BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penelitian ini untuk menganalisis kecenderungan resistensi petani yang
hidup dalam suatu desa pada penguasaan sawah dari warga luar desanya.
Penelitian mengkhususkan pada sektor agraria berupa konflik memperebutkan,
mempertahankan kepemilikan dan penguasaan tanah pertanian di internal
masyarakat maupun antara internal dengan eksternal. Eksternal di sini dapat
warga luar desa, pemerintah dan korporat.
Tanah merupakan hasil dan sumber makanan bagi petani. Memiliki dan
menguasai tanah berarti mendapatkan makanan dan tiang hidup. Maka itu petani
sangat sensitif terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan tanah. Mereka akan
membuat gerakan atau menempuh semua cara dan rela mengorbankan segala yang
ada, bahkan menumpahkan darah, demi mempertahankan tanah dan kelanjutan
hidup.
Tanah bagi petani bukan hanya sekedar modal atau harta benda
semata tetapi lebih dari itu tanah merupakan faktor krusial bagi perkembangan
kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat pedesaan, termasuk juga
terhadap perkembangan sosial, ekonomi dan politik secara luas bagi negaranegara agraris (Soetrisno, 1995). Tanah menjadi perebutan karena dipandang
sebagai sumberdaya yang sangat penting (Tjondronegoro, 1999). Apalagi tanah di
Indonesia sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduk berorientasi pada
1
2
pertanian. Di sini, tanah pertanian merupakan faktor utama dalam kedaulatan
pangan, atau bisa menjadi keterjaminan akan pangan dan penghidupan.
Polanyi (2001) menjelaskan bahwa tanah dan relasi sosial merupakan dua
sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, tanah tidak bisa
dijadikan barang dagangan semata dengan cara memisahkan dengan relasi-relasi
sosial yang sudah melekat, akan tetapi jika dipaksa harus menjadi komoditas yang
lepas dari hubungan sosial yang ada maka niscaya akan melahirkan
gerakan-gerakan untuk memulihkan kembali situasi relasi sosial yang rusak
(Rahman, 2013).
Bagi masyarakat lokal, tanah bukanlah sekedar suatu sumberdaya
produksi, suatu habitat, atau batas politik. Tanah memiliki makna lebih dari itu.
Tanah merupakan basis bagi organisasi sosial, sistem ekonomi, dan identifikasi
kultural masyarakat (La Via Campesina, 2008). Maka itu dikuasainya tanah oleh
masyarakat luar desa, menjadi sebuah ancaman pada sebuah eksistensi
kehidupan, terlebih usaha untuk peningkatan kesejahteraan. Disinilah yang
kemudian menimbulkan konflik. Masyarakat luar desa, dapat sesama masyarakat
yang sederajat atau kekuatan politik dan ekonominya relatif sama, maupun yang
lebih kuat seperti kaum pemodal, organisasi, perusahaan dan pemerintah.
Terlebih, di tengah situasi
berkutat
masyarakat
petani
yang masih
saja
dengan persoalan minimnya lahan untuk bertanam, ancaman gagal
panen, dan sulitnya menjual produk pertaniannya, pada saat bersamaan petani
harus berhadapan dengan masifnya ekspansi modal yang semakin gencar ke
pelosok-pelosok desa. Sementara perhatian pemerintah sangat kurang terhadap
3
petani, maka dalam situasi tersebut tentu mereka semakin terjepit. Dalam kondisi
seperti itulah masyarakat desa akan mengalami apa yang Geertz sebut dengan
involusi.
Oleh karena itu sangat mudah ditebak apa yang menjadi konsekuensi
dari keadaan tersebut yaitu semakin meningkatnya konflik-konflik agraria
seiring dengan semakin meluasnya kasus-kasus pencaplokan/okupasi dan
konservasi lahan, baik di sektor pertambangan maupun di sektor perkebunan dan
kehutanan.
Dalam perkembanganya persoalan konflik agraria seringkali semakin
rumit akibat banyaknya pihak yang terlibat di dalamnya yang meliputi
institusi/penerima konsesi dengan masyarakat setempat, serta pihak-pihak lain
baik secara individual maupun kelembagaan (Billa, 2010).
Perebutan penguasaan lahan, akan semakin meningkat jika ternyata lahan
yang diperebutkan memiliki keunggulan, seperti letaknya strategis, kualitas tanah
yang mampu menghasilkan komoditas terbaik dan mengandung sumber daya
untuk ditambang.
Bagi Gunawan Wiradi (2009), secara umum akar krisis agraria
terletak
pada
sumber-sumber
fakta
terjadinya
agraria
baik
ketimpangan
dalam
dan
bentuk
kesenjangan
terhadap
penguasaan
maupun
pengalokasiannya, serta tumpang tindihnya berbagai macam produk kebijakan
hukum yang mengatur atas sumber-sumber
didasarkan dari
persoalan
agraria
tersebut.
diatas itu pulalah ‘persaingan’
Sehingga
memperebutkan
sumber-sumber agraria kerapkali meruncing menjadi ‘konflik agraria’.
4
Mochtar Mas’oed dalam Noer Fauzi (1997) menyebut empat isu pokok
persoalan tanah. Pertama, reduksionisme persoalan tanah. Dalam masyarakat
berkembang semakin kapitalistik, nilai tanah dilepaskan dari berbagai dimensi,
sosial, kultural dan politik yang melekatnya. Tanah hanya dilihat dari utilitas
ekonominya.
Kedua,
tanah
sebagai
alat
spekulasi
akumulasi
kapital.
Perkembangan kapitalisme juga mendorong perubahan fungsi tanah yaitu fungsi
sebagai salah satu faktor produksi utama menjadi investasi. Akibatnya tanah
dibeli tidak untuk digarap atau dikembangkan. Ketiga, konsentrasi pemilikan atau
penguasaan secara besar-besaran. Keempat, adanya ‘keharusan struktural’ bagi
pemerintah nasional untuk mengakomodasi tuntutan investor asing dalam hal
lahan untuk keperluan pembangunan pabrik.
Savitri dalam Luthfi (2012) menyebut kondisi krisis agraria diantaranya
ditandai, pertama terjadinya konflik klaim penguasaan dan pemilikan tanah
dan sumber-sumber agraria lainnya. Kedua, hilangnya penguasaan atas tanah
dan sumber-sumber agraria lainnya. Ketiga, keterbatasan akses pada sumbersumber ekonomi dan penghidupan, dan keempat, keterbatasan tata kuasa dan
tata kelola mandiri rakyat atas proses kerusakan ekologis.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam kajian arah kebijakan pengelolaan
pertanahan nasional 2015- 2019 menyampaikan data yang diterima dari Badan
Pertanahan Nasional (BPN) pada tahun 2012 tercatat 7.196 kasus pertanahan
yang terdiri atas sengketa, konflik dan perkara. Dari jumlah tersebut, baru 4.291
kasus yang telah diselesaikan (Bappenas, 2013)
5
Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) (2013) mencatat sepanjang
tahun 2012, terdapat 198 konflik agraria di seluruh Indonesia. Luasan areal
konflik mencapai lebih dari 963.411,2 hektar, yang melibatkan 141.915 kepala
keluarga (KK). Dari sisi korban 156 orang petani telah ditahan, 55 orang
mengalami luka-luka akibat penganiayaan, 25 diantaranya luka akibat tertembak
dan 3 jiwa melayang dalam konflik-konflik agraria yang terjadi.
Sementara sepanjang tahun 2013, terdapat 369 konflik agraria dengan
luasan mencapai 1.281.660.09 hektar (Ha) dan melibatkan 139.874 Kepala
Keluarga (KK). Jika konflik yang terjadi dilihat berdasarkan setiap sektor konflik
agraria, maka persebarannya berdasarkan sektor sepanjang tahun adalah sebagai
berikut; sektor perkebunan sebanyak 180 konflik (48,78%), infrastruktur 105
konflik (28,46%), pertambangan 38 konflik (10,3%), kehutanan 31 konflik
(8,4%), pesisir/kelautan 9 konflik (2,44%) dan lain-lain 6 konflik (1,63%).
Konflik agraria sebagaimana yang dilaporkan oleh KPA adalah konflik
agraria struktural, yaitu konflik agraria yang mengakibatkan dampak serta korban
yang meluas dalam dimensi sosial ekonomi dan politik akibat kebijakan yang
dilakukan oleh pejabat publik. Dengan demikian, sengketa pertanahan dan perkara
pertanahan yang kerap muncul tidak termasuk kedalam kategori konflik di dalam
laporan ini. (KPA,2013)
Sedang sepanjang kekuasaan SBY sejak tahun 2004 hingga pertengahan
2014, KPA (2014) mencatat terjadi 1.391 konflik agraria di seluruh wilayah
Republik Indonesia, dengan areal konflik seluas 5.711.396 hektar, dimana ada
lebih dari 926.700 KK harus menghadapi ketidakadilan agraria dan konflik
6
berkepanjangan. Ketidakberpihakan pemerintah kepada masyarakat yang tengah
berkonflik, tindakan intimidasi dan kriminalisasi, serta pemilihan cara-cara
represif oleh aparat kepolisian dan militer dalam penanganan konflik dan sengketa
agraria yang melibatkan kelompok masyarakat petani dan komunitas adat telah
mengaki-batkan 1.354 orang ditahan, 553 mengalami luka-luka, 110 tertembak
peluru aparat, serta tewasnya 70 orang di wilayah-wilayah konflik tersebut.
Konflik-konflik yang menonjol tersebut diantaranya kasus pertanahan di
Kabupaten Mesuji Lampung dan Ogan Komering Ilir-Sumatera Selatan, Kasus
Pertanahan di Desa Harjokuncaran Malang Jawa Timur, Kasus Pertanahan di
Alastlogo Pasuruan Jawa Timur, Permasalahan Tanah Pangkalan Udara Atang
Sanjaya Sukamulya Bogor Jawa Barat.
Sejak
2006
sampai
pendataan
akhir
tahun
2012
HuMa
mendokumentasikan 232 konflik sumberdaya alam dan agraria. Konflik
berlangsung di 98 kota/kabupaten di 22 provinsi. Yang memprihatinkan, luasan
area konflik mencapai 2.043.287 hektare atau lebih dari 20 ribu km2. Dari 22
provinsi konflik yang didokumentasikan, tujuh provinsi di antaranya memiliki
konflik paling banyak, Kalimantan Tengah sebanyak 67 kasus dengan luasan
254.671 hektare. Jawa Tengah (36 kasus, 9.043 ha), Sumatera Utara (16 kasus,
114,385 ha), Banten (14 kasus, 8,207 ha), Jawa Barat (12 kasus, 4,422 ha),
Kalimantan Barat (11 kasus, 551,073 ha) dan Aceh (10 kasus, 28.522 ha)
(Widiyanto, 2012).
Konflik-konflik diatas menunjukkan perebutan tanah yang terjadi akibat
adanya kelangkaan tanah. Sifat tanah relatif tidak bertambah, sementara
7
kebutuhan tanah untuk keperluan tempat tinggal dan pangan semakin meningkat.
Seiring dengan hal tersebut akan menimbulkan kompetisi di masyarakat untuk
menguasainya.
Penguasaan atas tanah mempengaruhi hubungan manusia dengan
ketersediaan pangan karena tanah merupakan sumberdaya yang berhubungan
dengan produksi. Ketimpangan dalam penguasaan tanah akan mempengaruhi
kemampuan produksi. Peningkatan produksi pertanian terutama pangan, sangat
diharapkan untuk mencapai kondisi yang dapat meningkatkan kualitas hidup
(Saleh, 2011).
Perebutan penguasaan lahan ini terjadi antara warga dalam satu wilayah
tempat tinggal atau desa maupun dengan warga di luar desa. Masing-masing pihak
menempuh berbagai cara, seperti membeli, menyewa, bahkan termasuk menikah.
Merebut kembali tanah yang sudah dibeli dan disewakan pun ditempuh baik
dengan jalan halus atau kekerasan.
Langkah halus, ini dapat dilakukan dengan memperkuat solidaritas untuk
soliditas antar warga. Solidaritas ini dengan memperkuat lembaga sosial
masyarakat, yang pada derajat tertentu mampu memproteksi tanah di desa dari
penguasaan warga luar desa. Sehingga saingan menjadi berkurang. Sebab
persaingan hanya diantara warga dalam satu desa.
Penelitian ini penting, karena juga terjadi konflik perebutan lahan di Desa
Trasan yang berada di kaki Gunung Sumbing. Konflik ini terkait erat dengan
kemampuan tanah di desa yang berada di ketinggian 300 meter diatas permukaan
8
laut tersebut dalam menghasilkan komoditas pangan berupa beras, selain
daerahnya yang dinilai strategis untuk tempat usaha dan pemukiman.
Menarik diteliti gerakan atau langkah-langkah yang dilakukan warga
Desa Trasan dalam memproteksi lahan, seperti bagaimana penanaman pentingnya
kepemilikan lahan, perkuatan ideologi dan memperkuat lembaga sosial hingga
adanya kesepakatan masyarakat, meski tidak secara tertulis, untuk tidak menjual
tanah pada warga luar desa terutama etnis tertentu.
Di sini terdapat pertarungan antara moral ekonomi warga yang berusaha
untuk mempertahankan aset tanah dengan membangun relasi-relasi sosial diantara
warga, serta membuat gerakan perlawanan (resistensi) pada mereka yang berusaha
untuk menguasai tanah di desa, atau dalam kata lain ada perlawanan petani
terhadap penetrasi modal.
1.2. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah tersebut dapat dirumuskan inti
permasalahan mengapa masyarakat desa bersikap resisten pada penjualan dan
penyewaan tanah di desa terhadap masyarakat dalam satu desa dan terhadap
masyarakat luar desa:
Dari pertanyaan inti tersebut diajukan tiga pertanyaan turunan berupa
1. Bagaimana transaksi jual beli dan sewa menyewa tanah di Desa
Trasan?
2. Bagaimana praktek transaksi jual beli dan sewa menyewa antara
masyarakat desa dengan masyarakat di luar desa ?
9
3. Bagaimana sikap resistensi warga desa terhadap penjualan dan sewa
menyewa tanah warga desa terhadap warga luar desa?
4. Mengapa sikap resistensi tersebut muncul ?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasar rumusan masalah tersebut, dapat diketahui tujuan penelitian ini
adalah:
1. Menjelaskan konflik pertanahan dalam komunitas untuk proteksi tanah.
2. Mendalami permasalahan jual beli dan sewa menyewa lahan yang dapat
menimbulkan konflik, terutama permasalahan pertanahan di Jawa.
3. Mendalami kohesi sosial masyarakat desa untuk memperkuat kontrol
orang desa terhadap penjualan tanah.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan secara akademis dapat menjelaskan penyebab
terjadinya resistensi petani pada penjualan dan penyewaan tanah di desa,
memperkaya ilmu pengetahuan di bidang sosial, ekonomi dan pertanian secara
umum, serta manajemen konflik. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai
masukan bagi para akademisi dalam mengkaji dan mengembangkan model
teoretis untuk memahami pola-pola konflik agraria di masyarakat petani. Hasil
penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan bagi pemerintah untuk
merumuskan kebijakan strategis yang akan diambil mengenai agraria, terutama
dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani.
10
1.5. Tinjauan Pustaka
Telah banyak studi yang membahas tentang kehidupan sosial ekonomi
petani dan resistensi petani. Di Indonesia penelitian ‘diawali’ oleh Sartono
Kartodirdjo pada 1966 yang meneliti peran gerakan sosial pedesaan di Banten.
Tulisan tersebut yakni ‘ Pemberontakan petani Banten 1888: Sebuah studi kasus
mengenai gerakan sosial di Indonesia’, yang kini menjadi bacaan wajib bagi
peminat studi gerakan dan kehidupan petani.
James C. Scott (1992) meneliti kehidupan dan perlawanan petani di Asia
Tenggara. Dia menemukan adanya “etika subsistensi” atau etika untuk bertahan
hidup dalam kondisi minimal, yang melandasi segala perilaku kaum tani dalam
hubungan sosial di pedesaan, termasuk pembangkangan terhadap inovasi yang
datang dari penguasa. Ia membuktikan bahwa ‘kepasrahan kaum tani’ bukanlah
benar-benar kepasrahan, melainkan aksi-aksi perlawanan anonim dalam diam
yang berlangsung setiap harinya, yang bahkan telah menjadi suatu subkultur
Widiyanto, dkk (2010) yang meneliti dinamika nafkah rumah tangga
petani pedesaan dengan pendekatan Sustainable livehod Approach pada petani
tembakau
di
lereng
gunung
Merapi-Merbabu,
Propinsi
Jawa
Tengah
menyimpulkan petani menghadapi situasi kerentanan antara lain fluktuasi harga,
perubahan cuaca dan musim, kecenderungan luas kepemilikan dan penguasaan
lahan sempit dan degradasi lingkungan. Situasi kerentanan itu akan berpengaruh
pada mekanisme rumah tangga petani dalam “memainkan” berbagai asset yang
dimiliki (modal alami, modal sumberdaya manusia, modal fisik, modal
finansial, dan modal sosial). Pada petani lahan luas lebih menggunakan
11
strategi akumulasi sedangkan pada petani lahan sedang dan sempit menerapkan
strategi konsolidasi (pada situasi normal) dan bertahan hidup (pada situasi krisis).
Bambang Winarso (2012) pada penelitian dinamika pola penguasaan
lahan sawah di wilayah Pedesaan di Indonesia menemukan perkembangan
kepemilikan dan penguasaan lahan di pedesaan, khususnya di wilayah
agroekosistem lahan pertanian bergerak dinamis serta ada kecenderungan ke
arah kepemilikan yang semakin sempit, terutama di desa-desa yang dominan
padi sawah. Hal yang demikian tentu berimplikasi terhadap pola kepemilikan
maupun penguasaan lahan itu sendiri yang cenderung semakin beragam.
Implikasi lainnya ialah pendapatan petani yang cenderung mengikuti
pola
kepemilikan
maupun penguasaan
lahan
itu
sendiri.
Semakin
meningkatnya petani tuna kisma (petani non lahan) dan petani gurem (petani
berlahan sempit) akan membawa dampak sosial maupun ekonomi bagi
keluarga petani tersebut. Sistem waris tidak bisa dibendung, dan transaksi jualbeli lahan tidak bisa di cegah. Hal utama yang perlu mendapat perhatian ialah
kesejahteraan masyarakat desa khususnya masyarakat lapisan bawah. Hal
tersebut karena justru lapisan inilah yang sangat rentan terhadap gejolak
sosial maupun ekonomi.
Ghesilla Resha Rosita (2014) yang meneliti Kemiskinan Masyarakat
Petani (Studi Tentang Perubahan Kelembagaan Kepemilikan dan Penguasaan
Lahan serta Hubungan
Kerja
Pada
Masyarakat
Dataran
Tinggi
Dusun
Arjosari Desa Andonosari Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan). Hasilnya
menunjukkan bahwa pada perkembangannya terjadi perubahan kepemilikan
12
lahan melalui waris, penjualan lahan, serta penyewaan. Perubahan tersebut
turut berdampak pada posisi tawar petani setempat yang beralih menjadi
buruh tani, bahkan tidak sedikit yang bekerja pada lahan pertanian bekas
milik mereka. Dari kondisi yang demikian itu, kemiskinan tidak dapat
dihindari lagi oleh sebagian besar masyarakat petani apel.
Achmad Habib (2004) meneliti pergolakan petani Jawa dengan etnik
Cina. Dia memotret adanya kesamaan maksud dan tujuan dari etnis Cina dan Jawa
dalam penguasaan tanah, yakni peningkatan pendapatan. Sehingga mereka samasama melakukan berbagai usaha untuk menguasai dan mempertahankannya.
Langkah itu dengan cara kasar berupa protes atau secara halus dengan
memperkuat solidaritas internal. Disinilah kedua etnis sama-sama menunjukkan
ketidakadilan.
Dia menuliskan bahwa masalah masyarakat pedesaan juga punya
kompleksitas tersendiri yang sangat memungkinkan memunculkan gerakan
perlawanan yang semakin luas.
Gunawan Wiradi (2009) dalam Mohamad Shohibuddin dan Ahmad
Nashih Luthfi (2010) meneliti tentang land reform lokal a la Desa Ngandagan.
Tulisan ini menunjukkan perlindungan atas tanah bisa dilakukan atas inisiatif
lokal, dengan syarat adanya kepemimpinan yang demokratis tapi tegas dan
berwibawa, dan didukung rakyat.
Hiroyoshi Kano dalam Sediono dan Wiradi (1984) mengemukakan pada
1868 Pemerintah Hindia Timur melakukan survey tentang tanah. Resume akhir
atau Eindresume diterbitkan pada 1876 dan disusul dua jilid berikutnya 1880 dan
13
1896. Di resume itu disampaikan pemindahtanganan tanah telah diatur oleh desa,
aturan itu diantaranya jika terpaksa menjual tanah maka dilarang ke orang dari
daerah lain, demikian halnya menggadai atau sewa tanah tahunan. Maksud orang
dari daerah lain ini mengacu pada orang yang tinggal di luar desa terutama orang
Eropa dan Cina.
Dari resume itu disimpulkan hubungan penguasaan tanah didesa
dipengaruhi peraturan-peraturan komunal desa yang ketat. Tanah pertanian pada
umumnya tidak dipandang sebagai komoditi penuh, hal ini mencegah konsentrasi
penguasaan tanah yang luas melalui penjualan pembelian dan penggadaian.
Hubungan ‘sakap – menyakap’ diantara petani telah dapat diamati secara
langsung tetapi ditandai lebih kuat oleh gotongroyong antarpetani
daripada
hubungan kelas.
Sedangkan penelitian mengenai kelembagaan sosial belum banyak
dikaitkan dengan proteksi atau perlindungan atas tanah yang mereka kuasai atau
miliki. Selama ini penelitian kelembagaan sosial, yang dalam hal ini pada
resiprositas (pertukaran sosial) lebih pada penggambaran dinamika interaksi
komunitas warga desa dalam penguatan hubungan sosial. Beberapa hasil
penelitian yang pernah dilakukan (Hefner 1983, Djawahir, dkk. 1999, Abdullah
2001, Kutanegara 2002, Widyastuti 2003, Prasetyo 200, Lestari 2010)
menunjukkan meskipun masyarakat desa hidup dalam situasi kemiskinan yang
menekan ‘tradisi nyumbang’ tetap memiliki kekuatan sosialnya. Dalam tradisi
masyaralat pedesaan di Jawa, ‘tradisi nyumbang’ merupakan kegiatan tolong
menolong dan kegiatan ini merupakan salah satu kegiatan sosial yang sangat
14
penting dalam menjaga keharmonisan sosial. Nyumbang merupakan pranata
sosial yang menunjukkan kepada kebersamaan perasaan moral dan komunitas
(Abdullah, 2001).
Pada penulisan ini, penulis berusaha untuk menjelaskan ada tidaknya
kaitkan penguatan internal petani dan hubungan-hubungan sosial yang terbina
dengan keberhasilan dalam memproteksi tanah. Tulisan mengambil studi di
masyarakat petani di Desa Trasan Kecamatan Bandongan Kabupate Magelang.
1.6. Landasan Teori
Eric R. Wolf (1983) menggambarkan petani (peasant) sebagai orang
desa yang
bercocok
tanam.
Jadi
siapapun kelompok masyarakat
yang
melakukan usaha pertanian dapat dikategorikan sebagai petani. Usaha pertanian
ini berupa bercocok tanam dan beternak untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari dan menunaikan surplus sosial dan ritualnya. Wolf tidak menggunakan istilah
farmer sebab farmer mengarah pada warga yang melakukan kegiatan pertanian
sebagai sebuah usaha bisnis (kapitalis) dengan tujuan untuk mendapatkan
keuntungan yang sebanyak-banyaknya (Mosher, 1966).
Wolf (1993) melukiskan kehidupan petani dari waktu ke waktu adalah
menyeimbangkan tuntutan-tuntutan dari luar dan kebutuhan petani untuk
menghidupi
keluarganya.
Terdapat
dua
langkah
yang ditempuh
yakni
memperbesar produksi dan mengurangi konsumsi. Langkah pertama, ditempuh
dengan meningkatkan hasil kerja di atas tanahnya untuk menaikkan produksi dan
memperbesar jumlah hasil bumi yang akan dijual di pasar. Maka itu, petani harus
15
mengerahkan faktor-faktor produksi yang diperlukan seperti tanah, tenaga kerja,
modal, bibit, pupuk, dan pemahaman tentang pasar. Langkah kedua, berupa
mengurangi konsumsi. Maka petani harus mengurangi masukan kalorinya dan
jenis-jenis barang makanan yang paling pokok saja, sehingga mampu menekan
belanja di pasar sampai pada beberapa jenis barang esensial saja. Sebagai
gantinya, petani mengerahkan anggota-anggota keluarganya sendiri untuk
menghasilkan bahan makanan yang diperlukan di lingkungan rumah dan sawah
ladangnya. Pada saat yang sama petani mendukung usaha mempertahankan
hubungan sosial tradisional dan pengeluaran dana seremonial yang diperlukan
untuk menopang hubungan-hubungan tersebut.
Dalam pemenuhan surplus-surplus sosial, Wolf berpendapat, petani
mempunyai dua perangkat imperatif sosial, yakni dana seremonial dan dana sewa
tanah. Dana seremonial, seperti di masyarakat pada umumnya, selain pemenuhan
kebutuhan akan kebutuhan primer. Mereka juga harus menyelenggarakan
hubungan-hubungan sosial di antar sesamanya. Misalnya, dalam hal mencarikan
jodoh untuk kerabat, menjaga ketertiban, dan saling membantu memenuhi
kebutuhan dasar (primer) sesamanya. Dalam sebuah hubungan sosial tidak pernah
semata-mata karena bermanfaat dan dianggap sebagai alat belaka. Tetapi setiap
hubungan
sosial
selalu
dikelilingi
konstruksi-konstruksi
simbolik
yang
menjelaskan, membenarkan dan mengaturnya. Semua hubungan sosial tidak
terlepas dari adanya upacara atau seremoni yang harus dibayar dengan kerja,
barang maupun uang. Sebuah dana guna membiayai pengeluaran-pengeluaran
16
upacara sosial disebut dana seremonial (Ceremonial Fund). Besar kecilnya dana
seremonial suatu masyarakat itu sangat relative.
Dana sewa tanah, di masyarakat yang kompleks terdapat hubunganhubungan sosial yang tidak simetris, dalam bentuk penyelengaraan kekuasaan.
Dimana seseorang mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi dan efektif (domain)
atas petani. Sehingga petani mengalami beban permanen atas produksinya. Dana
sewa tanah adalah dana yang harus dikeluarkan petani – baik dengan bekerja,
hasil tanaman, atau uang - untuk membiayai beban permanen produksinya,
sebagai akibat adanya hak yang lebih tinggi atas pekerjaanya. Kerugian petani
merupakan keuntungan bagi pemegang kekuasaan, oleh karena dana sewa tanah
yang disediakan petani adalah bagian dari dana kekuasaan yang dapat digunakan
pemegang kekuasaan.
Dengan demikian eksistensi kaum tani tidak sekedar hubungan antar
petani dan bukan petani, melainkan suatu tipe penyesuaian (adaptasi) terhadap
komunikasi sikap-sikap dan semua kegiatan yang bertujuan untuk menopang
petani bertahan diri bersama sesamanya di dalam satu tatanan sosial dari ancaman
keberlangsungan hidup mereka.
Dalam berhubungan sosial kemasyarakatan petani membutuhkan suatu
kerukunan untuk mencapai apa yang diinginkan. Hildred Geertz (1961)
menyatakan ada dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam
masyarakat Jawa. Kaidah-kaidah yang dimaksud, pertama adalah kaidah yang
mengatakan
bahwa dalam
setiap
situasi
manusia
hendaknya bersikap
sedemikian rupa agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri
17
hendaknya adalah menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai
dengan derajat dan kedudukan mereka.
Franz Magnis-Suseno (1984) menamakan kedua kaidah tersebut dengan
sebutan prinsip kerukunan untuk kaidah pertama dan sebutan prinsip hormat
untuk kaidah yang kedua. Prinsip rukun disampaikan Mulder dalam Frans
Magnis-Suseno (1984) bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam
keadaan yang harmonis. Keadaan semacam itu disebut rukun. Rukun berarti
‘berada dalam keadaan selaras’, ‘ tenang dan tentram’, ‘tanpa perselisihan dan
pertentangan’, ‘bersatu dalam maksud untuk saling membantu’..
Menurut Frans Magnis-Suseno (1984) terdapat dua segi dalam tuntutan
kerukunan. Pertama, dalam pandangan Jawa masalahnya bukan penciptaan
keadaan keselarasan sosial, melainkan lebih untuk tidak mengganggu keselarasan
yang diandaikan sudah ada. Dalam perspektif Jawa ketenangan dan keselarasan
sosial merupakan keadaan normal yang akan terdapat dengan sendirinya selama
tidak diganggu.
Kedua, prinsip kerukunan pertama-tama tidak menyangkut suatu sikap
batin atau keadaan jiwa, melainkan penjagaan keselarasan dalam pergaulan. Yang
diatur adalah permukaan hubungan-hubungan sosial yang kentara. Yang perlu
dicegah ialah konflik-konflik yang terbuka.
Manifestasi dari prinsip rukun adalah diterapkannya konsep-konsep
musyawarah untuk mufakat dan gotong-royong, serta berusaha memperlakukan
orang lain sebagai anggota keluarga sendiri.
18
Dalam kehidupan sehari-hari penerapan prinsip rukun tidak jarang
menimbulkan
perilaku
berkata
“inggih”
meski
tidak
setuju
dengan
pernyataan,tawaran ataupun permintaan orang lain. Selain itu juga prinsip rukun
sering menimbulkan sikap berpura-pura atau “ethok-ethok” untuk menghindari
kekecewaan pihak lain atau untuk menyembunyikan perasaan yang sebenarnya
yang tidak perlu diperlihatkan kepada pihak lain di luar lingkungan keluarga inti
sedemikian rupa jika tidak disembunyikan dikhawatirkan bisa menimbulkan
ketidak-rukunan dengan pihak lain tersebut (Franz Magnis-Suseno, 1984).
Jadi prinsip kerukunan tidak berarti bahwa orang Jawa tidak mempunyai
kepentingan-kepentingan pribadi, melainkan merupakan suatu mekanisme sosial
untuk
mengintegrasikan
kepentingan-kepentingan
itu
demi
kesejahteraan
kelompok. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik. Clifford Geertz
dalam Franz Magnis-Suseno (1984) mengatakan rukun, sebagai suatu nilai, tidak
mengikat orang-orang komunis primitif yang diasosiasikan secara berlebihlebihan, tetapi mengikat petani-petani materialis yang agak merasa diri cukup
dengan pengetahuan yang jelas mengenai dimana adanya kepentingan mereka
(Franz Magnis-Suseno, 1984).
Salah satu kegiatan yang mencerminkan usaha pencapaian kerukunan di
masyarakat petani adalah digelarnya slametan yang juga sekaligus sebagai salah
satu pengeluaran dana seremonial (Ceremonial Fund). Slametan menjadi pusat
dari kehidupan masyarakat Islam Jawa. Di samping itu, slametan merupakan ritual
yang unik serta di dalamnya terdapat unsur-unsur mistik. Geertz yang membagi
struktur agama Jawa menjadi tiga varian (trikotomi), yakni abangan, santri,
19
dan priyayi, pada tulisan The Religion Of Jawa, menyampaikan selamatan banyak
dilakukan oleh varian abangan. Bagi Geertz, “selamatan” merupakan upacara
yang utama dalam kehidupan petani Jawa yang terdiri atas suatu upacara makan
makanan suci bersama, dapat diadakan dengan cara sederhana ataupun
dengan sangat luas (Koentjaraningrat, 1984).
Selamatan-selamatan yang memiliki bentuk dan isi dengan hanya sedikit
variasi pada segala kesempatan yang memiliki makna religius — pada titik
peralihan daur hidup, pada hari-hari suci menurut penanggalan, pada tahap-tahap
tertentu
daur
panen,
dimaksudkan baik
pada
untuk
waktu
memberi
pindah
rumah,
persembahan
dan
bagi
seterusnya —
roh-roh
maupun
mekanisme-mekanisme bersama bagi keutuhan hidup bersama. (Geertz, 2002).
Menurut Clifford Geertz, selamatan terbagi dalam empat jenis,
pertama, berkisar
sekitar
krisi
kehidupan
seperti:
kelahiran,
khitanan,
perkawinan, dan kematian. Kedua, berhubungan dengan hari-hari besar Islam
seperti: Maulid Nabi, Hari Raya Idul Fitri, dan Hari Raya Idul Adha. Ketiga,
berhubungan
dengan integrasi
sosial
desa,
misalnya:
bersih
dusun
(pembersihan desa dari roh jahat).
Keempat, selamatan yang diselenggarakan dalam waktu yang tidak
tetap, tergantung kejadian luar biasa
yang dialami
seseorang,
seperti:
keberangkatan untuk perjalanan jauh, pindah tempat, ganti nama, sakit,
terkena tenung dan sebagainya (Geertz, 1989), Selamatan berimplikasi pada
tingkah laku sosial dan memunculkan keseimbangan emosional individu karena
telah dislameti. (Geertz, 1989).
20
Hubungan sosial kemasyarakatan petani tidaklah selalu mulus, akan
timbul pertentangan-pertentangan apalagi jika ada ketidaksesuaian tujuan antara
dirinya dengan pihak lain. Pertentangan ini akan diekspresikan dengan
perlawanan (resistensi). James C.Scott (1993) menjelaskan resistensi bagi petani
adalah setiap tindakan petani yang dimaksudkan untuk melunakkan atau menolak
tuntutan seperti membayar pajak, sewa dan penghormatan, yang dilakukan oleh
atasan-atasannya seperti tuan tanah, negara, pemberi pinjaman, atau untuk
mengajukan tuntutan-tuntutannya sendiri seperti pekerjaan dan penghargaan bagi
petani.
Peran negara
yang semakin meluas dalam proses transformasi
perdesaan menurut Scott mengakibatkan: (1) perubahan hubungan antara
petani lapisan kaya dan lapisan miskin, (2) munculnya realitas kaum miskin
untuk membentuk kesadaran melakukan perlawanan dalam berbagai bentuk
yang merupakan pembelotan kultural, dan (3) terbangunnya senjata gerakan
perlawanan menghadapi kaum kaya maupun negara.
Scott (1981) menjelaskan mengenai alasan petani marah disebabkan
pembebanan atau tuntutan baru yang secara tiba-tiba merugikan banyak orang
sekaligus dan melanggar aturan serta adat istiadat yang diterima. Hal ini dapat
membangkitkan solidaritas
pemberontakan atau revolusi di
setiap jenis
masyarakat petani karena tidak ada satu pun tipe masyarakat petani yang
kebal terhadap pemberontakan atau revolusi. Meskipun demikian, ada variasi
dalam potensi eksplosif yang dapat dihubungkan dengan tipe-tipe masyarakat
petani (Geidy dan Rilus, 2011).
21
Popkin (1979) menyatakan gerakan perlawanan petani lebih karena
faktor determinan individu, bukan kelompok. Setiap manusia ingin menjadi
kaya. Biang keladi atas terjadinya perlawanan para petani tradisional datang
dari penetrasi kapitalisme ke kawasan perdesaan yang dalam banyak kasus
melahirkan eksploitasi terhadap para petani oleh para tuan tanah, oleh Negara dan
kaum kapitalis. Gurr (1970) dalam Mustain (2007) juga memandang faktor
frustasi dan pengurangan hak relatif yang terjadi dalam masyarakat petani
dengan pihak lain menjadi pendorong bagi petani melakukan perlawanan.
Kornhouser (1959) dalam Mustain (2007) memandang faktor keterasingan dan
anomi yang dialami warga petani oleh karena mereka justru semakin miskin
dan terpinggirkan.
Popkin
tidaklah
(1979)
dimaksudkan
menyebutkan
untuk
bahwa
menentang
semua
perlawanan petani
program negara
tapi
lebih
dimaksudkan untuk menentang kekuasaan elite desa (petani kaya) yang
selama
ini mengklaim
komunitas
tradisional,
padahal
lebih
untuk
mempertahankan tatanan demi keuntungan mereka.
Model gerakan perlawanan petani di Asia disampaikan James C. Scott
(1981) merupakan gerakan petani miskin yang lemah dengan organisasi yang
anonim, bersifat nonformal melalui koordinasi asal sama tahu saja, dengan
bentuk perlawanan kecil dan sembunyi-sembunyi yang dilakukan setiap hari
dengan penuh kesabaran dan kehati-hatian, mencuri, memperlambat kerja,
berpura-pura sakit dan bodoh, mengumpat dan sejenisnya. Hal ini sangat sesuai
22
dengan karakteristik petani yang lemah karena tidak membutuhkan koordinasi
atau perencanaan.
Scott (1993) menjelaskan perbedaan antara perlawanan “sungguhsungguh”
dengan
perlawanan
yang
bersifat “insidental”.
Perlawanan
“insidental” ditandai oleh: (a) tidak terorganisasi, tidak sistematis, dan
individual, (b) bersifat untung-untungan dan pamrih, (c) tidak mempunyai
akibat-akibat revolusioner, dan (d) dalam maksud dan logika mengandung arti
penyesuaian dengan sistem
dominan
yang
ada.
Sebaliknya
perlawanan
“sungguh-sunguh” ditandai dengan: (a) lebih teroganisasi, sistematis,
dan
kooperatif, (b) berprinsip atau tanpa pamrih, (c) mempunyai akibat-akibat
revolusioner, dan (d) mengandung gagasan atau tujuan yang meniadakan
dasar dari dominasi. Scott juga mengatakan bahwa apapun
kegiatan-kegiatan
yang dilakukan oleh petani dapat dilihat sebagai perlawanan seperti aksi
mencuri hasil panen jika hal tersebut sesuai dengan tujuan definisi perlawanan.
Perlawanan petani juga tidak harus dalam bentuk aksi bersama.
Dalam kata lain gerakan resistesi ini ditempuh dua cara, pertama
resistensi aktif atau public transcript berupa perlawanan secara terbuka yang
dilakukan secara terorganisir dan tersistematis. Kedua resistensi pasif atau hidden
transcript yang seringkali terwujud dalam bentuk perlawanan dengan berpura-pura
setuju terhadap tuan tanah atau penguasa, fitnah, sikap acuh, menolak membayar
sewa dan kerja paksa atau pun tidak menghormati penguasa. Menurut Scott
prinsip mendahulukan keselamatan menjadi sumber kekuatan moral yang
23
memungkinkan para petani untuk menolak perubahan dan siap melakukan
perlawanan bila dihadapkan pada kenyataan yang tidak berpihak pada mereka.
1.7. Kerangka Pemikiran Penelitian
Kerangka pemikiran dalam penelitian resistensi petani terhadap
penjualan dan persewaan lahan kepada warga luar desa yang mengambil studi
kasus di Desa Trasan Kecamatan Bandongan Kabupaten Magelang bahwa tanah
selain sebagai sumberdaya produksi, suatu habitat, atau batas politik juga
memiliki makna sebagai merupakan basis bagi organisasi sosial, sistem ekonomi,
dan identifikasi kultural masyarakat, sehingga harus dipertahankan.
Penguasaan
lahan pada orang luar desa dianggap akan merusak
harmonisasi tradisi kultural yang telah ada dan berlaku. Langkah yang dilakukan
petani adalah dengan memperkuat basis ekonomi keluarga dengan memperbesar
produksi dan mengurangi konsumsi. Dalam penguatan sosial, mereka melakukan
hubungan-hubungan sosial tradisional dengan mengeluarkan dana sosial dan dana
sewa tanah.
Pengeluaran dana sosial, diantaranya dengan gelaran aneka ritual
selametan. Ritual juga sebagai pengikat berbagi diantara petani, sehingga semua
warga sekitar turut merasakan apa yang dirasakan yang punya hajat. Keinginan
petani adalah terciptanya kerukunan pada masyarakat yang dengan kerukunan itu
akan dapat melakukan perlawanan baik secara terbuka maupun tersembunyi pada
masyarakat luar desa yang berusaha untuk menguasai tanah. Selain pula
24
penguasaan tanah oleh warga luar desa dikhawatirkan mengganggu kerukunan
yang ada.
Ada dua dampak yang kemungkinan terjadi dari strategi yang diterapkan
petani yakni berhasil atau gagal. Berhasil disini adalah warga dapat memproteksi
lahan dari penguasaan warga luar desa, baik berupa terjualnya tanah, penyewaan,
gadai, hibah dan pewarisan. Sedangkan kegagalan adalah warga luar desa dapat
menguasai lahan melalui pembelian, penyewaan, gadai hibah dan pewarisan.
25
Gambar 3 , kerangka berpikir penelitian
Penjualan dan penyewaan tanah pada warga luar
desa
Ganggu Ekonomi, Kultural
Masyarakat dan Kerukunan
Langkah Petani
Perkuat basis Ekonomi
- Memperbesar produksi
- Mengurangi konsumsi
Penguatan Petani
Penguatan Sosial Tradisional
- Mengeluarkan dana sosial
- Mengeluarkan dana sewa
tanah
Sifat Perlawanan:
Public transcript (Sungguhsungguh) dan Hidden transcript
(insidentil)
Kerukunan
Strategi perjuangan
Bentuk : Aksi massa, sendiri,
adat istiadat, jalur hukum,
Petani berhasil proteksi
lahan di desa dari penguasan
warga luar desa. ( Hak milik,
Sewa, Gadai, Hibah,
Pewarisan )
Keterangan :
Pengaruh
Komponen
Rangkaian Aktivitas
Petani gagal proteksi lahan
di desa dari penguasaan
warga luar desa. ( Hak milik,
Sewa, Gadai, Hibah,
Pewarisan )
26
1.8.Metode Penelitian
1.8.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian mengambil tempat di Desa Trasan Kecamatan
Bandongan Kabupaten Magelang. Desa tersebut terdiri dari sebelas dusun. Lokasi
ini menarik diteliti sebab sabagai salah satu daerah penghasil beras bermutu dan
lokasinya dekat dengan Kota Magelang yang merupakan daerah kota yang tengah
berkembang.
Di desa tersebut terdapat warga yang memiliki lahan luas dan pendapatan
besar, tetapi disatu sisi ada warga yang hidup sebagai buruh tani karena tidak
punya lahan atau lahan sawah yang dimilikinya sempit. Warga harus dihadapkan
realitas bahwa bertani dengan lahan sempit tidak lagi dapat mencukupi kebutuhan
hidup yang semakin membengkak. Maka itu petani berusaha untuk memperluas
penguasaan lahannya agar hasilnya memenuhi kebutuhan hidup, langkahnya
dengan membeli, menyewa, mendapatkan waris lahan dan hibah lahan. Petani
juga berusaha mengeksploitasi diri dengan bekerja di luar pertanian.
Namun, letak desa yang tidak jauh dari perkotaan, menjadikan warga luar
desa khususnya warga kota berjuang untuk mendapatkan lahan, yang akan
dijadikannya sebagai perumahan dan tempat usaha. Di sisi lain ada upaya dari
warga desa yang ingin mengalihfungsikan lahan yang dimiliki menjadi rumah
atau dari pertanian ke non pertanian.
27
Dalam penelitian ini penulis mengambil rentang waktu dalam 30 tahun
terakhir. Rentang tersebut terdapat jual beli, persewaan, pewarisan dari orang tua
pada anaknya. Serta hibah dari seorang pada orang lain.
1.8.2. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisis deskriptif yaitu
memberikan gambaran mengenai sesuatu dengan cara yang jelas serta
mencermati berbagai peristiwa melalui fakta. Penelitian ini
menggunakan
pendekatan penelitian kualitatif. Pada penelitian ini, jenis penelitian yang
digunakan adalah metode deskriptif.
Penulis berusaha menggambarkan secara terperinci realita kehidupan
masyarakat di daerah penelitian, sehingga dapat tergambar sikap dan perilaku
dalam keseharian. Peneliti mula-mula akan mencari data tentang gambaran
kepemilikan lahan, transaksi terkait dengan tanah dan pengalihan kepemilikan
tanah. Dari data itu akan dicari pendalaman informasi dengan wawancara dengan
mereka yang terlibat, atau yang menentang dalam transaksi. Dari hal diatas akan
diketahui pola transaksi jual beli dan sewa menyewa tanah dan bagaimana
masyarakat desa bersikap resisten pada penjualan dan penyewaan tanah di desa
baik yang masih dalam satu desa mapun dengan warga luar desa. Selain itu juga
tergambar
konflik-konflik
penanganannya.
yang
terjadi
ada
bagaimana
upaya
dalam
28
1.8.3. Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan prosedur yang sistematis dan standar
untuk memperoleh data yang diperlukan. Dalam penelitian ini, banyak peristiwa
unik yang dapat diamati maupun digali. Untuk itu data maupun informasi digali
melalui wawancara mendalam (indepth interview) secara interatif yang dilakukan
sealamiah mungkin serta pengamatan secara terlibat (participant observation)
untuk mendapatkan informasi permasalahan yang
lebih
menyeluruh
dan
mendalam.
Wawancara secara mendalam antara lain dilakukan pada mantan
kepala desa, kepala desa berikut perangkat desa, kepala dusun, tokoh masyarakat,
dan beberapa warga masyarakat pemilik lahan, serta makelar tanah untuk
menggali
informasi terkait dengan kepemilikan lahan, pengamatan dan
pengalaman dalam menjual, membeli, menyewa, mewariskan dan menghibahkan
tanah.
Data dalam penelitian ini juga didapat dari data sekunder yakni dari
dokumen yang terkait dengan topik penelitian. Dokumen yang dimaksud
seperti buku tanah atau ‘Letter C’ desa, laporan hasil pembangunan desa, data
BPS, dan hasil penelitian atau catatan-catatan terkait yang relevan.
Download