perempuan yang habis melahirkan seperti itu, ingin beristirahat pada siang hari, karena pada umumnya bayi akan “melek”an pada malam hari. Tetapi harapan itu tinggal harapan, karena kebanyakan ibu nifas lebih patuh pada tradisi yang berlaku. Mereka juga takut dengan bahaya yang akan muncul yaitu darah putih yang akan naik ke otak. Pantangan lain yang diyakini oleh Ny.Un harus dihindari pada ibu nifas dan berbeda dengan Ibu Yul adalah tidak boleh makan pedes. “Ya, kalau makan pedes, nanti kasian dede bayinya, bisa sakit perut, kan Asinya jadi pedes” Masa nifas merupakan masa yang sangat penting untuk ibu, untuk mengembalikan tubuh seperti sebelum hamil. Oleh karena itu pada masa ini juga harus diperhatikan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Menurut Suherni, (2009), kebutuhan-kebutuhan dasar yang diperlukan pada masa nifas, yaitu: 120 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat a. Gizi Ibu nifas dianjurkan untuk: 1) Makan dengan diit berimbang, cukup karbohidrat. 2) Mengkonsumsi makanan tambahan, nutrisi 800 kalori/hari pada 6 bulan pertama, 6 bulan selanjutnya 500 kalori dan tahun kedua 400 kalori. Mengonsumsi tablet zat besi 1 tablet tiap hari selama 40 hari. 3) Mengkonsumsi vitamin A 200.000 IU. Pemberian vitamin A dalam bentuk suplementasi dapat meningkatkan kualitas ASI, meningkatkan daya tahan tubuh dan meningkatkan kelangsungan hidup anak. b. Kebersihan diri Ibu nifas dianjurkan untuk: 1) Menjaga kebersihan seluruh tubuh. 2) Menganjurkan ibu cara membersihkan daerah kelamin dengan sabun dan air. 3) Menyarankan ibu mengganti pembalut setiap kali mandi, BAB/ BAK, paling tidak dalam waktu 3-4 jam supaya ganti pembalut. 4) Menyarankan ibu untuk mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum menyentuh daerah kelamin. 5) Anjurkan ibu untuk sering menyentuh luka episiotomi dan laserasi c. Istirahat dan tidur 1) Istirahat cukup untuk mengurangi kelelahan. 2) Tidur siang atau istirahat selagi bayi tidur. 3) Kembali ke kegiatan rumah tangga secara perlahan-lahan. 4) Mengatur kegiatan rumahnya sehingga dapat menyediakan waktu untuk istirahat pada siang kira-kira 2 jam dan malam 7-8 jam. 121 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Terdapat bebapa akibat yang bisa dirasakan oleh ibu sebagai akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan istirahat pada ibu nifas. Kurang istirahat ibu nifas dapat berakibat65: 1) Mengurangi jumlah ASI 2) Memperlambat involusi, yang akhirnya bisa menyebabkan perdarahan 3) Depresi 3.1.6.3. Menyusui Hal yang sangat penting dalam fase menyusui ini adalah pemberian asi eksklusif. ASI eksklusif adalah pemberian ASI sedini mungkin setelah kelahiran bayi, diberikan tanpa jadwal sampai bayi berumur 6 bulan (Purwanti, 2004). ASI ekslusif adalah makanan yang paling cocok, karena dapat memberikan gizi yang paling sesuai untuk kebutuhan bayi, melindungi dari berbagai infeksi dan memberikan hubungan kasih sayang yang mendukung semua aspek perkembangan bayi, termasuk kesehatan dan kecerdasan bayi (Roesli, U, 2000). Untuk dapat memberikan ASI eksklusif secara berkelanjutan, WHO dan UNICEF merekomendasikan antara lain : pemberian segera ASI pada satu jam pertama kehidupan, hanya ASI saja (eksklusif) tanpa makanan atau minuman tambahan, sekalipun air putih, menyusui sesuai kebutuhan sebanyak yang bayi inginkan baik siang maupun malam, dan tidak menggunakan botol atau dot untuk bayi. Pada kondisi ideal asi harus diberikan kepada bayi secara eksklusif. Namun pada kenyataannya ada saja hal-hal yang menghambat pemberian asi kepada bayi. Misalnya alasan asi tidak keluar, kondisi ibu yang belum stabil, maupun komposisi asi 65 Sumber: Suherni, 2008 122 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat yang dianggap belum mencukupi kebutuhan bayi. Alasan yang terakhir ini yang sering diungkapkan oleh kebanyakan ibu menyusui. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Ny Un Tentang asi esklusif disuruh bidan sih katanya harus sampai 6 bulan tapi ya gak tau lah mba,lihat saja nanti.kalau misalnya bayi nya rewel,nangis saja.ya gimana lagi,pasti ditambah sama makanan pada saat ditanya tentang anak pertama, Ny pun menjawab, ’’Kalau menyusui mah sampai 2 tahun, tapi yang ASI saja mah 1 bulan yaitu mba bayinya masih laper, jadi langsung dikasih pisang dan nasi yang dilumatkan’’. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ibu Uun., Ibu nifas 3 hari, sejak anak pertama bu uun hanya memberikan asinya saja sampai umur , hal tersebut disebabkan kondisi bayi yang terlihat masih kelaparan walau sudah diberi asi. Kondisi ini disimbulkan oleh bu Uun karena bayi masih menangis walau pun sudah disusui. Situasi lain yang terjadi di rumah Ny. Nur. Ny. Nur, 19 tahun, nampak bergegas mengambil anaknya yang terdengar menangis dari dalam ayunan kain yang di pasangkan di tengah rumahnya. Ny Nur ingin segera menyusui bayinya. Bayi Ny Nur ini adalah bayinya yang kedua. Pada periode menyusui sekarang, ny Nur lebih bersemangat untuk menyusui bayinya dibandingkan dengan waktu menyusui anaknya yang pertama. Walaupun masih muda Ny. Nur memang terlihat begitu semangat dan serius, tangan mudanya begitu kuat memegang bahu bayi, sedang tangan kanannya dengan penuh semangat memegang badan bayi. Terlihat sorot matanya begitu penuh memandang bayinya dengan cinta yang penuh. “saya penginnya bisa ngasih asi yang banyak, mba, sama bayi saya. Wah, kalau harus pakai susu botol, berat, kayak kakanya” (Anak pertama Ny. Nur, berusia 2 tahun dan menggunakan susu formula sejak usia ± 4 bulan saja 123 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 dan tidak menyusu lagi ke ibunya. “Berat, mba, wah ngedotnya tambah, banyak, jadi saya penginnya bisa nyusuin yang penuh sampai dengan 2 tahun”. Pada saat ditanyakan tentang asi eksklusif, Ibu Nur belum pernah mendengar istilah tersebut, dan pada saat djelaskan pengertian asi eksklusif atau pemberian asi saja tanpa tambahan makanan lain sampai dengan 6 bulan, Ny. Nur mengungkapkan pendapatnya sebagai berikut: “Saya sih pengin nyusuin 2 tahun, tapi kalau bayi saya sudah 3 bulan, mau dikasih makan, kayak bubur instan/pisang. Soalnya kalau ndak begitu bayinya masih laper, sudah umum mba disini dikasih makan. Ini juga mending sudah aga besar, malah ada yang dikasih makan itu 1 bulan.“ Penggalian pengetahuan terhadap ibu menyusui juga dilakukan untuk mengetahui tentang pentingnya asi eksklusif dan pengaruh pemberian makanan tambahan pada usia kurang dari 6 bulan. “saya ga tahu kalau yang itu, tapi kebiasaan disini ga apa apa mba, ga pernah ada apa-apa , ga ada yang jadi sakit, mencret atau jadi kembung, baik-baik saja semuanya. Jadi kayaknya tidak masalah.” Situasi lain juga kami amati pada Ny Uun, salah satu ibu nifas di desa Dukuh Widara. Khususnya dalam pemahaman tentang asi eksklusif, sejak anaknya yang pertama ibu Uun telah memberikan makanan tambahan berupa bubur bayi instan maupun yang membuat sendiri sejak anak Ibu Uun berusia 3 bulan. Nampaknya pengalaman anak pertamanya tersebut juga akan dilakukan oleh ibu Uun kepada bayinya yang kedua ini. Berbagai informasi yang kita dapatkan dari informan ibu nifas, sesuai dengan profil Puskesmas Kalibuntu tahun 2013, bahwa cakupan asi eksklusif memang rendah. Situasi tersebut 124 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat memang dihadapi Indonesia secara nasional artinya cakupan pemberian asi eksklusif memang sangat rendah, hanya 38%. Banyak faktor yang mempengaruhi tidak diberikannya asi eksklusif oleh ibu nifas. Banyak faktor yang mempengaruhi pemberian asi eksklusif baik di daerah perkotaan dan pedesaan di Indonesia dan di Negara berkembang lainnya, menunjukkan sistem dukungan, pengetahuan ibu terhadap pemberian ASI secara eksklusif, promosi susu formula dan makanan tambahan mempunyai pengaruh terhadap praktek pemberian ASI eksklusif itu sendiri. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat memberikan dampak negatif maupun positif dalam memperlancar ASI eksklusif. Adapun faktor lain yang mempengaruhi pemberian ASI adalah faktor sosial budaya, ekonomi diantaranya pendidikan formal ibu, pendapatan keluarga dan status pekerjaan ibu. Faktor yang lain adalah faktor psikologis seperti takut kehilangan daya tarik sebagai wanita. Faktor fisik ibu juga memiliki pengaruh terhadap keberhasilan ASI eksklusif seperti ibu yang sakit karena payudara bengkak, puting datar atau terbenam dan puting lecet. Faktor kurangnya petugas kesehatan dalam memberikan penerangan atau dorongan tentang manfaat pemberian ASI eksklusif menjadi faktor yang tidak kalah penting dalam keberhasilan pemberian ASI eksklusif.66 Sementara menurut Utami Roesli (2000)67 mengungkapkan bahwa fenomena kurangnya pemberian ASI eksklusif disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya : pengetahuan ibu yang kurang memadai tentang ASI eksklusif, beredarnya mitos yang kurang baik tentang pemberian ASI 66 Sumber: Soetjiningsih. 1997 67 Sumber: Idem 125 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 eksklusif, serta kesibukan ibu dalam melakukan pekerjaannya dan singkatnya pemberian cuti melahirkan yang diberikan oleh pemerintah terhadap ibu yang bekerja, merupakan alasan-alasan yang sering diungkapkan oleh ibu yang tidak berhasil menyusui bayi secara eksklusif. Hasil Studi mengenai Determinan pemberian ASI di Kabupaten Purworejo menemukan bahwa karakteristik ibu yaitu pendidikan, pendapatan, penolong persalinan, status pekerjaan, pengetahuan dan dukungan suami berpengaruh terhadap pemberian ASI eksklusif. Dari berbagai informasi yang didapatkan tersebut, faktor pengetahuan nampaknya yang memungkinkan menjadi penyebab rendahya pemberian asi secara eksklusif. Memang tidak ada kuesioner terstruktur untuk mengukur pengetahuan para ibu menyusui tentang asi eksklusif. Beberapa pertanyaan yang sama terkait dengan pengertian asi eksklusif kepada ibu-ibu yang menyusui sudah dilakukan dan didapatkan jawaban yang pada intinya ibu hamil tersebut belum memiliki pengetahuan tentang asi Eksklusif. Upaya untuk memberikan pengetahuan tentang asi eksklusif, berdasarkan informasi dari bidan desa, sebenarnya sudah rutin dilakukan oleh bidan desa dan pihak Puskesmas melalui kelas ibu. Namun demikian faktor budaya, yaitu pengetahuan dan kebiasaan pemberian makanan tambahan sebelum waktunya, nampaknya masih sangat kuat, terlebih ketika didukug oleh keluarga (nenek atau ibu). 3.1.7. Neonatus dan Bayi Neonatal adalah bayi baru lahir sampai dengan usia 4 minggu. Pelayanan kesehatan neonatal harus dimulai sebelum bayi dilahirkan, melalui pelayanan kesehatan yang diberikan pelayanan kepada ibu hamil. Beberapa bentuk upaya pencegahan dan penanggulangan dini terhadap faktor yang 126 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat memperlemah kondisi ibu perlu diprioritaskan, seperti gizi rendah, anemia, dekatnya jarak antara kehamilan dan buruknya hygiene.68 Salah satu Ibu yang memiliki bayi adalah Ibu Kas dengan nama bayi Sintia. Menurut informasi Ibu kas, setelah proses persalinan kebiasaan di masyarakat harus membuat acara yang disebut namu-namu. Pelaksanaan acara ini dengan membuat berkat nasi yang diberikan kepada tetangga-tetangga sebagai informasi ada “tamu” baru. Acara namu-namu tersebut dibuat pada satu hari setelah kelahiran bayi. Beberapa jenis masakan yang dimasak dalama acara tersebut adalah sambal serai, daun singkong, ikan asin dan daun kacang. Berikutnya Ibu Kas bercerita bahwa masih banyak tradisi yang dilakukan oleh ibu dan keluarga dalam menyambut kelahiran bayi antara lain ngubur ari-ari, nggeong, mandi kocor, nyukur dan tradisi turun tanah. Beberapa tradisi tersebut ditulis dengan lebih jelas pada BAB IV tentang tradisi-tradisi. 3.1.7.1. Perawatan tali pusat Pagi yang cerah itu, menggantarkan kami ke rumah Mbok Saeni, salah satu dukun bayi di Desa Dukuh Widara. Mbok saeni menyambut kami dengan ramah dan langsung mengajak kami duduk di ruang tamunya. Kami duduk di kursi sofa berwarna coklat tua dan kursi sofa tersebut membentuk sudut 90⁰ (kursi sofa letter L). Nampak sekali mbok Saeni telah bersiap untuk melaksanakan kewajibannya, yaitu melakukan perawatan pada ibu Ny. Nia dan bayinya. Rumah Ny Nia berada tidak jauh dari rumah Mbok Saeni. Hanya sekitar 100 meter, ke arah Barat, dengan berjalan kaki melewati gang yang bertepatan dengan rumah Mbok Saeni. 68 Sumber: Saifuddin, AB. 2008 127 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Karena jalannya bagus, telah dipaving blok dan jaraknya yang dekat, hanya sekitar 5 menit kita sudah sampai ke rumah Ny Nia. “Assaalmu’alaikum..., Assalamu’alaikum.....’Karena tidak mendengar jawaban dari dalam rumah, Mbok Saeni langsung mengajak kami masuk, “Yo, mbak...masuk sini, ga dikunci ko.” Kamipun langsung mengikuti mbok Saeni masuk ke dalam rumah. Pada saat bertemu, kesan pertama, nampaknya Ibu Nia kurang respect pada kehadiran kami, meskipun kami hadir bersama Mbok saeni, orang yang sangat dipercayainya dan telah memperkenalkan kami kepada Ibu Nia. Wajar saja, karena kami adalah orang yang tidak dikenalnya. Akan tetapi, tidak berapa lama, nampak ekspresi muka Ibu Nia telah lebih ramah dan menerima kehadiran peneliti. Terlebih ketika kami ikut dalam asuhan yang dilakukan oleh Mbok saeni. Pagi ini kedatangan Mbok Saeni ke rumah Ibu Nia untuk melakukan perawatan kepada ibu dan bayi. Perawatan pada Ibu Nia adalah perawatan luka operasi. Ibu Nia, adalah pasien post operasi SC, dikarenakan persalinan yang lama. Pada waktu di rumah sakit, Mbok Saeni ikut mengantar dan Mbok Saeni yang mendapat informasi dari perawat tentang cara perawatan luka operasi. Pada pelaksan aannya Mbok Saeni terlihat sangat trampil. Termasuk dalam perawatan tali pusat, Mbok saeni nampak sangat trampil. Dalam perawatan tali pusat, Mbok Saeni hanya menggunakan betadin/obat merah yang hanya dioleskan pada puntung tali pusat. Mbok saeni tidak membubuhkan apapun pada tali pusat, termasuk obat merah yang dipakaikan juga tidak dikompreskan pada puntung tali pusat saja. Mbok Saeni adalah dukun terlatih yang telah banyak mendapat pelatihan terkait dengan perawatan tali pusat dan perawatan bayi yang lainnya. Cara perawatan tali pusat yang dilakukan oleh Mbok Saeni terhadap Bayi ibu Nia, juga dilakukan oleh dukun bayi lain 128 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat yang berada di Desa Dukuh Widara. Sebagaimana telah dibahas di awal, bahwa di Desa Dukuh Widara, terdapat dukun bayi yang terlatih dan dukun bayi yang tidak terlatih. Pelaksanaan perawatan tali pusat sama antara yang dilakukan oleh dukun terlatih dan dukun tidak terlatih. Gambar 3.2. Perawatan bayi oleh Dukun bayi Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 Perawatan tali pusat sangat penting untuk menjaga kebersihan bayi dan sebagai upaya preventif terjadinya infeksi tali pusat.Bayi Ny Imah, berusia 1 bulan. Pada saat kita melakukan kunjungan ke rumah Ny Imah, sekitar jam 5 sore nampak Ibu Imah sedang duduk santai sambil membereskan pakaian-pakaian yang telah kering. Ibu Imah menyambut kami dengan gembira. “Silahkan-silahkan mbak, masuk, katanya kemudian. Setelah bersalaman, Ibu Imah mempersilahkan kita duduk. Tak berapa lama setelah kami duduk, terdengar tangisan bayi Ibu Imah dari dalam kamar. Secara bersamaan, kami juga menengok ke arah suara tangisan bayi Ibu Imah. Kamar bayi Ibu Imah terletak 129 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 bersebelahan langsung dengan tempat kami duduk, dengan pintu yang terbuat dari kayu dengan kondisi terbuka, sehingga suaranya begitu jelas terdengar dari tempat kami duduk. Mendengar suara bayinya menangis, ibu Imah langsung beranjak dari duduknya dan bergegas ke kamar bayinya. “eh..noknya bangun (nok: panggilan anak perempuan di daerah Cirebon), sayang” Tak berapa lama, Ibu Imah menemui kami kembali ke ruangan tempat kami duduk. Setelah itu Ibu Imah kembali berpamitan pada kami untuk menyiapkan perlengkapan mandi bayi. “Mbak, maaf ya saya mau mandiin nok dulu, ini soalnya sudah sore.” Mangga Ibu”. Pada pengamatan tentang peralatan yang tersedia terkait dengan perawatan bayi, nampak perlengkapan memandikan bayi yang cukup memadai, mulai dari bak mandi plastik dengan desain khusus untuk memandikan bayi (jolang). Bak plastik tersebut telah terisi air hangat yang bersih. Menurut Ibu Imah airnya juga hangat. Nampak juga telah disediakan sabun bayi dan shampoo khusus bayi. Di dalam kamar bayi juga telah disediakan satu set baju ganti (baju, kaos dalem dan popok). Ibu Imah sudah menggunakan untuk bayinya kaos dalem sejak hari pertama kelahiran bayinya. Ibu Imah memang memiliki pola fikir yang lebih maju, sejak ia pulang dari taiwan. Bekerja sebagai perawat orang tua/jompo dan bayi membuat Ibu Imah sangat mudah menerima berbagai informasi baru. Karena pada saat bekerja di sana, telah banyak informasi kesehatan yang ia terima. Seperti penggunaan kaos dalam bagi bayi dan tidak digunakannya gurita bayi sebagai perlengkapan pakaian bayi. Ibu Imah telah memahami bahwa gurita yang dipakai diperut bayi, 130 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat itu tidak sehat dan akan mengganggu pernafasan bayi, karena pernafasan bayi adadi perut. Penggunaan popok sintetis/disposible digunakan oleh Ibu Imah sebagai perlengkapan pakaian terhadap bayinya. “Ia, mbak, dipakein pempers (maksudnya diaperers), biar praktis, ga ribet, trus nyucinya ga banyak.. ada efeknya bu? Ga ko Mbak, yang penting ga telat gantinya.” Semua perlengkapan yang telah disiapkan oleh Ibu Imah, dipakaikan semua ke bayinya, termasuk penggunaan sabun dan shampoo khusus bayi dan tidak berapa lama, bayi digendong oleh Ibu Imah keluar kamar dengan dibedong, wajah telah ditaburi bedak dan menggunakan minyak wangi khusus bayi. Beberapa hari kemudian, tepatnya pada saat acara nyukur rambut, nampak sedikit ada kotoran kering yang menempel pada kulit kepala bayi. “Nah, kalau yang ini memang ga boleh dibersihkan sebelum waktu nyukur, karena akan membuat rambut menjadi kotor. Jadi, sekarang mbak waktunya, dibersihkan kalau sudah dicukur, gampang ko tinggal pakai baby oil saja.” Beberapa pengamatan terhadap bayi mengenai sarana, prasarana perawatan untuk bayi, memiliki kemiripan dengan ibu Imah. Termasuk juga pemahaman Ibu terhadap membersihkan kepala yang hanya boleh dilakukan setelah rambut dicukur. Penggunaan diapers juga nampaknya semakin diminati oleh masyarakat Desa Dukuh Widara. Kondisi ini nampaknya tidak berbeda baik pada keluarga mampu maupun tidak mampu. Kedua-duanya sama- sama menggunakan diapers. Penggunaan diapers memiliki keuntungan antara lain lebih praktis. Masalah sampah menjadi persoalan yang masih menjadi Pekerjaan rumah, bagi aparat desa dan masyarakat Desa Dukuh 131 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Widara. Pembahasan selengkapnya akan dibahas pada tema PHBS. Berdasarkan penggolongannya, sampah diapers adalah tergolong sampah anorganik. Sampah anorganik adalah sampah yang tidak dapat didegradasi oleh mikroba. Sampah ini terdiri dari kaleng, plastik, besi dan logam lainnya, gelas, mika dan bahan-bahan lain yang tidak dapat tersusun oleh senyawasenyawa organik. 3.1.8. Anak dan Balita 3.1.8.1. Pola Asuh Orang Tua Pola asuh orang tua sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan bayi dan anak. Sebagaimana diketahui, sesuai dengan perkembangan usianya, bahwa bahwa usia balita masih merupakan masa keemasan, masa yang sangat penting untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan balita. Aspek pola asuh pada anak dan balita terdiri dari pola asuh (meliputi sandang, jasman dan rekreasi), pola asih (meliputi kasih sayang, emosi, kedekatan/hubungan erat) dan asah (meliputi stimulasi mental, kecerdasan, ketrampilan, kemandirian) Ny Er berusia 49 tahun tinggal di Blok Pon desa Dukuh widara merawat cucunya dikarenakan anaknya bekerja sebagai TKW (Tenaga kerja wanita) menurut informasi yang di dapat dari Ny Er, sejak umur satu tahun sehingga tidak mendapatkan asi sebagai akibat dari itu pengenceran susu formula yang tidak sesuai yang ada sehingga memakai gula batu agar terasa manis menurut Ny Er tidak ada akibat dari pengenceran susu formula ini seperti diare. Selain itu cucunya disebut oleh tetangga Ny Er sering disebut anak bandel dan tidak seringkali melakukan adegan yang berbahaya. Contohnya karna posisi rumah Ny Er 132 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat dekat dengan jalan raya cucu Ny Er pernah hampir tertabrak truk. Peristiwa ini beberapa kali berulang dan membuat anak tersebut dianggap sebagai anak nakal. Kasus lain pola asuh orang tua juga dialami oleh Fitri gadis kecil berumur 6 tahun sejak kecil ia di tinggal oleh kedua orang tuanya.Ayahnya yang berasal dari luar jawa,meninggalkan Fitri sejak bayi, sedangkan ibunya meninggalkan Fitri dari umur 2tahun. Pada saat itu Fitri tinggal bersama neneknya. Namun, neneknya meninggal dunia pada saat Fitri berumur 2,5 tahun. setelah itu Fitri diasuh oleh tetangganya yang bernama Bi Iyah. Kondisi ini telah disampaikan kepada ibunya Fitri yang bekerja di Singapura namun ibunya tidak bisa pulang untuk merawat Fitri Pada akhirnya Bi Sariah merawat Fitri dari saat itu hingga saat ini sekitar 4thn selama itu seluruh biaya hidup ditanggung oleh Bi Sariah hanya sesekali saja keluarga Fitri mengunjungi Fitri untuk memberikan uang itu pun tidak seberapa hanya cukup untuk jajan saja.menurut Bi Sariah ibunya Fitri pernah memberikan perhatian kepada Fitri dengan memberikan tas untuk sekolah Bi Sariah tidak bisa langsung berkomunikasi ibunya Fitri namun segala harapan dan keluhannya dalam mengasuh Fitri disampaikan kepada ibunya Fitri melalui pacarnya. Menurut Bi Iyah, terdengar kabar bahwa pembayaran gaji, Ibu pipit tidak lancar, katanya yang megang majikan, apabila gaji itu dikeluarkan oleh majikan saat bulan puasa kemarin, maka Ibunya Pipit mau pulang, namun jika tidak makmkan sebagian gaji tersebut untuk memenuhi kebutuhan Pipit. Sangat sulit sekali berkomunikasi dengan Ibunya Pipit, terakhir komunikasi pada saat mengabarkan tentang kakek Pipit yang dipenjara. Selama ini Ibunya Pipit tidak pernah menanyakan kabar Pipit, bahkan menanyakan sehat atau tidaknya Pipit juga tidak pernah dilakukan oleh ibunya. Suatu kali Bi Iyah pernah terhubung 133 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 dengan Ibunya Pipit, disampaikanlah, bahwa Pipit badung/nakal, banyak jajan, segala macem ingin dibeli. Bi Iyah juga menceritakan saat dulu orangtuanya Ibu Pipit (kakek dan Neneknya) sebelum meninggalkan utang, maka B Iyah yang membayarkannya, jumlahnya empat juta setengah. Baginya uang itu sangat banyak terlebih dengan pekerjaannya yang hanya menjadi tukang pijet saja. Namun atas dorongan suaminya, akhirnya bi Iyah merelakan uang tersebut untuk membantu Nenek dan kakek pipit. Bi iyah dan suaminya berharap Ibunya Pipit berniat mengganti uang tersebut saat sudah gajian. Saya kadang ko tidak habis pikir, uangkap Bi Iyah kemudian. Masak ada orang tua yang meninggalkan anak begitu saja, tidak pernah diurus kebutuhan sehari-harinya, makannya ninggalin anak nggak diurusin sehari-harinya, makannya dari mana, itu saja listriknya yang bayarin saya. Sekarang Pipit sekolah kelas 1 MI, tapi ngajinya pinter tapi sangat disayangkan di sekolah sangat nakal, itu bukunya anak-anak dicoret semua. Bahkan tidak jarang sikap Pipit membuat teman-temannya menangis. Pada saat ditanyakan, apakah Pipit suka menanyakan tentang Ibunya? Bi Iyah memberikan jawaban yang cukup mengagetkan, Tidak sama sekali. Jadi selama ini pipit tidak pernah menanyakan Ibu kandungnya. Kalu ditanya siapa Ibu dan bapaknya, pasti jawabnnya adalah Mimi iyah dan bapa Win, tak sekalipun jawabnnya mimi Nur. Tentang Bapak kandung Pipit, Bi Iyah menceritakan bahwa sejak kelahiran Pipit ia sudah langsung ditinggal oleh bapak kandungnya. Melihat wajahnya pun nampaknya Pipit belum pernah sama sekali, Lebih lanjut Bi iyah bercerita tentang bebannya dalam oengasuhan ini. Sampai usia 6 tahun seperti sekarang masih menggompol, bahkan semalam bisa sampai dua tiga kali. Tidak pernah menggunakan diapers, suka tidak betah katanya. Serba 134 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat salah namanya mengasuh anak orang lain. Kadang Bi Iyah ingin menunjukkan ketegasannya dalam mendidik fitri, namun suka ga enak kalau ketahuan orang lain. Ketika sedikit keras, kurang enak kalau ketahuan tetangga. Kalau nangis karena minta uang jajan, dan tidak dikasih ga enak lagi, padahal mintanya terus-terusan. Lebih enak mengasuh anak sendiri, ungkapnya kemudian, mau marah atau tidak biasanya orang tidak akan komentar. Informasi lain didapatkan dari bi Iyah, tentang anak-anak lain yang senasib dengan Pipit. Bi Iyah bercerita bahwa cukup banyak anak yang sering ditinggal oleh orang tuanya. Wajar saja karena migrasi nampaknya sudah menjadi mata pencaharian yang diminati oleh masyarakat Desa Dukuh Widara. Masalah muncul dalam perkembangan mereka. Rata-rata mereka tumbuh menjadi remaja yang “nakal” dan kalau sudah besar tidak tahu sopan santun. Tetapi informasi ini hanya sefihak saja. Salah satu jenis kenakalan mereka antara lain minum-minum pil ekstasi bahkan ada salah satu kasus yang sampai meninggal setelah mabuk-mabukan. Selain itu ada juga kasus kehamilan diluar nikah. Menurut Bi Iayh itu disebabkan kurangnya pengawasan dari orang tua atau orang yang menggantikannya sebagai orang tua. Mereka anak laki-laki dan anak perempuan sama-sama sekolah, tapi setelah itu pada main-main. Menurut Bi Iyah, namanya tinggal bersama nenek atau orang lain selain ibu, yang penting adem dan tercukupi kebutuhan makan dan jajannya. Jika dianalisis lebih lanjut, berkaitan dengan pola asuh orang tua yang dialami oleh balita dan anak yang ditinggal migrasi khususnya oleh ibunya, maka ada beberapa akibat yang langsung bisa dirasakan pada kasus tersebut antara lain tidak diberikannya asi kepada balita yang akan berakibat pada pemberian susu formula, dengan riisko pengenceran susu formula, dikarenakan keterbatasan daya belinya dan beberapa 135 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 program imunisasi tidak dilakukan karena takut kalau anak menjadi sakit. Tentang pola asuh khususnya aspek asuh, dalam pemenuhan kebutuhan makan, peneliti mendapatkan informasi berdasarkan wawancara mendalam pada Ibu Tur (37 tahun). Pertemuan kami dengan Ibu Tur sebenarnya tidak disengaja. Siang itu, kami sedang menunggu seorang ibu hamil, Ibu Nina. Ibu Nina, yang menurut informasi yang kami terima dari dukun bayi , Bi Iyah bahwa Ibu nina mau dioyog.Pada saat kami temui di rumahnya, ternyata Ibu Nina belum pulang dari bantaran sungai, membantu suami mencetak batu bata. Menurut adik Ibu Nina, kebiasaannya ibu Nina akan pulang sekitar jam 12.00 siang. Karena waktu itu sudah menunjukkan pukul 11.00, kami pun sepakat untuk menunggu kepulangan Ibu Nina dari bantaran sungai. Bi Iyah pulang ke rumahnya yang berada tidak jauh dari rumah Ibu Nina. Kami menunggu kedatangan Ibu Nina di sebuah warung yang tidak lain adalah warung Ibu Tur. Ibu Tur, belum lama memiliki usaha warung jajanan, baru sekitar 3 tahun yang lalu. “Lumayan mba, saya dikasih pinjem modal jadi bisa buka warung, lumayanlah mba, anak-anak ga usah beli lagi kalau mau jajan.” Banyak cerita yang disampaikan oleh Ibu Tur, baik tentang kesehatanya, bagaimana penggunaan jamban, kebiasaan merokok dan lain-lainnya. Yang menarik Ibu Tur bercerita tetang bagaimana pola asuhnya terhadap anak-anaknya. ”Kalau tentang makan, anak-anak saya doyan banget sama mie instan, tiap hari mba, makan mie instan, malah katanya kalau ndak makan mie, rasanya ga enak”. Selanjutnya Ibu Tur bercerita, bahwa anaknya pernah sakit types. Ibu Tur memiliki 3 anak laki-laki, dan ternyata yang menderita penyakit types, adalah kedua anaknya. 136 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat “Anak saya susah makan mba, sehari ga makan kuat, tapi yaiku kalau ga makan baru meraas ga kuat.” Ternyata konsumsi mie instan yang cukup sering juga dialami oleh anak-anak lain. Salah satunya dialami Tini. Tini, seorang anak perempuan berumur 11 tahun, kelas 5 MI desa tersebut. Tubuhnya sangat tinggi, sekitar 150 cm, dengan berat badan hanya 25 kg. Tini, bercerita bahwa dia jarang makan nasi. Makanan ya jajan-jajan saja, karena kebetulan ibu tini juga penjual jajan-jajan anak. Sarapan juga jarang. Sedikit berbeda dari putra Ibu Tur, tini belum pernah sakit perat seperti types, diare dan lain-lain. Jenis sakit yang pernah di derita umumnya hanya batuk, pilek sama panas ringan. Dalam mengikuti kegiatan pembelajaran di sekolah Tini juga nampaknya tidak memiliki hambatan yang berarti. Pola asuh dalam pemberian makanan sedikit berbeda kami dapatkan dari Ibu As. Ibu As mengasuh cucunya, Dewi, karena ibunya pergi menjadi TKW ke Singapura. Dewi, anak usia 4 tahun, dan menurut keterangan Ibu As, Dewi memiliki berat badan 25 kg, nampak gendut memang. Ibu As, bercerita bahwa konsumsi susu formula yang sangat banyak, satu bungkus susu formula 800 gram habis 2 hari. Namun demikian walaupun mengkonsumsi susu formula, tetapi pola makan Dewi sangat bagus. Pada saat kita bertemu Ibu As, Ibu As, sedang membawa semangkok nasi putih, dilengkapi sayur dan telur dadar. “Makannya banyak mba, segini (sambil menunjukkan mangkok berukuran sedang dan tinggal 1/3-nya) tadinya penuh, ya makannya sambil jalan-jalan, tapi ya Alhamdulillah habis. Makannya 3 kali sehari, jadi ya kayak gini badannya gemuk.” Selanjutnya Ibu As, bercerita bahwa ia merawat cucunya dengan penuh kasih sayang, cucunya tidak pernah nakal dan 137 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 selalu menyenangkan. Ibunya Dewi menjadi TKW sejak Dewi berusia 2 tahun, jadi dari 2 tahun itu ia bersama saya. ”Kebetulan saya pernah menjadi TKW dan saya merasakan namanya ninggalin anak, rasanya kayak gimana. Jadi sekarang, saya ganti mengasuh cucunya, dengan penuh kasih sayang, ditlateni makannya, walaupun sambil puter-puter.” Kemudian Ibu As bercerita bahwa semua itu Ibu As lakukan agar cucunya sehat tentunya dan yang tidak kalah peting, agar anaknya tenang disana. “Kalau cucunya disini sehat ya, pasti ibunya juga kan tenang. 3.1.8.2. Penyakit dan Pola pengobatan Berdasarkan profil Puskesmas kalibuntu tahun 2013, untuk Desa dukuh Widara terdapat kasus Pneumonia yang cukup besar. Jumlahnya mencapai 18 kasus. Tidak ditemukan kasus kematian pada penyakit ini. Selain itu terdapat kasus BGM (Bawah Garis Merah) 1 orang 3.1.8.3. Kegiatan Pemantauan Tumbuh Kembang Posyandu mawar, terletak ± 500 meter arah Utara Puskesmas Kalibuntu. Posyandu mawar adalah salah satu Posyandu yang ada di blok pon. Posyandu juga dihadiri ibu bd halimah dan ibu bidan atin dari Puskesmas dukuh widara. Selain itu kegiatan ini juga dihadiri oleh ibu kuwu (ibu kepala desa) yang juga ikut membantu pelaksanaan Posyandu. Sebagaimana kegiatan di Posyandu lain, kegiatan Posyandu mawar dilakukan dengan 5 meja. Masyarakat nampaknya cukup antusias dengan adanya Posyandu ini, terbukti dengan masih banyaknya bayi/balita yang datang ke Posyandu mawar, walaupun mereka hanya ditimbang saja. Selain itu 138 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat mereka juga faham bahwa datang ke Posyandu itu sampai usia 5 tahun. Kerjasama juga terlihat dengan datangnya ibu guru, dari salah satu PAUD yang terdekat. Ibu guru dari PAUD tersebut datang dengan membawa daftar isian nama murid yang akan ditimbang. Hasil catatan penimbanganpun, dicatat di buku catatan sekolah sebagai upaya pemantauan tumbuh kembang balita. Gambar 3.3. Kegiatan Posyandu di Desa Dukuh Widara Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 3.2. Penyakit Menular Berdasarkan profil Puskesmas Kalibuntu, penyakit menular yang terbanyak pada orang dewasa adalah penyakit TB Paru. Berdasarkan data tersebut ditemukan 6 orang dengan penyakit TB Paru dan keseluruhannya dinyatakan sembuh. Tidak ada kematian pada penderita yang disebabkan penyakit ini. Pada pengambilan data tentang penyakit tidak menular ditanyakan beberapa informasi kepada para penderita atau 139 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 keluarganya. Berbagai hal yang digali dalam penelitian ini meliputi: 1) Penggalian pemahaman masyarakat lokal tentang padanan kata/sebutan untuk penyakit-penyakit tersebut dalam bahasa setempat, gejala-gejala dan penyebab, termasuk didlamnya terkait dengan kepercayaan masyarakat lokal. 2) Penggalian informan tentang pengalaman dan pengetahuan mereka tentang penyakit tersebut. 3) Penggalian informasi tentang pola pengobatan yang dilakukan informan maupun masyaakat sekitarnya, baik dari sisi tradisional, swamedikasi hingga pengobatan modern. 4) Penggalian informasi tentang bagaimana pencegahan dan tindakan preventif terhadap penyakit dan gejala tersebut. 5) Penggalian tentang pantangan dan anjuran bila seseorang mengalami penyakit tersebut dan gali tentang alasan-alasan mereka dan apakah ada sanksi/akibat bila melanggarnya 6) Penggalian tentang persepsi atau anggapan tertentu di masyarakat setempat terhadap penyakit tersebut? apakah makna dari pelanggaran tersebut? 3.2.1. TB Paru Berdasarkan profil Puskesmas Kalibuntu, penyakit menular yang terbanyak pada orang dewasa adalah penyakit TB Paru. Berdasarkan data tersebut ditemukan 6 orang dengan penyakit TB Paru Salah seorang penderita penyakit Tb paru yang kita temui di Desa Dukuh Widara adalah Mbok Saeni. Mbok Saeni menyebut penyakit yang dialaminya ini adalah flek dan mulai merasakan sakit diawali dengan gejala atau keluhan badan lemes-lemes, sampai-sampai ga bisa bangun. Pada saat itu Mbok Saeni dipanggilkan mantri oleh anaknya, dan setelah pemeriksaan 140 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat bapak mantri itu menyarankan kepada mbok Saeni untuk melakukan pemeriksaan lebih lengkap ke dokter/Puskesmas untuk mengetahui penyebab penyakitnya. Menurut pa mantri tersebut,pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan dahak. Pada hari besoknya Mbok Saeni dengan ditemani oleh anaknya melakukan pemeriksaan ke Puskesmas. Hasil pemeriksaan dinyatakan bahwa mbok Saeni positif mengalami flek dan harus melakukan pengobatan selama 6 bulan. Pengobatan tersebut menurut dokter diPuskesmas wajib diikuti agar memperoleh kesembuhan yang maksimal. Pada saat ditanyakan tentang penyebab penyakitnya, Mbok saeni menjawab, “Pikirannya terlalu Mba, (sambil tersendat) pikirannya terlalu mikirin anak, jadi ga pernah makan, pusinglah, jadinya kondisinya ngedroplah, sampai pernah pingsan, dua kali pingsannya, ya saya baru ditinggal suami, anak juga begitu, jadi ya pusinglah” Jadi menurut Mbok saeni penyakit ini disebabkan karena banyak pikiran, banyak memikirkan anaknya, terutama anakpertamanya. Pada waktu itu anak saya yang pertama (Mbak Pur, 38 tahun), pergi menjadi TKW sehingga semua anak-anaknya tinggal bersama dan lelah juga sepertinya karena banyak pekerjaan dan mengasuh cucu/anak juga. Mbok Saeni adalah seorang janda yang harus menghidupi ketiga anaknya. Suami Mbok Saeni meninggal dikarenakanstroke. Menurut Mbok Saeni, kondisi tersebut menyebabkannya harus menanggung seluruh biaya hidupnya sendiri. Dengaan posisinya kini Mbok saeni, mengalami beban ganda Dengan semua pemahaman tentang penyakitnya itu, Mbok Saeni kemudian menuruti berobat ke Puskesmas selama 6 bulan berturut-turut. Dan setelah mejalani pengobatan selama 6 bulan berturut-turut, Mbok Saeni dinyatakan sembuh dari flek 141 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 dengan hasil pemeriksaan dahak yang negative. Selama sakit ini, peran Mbok Saeni sebagai dukun bayi digantikan oleh Bi Arofah (47 tahun) adik kandung mbok saeni. Penyakit paru-paru di desa ini disebut juga sama sebagai penyakit paru-paru. Penderita TB Paru yang lainnya ketika ditanya mengenai bagaimana gejala dari penyakit TB Paru, mereka sudah mengetahui gejala penyakit ini berdasarkan pengetahuan dan pengalaman pribadi menderita penyakit ini , yaitu batuk , keluar dahak/dahak bercampur darah, batuk-batuk, kepala pusing, dada suka terasa sakit, nafas terasa sesak, tidak/kurang nafsu makan, berat badan turun, dan malam hari selain batuk juga badan keringatan. Pola pengobatan yang dilakukan setelah batuk lama dan tidak sembuh-sembuh setelah menggunakan obat warung dan apabila masih belum sembuh, penderita berobat ke Puskesmas, dan diPuskesmas dilakukan tahapan pengobatan sesuai program di Puskesmas, ada keluhan batuk sudah lebih dari 2 minggu, maka dilakukan pemeriksaan dahak. Apabila hasil pemeriksaan dahak negative, tapi batukbatuk belum sembuh, maka selanjutnya dianjurkan untuk pemeriksaan rontgen paru. Fasilitas Puskesmas Kalibuntu masih memiliki keterbatasan untuk pemeriksaan rontgen paru yang masih belum tersedia. Sehingga akan diberikan rekomendasi rujukan untuk dilakukan rontgen paru di Rumah Sakit Waled, sebagai rumah sakit daerah Wilayah Kabupaten Cirebon atau di fasilitas kesehatan lainnya. Bagi penderita yang sudah dinyatakan positif menderita penyakit paru-paru ini selanjutnya akan diberikan paket terapi pengobatan oral (obat yang diminum) selama 6 bulan. Biasanya obat diberikan untuk satu minggu sekali, sehingga sebelum obat habis penderita sudah harus memeriksakan diri, dan mendapat obat untuk minggu berikutnya, sehingga konsumsi obat tidak akan terputus. Anjuran dari 142 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Puskesmas terhadap penderita penyakit paru-paru, adalah harus banyak istirahat, tidak boleh cape-cape dan banyak makan, dan obat paket yang diberikan dari Puskesmas, harus diminum setiap hari dan tidak boleh terputus, agar pengobatan tidak diulang dari awal kembali. Dan hal ini sudah mereka sadari. Dari beberapa informan, Pengobatan tradisional untuk meningkatkan nafsu makan yang kadang dikonsumsi warga adalah jamu jampi usus, yang dipercaya baik untuk pencernaan. Penyakit paru-paru ini sudah diketahuimasyarakat disana merupakan penyakit menular, dan bukan merupakan penyakit turunan, sehingga terkadang penderita harus dipisah kamarkan dengan anggota keluarga yang lain, namun kenyataannya masih tetap masih dalam rumah, dan ternyata menurut informan bahwa anggota keluarga dalam satu tempat tinggal tersebut tidak tertular. Bagi mereka masih percaya bahwa tertular dan kematian dipasrahkan kepada sang pencipta, dan terpenting penderita masih mempunyai semangat untuk sembuh, terus berobat dan walaupun konsumsi obat setiap hari, bukan merupakan suatu yang menyenangkan. Apabila setelah pengobatan 6 bulan selesai, penderita dianjurkan untuk pemeriksaan laboratorium ulang yaitu pemeriksaan dahak dan rontgen ulang, untuk melihat apakah masih positif atau sudah negatif penyakit paru-paru. Namun kenyataan di lapangan, masih ada penderita yang merasa yakin bahwa jika nafsu makan sudah meningkat, berat badan juga sudah bertambah, merasa bahwa mereka sudah sembuh dari penyakit paru-paru tersebut, sehingga tidak perlu lagi dilakukan pemeriksaan ke Puskesmas lagi, khususnya untuk pemeriksaan dahak dan pemeriksaan rontgen. 143 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 “Kalau Sudah enam bulan suruh rontgen lagi. Tapi sudah sembuh mesti belum rontgen lagi. Soalnya berat badan sudah naik, nafsu makan baik”69 3.2.2. Kusta Salah satu jenis penyakit menular yang ada di DesaDukuh Widaraadalah penyakit kusta, selain penyakit TB dan Penumonia. Menurut Bp As, salah seorang petugas/perawat di Pusesmas Kalibuntu, yang merupakan penanggungjawab penyakit kusta, mengatakan bahwa penderita penyakit kusta didesa dukuh widara sebenarnya banyak, hanya susah dijaring karena mereka belum merasakan keluahan. “Pernah saya mendatangi mereka, orang-orang yang mengalami bercak putih/merah dan mengkilap, saya kumpulkan dan saya berikan kepada mereka penyuluhan. Mereka mendapat informasi bahwa gejala seperti bercak putih/merah mengkilap yang dialaminya merupakan penyakit kusta dan bisa diobati di Puskesmas, eh malah mereka ga terima mbak (sambil tertawa), sampai-sampai mereka tidak membukakan pintu mbak, biar terkesan tidak ada orang, padahal saya tahu mbak, mereka ada didalam rumah, akhirnya ya sudah, saya berhenti saja, wong mereka ga butuh saya, saya ngobati yang butuh saya saja, dari pada saya diusirusir seperi orang yang cari sumbangan.” Salah seorang penderita penyakit kusta di Desa dukuh Widara adalah Dindin, 28 tahun. Ia masih lajang, merupakan putra pertama dari empat bersaudara. Orang tua tinggal ibunya saja sedangkan bapaknya sudah meninggal dikarenakan tersengat aliran listrik, ketika sedang membetulkan listrik. 69 Sumber: Wawancara dengan Tarso 144 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Dindin nampak kebingungan saat ditanyakan tentang bagaimana awal sakit yang dialaminya. “Bingung Mbak, mau mulai darimana,” katanya kemudian. saya sudah setahun ini berobat ke Puskesmas Suasana nampak sedikit kaku. Dindin lebih sering menunduk, menatap tikar alas tempatnya duduk. Dindin menampakkan ekspresi kurang percaya diri/minder. Hal tersebut sama dengan informasi yang kami dapatkan dari Bp Asep, selaku petugas yang bertanggungjawab dalam pengelolaan penyakit tersebut. Mengamati situasi tersebut, obrolan dialihkan kepada aktivitas sehari- hari Dindin. Dindin bercerita bahwa ia dahulu kerja di bandung di warung makan selama setengah tahun. Setelah itu pulang ke desa. Dindin mengungkapkan bahwa ia cepat bosan dengan pekerjaan tersebut. Tak berapa lama dari itu, Dindin kembali merantau ke Jakarta. Di Kota metropolitan tersebut Dindin berganti-ganti pekerjaan, di proyek bangunan, bekerja sebagai pelayan di sebuah toko material. Pokoknya berganti-ganti, ungkapnya kemudian. Pada saat ditanya tentang aktivitasnya saat ini, Dindin mengungkapkan bahwa sejak sakit ini ia tidak bisa memiliki aktivitas yang menetap. Jadi hanya bantubantu saaj, menjadi kuli saja. Ia jalani pekerjaan tersebut jika, ada muatan, seperti batu bata atau muatan kayu. Dengan berbagai obrolan tersebut, nampak suasana waktu itu mulai cair, dan obrolan pun dilanjutkan terkait dengan kondisi Dindin saat ini. Didin bercerita bahwa iam mulai ke puskesms sekitar tahun 2013 , jadi sudah selama 1 tahun bulan empat dan datang kesana setiap minggu. Sampai sekarang masih berobat jalan, ungkapnya. Pada saat ditanyakan tentang penyakitnya, Dindin menjawab, bahwa ia mengalami penyakit kista, “eh, kusta, maksudnya mb.” Katanya meluruskan Didin bercerita bahwa ia mengetaui penyakitnya tersebut dari tetangganya. Pada saat itu Didin mengalami bengkak145 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 bengkak di muka, ditambah perasaan badan yang kurang enak, “abot” badan terasa berat. Melihat berbagai gejala tersebut, tetangga yang tidak lain adalah saudara Didin menyarankannya untuk ke Puskesmas. Nyata saja berdasarkan hasil pemeriksaan di Puskesmas Didin dinyatakan postif mengalami kusta. Menurut Bp Asep, Didin termasuk salah satu penderita kusta yang sangat aktif, bahkan hampir tidak pernah terlewatkan jadwal kontrolnya. Setiap minggu pasti datang atau paling tidak pada saat obatnya habis. Keinginannya Cuma satu yaitu sembuh total. Setelah sembuh maka Didin akan membantu Ibunya untuk mencari nafkah. Mengenai penyebab penyakitnya, seprtinya Didin telah menanyakan hal tersebut kepada petugas kesehaatn. Menurutnya, penyebabnya adalah bakteri. Beberapa waktu yang lalu, memang pernah ada di blok yang sama, didekat rumahnya, tetangganya, orang yang menderita penyakit yang sama. Tetangga Didin kini telah sembuh total, dan bahkan sering memberikan motivasi kepaad Didin untuk selalu semangat menjalani pengobatan. Pada awalnya tidak ada tetangganya yang lain yang mengetahui penyakitnya, namun lama-kelamaan tetangga banyak yang mengetaui bahwa Didin menderita penyakit kusta, terlebih ketika tubunya mengalami perubahan warna, menjadi kehitam-hitaman sebagai efek drari konsumsi obat tersebut. Kondisi ini membuat Didin semakin berkecil hati, terlebih ketika satu per satu temannya mulai menjauhinya. Saat ada temannya yang bergerombol, main bersama, pasti akan segara membubarkan diri saat Didin menghampirinya. “Saya dijauhi temaen-temen mbak, pas sakit ini, boroboro punya cewek, kulitnya saja begini Mbak (sambil menunjukkan lengan kanannya, yang tampak kulit lebih gelap dan bersisik). (terlihat linangan air mata di kedua 146 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat sudut matanya) Saya sendiri saja merasa jijik lihatnya. Ada sih, temen-temen yang masih mau main, tapi ndak banyak . Ya, cuman di depan kios yang pinggir jalan itu, saya bisa nongrong.” Gejala yang menurut Didin paling parah dialaminya adalah rasa lemas di badan, tidak bisa beraktivitas apapun dan juga sakit telapak kaki. Didin pun telah memahami komplikasi terburuk penyakit yang dialaminya, yaitu kelumpuhan, hilangnya fungsi tangan kaki bahkan hilangnya kaki atau tangannya. Selain itu kebutaan juga difahami oleh Dindin sebagai komplikasi dari penyakit kusta yang diaalminya. Jika diuraikan kembali tentang kegelisahan Dindin, selain dijauhi teman-temannya, adalah fisik yang seolah tidak bisa daajk kompromi, badannya lemas banget, terutama saat Dindin melakukan aktifitas yang berat, seperti menjadi kuli mengganggkut batu bata. Seperti uumnya laki-laki, Dindin juga ingin merokok, namun hal yang sama juga dialaminya seperti kalau dia melakukan aktivitas berat. Tentang pantangan makanan, Dindin bercerita bahwa menurut petugas kesehatan, bahwa tidak ada pantangan makanan untuk penderita kusta seperti dirinya, namun, Dindin merasa perlu memantang kopi. Sama, badannya kembali lemas jika mengkonsumsi kopi, Selain itu Dindin juga memantang pada dirinya untuk tidak berjemur di panas matahari, rasanya badannya sakit semua. Dindin juga bercerita, bahwa perasaannya sering sedih, terutama pada pagi hari. Pada waktu pagi, ia akan merasa sendiri, kalau siang dan sore, ia akan menghabiskan waktunya bersama temen-temennya yang tinggal segelintir di warung depan gang. Pada pagi hari ia sering memikirkan penyakitnya, bagaimana caranya biar sembuh dan memikirkan sebagai anak pertama punya adik banyak dan tidak memiliki penghasilan yang 147 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 jelas. kasihan sama ibunya, katanya kemudian (tampak linangan air matanya di kedua sudut matanya). Selain Didin, salah satu penderita kusta di Desa Dukuh Widara adalah dara (10 tahun). Sebenarnya telah beberapa kali dilakukan untuk mencari rumah Dara, namun selalu gagal. Akhirnya data tambahan tentang nama orang tua ida didapatkan dari Bp Asep, tenaga kesehatan Puskesmas yang menjadi penanggungjawab kusta. Pada sore itu tanggal 31 Mei 2014, kunjungan dilakukan ke rumah Dara. “Assalamu’alaikum”, suara kami memecah kesepian siang hari itu”. Beberapa kali belum juga ada jawaban, namun tidak berapa lama, ada seorang ibu paroh baya yang sedang menggendong bayinya, nampaknya memperhatika kami dari tadi. “Mau ketemu siapa, mbak”? O, Iya ibu, kami mau ketemu Ibunya Dara. Oooo, kemudian dipanggillah ibunya Ida dengan suara yang lebih lantang lagi. Tak berapa lama, Ibu Dara dari rumahnya. Setelah menjelaskan asal, maksud dan tujuan kunjungan siang itu, Ibu dara akhirnya mengawali ceritanya tentang Dara. LaIu Dara bercerita bahwa Dara terkena penyakit kusta. Penyakit ini adalah penyakit menular. Jadi memang ada anggota keluarga lain yang kena? Adik, di Jakarta, itu juga baru ketahuan katanya. Ibu dara endiri mengatakan belum melihat kondisi terakhir adiknya, hanya kabar yang sampai bahwa adiknya juga sakit yang sama. Setelah diperiksa dokter di sana di jakarta, katanya penyakit kusta. Menurut Ibu dara, putrinya dara juga sakit yang sama, tetapi sudah mengenai ujung jari, artinya sudah ada kecacatan pada ujung jari pada tangan kanannya. Pesan dari petugas keehatan yang menangani penyakit putrinya, agar setiap malam, tangannya yang sebelah kanan untuk selalu diurut agar peredaran darah menjadi dan tangannya lemas kembali, tidak seperti sekarang yang kaku, sehingga sulit untuk digerakkan. 148 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Sudah beberapa hari ini ternyata Dara tidak masuk sekolah. Baik pihak sekolah terutama guru maupun teman-teman nya telah memahami alasan kenapa dara tidak masuk sekolah. Menurut salah satu guru senior di sekolah tersebut, memang kalau dilihat dari ketidakhadirannya frekuansinya cukup sering. Mereka sangat maklum dengan hal ini. Ketidakhadiran Dara pada minggu-minggu ini, disebabkan penyakit yang dialaminya kambuh. Kegiatan ujian kenaikan kelas yang akan dilaksanakan pada pekan depan. Apabila sedang kambuh seperti ini dara akan mengeluh sakit pada tangannya, dan mlentung (bengkak yang transparan berisi air, miriip dengan efek luka bakar, dalam bahasa medis: bulla) Sudah satu bulan lebih Dara tidak mengalami kekambuhan, dan baru sekarang lagi. Selama ini cukup sulit untuk memberikan obat padanya, sepertinya Dara sudah bosan dengan obat yang selama ini ia konsumsi. Tetapi ibunya tidak patah semangat, bujukan dan bahkan ancaman tidak diperbolehkan sekolah sering dilakukan ibunya agar Dara mau minum obat. Dan biasanya cara terakhir akan manjur. Dara akan meminum obat jika ia dipaksa tidak boleh sekolah jika tidak minum obat. Menurut ibunya, Dara sepertinya juga tidak bisa mengikuti ujian kenaikan kelas yang akan dilaksanakan pekan depan. Bahkan terkadang ancaman ibunya, walaupun ngendok (tidak naik kelas) juga tidak apa-apa, karena kebanyakan teman sebayanya masih kelas 4, satu tingkat dibawah Dara yang kini telah duduk di kelas 5. Tentang penyebab, setahu ibunya bahwa penyebab sakit Dara adalah bakteri, akan tetapi ia lupa nama bakterinya apa. Ibu Dara pernah mendapat penjelasan dari petugas kesehatan Puskesmas yang memeriksa Dara. Para tetangga juga telah mengetahui keberadaan Dara dan kondisi penyakit yang dialaminya. Kebanyakan tetangga bersikap biasa saja, tetapi 149 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 memang ada yang bilang bahwa penyakit yang diderita Dara adalah penyakit menular, dan cenderung menyuruh anakanaknya untuk menghindar atau menjauhi Dara. Namun menurut ibunya teman-teman Dara masih bersikap biasa, main ya main. Dara memiliki riwayat pengobatan yang cukup banyak. Dara pernah dirujuk ke rumah sakit di Kota Cirebon, pada saat penyakitnya lagi parah. Pada saat itu , Dara juga mendapatkan sabun khusus anak-anak karena katanya punya alergi. Selain itu ia juga mendapatkan salep kulit. Salep ini cukup efektif untuk mengobati keluhan-keluhan seperti di atas. Salep ini belum pernah didapatkan di Puskesmas. Pada waktu d rawat rumah sakit, Dara didiagnosa mengalami kusta. Informasi tentang gejala awal penyakit diceritakan oleh ibu Dara, bahwa yang paling pertama mengetahui penyakit Dara adalah ayahnya. Pada waktu itu, ibunya Dara bekerja ke oman, Arab saudi sebagai TKW. Munculnya gejala sakit pada waktu itu adalah bercak putih seperti panu yang merata hampir semua badannya dan plentung plentung (bengkak yang menyerupai bengkak pada luka bakar). Beberapa kali telah diberikan obat ke apotek tapi tidak sembuh. Ibu Imah, sebagai guru wali kelas Dara, menyarankan kepada keluarga, yang paad waktu itu diwakili suaminya untuk memeriksakan kondisi Dara ke Puskesmas, karena penyakit ii berbahaya katanya. Ayah Dara dengan ditemani oleh Ibu Imah memeriksakan Dara ke Puskesmas setempat. Benar saja berdasarkan hasil pemeriksaaan yang dilakukan ternyata dara menderita penyakit kusta. Apabila kondisi Dara sedang kumat, maka Ibunya akan memperlakukan Dara seperti bayi, karena memang keluhan itu menyebbakan Dara sulit untuk merawat diri, maka mulai dari mandi, Buang Air besar dan kecil, ganti baju dan lain-lain, semua dikerjakan oleh Ibu Dara. Selain mengkonsumsi obat dari 150 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Puskesmas, ayah Dara tetap membelikan salep untuk mengobati seluruh kulit yang bengkak-bengkak. Tentang pantangan makanan, menurut petugas kesehatan di sana, tidak ada pantangan makanan pada penderita kusta. Namun demikian ibu Dara jarang memberikan ikan, bukan karena pantangan, akan tetapi karena Dara kurang suka mengkonsumsinya. Jenis makanan yang lain, seperti tahu, tempe bahkan ayam juga mash sering dikonsumsi Dara, dan nampaknya tidak ada hal yang membuatnya berpengaruh. Semenejak kondisi dara yang seperti ini, Ibu Dara tidak pernah lagi memiliki rencana untuk berangkat ke luar negeri lagi. Dulu saya berangkat karena tuntutan anak yang sekolah di pesantrean yang aga banyak. Jadi perlu biaya tambahan, kalau tidak pergi ke luar, rasanya tidak ada jalan, memerlukan biaya mahal. Pernah Ibu Dara mendapatkan informasi tentang adanya obat herbal yang dalam bentuk spray. Obat itu katanya sangat ampuh utuk menyembuhkan berbagai penyakit termasuk kusta. Cara kerja obat tersebut adalah dengan merangsang hormon pertumbuhan. Upaya pengobatan alternatif sebenarnya juga ingin dilakukan oleh Ibu dara. Namun informasi yang sampai kepadanya, obat-obat alternatif dalam bentuk herbal. Pengecekan tentang kebiasaan Dara di sekolah, dilakukan dengan melakukan kunjungan kepada salah seorang guru yang merupakan guru kelas Dara. Ibu, Imah memang sangat perhatian dengan semua murudnya termasuk Dara. Bahkan Dara sampai diketahui pmenderita kusta, juga dari Ibu Imah yang mempunyai inisiatif membawa Dara ke Puskesmas untuk melakukan pemeriksaan. Sejak positif didiagnosa kusta, Ibu Imah selalu memotifasi dara dan ayahnya (sewaktu ibunya belum pulang dari Arab) untuk memeriksakan ke Puskesmas dan meminum obat yang disarankan. 151 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Walaupun dalam kondisi sakit, Dara ternyata masih bersemangat mengikuti berbagai kegiatan di Sekolah. Hanya memang kelihatan sekali minder/tidak percaya diri. Kondisi tersebut terlihat dengan Dara sering memisahkan diri dari teman-temannya, bahkan saat istirahatpun dara lebih senang didalam kelas dibandingkan bermain bersama teman-temannya. 3.3. Penyakit Tidak Menular Berbagai jenis penyakit tidak menular yang dominan dialami di masyarakat Desa Dukuh Widara berdasarkan profil kesehatan Kalibuntu tahun 2013 antara lain: diabetes mellitus, hipertensi, stroke dan penyakit gangguan jiwa. Berdasarkan profil tersebut didapatkan jumlah penderita diabetes mellitus, hipertensi, stroke dan penyakit gangguan jiwa Pada pengambilan data tentang penyakit tidak menular ditanyakan beberapa informasi kepada para penderita atau keluarganya. Berbagai hal yang digali dalam penelitian ini meliputi: 1) Penggalian pemahaman masyarakat lokal tentang padanan kata/sebutan untuk penyakit-penyakit tersebut dalam bahasa setempat, gejala-gejala dan penyebab, termasuk didlamnya terkait dengan kepercayaan masyarakat lokal. 2) Penggalian informan tentang pengalaman dan pengetahuan mereka tentang penyakit tersebut. 3) Penggalian informasi tentang pola pengobatan yang dilakukan informan maupun masyaakat sekitarnya, baik dari sisi tradisional, swamedikasi hingga pengobatan modern. 4) Penggalian informasi tentang bagaimana pencegahan dan tindakan preventif terhadap penyakit dan gejala tersebut. 5) Penggalian tentang pantangan dan anjuran bila seseorang mengalami penyakit tersebut dan gali tentang alasan-alasan mereka dan apakah ada sanksi/akibat bila melanggarnya? 152 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat 6) Penggalian tentang persepsi atau anggapan tertentu di masyarakat setempat terhadap penyakit tersebut? apakah makna dari pelanggaran tersebut? 3.3.1. Hipertensi Ibu, Tur 37 tahun mengalami hipertensi atau yang disebut oleh ibu Tur tensinya tinggi. Menurut Ibu Tur tidak ada istilah bludrek, kata Ibu Tur seperti ini “Saya tidak mengenal istilah bludrek mba, itu sebutan jaman dulu.” Ibu Tur mengakui sering mengalami kejadian ini jika terasa cape, pas banyak pikiran, stress sama urusan keluarga. Gejala yang sering dirasakan saat kumat adalah pusing/puyeng. Upaya pengobatan yang biasa Ibu Tur lakukan adalah minum obat warung dulu, kalau obat sebut tidak cocok baru ke fasilitas kesehatan, bisa ke Puskesmas atau ke bidan. “Kalau sakit yang ini, ga pernah ke alternatif, pernah ke alternatif atau ke tabib waktu sakit amandel, memang sih adem rasane mbak, tapi ya ga sembuh”. Menurut Ibu Tur, cara mencegah agar tidak mengalami penyakit ini adalah tidak banyak pikiran, yang namanya masalah tiap orang pasti ada, tetapi harus tetap tenang kuncinya. Kalau hati tenang, biasanya ga akan puyeng, pasti tensinya turun. Yang pastimenurut ibu Tur, jangan sampai melanggar pantangan seperti banyak makan asin, makan jeroan dan yang paling penting ya itu tadi jangan banyak pikiran. Penyakit hipertensi di desa ini disebut penyakit darah tinggi. Berdasarkan pengalaman dari informan sebelum diketahui nya bahawa mereka menderita penyakit ini, ada beberapa gejala yang mereka alami, misalnya sakit kepala, pusing, dan susah tidur pada malam hari. 153 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Setelah dilakukan pemeriksaan ke Puskesmas atau tenaga kesehatan, penderita penyakit ini dianjurkan agar tidak mengkonsumsi makanan yang asin-asin, daging kambing, dan goreng-gorengan. 3.3.2. Diabetes Mellitus Salah satu peyakit tidak menular yang banyak dijumpai di Desa Dukuh Widara adalah Diabetus Melllitus. Keberadaan penderita penyakit tersebut tercatat di Puskesmas. Ny Mar, 55 tahun, adalah warga desa Dukuh Widara yang menderita penyakit Diabetus Mellitus. Kunjungan ke rumah Ny Mar dilakukan berdasarkan informasi dari salah satu tenaga kesehatan yang menjadi kepercayaan Ny Mar. Tak jarang Ny mar memeriksakan keluhannya kepada tenaga kesehatan tersebut. Tidak terlalu sulit untuk mencari rumah Ny. Mar. Rumah itu berada di sudut rumah salah satu dukun bayi di desa dukuh Widara yang sering dikunjungi. Rumah tersebut nampak gagah dan cukup besar. Selain itu kebersihan nampaknya sangat dijaga oleh pemilik rumah, walau rumah besar namun tak tampak barang berserakan, bahkan debu juga seperti tidak tampak dilantai teras depan dan samping rumah. Terlihat pagar besi bercat putih dan bentuk rumah seperti huruf U. Cukup lama, kami coba memanggil pemilik rumah. Wajar saja mungkin karena rumah yang besar sehingga suara sapaan salam yang tidak terllau keras, kurang terdengar oleh pemilik rumah. Hampir saja rumah tersebut ditinggalkan, namun ternyata tidak berapa lama, telah ada seseorang perempuan, paroh baya menjawab salam. Ibu tersebut nampak menatap penuh keheranan dan bertanya tentang keberadaan kami. Tidak berapa lama dari situ, situasi menjadi cair terlebih ketika sudah dijelaskan tentang keberadaan kita serta maksud dan tujuan kedatangan kami. Perempuan paroh baya tersebut adalah Ny Mar. Nya Mar 154 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat memiliki 3 orang anak, namun sekarang hanya tinggal bersama satu orang anak, anak terakhirnya dan suaminya saja. Kedua anak Ny. Mar yang lain telah berkeluarga dan tinggal terpisah dengannya. Ny Mar mengalami sakit yang cukup lama, rasa lemes yang terus menerus dirasakan oleh Ny Mar. Awal mula gejala sakitnya dulu adalah perasaan lemes/lemas, seperti tidak punya tenaga. “Saya sampai ga bisa bangun mbak, ntrotok (gemeteran) semua, keringat dingin dari pagi sampai malam, terus terusan. 2 minggu mba, ga bisa bangun. Perasaan sudah berobat kemana-mana tapi ga ada kemajuan pisan. Saya bingung banget waktu itu”. Di saat kebingungan tersebut Ny Mar bertemu dengan Ibu Bidan Nur, yang berpraktek di Desa tersebut. Atas saran ibu bidan, Ny Mar melakukan pemeriksaan gula adarah. Nyata saja ternyata gula darahnya sangat tinggi mencapai 500 gr/dl. Informasi tersebut sangat mengagetkan Ny Mar, karena salama ini ia belum pernah mengalami hal demikian dan juga seingatnya tidak ada keturunannnya yang mengalami penyakit demikian. Dengan hasil pemeriksaan tersebut, Ny Mar dinyatakan mengalami penyakit Diabeteus Mellitus dan lebih dikenal oleh masyarakat sebagai penyakit kencing manis. Didesa dukuh widara penyakit ini disebut juga sebagai penyakit gula darah. Sudah beberapa warga yang meninggal masih dalam waktu dekat karena penyakit ini. Dari satu informan disampaikan bahwa sudah 4 orang yang dia kenal di desa ini. Gejala dari penyakit ini adalah sering kencing/buang air kecil , berat badan turun dan banyak minum, karena rasa haus yang seringkali dirasakan. Kencing dalam sehari terkadang sampai 30 kali lebih. Penyakit ini dianggap sebagai penyakit yang disebabkan karena pola makan yang kurang baik, seperti karena 155 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 selalu minum teh manis di malam hari, dan juga terlalu seringnya habis makan langsung tidur, atau tidak beraktivitas. “Karena pola makan, habis makan tidur, jarang olah raga. Pola makan yang ga teratur, terus turunan juga.“70 Anjuran yang disampaikan bagi penderita penyakit ini beberapa hal diantaranya makan nasi dikurangi, yang dapat diganti dengan kentang rebus atau beras merah, jangan makan manis-manis, dan goreng-gorengan dan makan makanan kukusan. Konsumsi buah-buahan seperti anggur, durian, jeruk, nangka juga juga dianggap sebagai pantangan. Pengobatan tradisional yang pernah dilakukan untuk pengobatan ini juga dilakukan dengan berbagai terapi melalui pengobatan herbal, terapi pijit dan terapi matras untuk melancarkan peredaran darah. Terapi herbal yang pernah dilakukan masyarakat disana seperti madu pahit, buah pare, kulit manggis dan propolis. Masyarakat disana sudah mengetahui bahwa penyakit Diabetes Mellitus (penyakit gula darah) adalah bisa merupakan penyakit keturunan, dan bukan penyakit menular. Dari informan yang diwawancara, bahwa dari beberapa orang keluarga nya juga telah menderita penyakit ini. Salah satunya ibu informan yang telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu, dikarenakan penyakit ini. 3.3.3. Gangguan Jiwa Data awal pasien dengan gangguan jiwa didapatkan dari profil Puskesmas Kalibuntu. Berdasarkan profil tersebut, Di Desa Dukuh Widara terdapat 3 pasien penderita gangguan jiwa yaitu Ny AS, 70 Wawancara dengan Wiwin 156 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Informasi yang didiapatkan dari aparat desa setempat, bahwa Ny AS, adalah seorang TKW yang bekerja di Arab Saudi. Selama 6 tahun bekerja di sana, Ny As meminta kakaknya untuk memegang hasil kerjanya. Namun sayangnya, menurut keterangan Bp. Nura, uangnya nggak jelas. Gejala awal gangguan jiwa dirasakan sudah lama setelah tinggal di Indonesia . ”Awalnya katanya panas, pusing, mungkin kemauan banyak tidak terelaisasi, mau nuntut sama siapa, ngadu sama siapa, orang yang mengasuh anaknya. Awalnya memang sedikit nakal. Terus ada intruksi dari Puskesmas, jangan sampai telat obat. Teriak-teriak saja, kalau mau jalan kesana tidak bisa dicegah. Untuk argumen, semasa lagi normal bagus. Bukan orang berpendidikan tapi dari segi pengalaman bagus. Jadi ini bahasanya siti aisyah atau bukan?” Menurut keterangan Bp Nura, penyebab sakitnya Ny AN bukan karena halhal mistik walaupun sempat ada dugaan seperti itu. Pengobatan ke orang “pintar” masih sering dilakukan. Kadang pengobatan ke dokter kemana mana, tetap seperti saja. setelah dibawa ke paranormal sembuh, ini jadi dilema (dengan kepercayaan pengobatan kedokteran). Jadi kemungkinan yang terjadi seperti kasus tersebut adalah kesambet. Menurut ilmu ipa dulu, di bawah pohon karena pertukaran oksigen dengan tumbuhan kalah, bahasa orang kita kesambet. Masih menurut Bp Nura, salah satu penderita gangguan Jiwa yang lain adalah Bp Kar. Kondisi sekarang sudah mau kerja lagi walaupun serabutan. Salah satu faktor yang mungkin mengawali gangguan jiwa ini adalah karena rumah tangga masalh rumah tangga. 157 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 “Ada suami yang meneng, tapi bukan kalah. Tapi dianggap kalah. Karena tidak mau ribut karena tekanan istri. di kampung ketika ada pekerjaan banyak susah cari orang, lagi nggak ada kosong. Jadi intinya serba binggung. Dari situ stress”. Beberapa hari kemudian kunjungan dilakukan kepada Ibu eni, Kakak Ny AS. Menurut Ibu Eni, telah merawat adiknya sejak ± 2 tahun yang lalu. Sejak saat itu sampai dengan sekarang AS sudah kumat 3 kali kambuh. Kambuh yang pertama dan kedua cukup parah, sampai mau pergi dari rumah, tetapi saat kambuh ketiga tidak begitu banyak, paling hanya ngomong sendiri. Kondisi sekarang Ny AS sudah sembuh dan telah bekerja di jakarta, meninggalkan anaknya diasuh kakaknya, Ibu Eeni. Menurut Ibu Eni, ia mengenal gangguan jiwa dengan istilah lain yang dikenal adalah depresif berat. Bagaimana awal depresi? Berikut cerita Ibu Eni “Dulu sih udah pernah. Pada saat di bawa ke belitung sama suaminya, balik, depresi disana. Kerjanya di belitung suaminya, bekerja dengan orang cina, kelapa sawit pulang2 sakit. saya jemput di bandara, saya obatin, alhamdulillah sembuh.” Menurut cerita Ibu Eni, Ny AS, pergi ke Belitung turut suaminya. Suami Mba As, bekerja di kebun kelapa sawit. Namun pada waktu pulang ternyata Mba AS, sudah depresi. Kondisi ini tentunya sangat mengagetkan Ibu Eni dan keluarga Mba AS. Betapa tidak, selama ini tidak pernah terdengar kabar yang kurang menyenangkan. Walaupun jauh Mba As sangat sering berkomunikasi dengan Ibu Eni melalui telf, dan selama itu Ibu Eni, selalu pernah mendengar kabar yang sangat menyenangkan. Kabar tentang kebahagiaan kehidupan Mba As bersama suami dan anaknya yang kini telah berusia 2 tahun. 158 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Pada awalnya pengobatan dilakukan ke dokter spesiais jiwa yang berada di wilayah tersebut. Namun seiring dengan waktu yang berjalan, dikarenaka kondisi keuangan yang tidak memungkinkan, pengobatan terhadap Mba As dilanjutkan ke sebuah rumah sakit di wilayah kabupaten Cirebon. Pengobatan yang dilakukan ke rumah sakit tersebut juga tidak lama dilakukan karena masalah yang sama yaitu keuangan. Beberapa saat setelah itu, Ibu Eni bertemu dengan dokter di Puskesmas dan mendiskusiakan tentang kelanjutan pengobatan Mba AS.Sebagai solusinya, Mba As melanjutkan pengobatan ke Puskesmas. Ibu Eni dan keluarga sangat bersyukur dengan perkembangan tersebut. Selain biaya yang murah, jarak yang terjangkau dan kemajuan pengobatan yang baik, baru 7 kali datang ke Puskesmas, Mba As sudah menunjukkan kemajuan yang sangat bagus. Bahkan telah dinyatakan sembuh. Hal ini tentunya sangat menggembirakan karena Mba as sepertinya telah pulih dari kondisinya. Berbagai keluhan yang sering muncul, seperti bicara sendiri, kadang menangis dan kadang marah, sudah tidak lagi ada. Dengan kondisinya yang telah membaik, Mba AS kembali lagi menusul suaminya bersama anaknya. Tidak lagi ada trauma dengan kehidupan suaminya. Cerita duka ternyata berulang kembali, cerita yang selama ini selalu disembunyikan oleh Mba AS. Itu juga ketika kondisinya tidak sadar, Yah Mba AS, kambuh lagi tidak berapa lama ketika ia menyusul suaminya. Ternyata selama tinggal bersama dengan suaminya, Mba As sering bahkan sangat sering ditinggal suaminya yang entah kemana perginya. Mba As, akhirnya pulang dengan kondisi yang sama dengan dahulu, depresi berat. Keberadaan suami Mba As yang demikian, terbukti juga oleh Ibu Eni. Ibu an telf ke nomer suaminya Mba AS dan ternyata yang menerima telf tersebut adalah seorang 159 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 perempuan. Situasi seperti ini, aganya yang menimbulkan bebanbeban yang terpendam. Istilah yang sering digunakan oleh masyarakat d desa Dukuh Widara, menyikapi orang –orang seperti Mba As, dengan istilah gila/edan. Demikian juga kebanyakan tetangganya menyebut kondisi Mba As dengan gila/edan. Rupanya Ibu Eni, kurang menyukai sebutan tersebut, bahkan kalau anaknya sendiri yang menyebutnya, biasanya Ibu Eni akan marah besar. Karena, menurutnya bahwa istilah gila/edan itu hanya diperuntukkan untuk orang yang memiliki gangguan jiwa. Khusus untuk adiknya Ibu Eni, menyebutnya dengan depresi berat. Masyarakat di sana menganggap bahwa penyakit jiwa ini bukan penyakit keturunan dan dapat disembuhkan. Penderita akan dibiarkan berkeliaran di jalanan, asalkan dianggap tidak menimbulkan bahaya bagi orang yang lain. Salah satu penderita penyakit jiwa di daerah tersebut dianggap dapat melakukan tindakan yang membahayakan orang lain di sekitarnya, sehingga penderita tersebut dilakukan tindakan pasung. Menurut keluarga penderita pasung tersebut, penyebab penderita sampai terkena penyakit jiwa adalah dikarenakan masalah pribadi. Dan karakter penderita yang sedikit tetutup. Penderita sudah pernah di rawat di rumah sakit jiwa, dan sudah dinyatakan sembuh, sudah pernah juga dilakukan pengobatan alternative ke paranormal, namun setelah pulang dari perawatan rumah sakit ternyata penderita kambuh kembali dan melakukan tindakan yang dianggap membahayakan orang lain. Berbagai penyebab penyakit jiwa di desa Dukuh Widara ini dikarenakan beberapa hal, seperti permasalahan ekonomi keluarga, karena kekecewaan pada keluarga yang dipercayai, dan karena hubungan pribadi dengan lawan jenis. Puskesmas Kalibuntu sendiri memfasilitasi rujukan untuk penderita penyakit jiwa agar berobat ke Rumah Sakit 160 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Daerah Waled untuk mendapatkan pengobatan oleh dokter spesialis penyakit jiwa. Gambar 3.4. Penderita Gangguan Jiwa yang dipasung oleh keluarganya Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 3.4. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat 3.4.1. Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Berdasarkan Data profil Promkes Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon tahun 2013 didapatkan data Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan (Linakes) tahun 2013 di Desa Dukuh Widara adalah 208 (12,46%).71 Puskesmas Kalibuntu sebagai Puskesmas Wilayah Desa Dukuh Widara saat ini masih belum merupakan Puskesmas dengan Rawat Inap atau Puskesmas PONED (Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergency Dasa), sehingga Puskesmas ini belum bisa menjadi tempat untuk persalinan. Data 71 Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, Profil Promosi Kesehatan 2013 161 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 persalinan terakhir bulan Juni di Puskesmas Kalibuntu menunjukkan bahwa di Desa Dukuh Widara dari 12 persalinanyang ada ternyata masih ada 2 orang (16,7%) melakukan persalinan di rumah. Masih terdapatmasyarakat yang menginginkan persalinan di rumah, ketika ibu hamil merasakan akan melahirkan, sehingga keluarga pasien akan memanggil bidan ke rumah. Masih ada bidan yang bersedia menolong persalinan di rumah pasien karena mempunyai persepsi daripada nantinya persalinan di tolong oleh dukun karena bidannya datang terlambat, Alasan lain karena pasien sudah tidak memungkinkan di bawa ke tempat bidan, karena sudah merasa dekat waktu persalinan. Bidan yang lain di Desa Dukuh Widara, justru merasa lebih nyaman jika pasiennya melahirkan di tempat prakteknya, karena akan mempermudah dalam pemantauan kemajuan persalinan. Bidan tidak harus bolak-balik ke rumah pasien dalam pemantauan kemajuan persalinan tersebut. Persalinan di rumah masih dianggap lebih enak, lebih nyaman oleh ibu yang akan melahirkan, dibandingkan di tempat persalinan lainnya, misalnya di tempat Bidan Praktek Mandiri (BPM) atau Rumah Sakit. Hal tersebut terlihat dari adanya rencana persalinan di rumah oleh beberapa informan yang diwawancarai. “Lebih nyaman kayanya, enak di rumah. Masyarakat disini lebih banyak milih dirumah. Paling kalau yang milih di bidan atau dirumah sakit karena udah ga bisa, ada masalah dalam melahirkan”72 Dan dari informan yang melahirkan di Bidan mengatakan jika melahirkan di bidan juga karena memang bidan yang menyarankan untuk melahirkan di tempat bidan. 72 Sumber: Wawancara denganIim Masruroh 162 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat “karena bidannya ga mau ke sini, saya disuruh kesana”73 Sesuai teori kebutuhan dasar manusia “Maslow”, bahwa kebutuhan dasar manusia terdiri dari kebutuhan fisiologis (makanan, air, eliminasi, bebas dari rasa sakit, serta aktivitas), rasa aman, rasa cinta, harga diri, aktualisasi diri. Perasaan aman dan lebih nyaman melahirkan di rumah sebagai kebutuhan dasar seorang ibu yang akan melahirkan dapat disebabkan beberapa hal, karena persalinan di rumah mereka merasa nyaman berada di rumah sendiri dan berada dekat dengan orang–orang yang dicintai yaitu keluarga, di samping itu jika merasakan mulas dan melahirkannya malam hari, tidak membuat repot orang lain karena harus ada yang mengantar ke tempat praktek bidan. Masih terdapat anggapan jika melahirkan normal, mengapa harus di tempat yang lain. Mereka yakin jika ada komplikasi atau kondisi tidak normal, maka bidan juga akan membawanya ke fasilitas yang lebih memadai/ tinggi. “Klo lahiran di rumah itu bagus berarti ga masalah, ga pernah salah. Klo sampe di bawa ke rumah sakit berarti bermasalah”.74 “Di bidan kan susah, ga ada yang nganter-nganter, malem. Sebenernya enak di rumah. Kecuali lahirannya susah ya di bawa, kalau normal ya di rumah aja. Kalau kata bidannya gengser udah dirumah aja, kalau susah ya di bawa”75 Sebenarnya semua persalinan sudah diharapkan berada di tempat atau di fasilitas kesehatan. Masyarakat Desa Dukuh 73 Sumber: Wawancara dengan Wasrini 74 Sumber: Wawancara denganIim Masruroh 75 Sumber: Wawancara dengan Khodijah 163 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Widara sudah banyak yang menyadari bahwa semua persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, sehingga semua persalinan sekarang pada umumnya sudah dilakukan oleh bidan, apabila dalam kondisi yang masih normal. Masyarakat lebih memilih bidan untuk menolong persalinan karena bidan dianggap orang yang lebih mengerti akan kesehatan jika dibandingkan dukun, terutama jika dukun baru dan dukun bukan karena turun temurun (turunan), dianggap masih sangat diragukan. Mereka merasa persalinan oleh bidan lebih nyaman dan dukunpun sudah menyadari setiap persalinan harus ditolong oleh bidan sehingga jika ada persalinan, dukun akan memberitahu bidan atau dengan menyuruh keluarga pasien untuk memanggil bidan. Keberadaan dukun bayi/paraji hanya mendampingi bidan saat persalinan, untuk membantu menjaga kenyamanan ibu yang akan melahirkan, dan dalam perawatan bayi baru lahir, atau hanya mengurusi bayinya. Pandangan tentang cara tenaga kesehatan yaitu bidan dalam menolong persalinan sudah dianggap cukup baik menurut masyarakat. 3.4.2. Melakukan Penimbangan Bayi dan Balita (Usia 0-59 bulan) Berdasarkan Data profil Promkes Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon tahun 2013 didapatkan data menimbang bayi dan balita tahun 2013 di Desa Dukuh Widara adalah 473 (28,34 %).76Kegiatan Posyandu di Desa Dukuh Widara dilaksanakan setiap satu bulan sekali, dan sebagai penanggung jawab pelaksanaan kegiatan Posyandu adalah pamong desa (Kepala Dusun) dan kader. Tidak ada kriteria khusus dalam hal menentukan pemilihan kader di Desa Dukuh Widara, hanya bagi 76 Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, Profil Promosi Kesehatan 2013 164 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat mereka yang mau bekerja secara sukarela saja. Tempat Posyandu di wilayah di Desa Dukuh Widara masih bertempat di rumahrumah penduduk, terutama di rumah tokoh masyarakat, misalkan dirumah pamong desa yaitu di rumah Kepala Dusun. Kegiatan Posyandu dilakukan setiap satu bulan sekali di setiap blok Desa Dukuh Widara (Blok Pahing, Blok Manis , Blok Wage, Blok Kliwon, dan Blok Pon ), dihadiri oleh tenaga kesehatan sebagai perwakilan dari Puskesmas Kalibuntu untuk memberikan pelayanan kesehatan. Tenaga kesehatan yang berpartisipasi adalah bidan desa, petugas imunisasi, dan gizi. Masyarakat Desa Dukuh Widara biasanya melakukan penimbangan bayi dan balita mereka di Posyandu atau Puskesmas. Jarak dekat dengan rumah menjadi alasan dalam pemilihan tempat Posyandu. Apabila Posyandu atau Puskesmas lebih dekat dengan rumah , maka mereka akan memilih salah satu tempat penimbangan tersebut untuk memeriksakan kesehatan dan perkembangan anak-anak mereka. ”Dibawa ke Posyandu, cuma pengen tau perkembangannya, beratnya berapa. Klo sakit ya ke Puskesmas atau ke bidan.”77 “Lebih dekat dan enak di Puskesmas” Ingin tau perkembangannya.”78 Tempat yang digunakan untuk pelaksanaan kegiatan Posyandu di Desa Dukuh Widara, hampir semuanya sudah terlihat cukup bersih dan cukup luas, karena tempat yang dipilih biasanya tempat tinggal tokoh masyarakat atau pamong desa. Kegiatan pelayanan yang dilakukan di Posyandu sudah sesuai dengan 5 kegiatan utama Posyandu yaitu Kesehatan Ibu dan 77 Sumber: Wawancara dengan Dorikah 78 Sumber: Wawancara dengan Khodijah 165 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Anak, Imunisasi, Gizi, KB, Pencegahan dan penanggulangan diare79. Sasaran Posyandu adalah ibu hamil, ibu nifas, dan menyusui, bayi dan balita dan PUS (pasangan usia subur). Imunisasi merupakan suatu upaya untuk memberikan kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit dengan memasukkan kuman atau produk kuman yang sudah dilemahkan atau dimatikan.80 Lima Imunisasi Dasar yang diberikan sesuai dengan program pemerintah dengan pemberian imunisasi yang diberikan pada bayi antara umur 0-12 bulan, terdiri dari imunisasi BCG, DPT, Polio, Hepatitis B, dan Campak.Sedangkan untuk ibu hamil, maka imunisasi yang diberikan adalah imunisasi tetanus (TT). Vaksin yang digunakan untuk pemberian imunisasi di Posyandu berasal dari Dinas Kesehatan selanjutnya di berikan ke Puskesmas, dan dari Puskesmas dapat digunakan untuk kegiatan Posyandu. Beberapa alasan ibu di Desa Dukuh Widara membawa anaknya ke Posyandu, karena memang dianjurkan oleh bidannya, terutama bidan yang menolong persalinan, agar setiap bulan menimbangkan anaknya ke Posyandu, dan memang keingintahuan ibu-ibu itu sendiri untuk imunisasi, serta mengetahui perkembangan anaknya, terutama tentang berat badan. “Sering nimbang di Posyandu, karena disuruh sama bidannya, tiap bulan harus ditimbang.”81 Kegiatan utama Posyandu mengacu pada sistem lima meja atau lima langkah pelayanan82 disajikan pada tabel 3.1. 79 Sumber: Depkes R.I, 2006 80 Sumber: Marimbi, Hanum. 2010 81 Sumber: Wawancara dengan Khodijah 82 Sumber: Depkes R.I, 2006 166 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Tabel 3.1. Kegiatan Posyandu di Desa Dukuh Widara, tahun 2014 Langkah/ Meja ke- Pelayanan Pelaksana Pertama Pendaftaran Kader Kedua Penimbangan Kader Ketiga Pengisian KMS Kader Keempat Penyuluhan Kader Kelima Pelayanan Kesehatan Petugas Kesehatan dan sektor lain bersama kader Sumber: Data Primer Langkah atau meja keempat Posyandu sekaligus adanya penyuluhan kesehatan, menjelaskan data KMS atau keadaan anak berdasarkan data kenaikan berat badan yang digambarkan dalam grafik KMS, dan pelayanan pemberian makanan tambahan (PMT). Sedangkan di langkah atau meja ke-lima pelayanan kesehatan yang diberikan seperti pemberian imunisasi, obatobatan, oralit, vitamin A, tablet zat besi, pil dan kondom, pemeriksaan kehamilan, pemeriksaan kesehatan dan pengobatan, Pelayanan kontrasepsi IUD dan suntik. Dalam setiap kegiatan Posyandu di Desa Dukuh Widara hampir selalu ada makanan atau minuman tambahan yang disediakan, misalnya diberi bubur kacang, biskuit, telur rebus, susu atau Milkkuat. Untuk penyediaan PMT, biasanya diserahkan ke pamong desa /keluarganya/kadernya. Untuk beberapa makanan yang harus dimasak, biasanya akan disiapkan oleh kader atau pamong desa. Misalnya pembuatan bubur kacang, maka keluarga pamong desa tersebut akan menyiapkan dan biasanya menggunakan plastik untuk membungkusnya. Gizi merupakan bagian dari proses kehidupan dan proses tumbuh kembang seseorang, sehingga pemenuhan kebutuhan 167 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 gizi secara adekuat turut menentukan kualitas tumbuh kembang sebagai sumber daya manusia di masa datang. Gizi kurang adalah gangguan kesehatan akibat kekurangan atau ketidakseimbangan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan, aktivitas berfikir dan semua hal yang berhubungan dengan kehidupan. Gizi kurang banyak terjadi pada anak usia kurang dari 5 tahun. Gizi buruk adalah kondisi gizi kurang hingga tingkat yang berat dan disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dari makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama. Gizi buruk bila kondisi gizi kurang berlangsung lama, maka akan berakibat semakin berat tingkat kekurangannya. Gizi buruk terjadi bila tubuh tidak mendapatkan zat-zat gizi baik untuk pertumbuhan dan perkembangan serta mengalami kekurangan satu atau lebih zat gizi essensial. Beberapa faktor penyebab adalah 1) faktor sosial adalah rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya makanan bergizi bagi pertumbuhan anak. Baita diberi makanan sekedarnya atau asal kenyang padahal miskin gizi. 2) Kemiskinan dianggap sebagai biang keladi munculnya penyakit di negara berkembang. Rendahnya pendapatan masyarakat menyebabkan kebutuhan paling mendasar, yaitu pangan pun seringkali tak bisa dipenuhi. 3) Laju pertambahan penduduk, dan 4) Infeksi.83 Status gizi balita merupakan hal penting yang harus diketahui oleh setiap orang tua. Perlunya perhatian lebih dalam tumbuh kembang di usia balita didasarkan fakta bahwa kurang gizi yang terjadi pada masa emas ini bersifat irreversible (tidak dapat pulih). Menurut ahli gizi dari IPB Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS, standar acuan status gizi balita adalah berat badan menurut 83 Sumber: ferryngongo.blogspot.com/2012/10/makalah-perbedaan-gizikurang- dan-gizi.html?m=1 168 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat umur (BB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dan tinggi badan menurut umur (TB/U).84 Pedoman yang digunakan adalah standar berdasarkan tabel WHO-NCHS (National Center for Health Statistics). Status gizi pada balita dapat diketahui dengan mencocokkan umur anak dalam bulan, dengan berat badan standar tabel WHO-NCHS, bila berat badannya kurang maka status gizinya kurang. Di Posyandu telah disediakan Kartu Menuju Sehat (KMS) yang dapat digunakan untuk memprediksi status gizi anak berdasarkan kurva KMS yaitu dengan cara mengetahui dahulu umur anak, kemudian di plot berat badannya dalam kurva KMS. Bila masih dalam garis hijau maka status gizinya baik, bila dibawah garis merah maka status gizi buruk. Parameter status gizi balita yang umum digunakan di Indonesia adalah berat badan menurut umur. Parameter ini dipakai menyeluruh di Indonesia.85 Berdasarkan perhitungan berat badan per umur, didapatkan data dari Puskesmas Kalibuntu pada bulan Mei tahun 2014 terdapat 1 balita gizi kurang. Faktor ekonomi, dimana warga masyarakat disana sebagian besar masih bermata pencaharian buruh tani, buruh bata dan buruh bangunan, serta pola asuh yang dialihkan dari ibu kepada keluarga sehubungan ibu bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dapat menjadi suatu faktor penyebab dari masih adanya gizi kurang tersebut. “Ya mungkin karena faktor ekonomi, karena banyak keluarga yang pekerjaannya sebagai buruh, buruh tani, buruh bata, dan juga anak nya kan diasuh oleh keluarga bukan oleh ibunya”86 84 Sumber: Marimbi, Hanum. 2010 85 Sumber:Hanum Marimbi,2010 86 Wawancara dengan Bidan Koordinator 169 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Gambar 3.5. Tempat Kegiatan Posyandu di Blok Kliwon, Desa Dukuh Widara Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 Pemberian Konseling dan Vitamin dari pihak Puskesmas, khususnya bagian gizi, kepada anak gizi kurang tersebut telah dilakukan. Namun berdasarkan informasi dari bidan desa di daerah tersebut, faktor pola makan yang kurang telaten terhadap anaknya, dan anaknya yang dianggap susah makan, masih mengakibatkan anak tersebut masih tergolong gizi kurang. Tingkatan perkembangan Posyandu yaitu a) Posyandu pratama (merah) ditandai dengan kegiatan Posyandu yang masih belum mantap, kegiatannya belum bisa rutin dilakukan tiap bulan dan kader aktif terbatas, b) Posyandu madya (kuning) ditandai dengan kegiatannya lebih dari delapan kali pertahun dengan jumlah kader 5 orang atau lebih. Namun cakupan program utamanya (KB, KIA, GIZI, imunisasi) masih rendah yaitu lebih besar dari 50 persen, c) Posyandu purnama (hijau), frekuensinya 170 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat lebih dari delapan kali per tahun, jumlahkader 5 orang atau lebih, cakupan program utamanya lebih besar dari 50%. Sudah ada dan program tambahan dana sehat, d) Posyandu mandiri (biru). Kegiatannya secara teratur, cakupan lima program utama sudah bagus. Ada program tambahan dan dana sehat menjangkau lebih dari 50%.87 Dari kelima Posyandu di Desa Dukuh Widara, semuanya sudah tergolong kriteria Posyandu Madya, dimana jumlah kader setiap Posyandu sudah berjumlah lima dan cakupan program lebih besar dari 50%. Namun belum memiliki program tambahan dan dana sehat belum menjangkau 50%. 3.4.3. Memberikan ASI Ekslusif Berdasarkan Data profil Promkes Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon tahun 2013 didapatkan data ASI Ekslusif tahun 2013 di Desa Dukuh Widara adalah 33 (1,98%).88 Masyarakat terutama ibu-ibu balita sudah banyak yang mengetahui bahwa pemberian ASI saja sampai enam bulan, dari bidan, pada saat kelas ibu hamil, membaca dari buku pink/KIA, yang mereka miliki. Dalam kegiatan kelas ibu hamil, bidan dari Puskesmas memberikan informasi berkaitan tentang ASI Ekslusif, serta tentang kegiatan Pojok ASI yang disampaikan oleh Konselor ASI yaitu Tenaga Kesehatan Puskesmas Kalibuntu yang sudah mengikuti pelatihan Konselor ASI, yaitu Bidan Koordinator dan Bagian Gizi. Namun belum semua informan mengetahui tentang kolostrum dan kemanfaatannya, walaupun kolostrum ini sudah disampaikan pada kegiatan kelas ibu hamil, dimulai pemberian 87 Sumber : Mubarak, Wahid Iqbal. 2012 88 Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, Profil Promosi Kesehatan 2013 171 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 informasi mengenai Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dalam rangka pemberian kolostrum oleh ibu bersalin kepada bayinya. ” Namanya tau tapi Manfaatnyaga tau “ (kolostrum). Tau dari bidan, dan dari buku tentang proses melahirkan. Di buku itu juga ada kaloga salah (menunjuk buku pink / Buku KIA) ”89 Gambar 3.6. Kegiatan Kelas Ibu Hamil di Desa Dukuh Widara Kecamatan Pabedilan Kabupaten Cirebon Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 ASI yang diproduksi pada 1-5 hari pertama, cairan kental yang berwarna kekuningan, dinamakan kolostrum, sangat bermanfaat bagi bayi baru lahir, karena mengandung lebih banyak antibodi, protein, mineral, dan vitamin A yang berfungsi untuk membersihkan alat pencernaan bayi dari zat-zat yang tidak berguna. Kolostrum mengandung jasad renik patogen yang amat bagus dan mengandung sel-sel leukosit immunoglobulin yang 89 Sumber: Wawancara dengan Dorikah 172 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat hebat. Protein utama dalam kolostrum adalah immunoglobulin/ IgG, Ig A dan Ig M. Bahan-bahan protein antibody tersebut keberadaannya 10-17 kali lebih banyak, dibandingkan ASI matang,volumenya antara 150-300 ml/24 jam. Pada saat bayi baru lahir masih rentan pertahanan tubuhnya terhadap infeksi. Kolostrum adalah imunisasi pertama yang diterima atau dialami oleh bayi90. Berbagai kendala pemberian ASI Ekslusif yang sering terjadi di masyarakat diantaranya karena ASI yang dianggap masih sedikit pada awal setelah melahirkan, dianggap masih kurang dan bayinya masih rewel karena kurang ASI, sehingga akhirnya diberi susu formula sebagai susu tambahan. Terkadang pemberian ASI Ekslusif kurang didukung oleh suami dan keluarga sehingga suami malah membelikan susu formula tersebut. Walaupun pemberian ASI selanjutnya dilakukan setelah ASI banyak keluar, namun tetap dikatakan bahwa pemberian ASI Ekslusif sudah tidak berhasil. ASI Ekslusif adalah pemberian ASI saja tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, airteh, air putih dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi dan tim sampai usia 6 bulan91. Setelah bayi berumur 6 bulan, mulai diperkenalkan dengan makanan padat, sedangkan ASI dapat diberikan sampai bayi usia 2 tahun atau bahkan lebih dari 2 tahun. “Itu jaman dulu sekarang mah udah ga ada, ga musim, paling dikasih air setetes dua tetes biar anaknya ga haus, paling juga sehari doang. tapi kalau dikasih madu ngga ada”92 90 Sumber: Suherni. 2009 91 Sumber: Suherni. 2009 92 Sumber: Wawancara dengan Juniah 173 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 “Paling waktu lahir doang dikasih susu SGM, waktu ASInya belum keluar, dedenya nangis terus. Sempet sampe sehari apa dua hari”.93 Informan yang lain menyampaikan: “Kalau saya mah sampe dua bulan, soalnya bapanya beliin terus. Katanya kasian sama anak. Yang penting beliin buat anak”94 Ramuan yang masih dipercaya masyarakat Desa Dukuh Widara untuk memperbanyak ASI yaitu jamu-jamuan (seperti Jamu kerik enom dan kerik tua, beras kencur), dan untuk sayursayuran yang dipercaya masyarakat dapat memperbanyak ASIadalah daun katuk, bayem, oyong dan kangkung. Gambar 3.7. Jamu tradisional yang dikonsumsi saat ibu nifas Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 Cara yang terbaik untuk menjamin pengeluaran air susu ibu dengan mengusahakan agar setiap kali menyusui buah dada betul-betul menjadi kosong, karena pengosongan buah dada 93 Sumber: Wawancara dengan Khodijah 94 Sumber: Wawancara dengan Juniah 174 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat dengan waktu tertentu merangsang kelenjar buah dada untuk membuat susu lebih banyak. Menurut Sudaryati (2005) upaya memperbanyak ASI yaitu pada minggu pertama harus lebih sering dilakukan untuk merangsang produksinya, dan diberikandari kedua belah dada ibu tiap kali menyusui untuk merangsang produksinya. Biarkan bayi menghisap lama pada tiap buah dada, karena makin lama dihisap makin banyak rangsangannya. Jangan terburu-buru memberikan formula bayi sebagai tambahan, perlahan-lahan ASI akan cukup diproduksi. Ibu dianjurkan minum banyak (8-10 gelas/hari) berupa susu maupun air putih dan makanan ibu sehari-hari harus cukup dan berkualitas Ibu harus banyak istirahat dan banyak tidur, keadaan tegang dan kurang tidur dapat menurunkan produksi ASI. Sedangkan menurut Indiarti,2007, agar kualitas ASI meningkat perlu diperhatikan hal-hal berikut: minumlah susu satu liter setiap hari, daun pucuk katuk dan sayur asin membuat air susu lebih banyak keluar, di samping faktor jiwapun penting, sehingga ibu yang hidup tenang lebih banyak mengeluarkan susu daripada ibu yang sedang sedih dan melakukan perawatan buah dada95. Sedangkan Kebiasaan cuci tangan sebelum menyusui bayinya, masih belum menjadi suatu kegiatan yang rutinitas dilakukan. Mereka belum begitu menyadari bahwa pentingnya mencuci tangan setiap akan menyusui. Mencuci tangan dilakukan hanya apabila tangan terasa kotor, atau mau makan dan setelah BAB saja. Terkadang setelah menceboki bayi juga, tidak mencuci tangan lagi. Untuk makanan yang dipantang selama menyusui masyarakat disana masih mempercayai bahwa kalau ibunya makan buah pare, maka air susunya akan terasa pahit, apabila 95 Sumber : Suherni. 2009 175 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 ibunya makan pedes-pedes dan es, maka nanti anaknya akan mencret atau diare. 3.4.4. Mencuci Tangan dengan Air Bersih dan Sabun Cuci tangan pakai sabun adalah perilaku cuci tangan dengan menggunakan air bersih yang mengalir dan sabun.96 Perilaku mencuci tangan pakai sabun masih belum menjadi kebiasaan atau suatu yang rutin dilakukan masyarakat di Desa Dukuh Widara. Kadang-kadang masyarakat masih menggunakan air saja. Cuci tangan menggunakan sabun terkadang hanya dilakukan apabila akan makan, tangan terasa kotor, setelah makan makanan amis/ikan-ikanan, setelah buang air besar, dan setelah dari sawah. Setelah menggunakan pestisida terkadang masyarakat hanya menggunakan air aliran irigasi untuk mencuci tangan, tidak menggunakan sabun. Hanya jika membawa makanan ke sawah dan akan makan baru menggunakan sabun. Saat menyiapkan makanan, kegiatan mencuci tangan belum menjadi kebiasaan. Untuk mencuci tangan masyarakat masih menggunakan sumber air dari bak mandi atau sumur atau dari aliran air di persawahan/air irigasi. Masyarakat umumnya hanya mengetahui bahwa cuci tangan pakai sabun hanya diperlukan kalau kondisi tertentu saja, belum mengetahui sepenuhnya bahwa setiap cuci tangan itu sebaiknya menggunakan sabun. Berdasarkan Data profil Promkes Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon tahun 2013 didapatkan data mencuci tangan dengan air bersih dan sabun tahun 2013 di Desa Dukuh Widara adalah 1669 (100 %). 97 Hal ini berbeda dengan kenyataan yang masih ditemukan dilapangan, 96 Sumber : Kementerian Kesehatan R.I. 2014 97 Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, Profil Promosi Kesehatan 2013 176 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat jika cuci tangan masih belum menjadi suatu rutinitas yang dilakukan masyarakat. 3.4.5. Memakai Jamban Sehat Berdasarkan Data profil Promkes Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon tahun 2013 didapatkan data mengunakan jamban tahun 2013 di Desa Dukuh Widara adalah 1269 (76,03 %). 98 Masyarakat di Desa Dukuh Widara belum semuanya memiliki kamar mandi sendiri, sehingga memanfaatkan sumur sebagai tempat untuk mandi dan buang air kecil.Namun demikian untuk buang air besar (BAB), masih ada yang belum memiliki Jamban, diantaranya di Blok Pahing, Blok Kliwon, dan Blok Wage, sehingga warga yang masih belum memiliki jamban tersebut, masih ada yang memanfaatkan aliran air irigasi, di pekarangan yang masih banyak pohon-pohon bambu atau di pinggir sawah. Setelah BAB mereka akan membersihkan/cebok dengan menggunakan air di sumur terdekat, atau dari aliran air irigasi tersebut. Namun perilaku tersebut ada juga disebabkan faktor kebiasaan yang apabila tidak buang air besar di luar rumah, maka tidak bisa keluar BAB nya. Jamban yang dikatakan sehat menurut warga masyarakat di sana, apabila jamban tersebut terlihat bersih, tidak mampet, dan jarak antara septi tank (penampungan tinja) dengan sumber air, yaitu sumur minimal 10 meter.Namun kenyataannya, hal tersebut tidak semua melakukan karena kendala luas lahan yang dimiliki, atau sudah menjadi lahan orang lain, sehingga terkadang jarak antara septic tank dengan sumber air hanya sekitar 5 meter. Melalui program Puskesmas Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) yang didalamnya terdapat 5 pilar yaitu cuci tangan pakai sabun, pengelolaan sampah, pengelolaan air limbah keluarga, air 98 idem 177 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 bersih dan Open Defekasi Free (ODF). Program ODF merupakan upaya untuk menangani permasalahan jamban. Salah satu upaya yang pernah dilakukan pihak Puskesmas adalah dengan diadakannya dana stimulan, yang dikumpulkan dari karyawan Puskesmas untuk kegiatan arisan Jamban. Dana stimulan tersebut dapat digunakan oleh warga masyarakat yang membutuhkan untuk membuat jamban, dan dana pinjaman tersebut akan dikembalikan warga yang meminjam setelah panen padi atau bata. Gambar 3.8. Anak yang sedang Buang air Besar di pekarangan pohon bambu Desa Dukuh Widara Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 1) 99 Pilar STBM terdiri atas perilaku99: Stop Buang air besar sembarangan: Stop buang air besar sembarangan adalah kondisi ketika setiap individu dalam suatu komunitas tidak lagi melakukan perilaku buang air sembarangan yang berpotensi menyebarkan penyakit. Sumber: Kementerian Kesehatan R.I. 2014 178 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat 2) 3) 4) 5) Cuci Tangan Pakai Sabun Pengelolaan Air minum dan makanan rumah tangga Pengamanan sampah rumah tangga Pengamanan limbah cair rumah tangga Gambar 3.9. Pembakaran sampah oleh warga di pekarangan Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 Di desa Dukuh Widara sebagian besar rumah warga masyarakat belum mempunyai Tempat Pembuangan Sampah (TPS) sementara. Mereka melakukan pembuangan sampah sementara dengan dibakar dipekarangan setelah dikumpulkan terlebih dahulu. Masih belum terdapat kerjasama dengan Pemerintah daerah, disamping itu masalah dana merupakan suatu kendala yang menyebabkan belum adanya pengangkutan sampah dan TPS di daerah tersebut. 179 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 3.4.6. Aktivitas Fisik Masyarakat Berdasarkan Data profil Promkes Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon tahun 2013 didapatkan data Melakukan Aktivitas Fisik tahun 2013 di Desa Dukuh Widara adalah 1669 (100 %).100 Masyarakat melakukan aktifitas fisik dengan cara jalanjalan pada pagi hari dengan membawa anaknya, sementara itu terlihat anak- anak berjalan kaki menuju sekolah.Kegiatan ibuibu ada yang menyapu rumah, mencuci di sumur, pergi ke sawah untuk bertani atau menjadi buruh bata. Pada siang hari atau sore hari kadang-kadang masyarakat terlihat duduk-duduk, mengobrol santai di depan rumah, di pinggir jalan, sedangkan yang bekerja di sawah atau menjadi buruh bata terlihat menuju pulang ke rumah. Pekerjaan sebagai buruh bata biasanya dimulai dari pagi hingga tengah hari, sedangkan bagi yang bekerja bangunan biasanya bekerja seharian dan baru pulang kerja pada sore hari. Para ibu hamil yang diwawancarai ternyata masih melakukan aktifitas fisik seperti biasa misalnya menyuci, menyapu, mengepel dan memasak. Hanya pada saat hamil frekuensi dari aktifitas tersebut berkurang, dan untuk aktifitas yang terlalu berat, biasanya dibantu oleh orang tua atau keluarga. Data dari bagian Promosi Kesehatan tahun 2013 di Puskesmas Kalibuntu berkaitan dengan aktifitas fisik warga masyarakat Desa Dukuh Widara sebesar 1669 KK, sedangkan data bulan Mei 2014 sebesar 1803 KK dari 1180 KK. Sesuai dengan pernyataan informan ibu hamil berikut: 100 Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, Profil Promosi Kesehatan 2013 180 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat “Aktifitas sehari-hari agak berkurang, nyapu, ngepel, nyuci, seperti biasa, tapi ga tiap hari lagi.”101 3.4.7. Konsumsi Buah dan Sayur Sayur merupakan makanan yang sudah hampir dikonsumsi setiap hari oleh keluarga Desa Dukuh Widara. walaupun frekuensinya masih ada yang berbeda 2-3 kali setiap hari, sedangkan untuk konsumsi buah-buahan hanya sesekali saja jikamereka menginginkan, dan juga jika mempunyai dana untuk membelinya. Mereka sebenarnya mengetahui bahwa konsumsi buah dan sayur baik untuk kesehatan, salah satu misalnya agar buang air besarnya tidak susah, akan tetapi jika tidak ada uang maka mereka tidak dapat membeli dan mengkonsumsinya. Biasanya untuk memperoleh sayur dan buah diperoleh dengan membeli di warung, dipasar atau buah-buahan tertentu dapat berasal dari kebun sendiri, misalkan buah pisang. Sayur yang dikonsumsi oleh masyarakat disana seperti sayur kangkung, sayur bayem, ketimun, dan sayur oyong. Sedangkan buah-buahan yang dikonsumsi seperti buah apel, pisang, bengkoang, dan jeruk. Cara penyimpanan makanan masih kebanyakan warga tidak mempunyai lemari pendingin/kulkas, sehingga mereka biasanya membeli sayur atau buah hanya untuk kebutuhan sehari saja. Kalaupun terlihat ada bahan makanan yang sudah basi atau busuk, maka akan dibuang. Biasanya sayur jika akan dimasak terlebih dahulu dicuci dan buah-buahan yang akan dikonsumsi terlebih dahulu di cuci, kecuali beberapa buahbuahan yang tidak dicuci seperti buah pisang dan jeruk yang sering dikonsumsi oleh masyarakat di sana. Karena konsumsi buah ini tidak selalu dilakukan setiap hari oleh kebanyakan 101 Sumber : Wawancara dengan Waryuni 181 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 masyarakat di sana. Berdasarkan data profil Promkes Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon tahun 2013 didapatkan data makan sayur dan buah setiap hari tahun 2013 di Desa Dukuh Widara adalah 1669 (100 %).102 Peralatan masak yang digunakan sudah hampir bisa dikatakan sudah cukup modern. Beberapa keluarga sudah menggunakan kompor gas,kuali, panci atau dandang, dan peralatan masak yang cukup modern lainnya, seperti magic com, hanya ada beberapa keluarga masyarakat yang masih menggunakan peralatan masak tradisional seperti tungku dan kayu untuk memasak, dikarenakan belum memiliki kompor gas atau hanya untuk masak nasi dan air saja. Gambar 3.10. Peralatan masak yang digunakan salah satu warga masyarakat Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 102 Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, Profil Promosi Kesehatan 2013 182 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Gambar 3.11. Tempat masak menggunakan kayu dirumah salah satu warga Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 3.4.8. Merokok dalam Rumah Masih banyak warga masyarakat yang merokok. Berdasarkan Data profil Promkes Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon tahun 2013 didapatkan data tidak merokok dalam rumah tahun 2013 di Desa Dukuh Widara adalah 268 (16,06 %).103 Dari beberapa informan ibu-ibu yang diwawancarai rata-rata suaminya adalah perokok, dan hampir semuanya mengatakan bahwa suaminya sehari bisa menghabiskan rokok sampai 1 bungkus. Rokok yang digunakan bermacam-macam. Ada yang filter atau juga ada yang kretek. Sebenarnya warga atau suami103 Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, Profil Promosi Kesehatan 2013 183 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 suami mereka mengetahui akan bahaya dari merokok, salah satunya misalkan bisa menyebabkan kanker, dan jantung, namun mereka masih ada yang berfikir bahwa kalau tidak merokok mulutnya terasa asem, dan juga ada karena alasan merasa sudah kecanduan,dan untuk mengurangi kejenuhan, sehingga sulit untuk berhenti. Namun pada saat istri –istri mereka sedang hamil, biasanya mereka merokoknya lebih menjauh dari istrinya yang sedang hamil, namun masih dalam satu ruangan rumah, begitu juga jika memiliki bayi atau balita. Sehingga terkadang ibuibu hamil atau bayi/balita tersebut harus menjauh/ dijauhkan, dikarenakan bau asap rokoknya yang masih tercium, sehingga masih bisa terhisap. Mereka masih belum menyadari bahwa asap rokok bisa membahayakan ibu, janin, dan anaknya, sehingga terkadang warga masyarakat terlihat tidak perduli dan tetap merokok walaupun asap rokok masih tercium dan dapat terhisap oleh orang lain disekitarnya. Gambar 3.12. Suami yang merokok di dalam rumah dekat istrinya yang sedang hamil Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 184 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat 3.4.9. Penggunaan Air Bersih Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Sekitar ¾ bagian tubuh kita terdiri atas air, tidak seorangpun dapat bertahan hidup lebih dari 4-5 hari tanpa minum air. Selain itu air juga dipergunakan untuk memasak, mencuci, mandi, dan membersihkan kotoran yang ada di sekitar rumah. Sumber air bersih warga masyarakat desa Dukuh Widara seluruhnya bersumber dari sumur gali, yang berupa sumur timba, atau sumur pompa dengan menggunakan Sanyo untuk mengalirkan air ke bak mandi atau ke tempat penampungan air lainnya. Gambar 3.13. Tempat mandi dan sumber air untuk mandi warga Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 Berdasarkan Data profil Promkes Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon tahun 2013 didapatkan data menggunakan air bersih tahun 2013 di Desa Dukuh Widara adalah 1669 (100 185 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 %)104. Air sumur dipergunakan untuk seluruh aktivitas dan kebutuhan sehari-hari warga, seperti mencuci, memasak, mandi, dan minum. kecuali untuk pengairan irigasi bersumber dari aliran sungai Cisanggarung. Khusus untuk konsumsi minum, air dari sumber air atau sumur ditampung di tempayan (tempat air) khusus, misalkan dari bahan plastik, namun ada juga warga yang sudah menggunakan air galon untuk konsumsi air minum, tergantung kemampuan ekonominya. Gambar 3.14 Tempat penampungan air sementara untuk minum dan masak Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 104 Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, Profil Promosi Kesehatan 2013 186 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat 3.4.10. Memberantas Jentik Nyamuk Data profil Promkes Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon tahun 2013 didapatkan data memberantas jentik nyamuk tahun 2013 di Desa Dukuh Widara adalah 1669 (100 %).105Beberapa kamar mandi masyarakat disana, masih sederhana. Ada yang menggunakan sumur sekaligus untuk tempat mandi, tetapi ada juga yang membuat kamar mandi, dengan sumber air yang dialiri air sumur timba. Mengenai kebersihannya, dalam keadaan cukup bersih dan ada juga yang masih terlihat kurang bersih. Kegiatan menguras bak mandi dilakukan warga tidak rutin seminggu sekali, tetapi terkadang dua minggu dan satu bulan sekali. Mereka biasanya memelihara ikan di bak mandi sebagai upaya untuk mengurangi adanya jentik nyamuk. Umumnya mereka mempunyai tempat penampungan air di setiap rumahnya. Penampungan air digunakan untuk menampung air bersih yang digunakan untuk mandi, BAK, dan basuh setelah BAB, untuk masak, biasanya penampungan menggunakan ember-ember, kecuali untuk tempat penampungan air untuk air minum sebelum dimasak, biasanya ada penutupnya, dan penutup dibuka jika akan digunakan saja untuk air minum yang sebelumnya dimasak terlebih dahulu. Kegiatan menampung air dilakukan karena ada beberapa warga yang masih belum mempunyai sumber air atau sumur, sehingga air sumur ditampung dan dibawa ke rumah untuk kebutuhan sehari-hari. 105 Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, Profil Promosi Kesehatan 2013 187 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Gambar 3.15. Tempat penampungan air sementara untuk keperluan sehari-hari Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 Gambar 3.16. Tempat mandi warga Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 188 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Masih ada warga masyarakat yang menggunakan kelambu untuk menghindari nyamuk. Selain itu juga ada yang menggunakan obat nyamuk bakar, dan lotion sebagai anti nyamuknya. Mengenai bahaya nyamuk dan penyakit yang disebabkan oleh nyamuk, masyarakat sudah mengetahui bahwa ada beberapa penyakit yang dapat ditimbulkannya yaitu seperti demam berdarah, malaria, dan penyakit kaki gajah. Gambar 3.17 Penggunaan kelambu di dalam kamar tidurwarga Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 Berdasarkan informasi dari petugas kesehatan Puskesmas Kalibuntu bagian proposi kesehatan bahwa pelaksanaan fogging, pemberian abate dan pemeriksaan jentik dilakukan hanya jika terjadi kasus DBD saja, sedangkan untuk penyuluhan dan kegiatan PSN secara rutin dilakukan setiap hari jum’at pada kegiatan jumat bersih yang dilakukan di setiap desa oleh petugas 189 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 promkes dan sekaligus sebagai upaya pendekatan terhadap masyarakat. Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD), adalah kegiatan terencana yang dilakukan oleh seluruh masyarakat bersama pemerintah dan pemerintah daerah untuk mencegah penyakit DBD melalui kegiatan PSN secara terus menerus dan berkesinambungan. Gerakan PSN DBD ini merupakan kegiatan yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penyakit DBD serta mewujudkan kebersihan lingkungan dan perilaku hidup sehat. Sasaran Gerakan PSN DBD adalah semua keluarga dan pengelola tempat umum, melaksanakan PSN DBD (3M) serta menjaga kebersihan di lngkungannya masing-masing, sehingga bebas dari jentik nyamuk Aedes.106 106 Sumber: Kementerian Kesehatan R.I. 2013 190 BAB 4 OYOG, GOYANGAN LEMBUT JEMARI DUKUN BAYI Desa Dukuh Widara yang terletak di Kecamatan Pabedilan, Kabupaten Cirebon, lokasinya cukup strategis, karena berada tak jauh dari Jalan Pantura, merupakan jalan raya yang menghubungkan kota-kota di Pulau Jawa. Kondisi ini memungkinkan akses yang mudah bagi masyarakat Dukuh Widara terhadap berbagai fasilitas, termasuk fasilitas layanan kesehatan. Fasilitas layanan kesehatan berupa rumah sakit besar seperti RSUD Gunung Jati di Kota Cirebon, RS Brebes, RS Tegal, RS Waled (Kuningan), maupun klinik-klinik kesehatan hingga Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) relatif mudah dijangkau oleh masyarakat Desa Dukuh Widara. Di Kecamatan Pabedilan, terdapat dua Puskesmas, Puskesmas Pabedilan di Kota Kecamatan dan Puskesmas Kalibuntu, dengan Desa Dukuh Widara sebagai salah satu wilayah kerjanya. Puskesmas Pembantu (Pustu) dibangun di tengah-tengah desa, tak jauh dari balai desa, untuk lebih mempermudah masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan. Selain itu, ada juga dua bidan yang membuka praktek layanan kesehatan di desa ini, terutama memberikan layanan pada ibu-ibu hamil. Namun begitu, mudahnya akses berbagai layanan kesehatan tersebut, nampaknya belum menghilangkan 191 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 kepercayaan masyarakat terhadap tenaga-tenaga kesehatan tradisional, terutama dukun bayi.107 4.1. Dukun Bayi Berdasarkan data yang ada di Puskesmas Kalibuntu, tercatat ada 10 dukun bayi yang tersebar di desa-desa wilayah kerja Puskesmas. Dari 10 dukun tersebut, 8 adalah dukun terlatih dan 2 tidak terlatih. Meski begitu, ketika penulis melakukan cek langsung ke desa-desa, ternyata ada beberapa dukun bayi yang belum terdata di Puskesmas. Data tentang dukun bayi yang terlatih dan tidak terlatih disajikan pada tabel 4.1. Dari tabel 4.1 terlihat bahwa jumlah dukun bayi di Desa Dukuh Widara menempati jumlah terbanyak, yaitu sebanyak 6 orang. Hal ini menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat Desa Dukuh Widara terhadap dukun bayi masih tinggi. Hal tersebut tidak bisa dipungkiri karena keberadaan seorang dukun bayi juga disebabkan masih ada masyarakat yang membutuhkan. Dukun bayi, menurut kategori dari Puskesmas, dibagi menjadi “Dukun Bayi Terlatih” dan “Dukun Bayi Tidak Terlatih.” Dukun bayi terlatih adalah dukun bayi yang telah mengikuti berbagai pelatihan yang diadakan baik oleh Puskesmas maupun pihak Dinas Kesehatan.Dari pelatihan ini kemudian diharapkan terjalinnya kemitraan antara bidan dan dukun bayi yakni terjalinnya kerjasama antara bidan dan dukun bayi dalam proses persalinan. Disebutkan bahwa dalam “Kemitraaan bidan dan dukun, menempatkan bidan sebagai penolong persalinan dan mengalihfungsikan peran dukun dari penolong persalinan 107 Dukun bayi, sering juga disebut paraji, merupakan istilah lokal yang biasanya digunakan oleh masyarakat Sunda. Namun di Desa Dukuh Widara, yang masyarakatnya adalah Etnik Jawa, dukun bayi disebut ‘dukun bayi’ karenanya, dalam tulisan ini istilah yang digunakan tetaplah ‘dukun bayi.’ 192 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat menjadi mitra bidan dalam perawatan ibu dan bayi pada aspek non medisnya”108. Tabel 4.1. Dukun bayi yang ada di Wilayah Kerja Puskesmas Kalibuntu, 2014 Dukun Bayi No Nama Desa Jml Terlatih Tidak Terlatih Keterangan 1. Pasuruan 2 - 2 Tidak terdata oleh Puskesmas 2. Dukuh Widara 6 4 2 Dua dukun bayi yang tidak terlatih tidak terdata Puskesmas 3. Kalimukti 0 - - 4. Kalibuntu 1 - 1 5. Sidaresmi 1 1 - 6. Babakan Losari 1 1 - 7. Babakan Losari Lor 2 1 1 Total Sumber: Profil Puskesmas Kalibuntu tahun 2013 13 Dukun bayi biasanya mengambil peran dalam perawatan seseorang selama masa kehamilan, kelahiran hingga pasca kelahiran. Sedangkan dukun bayi tidak terlatih adalah dukun bayi yang belum pernah mengikuti pelatihan semacam itu. Penyebab seorang dukun bayi tidak mengikuti pelatihan bisa disebabkan karena tidak bisa atau bahkan tidak mau ketika diundang pelatihan, namun ada juga yang memang tidak pernah diajak. 108 Sumber: “Pedoman Kemitraaan Bidan dan Dukun”, Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kementrian Kesehatan RI, http://www.kesehatanibu. depkes.go.id/wp-content/uploads/downloads/2011/12/PEDOMANKEMITRAAN-BIDAN-DUKUN.pdf 193 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Kasus terakhir terjadi pada beberapa dukun bayi baru. Menurut Bu Ila salah seorang bidan di Desa Dukuh Widara, pelatihan memang sudah tidak diadakan lagi. Harapannya, generasi dukun bayi akan berhenti pada generasi yang sekarang saja. Namun begitu, kenyataan di masyarakat tidaklah demikian. Hal yang sama juga disampaikan oleh bidan Mumun sebagaimana pernyataan dibawah ini: “Pelatihan dukun ya kita mengadakan sendiri aja, ya hanya pembinaan aja. Terkadang tergantung misalnya dukun semua desakan dipanggil ke Puskesmas semua kumpul tapi kadang ada perorangan yang didatengin. Klo ga dateng ya didatengin. Ada yang rada-rada bandel ya kita datengin perorangan” . 109 4.1.1. Karakteristik Para Dukun Bayi Dukun bayi di Desa Dukuh Widara memiliki karakterisitk yang bervariasi antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu gambaran karakterisitk masing-masing dukun bayi akan disajikan perindividu: a. Mak Inah Mak Inah mewarisi kemampuan untuk menjadi dukun bayi dari neneknya dan mertuanya. Neneknya mewariskan kemampuan menjadi dukun bayi dari buyutnyayang merupakan seorang dukun bayi terkenal, sementara mertuanya adalah ‘dukun kurungan’ (dukun yang bisa menyembuhkan penyakit karena kesurupan atau gangguan makhluk halus). Mak Inah kecil sudah tertarik dengan pekerjaan neneknya sehingga ia selalu nginthil (mengikuti) setiap kali sang nenek melakukan pekerjaan 109 Sumber: Wawancara dengan Bidan Mumun, Bidan Puskesmas Kalibuntu 194 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat sebagai dukun bayi110. Hal tersebut menjadikan mak Inah tidak memperdulikan tentang pendidikannya. Sebagaimana penuturan Mak Inah sebagai berikut: “Nggak bisa apa-apa. Nulis nggak bisa. Nggak sekolah. Baca nggak bisa [...], saya ngintil dari kecil, nggak sekolah, nggak mau, mau ngintil buyut.” Dari mengikuti neneknya ini, Mak Inah belajar cara menjadi dukun bayi. Bahkan, ketika neneknya hendak meninggal, konon Mak Inah dipanggil dan disuruh memegang tangannya untuk diludahi. Anehnya, aroma ludahnya wangi dan sang nenek mengatakan bahwa kelak, Mak Inah akan mudah mencari rezeki dengan menggunakan tangannya. “Saya di kanan, paman saya di kiri. Sebelum lolos diludahi ke tangan ‘cuh!’ tapi wangine. Ngko sandang pangan sedalan-dalan. Ya gitu. Saya masih kecil waktu itu.” Beranjak besar, Mak Inah pun kemudian mulai menjadi dukun bayi. Awalnya, tentu saja masih banyak yang tak percaya. Namun setelah melihat kemampuan Mak Inah serta karena ia memang keturunan dukun bayi, maka seiring waktu masyarakat pun kemudian mempercayainya. Seperti yang diungkapkan Bu Titi, salah satu orang yang dulu pernah ditolong Mak Inah ketika melahirkan anak-anaknya, ia mengaku takut dan tak percaya: “Baru nolong, saya takut ntar nggak bisa. Terus ini bayi sudah mau keluar saja, saya tidur, terus 3 kali nguat terus melahirkan [...].Anak ke-4, sampai anak 6 itu Mak Inah. Ibu tuanya meninggal ya Mak Inah. Di sini banyak dukun bayi, tapi nggak kayak Mak Inah, sampai susah jarang-jarang nemuinnya. Jauh-jauh juga ke sini .” 110 Sumber: Wawancara dengang Mak Inah, 13 Mei 2014 195 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Mak Inah saat ini adalah dukun bayi yang cukup laris. Dalam satu pagi, ia bisa memandikan hingga 4 bayi. Pasiennya tidak hanya terbatas pada orang-orang di sekitar tempat tinggalnya, tetapi sampai desa-desa terdekat. Pasien biasanya akan datang menjemput jika membutuhkan jasanya. Di masa lalu, ia sering menolong proses melahirkan. Tapi dengan adanya peraturan dari pemerintah yang melarang seorang dukun bayi menolong kelahiran, Mak Inah pun lebih banyak melakukan pekerjaan mendampingi bidan dalam proses kelahiran dan juga perawatan ibu dan bayi setelah melahirkan, di samping juga melakukan pijat atau urut pada masyarakat luas yang menginginkan jasa pijatnya. Mak Inah sudah beberapa kali mengikuti pelatihan untuk dukun bayi yang diselenggarakan oleh Puskesmas atau Dinas Kesehatan setempat. Ia juga sudah paham konsekuensi jika melakukan pertolongan pada ibu melahirkan. Ia mengaku selalu memanggil bidan ketika ada seorang yang hendak melahirkan dan meminta pertolongannya. Saat ini, anak dan cucu Mak Inah bahkan bersekolah di sekolah kesehatan. Salah seorang anak lelakinya menjadi tenaga kesehatan di sebuah rumah sakit tentara, sedangkan cucunya sekolah di sekolah menengah kesehatan. Konon, anak dan cucunya ini sering menasehati Mak Inah agar tidak melakukan persalinan sendiri. Mak Inah juga merasa, bahwa arwah sang nenek masih sering mengikutinya. Jika ia melakukan hal-hal yang tak benar sang nenek konon akan menegurnya. Sebelum menjadi dukun, Mak Inah mengaku harus melakukan ritual-ritual terlebih dahulu, seperti puasa mutih.Hingga sekarang pun, Mak Inah masih sering berpuasa. Sudah sekitar 25 tahun Mak Inah menjadi dukun bayi. Dari empat orang anak, ia memperoleh 7 orang cucu. Mak Inah berpikir bahwa salah seorang anaknya, yakni anak perempuan 196 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat tertua, akan meneruskan pekerjaannya menjadi dukun bayi. Ia bisa melihat bahwa anaknya ini memang memiliki kemampuan seperti itu. b. Mak Isah Mak Isah saat ini berumur sekitar 56 tahun. Ia menjadi dukun bayi selama 15 tahunan. Seperti halnya Mak Inah, kemampuannya menjadi dukun bayi merupakan keturunan. Buyutnya adalah dukun bayi, lalu neneknya dan ibunya. Mak Isah adalah anak perempuan tertua dalam keluarganya. Dan ketika kecil, Mak Isah pernah bermimpi ditemui nenek buyutnya yang sudah meninggal, mengajaknya menolong orang melahirkan. Ajakan dalam mimpi ini, dianggap Mak Isah sebagai pesan agar ia kelak menjadi dukun bayi. Namun demikian, awalnya Mak Isah mengaku tak terlalu berminat untuk menjadi dukun bayi. Namun setelah ibunya meninggal, banyak orang yang datang kepadanya dan berharap agar ia meneruskan ibunya. Karena banyaknya permintaan dan juga didorong oleh kebutuhan ekonomi, setelah suaminya meninggal ia mulai menekuni pekerjaan itu, karena iaharus membesarkan anak-anaknya. Dulu, Mak Isah juga sering menolong orang yang hendak melahirkan, tetapi dengan adanya larangan menolong persalian oleh dukun bayi, Mak Isah pun lebih banyak terlibat dalam proses setelah kelahiran. Jika ada yang meminta pertolongan kepadanya, Mak Isah akan menghubungi bidan. “Pokoknya Mak bilang, kasih tahu saja mau manggilnya bidan siap. [...]Mak tanya, punya askes nggak, jamkesmas? Punya. Sudah panggil saja bidan.” Mak Isah juga pernah mengikuti berbagai pelatihan untuk dukun terlatih. Ia paham cara-cara perawatan pasca kelahiran, seperti pemotongan tali pusat dengan gunting yang sudah 197 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 dibersihkan dan direndam air panas, juga pengobatan luka dengan antiseptik. Dalam prosesnya menjadi dukun bayi, Mak Isah mengaku tak pernah melakukan ritual apa-apa. Baginya, yang terpenting setiap kali hendak melakukan sesuatu adalah memohon keselamatan dari Yang Maha Kuasa dengan membaca basmalah atau Surat Al-Fatihah dan juga shalawat. Ia juga tak terlalu berharap anaknya akan meneruskan pekerjaannya. Namun jika ada yang berminat, ia tak keberatan. Ia menyerahkan keputusan sepenuhnya pada anak-anaknya. Saat ini Mak Isah sering sakit-sakitan, karenanya dia sering meminta adiknya, Bi Ipah untuk menggantikannya. c. Mak Iyah Mak Iyah juga menjadi dukun bayi karena keturunan. Almarhum ibunya adalah dukun bayi. Ketika ibunya sudah beranjak tua, tetangga sekitar mengharapkan sang ibu menurunkan ilmunya kepada anaknya. Dari beberapa anak perempuan ibunya, Mak Iyah kemudian dipilih karena ia hanya memiliki satu orang anak. “Jare sing muda-muda pada hamil ‘mak diturunaken anake, timbang ngundang wong kana-kana, adoh. Disetujui , je. Isun kan sing wong legan. Wong ora repot. Dadi nek ana wong lairan dijak. Isun dibelukbeluk, ngko dijak isune njagong, aja gemeter kae ya wong maune dudu cekele. Ari puput ari nggeong , ari ngayun-ngayun. Ari bayi puput, disebutna kiye-kiye.” (Kata orang muda-muda yang sedang hamil, ‘Mak diturunkan ke anaknya, daripada mengundang dukun bayi di tempat yang jauh. Disetujui, saya kan nggak repot. Jadi kalau ada orang melahirkan, diajak. Dipanggilpanggil. Saya duduk, gemetar, karena belum biasa. Kalau 198 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat lepas tali pusat, kalau nggeyong, mengayun, diajari begini-begini) Pada awal menjadi dukun bayi, ia juga sering melakukan ritual-ritual, seperti puasa mutih, terutama pada tiga bulan pertama menjadi dukun bayi. Ia percaya bahwa dengan melakukan ritual seperti itu, ia akan mendapat kekuatan sehingga bisa menjadi lebih tegel (tabah/kuat) ketika harus menolong seseorang (terutama ibu hamil). Keahlian Mak Iyah tidak hanya sebatas menolong persalinan, tapi juga memijat, baik ibu hamil, ibu melahirkan atau masyarakat umum Saat ini, Mak Iyah sudah sekitar lima belas tahun menjadi dukun bayi dan mengaku sudah menolong orang melahirkan ratusan kali. Menurutnya selama menolong persalinan, belum pernah ia mendapati bayi atau ibu yang ditolongnya meninggal. Namun sejak tidak diperbolehkan menolong, ia juga tak lagi menolong karena ia sadar bahwa hal itu melanggar peraturan pemerintah. Jika ada orang yang ingin melahirkan, ia selalu menyarankan agar memanggil bidan. Dimasa lalu ketika diajak untuk mengikuti pelatihan di Puskesmas atau Dinas Kesehatan, Mak Iyah juga berusaha untuk selalu mengikutinya. Sementara untuk menurunkan ilmunya, Mak Iyah tidak terlalu berharap. Anaknya memang perempuan tetapi hanya satu, serta masih muda (sekitar 20 tahun). Ia menyerahkan sepenuhnya kepada anaknya. d. Mak Ras Mak Ras adalah salah satu dukun bayi generasi tua yang masih tersisa di Dukuh Widara. Ia seangkatan dengan ibunya Mak Iyah & Mak Isah, yang sudah lama meninggal. Mak Ras juga menjadi dukun bayi karena keturunan. Di usia tuanya, Mak Ras 199 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 berharap salah seorang anak perempuannya meneruskan pekerjaannya, namun sang anak mengaku masih belum siap. Meski sudah senior, Mak Ras selalu menurut ketika bidan atau petugas Puskesmas menyarankan untuk tidak menolong persalinan. Mak Ras sadar akan konsekuensi hukum yang harus ia tanggung jika hal itu ia lakukan. Dimasa lalu Mak Ras juga hampir selalu datang setiap kali mendapat undangan untuk mengkuti berbagai pelatihan yang dilakukan Puskesmas. e. Bi Ipah Bi Ipah adalah adik Mak Isah. Ia menjadi dukun bayi sejak sekitar tiga tahun yang lalu, karena diminta menggantikan Mak Isah ketika sering sakit. Awalnya, Bi Ipah tak berminat, tetapi karena banyaknya orang meminta, ia pun kemudian melakukannya. Akhir-akhir ini banyak orang yang mengetahui kemampuan Bi Ipah, kemudian sering meminta pertolongannya. Mulai dari melakukan oyog, hingga memandikan bayi, mengurut ibu setelah melahirkan atau sekedar memijat orang yang ingin dipijat. Meski begitu, Bi Ipah masih terkesan enggan disebut sebagai dukun bayi. “Saya hanya menggantikan posisi kakak, pas kalau dia sakit. Gak enaklah mbak, wong masih banyak yang senior” Bi Ipah seorang janda. Anak-anaknya sudah besar. Anak bungsunya yang tinggal dengannya, sudah duduk di bangku SMA. Meski usianya sudah 50 tahun, tetapi secara fisik Bi Ipah masih terlihat bugar. Bi Ipah terlihat leluasa dan gesit dalam melakukan pekerjaan. Ia biasa mengunjungi pasiennya dengan menggunakan sepeda motor yang dikendarainya sendiri dan para klien juga lebih mudah menghubunginya karena ia memiliki nomor telepon sendiri (dari enam dukun yang ada di Desa Dukuh 200 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Widara, Bi Ipah satu-satunya yang memiliki ponsel dan mampu mengendarai sepeda motor sendiri). Bi Ipah belum pernah mengikuti pelatihan dukun bayi, oleh karena itu ia digolongkan sebagai ‘dukun tidak terlatih.’ Sebagai dukun bayi yang cukup baru, ia memang tidak berkesempatan mengikuti pelatihan karena pelatihan dilakukan sebelum Bi Ipah menjadi dukun bayi. Meski begitu, Bi Ipah mengaku paham bahwa dukun bayi tidak diperbolehkan menolong persalinan dan harus selalu memanggil bidan. Ketika ada yang hendak melahirkan, ia justru menolong memanggilkan bidan. Ia akan menanyakan pada keluarga tersebut tentang bidan yang dipilih untuk menolong persalinan dan selanjutnya Bi Ipah akan menghubungi sang Bidan. Bi Ipah juga akan melakukan pendampingan selama proses persalinan berlangsung, dan kemudian melakukan perawatan pasca kelahiran. Saat ini, cukup banyak tetangga yang meminta pertolongan Bi Ipah terutama dalam oyog dan perawatan setelah melahirkan. Ia dianggap gesit dan fisiknya juga masih kuat. f. Bi Irah Bi Irah juga dikategorikan sebagai dukun tak terlatih karena memang tak pernah mengikuti pelatihan yang diadakan oleh Puskesmas atau Dinas Kesehatan. Meski begitu, ia mengaku selalu menyarankan untuk melahirkan pada bidan karena ia juga paham konsekuensi-konsekuensi jika dirinya melakukan pertolongan. Namun seringkali ia mengaku tak bisa menolak ketika ada ibu hamil yang hendak melahirkan dan kondisinya sudah mendesak untuk melahirkan. Bi Irah masih cukup muda, usianya baru 34 tahun dan mulai menjadi dukun bayi sejak 6 tahun belakangan. Ia juga keturunan dukun bayi, meski tidak secara langsung, yakni dari uwak-nya. Ia juga masih bersaudara (dari nenek) dengan Mak Iyah. Sebelum menjadi dukun, ia juga menjalani proses seperti 201 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 puasa mutih selama tujuh hari serta belajar doa-doa dari uwaknya. Selain dari uwaknya, Bi Irah mengaku mendapatkan ilmunya dari tempat dahulu dia bekerja. Ketika berumur 16 tahun, Bi Irah pernah bekerja di klinik milik seorang bidan di Kota Cirebon selama 6 bulan. Selama bekerja di klinik inilah, konon Bi Irah banyak belajar ilmu pertolongan persalinan. Mulai dari memberi obat hingga mendampingi proses melahirkan. Karena sifatnya yang tidak takut melihat darah ketika ada orang melahirkan, menjadikan ia sering dipercaya bidan untuk membantunya. “Merasa nggak jijik megang ari-ari, jadi bantu orang bersalin. Jadinya bisa.” Dari paparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa proses menjadi dukun bayi diperoleh secara keturunan dan bahkan melewati pewarisan yang bersifat supranatural (mimpi, memegang tangan) untuk meningkatkan kemampuannya, bahkan diperlukan laku-laku tertentu (puasa, menghafalkan doadoa). Karenanya, peran dukun bayi bukan semata sebagai membantu orang yang melahirkan, tetapi juga terlibat dalam berbagai ritual-ritual yang bersifat religius dan tradisional di masyarakat. 4.1.2. Peran Dukun Bayi 4.1.2.1.Peran Dukun Bayi pada masa Kehamilan a. Tradisi nujuh bulanan: Tebus Weteng dan Lolosan Seorang dukun bayi biasanya dipercaya memimpin ritualritual yang dilakukan pada masa kehamilan, terutama ritual tujuh bulanan yang juga dikenal sebagai ritual tebus weteng atau lolosan. Tebus weteng, adalah ritual yang dilakukan ketika usia kehamilan memasuki usia tujuh bulan. Tebus weteng umumnya 202 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat hanya diadakan ketika seorang ibu hamil untuk pertamakalinya (kehamilan anak pertama). Acara biasanya dilakukan pada tanggal yang mempunyai angka tujuh (tanggal 7, tanggal 17, atau tanggal 27) pada bulan kehamilan ketujuh. Gambar 4.1. Perlengkapan nebus weteng: kelapa gading muda, kain 7 lembar, air kembang 7 rupa Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 Selain acara pengajian dengan mengundang para tetangga (laki-laki), pada acara ini dilakukan ritual tebus weteng, yakni memandikan ibu hamil dengan air bunga tujuh rupa. Ritual ini biasanya dilakukan setelah pengajian usai dan para tamu sudah pulang. Sementara sanak keluarga masih tinggal untuk mengikuti tebus weteng yang dipimpin dukun bayi. Sebelum dilakukan tebus weteng, biasanya dukun bayi akan mempersiapkan beberapa perlengkapan, berupa: 203 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 1) Bunga tujuh rupa. Jenis bunga bisa apa saja asalkan tujuh jenis. Bunga-bunga yang sering digunakan adalah bungabunga yang mudah di dapat seperti bunga bugenvil, bunga sepatu, bunga mawar, bunga asoka, bunga melati, bunga kenanga, dan bunga kantil. Dan tak ketinggalan adalah kembang jambe (bunga pinang) yang konon menyimbolkan harapan agar kelak si jabang bayi mudah dalam mencari rezeki. 2) Saweran (uang logam) 3) Kelapa gading muda (biasanya akan diukiri tulisan Arab berisi doa keselamatan) →simbol jabang bayi yang dilahirkan 4) Krubungan (tempat pemandian) 5) Kain panjang 7 lembar. Prosesinya meliputi: 1. Bunga tujuh rupa dan saweran dimasukkan ke dalam air yang dipersiapkan untuk mandi ibu hamil 2. Ibu hamil dibimbing oleh dukun bayi keluar dan masuk rumah dari pintu yang berbeda, hal ini sebagi simbol proses kelahiran yang lancar 3. Masuk ke tempat pemandian. Ibu hamil siap dimandikan dalam posisi duduk dan memeluk kelapa gading di dadanya. 4. Dukun bayi berdiri di depan ibu hamil, mengambil air bunga tujuh rupa, membaca doa kemudian menyemburkannya ke perut ibu hamil dan dilanjutkan dengan mengguyurkan air sebanyak 3 kali oleh dukun bayi dan dilanjutkan empat orang kerabat masing-masing satu kali guyuran. Setiap guyuran yang dilakukan oleh dukun bayi atau kerabat, ibu hamil akan berdiri hingga kelapa gading hingga jatuh ke bawah. Hal tersebut diulang sampai dukun bayi dan semua kerabat selesai mengguyur. 204 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Proses tersebut melambangkan proses melahirkan yang lancar Do’a yang sering diucapkan pada ritual tebus weteng,adalah sebagai berikut: “Audzibilahiminasyaitonirrajim. Bismillahirahmanirahim. Jabang sira pang dinuju bulan, pan arane diadusi nuju bulan, sedulur papat lima pancer. Rohaba (roh kehidupan) kumpulana, roh putih (roh kematian) singkirana. Si brambang jati si brambang sari, si tali ariari. Asyhadualailahailallah, wa asyhaduana muhammadarrasulullah (3x). Allahummashali ‘ala sayiddina muhammad... (shalawat 3x).” 111 5. Anggota keluarga hingga berjumlah tujuh orang, bergantian memandikan ibu hamil, masing-masing 3 kali sambil membaca shalawat Nabi 6. Ibu hamil mengeringkan badan kemudian memakai tujuh lembar kain secara bergantian secara berturut-turut dengan dibantu dukun bayi dan anggota keluarga perempuan 7. Dukun bayi menyisir rambut ibu hamil, kemudian memotong rambut halus di pelipis ibu hamil untuk membuang kebel (buang sial) 8. Dukun bayi melakukan oyog (pemijatan pada ibu hamil) dengan tujuan untuk membenarkan posisi bayi 9. Ritual selesai, dukun bayi pulang ke rumah. Meski begitu, pada prakteknya, tebus weteng bisa bervariasi antara satu dengan yang lain. Ada yang sederhana, dan ada mewah. Versi paling sederhana dari tebus weteng adalah lolosan. 111 Doa-doa ini bisa saja berbebeda antara satu dukun dengan dukun yang lain. Meski begitu isinya hampir selalu sama, yakni mendoakan kebaikan untuk ibu dan jabang bayi. 205 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Lolosan tidak melibatkan ritual yang rumit. Juga tidak ada slametan. Hal ini disebabkan karena sudah dilakukan acara ngupatan, yaitu upacara empat bulanan sehingga upacara tujuh bulanan, dilakukan secara sederhana karena alasan biaya. Memandikan ibu hamil dengan air kembang, meskipun kadangkadang masih ada yang hanya membuat bubur lolos, yaitu bubur dari tepung beras ketan yang dicampur gula merah dan dibungkus daun pisang yang dilumuri minyak goreng. Bubur ini akan menjadi kenyal tetapi tidak lengket. Menyimbolkan harapan kondisi bayi ketika lahir kelak akan ‘lolos’ atau mudah dalam proses kelahiran. Bubur ini biasanya akan dibagi-bagikan kepada tetangga sekitar. Setelah itu, seorang dukun biasanya akan dipanggil untuk melakukan oyog. Gambar 4.2. Bubur lolosan Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 Upacara nujuh bulanan biasanya hanya diperuntukkan untuk bayi kehamilan pertama. Sedangkan pada kehamilan kedua dan berikutnya, banyak yang tidak lagi melakukan lagi upacara tersebut. 206 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Belakangan, berkembang tradisi ngupatan, yakni selamatan pada usia kehamilan empat bulan. Ada kepercayaan yang bersifat lebih religius bahwa upacara ngupatan lebih utama daripada nujuh bulan karena pada masa kehamilan ini, menurut ajara agama (Islam) adalah masa ruh bayi ditiupkan. Pada acara ngupatan, biasanya dilakukan pengajian, pembacaan surat-surat Al-Qur’an (surat Maryam dan Yusuf), serta doa-doa untuk kebaikan si jabang bayi. Selain itu, juga dibuat ketupat (asal kata “ngupatan”) yang kemudian dibagi-bagikan kepada yang hadir. Pada acarangupatan biasanya tidak banyak dilakukan ritual pada ibu hamil selain meminum air putih yang sudah didoakan. Dukun bayi biasanya juga tidak dilibatkan dalam acara seperti ini selain sebagai tetangga yang membantu penyiapan acara, seperti juga tetangga yang lain. Di masa lalu, memanggil dukun bayi sejak masa kehamilan juga dimaksudkan untuk menciptakan ikatan bahwa ketika proses kelahiran tiba, dukun tersebut yang akan dipercayakan dalam membantu persalinan hingga pasca melahirkan. Saat ini, ketika persalinan oleh dukun bayi sudah semakin jarang, dukun bayi tersebut kemudian lebih banyak membantu perawatan setelah kelahiran. 4.1.2.2. Peran dukun bayi pada proses kelahiran Dukun bayi di Desa Dukuh Widara, saat ini sudah tidak diperbolehkan lagi melakukan pertolongan langsung pada persalinan. Meski begitu, banyak masyarakat yang menganggap bahwa dukun bayi adalah orang yang memiliki banyak pengalaman dan pengetahuan terkait proses kelahiran. Oleh karena itu, pihak keluarga seringkali menghubungi dukun bayi ketika ada yang akan melahirkan. Seorang dukun bayiharus melakukan kemitraan dengan bidan desa setempat jika ingin 207 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 membantu proses persalinan dengan cara saling mengkominikasikan satu sama lain. Peran-peran dukun bayi lebih pada ‘menemani’ dan ‘menenangkan ‘ sang ibu yang hendak melahirkan, seperti memberi pijatan-pijatan ringan untuk memberi rasa nyaman. Selama proses ini, seringkali dukun bayi harus meluangkan seluruh waktunya mendampingi si ibu. Dukun bayi biasanya akan mengambil peran seperti memberi usapan-usapan lembut untuk meredakan rasa sakit, atau mengawasi proses ketika ibu hendak melahirkan (pembukaan). Selama masa kesakitan, dukun bayi akan mendampingi bersama anggota keluarga yang lain, sementara itu bidan akan mengambil peran ketika proses kelahiran (membantu persalinan) atau juga memberikan rujukan ketika proses kelahiran sulit. Bidan biasanya hanya datang untuk mengecek proses pembukaan dan ketika proses persalinan sudah mendekati waktunya. Ketika proses persalinan selesai, bidan biasanya akan langsung pulang, sementara dukun bayi akan tetap tinggal mengurus sang ibu dan bayinya. Pada kasus ketika seorang ibu yang hendak melahirkan harus dirujuk ke rumah sakit, dukun bayi biasanya akan diajak oleh anggota keluarga untuk menemani sang ibu. Tak jarang, dukun bayi juga dipercaya untuk melakukan komunikasi dengan pihak rumah sakit. Sehingga ketika si ibu pulang ke rumah dan masih harus meneruskan proses pengobatan, dukun bayi akan tetap dilibatkan. Pada kasus Ibu Ita misalnya, yang harus dirujuk ke salah satu rumah sakit swasta dan akhirnya harus melahirkan dengan cara operasi caesar, selama masa operasi, didampingi oleh dukun bayi, Mak Isah. Selanjutnya sepulang dari rumah sakit, Mak Isah juga mengambil peran perawatan pada Ita, seperti mengawasi proses minum obat dan perawatan luka (membersihkan luka, mengganti perban) hingga sembuh. 208 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat 4.1.2.3. Peran Dukun Bayi pada masa setelah melahirkan a. Peran Dukun Bayi pada Bayi setelah lahir Memandikan Bayi Ketika bayi telah lahir, dukun bayi akan mengambil banyak peran, terutama dalam perawatan bayi, mulai dari memandikan bayi, merawat tali pusat, membedaki, dan membedong. Perawatan ini dilakukan hingga puput, yakni kering dan lepasnya tali pusar bayi yang biasanya memakan waktu 3-7 hari. Bayi yang baru lahir kondisinya masih sangat rentan, sehingga diperlukan kehati-hatian ekstra dalam memperlakukannya. Seorang ibu, terutama ibu-ibu yang baru melahirkan untuk pertamakalinya, seringkali masih merasa canggung untuk merawat bayinya. Di sisi lain, seringkali kondisinya juga masih terlalu lemah karena usai melahirkan. Oleh karena itu ibu yang baru melahirkan biasanya memanggil dukun bayi untuk mengurus sang bayi. Memandikan bayi dilakukan dua kali sehari, pagi dan sore hari. Waktu memandikan berlangsung sekitar 5 menit dengan menggunakan air hangat dan sabun khusus bayi. Setelah itu, dukun bayi akan mengeringkannya dengan handuk, membaluri tubuhnya dengan bedak, mengolesi tali pusarnya dengan antiseptik dan kemudian membungkusnya dengan kain (bedong). Setelah melakukan tugasnya, dukun bayi akan pamit pulang atau kadang-kadang tinggal untuk beberapa waktu, mengobrol dengan sang ibu atau anggota keluarga lainnya sambil disuguhi minuman dan makanan ringan. Meskipun dukun bayi umumnya adalah tetangga bahkan kadang-kadang masih saudara, tetapi posisinya juga sebagai orang yang dihormati. Dukun bayi adalah orang yang dipercaya untuk melakukan perawatan bayinya dan seringkali dianggap sebagai ‘anggota keluarga baru yang istimewa.’ 209 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Gambar 4.3. Memandikan bayi oleh Dukun Bayi Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 Nggeyong Nggeyong adalah ritual yang dilakukan setelah tali pusar bayi kering dan lepas. Nggeyong atau ngayun yakni ritual membuatkan ayunan dan mengayun bayi untuk pertamakalinya. Ritual ini biasanya akan dibarengi dengan ritual mangku, mengubur ari-ari dan ditutup dengan markabanan. Pada ritual nggeyong, dukun bayi dengan dibantu anggota keluarga yang melahirkan (biasanya suami) untuk mempersiapkan perlengkapannya berupa: 1. Tali tambang untuk mengikat ayunan 2. Besi untuk mengikat ayunan 3. Bunga dan dedaunan yang di buat rentengan (rangkaian) dan digantung di tengah ayunan, biasanya terdiri dari:112 112 Meski begitu, seringkali rentengan ini tidak terlalu lengkap. Karena kesulitan mencari dedaunan seringkali terlihat rentengan hanya terdiri dari bawang merah, bawang putih, cabai merah, dlingo-bengle dan bungabungaan. 210 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat - Daun gondang kasih → agar banyak yang asih (menyayangi) - Daun kluwih →rejekinya luwih (berlebih) - Daun Waluh →selalu waluyo (sehat) - Daun Jambe/Pinang, daun sirih, bunga-bunga-an, sebagai pethethan (mainan) bayi - Dlingo-bengle →penangkal roh jahat - Cabai merah, bawang merah, bawang putih →agar kelak pandai bercocok tanam 4. Kain panjang (sebaiknya baru) sebanyak 3 lembar untuk kain ayunan. Angka tiga adalah angka yang dianggap baik. 5. Perwanten atau sesaji yang biasanya terdiri dari beras, kelapa bulat, sawer (sejumlah uang) dan7 macam jaburan (jajan pasar) serta nasi tumpeng 6. Lampu penerang (lampu minyak/lilin/kemenyan yang dibakar) Gambar 4.4. Bayi dalam geyongan yang dihias aneka bunga dan perwanten (sajen) berupa jajan pasar tujuh rupa, nasi tumpeng dan lilin Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 211 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Nggeyong bisa dilakukan kapan saja, namun umumnya pada siang hari. Adapun prosesi pada ritual nggeyong adalah sebagai berikut: 1. Ayunan siap 2. Sesajen di letakkan di bawah ayunan 3. Bayi akan dimandikan oleh dukun bayi, dibedaki diberi pakaian dan dibedong, kemudian dinaikkan ke atas ayunan. 4. Penerang dinyalakan 5. Dukun bayi akan mulai mengucapkan doa-doa untuk kebaikan si bayi 6. Dukun akan mulai mengayun bayi 7. Dukun mengoleskan arang pada jidat bayi dengan maksud agar bayi tidak disukai makhluk jahat (tidak selalu) 8. Ritual selesai, dukun bayi akan pulang dengan membawa perwanten. 9. Kain ayunan dibongkar dan diganti dengan ayunan biasa. Ada kepercayaan bahwa jika tidak dibongkar, akan menimbulkan bau apak. Mangku Ritual mangku biasanya dilakukan sebelum atau sesudah nggeyong. Tidak ada aturan khusus mengenai hal itu. Tujuan mangku, selain untuk mendoakan kebaikan bayi, juga diharapkan kelak, jika anak tersebut sakit, akan banyak orang yang menjenguk dan membantu merawat. Seperti namanya, ritual ini memang melibatkan acara memangku bayi. Tuan rumah akan mengundang ibu-ibu yang umumnya sudah dianggap tua, ke rumahnya. Dukun bayi akan dilibatkan sebagai salah satu pemangku bayi. Bayi yang telah dimandikan dan dibedong, kemudian diletakkan di atas tampah yang dialasi kain, untuk kemudian dipangku secara bergantian oleh ibu-ibu yang datang sambil menggumamkan shalawat. Salah 212 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat seorang di antara ibu-ibu ini akan membacakan Surat Yusuf atau Surat Maryam, tergantung dari jenis kelamin bayi. Surat Yusuf untuk bayi laki-laki dengan harapan sang anak akan setampan dan sesholeh Nabi Yusuf dan Surat Maryam untuk bayi perempuan agar menjadi perempuan yang sholehah seperti Siti Maryam. Bisa juga Surat Waqi’ah untuk perempuan dan Surat Arrohman untuk laki-laki, meski kedua surat pertama lah yang lebih sering dibaca. Gambar 4.5. Ritual Mangku Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 Bagi yang masih kental memegang tradisi ini, konon acara mangku belum dianggap selesai sebelum bayi bersin atau menguap. Posisi kepala bayi berhadapan dengan pemangku dan bayi berada diatas kakinya. Namun dalam prakteknya, hal ini sudah mengalami banyak variasi. Acara biasanya akan ditutup dengan jaburan, yakni tuan rumah mengeluarkan berbagai jenis penganan kecil sebagai 213 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 bentuk penghormatan dan ucapan terimakasih kepada para ibu. Para tamu akan mengobrol sambil menikmati jaburan. Dan seringkalijaburan tersebut juga dibungkus dan dibawa pulang oleh masing-masing tamu. Mengubur Ari-Ari Mengubur ari-ari dilakukan setelah tali pusat bayi kering dan terlepas, karena tali pusat dianggap sebagai teman ari-ari sehingga harus dikubur bersamaan. Selama menunggu tali pusat terlepas, ari-ari akan disimpan di dalam pendil (kendi tanah liat), direndam dalam garam agar tidak membusuk . Selain itu, ari-ari juga ditaburi bunga-bungaan, yang terdiri dari: - Daun kluwih - Daun gondang kasih - Daun jati menyimbolkan harapan agar sang anak selalu berhati-hati dalam kehidupannya - Daun pulungan melambangkan harapan bahwa sang anak akan mendapat banyak yang menolong ketika menghadapi kesulitan - Lawe, yakni benang putih tebal yang dirajut sedemikian rupa, juga sebagai simbol rejeki yang berlebih - Tiruan ginjel-angen-angen, berupa benang wol warna-warni yang dijalin sedemikian rupa dengan lidi sehingga membentuk segi empat dan segi enam yang menyimbolkan ginjel dan angen-angen si bayi. Ginjel adalah ginjal sebagai lambang kesehatan, diharapkan bayi akan tumbuh sebagai anak yang sehat. Dan angen-angen adalah lambang otak atau pikiran, agar bayi tumbuh jadi anak yang pintar, tidak plonga-plongo (bodoh). Sambil menunggu ‘saudaranya’, yakni tali pusat si bayi mengering dan lepas, pendil berisi ari-ari ini kemudian akan 214 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat dibungkus dengan kain putih, dilapisi dengan kantong plastik dan disimpan di kolong tempat tidur bayi. Gambar 4.6. Ari-ari yang disimpan di dalam kendi tanah liat dengan bunga-bungaan, lawe,ginjel dan angen-angen Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 Mengubur ari-ari umumnya dilakukan pada hari Jum’at, selepas sembahyang Jum’atan karena dianggap sebagai hari baik secara Islam. Hari Jum’at juga dianggap sebagai hari air yang dingin. Pada ritual ini, sang ayah akan menggendong pendil serta membawa payung, berjalan ke tempat ari-ari akan dikubur dan biasanya berada di sekitar rumah, dengan diiringi oleh dukun bayi yang membacakan shalawat. Pada saat ari-ari akan dikubur sang ayah akan mengumandangkan azan. Setelah azan selesai dukun bayi mulai melakukan surak, yaitu menebarkan sawer yang terdiri dari beras dan uang recehan. Suasana akan menjadi 215 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 riuh (surak) karena anak-anak biasanya akan saling berebut untuk mendapatkan uang recehan ini. Markabanan dan Pemberian Nama Markabanan atau marhabanan adalah acara pengajian yang dilakukan oleh para lelaki dewasa di sekitar lingkungan rumah ibu melahirkan. Pengajian biasanya diisi dengan ‘berjanjen’ yakni membaca kitab Al Berjanji, kitab yang berisi kisah-kisah Nabi Muhammad. Pembacaan ini dilakukan secara bersama-sama dan dengan nada tertentu. Selama berjanjen bayi juga dipegang secara bergiliran seperti pada prosesi mangku. Selain itu dibaca juga Surat Yusuf atau Maryam, sesuai dengan jenis kelamin bayi. Dalam acara ini dilakukan pengumuman nama bayi. Ketika markabanan selesai, para tamu akan diberi berkat (bungkusan nasi beserta lauk-pauk) untuk dibawa pulang. Karena acara ini melibatkan kaum lelaki, dukun bayi biasanya tidak terlalu memiliki peran. Karena acara markabanan cukup membutuhkan banyak biaya, kadang-kadang ditunda hingga beberapa waktu sampai pihak keluarga mempunyai cukup uang. Biasanya hingga empat puluh hari (selapanan), dan sekaligus menandai berakhirnya ritual kelahiran. Setelah bayi puput dan semua ritual sudah dilaksanakan, peran dukun bayi akan semakin sedikit atau bahkan sudah selesai. Memandikan bayi akan diambil alih oleh sang ibu atau keluarganya (ibu, kakak), meski kadang beberapa keluarga masih menggunakan jasa dukun bayi untuk memandikan bayi hingga hari ke-40. Nyukur Nyukur adalah tradisi mencukur rambut untuk pertama kalinya pada bayi. Acara nyukur biasanya dilakukan setelah bayi berumur 40 hari. Hari yang dipilih biasanya adalah hari Rabu atau 216 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Jum’at karena dianggap sebagai hari yang baik (hari dingin/sejuk). Hari Rabu disimbolkan sebagai ‘Hari Daun’ dan Hari Jum’at sebagai ‘Hari Air.’ Acara nyukur biasanya disertai dengan pembuatan bubur candil, yakni bubur yang terbuat dari tepung kanji/tapioka, dibentuk menjadi bulatan-bulatan kecil dan dimasak dengan santan dan gula merah. Setelah masak, bubur ini kemudian dibagikan kepada para tetangga. Nyukur bisa dilakukan sendiri oleh sang ibu atau anggota keluarga lainnya, tetapi lebih sering dipercayakan kepada dukun bayi. Nyukur biasanya dilakukan ketika bayi sedang tertidur dan dalam keadaan dibedong, agar tidak banyak bergerak karena bisa membahayakan proses pencukuran. Sebelum proses nyukur, biasanya akan disiapkan beberapa perlengkapan, yakni: - Sajen/perwanten berupa beras dan jajanan pasar tujuh rupa dan uang - Telor ayam yang diletakkan di atas layah/cobek atau piring - Bedak dingin yaitu bedak yang terbuat dari campuran tepung beras dan kencur - Air hangat - Cangkang Keong - Alat cukur Pertama-tama, dukun bayi akan membaca doa sebelum memulai mencukur. Doa yang dibaca biasanya ‘basmallah’ yang menandai dimulainya suatu pekerjaan dalam ajaran Islam. Setelah itu, kepala bayi diusap dengan telur sebagai simbol agar anak tidak mudah ademen (dingin). Telur melambangkan sesuatu yang hangat, karena dierami. Telur yang digunakan bisa telur ayam kampung maupun telur ayam negri dan sebaiknya dicari telur yang bentuknya bulat, yang melambangkan bentuk kepala si anak. Rambut kemudian dibasahi dengan air hangat untuk memudahkan pencukuran. Kepala yang sudah dicukur kemudian 217 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 dibalur dengan bedak dingin (beras kencur) agar kepala terasa sejuk. Rambut yang sudah dicukur kemudian dimasukkan ke dalam cangkang keong, dengan tujuan agar sejuk dan terlindung. Rambut yang sudah dimasukkan ke dalam cangkang ini, kemudian dikubur di bawah pohon (biasanya pohon pisang). Gambar 4.7. Ritual nyukur, sajen dan candil Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 Nyukur pada bayi adalah hal yang dianggap ‘wajib’ dilakukan, karena bisa membuang ‘kebel’ (nasib sial/hal-hal buruk) pada si anak ketika beranjak besar kelak. Menurut Bi Ipah, seorang dukun bayi yang sering dipercaya untuk mencukur rambut bayi, bahwa bayi yang tidak dicukur akan memiliki rambut bajang/gembel yang membawa hal-hal yang buruk. Sehingga jika tidak dicukur pada waktu bayi ketika akan melalui 218 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat prosesi penting dalam hidupnya orang tersebut harus menduduki kepala kerbau. Padahal harga kepala kerbau cukup mahal dan juga relatif sulit dicari. Pada anak laki-laki prosesi penting itu adalah ketika hendak disunat, sedangkan pada anak perempuan ketika ia akan menikah. Jika tidak dilakukan, maka dikhawatirkan ia akan mengalami banyak hal buruk (kesialan) dalam hidupnya. b. Peran Dukun Bayi pada Ibu Melahirkan Dalam suatu kelahiran, peran dukun bayi seringkali tidak hanya bertugas mengurus dan merawat bayi. Beberapa ibu, kadang tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah melahirkan. Oleh karena itu dukun bayi kemudian diminta untuk mengurus dan merawatnya. Perawatan yang dilakukan biasanya mulai dari menyiapkan berbagai perlengkapan perawatan seperti aneka bedak dan jamu-jamuan, mengolesi param/boreh, merawat luka bekas operasi (pada kasus persalinan lewat operasi cesar) dan terutama melakukan pijat. Pijat pasca melahirkan dilakukan hampir semua ibu-ibu setelah melahirkan (kecuali usai operasi) karena diyakini selain memberi rasa nyaman juga mengembalikan rahim yang dianggap turun pasca melahirkan. “Kalau sudah lahiran saya yang ngurus, diiketi, dibedaki, dimandiin. Diublek-ublek jamu, saya yang beli. Mandiin. Borehin ibunya, pakai bengkung panjang.” Mak Inah, Dukun Bayi.” Perawatan lain yang diberikan oleh dukun bayi adalah mandi dan mandi nifas. Mandi wiladah adalah mandi dengan maksud untuk mensucikan diri setelah seorang ibu melahirkan. Mandi wiladah hanya dilakukan pada ibu yang melahirkan secara normal (bukan operasi), biasanya dilakukan sehari setelah melahirkan. Vagina seorang perempuan dianggap ‘kotor’ setelah dilewati jabang bayi, oleh karena itu perlu disucikan. Sedangkan mandi nifas, biasanya dilakukan setelah 40 hari, yang ditandai 219 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 dengan berhentinya darah nifas seorang ibu setelah melahirkan. Ini adalah mandi ‘bersih-bersih’, tubuh seorang ibu kembali dianggap suci oleh karena itu sudah diperbolehkan melakukan ritual-ritual agama (shalat, puasa). Dukun bayi biasanya akan dimintai tolong untuk membantu melakukan proses ini, meskipun beberapa perempuan kadang bisa melakukannya sendiri. Dalam mandi nifas, selain dengan air biasa, seringkali juga ditambahkan mandi dengan air kembang tujuh rupa. Setelah semua ritual penting pasca kelahiran selama 40 hari selesai, maka tugas dukun bayi sudah dianggap selesai. Perawatan sang bayi selanjutnya akan diambil alih oleh keluarganya. 4.1.2.4. Peran Dukun Bayi yang lain dalam kehidupan seharihari a. Menjual jamu godogan Ketika selesai melakukan wawancara dengan salah satu dukun bayi, terlihat dukun bayi beranjak ke dapur dan bercerita bahwa hari ini ada beberapa pesanan untuk membuatkan jamu godogan. Beliau mempersilahkan melihat ke dapur dan menceritakan apa yang sedang dibuatnya. “ini Jamu godog rebus-rebusan dari daun-daunan, yang ini katanya daun dadap laut, buat itu kolesterol sama kencing manis. Ini ada orang yang pesen banyak. Daun lampes buat perut kembung. Banyak orang pesensampai Panggang (daerah desa lain diluar Kecamatan Pabedilan). Tadi ngerebusin banyak ma. Jamu ini tidak boleh diberikan pada ibu hamil. Daun tapak liman, suket jarem, putri malu, akarnya pepaya gandul, buat yang pada pegel-pegel, cape.”113 113 Sumber: Wawancara dengan Bi Irah 220 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat b. Pijat bayi atau balita atau anak Ketika seorang bayi atau balita mengalami panas, terkadang diasumsikan oleh orangtua atau keluarganya bayi tersebut kecetit(terjadi pergeseran syaraf atau otot tubuh karena suatu aktivitas fisik atau karena terjatuh), biasanya mereka terkadang ada yang membawa ke dukun bayi untuk diurut atau dipijet, dengan tujuan dibetulkan kembali urat-uratnya atau otototot tubuhnya. “ngurut, ngobatin bayi yang kecetit, sakit. Misalkan bayi sakit diurut jaluk sembuh.”114 “Bayi kecetit suka mijet,kalau orang tuanya manggil ibu ya kesana. Ya diurut pelan-pelan namanya orangtua aja diurut klo kecetit sakit apalagi bayi, pelan-pelan harus sabar.115 c. Pijat orang dewasa Selain pijat pada bayi, balita atau anak, dukun bayi di desa dukuh widara juga melakukan pijat pada orang dewasa. Biasanya dukun bayi akan dipanggil ke rumah pasiennya atau pasiennya datang ke rumah dukun tersebut. “Iya ada banyak bukan ibu hamil. Kemarin ada yang kesandung terus dirumahnya ma dipijet.”116 “Iya ini aja ada janji sama orang Losari mau di pijet.”117 114 Sumber: Wawancara dengan Mak Iyah 115 Sumber: Wawancara dengan Bi Ipah 116 Sumber: Wawancara dengan Mak Inah 117 Sumber: Wawancara dengan Bi Ipah 221 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 4.1.3. Prinsip Kerja ‘Sak Iklase’ Dukun bayi, dalam melakukan pekerjaannya memang tidak gratis. Meski begitu, ada semacam kode etik bahwa pembayaran untuk kerja mereka didasarkan pada prinsip ‘ora ngarani, seiklase’ (tidak menyebutkan jumlah, seikhlasnya orang yang memberi). Jika seorang dukun bayi berani ‘ngarani’ (menyebutkan biaya yang harus dibayar), meski jumlah yang disebutkan adalah jumlah yang sebenarnya umum diberikan, hal itu akan mengganggu citranya. Orang-orang akan membicarakan di belakang, menyebutnya sebagai dukun yang ‘itung-itungan,’ sebuah perilaku yang dianggap kurang terpuji. Sebagai konsekuensinya, orang-orang akan berpikir dua kali untuk menggunakan kembali jasanya. Meskipun pembayarannya didasarkan pada ‘sak iklase’ akan tetapi sebenarnya ada kesepakatan umum mengenai jumlah tertentu yang harus diberikan kepada dukun bayi. Di Desa Dukuh Widara, untuk melakukan perawatan pasca kelahiran selama sekitar 5-7 hari, harga yang dibayar untuk dukun bayi adalah sekitar Rp. 300.000-Rp. 500.000, tergantung dari kemampuan masing-masing keluarga. Kerja dukun bayi juga bersifat keseluruhan. Mereka berusaha memberikan pelayanan yang penuh sesuai dengan yang diharapkan oleh orang yang menggunakan jasanya. Ia bertugas ngopeni, yang tidak hanya bermakna merawat, tapi juga menjaga. Tidak hanya pada bayi tapi juga sang ibu. “Dukun bayi [...] diopeni bayine, diopeni wong tuwane. Diopeni. Diadusi isuk sore, isuk sore. Diopeni lah pokoke, sampai puput.” (Mak Iyah, Dukun Bayi) (Dukun bayi [...] merawat bayi, merawat orang tuanya. Memandikan pagi sore, pagi sore. Diopeni pokoknya sampai puput) 222 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat 4.2. Tradisi Pijat “Massage is among the oldest treatment known to mankind.118” Pijat sebenarnya merupakan tradisi yang sudah dikenal sejak jaman dulu kala dan bisa dijumpai hampir pada semua masyarakat di dunia. Termasuk bagi masyarakat Jawa, seperti yang ditulis Geertz (983: 96) bahwa: “...bagi orang Jawa, bahkan bagi kalangan yang sangat bernapas kota pun, pijat merupakan jawaban untuk segala macam penyakit...,” 4.2.1. Jenis-Jenis Pijat Bagi masyarakat Desa Dukuh Widara, dikenal beberapa jenis pijat, yakni: a. Pijat Penyembuhan Pijat jenis ini biasanya dilakukan oleh semua lapisan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, anak-anak, tua maupun muda. Seseorang melakukan pijat karena keluhan tidak nyaman pada tubuhnya seperti teng greges (seperti demam),masuk angin, pegel-pegel, kecethit (pergeseran syaraf karena suatu aktivitas fisik atau terjatuh) dan keseleo. Seorang pasien akan mengundang tukang pijat atau pergi ke rumah tukang pijat untuk mendapatkan pijatan. Tukang pijat bisa lakilaki maupun perempuan. Tapi umumnya pasien perempuan akan selektif dalam memilih tukang pijat, terutama untuk kasus pijat badan, dipilih adalah tukang pijat perempuan. Tukang pijat perempuan di Desa Dukuh Widara adalah juga dukun bayi. 118 Sumber: Westhof & Ernst, 1992 dalam Edzard Ernst, dalam “Evidence-based massage therapy: a contradiction in terms?” (http://www.sld.cu/galerias/ pdf/sitios/rehabilitacion-doc/massage_therapythe evidence_for_ practice.pdf) 223 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Sementara tukang pijat laki-laki biasanya sekaligus memiliki keahlian dalam obat-obatan alternatif (herbal) maupun akupuntur. Lama pemijatan biasanya berlangsung antara 30-90 menit dan tarif berkisar antara Rp. 30.000 – Rp. 50.000. Alat-alat yang digunakan dalam pemijatan, biasanya hanya minyak, biasanya minya klentik (minyak goreng/minyak kelapa) yang dicampur dengan bawang merah. Seperti yang diungkapka Mak Iyah, dukun bayi yang juga sering melakukan urut untuk mengobati orang yang sakit: “Di bregodok, dipijet-pijet, bawangabang, lenga klentik. [...]Rada adem. Panas. Panas dalem. Kadang-kadang pan arep metu adem iku, adem ning jero kulit. Di bregodok.” (dibregodok—salah satu gerakan pijat yang melibatkan pijatan seluruh tubuh—dipijat-pijat, bawang merah, minyak goreng [...] jadi agak dingin. Panas. Panas dalam. Kadang-kadang (panasnya) hendak keluar, jadi dingin di bawah kulit. Dibregodok) b. Pijat Ibu Hamil Pijatan pada ibu hamil adalah hal yang lazim dilakukan oleh ibu-ibu hamil di Desa Dukuh Widara. Pijat, terutama dilakukan oleh dukun bayi. Di masa lalu, pemilihan dukun bayi untuk melakukan pijat kehamilan berarti juga ‘membangun ikatan’ pada dukun bayi tersebut untuk menolong persalinan. Pada kondisi sekarang, karena persalinan oleh dukun bayi dilarang (meski ada beberapa kasus kebrojolan), biasanya lebih pada ikatan untuk merawat bayi setelah melahirkan, meskipun ikatan itu bukan sesuatu yang baku. Pijat untuk ibu hamil di Desa Dukuh Widara bisa dibedakan menjadi pijat untuk mengetahui kehamilan (mek-mek) dan pijat untuk membetulkan posisi bayi (oyog). 224 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Mek-mek (bahasa Jawa: dimek: dipegang, disentuh/diraba dengan tangan) adalah pijat untuk mengetahui adanya kehamilan, biasanya dilakukan pada usia kehamilan masih sangat muda. Biasanya pasien datang untuk memastikan apakah dirinya hamil atau tidak. Umumnya, pasien sudah menyadari bahwa ‘ada yang berbeda’ dengan dirinya dan ingin diyakinkan melalui rabaan dukun bayi. Melalui rabaan tangannya pada perut pasien, konon dukun bayi bisa merasakan apakah memang seorang sedang hamil atau tidak. Bahkan dukun bayi juga bisa memperkirakan berapa usia kehamilannya. “Kadang-kadang ada, dadi apa arane, isun iki meteng opo dirung? Dadi dimek-mek, meteng, oleh loro oleh telu kan krasa. Krasane kan kalau udah hamil ada ini, mblendung-mblendung, atos.” (Mak Iyah, Dukun Bayi) (Kadang-kadang ada, jadi apa namanya ‘saya hamil atau belum?’ Jadi dimek-mek, hamil. Dapat dua atau tiga bulan terasa. Rasanya kalau sudah hamil kan ada yang menonjol, keras) “Kadang hamil apa nggak? Dimek. Sudah jalan dua bulan. Tahunya dari sini, atas (perut), mendokol . Kalau tiga bulan, ininya sudah penuh (dekat payudara). Sing bener, Mak? Ra percaya periksa dokter. Bener.” (Mak Inah, Dukun Bayi) “Biasanya kalau orang dapat dua, atau satu, ini dimek, ada nggak bayinya. Kalau udah 3 ya terasa, 2 terasa kalau 1 sih harus ke dokter, belum terasa.”(Bi Irah, Dukun Bayi) Dengan gerakan mek-mek ini, kadang dukun bayi juga bisa mendeteksi jika ada kelainan pada kehamilan seseorang. Seperti yang diungkapkan oleh Mak Isah. Ia pernah diminta mek-mek kehamilan seseorang dan merasakan ada yang tidak beres. 225 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 “Iya itu gluyar-gluyur. Lembek. Nggak kenceng. Kan ada kantongnya kesini gluyur, kesana gluyur.” Jika menemui kasus seperti ini, menurut Mak Isah, biasanya dia akan langsung menyarankan si ibu segera memeriksakan diri ke bidan atau dokter kandungan. Pada beberapa kasus, mek-mek kadang juga disertai permintaan untuk menggugurkan kandungan. Hal ini terutama terjadi pada kehamilan yang ‘tidak diharapkan’ seperti hamil sebelum menikah atau hasil dari perselingkuhan. Namun dukun bayi di Desa Dukuh Widara mengatakan tak pernah mau melakukan hal-hal seperti itu. Bi Irah, misalnya, pernah didatangi pasangan yang belum menikah tapi sudah hamil dan diminta untuk membantu menggugurkan kandungannya, tapi Bi Irah menolaknya. “Saya takut, takut dosa. Nggak. jangan. Kemarin aja ada yang nggak nikah hamil, udah biar aja. Hidup. Nggak mau saya, kan nggak boleh dalam ajaran islam.” Hal yang sama juga diungkapkan oleh Mak Inah bahwa ia sama sekali tak mau jika diminta melakukan aborsi: “Kalau ada orang yang mau nggugurin, emoh, banyak terimakasih. Dari turunan juga nggak boleh.” Mak Iyah juga beberapa kali didatangi oleh pasangan yang ingin menggugurkan kandungan. Ada pasangan muda yang belum menikah, ada juga pasangan selingkuh yang ditinggal suami/istrinya ke luar negeri. Menurut Mak Inah, biasanya ia justru akan menasehati pasangan tersebut, bahwa melakukannya pasti karena suka sama suka dan karenanya harus dipelihara dan bertanggung jawab. Jenis pijat yang lain adalah oyog. Pijat oyog adalah pijat yang bertujuan untuk ‘membetulkan’ posisi bayi. Biasanya 226 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat dilakukan pada kehamilan antara 3-9 bulan. Mengenai jenis pijat ini, akan dibahas lebih mendalam dalam sub bab tulisan ini. Pijat pada ibu hamil biasanya hanya berlangsung sekitar 10-15 menit dan hanya melibatkan pemijatan bagian perut dan karenanya tarifnya juga lebih murah, yakni antara Rp. 15.000 – Rp. 30.000. Meski pada beberapa kasus, kadang-kadang seorang ibu juga minta dipijat bagian badan yang lain seperti tangan-kaki, dan punggung. Jika demikian, waktu yang diperlukan juga lebih lama dan tarifnya pun akan disesuaikan. c. Pijat untuk Ibu Setelah Melahirkan (sengkak) Proses melahirkan bagi seorang perempuan adalah proses yang mengerahkan banyak energi. Karenanya, usai melahirkan seorang perempuan biasanya akan mengalami keluhan-keluhan terkait dengan fisiknya seperti badan pegal-pegal dan rahim yang seolah-olah turun. Untuk itu, dipanggilah dukun bayi untuk melakukan pijat. Pijat pada ibu melahirkan juga dikenal dengan sebutan ‘sengkak’ atau ‘nyengkak’, mengacu pada gerakan ‘menyengkak’ yaitu gerakan memijat dengan cara menekan bagian bawah perut dengan kedua ibu jari, kemudian membawanya ke bagian atas, seolah-olah menaikkan rahim. Gerakan ini dilakukan secara berulang-ulang sampai rahim dianggap kembali ke tempatnya. Gerakan ini konon menimbulkan rasa sakit pada si ibu, namun mereka mengaku merasa nyaman setelahnya. Ibu Nur misalnya, meminta disengkak oleh dukun bayi usai melahirkan. Ketika disengkak, ia merasa bagian perutnya sakit luar biasa, dan rasa sakit ini bertahan selama beberapa waktu hingga beberapa hari, namun setelah itu merasa lebih nyaman. Selain pijat sengkak, biasanya juga dilakukan pijat bagian badan yang lain sehingga memberikan rasa nyaman yang lebih. Pijat ini dilakukan setelah ibu melahirkan, dengan rentang waktu bervariasi. Ada yang sehari setelah melahirkan, tiga atau empat 227 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 hari setelah melahirkan, ada juga yang empat puluh hari setelah melahirkan. Tapi sengkak tidak dilakukan pada ibu yang melahirkan melalui proses operasi karena dukun bayi paham, hal itu bisa membahayakan bekas luka pada sang ibu. Meski begitu, seorang ibu yang pernah melahirkan melalui proses operasi tapi sudah sembuh dan pada proses melahirkan saat ini normal, bisa dilakukan pijat sengkak. Pada pijat sengkak ini, juga melibatkan gerakan ‘dijubur’ yakni menekan-nekan bagian anus dengan tujuan yang sama seperti sengkak. “Ari dijubur kuwi ntas ngeden-ngeden iku kiyene mlorot. pantatnya, anusnya. Misale krasane gandul-gandul, blenak, apa. Arane dijubur, didorong-dorong gini, kan terusan enak. Ngko disengkak ngono, oleh badan kabeh. Terus mlakune enak. “(Mak Iyah, Dukun Bayi) (Kalau dijubur itu setelah mengejan-ejan, itunya melorot. Pantatnya, anusnya. Rasanya seperti ada yang menggantung, tidak nyaman. jadi dijubur, didorongdorong, nanti jadi enak. Nanti disengkak juga, pijat seluruh badan. Nanti jalannya jadi enak). Ila, misalnya, yang juga seorang tenaga kesehatan. Ketika usai melahirkan, ia merasa penasaran karena orang-orang di desa melakukan pijat sengkak, maka ia pun mencobanya. Ia mengaku kesakitan ketika disengkak, tapi merasa nyaman sesudahnya. 4.3. Oyog 4.3.1. Definisi Oyog Dalam Bahasa Jawa, dikenal kata ‘oyog’ atau ‘oyag’ yang berarti goyangan atau bergerak-gerak. Bagi masyarakat Desa Dukuh Widara, istilah ‘oyog’ mengacu pada pijat yang dilakukan oleh dukun bayi pada ibu hamil. Oyog, karena merupakan bentuk 228 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat tindakan, sering dilekati kata hubung ‘di’ sehingga menjadi ‘dioyog’, dan masyarakat Desa Dukuh Widara sering melafalkannya menjadi ‘doyog.’ “Yang namanya bahasa doyog, karena posisi bayi tidak pada tempatnya. Dibenarkan namanya dioyog. Nanti jadi enak.”(Pak Soleh, Perangkat Desa) “Katanya sih dipegang, katanya biar pengin tahu posisinya bener apa nggak kepalanya ada dimana.”(Rina, Ibu Hamil) “Oyog sengerti saya [...] itu diurut, perutnya diurut kalau sakit, mbateg kalau istilah jawanya itu, nyengkal, katanya suruhnya dioyog.” (Ima, Ibu Hamil) "Oyog sih ya mbeneraken bayi sing orang bener.”(Mak Isah, Dukun Bayi) “Oyog itu buat mbenerin baby,atau perut-perut yang sakit, buat ibu hamil, gitu.“ (Sam, Ibu Hamil) “Dioyog, misale lamun bayi manjing jero [...] oleh bayi ana sing sesek, kan ana ngeluhe ngko dimek mek kan enak, lega.” (dioyog, kalau ada bayi yang masuk ke bawah, sehingga membuat perut ibu sesak. Nanti dipegang-pegang (oyog), jadi lega) (Bi Yah, Dukun Bayi) “Ya dibenerin biar nggak rawan […] di benerin. Kan kadangkadang kalau dibawa ini bisa turun. Membenarkan posisi bayi. Misalnya kalau bayi tengkurap ya dibenerin. Kalau posisinya udah mau lahir kepalanya di atas ya diturunin.” (Bi Irah, Dukun Bayi) "oyog itu kayak apa ya, membenarkan posisi bayi— istilahnya sungsang kayak gitu, karena mungkin usia kandungannya mungkin sudah dewasa, udah tua, biasanya kan harus posisi kepala di bawah, masih ada 229 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 yang di atas atau disamping—tapi dengan cara diurut tradisional." (Fira, Ibu Hamil) Dari definisi di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa oyog adalah pijatan pada perut ibu hamil yang umumnya dilakukan oleh dukun bayi dengan tujuan untuk mbenerke (membenarkan) posisi janin. Jika ditelusuri, pijat pada ibu hamil ini sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Desa Dukuh Widara saja. Tetapi juga oleh masyarakat di desa-desa sekitar, bahkan mungkin di beberapa tempat di Provinsi Jawa Barat. Pijat pada ibu hamil sepertinya sudah menjadi tradisi turun temurun di masyarakat. Tidak hanya pada masyarakat Etnik Jawa saja, karena masyarakat yang berasal dari Etnik Sunda juga mengenal pijat pada ibu hamil ini. Pijat pada ibu hamil pada masyarakat Sunda dikenal dengan istilah “gedog”. Sedikit berbeda dengan oyog yang hanya melibatkan pijatan, pada gedog juga melibatkan gerakan ‘gedoggedog’ yakni menggoyang-goyangkan kain yang menjadi alas ibu hamil dan biasanya hanya dilakukan pada usia kehamilan 7 bulan. Meski begitu, tujuan dari gedog juga sama dengan oyog, yakni membetulkan posisi bayi. “Digedog. Pakai kain, di goyang supaya kepalanya ke bawah, dibetulin” (Ibu Euis, Etnik Sunda) “Digedok tujuh kali, karembong, dilurusken, dilempengken, tadina nang nteu bisa tidur teh, tidurna lali. Nggeus bener arana, budak nggeus lempeng.” (Mak Kokom, Dukun Bayi Etnik Sunda ). (Digedok tujuh kali, pakai kain, diluruskan, tadinya yang tak nyaman tidurnya (ibu hamil) jadi bisa tidur nyenyak. Sudah betul artinya, janin sudah lurus). Di beberapa tempat, oyog juga dikenal dengan istilah “kirag” atau “karag”. Karag menurut salah satu keturunan 230 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat keraton kesepuhan yang bertempat tinggal di Kecamatan Gunungjati, salah satu kecamatan di Kabupaten cirebon, bahwa di karag itu adalah digerak-gerakan atau digoyang-goyang bagian perut oleh dukun bayi untuk membetulkan posisi bayi/janin supaya persalinannya gampang dan lancar. Sehingga ternyata tujuan dari karag sama dengan tujuan oyog. “Di Karag ari jaman bengian kah di godreg-godreg (weteung ibu hamil ) bari gampang, bari gengser”119 “di karag kalau jaman dahulu itu di goyang-goyang (perut ibu hamil) supaya gampang, supaya lancar” Menurut Ratu Erawati pada jaman dahulu minyak yang digunakan untuk mengoleskan perut ibu hamil saat di karag tersebut dinamakan minyak gurat. Minyak gurat adalah minyak leuntik (minyak kelapa) yang sudah diberi doa pada saat acara sedekah tujuh bulanan atau didoakan oleh kyai . Gerakan oyog melibatkan pijatan pada perut ibu hamil. Pijatan biasanya meliputi pijatan di bagian perut samping kiri dan kanan, di bagian atas, ke bawah dan usapan pada bagian tengah. Gerakannya biasanya pelan saja dan dilakukan berulang-ulang selama sekitar 15 menit. Pada beberapa kasus, kadang dukun bayi juga melakukan pijatan pada anggota badan yang lain seperti kaki, tangan atau pungung. Tergantung dari permintaan pasien. Dukun bayi biasanya akan dipanggil ke rumah ibu hamil yang ingin di-oyog. Dukun bayi yang dipanggil biasanya adalah dukun bayi yang sudah dikenal baik oleh keluarga itu, bisa karena rumahnya yang berdekatan, masih memiliki hubungan 119 Sumber: Wawancara dengan Ratu Erawati, dari Keraton Kesepuhan Cirebon 231 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 persaudaraan atau karena dianggap memiliki reputasi yang bagus. Sebelum melakukan oyog, dukun bayi biasanya akan meminta keluarga ibu hamil untuk menyiapkan minyak atau lotion guna mempermudah proses pemijatan. Minyak yang biasa digunakan adalah minyak goreng, baby oil, hingga minyak zaitun, dan handbody lotion, tergantung dari apa yang dimiliki si pasien. Setelah pasien siap, dukun bayi akan duduk atau berdiri di samping pasien, melumuri jemarinya dengan minyak atau lotion, membaca doa dan mulai memijat. Tidak ada doa khusus untuk melakukan oyog. Doa yang diucapkan biasanya tergantung dari masing-masing dukun bayi. Mak Isah misalnya, mengatakan bahwa doa yang dia ucapkan hanya membaca Surat Al-Fatihah dan shalawat. Sementara Bi Irah mengatakan bahwa ia hanya mengucapkan basmallah.120Selain basmallah juga dibacakan ayat kursi, dengan tujuan untuk mengusir makhluk halus. (Ma Saeni). Hal yang sama juga diugkapkan dukun bayi yang lain, Mak Iyah. Lalu disertai dengan obrolan kepada si jabang bayi, bahwa sang bayi tidak akan diapa-apakan hanya dipegang-pegang saja. “Ari ngoyog sibismillah bae, bismilah...si jabang sira ora pan diapak-apakne ora pan diganggu.” (Mak Iyah, Dukun Bayi) (Kalau mau ngoyog, bismillah saja. Bismillah...jabang kamu tidak akan diapa-apakan, bukan hendak diganggu) 4.3.2. Proses Oyog: Komunikasi Yang Hangat Selama berlangsungnya oyog, biasanya akan melibatkan komunikasi hangat antara ibu hamil dan dukun bayi. Dukun Bayi 120 Bismillahirahmanirrahim. Dalam agama Islam, bacaan ini diharapkan diucapkan sebelum memulai setiap aktivitas. 232 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat umumnya adalah tetangga atau setidaknya orang yang cukup dikenal, mereka seperti ‘teman ibu kita’ atau ‘seorang bibi’ sehingga biasanya ibu hamil tidak akan merasa sungkan. Dukun bayi akan menanyakan keluhan-keluhan ibu hamil dan tanpa segan ibu hamil akan berkonsultasi pada dukun bayi tentang kehamilannya. Dukun bayi umumnya akan memberi komentar dan saran positif, apa yang sebaiknya dilakukan dan tidak dilakukan. Hal ini cukup menenangkan ibu hamil, karena yakin dengan ucapan dukun bayi yang pengalamannya sudah sangat banyak. Sisi, misalnya. Ketika kehamilannya memasuki usia 6 bulan, ia memeriksakan diri ke bidan. Bidan mengatakan bahwa posisi bayinya melintang tanpa penjelasan lebih lanjut. Sisi yang baru pertamakali hamil merasa syok dan cemas. Ia memutuskan untuk berkonsultasi dengan dukun bayi sambilmelakukan oyog. Ia merasa lega ketika dukun bayi mengatakan bahwa ia tak perlu cemas, karena posisi bayi pada usia kehamilan seperti itu masih berubah-ubah. Mak Isah mengatakan bahwa pada saat oyog ia menyampaikan tanda-tanda persalinan dan juga mengingatkan agar ibu hamil tetap tenang apabila sudah ada tanda-tanda persalinan. “Kalau hamil udah tua klo udah mau lahiran tandatandanya begini-begini dulu. Kalausudah keluar ini pokoknya jangan rikuh.”121 Lain dengan cerita Bi Ipah, bahwa ketika melakukan oyog dia juga terkadang menanyakan tentang taksiran dan penolong persalinan. 121 Sumber: Wawancara dengan Mak Isah 233 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 “Ya kalau melahirkan pake dokter atau bidan?. Katanya Bulan berapa tanggal berapa?”122 Suasana oyog biasanya akan semakin akrab ketika obrolan juga merembet pada hal-hal keseharian seperti urusan rumah tangga hingga bergosip tentang masalah yang sedang hangat di masyarakat. Tak jarang anggota keluarga yang lain seperti orang tua ibu hamil juga ikut menemani, sehingga obrolan pun bisa panjang lebar. Jarang dijumpai suasana canggung dalam proses ini. 4.3.3.Gerakan Oyog Dalam gerakan oyog melibatkan istilah: dikumpulke/ ditengahke, diluruske/dilempengke, disengkak, dan doyog-oyog. Dikumpulke/ditengahke (dikumpulkan/dibawa ketengah) adalah gerakan memijat pada pinggir perut sebelah kanan kiri, dengan arah pijatan ke arah tengah perut. Diluruske/dilempengke (diluruskan) adalah gerakan dengan maksud meluruskan posisi bayi. Gerakannya sebenarnya hampir sama dengan gerakan pertama. Melalui rabaan tangannya, dukun bayi konon bisa merasakan posisi bayi. Jika posisi bayi malang/ melintang maka akan diluruskan. Ketika kehamilan memasuki usia 7 bulan, diharapkan posisi bayi sudah lurus sehingga jika sewaktu-waktu bayi lahir, sudah dianggap pada tempatnya dan kelahiran pun akan mudah dan lancar. Sengkak adalah gerakan seperti ‘mencungkil’ bagian perut bawah dan kemudian dibawa ke atas. Gerakan ini sebenarnya lebih banyak dilakukan pada ibu setelah melahirkan. Dengan maksud ‘ngunjukke’ atau menaikkan rahim yang dianggap turun. Tapi pada beberapa kasus gerakan ini juga dilakukan pada ibu 122 Sumber: Wawancara dengan Bi Ipah 234 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat hamil dengan keluhan yang sama. Perbedaan sengkak pada ibu setelah melahirkan dan pada ibu hamil, gerakan yang dilakukan lebih lembut dan biasanya hanya untuk kehamilan muda. Gambar 4.8. Salah satu gerakan oyog Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 Di-oyog-oyog adalah gerakan menggoyang-nggoyangkan secara perlahan pada bagian bawah perut dengan ibu jari dan telunjuk. Hal ini terutama dilakukan pada kehamilan tua, ketika posisi bayi dianggap terlalu turun sehingga menekan perut bagian bawah Ibu hamil sehingga akan menimbulkan rasa mbateg. Goyangan ini dimaksudkan untuk menaikkan secara perlahan sang jabang bayi, sehingga ada sedikit ruang di perut bagian bawah Ibu hamil. 235 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Gambar 4.9. Gerakan oyog yang lain Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014 “Dikumpulin dari samping kanan kiri, biar lurus. Di atas, ngeraba, atasnya sampai kemana. (bawah) kalau rasanya rada turun ya biar owah, jadi naik sedikit, jadi jangan mbateg kalau buat jalan. Ya itu kalau udah turun udah nggak bisa naik lagi, tapi namanya kan biar jangan terlalu mbateg. Biar owah saja, jangan terlalu neken.” (Mak Isah, Dukun Bayi) “...diurut pelan-pelan, dikumplin bayi itu, takut kakiknya kemana, kalau disini begitu, diturunin sediikit-sedikit. Pokoknya membenarkan diemnya bayi. Bawah di bagian sini (menunjuk bagian bawah perut), dikumpulin biar satu jalan, jalan itu tempatnya dimana. Terus ya pijit alus lah. lagi hamilan kecil badan semua diurut, kan pegelpegel. Bayi dikumpulin aja, ketengahin gitu. “ (Nir, Ibu Hamil) 236 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat “Caranya ya dipijet sampingnya, sampingnya, kalau dibawah, cuma dijunjung sedikit, tapi dijunjungnya nggak sampai tertekan. (Mak Inah, Dukun Bayi) “Dioyog dari samping, diatas-atasin, rada-rada misor, digoyang-goyang, kalau kemunjukan berarti diturunin sedikit, kalau turun dinaikkan.” (Bi Ipah, Dukun Bayi) 4.3.4. Oyog: Anjuran dari Para Orang Tua Oyog, merupakan fenomena yang unik karena masih dilakukan oleh sebagian besar masyarakat. Oyog bisa dikatakan merupakan tradisi yang turun temurun. Meski demikian, sebenarnya, masyarakat di Desa Dukuh Widara juga memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap tenaga kesehatan modern dalam hal pemeriksaan kehamilan, seperti pada bidan atau bahkan dokter kandungan. Mereka akan memeriksakan kehamilan kepada tenaga kesehatan karena percaya bahwa tenaga kesehatan memiliki ilmu kehamilan dan persalinan yang diperoleh melalui pendidikan di sekolah. Keluhan seperti mual, kurang darah, kaki bengkak, ibu hamil akan memeriksakan diri ke tenaga kesehatan. Umumnya, pilihannya adalah bidan praktek atau ke Puskesmas. Faktor kedekatan (jarak atau hubungan sosial), maupun faktor ekonomi (bidan praktek lebih mahal daripada ke Puskesmas), menjadi pertimbangan dalam pemilihan tenaga kesehatan. Meski begitu, dukun bayi juga tidak bisa dikesampingkan karena dukun bayi juga memilki pengalaman yang sudah diuji oleh waktu dan memiliki legitimasi sosial (dukun bayi biasanya diperoleh dari keturunan). Pada informan yang ditemui, yang umumnya adalah ibuibu muda (20 tahunan), mengaku melakukan oyog karena saran dari orang-orang terdekat seperti ibu atau kakak perempuan, 237 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 saudara perempuan atau tetangga perempuan. Bagi masyarakat di Desa Dukuh Widara, preferensi untuk melakukan dan tidak melakukan sesuatu pada masa kehamilan umumnya memang masih dipengaruhi oleh anggota keluarga, terutama ibu (jika masih hidup). Beberapa ibu muda juga masih tinggal di rumah orang tua mereka atau setidaknya tinggal tak jauh dari rumah orang tua mereka. Seperti yang ditulis Geertz, dalam masyarakat Jawa, melalui pola pengasuhan yang diciptakan, hubungan anak dan ibu bersifat tak terbatas. Masa-masa kehamilan adalah masamasa yang penting dan “Ibulah yang mengajarkan tata cara kemasyarakatan, yang membuat keputusan tak terhingga baginya...” (Geertz, 1983: 113). Saran para orang tua sudah selayaknya dipatuhi bukan hanya karena ada kekhawatiran, jika tidak diikuti, justru akan menimbulkan hal-hal negatif (kualat), tapi lebih karena orang tua sudah memiliki banyak pengalaman dari masalalu sehingga apa yang dikatakannya sudah teruji kebenarannya. Idah, misalnya, seorang ibu muda berusia 23 tahun dan sedang hamil anak pertamanya. Idah selama ini bekerja di Jakarta di sebuah perusahaan furniture. Bisa dikatakan bahwa Idah sudah ‘menjadi orang kota.’ Ketika kehamilannya sudah memasuki sembilan bulan, ia memutuskan untuk pulang kampung dan berniat melahirkan di sana. Ibu Idah sudah lama meninggal dan ia tinggal bersama kakak perempuannya yang sudah berkeluarga. Ketika Idah merasa tak nyaman dengan kehamilannya, sang kakak kemudian menyarankan Idah untuk melakukan oyog. Idah yang tak tahu apa-apa tentang oyog, menurut saja karena menganggap kakaknya sudah berpengalaman. Dan ia pun memanggil salah seorang dukun bayi di desa untuk melakukan oyog. Setelah dioyog, ia mengaku merasa keluhannya sembuh. 238 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Bahkan, ketika merasa tidak nyaman lagi pada kehamilannya, Idah tanpa ragu segera memanggil dukun bayi lagi untuk di oyog. Demikian juga dengan Nir, yang telah lama menjadi TKW ke luar negeri. Ibunya Nir juga sudah meninggal. Ketika ia merasa tidak nyaman pada kehamilannya, ia berkonsultasi pada tetangga sekitarnya dan mereka menyarankannya untuk melakukan oyog. “Saya tanya ke orang-orang, kok saya begini, ‘coba dioyog mungkin Dedek-nya kurang bener, jalan-jalan’, terus dioyog gitu.” Sisi (20 tahun),sedang hamil 7 bulan. Awalnya, ia juga melakukan oyog karena disarankan oleh saudara sepupunya yang juga tengah hamil. Meski kemudian ia melakukan oyog karena memang merasakan manfaatnya. “Nanya kakak ponakan. Kan habis periksa [...]. Jare ngomong, dioyog bae gen, wis uleh enem bae kat, uleh sira ana kuwine ya rutin, unggal bulan, setiap bulan. Soale aku rutin, unggal bulan pas uleh enem kuwi. “ “Nanya kakak ponakan. Kan habis periksa [...]Katanya, dioyog saja. Kan sudah enam bulan. Kalau sudah enam bulan katanya lebih baik rutin dioyog, setiap bulan. Jadi rutin, setiap bulan sejak enam bulan. “ Imah juga disarankan ibunya ketika ia merasa tak nyaman pada kehamilannya. Awalnya, ia tak terlalu yakin meski kemudian memutuskan menuruti saran ibunya. Setelah melakukan oyog, ia memang merasakan manfaatnya. “Saya kan ngeluh (pada ibunya) nggak enak perutnya terus, ‘sana dioyog’, emang enak kata saya? Ya coba sana, sama yang sudah pengalaman, memang ya hasilnya enak, nyaman perut itu nggak ke bawah bayi itu.” 239 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 4.3.5. Jenis-jenis Oyog 4.3.5.1. Oyog Berdasarkan Fungsinya a. Oyog Karena Ada Keluhan “Kalau bayi nggak enak, dioyog dibetulin, jadi rasanya enak. Jadi misalnya nggak enak kan enak, gitu.” (Piah, Ibu Hamil) Beberapa informan yang diwawancarai, mengatakan bahwa mereka akan melakukan oyog ketika merasa ada keluhan dengan kehamilannya. Oyog bisa dilakukan berkali-kali, tergantung seringnya keluhan yang dirasakan ibu hamil. Keluhan yang dirasakan biasanya adalah perasaan mbateg, tegang, cengkrang-cengkring, nyelap, atau nyengkal pada bagian perut bawah. Semakin banyak keluhan yang dirasakan, semakin sering oyog dilakukan, baik itu pada usia kehamilan muda (3-6 bulan) maupun kehamilan tua (7-9 bulan). Nir, misalnya. Ketika kehamilannya memasuki usia 3 bulan, ia merasakan ada yang tak nyaman dengan kandungannya. Meski sudah memeriksakan diri ke bidan, keluhan Nir tidak berkurang. Ia pun disarankan untuk melakukan oyog pada seorang dukun bayi yang masih terhitung kerabatnya. Hingga kehamilannya memasuki usia sembilan bulan, Nir sudah melakukan oyog sebanyak lima kali. Dua kali ketika hamil muda dan tiga kali ketika hamil tua. Meski begitu, ketika kehamilannya sudah memasuki usia sembilan bulan dan Nir tak merasakan keluhan lagi, ia tak lagi melakukan oyog. “Pokoknya kalau merasa Dedek ngganjel, kurang gimana, kurangnyaman [...] kalau ada merasa nggak nyaman Dedek-nya baru dioyog. Kalau nyaman ya nggak, takutnya ngeganggu ke Dedek.” 240 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Idah, kehamilannya memasuki usia sembilan bulan. Ia baru saja kembali dari Jakarta. Menempuh perjalanan yang cukup jauh membuat kandungannya terasa tak nyaman. Ia pun kemudian memutuskan untuk melakukan oyog. Dua minggu kemudian, Idah kembali merasakan keluhan dan ia pun kembali memanggil dukun bayi untuk melakukan oyog. Imah, baru saja melahirkan anak keduanya. Ia melakukan oyog pada kehamilan anak pertamanya tapi tidak pada kehamilan anak keduanya. Karena ketika hamil anak pertama ia merasakan keluhan mbateg, sedangkan pada kehamilan terakhir dia tak merasakan apa-apa. “Waktu itu mungkin karena saya tiap hari terlalu aktif ngajar ya kayak sedikit ke bawah gitu sebelum waktunya, dapat berapa kalau nggak salah 7 bulan. Terus saya datang ke dukun bayi, terus dielus2, dioyog. Memang enak, nyaman. Yang kedua Alhamdulillah nggak ada keluhan [...]Kalau memang ada keluhan memang pengin dioyog. Tapi nggak ada keluhan.” (Imah, Pasien Oyog) b. Oyog untuk ‘menyiapkan jalan’ Bayi Oyog jenis ini biasanya dilakukan ketika kehamilan sudah dianggap tua, yakni setidaknya memasuki usia tujuh bulan. Pada usia ini, bayi sudah dianggap siap dilahirkan. Sehingga jika sewaktu-waktu bayi lahir, sudah ‘disiapkan jalannya’. Oyog dilakukan karena menurut kepercayaan masyarakat dimaksudkan untuk ‘menyiapkan jalan’ kepada si jabang bayi, sehingga bayi akan mudah dalam ‘nggolet dalan’ atau mencari jalan. Meski begitu, oyog seperti ini tidak dimaksudkan untuk merangsang kelahiran. Meski pada kehamilan bulan ke-9, biasanya seseorang melakukan oyog dengan harapan proses melahirkan bisa lancar dan cepat. Mini, sedang hamil tujuh bulan. Sebagaimana umumnya tradisi yang ada di desa, ia usai mengadakan acara tujuh bulanan 241 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 meski sifatnya sederhana saja, yakni lolosan. Dan sesuai tradisi pula, ketika memasuki kehamilan tujuh bulan, ia disarankan oleh ibunya untuk melakukan oyog. Maka, ia pun memanggil salah seorang dukun bayi yang dipercaya keluarganya untuk melakukan oyog. Mini juga masih mengikuti saran ibunya, bahwa oyog pada masa kehamilan tujuh bulan sebaiknya dilakukan pada tanggal yang memiliki angka tujuh, seperti tanggal 7, 17, atau 27. Mini percaya, bahwa oyog penting untuk bayinya, walaupun ia juga berpikir bahwa jika tidak melakukan oyog juga tidak apaapa. “Penting (oyog). Untuk pembaikan. Jabang bayinya pembaikan, ya nggak dioyog ya nggak apa-apa. Tapi lebih baik dioyog. “ Rat, sedang hamil anak ke-4. Ia sudah tidak melakukan ritual tujuh bulanan. Saat ini, kehamilannya baru memasuki usia tiga bulan. Meski begitu, Rat berencana akan melakukan oyog ketika usia kehamilannya sudah tua nanti. Karena ia percaya, bahwa oyog pada usia kehamilan seperti itu, akan mempercepat proses kelahiran bayinya kelak. “Iya ari hamil tua , sanga, dioyog wetenge kaya kiye. Sama dukun [...] Maksude ari pan lahiran. [...] Lihat posisi bayinya priben, ari ndang cepet. Doyog-oyog.” (Rat, Ibu Hamil) (iya, kalau hamil tua dioyog,sembilan, dioyog perutnya seperti ini. Oleh dukun [...] maksudnya agar nanti waktu hendak lahiran [...] bisa melihat posisi bayinya seperti apa, bisa cepat. Dioyog-oyog.) Hal yang sama juga diungkapkan Rini, ibu dengan empat orang anak yang selalu melakukan oyog selama masa kehamilan anak-anaknya. 242 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat “Bayi terbalik kepalanya, masih di atas. Dipijat sama dukun bayi usia 7 bulan, karena anak mau ke bawah, bayi terbalik [...] Biar bayinya lempeng, bayinya lurus. Biar kalau lairan anaknya lurus, nggak belok-belok. Lurus, cepet. Makanya kita lairin ini nggak lama-lama, cepet. Dioyog-oyog biar anaknya lempeng, perutnya enak.” Bahwa oyog akan mempermudah proses persalinan, juga diyakini oleh para dukun bayi. Bi Irah mengatakan bahwa jika seorang ibu hamil sering melakukan oyog, proses persalinan akan lebih lancar. ”Kalau lahiran katanya cepet kalau dioyog. Kalau orang hamil kan katanya kayak labu siam , ada remetremetnya. Kalau sering dioyog kan katanya cepet luntur itunya, jadi persalinannya cepet. Kalau nggak dioyog bayi mau lahir itu seperti digandulin itunya jadi kan lama prosesnya. Jadi lendir-lendir itu pada turun kalau dioyog. Jadinya cepet persalinannya.” Iroh, sedang hamil tua. Ia sebenarnya cukup takut untuk dioyog, karena khawatir terjadi apa-apa dengan janinnya, namun karena disarankan orang tua untuk melakukan oyog pada kehamilannya yang tujuh bulan, akhirnya ia melakukan oyog. Meski kemudian, ia berpikir bahwa setelah itu oyog sama sekali tak boleh dilakukan karena khawatir justru akan mengganggu posisi bayinya. Sam juga disarankan oleh ibunya untuk melakukan oyog ketika umur kehamilannya memasuki 9 bulan, usia ketika sudah saatnya bayinya lahir dan karenanya oyog dimaksudkan untuk mempersiapkan jalan bayi. “Dioyog katanya ntar saja, pas umur sembilan bulan biar bayinya muter atau gimana [...]Katanya ya udah nanti kalo sudah sembilan bulan, kalau sembilan bulan kan posisinya sudah menentukan.” 243 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 c. Oyog untuk mempercepat proses kelahiran Oyog dengan tujuan untuk merangsang kelahiran dilakukan ketika memang sudah terjadi kontraksi atau pembukaan. Jika seorang ibu yang hendak melahirkan sudah mengalami sakit perut, dukun bayi akan membantu melakukan pijatan dengan harapan proses melahirkan bisa lebih cepat. Tetangga Bi Irah, Yan, sedang hamil tua. Menurut perkiraan, memang sudah waktunya ia melahirkan. Karena belum juga melahirkan, ia kemudian meminta Bi Irah untuk melakukan oyog. Selang beberapa waktu, Yan sudah merasakan adanya tanda-tanda hendak melahirkan. Ia kembali hendak memanggil Bi Irah untuk melakukan oyog, tapi sebelum oyog dilakukan, ia sudah melahirkan. “Itu kemarin kan kepalanya di atas masa sudah mau lahir? E, pas malam dioyogin lagi, diputerin di bawah, eh, langsung brojol. “ Bi Ipah juga mengalami hal yang hampir sama. Ada kasus dimana sehabis dilakukan oyog kemudian tak lama kemudian bayi lahir. “Rasanya sudah nggak enak, terus dioyog. Itu wis turun, wis pasan.” Mak Ras, juga seorang dukun bayi, sering melakukan oyog ketika usia janin sudah sembilan bulan dan sudah waktunya melahirkan. Menurutnya, dengan di-oyog, kepala bayi akan turun ke bawah, dan karenanya, akan mudah melahirkan. “Dioyog-oyog agar kepalanya di bawah. Diurut. Kalau sakit dioyog. Tiga menit. Nanti cepat mules, terus manggil bidan.” Bu Rop, saat ini sudah sekitar 50 tahun. Di masa lalu, melahirkan dengan bantuan bidan belum lah lazim, dan proses 244 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat melahirkan sepenuhnya dibantu oleh dukun bayi. Ia menceritakan pengalamannya ketika hendak melahirkan, bahwa menjelang persalinan, ia dioyog oleh dukun bayi dan proses melahirkan pun cepat. “Itu kalau mau lahiran itu, sama dukun misalnya perut sakit, di pegang sama dukun itu, adem, gitu. Digini-gini ini, jadi kalau si jabang mau lahir diam aja diginiin “ayo, ayo bangun, cepet bangun, gitu.” Terus ntar nguat lagi. Kalau diam aja terus digoyang-goyang terus. Jabang mau lahir, kerasa jam sembilan, manggil dukun, kesini, diuyag-uyug begini saja terus keluar.“ 4.3.5.2. Oyog Berdasarkan Waktunya a. Oyog Kehamilan Muda (3-6 bulan) Seseorang melakukan oyog di usia kehamilan muda, biasanya karena ada yang dikeluhkan. Bagi banyak warga desa yang bekerja sebagai petani, hari-hari diisi dengan bekerja di sawah. Meski dalam kondisi hamil, biasanya mereka akan tetap bekerja. Keluhan seperti mbateg , seolah-olah rahim turun ke bawah, nyengkal, seperti ada sesuatu yang menekan atau mengganjal bagian perut bawah, menjadi keluhan yang umum di kalangan ibu-ibu hamil di Desa Dukuh Widara. Jika sudah begitu, biasanya mereka akan memanggil dukun bayi untuk melakukan oyog. Pada kehamilan muda, oyog dimaksudkan untuk ‘mengembalikan ke tempatnya’ karena janin dianggap bergeser dari tempatnya sebagai akibat dari sang ibu yang melakukan banyak aktivitas fisik. Selain itu, gerakan oyog ketika kehamilan muda dan kehamilan tua, menurut dukun bayi, berbeda. Salah satu gerakan oyog pada kehamilan muda adalah sengkak. 245 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 “Cuma benerin kalau hamil muda. Kalau hamil tua nggoblak, ininya sudah turun. Yang empat bulan jangan sampai turun, dinaikkan, disengkak. Nggak ditempatnya jadi ditempatnya. Kalau empat bulan kan dekat puser. Kalau masih tiga bulan di bawah. Kalau sudah tujuh bulan bukan diturunin, disamping-samping, disengkak kayak gini nggak mau. Turun sih, kepalanya. “ Bi Ipah, Dukun Bayi “Oyog pasien ada yang 3 bulan, jika merasa pegel, terlalu ngepet neng ngisor. Disengkak, ora rosa-rosa. Oleh waras, ora lara. Nguyuh rada reda. Sing biasane peng lima dadi ping telu. Biasane oleh lima apa oleh papat.”Mak Yah, Dukun Bayi “Kalau ada yang tegang, dibetulin. Kalau sebelum kepala turun, arane masih berani diangkat, ada yang tegang. Kalau jalan ada ininya sakit, diraba saja. Tegang ya dibetulin, diangkat. [...]Yang baru hamil, kalau kecapean kalau ininya sakit, ya berani kalau masih muda ada yang tegang diangkat, biar nggak mbateg,”Mak Isah, Dukun Bayi Bi Irah, dukun bayi, mengatakan bahwa pada kehamilan muda, sebaiknya oyog jangan sering dilakukan, kecuali memang benar-benar ada keluhan. “Kalau misalnya sudah gede, sudah dapat tujuh ke sananya nggak apa-apa. kalau masih dua tiga empat, nggak boleh sama sayanya. Takut saya ada apa-apa. Soalnya kan masih muda, ininya kan masih rawan, rawan putus. Udah kalau sudah tua. Kecuali habis jatuh orangnya. Kalau habis jatuh kan takut turun, ke sini. Kalau nggak jatuh ma nggak mau saya. Kalau tujuh ke atas sering nggak apa-apa, melancarkan kelahiran [...] Kalau tujuh dari sini (kanan kiri), ya kebanyakan sini 246 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat kalau masih tiga dari sini, (bawah) di ke atasin. Pelan. Takutnya kan nggejrut ke bawah kalau masih kecil.” Dukun bayi, melalui rabaan tangannya, mengaku mampu merasakan jika memang ada sesuatu yang tak beres pada perut ibu hamil. Ketika seseorang meminta oyog karena adanya keluhan misalnya, dukun bayi bisa meraba bagian-bagian perut yang terasa tegang. “Kan diraba dulu, mana yang tegang. Taunya dioyog kalau yang nggak apa-apa itu nurut, ada yang tegang diini sedikit. Kalau ada yang tegang rasanya sakit yang bunting. Keras, agak keras bawah itu.”Mak Isah, Dukun Bayi. b. Oyog Kehamilan Tua (7-9 bulan) Ini adalah oyog yang paling banyak dilakukan. Sebagian masyarakat ada yang merasa khawatir, jika oyog dilakukan pada usia kehamilan muda justru akan membahayakan janin karena janin masih dianggap rawan. Oyog pada kehamilan tua, dilakukan ketika usia kehamilan memasuki usia 7 hingga 9 bulan. Pada kehamilan ini, keluhan mbateg lebih sering dialami oleh ibu hamil. Para ibu juga berharap bahwa kondisi bayi sudah seharusnya pada tempatnya. Pada kehamilan ini, biasanya tidak lagi dilakukan gerakan sengkak karena posisi bayi sudah dianggap turun sehingga yang bisa dilakukan hanyalah ‘memberi sedikit ruang’ pada perut ibu hamil agar tidak terasa menekan (mbateg). Meski ada juga dukun bayi yang masih melakukan sengkak, tergantung dari keluhan dan kondisi si pasien. Tapi konon sengkak yang dilakukan lebih lembut dan ‘tidak pakai tenaga.’ “Kalau sudah sembilan jalan, kepala sudah turun, Mbok nggak berani diangkat. jadi diraba-raba saja, dielus-elus. Nggak bisa diangkat-angkat, dirubah-rubah, kasian Dedek-nya.”(Mak Isah, Dukun Bayi) 247 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Pada kehamilan tua, gerakan oyog untuk mengurangi keluhan berbeda dari oyog ketika hendak melahirkan. Oyog untuk mengurangi keluhan atau membenarkan posisi janin. Sedangkan pada kasus ibu yang hendak melahirkan, beberapa dukun bayi melibatkan gerakan ‘jagurin pantat’ yakni memijat dari belakang sementara sang ibu dalam posisi membungkuk. “Ada gerakan memijat pantat, ge dalan e’ek ne (jalan buang air besar) kalau mau lahiran. Membungkuk, kepalanya masuknya cepat. Dioyog-oyog perut samping kanan kiri, golek dalan. ‘jabang bature lagi golet dalan, jabang aja ledalede’ tinggal mencari jalannya saja.” (Mak Inah, Dukun Bayi) Menurut Mak Iyah, oyog ketika hendak melahirkan sangat disarankan. Selain bisa mempermudah proses persalinan, pijatan oyog juga bisa memberi rasa nyaman pada ibu yang kesakitan hendak melahirkan. “Pas mau lairan sakit, dioyog-oyog itu enaknya. Caranya pelanpelan. Orang lairan mules-mules, nunggingnungging, dielus-elus (pinggir perut). Gerakannya cepet. Nonggeng-nonggeng, nggleleng, miring, gerak bayi cepat,pembukaan cepat. Ponakan pas mau lairin dioyog beberapa kali sehari, dua kali sehari. [...]Mau melahirkan jadi cepet. Pirang menit sepisan mulai, mules dioyog, mules dioyog, jangan seru-seru, pelan-pelan. Kalo pembukaan wis lengkap kan ngeden. Pas sakit disumbang dimek-mek kan enak. “ Oyog yang dilakukan pada masa kehamilan ini, biasanya dikaitkan dengan tradisi perawatan kehamilan yaitu nujuh bulanan. Salah seorang ibu hamil yang kami temui dan melaksanakan tradisi ini adalah Ibu Umi. Pertemuan kami dengan Ibu Umi berawal dari data Ibu hamil Desa Dukuh Widara yang dimiliki oleh ibu bidan desa. Data yang kami terima cukup 248 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat lengkap mencatat data-data tentang ibu hamil yang melakukan pemeriksaan di Puskesmas pembantu di Desa. Data tersebut berisi tentang nama Ibu hamil, nama suami, umur ibu dan suami, dan umur kehamilan, serta nama Posyandu. Tidak tercatat alamat lengkap keberadaan ibu hamil tersebut, namun dengan mengetahui nama Posyandu dapat dicari ke kader aktif di Posyandu tersebut. Begitu pula cara kami mencari alamat Ibu Umi. Ibu Umi tercatat berada di Posyandu Mawar, selanjutnya alamat lengkap dan keberadaan rumah Ibu Umi kami tanyakan kepada kader yang sangat aktif di Posyandu tersebut, yaitu Ibu Opah. Pada saat kami silaturahmi, Ibu Opah nampak sangat memahami alamat lengkap dan bahkan posisi rumah Ibu Umi berada di belakang Ibu Opah. Ibu umi dan keluarganya adalah keluarga yang sangat ramah. Pertemuan pertama, ibu Umi banyak bercerita tentang kehamilannya termasuk perkembangan bayinya, pantanganpantangan selama kehamilan dan persiapan persalinan. Ibu Umi, hamil 7 bulan, mendapatkan bantuan dalam perawatan kehamilan oleh orang tuanya , termasuk persiapan persalinan, walaupun masih hamil 7 bulan, namun di rumah telah tersedia berbagai rempah-remaph yang akan dibuat jamu dan lulur/bedak badan yang akan digunakan setelah persalinan nanti. Pantanganpantangan yang diyakini oleh Ibu umi, telah didiskripsikan dalam bahasan bab sebelumnya, tentang pantangan dalam kehamilan. Kedatangan pada waktu itu, ternyata bertepatan dengan acara “lolosan”. Tradisi yang dianut oleh masyarakat Dukuh widara sebagai tradisi yang bisa dipakai untuk memperingati 7 bulan kehamilan. Menurut Ibu Umi, tradisi ini sudah mulai banyak dilakukan oleh ibu hamil, dan menggantikan tradisi “nujuh bulanan”. Biasanya tradisi yang sekarang sudah mulai akrab dengan masyarakat adalah perpaduan agama dan budaya, 249 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 contoh ngupati, tradisi 4 bulanan, dengan mengaji dan membuat ketupat. “Lolosan” adalah makanan yang terbuat dari tepung tapioca dan dicampur gula merah. Menurut Ibu Umi, ia memiliki harapan persalinannya nanti lancar, seperti lemesnya bubur lolos tersebut. Selain tradisi lolosan, Ibu Umi juga akan memanggil dukun bayi untuk doyog. Jadi Oyog merupakan tradisi yang menyertai acara 7 bulanan. Pertemuan tersebut cukup cair dan Ibu umi juga akan menginformasikan apabila akan dioyog. Siang itu, tanggal 30 Mei 2014, Ibu Umi menginformikan bahwa besok, pada hari jum’at, setelah sholat Jum’at Ibu Umi akan memanggil Bi Iyah, dukun bayi yang berada di dekat rumahnya. Pada siang keesokan harinya, sesuai kesepakatan Ibu Umi akan memanggil bi Iyah dan meminta dioyog. Oyog yang dilakukan Bi Iyah, sebagai acara tradisi 7 bulanan, tidak berbeda dengan pelaksanaan oyog yang dilakukan pada oyog untuk mengurangi keluhan dalam kehamilan. Pada saat selesai dioyog, Ibu Umi menceritakan perasaannya yang tambah lega dan perutnya yang tambah enak. Pelaksanaan Oyog dalam memenuhi tradisi juga dilakukan oleh ibu nani, Namun berbeda dengan ibu Umi, yang melaksanakan tradisi oyog bersamaan denga lolosan, Ibu Nani melaksankan oyog bersamaan dengan tradisi “nujuh bulanan”. Ibu Nani masih menyakini, perlunya nujuh bulanan agar posisi bayi lurus atau benar. Oyog yang dilakukan bersamaan dengan tradisi tersebut, juga dmaksudkan untuk memperlancar persalinan. Ibu Roh, adalah salah satu ibu hamil yang mempercayai hal ini. Ibu Roh, hamil anak pertama, usia kehamilan telah 9 bulan. “Wa’alaikum salam, silahkan masuk mb.” Sapa ibu Roh pada saat kami memberi salam dan 250 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat memunculkan wajah di pintu rumahnya yang terbuka. Dengan ramah Ibu Roh mempersilakan kami masuk dan duduk di kursi tamu rumahnya. Tampak rapi bersusun dimeja, buku pemeriksaan kehamilan dan sebuah buku kursus bahasa korea. Setelah memperkenalkan diri dan tujuan kami, Ibu Roh mulai bercerita tentang kehamilannya, sambil menunjukkan buku KMS dari kementerian kesehatan ditjen Ibu dan Anak, yang selalu dibawanya setiap kali melakukan pemeriksaan. Dalam buku tersebut terlihat Ibu Roh sangat rutin memeriksakan kehamilannya ke berbagai fasilitas kesehatan seperti Puskesmas pembantu, bidan praktek mandiri dan bahkan ke dokter spesialis kandungan. Pemeriksaan ke Puskesmas pembantu dilakukan oleh Ibu Roh, secara rutin setiap bulan sedangkan di bidan praktek mandiri dan dokter spesialis hanya sesekali saja. Selain itu Ibu Roh juga mengatakan bahwa ia juga akan memanggil Mbok saeni, dukun bayi yang berada di sekitar rumahnya untuk minta dioyog. “Ini Mbak, saya punya keluhan pipisnya sakit, ga bisa banyak, jadi sakit dibawah sini (sambil menunukkan perut bagian bawah). Saya sudah ke Bidan, katanya kemudian, tapi katanya ini normal, ga apa-apa, wong namanya kepala sudah turun, tapi ya gitu, penginnya ga ada.” Berikutnya Ibu Roh juga mengatakan bahwa ia sangat percaya kepada bidan tempatnya periksa, karena selain dekat, bidan tersebut juga kerabat jauhnya Ibu roh. Tetapi Ibu Roh juga ingin mencoba yang lain. “Saya sama-sama percaaya dua-duanya, mau itu bidan apa dukun bayi. Kalau bidankan punya ilmu, tapi kalau dukun bayi punya pengalaman, walaupun ga sekolah, saya pengin pakai dua-duanya.” 251 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Berikutnya Ibu Roh juga bercerita tentang informasi tentang oyog dan manfaatnya didapatkannya dari Ibunya. Jadi kalau dioyog pada kehamilan tua, 9 bulanan, akan memperlancar persalinan. Jadi selain mengurangi keluhan tadi, oyog juga akan memperlancar persalinan. Pada akhir pertemuan itu pun, Ibu Roh menyepakati untuk memberikan informasi jika ia akan dioyog. Tanggal 8 Juni, merupakan tanggal yang disepakati oleh Ibu Roh untuk dilakukan oyog. Pagi itu Ibu Roh telah bersiap untuk bertemu dengan dukun bayi untuk dilakukan oyog. Ini adalah oyog pertama yang dlakukan oleh Ibu Roh. Pada saat bertemu dengan Mbok saeni, telah nampak kedekatan yang terjalin antara keduanya. Mbok Saeni sempat menenangkan Ibu Roh yang nampak sedikit grogi, karena baru pertama dioyog. Langkah demi langkah dilaksanakan oleh Mbok saeni dengan tenang. Salah satu ibu hamil yang juga melaksanakan oyog pada kehamilan 9 bulan adalah Ibu Marni. Menurut Ibu Marni, ia telah dua kali dioyog. Namun Ibu Marni menyebutnya dengan istilah gedog. Namun pada saat diklarifikasi gerakan yang dimaksud oleh Ibu Marni sama dengan gerakan oyog. Pada penyebutan selanjutnya istilah yang digunakan untuk menyebut istilah ini adalah oyog. Ibu Marni telah 2 kali melakukan oyog. Oyog yang pertama ia lakukan di Desa dukuh Widara, dan ia tidak mengenal dukun tersebut. Ia dipanggilkan oleh kakak iparnya untuk dilakukan oyog agar hamilnya menjadi lancar. Nampaknya kakak ipar Ibu Marni memanggil Mbok Kas, salah satu dukun di desa Dukuh Widara yang berada satu blok dengan keluarga tersebut. Oyog yang kedua dilakukan oleh Ibu marni, kemarin. Satu hari sebelum kedatangan kita. Pelaksanaan oyog tersebut dilakukan di desa tempat kelahiran Ibu Marni. Oyog yang sekarang 252 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat dimaksudkan untuk membetulkan posisi janin. Biar tidak membalik katanya kemudian. Sebelum pelaksanaan oyog maka kedua dukun yang pernah bertemu dengannya, akan memberikan handbody atau minyak agar perut menjadi licin sehingga dalam mengurut akan mudah/lemes dan tidak kaku. Ibu Marni mengatakan bahwa gerakan yang dilakukan dukun bayi yang pertama adalah menengahkan perut, menggerak-gerakkan perut ke bagian tengah dan biasanya pada bagian bawah ditekantekan sedikit. Pada keseluruhan oyog memerlukan waktu ± 15 menit. Perasaan nyaman dirasakan ibu Marni setelah pelaksanaan oyog, namun berbeda halnya dengan pelaksanaan oyog yang kedua ini. Keluhan terasa perih di ulu hati, tidak juga berkurang walaupun oyog telah selesai dilakukan. Dukun paraji yang melakukan oyog mengatakan bahwa keluhan itu tidak akan hilang karena ibu Marni akan melahirkan. Mendengar informasi tersebut, Ibu Marni agak kaget, karena dalam hitunganya ia baru memasuki usia kehamilan 8 bulan dan belum saatnya melahirkan. Tradisi oyog juga menjadi pilihan dalam perawatan kehamilan oleh Mba Esi (20 tahun), kehamilan pertama dan hamil 8 bulan. Mbak Esi, melakukan pemeriksaan secara rutin ke bidan. Pemeriksaan dilakukan setiap bulan. Namun demikian Mba Esi juga mempercayai dukun bayi dalam berbagai tradisi antara lain Oyog. Mba Esi telah melakukan oyog 2 kali. Oyog dilakukan olehnya mulai umur kehamilan 7 bulan, biasanya pelaksanaanya tidak jauh dari saat pemeriksaan kehamilannya ke tenaga kesehatan. Jadi jika pada hari ini, Mba esi melakukan kontrol ke bidan maka pada sore hari atau paling telat besok harinya, Mba Esi akan datang ke dukun bayi kepercayaannya untuk meminta oyog. Keberadaan Mba Esi, diketahui berdasarkan informasi dari Mba Nur. Mba Nur adalah salah satu informan dalam 253 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 penelitian dalam kehamilan, persalinan dan nifas. Mba Nur mengenal Mba Esi karena sesama ibu hamil. nampaknya Mba Esi bukan penduduk asli blok tersebut. Cukup sulit pada awalnya menemukan alamat Mba Esi, dikarenakan keberadaannya belum diketahui oleh para tetangganya. Sayangnya, nama suami Mba Esi yang merupakan penduduk asli desa tersebut juga tidak banyak dikenal oleh tetangganya. Sampai di salah satu gang yang disebut sebagai rumah Mba Esi, dicoba ditanyakan tentang keberadaan rumahnya. Awalnya pemilik rumah mengatakan tidak mengetahui alamat dan nama yang dimaksud. Namun tak berapa lama, datanglah salah seorang penghuni rumah yang menjelaskan tentang keberadaan nama yang dimaksud. Ternyata rumah mertua Mba Esi hanya berjarak ± 50 meter dan bersebelahan dengan rumah yang tadi. Kedatangan penulis disambut oleh seorang perempuan paroh baya yang nampak begitu ramah dan langsung mempersilahkan masuk. Kami dipersilahkan masuk keruang tengah. Ruang depan nampaknya tidak digunakan untuk menerima tamu. Ruang tersebut berisi satu buah tempat tidur. Nampak tubuh cukup renta sedang berbaring disana.Menurut keterangan Ibu mertua Mba Esi, nenek tersebut adalah nenek mertua mba Esi yang mengalami struk, sehingga tidak dapat turun dari temapt tidur. Seluruh aktivitas dilakukan di atas tempat tidur termasuk makan, minum, BAK dan BAB. Kondisi tersebutlah yang menyebabkan ruang depan tidak digunakan untuk menerima tamu. Ruangan tengah sepertinya adalah ruangan keluarga. Ada sebuah televisi yang diletakkan di dalam bufet dan sebuah kasur yang berukuran sekitar 70 x 200 cm yang terletak diatas tikar. Mba esi sedang duduk santai bersandar diatas kasur yang digulung sambil menonton televisi. Sekilas, nampak Mba Esi sangat dekat dengan ibu mertuanya dan disayang dalam bentuk 254 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat tidak banyak dilibatkan dalam berbagai urusan /kegiatan rumah. Mba Esi hanya boleh bekerja sedikit saja, asal jangan yang beratberat, ungkap ibu mertuanya. Setelah memperkenalkan diri dan menjelaskan tentang maksud dan tujuan kunjungan kami, Mba Esi memulai bercerita tentang kehamilannya. Mba esi bercerita tentang keluhan selama kehamilan, pantangan-pantangan dan berbagai tradisi selaam kehamilannya. Pada saat obrolan tentang oyog, Mba Esi bercerita bahwa bulan ini belum dioyog. Berbeda dengan bulan lalu, oyog dilakukan Mba Esi bersamaan dengan pemeriksaan kehamilannya. “Apakah Mba Esi, ingin dioyog?, iya mbak, saya biasa doyog, tapi bulan yang sekarang belum. Kalau sekarang apakah mau dioyog. Boleh Mba..saya pengin doyognya sama bi Iyah saja” Bi Iyah adalah salah seorang dukun bayi di Desa Dukuh Widara, yang berada di blok yang sama dengan Mba Esi. Setelah kesepakatan tersebut observasi oyog dilakukan. Pada observasi oyog yang dilakukan oleh Bi Iyah, nampak memiliki kesamaan dengan oyog yang dilakukan oleh dukun lain di desa tersebut. Oyog tersebut dmulai dengan pembacaan doa oleh dukun bayi. Persiapannya pun tidak jauh berbeda.Oyog diawali dengan penggunaan pelicin, yang pada waktu itu Bi Iyah menggunakan minyak goreng yang belum digunakan. Minyak goreng tersebut ditempatkan dalam wadah/piring kecil/pisin. Minyak itu dioleskan diseluruh telapak tangan Bi Iyah dan akan dibalurkan keseluruh permukaan perut Mba Esi. Minyak yang dibalurkan tersebut membuat lentur permukaan perut sehingga memudahkan untuk dipijat. Beberapa kali nampaknya Bi Iyah membalurkan minyak tersebut secaar merata ke perut Mba Esi. 255 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 “Gimana rasanya?enak aja rasanya, sama seperti orang yang lagi dipijetllah mba, rasanya enak. Belum lagi nanti pas selesai Mba, lebih enak lagi. Trus yang paling terasa ya kalau sudah selesai, buat jalan rasanya enteng banget.” Dalam petikan wawancara tersebut, Mb Esi bercerita tentang manfaat yang dia rasakan setelah dioyog, khususnya manfaat yang dirasakan secara fisik. Menurut cerita Mba Esi, oyog akan memberikan perasaan enak dan ringan. Pijatan lembut yang berulang-ulang dilakukan oleh Bi Iyah membuat perutnya yang semula kaku, menjadi lemas. Bahkan sampai seperti tidak hamil, saking lemasnya. Kondisi tersebut yang membuat Mba Esi ketagihan dioyog. Pada saat dilakukan wawancara mendalam tentang perasaan Mba esi setelah dioyog, Mba Esi mengatakan bahwa perasaan nyaman yang dia rasakan setelah dioyog berasal dari kenyamanan karena pijatan dan juga kenyamanan karena komunikasi yang terjalin antara Ibu hamil dan dukun bayi. Komunikasi tersebut disebutkan oleh Mba Esi sangat menentramkan. Dengan komunikasi tersebut Mba esi bisa bercerita banyak dengan dukun bayi tentang berbagai keluhan yang dirasakan. Selain itu pijatan yang dilakukan oleh dukun bayi di atas perutnya adalah pijatan lembut. Irama pijatan yang dilakukan oleh dukun bayi tersebut sesuai dengan irama komunikasi yang terjalin antara keduanya. Cerita berbeda didapatkan dari Mba Juju. Mba Juju adalah seorang karyawati di sebuah pabrik di Jakarta. Pengalaman kerja yang cukup lama dan kepiawaiannya dalam pekerjaan mengantarkan karir Mba Juju ke puncak. Nampaknya hal tersebut cukup dominan, karena toh hanya dengan pendidikan sampai taraf SMP ia tetap masih bisa eksis dibidang tersebut. Mba Juju menduduki posisi sebagai pengawas di pabrik tersebut. 256 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Mba Juju belum lama tinggal di Desa Dukuh Widara. Sebenarnya ia adalah penduduk asli di desa tersebut. Namun sudah lama ia merantau di kota metropolitan. Kehamilannya yang sekarang, adalah kehamilan pertama, mba Juju belum pernah keguguran. Tidak ada riwayat penyakit yang dipengaruhi dan mempengaruhi kehamilannya baik dari dianya sendiri maupun dari keluarganya. Pengalaman kehidupan kota, tentunya sangat berdampak pada cara berfikir dan bersikapnya terhadap setiap hal yang terkait dengan kehidupannya. Termasuk dalam perawatan kehamilannya. Selama tinggal di Jakarta, Mba Juju melakukan pemeriksaan kesehatan ke tenaga kesehatan, baik ke bidan praktek mandiri bahkan telah beberapa kali Mba juju melakukan pemeriksaan ke dokter spesialis kandungan. Selama mengandung ini, Mba Juju selalu menuruti nasehat bidan dan dokter yang dkunjunginya. Tidak ada masalah serius yang dihadapi Mba Juju selama kehamilannya. Semuanya berjalan lancar bahkan mungkin bisa disebut sangat lancar. Betapa tidak, seperti keumuman ibu hamil yang mengalami mual dan bahkan muntah saat hamil muda, Mba Juju sama sekali tidak merasakan. Apalagi muntah, mual-mualpun yang merupakan gejala atau keluhan yang normal dirasakan oleh ibu hamil, tidak pernah ia rasakan. Dia sendiri heran dengan kehamilannya. Mba Juju juga bercerita tentang berbagai pantangan yang dia yakini dan menurut keluarga harus dijauhi. Walaupun hidup cukup lama di kota dan memiliki pemikiran yang cukup maju, namun Mb Juju sangat taat kepada pantangan-pantangan. Ia berfikir tidak ada salahnya mengikuti hal-hal tersebut, asalkan tidak membahayakan atau merugikan kehamilannya. Seperti halnya pada pantangan-pantangan selama kehamilan, Mb Juju juga cukup taat kepada tradisi dalam 257 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 perawatan kehamilannya. Salah satu tradisi dalam kehamilan yang juga dilakukan oleh Mba Juju adalah pelaksanaan oyog. Istilah oyog, baru dikenal Mba Juju sejak kepulangannya ke desa, untuk cuti melahirkan. Memang pada saat ia masih kecil, ia telah mengenal istilah oyog, pada saat kakaknya dioyog, namun karena waktu yang cukup lama, Mba Juju telah lupa dengan istilah dan tradisi tersebut. Ia disarankan oleh kakanya untuk dioyog ke dukun bayi karena telah melakukan perjalanan yang cukup lama, dari Jakarta sampai Dukuh Widara. Perjalanan yang mencapai 7 jam, membuat ketegangan di perut Mba Juju. Mba Juju memang sangat dekat dengan kakaknya. Kakak yang dimaksud adalah kakak perempuan langsung yang juga tinggal bersamanya kini. Wajar saja, karena Mba Juju sudah tidak memiliki ibu, maka ia menjadi dekat dengan kakak perempuannya. Kedekatan yang terjalin, membuat Mba Juju menjadi percaya begitu saja, saat kakak perempuannya menyarankan untuk melakukan oyog kepada dukun bayi. Oyog yang pertama diminta oleh Mba Juju, dilakukan dengan memanggil Bi Kar, salah satu dukun bayi d Desa dukuh Widara. Ketenaran Bi Kar nampaknya sudah sangat tersohor. Walaupun Mba Juju berada satu desa dengan Bi Kar, namun tempat tinggal keduanya berada di blok yang berbeda. Sebenarnya di blok yang sama, ada dukun bayi yang tempatnya juga tidak jauh dengan tempat tinggal Mba juju. Namun menurut Mba Juju dan kakaknya yang kebetulan bersama berkumpul diruangan tersebut, ia lebih mempercayai Bi Kar. “Kalau bi Kar itu tenaganya masih gede, biar orangnya sudah aga tua, tapi tenaganya masih gede. Bi Kar juga terkenal, Mba, bukan di desa saja tapi sampai luar desa, di Pasuruan sama Kalibuntu juga pada kenal Bi Kar. Memang disini banyak dukun bayi, tapi bi Kar beda, lebih enak.” 258 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Tak berselang lama dari situ, hanya kira-kira berjarak 3 minggu, Mba Juju juga meminta oyog untuk kedua kalinya kepada Bi kar. Kasusnya hampir sama. Mba Juju mengalami keluhan tegang-tegang diperut setelah melakukan perjalanan yang cukup jauh, dari Cirebon ke Magelang. Bahkan perjalanannya kali ini lebih jauh dibandingkan dengan perjalanan kepulangannya terdahulu. Namun saat mengalami keluhan tersebut, Mba Juju tidak khawatir. Bahkan tanpa disarankan oleh kakak perempuannya, Mba juju telah meminta Bi Kar untuk melakukan oyog. Biasanya Mba juju akan meminta tolong saudaranya untuk memberitahu Bi Kar ke rumahnya bahwa ia akan dioyog dan sekaligus menjemputnya ke rumah. Hal ini juga dilakukan oleh kebanyakan ibu hamil yang membutuhkan jasa Bi kar. Oyog kedua Mba Juju, juga dirasakan memiliki manfaat yang tidak jauh berbeda dengan oyog pertama yang pernah dilakukannya. Oyog, menurut Mba Juju benar-benar mengurangi berbagai keluhan yang dirasakan. Tegang-tegang di perut yang semula dirasakannya, tidak lagi dirasakan. Kenyamanan benarbenar dirasakan oleh Mba Juju setelah dioyog oleh bi Kar. Disinggung tentang komunikasi yang terjalin dengan dukun bayi, khusunya bi Kar, Mba Juju menggungkapkan bahwa komunikasi tersebut sangat alami, dia bisa bercerita banyak tentang apapun, apalagi terkait kehamilan, tetang hal lain saja, bi Kar akan sangat setia mendengarkannya. Tidak ada jarak, antar kami, ungkap Mb Juju kemudian. Pengalaman mengikuti tradisi oyog merupakan pengalaman yang sangat menyenangkan untuk Mba Juju. 4.3.6. Manfaat Oyog Tentu saja, oyog bukan hanya tradisi belaka. Kenapa oyog masih dilakukan, karena masyarakat merasa mendapatkan manfaatnya. Karena bagaimanapun, suatu kebiasaan tak akan 259 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 bertahan jika memang tidak ada manfaat yang bisa diambil darinya. Hal ini juga berlaku pada oyog. Meskipun pada umumnya pasien melakukan oyog karena anjuran dari orang tua, namun mereka juga mendapatkan manfaatnya secara nyata. Mereka mengaku mendapatkan perasaan nyaman dan lega setelah melakukan oyog. Seperti yang diungkapkan Nir yang mengaku mengalami banyak keluhan di awal kehamilannya dan karenanya beberapa kali melakukan oyog. Menurutnya, setelah melakukan oyog, ia merasa keluhannya hilang. “Enak, nyaman. IBarat ada kekurangan kemarin sakitnya ini mah enak, tidur-tidur enak, buat miring juga enak. nggak ngeganjel. Pokoknya enak aja. IBarat kata kita pegel-pegel terus diurut enak. na begitupun perut.” Selain merasakan kenyamanan fisik, Nir juga merasa nyaman secara psikologis karena percaya bahwa dukun bayi adalah orang yang sudah berpengalaman dan punya kemampuan. “Pas dioyog, selain dipegang juga didoain. Namanya paraji pasti punya pegangan sendiri2 jadi dia juga bacabaca saya lihat, ya saya percaya mungkin dia minta dari yang kuasa.” Mar, yang melakukan oyog ketika kehamilannya memasuki usia 7 bulan, juga merasakan kenyamanan setelah melakukan oyog. Perasaan mbateg yang menderanya berkurang dan ia juga lega karena dukun bayi mengatakan bahwa posisi bayinya sudah pada tempatnya. “Enak. Adem. Katanya kakinya di atas. Terus kemarin ke dukun bayi katanya ini, pantatnya di atas.” Hal yang sama dikemukakan Piah, yang merasakan bahwa tangan dukun bayi memberi perasaan ‘adem’. 260 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat “Misalnya perut sakit, panas kalau sudah dipegang dukun itu adem gitu. Kalau tangan dukun itu ya, bisa ngeliat rasanya adem. Namanya sering megang, tau ada apanya itu si tangan.” Sisi juga merasa nyaman setelah dioyog. Awalnya, ia memeriksakan diri ke bidan dan bidan mengatakan bahwa posisi bayinya malang tanpa penjelasan lebih lanjut. Sisi yang baru pertama kali hamil, mengaku panik mendengar kabar ini. Ia pun kemudian disarankan untuk melakukan oyog sambil berkonsultasi tentang kehamilannya pada sang dukun. Ketika dukun bayi mengatakan bahwa bayinya baik-baik saja, Sisi pun merasa lega. Di samping itu, ia juga merasa nyaman secara fisik. "enak sih,sing mone nyengkal neng weteng, ari wis dioyog ya adem enak, posisi bayine wis enak [...] dioyog iku lega, wetenge rasa ora meteng. Ploong, ari ora dioyog rasa mbateg. Ari ntas dioyog weteng lega, kaya langka bayine.” (enak sih, yang tadinya nyengkal di perut, setelah dioyog adem, enak. Posisi bayinya sudah enak [...] dioyog itu jadi lega, perutnya seperti tidak sedang hamil. Plong. Kalau nggak dioyog rasanya mbateg. Kalau sudah dioyog perutnya lega, seperti tidak ada bayinya) Sam mengalami keluhan seperti susah buang air kecil karena kehamilannya seperti menekan perutnya. Ia pun melakukan oyog dan merasa keluahannya berkurang. “Keluhannya karena perutnya sakit, terus pipisnya nggak lancar habis dioyog sudah mendingan, sudah nggak sakit, udah ada perubahan.” Ima, sedang hamil tujuh bulan. Beberapa hari sebelumnya, keluarganya sedang mengadakan hajatan. Ia pun ikut repot dan merasakan kelelahan dan rasa tak nyaman pada 261 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 perutnya. Awalnya, Ima khawatir untuk melakukan oyog karena bidan menyarankannya untuk tidak melakukan oyog. Terlebih, Ima pernah mengalami keguguran. Namun, akhirnya Ima memberanikan diri melakukan oyog dan ia mengaku merasakan manfaatnya. "lebih rileks, yang tadinya perutnya kayaknya kenceng banget pas dioyog jadi kerasa enak,agak kendoran sedikit gitu perutnya, jadi nggak kerasa sakit apa gimana gitu. Kadang kan keras, kayak otot kan pas kenceng gitu kan, tapi pas dipijat itu bisa kendor,” Idah juga merasakan hal yang sama. Meski ia mengaku pijatan dukun bayi agak menyakitkan, tapi merasa nyaman sesudahnya. “Sakit, tapi enak. Maksudnya yang tadinya sakit disini hilang sudah diini kan. Sakitnya karena diteken gini. Pedes. Tadinya kan mbateg [...]kalau sudah dioyog udah, hilang yang sakitnya. Sudahnya enak, enteng.” Rini yakin bahwa selain mengurangi keluhan selama kehamilan, oyog juga bisa memperlancar kelahiran. Ia sudah melahirkan empat kali, selalu melakukan oyog selama masa kehamilan dan empat anaknya lahir dengan persalinan normal. Rini yakin bahwa hal tersebut karena ia rajin melakukan oyog. 4.3.7. Pro-Kontra Oyog Oyog, memang sudah menjadi tradisi turun temurun pada masyarakat Desa Dukuh Widara. Meski begitu, tidak semua masyarakat setuju dan percaya dengan oyog. Oyog, karena menyangkut perlakuan pada kehamilan, yang merupakan masamasa riskan, masih diperdebatkan keamanannya. Terlebih lagi, oyog dilakukan oleh dukun bayi yang memperoleh ilmunya bukan dari pendidikan formal, bersifat tradisional dan belum pernah diuji keamanan dan kemanfaatannnya secara ilmiah. 262 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Fira, misalnya, ibu hamil (24 tahun) disarankan oleh ibunya untuk melakukan oyog ketika merasakan keluhan pada kehamilannya, tapi ia menolak. Fira merasa khawatir, oyog justru akan mengganggu kehamilannya. Ia lebih memilih mememeriksakan diri ke tenaga kesehatan (bidan, dokter spesialis) daripada ke dukun bayi. “Sama ortu dianjurin, tapi tidak percaya karena tidak boleh sama bidan [...] Ada keluhan apapun ke tenaga kesehatan. [...]dari bidannya sendiri kan konsul, dilarang sekali apalagi untuk masa-masa bukan enam bulan atau tujuh bulan, takutnya kan memicu keguguran [...]takutnya mungkin nanti nggak secara medis sih, salah tangan atau gimana gitu.” Meski begitu, Fira mengetahui kalau kakak-kakak atau saudaranya juga melakukan oyog ketika masa kehamilan dan menurutnya belum pernah mendengar efek negatif dari oyog. Kontra oyog umumnya datang dari para tenaga kesehatan (bidan desa), yang merasa khawatir bahwa oyog justru akan membahayakan janin. Bidan, biasanya akan menganjurkan pasien yang datang kepadanya untuk tidak melakukan oyog. Bidan Ika, misalnya, mengaku jika ada pasien yang meminta pendapatnya untuk melakukan oyog atau tidak, selalu menyarankan pasiennya untuk tidak melakukan oyog. “Kalau misalnya ada pasien dateng ke saya mengeluh sakit, apa perlu dioyog atau gimana nggak perlulah kata saya. nanti ini bukan apa-apa nanti berpengaruh efeknya jelek. [...]Sudah biarkan kalau misalnya kalau nggak nyaman atau posisi gimana ya di USG. Nggak yang harus dioyog nggak. Kalau misal ada yang habis jatuh nggak saya sarankan utk diurut atau dioyog. Kalau bisa saya sarankan nggak sama sekali pun nggak apa-apa.” 263 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Sementara itu, Bidan Ila juga tidak menyarankan ibu hamil untuk melakukan oyog demi keamanan ibu hamil. Ia khawatir bahwa oyog justru akan berdampak negatif pada kehamilan. “Kalau dioyog itu, persepsi kita takut digimana-gimanain, takut keras, karena kita sebenarnya juga nggak tahu seperti apa. Nah, kita sebenarnya tidak membolehkan. Ditakutkannya posisi plasentanya atau apa, kita kan nggak tahu, barangkali tali pusatnya pendek dioyog-oyog jadinya gimana. Intinya sih begitu saja.“ Sementara itu, sebagian besar pasien oyog, meski sudah disarankan oleh bidan untuk tidak melakukan oyog karena percaya bahwa oyog, meski belum teruji secara ilmiah, tapi sudah dibuktikan oleh waktu dan selama ini, tidak pernah mendengar efek negatifnya. Imah, misalnya. Seorang ibu yang juga seorang guru sekolah. Saat ini, Imah sedang menyelesaikan pendidikan S2-nya. Meski percaya pada tenaga kesehatan dan rutin memeriksakan kehamilan pada bidan, ia melakukan oyog ketika mengalami keluhan pada kehamilannya. Ia mengaku belum pernah mendengar hal-hal buruk yang timbul setelah seseorang melakukan oyog. Alih-alih, ia merasakan bahwa oyog memberi manfaat meredakan perasaan tak nyaman pada kehamilannya. “Kalau menurut saya karena nggak ada efek samping yang kita keluhkan, menurut saya sih boleh-boleh saja oyog. Cuma ada memang beberapa orang yang bilang nggak boleh. Tapi ya kami orang desa oyog itu memang nyaman. [...] Ya memang ngoyognya kan nggak terlalu terlalu kasar gitu. Cuma dibener-benerin.” Sisi yang rutin melakukan oyog setiap bulan sejak kehamilannya menginjak usia 6 bulan, juga mengaku sama sekali tidak takut bahwa oyog akan mengganggu kehamilannya. Ia 264 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat sudah melihat saudara dan tetangganya yang sering melakukan oyog, dan ternyata anak yang lahir baik-baik saja. “Sing lairan sing dioyogi pada sehat-sehat” Hal yang sama juga diungkapkan Irah, yang juga rutin melakukan oyog ketika merasa tak nyaman dengan kehamilannya. “Dari pertama saya inget terus sampai punya suami, sampai sekarang, belum pernah denger dioyog terus begini-begini. Belum pernah denger. Makanya jadi orang yang hamil itu senang dioyog karena nyaman.” 4.3.8. Gerakan oyog dan Leopold Pada pengamatan yang dilakukan sebenarnya gerakan oyog tidak berbeda dengan gerakan Leopold/maneuver Leopold yang dilakukan oleh tenaga kesehatan (bidan dan dokter spesialis kandungan). Sebelum membahas lebih lanjut tentang persamaan gerakan oyog dan Leopold, alangkah baiknya, diamati gambar berikut ini: Pada gambar 4.10, gerakan oyog pada gambar a, sebagai Leopold I, memiliki kemiripan gerakan dengan oyog pada gambar 1. Gerakan oyog pada gambar B, terlihat memiliki kemiripan dengan gerakan oyog pada oyog gambar 2. Demikian juga gerakan Leopold pada poin C dan D, memiliki kemiripan dengan gerakan oyog 3 dan 4. Manuver Leopold/Gerakan Leopold merupakan palpasi abdomen yang dapat dilakukan secara keseluruhan pada bulanbulan terakhir kehamilan serta selama dan antara kontraksi saat persalinan. Dengan pengalaman, manuver ini memungkinkan untuk memperkirakan ukuran klinis. Menurut Lydon-Rochelle, dkk (1993) klinisi yang berpengalaman dapat mengidentifikasi malpresentasi janin secara akurat menggunakan manuver 265 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Leopold dengan sensitifitas tinggi 80%, spesifisitas 94%, nilai prediktif 74% dan nilai prediktif negative 97%. Gambar 4.10. Persamaan manuver Leopold dengan gerakan oyog Sumber: Midwifery Apprenticeship, crassmidwife.blogspot.com, dan dokumentasi peneliti, 2014 Pemeriksaan abdomen dapat dilakukan secara sistematis dengan menggunakan empat manuver yang diperkenalkan oleh Leopold pada tahun 1894. Pemeriksaan abdomen dilakukan pada usia 25 minggu dan untuk menegaskan pertumbuhan janin sesuai dengan usia kehamilannya. Tujuan dari pemeriksaan ini adalah: 1) Mengobservasi tanda-tanda kehamilan 2) Menilai perkembangan dan pertumbuhan janin 3) Auskultasi jantung janin 4) Mengetahui bagian lokasi janin 5) Mendeteksi adanya ketidaknormalan. Pada pemeriksaan ini, Ibu berada pada posisi terlentang dengan kepala sedikit ditinggikan. Posisi ini adalah posisi yang 266 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat membuat ibu nyaman dan bagian abdomen (perut) terlihat dengan jelas. 1) Manuver pertama, untuk menentukan tinggi dari fundus. Bokongmemberikan sensasi massa besar nodular, sedangkan yang pe (melenting). Pada pemeriksaan yang pertama ini, akan diketahui tinggi fundus. Secara klinis pemeriksaan ini sangat penting untuk mendeteksi dini kondisi bayi khususnya berat badan janin. 2) Manuver kedua dilakukan setelah penentuan letak janin, dengan meletakkan telapak tangan di salah satu sisi abdomen ibu dan memberikan tekanan lembut tetapi dalam. Pada satu sisi dirasakan bagian kecil yang mudah digerakkan –ekstremitas janin. Dengan memperhatikan apakah punggung terarah ke anterior transversal atau posterior dapat ditentukan orientasi janin. 3) Manuver ketiga dilakukan dengan cara ibu jari dan jari-jari satu tangan menggenggam bagian ibu, tepat di atas simpisis pubis. Jika bagian terendah janin tidak enganged, akan terasa massa yang digerakkan, biasanya kepala. Perbedaan antara kepala dan bokong ditentukan seperti pada manuver pertama. 4) Untuk menentukan manuver keempat, pemeriksa menghadap kearah ibu dan dengan ujung tiga jari pertama masing-masing tangan, memberikan tekanan yang dalam searah aksis aperture pelvis, bagian anterior bahu mudah dibedakan melalui maneuver yang ketiga. Pemeriksaan ini mmeberikan informasi tentang seberapa besar again terendah, biasanya kepala bayi, masuk ke jalan lahir. 267 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 4.3.9. Faktor-faktor yg mungkin mendorong ibu hamil untuk dioyog Seperti diketahui, bahwa perilaku seseorang akan muncul ketika ada faktor pendorong baik yang bersifat internal maupun eksternal. Oyog merupakan salah satu perilaku yang diakukan oleh ibu hamil yang sangat mungkin dipengaruhi beberapa faktor. Pada pengamatan yang dilakukan, hanya sedikit sekali ibu hamil yang tidak melakukan oyog. Tidak dilakukan penelitian kuantitatif dalam penelitian ini, namun pada pengamatan kami, hanya sekitar 8 persen ibu hamil yang tidak dioyog. Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa Desa Dukuh Widara adalah desa yang memiliki jumlah dukun bayi terbanyak dibandingkan desa-desa lain di wilayah Puskesmas Kalibuntu. Banyaknya jumlah dukun yang ada dan tersebar hampir di semua blok, membuat kedekatan masyarakat dan ibu hamil terhadap dukun bayi sangat tinggi. Hanya satu blok saja yang tidak ditinggali oleh dukun bayi. Adanya kedekatan fisik yang juga kebanyakan didukung oleh kedekatan psikologis dan kekerabatan, sangat memungkinkan masyarakat atau ibu hamil menggunakan dukun bayi dalam berbagai fase dalam kehidupannya, baik dalam kehamilan, persalinan, nifas maupun dalam perawatan bayi. Oyog adalah salah satu tradisi dalam kehamilan yang diminta oleh ibu hamil untuk dilakukan oleh dukun bayi. Berbagai alasan telah disebutkan diatas yang membuat ibu hamil meminta dilakukan oyog oleh dukun bayi kepada ibu hamil. Survey ini pernah membandingkan pelaksanaan oyog yang dilakukan di Desa Dukuh Widara dan desa di sekitarnya yang tidak memiliki dukun bayi. Nampak sekali bahwa ketertarikan oyog lebih tinggi pada desa yang memiliki dukun bayi dibandingkan dengan desa yang tidak memiliki dukun bayi. 268 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Selain itu, nampaknya oyog lebih diminati pada kehamilan pertama dibandingkan dengan kehamilan kedua dan seterusnya. Hal ini dituturkan oleh Ibu Ira dan beberapa ibu yang lain, yang memang hamil pertama. Ibu Imah, yang saat ini mengalami kehamilan kedua, juga mengatakan bahwa, oyog adalah kebiasaan yang sering dilakukan olehnya saat hamil pertama. Oyog ini akan membuat kehamilan pertamanya dapat dilalui dengan nyaman dikarenakan keluhan-keluhan yang hilang setelah dilakukan oyog. Oyog bahkan dilakukan hampir setiap dua minggu sekali oleh Ibu Ira. Ibu Ira meyakini bahwa oyog akan membuat kekhawatirannya karena berbagai keluhan dalam kehamilannya akan hilang. Pendidikan juga turut mempengaruhi sikap seseorang dalam mengambil keputusan. Pendidikan formal yang ditempuh oleh seseorang akan menentukan sikap terhadap suatu hal. Seperti halnya pada tradisi oyog dan telah diungkapkan di atas bahwa ibu hamil ada yang meyakini oyog dan selalu meminta oyog namun ada pula ibu hamil yang tidak menyakini oyog sebagai tradisi dalam perawatan kehamilan, walaupun jumlahnya sangat sedikit. Pada observasi di lapangan, ibu hamil yang menerima oyog, memiliki kecenderungan dengan pendidikan yang lebih rendah dibandingkan ibu yang tidak meyakini oyog. Artinya ibu yang memiliki pengetahuan lebih tinggi (SMA) cenderung memilih perawatan kehamilan dalam aspek medis. Beberapa ibu dalam kelompok ini lebih meyakini hal-hal yang rasional dan telah teruji dalam bidang kesehatan atau kedokteran, dibandingkan hanya berbicara sugesti dan kepercayaan yang turun-temurun tanpa bukti ilmiah. Namun demikian ada saja kekhususan dalam kasus ini. Ibu Imah, adalah salah seorang ibu hamil yang memiliki pengetahuan 269 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 tinggi, namun masih meyakini oyog sebagai salah satu tradisi dalam perawatan kehamilannya. Ibu Imah telah mengenyam pendidikan Diploma tiga (D3) dan kini menjadi tenaga pengajar di salah satu sekolah di Desa dukuh Widara. Selain pendidikan yang tergolong tinggi, Ibu Imah juga memiliki pengalaman dan cara berfikir yang modern setelah kepulangannya bekerja di Taiwan. Dengan pendidikan yang tinggi dan pengalaman serta cara berfikir yang maju, tetap saja Ibu Imah memandang tradisi oyog adalah tradisi yang bermanfaat dan ia pun melakukannya pada kehamilannya yang pertama. Kehamilan yang keduanya kali ini, ia tidak meminta dukun bayi kepercayaannya untuk melakukan oyog, bukan karena ia tidak yakin lagi, akan tetapi kehamilannya kali ini berlangsung sangat nyaman dan tidak ada keluhan sedikitpun. Ibu Imah benar-benar pernah merasakan manfaat oyog, kehamilan yang nyaman dan perasaan ringan. Ia juga mengatakan bahwa banyak hal-hal yang tidak rasional/tidak bisa dijelaskan secara logika, namun manfaatnya benar-benar dirasakan. Keterangan tambahan diberikan oleh Ibu Imah bahwa banyak hal-hal yang tidak rasional seperti ini, kalau diluar negeri sudah pasti tidak akan kepakai, karena mereka (luar negeri) sangat menghargai segala sesuatu yang rasional. 4.3.10. Kontradiksi Oyog Mbak Imah, umur 27 tahun, hamil anak kedua, dan memiliki riwayat keguguran. Telah empat tahun menikah. Kunjungan kami ke rumah Mb Imah, berdasarkan keterangan dari salah satu dukun bayi Di Desa Dukuh Widara yang kebetulan terletak di blok yang sama dengan rumah Mba Imah. Pada saat bertemu Mba Imah, nampak Mba Imah sangat sibuk dan di ruang tamunya nampak beberapa kerabat. Seperti sedang sibuk merencanakan suatu acara. Benar saja ternyata beberapa hari 270 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat setelah itu, akan dilangsungkan acara resepsi pernikahan adik ipar Mba Imah. Ditengah kesibukan tersebut, Mba Imah masih bersemangat untuk menerima kami. Sebenarnya ingin segera bergegas, melihat rumah Mba Imah yang nampak sibuk. Namun Mba Imah melarangnya, “Sudahlah mba, ga apa-apa, manggamangga, sambil melebarkan tikar untuk tempat duduk. “ga apaapa ya mba, dibawah duduknya.” Setelah menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan peneliti, obrolan dibuka dengan pertanyaan seputar kehamilan yang dialami Mba Imah. Pada saat pertanyaan tentang apakah Mba Imah masih mempercayai dukun sebagai salah satu orang yang dipercaya dalam perawatan kehamilan. Ibu mba Imah menyambung obrolan.Berikut petikan obrolan ibu Mba Imah : “Kalau dulu sedikit-sedikit ke dukun. Sekarang kan ada Puskesmas jadinggak ada oyog-oyogan. Yang ngoyog kan bidan. Ya kalau periksa kan periksa sini (perut) dulu kalau periksa ke dukun kalau sakit atau turun apanya bayi, suka nyengkang namanya oyog. Kalau sekarang dekat Puskesmas, kalau dulu di panggang. Kalau ini bilang perutnya sakit, datang aja ke ibu khaeriyah (bidan) iya ni katanya bayinya sehat, Cuma ingat punya mag, saya kasih kunyit, sembuh. “Anak sekarang jamujamu nggak doyan nggak apa-apa, makan sayuran, ikan, saya nggak ngelarang kan sudah ada bidan. Kalau dulu habis melahirkan nggak boleh makan apa-apa.” Mba Imah, bukan penduduk asli di desa Dukuh Widara. Selama ini, sebelum menikah Mba Imah bekerja keluar kota. Menurut cerita Mba Imah, ia termasuk orang yang lebih mempercayai segala sesuatu yang rasional/masuk akal dibandingkan dengan sesuatu yang hanya mitos. Termasuk 271 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 dalam pelaksanaan oyog. Mba Imah belum pernah dioyog bahkan istilahpun oyog belum pernah didengarnya. “Nggak pernah dengar oyog? Nggak baru. Pokoknya kalau apa langsung disaranin ke bidan, kan dekat. Nggak pernah ke dukun bayi. Mungkin oyog itu kayak bidan, kemarin pas periksa kayak gitu, agak sakit, tapi enak. nggak tahu apa itu oyog bukan, tapi ada yang dinaikin. Takutnya bidan kan berlebihan, takut salah atau gimana.” Dari percakapan tersebut, memberikan informasi bahwa Mba Imah memang tidak pernah dioyog, dan dia memiliki cara pandang bahwa pelaksanaan oyog hampir sama seperti yang dilakukan oleh bidan, namun kalau pelaksanaan oyog yang dilakukan oleh bidan, Mba Imah menyakininya, karena pasti pada pelaksanaannya bidan tidak akan berlebihan dalam melakukan gerakan tersebut. Sedangkan dukun bayi menurutnya, sangat mungkin melakukan gerakan yang keras dan mungkin menyebabkan komplikasi atau membahayakan bayi yang dikandungnya. Mba Imah juga pernah mengalami keluhan sakit perut bagian bawah. Biasanya dengan keluhan seperti ini, maka ibu hamil akan meminta dukun bayi untuk dioyog. Pada kasus ini Mba Imah tetap datang ke bidan untuk mengatasi masalah tersebut. Mba Imah bercerita bahwa perutnya diangkat sedikit, waktu itu sedikit sakit katanya, tetapi keluhan tersebut pun hilang, beberapa saat setelah selesai memijat. Dengan berbagai peristiwa tersebut membuat Mba Imah semakin mempercayai bahwa tenaga kesehatan khususnya bidan adalah bagian penting dalam perawatan kehamilannya tanpa perlu lagi ke tenaga yang lainnya termasuk dukun bayi, walaupun sangat dekat dengan tempat tinggalnya. Cerita serupa juga didapatkan dari Mb Fira. Mba Fira, umur 26 tahun, hamil pertama dan telah hamil 8 bulan. Mba Fira 272 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat tinggal bersama suaminya dan bapak mertuanya. Mba Fira, adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan keuangan dalam bentuk koperasi. Menurut cerita Mba Fira, badan keuangan tersebut berfungsi sebagai koperasi peminjaman uang. Kini Mba Fira bekerja di Kabupaten Kuningan, sebuah kabupaten yang terletak bersebelahan langsung dengan Kabupaten Cirebon. Sebelum dipindahkan ke Kuningan, Mba Fira pernah bekerja di perusaan yang sama tetapi penempatan di Jawa Timur. Berpindah - pindah kota tempat bekerja bukan hal yang baru bagi Mba Fira, bahkan sebelum itu, Ia pernah juga tinggal di Bandung dan jakarta. Pengalaman berpindah-pindah kota dengan pengalaman kerja yang cukup banyak membuat wawasan yang dimiliki oleh Mba Fira sangat luas. Hal tersebut terlihat pada saat dilakukan wawancara. Mba Fira dengan sangat lugas dan lancar bercerita tentang berbagai hal, termasuk cerita tentang kehamilannya. Kehamilan Mba Fira, adalah kehamilan yang sangat diharapkannya. Sempat kosong lebih kurang 6 bulan setelah pernikahannya, membuat Mba fira dan suaminya sangat berharap terhadap kehamilannya. Menurut cerita Mba Fira, kehamilannya berlangsung normal, tidak ada keluhan berat yang dirasakannya. Seperti kebanyakan ibu hamil lainnya yang mengalami keluhan-keluhan normal selama kehamilannya seperti mual bahkan sampai muntah, susah makan sehingga badan lemas, Mba Fira juga mengalami hal yang demikian. Mba Fira baru merasakan enaknya makan, setelah usia kehamilannya menginjak 5 bulan. Setelah lewat usia kehamilan 5 bulan, Mba Fira mulai bisa menikmati kehamilannya. Ia juga sangat bersyukur, sejak itu tak ada lagi keluhan yang dirasakannya. Kehamilannya menjadi sangat menyenangkan. Mba Fira biasa melakukan pemeriksaan kehamilan ke bidan dan dokter spesialis kandungan. Tidak ada bidan dan dokter spesialis kandungan 273 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 tertentu yang menjadi andalannya. Artinya pemeriksaannya dilakukan ke bidan siapa saja, berbeda-beda. Bukan hanya bidan yang berada di desanya, akan tetapi bidan lain yang menurut informasi yang didengarnya memiliki kemampuan, pengalaman dan alat yang bagus. Sampai-sampai Mba Fira juga pernah melakukan pemeriksaan ke bidan yang letaknya d luar wilayah kabupaten Cirebon, karena mendengar bahwa di bidan tersebut memiliki alat USG yang bagus. Tentang benar tidaknya informasi tersebut, terkadang Mba Fira tidak mencari kebenarannya terlebih dahulu. Bukan hanya ke bidan, hal yang sama juga Mba Fira lakukan ke dokter spesialis kandungan. Beberapa dokter telah didatangi oleh Mba Fira di berbagai wilayah, kadang pemeriksaan dilakukan di Cirebon namun kadang juga di Kuningan, tergantung pada waktu yang dimiliki oleh Mba Fira. Mba Fira tidak memiliki fanatisme pada bidan atau dokter spesialis tertentu, namun ia sangat mempercayai kedua profesi tersebut sebagai rujukannya sepanjang proses kehamilan dan persalinannya. Terhadap tenaga tradisional, khususnya dukun bayi, Mba fira tidak mempercayakan asuhan kehamilan kepadanya. “Sebenarnya keluarga, khususnya ibu saya juga menyarankan untuk datang kedukun bayi, biar dipijet, biar bayinya lancar, posisinya bagus. Intinya hamilnya enakan. Tapi mereka ga pernah maksa, jadi pas sayanya memang ga mau ya sudah, ga pernah ngomong lagi. Bagi saya yang seperti itu ko ga masuk akal.” Dari wawancara di atas, Mba Fira mengungkapkan bahwa ia kurang mempercayakan asuhan kehamilannya kepada tenaga tradisional/di luar tenaga kesehatan, karena menurutnya banyak hal yang tidak rasional atau tidak masuk akal. Termasuk saran keluarga/ibunya untuk melakukan oyog/pijatan di daerah perut. 274 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Bagi Mba Fira posisi bayi yang betul bukan ditentukan oleh pijatan, tetapi memang sudah dari sananya posisi bayi akan benar. Ada kalanya memang, posisi bayi yang salah, tetapi ini bisa diluruskan dengan posisi nungging, misalnya, bukan dikarenakan pijatan dukun bayi. Lancarnya persalinan menurut Mba Fira juga bukan disebabkan oleh oyog, namun ditentukan oleh makanan yang dimakan oleh ibu selama kehamilan. Selain itu lancarnya persalinan juga didukung oleh psikologis ibu hamil selama kehamilan dan persalinannya. Mba Fira sering mencari informasi di internet, terkait berbagai masalah dalam kehamilan dan persalinan. Semua informasi tersebut semakin menguatkan keyakinan Mba Fira terhadap tenaga kesehatan dan sebaliknya membuatnya semakin kurang mempercayai tenaga tradisional yang ada. Mba Fira merasa sudah cukup hanya memeriksakan ke tenaga kesehatan. Tradisi dalam asuhan kehamilan pernah dilakukan oleh Mba Fira, namun itu juga hanya berlaku pada tradisi yang menurutnya rasional. Salah satu contohnya adalah pada acara 4 bulanan. Acara ini menurut Mba Fira bermanfaat bagi bayi yang dikandungnya, karena acara tersebut berisi bacaan doa dan ayat suci al Qur’an yang sangat bermanfaat untuk bayi yang baru ditiupkan ruhnya. Bacaan ini yang akan membuat bayi menjadi tenang dan tumbuh sehat. Demikian juga untuk ibu yang mengandung, bacaan tersebut akan membuat orang tua khususnya ibunya menjad tenang dan terhindarkan dari berbagai masalah. Hingga saat ini kehamilan Mba Fira berlangsung lancar. Ia memiliki rencana persalinan di tenaga kesehatan khusunya bidan. 275 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 4.3.11. Keberlangsungan Oyog Peran dukun bayi yang sekarang sudah tidak diperbolehkan menolong persalinan membuat peran dukun bayi sedikit berkurang. Walaupun masyarakat di sana sudah mengerti pentingnya pemeriksaan kehamilan kepada tenaga kesehatan, namun keberadaan dukun bayi masih dipercaya dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk melakukan pijat pada saat ibu hamil merasa pegal atau kelelahan. Demikian juga pada pelaksanaan oyog, walaupun telah melakukan pemeriksaan ke tenaga kesehatan, namun ibu hamil masih memanfaatkan dukun bayi untuk mengurangi beberapa keluhan yang dirasakan melalui oyog. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang dukun bayi “Ga tentu, ada sebulan sekali baru ada, dua bulan baru ada, sekarang sih ga itu. Orang sekarang sih udah ngerti ke Puskesmas ke bidan.123 4.3.12. Jangkauan Dukun Bayi Melakukan Oyog Dukun bayi yang ada di Desa Dukuh Widara dalam melakukan oyog ternyata tidak hanya di desa tersebut saja,akan tetapi mereka juga melakukan kegiatan oyog di desa-desa lainnya walaupun masih dalam satu Kecamatan Pabedilan. Apabila dukun bayi melakukan oyog di kecamatan yang berbeda, biasanya kecamatan tersebut letaknya bersebelahan dengan Desa Dukuh Widara. “ngOyog Cuma sampe kecamatan pabedilan”124 “Desa Dukuh Widara aja”125 “Dukuh widara, Pasuruan, Astanalanggar, losari”126 123 Sumber: Wawancara dengan Mak Isah Sumber: Wawancara dengan Mak Iyah 125 Sumber: Wawancara dengan Bi Ipah 124 126 Sumber: Wawancara dengan Mak Inah 276 BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan, bahwa Desa Dukuh Widara memiliki kondisi Kesehatan Ibu dan Anak yang hampir sama dengan beberapa wilayah di Puskesmas Kalibuntu. Berdasarkan data laporan KIA tahun 2013, salah satu masalah yang terjadi di desa Dukuh Widara adalah adanya ibu hamil yang masih kurang dari 20 tahun dan KEK (Kurang Energi Kronis) yang ditandai dengan LILA<23, 5 cm. Pada periode persalinan, Desa Dukuh Widara memiliki permasalahan yang cukup berarti, yaitu masih rendahnya cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan. Pada masa nifas, selain tradisi yang masih kental, angka cakupan pemberian ASI eksklusif juga masih sangat rendah. Pada fase kehidupan anak dan balita masalah yang cukup menonjol di Desa Dukuh Widara adalah pola asuh orang tua, baik yang tinggal bersama dengan orang tua kandung maupun orang tua asuh. Pada periode remaja, tidak ada tradisi khusus untuk menyambut masa ini baik pada remaja perempuan maupun remaja laki-laki. Masa ini mereka mulai dengan sangat alami. Berbagai pengetahuan remaja mereka dapatkan lebih banyak dari sekolah dan teman sebaya dibandingkan dari orang tua atau keluarga. Satu masalah dalam kesehatan reproduksi remaja, antara lain adalah kasus kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). 277 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Masalah ini semakin meningkat seiring perkembangan informasi dan teknologi. Banyak faktor yang bisa menyebabkan kasus KTD. Jika ditelaah lebih lanjut, salah satu faktor mungkin menjadi salah penyebab terjadinya KTD di Desa Dukuh Widara adalah pola asuh orang tua terhadap remaja. Sunat perempuan juga masih terjadi di Desa Dukuh Widara. Sunat perempuan ini dilakukan oleh bidan dan dukun bayi dan masing-masing bidan dan dukun bayi tersebut, memiliki cara yang berbeda-beda dari hanya ditoreh saja dan tidak ada jaringan atau selaput yang terbawa, akan tetapi juga ada dukun bayi yang melakukan sunat dengan ditoreh sampai ada darah yang menetes. Penggalian tentang alasan yang melatar belakangi tindakan sunat perempuan, diungkapkan oleh beberapa dukun antara lain karena alasan agama. Ada juga bidan yang melakukan sunat tersebut hanya mengikuti tradisi yang berlaku dimasyarakat, jadi melakukannya hanya untuk memenuhi permintaan. Cara pandang masyarakat secara umum terhadap kehamilan adalah suatu proses yang sangat penting dalam siklus kehidupan, disebabkan disaat itulah akan dimulainya kehidupan baru, generasi baru. Adanya cara pandang yang demikian dari masyarakat terhadap kehamilan, sangat memungkinkan peran yang tinggi dari seluruh keluarga dalam siklus kehamilan ini. Dalam hal tradisi masyarakat untuk perawatan kehamilan dibedakan menjadi tradisi di saat hamil muda, hamil sedang dan hamil tua. Klasifikasi usia kehamilan dalam tradisi ini, rupanya berbeda halnya dengan klasifikasi kehamilan di asuham kebidanan/dunia kesehatan. Pada konteks budaya masyarakat Desa Dukuh Widara, disebut kehamilan/hamil muda (hamil enom) jika usia kehamilan 1 sampai 4 bulan, disebut hamil sedang jika usia kehamilan 278 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat antara 4-7 bulan dan disebut hamil tua jika usia kehamilan 79/10 bulan. Pemeriksaan kehamilan merupakan komponen yang sangat penting dalam asuhan kehamilan. Pada Ibu hamil di Desa dukuh Widara, pemeriksaan kehamilan telah dilakukan oleh ibu hamil sejak awal kehamilan/sejak ia merasa hamil. Ibu yang merasa hamil akan melakukan pemeriksaan, untuk mengetahui hamil atau tidaknya dan mengurangi beberapa keluhan yang mungkin muncul dalam kehamilan muda. Selain itu Ibu bidan Desa dan Bidan koordinator juga bekerjasama dengan kader Posyandu untuk segera menginformasikan kepada bidan desa, jika mendengar ada ibu yang hamil. Pola pengobatan pada ibu hamil di Desa Dukuh widara, tidak berbeda dengan pola pengobatan pada masyarakat pada umumnya. Sedikit perbedaan, adalah ketika ibu hamil tersebut sakit, maka akan langsung melakukan pengobatan ke fasilitas kesehatan, berbeda halnya pada masyarakat umumnya, ketika sakit, jika sakit dirasa tidak parah, pengobatan dilakukan secara pribadi dengan membeli obat-obat generik yang dijual di warung-warung. Pada periode selanjutnya dimasa persalinan dan nifas, para ibu di Desa Dukuh Widara akan berhadapan dengan berbagai tradisi-tradisi yang cukup banyak khususnya setelah bayi lahir. Berbagai tradisi tersebut dari mulai namu-namu, ngubur ari-ari, mangku, nggeong, nyukur rambut dan tradisi turun tanah. Pada kondisi ideal ASI harus diberikan kepada bayi secara eksklusif. Namun pada kenyataannya ada saja hal-hal yang menghambat pemberian ASI kepada bayi. Misalnya alasan ASI tidak keluar, kondisi ibu yang belum stabil, maupun komposisi ASI yang dianggap belum mencukupi kebutuhan bayi. Alasan yang terakhir ini sering diungkapkan oleh kebanyakan ibu menyusui. Berbagai informasi yang kita dapatkan dari informan ibu nifas, sesuai dengan profil Puskesmas Kalibuntu 279 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 tahun 2013, bahwa cakupan ASI eksklusif memang rendah. Situasi tersebut juga dihadapi Indonesia secara nasional artinya cakupan pemberian ASI eksklusif memang sangat rendah, hanya 38%. Berdasarkan profil Puskesmas Kalibuntu, penyakit menular yang terbanyak pada orang dewasa adalah penyakit TB Paru. Berdasarkan data tersebut ditemukan 6 orang dengan penyakit TB Paru dan keseluruhannya dinyatakan sembuh. Tidak ada kematian pada penderita yang disebabkan penyakit ini. Pada pengambilan data tentang penyakit tidak menular ditanyakan beberapa informasi kepada para penderita atau keluarganya. Berbagai hal yang digali dalam penelitian ini meliputi: pemahaman masyarakat lokal tentang padanan kata, pengalaman dan pengetahuan mereka tentang penyakit tersebut, pola pengobatan yang dilakukan, upaya pencegahan, tentang pantangan dan anjuran bila seseorang mengalami penyakit serta persepsi masyarakat setempat terhadap penyakit tersebut Berbagai jenis penyakit tidak menular yang dominan dialami di masyarakat Desa Dukuh Widara berdasarkan profil kesehatan Kalibuntu tahun 2013 antara lain: diabetes mellitus, hipertensi, stroke dan penyakit gangguan jiwa. Pada pengambilan data tentang penyakit tidak menular ditanyakan beberapa informasi kepada para penderita atau keluarganya. Berbagai hal yang digali dalam penelitian ini sama dengan penggalian penyakit menular, mulai dari pemahaman tentang penyakit sampai persepsi masyarakat terhadap penyakit tersebut. Secara umum, sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa penyakit yang dialaminya merupakan gangguan kesehatan karena suatu penyakit, bukan pengaruh roh halus, dan mereka memiliki pola pengobatan konvensional. 280 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Pemanfaatan Posyandu oleh masyarakat di Desa Dukuh Widara sudah cukup baik, terlihat dari cakupan program yang sudah mencapai 50%, dan semua Posyandu sudah termasuk dalam Posyandu madya walaupun tempat kegiatan Posyandu belum mempunyai tempat khusus dan masih di rumah-rumah penduduk. Perilaku cuci tangan menggunakan air bersih dan sabun belum menjadi suatu rutinitas yang dilakukan oleh masyarakat. Hal tersebut hanya dilakukan pada kondisi-kondisi tertentu saja, seperti habis buang air besar, sebelum makan dan saat tangan terlihat kotor. Sedangkan pada saat akan menyusui bayi, setelah menceboki bayi dan setelah menggunakan pestisida, perilaku cuci tangan menggunakan dengan menggunakan air bersih dan sabun belum merupakan kegiatan yang rutin dilakukan. Penggunaan jamban masih menjadi permasalahan di beberapa wilayah Desa Dukuh Widara. Masih ditemukan rumah yang belum memiliki jamban, hal tersebutnya menyebabkan masih ada warga yang yang melakukan buang air besar di tempat terbuka, seperti pekarangan, saluran irigasi dan persawahan. Masyarakat di Desa Dukuh Widara sudah termasuk melakukan aktifitas fisik baik ringan, sedang maupun berat. Aktifitas fisik yang dilakukan seperti menyapu, berjalan kaki, mencangkul, dan menggarap sawah. Konsumsi sayur dan buah belum menjadi kebiasaan sehari-hari seluruh warga masyarakat. Terutama konsumsi buahbuahan yang masih dianggap mahal, sehingga belum bisa dibeli dan untuk di konsumsi setiap hari. Sayur dan buah yang sering dikonsumsi, biasanya merupakan hasil kebun mereka sendiri. Kebiasaan merokok masih dilakukan oleh beberapa warga Desa Dukuh Widara. Alasan yang sering diUtarakan karena sudah kecanduan sehingga kebiasaan ini sulit ditinggalkan. Masih 281 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 ditemukan suami atau warga yang merokok di dekat ibu hamil dalam satu ruangan. Air bersih yang digunakan hampir seluruh warga masyarakat disana adalah bersumber dari sumur, yaitu menggunakan sumur gali yang dialirkan melalui sumur timba atau melalui pompa. Air sumur digunakan untuk seluruh kebutuhan sehari-hari seperti minum, masak, mandi dan mencuci. Dalam pengelolaan makanan dan minuman, sebagian besar masyarakat sudah menggunakan peralatan masak yang sudah cukup modern, walaupun masih ada yang menggunakan peralatan masak yang masih tradisional. Penggunaan kompor gas, kulkas, galon, bagi yang memiliki kemampuan ekonomi, sedangkan masih menggunakan kayu , tungku untuk memasak juga masih ada. Memberantas jentik nyamuk dilakukan warga dengan cara menguras bak mandi atau memelihara ikan di bak mandi. Namun demikian kegiatan menguras bak mandi masih belum dilakukan secara rutin biasanya setiap satu minggu sekali tetapi terkadang satu bulan sekali. Jumlah dukun bayi di Desa Dukuh Widara menempati urutan terbanyak, yaitu sebanyak 6 orang dibandingkan desadesa yang lain di wilayah Puskesmas Kalibuntu. Hal ini menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat Desa Dukuh Widara terhadap dukun bayi masih tinggi karena masih dibutuhkan oleh masyarakat. Salah satu tindakan yang sering diminta oleh ibu hamil kepada dukun bayi adalah oyog yaitu suatu pijatan pada ibu hamil yang umumnya dilakukan oleh dukun bayi dengan tujuan untuk untuk mbenerke (membenarkan) posisi janin. 282 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan, pelaksanaan oyog di Desa Dukuh Widara dilakukan sepanjang usia kehamilan dengan cara dan tujuan yang berbeda a. Oyog Kehamilan Muda (3-6 bulan ) Jika seorang ibu hamil melakukan oyog di usia kehamilan muda, biasanya karena ada yang dikeluhkan. Meski dalam kondisi hamil, biasanya mereka akan tetap bekerja sehingga mengalami keluhan seperti mbateg, seolah-olah rahim turun ke bawah, nyengkal, seperti ada sesuatu yang menekan atau mengganjal bagian perut bawah. Pada kehamilan muda, oyog dimaksudkan untuk ‘mengembalikan ke tempatnya’ karena janin dianggap bergeser dari tempatnya sebagai akibat dari ibu hamil yang melakukan banyak aktivitas fisik. Salah satu gerakan oyog pada kehamilan muda adalah sengkak. b. Oyog Kehamilan Tua (7-9 bulan) Ini adalah oyog yang paling banyak dilakukan. Oyog pada kehamilan tua, dilakukan ketika usia kehamilan memasuki usia 7 hingga 9 bulan. Pada kehamilan ini, keluhan mbateg lebih sering dialami oleh ibu hamil. Para ibu juga berharap bahwa kondisi bayi sudah seharusnya pada tempatnya. Pada kehamilan ini, biasanya tidak lagi dilakukan gerakan sengkak karena posisi bayi sudah dianggap turun sehingga yang bisa dilakukan hanyalah ‘memberi sedikit ruang’ pada perut ibu hamil agar tidak terasa menekan (mbateg). Meski ada juga dukun bayi yang masih melakukan sengkak, tergantung dari keluhan dan kondisi ibu hamil. Tapi konon sengkak yang dilakukan lebih lembut dan ‘tidak pakai tenaga.’ Perilaku seseorang akan muncul ketika ada faktor pendorongbaik yang bersifat internal maupun eksternal. Oyog merupakan salah satu perilaku yang dilakukan oleh ibu hamil yang sangat mungkin dipengaruhi beberapa faktor. Pada 283 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 pengamatan yang dilakukan, hanya sedikit sekali ibu hamil yang tidak melakukan oyog. Selain itu, nampaknya oyog lebih diminati pada kehamilan pertama dibandingkan dengan kehamilan kedua dan seterusnya. Ibu hamil yang memiliki pendidikan lebih rendah mempunyai kecenderungan untuk dilakukan oyog dibandingkan dengan ibu hamil dengan pendidikan lebih tinggi. Ibu hamil dengan pendidikan yang lebih tinggi meyakini hal-hal yang rasional dan telah teruji dalam bidang kesehatan atau kedokteran, dibandingkan hanya berbicara sugesti dan kepercayaan yang turun-temurun tanpa bukti ilmiah. Oyog merupakan tradisi yang sudah turun temurun. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari dukun bayi di Desa Dukuh Widara, sebagai para pelaku tradisi oyog, memberikan informasi bahwa oyog mereka kenal secara turun temurun dari para orang tua mereka. Demikian pula pemahaman mereka tentang oyog, baik cara maupun manfaatnya, benar-benar secara alami yang dapatkan dari leluhur mereka. Dalam berbagai referensi istilah oyog, hanya didapatkan dalam kamus sastra jawa, yang berarti oyog-oyog/oyag, yaitu digerak-gerakkan dengan lembut. Namun dalam pengamatan tradisi oyog, nampak beberapa teori yang bisa diadop sebagai dasar untuk memahami tentang manfaat maupun sistem muskuloskeletal yang terkait dengan oyog. Pada pengamatan yang dilakukan sebenarnya gerakan oyog tidak berbeda dengan gerakan Leopold/manuver Leopold yang dilakukan oleh tenaga kesehatan (bidan dan dokter spesialis kandungan).Selain itu pada pelaksanaan oyog juga terjalin komunikasi yang hangat. Komunikasi dalam pelaksanaan oyog, membuat hubungan antara ibu hamil dengan dukun bayi menjadi lebih dekat. Salah satu keluhan yang sering diungkapkan oleh ibu hamil yang akan dioyog kepada dukun bayi adalah keluhan nyeri perut 284 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat bagian bawah. Berdasarkan testimoni Dr. Doddy, seorang pakar kandungan dan kebidanan, yang memiliki latar belakang obstetrik sosial, mengungkapkan bahwa berdasarkan pengamatan beliau, selain oyog aman disebabkan sentuhan yang ringan dan kebanyakan sentuhan dilakukan di daerah lateral yaitu sentuhan di daerah otot dasar panggul. Menurut dukun bayi dan ibu hamil yang meminta oyog, diyakini oyog dapat mengurangi stress dalam kehamilan dikarenakan keluhan nyeri perut bagian bawah. 5.2. Rekomendasi Salah satu tradisi yang masih sangat diminati oleh masyarakat Desa Dukuh Widara adalah Oyog. Sebagaimana telah disebutkan diatas, menurut dukun bayi dan ibu hamil, akan diperoleh manfaat yang cukup banyak pada pelaksanaan oyog. Selain itu keterkaitan oyog dengan berbagai teori seperti teori Leopold, teori komunikasi, teori musculoskeletal, teori massage, teori hypnobirthing dan teori pijat endorphin nampak memiliki banyak korelasi. Oleh karena itu diperlukan penelitian lanjutan untuk membuktikan berbagai asumsi diatas. Penelitian tersebut juga sangat bermanfaat sebagai penelitian dasar untuk mengetahui manfaat modifikasi oyog, sebagai inisiasi persalinan alami dengan sentuhan pada pace maker yang merupakan pusat koordinasi his/kontraksi. Jika hal tersebut benar, maka oyog bisa menurunkan kehamilan serotinus. Komunikasi yang terjalin antara dukun bayi dan ibu hamil, telah menimbulkan kedekatan sampai timbul keakraban. Hal ini juga sangat memungkinkan untuk di adop oleh tenaga kesehatan khususnya bidan sehingga memiliki kedekatan dengan ibu hamil. Oleh karena itu diperlukan pembuatan modul “Oyog sebagai langkah awal Leopold.” 285 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 286 INDEKS A H aktivitas fisik · 221, 223, 245, 283 Angka Kematian Ibu · 2, 3, 10 ASI Ekslusif · 171, 173 herbal · 71, 72, 151, 156, 224 hubungan · 1, 18, 24, 69, 70, 83, 86, 87, 90, 93, 101, 109, 122, 132, 160, 231, 237, 238, 284 B I barongan · 60, 61, 62, 63, 64, 65 budaya kesehatan · 2, 4, 8 D diet · 6 F fasilitas kesehatan · 3, 11, 14, 110, 142, 153, 163, 251, 279 G ibu hamil · 4, 8, 13, 77, 97, 103, 104, 105, 106, 107, 110, 115, 116, 126, 136, 162, 166, 171, 180, 184, 191, 199, 201, 203, 204, 205, 206, 207, 220, 221, 224, 227, 228, 229, 230, 231, 232, 233, 234, 237, 240, 243, 245, 247, 248, 249, 250, 252, 254, 257, 259, 263, 264, 268, 269, 272, 273, 275, 276, 277, 279, 282, 283, 284, 285 ilmu hitam · 74 imunisasi · 116, 136, 165, 166, 167, 170, 173 interaksi · 11, 39, 52, 87 gaya pengasuhan · 91, 92, 93 287 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 K kader · 105, 164, 167, 170, 171, 249, 279 kandungan · 97, 98, 106, 116, 117, 226, 237, 251, 257, 265, 273, 274, 284, 285, 292 kebrojolan · 116, 224 kebudayaan · 1, 11 kehamilan · 6, 7, 8, 11, 13, 59, 77, 81, 90, 96, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 111, 113, 117, 127, 135, 167, 193, 202, 206, 207, 224, 225, 226, 230, 233, 234, 235, 237, 238, 240, 241, 242, 245, 246, 247, 248, 249, 250, 252, 253, 254, 255, 257, 259, 262, 263, 264, 265, 266, 268, 269, 270, 271, 273, 274, 275, 276, 277, 278, 279, 283, 284, 285 kekeluargaan · 69 kelahiran · 2, 3, 59, 101, 112, 115, 116, 122, 127, 130, 134, 193, 196, 197, 201, 204, 206, 207, 208, 216, 219, 220, 222, 234, 241, 242, 243, 246, 252, 262 keluhan · 13, 71, 87, 103, 104, 105, 112, 140, 142, 150, 159, 223, 227, 233, 234, 240, 241, 245, 246, 247, 250, 251, 252, 253, 255, 256, 257, 259, 260, 288 261, 262, 263, 264, 269, 270, 272, 273, 276, 279, 283, 284, 285 kepercayaan · 1, 11, 58, 69, 70, 71, 89, 110, 140, 152, 154, 157, 192, 207, 212, 237, 241, 269, 282, 284 kesambet · 72, 73, 157 kesehatan ibu · 3, 4, 5, 12, 105 Kesehatan Ibu dan Anak · 3, 7, 8, 9, 77, 107, 166, 277 kesehatan masyarakat · 1, 2, 4, 5, 7, 10, 15 kesehatan reproduksi · 79, 81, 84, 90, 277 kesenian · 12, 61, 62, 65, 68, 75 komunikasi · 11, 90, 92, 93, 133, 208, 232, 256, 259, 284, 285 kuratif · 5 L Leopold · 9, 265, 266, 284, 285 lokal spesifik · 1, 10 M makanan · 1, 4, 6, 11, 49, 58, 59, 73, 86, 87, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 137, 147, 151, 154, 156, 163, 167, 168, Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat 173, 175, 176, 178, 181, 209, 249, 275, 282 masalah kesehatan · 3, 4, 7, 8, 9, 11 mata pencaharian · 11, 12, 43, 104, 135 MDG’s · 2 mengurut · 6, 12, 200, 253 N nujuh bulanan · 104, 202, 206, 248, 249, 250 O obat tradisional · 7 orang pintar · 71, 72, 73 organisasi · 12, 38, 54, 55, 57, 78, 94, 101 oyog · 8, 13, 200, 201, 205, 206, 224, 226, 228, 229, 230, 231, 232, 233, 234, 235, 236, 237, 238, 239, 240, 241, 242, 243, 244, 245, 246, 247, 248, 250, 252, 253, 255, 256, 258, 259, 260, 261, 262, 263, 264, 265, 266, 268, 269, 270, 271, 272, 274, 275, 276, 282, 283, 284, 285 P pantangan · 1, 6, 11, 86, 119, 120, 140, 147, 151, 152, 153, 156, 249, 255, 257, 280 paraji · 13, 15, 93, 102, 103, 115, 164, 192, 253, 260 parem · 118, 119 pasangan · 48, 52, 53, 96, 98, 166, 226 pekerjaan · 45, 46, 47, 49, 50, 51, 59, 86, 89, 92, 109, 125, 126, 141, 145, 158, 194, 196, 197, 200, 217, 256 pelatihan · 128, 171, 192, 193, 196, 197, 199, 200, 201 pelayanan kesehatan · 3, 5, 9, 12, 70, 126, 165, 167 pemeriksaan · 99, 104, 105, 106, 140, 141, 142, 146, 151, 154, 155, 167, 189, 237, 248, 251, 253, 255, 257, 266, 267, 273, 274, 276, 279 pemijatan · 6, 205, 224, 227, 232 pendapatan · 125, 126, 168 penduduk · 3, 27, 31, 39, 43, 45, 46, 47, 55, 96, 101, 165, 168, 254, 257, 271, 281 pengamatan · 16, 18, 130, 131, 265, 268, 284, 285 pengasuhan · 90, 91, 92, 93, 238 289 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 pengetahuan · 1, 2, 10, 12, 80, 81, 104, 124, 125, 126, 140, 142, 152, 207, 269, 277, 280 pengobatan · 2, 5, 6, 15, 69, 70, 71, 72, 106, 110, 138, 140, 141, 142, 146, 150, 151, 152, 153, 156, 157, 159, 160, 167, 198, 208, 279, 280 Penyakit Menular · 7, 8, 9, 139 Penyakit Tidak Menular · 7, 8, 9, 152 peraturan · 90, 196, 199 perawatan · 5, 53, 70, 101, 102, 104, 127, 128, 130, 131, 160, 164, 175, 193, 196, 197, 201, 207, 208, 209, 219, 222, 248, 249, 253, 257, 258, 268, 269, 270, 271, 272, 278 perawatan kehamilan · 101, 248, 249, 271, 278 perdagangan · 49 perempuan · 39, 44, 47, 48, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 66, 79, 81, 82, 93, 94, 95, 96, 108, 110, 113, 120, 130, 135, 137, 154, 160, 196, 197, 198, 199, 205, 213, 219, 223, 227, 237, 254, 258, 277, 278 perilaku · 281 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat · 7, 8, 9, 161 290 pernikahan · 21, 52, 53, 54, 59, 61, 65, 79, 97, 108, 109, 110, 271 persalinan · 3, 4, 6, 7, 11, 13, 77, 106, 107, 112, 113, 114, 115, 116, 120, 126, 127, 128, 161, 163, 166, 192, 196, 199, 200, 201, 202, 207, 208, 219, 224, 233, 237, 243, 245, 248, 249, 250, 252, 254, 262, 265, 268, 275, 277, 279, 285 pertanian · 31, 43, 44, 49, 55, 104 pertumbuhan · 79, 87, 132, 151, 168, 266 pijat · 6, 71, 98, 115, 196, 219, 221, 223, 224, 226, 227, 228, 230, 276, 285 pijatan · 6, 13, 208, 223, 224, 230, 231, 234, 244, 248, 256, 262, 274, 282 Posyandu · 105, 138, 139, 164, 165, 166, 167, 169, 170, 171, 249, 279, 281 preventif · 5, 129, 140, 152 promotif · 5 R ramuan · 12, 72, 119 rehabilitatif · 5 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat ritual · 53, 59, 60, 196, 198, 199, 202, 203, 205, 206, 207, 210, 212, 215, 216, 220, 242 rujukan · 105, 107, 142, 160, 208 ruwatan · 60, 61, 63 S sajen · 59, 60, 64, 211, 218 Sejarah · 20, 23, 26, 32, 35, 67, 292 sistem kekerabatan · 12, 50 slametan · 58, 59, 206 sosial · 1, 4, 5, 7, 9, 10, 11, 12, 78, 84, 85, 86, 87, 89, 91, 92, 108, 125, 168, 237, 285 Sunat perempuan · 278 sunatan · 59, 61, 63, 65 T tanda bahaya · 104, 105 tenaga kesehatan · 2, 4, 42, 69, 70, 71, 72, 77, 93, 94, 95, 110, 112, 114, 116, 148, 154, 164, 165, 192, 196, 228, 237, 253, 257, 263, 264, 265, 272, 274, 275, 276, 277, 284, 285 tolak bala · 61 tradisi · 2, 54, 77, 81, 94, 96, 101, 102, 103, 104, 117, 119, 120, 127, 207, 213, 216, 223, 230, 237, 241, 248, 249, 250, 253, 255, 257, 258, 259, 262, 268, 269, 270, 275, 277, 278, 279, 284, 285 tradisional · 5, 7, 11, 15, 58, 61, 75, 140, 143, 152, 156, 174, 182, 192, 202, 229, 262, 274, 275, 282 transportasi · 11, 41 tumbuh kembang · 139, 167, 168 W wiladah · 219 291 GLOSARIUM Babat alas Barongan Berkatan Bilineal Blok Burokan Caruban Derep Genjring Grage Jamu-jamu Jawa ngapak : membuka hutan untuk dijadikan tempat tinggal/ladang : sejenis kesenian dengan menggunakan topeng kepala yang menyeramkan : makanan (biasanya berupa nasi dan laukpauknya) yang dibagi-bagikan pada acara slametan : berkenaan dengna prinsip keturunan yang memperhitungkan hubungan dari pihak ayah maupun ibu : satuan pemukiman setingkat RW/Dusun : kesenian dengan menggunakan boneka kayu menyerupai burok : campuran (Bahasa Jawa Cirebon) : Sistem menolong memanen padi bersama dengan imbalan sekitar sejumlah tertentu (biasanya seperlima) dari hasil panen : kesenian dengan menggunakan rebana dan shalawatan : Negara Gede, sebutan lain untuk kota Cirebon : tradisi yang dilakukan untuk anak bungsu ketika menjadi pengantin dengan tujuan meminta sumbangan dari para sanaksaudara. : Bahasa Jawa dialek Banyumasan dan sekitarnya 292 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Jemiahan Kesambet Kuwu Lugu Mega Mendung Mendak Tahun Ruwatan Sajen Sedekah bumi Slametan Tandur penganten Tarling Teluh Udun-udun Unggah-unggah : sejenis pengajian bersama : penyakit yang disebabkan karena seseorang dirasuki makhluk halus : Kepala Desa : Kepala Dusun : salah satu motif batik khas Cirebon : ritual kematian setelah setahun kematian : ritual yang dilakukan untuk menghindarkan seseorang dari hal-hal yang buruk : makanan atau bunga-bunga tertentu yang disajikan untuk makhluk halus : acara syukuran atas hasil panen : mengirim doa kepada Tuhan YME sebagai ucapan syukur atau memohon keselamatan, dengan mengundang tetangga sekitar. : pembacaan kidung yang berisi doa-doa memohon kebahagiaan untuk pengantin : musik khas daerah pesisir Cirebon dan Indramayu dengan alat musik berupa gitar dan suling : roh jahat yang dikirim oleh orang yang mempelajari ilmu hitam, berbentuk bola api yang terbang di malam hari : mengirim doa untuk kerabat yang meninggal pada tanggal 20 bulan Ramadan : mengirim doa untuk kerabat yang meninggal menjelang bulan Ramadan 293 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Sawan Sawan wangke Sawan burok Widara Yasinan 294 : penyakit yang juga disebabkan oleh makhluk halus dan hanya dialami oleh anak-anak : sawan yang disebabkan karena adanya suatu kondisi kematian : sawan yang disebabkan karena kelewatan mahkluk penghuni burok : Pohon Bidara (Ziziphus Mauritiana), pohon berdaun rimbun dan berbuah hijau kecil-kecil. : pengajian bersama dengan membaca Surat Yasin DAFTAR PUSTAKA Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2005. Kesehatan dalam Perspektif Ilmu Sosial Budaya dalam Masalah Kesehatan dalam Kajian Ilmu Sosial Budaya. Kepel Press, Yogyakarta. Anonim. 2012. Makalah perbedaan gizi kurang dan gizi buruk, http://ferryngongo.blogspot.com/2012/10/makalahperbedaan-gizi-kurang-dan-gizi.html?m=1 (diakses: 22 Agustus 2014). Anonim. 2012. Sejarah Kabupaten Cirebon, http://sraksruk. blogspot.com/2012/11/sejara-kabcirebonjawa-barat.html (diakses: 22 Agustus 2014). Anonim. 2013. Profil Desa/Kelurahan Desa Dukuh Widara, Kecamatan Pabedilan, Pemerintah Kabupaten Cirebon. Badan Pembangunan Masyarakat & Pemerintahan Desa, Pemerintah Kabupaten Cirebon. Anonim. Burokan, http://www.disparbud.jabarprov.go.id/ applications/frontend/index.php (di akses: 16 Juli 2014). Anonim. Musik Tradisional Cirebon. http://id.voi.co.id/ (diakses: 23 Agustus 2014). Anonim. Orang Cirebon, http://wikipedia.org/ (diakses :23 Agustus 2014). Anonim. Pangeran Losari ‘Angkawijaya, Tali Sejarah Cirebon Brebes, http://www.radarcirebon.com/ (diakses: 23 Agustus 2014). 295 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Anonim. Pemerintahan Kota Cirebon, http://www.cirebonkota. go.id/index.php/profil/sejarah/sejarah-pemerintahan/ (diakses: 22 Agustus 2014). Anonim. Sandiwara Cirebon, http://www.disparbud.jabarprov. go.id/ (diakses: 22 Agustus 2014). Badan Pusat Statistik. 2013. Kabupaten Cirebon dalam Angka 2013. Badan Pusat Statistik, Kabupaten Cirebon. Badan Pusat Statistika. 2007. Survey Sosial Ekonomi Nasional 2007. Badan Pusat Statistika, Jakarta. Badan Pusat Statistika. 2012. Survey Demografi Kesehatan Indonesia 2012. Badan Pusat Statistika, Macro International, Bappenas, Jakarta. Departemen Kesehatan RI . 2006. Pedoman Umum Pengelolaan Posyandu. Depkes RI, Jakarta. Derek Llewellyn dan Jones. 1997. Setiap wanita, buku panduan lengkap tentang kesehatan, kehamilan dan kandungan. Delapratasa, Jakarta. Devore, E.R., Ginsburg, K.R. 2005. The protective effects of good parenting on adolescents. Curr oin Pediatr, 17(4): 460-5. Dinas Kesehatan Cirebon. 2011. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon. In: Kementerian Republik Indonesia, editor. Dinas Kesehatan, Cirebon. Etzkin, R. 2004. How parenting style and religiisity affect the timing of jewish adolescents sexual debut. Thesis. University of Florida, Florida. Halimah, Uun. Barongan Cirebon. http://uun-halimah. blogspot. com/2007/11/barongan-cirebon.html (diakses: 16 Juli 2014). 296 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Hasan Basyari. 1989. Sekitar Komplek Makam Sunan Gunung Jati dan Sekilas Riwayatnya. Zul Fana, Cirebon. Huebner, A. J., Howell, L. W. 2003. Examining the relationship between adolescent sexul risk-taking and perceptions of monitoring, communication, and parenting style. J Adolesc Health, 33(2), 71-78. Kementerian Kesehatan R.I. 2014. Peraturan Menkes RI No. 3 tahun 2014 tentang sanitasi total berbasis masyarakat. Kementerian Kesehatan, Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. 2010. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2010. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. 2010. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2010-1014. Kementerian Kesehatan, Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Assesment GAVI-HSS In: Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA Provinsi Jawa Barat Kementerian Republik Indonesia, editor. Kementerian Kesehatan. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Kemitraaan Bidan dan Dukun, Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Jakarta. http://www.kesehatanibu.depkes.go.id/wpcontent/uploads/downloads/2011/12/PEDOMANKEMITRAAN-BIDAN-DUKUN.pdf (diakses: 16 Juli 2014). Kementerian Kesehatan RI. 2012. Laporan Hasil Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012. Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. Badan Litbangkes, Surabaya. Kementerian Kesehatan RI. 2012. Sistem Kesehatan Nasional. Kementerian Kesehatan, Jakarta. 297 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Kementerian Kesehatan. 2013. Pedoman Pengendalian Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. PT Balai Pustaka, Jakarta. Koentjaraningrat. 2011. Pengantar Ilmu Antropologi. PT Rineka Cipta, Jakarta. Kumalasari, Intan, et al. 2012. Kesehatan Reproduksi Untuk Mahasiswa Kebidanan dan Keperawatan. Salemba Medika, Jakarta. Kusmiran, Eny. 2011. Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Salemba Medika, Jakarta. Marimbi, Hanum. 2010. Tumbuh kembang, status gizi dan imunisasi dasar pada balita. Nuha offset, Yogyakarta. Mubarak, Wahid Iqbal. 2012. Ilmu Kesehatan Masyarakat konsep dan aplikasi dalam kebidanan. PT. Salemba, Jakarta. Muha. 2011. Sejarah Batik Trusmi, http://sanggarbatikkatura. com/sejarah-batik-trusmi (diakses: 16 Juli 2014) Nasuha , A. Chozin. Banjarmasin, 1-4 November 2010. Dialektika Islam dan Kebudayaan Cirebon, http://dualmode. kemenag.go.id, (diakses: 23 Agustus 2014). Nina H, Lubis (ed.). 2000. Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat. Alqaprint, Bandung. Purwanti, Hubertin Sri. 2004. Konsep Penerapan ASI Ekslusif, Buku Saku Untuk Bidan., EGC, Jakarta. Roesli, Utami. 2000. Mengenal ASI Ekslusif. Trubus Agriwidya, Jakarta. 298 Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Saifuddin, AB. 2007. Buku Panduan Maternal dan neonatal. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. Saifuddin, AB. 2008. Buku Panduan Maternal dan neonatal. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. Saleha, Sitti. 2009. Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas. Salemba Medika, Jakarta. Santrock, John W. 2003. Adolescence perkembangan remaja. Ed 6. W. C. Kristiaji & Y. Sumiharti. Erlangga, Jakarta. Santrock, John W. 2007. Remaja. Erlangga, Jakarta. Sarwon, S.W. 2006. Psikologi remaja (Ed.rev.) PT. Raja Gravindo Persada, Jakarta. Soetjiningsih. 1997. Tumbuh kembang permasalahannya. Sagung Seto, Jakarta. remaja dan Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Penerjemah Misbach Zulfa Elizabeth. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta. Suherni, et all. 2009. Perawatan Masa nifas. Fitramaya, Yogyakarta. Sulendraningrat, PS. 1984. Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon. Keraton Kesepuhan Cirebon, Cirebon. Tim Keraton Kasepuhan Cirebon. 2003. Babad Cirebon, Koleksi Naskah Kuno Keraton Kasepuhan Cirebon. Perpustakaan Nasional RI. Cirebon. Westhof & Ernst, 1992 via Edzard Ernst, dalam “Evidence-based massage therapy: a contradiction in terms?” (http://www.sld.cu/galerias/pdf/sitios/rehabilitaciondoc/massage_therapythe_evidence_for_practice.pdf) (diakses:16 Juli 2014). 299 Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014 Wiknjosastro, Gulardi Hanifa. 1994. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. Yahya, M. Harun. 1995. Kerajaan Islam Nusantara abad XVI & XVII. PT. Kurnia Kalam Sejahtera, Yogyakarta. Yudiroyyan. 2013 . Negara Gede (Grage) bernama Cirebon. Referensi : Negara Kerthabumi (karya P.Wangsakerta 1702 M), http://paguyubanwongcirebon.wordpress.com (diakses: 22 Agustus 2014). Yuli 300 Adam Panji & Toto Amsar Suanda. Berokan. http://www.disparbud.jabarprov.go.id/ (diakses: 22 Agustus 2014).