bab 4 oyog, goyangan lembut jemari dukun bayi

advertisement
Goyangan Lembut Jemari Dukun Bayi
Oyog
Diyah Sri Yuhandani
Karlina
Suratm i
Rika Subarniati
Suharmiati
i
Goyangan Lembut Jemari Dukun Bayi, Oyog
©2014 Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan
dan Pemberdayaan Masyarakat
Penulis
Diyah Sri Yuhandani
Karlina
Suratm i
Rika Subarniati
Suharmiati
Editor
Suharmiati
Desain Cover
Agung Dwi Laksono
Cetakan 1, November 2014
Buku ini diterbitkan atas kerjasama
PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN
DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Jl. Indrapura 17 Surabaya
Telp. 031-3528748, Fax. 031-3528749
dan
LEMBAGA PENERBITAN BALITBANGKES (Anggota IKAPI)
Jl. Percetakan Negara 20 Jakarta
Telepon: 021-4261088; Fax: 021-4243933
e mail: [email protected]
ISBN 978-602-1099-13-1
Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan
dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis
dari penerbit.
ii
Buku seri ini merupakan satu dari dua puluh buku hasil
kegiatan Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2014 di 20 etnik.
Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan
Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat Nomor HK.02.04/1/45/2014, tanggal 3 Januari 2014,
dengan susunan tim sebagai berikut:
Pembina
: Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI.
Penanggung Jawab
: Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan
Kesehatan dan Pemberdayaan
Masyarakat
Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari H., MMed (PH)
Ketua Pelaksana
: dr. Tri Juni Angkasawati, MSc
Ketua Tim Teknis
: dra. Suharmiati, M.Si
Anggota Tim Teknis
: drs. Setia Pranata, M.Si
Agung Dwi Laksono, SKM., M.Kes
drg. Made Asri Budisuari, M.Kes
Sugeng Rahanto, MPH., MPHM
dra.Rachmalina S.,MSc. PH
drs. Kasno Dihardjo
Aan Kurniawan, S.Ant
Yunita Fitrianti, S.Ant
Syarifah Nuraini, S.Sos
Sri Handayani, S.Sos
iii
Koordinator wilayah
:
1. dra. Rachmalina Soerachman, MSc. PH : Kab. Boven Digoel
dan Kab. Asmat
2. dr. Tri Juni Angkasawati, MSc : Kab. Kaimana dan Kab. Teluk
Wondama
3. Sugeng Rahanto, MPH., MPHM : Kab. Aceh Barat, Kab. Kep.
Mentawai
4. drs. Kasno Dihardjo : Kab. Lebak, Kab. Musi Banyuasin
5. Gurendro Putro : Kab. Kapuas, Kab. Landak
6. Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) : Kab. Kolaka Utara,
Kab. Boalemo
7. Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes : Kab. Jeneponto, Kab.
Mamuju Utara
8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes : Kab. Sarolangun, Kab.
Indragiri Hilir
9. dr. Betty Roosihermiatie, MSPH., Ph.D : Kab. Sumba Timur.
Kab. Rote Ndao
10. dra. Suharmiati, M.Si : Kab. Buru, Kab. Cirebon
iv
KATA PENGANTAR
Mengapa Riset Etnografi Kesehatan 2014 perlu dilakukan ?
Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan
masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan
pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan
menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah
mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu
dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu
cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk
itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif
mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait
kesehatan.
Dengan mempertemukan pandangan rasional dan
indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan
menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan caracara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. Simbiose ini juga
dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa
kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan
masalah untuk meningkatkan status kesehatan di Indonesia.
Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 20 buku
seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2014 yang dilaksanakan di
berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna
menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun
agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya
pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal.
Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan,
partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam penyelesaian buku
seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan-Kementerian Kesehatan
v
RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora
untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2014, sehingga
dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.
Surabaya, Nopember 2014
Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan
Pemberdayaan Masyarakat
Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI.
drg. Agus Suprapto, M.Kes
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
v
vii
xi
xii
BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................
1
1.1. Latar Belakang .......................................................
1.2. Masalah Penelitian .................................................
1.3. Topik Penelitian .....................................................
1.4. Pertanyaan Penelitian ............................................
1.5. Tujuan Penelitian ...................................................
1.5.1. Tujuan Umum .....................................................
1.5.2. Tujuan Khusus .....................................................
1.6. Luaran ....................................................................
1.7. Manfaat Penelitian ................................................
1.8. Metode ..................................................................
1.8.1. Kerangka Teori ....................................................
1.8.2. Kerangka Konsep ................................................
1.9. Tempat dan Waktu Penelitian ................................
1.10. Jenis Penelitian ....................................................
1.11. Desain Penelitian .................................................
1.12. Populasi dan Informan Penelitian .........................
1.13. Cara Pemilihan Informasn ....................................
1.14. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data ...............
1.14.1. Instrumen ..........................................................
1.14.2. Cara Pengumpulan Data.....................................
1.15. Analisis Data ........................................................
1
7
8
8
9
9
9
9
9
11
11
12
13
14
14
14
15
15
15
16
17
vii
BAB 2 GAMBARAN UMUM KABUPATEN CIREBON ........
19
2.1. Gambaran Umum Wilayah .....................................
2.1.1. Sejarah Cirebon ..................................................
2.1.2. Pusat Pemerintahan Kabupaten Cirebon ............
2.1.3. Kecamatan Pabedilan .........................................
2.1.4. Desa Dukuh Widara ............................................
2.2. Kependudukan ......................................................
2.2.1. Bahasa ................................................................
2.2.2. Sarana dan Prasarana .........................................
2.2.3. Ekonomi dan Mata Pencaharian .........................
2.2.4. Perekonomian ....................................................
2.2.5. Organisasi Sosial .................................................
2.2.6. Sistem Pemukiman .............................................
2.2.7. Sistem Religi .......................................................
2.2.8. Kesenian .............................................................
2.2.9. Pengetahuan ......................................................
19
20
27
33
34
39
39
41
43
49
50
55
57
61
68
BAB 3 GAMBARAN KESEHATAN MASYARAKAT DUKUH WIDARA
............................................................................
77
3.1. Budaya Kesehatan Ibu dan Anak ............................
3.1.1. Gambaran Kondisi KIA ........................................
3.1.2. Remaja ...............................................................
3.1.3. Penantian Kehamilan ..........................................
3.1.4. Masa Kehamilan .................................................
3.1.5. Persalinan ...........................................................
3.1.6. Nifas ...................................................................
3.1.7. Neonatus dan Bayi ..............................................
3.1.8. Anak dan Balita ...................................................
3.2. Penyakit Menular ..................................................
3.2.1. TB Paru ...............................................................
viii
77
77
78
96
100
111
116
126
132
139
140
3.2.2. Kusta ...................................................................
3.3. Penyakit Tidak Menular .........................................
3.3.1. Hipertensi ...........................................................
3.3.2. Diabetes Melitus .................................................
3.3.3. Gangguan Jiwa ....................................................
3.4. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ............................
3.4.1. Persalinan oleh Tenaga Kesehatan .......................
3.4.2. Melakukan Penimbangan Bayi dan Balita .............
3.4.3. Memberikan ASI Ekslusif ......................................
3.4.4. Mencuci Tangan dengan Air Bersih dan Sabun .....
3.4.5. Memakai Jamban Sehat .......................................
3.4.6. Aktivitas Fisik Masyarakat ....................................
3.4.7. Konsumsi Buah dan Sayur ....................................
4.3.8. Merokok Dalam Rumah .......................................
4.3.9. Penggunaan Air Bersih .........................................
4.3.10. Memberantas Jentik Nyamuk.............................
144
152
153
154
156
161
161
164
171
176
177
179
181
183
185
187
BAB IV OYOG, GOYANGAN LEMBUT JEMARI DUKUN BAYI
.............................................................................
191
4.1. Dukun Bayi..............................................................
4.1.1. Karakteristik Dukun Bayi .....................................
4.1.2. Peran Dukun Bayi ................................................
4.1.3. Prinsip Kerja Sak Iklase ........................................
4.2. Tradisi Pijat ............................................................
4.2.1. Jenis-jenis Pijat ....................................................
4.3. Oyog ......................................................................
4.3.1. Definisi Oyog .......................................................
4.3.2. Proses Oyog: Komunikasi Yang Hangat ................
4.3.3. Gerakan Oyog .....................................................
4.3.4. Oyog, Anjuran Dari Para Orang Tua .....................
4.3.5. Jenis-jenis Oyog ..................................................
4.3.6. Manfaat Oyog .....................................................
192
194
202
222
223
223
228
228
232
234
237
240
259
ix
4.3.7. Pro-kontra Oyog .................................................
4.3.8. Gerakan Oyog dan Leopold ................................
4.3.9. Faktor-faktor Yang Mungkin Mendorong Seseorang
Untuk Dioyog ......................................................
4.3.10. Kontradiksi Oyog ...............................................
4.3.11. Keberlangsungan Oyog ......................................
4.3.12. Jangkauan Dukun Bayi Melakukan Oyog ............
262
265
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .....................
277
5.1. Kesimpulan ............................................................
5.2. Rekomendasi..........................................................
277
285
INDEKS ..........................................................................
287
GLOSARIUM ..................................................................
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................
292
295
x
268
270
276
276
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1.
Tabel 4.1.
Kegiatan Posyandu di Desa Dukuh
Widara, tahun 2014
Dukun Bayi Yang Ada di Wilayah Kerja
Puskesmas Kalibuntu, 2014
xi
167
193
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1.
Gambar 2.1.
Gambar 2.2.
Gambar 2.3.
Gambar 2.4.
Gambar 2.5.
Gambar 2.6.
Gambar 2.7.
Gambar 2.8.
Gambar 2.9.
Gambar 2.10.
Gambar 2.11.
Gambar 2.12.
Gambar 2.13.
Gambar 2.14.
Kerangka Konsep Penelitian
Keraton Kesepuhan Cirebon
Ornamen di Istana Kesultanan Cirebon
yang bercorak Tiongkok
Gebang, salah satu pelabuhan laut
terbesar di Kabupaten Cirebon
Peta Wilayah Cirebon
Mega Mendung, motif batik khas
Cirebon
Peta Desa Dukuh Widara
Pohon Bidara/Widara
Struktur Pemerintahan Desa Dukuh
Widara
Jalan antar kabupaten yang membelah
desa
Pertanian padi sawah, salah satu mata
pencaharian utama penduduk Desa
Dukuh Widara
Bawang merah, salah satu hasil
pertanian Desa Dukuh Widara
Pembuatan batu bata dengan
memanfaatkan endapan lumpur sungai
Cisanggarung
Lembaga kursus bahasa asing untuk
memfasilitasi masyarakat yang ingin
keluar negeri
Diagram kekerabatan masyarakat Desa
Dukuh Widara
xii
13
22
25
28
29
32
34
36
38
41
43
44
46
48
52
Gambar 2.15.
Gambar 2.16.
Gambar 2.17.
Gambar 2.18.
Gambar 3.1.
Gambar 3.2.
Gambar 3.3.
Gambar 3.4.
Gambar 3.5.
Gambar 3.6.
Gambar 3.7.
Gambar 3.8.
Gambar 3.9.
Gambar 3.10.
Gambar 3.11.
Gambar 3.12.
Gambar 3.13.
Gambar 3.14.
Pemukiman Desa Dukuh WIdara
Kompleks makam Sunan Gunung Jati
yang banyak dikunjungi
Barongan dan pentul
Rombongan Burokan yang akan
melakukan pertunjukan
Jamu bersalin komplit
Perawatan bayi oleh dukun bayi
Kegiatan Posyandu
Penderita gangguan jiwa yang dipasung
oleh keluarganya
Tempat Kegiatan Posyandu Blok Kliwon
Desa Dukuh Widara
Kegiatan kelas ibu hamil di Desa
Dukuh Widara
Jamu tradisional yang dikonsumsi
saat ibu nifas
Anak yang sedang buang air besar di
pekarangan pohon bambu
Pembakaran sampah oleh warga di
pekarangan
Peralatan masak yang digunakan salah
satu warga masyarakat
Tempat masak menggunakan kayu di
rumah salah satu warga
Suami yang merokok di dalam rumah
dekat istrinya yang sedang hamil
Tempat mandi dan sumber air untuk
mandi warga
Tempat penampungan air sementara
untuk minum dan masak
xiii
56
58
64
66
118
129
139
161
170
172
174
178
179
182
183
184
185
186
Gambar 3.15.
Gambar 3.16.
Gambar 3.17.
Gambar 4.1.
Gambar 4.2.
Gambar 4.3.
Gambar 4.4.
Gambar 4.5.
Gambar 4.6.
Gambar 4.7.
Gambar 4.8.
Gambar 4.9.
Gambar 4.10.
Tempat penampungan air sementara
untuk keperluan sehari-hari
Tempat mandi warga
Penggunaan kelambu di dalam kamar
tidur warga
Perlengkapan nebus weteng
Bubur lolosan
Memandikan bayi oleh dukun bayi
Bayi dalam geyongan yang dihias aneka
bunga dan perwanten
Ritual mangku
Ari-ari yang disimpan di dalam kendi
tanah liat, dengan bunga-bungaan, lowe
ginjel dan angen-angen
Ritual nyukur, sajen, dan candil
Salah satu gerakan oyog
Gerakan oyog yang lain
Persamaan manuver Leopold dengan
gerakan oyog
xiv
188
188
189
203
206
210
211
213
215
218
235
236
266
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masalah kesehatan tidak terlepas dari faktor-faktor sosial
budaya dan lingkungan di dalam masyarakat tempat mereka
berada. Faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya
seperti konsepsi-konsepsi mengenai berbagai pantangan,
hubungan sebab-akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit,
kebiasaan, dan pengetahuan tentang kesehatan, dapat
membawa dampak positif maupun negatif terhadap kesehatan.
Hal tersebut merupakan potensi dan kendala yang perlu digali.
Semakin disadari bahwa budaya tidak bisa diabaikan
dalam mempengaruhi status kesehatan masyarakat. Oleh karena
itu sangat penting dilakukan Riset Khusus Budaya Kesehatan
sebagai upaya peningkatan status kesehatan di masyarakat.
Konsekuensi logis harus dipahami bahwa keanekaragam budaya
yang ada di wilayah Indonesia memerlukan pemahaman yang
cermat untuk setiap daerah dengan Etnik tertentu. Dengan
demikian diharapkan adanya pemahaman budaya daerah secara
spesifik, dengan menggali unsur kearifan lokal akan dapat
digunakan sebagai strategi upaya kesehatan dengan tepat secara
lokal spesifik.
Secara objektif, setiap kelompok masyarakat tertentu
mempunyai persepsi kesehatan (konsep sehat sakit) yang
berbeda. Hal ini sangat ditentukan oleh kebudayaan masyarakat
1
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
yang bersangkutan. Sehingga setiap orang yang terganggu
kesehatannya akan mencari jalan untuk menyembuhkan diri dari
gangguan kesehatan atau penyakit yang dialaminya. Berbagai
upaya tentunya akan dilakukan oleh setiap orang untuk
mengatasi masalah tersebut, melalui pencarian pengobatan
dengan self treatment maupun upaya mencari pengobatan ke
tenaga kesehatan.
Keberadaan budaya kesehatan yang menjadi ciri khas pola
kehidupan, dan yang telah menjadi tradisi yang turun temurun,
memiliki potensi sangat besar untuk mempengaruhi kesehatan
baik dari sisi negatif maupun positif. Kebudayaan yang memiliki
dampak positif sudah semestinya dilestarikan, agar tidak pudar
bahkan punah oleh arus modernisasi. Namun demikian terhadap
budaya yang memiliki pengaruh negatif tidak serta merta harus
dihilangkan, karena hal tersebut akan sangat sulit dilakukan.
Pemberian pengetahuan kepada masyarakat dan upaya
mengkreasikan/memodifikasi budaya itu sendiri untuk
mengurangi/menghilangkan pengaruh dari budaya/tradisi
tersebut. Memahami status kesehatan masyarakat berdasarkan
budaya merupakan salah satu upaya meningkatkan status
kesehatan itu sendiri.
Indikator penting yang menentukan derajat kesehatan
masyarakat adalah kematian ibu dan bayi. Angka Kematian Ibu
(AKI) yaitu sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup, dan Angka
Kematian Bayi ( AKB ) yaitu sebesar 32 per 1000 kelahiran hidup
pada tahun 2012, menunjukkan bahwa AKI dan AKB di Indonesia
masih jauh dari yang diharapkan untuk mencapai target
Millenium Development Goal’s (MDG’s) pada tahun 2015 , yaitu
102 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB sebesar 23 per 1000
kelahiran hidup1. Morbiditas dan mortalitas pada wanita hamil
1
Sumber: Badan Pusat Statistik. 2012
2
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
dan bersalin merupakan masalah yang besar bagi negara miskin
dan berkembang seperti Indonesia.
Kondisi tersebut sangat memprihatinkan banyak pihak,
khususnya Angka Kematian Ibu, yang meningkat sangat signifikan
dibandingkan dengan survei 5 tahun sebelumnya, yang angkanya
hanya berkisar 278/100.000 kelahiran hidup.2 Provinsi Jawa Barat
merupakan Provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di
Indonesia pada tahun 2011, dan merupakan penyumbang
terbesar kedua kematian ibudi Indonesia setelah Provinsi Papua.
Berbagai upaya Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dilakukan
untuk mengatasi perbedaan yang sangat besar antara AKI dan
AKB di negara maju dan di negara berkembang seperti Indonesia.
Selain AKI dan AKB data tentang kondisi kesehatan di masyarakat
didapatkan dari Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar).
Berdasarkan data Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi
hipertensi sebesar 31,7%, Balita stunting (36,8%) dan akses
sanitasi (43%), sedangkan data Riskesdas 2010 menunjukkan
insidens malaria (22,9‰), Balita stunting (35,7%), akses terhadap
sumber air minum terlindung (45%), dan akses terhadap
pembuangan tinja yang layak sebesar 55,5%. Hal ini
menunjukkan bahwa masalah kesehatan tidak hanya pada status
kesehatan ibu dan anak saja, namun termasuk masalah penyakit
tidak menular, penyakit menular, gizi dan PHBS.3
Data Susenas 2007 menunjukkan bahwa hanya sekitar 35
persen penduduk sakit yang mencari pertolongan ke fasilitas
pelayanan kesehatan.4 Dari data tersebut di atas nampak bahwa
cukup banyak penduduk yang tidak memanfaatkan fasilitas
kesehatan terbukti sebesar 55,4% persalinan terjadi di fasilitas
2
Sumber: Badan Pusat Statistik. 2007
3
Sumber : Kementerian Kesehatan R.I, 2010
4
Sumber: Badan Pusat Statistik. 2007
3
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
kesehatan dan sebesar 43,2% melahirkan di rumah. Dari jumlah
ibu yang melahirkan di rumah 51,9 persen ditolong bidan dan
sebesar 40,2% ditolong dukun bersalin. Masih tingginya
pemanfaatan dukun bersalin serta keinginan masyarakat untuk
melahirkan di rumah, terkait dengan faktor-faktor sosial
budaya.Hasil penelitian Riset Etnografi Kesehatan (REK) tahun
2012 di 12 Etnik di Indonesia menunjukkan masalah kesehatan
ibu dan anak terkait budaya kesehatan sangat memprihatinkan.
Pantangan mengkonsumsi makanan yang justru
mengurangi asupan pemenuhan gizi sangat mempengaruhi
status gizi ibu hamil.5 Keharusan ibu hamil untuk tetap bekerja
keras sampai mendekati persalinan juga sangat membahayakan
baik bagi ibu maupun janinnya. Mereka beranggapan bahwa ibu
yang bekerja keras saat hamil akan memudahkan dan
melancarkan persalinannya. Pilihan utama untuk persalinan
dilakukan dirumah dan dibantu oleh dukun karena ibu merasa
aman dari gangguan roh jahat serta nyaman karena ditunggui
oleh keluarga.
Pola dasar kesehatan masyarakat tidak terlepas dari
masalah sosial budaya. Rencana Strategi Kementerian Kesehatan
tahun 2010-2014 tentang program Gizi dan KIA menyebutkan
indikator tercapainya sasaran hasil tahun 2014 yaitu persentase
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih sebesar 90
persen dan kunjungan neonatal pertama (KN1) sebesar 90 persen
serta persentase balita yang ditimbang berat badannya (jumlah
balita ditimbang/balita seluruhnya atau D/S) sebesar 85 persen.6
Luaran yang diharapkan adalah meningkatnya kualitas
pelayanan ibu dan anak serta pelayanan reproduksi. Untuk
mencapai hal tersebut bukanlah hal mudah. Strategi
5
Sumber: Kementerian Kesehatan R.I, 2012
6
Sumber: Kementerian Kesehatan R.I, 2010
4
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
pembangunan kesehatan seperti yang tertuang dalam Rencana
Pengembangan Jangka Panjang Bidang Kesehatan tahun 2005 –
2025 antara lain menyebutkan tentang pemberdayaan
masyarakat. Peran masyarakat dalam pembangunan kesehatan
semakin penting. Masalah kesehatan perlu diatasi oleh
masyarakat sendiri dan pemerintah. Keberhasilan pembangunan
kesehatan, penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan harus
berangkat dari masalah dan potensi spesifik daerah termasuk di
dalamnya sosial dan budaya setempat. Pemberdayaan
masyarakat berbasis pada masyarakat artinya pembangunan
kesehatan berbasis pada tata nilai perorangan, keluarga dan
masyarakat sesuai dengan keragaman sosial budaya, kebutuhan
permasalahan serta potensi masyarakat (modal sosial).7
Kekayaan budaya Indonesia dari berbagai Etnik bangsa
yang tersebar di seluruh Indonesia telah mewarnai upaya
kesehatan. Upaya kesehatan bisa berupa pelayanan konvensional
maupun tradisional dan alternatif komplementer berupa
kegiatan preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif. Upaya
kesehatan diselenggarakan guna menjamin tercapainya derajat
kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Dalam hal pelayanan
kesehatan meliputi pula pelayanan kesehatan berbasis
masyarakat, di dalamnya termasuk pengobatan dan cara-cara
tradisional yang terjamin keamanan dan khasiatnya.
Salah satu unsur budaya dalam masyarakat yang terkait
dengan kesehatan adalah adanya tenaga tradisional yang
berperan dalam bidang kesehatan. Tenaga tradisional dalam
bidang kesehatan yang terlibat langsung dalam asuhan kesehatan
ibu dan anak adalah dukun bayi. Tenaga tradisional tersebut,
merupakan salah satu upaya pelayanan kebidanan dalam
etnomedis berupa perawatan dalam pemeliharaan kesehatan
7
Sumber: Kementerian Kesehatan R.I, 2012
5
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
atau penyembuhan dari sakit yang dilakukan oleh dukun, baik
pria maupun wanita, biasanya dilakukan di rumah
pasien/penderita atau rumah dukun tersebut. Cara-cara
mengobati penderita itu sendiri antara lain:
1) Dengan membaca mantra-mantra sebagai ungkapan
memohon pertolongan kepada Tuhan YME. Selain itu,
doa atau mantra ini akan menciptakan semacam
gelombang suara dengan frekuensi tertentu yang mampu
memberikan rangsang atau impuls pada otak sehingga
memicu dikeluarkannya hormon-hormon yang sifatnya
menenangkan. Kondisi demikian hampir menyerupai
fungsi dari obat penenang namun tanpa efek samping.
2) Dengan mengusir setan-setan yang mengganggu. Pada
umumnya kegiatan tersebut, disertai dengan menyajikan
kurban-kurban ditempat itu. Upacara pengusiran setan
memiliki makna sebagai pelepas dosa. Hal ini akan
menimbulkan efek secara fisik dan psikologis sehingga
pasien merasa terbebaskan dari beban perasaan
perbuatan di masa lalu. Efek fisiknya adalah memberikan
rasa nyaman dan rileks dikarenakan perasaan sudah
terhapus dosa yang perah dilakukannya.
3) Melakukan massage/pijat/mengurut penderita. Hal ini
dilakukan sebagai bentuk asuhan sayang pada ibu, karena
diyakini oleh para ibu bahwa setiap pijatan memberikan
efek relaksasi dan mampu mengurangi rasa nyeri karena
berbagai ketidaknyamanan baik dalam kehamilan
ataupun dalam persalinan dengan melakukan pemijatan
pada daerah tertentu.
4) Pantangan makanan. Pada jenis pengobatan ini,
penderita harus melakukan pantangan atau diet yang
ditentukan oleh dukun dan pada umumnya berlaku untuk
makanan yang berbau amis/anyir, seperti ikan atau ayam.
6
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
5) Bertapa. Ritual ini juga sering dilakukan oleh dukun
dengan tujuan untuk mendapatkan ilham. Kadang-kadang
dukun juga bertapa untuk menyembuhkan penderita.
6) Pemberian obat tradisional. Obat tradisional yang
dimaksud berasal dari tumbuh-tumbuhan segar baik dari
daun mudanya, batang, kembang maupun akarnya.
Hasil survey menunjukkan bahwa 84,2% desa/kelurahan
di Jawa Barat masih memiliki dukun bayi. Di Wilayah Kabupaten
Cirebon terdapat sebanyak 448 orang dukun bayi,8 dan di Desa
Dukuh Widara Kecamatan Pabedilan Kabupaten Cirebon terdapat
6 dukun bayi. Data tersebut menunjukkan bahwa masih
tingginyaperan dukun bayi dalam pelayanan Kesehatan Ibu dan
Anak di masyarakat,khususnya dalam pelayanan kehamilan,
pertolongan persalinan dan nifas.
1.2. Masalah Penelitian
Dari pemaparan latar belakang tersebut diatas, bisa
dipahami bahwa masalah kesehatan terkait erat dengan kondisi
sosial budaya masyarakat. Oleh karena itu sangat diperlukan
adanya kajian yang mendalam dan spesifik di setiap daerah
dengan Etnik tertentu.
Berbagai aspek yang terkait dengan 7 unsur budaya
sangat penting dikaji. Harapannya penggalian tentang kondisi
kesehatan masyarakat Desa Dukuh Widara yang meliputi
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Penyakit Tidak Menular (PTM),
Penyakit Menular (PM) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS) dan menyertakan unsur-unsur budaya tersebut, akan
8
Sumber: Kementerian Kesehatan RI .Diretorat Jenderal Bina Gizi dan KIA
Provinsi Jawa Barat. 2011.
7
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
membuat gambaran tersebut menjadi lebih konkrit. Pada
akhirnya upaya kesehatan yang dilakukan menjadi tepat sasaran.
Selain itu pada bidang KIA khususnya didapatkan
informasi masih dilakukannya budaya oyog pada ibu hamil.
Budaya tersebut masih berlaku secara turun temurun, namun
hingga kini, belum ditemukan bukti tentang kemanfaatannya.
Oleh karena itu diperlukannya riset untuk mengetahui
bagaimana gambaran Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) khususnya
budaya oyog dalam kehamilan, Penyakit Tidak Menular (PTM),
Penyakit Menular (PM) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS) di Desa Dukuh Widara?
1.3. Topik Penelitian
Penelitian ini mengambil topik budaya kesehatan terkait
masalah kesehatan yang meliputi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA),
Penyakit Tidak Menular (PTM), Penyakit Menular (PM) dan
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang dilaksanakan di
Desa Dukuh Widara, Kecamatan Pabedilan kabupaten Cirebon.
1.4. Pertanyaan Penelitian
Dari uraian di atas maka pertanyaan penelitian adalah
bagaimana gambaran secara menyeluruh aspek potensi budaya
masyarakat terkait masalah Kesehatan Ibu dan Anak, Penyakit
Tidak Menular, Penyakit Menular dan Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat didi Desa Dukuh Widara, Kecamatan Pabedilan kabupaten
Cirebon?
8
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
1.5. Tujuan
1.5.1. Tujuan Umum
Mendapatkan gambaran secara menyeluruh aspek
potensi budaya masyarakat terkait masalah kesehatan yang
meliputi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Penyakit Tidak Menular
(PTM), Penyakit Menular (PM) dan Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS) yang dilaksanakan di Desa Dukuh Widara,
Kecamatan Pabedilan Kabupaten Cirebon.
1.5.2. Tujuan Khusus
1) Mengidentifikasi secara mendalam unsur-unsur budaya
yang mempengaruhi kesehatan meliputi Kesehatan Ibu
dan Anak (KIA), Penyakit Tidak Menular (PTM), Penyakit
Menular (PM) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
di masyarakat Desa Dukuh Widara.
2) Mengidentifikasi peran dan fungsi sosial masyarakat yang
berpengaruh terhadappengambilan keputusan terkait
dengan pelayanan kesehatan.
1.6. Luaran/Output
1) Satu buah buku seri Etnografi Kesehatan kabupaten
Cirebon
2) Satu buah dokumentasi film Budaya Kesehatan di
Kabupaten Cirebon.
3) Satu buah Draf Modul: “Oyog sebagai langkah awal
Leopold.”
1.7. Manfaat
Hasil riset ini akan sangat bermanfaat untuk menentukan
strategi pembangunan kesehatan dengan memperhatikan
9
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
kearifan lokal di berbagai elemen antara lain untuk pengelola
program kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Pemerintah
Daerah/Provinsi/Kabupaten/Kota, dan Dinas Kesehatan Daerah.
Sementara itu,sebagai pembekalan pengetahuan sangat
bermanfaat bagi institusi pendidikan terutama Perguruan Tinggi
dan Pendidikan Tenaga Kesehatan lainnya.
1) Bagi Kementerian Kesehatan RI:
Menentukan strategi pembangunan kesehatan di
berbagai elemen dengan unsurbudaya lokal spesifik.
Bagi Dinas kesehatan dan jajarannya:
2) Memberikan masukan pada program untuk peningkatan
status kesehatan, khususnyaakselerasi penurunan Angka
Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB),
penanggulangan penyakit tidak menular dan penyakit
menular serta peningkatan perilakuhidup bersih dan
sehat dengan pendekatan sosial budaya masyarakat
setempat.
3) Bagi perguruan tinggi/akademisi:
Menambah pengetahuan dan informasi tentang variasi
potensi budaya terkait statuskesehatan masyarakat di
Indonesia. Selain itu sangat memungkinkan ditemukan
hal-hal baru/inovasi sebagai hasil riset yang dapat
diterapkan dalam kurikulum.
4) Bagi masyarakat umum:
Diharapkan dapat meningkatkan status kesehatan
masyarakat dengan pendekatan sosial budaya setempat/
kearifan lokal.
10
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
1.8.
Metode
1.8.1. Kerangka Teori
Kesehatan merupakan bagian integral dari kebudayaan.
Manusia mampu melakukan aktivitas kebudayaan jika dalam
keadaan sehat, baik lahir maupun batin sehingga dapat dipahami
bahwa kesehatan merupakan elemen penting bagi kebudayaan.
Begitu pula sebaliknya, kebudayaan juga menjadi pedoman bagi
masyarakat dalam memahami kesehatan. Untuk itu, memahami
masalah kesehatan yang ada di masyarakat melalui kebudayaan
sangat penting dilakukan, karena masalah kesehatan tidak
pernah lepas dari situasi dan kondisi masyarakat dan budayanya9.
Mengutip pandangan dari Heddy Shri Ahimsa-putra (2005),
bahwa dalam pandangan pakar ilmuwan sosial budaya, masalah
kesehatan dalam suatu masyarakat sangat erat kaitannya antara
fasilitas kesehatan, sarana transportasi dan komunikasi yang ada
dalam suatu masyarakat, dengan kepercayaan, jenis mata
pencaharian serta lingkungan masyarakat tersebut berada.
Dilihat dari perspektif ini masalah kesehatan tidak lagi dipahami
dan diatasi hanya dengan memusatkan perhatian pada kesehatan
tubuh tetapi memiliki makna yang kompleks, yaitu hasil dari
proses interaksi antara unsur-unsur internal dengan unsur
ekternal tubuh.
Pada masa kehamilan, persalinan dan nifas serta bayi
baru lahir, budaya juga memberikan kontribusi atau
pengaruhnya, misalnya adanya pantangan-pantangan atau
anjuran yang masih dilakukan pada masa-masa tersebut.
Pantangan ataupun anjuran ini biasanya berkaitan dengan proses
pemulihan kondisi fisik, misalnya ada makanan tertentu yang
dilarang dikonsumsi misalnya telur, daging dan ikan saat ibu pada
9
Sumber: Ahimsa, Putra, Heddy Shri. 2005
11
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
masa nifas. Selain itu secara tradisional juga terdapat praktekpraktek yang dilakukan oleh dukun bayi untuk mengembalikan
kondisi fisik dan kesehatan ibu. Misalnya mengurut perut yang
bertujuan untuk menggembalikan rahim ke posisi semula,
memasukkan ramuan-ramuan tertentu seperti daun-daunan ke
dalam vagina dengan maksud membersihkan darah dan cairan
yang keluar karena proses persalinan.
1.8.2. Kerangka Konsep Penelitian
Teori Blum menjelaskan tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi status kesehatan seseorang antara lain perilaku,
lingkungan, pelayanan kesehatan dan faktor keturunan.10
Lingkungan yang dimaksud dalam definisi tersebut adalah,
lingkungan fisik, sosial, ekonomi dan budaya. Teori
Koentjaraningrat menjelaskan tentang pengaruh tujuh unsur
budaya terhadap kesehatan yang meliputi 1) alam, kedudukan
dan tempat tinggal; 2) organisasi sosial dan sistem kekerabatan;
3) sistem teknologi; 4) sistem pengetahuan; 5) system mata
pencaharian; 6) sistem religi dan 7) kesenian.11
Kerangka konsep dalam penelitian ini menggabungkan
antara kedua teori tersebut. Kerangka konsep tersebut
digambarkan dalam gambar sebagai berikut:
10
Sumber: Ahimsa, Putra, Heddy Shri, 2005
11
Sumber: Koentjaraningrat, 2011
12
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
1.
Keturunan
2.
Pelaya
nan
Status
Kesehatan
n
Lingkungan
Perilaku
3.
4.
5.
6.
7.
UNSUR- UNSUR
BUDAYA
Kondisi alam,
kependudukan &
tempat
Organisasi sos &
sistem
kekerabatan
Sistem
pengetahuan
Sistem Teknologi
Sistem Mata
Pencaharian
Sistem religi
Kesenian
Gambar 1.1.
Kerangka konseppenelitian modifikasi H.L. Blumdan Koentjaraningrat
1.9. Tempat dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Desa Dukuh Widara
Kecamatan Pabedilan. Kabupaten Cirebon yang merupakan
daerah tidak bermasalah kesehatan dan tidak miskin (KaF).
Pertimbangan khusus pada lokasi ini karena di Kabupaten
Cirebon terdapat 448 orang dukun bayi(paraji). Para dukun
bayitersebut masih berperan melakukan praktek pelayanan
kehamilan dengan budaya oyog, yaitu melakukan pijatan pada
daerah perut ibu hamil yang bertujuan untuk mengurangi
berbagai keluhan dalam kehamilan seperti nyeri perut bagian
bawah dan memperlancar persalinan.
13
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
1.10. Jenis Penelitian
Secara konseptual penelitian ini adalah penelitian
kualitatif etnografi.
1.11. Desain Penelitian
Riset ini didesain sebagai riset khusus kesehatan nasional
dengan desain eksploratif dengan metode etnografi. Pada
penelitian etnografi ini, peneliti diharuskan terjun secara
langsung ke lapangan untuk mencari data melalui informan yang
terpilih.
Desain penelitian dengan etnografi memiliki beberapa
manfaat. Beberapa manfaat tersebut antara lain, yaitu 1)
memberikan informasi tentang adanya teori-teori ikatan budaya,
2) menemukan teori baru sekaligus mengoreksi teori formal, 3)
memahami masyarakat kecil sekaligus masyarakat kompleks, 4)
memahami perilaku manusia sebagai perilaku yang bermakna
sekaligus perbedaannya dengan perilaku binatang dan 5) yang
terpenting adalah memahami manusia sekaligus kebutuhannya.12
1.12. Populasi dan Informan Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat
di Desa Dukuh Widara. Informan adalah masyarakat yang terlibat
secara budaya dan berpengaruh terhadap kesehatan baik dari sisi
provider kesehatan, pengguna fasilitas kesehatan, tokoh-tokoh
yang berpengaruh, dan semua orang yang dapat memberikan
informasiterkait dengan topik penelitian ini.
12
Sumber: Spradley, James P. 1997
14
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
1.13. Cara Pemilihan Informan
Pemilihan informan secara purposif dengan teknik
snowball sampling. Kriteria informan dalam penelitian ini adalah:
1) Remaja, keluarga, dan tetangganya.
2) Ibu yang sedang atau pernah hamil dan bersalin,
suaminya, dan keluarganya.
3) Ibu yang memiliki anak bayi atau balita, suaminya,
dan keluarganya.
4) Tokoh masyarakat, tokoh agama, atau tokoh adat yang
mengetahui budaya setempat.
5) Pengobat tradisional, seperti dukun, paraji (dukun bayi),
dan pengobatan alternatif lainnya.
6) Petugas kesehatan Puskesmas dan jaringannya.
Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah Informan
berasal dari warga masyarakat yang merupakan warga asli dan
bertempat tinggal di Desa Dukuh Widara serta bersedia menjadi
informan penelitian yang dibuktikan dengan pernyataan
persetujuan informan. Sedangkan kriteria eksklusi dalam
penelitian ini adalah informan yang tidak paham atau kurang
memahami unsur-unsur budaya yang diteliti.
1.14. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data
1.14.1.Instrumen
Dalam metode penelitian etnografi, instrumen penelitian
adalah peneliti itu sendiri. Sebagai instrumen penelitian, peneliti
melakukan observasi partisipasi, yaitu peneliti tinggal dan hidup
bersama masyarakat untuk mengeksplorasi dan mengamati
15
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
informasi yang ingin diketahui terkait dengan kesehatan
masyarakat setempat.
Instrumen pendukung sebagai pedoman untuk mencari
data. Instrumen tersebut meliputi:
1. Pedoman Indepth Interview
Indepth Interview dilakukan kepada key informant
(informan utama), yaitu pelaku budaya itu sendiri atau
informan lain yang mengetahui tentang budaya setempat.
2. Pedoman pengamatan
Pedoman pengamatan dibuat sebagai pedoman peneliti
dalam mengamati fenomenayang ada.
3. Buku catatan harian (logbook).
Buku ini digunakan untuk mencatat setiap kejadian yang
dialami peneliti setiapharinya.
4. Kamera foto, video dan perekam suara.
1.14.2. Cara Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan
secara langsung (observasi partisipatoris), wawancara mendalam
dan dokumentasi serta penelusuran referensi dan data sekunder.
Dalam metode kualitatif, yang perlu digali adalah
berbagai informasi yang bersumber dari masyarakat itu sendiri
(emic). Validitas data diukur dari pemahaman masyarakat (yang
dijadikan informan penelitian) atas berbagai aspek dari
kehidupannya, dan keberadaan program/kebijakan kesehatan.
Selain wawancara dan observasi partisipatoris, peneliti
juga akan melakukan penelusuran data sekunder, referensi dan
pustaka yang berkaitan dengan substansi peneltian.Wawancara
mendalam, observasi partisipatif dan bila dibutuhkan kajian
dokumen digunakan untuk memperoleh informasi yang lebih
16
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
mendetail dan mendalam mengenai produk, sarana dan
prasarana upaya kesehatan di masyarakat.
1.15. Analisis data
Terdapat empat jenis analisis data yang digunakan dalam
penelitian kualitatif,yaitu analisis domain, analisis taksonomi,
analisis komponensial, analisis tema kultural.
1. Analisis Domain.
Analisis domain dilakukan untuk memperoleh gambaran
atau pengertianyang bersifat umum dan relatif menyeluruh
tentang apa yang tercakup di suatu focus atau pokok
permasalahan yang tengah diteliti.
2. Analisis Taksonomi
Analisis domain jelas masih belum rinci dan mendalam
karena ia merupakan produk kegiatan penjelasan umum.
Hasil penjajakan menyeluruh tentu saja masih bergerak di
tingkat permukaan. Namun demikian hasil analisis domain
tersebut dapat dijadikan sandaran bertolak untuk
penelaahan yang lebih rinci dan mendalam, yang perlu
difokuskan kepada masalah-masalah atau domain-domain
tertentu. Analisis lebih lanjut yang lebih rinci dan
mendalam disebut analisis taksonomi. Fokus penelitian
ditetapkan terbatas pada domain tertentu yang sangat
berguna dalam upaya mendeskripsikan atau menjelaskan
fenomena atau fokus yang menjadi sasaran semua
penelitian.
3. Analisis Komponensial
Pada analisis taksonomi, yang ditunjukan ialah sruktur
internal masing-masing domain dengan mengorganisasikan
atau menghimpun elemen-elemen yang berkesamaan di
suatu domain. Hal ini diperoleh melalui observasi dan
17
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
wawancara terfokus. Sedang pada analisis komponensial,
yang diorganisasikan bukanlah kesamaan elemen dalam
domain, melainkan kontras antar elemen dalam domain
yang diperoleh melalui observasi dan wawancara terseleksi.
Analisis komponen memfokuskan pada hubungan ganda
antara sebuah istilah asli informan dengan simbol-simbol
lain.
4. Analisis Tema Kultural
Analisis tema atau discovering cultural themes, mencari
’benang merah’ yang mengintegrasikan lintas domain yang
ada dengan dikaitkannya hasil penelitian dengan konsep –
konsep seperti nilai-nilai, orientasi nilai, nilai budaya,
simbol budaya, premis, etos, ide-ide, pandangan dunia dan
orientasi kognitif.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa
dalam penelitian kualitatif, analisis sudah dilakukan sejak awal
mencari data sampai akhir penelitian. Jadi, sepanjang penelitian
dilakukan, peneliti terus menganalisis data yang telah peroleh.
Keabsahan data untuk menjamin kredibilitas data kualitatif.
Kredibilitas data membuktikan data yang berhasil
dikumpulkan sesuai dengan dunia nyata serta yang terjadi
sebenarnya. Terdapat beberapa teknik yang disampaikan untuk
mencapai kredibilitas, yaitu dengan teknik triangulasi sumber,
pengecekan antar anggota peneliti, perpanjangan kehadiran
peneliti, diskusi teman sejawat, pengamatan secara terus
menerus, dan penelusuran referensi.
18
BAB 2
GAMBARAN UMUM KABUPATEN CIREBON
2.1. Gambaran Umum Wilayah
Cirebon, namanya tercatat dalam sejarah sebagai salah
satu tempat awal perkembangan Islam di negeri ini. Dimulai
sejak abad 15. “Caruban”, konon itulah nama awal wilayah ini
atau “tjarbon” (baca: carbon, dalam Babad Tanah Cirebon13) yang
konon berarti: campuran, menandai beraneka ragam masyarakat
yang menempatinya. Hal ini bisa mengacu pada percampuran
antara masyarakat Jawa dan Sunda yang tinggal di Cirebon
mengingat wilayah ini berada di perbatasan antara masyarakat
Jawa (Jawa Tengah) dan masyarakat Sunda (Jawa Barat) atau
percampuran yang lebih luas karena awal mula berdirinya
Cirebon ini dimulai dari sebuah pelabuhan yang di masalalu
menjadi tempat persinggahan berbagai Etnik bangsa.
Belakangan, pelafalan istilah “Caruban” berubah menjadi
“Cerbon” dan pada akhirnya “Cirebon” seperti yang dikenal saat
ini.
Sebutan “Cirebon” sendiri juga sering dianggap berasal
dari kata “Ci” (Ci/ Cai yang dalam Bahasa Sunda berarti air dan
sering menandai nama-nama tempat di Jawa Barat seperti:
Ciamis, Cipanas, dll) dan “rebon” (sejenis udang kecil yang
13
Sumber: Tim Keraton Kasepuhan Cirebon. 2003. Dalam “Babad Cirebon,
Koleksi Naskah Kuno Keraton Kasepuhan Cirebon”,. Perpustakaan Nasional RI.
19
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
banyak dijumpai di perairan laut Cirebon sebagai bahan utama
pembuat terasi).
Selain itu, istilah lain untuk menyebut Cirebon adalah
“Grage” yang konon berasal dari sebutan masyarakat ketika masa
kerajaan untuk “Negara Gede” yang kemudian pengucapannya
berubah menjadi “Garage/ Grage.”
2.1.1. Sejarah Cirebon
Sejarah Cirebon dimulai dari kisah Prabu Siliwangi yang
beristrikan Nyai Subanglarang dari Kerajaan Pajajaran memiliki
dua orang anak: Pangeran Walangsungsang dan Nyai Larang
Santang.14 Ketika beranjak dewasa, Walangsungsang tertarik
untuk mempelajari agama Islam yang kemudian mendapat
penolakan dari ayahandanya. Ia pun kemudian meninggalkan
istana, disusul adiknya, Nyai Larang Santang. Walangsungsang
kemudian menikah dengan Nyai Endang Geulis, anak dari Ki
Gedheng Danuwarsih. Walangsungsang kemudian melanjutkan
perjalanan menyinggahi berbagai pertapaan seperti Pertapaan
Ciangkup di Desa Panongan (Sedong), Petapaan Gunung
Kumbang di daerah Tegal, serta Petapaan Gunung Cangak di Desa
Mundu Mesigit, hingga akhirnya sampai di Gunung Amparan Jati,
dimana ia bertemu dengan Syekh Datuk Kahfi yang konon berasal
dari Parsi. Setelah memeluk agama Islam, Walangsungsang pun
kemudian bergelar Ki Samadollah.
Sementara itu, menurut Manuskrip Purwaka Caruban
15
Nagari , pada abad XIV di pantai Laut Jawa ada sebuah desa
14
Sumber: Dalam “Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon” P.S Sulendraningrat,
1984. Cerita dalam buku ini juga nyaris seperti sebuah ‘dongeng’ dan berbau
mitos dengan bukti-bukti sejarah yang minim sehingga kebenaran sejarahnya
masih perlu banyak pembuktian.
15
Sumber: Seperti termuat dalam website Pemerintahan Kota Cirebon:
http://www.cirebonkota.go.id/
20
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
nelayan kecil bernama Muara Jati, yang menjadi tempat singgah
kapal-kapal asing. Penguasa kerajaan Galuh (Pajajaran) menunjuk
Ki Gedeng Alang-Alang (Ki Danu Sela, adik dari Ki Danurwasih),
sebagai pengurus pelabuhan. Ia kemudian memindahkan
pemukiman di Lemah Wungkuk dan kemudian diangkat sebagai
Kuwu atau pemimpin pemukiman, dan sebagai wakilnya adalah
Ki Samadollah. Ki Danu Sela kemudian bergelar Ki Ageng
Pengalang Alang dan Ki Samadollah begelar Ki Cakrabumi.
Ki Samadollah dan adiknya, Nyai Larang Santang
kemudian pergi ke Tanah Suci atas perintah gurunya.16
Sementara istri Ki Samadollah tidak bisa ikut karena sedang
hamil. Di sanalah, Nyai Larang Santang kemudian dinikahi oleh
Maulana Sultan Muhammad yang bergelar Syarif Abdullah yang
konon merupakan keturunan Bani Hasyim. Nyi Larang Santang
kemudian berganti nama menjadi Syarifah Mudaim dan dari
pernikahan ini melahirkan putra, Syarif Hidayatullah yang kelak
bergelar Sunan Gunung Jati. Konon Syarif Hidayatullah ini masih
menduduki generasi ke-22 dari Nabi Muhammad SAW.
Sepulang dari Tanah Suci, Ki Samadollah kemudian diberi
nama Haji Abdullah Iman. Ketika kemudian Ki Ageng Alang-alang
wafat, ia menggantikannya menjadi kuwu dan bergelar Pangeran
Cakrabuana.
Pada masa kepemimpinan Cakrabuana inilah Kebon
Pesisir ramai dikunjungi banyak orang dari berbagai tempat.
Cakrabuana pun kemudian membangun Keraton Pangkungwati,
nama yang diambil dari nama putri sulungnya hasil pernikahan
dengan Nyai Endang Geulis. Cakrabuana kemudian mendapat
gelar Tumenggung (Naradipa) dari Prabu Siliwangi dan bergelar
Sri Mangana.
16
Sumber: Dalam Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon. P.S. Sulendraningrat.
1984
21
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Syarif Hidayatullah yang kemudian bergelar Syekh Jati
mulai mengajarkan Islam. Ia menyinggahi beberapa tempat, salah
satu di antaranya Banten. Ia kemudian menikahi adik dari Bupati
Kawunganten. Dari perkawinan dengan Nyai Kawunganten inilah
kemudian lahir Pangeran Saba Kingkin, yang kelak bergelar
Maulana Hasanuddin dan mendirikan Kerajaan Banten.
Gambar 2.1.
Keraton Kasepuhan, Cirebon
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Pada tahun 1479 M, Pangeran Cakrabuana menyerahkan
Istana Pakungwati kepada Syarif Hidayatullah, keponakan
sekaligus menantunya. Ia kemudian dinobatkan sebagai kepala
Nagari dan digelari Susuhunan Jati atau Sunan Jati atau Sunan
Caruban atau Cerbon. Sejak tahun 1479 itulah, Caruban Larang
dari sebuah nagari mulai dikembangkan sebagai Pusat Kesultanan
dan namanya diganti menjadi Cerbon.
Pangkungwati berada di bawah kekuasaan Pajajaran, yang
ditandai dengan pengiriman upeti. Namun pada masa
kepemimpinan Syekh Syarif Hidayatullah, yakni pada tahun 1482
22
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Masehi, ia membuat maklumat kepada Raja Pajajaran untuk tidak
mengirim upeti lagi dan menyatakan kemerdekaan Cirebon.17
Dalam hal ini, Cirebon mendapat dukungan Kerajaan Demak18.
Hal itu konon dipicu karena Kerajaan Pajajaran menolak ajakan
masuk Islam dari Syarif Hidayatullah yang sudah berulangkali
mengirimkan permohonan. Peristiwa tersebut tercatat dalam
sejarah, terjadi pada tanggal Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa
Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala, bertepatan dengan 12
Shafar 887 Hijiriah atau 2 April 1482 Masehi yang sekarang
kemudian diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon. 19
Tindakan
Cirebon
ini
kemudian
menimbulkan
kekhawatiran Pajajaran, bahwa negeri-negeri lain akan
terpengaruh juga. Oleh karena itu selanjutnya Pajajaran
mengirimkan pasukan untuk menangkap Syarif Hidayatullah tapi
mengalami kegagalan. Dengan kemenangan Cirebon, kemudian
banyak pengikut Pajajaran yang menyatakan diri masuk Islam
dibawah pengaruh Kesultanan Cirebon .
Dalam sejarah, tercatat bahwa Syarif Hidayatullah atau
Sunan Gunung Jati memerintah Pangkungwati dari tahun 14791568. Pada masa pemerintahannya ini, Kesultanan Cirebon
berkembang dengan pesat. Demikian juga dengan penyebaran
agama Islam. Ia pun bergelar Ingkang Sinuhun Kanjeng
Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid
Jaman Khalifatur Rasulullah. Pedagang-pedagang asing ramai
menyinggahi Pelabuhan Muara Jati, terutama pedagang Tiongkok
17
Sumber: Negara Gede (Grage) bernama Cirebon. Referensi : Negara
Kerthabumi (karya P.Wangsakerta 1702 M) http://paguyubanwongcirebon.
wordpress.com/ (akses: 22 Agustus 2014)
18
“Sekitar Komplek Makam Sunan Gunung Jati dan Sekilas Riwayatnya. Hasan
Basyari. Zul Fana: Cirebon, 1989.
19
Sumber: “Sejarah Kabupaten Cirebon”, http://sraksruk.blogspot.com/
2012/11/ sejara-kabcirebonjawa-Barat.html (akses tanggal 22 Agustus2014)
23
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
yang memperdagangkan keramik atau porselen. Untuk
memperkuat hubungan antara dua negeri, Syarif Hidayatullah
kemudian menikahi Putri Tiongkok yang bernama Ong Tien yang
kemudian berganti nama Nyi Ratu Rara Sumanding.20 Bisa
dipahami kemudian jika pengaruh Tiongkok ini demikian kental
dalam bangunan-bangunan istana yang dihiasi berbagai ornamen
khas Tiongkok.
Dalam upaya pengembangan kekuasaan Kesultanan
Cirebon, Syarif Hidayatullah dibantu oleh Fatahillah/ Falatehan21,
seorang Panglima Perang dari Demak yang diutus Kesultanan
Demak untuk memimpin pasukan yang akan diperbantukan
kepada Kesultanan Cirebon untuk merebut Pelabuhan Sunda
Kelapa dari Portugis. Fatahillah kemudian menikah dengan salah
seorang putri Syarif Hidayatullah, Ratu Wulung Ayu yang
kemudian melahirkan putra, Pangeran Muhammad Arifin.
20
Sumber: Sekitar Komplek Makam Sunan Gunung Jati dan Sekilas Riwayatnya.
Hasan Basyari. Zul Fana: Cirebon, 1989.
21
Sumber: Ada beberapa versi tentang identitas Fatahillah dengan Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dalam buku yang ditulis oleh Hasan
Basyari, “Sekitar Komplek Makam Sunan Gunung Jati dan Sekilas Riwayatnya”
dinyatakan secara tegas bahwa Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
bukanlah Fatahillah. Sementara dalam beberapa buku sejarah, seperti yang
ditulis oleh Prof. Dr. Slamet Muljana (2009), disebutkan bahwa kemungkinan
Fatahillah, Syarif Hidayatullah dan Sunan Gunung Jati adalah orang yang sama.
Lihat juga “Kerajaan Islam Nusantara abad XVI & XVII”, Drs. M. Harun Yahya,
PT. Kurnia Kalam Sejahtera, Yogyakarta, 1995.
24
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Gambar 2.2.
Ornamen di Istana Kesultanan Cirebon yang bercorak Tiongkok
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Ketika Sunan Gunung Jati memutuskan untuk
memfokuskan diri pada kegiatan dakwah, ada beberapa versi
yang menyebut tentang penerus kekuasaan. Satu versi
menyebutkan bahwa Kesultanan Cirebon diserahkan kepada
Fatahillah. Namun Fatahillah hanya memerintah selama dua
tahun karena pada tahun 1570 ia meninggal dunia dan kemudian
dimakamkan bersebelahan dengan makam Sunan Gunung Jati.
Penerus selanjutnya adalah Pangeran Pasarean.
Versi lain menyebutkan bahwa Fatahillah tidak pernah
menjadi pemimpin Cirebon (namanya memang tidak tertera
dalam silsilah di Keraton Kasepuhan). Oleh karena itu, ketika
Sunan Gunung Jati berhenti menjadi Sultan, pemerintahan
kemudian diserahkan kepada putranya, Pangeran Pasarean
dengan Fatahillah sebagai penasehatnya. Namun tak lama
memerintah, ia kemudian wafat.
Sepeninggal Pangeran Pasarean tidak ada penerus yang
bisa dicalonkan sebagai Sultan. Kemudian diangkatlah Aria
Kamuning, anak angkat Syarif Hidayatullah yang juga menantu
dari Fatahillah. Ia kemudian bergelar Dipati Carbon 1.
Pengangkatan Aria Kamuning ini menimbulkan kontroversi
25
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
karena ia bukanlah keturunan langsung dari Sultan Carbon.
Setelah memerintah selama sekitar 12 tahun, pada tahun 1565,
pemerintahan kemudian diserahkan kepada putranya yang masih
muda, Pangeran Mas yang kemudian bergelar Panembahan Ratu
I.
Pada masa kepemimpinan Panembahan Ratu, konon
Cirebon mengalami kemunduran, sementara Kerajaan Banten
semakin berkembang. Setelah Panembahan Ratu wafat, ia
kemudian digantikan oleh cucunya, Pangeran Karim atau
Pangeran Rasmi yang kemudian bergelar Panembahan Girilaya
yang kemudian bergelar Panembahan Ratu II, karena ayahnya,
Pangeran Sedaing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah
sudah meninggal. Dari pernikahannya dengan Putri Tegalsari,
Panembahan Ratu II dikarunia 3 orang putra: Pangeran
Martawijaya,
Pangeran
Kertawijaya
dan
Pangeran
22
Wangsakerta.
Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu II ini,
Kesultanan Cirebon terjepit di antara dua Kesultanan Besar:
Kerajaan Banten dan Mataram. Sepeninggal Panembahan Ratu II,
Kesultanan Cirebon mengalami kekosongan karena Pangeran
Martawijaya dan Kartawijaya di Mataram. Di bawah
perlindungan Banten, Kesultanan Cirebon kemudian terbagi tiga:
Kesultanan Kasepuhan, dipimpin oleh Pangeran Martawijaya,
atau dikenal dengan Sultan Sepuh I. Kesultanan Kanoman, yang
dikepalai oleh Pangeran Kertawijaya dikenal dengan Sultan Anom
I dan ketiga Kasultanan Katjarbonan yang dikepalai Pangeran
Wangsakerta atau Panembahan Cirebon I. Pembagian wilayah
kesultanan ini juga dimaksudkan sebagai upaya Kesultanan
Banten untuk memecah kekuatan Cirebon agar tidak beraliansi
kepada Mataram.
22
Sumber: Nina H. Lubis (ed.), Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, 2000.
26
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Perpecahan di Kesultanan Cirebon pun kemudian tak bisa
terhindarkan lagi. Kondisi ini diperparah dengan masuknya
Kolonial Belanda yang selanjutnya banyak mencampuri dalam
hal mengatur Kesultanan Cirebon dalam upaya mengendalikan
daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya. Puncaknya terjadi
pada tahun-tahun 1906 dan 1926, dimana kekuasaan
pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan
dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang
mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000
jiwa.23 Cirebon kemudian berkembang menjadi Karesidenan
Chirebon yang meliputi Kotamadya dan empat Kabupaten:
Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan.
Ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya,
Cirebon pun kemudian menjadi bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Wilayah Cirebon pun kemudian tercakup
dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara
administratif masing-masing dipimpin oleh walikota dan bupati.
2.1.2. Pusat Pemerintahan Kabupaten Cirebon
Pada awalnyaPusat pemerintahan Kabupaten Cirebon
juga berada di Kotamadya Cirebon. Tetapi melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 33 Tahun 1979 Tanggal 2 Oktober 1979,
ibukota Kabupaten Dati II Cirebon dipindahkan ke Kota Sumber,
Kecamatan Sumber, yang berada di sebelah Selatan Kota
Cirebon.
Secara administratif, Kabupaten Cirebon merupakan
salah satu kabupaten yang masuk dalam wilayah Provinsi Jawa
Barat. Letaknya strategis, karena berada di jalur pantura, jalan
23
Sumber: Website Pemerintah Kota Cirebon: www.cirebonkota.go.id/
27
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
antar provinsi yang menghubungkan kota-kota di Pulau Jawa.
Secara geografis, kabupaten ini terletak pada 108°40’ - 108°48’
Bujur Timur dan 6°30’ - 7°00’ Lintang Selatan.24 Luas wilayah
daerah administratifnya adalah 990, 36 Km², dengan jarak
terjauh Barat-Timur: 54 km dan Utara-Selatan: 39 km, sedangkan
ketinggian dari permukaan laut adalah 0-130 mdpl. Topografi
wilayahnya beraneka ragam. Laut, dataran rendah hingga
pegunungan. Gunung tertinggi adalah Gunung Ceremai, dengan
ketinggian 3076 m, merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat,
dan tertinggi kedua di Pulau Jawa setelah Gunung Semeru.
Gambar 2.3.
Gebang, salah satu pelabuhan laut (nelayan) terbesar di Kabupaten Cirebon
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Adapun batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut:
- Sebelah Utara: Kabupaten Indramayu (Jawa Barat)
- Sebelah Barat: Kabupaten Majalengka (Jawa Barat)
- Sebelah Selatan : Kabupaten Kuningan (Jawa Barat)
24
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Cirebon, 2013
28
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
-
Sebelah Timur: Kabupaten Brebes (Jawa Tengah)
Gambar 2.4.
Peta Wilayah Cirebon
Sumber: httP://wisatacrb.wordpress.com/
Kabupaten Cirebon terdiri atas 40 kecamatan, terbagi atas
412 desa dan 12 kelurahan. Tiga kecamatan yang baru terbentuk
pada tahun 2007 adalah Kecamatan Jamblang (Pemekaran
Kecamatan Klangenan sebelah Timur), Kecamatan Suranenggala
(Pemekaran Kecamatan Kapetakan sebelah Selatan), dan
Kecamatan Greged (Pemekaran Kecamatan Beber sebelah
Timur).
Berikut adalah nama-nama kecamatan yang ada di
Kabupaten Cirebon:
1. Waled
2. Pasaleman
3. Ciledug
4. Pabuaran
5. Losari,
29
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
30
Pabedilan
Babakan
Gebang,
Karangsembung
Karangwareng,
Lemahabang,
Susukan Lebak
Sedong
Astanajapura
Pangenan
Mundu
Beber
Greged
Talun
Sumber
Dukupuntang
Palimanan
Plumbon
Depok
Weru
Plered
Tengah Tani
Kedawung
Gunungjati
Kapetakan
Waled
Pasaleman
Ciledug
Pabuaran
Losari,
Pabedilan
Babakan
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
46.
47.
48.
49.
50.
51.
52.
53.
54.
55.
56.
57.
58.
59.
60.
Gebang,
Karangsembung
Karangwareng,
Lemahabang,
Susukan Lebak
Sedong
Astanajapura
Pangenan
Mundu
Beber
Greged
Talun
Sumber
Dukupuntang
Palimanan
Plumbon
Depok
Weru
Plered
Tengah Tani
Kedawung
Gunungjati
Kapetakan
Menurut data statistik tahun 2013, jumlah penduduk di
kabupaten ini sebesar 2.281.204 jiwa tersebar di seluruh wilayah
Kabupaten Cirebon dengan penduduk terbesar berada di
Kecamatan Sumber (86.415 jiwa). Kepadatan penduduk di
masing-masing kecamatan memang tidak merata karena
penduduk cenderung lebih banyak di daerah-daerah perkotaan,
yang menyediakan lapangan kerja relatif lebih banyak.
Mata pencaharian utama penduduk adalah pertanian,
sektor tersebut menyumbang 30% dari Pendapatan Domestik
31
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Regional Bruto (PDRB) dengan produk utama adalah padi,
selanjutnya perikanan dan peternakan. Salah satu produk
perikanan yang terkenal dari Cirebon adalah petis dan terasi.
Terasi Cirebon konon sudah terkenal sejak jaman dulu. Terasi
terbuat dari rebon, sejenis udang kecil, oleh karena itu sebutan
“Kota Udang” seringkali disematkan untuk menyebut Kota
Cirebon.
Gambar 2.5
Mega Mendung, motif batik khas Cirebon
Sumber: Muha, Sejarah Batik Trusmi,
http://sanggarbatikkatura.com/sejarah-batik-trusmi
Cirebon juga dikenal sebagai daerah penghasil batik yang
berpusat di Desa Trusmi, Plered. Istilah Trusmi sendiri konon
berasal dari kata “terus bersemi”, yang menandai adanya pohon
di daerah tersebut yang setiap kali ditebang akan tumbuh/
bersemi kembali.25 Pembuatan batik ini konon sudah dimulai
sejak jaman Kesultanan Cirebon. Pada masa itu, salah seorang
dari Desa Trusmi diminta Sultan untuk membuat duplikat batik
yang ada di Keraton tanpa boleh membawa contohnya. Ternyata
25
Sumber: Sejarah Batik, (http://sanggarbatikkatura.com/)
32
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
pembatik Trusmi tersebut mampu melakukannya. Maka
selanjutnya dikenal daerah Trusmi sebagai daerah pembuat
batik. Adapun motif yang terkenal adalah motif batik Mega
Mendung.
2.1.3. Kecamatan Pabedilan
Kecamatan Pabedilan terletak di bagian Timur Kabupaten
Cirebon. Ibukota kecamatan terletak di Desa Pabedilan Kidul,
sekitar 43 km dari ibukota Kabupaten. Kecamatan ini terbentuk
pada tahun 1994, dahulu sebagian wilayahnya masuk Kecamatan
Losari, dan sebagian Kecamatan Ciledug. Bisa dipahami kemudian
kalau desa-desa di kecamatan ini memiliki dua budaya, yakni
Sunda (untuk desa-desa yang dulunya masuk Kecamatan Ciledug
yang berbatasan dengan Kab. Kuningan) dan Jawa (untuk desadesa yang dulunya masuk Kecamatan Losari, berbatasan dengan
Kabupaten Brebes). Menurut data Sensus tahun 2013, jumlah
penduduknya adalah sebesar 60.667 jiwa dengan luas wilayah
adalah 22. 824 ha, yang meliputi 13 desa, yaitu:
1) Dukuhwidara
2) Kalimukti
3) Kalibuntu
4) Sidaresmi
5) Babakan Losari
6) Babakan Losari Lor
7) Pabedilan Kidul
8) Pabedilan Kulon
9) Pabedilan Kaler
10) Pabedilan Wetan
11) Pasuruan
12) Silihasih
13) Tersana
33
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
2.1.4. Desa Dukuh Widara
Desa Dukuh Widara merupakan salah satu desa di
Kecamatan Pabedilan dan dulunya masuk dalam wilayah
Kecamatan Losari. Luas wilayah desa ini adalah 203, 908 ha, 42,
147 ha diantaranya adalah pemukiman, 147, 888 ha persawahan
dan sisanya berupa kebun, makam, pekarangan dan prasarana
umum lainnya. 26
Gambar 2.6.
Peta Desa Dukuh Widara
Sumber: Profil Desa Dukuh Widara, Kecamatan Pabedilan, Pemerintah
Kabupaten Cirebon.
Wilayah desa dibagi ke dalam 5 RW dan 5 Dusun (1 RW: 1
Dusun). Dusun, lebih dikenal dengan sebutan “Blok”. Nama-nama
Blok, terutama untuk wilayah pemukiman, umumnya mengacu
kepada 5 hari pasaran dalam Bahasa Jawa, yakni Blok Pon, Blok
Wage, Blok Kliwon, Blok Manis dan Blok Pahing (nama-nama
yang sama dijumpai di hampir semua desa sekitar, termasuk
26
Sumber: Data Profil Desa/ Kelurahan Desa Dukuh Widara, Kec. Pabedilan,
PemKab Cirebon. Badan Pembangunan Masyarakat & Pemerintahan Desa
tahun 2013.
34
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
desa-desa yang penduduknya adalah Etnik Sunda seperti
Sidaresmi, Babakan Losari dan sekitarnya). Batas-batas desa
adalah:
-
Sebelah Utara
: Desa Pasuruan (Kecamatan Pabedilan)
Sebelah Selatan : Desa Kalimukti (Kecamatan Pabedilan)
Sebelah Timur
: Kali Cisanggarung (berbatasan dengan
Kabupaten Brebes, Jawa Tengah)
Sebelah Barat
: Desa Kalibuntu (Kecamatan Pabedilan)
Topografi Desa Dukuh Widara merupakan dataran
rendah, dengan ketinggian 4 mdpl dan suhu harian rata-rata
29°C.
2.1.4.1. Sejarah Desa Dukuh Widara
Nama Desa Dukuh Widara konon berasal dari nama
sejenis tumbuhan, “pohon widara/bidara” yang dulunya banyak
tumbuh di tempat itu.27 Adalah Pangeran Suryanegara dari
Keraton Cirebon yang memimpin “babat alas” (pembukaan
lahan) di daerah itu pada tahun 1800-an. Desa pertama yang
didirikan adalah Astana Langgar (Kecamatan Losari), dua desa
dari Desa Dukuh Widara sekarang. Perluasan desa ini kelak akan
sampai ke tempat yang sekarang adalah Desa Kalibuntu (4 desa
ke arah Selatan Astana Langgar).
Setelah beberapa waktu, Syekh Muhkyidin, cucu
Suryanegara, melakukan babat alas Dukuh Widara dengan
dibantu Pangeran Singadiladri, Pangeran Buyut Sajem dan
Pangeran Jasanulun. Lokasi yang pertama kali dibuka sekarang
merupakan Blok Pon yang kemudian juga dikenal sebagai Blok
Desa yang berada di pinggir Sungai Cisanggarung. Pembukaan ini
27
Sumber: Wawancara dengan Ulis/Sekretaris Desa Dukuh Widara, 19 Mei
2014
35
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
awalnya belum dimaksudkan untuk mendirikan desa, tapi lebih
sebagai tempat semedi di pinggir Kali Cisanggarung. Hingga
seiring waktu, semakin banyak orang yang berdatangan dan
terbentuklah pemukiman.
Gambar 2.7.
Pohon Bidara/Widara (Ziziphus Mauritiana).
Sumber: http://terapiherbaldaunbidara.wordpress.com/
Dukuh Widara terbentuk menjadi Pedukuhan pada masa
kolonial Belanda, tahun 1916. Pemimpinnya adalah Wilaharta
dengan juru tulis Martadisastra. Pada tahun 1918, terjadi
pergantian pemimpin oleh Cakmat dengan juru tulisnya, Kindi.
Setelah masa itu tak diketahui lagi catatan sejarahnya hingga
pada tahun 1941, kepemimpinan Dukuh Widara oleh Bunaim
yang menjadi pejabat sementara untuk kemudian digantikan oleh
KH Abdul Kohar. Keturunan KH Abdul Kohar ini masih bisa hidup
dan tinggal di Desa Dukuh Widara. Selanjutnya pada tahun 1942
dipimpin oleh KH Mukaral, yang merupakan pemimpin pertama
yang dipilih menggunakan sistem kelompok. Tahun 1944,
36
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
pemimpinnya adalah Kuwu Sulkim, selanjutnya pada tahun 1947
dipimpin oleh Kuwu Muja.
Pada tahun 1948, adalah awal digunakannya pemilihan
dengan sistem biting (lidi) yang menetapkan Kuwu Salim,
dilanjutkan oleh KH Mukarom (1967) dan Pejabat Moh Idris
(1969), selanjutnya Haji Mukarom terpilih lagi tahun 1971.
Selanjutnya pada tahun 1980 merupakan awal pemilihan dengan
sitem coblos dan terpilih Haji Mudri. Pergantian pimpinan
berturut-turut Sudarno (tahun 1990), PJS Sungkono (tahun
1998), dan Sofiudin pada tahun 2001, beliau menjabat selama 10
tahun (2 x 5 tahun) hingga tahun 2011. Pemilihan dengan sistem
contreng dilakukan setelah kepemimpinan Sofiudin berakhir dan
menobatkan Slamet sebagai Kuwu Desa Dukuh Widara hingga
sekarang (masa jabatan 6 tahun).
Pohon Widara, yang dulunya banyak tumbuh di desa itu
saat ini nyaris tak bisa dijumpai lagi. Pohon Widara yang
cenderung besar dengan dahan dan daun yang rimbun (mirip
pohon beringin), acapkali dianggap masyarakat sebagai ‘pohon
yang berpenunggu’ sehingga masyarakat kemudian lebih memilih
menebangnya daripada membiarkannya tumbuh.
2.1.4.2. Pemerintahan Desa
Pemerintahan desa di Desa Dukuh Widara, sebagaimana
umumnya sistem adminsitrasi yang sudah diseragamkan oleh
pemerintah, yakni dipimpin oleh seorang Kepala Desa dan dipilih
melalui sistem pemungutan suara. Sedangkan pejabat-pejabat di
bawahnya dipilih oleh Kepala Desa. Dalam Undang-Undang RI No.
22 tahun 1999, pemerintah desa diberi kewenangan untuk
mengatur pemerintahannya sendiri, termasuk implementasi
budaya lokal. Salah satunya diwujudkan dalam peristilahan,
37
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dimana istilah-istilah dalam jabatan
menggunakan istilah lokal. Yakni:
pemerintahan
desa
- Kuwu
: Kepala Desa
- Ulis
: Sekretaris Desa
- Lebe
:Kepala Urusan (Kaur) Kesra
- Polisi Desa
:Kaur Pemerintahan
- Raksa Bumi
:Kaur Ekbang (Ekonomi Pembangunan)
- Cap Gawe
:Kaur Umum
- Lugu
: Kepala Dusun
Berikut struktur organisasi pemerintahan di Desa Dukuh Widara:
Gambar 2.8.
Struktur Pemerintahan Desa Dukuh Widara
Sumber: Profil Desa Dukuh Widara, Kecamatan Pabedilan, Pemerintah
Kabupaten Cirebon.
38
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
2.2.
Kependudukan
2.2.1. Bahasa
Jumlah penduduk pada akhir tahun 2013 adalah 6443 jiwa
(3273 laki-laki dan 3170 perempuan) yang terbagi ke dalam 1825
KK.28 Kepadatan penduduk adalah 316/km. Mayoritas penduduk
adalah ber-Etnik Jawa (±98 %) dan sisanya adalah berEtnik Sunda,
dan satu dua orang pendatang. Etnik Jawa di Desa Dukuh Widara
adalah “Jawa Cirebon” terutama dalam hal bahasa, memiliki
perbedaan dengan mayoritas Etnik Jawa di Jawa Tengah,
Yogyakarta ataupun Jawa Timur. Bahasa Jawa Cirebon sekilas
mirip dengan dialek “ngapak” Banyumasan atau Tegal, tapi juga
tidak bisa dibilang sama karena memilki beberapa kosakata yang
berbeda. Hal ini disebabkan interaksi dengan berbagai Etnik
bangsa sejak berabad silam, terutama Cina, Arab, Belanda dan
juga Sunda. Beberapa kosakata adalah bentuk lama, yang masih
digunakan dalam pewayangan seperti “isun (ingsun)” ,
“manjing”, dan “sira”.
Adanya perbedaan bahasa ini, menyebabkan tercetusnya
wacana bahwa orang Jawa Cirebon bisa dikategorikan sebagai
Etnik tersendiri, yakni “Etnik Cirebon” atau “Etnik Bangsa
Cirebon” yang tersebar di sekitar Kota Cirebon dan Kabupaten
Cirebon dan juga wilayah-wilayah sekitarnya seperti Kabupaten
Indramayu, bagian Utara Kabupaten Majalengka , bagian Utara
Kabupaten Kuningan, bagian Utara Kabupaten Subang, serta
sebagian Pesisir Utara Kabupaten Karawang, lalu di sekitar
Kecamatan Losari di Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah.29
Meski begitu, hal ini masih perlu pembuktian lebih lanjut, apakah
28
Sumber: Data Profil Desa/ Keluharahan Desa Dukuh Widara, Kec. Pabedilan,
Pemkab. Cirebon, Badan Pemb. Masy. & Pemerintahan Desa tahun 2013
29
Sumber: “Orang Cirebon”, http://wikipedia.org/
39
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Bahasa Jawa Cirebon adalah bahasa yang mandiri atau
sebenarnya hanya dialek bahasa saja. Karena berdasarkan
penelitian perbedaan kosakata Bahasa Jawa Cirebon dengan
bahasa Jawa di Jawa Tengah/Yogyakarta hanya mencapai 75%
dan 76 % dengan dialek Jawa Timur, sementara untuk bisa diakui
sebagai bahasa tersendiri, suatu bahasa setidaknya
membutuhkan sekitar 80% perbedaan dengan bahasa
terdekatnya.
Sementara itu, menurut Koentjaraningrat (1984), bahasa
Cirebon termasuk dalam rumpun bahasa Jawa Pesisir Utara
bagian Barat, dengan Cirebon sebagai pusatnya.30
Berikut beberapa contoh perbedaan bahasa Jawa Cirebon
dengan bahasa Jawa Tengah/Yogyakarta/Jawa Timur:
Bhs Indonesia
Jawa Cirebon
Jateng/ DIY
Saya/Aku
Isun/Kita
Kamu
Sira
Tidak
Beli/ Ora
Masuk
Manjing
Dari
Sing
Akan
Pan
Tidak Ada
Langka
Dapat
Buleh
Aku
Kowe
Ora
Mlebu
Seko
Arep
Ora Ono
Entuk
Bagi orang Jawa yang memilki dialek berbeda, mungkin
memang akan sedikit kesulitan ketika berkomunikasi dengan
orang yang menggunakan dialek Jawa Cirebon, namun setelah
beberapa waktu, biasanya akan mulai terbiasa dan bisa
memahaminya dengan baik.
30
Sumber: Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Balai
Pustaka.
40
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
2.2.2. Sarana dan Prasarana
Desa Dukuh Widara bisa dikategorikan sebagai sebuah
desa semi urban. Hal ini ditandai dengan kemudahan akses
terhadap berbagai layanan publik mulai dari transportasi,
pendidikan, kesehatan dan sarana umum lainnya. Desa Dukuh
Widara hanya berjarak sekitar 4 km dari ibu kota kecamatan dan
sekitar 45 km dari ibu kota kabupaten. Kota-kota terdekat adalah
Losari (±3 km) dan Ciledug (±3 km). Transportasi sangatlah
mudah. Desa ini dilalui oleh jalan antar provinsi (alternatif) yang
menghubungkan jalur pantura (Kecamatan Losari) di sebelah
Utara ke Kecamatan Ciledug, Waled hingga Kabupaten Kuningan,
dengan kondisi jalan beraspal yang cukup baik. Selain kendaraan
pribadi, untuk mempermudah akses masyarakat, tersedia
angkutan umum berupa mobil angkudes dan andong yang
beroperasi dari pagi hingga sore hari, dengan rute Losari-Ciledug.
Sementara untuk menuju ibu kota kabupaten, angkutan umum
Cirebon-Losari beroperasi setiap waktu.
Gambar 2.9.
Jalan antar kabupaten yang membelah desa
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
41
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Untuk sarana telekomunikasi, telepon seluler paling
banyak digunakan masyarakat di Desa Dukuh Widara. Berbagai
operator telepon seluler memiliki sinyal yang cukup bagus
sehingga masyarakat tak kesulitan dalam memilih layanan. Gerai
pulsa (voucher) pengisian ulang untuk kartu telepon juga mudah
ditemukan, demikian juga dengan berbagai perangkat telepon
seluler.
Sementara untuk sarana informasi, televisi dimiliki hampir
setiap rumah tangga. Sarana hiburan seperti sinetron hingga
berbagai berita nasional bisa diakses masyarakat setiap saat.
Saluran-saluran televisi nasional dapat menjangkau siaran tanpa
harus menggunakan antena parabola.
Akses-akses masyarakat terhadap layanan umum juga
relatif mudah karena tersedianya berbagai fasilitas umum. Untuk
sarana pendidikan juga cukup lengkap. Mulai dari Playgroup (3
buah), TK (1 buah), Madrasah Diniyah (3), SD/MI (5 buah).
Sementara untuk pendidikan lanjutan, sebuah Madrasah
Tsanawiyah terdekat berada di Desa Kalimukti dengan
jaraksekitar 1 km dari Desa Dukuh Widara dan SMP di Losari (± 2
km), sementara untuk Sekolah Lanjutan Atas, terdapat di Losari,
Ciledug atau Pabedilan.
Sedangkan untuk sarana kesehatan, ada tiga tenaga
kesehatan yang tinggal dan membuka praktek di Desa Dukuh
Widara (2 bidan dan 1 mantri).
Puskesmas Pembantu berada di tengah-tengah desa,
menyediakan pelayanan dari pagi hingga tengah hari, enam hari
dalam seminggu (Senin-Sabtu). Pelayanan yang relatif lebih
lengkap ada di Puskesmas utama, Puskesmas Kalibuntu yang
berjarak sekitar 2 km dari desa. Sedangkan rumah sakit terdekat
ada di Kecamatan Waled, Kota Cirebon, Kabupaten Tegal atau
Kabupaten Kuningan.
42
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
2.2.3. Ekonomi dan Mata Pencaharian
2.2.3.1. Pertanian
Mayoritas mata pencaharian penduduk Desa Dukuh
Widara adalah bertani, baik sebagai petani pemilik/ penggarap
lahan maupun buruh tani berjumlah 2454 orang. Jenis pertanian
di Desa Dukuh Widara adalah pertanian sawah dengan luas areal
persawahan 147,888 ha yang dimiliki oleh kurang dari 500 orang,
dimana kepemilikan lahan mayoritas kurang dari 10 ha.
Persawahan di Desa Dukuh Widara adalah persawahan dengan
sistem irigasi dengan tanaman utama berupa padi.
Gambar 2.10.
Pertanian padi sawah, salah satu mata pencaharian utama penduduk Desa
Dukuh Widara
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Masa tanam 2-3 kali dalam setiap tahunnya. Masa tanam
3 kali hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki sawah di
sebelah Barat sedangkan untuk yang di sebelah Timur hanya 2
kali. Hal ini disebabkan sistem pengairan irigasi akan terhenti
pada musim kemarau (Agustus-Oktober). Pemilik/penggarap
43
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
sawah di bagian Barat diuntungkan karena berdekatan dengan
Kali Cisanggarung sehingga masih bisa mendapatkan pengairan
pada musim seperti itu. Pada musim tanam ke-3, biasanya petani
akan menanam tanaman selain padi, seperti jagung, bawang
merah atau jenis palawija lainnya. Untuk tanaman padi, biasanya
dihasilkan 4 ton gabah/ha. Umumnya petani akan menjual dalam
bentuk gabah ke para tengkulak. Sementara dalam proses
penanaman dan pemanenan padi, biasanya masyarakat akan
menggunakan sistem derep, dengan pembagian 5:1 (panen 5 kg
akan mendapatkan 1 kg).
Gambar 2.11.
Bawang merah, salah satu hasil pertanian Desa Dukuh Widara
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Sedangkan untuk buruh tani, biasanya dikenal buruh tani
bedugan dan buruh tani seharian. Buruh tani bedugan dimulai
dari jam 7 pagi hingga tengah hari (waktu bedug/sholat dzuhur,
sekitar jam 12), dan buruh harian dari jam 7 pagi hingga jam 3
sore (waktu Asar). Upah buruh bedugan bervariasi antara laki-laki
dan perempuan. Untuk buruh laki-laki adalah Rp. 40.000,-/hari
tanpa makan, dan buruh perempuan Rp. 25.000,’/hari tanpa
makan. Sedangkan untuk seharian, Rp. 55.000,- untuk laki-laki
44
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
dan Rp.35.000 untuk perempuan. Perbedaan yang cukup
mencolok antara buruh laki-laki dan perempuan ini disebabkan
beban kerjanya berbeda. Kaum perempuan biasanya hanya
bertugas mencabuti rumput atau menyingkirkan ulat, sedangkan
buruh laki-laki harus bekerja lebih keras seperti mencangkul.
2.2.3.2. Pengrajin Batu-bata
Selain bertani, pekerjaan lain yang cukup banyak
dikerjakan oleh penduduk Desa Dukuh Widara adalah membuat
batu-bata. Pembuatan batu-bata ini berpusat di ujung Barat
desa, tepatnya di bantaran Kali Cisanggarung. Hal ini disebabkan
bahan utama pembuatan batu-bata adalah endapan lumpur dari
Kali Cisanggarung yang biasanya muncul setelah banjir. Endapan
lumpur ini konon menghasilkan batu-bata yang berkualitas bagus
sehingga batu-bata dari Desa Dukuh Widara cukup diminati.
Pemesan biasanya tidak hanya berasal dari desa atau desa
tetangga, tetapi sampai ke wilayah-wilayah yang agak jauh. Harga
untuk 1000 keping bata adalah Rp. 800.000,- (sudah termasuk
biaya antar).
Dalam proses pembuatan batu-bata, setiap harinya bisa
dihasilkan 1000 keping bata. Pembakaran akan dilakukan minimal
10.000 keping bata. Untuk pembakaran, diperlukan kayu yang
harus dibeli dengan harga 1,8 juta untuk satu truk, yang bisa
digunakan untuk membakar sekitar 7000 keping bata. Meskipun
begitu, masyarakat menganggap bahwa usaha pembuatan bata
cukup menguntungkan. Biasanya warga akan mengerjakannya
bersama-sama para anggota keluarga sehingga tidak diperlukan
tenaga upahan. Namun pembuatan batu-bata hanya bisa
dilakukan pada musim kemarau. Kerugian seringkali terjadi jika
hujan deras tiba-tiba terjadi dan batu-bata yang tertumpuk di
pinggir sungai dihanyutkan banjir.
45
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Gambar 2.12.
Pembuatan batu-bata dengan memanfaatkan endapan lumpur Sungai
Cisanggarung
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
2.2.3.3. Migrasi
Migrasi dilakukan oleh masyarakat Desa Dukuh Widara
sejak lama31. Di masa lalu, migrasi biasanya lebih bersifat migrasi
musiman. Masyarakat mencari pekerjaan ke kota ketika musim
tanam sudah usai dan tinggal menunggu padi untuk dipanen.
Daripada menganggur di desa, masyarakat akan pergi ke kota
terdekat mencari pekerjaan untuk mengisi waktu-waktu yang
kosong. Kota tujuan utama adalah Jakarta, yang relatif dekat dan
menjanjikan banyak lowongan pekerjaan. Dengan semakin
banyaknya pertambahan penduduk dan semakin terbatasnya
lowongan pekerjaan, migrasi ini perlahan berubah menjadi
migrasi yang tetap. Tidak hanya ke kota-kota di dalam negeri tapi
juga keluar negeri.
31
Sumber: Wawancara dengan Sekretaris Desa Dukuh Widara, 20 Mei 2014
46
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Migrasi ke luar negeri sudah dimulai sejak awal tahun ’90an, tetapi jumlahnya masih sedikit. Baru setelah terjadinya krisis
moneter tahun 1998, jumlah buruh migran ke luar negeri
meningkat. Tujuan utamanya negara-negara Timur Tengah
seperti Arab Saudi atau Kuwait dengan lowongan pekerjaan
sebagai pembantu rumah tangga untuk kaum perempuan dan
sopir untuk kaum lelaki.
Migrasi ke luar negeri ini masih berlanjut hingga sekarang,
bahkan cenderung mengalami peningkatan. Pada akhir tahun
2013, jumlah penduduk Desa Dukuh Widara yang menjadi buruh
migran sebanyak 424 orang, dengan komposisi 33 orang
perempuan dan 88 orang laki-laki. Negara tujuan dan jenis
pekerjaan pun bervariasi. Singapura, Hongkong, Taiwan dan
Korea Selatan adalah negara-negara tujuan yang sedang populer
karena kondisi kerja dan gaji yang lebih menjanjikan. Taiwan dan
Hongkong umumnya menjadi tujuan para perempuan muda,
dengan lowongan pekerjaan sebagai baby sitter atau pekerja
pabrik.
Sementara Korea Selatan diminati oleh kebanyakan kaum
lelaki muda. Korea Selatan merupakan negara tujuan favorit
karena tawaran gaji yang tinggi (konon gajinya bisa mencapai
hingga Rp. 20-an juta/ bulan). Meski prosedurnya sedikit lebih
rumit karena mensyaratkan ijazah minimal SMA/ sederajat,
memiliki sertifikat lulus tes Bahasa Korea dan biaya
keberangkatan yang cukup besar (bisa mencapai sekitar Rp. 30
juta), tapi dianggap sebanding dengan gaji yang didapat.
Bekerja ke luar negeri seolah menjadi gengsi tersendiri
bagi masyarakat Desa Dukuh Widara, terutama ke negara-negara
dengan gaji yang tinggi. Peningkatan ekonomi bisa terlihat dari
rumah-rumah yang dibangun. Bentuk rumah bisa menjadi
indikasi ke negara mana anggota keluarga tersebut bekerja,
47
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
sehingga di masyarakat sering dikenal istilah ‘Araban’, ‘Korea-an’,
‘Taiwanan’ dsb.
Gambar 2.13.
Lembaga Kursus Bahasa Asing untuk memfasilitasi masyarakat yang ingin ke
luar negeri (Dokumentasi Peneliti, 2014)
Di samping itu, migrasi ke kota-kota terdekat masih
dilakukan dan umumnya dilakukan oleh orang-orang muda,
selepas mereka lulus dari sekolah menengah (umumnya
SMP/sederajat) dengan kota tujuan utama Jakarta atau Bandung.
Kaum perempuan biasanya menjadi baby sitter atau pembantu
rumah tangga. Sementara kaum lelaki kebanyakan memilih usaha
wiraswasta, seperti pedagang.
Bekerja ke kota tidak hanya dilakukan oleh orang-orang
muda yang belum menikah. Pasangan yang sudah menikah pun
cukup banyak yang bekerja di kota. Kadang hanya salah satu dari
mereka, suami/istri, sementara pasangan satunya tinggal di
rumah mengasuh anak. Tak jarang juga kedua orang tuanya
bekerja di kota, sementara anak-anak ditinggalkan di desa untuk
diasuh oleh kakek-nenek mereka atau anggota keluarga yang lain
(paman, bibi) dan bahkan ada yang diasuh oleh tetangga.
48
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Keterbatasan jenis pekerjaan agaknya menjadi faktor
tingginya minat masyarakat untuk mencari pekerjaan ke luar kota
atau luar negeri. Meski sebenarnya lowongan pekerjaan
mencukupi, tetapi menjadi petani tentulah bukan pilihan
pekerjaan yang diminati oleh kaum muda.
2.2.4. Perekonomian
Kegiatan perdagangan di Desa Dukuh Widara kebanyakan
jual beli hasil-hasil pertanian. Hanya sedikit yang menjadi
tengkulak bawang merah, padi gabah atau hasil pertanian lainnya
seperti sayur-sayuran dan palawija. Hasil-hasil pertanian
tersebut, terutama palawija, akan dijual di pasar-pasar terdekat.
Tidak ada pasar di Desa Dukuh Widara. Pasar terdekat berada di
Losari, sekitar 3 km dari desa. Pasar ini buka setiap hari, dengan
puncak keramaian dari pagi hingga tengah hari. Barang-barang
yang diperjual belikan mulai dari sayur-sayuran, aneka bahan
makanan, buah-buahan, pakaian, dan aneka kebutuhan rumah
tangga lainnya. Toko-toko dengan berbagai spesialisasi barang
dagangan berderet di pinggir jalan utama di depan pasar,
termasuk juga dua toko waralaba terbesar di tanah air, Alfamart
dan Indomaret.
Namun begitu, untuk kebutuhan sehari-hari,
masyarakat biasanya cukup membeli di warung-warung terdekat.
Warung-warung kelontong tersebar di seluruh desa. Tidak hanya
itu, untuk kebutuhan makanan, masyarakat juga dimudahkan
dengan adanya penjual makanan siap saji, mulai dari nasi
beraneka macam (nasi uduk, nasi putih, nasi kuning), bubur,
serta beraneka macam lauk pauk. Masyarakat disibukkan dengan
kegiatan bertani, sehingga biasanya enggan memasak di rumah.
Membeli makanan jadi, dianggap lebih praktis. Warung-warung
kecil yang menjual makanan siap saji tersebut kebanyakan buka
pagi-pagi sekali. Usai subuh, warga akan berkerumun untuk
49
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
membeli makanan sebelum berangkat ke sawah atau melakukan
pekerjaan lainnya. Warung-warung makanan ini biasanya akan
tutup ketika matahari sudah terbit sekitar pukul 7 pagi dengan
dagangan yang sudah habis terjual. Beberapa warung makanan
yang lain membuka warungnya menjelang siang hari. Mereka
biasanya menjual aneka rujak, pecel, atau gado-gado. Penjual
nasi beserta lauk pauknya juga masih bisa ditemui.
Seminggu sekali, pada Jum’at malam, diadakan pasar
malam di pinggir desa yang menjadi perbatasan dengan desa
tetangga, Pasuruan. Pasar malam ini biasanya tidak terlalu
lengkap. Barang-barang yang dijual mulai dari peralatan rumah
tangga, baju, mainan anak-anak dan aneka penganan seperti
martabak atau gorengan. Namun begitu, masyarakat, terutama
anak-anak biasanya akan sangat antusias dengan datang
beramai-ramai ke pasar malam. Pasar ini buka dari petang hingga
sekitar jam 9 malam. Para pedagang kebanyakan berasal dari
desa-desa di luar Dukuh Widara. Pasar malam ini sifatnya
‘bergiliran.’ Pada Rabu malam misalnya, di desa sebelah diadakan
pasar malam, kemudian pada Minggu malam dilakukan di desa
sebelahnya lagi.
Sementara untuk kebutuhan keuangan, beberapa bank
lengkap dengan mesin ATM juga tersedia di Losari.
2.2.5. Organisasi Sosial
2.2.5.1. Sistem kekerabatan
Seperti masyarakat Etnik Jawa lainnya, masyarakat Desa
Dukuh Widara menganut sistem kekerabatan bilineal/bilateral,
yakni menarik garis keturunan dari pihak ayah maupun ibu. Anak
laki-laki maupun perempuan sama saja nilainya di masyarakat.
Meskipun ada kecenderungan anggapan bahwa anak laki-laki
memikul tanggung jawab untuk bekerja lebih keras. Ketika
50
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
seorang anak laki-laki memasuki usia yang dianggap dewasa
(sekitar 18 tahun), ia dituntut untuk mempunyai pekerjaan.
Sementara seorang anak perempuan biasanya akan mencari
pekerjaan di usia remaja dan ketika menikah biasanya berhenti
untuk memfokuskan diri menjadi ibu rumah tangga, meski
kenyataannya banyak seorang perempuan tetap bekerja setelah
berumah tangga.
Garis keturunan biasanya bisa dirunut hingga generasi ke4, yakni buyut hingga ke cicit, meski masyarakat mengenal
penyebutan keturunan hingga 7 generasi, yakni: anak, putu,
buyut, canggah, wareh, udek-udek dan gantung siwur.
Sementara untuk penyebutan anggota keluarga adalah:
1. Buyut Lanang (buyut laki-laki) – Buyut Wadon (buyut
perempuan)
2. Bapak Tua (kakek) – Mbok Tua (nenek)
3. Mimi (ibu) – Mamak/Bapak (Bapak)
4. Paman/Mamang (adik laki-laki ibu/ayah)
– Bibi (adik
perempuan ibu/ayah)
5. Uwak (kakak laki-laki maupun perempuan ayah/ibu)
6. Ipar (istri/suami kakak/adik)
7. Kakang/ Aang Wadon (kakak perempuan/laki-laki)
8. Adi (adik, laki-laki/perempuan)
9. Putu (cucu laki-laki/perempuan)
10. Kakang/Adi
Ponakan
(kakak/adik
sepupu
lakilaki/perempuan)
11. Keponakan (anak dari adik/kakak baik laki-laki maupun
perempuan)
12. Nok (sebutan untuk anak perempuan)
13. Tong/ Cung/ Cong (sebutan untuk anak laki-laki)
14. Mak/ Bi, sebutan untuk tetangga perempuan yang sudah
dianggap tua
51
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Meskipun begitu, saat ini, sebutan-sebutan itu sudah
banyak mengalami banyak variasi sebagai pengaruh dari berbagai
interaksi. Ada yang menyebut “Mama”, “Umi”, “Bunda” , “Ibu”
untuk Ibu, ada yang menyebut “Ayah”, “ Papa”, “Abi”, “Ayah”
untuk ayah, “Mbak” atau “Yayuk” untuk kakak perempuan, dan
“Mas” untuk kakak laki-laki.
Gambar 2. 14.
Diagram kekerabatan masyarakat Desa Dukuh Widara
Sumber : Visualisasi peneliti
2.2.5.2. Pernikahan
Pernikahan bagi masyarakat Desa Dukuh Widara bukanlah
hal yang rumit. Pernikahan umumnya dilangsungkan karena
keinginan masing-masing pasangan. Orang tua cenderung
memberi kebebasan bagi anak-anaknya untuk mencari
pasangannya masing-masing, meski saran-saran tentang
pasangan yang dianggap terbaik tetap diberikan. Proses
pernikahan juga tidak rumit. Pasangan yang akan menikah
biasanya sudah saling mengenal dan telah melalui proses yang
52
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
disebut ‘pacaran’. Jika masing-masing sudah siap menikah
(pengecualian pada pasangan yang menikah karena
‘kecelakaan’), pihak laki-laki akan menanyakan kepada pihak
perempuan. Jika sudah dicapai persetujuan, akan dicari tanggal
baik untuk pernikahan yang biasanya didasarkan pada primbon
Jawa.
Usia pernikahan di Desa Dukuh Widara adalah 18-25
tahun, dimana kebanyakan pasangan menikah pada usia 20
tahunan. Meski pada beberapa kasus, terjadi pernikahan di usia
yang masih sangat muda (15-17 tahun), dan ada juga yang
menikah di atas usia 30 tahun. Biasanya usia pasangan laki-laki
lebih tua 3 hingga 5 tahun dari usia pasangan perempuan.
Meskipun hal ini juga bukan hal yang mutlak.
Sebelum pernikahan, mempelai perempuan biasanya
akan menjalani pingitan, yakni tidak boleh bertemu calon
mempelai laki-laki selama beberapa waktu dan juga menjalani
perawatan diri dengan berbagai produk kecantikan, seperti
luluran. Pada hari-H, akan dilakukan ijab kabul dengan cara-cara
Islam yang biasanya akan dilanjutkan dengan resepsi pernikahan.
Meski pada beberapa pasangan, karena alasan biaya, kadang
resepsi dilangsungkan beberapa bulan kemudian atau bahkan
tidak dilaksanakan.
Pada resepsi pernikahan ini, juga dilakukan ritual adat
yang disebut sebagai ‘tandur penganten’. Tandur adalah
pembacaan kidung yang berisi doa-doa memohon kebahagiaan
kepada kedua mempelai.32 Sebagian masyarakat juga
mempercayai bahwa dilakukannya ritual tandur juga
memohonkan agar kedua mempelai lekas dikaruniai keturunan.
Ritual tandur biasanya dipimpin oleh seorang lebe. Di Desa
32
Sumber: Wawancara dengan lebe Desa Dukuh Widara yang sering
melakukan tandur penganten
53
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Dukuh Widara, seorang bapak bernama Pak Sum, meski sudah
menjadi mantan lebe masih dipercaya untuk melakukan tandur.
Prosesi tandur adalah kedua pengantin berdiri atau ‘ditandur’
(ditanam), diapit kedua orang tua mereka, lalu lebe akan berdiri
di tengah-tengah dan mulai menyanyikan kidung. Kidung yang
dinyanyikan berbahasa Jawa. Menurut Pak Sum, tradisi tandur ini
berasal dari masa Kerajaan Demak oleh Ki Mangun Rasa, sahabat
dari Sunan Kali Jaga. Ki Mangun Rasa ini konon adalah orang yang
sering menggantikan ndalang Sunan Kali Jaga ketika Sunan Kali
Jaga sedang berhalangan.
Tradisi lain yang khas adalah jamu-jamu, tradisi yang
dilakukan untuk anak bungsu ketika menjadi pengantin.
Pengantin akan berpura-pura menjual jamu dengan maksud
meminta sumbangan dari para sanak-saudara. Sumbangan yang
diberikan bersifat sukarela dan jumlahnya tidak ditentukan.
Setelah pernikahan, biasanya perempuan akan dibawa
suaminya. Tapi tak jarang juga seorang suami ikut tinggal dengan
keluarga istri.
2.2.5.3. Organisasi Masyarakat
Sementara itu organisasi-organisasi kemasyarakatan ada
yang masih di bawah pemerintahan desa, ada pula yang dikelola
secara bersama oleh masyarakat. Organisasi-organisasi yang
dikelola oleh desa antara lain: PKK, Karang Taruna dan Kelompok
Tani.
PKK adalah organisasi untuk ibu-ibu yang diketuai oleh
istri kuwu. Kegiatannya berupa pengajian Fatayat & Muslimat
(organisasi Islam untuk perempuan di bawah NU) yang diadakan
sekali setiap sebulan, arisan yang diadakan setiap minggu ke-2
setiap bulannya, dan senam khusus ibu-ibu diadakan seminggu
sekali. Kegiatan-kegiatan ini bersifat sukarela dan terbuka bagi
siapa saja.
54
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Karang Taruna sebagaimana namanya, diperuntukkan
untuk kaum muda, terutama laki-laki. Menurut salah seorang
pejabat desa, organisasi ini, meski masih berjalan tapi juga tidak
terlalu aktif. Kegiatan biasanya hanya berupa olahraga bersama
seperti voli atau sepak bola. Sedangkan Kelompok Tani lebih
berfungsi dalam mengatur hal-hal teknis dalam kegiatan
pertanian seperti penggunaan saluran irigasi dan distribusi
pupuk.
Organisasi-organisasi yang dibentuk masyarakat biasanya
lebih bersifat keagamaan yang dikenal dengan istilah ‘jemiahan’
berupa kegiatan pengajian. Kelompok jemiahan biasanya
dipisahkan berdasarkan jenis kelamin. Jemiahan khusus
perempuan dan jemiahan khusus laki-laki. Lingkup kelompok
biasanya lebih kecil, mereka yang tinggal di satu RT atau satu
lingkungan pemukiman mengacu pada letak mushalla terdekat.
Jemiahan dilakukan pada sore maupun malam hari, sekali dalam
seminggu. Selain jemiahan juga dikenal istilah ‘nariahan’,
mengacu pada pembacaan Surat Nariah, dan yasinan
(pembacaan Surat Yasin) untuk kaum lelaki yang biasanya
diadakan pada malam Jum’at. Organisasi-organisasi pengajian ini
biasanya juga akan mengorganisasikan kegiatan-kegiatan terkait
peringatan hari besar keagamaan seperti Maulid Nabi atau
Rajaban. Biasanya pembiayaan untuk kegiatan seperti itu akan
ditanggung bersama dengan sistem iuran.
2.2.6. Sistem Pemukiman
Pemukiman di Desa Dukuh Widara memiliki kepadatan
penduduk 316 per km. Pemukiman bersifat komunal atau
berkelompok. Terjadi pemisahan yang tegas antara pemukiman
penduduk dan persawahan. Pemukiman di Desa Dukuh Widara
umumnya sangat padat. Hanya rumah-rumah yang berada di
pinggir jalan besar yang biasanya memilki halaman atau
55
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
pekarangan, sedangkan rumah-rumah di bagian tengah saling
berhimpitan, membentuk gang-gang kecil layaknya rumah-rumah
di kota besar. Bentuk dan ukuran rumah juga bervariasi. Tapi,
umumnya rumah-rumah di Desa Dukuh Widara adalah rumah
permanen; berdinding tembok, atap genteng, dan berlantai
semen/keramik.
Gambar 2.15 .
Pemukiman Desa Dukuh Widara
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Wilayah pemukiman di bagi ke dalam blok-blok, yang
terdiri dari lima blok. Tiga blok; Blok Pon, Blok Wage dan Blok
Kliwon berada di sebelah Timur jalan utama, berbatasan
langsung dengan Sungai Cisanggarung. Sedangkan Blok Manis
dan Blok Pahing berada di sebelah Barat. Blok Pon dikenal juga
sebagai Blok Desa karena merupakan tempat awal mula
didirikannya pemukiman. Blok Wage dan Blok Kliwon dikenal
dengan sebutan Blok Bojong, karena letaknya yang menjorok ke
Sungai Cisanggarung.33 Sedangkan Blok Manis dan Blok Pahing
33
bojong: menjorok ke sudut/ ujung atau tanah yang menjorok ke sungai/ laut)
56
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
terletak di dataran yang agak tinggi disebut sebagai Blok
Mengger.34
2.2.7. Sistem Religi
Berdasarkan profil Desa, tercatat bahwa masyarakat Desa
Dukuh Widara 100 % beragama Islam dan menyebut bahwa
Islam yang mereka anut adalah “Islam NU (Nahdatul Ulama”.
Ada sebagian kecil yang befaham Muhammadiyah, umumnya
adalah kaum muda yang telah menempuh pendidikan di luar
daerah seperti Yogyakarta, dan berusaha mengembangkannya
tapi konon tidak pernah cukup mendapat pengikut.
NU atau Nahdatul ‘Ulama adalah salah satu organisasi
kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia. NU berfaham
Ahlussunah Wal Jamaah, merupakan faham yang bersifat
akomodatif terhadap nilai-nilai lokal. Bisa dipahami jika Islam
seperti ini banyak berkembang di Desa Dukuh Widara, karena
Islam aliran ini berakar sejak jaman Kesultanan Cirebon dahulu
kala dan Cirebon merupakan salah satu pusat penyebaran agama
Islam pada masa itu, dengan Sunan Gunung Jati, yaitu satu di
antara 9 wali, sebagai salah satu tokohnya.
Salah satu ciri dari Islam ini adalah adanya penghormatan
yang besar terhadap tokoh-tokoh yang dianggap memiliki peran
dalam penyebaran agama Islam, salah satunya ditunjukkan
dengan melakukan ziarah ke makam tokoh-tokoh tersebut
untukmelakukan pembacaan doa. Di Desa Dukuh Widara juga
terdapat makam tokoh yang dianggap berperan dalam
pengembangan agama Islam, yakni Syekh Ma’arif yang
makamnya masih dipelihara para keturunannya dan pada waktuwaktu tertentu diziarahi pengunjung. Kegiatan ziarah ini biasanya
34
Mengger (jw): bukit
57
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dilakukan pada malam Jum’at, utamanya adalah malam Jum’at
Kliwon. Hari Jum’at dalam ajaran Islam dianggap sebagai hari
yang baik, sedangkan Jum’at Kliwon lebih pada kepercayaan
tradisional (Jawa) yang dipercaya sebagai malam yang keramat.
Gambar 2.16.
Kompleks Makam Sunan Gunung Jati yang banyak dikunjungi
Sumber gambar: http://www.disparbud.jabarprov.go.id/
Percampuran nilai-nilai lokal dan agama juga terlihat pada
acara slametan. Pada acara seperti ini, biasanya seseorang akan
mengundang tetangga sekitar untuk membacakan doa-doa dan
kemudian diakhiri dengan berkatan, yakni membagi-bagikan
makanan (biasanya nasi lengkap dengan lauk-pauknya) kepada
para tetangga yang hadir untuk dibawa pulang.
Slametan yang bersifat massal adalah sedekah bumi, yang
diadakan sebagai ucapan syukur usai panen padi. Acara ini
biasanya diselenggarakan sekaligus dengan perayaan 17-an pada
bulan Agustus. Pada kesempatan ini, seluruh masyarakat diajak
berkumpul di lapangan desa, masing-masing membawa
makanan, biasanya berupa nasi dan lauk pauknya. Makanan ini
kemudian dikumpulkan dan dimakan bersama-sama. Dalam
58
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
acara tersebut biasanya juga dipanjatkan doa-doa sebagai
ucapan syukur dan permohonan keselamatan.
Slametan bagi masyarakat Desa Dukuh Widara dimaknai
sebagai bentuk syukur atas rezeki yang diberikan oleh Tuhan atau
juga sebagai permohonan agar diberikan keselamatan.
Slametan yang bersifat ‘syukuran’ adalah slametan yang
berkaitan dengan ritus kehidupan seperti pernikahan, sunatan,
empat/tujuh bulanan kehamilan, panen padi dan kelahiran.
Sedangkan slametan yang bersifat ‘mengirim doa’ adalah
slametan yang berkaitan dengan ritus kematian yang
dilangsungkan pada tujuh hari setelah kematian, empat puluh
hari, seratus hari dan mendak tahun/ tepung tahun (setahun
setelah kematian). Ada juga unggah-unggah, yakni slametan
beserta tahlilan yang dilakukan menjelang bulan Ramadhan,
dengan maksud untuk mengirim doa pada kerabat yang
meninggal. Unggah-unggah akan diikuti dengan udun-udun,
dilakukan ketika hari ke-20 bulan Ramadhan dengan tujuan yang
sama.
Selain slametan juga dikenal istilah sajen. Sajen adalah
ritual yang dilakukan sebelum melakukan pekerjaan-pekerjaan
tertentu yang umumnya berkaitan dengan ‘pekerjaan besar’,
seperti ketika hendak menanam padi atau membakar batu-bata.
Tujuan sajen hampir sama dengan slametan, hanya saja, sajen
sifatnya lebih pribadi, tanpa perlu melibatkan banyak orang.
Sajen seringkali juga menjadi bagian penting dalam slametan.
Sajen, seperti istilahnya yang kemungkinan berasal dari kata
‘saji’/‘sajian’ dilakukan dengan ‘menyajikan’ jenis makanan atau
benda tertentu. Untuk sajen tanam padi misalnya, dibuat bogana
yakni nasi yang dicampur dengan aneka sayuran. Ada juga yang
menaburkan garam di sawah sebelum ditanami sambil mengucap
doa-doa. Meski begitu, berdasarkan obrolan dengan beberapa
orang di Desa Dukuh Widara, ritual-ritual semacam ini sudah
59
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
jarang dilakukan saat ini dan banyak kaum muda yang sudah
tidak memahami lagi maknanya.
Ruwatan adalah ritual yang dilakukan untuk
menghindarkan seseorang dari hal-hal yang buruk. Ruwatan
biasanya dilakukan ketika seseorang hendak memasuki rumah
baru. Dalam ruwatan juga dibuat sajen. Untuk ruwatan rumah
baru, biasanya akan diundang pemain barongan. Ritual semacam
ini, juga sudah jarang dilakukan oleh masyarakat Desa Dukuh
Widara.
Sementara itu, perayaan-perayaan yang bersifat
keagamaan mengacu pada hari-hari besar agama Islam. Perayaan
terbesar adalah Hari Raya Idul Fitri, ditandai dengan pulangnya
para sanak keluarga dari rantau untuk berkumpul bersama.
Sebagaimana umumnya, pada hari raya seperti ini, masingmasing rumah akan menyiapkan berbagai penganan berupa kuekue dan para tetangga serta handai-taulan akan saling
mengunjungi. Hari Raya Idul Adha juga dirayakan,tapi tidak
sebesar Hari Raya Idul Fitri dan hanya ditandai dengan
sembahyang bersama dan pemotongan hewan kurban. Hari-hari
besar seperti Maulid Nabi, Tahun Baru Islam (1 Muharram) dan
Rajaban, diperingati dengan pengajian, baik itu pengajian yang
bersifat lebih sederhana atau pengajian besar dengan
mengundang penceramah dari luar desa. Sementara untuk
perayaan yang bersifat ‘nasional’ adalah perayaan 17-an, untuk
memperingati Hari Kemerdekaan RI, yang biasanya dirayakan
dengan mengadakan berbagai lomba, seperti pertandingan
olahraga, panjat pinang dan aneka lomba untuk anak-anak.
Puncak perayaan ini biasanya dengan mengadakan pertunjukan
seni.
60
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
2.2.8. Kesenian
Kesenian bagi masyarakat Desa Dukuh Widara erat
kaitannya dengan perayaan. Suatu pertunjukan seni diadakan jika
sedang merayakan sesuatu, entah itu secara massal maupun
individual. Perayaan yang bersifat massal biasanya terkait dengan
hari-hari besar, seperti peringatan Hari Kemerdekaan RI pada
bulan Agustus. Sedangkan perayaan yang bersifat individual
biasanya terkait dengan fase-fase penting dalam kehidupan
seseorang seperti sunatan pada anak-anak lelaki, aqiqahan, dan
terutama adalah pernikahan. Meski begitu, ada juga jenis
kesenian yang dimaksudkan sebagai tolak bala atau ruwatan.
Ada beberapa jenis kesenian yang dikenal masyarakat
Desa Dukuh Widara. Mulai dari kesenian tradisional hingga
modern. Berikut beberapa jenis kesenian yang sering diadakan di
Desa Dukuh Widara:
2.2.8.1. Barongan
Asal-usul mengenai barongan sendiri cukup sulit untuk
diperoleh informasinya dari para pegiat seni ini di Desa Dukuh
Widara. Mereka mengaku tidak memahami lagi ceritanya, atau
hanya memahami sepotong-sepotong. Somat, anak Pak Tam—
pemilik barongan—, misalnya, yang juga aktif sebagai pemain
seruling di kelompok barongan ayahnya, mengaku tak tahu persis
bagaimana awal mula barongan ada.35 Orang-orang tua yang
dianggap memahami ceritanya sudah meninggal dan tak
menurunkan cerita itu pada keturunannya. Somat hanya tahu
bahwa barongan dulunya berada di dalam laut dan ada tokoh
bernama Sumbing Klabang Kara yang melukis di dalam laut.
35
Sumber: Wawancara dengan Somat, 24 Mei 2014
61
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Sementara itu, berdasarkan sumber dari situs Dinas
Pariwisata Jawa Barat, barongan dikenal juga dengan sebutan
berokan.36 Tersebutlah dulu Yudhayaka, anak angkat dari Prabu
Sulangkara. Yudhayaka sangat senang melukis. Suatu hari
ayahnya menyuruhnya melukis lautan. Ketika sedang menyelam
di laut, Yudhayaka bertemu dengan binatang yang hanya terlihat
kepalanya saja di dalam lubang (rong). Dia berusaha
untukmelihatnya, tapi binatang itu tidak juga mau keluar dan
tidak jelas (ora babar-babar). Yudhayaka pun kemudian
menyerahkan lukisannya lengkap dengan binatang aneh itu.
Ayahnya merasa kagum, dan kemudian memintanya untuk
mewujudkan binatang tersebut ke bentuk kesenian. Dan
Yudhayaka pun menciptakan “barongan”, binatang yang “ora
babar-babar neng jero rong”.
Versi lain menyebut bahwa istilah “barongan juga di sebut
“barokan” yang berasal dari kata barokahan (berkah) yang
berarti selamatan.37 Kepala barongan adalah tiruan kepala singa,
sedang badannya adalah tiruan tubuh raksasa Syiwa Durga yang
digunakan oleh Pangeran Cakrabuana sebagai alat penyebaran
Islam pada masyarakat Jawa Barat yang kala itu masih memeluk
agama Sanghyang (agama Sunda Wiwitan yang bercampur Hindu
Syiwa). Kata Sanghyang sendiri kemudian berubah menjadi
Sembahyang (sholat). Versi lain menyebutkan bahwa dulunya
barongan diciptakan untuk mengusir makhluk halus yang
mengganggu tanaman di sawah.38
36
Sumber: “Berokan.” Yuli Adam Panji & Toto Amsar Suanda. http://www.
disparbud.jabarprov.go.id/
37
Sumber:“Dialektika Islam dan Kebudayaan Cirebon, A. Chozin Nasuh.
http://dualmode.kemenag.go.id/acis11/file/dokumen/12.a.chozinnasuha.pdf
(akses 23 Agustus 2014)
38
Sumber:“Barongan Cirebon”, Uun Halimah. (http://uun-halimah.blogspot.
com/2007/11/barongan) (16 Juli 2014)
62
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Di Desa Dukuh Widara, masih ada satu kelompok
Barongan yang masih aktif hingga saat ini. Pak Tam, adalah ketua
kelompok Barongan sekaligus pemilik Barongan. Ia mewarisi
barongan itu dari ayahnya. Kelompok barongan milik Pak Tam
anggotanya tidak hanya berasal dari Desa Dukuh Widara saja,
tetapi juga desa-desa sekitar. Mereka juga melakukan pentas
tidak hanya di Dukuh Widara, tapi juga ke desa-desa sekitar.
Barongan merupakan sejenis topeng kayu, dengan kepala
berbentuk binatang dengan mulut lebar, dipenuhi gigi besarbesar yang bisa dibuka dan ditutup. Bagian kepala dan wajahnya
biasanya dicat merah dan hitam, sedangkan giginya dicat putih.
Bola matanya dibuat besar dan terlihat mengerikan. Bagian
kepala dibuat rambut dari bulu domba dan ijuk, sementara
bagian badannya dari karung goni. Jika hendak dimainkan,
pemain akan masuk ke dalam karung tersebut.
Dalam sebuah pertunjukan, barongan biasanya ditemani
oleh ‘topeng’ lain, yakni pentul/ bodhor. Berbeda dengan
barongan yang berwujud menyeramkan, pentul terkesan lebih
lucu, berupa topeng berwarna merah dengan hidung besar dan
kepala gundul. Ketika menari, barongan akan diiringi oleh musik
yang terdiri dari suling, terompet, saron, kleningan, gender,
konang, gong dan ketuk. Sambil menari, biasanya juga diringi
dengan lagu-lagu dan lawakan.
Pertunjukan barongan bisa terdiri dari beberapa babak,
tergantung dari keinginan yang menanggapnya. Barongan
biasanya ditanggap untuk acara-acara sunatan dan ruwatan,
terutama ruwatan rumah baru yang dianggap ada
‘penunggunya.’ Pada acara ruwatan rumah ini, barongan akan
menari, kemudian mengambil bantal dari dalam kamar dan
melemparkannya ke atap sebagai tanda bahwa hal-hal buruk
telah dibuang. Sebagai penebusan, sang empunya rumah
diharapkan memberi uang kepada barongan yang jumlahnya
63
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
seikhlas si empunya. Dalam acara ini juga disediakan sajen antara
lain terdiri air bunga tujuh rupa, uang receh, beras, umbi-umbian
dan ayam dan salah seorang anggota barongan membaca doadoa pengusir bala. Pertunjukan biasanya diakhiri dengan
barongan yang mengejar-ngejar penonton hingga anak-anak
berlarian karena ketakutan. Para penonton kemudian biasanya
akan memberi ‘sawer’ atau memberikan uang receh yang
jumlahnya terserah masing-masing orang.
Gambar 2.17.
Barongan (atas) & Pentul (bawah)
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Kesenian barongan memang unik karena justru unsur
hiburannya terletak pada ‘menakut-nakuti’, semakin menakutkan
semakin menarik. Seperti yang diungkapkan oleh Pak Lam, salah
64
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
seorang warga Desa Dukuh Widara, bahwa barongan dulu lebih
menarik karena lebih menakutkan, matanya seperti hidup. Ia
beranggapan hal tersebut karena barongan dulu adalah barongan
keramat, sedangkan sekarang sudah tidak lagi. Barongan milik
ayah Pak Tam yang dianggap asli dan keramat memang sudah
dijual dan saat ini disimpan di Bali. Sedangkan barongan yang ada
sekarang adalah gantinya. Meski sudah tidak sekeramat dulu,
barongan ini juga masih dianggap keramat oleh keluarga Pak
Tam. Setiap malam Jum’at Kliwon, barongan itu disajeni dan
dibakari kemenyan.
Saat ini, barongan sudah semakin jarang ditanggap.
Alasannya, karena biayanya dianggap cukup mahal. Selain itu,
kesenian-kesenian baru seperti organ dianggap lebih menarik.
2.2.8.2. Genjring
Genjring adalah alat musik semacam rebana. Seni
genjring bernapaskan Islami, biasanya berupa shalawatan
dengan diiringi tetabuhan genjring. Kesenian ini biasanya
dipentaskan pada acara-acara keagamaan.
2.2.8.3. Burokan
Burokan, bisa dibilang kesenian yang paling populer di
Desa Dukuh Widara. Banyak acara-acara hajatan seperti pesta
pernikahan dan sunatan yang menanggap burokan. Satu
kelompok Burokan bisa mencapai puluhan orang dan bisa
dikatakan sangat meriah karena diminati oleh anak-anak. Saat ini,
tidak ada pegiat seni burokan di Desa Dukuh Widara, sehingga
biasanya mereka mengundang rombongan burokan dari wilayah
terdekat seperti Losari. Istilah “burokan” sendiri berasal dari kata
“buroq”, kuda terbang bersayap, mengacu pada kendaraan yang
65
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
digunakan oleh Nabi Muhammad dalam melakukan Isra Mi’raj
menurut ajaran Islam.
Gambar 2.18.
Rombongan Burokan yang akan melakukan pertunjukan
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Dalam pertunjukan burokan,biasanya ada sepasang
boneka burok yang dimainkan oleh empat orang (dua di depan
dan dua di belakang), kemudian diikuti boneka aneka binatang
seperti macan, kuda, gajah, kera dan juga badut-badut yang
mengenakan kostum lucu. Anak-anak diperbolehkan menaiki
boneka-boneka tersebut dengan biaya tersendiri.
Selama pertunjukan, burokan melibatkan tarian dan
nyanyian yang diiringi musik, dilakukan oleh laki-laki maupun
perempuan. Musik yang ada biasanya terdiri dari tiga buah
dogdog (besar, sedang, kecil), empat buah genjring, simbal,
organ, gitar, gitar melodi, kromong, suling, dan kecrek.39
39
Sumber: “Burokan” (http://www.disparbud.jabarprov.go.id/)
66
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
2.2.8.4. Tari Topeng
Tari Topeng adalah pertunjukan tari yang pemainnya
mengenakan topeng dengan diiringi musik gamelan. Tari Topeng
yang terkenal dari daerah Cirebon adalah Topeng Losari, berasal
dari Kecamatan Losari, sekitar 3 km dari Desa Dukuh Widara
dengan tokoh yang terkenal, Mimi Sawitri (alm). Di Desa Dukuh
Widara ada juga beberapa pegiat topeng, terutama sebagai
penarinya. Pertunjukan tari topeng biasanya ditanggap pada
hajatan desa seperti acara tujuh belas Agustusan.
Konon, Tari Topeng Losari adalah buah kreasi dari
Pangeran Angkawijaya, cucu Sunan Gunung Jati yang memilih
untuk menyepi di daerah Losari dalam memperdalam bakat
seninya40. Rupa topeng bermacam-macam, ada yang
menampilkan watak-watak tokoh yang diambil dari cerita
pewayangan, seperti Topeng Panji, Topeng Samba, Topeng
Rumyang, Topeng Tumenggung dan Topeng Kelana.
2.2.8.5. Sandiwara
Sandiwara mirip dengan ketoprak di daerah Jawa Tengah.
Sandiwara biasanya ditanggap ketika ada acara-acara besar di
desa, seperti tujuh belas Agustusan.41 Lakon yang dimainkan
biasanya diambil dari cerita Babad Cirebon seperti Pangeran
Walangsungsang, Ki Gede Trusmi, dan sebagainya, disamping
juga menampilkan cerita legenda yang ada di masyarakat. Untuk
menambah kemeriahan pertunjukan, kadang-kadang diselipkan
pula kemasan musik dangdut atau tayuban. Sementara alat-alat
musik yang digunakan biasanya berupa perangkat gamelan dan
40
Sumber: (Pangeran Losari ‘Angkawijaya’ Tali Sejarah Cirebon Brebes,
http://www.radarcirebon.com/)
41
Sumber: “Sandiwara Cirebon”, (http://www.disparbud.jabarprov.go.id/)
67
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dalam perkembangannya sering ditambah keyboard dan gitar.
Sandiwara kebanyakan diadakan pada malam hari, dimulai pada
sekitar pukul 08.00 malam hingga menjelang dinihari.
2.2.8.6. Organ Tunggal
Orgen Tunggal adalah kesenian yang juga populer di
masyarakat karena berkesan lebih modern dan meriah. Orgen
tunggal melibatkan musik dari orgen dan biduan yang
menyanyikan lagu-lagu masakini dengan berbagai variasi seperti
dangdut, populer dan musik daerah.
2.2.8.7. Tarling
Tarling merupakan jenis musik yang populer di daerah
pantura, terutama Cirebon (Cerbonan) dan Indramayu
(Dermayon). Tarling merupakan kependekan dari ‘gitar’ dan
‘suling’, alat musik yang digunakan dalam kesenian ini tapi sering
juga dipahami sebagai "yen wis mlatar kudu eling" (jika sudah
berbuat negatif, maka harus bertaubat. Tarling biasanya
mengiringi lagu-lagu dalam bahasa Lokal yang seringkali berisikan
pesan-pesan moral. Tarling merupakan kesenian rakyat, dan
mulai populer sejak tahun ’30-an. Belakangan, untuk memberi
kesan modern, tarling juga dipadukan dengan musik dangdut
sehingga dikenal Tarling-Dangdut.42
2.2.9. Pengetahuan
2.2.9.1. Sakit dan Penyakit
“Sehat itu ya awakenteng. Nggak ada yang dirasa.
Perasaan punya fisik itu memang besar. Tapi kalau nggak
42
Sumber:“Musik Tradisional Cirebon.” http://id.voi.co.id/)
68
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
sehat, ting greges, saya ke Patrol saja saya ngantuk”
cerita Pak Mat, pria yang berumur sekitar 50 tahun.
Demikianlah pemahaman sehat dan sakit bagi
kebanyakan masyarakat Desa Dukuh Widara. Sehat adalah ketika
badan terasa nyaman dan tidak ada yang dikeluhkan. Umumnya
tidak dikenal istilah-istilah khusus untuk penyakit. Masyarakat
biasanya menyebut nama-nama penyakit sebagaimana yang
lazim dikenal seperti kencing manis untuk diabetes mellitus,
stroke, maag, kusta, jantung. Beberapa bahasa lokal (Jawa)
digunakan untuk menyebut beberapa penyakit seperti edanuntuk
gangguan jiwa, ting greges untuk kondisi tubuh demam , watuk
pilek untuk batuk pilek.
Ketika sakit, jika sakit dirasa tidak parah, masyarakat Desa
Dukuh Widara umumnya melakukan pengobatan diri sendiri
dengan membeli obat-obat generik yang dijual di warungwarung. Ketika dirasa agak parah, umumnya masyarakat Desa
Dukuh Widara akan mencari pengobatan ke tenaga kesehatan
yang dipercaya. Mulai dari Puskesmas (Puskesmas pembantu
maupun Puskesmas), tenaga kesehatan yang membuka praktek
swasta seperti Bidan Desa, Mantri atau Dokter, hingga ke klinik
atau Rumah Sakit. Preferensi layanan/tenaga kesehatan ini
berbeda-beda pada masing-masing orang. Ada yang memilih
berobat ke Puskesmas karena biayanya yang murah, tapi ada
juga yang memang percaya dengan pengobatan di sana.
Sementara pilihan-pilihan ke praktek swasta, ada yang
didasarkan pada faktor kedekatan, baik itu kedekatan jarak
tempat tinggal maupun kedekatan karena hubungan
kekeluargaan dan juga kepercayaan terhadap layanan tersebut.
Sementara untuk praktek swasta yang jauh letaknya dan
umumnya lebih mahal, biasanya didasarkan pada faktor
kepercayaan.
69
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Mak Isah43 misalnya, yang mengalami gangguan lambung
kronis, awalnya berobat ke Puskesmas karena biayanya murah.
Setelah tak kunjung sembuh, ia pun mencoba pengobatan pada
tenaga kesehatan yang membuka praktek di dekat rumahnya.
Masih belum juga sembuh, anak-anaknya pun kemudian
menyarankannya untuk berobat ke dokter yang membuka
praktek swasta, yang jarak dan biayanya jauh lebih mahal. Dan
Ibu Ani merasa kondisinya menjadi lebih baik.
Lain halnya dengan Pak Mat yang lebih mempercayakan
pelayanan kesehatan keluarganya pada tenaga kesehatan yang
ada di desa.44 Selain alasan kepercayaan, juga karena lebih
praktis, karena tenaga kesehatan tersebut bersedia dipanggil ke
rumah. Pak Mat memiliki pengalaman, ketika salah satu anaknya
sakit tipus, setelah pulang dari rumah sakit anak tersebut
kambuh lagi. Pak Mat pun kemudian memanggil tenaga
kesehatan tersebut yang kemudian memberikan perawatan di
rumah dan beberapa hari kemudian si anak berangsur pulih.
Sementara Bu Yah45, yang menderita Kencing Manis, lebih
percaya pada salah seorang tenaga kesehatan karena memiliki
kedekatan hubungan. Seorang bidan yang membuka praktek di
desa, di masa lalu pernah tinggal di rumahnya sehingga terjalin
hubungan yang akrab antara dirinya dengan sang bidan.
Berkaitan dengan biaya misalnya, Bu Yah sering mendapat
potongan harga dari bidan tersebut.
Pak Mis46, menderita stroke. Begitu divonis sakit, ia
langsung mencari pengobatan ke rumah sakit di kabupaten
karena berharap ingin mendapatkan pengobatan terbaik.
43
Sumber: Wawancara dengan Mak Isah 3 Juni 2014
44
Sumber: Wawancara dengan Pak Mat, 26 Mei 2014
45
Sumber: Wawancara dengan Bu Yah, 9 Juni 2014
46
Sumber: Wawancara dengan Pak Mis, 11 Juni 2014
70
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Baginya, rumah sakit di kabupaten pasti lebih baik pelayanan dan
fasilitasnya.
Di Desa Dukuh Widara, meski tingkat kepercayaan
masyarakat kepada tenaga kesehatan cukup tinggi, namun
masyarakat seringkali mengkombinasikan pengobatan medis
dengan pengobatan non medis seperti pengobatan herbal,
pengobatan alternatif atau bahkan pergi ke ‘orang pintar.’ Orang
pintar adalah sebutan untuk orang-orang yang dipercaya memilki
kemampuan untuk berkomunikasi dengan roh-roh halus dan
karenanya juga memiliki kemampuan mengobati. Kebanyakan
orang pintar adalah kyai, yang juga memiliki ilmu agama yang
tinggi.
Pengobatan herbal biasanya dilakukan dengan
mengkonsumsi jenis tumbuh-tumbuhan tertentu yang dipercaya
bisa menyembuhkan penyakit. Pengetahun ini biasanya didapat
dari saran sanak keluarga atau para tetangga. Pak Mat misalnya,
ketika sakit, selain minum obat dari tenaga kesehatan juga
merebus jenis daun tertentu yang dipercaya akan mengurangi
penyakitnya. Demikian juga dengan Bu Ani, yang memakan
kunyit mentah untuk mengurangi keluhan pada lambungnya.
Sementara itu, pengobatan ke tenaga kesehatan alternatif atau
‘orang pintar’ biasanya dilakukan ketika suatu penyakit, setelah
berobat ke tenaga kesehatan biasa, tak kunjung sembuh.
Pak Sum47 terserang vertigo hingga tak bisa berdiri. Ia
telah berobat ke Puskesmas, meski mengalami kesembuhan, tapi
cukup lambat. Oleh karena itu ketika ada seorang tukang pijat
refleksi ingin membantunya, ia tidak menolak karena berharap
proses kesembuhannya lebih cepat. Hal yang hampir sama juga
dialami Pak Sam, yang sakit stroke. Selain rutin menjalani
pengobatan dan terapi di rumah sakit, ia juga berobat ke tukang
47
Sumber: Wawancara dengan Pak Sum, 5 Juni 2014
71
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
pijat alternatif dengan harapan mempercepat proses
kesembuhan. Semantara itu, Bu Ida48, suaminya menderita sakit
tulang punggung beberapa tahun belakangan. Keluarganya sudah
berobat ke rumah sakit dan dokter spesialis, tapi tak kunjung
sembuh. Akhirnya mencari ‘orang pintar’ untuk mencari
pengobatan disamping juga mengkonsumsi ramuan-ramuan
herbal.
Berbagai jenis pengobatan ini, bagi masyarakat bukan
sesuatu yang kontradiktif, tapi mendukung satu sama lain.
2.2.9.2. Kesambet, Penyakit Kiriman, Teluh & Sawan
Penyakit, bagi masyarakat Desa Dukuh Widara, tidak
selalu hanya disebabkan oleh sumber-sumber penyakit seperti
yang dipahami dalam dunia medis. Penyakit, bisa juga
disebabkan oleh kekuatan-kekuatan buruk seperti makhlukmakhluk halus. Dikenal beberapa istilah untuk jenis-jenis
penyakit ini, yakni kesambet, penyakit kiriman, teluh dan sawan.
a. Kesambet
Kesambet adalah penyakit yang disebabkan karena
seseorang dirasuki makhluk halus. Hal ini bisa terjadi ketika
seseorang tidak sengaja melewati tempat tertentu yang menjadi
tempat tinggal makhluk halus, melakukan sesuatu yang
menyinggung perasaan si makhluk halus, atau juga ketika
seseorang sedang melamun (kosong pikirannya) dan ada makhluk
halus di sekitarnya. Ada beberapa hal yang mendasari anggapan
bahwa seseorang mengalami sakit karena kesambet. Kesambet
ditandai dengan gejala penyakitnya yang tidak wajar, atau gejala
penyakit wajar tapi tak kunjung sembuh, meski sudah dibawa
berobat ke tenaga kesehatan.
48
Sumber: Wawancara Bu Ida, 21 Mei 2014
72
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Idah49, karena pekerjaannya mengunjungi daerah
pedesaan yang masih berhutan-hutan. Setelah pulang dari
kunjungan itu, Idah menjerit-jerit dan berteriak-teriak dalam
tidurnya seperti orang ketakutan. Keluarganya pun
menyimpulkan bahwa Idah kesambet. Maka, dipanggillah ‘orang
pintar’, dan orang tersebut ini mengatakan bahwa Idah diikuti
makhluk halus dan setelah dibacakan doa-doa akhirnya Idah
sembuh.
Demikian juga yang dialami oleh istri Pak Sum. Awalnya,
ia mengira istrinya sakit panas biasa dan dibawa berobat ke
Puskesmas, namun tak kunjung sembuh. Di bawa berobat ke
dokter juga tak kunjung sembuh, tetapi justru bertambah parah.
Pak Sum disarankan untuk pergi ke ‘orang pintar’, seorang kyai
yang juga dipercaya memiliki kemampuan menyembuhkan. Oleh
sang kyai, Pak Sum disarankan untuk mencari air hujan dan
membaca ayat-ayat tertentu dari Al Qur’an dalam jumlah serta
lama waktu tertentu. Pak Sum menuruti perintah itu, dan istrinya
pun perlahan sembuh.
b. Penyakit Kiriman
Penyakit kiriman juga ditandai dengan gejala penyakit
yang tidak wajar. Penyakit ini disebabkan oleh seseorang yang
menginginkan orang tertentu sakit. Jenis penyakitnya bisa
bermacam-macam. Biasanya seseorang ‘mengirim’ suatu
penyakit kepada seseorang karena faktor dendam atau ketidak
sukaan.
Pak Sum dahulunya adalah seorang pedagang makanan.
Suatu hari, mendadak ia mengalami gatal-gatal tapi hanya
separuh badan. Ia mencoba untuk berobat ke dokter, tapi tak
sembuh. Kemudian dia diberitahu orang bahwa penyakitnya
bukan penyakit biasa, tetapi karena dikirim seseorang. Ia pun
49
Sumber: Wawancara dengan Idah, 3 Juni 2014
73
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
diobati dengan cara dibacakan doa-doa. Selanjutnya seorang
anak kecil yang kebetulan berada di sekitarnya, melihat
seseorang keluar dari tubuhnya. Meski takbisa melihat, tapi Pak
Sum bisa merasakan ada sesuatu yang keluar dari tubuhnya. Esok
harinya, gatal-gatalnya perlahan sembuh. Beberapa waktu
kemudian, Pak Sum juga melihat ada seseorang mendatanginya
dengan cara menempel di dinding. Wajahnya dilihat samar-samar
seperti pedagang yang sering berjualan di sekitarnya. Ketika
sembuh dan kembali berjualan, Pak Sum merasa heran karena
tak pernah lagi bertemu dengan pedagang itu lagi. Bisa
disimpulkan bahwa pedagang itu lah yang ‘mengirimi’ penyakit
kepada Pak Sum.
c. Teluh
Teluh berbentuk bola api yang terbang di malam hari,
menyinggahi atap-atap rumah. Sasarannya adalah keluarga yang
memiliki bayi yang baru lahir. Bola api teluh adalah jelmaan
seseorang yang sedang mempelajari ilmu hitam atau mencari
pesugihan (kekayaan) dengan cara pergi ke gunung-gunung
untuk bersemedi. Jika seorang bayi terkena teluh, bayi tersebut
tiba-tiba akan jatuh sakit dan beberapa hari kemudian meninggal.
Agar bayi terhindar dari teluh, diadakan melekan, biasanya sang
ayah ditemani beberapa orang tetangga laki-laki akan begadang
hingga dini hari, sejak bayi lahir hingga umur 7 hari atau malah
hingga 40 hari.
d. Sawan
Sawan adalah penyakit yang juga disebabkan oleh
makhluk halus dan hanya dialami oleh anak-anak, terutama bayi.
Ada dua jenis sawan yang dikenal di masyarakat, yakni sawan
wangke dan sawan burok.
Sawan wangke adalah sawan yang disebabkan karena
adanya suatu kondisi kematian. Si bayi berada di sekitar
74
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
seseorang yang meninggal. Jika seorang bayi terkena sawan ini,
pertumbuhannya akan terhambat. Ia seolah mengecil dan
kakinya tak mau lurus. Jika sudah disimpulkan bahwa si bayi
terkena sawan wangke, maka pengobatannya adalah dengan
mencuri salah satu pakaian milik orang mati, celana atau
sarungnya. Selanjutnya pakaian tersebut diselimutkan pada
tubuh si bayi, namun jika sudah sembuh, kain itu harus
dikembalikan. Tapi dalam proses pengambilan, tidak boleh
diketahui orang lain.
Sawan burok disebabkan karena si bayi kelewatan
mahkluk penghuni burok. Burok/burokan adalah sejenis kesenian
tradisional dengan menggunakan boneka burok. Seorang bayi
yang terkena sawan burok ditandai dengan mata yang tidak mau
mengedip, seperti mata boneka burok. Untuk mengobatinya,
dengan meraupi burok. Ketika ada burok lewat (bisa juga
diundang), orang tua si bayi harus mengusapkan telapak
tangannya di wajah boneka burok dan kemudian mengusap ke
wajah si bayi. Hal ini dilakukan berulang-ulang hingga 3 kali.
Diharapkan selanjutnya orang tua memberikan sejumlah uang
kepada si pemain burok dengan jumlah yang tidak ditentukan.
75
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
76
BAB 3
GAMBARAN KESEHATAN MASYARAKAT
DUKUH WIDARA
3.1.
Budaya Kesehatan Ibu dan Anak
3.1.1. Gambaran Kondisi Kesehatan Ibu dan Anak
Desa Dukuh Widara memiliki kondisi Kesehatan Ibu dan
Anak (KIA) yang hampir sama dengan beberapa wilayah di
Puskesmas Kalibuntu. Berdasarkan data laporan KIA tahun 2013,
salah satu masalah yang terjadi di Desa Dukuh Widara adalah
adanya ibu hamil yang masih kurang dari 20 tahun dan KEK
(Kurang Energi Kronis) yang ditandai dengan LILA <23,5 cm. Pada
periode persalinan, Desa Dukuh Widara memiliki permasalahan
yang cukup berarti, yaitu masih rendahnya cakupan persalinan
oleh tenaga kesehatan. Pada masa nifas, selain tradisi yang masih
kental, angka cakupan pemberian ASI eksklusif juga masih sangat
rendah. Pada fase kehidupan anak dan balita, masalah yang
cukup menonjol di Desa Dukuh Widara adalah pola asuh orang
tua, baik yang tinggal bersama dengan orang tua kandung
maupun orang tua asuh. Sebelum membahas tentang KIA, maka
akan dibahas tahapan sebelum fase menjadi ibu/membentuk
keluarga. Fase tersebut adalah masa remaja dan pra kehamilan.
77
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
3.1.2. Remaja
3.1.2.1. Pengertian Remaja
Secara etimiologi, remaja berarti “tumbuh menjadi
dewasa”. Definisi remaja (adolescence) menurut organisasi
kesehatan dunia (WHO) adalah periode usia antara 10 sampai 19
tahun, sedangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut
kaum muda (youth) untuk usia antara 15 sampai 24 tahun.
Sementara itu, menurut The Health Resources and Services
Administrations Guidelines Amerika Serikat, rentang usia remaja
adalah 11-21 tahun dan terbagi menjadi tiga tahap yaitu remaja
awal (11-14 tahun); remaja menengah (15-17 tahun); dan remaja
akhir (18-21 tahun). Definisi ini kemudian disatukan dalam
terminologi kaum muda (young people) yang mencakup usia 1024 tahun.
Definisi remaja sendiri dapat ditinjau dari tiga sudut
pandang, yaitu:
1) Secara kronologis, remaja adalah individu yang berusia
antara 11-12 tahun sampai 20-21 tahun;
2) Secara fisik remaja ditandai oleh ciri perubahan pada
penampilan fisik dan fungsi fisiologis, terutama yang terkait
dengan kelenjar seksual;
3) Secara psikologis, remaja merupakan masa dimana individu
mengalami perubahan-perubahan dalam aspek kognitif,
emosi, sosial, dan moral, diantara masa anak-anak menuju
masa dewasa.
Gunarsa (1978) yang dikutip oleh Eny Kusmiran (2011)
mengungkapkan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan
dari masa anak-anak ke masa dewasa, meliputi semua
perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa
dewasa.
78
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Masa remaja adalah masa yang penting dalam
perjalanan kehidupan manusia. Golongan umur ini penting
karena menjadi jembatan antara masa kanak-kanak yang bebas
menuju masa dewasa yang menuntut tanggung jawab.
3.1.2.2. Perubahan Fisik pada Masa Remaja
Masa remaja terjadi ketika seseorang mengalami
perubahan struktur tubuh dari anak-anak menjadi dewasa
(pubertas). Pada masa ini terjadi suatu perubahan fisik yang
cepat disertai banyak perubahan, termasuk didalamnya
pertumbuhan organ-organ reproduksi (organ seksual) untuk
mencapai kematangan yang ditunjukkan dengan kemampuan
melaksanakan fungsi reproduksi. Perubahan yang terjadi pada
pertumbuhan tersebut diikuti munculnya tanda-tanda seks
primer dan seks sekunder
“Mah” adalah pelajar berumur 19 tahun, telah mengalami
menstruasi sejak kelas 6 SD, dan sampai dengan sekarang
periode menstruasinya selalu lancar dan tidak ada masalah
apapun. Pada saat ditanya pengetahuannya tentang kesehatan
reproduksi seperti ciri-ciri remaja laki-laki dan perempuan,
penyakit menular seksual, alat kontrasepsi dan sunat baik kepada
laki-laki maupun perempuan, berikut jawaban “Mah, “Penyakit
menular kalau di reproduksi itu yang kayak HIV/AIDS, Sipilis dan
GO, kalau itu sudah belajar di pelajaran”. “Kalau alat kontrasepsi
saya ga tahu banyak (sambil tertawa) paling pernah tahu mamah
pakai pil, gitu”.
Di Desa Dukuh Widara, usia pernikahan rata-rata 18
tahun, setingkat SMA. Awalnya mbak “Mah” tidak bercerita
banyak tentang penyebab pernikahan, tetapi saat dtanyakan
tentang apakah disini ada kejadian“kecelakaan?”.
79
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
“Wah, kalau seperti itu disini banyak mbak.. ada temen
saya juga, waktu kelas satu ada, pas naik kelas dua ada
yang kemarin-kemarin juga ada... terlihat penuh
semangat bercerita. Menurut “Mah” banyak faktor yang
menyebabkan kejadian ini antara lain: itu anak cewenya,
yang bangga kalau punya cowo dan deket deket cowe,
terus juga ada lagi karena anak cowonya sudah pada
gede-gede dan ada juga beberapa itu kejadian karena
ditinggal orang tuanya pergi keluar negeri. “Jadikan
mbak, mereka tinggal sama orang lain seperti nenek
atau bibi dan biasanya terlalu ketat atau ada juga yang
terlalu longgar. Kalau yang ketat merekakanjadinya ga
bebas, jadi sering bohong. Contohnya mau pacaran tapi
alasannya belajar kelompok, ngerjain PR.” Biasanya
mereka akan ketahuan kalau sudah hamil besar, ada
juga sih yang mereka cerita sendiri, ceritanya tapi ga ke
orang tuanya, ke nenek atau cerita ke bibinya dan itu
biasanya kalau sudah hamil besar, malah ada yang
sudah 6 bulan. Pada umumnya peristiwa ini, mereka
akan langsung dinikahkan dan tidak ada sanksi dari
masyarakat atas perilaku mereka”.
Saat ditanyakan tentang pengetahuan remaja, tentang
pacaran yang sehat dan akibatnya, mbah Mah, menjawab seperti
ini:
”ya, lah mba, mereka pasti tahu wong suka ngobrol dan
akibatnya pasti tahu, kan sudah ada pelajarannya di
penjas (pedidikan jasmani), yaitu tentang seks bebas dan
narkoba. Jadi dipelajaran itu diajarkan tentang pacaran
sebaiknya di rumah, bareng dengan orang tua, kalau
denger-denger cerita mereka, biasanya gitu-gitu terjadi
di rumah cowonya jadi si cewe main ke rumah cowonya.
80
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Sudah tahu, sudah diingatkan selanjutnya semua
tergantung orang yang menjalaninya.”50
Selain “Mah” salah seorang remaja di Desa Dukuh Widara
yang temui adalah AN. Ia kini berusia 15 tahun dan duduk di
bangku kelas 3 sebuah sekolah MTs di sebuah desa yang
bersebelahan langsung dengan Desa Dukuh Widara. AN mulamula terlihat malu-malu saat diberikan penjelasan tentang
maksud dan tujuan kedatangan penulis. Namun tak lama
kemudian, AN menyatakan bersedia menjadi informan tetapi
berdua dengan sepupunya. Sepupunya tersebut bernama EL,
yang juga bertempat tinggal di blok yang sama, dan lokasi yang
sangat berdekatan dengan rumah AN. Pada saat ditanya tentang
menstruasi pertama, El ternyata memiliki jawaban yang sama
dengan AN, menstruasi pertama EL, terjadi kelas 2 MTs
(Madrasah Tsanawiyah). Tidak ada acara khusus yang dilakukan
oleh keluarga AN maupun diyakini oleh masyarakat sebagai
tradisi yang harus dilakukan pada saat remaja putrinya
menstruasi yang pertama.
Keluarga terutama ibu hanya pernah membekali
pengetahuan tentang menstruasi yang akan dialami oleh setiap
anak perempuan yang sudah baligh. Namun demikian
pengetahuan yang didapatkan AN, hanya sebatas pengetahuan
menghadapi menstruasi yang akan terjadi saja, namun
pengetahuan tentang cara menggunakan dan membersihkan
pembalut AN mendapatkan dari teman.
Pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi
remaja sangat penting dan sangat berpengaruh terhadap sikap
remaja untuk menjaga kesehatan reproduksinya. Pada saat
ditanyakan tentang sunat perempuan, AN tidak bisa menjawab,
ia hanya tersenyum saja. Pengetahuan tentang sunat perempuan
50
Sumber: Wawancara dengan responden remaja, pra kehamilan
81
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
nampaknya belum sampai kepada AN. Tetapi pada saat
pertanyaan itu disampakan kepada Mbok (panggilan untuk
perempuan tua) Kasep, yang tidak lain adalah nenek AN, dijawab
seperti ini
”Sunat perempuan itu wajib dilakukan, kan muslim, yo
nek muslim kudu disunat, sunate neng bidan, mak mung
terima beres.”
“Sunat bagi perempuan itu wajib dilakukan, ya kalau
seorang muslim wajib disunat, sunatnya dilakukan oleh
bidan, saya terima beres saja”51
Informasi lain tentang sunat perempuan didapatkan dari
Bi Irah, salah seorang dukun bayi di Desa Dukuh Widara.
“Kalau cewek kalau 40 hari boleh disunat, sama nindik ya
boleh. Nindik kalau di dokter... dokter saja. kalau
perempuan disunat kan Cuma buang apanya yang
pamali itu yang agak kayak menir. Beras yang kecil. udah
dicuik udah kena, ya sudah lain sama cowok. Kalau disini
namanya korenah, tamba pamali. Kalau misalnya cewek
nggak sunat masaknya nggak enak. katanya najisnya
yang putih yang kayak menir. Bawahnya pakai kunyir,
yang penting netes darah sedikit, dicuwik pakai gunting.
Nyarinya juga hari manis, katanya biar manis yang
cewek, sekalian nindik biar pakai anting manis”.
Tentang sunat laki-laki, informasi yang kami dapatkan dari
putra ibu Iyah, Iwan (14 tahun). “Kadang yang sama puput sunat.
Ada yang empat tahun. Tujuh tahun”.
AN mengetahui sedikit tentang penyakit menular seksual,
karena itu telah dipelajari di sekolah. Namun pada saatharus
menyebutkan, AN hanya tersenyum saja dan bilang lupa. Seperti
umumnya remaja yang lainnya, AN juga memiliki ketertarikan
51
Sumber: Wawancara Dukun Bayi
82
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
dengan lawan jenis. AN, memiliki pacar, dan sudah menjalin
hubungan cukup lama. Ia memahami rambu-rambu dalam
berpacaran seperti tidak berciuman baik bibir maupun pipi,
jangan mau kalau dipegang-pegang, dan hati-hati dengan ajakan
hubungan seksual, katanya kemudian.
Pengetahuan seperti ini didapatkan AN dari pelajaran di
sekolah. Dalam pacaran AN memperhatikan hal tersebut,
“saya ga pernah gitu-gituan, pernah sih berpegangan
tangan, cuman itu saja ko,” akunya kemudian.
Peristiwa yang baru-baru ini menimpa teman sekolahnya,
membuat orang tua dan keluarga besarnya (nenek) menjadi lebih
protektif lagi. Menurut cerita AN, peristiwa yang dialami oleh
temannya tersebut adalah perkosaan. Temennya tersebut
diperkosa oleh teman dekat/pacar yang kenal dan dekat dari
Facebook. Peristiwa itu terjadi di malam hari di tempat mereka
sekolah. Pada saat ditanya, kenapa mereka bisa masuk ke
sekolah, AN tidak tahu jawabannya.
Contoh kejadian tersebut, hanyalah satu cerita dari
banyak cerita yang terjadi di lingkungan sekitar mereka. Kalau
ditanya tentang Facebook, AN mengaku sering facebook-an,
tetapi bisa mejaga diri, antara lain berpegang teguh pada prinsip,
yaitu tidak pernah mau main-main, ga pernah yang kayak gitugituan.
AN mengatakan, bahwa ia cukup tertekan dengan aturan
nenek dan orang tuanya, yang sangat membatasi pergaulan AN,
ia sebenarnya ingin main dan bertemu dengan pacarnya lebih
sering daripada biasanya, namun pengawasan orang tua sangat
ketat, AN merasa takut juga ketika orang tuanya marah. Selain
bersekolah pada siang hari, AN tidak memiliki kegiatan rutin yang
lainnya, kecuali bila sudah sore hari, AN mempunyai
kesempatan/waktu bermain. Itu pun ia manfaatkan hanya untuk
83
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
bermain di sekitar rumah saja. Pada malam harinya, orang tua
akan menyuruhnya ke masjid.
Pada usia remaja, terdapat masa transisi yang akan
dialami. Kedua remaja tersebut diatas mengalami tahapan
perkembangan yang berbeda. Dalam konteks kesehatan
reproduksi, masa perubahan ini dikenal sebagai masa transisi.
Masa transisi tersebut menurut Gunarsa (1978) dalam disertasi
PKBI (2000) adalah sebagai berikut.
a. Transisi fisik berkaitan dengan perubahan bentuk tubuh.
Bentuk tubuh remaja sudah berbeda dengan anak-anak, tetapi
belum sepenuhnya menampilkan bentuk tubuh orang dewasa.
Hal ini menyebabkan kebingungan peran, didukung pula
dengan sikap masyarakat yang kurang konsisten.
b. Transisi dalam kehidupan emosi
Perubahan hormonal dalam tubuh remaja berhubungan erat
dengan peningkatan kehidupan emosi. Remaja sering
memperlihat ketidakstabilan emosi. Remaja tampak sering
gelisah, cepat tersinggung, melamun, dan sedih, tetapi di lain
sisi akan gembira, tertawa, ataupun marah-marah.
c. Transisi dalam kehidupan sosial
Lingkungan sosial anak semakin bergeser ke luar dari keluarga,
dimana lingkungan teman sebaya mulai memegang peranan
penting. Pergeseran ikatan pada teman sebaya merupakan
upaya remaja untuk mandiri (melepaskan ikatan dengan
keluarga).
d. Transisi dalam nilai-nilai moral
Remaja mulai meninggalkan nilai-nilai yang dianutnya dan
menuju jilai-nilai yang dianut orang dewasa. Saat ini remaja
mulai meragukan nilai-nilai yang diterima pada waktu anakanak dan mulai mencari nilai sendiri.
84
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
e. Transisi dalam pemahaman
Remaja mengalami perkembangan kognitif yang pesat
sehingga mulai mengembangkan kemampuan berfikir abstrak.
Dari penjelasan tersebut, dijelaskan bahwa masa transisi
dalam kehidupan remaja meliputi berbagai aspek, dari mulai
perubahan fisik, perubahan kehidupan emosi, kehidupan sosial,
transisi nilai moral dan transisi dalam pemahaman.
Beberapa ciri penting perkembangan heteroseksual
remaja secara umum antara lain:
a. Remaja mempelajari perilaku orang dewasa sesuai dengan
jenis kelaminnya untuk menarik perhatian lawan jenisnya.
b. Minat terhadap lawan jenis makin kuat disertai keinginan kuat
untuk memperoleh dukungan dari lawan jenis.
c. Minat terhadap kehidupan seksual.
d. Remaja mulai mencari-cari informasi tentang kehidupan
seksual orang dewasa, bahkan juga muncul rasa ingin tahu dan
keinginan bereksplorasi untuk melakukannya.
e. Minat dalam keintiman secara fisis. Dengan adanya dorongan
seksual dan ketertarikan terhadap lawan jenis.
Beberapa masalah umum yang dialami remaja berkaitan
dengan tumbuh kembangnya yaitu:
a. Masalah yang berkaitan dengan lingkungan rumahnya seperti
relasi dengan anggota keluarga, disiplin, dan pertentangan
dengan orangtua.
b. Masalah-masalah yang berkaitan dengan lingkungan sekolah.
c. Kondisi fisik (kesehatan atau latihan), penampilan (berat
badan, ciri-ciri daya tarik, bau badan, jerawat, kesesuaian
dengan jenis kelamin).
d. Emosi (temperamen yang meledak-ledak, suasana hati
berubah-ubah).
85
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
e. Penyesuaian sosial (minder, sulit bergaul, pacaran,
penerimaan oleh teman sebaya, peran pemimpin).
f. Masalah pekerjaan (pilihan pekerjaan, pengangguran).
g. Nilai-nilai (moral, penyalahgunaan obat-obatan, dan
hubungan seksual).
h. Masalah yang berkaitan dengan hubungan lawan jenis
(heteroseksual), seperti putus pacar, proses pacaran,
backstreet, sulit punya pacar, dan lain-lain.
3.1.2.3. Nutrisi
Untuk pemenuhan kebutuhan nutrisi pada masa remaja,
menurut “Mah” sudah terpenuhi. “Mah” remaja, 19 tahun, lulus
SMA dengan tinggi 160 memiliki berat badan 60kg, ia selalu
makan 3 kali sehari dengan semua menu yang dia suka, artinya
dia tidak pernah pilih-pilih makanan. Berbagai jenis karbohidrat,
protein,lemak, sayuran dan buah-buahan yang dikonsumsi tanpa
adanya pantangan. Memang tidak setiap hari mengkonsumsi
sayur dan buah-buahan, tergantung yang dimasak. Pada waktu
sekolah dulu, ia selalu membawa makanan ke sekolah dan jarang
jajan, begitu pula dengan teman-temannya. Makanan favoritnya
bakso, namun ia jarang mengkonsumsinya lagi karenakan takut
gemuk.
Sedikit berbeda halnya dengan Mah, An jarang makan,
remaja 15 tahun tersebut hanya memiliki tinggi badan sekitar
135 cm dengan berat badan 35 kg, sehingga nampak kurus.
Secara sekilas selain faktor kebiasaan An yang jarang makan,
sepertinya ada faktor keturunan untuk badan yang kurus dari
orang tua dan neneknya, karena semuanya memang memiliki
tipikal badan yang kurus. An lebih suka jajan daripada makanmakanan olahan atau masakan rumah, dan untuk makanan
favoritnya sama dengan Mah, yaitu bakso, selain itu bermacam-
86
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
macam masakan yang pedas juga menjadi menu kesukaannya,
seperti rujak sayur yang pedas.
Kebanyakan gadis remaja ingin langsing dan berdiet.
Makan sangat sedikit atau menggunakan obat untuk
mempercepat makanan melewati usus mereka. Gangguan makan
nampak biasa pada remaja, seperti anorexia nervosa dan bulimia
nervosa. Penyakit ini mempengaruhi sekitar 5 dari setiap 100
wanita di akhir masa remaja atau awal kedewasaan. Kedua
penyakit ini akan menyebabkan berbagai keluhan dalam
kesehatan tubuhnya, seperti gangguan siklus haid pada
anoreksia. Pada remaja dengan bulimia nervosa, biasanya remaja
akan makan sangat banyak namun selanjutnya mereka tidak
makan sampai beberapa hari.
Selain kedua jenis permasalahan tersebut, jerawat juga
merupakan masalah yang sangat sering dialami remaja. Jerawat
mempengaruhi 60% sampai dengan 80% remaja dan 15% adalah
penderita jerawat parah. Jerawat disebabkan kelenjar sebaceous
dalam kulit yang peka terhadap hormon androgen. Hormon
androgen menyebabkan pertumbuhan secara berlebihan sel-sel
yang membangun pembuluh yang menghubungkan kelenjar
sebaceous ke permukaan kulit. Jerawat tidak disebabkan oleh
makanan yang tidak dapat dicerna sempurna atau kurang olah
raga.
Mah bercerita bahwa masalah jerawat menjadi diskusi
yang sangat hangat bersama dengan teman-temannya, mulai dari
makanan yang berpengaruh pada timbulnya jerawat sampai obat
penyembuh jerawat.
3.1.2.4. Pola interaksi sosial
Sebagai remaja akhir, Mah sudah memiliki pola
hubungan yang jelas, dia memilih bergaul hanya dengan teman
sekolah pada siang hari, selama sekolah dan bergaul dengan
87
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
teman di desanya pada malam hari di mushola di desanya. Ia
memiliki pacar dan telah bisa mengatur diri tentang waktu
untuk bersama-sama pacarnya. Kebanyakan remaja di desanya
juga memiliki pola yang sama. Akan tetapi Mah tidak
memahami apakah di desanya ada kegiatan karang taruna atau
tidak. Sebagai tambahan ada kegiatan sepak bola pada sore hari
untuk laki-laki dan biasanya perempuannya menonton.
Informasi yang didapatkan dari Mah, sedikit berbeda
dari informasi yang didapatkan dari AN yang mengatakan,
bahwa ia cukup tertekan dengan aturan nenek dan orang
tuanya, yang sangat membatasi pergaulannya. Ia merasakan
bahwa berbagai aturan yang diberikan oleh keluarga besarnya,
terutama neneknya tidak memberikan manfaat untuknya dan
justru bersifat mengekang.
Dari deskripsi tentang remaja dan beberapa aspek yang
mempengaruhinya, nampak ada beberapa aspek yang berbeda
antara kedua kelompok remaja tersebut. Hal ini sesuai dengan
ciri-ciri Kejiwaan dan Psikososial Remaja. Ciri-ciri Kejiwaan dan
Psikososial remaja menurut Arifin (2003) yang dikutip Eny
Kusmiran (2011) :52
a. Usia Remaja Muda (12-15 Tahun)
1) Sikap protes terhadap orang tua
Remaja pada usia ini cenderung tidak menyetujui nilai-nilai
hidup orangtuanya, sehingga sering menunjukkan sikap
protes terhadap orangtuanya. Mereka berusaha mencari
identitas diri dan sering kali disertai dengan menjauhkan
diri dari orangtuanya. Dalam upaya pencarian identitas diri,
remaja cenderung melihat kepada tokoh-tokoh diluar
lingkungan keluarganya, yaitu guru, figur ideal yang
terdapat di film, atau tokoh idola.
52
Sumber: Kusmiran, Eny. 2011
88
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
2) Preokupasi dengan badan sendiri
Tubuh seorang remaja usia ini mengalami perubahan yang
cepat sekali. Perubahan-perubahan ini menjadi perhatian
khusus bagi diri remaja.
3) Kesetiakawanan dengan kelompok seusia
Para remaja pada kelompok umur ini merasakan
keterikatan dan kebersamaan dengan kelompok seusia
dalam upaya mencari kelompok senasib. Hal ini tercermin
dalam cara berperilaku sosial.
Kemampuan untuk berpikir secara abstrak. Daya
kemampuan berfikir seorang remaja mulai berkembang
dan dimanifestasikan dalam bentuk diskusi untuk
mempertajam kepercayaan diri.
4) Perilaku yang labil dan berubah-ubah
5) Remaja sering memperlihatkan perilaku yang berubahubah. Pada suatu waktu tampak bertanggung jawab,
tetapi dalam waktu lain tampak masa bodoh dan tidak
bertanggung jawab. Remaja merasa cemas akan
perubahan dalam dirinya. Perilaku demikian menunjukkan
bahwa dalam diri remaja terdapat konflik yang
memerlukan pengertian dan penanganan yang bijaksana.
b. Usia Remaja Penuh (16-19 Tahun)
1) Kebebasan dari orang tua
Dorongan untuk menjauhkan diri dari orangtua menjadi
realitas. Remaja mulai merasakan kebebasan, tetapi juga
merasa kurang menyenangkan. Pada diri remaja timbul
kebutuhan untuk terikat dengan orang lain melalui ikatan
cinta yang stabil.
2) Ikatan terhadap pekerjaan atau tugas
Sering kali remaja menunjukkan minat pada suatu tugas
tertentu yang ditekuni secara mendalam. Terjadi
pengembangan akan cita-cita masa depan yaitu mulai
89
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
memikirkan melanjutkan sekolah atau langsung bekerja
untuk mencari nafkah.
3) Pengembangan nilai moral dan etis yang mantap
Remaja mulai menyusun nilai-nilai moral dan etis sesuai
dengan cita-cita.
4) Pengembangan hubungan pribadi yang labil
Adanya tokoh panutan atau hubungan cinta yang stabil
menyebabkan terbentuknya kestabilan diri remaja.
5) Penghargaan kembali pada orangtua dalam kedudukan
yang sejajar.
Menganalisis dari hasil wawancara pada kasus remaja,
bisa dicermati, salah satu masalah dalam kesehatan reproduksi
remaja, antara lain kasus kehamilan yang tidak diinginkan (KTD).
Masalah ini semakin meningkat seiring perkembangan informasi
dan teknologi.
Banyak faktor yang bisa menyebabkan kasus ini. Jika
ditelaah lebih lanjut, salah satu faktor mungkin menjadi
penyebab terjadinya KTD di Desa dukuh Widara adalah pola asuh
orang tua terhadap remaja.
Gaya pengasuhan orang tua didefinisikan oleh Darling dan
Steinberg
(1993)
sebagai
“sekumpulan
sikap
yang
dikomunikasikan kepada remaja dan bersama menciptakan
suasana emosional dimana perilaku orang tua diekspresikan.
Gaya pengasuhan tidak hanya terdiri atas peraturan,
pembatasan, dan tuntutan tetapi juga aspek yang sangat penting
yaitu komunikasi dan kehangatan orang tua. Etzkin (2004)
menyatakan bahwa komunikasi orang tua tentang isu seksual
adalah kunci penting dalam keterlibatan keluarga pada
kehidupan remaja53. Pengasuhan orang tua erat dengan banyak
aspek dan perkembangan remaja, orang tua yang berwibawa
53
Sumber: Etzkin. 2004
90
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
dicirikan oleh tingginya tingkat kehangatan, adanya dukungan
orang tua, pengaturan batasan komunikasi terbuka dan
pengawasan tinggi telah lama diyakini sebagai gaya pengasuhan
yang ideal54.
Menurut Santrock (2003) pengasuhan orang tua tersusun
berurutan. Pertama pengasuhan tidak meliputi tema penting dari
sosialisasi timbal balik dan kesesuaian, remaja mensosialisasikan
orang tua seperti orang tua mensosialisasikan remaja. Kedua
orang tua menggunakan kombinasi dari beberapa tehnik dari
pada hanya satu tehnik, walaupun beberapa tehnik lebih
dominan.
Pengasuhan yang konsisten akan mempengaruhi remaja
terhadap gaya pengasuhan yang diterapkan. Orang tua yang
bijaksana dapat merasakan pentingnya bersikap lebih permisif
dalam situasi tertentu, dan lebih otoriter pada situasi yang lain
namun dapat lebih otoritatif disituasi yang lain lagi.55
Pandangan yang lebih dikenal adalah pandangan Diana
Baumrind, yang menyakini bahwa orang tua seharusnya tidak
bersikap menghukum maupun menjauhi remaja tetapi sebaiknya
membuat aturan dan menyayangi mereka. Dia menekankan tiga
jenis cara menjadi orang tua, yang berhubungan dengan aspekaspek yang berbeda dalam perilaku sosial remaja yaitu otoriter,
otoritatif, dan permisif (Santrock, 2003). Orang tua dengan gaya
pengasuhan otoritatif (dukungan yang tinggi dengan pengawasan
yang moderate)konsisten berhubungan dengan remaja yang
berperilaku positif, sedangkan gaya pengasuhan otoriter
(pengawasan yang tinggi dan dukungan yang rendah) atau orang
54
Sumber: Devore & Ginsburg. 2005
55
Sumber: Santrock, John W. 2007
91
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
tua yang permisif neglectful secara umum berhubungan dengan
remaja yang berperilaku negatif (Baumrind, 1991).
Huebner dan Howell (2003) dalam penelitian yang
dilakukannya membagi gaya pengasuhan orang tua atas
pengasuhan otoritatif dan non otoritatif. Gaya pengasuhan
otoritatif adalah pengasuhan yang mendorong remaja untuk
bebas tetapi tetap memberi batasan dan mengendalikan
tindakan-tindakan mereka. Gaya pengasuhan ini memberi
kesempatan remaja untuk memiliki otoritas akan perilakunya.
Komunikasi verbal timbal-balik dapat berlangsung dengan bebas,
orang tua bersikap hangat dan membesarkan hati remaja.
Gaya pengasuhan non otoritatif terdiri atas pengasuhan
otoriter dan permisif. Gaya pengasuhan otoriter merupakan gaya
pengasuhan yang membatasi dan bersifat menghukum yang
mendesak remaja untuk mengikuti petunjuk orang tua untuk
menghormati pekerjaan dan usaha. Gaya pengasuhan ini
membuat remaja tidak memiliki kebebasan dalam berperilaku.
Orang tua otoriter membuat batasan dan kendali yang tegas
terhadap remaja dan hanya melakukan sedikit komunikasi verbal.
Gaya pengasuhan permisif terdiri dari pengasuhan permisif tidak
peduli dan memanjakan. Pengasuhan permisif tidak peduli
adalah suatu pola dimana orang tua sangat tidak ikut campur
dalam kehidupan remaja, hal ini berkaitan dengan perilaku sosial
yang tidak cakap terutama kurangnya mengendalian diri.
Pengasuhan permisif memanjakan merupakan suatu pola
dimana orang tua sangat terlibat dengan remaja tetapi sedikit
sekali menuntut atau mengendalikan mereka.
Menurut Maccoby dan Martin (1983) gaya pengasuhan
orang tua sendiri terdiri dari dua elemen penting yaitu
pengasuhan responsiveness (mengacu pada pengasuhan hangat
dan memberikan dukungan) dan demandingness mengacu pada
kontrol tingkah laku). Hal ini juga merupakan suatu penerapan
92
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
metode disiplin pada remaja. Metode disiplin ini meliputi konsep
positif dan konsep negatif. Konsep positif terjadi bila penerapan
disiplin merupakan pendidikan dan bimbingan yang menekankan
pengendalian diri. Konsep negatif terjadi apabila pengendalian
diri remaja berasal dari kekuatan luar. Aspek-aspek gaya
pengasuhan orang tua meliputi pengawasan yaitu usaha orang
tua untuk mengawasi dan mempengaruhi kegiatan remaja,
komunikasi orang tua dan remaja, disiplin yang diterapkan
dengan fungsi sebagai pedoman dalam melakukan penilaian
terhadap tingkah laku remaja, hukuman dan hadiah.
Menurut Santrock (2003) terdapat peningkatan secara
drastis penelitian mengenai pengasuhan bersama antara ayah
dan ibu. Hasil penelitian tersebut menunjukkan kurangnya
koordinasi antara ayah dan ibu, kurang berperannya salah satu
orang tua, kurangnya kerjasama dan kehangatan dan tiadanya
hubungan dengan salah satu orang tua, semuanya merupakan
kondisi yang menyebabkan remaja berada dalam risiko masalah.
Tradisi sunat perempuan di kabupaten Cirebon,
nampaknya masih cukup banyak dilakukan. Dari beberapa
wawancara yang dilakukan pada remaja, baik laki-laki maupun
perempuan belum pernah mendengar dan mengetahui tentang
sunat perempuan. Informasi tentang sunat perempuan banyak
didapatkan dari paraji atau dukun bayi dan ibu dari remaja
tersebut.
WHO mendefinisikan sunat perempuan sebagai semua
tindakan/prosedur meliputi pengangkatan sebagian atau seluruh
organ genitalia eksterna perempuan atau bentuk perlukaan lain
terhadap organ genetalia perempuan dengan alasan budaya,
atau alasan nonmedis lainnya. Tindakan bedah transeksual tidak
termasuk dalam hal ini. Medikalisasi artinya keterlibatan tenaga
kesehatan dalam pelaksanaan sunat perempuan.Hal ini mungkin
dimaksudkan untuk risiko kesehatan dibandingkan jika dikerjakan
93
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
oleh dukun bayi atau tukang sunat tanpa sepengetahuan
kesehatan yang adekuat. Tetapi, hal ini ternyata dianggap
menjadi berbahaya dan bertentangan dengan etika dasar
kesehatan.
WHO secara konsisten dan jelas menyampaikan bahwa
sunat perempuan dalam bentuk apapun tidak boleh dilakukan
oleh tenaga kesehatan di manapun, termasuk rumah sakit dan
sarana kesehatana lainnya. WHO berdasar pada etika dasar
kesehatan bahwa mutilasi tubuh yang tidak perlu tidak boleh di
lakukan oleh tenaga kesehatan. Female Genital Mutilation (FGM)
membahayakan dan tidak berguna bagi wanita. Medikalisasi
sunat perempuan juga cenderung akan mempertahankan tradisi
ini. Masyarakat akan lebih yakin dengan anggapan adanya
dukungan dan legalitas dari provider kesehatan.
Di Indonesia sendiri pada 31 Mei sampai 1 Juni 2005 telah
diselenggarakan ”Lokakarya Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan Terhadap Perempuan” berkaitan dengan sunat.
Peserta lokakarya terdiri dari unsur-unsur Menteri
Pemberdayaan
Perempuan,
Departemen
Kesehatan,
Departemen Agama, Kementrian Pemberdayaan Perempuan,
Kesehatan Rakyat, Institusi Pendidikan (Fakultas Kedokteran,
Sekolah Kebidanan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Islam Negeri), organisasi profesi (IBI, IDAI, POGI), ormas
perempuan termasuk agama, media massa, yayasan yang
berkaitan dengan pelayanan medis, dan institusi penelitian.
Kesimpulan yang dihasilkan yaitu bahwa sunat perempuan tidak
memiliki landasan ilmiah dan lebih didasari pada tradisi dan
budaya, tidak ada landasan agama.
Atas dasar tersebut, di sampaikan rekomendasi yang
berisi :
94
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
1) Mendukung kebijakan Kemenkes untuk melarang tenaga
kesehatan dan sarana kesehatan melakukan sunat
perempuan.
2) Mendesak semua pihak terkait untuk melakukan
pendidikan publik tentang risiko sunat perempuan
merupakan pelanggaran hak asasi.
3) Meningkatkan pemahaman pada kalangan tokoh agama,
adat, dan penegak hokum terhadap masalah sunat
perempuan.
4) Memasukkan larangan melakukan sunat perempuan dalam
kurikulum pendidikan serta menjelaskan dampak
negatifnya.
5) Mendesak Menteri Kesehatan, Menteri Pemberdayaan
Perempuan, dan Menteri Agama untuk minta fatwa MUI
yang melarang dilakukannya sunat perempuan.
Rekomendasi
tersebut
telah
diikuti
dengan
dikeluarkannya surat edaran tentang larangan medikalisasi sunat
perempuan bagi petugas kesehatan oleh Depkes RI, yang
mengharapkan agar semua tenaga kesehatan secara tegas
menolak permintaan sunat perempuan.56
Bidan dan dukun bayi yang berada di Desa Dukuh Widara
dalam melaksanakan sunat perempuan berbeda-beda mulai
hanya ditoreh saja dan tidak ada jaringan atau selaput yang
terbawa, sampai denganterdapat dukun bayi yang melakukan
sunat dengan ditoreh sampai ada darah yang menetes.
Penggalian tentang alasan yang melatar belakangi tindakan sunat
perempuan, diungkapkan oleh beberapa dukun antara lain
karena alasan agama maka mereka wajib disunat. Ada juga bidan
56
Sumber: Kebijakan Departemen Kesehatan Terhadap Medikalisasi Sunat
Perempuan Selasa, 13 Mar 2007 09:49:48 Jakarta
95
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
yang melakukan sunat tersebut hanya mengikuti tradisi yang
berlaku dimasyarakat, jadi melakukannya hanya untuk
memenuhi permintaan.
3.1.3. Penantian Kehamilan
Masalah ledakan penduduk, adalah masalah dunia yang
harus diatasi, namun demikian dibalik masalah tersebut banyak
pula wanita yang bersusah payah berusaha agar dikaruniai anak.
Pada zaman dahulu, apabila perkawinan tidak menghasilkan
keturunan, maka perempuan akan mengalami diskriminasi
dengan disalahkan atau sebagai penyebabnya, dalam artian jika
pasangan suami istri belum memiliki keturunan atau anak, maka
keluarga besar mereka beranggapan bahwa perempuanlah yang
menjadi penyebab belum diberikannya keturunan. Oleh karena
itu, istilah mandul lebih sering disematkan pada perempuan
dibandingkan laki-laki.
Pada kondisi normal/cukup subur, dan melakukan
senggama dengan teratur, kemungkinan terjadi kehamilan dalam
tahun pertama adalah 90%. Atas dasar itu, maka pasangan yang
telah satu tahun menikah dan belum dikarunia anak, maka
disebut kurang subur.
Pada beberapa penelitian tentang sebab-sebab
kemandulan membuktikan bahwa 35% kelainan terletak pada
istri, 35% terletak pada suami dan 30% sisanya pada kedua belah
pihak.57
Salah satu keluarga yg mengalami kondisi ini adalah Mb
Ira berdasarkan informasi dari Mbok Eni, salah satu dukun bayi di
Desa Dukun Widara.
57
Sumber: Derek Llewellyn , Jones. 1997.
96
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
“Assalamu’alaikum...,” Cukup lama kami menunggu
pemilik rumah membukakan pintu. Menurut keterangan Mbok
Eni, pemilik rumah tersebut adalah Bu Ira, ibu hamil pertama
berusia 38 tahun. Walaupun belum mengenal, Ibu Ira tetap
mengajak kami duduk disofa panjang yang berada di ruang
tamunya. Sofa tersebut nampak memudar warnanya,
menandakan rentang waktu yang cukup lama. Ruangan yang
ditempatipun nampak telah menua. Meskipun masih nampak
rapi, namun disana sini sudah nampak retak-retak tanda rumah
tersebut adalah rumah tua.
Beberapa saat setelah kami duduk dan memperkenalkan
diri serta menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan kami,
Ibu Ira bercerita bahwa rumah yang didiaminya adalah rumah
bapaknya yang telah renta, bahkan lebih dari 75 tahun. Ibu Ira
sendiri baru menempati rumah tersebut sekitar 7 bulan semenjak
ia dinyatakan hamil oleh seorang dokter spesialis
kandungan di Arab Saudi tempatnya bekerja, kemudian dia
pulang ke Indonsia untuk merawat kehamilannya serta merawat
orang tuanya.
Berbicara tentang kehamilannya adalah kehamilannya
yang sangat dinantikannya Ibu Ira menikah sejak berusia 19
tahun. Pernikahan yang sekarang adalah pernikahannya yang
kedua. Lama pernikahan, baik pernikahan pertama maupun
pernikahan kedua, sekitar 10 tahun. Sepanjang waktu tersebut,
Ibu Ira belum dikaruniani seorang putra, baik pada
perkawinannya yang pertama, maupun perkawinannya yang
kedua. Suami yang pertama hanya bertahan 2 tahun saja dan
kemudian bercerai, dan belum pernah hamil dan memiliki putra.
Ibu Ira tinggal di luar negeri di Arab Saudi dan bekerja
sebagai pembantu rumah tangga, suaminya juga bekerja di sana
sebagai supir dan berlokasi tidak berada jauh dengan tempat bu
Ira bekerja. Menurut Ibu Ira, majikannya sangat baik, sehingga ia
97
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
diberikan keleluasaan waktu khususnya pada hari libur untuk
bertemu dengan suaminya. Ibu Ira dan suaminya meyakini
bahwa kondisi mereka yang belum pernah hamil dan memiliki
anak adalah ujian dari Allah. Namun demikian menurutnya, tetap
perlu adanya ikhtiar agar harapan atau doanya terwujud.
Baik keluarga Ibu Ira, maupun suami, tidak pernah secara
terang-terangan mengungkapkan harapan mereka untuk segera
memiliki momongan, namun secara tersirat, harapan tersebut
sering diungkapkan oleh orang tua, terutama orang tua ibu Ira.
Wajar saja harapan itu disampaikan, dikarenakan usia Ibu Ira
yang sudah tidak muda lagi, sudah mencapai 37 tahun.
Ibu Ira adalah anak yang sangat menghargai orangtuanya,
oleh karena itu ia bersama suaminya mulai melakukan ikhtiar
untuk memenuhi harapan orang tuanya. Usaha yang pertama
dijalankan oleh pasangan ini adalah mendatangi ahli pijat/urut.
Tukang pijat ini adalah orang Indonesia yang bekerja pada
perusahaan tour and travel, haji dan umroh. Ibu Ira menyebutnya
“umrohan”. Jadi selain bekerjadalam bidang tersebut, orang
tersebut juga sering melakukan pijat/urut, bahkan dikenal
sebagai orang yang paham kandungan. “Orang terus udah gitu
bilangnya sih calon punya, tapi suruh sabar, tersebut berasal dari
Madura”.
Setelah dipijat/urut, Ibu Ira diberitahu bahwa ia bisa
memiliki anak, asalkan istirahat satu tahun. Selain itu menurut
dokter juga, Ibu Ira bisa memiliki anak, asalkan istriahat setahun.
Saat ditanyakan tentang keterangan lain menurut dokter tentang
penyebab klinisnya belum hamilnya, Ibu Ira mengatakan bahwa
dokternya hanya berkata seperti itu saja, Namun dari dokter
spesialis tempatnya memeriksakan diri, Ibu Ira mendapatkan
obat yang disebut oleh dokternya obat penyubur. Obat tersebut
diberikan khusus buat saya saja, karena suami Ibu Ira telah
pernah memiliki anak dari isterinya yang pertama.
98
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Mengetahui informasi tersebut, Ibu Ira memutuskan
untuk berhenti bekerja, ikut suami sambil terus berdoa, ziarah
dan haji. Saat musim hajian usai ternyata Ibu Ira belum
mendapatkandatang bulan. Seperti kebanyakan wanita yang
akan menunaikan ibadah haji, biasanya mereka mengkonsumsi
obat (pil kontrasepsi) yang berkhasiatsebagai penghambat haid.
Ia berfikir mungkin tidak datang bulannya, disebabkan hal
tersebut. Akan tetapi yang lebih menggembirakan baginya adalah
pada bulan berikutnya saat teman-temannya mens, Ibu Ira tidak
mens. Berikut ini ungkapan kegembiraan Ibu Ira saat mengetahui
kehamilannya:
“Terus alhamdulillah, pulang dari hajian, eh empat hari
sampai rumah terus mabok. Bilang suami masuk angin,
capean. Tapi sudah empat hari, beda mabuknya, pas
lima hari cek urin. Langsung positif. Saya juga sering dulu
lambat setengah bulan, udah nggak aneh, satu bulan sdh
sering, tapi nggak kayak gitu mabuknya. Terus udah
setengah bulan disana, karena sudah janji ortu klo positif
hamil saya pulang setengah bulan kemudian saya
pulang. Jadi makanya saya pertama datang kontrol
hampir setiap bulan sekali karena saya takut lah,
namanya satu orang capek, kedua bener-bener minta,
kan, tapi Alhamdulillah sampai sekarang.”
Kegembiraan tersebut tentunya juga dirasakan oleh
suami. Seperti tidak percaya dengan pemeriksaan kehamilan
istrinya, suami Ibu Ira sering mempertanyakan ulang apakah
istrinya benar-benar hamil, kalau iya apakah perutnya tambah
besar? Wajar saja hal tersebut dilakukan, karena penantian
kehamilan ini telah cukup lama. Dengan penuh semangat Ibu Ira
menceritakan kepada suaminya bahwa kehamilannya benarbenar ada, perut yang tambah membesar dan telah dilakukakn
pemeriksaan USG yang lebih memastikan karena terlihat bayi.
99
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Tentunya suami Ibu Ira sangat bahagia mendengar kabar
tersebut.
3.1.4. Masa kehamilan
Banyak wanita yang sudah merasamengandung,
meskipun mereka belum memeriksakan diri ke dokter. Sebagian
besar menyambut kehamilan itu dengan gembira, namun
sebagian yang lain disertai kecemasan dan ketakutan.Beberapa
wanita yang sangat mendambakan kehamilannya, cenderung
meniru segala gejala kehamilan dan kemudian percaya pada
kebohongannaya sendiri (Derek, 1997).
Masa kehamilan akan dimulai dari konsepsi (pertemuan
antara sel telur dan sel sperma) dan akan berakhir saat lahirnya
janin. Lamanya kehamilan yang normal adalah 280 hari (40
minggu atau 9 bulan 7 hari) dihitung dari Hari Pertama Haid
Terakhir (HPHT). Tahapan masa kehamilan dibagi dalam 3
tahapa, yang selanjutnya lebih dikenal istilah triwulan. Triwulan
pertama dimulai dari hasil konsepsi sampai 3 bulan, triwulan
kedua dimulai dari bulan keempat sampai 6 bulan, triwulan
ketiga dari bulan ketujuh sampai 9 bulan (Saifuddin, 2008).
Sedikit berbeda dengan pembagian tersebut, menurut
Wiknjosastro (1994), ditinjau dari tuanya kehamilan, kehamilan
dibagi dalam 3 bagian, yaitu:
a. Kehamilan triwulan pertama (antara 0-12 minggu)
b. Kehamilan triwulan kedua (antara 12-28 minggu)
c. Kehamilan triwulan ketiga (antara 28-40 minggu)
3.1.4.1. Pendapat masyarakat terhadap kehamilan
Masyarakat Desa Dukuh Widara, adalah masyarakat desa
yang cukup modern.Penyebutan istilah desa mengacu kepada
ciri-ciri desa menurut Undang-undang No 5 tahun 1979 tentang
100
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
pemerintahan masyarakat desa dan pengertian desa menurut
Sutardjo Kartohadikusumo. Menurut Undang-undang No 5 tahun
1979 tentang pemerintahan masyarakat desa, disebutkan bahwa
desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah
penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum, yang
mempunyai organisasi pemerintahan terendah, langsung di
bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya
sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Rebuplik Indonesia.
Pengertian desa menurut Sutardjo Kartohadikusumo tidak
berbeda jauh dengan pengertian sebelumnya yang mengacu
kepada hak/kekuasaan mengatur daerahnya sendiri. Sedikit
berbeda ditambahkan oleh Paul H. Landis, tentang ciri-ciri
masyarakat desa, antara lain mempunyai pergaulan hidup yang
saling mengenal dan biasanya memiliki hubungan kekerabatan.
Cara pandang masyarakat secara umum terhadap
kehamilan adalah suatu proses yang sangat penting dalam siklus
kehidupan, disebabkan pada saat itulah akan dimulainya
kehidupan baru, generasi baru. Adanya cara pandang yang
demikian dari masyarakat terhadap kehamilan, sangat
memungkinkan peran yang tinggi dari seluruh keluarga dalam
siklus kehamilan ini.
3.1.4.2.Tradisi masyarakat dalam perawatan kehamilan
Dengan melihat cara pandang masyarakat Desa Dukuh
Widara yang memandang masa kehamilan adalah salah satu
masa yang sangat penting, memungkinkan peran yang tinggi dari
seluruh anggota keluarga dari awal masa kehamilan sampai saat
kelahiran. Dalam hal tradisi masyarakat dalam perawatan
kehamilan dbedakan menjadi tradisi di saat hamil muda, hamil
sedang dan hamil tua. Klasifikasi usia kehamilan dalam tradisi ini
berbeda halnya dengan klasifikasi kehamilan di asuhan
101
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
kebidanan/dunia kesehatan. Pada konteks budaya masyarakat
Desa Dukuh Widara, disebut kehamilan/hamil muda (hamil
enom) jika usia kehamilan 1 sampai 4 bulan, disebut hamil
sedang jika usia kehamilan antara 4-7 bulan dan disebut hamil
tua jika usia kehamilan 7-9/10 bulan. Sedangkan kriteria usia
kehamilan/trimester dalam kehamilan dibedakan menjadi
trimester 1 (usia kehamilan 1 minggu s.d 12 minggu), trimester 2
(usia kehamilan 13-28 minggu) dan trimester ke 3 (usia
kehamilan 28-40 minggu)
Pada pembahasan berikut, akan didiskripsikan tentang
berbagai tradisi dalam perawatan kehamilan.
1)
Masa hamil Muda (1-3 bulan/4 bulan pertama)
Pada pengumpulan data yang kami dapatkan, berbagai
tradisi dalam perawatan kehamilan di Desa Dukuh Widara telah
dimulai sejak awal kehamilan, bahkan saat menentukan
hamil/tidaknya seorang wanita. Walaupun tidak semua ibu
melaksanakan tradisi ini, tetapi sebagain ibu masih mendatangi
paraji untuk dipegang dan diketahui kehamilannya.
Menurut Bi lyah satu dukun bayi di DesaWidara
“...dadi apa arane, isun iki meteng opo dirung? Dadi
dimek-mek, meteng, oleh loro oleh telu kan krasa.
Krasane kan kalau udah hamil ada ini ini, mblendung2,
atos. Ilmune dari ibu. ibunya saya kan awit buyut, arane
nolong lairan. Dadi temurun-temurun.”58
“...jadi apa namanya, saya ini hamil atau tidak? Jadi
dipegang, hamil, dapat 2 atau 3 bulan terasa. Rasananya
kan kalau sudah hamil ada yang seperti ini, perutnya
membesar, keras”.
58
Sumber: Wawancara dengan dukun bayi.
102
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Pada masa kehamilan ini, sebagian besar ibu hamil
mengalami keluhan sakit pada perut bagian bawah, atau
“mbateg”, selanjutnya akan mendatangi dukun bayi/paraji untuk
doyog (dioyog).
Menurut Bi Arofah(47 tahun) salah seorang dukun
bayi/paraji di Desa Dukuh Widara, mengatakan tentang cara dan
tujuan dioyog pada usia kehamilan 4 bulan
“Ora ana tempate, nggak ditempatnya. Sakit. di sininya
(bagian bawah perut) cengkrang cengkring, dibawa
jalan, duduk. Gerakannya beda? Iya beda. Cuma benerin
kalau hamil muda. Nek hamil tua nggoblak, ininya sudah
turun. yang empat bulan jangan sampai turun,
dinaikkan, disengkak. Nggak ditempatnya jadi
ditempatnya. Kalau empat bulan kan dekat puser. Kalau
masih tiga bulan di bawah”
“Tidak ada di tempatnya. Rasanya sakit di sini (di perut
bagian bawah), terasa nyeri berdenyut, kalau dibawa
jalan , duduk juga. Gerakannya beda?, hanya dibetulkan
saja kalau hamil muda. Kalau hamil tua longgar, ininya
sudah turun. Kalau hamil emat bulan jangan sampai
turun jadi dinaikkan. Yang tadinya ga ditempatnya,
menjadi ditempatnya. Kehamilan 4 bulan, dekat pusat,
kalau masih tiga bulan di bawah.”
Selain tradisi tersebut, sebagian ibu hamil juga melakukan
tradisi 4 bulanan, yang sering disebut ngupati. Acara ini diisi
dengan pengajian/membaca Al Qur’an, ada juga yang membaca
kitab berjanji (sering disebut berjanjen/marhabanan).
2) Masa hamil sedang 5-7 bulan
Pada masa kehamilan ini, tidak ada tradisi yang dilakukan
oleh ibu hamil.
103
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
3) Masa hamil tua (7-9 bulan)
Pada masa hamil tua maka beberapa tradisi yang
dilakukan oleh ibu hamil dan keluarga antara lain membuat acara
nujuh bulanan dan membuat lolosan.
3.1.4.3. Peran suami dalam merawat kehamilan
Pada perawatan kehamilan, para suami cenderung
mempercayakan hal tersebut kepada istrinya dan ibunya atau
mertuanya. Para suami lebih banyak berperan pada peran dan
fungsinya sebagai kepala keluarga untuk mencari nafkah. Dengan
mata pencaharian yang ada seperti pertanian, pembuatan batu
bata dan migran, suami sudah merasa sangat repot.
Selain itu perasaan tidak memiliki pengetahuan tentang
perawatan dalam kehamilan membuat para suami tidak perlu
lagi membantu peran istrinya tersebut. Peran yang sering
dilakukan oleh suami adalah hal-hal yang praktis saja, seperti
mengantar ibu hamil untuk melakukan pemeriksaan kehamilan.
Sebenarnya peran ini akan menjadi ideal dan sangat membantu
ibu hamil dalam seluruh siklus kehamilannya, jika suami juga
tidak hanya mengantar sampai tempat pemeriksaan kehamilan
saja/tempat bidan praktek saja, namun juga ikut masuk kedalam
ruangan pemeriksaan, sehingga mengetahui hasil pemeriksaan
atau perkembangan bayinya, mengetahui ada tidaknya keluhan
serta masalah pada kehamilan. Selain itu dengan suami terlibat
langsung dalam pemeriksaan kehamilan maka ia bisa juga terlibat
untuk mengingatkan ibu hamil untuk semua nasehat yang
diberikan oleh bidan dalam asuhan kehamilannya. Ibu akan
diingatkan oleh suami untuk selalu mengkonsumsi tablet tambah
darah yang merupakan suplemen yang sangat penting baik untuk
ibu maupun bayinya, suami juga akan respon ketika ibu
mengalami tanda bahaya dan segera mengambil keputusan yang
104
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
tepat diperlukan untuk dirujuk. Hal-hal tersebut akan dapat
terjadi jika suami ikut berperan dalam pemeriksaan kehamilan.
Dampak yang besar akan didapatkan ketika suami
melakukan berbagai peran tersebut. Dengan diingatkan oleh
suami untuk selalu mengkonsumsi tablet tambah darah yang
merupakan suplemen yang sangat penting baik untuk ibu
maupun bayinya, maka ibu akan terhindar dari anemia. Jika
suami juga ikut berperan dalam pemeriksaan kehamilan atau
mengikuti kelas ibu, maka suami akan memiliki respon yang
tinggi ketika ibu mengalami tanda bahaya dan segera mengambil
keputusan yang tepat tentang proses rujukan, dan akan
menyelamatkan ibu dan bayi karena tidak mengalami
keterlambatan dalam mengambil keputusan dan keterlambatan
merujuk yang merupakan penyebab kematian ibu dan bayi
secara tidak langsung.
3.1.4.4. Pola makan dan asupan
Pola makan dan asupan nutrisi menjadi sangat penting
dan menetukan kesehatan ibu dan bayinya.
- jenis
- sesuai dengan daya beli masyarakat
3.1.4.5. Pola pemeriksaan kehamilan
Pemeriksaan kehamilan merupakan komponen yang
sangat penting dalam asuhan kehamilan. Pemeriksaan kehamilan
telah dilakukan oleh ibu hamil sejak awal kehamilan/sejak ia
merasa hamil. Ibu yang merasa hamil akan melakukan
pemeriksaan, untuk mengetahui hamil atau tidaknya dan
mengurangi beberapa keluhan yang mungkin muncul dalam
kehamilan muda. Selain itu Ibu bidan Desa dan Bidan koordinator
juga bekerjasama dengan kader Posyandu untuk segera
105
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
menginformasikan kepada bidan desa, jika mendengar ada ibu
yang hamil. Dan dari informasi tersebut maka akan
ditindaklanjuti oleh ibu bidan dengan melakukan kunjungan
kerumah ibu hamil. Pada pemeriksaan berikutnya, biasanya ibu
hamil akan melakukan pemeriksaan sesuai dengan waktu yang
telah diberikan oleh bidan/tanggal kembali dan ditulis dalam
buku pemeriksaan.
Ibu hamil di Desa Dukuh Widara sebagian besar
melakukan pemeriksaan di Puskesmas pembantu Desa Dukuh
Widara setiap hari Senin, mulai jam 08.00 s.d selesai. Selain itu
kadang-kadang ibu hamil tersebut di kumpulkan diBalai Desa
yang berfungsi sebagai Poskesdes, untuk mengikuti kelas ibu
hamil. Secara keseluhan pola pemeriksaan yang telah dilakukan
oleh ibu hamil di Desa Dukuh Widara telah sesuai dengan standar
minimal pemeriksaan kehamilan yang distandarkan oleh
Kementerian Kesehatan.
Selain di Puskesmas pembantu, ada juga ibu hamil yang
melakukan pemeriksaan di Praktek Swasta baik kepada Bidan
maupun Dokter Spesialis kandungan.
Menurut Saleha (2009), Jadwal kunjungan ulang
padakehamilan yaitu:
a. Kunjungan I (16 minggu), dilakukan untuk:
1) Persiapan dan pengobatan anemia
2) Perencanaan persalinan
3) Pengenalan
komplikasi
akibat
kehamilan
dan
pengobatannya
b. Kunjungan II (24-28 minggu) dan kunjungan III (32 minggu),
dilakukan untuk:
1) Pengenalan
komplikasi
akibat
kehamilan
dan
pengobatannya
2) Penapisan pre eklampsia, gemeli, infeksi alat reproduksi,
dan saluran perkemihan
106
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
3) Mengulang perencanaan persalinan
c. Kunjungan IV (36 minggu sampai lahir):
1) Sama seperti kegiatan kunjungan II dan III
2) Mengenali adanya kelainan letak dan presentasi
3) Memantapkan rencana persalinan
4) Mengenali tanda-tanda persalinan
Setiap kehamilan dapat berkembang menjadi masalah
atau komplikasi setiap saat. Itu sebabnya mengapa ibu hamil
memerlukan pemantauan selama kehamilannya 59
Penatalaksanaan ibu hamil secara keseluruhan meliputi
komponen-komponen sebagai berikut:
a. Mengupayakan kehamilan yang sehat.
b. Melakukan
deteksi
dini
komplikasi,
melakukan
penatalaksanaan awal serta rujukan bila diperlukan.
c. Persiapan persalinan yang bersih dan aman.
d. Perencanaan antisipatif dan persiapan dini untuk melakukan
rujukan jika terjadi komplikasi60.
3.1.4.6. Permasalahan kesehatan
Desa Dukuh Widara memiliki kondisi Kesehatan Ibu dan
Anak hampir sama dengan beberapa wilayah di Puskesmas
Kalibuntu. Berdasarkan data laporan KIA tahun 2013, salah satu
masalah yang terjadi di Desa Dukuh Widara adalah adanya ibu
hamil yang masih kurang dari 20 tahun sebanyak 2 orang dan KEK
(Kurang Energi Kronis) yang ditandai dengan LILA<23, 5 cm
sebanyak 1 orang.
Salah satu ibu hamil dengan usia muda adalah Ny Nur.
Pada saat kita temui didalam rumahnya Ny. Nur ternyata sudah
59
Sumber: Saifuddin, AB. 2008
60
Sumber: Idem
107
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
melairkan bayinya. Persalinan Ny. Nur yang sekarang, berusia 19
tahun. Jadi pada saat kehamilan pertama Ny Nur pada waktu itu
masih berusia 17 tahun dan pernikahannya dilakukan saat usia
Ny. Nur berusia 16 tahun.
Jika melihat dari sisi usia, pernikahan yang dilakukannya
sudah sesuai dengan Undang-undang perkawinan tahun 1974.
Dalam UU perkawinan tersebut, disebutkan bahwa usia
perkawinan diperbolehkan pada wanita yang telah berusia 16
tahun dan pria yang berusia 19 tahun. Pernikahan usia muda
adalah pernikahan yang dilakukan oleh sepasang laki-laki
perempuan remaja. Menurut UU Pernikahan No. 1 Tahun 1974
Pasal 7 ”Pernikahan hanya diijinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai
16 tahun”. Namun pemerintah mempunyai kebijakan tentang
perilaku reproduksi manusia yang ditegaskan dalam UU No. 10
Tahun 1992 yang menyebutkan bahwa pemerintah menetapkan
kebijakan upaya penyelenggaraan keluarga berencana.
Banyaknya risiko kehamilan yang terjadi jika usia pernikahan usia
muda adalah pernikahan yang dilakukan bila pria kurang 21
tahun dan perempuan kurang dari 19 tahun.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi remaja dan orang
tua untuk memilih menikah dan menikahkan anaknya diusia
muda. Beberapa faktor tersebut adalah61,
a. Faktor sosial budaya
Beberapa daerah di Indonesia masih menerapkan
praktek kawin muda, karena mereka menganggap anak
perempuan yang terlambat menikah merupakan aib bagi
keluarga.
61
Sumber: Kumalasari, Intan. 2012.
108
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
b. Desakan ekonomi
Desakan ekonomi bisa menjadikan pilihan pernikahan
usia muda. Jika dilihat dari faktor ini, adanya pernikahan usia
muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis
kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya, maka
anak perempuannya dikawinkan dengan orang yang dianggap
mampu.
c. Tingkat pendidikan
Pendidikan yang rendah makin mendorong cepatnya
pernikahan usia muda. Kaum wanita dengan pendidikan yang
rendah, memiliki kecenderungan untuk memilih menikah usia
muda. Tidak adanya kegiatan yang rutin, seperti waktu
sekolah merupakan salah satu pemicunya.
d. Sulit mendapatkan pekerjaan
Banyak dari remaja yang menganggap kalau mereka
menikah muda, tidak perlu lagi mencari pekerjaan atau
mengalami kesulitan lagi dalam hal keuangan karena
keungannnya sudah ditanggung suaminya.
e. Media massa
Gencarnya ekspos seks di media massa menyebabkan
remaja modern kian permisif terhadap seks. Kondisi ini
diperparah dengan semakin bebasnya arus edia baik cetak
maupun elektronik. Internet yang telah masuk ke daerahdaerah pedesaan, menjadikan mereka dengan mudah
mengakses pornografi sehingga mendorong mereka untuk
menikah. Di sisi lainnya kondisi ini juga semakin parah, ketika
bukan menikah yang menjadi pilihan mereka, melainkan
hubungan seks. Hal ini semakin membuat remaja terpuruk
tentunya.
f. Agama
Dari sudut pandang agama, menikah di usia muda
tidak ada pelarangan bahkan dianggap lebih baik daripada
109
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
melakukan perzinahan. Pandangan ini memang ada
kemungkinan pro dan kontra.
g. Pandangan dan kepercayaan
Banyak di daerah ditemukan pandangan dan
kepercayaan yang salah misalnya kedewasaan dinilai dari
status pernikahan, status janda dianggap lebih baik daripada
perawan tua. Perawan tua, adalah label yang diberikan
kepada perempuan dan memiliki makna deskriminatif.
Berbeda dengan laki-laki, kalaupun mereka belum menikah
diusia yang cukup matang untuk menikah, sangat jarang
disebut sebagai jejaka tua.
Menurut pengakuan Ny Nur, ia memilih menikah diusia
muda karena tidak melanjutkan sekolah lagi, sehingga tidak ada
kegiatan.
3.1.4.7 . Pola Pengobatan
Pola pengobatan pada ibu hamil di Desa Dukuh widara,
tidak berbeda dengan pola pengobatan pada masyarakat pada
umumnya. Namun ketika ibu hamil tersebut sakit, maka segera
melakukan pengobatan ke fasilitas kesehatan. Berbeda halnya
dengan masyarakat umumnya, jika sakit dirasa tidak parah,
pengobatan dilakukan secara pribadi dengan membeli obat-obat
generik yang dijual di warung-warung. Namun ketika dirasa agak
parah, umumnya masyarakat Desa Dukuh Widara akan mencari
pengobatan ke tenaga kesehatan yang dipercaya. Mulai dari
Puskesmas (Puskesmas pembantu maupun Puskesmas), tenaga
kesehatan yang membuka praktek swasta seperti bidan desa,
mantri atau dokter, hingga ke klinik atau rumah sakit
110
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
3.1.5. Persalinan
3.1.5.1. Menunggu Persalinan
Sore itu, tanggal 27 Mei 2014 kami berhasil menemukan
rumah Mb Warni. Sebenarnya telah beberapa kali kunjungan
rumah dilakukan kepada Mb Warni, namun baru pada kunjungan
ketiga, kami bisa bertemu dengan Mb Warni.
Pada awalnya baik Mb Warni maupun suaminya nampak
bertanya-tanya tentang keberadaan kami. Pa Ahmad, suaminya
turut serta duduk di kursi tamu yang terbuat dari rotan.
Pembicaraan dimulai oleh Pa Ahmad, yang mempertanyakan
tentang keberadaan kami. Sorot mata keduanya nampak sedikit
menyelidik. Wajar saja karena memang keluarga tersebut belum
mengetahui keberadaan kami. Setelah menjelaskan maksud dan
tujuan kunjungan tersebut, Mb Marni mulai bercerita tentang
kehamilannya.
“Pemeriksaan kehamilan di Puskesmas (pustu) mulai
umur kehamilan 5 bulan. Keluhan mual, pusing, muntah.
Ulu hatinya sakit, katanya kakinya di atas (maksudnya
letak sungsang, bokong berada di bagian bawah). Terus
kemarin ke dukun bayi katanya ini, pantatnya di atas.”
Pada saat menceritakan kondisinya tersebut, nampak
berulang kali Mb Warni secara berulang-ulang memegang
dadanya, tepatnya ulu hatinya disertai dengan ekspresi wajah
yang menahan sakit, meringgis.
Berikutnya Mb Warni juga bercerita bahwa dukun bayinya
mengatakan kalau Mb Warni akan segera melahirkan. Sangat
heran nampaknya, Mb Warni dan suaminya mendengar kabar
itu, karena dalam hitungan mereka umur kehamilan Mb warni
baru 8 bulan, belum masuk 9 bulan. Namun demikian Mb warni
dan suaminya tetap mempercayai informasi yang disampaikan
oleh dukun dan mempersiapkan segala sesuatunya.
111
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Keluarga kecil tersebut, kemudian pindah rumah ke
rumah yang sekarang kami kunjungi. Rumah ini adalah rumah
kakak Pa Ahmad dan dia yang sudah berpengalaman sudah
mengurusi persalinan, nifas dan bayi. Dengan pengalaman yang
ada maka Mb Warni dan Pa Akhmad mempercayakan semua hal
kepada kakaknya. Bahkan tentang pilihan penolong persalinan,
keluarga tersebut tidak memiliki rencana, intinya semua
diserahkan kepada kakaknya. Keluarga (kakak) mengharapkan
kelahiran itu bisa berlangsung di rumah, biar enak, tenang.
Keinginan keluarga tetap melahirkan di rumah akan tetapi tetap
ditolong tenaga kesehatan (bidan). Ekspresi Mb Warni belum
berubah juga, sesekali meringgis dan memegang seperti
mengelus ulu hatinya.
“Mb, apa ada mules2? Iya. Terus kencing terus.
Boyoknya ga panas. Kenceng aja. Kata dukun bayinya
sudah nggak bisa digerakin. Kalau duduk kelamaan itu
nggak kuat.”
“Rasanya sakit banget mbak? Iya. Pedes. Di sini (ulu
hati). Punya sakit mag? Nggak. mual sekarang nggak.
katanya sih ketonjok. Kalau tiduran malah nggak bisa.”
Mba Marni ternyata belum mendatangi bidan sebagai
upaya untuk menyelesaikan masalahnya atau memeriksakan
keluhan yang dialaminya. Walaupun masih sangat muda, Mba
Warni nampak begitu tegar/tidak manja, serta cukup kuat
menahan nyeri yang dirasakan. Sebenarnya kemarin sudah
berencana melahirkan di salah satu bidan yang berada di Blok
sebelah, namun bidan tersebut tidak ada di tempat disebabkan
tugas kedinasan. Mba Warni merencanakan persalinannya
dilakukan oleh bidan dan di rumah. Walau sudah mendekati
persalinan, Mba Warni ternyata belum memiliki pilihan yang
tetap tentang penolong persalinan. Siapa penolong
112
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
persalinannya akan dipercayakan kepada pilihan suami dan
keluarganya. Sebagai perempuan dan istri, ia sering
mengungkapkan tentang berbagai keputusan yang menyangkut
kehamilan dan persalinannya, semuanya tergantung kepada
suaminya dan keluarga yang sekarang tinggal bersamanya. Tidak
ada perasaan tertekan rupanya, ketika ia tidak pernah memiliki
wewenanguntuk mengambil keputusannya sendiri.
Dua hari kemudian, pada saat kami melakukan kunjungan
ke rumah Mba Warni, ternyata ia telah melahirkan anak pertama,
laki-laki dengan berat 3 kilogram. Mba warni tidak melahirkan di
rumah, tetapi melahirkan di sarana kesehatan. Semua itu atas
anjuran suami dan keluarganya.
Menyertakan suami dan keluarga dalam pendidikan
kesehatan dalam masa kehamilan, persalinan, nifas maupun bayi
sangat bermanfaat ketika menghadirkan suami dan keluarga. Hal
tersebut sangat penting karena suami dan keluarga yang akan
mendukung keputusan menyangkut berbagai hal yaitu masa
kehamilan, persalinan, nifas maupun bayi.
3.1.5.2. Proses Persalinan
Persalinan adalah proses dimana bayi, plasenta dan
selaput ketuban keluar dari uterus ibu. Persalinan dianggap
normal jika prosesnya terjadi pada usia kehamilan cukup bulan
(setelah 37 minggu) tanpa disertai adanya penyulit. Persalinan
dimulai (inpartu) sejak uterus berkontraksi dan menyebabkan
perubahan pada serviks (membuka dan menipis) dan berakhir
dengan lahirnya plasenta secara lengkap. Ibu belum inpartu jika
kontraksi uterus tidak mengakibatkan perubahan serviks.
Persalinan adalah proses membuka dan menipisnya
serviks dan janin turun ke dalam jalan lahir. Kelahiran adalah
113
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
proses di mana janin dan ketuban didorong keluar melalui jalan
lahir62.
Berdasarkan data laporan KIA tahun 2013, salah satu
masalah yang terjadi di Desa Dukuh Widara pada periode
persalinan, yaitu masih rendahnya cakupan persalinan oleh
tenaga kesehatan. Pada profil Puskesmas Kalibuntu angka
cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan hanya mencapai
69,4%, sangat jauh dari cakupan persalinan oleh tenaga
kesehatan dalam lingkup nasional, yang mencapai 90%. Namun
demikian, menurut bidan koordinator di Puskesmas Kalibuntu
pada tahun 2013, angka cakupan persalinan tenaga kesehatan
mencapai 100 persen. Kesenjangan tersebut menurut bidan
koordinator tersebut disebabkan estimasi persalinan yang
ditargetkan terlalu tinggi, jika dibandingkan capaian jumlah
persalinan yang ada. Hal ini telah disampaikan kepada Dinas
Kesehatan dan sebagai tindak lanjutnya, pada tahun ini dievaluasi
kembali tentang estimasi jumlah persalinan. Hal ini tentunya
akan berdampak kepada cakupan persalinan oleh tenaga
kesehatan di Desa Dukuh Widara.Selain itu nampaknya perlu
ditata kembali pendataannya sehingga estimasi yang muncul
sesuai dengan kondisi riil daerah.
Namun demikian, masih menurut bidan koordinator
tersebut, ada kekhawatiran baru seiring dengan kebijakan
pemerintah untuk menerapkan BPJS dan menghilangkan program
Jaminan Persalinan (Jampersal). Karena tingginya cakupan
persalinan tenaga kesehatan pada tahun kemarin, sangat
dipengaruhi oleh adanya Jampersal yang digulirkan oleh
pemerintah.
Kekhawatiran tersebut menjadi kenyataan. Pada tanggal
16 Mei 2014 saat melakukan kunjungan ke salah satu dukun
62
Sumber: Saifuddin, AB. 2008
114
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
bayi/paraji, Bi Irah, ia bercerita bahwa tadi malam telah
melakukan pertolongan persalinan kepada Ibu Yul, ibu hamil ke-5
yang memang bersebelahan tempat tinggal dengan bi Irah.
Menurut cerita Bi Irah, sebenarnya ibu Yul ingin memanggil ibu
bidan, tetapi sebelumnya memanggil terlebih dahulu Bi irah.
Pada saat Bi Irah datang pada pukul 11 malam (23.00), ternyata
ibu Yuli sudah ingin mengedan. Melihat kondisi tersebut suami
Ibu Yul telah menyiapkan becak, untuk memanggil bidan. Namun
tidak disangka, tidak berapa lama dari itu, Ibu Yul sudah ingin
mengedan dan hanya 2 kali mengedan bayi ibu Yul sudah lahir
dan langsung menangis.
Pada saat itu bi Irah langsung menolong kelahiran
bayinya.
“Tinggal ditampani saja, pakai tampah, alhamdulillah
langsung nangis, trus pusernya dipotong pakai silet,
siletnya baru ko, mbak, jadi biar ga infeks. Kalau ari-ari
pasti bisa lair ga lama dari bayi lahir.” Paling sedikit
diteken perutnya, nanti ari-ari lair”
“Cukup diterima saja, dengan menggunakan tampah,
alhamdulillah bayinya langsung menangis, terus tali
pusatnya saya potong denga menggunakan silet, siletnya
masih baru ko Mbak, agar tidak infeksi. Dan kalau
tentang ari-ari pasti bisa lahir, tidak lama setelah bayi
lahir, tinggal ditekan sedikit saja, bayinya bisa langsung
lahir.”
Bi Irah adalah salah satu dukun di Desa Dukuh Widara
akan tetapi termasuk yang tidak terlatih, sangat jarang memang
ia menolong kelahiran karena memang bi Irah lebih terkenal
sebagai dukun pijat. Namun demikian pada saat ditanya Bi Irah
memang telah beberapa kali menolong persalinan.
115
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Pada keesokan harinya keluarga Ibu Yuli melaporkan
tentang persalinannya ke bidan desa Di Desa Dukuh Widara. Dan
tidak berapa lama dari waktu tersebut, ibu bidan datang dengan
membawa perlengkapan imunisasi untuk bayinya. Ibu bidan
menanyakan tentang alasan tidak melahirkan dengan tenaga
kesehatan Dan diperoleh jawaban sebagai berikut:
“Niki kebrosotan ko bu, wong tadinya mau manggil ibu
bidan, tapi wong cepet banget, jadi ga keburu, langsung
ngeden 2 kali dan lahir.”
Menurut Ibu bidan desa tersebut, selain memang Ibu Yul
sudah hamil ke lima, atau melahirkan 4 kali, memang kebiasaan
ibu Yul kalau melahirkan selalu cepat. Bidan tersebut juga pernah
menolong kelahiran anak ketiga ibu Yul. Namun demikian,
menurut Ibu bidan Koordinator, sebagai bidan tetap harus
melakukan pengawasan kepada ibu hamil dan selalu memotivasi
persalinan oleh tenaga kesehatan. Karena alasan-alasan seperti
yang disampaikan ibu Yul sudah sering dsampaikan oleh ibu yang
melahirkan dan ditolong oleh dukun bayi. Para ibu tersebut akan
mengatakan bahwa persalinannya kebrojolan, padahal memang
merencakan persalinan ke non tenaga kesehatan. Terlebih
dengan dihapuskannya program Jampersal dan keberadaan
dukun bayi yang dekat dengan tempat tinggal ibu hamil.
3.1.6. Nifas
Masa nifas dimulai setelah kelahiran plasenta dan
berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan
sebelum hamil. Masa nifas berlangsung selama kira-kira 6
minggu63.
63
Sumber: Saifuddin, AB. 2008
116
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Masa puerperium atau masa nifas adalah mulai
setelahpartus selesai, dan berakhir setelah kira-kira 6 minggu.
Akan tetapi, seluruh alat genital baru pulih kembali seperti
sebelum kehamilan dalam waktu 3 bulan (Wiknjosastro, 1994).
Masa nifas disebut juga masa post partum atau
puerperium adalah masa atau waktu sejak bayi dilahirkan dan
plasenta keluar dari rahim, sampai enam minggu berikutnya,
disertai dengan pulihnya kembali organ-organ yang berkaitan
dengan kandungan, yang mengalami perubahan seperti
perlukaan dan lain sebagainya berkaitan dengan melahirkan64.
3.1.6.1 . Tradisi dalam masa nifas.
Sebagaimana telah diceritakan di atas, masyarakat Dukuh
Widara masih sangat kental dengan tradisi, termasuk saat masa
nifas. Ibu Yul, 38 tahun, Ibu rumah tangga, melahirkan anak ke
4nya, tadi malam, tanggal 15 Mei 2014, jam 23.00. Pada saat tim
peneliti berkunjung ke rumah Ibu Yul nampak sedang
menggunakan lulur di seluruh tubuhnya termasuk mukanya juga
seperti memakai lulur, putih seluruh mukanya dan juga
menggunakan jarit (sinjang). Kami berkesempatan mengunjungi
Ibu Yul dengan diantar oleh Bi Irah, dukun bayi yang semalam
menolong kelahirannya. Begitu sampai di depan pintu rumahnya,
Ibu Yul langsung membukakan pintu dan menyambut kedatangan
kami dengan ramah.
Setelah menjelaskan tentang maksud dan tujuan
berkunjung, kami menanyakan tentang berbagai kebiasaan yang
dilakukan oleh ibu nifas. Sambil tersenyum lagi, ibu Yul
menjawab:
64
Sumber: Suherni, 2009
117
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
“Namanya di kampung mbak, kebiasaannya banyak, ya
kayak gini, pakai parem (sambil menunjukkan kotak
berisi jamu yang berada di atas meja)”.
Gambar 3.1.
Jamu bersalin komplit
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Menurut keterangan ibu Yul, jamu bersalin komplit yang
digunakannya terdiri dari parem untuk dibalurkan ke seluruh
tubuh, ada jamu yang diminum sertsminyak telon untuk
menghangatkan tubuh bayi. Ada 3 jenis parem yang digunakan,
yaitu parem yang dipakai untuk muka, parem yang dipakai untuk
badan dan satu lagi parem yang dipakai untuk tangan dan kaki.
Sedangkan jenis jamu-jamuan yang dikonsumsi ibu Yul terdiri dari
1 bungkus jamu bersalin 1 yang terdiri dari 10 bungkus berfungsi
untuk mengembalikan otot-otot perut, agar kembali seperti
semula, jamu bersalin 2 yang tersiri dari 3 bungkus dan masingmasing berisi 10 bungkus dan jamu bersalin 3 yang terdiri dari 2
bungkus dan masing-masing berisi 10 bungkus. Jamu bersalin 3
118
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
berfungsi untuk memperlancar ASI. Keseluruhan jamu bersalin
tersebut harus diminum oleh ibu bersalin secara berurutan.
Semua jenis parem dan jamu yang dikonsumsi oleh ibu
nifas tersebut jika digunakan secara teratur, maka akan membuat
ibu nifas menjadi pangling, nanti pada saat 40 hari ibu nifas akan
tampak putih dan cantik.
Ibu Yul, sedikit berbeda dengan Ibu Kas. Untuk jamujamuan Ibu Kus tidak menggunakan jamu-jamuan buatan pabrik,
melainkan menggunakan bahan-bahan alami. Seperti untuk
memeprlancar ASI, Ibu Kus menggunakan kuyit yang dicampur
dengan sayur kangkung. Tujuan ramuan ini untuk menambah
produksi ASI, juga agar air susu enak rasanya, anak/bayinya tidak
mual-mual.
3.1.6.2 . Pantangan
Pantangan merupakan hal lain yang diyakini oleh ibu nifas
selain dari tradisi yang diikuti. Bagi Ibu Yul, saat ditanyakan
tentang pantangan masa nifas, ibu Yul menjawab:
“Kalau makan yang jorok-jorok, ikan, telor nggak boleh.
Nanti lama sembuh, ayam bole, tahu tempe. Buah2an
nanas, salak, yang gatel-gatel nggak boleh. Kalau sudah
sembuh ya boleh semua. Udah kering. Kalau ibunya
jorok ya nggak sembuh-sembuh, ijo terus (pusernya).”
“Tidur siang boleh, tapi kalau pusernya sudah copot
sampai 40 hari nggak boleh. Katanya ntar rusak
matanya, nggak jelas. Kalau belum puput boleh. Harus
keluar, petan, jalan-jalan, jangan tidur. Biar nggak
ngantuk mandi, pakai kecombrang. Digecek, diperes
airnya, diteteskan ke mata. Perih, tapi nanti nggak
ngantuk.“
119
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Dari wawancara tersebut, Ibu Yul mengatakan bahwa
pantangan yang diyakininya selama masa nifas adalah tidak boleh
makan makanan yang amis dan yang membuat gatal. Alasan yang
diungkapkan oleh Ibu Yul, semua makanan jenis ini akan
memperlambat penyembuhan rahim, apalagi jika ibu nifas
tersebut mengalami luka jahitan. Selain pantangan dalam hal
makanan, pantangan lain yang diyakini oleh ibu nifas adalah tidak
boleh tidur pada siang hari, tetapi ini berlaku setelah tali pusat
puput. Ibu Nifas menurut Ibu Yul, masih boleh tidur siang
sebelum tali pusat puput, sekitar 1-7 hari pertama setelah
persalinan, karena tenaga yang dipakai untuk melahirkan belum
pulih. Sebenarnya menurut Ibu Yul, setiap perempuan yang habis
melahirkan seperti itu, ingin beristirahat pada siang hari, karena
pada umumnya bayi akan “melek”an pada malam hari. Tetapi
harapan itu tinggal harapan, karena kebanyakan ibu nifas lebih
patuh pada tradisi yang berlaku. Mereka juga takut dengan
bahaya yang akan muncul yaitu darah putih yang akan naik ke
otak.
Pantangan lain yang diyakini oleh Ny.Un harus dihindari
pada ibu nifas dan berbeda dengan Ibu Yul adalah tidak boleh
makan pedes.
“Ya, kalau makan pedes, nanti kasian dede bayinya, bisa
sakit perut, kan Asinya jadi pedes”
Masa nifas merupakan masa yang sangat penting untuk
ibu, untuk mengembalikan tubuh seperti sebelum hamil. Oleh
karena itu pada masa ini juga harus diperhatikan pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Menurut Suherni, (2009),
kebutuhan-kebutuhan dasar yang diperlukan pada masa nifas,
yaitu:
120
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
a. Gizi
Ibu nifas dianjurkan untuk:
1) Makan dengan diit berimbang, cukup karbohidrat.
2) Mengkonsumsi makanan tambahan, nutrisi 800 kalori/hari
pada 6 bulan pertama, 6 bulan selanjutnya 500 kalori dan
tahun kedua 400 kalori. Mengonsumsi tablet zat besi 1
tablet tiap hari selama 40 hari.
3) Mengkonsumsi vitamin A 200.000 IU. Pemberian vitamin A
dalam bentuk suplementasi dapat meningkatkan kualitas
ASI, meningkatkan daya tahan tubuh dan meningkatkan
kelangsungan hidup anak.
b. Kebersihan diri
Ibu nifas dianjurkan untuk:
1) Menjaga kebersihan seluruh tubuh.
2) Menganjurkan ibu cara membersihkan daerah kelamin
dengan sabun dan air.
3) Menyarankan ibu mengganti pembalut setiap kali mandi,
BAB/ BAK, paling tidak dalam waktu 3-4 jam supaya ganti
pembalut.
4) Menyarankan ibu untuk mencuci tangan dengan sabun dan
air sebelum menyentuh daerah kelamin.
5) Anjurkan ibu untuk sering menyentuh luka episiotomi dan
laserasi
c. Istirahat dan tidur
1) Istirahat cukup untuk mengurangi kelelahan.
2) Tidur siang atau istirahat selagi bayi tidur.
3) Kembali ke kegiatan rumah tangga secara perlahan-lahan.
4) Mengatur kegiatan rumahnya sehingga dapat menyediakan
waktu untuk istirahat pada siang kira-kira 2 jam dan malam
7-8 jam.
121
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Terdapat bebapa akibat yang bisa dirasakan oleh ibu
sebagai akibat kurangnya terpenuhi kebutuhan istirahat pada ibu
nifas.
Kurang istirahat ibu nifas dapat berakibat65:
1) Mengurangi jumlah ASI
2) Memperlambat involusi, yang akhirnya bisa menyebabkan
perdarahan
3) Depresi
3.1.6.3. Menyusui
Hal yang sangat penting dalam fase menyusui ini adalah
pemberian asi eksklusif. ASI eksklusif adalah pemberian ASI sedini
mungkin setelah kelahiran bayi, diberikan tanpa jadwal sampai
bayi berumur 6 bulan (Purwanti, 2004).
ASI ekslusif adalah makanan yang paling cocok, karena
dapat memberikan gizi yang paling sesuai untuk kebutuhan bayi,
melindungi dari berbagai infeksi dan memberikan hubungan
kasih sayang yang mendukung semua aspek perkembangan bayi,
termasuk kesehatan dan kecerdasan bayi (Roesli, U, 2000).
Untuk dapat memberikan ASI eksklusif secara
berkelanjutan, WHO dan UNICEF merekomendasikan antara lain :
pemberian segera ASI pada satu jam pertama kehidupan, hanya
ASI saja (eksklusif) tanpa makanan atau minuman tambahan,
sekalipun air putih, menyusui sesuai kebutuhan sebanyak yang
bayi inginkan baik siang maupun malam, dan tidak menggunakan
botol atau dot untuk bayi.
Pada kondisi ideal asi harus diberikan kepada bayi secara
eksklusif. Namun pada kenyataannya ada saja hal-hal yang
menghambat pemberian asi kepada bayi. Misalnya alasan asi
tidak keluar, kondisi ibu yang belum stabil, maupun komposisi asi
65
Sumber: Suherni, 2008
122
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
yang dianggap belum mencukupi kebutuhan bayi. Alasan yang
terakhir ini yang sering diungkapkan oleh kebanyakan ibu
menyusui. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Ny Un Tentang
asi esklusif disuruh bidan sih katanya harus sampai 6 bulan tapi
ya gak tau lah mba,lihat saja nanti.kalau misalnya bayi nya
rewel,nangis saja.ya gimana lagi,pasti ditambah sama makanan
pada saat ditanya tentang anak pertama, Ny pun menjawab,
’’Kalau menyusui mah sampai 2 tahun, tapi yang ASI saja mah 1
bulan yaitu mba bayinya masih laper, jadi langsung dikasih pisang
dan nasi yang dilumatkan’’.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ibu Uun., Ibu nifas 3
hari, sejak anak pertama bu uun hanya memberikan asinya saja
sampai umur , hal tersebut disebabkan kondisi bayi yang terlihat
masih kelaparan walau sudah diberi asi. Kondisi ini disimbulkan
oleh bu Uun karena bayi masih menangis walau pun sudah
disusui.
Situasi lain yang terjadi di rumah Ny. Nur. Ny. Nur, 19
tahun, nampak bergegas mengambil anaknya yang terdengar
menangis dari dalam ayunan kain yang di pasangkan di tengah
rumahnya. Ny Nur ingin segera menyusui bayinya. Bayi Ny Nur ini
adalah bayinya yang kedua. Pada periode menyusui sekarang, ny
Nur lebih bersemangat untuk menyusui bayinya dibandingkan
dengan waktu menyusui anaknya yang pertama. Walaupun
masih muda Ny. Nur memang terlihat begitu semangat dan
serius, tangan mudanya begitu kuat memegang bahu bayi,
sedang tangan kanannya dengan penuh semangat memegang
badan bayi. Terlihat sorot matanya begitu penuh memandang
bayinya dengan cinta yang penuh.
“saya penginnya bisa ngasih asi yang banyak, mba, sama
bayi saya. Wah, kalau harus pakai susu botol, berat,
kayak kakanya” (Anak pertama Ny. Nur, berusia 2 tahun
dan menggunakan susu formula sejak usia ± 4 bulan saja
123
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dan tidak menyusu lagi ke ibunya. “Berat, mba, wah
ngedotnya tambah, banyak, jadi saya penginnya bisa
nyusuin yang penuh sampai dengan 2 tahun”.
Pada saat ditanyakan tentang asi eksklusif, Ibu Nur belum
pernah mendengar istilah tersebut, dan pada saat djelaskan
pengertian asi eksklusif atau pemberian asi saja tanpa tambahan
makanan lain sampai dengan 6 bulan, Ny. Nur mengungkapkan
pendapatnya sebagai berikut:
“Saya sih pengin nyusuin 2 tahun, tapi kalau bayi saya
sudah 3 bulan, mau dikasih makan, kayak bubur
instan/pisang. Soalnya kalau ndak begitu bayinya masih
laper, sudah umum mba disini dikasih makan. Ini juga
mending sudah aga besar, malah ada yang dikasih
makan itu 1 bulan.“
Penggalian pengetahuan terhadap ibu menyusui juga
dilakukan untuk mengetahui tentang pentingnya asi eksklusif
dan pengaruh pemberian makanan tambahan pada usia kurang
dari 6 bulan.
“saya ga tahu kalau yang itu, tapi kebiasaan disini ga apa
apa mba, ga pernah ada apa-apa , ga ada yang jadi sakit,
mencret atau jadi kembung, baik-baik saja semuanya.
Jadi kayaknya tidak masalah.”
Situasi lain juga kami amati pada Ny Uun, salah satu ibu
nifas di desa Dukuh Widara. Khususnya dalam pemahaman
tentang asi eksklusif, sejak anaknya yang pertama ibu Uun telah
memberikan makanan tambahan berupa bubur bayi instan
maupun yang membuat sendiri sejak anak Ibu Uun berusia 3
bulan. Nampaknya pengalaman anak pertamanya tersebut juga
akan dilakukan oleh ibu Uun kepada bayinya yang kedua ini.
Berbagai informasi yang kita dapatkan dari informan ibu
nifas, sesuai dengan profil Puskesmas Kalibuntu tahun 2013,
bahwa cakupan asi eksklusif memang rendah. Situasi tersebut
124
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
memang dihadapi Indonesia secara nasional artinya cakupan
pemberian asi eksklusif memang sangat rendah, hanya 38%.
Banyak faktor yang mempengaruhi tidak diberikannya asi
eksklusif oleh ibu nifas. Banyak faktor yang mempengaruhi
pemberian asi eksklusif baik di daerah perkotaan dan pedesaan
di Indonesia dan di Negara berkembang lainnya, menunjukkan
sistem dukungan, pengetahuan ibu terhadap pemberian ASI
secara eksklusif, promosi susu formula dan makanan tambahan
mempunyai pengaruh terhadap praktek pemberian ASI eksklusif
itu sendiri. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat memberikan
dampak negatif maupun positif dalam memperlancar ASI
eksklusif.
Adapun faktor lain yang mempengaruhi pemberian ASI
adalah faktor sosial budaya, ekonomi diantaranya pendidikan
formal ibu, pendapatan keluarga dan status pekerjaan ibu. Faktor
yang lain adalah faktor psikologis seperti takut kehilangan daya
tarik sebagai wanita. Faktor fisik ibu juga memiliki pengaruh
terhadap keberhasilan ASI eksklusif seperti ibu yang sakit karena
payudara bengkak, puting datar atau terbenam dan puting lecet.
Faktor kurangnya petugas kesehatan dalam memberikan
penerangan atau dorongan tentang manfaat pemberian ASI
eksklusif menjadi faktor yang tidak kalah penting dalam
keberhasilan pemberian ASI eksklusif.66
Sementara
menurut
Utami
Roesli
(2000)67
mengungkapkan bahwa fenomena kurangnya pemberian ASI
eksklusif disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya :
pengetahuan ibu yang kurang memadai tentang ASI eksklusif,
beredarnya mitos yang kurang baik tentang pemberian ASI
66
Sumber: Soetjiningsih. 1997
67
Sumber: Idem
125
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
eksklusif, serta kesibukan ibu dalam melakukan pekerjaannya
dan singkatnya pemberian cuti melahirkan yang diberikan oleh
pemerintah terhadap ibu yang bekerja, merupakan alasan-alasan
yang sering diungkapkan oleh ibu yang tidak berhasil menyusui
bayi secara eksklusif. Hasil Studi mengenai Determinan
pemberian ASI di Kabupaten Purworejo menemukan bahwa
karakteristik ibu yaitu pendidikan, pendapatan, penolong
persalinan, status pekerjaan, pengetahuan dan dukungan suami
berpengaruh terhadap pemberian ASI eksklusif.
Dari berbagai informasi yang didapatkan tersebut, faktor
pengetahuan nampaknya yang memungkinkan
menjadi
penyebab rendahya pemberian asi secara eksklusif. Memang
tidak ada kuesioner terstruktur untuk mengukur pengetahuan
para ibu menyusui tentang asi eksklusif. Beberapa pertanyaan
yang sama terkait dengan pengertian asi eksklusif kepada ibu-ibu
yang menyusui sudah dilakukan dan didapatkan jawaban yang
pada intinya ibu hamil tersebut belum memiliki pengetahuan
tentang asi Eksklusif.
Upaya untuk memberikan pengetahuan tentang asi
eksklusif, berdasarkan informasi dari bidan desa, sebenarnya
sudah rutin dilakukan oleh bidan desa dan pihak Puskesmas
melalui kelas ibu. Namun demikian faktor budaya, yaitu
pengetahuan dan kebiasaan pemberian makanan tambahan
sebelum waktunya, nampaknya masih sangat kuat, terlebih
ketika didukug oleh keluarga (nenek atau ibu).
3.1.7. Neonatus dan Bayi
Neonatal adalah bayi baru lahir sampai dengan usia 4
minggu. Pelayanan kesehatan neonatal harus dimulai sebelum
bayi dilahirkan, melalui pelayanan kesehatan yang diberikan
pelayanan kepada ibu hamil. Beberapa bentuk upaya
pencegahan dan penanggulangan dini terhadap faktor yang
126
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
memperlemah kondisi ibu perlu diprioritaskan, seperti gizi
rendah, anemia, dekatnya jarak antara kehamilan dan buruknya
hygiene.68
Salah satu Ibu yang memiliki bayi adalah Ibu Kas dengan
nama bayi Sintia. Menurut informasi Ibu kas, setelah proses
persalinan kebiasaan di masyarakat harus membuat acara yang
disebut namu-namu. Pelaksanaan acara ini dengan membuat
berkat nasi yang diberikan kepada tetangga-tetangga sebagai
informasi ada “tamu” baru. Acara namu-namu tersebut dibuat
pada satu hari setelah kelahiran bayi. Beberapa jenis masakan
yang dimasak dalama acara tersebut adalah sambal serai, daun
singkong, ikan asin dan daun kacang.
Berikutnya Ibu Kas bercerita bahwa masih banyak tradisi
yang dilakukan oleh ibu dan keluarga dalam menyambut
kelahiran bayi antara lain ngubur ari-ari, nggeong, mandi kocor,
nyukur dan tradisi turun tanah. Beberapa tradisi tersebut ditulis
dengan lebih jelas pada BAB IV tentang tradisi-tradisi.
3.1.7.1. Perawatan tali pusat
Pagi yang cerah itu, menggantarkan kami ke rumah Mbok
Saeni, salah satu dukun bayi di Desa Dukuh Widara. Mbok saeni
menyambut kami dengan ramah dan langsung mengajak kami
duduk di ruang tamunya. Kami duduk di kursi sofa berwarna
coklat tua dan kursi sofa tersebut membentuk sudut 90⁰ (kursi
sofa letter L). Nampak sekali mbok Saeni telah bersiap untuk
melaksanakan kewajibannya, yaitu melakukan perawatan pada
ibu Ny. Nia dan bayinya.
Rumah Ny Nia berada tidak jauh dari rumah Mbok Saeni.
Hanya sekitar 100 meter, ke arah Barat, dengan berjalan kaki
melewati gang yang bertepatan dengan rumah Mbok Saeni.
68
Sumber: Saifuddin, AB. 2008
127
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Karena jalannya bagus, telah dipaving blok dan jaraknya yang
dekat, hanya sekitar 5 menit kita sudah sampai ke rumah Ny Nia.
“Assaalmu’alaikum..., Assalamu’alaikum.....’Karena tidak
mendengar jawaban dari dalam rumah, Mbok Saeni
langsung mengajak kami masuk, “Yo, mbak...masuk sini,
ga dikunci ko.” Kamipun langsung mengikuti mbok Saeni
masuk ke dalam rumah.
Pada saat bertemu, kesan pertama, nampaknya Ibu Nia
kurang respect pada kehadiran kami, meskipun kami hadir
bersama Mbok saeni, orang yang sangat dipercayainya dan telah
memperkenalkan kami kepada Ibu Nia. Wajar saja, karena kami
adalah orang yang tidak dikenalnya. Akan tetapi, tidak berapa
lama, nampak ekspresi muka Ibu Nia telah lebih ramah dan
menerima kehadiran peneliti. Terlebih ketika kami ikut dalam
asuhan yang dilakukan oleh Mbok saeni. Pagi ini kedatangan
Mbok Saeni ke rumah Ibu Nia untuk melakukan perawatan
kepada ibu dan bayi. Perawatan pada Ibu Nia adalah perawatan
luka operasi. Ibu Nia, adalah pasien post operasi SC, dikarenakan
persalinan yang lama. Pada waktu di rumah sakit, Mbok Saeni
ikut mengantar dan Mbok Saeni yang mendapat informasi dari
perawat tentang cara perawatan luka operasi.
Pada pelaksan aannya Mbok Saeni terlihat sangat trampil.
Termasuk dalam perawatan tali pusat, Mbok saeni nampak
sangat trampil. Dalam perawatan tali pusat, Mbok Saeni hanya
menggunakan betadin/obat merah yang hanya dioleskan pada
puntung tali pusat. Mbok saeni tidak membubuhkan apapun
pada tali pusat, termasuk obat merah yang dipakaikan juga tidak
dikompreskan pada puntung tali pusat saja. Mbok Saeni adalah
dukun terlatih yang telah banyak mendapat pelatihan terkait
dengan perawatan tali pusat dan perawatan bayi yang lainnya.
Cara perawatan tali pusat yang dilakukan oleh Mbok
Saeni terhadap Bayi ibu Nia, juga dilakukan oleh dukun bayi lain
128
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
yang berada di Desa Dukuh Widara. Sebagaimana telah dibahas
di awal, bahwa di Desa Dukuh Widara, terdapat dukun bayi yang
terlatih dan dukun bayi yang tidak terlatih. Pelaksanaan
perawatan tali pusat sama antara yang dilakukan oleh dukun
terlatih dan dukun tidak terlatih.
Gambar 3.2.
Perawatan bayi oleh Dukun bayi
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Perawatan tali pusat sangat penting untuk menjaga
kebersihan bayi dan sebagai upaya preventif terjadinya infeksi
tali pusat.Bayi Ny Imah, berusia 1 bulan. Pada saat kita
melakukan kunjungan ke rumah Ny Imah, sekitar jam 5 sore
nampak Ibu Imah sedang duduk santai sambil membereskan
pakaian-pakaian yang telah kering. Ibu Imah menyambut kami
dengan gembira.
“Silahkan-silahkan mbak, masuk, katanya kemudian.
Setelah bersalaman, Ibu Imah mempersilahkan kita
duduk. Tak berapa lama setelah kami duduk, terdengar
tangisan bayi Ibu Imah dari dalam kamar. Secara
bersamaan, kami juga menengok ke arah suara tangisan
bayi Ibu Imah. Kamar bayi Ibu Imah terletak
129
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
bersebelahan langsung dengan tempat kami duduk,
dengan pintu yang terbuat dari kayu dengan kondisi
terbuka, sehingga suaranya begitu jelas terdengar dari
tempat kami duduk. Mendengar suara bayinya
menangis, ibu Imah langsung beranjak dari duduknya
dan bergegas ke kamar bayinya. “eh..noknya bangun
(nok: panggilan anak perempuan di daerah Cirebon),
sayang”
Tak berapa lama, Ibu Imah menemui kami kembali ke
ruangan tempat kami duduk. Setelah itu Ibu Imah kembali
berpamitan pada kami untuk menyiapkan perlengkapan mandi
bayi.
“Mbak, maaf ya saya mau mandiin nok dulu, ini soalnya
sudah sore.” Mangga Ibu”. Pada pengamatan tentang peralatan
yang tersedia terkait dengan perawatan bayi, nampak
perlengkapan memandikan bayi yang cukup memadai, mulai dari
bak mandi plastik dengan desain khusus untuk memandikan bayi
(jolang). Bak plastik tersebut telah terisi air hangat yang bersih.
Menurut Ibu Imah airnya juga hangat. Nampak juga telah
disediakan sabun bayi dan shampoo khusus bayi. Di dalam kamar
bayi juga telah disediakan satu set baju ganti (baju, kaos dalem
dan popok). Ibu Imah sudah menggunakan untuk bayinya kaos
dalem sejak hari pertama kelahiran bayinya. Ibu Imah memang
memiliki pola fikir yang lebih maju, sejak ia pulang dari taiwan.
Bekerja sebagai perawat orang tua/jompo dan bayi membuat Ibu
Imah sangat mudah menerima berbagai informasi baru. Karena
pada saat bekerja di sana, telah banyak informasi kesehatan yang
ia terima.
Seperti penggunaan kaos dalam bagi bayi dan tidak
digunakannya gurita bayi sebagai perlengkapan pakaian bayi. Ibu
Imah telah memahami bahwa gurita yang dipakai diperut bayi,
130
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
itu tidak sehat dan akan mengganggu pernafasan bayi, karena
pernafasan bayi adadi perut.
Penggunaan popok sintetis/disposible digunakan oleh Ibu
Imah sebagai perlengkapan pakaian terhadap bayinya.
“Ia, mbak, dipakein pempers (maksudnya diaperers),
biar praktis, ga ribet, trus nyucinya ga banyak.. ada
efeknya bu? Ga ko Mbak, yang penting ga telat
gantinya.”
Semua perlengkapan yang telah disiapkan oleh Ibu Imah,
dipakaikan semua ke bayinya, termasuk penggunaan sabun dan
shampoo khusus bayi dan tidak berapa lama, bayi digendong
oleh Ibu Imah keluar kamar dengan dibedong, wajah telah
ditaburi bedak dan menggunakan minyak wangi khusus bayi.
Beberapa hari kemudian, tepatnya pada saat acara nyukur
rambut, nampak sedikit ada kotoran kering yang menempel pada
kulit kepala bayi. “Nah, kalau yang ini memang ga boleh
dibersihkan sebelum waktu nyukur, karena akan membuat
rambut menjadi kotor. Jadi, sekarang mbak waktunya,
dibersihkan kalau sudah dicukur, gampang ko tinggal pakai baby
oil saja.”
Beberapa pengamatan terhadap bayi mengenai sarana,
prasarana perawatan untuk bayi, memiliki kemiripan dengan ibu
Imah. Termasuk juga pemahaman Ibu terhadap membersihkan
kepala yang hanya boleh dilakukan setelah rambut dicukur.
Penggunaan diapers juga nampaknya semakin diminati oleh
masyarakat Desa Dukuh Widara. Kondisi ini nampaknya tidak
berbeda baik pada keluarga mampu maupun tidak mampu.
Kedua-duanya sama- sama menggunakan diapers. Penggunaan
diapers memiliki keuntungan antara lain lebih praktis.
Masalah sampah menjadi persoalan yang masih menjadi
Pekerjaan rumah, bagi aparat desa dan masyarakat Desa Dukuh
131
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Widara. Pembahasan selengkapnya akan dibahas pada tema
PHBS.
Berdasarkan penggolongannya, sampah diapers adalah
tergolong sampah anorganik. Sampah anorganik adalah sampah
yang tidak dapat didegradasi oleh mikroba. Sampah ini terdiri
dari kaleng, plastik, besi dan logam lainnya, gelas, mika dan
bahan-bahan lain yang tidak dapat tersusun oleh senyawasenyawa organik.
3.1.8. Anak dan Balita
3.1.8.1. Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh orang tua sangat menentukan pertumbuhan
dan perkembangan bayi dan anak. Sebagaimana diketahui, sesuai
dengan perkembangan usianya, bahwa bahwa usia balita masih
merupakan masa keemasan, masa yang sangat penting untuk
mendukung pertumbuhan dan perkembangan balita.
Aspek pola asuh pada anak dan balita terdiri dari pola
asuh (meliputi sandang, jasman dan rekreasi), pola asih (meliputi
kasih sayang, emosi, kedekatan/hubungan erat) dan asah
(meliputi
stimulasi
mental,
kecerdasan,
ketrampilan,
kemandirian)
Ny Er berusia 49 tahun tinggal di Blok Pon desa Dukuh
widara merawat cucunya dikarenakan anaknya bekerja sebagai
TKW (Tenaga kerja wanita) menurut informasi yang di dapat dari
Ny Er, sejak umur satu tahun sehingga tidak mendapatkan asi
sebagai akibat dari itu pengenceran susu formula yang tidak
sesuai yang ada sehingga memakai gula batu agar terasa manis
menurut Ny Er tidak ada akibat dari pengenceran susu formula ini
seperti diare. Selain itu cucunya disebut oleh tetangga Ny Er
sering disebut anak bandel dan tidak seringkali melakukan
adegan yang berbahaya. Contohnya karna posisi rumah Ny Er
132
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
dekat dengan jalan raya cucu Ny Er pernah hampir tertabrak truk.
Peristiwa ini beberapa kali berulang dan membuat anak tersebut
dianggap sebagai anak nakal.
Kasus lain pola asuh orang tua juga dialami oleh Fitri gadis
kecil berumur 6 tahun sejak kecil ia di tinggal oleh kedua orang
tuanya.Ayahnya yang berasal dari luar jawa,meninggalkan Fitri
sejak bayi, sedangkan ibunya meninggalkan Fitri dari umur
2tahun. Pada saat itu Fitri tinggal bersama neneknya. Namun,
neneknya meninggal dunia pada saat Fitri berumur 2,5 tahun.
setelah itu Fitri diasuh oleh tetangganya yang bernama Bi Iyah.
Kondisi ini telah disampaikan kepada ibunya Fitri yang bekerja di
Singapura namun ibunya tidak bisa pulang untuk merawat Fitri
Pada akhirnya Bi Sariah merawat Fitri dari saat itu hingga
saat ini sekitar 4thn selama itu seluruh biaya hidup ditanggung
oleh Bi Sariah hanya sesekali saja keluarga Fitri mengunjungi Fitri
untuk memberikan uang itu pun tidak seberapa hanya cukup
untuk jajan saja.menurut Bi Sariah ibunya Fitri pernah
memberikan perhatian kepada Fitri dengan memberikan tas
untuk sekolah Bi Sariah tidak bisa langsung berkomunikasi ibunya
Fitri namun segala harapan dan keluhannya dalam mengasuh
Fitri disampaikan kepada ibunya Fitri melalui pacarnya.
Menurut Bi Iyah, terdengar kabar bahwa pembayaran
gaji, Ibu pipit tidak lancar, katanya yang megang majikan, apabila
gaji itu dikeluarkan oleh majikan saat bulan puasa kemarin, maka
Ibunya Pipit mau pulang, namun jika tidak makmkan sebagian
gaji tersebut untuk memenuhi kebutuhan Pipit. Sangat sulit sekali
berkomunikasi dengan Ibunya Pipit, terakhir komunikasi pada
saat mengabarkan tentang kakek Pipit yang dipenjara. Selama ini
Ibunya Pipit tidak pernah menanyakan kabar Pipit, bahkan
menanyakan sehat atau tidaknya Pipit juga tidak pernah
dilakukan oleh ibunya. Suatu kali Bi Iyah pernah terhubung
133
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dengan Ibunya Pipit, disampaikanlah, bahwa Pipit badung/nakal,
banyak jajan, segala macem ingin dibeli.
Bi Iyah juga menceritakan saat dulu orangtuanya Ibu Pipit
(kakek dan Neneknya) sebelum meninggalkan utang, maka B Iyah
yang membayarkannya, jumlahnya empat juta setengah. Baginya
uang itu sangat banyak terlebih dengan pekerjaannya yang hanya
menjadi tukang pijet saja. Namun atas dorongan suaminya,
akhirnya bi Iyah merelakan uang tersebut untuk membantu
Nenek dan kakek pipit. Bi iyah dan suaminya berharap Ibunya
Pipit berniat mengganti uang tersebut saat sudah gajian.
Saya kadang ko tidak habis pikir, uangkap Bi Iyah
kemudian. Masak ada orang tua yang meninggalkan anak begitu
saja, tidak pernah diurus kebutuhan sehari-harinya, makannya
ninggalin anak nggak diurusin sehari-harinya, makannya dari
mana, itu saja listriknya yang bayarin saya. Sekarang Pipit sekolah
kelas 1 MI, tapi ngajinya pinter tapi sangat disayangkan di
sekolah sangat nakal, itu bukunya anak-anak dicoret semua.
Bahkan tidak jarang sikap Pipit membuat teman-temannya
menangis.
Pada saat ditanyakan, apakah Pipit suka menanyakan
tentang Ibunya? Bi Iyah memberikan jawaban yang cukup
mengagetkan, Tidak sama sekali. Jadi selama ini pipit tidak
pernah menanyakan Ibu kandungnya. Kalu ditanya siapa Ibu dan
bapaknya, pasti jawabnnya adalah Mimi iyah dan bapa Win, tak
sekalipun jawabnnya mimi Nur. Tentang Bapak kandung Pipit, Bi
Iyah menceritakan bahwa sejak kelahiran Pipit ia sudah langsung
ditinggal oleh bapak kandungnya. Melihat wajahnya pun
nampaknya Pipit belum pernah sama sekali,
Lebih lanjut Bi iyah bercerita tentang bebannya dalam
oengasuhan ini. Sampai usia 6 tahun seperti sekarang masih
menggompol, bahkan semalam bisa sampai dua tiga kali. Tidak
pernah menggunakan diapers, suka tidak betah katanya. Serba
134
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
salah namanya mengasuh anak orang lain. Kadang Bi Iyah ingin
menunjukkan ketegasannya dalam mendidik fitri, namun suka ga
enak kalau ketahuan orang lain. Ketika sedikit keras, kurang enak
kalau ketahuan tetangga. Kalau nangis karena minta uang jajan,
dan tidak dikasih ga enak lagi, padahal mintanya terus-terusan.
Lebih enak mengasuh anak sendiri, ungkapnya kemudian, mau
marah atau tidak biasanya orang tidak akan komentar.
Informasi lain didapatkan dari bi Iyah, tentang anak-anak
lain yang senasib dengan Pipit. Bi Iyah bercerita bahwa cukup
banyak anak yang sering ditinggal oleh orang tuanya. Wajar saja
karena migrasi nampaknya sudah menjadi mata pencaharian
yang diminati oleh masyarakat Desa Dukuh Widara. Masalah
muncul dalam perkembangan mereka. Rata-rata mereka tumbuh
menjadi remaja yang “nakal” dan kalau sudah besar tidak tahu
sopan santun. Tetapi informasi ini hanya sefihak saja. Salah satu
jenis kenakalan mereka antara lain minum-minum pil ekstasi
bahkan ada salah satu kasus yang sampai meninggal setelah
mabuk-mabukan. Selain itu ada juga kasus kehamilan diluar
nikah. Menurut Bi Iayh itu disebabkan kurangnya pengawasan
dari orang tua atau orang yang menggantikannya sebagai orang
tua. Mereka anak laki-laki dan anak perempuan sama-sama
sekolah, tapi setelah itu pada main-main. Menurut Bi Iyah,
namanya tinggal bersama nenek atau orang lain selain ibu, yang
penting adem dan tercukupi kebutuhan makan dan jajannya.
Jika dianalisis lebih lanjut, berkaitan dengan pola asuh
orang tua yang dialami oleh balita dan anak yang ditinggal
migrasi khususnya oleh ibunya, maka ada beberapa akibat yang
langsung bisa dirasakan pada kasus tersebut antara lain tidak
diberikannya asi kepada balita yang akan berakibat pada
pemberian susu formula, dengan riisko pengenceran susu
formula, dikarenakan keterbatasan daya belinya dan beberapa
135
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
program imunisasi tidak dilakukan karena takut kalau anak
menjadi sakit.
Tentang pola asuh khususnya aspek asuh, dalam
pemenuhan kebutuhan makan, peneliti mendapatkan informasi
berdasarkan wawancara mendalam pada Ibu Tur (37 tahun).
Pertemuan kami dengan Ibu Tur sebenarnya tidak disengaja.
Siang itu, kami sedang menunggu seorang ibu hamil, Ibu Nina.
Ibu Nina, yang menurut informasi yang kami terima dari dukun
bayi , Bi Iyah bahwa Ibu nina mau dioyog.Pada saat kami temui di
rumahnya, ternyata Ibu Nina belum pulang dari bantaran sungai,
membantu suami mencetak batu bata. Menurut adik Ibu Nina,
kebiasaannya ibu Nina akan pulang sekitar jam 12.00 siang.
Karena waktu itu sudah menunjukkan pukul 11.00, kami pun
sepakat untuk menunggu kepulangan Ibu Nina dari bantaran
sungai. Bi Iyah pulang ke rumahnya yang berada tidak jauh dari
rumah Ibu Nina.
Kami menunggu kedatangan Ibu Nina di sebuah warung
yang tidak lain adalah warung Ibu Tur. Ibu Tur, belum lama
memiliki usaha warung jajanan, baru sekitar 3 tahun yang lalu.
“Lumayan mba, saya dikasih pinjem modal jadi bisa buka warung,
lumayanlah mba, anak-anak ga usah beli lagi kalau mau jajan.”
Banyak cerita yang disampaikan oleh Ibu Tur, baik tentang
kesehatanya, bagaimana penggunaan jamban, kebiasaan
merokok dan lain-lainnya. Yang menarik Ibu Tur bercerita tetang
bagaimana pola asuhnya terhadap anak-anaknya.
”Kalau tentang makan, anak-anak saya doyan banget
sama mie instan, tiap hari mba, makan mie instan, malah
katanya kalau ndak makan mie, rasanya ga enak”.
Selanjutnya Ibu Tur bercerita, bahwa anaknya pernah
sakit types. Ibu Tur memiliki 3 anak laki-laki, dan
ternyata yang menderita penyakit types, adalah kedua
anaknya.
136
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
“Anak saya susah makan mba, sehari ga makan kuat, tapi
yaiku kalau ga makan baru meraas ga kuat.”
Ternyata konsumsi mie instan yang cukup sering juga
dialami oleh anak-anak lain. Salah satunya dialami Tini. Tini,
seorang anak perempuan berumur 11 tahun, kelas 5 MI desa
tersebut. Tubuhnya sangat tinggi, sekitar 150 cm, dengan berat
badan hanya 25 kg. Tini, bercerita bahwa dia jarang makan nasi.
Makanan ya jajan-jajan saja, karena kebetulan ibu tini juga
penjual jajan-jajan anak. Sarapan juga jarang. Sedikit berbeda
dari putra Ibu Tur, tini belum pernah sakit perat seperti types,
diare dan lain-lain. Jenis sakit yang pernah di derita umumnya
hanya batuk, pilek sama panas ringan. Dalam mengikuti kegiatan
pembelajaran di sekolah Tini juga nampaknya tidak memiliki
hambatan yang berarti.
Pola asuh dalam pemberian makanan sedikit berbeda
kami dapatkan dari Ibu As. Ibu As mengasuh cucunya, Dewi,
karena ibunya pergi menjadi TKW ke Singapura. Dewi, anak usia 4
tahun, dan menurut keterangan Ibu As, Dewi memiliki berat
badan 25 kg, nampak gendut memang. Ibu As, bercerita bahwa
konsumsi susu formula yang sangat banyak, satu bungkus susu
formula 800 gram habis 2 hari. Namun demikian walaupun
mengkonsumsi susu formula, tetapi pola makan Dewi sangat
bagus. Pada saat kita bertemu Ibu As, Ibu As, sedang membawa
semangkok nasi putih, dilengkapi sayur dan telur dadar.
“Makannya banyak mba, segini (sambil menunjukkan
mangkok berukuran sedang dan tinggal 1/3-nya) tadinya
penuh, ya makannya sambil jalan-jalan, tapi ya
Alhamdulillah habis. Makannya 3 kali sehari, jadi ya
kayak gini badannya gemuk.”
Selanjutnya Ibu As, bercerita bahwa ia merawat cucunya
dengan penuh kasih sayang, cucunya tidak pernah nakal dan
137
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
selalu menyenangkan. Ibunya Dewi menjadi TKW sejak Dewi
berusia 2 tahun, jadi dari 2 tahun itu ia bersama saya.
”Kebetulan saya pernah menjadi TKW dan saya
merasakan namanya ninggalin anak, rasanya kayak
gimana. Jadi sekarang, saya ganti mengasuh cucunya,
dengan penuh kasih sayang, ditlateni makannya,
walaupun sambil puter-puter.”
Kemudian Ibu As bercerita bahwa semua itu Ibu As
lakukan agar cucunya sehat tentunya dan yang tidak kalah
peting, agar anaknya tenang disana. “Kalau cucunya disini sehat
ya, pasti ibunya juga kan tenang.
3.1.8.2. Penyakit dan Pola pengobatan
Berdasarkan profil Puskesmas kalibuntu tahun 2013,
untuk Desa dukuh Widara terdapat kasus Pneumonia yang cukup
besar. Jumlahnya mencapai 18 kasus. Tidak ditemukan kasus
kematian pada penyakit ini. Selain itu terdapat kasus BGM
(Bawah Garis Merah) 1 orang
3.1.8.3. Kegiatan Pemantauan Tumbuh Kembang
Posyandu mawar, terletak ± 500 meter arah Utara
Puskesmas Kalibuntu. Posyandu mawar adalah salah satu
Posyandu yang ada di blok pon. Posyandu juga dihadiri ibu bd
halimah dan ibu bidan atin dari Puskesmas dukuh widara. Selain
itu kegiatan ini juga dihadiri oleh ibu kuwu (ibu kepala desa) yang
juga ikut membantu pelaksanaan Posyandu.
Sebagaimana kegiatan di Posyandu lain, kegiatan
Posyandu mawar dilakukan dengan 5 meja. Masyarakat
nampaknya cukup antusias dengan adanya Posyandu ini, terbukti
dengan masih banyaknya bayi/balita yang datang ke Posyandu
mawar, walaupun mereka hanya ditimbang saja. Selain itu
138
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
mereka juga faham bahwa datang ke Posyandu itu sampai usia 5
tahun. Kerjasama juga terlihat dengan datangnya ibu guru, dari
salah satu PAUD yang terdekat. Ibu guru dari PAUD tersebut
datang dengan membawa daftar isian nama murid yang akan
ditimbang. Hasil catatan penimbanganpun, dicatat di buku
catatan sekolah sebagai upaya pemantauan tumbuh kembang
balita.
Gambar 3.3.
Kegiatan Posyandu di Desa Dukuh Widara
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
3.2. Penyakit Menular
Berdasarkan profil Puskesmas Kalibuntu, penyakit
menular yang terbanyak pada orang dewasa adalah penyakit TB
Paru. Berdasarkan data tersebut ditemukan 6 orang dengan
penyakit TB Paru dan keseluruhannya dinyatakan sembuh. Tidak
ada kematian pada penderita yang disebabkan penyakit ini.
Pada pengambilan data tentang penyakit tidak menular
ditanyakan beberapa informasi kepada para penderita atau
139
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
keluarganya. Berbagai hal yang digali dalam penelitian ini
meliputi:
1) Penggalian pemahaman masyarakat lokal tentang padanan
kata/sebutan untuk penyakit-penyakit tersebut dalam bahasa
setempat, gejala-gejala dan penyebab, termasuk didlamnya
terkait dengan kepercayaan masyarakat lokal.
2) Penggalian informan tentang pengalaman dan pengetahuan
mereka tentang penyakit tersebut.
3) Penggalian informasi tentang pola pengobatan yang
dilakukan informan maupun masyaakat sekitarnya, baik dari
sisi tradisional, swamedikasi hingga pengobatan modern.
4) Penggalian informasi tentang bagaimana pencegahan dan
tindakan preventif terhadap penyakit dan gejala tersebut.
5) Penggalian tentang pantangan dan anjuran bila seseorang
mengalami penyakit tersebut dan gali tentang alasan-alasan
mereka dan apakah ada sanksi/akibat bila melanggarnya
6) Penggalian tentang persepsi atau anggapan tertentu di
masyarakat setempat terhadap penyakit tersebut? apakah
makna dari pelanggaran tersebut?
3.2.1. TB Paru
Berdasarkan profil Puskesmas Kalibuntu, penyakit
menular yang terbanyak pada orang dewasa adalah penyakit TB
Paru. Berdasarkan data tersebut ditemukan 6 orang dengan
penyakit TB Paru
Salah seorang penderita penyakit Tb paru yang kita temui
di Desa Dukuh Widara adalah Mbok Saeni. Mbok Saeni menyebut
penyakit yang dialaminya ini adalah flek dan mulai merasakan
sakit diawali dengan gejala atau keluhan badan lemes-lemes,
sampai-sampai ga bisa bangun. Pada saat itu Mbok Saeni
dipanggilkan mantri oleh anaknya, dan setelah pemeriksaan
140
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
bapak mantri itu menyarankan kepada mbok Saeni untuk
melakukan pemeriksaan lebih lengkap ke dokter/Puskesmas
untuk mengetahui penyebab penyakitnya. Menurut pa mantri
tersebut,pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan dahak.
Pada hari besoknya Mbok Saeni dengan ditemani oleh
anaknya melakukan pemeriksaan ke Puskesmas. Hasil
pemeriksaan dinyatakan bahwa mbok Saeni positif mengalami
flek dan harus melakukan pengobatan selama 6 bulan.
Pengobatan tersebut menurut dokter diPuskesmas wajib diikuti
agar memperoleh kesembuhan yang maksimal.
Pada saat ditanyakan tentang penyebab penyakitnya,
Mbok saeni menjawab,
“Pikirannya terlalu Mba, (sambil tersendat) pikirannya
terlalu mikirin anak, jadi ga pernah makan, pusinglah,
jadinya kondisinya ngedroplah, sampai pernah pingsan,
dua kali pingsannya, ya saya baru ditinggal suami, anak
juga begitu, jadi ya pusinglah”
Jadi menurut Mbok saeni penyakit ini disebabkan karena
banyak pikiran, banyak memikirkan anaknya, terutama
anakpertamanya. Pada waktu itu anak saya yang pertama (Mbak
Pur, 38 tahun), pergi menjadi TKW sehingga semua anak-anaknya
tinggal bersama dan lelah juga sepertinya karena banyak
pekerjaan dan mengasuh cucu/anak juga.
Mbok Saeni adalah seorang janda yang harus menghidupi
ketiga anaknya. Suami Mbok Saeni meninggal dikarenakanstroke.
Menurut Mbok Saeni, kondisi tersebut menyebabkannya harus
menanggung seluruh biaya hidupnya sendiri. Dengaan posisinya
kini Mbok saeni, mengalami beban ganda
Dengan semua pemahaman tentang penyakitnya itu,
Mbok Saeni kemudian menuruti berobat ke Puskesmas selama 6
bulan berturut-turut. Dan setelah mejalani pengobatan selama 6
bulan berturut-turut, Mbok Saeni dinyatakan sembuh dari flek
141
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dengan hasil pemeriksaan dahak yang negative. Selama sakit ini,
peran Mbok Saeni sebagai dukun bayi digantikan oleh Bi Arofah
(47 tahun) adik kandung mbok saeni.
Penyakit paru-paru di desa ini disebut juga sama sebagai
penyakit paru-paru. Penderita TB Paru yang lainnya ketika
ditanya mengenai bagaimana gejala dari penyakit TB Paru,
mereka sudah mengetahui gejala penyakit ini berdasarkan
pengetahuan dan pengalaman pribadi menderita penyakit ini ,
yaitu batuk , keluar dahak/dahak bercampur darah, batuk-batuk,
kepala pusing, dada suka terasa sakit, nafas terasa sesak,
tidak/kurang nafsu makan, berat badan turun, dan malam hari
selain batuk juga badan keringatan. Pola pengobatan yang
dilakukan setelah batuk lama dan tidak sembuh-sembuh setelah
menggunakan obat warung dan apabila masih belum sembuh,
penderita berobat ke Puskesmas, dan diPuskesmas dilakukan
tahapan pengobatan sesuai program di Puskesmas, ada keluhan
batuk sudah lebih dari 2 minggu, maka dilakukan pemeriksaan
dahak.
Apabila hasil pemeriksaan dahak negative, tapi batukbatuk belum sembuh, maka selanjutnya dianjurkan untuk
pemeriksaan rontgen paru. Fasilitas Puskesmas Kalibuntu masih
memiliki keterbatasan untuk pemeriksaan rontgen paru yang
masih belum tersedia. Sehingga akan diberikan rekomendasi
rujukan untuk dilakukan rontgen paru di Rumah Sakit Waled,
sebagai rumah sakit daerah Wilayah Kabupaten Cirebon atau di
fasilitas kesehatan lainnya. Bagi penderita yang sudah dinyatakan
positif menderita penyakit paru-paru ini selanjutnya akan
diberikan paket terapi pengobatan oral (obat yang diminum)
selama 6 bulan. Biasanya obat diberikan untuk satu minggu
sekali, sehingga sebelum obat habis penderita sudah harus
memeriksakan diri, dan mendapat obat untuk minggu berikutnya,
sehingga konsumsi obat tidak akan terputus. Anjuran dari
142
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Puskesmas terhadap penderita penyakit paru-paru, adalah harus
banyak istirahat, tidak boleh cape-cape dan banyak makan, dan
obat paket yang diberikan dari Puskesmas, harus diminum setiap
hari dan tidak boleh terputus, agar pengobatan tidak diulang dari
awal kembali. Dan hal ini sudah mereka sadari. Dari beberapa
informan, Pengobatan tradisional untuk meningkatkan nafsu
makan yang kadang dikonsumsi warga adalah jamu jampi usus,
yang dipercaya baik untuk pencernaan. Penyakit paru-paru ini
sudah diketahuimasyarakat disana merupakan penyakit menular,
dan bukan merupakan penyakit turunan, sehingga terkadang
penderita harus dipisah kamarkan dengan anggota keluarga yang
lain, namun kenyataannya masih tetap masih dalam rumah, dan
ternyata menurut informan bahwa anggota keluarga dalam satu
tempat tinggal tersebut tidak tertular. Bagi mereka masih
percaya bahwa tertular dan kematian dipasrahkan kepada sang
pencipta, dan terpenting penderita masih mempunyai semangat
untuk sembuh, terus berobat dan walaupun konsumsi obat
setiap hari, bukan merupakan suatu yang menyenangkan.
Apabila setelah pengobatan 6 bulan selesai, penderita dianjurkan
untuk pemeriksaan laboratorium ulang yaitu pemeriksaan dahak
dan rontgen ulang, untuk melihat apakah masih positif atau
sudah negatif penyakit paru-paru. Namun kenyataan di lapangan,
masih ada penderita yang merasa yakin bahwa jika nafsu makan
sudah meningkat, berat badan juga sudah bertambah, merasa
bahwa mereka sudah sembuh dari penyakit paru-paru tersebut,
sehingga tidak perlu lagi dilakukan pemeriksaan ke Puskesmas
lagi, khususnya untuk pemeriksaan dahak dan pemeriksaan
rontgen.
143
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
“Kalau Sudah enam bulan suruh rontgen lagi. Tapi sudah
sembuh mesti belum rontgen lagi. Soalnya berat badan
sudah naik, nafsu makan baik”69
3.2.2. Kusta
Salah satu jenis penyakit menular yang ada di DesaDukuh
Widaraadalah penyakit kusta, selain penyakit TB dan Penumonia.
Menurut Bp As, salah seorang petugas/perawat di Pusesmas
Kalibuntu, yang merupakan penanggungjawab penyakit kusta,
mengatakan bahwa penderita penyakit kusta didesa dukuh
widara sebenarnya banyak, hanya susah dijaring karena mereka
belum merasakan keluahan.
“Pernah saya mendatangi mereka, orang-orang yang
mengalami bercak putih/merah dan mengkilap, saya
kumpulkan dan saya berikan kepada mereka
penyuluhan. Mereka mendapat informasi bahwa gejala
seperti bercak putih/merah mengkilap yang dialaminya
merupakan penyakit kusta dan bisa diobati di
Puskesmas, eh malah mereka ga terima mbak (sambil
tertawa), sampai-sampai mereka tidak membukakan
pintu mbak, biar terkesan tidak ada orang, padahal saya
tahu mbak, mereka ada didalam rumah, akhirnya ya
sudah, saya berhenti saja, wong mereka ga butuh saya,
saya ngobati yang butuh saya saja, dari pada saya diusirusir seperi orang yang cari sumbangan.”
Salah seorang penderita penyakit kusta di Desa dukuh
Widara adalah Dindin, 28 tahun. Ia masih lajang, merupakan
putra pertama dari empat bersaudara. Orang tua tinggal ibunya
saja sedangkan bapaknya sudah meninggal dikarenakan
tersengat aliran listrik, ketika sedang membetulkan listrik.
69
Sumber: Wawancara dengan Tarso
144
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Dindin nampak kebingungan saat ditanyakan tentang
bagaimana awal sakit yang dialaminya. “Bingung Mbak, mau
mulai darimana,” katanya kemudian. saya sudah setahun ini
berobat ke Puskesmas
Suasana nampak sedikit kaku. Dindin lebih sering
menunduk, menatap tikar alas tempatnya duduk. Dindin
menampakkan ekspresi kurang percaya diri/minder. Hal tersebut
sama dengan informasi yang kami dapatkan dari Bp Asep, selaku
petugas yang bertanggungjawab dalam pengelolaan penyakit
tersebut. Mengamati situasi tersebut, obrolan dialihkan kepada
aktivitas sehari- hari Dindin. Dindin bercerita bahwa ia dahulu
kerja di bandung di warung makan selama setengah tahun.
Setelah itu pulang ke desa. Dindin mengungkapkan bahwa ia
cepat bosan dengan pekerjaan tersebut. Tak berapa lama dari
itu, Dindin kembali merantau ke Jakarta. Di Kota metropolitan
tersebut Dindin berganti-ganti pekerjaan, di proyek bangunan,
bekerja sebagai pelayan di sebuah toko material. Pokoknya
berganti-ganti, ungkapnya kemudian. Pada saat ditanya tentang
aktivitasnya saat ini, Dindin mengungkapkan bahwa sejak sakit ini
ia tidak bisa memiliki aktivitas yang menetap. Jadi hanya bantubantu saaj, menjadi kuli saja. Ia jalani pekerjaan tersebut jika, ada
muatan, seperti batu bata atau muatan kayu.
Dengan berbagai obrolan tersebut, nampak suasana
waktu itu mulai cair, dan obrolan pun dilanjutkan terkait dengan
kondisi Dindin saat ini. Didin bercerita bahwa iam mulai ke
puskesms sekitar tahun 2013 , jadi sudah selama 1 tahun bulan
empat dan datang kesana setiap minggu. Sampai sekarang masih
berobat jalan, ungkapnya. Pada saat ditanyakan tentang
penyakitnya, Dindin menjawab, bahwa ia mengalami penyakit
kista, “eh, kusta, maksudnya mb.” Katanya meluruskan
Didin bercerita bahwa ia mengetaui penyakitnya tersebut
dari tetangganya. Pada saat itu Didin mengalami bengkak145
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
bengkak di muka, ditambah perasaan badan yang kurang enak,
“abot” badan terasa berat. Melihat berbagai gejala tersebut,
tetangga yang tidak lain adalah saudara Didin menyarankannya
untuk ke Puskesmas. Nyata saja berdasarkan hasil pemeriksaan di
Puskesmas Didin dinyatakan postif mengalami kusta.
Menurut Bp Asep, Didin termasuk salah satu penderita
kusta yang sangat aktif, bahkan hampir tidak pernah terlewatkan
jadwal kontrolnya. Setiap minggu pasti datang atau paling tidak
pada saat obatnya habis. Keinginannya Cuma satu yaitu sembuh
total. Setelah sembuh maka Didin akan membantu Ibunya untuk
mencari nafkah.
Mengenai penyebab penyakitnya, seprtinya Didin telah
menanyakan hal tersebut kepada petugas kesehaatn.
Menurutnya, penyebabnya adalah bakteri. Beberapa waktu yang
lalu, memang pernah ada di blok yang sama, didekat rumahnya,
tetangganya, orang yang menderita penyakit yang sama.
Tetangga Didin kini telah sembuh total, dan bahkan sering
memberikan motivasi kepaad Didin untuk selalu semangat
menjalani pengobatan.
Pada awalnya tidak ada tetangganya yang lain yang
mengetahui penyakitnya, namun lama-kelamaan tetangga
banyak yang mengetaui bahwa Didin menderita penyakit kusta,
terlebih ketika tubunya mengalami perubahan warna, menjadi
kehitam-hitaman sebagai efek drari konsumsi obat tersebut.
Kondisi ini membuat Didin semakin berkecil hati, terlebih ketika
satu per satu temannya mulai menjauhinya. Saat ada temannya
yang bergerombol, main bersama, pasti akan segara
membubarkan diri saat Didin menghampirinya.
“Saya dijauhi temaen-temen mbak, pas sakit ini, boroboro punya cewek, kulitnya saja begini Mbak (sambil
menunjukkan lengan kanannya, yang tampak kulit lebih
gelap dan bersisik). (terlihat linangan air mata di kedua
146
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
sudut matanya) Saya sendiri saja merasa jijik lihatnya.
Ada sih, temen-temen yang masih mau main, tapi ndak
banyak . Ya, cuman di depan kios yang pinggir jalan itu,
saya bisa nongrong.”
Gejala yang menurut Didin paling parah dialaminya
adalah rasa lemas di badan, tidak bisa beraktivitas apapun dan
juga sakit telapak kaki. Didin pun telah memahami komplikasi
terburuk penyakit yang dialaminya, yaitu kelumpuhan, hilangnya
fungsi tangan kaki bahkan hilangnya kaki atau tangannya. Selain
itu kebutaan juga difahami oleh Dindin sebagai komplikasi dari
penyakit kusta yang diaalminya.
Jika diuraikan kembali tentang kegelisahan Dindin, selain
dijauhi teman-temannya, adalah fisik yang seolah tidak bisa daajk
kompromi, badannya lemas banget, terutama saat Dindin
melakukan aktifitas yang berat, seperti menjadi kuli
mengganggkut batu bata. Seperti uumnya laki-laki, Dindin juga
ingin merokok, namun hal yang sama juga dialaminya seperti
kalau dia melakukan aktivitas berat.
Tentang pantangan makanan, Dindin bercerita bahwa
menurut petugas kesehatan, bahwa tidak ada pantangan
makanan untuk penderita kusta seperti dirinya, namun, Dindin
merasa perlu memantang kopi. Sama, badannya kembali lemas
jika mengkonsumsi kopi, Selain itu Dindin juga memantang pada
dirinya untuk tidak berjemur di panas matahari, rasanya
badannya sakit semua.
Dindin juga bercerita, bahwa perasaannya sering sedih,
terutama pada pagi hari. Pada waktu pagi, ia akan merasa
sendiri, kalau siang dan sore, ia akan menghabiskan waktunya
bersama temen-temennya yang tinggal segelintir di warung
depan gang. Pada pagi hari ia sering memikirkan penyakitnya,
bagaimana caranya biar sembuh dan memikirkan sebagai anak
pertama punya adik banyak dan tidak memiliki penghasilan yang
147
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
jelas. kasihan sama ibunya, katanya kemudian (tampak linangan
air matanya di kedua sudut matanya).
Selain Didin, salah satu penderita kusta di Desa Dukuh
Widara adalah dara (10 tahun). Sebenarnya telah beberapa kali
dilakukan untuk mencari rumah Dara, namun selalu gagal.
Akhirnya data tambahan tentang nama orang tua ida didapatkan
dari Bp Asep, tenaga kesehatan Puskesmas yang menjadi
penanggungjawab kusta. Pada sore itu tanggal 31 Mei 2014,
kunjungan dilakukan ke rumah Dara.
“Assalamu’alaikum”, suara kami memecah kesepian siang
hari itu”. Beberapa kali belum juga ada jawaban, namun tidak
berapa lama, ada seorang ibu paroh baya yang sedang
menggendong bayinya, nampaknya memperhatika kami dari tadi.
“Mau ketemu siapa, mbak”? O, Iya ibu, kami mau ketemu Ibunya
Dara. Oooo, kemudian dipanggillah ibunya Ida dengan suara yang
lebih lantang lagi. Tak berapa lama, Ibu Dara dari rumahnya.
Setelah menjelaskan asal, maksud dan tujuan kunjungan
siang itu, Ibu dara akhirnya mengawali ceritanya tentang Dara.
LaIu Dara bercerita bahwa Dara terkena penyakit kusta. Penyakit
ini adalah penyakit menular. Jadi memang ada anggota keluarga
lain yang kena? Adik, di Jakarta, itu juga baru ketahuan katanya.
Ibu dara endiri mengatakan belum melihat kondisi terakhir
adiknya, hanya kabar yang sampai bahwa adiknya juga sakit yang
sama. Setelah diperiksa dokter di sana di jakarta, katanya
penyakit kusta.
Menurut Ibu dara, putrinya dara juga sakit yang sama,
tetapi sudah mengenai ujung jari, artinya sudah ada kecacatan
pada ujung jari pada tangan kanannya. Pesan dari petugas
keehatan yang menangani penyakit putrinya, agar setiap malam,
tangannya yang sebelah kanan untuk selalu diurut agar
peredaran darah menjadi dan tangannya lemas kembali, tidak
seperti sekarang yang kaku, sehingga sulit untuk digerakkan.
148
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Sudah beberapa hari ini ternyata Dara tidak masuk
sekolah. Baik pihak sekolah terutama guru maupun teman-teman
nya telah memahami alasan kenapa dara tidak masuk sekolah.
Menurut salah satu guru senior di sekolah tersebut, memang
kalau dilihat dari ketidakhadirannya frekuansinya cukup sering.
Mereka sangat maklum dengan hal ini. Ketidakhadiran Dara pada
minggu-minggu ini, disebabkan penyakit yang dialaminya
kambuh.
Kegiatan ujian kenaikan kelas yang akan dilaksanakan
pada pekan depan. Apabila sedang kambuh seperti ini dara akan
mengeluh sakit pada tangannya, dan mlentung (bengkak yang
transparan berisi air, miriip dengan efek luka bakar, dalam
bahasa medis: bulla) Sudah satu bulan lebih Dara tidak
mengalami kekambuhan, dan baru sekarang lagi. Selama ini
cukup sulit untuk memberikan obat padanya, sepertinya Dara
sudah bosan dengan obat yang selama ini ia konsumsi. Tetapi
ibunya tidak patah semangat, bujukan dan bahkan ancaman tidak
diperbolehkan sekolah sering dilakukan ibunya agar Dara mau
minum obat. Dan biasanya cara terakhir akan manjur. Dara akan
meminum obat jika ia dipaksa tidak boleh sekolah jika tidak
minum obat. Menurut ibunya, Dara sepertinya juga tidak bisa
mengikuti ujian kenaikan kelas yang akan dilaksanakan pekan
depan. Bahkan terkadang ancaman ibunya, walaupun ngendok
(tidak naik kelas) juga tidak apa-apa, karena kebanyakan teman
sebayanya masih kelas 4, satu tingkat dibawah Dara yang kini
telah duduk di kelas 5.
Tentang penyebab, setahu ibunya bahwa penyebab sakit
Dara adalah bakteri, akan tetapi ia lupa nama bakterinya apa. Ibu
Dara pernah mendapat penjelasan dari petugas kesehatan
Puskesmas yang memeriksa Dara. Para tetangga juga telah
mengetahui keberadaan Dara dan kondisi penyakit yang
dialaminya. Kebanyakan tetangga bersikap biasa saja, tetapi
149
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
memang ada yang bilang bahwa penyakit yang diderita Dara
adalah penyakit menular, dan cenderung menyuruh anakanaknya untuk menghindar atau menjauhi Dara. Namun menurut
ibunya teman-teman Dara masih bersikap biasa, main ya main.
Dara memiliki riwayat pengobatan yang cukup banyak.
Dara pernah dirujuk ke rumah sakit di Kota Cirebon, pada saat
penyakitnya lagi parah. Pada saat itu , Dara juga mendapatkan
sabun khusus anak-anak karena katanya punya alergi. Selain itu
ia juga mendapatkan salep kulit. Salep ini cukup efektif untuk
mengobati keluhan-keluhan seperti di atas. Salep ini belum
pernah didapatkan di Puskesmas. Pada waktu d rawat rumah
sakit, Dara didiagnosa mengalami kusta.
Informasi tentang gejala awal penyakit diceritakan oleh
ibu Dara, bahwa yang paling pertama mengetahui penyakit Dara
adalah ayahnya. Pada waktu itu, ibunya Dara bekerja ke oman,
Arab saudi sebagai TKW. Munculnya gejala sakit pada waktu itu
adalah bercak putih seperti panu yang merata hampir semua
badannya dan plentung plentung (bengkak yang menyerupai
bengkak pada luka bakar). Beberapa kali telah diberikan obat ke
apotek tapi tidak sembuh. Ibu Imah, sebagai guru wali kelas Dara,
menyarankan kepada keluarga, yang paad waktu itu diwakili
suaminya untuk memeriksakan kondisi Dara ke Puskesmas,
karena penyakit ii berbahaya katanya. Ayah Dara dengan
ditemani oleh Ibu Imah memeriksakan Dara ke Puskesmas
setempat. Benar saja berdasarkan hasil pemeriksaaan yang
dilakukan ternyata dara menderita penyakit kusta.
Apabila kondisi Dara sedang kumat, maka Ibunya akan
memperlakukan Dara seperti bayi, karena memang keluhan itu
menyebbakan Dara sulit untuk merawat diri, maka mulai dari
mandi, Buang Air besar dan kecil, ganti baju dan lain-lain, semua
dikerjakan oleh Ibu Dara. Selain mengkonsumsi obat dari
150
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Puskesmas, ayah Dara tetap membelikan salep untuk mengobati
seluruh kulit yang bengkak-bengkak.
Tentang pantangan makanan, menurut petugas
kesehatan di sana, tidak ada pantangan makanan pada penderita
kusta. Namun demikian ibu Dara jarang memberikan ikan, bukan
karena pantangan, akan tetapi karena Dara kurang suka
mengkonsumsinya. Jenis makanan yang lain, seperti tahu, tempe
bahkan ayam juga mash sering dikonsumsi Dara, dan nampaknya
tidak ada hal yang membuatnya berpengaruh.
Semenejak kondisi dara yang seperti ini, Ibu Dara tidak
pernah lagi memiliki rencana untuk berangkat ke luar negeri lagi.
Dulu saya berangkat karena tuntutan anak yang sekolah di
pesantrean yang aga banyak. Jadi perlu biaya tambahan, kalau
tidak pergi ke luar, rasanya tidak ada jalan, memerlukan biaya
mahal. Pernah Ibu Dara mendapatkan informasi tentang adanya
obat herbal yang dalam bentuk spray. Obat itu katanya sangat
ampuh utuk menyembuhkan berbagai penyakit termasuk kusta.
Cara kerja obat tersebut adalah dengan merangsang hormon
pertumbuhan.
Upaya pengobatan alternatif sebenarnya juga ingin
dilakukan oleh Ibu dara. Namun informasi yang sampai
kepadanya, obat-obat alternatif dalam bentuk herbal.
Pengecekan tentang kebiasaan Dara di sekolah, dilakukan
dengan melakukan kunjungan kepada salah seorang guru yang
merupakan guru kelas Dara. Ibu, Imah memang sangat perhatian
dengan semua murudnya termasuk Dara. Bahkan Dara sampai
diketahui pmenderita kusta, juga dari Ibu Imah yang mempunyai
inisiatif membawa Dara ke Puskesmas untuk melakukan
pemeriksaan. Sejak positif didiagnosa kusta, Ibu Imah selalu
memotifasi dara dan ayahnya (sewaktu ibunya belum pulang dari
Arab) untuk memeriksakan ke Puskesmas dan meminum obat
yang disarankan.
151
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Walaupun dalam kondisi sakit, Dara ternyata masih
bersemangat mengikuti berbagai kegiatan di Sekolah. Hanya
memang kelihatan sekali minder/tidak percaya diri. Kondisi
tersebut terlihat dengan Dara sering memisahkan diri dari
teman-temannya, bahkan saat istirahatpun dara lebih senang
didalam kelas dibandingkan bermain bersama teman-temannya.
3.3. Penyakit Tidak Menular
Berbagai jenis penyakit tidak menular yang dominan
dialami di masyarakat Desa Dukuh Widara berdasarkan profil
kesehatan Kalibuntu tahun 2013 antara lain: diabetes mellitus,
hipertensi, stroke dan penyakit gangguan jiwa. Berdasarkan profil
tersebut didapatkan jumlah penderita diabetes mellitus,
hipertensi, stroke dan penyakit gangguan jiwa
Pada pengambilan data tentang penyakit tidak menular
ditanyakan beberapa informasi kepada para penderita atau
keluarganya. Berbagai hal yang digali dalam penelitian ini
meliputi:
1) Penggalian pemahaman masyarakat lokal tentang padanan
kata/sebutan untuk penyakit-penyakit tersebut dalam
bahasa setempat, gejala-gejala dan penyebab, termasuk
didlamnya terkait dengan kepercayaan masyarakat lokal.
2) Penggalian informan tentang pengalaman dan pengetahuan
mereka tentang penyakit tersebut.
3) Penggalian informasi tentang pola pengobatan yang
dilakukan informan maupun masyaakat sekitarnya, baik dari
sisi tradisional, swamedikasi hingga pengobatan modern.
4) Penggalian informasi tentang bagaimana pencegahan dan
tindakan preventif terhadap penyakit dan gejala tersebut.
5) Penggalian tentang pantangan dan anjuran bila seseorang
mengalami penyakit tersebut dan gali tentang alasan-alasan
mereka dan apakah ada sanksi/akibat bila melanggarnya?
152
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
6)
Penggalian tentang persepsi atau anggapan tertentu di
masyarakat setempat terhadap penyakit tersebut? apakah
makna dari pelanggaran tersebut?
3.3.1. Hipertensi
Ibu, Tur 37 tahun mengalami hipertensi atau yang disebut
oleh ibu Tur tensinya tinggi. Menurut Ibu Tur tidak ada istilah
bludrek, kata Ibu Tur seperti ini “Saya tidak mengenal istilah
bludrek mba, itu sebutan jaman dulu.” Ibu Tur mengakui sering
mengalami kejadian ini jika terasa cape, pas banyak pikiran,
stress sama urusan keluarga. Gejala yang sering dirasakan saat
kumat adalah pusing/puyeng. Upaya pengobatan yang biasa Ibu
Tur lakukan adalah minum obat warung dulu, kalau obat sebut
tidak cocok baru ke fasilitas kesehatan, bisa ke Puskesmas atau
ke bidan.
“Kalau sakit yang ini, ga pernah ke alternatif, pernah ke
alternatif atau ke tabib waktu sakit amandel, memang
sih adem rasane mbak, tapi ya ga sembuh”.
Menurut Ibu Tur, cara mencegah agar tidak mengalami
penyakit ini adalah tidak banyak pikiran, yang namanya masalah
tiap orang pasti ada, tetapi harus tetap tenang kuncinya. Kalau
hati tenang, biasanya ga akan puyeng, pasti tensinya turun. Yang
pastimenurut ibu Tur, jangan sampai melanggar pantangan
seperti banyak makan asin, makan jeroan dan yang paling
penting ya itu tadi jangan banyak pikiran. Penyakit hipertensi di
desa ini disebut penyakit darah tinggi. Berdasarkan pengalaman
dari informan sebelum diketahui nya bahawa mereka menderita
penyakit ini, ada beberapa gejala yang mereka alami, misalnya
sakit kepala, pusing, dan susah tidur pada malam hari.
153
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Setelah dilakukan pemeriksaan ke Puskesmas atau tenaga
kesehatan, penderita penyakit ini dianjurkan agar tidak
mengkonsumsi makanan yang asin-asin, daging kambing, dan
goreng-gorengan.
3.3.2. Diabetes Mellitus
Salah satu peyakit tidak menular yang banyak dijumpai di
Desa Dukuh Widara adalah Diabetus Melllitus. Keberadaan
penderita penyakit tersebut tercatat di Puskesmas. Ny Mar, 55
tahun, adalah warga desa Dukuh Widara yang menderita
penyakit Diabetus Mellitus. Kunjungan ke rumah Ny Mar
dilakukan berdasarkan informasi dari salah satu tenaga
kesehatan yang menjadi kepercayaan Ny Mar. Tak jarang Ny mar
memeriksakan keluhannya kepada tenaga kesehatan tersebut.
Tidak terlalu sulit untuk mencari rumah Ny. Mar. Rumah
itu berada di sudut rumah salah satu dukun bayi di desa dukuh
Widara yang sering dikunjungi. Rumah tersebut nampak gagah
dan cukup besar. Selain itu kebersihan nampaknya sangat dijaga
oleh pemilik rumah, walau rumah besar namun tak tampak
barang berserakan, bahkan debu juga seperti tidak tampak
dilantai teras depan dan samping rumah. Terlihat pagar besi
bercat putih dan bentuk rumah seperti huruf U. Cukup lama,
kami coba memanggil pemilik rumah. Wajar saja mungkin karena
rumah yang besar sehingga suara sapaan salam yang tidak terllau
keras, kurang terdengar oleh pemilik rumah. Hampir saja rumah
tersebut ditinggalkan, namun ternyata tidak berapa lama, telah
ada seseorang perempuan, paroh baya menjawab salam.
Ibu tersebut nampak menatap penuh keheranan dan
bertanya tentang keberadaan kami. Tidak berapa lama dari situ,
situasi menjadi cair terlebih ketika sudah dijelaskan tentang
keberadaan kita serta maksud dan tujuan kedatangan kami.
Perempuan paroh baya tersebut adalah Ny Mar. Nya Mar
154
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
memiliki 3 orang anak, namun sekarang hanya tinggal bersama
satu orang anak, anak terakhirnya dan suaminya saja. Kedua anak
Ny. Mar yang lain telah berkeluarga dan tinggal terpisah
dengannya. Ny Mar mengalami sakit yang cukup lama, rasa lemes
yang terus menerus dirasakan oleh Ny Mar. Awal mula gejala
sakitnya dulu adalah perasaan lemes/lemas, seperti tidak punya
tenaga.
“Saya sampai ga bisa bangun mbak, ntrotok (gemeteran)
semua, keringat dingin dari pagi sampai malam, terus
terusan. 2 minggu mba, ga bisa bangun. Perasaan sudah
berobat kemana-mana tapi ga ada kemajuan pisan. Saya
bingung banget waktu itu”.
Di saat kebingungan tersebut Ny Mar bertemu dengan Ibu
Bidan Nur, yang berpraktek di Desa tersebut. Atas saran ibu
bidan, Ny Mar melakukan pemeriksaan gula adarah. Nyata saja
ternyata gula darahnya sangat tinggi mencapai 500 gr/dl.
Informasi tersebut sangat mengagetkan Ny Mar, karena salama
ini ia belum pernah mengalami hal demikian dan juga seingatnya
tidak ada keturunannnya yang mengalami penyakit demikian.
Dengan hasil pemeriksaan tersebut, Ny Mar dinyatakan
mengalami penyakit Diabeteus Mellitus dan lebih dikenal oleh
masyarakat sebagai penyakit kencing manis.
Didesa dukuh widara penyakit ini disebut juga sebagai
penyakit gula darah. Sudah beberapa warga yang meninggal
masih dalam waktu dekat karena penyakit ini. Dari satu informan
disampaikan bahwa sudah 4 orang yang dia kenal di desa ini.
Gejala dari penyakit ini adalah sering kencing/buang air kecil ,
berat badan turun dan banyak minum, karena rasa haus yang
seringkali dirasakan. Kencing dalam sehari terkadang sampai 30
kali lebih. Penyakit ini dianggap sebagai penyakit yang
disebabkan karena pola makan yang kurang baik, seperti karena
155
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
selalu minum teh manis di malam hari, dan juga terlalu seringnya
habis makan langsung tidur, atau tidak beraktivitas.
“Karena pola makan, habis makan tidur, jarang olah
raga. Pola makan yang ga teratur, terus turunan juga.“70
Anjuran yang disampaikan bagi penderita penyakit ini
beberapa hal diantaranya makan nasi dikurangi, yang dapat
diganti dengan kentang rebus atau beras merah, jangan makan
manis-manis, dan goreng-gorengan dan makan makanan
kukusan. Konsumsi buah-buahan seperti anggur, durian, jeruk,
nangka juga juga dianggap sebagai pantangan. Pengobatan
tradisional yang pernah dilakukan untuk pengobatan ini juga
dilakukan dengan berbagai terapi melalui pengobatan herbal,
terapi pijit dan terapi matras untuk melancarkan peredaran
darah. Terapi herbal yang pernah dilakukan masyarakat disana
seperti madu pahit, buah pare, kulit manggis dan propolis.
Masyarakat disana sudah mengetahui bahwa penyakit Diabetes
Mellitus (penyakit gula darah) adalah bisa merupakan penyakit
keturunan, dan bukan penyakit menular. Dari informan yang
diwawancara, bahwa dari beberapa orang keluarga nya juga
telah menderita penyakit ini. Salah satunya ibu informan yang
telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu, dikarenakan
penyakit ini.
3.3.3. Gangguan Jiwa
Data awal pasien dengan gangguan jiwa didapatkan dari
profil Puskesmas Kalibuntu. Berdasarkan profil tersebut, Di Desa
Dukuh Widara terdapat 3 pasien penderita gangguan jiwa yaitu
Ny AS,
70
Wawancara dengan Wiwin
156
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Informasi yang didiapatkan dari aparat desa setempat,
bahwa Ny AS, adalah seorang TKW yang bekerja di Arab Saudi.
Selama 6 tahun bekerja di sana, Ny As meminta kakaknya untuk
memegang hasil kerjanya. Namun sayangnya, menurut
keterangan Bp. Nura, uangnya nggak jelas. Gejala awal gangguan
jiwa dirasakan sudah lama setelah tinggal di Indonesia .
”Awalnya katanya panas, pusing, mungkin kemauan
banyak tidak terelaisasi, mau nuntut sama siapa, ngadu
sama siapa, orang yang mengasuh anaknya. Awalnya
memang sedikit nakal. Terus ada intruksi dari
Puskesmas, jangan sampai telat obat. Teriak-teriak saja,
kalau mau jalan kesana tidak bisa dicegah. Untuk
argumen, semasa lagi normal bagus. Bukan orang
berpendidikan tapi dari segi pengalaman bagus. Jadi ini
bahasanya siti aisyah atau bukan?”
Menurut keterangan Bp Nura, penyebab sakitnya Ny AN
bukan karena halhal mistik walaupun sempat ada dugaan seperti
itu. Pengobatan ke orang “pintar” masih sering dilakukan. Kadang
pengobatan ke dokter kemana mana, tetap seperti saja. setelah
dibawa ke paranormal sembuh, ini jadi dilema (dengan
kepercayaan pengobatan kedokteran).
Jadi kemungkinan yang terjadi seperti kasus tersebut
adalah kesambet. Menurut ilmu ipa dulu, di bawah pohon karena
pertukaran oksigen dengan tumbuhan kalah, bahasa orang kita
kesambet.
Masih menurut Bp Nura, salah satu penderita gangguan
Jiwa yang lain adalah Bp Kar. Kondisi sekarang sudah mau kerja
lagi walaupun serabutan. Salah satu faktor yang mungkin
mengawali gangguan jiwa ini adalah karena rumah tangga masalh
rumah tangga.
157
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
“Ada suami yang meneng, tapi bukan kalah. Tapi
dianggap kalah. Karena tidak mau ribut karena tekanan
istri. di kampung ketika ada pekerjaan banyak susah cari
orang, lagi nggak ada kosong. Jadi intinya serba
binggung. Dari situ stress”.
Beberapa hari kemudian kunjungan dilakukan kepada Ibu
eni, Kakak Ny AS. Menurut Ibu Eni, telah merawat adiknya sejak ±
2 tahun yang lalu. Sejak saat itu sampai dengan sekarang AS
sudah kumat 3 kali kambuh. Kambuh yang pertama dan kedua
cukup parah, sampai mau pergi dari rumah, tetapi saat kambuh
ketiga tidak begitu banyak, paling hanya ngomong sendiri.
Kondisi sekarang Ny AS sudah sembuh dan telah bekerja
di jakarta, meninggalkan anaknya diasuh kakaknya, Ibu Eeni.
Menurut Ibu Eni, ia mengenal gangguan jiwa dengan istilah lain
yang dikenal adalah depresif berat. Bagaimana awal depresi?
Berikut cerita Ibu Eni
“Dulu sih udah pernah. Pada saat di bawa ke belitung
sama suaminya, balik, depresi disana. Kerjanya di
belitung suaminya, bekerja dengan orang cina, kelapa
sawit pulang2 sakit. saya jemput di bandara, saya obatin,
alhamdulillah sembuh.”
Menurut cerita Ibu Eni, Ny AS, pergi ke Belitung turut
suaminya. Suami Mba As, bekerja di kebun kelapa sawit. Namun
pada waktu pulang ternyata Mba AS, sudah depresi. Kondisi ini
tentunya sangat mengagetkan Ibu Eni dan keluarga Mba AS.
Betapa tidak, selama ini tidak pernah terdengar kabar yang
kurang menyenangkan. Walaupun jauh Mba As sangat sering
berkomunikasi dengan Ibu Eni melalui telf, dan selama itu Ibu
Eni, selalu pernah mendengar kabar yang sangat menyenangkan.
Kabar tentang kebahagiaan kehidupan Mba As bersama suami
dan anaknya yang kini telah berusia 2 tahun.
158
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Pada awalnya pengobatan dilakukan ke dokter spesiais
jiwa yang berada di wilayah tersebut. Namun seiring dengan
waktu yang berjalan, dikarenaka kondisi keuangan yang tidak
memungkinkan, pengobatan terhadap Mba As dilanjutkan ke
sebuah rumah sakit di wilayah kabupaten Cirebon. Pengobatan
yang dilakukan ke rumah sakit tersebut juga tidak lama dilakukan
karena masalah yang sama yaitu keuangan. Beberapa saat
setelah itu, Ibu Eni bertemu dengan dokter di Puskesmas dan
mendiskusiakan tentang kelanjutan pengobatan Mba AS.Sebagai
solusinya, Mba As melanjutkan pengobatan ke Puskesmas. Ibu
Eni dan keluarga sangat bersyukur dengan perkembangan
tersebut. Selain biaya yang murah, jarak yang terjangkau dan
kemajuan pengobatan yang baik, baru 7 kali datang ke
Puskesmas, Mba As sudah menunjukkan kemajuan yang sangat
bagus. Bahkan telah dinyatakan sembuh. Hal ini tentunya sangat
menggembirakan karena Mba as sepertinya telah pulih dari
kondisinya. Berbagai keluhan yang sering muncul, seperti bicara
sendiri, kadang menangis dan kadang marah, sudah tidak lagi
ada.
Dengan kondisinya yang telah membaik, Mba AS kembali
lagi menusul suaminya bersama anaknya. Tidak lagi ada trauma
dengan kehidupan suaminya. Cerita duka ternyata berulang
kembali, cerita yang selama ini selalu disembunyikan oleh Mba
AS. Itu juga ketika kondisinya tidak sadar, Yah Mba AS, kambuh
lagi tidak berapa lama ketika ia menyusul suaminya. Ternyata
selama tinggal bersama dengan suaminya, Mba As sering bahkan
sangat sering ditinggal suaminya yang entah kemana perginya.
Mba As, akhirnya pulang dengan kondisi yang sama dengan
dahulu, depresi berat. Keberadaan suami Mba As yang demikian,
terbukti juga oleh Ibu Eni. Ibu an telf ke nomer suaminya Mba AS
dan ternyata yang menerima telf tersebut adalah seorang
159
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
perempuan. Situasi seperti ini, aganya yang menimbulkan bebanbeban yang terpendam.
Istilah yang sering digunakan oleh masyarakat d desa
Dukuh Widara, menyikapi orang –orang seperti Mba As, dengan
istilah gila/edan. Demikian juga
kebanyakan tetangganya
menyebut kondisi Mba As dengan gila/edan. Rupanya Ibu Eni,
kurang menyukai sebutan tersebut, bahkan kalau anaknya sendiri
yang menyebutnya, biasanya Ibu Eni akan marah besar. Karena,
menurutnya bahwa istilah gila/edan itu hanya diperuntukkan
untuk orang yang memiliki gangguan jiwa. Khusus untuk adiknya
Ibu Eni, menyebutnya dengan depresi berat.
Masyarakat di sana menganggap bahwa penyakit jiwa ini
bukan penyakit keturunan dan dapat disembuhkan. Penderita
akan dibiarkan berkeliaran di jalanan, asalkan dianggap tidak
menimbulkan bahaya bagi orang yang lain. Salah satu penderita
penyakit jiwa di daerah tersebut dianggap dapat melakukan
tindakan yang membahayakan orang lain di sekitarnya, sehingga
penderita tersebut dilakukan tindakan pasung. Menurut keluarga
penderita pasung tersebut, penyebab penderita sampai terkena
penyakit jiwa adalah dikarenakan masalah pribadi. Dan karakter
penderita yang sedikit tetutup. Penderita sudah pernah di rawat
di rumah sakit jiwa, dan sudah dinyatakan sembuh, sudah pernah
juga dilakukan pengobatan alternative ke paranormal, namun
setelah pulang dari perawatan rumah sakit ternyata penderita
kambuh kembali dan melakukan tindakan yang dianggap
membahayakan orang lain. Berbagai penyebab penyakit jiwa di
desa Dukuh Widara ini dikarenakan beberapa hal, seperti
permasalahan ekonomi keluarga, karena kekecewaan pada
keluarga yang dipercayai, dan karena hubungan pribadi dengan
lawan jenis. Puskesmas Kalibuntu sendiri memfasilitasi rujukan
untuk penderita penyakit jiwa agar berobat ke Rumah Sakit
160
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Daerah Waled untuk mendapatkan pengobatan oleh dokter
spesialis penyakit jiwa.
Gambar 3.4.
Penderita Gangguan Jiwa yang dipasung oleh keluarganya
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
3.4. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
3.4.1. Persalinan oleh Tenaga Kesehatan
Berdasarkan Data profil Promkes Dinas Kesehatan
Kabupaten Cirebon tahun 2013 didapatkan data Persalinan Oleh
Tenaga Kesehatan (Linakes) tahun 2013 di Desa Dukuh Widara
adalah 208 (12,46%).71 Puskesmas Kalibuntu sebagai Puskesmas
Wilayah Desa Dukuh Widara saat ini masih belum merupakan
Puskesmas dengan Rawat Inap atau Puskesmas PONED
(Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergency Dasa), sehingga
Puskesmas ini belum bisa menjadi tempat untuk persalinan. Data
71
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, Profil Promosi Kesehatan
2013
161
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
persalinan terakhir bulan Juni di Puskesmas Kalibuntu
menunjukkan bahwa di Desa Dukuh Widara dari 12
persalinanyang ada ternyata masih ada 2 orang (16,7%)
melakukan persalinan di rumah. Masih terdapatmasyarakat yang
menginginkan persalinan di rumah, ketika ibu hamil merasakan
akan melahirkan, sehingga keluarga pasien akan memanggil
bidan ke rumah. Masih ada bidan yang bersedia menolong
persalinan di rumah pasien karena mempunyai persepsi daripada
nantinya persalinan di tolong oleh dukun karena bidannya datang
terlambat, Alasan lain karena pasien sudah tidak memungkinkan
di bawa ke tempat bidan, karena sudah merasa dekat waktu
persalinan. Bidan yang lain di Desa Dukuh Widara, justru merasa
lebih nyaman jika pasiennya melahirkan di tempat prakteknya,
karena akan mempermudah dalam pemantauan kemajuan
persalinan. Bidan tidak harus bolak-balik ke rumah pasien dalam
pemantauan kemajuan persalinan tersebut. Persalinan di rumah
masih dianggap lebih enak, lebih nyaman oleh ibu yang akan
melahirkan, dibandingkan di tempat persalinan lainnya, misalnya
di tempat Bidan Praktek Mandiri (BPM) atau Rumah Sakit. Hal
tersebut terlihat dari adanya rencana persalinan di rumah oleh
beberapa informan yang diwawancarai.
“Lebih nyaman kayanya, enak di rumah. Masyarakat
disini lebih banyak milih dirumah. Paling kalau yang milih
di bidan atau dirumah sakit karena udah ga bisa, ada
masalah dalam melahirkan”72
Dan dari informan yang melahirkan di Bidan mengatakan
jika melahirkan di bidan juga karena memang bidan yang
menyarankan untuk melahirkan di tempat bidan.
72
Sumber: Wawancara denganIim Masruroh
162
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
“karena bidannya ga mau ke sini, saya disuruh kesana”73
Sesuai teori kebutuhan dasar manusia “Maslow”, bahwa
kebutuhan dasar manusia terdiri dari kebutuhan fisiologis
(makanan, air, eliminasi, bebas dari rasa sakit, serta aktivitas),
rasa aman, rasa cinta, harga diri, aktualisasi diri.
Perasaan aman dan lebih nyaman melahirkan di rumah
sebagai kebutuhan dasar seorang ibu yang akan melahirkan
dapat disebabkan beberapa hal, karena persalinan di rumah
mereka merasa nyaman berada di rumah sendiri dan berada
dekat dengan orang–orang yang dicintai yaitu keluarga, di
samping itu jika merasakan mulas dan melahirkannya malam
hari, tidak membuat repot orang lain karena harus ada yang
mengantar ke tempat praktek bidan. Masih terdapat anggapan
jika melahirkan normal, mengapa harus di tempat yang lain.
Mereka yakin jika ada komplikasi atau kondisi tidak normal, maka
bidan juga akan membawanya ke fasilitas yang lebih memadai/
tinggi.
“Klo lahiran di rumah itu bagus berarti ga masalah, ga
pernah salah. Klo sampe di bawa ke rumah sakit berarti
bermasalah”.74
“Di bidan kan susah, ga ada yang nganter-nganter,
malem. Sebenernya enak di rumah. Kecuali lahirannya
susah ya di bawa, kalau normal ya di rumah aja. Kalau
kata bidannya gengser udah dirumah aja, kalau susah ya
di bawa”75
Sebenarnya semua persalinan sudah diharapkan berada
di tempat atau di fasilitas kesehatan. Masyarakat Desa Dukuh
73
Sumber: Wawancara dengan Wasrini
74
Sumber: Wawancara denganIim Masruroh
75
Sumber: Wawancara dengan Khodijah
163
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Widara sudah banyak yang menyadari bahwa semua persalinan
ditolong oleh tenaga kesehatan, sehingga semua persalinan
sekarang pada umumnya sudah dilakukan oleh bidan, apabila
dalam kondisi yang masih normal. Masyarakat lebih memilih
bidan untuk menolong persalinan karena bidan dianggap orang
yang lebih mengerti akan kesehatan jika dibandingkan dukun,
terutama jika dukun baru dan dukun bukan karena turun
temurun (turunan), dianggap masih sangat diragukan. Mereka
merasa persalinan oleh bidan lebih nyaman dan dukunpun
sudah menyadari setiap persalinan harus ditolong oleh bidan
sehingga jika ada persalinan, dukun akan memberitahu bidan
atau dengan menyuruh keluarga pasien untuk memanggil bidan.
Keberadaan dukun bayi/paraji hanya mendampingi bidan saat
persalinan, untuk membantu menjaga kenyamanan ibu yang
akan melahirkan, dan dalam perawatan bayi baru lahir, atau
hanya mengurusi bayinya. Pandangan tentang cara tenaga
kesehatan yaitu bidan dalam menolong persalinan sudah
dianggap cukup baik menurut masyarakat.
3.4.2. Melakukan Penimbangan Bayi dan Balita (Usia 0-59
bulan)
Berdasarkan Data profil Promkes Dinas Kesehatan
Kabupaten Cirebon tahun 2013 didapatkan data menimbang bayi
dan balita tahun 2013 di Desa Dukuh Widara adalah 473 (28,34
%).76Kegiatan Posyandu di Desa Dukuh Widara dilaksanakan
setiap satu bulan sekali, dan sebagai penanggung jawab
pelaksanaan kegiatan Posyandu adalah pamong desa (Kepala
Dusun) dan kader. Tidak ada kriteria khusus dalam hal
menentukan pemilihan kader di Desa Dukuh Widara, hanya bagi
76
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, Profil Promosi Kesehatan
2013
164
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
mereka yang mau bekerja secara sukarela saja. Tempat Posyandu
di wilayah di Desa Dukuh Widara masih bertempat di rumahrumah penduduk, terutama di rumah tokoh masyarakat,
misalkan dirumah pamong desa yaitu di rumah Kepala Dusun.
Kegiatan Posyandu dilakukan setiap satu bulan sekali di setiap
blok Desa Dukuh Widara (Blok Pahing, Blok Manis , Blok Wage,
Blok Kliwon, dan Blok Pon ), dihadiri oleh tenaga kesehatan
sebagai perwakilan dari Puskesmas Kalibuntu untuk memberikan
pelayanan kesehatan. Tenaga kesehatan yang berpartisipasi
adalah bidan desa, petugas imunisasi, dan gizi. Masyarakat Desa
Dukuh Widara biasanya melakukan penimbangan bayi dan balita
mereka di Posyandu atau Puskesmas. Jarak dekat dengan rumah
menjadi alasan dalam pemilihan tempat Posyandu. Apabila
Posyandu atau Puskesmas lebih dekat dengan rumah , maka
mereka akan memilih salah satu tempat penimbangan tersebut
untuk memeriksakan kesehatan dan perkembangan anak-anak
mereka.
”Dibawa
ke
Posyandu,
cuma
pengen
tau
perkembangannya, beratnya berapa. Klo sakit ya ke
Puskesmas atau ke bidan.”77
“Lebih dekat dan enak di Puskesmas” Ingin tau
perkembangannya.”78
Tempat yang digunakan untuk pelaksanaan kegiatan
Posyandu di Desa Dukuh Widara, hampir semuanya sudah
terlihat cukup bersih dan cukup luas, karena tempat yang dipilih
biasanya tempat tinggal tokoh masyarakat atau pamong desa.
Kegiatan pelayanan yang dilakukan di Posyandu sudah sesuai
dengan 5 kegiatan utama Posyandu yaitu Kesehatan Ibu dan
77
Sumber: Wawancara dengan Dorikah
78
Sumber: Wawancara dengan Khodijah
165
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Anak, Imunisasi, Gizi, KB, Pencegahan dan penanggulangan
diare79. Sasaran Posyandu adalah ibu hamil, ibu nifas, dan
menyusui, bayi dan balita dan PUS (pasangan usia subur).
Imunisasi merupakan suatu upaya untuk memberikan
kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit dengan memasukkan
kuman atau produk kuman yang sudah dilemahkan atau
dimatikan.80 Lima Imunisasi Dasar yang diberikan sesuai dengan
program pemerintah dengan pemberian imunisasi yang diberikan
pada bayi antara umur 0-12 bulan, terdiri dari imunisasi BCG,
DPT, Polio, Hepatitis B, dan Campak.Sedangkan untuk ibu hamil,
maka imunisasi yang diberikan adalah imunisasi tetanus (TT).
Vaksin yang digunakan untuk pemberian imunisasi di Posyandu
berasal dari Dinas Kesehatan selanjutnya di berikan ke
Puskesmas, dan dari Puskesmas dapat digunakan untuk kegiatan
Posyandu.
Beberapa alasan ibu di Desa Dukuh Widara membawa
anaknya ke Posyandu, karena memang dianjurkan oleh
bidannya, terutama bidan yang menolong persalinan, agar setiap
bulan menimbangkan anaknya ke Posyandu, dan memang
keingintahuan ibu-ibu itu sendiri untuk imunisasi, serta
mengetahui perkembangan anaknya, terutama tentang berat
badan.
“Sering nimbang di Posyandu, karena disuruh sama
bidannya, tiap bulan harus ditimbang.”81
Kegiatan utama Posyandu mengacu pada sistem lima
meja atau lima langkah pelayanan82 disajikan pada tabel 3.1.
79
Sumber: Depkes R.I, 2006
80
Sumber: Marimbi, Hanum. 2010
81
Sumber: Wawancara dengan Khodijah
82
Sumber: Depkes R.I, 2006
166
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Tabel 3.1. Kegiatan Posyandu di Desa Dukuh Widara, tahun 2014
Langkah/
Meja ke-
Pelayanan
Pelaksana
Pertama
Pendaftaran
Kader
Kedua
Penimbangan
Kader
Ketiga
Pengisian KMS
Kader
Keempat
Penyuluhan
Kader
Kelima
Pelayanan Kesehatan
Petugas Kesehatan dan
sektor lain bersama kader
Sumber: Data Primer
Langkah atau meja keempat Posyandu sekaligus adanya
penyuluhan kesehatan, menjelaskan data KMS atau keadaan
anak berdasarkan data kenaikan berat badan yang digambarkan
dalam grafik KMS, dan pelayanan pemberian makanan tambahan
(PMT). Sedangkan di langkah atau meja ke-lima pelayanan
kesehatan yang diberikan seperti pemberian imunisasi, obatobatan, oralit, vitamin A, tablet zat besi, pil dan kondom,
pemeriksaan
kehamilan,
pemeriksaan
kesehatan
dan
pengobatan, Pelayanan kontrasepsi IUD dan suntik. Dalam setiap
kegiatan Posyandu di Desa Dukuh Widara hampir selalu ada
makanan atau minuman tambahan yang disediakan, misalnya
diberi bubur kacang, biskuit, telur rebus, susu atau Milkkuat.
Untuk penyediaan PMT, biasanya diserahkan ke pamong desa
/keluarganya/kadernya. Untuk beberapa makanan yang harus
dimasak, biasanya akan disiapkan oleh kader atau pamong desa.
Misalnya pembuatan bubur kacang, maka keluarga pamong desa
tersebut akan menyiapkan dan biasanya menggunakan plastik
untuk membungkusnya.
Gizi merupakan bagian dari proses kehidupan dan proses
tumbuh kembang seseorang, sehingga pemenuhan kebutuhan
167
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
gizi secara adekuat turut menentukan kualitas tumbuh kembang
sebagai sumber daya manusia di masa datang. Gizi kurang adalah
gangguan kesehatan akibat kekurangan atau ketidakseimbangan
zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan, aktivitas berfikir dan
semua hal yang berhubungan dengan kehidupan. Gizi kurang
banyak terjadi pada anak usia kurang dari 5 tahun. Gizi buruk
adalah kondisi gizi kurang hingga tingkat yang berat dan
disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dari
makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama.
Gizi buruk bila kondisi gizi kurang berlangsung lama, maka akan
berakibat semakin berat tingkat kekurangannya. Gizi buruk
terjadi bila tubuh tidak mendapatkan zat-zat gizi baik untuk
pertumbuhan dan perkembangan serta mengalami kekurangan
satu atau lebih zat gizi essensial. Beberapa faktor penyebab
adalah 1) faktor sosial adalah rendahnya kesadaran masyarakat
akan pentingnya makanan bergizi bagi pertumbuhan anak. Baita
diberi makanan sekedarnya atau asal kenyang padahal miskin
gizi. 2) Kemiskinan dianggap sebagai biang keladi munculnya
penyakit di negara berkembang. Rendahnya pendapatan
masyarakat menyebabkan kebutuhan paling mendasar, yaitu
pangan pun seringkali tak bisa dipenuhi. 3) Laju pertambahan
penduduk, dan 4) Infeksi.83
Status gizi balita merupakan hal penting yang harus
diketahui oleh setiap orang tua. Perlunya perhatian lebih dalam
tumbuh kembang di usia balita didasarkan fakta bahwa kurang
gizi yang terjadi pada masa emas ini bersifat irreversible (tidak
dapat pulih).
Menurut ahli gizi dari IPB Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS,
standar acuan status gizi balita adalah berat badan menurut
83
Sumber:
ferryngongo.blogspot.com/2012/10/makalah-perbedaan-gizikurang- dan-gizi.html?m=1
168
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
umur (BB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dan
tinggi badan menurut umur (TB/U).84
Pedoman yang digunakan adalah standar berdasarkan
tabel WHO-NCHS (National Center for Health Statistics). Status
gizi pada balita dapat diketahui dengan mencocokkan umur anak
dalam bulan, dengan berat badan standar tabel WHO-NCHS, bila
berat badannya kurang maka status gizinya kurang.
Di Posyandu telah disediakan Kartu Menuju Sehat (KMS)
yang dapat digunakan untuk memprediksi status gizi anak
berdasarkan kurva KMS yaitu dengan cara mengetahui dahulu
umur anak, kemudian di plot berat badannya dalam kurva KMS.
Bila masih dalam garis hijau maka status gizinya baik, bila
dibawah garis merah maka status gizi buruk. Parameter status
gizi balita yang umum digunakan di Indonesia adalah berat badan
menurut umur. Parameter ini dipakai menyeluruh di Indonesia.85
Berdasarkan perhitungan berat badan per umur,
didapatkan data dari Puskesmas Kalibuntu pada bulan Mei tahun
2014 terdapat 1 balita gizi kurang. Faktor ekonomi, dimana warga
masyarakat disana sebagian besar masih bermata pencaharian
buruh tani, buruh bata dan buruh bangunan, serta pola asuh
yang dialihkan dari ibu kepada keluarga sehubungan ibu bekerja
sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dapat menjadi suatu faktor
penyebab dari masih adanya gizi kurang tersebut.
“Ya mungkin karena faktor ekonomi, karena banyak
keluarga yang pekerjaannya sebagai buruh, buruh tani,
buruh bata, dan juga anak nya kan diasuh oleh keluarga
bukan oleh ibunya”86
84
Sumber: Marimbi, Hanum. 2010
85
Sumber:Hanum Marimbi,2010
86
Wawancara dengan Bidan Koordinator
169
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Gambar 3.5.
Tempat Kegiatan Posyandu di Blok Kliwon, Desa Dukuh Widara
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Pemberian Konseling dan Vitamin dari pihak Puskesmas,
khususnya bagian gizi, kepada anak gizi kurang tersebut telah
dilakukan. Namun berdasarkan informasi dari bidan desa di
daerah tersebut, faktor pola makan yang kurang telaten terhadap
anaknya, dan anaknya yang dianggap susah makan, masih
mengakibatkan anak tersebut masih tergolong gizi kurang.
Tingkatan perkembangan Posyandu yaitu a) Posyandu
pratama (merah) ditandai dengan kegiatan Posyandu yang masih
belum mantap, kegiatannya belum bisa rutin dilakukan tiap bulan
dan kader aktif terbatas, b) Posyandu madya (kuning) ditandai
dengan kegiatannya lebih dari delapan kali pertahun dengan
jumlah kader 5 orang atau lebih. Namun cakupan program
utamanya (KB, KIA, GIZI, imunisasi) masih rendah yaitu lebih
besar dari 50 persen, c) Posyandu purnama (hijau), frekuensinya
170
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
lebih dari delapan kali per tahun, jumlahkader 5 orang atau lebih,
cakupan program utamanya lebih besar dari 50%. Sudah ada dan
program tambahan dana sehat, d) Posyandu mandiri (biru).
Kegiatannya secara teratur, cakupan lima program utama sudah
bagus. Ada program tambahan dan dana sehat menjangkau lebih
dari 50%.87
Dari kelima Posyandu di Desa Dukuh Widara, semuanya
sudah tergolong kriteria Posyandu Madya, dimana jumlah kader
setiap Posyandu sudah berjumlah lima dan cakupan program
lebih besar dari 50%. Namun belum memiliki program tambahan
dan dana sehat belum menjangkau 50%.
3.4.3. Memberikan ASI Ekslusif
Berdasarkan Data profil Promkes Dinas Kesehatan
Kabupaten Cirebon tahun 2013 didapatkan data ASI Ekslusif
tahun 2013 di Desa Dukuh Widara adalah 33 (1,98%).88
Masyarakat terutama ibu-ibu balita sudah banyak yang
mengetahui bahwa pemberian ASI saja sampai enam bulan, dari
bidan, pada saat kelas ibu hamil, membaca dari buku pink/KIA,
yang mereka miliki. Dalam kegiatan kelas ibu hamil, bidan dari
Puskesmas memberikan informasi berkaitan tentang ASI Ekslusif,
serta tentang kegiatan Pojok ASI yang disampaikan oleh Konselor
ASI yaitu Tenaga Kesehatan Puskesmas Kalibuntu yang sudah
mengikuti pelatihan Konselor ASI, yaitu Bidan Koordinator dan
Bagian Gizi. Namun belum semua informan mengetahui tentang
kolostrum dan kemanfaatannya, walaupun kolostrum ini sudah
disampaikan pada kegiatan kelas ibu hamil, dimulai pemberian
87
Sumber : Mubarak, Wahid Iqbal. 2012
88
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, Profil Promosi Kesehatan
2013
171
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
informasi mengenai Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dalam rangka
pemberian kolostrum oleh ibu bersalin kepada bayinya.
” Namanya tau tapi Manfaatnyaga tau “ (kolostrum). Tau
dari bidan, dan dari buku tentang proses melahirkan. Di
buku itu juga ada kaloga salah (menunjuk buku pink /
Buku KIA) ”89
Gambar 3.6.
Kegiatan Kelas Ibu Hamil
di Desa Dukuh Widara
Kecamatan Pabedilan
Kabupaten Cirebon
Sumber: Dokumentasi
Peneliti, 2014
ASI yang diproduksi pada 1-5 hari pertama, cairan kental
yang berwarna kekuningan, dinamakan kolostrum, sangat
bermanfaat bagi bayi baru lahir, karena mengandung lebih
banyak antibodi, protein, mineral, dan vitamin A yang berfungsi
untuk membersihkan alat pencernaan bayi dari zat-zat yang tidak
berguna. Kolostrum mengandung jasad renik patogen yang amat
bagus dan mengandung sel-sel leukosit immunoglobulin yang
89
Sumber: Wawancara dengan Dorikah
172
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
hebat. Protein utama dalam kolostrum adalah immunoglobulin/
IgG, Ig A dan Ig M. Bahan-bahan protein antibody tersebut
keberadaannya 10-17 kali lebih banyak, dibandingkan ASI
matang,volumenya antara 150-300 ml/24 jam. Pada saat bayi
baru lahir masih rentan pertahanan tubuhnya terhadap infeksi.
Kolostrum adalah imunisasi pertama yang diterima atau dialami
oleh bayi90. Berbagai kendala pemberian ASI Ekslusif yang sering
terjadi di masyarakat diantaranya karena ASI yang dianggap
masih sedikit pada awal setelah melahirkan, dianggap masih
kurang dan bayinya masih rewel karena kurang ASI, sehingga
akhirnya diberi susu formula sebagai susu tambahan. Terkadang
pemberian ASI Ekslusif kurang didukung oleh suami dan keluarga
sehingga suami malah membelikan susu formula tersebut.
Walaupun pemberian ASI selanjutnya dilakukan setelah ASI
banyak keluar, namun tetap dikatakan bahwa pemberian ASI
Ekslusif sudah tidak berhasil. ASI Ekslusif adalah pemberian ASI
saja tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk,
madu, airteh, air putih dan tanpa tambahan makanan padat
seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi dan tim
sampai usia 6 bulan91. Setelah bayi berumur 6 bulan, mulai
diperkenalkan dengan makanan padat, sedangkan ASI dapat
diberikan sampai bayi usia 2 tahun atau bahkan lebih dari 2
tahun.
“Itu jaman dulu sekarang mah udah ga ada, ga musim,
paling dikasih air setetes dua tetes biar anaknya ga haus,
paling juga sehari doang. tapi kalau dikasih madu ngga
ada”92
90
Sumber: Suherni. 2009
91
Sumber: Suherni. 2009
92
Sumber: Wawancara dengan Juniah
173
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
“Paling waktu lahir doang dikasih susu SGM, waktu
ASInya belum keluar, dedenya nangis terus. Sempet
sampe sehari apa dua hari”.93
Informan yang lain menyampaikan:
“Kalau saya mah sampe dua bulan, soalnya bapanya
beliin terus. Katanya kasian sama anak. Yang penting
beliin buat anak”94
Ramuan yang masih dipercaya masyarakat Desa Dukuh
Widara untuk memperbanyak ASI yaitu jamu-jamuan (seperti
Jamu kerik enom dan kerik tua, beras kencur), dan untuk sayursayuran yang dipercaya masyarakat dapat memperbanyak
ASIadalah daun katuk, bayem, oyong dan kangkung.
Gambar 3.7.
Jamu tradisional yang
dikonsumsi saat ibu nifas
Sumber: Dokumentasi
Peneliti, 2014
Cara yang terbaik untuk menjamin pengeluaran air susu
ibu dengan mengusahakan agar setiap kali menyusui buah dada
betul-betul menjadi kosong, karena pengosongan buah dada
93
Sumber: Wawancara dengan Khodijah
94
Sumber: Wawancara dengan Juniah
174
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
dengan waktu tertentu merangsang kelenjar buah dada untuk
membuat susu lebih banyak. Menurut Sudaryati (2005) upaya
memperbanyak ASI yaitu pada minggu pertama harus lebih
sering dilakukan untuk merangsang produksinya, dan
diberikandari kedua belah dada ibu tiap kali menyusui untuk
merangsang produksinya. Biarkan bayi menghisap lama pada tiap
buah dada, karena makin lama dihisap makin banyak
rangsangannya. Jangan terburu-buru memberikan formula bayi
sebagai tambahan, perlahan-lahan ASI akan cukup diproduksi.
Ibu dianjurkan minum banyak (8-10 gelas/hari) berupa susu
maupun air putih dan makanan ibu sehari-hari harus cukup dan
berkualitas Ibu harus banyak istirahat dan banyak tidur, keadaan
tegang dan kurang tidur dapat menurunkan produksi ASI.
Sedangkan menurut Indiarti,2007, agar kualitas ASI meningkat
perlu diperhatikan hal-hal berikut: minumlah susu satu liter
setiap hari, daun pucuk katuk dan sayur asin membuat air susu
lebih banyak keluar, di samping faktor jiwapun penting, sehingga
ibu yang hidup tenang lebih banyak mengeluarkan susu daripada
ibu yang sedang sedih dan melakukan perawatan buah dada95.
Sedangkan Kebiasaan cuci tangan sebelum menyusui
bayinya, masih belum menjadi suatu kegiatan yang rutinitas
dilakukan. Mereka belum begitu menyadari bahwa pentingnya
mencuci tangan setiap akan menyusui. Mencuci tangan dilakukan
hanya apabila tangan terasa kotor, atau mau makan dan setelah
BAB saja. Terkadang setelah menceboki bayi juga, tidak mencuci
tangan lagi.
Untuk makanan yang dipantang selama menyusui
masyarakat disana masih mempercayai bahwa kalau ibunya
makan buah pare, maka air susunya akan terasa pahit, apabila
95
Sumber : Suherni. 2009
175
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
ibunya makan pedes-pedes dan es, maka nanti anaknya akan
mencret atau diare.
3.4.4. Mencuci Tangan dengan Air Bersih dan Sabun
Cuci tangan pakai sabun adalah perilaku cuci tangan
dengan menggunakan air bersih yang mengalir dan sabun.96
Perilaku mencuci tangan pakai sabun masih belum menjadi
kebiasaan atau suatu yang rutin dilakukan masyarakat di Desa
Dukuh Widara. Kadang-kadang masyarakat masih menggunakan
air saja. Cuci tangan menggunakan sabun terkadang hanya
dilakukan apabila akan makan, tangan terasa kotor, setelah
makan makanan amis/ikan-ikanan, setelah buang air besar, dan
setelah dari sawah. Setelah menggunakan pestisida terkadang
masyarakat hanya menggunakan air aliran irigasi untuk mencuci
tangan, tidak menggunakan sabun. Hanya jika membawa
makanan ke sawah dan akan makan baru menggunakan sabun.
Saat menyiapkan makanan, kegiatan mencuci tangan belum
menjadi kebiasaan.
Untuk mencuci tangan masyarakat masih menggunakan
sumber air dari bak mandi atau sumur atau dari aliran air di
persawahan/air irigasi. Masyarakat umumnya hanya mengetahui
bahwa cuci tangan pakai sabun hanya diperlukan kalau kondisi
tertentu saja, belum mengetahui sepenuhnya bahwa setiap cuci
tangan itu sebaiknya menggunakan sabun. Berdasarkan Data
profil Promkes Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon tahun 2013
didapatkan data mencuci tangan dengan air bersih dan sabun
tahun 2013 di Desa Dukuh Widara adalah 1669 (100 %). 97 Hal ini
berbeda dengan kenyataan yang masih ditemukan dilapangan,
96
Sumber : Kementerian Kesehatan R.I. 2014
97
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, Profil Promosi Kesehatan
2013
176
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
jika cuci tangan masih belum menjadi suatu rutinitas yang
dilakukan masyarakat.
3.4.5. Memakai Jamban Sehat
Berdasarkan Data profil Promkes Dinas Kesehatan
Kabupaten Cirebon tahun 2013 didapatkan data mengunakan
jamban tahun 2013 di Desa Dukuh Widara adalah 1269 (76,03 %).
98
Masyarakat di Desa Dukuh Widara belum semuanya memiliki
kamar mandi sendiri, sehingga memanfaatkan sumur sebagai
tempat untuk mandi dan buang air kecil.Namun demikian untuk
buang air besar (BAB), masih ada yang belum memiliki Jamban,
diantaranya di Blok Pahing, Blok Kliwon, dan Blok Wage, sehingga
warga yang masih belum memiliki jamban tersebut, masih ada
yang memanfaatkan aliran air irigasi, di pekarangan yang masih
banyak pohon-pohon bambu atau di pinggir sawah. Setelah BAB
mereka akan membersihkan/cebok dengan menggunakan air di
sumur terdekat, atau dari aliran air irigasi tersebut. Namun
perilaku tersebut ada juga disebabkan faktor kebiasaan yang
apabila tidak buang air besar di luar rumah, maka tidak bisa
keluar BAB nya.
Jamban yang dikatakan sehat menurut warga masyarakat
di sana, apabila jamban tersebut terlihat bersih, tidak mampet,
dan jarak antara septi tank (penampungan tinja) dengan sumber
air, yaitu sumur minimal 10 meter.Namun kenyataannya, hal
tersebut tidak semua melakukan karena kendala luas lahan yang
dimiliki, atau sudah menjadi lahan orang lain, sehingga terkadang
jarak antara septic tank dengan sumber air hanya sekitar 5 meter.
Melalui program Puskesmas Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
(STBM) yang didalamnya terdapat 5 pilar yaitu cuci tangan pakai
sabun, pengelolaan sampah, pengelolaan air limbah keluarga, air
98
idem
177
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
bersih dan Open Defekasi Free (ODF). Program ODF merupakan
upaya untuk menangani permasalahan jamban. Salah satu upaya
yang pernah dilakukan pihak Puskesmas adalah dengan
diadakannya dana stimulan, yang dikumpulkan dari karyawan
Puskesmas untuk kegiatan arisan Jamban. Dana stimulan
tersebut dapat digunakan oleh warga masyarakat yang
membutuhkan untuk membuat jamban, dan dana pinjaman
tersebut akan dikembalikan warga yang meminjam setelah
panen padi atau bata.
Gambar 3.8.
Anak yang sedang Buang air Besar di pekarangan pohon bambu
Desa Dukuh Widara
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
1)
99
Pilar STBM terdiri atas perilaku99:
Stop Buang air besar sembarangan:
Stop buang air besar sembarangan adalah kondisi ketika
setiap individu dalam suatu komunitas tidak lagi melakukan
perilaku buang air sembarangan yang berpotensi
menyebarkan penyakit.
Sumber: Kementerian Kesehatan R.I. 2014
178
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
2)
3)
4)
5)
Cuci Tangan Pakai Sabun
Pengelolaan Air minum dan makanan rumah tangga
Pengamanan sampah rumah tangga
Pengamanan limbah cair rumah tangga
Gambar 3.9.
Pembakaran sampah oleh warga di pekarangan
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Di desa Dukuh Widara sebagian besar rumah warga
masyarakat belum mempunyai Tempat Pembuangan Sampah
(TPS) sementara. Mereka melakukan pembuangan sampah
sementara dengan dibakar dipekarangan setelah dikumpulkan
terlebih dahulu. Masih belum terdapat kerjasama dengan
Pemerintah daerah, disamping itu masalah dana merupakan
suatu kendala yang menyebabkan belum adanya pengangkutan
sampah dan TPS di daerah tersebut.
179
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
3.4.6. Aktivitas Fisik Masyarakat
Berdasarkan Data profil Promkes Dinas Kesehatan
Kabupaten Cirebon tahun 2013 didapatkan data Melakukan
Aktivitas Fisik tahun 2013 di Desa Dukuh Widara adalah 1669
(100 %).100
Masyarakat melakukan aktifitas fisik dengan cara jalanjalan pada pagi hari dengan membawa anaknya, sementara itu
terlihat anak- anak berjalan kaki menuju sekolah.Kegiatan ibuibu ada yang menyapu rumah, mencuci di sumur, pergi ke sawah
untuk bertani atau menjadi buruh bata. Pada siang hari atau sore
hari kadang-kadang masyarakat terlihat duduk-duduk, mengobrol
santai di depan rumah, di pinggir jalan, sedangkan yang bekerja
di sawah atau menjadi buruh bata terlihat menuju pulang ke
rumah. Pekerjaan sebagai buruh bata biasanya dimulai dari pagi
hingga tengah hari, sedangkan bagi yang bekerja bangunan
biasanya bekerja seharian dan baru pulang kerja pada sore hari.
Para ibu hamil yang diwawancarai ternyata masih melakukan
aktifitas fisik seperti biasa misalnya menyuci, menyapu,
mengepel dan memasak. Hanya pada saat hamil frekuensi dari
aktifitas tersebut berkurang, dan untuk aktifitas yang terlalu
berat, biasanya dibantu oleh orang tua atau keluarga. Data dari
bagian Promosi Kesehatan tahun 2013 di Puskesmas Kalibuntu
berkaitan dengan aktifitas fisik warga masyarakat Desa Dukuh
Widara sebesar 1669 KK, sedangkan data bulan Mei 2014 sebesar
1803 KK dari 1180 KK.
Sesuai dengan pernyataan informan ibu hamil berikut:
100
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, Profil Promosi Kesehatan
2013
180
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
“Aktifitas sehari-hari agak berkurang, nyapu, ngepel,
nyuci, seperti biasa, tapi ga tiap hari lagi.”101
3.4.7. Konsumsi Buah dan Sayur
Sayur merupakan makanan yang sudah hampir
dikonsumsi setiap hari oleh keluarga Desa Dukuh Widara.
walaupun frekuensinya masih ada yang berbeda 2-3 kali setiap
hari, sedangkan untuk konsumsi buah-buahan hanya sesekali saja
jikamereka menginginkan, dan juga jika mempunyai dana untuk
membelinya. Mereka sebenarnya mengetahui bahwa konsumsi
buah dan sayur baik untuk kesehatan, salah satu misalnya agar
buang air besarnya tidak susah, akan tetapi jika tidak ada uang
maka mereka tidak dapat membeli dan mengkonsumsinya.
Biasanya untuk memperoleh sayur dan buah diperoleh dengan
membeli di warung, dipasar atau buah-buahan tertentu dapat
berasal dari kebun sendiri, misalkan buah pisang. Sayur yang
dikonsumsi oleh masyarakat disana seperti sayur kangkung, sayur
bayem, ketimun, dan sayur oyong. Sedangkan buah-buahan yang
dikonsumsi seperti buah apel, pisang, bengkoang, dan jeruk.
Cara penyimpanan makanan masih kebanyakan warga
tidak mempunyai lemari pendingin/kulkas, sehingga mereka
biasanya membeli sayur atau buah hanya untuk kebutuhan
sehari saja. Kalaupun terlihat ada bahan makanan yang sudah
basi atau busuk, maka akan dibuang. Biasanya sayur jika akan
dimasak terlebih dahulu dicuci dan buah-buahan yang akan
dikonsumsi terlebih dahulu di cuci, kecuali beberapa buahbuahan yang tidak dicuci seperti buah pisang dan jeruk yang
sering dikonsumsi oleh masyarakat di sana. Karena konsumsi
buah ini tidak selalu dilakukan setiap hari oleh kebanyakan
101
Sumber : Wawancara dengan Waryuni
181
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
masyarakat di sana. Berdasarkan data profil Promkes Dinas
Kesehatan Kabupaten Cirebon tahun 2013 didapatkan data
makan sayur dan buah setiap hari tahun 2013 di Desa Dukuh
Widara adalah 1669 (100 %).102 Peralatan masak yang digunakan
sudah hampir bisa dikatakan sudah cukup modern. Beberapa
keluarga sudah menggunakan kompor gas,kuali, panci atau
dandang, dan peralatan masak yang cukup modern lainnya,
seperti magic com, hanya ada beberapa keluarga masyarakat
yang masih menggunakan peralatan masak tradisional seperti
tungku dan kayu untuk memasak, dikarenakan belum memiliki
kompor gas atau hanya untuk masak nasi dan air saja.
Gambar 3.10.
Peralatan masak yang digunakan salah satu
warga masyarakat
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
102
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, Profil Promosi Kesehatan
2013
182
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Gambar 3.11.
Tempat masak menggunakan kayu dirumah salah satu warga
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
3.4.8. Merokok dalam Rumah
Masih banyak warga masyarakat yang merokok.
Berdasarkan Data profil Promkes Dinas Kesehatan Kabupaten
Cirebon tahun 2013 didapatkan data tidak merokok dalam rumah
tahun 2013 di Desa Dukuh Widara adalah 268 (16,06 %).103 Dari
beberapa informan ibu-ibu yang diwawancarai rata-rata
suaminya adalah perokok, dan hampir semuanya mengatakan
bahwa suaminya sehari bisa menghabiskan rokok sampai 1
bungkus. Rokok yang digunakan bermacam-macam. Ada yang
filter atau juga ada yang kretek. Sebenarnya warga atau suami103
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, Profil Promosi Kesehatan
2013
183
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
suami mereka mengetahui akan bahaya dari merokok, salah
satunya misalkan bisa menyebabkan kanker, dan jantung, namun
mereka masih ada yang berfikir bahwa kalau tidak merokok
mulutnya terasa asem, dan juga ada karena alasan merasa sudah
kecanduan,dan untuk mengurangi kejenuhan, sehingga sulit
untuk berhenti. Namun pada saat istri –istri mereka sedang
hamil, biasanya mereka merokoknya lebih menjauh dari istrinya
yang sedang hamil, namun masih dalam satu ruangan rumah,
begitu juga jika memiliki bayi atau balita. Sehingga terkadang ibuibu hamil atau bayi/balita tersebut harus menjauh/ dijauhkan,
dikarenakan bau asap rokoknya yang masih tercium, sehingga
masih bisa terhisap. Mereka masih belum menyadari bahwa asap
rokok bisa membahayakan ibu, janin, dan anaknya, sehingga
terkadang warga masyarakat terlihat tidak perduli dan tetap
merokok walaupun asap rokok masih tercium dan dapat terhisap
oleh orang lain disekitarnya.
Gambar 3.12.
Suami yang merokok di dalam rumah dekat
istrinya yang sedang hamil
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
184
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
3.4.9. Penggunaan Air Bersih
Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan
setelah udara. Sekitar ¾ bagian tubuh kita terdiri atas air, tidak
seorangpun dapat bertahan hidup lebih dari 4-5 hari tanpa
minum air. Selain itu air juga dipergunakan untuk memasak,
mencuci, mandi, dan membersihkan kotoran yang ada di sekitar
rumah.
Sumber air bersih warga masyarakat desa Dukuh Widara
seluruhnya bersumber dari sumur gali, yang berupa sumur timba,
atau sumur pompa dengan menggunakan Sanyo untuk
mengalirkan air ke bak mandi atau ke tempat penampungan air
lainnya.
Gambar 3.13.
Tempat mandi dan sumber air untuk mandi warga
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Berdasarkan Data profil Promkes Dinas Kesehatan
Kabupaten Cirebon tahun 2013 didapatkan data menggunakan
air bersih tahun 2013 di Desa Dukuh Widara adalah 1669 (100
185
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
%)104. Air sumur dipergunakan untuk seluruh aktivitas dan
kebutuhan sehari-hari warga, seperti mencuci, memasak, mandi,
dan minum. kecuali untuk pengairan irigasi bersumber dari aliran
sungai Cisanggarung. Khusus untuk konsumsi minum, air dari
sumber air atau sumur ditampung di tempayan (tempat air)
khusus, misalkan dari bahan plastik, namun ada juga warga yang
sudah menggunakan air galon untuk konsumsi air minum,
tergantung kemampuan ekonominya.
Gambar 3.14
Tempat penampungan air sementara untuk minum dan masak
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
104
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, Profil Promosi Kesehatan
2013
186
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
3.4.10. Memberantas Jentik Nyamuk
Data profil Promkes Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon
tahun 2013 didapatkan data memberantas jentik nyamuk tahun
2013 di Desa Dukuh Widara adalah 1669 (100 %).105Beberapa
kamar mandi masyarakat disana, masih sederhana. Ada yang
menggunakan sumur sekaligus untuk tempat mandi, tetapi ada
juga yang membuat kamar mandi, dengan sumber air yang dialiri
air sumur timba. Mengenai kebersihannya, dalam keadaan cukup
bersih dan ada juga yang masih terlihat kurang bersih. Kegiatan
menguras bak mandi dilakukan warga tidak rutin seminggu sekali,
tetapi terkadang dua minggu dan satu bulan sekali. Mereka
biasanya memelihara ikan di bak mandi sebagai upaya untuk
mengurangi adanya jentik nyamuk. Umumnya mereka
mempunyai tempat penampungan air di setiap rumahnya.
Penampungan air digunakan untuk menampung air bersih yang
digunakan untuk mandi, BAK, dan basuh setelah BAB, untuk
masak, biasanya penampungan menggunakan ember-ember,
kecuali untuk tempat penampungan air untuk air minum sebelum
dimasak, biasanya ada penutupnya, dan penutup dibuka jika akan
digunakan saja untuk air minum yang sebelumnya dimasak
terlebih dahulu. Kegiatan menampung air dilakukan karena ada
beberapa warga yang masih belum mempunyai sumber air atau
sumur, sehingga air sumur ditampung dan dibawa ke rumah
untuk kebutuhan sehari-hari.
105
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon, Profil Promosi Kesehatan
2013
187
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Gambar 3.15.
Tempat penampungan air sementara untuk keperluan sehari-hari
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Gambar 3.16.
Tempat mandi warga
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
188
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Masih ada warga masyarakat yang menggunakan
kelambu untuk menghindari nyamuk. Selain itu juga ada yang
menggunakan obat nyamuk bakar, dan lotion sebagai anti
nyamuknya. Mengenai bahaya nyamuk dan penyakit yang
disebabkan oleh nyamuk, masyarakat sudah mengetahui bahwa
ada beberapa penyakit yang dapat ditimbulkannya yaitu seperti
demam berdarah, malaria, dan penyakit kaki gajah.
Gambar 3.17
Penggunaan kelambu di dalam kamar tidurwarga
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Berdasarkan informasi dari petugas kesehatan Puskesmas
Kalibuntu bagian proposi kesehatan bahwa pelaksanaan fogging,
pemberian abate dan pemeriksaan jentik dilakukan hanya jika
terjadi kasus DBD saja, sedangkan untuk penyuluhan dan
kegiatan PSN secara rutin dilakukan setiap hari jum’at pada
kegiatan jumat bersih yang dilakukan di setiap desa oleh petugas
189
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
promkes dan sekaligus sebagai upaya pendekatan terhadap
masyarakat.
Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam
Berdarah Dengue (PSN DBD), adalah kegiatan terencana yang
dilakukan oleh seluruh masyarakat bersama pemerintah dan
pemerintah daerah untuk mencegah penyakit DBD melalui
kegiatan PSN secara terus menerus dan berkesinambungan.
Gerakan PSN DBD ini merupakan kegiatan yang paling efektif
untuk mencegah terjadinya penyakit DBD serta mewujudkan
kebersihan lingkungan dan perilaku hidup sehat. Sasaran
Gerakan PSN DBD adalah semua keluarga dan pengelola tempat
umum, melaksanakan PSN DBD (3M) serta menjaga kebersihan di
lngkungannya masing-masing, sehingga bebas dari jentik nyamuk
Aedes.106
106
Sumber: Kementerian Kesehatan R.I. 2013
190
BAB 4
OYOG,
GOYANGAN LEMBUT JEMARI DUKUN BAYI
Desa Dukuh Widara yang terletak di Kecamatan
Pabedilan, Kabupaten Cirebon, lokasinya cukup strategis, karena
berada tak jauh dari Jalan Pantura, merupakan jalan raya yang
menghubungkan kota-kota di Pulau Jawa. Kondisi ini
memungkinkan akses yang mudah bagi masyarakat Dukuh
Widara terhadap berbagai fasilitas, termasuk fasilitas layanan
kesehatan. Fasilitas layanan kesehatan berupa rumah sakit
besar seperti RSUD Gunung Jati di Kota Cirebon, RS Brebes, RS
Tegal, RS Waled (Kuningan), maupun klinik-klinik kesehatan
hingga Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) relatif mudah
dijangkau oleh masyarakat Desa Dukuh Widara. Di Kecamatan
Pabedilan, terdapat dua Puskesmas, Puskesmas Pabedilan di Kota
Kecamatan dan Puskesmas Kalibuntu, dengan Desa Dukuh
Widara sebagai salah satu wilayah kerjanya.
Puskesmas Pembantu (Pustu) dibangun di tengah-tengah
desa, tak jauh dari balai desa, untuk lebih mempermudah
masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan. Selain itu, ada
juga dua bidan yang membuka praktek layanan kesehatan di desa
ini, terutama memberikan layanan pada ibu-ibu hamil.
Namun begitu, mudahnya akses berbagai layanan
kesehatan tersebut, nampaknya belum menghilangkan
191
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
kepercayaan masyarakat terhadap tenaga-tenaga kesehatan
tradisional, terutama dukun bayi.107
4.1. Dukun Bayi
Berdasarkan data yang ada di Puskesmas Kalibuntu,
tercatat ada 10 dukun bayi yang tersebar di desa-desa wilayah
kerja Puskesmas. Dari 10 dukun tersebut, 8 adalah dukun terlatih
dan 2 tidak terlatih. Meski begitu, ketika penulis melakukan cek
langsung ke desa-desa, ternyata ada beberapa dukun bayi yang
belum terdata di Puskesmas. Data tentang dukun bayi yang
terlatih dan tidak terlatih disajikan pada tabel 4.1.
Dari tabel 4.1 terlihat bahwa jumlah dukun bayi di Desa
Dukuh Widara menempati jumlah terbanyak, yaitu sebanyak 6
orang. Hal ini menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat Desa
Dukuh Widara terhadap dukun bayi masih tinggi. Hal tersebut
tidak bisa dipungkiri karena keberadaan seorang dukun bayi juga
disebabkan masih ada masyarakat yang membutuhkan.
Dukun bayi, menurut kategori dari Puskesmas, dibagi
menjadi “Dukun Bayi Terlatih” dan “Dukun Bayi Tidak Terlatih.”
Dukun bayi terlatih adalah dukun bayi yang telah mengikuti
berbagai pelatihan yang diadakan baik oleh Puskesmas maupun
pihak Dinas Kesehatan.Dari pelatihan ini kemudian diharapkan
terjalinnya kemitraan antara bidan dan dukun bayi yakni
terjalinnya kerjasama antara bidan dan dukun bayi dalam proses
persalinan. Disebutkan bahwa dalam “Kemitraaan bidan dan
dukun, menempatkan bidan sebagai penolong persalinan dan
mengalihfungsikan peran dukun dari penolong persalinan
107
Dukun bayi, sering juga disebut paraji, merupakan istilah lokal yang
biasanya digunakan oleh masyarakat Sunda. Namun di Desa Dukuh Widara,
yang masyarakatnya adalah Etnik Jawa, dukun bayi disebut ‘dukun bayi’
karenanya, dalam tulisan ini istilah yang digunakan tetaplah ‘dukun bayi.’
192
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
menjadi mitra bidan dalam perawatan ibu dan bayi pada aspek
non medisnya”108.
Tabel 4.1. Dukun bayi yang ada di Wilayah Kerja Puskesmas
Kalibuntu, 2014
Dukun Bayi
No
Nama Desa
Jml
Terlatih
Tidak
Terlatih
Keterangan
1.
Pasuruan
2
-
2
Tidak terdata
oleh Puskesmas
2.
Dukuh Widara
6
4
2
Dua dukun bayi
yang tidak
terlatih tidak
terdata
Puskesmas
3.
Kalimukti
0
-
-
4.
Kalibuntu
1
-
1
5.
Sidaresmi
1
1
-
6.
Babakan Losari
1
1
-
7.
Babakan Losari Lor
2
1
1
Total
Sumber: Profil Puskesmas Kalibuntu tahun 2013
13
Dukun bayi biasanya mengambil peran dalam perawatan
seseorang selama masa kehamilan, kelahiran hingga pasca
kelahiran. Sedangkan dukun bayi tidak terlatih adalah dukun bayi
yang belum pernah mengikuti pelatihan semacam itu. Penyebab
seorang dukun bayi tidak mengikuti pelatihan bisa disebabkan
karena tidak bisa atau bahkan tidak mau ketika diundang
pelatihan, namun ada juga yang memang tidak pernah diajak.
108
Sumber: “Pedoman Kemitraaan Bidan dan Dukun”, Direktorat Bina
Kesehatan Ibu, Kementrian Kesehatan RI, http://www.kesehatanibu.
depkes.go.id/wp-content/uploads/downloads/2011/12/PEDOMANKEMITRAAN-BIDAN-DUKUN.pdf
193
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Kasus terakhir terjadi pada beberapa dukun bayi baru. Menurut
Bu Ila salah seorang bidan di Desa Dukuh Widara, pelatihan
memang sudah tidak diadakan lagi. Harapannya, generasi dukun
bayi akan berhenti pada generasi yang sekarang saja. Namun
begitu, kenyataan di masyarakat tidaklah demikian. Hal yang
sama juga disampaikan oleh bidan Mumun sebagaimana
pernyataan dibawah ini:
“Pelatihan dukun ya kita mengadakan sendiri aja, ya
hanya pembinaan aja. Terkadang tergantung misalnya
dukun semua desakan dipanggil ke Puskesmas semua
kumpul tapi kadang ada perorangan yang didatengin. Klo
ga dateng ya didatengin. Ada yang rada-rada bandel ya
kita datengin perorangan” . 109
4.1.1. Karakteristik Para Dukun Bayi
Dukun bayi di Desa Dukuh Widara memiliki karakterisitk
yang bervariasi antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu
gambaran karakterisitk masing-masing dukun bayi akan disajikan
perindividu:
a. Mak Inah
Mak Inah mewarisi kemampuan untuk menjadi dukun
bayi dari neneknya dan mertuanya. Neneknya mewariskan
kemampuan menjadi dukun bayi dari buyutnyayang merupakan
seorang dukun bayi terkenal, sementara mertuanya adalah
‘dukun kurungan’ (dukun yang bisa menyembuhkan penyakit
karena kesurupan atau gangguan makhluk halus). Mak Inah kecil
sudah tertarik dengan pekerjaan neneknya sehingga ia selalu
nginthil (mengikuti) setiap kali sang nenek melakukan pekerjaan
109
Sumber: Wawancara dengan Bidan Mumun, Bidan Puskesmas Kalibuntu
194
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
sebagai dukun bayi110. Hal tersebut menjadikan mak Inah tidak
memperdulikan tentang pendidikannya. Sebagaimana penuturan
Mak Inah sebagai berikut:
“Nggak bisa apa-apa. Nulis nggak bisa. Nggak sekolah.
Baca nggak bisa [...], saya ngintil dari kecil, nggak
sekolah, nggak mau, mau ngintil buyut.”
Dari mengikuti neneknya ini, Mak Inah belajar cara
menjadi dukun bayi. Bahkan, ketika neneknya hendak meninggal,
konon Mak Inah dipanggil dan disuruh memegang tangannya
untuk diludahi. Anehnya, aroma ludahnya wangi dan sang nenek
mengatakan bahwa kelak, Mak Inah akan mudah mencari rezeki
dengan menggunakan tangannya.
“Saya di kanan, paman saya di kiri. Sebelum lolos
diludahi ke tangan ‘cuh!’ tapi wangine. Ngko sandang
pangan sedalan-dalan. Ya gitu. Saya masih kecil waktu
itu.”
Beranjak besar, Mak Inah pun kemudian mulai menjadi
dukun bayi. Awalnya, tentu saja masih banyak yang tak percaya.
Namun setelah melihat kemampuan Mak Inah serta karena ia
memang keturunan dukun bayi, maka seiring waktu masyarakat
pun kemudian mempercayainya. Seperti yang diungkapkan Bu
Titi, salah satu orang yang dulu pernah ditolong Mak Inah ketika
melahirkan anak-anaknya, ia mengaku takut dan tak percaya:
“Baru nolong, saya takut ntar nggak bisa. Terus ini bayi
sudah mau keluar saja, saya tidur, terus 3 kali nguat
terus melahirkan [...].Anak ke-4, sampai anak 6 itu Mak
Inah. Ibu tuanya meninggal ya Mak Inah. Di sini banyak
dukun bayi, tapi nggak kayak Mak Inah, sampai susah
jarang-jarang nemuinnya. Jauh-jauh juga ke sini .”
110
Sumber: Wawancara dengang Mak Inah, 13 Mei 2014
195
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Mak Inah saat ini adalah dukun bayi yang cukup laris.
Dalam satu pagi, ia bisa memandikan hingga 4 bayi. Pasiennya
tidak hanya terbatas pada orang-orang di sekitar tempat
tinggalnya, tetapi sampai desa-desa terdekat. Pasien biasanya
akan datang menjemput jika membutuhkan jasanya.
Di masa lalu, ia sering menolong proses melahirkan. Tapi
dengan adanya peraturan dari pemerintah yang melarang
seorang dukun bayi menolong kelahiran, Mak Inah pun lebih
banyak melakukan pekerjaan mendampingi bidan dalam proses
kelahiran dan juga perawatan ibu dan bayi setelah melahirkan, di
samping juga melakukan pijat atau urut pada masyarakat luas
yang menginginkan jasa pijatnya.
Mak Inah sudah beberapa kali mengikuti pelatihan untuk
dukun bayi yang diselenggarakan oleh Puskesmas atau Dinas
Kesehatan setempat. Ia juga sudah paham konsekuensi jika
melakukan pertolongan pada ibu melahirkan. Ia mengaku selalu
memanggil bidan ketika ada seorang yang hendak melahirkan
dan meminta pertolongannya. Saat ini, anak dan cucu Mak Inah
bahkan bersekolah di sekolah kesehatan. Salah seorang anak
lelakinya menjadi tenaga kesehatan di sebuah rumah sakit
tentara, sedangkan cucunya sekolah di sekolah menengah
kesehatan. Konon, anak dan cucunya ini sering menasehati Mak
Inah agar tidak melakukan persalinan sendiri.
Mak Inah juga merasa, bahwa arwah sang nenek masih
sering mengikutinya. Jika ia melakukan hal-hal yang tak benar
sang nenek konon akan menegurnya. Sebelum menjadi dukun,
Mak Inah mengaku harus melakukan ritual-ritual terlebih dahulu,
seperti puasa mutih.Hingga sekarang pun, Mak Inah masih sering
berpuasa.
Sudah sekitar 25 tahun Mak Inah menjadi dukun bayi.
Dari empat orang anak, ia memperoleh 7 orang cucu. Mak Inah
berpikir bahwa salah seorang anaknya, yakni anak perempuan
196
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
tertua, akan meneruskan pekerjaannya menjadi dukun bayi. Ia
bisa melihat bahwa anaknya ini memang memiliki kemampuan
seperti itu.
b. Mak Isah
Mak Isah saat ini berumur sekitar 56 tahun. Ia menjadi
dukun bayi selama 15 tahunan. Seperti halnya Mak Inah,
kemampuannya menjadi dukun bayi merupakan keturunan.
Buyutnya adalah dukun bayi, lalu neneknya dan ibunya. Mak Isah
adalah anak perempuan tertua dalam keluarganya. Dan ketika
kecil, Mak Isah pernah bermimpi ditemui nenek buyutnya yang
sudah meninggal, mengajaknya menolong orang melahirkan.
Ajakan dalam mimpi ini, dianggap Mak Isah sebagai pesan agar ia
kelak menjadi dukun bayi. Namun demikian, awalnya Mak Isah
mengaku tak terlalu berminat untuk menjadi dukun bayi. Namun
setelah ibunya meninggal, banyak orang yang datang kepadanya
dan berharap agar ia meneruskan ibunya. Karena banyaknya
permintaan dan juga didorong oleh kebutuhan ekonomi, setelah
suaminya meninggal ia mulai menekuni pekerjaan itu, karena
iaharus membesarkan anak-anaknya.
Dulu, Mak Isah juga sering menolong orang yang hendak
melahirkan, tetapi dengan adanya larangan menolong persalian
oleh dukun bayi, Mak Isah pun lebih banyak terlibat dalam proses
setelah kelahiran. Jika ada yang meminta pertolongan
kepadanya, Mak Isah akan menghubungi bidan.
“Pokoknya Mak bilang, kasih tahu saja mau manggilnya
bidan siap. [...]Mak tanya, punya askes nggak,
jamkesmas? Punya. Sudah panggil saja bidan.”
Mak Isah juga pernah mengikuti berbagai pelatihan untuk
dukun terlatih. Ia paham cara-cara perawatan pasca kelahiran,
seperti pemotongan tali pusat dengan gunting yang sudah
197
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dibersihkan dan direndam air panas, juga pengobatan luka
dengan antiseptik.
Dalam prosesnya menjadi dukun bayi, Mak Isah mengaku
tak pernah melakukan ritual apa-apa. Baginya, yang terpenting
setiap kali hendak melakukan
sesuatu adalah memohon
keselamatan dari Yang Maha Kuasa dengan membaca basmalah
atau Surat Al-Fatihah dan juga shalawat. Ia juga tak terlalu
berharap anaknya akan meneruskan pekerjaannya. Namun jika
ada yang berminat, ia tak keberatan. Ia menyerahkan keputusan
sepenuhnya pada anak-anaknya.
Saat ini Mak Isah sering sakit-sakitan, karenanya dia
sering meminta adiknya, Bi Ipah untuk menggantikannya.
c. Mak Iyah
Mak Iyah juga menjadi dukun bayi karena keturunan.
Almarhum ibunya adalah dukun bayi. Ketika ibunya sudah
beranjak tua, tetangga sekitar mengharapkan sang ibu
menurunkan ilmunya kepada anaknya. Dari beberapa anak
perempuan ibunya, Mak Iyah kemudian dipilih karena ia hanya
memiliki satu orang anak.
“Jare sing muda-muda pada hamil ‘mak diturunaken
anake, timbang ngundang wong kana-kana, adoh.
Disetujui , je. Isun kan sing wong legan. Wong ora repot.
Dadi nek ana wong lairan dijak. Isun dibelukbeluk, ngko
dijak isune njagong, aja gemeter kae ya wong maune
dudu cekele. Ari puput ari nggeong , ari ngayun-ngayun.
Ari bayi puput, disebutna kiye-kiye.”
(Kata orang muda-muda yang sedang hamil, ‘Mak
diturunkan ke anaknya, daripada mengundang dukun
bayi di tempat yang jauh. Disetujui, saya kan nggak
repot. Jadi kalau ada orang melahirkan, diajak. Dipanggilpanggil. Saya duduk, gemetar, karena belum biasa. Kalau
198
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
lepas tali pusat, kalau nggeyong, mengayun, diajari
begini-begini)
Pada awal menjadi dukun bayi, ia juga sering melakukan
ritual-ritual, seperti puasa mutih, terutama pada tiga bulan
pertama menjadi dukun bayi. Ia percaya bahwa dengan
melakukan ritual seperti itu, ia akan mendapat kekuatan
sehingga bisa menjadi lebih tegel (tabah/kuat) ketika harus
menolong seseorang (terutama ibu hamil).
Keahlian Mak Iyah tidak hanya sebatas menolong
persalinan, tapi juga memijat, baik ibu hamil, ibu melahirkan atau
masyarakat umum
Saat ini, Mak Iyah sudah sekitar lima belas tahun menjadi
dukun bayi dan mengaku sudah menolong orang melahirkan
ratusan kali. Menurutnya selama menolong persalinan, belum
pernah ia mendapati bayi atau ibu yang ditolongnya meninggal.
Namun sejak tidak diperbolehkan menolong, ia juga tak lagi
menolong karena ia sadar bahwa hal itu melanggar peraturan
pemerintah. Jika ada orang yang ingin melahirkan, ia selalu
menyarankan agar memanggil bidan.
Dimasa lalu ketika diajak untuk mengikuti pelatihan di
Puskesmas atau Dinas Kesehatan, Mak Iyah juga berusaha untuk
selalu mengikutinya.
Sementara untuk menurunkan ilmunya, Mak Iyah tidak
terlalu berharap. Anaknya memang perempuan tetapi hanya
satu, serta masih muda (sekitar 20 tahun). Ia menyerahkan
sepenuhnya kepada anaknya.
d. Mak Ras
Mak Ras adalah salah satu dukun bayi generasi tua yang
masih tersisa di Dukuh Widara. Ia seangkatan dengan ibunya Mak
Iyah & Mak Isah, yang sudah lama meninggal. Mak Ras juga
menjadi dukun bayi karena keturunan. Di usia tuanya, Mak Ras
199
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
berharap salah seorang anak perempuannya meneruskan
pekerjaannya, namun sang anak mengaku masih belum siap.
Meski sudah senior, Mak Ras selalu menurut ketika bidan
atau petugas Puskesmas menyarankan untuk tidak menolong
persalinan. Mak Ras sadar akan konsekuensi hukum yang harus ia
tanggung jika hal itu ia lakukan. Dimasa lalu Mak Ras juga hampir
selalu datang setiap kali mendapat undangan untuk mengkuti
berbagai pelatihan yang dilakukan Puskesmas.
e. Bi Ipah
Bi Ipah adalah adik Mak Isah. Ia menjadi dukun bayi sejak
sekitar tiga tahun yang lalu, karena diminta menggantikan Mak
Isah ketika sering sakit. Awalnya, Bi Ipah tak berminat, tetapi
karena banyaknya orang meminta, ia pun kemudian
melakukannya. Akhir-akhir ini banyak orang yang mengetahui
kemampuan Bi Ipah, kemudian sering meminta pertolongannya.
Mulai dari melakukan oyog, hingga memandikan bayi, mengurut
ibu setelah melahirkan atau sekedar memijat orang yang ingin
dipijat. Meski begitu, Bi Ipah masih terkesan enggan disebut
sebagai dukun bayi.
“Saya hanya menggantikan posisi kakak, pas kalau dia
sakit. Gak enaklah mbak, wong masih banyak yang
senior”
Bi Ipah seorang janda. Anak-anaknya sudah besar. Anak
bungsunya yang tinggal dengannya, sudah duduk di bangku SMA.
Meski usianya sudah 50 tahun, tetapi secara fisik Bi Ipah masih
terlihat bugar. Bi Ipah terlihat leluasa dan gesit dalam melakukan
pekerjaan. Ia biasa mengunjungi pasiennya dengan
menggunakan sepeda motor yang dikendarainya sendiri dan para
klien juga lebih mudah menghubunginya karena ia memiliki
nomor telepon sendiri (dari enam dukun yang ada di Desa Dukuh
200
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Widara, Bi Ipah satu-satunya yang memiliki ponsel dan mampu
mengendarai sepeda motor sendiri).
Bi Ipah belum pernah mengikuti pelatihan dukun bayi,
oleh karena itu ia digolongkan sebagai ‘dukun tidak terlatih.’
Sebagai dukun bayi yang cukup baru, ia memang tidak
berkesempatan mengikuti pelatihan karena pelatihan dilakukan
sebelum Bi Ipah menjadi dukun bayi. Meski begitu, Bi Ipah
mengaku paham bahwa dukun bayi tidak diperbolehkan
menolong persalinan dan harus selalu memanggil bidan. Ketika
ada yang hendak melahirkan, ia justru menolong memanggilkan
bidan. Ia akan menanyakan pada keluarga tersebut tentang bidan
yang dipilih untuk menolong persalinan dan selanjutnya Bi Ipah
akan menghubungi sang Bidan. Bi Ipah juga akan melakukan
pendampingan selama proses persalinan berlangsung, dan
kemudian melakukan perawatan pasca kelahiran.
Saat ini, cukup banyak tetangga yang meminta pertolongan Bi
Ipah terutama dalam oyog dan perawatan setelah melahirkan. Ia
dianggap gesit dan fisiknya juga masih kuat.
f. Bi Irah
Bi Irah juga dikategorikan sebagai dukun tak terlatih
karena memang tak pernah mengikuti pelatihan yang diadakan
oleh Puskesmas atau Dinas Kesehatan. Meski begitu, ia mengaku
selalu menyarankan untuk melahirkan pada bidan karena ia juga
paham konsekuensi-konsekuensi jika dirinya melakukan
pertolongan. Namun seringkali ia mengaku tak bisa menolak
ketika ada ibu hamil yang hendak melahirkan dan kondisinya
sudah mendesak untuk melahirkan.
Bi Irah masih cukup muda, usianya baru 34 tahun dan
mulai menjadi dukun bayi sejak 6 tahun belakangan. Ia juga
keturunan dukun bayi, meski tidak secara langsung, yakni dari
uwak-nya. Ia juga masih bersaudara (dari nenek) dengan Mak
Iyah. Sebelum menjadi dukun, ia juga menjalani proses seperti
201
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
puasa mutih selama tujuh hari serta belajar doa-doa dari
uwaknya.
Selain dari uwaknya, Bi Irah mengaku mendapatkan
ilmunya dari tempat dahulu dia bekerja. Ketika berumur 16
tahun, Bi Irah pernah bekerja di klinik milik seorang bidan di Kota
Cirebon selama 6 bulan. Selama bekerja di klinik inilah, konon Bi
Irah banyak belajar ilmu pertolongan persalinan. Mulai dari
memberi obat hingga mendampingi proses melahirkan. Karena
sifatnya yang tidak takut melihat darah ketika ada orang
melahirkan, menjadikan ia sering dipercaya bidan untuk
membantunya.
“Merasa nggak jijik megang ari-ari, jadi bantu orang
bersalin. Jadinya bisa.”
Dari paparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
proses menjadi dukun bayi diperoleh secara keturunan dan
bahkan melewati pewarisan yang bersifat supranatural (mimpi,
memegang tangan) untuk meningkatkan kemampuannya,
bahkan diperlukan laku-laku tertentu (puasa, menghafalkan doadoa). Karenanya, peran dukun bayi bukan semata sebagai
membantu orang yang melahirkan, tetapi juga terlibat dalam
berbagai ritual-ritual yang bersifat religius dan tradisional di
masyarakat.
4.1.2. Peran Dukun Bayi
4.1.2.1.Peran Dukun Bayi pada masa Kehamilan
a. Tradisi nujuh bulanan: Tebus Weteng dan Lolosan
Seorang dukun bayi biasanya dipercaya memimpin ritualritual yang dilakukan pada masa kehamilan, terutama ritual tujuh
bulanan yang juga dikenal sebagai ritual tebus weteng atau
lolosan. Tebus weteng, adalah ritual yang dilakukan ketika usia
kehamilan memasuki usia tujuh bulan. Tebus weteng umumnya
202
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
hanya diadakan ketika seorang ibu hamil untuk pertamakalinya
(kehamilan anak pertama). Acara biasanya dilakukan pada
tanggal yang mempunyai angka tujuh (tanggal 7, tanggal 17, atau
tanggal 27) pada bulan kehamilan ketujuh.
Gambar 4.1.
Perlengkapan nebus weteng: kelapa gading muda, kain 7 lembar,
air kembang 7 rupa
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Selain acara pengajian dengan mengundang para
tetangga (laki-laki), pada acara ini dilakukan ritual tebus weteng,
yakni memandikan ibu hamil dengan air bunga tujuh rupa. Ritual
ini biasanya dilakukan setelah pengajian usai dan para tamu
sudah pulang. Sementara sanak keluarga masih tinggal untuk
mengikuti tebus weteng yang dipimpin dukun bayi. Sebelum
dilakukan tebus weteng, biasanya dukun bayi akan
mempersiapkan beberapa perlengkapan, berupa:
203
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
1) Bunga tujuh rupa. Jenis bunga bisa apa saja asalkan tujuh
jenis. Bunga-bunga yang sering digunakan adalah bungabunga yang mudah di dapat seperti bunga bugenvil, bunga
sepatu, bunga mawar, bunga asoka, bunga melati, bunga
kenanga, dan bunga kantil. Dan tak ketinggalan adalah
kembang jambe (bunga pinang) yang konon menyimbolkan
harapan agar kelak si jabang bayi mudah dalam mencari
rezeki.
2) Saweran (uang logam)
3) Kelapa gading muda (biasanya akan diukiri tulisan Arab berisi
doa keselamatan) →simbol jabang bayi yang dilahirkan
4) Krubungan (tempat pemandian)
5) Kain panjang 7 lembar.
Prosesinya meliputi:
1. Bunga tujuh rupa dan saweran dimasukkan ke dalam air
yang dipersiapkan untuk mandi ibu hamil
2. Ibu hamil dibimbing oleh dukun bayi keluar dan masuk
rumah dari pintu yang berbeda, hal ini sebagi simbol
proses kelahiran yang lancar
3. Masuk ke tempat pemandian. Ibu hamil siap dimandikan
dalam posisi duduk dan memeluk kelapa gading di
dadanya.
4. Dukun bayi berdiri di depan ibu hamil, mengambil air
bunga tujuh rupa, membaca doa kemudian
menyemburkannya ke perut ibu hamil dan dilanjutkan
dengan mengguyurkan air sebanyak 3 kali oleh dukun bayi
dan dilanjutkan empat orang kerabat masing-masing satu
kali guyuran. Setiap guyuran yang dilakukan oleh dukun
bayi atau kerabat, ibu hamil akan berdiri hingga kelapa
gading hingga jatuh ke bawah. Hal tersebut diulang
sampai dukun bayi dan semua kerabat selesai mengguyur.
204
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Proses tersebut melambangkan proses melahirkan yang
lancar
Do’a yang sering diucapkan pada ritual tebus
weteng,adalah sebagai berikut:
“Audzibilahiminasyaitonirrajim. Bismillahirahmanirahim.
Jabang sira pang dinuju bulan, pan arane diadusi nuju
bulan, sedulur papat lima pancer. Rohaba (roh
kehidupan) kumpulana, roh putih (roh kematian)
singkirana. Si brambang jati si brambang sari, si tali ariari.
Asyhadualailahailallah,
wa
asyhaduana
muhammadarrasulullah (3x). Allahummashali ‘ala
sayiddina muhammad... (shalawat 3x).” 111
5. Anggota keluarga hingga berjumlah tujuh orang,
bergantian memandikan ibu hamil, masing-masing 3 kali
sambil membaca shalawat Nabi
6. Ibu hamil mengeringkan badan kemudian memakai tujuh
lembar kain secara bergantian secara berturut-turut
dengan dibantu dukun bayi dan anggota keluarga
perempuan
7. Dukun bayi menyisir rambut ibu hamil, kemudian
memotong rambut halus di pelipis ibu hamil untuk
membuang kebel (buang sial)
8. Dukun bayi melakukan oyog (pemijatan pada ibu hamil)
dengan tujuan untuk membenarkan posisi bayi
9. Ritual selesai, dukun bayi pulang ke rumah.
Meski begitu, pada prakteknya, tebus weteng bisa bervariasi
antara satu dengan yang lain. Ada yang sederhana, dan ada
mewah. Versi paling sederhana dari tebus weteng adalah lolosan.
111
Doa-doa ini bisa saja berbebeda antara satu dukun dengan dukun yang lain.
Meski begitu isinya hampir selalu sama, yakni mendoakan kebaikan untuk ibu
dan jabang bayi.
205
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Lolosan tidak melibatkan ritual yang rumit. Juga tidak ada
slametan. Hal ini disebabkan karena sudah dilakukan acara
ngupatan, yaitu upacara empat bulanan sehingga upacara tujuh
bulanan, dilakukan secara sederhana karena alasan biaya.
Memandikan ibu hamil dengan air kembang, meskipun kadangkadang masih ada yang hanya membuat bubur lolos, yaitu bubur
dari tepung beras ketan yang dicampur gula merah dan
dibungkus daun pisang yang dilumuri minyak goreng. Bubur ini
akan menjadi kenyal tetapi tidak lengket. Menyimbolkan harapan
kondisi bayi ketika lahir kelak akan ‘lolos’ atau mudah dalam
proses kelahiran. Bubur ini biasanya akan dibagi-bagikan kepada
tetangga sekitar. Setelah itu, seorang dukun biasanya akan
dipanggil untuk melakukan oyog.
Gambar 4.2.
Bubur lolosan
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Upacara nujuh bulanan biasanya hanya diperuntukkan
untuk bayi kehamilan pertama. Sedangkan pada kehamilan kedua
dan berikutnya, banyak yang tidak lagi melakukan lagi upacara
tersebut.
206
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Belakangan, berkembang tradisi ngupatan, yakni
selamatan pada usia kehamilan empat bulan. Ada kepercayaan
yang bersifat lebih religius bahwa upacara ngupatan lebih utama
daripada nujuh bulan karena pada masa kehamilan ini, menurut
ajara agama (Islam) adalah masa ruh bayi ditiupkan. Pada acara
ngupatan, biasanya dilakukan pengajian, pembacaan surat-surat
Al-Qur’an (surat Maryam dan Yusuf), serta doa-doa untuk
kebaikan si jabang bayi. Selain itu, juga dibuat ketupat (asal kata
“ngupatan”) yang kemudian dibagi-bagikan kepada yang hadir.
Pada acarangupatan biasanya tidak banyak dilakukan ritual pada
ibu hamil selain meminum air putih yang sudah didoakan. Dukun
bayi biasanya juga tidak dilibatkan dalam acara seperti ini selain
sebagai tetangga yang membantu penyiapan acara, seperti juga
tetangga yang lain.
Di masa lalu, memanggil dukun bayi sejak masa kehamilan
juga dimaksudkan untuk menciptakan ikatan bahwa ketika proses
kelahiran tiba, dukun tersebut yang akan dipercayakan dalam
membantu persalinan hingga pasca melahirkan. Saat ini, ketika
persalinan oleh dukun bayi sudah semakin jarang, dukun bayi
tersebut kemudian lebih banyak membantu perawatan setelah
kelahiran.
4.1.2.2. Peran dukun bayi pada proses kelahiran
Dukun bayi di Desa Dukuh Widara, saat ini sudah tidak
diperbolehkan lagi melakukan pertolongan langsung pada
persalinan. Meski begitu, banyak masyarakat yang menganggap
bahwa dukun bayi adalah orang yang memiliki banyak
pengalaman dan pengetahuan terkait proses kelahiran. Oleh
karena itu, pihak keluarga seringkali menghubungi dukun bayi
ketika ada yang akan melahirkan. Seorang dukun bayiharus
melakukan kemitraan dengan bidan desa setempat jika ingin
207
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
membantu
proses
persalinan
dengan
cara
saling
mengkominikasikan satu sama lain.
Peran-peran dukun bayi lebih pada ‘menemani’ dan
‘menenangkan ‘ sang ibu yang hendak melahirkan, seperti
memberi pijatan-pijatan ringan untuk memberi rasa nyaman.
Selama proses ini, seringkali dukun bayi harus meluangkan
seluruh waktunya mendampingi si ibu. Dukun bayi biasanya akan
mengambil peran seperti memberi usapan-usapan lembut untuk
meredakan rasa sakit, atau mengawasi proses ketika ibu hendak
melahirkan (pembukaan). Selama masa kesakitan, dukun bayi
akan mendampingi bersama anggota keluarga yang lain,
sementara itu bidan akan mengambil peran ketika proses
kelahiran (membantu persalinan) atau juga memberikan rujukan
ketika proses kelahiran sulit. Bidan biasanya hanya datang untuk
mengecek proses pembukaan dan ketika proses persalinan sudah
mendekati waktunya. Ketika proses persalinan selesai, bidan
biasanya akan langsung pulang, sementara dukun bayi akan tetap
tinggal mengurus sang ibu dan bayinya.
Pada kasus ketika seorang ibu yang hendak melahirkan
harus dirujuk ke rumah sakit, dukun bayi biasanya akan diajak
oleh anggota keluarga untuk menemani sang ibu. Tak jarang,
dukun bayi juga dipercaya untuk melakukan komunikasi dengan
pihak rumah sakit. Sehingga ketika si ibu pulang ke rumah dan
masih harus meneruskan proses pengobatan, dukun bayi akan
tetap dilibatkan. Pada kasus Ibu Ita misalnya, yang harus dirujuk
ke salah satu rumah sakit swasta dan akhirnya harus melahirkan
dengan cara operasi caesar, selama masa operasi, didampingi
oleh dukun bayi, Mak Isah. Selanjutnya sepulang dari rumah
sakit, Mak Isah juga mengambil peran perawatan pada Ita,
seperti mengawasi proses minum obat dan perawatan luka
(membersihkan luka, mengganti perban) hingga sembuh.
208
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
4.1.2.3. Peran Dukun Bayi pada masa setelah melahirkan
a. Peran Dukun Bayi pada Bayi setelah lahir
Memandikan Bayi
Ketika bayi telah lahir, dukun bayi akan mengambil
banyak peran, terutama dalam perawatan bayi, mulai dari
memandikan bayi, merawat tali pusat, membedaki, dan
membedong. Perawatan ini dilakukan hingga puput, yakni kering
dan lepasnya tali pusar bayi yang biasanya memakan waktu 3-7
hari.
Bayi yang baru lahir kondisinya masih sangat rentan,
sehingga diperlukan kehati-hatian ekstra dalam memperlakukannya. Seorang ibu, terutama ibu-ibu yang baru melahirkan
untuk pertamakalinya, seringkali masih merasa canggung untuk
merawat bayinya. Di sisi lain, seringkali kondisinya juga masih
terlalu lemah karena usai melahirkan. Oleh karena itu ibu yang
baru melahirkan biasanya memanggil dukun bayi untuk
mengurus sang bayi. Memandikan bayi dilakukan dua kali sehari,
pagi dan sore hari. Waktu memandikan berlangsung sekitar 5
menit dengan menggunakan air hangat dan sabun khusus bayi.
Setelah itu, dukun bayi akan mengeringkannya dengan handuk,
membaluri tubuhnya dengan bedak, mengolesi tali pusarnya
dengan antiseptik dan kemudian membungkusnya dengan kain
(bedong). Setelah melakukan tugasnya, dukun bayi akan pamit
pulang atau kadang-kadang tinggal untuk beberapa waktu,
mengobrol dengan sang ibu atau anggota keluarga lainnya sambil
disuguhi minuman dan makanan ringan. Meskipun dukun bayi
umumnya adalah tetangga bahkan kadang-kadang masih
saudara, tetapi posisinya juga sebagai orang yang dihormati.
Dukun bayi adalah orang yang dipercaya untuk melakukan
perawatan bayinya dan seringkali dianggap sebagai ‘anggota
keluarga baru yang istimewa.’
209
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Gambar 4.3.
Memandikan bayi oleh Dukun Bayi
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Nggeyong
Nggeyong adalah ritual yang dilakukan setelah tali pusar
bayi kering dan lepas. Nggeyong atau ngayun yakni ritual
membuatkan ayunan dan mengayun bayi untuk pertamakalinya.
Ritual ini biasanya akan dibarengi dengan ritual mangku,
mengubur ari-ari dan ditutup dengan markabanan.
Pada ritual nggeyong, dukun bayi dengan dibantu anggota
keluarga
yang
melahirkan
(biasanya
suami)
untuk
mempersiapkan perlengkapannya berupa:
1. Tali tambang untuk mengikat ayunan
2. Besi untuk mengikat ayunan
3. Bunga dan dedaunan yang di buat rentengan (rangkaian)
dan digantung di tengah ayunan, biasanya terdiri dari:112
112
Meski begitu, seringkali rentengan ini tidak terlalu lengkap. Karena
kesulitan mencari dedaunan seringkali terlihat rentengan hanya terdiri dari
bawang merah, bawang putih, cabai merah, dlingo-bengle dan bungabungaan.
210
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
- Daun gondang kasih → agar banyak yang asih
(menyayangi)
- Daun kluwih →rejekinya luwih (berlebih)
- Daun Waluh →selalu waluyo (sehat)
- Daun Jambe/Pinang, daun sirih, bunga-bunga-an,
sebagai pethethan (mainan) bayi
- Dlingo-bengle →penangkal roh jahat
- Cabai merah, bawang merah, bawang putih →agar
kelak pandai bercocok tanam
4. Kain panjang (sebaiknya baru) sebanyak 3 lembar untuk
kain ayunan. Angka tiga adalah angka yang dianggap baik.
5. Perwanten atau sesaji yang biasanya terdiri dari beras,
kelapa bulat, sawer (sejumlah uang) dan7 macam jaburan
(jajan pasar) serta nasi tumpeng
6. Lampu penerang (lampu minyak/lilin/kemenyan yang
dibakar)
Gambar 4.4.
Bayi dalam geyongan yang dihias aneka bunga dan perwanten (sajen) berupa
jajan pasar tujuh rupa, nasi tumpeng dan lilin
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
211
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Nggeyong bisa dilakukan kapan saja, namun umumnya
pada siang hari. Adapun prosesi pada ritual nggeyong adalah
sebagai berikut:
1. Ayunan siap
2. Sesajen di letakkan di bawah ayunan
3. Bayi akan dimandikan oleh dukun bayi, dibedaki diberi
pakaian dan dibedong, kemudian dinaikkan ke atas
ayunan.
4. Penerang dinyalakan
5. Dukun bayi akan mulai mengucapkan doa-doa untuk
kebaikan si bayi
6. Dukun akan mulai mengayun bayi
7. Dukun mengoleskan arang pada jidat bayi dengan maksud
agar bayi tidak disukai makhluk jahat (tidak selalu)
8. Ritual selesai, dukun bayi akan pulang dengan membawa
perwanten.
9. Kain ayunan dibongkar dan diganti dengan ayunan biasa.
Ada kepercayaan bahwa jika tidak dibongkar, akan
menimbulkan bau apak.
Mangku
Ritual mangku biasanya dilakukan sebelum atau sesudah
nggeyong. Tidak ada aturan khusus mengenai hal itu. Tujuan
mangku, selain untuk mendoakan kebaikan bayi, juga diharapkan
kelak, jika anak tersebut sakit, akan banyak orang yang
menjenguk dan membantu merawat.
Seperti namanya, ritual ini memang melibatkan acara
memangku bayi. Tuan rumah akan mengundang ibu-ibu yang
umumnya sudah dianggap tua, ke rumahnya. Dukun bayi akan
dilibatkan sebagai salah satu pemangku bayi. Bayi yang telah
dimandikan dan dibedong, kemudian diletakkan di atas tampah
yang dialasi kain, untuk kemudian dipangku secara bergantian
oleh ibu-ibu yang datang sambil menggumamkan shalawat. Salah
212
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
seorang di antara ibu-ibu ini akan membacakan Surat Yusuf atau
Surat Maryam, tergantung dari jenis kelamin bayi. Surat Yusuf
untuk bayi laki-laki dengan harapan sang anak akan setampan
dan sesholeh Nabi Yusuf dan Surat Maryam untuk bayi
perempuan agar menjadi perempuan yang sholehah seperti Siti
Maryam. Bisa juga Surat Waqi’ah untuk perempuan dan Surat Arrohman untuk laki-laki, meski kedua surat pertama lah yang lebih
sering dibaca.
Gambar 4.5.
Ritual Mangku
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Bagi yang masih kental memegang tradisi ini, konon acara
mangku belum dianggap selesai sebelum bayi bersin atau
menguap. Posisi kepala bayi berhadapan dengan pemangku dan
bayi berada diatas kakinya. Namun dalam prakteknya, hal ini
sudah mengalami banyak variasi.
Acara biasanya akan ditutup dengan jaburan, yakni tuan
rumah mengeluarkan berbagai jenis penganan kecil sebagai
213
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
bentuk penghormatan dan ucapan terimakasih kepada para ibu.
Para tamu akan mengobrol sambil menikmati jaburan. Dan
seringkalijaburan tersebut juga dibungkus dan dibawa pulang
oleh masing-masing tamu.
Mengubur Ari-Ari
Mengubur ari-ari dilakukan setelah tali pusat bayi kering
dan terlepas, karena tali pusat dianggap sebagai teman ari-ari
sehingga harus dikubur bersamaan. Selama menunggu tali pusat
terlepas, ari-ari akan disimpan di dalam pendil (kendi tanah liat),
direndam dalam garam agar tidak membusuk . Selain itu, ari-ari
juga ditaburi bunga-bungaan, yang terdiri dari:
- Daun kluwih
- Daun gondang kasih
- Daun jati menyimbolkan harapan agar sang anak selalu
berhati-hati dalam kehidupannya
- Daun pulungan melambangkan harapan bahwa sang anak
akan mendapat banyak yang menolong ketika menghadapi
kesulitan
- Lawe, yakni benang putih tebal yang dirajut sedemikian rupa,
juga sebagai simbol rejeki yang berlebih
- Tiruan ginjel-angen-angen, berupa benang wol warna-warni
yang dijalin sedemikian rupa dengan lidi sehingga
membentuk segi empat dan segi enam yang menyimbolkan
ginjel dan angen-angen si bayi.
Ginjel adalah ginjal sebagai lambang kesehatan,
diharapkan bayi akan tumbuh sebagai anak yang sehat. Dan
angen-angen adalah lambang otak atau pikiran, agar bayi
tumbuh jadi anak yang pintar, tidak plonga-plongo (bodoh).
Sambil menunggu ‘saudaranya’, yakni tali pusat si bayi
mengering dan lepas, pendil berisi ari-ari ini kemudian akan
214
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
dibungkus dengan kain putih, dilapisi dengan kantong plastik dan
disimpan di kolong tempat tidur bayi.
Gambar 4.6.
Ari-ari yang disimpan di dalam kendi tanah liat dengan bunga-bungaan,
lawe,ginjel dan angen-angen
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Mengubur ari-ari umumnya dilakukan pada hari Jum’at,
selepas sembahyang Jum’atan karena dianggap sebagai hari baik
secara Islam. Hari Jum’at juga dianggap sebagai hari air yang
dingin. Pada ritual ini, sang ayah akan menggendong pendil serta
membawa payung, berjalan ke tempat ari-ari akan dikubur dan
biasanya berada di sekitar rumah, dengan diiringi oleh dukun
bayi yang membacakan shalawat. Pada saat ari-ari akan dikubur
sang ayah akan mengumandangkan azan. Setelah azan selesai
dukun bayi mulai melakukan surak, yaitu menebarkan sawer
yang terdiri dari beras dan uang recehan. Suasana akan menjadi
215
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
riuh (surak) karena anak-anak biasanya akan saling berebut untuk
mendapatkan uang recehan ini.
Markabanan dan Pemberian Nama
Markabanan atau marhabanan adalah acara pengajian
yang dilakukan oleh para lelaki dewasa di sekitar lingkungan
rumah ibu melahirkan. Pengajian biasanya diisi dengan
‘berjanjen’ yakni membaca kitab Al Berjanji, kitab yang berisi
kisah-kisah Nabi Muhammad. Pembacaan ini dilakukan secara
bersama-sama dan dengan nada tertentu. Selama berjanjen bayi
juga dipegang secara bergiliran seperti pada prosesi mangku.
Selain itu dibaca juga Surat Yusuf atau Maryam, sesuai dengan
jenis kelamin bayi. Dalam acara ini dilakukan pengumuman nama
bayi. Ketika markabanan selesai, para tamu akan diberi berkat
(bungkusan nasi beserta lauk-pauk) untuk dibawa pulang. Karena
acara ini melibatkan kaum lelaki, dukun bayi biasanya tidak
terlalu memiliki peran.
Karena acara markabanan cukup membutuhkan banyak
biaya, kadang-kadang ditunda hingga beberapa waktu sampai
pihak keluarga mempunyai cukup uang. Biasanya hingga empat
puluh hari (selapanan), dan sekaligus menandai berakhirnya
ritual kelahiran.
Setelah bayi puput dan semua ritual sudah dilaksanakan,
peran dukun bayi akan semakin sedikit atau bahkan sudah
selesai. Memandikan bayi akan diambil alih oleh sang ibu atau
keluarganya (ibu, kakak), meski kadang beberapa keluarga masih
menggunakan jasa dukun bayi untuk memandikan bayi hingga
hari ke-40.
Nyukur
Nyukur adalah tradisi mencukur rambut untuk pertama
kalinya pada bayi. Acara nyukur biasanya dilakukan setelah bayi
berumur 40 hari. Hari yang dipilih biasanya adalah hari Rabu atau
216
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Jum’at karena dianggap sebagai hari yang
baik (hari
dingin/sejuk). Hari Rabu disimbolkan sebagai ‘Hari Daun’ dan Hari
Jum’at sebagai ‘Hari Air.’ Acara nyukur biasanya disertai dengan
pembuatan bubur candil, yakni bubur yang terbuat dari tepung
kanji/tapioka, dibentuk menjadi bulatan-bulatan kecil dan
dimasak dengan santan dan gula merah. Setelah masak, bubur ini
kemudian dibagikan kepada para tetangga.
Nyukur bisa dilakukan sendiri oleh sang ibu atau anggota
keluarga lainnya, tetapi lebih sering dipercayakan kepada dukun
bayi. Nyukur biasanya dilakukan ketika bayi sedang tertidur dan
dalam keadaan dibedong, agar tidak banyak bergerak karena
bisa membahayakan proses pencukuran.
Sebelum proses nyukur, biasanya akan disiapkan
beberapa perlengkapan, yakni:
- Sajen/perwanten berupa beras dan jajanan pasar tujuh rupa
dan uang
- Telor ayam yang diletakkan di atas layah/cobek atau piring
- Bedak dingin yaitu bedak yang terbuat dari campuran
tepung beras dan kencur
- Air hangat
- Cangkang Keong
- Alat cukur
Pertama-tama, dukun bayi akan membaca doa sebelum memulai
mencukur. Doa yang dibaca biasanya ‘basmallah’ yang menandai
dimulainya suatu pekerjaan dalam ajaran Islam. Setelah itu,
kepala bayi diusap dengan telur sebagai simbol agar anak tidak
mudah ademen (dingin). Telur melambangkan sesuatu yang
hangat, karena dierami. Telur yang digunakan bisa telur ayam
kampung maupun telur ayam negri dan sebaiknya dicari telur
yang bentuknya bulat, yang melambangkan bentuk kepala si
anak. Rambut kemudian dibasahi dengan air hangat untuk
memudahkan pencukuran. Kepala yang sudah dicukur kemudian
217
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dibalur dengan bedak dingin (beras kencur) agar kepala terasa
sejuk. Rambut yang sudah dicukur kemudian dimasukkan ke
dalam cangkang keong, dengan tujuan agar sejuk dan terlindung.
Rambut yang sudah dimasukkan ke dalam cangkang ini,
kemudian dikubur di bawah pohon (biasanya pohon pisang).
Gambar 4.7.
Ritual nyukur, sajen dan candil
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Nyukur pada bayi adalah hal yang dianggap ‘wajib’
dilakukan, karena bisa membuang ‘kebel’ (nasib sial/hal-hal
buruk) pada si anak ketika beranjak besar kelak. Menurut Bi
Ipah, seorang dukun bayi yang sering dipercaya untuk mencukur
rambut bayi, bahwa bayi yang tidak dicukur akan memiliki
rambut bajang/gembel yang membawa hal-hal yang buruk.
Sehingga jika tidak dicukur pada waktu bayi ketika akan melalui
218
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
prosesi penting dalam hidupnya orang tersebut harus menduduki
kepala kerbau. Padahal harga kepala kerbau cukup mahal dan
juga relatif sulit dicari. Pada anak laki-laki prosesi penting itu
adalah ketika hendak disunat, sedangkan pada anak perempuan
ketika ia akan menikah. Jika tidak dilakukan, maka dikhawatirkan
ia akan mengalami banyak hal buruk (kesialan) dalam hidupnya.
b. Peran Dukun Bayi pada Ibu Melahirkan
Dalam suatu kelahiran, peran dukun bayi seringkali tidak
hanya bertugas mengurus dan merawat bayi. Beberapa ibu,
kadang tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah melahirkan.
Oleh karena itu dukun bayi kemudian diminta untuk mengurus
dan merawatnya. Perawatan yang dilakukan biasanya mulai dari
menyiapkan berbagai perlengkapan perawatan seperti aneka
bedak dan jamu-jamuan, mengolesi param/boreh, merawat luka
bekas operasi (pada kasus persalinan lewat operasi cesar) dan
terutama melakukan pijat. Pijat pasca melahirkan dilakukan
hampir semua ibu-ibu setelah melahirkan (kecuali usai operasi)
karena diyakini selain memberi rasa nyaman juga
mengembalikan rahim yang dianggap turun pasca melahirkan.
“Kalau sudah lahiran saya yang ngurus, diiketi, dibedaki,
dimandiin. Diublek-ublek jamu, saya yang beli. Mandiin.
Borehin ibunya, pakai bengkung panjang.” Mak Inah,
Dukun Bayi.”
Perawatan lain yang diberikan oleh dukun bayi adalah
mandi dan mandi nifas. Mandi wiladah adalah mandi dengan
maksud untuk mensucikan diri setelah seorang ibu melahirkan.
Mandi wiladah hanya dilakukan pada ibu yang melahirkan secara
normal (bukan operasi), biasanya dilakukan sehari setelah
melahirkan. Vagina seorang perempuan dianggap ‘kotor’ setelah
dilewati jabang bayi, oleh karena itu perlu disucikan. Sedangkan
mandi nifas, biasanya dilakukan setelah 40 hari, yang ditandai
219
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dengan berhentinya darah nifas seorang ibu setelah melahirkan.
Ini adalah mandi ‘bersih-bersih’, tubuh seorang ibu kembali
dianggap suci oleh karena itu sudah diperbolehkan melakukan
ritual-ritual agama (shalat, puasa). Dukun bayi biasanya akan
dimintai tolong untuk membantu melakukan proses ini,
meskipun beberapa perempuan kadang bisa melakukannya
sendiri. Dalam mandi nifas, selain dengan air biasa, seringkali
juga ditambahkan mandi dengan air kembang tujuh rupa.
Setelah semua ritual penting pasca kelahiran selama 40
hari selesai, maka tugas dukun bayi sudah dianggap selesai.
Perawatan sang bayi selanjutnya akan diambil alih oleh
keluarganya.
4.1.2.4. Peran Dukun Bayi yang lain dalam kehidupan seharihari
a. Menjual jamu godogan
Ketika selesai melakukan wawancara dengan salah satu
dukun bayi, terlihat dukun bayi beranjak ke dapur dan bercerita
bahwa hari ini ada beberapa pesanan untuk membuatkan jamu
godogan. Beliau mempersilahkan melihat ke dapur dan
menceritakan apa yang sedang dibuatnya.
“ini Jamu godog rebus-rebusan dari daun-daunan, yang ini
katanya daun dadap laut, buat itu kolesterol sama kencing
manis. Ini ada orang yang pesen banyak. Daun lampes buat
perut kembung. Banyak orang pesensampai Panggang (daerah
desa lain diluar Kecamatan Pabedilan). Tadi ngerebusin banyak
ma. Jamu ini tidak boleh diberikan pada ibu hamil. Daun tapak
liman, suket jarem, putri malu, akarnya pepaya gandul, buat
yang pada pegel-pegel, cape.”113
113
Sumber: Wawancara dengan Bi Irah
220
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
b. Pijat bayi atau balita atau anak
Ketika seorang bayi atau balita mengalami panas,
terkadang diasumsikan oleh orangtua atau keluarganya bayi
tersebut kecetit(terjadi pergeseran syaraf atau otot tubuh karena
suatu aktivitas fisik atau karena terjatuh), biasanya mereka
terkadang ada yang membawa ke dukun bayi untuk diurut atau
dipijet, dengan tujuan dibetulkan kembali urat-uratnya atau otototot tubuhnya.
“ngurut, ngobatin bayi yang kecetit, sakit. Misalkan bayi
sakit diurut jaluk sembuh.”114
“Bayi kecetit suka mijet,kalau orang tuanya manggil ibu
ya kesana. Ya diurut pelan-pelan namanya orangtua aja
diurut klo kecetit sakit apalagi bayi, pelan-pelan harus
sabar.115
c. Pijat orang dewasa
Selain pijat pada bayi, balita atau anak, dukun bayi di desa
dukuh widara juga melakukan pijat pada orang dewasa. Biasanya
dukun bayi akan dipanggil ke rumah pasiennya atau pasiennya
datang ke rumah dukun tersebut.
“Iya ada banyak bukan ibu hamil. Kemarin ada yang
kesandung terus dirumahnya ma dipijet.”116
“Iya ini aja ada janji sama orang Losari mau di pijet.”117
114
Sumber: Wawancara dengan Mak Iyah
115
Sumber: Wawancara dengan Bi Ipah
116
Sumber: Wawancara dengan Mak Inah
117
Sumber: Wawancara dengan Bi Ipah
221
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
4.1.3. Prinsip Kerja ‘Sak Iklase’
Dukun bayi, dalam melakukan pekerjaannya memang
tidak gratis. Meski begitu, ada semacam kode etik bahwa
pembayaran untuk kerja mereka didasarkan pada prinsip ‘ora
ngarani, seiklase’ (tidak menyebutkan jumlah, seikhlasnya orang
yang memberi). Jika seorang dukun bayi berani ‘ngarani’
(menyebutkan biaya yang harus dibayar), meski jumlah yang
disebutkan adalah jumlah yang sebenarnya umum diberikan, hal
itu akan mengganggu citranya. Orang-orang akan membicarakan
di belakang, menyebutnya sebagai dukun yang ‘itung-itungan,’
sebuah perilaku yang dianggap kurang terpuji. Sebagai
konsekuensinya, orang-orang akan berpikir dua kali untuk
menggunakan kembali jasanya.
Meskipun pembayarannya didasarkan pada ‘sak iklase’
akan tetapi sebenarnya ada kesepakatan umum mengenai
jumlah tertentu yang harus diberikan kepada dukun bayi. Di Desa
Dukuh Widara, untuk melakukan perawatan pasca kelahiran
selama sekitar 5-7 hari, harga yang dibayar untuk dukun bayi
adalah sekitar Rp. 300.000-Rp. 500.000, tergantung dari
kemampuan masing-masing keluarga.
Kerja dukun bayi juga bersifat keseluruhan. Mereka
berusaha memberikan pelayanan yang penuh sesuai dengan yang
diharapkan oleh orang yang menggunakan jasanya. Ia bertugas
ngopeni, yang tidak hanya bermakna merawat, tapi juga
menjaga. Tidak hanya pada bayi tapi juga sang ibu.
“Dukun bayi [...] diopeni bayine, diopeni wong tuwane.
Diopeni. Diadusi isuk sore, isuk sore. Diopeni lah pokoke,
sampai puput.” (Mak Iyah, Dukun Bayi)
(Dukun bayi [...] merawat bayi, merawat orang tuanya.
Memandikan pagi sore, pagi sore. Diopeni pokoknya
sampai puput)
222
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
4.2. Tradisi Pijat
“Massage is among the oldest treatment known to
mankind.118”
Pijat sebenarnya merupakan tradisi yang sudah dikenal
sejak jaman dulu kala dan bisa dijumpai hampir pada semua
masyarakat di dunia. Termasuk bagi masyarakat Jawa, seperti
yang ditulis Geertz (983: 96) bahwa:
“...bagi orang Jawa, bahkan bagi kalangan yang sangat
bernapas kota pun, pijat merupakan jawaban untuk
segala macam penyakit...,”
4.2.1. Jenis-Jenis Pijat
Bagi masyarakat Desa Dukuh Widara, dikenal beberapa
jenis pijat, yakni:
a. Pijat Penyembuhan
Pijat jenis ini biasanya dilakukan oleh semua lapisan
masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, anak-anak, tua
maupun muda. Seseorang melakukan pijat karena keluhan tidak
nyaman pada tubuhnya seperti teng greges (seperti
demam),masuk angin, pegel-pegel, kecethit (pergeseran syaraf
karena suatu aktivitas fisik atau terjatuh) dan keseleo. Seorang
pasien akan mengundang tukang pijat atau pergi ke rumah
tukang pijat untuk mendapatkan pijatan. Tukang pijat bisa lakilaki maupun perempuan. Tapi umumnya pasien perempuan akan
selektif dalam memilih tukang pijat, terutama untuk kasus pijat
badan, dipilih adalah tukang pijat perempuan. Tukang pijat
perempuan di Desa Dukuh Widara adalah juga dukun bayi.
118
Sumber: Westhof & Ernst, 1992 dalam Edzard Ernst, dalam “Evidence-based
massage therapy: a contradiction in terms?” (http://www.sld.cu/galerias/
pdf/sitios/rehabilitacion-doc/massage_therapythe evidence_for_ practice.pdf)
223
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Sementara tukang pijat laki-laki biasanya sekaligus memiliki
keahlian dalam obat-obatan alternatif (herbal) maupun
akupuntur. Lama pemijatan biasanya berlangsung antara 30-90
menit dan tarif berkisar antara Rp. 30.000 – Rp. 50.000. Alat-alat
yang digunakan dalam pemijatan, biasanya hanya minyak,
biasanya minya klentik (minyak goreng/minyak kelapa) yang
dicampur dengan bawang merah. Seperti yang diungkapka Mak
Iyah, dukun bayi yang juga sering melakukan urut untuk
mengobati orang yang sakit:
“Di bregodok, dipijet-pijet, bawangabang, lenga klentik.
[...]Rada adem. Panas. Panas dalem. Kadang-kadang
pan arep metu adem iku, adem ning jero kulit. Di
bregodok.”
(dibregodok—salah satu gerakan pijat yang melibatkan
pijatan seluruh tubuh—dipijat-pijat, bawang merah,
minyak goreng [...] jadi agak dingin. Panas. Panas dalam.
Kadang-kadang (panasnya) hendak keluar, jadi dingin di
bawah kulit. Dibregodok)
b. Pijat Ibu Hamil
Pijatan pada ibu hamil adalah hal yang lazim dilakukan
oleh ibu-ibu hamil di Desa Dukuh Widara. Pijat, terutama
dilakukan oleh dukun bayi. Di masa lalu, pemilihan dukun bayi
untuk melakukan pijat kehamilan berarti juga ‘membangun
ikatan’ pada dukun bayi tersebut untuk menolong persalinan.
Pada kondisi sekarang, karena persalinan oleh dukun bayi
dilarang (meski ada beberapa kasus kebrojolan), biasanya lebih
pada ikatan untuk merawat bayi setelah melahirkan, meskipun
ikatan itu bukan sesuatu yang baku.
Pijat untuk ibu hamil di Desa Dukuh Widara bisa
dibedakan menjadi pijat untuk mengetahui kehamilan (mek-mek)
dan pijat untuk membetulkan posisi bayi (oyog).
224
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Mek-mek (bahasa Jawa: dimek: dipegang, disentuh/diraba
dengan tangan) adalah pijat untuk mengetahui adanya
kehamilan, biasanya dilakukan pada usia kehamilan masih sangat
muda. Biasanya pasien datang untuk memastikan apakah dirinya
hamil atau tidak. Umumnya, pasien sudah menyadari bahwa ‘ada
yang berbeda’ dengan dirinya dan ingin diyakinkan melalui
rabaan dukun bayi. Melalui rabaan tangannya pada perut pasien,
konon dukun bayi bisa merasakan apakah memang seorang
sedang hamil atau tidak. Bahkan dukun bayi juga bisa
memperkirakan berapa usia kehamilannya.
“Kadang-kadang ada, dadi apa arane, isun iki meteng
opo dirung? Dadi dimek-mek, meteng, oleh loro oleh telu
kan krasa. Krasane kan kalau udah hamil ada ini,
mblendung-mblendung, atos.” (Mak Iyah, Dukun Bayi)
(Kadang-kadang ada, jadi apa namanya ‘saya hamil atau
belum?’ Jadi dimek-mek, hamil. Dapat dua atau tiga
bulan terasa. Rasanya kalau sudah hamil kan ada yang
menonjol, keras)
“Kadang hamil apa nggak? Dimek. Sudah jalan dua
bulan. Tahunya dari sini, atas (perut), mendokol . Kalau
tiga bulan, ininya sudah penuh (dekat payudara). Sing
bener, Mak? Ra percaya periksa dokter. Bener.” (Mak
Inah, Dukun Bayi)
“Biasanya kalau orang dapat dua, atau satu, ini dimek,
ada nggak bayinya. Kalau udah 3 ya terasa, 2 terasa
kalau 1 sih harus ke dokter, belum terasa.”(Bi Irah,
Dukun Bayi)
Dengan gerakan mek-mek ini, kadang dukun bayi juga bisa
mendeteksi jika ada kelainan pada kehamilan seseorang. Seperti
yang diungkapkan oleh Mak Isah. Ia pernah diminta mek-mek
kehamilan seseorang dan merasakan ada yang tidak beres.
225
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
“Iya itu gluyar-gluyur. Lembek. Nggak kenceng. Kan ada
kantongnya kesini gluyur, kesana gluyur.”
Jika menemui kasus seperti ini, menurut Mak Isah,
biasanya dia akan langsung menyarankan si ibu segera
memeriksakan diri ke bidan atau dokter kandungan.
Pada beberapa kasus, mek-mek kadang juga disertai
permintaan untuk menggugurkan kandungan. Hal ini terutama
terjadi pada kehamilan yang ‘tidak diharapkan’ seperti hamil
sebelum menikah atau hasil dari perselingkuhan. Namun dukun
bayi di Desa Dukuh Widara mengatakan tak pernah mau
melakukan hal-hal seperti itu. Bi Irah, misalnya, pernah didatangi
pasangan yang belum menikah tapi sudah hamil dan diminta
untuk membantu menggugurkan kandungannya, tapi Bi Irah
menolaknya.
“Saya takut, takut dosa. Nggak. jangan. Kemarin aja ada
yang nggak nikah hamil, udah biar aja. Hidup. Nggak mau
saya, kan nggak boleh dalam ajaran islam.”
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Mak Inah bahwa ia sama
sekali tak mau jika diminta melakukan aborsi:
“Kalau ada orang yang mau nggugurin, emoh, banyak
terimakasih. Dari turunan juga nggak boleh.”
Mak Iyah juga beberapa kali didatangi oleh pasangan yang
ingin menggugurkan kandungan. Ada pasangan muda yang
belum menikah, ada juga pasangan selingkuh yang ditinggal
suami/istrinya ke luar negeri. Menurut Mak Inah, biasanya ia
justru akan menasehati pasangan tersebut, bahwa melakukannya
pasti karena suka sama suka dan karenanya harus dipelihara dan
bertanggung jawab.
Jenis pijat yang lain adalah oyog. Pijat oyog adalah pijat
yang bertujuan untuk ‘membetulkan’ posisi bayi. Biasanya
226
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
dilakukan pada kehamilan antara 3-9 bulan. Mengenai jenis pijat
ini, akan dibahas lebih mendalam dalam sub bab tulisan ini.
Pijat pada ibu hamil biasanya hanya berlangsung sekitar
10-15 menit dan hanya melibatkan pemijatan bagian perut dan
karenanya tarifnya juga lebih murah, yakni antara Rp. 15.000 –
Rp. 30.000. Meski pada beberapa kasus, kadang-kadang seorang
ibu juga minta dipijat bagian badan yang lain seperti tangan-kaki,
dan punggung. Jika demikian, waktu yang diperlukan juga lebih
lama dan tarifnya pun akan disesuaikan.
c. Pijat untuk Ibu Setelah Melahirkan (sengkak)
Proses melahirkan bagi seorang perempuan adalah proses
yang mengerahkan banyak energi. Karenanya, usai melahirkan
seorang perempuan biasanya akan mengalami keluhan-keluhan
terkait dengan fisiknya seperti badan pegal-pegal dan rahim yang
seolah-olah turun. Untuk itu, dipanggilah dukun bayi untuk
melakukan pijat.
Pijat pada ibu melahirkan juga dikenal dengan sebutan
‘sengkak’ atau ‘nyengkak’, mengacu pada gerakan ‘menyengkak’
yaitu gerakan memijat dengan cara menekan bagian bawah perut
dengan kedua ibu jari, kemudian membawanya ke bagian atas,
seolah-olah menaikkan rahim. Gerakan ini dilakukan secara
berulang-ulang sampai rahim dianggap kembali ke tempatnya.
Gerakan ini konon menimbulkan rasa sakit pada si ibu, namun
mereka mengaku merasa nyaman setelahnya. Ibu Nur misalnya,
meminta disengkak oleh dukun bayi usai melahirkan. Ketika
disengkak, ia merasa bagian perutnya sakit luar biasa, dan rasa
sakit ini bertahan selama beberapa waktu hingga beberapa hari,
namun setelah itu merasa lebih nyaman.
Selain pijat sengkak, biasanya juga dilakukan pijat bagian
badan yang lain sehingga memberikan rasa nyaman yang lebih.
Pijat ini dilakukan setelah ibu melahirkan, dengan rentang waktu
bervariasi. Ada yang sehari setelah melahirkan, tiga atau empat
227
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
hari setelah melahirkan, ada juga yang empat puluh hari setelah
melahirkan. Tapi sengkak tidak dilakukan pada ibu yang
melahirkan melalui proses operasi karena dukun bayi paham, hal
itu bisa membahayakan bekas luka pada sang ibu. Meski begitu,
seorang ibu yang pernah melahirkan melalui proses operasi tapi
sudah sembuh dan pada proses melahirkan saat ini normal, bisa
dilakukan pijat sengkak.
Pada pijat sengkak ini, juga melibatkan gerakan ‘dijubur’
yakni menekan-nekan bagian anus dengan tujuan yang sama
seperti sengkak.
“Ari dijubur kuwi ntas ngeden-ngeden iku kiyene mlorot.
pantatnya, anusnya. Misale krasane gandul-gandul,
blenak, apa. Arane dijubur, didorong-dorong gini, kan
terusan enak. Ngko disengkak ngono, oleh badan kabeh.
Terus mlakune enak. “(Mak Iyah, Dukun Bayi)
(Kalau dijubur itu setelah mengejan-ejan, itunya
melorot. Pantatnya, anusnya. Rasanya seperti ada yang
menggantung, tidak nyaman. jadi dijubur, didorongdorong, nanti jadi enak. Nanti disengkak juga, pijat
seluruh badan. Nanti jalannya jadi enak).
Ila, misalnya, yang juga seorang tenaga kesehatan. Ketika
usai melahirkan, ia merasa penasaran karena orang-orang di desa
melakukan pijat sengkak, maka ia pun mencobanya. Ia mengaku
kesakitan ketika disengkak, tapi merasa nyaman sesudahnya.
4.3. Oyog
4.3.1. Definisi Oyog
Dalam Bahasa Jawa, dikenal kata ‘oyog’ atau ‘oyag’ yang
berarti goyangan atau bergerak-gerak. Bagi masyarakat Desa
Dukuh Widara, istilah ‘oyog’ mengacu pada pijat yang dilakukan
oleh dukun bayi pada ibu hamil. Oyog, karena merupakan bentuk
228
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
tindakan, sering dilekati kata hubung ‘di’ sehingga menjadi ‘dioyog’, dan masyarakat Desa Dukuh Widara sering melafalkannya
menjadi ‘doyog.’
“Yang namanya bahasa doyog, karena posisi bayi tidak
pada tempatnya. Dibenarkan namanya dioyog. Nanti jadi
enak.”(Pak Soleh, Perangkat Desa)
“Katanya sih dipegang, katanya biar pengin tahu
posisinya bener apa nggak kepalanya ada dimana.”(Rina,
Ibu Hamil)
“Oyog sengerti saya [...] itu diurut, perutnya diurut kalau
sakit, mbateg kalau istilah jawanya itu, nyengkal,
katanya suruhnya dioyog.” (Ima, Ibu Hamil)
"Oyog sih ya mbeneraken bayi sing orang bener.”(Mak
Isah, Dukun Bayi)
“Oyog itu buat mbenerin baby,atau perut-perut yang
sakit, buat ibu hamil, gitu.“ (Sam, Ibu Hamil)
“Dioyog, misale lamun bayi manjing jero [...] oleh bayi
ana sing sesek, kan ana ngeluhe ngko dimek mek kan
enak, lega.” (dioyog, kalau ada bayi yang masuk ke
bawah, sehingga membuat perut ibu sesak. Nanti
dipegang-pegang (oyog), jadi lega) (Bi Yah, Dukun Bayi)
“Ya dibenerin biar nggak rawan […] di benerin. Kan
kadangkadang kalau dibawa ini bisa turun.
Membenarkan posisi bayi. Misalnya kalau bayi
tengkurap ya dibenerin. Kalau posisinya udah mau lahir
kepalanya di atas ya diturunin.” (Bi Irah, Dukun Bayi)
"oyog itu kayak apa ya, membenarkan posisi bayi—
istilahnya sungsang kayak gitu, karena mungkin usia
kandungannya mungkin sudah dewasa, udah tua,
biasanya kan harus posisi kepala di bawah, masih ada
229
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
yang di atas atau disamping—tapi dengan cara diurut
tradisional." (Fira, Ibu Hamil)
Dari definisi di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa oyog
adalah pijatan pada perut ibu hamil yang umumnya dilakukan
oleh dukun bayi dengan tujuan untuk mbenerke (membenarkan)
posisi janin.
Jika ditelusuri, pijat pada ibu hamil ini sebenarnya tidak
hanya dilakukan oleh masyarakat Desa Dukuh Widara saja. Tetapi
juga oleh masyarakat di desa-desa sekitar, bahkan mungkin di
beberapa tempat di Provinsi Jawa Barat. Pijat pada ibu hamil
sepertinya sudah menjadi tradisi turun temurun di masyarakat.
Tidak hanya pada masyarakat Etnik Jawa saja, karena masyarakat
yang berasal dari Etnik Sunda juga mengenal pijat pada ibu hamil
ini. Pijat pada ibu hamil pada masyarakat Sunda dikenal dengan
istilah “gedog”. Sedikit berbeda dengan oyog yang hanya
melibatkan pijatan, pada gedog juga melibatkan gerakan ‘gedoggedog’ yakni menggoyang-goyangkan kain yang menjadi alas ibu
hamil dan biasanya hanya dilakukan pada usia kehamilan 7 bulan.
Meski begitu, tujuan dari gedog juga sama dengan oyog, yakni
membetulkan posisi bayi.
“Digedog. Pakai kain, di goyang supaya kepalanya ke
bawah, dibetulin” (Ibu Euis, Etnik Sunda)
“Digedok
tujuh
kali,
karembong,
dilurusken,
dilempengken, tadina nang nteu bisa tidur teh, tidurna
lali. Nggeus bener arana, budak nggeus lempeng.” (Mak
Kokom, Dukun Bayi Etnik Sunda ).
(Digedok tujuh kali, pakai kain, diluruskan, tadinya yang
tak nyaman tidurnya (ibu hamil) jadi bisa tidur nyenyak.
Sudah betul artinya, janin sudah lurus).
Di beberapa tempat, oyog juga dikenal dengan istilah
“kirag” atau “karag”. Karag menurut salah satu keturunan
230
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
keraton kesepuhan yang bertempat tinggal di Kecamatan
Gunungjati, salah satu kecamatan di Kabupaten cirebon, bahwa
di karag itu adalah digerak-gerakan atau digoyang-goyang bagian
perut oleh dukun bayi untuk membetulkan posisi bayi/janin
supaya persalinannya gampang dan lancar. Sehingga ternyata
tujuan dari karag sama dengan tujuan oyog.
“Di Karag ari jaman bengian kah di godreg-godreg
(weteung ibu hamil ) bari gampang, bari gengser”119
“di karag kalau jaman dahulu itu di goyang-goyang
(perut ibu hamil) supaya gampang, supaya lancar”
Menurut Ratu Erawati pada jaman dahulu minyak yang
digunakan untuk mengoleskan perut ibu hamil saat di karag
tersebut dinamakan minyak gurat. Minyak gurat adalah minyak
leuntik (minyak kelapa) yang sudah diberi doa pada saat acara
sedekah tujuh bulanan atau didoakan oleh kyai .
Gerakan oyog melibatkan pijatan pada perut ibu hamil.
Pijatan biasanya meliputi pijatan di bagian perut samping kiri dan
kanan, di bagian atas, ke bawah dan usapan pada bagian tengah.
Gerakannya biasanya pelan saja dan dilakukan berulang-ulang
selama sekitar 15 menit. Pada beberapa kasus, kadang dukun
bayi juga melakukan pijatan pada anggota badan yang lain
seperti kaki, tangan atau pungung. Tergantung dari permintaan
pasien.
Dukun bayi biasanya akan dipanggil ke rumah ibu hamil
yang ingin di-oyog. Dukun bayi yang dipanggil biasanya adalah
dukun bayi yang sudah dikenal baik oleh keluarga itu, bisa karena
rumahnya yang berdekatan, masih memiliki hubungan
119
Sumber: Wawancara dengan Ratu Erawati, dari Keraton Kesepuhan Cirebon
231
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
persaudaraan atau karena dianggap memiliki reputasi yang
bagus.
Sebelum melakukan oyog, dukun bayi biasanya akan
meminta keluarga ibu hamil untuk menyiapkan minyak atau
lotion guna mempermudah proses pemijatan. Minyak yang biasa
digunakan adalah minyak goreng, baby oil, hingga minyak zaitun,
dan handbody lotion, tergantung dari apa yang dimiliki si pasien.
Setelah pasien siap, dukun bayi akan duduk atau berdiri di
samping pasien, melumuri jemarinya dengan minyak atau lotion,
membaca doa dan mulai memijat. Tidak ada doa khusus untuk
melakukan oyog. Doa yang diucapkan biasanya tergantung dari
masing-masing dukun bayi. Mak Isah misalnya, mengatakan
bahwa doa yang dia ucapkan hanya membaca Surat Al-Fatihah
dan shalawat. Sementara Bi Irah mengatakan bahwa ia hanya
mengucapkan basmallah.120Selain basmallah juga dibacakan ayat
kursi, dengan tujuan untuk mengusir makhluk halus. (Ma Saeni).
Hal yang sama juga diugkapkan dukun bayi yang lain, Mak Iyah.
Lalu disertai dengan obrolan kepada si jabang bayi, bahwa sang
bayi tidak akan diapa-apakan hanya dipegang-pegang saja.
“Ari ngoyog sibismillah bae, bismilah...si jabang sira ora
pan diapak-apakne ora pan diganggu.” (Mak Iyah,
Dukun Bayi)
(Kalau mau ngoyog, bismillah saja. Bismillah...jabang
kamu tidak akan diapa-apakan, bukan hendak diganggu)
4.3.2. Proses Oyog: Komunikasi Yang Hangat
Selama berlangsungnya oyog, biasanya akan melibatkan
komunikasi hangat antara ibu hamil dan dukun bayi. Dukun Bayi
120
Bismillahirahmanirrahim. Dalam agama Islam, bacaan ini diharapkan
diucapkan sebelum memulai setiap aktivitas.
232
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
umumnya adalah tetangga atau setidaknya orang yang cukup
dikenal, mereka seperti ‘teman ibu kita’ atau ‘seorang bibi’
sehingga biasanya ibu hamil tidak akan merasa sungkan. Dukun
bayi akan menanyakan keluhan-keluhan ibu hamil dan tanpa
segan ibu hamil akan berkonsultasi pada dukun bayi tentang
kehamilannya. Dukun bayi umumnya akan memberi komentar
dan saran positif, apa yang sebaiknya dilakukan dan tidak
dilakukan. Hal ini cukup menenangkan ibu hamil, karena yakin
dengan ucapan dukun bayi yang pengalamannya sudah sangat
banyak.
Sisi, misalnya. Ketika kehamilannya memasuki usia 6
bulan, ia memeriksakan diri ke bidan. Bidan mengatakan bahwa
posisi bayinya melintang tanpa penjelasan lebih lanjut. Sisi yang
baru pertamakali hamil merasa syok dan cemas. Ia memutuskan
untuk berkonsultasi dengan dukun bayi sambilmelakukan oyog.
Ia merasa lega ketika dukun bayi mengatakan bahwa ia tak perlu
cemas, karena posisi bayi pada usia kehamilan seperti itu masih
berubah-ubah.
Mak Isah mengatakan bahwa pada saat oyog ia
menyampaikan tanda-tanda persalinan dan juga mengingatkan
agar ibu hamil tetap tenang apabila sudah ada tanda-tanda
persalinan.
“Kalau hamil udah tua klo udah mau lahiran tandatandanya begini-begini dulu. Kalausudah keluar ini
pokoknya jangan rikuh.”121
Lain dengan cerita Bi Ipah, bahwa ketika melakukan oyog
dia juga terkadang menanyakan tentang taksiran dan penolong
persalinan.
121
Sumber: Wawancara dengan Mak Isah
233
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
“Ya kalau melahirkan pake dokter atau bidan?. Katanya
Bulan berapa tanggal berapa?”122
Suasana oyog biasanya akan semakin akrab ketika obrolan
juga merembet pada hal-hal keseharian seperti urusan rumah
tangga hingga bergosip tentang masalah yang sedang hangat di
masyarakat. Tak jarang anggota keluarga yang lain seperti orang
tua ibu hamil juga ikut menemani, sehingga obrolan pun bisa
panjang lebar. Jarang dijumpai suasana canggung dalam proses
ini.
4.3.3.Gerakan Oyog
Dalam gerakan oyog melibatkan istilah: dikumpulke/
ditengahke, diluruske/dilempengke, disengkak, dan doyog-oyog.
Dikumpulke/ditengahke (dikumpulkan/dibawa ketengah) adalah
gerakan memijat pada pinggir perut sebelah kanan kiri, dengan
arah pijatan ke arah tengah perut.
Diluruske/dilempengke (diluruskan) adalah gerakan
dengan maksud meluruskan posisi bayi. Gerakannya sebenarnya
hampir sama dengan gerakan pertama. Melalui rabaan
tangannya, dukun bayi konon bisa merasakan posisi bayi. Jika
posisi bayi malang/ melintang maka akan diluruskan. Ketika
kehamilan memasuki usia 7 bulan, diharapkan posisi bayi sudah
lurus sehingga jika sewaktu-waktu bayi lahir, sudah dianggap
pada tempatnya dan kelahiran pun akan mudah dan lancar.
Sengkak adalah gerakan seperti ‘mencungkil’ bagian perut
bawah dan kemudian dibawa ke atas. Gerakan ini sebenarnya
lebih banyak dilakukan pada ibu setelah melahirkan. Dengan
maksud ‘ngunjukke’ atau menaikkan rahim yang dianggap turun.
Tapi pada beberapa kasus gerakan ini juga dilakukan pada ibu
122
Sumber: Wawancara dengan Bi Ipah
234
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
hamil dengan keluhan yang sama. Perbedaan sengkak pada ibu
setelah melahirkan dan pada ibu hamil, gerakan yang dilakukan
lebih lembut dan biasanya hanya untuk kehamilan muda.
Gambar 4.8.
Salah satu gerakan oyog
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
Di-oyog-oyog adalah gerakan menggoyang-nggoyangkan
secara perlahan pada bagian bawah perut dengan ibu jari dan
telunjuk. Hal ini terutama dilakukan pada kehamilan tua, ketika
posisi bayi dianggap terlalu turun sehingga menekan perut
bagian bawah Ibu hamil sehingga akan menimbulkan rasa
mbateg. Goyangan ini dimaksudkan untuk menaikkan secara
perlahan sang jabang bayi, sehingga ada sedikit ruang di perut
bagian bawah Ibu hamil.
235
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Gambar 4.9.
Gerakan oyog yang lain
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014
“Dikumpulin dari samping kanan kiri, biar lurus. Di atas,
ngeraba, atasnya sampai kemana. (bawah) kalau rasanya rada
turun ya biar owah, jadi naik sedikit, jadi jangan mbateg kalau
buat jalan. Ya itu kalau udah turun udah nggak bisa naik lagi, tapi
namanya kan biar jangan terlalu mbateg. Biar owah saja, jangan
terlalu neken.” (Mak Isah, Dukun Bayi)
“...diurut pelan-pelan, dikumplin bayi itu, takut kakiknya
kemana, kalau disini begitu, diturunin sediikit-sedikit.
Pokoknya membenarkan diemnya bayi. Bawah di bagian
sini (menunjuk bagian bawah perut), dikumpulin biar
satu jalan, jalan itu tempatnya dimana. Terus ya pijit alus
lah. lagi hamilan kecil badan semua diurut, kan pegelpegel. Bayi dikumpulin aja, ketengahin gitu. “ (Nir, Ibu
Hamil)
236
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
“Caranya ya dipijet sampingnya, sampingnya, kalau
dibawah, cuma dijunjung sedikit, tapi dijunjungnya
nggak sampai tertekan. (Mak Inah, Dukun Bayi)
“Dioyog dari samping, diatas-atasin, rada-rada misor,
digoyang-goyang, kalau kemunjukan berarti diturunin
sedikit, kalau turun dinaikkan.” (Bi Ipah, Dukun Bayi)
4.3.4. Oyog: Anjuran dari Para Orang Tua
Oyog, merupakan fenomena yang unik karena masih
dilakukan oleh sebagian besar masyarakat. Oyog bisa dikatakan
merupakan tradisi yang turun temurun. Meski demikian,
sebenarnya, masyarakat di Desa Dukuh Widara juga memiliki
kepercayaan yang tinggi terhadap tenaga kesehatan modern
dalam hal pemeriksaan kehamilan, seperti pada bidan atau
bahkan dokter kandungan. Mereka akan memeriksakan
kehamilan kepada tenaga kesehatan karena percaya bahwa
tenaga kesehatan memiliki ilmu kehamilan dan persalinan yang
diperoleh melalui pendidikan di sekolah.
Keluhan seperti mual, kurang darah, kaki bengkak, ibu
hamil akan memeriksakan diri ke tenaga kesehatan. Umumnya,
pilihannya adalah bidan praktek atau ke Puskesmas. Faktor
kedekatan (jarak atau hubungan sosial), maupun faktor ekonomi
(bidan praktek lebih mahal daripada ke Puskesmas), menjadi
pertimbangan dalam pemilihan tenaga kesehatan.
Meski begitu, dukun bayi juga tidak bisa dikesampingkan
karena dukun bayi juga memilki pengalaman yang sudah diuji
oleh waktu dan memiliki legitimasi sosial (dukun bayi biasanya
diperoleh dari keturunan).
Pada informan yang ditemui, yang umumnya adalah ibuibu muda (20 tahunan), mengaku melakukan oyog karena saran
dari orang-orang terdekat seperti ibu atau kakak perempuan,
237
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
saudara perempuan atau tetangga perempuan. Bagi masyarakat
di Desa Dukuh Widara, preferensi untuk melakukan dan tidak
melakukan sesuatu pada masa kehamilan umumnya memang
masih dipengaruhi oleh anggota keluarga, terutama ibu (jika
masih hidup). Beberapa ibu muda juga masih tinggal di rumah
orang tua mereka atau setidaknya tinggal tak jauh dari rumah
orang tua mereka.
Seperti yang ditulis Geertz, dalam masyarakat Jawa,
melalui pola pengasuhan yang diciptakan, hubungan anak dan
ibu bersifat tak terbatas. Masa-masa kehamilan adalah masamasa yang penting dan “Ibulah yang mengajarkan tata cara
kemasyarakatan, yang membuat keputusan tak terhingga
baginya...” (Geertz, 1983: 113). Saran para orang tua sudah
selayaknya dipatuhi bukan hanya karena ada kekhawatiran, jika
tidak diikuti, justru akan menimbulkan hal-hal negatif (kualat),
tapi lebih karena orang tua sudah memiliki banyak pengalaman
dari masalalu sehingga apa yang dikatakannya sudah teruji
kebenarannya.
Idah, misalnya, seorang ibu muda berusia 23 tahun dan
sedang hamil anak pertamanya. Idah selama ini bekerja di Jakarta
di sebuah perusahaan furniture. Bisa dikatakan bahwa Idah sudah
‘menjadi orang kota.’ Ketika kehamilannya sudah memasuki
sembilan bulan, ia memutuskan untuk pulang kampung dan
berniat melahirkan di sana. Ibu Idah sudah lama meninggal dan ia
tinggal bersama kakak perempuannya yang sudah berkeluarga.
Ketika Idah merasa tak nyaman dengan kehamilannya, sang
kakak kemudian menyarankan Idah untuk melakukan oyog. Idah
yang tak tahu apa-apa tentang oyog, menurut saja karena
menganggap kakaknya sudah berpengalaman. Dan ia pun
memanggil salah seorang dukun bayi di desa untuk melakukan
oyog. Setelah dioyog, ia mengaku merasa keluhannya sembuh.
238
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Bahkan, ketika merasa tidak nyaman lagi pada kehamilannya,
Idah tanpa ragu segera memanggil dukun bayi lagi untuk di oyog.
Demikian juga dengan Nir, yang telah lama menjadi TKW
ke luar negeri. Ibunya Nir juga sudah meninggal. Ketika ia merasa
tidak nyaman pada kehamilannya, ia berkonsultasi pada tetangga
sekitarnya dan mereka menyarankannya untuk melakukan oyog.
“Saya tanya ke orang-orang, kok saya begini, ‘coba
dioyog mungkin Dedek-nya kurang bener, jalan-jalan’,
terus dioyog gitu.”
Sisi (20 tahun),sedang hamil 7 bulan. Awalnya, ia juga
melakukan oyog karena disarankan oleh saudara sepupunya yang
juga tengah hamil. Meski kemudian ia melakukan oyog karena
memang merasakan manfaatnya.
“Nanya kakak ponakan. Kan habis periksa [...]. Jare
ngomong, dioyog bae gen, wis uleh enem bae kat, uleh
sira ana kuwine ya rutin, unggal bulan, setiap bulan.
Soale aku rutin, unggal bulan pas uleh enem kuwi. “
“Nanya kakak ponakan. Kan habis periksa [...]Katanya,
dioyog saja. Kan sudah enam bulan. Kalau sudah enam
bulan katanya lebih baik rutin dioyog, setiap bulan. Jadi
rutin, setiap bulan sejak enam bulan. “
Imah juga disarankan ibunya ketika ia merasa tak nyaman
pada kehamilannya. Awalnya, ia tak terlalu yakin meski kemudian
memutuskan menuruti saran ibunya. Setelah melakukan oyog, ia
memang merasakan manfaatnya.
“Saya kan ngeluh (pada ibunya) nggak enak perutnya
terus, ‘sana dioyog’, emang enak kata saya? Ya coba
sana, sama yang sudah pengalaman, memang ya
hasilnya enak, nyaman perut itu nggak ke bawah bayi
itu.”
239
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
4.3.5. Jenis-jenis Oyog
4.3.5.1. Oyog Berdasarkan Fungsinya
a. Oyog Karena Ada Keluhan
“Kalau bayi nggak enak, dioyog dibetulin, jadi rasanya
enak. Jadi misalnya nggak enak kan enak, gitu.” (Piah,
Ibu Hamil)
Beberapa informan yang diwawancarai, mengatakan
bahwa mereka akan melakukan oyog ketika merasa ada keluhan
dengan kehamilannya. Oyog bisa dilakukan berkali-kali,
tergantung seringnya keluhan yang dirasakan ibu hamil. Keluhan
yang dirasakan biasanya adalah perasaan mbateg, tegang,
cengkrang-cengkring, nyelap, atau nyengkal pada bagian perut
bawah. Semakin banyak keluhan yang dirasakan, semakin sering
oyog dilakukan, baik itu pada usia kehamilan muda (3-6 bulan)
maupun kehamilan tua (7-9 bulan).
Nir, misalnya. Ketika kehamilannya memasuki usia 3
bulan, ia merasakan ada yang tak nyaman dengan kandungannya.
Meski sudah memeriksakan diri ke bidan, keluhan Nir tidak
berkurang. Ia pun disarankan untuk melakukan oyog pada
seorang dukun bayi yang masih terhitung kerabatnya. Hingga
kehamilannya memasuki usia sembilan bulan, Nir sudah
melakukan oyog sebanyak lima kali. Dua kali ketika hamil muda
dan tiga kali ketika hamil tua. Meski begitu, ketika kehamilannya
sudah memasuki usia sembilan bulan dan Nir tak merasakan
keluhan lagi, ia tak lagi melakukan oyog.
“Pokoknya kalau merasa Dedek ngganjel, kurang gimana,
kurangnyaman [...] kalau ada merasa nggak nyaman
Dedek-nya baru dioyog. Kalau nyaman ya nggak,
takutnya ngeganggu ke Dedek.”
240
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Idah, kehamilannya memasuki usia sembilan bulan. Ia
baru saja kembali dari Jakarta. Menempuh perjalanan yang cukup
jauh membuat kandungannya terasa tak nyaman. Ia pun
kemudian memutuskan untuk melakukan oyog. Dua minggu
kemudian, Idah kembali merasakan keluhan dan ia pun kembali
memanggil dukun bayi untuk melakukan oyog.
Imah, baru saja melahirkan anak keduanya. Ia melakukan
oyog pada kehamilan anak pertamanya tapi tidak pada
kehamilan anak keduanya. Karena ketika hamil anak pertama ia
merasakan keluhan mbateg, sedangkan pada kehamilan terakhir
dia tak merasakan apa-apa.
“Waktu itu mungkin karena saya tiap hari terlalu aktif
ngajar ya kayak sedikit ke bawah gitu sebelum waktunya,
dapat berapa kalau nggak salah 7 bulan. Terus saya
datang ke dukun bayi, terus dielus2, dioyog. Memang
enak, nyaman. Yang kedua Alhamdulillah nggak ada
keluhan [...]Kalau memang ada keluhan memang pengin
dioyog. Tapi nggak ada keluhan.” (Imah, Pasien Oyog)
b. Oyog untuk ‘menyiapkan jalan’ Bayi
Oyog jenis ini biasanya dilakukan ketika kehamilan sudah
dianggap tua, yakni setidaknya memasuki usia tujuh bulan. Pada
usia ini, bayi sudah dianggap siap dilahirkan. Sehingga jika
sewaktu-waktu bayi lahir, sudah ‘disiapkan jalannya’. Oyog
dilakukan karena menurut kepercayaan masyarakat dimaksudkan
untuk ‘menyiapkan jalan’ kepada si jabang bayi, sehingga bayi
akan mudah dalam ‘nggolet dalan’ atau mencari jalan. Meski
begitu, oyog seperti ini tidak dimaksudkan untuk merangsang
kelahiran. Meski pada kehamilan bulan ke-9, biasanya seseorang
melakukan oyog dengan harapan proses melahirkan bisa lancar
dan cepat.
Mini, sedang hamil tujuh bulan. Sebagaimana umumnya
tradisi yang ada di desa, ia usai mengadakan acara tujuh bulanan
241
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
meski sifatnya sederhana saja, yakni lolosan. Dan sesuai tradisi
pula, ketika memasuki kehamilan tujuh bulan, ia disarankan oleh
ibunya untuk melakukan oyog. Maka, ia pun memanggil salah
seorang dukun bayi yang dipercaya keluarganya untuk
melakukan oyog. Mini juga masih mengikuti saran ibunya, bahwa
oyog pada masa kehamilan tujuh bulan sebaiknya dilakukan pada
tanggal yang memiliki angka tujuh, seperti tanggal 7, 17, atau 27.
Mini percaya, bahwa oyog penting untuk bayinya, walaupun ia
juga berpikir bahwa jika tidak melakukan oyog juga tidak apaapa.
“Penting (oyog). Untuk pembaikan. Jabang bayinya
pembaikan, ya nggak dioyog ya nggak apa-apa. Tapi
lebih baik dioyog. “
Rat, sedang hamil anak ke-4. Ia sudah tidak melakukan
ritual tujuh bulanan. Saat ini, kehamilannya baru memasuki usia
tiga bulan. Meski begitu, Rat berencana akan melakukan oyog
ketika usia kehamilannya sudah tua nanti. Karena ia percaya,
bahwa oyog pada usia kehamilan seperti itu, akan mempercepat
proses kelahiran bayinya kelak.
“Iya ari hamil tua , sanga, dioyog wetenge kaya kiye.
Sama dukun [...] Maksude ari pan lahiran. [...] Lihat
posisi bayinya priben, ari ndang cepet. Doyog-oyog.”
(Rat, Ibu Hamil)
(iya, kalau hamil tua dioyog,sembilan, dioyog perutnya
seperti ini. Oleh dukun [...] maksudnya agar nanti waktu
hendak lahiran [...] bisa melihat posisi bayinya seperti
apa, bisa cepat. Dioyog-oyog.)
Hal yang sama juga diungkapkan Rini, ibu dengan empat
orang anak yang selalu melakukan oyog selama masa kehamilan
anak-anaknya.
242
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
“Bayi terbalik kepalanya, masih di atas. Dipijat sama
dukun bayi usia 7 bulan, karena anak mau ke bawah,
bayi terbalik [...] Biar bayinya lempeng, bayinya lurus.
Biar kalau lairan anaknya lurus, nggak belok-belok. Lurus,
cepet. Makanya kita lairin ini nggak lama-lama, cepet.
Dioyog-oyog biar anaknya lempeng, perutnya enak.”
Bahwa oyog akan mempermudah proses persalinan, juga
diyakini oleh para dukun bayi. Bi Irah mengatakan bahwa jika
seorang ibu hamil sering melakukan oyog, proses persalinan akan
lebih lancar.
”Kalau lahiran katanya cepet kalau dioyog. Kalau orang
hamil kan katanya kayak labu siam , ada remetremetnya. Kalau sering dioyog kan katanya cepet luntur
itunya, jadi persalinannya cepet. Kalau nggak dioyog bayi
mau lahir itu seperti digandulin itunya jadi kan lama
prosesnya. Jadi lendir-lendir itu pada turun kalau dioyog.
Jadinya cepet persalinannya.”
Iroh, sedang hamil tua. Ia sebenarnya cukup takut untuk
dioyog, karena khawatir terjadi apa-apa dengan janinnya, namun
karena disarankan orang tua untuk melakukan oyog pada
kehamilannya yang tujuh bulan, akhirnya ia melakukan oyog.
Meski kemudian, ia berpikir bahwa setelah itu oyog sama sekali
tak boleh dilakukan karena khawatir justru akan mengganggu
posisi bayinya.
Sam juga disarankan oleh ibunya untuk melakukan oyog
ketika umur kehamilannya memasuki 9 bulan, usia ketika sudah
saatnya bayinya lahir dan karenanya oyog dimaksudkan untuk
mempersiapkan jalan bayi.
“Dioyog katanya ntar saja, pas umur sembilan bulan biar
bayinya muter atau gimana [...]Katanya ya udah nanti
kalo sudah sembilan bulan, kalau sembilan bulan kan
posisinya sudah menentukan.”
243
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
c. Oyog untuk mempercepat proses kelahiran
Oyog dengan tujuan untuk merangsang kelahiran
dilakukan ketika memang sudah terjadi kontraksi atau
pembukaan. Jika seorang ibu yang hendak melahirkan sudah
mengalami sakit perut, dukun bayi akan membantu melakukan
pijatan dengan harapan proses melahirkan bisa lebih cepat.
Tetangga Bi Irah, Yan, sedang hamil tua. Menurut
perkiraan, memang sudah waktunya ia melahirkan. Karena belum
juga melahirkan, ia kemudian meminta Bi Irah untuk melakukan
oyog. Selang beberapa waktu, Yan sudah merasakan adanya
tanda-tanda hendak melahirkan. Ia kembali hendak memanggil Bi
Irah untuk melakukan oyog, tapi sebelum oyog dilakukan, ia
sudah melahirkan.
“Itu kemarin kan kepalanya di atas masa sudah mau
lahir? E, pas malam dioyogin lagi, diputerin di bawah, eh,
langsung brojol. “
Bi Ipah juga mengalami hal yang hampir sama. Ada kasus
dimana sehabis dilakukan oyog kemudian tak lama kemudian
bayi lahir.
“Rasanya sudah nggak enak, terus dioyog. Itu wis turun,
wis pasan.”
Mak Ras, juga seorang dukun bayi, sering melakukan oyog
ketika usia janin sudah sembilan bulan dan sudah waktunya
melahirkan. Menurutnya, dengan di-oyog, kepala bayi akan turun
ke bawah, dan karenanya, akan mudah melahirkan.
“Dioyog-oyog agar kepalanya di bawah. Diurut. Kalau
sakit dioyog. Tiga menit. Nanti cepat mules, terus
manggil bidan.”
Bu Rop, saat ini sudah sekitar 50 tahun. Di masa lalu,
melahirkan dengan bantuan bidan belum lah lazim, dan proses
244
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
melahirkan sepenuhnya dibantu oleh dukun bayi. Ia
menceritakan pengalamannya ketika hendak melahirkan, bahwa
menjelang persalinan, ia dioyog oleh dukun bayi dan proses
melahirkan pun cepat.
“Itu kalau mau lahiran itu, sama dukun misalnya perut
sakit, di pegang sama dukun itu, adem, gitu. Digini-gini
ini, jadi kalau si jabang mau lahir diam aja diginiin “ayo,
ayo bangun, cepet bangun, gitu.” Terus ntar nguat lagi.
Kalau diam aja terus digoyang-goyang terus. Jabang mau
lahir, kerasa jam sembilan, manggil dukun, kesini,
diuyag-uyug begini saja terus keluar.“
4.3.5.2. Oyog Berdasarkan Waktunya
a. Oyog Kehamilan Muda (3-6 bulan)
Seseorang melakukan oyog di usia kehamilan muda,
biasanya karena ada yang dikeluhkan. Bagi banyak warga desa
yang bekerja sebagai petani, hari-hari diisi dengan bekerja di
sawah. Meski dalam kondisi hamil, biasanya mereka akan tetap
bekerja. Keluhan seperti mbateg , seolah-olah rahim turun ke
bawah, nyengkal, seperti ada sesuatu yang menekan atau
mengganjal bagian perut bawah, menjadi keluhan yang umum di
kalangan ibu-ibu hamil di Desa Dukuh Widara. Jika sudah begitu,
biasanya mereka akan memanggil dukun bayi untuk melakukan
oyog.
Pada kehamilan muda, oyog dimaksudkan untuk
‘mengembalikan ke tempatnya’ karena janin dianggap bergeser
dari tempatnya sebagai akibat dari sang ibu yang melakukan
banyak aktivitas fisik. Selain itu, gerakan oyog ketika kehamilan
muda dan kehamilan tua, menurut dukun bayi, berbeda. Salah
satu gerakan oyog pada kehamilan muda adalah sengkak.
245
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
“Cuma benerin kalau hamil muda. Kalau hamil tua
nggoblak, ininya sudah turun. Yang empat bulan jangan
sampai turun, dinaikkan, disengkak. Nggak ditempatnya
jadi ditempatnya. Kalau empat bulan kan dekat puser.
Kalau masih tiga bulan di bawah. Kalau sudah tujuh
bulan bukan diturunin, disamping-samping, disengkak
kayak gini nggak mau. Turun sih, kepalanya. “ Bi Ipah,
Dukun Bayi
“Oyog pasien ada yang 3 bulan, jika merasa pegel, terlalu
ngepet neng ngisor. Disengkak, ora rosa-rosa. Oleh
waras, ora lara. Nguyuh rada reda. Sing biasane peng
lima dadi ping telu. Biasane oleh lima apa oleh
papat.”Mak Yah, Dukun Bayi
“Kalau ada yang tegang, dibetulin. Kalau sebelum kepala
turun, arane masih berani diangkat, ada yang tegang.
Kalau jalan ada ininya sakit, diraba saja. Tegang ya
dibetulin, diangkat. [...]Yang baru hamil, kalau kecapean
kalau ininya sakit, ya berani kalau masih muda ada yang
tegang diangkat, biar nggak mbateg,”Mak Isah, Dukun
Bayi
Bi Irah, dukun bayi, mengatakan bahwa pada kehamilan
muda, sebaiknya oyog jangan sering dilakukan, kecuali memang
benar-benar ada keluhan.
“Kalau misalnya sudah gede, sudah dapat tujuh ke
sananya nggak apa-apa. kalau masih dua tiga empat,
nggak boleh sama sayanya. Takut saya ada apa-apa.
Soalnya kan masih muda, ininya kan masih rawan, rawan
putus. Udah kalau sudah tua. Kecuali habis jatuh
orangnya. Kalau habis jatuh kan takut turun, ke sini.
Kalau nggak jatuh ma nggak mau saya. Kalau tujuh ke
atas sering nggak apa-apa, melancarkan kelahiran [...]
Kalau tujuh dari sini (kanan kiri), ya kebanyakan sini
246
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
kalau masih tiga dari sini, (bawah) di ke atasin. Pelan.
Takutnya kan nggejrut ke bawah kalau masih kecil.”
Dukun bayi, melalui rabaan tangannya, mengaku mampu
merasakan jika memang ada sesuatu yang tak beres pada perut
ibu hamil. Ketika seseorang meminta oyog karena adanya
keluhan misalnya, dukun bayi bisa meraba bagian-bagian perut
yang terasa tegang.
“Kan diraba dulu, mana yang tegang. Taunya dioyog
kalau yang nggak apa-apa itu nurut, ada yang tegang
diini sedikit. Kalau ada yang tegang rasanya sakit yang
bunting. Keras, agak keras bawah itu.”Mak Isah, Dukun
Bayi.
b. Oyog Kehamilan Tua (7-9 bulan)
Ini adalah oyog yang paling banyak dilakukan. Sebagian
masyarakat ada yang merasa khawatir, jika oyog dilakukan pada
usia kehamilan muda justru akan membahayakan janin karena
janin masih dianggap rawan. Oyog pada kehamilan tua, dilakukan
ketika usia kehamilan memasuki usia 7 hingga 9 bulan. Pada
kehamilan ini, keluhan mbateg lebih sering dialami oleh ibu
hamil. Para ibu juga berharap bahwa kondisi bayi sudah
seharusnya pada tempatnya. Pada kehamilan ini, biasanya tidak
lagi dilakukan gerakan sengkak karena posisi bayi sudah dianggap
turun sehingga yang bisa dilakukan hanyalah ‘memberi sedikit
ruang’ pada perut ibu hamil agar tidak terasa menekan (mbateg).
Meski ada juga dukun bayi yang masih melakukan sengkak,
tergantung dari keluhan dan kondisi si pasien. Tapi konon
sengkak yang dilakukan lebih lembut dan ‘tidak pakai tenaga.’
“Kalau sudah sembilan jalan, kepala sudah turun, Mbok
nggak berani diangkat. jadi diraba-raba saja, dielus-elus.
Nggak bisa diangkat-angkat, dirubah-rubah, kasian
Dedek-nya.”(Mak Isah, Dukun Bayi)
247
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Pada kehamilan tua, gerakan oyog untuk mengurangi
keluhan berbeda dari oyog ketika hendak melahirkan. Oyog
untuk mengurangi keluhan atau membenarkan posisi janin.
Sedangkan pada kasus ibu yang hendak melahirkan, beberapa
dukun bayi melibatkan gerakan ‘jagurin pantat’ yakni memijat
dari belakang sementara sang ibu dalam posisi membungkuk.
“Ada gerakan memijat pantat, ge dalan e’ek ne (jalan
buang air besar) kalau mau lahiran. Membungkuk,
kepalanya masuknya cepat. Dioyog-oyog perut samping
kanan kiri, golek dalan. ‘jabang bature lagi golet dalan,
jabang aja ledalede’ tinggal mencari jalannya saja.” (Mak
Inah, Dukun Bayi)
Menurut Mak Iyah, oyog ketika hendak melahirkan sangat
disarankan. Selain bisa mempermudah proses persalinan, pijatan
oyog juga bisa memberi rasa nyaman pada ibu yang kesakitan
hendak melahirkan.
“Pas mau lairan sakit, dioyog-oyog itu enaknya. Caranya
pelanpelan. Orang lairan mules-mules, nunggingnungging, dielus-elus (pinggir perut). Gerakannya cepet.
Nonggeng-nonggeng, nggleleng, miring, gerak bayi
cepat,pembukaan cepat. Ponakan pas mau lairin dioyog
beberapa kali sehari, dua kali sehari. [...]Mau melahirkan
jadi cepet. Pirang menit sepisan mulai, mules dioyog,
mules dioyog, jangan seru-seru, pelan-pelan. Kalo
pembukaan wis lengkap kan ngeden. Pas sakit
disumbang dimek-mek kan enak. “
Oyog yang dilakukan pada masa kehamilan ini, biasanya
dikaitkan dengan tradisi perawatan kehamilan yaitu nujuh
bulanan. Salah seorang ibu hamil yang kami temui dan
melaksanakan tradisi ini adalah Ibu Umi. Pertemuan kami dengan
Ibu Umi berawal dari data Ibu hamil Desa Dukuh Widara yang
dimiliki oleh ibu bidan desa. Data yang kami terima cukup
248
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
lengkap mencatat data-data tentang ibu hamil yang melakukan
pemeriksaan di Puskesmas pembantu di Desa. Data tersebut
berisi tentang nama Ibu hamil, nama suami, umur ibu dan suami,
dan umur kehamilan, serta nama Posyandu. Tidak tercatat
alamat lengkap keberadaan ibu hamil tersebut, namun dengan
mengetahui nama Posyandu dapat dicari ke kader aktif di
Posyandu tersebut.
Begitu pula cara kami mencari alamat Ibu Umi. Ibu Umi
tercatat berada di Posyandu Mawar, selanjutnya alamat lengkap
dan keberadaan rumah Ibu Umi kami tanyakan kepada kader
yang sangat aktif di Posyandu tersebut, yaitu Ibu Opah. Pada saat
kami silaturahmi, Ibu Opah nampak sangat memahami alamat
lengkap dan bahkan posisi rumah Ibu Umi berada di belakang Ibu
Opah.
Ibu umi dan keluarganya adalah keluarga yang sangat
ramah. Pertemuan pertama, ibu Umi banyak bercerita tentang
kehamilannya termasuk perkembangan bayinya, pantanganpantangan selama kehamilan dan persiapan persalinan. Ibu Umi,
hamil 7 bulan, mendapatkan bantuan dalam perawatan
kehamilan oleh orang tuanya , termasuk persiapan persalinan,
walaupun masih hamil 7 bulan, namun di rumah telah tersedia
berbagai rempah-remaph yang akan dibuat jamu dan lulur/bedak
badan yang akan digunakan setelah persalinan nanti. Pantanganpantangan yang diyakini oleh Ibu umi, telah didiskripsikan dalam
bahasan bab sebelumnya, tentang pantangan dalam kehamilan.
Kedatangan pada waktu itu, ternyata bertepatan dengan
acara “lolosan”. Tradisi yang dianut oleh masyarakat Dukuh
widara sebagai tradisi yang bisa dipakai untuk memperingati 7
bulan kehamilan. Menurut Ibu Umi, tradisi ini sudah mulai
banyak dilakukan oleh ibu hamil, dan menggantikan tradisi
“nujuh bulanan”. Biasanya tradisi yang sekarang sudah mulai
akrab dengan masyarakat adalah perpaduan agama dan budaya,
249
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
contoh ngupati, tradisi 4 bulanan, dengan mengaji dan membuat
ketupat. “Lolosan” adalah makanan yang terbuat dari tepung
tapioca dan dicampur gula merah. Menurut Ibu Umi, ia memiliki
harapan persalinannya nanti lancar, seperti lemesnya bubur lolos
tersebut.
Selain tradisi lolosan, Ibu Umi juga akan memanggil dukun
bayi untuk doyog. Jadi Oyog merupakan tradisi yang menyertai
acara 7 bulanan. Pertemuan tersebut cukup cair dan Ibu umi juga
akan menginformasikan apabila akan dioyog.
Siang itu, tanggal 30 Mei 2014, Ibu Umi menginformikan
bahwa besok, pada hari jum’at, setelah sholat Jum’at Ibu Umi
akan memanggil Bi Iyah, dukun bayi yang berada di dekat
rumahnya.
Pada siang keesokan harinya, sesuai kesepakatan Ibu Umi
akan memanggil bi Iyah dan meminta dioyog. Oyog yang
dilakukan Bi Iyah, sebagai acara tradisi 7 bulanan, tidak berbeda
dengan pelaksanaan oyog yang dilakukan pada oyog untuk
mengurangi keluhan dalam kehamilan. Pada saat selesai dioyog,
Ibu Umi menceritakan perasaannya yang tambah lega dan
perutnya yang tambah enak.
Pelaksanaan Oyog dalam memenuhi tradisi juga dilakukan
oleh ibu nani, Namun berbeda dengan ibu Umi, yang
melaksanakan tradisi oyog bersamaan denga lolosan, Ibu Nani
melaksankan oyog bersamaan dengan tradisi “nujuh bulanan”.
Ibu Nani masih menyakini, perlunya nujuh bulanan agar posisi
bayi lurus atau benar. Oyog yang dilakukan bersamaan dengan
tradisi tersebut, juga dmaksudkan untuk memperlancar
persalinan.
Ibu Roh, adalah salah satu ibu hamil yang
mempercayai hal ini. Ibu Roh, hamil anak pertama, usia
kehamilan telah 9 bulan. “Wa’alaikum salam, silahkan masuk
mb.” Sapa ibu Roh pada saat kami memberi salam dan
250
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
memunculkan wajah di pintu rumahnya yang terbuka. Dengan
ramah Ibu Roh mempersilakan kami masuk dan duduk di kursi
tamu rumahnya. Tampak rapi bersusun dimeja, buku
pemeriksaan kehamilan dan sebuah buku kursus bahasa
korea. Setelah memperkenalkan diri dan tujuan kami, Ibu Roh
mulai bercerita tentang kehamilannya, sambil menunjukkan
buku KMS dari kementerian kesehatan ditjen Ibu dan Anak,
yang selalu dibawanya setiap kali melakukan pemeriksaan.
Dalam buku tersebut terlihat Ibu Roh sangat rutin
memeriksakan kehamilannya ke berbagai fasilitas kesehatan
seperti Puskesmas pembantu, bidan praktek mandiri dan
bahkan ke dokter spesialis kandungan. Pemeriksaan ke
Puskesmas pembantu dilakukan oleh Ibu Roh, secara rutin
setiap bulan sedangkan di bidan praktek mandiri dan dokter
spesialis hanya sesekali saja.
Selain itu Ibu Roh juga mengatakan bahwa ia juga akan
memanggil Mbok saeni, dukun bayi yang berada di sekitar
rumahnya untuk minta dioyog.
“Ini Mbak, saya punya keluhan pipisnya sakit, ga bisa
banyak, jadi sakit dibawah sini (sambil menunukkan
perut bagian bawah). Saya sudah ke Bidan, katanya
kemudian, tapi katanya ini normal, ga apa-apa, wong
namanya kepala sudah turun, tapi ya gitu, penginnya ga
ada.”
Berikutnya Ibu Roh juga mengatakan bahwa ia sangat
percaya kepada bidan tempatnya periksa, karena selain dekat,
bidan tersebut juga kerabat jauhnya Ibu roh. Tetapi Ibu Roh
juga ingin mencoba yang lain.
“Saya sama-sama percaaya dua-duanya, mau itu bidan
apa dukun bayi. Kalau bidankan punya ilmu, tapi kalau
dukun bayi punya pengalaman, walaupun ga sekolah,
saya pengin pakai dua-duanya.”
251
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Berikutnya Ibu Roh juga bercerita tentang informasi
tentang oyog dan manfaatnya didapatkannya dari Ibunya. Jadi
kalau dioyog pada kehamilan tua, 9 bulanan, akan
memperlancar persalinan. Jadi selain mengurangi keluhan
tadi, oyog juga akan memperlancar persalinan. Pada akhir
pertemuan itu pun, Ibu Roh menyepakati untuk memberikan
informasi jika ia akan dioyog. Tanggal 8 Juni, merupakan
tanggal yang disepakati oleh Ibu Roh untuk dilakukan oyog.
Pagi itu Ibu Roh telah bersiap untuk bertemu dengan dukun
bayi untuk dilakukan oyog. Ini adalah oyog pertama yang
dlakukan oleh Ibu Roh.
Pada saat bertemu dengan Mbok saeni, telah nampak
kedekatan yang terjalin antara keduanya. Mbok Saeni sempat
menenangkan Ibu Roh yang nampak sedikit grogi, karena baru
pertama dioyog. Langkah demi langkah dilaksanakan oleh
Mbok saeni dengan tenang.
Salah satu ibu hamil yang juga melaksanakan oyog pada
kehamilan 9 bulan adalah Ibu Marni. Menurut Ibu Marni, ia telah
dua kali dioyog. Namun Ibu Marni menyebutnya dengan istilah
gedog. Namun pada saat diklarifikasi gerakan yang dimaksud
oleh Ibu Marni sama dengan gerakan oyog. Pada penyebutan
selanjutnya istilah yang digunakan untuk menyebut istilah ini
adalah oyog.
Ibu Marni telah 2 kali melakukan oyog. Oyog yang
pertama ia lakukan di Desa dukuh Widara, dan ia tidak mengenal
dukun tersebut. Ia dipanggilkan oleh kakak iparnya untuk
dilakukan oyog agar hamilnya menjadi lancar. Nampaknya kakak
ipar Ibu Marni memanggil Mbok Kas, salah satu dukun di desa
Dukuh Widara yang berada satu blok dengan keluarga tersebut.
Oyog yang kedua dilakukan oleh Ibu marni, kemarin. Satu hari
sebelum kedatangan kita. Pelaksanaan oyog tersebut dilakukan
di desa tempat kelahiran Ibu Marni. Oyog yang sekarang
252
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
dimaksudkan untuk membetulkan posisi janin. Biar tidak
membalik katanya kemudian. Sebelum pelaksanaan oyog maka
kedua dukun yang pernah bertemu dengannya, akan
memberikan handbody atau minyak agar perut menjadi licin
sehingga dalam mengurut akan mudah/lemes dan tidak kaku. Ibu
Marni mengatakan bahwa gerakan yang dilakukan dukun bayi
yang pertama adalah menengahkan perut, menggerak-gerakkan
perut ke bagian tengah dan biasanya pada bagian bawah ditekantekan sedikit. Pada keseluruhan oyog memerlukan waktu ± 15
menit.
Perasaan nyaman dirasakan ibu Marni setelah
pelaksanaan oyog, namun berbeda halnya dengan pelaksanaan
oyog yang kedua ini. Keluhan terasa perih di ulu hati, tidak juga
berkurang walaupun oyog telah selesai dilakukan. Dukun paraji
yang melakukan oyog mengatakan bahwa keluhan itu tidak akan
hilang karena ibu Marni akan melahirkan. Mendengar informasi
tersebut, Ibu Marni agak kaget, karena dalam hitunganya ia baru
memasuki usia kehamilan 8 bulan dan belum saatnya melahirkan.
Tradisi oyog juga menjadi pilihan dalam perawatan
kehamilan oleh Mba Esi (20 tahun), kehamilan pertama dan
hamil 8 bulan. Mbak Esi, melakukan pemeriksaan secara rutin ke
bidan. Pemeriksaan dilakukan setiap bulan. Namun demikian
Mba Esi juga mempercayai dukun bayi dalam berbagai tradisi
antara lain Oyog. Mba Esi telah melakukan oyog 2 kali. Oyog
dilakukan olehnya mulai umur kehamilan 7 bulan, biasanya
pelaksanaanya tidak jauh dari saat pemeriksaan kehamilannya ke
tenaga kesehatan. Jadi jika pada hari ini, Mba esi melakukan
kontrol ke bidan maka pada sore hari atau paling telat besok
harinya, Mba Esi akan datang ke dukun bayi kepercayaannya
untuk meminta oyog.
Keberadaan Mba Esi, diketahui berdasarkan informasi
dari Mba Nur. Mba Nur adalah salah satu informan dalam
253
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
penelitian dalam kehamilan, persalinan dan nifas. Mba Nur
mengenal Mba Esi karena sesama ibu hamil. nampaknya Mba Esi
bukan penduduk asli blok tersebut. Cukup sulit pada awalnya
menemukan alamat Mba Esi, dikarenakan keberadaannya belum
diketahui oleh para tetangganya. Sayangnya, nama suami Mba
Esi yang merupakan penduduk asli desa tersebut juga tidak
banyak dikenal oleh tetangganya. Sampai di salah satu gang yang
disebut sebagai rumah Mba Esi, dicoba ditanyakan tentang
keberadaan rumahnya. Awalnya pemilik rumah mengatakan
tidak mengetahui alamat dan nama yang dimaksud. Namun tak
berapa lama, datanglah salah seorang penghuni rumah yang
menjelaskan tentang keberadaan nama yang dimaksud. Ternyata
rumah mertua Mba Esi hanya berjarak ± 50 meter dan
bersebelahan dengan rumah yang tadi.
Kedatangan penulis disambut oleh seorang perempuan
paroh baya yang nampak begitu ramah dan langsung
mempersilahkan masuk. Kami dipersilahkan masuk keruang
tengah. Ruang depan nampaknya tidak digunakan untuk
menerima tamu. Ruang tersebut berisi satu buah tempat tidur.
Nampak tubuh cukup renta sedang berbaring disana.Menurut
keterangan Ibu mertua Mba Esi, nenek tersebut adalah nenek
mertua mba Esi yang mengalami struk, sehingga tidak dapat
turun dari temapt tidur. Seluruh aktivitas dilakukan di atas
tempat tidur termasuk makan, minum, BAK dan BAB. Kondisi
tersebutlah yang menyebabkan ruang depan tidak digunakan
untuk menerima tamu.
Ruangan tengah sepertinya adalah ruangan keluarga. Ada
sebuah televisi yang diletakkan di dalam bufet dan sebuah kasur
yang berukuran sekitar 70 x 200 cm yang terletak diatas tikar.
Mba esi sedang duduk santai bersandar diatas kasur yang
digulung sambil menonton televisi. Sekilas, nampak Mba Esi
sangat dekat dengan ibu mertuanya dan disayang dalam bentuk
254
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
tidak banyak dilibatkan dalam berbagai urusan /kegiatan rumah.
Mba Esi hanya boleh bekerja sedikit saja, asal jangan yang beratberat, ungkap ibu mertuanya. Setelah memperkenalkan diri dan
menjelaskan tentang maksud dan tujuan kunjungan kami, Mba
Esi memulai bercerita tentang kehamilannya. Mba esi bercerita
tentang keluhan selama kehamilan, pantangan-pantangan dan
berbagai tradisi selaam kehamilannya.
Pada saat obrolan tentang oyog, Mba Esi bercerita bahwa
bulan ini belum dioyog. Berbeda dengan bulan lalu, oyog
dilakukan Mba Esi bersamaan dengan pemeriksaan
kehamilannya.
“Apakah Mba Esi, ingin dioyog?, iya mbak, saya biasa
doyog, tapi bulan yang sekarang belum. Kalau sekarang
apakah mau dioyog. Boleh Mba..saya pengin doyognya
sama bi Iyah saja”
Bi Iyah adalah salah seorang dukun bayi di Desa Dukuh
Widara, yang berada di blok yang sama dengan Mba Esi. Setelah
kesepakatan tersebut observasi oyog dilakukan.
Pada observasi oyog yang dilakukan oleh Bi Iyah, nampak
memiliki kesamaan dengan oyog yang dilakukan oleh dukun lain
di desa tersebut. Oyog tersebut dmulai dengan pembacaan doa
oleh dukun bayi. Persiapannya pun tidak jauh berbeda.Oyog
diawali dengan penggunaan pelicin, yang pada waktu itu Bi Iyah
menggunakan minyak goreng yang belum digunakan. Minyak
goreng tersebut ditempatkan dalam wadah/piring kecil/pisin.
Minyak itu dioleskan diseluruh telapak tangan Bi Iyah dan akan
dibalurkan keseluruh permukaan perut Mba Esi. Minyak yang
dibalurkan tersebut membuat lentur permukaan perut sehingga
memudahkan untuk dipijat. Beberapa kali nampaknya Bi Iyah
membalurkan minyak tersebut secaar merata ke perut Mba Esi.
255
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
“Gimana rasanya?enak aja rasanya, sama seperti orang
yang lagi dipijetllah mba, rasanya enak. Belum lagi nanti
pas selesai Mba, lebih enak lagi. Trus yang paling terasa
ya kalau sudah selesai, buat jalan rasanya enteng
banget.”
Dalam petikan wawancara tersebut, Mb Esi bercerita
tentang manfaat yang dia rasakan setelah dioyog, khususnya
manfaat yang dirasakan secara fisik. Menurut cerita Mba Esi,
oyog akan memberikan perasaan enak dan ringan. Pijatan lembut
yang berulang-ulang dilakukan oleh Bi Iyah membuat perutnya
yang semula kaku, menjadi lemas. Bahkan sampai seperti tidak
hamil, saking lemasnya. Kondisi tersebut yang membuat Mba Esi
ketagihan dioyog.
Pada saat dilakukan wawancara mendalam tentang
perasaan Mba esi setelah dioyog, Mba Esi mengatakan bahwa
perasaan nyaman yang dia rasakan setelah dioyog berasal dari
kenyamanan karena pijatan dan juga kenyamanan karena
komunikasi yang terjalin antara Ibu hamil dan dukun bayi.
Komunikasi tersebut disebutkan oleh Mba Esi sangat
menentramkan. Dengan komunikasi tersebut Mba esi bisa
bercerita banyak dengan dukun bayi tentang berbagai keluhan
yang dirasakan. Selain itu pijatan yang dilakukan oleh dukun bayi
di atas perutnya adalah pijatan lembut. Irama pijatan yang
dilakukan oleh dukun bayi tersebut sesuai dengan irama
komunikasi yang terjalin antara keduanya.
Cerita berbeda didapatkan dari Mba Juju. Mba Juju adalah
seorang karyawati di sebuah pabrik di Jakarta. Pengalaman kerja
yang cukup lama dan kepiawaiannya dalam pekerjaan
mengantarkan karir Mba Juju ke puncak. Nampaknya hal
tersebut cukup dominan, karena toh hanya dengan pendidikan
sampai taraf SMP ia tetap masih bisa eksis dibidang tersebut.
Mba Juju menduduki posisi sebagai pengawas di pabrik tersebut.
256
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Mba Juju belum lama tinggal di Desa Dukuh Widara. Sebenarnya
ia adalah penduduk asli di desa tersebut. Namun sudah lama ia
merantau di kota metropolitan.
Kehamilannya yang sekarang, adalah kehamilan pertama,
mba Juju belum pernah keguguran. Tidak ada riwayat penyakit
yang dipengaruhi dan mempengaruhi kehamilannya baik dari
dianya sendiri maupun dari keluarganya.
Pengalaman kehidupan kota, tentunya sangat berdampak
pada cara berfikir dan bersikapnya terhadap setiap hal yang
terkait dengan kehidupannya. Termasuk dalam perawatan
kehamilannya. Selama tinggal di Jakarta, Mba Juju melakukan
pemeriksaan kesehatan ke tenaga kesehatan, baik ke bidan
praktek mandiri bahkan telah beberapa kali Mba juju melakukan
pemeriksaan ke dokter spesialis kandungan. Selama mengandung
ini, Mba Juju selalu menuruti nasehat bidan dan dokter yang
dkunjunginya. Tidak ada masalah serius yang dihadapi Mba Juju
selama kehamilannya. Semuanya berjalan lancar bahkan
mungkin bisa disebut sangat lancar. Betapa tidak, seperti
keumuman ibu hamil yang mengalami mual dan bahkan muntah
saat hamil muda, Mba Juju sama sekali tidak merasakan. Apalagi
muntah, mual-mualpun yang merupakan gejala atau keluhan
yang normal dirasakan oleh ibu hamil, tidak pernah ia rasakan.
Dia sendiri heran dengan kehamilannya. Mba Juju juga bercerita
tentang berbagai pantangan yang dia yakini dan menurut
keluarga harus dijauhi. Walaupun hidup cukup lama di kota dan
memiliki pemikiran yang cukup maju, namun Mb Juju sangat taat
kepada pantangan-pantangan. Ia berfikir tidak ada salahnya
mengikuti hal-hal tersebut, asalkan tidak membahayakan atau
merugikan kehamilannya.
Seperti halnya pada pantangan-pantangan selama
kehamilan, Mb Juju juga cukup taat kepada tradisi dalam
257
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
perawatan kehamilannya. Salah satu tradisi dalam kehamilan
yang juga dilakukan oleh Mba Juju adalah pelaksanaan oyog.
Istilah oyog, baru dikenal Mba Juju sejak kepulangannya
ke desa, untuk cuti melahirkan. Memang pada saat ia masih kecil,
ia telah mengenal istilah oyog, pada saat kakaknya dioyog,
namun karena waktu yang cukup lama, Mba Juju telah lupa
dengan istilah dan tradisi tersebut. Ia disarankan oleh kakanya
untuk dioyog ke dukun bayi karena telah melakukan perjalanan
yang cukup lama, dari Jakarta sampai Dukuh Widara. Perjalanan
yang mencapai 7 jam, membuat ketegangan di perut Mba Juju.
Mba Juju memang sangat dekat dengan kakaknya. Kakak yang
dimaksud adalah kakak perempuan langsung yang juga tinggal
bersamanya kini. Wajar saja, karena Mba Juju sudah tidak
memiliki ibu, maka ia menjadi dekat dengan kakak
perempuannya. Kedekatan yang terjalin, membuat Mba Juju
menjadi percaya begitu saja, saat kakak perempuannya
menyarankan untuk melakukan oyog kepada dukun bayi.
Oyog yang pertama diminta oleh Mba Juju, dilakukan
dengan memanggil Bi Kar, salah satu dukun bayi d Desa dukuh
Widara. Ketenaran Bi Kar nampaknya sudah sangat tersohor.
Walaupun Mba Juju berada satu desa dengan Bi Kar, namun
tempat tinggal keduanya berada di blok yang berbeda.
Sebenarnya di blok yang sama, ada dukun bayi yang tempatnya
juga tidak jauh dengan tempat tinggal Mba juju. Namun menurut
Mba Juju dan kakaknya yang kebetulan bersama berkumpul
diruangan tersebut, ia lebih mempercayai Bi Kar.
“Kalau bi Kar itu tenaganya masih gede, biar orangnya
sudah aga tua, tapi tenaganya masih gede. Bi Kar juga
terkenal, Mba, bukan di desa saja tapi sampai luar desa,
di Pasuruan sama Kalibuntu juga pada kenal Bi Kar.
Memang disini banyak dukun bayi, tapi bi Kar beda, lebih
enak.”
258
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Tak berselang lama dari situ, hanya kira-kira berjarak 3
minggu, Mba Juju juga meminta oyog untuk kedua kalinya
kepada Bi kar. Kasusnya hampir sama. Mba Juju mengalami
keluhan tegang-tegang diperut setelah melakukan perjalanan
yang cukup jauh, dari Cirebon ke Magelang. Bahkan
perjalanannya kali ini lebih jauh dibandingkan dengan perjalanan
kepulangannya terdahulu. Namun saat mengalami keluhan
tersebut, Mba Juju tidak khawatir. Bahkan tanpa disarankan oleh
kakak perempuannya, Mba juju telah meminta Bi Kar untuk
melakukan oyog. Biasanya Mba juju akan meminta tolong
saudaranya untuk memberitahu Bi Kar ke rumahnya bahwa ia
akan dioyog dan sekaligus menjemputnya ke rumah. Hal ini juga
dilakukan oleh kebanyakan ibu hamil yang membutuhkan jasa Bi
kar.
Oyog kedua Mba Juju, juga dirasakan memiliki manfaat
yang tidak jauh berbeda dengan oyog pertama yang pernah
dilakukannya. Oyog, menurut Mba Juju benar-benar mengurangi
berbagai keluhan yang dirasakan. Tegang-tegang di perut yang
semula dirasakannya, tidak lagi dirasakan. Kenyamanan benarbenar dirasakan oleh Mba Juju setelah dioyog oleh bi Kar.
Disinggung tentang komunikasi yang terjalin dengan dukun bayi,
khusunya bi Kar, Mba Juju menggungkapkan bahwa komunikasi
tersebut sangat alami, dia bisa bercerita banyak tentang apapun,
apalagi terkait kehamilan, tetang hal lain saja, bi Kar akan sangat
setia mendengarkannya. Tidak ada jarak, antar kami, ungkap Mb
Juju kemudian. Pengalaman mengikuti tradisi oyog merupakan
pengalaman yang sangat menyenangkan untuk Mba Juju.
4.3.6. Manfaat Oyog
Tentu saja, oyog bukan hanya tradisi belaka. Kenapa oyog
masih dilakukan, karena masyarakat merasa mendapatkan
manfaatnya. Karena bagaimanapun, suatu kebiasaan tak akan
259
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
bertahan jika memang tidak ada manfaat yang bisa diambil
darinya. Hal ini juga berlaku pada oyog. Meskipun pada
umumnya pasien melakukan oyog karena anjuran dari orang tua,
namun mereka juga mendapatkan manfaatnya secara nyata.
Mereka mengaku mendapatkan perasaan nyaman dan lega
setelah melakukan oyog. Seperti yang diungkapkan Nir yang
mengaku mengalami banyak keluhan di awal kehamilannya dan
karenanya beberapa kali melakukan oyog. Menurutnya, setelah
melakukan oyog, ia merasa keluhannya hilang.
“Enak, nyaman. IBarat ada kekurangan kemarin sakitnya
ini mah enak, tidur-tidur enak, buat miring juga enak.
nggak ngeganjel. Pokoknya enak aja. IBarat kata kita
pegel-pegel terus diurut enak. na begitupun perut.”
Selain merasakan kenyamanan fisik, Nir juga merasa
nyaman secara psikologis karena percaya bahwa dukun bayi
adalah orang yang sudah berpengalaman dan punya
kemampuan.
“Pas dioyog, selain dipegang juga didoain. Namanya
paraji pasti punya pegangan sendiri2 jadi dia juga bacabaca saya lihat, ya saya percaya mungkin dia minta dari
yang kuasa.”
Mar, yang melakukan oyog ketika kehamilannya
memasuki usia 7 bulan, juga merasakan kenyamanan setelah
melakukan oyog. Perasaan mbateg yang menderanya berkurang
dan ia juga lega karena dukun bayi mengatakan bahwa posisi
bayinya sudah pada tempatnya.
“Enak. Adem. Katanya kakinya di atas. Terus kemarin ke
dukun bayi katanya ini, pantatnya di atas.”
Hal yang sama dikemukakan Piah, yang merasakan bahwa
tangan dukun bayi memberi perasaan ‘adem’.
260
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
“Misalnya perut sakit, panas kalau sudah dipegang
dukun itu adem gitu. Kalau tangan dukun itu ya, bisa
ngeliat rasanya adem. Namanya sering megang, tau ada
apanya itu si tangan.”
Sisi juga merasa nyaman setelah dioyog. Awalnya, ia
memeriksakan diri ke bidan dan bidan mengatakan bahwa posisi
bayinya malang tanpa penjelasan lebih lanjut. Sisi yang baru
pertama kali hamil, mengaku panik mendengar kabar ini. Ia pun
kemudian disarankan untuk melakukan oyog sambil
berkonsultasi tentang kehamilannya pada sang dukun. Ketika
dukun bayi mengatakan bahwa bayinya baik-baik saja, Sisi pun
merasa lega. Di samping itu, ia juga merasa nyaman secara fisik.
"enak sih,sing mone nyengkal neng weteng, ari wis
dioyog ya adem enak, posisi bayine wis enak [...] dioyog
iku lega, wetenge rasa ora meteng. Ploong, ari ora
dioyog rasa mbateg. Ari ntas dioyog weteng lega, kaya
langka bayine.”
(enak sih, yang tadinya nyengkal di perut, setelah dioyog
adem, enak. Posisi bayinya sudah enak [...] dioyog itu
jadi lega, perutnya seperti tidak sedang hamil. Plong.
Kalau nggak dioyog rasanya mbateg. Kalau sudah dioyog
perutnya lega, seperti tidak ada bayinya)
Sam mengalami keluhan seperti susah buang air kecil karena
kehamilannya seperti menekan perutnya. Ia pun melakukan oyog
dan merasa keluahannya berkurang.
“Keluhannya karena perutnya sakit, terus pipisnya nggak
lancar habis dioyog sudah mendingan, sudah nggak
sakit, udah ada perubahan.”
Ima, sedang hamil tujuh bulan. Beberapa hari
sebelumnya, keluarganya sedang mengadakan hajatan. Ia pun
ikut repot dan merasakan kelelahan dan rasa tak nyaman pada
261
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
perutnya. Awalnya, Ima khawatir untuk melakukan oyog karena
bidan menyarankannya untuk tidak melakukan oyog. Terlebih,
Ima pernah mengalami keguguran. Namun, akhirnya Ima
memberanikan diri melakukan oyog dan ia mengaku merasakan
manfaatnya.
"lebih rileks, yang tadinya perutnya kayaknya kenceng
banget pas dioyog jadi kerasa enak,agak kendoran
sedikit gitu perutnya, jadi nggak kerasa sakit apa gimana
gitu. Kadang kan keras, kayak otot kan pas kenceng gitu
kan, tapi pas dipijat itu bisa kendor,”
Idah juga merasakan hal yang sama. Meski ia mengaku pijatan
dukun bayi agak menyakitkan, tapi merasa nyaman sesudahnya.
“Sakit, tapi enak. Maksudnya yang tadinya sakit disini
hilang sudah diini kan. Sakitnya karena diteken gini.
Pedes. Tadinya kan mbateg [...]kalau sudah dioyog
udah, hilang yang sakitnya. Sudahnya enak, enteng.”
Rini yakin bahwa selain mengurangi keluhan selama kehamilan,
oyog juga bisa memperlancar kelahiran. Ia sudah melahirkan
empat kali, selalu melakukan oyog selama masa kehamilan dan
empat anaknya lahir dengan persalinan normal. Rini yakin bahwa
hal tersebut karena ia rajin melakukan oyog.
4.3.7. Pro-Kontra Oyog
Oyog, memang sudah menjadi tradisi turun temurun pada
masyarakat Desa Dukuh Widara. Meski begitu, tidak semua
masyarakat setuju dan percaya dengan oyog. Oyog, karena
menyangkut perlakuan pada kehamilan, yang merupakan masamasa riskan, masih diperdebatkan keamanannya. Terlebih lagi,
oyog dilakukan oleh dukun bayi yang memperoleh ilmunya bukan
dari pendidikan formal, bersifat tradisional dan belum pernah
diuji keamanan dan kemanfaatannnya secara ilmiah.
262
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Fira, misalnya, ibu hamil (24 tahun) disarankan oleh
ibunya untuk melakukan oyog ketika merasakan keluhan pada
kehamilannya, tapi ia menolak. Fira merasa khawatir, oyog justru
akan mengganggu kehamilannya.
Ia
lebih memilih
mememeriksakan diri ke tenaga kesehatan (bidan, dokter
spesialis) daripada ke dukun bayi.
“Sama ortu dianjurin, tapi tidak percaya karena tidak
boleh sama bidan [...] Ada keluhan apapun ke tenaga
kesehatan. [...]dari bidannya sendiri kan konsul, dilarang
sekali apalagi untuk masa-masa bukan enam bulan atau
tujuh bulan, takutnya kan memicu keguguran
[...]takutnya mungkin nanti nggak secara medis sih, salah
tangan atau gimana gitu.”
Meski begitu, Fira mengetahui kalau kakak-kakak atau
saudaranya juga melakukan oyog ketika masa kehamilan dan
menurutnya belum pernah mendengar efek negatif dari oyog.
Kontra oyog umumnya datang dari para tenaga kesehatan
(bidan desa), yang merasa khawatir bahwa oyog justru akan
membahayakan janin. Bidan, biasanya akan menganjurkan pasien
yang datang kepadanya untuk tidak melakukan oyog. Bidan Ika,
misalnya, mengaku jika ada pasien yang meminta pendapatnya
untuk melakukan oyog atau tidak,
selalu menyarankan
pasiennya untuk tidak melakukan oyog.
“Kalau misalnya ada pasien dateng ke saya mengeluh
sakit, apa perlu dioyog atau gimana nggak perlulah kata
saya. nanti ini bukan apa-apa nanti berpengaruh efeknya
jelek. [...]Sudah biarkan kalau misalnya kalau nggak
nyaman atau posisi gimana ya di USG. Nggak yang harus
dioyog nggak. Kalau misal ada yang habis jatuh nggak
saya sarankan utk diurut atau dioyog. Kalau bisa saya
sarankan nggak sama sekali pun nggak apa-apa.”
263
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Sementara itu, Bidan Ila juga tidak menyarankan ibu hamil untuk
melakukan oyog demi keamanan ibu hamil. Ia khawatir bahwa
oyog justru akan berdampak negatif pada kehamilan.
“Kalau dioyog itu, persepsi kita takut digimana-gimanain,
takut keras, karena kita sebenarnya juga nggak tahu
seperti apa. Nah, kita sebenarnya tidak membolehkan.
Ditakutkannya posisi plasentanya atau apa, kita kan
nggak tahu, barangkali tali pusatnya pendek dioyog-oyog
jadinya gimana. Intinya sih begitu saja.“
Sementara itu, sebagian besar pasien oyog, meski sudah
disarankan oleh bidan untuk tidak melakukan oyog karena
percaya bahwa oyog, meski belum teruji secara ilmiah, tapi
sudah dibuktikan oleh waktu dan selama ini, tidak pernah
mendengar efek negatifnya.
Imah, misalnya. Seorang ibu yang juga seorang guru
sekolah. Saat ini, Imah sedang menyelesaikan pendidikan S2-nya.
Meski percaya pada tenaga kesehatan dan rutin memeriksakan
kehamilan pada bidan, ia melakukan oyog ketika mengalami
keluhan pada kehamilannya. Ia mengaku belum pernah
mendengar hal-hal buruk yang timbul setelah seseorang
melakukan oyog. Alih-alih, ia merasakan bahwa oyog memberi
manfaat meredakan perasaan tak nyaman pada kehamilannya.
“Kalau menurut saya karena nggak ada efek samping
yang kita keluhkan, menurut saya sih boleh-boleh saja
oyog. Cuma ada memang beberapa orang yang bilang
nggak boleh. Tapi ya kami orang desa oyog itu memang
nyaman. [...] Ya memang ngoyognya kan nggak terlalu
terlalu kasar gitu. Cuma dibener-benerin.”
Sisi yang rutin melakukan oyog setiap bulan sejak
kehamilannya menginjak usia 6 bulan, juga mengaku sama sekali
tidak takut bahwa oyog akan mengganggu kehamilannya. Ia
264
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
sudah melihat saudara dan tetangganya yang sering melakukan
oyog, dan ternyata anak yang lahir baik-baik saja.
“Sing lairan sing dioyogi pada sehat-sehat”
Hal yang sama juga diungkapkan Irah, yang juga rutin
melakukan oyog ketika merasa tak nyaman dengan
kehamilannya.
“Dari pertama saya inget terus sampai punya suami,
sampai sekarang, belum pernah denger dioyog terus
begini-begini. Belum pernah denger. Makanya jadi orang
yang hamil itu senang dioyog karena nyaman.”
4.3.8. Gerakan oyog dan Leopold
Pada pengamatan yang dilakukan sebenarnya gerakan
oyog tidak berbeda dengan gerakan Leopold/maneuver Leopold
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan (bidan dan dokter spesialis
kandungan). Sebelum membahas lebih lanjut tentang persamaan
gerakan oyog dan Leopold, alangkah baiknya, diamati gambar
berikut ini:
Pada gambar 4.10, gerakan oyog pada gambar a, sebagai
Leopold I, memiliki kemiripan gerakan dengan oyog pada gambar
1. Gerakan oyog pada gambar B, terlihat memiliki kemiripan
dengan gerakan oyog pada oyog gambar 2. Demikian juga
gerakan Leopold pada poin C dan D, memiliki kemiripan dengan
gerakan oyog 3 dan 4.
Manuver Leopold/Gerakan Leopold merupakan palpasi
abdomen yang dapat dilakukan secara keseluruhan pada bulanbulan terakhir kehamilan serta selama dan antara kontraksi saat
persalinan. Dengan pengalaman, manuver ini memungkinkan
untuk memperkirakan ukuran klinis. Menurut Lydon-Rochelle,
dkk (1993) klinisi yang berpengalaman dapat mengidentifikasi
malpresentasi janin secara akurat menggunakan manuver
265
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Leopold dengan sensitifitas tinggi 80%, spesifisitas 94%, nilai
prediktif 74% dan nilai prediktif negative 97%.
Gambar 4.10.
Persamaan manuver Leopold dengan gerakan oyog
Sumber: Midwifery Apprenticeship, crassmidwife.blogspot.com,
dan dokumentasi peneliti, 2014
Pemeriksaan abdomen dapat dilakukan secara sistematis
dengan menggunakan empat manuver yang diperkenalkan oleh
Leopold pada tahun 1894. Pemeriksaan abdomen dilakukan pada
usia 25 minggu dan untuk menegaskan pertumbuhan janin sesuai
dengan usia kehamilannya. Tujuan dari pemeriksaan ini adalah:
1) Mengobservasi tanda-tanda kehamilan
2) Menilai perkembangan dan pertumbuhan janin
3) Auskultasi jantung janin
4) Mengetahui bagian lokasi janin
5) Mendeteksi adanya ketidaknormalan.
Pada pemeriksaan ini, Ibu berada pada posisi terlentang
dengan kepala sedikit ditinggikan. Posisi ini adalah posisi yang
266
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
membuat ibu nyaman dan bagian abdomen (perut) terlihat
dengan jelas.
1) Manuver pertama, untuk menentukan tinggi dari fundus.
Bokongmemberikan sensasi massa besar nodular,
sedangkan yang pe (melenting). Pada pemeriksaan yang
pertama ini, akan diketahui tinggi fundus. Secara klinis
pemeriksaan ini sangat penting untuk mendeteksi dini
kondisi bayi khususnya berat badan janin.
2) Manuver kedua dilakukan setelah penentuan letak janin,
dengan meletakkan telapak tangan di salah satu sisi
abdomen ibu dan memberikan tekanan lembut tetapi
dalam. Pada satu sisi dirasakan bagian kecil yang mudah
digerakkan –ekstremitas janin. Dengan memperhatikan
apakah punggung terarah ke anterior transversal atau
posterior dapat ditentukan orientasi janin.
3) Manuver ketiga dilakukan dengan cara ibu jari dan jari-jari
satu tangan menggenggam bagian ibu, tepat di atas
simpisis pubis. Jika bagian terendah janin tidak enganged,
akan terasa massa yang digerakkan, biasanya kepala.
Perbedaan antara kepala dan bokong ditentukan seperti
pada manuver pertama.
4) Untuk menentukan manuver keempat, pemeriksa
menghadap kearah ibu dan dengan ujung tiga jari pertama
masing-masing tangan, memberikan tekanan yang dalam
searah aksis aperture pelvis, bagian anterior bahu mudah
dibedakan melalui maneuver yang ketiga. Pemeriksaan ini
mmeberikan informasi tentang seberapa besar again
terendah, biasanya kepala bayi, masuk ke jalan lahir.
267
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
4.3.9. Faktor-faktor yg mungkin mendorong ibu hamil untuk
dioyog
Seperti diketahui, bahwa perilaku seseorang akan muncul
ketika ada faktor pendorong baik yang bersifat internal maupun
eksternal. Oyog merupakan salah satu perilaku yang diakukan
oleh ibu hamil yang sangat mungkin dipengaruhi beberapa
faktor. Pada pengamatan yang dilakukan, hanya sedikit sekali ibu
hamil yang tidak melakukan oyog. Tidak dilakukan penelitian
kuantitatif dalam penelitian ini, namun pada pengamatan kami,
hanya sekitar 8 persen ibu hamil yang tidak dioyog.
Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa Desa
Dukuh Widara adalah desa yang memiliki jumlah dukun bayi
terbanyak dibandingkan desa-desa lain di wilayah Puskesmas
Kalibuntu. Banyaknya jumlah dukun yang ada dan tersebar
hampir di semua blok, membuat kedekatan masyarakat dan ibu
hamil terhadap dukun bayi sangat tinggi. Hanya satu blok saja
yang tidak ditinggali oleh dukun bayi.
Adanya kedekatan fisik yang juga kebanyakan didukung
oleh kedekatan psikologis dan kekerabatan, sangat
memungkinkan masyarakat atau ibu hamil menggunakan dukun
bayi dalam berbagai fase dalam kehidupannya, baik dalam
kehamilan, persalinan, nifas maupun dalam perawatan bayi.
Oyog adalah salah satu tradisi dalam kehamilan yang
diminta oleh ibu hamil untuk dilakukan oleh dukun bayi. Berbagai
alasan telah disebutkan diatas yang membuat ibu hamil meminta
dilakukan oyog oleh dukun bayi kepada ibu hamil. Survey ini
pernah membandingkan pelaksanaan oyog yang dilakukan di
Desa Dukuh Widara dan desa di sekitarnya yang tidak memiliki
dukun bayi. Nampak sekali bahwa ketertarikan oyog lebih tinggi
pada desa yang memiliki dukun bayi dibandingkan dengan desa
yang tidak memiliki dukun bayi.
268
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Selain itu, nampaknya oyog lebih diminati pada kehamilan
pertama dibandingkan dengan kehamilan kedua dan seterusnya.
Hal ini dituturkan oleh Ibu Ira dan beberapa ibu yang lain, yang
memang hamil pertama. Ibu Imah, yang saat ini mengalami
kehamilan kedua, juga mengatakan bahwa, oyog adalah
kebiasaan yang sering dilakukan olehnya saat hamil pertama.
Oyog ini akan membuat kehamilan pertamanya dapat dilalui
dengan nyaman dikarenakan keluhan-keluhan yang hilang
setelah dilakukan oyog.
Oyog bahkan dilakukan hampir setiap dua minggu sekali
oleh Ibu Ira. Ibu Ira meyakini bahwa oyog akan membuat
kekhawatirannya karena berbagai keluhan dalam kehamilannya
akan hilang.
Pendidikan juga turut mempengaruhi sikap seseorang
dalam mengambil keputusan. Pendidikan formal yang ditempuh
oleh seseorang akan menentukan sikap terhadap suatu hal.
Seperti halnya pada tradisi oyog dan telah diungkapkan di atas
bahwa ibu hamil ada yang meyakini oyog dan selalu meminta
oyog namun ada pula ibu hamil yang tidak menyakini oyog
sebagai tradisi dalam perawatan kehamilan, walaupun jumlahnya
sangat sedikit.
Pada observasi di lapangan, ibu hamil yang menerima
oyog, memiliki kecenderungan dengan pendidikan yang lebih
rendah dibandingkan ibu yang tidak meyakini oyog. Artinya ibu
yang memiliki pengetahuan lebih tinggi (SMA) cenderung
memilih perawatan kehamilan dalam aspek medis. Beberapa ibu
dalam kelompok ini lebih meyakini hal-hal yang rasional dan
telah teruji dalam bidang kesehatan atau kedokteran,
dibandingkan hanya berbicara sugesti dan kepercayaan yang
turun-temurun tanpa bukti ilmiah.
Namun demikian ada saja kekhususan dalam kasus ini. Ibu
Imah, adalah salah seorang ibu hamil yang memiliki pengetahuan
269
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
tinggi, namun masih meyakini oyog sebagai salah satu tradisi
dalam perawatan kehamilannya. Ibu Imah telah mengenyam
pendidikan Diploma tiga (D3) dan kini menjadi tenaga pengajar di
salah satu sekolah di Desa dukuh Widara. Selain pendidikan yang
tergolong tinggi, Ibu Imah juga memiliki pengalaman dan cara
berfikir yang modern setelah kepulangannya bekerja di Taiwan.
Dengan pendidikan yang tinggi dan pengalaman serta
cara berfikir yang maju, tetap saja Ibu Imah memandang tradisi
oyog adalah tradisi yang bermanfaat dan ia pun melakukannya
pada kehamilannya yang pertama. Kehamilan yang keduanya kali
ini, ia tidak meminta dukun bayi kepercayaannya untuk
melakukan oyog, bukan karena ia tidak yakin lagi, akan tetapi
kehamilannya kali ini berlangsung sangat nyaman dan tidak ada
keluhan sedikitpun. Ibu Imah benar-benar pernah merasakan
manfaat oyog, kehamilan yang nyaman dan perasaan ringan. Ia
juga mengatakan bahwa banyak hal-hal yang tidak rasional/tidak
bisa dijelaskan secara logika, namun manfaatnya benar-benar
dirasakan. Keterangan tambahan diberikan oleh Ibu Imah bahwa
banyak hal-hal yang tidak rasional seperti ini, kalau diluar negeri
sudah pasti tidak akan kepakai, karena mereka (luar negeri)
sangat menghargai segala sesuatu yang rasional.
4.3.10. Kontradiksi Oyog
Mbak Imah, umur 27 tahun, hamil anak kedua, dan
memiliki riwayat keguguran. Telah empat tahun menikah.
Kunjungan kami ke rumah Mb Imah, berdasarkan keterangan dari
salah satu dukun bayi Di Desa Dukuh Widara yang kebetulan
terletak di blok yang sama dengan rumah Mba Imah. Pada saat
bertemu Mba Imah, nampak Mba Imah sangat sibuk dan di ruang
tamunya nampak beberapa kerabat. Seperti sedang sibuk
merencanakan suatu acara. Benar saja ternyata beberapa hari
270
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
setelah itu, akan dilangsungkan acara resepsi pernikahan adik
ipar Mba Imah.
Ditengah kesibukan tersebut, Mba Imah masih
bersemangat untuk menerima kami. Sebenarnya ingin segera
bergegas, melihat rumah Mba Imah yang nampak sibuk. Namun
Mba Imah melarangnya, “Sudahlah mba, ga apa-apa, manggamangga, sambil melebarkan tikar untuk tempat duduk. “ga apaapa ya mba, dibawah duduknya.”
Setelah menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan
peneliti, obrolan dibuka dengan pertanyaan seputar kehamilan
yang dialami Mba Imah. Pada saat pertanyaan tentang apakah
Mba Imah masih mempercayai dukun sebagai salah satu orang
yang dipercaya dalam perawatan kehamilan. Ibu mba Imah
menyambung obrolan.Berikut petikan obrolan ibu Mba Imah :
“Kalau dulu sedikit-sedikit ke dukun. Sekarang kan ada
Puskesmas jadinggak ada oyog-oyogan. Yang ngoyog kan
bidan. Ya kalau periksa kan periksa sini (perut) dulu
kalau periksa ke dukun kalau sakit atau turun apanya
bayi, suka nyengkang namanya oyog. Kalau sekarang
dekat Puskesmas, kalau dulu di panggang. Kalau ini
bilang perutnya sakit, datang aja ke ibu khaeriyah
(bidan) iya ni katanya bayinya sehat, Cuma ingat punya
mag, saya kasih kunyit, sembuh. “Anak sekarang jamujamu nggak doyan nggak apa-apa, makan sayuran, ikan,
saya nggak ngelarang kan sudah ada bidan. Kalau dulu
habis melahirkan nggak boleh makan apa-apa.”
Mba Imah, bukan penduduk asli di desa Dukuh Widara.
Selama ini, sebelum menikah Mba Imah bekerja keluar kota.
Menurut cerita Mba Imah, ia termasuk orang yang lebih
mempercayai segala sesuatu yang rasional/masuk akal
dibandingkan dengan sesuatu yang hanya mitos. Termasuk
271
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
dalam pelaksanaan oyog. Mba Imah belum pernah dioyog
bahkan istilahpun oyog belum pernah didengarnya.
“Nggak pernah dengar oyog? Nggak baru. Pokoknya
kalau apa langsung disaranin ke bidan, kan dekat. Nggak
pernah ke dukun bayi. Mungkin oyog itu kayak bidan,
kemarin pas periksa kayak gitu, agak sakit, tapi enak.
nggak tahu apa itu oyog bukan, tapi ada yang dinaikin.
Takutnya bidan kan berlebihan, takut salah atau
gimana.”
Dari percakapan tersebut, memberikan informasi bahwa
Mba Imah memang tidak pernah dioyog, dan dia memiliki cara
pandang bahwa pelaksanaan oyog hampir sama seperti yang
dilakukan oleh bidan, namun kalau pelaksanaan oyog yang
dilakukan oleh bidan, Mba Imah menyakininya, karena pasti pada
pelaksanaannya bidan tidak akan berlebihan dalam melakukan
gerakan tersebut. Sedangkan dukun bayi menurutnya, sangat
mungkin melakukan gerakan yang keras dan mungkin
menyebabkan komplikasi atau membahayakan bayi yang
dikandungnya. Mba Imah juga pernah mengalami keluhan sakit
perut bagian bawah. Biasanya dengan keluhan seperti ini, maka
ibu hamil akan meminta dukun bayi untuk dioyog. Pada kasus ini
Mba Imah tetap datang ke bidan untuk mengatasi masalah
tersebut. Mba Imah bercerita bahwa perutnya diangkat sedikit,
waktu itu sedikit sakit katanya, tetapi keluhan tersebut pun
hilang, beberapa saat setelah selesai memijat.
Dengan berbagai peristiwa tersebut membuat Mba Imah
semakin mempercayai bahwa tenaga kesehatan khususnya bidan
adalah bagian penting dalam perawatan kehamilannya tanpa
perlu lagi ke tenaga yang lainnya termasuk dukun bayi, walaupun
sangat dekat dengan tempat tinggalnya.
Cerita serupa juga didapatkan dari Mb Fira. Mba Fira,
umur 26 tahun, hamil pertama dan telah hamil 8 bulan. Mba Fira
272
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
tinggal bersama suaminya dan bapak mertuanya. Mba Fira,
adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan keuangan dalam
bentuk koperasi. Menurut cerita Mba Fira, badan keuangan
tersebut berfungsi sebagai koperasi peminjaman uang. Kini Mba
Fira bekerja di Kabupaten Kuningan, sebuah kabupaten yang
terletak bersebelahan langsung dengan Kabupaten Cirebon.
Sebelum dipindahkan ke Kuningan, Mba Fira pernah bekerja di
perusaan yang sama tetapi penempatan di Jawa Timur.
Berpindah - pindah kota tempat bekerja bukan hal yang baru bagi
Mba Fira, bahkan sebelum itu, Ia pernah juga tinggal di Bandung
dan jakarta.
Pengalaman berpindah-pindah kota dengan pengalaman
kerja yang cukup banyak membuat wawasan yang dimiliki oleh
Mba Fira sangat luas. Hal tersebut terlihat pada saat dilakukan
wawancara. Mba Fira dengan sangat lugas dan lancar bercerita
tentang berbagai hal, termasuk cerita tentang kehamilannya.
Kehamilan Mba Fira, adalah kehamilan yang sangat
diharapkannya. Sempat kosong lebih kurang 6 bulan setelah
pernikahannya, membuat Mba fira dan suaminya sangat
berharap terhadap kehamilannya. Menurut cerita Mba Fira,
kehamilannya berlangsung normal, tidak ada keluhan berat yang
dirasakannya. Seperti kebanyakan ibu hamil lainnya yang
mengalami keluhan-keluhan normal selama kehamilannya
seperti mual bahkan sampai muntah, susah makan sehingga
badan lemas, Mba Fira juga mengalami hal yang demikian. Mba
Fira baru merasakan enaknya makan, setelah usia kehamilannya
menginjak 5 bulan. Setelah lewat usia kehamilan 5 bulan, Mba
Fira mulai bisa menikmati kehamilannya. Ia juga sangat
bersyukur, sejak itu tak ada lagi keluhan yang dirasakannya.
Kehamilannya menjadi sangat menyenangkan. Mba Fira biasa
melakukan pemeriksaan kehamilan ke bidan dan dokter spesialis
kandungan. Tidak ada bidan dan dokter spesialis kandungan
273
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
tertentu yang menjadi andalannya. Artinya pemeriksaannya
dilakukan ke bidan siapa saja, berbeda-beda. Bukan hanya bidan
yang berada di desanya, akan tetapi bidan lain yang menurut
informasi yang didengarnya memiliki kemampuan, pengalaman
dan alat yang bagus. Sampai-sampai Mba Fira juga pernah
melakukan pemeriksaan ke bidan yang letaknya d luar wilayah
kabupaten Cirebon, karena mendengar bahwa di bidan tersebut
memiliki alat USG yang bagus. Tentang benar tidaknya informasi
tersebut, terkadang Mba Fira tidak mencari kebenarannya
terlebih dahulu.
Bukan hanya ke bidan, hal yang sama juga Mba Fira
lakukan ke dokter spesialis kandungan. Beberapa dokter telah
didatangi oleh Mba Fira di berbagai wilayah, kadang pemeriksaan
dilakukan di Cirebon namun kadang juga di Kuningan, tergantung
pada waktu yang dimiliki oleh Mba Fira.
Mba Fira tidak memiliki fanatisme pada bidan atau dokter
spesialis tertentu, namun ia sangat mempercayai kedua profesi
tersebut sebagai rujukannya sepanjang proses kehamilan dan
persalinannya. Terhadap tenaga tradisional, khususnya dukun
bayi, Mba fira tidak mempercayakan asuhan kehamilan
kepadanya.
“Sebenarnya keluarga, khususnya ibu saya juga
menyarankan untuk datang kedukun bayi, biar dipijet,
biar bayinya lancar, posisinya bagus. Intinya hamilnya
enakan. Tapi mereka ga pernah maksa, jadi pas sayanya
memang ga mau ya sudah, ga pernah ngomong lagi. Bagi
saya yang seperti itu ko ga masuk akal.”
Dari wawancara di atas, Mba Fira mengungkapkan bahwa
ia kurang mempercayakan asuhan kehamilannya kepada tenaga
tradisional/di luar tenaga kesehatan, karena menurutnya banyak
hal yang tidak rasional atau tidak masuk akal. Termasuk saran
keluarga/ibunya untuk melakukan oyog/pijatan di daerah perut.
274
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Bagi Mba Fira posisi bayi yang betul bukan ditentukan oleh
pijatan, tetapi memang sudah dari sananya posisi bayi akan
benar. Ada kalanya memang, posisi bayi yang salah, tetapi ini bisa
diluruskan dengan posisi nungging, misalnya, bukan dikarenakan
pijatan dukun bayi.
Lancarnya persalinan menurut Mba Fira juga bukan
disebabkan oleh oyog, namun ditentukan oleh makanan yang
dimakan oleh ibu selama kehamilan. Selain itu lancarnya
persalinan juga didukung oleh psikologis ibu hamil selama
kehamilan dan persalinannya. Mba Fira sering mencari informasi
di internet, terkait berbagai masalah dalam kehamilan dan
persalinan. Semua informasi tersebut semakin menguatkan
keyakinan Mba Fira terhadap tenaga kesehatan dan sebaliknya
membuatnya semakin kurang mempercayai tenaga tradisional
yang ada. Mba Fira merasa sudah cukup hanya memeriksakan ke
tenaga kesehatan. Tradisi dalam asuhan kehamilan pernah
dilakukan oleh Mba Fira, namun itu juga hanya berlaku pada
tradisi yang menurutnya rasional. Salah satu contohnya adalah
pada acara 4 bulanan. Acara ini menurut Mba Fira bermanfaat
bagi bayi yang dikandungnya, karena acara tersebut berisi bacaan
doa dan ayat suci al Qur’an yang sangat bermanfaat untuk bayi
yang baru ditiupkan ruhnya. Bacaan ini yang akan membuat bayi
menjadi tenang dan tumbuh sehat. Demikian juga untuk ibu yang
mengandung, bacaan tersebut akan membuat orang tua
khususnya ibunya menjad tenang dan terhindarkan dari berbagai
masalah. Hingga saat ini kehamilan Mba Fira berlangsung lancar.
Ia memiliki rencana persalinan di tenaga kesehatan khusunya
bidan.
275
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
4.3.11. Keberlangsungan Oyog
Peran dukun bayi yang sekarang sudah tidak
diperbolehkan menolong persalinan membuat peran dukun bayi
sedikit berkurang. Walaupun masyarakat di sana sudah mengerti
pentingnya pemeriksaan kehamilan kepada tenaga kesehatan,
namun keberadaan dukun bayi masih dipercaya dan
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk melakukan pijat pada saat
ibu hamil merasa pegal atau kelelahan. Demikian juga pada
pelaksanaan oyog, walaupun telah melakukan pemeriksaan ke
tenaga kesehatan, namun ibu hamil masih memanfaatkan dukun
bayi untuk mengurangi beberapa keluhan yang dirasakan melalui
oyog. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang dukun bayi
“Ga tentu, ada sebulan sekali baru ada, dua bulan baru
ada, sekarang sih ga itu. Orang sekarang sih udah ngerti
ke Puskesmas ke bidan.123
4.3.12. Jangkauan Dukun Bayi Melakukan Oyog
Dukun bayi yang ada di Desa Dukuh Widara dalam
melakukan oyog ternyata tidak hanya di desa tersebut saja,akan
tetapi mereka juga melakukan kegiatan oyog di desa-desa lainnya
walaupun masih dalam satu Kecamatan Pabedilan. Apabila dukun
bayi melakukan oyog di kecamatan yang berbeda, biasanya
kecamatan tersebut letaknya bersebelahan dengan Desa Dukuh
Widara.
“ngOyog Cuma sampe kecamatan pabedilan”124
“Desa Dukuh Widara aja”125
“Dukuh widara, Pasuruan, Astanalanggar, losari”126
123
Sumber: Wawancara dengan Mak Isah
Sumber: Wawancara dengan Mak Iyah
125
Sumber: Wawancara dengan Bi Ipah
124
126
Sumber: Wawancara dengan Mak Inah
276
BAB 5
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan, bahwa Desa
Dukuh Widara memiliki kondisi Kesehatan Ibu dan Anak yang
hampir sama dengan beberapa wilayah di Puskesmas Kalibuntu.
Berdasarkan data laporan KIA tahun 2013, salah satu masalah
yang terjadi di desa Dukuh Widara adalah adanya ibu hamil yang
masih kurang dari 20 tahun dan KEK (Kurang Energi Kronis) yang
ditandai dengan LILA<23, 5 cm. Pada periode persalinan, Desa
Dukuh Widara memiliki permasalahan yang cukup berarti, yaitu
masih rendahnya cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan.
Pada masa nifas, selain tradisi yang masih kental, angka cakupan
pemberian ASI eksklusif juga masih sangat rendah. Pada fase
kehidupan anak dan balita masalah yang cukup menonjol di Desa
Dukuh Widara adalah pola asuh orang tua, baik yang tinggal
bersama dengan orang tua kandung maupun orang tua asuh.
Pada periode remaja, tidak ada tradisi khusus untuk
menyambut masa ini baik pada remaja perempuan maupun
remaja laki-laki. Masa ini mereka mulai dengan sangat alami.
Berbagai pengetahuan remaja mereka dapatkan lebih banyak
dari sekolah dan teman sebaya dibandingkan dari orang tua atau
keluarga. Satu masalah dalam kesehatan reproduksi remaja,
antara lain adalah kasus kehamilan yang tidak diinginkan (KTD).
277
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Masalah ini semakin meningkat seiring perkembangan informasi
dan teknologi.
Banyak faktor yang bisa menyebabkan kasus KTD. Jika
ditelaah lebih lanjut, salah satu faktor mungkin menjadi salah
penyebab terjadinya KTD di Desa Dukuh Widara adalah pola asuh
orang tua terhadap remaja.
Sunat perempuan juga masih terjadi di Desa Dukuh
Widara. Sunat perempuan ini dilakukan oleh bidan dan dukun
bayi dan masing-masing bidan dan dukun bayi tersebut, memiliki
cara yang berbeda-beda dari hanya ditoreh saja dan tidak ada
jaringan atau selaput yang terbawa, akan tetapi juga ada dukun
bayi yang melakukan sunat dengan ditoreh sampai ada darah
yang menetes. Penggalian tentang alasan yang melatar belakangi
tindakan sunat perempuan, diungkapkan oleh beberapa dukun
antara lain karena alasan agama. Ada juga bidan yang melakukan
sunat tersebut hanya mengikuti tradisi yang berlaku
dimasyarakat, jadi melakukannya hanya untuk memenuhi
permintaan.
Cara pandang masyarakat secara umum terhadap
kehamilan adalah suatu proses yang sangat penting dalam
siklus kehidupan, disebabkan disaat itulah akan dimulainya
kehidupan baru, generasi baru. Adanya cara pandang yang
demikian dari masyarakat terhadap kehamilan, sangat
memungkinkan peran yang tinggi dari seluruh keluarga dalam
siklus kehamilan ini. Dalam hal tradisi masyarakat untuk
perawatan kehamilan dibedakan menjadi tradisi di saat hamil
muda, hamil sedang dan hamil tua. Klasifikasi usia kehamilan
dalam tradisi ini, rupanya berbeda halnya dengan klasifikasi
kehamilan di asuham kebidanan/dunia kesehatan. Pada
konteks budaya masyarakat Desa Dukuh Widara, disebut
kehamilan/hamil muda (hamil enom) jika usia kehamilan 1
sampai 4 bulan, disebut hamil sedang jika usia kehamilan
278
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
antara 4-7 bulan dan disebut hamil tua jika usia kehamilan 79/10 bulan.
Pemeriksaan kehamilan merupakan komponen yang
sangat penting dalam asuhan kehamilan. Pada Ibu hamil di Desa
dukuh Widara, pemeriksaan kehamilan telah dilakukan oleh ibu
hamil sejak awal kehamilan/sejak ia merasa hamil. Ibu yang
merasa hamil akan melakukan pemeriksaan, untuk mengetahui
hamil atau tidaknya dan mengurangi beberapa keluhan yang
mungkin muncul dalam kehamilan muda. Selain itu Ibu bidan
Desa dan Bidan koordinator juga bekerjasama dengan kader
Posyandu untuk segera menginformasikan kepada bidan desa,
jika mendengar ada ibu yang hamil. Pola pengobatan pada ibu
hamil di Desa Dukuh widara, tidak berbeda dengan pola
pengobatan pada masyarakat pada umumnya. Sedikit
perbedaan, adalah ketika ibu hamil tersebut sakit, maka akan
langsung melakukan pengobatan ke fasilitas kesehatan, berbeda
halnya pada masyarakat umumnya, ketika sakit, jika sakit dirasa
tidak parah, pengobatan dilakukan secara pribadi dengan
membeli obat-obat generik yang dijual di warung-warung.
Pada periode selanjutnya dimasa persalinan dan nifas, para
ibu di Desa Dukuh Widara akan berhadapan dengan berbagai
tradisi-tradisi yang cukup banyak khususnya setelah bayi lahir.
Berbagai tradisi tersebut dari mulai namu-namu, ngubur ari-ari,
mangku, nggeong, nyukur rambut dan tradisi turun tanah.
Pada kondisi ideal ASI harus diberikan kepada bayi secara
eksklusif. Namun pada kenyataannya ada saja hal-hal yang
menghambat pemberian ASI kepada bayi. Misalnya alasan ASI
tidak keluar, kondisi ibu yang belum stabil, maupun komposisi
ASI yang dianggap belum mencukupi kebutuhan bayi. Alasan
yang terakhir ini sering diungkapkan oleh kebanyakan ibu
menyusui. Berbagai informasi yang kita dapatkan dari
informan ibu nifas, sesuai dengan profil Puskesmas Kalibuntu
279
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
tahun 2013, bahwa cakupan ASI eksklusif memang rendah.
Situasi tersebut juga dihadapi Indonesia secara nasional
artinya cakupan pemberian ASI eksklusif memang sangat
rendah, hanya 38%.
Berdasarkan profil Puskesmas Kalibuntu, penyakit
menular yang terbanyak pada orang dewasa adalah penyakit TB
Paru. Berdasarkan data tersebut ditemukan 6 orang dengan
penyakit TB Paru dan keseluruhannya dinyatakan sembuh. Tidak
ada kematian pada penderita yang disebabkan penyakit ini.
Pada pengambilan data tentang penyakit tidak menular
ditanyakan beberapa informasi kepada para penderita atau
keluarganya. Berbagai hal yang digali dalam penelitian ini
meliputi: pemahaman masyarakat lokal tentang padanan kata,
pengalaman dan pengetahuan mereka tentang penyakit
tersebut, pola pengobatan yang dilakukan, upaya pencegahan,
tentang pantangan dan anjuran bila seseorang mengalami
penyakit serta persepsi masyarakat setempat terhadap penyakit
tersebut
Berbagai jenis penyakit tidak menular yang dominan
dialami di masyarakat Desa Dukuh Widara berdasarkan profil
kesehatan Kalibuntu tahun 2013 antara lain: diabetes mellitus,
hipertensi, stroke dan penyakit gangguan jiwa.
Pada pengambilan data tentang penyakit tidak menular
ditanyakan beberapa informasi kepada para penderita atau
keluarganya. Berbagai hal yang digali dalam penelitian ini sama
dengan penggalian penyakit menular, mulai dari pemahaman
tentang penyakit sampai persepsi masyarakat terhadap penyakit
tersebut. Secara umum, sebagian besar masyarakat beranggapan
bahwa penyakit yang dialaminya merupakan gangguan
kesehatan karena suatu penyakit, bukan pengaruh roh halus, dan
mereka memiliki pola pengobatan konvensional.
280
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Pemanfaatan Posyandu oleh masyarakat di Desa Dukuh
Widara sudah cukup baik, terlihat dari cakupan program yang
sudah mencapai 50%, dan semua Posyandu sudah termasuk
dalam Posyandu madya walaupun tempat kegiatan Posyandu
belum mempunyai tempat khusus dan masih di rumah-rumah
penduduk.
Perilaku cuci tangan menggunakan air bersih dan sabun
belum menjadi suatu rutinitas yang dilakukan oleh masyarakat.
Hal tersebut hanya dilakukan pada kondisi-kondisi tertentu saja,
seperti habis buang air besar, sebelum makan dan saat tangan
terlihat kotor. Sedangkan pada saat akan menyusui bayi, setelah
menceboki bayi dan setelah menggunakan pestisida, perilaku
cuci tangan menggunakan dengan menggunakan air bersih dan
sabun belum merupakan kegiatan yang rutin dilakukan.
Penggunaan jamban masih menjadi permasalahan di
beberapa wilayah Desa Dukuh Widara. Masih ditemukan rumah
yang belum memiliki jamban, hal tersebutnya menyebabkan
masih ada warga yang yang melakukan buang air besar di tempat
terbuka, seperti pekarangan, saluran irigasi dan persawahan.
Masyarakat di Desa Dukuh Widara sudah termasuk
melakukan aktifitas fisik baik ringan, sedang maupun berat.
Aktifitas fisik yang dilakukan seperti menyapu, berjalan kaki,
mencangkul, dan menggarap sawah.
Konsumsi sayur dan buah belum menjadi kebiasaan
sehari-hari seluruh warga masyarakat. Terutama konsumsi buahbuahan yang masih dianggap mahal, sehingga belum bisa dibeli
dan untuk di konsumsi setiap hari. Sayur dan buah yang sering
dikonsumsi, biasanya merupakan hasil kebun mereka sendiri.
Kebiasaan merokok masih dilakukan oleh beberapa warga
Desa Dukuh Widara. Alasan yang sering diUtarakan karena sudah
kecanduan sehingga kebiasaan ini sulit ditinggalkan. Masih
281
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
ditemukan suami atau warga yang merokok di dekat ibu hamil
dalam satu ruangan.
Air bersih yang digunakan hampir seluruh warga
masyarakat disana adalah bersumber dari sumur, yaitu
menggunakan sumur gali yang dialirkan melalui sumur timba
atau melalui pompa. Air sumur digunakan untuk seluruh
kebutuhan sehari-hari seperti minum, masak, mandi dan
mencuci.
Dalam pengelolaan makanan dan minuman, sebagian
besar masyarakat sudah menggunakan peralatan masak yang
sudah cukup modern, walaupun masih ada yang menggunakan
peralatan masak yang masih tradisional. Penggunaan kompor
gas, kulkas, galon, bagi yang memiliki kemampuan ekonomi,
sedangkan masih menggunakan kayu , tungku untuk memasak
juga masih ada.
Memberantas jentik nyamuk dilakukan warga dengan
cara menguras bak mandi atau memelihara ikan di bak mandi.
Namun demikian kegiatan menguras bak mandi masih belum
dilakukan secara rutin biasanya setiap satu minggu sekali tetapi
terkadang satu bulan sekali.
Jumlah dukun bayi di Desa Dukuh Widara menempati
urutan terbanyak, yaitu sebanyak 6 orang dibandingkan desadesa yang lain di wilayah Puskesmas Kalibuntu. Hal ini
menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat Desa Dukuh
Widara terhadap dukun bayi masih tinggi karena masih
dibutuhkan oleh masyarakat. Salah satu tindakan yang sering
diminta oleh ibu hamil kepada dukun bayi adalah oyog yaitu
suatu pijatan pada ibu hamil yang umumnya dilakukan oleh
dukun bayi dengan tujuan untuk untuk mbenerke
(membenarkan) posisi janin.
282
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan,
pelaksanaan oyog di Desa Dukuh Widara dilakukan sepanjang
usia kehamilan dengan cara dan tujuan yang berbeda
a. Oyog Kehamilan Muda (3-6 bulan )
Jika seorang ibu hamil melakukan oyog di usia kehamilan
muda, biasanya karena ada yang dikeluhkan. Meski dalam kondisi
hamil, biasanya mereka akan tetap bekerja sehingga mengalami
keluhan seperti mbateg, seolah-olah rahim turun ke bawah,
nyengkal, seperti ada sesuatu yang menekan atau mengganjal
bagian perut bawah. Pada kehamilan muda, oyog dimaksudkan
untuk ‘mengembalikan ke tempatnya’ karena janin dianggap
bergeser dari tempatnya sebagai akibat dari ibu hamil yang
melakukan banyak aktivitas fisik. Salah satu gerakan oyog pada
kehamilan muda adalah sengkak.
b. Oyog Kehamilan Tua (7-9 bulan)
Ini adalah oyog yang paling banyak dilakukan. Oyog pada
kehamilan tua, dilakukan ketika usia kehamilan memasuki usia 7
hingga 9 bulan. Pada kehamilan ini, keluhan mbateg lebih sering
dialami oleh ibu hamil. Para ibu juga berharap bahwa kondisi bayi
sudah seharusnya pada tempatnya. Pada kehamilan ini, biasanya
tidak lagi dilakukan gerakan sengkak karena posisi bayi sudah
dianggap turun sehingga yang bisa dilakukan hanyalah ‘memberi
sedikit ruang’ pada perut ibu hamil agar tidak terasa menekan
(mbateg). Meski ada juga dukun bayi yang masih melakukan
sengkak, tergantung dari keluhan dan kondisi ibu hamil. Tapi
konon sengkak yang dilakukan lebih lembut dan ‘tidak pakai
tenaga.’
Perilaku seseorang akan muncul ketika ada faktor
pendorongbaik yang bersifat internal maupun eksternal. Oyog
merupakan salah satu perilaku yang dilakukan oleh ibu hamil
yang sangat mungkin dipengaruhi beberapa faktor. Pada
283
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
pengamatan yang dilakukan, hanya sedikit sekali ibu hamil yang
tidak melakukan oyog. Selain itu, nampaknya oyog lebih diminati
pada kehamilan pertama dibandingkan dengan kehamilan kedua
dan seterusnya. Ibu hamil yang memiliki pendidikan lebih rendah
mempunyai kecenderungan untuk dilakukan oyog dibandingkan
dengan ibu hamil dengan pendidikan lebih tinggi. Ibu hamil
dengan pendidikan yang lebih tinggi meyakini hal-hal yang
rasional dan telah teruji dalam bidang kesehatan atau
kedokteran, dibandingkan hanya berbicara sugesti dan
kepercayaan yang turun-temurun tanpa bukti ilmiah.
Oyog merupakan tradisi yang sudah turun temurun.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari dukun bayi di Desa
Dukuh Widara, sebagai para pelaku tradisi oyog, memberikan
informasi bahwa oyog mereka kenal secara turun temurun dari
para orang tua mereka. Demikian pula pemahaman mereka
tentang oyog, baik cara maupun manfaatnya, benar-benar secara
alami yang dapatkan dari leluhur mereka.
Dalam berbagai referensi istilah oyog, hanya didapatkan
dalam kamus sastra jawa, yang berarti oyog-oyog/oyag, yaitu
digerak-gerakkan dengan lembut. Namun dalam pengamatan
tradisi oyog, nampak beberapa teori yang bisa diadop sebagai
dasar untuk memahami tentang manfaat maupun sistem
muskuloskeletal yang terkait dengan oyog.
Pada pengamatan yang dilakukan sebenarnya gerakan oyog
tidak berbeda dengan gerakan Leopold/manuver Leopold yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan (bidan dan dokter spesialis
kandungan).Selain itu pada pelaksanaan oyog juga terjalin
komunikasi yang hangat. Komunikasi dalam pelaksanaan oyog,
membuat hubungan antara ibu hamil dengan dukun bayi menjadi
lebih dekat.
Salah satu keluhan yang sering diungkapkan oleh ibu hamil
yang akan dioyog kepada dukun bayi adalah keluhan nyeri perut
284
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
bagian bawah. Berdasarkan testimoni Dr. Doddy, seorang pakar
kandungan dan kebidanan, yang memiliki latar belakang obstetrik
sosial, mengungkapkan bahwa berdasarkan pengamatan beliau,
selain oyog aman disebabkan sentuhan yang ringan dan
kebanyakan sentuhan dilakukan di daerah lateral yaitu sentuhan
di daerah otot dasar panggul.
Menurut dukun bayi dan ibu hamil yang meminta oyog,
diyakini oyog dapat mengurangi stress dalam kehamilan
dikarenakan keluhan nyeri perut bagian bawah.
5.2. Rekomendasi
Salah satu tradisi yang masih sangat diminati oleh
masyarakat Desa Dukuh Widara adalah Oyog. Sebagaimana telah
disebutkan diatas, menurut dukun bayi dan ibu hamil, akan
diperoleh manfaat yang cukup banyak pada pelaksanaan oyog.
Selain itu keterkaitan oyog dengan berbagai teori seperti teori
Leopold, teori komunikasi, teori musculoskeletal, teori massage,
teori hypnobirthing dan teori pijat endorphin nampak memiliki
banyak korelasi. Oleh karena itu diperlukan penelitian lanjutan
untuk membuktikan berbagai asumsi diatas. Penelitian tersebut
juga sangat bermanfaat sebagai penelitian dasar untuk
mengetahui manfaat modifikasi oyog, sebagai inisiasi persalinan
alami dengan sentuhan pada pace maker yang merupakan pusat
koordinasi his/kontraksi. Jika hal tersebut benar, maka oyog bisa
menurunkan kehamilan serotinus.
Komunikasi yang terjalin antara dukun bayi dan ibu hamil,
telah menimbulkan kedekatan sampai timbul keakraban. Hal ini
juga sangat memungkinkan untuk di adop oleh tenaga kesehatan
khususnya bidan sehingga memiliki kedekatan dengan ibu hamil.
Oleh karena itu diperlukan pembuatan modul “Oyog sebagai
langkah awal Leopold.”
285
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
286
INDEKS
A
H
aktivitas fisik · 221, 223, 245,
283
Angka Kematian Ibu · 2, 3, 10
ASI Ekslusif · 171, 173
herbal · 71, 72, 151, 156, 224
hubungan · 1, 18, 24, 69, 70,
83, 86, 87, 90, 93, 101, 109,
122, 132, 160, 231, 237, 238,
284
B
I
barongan · 60, 61, 62, 63, 64,
65
budaya kesehatan · 2, 4, 8
D
diet · 6
F
fasilitas kesehatan · 3, 11, 14,
110, 142, 153, 163, 251, 279
G
ibu hamil · 4, 8, 13, 77, 97, 103,
104, 105, 106, 107, 110, 115,
116, 126, 136, 162, 166, 171,
180, 184, 191, 199, 201, 203,
204, 205, 206, 207, 220, 221,
224, 227, 228, 229, 230, 231,
232, 233, 234, 237, 240, 243,
245, 247, 248, 249, 250, 252,
254, 257, 259, 263, 264, 268,
269, 272, 273, 275, 276, 277,
279, 282, 283, 284, 285
ilmu hitam · 74
imunisasi · 116, 136, 165, 166,
167, 170, 173
interaksi · 11, 39, 52, 87
gaya pengasuhan · 91, 92, 93
287
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
K
kader · 105, 164, 167, 170, 171,
249, 279
kandungan · 97, 98, 106, 116,
117, 226, 237, 251, 257, 265,
273, 274, 284, 285, 292
kebrojolan · 116, 224
kebudayaan · 1, 11
kehamilan · 6, 7, 8, 11, 13, 59,
77, 81, 90, 96, 99, 100, 101,
102, 103, 104, 105, 106, 107,
108, 111, 113, 117, 127, 135,
167, 193, 202, 206, 207, 224,
225, 226, 230, 233, 234, 235,
237, 238, 240, 241, 242, 245,
246, 247, 248, 249, 250, 252,
253, 254, 255, 257, 259, 262,
263, 264, 265, 266, 268, 269,
270, 271, 273, 274, 275, 276,
277, 278, 279, 283, 284, 285
kekeluargaan · 69
kelahiran · 2, 3, 59, 101, 112,
115, 116, 122, 127, 130, 134,
193, 196, 197, 201, 204, 206,
207, 208, 216, 219, 220, 222,
234, 241, 242, 243, 246, 252,
262
keluhan · 13, 71, 87, 103, 104,
105, 112, 140, 142, 150, 159,
223, 227, 233, 234, 240, 241,
245, 246, 247, 250, 251, 252,
253, 255, 256, 257, 259, 260,
288
261, 262, 263, 264, 269, 270,
272, 273, 276, 279, 283, 284,
285
kepercayaan · 1, 11, 58, 69, 70,
71, 89, 110, 140, 152, 154,
157, 192, 207, 212, 237, 241,
269, 282, 284
kesambet · 72, 73, 157
kesehatan ibu · 3, 4, 5, 12, 105
Kesehatan Ibu dan Anak · 3, 7,
8, 9, 77, 107, 166, 277
kesehatan masyarakat · 1, 2, 4,
5, 7, 10, 15
kesehatan reproduksi · 79, 81,
84, 90, 277
kesenian · 12, 61, 62, 65, 68, 75
komunikasi · 11, 90, 92, 93,
133, 208, 232, 256, 259, 284,
285
kuratif · 5
L
Leopold · 9, 265, 266, 284, 285
lokal spesifik · 1, 10
M
makanan · 1, 4, 6, 11, 49, 58,
59, 73, 86, 87, 120, 121, 122,
123, 124, 125, 126, 137, 147,
151, 154, 156, 163, 167, 168,
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
173, 175, 176, 178, 181, 209,
249, 275, 282
masalah kesehatan · 3, 4, 7, 8,
9, 11
mata pencaharian · 11, 12, 43,
104, 135
MDG’s · 2
mengurut · 6, 12, 200, 253
N
nujuh bulanan · 104, 202, 206,
248, 249, 250
O
obat tradisional · 7
orang pintar · 71, 72, 73
organisasi · 12, 38, 54, 55, 57,
78, 94, 101
oyog · 8, 13, 200, 201, 205, 206,
224, 226, 228, 229, 230, 231,
232, 233, 234, 235, 236, 237,
238, 239, 240, 241, 242, 243,
244, 245, 246, 247, 248, 250,
252, 253, 255, 256, 258, 259,
260, 261, 262, 263, 264, 265,
266, 268, 269, 270, 271, 272,
274, 275, 276, 282, 283, 284,
285
P
pantangan · 1, 6, 11, 86, 119,
120, 140, 147, 151, 152, 153,
156, 249, 255, 257, 280
paraji · 13, 15, 93, 102, 103,
115, 164, 192, 253, 260
parem · 118, 119
pasangan · 48, 52, 53, 96, 98,
166, 226
pekerjaan · 45, 46, 47, 49, 50,
51, 59, 86, 89, 92, 109, 125,
126, 141, 145, 158, 194, 196,
197, 200, 217, 256
pelatihan · 128, 171, 192, 193,
196, 197, 199, 200, 201
pelayanan kesehatan · 3, 5, 9,
12, 70, 126, 165, 167
pemeriksaan · 99, 104, 105,
106, 140, 141, 142, 146, 151,
154, 155, 167, 189, 237, 248,
251, 253, 255, 257, 266, 267,
273, 274, 276, 279
pemijatan · 6, 205, 224, 227,
232
pendapatan · 125, 126, 168
penduduk · 3, 27, 31, 39, 43,
45, 46, 47, 55, 96, 101, 165,
168, 254, 257, 271, 281
pengamatan · 16, 18, 130, 131,
265, 268, 284, 285
pengasuhan · 90, 91, 92, 93,
238
289
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
pengetahuan · 1, 2, 10, 12, 80,
81, 104, 124, 125, 126, 140,
142, 152, 207, 269, 277, 280
pengobatan · 2, 5, 6, 15, 69, 70,
71, 72, 106, 110, 138, 140,
141, 142, 146, 150, 151, 152,
153, 156, 157, 159, 160, 167,
198, 208, 279, 280
Penyakit Menular · 7, 8, 9, 139
Penyakit Tidak Menular · 7, 8,
9, 152
peraturan · 90, 196, 199
perawatan · 5, 53, 70, 101, 102,
104, 127, 128, 130, 131, 160,
164, 175, 193, 196, 197, 201,
207, 208, 209, 219, 222, 248,
249, 253, 257, 258, 268, 269,
270, 271, 272, 278
perawatan kehamilan · 101,
248, 249, 271, 278
perdagangan · 49
perempuan · 39, 44, 47, 48, 50,
51, 52, 53, 54, 55, 66, 79, 81,
82, 93, 94, 95, 96, 108, 110,
113, 120, 130, 135, 137, 154,
160, 196, 197, 198, 199, 205,
213, 219, 223, 227, 237, 254,
258, 277, 278
perilaku · 281
Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat · 7, 8, 9, 161
290
pernikahan · 21, 52, 53, 54, 59,
61, 65, 79, 97, 108, 109, 110,
271
persalinan · 3, 4, 6, 7, 11, 13,
77, 106, 107, 112, 113, 114,
115, 116, 120, 126, 127, 128,
161, 163, 166, 192, 196, 199,
200, 201, 202, 207, 208, 219,
224, 233, 237, 243, 245, 248,
249, 250, 252, 254, 262, 265,
268, 275, 277, 279, 285
pertanian · 31, 43, 44, 49, 55,
104
pertumbuhan · 79, 87, 132,
151, 168, 266
pijat · 6, 71, 98, 115, 196, 219,
221, 223, 224, 226, 227, 228,
230, 276, 285
pijatan · 6, 13, 208, 223, 224,
230, 231, 234, 244, 248, 256,
262, 274, 282
Posyandu · 105, 138, 139, 164,
165, 166, 167, 169, 170, 171,
249, 279, 281
preventif · 5, 129, 140, 152
promotif · 5
R
ramuan · 12, 72, 119
rehabilitatif · 5
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
ritual · 53, 59, 60, 196, 198,
199, 202, 203, 205, 206, 207,
210, 212, 215, 216, 220, 242
rujukan · 105, 107, 142, 160,
208
ruwatan · 60, 61, 63
S
sajen · 59, 60, 64, 211, 218
Sejarah · 20, 23, 26, 32, 35, 67,
292
sistem kekerabatan · 12, 50
slametan · 58, 59, 206
sosial · 1, 4, 5, 7, 9, 10, 11, 12,
78, 84, 85, 86, 87, 89, 91, 92,
108, 125, 168, 237, 285
Sunat perempuan · 278
sunatan · 59, 61, 63, 65
T
tanda bahaya · 104, 105
tenaga kesehatan · 2, 4, 42, 69,
70, 71, 72, 77, 93, 94, 95,
110, 112, 114, 116, 148, 154,
164, 165, 192, 196, 228, 237,
253, 257, 263, 264, 265, 272,
274, 275, 276, 277, 284, 285
tolak bala · 61
tradisi · 2, 54, 77, 81, 94, 96,
101, 102, 103, 104, 117, 119,
120, 127, 207, 213, 216, 223,
230, 237, 241, 248, 249, 250,
253, 255, 257, 258, 259, 262,
268, 269, 270, 275, 277, 278,
279, 284, 285
tradisional · 5, 7, 11, 15, 58, 61,
75, 140, 143, 152, 156, 174,
182, 192, 202, 229, 262, 274,
275, 282
transportasi · 11, 41
tumbuh kembang · 139, 167,
168
W
wiladah · 219
291
GLOSARIUM
Babat alas
Barongan
Berkatan
Bilineal
Blok
Burokan
Caruban
Derep
Genjring
Grage
Jamu-jamu
Jawa ngapak
: membuka hutan untuk dijadikan tempat
tinggal/ladang
: sejenis kesenian dengan menggunakan
topeng kepala yang menyeramkan
: makanan (biasanya berupa nasi dan laukpauknya) yang dibagi-bagikan pada acara
slametan
: berkenaan dengna prinsip keturunan yang
memperhitungkan hubungan dari pihak
ayah maupun ibu
: satuan pemukiman setingkat RW/Dusun
: kesenian dengan menggunakan boneka
kayu menyerupai burok
: campuran (Bahasa Jawa Cirebon)
: Sistem menolong memanen padi bersama
dengan imbalan sekitar sejumlah tertentu
(biasanya seperlima) dari hasil panen
: kesenian dengan menggunakan rebana
dan shalawatan
: Negara Gede, sebutan lain untuk kota
Cirebon
: tradisi yang dilakukan untuk anak bungsu
ketika menjadi pengantin dengan tujuan
meminta sumbangan dari para sanaksaudara.
: Bahasa Jawa dialek Banyumasan dan
sekitarnya
292
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Jemiahan
Kesambet
Kuwu
Lugu
Mega Mendung
Mendak Tahun
Ruwatan
Sajen
Sedekah bumi
Slametan
Tandur penganten
Tarling
Teluh
Udun-udun
Unggah-unggah
: sejenis pengajian bersama
: penyakit yang disebabkan karena
seseorang dirasuki makhluk halus
: Kepala Desa
: Kepala Dusun
: salah satu motif batik khas Cirebon
: ritual kematian setelah setahun kematian
: ritual yang dilakukan untuk
menghindarkan seseorang dari hal-hal
yang buruk
: makanan atau bunga-bunga tertentu yang
disajikan untuk makhluk halus
: acara syukuran atas hasil panen
: mengirim doa kepada Tuhan YME sebagai
ucapan syukur atau memohon
keselamatan, dengan mengundang
tetangga sekitar.
: pembacaan kidung yang berisi doa-doa
memohon kebahagiaan untuk pengantin
: musik khas daerah pesisir Cirebon dan
Indramayu dengan alat musik berupa
gitar dan suling
: roh jahat yang dikirim oleh orang yang
mempelajari ilmu hitam, berbentuk bola
api yang terbang di malam hari
: mengirim doa untuk kerabat yang
meninggal pada tanggal 20 bulan
Ramadan
: mengirim doa untuk kerabat yang
meninggal menjelang bulan Ramadan
293
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Sawan
Sawan wangke
Sawan burok
Widara
Yasinan
294
: penyakit yang juga disebabkan oleh
makhluk halus dan hanya dialami oleh
anak-anak
: sawan yang disebabkan karena adanya
suatu kondisi kematian
: sawan yang disebabkan karena kelewatan
mahkluk penghuni burok
: Pohon Bidara (Ziziphus Mauritiana),
pohon berdaun rimbun dan berbuah hijau
kecil-kecil.
: pengajian bersama dengan membaca
Surat Yasin
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2005. Kesehatan dalam Perspektif
Ilmu Sosial Budaya dalam Masalah Kesehatan dalam Kajian
Ilmu Sosial Budaya. Kepel Press, Yogyakarta.
Anonim. 2012. Makalah perbedaan gizi kurang dan gizi buruk,
http://ferryngongo.blogspot.com/2012/10/makalahperbedaan-gizi-kurang-dan-gizi.html?m=1 (diakses: 22
Agustus 2014).
Anonim. 2012. Sejarah Kabupaten Cirebon, http://sraksruk.
blogspot.com/2012/11/sejara-kabcirebonjawa-barat.html
(diakses: 22 Agustus 2014).
Anonim. 2013. Profil Desa/Kelurahan Desa Dukuh Widara,
Kecamatan Pabedilan, Pemerintah Kabupaten Cirebon.
Badan Pembangunan Masyarakat & Pemerintahan Desa,
Pemerintah Kabupaten Cirebon.
Anonim.
Burokan,
http://www.disparbud.jabarprov.go.id/
applications/frontend/index.php (di akses: 16 Juli 2014).
Anonim. Musik Tradisional Cirebon. http://id.voi.co.id/ (diakses:
23 Agustus 2014).
Anonim. Orang Cirebon, http://wikipedia.org/ (diakses :23
Agustus 2014).
Anonim. Pangeran Losari ‘Angkawijaya, Tali Sejarah Cirebon
Brebes, http://www.radarcirebon.com/ (diakses: 23
Agustus 2014).
295
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Anonim. Pemerintahan Kota Cirebon, http://www.cirebonkota.
go.id/index.php/profil/sejarah/sejarah-pemerintahan/
(diakses: 22 Agustus 2014).
Anonim. Sandiwara Cirebon, http://www.disparbud.jabarprov.
go.id/ (diakses: 22 Agustus 2014).
Badan Pusat Statistik. 2013. Kabupaten Cirebon dalam Angka
2013. Badan Pusat Statistik, Kabupaten Cirebon.
Badan Pusat Statistika. 2007. Survey Sosial Ekonomi Nasional
2007. Badan Pusat Statistika, Jakarta.
Badan Pusat Statistika. 2012. Survey Demografi Kesehatan
Indonesia 2012. Badan Pusat Statistika, Macro
International, Bappenas, Jakarta.
Departemen Kesehatan RI . 2006. Pedoman Umum Pengelolaan
Posyandu. Depkes RI, Jakarta.
Derek Llewellyn dan Jones. 1997. Setiap wanita, buku panduan
lengkap tentang kesehatan, kehamilan dan kandungan.
Delapratasa, Jakarta.
Devore, E.R., Ginsburg, K.R. 2005. The protective effects of good
parenting on adolescents. Curr oin Pediatr, 17(4): 460-5.
Dinas Kesehatan Cirebon. 2011. Profil Dinas Kesehatan
Kabupaten Cirebon. In: Kementerian Republik Indonesia,
editor. Dinas Kesehatan, Cirebon.
Etzkin, R. 2004. How parenting style and religiisity affect the
timing of jewish adolescents sexual debut. Thesis.
University of Florida, Florida.
Halimah, Uun. Barongan Cirebon. http://uun-halimah. blogspot.
com/2007/11/barongan-cirebon.html (diakses: 16 Juli
2014).
296
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Hasan Basyari. 1989. Sekitar Komplek Makam Sunan Gunung Jati
dan Sekilas Riwayatnya. Zul Fana, Cirebon.
Huebner, A. J., Howell, L. W. 2003. Examining the relationship
between adolescent sexul risk-taking and perceptions of
monitoring, communication, and parenting style. J Adolesc
Health, 33(2), 71-78.
Kementerian Kesehatan R.I. 2014. Peraturan Menkes RI No. 3
tahun 2014 tentang sanitasi total berbasis masyarakat.
Kementerian Kesehatan, Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Laporan Nasional Riset
Kesehatan Dasar 2010. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Rencana Strategis Kementerian
Kesehatan 2010-1014. Kementerian Kesehatan, Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Assesment GAVI-HSS In:
Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA Provinsi Jawa Barat
Kementerian Republik Indonesia, editor. Kementerian
Kesehatan. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Kemitraaan Bidan
dan Dukun, Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Jakarta.
http://www.kesehatanibu.depkes.go.id/wpcontent/uploads/downloads/2011/12/PEDOMANKEMITRAAN-BIDAN-DUKUN.pdf (diakses: 16 Juli 2014).
Kementerian Kesehatan RI. 2012. Laporan Hasil Riset Etnografi
Kesehatan Ibu dan Anak 2012. Pusat Humaniora, Kebijakan
Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. Badan
Litbangkes, Surabaya.
Kementerian Kesehatan RI. 2012. Sistem Kesehatan Nasional.
Kementerian Kesehatan, Jakarta.
297
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Kementerian Kesehatan. 2013. Pedoman Pengendalian Demam
Berdarah Dengue di Indonesia. Direktorat Jendral
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,
Jakarta.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. PT Balai Pustaka,
Jakarta.
Koentjaraningrat. 2011. Pengantar Ilmu Antropologi. PT Rineka
Cipta, Jakarta.
Kumalasari, Intan, et al. 2012. Kesehatan Reproduksi Untuk
Mahasiswa Kebidanan dan Keperawatan. Salemba Medika,
Jakarta.
Kusmiran, Eny. 2011. Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita.
Salemba Medika, Jakarta.
Marimbi, Hanum. 2010. Tumbuh kembang, status gizi dan
imunisasi dasar pada balita. Nuha offset, Yogyakarta.
Mubarak, Wahid Iqbal. 2012. Ilmu Kesehatan Masyarakat konsep
dan aplikasi dalam kebidanan. PT. Salemba, Jakarta.
Muha. 2011. Sejarah Batik Trusmi, http://sanggarbatikkatura.
com/sejarah-batik-trusmi (diakses: 16 Juli 2014)
Nasuha , A. Chozin. Banjarmasin, 1-4 November 2010. Dialektika
Islam dan Kebudayaan Cirebon, http://dualmode.
kemenag.go.id, (diakses: 23 Agustus 2014).
Nina H, Lubis (ed.). 2000. Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat.
Alqaprint, Bandung.
Purwanti, Hubertin Sri. 2004. Konsep Penerapan ASI Ekslusif,
Buku Saku Untuk Bidan., EGC, Jakarta.
Roesli, Utami. 2000. Mengenal ASI Ekslusif. Trubus Agriwidya,
Jakarta.
298
Etnik Jawa, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat
Saifuddin, AB. 2007. Buku Panduan Maternal dan neonatal.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
Saifuddin, AB. 2008. Buku Panduan Maternal dan neonatal.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
Saleha, Sitti. 2009. Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas. Salemba
Medika, Jakarta.
Santrock, John W. 2003. Adolescence perkembangan remaja. Ed
6. W. C. Kristiaji & Y. Sumiharti. Erlangga, Jakarta.
Santrock, John W. 2007. Remaja. Erlangga, Jakarta.
Sarwon, S.W. 2006. Psikologi remaja (Ed.rev.) PT. Raja Gravindo
Persada, Jakarta.
Soetjiningsih.
1997. Tumbuh kembang
permasalahannya. Sagung Seto, Jakarta.
remaja
dan
Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Penerjemah Misbach
Zulfa Elizabeth. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta.
Suherni, et all. 2009. Perawatan Masa nifas. Fitramaya,
Yogyakarta.
Sulendraningrat, PS. 1984. Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon.
Keraton Kesepuhan Cirebon, Cirebon.
Tim Keraton Kasepuhan Cirebon. 2003. Babad Cirebon, Koleksi
Naskah Kuno Keraton Kasepuhan Cirebon. Perpustakaan
Nasional RI. Cirebon.
Westhof & Ernst, 1992 via Edzard Ernst, dalam “Evidence-based
massage
therapy: a
contradiction
in terms?”
(http://www.sld.cu/galerias/pdf/sitios/rehabilitaciondoc/massage_therapythe_evidence_for_practice.pdf)
(diakses:16 Juli 2014).
299
Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014
Wiknjosastro, Gulardi Hanifa. 1994. Ilmu Kebidanan. Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
Yahya, M. Harun. 1995. Kerajaan Islam Nusantara abad XVI &
XVII. PT. Kurnia Kalam Sejahtera, Yogyakarta.
Yudiroyyan. 2013 . Negara Gede (Grage) bernama Cirebon.
Referensi : Negara Kerthabumi (karya P.Wangsakerta 1702
M),
http://paguyubanwongcirebon.wordpress.com
(diakses: 22 Agustus 2014).
Yuli
300
Adam Panji & Toto Amsar Suanda. Berokan.
http://www.disparbud.jabarprov.go.id/
(diakses:
22
Agustus 2014).
Download