KATA PENGANTAR Indonesia mempunyai potensi perikanan budidaya yang luar biasa untuk pengembangan bisnis baik skala nasional maupun internasional yang mencangkup perikanan air tawar, payau dan laut, dengan berbagai komoditas unggulan untuk pasar dalam negeri maupun luar negeri. Potensi perikanan budidaya mencapai 17,92 Ha, dengan pemanfaatan yang baru mencapai 21,9% untuk air payau, 10,7% untuk air tawar dan 2,7% untuk air laut. Selain potensi pengembangan, teknologi dan dukungan kebijakan investasi serta ketersediaan sumber daya manusia yang berpengalaman dan berkompeten menjadikan investasi perikanan budidaya semakin menarik. Berbagai dukungan tersebut menjadikan Indonesia pada tahun 2013 menjadi produsen perikanan terbesar ke-dua di dunia setelah China (FAO, 2015). Guna mendorong pertumbuhan investasi tersebut, maka Kementerian Kelautan dan Perikanan secara berkesinambungan melakukan upaya promosi investasi baik tingkat nasional maupun internasional, melalui salah satu kegiatan tahunan yaitu Indonesian Aquaculture (INDOAQUA) dan Forum Informasi Teknologi Akuakultur (FITA). Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, INDOAQUA dan FITA 2016 akan dikolaborasikan dengan event internasional serupa yaitu APA (Asian Pacific Aquaculture); dan International Symposium on Tilapia (ISTA). Meeting yang akan diselenggarakan pada tanggal 26-29 April 2016 di Surabaya. Bentuk kegiatan berupa pameran teknologi dan bisnis, seminar inovasi dan teknologi, temu bisnis, coaching clinic, promosi investasi serta berbagai lomba yang relevant untuk menarik minat stakeholder bergabung di bidang perikanan budidaya. Kegiatan lainnya adalah promosi wisata Indonesia melalui farm tour dan tourism tour. Indonesia adalah negara dengan kekayaan sumberdaya alam yang luar biasa.Salah satunya adalah kekayaan sumberdaya alam, yang dapat dimanfaatkan untuk sektor perikanan budidaya. Potensi lahan budidaya laut (11,8 juta ha), lahan budidaya payau (2,3 juta ha) dan lahan budidaya air tawar (2,5 juta ha), baru sebagian kecil dimanfaatkan. Nilai potensi perikanan budidaya secara keseluruhan yang mencapai US$ 63 - 80 miliar per tahun, harus terus di dorong pemanfaatannya, salah satunya dengan meningkatkan investasi di sektor perikanan budidaya. Untuk mempromosikan potensi ekonomi dan bisnis perikanan budidaya dan sekaligus untuk menarik investor di bidang perikanan budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB), melaksanakan INDONESIAN AQUACULTURE 2015 (INDOAQUA-2015), sebagai barometer pengembangan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi terapan, serta sumber inspirasi bisnis perikanan budidaya, pada tanggal 28-31 Oktober 2015 di Indonesia Convention Exhibition, BSD City, Tanggerang-Banten. Guna menggali informasi yang lebih mendalam dalam inovasi dan teknologi bidang perikanan budidaya, maka akan dilakukan juga kegiatan Pararel Seminar dalam berbagai topik. Paralel seminar akan berlangsung dari tanggal 27 – 29 April 2016. Beberapa topik yang dipresentasikan antara lain : finfish, rumput laut, alga, kekerangan, ikan hias, nutrisi dan pakan, probiotik, hatcehry, lingkungan, keamanan pangan, pengelolaan kesehatan ikan, kualitas air, genetik dan breeding, sistem budidaya, ekonomi dan investasi hingga teknologi pengolahan dan topik lainnya. Prosiding ini berisi makalah lengkap materi seminar yang dilaksanakan selama penyelenggaraan INDOAQUA - APA 2016. Semoga prosiding ini, dapat memberikan manfaat bagi masyarakat pembudidaya dan seluruh pihak terkait dengan perikanan budidaya, sehingga mampu mendorong pengembangan perikanan budidaya yang berkelanjutan dan maju. Jakarta, Agustus 2016 Penyusun APPLICATION OF COMMODITIES DIVERSIFICATION SYSTEM FOR GROUPER AND GIANT TREVALLY (Caranx sp) AS DEVELOPMENT STRATEGY EFFORTS IN FISH FARMING Umar Rifai dan Doortje A. Horhoruw Mariculture Development Center of Ambon Abstract Aquaculture effort in this time that bloom enough fast especially marine culture. One of commodities that still manjadi commodities fish is the best groupers the example grouper tiger fish (Epinephelus fuscoguttatus) dan cantang grouper fish (Epinephelus lanceolatus x E. fuscoguttatus). Groupers fish more incited in line with increase it fish request grouper, good to fulfil in country especially in serve hotels request and restaurant the class international, also as commodities eksport recently the request ever greater in the form of alive. Temporary seafish other enough potential developed longly maintenance short between 4 - 6 months local commodities kind likes trevally/bubara fish (Caranx sp), this fish is enough solds out market and request also especially for restaurants need. Fish bubara this has several superiorities among others; fast growth level, tall tolerance towards environment change, prone seed from nature so that simple aquaculture technique with treatment and hold back towards disease. One of aquaculture method that can be developed diversification commodities system. Diversification commodities system is activity develos aquaculture more one collectiv in one business unit. Blend several commodities that has long different maintenances is maintained in one business cange floating net unit. Efforts develop diversification commodities system with take care several marine culture economical commodities that has long different maintenance can streamline maintenance time and can efficient capital because quicker economy rotation with harvest not too long for local commodities and supposed can increase work spirit and aquaculture effort development opportunity voluminouser. Culture cantang grouper fish, grouper tiger fish and trevally fish done at KJA size 3x3m2 with size net 3x3x3m3 thickky disperse 300-500 /net tail. Disperse grouper tiger as much as 5000 sizes 10 cm and bubara fish as much as 10.000 size tail 10,5 cm and fish kerapu cantang as much as 5000 sizes 9 cm. Woof gift activity covers: done woof gift a day 2 times that is morning and evening with ad-libitum ratio 5- 10% from heavy fish body per day. Woof is added vitamin with dose 3 gr/kg woof that mixed in woof trash with frequency one week 2 times. Based on study result application diversification commodities system groupers dan trevally fish at part eery regency culture sample area west, so inferential long fish maintenance trevally fish effective be done during 4 until 6 months has achieved consumption size 350 gram - 500 gram with production result total 3.640 kg. Growth groupers cantang fish during maintenance 8 months has achieved average 755 gram/tails 0,95%/day growth rate and SR end 84%. growth grouper tiger fish during maintenance 10 months has achieved average 525 gram/tails 0,85%/day growth rate and SR end 77%. This system development effort analysis result proper be developed as one of the method that can give effective aquaculture technique solution, efficient and give added value for fisherman. Keyword : diversification, commodities, grouper, giant trevally Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 1 1. PENDAHULUAN Pembangunan perikanan budidaya menuju kedaulatan, kemandirian dan keberlanjutan, terus didorong untuk meningkatkan kesejahteraan dan perekonomian pembudidaya khususnya dan masyarakat pada umumnya. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon (BPBL Ambon) Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB), bekerja keras dan bekerja sama dengan stakeholder, untuk mewujudkan tiga hal tersebut. Usaha perikanan budidaya ikan saat ini yang telah berkembang cukup pesat khususnya budidaya ikan laut. Salah satu komoditas yang masih manjadi komoditas unggulan adalah ikan kerapu (Grouper). Ikan kerapu semakin digalakkan sejalan dengan bertambahnya permintaan ikan kerapu, baik untuk memenuhi dalam negeri khususnya dalam melayani permintaan hotel-hotel dan restoran bertaraf internasional, maupun sebagai komoditas eksport yang akhir-akhir ini semakin besar permintaannya dalam bentuk hidup. Budidaya ikan kerapu membutuhkan lama pemeliharaan yang berbeda-beda tergantung jenis kerapu yang dibudidayakan, seperti jenis ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dan kerapu sunu (Plectropoma sp) memiliki waktu pemeliharaan yang cukup lama rata rata bisa mencapai 18 – 24 bulan. Mengingat lamanya pemeliharaan tersebut diperlukan strategi usaha yang lebih efektif dengan memilih jenis ikan kerapu yang lama pemeliharaannya lebih singkat seperti kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dengan lama pemeliharaan rata-rata 10 – 15 bulan dan kerapu hibrid contohnya kerapu cantang (Epinephelus lanceolatus x E. fuscoguttatus). Ikan kerapu cantang merupakan hasil persilangan antara ikan kerapu macan dan ikan kerapu kertang. Ikan kerapu cantang sendiri memiliki kelebihan dengan pertumbuhan yang lebih cepat dalam waktu 8 - 10 bulan sudah mencapai ukuran konsumsi. Kedua jenis ikan kerapu ini dipasaran cukup dimanati khususnya pasar lokal yang saat ini permintaannya cukup besar untuk memenuhi kebutuhan rumah makan dan restoran. Sementara ikan laut lain yang cukup potensi dikembangkan dengan lama pemeliharaan yang singkat antara 4 – 6 bulan adalah jenis komoditas lokal seperti ikan Bubara/Kuwe (Caranx sp), ikan ini cukup laku dipasaran dan permintaan yang cukup besar juga terutama untuk kebutuhan restoran-restoran. Ikan bubara ini memiliki beberapa keunggulan antara lain; tingkat pertumbuhan cepat, toleransi tinggi terhadap perubahan lingkungan, mudah mendapat bibit dari alam sehingga teknik budidaya sederhana serta perawatan dan tahan terhadap penyakit (Rifai,U. 2013). Menjawab tantangan teknologi pembesaran ikan laut saat ini yang semakin berkembang maka diperlukan teknologi yang bertujuan untuk lebih meningkatkan efisiensi dan efektifitas budidaya sehingga kegiatan pembudidayaan/pembesaran semakin kompetitif, ekonomis dan menguntungkan untuk diusahakan. Salah satu metode budidaya yang dapat dikembangkan adalah Sistem diversifikasi komoditas. Sistem diversifikasi komoditas merupakan kegiatan mengembangan budidaya lebih satu komoditas secara bersama dalam satu unit usaha. Usaha budidaya tidak Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 2 tertumpuh pada satu komoditas saja tapi dengan beberapa komoditas. Perpaduan beberapa komoditas yang memiliki lama pemeliharaan yang berbeda dipelihara dalam satu unit usaha keramba jaring apung (KJA bisa memberikan perputaran ekonomi yang cepat dan pendapatan pembudidaya bisa meningkat dimana sambil menunggu pemeliharaan ikan kerapu (macan dan cantang) yang mencapai 8-15 bulan, pembudidaya sudah dapat panen ikan bubara mulai bulan keempat dan bulan-bulan berikutnya. Dalam jangka waktu tersebut ikan bubara bisa dipelihara selama 2 siklus. Upaya mengembangkan sistem diversifikasi komoditas dengan memelihara beberapa komoditas ekonomis budidaya yang memiliki lama pemeliharaan yang berbeda bisa mengefektifkan waktu pemeliharaan dan bisa mengifisienkan modal karena perputaran ekonomi lebih cepat dengan panen yang tidak terlalu lama untuk komoditas lokal dan diharapkan bisa meningkatkan semangat kerja dan peluang pengembangan usaha budidaya yang lebih produkktif. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengkaji aplikasi system diversifikasi komoditas pada ikan kerapu dan ikan bubara sebagai strategi pengembangan usaha budidaya ikan yang efektif dan efisien. 2. BAHAN DAN METODE 2.1. Tempat dan Waktu Monitoring pengambilan data dilakukan pada kawasan pengembangan percontohan budidaya laut BPBL Ambon melalui kelompok Sinar Laut di Dusun Pelita Jaya Desa Ety Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku. Waktu kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Maret 2015 sampai bulan Februari 2016. 2.2. Alat dan Bahan Alat yang digunakan selama kegiatan ini adalah sebagai berikut : Tabel 1. Daftar Alat yang Digunakan Selama Kegiatan No. Alat Fungsi 1. Timbangan Mengukur berat ikan 2. Mistar ukur Mengukur panjang ikan 3. YSI-85 Mengukur parameter salinitas dan suhu air 4. pH Meter Mengukur pH air 5. Secci Disk Mengukur kecerahan air 6. Kamera Mengdokumentasikan kegiatan 7. Alat tulis menulis Mencatat hasil kegiatan 8. Serok Mengambil ikan Bahan yang digunakan selama kegiatan ini adalah sebagai berikut : Tabel 2. Daftar Bahan yang Digunakan Selama Kegiatan No. 1. 2. 3. 4. 5. Bahan Benih kerapu Macan Benih kerapu Cantang Benih ikan Bubara Pakan rucah Obat-obatan Jumlah 5000 ekor (uk.9cm) 5000 ekor (uk.10cm) 10000 ekor (uk.10.5cm) 2000 kg 2 kg Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 Fungsi Komoditas yang dipelihara Komoditas yang dipelihara Komoditas yang dipelihara Pakan ikan budidaya Pengobatan 3 6. 7. Air Tawar Vitamin 2 kg Perendaman Meningkatkan daya tahan tubuh Sementara wadah pemeliharaan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah sebagai berikut : Tabel 3. Daftar Wadah yang Digunakan Selama Kegiatan No. 1. 1. 2. Bahan Keramba Jaring Apung Waring Jaring Jumlah 10 unit 20 buah 60 buah Fungsi Wadah pemeliharaan Wadah pemeliharaan benih Wadah pemeliharaan ikan 2.3. Metode Kerja Adapun metode kerja pada kegiatan ini adalah sebagai berikut : a. Benih 1. Benih ikan kerapu macan dan ikan kerapu cantang yang digunakan dalam kegiatan ini berasal dari BPBL Ambon sementara benih ikan bubara berasal dari tangkapan nelayan. 2. Benih yang dipelihara dibagi ke 10 anggota kelompok, masing-masing anggota kelompok memperoleh ikan kerapu macan dan kerapu cantang 500 ekor/anggota, sementara benih ikan bubara masing-masing 1000 ekor/anggota. b. Pemeliharaan Benih 1. Tahap awal benih dipelihara didalam waring ukuran 2 x 1,5 x 1,5m3 selama kurang lebih 1 bulan. 2. Benih selanjutnya dipelihara dalam keramba jaring apung dengan kepadatan 3005000 ekor per kotak jaring apung ukuran 3 x 3 x 3 m3. 3. Penebaran kerapu macan dan ikan bubara dilakukan pada pada bulan April 2015 dan ikan kerapu cantang ditebar pada bulan Juni 2015. 4. Selanjutnya dengan bertambahnya ukuran benih maka padat pemeliharaan dikurangi dan benih dipelihara menurut ukuran, artinya benih yang berukuran seragam dipelihara dalam kurungan yang sama. Benih yang berukuran seragam dipelihara dalam 1 unit jaring apung untuk menghindari kompetisi dan kanibalisme. c. Pemberian Pakan 1. Pemeliharaan benih selajutnya menggunakan pakan berupa ikan segar seperti ikan make, ikan momar, komu dan sebagainya. 2. Dosis pemberian pakan 5% - 10% dari berat total ikan dan diberikan 2 kali per hari (jam 08.00 dan 16.00) secara ad-libitum. 3. Pemberian vitamin dengan dosis 3 gr/kg pakan untuk memacu perkembangan dan pertumbuhan serta ketahanan tubuh ikan diberikan frekuensi seminggu 2 kali. d. Monitoring Pertumbuhan 1. Untuk mendapatkan data pola pertumbuhan dilakukan pengukuran terhadap panjang dan berat setiap bulan sekali. 2. Teknik pengukuran adalah dengan teknik sampling, yaitu dengan mengambil 10 % dari populasi benih/ikan yang dipelihara. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 4 3. Benih yang terambil diukur panjang totalnya dengan menggunakan alat ukur (mistar), kemudian ditimbang dangan menggunakan timbangan triple beam (kapasitas 10kg ± 0,01 kgg) atau timbangan duduk (kapasitas 1 kg ± 0,01) secara kolektif. e. Pengukuran Parameter Lingkungan Untuk mendukung data yang diperoleh dilakukan pengamatan terhadap kualitas air meliputi : suhu ( ⁰C ), kecerahan (m), salinitas (ppt), dan pH. 2.4. Analisa Data Parameter yang diukur selama kegiatan ini adalah 1. Tingkat kelangsungan hidup (survival rate) : SR Jumlah ikan akhir Jumlah ikan awal x100 % 2. Pertumbuhan ikan Laju Pertumbuhan Harian (LPH) : LPH = LN(Wt) – LN (W0) X 100% H W0 = Bobot ikan rata-rata awal pemeliharaan Wt = Bobot ikan rata-rata per hari ke-h h = Lama pemeliharaan 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil pertumbuhan ikan selama pemeliharaan dapat dilihat melalui tabel di bawah ini : Tabel 4. Data Pertumbuhan Ikan Kerapu Cantang, Ikan Kerapu Macan dan Ikan Bubara yang Dipelihara di KJA. PANJANG AWAL PANJANG AKHIR (CM) (CM) 775.00 ± 35.35 10.00 ± 1.41 40.00 ± 14.14 525.00 ± 35.35 45.00 ± 7.07 500.00 ± 84.85 BERAT AWAL BERAT AKHIR (GRAM) (GRAM) Kerapu Cantang 80.00 ± 14.14 Kerapu Macan Bubara KOMODITAS LPH SR (%) (%) 27.00 ± 1.41 0.95 84.00 9.00 ± 1.41 26.75 ± 1.06 0.85 77.00 10.50 ± 2.12 22.50 ± 2.12 1.34 91.00 Tabel 4 di atas menujukkan data pertumbuhan ikan kerapu cantang, ikan kerapu macan dan ikan bubara dimana menampilkan data berat awal, berat akhir, panjang awal, Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 5 panjang akhir, laju pertumbuhan harian (LPH) dan tingkat kelangsungan hidup atau survival rate (SR). Pertambahan Berat dan Panjang Ikan Berdasarkan hasil pengukuran pertambahan berat ikan dapat dilihat melalui grafik dibawah ini : Gambar 1. Grafik Pertambahan Berat Ikan Kerapu Cantang, Kerapu Macan dan Ikan Bubara Selama Pemeliharaan. Data pertumbuhan ikan kerapu cantang dari berat awal 80 gram/ekor dan panjang 12 cm maka pada akhir pemeliharaan mencapai rata-rata 775 gram/ekor dengan panjang akhir 27 cm dengan lama pemeliharaan 8 bulan. Berdasarkan hasil pengamatan pemeliharaan ikan kerapu yang terlihat pada gambar grafik pertambahan berat di atas menujukkan pertumbuhan ikan kerapu cantang lebih cepat pertumbuhannya di banding dengan kerapu macan. Dimana hasil pengkajian dan pengujian yang dilakukan oleh BBAP Sitobondo (2012) bahwa ikan kerapu cantang yang dipelihara selama 10 bulan bisa mencapai berat berat 2500 gram. Hasil data pengujian pembesaran ikan kerapu cantang di KJA oleh Maulida,L (2015) diperoleh data berat ikan lebih 1 kg dengan panjang 46 cm dengan lama pemeliharaan kurang dari 12 bulan. Pertumbuhan ikan kerapu macan dari berat awal 40 gram/ekor dan panjang 9 cm maka pada akhir pemeliharaan selama 10 bulan mencapai rata-rata 525 gram/ekor dengan panjang akhir 27 cm. Hal ini sesui dengan hasil kegiatan pembesaran kerapu macan di KJA oleh Rifai, dkk (2008) bahwa dengan lama pemeliharaan selama 10 bulan diperoleh berat rata-rata 510 gram dengan panjang ikan 27,5 cm. Grafik pertambahan panjang ditampilkan melalui gambar di bawah ini : Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 6 Gambar 2. Grafik Pertambahan Panjang Ikan Kerapu Cantang, Kerapu Macan dan Ikan Bubara Selama Pemeliharaan. Sementara pertumbuhan ikan bubara dari berat awal 45 gram/ekor dan panjang 10,5 cm maka pada akhir pemeliharaan selama 6 mencapai rata-rata 500 gram/ekor dengan panjang akhir 22.5 cm. Hasil pengujian pemeliharaan ikan bubara di KJA oleh Hariyano dkk. (2010) bahwa hasil pembesaran ikan bubara memperoleh pertumbuhan dari berat rata-rata 25 gram/ekor dipelihara selama 5 bulan mencapai 550 gram/ekor dengan SR 87,5% dan laju pertumbuhan 0,9% serta konversi pakan 4,70. Efisiensi pakan 22%. Laju Pertumbuhan Pengetahuan dasar yang sangat dibutuhkan bagi pelaksanaan budidaya ikan dalam hubungannya dengan hasil adalah data pertumbuhan. Laju pertumbuhan merupakan peningkatan dalam satuan panjang atau bobot per unit waktu. Data pertumbuhan yang umum dipakai untuk perhitungan yaitu bobot. Hal ini dimaklumi karena hasil panen dan pemasarannya dinyatakan dalam bobot. Pada umumnya pertumbuhan bobot ikan berlainan dengan burung atau mamalia. Ikan tidak berhenti tumbuh setelah mencapai kematangan seksual. Kurva pertumbuhan bobot ikan secara umum merupakan grafik sigmoid. Besarnya nilai laju pertumbuhan harian (LPH) tergantung jenis dan ukuran ikan yang ditebarkan (Hariyano, 2008). Berdasarkan tabel 4 menujukkan rata-rata laju pertumbuhan harian (LPH) ikan kerapu cantang 0,95%/hari, ikan kerapu macan 0,85%/hari dan ikan bubara 1,34%/hari . Menurut Anonim (2003) bahwa kerapu macan nilai LPH 2,5 sampai 3,0 %/hari. Menurut Hariyano (2009) bahwa ikan bubara memiliki laju pertumbuhan harian 0,90 – 1,71%/hari. Menurut Sudirman dan Karim (2008) bahwa laju pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh jenis pakan, jumlah yang diberikan dan mutu pakan. Survival Rate (Tingkat Kelangsungan Hidup) Tingkat kelangsungan hidup Ikan (SR) ke tiga jenis ikan selama pemeliharaan termasuk masih baik dan tinggi dimana kerapu cantang tingkat SR mencapai rata-rata Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 7 84% , kerapu macan dengan SR mencapai rata-rata 77% dan ikan bubara diakhir pemeliharaan mencapai SR rata-rata 91%. Pencapaian SR yang agak rendah pada ikan kerapu macan karena selama pemeliharaan terjadi serangan penyakit bakteri sehingga menyebabkan sebagian kecil ikan mengalami kematian. Antisipasi serangan penyakit pembudidaya melakukan perendaman rutin dengan air tawar dan pemberian vitamin dengan mencampurkan di pakan rucah. Sementara ikan yang terkena penyakit dilakukan karantina di kotakan lain sambil dilakukan pengobatan. Menurut Rifai, dkk (2013) bahwa penambahan vitamin pada pakan ikan segar berguna untuk menambah kekebalan tubuh ikan sehingga tahan terhadap serangan penyakit dan tumbuh secara normal, disamping itu dapat mencegah pertumbuhan tidak normal seperti lordosis dan scoliosis atau tubuh bengkok dan kerdil karena perkembangan tulang belakang yang tidak sempurna. Manfaat lain adalah dapat meningkatkan sintasan ikan atau menurunkan tingkat kematian, meningkatkan nafsu makan, meningkatkan agresifitas ikan dan warna tubuh lebih cerah. Dosis pemberian vitamin sebanyak 3-5 gr/kg pakan dengan cara mencampurkan ke dalam pakan yang sudah dipotong kemudian direndam/didiamkan selama 15-30 menit. Pemberian vitamin dapat dilakukan sekaligus dengan frekuensi pemberian 1- 2 kali seminggu. Kualitas Air Berdasarkan hasil pemantuan kualitas air selama pemeliharaa dapat dilihat melalui tabel dibawah ini : Tabel 5. Hasil Pengukuran Kualitas Selama Pemeliharaan Ikan di KJA No. 1. Parameter Kualitas air Suhu (0C) 29,1-30,3 DO (ppm) 5,3-6,0 pH 8,4-8,5 Salinitas (ppt) 30-32 Kecerahan (m) 3-10 Berdasarkan hasil pemantuan kualitas air diperoleh kisaran suhu 29,1-30,3 0C, DO 5,3–6,0 ppm, pH 8,4–8,5, salinitas 30–32 ppt dan kecerahan >3. Kisaran kualitas air ini berdasarkan SNI masih layak untuk pembesaran ikan . Berdasarkan SNI tahun 2011 dalam Anonim (2012) tentang pembudidayaan ikan, kualitas air yang baik untuk pertumbuhan ikan budidaya adalah suhu 27-290C, DO 5 ppm, pH 8-8,2, salinitas 31-33 ppt dan kecerahan >2 meter. Kondisi kualitas air sebagai sumber utama untuk kegiatan budidaya di perairan lokasi budidaya percontohan pada umumnya telah memenuhi kreteria yang dipersyaratkan. Suhu perairan pada umumnya baik untuk usaha budidaya laut karena perubahan suhu harian maupun tahunan sangat kecil. Hasil pengukuran suhu berada pada kisaran 29,1–30,3 (0C). Suhu air laut biasanya cendrung konstan, perubahan suhu yang tinggi dapat mempengaruhi proses metabolisme atau nafsu makan, aktifitas tubuh dan syaraf. Suhu optimum untuk pertumbuhan ikan kerapu berdasarkan SNI adalah 26-32°C. Menurut Yunianto D. dkk (2013) bahwa suhu air dipengaruhi oleh musim, garis lintang, ketinggian, waktu, sirkulasi udara, penutupan awan, aliran serta kedalaman. Suhu air Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 8 berubah karena adanya perubahan kondisi lingkungan dan mempengaruhi laju metabolisme ikan yang dipelihara. Suhu air yang meningkat akan meningkatkan laju metabolisme tetapi peningkatan yang tajam akan menurun laju makan (feeding rate) sehingga menurunkan laju metabolisme. Salinitas berhubungan dengan tekanan osmosis dan mempengaruhi kesimbangan ion dari organisme air, termasuk ikan. Kombinasi antara suhu dan salinitas yang tidak tepat akan mempengaruhi pemberian pakan, laju konversi pakan dan pertumbuhan. Hasil pengukuran salinitas berada pada kisaran 30,0-32,0 ppt. Fluktuasi salinitas ini dapat mempengaruhi pertumbuhan dan nafsu makan ikan kerapu, selain itu sering mengalami stratifikasi perbedaan salinitas yang menghambat terjadinya difusi oksigen secara vertikal. Salinitas yang ideal untuk ikan kerapu 30-34 ppt (Rifai,dkk. 2013). Kandungan oksigen terlarut yang paling minim yang dapat ditoleransi oleh organisme budidaya adalah 4,0 ppm. Hasil pengukuran oksigen terlarut (DO) berada pada kisaran 5,3 – 6,0 ppm. Ketersediaan oksigen terlarut dalam kegiatan budidaya sangat dibutuhkan bagi kehidupan ikan laut. Konsentrasi oksigen dalam air dapat mempengaruhi pertumbuhan, konversi pakan dan mengurangi daya dukung perairan. Ikan kerapu yang budidayakan di Karamba Jaring Apung membutuhkan konsentrasi oksigen terlarut lebih dari 5 ppm. Sementara untuk ikan bubara menurut Hariyano dkk (2010) bahwa ikan bubara yang dibudidayakan di keramba jaring apung membutuhkan konsentrasi oksigen terlarut lebih dari 5 ppm dan ikan bubara diketahui pertumbuhannya sangat baik pada pH normal yaitu 8,0 – 8,2. Oksigen dibutuhkan oleh organisme untuk menghasilkan energi melalui pencernaan dan asimilasi makanan dan menjaga keseimbangan osmotik. Kebutuhan oksigen ini bervariasi menurut jenis ikan, tingkat perkembangan dan ukuran ikan sangat bergantung pada suhu air. Karena itu, pemberian pakan, konversi makanan, pertumbuhan dan kesehatan ikan yang dipelihara dipengaruhi oleh suplai oksigen. Air yang mengandung bahan partikel yang tinggi meningkatkan kebutuhan oksigen di bagian dasar (bentik) yang sangat besar sehingga akan mengurangi kandungan oksigen di KJA maupun disekitar KJA. Selanjutnya lokasi penempatan KJA yang baik dibutuhkan perairan dengan dasar yang memiliki arus datar (buttom carrent) yang baik serta perlu berhatihati dengan perairan yang sangat mengalami stratifikasi atau perairan yang memiliki resiko ledakan populasi fitoplankton karena berpotensi menurunkan kadar oksigen terlarut secara periodik. pH dinyatakan konsentarasi ion hidrogen (H+) dalam suatu larutan (air). pH air yang tinggi dapat merusak lamella insang dan menyebabkan kematian ikan serta mempengaruhi toksitas beberapa jenis polutan dan logam berat. pH normal air laut berkisar antara 7,5 dan 8,5 dimana perairan dengan kondisi terumbu karang yang baik nilai pH air akan stabil karena adanya kapitas buffer ion Ca+ (Boyd, 1990). Hasil pengukuran pH berada pada kisaran 8,4 – 8,5. Perairan dengan pH netral atau sedikit kearah basa sangat ideal Nilai pH dapat menentukan kondisi perairan budidaya asam atau basa. Kondisis untuk pemeliharan ikan laut. Perairan dengan pH rendah menyebabkan aktifitas tubuh menurun atau ikan menjadi lemah, mudah terkena infeksi dan tingkat mortalitas tinggi. Ikan kerapu diketahui pertumbuhannya sangat baik pada pH normal air laut yaitu 7,0 - 8,52. (Rifai,dkk. 2013). Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 9 Tingkat kecerahan berdasarkan pengukuran 3 - 10 meter. Perairan yang tingkat kecerahannya tinggi sampai tembus dasar perairan merupakan indikator perairan yang cukup jernih. Sebaliknya perairan yang tingkat kecerahannya sangat rendah menandakan tingkat bahan organik terlarut sangat tinggi, perairan ini dikategorikan cukup subur dan tidak baik untuk pembesaran ikan. Perairan seperti ini meyebabkan cepatnya perkembangan organisme penempel seperti lumut, cacing, dan kekerangan yang menimbulkan media pemeliharaan cepat kotor. Kecerahan perairan lokasi yang ideal untuk pembesaran di Karamba Jaring Apung lebih dari 3 meter. Hasil Panen dan Analisa Usaha Dari hasil penggujian system ini maka pada bulan Agustus 2015 kelompok pembudidaya telah di dahului dengan panen ikan bubara secara bertahap selama 3 bulan. Sistem panen yang digunakan pada budidaya ikan bubara di kelompok berdasarkan hasil pemantauan adalah sistem panen secara bertahap. Tujuan dari sistem panen ini untuk memanen ikan yang telah memenuhi ukuran komsumsi (350-500 g). Ukuran ini biasanya dijual dengan harga Rp.40.000,-50.000,-/kg atau Rp.15.000,-/ekor. Para pembudidaya ikan pada umumnya melakukan panen pada pagi hari untuk menghindari cuaca yang panas. Perlengkapan dan peralatan yang biasa digunakan serok dan drum plastik untuk memudahkan pengangkutan dan pemanenan. Hasil panen bubara kelompok dapat dilihat melalui tabel di bawah ini : Agustus 2015 No. Nama Anggota 1. Herman 2. September 2015 Oktober 2015 Total Ikan Panen (ekor) Total Berat Ikan Panen (kg) 970 388 Jumlah Ikan Panen (ekor) 66 Berat Ikan Panen (kg) 26,4 Jumlah Ikan Panen (ekor) 500 Berat Ikan Panen (kg) 200 Jumlah Ikan Panen (ekor) 404 Berat Ikan Panen (kg) 161.6 La Mursalim 100 40 316 126.4 556 222.4 972 388.8 3. Dadi Suryadi 695 278 182 72.8 93 37.2 970 388 4. Sugali S. 445 178 200 80 305 122 950 380 5. La Mustik 448 179.2 350 140 152 60.8 950 380 6. La Suryaman 243 97.2 425 170 282 112.8 950 380 7. Fahrudin 218 87.2 377 150.8 375 150 970 388 8. Jamal Ode 661 264,4 100 40 114 45.6 875 350 Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 10 9. Ode Mallo 100 40 345 138 305 122 750 300 10. La Harisi 131 52.4 212 84.8 400 160 743 297.2 Total 3107 1242.8 3007 1202.8 2986 1194.4 9100 3640 Tabel 6. Hasil Panen Ikan Bubara Kelompok Sinar Laut pada Bulan Agustus, September dan Oktober 2015. Pada tahap pertama bulan Agustus 2015 jumlah ikan bubara yang terpanen kelompok sebanyak 3.107 ekor dengan berat 1.242,8 kg, selanjutnya pada tahap kedua bulan September 2015 jumlah ikan yang terpanen sebanyak 3.007 ekor dengan berat 1.202,8 kg dan tahap akhir bulan Oktober 2015 jumlah ikan yang terpanen sebanyak 2.986 ekor dengan berat 1.194,4 kg. Total ikan bubara yang berhasil dipanen adalah 9.100 ekor dengan berat total 3.640 kg. Berikut ini analisa usaha pembesaran ikan kerapu cantang, ikan kerapu macan dan ikan bubara disajikan melalui tabel di bawah ini : Tabel 7. Analisa Usaha Budidaya Ikan Kerapu Cantang, Kerapu Macan dan Ikan Bubara di KJA NO I. VOLUME SATUAN HARGA NILAI 10 unit 15,000,000 150,000,000 80 buah 1,500,000 90,000,000 2 INVESTASI Keramba Jaring Apung 3x3m2(4 kotak/unit) Jaring untuk Pemeliharaan(3x3x3m3) 3 Waring (2x1.5x1.5m3) 20 buah 500,000 10,000,000 4 Peralatan kerja 10 paket 500,000 5,000,000 5 Perahu 10 unit 1,000,000 10,000,000 1 JUMLAH MODAL KERJA II. 1 2 3 URAIAN 265,000,000 Benih : a.K.Cantang 10 cm (Rp 20.000/EKOR) 5,000 ekor 20,000 100,000,000 b.K.Macan 9 cm (Rp 13.500/EKOR) 5,000 ekor 13,500 67,500,000 c.Bubara 10 cm (Rp 2.000/EKOR) 10,000 ekor 2,000 20,000,000 Pakan Rucah : a. K.Cantang (FCR 6) 16,380 kg 3,000 49,140,000 b. K. Macan(FCR 6) 12,128 kg 3,000 36,382,500 c. Bubara(FCR 5) 18,200 kg 3,000 54,600,000 Vitamin dan Obat-Obatan 10 Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 paket 1,000,000 10,000,000 11 337,622,500 1 JUMLAH JUMLAH MODAL Investasi 2 Modal kerja 337,622,500 JUMLAH RUGI-LABA 602,622,500 III. IV. 1 2 a. Hasil Produksi k.Cantang 0,65 kg/ekor(SR 84%=4.200 ek) b. Hasil Produksi k.Macan 0,525 kg/ekor(SR 77%=3.850 ek) c. Hasil Produksi Bubara 0,4 kg/ekor(SR 91%=9100 ek) JUMLAH 285,000,000 2,730 kg 90,000 245,700,000 2,021.3 kg 90,000 181,912,500 3,640 kg 45,000 163,800,000 591,412,500 Biaya Operasional a. Modal Kerja 337,622,500 b.Penyusutan 20% NO. 53,000,000 JUMLAH 390,622,500 KEUNTUNGAN/SIKLUS 200,790,000 Komponen Keragaan Usaha/Siklus Satuan Nilai 1 Biaya Total Rp 394,622,500 2 Penerimaan Total Rp 591,412,500 3 Keuntungan Rp 200,790,000 4 Payback period 5 Return of Investasi (ROI) 6 B/C Ratio tahun 0.66 % 51,40 1.51 Pada akhir kegiatan ini hanya bubara yang sudah dapat panen dan diambil datanya sementara ikan kerapu cantang dan ikan kerapu macan masih menunggu untuk panennya. Berdasarkan hasil analisa usaha dari ketiga komoditas ini pada tabel 7 menujukkan hasil pendapatan sebesar Rp. 200.790.000,00 setelah total hasil produksi dikurangi dengan biaya operasional. Hasil perhitungan untuk playback period (periode pengembalian) dimana diperoleh 0,66 tahun artinya dalam jangka setengah tahun sudah bisa mengembalikan modal dari pendapatan yang diperoleh. Return of Invesment (ROI) merupakan nilai keuntungan yang diperoleh pengusaha dari setiap jumlah uang yang diinvestasikan dalam periode waktu tertentu.dengan analisis ROI dapat mengukur sampai seberapa besar kemampuan dalam mengembalikan modal yang telah ditananamkan. Dari hasil analisa terbut diperoleh nilai ROI sebesar 51,40 % artinya dari modal Rp 100,00 yang diinvestasikan akan menghasilkan keuntungan sebesar 51,40%. Perhitungan yang terpenting dalam analisa usaha ini adalah kelayakan usaha yang dihitung atau disebut Benefit Cost Ratio (B/C) dimana nilainya harus lebih besar dari satu karena jika nilainya 1 atau kurang dari satu berarti usaha tersebut belum mendapatkan Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 12 keuntungan, semakin kecil nilai ratio ini, makin besar kemungkinan perusahaan menderita kerugian. Berdasarkan hasil perhitungan B/C dari tabel analisa usaha di atas diperoleh nilai B/C di atas nilai 1, artinya kegiatan usaha system diversifikasi komoditas ikan kerapu dan bubara ini layak dikembangkan sebagai salah satu metode yang bisa memberikan teknik budidaya yang efektif, efisien dan memberikan nilai tambah bagi pembudidaya. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian aplikasi sistem diversifikasi komoditas ikan kerapu dan ikan bubara di kawasan percontohan budidaya Kabupaten Seram Bagian Barat, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : (1) Sistem diversifikasi komoditas dapat memberikan jaminan keberlanjutan usaha dan perkembangan usaha yang efektif dan efisien; (2) Hasil analisa usaha pengembangan sistem ini menujukkan layak dikembangkan sebagai salah satu metode yang bisa memberikan solusi teknik budidaya yang efektif, efisien dan memberikan nilai tambah bagi pembudidaya. Saran Perlu dilakukan pengembangan sistem diversifikasi komoditas yang lebih luas lagi pada beberapa komoditas ekonomis lainnya seperti ikan kakap dan ikan bawal. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2003. Laporan Tahunan 2002. Pusat Riset Perikanan Budidaya DKP, Jakarta. Anonim. 2012. Kumpulan Standar Nasional Indonesia (SNI) Bidang Pembudidayaan Air Payau dan Laut. Direktorat Pembudidayaan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. BBAP Situbondo. 2012. Ikan Kerapu Cantang : Hibrida antara Ikan Kerapu Macan Betina dengan Ikan Kerapu Kertang. Bbapsitubondo, Situbondo. Hariyano. 2008. Pembesaran Bubara (Caranx sp) di Keramba Jaring Apung. Balai Budidaya Laut Ambon. Laporan Tahunan 2008. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya . Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Hariyano. 2009. Pembesaran Bubara (Caranx sp) di Keramba Jaring Apung. Balai Budidaya Laut Ambon. Laporan Tahunan 2009. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya . Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Nontji, 1988. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta Hariyano. Hendarto N. Dan Mahu R. 2010. Pembesaran Bubara (Caranx sp) di Keramba Jaring Apung. Balai Budidaya Laut Ambon. Laporan Tahunan 2010. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya . Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Maulida L. 2015. Budidaya Ikan Kerapu Cantang Sistem KJA Di Greges, Surabaya Barat. Lisa-m-r-fpk09. unair.ac.id. Rifai, U., Niwan, H. dan Raunsay, Y. 2008. Teknik Pembesaran Kerapu Macan (Epinephelus foscuguttatus) di Keramba Jaring Apung. Laporan Tahunan 2008. Balai Budidaya Laut, Ambon. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 13 Rifai, U., Slamet, H. dan Noebaety, E. 2013. Mengenal Kerapu dan Teknik Pemeliharaannya di Keramba Jaring Apung. Balai Budidaya Laut Ambon. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ambon. Sudirman, H. dan Karim, M.Y. 2008. Ikan Kerapu : Biologi, Eksploitasi, Manajemen dan Budidayanya. Yarsif Watampone, Jakarta. Yunianto D. dan Syaripuddin. 2013. Pengaruh Musim Terhadap Kualitas Air di Balai Budidaya Laut Ambon. Jurnal Teknologi Budidaya Laut. Volume 3. Balai Budidaya Laut Ambon. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ambon. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 14 APPLICATION OF DIGESTIVE ENZYME ON YOUNG HUMPBACK GROUPER Cromileptes altivelis REARING FEED by Yuwana Puja, Agus Hermawan and Amran The succes of Humpback grouper Cromileptes altivelis culture depends on some factors such as seed quality, feed quality and environmental condition. Regarding to the feed absorbtion, the effecteveness of difestive enzyme is very important for fish growth. The application of the digestive enzyme is to enhanch feed efficiency and survival rate of the fish. The objectives of the present study were to know the effect of digestive enzyme on survival rate (SR), growth rate (SGR) and feed convertion ratio (FCR) of humpback grouper. The study was done from August to October 2015 in Main Center for Marine Aquaculture, Lampung. Fish was reared in 2 m3 volume of rectangular concret cement tank and stocking dencity was 100 fishes /m3. Animal was fed with formula feed and feeding frequencies was three times/day with dosage was 3 %/TBW/day. The were two treatments in this trial e.g; Formula feed plus digestive enzyme 5 g/kg of feed and without enzyme as control. Fish growth sampling was done for every two weeks as long as 2.5 months. The result showed that GR, SR and FCR for treatment A, respectively as 1.21%/TBW/day; 97.4 % and 1.31; better than control (1.12/TBW/day for SGR; 95.5 % for SR and 1.65 for FCR). This study suggested that digestive enzyme application for humpback grouper grow out is very useful. Key words: humpback grouper, digestive enzyme, survival rate, growth rate, feed convertion Ratio Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 15 Pendahuluan Kerapu Bebek termasuk komoditas yang telah berhasil dipijahkan di Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung. Keberhasilan pembenihan ini telah diiringi dengan teknologi pembesarannya.Untuk mendapatkan kelengkapan teknologi budidayanya, pada tahun 2015 ini dilakukan kegiatan perekayasaan pemberian enzyme pencernaan untuk meningkatkan aktifitas pencernaan dan akhirnya akan meningkatkan efektifitas penyerapan pakan untuk pertumbuhannya. Penambahan enzyme juga bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan dan memperkecil nilai FCR. Tujuan perekayasaan ini adalah untuk Mengetahui pengaruh pemberian enzyme pencernaan terhadap pertumbuhan ikan Kerapu Bebek fase pembesaran dan memperoleh hasil pengujian imunitas ikan yang telah diberikan enyme pada pakan. Kegiatan perekayasaan dilakukan pada bulan Agustus s/d Oktober 2015 di bangsal pendederanan dan penggelondongan Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung. Bahan dan Metoda Bahan - Benih Kerapu Bebek - Selang dan pemberat aerasi - Pakan buatan kerapu (pellet) - Multi vitamin - Bakteri Patogen - Obat-obatan (acriflavin) - Bahan desinfektan (kaporit) - Enzym pencernaan - Bahan perekat Peralatan yang digunakan - Filter fisik (sand filter) - Filter bag - Peralatan pendukung : serok, selang aerasi, ember, gayung, perangkat pengudaraan dan distribusi air laut, alat tulis, penggaris, timbangan. - Bak pemeliharaan benih dan sistem aerasi - Peralatan pengukuran kualitas air - Serok - Wadah pakan Metoda Kegiatan pengujian aplikasi enzyme pencernaan dalam budidaya Kerapu bebek (Cromileptes altivelis ), difokuskan pada perekayasaan terhadap aplikasi enzyme pencernaan pada pakan pendederan dan penggelondongan, serta uji imunitas pada ikan yang telah diberi enzym. 1. Aplikasi enzyme pencernaan pada pakan pendederan - Wadah: Bakukuran 2 m3 m 4 buah - Benih: hasil pembenihan - Pakan : pakan buatan dan pemberian pakan 3 kali / hari dengan dosis 3 %/ BB/hari Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 16 - Padat tebar 100 ekor/m3 - Perlakuan : A. Pakan formula dengan penambahan enzyme pencernaan 5 gr/kg B. Kontrol : Tanpa penambahan enzyme pencernaan - Setiap perlakuan dilakukan 2 ulangan - Pengambilan data: Sintasan (SR), Pertumbuhan, FCR dan Kualitas air - Lama pengujian: 1,5 bulan - Sampling : 2 minggu sekali 2. Aplikasi enzyme pencernaan pada pakan penggelondongan - Wadah: Bak ukuran 2 m3 m, 4 buah - Benih: hasil pendederan - Pakan : pakan buatan dan pemberian pakan 3 kali/hari dengan dosis3%/BB/hari - Padat tebar 100 ekor/m3 - Perlakuan : A. Pakan formula dengan penambahan enzyme pencernaan 5 gr/kg B. Kontrol : Tanpa penambahan enzyme pencernaan - Setiap perlakuan dilakukan 2 ulangan - Pengambilan data: Sintasan (SR), Pertumbuhan, FCR dan Kualitas air - Lama pengujian: 1,5 bulan - Sampling : 2 minggu sekali - Penghitungan laju pertumbuhan spesifik (SGR) menggunakan rumus: SGR = {[Wt/Wo]1/t – 1} x 100 % dimana : SGR = laju pertumbuhan spesifik harian (%) Wt = Berat individu rata-rata (gr) Wo = Berat individu rata-rata awal penebaran (gr) t = Waktu - Penghitungan rasio konversi pakan (FCR) dengan rumus: ∑F ∑F = Total pakan yang dikonsumsi (gram) FCR = ------------------------ Wt = Total Bobot ikan akhir (gr) (Wt-Wo) + (Wd) Wo = Total bobot ikan awal (gr) Wd = Total bobot ikan mati (gr) - Penghitungan sintasan (SR) dengan rumus: ( Jml ikan awal - Jml ikan mati ) SR = --------------------------------------------- X 100 % Jml awal 3. Uji imunitas ikan yg diberi enzyme pencernaan - Wadah: Bak ukuran 2 m3 - Ikan: Hasil pengujian Pendederan - Penentuan LD-50 bakteri Patogen - Uji Tantang - Uji Laju pagositas Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 17 Hasil Kegiatan 1. Aplikasi Enzym Pencernaan Pada Pendederan a. Hasil pengamatan Selama pengujian, diperoleh hasil sebagai berikut : Tabel 1. Hasil kegiatan rekayasa teknologi pendederan kerapu bebek dengan aplikasi enzym pencernaan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Parameter Utama Berat awal rata-rata (gr/ekor) Berat akhir rata-rata (gr/ekor) Panjang awal rata-rata (cm) Panjang akhir rata-rata (cm) Jumlah awal (ekor) Jumlah akhir (ekor) Laju Pertumbuhan Harian (%) FCR Sintasan (%) Hasil A 20,5 61,66 10,1 15.37 250 224 1,175 1,57 89,6 B 20,5 59.78 10,2 15,05 250 204,5 1,145 1,65 81,8 b. Pembahasan Berdasarkan hasil pengamatan laju pertumbuhan harian menunjukkan hasil yang hampir sama, dengan nilai pada perlakuan A(1,175), lebih tinggi daripada perlakuan B (1,145). Hasil ini lebih tinggi dari hasil pengujian pembesaran Kerapu bebek oleh Minjoyo (2009), dengan nilai kisaran laju pertumbuhan : 0,71 – 0,76 % dengan pemeliharaan selama 4 bulan. Dari hasil laju pertumbuhan yang diperoleh, secara umum pengujian aplikasi enzym tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan di bandingkan dengan kontrol. Hal ini mungkin disebabkankarena aktivitas enzim pencernaan yang digunakan masihrendah sehingga manfaatnya untuk menghidrolisis protein pakan kecil. Soni ( 2013), mengatakan bahwa pemberian enzym lebih nyata berpengaruh diaplikasikan pada pakan dengan low protein. Penambahan enzim protease (aktivitas 0,1945unit/g) dalam pakan sebesar 0,05-0,4% mampu meningkatkan kecernaan protein pakan tetapi belum mampu meningkatkan pertumbuhan ikan kerapu bebek (Palinggi 2006) Nilai konversi pakan pada perlakuan A sebesar 1,57, sedikit lebih baik dibanding pada kontrol sebesar 1,65. Hal ini meninjukkan bahwa pada perlakuan penambahan enzym, menunjukkan hasil lebih efisien dalam penggunaan pakan. Sedangkan untuk hasil sintasan yang dihasilkan menjukkan hasil bahwa pada perlakuan A menghasilkan nilai SR sebesar 89,6 %. Hasil ini lebih tinggi daripada pada perlakuan B sebesar 81,8 %. 2. Aplikasi Enzym Pencernaan Pada Penggelondongan a. Hasil pengamatan Data hasil pengukuran berat pada fase penggelondongan selama pengujian adalah sebagai berikut : Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 18 Tabel 2. Hasil pengamatan berat pada fase penggelondongan Sampling 1 2 3 4 5 6 Enzim (g) 57 63 77 92 111,25 132,85 Kontrol (g) 57 61,75 75 88,5 106,25 124,95 Kemudian dari data tersebut jika digambarkan dengan grafik, dapat dilihat pada Gambar 1. berupa grafik pertambahan berat rata-rata selama pengujian, sebagai berikut: Gambar 1. Grafik pertambahan berat rata-rata antar perlakuan selama pengujian Data lain yang diperoleh selama pengujian, seperti data SGR, data SR dan data FCR selama pengujian dapat dilihat pada Tabel 3 berikut : Tabel 3. Hasil akhir parameter SGR, SR dan FCR . PARAMETER A (dengan B (Kontrol) enzym) Tanpa enzym SGR 1,21 1,12 SR 97,4 95,7 FCR 1,31 1,65 a. Pembahasan Berdasarkan hasil pengamatan nilai SGR pada pemeliharaan fase penggelondongan, hasil lebih baik ditunjukkan pada perlakuan A(1,21 %), kemudian perlakuan B (1,12 % ). Dari hasil laju pertumbuhan yang diperoleh, menunjukkan penambahan enzym tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan di bandingkan dengan kontrol. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 19 Kemudian untuk hasil sintasan yang dihasilkan menunjukkan hasil bahwa pada perlakuan A menghasilkan nilai SR lebih baik dengan nilai sebesar 97,4 %. Hasil ini lebih tinggi daripada pada perlakuan B sebesar 95,7 % Dari nilai konversi pakan pada perlakuan A sebesar 1,31, memberikan hasil lebih baik dibanding pada kontrol sebesar 1,65. Hal ini meninjukkan bahwa pada perlakuan penambahan enzym, menunjukkan hasil lebih efisien dalam penggunaan pakan. 3. Uji Imunitas Ikan yang diberi enzim pencernaan Hasil pengamatan pada gejala awal setelah disuntik dengan Vibrio sp, menunjukkan ikan hilang nafsu makannya, menyendiri, kulit berwarna gelap, dan berenang miring di permukaan air. Kematian mulai terjadi pada hari ke 3 pengamatan. Tabel 4. Pengamatan sintasan sampai akhir kegiatan : Bak Jumlah ikan awal Jumlah ikan akhir Sintasan (ekor) (ekor) (%) Kontrol 10 0 0 Perlakuan enzim 10 9 90 Ikan yang diberi enzim pada pakannya, memiliki ketahanan tubuh yang lebih kuat terhadap bakteri patogen Pengamatan Tingkat kesehatan ikan Dari hasil pengamatan didapatkan bahwa tidak ditemukan parasit pada ikan kerapu bebek selama kegiatan. Pengamatan terhadap organ dalam tubuh ikan, terdapat pembengkakan pada ginjal dan thymus pada ikan di dua perlakuan. Pengamatan bakterial pada organ dalam ikan dari kedua perlakuan menunjukkan adanya infeksi bakteri pada hati, limpa dan ginjal. Bila membandingkan kedua data kesehatan ikan, dapat disimpulkan bahwa enzim pencernaan tidak memberikan pengaruh positif terhadap daya tahan tubuh. Kesimpulan Dari hasil kegiatan pendederan dan penggelondonga dengan aplikasi penambahan enzym pencernaan maka dapat disimpulkan sebagai berikut : - Berdasarkan hasil pengamatan laju pertumbuhan harian tertinggi pada fase pendederan, terdapat pada perlakuan A(1,175), kemudian perlakuan B (1,145). Dari hasil laju pertumbuhan yang diperoleh, secara umum pengujian aplikasi enzym tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan di bandingkan dengan kontrol. - Nilai Konversi pakan pendederan pada perlakuan A sebesar 1,57, sedikit lebih baik dibanding pada kontrol sebesar 1,65. Hal ini meninjukkan bahwa pada perlakuan penambahan enzym, menunjukkan hasil lebih efisien dalam penggunaan pakan. - Hasil sintasan fase pendederan, yang dihasilkan menjukkan hasil bahwa pada perlakuan A menghasilkan nilai SR sebesar 89,6 %. Hasil ini lebih tinggi daripada pada perlakuan B sebesar 81,8 %. - Nilai SGR pada pemeliharaan fase penggelondongan, hasil lebih baik ditunjukkan pada perlakuan A(1,21 %), kemudian perlakuan B (1,12 % ). - Hasil sintasan fase penggelondongan yang dihasilkan menunjukkan hasil bahwa pada perlakuan A menghasilkan nilai SR lebih baik dengan nilai sebesar 97,4 %. Hasil ini lebih tinggi daripada pada perlakuan B sebesar 95,7 % Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 20 - Nilai konversi pakan pada fase penggelondongan menunjukkan bahwa pada perlakuan A sebesar 1,31, memberikan hasil lebih baik dibanding pada kontrol sebesar 1,65. Hal ini menunjukkan bahwa pada perlakuan penambahan enzym, menunjukkan hasil lebih efisien dalam penggunaan pakan. - Ikan yang diberi enzim pada pakannya, memiliki ketahanan tubuh yang lebih kuat terhadap bakteri patogen - Pengamatan bakterial pada organ dalam ikan dari kedua perlakuan menunjukkan adanya infeksi bakteri pada hati, limpa dan ginjal. Rekomendasi - Pemberian enzym pencernaan dapat diaplikasikan pada pemeliharaan ikan Kerapu Bebek, dengan penerapan pada formulasi kadar protein lebih rendah dari kandungan protein produk pakan yang beredar saat ini. DAFTAR PUSTAKA Anonimous, 2010. Pembesaran Kerapu Macan dan Kerapu Tikus di Karamba Jaring Apung. JUKNIS Seri No. 7 Kementerian Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung. Effendi, H. 2000. Telaahan Kualitas Air. IPB. Bogor. Giri, N. A. 1998. Aspek nutrisi dalam pembenihan ikan kerapu. Loka Penelitian Perikanan Pantai Gondol, Bali. Halver, John, E., and Ronald W. Hardy. Fish Nutrition. Academic Press. 525 Street Suite 1900, San Diego, California, United States of America. Huet, M. 1994. Textbook of fish culture: breeding and cultivation of fish (2nd edition). Fishing New Books. Cambridge. Koesharyani, Isti, Des Roza, Ketut Mahardika, Fris Johnny dan Zafran. Penuntun Diagnosa Penyakit Ikan II. Penyakit Ikan Laut dan Krustase di Indonesia.Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali, Indonesia Minjoyo, H dkk, 2009. Rekayasa Teknologi Produksi Kerapu Tikus dengan Peningkatan Padat Tebar di Karamba Jaring Apung dengan dasar jaring bertingkat. Laporan Tahunan BBPBL Tahun 2009. Soni, F.M, 2013. Aplikasi Enzim Pada Ikan Untuk Meningkatkan Efisiensi Pakan. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. 23 hal. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 21 SUSTAINABILITY STATUS OF THE GROUPER MARICULTURE IN FLOATING CAGES IN THE INNER OF AMBON BAY, MALUKU PROVINCE Lutfi Hardian Murtiono*, Umar Rifai, Abdul Gani, Herlina Tahang Center Fishery Mariculture of Ambon ABSTRACT Sustainable aquaculture is an implementation of the concept of sustainable development in the aquaculture sector that is synonymous with sustainable environment. The meaning of sustainability in the field of aquaculture is not only seen in terms of the environment but is also expected to provide economic benefits for farmers in the long term. The concept of sustainable development oriented to the three dimensions of sustainability, ie economic, social and ecological. The paradigm of sustainable fisheries system suggests that the development of sustainable fisheries should accommodate four main aspects, namely: ecological sustainability, sustainability of socio-economic, community sustainability, and institutional sustainability. Inner of Ambon Bay designated as a marine aquaculture area in spatial plan of the city of Ambon. Analysis of sustainability status from dimensions of ecological, economic, social, technological and institutional have to do in order to support sustainability of mariculture. Multidimensional approach with Rapfish software (Rapid appraisal for fishery) that have been modified was used in this study. The analysis showed that ecological dimension has an index of "44.02" and categorized as less sustainable. Of the fourteen attributes were analyzed, there were seven sensitive attributes ie water quality, utilization of existing water, the use of the feed material, the level of utilization of the waters, threats to water, certification of Good Aquaculture Practices (GAP) and the carrying capacity of the waters. Sustainability indexes of economic dimension was "42.42" and its categorized as less sustainable. Leverage analysis showed that of the eleven attributes that affect the sustainability of the economic dimension, there were five sensitive attributes ie marketing chain, subsidy level, the income of farmers, market breadth and price fluctuations. Sustainability indexes of social dimensions was "56.88" and categorized fairly sustainable. Leverage analysis showed that of the seven attributes , obtained four sensitive attributes, ie status and frequency of conflicts, the understanding of the environment, the main livelihood and the level of unemployment. Sustainability index of technological dimension was "52.33" and categorized fairly sustainable. Analysis of leverage on nine attributes, there were six important attributes that affect the sustainability index on technological dimension ie artificial feed technology, seed availability, infrastructure support, the availability of facilities and infrastructure of cages, experiences in cultivation technology, and disease control. Sustainability index of institutional dimension was "53.41" and categorized fairly sustainable. There were five important attributes of the nine attributes that affect of the institutional dimension sustainability index, ie institutional of seed, institutional of the fund, government support, institutional of the market and institutional of farmers. Keywords : sustainability, mariculture, floating net cages, The Inner Bay of Ambon. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 22 PENDAHULUAN Budidaya laut merupakan kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang mampu memberikan kontribusi cukup besar terhadap pendapatan daerah, peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan lapangan kerja baru dan perolehan devisa negara (Mansyur et al., 2005). Berdasarkan data statistik perikanan, Maluku merupakan 10 besar provinsi produsen perikanan budidaya dengan jumlah produksi mencapai 592.053 ton. Bahkan untuk produksi ikan kerapu nasional, Maluku berkontribusi sebanyak 1.023 ton (11,99%) dan menjadi produsen kerapu ke 4 di Indonesia (KKP, 2013). Maluku ditetapkan sebagai Lumbung Ikan Nasional (LIN) oleh pemerintah karena potensi perikanannya. Sektor yang diharapkan dalam mendorong peningkatan volume produksi perikanan yaitu dari perikanan tangkap dan perikanan budidaya, khususnya budidaya laut. Guna mendukung program tersebut, Pemerintah Kota Ambon menetapkan Teluk Ambon Dalam sebagai lokasi perikanan budidaya keramba jaring apung dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Ambon tahun 2011 – 2031 (Bappekot Ambon, 2011). Meskipun ditetapkan sebagai kawasan pengembangan budidaya laut, namun banyak ditemui kegiatan lain di Teluk Ambon Dalam yaitu sebagai daerah perikanan tangkap, pelabuhan pangkalan TNI Angkatan Laut dan Polairud, pelabuhan kapal Pelni, kapal tradisional antar pulau dan ferry penyeberangan, jalur transportasi laut, tempat pembuangan limbah minyak dan air panas oleh PLN, dermaga perbaikan kapal, tempat penambangan pasir dan batu, kawasan konservasi, tempat rekreasi dan olahraga, tempat pendidikan dan penelitian serta pemukiman penduduk (Selano et al., 2009). Melihat kondisi tersebut, sangatlah jelas jika ancaman keberadaan teluk sangat tinggi dan tentunya berimbas pada kegiatan budidaya laut yang sedang dikembangkan di perairan Teluk Ambon Dalam. Aktivitas budidaya laut memiliki permasalahan yang dinamis dan komplek serta tidak terlepas dari pengaruh aktivitas di sekitar teluk. Hal tersebut sangat mempenagruhi kondisi biofisik perairan dan daya dukung dari perairan tersebut, kondisi sosio-ekonomi, kelembagaan dan teknologi yang membentuk suatu sistem yang kompleks (Marzuki et al., 2014). Dalam upayanya mempertahankan keberlanjutan usaha budidaya yang sedang berkembang di kawasan perairan Teluk Ambon Dalam, perlu diterapkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) untuk dapat melihat kondisi mengenai kegiatan ini. Keberlanjutan meliputi hal yang kompleks terlebih ketika harus mengintegrasikan berbagai informasi dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi (Alder et al., 2000). Pembangunan berkelanjutan adalah pemanfaatan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini dan yang akan datang dengan tetap memperhatikan keselamatan lingkungan (WCED, 1987). Inti dari konsep pembangunan berkelanjutan adalah bahwa tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan harus saling mendukung dan terkait dalam proses pembangunan, sehingga tidak terjadi trade off antar tujuan (Munasinghe, 1993). Pengembangan terhadap aspek-aspek dalam pembangunan berkelanjutan dapat dilihat dari dimensi-dimensi yang menyusunnya. Etkin (1992) dalam Galopin (2003) menyebutkan empat dimensi dalam pembangunan berkelanjutan sebagai indikator, yaitu Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 23 ekologi, ekonomi, sosial budaya dan etika. Dalal-Clayton and Bass (2002) menyebutkan bahwa dimensi ekonomi, ekologi, sosial budaya, kelembagaan, politik dan keamanan sebagai unsur penilaian dalam pembangunan berkelanjutan. Sedangkan referensi lain menambahkan dimensi teknologi sebagai salah satu kriteria dalam pembangunan berkelanjutan (Nurmalina, 2008). Secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui indeks keberlanjutan kegiatan budidaya kerapu dengan sistem keramba jaring apung di perairan Teluk Ambon Dalam dari dimesi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan, dan (2) menentukan atribut yang sensitif dari setiap dimensi. METODE PENELITIAN Waktu dan lokasi penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April – Juni 2015. Lokasi penelitian di Teluk Ambon Dalam, Ambon, Provinsi Maluku. Gambar 1. Lokasi penelitian. Jenis dan sumber data Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data. Responden kuesioner adalah pembudidaya ikan kerapu sistem keramba jaring apung yang dipilih secara acak (random) serta pakar dari instansi terkait yang dipilih secara sengaja (purposive). Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi langsung, wawancara terstruktur, wawancara terarah dan teknik pencatatan. Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengamatan di lapangan dan stakeholder yang menjadi sasarn evaluasi keberlanjutan. Data sekunder diperoleh dari studi literature dan referensi yang relevan dengan kebutuhan. Analisis data Analisis keberlanjutan budidaya laut sistem keramba jaring apung dilakukan dengan menggunakan software yang dikembangkan oleh Pusat Perikanan University of British Columbia, yaitu Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries) yang telah dimodifikasi (Fauzi and Anna, 2002; Kavanagh and Pitcher, 2004; Pitcher and Preikshot, 2001). Rapfish menggunakan teknik statistika multi dimensional scalling (MDS) untuk melakukan Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 24 penilaian secara cepat terhadap status keberlanjutan suatu sistem. Prinsip dalam MDS adalah pengukuran jarak yang dinamakan euclidien distance, seperti formula berikut : …1) Teknik MDS menghitung nilai S stress untuk mengetahui goodness of fit dari model yang dibangun, dimana model yang baik memiliki nilai S stress kurang dari 0,25 (Alder et al., 2000). Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat atribut yang paling sensitif dan berkontribusi dalam mempengaruhi keberlanjutan budidaya laut sistem keramba jaring apung di perairan Teluk Ambon Dalam. Faktor dominan terhadap keberlanjutan ditentukan berdasarkan nilai root mean square (RMS) terbesar, apabila salah satu atribut dihilangkan (Kavanagh and Pitcher, 2004). Pada penelitian ini, pemilahan terhadap atribut dominan menggunakan analisis pareto untuk setiap dimensi keberlanjutan. Analisis Monte Carlo dilakukan untuk menilai aspek ketidakpastian dalam multi dimensional scalling. Selain itu analisis Monte Carlo digunakan untuk mempelajari pengaruh kesalahan dalam pembuatan skor atribut, pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian peneliti yang berbeda, stabilitas iterasi, kesalahan pemasukan data atau adanya data yang hilang, tingginya nilai stress (Kavanagh and Pitcher, 2004). Dimensi keberlanjutan budidaya laut sistem keramba jaring apung di perairan Teluk Ambon Dalam dilihat dari lima dimensi keberlanjutan yang merupakan pengembangan dari tigadimensi keberlanjutan (Munasinghe, 1993), yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan kelembagaan. Sebanyak 50 atribut indikator keberlanjutan terdiri atas 14 atribut dimensi ekologi, 11 atribut dimensi ekonomi, 7 atribut dimensi sosial, 9 atribut dimensi teknologi dan 9 atribut dimensi kelembagaan. Penilaian (scoring) setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap individu. Skor yang diberikan berupa nilai “buruk” (bad) dan nilai “baik” (good). Pemberian skor pada setiap atribut mulai dari 0 – 3, yang tergantung pada keadaan masing-masing atribut yang diartikan mulai dari buruk sampai baik. Penyusunan indeks keberlanjutan setiap dimensi dikategorikan menurut Kavanagh and Pitcher (2004) sebagai berikut : (a) Nilai indeks 0 – 24,99 (kategori tidak berkelanjutan); (b) 25,00 – 49,99 (kategori kurang berkelanjutan); (c) 50,00 – 74,99 (kategori cukup berkelanjutan); dan (d) 75,00 – 100 (kategori berkelanjutan). Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 25 START Review Attributes (meliputi berbagai kategori & skoring kriteria) Identifikasi & Pendefinisian Perikanan (didasarkan kriteria yang konsisten) Skoring Perikanan (mengkonstruksi reference point untuk good dan bad serta anchor) Multidimensional Scalling Ordination (untuk setiap atribut) Simulasi Monte Carlo (Analisis ketidakpastian) Analisis Leverage (Analisis anomali) Analisis Keberlanjutan Gambar 2. Elemen proses aplikasi Rapfish (Alder et al., 2000). Gambar 3. Ruang lingkup atribut setiap dimensi keberlanjutan yang akan dianalisis menggunakan Rapfish HASIL DAN PEMBAHASAN Keberlanjutan Budidaya Laut Sistem KJA di Teluk Ambon Dalam Dimensi Ekologi Hasil analisis keberlanjutan dimensi ekologi menunjukkan besarnya nilai indeks keberlanjutan adalah “44,02”. Nilai hasil analisis tersebut berada pada kategori “kurang berkelanjutan”, yang berarti bahwa kondisi ekologi lingkungan perairan Teluk Ambon Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 26 Dalam kurang mendukung untuk kegiatan budidaya laut sistem keramba jaring apung sehingga tidak dapat mencapai produksi yang maksimal. Hasil analisis leverage yang dilakukan terhadap 14 (empat belas) atribut dalam dimensi ekologi memperlihatkan tujuh atribut yang paling sensitif terhadap indeks keberlanjutan dimensi ekologi, yaitu kualitas air (4,86), pemanfaatan perairan eksisting (4,86), penggunaan bahan pakan (3,94), tingkat pemanfaatan perairan (3,94), ancaman terhadap perairan (3,85), sertifikasi CBIB (2,44) dan daya dukung perairan (2,20). Permasalahan yang dihadapi dalam dimensi ini adalah keberadaan teluk yang dikelilingi oleh aktivitas antropogenik di pesisir yang berpotensi menimbulkan cemaran bahan organik sehingga dapat mempengaruhi kualitas perairan. Selain itu, penggunaan pakan rucah (trash fish) yang digunakan oleh semua pembudidaya di Teluk Ambon Dalam berperan dalam mempengaruhi keberlanjutan budidaya laut, khususnya pada dimensi ekologi. Umumnya pembudidaya kurang memperhatikan manajemen pemberian pakan yang diberikan pada kultivan budidaya. Kebutuhan jumlah pakan harian tidak diperhitungkan dengan baik dan menganggap ikan kerapu sebagai ikan karnivora pemberian pakan harus diberikan secara adlibitum atau sampai kenyang. Akibatnya sisa pakan banyak terbuang ke perairan dan berpotensi menimbulkan pencemaran di perairan. Menurut Iwama (1991) bahwa kualitas dan manajemen pemberian pakan mempengaruhi keberadaan limbah akuakultur. Penggunaan pakan rucah berpeluang memberi potensi cemaran lebih tinggi di perairan melalui sisa pakan yang terbuang ke perairan jika dibandingkan dengan pakan buatan (pellet). Sisa pakan rucah pada ikan kerapu jenis E. aerolatus mengandung 36-40% N dan lebih tinggi jika dibandingkan dengan pakan buatan yang hanya berkisar 20-30% N (Leung et al., 1999). Bahkan Chu (1994) menyebutkan jika kandungan N dalam sisa pakan rucah yang terbuang ke perairan tujuh belas kali lebih tinggi dibandingkan dengan pakan buatan. Daya dukung perairan merupakan salah satu atribut penting dalam dimensi ekologi. Hasil analisa SIG pada penelitian ini menunjukkan bahwa luasan perairan yang sesuai untuk budidaya kerapu dengan sistem keramba jaring apung adalah 504,29 ha atau 44,92% dari luas Teluk Ambon Dalam. Ketersediaan lahan yang cukup luas memberikan peluang untuk pengembangan usaha budidaya ke depannya. Penetapan zonasi budidaya laut sistem keramba jaring apung dalam RTRW Kota Ambon lebih menegaskan peranan perairan ini sebagai kawasan budidaya laut. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 27 Gambar 4. Hasil analisis leverage dalam dimensi ekologi Dimensi Ekonomi Hasil analisis MDS dalam tinjauan dimensi ekonomi diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar “42,42”. Mengacu pada kisaran penilaian indeks keberlanjutan,maka nilai ini termasuk dalam kategori “kurang berkelanjutan”. Sedangkan analisis leverage dari sebelas atribut dalam dimensi ekonomi memperlihatkan lima atribut yang sensitif, yaitu rantai pemasaran (6,87), tingkat subsidi (6,69), pendapatan pembudidaya (6,16), serapan pasar (5,86) dan fluktuasi harga (5,59). Ketergantungan pembudidaya di Teluk Ambon Dalam pada bantuan pemerintah masih tinggi terutama untuk masalah permodalan. Bentuk program bantuan dari pemerintah selama ini berupa unit keramba jaring apung beserta perlengkapannya seperti jaring dan rumah jaga, bibit dan pakan, serta bantuan teknis. Secara umum pembudidaya menyatakan bahwa budidaya ikan kerapu ini masih belum memberikan hasil sesuai yang diharapkan. Tingkat kelulushidupan yang masih rendah, lamanya masa pemeliharaan serta tingginya biaya pemeliharaan menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi hasil panen mereka. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 28 Gambar 5. Hasil analisis leverage dimensi ekonomi Dimensi Sosial Nilai indeks keberlanjutan kegiatan budidaya laut sistem KJA di Teluk Ambon Dalam untuk dimensi sosial adalah sebesar “56,88”. Nilai ini menunjukkan bahwa dalam tinjauan dimensi sosial, kegiatan budidaya laut dikategorikan “cukup berkelanjutan”. Sedangkan analisis leverage terhadap tujuh atribut dalam dimensi sosial memperlihatkan adanya empat atribut penting yang mempengaruhi indeks keberlanjutan dalam dimensi sosial, yaitu status dan frekuensi konflik (6,11), pemahaman terhadap lingkungan (4,61), mata pencaharian utama (3,23) dan tingkat pengangguran (3,08). Secara umum, pembudidaya kurang memahami peran lingkungan dalam mempengaruhi keberhasilan budidayanya. Beberapa tindakan yang terlihat antara lain masih membuang sisa pakan dan air hasil treatment atau perlakuan terhadap ikan budidaya yang mengandung bahan kimia langsung ke perairan sekitar, manajemen pakan yang kurang baik, membuang ikan yang mati di sekitar perairan. Minimnya pengetahuan pembudidaya tentang masalah lingkungan berdampak merugikan bagi pembudidaya sendiri. Gambar 6. Hasil analisis leverage dimensi sosial. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 29 Dimensi Teknologi Hasil analisis MDS terhadap sembilan atribut berpengaruh pada dimensi teknologi menghasilkan nilai indeks keberlanjutan sebesar “52,33”, yang menunjukkan kategori “cukup berkelanjutan”. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan teknologi dalam pengembangan budidaya laut di Teluk Ambon Dalam cukup mendukung. Analisis leverage terhadap sembilan atribut dimensi teknologi memperlihatkan enam atribut yang berpengaruh, yaitu teknologi pakan buatan (9,10), ketersediaan benih (6,59), dukungan infrastruktur (5,78), ketersediaan sarana dan prasarana KJA (5,70), penguasaan teknologi budidaya (4,62) dan pengendalian hama dan penyakit (4,38). Saat ini seluruh pembudidaya di Teluk Ambon Dalam menggunakan pakan rucah (trash fish) sebagai pakan untuk kultivan budidaya mereka. Hal ini dilakukan karena ketersediaan pakan rucah yang lebih mudah diperoleh dengan harga yang terjangkau jika dibandingkan harus mendatangkan pakan buatan dari luar pulau. Namun hendaknya sudah mulai diperhatikan upaya pengendalian limbah dari penggunaan pakan dalam budidaya ini, karena nilai FCR dari pakan rucah cukup tinggi dan berpotensi menimbulkan cemaran limbah organik yang lebih tinggi dibandingkan pakan buatan. Peran pemerintah disini, khususnya lembaga yang terkait dengan teknis budidaya perlu memikirkan upaya penyediaan pakan buatan yang terjangkau bagi pembudidaya untuk mengurangi bahkan menggantikan penggunaan pakan rucah. Gambar 7. Hasil analisis leverage dimensi teknologi Dimensi Kelembagaan Hasil analisis multi dimension scalling memperlihatkan nilai indeks keberlanjutan dalam dimensi kelembagaan sebesar “53,41” yang dikategorikan “cukup berkelanjutan”. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi kelembagaan serta regulasi yang ada cukup mendukung kegiatan budidaya laut sistem KJA di perairan Teluk Ambon Dalam. Sedangkan untuk analisis leverage terhadap sembilan atribut dalam dimensi kelembagaan, terdapat lima atribut penting, yaitu kelembagaan perbenihan (8,45), Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 30 kelembagaan permodalan (8,25), dukungan pemerintah (7,91),kelembagaan pasar (6,76) dan kelembagaan pembudidayaan (5,60). Atribut “Kelembagaan perbenihan” menjadi atribut yang sangat sensitif terhadap keberlanjutan budidaya laut sistem keramba jaring apung di Teluk Ambon Dalam pada dimensi kelembagaan. Hal ini mengingat akan pentingnya ketersediaan benih yang berkualitas untuk menjamin tingkat sintasan selama masa pemeliharaan hingga panen. Selain itu keberadaan lembaga perbenihan di sekitar lokasi budidaya akan mampu menekan biaya pengadaan benih, jika dibandingkan harus didatangkan dari luar Ambon. atribut “kelembagaan permodalan” menjadi atribut yang penting dalam kegiatan budidaya laut sistem keramba jaring apung di Teluk Ambon Dalam pada dimensi kelembagaan. Salah satu permasalahan bagi pembudidaya adalah ketersediaan modal awal untuk usaha maupun operasional dalam berbudidaya. Budidaya ikan kerapu membutuhkan waktu yang relatif lebih lama dan biaya yang cukup besar. Hasil wawancara dari pembudidaya umumya mereka mengalami kesulitan finansial selama pemeliharaan maupun untuk kebutuhan hidup sehari-hari, meskipun sarana dan prasarana budidaya dibantu oleh pemerintah. Biaya operasional tertinggi adalah untuk pembelian pakan yang berupa ikan rucah atau trash fish. Selain itu untuk pengajuan ke lembaga perbankan masih mengalami kesulitan dalam hal tingkat kepercayaan dari bank untuk mendukung budidaya ikan kerapu. Gambar 8. Hasil analisis leverage dimensi kelembagaan Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 31 Gambar 9. Diagram layang (kite diagram) keberlanjutan budidaya laut sistem KJA di Teluk Ambon Dalam. Hasil validasi terhadap nilai simulasi Rapfish untuk masing-masing dimensi menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) yang cukup tinggi yaitu berkisar 0,94 – 0,96. Sedangkan nilai stress berkisar antara 0,13 – 0,15 pada setiap dimensi. Dari nilai-nilai tersebut di atas, menunjukkan bahwa atribut-atribut yang digunakan untuk menilai status keberlanjutan dari masing-masing dimensi adalah cukup memadai. Kavanagh and Pitcher (2004) menyebutkan bahwa semua atribut yang digunakan dalam penilaian status keberlanjutan dianggap cukup akurat dan dapat dipertanggungjawabkan apabila memiliki nilai stress <0,25 dan nilai koefisien determinasi (R²) mendekati nilai 1,0. Tabel 1. Hasil analisis MDS, analisis Monte Carlo dan analisis statistik. Indeks keberlanjutan Statistik Dimensi Selisih Iterasi Monte MDS Stress R² Carlo Dimensi Ekologi 44,02 44,05 0,03 0,13 0,96 3 Dimensi Ekonomi 42,42 42,80 0,38 0,13 0,94 2 Dimensi Sosial 56,88 55,97 0,91 0,15 0,94 3 Dimensi Teknologi 52,33 51,41 0,92 0,13 0,95 2 Dimensi Kelembagaan 53,41 53,25 0,16 0,13 0,95 2 KESIMPULAN Status keberlanjutan budidaya laut sistem keramba jaring apung di Teluk Ambon Dalam untuk dimensi sosial, teknologi dan regulasi-kelembagaan berada pada tingkatan “cukup berkelanjutan”, sedangkan dimensi ekologi dan ekonomi berstatus “kurang berkelanjutan”. Atribut sensitif pada dimensi ekologi yaitu : kualitas perairan, pemanfaatan perairan eksisting, bahan pakan, tingkat pemanfaatan perairan, ancaman terhadap lingkungan perairan, sertifikasi CBIB dan daya dukung lingkungan perairan. Atribut sensitif pada dimensi ekonomi yaitu : rantai pemasaran, tingkat subsidi, pendapatan pembudidaya, serapan pasar dan fluktuasi harga. Atribut sensitif pada Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 32 dimensi sosial antara lain : status dan frekuensi konflik, pemahaman terhadap lingkungan, mata pencaharian utama dan tingkat pengangguran. Untuk atribut sensitif pada dimensi teknologi yaitu : teknologi pakan dan penyedia pakan buatan, ketersediaan benih, dukungan infrastruktur, ketersediaan sarana dan prasarana KJA, penguasaan teknologi budidaya, pengendalian hama dan penyakit. Sedangkan pada dimensi regulasikelembagaan memiliki atribut sensitif antara lain : kelembagaan perbenihan, kelembagaan permodalan, dukungan pemerintah, kelembagaan pasar dan kelembagaan pembudidaya. DAFTAR PUSTAKA Alder, J., Pitcher, T.J., Preikshot, D., Kaschner, K., Ferriss, B., 2000. How Good is Good?: A Rapid Appraisal Technique for Sustainability Status of Fisheries of The North Atlantic, in: See Around Us Methodology Review. Fisheries Centre, University of British Columbia. Vancouver, Canada, pp. 136–182. Bappekot Ambon, 2011. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Ambon Tahun 20112031. Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappekot) Ambon, Ambon. Chu, J.C.W., 1994. Environmental Management of Mariculture: The Effect of Feed Types on Feed Waste. Regional Workshop on Seafarming and Grouper Aquaculture 103–108. Fauzi, A., Anna, S., 2002. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan : Aplikasi Pendekatan Rapfish (Studi Kasus Perairan Pesisir DKI Jakarta). Jurnal Pesisir dan Lautan 4 (3), 43–55. Iwama, G.K., 1991. Interactions between aquaculture and the environment. Critical Reviews in Environmental Control 21 (2), 177–216. doi:10.1080/10643389109388413 Kavanagh, P., Pitcher, T.J., 2004. Implementing Microsoft Excel Software for Rapfish : A Technique for the Rapid Appraisal of Fisheries Status. Fisheries Centre Research Reports 12 (2), 75 p. KKP, 2013. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2013. Pusat Data Statistik dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta. p 188. Leung, K.M.Y., Chu, J.C.W., Wu, R.S.S., 1999. Nitrogen Budgets for the Areolated Grouper Epinephelus areolatus Cultured Under Laboratory Conditions and in Open-sea Cages. Marine Ecology Progress Series 186, 271–281. Mansyur, A., Tarunamulis, U., Pantjara, P., Hasnawi, H., 2005. Identifikasi Lokasi Lahan Budidaya Laut di Perairan Teluk Kupang Nusa Tenggara Timur. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 11 (5), 9–29. Marzuki, M., Nurjaya, I.W., Purbayanto, A., Budiharso, S., Supriyono, E., 2014. Sustainabiliy Analysis of Mariculture Management In Saleh Bay of Sumbawa District. Environmental Management and Sustainable Development 3 (2), 127. doi:10.5296/emsd.v3i2.6427 Munasinghe, M., 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. World Bank Environment Paper No. 3. Environmental Department of The World Bank, Washington DC. Nurmalina, R., 2008. Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Sistem Ketersediaan Beras di Beberapa Wilayah Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi 26 (1), 47–79. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 33 Pitcher, T.J., Preikshot, D., 2001. RAPFISH : A Rapid Appraisal Technique to Evaluate the Sustainability Status of Fisheries. Fisheries Research 49, 255–270. Selano, D.A.J., Adiwilaga, E.M., Dahuri, R., Muchsin, I., Effendi, H., 2009. Sebaran Spasial Luasan Area Tercemar dan Analisis Beban Pencemar Bahan Organik Pada Perairan Teluk Ambon Dalam. Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan) 19 (2), 96–106. WCED, 1987. Report of the World Commission on Environment and Development: Our Common Future. United Nations, Oslo, Norway. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 34 THE EFFECTIVENESS AND EFFICIENCY OF MARINE FISH SEED’S TRANSPORTATION Khabibbulloh, dan Hariyano Mariculture Development Center of Ambon [email protected] ABSTRACT Grouper is a fish species that is marketed in living conditions so that aspects of handling and transportation during harvest very important to note that the grouper aquaculture products which include seed and fish consumption is not adversely affected. While marketing snapper is also not a big issue because it can be marketed in the form of life and death are not as grouper only marketed alive. The purpose is to obtain information on the number of seeds and the length of time required in the transportation of seed grouper, tiger grouper and snapper size of 5-6 cm of effective, safe and efficient. Monitoring results indicate the time required in the transport of seed grouper size 6 cm to the type of feed pellets that are effective, safe and efficient is 17 hours. white snapper seed size 5 cm for optimal transported takes 18 hours with a density of 250 fish / white snapper Seed box measuring 6 cm (B) for transport took 16 hours with the optimal density of 200 fish / box. the time required in the transport of tiger grouper seed 10 and 11 cm maximum is 20 hours so that should be a reduction in the density of each box on the tiger grouper seed size 11 cm in the transport process by considering the cost of delivery and the number of seeds that can be transported. Keywords : Effectiveness, efficiency, seed transportation. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 35 1. PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai potensi sumberdaya ikan yang sangat melimpah. Pembangunan di sektor perikanan dan kelautan selain sebagai penyokong kebutuhan protein hewani bagi masyarakat, juga membuka lapangan kerja, menambah pendapatan masyarakat serta sebagai sumber devisa negara. Komoditas perikanan dan kelautan juga mempunyai nilai tambah yang lebih tinggi karena sebagian besar merupakan komoditas eksport. Pemanfaatan perairan laut dan pantai serta sumberdayanya untuk kegiatan budidaya ikan telah lama dikembangkan dan terus ditingkatkan. Salah satu pemanfaatan perairan laut pantai yang menjanjikan prospek yang bagus adalah budidaya ikan kerapu. Beberapa jenis ikan kerapu seperti ikan kerapu lumpur (Epinephelus suillus), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), kerapu bebek/ tikus (Cromileptis altivelis) potensial untuk dibudidayakan. Sumberdaya yang mencukupi dan pasar yang menjamin harga tinggi merupakan sebagian dari penyebab berkembangnya budidaya ikan kerapu. Dewasa ini pemasaran ikan kerapu terus berkembang khususnya di Singapura, Hongkong, Taiwan China dan Jepang. Ikan kerapu merupakan jenis ikan yang dipasarkan dalam kondisi hidup sehingga aspek handling dan transportasi saat panen sangat penting diperhatikan agar produk hasil budidaya ikan kerapu yang meliputi benih dan ikan konsumsi tetap terjaga kualitasnya. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui jumlah benih dan lama waktu yang diperlukan dalam transportasi benih kerapu bebek ukuran 6 cm yang efektif, aman dan efisien. 2. BAHAN DAN METODE 2.1. Alat dan Bahan Alat : - Styrofoam box standar(Lebar dalam 36 cm, Panjang dalam 69 cm, Tinggi 24,5 cm, Ketebalan 3 cm) - Kantong plastik ukuran 50 cm x 120 cm x 0,7 mm (1 kantong plastik per box) - Karet pengikat - Isolasi / lakban - Termometer Bahan : - Benih kerapu bebek, kerapu macan serta kakap putih - Es batu 1 kg dibungkus kertas dan plastik, 1 buah tiap box - Air laut 12 liter - Oksigen 2.2. Metode Kerja a. Perlakuan Kerapu Bebek Perlakuan dalam uji coba ini adalah lama waktu packing /transportasi dan kepadatan benih kerapu bebek 6 cm tiap box. Perlakuan A. Kepadatan 100 ekor dengan lama waktu packing 15, 16 dan 17 jam Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 36 Perlakuan B. Kepadatan 125 ekor dengan lama waktu packing 15, 16 dan 17 jam Perlakuan C. Kepadatan 150 ekor dengan lama waktu packing 15, 16 dan 17 jam b. Perlakuan Kerapu Macan Perlakuan dalam uji coba ini adalah lama waktu packing /transportasi dan ukuran benih kerapu macan tiap box. Perlakuan A. Ukuran 10 cm/ekor dengan lama waktu packing 20 dan 22 jam Perlakuan B. Ukuran 11 cm/ekor dengan lama waktu packing 20 dan 22 jam. c. Perlakuan Perlakuan dalam uji coba ini adalah lama waktu packing/transportasi dan kepadatan benih kakap putih dengan ukuran yang berbeda yaitu 5 dan 6 cm. Uji coba A adalah benih dengan ukuran 5 cm dan uji coba B adalah benih kakap merah dengan ukuran 6 cm Perlakuan A1 : Kepadatan 125 ek/kantong (250 ek/box) dengan lama waktu packing 15, 16 , 17 dan 18 jam Perlakuan A2 : Kepadatan 150 ek/kantong (300 ek/box) dengan lama waktu packing 15, 16 , 17 dan 18 jam Perlakuan A3: Kepadatan 175 ek/kantong (350 ek/box) dengan lama waktu packing 15, 16 , 17 dan 18 jam Perlakuan B1 : Kepadatan 100 ek/kantong (200 ek/box) dengan lama waktu packing 15, 16 , 17 dan 18 jam Perlakuan B2 : Kepadatan 125 ek/kantong (250 ek/box) dengan lama waktu packing 15, 16 , 17 dan 18 jam Perlakuan B3: Kepadatan 150 ek/kantong (300 ek/box) dengan lama waktu packing 15, 16 , 17 dan 18 jam d. Persiapan benih ikan kerapu yang akan ditransportasikan. Benih ikan laut yang akan ditransportasikan telah diseleksi dengan ukuran yang seragam dan tidak ada yang cacat atau sakit. Benih ikan laut yang akan di kirim dipuasakan selama 24 jam Selanjutnya benih di masukkan ke keranjang dan dihitung sesuai dengan jumlah dan ukuran ikan yang akan ditransportasikan. e. Persiapan bahan dan peralatan Menyiapkan air laut yang telah disaring dengan filter bag (50 mikron) Suhu diturunkan hingga 24 oC dengan pemberian es batu yang telah dibungkus plastik agar es batu yang mencair tidak menurunkan salinitas air laut yang akan digunakan dalam transportasi. Plastik packing diisi air laut yang telah dipersiapkan sebelumya kurang lebih 12 liter f. Pelaksanaan Packing Ikan dalam keranjang dimasukan dalam kantong plastik dan diberi oksigen. Kantong tidak boleh terlalu kencang agar tidak mudah pecah. Ikat kantong plastik dengan karet. Masukkan kedalam styrofoam box standar dan berikan es batu untuk menjaga stabilitas suhu. Rekatkan styrofoam box standar dengan lakban (tape) Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 37 g. Semua box dibuka untuk diamati kondisi ikan dan air selanjutnya ditutup kembali untuk pengamatan tiap jamnya. Sampai di dapat data hasil pengamatan baik itu kerapu bebek, kerapu macan serta ikan kakap putih, kemudian di lakukan pencatatan 3. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN 3.1. Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) Tabel 1. Kondisi ikan kerapu bebek setelah uji coba Perlakuan Lama Waktu Packing (Jam) 15 jam 16 jam Keterangan 17 jam A = Isi 100 ekor/ box Baik Baik Baik Kondisi air : Suhu air akhir 26 oC dan sedikit keruh, terdapat muntahan pakan B = Isi 125 ekor/ box Baik Baik Baik Kondisi air : Suhu air akhir 26,2 oC dan sedikit keruh C = Isi 150 ekor/ box Mati 2 ekor Mati 4 ekor Mati 10 ekor Kondisi air : Suhu air akhir 26,4 oC dan sedikit keruh Dari data uji coba yang dilakukan terlihat bahwa benih kerapu bebek ukuran 6 cm (pakan pelet) untuk ditransportasikan membutuhkan waktu maksimal 17 jam dengan kepadatan 125 ekor/ box . Waktu 17 jam terhitung sejak awal melakukan packing hingga sampai ke tempat budidaya. Saat melakukan pengujian untuk perlakuan A, ikan sempat mengalami muntah. Hal ini dikarenakan lama waktu pemuasaan kurang. Untuk perlakuan A dan B semua ikan dengan waktu packing 15 ,16 dan 17 jam tetap dalam kondisi baik karena masih terdapat cukup cadangan oksigen dalam kantong plastik dan suhu yang rendah membentu untuk menurunkan tingkat metabolisme ikan. Hal ini dapat dilihat dari kondisi ikan yang masih segar. Pada perlakuan C terjadi kematian yang berbanding lurus dengan lama waktu packing. Semakin lama waktu packing semakin banyak benih ikan kerapu tikus yang mati. Suhu merupakan parameter lingkungan yang sangat besar pengaruhnya pada hewan akuatik. Ikan merupakan hewan poikilothermal yaitu bahwa mereka memiliki suhu tubuh yang sama dengan suhu lingkungan sekitarnya. Suhu mempengaruhi kelarutan oksigen di dalam air serta menyebabkan interaksi berbagai faktor lain dalam parameter kualitas air. Suhu juga mempengaruhi proses-proses fisiologis seperti tingkat respirasi, efisiensi pakan, pertumbuhan, tingkah laku dan reproduksi Peningkatan suhu sampai 10 0C akan menyebabkan peningkatan kegiatan metabolisme dua sampai tiga kali lipat. Sebagai contoh: tingkat konsumsi oksigen ikan akan lebih tinggi 2 sampai 3 kali lipat pada suhu 30 0C dibanding pada suhu 20 0C. oleh karena itu, faktor ketersediaan oksigen sangat penting bagi ikan yang hidup di daerah panas. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 38 Tingkat konsumsi oksigen ikan bervariasi tergantung pada suhu, konsentrasi oksigen terlarut, ukuran ikan, tingkat aktivitas, waktu setelah pemberian pakan dan lain sebagainya. (Hanggono, 2006). 4. Biologi Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) Tabel 2. Kondisi ikan kerapu macan setelah uji coba Perlakuan Lama waktu transportasi (jam) 20 jam A Ukuran 10 cm B Ukuran 11 cm Keterangan 22 jam Hidup semua Mati 1 ekor Mati 3 ekor Kondisi air : Suhu air akhir 27 oC dan sedikit keruh Mati 5 ekor Kondisi air : Suhu air akhir 27 oC dan sedikit keruh Untuk transportasi benih kerapu dilakukan perhitungan dengan tepat waktu untuk sampai tujuan dan kepadatan benih serta ukurannya. Dari data uji coba yang dilakukan terlihat bahwa benih kerapu macan ukuran 10 cm untuk ditransportasikan membutuhkan waktu maksimal 20 jam dengan kepadatan 100 ekor/ box . Hal ini ditunjukkan dengan waktu uji coba lebih dari 20 jam (22 jam) terjadi kematian benih. Sedangkan untuk benih kerapu macan ukuran 11 cm lama waktu transportasi sebaiknya kurang dari 20 jam atau dapat dilakukan pengurangan kepadatan benih tiap box. 5. Biologi Kakap Putih (Lates calcariver) Tabel 3. Jumlah benih kakap putih setelah ujicoba (5 cm) Lama Waktu Packing (Jam) Kepadatan benih/kantong (ek) Keterangan 15 jam 16 jam 17 jam 18 jam A1 = 125 ek/kantong 250 ek/box 0 0 0 0 Kondisi air normal Suhu air akhir 26,5 oC A2 = 150 ek/kantong 300 ek/box 4 5 6 6 Kondisi air normal Suhu air akhir 26,5 oC A3 = 175 ek/kantong 350 ek/box 7 8 14 nd Kondisi air keruh Suhu air akhir 26,5 oC nd : no data Dari data uji coba yang dilakukan pada Tabel 3, Terlihat bahwa benih kakap putih ukuran 5 cm (A) untuk ditransportasikan membutuhkan waktu optimal 18 jam dengan kepadatan 250 ekor/box (A1). Hal ini terlihat dari tidak ditemukannya kematian pada benih di kedua kantong dalam box yang sama. Sedangkan untuk kepadatan lebih dari 250 Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 39 ekor/box ditemukan kematian pada tiap kantong dan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya waktu transportasi dan kepadatan pada tiap boxnya. Tabel 4. Jumlah beniih kakap putih setelah uji coba (6 cm) Lama Waktu Packing (Jam) Kepadatan benih/kantong (ek) Keterangan 15 jam 0 16 jam 17 jam 18 jam 0 1 2 Kondisi air normal Suhu air akhir 26,5 oC B2 = 125 ek/kantong 250 ek/box 4 7 33 nd Air sangat keruh Suhu air akhir 26,5 oC B3 = 150 ek/kantong 300 ek/box 5 11 17 26 Kondisi air keruh Suhu air akhir 26,5 oC B1 = 100 ek/kantong 200 ek/box nd : no data Dari data ujicoba yang dilakukan pada Tabel 4, Terlihat bahwa untuk benih kakap putih yang berukuran 6 cm (B) untuk ditransportasikan membutuhkan waktu optimal 16 jam dengan kepadatan 200 ekor/box (B1) . Kematian pada benih kakap putih mulai terjadi saat waktu ditingkatkan menjadi 17 jam terhitung sejak awal melakukan packing hingga sampai ke tempat budidaya. Sedangkan untuk kepadatan lebih dari 200 ekor/box ditemukan kematian pada tiap kantong dan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya waktu transportasi dan kepadatan pada tiap boxnya. Saat melakukan pengujian untuk perlakuan A3 dengan waktu 17 dan 18 jam (nd) terjadi banyak kematian karana kantung plastik packing agak kempes karena packing yang kurang bagus. Begitu pula dengan perlakuan B3 untuk waktu 17 dan 18 jam. Air dalam kantung plastik yang agak keruh dikarenakan lama waktu pemuasaan kurang. Hal ni dapat menyebabkan kandungan amonia didalam air meningkat yang dapat menyebabkan kematian ikan yang ditransportasikan. Amonia yang ada di dalam air berasal dari proses pembongkaran,ekskresi ikan dan pembusukan oleh mikroba. Untuk perlakuan A dan B pada Tabel 4, kondisi ikan dengan waktu transportasi yang optimal tetap dalam kondisi baik karena masih terdapat cukup cadangan oksigen dalam kantong plastik dan suhu yang rendah membantu untuk menurunkan tingkat metabolisme ikan. Hal ini dapat dilihat dari kondisi ikan yang masih segar. Suhu merupakan parameter lingkungan yang sangat besar pengaruhnya pada hewan akuatik. Ikan merupakan hewan poikilothermal yaitu bahwa mereka memiliki suhu tubuh yang sama dengan suhu lingkungan sekitarnya. Suhu mempengaruhi kelarutan oksigen di dalam air serta menyebabkan interaksi berbagai faktor lain dalam parameter kualitas air. Suhu juga mempengaruhi proses-proses fisiologis seperti tingkat respirasi, efisiensi pakan, pertumbuhan, tingkah laku dan reproduksi Tingkat konsumsi oksigen ikan bervariasi tergantung pada suhu, konsentrasi oksigen terlarut, ukuran ikan, tingkat aktivitas, waktu setelah pemberian pakan dan lain sebagainya. (Hanggono, 2006). Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 40 4. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan : waktu yang diperlukan dalam transportasi benih kerapu bebek ukuran 6 cm dengan jenis pakan pelet yang efektif, aman dan efisien adalah 17 jam waktu yang diperlukan dalam transportasi benih kerapu macan 10 dan 11 cm maksimal adalah 20 jam Benih kakap putih ukuran 5 cm untuk ditransportasikan membutuhkan waktu optimal 18 jam dengan kepadatan 250 ekor/box Benih kakap putih yang berukuran 6 cm (B) untuk ditransportasikan membutuhkan waktu optimal 16 jam dengan kepadatan 200 ekor/box Saran: Perlu dilakukan uji coba untuk ukuran benih ikan yang lebih besar dengan spesies yang berbeda pada ikan kerapu bebek. Perlu dilakukan pengurangan kepadatan tiap box pada ukuran benih kerapu macan 11 cm pada proses transportasi dengan mempertimbangkan biaya pengiriman dan jumlah benih yang dapat terangkut. Perlu dilakukan uji coba dengan ukuran kantung plastik packing yang berbeda untuk satu box standar pada pengiriman ikan kakap putih. DAFTAR PUSTAKA Darmansyah, 2000. Informasi Cara Pengumpulan dan Pengangkutan Ikan Kerapu Untuk Kebutuhan Dalam dan Luar Negeri. Materi Training Pembenihan Kerapu Lolitkanta Gondol - JICA. Gondol - Bali Hanggono, B. 2006. Manajemen Lingkungan dan Kualitas Air. Makalah disampaikan pada Pelatihan Teknologi Pembenihan Kerapu di BBAP Situbondo, 3 – 8 Juli 2006. Nontji, A. 1987. Laut Nusantara, Penerbit Djembatan-Jakarta. Nybakken,J.W. 1988. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologi, Gramedia-Jakarta. Randall,J.E. 1987. A Preliminary Synopsis of the Groupers (Perciformes: Serranidae; Epinephelinae) of the Indo Pacific Region In: J.J. Polovina, S. Ralston (editors), Tropical Snapper and Groupers: Biology and Fisheries Manageement. Westview Press. Inc., Boulder and London. Suriawan, A., Purnomo, S.J., Lestari, Y., Subyakto, S., 2006. Petunjuk Teknis Pembenihan Ikan Kerapu Tikus Skala Rumah Tangga. Seksi Standarisasi dan Informasi. Balai Budidaya Air Payau Situbondo. 42 p. Suriawan, A., Sitorus, P.2006. Panen dan Transportasi Ikan Kerapu. Makalah Pelatihan Budidaya Ikan Kerapu di Unit Pembinaan Pembenihan Udang Windu Situbondo 23 – 31 Agustus 2006. Balai Budidaya Air Payau Situbondo. 8 p. Tampubolon, G.H. dan E. Mulyadi, 1989. Sinopsis Kerapu di Perairan Indonesia. Semarang. Yoshimitsu, T., H. Eda and K. Hiramatsu. 1986. Groupers Final Report Marineculture Research and Development in Indonesia. ATA 192. JICA. Slamet. B. dan A. Supriatna, 1992, Kebutuhan Pakan Harian Larva Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus), Bulletin Penelitian Perikanan Spesial Edition, Bojonegara-Serang. Jawa Barat. Allen, GR,1985. FAO Species Catalogue. Vol.6. Snappers of The World. FAO. Rome.208pp Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 41 UJI MULTILOKASI PERTUMBUHAN IKAN KERAPU HIBRIDA TIKTANG (Epinephelus microdon x Epinephelus lanceolatus) DI KARAMBA JARING APUNG Oleh : Mizab Asdary, Jaka Wiyana, Komsatun, Iskandar ABSTRAK Hibridisasi antara kerapu batik (Epinephelus Microdon) dengan kerapu raksasa (Epinephelus lanceolatus) telah berhasil dilakukan dan hasilnya dikenal sebagai "tiktanghybrid" kerapu (Epinephelus Microdon> <Epinephelus lanceolatus). kegiatan pemeliharaan dilakukan untuk mengamati perilaku biologis dan pengujian pembesaran tiktang-hybrid kerapu di keramba jaring apung. Kegiatan rekayasa diharapkan untuk menghasilkan teknologi ikan kerapu pemeliharaan hybrid efektif dan berlaku. Hasil dari kegiatan ini dimanfaatkan teknologi pembesaran tiktang-hybrid kerapu di floatting jaring apung yang berguna bagi petani. Pertumbuhan panjang dan berat ikan kerapu tiktanghybrid yang lebih baik dari pertumbuhan kerapu macan, tapi lebih lambat dari pertumbuhan "cantang hybrid" kerapu. Pertambahan panjang kerapu tiktang lebih cepat daripada pertumbuhan kerapu macan, akan tetapi lebih lambat daripada pertumbuhan kerapu cantang. SGR adalah 0,19 + 0,03 sampai dengan 0,34 + 0,14. GR adalah . GR adalah 0,9-1. SGR dan GR relatif lebih tinggi daripada umumnya kerapu GPS. Dari perhitungan di atas SR adalah 65 -83%. Dari data tersebut terlihat bahwa kerapu tiktang memiliki kisaran SR yang relatif masih tinggi. FCR 1:8 terlihat bahwa membuktikan bahwa penggunaan komposisi pakan pellet tersebut efektif. Hasil pengukuran parameter fisik dan kimia kualitas air di keramba jaring apung di 3 lokasi Situbondo, Bali (Teluk Pegametan), dan Jepara (Karimunjawa) menunjukkan bahwa nilai suhu berkisar 26,8330,64 ° C. nilai pH berkisar 7,76-8,21, nilai rata-rata DO berkisar 5,60-7,38 mg / L, nilai salinitas 32-35 ‰, nilai nitrat berkisar 0,00-0,10 mg / L, nilai nitrit 0,00-0,25 mg / L, nilai amonia 0,25-0,75 mg / L, nilai kadar fosfat 0,10-0,50 mg / L menunjukkan bahwa kualitas air di lokasi sesuai dengan nilai standar kualitas air yang optimal untuk budidaya. Kerapu Tiktang-hybrid yang merupakan hasil hibridisasi antara kerapu batik dengan spesies kerapu kerapu kertang yang berguna untuk meningkatkan keragaman jenis produksi dalam pembangunan masa depan perikanan. Keywords : Kerapu tiktang, uji multilokasi, hibridisasi, pebandingan pertumbuhan Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 42 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditas ikan laut khususnya ikan kerapu pada umumnya merupakan mata dagangan internasional yang harganya mahal, dan permintaannya semakin meningkat. Saat ini permintaan ikan kerapu di pasar Asia cukup tinggi, terutama Hongkong, China, Singapore, Taiwan dan Jepang. Terbukanya peluang pasar jenis ikan laut/payau dapat membawa dampak pada upaya eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya ikan di alam makin intensif sehingga dikhawatirkan dapat mengganggu sediaan alaminya. Untuk menjamin kesinambungan produksi jenis ikan laut/payau sebagai salah satu penghasil devisa potensial di sektor perikanan dan kelautan, maka pengembangan budidayanya merupakan alternatif yang perlu terus dikembangkan. Dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar tahun 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan perikanan budidaya sebagai ujung tombak penghasil produk perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan akan memacu produksi perikanan budidaya tahun 2014 sebesar 16,89 juta ton atau meningkat 353% dibanding produksi tahun 2009 sebesar 4,78 juta ton. Guna mengantisipasi kedua hal tersebut, dan dengan didukung keberhasilan pembenihan ikan kerapu, maka untuk memenuhi permintaan pasar yang ada harus dimulai dari sekarang pengembangan budidayanya. Sumberdaya yang mencukupi serta pasar yang menjamin harga tinggi akan mendorong berkembangnya budidaya ikan-ikan laut khususnya ikan kerapu. Dengan demikian usaha budidaya laut dengan sistem KJA di samping merupakan usaha perekonomian untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat pesisir juga merupakan kegiatan yang tepat sebagai usaha pelestarian sumberdaya perikanan. Menurut Aji et al., (1989) dan Ahmad et al., (1991) Indonesia yang memiliki potensi areal untuk budidaya laut sekitar 81.000 km2 tersebut, bila 30 % dari potensi yang ada dimanfaatkan secara optimal untuk budidaya laut khususnya kerapu, maka kebutuhan benih kerapu diperkirakan paling sedikit 5 milyar ekor per tahun (Sugama et al., 2001). Optimalisasi potensi tersebut akan berdampak pada kegiatan di Unit Pelaksana Teknis Pusat salah satunya Balai Perikanan Budidaya Air Payau Situbondo dalam menyediakan benih ikan kerapu dan teknik budidaya KJA yang lebih terprogram serta teknis budidaya yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Salah satu upaya yang dilakukan BPBAP Situbondo adalah melakukan hibridisasi ikan kerapu. Hibridisasi adalah salah satu metode pemuliaan dalam upaya mendapatkan strain baru yang mewarisi sifatsifat genetik dan morfologis dari kedua tetuanya dan untuk meningkatkan hiterozygositas. Dalam pengamatan perkembangan pertumbuhan ikan kerapu hibrida, contohnya ikan kerapu kustang, pertumbuhannya cepat dibandingkan dengan jenis spesies induknya betinanya (kerapu bebek/tikus) dan sangat tahan terhadap penyakit (Mizab, 2013). Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 43 1.2. Tujuan Tujuan dari kegiatan ini adalah : - Untuk mengetahui pengaruh lingkungan di sekitar keramba jaring apung terhadap ikan kerapu Hibrida tiktang yang dipelihara - Untuk mengetahui pertumbuhan dan survival rate (SR) ikan kerapu Hibrida tiktang di keramba jaring apung (KJA) - Untuk mengetahui perbandingan pertumbuhan ikan kerapu hibrida tiktang di multilokasi 1.3 Sasaran (output) Diperolehnya teknologi pembesaran ikan kerapu hibrida tiktangdi KJA dan dihasilkan ikan kerapu hibrida tiktang konsumsi ukuran 300-400 gram dan perbandingan pertumbuhan ikan kerapu hibrida tiktang di multilokasi. 1.4 Hasil (outcome) Dimanfaatkannya teknologi pembesaran ikan kerapu hibrida tiktangdi KJA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hibridisasi Hibridisasi atau persilangan merupakan suatu upaya untuk mendapatkan kombinasiantara populasi yang berbeda dan diharapkan menghasilkan individu-individu yang unggulatau menghasilkan strain baru sehingga diharapkan dapat tumbuh dengan cepat, tahan terhadap penyakit bahkan perubahan lingkungan yang ekstrim (Hickling, 1968 dalam Ismi et al., 2013). Benih ikan hibridisasi selain dapat menambah diversifikasi spesies juga mempunyai prospek budidaya yang berpeluang untuk meningkatkan produksi perikanan di masa datang (Sunarma et al., 2007). Karena itu pada ikan kerapu perlu adanya peningkatan produksi dan kualitas benih melalui hibridisasi sehingga dapat membantu kebutuhan benih pada perikanan budidaya dan pembenihannya dapat diterapkan di masyarakat sebagai usaha yang menguntungkan. Salah satu jenis kerapu hybrida adalah kerapu Cantang yang sudah dapat dikembangkan dengan baik dari benih hingga menjadi ikan konsumsi (Ismi, 2012a). Untuk menambah diversitas ikan kerapu, tim perekayasa Balai Perikanan Budidaya Air Payau Situbondo (BPBAP Situbondo) telah berhasil mengembangkan ikan Kerapu hibridisasi antara ikan Kerapu Batik dan ikan Kerapu Kertang yang diberi nama ikan Kerapu Tiktang (Epinephelus microdon x Epinephelus lanceolatus). 2.2 Biologi Ikan Kerapu Hibrid Tiktang 2.2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Kerapu Batik Adapun klasifikasi dari ikan Kerapu Batik menurut Bleeker (1849) sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Famili : Serranidae Genus : Epinephelus Spesies : Epinephelus polyphekadion Sinonim : Epinephelus microdon Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 44 Gambar 10. Ikan Kerapu Batik Ikan Kerapu Batik termasuk dalam famili Serranidae dengan genus Epinephelus yang memiliki nama lain di pasar luar negeri yakni small tooth rock-cod, camouflage grouper, dan marble grouper. Ikan Kerapu Batik memiliki morfologi sebagai berikut, bagian atas kepala cembung. Kepala, badan, dan sirip berwarna cokelat pucat dan tertutup bintik-bintik berwarna cokelat gelap. Pada kepala dan badan terdapat bercak berwarna hitam tumpang tindih dengan bintik-bintik hitam tersebut. Pada bagian pangkal ekor tampak jelas sebuah bercak hitam. Terdapat banyak bintik-bintik putih pada sirip dan beberapa di bagian kepala dan badan. Ujung sirip ekor membulat berbentuk busur. Ukuran terbesar yang pernah dilaporkan 61 cm panjang standar dan bobotnya 4,o kg. Ikan kerapu batik betina mencapai matang kelamin pada ukuran ukuran bobot antara 0,5-1,8 kg dan panjang total antara 32,0-43,0 cm. Jantannya matang gonad pada ukuran bobot lebih dari 1,9 kg dan panjang total 44 cm (Jitunews.com, 2015) 2.2.2Klasifikasi dan Morfologi Ikan Kerapu Kertang Ikan Kerapu Kertang memiliki keunikan dan perbedaan bila dibandingkan dengan ikan kerapu lainnya yaitu mempunyai daya tahan tubuh yang tinggi dan pertubuhannya cepat. Adapun klasifikasi dari ikan Kerapu Kertang menurut Fishbase ( 2015), sebagai berikut: Filum : Chordata Subfilum : Vertebeata Kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Subordo : Porcoidea Famili : Serranidae Genus : Epinephelus Spesies : Epinephelus lanceolatus Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 45 Gambar 11. Ikan Kerapu Kertang Menurut Heemstra dan Randall (1993), menyatakan bahwa ikan Kerapu Kertang (Epinephelus lanceolatus) mempunyai mulut yang besar dan ekor bulat. Pada ukuran juvenile mempunyai corak hitam tidak beraturan dan tanda-tanda kuning, sedangkan setelah dewasa berwarna hijau keabu-abuan dengan titik kecoklatan serta terdapat banyak noda hitam kecil pada sirip. Ikan Kerapu Kertang dapat tumbuh mencapai ukuran 270 cm dengan berat lebih dari 400 kg. 2.2.3Klasifikasi dan Morfologi Ikan Ikan Kerapu Tiktang Ikan Kerapu Tiktang adalah hasil perkawinan silangan antara ikan Kerapu Batik (Epinephelus microdon) dan ikan Kerapu Kertang (Epinephelus lanceolatus). Hibridisasi pada ikan Kerapu Batik x ikan Kerapu Kertang dengan cara kawin buatan (pemijahan intensif), dimana pemijahan ikan yang terjadi diberikan rangsangan hormon untuk mempercepat pematangan gonad, serta proses ovulasinya dilakukan secara buatan yaitu dengan teknik pengurutan (stripping). Terdapat perbandingan pada morfologi antara ikan Kerapu Batik, ikan Kerapu Kertang dan ikan Ikan Kerapu Tiktang. Masing-masing perbandingan tersebut dapat dilihat pada Tabel. Tabel 2. Perbandingan morfologi ikan Kerapu Batik, Hibridisasi Tiktang dan Kertang No Kerapu Batik Ikan Kerapu Tiktang Kerapu Kertang 1. Bagian atas kepala Bentuk tubuh sedikit kompres Bentuk tubuh compres cembung. dan kepala cembung. dan sedikit membulat 2. Kepala, badan, dan Warna tubuh abu-abu sirip berwarna cokelat kehitaman dan terdapat pucat dan tertutup bitnik-bintik berwarna cokelat bintik-bintik berwarna gelap. cokelat gelap. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 Warna tubuh abu-abu kehitaman dengan 4 garis melintang yang kurang begitu jelas (samar-samar) 46 No 3. Kerapu Batik Terdapat banyak bintik-bintik putih pada sirip dan beberapa di bagian kepala dan badan. Ikan Kerapu Tiktang Terdapat banyak bintik-bintik putih berserta bitnik-bintik hitam pada sirip dan beberapa di bagian kepala dan badan. 4. Pada kepala dan badan terdapat bercak berwarna hitam tumpang tindih dengan bintik-bintik hitam tersebut. berwarna hitam tumpang tindih dengan bintik hitam juga banyak tersebar di kepala dan didekat sirip pectoral dengan jumlah yang berlainan pada setiap individu 5. Tinggi Sirip punggung semakin Sirip punggung semakin melebar kearah belakang melebar kearah belakang badan pada sirip punggung pertama biasanya lebih tinggi dari pada sirip dubur. 7. Ujung sirip ekor membulat berbentuk busur. 8. Bentuk mulut lebar, superior (bibir bawah lebih panjang dari bibir atas) 9. Tipe sisik stenoid (bergerigi) 10. Bentuk gigi runcing (canine) Bentuk ekor rounded Kerapu Kertang Semua sirip (pectoral, anal, ventral, dorsal dan caudal ) dengan dasar berwarna kuning dilengkapi dengan bintik-bintik hitam Bintik hitam juga banyak tersebar di kepala dan didekat sirip pectoral dengan jumlah yang berlainan pada setiap individu Bentuk ekor rounded Bentuk mulut lebar, superior Bentuk mulut lebar, (bibir bawah lebih panjang superior (bibir bawah dari bibir atas) lebih panjang dari bibir atas) Tipe sisik stenoid (bergerigi) Tipe sisik stenoid (bergerigi) Bentuk gigi runcing (canine) Bentuk gigi runcing (canine) 2.2.4 Reproduksi Ikan Kerapu Hibrid Tiktang Ikan Kerapu Tiktang memiliki sistem reproduksi yang sama seperti ikan kerapu pada umumnya. Ikan kerapu bersifat hermafrodit protogenos yaitu akan mengalami perubahan kelamin dari betina menjadi jantan setelah melewati ukuran tertentu (Soeharmanto, 2011). Perubahan kelamin betina menjadi jantan terjadi setelah mencapai ukuran sekitar 3kg. Ikan Kerapu bersifat soliter tetapi pada saat akan memijah ikan kerapu akan bergerombol (mass spawn). Menurut Efendi (2002) dalam Wahyudi (2009), menyatakan bahwa ikan Kerapu merupakan jenis ikan bertipe hermaprodit protogini, dimana proses differensiasi gonad berjalan dari fase betina ke fase jantan. Ikan kerapu memulai siklus hidupanya sebagai ikan betina kemudia berubah menjadi ikan jantan.Di perairan Indo-Pasifik waktu puncak ikan kerapu untuk memijah adalah malam hari pada beberapa hari sebelum bulan purnama. Hasil pengamatan di wilayah perairan Indonesia, musim pemijahan ikan kerapu Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 47 terjadi pada bulan Juni-September dan November-Februari (Sugama, 1995 dalam Soeharmanto, 2011). 2.3 Kualitas Air Kualitas air adalah kondisi kualitatif air yang diukur dan atau diuji berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metode tertentu berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku (Pasal 1 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 tahun 2003). Kualitas air dapat dinyatakan dengan parameter kualtas air. Parameter ini meliputi parameter fisika, kimia dan biologi. Parameter kualitas air tersebut dapat merefleksikan keseluruhan kondisi perairan yang dilihat dan dapat menyimpulkan kondisi yang sebenarnya. Kualitas air sangat mempengaruhi kehidupan organisme. 2.3.1 Parameter Fisika 2.3.1.1 Suhu Suhu pada air mempengaruhi aktivitas metabolism organisme, karena itu penyebaran organisme dibatasi oleh suhu. Suhu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kehidupan biota air. Secara umum, laju pertumbuhan meningkat sejalan dengan dengan kenaikan suhu. Namun, suhu juga dapat menekan kehidupan ikan bahkan menyebabkan kematian bila peningkatan suhu terjadi secara drastis (Kordi, 2005). 2.3.2 Parameter Kimia 2.3.2.1 Derajat Keasaman (pH) pH air mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad renik. Perairan yang bersifat asam akan menjadi kurang produktf bahkan dapat membunuh ikan budidaya. Pada pH rendah (asam), kandungan oksigen terlarut akan berkurang sehingga mengakibatkan selera makan ikan akan berkurang. Hal sebaliknya terjadi pada kondisi perairan dengan pH tinggi (basa). Berdasarkan hal itu, kisaran pH yang baik untuk usaha budidaya ikan kerapu berkisar antara pH 6,5 – 9,0 dan kisaran optimal adalah pH 7,5-8,7 (Kordi dan Andi, 2009). 2.3.2.2 Oksigen Terlarut (DO) Menurut Wibisono (2005), konsentrasi gas oksigen sangat dipengaruhi oleh suhu. Semakin tinggi suhu, maka semakin berkurang kadar oksigen terlarut yang terkandung. Pada perairan laut, oksigen terlarut (Dissolved Oksigen) berasal dari dua sumber yakni, dari atmosfer dan dari hasil fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan laut. Keberadaan oksigen terlarut sangat memungkinkan untuk langsung dimanfaatkan oleh organisme untuk kelangsungan hidup seperti pada proses respirasi dimana oksigen diperlukan untuk proses pembakaran (metabolisme) bahan organik sehingga terbentuk energi yang diikuti dengan pembentukkan karbondioksida (CO2) dan uap air (H2O). 2.3.2.3 Salinitas Kadar garam (salinitas) menggambarkan kandungan garam-garam yang terlarut dalam perairan yang membedakan jenis air menjadi tawar, payau dan asin. Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan perkembangbiakan organisme,hal ini terkait dengan frekuensi penggenangan. Salinitas air akan meningkat pada siang hari seiring dengan peningkatan suhu dan proses penguapan (evaporasi) yang terjadi di perairan (Putra, 2013). Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 48 2.3.2.4 Nitrat Effendi (2003), menjelaskan bahwa nitrat adalah bentuk nitrogen utama dalam perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan alga. Nitrat sangat mudah larut dalam air dan stabil. Nitrat dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan.. Nitrat merupakan nutrien yang dapat mempercepat pertumbuhan organisme juga dapat menurunkan konsentrasi oksigen terlarut di dalam perairan (Armita, 2011). 2.3.2.5 Nitrit Kandungan nitrit pada perairan yang diperbolehkan menurut SNI 06-6989,9 (2004) adalah 0,01-1,00 mg/L. Nirit biasanya ditemukan dalam jumlah yang sedikit dalam perairan alami dibandingkan dengan kadar nitrat. Hal itu karena, nitrit tidak stabil jika di perairan terdapat oksigen (Effendi, 2000). Nitrit merupakan bentuk peralihan antara ammoniak dan nitrat (nitrifikasi) dan juga antara nitrat dan nitrogen (denitrifikasi). Ammoniak hasil dekomposisi yang akan berubah menjadi nitrit melalui proses nitrifikasi oleh bakteri nitrifikasi. Keberadaan nitrit di perairan ditentukan oleh proses penambahan bahan organik menjadi bahan anorganik oleh bakteri pembusuk. 2.3.2.6 Ammoniak Menurut Andayani (2005) dalam Putra (2013), ammoniak merupakan hasil ekskresi atau pengeluaran (kotoran) dari organisme yang berbentuk gas. Selain itu ammoniak dapat berasal dari pakan yang tidak dimanfaatkan oleh ikan sehingga larut dalam ar. Ammoniak adalah salah satu produk dekomposisi senyawa organik di perairan. 2.3.2.7 Fosfat Menurut Effendi (2003) phosfat merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan dan algae aquatik serta sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan. Ditambahkan oleh Romimohtarto dan Juwana (1999) bahwa daur ulang fosfat, banyak interaksi yang terjadi antara tumbuh-tumbuhan dan hewan, antara senyawa organik dan anorganik,dan antara kolom air dan permukaan serta substrat. Misalnya, beberapa hewan membebaskan sejumlah besar fosfat terlarut dalam kotorannya. Fosfat ini kemudian terlarut dalam air sehingga tersedia bagi tumbuh-tumbuhan. Sebagian senyawa fosfat anorganik mengendap sebagai mineral ke dasar laut (Armita, 2011). 2.4 Teknik Pemeliharaan Ikan Kerapu Tiktang 2.4.1 Penyediaan Benih Ikan kerapu tiktang (Epinephelus sp) termasuk ikan buas, sifat kanibalismenya mulai kelihatan pada umur lebih 40 hari sampai ukuran pemeliharaan. Sifat kanibalisme sangat menonjol terutama pada kondisi tertentu seperti pada saat kekurangan makanan dan adanya perbedaan ukuran. Sifat kanibalisme ini menimbulkan kerugian, karena terlalu tingginya tingkat kematian terutama pada fase pemeliharaan pemeliharaan. Ikan yang berukuran lebih besar akan selalu memangsa ikan yang lebih kecil dalam satu wadah pemeliharaan. Untuk mengatasi kanibalisme ini dilakukan pemilahan ukuran atau grading, minimal setiap satu minggu pada fase pemeliharaan atau sesuai dengan kebutuhan. Grading dilakukan dengan memilah langsung ukuran ikan yang seragam dari setiap bak pemeliharaan. Untuk menjaga ikan supaya tidak stres pada waktu grading harus dilakukan dalam air yang dilengkapi dengan aerasi (Evalawati, 2006). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam adaptasi yaitu : - Waktu penebaran (sebaiknya pagi atau sore hari, atau saat cuaca ( teduh) Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 49 - Sifat kanibalisme yang cenderung meningkat pada kepadatan yang tinggi - Aklimatisasi, terutama suhu dan salinitas. Cara aklimatisasi yang dilakukan pada benih saat pengangkutan tertutup adalah sebagai berikut : Kantong plastik dimasukkan ke dalam karamba. Setelah beberapa saat kantong plastik dapat dibuka, kemudian air karamba dimasukkan sedikit demi sedikat dan diukur suhu dan salinitasnya. Jika salinitasnya sama atau berbeda 1-2 ppt, benih bisa ditebar langsung setelah suhunya sesuai. 2.4.2 Manajemen Pemberian Pakan Salah satu usaha dalam meningkatkan pertumbuhan ikan kerapu yaitu dengan pemberian pakan secara berkelanjutan dan teratur. Pakan merupakan salah satu faktor terpenting dalam menunjang keberhasilan pemeliharaan. Pada proses pemeliharaan awal cukup hanya dengan menggunakan pakan buatan (pellet) dengan frekuensi sebanyak 2 – 5 kali dalam sehari dengan pellet (Sugama et al,2001). Pada tahapan pemeliharaan, pakan diberikan dengan cara ditebarkan secara ad satiation sebanyak 3–5 % dari total biomassa/hari (Ismi et al.,2013). 2.4.3 Grading (Pemilahan Ukuran) Grading adalah suatu cara dalam kegiatan pemeliharaan untuk memilih benih yang ukurannya tidak seragam, sehingga diperoleh benih dengan ukuran yang sama (seragam). Selain untuk memperoleh benih yang seragam, tujuan lain dari pemilahan adalah untuk mengurangi sifat kanibal. Kerapu adalah jenis ikan yang mempunyai sifat kanibalisme. Oleh sebab itu, pemilahan ukuran dilakukan sejak awal pemeliharaan sehingga kematian bisa diperkecil (Ismi et al., 2012b). Grading bertujuan untuk memilih ukuran yang sama gunanya menekan kanibalisme. Dari satu jaring menjadi beberapa jaring sesuai ukuran yang sama. Grading dilakukan secara rutin pada saat ukuran sudah tidak sama, biasanya grading dilakukan setiap 5-7 hari sekali (Ismi et al., 2012b). 2.4.4 Hama dan Penyakit Menurut Fauzi (2008), jenis hama yang potensial mengganggu usaha budidaya ikan kerapu dalam budidaya ini adalah ikan buntal, burung, dan penyu. Sedang jenis penyakit infeksi yang sering menyerang ikan kerapu adalah penyakit akibat serangan parasit (parasit crustacea dan flatworm) dan penyakit akibat serangan virus (VNN (Viral Nervous Necrosis)). Pencegahan hama dan penyakit pada pemeliharaan ikan kerapu dilakukan dengan merendam ikan kerapu tersebut dalam air tawar secara berkala. Perendaman dengan air tawar ini dimaksudkan untuk menghilangkan parasit-parasit yang menempel pada permukaan tubuh ikan kerapu. Perendaman dengan air tawar dilakukan setiap 7-10 hari sekali. Perendaman dengan air tawar dapat dilakukan di bak fiber 1 m3 dengan volume air antara 50-60 % dari volume bak. Lamanya perendaman yang dilakukan adalah 10-15 menit dengan kepadatan ikan kerapu dalam bak sebesar 100-150 ekor ikan (Fauzi, 2008). 2.4.5 Panen Pemanenan pemeliharaan ikan kerapu ini dapat dilakukan dengan hati-hati agar ikan tidak stress. Panen yang dilakukan secara tidak tepat dapat mengakibatkan kematian benih (Subyakto dan Cahyaningsih, 2005). Pemanenan dapat dilakukan dengan Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 50 menyesuaikan permintaan pasar. Pemanenan ikan kerapu harus dilakukan secara benar karena ikan ini termasuk peka terhadap perubahan lingkungan. Sebelum panen benih diberokan atau dipuasakan dulu selama 12-24 jam. Pemberokan ini dilakukan dengan tujuan mengurangi kegiatan metabolisme sehingga kualitas air selama proses pemanenan dan pengangkutan tetap terjaga. Pemanenan sebaiknya dilakukan pada waktu pagi hari, sore hari atau malam hari untuk menghindari fluktuasi suhu yang terlalu tinggi (Utomo, 2003). III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu Pelaksanaan Kegiatan ini direncanakan akan dilaksanakan di keramba jaring apung (KJA) BPBAP Situbondo. Waktu pelaksanaan direncanakan dimulai bulan Agustus sampai dengan bulan Desember 2015. 3.2. Bahan - Benih ikan kerapu Hibrida tiktang ukuran 7-10 cm - Pakan pelet MR 205, 207, 209 - Pakan segar - Vitamin - Formalin 3.2. Alat - Alat yang digunakan dalam kegiatan perekayasaan ini adalah alat yang dapat mengukur parameter lingkungan secara in-situ. Adapun alat-alat yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1 Tabel 1. Daftar Alat, Spesifikasi dan Fungsinya No. Alat Spesifikasi Fungsi Tempat Pengukuran 1. pH meter Waterproof pHTester Pengukuran nilai In-Situ 30 pH 2. Refraktometer Pocket Refraktometer Pengukuran In-Situ Atago salinitas 3. DO digital Thermometer Dekko Pengukuran DO In-Situ 4. 5. Thermometer Air Raksa Ammonia Test Kit 6. Phospate Test Kit 7. Nitrate Test Kit SERA Ammonia Test Kit SERA Phospate Test Kit SERA Nitrate Test Kit 8. Nitrite Test Kit SERA Nitrite Test Kit 9 Timbangan Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 - Pengukuran suhu In-Situ Pengukuran Amoniak (NH3) Pengukuran Fosfat (PO4) Pengukuran Nitrat (NO3) Pengukuran Nitrit (NO2) Pengukuran berat In-Situ Digital In-Situ In-Situ In-Situ In-Situ 51 10. 11. Serok / seser Petakan KJA @ 3 x 3 x 3 m3 Tangkai alumunium HDPE Menangkap ikan Tempat pemeliharaan In-Situ - 3.3. Metode Pelaksanaan 3.3.1. Metode Kegiatan Budidaya Ikan Kerapu Hibrida di KJA Budidaya ikan kerapu dalam karamba jaring apung (KJA) akan berhasil dengan baik dalam pengertian tumbuh cepat dan kelangsungan hidup tinggi bila pemilihan jenis ikan yang cocok, ukuran benih yang ditebar cukup dan kepadatan penebaran sesuai. Pemilihan jenis ikan kerapu yang akan ditebarkan dalam keramba jaring apung (KJA) sangat mempengaruhi keberhasilan usaha pembesaran yang dilakukan. Kesalahan dalam memilih jenis ikan bisa mengakibatkan kerugian yang besar. Semua jenis ikan kerapu potensial untuk dibesarkan dalam keramba jaring apung (KJA) dilaut. 3.3.2. Pemilihan benih kerapu yang baik Ukuran seragam, bebas penyakit, tenang serta tidak membuat gerakan yang tidak beraturan atau gelisah tapi akan bergerak aktif bila ditangkap, mempunyai respon yang baik (dapat menyergap makanan dengan cepat), warna sisik cerah, sorot mata terang, sisik dan sirip lengkap serta tidak cacat tubuh. Diharapkan benih yang siap tebar sudah divaksin. 3.3.3. Penebaran benih Ikan dari fase pendederan 7-10 cm dapat di pindah ke keramba jaring apung (KJA) dengan jaring besar ukuran 3 x 3 x 3 m dengan kepadatan optimum per jaring 250 ekor. Selanjutnya ikan dapat dipelihara sampai mencapai ukuran konsumsi (300-500 gram). 3.3.4. Uji Multilokasi Ikan dari fase pendederan 7-10 cm dari kegiatan perekayasaan sebelumnya di level pendederan diterima untuk dibesarkan di KJA. Untuk perbandingan hasil pertumbuhannya maka dibuat 2 pembanding. Sebelumnya direncanakan dilakukan kegiatan perbandingan pemeliharaan di Ambon dan Batam. Berkaitan dengan kondisi di lapangan maka dilakukan perbandingan pemeliharaan di KJA dengan petani Bali dan Jepara. Jumlah ikan dibagi menjadi 3 populasi masing-masing 1000 ekor. Untuk selanjutnya dilakukan monitoring pertumbuhan, dan survival rate. 3.3.5 Tingkat Kelangsungan Hidup Survival Rate (SR) atau tingkat kelangsungan hidup adalah persentase jumlah ikan terakhir yang bertahan hidup dari jumlah ikan awal 3.3.6. Pakan dan Konversi Pakan Benih kerapu yang baru ditebar di beri pakan pelet komersial (benih dari panti pembenihan yang menggunakan pakan pelet). Setelah 7-10 hari pelet dapat di campur dengan ikan rucah dengan komposisi : pakan pellet 30% +rucah 70%. Pemberian ikan rucah (potongan ikan) disesuaikan dengan ukuran mulut ikan dan diberikan dua kali sehari yaitu pagi dan sore hari. Konversi pakan merupakan parameter yang digunakan untuk melihat pertumbuhan yang terkait dengan jumlah pakan yang diberikan, yaitu mengetahui jumlah berat makanan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan atau penambahan berat badan ikan. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 52 3.3.6. Pertumbuhan dan Pengukuran Pengukuran ikan kerapu dilakukan setiap 2 minggu sekali. Pengukuran meliputi pertumbuhan panjang dan berat. Pengukuran tersebut dilakukan dengan cara random sampling. Kegiatan ini juga dalam rangka melakukan grading ukuran. Selanjutnya dihitung panjang, berat, meliputi SGR (laju pertumbuhan harian) dan pertumbuhan mutlak (GR). 3.3.7 Uji Penyakit Dilakukan pengecekan penyakit dengan PCR untuk VNN dan irridovirus jika diperlukan atau setiap 2 bulan. 3.3.7 Panen dan Pasca Panen Ukuran panen dapat disesuaikan dengan permintaan pasar. Biasanya ukuran yang dikehendaki pasar (ukuran konsumsi) adalah 300 - 500 gram per ekor ikan. Lama pemeliharaan untuk mencapai ukuran konsumsi (berbeda antara satu jenis dengan jenis lainnya. Selama masa pemeliharaan, sebaiknya dilakukan seleksi ukuran sejak bulan ketiga untuk mengurangi variasi ukuran ikan atau untuk membuat ukuran panen yang relatif sama. Ikan kerapu mempunyai harga jual yang tinggi biasanya dalam keadaan hidup. Untuk itu penanganan pasca panen juga harus dilakukan dengan sangat hati-hati. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Dari kegiatan perekayasaan Pembesaran ikan kerapu hibrida tiktang di KJA, diperoleh hasil ikan kerapu Tiktang seperti terlihat dalam tabel : Tabel 2. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Ikan Kerapu Hybrid Tiktang di Multilokasi : Situbondo, Bali, dan Jepara Lokasi Situbondo Bali Jepara SR 83 72 65 Hasil tersebut membuktikan bahwa penggunaan komposisi pakan pellet 30% + rucah 70% efektif dalam pemeliharaan ikan kerapu tiktang. Penggunaannya pun aplikatif karena jenis pakan pelet dan rucah sudah biasa digunakan untuk kegiatan pembesaran ikan. Juga terlihat daya tahan ikan kerapu tiktang ini relatif tinggi sehingga cocok untuk dikembangkan dalam kegiatan budidaya di KJA. 4.2. Pertumbuhan Dari kegiatan perekayasaan Pembesaran ikan kerapu hibrida tiktang di KJA, diperoleh hasil pertumbuhan panjang ikan kerapu Tiktang seperti terlihat dalam pada berikut : Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 53 Tabel 3. Data Perbandingan Pertumbuhan (Panjang ) Kerapu Macan, Cantang, dan Tiktang di Multilokasi : Situbondo, Bali, dan Jepara Kerapu Kerapu Kerapu Kerapu Kerapu Tiktang Cantang Tiktang (Data Tiktang (Data Macan (Data (Data Primer) (Data Primer) Bali Primer) Jepara Mggu Sekunder) Situbondo Sekunder) Ke 1 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 Panjang (cm) Panjang (cm) Panjang (cm) 7–8 9 – 10 11 – 12 12 – 13 13 – 14 14 – 15 15 – 16 16 – 17 17 – 18 7-9 15 – 16 7-8 11,9 + 1,0 7-8 11,4 + 0,9 7-8 10,5 + 1,2 17 – 18 16,1 + 0,3 15,6 + 0,2 14,1 + 1,1 20 - 22 19,35 + 1,15 18,8 + 0,7 17,5 + 0,7 - - 22,3 + 0,4 20,8 + 0,9 21 + 1,5 - - 23,7 + 1,1 22,5 + 1,0 23,3 + 0,5 25 + 0,6 24,2 + 0,4 24,1 + 0,1 27 + 1,2 26 + 0,7 25,7 + 0,6 Dari kegiatan perekayasaan Pembesaran ikan kerapu hibrida tiktang di KJA, diperoleh hasil pertumbuhan berat ikan kerapu Tiktang seperti terlihat dalam tabel berikut : Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 54 Tabel 4. Data Perbandingan Pertumbuhan (Berat) Kerapu Macan, Cantang, dan Tiktang di Multilokasi : Situbondo, Bali, dan Jepara Kerapu Kerapu Kerapu Kerapu Tiktang Tiktang Tiktang Macan Kerapu Cantang (Data (Data (Data (Data (Data Sekunder) Mggu Primer) Primer) Primer) Sekunder) Ke Situbondo Bali Jepara Berat Berat Berat Berat Berat (gram) (gram) (gram) (gram) (gram) 1 30 + 3 40 + 10 2 4 40 + 3 50 + 4 100 + 15 125 + 18 6 65 + 4 150 + 20 8 10 12 85 + 6 100 + 8 115 + 10 175 + 22 200 + 24 263 + 26 14 16 18 130 + 10 150 + 12 326 + 30 370 + 40 - - 20 22 - 24 26 28 30 32 34 36 38 40 30 + 5 29 + 5 28 + 8 80 + 8 78 + 6 77 + 8 221 + 15 215 + 05 210 + 15 - 255 + 20 243 + 15 225 + 25 - - 265 + 15 253 + 16 245 + 13 - - 280 + 20 265 + 25 243 + 26 - - 310 + 15 305 + 12 280 + 45 Specific growth rate (SGR) atau laju pertumbuhan spesifik merupakan laju petumbuhan harian atau persentase pertambahan bobot per hari. SGR pada pemeliharaan kerapu tiktang : Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 55 Tabel 5. Specific Growth Rate Ikan Kerapu Hybrid Tiktang di Multilokasi : Situbondo, Bali, dan Jepara Lokasi Situbondo Bali Jepara SGR 0,34 + 0,14 0,21 + 0,04 0,19 + 0,03 Disini terlihat bahwa SGR relatif lebih tinggi daripada umumnya kerapu GPS. Tabel 6. Growth Rate Ikan Kerapu Hybrid Tiktang di Multilokasi : Situbondo, Bali, dan Jepara Lokasi Situbondo Bali Jepara GR (gr/hari 1 0,97 0,9 4.6. FCR Konversi pertambahan berat yang dibandingkan dengan pakan yang dihabiskan selama pemeliharaan kerapu tiktang (A) : diberi pakan pellet 30% +rucah 70% FCR nya adalah : Tabel 7. FCR Ikan Kerapu Hybrid Tiktang di Multilokasi : Situbondo, Bali, dan Jepara Lokasi Situbondo Bali Jepara FCR 1:8 1:8 1:8 FCR di masing-masing tempat adalah 1: 8. Disini terlihat bahwa FCR pemeliharaan kerapu tiktang relatif sama dengan pemeliharaan pada kerapu jenis lainnya. Hasil tersebut membuktikan bahwa penggunaan komposisi pakan pellet tersebut efektif. Penggunaannya pun aplikatif karena jenis pakan pelet dan rucah sudah biasa digunakan untuk kegiatan pembesaran ikan. 4.5. Kualitas Air Tabel 8. Hasil Pengukuran Kualitas Air Selama Masa Pemeliharaaan Multi Lokasi Lokasi Parameter Standar Situbondo Bali Jepara Suhu °C 26,83-29,20 30,528,50 – 30,50Chua & Teng (1978) dalam 30,64 Langkosono (2007) 24-31ºC Kordi (2005) 24-32ºC pH 7,76-8,21 8,00 8,00 Kepmen LH No 51 th 2204 Baku Mutu Air Laut 7,00 – 8,50 Supratno (2006) 7,7 – 8,5. pH 7,5-8,7 (Kordi dan Andi, 2009). DO (mg/L) 5,60 – 7,22 5,35-5,71 5,90-7,38 Kepmen LH No 51 th 2204 Baku Mutu Air Laut 7 >5 mg/L Salinitas 32 – 35 31-32 32-35 Chua & Teng (1978) dalam ‰. Langkosono (2007) 30-33‰. Nitrat 0,00 – 0,1 0,086 Kepmen LH No 51 th 2204 Baku (mg/L) 0,091 Mutu Air Laut 0,008 mg/L Nitrit 0,00 – 0,25 SNI 19-6964.1 (2003) 0,01 – (mg/L) 1,00 mg/L. Ammoniak 0,25 – 0,75 0,069 - 0,281SNI 19-6964.1 (2003) 0,01 – (mg/L) 1,00 mg/L. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 56 Fosfat (mg/L) 0,10 – 0,50 - 0,11 - 0,25 Kepmen LH No 51 th 2204 < 0,015 mg/L. Dari tabel di atas terlihat perairan di karamba jaring apung ikan Kerapu Tiktang dapat dikatakan telah memenuhi syarat untuk budidaya ikan. Beberapa faktor kualitas air tidak terukur karena keterbatasan alat. Secara keseluruhan dengan melihat performance akhir dari ikan hybrid yang dipelihara maka 3 lokasi tersebut sesuai untuk lokasi pemeliharaan ikan hybrid tiktang. 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Hasil dari kegiatan Perekayasaan yang di Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Situbondo adalah sebagai berikut: 1.Ikan Kerapu Tiktang merupakan spesies baru hasil perkawinan silang antara induk ikan Kerapu Batik dan Kerapu Kertang. Kerapu Tiktang masih dalam tahap penelitian pasca rekayasa sebelum dirilis oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan 2.Data Lapangan - Pertumbuhan panjang dan berat Pertambahan panjang kerapu tiktang lebih cepat daripada pertumbuhan kerapu macan, akan tetapi lebih lambat daripada pertumbuhan kerapu cantang - SGR Dari perhitungan di atas SGR adalah 0,19 + 0,03 sampai dengan 0,34 + 0,14. SGR relatif lebih tinggi daripada umumnya kerapu GPS. - SR Dari perhitungan di atas SR adalah 65 -83%. Dari data tersebut terlihat bahwa kerapu tiktang memiliki kisaran SR yang relatif masih tinggi. - FCR Dari perhitungan di atas SR adalah FCR 1:8 3. Kualitas Air Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia dari kualitas air pada media pemeliharaan Ikan Kerapu Tiktang (Epinephelus sp.) di multilokasi (Situbondo – Laut Jawa, Bali – Teluk Pegametan, Jepara - Karimunjawa menunjukan bahwa menunjukan bahwa kondisi perairan sesuai untuk kegiatan budidaya ikan kerapu. 4. Pertumbuhan benih kerapu tikitang (panjang dan berat) lebih cepat dibanding dengan benih kerapu macan. 5. Kerapu tiktang hasil hibridisasi antara kerapu batik dengan kerapu kertang merupakan alternatif diversitas spesies pengembangan kerapu di masa mendatang. 5.2 Saran Perlu dilakukan kegiatan lanjutan perkeyasaan secara multilokasi agar didapatkan data-data yang lebih valid untuk menunjang kegiatan rilis dan pengembangan produksinya. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 57 LAMPIRAN Pengukuran pH menggunakan pH Meter Pengukuran salinitas dengan Refraktometer Pengukuran DO secara in-situ menggunakan DO Meter (karantina) Pengukuran DO dan suhu menggunakan DO Meter Pengukuran nitrat, nitrit, fosfat dan ammonia menggunakan SERA Test Kit Pengukuran suhu menggunakan Thermometer Hg di KJA Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 58 Pemberian pakan dengan pelet Pengukuran panjang ikan Pemindahan ikan ke KJA Pemindahan ikan ke KJA Pengukuran berat ikan Pengukuran panjang ikan Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 59 DAFTAR PUSTAKA Armita, Dewi. 2011. Analisis Perbandingan Kualitas Air di Daerah Budidaya Rumput Laut dengan Daerah Tidak Ada Budidaya Rumput Laut di Dusun Malelaya, Desa Punaga, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin: Makassar. Chua, T. E. & Teng, S. K. 1978. Effects of Feeding Frequency on The Growth of Young Estuary Grouper, Epinephelus tauvina Forskal, Culture in Floating Net Cages. Aquaculture. 14: 31–47.Effendi, Hefni. 2003. Telaah Kualitas Air. Penerbit Kanisius: Yogyakarta Heemstra, P.C., & J.E> Randall. 1993. Epinephelus lanceolatus Giant Grouper. http://www.fishbase.sinica.edu.tw. Diakses pada Sabtu 5 September 2015. Hickling, C. 1968. Fish Hybridization. Proc. Of World Symp. On Warm Water Pond Fish Culture. FAO Fish Rep., 44: 1-10. Jitunews.com. 2015. (online) Kerapu Batik, Grouper Cantik Berharga Mahal. http://www.jitunews.com/read/10912/kerapu-batik-grouper-cantikberharga-mahal/. Diakses pada 5 September 2015. Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut. KLH: Jakarta. Kordi. 2005. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan. Rineka Cipta: Jakarta Langkosono. 2007. Budidaya Ikan Kerapu (Serranidae) dan Kualitas Perikanan. Neptunus. 14(1): 61-67. Nazir, Mohammad. 2009. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia: Jakarta Mizab Asdary et al , 2013. Hasil Kegiatan Perekayasaan Pembesaran Ikan Kerapu Hibrida Kustang Di Bak Terkontrol, Laporan Hasil Perekayasaan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Air Payau Situbondo. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Putra. 2013. Teknik Pengelolaan Kualitas Air untuk Kultur Rotifera (Branchious sp) di Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo, Jawa Timur. Laporan Magang. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Maritim Raja Ali Haji: Tanjung Pinang. Romimohtarto, K., dan Juwana, S. 1999. Biologi Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: Jakarta. SNI. 2003. Kualitas Air Laut (Cara Uji Nitrit secara Spektrofotometri). 19-6964.1-2003. BSN: Jakarta. Soeharmanto, Dwi., A. Bohari Muslim, Bambang Hanggono & Santoso. 2011. Peningkatan Pemijahan Ikan Kerapu Kertang (Epinephelus lanceolatus) dengan Perubahan Pola Penyuntikan Hormon pada Induk. Jurnal Perekayasaan Budidaya Payau & Laut. ISSN; 1907-6843 Vol. IV Nomor 7 Tahun 2011. Hal 21-28 Subyakto, S. dan Cahyaningsih, S. 2005. Pembenihan Ikan Kerapu Skala Rumah Tangga. Agromedia: Jakarta. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 60 Sugama, K., Tridjoko, Slamet, B., Ismi, S., Setiadi. E., & Kawahara, S. 2001. Manual for the Seed Production on Humpack Grouper, Cromileptes altivelis. Gondol Reasearch Institute for Mariculture and JICA, 37 pp. Supratno, Tri K.P. 2006. Evaluasi Lahan Tambak Pesisir Jepara untuk Pemanfaatan Budidaya Ikan Kerapu. Universitas Diponegoro: Semarang. Wahyudi, Dzikri. 2009. Isolasi Promotor B-action Ikan Kerapu Kertang (Epinephelus lanceolatus). Universitas Brawijaya: Malang Wibisono. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Grasindo: Jakarta Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 61 PERBEDAAN LEVEL PROTEIN PAKAN TERHADAP PERTUMBUHAN ABALON (Haliotis squamata) PROTEIN LEVEL IN ABALON TILLERS (Haliotis squamata) BREEDING Hamzah1, Sugeng Raharjo1, Mohd. Syaichudin1, Suhardi A.B.S.1, Mutmainnah1, Zainuddin2, Siti Aslamyah2 1 Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar 2 Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin Abstrak Usaha mendapatkan alternatif pakan buatan untuk abalon penting dilakukan untuk mengganti pakan alami yang berupa rumput laut Gracillaria sp agar jumlah dan kualitas pakan abalon tidak tergantung oleh musim. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi level protein pakan dengan kinerja pertumbuhan dan kelulusan hidup abalon H. squamata, melalui pemberian pakan dengan kadar protein 52%, 43%, 32%, dan 22% untuk masa pemeliharaan tiga bulan. Bahan pakan berupa tepung tempe, tepung ikan, tepung kepala udang, ekstrak rumput laut Gracillaria sp. Penelitian ini menggunakan benih abalon H. squamata yang digunakan berukuranantara 40,5-45,3 mm dengan berat rata-rata 12,98 g sebanyak 240 benih. Level protein 22% dan 43% memiliki nilai pertumbuhan bobot spesifik yang sama namun berbedaan secara signifikan (P<0,5) dengan level protein lainnya, dan tidak adanya perbedaan yang signifikan (P>0,5) antara pada pertumbuhan panjang cangkang spesifik, sintasan. Peneliti menyarankankandungan protein pakan buatan yang baik untuk pembesaran abalon H. squamata sebesar 22%. Kata kunci : abalon, pakan, protein. Abstract Efforts to obtain artificial feed for abalone is feed abalone important to replace the natural food from seaweed Gracillaria sp so the amount and quality of feed abalone do not depend on the season.The aim of the study was to evaluate the level of protein feed on the growth performance and survival of abalone (H.squamata), through the measurement of protein retention rate, the level of feed consumption and feed utilization effectiveness. To observe the protein level of feed for abalone (H. squamata) is important because protein are the largest component in the preparation of artificial food. The size of abalone (H. squamata) was between 40.5 to 45.3 mm with an average weight of 12.98 g 240 for seed. Feed to be used is feed with a protein content of 52%, 43%, 32%, and 22%, for three-month breeding period. The results showed that the protein level of 22% and 43% have a specific growth rate of the same weight, but berbedaan significantly(P<0.5) with other protein levels, and no significant difference (P>0.5) between all feed with a protein level of feed consumption rate, feed utilization efficiency, protein retention, growth in shell length specific, survival rate and water quality maintenance. So disaran for artificial feeding for the maintenance of seedlings abalone should use the feed with 22% protein value. Keywords: abalon, feed, protein. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 62 PENDAHULUAN Abalon (Haliotis squamata) merupakan kelompok moluska laut yang di Indonesia dikenal dengan nama kerang mata tujuh, siput lapar kenyang. Abalon merupakan gastropoda laut dengan satu cangkang yang hidup di daerah pasang surut yang tersebar mulai dari perairan tropis sampai subtropis.Saat ini abalon termasuk jenis kekerangan yang mulai dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan protein alternatif selain ikan. Memiliki nilai gizi yang cukup tinggi dengan kandungan protein 54,13%, lemak 3,20%, serat 5,60%, abu 9,11% dan kadar air 27,96% (Sofyan dkk., 2006). Pada kegiatan budidaya abalon tentunya tidak terlepas dari masalah.Berbagai kendala kegiatan budidaya abalon salah satunya berupa tingkat pertumbuhan abalon yang sangat lambat (Susanto dkk., 2009). Kelambanan pertumbuhan abalon selain disebabkan oleh faktor genetik juga disebabkan oleh asupan nutrisi yang kurang karena selama ini masih menggunakan pakan alami berupa rumput laut. Pemberikan pakan berupa rumput laut untuk pemeliharaan abalon memiliki kelemahan diantaranya nilai konversi pakan yang tinggi, selain itu jumlah dan kualitas bergantung pada musim. Upaya untuk melakukan pemberianpakanbuatandalambudidayaabalon di negeri inimasihjarangdilakukan.Sementara di luar negeri pemberian pakan buatanuntuk budidayaabalon telah dikembangkan, seperti diJepang, Taiwan, Amerika Serikat, danAustralia.Percobaan pakan di Taiwan menunjukkan bahwa pertumbuhan abalonmenggunakan pakan buatanadalah 65%lebih besardaripadaabalon yang diberipakan makroalga (Kuncoro dkk., 2013). Keunggulan penggunaan pakan buatan selain kandungan nutrisinya dapat disusun berdasarkan kebutuhan dan perkembangan abalon, juga dapat disiapkan setiap waktu.Pemberian pakanbuatan dengan nilai dan sumberprotein tertentudiharapkanmampumenghasilkan abalon berkualitas berupa berat badan yang lebihbesar,panjang cangkang, kandungan proteinyangrelatiftinggi dan cita rasa yang lebih baik (Patadjai dkk., 2012). Protein pada pakan buatan merupakan salah satu nutrien yang penting karena dapat membangun serta mempertahankan massa otot. Menurut Najib (2010), tinggi rendahnya nilai persentase penambahan berat sangat dipengaruhi oleh kandungan protein dalam suatu pakan, rendahnya jumlah protein dalam pakan akan menyebabkan lambatnya pertumbuhan dan rendahnya penambahan berat. Pada penelitian yang dilakukan Cho et al (2008), pakan dengan kandungan protein 37,6% untuk abalon Haliotis discus-hannai Ino. lebih efesien pertumbuhannya dibandingkan lainnya. Meskipun telah banyak penelitian yang mengungkapkan pemberian pakan buatan untuk abalon, namun hingga sekarang berapa level optimal pakan buatan untuk pertumbuhan abalon H. squamata belum banyak yang mengungkapkannya. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukanevaluasi level protein pakan dengan kinerja pertumbuhan dan kelulusan hidup abalon H. squamata, melalui pemberian pakan dengan kadar proteintertentu. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 63 BAHAN DAN METODE Lokasi Penelitian Penelitian ini bersifat kuantitatif, dilakukan Penelitian ini dilaksanakan di Divisi Pembenihan Abalon Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar yaitu pada bulan Maret 2015 sampai pada bulan Juni 2015. Materi Penelitian Hewanuji yangdigunakan dalampenelitian ini adalah abalon H. squamatadengan ukuran43,28±1,67 mm, bobot 12,98±1,34 g sebanyak 240 benih. Kemudian dibagi ke dalam 20 ekor untuk empat perlakuan dan tiga ulangan. Wadah percobaan berupa keranjang plastik ukuran 60x50x30 cm, yang dimasukkan dalam bak pemeliharaan bentuk persegi empat volume 500 L dengan pergantian air sistem sirkulasi. Pakanyangdigunakanberbentukflekdengankomposisibahanbakusepertiterlihat pada Tabel 1, dari komposisi bahan baku tersebut, maka kandungan protein pakan yang akan digunakan adalah sekitar 52%, 43%, 32% dan 22%.Abalon diberi pakan sebanyak 5 % dari biomassa perhari, pemberian pakan dilakukan sekaliper haripadapukul 17.00 WITA. Desain Penelitian Penelitian ini di desain dalam rancangan acak lengkap (RAL), dengan 4 perlakuan level protein pakan, masing-masing dengan 3 kali pengulangan. Perlakuan tersebut antara lain : pakan A : 52% protein pakan, pakan B : 43% protein pakan, pakan C : 32% protein pakan dan pakan D : 22% protein pakan. Pengumpulan Data Parameter yang diamati selama percobaan berupa pertumbuhan abalon yang meliputi panjang cangkang, dan bobot,Pengamatan dan perhitungan laju pertumbuhan harian dilakukan pada awal dan akhir kegiatan penelitian dengan mengacu persamaan rumus : Persamaan bobot spesifik (Wt – Wo) Gs (g) = x 100% T di mana : G = Pertumbuhan bobot harian (g) Gs= Pertumbuhan bobot spesifik (g) Wo= Bobot abalon pada awal penelitian (g) Wt= Bobot abalon pada akhir penelitian (g) t = Lama pemeliharaan (90 hari) Persamaan panjang cangkang spesifik (Lt – Lo) Ls (mm) = x 100% t di mana : L = Pertumbuhan panjang cangkang harian (mm) Gs= Pertumbuhan panjang cangkang spesifik (mm) Wo= Panjang cangkang abalon pada awal penelitian (mm) Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 64 Wt= Panjang cangkang abalon pada akhir penelitian (mm) t = Lama pemeliharaan (90 hari) Pengamatan sintasan (kelulusanhidup) dilakukan pada akhir kegiatan penelitian dengan mengacu pada rumus : Nt S (%) = x 100 No Di mana : S = Sintasan, Nt = Jumlah akhir percobaan (ind) dan No = Jumlah awal percobaan (ind). Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) dan data yang menunjukkan pengaruh, maka analisis lanjutan dengan W-Tuckey. HASIL Pertumbuhan abalonyang diperoleh selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Hal tersebut menunjukkan pertumbuhan cangkang abalon yang diberikan pakan buatan dengan kandungan protein yang berbeda, tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (P>0,5) antara pakan dengan kandungan protein 52%, 43%, 32%, dan 22%.Sementara untuk pertumbuhan bobot abalonmenunjukkan perbedaan yang signifikan (P<0,5). Artinya pakan dengan nilai protein 52% berbeda dengan pakan pakan lainnya, sementara pakan pakan dengan nilai protein 22% hingga 43% memiliki pengaruh pertumbuhan untuk bobot abalon yang sama atau tidak ada perbedaan pertumbuhan abalon dengan pemberian pakan yang bernilai protein 22% hingga 43%. Sehingga perbedaan nilai protein pakan menyebabkan perbedaan pertumbuhan bobot abalon, namun tidak menyebabkan perbedaan pertumbuhan cangkang abalon. Pertumbuhan abalon berupa pertambahan panjang, lebar dan bobot memperlihatkan bahwa perlakuan pakan dengan kadar protein 22% lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hasil ini menunjukkan bahwa pakan yang D(22%) yang disusun atas bahan protein dari tepung tempe, tepung ikan, dan tepung kepala udang lebih berimbang jumlahnya dan nilai kandungan proteinnya mendekati kandungan protein pakan alami abalon berupa Gracillaria verucosa dengan nilai protein sebesar 8,0651%. Pertumbuhan panjang cangkang spesifik secara individu lebih tinggi pada pemberian pakan dengan nilai protein 22% dimana pertumbuhan panjang cangkang harian spesifik 7,33±1,89%dengan bobot spesifik 5,89±1,08% , kemudian berturut-turut perlakuan dengan nilai protein 43, 32, dan 52%. Berdasarkan data Tabel 3 dapat diketahui bahwa sintasan abalon secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (P>0,05). Artinya tidak ada perbedaan sintasan abalon dengan pemberian pakan yang bernilai protein 22% hingga 52%. Meskipun secara individu lebih tinggi pada pemberian pakan dengan nilai protein 22 dan 53% dimana keduanya memilikisintasan yang sama yaitu 85%. PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan cangkang abalon secara statsitik tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (P>0,05). Artinya tidak ada perbedaan Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 65 pertumbuhan abalon dengan pemberian pakan yang bernilai protein 20% hingga 52%.Sementara untuk pertumbuhan bobot abalon menunjukkan perbedaan yang signifikan (P<0,5).Pakan dengan kandungan protein 22% dan 43% berbeda dengan pakan lainnya, dimana pakan dengan kandungan protein 22% hingga 43% memberikan pengaruh pertumbuhan untuk bobot abalon yang lebih baik jika bandingkan dengan pakan dengan kandungan protein 32% dan 52%. Hasil ini memperlihatkan bahwa pakan dengan komposisi sumber protein yang berimbang antara protein hewani dan protein nabati lebih baik jika dibandingkan dengan pakan yang hanya tersusun dari salah satu sumber protein.Dimana pemberian pakan dengan nilai protein 22% memberikan pengaruh pertumbuhan bobot spesifik lebih tinggi dengan nilai sebesar 5,90±1,08%.Sehingga dari penelitian ini dapat disebutkan bahwa pakan terbaik untuk abalon H. squamata berada pada nilai protein 22%.Selain itu, dengan pemberian pakan dengan kadar protein 22% tentunya lebih hemat dibandingkan kadar protein yang lebih tinggi.. Penelitian yang sama diperlihatkan pada ikan Pacu (Piaractus mesopotamicus) yang diberi pakan buatan dengan nilai protein 22%-25%, hasilnya tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ikan Pacu (Abimorad & Carneiro, 2007). Namun hasil yang berbeda diperlihatkan pada penelitian pada ikan salmon yang diberi pakan dengan mengatur nilai perbandingan protein dan lemak, dimana ikan salmon yang diberi pakan dengan nilai protein rendah yaitu 34% dan nilai lemak 36% menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan pemberian pakan dengan nilai protein tinggi yaitu 39% dan nilai lemak 32% (Karalazos et al., 2007). Komposisi cangkang moluska terdiri atas 95%-99% kalsium karbonat dan 5% lainnya terdiri atas bahan organik (Zhang & Zhang, 2006). Pada penelitian ini memperlihatkan bahwa peningkatan protein tidak meningkatkan kinerja pertumbuhan cangkang abalon H. squamata, hasil yang berbeda didapatkan pada ikan duri perak (Puntius gonionotus) dimana pemberian pakan buatan dengan nilai protein 20%, 25%, 30%, 35%, dan 40%, menunjukkan hasil berupa pemberian pakan 30% lebih efektif kinerja pertumbuhannya dibandingkan dengan pakan lainnya (Mohanta et al., 2008). Pada penelitian ini dengan pemberian pakan untuk nilai protein 22% memberikan pertambahan pertumbuhan bobot spesifik yang lebih baik, yaitu 5,90±1,08% dalam 3 bulan pemeliharaan. Hasil yang hampir sama juga dikemukan oleh Cho et al (2008), pertumbuhan abalon H. discus-hannai yang diberi pakan dengan nilai protein 37,6 % lebih baik jika dibandingkan dengan pakan dengan nilai protein 38,3%; 36,5%; 36,8%; dan 10,5%. Adapun komposisi bahan pakan untuk 37,6% yaitu tepung ikan (20%), tepung kedelai (20%), tepung kepala udang (13%), dextrin (13,6%), tepung terigu (5%), minyak kedelai (4%), sodium alginate (22%), vitamin (2%), dan mineral (4%). Namun hasil yang agak berbeda diperlihatkan pada benih ikan meksiko silverside (Menidia estor) dimana pada perlakuan pemberian pakan dari nilai protein 25%, 30%, 35%, 45%, 50%, dan 55%, yang terbaik pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya pada tingkatan nilai protein antara 40% dan 50% (Martinez-palacioset.al., 2007). Pada penelitian ini menunjukkanbahwa sintasan abalon dari semua level protein tidak ada perbedaanmeskipun nilai protein pakan yang dikomsumsi berbeda, artinya abalon dapat hidup dengan pemberian pakan buatan meskipun nilai proteinnya rendah. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 66 Sehingga dalam budidaya abalon dapat dilakukan subtitusi pakan dari pakan alami yang berupa Gracillaria sp ke pakan buatan dengan nilai protein tertentu. Hasil ini juga menunjukkan bahwa pakan yang D (22%) lebih mendekati kandungan protein pakan alaminya abalon berupa Gracillaria sp sebagaimana yang kemukakan oleh Nurfajrie dkk (2014), hasil analisa proximat berbagai jenis rumput laut, yang tertinggi adalah jenis Gracillaria verucosa dengan nilai protein sebesar 8,0651%, Ulva sp sebesar 6,4387%, Gracillaria arcuata 7,0652% dan yang terendah pada rumput laut E. spinosum, yaitu 4,128%. Keseimbangan komponen nutrisi pakan berupa protein, karbohidrat, dan lemak harus juga diperhatikan dalam pemberian pakan buatan untuk abalon karena sebagaimana yang sampaikan Mohanta et al (2007), pemberian pakan untuk ikan duri perak yang terbaik pada nilai protein 25% dan karbohidrat34%, namun protein dapat berada pada kisaran 25%-30% dan karbohidrat pada kisaran 26%-34%. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa level protein 22% dan 43% memiliki nilai pertumbuhan bobot spesifik yang sama namun berbedaan secara signifikan (P<0,5) dengan level protein lainnya, dan tidak adanya perbedaan yang signifikan (P>0,5) antara pada pertumbuhan panjang cangkang spesifik, sintasan.Kandungan protein pakan 22%sudah cukup baik dalam menunjang kinerja pertumbuhan dan sintasan abalon. DAFTAR PUSTAKA Abimorad E.G & Carneiro D.J. (2007).Digestibility and performance of Pacu (Piaractus mesopotamicus) juvebil-feed diet containing different protein, lipid and carbohydrate levels.Aquaculture Nutrition Vol. 13.1-9 Cho S,H., Park J., Kim C., & Yoo J.H. (2008). Effect of casein substitution with fishmeal, soybean meal and crustacean meal in the diet of the abalone Haliotis discushannai Ino. Aquaculture Nutrition.Vol. 14. 61-66. Kuncoro A., Sudaryono A., Sujangka A., Setyabudi H., & Suminto.(2013). Pengaruh pemberian pakan buatan dengan sumber proteinyang berbeda terhadap efisiensi pakan, laju pertumbuhan,dan kelulushidupanbenih abalone hybrid.JournalofAquacultureManagementandTechnology.Volume2, Nomor3,5663. Karalazos V., Bendiksen E.A., Dick J.R., & Bell J.G. (2007). Effects of dietary protein, and fat level and rapeseed oil on growth and tissue fatty acid composition and metabolism in Atlantic salmon (Salmon salar L.) reared at low water temperatures. Aquaculture Nutrition Vol. 13; 256-265. Najib M. (2010). Uji potensi pakan alami makroalga (Gracilaria gigas dan Euchema cottoni) dan pakan buatan (pelet) untuk pembesaran abalone tropis Haliotis asinina ,Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Laut Lombok.Lombok. Nurfajrie, Suminto, &Rejeki S. (2014).Pemanfaaatan berbagai jenis makroalga untuk pertumuhan abalaon (Haliotis squamata) dalam budidaya pembesaran.Jurnal of Aquaculture Management and Technology Volume 3, Nomor 4, halaman 142150. Martinez-Palacios C.A., Rios-Duran M.G., Ambriz-Cervantes L., Jauncey K.J., & Ross L.G. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 67 (2007).Dietary protein requirement of juvenile Mexican Silverside (Menidia estor Jordan 1879), a stomachless zooplanktophagous fish.Aquaculture Nutrition Vol. 13; 304-310. Mohanta K.N., Mohanty S.N., & Jena J.K. (2007). Protein-sparing effect of carbohydrate in silver barb, Puntius gonionotus fry. Aquaculture nutrition Vol. 13; 311-317. Mohanta K.N., Mohanty S.N., Jena J.K., & Sahu N.P. (2008). Protein requirement of silver barb, Puntius gonionotus fingerlings.Aquaculture Nutrition Vol. 14; 143-152. Patadjai A.B.,MetusalachJ.,Genisa& Tahir A. (2012). Analisiskualitasdaging abalon,Haliotisasininayang diberipakanformulasidanpakan alami (Disertasi). Makassar:Universitas Hasanuddin. Sofyan Y., Bagja I., Sukriadi, Yana A.,& Dadan K.W. (2006).Pembenihan abalon (Haliotis asinina) di Balai Budidaya Laut Lombok.Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Laut Lombok. Susanto B., Rusdi I., Ismi S., & Rahmawati R.(2009).Pemeliharaan yuwana abalon (Haliotis squamata) turunan F-1 secara terkontrol dengan jenis pakan berbeda.Laporan akhir.Program Insentif.Peningkatan Kemampuan Penelitian dan Perekayasa.Dewa Riset Nasional.Kementerian Negara Riset dan Teknologi.11 hlm. Zhang C& Zhang R.(2006).Matrix proteins in the outher shells of molluscs.Marine Biotechnology, Volume8 : p. 572-786. Lampiran 1 : Tabel 1. Komposisi bahan penyusun pada setiap perlakuan Bahan Baku Komposisi Bahan (%) B (43%) C (32%) 55,00 12,00 10,00 40,00 10,00 22,00 17,00 18,00 1,50 1,50 3,00 3,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 0,5 0,5 A (52%) 80,00 2,00 5,00 5,00 1,50 3,00 1,00 1,00 1,00 0,5 Tepung tempe Tepung ikan Tepung kepala udang Ekstrak E. cottoni Tepung “agar “ Tepung “jelly” Minyak ikan Mineral Vitamin CMC Total 100 100 D (22%) 15,00 16,00 15,00 46,00 1,50 3,00 1,00 1.00 1,00 0,5 100 100 Tabel 2. Pertumbuhan abalon Pertumbuhan Perlakuan A (52%) Panjang Cangkang Spesifik (%) Bobot Spesifik (%) 4,43±0,67a 1,62±0,37a Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 68 B (43%) 7,10±0,65a 5,65±0,51b C (32%) 5,10±3,14a 2,34±1,69a D (22%) 7,33±1,89a 5,90±1,08b Tabel 3. Sintasan Perlakuan Sintasan (%) A (52%) 85,00±0,00a B (43%) 83,33±2,89ab C (32%) 76.67±5,77b D (22%) 85,00±0.00a Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 69 PROTEIN LEVEL IN ABALON TILLERS (Haliotissquamata) BREEDING Hamzah, SugengRaharjo, Mohd.Syaichudin, Suhardi A.B.S.,Mutmainnah BalaiPerikananBudidaya Air PayauTakalar Abstract Efforts to obtain artificial feed for abalone is feed abalone important to replace the natural food from seaweed Gracillariasp so the amount and quality of feed abalone do not depend on the season. The aim of the study was to evaluate the level of protein feed on the growth performance and survival of abalone (H.squamata), through the measurement of protein retention rate, the level of feed consumption and feed utilization effectiveness. To observe the protein level of feed for abalone (H. squamata) is important because protein are the largest component in the preparation of artificial food. The size of abalone (H. squamata) was between 40.5 to 45.3 mm with an average weight of 12.98 g 240 for seed. Feed to be used is feed with a protein content of 52%, 43%, 32%, and 22%, for three-month breeding period. Different value of abalone feed protein had no significant effect on the abalone growth performance and survival. The value of good feed protein for abalone (H. squamata) was enlarged by 22%. Keywords: abalon, feed, protein Tabel 1.The composition of constituents in each treatment Raw material Tempeh flour Fish flour Shrimp heads flour ExtractE. cottoni Flour “agar “ Flour “jelly” Fish oil Mineral Vitamin A (52%) 80.00 2.00 5.00 5.00 2.00 3.00 1.00 1.00 1.00 Composition (%) B (43%) C (32%) 55.00 12.00 10.00 40.00 10.00 22.00 17.00 18.00 2.00 2.00 3.00 3.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 D (22%) 15.00 16.00 15.00 46.00 2.00 3.00 1.00 1.00 1.00 Tabel 2.Abalone growth Treatment A (52%) B (43%) C (32%) D (22%) Growth Specific shell Specific weights length (%) (%) a 4.43±0.67 1.62±0.37a 7.10±0.65a 5.65±0.51a a 5.10±3.14 2.34±1.69a 7.33±1.89a 5.90±1.08a Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 70 Tabel 3.Survival rate Treatment A (52%) B (43%) C (32%) D (22%) Survival 85.00±0.00a 83.33±2.89a 76.67±5.77a 85.00±0.00a Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 71 PRELIMINARY Abalone (Haliotissquamata) is a marine mollusk that group in Indonesia known as the shells of abalone, snails hunger satiety. Abalone is a marine gastropod with a shell that lives in tidal areas stretching from the tropics to temperate waters. Currently abalone including the type of oyster that was developed to meet the needs of alternative protein than fish. Has a high nutritional value of the protein content of 54.13%, 3.20% fat, 5.60% fiber, 9.11% ash and moisture content of 27.96% (Sofyan et al., 2006). On abalone farming activities must not be separated from the problem. Various obstacles abalone aquaculture one form of abalone growth rates were very slow (Susanto et al., 2009). Growth of abalone in addition to inaction caused by genetic factors also caused by lack of nutrition because still use the natural food form of seaweed. Feeding the form of seaweed for the maintenance of abalone has drawbacks including high feed conversion value, in addition to the amount and quality depending on the season. Attempts to make artificial feeding in abalone farming in this country is still rare. While abroad artificial feeding for abalone aquaculture have been developed, such as in Japan, Taiwan, USA, and Australia. Experiments feed in Taiwan showed that the growth of abalone using artificial feed is 65% larger than abalones fed macroalgae (Kuncoro et al., 2013). Benefits of the use of artificial feed in addition to the nutritional content can be arranged based on the needs and development of abalone, can also be prepared each time. Artificial feeding with a certain value and a source of protein is expected to produce quality abalone in the form of greater weight, shell length, relatively high protein content and taste better (Patadjai et al., 2012). The proteins on artificial feed is one of the essential nutrients because it can build up and maintain muscle mass. According to Najib (2010), the intensity of the percentage weight gain is strongly influenced by the protein content in a feed, the low amount of protein in the diet will lead to slow growth and poor weight gain. In the study conducted Cho et al (2008), feed with a protein content of 37.6% for abalone Haliotis discus-hannaiIno. growth more efficiently than others. Despite the many studies that reveal the artificial feeding of abalone, but until now what the optimal level of artificial feed for growing abalone H. squamata not much to reveal. Based on this, it is necessary to evaluate the level of protein feed with the performance of growth and the survival of abalone H. squamata, through feeding with high levels of certain proteins. MATERIALS AND METHODS Location research This research is quantitative, conducted research was conducted at the Division Abalone Breeding Center Brackish Water Aquaculture Takalar in March 2015 until June 2015. Material research Test animals were used in this study is the abalone H. squamata with the size of 43.28 ± 1.67 mm, weight of 12.98 ± 1.34 g of 240 seeds. Then divided into 20 fish for four treatments and three replications. Containers experiment in the form of a plastic basket size 60x50x30 cm, inserted in a tub maintenance rectangular shape with a Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 72 turnover volume of 500 L water circulation system. Feed used shaped spots with raw material composition as shown in Table 1, from the raw material composition, the protein content of feed to be used is about 52%, 43%, 32% and 22%. Abalone were fed as much as 5% of biomass per day, feeding is done once per day at 17.00 pm. Research design This study was designed in a completely randomized design (CRD) with 4 treatments protein level of feed, each with three repetitions. The treatments include: feed A: 52% protein feed, the feed B: 43% protein feed, feed C: 32% protein feed and feed D: 22% protein feed. Data collection The parameters were observed during the trial in the form of growth that includes abalone shell length and weight, observations and calculations performed daily growth rate at the beginning and end of the research activities by referring the equation formula: Equation specific weight (Wt – Wo) Gs (g) = x 100% t where:Gs = Growth specific weight (g) Wo = weight of abalone at baseline (g) Wt = Weight of abalone at the end of the study (g) t = Length of maintenance (90 days) Equation specific shell length (Lt – Lo) Ls (mm) = x 100% t where: Ls= specific growth in shell length (mm) Wo= length of abalone shells at baseline (mm) Wt= length of abalone shells at the end of the study (mm) t = Length of maintenance (90 days) Observation of survival (the survival) at the end of the research activities with reference to the formula: Nt S (%) = x 100 No Where: S = Survival Nt = Total end of the experiment (ind) No = Number of start of the experiment (ind). Data analysis Data were analyzed by analysis of variance (ANOVA) and data showing the influence, then further analysis of the W-Tuckey. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 73 RESULTS Abalone growth obtained during the study are shown in Table 2. It shows the growth of abalone shells given artificial feed with different protein content, did not show a significant difference (P> 0.5) between the feed with a protein content of 52%, 43% , 32% and 22%. As for the growth of abalone weight showed a significant difference (P <0.5). This means that feed the protein value 52% in contrast to feed other feed, while feed feed with a protein value of 22% to 43% have a growing influence on the weight of abalone that is equal to or no difference in the growth of abalone by feeding valuable protein 22% to 43%. So the difference in the value of the feed protein causes weight difference abalone growth, but does not cause differences in the growth of abalone shells. The growth of abalone in the form of the length, width and weight of the feed showed that treatment with a protein content of 22% higher when compared to other treatments. These results indicate that feed D (22%) were prepared on the protein material from soybean flour, fish meal and shrimp head flour more balanced in number and value of its protein content closer to the protein content of the natural food abalone form Gracillariaverucosa the protein value of 8.0651 %. Growth of specific individual shell length were higher in feeding with protein value 22% where a specific daily growth in shell length 7.33 ± 1.89% with a specific weight of 5.89 ± 1.08%, and then successively treated with the protein value 43, 32, and 52%. Based on the data in Table 3 it can be seen that the abalone survival rate showed no statistically significant difference (P> 0.05). This means that there is no difference in the survival rate of abalone by feeding valuable protein 22% to 52%. Although individually higher in feeding with protein values of 22 and 53% where both have the same survival rate is 85%. DISCUSSION This study shows that the growth of abalone shells did not show statistically significant differences (P> 0.05). This means that there is no difference in the growth of abalone by feeding valuable protein 20% to 52%. As for the growth of abalone weight showed a significant difference (P <0.5). Feed with a protein content of 22% and 43% in contrast to other feed, where feed with a protein content of 22% to 43% to give effect to the growth of abalone weight better when compared with the feed with a protein content of 32% and 52%. These results show that feed with a balanced composition of sources of protein include animal protein and vegetable protein is better than the feed which is only composed of a source of protein. Where feeding with protein value of 22% influenced the growth of higher specific weight with a value of 5.90 ± 1.08%. So, from this study may be mentioned that the best feed for abalone H. squamata is at a value of 22% protein. In addition, by feeding the protein content of 22% certainly more efficient than a higher protein content .. The same study shown in Pacu fish (Piaractusmesopotamicus) fed artificial protein value 22% -25%, the result was not significant the Pacu fish growth (Abimorad&Carneiro, 2007). However, different results are shown in the study in salmon fed with adjusting the ratio of protein and fat, where the salmon fed with protein value low at 34% and the fat 36% showed a significant difference by feeding with high protein value ie 39% and 32% fat values (Karalazos et al., 2007). Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 74 Shells of molluscs composition consisting of 95% -99% calcium carbonate and 5% consisting of organic material (Zhang & Zhang, 2006). In this study showed that increasing protein did not improve growth performance H. squamata abalone shell, the different results obtained on silver barb fish (Puntiusgonionotus) where artificial feeding with protein values of 20%, 25%, 30%, 35%, and 40 %, show the results in the form of feeding 30% more effective growth performance compared with other feed (Mohanta et al., 2008). In this study, the feeding of protein value added growth of 22% gives a better specific weight, namely 5.90 ± 1.08% within 3 months of maintenance. Almost the same results are also raised by Cho et al (2008), the growth of abalone H. discus-hannai fed with protein value of 37.6% better than the feed with a protein value of 38.3%; 36.5%; 36.8%; and 10.5%. The composition of the feed material to 37.6% ie fish meal (20%), soybean meal (20%), flour shrimp heads (13%), dextrin (13.6%), wheat flour (5%), soybean oil ( 4%), sodium alginate (22%), vitamin (2%), and minerals (4%). But the results were somewhat different shown in fish seed Mexico silverside (Menidiaestor) where the treatment of the feeding of protein value 25%, 30%, 35%, 45%, 50% and 55%, the best growth and survival in stage protein value of between 40% and 50% (Martinezpalacios et.al., 2007). In this study showed that the survival rate of abalone from all the protein level there is no difference even if the value of different protein feed consumed, meaning abalone can live with artificial feeding despite low protein values. Thus, in the cultivation of abalone do feed substitution of natural food in the form of artificial feed gracillariasp to the value of a particular protein. These results also showed that feed D (22%) approximates protein natural food abalones form gracillariasp as pointed out by Nurfajrie et al (2014), the results of analysis Proximate various types of seaweed, the highest is the type gracillariaverucosa the protein value of 8.0651%, 6.4387% of Ulvasp, Gracillariaarcuata 7.0652% and the lowest in E. spinosum seaweed, which is 4.128%. Balance component feed nutrients such as protein, carbohydrates, and fats should also be considered in the provision of artificial feed for abalone because as convey Mohanta et al (2007), feeding on fish spines silver best in value of 25% protein and carbohydrate 34%, but protein may be in the range of 25% -30% and carbohydrates in the range of 26% -34%. CONCLUSIONS AND RECOMMENDATIONS Based on these results it can be concluded that the protein level of 22% and 43% have a specific growth rate of the same weight but berbedaan significantly (P <0.5) with other protein levels, and no significant difference (P> 0.5) among the specific shell length growth, survival rate. Feed protein content of 22% is good enough to support the growth performance and survival rate of abalone. LITERATURE Abimorad E.G &Carneiro D.J. (2007).Digestibility and performance of Pacu (Piaractusmesopotamicus) juvebil-feed diet containing different protein, lipid and carbohydrate levels.Aquaculture Nutrition Vol. 13.1-9 Cho S,H., Park J., Kim C., &Yoo J.H. (2008). Effect of casein substitution with fishmeal, soybean meal and crustacean meal in the diet of the abalone Haliotis Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 75 discushannaiIno. Aquaculture Nutrition.Vol. 14.61-66. Kuncoro A., Sudaryono A., Sujangka A., Setyabudi H., &Suminto.(2013). Pengaruh pemberian pakan buatan dengan sumber protein yang berbeda terhadap efisiensi pakan,laju pertumbuhan, dan kelulushidupan benih abalone hybrid. Journalof Aquaculture Managementand Technology. Volume2, Nomor 3, 5663. Karalazos V., Bendiksen E.A., Dick J.R., & Bell J.G. (2007). Effects of dietary protein, and fat level and rapeseed oil on growth and tissue fatty acid composition and metabolism in Atlantic salmon (Salmon salar L.) reared at low water temperatures. Aquaculture Nutrition Vol. 13; 256-265. Najib M. (2010). Ujipotensipakanalamimakroalga (GracilariagigasdanEuchemacottoni) danpakanbuatan (pelet) untukpembesaran abalone tropisHaliotisasinina ,DepartemenKelautandanPerikananDirektoratJenderalPer ikananBudidaya. BalaiBudidayaLaut Lombok.Lombok. Nurfajrie,Suminto,&RejekiS.(2014).Pemanfaaatanberbagaijenismakroalgauntukpertumu hanabalaon (Haliotissquamata) dalambudidayapembesaran.Jurnal of Aquaculture Management and Technology Volume 3, Nomor 4, halaman 142150. Martinez-Palacios C.A., Rios-Duran M.G., Ambriz-Cervantes L., Jauncey K.J., & Ross L.G. (2007).Dietary protein requirement of juvenile Mexican Silverside (Menidiaestor Jordan 1879), a stomachlesszooplanktophagous fish.Aquaculture Nutrition Vol. 13; 304-310. Mohanta K.N., Mohanty S.N., & Jena J.K. (2007). Protein-sparing effect of carbohydrate in silver barb, Puntiusgonionotus fry. Aquaculture nutrition Vol. 13; 311-317. Mohanta K.N., Mohanty S.N., Jena J.K., &Sahu N.P. (2008). Protein requirement of silver barb, Puntiusgonionotus fingerlings.Aquaculture Nutrition Vol. 14; 143-152. PatadjaiA.B.,MetusalachJ.,Genisa&TahirA.(2012).Analisiskualitasdagingabalon,Haliotisa sininayangdiberipakanformulasidanpakanalami(Disertasi). Makassar:UniversitasHasanuddin. Sofyan Y., Bagja I., Sukriadi, Yana A., &Dadan K.W. (2006).Pembenihanabalon (Haliotisasinina) di BalaiBudidayaLaut Lombok.DepartemenKelautandanPerikanan.DirektoratJenderalPerikananBudid aya. BalaiBudidayaLaut Lombok. Susanto B., Rusdi I., Ismi S., &Rahmawati R. (2009).Pemeliharaanyuwanaabalon (Haliotissquamata) turunan F-1 secaraterkontroldenganjenispakanberbeda.Laporanakhir.Program Insentif.PeningkatanKemampuanPenelitiandanPerekayasa.DewaRisetNasional. Kementerian Negara RisetdanTeknologi.11 hlm. Zhang C & Zhang R. (2006).Matrix proteins in the outher shells of molluscs.Marine Biotechnology, Volume 8 : p. 572-786. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 76 Produksi Clownfish Hybrid Varian Picasso (Amphiprion percula picasso) dengan Padat Tebar Yang Berbeda di Keramba Jaring Apung Narulitta Ely, Sunarto dan Syaripuddin Abstrak Clownfish di alam merupakan ikan omnivore (pemakan hewan dan tumbuhan), makanannya berupa invertebrate kecil yang sesuai dengan bukaan mulutnya seperti crustacean, cacing renik, larva ikan, algae juga diketahui memenuhi 20 – 25% kebutuhan nutrisinya. Berbeda dengan clownfish yang dibudidayakan dimana kebanyakan pakannya adalah pakan buatan (pellet). Kegiatan budidaya telah diupayakan melalui keberhasilan breeding guna menghasilkan benih yang berkualitas. Namun hal itu belumlah cukup, mengingat yang dinikmati dari ikan hias adalah corak warna dan keindahan bentuk tubuhnya. Pengaruh pakan memegang peranan penting dalam pembentukan warna dari ikan hias. Guna memberikan keleluasaan gerak serta kompetisi pakan agar didapat pertumbuhan yang optimal perlu diperhatikan kepadatan tebar di keramba Jaring Apung. Padat tebar erat kaitannya dengan produksi dan pertumbuhan ikan. Dengan demikian pada kegiatan perekayasaan ini dicoba menggunakan padat tebar yang berbeda pada pemeliharaan clownfish Picasso di keramba jaring apung (KJA). Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui efektifitas penggunaan padat tebar yang berbeda terhadap pertumbuhan dan kelulusan hidup (SR) clownfish Picasso(Amphiprion percula picasso) di KJA. Kegiatan ini dilakukan pada bulan April Juli 2015 di Karamba Jaring Apung Teluk Ambon. Pemeliharaan benih di KJA menggunakan wadah pemeliharaan berupa waring bentuk kotak dengan ukuran 1 x 1 x 1 m. Perlakuan padat tebar 100 ekor/m3, 150 ekor/ m3, dan 200 ekor/ m3 masing- masing dua kali ulangan. Benih dipelihara selama dua bulan dan selama masa pemeliharaan benih diberi pakan pellet dengan fekuensi pemberian pakan dua kali sehari. Pengukuran sampel dan pengambilan data parameter kualitas air media pemeliharaan dilakukan dua minggu sekali. Pertambahan panjang clownfish Picasso tertinggi terjadi pada padat tebar 200 ekor yaitu sebesar 1.88 cm diikuti padat tebar 150 ekor/ m3 sebesar 1.5 cm dan terendah pada padat tebar 100 ekor/ m3 yaitu sebesar 1.03 cm. Nilai sintasan pada ketiga perlakuan menunjukkan bahwa sintasan tertinggi terjadi pada perlakuan padat tebar 150 ekor/ m3 sebesar 90% diikuti perlakuan padat tebar 100 ekor/ m3 sebesar 70% dan perlakuan padat tebar 200 ekor/ m3 sebesar 55%. Dari beberapa parameter kualitas air selama masa pemeliharaan menunjukkan bahwa kisaran kualitas air pada media pemeliharaan clownfish Picasso masih dalam kondisi yang sesuai untuk pemeliharaan clownfish Picasso dimana suhu berkisar antara 26.2 – 29.6°C,salinitas 30.5 – 33.5 ppt, pH 8.1 – 8.3 dan DO antara 4.34 – 5.91 mg/l. Kata Kunci : Clownfish Picasso, Padat Tebar, KJA Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 77 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Clownfish berasal dari family Pomacentridae. Salah satu family terbesar dalam komunitas ikan karang hingga saat ini diketahui ada sekitar 28 spesies. 27 spesies diantaranya termasuk dalam marga Amphiprion dan dua lainnya marga Premnas. Bentuknya yang cenderung bulat, ikan clown umumnya berwarna kuning oranye, kemerahan, hitam dan putih dengan motif badan cenderung berupa garis putih. Motifnya yang berwarna menyala dengan gerakan yang lucu ini yang membuatnya dijuluki badut/Nemo Picasso. Clownfish di alam merupakan ikan omnivore (pemakan hewan dan tumbuhan), makanannya berupa invertebrate kecil yang sesuai dengan bukaan mulutnya seperti crustacean, cacing renik, larva ikan, algae juga diketahui memenuhi 20 – 25% kebutuhan nutrisinya. Berbeda dengan clownfish yang dibudidayakan dimana kebanyakan pakannya adalah pakan buatan (pellet). Kegiatan budidaya telah diupayakan melalui keberhasilan breeding guna menghasilkan benih yang berkualitas. Namun hal itu belumlah cukup, mengingat yang dinikmati dari ikan hias adalah corak warna dan keindahan bentuk tubuhnya. Pengaruh pakan memegang peranan penting dalam pembentukan warna dari ikan hias. Guna memberikan keleluasaan gerak serta kompetisi pakan agar didapat pertumbuhan yang optimal perlu diperhatikan kepadatan tebar di keramba. Padat tebar erat kaitannya dengan produksi dan pertumbuhan ikan. Dengan demikian pada kegiatan perekayasaan ini dicoba menggunakan padat tebar yang berbeda pada pemeliharaan clownfish di keramba jaring apung. 1.2. Tujuan Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui efektifitas penggunaan padat tebar yang berbeda terhadap pertumbuhan dan sintasan (SR) clownfish (Amphiprion percula picasso) di KJA. 1.3. Waktu dan Tempat Kegiatan ini dilakukan pada bulan April - Juli 2015 di Karamba Jaring Apung Teluk Ambon. BAHAN DAN METODE 3.1. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang diperlukan untuk mendukung kegiatan perekayasaan pemeliharaan clownfish picasso (Amphiprion percula picasso) dengan padat tebar berbeda terhadap pertumbuhan dan sintasan (SR) clownfish (A. percula picasso) di KJA dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 1. Alat dan bahan No Alat / Bahan Kebutuhan Keterangan 1 Benih Clownfish 900 ekor Hewan uji ( A. percula Picasso) 2 waring ukuran 1 x 1 x 1 m (m3) 6 buah Wadah pemeliharaan 3 KJA ukuran 3 x 3 x 3 m 1 buah Wadah pemeliharaan 4 Pakan pellet 2 bag Makanan ikan 5 Pemberat 12 bh Penegang waring 6 cover penutup 6 buah Pelindung waring Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 78 7 8 9 10 11 shelter dari pipa paralon Mistar Ember Tanggo ATK 18 buah 1 buah 3 buah 3 buah 1 set Tempat sembunyi Pengukur panjang Penampung ikan Penyerok ikan Pencatatan & pembuatan laporan 3.2. Metode Kerja Bersama ini diberikan cara dan strategi pengujian: 1. Tahapan persiapan dan pemeliharaan benih yang akan dibesarkan di KJA : a. Sediakan wadah pemeliharaan berupa waring dengan ukuran yang ada. b. Pasang wadah pemeliharaan pada KJA sehingga terbentuk kotak dengan bantuan pemberat pada keempat sisi pada bagian dasar waring. c. Siapkan cover menutup waring. 2. Saat Pengujian : a. Sediakan wadah pemeliharaan pengujian sebanyak 6 buah dengan ukuran 1x1x1m b. Seleksi benih ikan dengan ukuran panjang ±2 cm dengan kriteria sehat, tidak cacat, pergerakan aktif dan pola warna yang merata. c. Masukkan benih ke dalam wadah yang telah disiapkan sesuai perlakuan padat tebar 100 ekor/m3, 150 ekor/m3, dan 200 ekor/m3 masing- maing dua kali ulangan. d. Beri cover dan shelter untuk mencegah penetrasi panas langsung yang dapat membuat ikan stress dan mati serta melindungi ikan dari predator burung laut. e. Benih dipelihara selama dua bulan dan selama masa pemeliharaan benih diberi pakan pellet dengan fekuensi pemberian pakan dua kali sehari. 3. Pengambilan data: Selama pengujian pengamatan yang dilakukan meliputi : a. Pengamatan jumlah kelulusan hidup benih (SR) b. Panjang benih (cm) c. Kualitas air Data yang telah diperoleh dikumpulkan untuk kemudian diolah menjadi : - Survival Rate (SR) SR = Jumlah Ikan Yang Hidup X 100% Jumlah ikan awal tebar - Data pertambahan panjang (pertumbuhan) - Data Parameter Kualitas Air Media Pemeliharaan Dilakukan dengan menganalisa data kualitas air yang diterima dari hasil pengujian oleh laboratorium kualitas air. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 79 III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengambilan data pemeliharaan benih clownfish di KJA selama dua bulan dapat dilihat pada tabel-tabel di bawah ini : Tabel 2. Rata-rata Hasil Pengukuran Panjang Benih Clownfish di KJA Panjang Benih Clownfish Periode 26 April 10 Mei 24 Mei 7 Juni 21 Juni 1 Juli Pertambahan Panjang Padat Tebar 100 ekor/m3 (cm) 2.0 2.35 2.41 2.65 2.83 3.03 1.03 Padat Tebar 150 ekor/m3 (cm) 2.0 2.57 2.79 3.0 3.29 3.5 1.5 Padat Tebar 200 ekor/m3 (cm) 2.0 2.78 2.95 3.2 3.57 3.88 1.88 Apabila disajikan dalam bentuk grafik, pertumbuhan benih clownfish dapat dilihat pada grafik dibawah ini: Gambar 1. Pertambahan panjang clownfish selama pemeliharaan Pertambahan panjang tertinggi terjadi pada padat tebar 200 ekor/m3 yaitu sebesar 1.88 cm diikuti padat tebar 150 ekor/m3 sebesar 1.5 cm dan terendah pada padat tebar 100 ekor /m3 yaitu sebesar 1.03 cm. Berdasarkan tiga perlakuan diatas, pertumbuhan ikan clownfish mengalami pertambahan panjang selama dua bulan pemeliharaan. Pertumbuhan terjadi apabila ikan hidup pada lingkungan yang optimum (suhu, pH dan oksigen) serta kebutuhan makanan yang mencukupi. Pada perekayasaan ini makanan berupa pakan pellet yang diberikan masih sesuai dengan perbandingan padat tebar. Kelulusan Hidup/survival rate (SR) Nilai Kelulusan hidup/ survival rate (SR) benih selama dua bulan pemeliharaan dapat dilihat pada table 3 di bawah ini: Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 80 Tabel 3. Rata-rata Hasil Perhitungan SR Benih Clownfish di KJA SR Benih Clownfish Padat Tebar Periode 100 ekor /m3 (%) 150 ekor /m3 (%) 200 ekor /m3 (%) 26 April 100 100 100 10 Mei 100 100 97 24 Mei 95 99 97 7 Juni 79 95 63 21 Juni 72 92 60 1 Juli 70 90 55 Apabila disajikan dalam bentuk grafik ,pertumbuhan benih clownfish dapat dilihat pada gambar dibawah ini: Gambar 2. Rata-rata Hasil Perhitungan SR Benih Clownfish di KJA Nilai sintasan pada ketiga perlakuan menunjukkan bahwa sintasan tertinggi terjadi pada perlakuan padat tebar 150 ekor/m3 sebesar 90% diikuti perlakuan padat tebar 100 ekor/m3 sebesar 70% dan perlakuan padat tebar 200 /m3 sebesar 55%. Kualitas Air Media Pemeliharaan Clownfish di KJA Kualitas air media pemeliharaan selama dua bulan pengujian dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini : Tabel 4. Rata-rata Hasil Pengukuran Parameter Kualitas Air Laut di KJA Minggu Suhu (⁰C) Salinitas (ppt) pH DO (mg/L) 0 29.20 31.30 8.20 5.70 I 29.27 31.33 8.20 5.79 II 29.57 32.57 8.20 5.68 III 28.27 33.47 8.27 4.99 IV 28.00 32.50 8.27 4.90 Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 81 V 26.33 33.17 8.23 4.51 Dari beberapa parameter kualitas air selama masa pemeliharaan menunjukkan bahwa kisaran kualitas air pada media pemeliharaan clownfish masih dalam kondisi yang sesuai untuk pemeliharaan clownfish dimana suhu berkisar antara 26.2 – 29.6°C,salinitas 30.5 – 33.5 ppt dan DO antara 4.34 – 5.91 mg/l. Kualitas air dapat mempengaruhi pertumbuhan biota air. Jika kualitas air dalam suatu perairan seperti suhu, pH, dan oksigen terlarut dalam air berada di luar kisaran optimum, maka pertumbuhannya akan terhambat. Pengukuran kualitas air selama penelitian meliputi suhu, oksigen terlarut (DO) dan pH. Clownfish hidup pada kisaran suhu 27 - 30°C ; salinitas 28 – 32 ppt; DO min 4.5 mg/l dan pH 8.0 – 8.4 ( Basir, A.E dkk, 2014). Dengan demikian kualitas air media pemeliharaan benih clownfish selama masa pemaliharaan di Keramba Jaring Apung berada pada kisaran normal. IV. Kesimpulan Dari hasil kegiatan di atas dapat disimpulkan bahwa : 1. Pertambahan panjang tertinggi terjadi pada padat tebar 200 ekor/m3 2. Nilai sintasan pada ketiga perlakuan menunjukkan bahwa sintasan tertinggi terjadi pada perlakuan padat tebar 150 ekor/m3 DAFTAR PUSTAKA Basir, A.E., Abdul Gani dan Herlina Tahang. 2014. Teknik Pembesaran Ikan Clown. Seri Budidaya Laut No. 5. Budidaya Ikan Hias Clown. Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon. Direktorat Produksi, 2014. Budidaya Ikan Hias Clownfish (Amphiprion sp.). Leaflet. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Henro Minjoyo, Suryadi Saputra dan Lucky Marzuki Nasution, 2013. Pembesaran Clownfish (Amphiprion ocellaris) di Keramba Jaring Apung. Buletin Balai Budidaya Laut No:32 Tahun 2013 ISSN : 0853-4411. Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung. Ketur Maha Setiawati, dkk, 2011. Petunjuk Teknis Pembenihan Ikan Hias Klon Amphiprion ocelaris dan Amphiprion percula. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut Lampung. SNI 7778:2012. Produksi Clownfish/Clownfish (Amphiprion ocellaris). Badan Standarisasi Nasional. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 82 USE OF DIFFERENT TYPE OF FEED IN THE BLACK PHOTON CLOWNFISH (Amphiprion percula) CULTURE IN RECIRCULATION SYSTEM Hamida Pattah, Narulita Ely, Marwa, Rusli Raiba Mariculture Development Center of Ambon Email : [email protected] ABSTRACT Development of marine ornamental fish farming have been done by the Mariculture Development Center of Ambon since 2014. The culture of ornamental fish was done in controlled tanks and floating net cages. The main problem in the cultivation of ornamental fish clownfish black photon is the type of feed appropriate to support growth not yet found. The objectives of the research were to determine the development of the body color, growth and survival rate of Black photon clownfish seed. This research used three treatments of different feed type were artemia cysts (A), artificial feed otohyme brand (B), artificial feed brand Magna (C). The results showed no difference in the absolute growth and the survival rate of black photon clownfish seed. The treatment which fed with artificial feed brand otohyme (B) gave higher growth (1,6 cm) and survival rate (100%). The other treatments showed 1,37 cm growth and survival rate 87% (C), and 1,23 cm and 85% (A). Key words : type of feed, Black photon clownfish, growth rate, survival rate Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 83 1. Pendahuluan Ikan sebagai mahluk hidup di dalam kehidupannya membutuhkan bahan makanan sebagai sumber energi dan gizi yang diperlukan dalam melakukan aktifitasnya yang mencakup pertumbuhan dan perkembangan serta reproduksi yang dilakukannya. Pada habitat alaminya yaitu perairan bebas sumber makanan yang diperlukan ikan telah tersedia dengan sendirinya pada kondisi terkait dengan pola rantai makanan yang ada di perairan tersebut. Ketersediaan pakan di perairan bebas memungkinkan ikan untuk memilih dan mencari sumber makanan yang dibutuhkannya tanpa terbatas ruang dan waktu. Sedangkan ikan yang dibudidayakan dalam suatu aquarium relatif tidak mempunyai alternatif lain dalam memilih dan mencari sumber makanan karena ruang gerak dan habitatnya dibatasi. Situasi ini mengarahkan ikan dalam suatu kondisi ketergantungan pakan yang disuplai dari luar lingkungannya. Ketersediaan pakan alami yang ada di dalam perairan tersebut semakin menipis dengan bertambahnya ukuran ikan dan bahkan pada waktu tertentu akan mengakibatkan habisnya pakan alami tersebut. Besarnya populasi ikan dalam suatu perairan antara lain ditentukan oleh makanan yang tersedia. Dari makanan ini ada beberapa faktor yang berhubungan dengan populasi tersebut yaitu jumlahdan kualitas makanan yang tersedia, mudahnya tersedia makanan, lama masa pengambilan dan cara memakan ikan. Jenis-jenis makanan yang dimakan suatu spesies ikan biasanya tergantung pada kesukaan terhadap jenis makanan tertentu, ukuran dan umur ikan, musim serta habitat hidupnya. Kebiasaan makan ikan meliputi jenis, kuantitas dan kualitas makanan yang dimakan oleh ikan. Tidak semua jenis makanan yang tersedia di sekitarnya dimakan dan dapat dicerna dengan baik oleh ikan. Faktor-faktor yang menentukan dimakan atau tidaknya suatu jenis organisme makanan oleh ikan yaitu, ukuran makanan, ketersediaan makanan, warna terlihatnya makanan, dan selera ikan terhadap makanan, sedangkan jumlah makanan yang dibutuhkan oleh suatu spesies ikan tergantung kepada kebiasaan makanan, kelimpahan makanan, konversi makanan, serta suhu air, juga kondisi umum dari spesies ikan tersebut. Ikan nemo atau ikan clown berasal dari family Pomacentridae. Salah satu family terbesar dalam komunitas ikan karang hingga saat ini diketahui ada sekitar 28 spesies. 27 spesies diantaranya termasuk dalam marga Amphipriondan dua lainnya marga Premnas.Bentuknya yang cenderung bulat, Clownfish umumnya berwarna kuning oranye, kemerahan, hitam dan putih dengan motif badan cenderung berupa garis putih. Motifnya yang berwarna menyala dengan gerakan yang lucu ini yang membuatnya dijuluki badut/klown. Clownfish merupakan ikan omnivore (pemakan hewan dan tumbuhan), makanannya berupa invertebrate kecil yang sesuai dengan bukaan mulutnya seperti crustacean, cacing renik, larva ikan, algae juga diketahui memenuhi 20 – 25% kebutuhan nutrisinya. Berbeda dengan clownfish yang dibudidayakan dimana kebanyakan pakannya adalah pakan buatan (pellet). Pertumbuhan ikan nemo akan mengalami peningkatan apabila pakan yang dikonsumsi secara kuantitas dan kualitas terpenuhi. Oleh karena itu melalui kegiatan perekayasaan ini telah diuji cobakan pakan komersial dengan kandungan protein yang berbeda dan artemia instan untuk mengetahui Pertumbuhan clownfish dan menentukan pakan komersil yang terbaik untuk usaha pembesaran clownfish. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 84 Tujuan dari kegiatan perekayasaan ini adalah untuk menentukan jenis pakan yang tepat untuk pertumbuhan clownfish. 2. METODE PENELITIAN 2.1. Waktu dan Tempat Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2015 bertempat di hatchery Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon. Sumber benih ikan hias clownfish yang digunakan dalam kegiatan ini berasal dari harchery ikan hias BPBL Ambon. 2.2. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah sebagai berikut: A. Alat Alat yang digunakan adalah : - Filter biologi - Aquarium - Pompa - Kontener plastic - Heater - Penggaris - Tanggo B. Bahan Bahan yang digunakan adalah: - Pakan artemia instan dengan kandungan protein 65% - Pakan buatan dengan kandungan protein 50% - Pakan buatan dengan kandungan protein 67% - Benih clownfish 2.3. Metode kerja 2.3.1. Persiapan Kegiatan ini dilakukan di semi indoor HPI BPBL Ambon. Diawali dengan mempersiapkan air laut steril pada tiga buah wadah pemeliharaan dan satu buah akuarium yang berisi air laut sebagai penampungan air. Air kemudian disterilkan dengan menggunakan kaporit dosis 10 ppm dan kemudian dinetralkan dengan thiosulfate atau diaerasi kuat selama 24 jam. bahan uji berupa clownfish jenis black photon yang diperoleh dari hasil pemijahan secara alami di BPBL Ambon. Benih dimasukkan kedalam 3 buah kontener plastic volume 80 liter yang diisi 65 liter air laut. Setiap kontener ditebar benih sebanyak 100 ekor. 2.3.2. Pemeliharan Benih Benih dipelihara dengan system resirkulasi. Pakan diberikan setiap hari dengan frekuensi pemberian 3 x sehari yaitu pada pagi, siang dan sore haridengan perlakuan jenis yang berbeda. Perlakuan A = pakan artemia instan dengan kandungan protein 65%, B = pakan buatan dengan kandungan protein 50%, C = pakan buatan dengan kandungan protein 47%. Pemberian pakan dilakukan secara adlibithum. 2.3.3. Pengambilan Data Data yang diperoleh dari kegiatan ini adalah berupa panjang total benih setiap 2 minggu untuk mengetahui laju pertumbuhan dan jumlah benih pada awal dan akhir pemeliharaan untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup benih. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 85 2.4. Analisa Data Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan panjang mutlak benih clownfish dan kelangsungan hidup (SR). Pertumbuhan panjang mutlak Menurut Effendie, 1979 pengukuran pertumbuhan panjang mutlak dilakukan secara periodik dari awal hingga akhir penelitian dengan mengukur panjang ikan betok. Lm = Lt - Lo Dimana : Lm: Pertumbuhan panjang mutlak (cm) Lt: Panjang rata-rata pada akhir penelitian (cm) Lo: Panjang rata-rata pada awal penelitian (cm) Perhitungan kelangsungan hidup (SR) SR = Nt/No X 100% Dimana : SR : Kelangsungan hidup (%) Nt : Jumlah ikan pada akhir pemeliharaan (individu) No : Jumlah ikan pada akhir pemeliharaan (individu) 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. HASIL Hasil pemeliharaan benih Clownfishdengan jenis pakan yang berbeda, dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Pertumbuhan dan sintasan Clownfish selama pemeliharaan. Perlakuan Jenis Pakan Variabel WaktuPemeliharaan (hari) Panjang Awal (cm) Pertambahan Panjang Akhir (cm) Pertumbuhan (cm) Sintasan (%) A B C (Artemia (Pakan (Pakan instan/kandungan buatan/kandungan buatan/kandungan protein 65%) protein 50%) protein 47%) 90 90 90 2.50 2.53 2.55 3.73 4.13 3.92 1.23 1.6 1.37 85 100 87 Data yang diperoleh memperlihatkan bahwa pada akhir pemeliharaan perlakuan B (pakan buatan dengan kandungan protein 50%) memberikan pertumbuhan yang baik yaitu 1,6 cm dengan SR 100% dibandingakan dengan perlakuan C (pakan buatan dengan kandungan protein 47%) yaitu 1,37 cm dan SR 87% dan perlakuan A (artemia instan dengan kandungan protein 65%) yaitu 1,23 cm dan SR 85. Pertumbuhan Clownfish selama pemeliharaan dapat dilihat pada grafik berikut. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 86 Gambar 1. Grafik Pertumbuhan Benih Clownfish dengan Jenis Pakan Berbeda Tabel 2. Data kualitas air media pemeliharaan selama pengujian Minggu ke Suhu (⁰C) Salinitas (ppt) pH DO (mg/L) Nitrit Amonia (mg/L) (mg/L) I 25.5 34.87 8.01 4.18 0.938 <0.050 II 24.4 34.10 8.07 4.89 >1 <0.050 III 24.4 35.28 8.13 4.75 0.088 0.533 IV 25.5 33.17 8.16 4.16 0.031 0.099 V 25.5 33.23 8.15 4.29 0.043 <0.050 VI 27.3 28.79 7.90 5.55 0.001 <0.050 VII 27.7 30.00 7.92 4.82 <0.002 <0.050 VIII 27.6 33.17 7.86 4.48 <0.002 <0.050 3.2. PEMBAHASAN Pertumbuhan adalah pertambahan ukuran panjang atau berat dari satu unit kehidupan secara bertahap dalam hitungan waktu. Pertumbuhan dipengaruhi oleh dua factor yaitu factor internal dan eksternal. Faktor internal umumnya sulit dikontrol, diantaranya adalah keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit. Faktor eksternal yang utama yang mempengaruhi pertumbuhan ialah makana dan suhu perairan (Effendie, 1997). Pertumbuhan mutlak yang dihasilkan perlakuan B (pakan buatan dengan kandungan protein 50%) lebih tinggi yaitu 1,6 cm, bila dibandingkan dengan perlakuan A (artemia instan dengan kandungan protein 65%) yaitu 1,23 cm dan C (pakan buatan dengan kandungan protein 47%) 1,37 cm . Hal ini diduga disebabkan karena ukuran pakan pada perlakuan B sesuai dengan ukuran bukaan mulut ikan sehingga ikan mempunyai selera makan yang cukup tinggi dengan demikian energy untuk Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 87 pertumbuhannya terpenuhi. Selain itu juga kandungan protein pada perlakuan B cukup tinggi yaitu 50 %sehingga dapatmenghasilkan pertumbuhan yang tinggi. Sesuai dengan pernyataan Sugama (1986) bahwa untuk pertumbuhan permberian pakan harus memperhatikan kandungan gizi pakan yang diberikan. Pada perlakuan C (pakan buatan dengan kandungan protein 47%) memiliki pertumbuhan yang cukup rendah yaitu 1,37 cm diduga karena kandungan protein yang terkandung dalam pakan belum terpenuhi untuk pertumbuhannya. Menurut Masyamsir 2001, kandungan protein untuk ikan omnivore adalah 50%. Sedangkan pada perlakuan A (artemia instan dengan kandungan protein 65%) memiliki kandungan protein yang cukup tinggi, namun ukuran pakan sangat kecil sehingga ikan kurang mengkonsumsi pakan yang diberikan. Effendi 2004 menyatakan bahwa saat nafsu makan berkurang, asupan pakan ke dalam tubuh ikan tersebut akan berkurang sehingga energy untuk pemeliharaan dan pertumbuhan tidak terpenuhi. Hal tersebut bila berlangsung lama dapat menyebabkan kematian. Ikan mengkonsumsi makanan pertama-tama untuk memenuhi kebutuhan energinya. Kandungan energy dalam pakan berkaitan erat dengan konsumsi pakan. Menurut Robinson et.al(2001) dalam Akbar, S.,dkk (2012) energy dalam pakan akan mempengaruhi asupan pakan pada ikan yang diberi makan secara ad libitum. Jika energi dalam pakan terlalu tinggi, ikan akan cepat kenyang sehingga menghentikan konsumsi pakannya. Pertumbuhan ikan akan lebih baik jika mendapatkan nutrisi dari pakan tambahan atau buatan. Karena nutrisi yang masuk ke dalam tubuh ikan lebih lengkap dan cukup, (Christiansen and Jobling, 1990 dalam Akbar, S.,dkk, 2012). Pemberian pakan buatan dalam pemeliharaan benih Clownfish berpengaruh secara dominan terhadap pertumbuhan ikan karena pakan berfungsi sebagai pemasok energy untuk memacu pertumbuhan dan mempertahankan hidupnya (Melianawaty dan Suwirya, 2005dalam Akbar, S.,dkk, 2012). Tingkat kelangsungan hidup ikan atau survival rate (SR) akan menentukan jumlah produksi yang diperoleh. Pada ikan kelangsungan hidup ikan berkaitan erat dengan ukuran. Ikan-ikan yang beukuran kecil (benih) akan lebih rentan terhadap parasite, penyakit dan penanganan yang kurang hati-hati sehingga memiliki SR yang rendah (Hepher dan Pruginim, 1981). Pada kegiatan ini, tingkat kelangsungan hidup tertinggi diperoleh pada perlakuan B yaitu 100% dibandingkan dengan perlakuan C 87% dan perlakuan A 85%. Hal ini diduga bahwa ikan pada perlakuan B memiliki nafsu makan yang tinggi sehingga daya tahan tubuhnya kuat terhadap perubahan lingkungan. Dibandingkan dengan ikan pada perlakuan C dan A yang nafsu makannya rendah, sehingga kondisi ikan tidak mampu bertahan dengan perubahan lingkungan. Hoar, 1979 menyatakan bahwa sintasan ikan dipengaruhi oleh kondisi fisik-kimia perairan. Secara alamiah setiap organisme mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungannya dalam batas-batas tertentu atau disebut tingkat toleransi. Kematian ikan terjadi pada minggu II dan III, hal ini diduga karena suhu media pemeliharaan 24,4oC mengakibatkan ikan tidak mampu bertahan dan bila didukung dengan kondisi ikan yang lemah maka ikan tersebut akan mati. Untuk itu, pada pemeliharaan selanjutnya sudah diberi heater pada wadah pemeliharaan untuk mengatur suhu air media sehingga mortalitas dapat ditekan. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 88 4. PENUTUP Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa jenis pakan yang tepat untuk pemeliharaan Clownfish varian black photon adalah pakan buatan dengan kandungan protein 50%. Memperhatikan kesimpulan yang diperoleh pada kegiatan ini, maka dapat disarankan dalam melakukan pemeliharaan Clownfish varian black photon dapat menggunakan pakan buatan dengan kandungan protein 50% dan pengontrolan kualitas air dilakukan secara rutin agar tidak terjadi perubahan yang cukup drastis. 5. DAFTAR PUSTAKA Akbar, S. Marsoedi. Soemarno san E. Kusnendar. 2012. Pengaruh Pemberian Pakan yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) Pada Fase Pendederan di Keramba Jaring Apung.Jurnal Teknologi Pangan Vol. 1 No.2. Effendie, M. 1979. Metode Biologi Perikanan. Bogor: Yayasan Dewi Sri. Effendie, M. 1997. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. http://o-fish.com/Direktorilkan Laut/Ikan Badut.htm http://en.wikipedia.org/wiki/Amphiprioninae Masyamsir, 2001. Membuat pakan Ikan Buatan. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta Prihadi, D. J. 2011. Pengaruh Jenis dan waktu Pemberian Pakan Terhadap Tingkat Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Ikan kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) Dalam Keramba Jaring Apung Di Balai Budidaya Laut lampung. Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran-Bandung. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 89 Culturing White Shrimp (L. vannamei) with Different Stocking Density in Floating Net Cages Marwa, I.G. Pattipeilohy, Rochman Subiyanto. Mariculture Development Center of Ambon Email: [email protected] ABSTRACT Culturing vaname shrimp in floating net cage is a new technology and it has been done by Mariculture Development Center of Ambon. The objective of this study was to know the growth rate and survival rate of Vannamei shrimp that cultured in floating cages in different stocking density. In this activity, shrimp vaname kept in floating cage size 8x4x4 m, fed with trash fish and stocked with three treatments of stocking density ie A1), 195 ind/m3; A2). 234 ind/m3; and A3). 273 ind/m3. The results showed that absolute growth in each treatments were 0,089 g/day (A1), 0,080 g/day (A2), and 0,075 g/day (A3). While the survival rate was obtained in each treatments were 90% (A1), 75% (A2) and 65% (A3). Key words : vannamei shrimp, stocking density, growth rate, survival rate, floating cage. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 90 1. PENDAHULUAN Permintaan udang vaname sangat besar baik pasar lokal maupun internasional, karena memiliki keunggulan nilai gizi yang sangat tinggi serta memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi menyebabkan pesatnya budidaya udang vaname. Perkembangan kegiatan budidaya perikanan yang pesat dengan penerapan sistem intensif telah memunculkan permasalahan berupa penurunan daya dukung tambak bagi kehidupan ikan/udang yang dibudidayakan. Dampak lanjut yang ditimbukkan adalah terjadinya serangkaian serangan penyakit yang menimbulkan kerugian besar. Penurunan produksi terutama disebabkan karena kegagalan budidaya udang di tambak akibat timbulnya berbagai macam penyakit terutama white spot dan vibriosis. Rukyani dkk. (2001) menyebutkan bahwa munculnya berbagai macam penyakit tersebut merupakan indikator telah terjadinya degradasi lingkungan. Berbagai upaya telah banyak dilakukan oleh pemerintah maupun oleh pihak swasta/pelaku pertambakan sendiri dalam mengatasi masalah tersebut. Kelangsungan hidup (Survival Rate) sudah lama menjadi penyebab tersendatnya budidaya udang, dan rendahnya kelangsungan hidup pada udang dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain pemilihan induk, cara budidaya, sifat udang yang kanibal, kualitas air dan pakan (Ali, 2009). Menurut Suwoyo dan Mangampa (2010), rendahnya kualitas air pada media pemeliharaan dapat mengakibatkan rendahnya tingkat pertumbuhan, kelangsungan hidup dan frekuensi ganti kulit serta peningkatan bakteri merugikan. Selain daripada itu, Pembukaan lahan tambak baru akan merusak ekosistem mangrove di daerah pesisir pantai. Permasalahan tersebut muncul ketika budidaya dilakukan pada lingkungan yang terbatas (kolam atau tambak) dan menyikapi hal tersebut, langkah antisipatif yang dilakukan oleh BPBL Ambon melalui penerapan teknologi budidaya dan merupakan solusi untuk mencegah kerusakan yang lebih serius, adalah melakukan kegiatan budidaya udang vaname di KJA. Dengan memperhatikan sifat biologi dari udang vaname yang mampu hidup pada kisaran salinitas 5 – 45 ppt dengan salinitas optimal 10 – 30 ppt, maka budidaya udang vaname dapat dilakukan di KJA. Budiaya udang di KJA merupakan teknologi baru dalam budidaya udang sehingga perlu diketahui faktor-faktor yang dapat meningkatkan produksi udang vaname. Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi adalah dengan usaha pembenihan secara intensif melalui peningkatan padat tebar. Padat penebaran berhubungan dengan produksi dan pertumbuhan ikan (Hickling, 1971) dan Menurut Hepher dan Pruginin (1981), peningkatan kepadatan akan diikuti dengan penurunan pertumbuhan (critical standing crop) dan pada kepadatan tertentu pertumbuhan akan berhenti (carrying capacity). Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, peningkatan kepadatan harus disesuaikan dengan daya dukung (carrying capacity). Faktor-faktor yang mempengaruhi carrying capacity antara lain adalah kualitas air, pakan dan ukuran ikan. Pada keadaan lingkungan yang baik dan pakan yang mencukupi, peningkatan kepadatan akan disertai dengan peningkatan hasil (produksi). Selain itu, sebagaimana yang dinyatakan oleh McCormick et.al (1998) dalam Ninef (2002), bahwa padat penebaran yang tinggi akan menyebabkan tingkat persaingan terhadap makanan dan ruang menjadi tinggi yang akan menurunkan tingkat Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 91 kelulushidupan suatu organisme. Ruang gerak juga merupakan faktor luar yang mempengaruhi laju pertumbuhan, dengan adanya ruang gerak yang cukup luas ikan dapat bergerak dan memanfaatkan unsur hara secara maksimal (Anonimous, 1993). Pada padat penebaran yang tinggi ikan mempunyai daya saing di dalam memanfaatkan makanan, unsur hara dan ruang gerak, sehingga akan mempengaruhi laju pertumbuhan ikan tersebut, dan pada udang yang mempunyai sifat kanibalisme pada saat moulting akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidupnya dan berdampak pada hasil Produksi. Oleh karena itu perlu diketahui padat penebaran budidaya udang vaname di KJA yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Tujuan dari kegiatan ini adalah, untuk mengetahui laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup tertinggi udang vaname yang ditebar dengan kepadatan berbeda di KJA. 2. MATERI DAN METODE Kegiatan ini dilakukan di KJA BPBL Ambon, pada bulan maret-mei 2015, adapun alat dan bahan yang digunakan adalah sebagai berikut : A. Alat Alat yang digunakan adalah : - KJA ukuran 8x4x4 m - Waring - Ancho - Mesin penghancur daging - Timbangan elektrik dengan ketelitian 0,0001 gram. - Bak fiber vol 10 m3 B. Bahan Bahan yang digunakan adalah : - Benih udang vaname - Pakan rucah - Vitamin C - Scoot emultion Metode kerja: Kegiatan ini bersifat eksperimen dengan cara mengamati perkembangan udang vaname yang dipelihara di KJA dengan padat penebaran yang berbeda. Untuk memperoleh data pertumbuhan dan tingkat kelulusan hidup udang vaname, dilakukan beberapa tahapan seperti di bawah ini: a.) Persiapan Kegiatan ini dilakukan di KJA BPBL Ambon. Diawali dengan mempersiapkan bahan uji berupa pascalarva udang vaname (PL-12). Sebelum ditebar di KJA, benih diadaptasikan di bak fiber ukuran 10 ton selama 2 minggu. b.) Pemeliharaan Benih di KJA Pemeliharaan benih dilakukan dengan cara sebagai berikut: Benih ditebar kedalam 3 Kotakan KJA ukuran 8x4x4 m. Dengan kepadatan benih yang tebar pada masing-masing kotakan merupakan perlakuan dari kegiatan ini yaitu: A1.195 ekor/m3 A2.234 ekor/m3 A3. 273 ekor/m3 Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 92 Pakan ikan rucah diberikan setiap hari sebanyak 3% - 15% dari total biomass udang dengan frekuensi pemberian disesuaikan dengan waktu pemeliharaan Waktu Frekuensi dan Waktu Pemberian Pakan Pemeliharaan H1-H13 1x 100% pagi H14- 29 2x 50% : 50% pagi dan sore H30-H43 3x 30% : 30% : 40% Pagi, sore (16.00) dan malam (20.00) H44-H57 3x 30% : 30% : 40% Pagi, sore (16.00) dan malam (20.00) pagi, siang, sore dan malam H58-H100 4x 25%:20%:20%:25% (07.00; 11.00; 15.00; 19.00) Pemeliharaan udang dilakukan selama 70 hari dan waring diganti setiap 1 bulan sekali. c.) Pengambilan Data Data yang diperoleh dari kegiatan ini adalah berupa berat udang vaname setiap 2 minggu untuk mengetahui laju pertumbuhan dan jumlah benih pada awal dan akhir pemeliharaan untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup udang. Analisa Data One Way ANOVA Untuk menguji hipotesis adanya pengaruh padat tebar terhadap laju pertumbuhan udang vaname, digunakan analisis data One Way Analysis Of Variance (one way ANOVA) yang dianalisis dengan program Excel. Laju Pertumbuhan Mutlak (Absolute Growth Rate) Perhitungan laju pertumbuhan Mutlak lebih instruktif dibanding ukuran yang lain, di mana pada saat pertumbuhan terjadi secara linier (Fuiman and Werner, 2002). Model tersebut adalah : Wt2 - Wt1 AGR = t2 – t1 Dimana : AGR = Laju Pertumbuhan Mutlak (g/hari) Wt1 = Berat pada waktu t1 (g) Wt2 = Berat pada waktu t2 (g) t1 = Waktu Pengukuran ke-1 t2 = Waktu Pengukuran ke-2 Kelangsungan Hidup (SR) Survival Rate (SR) benih dihitung dengan menggunakan Formula: Jumlah Udang Panen Survival Rate (SR) = x 100% Jumlah Udang Tebar 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pertumbuhan Makhluk hidup memerlukan nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya, Makanan sangat berperan dalam pertumbuhan yaitu menyediakan bahan mentah untuk proses metabolisme guna menghasilkan sel-sel baru Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 93 untuk jaringan, otot dan organ yang sedang tumbuh. Seperti halnya arthropoda lainnya, pertumbuhan udang vaname tergantung pada dua faktor yaitu frekuensi molting (waktu antara molting) dan pertumbuhan (berapa pertumbuhan pada setiap molting baru). Frekuensi molting erat kaitannya dengan ukuran udang, jika udang tumbuh frekuensi molting meningkat, sedangkan frekuensi molting dipengaruhi oleh faktor kondisi lingkungan dan nutrisi. Pada tambak yang alami, alga dan bakteri yang berkembang pada kolom air adalah sumber nutrisi yang penting bagi udang vaname, dan meningkatkan pertumbuhan sebesar 50% dibanding tambak yang jernih. Dapat dikatakan bahwa udang tumbuh optimum pada tambak yang berimbang dengan komunitas mikroba (Marguensis, 2012). Terkait dengan kegiatan perekayasaan ini, udang vaname dipelihara di KJA yang kondisi lingkungannya dapat menyediakan alga dan bakteri alami bagi udang vaname selain daripada pakan yang diberikan. Oleh karena itu pertumbuhan udang vaname yang diuji cobakan pada kegiatan ini mengalami pertumbuhan berat yang ditunjukkan dengan terjadinya peningkatan berat udang. Gambar 1. Grafik Pertumbuhan Udang Vaname Pada Padat Tebar Berbeda. Berdasarkan hasil pemeliharaan selama 70 hari di KJA, diperoleh berat rata-rata udang vaname pada padat tebar 195 ekor/m3 adalah 9,02 g, kemudian secara berturutturut diikuti oleh padat tebar 234 ekor/m3 dan 273 ekor/m3 yaitu 8,05 g dan 7,55 g. Begitu pula dengan laju pertumbuhan mutlaknya, udang yang ditebar dengan kepadatan 195 ekor/m3 mempunyai laju pertumbuhan mutlak lebih tinggi yaitu 0,127 g/hari dibandingkan dengan padat tebar 234 ekor/m3 dan 273 ekor/m3 yang mempunyai laju pertumbuhan mutlak 0,114 g/hari dan 0,106 g/hari. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi padat penebaran, pertumbuhan berat dan pertumbuhan mutlak mengalami penurunan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Effendi, dkk. (2006), bahwa pertumbuhan panjang mutlak dan laju pertumbuhan individu (g/hari) mengalami penurunan dengan meningkatnya padat penebaran. Selanjutnya dikatakan bahwa pencapaian hasil panen yang optimal dapat diperoleh dengan dukungan faktor produksi yang baik misalnya pemilihan lokasi yang tepat, padat tebar yang optimal, kulitas pakan tinggi, pemberian pakan yang optimal dan pencegahan serta penanggulangan penyakit yang tepat dan benar. Menurut Marguensis (2012), padat penebaran benur vaname adalah 100-125 ekor/m2, dan bila kepadatan ingin ditingkatkan harus dilihat daya dukung tambak dan sarana pendukung lainnya karena padat penebaran optimum tergantung daya dukung tambak dan sistem budidaya. Pada kegiatan ini, perlakuan padat penebaran Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 94 ditingkatkan, karena mempertimbangkan tempat dan sistem budidaya yang dilakukan di KJA. Dan berdasarkan hasil analisis sidik ragam, nilai Fhit < Ftab (0,05) yang berarti bahwa pertumbuhan udang vaname yang dipelihara dengan padat tebar berbeda memberikan pengaruh yang tidak berbeda. Sedangkan berdasarkan hasil yang diperoleh diakhir kegiatan menunjukkan bahwa berat rata-rata benih yang dipelihara dengan padat tebar 195 ekor/m3 lebih besar daripada 234 ekor/m3 dan 273 ekor/m3. Perbedaan bobot udang vaname pada akhir kegiatan diasumsikan karena padat tebar 195 ekor/m3 merupakan kepadatan terendah yang mempunyai ruang gerak lebih besar, kompetisi untuk memperoleh makanan dan tekanan (stresor) berkurang sehingga energi yang diperoleh dari pakan yang dikonsumai dapat digunakan secara optimal untuk aktivitas, pemeliharaan dan pertumbuhan. Sesuai dengan pernyataan Fujaya (2004) bahwa Energy dibutuhkan untuk aktivitas, pemeliharaan, dan pertumbuhan. Selain itu, penggunaan oksigen terlarut dalam air meningkat pada kepadatan tinggi sehingga mempengaruhi jumlah pakan yang dikonsumsi dan berdampak pada pertumbuhan udang. Menurut Syahid dkk. (2006), Dengan kepadatan rendah, ikan mempunyai kemampuan memanfaatkan makanan dengan baik dibandingkan dengan kepadatan yang cukup tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil dari kegiatann ini, yang mana padat tebar 195 ekor/m3 adalah kepadatan terendah diantara perlakuan tetapi mempunyai laju pertumbuhan mutlak dan berat rata-rata tertinggi. 2. Kelangsungan Hidup (SR) Udang vaname yang dipelihara dengan padat tebar berbeda mempunyai nilai SR berbeda, diduga karena adanya persaingan ruang yang dapat meningkatkan stress pada benih. Kematian pada udang umumnya disebabkan oleh kanibalisme dan kondisi lingkungan. Sifat kanibalisme meningkat ketika terjadi moulting, dan pada kepadatan yang tinggi, tingkat kanibalisme juga tinggi sehingga mengakibatkan tingkat kematian udang meningkat dan jumlahnya berkurang. Hasil kegiatan ini menunjukkan, padat tebar 195 ekor/m3 mempunyai SR tetinggi yaitu 90%, kemudian diikuti oleh padat tebar 234 ekor/m3 dan 273 ekor/m3 secara berturut-turut mempunyai SR 75% dan 65%. Padat penebaran secara langsung berpengaruh terhadap kelangsungan hidup, karena udang mempunyai sifat kanibal terhadap lainnya (Tjoronge, 2005), selanjutnya dikatakan bahwa kedalaman air tambak untuk budidaya udang vaname yang baik adalah 150 – 180 cm. Pada kegiatan ini, digunakan waring dengan kedalaman 4 meter untuk menyediakan ruang gerak yang lebih besar bagi udang vaname karena memperhatikan kebiasaannya yang aktif berenang di kolom air. 195 ekor/m3 merupakan padat tebar terendah bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya, sehingga udang vaname mempunyai ruang gerak yang lebih luas dan kemungkinan untuk menghindari pemangsaan lebih besar dengan berlindung di dasar waring. Syahid dkk. (2006), menyatakan bahwa kepadatan benih udang yang terlalu padat menyebabkan terjadinya variasi kematian benih yang berbeda-beda, sebagai akibat dari adanya sifat kanibal. Selanjutnya dikatakan bahwa apabila keadaan dasar wadah yang digunakan terlalu sempit dibandingkan dengan jumlah benih yang ditampung akan menyebabkan bertumpuknya benih satu sama lain, akibatnya akan terjadi persaingan tempat. Dalam hal ini udang vaname mempunyai sifat yang lebih suka berenang di kolom air daripada berdiam di dasar waring, kecuali udang yang telah molting akan menempati dasar waring sampai kulitnya menjadi keras dan dapat melakukan pergerakan/berenang. Kedalaman jaring 4 m membuat jarak antara kolom Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 95 air dengan dasar waring menjadi agak jauh sehingga kemungkinan pemangsaan terhadap udang yang molting menjadi lebih kecil, hal inilah yang membuat sehingga SR pada pemeliharaan udang vaname di KJA menjadi lebih tinggi (65-90%). Selain daripada itu, pakan yang selalu tersedia pada anco membuat udang tidak kekurangan pakan sehingga naluri untuk memangsa sesamanya menjadi rendah, sesuai dengan Anonimous, (2000) yang menyatakan bahwa, kekurangan pakan akan memperlambat laju pertumbuhan sehingga dapat menyebabkan kanibalisme, sedangkan kelebihan pakan akan mencemari perairan sehingga menyebabkan udang stres dan menjadi lemah serta nafsu makan menurun. Kualitas air merupakan faktor fisika-kimia yang dapat mempengaruhi lingkungan media pemeliharaan dan secara tidak langsung akan mempengaruhi proses metabolisme udang. Parameter kualitas air yang perlu diperhatikan adalah: salinitas, suhu, pH, DO. Berdasarkan Marguensis (2012), udang vaname mampu hidup pada kisaran salinitas 5 – 45 ppt dengan salinitas optimal 10 – 30 ppt; kisaran suhu 240 – 320C dengan suhu optimal 280 – 300C; mampu bertahan pada oksigen 0,8 ppm selama 3 – 4 hari tetapi disarankan DO 4 ppm, PH air 7 – 8,5. Tabel 1. Kualitas Air Pemeliharaan Udang Vaname di KJA. No. Parameter Kualitas Air Satuan Nilai Kisaran 1. Salinitas ppt 32,0 – 33,5 0 2. Suhu C 28,3 – 30,9 3. DO mg/l 4,43 – 5,92 4. pH 7,90 – 8,40 Berdasarkan hasil kegiatan ini, parameter kualitas air tersebut masih berada pada kisaran optimum untuk pertumbuhan udang vaname, karena secara rutin dilakukan pembersihan dasar waring dari kotoran/kulit udang yang molting dan pemeliharaan dilakukan di KJA sehingga sirkulasi air terjadi secara alami dengan baik. 4. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa, udang vaname yang ditebar dengan kepadatan 195 ekor/m3 di KJA mempunyai laju pertumbuhan mutlak dan kelangsungan hidup tertinggi yaitu 0,127 g/hari dan 90%. Saran yang dapat diberikan terkait kegiatan ini, yaitu memperhatikan hasil yang diperoleh, maka dapat disarankan untuk budidaya udang vaname di KJA sebaiknya menggunakan padat tebar 195 ekor/m3. dan melakukan uji coba penggunaan pakan buatan untuk pemeliharaan udang vaname di KJA. DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 1993. Pedoman Teknis Pembenihan Ikan Bandeng. Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan Jakarta. hal. 37. Anonimous. 2000. Petunjuk Teknis Budidaya Udang Windu. Dirjen Perikanan Tim MMC Daerah Jawa Timur. PT. Aquatik Consultans dan Konsorsium. Badare, A. I. 2001. Pengaruh Pemberian Beberapa Makroalga Terhadap Pertumbuhan dan Kelulushidupan Juvenil Abalone (Holiotis spp) Yang Dipelihara Dalam Kurungan Terapung. Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Undana: Kupang. Effendi, I., H. J. Bugri dan Widanarni, 2006. Pengaruh padat penebaran terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih ikan gurami osphronemus Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 96 gouramy lac. Ukuran 2 cm. Jurnal Akuakultur Indonesia 5(2). IPB. Bogor. Hal. 127-135 Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan. Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. PT. Rineka Cipta. Jakarta. Hepher, B., dan Y. Pruginin. 1981. Commercial fish farming with special reference to fish culture in Israel. John Willey and Sons, New York. 261 hal. Hickling, C.F. 1971. Fish culture. Faber and Faber, London. 348 hal. Ninef, M. C. H. 2002. Pengaruh Padat Penebaran Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan Kelulushidupan Juvenil Abalon (Holiotis spp) Yang Dipelihara Dalam Kurungan Apung. Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan. UHT: Surabaya. Mangampa, M. Busran dan Suswoyo, H. S. 2008. Optimalisasi Padat Tebar Terhadap Kelangsungan hidup Tokolan Udang Windu Dengan Sistem Aerasi di Tambak. www.yahoo.com. 02 juli 2008. Marguensis, M. 2012. Budidaya Udang Vaname. http://vanamei.blogspot.co.id/. 3 Desember 2012. Suwoyo, H.S. dan Mangampa, M. 2010.Aplikasi probiotik dengan konsentrasi berbeda pada pemeliharaan udang Vaname (Litopenaeus Vaname). Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros. Maros. Syahid, M. Subhan, A. dan Armando, R. 2006. Budidaya Udang Organik Secara polikultur. Penebar swadaya: Jakarta. Tjoronge, M. 2005. Polikultur Rumput Laut Gracillaria sp. dan Ikan Bandeng (Chanos chanos) Dengan Padat Penebaran Yang Berbeda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan. 11 (7). Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 97 WHITE SHRIMP Litopenaeus vannamei CULTURE WITH DIFFERENT WATER DEPTH IN FLOATING NET-CAGES Herno Minjoyo, Silfester Basi Dhoe, and Akhmad Murtadho Main Center for Maricultulture, Lampung ABSTRACT Indonesia has coastal line number 3 in the world that is compossed of street and bay that is very potensial for marine fish culture including vannamei shrimp farming in floating net-cages. Base on that reason, the study on vannamei shrimp culture in floating net-cages had done to know the prospect of that culture. The observation on the culture of shrimp vananmei with different net-cages depth was done e.g. (A) 2 m water depth; (B) 3 m water depth; and (C) 4 m water depth, and the initial seed size was PL 10 (Post larvae 10). The study has been done from July 29th to November 26th 2015 (as long as 118 days). Vannamei shrimp was reared in happa net about 1,5 months and changed with waring-net (mesh size 4 mm) with net size 2.5 m x 3.5 m and water depth depend on the treatment. Animal was feed with shrimp commercial diet with dosage according to shrimp feed factory manual with feeding frequwency 6 times/day ( 06.00; 09.00; 12.00; 16.00; 20.00 and 23.00). To know shrimp development, sampling was done every 7 days after 1 month rearing. The result of study showed that the best survival rate, harvest size and production per m³ was treatment A (75.333 %; 73.69 and 1.022 kg /m³) followed with B (65.33 %, 78.39 and 0.85 kg/m³) and C (52.39 %; 89.41 and 0.648 kg/m³ ). The best of the feed convertion ratio was treatment B (1.84) and followed with treatment A (1.99) and C (2.58). The last observation was the total harvest per net-cages, treatment C was 23.35 kg and followed with B (22.95 kg) and A (18.4 kg). Key Words : Vannamei Shrimp, Floating Net-Cages Culture, Survival Rate, Feed Convertion Ratio, Different Water Depth Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 98 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia selain mempunyai lahan tambak yang luas juga memiliki perairan teluk dan selat dan perairan tepi pantai yang sangat luas. Panjang garis pantai Indonesia sekitar 83.000 km. Sebagaian besar dari perairan pantai tersebut kemungkinan besar dapat dan cocok untuk budidaya udang vaname di Karamba Jaring Apung terutama pada perairan yang cukup terlindung dan aman untuk melakukan budidaya udang vaname. Udang vaname merupakan spesies intruduksi dari luar negeri dan saat ini merupakan komoditas budidaya udang ditambak yang menggantikan udang windu yang sampai saat ini belum bangkit seperti masa jayanya. Teknologi budidaya udang vaname sudah sangat mapan dari berbagai jenis tingkatan teknologi budidaya udang tambak intensif hingga supra intensif. Hasil perekayasaan budidaya udang vaname di Karamba Jaring Apung dengan benih awal berupa tokolan dengan padat tebar 75 ekor/m³ menghasilkan sintasan 92,7 % dengan size panen 53,49 dan rasio konversi pakan 2,05. Meskipun demikian kita belum mengetahui seberapa dalam kolom air yang dapat mendukung sintasan, rasio konversi pakan dan laju pertumbuhan yang baik. Tujuan dari studi ini untuk mengetahui sintasan, pertumbuhan/size panen dan rasio konversi pakan udang vaname yang dipelihara pada kedalaman wadah berbeda. Sementara sasaran dari perekayasaan ini untuk mendapatkan standar teknologi budidaya udang vaname di karamba jaring apung. Informasi dari hasil studi ini diharapkan dapat berguna bagi para pembaca dan dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk pengembangan selanjutnya Waktu dan Tempat Perekayasaan budidaya udang vaname di Karamba Jaring Apung dilakukan pada bulan Maret samapi Juli 2015 di Teluk Hurun Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung BAHAN DAN METODE - Benur PL10 dipelihara didalam Happa ukuran 2,5 x 3,5 m x sesuai dengan perlakuan (kedalaman wadah) yg dilapisi/dipasang dalam waring/jaring - Perlakuan:Kedalaman wadah: A. 2 m; B. 3 m dan C. 4 m - Dipelihara dalam happa :1,5 bulan - Padat tebar: 100 ekor/m³ - Setelah 1,5 bulan udang dipelihara dalam Happa diganti dengan waring sesuai dengan perlakuan kedalam wadah selama 2,5 bulan - Penggantian Happa atau waring setiap 3 minggu sekali - Dosis pakan: sesuai dengan petunjuk pabrik pakan (Tabel 1) Tabel 1. Dosis pakan, frekwensi dan waktu pemberian pakan udang vaname di KJA No Ukuran Udang (PL/g) Ukuran pakan (mm) 1 PL10-1 g 0,425 x 0,75 10-8 2 1-2 0,75 x 1 8-7,5 Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 Dosis Pakan (%) Frekwensi Pemberian Pakan (x/hari 6x Waktu Pemberian Pakan 06.00; 09.00; 12.00; 15.00; 18.00 dan 99 3 2-5 1 x 2,5 7,5-5 4 5 6 5-14 14-22 >22 1,8 x 2,0 1,8 x 4 2x5 5-3 3-1,7 < 1,7 22.00 - Lama pemeliharaan: 4 bulan - Frekwensi pemberian pakan : 6 kali/24 jam - Sampling: 1- 2 minggu sekali - Penghitungan hasil pengamatan: a. Sintasan (SR): Jumlah udang panen SR: ----------------------------- x 100 % Jumlah tebar awal b. Size (Ukuran ) panen: Jumlah sample udang Size panen = --------------------------------Berat Sample udang c. Penghitungan rasio konversi pakan (FCR) dengan rumus: ∑F ∑F = Total pakan yang dikonsumsi (gram) FCR = ------------------------ Wt = Total Bobot ikan akhir (gr) (Wt-Wo) + (Wd ) Wo = Total bobot ikan awal (gr) Wd = Total bobot ikan mati (gr) HASIL DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan pengamatan budidaya udang vaname di karamba jaring apung (KJA) dengan kedalaman wadah berbeda telah dilakukan sejak 29 Juli sampai dengan 26 November 2015. Data hasil pengamatan perekayasaan disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 1, sementara hasil monitoring parameter kualitas air dilokasi kegiatan tercantum dalam Tabel 3. Tabel 2. Hasil pengamatan parameter utama budidaya udang vaname benur PL10 dengan kedalaman wadah berbeda No Parameter Perlakuan 2m 3m 4m 1 Berat awal rerata udang (g/ekor) 0,001 0,001 0,001 2 Berat akhir rerata udang (g/ekor) 13,57 12,76 11,288 3 Padat tebar ( ekor/m³) 100 100 100 4 Pertambahan berat rerata (g/ekor) 13,569 12,759 11,287 5 Jumlah awal udang (ekor) 1800 2700 3600 6 Jumlah akhir udang (ekor) 1356 1764 1886 Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 100 7 Jumlah pakan( kg) 36,616 42,228 60,243 8 9 SR (%) FCR 75,333 1,99 65,33 1,84 52,39 2,58 10 Size panen 73,69 78,39 89,41 11 Jumlah panen per jaring (kg) 18,4 22,95 23,350 12 Jumlah panen per m³ (kg) 1,022 0,85 0,648 Berat (g) Gambar 1. Grafik pertumbuhan budidaya udang vaname di Karamba Jaring Apung tebar benur PL 10 dengan kedalaman wadah berbeda selama 118 hari Tabel 3. Data Parameter Kualitas Air di Lokasi Budidaya Udang Vaname No Parameter Satuan Hasil Spesifikasi Metode Baku Mutu 1 Ph - 7,38-8,89 SNI 06-69.89.11-2004 7-8,5 2 DO mg/l 3,94-6,09 APHA.2005.4500-0-G >4 3 Suhu ºC 28,9-30,4 APHA.2005.4500-0-G Alami 4 Salinitas Psu 32-33 APHA.2005.2520C 30-34 5 Nitrit mg/l 0,025-0,199 SNI 19-6964.1-2003 0,05 6 Nitrat mg/l 0,016-0,373 APHA.2005.4500NO3 0,008 Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 101 7 Amoniak mg/l 0,011-1,09 SNI 19-6964.3-2003 0,3 8 Phosfat mg/l 0,059-0,631 SNI 06-6989.31-2005 Perairan: 0,015 Tambak: 0,5-1 Dari hasil yang didapat bahwa sintasan, size panen/pertumbuhan dihasilkan pada kedalaman wadah 2 m yaitu 75,333 % dan 73,69 sementara rasio konversi pakan yang terbaik pada perlakuan kedalaman 3 m (1,84). Sintasan dan size panen pada kedalaman 3 m yaitu 65,33 % dan 78,39. Sintasan yang didapat pada budidaya udang vaname di Karamba Jaring Apung dengan benih tebar benur PL 10 masih sebanding dengan budidaya di tambak intensif. Namun demikian pertumbuhan/size panen pada kegiatan budidaya dengan kedalaman berbeda juga masih tertinggal jika dibandingkan dengan budidaya udang vaname dengan kedalaman yang sama (2 m) pada kegiatan bulan Maret sampai dengan 13 Juli 2015 (61,7). Ini dimungkinkan oleh salinitas pada waktu sebelumnya yaitu 31-32 psu sedangkan salinitas pada Tabel 3 selalu 32-33 psu. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Sintasan dan size panen terbaik pada kedalam wadah 2 m (75,33 %) dan 73,69 sementara rasio konversi pakan terbaik pada kedalaman wadah 3 m (1,84). Saran Walaupun kedalaman terbaik pada kedalaman wadah 2 m untuk tebar benur PL 10 masih perlu dilakukan uji coba pada kedalaman 2,5 m. DAFTAR PUSTAKA Anonymous, 2013. Budidaya Udang Vaname di Tambak. Balai Budidaya Air Payau Sitobondo. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Kementerian Kelautan dan Perikanan: 60 hal SNI 01-7246-2006: Produksi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) di Tambak dengan Teknologi Intensif. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 102 Pematangan Gonad dan Pemijahan Induk Lobster (Panulirus sp)1 Oleh : Febriko Sapto D2, Dony Prastowo3, A. Haryono4 dan Ach. Iskandar4 Abstrak Di Indonesia terdapat enam jenis lobster yang mempunyai nilai ekonomis tinggi di pasar, yaitu lobster mutiara (Panulirus ornatus), lobster batu (Panulirus penicillatus), lobster pasir (Panulirus homarus), lobster pakistani (Panulirus polyphagus), lobster batik (Panulirus longipes) dan lobster bambu (Panulirus versicolor). Harga lobster relatif stabil, mengingat permintaan negara-negara pengimpor lobster yang hingga saat ini belum terpenuhi, harga lobster akan cenderung meningkat. Tingginya permintaan pasar akan komoditas lobster juga mendorong permintaan benih lobster oleh pembudidaya lobster. BPBAP Situbondo sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya berupaya melakukan kegiatan kerekayasaan pematangan gonad dan pemijahan induk lobster, dengan harapan dapat membantu penyediaan benih lobster. Metode yang digunakan pada perekayasaan ini adalah pematangan gonad induk lobster dengan perbaikan nutrisi pakan berupa; ikan rucah, kekerangan, bulu babi dan seaweed. Pematangan gonad induk dilakukan pada bak beton 10 ton dan Karamba jaring apung (KJA) yang berukuran 3x3x3 m. Pemberian pakan dilakukan setiap hari, dengan rasio pemberian terbanyak pada sore menjelang malam. Dari kegiatan ini diperoleh informasi perlakuan C (pakan campuran kekerangan+bulubabi+seaweed) memberikan hasil terbaik, hal ini ditunjukkan dengan tingginya prosentase induk yang matang gonad (55.5%) dibandingkan dua perlakuan lainnya, perlakuan A (12,5%) dan perlakuan B (25,0%). Induk-induk yang digunakan pada kegiatan ini merupakan udang lobster hasil tangkapan alam yang berukuran >200 gr/ekor (CL 60 mm) untuk induk betina dan >300 gr/ekor (CL 70 mm) untuk induk jantan. Pemijahan induk ditandai dengan induk betina yang membawa spermatoforik (kantung sperma). Produksi nauplisoma tiap ekor induk ± 10.000-20.000 ekor nauplisoma. Kualitas air media pemeliharaan secara biologis kurang mendukung pemeliharaan induk dan produksi nauplisoma dengan total bakteri antara 1,2x106 - 6,4x106 CFU/ml. 1 Makalah telah diseminarkan pada Seminar Hasil Perekayasaan di BPBAP Situbondo tgl 1-2 Desember 2015 2 Perekayasa pada BPBAP Situbondo (WP) 3 Perekayasa pada BPBAP Situbondo (ES) 4 Litkayasa pada BPBAP Situbondo (ES) Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 103 Abstract There are six kinds of lobster in Indonesia that has high economic value in the market, Panulirus ornatus, Panulirus penicillatus, Panulirus homarus, Panulirus polyphagus, Panulirus longipes and Panulirus versicolor. Lobster prices are relatively stable, given the demand-importing countries lobster, which until now have not been fulfilled, lobster prices will tend to rise. Market demand for commodities also boosted demand for seed lobster lobster lobster farmers. BADC Situbondo as a Technical Implementation Unit of the Directorate General of Aquaculture attempt to perform engineering activities gonadal maturation and spawning spiny lobster, in hopes of helping the provision of seeds lobster. The method used in this engineering is the gonadal maturation spiny lobster with improved nutrition in the form of feed; trash fish, oyster, sea urchins and seaweed. Gonadal maturation in net cage measuring 3x3x5 m. The feeding is done every day, with the provision of the highest ratios in the late afternoon. Information obtained from this engineering activity, treatment C (feed mixture sea urchins + oyster + seaweed) provides the best results, as shown by the high percentage of the broodstock mature (55.5%) compared two other treatments, treatment A (12.5%) and treatment B (25.0%). The broodstock used in this activity is a natural catches lobsters measuring > 200 g (CL 60 mm) for female and > 300 g (CL 70 mm) for male. Characterized by the spawning female who brings spermatoforik (sperm sac). Production of nauplisoma for single breeding for each female ± 10.000 - 20.000 nauplisoma. Water quality media are biologically less support for breeding and production of nauplisoma with total bacteria between 1,2 x 106 - 6,4 x 106 CFU / ml. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 104 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udang lobster laut (Panulirus sp.) atau dikenal sebagai udang barong merupakan komoditas perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Lobster dikenal dengan dagingnya yang halus serta rasanya yang gurih dan lezat. Jika dibandingkan dengan udang jenis lainnya, lobster memang jauh lebih enak. Tidak salah jika makanan ini merupakan makanan yang bergengsi yang hanya disajikan di restoran-restoran besar dan hotel-hotel berbintang. Karena harganya yang mahal, lobster biasanya hanya dikonsumsi oleh kalangan tertentu. Di Asia, Jepang dan Hongkong merupakan pengimpor lobster terbesar. Masyarakat di kedua negara ini terkenel sebagai penggemar masakan laut, termasuk lobster. Di Jepang, lobster biasanya disajikan dalam bentuk lobster rebus, dan digunakan untuk menghormati tamu-tamu asing. Selain itu, lobster sering kali disajikan dalam acara pernikahan sebagai pengganti kado. Di Indonesia terdapat enam jenis lobster yang mempunyai nilai ekonomis tinggi di pasar, yaitu lobster mutiara (Panulirus ornatus), lobster batu (Panulirus penicillatus), lobster pasir (Panulirus homarus), lobster pakistani (Panulirus polyphagus), lobster batik (Panulirus longipes) dan lobster bambu (Panulirus versicolor). Harga lobster mutiara biasanya lebih tinggi dibandingkan lima jenis lobster lainnya, dapat mencapai 23 kali lipat dibandingkan dengan lobster bambu. Kondisi fisik (morfologis) lobster pun sangat menentukan tingkat harga. Lobster yang masih hidup, sehat, dan tidak cacat cenderung lebih mahal. Sementara, lobster yang cacat atau mati, harganya jauh lebih murah untuk semua jenis. Harga lobster relatif stabil. Kalaupun mengalami fluktasi (pada musim lobster), perubahannya relatif kecil. Mengingat permintaan negara-negara pengimpor lobster yang hingga saat ini belum terpenuhi, harga lobster akan cenderung meningkat. Hal ini merupakan peluang bagi para nelayan dan pembudidaya untuk mengembangkan usaha penangkapan dan budidaya lobster. Tingginya permintaan pasar akan komoditas lobster juga mendorong permintaan benih lobster oleh pembudidaya lobster. Selain memenuhi permintaan pasar, usaha budidaya juga dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan produksinya. Guna memenuhi permintaan pasar akan benih lobster, BPBAP Situbondo sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya berupaya melakukan kegiatan kerekayasaan pemetangan gonad dan pemijahan induk lobster, dengan harapan dapat membantu penyediaan benih lobster. 1.2. Tujuan Tujuan dari kegiatan kerekayasaan ini adalah untuk memacu pematangan gonad induk dengan pemberian pakan yang berbeda dan pemijahan induk lobster. 1.3. Sasaran Sasaran dari perekayasaan ini adalah diperoleh metode pematangan gonad dan pemijahan induk lobster. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 105 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Biologi dan Morfologi Lobster Lobster secara umum memiliki tubuh yang berkulit sangat keras dan tebal, terutama di bagian kepala, yang ditutupi oleh duri-duri besar dan kecil. Mata lobster agak tersembunyi di bawah cangkang ruas abdomen yang ujungnya berduri tajam dan kuat. Lobster memiliki dua pasang antena, yang pertama kecil dan ujungnya bercabang dua disebut juga sebagai kumis. Antena kedua sangat keras dan panjang dengan pangkal antena besar kokoh dan ditutupi duri-duri tajam, sedangkan ekornya melebar seperti kipas. Warna lobster bervariasi tergantung jenisnya, pola-pola duri di kepala, dan warna lobster biasanya dapat dijadikan tanda spesifik jenis lobster. Menurut Subani (1984), udang karang atau lobster memiliki ciri-ciri yaitu badan besar dan dilindungi kulit keras yang berzat kapur, mempunyai duri-duri keras dan tajam, terutama dibagian atas kepala dan antena atau sungut, bagian belakang badannya (abdomen) dan lembaran ekornya. Pasangan kaki jalan tidak mempunyai chela atau capit, kecuali pasangan kaki lima pada betina. Pertumbuhan udang karang sendiri selalu terjadi pergantian kulit atau molting, udang karang memiliki warna yang bermacam-macam yaitu ungu, hijau, merah, dan abu-abu serta membentuk pola yang indah. Memiliki antena yang tumbuh dengan baik, terutama antena kedua yang melebihi panjang tubuhnya. Seluruh tubuh lobster terdiri dari ruas-ruas yang tertutup olek kerangka luar yang keras, bagian kepala terdiri dari 13 ruas dan bagian dada terdiri dari 6 ruas (Subani, 1984). Menurut Sudradjat (2008), cephalothoraxs tertutup oleh cangkang yang keras (carapace) dengan bentuk memanjang kearah depan. Pada bagian ujung cangkang tersebut terdapat bagian runcing yang disebut cucuk kepala (rostrum). Mulut terletak pada kepala bagian bawah, diantara rahang-rahang (mandibula). Sisi kanan dan kiri kepala ditutup oleh kelopak kepala dan dibagian dalamnya terdapat insang. Mata terletak dibagian bawah rostrum, berupa mata majemuk bertangkai yang dapat digerakkan. Gambar 1. Morfologi Lobster Jenis kelamin lobster bisa ditentukan dari letak alat kelaminnya. Alat kelamin jantan terletak diantara kaki jalan kelima, berbentuk lancip, dan menonjol keluar. Sementara, alat kelamin betina terletak diantara kaki jalan ketiga, berbentuk dua Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 106 lancipan. Lobster jantan biasanya berukuran lebih kecil dibandingakan dengan lobster betina. Hal ini diperkuat oleh Carpenter & Niem (1998) dalam Kadafi, et.al., jenis kelamin lobster ditentukan dengan melihat letak gonopores. Gonopores lobster jantan terletak pada kaki jalan kelima, sedangkan lobster betina terletak pada kaki jalan ketiga. Selain dari letaknya, penentuan jenis kelamin lobster juga dapat dilakukan dengan memperhatikan ukuran badannya. 2.2. Distribusi dan Habitat Panulirus sp Udang karang (Panulirus sp) hidup pada beberapa kedalaman tergantung pada jenis spesies dan lingkunga yang cocok. udang karang (Panulirus sp) dapat hidup pada kedalaman 5 – 30 meter (Subani, 1977 in Hasrun, 1996). Udang karang berduri mempunyai penyebaran yang sangat luas mulai dari daerah temperate hingga daerah tropik (45O lintang utara sampai 45O lintang selatan). Hidup mulai dari daerah intertidal sampai perairan yang dalam. Banyak spesies yang hidup pada substrat yang berbatu-batu, lumpur atau pasir dan membuat lubang. Palinuridae menyukai hidup pada lubang atau celah-celah batu karang serta dasar dari terumbu karang. Jenis-jenis udang ini menyebar dari daerah litoral sampai kedalaman 400 m di daerah tropik dan sub tropik. Genus-genus dari panulirudae dalam pengelompokan taksonominya menggunakan ciri morfologi dan berhubungan erat dengan letak geografis atau garis lintang dan juga kedalaman air. Sebagai contoh, untuk perairan dangkal di daerah equator akan dijumpai genus Panulirus (Kanciruk, 1980). Keanekaragaman jenis Panulirus sp di perairan daerah tropika lebih besar dari pada di daerah sub-tropika, tetapi kelimpahannya relatif rendah. Lobster (Panulirus sp) hidup pada perairan terumbu karang sampai pada kedalaman beberapa meter. Biasanya mendiami tempat-tempat yang terlindung di antara batu-batu karang dan jarang ditemukan dalam kelompok yang berjumlah besar. Banyak terdapat diperairan barat Sumatera, selatan Jawa, perairan Nuasa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara dan Halmahera. Habitat alami lobster adalah kawasan terumbu karang di perairan-perairan yang dangkal hingga 100 m di bawah permukaan laut. Lobster berdiam di dalam lubanglubang karang atau menempel pada dinding karang. Aktivitas organisme ini relatif rendah. Lobster yang masih muda biasanya hidup di perairan karang di pantai dengan kedalaman 0,5-30 m Habitat yang paling disukai adalah perairan dengan dasar pasir yang ditumbuhi rumput laut (seagrass). Hal ini diperkuat oleh Chan (1998) dalam Saputra, habitat udang karang (lobster) pada umumnya adalah di perairan pantai yang banyak terdapat bebatuan / terumbu karang. Terumbu karang ini disamping sebagai barrier (pelindung) dari ombak, juga tempat bersembunyi dari predator serta berfungsi pula sebagai daerah pencari makan. Akibatnya daerah pantai berterumbu ini juga menjadi daerah penangkapan lobster bagi para nelayan. Hal ini dapat dilihat dari cara nelayan mengoperasikan alat tangkap (bintur) di daerah bebatuan di pantai. Setelah menginjak dewasa, lobster akan bergerak ke perairan yang lebih dalam, dengan kedalaman antara 7-40 m. Perpindahan ini biasanya berlangsung pada siang dan sore hari. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 107 2.3. Pakan dan Kebiasaan Makan Lobster Lobster bersifat nokturnal dimana banyak melakukan aktivitasnya pada malam hari, terutama aktivitas mencari makan. Sementara, pada siang hari lobster beristirahat dan tinggal di goa-goa karang atau di celah-celah batu. Diharapkan, para pembudidaya lobster memanfaatkan sifat ini, yakni melakukan pemberian pakan pada malam hari dengan dosis yang lebih besar dibandingkan dengan pemberian pakan pada siang hari. Dengan sifat nokturnal tersebut, tampak bahwa lobster senang bersembunyi di tempat-tempat yang gelap. Di alam, lobster bersembunyi pada lubang-lubang yang terdapat di sisi terumbu karang. Oleh karena itu, tempat budidaya lobster perlu dilengkapi dengan tempat perlindungan atau tempat persembunyian (Shelter). Di alam, lobster banyak mengkonsumsi beberapa jenis, baik dari golongan hewan (zooplankton, invertebrate, dan vertebrate), tumbuhan (phytoplankton maupun tumbuhan air) dan organisme mati (detritus). 2.4. Reproduksi dan Siklus Hidup Lobster Pada saat tertentu, biasanya lobster berpindah ke perairan yang lebih dalam untuk melakukan pemijahan. Lobster betina yang telah matang telur biasanya berukuran (dari ujung telson sampai ujung rostrum) sekitar 16cm, sedangkan lobster jantan sekitar 20cm. Seekor lobster jantan dapat membuahi banyak telur yang kemudian disimpan di bagian bawah perut lobster betina. Lobster memiliki siklus hidup yang kompleks. Siklus hidup lobster mengalami beberapa tingkatan yang berbeda pada tiap jenis. Lobster termasuk binatang yang mengasuh anaknya walaupun hanya sementara. Menurut Subani (1978), sistem pembuahan lobster terjadi di luar badan induknya (external fertilization). Indung telur nya berupa sepasang kantong memanjang terletak mulai dari belakang perut (stomach) dibawah jantung (pericarduim) yang dihubungkan keluar oleh suatu pipa peneluran (oviduct) dan bermuara di dasar kaki jalannya yang ketiga. Menurut Moosa dan Aswandy (1984), ukuran panjang total lobster jantan dewasa kurang lebih 20 cm, dan betina kurang lebih 16 cm, sedangkan umur pertama kali matang gonad yaitu ditaksir antara 5 tahun – 8 tahun. Pada waktu pemijahan lobster mengeluarkan sperma (spermatoforik) dan meletakkannya di bagian dada (sternum) betina mulai dari belakang celah genital (muara oviduct) sampai ujung belakang sternum. Peletakan spermatoforik ini terjadi beberapa saat sebelum peneluran terjadi. Spermatoforik yang baru saja dikeluarkan sifatnya lunak, jernih dan kemudian lama kelamaan agak mengeras dan berubah warna agak menghitam dan membentuk selaput pembungkus bagian luar atau semacam kantong sperma. Pembuahan terjadi setelah telur-telur dikeluarkan dan ditarik kearah abdomen yaitu dengan cara merobek selaput pembungkus oleh betina dengan menggunakan cakar (kuku) yang berupa capit terdapat pada ujung pasangan kaki jalannya. Lobster yang sedang bertelur melindungi telurnya dengan cara meletakkan atau menempelkan dibagian bawah dada (abdomen) sampai telur tersebut dibuahi dan menetas menjadi larva atau biasa disebut burayak atau tumpayak (Moosa dan Aswandy, 1984). Menurut Hasrun (1996), lobster betina kadang-kadang dapat membawa telur antara 10.000 100.000 butir, sedangkan pada jenis-jenis yang besar bisa mencapai 500.000 hingga jutaan telur. Banyak sedikitnya jumlah telur tergantung dari ukuran lobster air laut tersebut. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 108 Menurut Prisdiminggo (2002), lobster mempunyai periode pemijahan yang panjang puncaknya pada bulan November sampai Desember. Setiap individu hanya sekali memijah setahun. Tetapi pada musim perkembangbiakan, lobster dapat melakukannya lebih dari satu kali pemijahan. Waktu pemijahan sangat berhubungan dengan temperatur. Kualitas dan kuantitas benih yang akan dihasilkan dalam pembenihan lobster sangat dipengaruhi oleh induk yang digunakan. Calon induk lobster yang akan dikembangbiakkan harus memenuhi beberapa persyaratan, yakni berumur lebih dari 1,5-2,0 tahun, dengan berat lebih dari 0,3 kg/ekor untuk induk jantan dan 0,2 kg/ekor untuk induk betina, sudah matang gonad (ditandai dengan warnanya yang lebih cemerlang dengan panjang kerapas minimal 65 mm), serta sehat dan tidak cacat (Prisdiminggo, 2002). Gambar 2. Siklus Hidup Lobster 2.5. Jenis Lobster Menurut Moosa dan Aswandy (1984), lobster mendiami suatu perairan tertentu menurut jenisnya. Berikut jenis-jenis lobster laut : Panulirus hommarus (lobster hijau pasir) biasanya ditemukan hidup di perairan karang pada kedalaman belasan meter, dalam lubang-lubang batu granit atau vulkanis. Jenis ini sering ditemukan berkelompok dalam jumlah yang banyak dan pada saat masih muda lebih suka hidup di perairan yang keruh. Menurut Chan (1998) dalam Saputra, jenis Panullirus hommarus hidup pada perairan pantai yang jernih pada bebatuan dan karang berpasir. Lobster ini biasa disebut scapolled spiny lobster/spiny lobster mempunyai punggung berwarna kebiru-biruan, kehijau-hijauan atau cokelat kemerah-merahan, dan terdapat bintik-bintik besar dan kecil berwarna kuning terang. Pada bagian badan terdapat garis kuning, melintang pada bagian sisi belakang segmen abdomen. Selain itu, terdapat bercak-bercak pada bagian kakinya. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 109 Gambar 3. Panulirus hommarus Panulirus peniculatus (lobster batu) atau pronghorn spiny/spiny lobster mempunyai bentuk tubuh berwarna hijau tua atau hijau-kehitaman dengan sapuan warna coklat melintang. Lobster jantan biasanya berwarna lebih gelap dari betina. Jenis Panulirus penicillatus biasanya mendiami perairan dangkal berkarang (tidak jauh dari pantai) di bagian luar terumbu karang pada kedalaman 1-4 m, dengan air yang jernih dan berarus kuat. Gambar 4. Panulirus peniculatus Panulirus longipes (lobster merah/bintik seribu) mampu beradaptasi pada berbagai habitat, namun lebih menyukai perairan yang lebih dalam, pada lubang-lubang batt karang. Pada malam hari, sering ditemukan pada tubir-tubir batuan dan kadang-kadang tertangkap di perairan yang relatif dangkal (sekitar 1m) dengan air yang jernih dan berarus kuat. Hal ini diperkuat oleh Chan (1998) dalam Saputra, habitat spesies P. longipes adalah perairan karang atau bebatuan yang dangkal (tapi kadang-kadang dijumpai juga pada kedalaman 130 meter). Perairan yang disukai yang jernih, dengan arus seang, atau kadang-kadang sedikit keruh. Lobster ini disebut long legged spiny, mempunyai warna tubuh merah kecoklatan terang, merah kecoklatan gelap, atau kemerahan. Terdapat bintik-bintik putih dan setiap ruas kaki bergari-garis coklat atau kekuning-kuningan memanjang. Spesies ini diperkirakan memiliki dua varietas, yaitu Panulirus longipes femoritiga dan Panulirus longipes longipes. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 110 Gambar 5. Panulirus longipes Panulirus ornatus (lobster mutiara) lebih menyukai terumbu karang yang agak dangkal dan sering tertangkap di perairan yang agak keruh, pada karang karang yang tidak tumbuh dengan baik, di kedalaman 1-8m. Lobster ini disebut ornate spiny, mempunyai tubuh berwarna hijau berbelang-belang kuning. Pada bagian abdomen terdapat bintik berwarna kuning. Gambar 6. Panulirus ornatus Panulirus versicolor (lobster bambu) senang berdiam di tempat-tempat yang terlindung di antara batu-batu karang, pada kedalaman hingga 16m. Jenis ini jarang terlihat berkelompok dalam jumlah banyak. Lobster ini disebutpainted spiny, yang masih muda mempunyai bentuk tubuh berwarna kebiru-biruan atau keungu-unguan. Sedangkan lobster dewasa berwarna hijau terang dengan sapuan warna merah, terutama pada bagian punggung. Bagian kepala berwarna kehitam-hitaman dengan bercak-bercak putih tersebar pada cangkang kepala. Pada setiap ujung segmen terdapat guratan berbentuk pipa hitam dengan garis putih di bagian tengahnya. Antena berwarna coklat muda kekuning-kuningan. Pada kaki didominasi oleh warna putih. Gambar 7. Panulirus versicolor Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 111 Panulirus poliphagus (lobster pakistan) banyak ditemukan hidup di perairan karang yang keruh dan sering kali juga ditemukan di dasar perairan yang berlumpur agak dalam. Lobster ini disebut juga mud spiny mempunyai bentuk badan berwarna coklat. Setiap ujung ruas tubuhnya terdapat guratan berbentuk pipa berwarna putih dan coklat gelap. Gambar 8. Panulirus poliphagus III. BAHAN DAN METODE 3.1. Bahan dan Alat Bahan : Induk lobster Pakan induk Alat : Bak pemeliharaan induk Jaring pemeliharaan Peralatan lapangan Peralatan pengukur kualitas air 3.2. Metode Pematangan gonad induk lobster dilakukan dengan dua metode yaitu pematangan gonad pada bak terkontrol dan pematangan gonad pada karamba jaring apung (KJA). A. Pematangan Gonad Pada Bak Terkontrol 1. Desain perekayasaan ini menggunakan dua perlakuan pakan yang berbeda dengan dua ulangan dan satu perlakuan kontrol dengan dua ulangan. 2. Persiapan bak pemeliharaan induk lobster. 3. Induk yang baru datang diaklimatisasikan terlebih dahulu dengan media bak pemeliharaan. Selama proses aklimatisasi, calon dinduk diberi pakan berupa ikan rucah dengan dosis 4-6% dari total biomass, dengan frekwensi pemberian dua kali sehari. 4. Setelah proses aklimatisasi calon induk selama kurang lebih satu minggu, induk lobster kemudian diberikan pakan perlakuan. Dosis yang diberikan adalah 4/6 % dari total biomass pada tiap perlakuan. a. Perlakuan A pakan kontrol berupa ikan rucah. b. Perlakuan B pakan berupa kekerangan. c. Perlakuan C berupa pakan campuran kekerangan+bulubabi+seaweed. 5. Frekuensi pemberian pakan sebanyak dua kali sehari, terutama diberikan pada sore hari menjelang malam dengan porsi pemberian agak banyak. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 112 6. Pemeliharaan harian berupa penggantian air media 100% pada pagi hari dan penyiponan sisa pakan dan kotoran. 7. Paremeter yang diamati adalah tingkat kematangan gonad induk lobster baik induk jantan maupun betina dilakukan tiap 5 hari sekali. Jumlah kematian, penambahan berat dan panjang relatif, serta analisa kualitas air dilakukan 10 hari sekali. 8. Sebagai data pendukung, pengukuran kualitas air dilakukan secara berkala yaitu: salinitas, temperatur dan oksigen terlarut dilakukan setiap hari serta amoniak dan nitrit dilakukan setiap 10 hari sekali. B. Pematangan Gonad Pada Karamba Jaring Apung (KJA) 1. Desain perekayasaan ini menggunakan dua perlakuan pakan yang berbeda dengan dua ulangan dan satu perlakuan kontrol dengan dua ulangan. 2. Persiapan jaring pemeliharaan induk lobster. 3. Induk yang baru datang diaklimatisasikan terlebih dahulu dengan media jaring pemeliharaan. Selama proses aklimatisasi, calon dinduk diberi pakan berupa ikan rucah dengan dosis 4-6% dari total biomass, dengan frekwensi pemberian dua kali sehari. 4. Setelah proses aklimatisasi calon induk selama kurang lebih satu minggu, induk lobster kemudian diberikan pakan perlakuan. Dosis yang diberikan adalah 4/6 % dari total biomass pada tiap perlakuan. a. Perlakuan A pakan kontrol berupa ikan rucah. b. Perlakuan B pakan berupa kekerangan. c. Perlakuan C berupa pakan campuran kekerangan+bulubabi+seaweed. 5. Frekuensi pemberian pakan sebanyak dua kali sehari, terutama diberikan pada sore hari menjelang malam dengan porsi pemberian agak banyak. 6. Pemeliharaan harian berupa penggantian jaring pemeliharaan tiap dua minggu sekali, sekaligus dilakukan sampling panjang dan berat induk. 7. Paremeter yang diamati adalah tingkat kematangan gonad induk lobster baik induk jantan maupun betina dilakukan tiap 5 hari sekali. Jumlah kematian, penambahan berat dan panjang relatif, serta analisa kualitas air dilakukan 10 hari sekali. 8. Sebagai data pendukung, pengukuran kualitas air dilakukan secara berkala yaitu: salinitas, temperatur dan oksigen terlarut dilakukan setiap hari serta amoniak dan nitrit dilakukan setiap 10 hari sekali. V. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari kegiatan perekayasaan ini diperoleh Informasi sebagai berikut : 1. Pematangan Gonad Induk Pematangan gonad induk lobster dilakukan dengan peningkatan nutrisi pakan yang diberikan, yaitu berupa ikan rucah, kekerangan, bulubabi dan seaweed. Pada perlakuan C (pakan campuran kekerangan+bulubabi+seaweed) memberikan hasil terbaik, hal ini ditunjukkan dengan tingginya prosentase induk yang matang gonad (55.5%) dibandingkan dua perlakuan lainnya, perlakuan A (12,5%) dan perlakuan B (25,0%). Kematangan gonad induk dapat dilihat pada sepanjang abdomen, untuk induk betina akan tampak garis memanjang yang berwarna kuning kemerahan, sedangkan pada induk jantan akan tampak garis memanjang yang berwarna putih. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 113 Pakan perlakuan C menghasilkan prosentase induk matang gonad tertinggi dikarenakan kandungan nutrisi pada pakan perlakuan C mempunyai kandungan nutrisi yang lengkap untuk perkembangan gonad induk lobster terutama gonad bulu babi. Gonad bulu babi mengandung asam lemak total 60,37%. Kandungan asam lemak tertinggi yaitu asam palmitat sebesar 18,44%. Gonad bulu babi juga mengandung asam lemak tak jenuh omega-3 sebesar (3,16-3,99)%, omega-6 (9,21-13,88)%, omega-9 (3,955,01)%, EPA (2,3-2,89)% dan DHA (0,38-0,73)%. Asam amino yang terkandung di dalam gonad bulu babi ini yaitu 15 jenis yang terdiri atas 8 jenis asam amino esensial dan 7 jenis asam amino non-esensial (Afifudin, et al, 2014). Data pematangan gonad tersaji pada tabel 1. sebagai berikut : Tabel 1. Data Kematangan Gonad Lobster No Jenis Lobster Perlakuan A 1 P. longipes (batik) 2 P. hommarus (pas ir) Tangg al Sampli ng Informasi Induk Betina Jantan Ber CL TK Ber CL TK at (m G at (m G (gr) m) (gr) m) Keterangan 23/04/ 2015 23/04/ 2015 169 60 0 Belum berkembang 260 85 0 Belum berkembang 3 P. hommarus (pas ir) 23/04/ 2015 286 75 Belum berkembang 4 P. hommarus (pas ir) 23/04/ 2015 165 70 Belum berkembang 5 P. hommarus (pas ir) 23/04/ 2015 117 70 0 141 70 Belum berkembang 6 P. hommarus (pas ir) 23/04/ 2015 113 70 0 Belum berkembang 7 P. hommarus (pas ir) 23/04/ 2015 204 75 0 Belum berkembang 8 P. hommarus (pas ir) 23/04/ 2015 175 65 0 Telur berkembang, sudah terlihat dalam abdomen Perlakuan B 9 P. hommarus (pas ir) 23/04/ 2015 Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 325 80 Belum berkembang 114 10 P. hommarus (pas ir) 23/04/ 2015 11 P. hommarus (pas ir) 23/04/ 2015 220 75 0 Belum berkembang 12 P. hommarus (pas ir) 23/04/ 2015 165 65 0 Telur berkembang, sudah terlihat dalam abdomen 13 P. peniculatus (ba tu) P. peniculatus (ba tu) 23/04/ 2015 169 60 0 Belum berkembang 23/04/ 2015 246 80 0 Belum berkembang 15 P. peniculatus (ba tu) 23/04/ 2015 238 80 0 Belum berkembang 16 P. peniculatus (ba tu) 23/04/ 2015 14 Perlakuan C 17 P. hommarus (pas ir) 23/04/ 2015 182 341 255 80 75 85 Sperma terlihat jelas dalam abdomen 0 0 Belum berkembang Telur berkembang, sudah terlihat dalam abdomen 18 P. hommarus (pas ir) 23/04/ 2015 250 19 P. hommarus (pas ir) 23/04/ 2015 240 75 0 Telur berkembang, sudah terlihat dalam abdomen 20 P. hommarus (pas ir) 23/04/ 2015 235 70 0 Telur berkembang, sudah terlihat dalam abdomen 21 P. hommarus (pas ir) 23/04/ 2015 245 75 0 Belum berkembang 22 P. hommarus (pas ir) 23/04/ 2015 250 75 Belum berkembang 23 P. hommarus (pas ir) 23/04/ 2015 190 65 Belum berkembang 24 P. hommarus (pas ir) 23/04/ 2015 Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 275 75 85 0 Sperma terlihat jelas dalam abdomen Sperma terlihat jelas dalam abdomen 115 25 P. hommarus (pas ir) 23/04/ 2015 215 70 Belum berkembang Gambar 9. Perkembangan Kematangan Telur Kematangan telur I Kematangan telur II Kematangan telur III Kematangan telur IV 2. Pemijahan Induk Induk-induk yang digunakan pada kegiatan ini merupakan udang lobster hasil tangkapan alam yang berukuran >200 gr/ekor (CL 60 mm) untuk induk betina dan >300 gr/ekor (CL 70 mm) untuk induk jantan. Sebelum memijah induk betina terlebih dahulu akan ganti kulit (molting). Pemijahan induk terjadi secara alami, yaitu ditandai dengan beberapa induk betina yang mengejar-ngejar induk jantan terutama pada saat sore hari hingga malam hari. Apabila kondisi tersebut terjadi, dapat dipastikan beberapa induk betina akan membawa kantong sperma (spermatoforik) pada pangkal kaki jalan ke-4 dan 5. Menurut Moosa dan Aswandy (1984), ukuran panjang total lobster jantan dewasa kurang lebih 20 cm, dan betina kurang lebih 16 cm, sedangkan umur pertama kali matang gonad yaitu ditaksir antara 5 tahun – 8 tahun. Pada waktu pemijahan lobster mengeluarkan sperma (spermatoforik) dan meletakkannya di bagian dada (sternum) betina mulai dari belakang celah genital (muara oviduct) sampai ujung belakang sternum. Peneluran terjadi beberapa hari setelah induk betina membawa kantong sperma, telur yang dikeluarkan akan di erami pada bagian abdomen tepatnya pada bagian kaki renang selama 5-7 hari sebelum akhirnya menetas menjadi nauplisoma. Perkembangan telur akan mengalami beberapa tahapan warna, yang diawali warna kuning muda, kuning tua (orange), merah bata, abu-abu dan menetas. Hal ini sesuai dengan pendapat (Moosa dan Aswandy, 1984), pembuahan terjadi setelah telur-telur dikeluarkan dan ditarik kearah abdomen yaitu dengan cara merobek selaput pembungkus oleh betina dengan menggunakan cakar (kuku) yang berupa capit terdapat pada ujung pasangan kaki jalannya. Lobster yang sedang bertelur melindungi telurnya dengan cara meletakkan atau menempelkan dibagian bawah dada (abdomen) sampai telur tersebut dibuahi dan menetas menjadi larva atau biasa disebut burayak atau tumpayak. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 116 Gambar 10. Pemijahan induk lobster Pemijahan induk Pemijahan induk Spermatoforik Matang Gonad Gambar 11. Perbedaan induk jantan dan betina Induk Jantan Induk Betina Data pengamatan pemijahan induk lobster tersaji pada tabel 2. sebagai berikut; No Jenis Lobster Tangg al Sampli ng Informasi Induk Betina Jantan Ber CL TK Ber CL TK at (m G at (m G (gr) m) (gr) m) Keterangan 1 P. hommarus (pasir) 23/04/ 2015 80 IV Warna telur coklat abu-abu, pindah ke bak penetasan 2 P. hommarus (pasir) 23/04/ 2015 70 III Warna telur kuning gelap, pindah ke bak penetasan Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 117 3 P. hommarus (pasir) 23/04/ 2015 65 II Warna telut orange, pindah ke bak penetasan Tabel 3. Data pengamatan pemijahan induk lobster No Jenis Lobster Tangg al Sampl ing 1 Informasi Induk Betina Jantan Ber CL TK Ber CL TK at (m G at (m G (gr) m) (gr) m) 75 I P. 22/08 hommarus /2015 (pasir) 2 P. 22/08 70 III hommarus /2015 (pasir) 3 P. 22/08 75 II hommarus /2015 (pasir) Tabel 4. Data pengamatan pemijahan induk lobster No Jenis Lobster Tangg al Sampl ing 1 P. hommarus (pasir) P. hommarus (pasir) 20/11 /2015 2 Telur awal TKG I (warna kuning muda) 70 Warna telut orange, pindah ke bak penetasan II Ikatan telur pada kaki renang Warna telur kuning muda, pindah ke bak penetasan Warna telur kuning gelap, pindah ke bak penetasan Informasi Induk Betina Jantan Ber CL TK Ber CL TK at (m G at (m G (gr) m) (gr) m) 65 I 20/11 /2015 Keterangan Keterangan Warna telur kuning muda, pindah ke bak penetasan Warna telut orange, pindah ke bak penetasan Telur TKG III (warna merah bata) Gambar 12. Perkembangan Telur Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 118 3. Produksi Noulpisoma Induk-induk yang sudah mengerami telur selanjutnya dipindahkan ke dalam bak penetasan untuk memudahkan pengamatan telur dan pemanenan nauplisoma yang di hasilkan. Penanganan nauplisoma yang dihasilkan harus dilakukan secara hati-hati agar supaya tidak mengalami luka maupun cacat terutama bagian kaki-kakinya yang panjang. Pada kegiatan ini menggunakan dua metode yaitu; 1. Pemanenan nauplisoma dengan cara diseser, selanjutnya nauplisoma dipelihara pada bak baru. 2. Pemindahan induk, selanjutnya nauplisoma dipelihara pada bak penetasan. Namun kedua metode tersebut masih kurang maksimal, hal ini sangat berpengaruh pada nauplisoma yang dihasilkan, dari hasil pengamatan di laboratorium nauplisoma yang dihasilkan banyak mengalami luka, cacat pada organ pergerakan dan terserang parasit. Gambar 13. Pemanenan Nauplisoma Nauplisoma di seser dari bak penetasan Nauplisoma yang terkumpul pada scop net Gambar 14. Nauplisoma yang baru menetas Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 119 Tabel 5. Data Produksi Nauplisoma No 1 2 Jenis Lobster P. polyphagu s (Pakistan) P. hommarus (pasir) Informasi Induk CL (mm ) 130 Kelam in TKG Tanggal Masuk Betina I 80 Betina Keterangan 03/06/2 015 Tanggal Spawni ng 08/06/2 015 Warna telur coklat abu-abu, pindah ke bak penetasan II 03/06/2 015 10/06/2 015 Warna telur kuning gelap, pindah ke bak penetasan 3 P. hommarus (pasir) 70 Betina II 03/06/2 015 10/06/2 015 Warna telut orange, pindah ke bak penetasan 4 P. hommarus (pasir) 70 Betina II 03/06/2 015 12/06/2 015 Warna telut orange, produksi naupli ± 15.000 ekor 5 P. hommarus (pasir) 65 Betina I 03/06/2 015 10/06/2 015 Telur digugurkan 6 P. hommarus (pasir) 70 Betina II 03/06/2 015 12/06/2 015 Warna telut orange, produksi naupli ± 15.000 ekor 7 P. hommarus (pasir) P. hommarus (pasir) 65 Betina I 03/06/2 015 10/06/2 015 Digunakan untuk sample histopatologi 70 Betina II 03/06/2 015 14/06/2 015 Warna telut orange, produksi naupli ± 20.000 ekor P. hommarus (pasir) 70 Betina II 03/06/2 015 17/06/2 015 Warna telut orange, produksi naupli ± 15.000 ekor 8 9 4. Kualitas Air Kualitas air media pemeliharaan induk secara fisik masih memenuhi persyaratan pemeliharaan induk, namun secara biologis tidak memenuhi persyaratan, hal ini tampak jelas pada total bakteri media pemeliharaan masih sangat tinggi diatas batas ambang kondisi optimal pemeliharaan. Kondisi diatas sangat berpengaruh pada kesehatan induk yang dipelihara, hasil pengamatan menunjukkan bahwa induk yang dipelihara sering mengalami serangan Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 120 penyakit, terutama dari jenis bakteri dan virus. Penyakit yang sering muncul pada saat pemeliharaan induk antara lain : Busuk sirip ekor dan kaki renang yang ditimbulkan oleh bakteri Insang hitam yang ditimbulkan oleh jamur Milky desease yang ditimbulkan oleh virus Tabel 6. Data pengamatan kualitas air media pemeliharaan induk lobster Parameter kualitas air Suhu Salinitas Ph Alkalinitas Ammonia Nitrit Total bakteri Lokasi Sample Satuan O C ppt ppm ppm ppm CFU/ml Bak Induk 1 31 34 7,96 131 0,755 0,007 5,6x106 Bak Induk 2 33 34 7,98 127 0,725 0,001 6,4x106 Kondisi optimal KJA 1 KJA 2 KJA 3 32 33 33 30 – 31 34 7,77 129 0,685 0,025 1,4x106 30-33 6,5 – 8 10 – 400 < 0,02 < 0,1 Maks104 34 7,96 130 0,675 0,06 1,2x106 34 7,98 128 0,700 0,017 1,2x106 VI.KESIMPULAN 1. Perlakuan C (pakan campuran kekerangan+bulubabi+seaweed) memberikan hasil terbaik, dengan prosentase induk yang matang gonad (55.5%) dari total populasi. 2. Pemijahan induk ditandai dengan induk betina yang membawa spermatoforik (kantung sperma). 3. Pemanenan nauplisoma harus dilakukan secara hati-hati, sehingga diperoleh nauplisoma dengan kualitas yang bagus. 4. Kualitas air media pemeliharaan secara biologis kurang mendukung pemeliharaan induk dan produksi nauplisoma dengan total bakteri antara 1,2x106 - 6,4x106 CFU/ml. PUSTAKA Effendie, M.I. 1997. Metoda Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta. Isna Kurniati Afifudin, Sugeng Heri Suseno, dan Agoes M. Jacoeb. 2014. ProfilAsam Lemak dan Asam Amino Gonad Bulu Babi. Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Jalan Agatis, Bogor 16680 Jawa Barat Kadafi, Muammar, et.al., 2006. Aspek Biologi dan Potensi Lestari Sumberdaya Lobster (Panulirus spp.) di Perairan Pantai Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen. Jurnal Perikanan VIII(1). Kanna, Iskandar. 2006. Lobster. Kanisius. Yogyakarta. Moosa, M.K. dan I. Aswandy. 1984. Udang Karang (Panulirus spp.) dari Perairan Indonesia. LON LIPI. Jakarta Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 121 Phillips, B.F., J.S. Cobb, and R.W. George, 1980. General Biology. In Cobb, J.S., and B.P. Phillips (eds.). The Biology and Management of Lobsters. Volume I. Physiology and Behavior. Academic Press. Saputra, Suradi Wijaya. 2009. Status Pemanfaatan Lobster (Panulirus sp) di Perairan Kebumen. Jurnal Saintek Perikanan Vol. 4, No. 2 Subani, W., 1987. Perikanan Udang Barong (Spiny Lobster) dan Prospek Masa Depannya. Bulletin Penelitian Perikanan Volume I (3). Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta. ______1984. Studi Mengenai Pergantian Kulit Udang Barong (Spiny Lobster, Panulirus spp) Kaitannya dengan Hasil Tangkapan. Laporan Penelitian Perikanan Laut. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 122 PENGGUNAAN MEDIA CONWY DAN GUILLARD DALAM KULTUR PLANTLET RUMPUT LAUT KOTONIKappaphycus alvarezii Oleh : Valentina Retno Iriani dan Zahriah Anis Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung ABSTRACT One of the obstacles in the cultivation of seaweed that is the availability of seeds in sufficient quantities with high quality. At this time these obstacles have been overcome through tissue culture technology. Tissue culture activities of Kappaphycus alvarezii of the laboratory scale can be performed properly.. There are several medium used in tissue culture activities, among others: Conwy, PES, VS, f / 2, Z9 and Guilard. This test will be conducted on cultureof Kappaphycus alvarezii plantlets on Conwy and Guilard medium in different concentrations. These trials activities carried out in tissue culture laboratory BBPBL Lampung from April to July 2015. Seaweed plantlets were obtained from SEAMEO BIOTROP Bogor. Plantlets were cultured in a volume of 1000 ml Erlenmeyer. Initial weight of seaweed is 0.2 grams. Treatments were culturing plantlets in liquid Conwy (C) and Guilard (G) medium in different concentrations. The treatment were C1. 0.5 ml / L; C2. 1 ml / L; C3. 1.5 ml / L; G1. 0.5 ml / L; G2. 1 ml / L; G3. 1.5 ml / L. There were 2 replicationsin each treatment.The culture placed on a shelf culture completed with a fluorescent lamp (light intensity of 1500 lux). Room temperature around 20-25 ºC. Subculture done once a week. Parameters measured were weight, length and diameter of thalus. That provide the highest yields for thallus weight gain, respectively are treated G2; G1; C2; C1; C3 and G3 (As for the value in sequence is as follows 0.73 g; 0.70 g; 0.59 gr; 0.51 gr; 0:49 gr and 0:40 gr). As for the thallus length respectively are treated C1; G1; G3; G2, C3 and C2 (value respectively are as follows 0.49 cm; 0.48 cm; 0.47 cm; 0.45 cm; 0.31 and 0.29 cm). Keywords : cottonii seaweed, Conwy, Guillard Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 123 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Rumput laut kotoni (K. alvarezii) merupakan salah satu komoditas penting karena memiliki beberapa keunggulan antara lain mudah dibudidayakan, modal yang diperlukan relatif sedikit, dan usia panen singkat. Rumput laut merupakan komoditas yang tepat untuk digunakan dalam program pemberdayaan masyarakat pesisir, selain itu permintaan pasar masih sangat tinggi. Salah satu kendala yang dihadapi dalam pengembangan budidaya rumput laut adalah keterbatasan bibit yang kontinyu dan berkualitas. Yang terjadi saat ini penggunaan bibit rumput laut dari hasil budidaya dengan cara stek secara terus menerus menyebabkan rumput laut yang dihasilkan mengalami penurunan kualitas seperti kadar karaginan, daya tahan terhadap penyakit, pertumbuhan dan sebagainya. Dalam usaha menghasilkan bibit rumput laut yang unggul, SEAMEO BIOTROP Bogor telah berhasil mengembangbiakkan rumput laut Kotoni melalui teknologi kultur jaringan. Keberhasilan ini langsung direspon oleh BBPBL Lampung untuk melakukan perekayasaan perbanyakan bibit rumput laut hasil kultur jaringan tersebut. Pertumbuhan yang baik akan dicapai jika rumput laut mendapatkan nutrisi yang cukup dari lingkungannya. Nutrisi yang baik bagi rumput laut adalah nitrogen dan fosfor. Umumnya unsur fosfor diserap dalam bentuk ortofosfat sedangkan nitrogen diserap dalam bentuk nitrat, nitrit dan ammonium (Dawes dalam Kurniawan, 2006) Di BIOTROP, kegiatan perbanyakan bibit pada skala laboratorium, menggunakan media Provasoli Enrich Seawater (PES). Selain, media PES, beberapa media juga merupakan sumber N dan P yang baik bagi pertumbuhan rumput laut, di antaranya media Conwy dan Guillard. Berdasarkan kajian tersebut, maka upaya perekayasaan mengenai perbanyakan bibit rumput laut skala laboratorium menggunakan berbagai jenis media perlu dilakukan.. Kegiatan perekayasaan dilaksanakan untuk mengetahui jenis media dan dosis yang paling baik dalam perbanyakan bibit rumput laut skala laboratorium. Diharapkan keberhasilan dalam kegiatan perekayasaan ini dapat meningkatkan produksi rumput laut hasil kultur jaringan. 1.2. Tujuan Kegiatan perekayasaan ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan dosis media yang paling efektif dalam perbanyakan bibit rumput laut skala laboratorium yang menghasilkan pertumbuhan dan performayang terbaik. 1.3. Sasaran Sasaran dari perekayasaan ini adalah didapatkannya jenis media/media yang paling efektif dalam pemeliharaan bibit rumput laut pada skala laboratorium. II. MATERI DAN METODE Kegiatan perbanyakan bibit rumput laut ini dilakukan di laboratorium kultur jaringanBBPBL Lampung pada bulan Aprilsampai dengan Juli2015. 2.1. Materi : - Bibit rumput laut hasil kultur jaringan (dari media cair) dari BIOTROP Bogor. - Bahan kimia Pro Analys (PA) untuk pembuatan media Conwy dan Guillard. - Bahan analisa kualitas air. - Alkohol, aquades dan aquabides Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 124 - Peralatan perbanyakan bibit rumput laut di laboratorium : rak kultur, laminar flow, peralatan gelas (Erlenmeyer, beaker glass, gelas ukur, petri dish), peralatan aerasi (hi-blow, selang aerasi, pemberat, kran aerasi), autoclave, timbangan analitik, UV sterilizer, pinset, pisau bedah, bunsen. - Peralatan pendukung (screen net, ember, gayung, dan distribusi air laut, alat tulis, kamera, mikroskop). 2.2. Metode: Tahap Persiapan. a. Sterilisasi - Melakukan sterilisasiperalatan gelas yang akan dipakai kultur dengan cara direndam menggunakan larutan kaporit 100 ppm, kemudian dicuci dengan air tawar dan disemprot alkohol 70% lalu ditiriskan. Peralatan aerasi disterilkan dengan cara yang sama dengan di atas, kemudian dilakukan perebusan. - Melakukan sterilisasi air. Air laut disaring menggunakan sand filter, kemudian dialirkan melalui UV sterilizer kemudian diautoclave dan dimasukkan ke dalam wadah kultur. b. Pembuatan Media (Conwy dan Guillard) Komposisi media Conwy/Walne dan cara pembuatannya. Siapkan 750 ml akuades di dalam beakerglass.Larutkan komponen di bawah ini satu persatu secara berurutan.pastikan setiap komponen benar-benar larut, sebelum memasukkan komponen berikutnya. Setelah semua bahan larut, tambahkan akuades hingga volume larutan menjadi 1000 ml. Komponen Kuantitas Na2EDTA 45 gr FeCl3•6H2O 1.5 gr H3BO3 33.6 gr NaH2PO4•2H2O 20 gr MnCl2 0.5 gr NaNO3 100 gr Trace metal 1 ml solution Komposisi Trace metal solution Larutkan masing-masing bahan di bawah ini ke dalam 100 ml akuabides. Untuk membuat media Conwy, masing-masing larutan trace metal ditambahkan sebanyak 1 ml. ZnCl2 2.1 gr CoCl2•6H2O 2.0 gr CuSO4•5H2O 2.0 gr (NH4)6Mo7O24•4H2O 0.9 gr Akuabides 100 ml Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 125 Komposisi media Guillard and Rhyter (F Media Modification) dan cara pembuatannya Siapkan 750 ml akuades di dalam beakerglass.Larutkan komponen di bawah ini satu persatu secara berurutan.pastikan setiap komponen benar-benar larut, sebelum memasukkan komponen berikutnya. Setelah semua bahan larut, tambahkan akuades hingga volume larutan menjadi 1000 ml. Komponen Na2EDTA FeCl3•6H2O NaH2PO4•2H2O MnCl2 NaNO3 Trace metal solution Kuantitas 10 gr 2.9 gr 10 gr 3.6 gr 84.148 gr 1 ml Komposisi Trace Metal Solution Larutkan masing-masing bahan di bawah ini ke dalam 100 ml akuabides. Untuk membuat media Guillard, masing-masing larutan trace metal ditambahkan sebanyak 1ml. Komponen CuSO4•5H2O ZnSO4•7H2O CoCl2•6H2O NaMoO4•H2O Akuabides Kuantitas 1.96 gr 4.4 gr 2 gr 1.26 gr 100 ml Tahap Pengujian - Pemeliharaan rumput laut dilakukan di ruang ber-AC dengan suhu ruangan 20° C. - Kultur ditempatkan pada rak yang diberi penyinaran dengan lampu TL berintensitas cahaya sekitar 1500 lux. - Rumput laut dikultur pada Erlenmeyer volume 1000 ml - Berat awal rumput laut adalah 0,2 gram per perlakuan. - Subkultur dilakukan seminggu sekali di dalam laminar air flow cabinet dan semua kegiatan dilakukan secara aseptis. - Waktu pemeliharaan selama 3 bulan. - Perlakuan yang diberikan adalah : Media Conwy A. 0,5 ml/lt (C 0,5) B. 1,0 ml/lt (C 1,0) C. 1,5 ml/lt (C 1,5) MediaGuillard A. 0,5 ml/lt (G 0,5) B. 1,0 ml/lt (G 1,0) C. 1,5 ml/lt(G 1,5) - Pada setiap perlakuan dilakukan 2 kali ulangan. - samplingdilakukan seminggu sekali meliputi berat thallus dan jumlah thallus. - Pengukuran kualitas air dilakukan pada awal dan akhir pemeliharaan. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 126 Pengamatan dan pengambilan data Parameter yang diamati adalah : - Laju PertumbuhanSpesifik menggunakan rumus sebagai berikut : SGR = {(Wt/Wo)1/t}-1} x 100 % Wt = panjang rata-rata akhir (mm) W0 = panjang awal (mm) - Data yang diperoleh kemudian ditabulasikan, dirata-ratakan untuk dianalisis secara deskriptif. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil pengamatan yang sudah dirata-ratakan disajikan pada tabel dan diagram berikut: Pertumbuhan rumput laut dikatagorikan dalam pertumbuhan somatik dan pertumbuhan fisiologi.Pertumbuhan somatik merupakan pertumbuhan yang diukur berdasarkan pertambahan berat atau panjang thallus, sedangkan pertumbuhan fisiologi dilihat berdasarkan reproduksi dan kandungan koloidnya (Kamlasi, 2008).Laju pertumbuhan dihitung menurut pertambahan berat terhadap bibit yang ditanam dan dinyatakan dalam persen per hari. Pemupukanbiasanyadilakukandenganmaksudmenyediakanunsur hara padamediatempat hiduptanaman karena ketersediaan unsurharayang dapat diseraptanamanmerupakanfaktoryangmempengaruhi pertumbuhan.Menurut (Sukandar,1978dalamArsyad,2013), pemupukanadalah memberikanunsur harakepadatanamandapat tumbuhcepat, subur, dansehat. Mediamengandung unsurharamakro danunsur haramikroyangsangat dibutuhkanolehtanaman.Kandunganunsurharanitrogendalambentukklorofil yangberpengaruh pada fotosintesis dan tanaman yang paling ). banyakmengambildalambentuknitrat(NO3)danamonium(NH4 Peranannitrogendalamtanamanterutamasebagai bahan dasaratau penyusunanproteindalam pembentukanklorofil karenaitunitrogenmerupakan unsurharayang sangat seringmembatasihasil tanaman(Indranada, 1986). atau Rumputlautmenyerapunsurfosfor dalambentukionorthophospat(PO3-) phospat organik dalam bentukglysero phospat denganmemproduksi alkalin phospat Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 127 aseekstra selular. Menurut (Lingga, 1999) bahwa sebagian besarfosfor dalamtanaman berperan sebagai zatpembangun danterikatdalam senyawasenyawaorganikdansebagian kecil dalambentukanorganiksebagai ion-ionphospat. Pada uji coba menggunakan media Conwy, hasil pertumbuhan terbaik diperoleh pada perlakuan media Conwy dengan dosis 1,0 ml/liter yaitu sebesar 1,655923%, diikuti perlakuan media Conwy dosis 0,5ml/liter sebesar 1,512789 % dan perlakuan media Conwy dosis 1,5 ml/liter sebesar 1,495637 %. Sedangkan Pada uji coba menggunakan mediaGuillard, hasil pertumbuhan terbaik diperoleh pada perlakuan mediaGuillard dengan dosis 1,0 ml/liter yaitu sebesar 1,850738 %, diikuti perlakuan media Guilllard dosis 0,5ml/liter sebesar 1,80683% dan perlakuan media Guillard dosis 1,5 ml/liter sebesar 1,317467 %. Jika dibandingkan antara perlakuan media Conwy dengan media Guillard, maka hasil terbaik ditunjukkan oleh perlakuan media Guillard dosis 1,0 ml/liter. Komposisi nutrien pada media Conwy dan Guillard, yang mempengaruhi pertumbuhan, terutama pada pembentukan protein (asam amino) dan lemak (asam lemak) adalah nitrogen dan Fe (Endar, Vivi et. al., 2012). Komposisi Fe pada media Guillard lebih tinggi daripada media Conwy. Menurut Amsler (2008), FeCl3 (besi) memiliki kemampuan untuk mereduksi nitrat menjadi nitrit dan nitrit menjadi amonium. Amonium adalah sumber nitrogen. Nitrogen adalah nutrien yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan alga (Kaplan et.al., 1986). Tabel Kualitas Air Perlakuan Media Conwy Parameter Satuan Perlakuan Baku mutu Conwy 0,5 ml Conwy 1,0 ml Conwy 1,5 ml pH Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir 7,485 7,46 7,33 7,335 7,07 7,46 7-8,5 DO mg/l 7,15 6,73 7,4 6,895 6,8 7,1 >4 Suhu °C 21,35 23,3 21,4 22,95 21,25 22,2 alami Salinitas ppt 32 35 32 35,5 32 37,5 27-34 Nitrit mg/l 0,075 0,0455 0,0735 0,0375 0,0655 0,028 0,05 Nitrat mg/l 1,056 4,29 1,7705 5,32 2,955 7,02 1-3 Amoniak mg/l 0,3005 0,246 0,247 0,328 0,162 0,162 0,3 Phosphat mg/l 0,247 2,18 0,4685 3,675 0,621 5,715 0,010,021 Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 128 Tabel Kualitas Air Perlakuan MediaGuillard Parameter Satuan Perlakuan Guillard 0,5 ml Guillard 1,0 ml Guillard 1,5 ml Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir Baku Mutu pH - 7,7 7,555 7,49 7,39 7,395 7,395 7-8,5 DO mg/l 7,425 7,085 7,245 7,55 7,31 6,555 >4 Suhu air °C 21,2 21,65 21,3 22,15 21,2 22,25 Alami Salinitas psu 32 35,5 32 36,5 32 37,5 Nitrit mg/l 0,077 0,052 0,0707 0,0445 0,07 0,0045 2734 0,05 Nitrat Amoniak mg/l mg/l 1,2035 0,0815 2,74 0,4555 2,1455 0,092 4,805 0,5515 2,253 0,0755 3,726 0,156 1-3 0,3 Phosphat mg/l 0,1035 1,0685 0,239 1,0115 0,327 3,055 0,010,021 Kualitas air pada kedua perlakuan dapat dilihat pada tabel di atas. Sebagian besar parameter kualitas air masih memenuhi peryaratan budidaya rumput laut. Salinitas pada akhir uji coba mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena selama waktu pemeliharaan terjadi penguapan yang berakibat terhadap naiknya salinitas. Kandungan phosphat pada akhir uji coba, pada beberapa perlakuan juga lebih tinggi dari baku mutu. Kemungkinan tingginya kandungan phosphat pada akhir uji coba berasal dari lapukan rumput laut yang mati dan sisa bahan organik. Sumberalamifosfatdalamperairanberasaldarierositanah,kotoranbuanganhewan,lapukan tumbuhan, buanganindustri,hanyutanmedia,limbahdomestik,hancuranbahanorganik dan mineral-mineralfosfat(Susana,1989). IV. KESIMPULAN Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan terbaik didapatkan dari penggunaan media Guillard dengan dosis 1,0 ml/liter. IV. REFERENSI Arsyad.G,2013.PengaruhPanjangThallusBerbedaDenganDenganBerat AwalYangSama Terhadap PertumbuhanBibitRumputLaut(K. Alvarezii). FakultasIlmuKelautan Dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Aslan.L.M,1998.Budidaya Rumput LautKasinus.Yogyakarta Bond, M.M. et. al. 2010. Pengelolaan Air Pada Pembenihan Air Laut.Balai Budidaya laut Batam. Damar, A., Wardiatno, Y., Yuli N, Nyoman MNN dan Unggul A. 1992. Studi Kemungkinan Budidaya Algae Laut Gracilaria lichenoides di Tambak di Perairan Pantai Selatan Kabupaten Pandeglang Jawa Barat. Institut Pertanian Bogor. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 129 Doty, MS. 1971. Measurement of Water Movement in Reference to Benthic Algae Growth. Botanica Marina. p 32-35 Effendi, H., 2007. Telaah Kualitas Air-Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Indranada.K,1986.Pengolahan KesuburanTanah.PT.Bina Aksara.Jakarta. KepMen Lingkungan Hidup No. 51 Th 2004.Baku mutu air laut untuk biota laut. Kurniawan, AD. 2006. Studi Kemampuan Penyerapan Unsur Hara (N dan P) oleh Gracillaria sp. dalam Skala Laboratorium (Skripsi). Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Lingga.P,1999.HidroponikBercocokTanamTanpaTanah.PenebarSwadaya. Jakarta.Hal33-37. Patadjai, R.S. 1993. Pengaruh Media TSP Terhadap Pertumbuhan dan Kualitas Rumput Laut Gracilaria gigas Harv (Tesis). Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Program Manual Penyiapan Standar Teknologi Perbanyakan Bibit Rumput Laut Kotoni (Kappaphycus alvarezii) Hasil Kultur Jaringan. 2014 PP No 24. 1991. Pengendalian pencemaran lingkungan laut PP No 24. Th 1991. Purba, SB. 1991. Laju Pertumbuhan dan Mutu Rumput Laut Euchema alvarezii (Doty) yang Ditanam pada Sistem Monoline dan Multilines Lepas Dasar di Perairan Pantwi Geger, Nusa Dua Bali (Skripsi). Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Susana, T.1989.kadarFosfatdiBeberapaMuara SungaiTelukJakartaProsiding SeminarEkologilautdan Pesisir.P3O-LIPI.Jakarta. Tang, U.M. dan Affandi, R. 2002. Fisiologi Hewan Air. Pekan Baru.UNRI Press. Yanti, A. 2007. Studi Pertumbuhan Beberapa Alga Merah Genus Gracilaria dari Pantai Batunampak Kabupaten Sukabumi (Skripsi). Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.Institut Pertanian Bogor. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 130 PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI Kappaphycus alvarezii HASIL KULTUR JARINGAN DENGAN VARIASI JARAK BERBEDA DARI BIBIR PANTAI Andi Elman1*) Akmal1), Lideman1), Hamzah1), Syamsul Bahri1), Mutmainna1), IGP. Agung2), Syamsir Syam2), Ilham3), Muh. Suaib3),Muh. Amri4), Sugeng Raharjo5) Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar ABSTRACT Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan laju pertumbuhan dan produksi rumput laut Kappaphycus alvarezii hasil kultur jaringan dengan variasi jarak tanam dari pantai. Ada 3 (tiga) percobaan jarak budidaya dari bibir pantai terdiri dari; A. =100 m dari pantai; B. 200 m; dan C. 300 m dari pantai. Bibit rumput laut yang digunakan adalah bibit hasil kultur jaringan jenis Kappaphycus sp didatangkan dari Seameo Biotrop Tajur, Bogor, Jawa Barat. Bibit K. alvarezii ditimbang dengan bobot awal 2-4 gr/simpul, bibit diikatkan pada tali PE No.1,5 mm dan dimasukkan dalam keranjang, selanjutnya diikat pada tali rentang PE No. 5 mm dengan jarak antar tali simpul 15 cm. Penanaman bibit dengan metode lepas dasar longline yang berukuran panjang tali rentang 30 m. Data yang diamati adalah pertumbuhan, produksi dan produktivitas. Pengujian variasi jarak berbeda dari pantai terhadap pertumbuhan, produksi dan produktivitas serta parameter kualitas air dilakukan analisa secara deskriptif. Hasil menunjukkan laju pertumbuhan harian rumput laut kultur jaringan asal Seameo Biotrop Bogor yang dibudidayakan dengan jarak tanam dari bibir pantai berkisar antara 1,33%/hari-1–2,47%/hari-1. Jarak pada perlakuan B (200 m) lebih tinggi laju pertumbuhan hariannya (2,47%/hari-1) di banding dengan perlakuan A (100 m) dan C (300 m) masing-masing (1,33%/hari-1) dan (1,87%/hari-1). Rendahnya laju pertumbuhan harian karena rumput laut kultur jaringan masih proses adaptasi dari laboratorium ke kondisi perairan laut wilayah Takalar. Sedangkan rumput laut hasil kultur jaringan (generasi III) yang diperoleh dari BBPBL Lampung yang dibudidayakan selama 35 hari di pantai Laguruda BPBAP Takalar memiliki laju pertumbuhan harian berkisar antara 3,00%/hari-1-3,55%/hari-1 jauh lebih kecil dibandingkan laju pertumbuhan harian rumput laut hasil kultur jaringan yang dipeliharan di pantai BBPBL Lampung 9,43%/hari-1-13.46%/hari-1. Adapun produksi dan produktivitas berkisar antara 11,90-32,10 g-1 (rata-rata 20,57 gr-1) dan 1,70-4,59 g/m-1 (rata-rata 2,94 g/m-1). Selanjutnya, jarak tanam dari bibir pantai 200 m (perlakuan B) diperoleh produksi dan produktivitas tertinggi masing-masing 32,10 g-1 dan 4,59 g/m-1 dan terendah jarak tanam dari bibir pantai 300 m (perlakuan C) masing-masing 11,90 g-1 dan 1,70 g/m-1 lebih rendah dibanding dengan jarak tanam dari bibir pantai 100 m (perlakuan A) masing-masing 17,70 g-1 dan 2,53 g/m-1. Rendahnya produksi dan produktivitas diduga karena bibit kultur jaringan masih proses aklimatisasi dari laboratorium ke kondisi perairan laut. Sedangkan bibit rumput laut hasil kultur jaringan (generasi III) tahun 2014 yang diperoleh dari BBPBL Lampung dan dibudidayakan selama 35 hari di pantai Laguruda BPBAP Takalar memiliki produks dan produktivitas masingmasing 750,0-1.060,0 g-1 (rata-rata 913,33 g-1) dan 25,00-35,33 g/m-1 (rata-rata 30,44 g/m-1). Kata Kunci : Variasi Jarak Tanam, Pertumbuhan, Produksi, Kultur Jaringan, K. alvarezii Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 131 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Budidaya rumput laut menggunakan metode longline dari bibit yang telah berulang kali digunakan, yaitu dari rumput laut sisa panen periode sebelumnya yang sengaja tidak ikut dipanen untuk dijadikan bibit pada periode berikutnya. Padahal, diperlukan bibit rumput laut yang berkualitas dari sisi produksi biomassanya (kuantitas) maupun kandungan gel strength dan kualitas agar. Bibit rumput laut sampai saat ini sepenuhnya masih mengandalkan bibit yang berasal dari alam. Jika kondisi tersebut berlangsung lama maka terdapat kemungkinan akan terjadi kekurangan bibit. Menurut Suryati et al (2007), teknik kultur jaringan menjanjikan perbanyakan benih secara berkesinambungan dan berkualitas tinggi. Produksi biomassa rumput laut yang optimal akan dapat tercapai dengan adanya bibit rumput laut yang berkualitas, baik produksi biomassanya (kuantitas) ataupun kandungan gel strenght dan kualitas karaginannya. Produksi biomassa rumput laut Kappaphycus sp.dari bibit kultur jaringan dibudidayakan di media skala laboratorium dengan memperhatikan kualitas air, diantaranya salinitas, suhu, pH, kecerahan,serta nutrien untuk pertumbuhan berupa nitrat, phospat. Dengan ketersediaan air yang berkualitas dan nutrient, maka proses fotosintesis dapat berjalan dengan optimal sehingga Kappaphycus sp.dapat bertumbuh dengan optimal pula. Masalah kemerosotan mutu dari benih rumput laut yang berasal dari alam dapat ditangani dengan beberapa teknik. Salah satu teknik untuk mengatasi kemerosotan mutu dari benih rumput laut yaitu dengan perbanyakan bibit melalui metode kultur jaringan seperti yang telah berhasil dilakukan (Suryati dkk. 2007; Suryati dan Mulyaningrum 2009). Perbanyakan bibit melalui teknik kultur jaringan memiliki beberapa keunggulan dibandingkan melalui teknik stek pada umumnya. Keunggulan dari produksi bibit dengan kultur jaringan antara lain tidak bergantung pada pengaruh musim, sifat bibit dari hasil kultur jaringan identik dengan induknya, bias diproduksi dalam jumlah yang banyak meskipun tempat terbatas, kualitas yang baik, dan relatif tersedia setiap saat. Selain itu menurut Reddy et al. (2003) rumput laut hasil kultur jaringan dapat tumbuh 1,5 sampai 1,8 kali lebih cepat dibandingkan rumput laut dari hasil penanaman di laut yang berada di India. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, dapat dibantu dengan teknik pengembangbiakan melalui kultur jaringan. Kultur jaringan merupakan suatu metoda dalam mengisolasi bagian dari tanaman (pada rumput laut adalah tallus) serta menumbuhkannya dalam kondisi yang aseptik dalam wadah tertutup, sehingga bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap kembali seperti induknya (Gunawan, 1987). Keunggulan teknik kultur jaringan adalah perbanyakan secara berkesinambungan dan berkualitas tinggi, mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar dengan waktu yang singkat, memudahkan dalam transportasi ke suatu tempat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, serta bibit dapat tumbuh dengan cepat (Anonim, 2010). Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan kegiatan perekayasaan terkait hubungan antara faktor eksternal dan faktor internal, sehingga dapat ditentukan perekayasaan yang baik untuk bibit dan faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas rumput laut Kappaphycus sp. Oleh karenanya BPBAP Takalar perlu melakukan kegiatan perekayasaan yang mengarah pada peningkatan kuantitas dan kualitas rumput laut Kappaphycus sp dalam produksi budidaya yang selanjutnya Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 132 diharapkan akan berdampak ke arah peningkatan kemampuan dan peningkatan ekonomi kesejahteraan masyarakat pembudidaya rumput laut. 2. Tujuan Untuk meningkatkan laju pertumbuhan dan produksi rumput laut Kappaphycus alvarezii hasil kultur jaringan dengan variasi jarak tanam dari pantai. 3. Kegunaan Sebagai bahan informasi dan penggunaan Perekayasaan ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar mengenai ; gambaran aplikasi pengujian rumput laut K. alvarezii hasil kultrur jaringan terhadap pertumbuhan dan produksi yang dibudidayakan dengan variasi jarak berbeda. METODOLOGI 1. Waktu dan Tempat Perekayasaan ini akan dilaksanakan Bulan Agustus-Oktober 2015. Lokasi perekayasaan dilaksanakan di Kawasan Budidaya rumput laut di Dusun Je’ne Desa Laguruda, Kecamatan Sanrobone Kabupaten Takalar, Propinsi Sulawesi Selatan. 2. Bahan dan Alat Adapun bahan dan alat yang digunakan dalam perekayasaan dapat dilihat pada Tabel di bawah ini : Tabel 1. Bahan yang akan digunakan pada kegiatan Rekayasa Pengujian Pertumbuhan dan Produksi Kappaphycus alvarezii Hasil Kultur Jaringan Dengan Variasi Jarak Berbeda Dari Bibir Pantai. No Nama Bahan Fungsi 1. Rumput laut K. alvarezii hasil kultur jaringan Sebagai organisme uji 2. Tali plastik PE(Ø No. 10, 5, 3 dan 1,5 mm) Sarana budiaya 3. Botol dan jergen Pelampung Tabel 2. Alat yang akan digunakan pada kegiatan Rekayasa Rekayasa Pengujian Pertumbuhan dan Produksi Kappaphycus alvarezii Hasil Kultur Jaringan Dengan Variasi Jarak Berbeda Dari Bibir Pantai. No Nama Alat Fungsi 1. Mistar Geser Mengukur panjang sampel 2. Timbangan digital Menimbang bahan dan sampel 3. Peralatan analisis kualitas air Mengukur parameter kualitas air. (Spektrofotometer, Termometer digital, Hand-Refraktometer, pH meter) Sumber : Data sekunder 3. Prosedur Kerja Bibit rumput laut yang digunakan adalah bibit hasil kultur jaringan jenis Kappaphycus sp didatangkan dari Seameo Biotrop, Bogor, Jawa Barat. Bibit K. alvarezii hasil kultur jaringan ditimbang dengan bobot awal 2-4 gr/simpul, bibit diikatkan pada tali PE No.1,5 mm dan dimasukkan dalam keranjang, selanjutnya diikat pada tali rentang PE No. 5 mm dengan jarak antar tali simpul 15 cm. Penanaman bibit dengan metode lepas dasar longline yang berukuran panjang tali rentang 30 m. Selama pemeliharaan, tanaman dibersihkan dari tumbuhan dan lumpur yang mengganggu, sehingga tidak menghalangi tanaman dari sinar matahari dan mendapatkan makanan. Jika ada tali bentangan yang lepas ikatannya, sudah lapuk atau putus, segera diperbaiki dengan cara megencangkan ikatan atau mengganti dengan tali Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 133 baru. Perkembangan rumput laut yang dibudidayakan disampling setiap 7 hari sekali dan pemeliharaan dilakukan selama 45 hari. Aplikasi pengujian menitikberatkan pada uji laju pertumbuhan harian, produksi dan produktivitas dengan variasi jarak berbeda dari pantai. Adapun satuan percobaan jarak budidaya dari bibir pantai terdiri dari; A. =100 m dari pantai; B. 200 m; dan C. 300 m dari pantai. Pengamatan dan sampling perkembangan rumput laut yang dibudidayakan diiukur dengan menimbang setiap 7 hari sekali dan budidaya dilakukan selama 45 hari. Data dilakukan dengan cara dideskripsikan. Data-data yang diperoleh dalam bentuk tabel dan grafik untuk mengetahui perbandingan laju pertumbuhan, produksi biomassa, dan produktivitas dengan variasi jarak dari bibir pantai. Uji Pengukuran laju pertumbuhan harian dihitung dengan menggunakan rumus Dawes dkk., (1993 dalam Hurtado dkk., 2001) sebagai berikut : Ln (Wt / Wo) LPH = t x 100 -1 dimana : LPH = Laju pertumbuhan bobot harian/hari (%/hari ) t Wo = Berat bibit awal (0 hari) Wt = Berat tanaman setelah t hari t= Lama penanaman (hari) Produksi (P) rumput laut dihitung berdasarkan selisih jumlah bobot akhir pengamatan dengan jumlah bobot awal pengamatan dari semua rumpun rumput laut menggunakan persamaan berikut (Winberg, 1971): P = (∑W t - ∑W 0) dimana : P = Produksi rumput laut (kg) Wo = Berat bibit awal (0 hari) Wt = Berat tanaman setelah t hari Produktivitas (Pv) dihitung berdasarkan selisih jumlah bobot akhir pengamatan dengan jumlah bobot awal pengamatan dari semua rumput laut dibagi dengan panjang tali dihitung dengan menggunakan rumus sesuai petunjuk Masyahoro (2007) sebagai berikut: ∑ W t – ∑W o Pv = L dimana : L Pv = Produktivitas rumput laut (kg/m) Wt = Bobot akhir rumput laut (kg) Wo = Bobot awal rumput laut (kg) L = Panjang tali ris (m) 4. Analisis Data Data yang diamati adalah pertumbuhan, produksi dan produktivitas rumput laut hasil kultur jaringan yang dibudidayakan dengan variasi jarak berbeda dari pantai.. Untuk mengetahui pengaruh pengujian variasi jarak berbeda dari pantai terhadap pertumbuhan, produksi dan produktivitas rumput laut kultur jaringan serta parameter Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 134 kualitas air dilakukan analisa secara deskriptif berdasarkan kelayakan hidup pada awal dan akhir perekayasaan. HASIL DAN PEMABAHASAN 1. Pertambahan bobot basah Pengukuran rata-rata pertambahan bobot basah K. alvarezii hasil kultur jaringan setiap perlakuan selama perekayasaan disajikan pada Gambar 1. Gambar 1. Grafik Pertambahan bobot basah rumput laut selama perekayasaan pada setiap pengujian jarak tanam dari bibir pantai. Berdasarkan Gambar 1. menunjukkan bahwa hasil penimbangan bobot awal rata-rata dengan jarak perlakuan A=100 m (2,74 g), B=200 m (2,64 g) dan jarak perlakuan C=300 m (2,16 g) meningkat rata-rata bobot basah pada sampling I (hari 7) yaitu pada jarak perlakuan A=100 m (2,91 g), B=200 m (3,13 g) dan jarak perlakuan C=300 m (2,63 g). Selanjutnya, rata-rata pertumbuhan bobot basah pada perlakuan B jarak 200 m (8,88 gr) lebih tinggi dibanding dengan perlakuan A jarak 100 m (5,27 gr) dan C jarak 300 m (5,40 gr) pada umur yang sama (49 hari). Hal ini, menunjukkan kenaikan rata-rata bobot basah seiring dengan waktu pemeliharaan pada semua perlakuan jarak tanam dari pantai. Perambahan rata-rata bobot basah rumput laut K. alvarezii hasil kultur jaringan yang berada pada jarak 100 m dan 200 m dari bibir pantai sedikit lambat pada hari ke-7, mengindikasikan mulai beradaptasi dan beraklimatisasi dengan lingkungan perairan sehingga relatif menghambat pertumbuhan. Pertumbuhan rumput laut K. alvarezii hasil kultur jaringan yang berada pada jarak 200 m dari bibir pantai meningkat setelah hari ke-7. Menurut Damar et al. (1992), pada 7 hari pertama pemeliharaan merupakan waktu tanaman untuk beraklimatisasi. Selama aklimatisasi inilah rumput laut menyerap nutrisi yang ada di perairan sekitarnya. Setelah masa aklimatisasi terlewati, maka tanaman segera menggunakan energi untuk pertumbuhannya, yaitu membentuk tunas-tunas muda yang tumbuh dengan cepat serta memperbesar diameter talusnya. Perbedaan rata-rata pertumbuhan bobot rumput laut K. alvarezii hasil kultur jaringan pada masing-masing jarak tanam dari bibir pantai diduga karena karakteristik ekologis perairan yang berbeda menjadi salah satu faktor perbedaan rata-rata pertumbuhan bobot pada setiap variasi jarak tanam. Menurut Atmadja (2007) bahwa rumput laut termasuk tumbuhan yang dalam proses metabolismenya memerlukan kesesuaian faktor-faktor fisika dan kimia perairan seperti gerakan air, suhu, kadar garam, nutrisi atau zat hara (seperti nitrat dan fosfat), dan pencahayaan sinar. Rendahnya pertumbuhan rumput laut pada jarak 100 m dan 300 m Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 135 dari bibir pantai diduga ada beberapa kondisi ekologis baik fisika, kimia maupun kondisi ekologis lainnya yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut. Perairan yang mengandung partikel lumpur satu dari beberapa faktor ekologis yang menghambat pertumbuhan rumput laut menjadi lebih rendah. Hal ini mengacu pada keberadaan partikel lumpur yang melekat di bagian rumput laut yang hampir merata di setiap rumpun terdeteksi pada saat pengontrolan yang dilakukan sekali dalam sepekan. Parenrengi dkk. (2010) menyatakan bahwa arus yang membawa partikel zat padat yang akan menempel pada talus rumput laut akan mengganggu proses fotosintesis. Sumber partikel lumpur tersebut diduga substrat dasar yang cenderung berpasir dan berlumpur. Selain itu faktor lain yang dianggap berpengaruh ialah ketersedian unsur hara dalam hal ini nitrat, kisaran salinitas, serta kecepatan arus kurang berperan aktif dalam mendukung pertumbuhan rumput laut tersebut. 2. Laju Pertumbuhan Harian Laju pertumbuhan harian rumput laut K. alvarezii setiap perlakuan jarak tanam dari bibir pantai yang berbeda selama perekayasaan disajikan pada Gambar 2. Gambar 2. Histogram batang Laju pertumbuhan harian rumput laut pada setiap perlakuan selama percobaan Berdasarkan Gambar 2, menunjukkan bahwa laju pertumbuhan harian bibit kultur jaringan asal Seameo Biotrop Bogor yang dibudidayakan dengan jarak tanam dari bibir pantai berbeda berkisar antara 1,33%/hari-1–2,47%/hari-1. Jarak tanam dari bibir pantai pada perlakuan B (200 m) lebih tinggi laju pertumbuhan hariannya (2,47%/hari-1) di banding dengan jarak tanam dari bibir pantai pada perlakuan A (100 m) dan C (300 m) masing-masing (1,33%/hari-1) dan (1,87%/hari-1). Rendahnya laju pertumbuhan harian karena bibit kultur jaringan masih proses adaptasi dari laboratorium ke kondisi perairan laut wilayah Takalar. Sedangkan bibit rumput laut hasil kultur jaringan (generasi III) yang diperoleh dari BBPBL Lampung yang dibudidayakan selama 35 hari di pantai Laguruda BPBAP Takalar memiliki laju pertumbuhan harian berkisar antara 3,00%/hari-13,55%/hari-1 jauh lebih kecil dibandingkan laju pertumbuhan harian rumput laut hasil kultur jaringan yang dipelihara di pantai BBPBL Lampung 9,43%/hari-1-13.46%/hari-1 (Sulistiani, dkk. 2012). Beberapa referensi menunjukkan bahwa rumput laut hasil kultur jaringan lebih tinggi laju pertumbuhan hariannya dibanding dengan rumput laut bibit konvensional. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 136 3. Produksi dan Produktivitas Produksi dan produktivitas rumput laut K. alvarezii setiap perlakuan jarak tanam dari bibir pantai yang berbeda selama perekayasaan disajikan pada Gambar 3. A B Gambar 3. Histogram batang produksi (A) dan produktivitas (B) rumput laut pada setiap perlakuan selama percobaan Berdasarkan Gambar 3, menunjukkan bahwa produksi dan produktivitas bibit rumput laut kultur jaringan asal Seameo Biotrop Bogor yang dibudidayakan dengan jarak tanam dari bibir pantai berbeda masing-masing berkisar antara 11,90 - 32,10 g-1 (rata-rata 20,57 g-1) dan 1,70 - 4,59 g/m-1 (rata-rata 2,94 g/m-1). Selanjutnya, jarak tanam dari bibir pantai 200 m (perlakuan B) diperoleh produksi dan produktivitas tertinggi masing-masing 32,10 g-1 dan 4,59 g/m-1 dan terendah jarak tanam dari bibir pantai 300 m (perlakuan C) masing-masing 11,90 g-1 dan 1,70 g/m-1 lebih rendah dibanding dengan jarak tanam dari bibir pantai 100 m (perlakuan A) masing-masing 17,70 g-1 dan 2,53 g/m-1. Rendahnya produksi dan produktivitas diduga karena bibit kultur jaringan masih proses aklimatisasi dari laboratorium ke kondisi perairan laut. Sedangkan bibit rumput laut hasil kultur jaringan (generasi III) tahun 2014 yang diperoleh dari BBPBL Lampung dan dibudidayakan selama 35 hari di pantai Laguruda BPBAP Takalar memiliki produksi dan produktivitas masing-masing 750,0-1.060,0 gr-1 (rata-rata 913,33 gr-1) dan 25,00-35,33 gr/m-1 (rata-rata 30,44 gr/m-1). 4. Parameter Kualitas Air Pertumbuhan dan produksi rumput laut juga ditentukan oleh lingkungan tempat hidupnya. faktor-faktor lingkungan sepertu suhu, cahaya, pH, salinitas dan nutrisi berkolerasi dengan pertumbuhan, fotosintesis, dan respirasi rumput laut. Faktor lingkungan yang sesuai akan menghasilkan laju pertumbuhan yang maksimal. Adapun hasil pengukuran dan kisaran parameter kualitas air budidaya rumput laut K. alvarezii di perairan Laguruda Kecamatan Sanrobone Kabupaten Takalar selama kegiatan kerekayasaan disajikan pada Tabel 3. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 137 Tabel 3. Hasil pengukuran dan kisaran parameter kualitas air selama kegiatan perekayasaan di Perairan Desa Laguruda Kecamatan Sanrobone Kabupaten Takalar. Parameter Kualitas Lingkungan Perairan Jarak dari Bibir pantai (m) Suhu (0C) Salinitas (ppt) pH Alkalinitas (mg/L) DO (mg/L) Amonia (mg/L) Nitrit (mg/ L) Phosphat (mg/L) Turbidity (NTU) A (100) 27-32 31-35 7,837,99 124,03146,06 2,993.84 < 0,006 < 0,01 3 < 0.074 3.3011,00 B (200) 27-32 31-35 7,767,99 128,91151,51 2,933,78 < 0,006 < 0,01 3 < 0.074 0,656,00 C (300) 27-32 31-35 7,807,96 124,85152,60 2,833,67 < 0,006 < 0,01 3 < 0.074 0,954,10 Sumber : Data hasil pengukuran Laboratorium Uji BPBAP Takalar Parameter suhu yang diperoleh selama perekayasaan berkisar 27-32,00C. Kisaran yang diperoleh sesuai dilaporkan Trono dan Ohno (1989; dalam Ask dan Azanza, 2002), pada daerah tropis pertumbuhan K. alvarezii yang cepat dan produksi biomassa yang tinggi selama sebulan dengan ditandai suhu berkisar 25–300C. Setiyanto dkk. (2008), menyatakan kisaran suhu perairan yang baik untuk rumput laut K. alvarezii adalah 27300 C dengan fluktuasi harian 40C. Suhu yang tinggi dapat menyebabkan protein mengalami denaturasi, serta merusak enzim dan membrane sel. Suhu sangatlah penting dalam proses metabolisme rumput laut, karena kecepatan metabolisme rumput laut meningkat seiring dengan peningkatan suhu. Kisaran salinitas yang didapatkan selama perekayasaan berkisar 31,0–35,0 ppt. Nilai salinitas cenderung tinggi karena diduga adanya intensitas cahaya yang tinggi dan aliran arus yang sedang dan merata sehingga memperlihatkan bahwa salinitas perairan ini cukup menunjang pertumbuhan dan perkembangan rumput laut. Menurut Soejatmiko dan Wisman (2003), salinitas yang cocok untuk budidaya K. alvarezii antara 30-35 ppt (optimum 33 ppt). Kisaran salinitas yang diperoleh Mathieson dan Dawes (1974 dalam Aks dan Azanza, 2002) mencapai 30,0–40,0 ppt. pH perairan yang diperoleh selama perekayasaan berkisar 7,76-7,99. Kisaran pH air laut ini ternyata berada dalam ambang batas toleransi mendukung pertumbuhan rumput laut K. alvarezii. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chapman (1980) pH yang diperoleh terhadap pertumbuhan K. alvarezii 6,80-9,60. Perubahan pH selama perekayasaan relatif kecil karena perairan mempunyai sistem penyangga terhadap perubahan ion yang drastis. Menurut Sujatmiko dan Wisman (2003), pH perairan yang baik untuk budidaya K. alvarzii berkisar antara 7-9 dengan kisaran optimum 7,3-8,2. Kondisi keasaman perairan memiliki peranan penting dalam pertumbuhan rumput laut, karena pH akan sebanding dengan kandungan karbon organik diperairan yang sangat diperlukan dalam proses fotosintesis. Alkalinitas yang diperoleh selama perekayasaan berkisar 124,03-152,60 ppm dan alkalinitas optimal pada nilai 90-150 ppm. Kisaran kandungan alkalinitas yang diperoleh masih berada dalam batas optimal untuk pertumbuhan rumput laut. Alkalinitas mampu menetralisir keasaman di dalam air, Secara khusus alkalinitas sering disebut sebagai Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 138 besaran yang menunjukkan kapasitas pembufferan dari ion bikarbonat, dan tahap tertentu ion karbonat dan hidroksida dalam air. Ketiga ion tersebut dalam air akan bereaksi dengan ion hydrogen sehingga menurunkan kemasaman dan menaikkan pH. Kandungan ammonia yang diperoleh selama perekayasaan berkisar <0,006 ppm. Kisaran kandungan ammonium yang diperoleh masih berada dalam batas optimal untuk pertumbuhan rumput laut. Kandungan ammonia yang diperoleh selama perekayasaan relatif rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Kune (2007), yang hanya diperoleh pada kisaran 0,025–0,048 ppm. Kandungan phospat yang diperoleh selama perekayasaan berkisar <0,074 ppm. Kisaran kandungan phospat yang diperoleh masih berada dalam batas optimal untuk pertumbuhan rumput laut. Kandungan phospat yang diperoleh selama perekayasaan relatif tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Pongarrang, dkk (2013), kandungan phospat yang hanya diperoleh pada kisaran 0,0197-0,0235 mg/l. Turbidity atau kekeruhan digunakan untuk menyatakan derajat kejernihan di dalam air yang disebabkan oleh bahan-bahan yang melayang. Kekeruhan ini biasanya terdiri dari partikel organik maupun anorganik, yang pada umumnya tidak terlihat dengan mata telanjang. Pengukuran kekeruhan ini adalah merupakan test kunci dari suatu kualitas air. Kekeruhan pada suatu cairan biasanya disebabkan oleh beberapa hal diantaranya yaitu partikel-partikel mikroskopis seperti mikro organisme yang ada pada cairan tersebut, zat padat terlarut dan lainnya. Kekeruhan dilihat pada konsentrasi ketidaklarutan, keberadaan partikel pada suatu cairan yang diukur dalam satuan Nephelometric Turbidity Units (NTU). Penting untuk diketahui bahwa kekeruhan adalah ukuran kejernihan sampel, bukan warna. Air dengan penampilan keruh atau tidak tembus pandang dapat dipastikan memiliki tingkat atau kadar kekeruhan yang tinggi, sementara air yang jernih atau tembus pandang pasti memiliki kadar kekeruhan lebih rendah. Nilai kekeruhan yang tinggi dapat disebabkan oleh partikel yang terlarut dalam air seperti lumpur, tanah liat, mikroorganisme, dan material organik. Berdasarkan keterangan diatas, kekeruhan bukan merupakan ukuran langsung dari partikel-partikel akan tetapi merupakan suatu ukuran bagaimana sebuah partikel menghamburkan cahaya dalam suatu cairan. SIMPULAN DAN SARAN a) Penggunaan rumput laut K. alvarezii bibit hasil kultur jaringan meningkat pertumbuhan biomassa seiring waktu pemeliharaan. b) Laju Pertumbuhan harian, produksi dan produktivitas rumput laut K. alvarezii bibit hasil kultur jaringan tertinggi dengan jarak tanam 200 m dari bibir pantai. c) Perlunya perekayasaan lanjutan dengan melihat pertumbuhan dan kualitas rumput laut kultur jaringan generasi II dan seterusnya dalam pengembangan budidaya rumput laut yang berkelanjutan. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2010. Kultur Jaringan. http://www.docstoc.com/docs/24951553/kultur jaringan. [30 April 2014]. Ask, E. I. and V. R. Azanza. 2002. Advances in Cultivation Technology of Commercial Eucheumatoid Species: A Review wth Suggestions For Future Research. Journal of Aquaculture 206. 257 – 277. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 139 Atmadja, W., S. 2007. Apa Rumput Laut itu sebenarnya? Divisi Penelitian dan Pengembangan Seaweed. Kelompok Studi Rumput Laut Kelautan. UNDIP. Semarang. 8 hal. Chapman, V.J. and D.J. Chapman. 1980. Seaweeds and Their Uses. 3th ed., Chapman and Hall, 333 p. Gunawan LW. 1987. Tekik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 252p Hurtado, A. Q., R. F. Agbayani, R. Sanares, and de Castro-Mallare Ma. 2001. The Seasonality and Economic Feasibility of Cultivating Kappaphycus striatum in Panagatan Cays. Caiuya, Antique. Philliphines. Elsevier. Aquaculture 199 : 295– 310. Kune, S. 2007. Pertumbuhan Rumput Laut Yang Dibudidaya Bersama Ikan Baronang. Jurnal Agrisistem. Vol. 3 No. 1. ISSN 1858-4330 Masyahoro, A., 2007. Model Pertumbuhan Populasi Rumput Laut. Laporan Pelaksanaan Pelatihan Teknik Budidaya dan Pengolahan Rumput Laut. Kerjasama Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Parigi Moutong dengan PKSPLTropis Fakultas Pertanian Untad. Parenrengi, A., Syah, R., dan Suryati, E., 2010. Budi Daya Rumput Laut Penghasil Karaginan (Karaginofit). Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 52 hal. Pongarrang, D., A. Rahman, dan Wa Iba. 2013. Pengaruh Jarak Tanam dan Bobot Bibit Terhadap Pertumbuhan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Menggunakan Metode Vertikultur. Program Studi Budidaya Perairan FPIK Universitas Halu Oleo . Kampus Hijau Bumi Tridharma Anduonohu Kendari 93232. Jurnal Mina Laut Indonesia. Vol. 03 No. 12 Sep 2013. ISSN : 2303-3959. Hal 94– 112. Reddy, C.R.K., Kumar, G.R.K., Siddahanta, A.K.M dan Tewari, A., 2003. In Vitro Somatic Embriogenesis and Regeneration of Somatic Embryos from Pigmented Callus of Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty (Rhodophyta, Gigartinales). J. Phycol., 39: 610-616. Setiyanto D, I Efendi dan KJ Antara., 2008. Pertumbuhan Kappaphycus alvarezii var Maumare, var Sacol dan Eucheuma cottonii di perairan Musi Buleleng. J. Ilmu Kelautan. 13 (3):171-176. Soejatmiko, W dan Wisman I. A. 2003. Teknik Budidaya Rumput Laut dengan Metode Tali Panjang. www.iptek.net.id/ttg/artlkp/artikel1 8.htm. Diakses pada Tanggal 20 Maret 2015. Sulistiani E., Soelistyowati DT., Yani SA. 2012. Acclimatization and Field Cultivation of Regenerated Cottonii Seaweed (Kappaphycus alvarezii Doty) from Tissu Culture in coastal Waters. Research Report 2012. SEAMEO BIOTROP. Bogor. Suryati, E., Mulyaningrum, SRH., 2009. Regenerasi Rumput Laut Kappaphycus alvarezii (Doty) Melalui Induksi Kalus dan Embrio dengan Penambahan Hormon Perangsang Tumbuh Secara in vitro. J. Ris. Akuakultur. 1: 39-45. Suryati, E., Tenriulo, A., dan Rezeki, S., 2007. Isolasi protoplas rumput laut (Kappaphycus alvarevii) menggunakan enzyme komersial dan viscera mas (Pila polita). Prosiding Pengembangan Teknologi Budidaya Perikanan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 132-136. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 140 KUALITAS KANDUNGAN KARAGINAN, VISKOSITAS, GEL STRENGHT, DAN LOGAM BERAT PADA RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii HASIL KULTUR JARINGAN YANG DIBUDIDAYAKAN DENGAN METODE LONGLINE Akmal1*), Andi Elman1), Lideman1), Hamzah1), Syamsul Bahri1), Mutmainna1) Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar ABSTRAK Bertujuan untuk mengetahui kualitas kandungan karaginan, gel strength, viskositas, dan logam berat rumput laut Kappaphycus alvarezii hasil kultur jaringan yang dibudidayakan dengan metode longline. Rumput laut hasil budidaya berumur 49 hari diambil secara acak dari setiap bentangan (bagian pangkal, tengah, dan ujung tali) kemudian dikeringkan. Rumput laut tersebut kemudian di analisa kualitas kandungan Karaginan, viskositas,gel strength dan logam berat. Analisa data dilakukan secara deskriptif. Hasil rumput laut K alvarezii kultur jaringan yang dibudidayakan selama 49 hari di perairan Laguruda Takalar mengandung kadar karaginan berkisar antara 38,7680,76% (rata-rata 61,47%). Hasil ini menunjukkan kandungan karaginan yang lebih tinggi,sedangkan kandungan karaginan masing-masing 44,1% dan 40,27% diperoleh dari rumput laut kultur jaringan setelah pemeliharaan 35 hari di Propinsi Lampung dan di Gerupuk, Pulau Lombok Propinsi Nusa Tenggara Barat. Perbedaan ini kemungkinan dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik ekologis masing-masing lokasi baik itu faktor fisika, faktor kimia, maupun faktor ekologis lainnya. Adapun nilai viskositas yang dihasilkan pada rumput laut hasil kultur jaringan berkisar antara 30,0-40,0 cps (ratarata 36,67 cps). Viskositas tersebut memenuhi standar karaginan yang dikeluarkan oleh FAO, yakni minimal 5 cps. Kandungan logam berat Pb 0,311 ppm dan Cd 0,049 ppm berasal dari berat kering yang terdapat dalam rumput laut kultur jaringan hasil budidaya. Kata Kunci : Karaginan, Viskositas, Gel Strenght, Logam berat, Kultur Jaringan, K. alvarezii. _______________________________________________ *) Author Balai Perikanan Budidaya Air Paya Takalar 1) Perekayasa di BPBAP Takalar Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 141 THE QUALITY OF CARRAGEENAN CONTENT , VISCOSITY , GEL STRENGHT , AND HEAVY METALS ON SEAWEED Kappaphycus alvarezii THE TISSUE CULTURE CULTIVATED WITH THE LONGLINE METHODS Akmal1*), Andi Elman1), Lideman1), Hamzah1), Syamsul Bahri1), Mutmainna1), Brackishwater Aquaculture Centres Takalar Regency, South Sulawesi, Indonesia ABSTRACT Aims to know the quality of carrageenan content, viscosity, gel strength, and heavy metal seaweed kappaphycus alvarezii cultivated in the tissue culture with the longline methods. Seaweed the results of cultivation age 49 days taken at random of any disquisition (a part of the , central , and the end of a rope ) then dried. Seaweed is then in analysis the quality of carrageenan content, viscosity, gel strength and heavy metals. Data analysis be done in descriptive. The seaweed tissue culture cultivated for 49 day in waters Laguruda Takalar containing levels carrageenan ranged from 38,7680,76% (average 61,47%). This result indicates the carrageenan higher , while the carrageenan each 44,1% and 40,27% obtained from seaweed tissue culture after maintenance 35 day in the Province of Lampung and in Gerupuk , Lombok Island Province of West Nusa Tenggara. The difference it would probably influenced by the characteristic of ecological each location whether it is factors physics, chemical factors, and other factors ecological. One of viscosity produced on seaweed the tissue culture ranges from 30,0-40,0 cps (average 36,67 cps). The viscosity meet the standard of carrageenan issued by FAO , minimum of 5 cps. The heavy metals Pb 0,311 ppm and Cd 0,049 ppm derived from heavy dry contained in seaweed cultivated in the tissue culture. Keywords : Carrageenan, viscosity, gel strenght, heavy metal, tissue culture, K. alvarezii. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 142 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Budidaya rumput laut menggunakan metode longline dari bibit yang telah berulang kali digunakan, yaitu dari rumput laut sisa panen periode sebelumnya yang sengaja tidak ikut dipanen untuk dijadikan bibit pada periode berikutnya. Padahal, diperlukan bibit rumput laut yang berkualitas dari sisi produksi biomassanya (kuantitas) maupun kandungan gel strength dan kualitas agar. Bibit rumput laut sampai saat ini sepenuhnya masih mengandalkan bibit yang berasal dari alam. Jika kondisi tersebut berlangsung lama maka terdapat kemungkinan akan terjadi kekurangan bibit. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, dapat dibantu dengan teknik pengembangbiakan melalui kultur jaringan. Salah satu teknik untuk mengatasi kemerosotan mutu dari benih rumput laut yaitu dengan perbanyakan bibit melalui metode kultur jaringan. Kultur jaringan merupakan suatu metoda dalam mengisolasi bagian dari tanaman (pada rumput laut adalah tallus) serta menumbuhkannya dalam kondisi yang aseptik dalam wadah tertutup, sehingga bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap kembali seperti induknya (Gunawan, 1987). Teknik kultur jaringan menjanjikan perbanyakan benih secara berkesinambungan dan berkualitas tinggi (Suryati et al., 2007). Produksi biomassa rumput laut yang optimal akan dapat tercapai dengan adanya bibit rumput laut yang berkualitas, baik produksi biomassanya (kuantitas) ataupun kandungan gel strenght dan kualitas karaginannya. Karaginan merupakan senyawa polisakarida galaktosa. Kualitas karaginan berkaitan erat dengan faktor-faktor pada saat budidaya, pemanenan, dan penanganan pascapanen serta metode ekstraksinya. Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan kegiatan perekayasaan terkait hubungan antara faktor eksternal dan faktor internal, sehingga dapat ditentukan perekayasaan yang baik untuk bibit dan faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap kualitas rumput laut Kappaphycus sp hasil kultur jaringan. Oleh karenanya BPBAP Takalar perlu melakukan kegiatan perekayasaan yang mengarah pada peningkatan kualitas rumput laut Kappaphycus sp hasil kultur jaringan yang selanjutnya diharapkan akan berdampak ke arah peningkatan ekonomi kesejahteraan masyarakat pembudidaya rumput laut. 1.2. Tujuan Untuk mengetahui kualitas kandungan karaginan, viskositas, gel strength, dan logam berat rumput laut Kappaphycus alvarezii hasil kultur jaringan yang di budidayakan dengan metode longline. 1.3. Kegunaan Perekayasaan ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar mengenai; kandungan karaginan, viskositas, gel strength, dan logam berat rumput laut K. alvarezii hasil kultur jaringan yang di budidayakan dengan metode longline. METODOLOGI 2.1. Waktu dan Tempat Perekayasaan ini akan dilaksanakan Bulan Agustus-Nopember 2015. Analisa kualitas rumput laut hasil kultur jaringan di laboratorium terpadu Kualitas Air Fakultas Ilmu Keluatan dan Perikanan UNHAS Makassar dan Laboratorium Uji BPBAP Takalar, Propinsi Sulawesi Selatan. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 143 2.2. Bahan dan Alat Adapun bahan yang digunakan dalam perekayasaan antara lain; rumput laut kultur jaringan hasil budidaya, Isopropil Alkohol dan Alkohol 96% . Sedangkan alat yang digunakan antara lain; Timbangan digital, Peralatan analisis kualitas air (Spektrofotometer, Termometer digital, Hand-Refraktometer, pH meter), Viscosimeter Brookfield, Oven, dan Atomic Absorption Spectriphotometer (AAS). 2.3. Prosedur Kerja Rumput laut hasil budidaya dari masing-masing bentang untuk setiap tali ris diambil secara acak untuk diekstrak kandungan karaginannya (Yunizal et al., 2000). Karaginan hasil ekstraksi dianalisis parameter Gel Strength (Metode Faridah et al., 2006), viskositas (FMC Corp, 1977), dan logam berat (AAS). Aplikasi pengujian menitikberatkan pada kualitas rumput laut berupa yaitu; kandungan karaginan, gel strength, viskositas dan logam berat. Pengamatan dan data dilakukan dengan cara dideskripsikan. Data-data yang diperoleh dalam bentuk tabel untuk mengetahui kualitas kandungan karaginan, gel strength, viskositas, dan logam berat dari hasil budidaya rumput laut metode Longline di perairan Laguruda, Kecamatan Sanrobone, Takalar. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis pengukuran dan pengujian parameter kandungan karaginan, viskositas, dan gel strenght rumput laut K. alvarezii hasil kultur jaringan yang dibudidayakan dengan metode longline disajikan pada tabel di bawah ini : Tabel 1. Kandungan karaginan, viskositas, dan kekuatan gel rumput laut K. alvarezii Hasil kultur jaringan yang dibudidaya metode longline. Parameter Kode Sampel Karaginan (%) Viskositas (cps) Kekuatan Gel (g Force) 1 64,90 40,00 1,04 2 38,76 30,00 0,77 3 80,76 40,00 0,71 Rataan 61,47 36,67 0,84 Sumber : Data Hasil Pengujian Laboratorium Kualitas Air FIKP UNHAS Berdasarkan Tabel 1, rumput laut K alvarezii kultur jaringan asal Seameo Biotrop Bogor yang dibudidayakan selama 49 hari pemeliharaan di perairan Laguruda Takalar mengandung kadar karaginan berkisar antara 38,76-80,76% (rata-rata 61,47%). Hasil ini lebih tinggi kandungan karaginannya, sedangkan rumput laut kultur jaringan yang di panen 35 hari pada uji coba penanaman pertama di Propinsi Lampung dan di Gerupuk, Pulau Lombok Propinsi Nusa Tenggara Barat, masing-masing 44,1% dan 40,27% (Sulistiani dkk, 2012). Namun, rumput laut kultur jaringan generasi (III) asal BBPBL Lampung yang di uji coba di BPBAP Takalar, kandungan karaginannya hanya 38,11% (Anonim, 2014). Perbedaan kadar karaginan diduga masih dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik ekologis masing-masing lokasi baik itu faktor fisika, faktor kimia, maupun faktor ekologis lainnya. West (2001) bahwa jumlah karaginan bervariasi sesuai dengan faktor-faktor ekologis seperti cahaya, nutrisi, gelombang dan suhu, selain itu dipengaruhi pula oleh gelombang, dukungan pertukaran ion, dan kandungan air pada saat pengeringan. Menurut Doty (1985), tentang standar kadar karaginan bagi rumput laut sebesar 40%. Tingginya kadar karaginan dipengarauhi oleh kondisi ekologis yang Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 144 mendukung bagi perkembangan rumput laut. Selain itu, Pergerakan arus yang cukup untuk proses difusi unsur hara sehingga mempercepat pertumbuhan dimana karaginan terbentuk pada dinding sel rumput laut terutama pada thallus yang cukup umur. Menurut (Hurtado et al., 2001; Paula and Pereira, 2003; Mendoza et al., 2006) bahwa jumlah dan kualitas karaginan yang berasal dari budidaya laut bervariasi, tidak hanya berdasarkan varietas, tetapi juga umur tanaman, sinar, nutrien, suhu dan salinitas. Adapun nilai viskositas yang dihasilkan pada rumput laut hasil kultur jaringan berkisar antara 30,0-40,0 cps (rata-rata 36,67 cps) lebih rendah, sedangkan nilai viskositas rumput laut kultur jaringan yang di panen 35 hari pada uji coba penanaman pertama di Propinsi Lampung (173,6 cps) dan dari rumput laut bibit stek (236,3 cps) (Sulistiani dkk, 2012). Nilai viskositas dilakukan untuk mengukur kekentalan, secara umum viskositas yang ditetapkan untuk Natrium Alginat sebesar 10-5000 cps per 1% larutan air (Manik et al., 2004). Viskositas merupakan sifat yang menonjol dari alginat untuk dipakai dalam industri pangan maupun non pangan (Senior, 2004). Viskositas tersebut memenuhi standar karaginan yang dikeluarkan oleh FAO, yakni minimal 5 cps. Selanjunya nilai gel strenght yang dihasilkan pada rumput laut hasil kultur jaringan berkisar antara 0,71-1,04 g forse (rata-rata 0,84 g forse) lebih rendah sedangkan rumput laut hasil kultur jaringan yang telah 6 kali dibudidayakan nilai gel strenghtnya 69,53 g/cm2 (Sulistiani, dkk. 2012). Pencemaran pada badan air adalah masuknya ion logam berat pada biota di dalam air, salah satu biota tersebut adalah rumput laut K. alvarezii. Peningkatan pada kadar logam berat di perairan diikuti oleh peningkatan kadar zat tersebut dalam organisme-organisme dalam air dan khususnya pada rumput laut dikarenakan rumput laut mudah menyerap logam berat khususnya logam berat Kadmium, hal tersebut memungkinkan rumput laut berpotensi untuk mengakumulasi logam berat Kadmium. Dari hasil pengujian logam berat Pb dan Cd pada rumput laut K. alvarezii hasil kultur jaringan disajikan pada tabel di bawah ini : Tabel 2. Kandungan Pb dan Cd pada rumput laut K. alvarezii hasil kultur jaringan yang dibudidayakan di Perairan Laguruda, Sanrobone, Kabupaten Takalar. No. Parameter Logam Berat Nilai Pengukuran (ppm) 1 Cd 0,047 2 Pb 0,311 Sumber : Data Hasil Pengujian Laboratorium Uji BPBAP Takalar Nilai konsentrasi logam berat Cadmium (Cd) yang diperoleh sebesar 0,047 ppm pada rumput laut kultur jaringan hasil budidaya di perairan Laguruda Takalar, sedangkan hasil yang diperoleh di perairan Pamekasan Madura sebesar 0,0182 dan 0,0262 ppm (Setiabudi, dkk. 2014). Sedangkan nilai konsentrasi logam berat Pb yang diperoleh sebesar 0,311 ppm sedangkan analisis logam Pb yang dilakukan pada karaginan menghasilkan sebesar 15,975 ppm (Hidayah, dkk. 2013). Berdasarkan data pada hasil perekayasaan ini logam berat Cd pada rumput laut kultur jaringan hasil budidaya di perairan Laguruda Sanrobone Takalar tidak melebihi nilai ambang batas yang di tentukan SNI 01-26-1998 yaitu sebesar 0,1 ppm, yaitu batas maksimal yang di tetapkan untuk pencemaran logam berat Cd pada rumput laut, tetapi logam berat Pb Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 145 pada rumput laut kultur jaringan hasil budidaya di perairan Laguruda Sanrobone Takalar melebihi nilai ambang batas yang di tentukan SNI 01-26-1998. SIMPULAN DAN SARAN 1) Kualitas yang dihasilkan pada rumput laut K. alvarezii kultur jaringan hasil budidaya diperoleh kadar karaginan 61,47%, nilai viskositas 36,67 cps, dan nilai gel strenght 0,84 g forse. 2) Nilai konsentrasi logam berat Cd dan Pb yang diperoleh masing-masing 0,047 ppm dan 0,311 ppm. 3) Perlunya rekayasa lanjutan mengenai sifat Fisik dan Kimia rumput laut hasil kultur jaringan. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2014. Review Perkembangan Rumput Laut Hasil Kultur Jaringan Asal BBPBL Lampung Di Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar. Faridah, D.N., Kusumaningrum, H.D., Wulandari, N., dan Indrasti, D. 2006. Penuntun Praktikum Analisis. FMC Corp. 1977. Carragenan. Marine Colloid Monograph Number One. Springfield, New Jerney. USA Marine Colloids Division FMC Corporation. Hlm 23-29. Gunawan LW. 1987. Tekik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 252p Hidayah, R. Harlia. Gusrizal. A.Sapar. 2013. Optimasi Konsentrasi Kalium Hidroksida Pada Ekstraksi Karaginan Dari Alga Merah (Kappaphycus alvarezii) Asal Pulau Lemukutan. Program Studi Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura. JKK, tahun 2013, volume 2 (2), hal. 78-83 ISSN 2303-1077 Hurtado A.Q., Agbayani R.F., Sanares R., and Mallare T.R.D.C., 2001. The seasonality and economic feasibility of cultivating Kappaphycus alvarezii in Panagatan, Caluya, Antique, Philipines. Aquaculture. 199 : 295-310. Mendonza W.G., Ganzon-Fortes. E.T., Villanueva R.D., Romero .J.B., Montano M.N.E., 2006. Tissue age as factor affecting carrageenan quantity in farmed Kappaphycus striatum. Bot Mar. 49: 57-64. Paula E.J and Pereira R.T.L., 2003. Factors affecting growth rates of Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty ex P. Silva (Rhodophyta Solieriaceae) in subtropical waters of Sao Paulo State, Brazil. Proceedings of the XVII International Seaweed Symposium. Oxford University Press. New York. 381-388. Saputra, R., R.S. Patadjai, dan A.M. Balubi. 2013. Analisis Pertumbuhan dan Kadar Karaginan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii pada Lokasi Berbeda di Perairan Sekitar Penambangan Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara. Jurnal Mina Laut ndonesia. Vol.03 No. 12 Sep, 2013 (55-67) ISSN : 2303-3959. Program Studi Budidaya Perairan FPIK Universitas Halu Oleo Kampus Hijau Bumi Tridharma Kendari 93232 Setiabudi, D., M. Arief dan BS. Rahardja. 2014. Analisis Perbedaan Nilai Konsentrasi Logam Berat Cadmium (Cd) Pada Rumput Laut (Eucheuma cottonii) Di Perairan Pamekasan dan Sumenep–Madura. Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan Vol. 6 No. 2. Hal.201-206. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 146 SNI, 01-26-1998. Rumput Laut Kering Direktorat Jenderan Perikanan dan Ilmu Kelautan. Jakarta. 23 hlm. Sulistiani E., Soelistyowati DT., Yani SA. 2012. Acclimatization and Field Cultivation of Regenerated Cottonii Seaweed (Kappaphycus alvarezii Doty) from Tissu Culture in coastal Waters. Research Report 2012. Seameo Biotrop. Bogor. Suryati, E., Tenriulo, A., dan Rezeki, S., 2007. Isolasi protoplas rumput laut (Kappaphycus alvarevii) menggunakan enzyme komersial dan viscera mas (Pila polita). Prosiding Pengembangan Teknologi Budidaya Perikanan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 132-136. Wahyuni, E.A. A. Arisandi, dan A. Farid. 2012. Study Karakteristik Biologi Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Terhadap Ketersediaan Nutrien Di Perairan Kecamatan Bluto Sumenep. Seminar nasional Kedaulatan pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian. Universitas Trunojoyo. Madura. West, J., 2001. Agarophytes and Carrageenophytes. University of California, Berkeley. 28:286-287. Yamamoto H, 1978. Systematic and Anatomical Study of The Genus Gracilaria in Japan. Mem. Fac. Fish. Hokkaido university, 25(2): 98-138 Yunizal, Murtini, J.T., Utomo, B.S., dan Suryaningrum, T.D. 2000. Teknologi Pemanfaatan Rumput Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Eksplorasi Laut dan Perikanan, Jakarta. p. 1–11. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 147 SEA CUCUMBER (Holothuria scabra) SEED PRODUCTION TECHNIQUE Dwi Handoko Putro, Suciantoro, Asmanik and Silfester Basi Dhoe Abstract Sea cucumber is one of Indonesia’s marine resources which have great potential market, great demand and great price. Most of the world sea cucumber production is come from natural populations. Therefore sea cucumber aquaculture is very important to develop. On Holothuria scabra seed production at Main Center for Marine Aquaculture (MCMA) Lampung, used thermal shock method which prove that effective and safety for brood stock. Thermal shock was done by exposing brood stock in the coastal pond from morning to afternoon which have temperature 30 – 32oC. The sudden different temperature between 3 – 5oC will be stimulated brood stock to spawning. Larval rearing was done in fiber/concrete with a volume 4 – 10 m3.It can produce 1000 – 2000 juveniles per cycle. Feeds which were usedduring larval rearing are Chaetocheros spp., Nannochloropsis sp. or both of them with 3 X 105 cells/ml. The first nursery can be done at indoor or semi outdoor and for second nursery can be done at semi outdoor or out door. After 2 months of culture, seeds reached the size of 3 – 5 gram in first nursery and 10 – 25 gram in second nursery. Since the nursery step was already done successfully with survival rateup than 60%. Keywords: Sea cucumber, Holothuria scabra, Thermal shock, Chaetoceros spp, Nannochloropsis sp., Larvae and Coastal pond. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 148 PENDAHULUAN Teripang adalah salah satu kekayaan alam Indonesia yang ramai diperbincangkan di dunia perdagangan namun sepi dibicarakan dikalangan budidaya. Sampai saat ini produk olahan teripang hampir seluruhnya mengandalkan eksploitasi dari alam. Kenyataan lain yang juga perlu dipertimbangkan adalah hukum pasar dimana kelangkaan suatu produk menyebabkan meningkatnya permintaan pasar yang sekaligus berakibat semakin intensifnya eksploitasi produk tersebut. Dampak yang jelas terlihat saat ini adalah tajamnya penurunan populasi teripang di alam. Kenyataan di atas apabila terjadi secara terus menerus akan memicu terjadinya kepunahan. Kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan apabila tidak segera mendapatkan perhatian dari semua fihak. Pemerintah, pengusaha dan masyarakat menjadi kunci yang dapat menghindari/mencegah terjadinya kepunahan teripang. Tanggung jawab dan kepedulian serta partisipasi semua fihak baik yang terkait secara langsung ataupun tidak, menjadi modal utama untuk melestarikan sekaligus mengembangkan budidaya teripang. Salah satu jenis teripang bernilai ekonomis penting yang telah dikaji oleh Balai Besar Perikanan Budidaya Laut (BBPBL), Lampung adalah Teripang Pasir (Holothuria scabra). Sampai saat ini sebagian teknologi produksi benihnya telah diketahui mulai dari teknik pemijahan, pemeliharaan larva hingga fase pendederan.Tempat pemeliharaan induk adalah kolam air laut yang mengandalkan pasang surut untuk penggantian airnya.Teknik pemijahan yang terbukti efektif dan aman untuk induk adalah termal shock (kejut suhu). Pemeliharaan larva dapat menggunakan bak yang terbuat dari bahan fiber atau semen yang terletak di dalam ruangan. Meskipun derajat kelangsungan hidupnya masih rendah, namun dapat menghasilkan juvenile 1.000 – 2.000 ekor per siklus. Kegiatan pendederan benih Teripang Pasir dapat dilakukan di indoor atau semi outdoor. Sedangkan untuk kegiatan penggelondongan dapat dilakukan di out door ataupun di kolam laut. Kegiatan pendederan dan penggelondongan selama 2 bulan dapat menghasilkan angka kehidupan diatas 60%. PEMELIHARAAN INDUK DAN PEMATANGAN GONAD Tempat yang digunakan untuk pemeliharaan induk Teripang Pasir di BBPBL Lampung berupa kolam laut seluas ±500 m2. Untuk memudahkan pengelolaan dan penangan induk, digunakan kurungan tancap berbentuk persegi berukuran 5 X 5 X 1 meter. Kerangka kurungan tancap dapat menggunakan kayu gelam atau pipa PVC 2 inchi dangan ukuran mata jaring ½ - ¾ inchi. Kepadatan tebar induk atau calon induk selama pemeliharaan adalah 1 – 2 ekor/m2. Selama pemeliharaan tidak diberi makan secara rutin dan hanya mengandalkan kesuburan pakan alami yang ada di dalam kolam laut. Untuk menjaga kesuburan kolam laut, dilakukan pemupukan berupa pupuk organic 1 – 2 kali sebulan sebanyak 20 kg. Cara pemupukan dilakukan dengan menempatkan pupuk dalam karung yang diberi lubang dan ditenggelamkan di dasar kolam. Selama pemeliharaan dan pematangan induk, pergantian air kolam hanya mengandalkan pasang surut yang terjadi 2 kali sehari. Pengecekan dilakukan pada sore atau malam hari saat induk mulai aktif mencari makan. Pengecekan dapat dilakukan secara berkala 3 – 4 hari sekali menggunakan senter disekeliling kolam. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 149 PEMIJAHAN INDUK Pemijahan induk Teripang Pasir dapat dilakukan saat bulan gelap atau bulan terang. Tahap awal adalah melakukan seleksi tehadap induk yang sehat dan terlihat gemuk. Induk yang baik untuk dipijahkan berukuran 500 – 1.000 gram. Mengingat sulitnya menentukan jantan dan betina, seleksi dilakukan secara acak terhadap 30 – 40 ekor induk. Seleksi dilakukan pada pagi hari dan sebaiknya sebelum matahari terik. Induk yang telah diseksi selanjutnya ditempatkan 4 – 5 ekor dalam keranjang yang dibungus dengan jarring atau dalam tudung saji. Keranjang dan tudung saji kemudian digantung 5 – 10 cm di bawah permukaan air atau diapungkan menggunakan bingkai dari PVC. Penjemuran dilakukan dari pagi hingga sore hari antara 8 – 9 jam. Suhu media kolam laut dapat mencapai 32 – 33oC apabila matahari bersinar cerah. Sore harinya induk dibawa ke laboratorium untuk dibersihkan dari kotoran yang menempel. Induk selanjutnya ditempatkan dalam wadah pemijahan yang berisi air laut segar dengan suhu antara 26 – 28oC. Terjadi perbedaan suhu yang mendadak antara 3 – 5 oC inilah yang akan merangsang induk untuk memijah. Teripang Pasir tidak memerlukan wadah yang khusus untuk pemijahan baik bentuk maupun volumenya, namun sebaiknya volumenya lebih dari 70 liter. Wadah pemijahan dapat berbentuk bulat atau persegi dari bahan plastic, kaca, fiber atau semen. Pemijahan induk biasanya terjadi pada malam hari antara pukul 18.00 – 23.00 WIB.Tanda-tanda induk yang memijah salah satunya adalah reaksi induk yang terlihat sering menggeliat. Induk yang siap untuk memijah akan mengangkat tubuh bagian depan sambil terus bergoyang-goyang. Pemijahan akandiawali dengan pengeluaran sel sperma dari induk jantan secara terus menerus. Induk jantan yang matang gonad penuh akan mampu mengeluarkan sel sperma selama 1 jam atau lebih. Sedangkan pengeluaran sel telur oleh induk betina biasanya terjadi beberapa saat setelah induk jantan mengeluarkan sel sperma. Pengeluaran sel telur biasanya terjadi secara bertahap setiap 15 – 30 menit.Setelah pemijahan selesai, induk harus segera dipindahkan untuk mengurangi peluang rusaknya telur akibat aktifitas induk. PEMANENAN DAN PENETASAN TELUR Pemanenan telur dapat dilakukan sesaat setelah pemijahan selesai atau keesokan harinya. Apabila pemanenan dilakukan esok paginya, telur hasil pemijahan perlu diberi aerasi dengan kekuatan sedang karena telur bersifat cenderung mengendap. Meskipun demikian, pemanenan sebaiknya dilakukan setelah pemijahan selesai. Tahapan pemanenan dimulai dengan memanen seluruh telur hasil pemijahan dan menampung dalam screen net 60 mikron. Screen net ditempatkan dalam wadah penetasan dan diberi aliran air secara terus menerus hingga menetas. Pemberian air mengalir selain memberikan kondisi yang optimum selama penetasan, juga dimaksudnya untuk membersihkan sel sperma yang menempel di permukaan telur. Proses penetasan akan berlangsung hingga 31 jam setelah terjadinya pembuahan. Proses perkembangan telur mengikuti pola perkembangan 2n yaitu dari 1 sel, 2 sel, 4 sel, 8 sel dan seterusnya hingga multi sel, blastula yang akhirnya menetas menjadi gastrula (Gambar). Larva hasil penetasan dapat dihitung dan siap ditebar dalam bak pemeliharaan larva. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 150 PEMELIHARAAN LARVA Wadah pemeliharan larva dapat berbentuk bulat, oval atau persegi terbuat dari bahan fiber atau semen dengan volume 4 – 10 m3. Penebaran larva dapat dilakukan pagi atau sore bahkan malam hari dengan kepadatan 1 ekor /ml. Selama pemeliharaan pakan yang diberikan berupa Chaetocheros spp atau Nannochoropsis sp atau campuran dari keduanya. Pemberian pakan dilakukan sejak hari pertama dengan kepadatan 3 X 105 sel/ml.Frekuensi pemberian 1 – 2 kali sehari tergantung keberadaan pakan di dalam media pemeliharaan. Pemberian pakan tambahan berupa alga bentik yang didominasi oleh diatom diberikan setelah larva menempel yaitu pada umur diatas 15 hari. Selama perkembangannya, larva akan mengalami metamorphosis dari auricularia, doliolaria, pentactula, juvenile dan benih (Gambar). Selain mengalami perubahan bentuk, larva juga mengalami perubahan sifat hidup dari planktonis (melayang), semi planktonis (melayang tetapi dapat menempel) dan settle (menempel). Fase planktonis terjadi saat larva pada stadia auricularia dan fase semi planktonis pada stadia doliolaria. Sedangkan pada stadia pentactula dan juvenile, larva sepenuhnya telah menempel di dinding atau dasar bak ataupun pada substrat lain yang terdapat dalam media lain dalam media pemeliharaan.Oleh karenanya, pada umur 10 hari dilakukan pemberian kolektor dalam wadah pemeliharaan larva. Kolektor yang digunakan dapat terbuat dari bahan, plastic, screen, PVC atu bahan lainnya. Pemasangan kolektor dimaksudkan untuk menambah luas permukaan menempel dan sebagai pelindung bagi larva atau juvenil. Mengingat larva dan juvenile memiliki pergerakan yang terbatas, sebaiknya kolektor yang digunakan telah banyak ditumbuhi oleh alga bentik. Selain itu kolektor akan memudahkan pemanenan nantinya. Pemanenan dilakukan setelah 45 – 60 hari pemeliharaan dengan cara parsial atau pemanenan total dan biasanya juvenile telah mencapai ukuran 1 – 2 cm. Pertumbuhan larva/ juvenil umumnya tidak seragam sehingga pemanenan harus dilakukan secara Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 151 hati-hati. Juvenil yang masih kecil masih mampu menempel dengan kuat sehingga berpeluang terjadinya kerusakan anggota tubuh. Ket: Berturut-turut (Auricularia awal, Auricularia akhir, Doliolaria, Pentactula dan Juvenil) PENDEDERAN DAN PENGGELONDONGAN Prinsip pemeliharaan pada fase pendederan dan penggelondongan pada dasarnya hampir sama. Namun pada penggelondongan kita dapat menggunakan jarring tancap di dalam kolam air laut sebagai wadah pemeliharaan. Untuk lebih jelasnya dapt dilihat dalam table di bawah ini. PENDEDERAN PENGGELONDONGAN Wadah Bak fiber,semen Bak fiber, semen, kolam laut Lokasi Indoor, semi outdoor Semi outdoor, outdoor Substrat Pasir Pasir, lumpur Padat Tebar 50 – 100 ek/m2 10 – 25 ek/m2 Pakan Alga bentik Alga bentik Penggantian air Air mengalir Air mengalir, tergantung pasang Pemeliharaan 2 bulan 2 bulan Ukuran panen 3 – 5 gram 10 – 25 gram SR >60% >60% KESIMPULAN Pemeliharaan dan pematangan induk dapat dilakukan di kolam air laut Kematangan gonad dan pimijahan dapat terjadi pada gepap bulan atau terang bulan Metode pemijahan yang efektif dan aman untuk induk adalah termal shock (kejut suhu) Jenis pakan selama pemeliharaan larva adalah Chaetoceros spp, Nannochoropsis spa tau campuran keduanya Jenis pakan untuk fase pendederan dan penggelondongan adlah alga bentik yang didominasi oleh diatom Survival rate selama pemeliharaan larva masih tergolong rendah yaitu 0,015% Survival rate pada fase pendederan dan penggelondongan dapat mencapai 60% lebih. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 152 DAFTAR BACAAN Anonimous (1987). Laporan Survey Potensi Pengembangan Budidaya Laut di Propinsi Lampung. Balai Budidaya Laut, Lampung. Ambo Tuwo (2004). Status of Sea Cucumber Fisheries and Farming in Indonesia. In Advances in Sea Cucumber Aquaculture and Management.Food and Agriculture Organization of The United Nations. Cholik, F., Arianti dan R. Arifuddin. 1986. Pengelolaan Kualitas Air Kolam Ikan. Infis Manual Seri No. 36. Jakarta Conand, C., 1990. Holothurians in the Fisheries Resources of Pacific Island Countries. Food and Agriculture Organization of United Nation (FAO). Rome. Darsono, P. 2003. Teripang Berhasil Dibudidayakan. Majalah Trubus seri No. 403 edisi Juni 2003. James, D.B., Rajapandian, B.K. Baskar and C.P. Gopinathan. 1989. Succesful Induced Spawning and Rearing of The Holothurian, Holothuria (Metriatyli) scabra Jaeger at Tuticorin. Tuticorin Research Centre of CMFRI, Tuticorin in Marine Fisheries Information. Notowinarto dan D.H. Putro. 1988. Teknik Pembenihan Teripang. Laporan Balai Budidaya Laut Lampung. Notowinarto dan D.H. Putro. 1992. Pemijahan Teripang Putih (Holothuria scabra) dengan Metode Manipulasi Lingkungan. Buletin Balai Budidaya Laut Lampung 4 Notowinarto dan D.H. Putro. 1992. Pengamatan Pendahuluan Perkembangan Larva Teripang Putih (Holothuria scabra). Buletin Balai Budidaya Laut Lampung 5. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 153 PENGEMASAN DAN PENGIRIMAN BIBIT RUMPUT LAUT KOTONI (Kappaphycus alvarezii) HASIL KULTUR JARINGAN TANPA AIR Nico Runtuboy, Andi Permata, Edi Supriatna, Slamet Abadi Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung Abstrak Salah satu komoditi laut yang menjadi prioritas untuk dikembangkan adalah rumput laut Kotoni (Kappaphycus alvarezii). Rumput laut jenis ini mejadi prioritas karena memiliki keunggulan seperti peluang pasar terbuka, teknologi budidaya mudah dan murah, umur panen pendek serta menyerap banyak tenaga kerja. Upaya untuk pengembangannya terus dilakukan melalui pengiriman bibit dari daerah produsen ke daerah pengembangan. Masalah yang dihadapi adalah bibit yang dikirim selalu mengalami kematian ketika tiba di lokasi tujuan. Uji coba peking dan pengiriman bibit rumput laut terus dilakukan dengan prinsip bibit yang dikirim dari daerah produsen harus hidup sampai daerah tujuan. Proses packing dan pengiriman bibit rumput laut dikenal dua sistim yaitu sistim terbuka dan sistim tertutup. Sistim terbuka adalah salah satu teknik packing dimana bibit yang akan dikirim, dipacking pada satu wadah dan bibit tersebut masih berhubungan dengan lingkungan luar. Sistim tertutup adalah metode packing dimana bibit rumput laut yang dipacking tidak berhubungan dengan lingkungan luar. Uji coba sistim terbuka dilakukan dengan 4 perlakuan masing-masing 2 ulangan. Perlakuan 1 sebagai kontrol : dimana bibit dimasukan ke dalam keranjang lalu diamati perkembangannya. Perlakuan 2 : bibit dimasukan dalam keranjang lalu disiram air laut setiap 5 jam, Perlakuan 3 : bibit dimasukan dalam kantong plastik yang telah diberi beberapa lubang. Perlakuan 4 : bibit dimasukan dalam karung yang telah diberi beberapa lubang. Bibit dari ke empat perlakuan tersebut ditempatkan di tempat yang tidak terkena sinar matahari langsung. Uji coba sistim tertutup dilakukan dengan 3 perlakuan dan masing-masing 2 ulangan. Perlakuan I sebagai kontrol : dimana bibit dimasukan dalam styrofoam lalu dilakban rapat lalu diamati setiap 5 jam. Perlakuan II : bibit dimasukan ke dalam kotak styrofoam yang telah diisi tiga bongkahan es batu lalu dilakukan re-peking setelah 50 jam. Perlakuan III : bibit dimasukan ke dalam kotak styrofoam yang telah diisi tiga bungkus es cura lalu dilakukan pengamatan setiap 5 jam setelah jam ke 24. Hasil uji coba sistim terbuka diperoleh hasil perlakuan I bibit dapat bertahan 15 jam, perlakuan II : bibit dapat bertahan 25 jam, perlakuan III : bibit dapat bertahan 25 jam dan perlakuan IV : bibit dapat bertahan 25 jam. Hasil yang diperoleh pada sistim tertutup perlakuan I : bibit dapat bertahan 20 jam, perlakuan II : bibit dapat bertahan 75 jam dan perlakuan III : bibit dapat bertahan 50 jam. Kata kunci : Rumput laut Kotoni, Pengemasan, Sisim terbuka, Sistim tertutup Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 154 PENDAHULUAN a. Latar belakang Salah satu komoditas unggulan dalam program minapolitan adalah rumput laut Kotoni (Kappaphycus alvarezii). Jenis rumput laut ini sangat tepat digunakan untuk pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat pesisir. Beberapa keunggulan rumput laut Kotoni adalah mudah dibudidayakan dan tidak memerlukan teknologi tinggi. Lokasi budidayanya dapat dilakukan di daerah pantai dengan masa pemeliharaan yang relatif singkat dan modal yang digunakan tergolong murah. Faktor penting lainnya adalah permintaan pasar yang selalu tinggi dan stabil dari waktu ke waktu. Kendala yang terjadi di lapangan adalah penggunaan bibit hasil dari kegiatan budidaya sebelumnya dengan cara stek. Cara ini dilakukan secara terus menerus sehingga terjadi penurunan kualitas hasil panen. Dampak yang ditimbulakan adalah penurunan tonase hasil panen, penurunan kadar karaginan, penurunan pertumbuhan dan ketahanan terhadap penyakit. Upaya untuk mengatasi permasalahan di atas adalah tidak menggunakan bibit hasil stek tetapi hasil dari kebun bibit yang telah diprogram untuk keperluan bibit. Dalam usaha menghasilkan bibit rumput laut yang unggul, SEAMEO BIOTROP Bogor telah berhasil mendapatkan bibit baru rumput laut Kotoni melalui teknologi kultur jaringan. Sebagai tindak lanjut dari keberhasilan tersebut, BBPBL Lampung melakukan bekerjasama dengan SEAMEO BIOTROP untuk melakukan perekayasaan perbanyakan bibit rumput laut hasil kultur jaringan skala laboratorium hingga produksi secara masal. Hasil tersebut akan dikembangkan di lapangan lalu didistribusikan ke daerahdaerah yang membutuhkan. Permasalahan yang dihadapi adalah dalam kondisi normal bibit rumput laut tersebut hanya dapat bertahan selama 20 jam. Hasil uji coba tahun 2011 pengemasan dan pengiriman bibit rumput laut sistim tertutup dapat bertahan hingga 55 jam. Hingga saat ini daerah-daerah yang ditempuh dari lokasi budidayanya sekitar 55 jam telah dapat dilayani. Sedangkan kondisi di lapangan menunjukan bahwa terdapat beberapa lokasi budidaya di Indonesia yang harus ditempuh lebih dari 55 jam. Berdasarkan kondisi ini maka kegiatan kerekayasaan tahun 2015 ini adalah melakukan pengemasan dan pengangkutan lebih dari 55 jam. Metode yang digunakan adalah pengemasan dan pengangkutan sistim terbuka dan sistim tertutup. Pengemasan dan pengangkutan sistim terbuka adalah suatu cara mengangkut ikan/non-ikan dalam keadaan hidup dimana komoditi yang dikemas masih berhubungan langsung dengan udara luar. Sedangkan pengemasan dan pengangkutan sistim tertutup adalah suatu cara mengangkut ikan/non-ikan dalam keadaan hidup dimana komoditi yang dikemas masih berhubungan langsung dengan udara luar. Khusus untuk komoditi rumput laut pengemasan dan pengangkutan sistim ini tidak menggunakan air (kering). Prinsip peking sistim tertutup ini adalah menurunkan suhu dalam media pengangkutan agar bibit rumput laut yang dikemas memiliki daya tahan yang lebih lama. b. Tujuan dan Sasaran Tujuan yang ingin dicapai pada perekayasaan ini adalah sebagai berikut: Mengetahui teknik packing dan pengankutan bibit rumput laut Bibit rumput laut dapat tersebar ke seluruh wilayah Indonesia yang memiliki Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 155 potensi untuk pengembangannya. c. Waktu dan Tempat Kegiatan ini dilakukan dari bulan April sampai Desember 2015 bertempat di Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung . I. METODE Metode yang digunakan adalah pengemasan dan pengangkutan sistim terbuka dan sistim tertutup. Pengemasan dan pengangkutan sistim terbuka adalah suatu cara mengangkut ikan/non-ikan dalam keadaan hidup dimana komoditi yang dikemas masih berhubungan langsung dengan udara luar. Sedangkan pengemasan dan pengangkutan sistim tertutup adalah suatu cara mengangkut ikan/non-ikan dalam keadaan hidup dimana komoditi yang dikemas masih berhubungan langsung dengan udara luar. Rancangan pengemasan dan pengangkutan sistim terbuka dilakukan 4 perlakuan dengan 2 ulangan menggunakan bibit 15 kg setiap wadah. Masing-masing perlakuan adalah : perlakuan A : kontrol perlakuan B : bibit disiram setiap 5 jam perlakuan C : bibit dimasukan kedalam karung yang dibolongi perlakuan B : bibit dimasukan kedalam kantong plastik yang dibolongi Rancangan pengemasan dan pengangkutan sistim tertutup dilakukan dengan 3 perlakuan masing-masing 2 ulangan menggunakan bibit 15 kg setiap wadah. Masing-masing perlakuan adalah : perlakuan A : kontrol perlakuan B : melakukan repacking setelah 55 jam perlakuan B : packing menggunakan es curah 2.1. Alat dan Bahan Peralatan dan bahan yang digunakan dalam perekayasaan pengemasan dan pengangkutan bibit rumput laut sistim terbuka dan tertutup adalah : Tabel 1. Peralatan dan bahan yang digunakan No ALAT DAN BAHAN Pengemasan sistim terbuka Pengemasan sistim tertutup 1 Alat : Alat : Kotak styrofoam, Karung, kantong Kotak styrofoam, Dakron, Timbamgan, plastik, timbangan, gunting, gunting, lakban, es batu, koran, karet. 2 Bahan : bibit rumput laut Bahan : bibit rumput laut 2.2 Prosedur kerja 2.2.1 Pengemasan dan pengiriman sistim terbuka Pengemasan dan pengiriman bibit rumput laut sistim terbuka adalah suatu bentuk pengemasan bibit dimana sebelum dikirim, bibit dikemas dalam wadah dimana bibit tersebut masih berhubungan dengan lingkungan luar. Pengemasan dan pengiriman bibit rumput laut kotoni hasil kultur sistim terbuka dilakukan dengan empat cara yaitu 1). Bibit hasil panen dimasukan dalam keranjang dan dibiarkan terbuka, 2). Bibit hasil panen dimasukan dalam keranjang dan dibiarkan Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 156 terbuka dan dilakukan penyiraman setiap 5 jam, 3). Bibit hasil panen dimasukan dalam karung yang telah dibuat lubang dan 4). Bibit hasil panen dimasukan dalam plastik yang telah dibuat lubang. Kemudian wadah dari keempat perlakuan tersebut diletakan pada tempat yang memiliki kondisi lingkungan yang sama. Yaitu suatu tempat yang terlindung dari sinar matahari langsung, terhidar dari air tawar. Kegiatan pengematan dilakukan sebagai berikut : untuk perlakuan I dilakukan penyiraman dengan air laut setiap 5 jam, mengevaluasi tampilan bibit tersebut dan mencatat hasilnya. Sedangkan untuk perlakuan II sampai IV dilakukan evaluasi dengan melihat bentuk thalus dan mencatat hasilnya setiap 5 jam. Gambar 1. Pengemasan sistim terbuka 2.2.2 Pengemasan dan pengiriman bibit rumput laut sistim tertutup Pengemasan dan pengiriman bibit rumput laut sistim tertutup adalah suatu bentuk pengemasan bibit rumput laut sebelum dikirim dimana bibit yang telah dikemas tidak berhubungan langsung dengan lingkungan luar. Kegiatan ini terdiri dari 3 perlakuan yaitu : 1) Pengemasan tanpa perlakuan Dilakukan dengan cara menyiapkan kotak styrofoam, bibit hasil panen ditiriskan selama 3 – 10 menit lalu dimasukan dalam kotak tanpa ditekan kemudian kotak tersebut ditutup dan dilakban rapat. Pengamatan tentang kondisi bibit dilakukan setiap 5 jam. 2) Pengemasan ulang (Re – packing) Pengemasan dilakukan dengan cara menyiapkan kotak styrofoam, pada bagian dasar kotak tersebut diletakan 3 bongkahan es batu yang telah dibungkaus plastik dan koran. Bagian atas dari bongkahan es tersebut diberi lapusan dakron atau busa yang berfungsi untuk menyerap air. Bibit hasil panen ditiriskan sekitar 5 – 10 menit lalu disusun diatas lapisan dakron tanpa ditekan hingga kotak tersebut penuh. Pada bagian atas bibit tersebut ditutup dengan dakron/busa lalu kotak tersebut ditutup dengan tutup styrofoam aslinya dan dilakban rapat. Setelah 50 jam, dilakukan pengemasan ulang (re-packing). Pengemasan ulang dilakukan dengan cara menggantikan kemasan bongkahan es dalam kotak tersebut dengan kemasan yang baru. Berdasarkan uji coba tahun 2011 bibit yang dikemas sistim tertutup dapat bertahan 55 jam. Maka kegiatan pengamatan Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 157 dilakukan dengan cara membuka dan mengamati setiap kotak setiap 5 jam mulai dari jam ke 50. 3). Pengemasan menggunakan es cura Pengemasan dilakukan dengan cara menyiapkan kotak styrofoam. Pada bagian dasar kotak tersebut diletakan 3 bongkus es cura yang telah dibungkaus plastik dan koran. Bagian atas dari bongkusan es cura tersebut diberi lapisan dakron atau busa yang berfungsi untuk menyerap air. Bibit hasil panen ditiriskan sekitar 3 – 10 menit lalu disusun diatas lapisan dakron tanpa ditekan hingga kotak tersebut penuh. Pada bagian atas bibit tersebut ditutup dengan dakron/busa lalu kotak tersebut ditutup dengan tutup styrofoam aslinya dan dilakban rapat. Pengamatan keadaan bibit dilakukan setelah jam ke 15 dengan cara membuka setiap kotak setiap 5 jam. Gambar 2. Sususnan rumput laut dalam Styrofoam sistim tertutup a c d c b Keterangan Gambar : a) b) c) d) Styrofoam Es batu Dakron Rumput laut Gambar 3. Styrofoam yang telah diberi es batu dan dakron Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 158 II.HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 2. Hasil pengamatan kondisi bibit pada pengemasan sistim terbuka saat kotak dibuka Perlakuan Dicek jam ke 20 25 Waktu 5 10 15 30 I kontrol x x x II (disiram) x x x x x 25 jam III (dlm karung) x x x x x 25 jam IV (dlm kantong plastik) x x x x x 25 jam 15 jam Perlakuan I (kontrol) adalah kegiatan dimana bibit sampel dimasukan dalam keranjang lalu diamati kondisinya setiap 5 jam. Hasil tanpak bahwa bibit sample tersebut hanya dapat hidup sampai 15 jam. Setelah itu muncul gejala kematian yang ditandai dengan ciri-ciri bibit mulai layu dan ujung thalus keriput dan derwarna ungu. Perlakuan II dilakukan dengan cara dilakukan penyiraman terhadap bibit dalam keranjang setiap 5 jam. Hasilnya tanpak bibit dapat hidup lebih lama yaitu 5 jam. Sedangkan perlakuan III dan IV relatif sama yaitu bibit dimasukan dalam karung dan kantong plastik lalu dibuat lubang-lubang pada kedua wadah tersebut lalu dilakukan pengamatan setiap 5 jam. terhadap kondisi bibit yang dikemas. Hasilnya terlihat bahwa bibit yang dikemas dalam kedua wadah tersebut memiliki daya tahan yang sama yaitu 25 jam Gambar 4. Pengemasan sistim terbuka menggunakan karung dan kantong plastik Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 159 Tabel 3. Hasil pengamatan kondisi bibit pada pengemasan sistim tertutup saat kotak dibuka Dicek jam ke Perlakuan Waktu 5 10 15 20 80 I kontrol x x 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 x 15 jam II (Re-packing) III (Es curah) x x x x x x x x x x x x x x 75 jam 55 jam Perlakuan I (kontrol) adalah kegiatan dimana bibit sampel dimasukan dalam kotak dan dilakban rapat lalu diamati kondisinya dengan cara membuka masing-masing kotak setiap 5 jam. Hasilnya tanpak bahwa bibit sample tersebut hanya dapat hidup sampai 20 jam. Setelah itu muncul gejala kematian yang ditandai dengan ciri-ciri bibit mulai layu dan ujung thalus keriput dan derwarna ungu. Perlakuan II dilakukan dengan cara dilakukan pengemasan ulang pada jam ke 50 dengan cara mengganti semua kemasan bungkusan es dalam kotak. Hasilnya tanpak bahwa bibit dapat hidup sampai 75 jam. Sedangkan perlakuan III yaitu pengemasan dengan menggunakan es cura. Penggunaan es cura pada kegiatan ini untuk mengantisipasi kesulitan mendapatkan bongkahan es di lokasi pengemasan di daerah. Kegiatan pengamatan dilakukan setalah 15 jam pengemasan. Hasilnya terlihat bahwa bibit yang dikemas dapat bertahan hingga 55 jam. Gambar 5. Sebelah kiri rumput yang mati (pucuk berwarna ungu), sebelah kanan bibit yang segar Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 160 III. KESIMPULAN Berdasarkan hasil kegiatan perekayasaan tersebut maka diambil beberapa kesimmpulan sebagai berikut : 1. Pada kemasan sistim terbuka tanpa perlakuan (kontrol) bibit dapat bertahan 15 jam. 2. Pada kemasan sistim terbuka dengan perlakuan bibit disiram setiap 5 jam, bibit dapat bertahan 25 jam 3. Pada kemasan sistim terbuka dengan perlakuan bibit dikemas menggunakan karung dan katong plastik yang dibolongi, bibit dapat bertahan 25 jam 4. Pada kemasan sistim tertutup tanpa perlakuan, bibit dapat bertahan 15 jam 5. Pada kemasan sistim tertutup dengan perlakuan pengemasan ulang (re-packing), bibit dapat hidup hingga 75 jam 6. Pada kemasan sistim tertutup dengan perlakuan pengemasan menggunakan es curah bibit dapat bertahan hingga 50 jam 7. Apabila waktu tempuh dari daerah penghasil bibit rumput laut ke daerah tujuan ditempuh dalam waktu kurang dari 15 jam, maka pengemasan dilakukan dengan sistim terbuka dan tertutup 8. Apabila waktu tempuh dari daerah penghasil bibit rumput laut ke daerah tujuan ditempuh lebih dari 15 jam, maka pengemasan dilakukan dengan sistim tertutup DAFTAR PUSTAKA Aji, N., 1991. Budidaya rumput laut. Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Perikanan. Balai Budidaya Laut Lampung. Atmadja, W.S., A. Kadi; Sulistijo dan Rachmaniar. 1996. Pengenalan Jenis-jenis Rumput Laut Indonesia. Puslitbang Oseanologi-LIPI. Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2004. Petunjuk Teknis Budidaya Laut Rumput Laut Eucheuma spp. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2005. Profil Rumput Laut Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta Runtuboy, N. Slamet Abadi 2011. Rekayasa Teknologi Packing dan Pengiriman bibit Rumput laut (kappaphycus alvarizii). Laporan Tahunan Balai Budidaya Laut Lampung tahun Anggaran 2011. Runtuboy, N . 2008. Teknologi Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii (Kappaphycus alvarezii). Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 161 Produksi Udang Windu dengan Pengelolaan Media Pemeliharaan dengan Sistem Biofloks Oleh : Supito; Zaenal Arifin dan Darmawan AD Abstrak Teknologi bioflok dengan aplikasi bakteri pengurai untuk mendegrasi bahan organik sisa pakan dan kotoran udang sehingga dapat menghindari terbentuknya senyawa beracun seperti ammonia dan nitrit. Kajian dilakukan pada 4 petak tambak dengan luas 0,4 Ha. Persiapan tambak dilakukan untuk perbalikan lingkungan tambak dan mencegah penularan patogen penyakit. Pada tebar 150.000 per petak (37,5 ekor/m2). Umur pemeliharaan 132 hari. Aplikasi probiotik dilakukan dengan aplikasi bakteri probiotik yang menngandung bakteri bacillus sp dengan dosis awal adalah 1 kg/L per ha. Untuk mempertahan pertumbuhan dan kelimpahan bakteri probiotik dilakukan penambahan sumber karbon (molase) dengan dosis 2-5% dari total pakan yang diaplikasikan 2 kali seminggu. Pertumbuhan mutlak udang windu yang dihasilkan 22,3-23,9 g/ekor dengan rataan 23,24 ±0,7962 g/ekor. Kelangsungan hidup 51-57%. Rataan laju pertumbuhan harian (ADG) 0,18±0,0061. Produksi udang yang dihasilkan adalah 1.801-1.901 kg/ petak (4,503-4,988 kg/ha). Parameter kualitas air amonia maksimum 0,480 ppm dan Nitrit maksimum 0,9 ppm. Bahan organik air maksimum 247 ppm. Kandungan total bakteri mencapai 5,1x105 CFU dangan dominasi bakteri vibrio maksimum 11,4%. Salinitas selama pemeliharaan 32-55 ppt. Ketebalan flok yang diukur dengan tabung inhoff dipertahankan pada kisaran 20 cc/L Pengelolaan air dengan teknik bioflok mampu membuat kondisi media pemeliharaan yang lebih stabil dan mampu mengendalikan pembentukan amonia dan nitrit. Improvement Tiger Shrimp Production with Biofloks system Water management in The Pond Supito*; Zaenal Arifin. and Darmawa Adiwijaya* Main Center for Brackhiswater Aquaculture Develompmet Abstract Aquaculture management with bioflock technology for tiger shrimp culture through addition of probiotic bacteria to improve decomposition proccess organic material form over feed and shrimp feces degrade so as to avoid of toxic compounds such as ammonia and nitrite. Study was conducted on fourth ponds. Pond square was 4000 m2. Pond preparation was do for improve pond environment and avoid of pathogen. Stocking density of post larvae was 150.000 pices per metre (37,5 pieces per m2). The maintain for growth and abundance of probiotic bacteria was be added a carbon source for the balance C/N ratio. Application of probiotics with the Bacillus sp. bacterium with dose is 1 kg /L/ha. Controlling abudance of probiatic backteria with Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 162 apply molasses dose 2-5 % form total feed was used in the pond. Application molases was do two time per week. Results growth shrimp 22,3-23,9 g/ind with Average Day Growth (ADG) 23,24 ±0,7962 Survival rate 51-57%. Averege daily grouth rate (ADG) was 0,18±0,0061g/days. Shrimp production is 1.801-1.901 kg/ pond (4,503-4,988 kg/ha). Water quality of amonia maksimum was 0,48 ppm and Nitrite maksimum was 0,9 ppm. Total organic metric (TOM). Avarege of total bacteria wa 5,1 x 105 CFU with total vibrio sp bacteria less 11,4%. The salinity of water during culture period was 32-55 ppt. Abudance of bioflock was 20 cc/L that was measuer with inhoff tube. Bioflocs management system showed stable water quality parameters during aquaculture. Ammonia and nitrite can be reduced in conditions below the threshold. Keywords: Tiger shrimp, Bioflocs system I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Permasalahan utama pada kegitan budidaya udang intensif adalah masalah limbah sisa pakan dan kotoran udang. Peningkatan pertumbuhan udang akan menyebabkan peningkatkan jumlah penggunaan pakan serta jumlah kotoran dalam petak tambak yang pada akhirnya akan meningktkan kotoran (waste) yang akan berabahaya untuk biota pemeliharaan. Peningkatan kotoran dalam wadah pemeliharaan akan dapat menyebabkan tertuknya senyawa toksis yang dapat mematikan udang. Oleh karena itu diperlukan rekaysa teknologi budidaya daudang dengan sistem pemeliharaan yang mampu meminimalisir pementukan senyawa toksis untuk udang. Kegiatan rekayasa teknologi budidaya udang harus mampu mengeliminir pangaruh sisa pakan dan kotoran udang. Pengelolaan media pemeliharaan dengan sistem bioflok dengan penumbuhan bakteri pengurai dengan aplikasi probiotik. Untuk menjaga pertumbuhan dan klimpahan bakteri probiotik dalam media pemeliharaan dilakukan dan penambahan sumber karbon untuk pengaturan kesimbangan C/N rasio. Pertumbuhan probiotik akan mendegrasi bahan organik sisa pakan dan kotoran udang sehingga akan menghindari terbentuknya senyawa beracun untuk udang yang dipelihara seperti senyawa ammonia dan nitrit. Dengan dapat menekan pembentukan senyawa yang bersifat toksit pada udang, dapat mengurangi penambahan air media dari luar, sehingga dapat menekan penularan penyakit. Penguraian bahan organik dari sisa pakan dan kotoran udang oleh bakteri probiotik dapat menghasilkan biomas berupa floks-floks bakteri atau bioflock yang dapat berfungsi sebagai pakan alami. Menurut Ansari et al.,(2012), bioflok merupakan komunitas mikroba yang terdiri dari bakteria, protozoa dan zooplankton, sebagai suplemen pakan udang mengandung asam amino methionin, vitamin, mineral dan enzim yang dapat membantu proses pencernaan pakan pada udang. Apabila dalam tambak telah terbentuk bioflok maka diharapkan akan dapat menghemat pakan yang diberikan pada udang karena bioflok dapat digunakan sebagai subsitusi pakan bagi udang yang dibudidayakan. Pembentukan flok-floks bakteri akan mampu menekan atau bahan mengurangi penggunaan pakan tambahan yang pada akhirnya akan mampu Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 163 menurunkan konversi pakan dan biaya produksi. Maka upaya untuk efisiensi biaya produksi harus dilakukan, satu diantaranya adalah menggunakan teknologi bioflok (Avnimelech, 1999; 2007; Schryver et al, 2008). Untuk menciptakan media pemeliharaan udang windu yang nyaman, serta mampu memanfaatkan kembali limbah kotoran udang dan sisa pakan menjadi biomas perlu dilakukan kajian budidaya udang windu dengan pengelolaan lingkungan dengan sistem bioflok. 1.2. Tujuan Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memperbaiki media melalui sistem bioflok sehingga mampu menekan terbentuknya senyawa toksik dan dapat menekan efisiensi penggunaan pakan untuk meningkatkan produktivitas tambak 1.3. Sasaran Parameter ammonia< 1 ppm; Nitrit< 1 pmm dan Pertumbuhan udang dengan ADG >0,2; SR > 60%. II. BAHAN DAN METODE 2.1. Bahan dan Alat 2.1.1. Bahan No. Uraian 1. Benih Udang 2. Pakan 3. Kaporit 4. saponin 5. Kaptan 6. TSP 7. Nitrogen (ZA) 8. Probiotik 9. Molase 10. Multivitamnin 11. Feed additive herbal (alicin) 12. Benih ikan nila 13. Benih glondong bandeng Alat Peralatan Kincir Pompa 8” Peralatan lapangan (jala, timbangan, seser,ember, anco, rakit Jumlah Satuan 400.000 Ekor 10.500 Kg 50 Gln 200 Kg 6000 kg 50 Btg 800 kg 30 kg 300 kg 2 kg 2 kg 2500 ekor 1500 ekor 2.2.2. Jumlah 16 buah 2 buah Masing-masing 1 unit Manfaat Difusi Oksigen Suplai air Peralatan panen Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 164 2.2. Waktu dan Tempat Kegiatan perekayasaan ini dilaksaknakan dari bulan Januari-Desember 2015. Tambak yang digunakan perekayasaan adalah tambak seri H dengan luasan masingmasing 5.000 m2 milik BBPBAP Jepara. 2.3. Metode 2.3.1. Persiapan Lahan budidaya Persiapan wadah budidaya Persiapan wadah budidaya dimaksudkan untuk mengoptimalkan kondisi lahan budidaya sehingga mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang windu. Desain tata letak Wadah budidaya terdiri dari petak sterilisasi/tandon, petak pembesaran udang dan petak pengolah limbah dengan biofilter. Perbaikan konstruksi petakan tambak untuk membuat tambak kedap kedap sehingga tidak ada rembesan air antar petakan atau petakan dengan saluran untuk mencegah terjadinya potensi transfer pathogen. Pembuatan sentral drain di tengah petakan tambak untuk memudahkan pengambilan lumpur dan sisa pakan selama pemeliharaan dengan cara disipon maupun dengan pengeluaran melalui saluran out let. Pemasangan biosekuriti dengan pagar keliling kawasan tambak kajian untuk mencegah masuknya pathogen atau carier penyakit. Untuk memperbaiki kulitas dasar tambak dilakukan pengeringan dan pembersihan kotoran lumpur organik. Aplikasi desinfektan pada dasar tambak untuk membunuh bibit virus/bakteri dan bibit blu green alga (BGA) dengan aplikasi larutan HCl. Persiapan air Pengisian air pada petak tandon, petak pembesaran hingga kedalaman air minimal 100 cm. Aplikasi desinfektan dengan menggunakan clorin (ca-hyphocloride 60 EC) dengan dosis 25-30 ppm untuk membasmi bakteri pathogen dan virus dan krustaesida dengan dosis 1,5 ppm untuk membunuh karier penyait virus berupa udang atau crustacean liar. Setelah aplikasi bahan desinfekatan air didiamkan selama minimal 5 hari agar semua bahan menjadi netral. Pengapuran dan pemupukan Jenis kapur yang digunakan adalah kapur kaptan dan dolomit. Jumlah kapur yang digunakan bergantung pada pH perairan. Jika kondisi pH perairan sudah berada pada diatas nilai 7,5 maka kapur tidak diaplikasikan, Pemupukan dilakukan untuk menumbuhkan plankton pada awal pemeliharaan. Dosis pupuk yang digunakan adalah 5 ppm dengan dosis perbandingan pupuk Nitrogen (ZA) dan TSP adalah 5:1. Stimulasi plankton (jika diperlukan) pada petak pembesaran udang dilakukan dengan menambahkan inokulum dari kultur Chlorella murni yang telah diendapkan. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 165 Penumbuhan bakteri probiotik Prinsip dari teknologi bioflok adalah menumbuhkan mikroorganisme terutama bakteri heterotrop di air tambak yang dimaksudkan untuk menyerap komponen polutan, amonia yang ada di air tambak. Agar dapat terbentuk bioflok, maka rasio C/N di air tambak budidaya udang pola intensif harus > 10 : 1, kemudian sedikit dilakukan penggantian air dan diberi aerasi yang kuat dan merata, sehingga oksigen tidak pernah lebih rendah dari 4 ppm. Bakteri heterotrof dalam air tambak akan berkembang pesat apabila di air tambak ditambahkan sumber C karbohidrat yang langsung dapat dimanfaatkan, yaitu mollase. Selanjutnya bakteri tersebut akan menggunakan N anorganik terutama amonia dalam air dan disintesa menjadi protein bakteri dan juga sel tunggal protein yang dapat digunakan sebagai sumber pakan bagi udang atau ikan yang dipelihara (Hari, et al., 2004). Aplikasi probiotik mulai dilakukan dengan aplikasi bakteri probiotik yang menngandung bakteri bacillus sp dengan dosis awal adalah 1 kg/L per ha dan penggunaan molase dengan dosis 2 ppm. 2.3.2. Penebaran benih Penebaran benih menggunakan benih yang bebas virus yang telah dilakukan uji PCR. Salinitas media pemeliharaan benih juga telah di sesuaikan dengan mendia pemeliharaan air tambak. Padat tebar benih adalah 40 ekor/m2. 2.3.3. Pemeliharaan Pengelolaan air Pengelolaan air diarahkan pada sistem bioflok. Aplikasi probiotk dilakukan setiap 1 hingga 2 kali seminggu dengan dosis probiotik 1 kg/ha. Untuk mempertahankan keseimbangan C/N rasio pada kisaran 12-20 dilakukan aplikasi sumber karbon (molase) dengan dosis 2,5-5% dari total pakan yang telah diberikan selama 1 minggu. Aplikasi molase dapat dilakukan bersamaan dengan aplikasi bakteri probiotik. Peambahan air selama pemeliharaan hanya dilakukan untuk mempertahankan ketinggian air. Penambahan air hanya dilakukan untuk mengganti air yang hilang karena penguapan atau rembesan atau pada saat kondisi darurat pada saat kualitas air menurun. Perlakukan untuk mempertahankan kualitas air adalah dengan dilakukan penyiponan kotoran dasar tambak yang dilakukan secara periodic. Pengelolaan pakan Pemberian pakan menggunakan pakan komersial dengan kadar protein pada awal pemeliharaan sekitar 38%. Dosis pemberian berkisar 50% biomas (awal pemeliharaan) dan menurun hingga 2.5% menjelang akhir pemeliharaan. Frekuensi pemberian pakan 2-5 kali/hari sesuai dengan berat udang. Jumlah pakan di anco sekitar 0.5 % (berat udang 3 gram) dan meningkat hingga 1 %. Waktu kontrol di anco mulai 2 jam dan menurun hingga 1,5 jam. Sebagai acuan jumlah pakan, frekuensi pemberian dapat dilihat pada tabel berikut. Berat rata-rata (g) 0,01-0,70 0,70-2,00 Waktu makan dan jumlah pakan (%) Frekuensi 2x 3x 05.00 50 40 Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 11.00 16.00 22.00 50 40 20 Saat monitoring (jam)* 166 2,00-4,00 4,00-5,00 5,00-8,00 8,0010,00 10,0018,00 18,0020,00 22,00 4x 4x 5x 5x 30 30 25 25 20 20 10 10 30 30 15 15 20 20 30 30 3,0 2,5 2,5 2,5 5x 25 10 15 30 2,0 5x 25 10 15 30 2,0 5x 25 10 15 30 1,0 * setelah pemberian pakan Monitoring Kualitas air Monitoring kualitas air dilakukan sejak persiapan lahan hingga menjelang panen. Pengamatn kualitas air harian adalah parameter suhu, Oksigen terlarut, pH, kepadatan flok dan kecerahan. Pengamatan mingguan adalah paramater bahan organik, alkalinitas, TAN (NH3 dan NH4+), nitrit, nitrat, populasi plankton, bakteri (Total bakteri dan bakteri vibrio). Monitoring pertumbuhan dan sintasan Monitoring pertumbuhan dilakukan setelah udang berumur 40 hari atau lebih dengan cara sampling. Sampling menggunakan jala tebar dilakukan minimal 3 kali dalam satu petak. Jumlah dan berat udang dihitung dan sekaligus memperhatikan tingkat keseragaman udang. Sampling dilakukan tiap 7- 10 hari sekali dan data ini digunakan untuk perhitungan jumlah pakan periode pemeliharaan berikutnya. Sedangkan monitoring kesehatan udang dapat dilakukan setiap saat melalui anco. Pada anco, kondisi udang seperti agresifitas, respon pakan (kondisi usus dan feces) dapat diketahui. 2.3.4. Panen Pemanenan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi udang (berat, periode molting) dan harga serta efisiensi usaha. Untuk itu, penentuan jumlah total pakan yang digunakan dan estimasi produksi mutlak dilakukan. Panen dilakukan pada siang hari untuk memperkecil udang yang moulting. III. Hasil dan Pembahasan 3.1. Pertumbuhan udang. Pertumbuhan dan ADG udang uji dapat dilihat pada tabel 3. Hasil pengukuran pertumbuhan mutlak udang selama pemeliharaan 110 hari pada petak H5 adalah 21,0 g/ekor dengan rata-rata ADG 0,20 g/hari dan pada petak H6 adalah 20,5 g/ekor dengan ADG 0,21 g/hari (Tabel 3). Dari tabel tersebut dapat dinyatakan bahwa pertumbuhan mutlak pada kedua petak relatif sama. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 167 Tabel 3. Data pertumbuhan udang windu dengan sistem bioflok Umur (hari) 30 40 50 60 70 80 90 100 110 Petak H5 ABW (g) 4,2 5,9 7,8 9,4 11,5 13,8 16,1 18,2 21 Petak H6 ADG (g) 0,17 0,19 0,16 0,21 0,23 0,23 0,21 0,28 ABW (g) 4,5 6 7,6 9,6 11,2 14,2 16,5 18,5 20,5 ADG (g) 0,15 0,16 0,2 0,16 0,3 0,23 0,2 0,2 Gambar 1. Grafk pertumbuhan mutlaks (ABW) Dari gambar 1 dan 2, dapat dinyatakan bahwa pertumbuhan mutlak dan laju pertumbuhan harian (ADG) selama pemeliharaan pada kedua petak kajian menunjukkan peningkatan hingga pemeliharaan umur 80 hari. Selanjutnya laju pertumbuhan harian cenderung menurun hingga panen umur 110 hari. Hal ini diduga sebagai akibat musim kemarau sehingga salinitas terus meningkat hingga 56 ppt. Perlakukan penambahan air setiap hari sebanyak 5 -10% setelah umur pemeliharaan ke 60 tidak mampu menahan kenaikan salinitas. Musim kemarau dengan panas yang tinggi dan tiupan angin yang kuat mengakibatkan proses penguapan ar tambak semakin meningkat sehingga salinitas air tambak cenderung meningkat. Gambar 2. Grafik laju pertumbuhan harian ADG Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 168 3.2 Produksi Data berat apada akhir pemeliharaan, ADG, size, sintasan dan produksi dapat dilihat pada Tabel 4. Perlakukan yang sama dengan pemeliharaan sistem biofloks pada kedua petak kajian menunjukkan produksi yang dihasilkan tidak jauh berbeda. Produksi udang yamg dihasilkan pada petak H5 adalah 1.935 kg (produktivitas 3,870 kg/ha/MT) dan petak H6 adalah 2,017 kg ( 4.034 kg/ha/MT). Dengan tingkat kelangsungan hidup pada petak H5 sebesar 46 % dan petak H6 sebesar 49 %. Produksi yang dihasilkan ini lebih tinggi dari hasil kajian sebelumnya dengan produksi 1.315 kg ( 3.287 kg/ha/MT) dan 1.322 kg (3.306 kh/ha/MT). Kajian sebelumnya dapat mencapai tingkat kelangsungan hidup 60,1-61,5 % (Supito et.al, 2014). Peningkatan produktivitas pada kajian kedua diduga pemeliharaan dilakukan pada musim kemarau sehingga ada pengaruh suhu terhadap laju konsumsi pakan yang pada akhirnya pertumbuhan lebih baik. Faktor lain diduga kepadatan yang lebih rendah karena kelangsungan hidup yang lebih rendah pada kajian kedua menyebabkan ruang gerak dan ketersediaan makanan yang tercukup sehingga lajau pertumbuhan meningkat. Tabel 4. Data tabel produksi udang No Uraian H5 H6 1 Jumlah tebar/petak 200.000 200.000 2 Umur pemeliharaan (hari) 110 110 3 Ukuran 21 20,5 4 ADG 0,21 0,21 5 Size ekor/kg 48 49 5 SR (%) 46% 49% 6 Produksi per petak (kg) 1.935 2.017 7 Produktivitas kg/ha 3.870 4.034 3.2 Kualitas lingkungan 3.2.1 Kualitas air Hasil pengukuran kualitas air selama pemeliharaan adalah sebagai berikut: Tabel 5. Data kualitas air tambak udang semi heterotrof sistem Parameter Tambak H5 Tambak H6 1. Salinitas 33-55 33-54 2. suhu 28-33 28-32 3. Oksigen 3.1-5,0 3,0- 5,13 4. Kecerahan 20-40 20-45 5. pH 7,5 - 8,3 7,5 - 8,5 6. Alkalinitas (ppm) 62–188 99 – 195 7. Bahan organic 75– 380 75 -395 (ppm) 8. NH3 < 0,5 <0,6 Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 169 9. NO2 10. densitas flok (cm3) a. b. c. d. <12 Maksimum 35 <8 Maksimum 40 Salinitas Salinitas air tambak pada saat penebaran adalah 33 ppt karena pada saat musim kemarau. Selanjutnya salinitas cenderung naik karena semalam pemeliharaam umur 1 bulan hanya dilakukan penambahan air untuk mempertahankan ketinggian air tambak. Pengaruh musim kemarau sehingga pengupakan cukup tinggi hingga salintas naik hingga 55 ppt. pada musism kemarau salinitas air sumber adalah 36 ppt. Dengan cuaca yang cerah serta angin yang kencang pada musim kemarau ini, salinitas air tambak bisa naik sekitar 1-2 ppt per hari. Untuk mencegah kenaikan salinita yang tinggi dilakukan penambahan air sumber 5-10% per 1-2 hari seklai sehingga mampu mengandalikan kenaikan air kurang dari 1 ppt per hari. Temperatur Hasil pengamatan temperatur rataan harian (Tabel 3) selama pemeliharaan terendah adalan 28 oC yang diamati pada pagi hari dan tertinggi adalah 33oC yang diamati pada sore hari. Temperatur berpengaruh terhadap aktivitas metabolisme terutama laju komsumsi pakan. Oleh karena itu pemberian pakan disesuaikan dengan laju komsumsi oleh udang dengan cara mengontrol pakan pada anco. Jumlah pakan dianco adalah 0,6-1% dari julah total pemberian dan lama pengamatan 1-2 jam. Bila pakan di anco tidak habis, maka jumlah pakan yang diberikan segera dikurangi hingga 20-40%. Sebaliknya bila pakan habis sebelum waktu pengamatan, maka jumlah pemberian pakan ditambak sekitar 20 %. Dengan cara ini untuk menghindari kelebihan pakan yang akan menyebabkan peningkatan kotoran pada dasar tambak. Oksigen terlarut. Kandungan oksigen terlarut selama pemeliharan dapat dipertahankan minimal 3 ppm pada kedua petak. Cara yang dilakukan adalah dengan mengatur tataletak kincir dengan jumlah yang disesuaikan sehingga selruh kolom air petak tambak. Fluktuasi nilai oksigen terlarut harian cenderung pada teknologi bioflok ini pada kisaran 1-2 ppm. Letak dn arah kincr di atur sehingga seluruh kolom air pada petak tambak bergerak atau mengalir. Cara ini dilakukan untuk mencegah pengendapan kotoran organik pada dasar tambak. Beberapa pengamatan menunjukkan bahwa nilai kelarutan oksigen pagi hari lebih tinggi dari pada sore hari. Hal ini diduga peranan bakteri probiotik yang dominan dalam kolom air pada malam hari kecepatan untuk mendegradasai bahan organik cenderumg lebih lambat sehingga tidak banyak menggunakan oksigen terlarut. Sebaliknya pada siang hari dengan peningkatan suhu media menyebabkan kecepatan bakteri probiotik mendegrasi bahan organik meningkat serta meningkat pula penyerapan oksigen terlarut. Kecerahan Hasil pengukuran kecerahan selama pemeliharaan adalah pada petak H5 20-45 cm dan petak H5 adalah 20-40 cm. Berdasarkan pengamatan dilapangan flok bakteri terbetuk setelah pemeliharaan 45 hari. Terbentuk flok bakteri ditandai terbentuknya busa (foam) berwarna putih akibat pengadukan kincir air. Busa Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 170 e. f. g. tersebut sebagai indikasi terjadinya proses penguraian bahan organik sisa pakan dan kotoran udang menjadi flok bakteri. Warna air tambak setelah terjadinya flok bateri berwarna hijua kecoklatan dan stabil hingga panen. Diduga aplikasi sumber karbon berupa molase dengan dosis 5 % dari crude total pakan (dengan kandungan protein 36%) mampu membuat keseimbangan C/N rasio sekitar >16. Pada kondisi keseimbangan C/N rasio yang tinggi dapat mengakibatkan pertumbuhan bakteri probiotik mampu berkembang untuk menguraikan sisa pakan dan kotoran udang serta bahan organik lainnya. pH Hasil pengamatan pH air selama pemeliharaan patak H5 adalah 7,5-8,3; dan petak H6 adalah 7,5-8,5. dengan fluktuasi harian pada pagi dan sore anara 0,1-0,3. Kestabilan nilai pH diduga karena dominasi bakteri probiotik yang dominan disbanding plankton. Pada proses penguraian oleh bakteri probiotik sangat tergantung dari kesimbangan C/N rasio dan kelarutan oksigen untuk mendegradasi kotoran bahan orgnaik menjadi Nitrat dan senya organik lainnya. Pada kondisi keseimbang C/N rasio yang cukup >16 dan kandungan oksigen terlarut yang tinggi, dapat menghindari terbetuknya senyawa toksin untuk udang seperti ammonia dan nitrit. Dengan proses tersebut diduga menyebabkan kestabilan nilai pH yang lebih baik, dengan fluktuasi harian yang rendah. Berbeda dengan proses fotosintesa, plankton maupun makroalga memerlukan akan menyerap karbon dioksida (CO2) untuk proses fotosintesa. Perubahan kesimbangan CO2 kan menyebabkan berubahnya kandungan karbonat dalam air sehingga dapat menyebabkan perubahan nilai pH air. Kondisi ini menyebabkan fluktuasi harian nilai pH yang lebih tinggi (lebih nilai 0,5). Sebagai akibatnya fluktuasi oksigen terlurt harian pagi dan sore hari juga tinggi. Alkalinitas Hasil pengamatan salinitas selama pengamatan berkisar petak kedua petak kajian (Tabel 5) menunjukkan pada kisaran nilai yang layak untuk udang. Perlakukan yang dilakukan untuk mempertahankan nilai alkalinitas adalah aplikasi kapur tiap 2 hari sekali dengan dosis 5 ppm. Waktu aplikasi kapur dilakukan pada malam hari dan dilakukan setelah terjadi hujan. Hal ini diduga air hujan merupakan air murni yang dapat mengurangi kosentrai mineral dalam air tambak. Oleh karena itu perlu dilakukan penambahan mineral setelah terjadi hujan. Kemelimpahan dan floks Flok-floks bakteri terbentuk setelah umur pemeliharaan 1,5 bulan. Yag ditandai adanya busa putih akibat pengadukan kincir. Warna air cenderung kecoklatan keruh (masir) yang terbentuk karena suspense flok bakteri. Hasil pengukuran dengan tabung imhoff kepadatan flok berkisar 40 cc. Peningkatan kelimpahan flok setelah umur 55 hari. Pada bulan pertama pemelihran hanya 10-12 cc dn meningkt setelah usia pemelihraan bulan ke dua. Hal ini diduga karena penambahan sumber karbon yang mengakibatkan peningkatan keseimbangan C/N rasio. Ikan dan udang dapat mengakumulasi nutrien dari pakan yang diberikan berkisar 5-40%. Dari data yang ada diketahui bahwa rerata nutrien yang dapat tertahan dalam tubuh ikan dan udang adalah 13 % carbon, 29 % nitrogen, dan 16 % posfor. Rendahnya jumlah karbon sebagai konsekuensi dari banyaknya fraksi karbon pakan yang lepas akibat respirasi. Data ini menunjukkan Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 171 h. i. rendahnya retensi nutrien dalam tubuh kultivan, sehingga sisanya seperti nitrogen (75%) dan posfor (80%) terakumulasi di dasar tambak. (Avnimelech dan Ritvo, 2003). Oleh karena itu perlu penambahan sumber karbon organik untuk meningkatkan kesimbangan C/N rasio. Pada perairan yang mempunyai keseimbangan C/N ratio yang baik akan meningkatkan tumbuhnya Total Bakteri Heterotrop (TBH) sehingga mempercepat proses penguraian limbah organik. Dari beberapa jenis bakteri heterotrop ini diduga ada yang bersifat bakteri ansosigenik, yaitu bakteri yang dalam proses metabolismenya menguraikan bahan organik tidak menggunakan oksigen sebagai sumber energi (Widiyanto, 2002). Kandungan bahan organik total Kandungan bahan organik air tambak selama pemeliharan mencapai 395 ppm. Namum demikian tidak membahayakan untuk udang. Hal ini karena proses degradasi bahan organik tersebut berlangsung cepat dan tidak membentuk senyawa toksik ammonia dan nitrit. Data pengukuran ammonia dan nitrit masih kurang dari 0,1 ppm dan tidak membahayakan udang. Hal ini diduga peranan oksigen dari aerasi yang cukup tinggi selama pemeliharaan. Akumulasi bahan organik yang berlebih menjadi pemicu kondisi lingkungan yang anaerob (Avnimelech et al., 2004) masih dapat dicegah bila mampu meningkatkan kelarutan oksigen ( Avnimelech et al., 2004). Pada awal pemeliharaan bahan organik air sudah cukup tinggi yaitu sekitar 95-97 ppm. Ini diduga karena kandungan bahan organik sumber air sudah cukup tinggi. Penggunaan kaporit sebagai desinfektan dan sekaligus sebagai oksidator tidak dapat menekan kandungan bahan organik air pada awal pemeliharaan kurang dari 60 ppm. Peranan petak tandon hanya sebagai pengendapan kotoran sementara belum dapat mengurangi bahan organik. Semakin tambah umur pemeliharaan dan semakian tambahnya jumlah pakan yang digunakan mengakibatkan peningkatan kandungan bahan organik hingga mencapai 295 ppm. Hal ini diduga karena telah terbentuknya flok bakteri yang juga mengandung protein Amonia Nilai Amonia (NH3) tertinggi pada kedua petak adalah 0,6 dan nitrit adalah 0.7 ppm. Parameter ammonia it dalam sistem budidaya bioflok sangat rendah mengingat data bahan organik cukup tinggi. Hal ini diduga peranan probiotik sangat mendukung untuk mencegah pembentukan ammonia. Amonia sangat beracun untuk udang dan biasanya terjadi pada nilai pH tinggi diatas nilai 9. Diduga peranan penambahan sumber karbon mampu mereduksi pembentukan Amonia. Hari et al., (2004) telah melakukan percobaan pembesaran udang (P. monodon) skala laboratoris dan skala massal di tambak tentang pengaruh penambahan sumber karbon. Hasil percobaan menunjukkan bahwa penambahan karbohidrat (tepung tapioka) secara signifikan menurunkan TAN (Total ammonia nitrogen) dan meningkatkan populasi bakteri heterotropik baik di kolom air maupun di sedimen. Penambahan karbon organik sangat efektif menurunkan amonia yang dihasilkan olek ekskrei udang atau sisa pakan yang tidak termakan. Setiap 0,1 ppm Amonia dapat diturunkan dengan molase 20 g/m3 air (Avnimelech, 1999) Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 172 j. Nitrit. Hasil pengukuran nitrit mencapai12 ppm. Namun demikian tidak menjadikan toksik bagi udang maupun ikan yang ada pada saluran buang. Berdasarkan kandungan nitritnya terjadi fenomena baru. Beberapa praktisi budidaya udang di jawa timur melaporkan bahwa kandungan nitrit mencapai 30 ppm juga tidk mematikan udang. Diduga toksisitas nitrit rendah apabila terjadi pada salinitas yang tinggi. Namun demikin untuk mengatasi nitrit meningkat, dilakukan dengan membuat oksigen terlarut pada media air tinggi. IV. Kesimpulan dan Saran 4.1 Kesimpulan Dari hasil kegiatan pemeliharaa udang windu sistem bioflok dapat disimpulkan: a.Sintasan atau kelangsungan hidup udang 46 % dan 49 %. Yang diduga karena proses aklimastisasi saat penebaran dan pemeliharaan musim kemarau yang cenderung salinitas naik. b.Produksi udang yamg dihasilkan adalah petak H5 adalah 1.935 kg (produktivitas 3,870 kg/ha/MT) dan petak H6 adalah 2,017 kg ( 4.017 kg/ha/MT). Dengan laju pertumbuhan harian (ADG) sebesar 0,21 g/hari. c.Dengan teknik bioflok kuaitas air terutama amonia bisa dikendalikan kurang dari 1 ppm walaupun kandungan total bahan orgnik tinggi. Parameter nitrit yang mencapai 12 ppm, tidak menjadi toksik bagi udang. 4.2. Saran Perlu dilakukan kajian lanjutan pemeliharaan udang windu dengan sistem bioflok dengan padat penebaran yang lebih tinggi untk menghasilkan produktivitas yang optimal. DAFTAR PUSTAKA Avnimelech, Y., 1999. Nitrogen control and protein recycling: Activated suspension ponds. The Advocate, April:23-24. Avnimelech, Y., G. Ritvo., and M. Kocha., 2004. Evaluating the active redox and organic fractions in pond bottom soils: EOM, easily oxidized material. Aquaculture xx,xxx-xxx. Avnimelech, Y., 2009. Biofloc Technology – A Practical Guide Book. The World Aquaculture Society, Boton Rouge, Louisiana, United States. McIntosh, R.P. 2000. Changing Paradigms in Shrimp Farming: IV. Low protein feed and feeding strategy. The Advocate : 45-50. Supito dan Darmawan AD, 2014., Budidaya udang windu dengan sistem biofloks, Laporan tahunan BBPBAP Jepara. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 173 SPERMATOPHORE RECOVERY OF WHITE SHRIMP (Litopenaeus vannamei) BY FEMALE INOCULATION AND ADDITION MANGOSTEEN EXTRACT Lutfi Anshory1, Ngurah Sedana Yasa2, IBM Suastika Jaya3 I Komang Andrat4 National Broodstock Center for Shrimp and Mollusk, Karangasem-Bali Phone. 085100724144, Fax (021)29608000 PO.Box.107,Tromol Pos 80811; Website : www.bpiu2kkarangasem.com Abstract One of the main problem of white shrimp production was “male reproductive tract degenerative syndrome” (MRTDS). It can be seen on male reproduction organs which abnormality and low mating success caused by melanisation, is a progressive blackening of the spermatophore caused infertile and rejected. This would impact a production lost so it need to be concerned. The aim of this study was determined the best sex ratio and nutrition diet fulfilled to reduce spermatophore melanisation on male white shrimp (L. Vannamei) broodstock. Male of white shrimp was captive in sex ratio of 100%; 90%; 70% and 50%. In nutrition diet project, it fed with antioxidant addition contain mangosteen extract. The data analized was spermatophore melanization every 10 days until 30 days. The result of sex ratio showed terminal ampoul melanized was fluctuative. The most blackened began from 90%; 50%; 70%; then 100%. The result of nutrition diet also showed terminal ampoul melanized was fluctuative. Shrimp with antioxidant diet seemed has higher terminal ampoule melanization. Antioxidant still ineffective contribution to keep spermatophore well. Spermatophore melanization recovery happened on three shrimps. Based on this study, it can be conclude that as many as female shrimp added to shrimp culture and addition of antioxidant nutrition diets, then it wasn’t always reduce the probability to spermatophore melanization on white shrimp L vannamei. The amount of melanization shrimps and melanization percentage was still fluctuative. Keywords : melanization, white shrimp (L vannamei), sex ratio, antioxidant diet, spermatophore recover I. INTRODUCTION 1.1Background One of purpose in white shrimp broodstock was produced the best performance of eggs and sperm. There are several problems of white shrimp broodstock in any species which cultured in captivy. For example, male white shrimp problem known as “male reproductive tract degenerative syndrome” (MRTDS) (Talbot et al.,1989). This can be happened because of low sperm performance and maturation. The symptom can be seen in male reproduction organ which abnormality and low mating success caused by melanisation, is a progressive blackening of spermatophore. At this condition, those male white shrimp with this symptom would be considered as infertile Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 174 so it would be rejected in broodstock selection. This would impact a production lost of broodstock white shrimp that farmer had targeted so it need to be concerned. Melanization was a process of enzyme prophenoloxidase activated due to the respond of foreign agent stimulus such as bacteria, fungi, multicelular parasite, or as a result of tissue damage (Cerenius and Söderhäll, 2004). In the other side, melanization process in male reproduction organ in broodstock center was thought to result from some factor such as temperature (Pascual et al,1998;Perez- Velazquez et al.,2001;), bacteria infection (Alfaro et al, 1993), inapproppiate diet (Goimier et al.,2006), or simply as a response to the lack of mating receptive females in captivy (Parnes et al.,2006). This study will focus on reducing spermatophore damage in male broodstock white shrimp (Litopenaeus vannamei) by sex ratio formulation where female broodstock white shrimp will be given in male population and also by nutrition addition where vitamin C and mangoosteen as antioxidant diet will be given in male population. 1.2 The aim The aim of this study was determined the best sex ratio and nutrition diet fulfilled to reduce spermatophore melanization on male white shrimp (L. Vannamei) broodstock 1.3 Target The target of this study was reduced the male white shrimp (L. Vannamei) rejected in broodstock selection so the target of production would be reached. II. LITERATURE REVIEW 2.1 Anatomy of Male White Shrimp Reproductive System Anatomy of male white shrimp reproductive system explained by Talbot et al (1989), with definitions of functions of the vas deferens and terminal ampoule (Figure 1). In the subgenus Litopenaeus, Alfaro (1994) made some ultrastructural observations including the definitions of the place for spike elongation which occurs gradually in the vas deferens. The proximal vas deverens transports spermatids from testes into the ascending vas deferens medial. The primary and secondary layers of spermatophores are synthesized in the ascending and descending vas deferens. The main body and sperm sac of spermatophores are formed in one of the two channels of vas deferens. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 175 Terminal ampoule is histological complex with separated chambers for the assembling of additional spermatophores subunits: dorsal plate and adhesive (Talbot et al, 1989). Figure 1. Reproduction system of male Penaeus (Litopenaeus). A:Anatomy location. B: Isolated reproduction system. Sperm of penaeoid shrimp are unistellate, have a non-motile spike, and undergo acrosome reaction during sperm–egg interaction. Sperm cells consist of a spike, a hemispherical cap, a nucleus, a filamentous meshwork between the nucleus and hemispherical cap, and a hemispherical rim of cytoplasmic particles. Sperm of P. vannamei and P. occidentalis have a similar length whereas P. stylirostris is bigger. 2.2 Male White Shrimp Spermatophore Problem Male Reproductive System Melanization (MRSM) is a condition that affects open thelyca shrimps: P. vannamei, P. stylirostris and P. setiferus (Chamberlain et al, 1983). MRSM is a condition that stars in the ampoules and progresses towards the vas deferens, melanizing spermatophores and sperm ducts, causing irreversible sterility and death. Pioneering research dealing with the cause of this condition revealed the presence of Vibrio (Brown et al., 1979) and Pseudomonas (Chamberlain et al., 1983), but infectivity was not accomplished. A particular condition happened to P. setiferus, then named by Talbot et al (1989) as Male Reproductive Tract Degenerative Syndrome (MRTDS). The MRTDS is a condition that generates a dramatic decrease in sperm count and increase in percentage of abnormal sperm from spermatophores. At day 35 from capture, spermatophores show no living sperm, but nomelanization of spermducts is observed. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 176 2.3 ProPO system and recognition proteins In shrimp, as in all crustaceans, a dark pigmented spot appears after an animal is injured. This is due to the action of phenoloxidase (PO), which promotes hydroxylation of phenols and oxidation of o-phenols to quinones, necessary for the melanization process observed in response to foreign intruder in the hemocoele and during wound healing. Quinones are subsequently transformed, by a nonenzymatic reaction, to melanin and often deposited around encapsulated objects, in hemocyte nodules and at sites of fungal infections in the cuticle. Although a direct antimicrobial activity has been described for melanin and its precursors, the production of reactive oxygen species such as superoxide anions and hydroxyl radicals during the generation of quinoids also has an important antimicrobial role. In addition, biological reactions such as phagocytosis, encapsulation and nodulation are also activated. PO is present in the hemolymph as an inactive pro-enzyme called proPO. The transformation from proPO to PO involves several reactions known as the proPO activating system. This system is specifically activated by bacterial cell walls. The proPO activating system is considered a constituent of the immune system and is probably responsible, at least in part, for the non-self recognition process of the defence mechanism in crustaceans and insects. III. MATERIALS AND METHODOLOGY 3.1 Experimental Time and Place The experiment take place at Multiplication Center 6, National Broodstock Center for Shrimp and Mollusk, which located at Karangasem, Bali from September to November. 3.2 Experimental Materials Instruments that needed for this experiment are instruments for supply clean seawater (sedimentation, stored, pump, etc), aeration system, electricity system, and fiber ponds with spesification Width x Length x Height: 80 cms x 80 cms x 100 cms. Tools that needed for this experiment are tools for fill clean seawater in ponds (water hose, filterbag, etc), sampling tools (bucket, washbasin, fishnet, etc), observation tools (thermometer, refractometer, DO-meter, pH meter, scales, ruler, etc), cleaning tools (brush, sponge, etc). Materials that needed for this experiment are white shrimps from Multiplication center of National Broodstock Center for Shrimp and Mollusk at the age of 6 month as much as 128 mature male L. vannamei with normal spermatophore, 12 mature male L. vannamei with melanized spermatophore, and 22 mature female L. vannamei. In addition, another materials are manufactured pellet diet, vitamin C powder, mangosteen extract, materials for water quality and bacteria experiment, water probiotic, seawater, and freshwater. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 177 3.3 Experimental Methodology Clean seawater that had sediment, flowed to ponds until 500 liters. The ponds then filled up with L. vannamei at the age 6 months. In sex ratio experiment, the spermatophore of male L. vannamei seemed white and clean. There are 4 ponds prepared with population 25 shrimps, respectively. Male of white shrimp was captive in sex ratio of 100%; 90%; 70% and 50%. Ratio of male and female are A1 pond is 25:0; A2 pond is 22:3; C pond is 18:7; and D pond is 13:12. In nutrition diet experiment, it fed with antioxidant addition contain mangosteen extract. Male in B1 and B2 ponds have white and clean spermatophore with population 25 shrimps, respectively. In B3 pond, melanized spermatophore have 12 shrimps. Shrimps in B1 and B3 pond fed with antioxidant addition contain mangosteen extract while in B3 pond fed with just an manufactured pellet diet. The amount of diet was 5% from shrimp biomass per pond for 5 times per day at 05.00 a.m, 09.00 a.m, 02.00 p.m, 07.00 p.m, and 12.00 p.m. Control of fed efectivity observed when there was pellet left when siphon the pond. Water quality management for L. vannamei growth at this experiment by water exchange as much as 30 – 40% per 2 – 3 days, probiotic addition at dose 0,02 ppm, and siphon when water exchange. 3.4 Terminal Ampoule Width Measurement The data analized was spermatophore melanization that measured Width x Length with ruler (accuracy 1 mm) once per 10 days. Spermatophore damage observed since first time damage until the damage of whole part of the spermatophore (normal shrimp) and since the whole damage until recovery (melanized shrimp) once per 10 days. Another data observed were about bacteria include total bacteria, yellow vibrio bacteria, and green vibrio bacteria. The experiment were done in 30 days of culture. After the culture was finished, the normal and melanized spermatophore were isolated then physic condition were measured ( weight and length) and bacteria lived (yellow vibrio and green vibrio). IV. RESULT AND DISCUSSION 4.1 Sex Ratio Experiment Result of this experiment showed in the first week, there is no melanized spermatophore in all of four ponds. Spermatophore in four ponds were still in normal condition. In the second week, melanization began to be seen in each four ponds. In A1 pond, melanization occured only caused some blackening spermatophore but it hasn’t viewed like a blot. In A2 pond, melanization happened quiet a lot at this 4 shrimps. In A3 pond, melanization happened only to 1 shrimp and there was a black mark in spermatophore. In A4 pond, melanization happened to 2 shrimps Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 178 The result of extensive melanized terminal ampoul test, showed fluctuative value. In A1 pond contain 100% male that should the most heavy melanization, but just happen by light. Likewise the A4 pond looks like melanization occur higher than A3 pond. However, it appears that the A2 pond reflects the highest value significantly compared to three other pond (Table 2 and Table 3). Table 2. Result of melanization test at day of 20 with sex ratio experiment No 1 2 3 4 Total Extensive melanized terminal ampoul (cm2) A1 A2 A3 0,01 0,01 0,01 0,00 0,02 0,00 0,00 0,01 0,00 0,00 0,01 0,00 0,01 0,05 0,01 A4 0,01 0,01 0,00 0,00 0,02 Note: A1 = Pond contain 25 male shrimps (100% male) A2 = Pond contain 22 male shrimps and 3 female shrimps (90% male) A3 = Pond contain 18 male shrimps and 7 female shrimps (70% male) A4 = Pond contain 13 male shrimps and 12 female shrimps (50% male) Table 3. Result of melanization test at day of 30 with sex rasio experiment No 1 2 3 4 5 Total Extensive melanized terminal ampoul (cm2) A1 A2 A3 0,00 0,02 0,01 0,00 0,02 0,00 0,00 0,01 0,00 0,00 0,01 0,00 0,00 0,01 0,00 0,00 0,07 0,01 A4 0,02 0,01 0,00 0,00 0,00 0,03 Note: A1 = Pond contain 25 male shrimps (100% male) A2 = Pond contain 22 male shrimps and 3 female shrimps (90% male) A3 = Pond contain 18 male shrimps and 7 female shrimps (70% male) A4 = Pond contain 13 male shrimps and 12 female shrimps (50% male) The entire result of extensive terminal ampoul test were summarized into melanized percentage in Table 4 and Figure 3. These results didn’t indicate the circumtances in accordance with the study of Parnes et al (2006) that shown as lack of mating receptive females increase the probability to melanized spermatophore. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 179 Table 5. Amount of melanized shrimps with antioxidant diet experiment Time of Sampling Day of 10 Day of 20 Day of 30 Amount of melanized shrimps (individual) B1 2,00 3,00 4,00 B2 1,00 1,00 5,00 The result of extensive melanized terminal ampoul test, showed in B3 pond, spermatophore recovery occured into 2 shrimps on day of 20. The spermatophore were initially some of black, back to normal of white. On day of 30, spermatophore recovery increased to 3 shrimps. This expected because the recovered shrimps were at the light melanization so it can be restored, while those remain heavy melanization were still melanized. In B1 pond (antioxidant diet) extensive melanized terminal ampoul seemed higher than B2 pond (regular diet). Antioxidant hadn’t given good effect to keep spermatophore health (Table 6, Table 7, and Table 8). Table 6. Result of melanization test on day of 10 with antioxidant diet experiment No 1 Extensive melanized terminal ampoul (cm2) B1 B2 0,01 0,01 B3 0,01 2 0,01 0,00 0,70 3 0,00 0,00 0,06 4 0,00 0,00 0,70 5 0,00 0,00 0,12 6 0,00 0,00 1,40 7 0,00 0,00 0,08 8 0,00 0,00 0,70 9 0,00 0,00 0,02 10 0,00 0,00 0,10 Total 0,02 0,01 3,89 Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 180 Table 7. Result of melanization test on day of 20 with antioxidant diet experiment No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Total Extensive melanized terminal ampoul (cm2) B1 B2 0,01 0,01 0,01 0,00 0,08 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,10 0,01 B3 0,06 0,15 0,70 0,02 0,70 0,70 0,12 0,01 0,00 0,00 2,46 Table 8. Result of melanization test on day of 30 with antioxidant diet experiment No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Total Extensive melanized terminal ampoul (cm2) B1 B2 0,01 0,02 0,02 0,02 0,12 0,01 0,06 0,07 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,21 0,12 B3 0,70 0,15 0,20 0,70 0,70 1,05 0,00 0,00 0,00 3,50 It can be seen the data on the antioxidant diet to spermatophore recovery was still fluctuative (Table 9, Figure 5, and Figure 6). Melanization percentage seemed higher in B2 pond instead of B1 pond. In B3 pond, fluctuative melanization percentage due to the mortality of light melanized shrimps so the percentage of melanized spermatophore was higher as before. Whole of the test result showed the value need to be reviewed for compliance with Leung-Trujillo and Lawrence (1988) whom reported decreses spermatophore quality has been associated with ascorbic acid deficiency. Although consumed antioxidant diet, melanization still happened in spermatophore of shrimps with antioxidant diet. The antioxidant had given wasn’t absorbed well to the shrimps. However, reduction of melanization in B3 pond showed there was any effect of antioxidant to reduce melanization. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 181 Table 9. Percentage of melanization with antioxidant diet experiment Percentage of melanized shrimps (%) B1 B2 Time of sampling Day of 10 0,06 0,05 Day of 20 0,40 0,06 Day of 30 1,68 0,71 B3 25,26 15,97 27,78 Note: B1 = Pond contain 25 male normal shrimps fed with pellet+antioxidantt diet B2 = Pond contain 25 male normal shrimps fed with pellet diet B3 = Pond contain 12 male melanized shrimps fed with antioxidant diet Result of isolated spermatophore test indicated the physical state of the weight and length were not significantly different. Result of bacteria test from spermatophore showed value below 1x101 colony, so that bacteria didn’t affect the occurance of melanization. This result was contrast with research of Alfaro et al (1993) which reported that bacterial infection is associated with the melanised spermatophore condition. However, Diamond (2008) have reported that that the spermatophore damage can not be associated with the presence of bacteria in the reproductive tract. Table 10. The isolated sperrmatophore from male shrimp of sex ratio and antioxidant diet experiment Sex Ratio Antioxidant Diet No Parameter test Normal Melanized Normal Melanized spermatophore spermatophore spermatophore spermatophore 1 Physic condition a. Weight 0,047 g 0,047 g 0,085 0,089 b. Length 3,20 cms 3,20 cms 3,40 cms 3,20 cms 2 Bacteria test a. Yellow vibrio <1x101 colony <1x101 colony <1x101 colony <1x101 colony b. Green vibrio <1x101 colony <1x101 colony <1x101 colony <1x101 colony V. CONCLUTION AND SUGGESTION 5.1 Conclution Based on result of this study, it can be conclude that as many as female shrimp added to shrimp culture and addition of antioxidant nutrition diets, then it wasn’t always reduce the probability to spermatophore melanization on white shrimp L vannamei. The amount of melanization shrimps and melanization percentage was still fluctuative. 5.2 Suggestion Female inoculation and addition mangosteen extract test correlation with melaniazation of male broodstock L. vannamei in large scale culture would be needed. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 182 STRATEGI USAHA TAMBAK RAKYAT DENGAN MENERAPKAN MANAJEMEN BUDIDAYA BERBASIS TEKNOLOGI oleh Supito, dan Darmawan Adiwijaya Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara Abstrak Permasalahan tambak tradisional adalah serangan penyakit yang disebabkan oleh penerapan teknologi dan bioskurity yang tidak tepat. Dampak lain dapat menularkan penyakit virus pada kawasan tambak yang lebih luas. Manajemen pengelolaan tambak rakyat dengan mengoptimalkan ketersediaan sarana dan permodalan sehingga mampu meningkatkan produktivitas. Kajian dilakukan pada tambak rakyat dangan intensifikasi teknologi sehingga mampu menciptakan kualitas air media pemeliharaan dengan permodalan yang sesuai. Desain dan kontruksi tambak dengan luasan 500 m2-2000m2 dapat dibangun pada lahan tambak tradisional, sehinga sisa luasan dapat digunakan sebagai biofilter. Penggunaan sarana aerasi untuk menjaga kualitas air yang optimal. Manajemen air dengan sistem resirkulasi dengan pemanfaatan ikan herbivore. Dari hasil kajian dihasilkan produksi 500 kg-800 kg per petak atau 8-10 ton/Ha/MT. dengan umur pemeliharaan 3 bulan dengan ukuran panen size 60-70 kg/ekor. Biaya produksi sekitar Rp 35.000-37.000,- /kg/mt diperlukan biaya operasional sebesar 18,5 juta hingga 29,6 juta. Dengan harga jual Rp. 60.000-65.000/kg maka keuntungan adalah Rp. 28.000/kg. Permodalan yang dibutuhkan sebanding dengan permodalan tambak sederhana seluas 1 Ha, tapi dengan resiko kegagalan yang lebih tinggi. Kata kunci: usaha tambak skala rakyat BUSINESS STRATEGY SHRIMP SMALL SKILL FARMER BY APPLYING MANAGEMENT CONDUCTING BASE ON TECHNOLOGY. Supito* and Darmawan* Main Center for Brackhiswater Aquaculture Develompmet Jepara Central Java Abstract Problems of traditional shrimp farms is infection of disease that was caused by the application of technology and biosecurity improper. Other impacts can transmit viral diseases in more area. Management of traditional farming with optimizing the availability of facilities and capital investment so as to increase the productivity. The study was conducted on traditional farming with intensification technology so as to improv water quality maintenance with the appropriate investment. Design and construction of pond with an area of 500 m2-2000m2 can be built in a traditional farm land, so that the another pond can be used as a biofilter area. The use of aeration to maintain optimal water quality. Water management used of a recirculation system with macroalgae and herbivore fish. The results of such studies the showing that shrimp production of 500-800 kg/plot or 8-10 tonnes/ha/MT the age of 3 months of crop size 60-70 individual/kg. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 183 Production cost of about IDR 35.000 – 37.000, -/kg/mt required operating costs of 18.529.6 million per pond. Shrimp price of IDR 60.000-65.000/kg so the profit is IDR. 28.000/kg. The investment small skill farmer conducting base on technology, required in proportion to the investment traditional pond area of 1 ha, but with a higher risk of failure. Keywords: Traditional farming I. Pendahuluan 1.1. Latar belakang Komoditas perikanan khususnya udang penaeid mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan. Kebutuhan pasar ekspor komoditas udang penaeid masih belum terpenuhi, bahkan cenderung meningkat volumenya. Harga pasar udang baik serta margin keuntungan yang tinggi, menyebabkan prospek usaha budidaya udang masih menjadikan kegiatan usaha yang menguntungkan. oleh karena diperlukan startegi pengembangan tambak idle atau tambak rakyat dengan menajemen budidaya dan inovasi teknologi budidaya yang sesuai dengan karakteristik lahan dan ketersediaan sarana dan prasarana untuk meningkatkan produksi dan produktivitas. Hal ini mengingat potensi luas lahan tambak yang sangat luas untk dapat dikembangkan. Menurut data stastitik periknan budidaya (2014) luas potensi lahan tambak adalah 2.964.331 Ha dan existing tambak adalah 657.346 Ha yang terdiri sekitar 16.680 Ha tambak intensif; 38.920 ha adalah tambak semi intensif dan sisanya sederhana sebesar 601.746 Ha masih dikelola secara tradisional. Strategi pengembangan tambak tradisional dengan inovasi teknologi budidaya udang yang tepat, mempunyai potensi yang besar untuk meningkatan produksi, pendapatan pembudidaya dan dapat menciptakan peluang tenaga kerja. Dari hasil studi lapangan, permasalahan utama pada kawasan tambak tradisional, adalah penerapan teknologi budidaya yang kurang tepat yang karena tidak seimbang ketersediaan sarana dan prasarana yang ada dengan luas lahan budidaya. Kondisi ini menyebabkan penerapan teknik budidaya udang yang baik (CBIB) tidak dapat diterapkan secara optimal. Teknik budidaya secara tradisional tidak mampu menyediakan sarana budidaya yang standar, dan mengelola kualitas lingkungan yang optimal untuk pemeliharaan udang. Pengelolaan air pada petak pembesaran udang tidak mampu dilakukan secara maksimum untuk menciptakan lingkungan dengan parameter kualitas air yang baik dan stabil sesuai persayaratan kualitas air untuk udang selama pemeliharaan. Sebagai dampaknya adalah parameter kualitas air menjadi rendah yang pada akhirnya udang terserang penyakit dan gagal panen. Penerapan biosekurity untuk pengendalian penyakit tidak dapat dilakukan secara maksimum sehingga menyebabkan potensi yang besar akan terserang penyakit virus. Infeksi penyakit virus pada salah satu petak tambak tradisional yang tidak segera dilakukan pengendalian, akan berpotensi besar dapat menyebar pada kawasan yang lebih luas. Penyakit virus pada udang apabila tidak dilakukan pengendalian dengan baik akan mudah menular. Pathogen virus akan menular melalui melalui media air yang dibuang pada saluran-saluran. Krustacea dan udang yang hidup pada saluran tersebut akan tertular penyakit virus dan bisa sebagai carier penyakit. Sebagai akibatnya seluruh kawasan tambak tersebut akan terinfeksi panyakit virus. Oleh karena itu perlu Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 184 manajemen pengelolaan kawasan tambak sederhana/tradisional agar dapat berproduksi dengan baik dan tidak menjadikan tambak rakyat tersebut sebagai penyebab permasalah timbulnya penyakit. Oleh karena diperlukan inovasi teknologi budidaya udang pada kawasan tambak tradisional dan strategi manajemen budidaya yang efisien dan efektif melalui intensifikasi teknologi dengan penerapan Cara budidaya Ikan/Udang yang Baik dengan manajeman klaster. Dengan inovasi teknologi tersebut akan mampu menciptakan lingkungan budidaya yang baik sesuai kebutuhan hidup udang sehingga akan dapat mengendalikan penularan penyakit pada kawasan tambak rakyat. Dengan inovasi teknologi dapat mengendalikan penyebaran penyakit pada kawasan tambak sederhana. Secara manajeman usaha inovasi teknologi tersebut mampu meningkatkan peluang keberhasilan dan keuntungan yang optimum. 1.2. Maksud dan tujuan Tujuan dari perekayasaan manejemen usaha budidaya skala rakyat, untuk menghasilkan inovasi teknologi pada tambak tradisional melalui manajemen budidaya yang sesuai dengan kemampuan pembudidaya tradisional. Dapat memberikan strategi manajemen budidaya udang pada kawasan tambak rakyat untuk meningkatkan peluang keberhasilan dan peningkatan produksi dan produktivitas. II. Metoda 2.1. Alat dan bahan 2.1.1 Alat Peralatan yang digunakan adalah merupakan inovasi peralatan yang ada pada tambak tradisonal. Alat yang digunakan adalah petak tambak, pompa air, sarana aerasi berupa kincir air (pudhal weel), kincir berangkai dan peralatan panen. Penggunaan dan inovasi peralatan disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik lahan tambak, sehingga dapat dengan mudah digunakan dengan efektif dan efisien. 2.1.2. Bahan Bahan yang digunakan adalah sarana budidaya meliputi, benih udang vaname, pakan udang, probiotik, feed additive, pupuk dan bahan lainnya yang direkomendasikan. 2.1.3. Waktu dan tempat. Kajian ini dilakukan di tambak rakyat pada tambak kawasan tradisional di Pekalongan, Tambak di Pantai Selatan jogjakarta dan kawasan tambak di Pati Jawa Tengah. Kajian telah dilakukan mulai tahun 2014 dan kawasan tambak di Tangerang. 2.2. Metoda 2.2.1. Pemilihan lokasi Tambak kajian adalah tambak sederhana atau tambak tradisonal. Lokasi tambak terletak pada daerah estuarin atau kawasan yang masih terkena pengaruh pasang surut air laut sehingga letak tambak ada yang dekat dengan garis pantai dan ada pula yang jauh dari pantai, namun masih mendapatkan sumber air yang cukup untuk proses budidaya udang. Lokasi tambak juga terhindar dari banjir dan terdapat akses tranportasi yang cukup untuk pengangkutan alat dan bahan operasional serta hasil panen dengan mudah (Anonimous, 2014). 2.2.2. Tata letak desain dan konstruksi tambak Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 185 Desain dan tata letak tambak pembesaran udang vaname, dengan mengoptimalkan kondisi tambak tradisional yang telah ada. Hal ini dilakukan untuk menekan seifisien mungkin biaya konstruksi tambak. Desain dan tata letak tambak diatur sehingga petak pembesaran udang dapat dikelilingi oleh pematang yang kuat dan kedap atau saluran atau petak tambak yang dikelola sebagai barrier atau pagar biosekurity. Desain petak tambak dalam satu unit budidaya udang terdiri dari petak pebesaran dan petak tandon atau resevoar. Perbadingan petak pembesaran terutama pada lokasi yang jauh dari pantai maksimum 50% dari petak resevoar. Dengan desain tersebut pengelolaan air untuk pemeliharaan udang dapat dilakukan dengan resirkulasi. Konstruksi tambak udang dapat dibangun dengan luasan 500 m2 hingga 2000 m2 dengan bentuk petakan persegi panjang yang disesuaikan dengan desaian tataletak dan kontruksi tambak yang ada. Kontruksi pematang dibuat kedap dan mampu diisi air untuk proses budidaya dengan ketinggian minimal 80 cm. Sistem pembuangan air dapat dibuat pembuangan terpusat (cenral drain) agar kotoran dapat terbuang secara grafitasi ke petak pembuang limbah atau resevoar. Penggunaan Ukuran petak tambak yang kecil pada kajian ini secara teknis lebih mudah untuk mengelola air. Secara manajeman usaha budidaya udang, investasi dan biaya operasional yang digunakan juga kecil sehingga pembudiaya tradisional mempunyai kemampuan pembiayaan. Sebelum rekonstruksi Setelah rekonstruksi P T U U A P Gambar 1. Rekonstruksi tambak kajian pada kawasan tambak rakyat dengan luasan 1500-200 m2. Konstruksi petak tambak dapat terbuat dari tanah, pasir, lining (lapisan) baik menggunakan plastik maupun menggunakan pasangan batu bata. Prinsip dasar kontruksi tambak harus kedap dengan tingkat rembesan maksimum 10% tiap minggu agar efektif dalam pengelolaan air dan tidak dasar tambak tidak mudah teraduk karena penggunaan kincir atau aerasi. Pemasangan pagar biosekuriti atau fencing dilakukan pada pematang utama yang mengelilingi kawasan tambak untuk mencegah masuknya hama maupun carier penyakit masuk dalam unit pembesaran. Pagar biosekuriti dapat digunakan plastik, waring kasa dengan cara pemasangan tegak dan ketinggian minimal 30 cm. Plastik masuk ke dalam pematang sekitar 10 cm. 2.2.3. Persiapan tambak Kegiatan persiapan tambak adalah perbaikan dasar tambakn pada seluruh unit budidaya baik petak pembesaran, petak tandon/biofilter, dan saluran buang. Pengeringan dasar tambak untuk memperbaiki atau mempercepat penguraian bahan Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 186 organik dasar, terutama untuk dasar tambak dari tanah. Pembersihan kotoran organik dasar tambak berupa sisa pakan dan kotoran udang dari siklus sebelumnya. Dasar tambak yang dilapisi (lining) plastik dilakukan perbaikan pada plastik yang sobek atau lobang. Pemberatasan hama baik ikan liar atau udang liar dengan menggunakan saponin dan chlorin. 2.2.4. Persiapan air a. Sterlisasi air media Pengisian air pada pada seluruh petak dalam unit budidaya (petak tandon/biofilter dan pembesaran). Pengisian air dapat dilakukan dilakukan pada saat air pasang, pemasukan air memanfaatkan gravitasi pasang surut atau dengan pompa hingga ketinggian air pada petak penbesaran udang sekitar 80 cm. Untuk mencegah hama ikan liar dan udang liar pada pengisian air dilakukan penyaringan dengan menggunakan waring kasa mesh size 1 mm. Perlakuan sterilisasi air dengan menggunakan disinfektan dosis 30 ppm (bahan aktif chlorin 60 - 65%) atau dosis 15-20 ppm (bahan aktif chlorin 90%) yang disebar secara merata pada seluruh kolom air pada petak pembesaran udang. Untuk mempercepat pengadukan dapat dihidupkan kincir kurang lebih 2 jam. Air tambak selanjutnya didiamklan selama sekitar 1 - 2 hari untuk agar bahan aktif clorin dapat mensterilkan air tambak. Setelah 2 hari air didiamkan, dilakukan pengadukan menggunakan kincir untuk mempercepat proses penetralan bahan aktif chlorin b. Penumbuhan Plankton/Flok Penumbuhan plankton dapat dilakukan dengan aplikasi pupuk organik berupa pupuk fermentasi. Cara pembuatan pupuk fermentasi untuk merangsang pertumbuhan plankton dengan menggunakan wadah/reactor fermentasi berupa drum (200 - 300 lt). Bahan bahan berupa molasi sekitar 15 kg; katul yang halus 50 kg; pakan udang powder (D-0) 10 kg atau pupuk ZA 100 g sebagai sumber nitrogen dan ragi roti atau mauripan 3 kg dimasukan dalam reaktor dan diaduk merata. Selanjutya bahan di tutup rapat dengan plastik. Aplikasi pupuk fermentasi ini dapat digunakan setelah 24-36 jam. Adapun teknik Penumbuhan plankton sebagai penyeimbang kualitas air (water stability) dilakukan pada awal pemeliharaan. Kegiatan penumbuhan plankton dilakukan paling cepat 5 hari setelah perlakukan sterilisasi air tambak. Aplikasi kapur carbonat (CaCO3)/kaptan 15‐20 ppm dengan dosis untuk meningkatkan alkalinitas hingga mencapai minimal 90 ppm. Penambahan pupuk Nitrogen dosis 5 ppm dan phospat dengan dosis 1 ppm. Pupuk phospat sebelum ditebar dicairkan terlebih dahulu agar mudah larut dalam air tambak. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 187 2.3. Pemilihan dan penebaran benih Pemelihan benih udang yang baik merupakan salah satu kunci sukses keberhasilan pemeliharaan. Benih berasal dari unit pembenihan yang bersertifikat dan sisertai surat keterangan sehat. Benih vaname tidak terdeteksi virus WSSV, TSV, IMNV; IHHNV. Dilengkapi laporan hasil uji dari laboratorium. Secara visual ukuran seragam (>95%) panjang minimal 0,8 cm (PL 10). Informasi salinitas air tambak perlu disampaikan pada unit pembenihan agar dapat dilakuan aklimasi benih terhadap salinitas. Sebelum di tebar, dilakukan adaptasi suhu dengan cara mengapungkan kantong dalam air atau menambah air sedikit demi sedikit dalam kantong tempat benur. Sambil adaptasi suhu dilakukan penghitungan jumlah benih dalam kantung untuk memastikan jumlah benih yang akan di tebar. Sebelum ditebar benih dapat di tambah pakan artemia. Penebaran benih udang pada usaha skala rakyat adalah 50 - 150 ekor/m2 dengan tergantung ketersediaan sarana dan prasarana. 2.4. Pengelolaan air 2.4.1. sistem pengelolaan air Sistem pengelolaan air pada tambak skala rakyat ini dapat menggunakan sistem semi resirkulasi maupun resirkulasi. Untuk tambak yang dekat dengan sumber air yang cukup dan kedap air dapat menggunakan air dengan sistem buang atau sekali pakai. Untuk lokasi tambak yang berada pada kawasan tambak yang sumber air terbatas dengan sistem resirkulasi atau semi resirkulasi dengan mengolah dan memafaatkan kembali air buangan petak pembesaran. Oleh karena itu desain tambak dengan merekontruki tambak tradisional menjadi petak-petak udang dengan luasan hingga 2000 m2 dan sisanya sebagai petak resivoar atau petak tandon (Gambar 1). Untuk pengendalian penularan penyakit baik jenis viral atau bakterial, setiap penggunaan air baru dilakukan sterilsasai meggunakan klorin yang bahan aktif 65 % dosis 30 ppm dan bahan aktif 90% dengan dosis 15-20 ppm. Setelah klorin netral (setelah 36 jam) aiar tersebut digunakan untuk menambah atau mengganti ar petak udang. Air buangan dari petak udang dapat digunakan kembali setelah dilakukan perbaikan dengan penurunan bahan organik menggunakan biofilter berupa tanaman air atau makroalga (lumut dan ganggang) dan ikan herbivora berupa ikan bandeng dan atau nila dengan kepadatan 0,1-0,2 ekor/m2 (1000-2000 ekor/ha). Dengan sistem resirkulasi ini biasanya penambahan air dilakukan 2 kali seminggu. Untuk menjamin pengelolaan lingkungan yang baik dan stabil diperlukan inovasi penggunaan aerasi untuk dapat menciptakan kualitas air yang stabil terutama kandungan oksigen terlarut. Beberapa invovasi aerasi yang telah digunakan pada usaha tambak skala rakyat adalah modifikasi peralatan aerasi (gambar 2). Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 188 Gambar 2. Modifikasi aerasi kincir ganda Penggunaan kincir/aerasi dengan penempatan diatur sesuai dengan bentuk petak tambak sehingga seluruh kolom air dapat mengalir/gerakan dengan kecepatan maksimal 0,8 m/menit.. Pengaturan arah arus air dengan kincir juga dapat mengompulkan/mengalokasi kan kotoran dalam petak tambak untuk dapat dibuang keluar petak dan dapat menggerakan seluruh kolom air dalam petak sehingga terjadi sirkulasi dan kualitas air merata. Jumlah kincir pada kajian ini adalah untuk luas 1000 m2 adalah 2 buah baik kicir tunggal maupun kincir berangkai. Untuk efisiensi oporasional kincir disesuaikan dengan kondisi kualitas air terutama oksigen terlarut. Pada kondisi darurat terutama malam hari oksigen bila kalarutan oksigen kurang 3 ppm dapat diaplikasikan peroksida dengan dosis 1 - 2 ppm setiap jam hingga kelarutan oksigen menjadi normal kembali atau lebih dari 3 ppm. Gambar 3. Penempatan kincir pada tambak dengan luas 1000 m2. 2.4.2. Pengendalian pertumbuhan plankton Teknik pengelolaan kestabilan plankton selama pemeliharaan adalah dengan Pemupukan susulan secara rutin dengan pupuk nitrogen setiap 4 - 7 hari dengan dosis 2 ppm hingga air berwarna hijau kecoklatan. Pemupukan posfat dihentikan pada saat pakan sudah mencapai sekitar 1.500 kg/ha (tambak lining) karena pakan buatan tersebut dapat meningkatkan kandungan posfat (PO4) lebih dari 0,25 ppm (supito et.al 2014). Pemberian pupuk dihentikan setelah air berwarna hijau kecoklatan dengan kecerahan 40. Pengukuran kecerahan harian sekitar jam 09.00 pagi. Nilai kecerahan yang optimum adalah 30 - 40 cm. Aplikasi bakteri probiotik untuk mempercepat penguraian kotoran udang dan sisa pakan (bahan organik) agar tidak terbentuk senyawa toksit berupa amonia, nitrit menjadi senyawa nitrat dan amonium. Amonium dan nitrat yang terbentuk dapat Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 189 berfungsi sebagai nitrien untuk kesetabilan pertumbuhan plankton flok bakteri. Perlakukan untuk penumbuhan probiotik mulai dilakukan 7 hari, setelah sterilisasi, selanjutnya secara rutin dilakukan tiap seminggu 1 - 2 kali dengan dosis 100 g/ha tambak untuk probiotik dalam bentuk tepung (powder). Cara aplikasi probiotik dengan menebar secara langsung bakteri ke tambak. Sebelum ditebar dilakukan aktivasi bakteri agar bakteri dapat berkembang biak sesuai dangan kondisi air media tambak udang. perlakukan aktivasi bakteri dilakukan pada wadah aktivasi berupa ember kapasitas 20 liter. Air tambak yang akan di tebari probiotik di masukan dalam ember dan di tambahkan sumber karbon (molase) sekitar 250 ml dan diaduk merata. Nilai pH diukur dan bila kurang dari 6 tambahkan kapur sekitar 50 - 100 g agar pH naik menjadi 7, agar bakteri probiotik berkembang sesuai dengan pH air tambak. sebagai sumber nitrogen dilakukabn penambahan pupuk Urea/ZA dosis 100 g dan aduk merata. Selanjutnya dimasukan probiotik sekitar 100 g atau 100 ml dan aduk secara merata. Biarkan spora bakteri berkembang selama 0,5 - 1 jam dan kemudian ditebar pada tambak. Untuk mempertahankan pertumbuhan bakteri probiotik (bioflok) dilakukan dengan aplikasi bakteri secara rutin 2 kali seminggu. Untuk mengendalikan dominasi palnkton atau flok bakteri dapat dilakukan melalui pengukuran pH harian. Nilai pH iar yang ideal adalah antara 7,3 - 8,0, kisaran fluktuasi pH 0,2 - 0,5 yang menujukkan bahwa kesimbangan plankton dan bakteri dalam air seimbang. Apabila pH kurang dari 7,5 dilakukan penambahan kapur dengan dosis 2 - 5 ppm hingga nilai pH mencapai 7,5. Sebaliknya apabila pH air lebih dari 8 lakukan penambahan molase (sumber karbon) dengan dosis 1 - 2 ppm hingga nilai pH turun mencapai 8 (Supito dan Darmawan, 2007) Pengukuran kualitas air secara harian dilakukan terhadap parameter suhu antara 280 320C; pH antara 7,3 - 8,0 dengan kisaran harian 0,2 - 0,5; oksigen terlarut minimal 3 ppm; kecerahan minimal 40 cm; warna air hijau kecoklatan. Pengukuran kualitas air secara mingguan adalah Alkalinitas 90 - 200 ppm; Total bahan organik maksimum 250 ppm dan Kelimpahan dan jenis plankton dominasi chloropiceae (Tendencia et.al, 2004) dan diatom minimal 80% dan Total bakteri maksimum 105 dengan total vibrio maksimum 10%. Pengamatan kondisi lumpur dasar tambak dibagian central drain. Lakukan penyiponan bila sudah terjadi penumpukan lumpur dasar tambak mulai umur pemeliharaan 45 hari, penyiponan berikutnya dilakukan tiap 10 - 15 hari tergantung ketebalan lumpur. 2.5. Pengelolaan pakan Pakan buatan (pellet) mulai diberikan dari penebaran benih dengan dosis disesuaikan dengan laju konsumsi pakan. Laju konsumsi pakan sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan media air. Pinsip pemberian pakan adalah bagaimana memberikan jumlah pakan yang tepat sesuai dengan laju konsumsi udang. jumlah pakan di tambah bila laju konsumsi pakan tinggi dan sebaliknya jumlah pakan dikurangi bila laju konsumsi pakan menurun. Hal ini untuk untuk udang untuk menghindari sisa pakan pada tambakyang dapat menyebabkan kualitas lingkungan menurun. Jumlah dan ukuran pakan udang dapat digunakan standar SNI pakan udang vaname intensif dan lama waktu kontrol anco untuk mengetahui laju konsumsi pakan seperti pada Tabel 1 (Anonim, 2014). Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 190 Untuk mengetahui pertumbuhan mutlak udang dilakukan samping pertumbuhan dengan menggunakan jala tebar. Sampel udang diambil sekitar 50-100 ekor per petak untuk diukur berat/bobot rata-rata. Bila sampel udang mengalami stres karena pengukuran penimbangan, sebaiknya tidak perlu dikembalikan dalam petak pembesaran. Sampling pertumbuhan dailakukan 7-10 hari sekali. Tabel 1. Dosis pemberian pakan udang vaname Waktu Umur Berat Dosis Frekuensi kontrol di udang udang Bentuk pakan pakan pakan anco (hari) (g/ekor) (%) (kali/hari) (jam) 1 - 15 0,05 - 1,0 Tepung ( 75 - 25 2 Powder 16 - 30 1,1 - 2,5 Remah(crumble 25 - 15 2-3 ) 31 - 45 2,6 - 5,0 Remah(crumble 15 - 10 4 2,0 - 3,0 ) 45 - 60 5,1 - 8,0 Pelet 10 - 7 4 2,0 - 2,5 61 - 75 8,1 - 11,0 pelet 7-5 4 1,5 - 2,0 76 - 90 11,1 - 14,5 pelet 5-3 4 1,5 - 2,0 91 - 105 14,6 - 18,0 pelet 5-3 4-6 1,0 - 1,5 106 18,1 - 22,0 pelet 3-2 4-6 1,0 - 1,5 120 2.6. Panen Panen udang pada usaha skala rakyat ini dilakukan apabila udang sudah mencapai ukuran konsumsi dengan margin harga yang tinggi. Panen biasanya dilakukan kalau udang sudah mencapai ukuran 70 ekor/kg dengan masa pemeliharaan 70-90 hari. Ada 2 sistem panen yaitu panen parsial dan sistem panen total. Panen parsial dilakukan untuk mengurangi kepadatan atau biomas udang bila sudah mencapai 1 kg/m2 atau 10 ton/Ha. Jumlah udang yang di panen parsial adalah 25-30% dari estimasi total biomas udang dalam tambak. Sebelum dilakukan panen dilakukan kontrol kondisi udang. Panen dihindari bila banyak udang yang i moulting/ganti kulit. Untuk mencegah udang ganti kulit saat panen lakukan pengapuran untuk peningkatan pH air hingga 9 menjelang panen. Cara lain dengan tidak melakukan pergantian air 2 hari sebelum panen. Panen sebaiknya dilakukan dengan proses yang cepat untuk menhindari kerusakan udang. III. Hasil dan Pembahasan 3.1 Hasil Produktivitas tambak Hasil produksi tambak kajian di pekalongan yang dilakukan selama 3 siklus pemeliharaan dengan luas total 1 H yang terdiri dari petak pemeliharan 2 petak ukuran 1800 m2 dan 2000 m2; petak resevoar dan biofilter seluas 6,2 Ha dapat dilihat pada Tabel 2. Produksi tambak dengan luas 500 m2 di daerah pati dan luas 1000 m2 do daerah pantai selatan jogjakarta dapat dilihat pada Tabel 3 Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 191 Tabel 2. Hasil kajian di tambak pekalongan Keterangan Siklus I Siklus II Siklus III Musim tanam Feb- Juni Juli-Nopember Maret-Agustus 300.000 Jlh Tebar (ekor) 250.000 275.000 Umur panen 93 (hari) 92 97 Ukuran panen 15 (g) 14,5 16,6 67 Size (ekor/kg) 68 64 SR (%) 88 98 3.250 4.200 90 4.050 Jlh Panen (kg) Biaya produksi (Rp) Pendapatan (Rp) Keuntungan (Rp) 150.000.000 90.000.000 120.000.000 263.250.000 146.250.000 193.200.000 56.250.000 73.200.000 113.250.000 Tabel 3. Produksi udang pada tambak 500 m2 dan 1000m2 Uraian tambak 1000 m2 tambak 500 m2 Jlh Tebar (ekor) 100.000 50.000 Umur panen (hari) 80 75 Ukuran panen (g) 14 12 Size (ekor/kg) 71,4 83 SR (%) 85 95 Jlh Panen (kg) 1.190 546 Biaya produksi (Rp) 42.962.400 20.355.320 Pendapatan (Rp) 77.350.000 32.760.000 Keuntungan (Rp) 34.387.600 12.404.680 3.2 Pembahasan 3.2.1. manajemen teknis budidaya Berdasarkan hasil kajian usaha budidaya udang skala rakyat dengan mengatur luas petakan yang lebih kecil menunjukkan peluang keberhasilan yang cukup baik. Hal ini dibandingkan dengan cara budidaya tradisional yang masih sangat tergantung pada kondisi alam. Pada kenyataanya di lapangan menujukkan bahwa permasalahan utama pada tambak tradisional adalah adalah pertumbuhan lambat dan gagal panen udang karena serangan penyakit virus. Infeksi penyakit virus tambak tradisional dan tidak dilakukan tindakan sterilisasi diduga sebagai penyebab menyebarkan pathogen Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 192 penyakit virus tersebut pada kawasan. Kondisi ini dapat menginfeksi penyakit pada kegiatan usaha budidaya udang pada kawasan tersebut. Pengendalian lingkungan pada kisaran parameter yang sesuai dengan kebutuhan hidup udang menjadi salah satu kunci keberhasilan budidaya udang. Oleh karena itu ketersediaan permodalan usaha, sarana dan demensi luas dan konstruski petak tambak akan menentukan kemudahan dalam pengelolaan lingkungan budidaya. Ada beberapa kelebihan dengan model usaha budidaya udang skala rakyat yang bisa membuat peluang keberhasilan lebih tinggi. Desain petak tambak yang lebih kecil dengan luasan 500-2000 m2, akan memudahkan dalam pengelolaan air. Dengan petak tambak yang ukuran tersebut memudahkan untuk melakukan sirkulasi air dalam petak tambak dengan optimal. Seluruh kolom air dalam petak tambak dapat bergerak sehingga dapat menyebabkan kualitas air terutama oksigen terlarut merata pada seluruh bagian petak tambak. Air yang bergerak dengan kecepatan minimal 8 m/menit dan dapat membuat kotoran dan sisa pakan melayang dalam kolom air. Kandungan oksigen terlarut pada kolom air yang tinggi maka kotoran tersebut akan mudah diuraikan oleh bakteri probiotik untuk membentuk nutrien untuk plankton maupun flok-flok bakteri. Pendekatan penggunaan teknologi budidaya udang diarahkan pada penerapan biosekurity secara maksimum mulai dari penggunaan benih dan sarana lainnya untuk mencegah penularan penyakit. Yang kedua diarahkan pada pengelolaan lingkungan budidaya udang atau kualitas air agar stabil pada kisaran paremater sesuai dengan kebutuhan biologis udang. Untuk mempertahankan lingkungan budidaya yang baik maka saat ini telah berkembang pengelolaan air sistim heterotrof atau biofloks serta sistem semi heteotrof yang memanfaatkan bioflok dan plankton untuk memperbaiki kualitas air. Prinsip dasar pengelolaan sistem heterotrof maupun semi heterotrof adalah untuk mencegah pembusukan kotoran udang, sisa pakan dan bahan kotoran lainnya dalam tambak. Bakteri probiotik yang diaplikasikan akan merombak bahan organik menjadi unsur hara untuk plankton dengan mencegah terbentuknya senyawa beracun seperti Amonia, Nitrit dan Asam belerang. Agar proses kerja probiotik maksimum perlu media air yang seimbang C/N ratio >20 dan kandungan oksigen terlarut yang tinggi >3 ppm (Supito et.al 2014). Pengelolaan air dapat dilakukan dengan sistem resirkulasi dengan teknologi semi flok sistem dengan mengendalikan keseimbangan plankton dan bakteri. Bakteri sebagai pengurai sisa pakan dan kotoran udang menjadi unsur hara yang akan diserap oleh makroalga. Pemanfaatan ikan herbivora untuk mengendalikan pertumbuhan alga/makrolga. Hasil kajian menunjukkan ikan nila dapat mengendalikan bakteri vibrio sp (Tendencia at.al., 2004). Dengan sistem pengelolaan air tersebut dapat meningkatkan nilai tambak produksi ikan, dan mencegah penggunaan air baru sehingga akan dapat menekan biaya perbaikan kualitas air (sterilisi air baru). Budidaya udang tradisional yang hanya mengandalkan peningkatan oksigen terlarut dari hasil fotosintesa plankton pada siang hari dan difusi dari udara tidak dapat mencukupi kebutuhan oksigen untuk udang dengan standar minimal 3 ppm. Hasil pengamatan pada tambak tradisional (Gambar 4) menunjukkan bahwa kecenderungan oksigen terlarut akan menurun hingga kurang dari 1 ppm pada malam hari setelah pemeliharaan sekitar 1 bulan. Kondisi ini sesuai yang dilaporkan beberapa pembudidaya tradisional bahwa banyak terjadi kematian udang setelah pemeliharaan 1 bulan. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 193 . Gambar 1. Grafik kelarutan oksigen pada tambak tradisional/sederhana Oleh karena itu perlu dilakukan penerapan teknologi yang tepat pada tambaktambak tradisional terutama untuk mengatasi permasalah oksigen terlarut. Inovasi teknologi peralatan aerasi (Gambar 2) dapat dilakukan dengan memanfaatan peralatan yang sederhana. Permasalahan utama adalah pengendalian oksigen terlarut utuk menjamin ketahanan udang baik terhadap infeksi atau serang penyakit serta lalu pertumbuhan yang tinggi. Oksigen terlarut minimal adalah 3 ppm. Untuk dapat mempertahankan kelarutan oksigen terlarut minimal 3 ppm harus disiapkan aerasi. Oleh karena itu untuk memberikan peluang keberhasilan yang tinggi teknologi budidaya udang dengan menejemen klaster adalah semi intensif. Dengan teknologi semi intensif kebutuhan oksigen terlarut pada malam hari dapat dipertahankan minimal 4 ppm dengan kincir baik kincir tunggal, kincir barangkai bahkan pompa yang digunakan untuk menyemprotkan air tambak pada malam hari. Dengan inovasi tersebut, kegaitan budidaya udang skala rakyat ini dapat diterapkan pada kawasan-kawasan tambak yang tidak terjangkau aliran listrik. 3.2.2. Manajemen usaha budidaya udang skala rakyat Manajeman usaha budidaya udang skala rakyat dengan luas petak pembesaran yang lebih kecil memerlukan biaya oprasional yang terjangkau. Modal biaya operasional dengan luas tambak kajian dengan 500m2 sekitar Rp 20 juta dan luas tambak 1000 m2 sekitar Rp.40 juta. Sehingga dengan permodalan tersebut masih dapat dilakukan oleh pembudaya tradisional. Beberapa pembudidaya tradisonal melaporkan bahwa biaya oprasional teknologi tradisional mencapai sekitar 25 jt per ha. Namun demikan peluang keberhasilan budidaya skala rakyat ini lebih tinggi. Usaha budidaya dapat dilakukan secara bertahap mulai dari 1 petak dan dapat ditambah jumlah petaknnya sesuai dengan ketersediaan sarana dan prasarana. Namun demkian perlu diperhatikan perbandingan luas petak untuk pembesaran dan petak untuk tandon atau biofilter. Sebagai gambaran agar dapat dilakukan pengelolaan air secara resirkulasi, petak pengolah limbah, dan resevoar minimal 50% dari luas petak pembesaran udang. dengan perbandingan tersebut. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 194 IV. Kesimpulan dan saran 4.1. Kesimpulan Dari hasil kajian budidaya udang skala rakyat pada kawasan tambak tradisonal dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.Dari hasil kajian, manajemen usaha budidaya udang skala rakyat dapat diterapkan dengan merubah cara budidaya tradional dengan inovasi teknologi yang mampu mengendalikan lingkungan budidaya serta bioskurity mempunyai peluang keberhasilan yang lebih baik. 2.Biaya oprasional usaha budidaya udang skala rakyat yang disesuaikan dengan ketersdiaan sarana dan prasarana untuk luas 1000 m2 sekitar RP 40 juta. Jumlah ini setara dengan pengelolaan budidaya sederhana dengan resiko gagal yang tinggi. 4.2. Saran Adapun saran dari hasil kajian ini adalah sebagai berikut: 1.Masih perlu dilakukan kajian lanjutan dengan inoasi teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan keuntungan. 2.Perlu pengembangan pada kawasan tambak dengan komitmen yang kuat antar 3.pembudidaya dalam penerapan SOP budidaya sesuai dengan kondisi ketersediaan sarana serata dalam penerapan biosekuriti. V. Daftar Pustaka Anonim,. 2007. Penerapan Best Management Practices (BMP) Pada Budidaya Udang Windu (Penaeus Monodon Fabricius) Intensif. Juknis. Departemen Kelautan dan Perikanan. Ditjen. Perikanan Budidaya. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara. 68 p. Anonim, 2014. Statistik Perikanan Budadaya. Kementrian Kalautan dan Perikanan, Direktorat Perikanan Budidaya Anonim, 2014., Produksi udang vaname (Litopenaeus vannamei) intensif di tambak metode lining, BSN Avnimelech, Y ., and G. Ritvo., 2003. Shrimp and fish pond soil: processes and management. Aquaculture 220,549-567. Avnimelech, Y., G. Ritvo., and M. Kocha., 2004. Evaluating the active redox and organic fractions in pond bottom soils: EOM, easily oxidized material. Aquaculture xx,xxx-xxx Boyd, CE., 2003. Bottom Soil and`Water Quality Management in Srimp Ponds. Department of Fisheries and Allied Aquaculture. Auburn University. Journal of Appliet Aquaculture (Food Product Press an imprint of the Haworth Press. Inc) Vol 3 No.1/2. page 11-33 Tendencia, E.A., Dela-Pena M.R., Fermin, A.C., Lio-pio, G., Choresca, C.H, and Inui, Y. 2004. Antibacterial activity of tilapia Tilapia hornorum against Vibrio harveyi, Aquculture 232, 145-152. Supito dan Darmawan Adiwidjaya.“Teknik Budidaya Udang windu Intensif dengan Green Water System Melalui Penggunaan Pupuk Nitrat dan Penambahan Sumber Carbon”. 2007. 17 halaman. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 195 Supito. et.al. 2014. Petunjuk teknis budidaya udang vaname tambak demfarm. Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Kementrian Kelauatan dan Perikanan Lampiran 1. Biaya Oprerasional tambak 500 m2 No A 1 2 3 13 B 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 C. D Biaya Operasional tambak vaname luas 500 m2 Uraian jlh sat Harga sat Biaya investasi biaya rekonstruksi tambak 1 2.000.000 pipa outlet dan inlet 2 250.000 Saringan dll (unit) 2 100.000 Peralatan lapangan (kincir) 2 4500000 JUMLAH Biaya Operasional biaya persiapan 1 500.000 kaporit atau TCCA (kg) 45 22.000 crustaecida atau Betasin (galon) 5 120.000 Benih vaname F1 (padat tebar 100 ekr/m) 50.000 38 Pakan (kg) 764 14.050 Feed additive (vitamin ) (kg) 1 200.000 bakteri probiotik (kg) 1 150.000 Molase/tetes tebu (kg) 40 4.000 Kapur (CaCO3) mesh 500 200 750 Pupuk Anorganik (ZA) 20 3.500 Pupuk TSP 10 4.000 energi /BBM 491 7.500 Jumlah Jumlah penyusutan Biaya investasi (10%) Total Biaya Produksi Produksi Panen (SR 80%, 20 g) 546 60.000 Keuntungan Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 Jumlah (Rp) 2.000.000 500.000 200.000 9.000.000 11.700.000 500.000 990.000 600.000 1.900.000 10.739.820 200.000 150.000 160.000 150.000 70.000 40.000 3.685.500 19.185.320 1.170.000 20.355.320 0 32.760.000 12.404.680 196 Lampiran 2. Biaya Operasional Tambak Luas 1000 m2. Kebutuhan Biaya Operasional tambak vaname intensif 1000m2 No Uraian jlh sat Harga sat Jumlah (Rp) A Biaya investasi 1 biaya rekonstruksi tambak 1 10.000.000 10.000.000 2 pipa outlet dan inlet 6 250.000 1.500.000 3 Plastik 1000 5.000 5.000.000 13 Peralatan lapangan (kincir) 2 4500000 9.000.000 JUMLAH 25.500.000 B Biaya Operasional 1 biaya persiapan 1 1.000.000 1.000.000 2 kaporit atau TCCA (kg) 90 22.000 1.980.000 3 crustaecida atau Betasin (galon) 10 120.000 1.200.000 Benih vaname F1 (padat tebar 100 4 ekr/m) 100.000 38 3.800.000 5 Pakan (kg) 1.666 13.900 23.157.400 6 Feed additive (vitamin ) (kg) 1 200.000 200.000 7 bakteri probiotik (kg) 1 150.000 150.000 8 Molase/tetes tebu (kg) 100 4.000 400.000 9 Kapur (CaCO3) mesh 500 500 750 375.000 10 Pupuk Anorganik (ZA) 50 3.500 175.000 11 Pupuk TSP 25 4.000 100.000 12 energi /BBM 1.050 7.500 7.875.000 Jumlah 40.412.400 Jumlah penyusutan Biaya investasi (10%) 2.550.000 Total Biaya Produksi 42.962.400 C. Produksi 0 Panen 1.190 65.000 77.350.000 D Keuntungan 34.387.600 Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 197 Teknik Pengendalian Penyakit Kotoran Putih (White Feces Syndrome) Pada Budidaya Udang Vaname di tambak Oleh Supito; Maskar Jayadi, Arif Gunarso dan I Rizkiyanti Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara Abstrak Serangan penyakit yang dikenal dengan kotoran putih pada budidaya udang vaname saat ini telah menurunkan produktivitas udang vaname. Studi ekplorasi pada beberapa tambak yang terinfeksi untuk mengetahui penyebab dan teknik pengendalian dan pengobatan telah dilakukan dan dapat mencegah infeksi penyakit kotoran putih. Metoda ekplorasi dilakukan dengan mengamati kualitas air meliputi kandungan bahan organik (TOM); total bakteri dan vibrio; kestabilan plankton, serta identifikasi jenis bakteri pada udang yang terserang penyakit. Tindakan pengendalian dilakukan dengan perbaikan kualitas air dengan mengendalikan bahan organik, menjaga kestabilan plankton dan aplikasi probiotik dengan pengaturan keseimbangan C:N:P rasio. Teknik pemuasaan (fasting) dan aplikasi feed additive berupa antibiotik alami dari ekstrak bawang putih (alicyn) dan vitamin untuk meningkatkan efektivitas bahan masuk pada pencernaan udang. Hasil kajian menunjukkan bahwa udang yang terserang penyakit berak putih pada intestinumnya terdapat jenis bakteri Vibrio alginolyticus, Vibrio parahaemolyticus dan Vibrio vulnificus. Media air tambak mengandung dominasi bakteri vibiro sebesar 12% dari total bakteri dan kandungan bahan organik (TOM) lebih dari 250 ppm. Teknik pemuasaan, penambahan alicyn dan vitamin, pengendalian dominasi vibrio kurang dari 10% dengan aplikasi probiotik serta pembuangan lumpur dasar tambak serta pergantian air untuk menurunkan kandungan bahan organik mampu untuk mencegah serangan penyakit tersebut. Produksi tambak masih dapat dipertahankan pada tingkat kelangsungan hidup > 70% dengan laju rataan pertumbuhan harian (ADG) sebesar 0,11-0,25 g/hari. Kata kunci : pencegahan, penyakit, kotoran putih The Control of White Feces Syndrome In Vannamei Shrimp Aquaculture Supito*, Maskar Jayadi, Arif Gunarso and Ita Rizkiyanti Main Center for Brackhiswater Aquaculture Develompmet. Jepara Central java Abstract White feces disease on vannamei shrimp farming has currently lower productivity. Exploration study on infected farms to determine the cause and control techniques and treatments have been done to prevent infectious of white feces diseases. The method of exploration study has done by observing the water quality include the content of organic matter (TOM); total bacteria and vibrio; the stability of the plankton and identification species of bacteria in diseased shrimp. Control measures carried out by the improvement of water quality by controlling the organic matter, maintain the stability of the plankton and application of probiotics to balance C,N,P Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 198 ratio. Fasting techniques and applications of natural antibiotic feed additive from garlic extract (alicyn) and vitamins to increase the effectiveness of the material to the digestive shrimp. The results showed that shrimp white feces disease there are several in the intestinum are species of bacteria Vibrio alginolyticus, Vibrio parahaemolyticus and Vibrio vulnificus. Pond water contains vibrio bacteria dominance more than 12% of the total bacteria. Tottal and organic matter (TOM) more than 250 ppm. Fasting technique, alicyn and vitamins application, controlling vibrio dominance less than 10% with the application probiotics well as the disposal of sludge pond bottom and water changes to reduce content of organic matter could be for prevent disease. Ponds production be maintained on the survival rate of > 70% with average daily growth rate (ADG) 0.11 0.25 g. Keywords: prevention, white feces disease I. Pendahuluan 1.1. Latar belakang Perkembangan budidaya udang vaname hinggga saat ini terus meningkat baik jumlah luas kawasan tambak pembesaran, maupun penerapan teknologi budidaya dalam rangka meningkatkan produktivitas. Penerapan teknologi yang kurang tepat seperti penambahan padat penebaran yang tidak didukung dengan sarana penunjang yang memadai untuk menciptakan lingkungan budidaya yang optimal untuk pemeliharaan udang vaname, dapat menyebabkan resiko kegagalan yang tinggi. Salah satu permasalahan yang saat ini terjadi adalah serangan penyakit kotoran putih atau dikenal dengan berak putih atau white feces syndrome atau WFS (flegel et.al, 2014). Secara visual pada udang yang terserang penyakit ini akan terlihat kotoran udang berwarna putih memanjang dan mengapung pada permukaan air, eksoskeleton nampak lembek dan ditemukan infeksi protozoa sehingga menyebabkan insang gelap (Limsuwan, 2010) dan udang menjadi keropos. Udang yang terserang penyakit berak putih menyebabkan nafsu makan menurun serta laju pertumbuhan yang menurun sangat drastis. Kematian udang terjadi secara bertahap sehingga menyebabkan kelangsungan hidup udang rendah. Kondisi udang yang terserang berak putih semakin lama semakin keropos sehingga bobot rataan udang menurun. Kondisi ini menyebabkan kualitas udang menurun sehingga harga jual juga menurun. Secara ekonomis, serangan penyakit kotoran putih akhir-akhir ini telah menimbulkan kerugian yang cukup besar karena konversi pakan yang tinggi sehingga menyebabkan usaha budidaya udang vaname tidak menguntungkan. Oleh karena itu perlu dilakukan studi eksplorasi untuk mengkaji fenomena munculnya serangan penyakit kotoran putih serta perekayasaan teknologi untuk pengendaliannya. Kegiatan studi eksplorasi dilakukan pada tambak-tambak yang terserang penyakit kotoran putih dengan mengamati kualitas lingkungan media pemeliharaan udang. Tindakan pengendalian dilakukan dengan teknik pencegahan dan pengobatan dengan menggunakan bahan yang direkomendasikan untuk menekan infeksi penyakit kotoran putih. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 199 1.2 Maksud dan tujuan Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui fenomena terjadinya serangan penyakit kotoran berak putih pada tambak udang vaname, sehingga dapat dilakukan tindakan pengendalian. II.Metoda 2.1 Alat dan bahan Alat yang digunakan untuk melakukan kegiatan studi eksplorasi adalah peralatan kualitas air meliputi (pH meter, disolved oxygem (DO) meter); alat pengamatan densitas dan dominasi plankton (planktonet dan mikroskop), alat dan bahan analisa total bakteri dan total vibrio sp dengan metoda ALT (Angka Lempeng Total) serta identifikasi jenis bakteri Vibrio yang ditemukan. Adapun bahan yang digunakan untuk tindakan pencegahan dan pengobatan adalah ekstrak bawang putih, probiotik dan multivitamin. 2.2. Metodologi Pengamatan dan pengambilan sampel dilakukan di beberapa kawasan tambak di Jepara, Rembang,Tuban dan Sumbawa. Perlakuan pengendalian penyakit kotoran putih dilakukan pada tambak BBPBAP Jepara (Blok F) dengan jumlah 6 petak. Waktu pelaksanaan mulai Januari - September 2015. 2.2.1. Studi eksplorasi Studi ekplorasi dilakukan pada tambak yang terindikasi penyakit kotoran putih dimana secara visual ditunjukkan adanya kotoran yang mengambang pada permukaan air. Pengambilan sampel udang yang sakit dan pengamatan kualitas lingkungan yang meliputi kandungan total bakteri dan vibrio sp, jenis bakteri vibrio, warna air, dominasi plankton dan kandungan bahan organik total (TOM). 2.2.2. Pengendalian penyakit kotoran putih. Kegiatan pengendalian pada tambak yang terserang penyakit kotoran putih dilakukan pada tambak BBPBAP Jepara blok F sebanyak 2 petak yang terserang penyakit. Adapun perlakuan yang dilakukan, melalui perbaikan kualitas air dan menjaga kestabilannya selama pemeliharaan adalah sebagai berikut: a.Pengelolaan air. Pengelolaan air pada tambak udang yang telah terserang penyakit kotoran putih dilakukan untuk menjaga kestabilan plankton. Dominasi plankton selama pemeliharaan diarahkan pada plankton jenis Chloropiceae sp sehingga warna air cenderung kehijauan. Pemupukan susulan secara rutin dengan pupuk nitrogen dan posfat (Urea dan TSP dengan perbandingan 5:1) setiap 4 - 7 hari dengan dosis 1-2 ppm hingga air berwarna hijau kecoklatan. Aplikasi pupuk posfat dihentikan bila kandungan posfat (PO4) lebih dari 0,25 ppm. Pemberian pupuk dihentikan setelah air berwarna hijau kecoklatan dengan kecerahan kurang dari 30 cm (Supito et.al., 2014) Pengaturan jumlah dan arah kincir dilakukan dengan prinsip seluruh kolom air bisa bergerak dan dapat melokalisir kotoran (sisa pakan, kotoran udang dan plankton/bakteri yang mati) pada bagian yang mudah dibuang. Penyiponan kotoran Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 200 yang terkumpul di bagian tengah tambak di lakukan untuk mengurangi kotoran (total bahan organik). Pergantian air sebanyak 5-10% perhari dari petak tandon yang telah disiapkan diperlukan untuk pengenceran air tambak yang sudah pekat bila kecerahan kurang dari 20 cm serta warna air cenderung mengarah ke hijau gelap atau hijau kebiruan. Setelah dilakukan penambahan atau pergantian air dilakukan pemupukan dengan menggunakan pupuk nitrogen (Urea/ZA) untuk meningkatkan nilai N/P rasio dengan dosis 1 ppm. Pemupukan susulan ini dilakukan tiap 3-4 hari hingga warna air kehijauan atau hijau kecoklatan dangan dominasi plankton jenis Chloropiceae. b. Aplikasi probiotik. Aplikasi probiotik dilakukan pada media pemeliharaan dan pada udang melalui aplikasi pakan. Aplikasi probiotik pada media pemeliharaan dengan tujuan untuk mempercepat penguraian bahan organik sehingga tidak terbentuk senyawa beracun seperti amonia dan nitrit. Aplikasi bakteri probiotik juga untuk mendesak dominasi bakteri vibrio sp yang cenderung bersifat patogen. Aplikasi probiotik mulai dilakukan 7 hari, setelah sterilisasi, selanjutnya aplikasi secara rutin dilakukan 1 - 2 kali tiap minggu. Cara yang paling sederhana dan mudah untuk menghitung penambahan C-organik dari protein pakan, dengan cara sederhana suplementasi karbohidrat dapat dihitung sbb : % protein pakan x 0.16 x 50% x ___4_____ 50% x 40% Keterangan : 4 (C/N rasio dalam jaringan mikrobial), 50% (Kandungan C) dalam CHO, 40% (efisiensi sintesa protein mikrobial). Dengan demikian, semakin tinggi kandungan protein pakan maka keseimbangan C/N rasio akan semakain rendah, sehingga akan semakin banyak dibutuhkan karbohidrat sebagai sumber C-organik. Pakan udang dengan kandungan protein sebesar 35 % C/N rasio pakan (kandungan protein 35%) dihitung dari : _____50%___ = 8.93 ~ 9 0.16 x 0.35 Nilai CN ratio 8-9 masih sangat rendah, oleh karena itu masih membutuhkan penambahan sumber karbohidrat. Idiealnya untuk menumbuhkan bioflok optimal diperlukan nilai C/N ratio 16-20. C/N rasio setelah penambahan karbohidrat dapat dihitung sebagai berikut: Banyak sumber karbon organik yang dapat digunakan, salah satu jenis sumber karbon yang termasuk karbohidrat sederhana adalah tetes tebu (molase), reaksinya cepat sehingga cocok untuk digunakan pada awal pembentukan, selanjutnya bisa digantikan dengan karbohidrat kompleks (tepung tapioka, terigu, dll). Jumlah atau Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 201 dosis sumber karbon dalam aplikasi di lapangan disesuaikan dengan kondisi air sebagai indikator adalah nilai pH air. Teknik aplikasi probiotik pada media pemeliharaan dengan metoda aktivasi bakteri. Adapaun caranya adalah dengan menebar langsung probiotik yang telah di aktivasi. Cara aktivasi probiotik adalah dengan persiapan wadah aktivasi berupa ember (volume 20 L) dan diisi air tambak yang akan di tebar probiotik. Tambahkan sumber karbon (molase) sekitar 250 cc dan diaduk merata. Selanjutnya diukur nilai pH air dalam wadah aktivasi. Bila kurang dari 6 tambahkan kapur sekitar 50 - 100 g agar nilai pH naik menjadi 7. Sumber nitrogen untuk pertumbuhan probiotik dilakukan dengan penambahkan pupuk Urea/ZA dosis 100 g dan aduk merata. Penambahan probiotik sekitar 100 g atau 100 mL dan aduk secara merata. Biarkan spora bakteri berkembang selama 0,5 - 1 jam kemudian ditebar pada tambak (Supito et.al, 2014). Aplikasi probiotik dilakukan juga pada udang dengan tujuan untuk memperbaiki pencernaan melalui pengkayaan pada pakan. Hal ini udang yang terserang penyakit kotoran putih ditemukan adanya bakteri vibrio sp pada usus udang. Aplikasi probiotik pada pakan bertujuan untuk mendesak dominasi bakteri vibrio pada usus. Cara pengkayaan pada pakan adalah dengan mencapur 3-5 g probiotik; 10 cc molase, 3 g ekstrak bawang putih dan 3 cc multivitmin per kg pakan. Bahan-bahan tersebut di campur dan diencerkan dengan air secukupnya. Campuran bahan tersebut selanjutnya di campurkan pada pakan pellet dan dikeringkan dengan cara diangin anginkan. Pencampuran ini bisasanya dilakukan 1 jam sebelum pemberian. c. Manajemen pemberian pakan Udang memiliki cara makan dengan dikerikiti sedikit demi sedikit yang berbeda dengan cara makan ikan yang langsung di telan setiap butiran pakan. Pengkayaan pakan pelet dengan beberapa bahan tambahan (feed additive) diduga akan banyak yang lepas dan larut dalam air bila butiran pakan tersebut terendam dalam air. Kondisi ini terutama pada bahan tambahan yang mudah larut dalam air seperti vitamin C. Oleh karena itu diperlukan teknik pemberian pakan pada udang yang tepat dengan memperhatikan tingkah laku kebiasaan makan udang. Hal ini dilakukan agar laju konsumsi udang tinggi sehingga pakan yang diberikan cepat habis dimakan, salah satu tekniknya adalah dengan pemuasaan. Pemuasaan bertujuan agar udang lapar, karena pada saat kondisi lapar nafsu makan udang akan meningkat, sehingga laju konsumsi pakan juga meningkat. Pemuasaan dilakukan pada malam hingga pagi hari. Pemberian pakan yang telah diperkaya dengan feed additive dilakukan pada saat kondisi lingkungan baik yaitu pada siang hari dengan demikian laju konsumsi udang akan meningkat. Jumlah dosis pakan yang diperkaya dikurangi hingga 50% dari jumlahnya. Hal ini dilakukan agar dosis feed additive lebih tinggi. Alasan lain adalah agar pakan tidak terlalu lama terendam air atau pakan cepat habis dikonsumsi udang. Dengan cara tersebut pakan yang telah diperkaya dengan feed additivie bisa lebih efektif masuk pada pencernaan udang. Selanjutnya sisa dosis pakan diberikan 1-2 jam setelah pemberian pakan yang diperkaya dengan feed additive habis yang diamati melalui kontrol anco. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 202 III. Hasil dan Pembahasan 3.1 Hasil. 3.1.1. Produksi. Hasil kegiatan pemeliharaan udang vaname adalah seperti Tabel 1. Tabel 1. Produksi tambak uang vaname KODE PETAK / TAMBAK Uraian F1 F2 F3 F4 F5 F6 produksi (kg) 4.388 4.225 4.499 2.467 4.313 3.850 Bobot rataan (g) 15,01 14,94 16,54 9,94 14,06 13,01 size (ekor/kg) 67 67 60 101 71 77 SR (%) 91% 88% 85% 78% 96% 92% Pakan 6450 5950 6800 3750 6250 5500 FCR 1,47 1,41 1,44 1,52 1,45 1,51 Catatan: petak F4 dan F6 terserang WFS pada umur 62 hari dan 75 hari. Pada kajian tersebut terjadi serangan penyakit kotoran putih pada petak F4 pada umur pemeliharaan hari ke 62 dan pada petak F6 terjadi pada hari ke 75. Secara visual serangan peyakit berak putih di tandai dengan terlihatnya kotoran putih mengambang di permukaan air, nafsu makan udang menurun dengan drastis, warna air cenderung berubah ke warna hijau gelap. Serangan penyakit kotoran putih dapat menghambat laju pertumbuhan sehingga produktivitas juga menurun dibanding kondisi tambak yang normal. Dari 6 petak tambak, petak F4 dan F6 yang terserang menghasilkan produktivitas lebih rendah dari petak lain. Namun demikian dengan perlakukan pengendalian melalui perbaikan lingkungan dan melalui pengkayaan pakan masih dapat dipertahankan sehingga masih menghasilkan kelangsungan hidup lebih dari 78 % pada petak F4 dan 92% pada petak F6. 3.1.2. Pertumbuhan udang. Pertumbuhan mutlak udang vaname yang terserang kotoran putih cenderung stagnan. Hal ini disebabkan juga oleh nafsu makan dan laju konsumsi yang menurun. Secara visual usus udang terlihat terisi penuh dengan warna merah bahkan keputihan. Data pertumbuhan udang mutlak dapat dilihat pada Tabel 2. DOC 51 58 65 72 79 86 93 F1 5,65 7,5 9,71 10,77 12,42 14,05 15,01 Tabel 2. Pertumbuhan multak KODE PETAK / TAMBAK F2 F3 F4 6,36 6,11 5,33 7,51 8,24 7,05 9,78 10,02 7,97 11,04 11,41 8,89 13,39 13,15 9,2 14,26 14,44 9,5 14,94 16,54 9,94 Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 F5 6,32 7,95 9,16 10,42 12,59 14 14,06 F6 4,97 6,82 8,12 10,08 13,1 13,61 13,7 203 Pengamatan laju komsumsi pakan di anco juga menurun dengan drastis. Perlakukan pengurangan pakan bahkan pemuasaan perlu dilakukan agar tidak banyak sisa pakan yang dapat menyebabkan lingkungan tambak menurun. Pengurangan pakan pada saat laju komsumsi pakan turun dapat dikurangi hingga 50%. Pengamatan laju konsumsi pakan melalui kontrol anco harus dilakukan dengan cermat. Pada saat laju konsumsi pakan meningkat, maka jumlah pakan perlu tambahkan hingga kondisi laju konsumsi pakan normal. Dengan perlakukan ini dari kajian yang dilakukan masih dapat menekan FCR pakan sekitar 1,5. Laju pertumbuhan harian (ADG) udang yang normal rata-rata 0,18-0,22 g/hari. Sedangkan laju pertumbuhan harian udang yang terserang penyakit kotoran putih ratarata 0,11 g/hari. Kondisi yang parah di tandai dengan jumlah kotoran putih yang mengambang cukup banyak dan pertumbuhan yang stagnan. Beberapa kasus dilaporkan serangan penyakit kotoran putih ini menyebabkan udang keropos dan bahkan pertumbuhan mutlak menurun. Sebagai dampak udang yang kropos, maka bobot tubuh menurun, sehingga harga pasar akan jatuh. Gambar 2. Grafik rata-rata pertumbuhan harian (ADG) dengan 0,1 g/hari. 3.1. Kajian permasalahan serangan penyakit berak putih. Berdasarkan studi eksplorasi dengan pengamatan secara langsung di lapangan, menunjukkan bahwa gejala klisnis serangan penyakit berak putih pada kondisi lingkungan adalah sebagai berikut: 3.1.1 Kandungan bakteri Hasil pemeriksaan secara laboratorium menunjukkan bahwa, sampel air tambak yang terserang penyakit berak putih menunjukan adanya infeksi bakteri vibrio. Analisa total bakteri dan total vibrio di media pemeliharaan menunjukkan peningkatan dominasi bakteri vibrio sp antara 12 - 22,5% dari nilai total bakteri. Beberapa studi menunjukkan bahwa kandungan bakteri vibrio sp pada media pemeliharaan udang yang sehat kurang dari 10% dari kandungan total bakteri. Peningkatan dominasi bakteri vibrio sp pada media pemeliharaan diduga karena peningkatan kandungan bahan organik akibat kelebihan pakan, kotoran udang, plankton flok bakteri yang tidak dapat terdegradasi dengan sempurna. Pengelolaan lingkungan tambak udang seharusnya mampu meminimalisir sisa pakan dan kotoran udang yang ada dengan pengaturan manajemen pakan dan air dengan baik. Dari hasil pengamatan secara langsung pada beberapa tambak yang terserang penyakit berak putih, serangan penyakit banyak terjadi pada umur pemeliharaan Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 204 setelah 45 hari. Penerapan teknologi budidaya saat ini melalui pergantian air yang sedikit (penambahan hanya untuk mempertahankan ketinggian air) diduga menyebabkan peningkatan bahan organik dari sisa pakan dan kotoran dari udang dalam tambak. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa peningkatan bahan organik menyebabkan peningkatan populasi kepadatan bakteri vibrio. Tabel 3. Analisa total vibrio pada udang vaname NO Parameter Total Total BAL Keterangan Pengamatan Vibrio (CFU/ml) (CFU/ml) 1 Tambak F4: - Hepatopankreas TNTC Udang sakit - Usus 3,9 x 104 7,9 x 103 - Haemolimp 3,0 x 102 2 Tambak F6: - Hepatopankreas TNTC Udang sakit - Usus 1,4 x 105 3,2 x 103 - Haemolimp 7,1 x 102 3 Tambak Supra: - Hepatopankreas 4,3 x 104 Udang sehat/normal - Usus TNTC 3,9 x103 - Haemolimp 0 Sumber: Lab MKHA BBPBAP Jepara Berdasarkan hasil identifikasi bakteri yang ditemukan pada hepatopankreas, usus dan hemolimp udang yang terserang penyakit berak putih adalah jenis Vibrio alginolitycus, V. parahaemolyticus dan V. vulnificus yang merupakan bagian dari bakteri yang ditemukan dalam kasus penyakit berak putih. Sebagai pembanding, analisa untuk udang yang sehat tidak menunjukan adanya kandungan bakteri vibrio pada hemolimp udang (Tabel 3). Masuknya bakteri dalam hemolimp, bisa mengindikasikan kondisi stress pada udang (Lightner, 1988) bahkan dapat menyebabkan septicemia (Lightner, 1977). Infeksi bakteri tersebut hingga masuk dalam hemolimp memang belum bisa dijelaskan dengan detail. Namun demikian diduga infeksi bakteri patogen vibrio terjadi pada saat dominasi yang tinggi di lingkungan dan masuk melalui makanan yang dikonsumsi pada media. Dalam kasus penyakit berak putih, udang dengan infeksi berat (> 100 gregarin dalam 1 cm midgut usus) diduga dapat menyebabkan kerusakan pada mukosa usus (lapisan usus yang mampu menyerap nutrisi) sehingga menyebabkan bakteri patogen vibrio masuk ke dalam hemolimp dan bersifat mematikan. 3.1.2. Kualitas air Hasil studi pengamatan di beberapa tambak yang terserang penyakit berak putih sering terjadi pada air tambak yang warna airnya cenderung hijau pekat atau hijau gelap atau kadang-kadang terjadi pada warna air tambak yang berwarna coklat. Serangan penyakit berak putih juga sering terjadi pada kondisi air tambak yang berubah secara drastis atau mendadak dari warna hijau ke coklat atau sebaliknya. Berdasarkan fenomena warna air tambak yang hijau menunjukkan bahwa air tambak didominasi oleh plankton, terutama plankton dari jenis Chloropiceae. Perubahan warna air dari hijau Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 205 cerah menjadi hijau gelap bahkan ke arah biru menunjukkan pergeseran dominasi oleh blue green algae (alga hijau-biru). Perubahan warna air pada tambak udang diduga menunjukkan perubahan dominasi partikel terlarut dalam air. Perubahan warna air secara mendadak/drastis menunjukkan indikasi terjadinya kematian plankton dalam jumlah besar yang diikuti suksesi atau pertumbuhan plankton lain yang bisa mendominasi. Kematian plankton ini diduga sebagai penyebab utama perubahan kualitas air. Perombakan atau degradasi plankton yang mati pada kondisi kelarutan oksigen rendah akan menyebabkan kualitas air menurun. Densitas plankton yang tinggi pada perairan menyebabkan laju proses fotosintesa yang meningkat pada siang hari. Sebagai dampak proses fotosintesa yang besar menyebabkan nilai pH air naik terutama pada siang hingga sore dengan cuaca yang cerah hingga mencapai nilai 9. Pada nilai pH yang tinggi mencapai lebih dari 9 menyebabkan ion ammonium berubah menjadi ammonia yang dapat menyebabkan keracunan pada udang. 3.2.Pencegahan Penyakit Berak Putih Berdasarkan fenomena terjadinya serangan penyakit berak putih, dari hasil studi ekplorasi dari beberapa lokasi tambak, maka tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan teknik sebagai berikut: 3.2.1.Pengelolaan Kemelimpahan Plankton. Kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan udang akan baik bila dipelihara pada lingkungan yang stabil sesuai dengan kebutuhan biologis udang. Kestabilan parameter kualitas air tambak dengan fluktuasi yang rendah, menyebabkan udang dapat hidup nyaman dan sehat. Oleh karena itu perlu manajemen pengelolaan lingkungan terutama media air tambak untuk mengendalikan kualitas yang sesuai diperlukan udang dan mencegah terjadinya fluktuasi yang luas atau besar. Penumbuhan plankton pada air tambak diarahkan untuk dominasi Chloropiceae dan diatom. Pengamatan secara visual dominasi Chloropiceae pada air tambak terlihat warna hijau kecoklatan (Gambar 1). Untuk dapat mempertahankan plankton dominasi Chloropiceae dapat dilakukan dengan mengatur perbandingan N:P rasio. Phytoplankton membutuhkan rasio N : P = 106 : 16 : 1 (Redfield, 1934). Spesifik untuk pertumbuhan diatom mempunyai rasio C:Si:N:P = 106:15:16:1. Secara spesifik dominasi pertumbuhan plankton ditentukan oleh keseimbangan N:P rasio sebagai berikut: • N/P = 8 kondusif bagi bluegreen algae (cyanobacteria) • N/P = 10 kondusif bagi plankton coklat (diatomae) • N/P = 12 kondusif bagi dinoflagellata • N/P = 20-30 kondusif bagi plankton hijau (chlorella) Dominasi plankton dari jenis bluegreen algae, dapat dilakukan dengan mengatur kesimbangan N:P rasio lebih besar dari 10. Nitrogen diukur dengan menghitung Total Amonia Nitrogen (TAN). Sedangkan posfat dihitung dalam bentuk orto fosfat (PO4). Fosfat merupakan faktor pembatas dari pertumbuhan plankton. Kandungan posfat dalam perairan agar plankton tumbuh adalah minimal 0,25 ppm. Dari konsep tersebut untuk menumbuhkan plankton selain bluegreen algae, maka perlu aplikasi pupuk ammonium dan posfat dengan N:P rasio lebih dari 10. Pupuk TSP dengan kandungan Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 206 36% diperlukan minimal 7 kg/ha (0,7 ppm), sementara pupuk ammonium dengan kandungan 46 % diperlukan minimal 54 kg/ha (5,4 ppm). Gambar 1. Warna air hijau kecoklatan (semi-flok) Menurut (Avnimelech dan Ritvo, 2003), ikan dan udang dapat mengakumulasi nutrien dari pakan yang diberikan berkisar 5-40%. Dari data yang ada diketahui bahwa rerata nutrien yang dapat tertahan dalam tubuh ikan dan udang adalah 13 % carbon, 29 % nitrogen, dan 16 % fosfor. Rendahnya jumlah karbon sebagai konsekuensi dari banyaknya fraksi karbon pakan yang lepas akibat respirasi. Data ini menunjukkan rendahnya retensi nutrien dalam tubuh kultivan, sehingga sisanya seperti nitrogen (75%) dan fosfor (80%) terakumulasi di dasar tambak. Dengan semakin bertambahnya umur pemeliharaan, semakin meningkat bobot rataan udang, meningkat pula jumlah penggunaan pakan udang. Sebagai dampaknya adalah juga semakin meningkat pula nitrogen dan fosfat dalam air tambak, sehingga dapat merubah keseimbangan N:P rasio. Perubahan kesimbangan N:P rasio dalam air tambak tersebut dapat merubah kesimbangan dominasi plankton. Akumulasi nitrogen dan fosfat dari pemberian pakan udang menyebabkan peningkatan kesuburan sehingga pertumbuhan plankton pesat serta kemelimpahan plankton yang tinggi. Dari hasil kajian tambak yang dilapisi (lining) dengan plastik HDPE, sehingga faktor kesuburan tanah dapat diabaikan, peningkatan fosfat (PO4) meningkat hingga mencapai 0,25 ppm setelah pemberian pakan mencapai sekitar 1.500 kg/Ha (kandungan protein pakan 36%). Secara visual dengan melihat warna dan tingkat kecerahan air, pertumbuhan plankton akan mulai subur setelah pemeliharaan 25 hari. Kondisi ini menunjukkan bahwa telah terjadi penyuburan air tambak dari dampak pemberian pakan (Tabel 4). Penggunaan pupuk perlu dihitung agar tidak terjadi keseimbangan N:P rasio yang rendah yang dapat menyebabkan pergeseran dominasi plankton ke arah bluegreen algae. Penambahan pupuk ammonium perlu ditambahkan untuk meningkatkan kesimbangan N:P rasio dengan dosis 2-5 ppm sehingga warna air menjadi hijau kecoklatan. Namun demikian perlu mempertahankan kemelimpahan plankton agar tidak terjadi blooming plankton pada kisaran kecerahan sekitar 30-40 cm. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 207 Tabel 4. Kemelimpahan plankton pada tambak lining (HDPE) Dampak lain dari pertumbuhan plankton, dapat menyebabkan fluktuasi nilai pH harian yang luas dan cenderung pada nilai pH yang tinggi. Dominasi plankton dalam air tambak, nilai pH air bisa menjadi mencapai nilai 9 pada sore hari dengan fluktuasi antara pagi dan sore mencapai nilai 1. Pada nilai pH yang tinggi pada sore hari dan bila tidak didukung aerasi yang baik bisa menyebabkan pembentukan ammonia yang bersifat racun pada udang serta udang sulit ganti kulit. Kondisi ini bisa menyebabkan ketahanan tubuh udang lemah sehingga mudah terserang penyakit. Masalah lain adalah pada kondisi kemelimpahan plankton yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan respirasi pada malam hari sehingga dapat menyebabkan defisit oksigen. 3.2.2. Pengelolaan Probiotik Budidaya udang vaname saat ini yang telah berkembang adalah budidaya sistem heterotrof dengan aplikasi konsorsium bakteri probiotik dengan tujuan untuk merombak bahan organik sisa pakan dan kotoran udang menjadi flok bakteri. Dengan cara ini dapat mencegah pembentukan senyawa ammonia dan nitrit. Pertumbuhan bakteri dalam media air akan ditentukan keseimbangan C/N rasio sebagai berikut: 1.Nilai C/N = 5 – 10 akan kondusif bagi plankton dan bakteri hemoautotroph, tetapi kurang kondusif bagi bakteri heterotroph. Air tambak dengan kondisi keseimbangan C/N rasio yang rendah secara visual terlihat warna kehijauan. Sebagai dampak pertumbuhan plankton akan subur adalah nilai pH air cenderung tinggi dengan fluktuasi yang luas. Fluktuasi pH harian pagi dan sore yang ideal adalah 0,2-0,5. 2.Nilai C/N = 10–20 akan kodusif bagi plankton, bakteri chemoautotroph dan bakteri heterotroph. Konsorsium bakteri pengurai dan plankton dapat tumbuh secara seimbang. Air tambak berwarna hijau kecoklatan karena terjadi keseimbangan plankton dan flok bakteri yang terbentuk. Pada keseimbangan ini nilai pH air dapat diatur pada kisaran 7,5 - 8 dengan fluktuasi harian 0,2-0,5. 3.Nilai C/N = > 20 akan kondusif bagi bakteri heterotroph, tetapi kurang kondusif bagi plankton dan bakteri chemoautotroph. Pertumbuhan bakteri terutama bakteri fermentasi yang akan mendegradasi karbon akan mendominasi. Secara visual air Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 208 tambak berwarna kecoklatan. Dampak dari dominasi bakteri probiotik akan menyebabkan nilai pH air menjadi cenderung rendah (kurang dari 7,5) Kestabilan kualitas air tambak sangat ditentukan oleh keseimbangan unsur biotik dan abiotik dalam media air. Unsur biotik sangat ditentukan oleh keseimbangan kelimpahan plankton dan mikroorganime (bakteri). Untuk menjaga kestabilan kualitas air tambak, pengelolaan air diarahkan pada teknologi semi heterotrof atau semi flok. Bakteri probiotik berfungsi untuk mempercepat penguraian bahan organik dari sisa pakan, kotoran udang dan plankton yang mati. Pada kondisi aerob dengan kelarutan oksigen yang tinggi, hasil penguraian dari bahan organik tersebut akan menghasilkan senyawa hara (senyawa an-organik) yang dapat diserap oleh plankton untuk pertumbuhan. Beberapa jenis plankton dapat menyerap unsur hara dalam bentuk ammonia, dan nitrit sehingga dapat mencegah peningkatan senyawa tersebut yang dapat meracuni udang. Pada konsep ini peranan aerasi juga sangat penting sebagai penyedia oksigen terlarut, membuat partikel tetap terlarut dalam kolom air serta untuk mengatur sirkulasi air merata dalam petak tambak. Gambar 2. Konsep pengelolaan air tambak udang sistem semi flok Banyak sumber karbon organik yang dapat digunakan. Salah satu jenis sumber karbon yang termasuk karbohidrat sederhana adalah tetes tebu (molase), reaksinya cepat sehingga cocok untuk digunakan di awal pembentukan, selanjutnya bisa digantikan dengan karbohidrat kompleks (tepung tapioka, terigu, dll). Jumlah atau dosis sumber karbon dalam aplikasi di lapangan disesuaikan dengan kondisi air sebagai indikator adalah nilia pH air. Nilai pH air tambak udang dipertahankan pada kisaran 7,5-8. Aplikasi jumlah karbon yang terlalu banyak akan menyebabkan proses fermentasi yang meningkat sehingga dapat menyebabkan nilai pH menurun hingga kurang dari 7,5. Cara yang dilakukan adalah dengan menaikan pH air dengan aplikasi kaptan dengan dosis 5 ppm setiap hari hingga nilai pH mencapai 7,5. Sebaliknya bila jumlah aplikasi sumber karbon kurang, menyebabkan dominasi plankton dan nilai pH naik hingga lebih dari 8. Cara untuk menurunkan nilai pH dengan aplikasi sumber karbon (molase) dosis 1-5 % dari total pakan setiap hari hingga nilai pH mencapai 8. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 209 3.3. Aplikasi Antibiotik Alami Tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan penggunaan antibiotik alami berupa ekstrak bawang putih. Bawang putih mengandung antibiotik alisin yang mampu mengendalikan bakteri gram positif maupun gram negatif. Secara komersial ekstrak bawang putih sudah beredar dalam bentuk tepung. Aplikasi ekstrak bawang putih sebaiknya dilakukan mulai dari awal pemeliharaan. Dosis yang dilakukan adalah 3-5 g/kg pakan udang atau 10-20 gr/kg pakan untuk ekstrak segar pemberian selama 5 minggu berturut-turut mampu menurunkan jumlah gregarin dari mid gut usus udang windu (Chutchawanchaipan et al. 2004). Pemberian dilakukan setiap hari dengan cara mencampurkan ekstrak bawang putih pada pakan kemudian dikering anginkan selama ½ jam. Pakan selanjutnya diberikan pada udang terutama pada waktu laju komsumsi pakan tinggi yang biasanya terjadi pada siang dan sore hari. Berdasarkan cara makan udang, yaitu dengan mengkerikiti pakan, diduga tidak semua antibiotik yang ditempelkan (coating) akan dapat masuk dalam tubuh udang. Namun demikian dengan cara tersebut dapat meningkatkan ketahanan tubuh udang. Dari beberapa kajian dengan cara ini dapat mencegah serangan berak putih. 3.4. Pengkayaan Pakan dengan Feed Additive Cara lain untuk pencegahan penyakit pada udang vaname adalah dengan meningkatkan ketahanan tubuh udang dengan penambahan feed additive yang mengandung multivitamin. Beberapa feed additive produk komersial telah membuat formula agar feed additive yang diperkaya pada pakan buatan dapat masuk dalam tubuh udang. Pada awalnya feed additive komersial dalam bentuk tepung (powder), teknik aplikasi dengan menggunakan perekat (binder) pada pakan udang. Seperti halnya pengunaan antibiotik di atas karena cara makan udang yang dikerikiti, diduga banyak feed additive yang larut dalam air tambak. Untuk meningkatkan daya serap yang lebih tinggi dalam tubuh udang, beberapa feed additive komersial di kemas dalam bentuk minyak (cair). Mineral feed additive dilapisi dengan minyak (oil base) sehingga tidak mudah larut dalam air. Cara aplikasi dengan mencampur dengan pakan sehingga dapat menempel pada pori-pori pakan. Selanjutnya pakan dikering anginkan selam ½ jam, setelah pakan kering diberikan pada udang. Dosis feed additive adalah 5-10 cc/kg pakan. Pemberian diberikan tiap hari dengan sekali frekuensi pemberian pada saat laju komsumsi pakan meningkat (pada siang hingga sore hari). Dengan cara pemberian pakan tersebut menunjukkan hasil yang lebih baik untuk pegobatan pemyakit kotoran putih. Hal ini di tunjukkan mulai berkurangnya kotoran yang mengambang dan udang mulai normal walaupun laju pertumbuhan rendah. Secara visual kotoran putih mulai berkurang setelah 2-3 hari perlakuan (petak F4). Kondisi ini diikuti laju konsumsi pakan juga mulai meningkat. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 210 IV. Kesimpulan 4.1 Kesimpulan Berdasarkan studi ekplorasi dari beberapa kawasan tambak, dengan manajemen budidaya udang yang baik pencegahan serangan penyakit berak putih dapat dilakukan dengan cara: 1.Tindakan pengendalian melalui perbaikan lingkungan, pengkayaan dengan ekstrat bawang putih melalui pakan dengan teknik pemberian pakan yang baik mampu menekan kematian sehingga dihasilkan produksi dengan SR> 70% dan pertumbuhan harian > 0,11 g/hari. 2.Pengelolaan lingkungan terutama media air tambak udang diarahkan pada teknik semi flok yaitu mengatur kesimbangan dominasi plankton dan bakteri probiotik dengan mengatur pH 7,5-8. Serta keseimbangan rasio N:P 16-20; dan rasio C:N 10-20 3.Aplikasi probiotik sesuai dengan fungsinya; terutama keberadaan Bacillus yang mampu menekan bakteri vibrio 4.2 Saran Perlu dilakukan kajian lanjutan pengendalian serangan kotoran putih untuk meningkatkan produktivitas dan produksi udang Daftar Pustaka Avnimelech, Y ., and G. Ritvo., 2003. Shrimp and fish pond soil: processes and management. Aquaculture 220,549-567. Avnimelech, Y., G. Ritvo., and M. Kocha., 2004. Evaluating the active redox and organic fractions in pond bottom soils: EOM, easily oxidized material. Aquaculture xx,xxx-xxx Bell TA, Lightner DV (1988) A handbook of normal shrimp histology. Baton Lightner DV (1977) Shrimp deseases. in : Sindermann,(Ed) Deseases diagnostic and control in north america aquaculture, Elsevier,Amsterdam,pp.10-77 Lightner DV (1988) Deseases of penaeid shrimp.in : Sindermann,C.J., Lightner, D.V. (Eds) Deseases diagnostic and control in north america marine aquaculture, 2nd edn. Elsevier,Amsterdam,p.8. Limsuwan, C. 2010. White faeces disease in thailand. www.nicovita.com.pe Siriporn sriurairatama; V bonwawiyat; W Gongnongie; C Laosutthipong; j Hirancan; T.W. flegel 2014, White deases syndrom of shrimp arises from tranformation, sloughing and agregation of hepatopankreatic microfili into vermiform bodies superficially resembling gregarines, Ploss one. www plosoone. org Supito. et.al. 2014. Petunjuk teknis budidaya udang vaname tambak demfarm. Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Kementrian Kelauatan dan Perikanan Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 211 APLIKASI SUPLEMEN PERTUMBUHAN rGH PADA BUDIDAYA BANDENG SEMI INTENSIF5 Oleh : Agus Suriawan6, M. Murdjani2, Sugeng Asmoro7 dan Sarman Efendi3 Abstrak Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi ikan bandeng adalah dengan menambahkan produk suplemen pada pakan. Salah satu bahan yang dapat digunakan adalah produk “rGH (recombinan growth hormon)”. Tujuan dari perekayasaan ini adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ikan bandeng yang dipelihara di tambak dengan menggunakan pakan yang diperkaya dengan rGH. 2 petak lahan seluas ± 5000 m2 yang disekat menjadi 2 dengan menggunakan jaring untuk membedakan 2 perlakuan rGH dan kontrol. Metode pada perekayasaan terdiri dari : Persiapan tambak pendederan, Persiapan tambak budidaya, Penebaran dan pemeliharaan ikan bandeng dan Aplikasi rGH dan pemberian pakan. 10 mg/kg pakan rGH diaplikasikan setiap minggu. rGH dicampur 1 liter larutan PBS dan 20 gram/kg pakan kuning telur, dikocok hingga tercampur merata, dan ditambahkan 10 ml minyak ikan. Larutan disemprotkan dengan sprayer. Sebagai kontrol adalah 0 mg/kg pakan atau pakan tanpa hormon + bahan pengkaya minyak ikan cod (K). Pakan buatan kemudian dikering-anginkan pada suhu ruang selama 1 jam dan pakan dapat langsung digunakan. Pakan diberikan sebanyak 4 % total berat biomass yang dibagi menjadi 2 kali pemberian pakan. Dari hasil analisa data budidaya Ikan Bandeng selama 77 hari dengan Independent-Samples T test menunjukkan aplikasi rGH memberikan efek yang signifikan (p<0,05) pada pertambahan berat dan panjang yang berimplikasi pada nilai persentase SGR. Pada sampling akhir berat rata-rata Ikan Bandeng dengan suplementasi rGH yaitu 218,61 ± 10,23 gram dan kontrol 174,36 ± 9,60 gram. Sedangkan pertambahan panjang dengan suplementasi rGH yaitu 28,83 ± 0,44 cm dan kontrol 26,78 ± 0,45 cm. Hasil perhitungan persentase rata-rata Spesific Growth Rate (SGR) (%cm dan %gram) aplikasi rGH memberikan hasil yang lebih tinggi dari kontrol berturut-turut adalah 0,56 ± 0,06 % cm/hari dan 0,41 ± 0,09 % cm/hari. Sedangkan nilai SGR berdasarkan berat adalah 1,30 ± 0,40 % g/hari dan 0,83 ± 0,16 % g/hari. Aplikasi rGH memberikan persentase hasil panen ukuran size 3-4 dan size 5-6 yang lebih besar dibandingkan kontrol 0 %. Begitu pula dengan persentase ukuran panen undersize (size ≥ 7) menunjukkan persentase yang lebih kecil. Sintasan hasil panen (SR) pada kedua perlakuan tidak jauh berbeda yaitu 75,68 % pada perlakuan rGH dan 77 % pada kontrol. Nilai FCR pada perlakuan rGH lebih rendah dibandingkan control yaitu 1,51 dan 1,62. Suplementasi rGH pada pakan Ikan Bandeng 10 mg / kg pakan memberikan peningkatan pertumbuhan, peningkatan berat rata-rata hasil panen dan nilai FCR yang lebih rendah. Kata kunci : rGH, Ikan Bandeng 5 Makalah disampaikan pada Asia-Pasific Aquaculture 2016, 26-29 April 2016 di Surabaya Perekayasa BPBAP Situbondo 7 Pengawas BPBAP Situbondo 6 Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 212 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ikan bandeng (Chanos chanos) merupakan salah satu komoditas utama yang mendukung industrialisasi perikanan budidaya. Balai Perikanan Budidaya Air Payau Situbondo turut serta mengembangkan komoditas Ikan Bandeng dalam rangka mendukung program-program pengembangan spesies ikan komersial yang termasuk dalam lingkup industrialisasi. Ikan bandeng banyak diusahakan oleh para petambak di perairan payau dan kegiatan budidaya ikan bandeng di tambak telah dikembangkan cukup lama. Hal ini didukung oleh potensi sumberdaya alam yang sangat baik terutama tersedianya benih ikan bandeng (nener) baik secara alami maupun dari hasil pembenihan di panti – panti pembenihan (hatchery), namun produksi dan produktivitasnya relatif masih rendah. Rendahnya produksi dan produktivitas ini antara lain disebabkan karena masih terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan petani tambak tentang teknis budidaya ikan bandeng. Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi ikan bandeng adalah dengan menambahkan produk suplemen pada pakan bandeng untuk memacu pertumbuhannya atau untuk meningkatkan kualitas pakan ikan bandeng dengan menggunakan pakan dengan kadar protein yang lebih rendah. Salah satu bahan yang dapat digunakan adalah produk “rGH”. Suplemen hormon pertumbuhan rekombinan (rGH) merupakan protein yang diproduksi oleh bioreaktor seperti bakteri Escherichia coli yang membawa vektor ekspresi gen hormon pertumbuhan. Penggunaan rGH juga merupakan prosedur yang relatif aman, karena yang dimodifikasi adalah bakteri yang memproduksi rGH saja, sehingga ikan yang diberikan rGH tidak dikategorikan sebagai organisme genetically modified organism/GMO (Acosta et al. 2007). Hal tersebut karena rGH tidak ditransmisikan ke keturunan ikan selanjutnya. Berbagai rGH ikan telah berhasil diproduksi seperti rGH ikan salmon (Sekine et al. 1985), rGH ikan flounder (Jeh et al. 1998), rGH orange-spotted grouper (Li et al. 2003); rGH ikan patin siam (Poen 2009), rGH ikan mas “rCcGH”, rGH ikan gurame “rOgGH” dan rGH ikan kerapu kertang “rElGH” (Alimuddin et al. 2010). Dari hasil penelitian Irmawati et al. (2012) diketahui bahwa tingkat produksi rElGH lebih tinggi daripada rCcGH dan rOgGH. Dosis rElGH untuk menghasilkan peningkatan pertumbuhan yang sama pada ikan gurame juga lebih rendah daripada rCcGH (Irmawati et al. 2012), sehingga penggunaan rElGH lebih efisien daripada rCcGH. Oleh karena itu, pada perekayasaan ini digunakan rElGH sehingga diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan, dan tingkat kelangsungan hidup pada budidaya ikan bandeng. Pada perekayasaan sebelumnya aplikasi suplemen pertumbuhan rGH 6 mg/lt dengan metode perendaman dapat meningkatan berat mutlak 23,14 – 36,85 % dan panjang mutlak 13,34 – 17,58 % serta kelangsungan hidup sebesar 94,6 % lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (Darmawiyanti, et al., 2014). Hasil yang sama diperoleh oleh Sofiat et al. (2014), pada pendederan benih bandeng dengan suplementasi rGH dengan dosis 5 mg/kg pakan memberikan hasil pertumbuhan terbaik. Dengan aplikasi rGH pada pakan bandeng dengan kadar protein yang lebih rendah (15 - 17 %) pada budidaya secara semi intensif diharapkan dapat meningkatkan produksi dan menurunkan biaya produksi pada budidaya bandeng. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 213 1.2. Tujuan Perekayasaan Tujuan dari perekayasaan ini adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ikan bandeng yang dipelihara di tambak dengan menggunakan pakan yang diperkaya dengan “rGH” 1.3. Sasaran Perekayasaan Sasaran dari perekayasaan ini adalah dihasilkan ikan bandeng ukuran 4-5 ekor/kg yang dipelihara di tambak selama 3-4 bulan dengan biaya produksi yang rendah. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Bandeng Ikan bandeng merupakan salah satu komoditas dari perairan payau. Ikan bandeng (Chanos chanos) sejenis ikan laut dari familias Chanidae, ordo Malacopterygii. DiSulawesi selatan dikenal sebagai ikan bolu . Badannya langsing berbentuk torpedo dengan sirip ekor yang bercabang, berwarna putih keperak-perakkan. Sepintas mirip ikan salem. Tetapi dagingnya tidak berwarna merah, melainkan putih susu, sampai diberbagai negara berbahasa inggris dikenal sebagai milkfish. Cirri utamanya adalah sirip dubur jauh dibelakang sirip punggung, sirip ekor panjang bercagak dengan keeping sebelahatas lebih panjang. Ciri umum yang mudah dikenal : tubuh memanjang agak pipih, mataditutupi lapisan lemak, pangkal sirip punggung dan dubur ditutupi sisik sikloid lunak warna hitam kehijau-hijauan dan keperak-perakkan. Dibagian sisi ada sisik tambahanyang besar pada pangkal sirip dada dan sirip perut. Bandeng jantan, warna sisik tubuh cerah, dan mengkilap keperak-perakkan, jugamemiliki 2 lubang kecil dibagian anus yang tampak jelas pada jantan dewasa. Bandeng betina dapat dikenali dari perutnya yang agak buncit, dan terdapat 3 buah lubang dibagiananus yang tampak jelas pada betina dewasa. Dialam, biasanya bandeng jantan lebih banyak ditemukan, mencapai 60-70 % jumlah populasi dibandingkan bandeng betina. Dilaut panjang badannya dapat mencapai 1 meter, tetapi dalam tambak ia tidak dapat melebihi ukuran 50 cm. selain karena factor ruang, juga karena memang sengaja dipungut sebelum menjadi dewasa benar. Jenis bandeng ini tersebar mulai dari pantaiAfrika Timur sampai ke kepulauan Tuamotu, sebelah timur Tahiti, dan dari Jepangselatan sampai Australia utara. 2.2. Hormon Pertumbuhan Rekombinan Penggunaan protein hormon pertumbuhan rekombinan (rGH) ikan diduga sebagai salah satu metode alternatif untuk meningkatkan pertumbuhan ikan budidaya. Penggunaan protein rGH ikan dalam meningkatkan produktivitas atau pertumbuhan ikan budidaya dilakukan dengan prosedur yang aman, sehingga ikan yang diberi rGH bukan merupakan organisme GMO (Acosta et al. 2007) dan rGH tersebut tidak ditransmisikan ke keturunannya. Pada ikan teleostei secera khusus telah banyak pustaka yang menyatakan dampak hormon pertumbuhan rekombinan dapat mempercepat pertumbuhan (McLean et al. 1997). Bioaktivitas protein rGH dalam meningkatkan pertumbuhan telah dilaporkan pada beberapa jenis ikan seperti ikan rainbow trout (Onchorhynchus mykiss) dengan menggunakan rGH ikan salmon (Moriyama et al. 1993), ikan mas dengan menggunakan rGH ikan giant catfish (Pangasianodon gigas) Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 214 (Promdonkoy et al. 2004), dan ikan flounder (Paralichtys olivaceus) dengan menggunakan rGH juga dari ikan flounder (Jeh et al. 1998). Pemberian 0,5% rGH dalam pakan selama 12 minggu pada juvenil ikan sea bream hitam menunjukkan perbedaan bobot sebesar 41,67% dengan ikan kontrol setelah pemeliharaan selama 18 minggu (Tsai et al. 1997). Sedangkan pada benih ikan baronang, pemberian rGH sebesar 0,5 μg/g bobot tubuh sebanyak 1 kali per minggu selama 4 minggu dapat meningkatkan bobot tubuh sebesar 20% dari kontrol (Funkenstein et al. 2005). Lesmana (2010) melaporkan bahwa pemberian rGH yang berbeda pada ikan nila melalui teknik penyuntikan atau injeksi dengan meningkatkan bobot 20,94% (rGH ikan kerapu kertang), 18,09% (rGH ikan mas), dan 16,99% (rGH ikan gurami). Pemberian melalui penyuntikan dapat dikatakan kurang aplikatif dan memperlihatkan respons yang lambat, hal ini diduga terjadi karena reseptor memerlukan faktor intermediat atau waktu untuk mengenali rGH yang diinjeksikan. Berbeda dengan penelitian Utomo (2010) bahwa penyuntikan rGH ikan mas pada ikan mas meningkatkan pertumbuhan sebesar 106,56% bila dibandingkan dengan ikan mas yang tidak diinjeksi. Lesmana (2010) melaporkan bahwa pemberian rGH yang berbeda pada ikan nila melalui teknik penyuntikan atau injeksi dengan meningkatkan bobot 20,94% (rGH ikan kerapu kertang), 18,09% (rGH ikan mas), dan 16,99% (rGH ikan gurami). Pemberian melalui penyuntikan dapat dikatakan kurang aplikatif dan memperlihatkan respons yang lambat, hal ini diduga terjadi karena reseptor memerlukan faktor intermediat atau waktu untuk mengenali rGH yang diinjeksikan. Berbeda dengan penelitian Utomo (2010) bahwa penyuntikan rGH ikan mas pada ikan mas meningkatkan pertumbuhan sebesar 106,56% bila dibandingkan dengan ikan mas yang tidak diinjeksi. 2.3. Metode Penggunaan Hormon Pertumbuhan Rekombinan (rGH) Aplikasi rGH dapat dilakukan melalui metode injeksi, perendaman dan melalui pakan. Pemberian rGH melalui penyuntikan telah berhasil dilakukan pada ikan rainbow trout (Onchorhynchus mykiss) (McLean et al. 1997), channel catfish (Ictalurus punctatus) (Silverstein et al. 2000), dan ikan mujair (Oreochromis mossambicus) (Leedom et al. 2002). Metode Perendaman rGH pada ikan gurami dapat meningkatkan pertumbuhan hingga 75,04% (Putra 2011). Pemberian HPr melalui pakan telah dilakukan oleh Moriyama et al. (1993) pada ikan rainbow trout. Morse (1984) menyatakan bahwa hormon pertumbuhan sapi dapat mempercepat pertumbuhan pasca larva abalon (Haliotis rufescens) melalui perendaman. Demikian pula pada eastern oyster (Virginica crassostrea) rGH rainbow 7 8 trout dapat meningkatkan pertambahan bobot larva pada dosis 10 dan 10 M selama 5 jam dengan interval 7 hari dengan metode perendaman (Paynter dan Chen 1991). Acosta et al. (2009) menyatakan bahwa pemberian GH ikan nila dengan metode perendaman pada larva ikan mas koki dapat meningkatkan bobot tubuh hingga 3,5 kali dibandingkan kontrol. Teknik penyuntikan dirasa kurang aplikatif karena ikan harus diinjeksi satu per satu. Oleh karena itu, dibutuhkan metode yang lebih efisien dan efektif dalam penerapan pemberian rGH, sehingga diharapkan dapat meningkatkan efektivitas penyerapan rGH untuk meningkatkan laju pertumbuhan ikan. Sementara pemberian Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 215 rGH melalui oral masih menjadi perdebatan karena ada kemungkinan rGH yang diberikan akan dicerna sebagai protein sebelum mencapai organ target. III. BAHAN DAN METODA 3.1. Bahan dan Alat Bahan yang dibutuhkan dalam perekayasaan adalah : Gelondongan bandeng dengan berat rata-rata ± 50 g dengan panjang rata-rata ± 17 cm. Pakan buatan dengan kadar protein 17-19 % dan 21-23 % Bahan pengkayaan komersial Hormon pertumbuhan rekombinan / recombinant growth hormone RGH, diproduksi dari kloning hormon pertumbuhan ikan kerapu kertang (Alimuddin et al. 2010). Strain bakteri E. coli BL21 dipilih sebagai bioreaktor untuk memproduksi protein rekombinan GH kerapu kertang (rElGH). Konstruksi gen ElGH pada plasmid pCold berasal dari laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik , FPIK IPB. Sedangkan produksi rElGH dilakukan di laboratorium bioteknologi BPBAP Situbondo Pupuk organik dan Pupuk anorganik Alat yang dibutuhkan dalam perekayasaan adalah : Wadah pemeliharaan berupa petakan tambak 5000 m2 Sprayer, Peralatan lapangan dan Alat pengukur kualitas air 3.2. Metode Pada kegiatan perekayasaan ini dilakukan pada 2 petak lahan seluas ± 5000 m2 yang disekat menjadi 2 dengan menggunakan jaring untuk membedakan 2 perlakuan yang digunakan yaitu penggunaan benih yang diperkaya dengan rGH dan kontrol. Adapun metode pada perekayasaan terdiri dari : a. Persiapan tambak pendederan Lahan dikeringkan selama 1 minggu Setelah pengeringan tambak sempurna, dilakukan pemupukan dengan pupuk organik 500 kg dan pupuk anorganik (TSP dan Urea) masing-masing 40 kg yang disebarkan secara merata keseluruh dasar tambak. Memasukkan air setinggi 20 cm dan pintu air ditutup rapat kemudian biarkan selama 7 -10 hari sampai terbentuk pakan alami yaitu plakton dan kelekap. Selanjutnya air dinaikkan menjadi 40 cm Pemupukan susulan dapat dilakukan apabila pakan alami mulai habis, digunakan pupuk anorganik dengan dosis 20 – 30 kg/Ha b. Persiapan tambak budidaya Lahan dikeringkan selama 1 minggu Jaring penyekat dengan tinggi 1,5 meter dipasang ditengah petakan. Tambak diisi dengan air dengan ketinggian minimal 80 cm. Selanjunya tambak disaponin dengan dosis 10 ppm untuk mematikan ikan liar. Kincir air dipasang sebanyak 2 buah. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 216 Setelah 3 hari tambakdapat ditebar dengan gelondongan bandeng c. Penebaran dan pemeliharaan ikan bandeng Benih bandeng didederkan terlebih dahulu hingga mencapai ukuran gelondongan berat rata-rata ± 50 g dengan panjang rata-rata ± 17 cm. Benih bandeng ditebar dengan kepadatan 10.000 ekor (2 ekor/m2) Benih Bandeng selanjutnya diadaptasikan dengan pakan buatan selama 2 minggu. Setelah repon terhadap pakan buatan cukup baik maka aplikasi rGH mulai dilakukan. Proses budidaya dilakukan selama 120 hari. d. Aplikasi rGH dan pemberian pakan Dosis rGH yang diberikan adalah 10 mg/kg pakan yang diaplikasikan setiap minggu. Suplemen RGH ditambahkan kedalam pakan komersial dengan teknik penyalutan dengan mencampur 1 liter larutan PBS dengan 20 gram/kg pakan kuning telur, dikocok hingga tercampur merata. Kemudian ditambahkan rGH sesuai dosis dan ditambahkan 10 ml bahan pengkaya dengan kandungan utama minyak ikan cod. Larutan digunakan dengan cara disemprotkan dengan sprayer. Sebagai kontrol adalah 0 mg/kg pakan atau pakan tanpa hormon + bahan pengkaya minyak ikan cod (K). Pakan buatan kemudian dikering-anginkan pada suhu ruang selama 1 jam, pakan dapat langsung diberikan atau disimpan pada ruangan bersuhu sekitar 16o C. Pakan diberikan sebanyak 4 % total berat biomass yang dibagi menjadi 2 kali pemberian pakan. e. Pengamatan Pada kegiatan uji coba ini pengamatan yang dilakukan meliputi : a. Pertumbuhan (pertumbuhan panjang relatif dan rerata pertambahan berat) yang dilakukan 10 hari sekali. b. Sintasan (tingkat kelangsungan hidup), dihitung pada akhir kegiatan c. FCR d. Kualitas air, yang diukur secara periodik setiap 10 hari sekali. f. Analisis statistik Semua data yang diperoleh akan dianalisa dengan menggunakan program SPSS statistical package versi 18.0 untuk Windows dan Microsoft Excel. Hasil analisa akan dipresentasikan dalam rata-rata ± SE (Standard error) dan perbedaan antara perlakuan akan di investigasi dengan menggunakan Independent-Samples T test. Untuk data yang tidak terdistribusi normal akan dianalisa dengan Mann Whitney U test. Semua perbedaan signifikan pada data akan ditampilkan pada tingkat kepercayaan P<0.05. IV. HASIL KEGIATAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Kegiatan a. Pertumbuhan Penambahan rGH pada pakan Ikan Bandeng memberikan hasil pertambahan berat dan panjang yang signifikan dibandingkan dengan kontrol. Dari hasil analisa data Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 217 budidaya Ikan Bandeng selama 77 hari dengan Independent-Samples T test menunjukkan aplikasi rGH memberikan efek yang signifikan (p<0,05) pada pertambahan berat dan panjang yang berimplikasi pada nilai persentase SGR. Pada sampling akhir pemeliharaan selama 77 hari pertambahan berat rata-rata Ikan Bandeng dengan suplementasi rGH yaitu 218,61 ± 10,23 gram dan kontrol 174,36 ± 9,60 gram (Gb. 1). Sedangkan pertambahan panjang dengan suplementasi rGH yaitu 28,83 ± 0,44 cm dan kontrol 26,78 ± 0,45 cm (Gb.2). Gambar 1. Perbandingan pertambahan berat (gram) antara ikan bandeng yang di suplementasi dengan rGH dan kontrol proses budidaya Gambar 2. Perbandingan pertambahan panjang (cm) antara ikan bandeng yang di suplementasi dengan rGH dan kontrol selama proses budidaya Hasil perhitungan persentase Rata-rata Spesific Growth Rate (SGR) (%cm dan %gram) antara Ikan Bandeng yang di suplementasi dengan rGH memberikan hasil yang lebih tinggi dari kontrol. SGR berdasarkan data panjang Ikan Bandeng yang di suplementasi dengan rGH dibandingkan dengan kontrol berturut-turut adalah 0,56 ± 0,06 % cm/hari dan 0,41 ± 0,09 % cm/hari. Sedangkan nilai SGR berdasarkan berat adalah 1,30 ± 0,40 % g/hari dan 0,83 ± 0,16 % g/hari Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 218 Gambar 3. Perbandingan berat rata-rata budidaya bandeng dengan menggunakan pakan dengan kadar protein 21-23 % dan kadar protein 17-19 % yang disuplementasi rGH. Hasil analisa dengan Independent-Samples T test pada perbandingan berat ratarata data budidaya Ikan Bandeng dengan pakan berkadar protein 17-19 % yang di suplementasi dengan rGH dibandingkan dengan budidaya Ikan Bandeng dengan pakan berkadar protein 21-23 % memberikan hasil yang tidak signifikan (Gb. 3). b. Kualitas air Tabel 1. Hasil pengukuran kualitas air pada tambak budidaya Ikan Bandeng selama kegiatan perekayasaan No 1 2 3 4 5 Parameter Kualitas Air Satuan Nilai o Suhu C 29 - 30 pH 7,8 - 8,2 Salinitas ppt 10 - 20 Kecerahan cm 30 - 40 pH tanah 6 Hasil rata-rata kualitas air yang diukur secara periodik 14 hari sekali menujukkan hasil yang masih sesuai dengan standar budidaya bandeng di tambak. c. Data hasil panen, SR, size panen, dan FCR Dari data hasil panen yang disajikan pada gambar 4. menunjukkan aplikasi rGH memberikan hasil panen yang lebih baik dibandingkan dengan control yang dilihat dari aspek persentase distribusi berat hasil panen. Pemeliharaan Ikan bandeng dengan pemberian rGH memberikan persentase hasil panen ukuran size 3-4 dan size 5-6 yang lebih besar dibandingkan kontrol 0 %. Begitu pula dengan persentase ukuran panen undersize (size ≥ 7) menunjukkan persentase yang lebih kecil pada pemeliharaan Ikan. Sintasan hasil panen (SR) pada kedua perlakuan tidak jauh berbeda yaitu 75,68 % pada perlakuan rGH dan 77 % pada kontrol. Nilai FCR pada perlakuan rGH lebih rendah dibandingkan control yaitu 1,51 dan 1,62. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 219 Gambar 4. Distribusi ukuran hasil panen ikan bandeng dengan 3 ukuran berbeda 4.2. Pembahasan Penggunaan protein hormon pertumbuhan rekombinan (rGH) ikan sebagai salah satu metode alternatif untuk meningkatkan pertumbuhan ikan budidaya, telah banyak diteliti. Pada ikan teleostei secera khusus telah banyak pustaka yang menyatakan dampak hormon pertumbuhan rekombinan dapat mempercepat pertumbuhan (McLean et al. 1997). Bioaktivitas protein rGH dalam meningkatkan pertumbuhan telah dilaporkan pada beberapa jenis ikan seperti ikan rainbow trout (Onchorhynchus mykiss) dengan menggunakan rGH ikan salmon (Moriyama et al. 1993), ikan mas dengan menggunakan rGH ikan giant catfish (Pangasianodon gigas) (Promdonkoy et al. 2004), dan ikan flounder (Paralichtys olivaceus) dengan menggunakan rGH juga dari ikan flounder (Jeh et al. 1998). Pada ikan, peran growth hormon (GH) berlangsung hampir di semua proses fisiologis dalam tubuh termasuk regulasi ion, keseimbangan osmosis, metabolisme lemak-protein dan karbohidrat, pertumbuhan tulang keras dan tulang rawan, reproduksi dan fungsi imun (Reinecke et al, 2005 dalam Subaidah, 2013). Pada perekayasaan ini, suplementasi rGH (rGH) pada pakan Ikan Bandeng 10 mg / kg pakan memberikan peningkatan pertumbuhan yang signifikan. Pada perekayasaan sebelumnya aplikasi suplemen pertumbuhan rGH 6 mg/lt dengan metode perendaman dapat meningkatan berat mutlak 23,14 – 36,85 % dan panjang mutlak 13,34 – 17,58 % serta kelangsungan hidup sebesar 94,6 % lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (Darmawiyanti, et al., 2014). Hasil yang sama diperoleh oleh Sofiat et al. (2014), pada pendederan benih bandeng dengan suplementasi rGH dengan dosis 5 mg/kg pakan memberikan hasil pertumbuhan terbaik. Mekanisme kerja GH yang memacu pertumbuhan dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung GH memacu pertumbuhan dengan merangsang pelepasan somatomedin dan mempengaruhi metabolisme protein karbohidrat dan lemak (Moriyama & Kawauchi, 2001). Sedangkan mekanisme tidak langsung adalah dengan menstimulasi pertumbuhan linear skeleton yang difasilitasi oleh insulin growth factor-1 (IGF-1). Sintesis dan pelepasan IGF-1 diawali dengan Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 220 masuknya rangsangan eksternal yang diintregasikan oleh otak menjadi suatu perintah ke kelenjar pituitari untuk mensintesis dan mensekresikan GH. GH masuk ke dalam jaringan pembuluh darah, selanjutnya berikatan dengan reseptor spesifik yaitu growth hormon reseptor (GHR) di beberapa organ target terutama hati untuk menstimulasi sintesis dan pelepasan IGF-1 (Bolander, 2004) Mclean (1997) menyatakan peningkatan pertumbuhan yang disebabkan efek dari GH disebabkan karena adanya modifikasi pada ruang pembentukan nutrient. Sebagai indikasi pada penelitian pada ikan pasifik salmon adalah dengan menurunnya kadar cadangan lemak pada ikan perlakuan yang berkorelasi dengan pertumbuhan tulang dan peningkatan kadar protein. Alternatif lainya adalah GH menstimulasi dekomposisi protein rata-rata lebih tinggi dari lemak. Efek lain dari penambahan rGH pada pakan Ikan Bandeng adalah konversi pakan yang lebih baik yang ditunjukkan dengan nilai FCR yang lebih rendah. Devlin et al. (1994b) menyatakan aplikasi GH dapat meningkatkan efisiensi konversi pakan. Pada perekayasaan ini pemberian dosis 10 mg/kg pakan diaplikasikan setiap seminggu sekali. Jika dihitung secara komersial, pemberian rGH pada Ikan Bandeng tidak menguntungkan dikarenakan harga jual ikan bandeng yang rendah. Untuk menurunkan biaya produksi pada perekayasaan ini digunakan pakan bandeng dengan kadar protein yang rendah yang berkisar antara 17-19 persen. Jika dibandingkan dengan hasil budidaya bandeng dengan pakan berprotein 21 – 23 persen, tingkat pertumbuhan ikan bandeng dengan pakan yang berprotein lebih rendah yang ditambahkan rGH. Tetapi jika dihitung dengan penggunaan dosis rGH 10 mg/kg maka biaya produksi masih lebih tinggi. Maka diperlukan perekayasaan dengan menggunakan dosis rGH yang lebih rendah sehingga biaya produksi dapat turunkan. V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1. Kesimpulan Suplementasi rGH pada pakan Ikan Bandeng 10 mg / kg pakan memberikan peningkatan pertumbuhan, peningkatan berat rata-rata hasil panen dan nilai FCR yang lebih rendah. 5.2. Rekomendasi Perlu dilakukan perekayasaan lebih lanjut tentang dosis rGH dan level protein pakan yang lebih rendah untuk menekan biaya produksi DAFTAR PUSTAKA Acosta J, Morales R, Morales A, Alonso M, Estrada MP. 2007. Pichia pastoris expressing recombinant tilapia growth hormone accelerates the growth of tilapia. Biotechnology Lett. 29: 1671-1676. Acosta JR, Estrada MP, Carpio Y, Ruiz O, Morales R, Martinez E, Valdes J, Borroto C, Besada V, Sanchez A, Herrera F. 2009. Tilapia somatotropin polypeptides : potent enhancers of fish growth and innate immunity. Biotechnologia Aplicada, 26:267-272. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 221 Alimuddin, Lesmana I, Sudrajat AO, Carman O, Faizal I. 2010. Production and bioactivity potential of three recombinant growth hormones of farmed fish. Indonesian Aquaculture Journal, 5:11-16. Bolander FF, 2004. Molecular Endocrinology , 3nd ed. London (GB): Elsevier Academic Pr. Darmawiyanti, V., Sofiati, Indah K., Widodo A.P., 2014 Penggunaan Suplemen Pertumbuhan RGH Pada Pendederan Ikan Bandeng Chanos Chanos Forskal Di Bak Terkontrol. Makalah Perekayasaan. Balai Perikanan Budidaya Air Payau Situbondo Devlin,RH., Byatt, JC., McLean,E., Clarke, WC., Donaldson, EM., Yaseki TY., Krivi, GG., Jaworski., EG. 1994b. Bovine Placental Lactogen is a Potent Stimulation of growth and Displays strong binding to hepatic receptor sites of coho salmon, Gen. Comp. Endocrinology. 95, 31-41. Funkenstein B, Dyman A, Lapidot Z, de Jesus-Ayson EG, Gertler A, Ayson FG. 2005. Expression and purification of a biologically active recombinant rabbitfish (Siganus guttatus) growth hormone. Aquaculture, 250:504-515. Handoyo B. 2012. Respons benih ikan sidat terhadap hormon pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang melalui perendaman dan oral. [Tesis]. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Irmawati, Alimuddin, Zairin M, Suprayudi MA, Wahyudi AT. 2012. Peningkatan laju pertumbuhan benih ikan gurame (Osphronemus goramy Lac.) yang direndam dalam media yang mengandung hormon pertumbuhan ikan mas. Jurnal Iktiologi Indonesia (in press). Jeh HS, Kim CH, Lee HK, Han K. 1998. Recombinant flounder growth hormone from Escherichia coli: overexpression, efficient recovery, and growth-promoting effect on juvenile flounder by oral administration. Journal Biotechnology, 60:183-193. Leedom TA, Uchida K, Yada T, Richman NH, Byatt JC, Collier RJ, Hirano T, Grau EG. 2002. Recombinant bovine growth hormone treatment of tilapia: growth response, metabolic clearance, receptor binding and immunoglobulin production. Aquaculture, 207:359–380. Lesmana I. 2010. Produksi dan Bioaktivitas Protein Rekombinan Hormon Pertumbuhan Dari Tiga Jenis Ikan Budidaya. [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 222 Li Y, Bai J, Jian Q, Ye X, Lao H, Li X, Luo J, Liang X. 2003. Expression of common carp growth hormone in the yeast Pichia pastoris and growth stimulation of juvenile tilapia (Oreochromis niloticus). Aquaculture 216 : 329-341. McLean,E., Devlin,RH.,Byatt, JC., Clarke, WC., Donaldson, EM., Impact of a controlled release formulation of recombinant bovine growth hormone upon growth and seawater adaptation in coho (Oncorhynchus kisutch) and chinook (Oncorhynchus tshawytscha) salmon, Aquaculture, Volume 156, Issues 1–2, 14 October 1997, Pages 113-128, Moriyama & Kawauchi, 2001. Growth Regulation by growth hormon and insulin-like growth factor-I in teleosts. Otsuchi Mar. Sci. 26:23-27. Poen S. 2009. Cloning, over-expression and characterization of growth hormone from stripped catfish (Pangasianodon hypophthalmus). [tesis]. Master of Science (Genetic Engineering) Graduate School, Kasetsart University. Promdonkoy B., Warit S, Panyim S. 2004. Production of a biologically active growth hormone from giant catfish (Pangasianodon gigas) in Escherichia coli. Biotechnology Letter, 26:649-653. Sakai M, Kajita Y, Kobayashi M, Kawauchi H.1997. Immunostimulating effect of growth hormone : in-vivo administration of growth hormone in rainbow trout enhances resistance to Vibrio anguillarum infection. Vet Immunol Immunopathol. Sekine S, Mizukami T, Nishi T, Kuwana Y, Saito A, Sato M, Itoh S, Kawauchi H. 1985. Cloning and expression of cDNA for salmon growth hormone in Escherichia coli. Proc. Natl. Acad. Sci. USA, 82:4306-4310. Sofiati, Triastutik, G. Wiwin Mukti A dan Sugeng Harjono, Ribut Wijayaning P dan Faries., 2014. Penggunaan suplemen pertumbuhan rGH Pada benih bandeng Makalah Perekayasaan. Balai Perikanan Budidaya Air Payau Situbondo Subaidah, 2013. Respon Pertumbuhan dan Imunitas Udang Vaname Litopenaeus vannamei Terhadap Pemberian Hormon Pertumbuhan Rekombinan Ikan Kerapu Kertang. Ringkasan Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Tsai HJ, Hsih. MH, Kuo JC. 1997. Escherichia coli produced fish growth hormone as a feed additive to enhance the growth of juvenile black seabream (Acanthopagrus schlegeli). J. Appl. Ichthyol., 13:78-82. Utomo DSC, 2010. Produksi dan Uji Bioaktivitas Protein Rekombinan Hormon Pertumbuhan Ikan Mas. [tesis]. Depertemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 223 Wong A, Zhou H, Jiang Y, Ko W. 2006. Feedback Regulation of Growth Hormone Synthesis and Secretion in Fish and The Emerging Concept of Intrapituitary Feedback Loop. Comparative Biochemistry and Physiology Part A 144 (2006) 284-305 Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 224 APPLICATION OF NURSERY FEED FOR MILKFISH WITH LOCAL RAW MATERIAL1) By : 2) Veni Darmawiyanti , Sofiati2) and M. Murdjani3) ABSTRA CT Feed is the highest cost components in aquaculture so that it becomes the determining factor profits. Nowadays due to higher feed prices, to reduce the cost of production of many farmers who use commercial feed with protein content under the SNI . The high feed prices caused by the majority of commercial feed raw materials dependent on imported products. One solution to reduce the price of feed is to produce feed On Farm Feed. Use of local raw materials in the manufacture of feed on farm feed are also expected to be a solution to lower feed prices. Engineering activity was done in an effort to find a formula feed nursery for fish-based feed raw materials locally and also to study the response of the growth in nursery feed milkfish with quality under the SNI . The method in this activity was to compare three treatments, namely A. Feed control diet with 30 % protein content , B. Formula feed with local ingredients with a protein content of 23 % , C. Formula feed with local material + enzyme with a protein content of 23 % . Engineering activity results showed that the growth rate in a row following treatment A. 2.01 + 0.38 %, followed by treatment of C. 1.59 + 0.50 % and + 0.35 1.03 B. Treatment % . A level of feed digestibility. 00:47 95.51 % + 95.67 + C. Followed by treatment and treatment B. 00:55 89.67 % + 2.70 % . Keywords : Feeding , Nursery of Milkfish , Local Ingredients 1)Paper presented at Asian-Pacific Aquaculture, 2016. Hotel Grand City,Surabaya 26-29 April 2016 2)Specialist Engineer, BADC Situbondo 3)Principal Engineer, BADC Situbondo Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 225 APPLICATION OF NURSERY FEED FOR MILKFISH WITH LOCAL RAW MATERIAL By : Veni Darmawiyanti, Sofiati and M. Murdjani I. INTRODUCTION 1.1.Background The increase in fisheries production was influenced by several factors, including the availability of seed or fry quality and sustainable, healthy aquatic media and feed quality. Feed is the highest cost components in aquaculture so that it becomes the determining factor profits. Until now feed into obstacles because the price fluctuates widely. The high feed prices caused by the majority of commercial feed raw materials dependent on imported products. The use of local raw materials is often constrained factors material quality and sustainability of supply. But based on local feed ingredients should continue to be developed as an attempt to overcome the constraints of feed supply. One solution to reduce the price of feed is to produce feed On Farm Feed. Feed on-farm feed is expected to shorten the chain of food production that will lower production costs, and ultimately lower the price of feed on fish farmers. The use of local raw materials in the manufacture of feed on farm feed are also expected to be a solution to lower feed prices. Therefore it takes effort to develop materials based premix raw materials locally applicable. Nowadays due to higher feed prices, to reduce the cost of production of many farmers who use commercial feed with protein content under the SNI . However, if the use of artificial feed with a protein content below the requirements of SNI benefit has not been known . Engineering activity was done in an effort to find a formula feed nursery for fish-based feed raw materials locally and also to study the response of the growth in nursery feed milkfish with quality under the SNI. 1.2. Goals and Objectives The purpose of this activity is to find a nursery feed formula milkfish-based on feed ingredients locally . Targets to be achieved is obtained by separating the feed formula that is economical and support the successful cultivation of milkfish. II . LITERATURE REVIEW 2.1. Milkfish, Chanos chanos Forskal In taxonomy, this fish belongs to a class of Pisces, Teleostei subclass, Malacopterygii order, family and genus Chanos Chanidae. In nature milkfish was migratory fish from the sea at 35 ppt salinity brackish area close to the mouth of the river to 15-20 ppt salinity and even to the point of fresh water. Therefore, these fish are classified as fish euryhaline (able to deal with salinity changes are very large). If viewed in morphology, digestive tract in fish consists of the pharynx, esophagus, ventriculus, intestine and anus. Teeth and tools chewers no food at all and very small mouth. Although fish have gills filter but not large enough to ensure that fish depend only on plankton. Research on gut fish on the beach showed that the main food are diatoms, Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 226 algae and residual rough, rhyzopoda and gastropods. Research on milkfish fry intestinal contents in an enlargement shows that the main food are rotting vegetation, blue algae, diatoms and protozoa mixed with bacteria (Hartati 1986). 2.2. Raw materials alternative feed for fish The availability and price of commercial feed is often fluctuates because it depends on imported materials and the dollar exchange rate world . One effort to overcome these obstacles is to use alternative raw materials in their usage does not compete with humans, is cheap and easy to obtain. Some alternative feed ingredients rich in protein and cheap is the feed material and by-products of plant origin and feed raw materials from algae . Some types of plants and by-products are often used for fish feed rations such as corn, soybeans and soybean meal , rice bran and tofu . Corn is composed of three types: Yellow corn rather red and white corn . Yellow corn and red better than white corn because of the carotene content of vitamin A is high . Before use of corn to be ground smooth for easy mixing . The use of corn in the composition of fish meal is by 10-30 % . Corn protein content of about 9 % ( Murtidjo , 2001) . Pulp tofu is a waste of industrial manufacturing know, if not treated properly can pollute the environment. Total pulp tofu production are available, do not compete with human needs ( because it is not edible ) and nutritional content is high enough that the protein content ranged between 21.3 - 27 % , crude fiber and fat 16 -23 % 4.5 -17 % ( Kompiang et al., 1997) . Utilization of pulp tofu constrained by high fiber and low digestibility . Rice bran is a by product of rice milling potential as a food fish . Rice bran is composed of three kinds of material origin is bran / grain that is the part that contains a lot of crude fiber and minerals, white membrane that is the part that contains protein, vitamin B1, fats and minerals, and the third is a carbohydrate substance that is part of easily digestible, Rice bran protein content varies greatly depending on the process that is about 7-14 % . Soybeans and soybean meal feed ingredients were potential as a source of vegetable protein content was highest. Besides being easily digested, amino acid content is also high, except the amino acid Cistin. If combined with corn which contains Cistin, then soybeans and soybean meal was excellent as complementary. Crude Soybean contains anti nutrients growth of anti - trypsin inhibitor. Therefore, raw soybeans to be roasted first and then ground into flour. The use of soybean meal in fish feed composition can reach 20 % . Source material useful as an alternative feed ingredient vegetable protein sparring effect for marine fish is an energy source other than the protein so that the protein can be maximized its use for growth . This is because the source of vegetable feed ingredients are generally high in carbohydrates . Marine finfish better able to convert energy from protein than carbohydrates or fats . Therefore, efforts should be Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 227 sought to be pursued carbohydrates and fats as an energy source , so that the protein can be maximized for growth. III . MATERIALS AND METHODS 3.1. Material test The materials needed in the implementation of the activities include: • Milkfish fry size of 2-3 g • Raw material feed: fishmeal, pulp tofu, rice bran, corn flour, soybean meal, starch, fish oil, vitamin mix, mineral mix, enzymes . • Chemical analysis: chromium oxide, nitric acid, perchloric acid, distilled water 3.2. Equipment Field Equipment needed in activities including: Fiberglass tub volume of 0.5 m3 Plastic Container volume of 60 L Plastic scoop and scoopnet Siphon pipe Unit aerator Reversible portable pump 3.3. Management of feeding Test design was designed as follows : treatment of feed consisting of 3 feed formula is A. preservation of seed by feeding controls ( protein content min 30 % ) ; B. maintenance of seed with artificial feeding based on local ingredients ( protein content min 20 % ) , C. maintenance of seed with artificial feeding based on local ingredients ( protein content min 20 % ) , with the addition of the enzyme. Formula for engineering artificial feed is shown in Table 1 below . Each treatment will be carried out 3 times replications. Tabel 1. Feed Test Fish Meal Pulp Tofu Soybean meal Rice bran Corn flour Starch Fish oil Vitamin Mineral Binder antioksidan enzyme Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 A 30 20 13 18.5 10 6 0.2 0.3 2 0.01 - Treatment B 5 20 20 18 19.5 10 5 0.2 0.3 1 0.01 - C 5 20 20 18 19.5 10 5 0.2 0.3 1 0.01 1 228 Nutrition (DM %) Raw protein Raw fat Water Ash Crude fibre BETN 34 13.69 8.4 11.44 5.45 28.10 23.06 13.86 23.03 7.72 9.99 39.78 23.06 13.86 23.03 7.72 9.99 39.78 Maintenance of milkfish fry Maintenance is carried out in fiberglass tub capacity of 0.5 m3, indoor to maintain quality controlled environment. Milkfish fry was hatchery production of BADC Situbondo + acclimatized for 2 weeks to be able to adapt to the environment and feed test The timing of that 36-day observation of the growth response and 30 days of observation digestibility of feed. Stocking density 500 fries / container To maintain the condition remains good medium for the growth of the test animals do siphon and change the water. Percentage replace the water carried stadia and conditions tailored to the media, so too do the treatment siphon. When the primary vessel is already dirty, do siphon. The feedin was done 3 times a day (08:00, 12:00, 16:00 pm) with the amount of feed rations 5% weigh of total biomass. Checking visually fish was done 3 times / day ie morning, noon and night. Checking the quality of water as the temperatures do every day while other water quality once a week. Observations response feed intake and digestibility done by maintenance in a plastic container volume of 60 L. Fish gets the feed that has been given indicator and analyzed feces. Every month checking test animal growth (weight and length) End engineering also made observations on the level of survival (Survival Rate / SR). 3.4. The test parameters Test parameters to be observed growth response parameters , among others : the level of food consumption, absolute growth ( G ), the growth rate and survival rate of seeds, while to know the quality of the feed and its effectiveness was observed nutritional quality of feed. 3.5. Data processing Treatments will do two replications and observation data will be analyzed descriptively to determine whether different types of artificial feed provides different growth responses to the development of the seed . Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 229 IV . RESULTS AND DISCUSSION The first stage in the preparation of feed formula is the data collection nutrient content of feed ingredients. The data collection nutrient content of feed ingredients is done by analyzing the content of which includes the proximate analysis of crude protein, crude lipid content, water content, ash content, crude fiber content and extract materials without nitrogen. The results of proximate analysis of feed raw materials shown in Table 2 below . No 1 2 3 4 5 Table 2. The results of proximate analysis of feed ingredients Parameter Unit Test results Fish Pulp Rice Soybean Corn Meal Tofu bran meal flour The % 63.93 21.1 6 49.81 10.8 protein content The fat % 10.99 14.7 9.4 2.5 4.7 content The ash % 17.6 0 8.7 7.74 17.5 content Water % 9.43 81.94 12.5 10.78 10.9 content Crude % 3.74 25.43 8.4 13.85 3.1 fibre content Starch 0.4 0.54 1.55 12.8 13.16 Proximate above content data used as basis for the preparation of feed formulas treatment. On the application of engineering activities of local raw materials in feed fish this enlargement, feed isonitrogen treatment. A feed containing protein treatment of at least 30 % in accordance with the requirements of protein nursery only fish on the ISO 7308 : 2009 artificial feed for intensive fish farming . While feed treatment B and C are fed with a low protein content to determine whether the fish class enlargement can give a good response to the protein content under the SNI . Parameter Test engineering biology of milkfish in BADC Situbondo include growth rate, survival and feed consumption. Growth is influenced by several factors inside and outside factors. Factor in include the nature of heredity, disease resistance and the ability to use food, while external factors include the nature of physics, chemistry and biology. Dietary factors and the water temperature is outside of the main factors that can affect the growth of fish. Fish growth can occur if the amount of food eaten exceeds the requirements for maintenance of his body and is closely related to the availability of protein in the diet, because protein is a substance grow and the source of energy needed for growing fish. Based on observation 4 sampling was last seen that the control treatment with a protein content of at least 30% showed the best growth response. Treatment of feed with a base of local ingredients with a protein content of 23% indicates growth responses under control treatment. Of the two treatments C Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 230 treatment showed improvement in every sampling, while the fish to feed treatment B showed growth rate decreased during the observation. Figure 1. Milkfish fish weight gain between treatments during the observation The growth response observed to determine the effect of different feed treatments include absolute growth ( G ) , specific growth rate ( % SGR ) , feed conversion and survival rate during maintenance . Data are shown in Table 3 below . Table 3. Milkfish growth response to treatment different feed TREATMENT W0 Ln Ln % % Wt g Gg FCR g W0 Wt SGR SR A 2.01 + 3.01 6.202 1.10 1.82 3.19 1.68 87 0.38 B 1.03 + 3.30 4.79 1.19 1.57 1.49 3.18 80 0.35 C 1.59 + 2.50 4.42 0.92 1.49 1.92 1.76 91 0.50 % of digestibility 95.51 + 0.47 89.67 + 2.70 95.67 + 0.55 Engineering activity results showed that the observation of fish weight gain during treatment, feed control treatment gives the highest weight gain 3:19 g followed by treatment of C. 1.92 g and B are 1:49 g. While the growth rate response following successive treatment A. 2:01 + 0:38% followed by treatment of C. 1:59 + 0:50% and treatment B. 1:03 + 0:35%. A treatment with a protein content of at least 30% is indeed in accordance with the requirements of the nursery needs fish. With a growth rate of 2:01% is obtained feed conversion of 1: 1.68. According Boonyaratpalin (1997) needs protein fish feed on the seeds 0.5-0.8 g size range of 30-40% in the feed. While on treatment of local materials, although the protein content of feed B and C at 23%, but the use of enzymes in treatment C respond better growth. Feed C is locally based feed ingredients with the addition of the enzyme showed the pace of growth is better (1:59%) when compared to the feed B (without the addition of enzyme) is 1:03%. The use of the enzyme increased the level of feed digestibility from 89.67% to 95.67% thereby increasing the efficiency of utilization of nutrients in the feed. The level of feed digestibility even higher treatment C 12:17% from the level of digestibility of feed controls. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 231 One of the efforts to reduce the role of protein as an energy source in the diet is to maximize the use of carbohydrates and dietary fat as an energy source ( protein sparring effect) . Carbohydrates are the macro elements most inexpensive nutrient feed as a source of energy than other sources of protein and fat. Effect of carbohydrate feed on the growth of fish depends on the source, content, digestibility, amount eaten, environmental conditions and the type of fish ( Brauge et al., 1994) . Factual problems faced is the physiological constraints associated with less efficient utilization of carbohydrates feed the fish. The ingestion of carbohydrates into simpler molecules in the gastrointestinal tract of fish involves the enzyme amylase. Amylase enzyme activity is lower in the digestive tract of fish compared to humans and terrestrial animals can utilize carbohydrates feed above 50 % . As a result, the supply of glucose as an energy source derived from carbohydrates to be low. Even blood glucose more easily obtained from the process of gluconeogenesis. This occurs because the maximum utilization of carbohydrates which lack cell metabolism as an energy source so that the energy metabolism of the cell is filled with the overhaul of a number of proteins and fats . Consequently, the use of feed protein for growth becomes less efficient . One alternative to solving the problems in the cultivation of fish intensively by boosting the activity of exogenous enzyme amylase in the digestive tract milkfish. The use of enzymes in feed digestibility aims to help improve the digestibility of feed. Increased feed digestibility of carbohydrates can increase response glycolysis carbohydrates to produce energy. In the end use of the protein as an energy source can be reduced and the utilization of carbohydrates as an energy source can be improved. Protein is expected to only be used for growth and replacement of damaged tissues, not as a source of energy. Increased use of carbohydrates by fish is expected to increase the levels of carbohydrates and reduced levels of protein in the composition of artificial feed so that the feed price can be lowered. The survival rate test fish also varies between treatments. The highest survival rate in treatment C is 91 %, and the lowest in treatment B is 80 %. The survival rate of fish is thought to be affected by water quality maintenance media. In this engineering activities medium used is water media that have been through the screening process. During maintenance strived to circulate water in conditions around 12 hours / day. Media monitoring of water quality is shown in Table 4 below . Table 4. Monitoring of water quality media Treatment Temperature oC A B C 28-30 28-29 28-29 Salinity ppt 29-35 30-35 29-35 pH 7.6-8 7.6-7.8 7.6-7.7 Dissolved oxygen mg/L 4-5 4-5 4-5 Nitrit mg/L < 0.001 < 0.001 < 0.001 Ammonia mg/L < 0.001 < 0.001 < 0.001 Based on observations of water quality , shows that the conditions for a decent media pisciculture except parameter test salinity. 29-30 ppt salinity media that is high enough for fish nursery. In nature milkfish undergo migration from the sea for spawning and then the seed will come back around the river, developing a large estuary with lower salinity. Thus during the nursery more fish in brackish water areas. But on the wet Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 232 laboratory conditions is insufficient to supply fresh water so that salinity is too high maintenance media for separating fish . Suspected factors causing high salinity media maintenance fish survival rate below 90 % during maintenance . V. CONCLUSIONS AND RECOMMENDATIONS From the observation, nursery feed formula of milkfish based feed ingredients locally with the addition of enzymes provide a better response, namely the growth rate of 20.96 % higher than the feed with local materials without the enzyme. With a protein content of only 23 %, the feed has similar control diet digestibility and growth response given close of growing fish with control diet . Application of local materials feed formula with a protein content under the SNI recommended for use in semi-intensive pond along with natural food, so as to provide optimal results . REFERENCES Boonyaratpalin, M. 1997 . “Nutrient requirements of marine food fish cultured in South Asia”. Aquaculture Journal Vol 151: 283-313. Brauge, C. F. Medale, dan G. Corraze. 1994. “Effect of dietary carbohydrate levels on growth, body composition and glycaemia in rainbow trout, Oncorhynchus mukiss, reared in seawater” Aquaculture Journal Vol. 123: 109-120. Hartati S, 1986. Biologi Bandeng (Chanos chanos Forskal). Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada. Yogyakarta (ID). Hidayat, A.R, Islamiyati, R., 2006. Nilai Nutrisi Ampas Tahu yang difermentasi dengan Berbagai Level Ragi Tempe. Repository. Unhas. repository.unhas.ac.id/.../NILAI%20NUTRISI%20Ampas tahu Kompiang, I.P., T.Purwadaria, T. Hayati and Supriyati. 1997. Bioconvertion of Sago (Metroxylon sp.) Waste Current Status of Agricultural Biotecnology in Indonesia AARD Indonesia pp. 523 -526 Murtidjo, B.A. 2001. Pedoman Meramu Pakan Ikan. Kanisius. Yogyakarta. SNI 01-6150-1999, 1999. Produksi benih ikan Bandeng kelas benih sebar. SNI Perikanan Budidaya. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta (ID). SNI 7308-2008, 2008. Pakan buatan untuk ikan bandeng skala intensif. SNI Perikanan Budidaya. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta (ID). Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 233 Produksi Induk Ikan Nila Salin (Oreochromis sp) : Performa Pertumbuhan dan Reproduksi Dalam Upaya Penyediaan Benih Untuk Budidaya Mohamad Soleh*, Agustien N**. dan Khaemudin*** Abstrak Ikan nila salin (Oreochromis sp) saat ini tidak lagi hanya menjadi ikan konsumsi lokal namun telah menjadi komoditas ekspor andalan dan bernilai ekonomis tinggi. Awalnya komoditas ikan ini hanya digunakan sebagai ikan biofilter dalam budidaya udang di tambak kemudian berkembang menjadi ikan budidaya baik di tambak maupun budidaya dengan sistim keramba jaring apung (KJA) di laut. Terhadap salinitas tinggi, benih ikan nila air tawar sangat rendah toleransinya sehingga perlu disiapkan benih dari induk yang toleran salinitas tinggi. Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara telah menghasilkan beberapa strain induk dan benih unggul nila salin/asin yang selama pemeliharaannya dilakukan dalam media air asin/laut. Kegiatan bertujuan untuk menghasilkan induk unggul nila salin (toleran salinitas tinggi) melalui uji tantang langsung salinitas 35 ppt pada populasi awal benih nila air tawar. Metode produksi induk nila salin unggul dilakukan dengan membesarkan benih nila air tawar hasil pemuliaan hingga ukuran induk siap memijah. Tahap pertama benih nila air tawar (ukuran panjang 3-5 cm/ekor) diuji tantang/stress pada salinitas tinggi (35 ppt) selama 2 jam atau populasi benih yang hidup sekitar 50 %. Tahap kedua, benih yang hidup atau lolos uji stress dibesarkan dalam air laut hingga ukuran induk. Wadah berupa bak volume 4 m3 , padat tebar benih 200-250 ekor/4 m3. Ikan diberi pakan komersial (protein > 25 %, dosis 15-4 % biomas, frekwensi 3 kali sehari) dan pakan diperkaya dengan enzim dari ekstrak buah papaya (dosis 50 ml/kg pakan). Benih ikan adalah nila hitam (strain GESIT/Sultana, Kunti dan Srikandi) dan nila merah (strain Larasati). Pemijahan induk dalam salinitas media 10-15 ppt, rasio jantan dan betina 1 : 3. Dosis pakan untuk pemijahan induk : 1-2 % biomas/hari, frekwensi pakan 3 kali/hari. Pergantian air selama pembesaran dengan sistim sirkulasi dan air mengalir. Hasil pembesaran induk ikan nila salin strain Gesit/Sultana (nila hitam) menunjukkan pertumbuhan dengan waktu lebih cepat yaitu 4 bulan dibanding strain Larasati (nila merah) dalam waktu 6 bulan. Rata-rata bobot tubuh nila strain Gesit/Sultana 152,2316 g/ekor, sintasan 61,1 %, FCR 1:2,4548 dan ADG 2,07 sedangkan pada strain Larasati 144,2467 g/ekor, sintasan 50,23 %, FCR 1:4,757 dan ADG 0,6860. Rerata produktifitas telur atau larva per gram bobot/berat tubuh tiap induk ikan nila hitam adalah 4,47 dan 3,78 dan 2,78 masing-masing untuk strain Gesit/Sultana (27 sampel induk), Kunti (13 sampel induk) dan Srikandi (4 sampel induk). Pada pemijahan induk strain Gesit/Sultana dalam media air tawar (0 ppt) diperoleh produksi telur atau larva per gram berat induk ikan adalah 3,60 (23 sampel). *) Perekayasa Utama, **) Perekayasa Muda,***) Perekayasa Pertama, Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau, CBFA Jepara, 2016. Dipresentasikan pada APA 2016, Surabaya tanggal 26-29 April 2016. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 234 Saline Tilapia (Oreochromis sp) Broodstock Production : Growth and Reproductive Performance as effort the seed supply for culture Abstract Recently saline or salt tilapia (Oreochromis sp) is not as a local cunsume only but is once of an export commodity with high value right now. Initially this species as a biofiltre on shrimp brackiswater culture and then as culture species in pond and floating net system in the sea as well. Concerning to high salinity, freshwater tilapias offspring have low tolerance so it was important prepared from high salinity tolerance of broodstock. Center For Brackishwater Fisheries Aquaculture Jepara has produced some strain saline tilapias broodstock and offspring as well and during its rearing in the sea water. The aim of the experiment is to produce saline tilapias broodstock (high salinity tolerance) through direct stress test in high salinity (35 ppt) on freshwater offspring populations. Methods of it broodstock production was executed by rearing freshwater offspring of genetic improvement till size which is ready to spawn. Initial step is direct stressed to the freshwater offsprings (size 3-5 cm/pcs) in high salinity (35 ppt) during 2 hours or if the population remain around 50 %. Secondly, rearing live offsprings in the sea water till broodstock size. , The fish take place in the conctreat tank, volume 4 m 3 and stocking density is 200-250 pcs/4 m3. The fish fed by commercial pellet (25 % protein content, dosage 15-4 % biomass, 3 times a day) and enriched by enzyme of papaya extract (dosage 50 ml/kg of food). The strain of the fish are Gesit or Sultana, Kunti and Srikandi (black tilapia) and Larasati (red tilapia) . Spawning of the breeder in water salinity 10-15 ppt, male and female ratio is 1:3. Food dosage is 1-2 % of biomass a day and frequency 3 times. Water exchange by circulation and flow water system. Result showed that broodstock of Gesit/Sultana strain (black tilapia) growth fastes more than Larasati strain (red tilapia) is 4 months and 6 months, respectively. The average final body weight is 152.2316 g/pcs , survival rate is 61.1 %, FCR is 1:2.4548 and ADG is 2.07 (Gesit/Sultana strain) while Larasati strain is 144.2467 g/pcs, survival rate is 50.23 %, FCR is 1:4.757 and ADG is 0.6860. Comparing an average productivities of eggs or larvae/g body weight of broodstock among black tilapia : Gesit/Sultana, Kunti and Srikandi strain are 4.47; 3.78 and 2.78, respectively. The data obtained from 27 samples, 13 samples and 4 samples, respectively. In freshwater (salinity 0 ppt) spawning, Gesit/Sultana strain produced 3.60 eggs or larvae/g body weight of brooder (from 23 samples). Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 235 PENDAHULUAN Budidaya ikan nila telah berkembang secara luas di Indonesia, sebagian besar hasil produksinya diperoleh dari usaha budidaya di air tawar, dan hanya sekitar 4 % yang diproduksi dari budidaya air payau (KKP, 2011). Tahun 2014, produksi ikan nila diproyeksikan sebesar 1.242.900 ton, meningkat 329 % dari tahun 2009 atau sebesar 27 % setiap tahunnya (Anonim, 2013). Diperkirakan produksinya meningkat tiap tahunnya. Budidaya ikan nila di air payau belakangan ini cenderung naik karena teknik budidayanya tidak rumit, permintaan konsumen tinggi dengan harga yang kompetitif baik di tingkat lokal maupun ekspor. Di pasar lokal harga jual ikan nila mencapai lebih dari Rp. 20.000,- per kg untuk ukuran 5-6 ekor/kg. Mudahnya budidaya ikan nila menyebabkan ikan ini diberi julukan “aquatic chiken”. Permasalahan penyakit virus pada budidaya udang windu di tambak beberapa dekade lalu masih menyisakan trauma bagi pembudidaya untuk beraktifitas. Walaupun ada yang beraktifitas jumlahnya terbatas dan taknologi budidayanya dalam skala sederhana. Perpindahan budidaya udang windu ke komoditas udang vaname lebih banyak dilakukan oleh pembudidaya yang cukup modal dengan teknologi maju dan hanya sebagian kecil oleh pembudidaya skala sederhana. Dengan demikian banyak tambak udang di air payau yang tidak dioperasionalkan atau nganggur (idle). Diperkirakan sekitar 30-50 % lahan tambak marjinal belum termanfaatkan secara optimal untuk budidaya (Anonim, 2013). Selain itu adanya perubahan fenomena alam berupa gelombang besar atau naiknya permukaan air laut yang dapat menimbulkan abrasi pantai maka banyak tambak yang tergerus dan air pasang besar masuk hingga ke wilayah pertanian yang menyebabkan lahan tergenang oleh air laut. Lahan-lahan tersebut menjadi tidak aman untuk budidaya udang di tambak maupun aktifitas pertanian lainnya. Kondisi lahan ini masih dapat ditingkatkan produksinya melalui budidaya nila salin sistim “pen culture”. Bahkan belakangan ini mulai dikembangkan budidaya ikan nila di laut dengan sistim keramba jaring apung (Jaspe and Caipang, 2011). Kemungkinan lain pemanfaatan ikan nila salin adalah sebagai umpan hidup untuk penangkapan ikan tuna sistim pole and line. Berdasarkan hal-hal tersebut maka komoditas ikan nila salin memiliki potensi yang sangat besar untuk pengembangannya di masa mendatang. Program seleksi genetik pada ikan nila di Indonesia telah berjalan beberapa dekade lampau dan lebih dipusatkan pada budidaya air tawar dan kajian performanya terhadap strain-strain tilapia yang ada belum dievaluasi pada perairan payau (Putra et.al., 2013). Pada era tahun 2010 an, program pemuliaan atau seleksi genetik mulai dikembangkan pada ikan nila yang mampu hidup dan berkembang secara baik di media payau atau asin. Di Indonesia, beberapa strain ikan nila telah dikaji kemampuan hidup dan perkembang biakannya di air payau atau laut antara lain adalah strain GESIT/Sultana, Srikandi, Pandu, Kunti, Larasati (Soleh dkk., 2012 a-b-c dan 2014 a-b), strain Best, Nirwana, Sultana, Red NIFI dan Nila Merah (Anonim, 2013), strain GESIT, GIFT, Nirwana dan Nila merah (Putra et.al., 2013). Jaspe dan Caipang (2011) menggunakan tilapia O. mossambicus, O. spirolus, O. niloticus GIFT dan O. aureus dalam proses hibridisasi di media air payau. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 236 Pada umumnya benih nila air tawar performa kehidupannya relatif rendah saat dipelihara di tambak air payau atau asin, rata-rata sekitar 50 % tingkat hidupnya. Jaspe and Caipang, (2011) menyebutkan bahwa nila air tawar strain Oreochromis niloticus memilki toleransi yang rendah terhadap level salinitas tinggi, namun cukup baik dalam pertumbuhan. Di lain pihak O. mossambicus merupakan jenis eurihalin, tetapi pertumbuhan rendah. Red tilapia hybrid strain Florida, tumbuh baik dalam salinitas tinggi (Watanabe et al 2006 dalam Jaspe and Caipang, 2011). Untuk meningkatkan daya tahan yang tinggi terhadap salinitas tinggi perlu disiapkan benih nila salin yang diproduksi dari indukan yang benar-benar toleran terhadap salinitas tinggi. Untuk mendapatkan daya toleransi terhadap salinitas yang tinggi dari strain-strain tilapia, Anonim (2013) melakukan uji stress salinitas tinggi (35 ppt) pada benih nila air tawar dengan berat 100 g/ekor dan dipelihara dalam salinitas 20 ppt hingga mencapai ukuran induk. Uji stress salinitas tinggi dengan maksud agar muncul gen toleran salinitas tinggi pada induk ikan nila hingga muncul hal tersebut kepada keturunannya. Pada kajian tahun 2014, Soleh dkk. (un publish) telah melakukan uji stress salinitas tinggi (35 ppt) pada populasi benih nila air tawar berbagai strain hasil dari kegiatan pemuliaan dengan ukuran panjang 3-5 cm/ekor atau berat antara 2-3 g/ekor. Ikan dipelihara hingga ukuran induk dan selama pemeliharaannya menggunakan media air laut. Putra et.al (2013) melakukan pembesaran ikan nila dalam hapa di tambak (salinitas 1-21 ppt) selama sekitar 120 hari dengan ukuran panjang benih 2-3 cm/ekor dan berat sekitar 0,6 g/ekor dengan kepadatan tebar benih 5 ekor/m2. Tujuan dari kajian ini adalah menghasilkan induk ikan nila yang toleran terhadap salinitas tinggi (air laut), memiliki performa pertumbuhan dan sintasan serta reproduksi optimal. Benih yang dihasilkan memiliki daya tahan yang tinggi terhadap fluktuasi salinitas, cepat tumbuh dan sintasan tinggi dalam kegiatan budidaya. BAHAN DAN METODE Uji stress salinitas tinggi pada benih Produksi induk nila salin atau asin diawali dengan pengujian tingkat ketahanan benih terhadap salinitas 35 ppt. Benih berasal dari nila air tawar keturunan induk hasil program pemuliaan oleh unit pembenihan yang telah diakui oleh pemerintah. Berbagai strain nila hasil pemuliaan dapat digunakan dalam produksi induk unggul nila asin baik katagori nila hitam maupun nila merah. Nila hitam meliputi strain GESIT/Sultana (BBPBAT Sukabumi), strain Srikandi (Balitbang Air Tawar, Sukamandi) dan strain Kunti (Balai Benih Ikan Sentral, Janti, Boyolali) sedangkan nila merah adalah strain Larasati (Balai Benih Ikan Sentral, Janti, Boyolali). Ukuran panjang total benih antara 3-5 cm/ekor. Benih ikan nila diadaptasi dalam media air tawar hingga kondisinya sehat, kemudian dimasukkan langsung kedalam media dengan salinitas 35 ppt (saat salinitas air laut tinggi atau penambahan ditambah dengan larutan garam hingga salinitas yang diinginkan). Kepadatan benih uji adalah 1 ekor/1 liter media. Uji daya tahan benih dalam waktu 2 jam atau dihentikan bila populasi benih diketahui hanya tersisa 50 %. Selanjutnya benih hasil uji dipindahkan kedalam media air salinitas 20 ppt selama 24 jam untuk menjaga kondisi normal kemudian dipindahkan ke media air laut untuk Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 237 didederkan dan dibesarkan menjadi induk siap pijah. Selama pembesaran hingga menjadi induk nila asin, menggunakan media air laut salinitas > 30 ppt. Pemeliharaan calon induk Induk nila asin unggul diproduksi dengan membesarkan benih nila air tawar hasil uji stress atau uji daya tahan pada media salinitas tinggi (35 ppt). Benih yang lolos uji stress dibesarkan dalam media air laut hingga ukuran induk dan siap memijah. Wadah pemeliharaan induk berupa bak volume 4 m3 (2 x 2 x 1 m) atau berukuran lebih besar untuk produksi masal. Pemeliharaan ikan dengan sistim modular, dipindah ke wadah lain yang telah dipersiapkan. Jumlah kepadatan tebar benih awal adalah 40-50 ekor/m2. Pengaturan padat tebar ikan adalah 40 - 50 ek/m2 (hingga berat 20 g/ek); 30 40 ek/m2 (hingga berat 50 g/ek); 20 - 30 ek/m2 (hingga berat 100 g/ek); 10 - 20 ek/m2 (hingga berat 200 g/ek). Ikan diberi pakan komersial (protein > 25 %, dosis 15-4 % biomas, frekwensi 3 kali sehari) dan pakan diperkaya dengan enzim dari ekstrak buah papaya (dosis 50 ml/kg pakan). Selama pembesaran menjadi induk, ikan dipelihara dalam media air laut (salinitas sekitar 30 ppt). Penggantian air dilakukan tiap hari sekali hingga air tinggal 10-30 % dari volume wadah bersamaan dengan pembersihan kotoran dan selanjutnya dengan sistim air mengalir hingga hari berikutnya. Setiap bulan dilakukan sampling pertumbuhan dan sintasan ikan untuk penentuan padat tebar dan kebutuhan pakan. Pemijahan induk Pemijahan menggunakan induk ikan nila salin hasil pembesaran di media air laut dan proses pemijahan dalam media bersalinitas 10-15 ppt, volume wadah 4 m3. Induk ikan dipilah antara kelamin jantan dan betina, ditampung dalam wadah terpisah hingga dilakukan seleksi kematangan gonad masing-masing. Seleksi kematangan gonad betina dilakukan 10-15 hari setelah pemisahan kelamin dan induk betina yang siap pijah dimasukkan dalam wadah pemijahan dan 4-7 hari kemudian dimasukkan induk jantan. Rasio induk jantan dan betina adalah 1 : 3 dengan kepadatan tebar 1 kg/m3 media pemijahan. Pengelolaan pakan, dosis 1-2% biomas/hari, protein pakan 25%, frekwensi pemberian pakan 3 x sehari .dan pakan diperkaya dengan ekstrak buah papaya. Penggantian air pemijahan adalah 50 % volume media tiap seminggu sekali. Pengamatan parameter kualitas media, suhu tiap hari dan oksigen terlarut (DO) 2 kali dalam seminggu. Pemanenan telur atau larva dilakukan setelah larva mulai nampak berenang di permukaan media pemijahan atau setelah masa pemeliharaan induk sekitar 30 hari. Sampel induk yang memijah diamati produktifitas telur maupun larvanya saat masih dierami dalam mulut induk ikan betina. HASIL DAN BAHASAN Toleransi benih terhadap salinitas Uji tantang atau stress dilakukan untuk mengetahui daya tahan atau toleransi ikan nila air tawar terhadap tekanan salinitas tinggi melalui cara perendaman benih ikan dalam air bersalinitas 35 ppt, selama waktu 2 jam (Gambar 1). Tujuan dari uji stress salinitas tinggi agar muncul gen toleran salinitas tinggi dari ikan nila sehingga menunjukkan performa yang lebih baik selama pemeliharaan dalam media air laut. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 238 Tingkat toleransi ikan terhadap salinitas tinggi diukur dengan besarnya sintasan (tingkat kehidupan) dari ikan. Ikan yang lolos atau hidup dari uji stress tersebut dilanjutkan pemeliharaannya dalam air laut sebagai populasi awal induk toleran salinitas tinggi (induk nila salin/asin). Pada kajian ini diamati pola atau perilaku ikan saat uji stress salinitas tinggi dan diamati kondisi ikan tiap 15 menit sekali. Populasi benih uji sebanyak 100 ekor dalam volume media air 100 liter. Pola ketahanan benih nila air tawar sebagai calon induk nila salin melalui perlakuan stress langsung dalam salinitas 35 ppt, selama waktu lebih dari 2 jam ditunjukkan sebagaimana pada Gambar 1. Pada 15 menit pertama, ikan nampak masih berada di dasar wadah dan air permukaan mulai berbuih (pada menit ke 30) dan ikan masih di dasar wadah. Timbulnya buih atau lendir karena proses osmoregulasi ikan dan ikan menjadi tertekan atau stress. Munculnya stress pada ikan ditandai dengan keluarnya lendir dan berakhir dengan kematian ikan. Tanda-tanda ikan mulai berkurang keseimbangannya terlihat dari ikan berenang di tengah media air (teramati pada menit ke 45). Pada menit ke 60, sebagian populasi ikan berenang lemah di permukaan air dan ikan mulai berenang tidak normal, posisi tubuh miring dan adanya perubahan warna tubuh, teramati pada menit ke 90. Pada menit ke 105, populasi ikan semakin banyak yang berenang di permukaan air dan perubahan warna tubuh semakin tajam (gelap) dan ikan semakin banyak yang berada di permukaan air, yang teramati pada menit ke 120. Ikan yang sedang mengalami stress dan kondisinya sekarat menunjukkan perubahan perilaku dan warna tubuh berbeda dari kondisi normalnya. Ikan nila berwarna agak gelap karena pengaruh stress maka warna tubuhnya berubah semakin gelap, sedang ikan nila berwarna merah maka warna tubuhnya menjadi semakin pucat. Terhitung sekitar 50 % ikan mulai sekarat, mengapung dan sebagian dalam kondisi lemah di dasar wadah yang teramati pada menit ke 150. Pada menit ke 180, ikan semakin banyak di dasar wadah dan hanya sekitar 30 % yang bertahan hidup. Gambar 1. Pola ketahanan benih nila air tawar melalui uji stress salinitas 35 ppt Pada dasarnya ikan tilapia memiliki toleransi terhadap salinitas yang lebar bahkan dapat mencapai > 45 ppt. Pada pengujian ini, semua strain benih air tawar diuji stress salinitas 35 ppt dan sintasan benih diperoleh sekitar 50 % dalam waktu 2 jam. Perpanjangan waktu uji hingga 3 jam, sintasan benih turun menjadi sekitar 31 % Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 239 (Gambar 1). Perschbacher (1992) dalam Cnaani et.al. (2011), menyebutkan bahwa aklimatisasi tarhadap salinitas tinggi hasilnya akan berbeda antar berbagai jenis ikan dan waktu serta tingkat salinitas awalnya. Aklimatisasi satu tahap pada ikan tilapia jenis Oreochromis mossambicus yaitu dari salinitas intermediate (medium) ke air laut langsung, dibutuhkan waktu 1 hari tanpa terjadinya kematian sedangkan pada jenis O. aureus dalam waktu 4 hari dan O. niloticus dalam waktu 8 hari. Yao et al. (2008) dalam Cnaani et.al. (2011), melakukan uji stress pada benih O. niloticus air tawar dengan berat antara 8-12 g/ekor dipindahkan ke air laut langsung atau peningkatan salinitas secara bertahap, pengamatan kehidupannya 3 hari kemudian. Pemindahan langsung kedalam salinitas 17 ppt, diperoleh kehidupan benih antara 80-90 %. Peningkatan salinitas yang lebih tinggi kehidupan/sintasan benih hanya diperoleh 3040 % (kematian ikan cukup tinggi). Aklimatisasi secara bertahap hingga salinitas 30 ppt selama lebih dari 2 hari, diperoleh sintasan benih cukup tinggi antara 78-81 %. Oleh karena itu pemindahan ikan secara bertahap dari air tawar ke air laut maka ikan lebih toleran terhadap salinitas tinggi dibanding pemindahan secara langsung. Muir and Robert (1993) bahwa setelah ikan masuk kedalam air laut, terjadi perubahan elektrolisit dalam darah dan jaringan untuk sementara waktu dan kondisi ikan akan kembali stabil dalam waktu satu minggu. Pada uji ketahanan dalam air laut (salinitas 35 atau 40 ppt) titik kritis yang baik untuk pengamatan kehidupan antara 1-3 hari. Pertumbuhan dan sintasan (survival rate) ikan Strain ikan nila salin (Oreochromis sp) yang dibesarkan menjadi induk adalah hasil dari uji stress langsung dalam salinitas 35 ppt dan benih selamanya dipelihara dalam media air laut dengan sistim air mengalir hingga menjadi induk. Oleh karena itu daya tahan benih relatif tinggi dalam salinitas yang tinggi. Pada kajian ini digunakan benih air tawar berukuran panjang 3-5 cm atau berat sekitar 2-3 g/ekor dan dipelihara hingga menjadi induk selamanya dalam air laut. Tabel 1 menggambarkan performa ikan nila salin/asin strain GESIT dapat mencapai berat rata-rata/ekor > 150 g selama waktu 4 bulan pemeliharaan (sejak dari ukuran benih tebar). ADG ikan 2,0795 dengan FCR 1:2,4548 dan total pakan selama pemeliharaan adalah 46.066,75 g. Tabel 1. Performa ikan nila salin strain GESIT selama pemeliharaan dalam air laut Periode sampling Jumlah ikan (ekor) Sintasan/ survival rate (%) Biomas ikan (g) Rerata panjang (cm) Rerata berat (g) Jumlah pakan harian (g) Total pakan per bulan (g) Awal tebar 189 100 474,39 5,4166±0,3049 2,5100 71,1585 (15 %) 2.134,75 1 182 96,30 2.306,16 8,1166±0,3754 12,7184 230,6161 (10 %) 7.425,0 2 150 78,46 9.150,0 14,5099±0,5239 62,3146 640,50 (7 %) 19.215,0 Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 240 3 132 69,39 14.410,0 17,7566±0,6067 109,5794 576,40 (4 %) 4 116 61,10 18.807,0 18,2716±0,5626 152,2316 - 17.292,0 Pada benih strain nila LARASATI dengan perlakuan yang sama, diperoleh performa sebagaimana Tabel 2. Untuk mencapai berat sekitar 150 g/ekor dibutuhkan waktu sekitar 6 bulan (2 bulan lebih lambat dibandingkan dengan strain GESIT). ADG ikan 0,6860 dengan FCR 1:4,757 dan total pakan selama pemeliharaan adalah 67.411,5 g. Tabel 2. Performa ikan nila salin strain LARASATI selama pemeliharaan dalam air laut Periode Jumla Sintasan Bioma Rerata Rerata Jumla Total samplin h / s panjang berat h pakan g ikan survival ikan (cm) (g) pakan per (ekor) rate (%) (g) harian bulan (g) (g) Awal 200 100 625 4,7522±0,3135 3,1255 93,75 2.812, tebar (15 %) 5 1 198 98,4 2.309 8,9333±0,4058 8,7090 230,9 6.927 (10 %) 2 184 87,70 3.550 11,5978±0,545 22,2656 248,5 7.455 7 (7 % ) 3 164 76,57 7.740 13,3060±0,365 55,7741 541,8 16.254 6 (7 % ) 4 143 66,64 9.190 16,5852±0,700 74,6328 643,3 19.299 1 (7 %) 5 123 61,50 12.220 17,1355±0,657 111,577 488,8 14.664 3 1 (4 %) 6 112 50,23 13.750 18,0266±0,901 144,246 Ttlg) 7 7 Pada kajian ini digunakan ikan nila strain GESIT (Genetically Supermale Indonesia Tilapia) air tawar hasil pemuliaan dari BBPBAT Sukabumi, Jawa Barat. Nila ini secara genetik diarahkan untuk menjadi nila jantan super. Perbaikan genetisnya yaitu menciptakan chromosome sex YY yang dibuat dengan metode rekayasa khromosom sek nila jantan normal (XY) dan betina (XX). Keunggulannya rekayasa ini adalah dihasilkan benih yang sekitar 90 % berkelamin jantan dan sisanya adalah kelamin betina, pertumbuhan 30 % lebih cepat dari ikan aslinya pada kondisi media air tawar. Berdasarkan keunggulan tersebut dipilih strain GESIT untuk pengembangan indukan ikan yang toleran salinitas tinggi melalui stressing salinitas tinggi. Pada salinitas pemeliharaan sekitar 30 ppt (air laut) menunjukkan performa pertumbuhan berbeda. Selama 4 bulan pemeliharaan diperoleh berat rata-rata sekitar 150 g/ekor (Tabel 1). Kondisi yang relatif sama terlihat pada nila strain LARASATI (Nila merah strain Janti) dari Balai Benih Ikan Sentral, Boyolali, Jawa Tengah yang merupakan persilangan dari ikan Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 241 nila hitam dan nila putih atau agak merah. Keunggulan strain ini adalah pertumbuhannya seperti nila putih/merah namun respon pakannya seperti nila hitam dan waktu pemeliharaannya lebih cepat dari ikan aslinya (dalam media air tawar). Selama 6 bulan pemeliharaan dalam media air laut (salinitas sekitar 30 ppt) diperoleh berat rata-rata sekitar 144 g/ekor (Tabel 2). Berdasarkan hasil pertumbuhan kedua strain tersebut, maka untuk mencapai ukuran berat yang relatif sama dibutuhkan lama waktu pemeliharaan yang berbeda. Selain perbedaan strain ikan, wadah pemeliharaan ikan ikut pula berperan dalam pencapaian bobot individu. Pada pembesaran nila di tambak dengan ukuran panjang benih tebar 5-8 cm/ekor dapat dicapai berat sekitar 200 g/ekor dalam waktu 2,5 bulan, sedangkan dalam wadah kolam untuk mencapai ukuran berat yang sama dibutuhkan waktu 4 bulan (Anonim, 2011). Hal lainnya yang dapat berpengaruh pada pertumbuhan adalah kepadatan tebar ikan. Pengujian ini menggunakan kepadatan tebar ikan 40-50 ekor/m2 dan diduga jumlahnya cukup tinggi sehingga ruang gerak ikan menjadi terbatas dan secara tidak langsung menghambat pertumbuhan. Putra et.al (2013) menggunakan benih ukuran panjang 2-3 cm/ekor dan berat sekitar 0,6 g/ekor dengan kepadatan tebar benih 5 ekor/m2 dalam pembesaran di tambak . Salinitas yang tinggi umumnya menghambat pertumbuhan ikan nila air tawar yang digunakan dalam pengujian ini. Hal ini berhubungan dengan proses osmoregulasi ikan yang terjadi selama ikan dalam lingkungan media air asin. Enerji dari pakan yang seharusnya menjadi daging banyak digunakan untuk keseimbangan tubuh dalam mempertahankan kehidupannya. Pada tabel 1 dan 2 menunjukkan pertumbuhan ikan yang lambat selama pemeliharaan dalam media air laut. Pertumbuhan yang normal dalam air tawar, selama waktu 4-6 bulan berat ikan rata-rata dapat mencapai lebih dari ukuran tersebut. Akan tetapi dalam media salinitas tinggi (air laut) pertumbuhannya menjadi lambat. Pertumbuhan O. niloticus pada salinitas tinggi secara nyata lebih rendah dibandingkan pada salinitas rendah (Fineman, K. 1988 dalam Cnaani et.al. 2011), walau tingkat kehidupannya tidak dipengaruhi oleh salinitas. Salinitas tinggi nampaknya dapat menekan atau setidaknya memperlambat pertumbuhan, serta permulaan reproduksinya. Hasil pengujian Putra et.al. (2013) diperoleh pertumbuhan ikan nila yang rendah atau lambat (SGR < 1,5 %/hari) selama 124 hari percobaan dalam salinitas akhir 21 ppt. Selain karena faktor salinitas pertumbuhan ikan dipengaruhi pula oleh faktor penurunan kualitas air di tambak. Terdapat beberapa hasil laporan bahwa salinitas tinggi menurunkan atau memperlambat pertumbuhan ikan nila. Liu et.al. (2008) mendapatkan pertumbuhan nila hybrid (O. niloticus x O. aureus) menurun pada salinitas diatas 10 ppt, dan Cnaani and Hulata (2011) mendapatkan pertumbuhan O. niloticus dalam pemeliharaan di air laut yang 60 % lebih lambat dibanding nile tilapia dalam air tawar. Pada pembesaran calon induk /induk nila strain GESIT selama dalam media air laut (salinitas sekitar 30 ppt) diperoleh rata-rata FCR = 1:2,4548 dengan rata-rata ADG 2,0795. Nilai FCR tergolong masih tinggi dengan ADGnya relatif masih rendah. Diduga faktor salinitas tinggi selama pemeliharaan memperlambat pertumbuhan ikan sehingga jumlah total pakan ikan yang digunakan cukup tinggi. Performa lebih ekstrim terlihat pada pertumbuhan ikan nila strain LARASATI dengan FCR mencapai 1:4,757 dan ADG 0,680. Putra et.al. (2013), melakukan pemeliharaan ikan nila strain merah dan hitam di Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 242 tambak (salinitas awal 1 ppt hingga 21 ppt pada akhir pemeliharaan) selama 4 bulan diperoleh nilai FCR antara 1:0,9-1:1,27. Strain tilapia merah secara umum tumbuh lebih cepat dalam salinitas relatif rendah (1-21 ppt) dibanding 3 strain nila hitam lainnya (Gesit, Gift dan Nirwana). Anonim (2011) melakukan pemeliharaan ikan nila di tambak selama 4 bulan, diperoleh FCR 1:1,3 dengan ADG mencapai 4,1 g/hari. Dalam populasinya terdapat perbedaan pertumbuhan ikan nila kelamin jantan dan betina. Nila kelamin jantan tumbuh 40% lebih cepat dari pada nila betina. Pada kelamin betina, setelah mencapai ukuran 200 g pertumbuhannya melambat, sedangkan kelamin jantan tetap tumbuh pesat. Seperti halnya kelompok ikan nila Oreochromis sp. , terdapat jenis ikan lain yang karakternya mirip yaitu ikan jenis Cichlasoma uropthalsmus yang toleran terhadap salinitas 0 – 38 ppt (euryhaline). Kelompok ikan ini tumbuh baik pada lingkungan isotonik (Muir and Robert, 1993). Martinez-Palcios (1987) dalam Muir and Robert (1993) menguji ikan tersebut dengan memindahkan langsung dari kondisi air tawar ke salinitas 0, 10, 20 dan 30 ppt untuk melihat pertumbuhan benih C. uropthalmus. Pertumbuhan terbaik diperoleh pada salinitas 10 dan 20 ppt. Berat tubuh akhir, tambahan berat, specific growth rate (SGR), food intake dan rasio konversi pakan (FCR) selalu lebih baik dalam lingkungan media salin tersebut. Secara keseluruhan sintasan induk dari 2 strain ikan uji selama masa pemeliharaan di air laut (sekitar 30 ppt) adalah 61,10 % dan 50,23 % masing-masing untuk strain GESIT dan LARASATI. Sintasan tersebut diperoleh selama 4 bulan pemeliharaan (strain GESIT) dan 6 bulan (strain LARASATI). Penurunan sintasan ikan terjadi setiap selesainya kegiatan sampling pertumbuhan yang diduga terjadinya kematian dari ikan yang terkena sampling pertumbuhan. Kemungkinan lain yang dapat menurunkan populasi disebabkan oleh penggunaan kepadatan tebar ikan yang cukup tinggi. Hasil kajian Putra et.al. (2013) yang memelihara 4 strain ikan (GESIT, GIFT, NIRWANA, Red Tilapia) di tambak selama 124 hari diperoleh sintasan yang relatif rendah antara 39-48 %. Pada lingkungan media salinitas tinggi ikan nila sensitif terhadap penanganan dan mudah timbul infeksi sekunder (luka-luka pada kulit tubuh ikan) sehingga cenderung menurunkan populasi. Wabah penyakit dan kematian tinggi dapat muncul dalam pemeliharaan tilapia di salinitas tinggi dibanding pada pemeliharaan di lingkungan air tawar (Chang & Plumb 1996 dalam Jaspe and Caipang, 2011). Pada pemeliharaan Oreochromis niloticus diperoleh sintasan 90 – 95 % dalam salinitas 12,813,5 ppt (Kumar et.al., 2009). Anonim (2011), melalkukan pemeliharaan ikan nila di tambak selama 4 bulan diperoleh tingkat kelangsungan hidup/Survival Rate (SR) sebesar 80%. Reproduksi induk Induk ikan nila salin tiap strain diukur tingkat reproduksinya dari individu sampel ikan nila hitam (strain GESIT, KUNTI dan SRIKANDI) yang memijah dalam bentuk telur atau larva diperoleh masih dalam kondisi masih dierami dalam mulut induk betina dari seluruh sampel. Seluruh induk betina dipijahkan dalam salinitas antara 10-15 ppt. Pada pengamatan performa reproduksi induk nila salin strain GESIT generasi awal (G-0) ditunjukkan sebagaimana Tabel 3. Tingkat produktifitas telur atau larva bervariasi terhadap berbagai ukuran panjang dan berat sampel induk uji dan produktifitas induk tidak berbanding lurus dengan ukuran panjang atau beratnya. Dari 13 sampel induk Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 243 yang diamati, terdapat individu induk berukuran berat lebih kecil menghasilkan jumlah telur atau larva lebih banyak dibanding induk yang berukuran lebih besar. Namun demikian secara umum induk yang berukuran lebih besar cenderung menghasilkan jumlah telur atau larva yang lebih banyak. Selain itu waktu kematangan gonad antar induk yang dipijahkan nampak tidak bersamaan karena saat panen diperoleh larva yang dierami oleh induk betina sudah dalam kondisi dapat langsung berenang sedangkan yang lainnya masih dengan kuning telur (belum dapat berenang). Rasio jumlah larva yang dihasilkan per gram berat tubuh induk menunjukkan nilai cukup tinggi antara 3-5 ekor/g berat tubuh induk atau rata-rata 4,47. Pada periode pemijahan induk G-0 strain GESIT ini tidak teramati hasil produksi dalam bentuk telur (Tabel 3). Tabel 3. Performa reproduksi induk nila salin strain GESIT/Sultana generasi awal (G-0) yang dipijahkan dalam salinitas media 10-15 ppt Panjang Berat Jumlah Rasio Jumlah Rasio total tubuh telur telur/ larva larva/ tubuh (g) (butir) g berat (ekor) g berat (cm) tubuh tubuh 21,0 160 800* 5,00 * 21,3 165 820 4,96 20,0 130 700* 5,38 ** 22,5 225 1.317 5,85 18,5 110 574** 5,21 ** 18,2 105 367 3,49 21,7 230 768** 3,33 ** 21,5 200 820 4,10 22,0 235 1.050* 4,47 * 20,5 220 1.000 4,54 20,7 210 1.100* 5,23 * 19,5 125 417 3,25 19,0 120 408* 3,40 R=4,47 Keterangan * = larva berenang ** = larva dengan kuning telur R = rerata Sebagai perbandingan produktifitas telur induk ikan dilakukan pengamatan reproduksinya melalui pemijahan dalam media air tawar (0 ppt). Hasil pengamatannya pemijahan induk sebagaimana pada Tabel 4. Pada periode pemijahan ini diperoleh jumlah induk sampel 23 ekor dan teramati sebanyak 4 ekor memijah dalam bentuk telur dengan kisaran rasio 2,0-5,8 butir telur/g bobot ikan atau rerata 4,59 dan teramati dalam bentuk larva langsung dapat berenang maupun masih dengan kuning telur pada kisaran rasio 2,20-5,70 ekor larva/g bobot tubuh induk atau rerata 3,60. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 244 Tabel 4. Performa reproduksi induk nila salin strain GESIT/Sultana generasi awal (G-0) yang dipijahkan dalam media air tawar (salinitas 0 ppt) Panjang Berat Jumlah Rasio Jumlah Rasio total individu telur telur/ larva larva/ (cm) (g) (butir) g berat (ekor) g berat tubuh tubuh * 21,0 200 475 2,37 21,0 200 559* 2,79 *** 20,0 175 350 2,00 21,0 200 552** 2,76 22,0 225 766* 3,40 19,2 150 669* 4,46 * 20,0 150 535 3,56 21,0 200 1.040* 5,02 *** 21,5 200 1.168 5,84 21,5 200 500** 2,50 24,0 250 1.140** 4,56 23,0 200 600** 3,00 *** 22,0 150 870 5,80 23,0 200 1.000* 5,00 22,0 200 748* 3,74 20,5 200 740** 3,70 * 21,2 225 886 3,93 20,5 150 615** 4,10 *** 26,0 300 1.423 4,74 23,5 300 1.710** 5,70 26,0 300 757** 2,52 * 24,0 250 780 3,12 21,0 250 550* 2,20 R = 4,59 R = 3,60 Keterangan * = larva berenang ** = larva dengan kuning telur *** = telur belum menetas R = rerata Pada pemijahan induk ikan nila salin strain Kunti, diperoleh hasil produksi telur dan larva sebagaimana disajikan dalam Tabel 5. Dari 13 ekor sampel induk yang dipijahkan hanya didapatkan satu induk menghasilkan telur dengan rasio 3,71 butir/g bobot tubuh induk sedangkan sisanya dalam bentuk larva berenang maupun masih dengan kuning telur pada kisaran rasio 2,24-5,55 ekor/g bobot tubuh induk atau rerata 3,78. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 245 Tabel 5. Performa reproduksi induk nila salin strain Kunti generasi awal (G-0) yang dipijahkan dalam media salinitas 10-15 ppt Panjang Berat Jumlah Rasio Jumlah Rasio total tubuh telur telur/ larva larva/ tubuh (g) (butir) g berat (ekor) g berat (cm) tubuh tubuh ** 21,5 150 783 ((( 5,22 22,0 200 742 3,71*** * 19,0 100 224 2,24 20,5 180 1.000** 5,55 * 21,5 200 1.100 5,50 21,3 200 1.000* 5,00 ** 22,7 250 1.100 4,40 21,3 225 945** 4,20 * 21,0 200 645 3,22 21,6 210 690* 3,28 * 22,5 240 862 3,59 22,0 300 1.500* 5,00 * 21,7 200 500 2,25 3,71 R= 3,78 Keterangan * = larva berenang ** = larva dengan kuning telur *** = telur belum menetas R = rerata Pada pemijahan induk ikan nila salin strain Srikandi, seluruhnya diperoleh hasil produksi larva sebagaimana disajikan dalam Tabel 6. Dari 4 ekor sampel induk yang dipijahkan tidak didapatkan induk yang menghasilkan telur dan seluruh induk memijah dalam bentuk larva berenang maupun masih dengan kuning telur pada kisaran rasio 2,59-3,30 ekor/g bobot tubuh induk atau rerata 2,78. Tabel 6. Performa reproduksi induk nila salin strain Srikandi generasi awal (G-0) yang dipijahkan dalam salinitas media 10-15 ppt Panjang Berat Jumlah Rasio Jumlah Rasio total tubuh telur telur/ larva larva/ tubuh (g) (butir) g berat (ekor) g berat (cm) tubuh tubuh * 21,5 300 777 2,59 22,0 280 727** 2,60 * 22,5 325 1.075 3,30 21,8 310 812* 2,63 R=2,78 Keterangan * = larva berenang ** = larva dengan kuning telur R = rerata Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 246 Pada pengujian ini dicoba strain-strain induk nila salin warna hitam (GESIT/Sultana, Kunti dan Srikandi) yang dipijahkan dalam salinitas 10-15 ppt untuk optimalisasi keberhasilan pembuahan. Dari jumlah sampel induk yang dipijahkan, secara umum induk nila salin strain GESIT relatif lebih produktif dibandingkan dengan strain Kunti dan Srikandi (Tabel 3, 4, 5 dan 6). Hasil pemijahan induk strain GESIT dalam salinitas 10-15 ppt dan air tawar (0 ppt) diperoleh poduktifitas telur atau larva yang relatif berimbang dan bahkan lebih tinggi (Tabel 3 dan 4). Pada pemijahan nila strain Gesit dalam salinitas 10-15 ppt, dengan berat induk 225 g dapat menghasilkan larva 1.317 ekor dengan rasio 5,85 ekor/g bobot tubuh induk (Tabel 3). Pada pemijahan dalam air tawar (0 ppt) dengan ukuran berat 105 g menghasilkan 367 ekor larva dengan rasio 3,49 ekor/g bobot tubuh induk (Tabel 3) dan berat 300 g dapat menghasilkan 1.423 butir telur dengan rasio 4,74 butir/g tubuh induk dan 1.710 ekor larva dengan rasio 5,70 ekor/g tubuh induk (Tabel 4). Menurut Jaspe and Caipang (2011), ikan tilapia berukuran berat minimal 70 g adalah kandidat ideal untuk produksi telur yang baik. Menurut Anonim (2011), sejak umur 4 bulan ikan nila sudah mulai memijah dan induk betina yang matang kelamin dapat menghasilkan telur antara 250-1.100 butir dengan rasio jumlah telur per gram bobot tubuh adalah 1-4 butir. Ridha and Cruz (2000) dalam Jaspe and Caipang (2011) menyebutkan bahwa tilapia memiliki fekunditas telur yang rendah dan pemijahannya tidak sinkron. Selain ukuran induk yang digunakan, jumlah telur atau larva yang dihasilkan dapat dipengaruhi pula oleh musim. Dalam bulan-bulan kemarau, umumnya induk betina menghasilkan telur lebih awal sekitar 15 hari setelah penebaran, sedangkan selama bulan dingin atau penghujan induk betina menghasilkan telur 1 bulan setelah proses pemijahan (Jaspe and Caipang, 2011). KESIMPULAN Perlakuan uji stress salinitas tinggi (35 ppt) dalam mendapatkan induk ikan nila toleran salinitas tinggi dapat dilakukan pada ikan berukuran benih (3-5 cm/ekor) dan pembesarannya di bak hingga berukuran induk siap memijah selamanya dalam media air laut bersalinitas sekitar 30 ppt. Pertumbuhan induk nila salin hitam strain GESIT/Sultana relatif lebih cepat dibandingkan nila merah strain LARASATI dengan ukuran berat tubuh dan sintasannya relatif berimbang. Tingkat produktifitas telur maupun larva per gram berat tubuh diantara induk nila hitam strain GESIT yang dipijahkan dalam salinitas 10-15 ppt menghasilkan rasio relatif lebih besar dibandingkan strain Kunti dan Srikandi. Rasio produktifitas telur atau larva dari nila strain GESIT yang dipijahkan dalam media air payau dan media air tawar memiliki nilai yang berimbang. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2011. Petunjuk Teknis Pembenihan dan Pembesaran Ikan Nila, Oreochromis niloticus. Dinas Kelautan dan Perikanan, Provinsi Sulawesi Tengah. 32 halaman. Anonim. 2013. Benih Hibrida Ikan Nila Salina (Oreochromis sp.). Pusat Teknologi Produksi Pertanian, Deputi Bidang Agroindustri dan Bioteknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta. 69 halaman. Cnaani, A.; A. Velan and G. Hulata. 2011. Improving Salinity Tolerance in Tilapias: A Review. Institute of Animal Science, Agricultural Research Organization, Volcani Center PO Box 6, Bet Dagan 50250, Israel. Proceedings of The Ninth Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 247 International Symposium on Tilapia in Aquaculture. Liu Liping and Kevin Fitzsimmons (Eds). Shanghai Ocean University, Shanghai, China. 22-24 April 2011. p. 193-201. Jaspe, C.J. and C.M.A. Caipang. 2011. Small scale hatchery and larval rearing techniques for local strains of saline-tolerant tilapia, Oreochromis spp. ABAH Bioflux. Animal Biology and Animal Husbandry. International Journal of the Bioflux Society. Volume 3, Issue 1. p. 71-77. Kumar, A., A. Bhatnagar, S. K. Garg, and S. N. Jana. 2009. Growth performance of Nile tilapia, Oreochromis niloticus (Linn.) in relation to provision of substrate and supplementary feeding, and grown in brackish water ponds. Asian Fisheries Science 22:1,211–1,233. Luan, T. D., I. Olesen, J. Ødegård, K. Kolstad, and N. C. Dan. 2008. Genotype by environment interaction for harvest body weight and survival of Nile tilapia (Oreochromis niloticus) in brackish and freshwater ponds. In From the Pharaohs to the Future: Proceedings of the Eighth International Symposium on Tilapia in Aquaculture, edited by H. Elghobashy, K. Fitzsimmons and A. S. Diab, 231–240. Cairo, Egypt: Egypt Ministry of Agriculture. Muir, J.F. and R.J. Robert. 1993. Recent Advances in Aquaculture IV. Institute of Aquaculture Blackwell Scientific Publication. First published. 340 pp. Putra, Nana S.S.U., Imran Lapong, Michael A. Rimmer, Sugeng Raharjo and Navneet K. Dhand. 2013. Comparative Performance of Four Strains of Nile Tilapia (Oreochromis niloticus) in Barckish Water Ponds in Indonesia. Brackishwater Aquaculture Center, Takalar-South Sulawesi-Indonesia; ACIAR Field Support Office, Makassar-South Sulawesi-Indonesia and Faculty of Veterinary Science, University of Sydney, Camden, Australia. Journal of Applied Aquaculture, 25:293–307, 2013. Soleh, M.; M. Mardjono dan L. Ruliaty. 2012 a. Peningkatan Produktivitas Induk Ikan Nila (Oreochromis sp) Melalui Pemijahan Inter dan Intra Species Pada Media Salin. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau, Jepara. Bulletin Budidaya Mina. Volume 12. 11 halaman. Soleh, M.; A. Fairus Mai Soni dan Tri Supratno K.P. 2012 b. Pertumbuhan dan Sintasan Benih Ikan Nila Strai Gesit Pada Media Air Payau. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau, Jepara. Bulletin Budidaya Mina. Volume 12. 7 halaman. Soleh, M.; Suhartono dan A. Fairus Mai Soni. 2012 c. Aplikasi Ekstrak Buah Pepaya Untuk Peningkatan Pertumbuhan Benih Ikan Nila Gesit Salin. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau, Jepara. Bulletin Budidaya Mina. Volume 12. 10 halaman. Soleh, M.; M. Rizal dan Ita R. 2014 a. Performa Pertumbuhan dan Ketahanan Benih Nila Salin Melalui Vaksinasi. Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau, Jepara. Indoaqua 2014 di Jakarta. 21 halaman. Soleh, M.; A. Fairus May Soni. 2014 b. Penggunaan Ekstrak Buah Pepaya Pada Pendederan Benih Nila Salin Sebagai Alternatif Efisiensi Pakan. Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau, Jepara. Indoaqua 2014 di Jakarta. 12 halaman. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 248 Produksi Udang Windu dengan Pengelolaan Media Pemeliharaan dengan Sistem Biofloks Oleh : Supito; Zaenal Arifin dan Darmawan AD Abstrak Teknologi bioflok dengan aplikasi bakteri pengurai untuk mendegrasi bahan organik sisa pakan dan kotoran udang sehingga dapat menghindari terbentuknya senyawa beracun seperti ammonia dan nitrit. Kajian dilakukan pada 4 petak tambak dengan luas 0,4 Ha. Persiapan tambak dilakukan untuk perbalikan lingkungan tambak dan mencegah penularan patogen penyakit. Pada tebar 150.000 per petak (37,5 ekor/m2). Umur pemeliharaan 132 hari. Aplikasi probiotik dilakukan dengan aplikasi bakteri probiotik yang menngandung bakteri bacillus sp dengan dosis awal adalah 1 kg/L per ha. Untuk mempertahan pertumbuhan dan kelimpahan bakteri probiotik dilakukan penambahan sumber karbon (molase) dengan dosis 2-5% dari total pakan yang diaplikasikan 2 kali seminggu. Pertumbuhan mutlak udang windu yang dihasilkan 22,3-23,9 g/ekor dengan rataan 23,24 ±0,7962 g/ekor. Kelangsungan hidup 51-57%. Rataan laju pertumbuhan harian (ADG) 0,18±0,0061. Produksi udang yang dihasilkan adalah 1.801-1.901 kg/ petak (4,503-4,988 kg/ha). Parameter kualitas air amonia maksimum 0,480 ppm dan Nitrit maksimum 0,9 ppm. Bahan organik air maksimum 247 ppm. Kandungan total bakteri mencapai 5,1x105 CFU dangan dominasi bakteri vibrio maksimum 11,4%. Salinitas selama pemeliharaan 32-55 ppt. Ketebalan flok yang diukur dengan tabung inhoff dipertahankan pada kisaran 20 cc/L Pengelolaan air dengan teknik bioflok mampu membuat kondisi media pemeliharaan yang lebih stabil dan mampu mengendalikan pembentukan amonia dan nitrit. Improvement Tiger Shrimp Production with Biofloks system Water management in The Pond Supito*; Zaenal Arifin. and Darmawa Adiwijaya* Main Center for Brackhiswater Aquaculture Develompmet Abstract Aquaculture management with bioflock technology for tiger shrimp culture through addition of probiotic bacteria to improve decomposition proccess organic material form over feed and shrimp feces degrade so as to avoid of toxic compounds such as ammonia and nitrite. Study was conducted on fourth ponds. Pond square was 4000 m 2. Pond preparation was do for improve pond environment and avoid of pathogen. Stocking density of post larvae was 150.000 pices per metre (37,5 pieces per m2). The maintain for growth and abundance of probiotic bacteria was be added a carbon source for the balance C/N ratio. Application of probiotics with the Bacillus sp. bacterium with dose is 1 kg /L/ha. Controlling abudance of probiatic backteria with Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 249 apply molasses dose 2-5 % form total feed was used in the pond. Application molases was do two time per week. Results growth shrimp 22,3-23,9 g/ind with Average Day Growth (ADG) 23,24 ±0,7962 Survival rate 51-57%. Averege daily grouth rate (ADG) was 0,18±0,0061g/days. Shrimp production is 1.801-1.901 kg/ pond (4,503-4,988 kg/ha). Water quality of amonia maksimum was 0,48 ppm and Nitrite maksimum was 0,9 ppm. Total organic metric (TOM). Avarege of total bacteria wa 5,1 x 105 CFU with total vibrio sp bacteria less 11,4%. The salinity of water during culture period was 32-55 ppt. Abudance of bioflock was 20 cc/L that was measuer with inhoff tube. Bioflocs management system showed stable water quality parameters during aquaculture. Ammonia and nitrite can be reduced in conditions below the threshold. Keywords: Tiger shrimp, Bioflocs system I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan utama pada kegitan budidaya udang intensif adalah masalah limbah sisa pakan dan kotoran udang. Peningkatan pertumbuhan udang akan menyebabkan peningkatkan jumlah penggunaan pakan serta jumlah kotoran dalam petak tambak yang pada akhirnya akan meningktkan kotoran (waste) yang akan berabahaya untuk biota pemeliharaan. Peningkatan kotoran dalam wadah pemeliharaan akan dapat menyebabkan tertuknya senyawa toksis yang dapat mematikan udang. Oleh karena itu diperlukan rekaysa teknologi budidaya daudang dengan sistem pemeliharaan yang mampu meminimalisir pementukan senyawa toksis untuk udang. Kegiatan rekayasa teknologi budidaya udang harus mampu mengeliminir pangaruh sisa pakan dan kotoran udang. Pengelolaan media pemeliharaan dengan sistem bioflok dengan penumbuhan bakteri pengurai dengan aplikasi probiotik. Untuk menjaga pertumbuhan dan klimpahan bakteri probiotik dalam media pemeliharaan dilakukan dan penambahan sumber karbon untuk pengaturan kesimbangan C/N rasio. Pertumbuhan probiotik akan mendegrasi bahan organik sisa pakan dan kotoran udang sehingga akan menghindari terbentuknya senyawa beracun untuk udang yang dipelihara seperti senyawa ammonia dan nitrit. Dengan dapat menekan pembentukan senyawa yang bersifat toksit pada udang, dapat mengurangi penambahan air media dari luar, sehingga dapat menekan penularan penyakit. Penguraian bahan organik dari sisa pakan dan kotoran udang oleh bakteri probiotik dapat menghasilkan biomas berupa floks-floks bakteri atau bioflock yang dapat berfungsi sebagai pakan alami. Menurut Ansari et al.,(2012), bioflok merupakan komunitas mikroba yang terdiri dari bakteria, protozoa dan zooplankton, sebagai suplemen pakan udang mengandung asam amino methionin, vitamin, mineral dan enzim yang dapat membantu proses pencernaan pakan pada udang. Apabila dalam tambak telah terbentuk bioflok maka diharapkan akan dapat menghemat pakan yang diberikan pada udang karena bioflok dapat digunakan sebagai subsitusi pakan bagi udang yang dibudidayakan. Pembentukan flok-floks bakteri akan mampu menekan atau bahan mengurangi penggunaan pakan tambahan yang pada akhirnya akan mampu Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 250 menurunkan konversi pakan dan biaya produksi. Maka upaya untuk efisiensi biaya produksi harus dilakukan, satu diantaranya adalah menggunakan teknologi bioflok (Avnimelech, 1999; 2007; Schryver et al, 2008). Untuk menciptakan media pemeliharaan udang windu yang nyaman, serta mampu memanfaatkan kembali limbah kotoran udang dan sisa pakan menjadi biomas perlu dilakukan kajian budidaya udang windu dengan pengelolaan lingkungan dengan sistem bioflok. 1.2 Tujuan Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memperbaiki media melalui sistem bioflok sehingga mampu menekan terbentuknya senyawa toksik dan dapat menekan efisiensi penggunaan pakan untuk meningkatkan produktivitas tambak 1.3 Sasaran Parameter ammonia< 1 ppm; Nitrit< 1 pmm dan Pertumbuhan udang dengan ADG >0,2; SR > 60%. II. BAHAN DAN METODE 2.1 Bahan dan Alat 2.1.1 Bahan No. Uraian 1. Benih Udang 2. Pakan 3. Kaporit 4. saponin 5. Kaptan 6. TSP 7. Nitrogen (ZA) 8. Probiotik 9. Molase 10. Multivitamnin 11. Feed additive herbal (alicin) 12. Benih ikan nila 13. Benih glondong bandeng Alat Peralatan Kincir Pompa 8” Peralatan lapangan (jala, timbangan, seser,ember, anco, rakit Jumlah Satuan 400.000 Ekor 10.500 Kg 50 Gln 200 Kg 6000 kg 50 Btg 800 kg 30 kg 300 kg 2 kg 2 kg 2500 ekor 1500 ekor 2.2.2. Jumlah 16 buah 2 buah Masing-masing 1 unit Manfaat Difusi Oksigen Suplai air Peralatan panen Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 251 2.2 Waktu dan Tempat Kegiatan perekayasaan ini dilaksaknakan dari bulan Januari-Desember 2015. Tambak yang digunakan perekayasaan adalah tambak seri H dengan luasan masingmasing 5.000 m2 milik BBPBAP Jepara. 2.3 Metode 2.3.1 Persiapan Lahan budidaya Persiapan wadah budidaya Persiapan wadah budidaya dimaksudkan untuk mengoptimalkan kondisi lahan budidaya sehingga mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang windu. Desain tata letak Wadah budidaya terdiri dari petak sterilisasi/tandon, petak pembesaran udang dan petak pengolah limbah dengan biofilter. Perbaikan konstruksi petakan tambak untuk membuat tambak kedap kedap sehingga tidak ada rembesan air antar petakan atau petakan dengan saluran untuk mencegah terjadinya potensi transfer pathogen. Pembuatan sentral drain di tengah petakan tambak untuk memudahkan pengambilan lumpur dan sisa pakan selama pemeliharaan dengan cara disipon maupun dengan pengeluaran melalui saluran out let. Pemasangan biosekuriti dengan pagar keliling kawasan tambak kajian untuk mencegah masuknya pathogen atau carier penyakit. Untuk memperbaiki kulitas dasar tambak dilakukan pengeringan dan pembersihan kotoran lumpur organik. Aplikasi desinfektan pada dasar tambak untuk membunuh bibit virus/bakteri dan bibit blu green alga (BGA) dengan aplikasi larutan HCl. Persiapan air Pengisian air pada petak tandon, petak pembesaran hingga kedalaman air minimal 100 cm. Aplikasi desinfektan dengan menggunakan clorin (ca-hyphocloride 60 EC) dengan dosis 25-30 ppm untuk membasmi bakteri pathogen dan virus dan krustaesida dengan dosis 1,5 ppm untuk membunuh karier penyait virus berupa udang atau crustacean liar. Setelah aplikasi bahan desinfekatan air didiamkan selama minimal 5 hari agar semua bahan menjadi netral. Pengapuran dan pemupukan Jenis kapur yang digunakan adalah kapur kaptan dan dolomit. Jumlah kapur yang digunakan bergantung pada pH perairan. Jika kondisi pH perairan sudah berada pada diatas nilai 7,5 maka kapur tidak diaplikasikan, Pemupukan dilakukan untuk menumbuhkan plankton pada awal pemeliharaan. Dosis pupuk yang digunakan adalah 5 ppm dengan dosis perbandingan pupuk Nitrogen (ZA) dan TSP adalah 5:1. Stimulasi plankton (jika diperlukan) pada petak pembesaran udang dilakukan dengan menambahkan inokulum dari kultur Chlorella murni yang telah diendapkan. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 252 Penumbuhan bakteri probiotik Prinsip dari teknologi bioflok adalah menumbuhkan mikroorganisme terutama bakteri heterotrop di air tambak yang dimaksudkan untuk menyerap komponen polutan, amonia yang ada di air tambak. Agar dapat terbentuk bioflok, maka rasio C/N di air tambak budidaya udang pola intensif harus > 10 : 1, kemudian sedikit dilakukan penggantian air dan diberi aerasi yang kuat dan merata, sehingga oksigen tidak pernah lebih rendah dari 4 ppm. Bakteri heterotrof dalam air tambak akan berkembang pesat apabila di air tambak ditambahkan sumber C karbohidrat yang langsung dapat dimanfaatkan, yaitu mollase. Selanjutnya bakteri tersebut akan menggunakan N anorganik terutama amonia dalam air dan disintesa menjadi protein bakteri dan juga sel tunggal protein yang dapat digunakan sebagai sumber pakan bagi udang atau ikan yang dipelihara (Hari, et al., 2004). Aplikasi probiotik mulai dilakukan dengan aplikasi bakteri probiotik yang menngandung bakteri bacillus sp dengan dosis awal adalah 1 kg/L per ha dan penggunaan molase dengan dosis 2 ppm. 2.3.2 Penebaran benih Penebaran benih menggunakan benih yang bebas virus yang telah dilakukan uji PCR. Salinitas media pemeliharaan benih juga telah di sesuaikan dengan mendia pemeliharaan air tambak. Padat tebar benih adalah 40 ekor/m2. 2.3.3 Pemeliharaan Pengelolaan air Pengelolaan air diarahkan pada sistem bioflok. Aplikasi probiotk dilakukan setiap 1 hingga 2 kali seminggu dengan dosis probiotik 1 kg/ha. Untuk mempertahankan keseimbangan C/N rasio pada kisaran 12-20 dilakukan aplikasi sumber karbon (molase) dengan dosis 2,5-5% dari total pakan yang telah diberikan selama 1 minggu. Aplikasi molase dapat dilakukan bersamaan dengan aplikasi bakteri probiotik. Peambahan air selama pemeliharaan hanya dilakukan untuk mempertahankan ketinggian air. Penambahan air hanya dilakukan untuk mengganti air yang hilang karena penguapan atau rembesan atau pada saat kondisi darurat pada saat kualitas air menurun. Perlakukan untuk mempertahankan kualitas air adalah dengan dilakukan penyiponan kotoran dasar tambak yang dilakukan secara periodic. Pengelolaan pakan Pemberian pakan menggunakan pakan komersial dengan kadar protein pada awal pemeliharaan sekitar 38%. Dosis pemberian berkisar 50% biomas (awal pemeliharaan) dan menurun hingga 2.5% menjelang akhir pemeliharaan. Frekuensi pemberian pakan 2-5 kali/hari sesuai dengan berat udang. Jumlah pakan di anco sekitar 0.5 % (berat udang 3 gram) dan meningkat hingga 1 %. Waktu kontrol di anco mulai 2 jam dan menurun hingga 1,5 jam. Sebagai acuan jumlah pakan, frekuensi pemberian dapat dilihat pada tabel berikut. Berat rata-rata (g) 0,01-0,70 0,70-2,00 Waktu makan dan jumlah pakan (%) Frekuensi 2x 3x 05.00 50 40 Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 11.00 16.00 22.00 50 40 20 Saat monitoring (jam)* 253 2,00-4,00 4,00-5,00 5,00-8,00 8,0010,00 10,0018,00 18,0020,00 22,00 4x 4x 5x 5x 30 30 25 25 20 20 10 10 30 30 15 15 20 20 30 30 3,0 2,5 2,5 2,5 5x 25 10 15 30 2,0 5x 25 10 15 30 2,0 5x 25 10 15 30 1,0 * setelah pemberian pakan Monitoring Kualitas air Monitoring kualitas air dilakukan sejak persiapan lahan hingga menjelang panen. Pengamatn kualitas air harian adalah parameter suhu, Oksigen terlarut, pH, kepadatan flok dan kecerahan. Pengamatan mingguan adalah paramater bahan organik, alkalinitas, TAN (NH3 dan NH4+), nitrit, nitrat, populasi plankton, bakteri (Total bakteri dan bakteri vibrio). Monitoring pertumbuhan dan sintasan Monitoring pertumbuhan dilakukan setelah udang berumur 40 hari atau lebih dengan cara sampling. Sampling menggunakan jala tebar dilakukan minimal 3 kali dalam satu petak. Jumlah dan berat udang dihitung dan sekaligus memperhatikan tingkat keseragaman udang. Sampling dilakukan tiap 7- 10 hari sekali dan data ini digunakan untuk perhitungan jumlah pakan periode pemeliharaan berikutnya. Sedangkan monitoring kesehatan udang dapat dilakukan setiap saat melalui anco. Pada anco, kondisi udang seperti agresifitas, respon pakan (kondisi usus dan feces) dapat diketahui. 2.3.4 Panen Pemanenan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi udang (berat, periode molting) dan harga serta efisiensi usaha. Untuk itu, penentuan jumlah total pakan yang digunakan dan estimasi produksi mutlak dilakukan. Panen dilakukan pada siang hari untuk memperkecil udang yang moulting. III. Hasil dan Pembahasan 3.1 Pertumbuhan udang. Pertumbuhan dan ADG udang uji dapat dilihat pada tabel 3. Hasil pengukuran pertumbuhan mutlak udang selama pemeliharaan 110 hari pada petak H5 adalah 21,0 g/ekor dengan rata-rata ADG 0,20 g/hari dan pada petak H6 adalah 20,5 g/ekor dengan ADG 0,21 g/hari (Tabel 3). Dari tabel tersebut dapat dinyatakan bahwa pertumbuhan mutlak pada kedua petak relatif sama. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 254 Tabel 3. Data pertumbuhan udang windu dengan sistem bioflok Umur (hari) 30 40 50 60 70 80 90 100 110 Petak H5 ABW (g) 4,2 5,9 7,8 9,4 11,5 13,8 16,1 18,2 21 Petak H6 ADG (g) 0,17 0,19 0,16 0,21 0,23 0,23 0,21 0,28 ABW (g) 4,5 6 7,6 9,6 11,2 14,2 16,5 18,5 20,5 ADG (g) 0,15 0,16 0,2 0,16 0,3 0,23 0,2 0,2 Gambar 1. Grafk pertumbuhan mutlaks (ABW) Dari gambar 1 dan 2, dapat dinyatakan bahwa pertumbuhan mutlak dan laju pertumbuhan harian (ADG) selama pemeliharaan pada kedua petak kajian menunjukkan peningkatan hingga pemeliharaan umur 80 hari. Selanjutnya laju pertumbuhan harian cenderung menurun hingga panen umur 110 hari. Hal ini diduga sebagai akibat musim kemarau sehingga salinitas terus meningkat hingga 56 ppt. Perlakukan penambahan air setiap hari sebanyak 5 -10% setelah umur pemeliharaan ke 60 tidak mampu menahan kenaikan salinitas. Musim kemarau dengan panas yang tinggi dan tiupan angin yang kuat mengakibatkan proses penguapan ar tambak semakin meningkat sehingga salinitas air tambak cenderung meningkat. Gambar 2. Grafik laju pertumbuhan harian ADG Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 255 3.2 Produksi Data berat apada akhir pemeliharaan, ADG, size, sintasan dan produksi dapat dilihat pada Tabel 4. Perlakukan yang sama dengan pemeliharaan sistem biofloks pada kedua petak kajian menunjukkan produksi yang dihasilkan tidak jauh berbeda. Produksi udang yamg dihasilkan pada petak H5 adalah 1.935 kg (produktivitas 3,870 kg/ha/MT) dan petak H6 adalah 2,017 kg ( 4.034 kg/ha/MT). Dengan tingkat kelangsungan hidup pada petak H5 sebesar 46 % dan petak H6 sebesar 49 %. Produksi yang dihasilkan ini lebih tinggi dari hasil kajian sebelumnya dengan produksi 1.315 kg ( 3.287 kg/ha/MT) dan 1.322 kg (3.306 kh/ha/MT). Kajian sebelumnya dapat mencapai tingkat kelangsungan hidup 60,1-61,5 % (Supito et.al, 2014). Peningkatan produktivitas pada kajian kedua diduga pemeliharaan dilakukan pada musim kemarau sehingga ada pengaruh suhu terhadap laju konsumsi pakan yang pada akhirnya pertumbuhan lebih baik. Faktor lain diduga kepadatan yang lebih rendah karena kelangsungan hidup yang lebih rendah pada kajian kedua menyebabkan ruang gerak dan ketersediaan makanan yang tercukup sehingga lajau pertumbuhan meningkat. Tabel 4. Data tabel produksi udang No Uraian H5 H6 1 Jumlah tebar/petak 200.000 200.000 2 Umur pemeliharaan (hari) 110 110 3 Ukuran 21 20,5 4 ADG 0,21 0,21 5 Size ekor/kg 48 49 5 SR (%) 46% 49% 6 Produksi per petak (kg) 1.935 2.017 7 Produktivitas kg/ha 3.870 4.034 3.2 Kualitas lingkungan 3.2.1 Kualitas air Hasil pengukuran kualitas air selama pemeliharaan adalah sebagai berikut: Tabel 5. Data kualitas air tambak udang semi heterotrof sistem Parameter Tambak H5 Tambak H6 1. Salinitas 33-55 33-54 2. suhu 28-33 28-32 3. Oksigen 3.1-5,0 3,0- 5,13 4. Kecerahan 20-40 20-45 5. pH 7,5 - 8,3 7,5 - 8,5 6. Alkalinitas (ppm) 62–188 99 – 195 7. Bahan organic 75– 380 75 -395 (ppm) 8. NH3 < 0,5 <0,6 Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 256 9. NO2 10. densitas flok (cm3) a. b. c. d. <12 Maksimum 35 <8 Maksimum 40 Salinitas Salinitas air tambak pada saat penebaran adalah 33 ppt karena pada saat musim kemarau. Selanjutnya salinitas cenderung naik karena semalam pemeliharaam umur 1 bulan hanya dilakukan penambahan air untuk mempertahankan ketinggian air tambak. Pengaruh musim kemarau sehingga pengupakan cukup tinggi hingga salintas naik hingga 55 ppt. pada musism kemarau salinitas air sumber adalah 36 ppt. Dengan cuaca yang cerah serta angin yang kencang pada musim kemarau ini, salinitas air tambak bisa naik sekitar 1-2 ppt per hari. Untuk mencegah kenaikan salinita yang tinggi dilakukan penambahan air sumber 5-10% per 1-2 hari seklai sehingga mampu mengandalikan kenaikan air kurang dari 1 ppt per hari. Temperatur Hasil pengamatan temperatur rataan harian (Tabel 3) selama pemeliharaan terendah adalan 28 oC yang diamati pada pagi hari dan tertinggi adalah 33oC yang diamati pada sore hari. Temperatur berpengaruh terhadap aktivitas metabolisme terutama laju komsumsi pakan. Oleh karena itu pemberian pakan disesuaikan dengan laju komsumsi oleh udang dengan cara mengontrol pakan pada anco. Jumlah pakan dianco adalah 0,6-1% dari julah total pemberian dan lama pengamatan 1-2 jam. Bila pakan di anco tidak habis, maka jumlah pakan yang diberikan segera dikurangi hingga 20-40%. Sebaliknya bila pakan habis sebelum waktu pengamatan, maka jumlah pemberian pakan ditambak sekitar 20 %. Dengan cara ini untuk menghindari kelebihan pakan yang akan menyebabkan peningkatan kotoran pada dasar tambak. Oksigen terlarut. Kandungan oksigen terlarut selama pemeliharan dapat dipertahankan minimal 3 ppm pada kedua petak. Cara yang dilakukan adalah dengan mengatur tataletak kincir dengan jumlah yang disesuaikan sehingga selruh kolom air petak tambak. Fluktuasi nilai oksigen terlarut harian cenderung pada teknologi bioflok ini pada kisaran 1-2 ppm. Letak dn arah kincr di atur sehingga seluruh kolom air pada petak tambak bergerak atau mengalir. Cara ini dilakukan untuk mencegah pengendapan kotoran organik pada dasar tambak. Beberapa pengamatan menunjukkan bahwa nilai kelarutan oksigen pagi hari lebih tinggi dari pada sore hari. Hal ini diduga peranan bakteri probiotik yang dominan dalam kolom air pada malam hari kecepatan untuk mendegradasai bahan organik cenderumg lebih lambat sehingga tidak banyak menggunakan oksigen terlarut. Sebaliknya pada siang hari dengan peningkatan suhu media menyebabkan kecepatan bakteri probiotik mendegrasi bahan organik meningkat serta meningkat pula penyerapan oksigen terlarut. Kecerahan Hasil pengukuran kecerahan selama pemeliharaan adalah pada petak H5 20-45 cm dan petak H5 adalah 20-40 cm. Berdasarkan pengamatan dilapangan flok bakteri terbetuk setelah pemeliharaan 45 hari. Terbentuk flok bakteri ditandai terbentuknya busa (foam) berwarna putih akibat pengadukan kincir air. Busa Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 257 e. f. g. tersebut sebagai indikasi terjadinya proses penguraian bahan organik sisa pakan dan kotoran udang menjadi flok bakteri. Warna air tambak setelah terjadinya flok bateri berwarna hijua kecoklatan dan stabil hingga panen. Diduga aplikasi sumber karbon berupa molase dengan dosis 5 % dari crude total pakan (dengan kandungan protein 36%) mampu membuat keseimbangan C/N rasio sekitar >16. Pada kondisi keseimbangan C/N rasio yang tinggi dapat mengakibatkan pertumbuhan bakteri probiotik mampu berkembang untuk menguraikan sisa pakan dan kotoran udang serta bahan organik lainnya. pH Hasil pengamatan pH air selama pemeliharaan patak H5 adalah 7,5-8,3; dan petak H6 adalah 7,5-8,5. dengan fluktuasi harian pada pagi dan sore anara 0,1-0,3. Kestabilan nilai pH diduga karena dominasi bakteri probiotik yang dominan disbanding plankton. Pada proses penguraian oleh bakteri probiotik sangat tergantung dari kesimbangan C/N rasio dan kelarutan oksigen untuk mendegradasi kotoran bahan orgnaik menjadi Nitrat dan senya organik lainnya. Pada kondisi keseimbang C/N rasio yang cukup >16 dan kandungan oksigen terlarut yang tinggi, dapat menghindari terbetuknya senyawa toksin untuk udang seperti ammonia dan nitrit. Dengan proses tersebut diduga menyebabkan kestabilan nilai pH yang lebih baik, dengan fluktuasi harian yang rendah. Berbeda dengan proses fotosintesa, plankton maupun makroalga memerlukan akan menyerap karbon dioksida (CO2) untuk proses fotosintesa. Perubahan kesimbangan CO2 kan menyebabkan berubahnya kandungan karbonat dalam air sehingga dapat menyebabkan perubahan nilai pH air. Kondisi ini menyebabkan fluktuasi harian nilai pH yang lebih tinggi (lebih nilai 0,5). Sebagai akibatnya fluktuasi oksigen terlurt harian pagi dan sore hari juga tinggi. Alkalinitas Hasil pengamatan salinitas selama pengamatan berkisar petak kedua petak kajian (Tabel 5) menunjukkan pada kisaran nilai yang layak untuk udang. Perlakukan yang dilakukan untuk mempertahankan nilai alkalinitas adalah aplikasi kapur tiap 2 hari sekali dengan dosis 5 ppm. Waktu aplikasi kapur dilakukan pada malam hari dan dilakukan setelah terjadi hujan. Hal ini diduga air hujan merupakan air murni yang dapat mengurangi kosentrai mineral dalam air tambak. Oleh karena itu perlu dilakukan penambahan mineral setelah terjadi hujan. Kemelimpahan dan floks Flok-floks bakteri terbentuk setelah umur pemeliharaan 1,5 bulan. Yag ditandai adanya busa putih akibat pengadukan kincir. Warna air cenderung kecoklatan keruh (masir) yang terbentuk karena suspense flok bakteri. Hasil pengukuran dengan tabung imhoff kepadatan flok berkisar 40 cc. Peningkatan kelimpahan flok setelah umur 55 hari. Pada bulan pertama pemelihran hanya 10-12 cc dn meningkt setelah usia pemelihraan bulan ke dua. Hal ini diduga karena penambahan sumber karbon yang mengakibatkan peningkatan keseimbangan C/N rasio. Ikan dan udang dapat mengakumulasi nutrien dari pakan yang diberikan berkisar 5-40%. Dari data yang ada diketahui bahwa rerata nutrien yang dapat tertahan dalam tubuh ikan dan udang adalah 13 % carbon, 29 % nitrogen, dan 16 % posfor. Rendahnya jumlah karbon sebagai konsekuensi dari banyaknya fraksi karbon pakan yang lepas akibat respirasi. Data ini menunjukkan Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 258 h. i. rendahnya retensi nutrien dalam tubuh kultivan, sehingga sisanya seperti nitrogen (75%) dan posfor (80%) terakumulasi di dasar tambak. (Avnimelech dan Ritvo, 2003). Oleh karena itu perlu penambahan sumber karbon organik untuk meningkatkan kesimbangan C/N rasio. Pada perairan yang mempunyai keseimbangan C/N ratio yang baik akan meningkatkan tumbuhnya Total Bakteri Heterotrop (TBH) sehingga mempercepat proses penguraian limbah organik. Dari beberapa jenis bakteri heterotrop ini diduga ada yang bersifat bakteri ansosigenik, yaitu bakteri yang dalam proses metabolismenya menguraikan bahan organik tidak menggunakan oksigen sebagai sumber energi (Widiyanto, 2002). Kandungan bahan organik total Kandungan bahan organik air tambak selama pemeliharan mencapai 395 ppm. Namum demikian tidak membahayakan untuk udang. Hal ini karena proses degradasi bahan organik tersebut berlangsung cepat dan tidak membentuk senyawa toksik ammonia dan nitrit. Data pengukuran ammonia dan nitrit masih kurang dari 0,1 ppm dan tidak membahayakan udang. Hal ini diduga peranan oksigen dari aerasi yang cukup tinggi selama pemeliharaan. Akumulasi bahan organik yang berlebih menjadi pemicu kondisi lingkungan yang anaerob (Avnimelech et al., 2004) masih dapat dicegah bila mampu meningkatkan kelarutan oksigen ( Avnimelech et al., 2004). Pada awal pemeliharaan bahan organik air sudah cukup tinggi yaitu sekitar 95-97 ppm. Ini diduga karena kandungan bahan organik sumber air sudah cukup tinggi. Penggunaan kaporit sebagai desinfektan dan sekaligus sebagai oksidator tidak dapat menekan kandungan bahan organik air pada awal pemeliharaan kurang dari 60 ppm. Peranan petak tandon hanya sebagai pengendapan kotoran sementara belum dapat mengurangi bahan organik. Semakin tambah umur pemeliharaan dan semakian tambahnya jumlah pakan yang digunakan mengakibatkan peningkatan kandungan bahan organik hingga mencapai 295 ppm. Hal ini diduga karena telah terbentuknya flok bakteri yang juga mengandung protein Amonia Nilai Amonia (NH3) tertinggi pada kedua petak adalah 0,6 dan nitrit adalah 0.7 ppm. Parameter ammonia it dalam sistem budidaya bioflok sangat rendah mengingat data bahan organik cukup tinggi. Hal ini diduga peranan probiotik sangat mendukung untuk mencegah pembentukan ammonia. Amonia sangat beracun untuk udang dan biasanya terjadi pada nilai pH tinggi diatas nilai 9. Diduga peranan penambahan sumber karbon mampu mereduksi pembentukan Amonia. Hari et al., (2004) telah melakukan percobaan pembesaran udang (P. monodon) skala laboratoris dan skala massal di tambak tentang pengaruh penambahan sumber karbon. Hasil percobaan menunjukkan bahwa penambahan karbohidrat (tepung tapioka) secara signifikan menurunkan TAN (Total ammonia nitrogen) dan meningkatkan populasi bakteri heterotropik baik di kolom air maupun di sedimen. Penambahan karbon organik sangat efektif menurunkan amonia yang dihasilkan olek ekskrei udang atau sisa pakan yang tidak termakan. Setiap 0,1 ppm Amonia dapat diturunkan dengan molase 20 g/m3 air (Avnimelech, 1999) Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 259 j. Nitrit. Hasil pengukuran nitrit mencapai12 ppm. Namun demikian tidak menjadikan toksik bagi udang maupun ikan yang ada pada saluran buang. Berdasarkan kandungan nitritnya terjadi fenomena baru. Beberapa praktisi budidaya udang di jawa timur melaporkan bahwa kandungan nitrit mencapai 30 ppm juga tidk mematikan udang. Diduga toksisitas nitrit rendah apabila terjadi pada salinitas yang tinggi. Namun demikin untuk mengatasi nitrit meningkat, dilakukan dengan membuat oksigen terlarut pada media air tinggi. IV. Kesimpulan dan Saran 4.1 Kesimpulan Dari hasil kegiatan pemeliharaa udang windu sistem bioflok dapat disimpulkan: d.Sintasan atau kelangsungan hidup udang 46 % dan 49 %. Yang diduga karena proses aklimastisasi saat penebaran dan pemeliharaan musim kemarau yang cenderung salinitas naik. e.Produksi udang yamg dihasilkan adalah petak H5 adalah 1.935 kg (produktivitas 3,870 kg/ha/MT) dan petak H6 adalah 2,017 kg ( 4.017 kg/ha/MT). Dengan laju pertumbuhan harian (ADG) sebesar 0,21 g/hari. f.Dengan teknik bioflok kuaitas air terutama amonia bisa dikendalikan kurang dari 1 ppm walaupun kandungan total bahan orgnik tinggi. Parameter nitrit yang mencapai 12 ppm, tidak menjadi toksik bagi udang. 4.2. Saran Perlu dilakukan kajian lanjutan pemeliharaan udang windu dengan sistem bioflok dengan padat penebaran yang lebih tinggi untk menghasilkan produktivitas yang optimal. DAFTAR PUSTAKA Avnimelech, Y., 1999. Nitrogen control and protein recycling: Activated suspension ponds. The Advocate, April:23-24. Avnimelech, Y., G. Ritvo., and M. Kocha., 2004. Evaluating the active redox and organic fractions in pond bottom soils: EOM, easily oxidized material. Aquaculture xx,xxx-xxx. Avnimelech, Y., 2009. Biofloc Technology – A Practical Guide Book. The World Aquaculture Society, Boton Rouge, Louisiana, United States. McIntosh, R.P. 2000. Changing Paradigms in Shrimp Farming: IV. Low protein feed and feeding strategy. The Advocate : 45-50. Supito dan Darmawan AD, 2014., Budidaya udang windu dengan sistem biofloks, Laporan tahunan BBPBAP Jepara. Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016 260 APPLICATION MINAGROW TO GROWTH UP RABBIT FISH SEEDS (Siganus guttatus) Hamka, Marwan, Jumriadi dan Haruna Abstract Engineering activity is intended to determine the effectiveness of minagrow use are mixed into feed to improve the growth rate and survival of rabbit fish seeds. For uses are as an information in the maintenance rabbit fish seed to can be applied in society. This activity is carried on fiber round tank indoor volume of 500 L tranparent to four treatments. The engineering activities are carried out in this activity is the tank A (artificial feed minagrow + 2 ppm); tank B (artificial feed minagrow + 3 ppm); tank C (artificial feed + minagrow 4 ppm); and tank D (artificial feed / control). Dose feed for all treatments are the same in the amount of 3-5% / BB. This activity is done by 3 cycles with a stocking density of 50 tail / tank with an average weight of 1.00 g and an average length of 3.4 cm. The results obtained for the growth activities of the absolute weight is tank A (3.42 ± 0.15 g); tank B (3.16 ± 0.36 g); tank C (3.16 ± 0.25 g); and tank D (2.66 ± 0.27 g). While for the specific growth rate is tank A (2.10%); tank B (1.73%); tank C (1.82%); and tank D (1.39%). The survival rate (SR) were obtained in all treatments was 100%. The results of water quality measurements still in normal range to support maintenance activities rabbit fish seed. Keywords: Minagrow, Growth, Rabbit Fish Seed APLIKASI MINAGROW UNTUK MEMACU PERTUMBUHAN BENIH IKANBERONANG LADA (Siganus guttatus) Hamka, Marwan, Jumriadi dan Haruna ABSTRAK Kegiatan perekayasaan ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas penggunaan minagrow yang dicampurkan dalam pakan untuk meningkatkan laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan beronang lada. Sedangkan kegunaannya adalah sebagai bahan informasi dalam pemeliharaan benih ikan beronang lada yang nantinya dapat diterapkan dalam masyarakat. Kegiatan ini dilakukan pada bak fiber berbentuk bulat volume efektif 500 ltrdalam ruangan (indoor) yang tembus cahaya sebanyak empat perlakuan. Adapun kegiatan perekayasaan yang dilakukan dalam kegiatan ini adalah pada bak A (pakan buatan + minagrow 2 ppm); bak B (pakan buatan + minagrow 3 ppm); bak C (pakan buatan + minagrow 4 ppm); dan bak D (pakan buatan/kontrol). Dosis pakan untuk semua perlakuan adalah sama yaitu sebesar 3 - 5%/BB. Kegiatan ini dilakukan sebanyak 3 siklus dengan padat tebar 50 ekor/bak dengan berat rata-rata 1,00 gr dan panjang rata-rata 3,4 cm. Adapun hasil kegiatan yang didapatkan untuk pertumbuhan berat mutlak adalah Bak A (3,42 ± 0,15 grm); Bak B (3,16 ± 0,36 grm); Bak C (3,16 ± 0,25 grm); dan Bak D (2,66 ± 0,27 grm). Sedangkan untuk laju pertumbuhan spesifik adalah Bak A (3,97%); Bak B (5,02%); Bak C (4,52%); dan Bak D (3,38%). Tingkat kelangsungan hidup (SR) yang didapatkan pada semua perlakuan adalah sebesar 100%. Adapun hasil pengukuran kualitas air masih menunjukkan kisaran yang normal untuk mendukung kegiatan pemeliharaan benih ikan beronang. Kata kunci : Minagrow, pertumbuhan, benih ikan beronang Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ikan beronang (Siganus guttatus) merupakan salah satu komoditas perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Saat ini sudah banyak masyarakat yang membudidayakannya dengan menggunakan benih dari alam. Penggunaan benih alam secara kontinyu yang disertai dengan eksploitasi ikan beronang yang berlebihan mendorong berkurangnya populasi ikan beronang di laut (Sunyoto dan Munstahal, 1997). Untuk mengantisipasi berkurangnya populasi beronang dilaut, kegiatan budidaya yang selama ini mengandalkan benih alam perlu ditunjang dengan kegiatan pembenihan beronang. Kegiatan pembenihan beronang ini diharapkan natinya dapat menunjang ketersediaan benih untuk kegiatan budidaya, sehingga kegiatan budidaya ikan beronang dapat berkesinambungan. Keberhasilan dari usaha pemeliharaan benih ikan beronang apabila dapat menekan tingkat kematian serendah mungkin atau meningkatnya tingkat kelangsungan hidup benih ikan beronang serta diperolehnya pertumbuhan yang optimal. Upaya ini dapat dilakukan dengan pengendalian berbagai faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup maupun pertumbuhannya. Seperti diketahui hakekat pertumbuhan adalah perubahan ukuran panjang dan bobot dalam kurun waktu tertentu, dan pertumbuhan ikan oleh beberapa faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud melipui: genetik, umur, seks, kematangan gonad dan kemampuan memanfaatkan makanan yang diberikan. Sedangkan yang termasuk faktor eksternal diantaranya kualitas air, makanan, kepadatan populasi serta hama dan penyakit (Huet, 1971). Makanan merupakan salah satu faktor eksternal yang dalam menunjang benih ikan beronang. Secara umum ikan pada mulanya akan memanfaatkan pakan untuk kelangsungan hidupnya dan apabila terdapat kelebihan energi baru dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan. Sehingga untuk meningkatkan produksi biomassa dalam suatu usaha budidaya pakan harus diberikan dalam jumlah yang cukup dan kualitas yang baik dalam arti pakan tersebut memenuhi kebutuhan nutrisi organisme budidaya maupun pemilihan bahan baku yang memenuhi syarat. Pemberian pakan buatan dengan kandungan protein yang cukup tinggi tentunya akan dapat memacu pertumbuhan ikan dengan lebih baik lagi, namun demikian biaya produksi juga akan lebih meningkat sebagai akibat harga pakan yang berprotein tinggi juga cukup mahal. Sehubungan dengan hal tersebut maka di BPBAP Takalar dilakukan kegiatan perekayasaan dengan penambahan ”minagrow” pada pakan untuk memacu pertumbuhan benih ikan beronang tanpa menggunakan pakan yang berprotein tinggi. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 2 1.2. Tujuan dan Kegunaan Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengetahui efektifitas penambahan minagrow pada pakan buatan yang optimal dalam meningkatkan laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan beronang lada. Kegunaan dari kegiatan ini adalah sebagai bahan informasi dalam pemeliharaan benih ikan beronang lada yang nantinya dapat diterapkan dalam masyarakat. BAB II METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Kegiatan ini dilakukan pada tahun anggaran 2015 (Oktober -Desember) bertempat di Unit Pembenihan Kerapu dan Beronang Balai Budidaya Air Payau Takalar, Desa Bontoloe Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar. 3.2 . Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah benih ikan beronang, pakan buatan, obat-obatan dan kemikalia. Sedangkan alat yang digunakan yaitu bak fiber, ember, perlengkapan aerasi, filter bag, timbangan elektrik, DO meter, pH meter, Thermometer, Handrefraktometer, dll. 3.3. Prosedur Kerja Perekayasaan ini dilakukan dengan menggunakan bak fiber volume 1 ton sebanyak 4 buah yang terletak dalam unit pendederan (semi indoor) dengan perlakuan sebagai berikut : - Bak A (pakan buatan + 2 ppm minagrow) - Bak B (pakan buatan + 3 ppm minagrow) - Bak C (pakan buatan + 4 ppm minagrow) - Bak D (Kontrol) Sedangkan prosedur pelaksanaan dalam kegiatan perekayasaan ini adalah sebagai berikut: a. Prosedur pencampuran Minagrow ke dalam pakan Menimbang minagrow sesuai dosis yang diinginkan Menyiapkan larutan PBS sebanyak ± 100 ml/kg pakan dan kuning telur sebanyak 20mg/kg pakan Melarutakan minagrow yang telah ditimbang sesuai dosis ke dalam PBS kemudian ditambahkan kuning telur dan dicampur hingga homogen. Larutan tersebut kemudian disemprotkan secara merata pada 1 kg pakan. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 3 - Pakan yang dicampurkan minagrow selanjutnya dikeringudarakan selama 10-15 menit. Pakan dapat langsung diberikan pada ikan dengan frekuensi 3 kali seminggu masing-masing interval 3 hari. Pakan yang masih tersisa dapat disimpan pada suhu 4oC. b. Prosedur pelaksanaan kegiatan Adapun kegiatan dalam pelaksanaan perekayasaan ini adalah sebabagai berikut : - Menyiapkan 4 buah bakfiber. Bak dicuci dengan air tawar dan detergen yang mana - sebelumnya bak telah didesinfektan dengan kaporit 100 ppm - Menyiapkan sistem aerasi pada masing-masing bak pemeliharaan. - Mengisi bak pemeliharaan dengan air laut yang telah melalui sand filter - Memasukkan benih ikan beronang dengan kepadatan 100 ekor/bak (panjang ratarata 5,3 cm dan berat rata-rata 1,89 gr). - Pemberian pakan buatan pada setiap perlakuan dengan dosis 3-5%/BB dengan frekwensi pemberian pakan sesuai dengan perlakuan yang ada. - Sebagai data penunjang dilakukan pengukuran kualitas air pada setiap perlakuan. Parameter kualitas air yang diamati meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut, pH dan amoniak. 3.4. Pengukuran Peubah Peubah yang diamati dalam kegiatan ini adalah tingkat kelangsungan hidup (SR). a. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Tingkat kelangsungan hidup dalam kegiatan ini dihitung dengan menggunakan rumus Effendie (1979), yaitu : SR = (Nt/No) x 100% Dimana : SR = Tingkat kelangsungan hidup (%) Nt = Jumlah hewan uji pada akhir pengujian (ekor) No = Jumlah hewan uji pada awal pengujian (ekor) b. Pertumbuhan Berat Mutlak Pertumbuhan mutlak individu dihitung dengan menggunakan rumus Effendie (1979), yaitu: Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 4 W = Wt – Wo dimana: W = Pertumbuhan mutlak individu hewan uji (gr) Wt = Bobot rata-rata individu hewan uji pada akhir perlakuan (gr) Wo = Bobot rata-rata individu hewan uji pada awal perlakuan (gr) c. Laju Pertumbuhan Spesifik (LPS) Pengukuran laju pertumbuhan spesifik menggunaakan rumus Jouncey and Ross (1982) sebagai berikut : Dimana : LPS W2 W1 t 3.5. = = = = Laju PertumbuhanSpesifik (%/hari) Bobot hewan uji pada akhir penelitian (gr) Bobot hewan ujiawal penelitian (gr) Lamanya waktu pemeliharaan (hari) Analisa Data Pengamatan yang dilakukan selama kegiatan perekayasaan ini adalah pengukuran pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup. Sedangkan untuk parameter penunjang dilakukan pengukuran beberapa parameter kualitas air. Data selanjutnya diolah dan dianalisa dengan sistem komparatif dan deskriptif. BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Berat Mutlak Pertumbuhan merupakan suatu proses biologi yang kompleks dan terjadi apabila ada kelebihan energi dan materi yang berasal dari pakan yang dimakan. Energi yang masuk ke dalam tubuh benih beronang haruslah mencukupi nilai tertentu agar masih tersedia energi yang dapat digunakan untuk pertumbuhan Effendi (1979). Pertumbuhan berat mutlak benih ikan beronang yang diberi pakan buatan dengan frekwensi pemberian yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Pertumbuhan Berat Mutlak Benih Ikan Beronang (Siganus guttatus) pada Setiap Bak Pemeliharaan. Waktu Pengamatan (Minggu) Perlakuan Rata-Rata I II III IV V A 0,67 0,65 0,83 0,91 0,98 0,81 ± 0,14 B 0,78 0,86 1,15 0,98 1,22 1,00 ± 0,19 C 0,73 0,96 0,81 0,94 1,04 0,90 ± 0,12 D 0,64 0,54 0,89 0,86 0,62 0,71 ± 0,16 Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 5 Berdasarkan hasil yang didapatkan padaTabel 1 terlihat bahwa semua perlakuan menunjukkan adanya pertumbuhan yang cukup signifikan. Pertumbuhan berat mutlak tertinggi didapatkan pada perlakuan B (pakan buatan + minagrow 3 ppm), kemudian disusul perlakuan C (pakan buatan + minagrow 4 ppm), selanjutnya perlakuan A (pakan buatan + minagrow 2 ppm), dan yang terendah didapatkan padaperlakuan D (kontrol). Nilai pertumbuhan berat mutlak pada perlakuan B berbeda secara signifikan dengan perlakuan D. Pada semua perlakuan menunjukkan adanya pertambahan bobot individu dengan semakin bertambahnya waktu pemeliharaan.Kisaran pertumbuhan berat mutlak rata-rata yang diperoleh selama kegiatan berlangsung adalah 0,81 gr ± 0,14 untuk perlakuan A; 1,00 gr ± 0,19 untuk perlakuan B; 0,90gr ± 0,12 untuk perlakuan C; dan0,71 ± 0,16 untuk perlakuan D.Adapun kisaran berat mutlak yang didapatkan sampai akhir kegiatan dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Grafik Pertumbuhan Berat Mutlak Rata-Rata pada Setiap Bak PemeliharaaN. Pada Gambar 1 terlihat bahwa secara umum tingkat pertumbuhan pada bak pemeliharaan yang menggunakan tambahan minagrow pada pakan menunjukkan pertumbuhan yang cukup signifikan dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya penambahan minagrow pada pakan dapat memacu pertumbuhan benih ikan beronang. Tingginya pertumbuhan benih ikan beronang yang diperoleh pada bak pemeliharaan B (4,99 gr), hal ini diduga disebabkan dosis pemberian minagrow yang diberikan cukup efektif dan sesuai dengan kebutuhan benih ikan beronang, sehingga nutrisi tercukupi untuk meningkatkan pertumbuhan dan mempertahankan tingkat kelangsungan hidupnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa dengan adanya pemberian minagrow pada pakan mengakibatkan pakan yang dikonsumsi oleh ikan lebih mudah dicerna oleh ikan beronangsehingga energi yang digunakan oleh ikan untuk mencerna pakan lebih sedikit. Sehingga energi yang tersisa cukup besar untuk dimanfaatkan bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih. Rendahnya pertumbuhan berat mutlak yang didapatkan pada bak D/Kontrol (3,55 gr), hal ini diduga karena kandungan protein yang ada pakan tidak mencukupi untuk menunjang pertumbuhan dari ikan tersebut. Dimana energi yang dihasilkan dalam mencerna protein yang terdapat dalam pakan tersebut hanya sebagian besar dimanfaatkan oleh ikan dalam mencerna pakan dan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.Sehingga energi yang tersisa dalam tubuh ikan tersebut tidak Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 6 cukup untuk menunjang pertumbuhan yang optimal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Cholik, dkk (1995) bahwa pertumbuhan biomassa dapat terjadi bila makanan yang diabsorbsi melebihi jumlah makanan yang dibutuhkan oleh tubuh untuk hidup. 4.2. Laju Pertumbuhan Spesifik Berdasarkan hasil pengamatan pada kegiatan perekayasaan tentang aplikasi minagrow untuk memacu pertumbuhan benih ikan beronang maka didapatkan laju pertumbuhan spesifik mingguan seperti yang terlihat pada Gambar 2. Gambar 2. Grafik Laju Pertumbuhan Spesifik Mingguan pada Setiap Bak Pemeliharaan. Pada Gambar 2 terlihat bahwa laju pertumbuhan spesifik (LPS) tertinggi pada minggu pertama didapatkan pada bak pemeliharaanB(pakan + minagrow 3 ppm) sedangkan yang terendah didapatkan pada bak pemeliharaan A (pakan + minagrow 2 ppm). Nilai LPSyang didapatkan pada minggu I pada Bak B(8,02%) berbeda secara signifikan dengan nilai LPS yang didapatkan pada bak A (3,5%). Pada pengamatan minggu II nilai LPS yang tertinggi didapatkan pada Bak C (pakan + minagrow 4 ppm) dan nilai LPS yang terendah didapatkan pada Bak D. Nilai LPS yang didapatkan pada bak C (6,57%) berbeda secara signifikan dengan nilai LPS pada bak D (3,61%), namun tidak berbeda secara signifikan dengan nilai LPS yang didapatkan pada Bak B (5,52%). Secara umum laju pertumbuhan spesifik pada semua bak pemeliharaan cenderung mengalami penurunan pada setiap minggunya, hal ini diduga karena ukuran ikan semakin membesar sehingga laju pertumbuhannya juga semakin kecil. Hasil pengukuran laju pertumbuhan spesifik rata-rata dapat dilihat pada Gambar 3. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 7 Gambar 3. Grafik Laju Pertumbuhan Spesifik Rata-rata pada Setiap Bak Pemeliharaan. Berdasarkan Gambar 3. terlihat bahwa nilai laju pertumbuhan spesifik rata-rata tertinggi didapatkan pada perlakuan B (5,02%), kemudian perlakuan C(4,52%), selanjutnya perlakuan A (3,97%), dan nilai terendah didapatkan pada perlakuan D (3,38%). Tingginya nilai laju pertumbuhan spesifik rata-rata yang didapatkan pada perlakuan B menunjukkan bahwa pemberian minagrow yang dicampurkan kedalam pakan dengan doisis 3 ppm memberikan laju pertumbuhan yang cukup baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya dan berbeda secara signifikan dengan kontrol (tanpa minagrow). Secara umum bahwa nilai LPS pada semua perlakuan yang menggunakan tambahan minagrow memberikan nilai pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan tanpa minagrow (kontrol), hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya penambahan minagrow dapat memacu pertumbuhan benih ikan beronang. Namun demikian dari beberapa dosis penambahan minagrow yang digunakan terlihat bahwa pada penambahan minagrow dengan dosis 3 ppm menunjukkan laju pertumbuhan yang cukup tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. 4.3. Tingkat Kelangsungan Hidup Hasil pengamatan jumlah ikan beronang yang berhasil bertahan hidup pada semua perlakuan selama kegiatan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Pengamatan Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Ikan Beronang pada Semua Bak Pemeliharaan. Perlakuan A B C D Jumlah (ekor) 100 100 100 100 Kelangsungan Hidup (SR) 100% 100% 100% 100% Berdasarkan hasil pada Tabel 2. terlihat bahwa tidak ada terjadi kematian benih pada setiap bak pemeliharaan selama kegiatan perekayasaan ini berlangsung. Tingginya Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 8 sintasan benih ikan beronang yang didapatkan pada setiap bak pemeliharaan, hal ini erat kaitanya dengan tingginya pakan yang dikonsumsi benih dan ketersediaan protein yang cukup. Semakin tinggi pakan yang dikonsumsi benih ikan beronang maka ketersediaan energi dalam tubuh benih juga tinggi sehingga mendukung proses fisiologi pada benih seperti untuk tumbuh dan mempertahankan kelangsungan hidupnya. Menurut Effendi, (1979) menyatakan bahwa ketersediaan makanan akan mempengaruhi sintasan ikan. protein mempunyai fungsi bagi tubuh yaitu sebagai zat pembangun yang membentuk berbagai jaringan baru untuk pertumbuhan, zat pengatur dan zat pembakar (Murtidjo, 2001) 4.4. Kualitas Air Selama penelitian berlangsung dilakukan pengukuran parameter fisika-kimia air media pemeliharaan benih ikan beronang, meliputi : Suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut dan amoniak. Nilai kisaran parameter kualitas air dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kisaran Parameter Kualitas Air Media Pemeliharaan Benih Ikan Beronang pada Setiap Pemeliharaan. PARAMETER Suhu (ºC) Salinitas (ppt) pH O2 (ppm) Amoniak PERLAKUAN A 29 - 31 30 - 33 7,9 - 8,5 5,3 - 6,6 0,042 - 0,072 B 29 - 31 30 - 33 7,3 - 8,5 5,4 - 6,7 0,038 - 0,065 C 29 - 31 30 - 33 7,2 - 8,2 5,5 - 6,7 0,036 - 0,064 D 29 – 31 30 - 33 7, - 8,3 5,5 - 6,5 0,040 - 0,070 Suhu air media pemeliharaan selama penelitian berkisar antara 28-31 ºC. Kisaran tersebut masih layak untuk pertumbuhan dan kehidupan benih ikan beronang. Suhu yang optimal untuk kehidupan ikan berkisar antara 25 – 33 oC, namun suhu ideal adalah 27 – 32 oC dengan perubahan yang tidak ekstrim (Kordi, 2005). Kisaran pH air yang didapatkan pada semua perlakuan masihdalam batas yang yang layak untuk kehidupan organisme perairan. Ikan beronang tumbuh optimal pada pH 7,2 – 8,5. Bahkan pada pH 6,5 pun ikan beronang masih hidup dengan baik, tetapi pertumbuhannya lambat (Sunyoto dan Munstahal, 1997). Lebih lanjut dikatakan Idris (2008)bahwa pH yang optimal 7,85 – 8,52 pada bak pemeliharaan ikan beronang. Kandungan Oksigen terlarut (O2) selama penelitian berkisar antara 5,3-6,7 ppm. Nilai kisaran tersebut menunjang pertumbuhan ikan beronang. Menurut Kasry (1996) kandungan oksigen terlarut 4 ppm merupakan standar yang tidak boleh kurang untuk kelayakan kehidupan organisme dalam perairan. Ikan beronang mampu mentelorir oksigen hingga 2 ppm, dan kelarutan oksigen 3 - 4 ppm sangat baik untuk ikan beronang. Sebaliknya kelarutan oksigen yang sangat tinggi (lebih dari 8 ppm) juga tidak baik bagi ikan karena dapat menyebabkan penyakit gelembung gas (Kordi, 2005). Nilai kisaran amoniak yang didapatkan pada setiap perlakuan masih kisaran yang layak untuk menunjang pertumbuhan dan mempertahankan kelangsungan hidup benih Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 9 beronang. Amoniak merupakan hasil ekskresi atau pengeluaran kotoran ikan yang berbentuk gas. Selain itu, amoniak bisa berasal dari pakan yang tidak termakan oleh biota sehingga larut dalam air. Kadar amoniak yang terkandung dalam perairan merupakan hasil proses penguraian bahan organik. Kandungan amoniak dipengaruhi oleh pH dan temperatur. Menurut Sutika (1989), amoniak akan berpengaruh secara langsung dan tidak langsung terhadap ikan yang dipelihara. BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil kegiatan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Penambahan minagrow pada pakan dapat memacu pertumbuhan benih ikan beronang. 2. Penambahan minagrow pada pakan dengan dosis 3 ppm memberikan hasil pertumbuhan yang lebih baik dalam pemeliharaan benih ikan beronang. 3. Tingkat kelangsungan hidup yang didapatkan pada semua bak pemeliharaan 100%. 4. Parameter kualitas air selama penelitian masih dalam kisaran yang layak bagi kelangsunganhidupbenih ikan beronang. 5.2. Saran Untuk mendapatkan pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup yang optimal pada pemeliharaan benih ikan beronang maka disarankan menambahkan minagrow pada pakan. DAFTAR PUSTAKA Cholik, F., A,. G., Jagatraya, R., P. Poernomo dan A. Jausi. 2005. Akuakultur. Tumpuan Harapan Masa Depan Bangsa. PT. Victoria Kreasi Mandiri. Effendi, H. 2000. Telaah Kualitas air. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Institut Pertanian Bogor. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas air. Kanisius. Yogyakarta. Effendie, M. I., 1997. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. Faidar., J. H. Laore, D. S. Kusumawati, 2009. Teknik Pembenihan Ikan Beronang (Siganus guttatus). Kumpulan Makalah. Pertemuan Teknis Litkayasa. Pusat Riset Perikanan Budidaya. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Gaspersz, V., 1991. Metode perancangan percobaan untuk ilmu pertanian, ilmu teknik dan ilmu biologi. Armico, Bandung. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 10 Hamka. 2006. Upaya Pematangan Gonad Ikan Beronang (Siganus guttatus)Melalui Pemberian Pakan Buatan dan Pakan Alami (Gracillaria sp.) pada Bak Terkontrol. Laporan Tahunan. Balai Budidaya Air Payau Takalar. Idris, M. 2005. Pengaruh Pemberian Pakan Egg Custard Dengan Dosis Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan Sintasan Benih Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus). Skripsi Fakultas Pertanian, Jurusan Pertanian, Universitas Muhammadiyah Makassar. Kordi, M., G., H. 2005. Budidaya Ikan Beronang. Rineka Cipta. Jakarta. Mujiman, A., 1989. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta. Sahwan., F., M. 2005. Pakan Ikan dan Udang. Kanisius. Yogyakarta. Sunyoto, P. and Munstahal, 1997. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis penting. Penebar Swadaya, Jakarta. Sutika, N., 1990. Ilmu Air, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Universitas Padjajaran Bandung. Widyatmoko. 1994. Nutrisi dan Teknologi Pakan. Departemen Pertanian. Balai Budidaya Air Payau Jepara. Tarwijah. 2001. Pembenihan Ikan Beronang (Siganus spp). Booklet Jenis-Jenis Komoditi Laut Ekonomis Penting Pada Usaha Pembenihan. Direktorat Bina Pembenihan, Dirjen Perikanan, Departemen Pertanian, Jakarta Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 11 IMPROVEMENT THE MANAGEMENT OF LIGHTING ON LARVAL REARING OF RABBIT FISH (Siganus guttatus) Hamka, Jumriadi, Haruna dan Marwan Abstract Survival rate (SR) who still lower were obtained in the maintenance of rabbit fish larvae cause needed improvements in maintenance techniques. This activity aims to improve the survival rate of larvae. While the goal may be material information in developing rabbit fish larvae rearing technique. This activity is carried out for 3 (three) periods (cycles) with concrete tank measuring 2.18 x 1.56 x 1 m3 (effective volume 3 tons) in indoor or 3 (three) pieces (tank A; tank B; and tank C). The activities carried out in this engineering is to extend the periode of illumination on larvae rearing tanks. Older lighting done on larvae rearing tank is 11 hours (control); 15 hours (tank B); and 24 hours (tank C). Larvae stocking density of 40,000 tail / tank are stocked in each bath larvae rearing. Measurement of survival rate (SR) is calculated at the time the larvae was 7 days (D7) visually and when the 30-day-old larvae (D30) by counting the number of juveniles produced directly on each tub maintenance. The survival rate (SR) on average were obtained at the time D7 is tank A (23%); tank B (45%); and tank C (30%). While the survival rate (SR) on average were obtained when the D30 is tank A (0.67%); tankB (4.33%) and tankC (0.67%). Results of water quality measurements still the normal range to support maintenance rabbit fish larvae activities. Keywords: Lighting, Baronang Larvae, Survival Rate PENINGKATAN TATALAKSANA PENCAHAYAAN PADA PEMELIHARAAN LARVA IKAN BERONANG (Siganus guttatus) Hamka, Jumriadi, Harunadan Marwan ABSTRAK Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan tingkat kelangsungan hidup larva. Sedangkan sasarannya diharapkan dapat menjadi bahan informasi dalam mengembangkan teknik pemeliharaan larva ikan beronang.Kegiatan ini dilakukanselama 3 periode (siklus) dalam bak beton berukuran 2,18 x 1,56 x 1 m3 (volume efektif 3 ton) dalam ruangan indoor sebanyak 3 buah (Bak A; Bak B dan Bak C). Adapun kegiatan yang dilakukan dalam perekayasaan ini adalah dengan memperpanjang masa pencahayaan pada bak-bak pemeliharaan larva. Lama pencahayaan yang dilakukan pada bak pemeliharaan larva adalah bak A (10 jam); bak B (15 jam); dan bak C (24 jam).Padat penebaran larva sebanyak 40.000 ekor/bak yang ditebar padamasing-masing bak pemeliharaan larva. Pengukuran tingkat kelangsungan hidup (SR) dihitung pada saat Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 12 larva berumur 7 hari (D7) secara visual (pengamatan langsung pada masing-masing perlakuan)dan pada saat larva berumur 30 hari (D30) dengan menghitung langsung jumlah juvenil yang dihasilkan pada masing-masing bak pemeliharaan. Tingkat kelangsungan hidup (SR) rata-ratayang didapatkan pada saat D7adalah pada bak A (23%); bak B (45%) dan bak C(30%). Sedangkan tingkat kelangsungan hidup (SR) rata-rata yang didapatkan pada akhir kegiatan (D30)pada setiap bak pemeliharaan yaitu bak A (0,67%); bak B(4,33) dan bak C (0,67%). Hasil pengukuran kualitas air masih menunjukkan kisaran yang normal untuk mendukung kegiatan pemeliharaan larva ikan beronang. Kata kunci : Pencahayaan,Larva beronang, Kelangsungan hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beberapa jenis ikan laut yang ekonomis dan merupakan komoditas budidaya umumnya ada tiga golongan yaitu kerapu, kakap dan beronang. Selain kerapu dan kakap, ikan beronang juga memiliki banyak jenis. Di daerah Indonesia dikenal sekitar 12 jenis ikan beronang. Ikan beronang (Siganus) mempunyai tubuh yang lebar dan pipih. Mulutnya kecil karena beronang memang bukan ikan pemangsa melainkan ikan pemakan tumbuhan (herbivora). Oleh sebab itu ia sering ditemukan di lingkungan perairan yang banyak ditumbuhi lamun (sea grass) dan alga yang lebat. Sebagai ikan untuk konsumsi, beronang makin banyak penggemarnya. Ada tiga jenis yang dagingnya tebal yakni : Siganus guttatus, Siganus javus dan Siganus canaliculatus (Nontji, 1987). Di makassar ikan beronang bakar sangat terkenal. Akhir-akhir ini telah dicoba usaha untuk membudidayakannya. Namun, sayangnya pemasokan benih ikan budidaya siap tebar dari usaha panti benih belum ada sama sekali (khususnya untuk wilayah Indonesia Timur). Benih ikan beronang yang digunakan masih mengandalkan dari usaha penangkapan di alam. Dengan demikian, ada kemungkinan akan terjadi eksploitasi penangkapan ikan di alam secara berlebihan. Hal ini tentu saja akan merusak keseimbangan ekosistem di masa mendatang. Untuk mengatasi hal tersebut maka diperlukan upaya untuk melakukan kegiatan pembenihannya. Namun dalam kegiatan pembenihan ikan beronang tingkat kelangsungan hidupnya masih rendah bahkan masih sering didapakan kematian secara massal utamanya pada fase endogenous ke fase eksogenous yaitu fase dimana larva untuk pertamakalinya mencari makan dari luar. Tingginya tingkat mortalitas pada fase ini yaitu dimana larva tidak dapat memanfaatkan pakan yang ada. Salah satu penyebab larva tidak mampu memanfaatkan pakan yang ada karena ukuran pakan tersebut tidak sesuai dengan bukaan mulut larva. Selain itu faktor cahaya dalam hal ini lama penyinaran dalam kegiatan pemeliharaan larva juga merupakan kendala utama, dimana lama penyinaran (pencahayaan) berpengaruh terhadap aktifitas larva dalam mencari makanan yang ada air media pemeliharaan. Secara teoritis bahwa semakin lama waktu pencahayaan tentunya kesempatan larva untuk mendapatkan makanan juga semakin lama, namun demikian tentunya juga larva membutuhkan suatu fase untuk istirahat. Sehubungan Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 13 dengan hal tersebut maka dalam kegiatan peningkatan tatalaksana pemeliharaan larva ikan beronang pada kegiatan ini dilakukan dengan memperpanjang waktu pencahayaan sebagai upaya untuk memperpanjang waktu larva untuk memanfaatkan pakan yang ada. 1.2 Tujuan dan Sasaran Tujuan dari kegiatan ini adalah mengetahui tingkat efektifitas peningkatatan tatalaksana dalam pemeliharaan larva ikan beronang dengan memperpanjang lama pencahayaan terhadap tingkat kelangsungan hidup larva. Sasaran dari kegiatan ini adalah sebagai bahan informasi dalam pengembangan kegiatan pembenihan ikan beronang dalam meningkatkanproduksi benih ikan beronang dalam mendukung kegiatan pembudidayaan. BAB II METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Kegiatan ini dilakukan pada tahun anggaran 2015 (Mei - September) bertempat di Unit Pembenihan Kerapu dan Beronang Balai Budidaya Air Payau Takalar, Desa Mappakalompo Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar. 3.3 Alat dan Bahan Adapun peralatan yang digunakan dalam mendukung kegiatan perekayasaan ini adalah sebagai berikut: 1. Bak pemeliharaan larva (bak beton) volume 3 ton 2. Lampu TL 40 watt 3. Peralatan lapangan 4. Sistem distribusi air 5. Filter bag 6. Sistem aerasi 7. Saringan 60 mikron 8. Ember 9. Mikroskop Sedangkan bahan yang digunakan dalam mendukung kegiatan perekayasaan ini adalah sebagai berikut: 1. Telur ikan beronang 2. Tiram (trocopor) 3. Kaporit 60% 4. Obat-obatan 5. Formalin 6. Fitoplankton Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 14 3.3. Prosedur Kerja Perekayasaan ini dilakukan dengan menggunakan bak beton volume 3 ton sebanyak 3 buah yang terletak dalam unit hachery (indoor) dengan perlakuan sebagai berikut : - Bak A (lama pencahayaan 10 jam/kontrol) - Bak B (lama pencahayaan 15 jam) - Bak C (lama pencahayaan 24 jam) Adapun kegiatan dalam pelaksanaan perekayasaan ini adalah sebabagai berikut - Menyiapkan 3 buah bak beton. Bak dicuci dengan air tawar dan detergen yang mana sebelumnya bak telah didesinfektan dengan kaporit 100 ppm - Menyiapkan sistem aerasi pada masing-masing bak pemeliharaan. - Mengisi bak pemeliharaan dengan air laut yang telah melalui sand filter - Memasukkan larva ikan beronang dengan kepadatan 40.000 ekor/bak - Pemberian pakan berupa trocopor tiramdan brachionus pada masing-masing bak pemeliharaan sesuai dengan kebutuhan. - Kegiatan ini dilakukan selama empat siklus. Sebagai data penunjang dilakukan pengukuran kualitas air pada setiap perlakuan. Parameter kualitas air yang diamati meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut, pH dan amoniak. 3.4. Pengukuran Peubah Peubah yang diamati dalam kegiatan ini adalah tingkat kelangsungan hidup (SR) pada saat larva berumur 7 hari (D7) dan pada saat berumur 30 hari (D30). a. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Status D7 Tingkat kelangsungan hidup dalam kegiatan ini dilihat berdasarkan kepadatan larva yang ada dalam bak pemeliharaan larva pada saat D7. Adapun kriteria dari kepadatan larva tersebut adalah sebagai berikut : Jumlah larva banyak sekali (++++ / 70% –90%) - Jumlah larva banyak (+++ / 50% ≤ x < 70%) Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 15 - Jumlah larva sedang (++ / 30% ≤ x < 50%) - Jumlah larva sedikit (+ / <30%) - Tidak ada larva (-) b. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Status D30 Tingkat kelangsungan hidup dalam kegiatan ini dihitung dengan menggunakan rumus Effendie (1979), yaitu : SR = (Nt/No) x 100% Dimana : SR = Tingkat kelangsungan hidup (%) Nt = Jumlah hewan uji pada akhir pengujian (ekor) No = Jumlah hewan uji pada awal pengujian (ekor) BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Status D7 Berdasarkan hasil pengamatan pada kegiatan perekayasaan tentang peningkatan tatalaksana pada pemeliharaan larva ikan beronang, diperoleh data hasil seperti yang terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Beronang pada Saat Larva Berumur 7 hari (D7) Selama TigaSiklus. Periode I II III A ++ + ++ Kode Bak B +++ ++ +++ C +++ + ++ Berdasarkan pada Tabel 1, terlihat bahwa pada pemeliharaan siklus I jumlah larva yang hidup untuk mencapai hari keempatpada Bak A sudah mulai berkurang cukup drastis (jumlah larva dalam kategori sedang), sedangkan pada bak lainnya yaitu pada Bak B dan bak C (jumlah larva masih dalam kategori banyak). Pada pengamatan siklus II jumlah larva yang hidup pada Bak A sama dengan pada bak C yaitu dalam kategori sedikit, sedangkan pada bak B jumlah larva yang bertahan hidup dalam kategori sedang. Tingginya mortalitas untuk kegiataan pemeliharaan larva padabak A dibandingkan dengan bak B dan bak Cpada siklus I dan siklus II diduga sebagai akibat tingkat konsumsi larva terhadap pakan yang diberikan dalam air media pemeliharaan Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 16 pada bak A cukup rendah dibandingkan pada bak B dan Bak C. Rendahnya tingkat konsumsi larva ini salah satu penyebabnya diduga karena lama pencahayaan pada bak pemeliharaan A dibandingkan dengan bak pemeliharaan B dan C lebih singkat. Sehinggga waktu yang digunakan larva pada bak pemeliharaan A untuk mencari/memanfaatkan pakan yang ada dalam air media pemeliharaan juga lebih singkat. Pada pemeliharaan siklus IIIjumlah larva yang hidup untuk mencapai hari kelimapada masing-masing bak pemeliharaan adalah untuk Bak A dan Bak C jumlah larva yang bertahan hidup dalam kategori sedang sedangkan pada Bak B jumlah larva dalam kategori banyak. Dengan masih banyaknya larva yang bertahan sampai hari kelima pada Bak B menunjukkan bahwadengan adanya penambahan waktu pencahayaan dengan menggunakan lampu TL (lama pencahayaan 15 jam) cukup efektif meningkatkan tingkat kelangsungan hidup larva sampai mencapai D7. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Grafik Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Beronang pada Masing-Masing Perlakuan Status D7 Pada Gambar 1. terlihat bahwauntuk kegiatan pemeliharaan larva pada bakA jumlah larva yang mampu bertahan hidup untuk mencapai D7pada setiap siklusnya cukup rendah yaitu hanya dalam jumlah kategori sedikit sampai sedang sedang (10% 30%), tingginya mortalitas yang didapatkan pada Bak A untuk setiap siklusnya menunjukkan bahwa waktu pencahayaan yang relatif lebih pendek mengakibatkan larva tidak mempunyai kesempatan yang lebih lama untuk memanfaatkan pakan yang ada dalam air media pemeliharaan.Dari hari hasil pengamatan di bawah mikroskop menunjukkan bahwa larva yang mengalami kematian pada bak pemeliharaan (bak A) isi lambungnya kosong.Indikasi ini mulai terlihat pada saat larva berumur D4 dimana kondisi larva lemah dan tidak ada makanan yang ada dalam isi lambung larva. Hal ini menunjukkan bahwa larva yang mati tidak berhasil mendapatkan pakan yang diberikan dalam air media pemeliharaan. Ketidakberhasilan larva dalam memangsa pakan yang ada pada saat larva berumur 3-4 hari maka akan menyebabkan adanya kematian massal pada saat larva tersebut berumur 5 hari,hal ini disebabkan karena gelembung minyak yang merupakan energi untuk larva pada saat D7 telah habis sehingga tidak ada lagi sumber energi dalam Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 17 tubuh larva yang dapat digunakan untuk bertahan hidup. Hal ini sesuai pernyataan Prastowo, B.W. (1999) bahwa adanya kegagalan dalam kegiatan pembenihan beronang disebabkan masih rendahnya tingkat kelangsungan hidup pada masa transisi dari fase endogenous ke fase eksogenous feeding, dimana pada saat itu larva tidak dapat memanfaatkan pakan yang tersedia dalam media pemeliharaannya sehingga terjadi kematian massal. 4.2. Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Status D30 Pada saat larva berumur 30 hari sebagian besar larva telah berubah menjadi juvenil (benih yang menyerupai ikan dewasa). Benih beronang yang dihasilkan pada setiap bak pemeliharaan ukurannya tidak seragam (belantik) seperti halnya pada pembenihan ikan kerapu bebek maupun kerapu macan, namun demikian benih ikan beronang tidak kanibal seperti halnya kerapu macan. Tetapi benih yang berukurang lebih besar cenderung mengejar benih yang berukurang jauh lebih kecil dan dipatuk-patuk. Meskipun tidak sampai dimakan tetapi hal ini dapat menyebabkan kematian pada benihbenih tersebut. Adapun tingkat kelangsungan hidup yang didapatkan pada kegiatan ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Beronang pada Saat Larva Berumur 30 hari (D30). Periode I II III A 1% 0% 1% Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) B C 5% 2% 4% 0% 4% 1% Secara umum tingkat kelangsungan hidup yang didapatkan pada akhir kegiatan untuk semua perlakuan adalah masih cukup rendah. Hal ini menunjukkan masih banyaknya yang perlu dikaji dan dikembangkan dalam kegiatan pemeliharaan larva ikan beronang lada.Grafik tingkat kelangsungan hidup larva ikan beronang yang didapatkan pada akhir kegiatan dapat dilihat pada Gambar 2. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 18 Gambar 2. Grafik Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Ikan Beronang pada Akhir Kegiatan (D30). Berdasarkan Gambar 2 terlihat bahwa tingkat mortalitas pada semua perlakuan adalah cukup tinggi dimana nilai kelangsungan hidup tertinggi yang didapatkan hanya 5%. Rendahnya tingkat kelangsungan hidup yang didapatkan pada akhir kegiatantentunya hal ini sangat erat kaitannya dengan tinginya tingkat mortalitas larva yang didapatkan pada fase endogenous ke fase eksogenous (D7), dimana semakin tinggi tingkat kelulushidupan larva untuk mencapai D7 maka peluang larva untuk mencapai ukuran benih (D30) juga lebih tinggi. Begitu pulah sebaliknya semakin rendah kelulushidupan larva untuk status D7 maka peluang larva untuk mencapai ukuran benih (D30) juga semakin rendah, bahkan tidak jarang terjadi kematian secara massal pada sebelum larva mencapai umur 15 hari. Adanya larva yang mampu bertahan hidup sampai akhir kegiatan yang selanjutnya menjadi benih meskipun dalam nilai prosentase rata yang masih rendah pada setiap bak pemeliharaan yaitu pada bak A dan bak C (0,67%) dan bak B (4,33%) menunjukkan bahwa dengan adanya perpanjangan waktu pencahayaan (15jam)pada bak pemeliharaan mampu meningkatkan tingkat kelangsungan hidup larva. Hal ini disebabkan karena tingkat kelangsungan hidup yang didapatkan pada Bak B menunjukkan perbedaan yang cukup signifikandibandingkan dengan kegiatan pemeliharaan pada Bak A dan bak C 4.3. Kualitas Air Kualitas air merupakan salah satu faktor penting dalam kegiatan pemeliharaan larva ikan beronang , karena kualitas air dapat berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan. Nilai kisaran parameter kualitas air selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kisaran Parameter Kualitas Air yang Didapatkan Selama Kegiatan Berlangsung. Parameter o Suhu ( C) O2 Terlarut (ppm) Salinitas (ppt) pH Amoniak (ppm) A 28 – 29 5,35 – 6 29 – 30 7,0 – 7,56 0,001 – 0,035 Kisaran Kualitas Air B 28 – 29,5 5,30 – 6,2 29 – 30 7,0 – 7,32 0,001 – 0,027 C 28 – 29,5 5,35 – 6,2 29 – 30 7,2 – 7,6 0,001 – 0,030 Dari nilai kisaran beberapa parameter kualitas air pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa secara umum nilai tersebut masih berada pada kondisi yang layak untuk suatu kegiatan pemeliharaan larva ikan beronang. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 19 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil yang didapatkan pada kegiatan perekayasaan ini maka dapat disimpulkan bahwa dengan lama pencahayaan 15 jam memberikan tingkat kelangsungan hidup rata-rata yang lebih tinggi (4,33%) dibandingkan dengan 10 jam (0,67%) dan 24 jam (0,67%). 5.2. Saran Masih perlu dilakukan kajian lebih lanjut tentang lama pencahayaan yang optimal untuk mendapatkan tingkat kelangsungan hidup yang optimal pada saat larva pertama kali membutuhkan makanan dari luar. DAFTAR PUSTAKA Bryan, P.G. and B.B. Madraisau, 1977. Larval Rearing and Development of Siganus lineatus (Piscea : Siganidae) from Hatching Through Metamorphosis Aquaculture 10 : 243 – 252. Duray, M.N., 1998. Biology and Culture of Siganids. SEAFDEC Aquaculture Deaprtement Tingbauan, Iloilo. Philipphines. Effendie, M.L. 1979. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara, Jakarta. Hal. 92 – 100. Gundemann, N., D.M. Popper and Lichtowich, 1983. Biology and life cycle of Siganus vermiculatus (Siganidae, Pisces). Pacifik Science, 37 (2) : 165. Kordi, K.M.G.H. 1992. Budidaya Ikan Beronang. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Prastowo, B.W. 1999. Pengembangan Teknologi Pengelolaan Induk/Benih Ikan Beronang (Siganus spp.). Direktorat Jenderal Perikanan. Balai Budidaya Air Payau Jepara. Soletchnik, P., 1984. Aspect of nutrition and reproduction in Siganus guttatus with emphasis on applications in aquaculture. SEAFDEC Aquaculture Department, Iloilo, Philippines (Terminal Report). Sunyoto, P. and Munstahal, 1997. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis penting. Penebar Swadaya, Jakarta. Taslihan, A., M. Murdjani, C. Purbomartono & E.Kusnendar. 2000. Bakteri patogen penyebab penyakit mulut merah pada ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis). J. Perikanan, II(2): 57-62. Taslihan, A., M. Murdjani, C. Purbomartono & E.Kusnendar. 2000. Bakteri patogen penyebab penyakit mulut merah pada ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis). J. Perikanan, II(2): 5762. Todar, K., 2002. The Mechanism of Bacterial Pathogenecity. Todar’s Online Textbook of Bacteriology. University of Wisconsin-Madison Department of Bacteriology. P 118. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 20 Aplikasi Sistem Bioreaktor Sederhana dalam Pemeliharaan Nannochloropsis oculata Sitti Faridah*, Abd. Gafur, Haruna dan Khairil Jamal Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Abstrak Peranan Nannochloropsis oculata dalam kegiatan pembenihan di BPBAP Takalar sangat penting dalam menunjang kegiatan pembenihan seperti pembenihan kerapu, bandeng, kepiting bakau dan rajungan. Namun ketersediaan N.oculata masih belum mencukupi karena keterbatasan tempat/wadah kultur. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas penerapan sistem bioreaktor sederhana dalam pemeliharaan N.oculata. Perekayasaan ini dilakukan dengan membandingkan antara pemeliharaan N.oculata sistem konvensional dengan sistem bioreaktor sederhana. Sistem konvensional menggunakan bak kultur dengan volume 20 ton yang dilakukan pada ruangan terbuka menggunakan pupuk urea, TSP, ZA dan plant activator sedangkan sistem bioreaktor sederhana dilakukan di dalam ruangan tertutup dengan dinding ruangan dilapisi terpal berwarna silver dengan volume 80 L dan dilengkapi pencahayaan menggunakan lampu LED dan TL menggunakan pupuk walne. Dari hasil pengamatan dapat diketahui jika pada puncak pertumbuhan terjadi pada hari ke-6 pada sistem konvensional dan hari ke-7 pada sistem bioreaktor sederhana hal ini dapat diketahui karena kepadatan N.oculata tertinggi pada hari tersebut dan terjadi penurunan pada hari ke-8 hingga ke-11. Kepadatan tertinggi diperoleh pada sistem bioreaktor sederhana yaitu 44,2 x 106 sel/mL dan sistem konvensional yaitu 21,850 x 106 sel/mL. Berdasarkah hal tersebut dapat diketahui jika penerepan sistem bioreaktor lebih efektif dalam meningkatkan kepadatan N.oculata dibandingkan sistem kovensional. Kata Kunci: Bioreaktor, Nannochloropsis oculata, Konvensional, dan Pembenihan. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 21 Abstract Nannochloropsis oculata role in seeding activities in Centers Brackishwater Aquaculture (CBA) Takalar very important in supporting activities such as seeding grouper, milkfish, mud crab and crab. However, the availability of N.oculata still not sufficient due to the limited space /container culture. This activity aims to determine the effectiveness of the application of the bioreactor system is simple in maintenance N.oculata. This engineering is done by comparing the maintenance N.oculata conventional system with a simple bioreactor system. Conventional systems using bath culture with a volume of 20 tonnes were carried out in open space using urea, TSP, ZA and plant activator as fertilizer while the bioreactor system simply done in a closed room with walls covered with tarpaulin silver with a volume of 80 L and equipped with lighting using LED lights and TL use fertilizer walne. From the observation can be known if the peak growth occurred on the 6th day in the conventional system and the 7th day in a simple bioreactor system this can be known as N.oculata highest density on the day and decrease at day 8 up to 11. The highest density was obtained in a simple bioreactor system that is 44.2 x 106 cells/mL and a conventional system that is 21.850 x 106 cells/mL. Base on it can be known if bioreactor system aplication is more effective in improving N.oculata density compared to conventional systems. Keywords: bioreactor, Nannochloropsis oculata, Conventional, and Hatchery. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nannochloropsis oculata.merupakan alga bersel tunggal dari golongan alga hijau (Chloropyta) yang telah dimanfaatkan secara komersial karena gizinya yang tinggi (Srihati dan Carolina, 1995). Nannochloropsis oculata.memiliki peranan dalam memenuhi kebutuhan manusia diantaranya sebagai makanan tambahan atau suplemen karena kandungan nutrisinya lengkap (Royan, dkk. 2010). Meningkatnya permintaan akanNannochloropsis oculata. merupakan peluang dilakukannya Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Nannochloropsis oculata adalah suhu, salinitas, intensitas cahaya dan pH. Keberhasilan media dan semua peralatan yang digunakan selama kultur, pemupukan serta aerasi yang diberikan secara terus menerus. Suhu, merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap proses metabolisme dan fotosintesi. Nannochloropsis oculata masih dapat bertahan hidup pada suhu 400C, tetapi tidak tumbuh.Kisaran suhu 250C–300Cmerupakan kisaran suhu yang optimum untuk Pertumbuhan Nannochloropsis oculata (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).Salinitas bagi Nannochloropsis oculata sangat penting untuk mempertahankan tekanan osmotik antara protoplasma dengan air sebagai 3 lingkungan hidupnya. Karena dapat mempengaruhi proses metabolisme. Nannochloropsis oculata dapat tumbuh pada salinitas 0 –35 ppt. Salinitas 30 – 32 ppt merupakan salinitas optimum untuk pertumbuhan Tetraselmis chuii. Derajat Keasaman (pH), berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan fitoplankton. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 22 Kisaran pH yang optimal bagi pertumbuhan Nannochloropsis oculata adalah 8 – 9,5 (Fogg and Thake, 1987). Intensitas Cahaya, Secara fisiologi cahaya mempunyai pengaruh baik langsung maupun tidak langsung. Pengaruhnya pada metabolism secara tidak langsung memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan. Proses perkembangan yang dikendalikan cahaya ditemui pada semua tahap pertu mbuhan. Karena peranan yang mendasar dari fotosintesis didalam metabolism tanaman, maka cahaya merupakan salah satu faktor lingkungan terpenting (Fitter dan Hay, 1991). Peranan cahaya dalam fotosintesis adalah membantu menyediakan energi untuk diubah menjadi energi kimia dengan bantuan klorofil.Klorofil adalah substansi yang berwarna hijau sehingga klorofil kelihatan berwarna hijau. Proses fotosintesis dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal maupun internal. Faktor eksternal yang mungkin berpengaru h adalah cahaya, karbon dioksida, air, suhu dan mineral. Faktor internal yang dapat mempengaruhi proses fotosintesis antara lain struktur sel, kondisi klorofil, dan produk fotosintesis serta enzim-enzim dalam daun /organ fotosisntesis (Abidin, 1987). Sama seperti tumbuhan lainnya,Nannochloropsis oculata juga memerlukan tiga komponen penting untuk tumbuh, yaitu sinar matahari, karbon dioksida dan air. Nannochloropsis oculata menggunakan sinar matahari untuk menjalankan proses fotosintesis. Fotosintesis merupakan proses biokimia penting pada tumbuhan alga,dan beberapa bakteri untuk mengubah energi matahari menjadi energi kimia. Energi kimia ini akan digunakan untuk menjalankan reaksi kimia, misalnya pembentukan senyawa gula, fiksasi nitrogen menjadi asam amino, dll. Nannochloropsis oculata menangkap energi dari sinar matahari selama proses fotosintesis dan menggunakannya untuk mengubah substansi anorganik menjadi senyawa gula sederhana. Penanaman Nannochloropsis oculata untuk menghasilkan biomassa mungkin akan sedikit lebih sulit karena alga membutuhkan perawatan yang sangat baik dan mudah terkontaminasi oleh spesies lain yang tidak diinginkan (Diharmi, 2001). Berdasarkan hasil penelitian Diharmi, (2001), melakukan kultur spirulina pada berbagai intensitas cahaya, yaitu 2000 lux, 3000 lux, dan 4000 lux. Kandungan biomassa tertinggi diperoleh pada kultur dengan intensitas 4000 lux. Menurut Sri Cahyaningsih, dkk., (2006), Untuk kultur semi massal maupun massal dengan ruang terbuka intensitas cahaya lebih baik diberikan dibawah 10.000 lux dan biasanya dua belas jam dalam keadaan gelap dan dua belas jam dalam keadaan terang. Pada umumnya didalam ruang kultur, intensitas cahaya yang dibutuhkan berkisar antara 500 hingga 5000 lux. Intensitas cahaya optimum untuk pertumbuhan Nannochloropsis oculata adalah 2000 sampai 10.000 lux (Taw, 1990).Cahaya merupakan sumber energi utama dalam fotosisntesis, dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap proses pertumbuhan tanaman pada umumnya dan pada khususnya terhadap pertumbuhan Tetraselmis chuii. Namun energi yang diberikan oleh cahaya bergantung pada kualitas cahaya, intensitas cahaya, dan waktu Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 23 TUJUAN Perekayasaan Aplikasi sistem bioreactor sederhana dalam pemeliharaan Nannochloropsis oculatabertujuan untuk : (a) Membandingkan produktivitas pemeliharaan Nannochloropsis oculata antara (b) sistem bioreaktor sederhana dengan sistem konvensional. Diperoleh sistem/model yang terbaik dalam memaksimalkan produktivitas pemeliharaan N. oculata. II. METODOLOGI a. Waktu dan Tempat Kegiatan rekayasa teknologi produksi phytoplankton tahun 2015 dilaksanakan mulai bulan Januari - Juni 2015 dilaksakanan laboratorium divisi produksi phytoplankton dan zooplankton di Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar, Desa Mappakalompo, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar. b. Alat dan Bahan Bahan yang dibutuhkan dalam kegiatan perekayasaan ini adalah bibit Nannochloropsis sp, air laut, air tawar, aquades, kaporit, thiosulfat, pupuk walne, vitamin, ruangan yang dilengkapi dengan rak, lampu Tl, stekker, stop kontak, kabel listrik, lem, slang aerasi, kran aerasi, pemberat, kertas label,pulpen, kertas, kapas, pinset, handrefraktometer, haemocytometer, mikroskop, hand counter, cover glass, pipet tetes, pipet skala, slang spiral, peralatan aerasi, plastik bening untuk digunakan dalam kegaitan kultur, pompa celup 1’, fiber 1 ton, AC, chlorin test, alat sterilisasi air dari UV, timba, sabun cair, alat penggosok, filter bag, saringan kapas, dan lainnya. c. Metode Perekayasaan ini dilakukan dalam ruangan dan rak kultur yang telah dimodifikasi menggunakan dinding berwarna perak sehingga pemantulan cahaya lampu bisa lebih maksima sehingga intensitas cahaya pada ruangan kultur dapat lebih dimaksimalkan. Perekayasaan ini menggunakan ruangan berukuran 1,5 x 2 m yang semua dindingnya diberi warna silver/perak, pada ruangan ini juga akan diberikan rak kultur yang telah dimodifikasi sehingga pemantulan cahaya lampu (intensitas cahaya) yang digunakan untuk kultur lebih maksimal. Rak yang digunakan berukuran 1,5 x 0,6 x 1,5 m yang dibagi menjadi dua bagian di mana bagian yang diberikan alas kaca pada setiap raknya dan bagian kedua yang tidak diberikan kaca untuk digunakan dalam kegiatan kultur dengan sistem bioreactor. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 24 Gambar 1. Proses kultur Nannochloropsis oclatamenggunakan Bioreaktor Sederhana Wadah yang digunakan dalam kegiatan kultur chlorella adalah plastic PE yang bening sehingga cahaya yang masuk lebih maksimal dan setiap wadah dilengkapi dengan peralatan aerasi. Untuk air media pemeliharaan digunakan air laut yang salinitasnya telah disesuaikan untuk Nannochloropsis oculata yaitu 27 – 30 ppt, jika salinitas air laut lebih tinggi maka akan dilakukan pengenceran menggunakan air tawar. Namun terlebih dahulu dilakukan sterilisasi air menggunakan kaporit dan dinetralkan menggunakan sodium thiosulfat. Sebelum diberikan bibit Nannochloropsis oculata sebanyak 15 – 30 % dari volume wadah sesuai dengan kepadatan yang diinginkan, terlebih dahulu dilakukan pemberian pupuk walne. Pengamatan kepadatan N. oculata yang dikultur dilakukan setiap hari hingga fase mort dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mencapai setiap fase (Fase lag, fase logaritmik, fase stationer dan fase mort) dicatat. Pengambilan sampel untuk dilakukan analisa proksimat pada fase puncak/logaritmik. Intensitas cahaya diukur pada pagi dan malam. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 25 Gambar 2. Proses kultur Nannochloropsis oclata menggunakan Sistem Konvensional 3.3. Menetapkan Sistem Perolehan dan Pengolahan Data a. cara perhitungan pengencaran air laut Untuk memperoleh salinitas air pemeliharaan yang diinginkan, terlebih dahulu dilakukan pengukuran salinitas air laut dan air tawar menggunakan handrefraktometer, kemudian dimasukkan ke dalam metode sederhana dalam pemcampuran air denganmenggunakan rumus bujursangkar, berikut ini: SLSC ST SC Xy SL Dimana : SL = SC = STSC = diinginkan (nilai mutlak) SLSC = diinginkan (nilai mutlak) STSC Salinitas air tawarST = Salinitas air laut Salinitas yang diinginkan Selisih antara salinitas air tawar dengan salinitas yang Selisih antara salinitas air laut dengan salinitas yang Perhitungan volume air yang diinginkan : Untuk air tawar yang dibutuhkan dapat diperoleh menggunakan rumus Untuk air laut yang dibutuhkan dapat diperoleh menggunakan rumus : : b. Cara menghitung kepadatan plankton Untuk mengetahui keberhasilan dalam pembibitan dari jenis plankton yang dikehendaki perlu diketahui tingkat kepadatannya (Mujiman, 1984). Alat yang digunakan untuk mengukur kepadatan adalah Haemacytometer (Thoma) dengan bantuan mikroskop. Cara penghitungan Tetraselmis chuii sama dengan cara penghitungan Chlorella sp. Estimasi kepadatan sel alga dapat di hitung sebagai berikut : 1. Dalam 400 kotak (bila kepadatan rendah) Jumlah sel x 104/ml = a sel/ml 2. Dalam beberapa kotak (bila kepadatan terlalu tinggi) Rata-rata jumlah sel x 400 x 104/ml = a sel/ml Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 26 III. HASIL KEGIATAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Kegiatan Hasil yang diperoleh dalam kegiatan pemeliharaan N. oculata dapat dilihat pada tabel dan gambar grafik berikut ini : Gambar 4. Hasil pengukuran kepadatan harianNannochloropsis oculata selama pemeliharaan dengan sistem bioreaktor sederhana dan sistem konvensional. Waktu yang dibutuhkan untuk memelihara Nannochloropsis oculatadalam kegiatan perekayasaan adalah 10 hari, karena kepadatan sudah mulai mengalami penurunan hari ke delapan pada hari ke empat, hal ini terjadi karena kondisi cuaca yang berawan sehigga intensitas cahaya yang masuk rendah serta suhu makin turun. Tabel 1. Hasil pengukuran parameter kualitas airdalam perekayasaan di ruang dan rak yang telah dimodifikasi dan tidak dimodifikasi. Parameter Kisaran dan rerata Hasil Pengukuran Konvensional 0 suhu ruangan ( C) Bioreaktor Sederhana - 20-25 suhu air (0C) 18-32 18-22 salinitas (ppt) 28-36 28-29 pH 7.5-7.8 7.5-7.8 ∞ ± 1848 Intensitas cayaha (lux) Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 27 5.2. Pembahasan Dari grafik dapat diketahui jika kepadatan pada hari pertama rendah pada sistem bioreaktor sederhana yaitu 2 juta cell per ml sedangkan sistem konvensional 5 juta sel per ml, pada hari kedua kepadatan N. oculata, pada sistem konvensional mengalami penurunan sekitar 4 juta sel per ml sedangkan sistem bioreaktor sederhana mengalami peningkatan yaitu 3 juta sel per ml,pada hari kedua N.oculata mengalami fase lag atau adaptasi terhadap lingkungan dimana pada fase ini N.oculata yang hidup hanya yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya, selain itu pada sistem konvensional faktor iklim dan cuaca berfluktuatif karena dilakukan di luar ruangan sehingga tidak dapat dikontrol. Hal ini sesuai dengan pendapat Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) bahwa selama fase lag, pertumbuhan tidak secara nyata terlihat karena fasi ini dinamakan juga fase adaptasi, pada fase ini ukuran sel umumnya meningkat tetapi secara fisiologis fitoplankton sangat aktif dan terjadi proses sintesis protein baru dimana proses metabolisme terjadi dan masih beradaptasi terhadap kondisi lingkungannya tetapi belum terjadi pembelahan sel hingga kepadatan sel belum meningkat. Pada hari ketiga hingga keenam, kepadatan N.oculata terus mengalami peningkatan baik pada sistem konvensional maupun sistem bioreaktor sederhana, hal ini menunjukkan terjadi fase eksponensial dimana fase ini diawali oleh pembelahan sel dengan laju pertumbuhan tetap pada kondisi kultur yang optimum dan laju pertumbuhan pada fase ini mencapai maksimal karena pada fase ini sel melakukan konsumsi nutrient dan proses fisiologis lainnya (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995), meskipun kedua sistem mengalami peningkatan kepadatan N.oculata pada hari ketiga hingga ke enam, tetapi kepadatan pada sistem bioreaktor sederhana yang lebih tinggi dibandingkan sistem konvensional hal ini mungkin terjadi karena dalam proses perkembangan N. oculata, energi yang digunakan untuk melakukan pertumbuhan harus dibagi dengan penyesuaian dengan kondisi lingkungan yang berfluktuasi, berbeda dengan sistem bioreaktor sederhana, dimana energi yang digunakan untuk pertumbuhan dapat lebih maksimal karena kondisi lingkungan yang lebih terkontrol. Dari grafik ini juga dapat kita diketahui jika kepadatan yang tertinggi N. oculata di hari keenam pada sistem konvensional yaitu 21 juta sel per ml sedangkan sistem bioreaktor sederhana terjadi pada hari ketujuh yaitu 40 juta sel per ml, tetapi setelah itu terjadi penurunan secara perlahan-lahan hingga hari kesepuluh. Pada saat ini terjadi fase kematian dimana pada fase ini laju kematian lebih cepat daripada laju reproduksi, jumlah sel menurun secara geometrik dan penurunan kepadatan mikroalga ditandai dengan perubahan kondisi optimum yang dipengaruhi oleh suhu, cahaya, pH air dan jumlah hara yang ada dan beberapa kondisi lingkungan yang lain (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Dari tabel 2, dapat diketahui jika intensitas cahaya pada sistem konvensional menunjukkan nilai tak terhingga sedangkan sistem bioreaktor sederhana ± 1848 lux, namun intensitas cahaya yang tinggi dan cenderung berfluktuatif tidak dapat menjamin pertumbuhan fitoplankton akan lebih baik daripada intensitas cahaya lebih rendah tetapi tetap. Hal ini sesuai dengan pendapat Darley (1982) bahwa pertambahan intensitas cahaya pada mulanya akan membantu proses awal pertumbuhan sel, namun setelah intensitas cahaya meningkat melebihi batas optimum bisa menjadi faktor penghambat. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 28 Lebih lanjut dikatakan bahwa cahaya merupakan sumber energi dalam proses fotosintesis yang berguna untuk pembentukan senyawa karbon organik. Intensitas cahaya yang terlalu tinggi dapat menyebabkan fotoinhibiting dan pemanasan (Cotteau, 1998; Taw, 1990). Parameterkualitas air pada sistem konvensional berfluktuatif terutama pada parameter suhu dan salinitas sedangkan sistem bioreaktor sederhana, parameter kualitas air tidak berfluktuasi karena masih dapat dikontrol. IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kegiatan perekayasaan ini maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pertumbuhan N. oculata lebih baik pada sistem bioreaktor sederhana dari pada 2. sistem konvensional. Sistem bioreaktor sederhana dapat digunakan sebagai sistem alternatif dalam pemeliharaan N. oculata. DAFTAR PUSTAKA Coetteau, P. 1998. Alga Production. University of Gent, Rome. Djarijah, Abbas Siregar. 1995. Pakan Ikan Alami. Kanisius. Yogyakarta Effendie, I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. Eyster, C. 1978. Nutrient Concentration Requirements for Chlorellasorokiniana. Available from the author or the Mobile college Library, Mobile, Alabama 36613. 78-81. Foog, G.E. dan B. Thake. 1987. Algal Cultures and phytoplankton ecology 3rd. The Univ. Of Wisconsin Press. London. Fujaya, Y. 1999. Fisiologi Ikan. Rineka Cipta. Yakarta. Hariati, A.M. 1989. Makanan Ikan. Diktat Kuliah Universitas Brawijaya. Malang. 155 hal. Halver, J. E. 1989.Fish Nutrition.Second Edition.Academic Press, Inc. London. Huet, M. 1971. Text-book of Fish Culture: Breeding and Cultivation of Fish Fishing New Book Ltd. England Isnansetyo, Alim dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton, Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Kanisius. Yogyakarta Murtidjo, Bambang Agus. 2001. Pedoman Meramu Pakan Ikan. Kanisius.YogyakartaProgram manual pakan alami 2015. Sachlan, M. 1982. Planktonologi.Fakultas Perternakan dan Perikanan Universitas Diponerogo. Semarang. Sheehan, J., T. Dunahay, J. Benemann, P. Roessler, (1998). A look Back at The U.S. Department of Energy’s Aquatic Speciest` Wirosaputro, S. 2002. Chlorella Untuk Kesehatan Global Teknik budidaya dan pengolahan buku II.Gajah Mada University Press.Yogyakarta. Sachlan, M. 1982. Planktonologi.Fakultas Perternakan dan Perikanan Universitas Diponerogo. Semarang. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 29 Sriharti dan Carolina. 2000. Pengaruh Media Terhadap Kualitas Algae Bersel Tunggal (Scenedesmis sp). Jurnal: Seminar Nasional Biologi. Taw, N. 1990. Petunjuk Pemeliharaan Kultur Murni dan Massal Mikroalga. Proyek Pengembangan Budidaya Udang. United Development Program Food ang Agriculture Organization of United Nations. Zonneveld, N., E.A. Huisman dan J.H. Boon. 1991. Prinsip-prinsip Budidaya Ikan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 30 SUSTAINABILITY OF THE MASS PRODUCTION OF Nannochloropsis oculata THROUGH ALKALINITY STABILITY OF CULTURE MEDIA Mohammad Syaichudin, Abdul Gafur, Endah Soetanti, Suhardi ABS Center for Brackishwater Aquaculture Development Takalar, Indonesia. Abstract Mass production Nannochloropsis oculata for aquaculture, requires a qualified biomass input. Classic problem that extreme weather conditions are hot and rainy, thereby disrupting the exponential growth of the culture period were low and short lived. In tackling the shortage of free carbon dioxide in the culture medium, then the increase in alkalinity engineering technology through the addition of calcium carbonate (chalk) so as to stabilize the alkalinity of the culture medium Nannochloropsis oculata. The engineering goal to improve the optimization of mass culture Nannochloropsis oculata growth by maintaining alkalinity stability culture media. Testing is done with the addition of dolomite on the third day, fifth and so on, for 15 days, the control without the addition of lime in 20 m3 Tank. Based on the results of testing at extreme conditions of salinity media that is 35 ppt, the testing bath to survive until the end of the DOC 15 with a salinity of 41 ppt, while dying on DOC control 9. The level of alkalinity control continues to decline, while in the tub can be maintained on condition testing optimal. Nannochloropsis oculata peak growth at the highest test tub on DOC 5-14, while the exponential growth in control tanks only on DOC 5-8. This proves that this technology can extend the life span of the exponential growth of the culture Nannochloropsis oculata mass scale, and can be a reference to improve the stability of plankton growth in normal and extreme winter conditions. Keywords : alkalinity, exponential growth, extreme weather Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 31 INTRODUCTION In mass culture of Nannochloropsis oculata in conventional system, often having some problems, such as the age of the culture that is short (about 5-7 days), the culture of death in extreme season and low densities of production. Based on our observations, where there are limiting factors in culture of Nannochloropsis oculata, such as nutrients, light, and carbon dioxide. Therefore necessary engineering culture so that the life is longer and n density of productio more stable. As we know that in the conventional system of mass culture on a daily the levels of alkalinity on the culture medium decreased to low level until death. To overcome the existing obstacles it is necessary to manipulate the alkalinity of culture medium by adding dolomite lime with interval 15-25 ppm in 2-3 days after inoculation of seeds that carried out repeatedly, in addition to overcoming nutrient deficiencies then done refertilizer (remanuring) with a half dose from the first of culture with an interval of 5-6 day culture period. With this system can maintain the stability of alkalinity and nutrient availability in the culture medium of mass Nannochloropsis oculata, so that exponential growth can be maintained longer. Economically also more effective and efficient so that the production cost can be reduced. Ecologically, the life of Nannochloropsis oculata is influenced by several environmental quality parameters, such as: fertility (nutrients), pH, salinity, light intensity and temperature. Moreover, like higher plants, Nannochloropsis oculata also require sufficient sunlight for photosynthesis. The needs of light intensity depends on the conditions of culture and density of Nannochloropsis oculata. On a laboratory scale, the culture on erlenmeyer only needed 1000 lux and on the mass scale required 5000-10000 lux. The light source other than direct sun can also be done by using light manipulation. Pillay T, 1988 found Nannochloropsis oculata grow well at the optimum temperature ranging between 25 - 350C. Kurniastuty and Isnansetyo, A., 1995 said Nannochloropsis oculata still be alive at a temperature of 400 C but it can not grow. Unlike the Lavens, P and Sorgeloos, P, 1996 as saying at a temperature of 35 0 C causes of death in Nannochloropsis oculata, while the optimum temperature in the range of 20 240C, and temperature tolerant to Nannochloropsis oculata between 16-270 C. Nannochloropsis oculata have extreme tolerance to changes in salinity. Most species grow well in salinity lower than its original habitat (Lavens P and Sorgeloos P., 1996). The range for growth Nannochloropsis oculata salinity between 0-35 ppt, but the optimum range between 20-24 ppt (Anonymous, 1991). Carbon dioxide dissolved in water in the form of carbonic acid (H2CO3) is less than 1% and this acid dissociates very strong. Carbon dioxide content of water is essentially a function of the biological activity. Wherever the process of respiration is faster than the accumulation of carbon dioxide in photosynthesis. Water ponds in the early morning are usually carbon dioxide are in a saturated condition. Bicarbonate result of the dissociation of carbonic acid, further dissociates into carbonate (HCO3- = H+ + CO32-) (Boyd, 1988). Photosynthesis activity in a variety of organisms are the main source of oxygen in aquatic environments. Since light is known to give energy to the process of photosynthesis, then Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 32 this can only happen if they are in the area of the water column that are light (photik or euphotik zone). At depths where oxygen production by algae equilibrium with the respiration of algae called the compensation depth, while the dark areas underneath called aphotik zone where respiration exceeds production of oxygen (Goldman and Horne, 1983). Natural waters usually contain more bicarbonate ions rather than the result of ionization of carbonic acid in the water saturated with carbon dioxide. Carbon dioxide in nature will reacted with rocks and soil to form bicarbonate, such as ilustrated in two alkaline earth carbonate, namely calcite (CaCO3) and dolomite (CaMg (CO3)2). Calcite and dolomite has a low solubility, but solubility increases by the action of carbon dioxide. Reactions that involving forms of bicarbonate to form or carbonate is an equilibrium reaction and the amount of carbon dioxide must be present to make a bicarbonate as solution. If the amount of carbon dioxide at equilibrium increases or decreases, it is associated with changes in the concentration of bicarbonate ions (Boyd, 1990). Total alkalinity usually expressed in equivalent of calcium carbonate. Bicarbonate, carbonate, ammonia, hydroxide, phosphate, silicate and some organic acids can react to neutralize hydrogen ions, so that all this material is alkaline and is responsible for the alkalinity of the water. Water that used for aquaculture, bicarbonate and carbonate ions usually responsible significantly to the measurement of alkalinity. Alkalinity can be divided into bicarbonate alkalinity and carbonate alkalinity, and some water alkalinity hydroxide. The alkalinity of natural waters range from 5 to more than 500 mg/l. Total alkalinity that high usually associated with limestone deposits around the ground. Pond with a low total alkalinity commonly in sandy soil areas, while at the loamy soil that often contains calcium carbonate tends to have a higher total alkalinity. The sea water have an average of total alkalinity of 116 mg / l (Boyd, 1990). When carbon dioxide is added to the solution that containing carbonate or bicarbonate, the pH of the solution will decrease. A drop in pH is a result of the carbon dioxide which is the source of hydrogen ions to react with the carbonate or bicarbonate. In natural waters, carbon dioxide released during respiration and also diffusion from the atmosphere. The amount of carbon dioxide that enter through diffusion is not necessarily, nor loss of carbon dioxide which can cause the pH to rise. Bicarbonate can support as a water buffer against pH changes. If the H+ ions increases, it will react with bicarbonate to form carbon dioxide so that the water equilibrium constant (K1) can be maintained and the changes of pH are very small. Likewise, an increase in OH- ions only lose a hydrogen ion while as carbon dioxide and water will react to form more hydrogen ions in order to maintain the equilibrium constant and can prevent the changes of pH significantly. For the record in terms buffer, carbon dioxide is an acid and bicarbonate ion as the salt. The calculation of the actual pH of bicarbonate and carbon dioxide to look a little harder than the equation above. However water has a medium or high alkalinity tend to be stronger buffer than water that has a low alkalinity (Boyd, 1990). During the day light (daylight), aquatic plants will remove the carbon dioxide in the water for photosynthesis. Plants and animals alike issued karbondiosida into the water in Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 33 the process of respiration. However during the light of day sooner water plants use carbon dioxide than when issued in respiration. The influence of photosynthesis can be seen clearly in the equation, if carbon dioxide is taken then the carbonate will accumulate and hydrolyzed and raise the pH. Plants can continue to use the carbon dioxide that is available in small quantities at a pH above 8.3 and bicarbonate can be absorbed by plants and carbon from bicarbonate is used for photosynthesis. In the pond, pH can rise more than 8.3. Where low bicarbonate concentration, water into the poor buffer and the pH value of during the period of photosynthesis average 9-10. On the evening, accumulation of carbon dioxide and pH decreases. In some waters, calcium ions associated with bicarbonate and carbonate ions, so that when the carbonate is increased in concentration that can be associated, calcium carbonate will precipitate because these components are relatively poorly soluble (KspCaCO3 = 10-8.30). The precipitated calcium carbonate tends to pH medium, but at a pH of 9 or more may occur during photosynthesis in water containing a high concentration of calcium. In other waters, sodium and potassium associated with bicarbonate and carbonate. The pH of the water can be high-level rise, till 10-12 during the period of photosynthesis quickly. The result of this phenomenon as sodium carbonate and potassium carbonate is more soluble than calcium, resulting in the accumulation amount of carbonate ions which then hydrolyzed which produce hydroxide ions. To maintain the viability and continuity are some Nannochloropsis oculata culture techniques. Nannochloropsis oculata culture is usually done by some levels, starting from laboratory scale culture (small scale) to mass culture. According Gapasin RSJ and Marten, C.L., 1990, the start of culture from a volume of 20 liters by the starter 10 liters. Further mass cultured in containers with a capacity of 100 liters by starter 30 liters of culture results before using mass fertilizer Ammonium phosphate, Urea and Ammonium sulfate. After 3-4 days of culture has changed color from dark green to green light. Furthermore developing from 100 liters to 300 liters, 300 liters developed into 1 ton and 1 ton developed for starter 10 ton with long maintenance of each level averages 3-4 days. Alternatively, starting from a laboratory culture volume of 100 ml subsequently used as a starter for 1 liter of culture. Strater 1 liter used for culturing 10 liters, from here in the culture at 200 liters. Next to the mass culture that is down to 0.5 tons (Pillay. T.V.R., 1988). While the mass culture in Cholik, F. et al, 1993 can be done in two ways: batch culture system and dilution system. Batch culture system is recommended to avoid contaminants. Culture begins with pure stock inoculum from the laboratory. After reaching a density of 20-30 million cells/ml was transferred to mass tank that ten times to the original volume. On dilution system, the culture was performed in a large tank then fertilizered and inoculated. After reaching a density of 10-20 million cells/ml harvesting half or one third, then add a new sea water until full and refretilizered again. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 34 METHODOLOGY Unit testing activities carried out at Feed Natural Cultur in Centre for Brackishwater Aquaculture Development (CBAD) Takalar from February to October 2015. Preparation of the facilities and infrastructure that will be used for the implementation of the activities of engineering, such as : bath culture and seeds of Nannochloropsis oculata. Materials used include : disinfection media (chlorine), technical fertilizer and dolomite lime, while the tools used include : suction pump, microscopy, haemocytometer, chlorine test and others. Preparation begins with a culture medium of sea water is filtered by the filter bag and filter cotton and accommodated in concrete tanks measuring 20 m3. Then performed the sterilization with 10 ppm chlorine. Seawater diklorin if it will be used first checked using chlorine test (take 5 ml of seawater and drops 2 drops of chlorine test, if the color of the sea water turns into amber means the active ingredient chlorine still going strong), selanjutkan do neutralization using sodium thiosulfate (1/3 of total chlorine) and aerated until neutral. Further checking back chlorine content, take 5 ml of seawater and drops 2 drops of chlorine test, if the color of the water turns bright / clear means of sea water has a neutral and ready for use. Culture medium water which has been sterilized transferred to concrete tanks measuring 4 x 5 m (volume 20 m3) amount of 16 m3 (80% by volume). Furthermore Nannochloropsis oculata seeds or inoculan put in the tanks that had contained a number of media culture 4 m2 (20%). Then do the fertilization with manure composition, among others : ZA 60 ppm, 40 ppm Urea, TSP 30 ppm, 10 ppm NPK, EDTA 5 ppm and Daxon 2 ppm (formula of CBAD Takalar) and aeration run slowly. The aeration do not too strong, that often triggered excessive foam that disrupts the growth, can even cause death. Density Nannochloropsis oculata were counted using haemocytometer tool with the help of hand counter. In the testing tank, implementation of dolomite lime additions to the culture medium is done at an interval of 2-3 days after inoculation seedlings carried out repeatedly, with the addition of dolomite lime dose of 15-25 ppm. In addition to overcoming nutrient deficiencies then do refertilizer (remanuring) with ½ dose of fertilizer early, this application is done at an interval of 5-6 days of culture period. In this way can maintain the stability of alkalinity and nutrient availability in the culture medium of mass Nannochloropsis oculata, so that exponential growth can be maintained longer. RESULTS AND DISCUSSION The test results I at 15 DOC, the growth of Nannochloropsis oculata occurs peak I in the tank testing the 5th day, that is 14 million cells/ml and peak II on the 10th day is 16.7 million cells/ml, whereas in the control peak I on 4 th day 9.7 million cells/ml and peak II on the 8th day is 9.3 million cells/ml. It appears that the exponential growth in the test tank can survived until the 15th day at the end of the test, but in the control tanks only survived until 10 th day and died on the 11th day. This shows that the addition of dolomite lime can extend the exponential growth of the mass culture of Nannochloropsis Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 35 oculata up to 33% survival of microalgae culture when compared with controls, and can be a reference to improve the stability of the growth of plankton Nannochloropsis oculata in extreme conditions. The used of dolomite lime in the test I do on days 3 th, 6th, 10th and 13th, this is done to maintain the alkalinity of an aqueous medium for the process of photosynthesis, the condition of water salinity media extreme early cultures up to 35 ppt, and at the end of the activity at 41 ppt but the condition of culture still survives, while the control on the 11th day where the salinity of culture average 40 ppt have experienced death. Besides that, the level of alkalinity in control tanks continued to decline, while in the tank testing can still be maintained in optimum condition. While the results of analysis test II (14 DOC), it appears that the highest peak growth Nannochloropsis oculata both on the test tank or the control tank that is on the 5th day of 24.5 million cells/ml. The exponential growth in the control can survive until the 9th day, while in the testing tank is still able to survive until the end of the activity (day 14). This proves that engineering alkalinity of cuture media can be a reference to improve the stability of the growth of plankton Nannochloropsis oculata in a variety of extreme conditions. Based on the test results I and II, it can be the right time for harvesting plankton, which is the culture period day 5 th until day 10 th, where the density of plankton in peak condition. The following will describe some efficacy testing in extreme summer heat, where the salinity to 35 ppt initial culture. Based on the test results I (15 DOC), it appears that the growth peak I Nannochloropsis oculata on the testing tank that is 14 million cells/ml (day 5) and peak II is 16.7 million cells/ml (day 10), while in control tank the peak I only amounted to 9.7 million cells/ml (day 4) and peak II yaiti 9.3 million cells/ml (day 8). The exponential growth in the testing tank may survive until the end of activity (day 15), while the control tanks can last until the 10th day and the subsequent death at day 11 th. Figure 1. Graph of exponential growth and alkalinity of culture media Nannochloropsis oculata on testing I. The used of dolomite lime is done on day 3 th, 6th, 10th and 13th made to maintain the alkalinity of the water that required media in the process of photosynthesis. Salinity of the first culture reached 35 ppt, and at the end of the 15th day can reach 41 ppt, but in control tank on day 11 th when the salinity 40 ppt Nannochloropsis oculata have Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 36 experienced death, while the alkalinity levels in controls continued to decline but at testing tank can be maintained in optimum condition. Based on the results of the first test up to 15 days from the DOC appears that growth is the highest peak on the tank testing of Nannochloropsis oculata that on day 5 th at 14 million cells / ml, whereas in control on day 4 th only amounted to 9.7 million cells/ml. The exponential growth in the testing tank can survive until the 15th day, but the control tank just up to day 10 th and died on the 11th day. This shows that the addition of dolomite lime can extend the exponential growth of the culture Nannochloropsis oculata mass scale up to 33% survival culture Nannochloropsis oculata when compared with controls, and can be a reference to improve the stability of the growth of plankton Nannochloropsis oculata in conditions of extreme, as in the dry season, but further testing will be done in the dry season. Figure 2. Graph of exponential growth and alkalinity of culture media Nannochloropsis oculata on testing II. Remanuring the first test conducted on day 5 th and day 12 th with a half dose of fertilizer at the beginning of the culture, this is done to address nutrient deficiencies in the culture medium which is a limiting factor of the growth of phytoplankton. The use of dolomite lime is done on day 3 th, 6th, 10th and 13th in the first test, this is done to maintain the alkalinity of water media for the process of photosynthesis, where water quality conditions can be seen in the following table. Condition water salinity media extreme early cultures up to 35 ppt, and at the end of the 15th day can reach 41 ppt but Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 37 in control on day 11th when the salinity 40 ppt microalgae Nannochloropsis oculata have experienced death, while the level of alkalinity in the control continues to decline but the test tank can still be maintained in optimum condition. Carbon dioxide dissolved in water in the form of carbonic acid (H2CO3) is less than 1% and this acid dissociates very strong. Carbon dioxide in water is essentially a function of the biological activity. Wherever the process of respiration is faster than the process of photosynthesis in the accumulation of carbon dioxide (Boyd, 1988). Photosynthesis activity in a variety of organisms are the main source of oxygen in aquatic environments. Since light is known to give energy to the process of photosynthesis, then this can only happen if they are in the water column that are light (photik or euphotik zone). At depths where oxygen production by algae equilibrium with the respiration of algae called the compensation depth, while the dark areas underneath called aphotik zone where production exceeds respiration of oxygen (Goldman and Horne, 1983). While based on the test results II (14 DOC) that data obtained from the graph below. Appears on the test II chart that growth is the highest peak of Nannochloropsis oculata both on the test or the control tank that is on the 5th day of 24 million cells/ml. The exponential growth in the control tank to day 9th, while in the testing tank continued right up until the end of the culture activities (day 14). Conditions of extreme salinity of the initial culture media reached 36 ppt, and at the end of the 14th day can reach 41 ppt, whereas in the control tank alkalinity levels continue to decline, but the test can still be maintained in optimum condition. In this phase testing II, the used of dolomite lime as much as 20 ppm, performed on days 4 th, 8 th and 11 th. Remanuring on testing II conducted on day 5 th and day 11 th with a half dose of fertilizer at the beginning of the culture, this is done to address nutrient deficiencies in the culture medium which is a factor limiting the growth of phytoplankton. CONCLUSIONS Application of mass production technology on Nannochloropsis oculata sustained through stabilization alkalinity of this culture medium is most appropriate in areas where extreme winter conditions become a limiting factor for the continuity of the production of natural food. In addition, the use of this technology can be done at all levels of culture system Nannochloropsis oculata, both laboratory scale and mass scale, both indoors and outdoors. Besides, the application of this technology to optimize and maintain the sustainability of the mass culture of Nannochloropsis oculata with periods of life (long life) is longer, so it can make effective and streamline the production of natural food, and can prevent the failure of production that often appear in various seasons of extreme so that the application of technology can guarantee and maintain the contuinity of natural food supply, in support of the sustainability of fish seed business profitable. Possible negative effects are to be anticipated that the use of the type and dose level lime improper, thus causing the opposite effect, be death Nannochloropsis oculata being cultured. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 38 REFERENCES Boyd, E.C.1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Alabama Agricultural Experiment Station. Auburn University. Alabama. USA. 482 ha Conceicao L.E.C, Yufera M, Makridis P, Morais S and Teresa M,. 2010. Review Article Live Feeds For Early Stages of Fish Rearing. Aquaculture Research 41, 2010. 613-640 Soriano M.E., Nunes S.O., Carneiro M.A.A dan Pereira D.C., 2009a. Nutrients' Removal From Aquaculture Wastewater Using The Macroalgae Gracilaria birdiae. Biomass and Bioenergy. Volume 33, Issue 2. Hal 327-331. Pillay, T.V.R. 2004. Aquaculture and Environment (Second Edition). Blackwell Scientific Publications. 196 hal Effendi,H. 2000. Telaah Kualitas Air (Bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.IPB.Bogor.258 hal Huguenin J.E, and Colt J. 2002. Design and Operating Guide For Aquaculture Seawater Systems (Second Edition). Development in Aquaculture and Fisheries Science -33. Pp. 328. Isnansetyo, A dan Kurniastuty, 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton. Penerbit Kanisius. Jager, JH (1967). Introduction to research in UV Photobiology. Englewood Cliffs, NJ, Prentice Hall, Inc. Lavens P dan Sorgeloos P., 1996. Manual on the production and use of live food for aquaculture. Technical Paper. Belgium.Published by Food and Agriculture Organization of the United Nations. Lekang O.I., 2007. Aquaculture Engineering. Blackwell Publishing. Page. 354. Manahan, S.E., 1994. Environmental Chemistry (Sixth Edition). Lewis Publisher. USA. 811 hal. Pillay, T V R. 1993. Aquaculture (Principles and Practices). Fishing News Book. Pillay T, 1988. Aquaculture Principles and Practices.Roma Richmond A. 2004. Handbook of Microalgal Culture (Biotechnology and Applied Phycology). Blackwell Science Ltd. pp. 566-23 Stottrup J G and McEvoy L A . 2003. Live Feeds in Marine Aquaculture. Blackwell Science Ltd. pp.318 Svobodova Z, Lloyd R, Máchová J and Vykusová B. 1993. Water Quality and Fish Health. Food and Agriculture Organization of the United Nations Rome. 66 hal. Tebbut, T. H. Y., 1992. Principles of Water Quality Control. Fourth Edition. Pergamon Press. 251 hal. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 39 Pioner Pakan Mandiri Aceh yang Sukses Ibnu Sahidhir*, Ari Prakoso Balai Perikanan Budidaya Air Payau Ujung Batee Aceh Isu pakan ditanggapi secara serius oleh Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, KKP dengan membuat program nasional bernama GERPARI (Gerakan Pakan Mandiri). Program GERPARI lebih difokuskan untuk ikan-ikan air tawar. Di Aceh, BPBAP Ujung Batee memasyarakatkan pakan mandiri ke lingkup institusi pendidikan dan pembudidaya dalam bentuk percobaan pakan, training, pelayanan pembuatan pakan, pendampingan pembuatan pakan dan manajemen pakan. Pemasyarakatan pakan mandiri dimulai dengan ujicoba variasi berbagai formula pakan untuk ikan herbivor dan omnivor (bandeng dan nila). Balai telah melakukan pelayanan publik dalam bentuk pembuatan pakan untuk mahasiswa. Sedangkan pelatihan yang meliputi pembuatan pakan dilakukan di Aceh Barat dan manajemen pakan di Aceh Tamiang, Aceh Timur, Lhokseumawe dan Pidie Jaya. Balai membantu berdirinya pabrik pakan mini masyarakat dengan nama ‘Sekolah Pakan Ikan Rakyat (Bina Pakan Mandiri)’ di Limpuk, Darussalam. Supervisi rutin dilakukan dengan topik utama yakni membuat formulasi pakan, pemrosesan pakan, suplementasi pakan, pakan untuk pengobatan, manajemen pakan dan pengelolaan air serta pengenalan pakan alami. Bahan baku diperoleh dan diolah secara lokal sehingga dapat dihasilkan harga pokok pakan yang layak secara ekonomis. Usaha masyarakat ini mulai berekspansi ke daerah sekitarnya yakni bekerja sama dengan BBI Jantho dan pembudidaya Brayeun, Aceh Besar. FCR terendah yang tercatat adalah sekitar 1,1, untuk budidaya ikan nila. Kata kunci:pakan mandiri, perkembangan, Aceh Successful pioneer of home-made fish feed in Aceh Ibnu Sahidhir*, Syafrizal,Muslim, Ari Prakoso Abstract Fish feed is seriously addressed by Directorate General of Aquaculture, Ministry of Marine Affairs and Fisheries lead to national program called GERPARI (Gerakan Pakan Mandiri, Home-made Fishfeed Movement). The program focused to freshwater fish. In Aceh, the Center (BPBAP of Ujung Batee) socialized it to educational institution and fish farmer such as making fish feed for research and other special purposes in the center, fish feed training, supervision of feed processing and feeding management in farm. Introducing of home-made fish feed began with trial in the Center for various combination of formula for omnivorous fish. The Center have served public demand for making fish feed especially for university student. Training of making fish feed was conducted in Aceh Barat then feed management training was conducted in Aceh Tamiang, Aceh Timur, Lhokseumawe and Pidie Jaya. The Center have guided establishment of mini fish feed manufacture of fish farmer called ‘Sekolah Pakan Ikan Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 40 Rakyat” in Limpuk, Darussalam. Supervision have been being conducted regularly i.e. feed formulation and processing, supplementation, prophylactic and medicated feed, feed management, water quality management and live feed introduction. Ingredients was acquired and processed locally lead to economically feasible. This effort extends to other place and now cooperates with, BBI of Jantho, Aceh Besar and Brayeun farmer try to culture tilapia. The lowest feed conversion ratio recorded was 1,1 for tilapia culture. Keywords:Home-made fish feed, development, Aceh 1. Pendahuluan Harga pakan yang selalu meningkat telah mengurangi keuntungan pembudidaya ikan secara signifikan. Masalah ini memicu pembudidaya untuk mengusahakan pakan buatan sendiri. Isu tersebut ditanggapi secara serius oleh Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, KKP dengan membuat program nasional bernama GERPARI (Gerakan Pakan Mandiri)(Akuakultur 2015). Program GERPARI lebih difokuskan untuk ikan-ikan air tawar. Program ini membantu pembudidaya ikan dan institusi pemerintah lokal dengan pengadaaan mesin pakan, bahan baku dan pendampingan ahli. Terkait dengan biaya, harga pakan mandiri harus terjangkau oleh masyarakat pembudidaya ikan. Oleh karena itu ditekankan bagi pembudidaya untuk memanfaatkan bahan-baku lokal. Lebih dari itu, kualitas pakan akan menjadi penentu keberhasilan pakan mandiri. Formula pakan, bahan baku dan cara pembuatan pakan adalah faktor utama yang menentukan kualitas pakan secara biologis. Tulisan ini mengangkat sosialisasi pakan mandiri yang dilakukan oleh BPBAP Ujung Batee di Aceh. Kegiatan tersebut berupa pemasyarakatan pakan mandiri ke lingkup institusi pendidikan dan pembudidaya yang diwujudkan dalam bentuk pembuatan pakan di Balai, training, pelayanan pembuatan pakan, pendampingan pembuatan pakan dan manajemen pakan. 2. Metode Tulisan ini dibuat dalam bentuk laporan kegiatan yang mencakuplingkup wilayah provinsi Aceh selama tahun 2014-2015. Ulasan perkembangan sosialisasi program pakan mandiri dijelaskan secara kategoris sebagai berikut: 1. Uji coba pakan Pemasyarakatan pakan mandiri dimulai dengan ujicoba di balai untuk berbagai formula pakan untuk ikan bandeng dan nila. 2. Pelayanan publik Balai telah melakukan pelayanan publik dalam bentuk perbantuan dalam ujicoba pakan untuk mahasiswa. 3. Training pembuatan pakan dan manajemen pakan Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 41 Pelatihan pembuatan pakan dilakukan di Aceh Barat. Training manajemen pakan diadakan di Aceh Tamiang, Aceh Timur, Lhokseumawe dan Pidie Jaya. 4. Pendampingan pembuatan pakan dan manajemen pakan dalam budidaya Balai membantu berdirinya pabrik pakan mini masyarakat dengan nama ‘Bina Pakan Mandiri (Sekolah Pakan Ikan Rakyat)’ di Limpuk, Darussalam. Supervisi rutin dilakukan dengan topik utama yakni membuat formulasi pakan, pemrosesan pakan, suplementasi pakan, pakan untuk pengobatan, manajemen pakan dan pengelolaan air serta pengenalan pakan alami. 3. Hasil dan Pembahasan Pemasyarakatan pakan mandiri disambut dengan antusias oleh masyarakat. Pihak-pihak yang terkait dengan budidaya ikan merasa bahwa pakan adalah komponen vital dalam keberlangsungan bisnis. Kemampuan untuk memahami dan bahkan menguasai komponen ini berarti mengurangi risiko kegagalan budidaya. Ujicoba pakan dengan formula sederhana terbukti dapat diterima oleh komoditas ikan budidaya. Akademisi tertarik untuk melakukan ujicoba berbagai macam suplemen untuk menguatkan fungsi pakan secara khusus. Namun hal yang penting untuk digaris bawahi adalah bahwa keberhasilan pembuatan pakan apung sangat didukung oleh kemampuan permesinan pebisnis pakan. 3.1. Uji coba formula pakan Pemasyarakatan pakan mandiri dimulai dengan ujicoba di balai untuk berbagai formula pakan untuk ikan omnivor. Formula pakan nabati untuk larva bandeng menunjukkan perbedaan yang tidak berarti bila dibandingkan dengan pakan pabrik. Demikian pula pakan gamal untuk pendederan bandeng dan ikan nila. Sedangkan formula pakan untuk pembesaran ikan nila terlihat mampu memperbaiki FCR dan meningkatkan kesehatan usus ikan nila (Tabel 1). Tabel 1. Formula pakan yang diujicobakan untuk ikan bandeng dan ikan nila Bahan baku Tepung kedelai Larva bandeng 70% Gelondongan Pembesaran bandeng dan ikan nila nila 20% Tepung kepala ikan 40% 50% Tepung jagung 10% 18% Tepung gamal 20% Tepung dedak 15% Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 15% 42 Tepung terigu 10% Tepung Skeletonema 5% Tepung kanji 5% 5% Tepung arang 5% 2% Ragi 2% Minyak sayur 3% 5% 100% 100% Total 100% Suplementasi pakan telah berhasil untuk fungsi-fungsi khusus. Penambahan arang sebesar 2% dapat menurunkan FCR dan memperbaiki kesehatan saluran cerna ikan. Selanjutnya, pemberian allicin dengan dosis 100-400 ppm ke dalam pakan dapat meningkatkan kelangsungan hidup ikan nila secara nyata. Lebih lanjut, fermentasi nanas dan rumput laut latoh (selain juga bisa sebagai sumber bahan baku baru) dapat mempercepat pengisian gonad induk betina ikan nila. Sedangkan fermentasi kedelai dan ikan dapat menggantikan peran Nannochloropsis sebagai pakan rotifer. Foto 1. Latoh sebagai bahan baku dan suplemen pakan ikan; dan lab pakan BPBAP Ujung Batee 3.2. Pelayanan publik Lab pakan telah memberikan bimbingan dalam pembuatan pakan terhadap 11 mahasiswa. Topik yang paling diminati mahasiswa adalah suplemen pakan. Selain aspek biaya yang relatif rendah, pengujian suplemen juga mudah dan cepat terlihat hasilnya. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 43 Foto 2. Pengujian suplemen pakan untuk ikan nila payau oleh mahasiswa Suplemen yang diuji berfungsi untuk memperbaiki efisiensi pakan dan kesehatan ikan dan udang. Topik tentang formula pakan untuk ikan khusus dan pengolahan bahan baku pakan relatif kurang diminati (Tabel 2.). Tabel 2. Kegiatan Pelayanan Publik No Nama Institusi Kegiatan Waktu Masniar Universitas Syiah Kuala Membuat pakan ikan papuyu April, 2015 2 Agustiawati Universitas Abul Yataama Membuat tepung kedelai April, 2015 3 Cut Nurul Universitas Abul Yataama Membuat tepung kedelai April, 2015 4 Silman Universitas Abul Yataama Membuat pakan fermentasi kedelai untuk nila Mei, 2015 5 Mayana Universitas Syiah Kuala Membuat pakan prebiotik bawang merah untuk papuyu Mei, 2015 6 Lina Universitas Abul Yataama Suplemen bromelain untuk nila Mei, 2015 7 Abdurrazak Universitas Abul Yataama Suplemen quercetin untuk nila Mei, 2015 1 Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 44 8 Yasir Universitas Abul Yataama Suplemen allicin untuk nila Mei, 2015 9 Marlinda Universitas Abul Yataama Membuat pakan bersuplemen beta-karoten alami untuk windu Juni 2015 10 Ferliadi Universitas Abul Yataama Membuat pakan caulerpa untuk nila Juni 2015 11 Kadiron Universitas Abul Yataama Membuat pakan herbal untuk windu Juni 2015 3.3. Training pembuatan pakan dan manajemen pakan Pelatihanpertama untuk pengenalan pembuatan pakan secara sederhana dilakukan di Aceh Barat. Training tersebut bertujuan untuk memperkenalkan langkahlangkah yang umumnya dilakukan dalam pembuatan pakan. Bahan-bahan lokal diperkenalkan kepada peserta agar dapat disadari keberadaan dan kelimpahannya. Peserta sangat antusias dan berkeinginan untuk dilatih lebih jauh. Training manajemen pakan diadakan di Aceh Tamiang, Aceh Timur, Lhokseumawe dan Pidie Jaya. Kegiatan assessment dan sosialisasi CBUB/BMP Udang(Cara Budidaya Udang yang Baik) bekerjasama dengan AAC (Aceh Aquaculture Cooperative) untuk petambak di 4 lokasi budidaya yakni Aceh Tamiang, Aceh Timur, Lhokseumawe, dan Pidie Jaya. Kegiatan ini dilakukan dari tanggal 3-7 Juni 2015 dan dihadiri oleh 169 pembudidaya udang. Foto 3. Pembudidaya dengan suplemen pakan BPBAP Ujung Batee pada pelatihan pembuatan pakan; diskusi manajemen pakan udang di tambak pada pelatihan CBUB Lab pakan, pada kegiatan ini, menyajikan topik khusus tentang manajemen pakan udang. Kepada para peserta dijelaskan teknik-teknik mengefisienkan pakan. Selain itu dijelaskan juga tentang peran pakan terhadap perjangkitan penyakit dan menurunnya Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 45 kualitas lingkungan. Fokus ditekankan pada penyakit “white feces syndrome” untuk Pidie Jaya. Penjelasan lebih lanjut adalah penanganan pakan alami di tambak tradisional yakni efek blooming tanaman air dan pemupukan berlebih. 3.4. Pendampingan pembuatan pakan dan manajemen pakan dalam budidaya Kelompok pembuatan pakan ikan mandiri ‘Sekolah Pakan Ikan Rakyat (Bina Pakan Mandiri)’ yang diusahakan oleh M. Faikal Novarios didirikan dengan supervisi BPBAP Ujung Batee. Proses supervisi ini dapat dilihat pada Tabel 3. Usaha ini dimulai pada akhir tahun 2014. Selain mengejar profit, visi usaha ini adalah mengedepankan pengembangan masyarakat dalam bidang perikanan budidaya. Pemilik usaha berkomitmen untuk menggandeng masyarakat dan juga lembaga pendidikan di sekitar tempat usaha untuk lebih peduli terhadap sektor budidaya perikanan. Sebagian dari kolam disediakan secara gratis untuk masyarakat yang ingin mencoba budidaya ikan dan bagi mahasiswa budidaya perairan untuk penelitian tahap akhir. Bisnis berorientasi sosial ini juga memanfaatkan bahan baku lokal yang kurang termanfaatkan. Tepung ikan dibuat sendiri dengan bahan baku ikan rucah dan ikan tongkol lokal dari TPI Lam Pulo, Banda Aceh dan TPI Pusong, Aceh Utara. Pembuatan tepung ikan melalui proses perebusan, pengepresan, pengilingan, pengeringan dan penepungan. Limbah perikanan tangkap seperti kepala dan organ dalam ikan juga sedang diusahakan untuk dimanfaatkan sehingga meningkat nilai ekonominya dengan pembuatan silase ikan. Bahan baku lain seperti dedak halus diambil dari penggilingan padi lokal. Bahan baku suplemen pakan juga diperoleh dari bahan baku lokal. Semua bahan baku ditepungkan dan diramu dengan memperhatikan kebutuhan fisiologis ikan target dalam hal ini lele. Pakan yang diproduksi adalah pakan apung, dibuat dengan mesin extruder produk China dengan kapasitas real 75 kg/jam. Untuk mencapai hasil tersebut, berbagai macam ujicoba telah dilakukan. Bahkan setelah dimodifikasi, sekarang mesin ekstruder dapat berproduksi real sekitar 100 kg/jam. Pakan yang dibuat dapat mengapung dengan daya tahan di air lebih dari 3 jam. Pakan masih diberikan sebatas pada ikan lele milik pribadi. FCR terendah yang pernah tercatat adalah 0,75 dengan kandungan tepung ikan sekitar 15%. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 46 Foto 4. Kelompok Bina Pakan Mandiri (Sekolah Pakan Ikan Rakyat) dengan kolam lele dan mesinnya Saat ini kelompok Bina Pakan Mandiri dapat membuat pakan apung yang dikonsumsi oleh usaha budidaya sendiri. Penanganan kesehatan ikan dilakukan secara holistik bermula dari meminimalkan munculnya penyakit sampai strategi kuratif yang aman dengan aplikasi herbal. Tabel 3. Kegiatan supervisi pakan No Kegiatan 1 2 3 Waktu Status Membuat formulasi pakan I Maret Diterapkan Uji daya apung extruder (30-85% tepung ikan) Maret Terukur Membuat pakan Membuat formulasi pakan II Mei Diterapkan Uji proksimat Mei Diuji Membuat tepung arang sebagai suplemen April Diterapkan Membuat fermentasi nanas April Diterapkan Membuat silase mikrobial April Dibuat Pengujian quercetin April Diuji dan diterapkan Pengujian allicin April Diuji dan diterapkan Membuat suplemen pakan Pakan untuk pengobatan Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 47 4 5 Manajemen air untuk mendukung kinerja pakan Pemakaian serasah Mei Diterapkan Pemakaian Bekafish sebagai probiotik Mei Diterapkan Pembuatan RABAL untuk air Juni Dibuat ulang Pemupukan Juni Diterapkan Kultur Azolla Juni Dibuat ulang Kultur kutu air Juni Dibuat ulang Mengembangkan pakan alami 4. Penutup Pakan ikan mulai dikenal lebih dekat oleh masyarakat Aceh khususnya akademisi dan praktisi budidaya perikanan. Kesuksesan pengembangan pakan mandiri di masyarakat diawali dari tertanamnya keyakinan kuat dalam masyarakat pembudidaya ikan bahwa kemandirian pakan adalah dasar yang kuat untuk memperoleh kesuksesan budidaya secara jangka panjang. Setelah itu, pembelajaran terus menerus harus dilakukan masyarakat sampai semua harapan kemandirian pakan terpenuhi secara tuntas. Perkembangan pakan mandiri di Aceh telah memiliki pijakan awal yang baik yakni diterimanya sudut pandang tersebut. Eksekusi di lapangan juga menunjukkan bibit keberhasilan yang menonjol. Tugas selanjutnya adalah menjaga momentum dengan variasi program yang direncanakan secara strategis agar terjadi percepatan ke arah kemandirian pakan. Referensi Akuakultur. 2015. “Gerpari Untuk Indonesia Mandiri,” February. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 48 Pakan alami perifiton untuk mensubstitusi enzim pracerna pada pemeliharaan benih nila payau Ibnu Sahidhir*, Lina Mutiara Sinaga1, Azwar Thaib1, Syafrizal, Muslim 1 Universitas Abul Yatama Abstrak Cara efektif untuk menekan limbah ammonia sekaligus menyediakan pakan alami adalah dengan mengembangkan komunitas organisme penempel yang terdiri dari makhluk fotosintetik dan heterotrof. Keanekaragaman kemampuan fisiologis anggota dalam komunitas ini dapat menyediakan nutrisi yang lengkap dan berkualitas tinggi bagi benih nila. Perekayasaan ini bertujuan untuk menguji efek bromelain, suatu enzim pracerna yang ditambahkan pada pakan sebelum diberikan ke ikan, pada berbagai dosis pada kondisi wadah berperifiton. Pengujian dilakukan dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan. Tiap unit ulangan adalah hapa silinder berdiameter 60 cm dan tinggi 90 cm yang sekaligus berfungsi sebagai substrat perifiton. Wadah diisi benih nila sebanyak 45 ekor berukuran @+0,5 gr dengan demikian ratio berat dan luas perifiton adalah 0,5 gr per 4 dm 2. Bromelain diberikan ke pakan dengan cara top dressing, masing-masing diberikan dengan level dalam pakan yakni, 0 ppm,100 ppm, 200 ppm, 300 ppm, 400 ppm (b/b). Pakan dengan kadar protein 38% diberikan sebanyak 4% dari berat ikan per hari dengan frekuensi 2 kali sehari. Hasil kegiatan menunjukkan bahwa dosis 100-400 ppm bromelain tidak berpengaruh terhadap laju pertumbuhan spesifik (6,78-7,08%), FCR (0,37-0,4) dan SR (92-97%) (p>0,05). Semua perlakuan mengalami penurunan FCR tiap minggu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada sistem perifiton tidak diperlukan pemberian suplemen enzim pada pakan. Kata kunci: bromelain, perifiton, ikan nila payau Periphyton live feed to substitute predigested enzyme for brackishwater tilapia nursery Ibnu Sahidhir*, Lina Mutiara Sinaga1, Azwar Thaib1, Syafrizal, Muslim 1 Universitas Abul Yatama Abstrak An effective way to reduce ammonia and provide live feed is developing periphyton contained photosynthetic and heterotrophic organisms.High diversity of the periphyton community could provide complete and qualified nutrition for tilapia fingerlings. The study aimed to test bromelain, a predigested enzymes delivered to feed before feeding, at several levels of dosage in periphyton system. The test was conducted by 5 treatments and 3 replications. Bromelain was delivered to feed by top dressing, i.e. 0 ppm, 100 ppm, 200 ppm, 300 ppm, 400 ppm (w/w). To promote growing of periphyton community a cylinder-formed small mesh size hapa with dimension 60 cm in diameter and 90 cm high was used as each unit of replication. A unit of hapa contained 45 tilapia fingerlings sized +0,5 gr then ratio of weight/periphyton substrate was 0,5 gr/4dm2. The tilapia was Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 49 reared in brackishwater condition (10-12 ppt) and fed 4% of body weight/day with feeding frequency twice a day. The result showed that dosage range of bromelain 100400 ppm was not significantly influenced specific growth rate (6,78-7,08%), feed conversion ratio (0,37-0,4) and survival rate (92-97%) (p>0,05). In all treatment FCR decreased everyweek significantly. Here, It is concluded that predigested enzymes are not recquired for tilapia cultured in periphyton system Keywords: bromelain, periphyton, brackishwater tilapia 1. Pendahuluan Pakan mudah dicerna karena adanya enzim. Enzim memiliki makromolekul/substrat spesifik untuk dipotong. Golongan besar enzim pencerna pakan yakni lipase untuk mencerna lemak, karbohidrase khusus mencerna karbohidrat. Benih membutuhkan protein dengan kualitas tinggi. Kemudahan mencerna protein akan mengurangi energi dalam pencernaan dan mempercepat pemanfaatan protein. Bromelain adalah jenis protease cysteineyakni enzim yang memotong protein secara hidrolisis pada ikatan asam amino cysteine. Bromelain berasal dari nanas baik batang maupun buahnya. Bromelain pada buah lebih aktif dibanding pada batang. Bromelain biasa digunakan untuk melunakkan daging dan aktif secara optimal pada suhu 50-600C (Grzonka, Kasprzykowski, and Wiczk 2007) Benih ikan nila di kolam terbiasa memakan pakan alami sebagai pakan tambahan. Selain zooplankton, pakan alami tersebut biasanya menempel di permukaan wadah pemeliharaan dan disebut sebagai perifiton yakni kumpulan mikroba dan mikrozoa yang menempel pada substrat(Beyers and Odum 1993). Organisme ini menjadi sumber gizi yang berkualitas bagi ikan dan udang dan mampu meningkatkan pertumbuhan dengan signifikan (Azim et al. 2004). Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui efek bromelain pada benih ikan nila payau yang dipelihara dalam wadah yang ditumbuhi perifiton. 2. Prosedur kegiatan Wadah yang digunakan untuk memelihara benih sekaligus menumbuhkan perifiton adalah hapa silinder berukuran lubang kecil dengan dimensi diameter 60 cm dan tinggi 90 cm. Sebanyak 15 hapa ditempatkan dikolam tanah seluas 600 m2. Salinitas awal adalah 10 ppt. Pengujian memiliki 5 perlakuan dan 3 ulangan yakni pakan dengan dosis bromelain 0 ppm, 100 ppm, 200 ppm, 300 ppm, dan 400 ppm. Benih ikan nila dengan berat rerata 0,6 gr diperoleh dari BPBAP Ujung Batee dan telah diadaptasikan ke air payau. Kualitas air yang diukur yakni salinitas, DO, pH dan suhu. Bromelain adalah produk Xi ‘An TCM Biological Technology dari China dan mengandung bromelain sekitar 500.000 unit enzim/gr. Bromelain dilarutkan ke dalam air dan diberikan ke pakan sesuai dengan konsentrasi yang diinginkan. Pakan lalu disimpan Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 50 dalam refrigerator sebelum dipakai. Pakan diberikan dengan dosis 4%berat tubuh/hari. Variabel yang diukur adalah sebagai berikut mengikuti formula (NRC 2011): Kelangsungan hidup/SR (%) = (jumlah ikan akhir/jumlah ikan awal) x 100 Berat perolehan/weight gain (gr) = berat akhir-berat awal Laju pertumbuhan spesifik/SGR(%) = 100 x (logeberat akhir - loge berat awal)/jumlah hari Rasio konversi pakan/FCR = Pakan yang diberikan/Berat perolehan Data dianalisis dengan programSPSS 20.0 dengan uji multivariate ANOVA test dan t test bonferroni correction. Pengujian mikroskopis dilakukan untuk mengamati perifiton di hapa dan usus ikan nila yakni dengan mikroskop cahaya Olympus perbesaran 400x . 3. Hasil dan Pembahasan Pemberian enzim bromelain menunjukkan tidak ada perbedaan dalam SR, SGR and FCR (p>0,05)(Table 1). Table 1. Performance biologis ikan nila payau yang diberi pakan dengan bromelain Variables Bromelain 0 ppm 100 ppm 200 ppm 300 ppm 400 ppm SR (%) 91,9 + 4,6a 94,1 + 4,8a 91,1 + 2,2a 96,3 + 1,3a 94,1 + 1,3a Weight gain (g) 3,85 + 0,34a 3,68 + 0,24a 3,60 + 0,05a 3,61 + 0,14 a 3,79 + 0,30 a SGR (%) 7,08 + 0,13a 6,87 + 0,21a 6,93 + 0,24a 6,78 + 0,09a 6,83 + 0,22a FCR 0,37 + 0,01 0,40 + 0,01a 0,40 + 0,03a 0,39 + 0,01a 0,39 + 0,02a a SR, survival rate kelangsungan hidup; SGR, specific growth ratelaju pertumbuhan spesifik; FCR, feed conversion ratio rasio konversi pakan Nilai disajikan dalam bentuk rerata+ standar deviasi. Nilai dengan huruf diatas yang berbeda menunjukkan berbeda nyata, p<0,05, n0=45 Secara mingguan terlihat bahwa kematian benih mulai muncul pada minggu ke-2 pada semua perlakuan (Grafik 1a). Benih meningkat beratnya setiap minggu pada semua perlakuan (Grafik 1b). SGR juga naik tiap minggu berkebalikan dengan FCR yang turun terus (Grafik 1c dan 1d). Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 51 Grafik 1. Performance biologis ikan nila payau yang diberi pakan berenzim bromelain diamati tiap minggu Kualitas air masih dalam batas yang wajar untuk pemeliharaan benih ikan yakni DO 3,3-6,9 ppm, pH 7,6-8,0, suhu 27-300C, salinitas 10-12 ppt. Pengamatan mikroskopis menunjukkan bahwa pada hapa tertempel banyak organisme perifiton. Alga berfilamen menempel dan membuat anyaman pada permukaan hapa. Sedangkan diatom mengisi ruang kosong dan didominasi oleh kelompok pennate dibanding centric. Protozoa penempel dan rotatoria juga berkembang. Nematoda bergerak menggeliat diantara organisme. Dalam usus nila ditemukan kerangka rotifer dan diatom centric. Jenis lain mungkin telah telah tercerna. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 52 a. b. c. d. Kerangka perifiton Diatom dan alga hijau biru Metazoa penempel Nematoda Parameter pertumbuhan terlihat tidak berbeda nyata. Pengujian enzim proteolitik pada udang juga terlihat tidak mempengaruhi pertumbuhan, walaupun efeknya dapat memotong rantai protein (Divakaran and Velasco 1999). Pakan alami mengandung enzim yang dapat mengautolysis dirinya sendiri di dalam saluran pencernaan ikan (Moss, Divakaran, and Kim 2001). Bioavailabilitas nutrisi dalam pakan alami juga lebih terjamin dibanding pakan buatan yang mungkin rusak karena efek pemrosesan pakan. Kesimpulan Quercetin and allicin supplementation in fish diet improved survival rate of tilapia fingerlings to almost 95% and 98% respectively. Both of them could be functioned as prophylaxis to reduce random negative effect of periphyton organisms. The more prolonged daily treatment could be investigated further to confirm its negative side effect. References Azim, M.E., M.A. Wahab, P.K. Biswas, T. Asaeda, T. Fujino, and M.C.J. Verdegem. 2004. “The Effect of Periphyton Substrate Density on Production in Freshwater Polyculture Ponds.” Aquaculture 232 (1–4): 441–53. doi:10.1016/j.aquaculture.2003.08.010. Beyers, Robert J., and Howard T. Odum. 1993. “Stream Microcosms.” In Ecological Microcosms, 209–33. Springer Advanced Texts in Life Sciences. Springer New York. http://link.springer.com/chapter/10.1007/978-1-4613-9344-3_10. Divakaran, S., and M. Velasco. 1999. “Effect of Proteolytic Enzyme Addition to a Practical Feed on Growth of the Pacific White Shrimp, Litopenaeus Vannamei (Boone).” Aquaculture Research 30 (5): 335–39. doi:10.1046/j.1365-2109.1999.00333.x. Grzonka, Z., F. Kasprzykowski, and W. Wiczk. 2007. “Cysteine Protease.” In Industrial Enzymes, edited by J. Polaina and A.P. MacCabe, 181–95. Netherlands: Springer. Moss, S M, S Divakaran, and B G Kim. 2001. “Stimulating Effects of Pond Water on Digestive Enzyme Activity in the Pacific White Shrimp, Litopenaeus Vannamei (Boone).” Aquaculture Research 32 (2): 125–31. doi:10.1046/j.13652109.2001.00540.x. NRC. 2011. “Basic Concepts and Methodology.” In Nutrient Requirements of Fish and Shrimp, 6–14. Washington D.C.: The National Academic Press. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 53 THE ADVANTAGES TECHNOLOGY OF MOINA sp MASS CULTURE WITH CHLORELLA sp AS MEDIA Taufik Shidik Adi Nugroho 1), Lilik Masrifa2), Astuti 3),Sutikno 4) Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Sungai Gelam Jambi The requirement of live feed for fish larvae can not be avoided in freshwater aquaculture. Dependency of live feed on natural catching and abroad imported causes impact on the high cost of production. It needs to be surmounted with the using of live feed which can be cultivated and produced on mass scale independently by the farmers. Moina sp is the solution of this problems in order to optimalize aquaculture freshwater fisheries.business efficiency. The fertilizer of Moina sp cultivation consisting of fish meal, soybean meal, bran, dolomite andChlorella sp inoculant,while for Chlorella sp media cultivation are fish meal, soybean meal, bran, urea, TSP, dolomite and Chlorella sp inoculant. The advantages technology of Moina sp cultivation by using media Chlorella sp are the cultivation techniques can increase crop yield / production Moina sp and the sustainability of cultivationcan be done throughout the year due to the fertilizer formula that can keep the availability of Chlorella sp, this formula also can maintain the purity ofChlorella sp and prevent from various types of plankton / other aquatic organism contamination.Furthermore, the product can be used as fresh and frozen Moina sp for several fish larvae feeding such as catfish, carp, gourame, etc. This technology is very applicable because of the materials, containers and necessary equipment readily available around the farmers. Moina sp harvest ranges from 800 to 3500 gr with yields often obtained 2,000 gr/cycle. The using of Moina sp which produced independently enable to make fisheries aquaculture activities more efficient because of reducing operational cost and increasing the benefit. Thus, strongly recommended to perform Moina sp cultivation to support and applied in freshwater aquaculture activities. Hopefully, It can reduce cost production and get the effective and efficient freshwater aquaculture methods. KEUNGGULAN TEKNOLOGI BUDIDAYA MOINA sp DENGAN MEDIA CHLORELLA sp Taufik Shidik Adi Nugroho 1), Lilik Masrifa2), Astuti 3), Sutikno 4) 1) Perekayasa Muda di Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Sungai Gelam 2,3,4) Staf Teknis di Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Sungai Gelam ABSTRAK Kebutuhan pakan alami sebagai pakan larva ikan tidak dapat dihindari dalam budidaya perikanan. Ketergantungan ketersediaan pakan alami pada alam dan import dari luar negeri berakibat terhadap harga yang tinggi sehingga berdampak pada tingginya biaya produksi usaha budidaya. Hal ini perlu disiasati dengan penggunaan pakan alami yang dapat dibudidayakan serta diproduksi secara massal dan mandiri oleh para Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 54 pembudidaya. Moina sp adalah solusi bagi permasalahan ketersediaan pakan bagi larva ikan dalam rangka efisiensi usaha budidaya perikanan khususnya perikanan air tawar. Satu siklus budidaya Moina sp volume 3000 liter menggunakan pupuk yang terdiri dari tepung ikan, tepung kedelai, dedak, dolomite dan Chlorella sp. Sedangkan untuk budidaya Chlorella sp digunakan pupuk yang terdiri dari tepung ikan, tepung kedelai, dedak, urea, TSP dan dolomite.Keunggulan dari teknologi budidaya pakan alami Moina sp ini anatara lain produk yang dihasilkan dapat berupa Moina sp hidup dan beku, keberlanjutan budidaya yang dapat dilakukan sepanjang tahun yang disebabkan oleh komposisi / dosis pupuk yang dapat menjamin ketersediaan Chlorella sp sebagai media / pakan utama pada budidaya Moina sp, dosis pupuk yang dapat menjaga kemurnian dan mencegah Chlorella sp dari kontaminasi berbagai jenis plankton dan binatang air lain dan teknik budidaya yang dapat meningkatkan hasil panen/produksi Moina sp. Moina sp dapat digunakan dalam bentuk hidup dan beku untuk pakan beberapa larva ikan seperti Patin,Gurame, lele, dll. Dalam aplikasinya teknologi ini sangat aplikatif untuk UPR karena bahan, wadah dan peralatan yang diperlukan mudah diperoleh disekitar masyarakat. Moina sp yang dihasilkan (volume media 3.000 liter) berkisar antara 800 s.d 3500 g dengan jumlah panen yang sering diperoleh sebanyak 2000 g/siklus (4-5 hari pemeliharaan). Penggunaan Moina sp yang diproduksi secara mandiri memungkinkan efisiensi dalam kegiatan budidaya perikanan karena dapat menekan biaya operasional dan meningkatkan keuntungan. Dengan demikian sangat direkomendasikan untuk melakukan budidaya Moina sp untuk diaplikasikan dalam kegiatan budidaya perikanan untuk menekan biaya produksi sehingga diperoleh metode usaha budidaya perikanan yang efektif dan efisien. I. PENDAHULUAN Pakan alami merupakan salah satu kunci keberhasilan pada budidaya perikanan khususnya pada fase pendederan. Ketergantungan ketersediaan pakan alami pada alam dan produk import dari luar negeri seperti cacing tubifex dan artemia berakibat terhadap tingginya harga pakan alami yang berdampak pada meningkatnya biaya produksi. Hal ini perlu disiasati dengan penggunaan pakan alami yang dapat dibudidayakan serta diproduksi secara massal dan mandiri oleh para pembudidaya. Moina sp adalah solusi bagi permasalahan ketersediaan pakan bagi benih ikan dalam rangka efisiensi usaha budidaya perikanan khususnya perikanan air tawar. Moina sp digunakan sebagai pakan alami pada pemeliharaan larva ikan di hatchery dan sebagai pakan alami pada proses pendederan ikan di kolam. Moina sp hasil budidaya dapat digunakan sebagai starter penumbuhan pakan alami pada persiapan kolam pendederan atau dapat juga digunakan untuk mensuplai pakan alami dengan cara memasukkan kedalam kolam pendederan secara berkala. Makanan Moina sp di alam terdiri dari fitoplankton, partikel bahan organik, dan wadahteri. Kelebihan dari Moina sp antara lain memiliki nilai gizi yang tinggi dan memiliki ukuran yang sesuai dengan bukaan mulut larva serta dapat dibudidayakan secara massal. Selain itu, penggunaannya sebagai pakan larva pada kegiatan pembenihan relatif aman karena dapat mengurangi resiko terpaparnya penyakit pada ikan. Budidaya Moina sp Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 55 secara massal dilakukan dengan menggunakan Chlorella sp sebagai media. Bahan-bahan pupuk yang digunakan berasal dari bahan organik dan unorganikseperti tepung ikan, tepung kedelai, dedak, urea, dan TSP. Sumber bahan pupuk tersebut dikombinasikan menjadi pupuk untuk persiapan media Chlorella sp dan budidaya Moina sp. II. BAHAN DAN METODA 2.1.1 Persyaratan teknis penerapan teknologi Persyaratan teknis yang harus dipenuhi oleh pembudidaya untuk melakukan teknologi ini yaitu memiliki wadah, sumber air yang cukup, bahan pupuk dan instalasi pendukung lainnya. Wadah yang digunakan dapat berupa wadah semen / wadah kayu bervolume 3.000 liter dengan kedalaman / tinggi air media ±1 meter yang diletakkan pada tempat terbuka / terkena sinar matahari. Sumber air dapat berupa air waduk, rawa atau sumur. Bahan pupuk yang dibutuhkan terdiri dari tepung ikan, tepung kedelai, dedak, urea, TSP dan kapur dolomite sedangkan instalasi pendukung yang digunakan adalah aerator/hiblow (kekuatan HP-150, AC 230V 50 Hz, 125 W), pompa submersible, listrik dan peralatan panen seperti kantong plankton net / serok halus, ember, dll. 2.1.2 Persiapan MediaChlorella sp. Persiapan media Chlorella sp skala massal dilakukan pada volume 3.000 liter. Pada budidaya skala ini dapat dilakukan secara berkesinambungan dengan menggunakan beberapa wadah. Adapun prosedur kerjanyanya adalah sebagai berikut : 1. Memasukkan air sebanyak 2500 liter dimasukkan kedalam wadah budidaya. 2. Memasukkan Inokulan Chlorella sp. sebanyak 500 liter kedalam wadah budidaya sehingga total volume yang terisi adalah 3.000 liter. 3. Memasukkan pupuk yang terdiri dari : 3.000 g urea, 750 g TSP, 300 g tepung ikan, 300 g tepung kedelai, dan 600 g dedak dan 300 g kapur dolomite ke dalam air media. 4. Memberikan aerasi sebanyak 15 titik pada media budidaya. 5. Melakukan budidaya Chlorella sp selama ± 10 hari. 6. Melakukan pemanenan media Chlorella sp dengan kepadatan ± 2x107 cell/ml untuk digunakan sebagai inokulan kedalam 5 wadah budidaya Moina sp dan 1 wadah persiapan media Chlorella sp selanjutnya dengan volume masing-masing sebanyak 500 liter. 7. Melakukan budidaya Chlorella sp selanjutnya dengan mengikuti tahapan budidaya no.1 s.d no. 6 tersebut diatas secara berkesinambungan dengan tetap menjaga tingkat kemurnian Chlorella sp. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 56 Catatan : Untuk melakukan budidaya massal Chlorella sp pertama kali cukup menggunakan inokulan Chlorella sp sebanyak 500 ml. Budidaya Chlorella sp akan membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat dipanen / mencapai puncak kepadatan (± 2-3 minggu dengan kondisi cukup sinar matahari) Untukmenjaga kemurnian Chlorella sp, setiap 2 minggu sekali dilakukan budidaya Chlorella sp dalam wadah dengan menggunakan inokulan yang berasal dari kultur murni Chlorella sp skala laboratorium (optional). 2.1.3 Budidaya Moina sp. Budidaya massal Moina sp dilakukan pada media Chlorella sp volume 3.000 liter. Pada budidaya skala ini dapat dilakukan secara berkesinambungan dengan cara melakukan budidaya dengan menggunakan 5 wadah.Adapun prosedur budidaya massal Moina sp. adalah sebagai berikut : 1. Memasukkan air sebanyak 2500 liter dimasukkan kedalam wadah budidaya. 2. Memasukkan Inokulan Chlorella sp. sebanyak 500 liter kedalam wadah budidaya sehingga total volume yang terisi adalah 3.000 liter. 3. Memasukkan pupuk yang terdiri dari : 300 g tepung ikan, 300 g tepung kedelai, dan 300 g dedak dan 300 g kapur dolomite ke dalam air media. 4. Memasukkan Inokulan Moina sp. sebanyak 200 gram kedalam wadah budidaya. 5. Memberikan aerasi sebanyak 15 titik pada media budidaya. 6. Melakukan budidaya Moina sp. selama 5 – 7 hari. 7. Melakukan pemanenan Moina sp.dengan indikasi antara lain kepadatan Moina sp terlihat melimpah dan warna media budidaya berubah dari hijau menjadi kecokelatan. 8. Melakukan budidaya Moina sp. selanjutnya dengan mengikuti tahapan budidaya no.1 s.d no. 7 tersebut diatas secara berkesinambungan. Catatan : Untuk melakukan budidaya massal Moina sp pertama kali dapat menggunakan sedikit inokulan/bibit. Budidaya Moina sp akan membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat dipanen / mencapai puncak kepadatan. 2.1.4 Pemanenan Moina sp. Pemanenan Moina sp dilakukan dengan menjaring / menyaring Moina sp dengan menggunakan kantong yang terbuat dari planktonet. Teknik panen dengan menjaring Moina sp dilakukan dengan menarik jaring yang terbuat dari plankton net atau kain halus dari salah satu ujung wadah hingga ke ujung wadah yang lain. Setelah penarikan jaring selesai, jaring diangkat dari wadah kemudian dinding kantong jaring disiram dengan air dari bagian luar agar Moina sp. berkumpul di tengah kantong jaring sambil menggulung Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 57 kedua ujung jaring masing-masing ke arah luar. Sedangkan teknik panen dengan menyaring Moina sp dilakukan dengan memasang alat panen berupa kantong plankton net pada bagian outlet wadah budidaya untuk selanjutnya melakukan penyaringan Moina sp. dari air media yang dikeluarkan melalui outlet tersebut. Langkah selanjutnya adalah menyiapkan baskom yang berisi air kemudian memindahkan Moina sp. yang dipanen ke dalam baskom dengan menyaringnya terlebih dahulu dengan serok kasar supaya kotoran yang berupa jentik nyamuk, cacing, dll dapat tersaring. Selanjutnya penyaringan Moina sp. dilakukan kembali dengan serok halus untuk memisahkan Moina sp. dari air dan selanjutnya dapat digunakan sebagai pakan larva ikan. Untuk dapat dilakukan panen Moina sp tiap hari maka digunakan beberapa wadah sebagai tempat budidaya Moina sp dan stok media Chlorella sp. 2.1.5 Pasca Panen Hasil pemanenan Moina sp ini digunakan sebagai pakan ikan dalam bentuk hidup dan beku. Adapun cara pengemasan Moina sp beku adalah dengan mencampur Moina sp dan air dengan perbandingan 1:1 (1 kg Moina sp ditambah dengan 1 liter air) dan mengemas dalam kantong plastik untuk kemudian dibekukan dan disimpan dalam freezer. Penambahan air dalam pengemasan Moina sp beku bertujuan agar Moina sp beku dapat mengapung pada saat pemberian pakan pada larva sehingga pemberian pakan dapat merata. Pengiriman Moina sp beku dapat dilakukan dengan terlebih dahulu membungkus Moina sp beku dengan koran kemudian mengemas di dalam sterofoam. Moina sp beku masih dalam keadaan baik sampai dengan 18 jam perjalanan pengiriman. Sedangkan untuk Moina sp hidup hanya dapat dikemas (dalam kantong packing beroksigen) dengan kepadatan rendah. Hasil Panen Moina sp dengan media 3000 liter berkisar antara 800 gram s.d 3.500 gram dengan jumlah panen yang sering diperoleh sebanyak 2000 gram. Hasil produksi Moina sp beku di BPBAT Jambi sudah didistribusikan ke beberapa wilayah di propinsi Jambi dan Riau. Berikut adalah grafik fluktuasi panen Moina sp : Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 58 2.1.6 Keunggulan Teknologi Budidaya Moina sp Dengan Media Chlorella sp dan Produk Pasca Panennya a) Memproduksi Moina sp secara massal dan berkelanjutan dengan produk pasca panen berupa Moina sp hidup dan beku. b) Produk pasca panen Moina sp hidup (kadar protein ± 55 %) dapat digunakan untuk paqkan larva ikan di hatchery dan suplay pakan alami pada kegiatan pendederan ikan di kolam c) Produk pasca panen beku dapat digunakan sebagai pakan larva ikan pengganti cacing tubifex serta dapat disimpan dalam jangka waktu lama (2-3 bulan) dengan kadar protein ± 47 %. d) Stabil dalam menjaga pertumbuhan dan perkembangan Moina sp dengan hasil panen 1,7 s.d 2 kg per bak media / siklus (1 siklus : 5-7 hari pemeliharaan). e) Formula pupuk pada persiapan media Chlorella sp : Menjaga media Chlorella sp dari kontaminasi jenis zooplankton atau binatang air lainnya serta menjaga kemurnian Chlorella sp. Menjaga ketersediaan media Chlorella sp sepanjang musim. f) Instalasi pendukung berupa 15 titik aerasi (oksigen terlarut ≥ 4 mg/l)dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan Moina sp lebih maksimal. g) Bahan, wadah dan peralatan mudah diperoleh sehingga teknologi ini sangat aplikatif bagi pembudidaya ikan (UPR). h) Membuka peluang segmen usaha baru berdampingan dengan usaha pembenihan ikan. III. PUSTAKA Bachtiar Yusuf dan Tim Lentera, 2003. Menghasilkan Pakan Alami Untuk Ikan Hias. Agromedia Pustaka, Depok, Indonesia. Hara shiro, 2007. Technique of Moina Culture. Lecture Note for Training on Pangasius sp Seed Production Technique at Bati Center Cambodia. September 27-29, 2007. Horvart et al, 1984. Special Methods in Pond Fish Husbandry. Akademiai Kiado, Budapest. Halver Corporation, Seattle USA. Siregar Abbas, 1995. Pakan Ikan Alami. Kanisius. Yogyakarta, Indonesia. Hamid, M.A, 2009. Budidaya Moina sp dengan Media Chlorella sp. Makalah disampaikan pada World Ocean Conference Manado, Tanggal 11 – 15 Mei 2009. 14 Hlmn Rottman, et al, 2003. Techniques culture of Moina. IFAs Florida. 8 Hlmn Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 59 FEED FORMULATION FOR GONAD MATURATION OF STRIPED CATFISH BROODSTOCK (Pangasianodonhyphopthalmus) Rianasari, Irwan, Ediwarman, A.N.Shulikin, Solaiman Sungai Gelam Freshwater Aquaculture Development Center Email: [email protected] ABSTRACT The aim of this research is to increase reproductive potential of striped catfish female including the gonad rematuration, gonad somatic index, fecundity, egg diameter and hatching rate. Fish were treated by formulated feeds and control feeds (commercial feeds contained 30% protein). Feeds were formulated using local feedstuff such as fish meal, shrimp meal,rice bran, copra meal, vitamin mix, vitamin E, vitamin C, corn oil, pytase enzyme and tapioca as binder. It contained 37,57% protein, 7,38% lipid, 10,35% crude fiber, 24,28% ash, and 14.32% moisture. Fifty female (average weight ±2,5 kg/fish)and twenty male broodstock were selected in the pond and used for this experiment. Fish were fed on formulated feeds two times a day with feeding rate 3% of biomass and spawned per month. The tested parameters such as gonad somatic index, fecundity, egg diameter, number of spawned fish and hatching rate. Results of the experiment indicated that formulated feeds stimulated gonad development and increased number of spawned fish, gonad somatic index 14,90%, fecundity 488.869 eggs/female and hatching rate 59,73%. But the egg diameter did not different between treatment. As for control treatment the value of gonad somatic index, fecundity and hatching rate was 11,62%, 400.500 eggs/female and 40,4%, respectively. Thus,formulated feedswas low cost (Rp.9.000/kg) and gave the best reproduction performance during in dry season. Table 1. Composition of formulated feeds experimented Ingredients Amount (%) Fish meal 54 Shrimp meal 15 Copra meal 15 Rice bran 12 Vitamin mix 1,5 Vitamin E 0,05 Vitamin C 0,05 Pytase enzyme 0,05 Tapioca 1,2 Corn oil 1,15 Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 60 Table 2.Number of spawned fish, Value of Egg diameter, GSI, Fecundity and Hatching rate in the control and formulated feed Parameter Formulated Feed Control Feed Number of spawned fish (5 times selection) 59 53 Egg diameter (mm) 1,026 1,007 Gonad somatic index (%) 14,90 11,62 Fecundity (eggs/female) 488.869 400.500 59,73 40,4 Hatching rate (%) Keywords: Striped catfish, Formulated Feed, Gonad Maturation FEED FORMULATION FOR GONAD MATURATION OF STRIPED CATFISH BROODSTOCK (Pangasianodonhyphopthalmus) I. INTRODUCTION Striped Catfish (Pangasianodonhypophthalmus) is one of freshwater fish that haseconomic value. It is widely cultivated in the waters of the island of Sumatra, Java and Kalimantan. Seed production of Striped catfish by induce breeding method has been carried out by farmers but the results are not satisfied yet. It is caused bydifficulty of getting mature gonad broodstocks and the low hatchability of eggs. This is closely related to the quality of feed (Watanabe et al. 1984a, b; and Mokoginta et al. 2000). Usually, striped catfishbroodstocksarefedby commercial feed which is not specially made in accordance withnutritional requirements of reproduction. Protein level for reproduction often approach or exceed 40% crude protein, while grow-out diets may contain as little as 25-30%. Elements of nutrients that must be available in broodstocks feed, including vitamin E and fatty acids. The types of catfish requirement of vitamin E ranged from 60-240 mg / kg of feed (Gatlin et al (1992)). Vitamin E can accelerate the achievement of mature gonads time and increase the number of eggs (Izquierdo et al., 2001). Meinelt et al (1999) showed that freshwater fishesneed fatty acids linoleic (ω6) greater than the supply ω3 fatty acids. Essential fatty acids serve as a precursor of prostaglandin compounds which act as hormones. If the eggs are deficiency of essential fatty acid then embryogenesis process will failed and generate a low degree of hatching eggs (Mokoginta et al (1992)). It is therefore important to improve the performance of reproduction by developing quality of feed nutrients. It utilizes the local feed stuffs in order to reduce cost production so the farmers can make their own fish feed. The aimsof this research isto Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 61 determine the effect of feed formulations to gonad maturation and egg quality of striped catfish (Pangasianodonhypophthalmus). 2. MATERIALS AND METHODS 2.1 Feed Treatment Experimented diet was formulated feed in the form of pellet. It consists of fish meal, shrimp meal, rice bran, copra meal, corn oil, vitamin mix, vitamin E, vitamin C, enzymepytase and tapioca as binder. While control diet is commercial feed for fish growout with protein content of 30%. Table 1. Composition of formulated feedsexperimented No 1 2 2 4 5 8 9 10 11 12 Ingredients Fish meal Shrimp meal Rice bran Copra meal Tapioca Flour Corn Oil Vitamin mix Vitamin E Vitamin C Pytase Total* Total Ingredients (kg) 675 173,53 131,64 171,88 12 11,5 15.00 0.50 0.50 0.50 1,192 Level (%) 54 15 12 15 1,2 1,15 1,5 0.05 0.04 0.04 100.00 2.2 Broodstock Adult female and male of striped catfish were obtainedfrom a generation of superior broodstock BPBAT Sungai Gelam age ± 2.5 years old and body weight between 2.926 to 3.126 kg /. Striped catfish broodstockswere stockedwith 50 females and 20 males in pond (150m2). 2.3 FishMaintenance Experiment conducted on Pangasianodonhypophthalmus gonad maturity with two groups. First group were fed on commercial feed for fish grow-out with protein content of 30%. Group two were fed on formulated feed. Feed given as much as 3% of the weight of the biomass with a frequency 2 times/day. First selection was conducted after 2 months of feeding. Striped catfish was spawned with ovaprim stimulation at a dose 0,5 ml/kg body weight. 1/3 dose on first injection and 2/3 of the dose in the second injection at 6-hour intervals. After 6 hours from the second Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 62 injection at a temperature 27-31°C, the broodstock was checked to determine if it was ready to be ovulated by striping. Sperm of male was taken and added by sodium chloride 0.9% solution.Fertilization was conducted by mixing eggs and sperms, then stirred slowly using chicken feathers and add fresh water while stirring. To eliminate the adhesiveness, the fertilized egg was washed with a solution of red soil and washed with clean water, then subsequently hatched in hatcheries funnel with a density of 500 cc / funnel. Sampling conducted on body weight and eggs.Eggs sample were collected from each treatment to measure the diameter of egg. 2.4 Data Collection Oocytdiameter were takenfrom females bycannulation. Kanulator inserted into female genital as deep as ± 10 cm and then pulled slowly along ± 3-5 cm. The eggs were taken (at least 100 eggs) and soaked with a Serra’ssolution. Egg diameter was measured using a microscope equipped with amicrometer ocular at 40X magnification. Egg somatic index (ESI) was obtained by comparing the number of ovulated eggs (gram) with fish body weight (kg). Data hatching eggs was obtained by counting the number of larvae divided by the number of eggs. It carried out 5-10 hours after the eggs hatch or within an interval of 2428 hours after fertilization at a temperature range of 28-30 °C. The water temperature, dissolved oxygen (DO), and pH levels of water in ponds were regularly monitored. III. RESULTS 3.1 Biochemical composition of fish feed ingredients Biochemical composition of fish feed ingredients (% in dry weight basis) was given in Table 2. Table 2. Biochemical composition of fish feed ingredients. Crude Crude Ash CrudeProt Lipid Fiber N Moistur (%) ein(%) Ingredients (%) (%) o e (%) 1. 2. 3. 4. 5. 6. Trash fish 8.02 31.43 44.89 5.12 1.06 Shrimp meal 12.71 29.19 54.06 4.40 8.05 Trash meal 13.56 30.76 51.19 3.50 7.59 Copra meal 12.73 8.06 20.17 12.73 16.38 PKM meal 7.44 4.59 15.89 6.89 20.38 Rice bran 8.84 14.58 8.39 3.92 31.46 The moisture content of fish feed ingredients is the highest (13,56%) in shrimpcrab mix meal and the least (7,44%) in PKM meal. The crude protein of fish feed ingredients is the highest (54,06%) in shrimpmeal and the least (8,39%) in rice bran.The crude lipid of fish feed ingredients is the highest (12,73%) in copra meal and the least Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 63 (3.92%) in rice bran. The ash content of fish feed ingredients is the highest (31,43%) in trash fish and the least (4.59%) in PKM meal.Out of six ingredients, copra meal (12.73%) or PKM meal (6.89%) were used as the source of lipid. Trash fish (44.89%), flour shrimp (54.06%) and trash meal (51.19%) were used as protein source.Rice bran was used as the source of carbohydrate.Fatty acids wasobtained from corn oil while tapioca flour as an adhesive (binder). 3.2 Biochemical composition of control and formulated feeds experimented Table 3.Biochemicalcomposition of formulated and control feed Moisture (%) Ash (%) Crude protein (%) Crude lipid (%) Crude fiber (%) Formulated feed 12,10 24,28 37,57 7,38 6,07 Control feed 11,15 9,33 30 6,69 5 Biochemical composition of control and formulated feeds experimented (% in dry weight basis) is given in Table 3. The crude protein of formulated feed was 37.57%. This is in accordance with SNI 7548: 2009that the minimum protein level for broodstock was 35%. Protein is an essential component needed for reproduction and major components of the egg yolk (Kamler, 1992). Commercial feed contains only 30% crude protein. Deficiencyamount of protein was less suitable for reproduction of freshwater fish.Lipidcontent informulated feed (7,38%)was in accordance with SNI required a minimum of 7% lipid. Lipid and essential fatty acid was one nutrient determinant in the development of gonad maturity in order to increase the quality of eggs (Watanabe et al., 1988). According to Meinelt et al. (1999) freshwater fish required a greater ω6 (linoleat fatty acid). Crude fiber content in formulated feed was 6.07% while the commercial diet (control) was 5%. It was compliant with SNI levels of up to 8% fiber. But formulatedfeed’s ash content was still high at 24.56% while commercial diet (control) was only 9.33%. It is hard to qualify the SNI maximum level ash content of 12%. This was caused by the use of shrimp meal /trashshrimp-crab meal which still had a shell (skin).Phytase enzyme was addedin feed formulated. Phytate found in many legumes (legumes, nuts and seeds). Phytate composed 1-2% weight of cereals and oil-yielding. Anti-nutritional substances are compounds that when provided either directly or indirectly to organism in a certain amount could lead to metabolic disorders and / or unavailability of a nutrient for the body. Phytatewas antimineral because of the presence of phytate, the minerals essential could not be digested and absorbed. Phytic acidbinded to metal ions eg Zn 2+, Cu 2+, Mn 2+, Mg 2+, Fe3 + and Ca2 +. Metal ions could not be digested or absorbed. Phytic acid showed rakhitogenik(bone disease caused by the lacks of calcium) and binded to the mineral form insoluble salts. Phytase enzyme activity optimum at pH 5.0 to 5.2 a temperature of 50-52 ° C (Astuti, 2014). In addition to the enzyme phytase, vitamin E was Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 64 also added to formulatedfeed. One function of vitamin E was an antioxidant that prevent the oxidation of lipid (Halver (1989) in Yulfiperius et al (2003)). The higher levels of vitamin E in the diet of broodstock would be followed by the higher content of vitamin E in eggs. Furthermore, increased levels of vitamin E in eggs will be followed by an increase in fat content in eggs. According to Kamler (1992) in Yulfiperius et al (2003) lipid was deposited in the eggs and served as a source of energy and controlling the buoyancy of eggs, embryos and larvae. Lipid was a major source of energy during embryogenesis. 3.3 Productivity of striped catfish broodstock In the first selection of August, the number of spawned broodstock on the treatment of formulatedfeed as many as 42 females (87.5%), September 33 females (70.2%), October 40 females (86.95%), November 41 females (85.41 %) and December 35 females(74.46%). While the number of spawned broodstock on control feed in August 41 females (91.1%), September 26 females (59%), October 7 females (14.89%), November 38 females (79.16%) and December 37 females (82.22%). Overall the amount of spawned broodstock on the treatment of formulated feed was 191 females whereas the control diet was 149 females and the average of percentage spawned broodstockobtained was 80.90% (formulated feed) and 65.27% (control feed). Graph the number of spawned broodstockbetween formulated and control feed was given in Figure 1. Figure 1 . Graph the number of spawned broodstock between formulated and control feed. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 65 Figure 2.Graph the number of matured broodstock between formulated and control feed. According to Hamid et al (2009) an easy way to assess the maturity of gonad broodstock was checking the conditions of the abdomen. It was divided into three categories: a. Category 1 or 0: abdominal fat or a little fat, indicating the volume of eggs is still small. The abdomen was not mushy, rather hard and genital was not blushed. Category 1 was not selected for spawning. b. Category 2: abdominal fat, egg volume quite a lot. The abdomen was mushy when it was pressed, the curve would not quickly returned into shape. Genital was a little red. This second category can be selected for spawning, when broodstockcan not be found in the category 3. c. Categories 3: Abdominal fat at all, the volume of eggs aplenty. The abdomen was mushy, when it was pressed,the curve would quickly returned into shape, genital was red. The amount of the matured broodstock (category 3) of formulated feed as many as 59 individuals (33.01%), while 53 control diet (35.42%). Total spawned broodstockby induced breeding method can be seen in Figure 3. In the treatment of formulatedfeed, the number of injected female as much as 5 females in August, in 7 females September, 6 females in October, 5 females November and 9 females December. While the number of induced female in the control diet in August as many as 3 females, 3 females in September,2 females in October, 5 females in November and 6 females in December. In August,there were three females did not ovulated on Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 66 formulated feed treatment (out of 5 induced females) and 6 females in October.Ovulation was affected by hormone and environment. Overall percentage of ovulated broodstock in the treatment of formulated feed 71.87% while control feed 100%. Total ovulated broodstocks can be seen in Figure 4. But the percentage of the hatched eggs females in the treatment formulated feed at 100% while in control feed 89.47%. One of the factors that could cause the eggs did not hatch was deficiency the essential fatty acid. Essential fatty acids serve as a precursor of prostaglandin compounds which act as hormones. If the eggs less of essential fatty acid the embryogenesis will fail (on cell division and organogenesis 16-32) and will generate a low degree of hatching eggs (Mokoginta et al (1992) in Utomo (2013)).Total hatched eggs females can be seen in Figure 5. Figure 3.Graph the number of induced females between formulated and controlfeed Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 67 Figure 4.Graph the number of ovulated females betweenformulated and controlfeed Figure 5.Graph the number of hatched eggs females between formulated and control feed Table 4.Comparison Productivity of Broodstock In Treatment formulated and Control Feed Parameter Formulated Feed Control Feed Induced females 32 19 71,87 100 100 89,47 Eggs Diameter (mm) 1,026 1,007 ESI (%) 14,90 11,62 148.200 113.173 HR (%) 59,73 40,4 Number of produced larvae /kg BW (ekor) 89,932 47,741 Ovulation rate (%) Hatched eggs females (%) Fecundity (eggs/kg) There weresignificant difference in productivity of broodstock in treatment of Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 68 formulated feed and control feed. Eggs diameter on formulated feed was 1,026 mm while the control diet only 1,007 mm. The ESI of formulated feed was 14.90% while the control diet 11.62%. Fecundity on treatment formulated feed 148 200 eggs / kg while control feed 113 173 eggs / kg broodstock. The number of produced larvae / kg onformulated feed was 89.932 while the control feed 47.741. The average hatchability onformulated feed was 59.73%, while the control diet was 40.4%. Production of striped catfish larvae feed on formulated feed as much as 6,821,752 individuals (23 females) and control diet 2,702,545 individuals (16females). The experimental results indicated formulated feed gave significant effect on gonadal maturation and egg quality of striped catfish broodstock. Formulated feed was expected to overcome the problems of the difficulty of getting the mature gonads and the low hatchability of eggs as one way to gain optimal catfish breeding byby improving the quality of feed nutrients. IV. CONCLUSIONS 1. Formulated feed is performed to repair quality of broodstock feed nutrients. 2. Productivity of striped catfish broodstock in treatment formulated feed is higher than control feed. 3. Formulated feed can overcome the problems of limited matured gonads and the low quality of eggs with low cost. REFERENCES Astuti, Ari Tri. 2014. Makanan dan Analisa Zat Gizi. www.slideshare.net/liciastreiz/zatanti-gizi-30376932. Tanggal diakses 23 Oktober 2015 Hamid ,M.A et al.2009. ANALISA EFEKTIVITAS MANAGEMEN INDUK DAN PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM (Pangasianodonhypophthalmus) DI BBAT JAMBI.JurnalAkuakulturIndonesia, 8(1): 29-35 Izquierdo, M.S., H. Fernandez-Palacios, A.G.J. Tacon. 2001. Effect of broodstock nutrition on reproductive performance of fish. Aquaculture, 197: 25 - 42. Mayunar. 2000. Aplikasihormon Human Chorionic Gonadotropin (HCG) padapemijahanikankakapputih, Latescalcarifer. Prosisiding Seminar NasionalPerikananPenangkapandanBudidayaPerairan.Hal.124-133. Mokoginta, I., D.S. Moeljohardjo, T. Takeuchi, K. Sumawidjayadan D. Fardiaz. 1995. Kebutuhanasamlemakesenssialuntukperkembanganindukikanlele, Clariasbatrachus, Linn. J. Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. III (2) : 4150. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 69 Mokoginta, I., D. Jusadi, M. Setiawati, T. Takeuchi and M.A. Suprayudi.2000. The effect of different levels of dietary n-3 fatty acid on the eggs quality of catfish (Pangasianodonhypophthalmus). JSPS-DGHE.International Symposium, Sustainable Fisheries in Asia in the New Millenium.p : 252 - 256. Rahayuni, E. Dkk. 2013.ProduksiBenihHibridadanCalonIndukPatin (Pangasianodonhypophthalmus).LaporanTahunanBalaiPerikananBudidaya Tawar Jambi.Hal. 13 – 31. Siam Air Sukendi. 2005. PengaruhkombinasipenyuntikanhCGdanekstrakkelenjerhipofisaikan mas (Cyprinuscarpio L) terhadapdayarangsangovulasidankualitastelurikanbaung (Mystusnemurus CV). JurnalPerikanandanKelautan 10, 2 (2005) : 75-81. Utomo, BambangPriyo. 2013. PeningkatanMutuReproduksiIkan TawarMelaluiPerbaikanNutrisiPakanInduk. SEAMEO BIOTROP-Bogor Air Watanabe, T.A, T. Arakawa, C. Kitajima and S. Fujita. 1984a. Effect of nutritional quality of broodstock diets on reproduction of red sea bream. Nippon Suisan Gakkaishi 50(3):495-501. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 70 Evaluasi kombinasi mikrobial flok dan mikroalga Spirulina platensis Dalampakan juvenil cobia (Rachycentron canadum)terhadap kinerja pertumbuhan dan respons fisiologis berupa perendaman air tawar Suryadi Saputra1. Muhammad Agus Suprayudi2. Enang Harris2. Mia Setiawati2. Widanarni2. Suciantoro1 1 Main Center for Marine Aquaculture, Lampung. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasikombinasimikrobial flok dan mikroalga Spirulina platensis (MFMS)dalampakanjuvenil cobia terhadapkinerjapertumbuhandanrespons stress setelahdiberikanperlakuanperendaman air tawarselama 15 menitdenganaerasi. Ikandipeliharadalambakbetonselama 40 harikemudiandiambil data kinerjapertumbuhannya. Selanjutnyasetelahdiaklimatisasiselamaseminggu, ikandirendamdalam air tawar. Data responsfisiologismelalui pengukuran kadar glukosa dan kortisol. Sebelum diberi perlakuan (0 jam) dan setelah 1, 2, 4, 6, 24 jam. Ikan yang diberikanpakan MFMS 15% menunjukkanpertumbuhan yang lebihcepatdengankonversipakan yang lebihrendahdibandingkontroldanperlakuanlainnya. Hasil pengukuranterhadapkadarkortisolsetelah 1 jam, diperolehbahwaikan yang diberikanpakan MFMS 15 dan 30% tidakmengalamipeningkatankortisol, hasil yang berbedadengankontrol. Kadar glukosamengalamikecenderunganmeningkatmulaidari jam ke-1 dantertinggipada jam ke-2 kemudiankembalimenurunpada jam ke-4 hinggaterjadikeseimbanganfisiologis di jam ke-6 padasemuaperlakuan. Dengandemikianikan yang diberikanpakan MFMS 15 dan 30% tidakmengalami stress setelahdiberikanperlakuanperendaman air tawar. Key words:mikrobial, mikroalga, Spirulina, glukosa, kortisol, stres, cobia 1. Pendahuluan Cobia (Rachycentron canadum) merupakan salah satu kandidat ikan laut yang menarik untuk dibudidayakan dalam industri akuakultur dunia (Kaiser and Holt 2005 ; Liao et al. 2004), hal ini dikarenakan pertumbuhan yang cepat dan efisien konversi pakan (Zhou et al. 2011), kualitas daging yang baik dan ketersediaannya yang terbatas di alam (Kaiser and Holt 2005), namun demikian, juvenil cobia seperti hal ikan lainnya, merupakan ikan yang sensitif terhadap kegiatan budidaya.Aktivitas akuakultur yang menyebabkan ikan stres antara lain :padat tebar tinggi, perubahan suhu, salinitas, oksigen terlarut dan perendaman air tawar pada ikan laut. Dalam budidaya ikan laut, aktivitas perendaman dalam air tawar pada ikan laut merupakan salah satu kegiatan rutin yang dilakukan, dengan tujuan untuk melepaskan ektoparasit yang menempel pada seluruh tubuh ikan selama 10-30 menit.Hal ini akan mempengaruhi keseimbangan kadar air dan garam dalam tubuh ikan, keseimbangan ini Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 71 berkaitan dengan proses osmoregulasi. Bila keseimbangan tekanan osmosis tidak diatur maka ikan laut akan mengalami dehidrasi (Wedemeyer 1996). Perubahan salinitas yang drastis akibat perendaman mengakibatkan perubahan pola osmoregulasi pada ikan sehingga ikan menjadi stres (Fujaya 2004). Keberhasilan mengatasi stres akibat tekanan osmosis tergantung pada kemampuan ikan mereorganisasi energi substansial dalam periode waktu yang relatif pendek (Tseng and Hwang 2008). Kemampuan ikan dalam menghadapi stres fisiologis, tidak terlepas dari bahan baku penyusun pakan yang digunakan, sehingga energi yang dipasok dari pakan digunakan untuk pertumbuhan sebagian untuk pemulihan dari stres dan kesehatan ikan. Mikrobial flok merupakan bahan baku pakan yang terbaharukan dan dihasilkan dari konversi nitrogen anorganik terutama amoniak oleh bakteri heterotrof menjadi biomassa mikroba yang mengandung nutrien protein19-58%, lemak2-39%, karbohidrat 27-59%, abu 2-17% dan vitamin C (Crab et al. 2010 ; Crab et al. 2009 ; Crab 2010). Penelitian secara in situ menunjukkan bahwa mikrobial flok dapat meningkatkan pertumbuhan udang dan ikan nila (De Schryver et al. 2008). Sedangkan Mikroalga merupakan pakan alami yang telah lama digunakan untuk larva udang dan ikan. Spirulina platensis merupakan salah satu mikroalga penting untuk pertumbuhan dan perkembangan larva ikan. S.platensis mengandung nutrien antara lain protein sebesar 60-70%, lemak 4-7%, karbohidrat 13.6%, provitamin A, β karoten dan pigmen antioksidan seperti karatenoid dan fikosianin (Carrieri et al. 2010). Hasil penelitian menunjukkan S.platensis dimanfaatkan sebagai suplement dalam pakan ikan dan udang (Silva-Neto et al. 2012), substitusi tepung ikan hingga 40% pada ikan nila (Olivera-Novoa et al. 1998), substitusi hingga 75% tanpa memberikan efek negatif terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan pada udang (Macias-Sancho et al. 2014). Kombinasi mikrobial flok dan mikroalga Spirulina platensis (MFMS) yang terkandung dalam pakan formulasi diharapkan dapat memberikan dampak yang positif terhadap pertumbuhan dan kesehatan ikan. Kuhn et al. (2009) mengatakan bahwa Mikrobial flok dapat dikatakan sebagai probiotik dan dapat meningkatkan pertumbuhan pada udang. Moreira et al. (2011) menyatakan Spirulina mengandung fikosianin, vitamin A dan E, fenolik dan asam lemak yang sangat penting untuk aktivitas fisiologis. Informasi pemanfaatan tepung mikrobial flok dan mikroalga S.platensisuntuk mengurangi atau menggantikan tepung ikan dan tepung kedelai dalam pakan ikan laut, masih sedikit sehingga dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengevaluasi kombinasi mikrobial flok dan mikroalga S.platensisdalam pakan juvenil cobia terhadap kinerja pertumbuhan dan respons stres perendaman air tawar. 2. Bahan dan Metode Penelitian ini dilaksanakan bulan Desember 2014 sampai Januari 2015 yang bertempat di Laboratorium Basah Balai Besar Perikanan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung. Analisis proksimat dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ikan dan Kesehatan Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor sedangkan analisis kadar kortisol dan glukosa dilakukan di Laboratorium Isotop/Radioaktif Balai Penelitian Ternak Bogor Pakan yang digunakan dalam penelitian ini berupa pellet kering. Pakan uji yang diberikan memiliki kandungan energi yang hampir sama (isoenergi) dan kadar protein Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 72 yang hampir sama. Perbedaan pada pakan uji adalah kandungan protein yang berasal dari sumbangan protein tepung mikrobial flok dan mikroalga Spirulina platensis (MFMS).Rasio dari kombinasi kedua tepung tersebut yaitu mikrobial flok 75% dan S.platensis 25%.Perlakuan pakan pada penelitian ini, yaitu: 0% (tanpa mendapat sumbangan protein dari MFMS), 15%, 30% dan 45% MFMS. Komposisi hasil analisis proksimat pakan uji disajikan pada Tabel 1. Juvenil ikan cobia yang digunakan berasal pembenihan dariMain Centre for Mariculture (BBPBL) Lampung, Indonesiadengan bobot tubuh awal 41.4±0.06g sebanyak 180 ekor. Ikan dipelihara pada waring (ukuran 100 x 100 x 150 cm) dalam bak beton (ukuran 200 x 200 x 200 cm) dengan kepadatan 15 ekor/waring selama 40 hari. Aerasi dan inlet diatur homogen disemua waring dan sirkulasi air dengan sistem terbuka dengan pergantian air sebanyak 100% setiap hari. Sebelum perlakuan, ikan diaklimatisasi selama 7 hari. Setelah itu, ikan dipuasakan terlebih dahulu selama 24 jam dengan tujuan menghilangkan sisa pakan dalam saluran pencernaan. Pemberian pakan dilakukan secara at satiation dengan frekuensi dua kali sehari pada pukul 08.00 dan 14.00 WIB. Untuk mempertahankan kualitas air, setiap hari dilakukan penyiponan dua kali sehari setelah satu jam ikan diberi pakan. Table 1. Proximate analysis of experimental diets Ingredients Fish meal Mixed microbial floc and S.platensis meal Soybean meal Meat and bone meal Wheat meal Tapioca meal Squid oil Vitamins premix Attractant Puremethyl cellulose Proximate composition Crude Protein Crude fat Ash Crude fiber Nitrogen free extract Energy (kcal/kg dry matter) C/P 0 18.4 MFMS (%) 15 30 18.1 16.2 45 15.9 0.0 14.8 28.8 44.8 53.6 13.5 2.0 3.0 2.5 3.0 2.0 2.0 35.3 13.5 2.0 3.0 6.3 3.0 2.0 2.0 21.0 13.5 2.0 3.0 8.5 3.0 2.0 2.0 1.1 13.5 2.0 3.0 12.7 3.0 2.0 2.0 36.95 6.26 13.70 2.57 40.52 430.02 11.64 38.65 10.82 15.10 1.25 34.18 454.99 11.77 38.18 12.38 15.52 2.13 31.79 456.79 11.96 38.15 17.03 18.34 1.22 25.25 472.15 12.38 Pemeliharaan ikan cobia lanjutan untuk mengetahui respons stres, sisa ikan dimasukan dalam bak beton (ukuran 200 x 200 x 200 cm) sebanyak 4 buah dan masingmasing bak dimasukan ikan sebanyak 30 ekor. Setelah diaklimatisasi selama seminggu Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 73 dengan asumsi ikan sudah kembali normal, ikan diberi perlakuan stres dengan dilakukan perendaman dalam air tawar yang diberi aerasi selama 15 menit dan kemudian ikan dikembalikan ke dalam bak Untuk mengetahui kinerja pertumbuhan juvenil cobia, maka dilakukan sampling seminggu sekali dengan mengukur bobot tubuh ikan uji. Setiap hari dilakukan pencatatan pemberian pakan untuk mengetahui jumlah konsumsi pakan. Setelah pemeliharaan berakhir, dilakukan penimbangan bobot tubuh akhir. Untuk mengetahui respons stres juvenil cobia, maka dilakukan sampling dengan mengambil 3 ekor ikan pada masing-masing perlakuan untuk diambil darahnya. Pengambilan darah juvenil cobia dilakukan pada sebelum perendaman dan setelah 1 jam, 2 jam, 4 jam, 6 jam dan 24 jam perendaman dengan waktu pengambilan masingmasing sekitar 1 menit dan ikan tidak dikembalikan lagi ke dalam bak perlakuan. Sampel darah diambil dengan menggunakan needle 23G dan shyrink 1 mL pada pembuluh darah ekor dan darah yang diambil sebanyak kira-kira 1 mL dan langsung dimasukan dalam coolbox agar tidak terjadi pembekuan darah. Darah juvenil cobia yang telah terkumpul, kemudian disentrifuse selama 5 menit dengan suhu 4 oC agar terpisah antara sel darah dan serumnya. Serum disedot dengan menggunakan mikropipet (0.1-100 mL) dan dimasukan dalam mikrotube 1 mL dan kemudian dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. Parameter uji untuk kinerja pertumbuhan yaitu : tingkat kelangsungan hidup (SR) = (jumlah akhir ikan / jumlah awal ikan) x 100% ; Berat total (WG%) = 100 x (berat total akhir ikan– berat total awal ikan) x (berat total awal ikan)-1; Laju pertumbuhan harian (SGR) = {[(rerata bobot akhir – rerata bobot awal) x (hari)-1] -1 }x 100% ;Konversi pakan (FCR) = (pakan.g) x (berat tubuh ikan.g)-1. Metode yang digunakan untuk analisis nutrienpakanmengikuti prosedur AOAC (1995) yaitu untuk analisis proksimat kadar air dilakukan dengan metode Gravimetric, kadar protein dengan metode Kjeldhal, kadar lemak dengan metode Soxhlet, kadar abu dengan metode Gravimetric dan serat kasar dengan metode Vansus. Sedangkan analisis kortisol dan glukosa dengan metode Radioimmunoassay (RIA). Rancanganpercobaan pada penelitian ini menggunakan RAL dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan dianalisis menggunakan ANOVA dan uji lanjut menggunakan Uji Tukey dengan selang kepercayaan 95%. 3. Hasil Pemberian pakan kombinasi tepung mikrobial flok dan mikroalga S.platensis (MFMS) pada juvenil cobia selama 40 hari tidak mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup. Namun ikan yang diberikan pakan MFMS 15% menunjukan kinerja pertumbuhan yang lebih cepat (berat akhir, berat badan dan pertumbuhan spesifik harian) dibanding kontrol (0%) dengan konversi pakan yang tidak berbeda dengan kontrol. Sebaliknya cobia yang mengkonsumsi pakan MFMS 45%, ikan mengalami pertumbuhan yang lambat (berat akhir, berat badan, dan pertumbuhan spesifik harian) dengan konversi pakan yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 2). Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 74 Table 2. Growth performanceof juvenile cobia fed with MFMS during 40 days rearing period. MFMS (%) 0 15 30 45 41,38± 41,37 41,44± 41,43 Initial weight(g) 0,1 ±0,07 0,1 ±0,04 111,66 125,4 104,43 87,00 Final weight (g) ±6,9ᵃ 3±1,7ᵇ ±5,6ᵃ ±3,1ᶜ 169.83 203.2 151.90 109.9 Weight gain (%) ±16.2ᵃ 1±4.4ᵇ ±13.1ᵃ 9±7.3ᶜ Survival rate (%) 100 100 100 100 Specificgrowth 2.51±0. 2.81± 2.33±0 1.87± rate (%/day) 2ᵃ 0.04ᵇ .1ᵃ 0.1ᶜ Feedconvertion 2.02±0. 1.93± 2.40±0 2.98± ratio 1ᵃ 0.2ᵃ .2ᵇ 0.2ᶜ Data expressed as mean ± SD (n = 3) Value in the same line with different superscript letters are significantly different (P<0.05) Hasil pengukuran serum darah juvenil cobia yang diberi pakan berbeda, setelah dilakukan perendaman dalam air tawar yang diberi aerasi selama 15 menit, diperoleh hasil yang berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberikan pakan MFMS memberikan pengaruh yang berbeda terhadap respons stres juvenil cobia (Gambar 1 dan 2). Hasil pengukuran kadar kortisol juvenil cobia diperoleh bahwa ikan yang diberikan pakan MFMS `15 dan 30% kadar kortisolnya menurun di jam ke 1 dan kembali normal di jam ke 2, sedangkan ikan kontrol meningkat hingga pada puncaknya pada jam ke 1 dan kembali normal pada jam ke 2. Hal yang berbeda ditemukan pada perlakuan pakan MFMS 45%, ikan yang diberi pakan tersebut mengalami peningkatan kortisol pada jam ke 1, kemudian turun dan puncaknya pada jam ke 4. Semua perlakuan menunjukkan kondisi normal pada jam ke 6 (Gambar 1). Parameter Figure1. Time course of cortisol responses of juvenile cobia fed with MFMS following experimental immersion of the fish in fresh water Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 75 Hasil analisis kadar glukosa serum darah juvenil cobia pada Gambar 2, memperlihatkan tren yang meningkat setelah direndam pada semua perlakuan, puncaknya pada jam ke 2 dan menurun kembali normal setelah jam ke 6 hingga jam ke 24. Namun nilai glukosa tertinggi diperoleh pada juvenil cobia yang diberi pakan MFMS 15%, sebaliknya nilai terrendah ditemukan pada ikan yang diberikan pakan MFMS 45%. Figure2. Table 3. Time course of glucose responses of juvenilecobia fedwith following experimental immersion of the fish in freshwater Haemotological responses of juvenilecobia Pre 1 Cortisol 0 4,69±0,4 (ng/ml) 15 6,21±2,3 30 Glucose (mg/dl) MFMS following Time (Hours) after immersed MFMS (%) Parameter fedwith MFMS 2 4 6 24 12,87±4,2ᵃ 6.60±0.7ᵃ 6.44±0.5 5.21±0.8 4.77±1.0 4.72±1ᵇ 5,61±1,4ᵃᵇ 6,33±1,4 5.27±1.5 5,04±1,6 6.44±0.3 3.81±0.7ᵇ 6.03±1ᵇ 5.60±0.4 5,52±3,1 6.58±0.4 45 4,55±0,4 6,67±1ᵇ 3.38±0.1ᵇ 8,93±3,8 6.00±0.5 6.08±1.5 0 15 30 45 77.32±32,8 75,39±21,2 92,91±15,9 64.61±2.9 110,88±32,5 108.058±20.2 121,73±45,7 79,47±2,5 142,19±42,8 173,38±32,2 144,22±13,9 116,53±34,1 118,57±21,7ᵃ 103,88±8,9ᵃ 85.8±13.5ᵃᵇ 40.82±22.9ᵇ 90,09±18,8ᵃᵇ 103.76±15.9ᵃ 85.117±3.7ᵃᵇ 65.91±6.1ᵇ 84,44±5,6ᵃ 76,19±7,6ᵃ 69,97±9,1ᵃ 59,35±11,8ᵇ experimental immersion of the fish in freshwater Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 76 4. Pembahasan Pemanfaatan sumber protein alternatif yang berasal dari mikrobial flok dan mikroalga Spirulina platensis sebagai suplement maupun substitusi dengan sumber proteien lainnya, sudah dilakukan pada beberapa organisme akuakultur. Crab et al. (2009) memanfaatkan mikrobial flok untuk pakan ikan nila, Kuhn et al. (2009) yang mensubstitusi tepung ikan dan soybean dengan mikrobial flok diperoleh hasil bahwa udang yang diberikan pakan mikrobial flok 7.8% dan 15% menunjukkan hasil lebih baik dan berbeda nyata dengan kontrol. Teimouri et al, (2013) menambahkan tepung mikroalga Spirulina platensis pada pakan rainbow trout dan Macias-Sancho et al. (2014) mensubtitusi tepung ikan hingga 75% tanpa berbeda nyata dibanding kontrol pada udang vanamei dengan memanfaatkan mikroalga Spirulina platensis. Pada penelitian ini, terjadi peningkatan kinerja pertumbuhan pada juvenil cobia yang diberi pakan yang mengandung mikrobial flok dan mikroalga Spirulina platensis (MFMS). Pertumbuhan yang lebih cepat dan berbeda nyata dengan kontrol diperoleh pada ikan yang diberikan pakan MFMS 15%, demikian pula ikan yang diberikan pakan MFMS 30%, namun tidak berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa kombinasi kedua bahan baku tersebut memiliki keseimbangan asam amino yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kinerja pertumbuhan ikan. Hal yang berbeda diperoleh pada ikan yang diberikan pakan MFMS 45%, kinerja pertumbuhannya lambat dan berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini disebabkan kandungan asam amino yang tidak seimbang, terutama asam amino arginin dan lisin yang sangat diperlukan pada ikan muda (juvenil). Degradasi arginin akan mengakibatkan penggunaan lisin meningkat sehingga pertumbuhan menjadi lebih lambat. Lisin dibutuhkan ikan dalam pertumbuhannya, kekurangan asam amino lisin akan mengakibatkan ikan menjadi kehilangan selera makan dan pertumbuhan ikan menjadi lambat pada ikan japanese sea bass (Mai et al. 2006). Respon fisiologis juvenil cobia setelah perendaman dalam air tawar selama 15 menit dengan aerasi, yang ditampilkan pada gambar 1,2 dan tabel 3, menunjukkan bahwa, terjadi fluktuasi kadar kortisol dan glukosa pada serum darah juvenil cobia, hal ini mengindikasikan ikan merespons perubahan lingkungan yang terjadi yaitu akibat perubahan drastis salinitas yang tiba-tiba. Fujaya (2004) mengatakan perubahan salinitas yang drastis akibat perendaman mengakibatkan perubahan pola osmoregulasi pada ikan sehingga ikan menjadi stres dan Tseng and Hwang (2008) mengemukakan bahwa keberhasilan mengatasi stres akibat tekanan osmosis tergantung pada kemampuan ikan mereorganisasi energi substansial dalam periode waktu yang relatif pendek sehingga energi yang dipasok dari pakan untuk pertumbuhan sebagian digunakan untuk pemulihan dari stres. Pada penelitian ini, juvenil cobia yang diberikan pakan MFMS 15 dan 30%, dalam mengatasi stres akibat perubahan tekanan osmosis pada waktu pendek (jam ke-1) dengan menjaga keseimbangan pola osmoregulasinya yaitu dengan menurunkan kadar kortisol diiringi dengan peningkatan kadar glukosa, pada jam ke-2, kadar kortisol meningkat bersamaan peningkatan puncaknya kadar glukosa dalam upaya kembali dalam kondisi homeotasis (Gambar 1&2). Dengan demikian respon ikan yang diberi pakan MFMS 15 dan 30% ini menunjukkan bahwa pakan MFMSmampu mereduksi efek Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 77 negatif stres akibat perendaman. Respon yang serupa diperoleh oleh Hastuti et al. (2004), penambahan 1,5 ppm Cr+3-ragi pada pakan ikan gurame setelah diberikan tekanan suhu, kadar kortisol dan glukosanya rendah. Kemampuan juvenil cobia dalam menekan stres merupakan andil dari pakan MFMS yang mengandung nutrisi berasal dari bakteri mikrobial flok dan mikroalga Spirulina platensis yang pada beberapa penelitian sebelumnya, memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan atau udang yang dibudidayakan. Kuhn et al. (2009) menyatakan bahwa bakteri dan organisme lainnya dalam mikrobial flok yang terbentuk dapat berfungsi sebagai probiotik. Lin et al. (2010) mengemukakan tepung S platensis dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap kesehatan pada ikan dan udang dan Moreira et al. (2011) menjelaskan bahwa S platensis mengandung fikosianin, vitamin A dan E, fenolik dan asam lemak yang secara bersamaan menekan aktifitas fisiologis penting. Sedangkan juvenil cobia yang diberi pakan tanpa mengandung MFMS dan MFMS 45%, kadar kortisol dan kadar glukosa meningkat pada jam ke-1, hal ini menunjukkan ikan mengalami stres akibat tekanan perendaman.Hasil yang sama dilaporkan oleh Trushenski et al. (2010), juvenil cobia pada perlakuan terpapar di udara selama 1 menit dan 0.5 jam pada perlakuan air dangkal selama 15 menit yang diberi aerasi, Costas et al. (2011) pada ikan Senegalese sole yang selama 3 menit dipapar di udara dan Cnaani and Mclean (2009) pada ikan cobia yang terpapar di udara selama 1 menit. Dengan demikian pakan juvenil cobia yang tanpa kandungan MFMS atau MFMS 45% menunjukkan respon fisiologis akibat adanya perlakuan. Respon juvenil cobia kembali dalam kondisi homestasis ditemukan pada jam ke-6, hal yang sama dinyatakan oleh Iwama et al, (2006) bahwa pada kebanyakan ikan kadar kortisol meningkat 1 jam setelah adanya tekanan dan kembali ke level awal setelah 6 jam. Demikian pula hasil yang sama pada ikan cobia diperoleh oleh Cnaani and Mclean (2009) dan Trushenski et al. (2010). 5. Simpulan Juvenil cobia yang diberikan pakan kombinasi mikrobial flok dan mikroalga Spirulina platensis (MFMS) sebesar 15%, memperlihatkan kinerja pertumbuhan yang terbaik. Pakan MFMS dapat diberikan hingga 30%, oleh karena tidak berbeda nyata dengan kontrol dan tanpa memberikan dampak negatif terhadap kinerja pertumbuhan. Juvenil cobia yang diberikan pakan MFMS 15 dan 30% memiliki kemampuan untuk menjaga keseimbangan pola osmoregulasinya setelah direndam air tawar, sehingga ikan tidak mengalami stres. DAFTAR PUSTAKA Cnaani, A., E. McLean. 2009. Time-course response of cobia (Rachycentroncanadum) to acute stress. Aquaculture, 289:140-142. Costas, B., L.E.C. Conceicao, C. Aragao, J.A. Martos, I. Ruiz-Jarabo, J.M. Mancera, A. Afonso. 2011. Physiological responses of Senegalese sole (SoleasenegalensisKaup, 1858) after stress challenge: Effects on non-spesific immune parameters, plasma free amino acids and energy metabolism. Aquaculture, 316:68-76 Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 78 Fujaya, Y. 2004. Fisiologiikan. DasarPengembanganTeknikPerikanan. RinekaCipta, Jakarta. 179p Iwama, G.K., L.O.B. Afonso, M.M. Vijayan. 2006. Stress in fishes. In: Evans D. H. Claiborne J. B. The Physiology of fishes. 319-342. Taylor and Francis. 3rd edition. USA. 601p. Kaiser, J.B. and G.J. Holt. 2005. Species Profile Cobia. SRAC Publication No. 7202. 6 p Kuhn, D.D., G.D. Boardman, A.L. Lawrence, L. Marsh, G.J. Flick, 2009. Microbial flocs generated in bioreactors is a superior replacement ingredient for fishmeal or soybean meal in shrimp feed. Aquaculture, 296:51-57. Liao, I.C., T.S. Huang, W.S. Tsai, C.M. Hsueh, S.L. Chang, E.M. Leano. 2004. Cobia culture in Taiwan: current status and problems. Aquaculture, 237:155-165 Lin, Y.C., C.M. Tayag, C.L. Huang, W.C. Tsui, J.C. Chen. 2010. White shrimp Litopenaeusvannamei that had received the hot-water extract of Spirulinaplatensis showed earlier recovery in immunity and up-regulation of gene expressions after pH stress. Fish Shellfish Immunol., 29:1092-1098. Moreira, L.M., A.S.R. Rocha, C.L.G. Ribeiro, R.S. Rodrigues, L.A.S. Soares. 2011. Nutritional evaluation of single-cell protein produced by Spirulinaplatensis. Afr. J. Food Sci., 5:799-805. Trushenski, J., M. Schwarz, R. Takeuchi, B. Delbos, L.A. Sampaio. 2010. Physiological responses of cobia Rachyecentroncanadum following exposure to low water and air exposure stress challenges. Aquaculture, 307:173-177. Tseng, Y.C., H. Pung-Pung. 2008. Some insights into energy metabolism for osmoregulation in fish. Comp. Biochem. and Physiol. Part C. 148:419-429 Wedemeyer, G.A. 1996. Physiology of Fish in Intensive Culture System. Chapman and Hall. New York. 227p. Zhou, Q.C., J. Zhao, P. Li, H. Wang. L. Wang. 2011. Evaluation of poultry by-product meal in commercial diets for juvenil cobia (Rachycentroncanadum). Aquaculture. 322-323:122-127. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 79 PENGGUNAAN TEPUNG MIKROALGA NANNO POWDER SEBAGAI SUMBER PROTEIN NABATI PADA PAKAN FORMULA IKAN COBIA (Rachycentron canadum) Amran, Edi supriyatna, Kuswadi, Yuwana Puja Balai Besar Perikanan Budidaya Laut ABSTRAK Salah satu kendala dalam pengembangan pakan buatan ikan laut adalah ketergantungan terhadap tepung ikan sebagai sumber protein utama. Hingga saat ini tepung ikan sebagai sumber protein hewani belum tergantikan. Untuk mengurangi ketergantungan tersebut perlu alternatif sumber protein lain selain tepung ikan yaitu protein nabati. Sumber protein nabati dari mikro alga ketersediaanya di alam masih sangat melimpah namun pemanfaatannya belum banyak dilakukan. Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung telah memproduksi secara mandiri tepung mikroalga yang diketahui memiliki kandungan protein tinggi. Hal ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein nabati selain tepung ikan. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan ikan Cobia yang diberi pakan menggunakan sumber protein nabati pada fase pembesaran di Keramba Jaring Apung (KJA). Ujicoba dilakukan menggunakan benih Ikan Cobia ukuran 100-150 gr/ekor (panjang 20-30 cm/ekor) dipelihara di KJA ukuran 3 x 3 x 3 meter sebanyak 4 buah. Pakan yang diberikan berupa pakan formula buatan sendiri dalam bentuk pellet kering. Pengujian terdiri dari 2 perlakuan dan 2 kali ulangan. Perlakuan yang diberikan : A (pakan formula dengan sumber protein nabati Nanno Powder) ; B (Control/pakan formula tanpa Nanno powder). Sumber protein nabati yang digunaan berasal dari jenis alga Nannocloropsis dalam bentuk powder hasil produksi BBPBL Lampung. Sampling dilaksanakan 2 minggu sekali dengan mengambil sample sebanyak 10% dari setiap jarring.Hasil kegiatan menunjukan Laju Pertumbuhan, Konfersi pakan dan Sintasan pada pakan dengan Protein Nabati memperoleh hasil lebih baik dibandingkan dengan pakan Kontrol. Nilai SGR, FCR dan Sintasan pada Pakan Protein Nabati berturut-turut 0,93%/BB/hari, 1,66 dan 90% sementara Pakan Kontrol berturut-turut 0,84%BB/hari, 1,96 dan 80%. Terdapat penambahan harga pada pakan dengan penambahan Protein Nabati namun setelah dilakukan analisa dengan menghitung Biaya Pakan Per Kg Ikan maka diperoleh hasil yang lebih menguntungkan jika menggunakan pakan dengan Protein Nabati. KATA KUNCI : Pakan buatan, Ikan Cobia, mikroalga, Protein nabati, Nanno Powder, pengganti tepung ikan Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 80 PENDAHULUAN Ikan Cobia (Rachycentron canadum) merupakan salah satu jenis ikan yang menarik perhatian masyarakat akuakultur baik di bidang penelitian maupun komersial untuk dibudidayakan. Hal ini disebabkan performa pertumbuhannya yang cepat, tingginya efisiensi konversi pakan dan mudah beradaptasi pada pemeliharaan di keramba serta sangat tahan terhadap penyakit (Saputra, et al., 2010). Salah satu kendala dalam pengembangan pakan buatan ikan laut (termasuk pakan ikan Cobia) adalah adanya ketergantungan terhadap tepung ikan sebagai sumber protein utama. Hal ini dikarenakan sebagian besar ikan laut merupakan ikan karnivora (pemakan daging). Sebagai ikan karnivora maka ikan Cobia membutuhkan kandungan protein yang relatif tinggi di dalam pakannya. Hingga saat ini tepung ikan sebagai sumber protein hewani belum tergantikan. Alimudin (2005) melaporkan sampai saat ini para peneliti belum menemukan pengganti minyak ikan sebagai penyuplai utama asam lemak omega-3 rantai panjang yang tidak jenuh highly unsaturated fatty acids (HUFA) terutama asam eikosapentanat (EPA, C20:5n-2) dan dokosaheksanat (DHA, C22:6n-3), baik untuk ikan budidaya maupun untuk konsumsi manusia. Kedua asam lemak tersebut sangat dibutuhkan oleh ikan budidaya laut untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhannya.Ketergantungan terhadap tepung ikan secara langsung maupun tidak langsung telah memicu kenaikan harga pakan ikan. Tepung ikan sebagai bahan baku pakan butatan menjadi bahan yang langka dan mahal. Untuk mengurangi ketergantungan tersebut perlu alternatif sumber protein lain selain tepung ikan. Salah satu alternatif sumber protein selain tepung ikan adalah protein nabati (sumber protein dari tumbuh-tumbuhan). Sumber protein nabati dari mikro alga ketersediaanya di alam masih sangat melimpah namun pemanfaatannya belum banyak dilakukan. Balai Besar Perikanan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung telah memproduksi secara mandiri tepung mikro alga yang diketahui memiliki kandungan protein tinggi. Tepung mikro alga yang berasal dari Nanochloropsis sp. mengandung 30 – 50 gr protein per 100 gram berat kering. Hal ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein nabati selain tepung ikan. Pada tahun 2014 telah dilaksanakan perekayasaan pakan formula pada pembesaran Ikan Cobia di KJA dengan menggunakan sumber protein nabati dari jenis Nanochloorpsis sp. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan ikan Cobia yang diberi pakan menggunakan sumber protein nabati pada fase pembesaran di Keramba Jaring Apung (KJA). Sasarannya adalah untuk memperoleh laju pertumbuhan, sintasan dan FCR yang mendekati/ menyamai pakan dengan sumber protein dari hewani. Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Oktober – Desember 2014. Tempat dilaksanakan kegiatan di KJA milik BBPBL Lampung tepatnya di perairan sekitar Pulau Lahu, Teluk Lampung. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 81 MATERI DAN METODE Benih Ikan Cobia ukuran 100-150 gr/ekor (panjang 20-30 cm/ekor) dipelihara di KJA ukuran 3 x 3 x 3 meter sebanyak 4 buah. Padat penebaran sebanyak 20 ekor/jaring. Pengujian terdiri dari 2 perlakuan dan 2 kali ulangan. Perlakuan yang diberikan sebagai berikut : A : Pakan formula dengan sumber protein nabati Nanno Powder B : Control (pakan formula tanpa Nanno powder) Pakan yang diberikan berupa pakan formula buatan sendiri dalam bentuk pellet kering. Sumber protein nabati yang digunaan berasal dari jenis alga Nannochloropsis dalam bentuk powder atau tepung. Frekuensi pemberian pakan 2 kali/hari pada pagi dan menjelang siang. Pemberian pakan secara adlibitum dengan pencatatan pakan setiap hari. Teknik pemberian pakan secara adsatiation (menambahkan pakan hingga kenyang). Pencatatan pakan dilakukan setiap hari dengan membuat/ menimbang stok harian. Jika pakan stok tidak habis data pakan yang dicatat adalah jumlah pakan yang dikonsumsi. Adapun komposisi dan kandungan pakan uji seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi dan kandungan pakan uji Bahan Tepung Ikan (gram) Tepung Kedelai Nanno Powder Tepung jagung Tepung Terigu CMC Minyak Nabati Minyak Cumi Mineral Vitamin Premix TOTAL Protein Kasar (%) Lemak (%) Serat Kasar (%) Kadar Abu (%) Komposisi (per 1000 g pakan) Kontro Protein Nabati l 597,5 g 600 g 150 g 150 g 2,5 g 0 80 g 80 g 70 g 70 g 20 g 20 g 40 ml 40 ml 20 g 20 g 10 g 10 g 10 g 10 g 1000 g 1000 g Kandungan : 42.3 42.2 11.9 11.9 3 3 13.3 13.3 Sampling dilaksanakan 2 minggu sekali dengan mengambil sample sebanyak 10% dari setiap jaring. Sampling dilakukan dengan cara mengukur bobot dan panjang ikan. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 82 Untuk mengetahui sintasan selama pemeliharaan dilakukan pencatatan terhadap jumlah ikan yang mati dengan menghitung populasi ikan di dalam jaring. Untuk mengurangi serangan parasit pada ikan peliharaan dilakukan perendaman dengan air tawar secara rutin minimal 2 minggu sekali. Pergantian jaring dilakukan 2 minggu sekali. Sampling kualitas air dilakukan 1 kali/minggu. Pengeloloaan kesehatan ikan dilakukan melalui perendaman dengan air tawar 1 kali/minggu, dan bila ditemukan luka dilakukan perendaman dengan Acriflavine. Untuk menjaga kualitas air dilakukan pergantian jaring 2 minggu sekali HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan aplikasi pakan formula pada pembesaran Ikan Cobia di KJA menggunakan sumber protein nabati telah dilaksanakan. Hasil pengamatan terhadap beberapa parameter dapat dilihat seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Pemeliharaan Penggunaan Sumber Protein Nabati pada pembesaran Ikan Cobia di KJA Parameter Berat Awal (gram/ekor) Panjang Awal (cm/ekor) Berat akhir (gr/ekor) Panjang akhir (cm/ekor) Pertambahan Berat (gram) Pertambahan Panjang (cm) SGR (% BB/hari) FCR SR (%) Protein Nabati 112 26.13 190 32.79 78 6.66 0.93 1.66 90 Kontrol 112 26.13 180.28 31.21 68.28 5.08 0.84 1.96 80 Laju pertumbuhan Spesifik Pertumbuhan merupakan pertambahan ukuran baik bobot maupun panjang dalam suatu periode atau waktu tertentu (Effendie, 2000). Pertumbuhan berat, panjang maupun hasil perhitungan laju pertumbuhan spesifik (SGR) yang diperoleh selama uji coba menunjukan adanya perbedaan yang signifikan dari perlakuan penggunaan sumber protein nabati dan kontrol. Dari hasil uji coba tersebut, parameter SGR ikan Cobia lebih tinggi pada perlakuan Protein nabati (0,93 %BB/hari) dibandingkan kontrol (0,84 %BB/hari). Hal ini diduga karena dengan adanya protein nabati dalam pakan berupa mikro alga yang dapat membantu meningkatkan fungsi kecernaan dalam tubuh. Dalam berbagai studi terdapat korelasi kandungan mikro alga terhadap proses biokimia dalam tubuh (Brown, 2002). Dalam biomassa mikroalga terkandung bahan-bahan penting yang sangat bermanfaat, misalnya protein, karbohidrat, lemak dan asam nukleat (Borowitzka, 1998) Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 83 Alimudin (2005) melaporkan sampai saat ini para peneliti belum menemukan pengganti minyak ikan sebagai penyuplai utama asam lemak omega-3 rantai panjang yang tidak jenuh highly unsaturated fatty acids (HUFA) terutama asam eikosapentanat (EPA, C20:5n-2) dan dokosaheksanat (DHA, C22:6n-3), baik untuk ikan budidaya maupun untuk konsumsi manusia. Lemak mikroalga pada umumnya terdiri dari asam lemak tidak jenuh, seperti linoleat, eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahexaenoic acid (DHA) (Skjak-Braek, 1992). Mikroalga mengandung lemak dalam jumlah yang besar terutama asam arachidonat (AA, 20:4ω6) (yang mencapai 36% dari total asam lemak) dan sejumlah asam eikosapentaenoat (EPA, 20:5ω3) (Fuentes, et al., 2000). Selain itu, lemak mikroalga juga kaya akan asam lemak poli tidak jenuh (PUFA) dengan 4 atau lebih ikatan rangkap. Sebagai contoh, yang sering dijumpai yaitu eicosapentaenoic acid (EPA, C20:5) dan docosahexaenoic acid (DHA, C22:6) (Chisti, 2007). Biomassa mikroalga adalah sumber yang kaya akan beberapa nutrien, seperti asam lemak ω3 dan ω6, asam amino esensial (leusin, isoleusin, valin, dan lain-lain) serta karoten (Becker, 1994). Beberapa mikroalga menyajikan spektrum asam lemak yang lebih besar, ketika dibandingkan dengan tanaman yang mengandung minyak, selain itu juga mengandung struktur molekul dengan lebih dari 18 atom karbon (Belarbi et al., 2000). Menurut Anonim (2012) jenis ikan karnivora membutuhkan tingkat protein yang lebih tinggi dibandingkan ikan herbivora yaitu 40 – 50% (berat kering) untuk pertumbuhan yang optimal. Mudjiman (2004) menambahkan bahwa protein sangat dibutuhkan oleh tubuh ikan baik untuk menghasilkan tenaga maupun untuk pertumbuhan bagi ikan. Protein merupakan sumber tenaga yang paling utama dimana didalamnya terdapat asam-asam amino yang sangat dibutuhkan oleh ikan. Li (2006) menyatakan bahwa fungsi utama protein adalah untuk pertumbuhan. Protein merupakan sumber utama energi bagi ikan. Konversi Pakan Berdasarkan Tabel 2 terlihat nilai FCR pada perlakuan protein nabati (FCR 1,6) ternyata lebih rendah dibandingkan kontrol (1,9). Hal ini menggambarkan bahwa pakan yang diberikan hampir sepenuhnya dimanfaatkan oleh ikan. Nilai konversi pakan dipengaruhi oleh jumlah pakan yang diberikan, bobot ikan pada awal dan akhir pemeliharaan serta bobot ikan yang mati pada saat pemeliharaan selama uji coba. Semakin kecil konversi pakan semakin efisien pemanfaatan pakan dalam tubuh ikan dan semakin baik mutu pakan tersebut, karena pemanfaatan pakan yang optimal menghasilkan pertumbuhan yang baik bagi ikan Cobia. Peningkatan laju pertumbuhan erat hubungannya dengan konversi dan efensiensi pakan. Indikator yang digunakan oleh (Li et al., 2006) untuk menentukan efektivitas pakan adalah tinggi rendahnya efensiensi pakan. Tingginya efensiensi pakan yang ditandai dengan rendahnya nilai rasio konversi pakan menunjukan penggunaan pakan yang efisien, sehingga hanya sedikit pakan yang dirombak untuk memenuhi kebutuhan energi metabolisme selebihnya digunakan untuk pertumbuhan. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 84 Sintasan Sintasan perlakuan (90%) dan kontrol (80%) memperlihatkan sintasan pada perlakuan protein nabati lebih tinggi dibandingkan kontrol. Tingginya tingkat kelangsungan hidup pada perlakuan protein nabati diduga karena terpenuhinya kebutuhan gizi dari pakan yang diberikan. Selain itu terjaganya faktor lingkungan dalam media pemeliharaan yang dapat menunjang kelangsungan hidup ikan dan mengurangi kondisi stres yang memungkinkan terjadinya kematian selama pemeliharaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Amrina (2009) yang mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup organisme ditentukan oleh ketersediaan pakan yang sesuai dan dari faktor lingkungan itu sendiri. Analisa Kelayakan Pakan Analisa biaya pakan atau kajian kelayakan pakan dilakukan untuk mengetahui efisiensi penggunaan suatu jenis pakan berdasarkan Biaya Pakan per Kilo Gram Hasil Ikan setelah membandingkan harga pakan dan nilai FCR yang diperoleh. Dengan analisa tersebut akan tergambar nilai ekonomis/efisiensi pakan. Semakin rendah biaya pakan untuk memproduksi ikan berarti akan semakin efisien pakan yang digunakan. Berikut di tampilkan analisa kelayakan pakan uji (Tabel 3). Tabel 3. Analisa kelayakan masing-masing pakan uji berdasarkan biaya pakan per kilo gram hasil Parameter Pakan dengan Protein Nabati Pakan Kontrol Harga Pakan (Rp/Kg) 16.500 14.000 Nilai FCR 1,6 : 1 1,9 : 1 Biaya Pakan per Kg Ikan (Rp/Kg) 25.600 26.600 Berdasarkan analisa sederhana kelayakan pakan di atas maka diketahui bahwa pakan dengan menggunakan Protein Nabati memberikan keuntungan Rp 1000 rupiah per Kg hasil. Meskipun harga Pakan dengan Protein Nabati lebih tinggi (Rp 16.500/ Kg pakan) dibandingkan pakan kontrol (Rp 14.000/Kg pakan) namun secara ekonomis lebih menguntungkan. Hal ini dikarenakan nilai FCR pakan dengan protein nabati lebih rendah dibandingkan pakan kontrol. Pakan dengan Protein nabati memberikan laju pertumbuhan yang lebih tinggi sehingga masa pemeliharaan lebih singkat (lebih menguntungkan). Disamping itu nilai Sintasan juga lebih tinggi dibandingkan pakan kontrol. Dengan demikian penggunaan Pakan dengan Protein Nabati lebih menguntungkan secara ekonomis. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 85 KESIMPULAN Berdasarkan hasil kegiatan yang telah dilakukan dapat disimpulkan : 1. Laju Pertumbuhan, Konversi Pakan dan Sintasan pada Pakan Buatan menggunakan Tepung Mikroalga Nanno Powder memberikan hasil lebih baik dibandingkan Kontrol (pakan buatan tanpa tepung mikroalga). 2. Nilai SGR, FCR dan SR pada Pakan menggunakan Tepung Mikroalga berturutturut : 0,93 %BB/hari, 1,66 dan 90%. DAFTAR PUSTAKA Akbar, S., 2000. Meramu Pakan Ikan Kerapu. PT. Penebar Swadaya. Jakarta, 55 hal. Amrina, W.R., W. Iba, A. Rahman, 2013. Pemberian Silase Ikan Gabus pada Pakan Buatan Bagi Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) Pada Stadia Post Larva.Jurnal Mina Laut Indonesia, Vol. 0 2 No. 0 6 Jun 2013: 90 -99. Anonim, 2012. Teknologi Produksi Bahan Baku Pakan. Program Alih Jenjang D4 Bidang Akuakultur SITH, ITB – VEDCA – SEAMOLEC Effendie H. 2000.Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius. 230 hal Li, P., Galtin III, D.M., 2006. Nucleotide nutrition in fish: Current knowledge and future application. Aquaculture 2(51) : 141– 152. Mudjiman, A. 2004. Makanan Ikan Edisi Revisi. Penebar Swadaya. Jakarta. 87 hal. Wiramiharja, Y., Hernawati R., Harahap I.M., Yukisu Niwa, 2007. Nutrisi dan Bahan Pakan Ikan Budidaya. BBAT Jambi dan JICA. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 86 FORMULASI PAKAN UNTUK PEMATANGAN GONAD INDUK PATIN SIAM (Pangasianodon hypophthalmus) Rianasari1), Irwan1), Ediwarman1), A.N. Shulikin2), Solaiman2) 1) Perekayasa di BPBAT Sungai Gelam 2) Litkayasa di BPBAT Sungai Gelam ABSTRAK Pada umumnya pakan induk yang digunakan dalam proses pembenihan patin adalah pakan komersil untuk pembesaran dan bukan pakan yang dibuat khusus untuk induk, sehingga hasil yang diperoleh tidak optimal baik dari segi kualitas maupun kuantitas benih. Salah satu cara untuk memperbaiki performa/kinerja reproduksi antara lain dengan cara melakukan perbaikan kualitas nutrisi pakan induk. Percobaan ini bertujuan untuk menguji kualitas pakan induk ikan patin siam terhadap perkembangan gonad dan kualitas telur. Pakan uji yang digunakan dalam percobaan ini adalah pakan buatan (formulasi) berbentuk pellet dengan bahan baku tepung ikan, tepung udang, dedak, tepung kopra yang diberi minyak jagung, vitamin mix, vitamin E, vitamin C dan enzim pytase serta tapioca sebagai perekat (binder). Adapun sebagai pakan kontrol yaitu pakan komersil untuk pembesaran dengan kandungan protein 30%. Induk ikan Patin yang digunakan berumur ± 2,5 tahun, bobot antara 2,926 - 3,126 kg/ekor dan berasal dari satu generasi induk unggul BPBAT Jambi. Masing-masing kolam (kolam perlakuan dan kolam kontrol) diisi induk ikan sebanyak 50 ekor betina dan 20 jantan. Hasil pengujian proksimat pakan induk formulasi menunjukkan kadar protein kasar 37,57%, lemak kasar 7,38%, serat kasar 6,07%, kadar abu 24,28% dan kadar air 12,10%. Formulasi pakan induk ini dapat mengatasi permasalahan sulitnya mendapatkan induk matang gonad serta rendahnya daya tetas telur yakni dengan persentase induk bertelur setiap bulan 80,90%, tingkat ovulasi 71,87% dan daya tetas telur 59,73%. Produktivitas induk patin siam dengan pemberian pakan induk formulasi dari segi jumlah larva yang dihasilkan/kg induk lebih tinggi dibandingkan pakan pembesaran (kontrol). Kata kunci : Formulasi, Pakan induk, Pematangan gonad Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 87 FEED FORMULATION FOR GONAD MATURATION OF STRIPED CATFISH BROODSTOCK (Pangasius hyphopthalmus) Rianasari, Irwan, Ediwarman, A.N.Shulikin, Solaiman Sungai Gelam Freshwater Aquaculture Development Center Email: [email protected] ABSTRACT The aim of this research is to increase reproductive potential of striped catfish female including the gonad rematuration, gonad somatic index, fecundity, egg diameter and hatching rate. Fish were treated by formulated feeds and control feeds (commercial feeds contained 30% protein). Feeds were formulated using local feedstuff such as fish meal, shrimp meal,rice bran, copra meal, vitamin mix, vitamin E, vitamin C, corn oil, pytase enzyme and tapioca as binder. It contained 37,57% protein, 7,38% lipid, 10,35% crude fiber, 24,28% ash, and 12,10% moisture. Fifty female (average weight ±2,5 kg/fish) and twenty male broodstock were selected in the pond and used for this experiment. Fish were fed on formulated feeds two times a day with feeding rate 3% of biomass and spawned per month. The tested parameters such as gonad somatic index, fecundity, egg diameter, number of spawned fish and hatching rate. Results of the experiment indicated that formulated feeds stimulated gonad development and increased number of spawned fish, gonad somatic index 14,90%, fecundity 488.869 eggs/female and hatching rate 59,73%. But the egg diameter did not different between treatment. As for control treatment the value of gonad somatic index, fecundity and hatching rate was 11,62%, 400.500 eggs/female and 40,4%, respectively. Thus,formulated feeds was low cost (Rp.9.000/kg) and gave the best reproduction performance during in dry season. Table 1. Composition of formulated feeds experimented Ingredients Amount (%) Fish meal 54 Shrimp meal 15 Copra meal 15 Rice bran 12 Vitamin mix 1,5 Vitamin E 0,05 Vitamin C Pytase enzyme Tapioca Corn oil 0,05 0,05 1,2 1,15 Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 88 Table 2. Number of spawned fish, Value of Egg diameter, GSI, Fecundity and Hatching rate in the control and formulated feed Parameter Formulated Feed Control Feed Number of spawned 59 53 fish (5 times selection) Egg diameter (mm) 1,026 1,007 Gonad somatic index 14,90 11,62 (%) Fecundity 488.869 400.500 (eggs/female) Hatching rate (%) 59,73 40,4 Keywords: Striped catfish, Formulated, Feed, Gonad Maturation Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 89 FORMULASI PAKAN UNTUK PEMATANGAN GONAD INDUK PATIN SIAM (Pangasianodon hypophthalmus) I. PENDAHULUAN 1.2 Latar Belakang Ikan patin siam (Pangasianodon hypophthalmus.) merupakan ikan perairan tawar yang mempunyai nilai ekonomis penting yang banyak dibudidayakan di perairan pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Ikan ini merupakan salah satu spesies introduksi yang telah dibudidayakan sejak tahun 1979, baik di kolam maupun di sangkar bambu (keramba) dengan menggunakan benih dari hasil pemijahan buatan. Usaha pembenihan ikan patin siam secara terkontrol dengan metoda kawin suntik telah dilakukan oleh panti-panti benih swasta maupun pemerintah, namun hasilnya belum memuaskan karena sulitnya mendapatkan induk matang gonad serta rendahnya daya tetas telur. Hal ini sangat terkait pada kualitas pakan yang digunakan (Watanabe et al. 1984a,b; dan Mokoginta et al. 2000). Pada umumnya pakan induk yang digunakan dalam proses pembenihan patin adalah pakan komersil untuk pembesaran dan bukan pakan yang dibuat khusus untuk induk, sehingga hasil yang diperoleh tidak optimal baik dari segi kualitas maupun kuantitas benih. Salah satu cara untuk memperoleh hasil pembenihan ikan patin yang optimal yaitu dengan memperbaiki performa/kinerja reproduksi, dimana reproduksi dapat ditingkatkan antara lain dengan cara melakukan perbaikan kualitas nutrisi pakan induk. Unsur nutrien yang harus ada dalam pakan induk ikan antara lain vitamin E dan asam lemak. Gatlin et al (1992) dalam Utomo (2013) meyatakan bahwa untuk jenis-jenis ikan catfish kebutuhan vitamin E berkisar antara 60-240 mg/kg ransum ikan. Dari penelitian Meinelt et al (1999) dalam Utomo (2013) dapat diketahui bahwa ikan air tawar termasuk ke dalam ikan yang membutuhkan asam lemak linoleat (ω6) yang lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan asam lemak ω3. Minyak jagung mengandung asam lemak linoleat yang tinggi yaitu 53%. Asam lemak esensial berfungsi sebagai prekursor dari senyawa prostaglandin yang berperan sebagai hormon. Jika telur kekurangan asam lemak esensial maka berlangsungnya proses embryogenesis akan gagal (pada pembelahan sel ke-16,32 dan organogenesis) dan akan menghasilkan derajat tetas telur yang rendah (Mokoginta et al (1992) dalam Utomo (2013)). Formulasi pakan pada kegiatan ini dengan menggunakan bahan baku lokal. Percobaan ini bertujuan untuk menguji kualitas pakan induk ikan patin siam terhadap perkembangan gonad dan kualitas telur. 1.2 Tujuan Untuk mengetahui pengaruh penggunaan pakan induk formulasi terhadap perkembangan gonad dan kualitas telur ikan patin (Pangasius hypophthalmus). 1.3. Manfaat Untuk mendapatkan informasi mengenai kualitas pakan induk formulasi terhadap pematangan gonad dan peningkatan kualitas telur ikan patin. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 90 II. BAHAN DAN METODA Percobaan ini dilaksanakan di Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Jambi (BPBAT Jambi), desa Sungai Gelam, Kecamatan Sungai Gelam, Kab. Muaro Jambi Propinsi Jambi, dimulai pada bulan Januari sampai dengan bulan Desember 2015. 2.1 Pakan Uji Pakan uji yang digunakan dalam percobaan ini adalah pakan buatan (formulasi) berbentuk pellet dengan bahan baku tepung ikan, tepung udang, dedak, tepung kopra yang diberi miinyak jagung, vitamin mix, vitamin E, vitamin C dan enzim pytase serta tapioca sebagai perekat (binder). Adapun sebagai pakan kontrol yaitu pakan komersil untuk pembesaran dengan kandungan protein 30%. Analisa proksimat dilakukan terhadap semua bahan baku yang digunakan, kemudian dilanjutkan penyusunan ransum sesuai dengan standar kebutuhan nutrient bagi induk ikan patin siam dengan formula dan jumlah bahan yang digunakan sebagai berikut (Tabel 1). Tabel 1. Komposisi pakan uji per 1.000 kg untuk induk ikan patin siam No 1 2 2 4 5 8 9 10 11 12 Bahan Baku Tepung ikan Tepung Udang Dedak Poles/halus Tepung Kopra Tepung Tapioka Minyak Jagung Vitamin mix Vitamin E Vitamin C Pytase Jumlah* Jml. Bahan (kg) Jml. Bahan (%) 675 173,53 131,64 171,88 12 11,5 15.00 0.50 0.50 0.50 1,192 54 15 12 15 1,2 1,15 1,5 0.05 0.04 0.04 100.00 2.2 Ikan Uji Induk ikan Patin yang digunakan berumur ± 2,5 tahun, bobot antara 2,926 - 3,126 kg/ekor dan berasal dari satu generasi induk unggul BPBAT Jambi. Masing-masing kolam (kolam perlakuan dan kolam kontrol) diisi induk ikan sebanyak 50 ekor betina dan 20 jantan. 2.3 Pemeliharaan Ikan Wadah yang digunakan adalah kolam berukuran 500 m2. Jumlah kolam yang digunakan sebanyak 2 buah terdiri dari 1 kolam untuk pemeliharaan induk perlakuan dan 1 kolam untuk pemeliharaan induk kontrol. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 91 Induk yang diseleksi di pelihara di kolam, diberi pakan uji dengan pemberian pakan formulasi dan komersial (kontrol) sebanyak 3% dari bobot badan dengan frekuensi pemberian 2 kali sehari yakni pagi dan sore. Setelah 2 bulan pemeliharaan dilakukan pengecekan kondisi gonad awal. Ikan diseleksi dan dipilih yang mempunyai tingkat kematangan gonad dan bobot tubuh yang seragam. Untuk memudahkan pengontrolan tingkat kematangan gonad, setiap ikan betina diberi tanda berupa taging dengan menggunakan microcip pada bagian tubuhnya. Selanjutnya ikan ditempatkan dalam wadah sesuai dengan perlakuan. Sampling dilakukan terhadap bobot tubuh, dan pengambilan sampel telur untuk mengukur diameter telur. Sampling pertama dilakukan pada awal percobaan dan selanjutnya setiap 30 hari sekali sampai induk matang gonad dan siap untuk dipijahkan. Semua induk yang matang gonad akan dipijahkan pada waktu yang bersaman. Selama percobaan dilakukan 5 kali pemijahan atau sampai didapatkan induk yang sama memijah 2 kali (rematurasi) sebanyak 50%. Pemijahan dilakukan dengan penyuntikan hormone ovaprim [1 ml ovaprim® (Syndel Laboratories, Canada) mengandung 20 µg GnRHa (D-Arg6, Trp7, Leu8, Pro9, Net)] 0,6 cc/kg induk pada bagian pectoral. Penyuntikan dilakukan dua kali yaitu 1/3 bagian dosis pada penyuntikan pertama dan 2/3 bagian dosis pada penyuntikan kedua dengan interval waktu 6 jam. Setelah 6 jam dari penyuntikan kedua pada suhu 27-31OC, induk dicek untuk mengetahui apakah telur siap untuk diovulasikan dan jika sudah siap diovulasikan, telur dikeluarkan dengan cara striping dan selanjutnya dilakukan pembuahan. Sebelum telur diovulasikan, dilakukan pengambilan sperma jantan dengan cara striping. Jumlah jantan yang diambil spermanya 2 kali jumlah induk betina yang dipijahkan. Sperma yang diambil ditambahkan larutan sodium chlorida 0,9%. Pembuahan dilakukan dengan cara telur dan sperma dicampur kemudian diaduk secara perlahan dengan menggunakan bulu ayam secara merata dan ditambahkan air tawar sambil diaduk. Setelah ± 1 menit telur yang dibuahi tadi dicuci dengan air bersih. Untuk menghilangkan daya rekatnya, telur yang telah dibuahi dicuci dengan larutan tanah merah dan dicuci dengan air bersih selanjutnya ditetaskan dalam corong penetasan dengan kepadatan 500 cc/corong. 2.4 Pengumpulan Data Data diameter oocyt (telur) diperoleh dengan mengambil sampel telur didalam gonad secara kanulasi. Kanulator dimasukan kedalam lubang genital induk betina sedalam ± 10 cm kemudian penyedot kanulator ditarik perlahan-lahan sepanjang ± 3-5 cm. Telur yang diambil (minimal 100 butir) direndam dengan larutan sera. Diameter telur diukur menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer okuler pada pembesaran 40X. Selanjutnya dibuat diameter minimum telur dapat ovulasi untuk menentukan struktur tingkat kematangan telur. Data fekunditas atau egg somatic index (ESI) diperoleh dengan cara membandingkan jumlah telur (butir atau gram) yang diovulasikan dengan bobot tubuh ikan (kg). Jumlah telur yang diovulasikan ditimbang dengan timbangan elektrik, kemudian diambil sampel telur sebanyak 0,5 gram dan dihitung satu persatu dan selanjutnya dikalikan dengan bobot keseluruhan telur. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 92 Data penetasan telur diperoleh dengan cara menghitung jumlah larva yang menetas dibagi dengan jumlah telur yang ditetaskan, dilakukan setelah 5–10 jam setelah telur menetas atau dalam selang waktu 24 - 28 jam setelah pembuahan pada kisaran suhu 28-30 OC. Larva yang telah menetas akan dipanen dan dihitung untuk masingmasing corong penetasan. 2.5 Analisa Proksimat dan Kualitas Air Analisa proksimat bahan pakan, dan pakan meliputi protein kasar diukur dengan metoda Kjeldahl; lipid dengan metoda ekstraksi Soxlet dan serat kasar (SNI 01-28911992), sedangkan kadar air dan abu dilakukan dengan pemanasan contoh selama 2 jam masing-masing pada suhu 135° dalam oven dan 600°C dalam furnace. Analisa kualitas air diukur selama pemeliharaan meliputi parameter suhu, pH,oksigen terlarut, amonia, nitrat dan nitrit. 2.6 Analisa Data Data induk (jumlah induk bertelur,matang telur,induk disuntik, induk ovulasi dan induk dengan telur menetas) dan kualitas telur mencakup serta diameter telur, fekunditas, derajat penetasan telur dan jumlah larva yang dihasilkan dianalisa secara deskriptif. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Analisa proksimat Hasil analisa bahan pakan formulasi dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah ini: Tabel 2. Hasil analisa proksimat bahan pakan formulasi No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Jenis Bahan Ikan rucah Tepung udang Tepung sampah togok Tepung kopra Tepung PKM Dedak halus Tepung tapioka K. Air (%) 8.02 12.71 13.56 12.73 7.44 8.84 Protein Kasar (%) Lemak Kasar (%) Serat Kasar (%) 31.43 29.19 30.76 44.89 54.06 51.19 5.12 4.40 3.50 1.06 8.05 7.59 8.06 4.59 14.58 0.13 20.17 15.89 8.39 0.12 12.73 6.89 3.92 0.23 16.38 20.38 31.46 0.79 K.Abu (%) 12.77 Dari hasil pengujian proksimat bahan baku yang ada sumber protein yang besar diperoleh dari ikan rucah (44.89%) , tepung udang (54,06%) dan tepung sampah togok (51,19%). Sumber lemak bisa diperoleh dari tepung kopra (12,73%) ataupun tepung PKM (6,89%). Sumber asam lemak ω6 diperoleh dari minyak jagung dan penggunaan tepung tapioca sebagai perekat (binder). Hasil analisa proksimat pakan induk formulasi dan pakan kontrol dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini: Tabel 3. Hasil uji proksimat pakan induk formulasi dan pakan kontrol Pakan induk formulasi Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 Pakan kontrol 93 Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar protein kasar (%) 12,10 24,28 37,57 11,15 9,33 30 Kadar lemak kasar (%) Kadar serat kasar (%) 7,38 6,07 6,69 5 Hasil pengujian proksimat pakan induk formulasi menunjukkan kadar protein 37,57%. Hal ini sesuai dengan SNI 7548:2009 bahwa kadar protein minimal untuk induk patin 35%. Protein merupakan komponen esensial yang dibutuhkan untuk reproduksi dan komponen utama dari kuning telur (Kamler, 1992). Pada pakan komersil kadar protein hanya 30%. Jumlah protein yang kurang dan tidak adanya penambahan vitamin E secara khusus pada pakan komersil kurang sesuai untuk reproduksi ikan air tawar. Kadar lemak pada pakan induk formulasi 7,38% sesuai dengan SNI yang mensyaratkan minimal lemak 7%. Lemak dan asam lemak esensial merupakan salah satu nutrient penentu dalam perkembangan induk agar menghasilkan kuantitas dan kualitas telur dari telur maupun sperma yang lebih baik (Watanabe et al., 1988). Menurut Meinelt et al. (1999) ikan air tawar termasuk dalam ikan yang membutuhkan ω6 lebih besar. Pada pembuatan pakan induk formulasi sumber lemak dan asam lemak ω6 masing-masing diperoleh dari kopra dan minyak jagung. Kadar serat kasar pakan induk formulasi 6,07% sedangkan pakan komersil (kontrol) 5%. Hal ini sudah memenuhi persyaratan SNI kadar serat maksimal 8%. Namun pada pakan formulasi nilai kadar abu masih tinggi yakni 24,28% sedangkan pakan komersil (kontrol) hanya 9,33%. Hal ini masih belum memenuhi SNI yakni kadar abu maksimal 12%. Ini diduga disebabkan oleh penggunaan tepung udang/sampah togok yang masih memiliki cangkang (kulit). Pada formulasi pakan induk ditambahkan enzim fitase. Fitat banyak terdapat pada legume (polong-polongan, kacang-kacangan dan biji-bijian). Fitat menyusun 1-2% berat dari serealia dan bijian penghasil minyak. Zat anti gizi adalah senyawa yang apabila diberikan baik langsung maupun tidak langsung pada organisme dalam jumlah tertentu dapat mengakibatkan gangguan metabolisme dan/atau tidak tersedianya suatu unsur gizi bagi tubuh. Fitat bersifat antigizi yakni antimineral karena dengan adanya fitat maka mineral-mineral esensial menjadi tidak tersedia karena tidak bisa dicerna dan diserap. Asam fitat dapat berikatan dengan ion logam misal Zn2+, Cu2+, Mn2+, Mg2+, Fe3+ dan Ca2+. Ion logam tidak dapat dicerna atau diserap. Asam fitat menunjukkan sifat rakhitogenik (dapat menimbulkan penyakit tulang karena tubuh kekurangan kalsium) dan mengikat mineral membentuk garam tidak larut. Aktivitas optimum enzim fitase pada pH 5,0-5,2 suhu 50-52°C (Astuti, 2014) Selain enzim fitase, vitamin E juga ditambahkan pada formulasi pakan induk. Salah satu fungsi vitamin E adalah sebagai antioksidan yang dapat mencegah terjadinya oksidasi lemak (Halver (1989) dalam Yulfiperius et al (2003)). Makin tinggi kadar vitamin E dalam pakan induk akan diikuti pula dengan makin tinggi kandungan vitamin E di telur. Selanjutnya peningkatan kadar vitamin E dalam telur akan diikuti oleh peningkatan kandungan lemak dalam telur. Menurut Kamler (1992) dalam Yulfiperius et al (2003) lemak yang ditimbun dalam telur berperan sebagai sumber energy dan pengendali daya Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 94 apung telur, embrio dan larva. Lemak merupakan sumber energy utama selama embryogenesis dan harus diupayakan agar selalu dalam kondisi optimal. Salah satu jalan adalah dengan memberikan vitamin E ke dalam pakan induk untuk mencegah terjadinya oksidasi lemak. 3.2 Produktifitas Induk Patin Pada seleksi pertama di bulan Agustus jumlah induk bertelur pada perlakuan pakan formulasi sebanyak 42 ekor (87,5%), di bulan September 33 ekor (70,2%), Oktober 40 ekor (86,95%), November (85,41%) dan Desember 35 ekor (74,46%). Sedangkan jumlah induk bertelur pada pakan kontrol yakni bulan Agustus 41 ekor (91,1%), September 26 ekor (59%), Oktober 7 ekor (14,89%), November 38 ekor (79,16%) dan meningkat di Desember 37 ekor (82,22%). Jika dihitung secara keseluruhan jumlah induk bertelur untuk perlakuan pakan formulasi sebanyak 191 ekor sedangkan pakan kontrol 149 ekor dan nilai rata-rata persentase induk bertelur diperoleh pakan formulasi 80,90% sedangkan pakan kontrol 65,27%. Jumlah induk bertelur pada perlakuan pakan formulasi berada pada kisaran di atas 70% dan lebih stabil. Sedangkan jumlah induk bertelur pada pakan kontrol mengalami penurunan di bulan September (59%) dan terutama di bulan Oktober 14,89% saat kondisi air sedang menurun akibat musim kemarau. Grafik jumlah induk bertelur per bulan antara perlakuan pakan formulasi dan kontrol dapat dilihat pada gambar 1. Gambar 1 . Grafik jumlah induk bertelur pada pakan formulasi dan pakan kontrol. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 95 Gambar 2 . Grafik jumlah induk matang telur pada pakan formulasi dan pakan kontrol. Dari jumlah induk yang bertelur dalam satu kolam, tidak semua telur induk betina matang sempurna atau induk layak disuntik. Menurut Hamid et al (2009) Untuk memudahkan dalam menilai kematangan gonad induk patin siam setiap waktu pemijahan maka kondisi abdomen dibagi menjadi 3 katagori, yaitu : a. Katagori 1 atau 0 : abdomen tidak gendut atau sedikit gendut, menandakan volume telur masih sedikit. Jika diraba tidak lembek, agak keras. Genital tidak memerah. Katagori 1 ini tidak dipilih untuk dipijahkan. b. Katagori 2 : abdomen gendut, volume telur cukup banyak. Jika diraba lembek, tetapi jika abdomen ditekan, maka lekukan tidak cepat kembali. Genital agak memerah. Katagori 2 ini bisa dipilih untuk dipijahkan, bila tidak ditemukan induk dengan katagori 3. c. Katagori 3 : abdomen gendut sekali, volume telur banyak sekali. Jika diraba lembek, dan jika abdomen ditekan, lekukan bekas tekanan cepat kembali. Genital memerah Secara visual pada kolam perlakuan pakan formulasi lebih banyak induk dengan perut membesar (gendut) lebih banyak dibandingkan perut kempes, Jika perut diraba lembek, dan jika ditekan lekukan bekas tekanan cepat kembali, genital memerah dan volume telur banyak. Selain itu saat kanulasi dilakukan ciri-ciri telur yang diamati yakni ukuran seragam, volume besar, tidak banyak cairan dan warna telur tidak bening/transparan. Jika dihitung secara keseluruhan jumlah induk matang telur (katagori 3) untuk perlakuan pakan formulasi sebanyak 59 ekor (33,01%) sedangkan pakan kontrol 53 ekor (35,42%). Jumlah induk yang dipijahkan dengan metode kawin suntik dapat dilihat pada Gambar 3. Pada perlakuan pakan formulasi, jumlah induk betina disuntik pada perlakuan pakan formulasi sebanyak 5 ekor di bulan Agustus, di bulan September 7 ekor, bulan Oktober sebanyak 6 ekor, bulan November sebanyak 5 ekor dan Desember 9 ekor . Sedangkan jumlah induk betina disuntik pada pakan kontrol yakni di bulan Agustus sebanyak 3 ekor , bulan September 3 ekor, Oktober 2 ekor, November 5 ekor dan Desember 6 ekor. Pada bulan Agustus dari kolam perlakuan pakan formulasi sebanyak 3 ekor induk tidak ovulasi (dari 5 ekor induk yang disuntik) dan di bulan Oktober sebanyak 6 ekor induk tidak ovulasi (dari 6 ekor induk yang disuntik). Diduga saat seleksi awal di bulan Agustus (setelah 2 bulan pemberian pakan) kondisi induk sebagian besar sudah Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 96 lewat matang (overripe) sehingga kurang optimal. Sedangkan di bulan Oktober terjadi penurunan kualitas air akibat musim kemarau dan kabut asap yang mengakibatkan suhu air di bak pemberokan menjadi dingin karena terhalangnya sinar matahari dan juga tidak dapat dilakukan pergantian air di kolam. Hal ini juga terihat pada kolam kontrol yaitu sulitnya mendapatkan induk yang matang telur, hanya ditemukan 2 ekor saja. Secara keseluruhan persentase jumlah induk ovulasi pada perlakuan pakan formulasi 71,87% sedangkan pakan kontrol 100%. Jumlah induk ovulasi dapat dilihat pada Gambar 4. Namun persentase jumlah induk menetas pada perlakuan pakan formulasi 100%. Sedangkan pada pakan kontrol 89,47% karena dari 5 ekor induk yang ovulasi sebanyak 2 ekor induk telurnya tidak menetas di bulan November. Salah satu faktor yang bisa menyebabkan telur tidak menetas yakni kekurangan asam lemak esensial. Asam lemak esensial berfungsi sebagai prekursor dari senyawa prostaglandin yang berperan sebagai hormon. Jika telur kekurangan asam lemak esensial maka berlangsungnya proses embryogenesis akan gagal (pada pembelahan sel ke-16,32 dan organogenesis) dan akan menghasilkan derajat tetas telur yang rendah (Mokoginta et al (1992) dalam Utomo (2013)). Jumlah induk (telur menetas) dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 3. Grafik jumlah induk yang disuntik pada pakan formulasi dan pakan kontrol Gambar 4.Grafik jumlah induk ovulasi pada pakan formulasi dan pakan kontrol Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 97 Gambar 5.Grafik jumlah induk (telur menetas) pada pakan formulasi dan pakan kontrol Tabel 4. Perbandingan Produktifitas Induk Patin Siam Pada Perlakuan Pakan formulasi dan Pakan Kontrol Parameter Pakan formulasi Pakan kontrol Jumlah induk disuntik (ekor) 32 19 Tingkat ovulasi (%) Tingkat telur menetas (%) Diameter telur (mm) ESI (%) Fekunditas (butir/kg) HR (%) Jumlah larva /kg BW (ekor) 71,87 100 1,026 14,90 148.200 59,73 89,932 100 89,47 1,007 11,62 113.173 40,4 47,741 Jika dibandingkan produktifitas induk patin siam perlakuan pakan formulasi dengan pakan kontrol maka dapat dilihat adanya perbedaan signifikan.Diameter telur perlakuan pakan formulasi 1,026 mm sedangkan pakan kontrol 1,007 mm. Adapun ESI perlakuan pakan formulasi 14,90% sedangkan pakan kontrol 11,62%. Fekunditas perlakuan pakan formulasi 148.200 butir/kg induk sedangkan pakan kontrol 113.173 butir/kg induk. Jumlah larva yang dihasilkan/kg induk perlakuan pakan formulasi adalah 89,932 ekor sedangkan pakan kontrol 47,741 ekor. Adapun daya tetas rata-rata perlakuan pakan formulasi adalah 59,73%, sedangkan pakan kontrol adalah 40,4%. Produksi larva patin siam dengan perlakuan pakan formulasi sebanyak 6.821.752 ekor (32 ekor induk disuntik) dan pakan kontrol 2.702.545 ekor (19 ekor induk disuntik). Gambar 6. Grafik tingkat kelangsungan hidup pakan formulasi dan pakan kontrol Tingkat kelangsungan hidup induk antara perlakuan pakan formulasi dan pakan kontrol dapat dilihat pada Gambar 6. Jumlah induk yang mati setelah pemijahan pada pakan kontrol yaitu sebanyak 3 ekor di bulan November sedangkan pada pakan formulasi Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 98 tidak terjadi kematian induk. Faktor yang menyebabkan kematian tersebut diduga karena teknik penanganan induk dan buruknya kualitas air saat musim kemarau. Selain itu jika ditinjau dari aspek pakan, pakan formulasi yang dibuat ditambahkan vitamin C untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Hal ini diduga berpengaruh baik terhadap tingkat kelangsungan hidup. Adapun kisaran nilai kualitas air selama pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Kisaran nilai kualitas air pemeliharaan induk patin siam Formulasi Kontrol Suhu (°C) pH 22,4 26,6 22,9 26,9 5,46 7,10 5,29 7,11 Oksigen terlarut (mg/L) 0,1 - 4,11 0,28 - 4,16 Amonia (mg/L) Nitrit (mg/L) Nitrat (mg/L) 0,30 2,02 0,29 2,77 0,14 0,58 0,11 0,68 0,55 1,88 0,50 1,58 Hasil percobaan menunjukkan pakan induk formulasi yang diberi pada induk patin siam berpengaruh signifikan terhadap pematangan gonad dan kualitas telur. Formulasi pakan induk ini diharapkan dapat mengatasi permasalahan sulitnya mendapatkan induk matang gonad serta rendahnya daya tetas telur karena salah satu cara untuk memperoleh hasil pembenihan ikan patin yang optimal yaitu dengan memperbaiki performa/kinerja reproduksi melalui perbaikan kualitas nutrisi pakan induk. IV. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Produktivitas induk patin siam dengan pemberian pakan induk formulasi dari segi jumlah larva yang dihasilkan/kg induk lebih tinggi dibandingkan pakan pembesaran (kontrol). 2. Formulasi pakan induk ini dapat mengatasi permasalahan sulitnya mendapatkan induk matang gonad serta rendahnya daya tetas telur yakni dengan persentase induk bertelur setiap bulan 80,90%, tingkat ovulasi 71,87% dan daya tetas telur 59,73%. DAFTAR PUSTAKA Astuti, Ari Tri. 2014. Makanan dan Analisa Zat Gizi. www.slideshare.net/liciastreiz/zatanti-gizi-30376932. Tanggal diakses 23 Oktober 2015 Hamid ,M.A et al.2009. ANALISA EFEKTIVITAS MANAGEMEN INDUK DAN PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypophthalmus) DI BBAT JAMBI. Jurnal Akuakultur Indonesia, 8(1): 29-35 Izquierdo, M.S., H. Fernandez-Palacios, A.G.J. Tacon. 2001. Effect of broodstock nutrition on reproductive performance of fish. Aquaculture, 197: 25 - 42. Mayunar. 2000. Aplikasi hormon Human Chorionic Gonadotropin (HCG) pada pemijahan ikan kakap putih, Lates calcarifer. Prosisiding Seminar Nasional Perikanan Penangkapan dan Budidaya Perairan. Hal. 124-133. Mokoginta, I., D.S. Moeljohardjo, T. Takeuchi, K. Sumawidjaya dan D. Fardiaz. 1995. Kebutuhan asam lemak esenssial untuk perkembangan induk ikan lele, Clarias batrachus, Linn. J. Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. III (2) : 41-50. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 99 Mokoginta, I., D. Jusadi, M. Setiawati, T. Takeuchi and M.A. Suprayudi. 2000. The effect of different levels of dietary n-3 fatty acid on the eggs quality of catfish (Pangasius hypophthalmus). JSPS-DGHE. International Symposium, Sustainable Fisheries in Asia in the New Millenium. p : 252 - 256. Rahayuni, E. Dkk. 2013. Produksi Benih Hibrida dan Calon Induk Patin Siam (Pangasianodon hypophthalmus). Laporan Tahunan Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Jambi. Hal. 13 – 31. Sukendi. 2005. Pengaruh kombinasi penyuntikan hCG dan ekstrak kelenjer hipofisa ikan mas (Cyprinus carpio L) terhadap daya rangsang ovulasi dan kualitas telur ikan baung (Mystus nemurus CV). Jurnal Perikanan dan Kelautan 10, 2 (2005) : 75-81. Utomo, Bambang Priyo. 2013. Peningkatan Mutu Reproduksi Ikan Air Tawar Melalui Perbaikan Nutrisi Pakan Induk. SEAMEO BIOTROP-Bogor Watanabe, T.A, T. Arakawa, C. Kitajima and S. Fujita. 1984a. Effect of nutritional quality of broodstock diets on reproduction of red sea bream. Nippon Suisan Gakkaishi 50(3):495-501. Lampiran 1. Biaya operasional pembuatan pakan induk No Bahan Baku 9 Tepung ikan Tepung Udang Dedak halus Tepung Kopra Tpg. Tapioka Minyak Jagung Vitamin mix Vitamin E Vitamin C 10 Pytase 1 2 3 4 5 6 7 8 Amount (g/100g) Kadar Air % Jumlah Bahan Jml. Harga Bahan/kg (Rp) Jumlah Harga (Rp) 54 20 540 587 6,500 3,815,500 15 13.56 150 173.5307728 4,500 780,888 12 8.84 120 131.6366828 2,100 276,437 15 12.73 150 171.8803713 2,500 429,701 1.2 0 12 12 8,000 96,000 1.15 0 11.5 11.5 30,000 345,000 1.5 0 15 15 23,500 352,500 0.05 0 0.5 0.5 500,000 250,000 0.05 0 0.5 0.5 100,000 50,000 0.05 0 0.5 0.5 48,000 24,000 Jml +KA Jumlah (%) 100 1000 1104.047827 Protein pakan (%) 39,77 Harga Pakan/Kg (dari Bahan) Biaya-biaya (Peny. Alat 125, Upah 300, Solar/oli 200, Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 6,420,026 6,420.03 100 Karung 100) Biaya produksi pakan/kg………………………………………………………… Keuntungan (12.5%)………………………………………………………………. Harga Jual ke pembudidaya ikan Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 1,000 7,420 928 8,348 101 THE IMPROVEMENT BROODSTOCK MANAGEMENTTECHNIQUES FOR SUCCESSFUL HATCHERY BUSINESS HOVEN’S CARP (Leptobarbus hoevenii Bleeker) 1) Nurul Tri Jayanti2), Ena Sutisna2), Wahyu Budi Wibowo2), Ma’in2) Engineer at Sungai Gelam Freshwater Aquaculture And Development Center (SGFADC), [email protected] Abstract Hoven’s carp (Leptobarbus hoevenii Bleeker), a local freshwater fish cultivation is already quite developed in the community, either grow out or fish hatchery. This activity aims to increase production in the fish hatchery operationsof hoven’s carp. The improvementbroodstock management techniques for succesfull hatchery business hoven’s carp that has been done in BPBAT Sungai Gelam is increasing the precision and technical skills / personnel in the selection process to determine the male and female which mature gonads because it affects the number of larvae / seeds produced. Estimates of the number of males and females will breed conducted before the selection to determine the number of larvae/seed to generate, because the breeding broodstock exceeds the capacity of larval rearing container / seed will increase production costs.Additionally, the improved container for the incubation of the broodstock as well as the treatment of the female before and after artificial spawning (stripping) gave a positive result is to reduce the mortality rate holding both before, during and after the spawning is done spending eggs or sperm (stripping). Next, determine the readiness time for the larvae stocked into the pond also improve Survival Rate larvae and affect production costs incurred. Keywords: Broodstock, Hoven’s Carp (Leptobarbus hoevenii Bleeker), Success, Hatchery Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 102 PERBAIKAN TEKNIK PENGELOLAAN INDUK UNTUK KEBERHASILAN USAHA PEMBENIHAN IKAN JELAWAT (Leptobarbus hoevenii BLeeker)1) 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ikan Jelawat (Leptobarbus hoevenii Bleeker)merupakan salah satu ikan asli perairan Indonesia dengan daerah penyebaran di pulau Kalimantan dan Sumatera.Habitat ikan ini meliputi sungai, danau dan perairan umum lainnya.Domestikasi Di BPBAT Sungai Gelam telah dilakukan sejak tahun 2006, dan sampai sekarang BPBAT Sungai Gelam terus mengembangkan teknologi pembenihan dan pembesaran Ikan Jelawat. Ikan jelawat, merupakan ikan air tawar lokal yang budidayanya sudah cukup berkembang di masyarakat, baik pembesaran maupun pembenihannya. Saat ini benih ikan jelawat sudah dapat diproduksi secara massal melalui metode pemijahan buatan (Hardjamulia 1992). Keberhasilan pemijahan buatan tersebut harus didukung teknik pengelolaan induk yang baik sehingga benih yang diperoleh / diproduksi memiliki kualitas yang baik dan kuantitas tinggi serta induk tersebut dapat digunakan kembali untuk keberlanjutan proses pemijahan buatan berikutnya. Untuk itusebagai bagian dari teknologi pembenihan, teknik pengelolaan induk yang meliputi pemeliharaan induk, penanganan induk pra pasca stripping (pemijahan buatan) perlu dikuasai dengan baik. 1.2. Tujuan Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan hasil produksi dalam usaha pembenihan ikan Jelawat (Leptobarbus hoevenii Bleeker). 2. METODE 2.1. Waktu Dan Tempat Kegiatan ini dilaksanakan di Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Sungai Gelam Jambi Mulai bulan Januari 2014 s.d Desember 2015. 2.2. Prosedur Kerja 2.2.1. Pemeliharaan Induk Jelawat Pemeliharaan induk dilakukan dalam 3 wadah yang berbeda, dengan luas kolam 250 m2dan KJA berukuran.Untuk kolam dilakukan penyekatan untuk memisahkan antara induk jantan dan induk betina, hal ini dilakukan untuk menghindari persaingan yang tidak seimbang antara induk jantan dan betina dalam hal ini biasanya induk betina cenderung menang dalam persaingan makan) (Handoyo et al,2010) , selain itu jumlah nutrisi yang diberikan berbedauntuk kematangan telur induk betina dan sperma induk jantan. Induk yang dipelihara dengan rerata bobot tubuh 1,6 - 3 kg.Pemberian pakan buatan komersialberbentuk apung (protein 30-32%) dilakukan 2 kali sehari secara at satiationdengan kombinasi pakan hijauan yang diberikan 1 minggu 2 kali secara at Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 103 satiation. Pengecekan kualitas air dilakukan 2 minggu sekali yang meliputi suhu, pH , dan Oksigen terlarut. 2.2.2. Seleksi Induk Siap Pijah Ketepatan dalam proses seleksi untuk menentukan induk jantan dan betina matang gonad harus diperhatikan, karena mempengaruhi jumlah larva/benih yang akan dihasilkan. Seleksi induk matang gonad dilakukan dengan memperhatikan karakter fenotipenya, yang dapat diketahui dengan melihat ciri - ciri fisik induk jantan dan betina yang matang gonad (siap pijah). Ciri - ciri induk matang gonad adalah sebagai berikut : Induk betina Perut membesar kearah genital Genital berwarna kemerahaan Bila perut ditekan akan terasa lunak dan elastis Pergerakan lambat Induk jantan Bila diurut kearah belakang atau genital akan keluar cairan berwarna putih susu Sirip dada terasa kasar Estimasi jumlah jantan dan betina yang akan dipijahkan perlu dilakukan sebelum melakukan seleksi untuk menentukan jumlah larva/benih yang ingin dihasilkan, karena memijahkan induk melebihi kapasitas wadah pemeliharaan larva/benih akan meningkatkan biaya produksi. Untuk pemijahan buatan ikan jelawat perbandingan induk jantan dan betina yaitu 2:1.Untuk seleksi induk jantan dan betina yang siap untuk dipijahkan dapat dilihat dari umur induk dan rerata bobot induk. Untuk seleksi induk betina yang siap dipijahkan berumur minimal 2-3 tahun dengan rerata bobot tubuh 1,6 3 kg sedangkan untuk induk jantan yang siap dipijahakan berumur 2 tahun dengan ratarata bobot tubuh 1,5 -2 kg. Setelah kegiatan seleksi induk selesai, ikan jelawat dibawa ke bak pemberokan atau inkubasi induk dan 1 jam sebelum penyuntikan dilakukan seleksi ulang di bak pemberokan. Ikan yang tidak terseleksi langsung dikembalikan ke dalam kolam.Seleksi kedua ini bertujuan untuk mengetahui TKG secara maksimal.Selama kegiatan berlangsung air dalam bak hanya setinggi punggung ikan.Hal ini dilakukan untuk mempermudah ketika menangkap induk ikan jelawat yang bersifatsuka meloncat. 2.2.3. Pemijahan Induk – induk ikan jelawat yang telah terseleksi siap ditampung bak pemberokan sebelum dilakukan pemijahan.Pemijahan ikan jelawat dilakukan secara buatandengan carapenyuntikan(induced breeding) menggunakan hormon ovaprim atau kombinasi ovaprim dan HCG. Penyuntikan dilakukan secara intramuscular pada pangkal bagian belakang sirip punggung.Untuk penyuntikan menggunakan hormon ovaprim, Induk betina dilakukan 3 kali penyuntikan dengan dosis 0,7 ml/kg induk. Interval waktu antara suntikan pertama dan kedua yaitu 12 jam, sedangkan interval waktu penyuntikan kedua dan ketiga yaitu 6 jam. Induk jantan dilakukan satu kali penyuntikan dengan dosis 0,3ml/ekor induk bersamaan dengan penyuntikan kedua induk betina. Sedangkan, untuk penyuntikan kombinasi ovaprim dan HCG, induk betina dilakukan 2 kali penyuntikan yaitu suntikan pertama menggunakan HCG dengan dosis 500 IU/kg bobot tubuh, Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 104 selanjutnya setelah 24 jam dilanjutkan penyuntikan ke dua menggunakan ovaprim 0.3 ml /kg bobot tubuh. Pengecekan ovulasi dilakukan paling cepat 4 jam dari penyuntikan terakhir. Apabila sudah ada induk betina yang ovulasi, maka segera dilakukan stripping induk jantan untuk proses spermiasi. Sperma ditambahkan larutan NaCl 0,9% dengan perbandingan 1 : 3. Telur dan sperma ditampung dalam satu wadah yang bersih dan kering. Kemudian dilakukan fertilisasi dengan cara mencampur sperma ke dalam telur lalu diaduk perlahan hingga tercampur rata dengan menggunakan bulu ayam. Tambahkan air bersih untuk mengaktifkan sperma, setelah terjadi pembuahan maka dilakukan pencucian telur 3-4 kali hingga telur bersih dari sisa sperma 2.2.4. Penetasan Telur Telur di tetaskan di tempat penetasan yang sudah di sediakan (fiber atau corong). Telur yang bagus akan menetas 18 - 24 jam setelah ovulasi. Salah satu tanda telur yang bagus dan menetas, pada wadah penetasannya tidak banyak terdapat busa atau buih yang berbau amis. Setelah telur menetas semua maka dilakukan pergantian air pada wadah penetasan, hal ini bertujuan untuk menjaga kualitas air tetap optimal dan tidak menyebabkan kematian pada larva yang baru menetas. Pemanenan larva dilakukan 48 jam setelah telur menetas atau setelah kondisi larva dapat bergerak aktif (tidak mengendap). 2.2.5. Pemeliharaan Larva Larva dapat ditebar langsung ke kolam pada umur 3 hari (tanpa pemberian Artemia) atau dipelihara terlebih dahulu di hatchery selama 6-7 hari sebelum tebar ke kolam, apabila kondisi larva dan kolam pendederan belum siap tebar. Penghitungan jumlah larva dilakukan secara sampling volumetrik.Padat tebar yang digunakan untuk pemeliharaan larva di kolam adalah 300-400 ekor /m2 sedangkan pada pemeliharaan di hatchery padat tebar adalah 40 ekor/liter air.Pakan pada pemeliharaan larva umur 3 hari di kolam yaitu pakan komersial berbentuk tepung.Pada pemeliharaan di hathery, larva diberi makan nauplii Artemia selama 3 hari, pada hari pertama larva belum makan dan mulai makan pada hari ketiga.Frekuensi pemberian pakan larva 5 kali dalam sehari.Pada pemeliharaan di hatchery, pergantian air dilakukan pada hari ke 2 dan ke 4, sedangkan sifon dan pembersihan wadah pemeliharaan dilakukan setiap hari sampai larva siap tebar kolam (umur 7 hari). Kisaran suhu air pemeliharaan dijaga pada kisaran 27-29 0C. Oksigen terlarut air pemeliharaan larva dikisaran 5-7 mg/L. Air yang digunakan merupakan air yang telah difilter dan diendapkan terlebih dahulu.Penggunaan obat-obatan seminimal mungkin tidak dilakukan dalam pemeliharaan larva.Pengamatan pertumbuhan dan kesehatan larva dilakukan rutin setiap harinya.Panen larva yang dipelihara di hatchery dilakukan setelah larva makan Artemia selama 4 haridan larva sudah berenang sangat aktif dan respon terhadap pakan maupun gangguan sehingga sudah siap ditebar dikolam. 2.1. Parameter Yang Diamati Dari seluruh tahapan kegiatan parameter yang diamati meliputi Jumlah Induk Betina Yang Ovulasi (%) Jumlah Induk Jantan yang spermiasi (%) Survival Rate (Kelangsungan Hidup) Induk Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 105 Hatching Rate Survival Rate (kelangsungan hidup) Larva 2.2. Parameter Yang Diukur Kualitas Air meliputi Suhu, DO, pH, Amoniak, Nitrat, Nitrit, Ammonium, Kesadahan, dan Alkalinitas. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil perbaikan – perbaikan teknik pengelolaan induk yang telah dilakukan di BPBAT Sungai Gelam dari tahun 2014 s.d 2015 di peroleh hasil sebagai berikut: Tabel 1. Perbaikan – Perbaikan Dalam Pengelolaan Induk Yang Telah Dilakukan Di BPBAT Sungai Gelam Dari Tahun 2014 s.d 2015 No 1 2 3 4 Kondisi Awal Perbaikan Hasil -Masih adanya kesalahan dalam penentuan jantan dan betina yang siap pijah -Memijahkan induk melebihi kapasitas produksi -Meningkatkan keterampilan teknisi dalam melakukan proses selkesi induk - Ketepatan teknisi/personil dalam menentukkan jantan dan betina yang siap pijah, sehingga meningkatkan jumlah induk betina yang ovulasi - Melakukan estimasi jumlah induk jantan dan betina yang akan dipijahkan - Wadah inkubasi induk (bak fiber) yang diletakkan di bawah, sehingga menyulitkan teknisi pada saat melakukan penyuntikan induk, serta mempengaruhi suhu air wadah inkubasi induk (waktu laten lebih lama) -Penutup wadah inkubasi induk kurang sempurna menutup , sehingga ada induk yang mati karena melompat dari wadah pemeliharaan - Pemberian kaki penyangga untuk wadah inkubasi induk (bak fiber) - Diperoleh larva/benih sesuai dengan kebutuhan dan wadah pemeliharaan yang tersedia, meningkatkan Hatching rate dan kelangsungan hidup larva - Memudahkan teknisi/personil pada saat melakukan penyuntikan, menigkatkan suhu air wadah pemeliharaan sehingga mempengaruhi waktu laten. - Merubah tutup bak fiber dengan menggunakan kayu (lebih berat) Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 - Mengurangi mortalitas induk yang diakibatkan induk melompat keluar dari bak fiber 106 5 - Induk pasca di anestesi kemudian di stripping langsung di kembalikan ke kolam pemeliharaan induk pada hari yang sama, mengakibatkan induk banyak yang mati - Induk pasca dilakukan stripping diinkubasi terlebih dahulu di dalam hatchery selama ± 24 jam atau sampai ikan terlihat sudah siap untuk dilepas kembali ke kolam pemeliharaan - Mengurangi mortalitas induk pasca anestesi dan stripping Tabel 2. Parameter – Parameter Yang Diamati Sebelum Dan Sesudah Perbaikan Teknik Pengelolaan Induk Parameter Yang Diamati Jumlah Betina Yang Ovulasi (%) Jumlah Jantan Yang Spermiasi (%) Kelangsungan Hidup Induk Pasca Pemijahan (%) Hatching Rate (%) Kelangsungan Hidup Larva (%) Sebelum Perbaikan 60.00 - 83.33 90 – 97 Sesudah Perbaikan 75.00 - 100.00 90 – 97 80.00 - 97.00 42.85 - 80.00 35.00 - 61.24 44.28 - 63.60 32.00 - 62.58 93.39 - 99.7 Kualitas Air Hasil pengukuran parameter kualitas air selama masa pengamatan adalah seperti pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Rerata Nilai Kisaran Kualitas Air Kolam Induk Wadah Inkubasi Induk Wadah Penetasan Telur Wadah pemeliharaan Larva Suhu (0 c) 26.6 28.7 26.1 27.2 26.2 27.2 26.5 27.9 DO (mg/l) Ph NH3(mg/l) NH4+ (mg/l) 2.86 4.38 6.61 7.24 0.25 0.92 0.35 1.14 3 - 4.4 6.8 7 0.13 0.31 0.17 0.31 0.05 0.27 0.06 0.33 0.14 0.27 0.18 0.29 4.45 5 33.99 7.15 7.50 6.69 7.15 NO2(mg/l) 0.009 0.211 0.007 0.021 0.008 0.031 0.005 0.011 NO3(mg/l) Kesadahan (mg/l) 0.06 0.81 20 - 32 0.06 0.11 - 0.05 0.09 - 0.04 0.09 - Dengan memperhatikan nilai parameter kualitas air di atas secara keseluruhan masih mendukung untuk proses pemeliharaan induk,penetasan telur, dan pemeliharaan larva ikan Jelawat. Hasil ini sesuai dengan pendapat Brotowijoyo (1995), kisaran suhu air optimal untuk budidaya ikan air tawar adalah 15-29oC. pH air 6,5-8 dan DO berkisar antara 5-8 mg/l. Menurut Nuzliani (2003), nilai NH3 yang baik untuk budidaya ikan adalah kurang dari 0,3 mg/l, dengan demikian nilai NH3 di media penetasan sedikit lebih Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 107 tinggi dari nilai rekomendasi. Tingginya konsentrasi NH3 pada media tetas diduga telur yang tidak menetas (membusuk) mempercepat meningkatkan kadar NH3 selain hasil proses metabolisme telur dan larva juga diduga memberikan peningkatan konsentrasi amoniak di media tetas KESIMPULAN Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil kegiatan ini adalah sebagai berikut: 1. Jumlah induk jantan yang spermiasi maupun betina yang ovulasi mengalami kenaikan sejalan dengan menurunnya mortalitas induk mati karena melompat dari wadah inkubasi. 2. Daya tetas telur ikan Jelawat tidak berbeda nyata antara sebelum maupun sesudah dilakukan perbaikan cara pengelolaan induk pra dan pasca stripping. 3. Kualitas air selam kegiata masih dalam kisaran norma unuk budidaya. 4. Berdasarkan hasil perhitungan analisis usaha, usaha pembenihan ini layak dilakukan DAFTAR PUSTAKA Handoyo B, Setiowibowo C, Yustiran Y. 2010. Cara mudah budidaya dan peluang bisnis ikan baung dan ikan jelawat. Bogor (ID): IPB Press. Handoyo, B. Fadhillah, H. Pembenihan Ikan Jelawat. 2006. Laporan Tahunan Hasil Perekayasaan Balai Budidaya Air Tawar Jambi.BBAT Jambi.Jambi. Handoyo, B. Fadhillah, H. Produksi Benih dan Calon Induk Ikan Jelawat. 2007. Laporan Tahunan Hasil Perekayasaan Balai Budidaya Air Tawar Jambi.BBAT Jambi.Jambi. Handoyo, B. Mubinun, Fadhillah, H. 2007. Keberhasilan Pertama Pembenihan Ikan Jelawat (Leptobarbushoevenii) di BBAT Jambi Melalui Perbaikan Manajemen Induk.Poster disampaikan dalam Indonesian Aquaculture 2007.Bali. Hardjamulia A. 1992. Informasi teknologi budidaya ikan jelawat Leptobarbus hoevenii.Balai Penelitian Perikanan Air Tawar. Bogor. Rimalia, A. 2014.Perbandingan induk jantan dan betina terhadap keberhasilan pembuahan dan daya tetas telur ikan jelawat. Ziraa’ah. Volume 39 No. 3.Hal.114 -118. Jurusan Perikanan. Fakultas Pertanian. Universitas Banjarbaru. ISSN 2355-3545. Wibowo, W.B, E. Sutisna, Suryana. 2014. Produksi benih ikan jelawat (Leptobarbus hoevenii, Bleeker). Laporan Tahunan Hasil Kegiatan Kerekayasaan. Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Jambi.18 Hal. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 108 CARRYING CAPACITY OF TELUK LAKE, JAMBI CITY FOR COMMUNITY-BASED RED TILAPIA (Oreochromis sp.) CULTURE IN FLOATING NET CAGE1) Janu D. Kristianto2), Sunardi, and Iskandar ABSTRACT Lake is one of ecosytem form than occupies a relative small area on the surface of the earth as compared to sea and land habitats. For humans, utilization is more important than the expanse of lands. Since 1985, Teluk Lake began to be used as the location of fish cultivation with floating net cage culture (FNCC). The number of FNCC in 2012 reached ± 878 unit of 64 fish farmers and it will increase related to determination of Jambi Province as one of Minapolitan fishery cultivation in order to increase fish production. Utilization of Teluk Lake as media for fish cultivation on floating cage is necessary to encourage the management of common resources is to be kept sustainable. Studies on carrying capacity and utilization of Teluk Lake Jambi City for community-based fish cultivation in FNCC aims to know how the use of this lake that have been implemented by the local community and to find out how the carrying capacity Teluk lake that used to fish farming activities in floating cage. Carrying capacity is determined by calculating water polution load capacity of lake for fish farming activities in floating cage. Data that used are primary and secondary data. Methods used in this study is qualitative and quantitative methods with a descriptive approach. Tabel 1. LCWP analysis for Teluk Lake for Red Tilapia Aquaculture activities in cage 2012 Lake Characteristics Symbol D. Carrying amount FNC Aquaculture for Red Tilapia in Teluk Lake FCR Red Tilapia Value FCR 1,8 ton feed/ton fish Total P content in the feed Ppakan 13 Kg P/ ton feed Levels of P-total in the Red Tilapia Total P coming from fish waste Pikan 3,4 Kg P/ ton fish PLP= FCR*Ppakan-Pikan 20 Kg P/ ton fish FNC Fish production The amount of fish feed in FNC LI = Laikan/PLP LP = LI * FCR 517,617 931,710 Ton fish/years Ton feed/years The mean estimate of Harvest Fish in FNC Ideal number FNC - 0,6 Ton fish/years/units Laikan/Estimasi Rerata panen Ikan KJA 862,695 unit Description :1) BLH Kota Jambi, 2012, 2) Analisa Laboratorium Kesehatan Ikan dan Lingkungan BBAT Jambi, 2013 Result showed that carrying capacity of Teluk lake for fish farming in FNCC is equal 517,617 tons of fish per year with estimate amount of feed given to fish in floating cage is as many as 931,710 ton per year assuming total P were entered into the lake through fish waste as much 20 k P/ton of fish. Ideal number of floating cage based on lake carrying capacity accounting should be 862,695 unit ~ 863 unit. Operating floating cage currently is 878 unit so that it is necessary reduction in the amount of 15 unit and if they Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 109 want to add a new one, it should be an improvement or replacement of existing floating cage at lake. Utilization of Teluk Lake for fish farming is done simple by local communities and number of existing floating cage already slightly exceed the carrying capacity of lake if related from existing concentration of total P in water. I. INTRODUCTION Lake is one of ecosystem forms than occupies a relative small area on the surface of the earth as compared to sea and land habitats (Zaibal, 1998).The existence of the lake ecosystem provides beneficial functions for human life (household , industrial , and fisheries). In Jambi city, there is one of lakes that called Teluk Lake. Since 1985, Teluk Lake began to be used as location for fish culture with floating net (FNC ). Nowadays, there are 878 FNCplots and it willincreased.Utilization Teluk Lake for fish aquaculture provides positive and negative impact. It is necessary to encourage the management of this common property resources. Sustainable management of the lake have tobe conducted so that the sustainability of this resource can support fish farming activities. There are four (4) aspects that need to be assessed in lake utilization–based community, ie Aquaculture teknology aspects , environmental aspects , social economi aspects and institutional aspects as well as the added external involvement . In addition, information regarding the carrying capacity of the lake for fish farming is necesarry too (Kosehendrajana, 2009).Utilization public property freely and uncontrolled can damage the environment . Based on that matter, it is important to conduct research on carrying capacity and utilization of Teluk Lake as animpact of the activity of fish Aquaculture in cage -based society. So benefits of the presence of Teluk Lake as a place for fish farming activities can be continued and environmentally friendly in future Based on this background, three are some problem; (1) how did carrying capacity of teluk lake support fish aquaculture in cage today; (2) how did utilization of teluk lake for fish aquaculture in FNC carried out by communities around the lake; (3) how did recommendation made for management pattern of teluk lake for fish aquacultureon FNC based sustainable community. The purpose of this research are to find out condition of carrying capacity of teluk lake that used for fish aquaculture in FNC, to find out management of teluk lake for fish aquaculture in FNC of that carried out by communities around the lake and to find out recommendation of management patterns on teluk lake for fish aquaculture in FNC based sustainable community. There is have 2 (two) benefits of the research, (1) theoretical benefitthis information is expected to contribute the scientific development of natural resource management planning and environmental management systems in particular information about utilization system of lakeecosystem for Fish Aquaculture in comprehensive and integrated study and (2) practical benefits, the results of this study are expected to be recommendation/information for JambiGovernment and community / fish farmers in designing development of Teluk Lake management for the Fish aquaculture activities based community with sustainable development considerations. II. FRAMEWORK Teluk Lake is a natural lake that is one of its functions as a media for aquaculture with FNC system. Utilization of the lake for fish farming cause both positive and negative effects to community and the environment of lake. The affect of rapid and uncontrolled Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 110 utilization of lake for fish farming decrease carrying capacity of lake.Assessment of the of water quality status and the lake carrying capacity in cage fish farming became important to do in order to maintain and to preserve the existence of the lake in future. Moreover, the existence of local communities and fish farmers in lakemanagement became a key to success in resource management process. Community involvement in managing directly interpreted as a form of participation to concern, to formulate, to plan, to implement, to evaluate and to supervise something that became his needs. Community involvement in the management of resouce is influenced by four (4) factors ie technological, environmental, socioeconomic and institutional supporting factor of local government. Management with community participation of FNC fish farmers and water carrying capacity assesment are expected to control the environmental impact before the more severe damage and it can be used recommendation for lake management planning as sustainable fish farming media in cage (Pic. 1) Picture 1. Framework of Research III. LOCATION AND RESEARCH METHODS This study was conducted to describe the carrying capacity and utilization of Teluk Lake to fish farming activities in FNC -based community. Type of research used in this research is descriptive that describe the issue is qualitative and supported by quantitative methods. Qualitative approach is used to describe how the lake utitlization for fish farming in the FNC-based community. Quantitative approach is used to determine the amount of the carrying capacity of Teluk Lake supporting fish farming in cage.Location of the research located in Teluk Lake , District of Danau Teluk, Jambi City, Jambi Province. It was conducted during the five (5 ) months (Pic. 2) Analysis of water quality used storet method, a method for determining water quality status based on the Ministry of Environment RI No. 115/2003. Analysis is done by comparing the data quality of the lake water with water quality standards in accordance with the value system of US - EPA (Environmental Protection Agency) in this case the Water Quality Standard Class III ( for freshwater aquaculture). Analysis of carrying capacity on Teluk Lake in FNC fish farming activities was measured by the presence of total phosphorus ( total - P) through the calculation of water pollution load capacity (WPLC) lake for aquaculture in accordance with Regulation from Ministry of Environment No. 28/2009. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 111 CharacteristicsData of FNC Farmers is analyzedusing distribution frequency and to know the community participation in lakemanagement conducted triangulation data to cross check from interviews , observation and respondentssurvey. Then data is analyzed through three (3) stage ie data reduction, data presentation (display ) and conclusions. Picture 2. Teluk Lake, Jambi City IV. RESULT AND DISCUSSION Teluk Lake located in border zone between Pasir Panjang, Tanjung Pasir dan Olak Kemang distric, Teluk Lake subdistrict, Jambi city: a. North Muaro Jambi Regency b. South Batanghari River c. East Olak Kemang District d. West Tanjung Pasir District Topography with altitude range 10-30 dpl and slope range 2-8%. Tropical climate with rainfall 2.053 mm/year, and average temperature 26,40C.Teluk lake is flooding lake, with biggest water debit entry through Olak Kemang river by 11 m3/second and water flow debit 0,4 m3/second .The depth of Teluk Lake in the rainy season reach 14 m and 8 m in dry season. Based on direct measurement dan water quality measurement data from BLH, Jambi city obtained result of skoret analysis -33. this value represent mistmatch esult of measurement and monitoring of lake water quality had exceeded maximum limit of water quality class III. Parameters that exceeded the quality standar are pH, BOD, NO 3, Zinc, Total Coli, Oil and fat.Based on water quality status from storet analaysis value showed that water quality of teluk lake in medium polluted condition (Water quality status class C). (Table. 1). Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 112 Table 1. Water Quality of Teluk Lake Per Year Since 2006 until 2013 Phytoplankton Analysis in Teluk Lake, Endorina is the most chlorophyceae that found in every station. Phytoplankton abundance in Teluk lake is 26.924 – 75.475 ind/l. It showed that Teluk lake is eutropic lake, Diversity Index (H’) : 1,21 – 2,61, Uniformity Index (E) : 0,39 – 0,83 and Dominance Index(C) : 0,10 – 0,55. Analysis of Macrozoobenhtos Communitiies in Teluk LakeTubifex is the most oligochaeta class which found in Stasion I and III. Stasiun II : bivalia and gastropoda class. The abundance of macrozoobenthos : 314 – 1,090 ind/m2, Diversity Index (H’) : 1,29 – 1,68, Uniformity Index (E) : 0,66 – 0,86 and Dominance Index(C) : 0,23 – 0,34. Based on DTBPA, carrying capacity of Teluk Lake, Jambi city that supported fish culture is 517,617 ton fish per years and number of feed given 931,710 ton/years by estimation total p from uneaten feed and feces lost into lake 20 kg P/ton. Based on DTBPA calculation, ideal amount of cages for fish culture can operate ranged 862, 695 unit ~ 863 unit (Table 2). Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 113 Table 2. Carrying Capacity Lake for Aquaculture FNC in Teluk Lake, Jambi 2013 Recomendation utilization of Teluk Lake for fish culture in FNC based society are business license of fish farming,double net aquaculture system, feed management, technical improvement of human resource in fish aquaculture, reactivate the institutional of fish farmerand spatial arrangement of lake utilization V. CONCLUSION Based on DTBPA Carrying capacity of Teluk Lake, Jambi city that supported fish aquaculture in FNC is 517,617 ton fish per year by assumption total-p from uneaten fish and feces lost into lake 20 kg P/ton fish. Ideal amount of cages should operated in Teluk Lake is 862,695 unit-862 unit ( based on DTBPA calculation). Therefore, the presence of 878 unit FNC in Teluk Lake has already exceeded the carrying capacity of lake. Utilization of Teluk Lake for fish aquaculture in cage based on technological aspect, social economic, enviromental and institutional aspect not meet prerequisites fish aquaculture based community. This is indicated by the placement pattern of adjacent cages, high stocking density (compared with SNI), conflict between fish farmers and other users of lake , over carrying capacity, and not active fish farmer institution in Teluk Lake. Beside that, external involvement ( in this case local government) in lake management for fish aquaculture is still low Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 114 Pattern of Lake utilization for fish aqauculture in FNC based community is one of solution to anticipate the increasing of amount FNC that operated in Teluk Lake so not threaten carrying capacity and sustainability lake for fish aquaculture and other uses. Recommendation of lake utilization pattern for fish aquaculture in FNC based community is to release business lisence fish aquaculture in order to control and not damage enviroment, to use fish maintenance sytem by double net, feed management, technical improvement of fish farmers, to reactive fish farmers group in order coordination between farmer, government and stakeholder and site selection of lake utilization in the form of written rules. BIBLIOGRAPHY Abduh, M. 2004. Program Perikanan Berbasis Budidaya (Culture Based Fisheries). Pusat Riset Perikanan Budidaya. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Jakarta Agustiyani, D. 2004. Proses Terjadinya Penyuburan (eutrofikasi) dan Dampaknya di Perairan. Manajemen Bioregional Jabodetabek Profil dan Strategi Pengelolaan Sungai dan Aliran Sungai. LIPI. Cibinong Bogor. Ardi. 2002. Pemanfaatan Makrozoobentos Sebagai Indikator kualitas Perairan Pesisir. Program Pasca Sarjana. Institut pertanian Bogor. Bogor. Arnstein. 1969. A Ladder of Citizen Participation. Journal of The American Institute of Planners. Azwar, Z.I., N. Suhenda, O. Praseno. 2004. Manajemen Pakan Pada Usaha Bididaya Ikan di keramba jaring apung. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar. Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Bogor. Bakri, A. 1998. Limnological Characteristic, Eutrophication and Cyanobacterial Blooms in an Inland Reservoir. Journal of Arid Environments. Australia Barus, T.A. 2004. Pengantar Limologi : Studi Tentang Ekosistem Air Daratan. USU Press. Medan Basmi, J. 1995. Planktonologi : Produksi Primer. Fakultas Perikanan IPB.Bogor Beveridge, M.C.M dan J.M. Muir. 1987. Current Status and Potential of Freshwater Cage Culture in Southeast Asia. Arch Hydrobiol Beih. Beveridge, M.C.M. 1996. Cage Aquaculture. Fishing Second Edition. News Books. London Boyd, C.E. 1990. Water Quality in Pond for Aquaculture. Birmingham Publishing Company. Alabama. Brannen, J. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Pustaka Pelajar Offset. Yogyakarta. Cernea, M.M. 1991. Putting People First : Sociological Variable in Rural Development. 2’nd Edition. Oxford University Press. London Cohen, J.M and N.T. Uphoff. 1997. Rural Development Participation Concepts and Measures for Project Design, Implementation and Evaluation. Rural Development Monograph No. 2. Dipublikasikan oleh the Rural Committe Center for Interpretation Studies, Cornell University. Cole, G.A. 1988. Text Book of Limnology 3’th Edt. Waveland Press Inc. USA Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 115 Creswell, J.W. 2002. Research Design Qualitatif and Quantitative Approaches (Desain Penelitian Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif). KIK Press. Jakarta. Davis, M.L., dan D.A. Cornwell. 1991. Introduction to Environmental Enggineering Second Edition. Mc. Graw Hill Inc. New York Dhahiyat, Y. 2011. Ekologi Perairan. Unpad Press. Bandung Effendie, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkunga Perairan. Kanisius. Yogyakarta Gather, R., dan D.M. Imboden. 1985. Lake Restoration in Stumm W (ed). Chemical Processed in Lake. John Willey and Sons Inc. Kanada Goldmen, C.R., dan A.J. Horne. 1989. Limnology. Mc. Graw Hill Company. New York. Gunawan, B., K. Takeuchi, O. S. Abdoellah. 2004. Challenges to Community Participation in Watershed Management : Analysis of Fish Farming Activities at Saguling Reservoir West Java – Indonesia. Published. Heddy, S & Kurniati, M. 1994. Prinsip-Prinsip Dasar Ekologi. Raja Grafindo Persada ; Jakarta. Hal 58 Hendersend, B., H.R. Markland. 1987. Decaying Lakes, The Origin and Control of Culture Eutrophication. John Willey and Son, Inggris Hidayat, U. 1995. Keanekaragaman Makrozoobentos invertebrata Sebagai Kualitas Air Danau Lido Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bagor, Jawa Barat. Skripsi Fakultas MIPA Universitas Pakuan Bogor. Bogor. Hal 1-12. Ilyas, S. 1990. Petunjuk Teknis Pengelolaan Perairan Umum Bagi Pengembangan Perikanan. Seri Pengembangan Hasil Penelitian Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Iskandar, J. 2001. Manusia, Budaya dan Lingkungan : Kajian Ekologi Manusia. Humaniora Utama Press. Bandung. Iskandar, J. 2009. Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan. Program studi Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Padjadjaran. Bandung. Jorgensen, S.E. 1989. Use of Model. Guedelines of Lakes Management. Vol 1:71-89. Principles of Lakes Management International Lake Environment Foundation. Shiga-Japan. Kartamiharja, E.S. 1998. Pengembangan dan Pengelolaan Budidaya Ikan Dalam Keramba Jaring Apung Ramah Lingkungan di Perairan Waduk dan Danau Serbaguna. Prosiding simposium perikanan indonesia II:174-182. Ujung Pandang. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2008. Pedoman Pengelolaan Ekosistem Danau. Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan KLH. Jakarta Kenchington, R.A. dan B.E.T Huson. 1984. Coral Reef Management Handbook. Jakarta Indonesia. UNESCO Regional Officer for Science and Technology in South-East Asia. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 Tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Kementerian Negera Lingkungan Hidup. Jakarta Kibria, G., D. Nugegoda dan P. Lam, R. Fairlough. 1996. Aspect of Phosphorus Pollution from Aquaculture. Naga the ICLARM Quarterly, July 1996. 20-24 Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 116 Koeshendrajana, S., A.W Wijaya, F.N. Priyatna, P. Martosuyono, dan S. Sukimin. 2009. Kajian Eksternalitas dan Keberlanjutan Perikanan di Perairan Waduk Jatiluhur. Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Jakarta. Koswara, B. 2011. Dasar Dasar Pengelolaan Danau dan Waduk. BPP-PSPL Press. Pekanbaru. Krismono, A., K. Purnomo, dan D.W.H. Tjahjo. 1992. Proses pembalikan umbalan dan dampak terhadap kegiatan perikanan. Prosiding temu karya ilmiah pengkajian alih teknologi budidaya ikan dalam keramba mini, Bogor Krismono dan N.A. Wahyudi. 2001. Analisis Kebijakan Pengelolaan KJA sebagai Salah Satu Kegiatan Pengelolaan Danau dan Waduk. Analisis Kebijakan Pembangunan Perikanan. Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, DKP. Jakarta. Krismono. 2004. Optimalisasi Budidaya Ikan dalam KJA di Perairan Waduk Sesuai Daya Dukung. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar. Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Bogor. Kusumastanto, T. 1998. Penyusunan Konsep Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Yang Berakar Pada Masyarakat. Kerjasama Dirjen Bangda Depdagri dengan PKSPL-IPB. Laksana, B. S. 2005. Pengaruh budidaya ikan keramba apung terhadap status tropik di perairan sungai (studi kasus kegiatan budidaya ikan di Sungai Karang IntanKecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan). Pascasarjana Unpad. Bandung. Lynch, F., M.R. Hollnsteiner and L.C. Covar. 1974. Data Gathering by Social Survey. Trial Edition. Philippines Social Science Council. Inc., Quezon City. Philippines. Machbub, B. 2010. Model Perhitungan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau dan Waduk. Jurnal Sumber Daya Air, Vol. 6 No. 2. P. 103-204. Jakarta. Madrie. 1986. Beberapa Faktor Penentu Partisipasi Anggota Masyarakat dalam Pembangunan Pedesaan. Tesis Program Pascasarjana IPB. Bogor. Mc Donald, M.E., C.A. Tikkanen, R.P. Axler, C.P. Larsen, dan G. Host. 1996. Fish Simulation Culture (FIS-C). A. Bioenergetics Based Model for Aquacultural Waste Load Application. Aquacultural Enginering. 15 (4): 243-259. Meade, J.W. 1991. Aquaculture Management. Anavi Book Van Nostrand Reinhold. 175 hlm. Mitchell, B., B. Setiawa, D.H. Rahmi. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Mubyarto. 1984. Strategi Pembangunan Pedesaan. P3PK. UGM. Yogyakarta. Nastiti, A.S., S, Nuroniah., S.E. Purnamaningtyas, E.S. Kartamiharja. 1998. Daya Dukung Perairan Waduk Jatiluhur untuk Budidaya Ikan dalam Keramba Jaring Apung. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Jakarta. Ndahawali, D. H. 2002. Dampak Budidaya Ikan Terhadap Kualitas Air, Studi Kasus Budidaya Ikan Jaring Apung di Danau Tondano, Minahasa, Sulut. Tesis Magister Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Jakarta Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 117 Nikijuluw, V.P.H. 1994. Co-Management sebagai Paradigma Baru Pemanfaatan sumberdaya Perikanan Secara Berkelanjutan dalam Inovasi Teknologi Pertanian Seperempat Abad Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Tomasu Offset Printing. Jakarta. Nikijuluw, V.P.H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R) dengan PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta Nuryanto, S. 2001. Model Eutrofikasi Akibat Kegiatan Perikanan Sistem Karamba Jaring Apung (KJA) di Waduk Saguling, Jawa Barat. Pascasarjana IPB. Bogor. OECD Organization for Economic Coorperation and Development. 1982. Eutrophication of Waters. OECD Publication Office. Paris Odum, E.P. 1989. Dasar Dasar Ekologi Edisi Ketiga. Gajah Mada University Press. Yogyakarta Payne, A.L. 1986. The Ecology of Tropical Lakes and Rivers. John Wiley and Son. Singapura. Pennak. 1978. Freshwater Invertebrates of The United States, second edition. John Wiley&Sons, Inc: United States of America. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 28 Tahun 2009 tentang Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau/atau Waduk. Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI. Jakarta PKSPL, 1998. Penyusunan Konsep Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan yang Berakar dari Masyarakat. Kerjasama Dirjen Bangda dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB. Bogor Poernomo, K., A. Krismono dan A. Sarmita. 1993. Penataan Ruang Beberapa Waduk di Jawa dan Lampung Dalam Rangka Pengembangan Usaha Perikanan. Prosiding Puslitbangkan No, 31/1993. Deptan, Balitbangtan Puslitbangkan. Jakarta Pomeroy. R.S. and M.J. Williams, 1994. Fisheries Co-Management and Small Scale Fisheries : A Policy Brief. ICLARM. Manila. Prihadi. T.H. 2004. Upaya Perbaikan Lingkungan Untuk Menunjang Kesinambungan Budidaya Ikan Dalam Keramba Jaring Apung (KJA). Pusat Riset Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Jakarta Rachman. 2003. Produktivitas Primer dan komunitas Plankton di Danau Buatan Kawasan Pemukiman Ogan Permata Indah Jakabaring Palembang. Universitas PGRI. Palembang Raharjo. 1996. Masalah Komunikasi di Pedesaan dalam Pembangunan Desa dan Lembaga Swadaya Masyarakat. CV. Rajawali. Jakarta Ridwan, 2002. Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian. Alfabeta Bandung Ruttner. 1997. Fundamental of Limnology. University of Toronto Press. Kanada Ryding, S.O. dan W. Rast, 1989. The Control of Eutrophication of Lakes and Reservoirs. Man and Biosphere Series. Vol I. The Parthenon Publishing Group : 314 pp. Sachalan, M. 1980. Planktonologi. Fakultas Perikanan Universitas Padjadjaran.Bandung. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 118 Saeni, M.S. 1989. Kimia Lingkungan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ditjen Pendidikan Tinggi. Pusat Antara Universitas Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sastropoetro, S. 1998. Partisipasi, Komunikasi, Persuasi dan Disiplin dalam Pembangunan Nasional. Penerbit Alumni. Bandung Schmittou, H.R. 1991. Cage Culture. A Method of Fish Production in Indonesia. FRDP Central Research Institute for Fisheries. Jakarta - Indonesia Setiana, A. 1996. Nitrate and Phosphorus : Leaching and The Impact to Reservoir Water Quality. Jurnal Alam (1) : 32-35 Siagian, M. 2009. Strategi Pengembangan Keramba Jaring Apung Berkelanjutan di Waduk. Unpad Press. Bandung Soemarwoto, O. 1983. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit Djambatan. Bandung. Southwick, C.H. 1976. Ecology and Quality of Our Environment 2’nd Edition. D. Van No Stran Company. New York. Sudrajat, M. 2009. Dampak Budidaya Ikan Jaring Apung di Waduk Cirata Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Lokasi dan Pembangunan Ekonomi Kabupaten Cianjur. Pascasarjana IPB. Bogor. Suyatna, 1982. Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan. IIP. Jakarta. Tjondronegoro, S.M.P. 1983. Gegala Organisasi dan Pembangunan Berencana Dalam Masyarakat Pedesaan di Jawa. LPSP-IPB. Bogor. Thorp H. J., A. P. Covich. 1991. Ecology and Classification of North American Freshwater Invertebrates. Academic Press Inc : New York. Tulungen, J.J. 2003. Panduan Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat. USAID-BAPPENAS. Jakarta. Turner, C.E. 1988. Cedes of Practice and Manual of Procedure for Consideration on Introductions and Transfer of Marine and Freshwater Organism. EIFAC / CECPI. Occasional Paper No. 23. 44 hlm. Wetzel, R.G. 2001. Limnology. Lake and River Ecosystem. 3th. Academic Press, New York, London : 1006 p. Widigdo, B. 2000. Penyusunan Kriteria Ekologis untuk Pemulihan dan Pelestarian Kawasan Pesisir di Pantura Jawa Barat. PKSPL. Bogor Widyastuti, E. 2005. Model Pengelolaan Berkelanjutan Budidaya Ikan dalam Keramba Jaring Apung di Waduk (Studi Kasus di Perairan Waduk PB Soedirman). Pascasarjana IPB. Bogor. Wikarta, E.K., T. P. Sendjaja, Y. Dahiyat, A. Rodjak. 2010. Eksternalitas Pencemaran Sumber Daya Air : Teori dan Aplikasi. Unpad Press. Bandung. Zainal, S. 1998. Implementation of Extension for Net Cage Aquaculture in Indonesian Reservoir : Pitfulls and Prospect. FAO Fisheries Technology Papers. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 119 CASES OF BACTERIAL INFECTIOUS DISEASES IN THE GROUPER AND THE ECONOMIC ANALYSIS ON MARINE CAGE CULTURE IN PANDEGLANG, BANTEN PROVINCE Putri Ramdhani, Ratna Amalia Kurniasih & Dinarti Center of Fish Diseases and Environment Investigation [email protected] ABSTRACT Gouper aquaculture is growing up in Indonesia, especially in the grouper marine cage culture, however grouper marine cage culture has some problem such disease and bad environmental. Bacterial infection is one of the diseases in grouper with clinical sign like ulcer in the body and fin rot. Water in aquaculture is not just for live but as an intermediary for pathogen, so that bad environment cause fish stress and diseases transmissions becomes faster.Sampling has done on marine cage culture belonging Mr. Sam located in Kp. Cisaat, Banten Province. Sample was fish with pathogen clinical sign like weaker body, ulceration, or decrease appetite and has 18-22 cm for long body. Ulceration caused by bacterial, parasite or virus, therefore laboratory examination should be carried out for diagnose Water quality has done for supporting data like temperature, pH, DO and salinity. From the examinition results obtained iridovirus and VNN negative and positive bacteria. The cause of death due to huge losses for farmer, therefore economic analysis has done to determine the amount of losses and it is expected to be reference feasibility grouper aquaculture on marine cage culture KEYWORDS : Grouper; cage; diseases; economic; water quality INTRODUCTION Grouper mariculture at several locations in Indonesia is growing, especially grouper fish farming in floating net cages (KJA). This is due to the supply of breed stock is available regularly either in amount or size. Hatchery in Gondol, northern part of Bali, has been growing and is able to ensure supply of seeds. At beginning the larva grouper depend on the natural supply in which the amount and time limited and irregular. Therefore, the government encourages all efforts leading to grouper aquaculture activities, especially through the net in the sea (Subiyanto et al., 2001). The problem is the occurrence of the disease. One of the diseases found in fish grouper is a bacterial infectious disease with clinical sign of the ulcer on the body, and fin rot (Koesharyani & Zafran, 1997; Zafran et al., 1998; Koesharyani et al., 2001; Wijayati & Djunaidah, 2001; Johnny & Roza, 2002; Johnny & Prisdiminggo, 2002). METHOD Sampling was conducted in marine cage grouper owned by Mr. Sam, Kampung Cisaat, District Pandeglang, Banten Province. The fish which taken as a sample was a fish with sign infected by the pathogen, such as weak body, arising ulcers, or decreased appetite with size 18-22 cm. Water parameters measured include temperature using a thermometer, pH using a pH meter, the solubility of oxygen in water is calculated using a Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 120 DO meter and salinity using a refractometer. Bacterial cultivation was carried out using Tryptic Soy Agar (TSA) and Thiosulphate Citrate Bile Salt Sucrose Agar (TCBSA) media, then incubated at 25-28˚C for 24-48 hours. Histopathology sample preserved with buffer formalin. Blood smears observation was conduct with Giemsa staining with methanol. RESULT AND DISCUSSION ANAMNESA The Marine cage ownership is a group at cultivation. This Marine cage has 30 plots with each plot filled four nets (A, B, C, D), each measuring 2.5 x 2.5 x 2 m2. The commodities are cultivated in cage grouper. There are four types of groupers filling each mesh include kerapu tikus, kerapu macan, kerapu cantik, dan kerapu cantang. Maintenance period of grouper is 6 months. And grouper cultivation has been carried out for 1.5 years. Stocking densities used range from 300 individuals / plot. Grouper cultivated seed imported from Bali. The age of fish in the cage varies as larvas released every month. They were vaccinated before.Feeding given in 3 times a day. Noon and evening are fresh fish from fisherman arround.On the noomlight fish bought and stored in low temperatures. Based on interviews, there was no indication if there formalin on fresh fish. Besides fresh feed, fish also given artificial feed in the form of pellets derived from PT. Cargil. Figures 1 and 2. The location grouper in floating net cages owned by Mr Sam The mortality in grouper began in the last of six month. It caused by extreme weather in which rain and warm season in a day. Since then the deaths began to increase to 100 fish / day. These deaths occur only in humpback grouper, not the other groupers but lately it seems the disease began to spread on grouper duck. The case also does not occur in different cage units. Currently the mortality rate began to decline, approximately 30 fish / day. The total calculation of mortality rate of this incident was 90% (from 23,000 fish remaining 2,300 or 10% of its course) NECROPSY DAN CLINICAL SIGN Finding samples from the sick fish cage C3 and D27, In this case, fish has pale gills and eyes yellowish, as image below. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 121 Figure 3.The results of necropsy grouper in floating cages in the district. Pandeglang Clinical Sign such as weakness, lethargy, swimming at the base. Changes in anatomical pathology observed externally in the form of redness in the mandible and fins as well as lesions LABORATORY EXAMINATION In this study, Laboratory observation was used to examine the bacteria, histopathology and viruses, with the results shown below. 1. Viruses Examination There are three types of the virus commonly found in the cultivation of grouper that Viral Necrosis Virus (VNN), Grouper Iridovirus (GIV) and Lympocysticvirus. VNN caused mass deaths on larvae while iridovirus caused death of larva stage and adult. Otherwise the death caused by lympocysticvirus relatively low, even though it potentially degrade quality of product (Hakim Aziz, et al; 2014). Therefore, based on clinical sign (having fin) then was examined by PCR viral diseases. The results obtained as the table below: Code sample Iridovirus VNN C3 Negatif Negatif D27 Negatif Negatif 2. Bacterial Examination Examination of the bacteria was performed on organ blood, liver and gills. It is because these organs are sterile organ, different from the outer surface of the part directly affected by the environment. A series of test on identification bacteria are obtained with gram staining, physiological, and biochemical, and also examination smear of blood. The result of blood smear examination is positive rod-shaped bacteria. As for the results of the examination of other target organs showed the results of Vibrio alginolyticus. This is in accordance with the result of the identification bacteria and smear of blood that rodshaped found. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 122 3. Histophatological examination While the results of histopathological examination of the liver showed degeneration of fat characterized by the vacuole-fat vacuoles and granulomatous inflammation restricted to connective tissue. Degenerasi of fat Granulomatosa The changing of liver in fatten degeneration is accumulation of abnormal fat parechymal hepart cells. In Histopathology there is fat vacuoles (degeneration of fat) or water (Hydropic) in cells, both small and large. In some cells, the nukleus was keep although there is displaced to the side of cytoplasmic vacuoles of fat (Robbins and Kumar, 1992). In Kurniasih (2013) degeneration of fat caused by poor feed quality, or chronic disease. While granulomatous caused by localized nodules, it condense and became white to grey. This is in accordance with the results of examination of bacteria and smears of blood that that bacterial infection. WATER QUALITY EXAMINATION The results of water quality measurements at the time of the survey in cage could be seen in the table below in which some parameters of DO, pH, temperature within the optimum value. No Parameter C3 cage D27 cage C27 cage Optimum value* Tolerance Value* 1 DO (mg/L) 7,62 8,07 7,60 4–7 3 – 10 2 pH 8,0 7,8 7,9 7,5 – 8,5 7–9 3 Salinity (‰) 31 35 31 15 - 25 5 – 35 4 Temperature (°C) 29,2 28,9 29,2 29 - 30 21 - 32 5 NH3 (mg/L) ttd ttd ttd 0 1 6 NO2 (mg/L) ttd ttd ttd 0 0.25 7 TOM (mg/L) 0,0205 0,0218 0,0070 <10 8 Alkalinity (mg/L) 120,00 121,00 120,40 33 - 60 Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 123 BUSINESS ANALYSIS The variable production cost of humpback grouper Kerapu bebek (Chromileptes altivelis) within density of 300 fish / plots with an area of 2.5 x 2.5 x 2 m or equal to 24 fish / m3. Using assumption feed conversion ratio (FCR) was 3.5. This is according with Fauzi, et al opinion (2008) in which the FCR groupers are feed pellets ranged from 3 to 3.55 while for trash fish for 4 - 5. The harvest is greater than 400 grams and the culture period ranges in 6 months. Assuming the survival rate is above 85%. Harvest is above 400 grams. The result of production is 102 kg / plot or 12,240 kg in 120 plots. While for the fixed costs, assuming for 8 years of use, and maintenance costs with a value of 10% of the investment cost.Is Rp. 29.25 million / year. By mortality cases in Mr.Sam floating net with SR 10% causes the result production is only about 1.440kg / 120 plots. CONCLUSION The result of examination shows that a disease caused by the bacterium Vibrio alginolyticus. It causes losses in business. So it is important to control the disease in the fish cultivation. REFERENCE Evan Yan, Dinarti, Swastika Dita Soraya and Suherman (2012) Penyakit Bakterial; Penyakit Ikan Kerapu, Loka Pemeriksaan Penyakit Ikan dan Lingkungan Fauzi, I. Mokoginta and D. Yaniharto (2008) Rearing of Humpback Grouper (Cromileptes altivelis) Fed on Pellet and Trash Fish in Cage Culture System; Jurnal Akuakultur Indonesia, 7(1) Fris Johnny 1, Prisdiminggo2 dan Des Roza1 (2012), PENYAKIT INFEKSI BAKTERI PADA IKAN KERAPU DI KERAMBA JARING APUNG TELUK EKAS, KABUPATEN LOMBOK TIMUR, NUSA TENGGARA BARAT http://ikbalfarabi007.blogspot.co.id/2012/11/penyakit-infeksi-bakteri-pada-ikan.html Kurniasih (2012) Materi Patologi Umum dalam Bimbingan teknis Patologi; Loka Pemeriksaan Penyakit Ikan dan Lingkungan Muhammad Aziz Hakim, Indriasih dan Wiwin Wiyani, (2014) Penyakit Viral; Penyakit Ikan Kerapu, Loka Pemeriksaan Penyakit Ikan dan Lingkungan Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 124 EFFECT OF CRUDE EXTRACT SAMBILOTO (Andrographissp) LEAVES IN CONTROLLING REPRODUCTION OF FEMALES SALINE TILAPIA (Oreochromisniloticus) Mohammad Syaichudin, Suhardi A.B.S, Abdul Gafur Abstract The classic problem in saline tilapia culture that maturity before adulthood and frequent mating behavior, it is spurring the development of a variety of techniques to control tilapia reproduction undesirable. The advantage of the growth control reproduction is superior, because the fish will divert more energy to the growth not for reproductive behavior. The method has existed largely unsustainable and difficult to access by traditional culturer. Therefore, it is necessary to develop an alternative method for controlling the ripening prematurely that economical and sustainable, such as the use of herbs as alternative proper substitution of chemicals and pharmaceuticals. Sambiloto (Andrograhissp) that contains the active compound andrographolida can cause infertility through the mechanism of inhibition of production of progesterone that play a role in the maturation of the gonads. Engineering aims to examine the role of crude extract of sambiloto in the control of gonadal maturation saline tilapia females. The design of the testing is done by comparing the tilapia females fed the result of addition of crude extract of bitter leaf with the control without addition, which the two-month test period. Test animals used were female tilapia fish measuring 15 cm and weighing 90 g in a 10 m 3 concrete tank container given by the black net with stocking density 6.5 indv/m2. Based on the test results are obtained absolute length growth (Lm) in the control is 6.05 cm while 6.88 cm of sambiloto (bitter) treatment, where treatment sambiloto look higher 0.83 cm. While the rate of absolute weight growth (Wm) in the sambiloto treatment look higher 19.53 g compared with controls. The main target of engineering that is controlling the female tilapia reproduction, information that obtained showed on the control treatment gived gonadal maturity level reaches 100%, while 81.25% in sambiloto treatment, it is proved that the extract of sambiloto in this activity could inhibit gonadal maturation in the saline tilapia females reached 18.75%. Phytoestrogen compounds such as isoflavonoids, flavonoids, lignans and coumestans believed to have capabilities such as sex hormones, and can block estrogen biosynthesis by acting as aromatase inhibitors and estrogen receptor antagonists in gonadal germ cells. Therefore, this material is considered potentially useful in encouraging sex reversal or delay gonadal maturation in fish, especially in the control of reproduction of tilapia in aquaculture so that productivity will increase. Keywords: gonadal maturation, phytoestrogens, reproduction. INTRODUCTION Saline tilapia is one of the leading in the development of brackish water in the future, in addition to having a wide tolerance of level salinity (eurihaline), this fish also has a taste more savory than those reared in freshwater pools. The level of demand for export in the form of fillets and domestic needs are high, making alternative crop to be Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 125 cultivated in ponds of brackish. A classic problem in the cultivation of tilapia that maturity before adulthood and frequent mating behavior, it is spurring the development of a variety of techniques to control unwanted tilapia reproduction. The advantage of the control reproduction is superiority in growth, because the fish will divert more energy to growth and not for reproductive behavior. Synthetic compounds use in aquaculture has created resistant bacteria, immunesuppression and destablisation of helpful bacterial population as well as environmental pollution. Synthetic compounds with estrogenic activity disrupt normal endocrine function in wildlife populations and humans. These have created interest in the development of alternatives including the re-examination of using plant derivatives. Therefore natural immune stimulants like glucans, chitin and chitosan, vitamin C and E, some polysaccharides and polyribonucleotide are being used to replace chemotherapeutic agents (Emeka et.al 2014).. With increased domestic demand is also high, it is necessary efforts to improve the productivity of saline tilapia fish farming. One effort to do that is to make saline tilapia become sterile using herbal remedies anti-fertility, expected fish sterile will terminate of spermatogenesis on males tilapia and occurs prevention of ovulation in females tilapia, so that the energy used for the process of spermatogenesis and ovulation will be converted to the growth of saline tilapia. Will eventually obtained increased productivity and improve feed conversion ratio, so the saline tilapia fish farming will grow fast. The idea of using herbal extracts to produce population of monosex tilapia in aquaculture is new, and which operate on the principle of synthetic hormones sex reversal in fish farming. Some herbal extracts contain phytochemicals (phytoestrogens) that is similar to the functional structure of the steroid hormone estradiol in animals. They are able to produce estrogenic effects in animals (Fowler, 1983; Lehtinen and Tana, 2001). Bennetts et al. (1946) first discovered the interference effects of phytoestrogens on the fertility of sheep and cows grazing on clover (Trifoliumsubterraneum). Findings Bennetts et al. (1946) can adjust the speed on research phytoestrogens, which then led to the discovery of the nature phytoestrogenic in some humans foodstuffs include rice, soy, wheat, grains, potatoes, and other insulating two potential substances of estrogenic of Trifoliumsubterraneum (Bradburry and White, 1954) in Gabriel et.al. 2015. Based on the results of research conducted in India to test male rats, bitter in the form of dry leaf powder with a powder dose of 105 mg / kg body weight administered daily for 60 days. The result was able to stop spermatogenesis (development and maturation of sperm cells). Besides, it also has also conducted research on female mice, namely by giving the bitter powder, sun-dried, with a dose of 2 g / kg body weight per day for 6 weeks. It was reported that bitter antifertilitas also have an effect on female mice. This is indicated by the absence of experimental animals 5 times pregnant after mating with a fertile male animals and not be bitter. Based on that study concluded that Sambiloto can prevent ovulation.In Bangladesh, Sambiloto often used as an anti-fertility. Furthermore, the reported of potential phytochemical or phytoestrogens to control the reproduction of tilapia, has various consequences on a variety of physiological processes in animals such as :antistress, the promotion of growth, appetite stimulation, tonic and immune stimulation, and antimicrobial properties (Citarasu 2010; Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 126 Chakraborty and Hanz 2011; Chakraborty et al., 2012). Currently, the herbal extracts are preferred over synthetic drugs because it is cost effective, environmentally friendly and produce less resistant to disease because of the diversity (Logambal et al., 2000; Olusola et al., 2013). Reportedly, in humans, many women prefer phytoestrogens as an alternative to hormone replacement therapy (HRT) and estrogen replacement therapy (ERT), because they do not pose a risk of breast cancer, endometrial cancer, or irregular bleeding (Brzezinski and Debi, 1999 ;. Wade et al, 1999 ;. Wagner et al, 2001) in Gabriel et.al. 2015. Although, interest switched from synthetic medications to herbal extracts had increaded on fish farming, over the last 20 years, more attention has been directed to study herbal extracts such as growth, digestion and enhancing immuno-stimulants in fish. Currently, very little research done on phytoestrogens as inhibitors of reproduction in tilapia culture. Future research examine the application of phytoestrogens in tilapia culture with investigating the herbal extract from; Quillajasaponaria (Angeles et al, 2015) and Trigonellafoenum-graecum- (Francis et al, 2001 ;. 2002; 2005; Stadtlander et al., 2008), Azadirachtaindica (Jegede and Fagbenro 2008), Hibiscus rosa-sinesis ( Jegede, 2010), Carica papaya (Jegede, 2011; Abdelhak et al, 2013 .; Ampofo-Yeboah, 2013); Aloe vera (Jegede, 2011) Moringaoleifera (Ampofo-Yeboah, 2013), Basella alba (Ghosal and Chakraborty 2014), soybean (El-Sayed et al., 2012), and Tribulusterrestris (Omitoyin et al., 2013). Neem leaves may also be effective in inhibiting reproduction Tilapia zilli. In 2010 Jegede reported similar histologic changes in the gonads, by entering the leaves of Hibiscus rosasinesis at 3.0 MPD-1 in tilapia diets. In 2011, he further incorporate aloe latex on a diet of tilapia 2.0 mL kg-1 diet. Similar findings were obtained when the seeds of papaya (Carica papaya) given to tilapia basal diet at 120 kg-1 diet (Abdelhak et al., 2013). During the study reported significant gonad histological changes at high doses,and the study confirms that, effects (sterility) of papaya seeds with high doses is permanent, while medium and low doses can have reversible effects (Abdelhak et al., 2013). These findings support the initial research, which reported that the cheetah in captivity with fertility always reduced when cats consume a diet of soy products, are turned upside down when the diet was removed (Setchell et al., 1987). Based on the above, then on the engineering is done preliminary testing using crude extract of Andrographispaniculata (bitter) in controlling and inhibiting reproduction of saline tilapia (O. niloticus) females in cultivation. With the application of Andrographispaniculata extract optimally, is expected to be a solution for improving the production of saline tilapia, so in the end result may also increase aquaculture production. Where in general, a method that has existed largely unsustainable and difficult to access traditional cultivators. Therefore, it is necessary to develop an alternative method to control ripening prematurely economical and sustainable, such as the use of herbs as alternative that proper substitution of chemicals and pharmaceuticals. One of them is bitter (Andrograhissp) that contains the active compound andrographolida can cause infertility through the mechanism of inhibition of the production of progesterone play a role in the maturation of the gonads. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 127 METHODOLOGY This activity was conducted in February and November 2015 in the Brackish Water Aquaculture Development Centre Takalar, located in the village Boddia, District Galesong, Takalar, South Sulawesi Province.Preparation facilities and infrastructure that will be used for the implementation of the activities of engineering, such as: concrete tank 10 m3, black net, saline tilapia brood females, feed mains, bitter botanicals, calipers or a ruler, and electric scales. While the means of supporting research that soft net small, bucket sampling, rock aeration, aeration hose and faucet aerators. For testing water quality using a refractometer, thermometer, pH meter, DO meter and spectrophotometer. Wet bitter leaf is dried and blended until crushed to a powder simplicia leaves. Simplicia leaves (1 kg) was then boiled in a container containing distilled water until reach volume of 5.000 ml to boil and leave for one day and sought protected from light. After that the process is carried out extortion. Results of extortion stored in a sealed container and placed in a cool place and protected for two days and do not do the stirring. Furthermore, the separation between the supernatant / residue and the filtrate, the next process the filtrate from the extract is taken and stored in a refrigerator at a temperature of 40C. Additional feed is done with a dose of 80 ml / 1000 g of feed. Weight calculation basis of feeding the fish into fish food daily that is 3% of the body weight.The feed to be given first performed additionof extract paniculataaccording to treatment engineering which has been planned. For the first time pick up on a number of extracts of bitter with appropriate dosage and enter in a hand sprayer, then spray feed it flat and winds. To reduce the bitter taste in the feed coating is carried out using chicken egg whites or starch and the wind dried back to dry and ready to feed given to test animals. The design of the testing is done by comparing the tilapia females that fed using the result of addition of crude extract of bitter leaf and control without addition, where the testing period for two months. This test compares the extract of bitter and control. In the bath is placed a square mesh with a size of 2 m x 3 m x 1 m, for testing and control. Furthermore, the introduction of saline tilapia broodstock female candidates, on the vessel testing and control that each given test animals with a stocking density of 6.5 fish / m2. Test animals used are tilapia females measuring 15 cm and weighs 90 g. In the early stages do acclimatization for 2 weeks using feed normally, and then at a later stage to the testing carried out for 6 weeks, where on the vessel control stick with regular feed while in the experimental tank that has been added with crude extract of bitter at a dose of 3% by weight body. The feeding is done 3 times a day, the morning, afternoon and evening. Further observation of water quality and the performance of the test animals. Data collected at the end of the activity that is the highest percentage of parent tilapia females mature gonads and are not mature gonads, this is done by looking at the maturity level of gonads through the examination by means of massaging the abdomen females and see eggs or yellow fluid issued by tilapia copy. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 128 RESULTS AND DISCUSSION Based on test results for two months of maintenance , the data showed maturity level of gonads brood fish saline tilapia quite interesting, where the control tank obtained level of maturity gonad 100% or whole tilapia saline females are maturing gonads, while the bath treatment bitter that are maturing the prospective parent females 81.25%. From these results, it is evident that the crude extract of bitter in this activity could inhibit gonadal maturation in the saline tilapia females amounted to 18.7%.Herbal compounds (phytoestrogens) such as isoflavonoids, flavonoids, lignans and coumestans among others, are believed to possess the ability to mimic or function like sex hormones, and are able to block biosynthesize and estrogen by acting as aromatase inhibitors and antagonists to nuclear estrogen receptor in gonad germ cell (Das et al., 2012), and therefore may be considered as potential means for inducing sex reversal or to delay maturity in fish. Especially in controlling the reproduction of tilapia in aquaculture. Based on tests performed on placental tissue in humans showed that andrographolida sodium succinate obtained from bitter quite effective in inhibiting the production of human progesterone, a hormone which is needed for a successful pregnancy. Sambiloto only work for a particular network, meaning that only the intended effect on the network without causing a disruptive influence or damage to other tissues were normal despite the highest test dose. The researchers concluded that a compound derived from andrographolida another can also be contraceptives. Another study on female mice were used dehydroandrographolida, showed that doses can affect the pregnancy is 250 mg / kg body weight. Fig 1. Graph percentage of gonads maturation of the female saline tilapia (Experimental Tank and Control Tank) Fig 2.Graph percentage of gonads maturation of the female saline tilapia Currently, very few studies that explore phyto estrogen as an inhibitor of reproduction in tilapia culture. The following future research that examines the Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 129 application of phytoestrogens in tilapia culture with investigating the herbal extract from; Quillajasaponaria (Angeles et al, 2015) and Trigonellafoenum-graecum- (Francis et al, 2001;. 2002; 2005; Stadtlander et al., 2008), Azadirachtaindica (Jegede and Fagbenro 2008), Hibiscus rosa-sinesis ( Jegede, 2010), Carica papaya (Jegede, 2011; Abdelhak et al, 2013 .; Ampofo-Yeboah, 2013); Aloe vera (Jegede, 2011) Moringaoleifera (AmpofoYeboah, 2013), Basella alba (Ghosal and Chakraborty 2014), soybean (El-Sayed et al., 2012), and Tribulusterrestris (Omitoyin et al., 2013). A study showed swollen spermatids nuclei, increased interstitial cells and focal necrosis in testes; and hydropic degeneration, ruptured follicles, granulomatous inflammation in the interstitium and necrosis ovaries when Neem (Azadirachtaindica) leaves were incorporated in Tilapia zillibasal diet at 2.0 g. kg-1 (Jegede and Fagbenro, 2008). So, like it is said in many studies that endocrine disrupting compounds (EDCs) including phytoestrogens may impair animal reproduction either by exerting impacts on gonad differentiation, direct effect on the gonad or delay maturation. Neem leaves may be an effective reproductive inhibitor in Tilapia zilli.(Gabriel et.al 2015).In 2010 Jegede reported similar gonadal histological changes, by incorporating Hibiscus rosasinesisleaves at 3.0 gkg-1 in tilapia diet. In 2011, he further incorporated Aloe veralatex in Nile tilapia diet at 2.0 mL kg-1 diets (table 3). Similar findings were obtained when pawpaw (Carica papaya) seedswere included in Nile tilapia basal diet at 120kg-1 diets (Abdelhak et al., 2013) in (Gabriel et.al 2015).. Contrary to what is expected of phytoestrogens in tilapia culture, soybean meal was reported to sharply reduced the percentage of males when it was added to Nile tilapia diet and further cautioned tilapia farmers to avoid using soybean as a source of protein during sex reversal treatment (El-Sayed et al., 2012). Obaroh and Achionye-Nzeh (2011) reported that the use of Azadirachtaindica leaf extract can be used to control reproduction of Oreochromisniloticus in efeisien and develop the sustainability of tilapia. Overall, despite the crude extract of bitter have been able to control reproduction in saline tilapia aquaculture female, but further research is still needed so as to inhibit reproduction in total, either through engineered dose and extraction techniques further. In addition, the combination with other materials is also potential in controlling reproduction saline tilapia females can also be performed simultaneously. But that is quite encouraging that the results obtained on the growth of the absolute length, wherein the control tank increased to 6.05 cm, while in the testing tank with biiter extract increased to 6.88 cm, it is likely that the treatment bitter slightly higher 0.83 cm. Similarly, the growth rate by weight, wherein the testing tank of bitter seen weight growth of saline tilapia females seem higher 19.53 g compared with the control, where control 142.03 g and bitter treatment 161.56 g. CONCLUSIONS AND RECOMMENDATIONS Based on the test results can be concluded that : - Treatment of sambilotocan inhibiting gonadal maturation in the saline tilapia females amounted to 18.75% compared to controls. It is likely, such as isoflavonoid phytoestrogen compounds, flavonoids, lignans and coumestans contained in herbal extracts believed to have capabilities such as sex hormones, and can block estrogen Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 130 biosynthesis by acting as aromatase inhibitors and estrogen receptor antagonists in gonadal germ cells. Therefore, this material is considered potentially useful in encouraging sex reversal or delay gonadal maturation in fish, especially in the control of reproduction of tilapia in aquaculture. - The data is quite encouraging that the growth of the absolute length of the control tank increased to 6.05 cm, while in the testing tank increased to 6.88 cm, it appears that the treatment bitter slightly higher 0.83 cm. Similarly, the growth rate by weight, wherein the basin testing of bitter seen weight growth of saline tilapia females seem higher 19.53 g compared with the control tank. - Overall application of this extract has a positive output, especially in controlling reproduction in females saline tilapia aquaculture research is still needed so as to inhibit further reproduction in total, either through engineered dose and extraction techniques further. In addition, the combination with other materials is also potential in controlling reproduction saline tilapia females can also be performed simultaneously. REFERENCES Abdelhak M.E., Madkour F.F., Ibrahim M.A., Sharaf M.S., Sharaf M.M. and D.A, Mohammed, 2013.Effects of pawpaw, Carica papaya seeds meal on the productive performance and histological characters of gonads in Nile tilapia, Oreochromisniloticus. IJAR, 3 (12): 34-37. Ampofo-Yeboah A, 2013. Effect of phytochemical feed additives on gonadal development in Mozambique Tilapia, Oreochromismossambicus. PhD thesis, 254 pp. Stellenbosch University, South Africa, http://scholar.sun.ac.za. Angeles I.P. and Y-H Chien, 2015. Dietary effect of Quillajasaponariaand /or Yucca schidigeraextract on growth and survival of common carp Cyprinuscarpio and their antioxidant capacity and metabolic response upon low dissolved oxygen. The Israeli Journal of Aquaculture-Bamidgeh, IJA_64.2014.1165. El-Sayed M.A.B., Abdel-Aziz H.E.S. and M.H. Abdel-Ghani, 2012. Effects of phytoestrogens on sex reversal of Nile tilapia (Oreochromisniloticus) larvae fed diets treated with 17�-methyltestosterone. Aquaculture, 360: 58-63. Emeka U, Iloegbunam N.G, Gbekele-Oluwa A.R and Bola M. 2014.Natural Products and Aquaculture Development.IOSR Journal of Pharmacy and Biological Sciences (IOSR-JPBS) e-ISSN: 2278-3008, p-ISSN:2319-7676. Volume 9, Issue 2 Ver. IV (MarApr. 2014), PP 70-82 www.iosrjournals.org. Das R., Rather M.A., Basavaraja N., Sharma R. and U. K. Udit, 2012.Effect of nonsteroidal aromatase inhibitor on sex reversal of Oreochromismossambicus (Peter, 1852).The Israel Journal of Aquaculture-Bemidgeh, 64-69, IJA_64.2012.703. Francis G., Levavi-Sivan B., Avitan A. and K. Becker, 2002.Effects of long term feeding Quillajasaponinson sex ratio, muscle and serum cholesterol and LH levels in Nile tilapia (OreochromisniloticusL).Comp. Biochem. Phys. C, 133: 593-603. Francis G., Makkar H.P.S. And K. Becker, 2001. Effects of Quillajasaponins on growth, metabolism, egg production, and muscle cholesterol in individually reared Nile tilapia (Oreochromisniloticus). Comp. Biochem. Phys. C, 129:105–114. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 131 Francis G., Makkar H.P.S. and K. Becker, 2005.Quillajasaponins – a natural growth promoter for fish.Anim. Feed Sci. Tech., 121: 147–157. Gabriel N.N, Qiang J, Kpundeh M.D and PaoXu. 2015. Use of herbal extracts in controlling reproduction in tilapia culture : Trends and prospects - A reviewThe Israeli Journal of Aquaculture - Bamidgeh, IJA_67. (2015). Jegede T, 2010. Control of reproduction in Oreochromisniloticus(Linnaeus 1758) using Hibiscus rosa-sinensis(Linn.) leaf meal as reproduction inhibitor. J. Agr. Sci., 2: 149- 154. Jegede T, 2011. Effects of Aloe vera(Liliaceae) on the gonad development in Nile tilapia (Oreochromisniloticus) (Linnaeus 1758). In: Fitzsimmons, K., &Liping, L (eds), Proceedings of the 9th International symposiums on tilapia aquaculture, 222-227 pp. Aquafish CRSP, Shanghai, China. Jegede T. and O. Fagbenro. 2008. Histology of gonads in Tilapia zillii(Gervais) fed Neem (Azadirachtaindica) leaf meal diets. 8th International symposium on tilapiaaquaculture. Cairo, Egypt. Stadtlander T, Focken U, Levavi-Sivan B, Dweik H, Qutob M, Abu-Lafi S et al., 2008. Treatment with saponins from Trigonellafoenum-graecumand Quillajasaponariainfluences sex ratio in Nile tilapia (Oreochromisniloticus) larvae. In: Fitzsimmons K, Liping L (eds.) proceedings of the 8th international symposiums on tilapia aquaculture. Cairo, Egypt. 355-364 pp. Ghosal I. and B.S. Chakraborty, 2014. Effects of the aqueous leaf extract of Basellaalbaon sex reversal Nile tilapia, OreochromisniloticusL. IOSR J. Pharm. Biol. Sci9: 162 164. ObarohI.O, and Achionye-Nzeh G.C. 2011. Effect of Crude Extract of Azadirachtaindica Leaves at Controlling Prolific Breeding in Oreocrhomisniloticus (Linneaus, 1758). Asian Journal of Agricultural Research 5(5) : 277-282.2100. ISSN 1819-1894. Knowledge Review Malaysia Omitoyin B.O., Ajani E.K. and H.O. Sadiq, 2013. Preliminary investigation of Tribulusterrestri(Linn, 1753) extracts as natural sex reversal agent in Oreochromisniloticus(Linn. 1758) larvae. Int. J. Aquacult., 3:133-137. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 132 EVALUASI KANDUNGAN LOGAM BERAT (Pb, dan Cd) PADA BUDIDAYA KERANG HIJAU (Perna viridis) DI PROPINSI LAMPUNG SEBAGAI UPAYA MENJAMIN KEAMANAN PANGAN 1 Oleh : Kurniastuty,2 Verly Dharmawati 3dan Muawanah4 ABSTRACT Green mussle is one of fisheries product that are cheap, easy for culture and consumed by the number of the people. Green mussle (Perna viridis) are filter feeder organism that can be accumulated pollution agent as heavy metal. Green mussle should be higyenic and free from pollution before consumed. Main Center for Mariculture Development (MCMD) Lampung has been analyzed green mussle and water for 2 parameters (Pb and Cd) at 6 green mussle site area in Lampung. Analyze result of Green mussle di Lampung Province showed that green mussle have detected Pb and Cd. The concentration of Pb (0,274 – 2,220) mg/kg and Cd (0,435-1,183) mg/kg. For water analysis, concentration of Pb 0,053 – 0,374 mg/l and Cd 0,018-0,029 mg/l. Analyze result of water in green mussle location showed that concentration of heavy metal Pb and Cd are over the standard quality. Green mussle in 3 location are safety for consume because the concentration of heavy metal Pb and Cd are under the standard quality. Occurencies of heavy metal in water at green mussle site location should be prepared as an early warning and some effort should be made by preventive treatment action to find out food safety for fisheries product. Key words : Green mussle, Perna viridis, heavy metal, higyenic, 1 Disampaikan pada Asian Pacific Aquaculture, di Grand City, Surabaya, 26-29 April 2016 Perekayasa Utama pada Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung 3 Perekayasa Muda pada Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung. 4 Analis laboratorium pada Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung. 2 Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 133 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini perkembangan usaha perikanan masyarakat, khususnya usaha budidaya kerang hijau mulai berkembang di masyarakat. Kondisi ini sangat didukung oleh adanya beberapa faktor antara lain: pangsa pasar yang bagus, teknologi budidaya yang sangat sederhana dan murah serta ketersediaan benih alam yang sangat melimpah. Kerang hijau sebagai salah satu produk perikanan yang murah dan banyak dikonsumsi masyarakat harus terjamin keamanannya. Sebagai produk perikanan yang banyak diminati masyarakat kerang hijau harus aman dan bebas dari bahan-bahan pencemar seperti logam berat. Sebagai hewan filter feeder, kerang hijau sangat berpotensi menyerap bahan-bahan pencemar seperti logam berat. Adanya logam berat dalam produk perikanan seperti kerang hijau ini sangat membahayakan kesehatan manusia. Oleh karena itu keamanan pangan (food safety) di sektor perikanan khususnya kerang hijau harus diperhatikan. Analisa kandungan logam berat merupakan salah satu cara yang harus dilakukan dalam menjaga dan menjamin sistem keamanan pangan (Food Safety). Hasil analisa ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kelayakan standar mutu produk kerang hijau, terutama untuk mengetahui kandungan logam beratnya sehingga produk yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi. Tujuan dilakukannya analisa logam berat pada produk perikanan seperti kerang hijau adalah untuk mengetahui kadar logam berat pada produk perikanan yang dibudidayakan di suatu lokasi budidaya dan memastikan bahwa hasil budidaya bebas bahan cemaran, higienis dan aman dikonsumsi. Selain menganalisa kandungan logam berat pada produk perikanan, perlu juga dilakukan analisa kandungan logam berat pada air di lokasi budidaya itu dilakukan. Hal ini untuk mengetahui seberapa besar kandungan logam berat di perairan dapat terakumulasi di dalam daging produk, baik itu ikan maupun kerang hijau. Peningkatan kadar logam berat dalam air laut akan mengakibatkan logam berat yang semula dibutuhkan untuk proses-proses metabolisme oleh organisme akan berubah menjadi racun bagi organisme tersebut. Kondisi ini selain dapat mengakibatkan kematian organisme, juga dapat menyebabkan efek negatif bagi orang yang mengkonsumsi makanan dari hasil laut jika logam berat di laut meningkat. Logam berat Pb, Hg dan Cu termasuk logam yang beracun (toksik) untuk manusia,yaitu menyebabkan kerusakan jaringan terutama hati dan ginjal (Darmono, 1995) . Timbal (Pb) dan Cadmium (Cd) dalam jumlah berlebihan sangat membahayakan kesehatan manusia. Timbal (Pb) dapat menyebabkan kerusakan jaringan, dan syaraf. Pada orang dewasa dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah, gangguan pencernaan, kerusakan ginjal, kerusakan syaraf, sulit tidur, sakit otak dan sendi, perubahan “mood” dan gangguan reproduksi., sedangkan pada anak-anak paparan timbal yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan otak, penghambatan pertumbuhan, kerusakan ginjal, gangguan pendengaran, mual, sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan gangguan pada kecerdasan (Anonymous, 2009) Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 134 Kadmium (Cd) bersifat carsinogen dan bersifat racun kumulatif. Selain saluran pencernaan dan paru-paru, organ yang paling parah akibat mencerna cadmium adalah ginjal (Anonymous, 2009) 1. 2 Tujuan Tujuan evaluasi ini adalah untuk mengetahui kandungan logam berat Pb dan Cd pada kerang hijau (Perna viridis) yang dibudidayakan di suatu lokasi budidaya di Lampung dan memastikan bahwa hasil budidaya bebas bahan cemaran, higienis dan aman dikonsumsi. II. ALAT DAN METODA 2.1. Alat Peralatan yang digunakan untuk analisa logam berat adalah : tanur, hotplate, spectrofotometer dan AAS (Atomic Absorbtion Spectrofotometer). 2.2. Metoda Preparasi Sampel Dalam menganalisa kandungan logam berat baik pada produk maupun pada air budidaya preparasi sampel sangat penting dilakukan. Preparasi akan berpengaruh terhadap hasil analisa. Sampel yang akan dianalisa seperti kerang hijau (Perna viridis) dan air laut diambil dari perairan, kemudian dibawa ke Laboratorium untuk dianalisa. Untuk menghindari rusaknya sampel selama perjalanan, maka dilakukan pengawetan. Pengawetan untuk air laut dilakukan dengan cara penambahan HNO3 atau HCl sampai pH 2, sedangkan untuk pengawetan sampel kerang dilakukan dengan cara pendinginan. Untuk preparasi sampel air digunakan seperangkat peralatan gelas. Analisa Logam Berat Pb, Cd Analisis Pb, dan Cd pada daging kerang dilakukan mengikuti prosedur standar mutu kekerangan di Indonesia yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN), SNI-012368-1991 untuk Timbal (Pb) dan SNI-01-2361-1991 untuk Cd. Untuk analisa logam berat pada air laut metode yang digunakan mengacu pada buku metode analisis air laut, sedimen dan biota yang dikeluarkan oleh LIPI (Hutagalung Horas P., dkk. 1997). Kadar ion-ion Na, Cl, Mg, Ca, K dan sulfat dalam air laut pada umumnya sangat tinggi dan dapat menyebabkan gangguan pada analisa logam berat, sehingga penentuan kadar logam berat dalam air laut secara langsung dengan AAS akan menghasilkan data yang tidak akurat. Untuk menghilangkan ion-ion tersebut maka sampel air laut harus diekstraksi terlebih dulu sebelum proses analisa, untuk memekatkan sampel air sehingga kadarnya dapat terdeteksi dengan AAS. Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk proses ekstraksi yaitu: APDC (amonium pirolidin ditiokarbamat), NaDDC (natrium dietil ditio karbamat) dan pelarut organik MIBK (metil isobutil keton). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Evaluasi kandungan logam berat pada kerang hijau dan air laut dilakukan berdasarkan data yang diperoleh dari Laboratorium Penguji Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung. Sampel kerang hijau berasal dari perairan Sukaraja dan kota karang Bandar Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 135 lampung, Sragi, Ketapang, dan Legundi, Lampung Selatan serta Lampung Timur. Hasil analisa kandungan logam berat pada kerang hijau dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan grafik kandungan logam berat pada kerang hijau dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2. Tabel 1. Analisa kandungan logam berat pada daging kerang hijau No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Lokasi Sukaraja laut, Bandar Lampung Kota karang, Bandar Lampung Legundi, Lampung Selatan Sragi, Lampung Selatan Ketapang, Lampung Selatan Lampung Timur Baku Mutu Parameter Pb (mg/kg) Cd (mg/kg) 1,639 0,435 2,078 1,183 1,992 1,900 2,220 0,274 2 * 1,025 0,941 0,966 0,452 1* Keterangan : * SK Dirjen POM No. 3725/B/5K/VII/89 Hasil analisa logam berat Pb pada kerang hijau yang diambil dari 6 lokasi, yaitu Sukaraja laut dan Kota Karang Bandar Lampung, Legundi, Sragi dan Ketapang Lampung Selatan dan Lampung Timur menunjukkan bahwa nilai Pb di dua lokasi yaitu ; Kota Karang Bandar Lampung dan Ketapang, Lampung Selatan sudah di atas baku mutu (>2 mg/kg), tiga lokasi lainnya, yaitu; Sukaraja Bandar Lampung, Legundi dan Sragi Lampung Selatan nilainya hampir mendekati baku mutu, sedangkan kandungan Pb pada kerang hijau di Lampung Timur masih jauh di bawah baku mutu. Menurut SK Dirjen POM No. 3725/B/SK/VII/89 batas maksimum cemaran logam berat Pb pada makanan (untuk ikan dan hasil olahan) adalah 2 mg/kg. Hasil analisa logam berat Cd pada kerang hijau dari 6 lokasi, dua lokasi yaitu Kota Karang Bandar Lampung dan Legundi Lampung Selatan nilainya sudah di atas batas maksimum baku mutu yang dipersyaratkan (> 1 mg/kg), dua lokasi nilainya sudah mendekati baku mutu, yaitu Sragi dan Ketapang Lampung Selatan, dan dua lokasi nilainya masih jauh di bawah baku mutu yaitu Sukaraja Laut Bandar Lampung dan Lampung Timur. Gambar 1. Konsentrasi Pb pada daging kerang hijau Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 136 Berdasarkan hasil analisa parameter logam berat Pb dan Cd dalam daging kerang hijau seperti yang disajikan pada Tabel 1. diperoleh nilai konsentrasi Pb antara 0,274 – 2,220 mg/kg dan konsentrasi Cd antara 0,435 – 1,183 mg/kg. Konsentrasi teringgi ditemukan pada kerang hijau di Ketapang, Lampung Selatan, sedangkan konsentrasi terendah ditemukan pada kerang hijau di Labuhan Maringgai, Lampung Timur. Gambar 2. Konsentrasi Cd pada daging kerang hijau Berdasarkan analisa logam berat Pb dan Cd di 6 lokasi budidaya kerang hijau di Lampung dapat dikatakan bahwa kerang hijau di Sukaraja laut, Bandar Lampung, Sragi, Lampung Selatan dan Lampung Timur masih aman dikonsumsi. Akan tetapi untuk kerang hijau di Sragi Lampung Selatan meskipun nilainya masih di bawah batas maksimum baku mutu yang dipersyaratkan, tetapi harus diwaspadai karena nilainya hampir mendekati batas maksimum baku mutu.yang dipersyaratkan. Adanya logam berat dalam daging kerang hijau tidak terlepas dari lingkungan perairan dimana kerang hijau itu hidup. Berdasarkan analisa kandungan logam berat yang dilakukan terhadap air laut di beberapa lokasi budidaya kerang hijau di Lampung secara kuantitatif dapat dikatakan bahwa konsentrasi logam berat Pb dan Cd nilainya sudah melewati batas maksimum baku mutu air laut bagi biota laut yang ditetapkan dalam Kep Men Lingkungan Hidup no 51 Th 2004, dimana baku mutu untuk logam berat Pb yaitu 0,008 mg/l, dan Cd 0,001 mg/l. Grafik konsentrasi logam berat pada air laut di lokasi kerang hijau dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4. Gambar 3. Konsentrasi Pb pada air laut di lokasi kerang hijau Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 137 Gambar 4. Konsentrasi Cd pada air laut di lokasi kerang hijau Hasil analisa kandungan logam berat pada air laut di lokasi budidaya kerang hijau dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Analisa kandungan logam berat pada air laut di lokasi budidaya kerang hijau. No. Lokasi 1. 2. 3. 4. 5. 6. Parameter Pb (mg/g) Cd (mg/g) 0,135 0,022 0,292 0,029 0,374 0,022 0,053 0,018 0,008 * 0,001* Sukaraja laut Kota karang Legundi Sragi Ketapang Lampung Timur Baku Mutu Keterangan : * Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004. Darmono (1995) mengemukakan bahwa, Jenis biota lunak seperti kekerangan, keong dsb. atau yang mobilitasnya lamban tidak dapat meregulasi semua jenis logam seperti hewan air lainnya termasuk logam non esensial seperti : Pb, Cd dan Hg, kecuali logam esensial Cu dan Zn. Adanya kandungan logam berat seperti Pb. dan Cd pada produk pangan perlu diwaspadai, karena kedua parameter tersebut cukup berbahaya bagi kesehatan manusia. Pb merupakan logam yang sangat beracun terutama terhadap anak-anak. Secara alami ditemukan pada tanah. Timbal dalam jumlah banyak secara langsung menyebabkan kerusakan jaringan, termasuk kerusakan jaringan mukosal. Sistem yang paling sensitif adalah system sintetis jaringan darah (hematopoietic) sehingga biosintetis haema terganggu. Semua sel-sel yang sedang aktif berkembang sensitive terhadap timbal. Timbal juga dapat merusak syaraf . Sekitar 99 % timbal yang masuk ke dalam tubuh Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 138 orang dewasa dapat diekskresikan setelah beberapa minggu, sedangkan untuk anakanak hanya 32 % yang dapat diekskresikan. (Anonymous, 2009). Kadmium (Cd) dan senyawanya bersifat carsinogen dan bersifat racun kumulatif. Sebanyak 5 % Cd diserap melalui saluran pencernaan dan terakumulasi dalam hati dan ginjal. Selain saluran pencernaan dan paru-paru, organ yang paling parah akibat mencerna Cd adalah ginjal (Anonymous, 2009). Sumber logam berat dapat berasal dari limbah industri yang dibuang ke lingkungan laut. Pada air laut lepas, kontaminasi logam biasanya terjadi secara langsung dari atmosfer atau karena tumpahan minyak dari kapal tanker yang melewatinya, sedangkan di daerah pantai, kontaminasi logam kebanyakan berasal dari mulut sungai yang terkontaminasi oleh limbah buangan industri/pertambangan. Daerah pantai memiliki kandungan logam berat lebih tinggi daripada daerah laut lepas (Darmono, 1995). Banyak faktor yang dapat mempengaruhi adanya variasi nilai kisaran bahan-bahan cemaran ke dalam suatu perairan. Selain pola arus yang turut mengantarkan limbah sampai ketitik yang lebih jauh, faktor musim juga ikut berpengaruh dimana masuknya air hujan dan air daratan akan membantu mengurangi kepekatan bahan-bahan cemaran, sehingga konsentrasinya menjadi lebih rendah. Menurut Darmono, (1995), kandungan logam dalam air dapat berubah-ubah dan sangat tergantung lingkungan dan iklim. Pada musim hujan kandungan logam berat lebih kecil karena proses pelarutan, sedangkan pada musim kemarau kandungan logam berat akan lebih tinggi karena logam akan menjadi terkontaminasi. Tingginya kandungan logam berat pada kerang hijau di beberapa lokasi kerang hijau di Lampung disebabkan karena faktor cuaca. Pengambilan sampel kerang hijau dilakukan pada bulan November 2015. Sepanjang tahun 2015 terjadi musim panas yang berkepanjangan dan jarang terjadi hujan, sehingga bahan-bahan cemaran di perairan menjadi pekat dan konsentrasinya menjadi lebih besar yang akan berpengaruh pada konsentrasi logam berat kerang hijau. IV. Kesimpulan Berdasarkan tinjauan di atas dapat disimpulkan bahwa akumulasi logam berat dalam daging kerang hijau sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan tempat hidupnya. Berdasarkan analisa yang dilakukan terhadap air laut di lokasi budidaya kerang hijau, kandungan logam berat Pb dan Cd pada air laut di semua lokasi budidaya kerang hijau sudah menunjukkan nilai di atas ambang batas maksimum yang dipersyaratkan. Kerang hijau di 3 lokasi (Sukaraja, Sragi, Maringgai) aman untuk dikonsumsi karena konsentrasi logam berat Pb dan Cd pada kerang hijau berada di bawah baku mutu yang dipersyaratkan. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 139 DAFTAR PUSTAKA APHA. 2004. Standart method for the examination of water and waste water. APHAAWWA-WPCF.Washington DC. 1193 p. Anonymous. 2009. Batas Maksimum Cemaran Logam Berat dalam Pangan. SNI 7387. 2009. Jakarta. Anonymous. 2004. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004. Jakarta Anonymous. 1989. Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan No. 03725/B/SK/VII/89. Clark, R.B. 1992. Marine Pollution. Third edition Clarendon Press. Oxford. Darmono, 1995. Logam dalam Sistem Biologi Mahluk Hidup. Penerbit Universitas Indonesia. Fardiaz, S. 1992. Polusi air dan udara. Penerbit Kanisius. Jogjakarta. Hutagalung Horas P., dkk. 1997. Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota. Buku 2. LIPI. Jakarta Sorense, E.M. 1991. Metal Poisoning in Fish. CRC. Press. Florida. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 140 Kajian prevalensi dan faktor risiko kejadian white spot syndrome virus pada budidaya udang di provinsi Lampung dan Banten by Arief Taslihan, Maskur, Sri Mukti Astuti Abstrak Penyakit bercak putih viral, yang disebabkan White Spot Syndrome Virus hingga saat ini masih menjadi ancaman bagi budidaya udang di Indonesia, karena mengakibatkan kematian pada usia dini, antara satu hingga dua bulan, bahkan pada akhir-akhir ini udang umur kurang dari satu hingga sudah mulai terserang. Pengendalian penyakit akibat WSSV karenany perlu dilakukan, melalui pendekatan surveilan dengan tujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor risiko pada kasus WSSV. Kegiatan surveilan dilakukan di sentra budidaya udang di wilayah Lampung dan Banten. Metode yang dilakukan adalah surveilan aktiv. Pengambilan contoh dilakukan secara random pada petakan tambak, dan purposiv untuk udang di setiap tambak yang terpilih. Sebanyak sebanyak 183 sampel yang dikumpulkan dari wilayah Lampung Selatan, Pandeglang dan Serang. Hasil surveilan didapatkan bahwa prevalensi WSSV Lampung Selatan 54,3%, Serang 88,9% dan Pandeglang 100%. Beberapa faktor risiko yang signifikan dengan P <5% dan sangat signifikan dengan P < 1% adalah pemupukan tambak (P = 0,0217), skrining benih sebelum tebar (P = 0,0257), desinfeksi air (P = 0,0101) dan sistem penggantian air (P = 0,0001). Kata kunci: prevalensi WSSV, budidaya udang, faktor risiko Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 141 Prevalence and risk factor study of white spot syndrome virus in shrimp aquaculture in Lampung and Banten province by Arief Taslihan, Maskur, Sri Mukti Astuti Abstract White spot viral disease, caused White Spot Syndrome Virus have still a threat to shrimp farming in Indonesia, because it resulted in death at an early age, between one to two months, even in the late shrimp lifespan of less than one to have started developing. Disease control program were need to be perform, through surveillance approach in order to determine the prevalence and risk factors in the case of WSSV. Active surveillance was carried out in the shrimp farming centers in Lampung and Banten province. Sampling was carried out by two stage systematic sampling, by first selected farm, then selected ponds in every farm. Shrimp pond was point out as sample unit, taken randomly on pond, and purposiv for shrimp in each pond were elected. A total of 183 samples collected from the area of South Lampung, Pandeglang and Serang. Analysis done using Statistix as software. Based on surveillance results showed that the prevalence of WSSV South Lampung 54.3%, 88.9% Serang and Pandeglang 100%. Some risk factors are significant with P <5% and very significant with P <1% is a pond fertilization (P = 0.0217), screening the seed before stocking (P = 0.0257), water disinfection (P = 0.0101) and replacement of water systems (P = 0.0001). Latar Belakang Penyakit terkait dengan kematian masal pada budidaya udang hingga saat ini masih didominasi oleh WSSV, yang mengakibatkan kerugian hingga lebih dari tiga trilyun rupiah. Kejadian WSSV hampir terjadi setiap musim tanam terjadi di area pertambakan udang, baik intensiv maupun tradisional, sehingga mengakibatkan trauma bagi sebagian pembudidaya untuk memelihara udang. Namun demikian masih banyak pembudidaya yang bertahan untuk membudidayakan udang dengan upaya mengurangi risiko terjadinya wabah di tambak mereka. Faktor risiko yang berusaha dikendalikan sangat variatif, sehingga perlu penelusuran yang lebih terukur agar budidaya udang lebih berhasil mengantisipasi masalah penyakit tersebut. White spot syndrome virus White spot syndrome virus atau virus penyebab penyakit bercak putih merupakan virus paling ganas dibandingkan dengan virus lain yang menyerang udang windu, seperti Monodon Baculo Virus (MBV) dan Hepatopancreatic Parvo-like Virus (HPV). Penyakit bercak putih telah mengakibatkan penurunan produksi udang di tambak dari tahun ketahun. Ciri penyakit adalah ditandai dengan terbentuknya bercak putih seperti panu berukuran setengah sampai lima milimeter (Gambar 4). Penyakit bercak putih pertama kali diidentifikasi pada tahun 1993 di Jepang (Chou et al., 1995). Wabah WSSV ini pada tahun 1996 diketahui sudah menyebar di beberapa negara kawasan Asia Tenggara Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 142 (Flegel, 1997). Serangan WSSV sangat merugikan pembudidaya di kawasan yang terserang, dengan kerugian mencapai milyaran rupiah (Chou et al. 1995; Wongteerasupaya et al., 1995; Lightner, 1996; Flegel, 1997; Lotz, 1997). Penyakit becak putih secara klinis ditandai dengan adanya bercak berwarna putih di sebelah dalam eksoskeleton, mulai dari bagian karapas hingga pangkal abdomen terakhir. Infeksi WSSV secara histologis, ditandai dengan hipertrofid inti sel pada jaringan sel epitel kutikuler, jaringan ikat (Lightner, 1996). Gambar 1. Penyakit bercak putih, ditandai dengan bercak berukuran 0,5 – 1 mm di bagian karapas udang yang terinfeksi (Lightner, 1996) Serangan penyakit yang diakibatkan WSSV dapat mengakibatkan kematian mencapai 100% dalam waktu yang sangat singkat, tiga hari sejak gejala pertama tampak. Udang yang terserang biasanya berenang ke tepi dekat pematang, lemah, kehilangan nafsu makan, dan akhirnya mati (Flegel, 1997). Agen penyebab bercak putih Penyebab penyakit bercak putih viral adalah virus berbahan genetik DNA (Gambar 5), non-occluded virion berbentuk ovoid atau ellipsoid hingga batang, berukuran diameter 80 – 120 nm dan memiliki panjang 250 – 380 nm (OIE, 2012). Gambar 2. Virion White Spot Syndrome Virus, dengan tambahan serupa flagel yang merupakan perluasan dari protein capsid (Lo et al., 2012) Virus memiliki amplop tersusun dari lipid dan protein sehingga seperti membran, menyebabkan virion relatif terlindung. Virus penyakit bercak putih ini termasuk genus whispovirus dalam keluarga Nimaviridae meskipun berasal dari berbagai wilayah geografik dan memiliki keragaman genetik berbeda-beda (Lo et al., 2012) Virion berbentuk batang hingga elips, dengan amplop berlapis 3 dan total berukuran 380 nm Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 143 (Yang et al., 2001). Bahan genetik WSSV secara total memiliki genom 300.000 base-pairs, dengan komposisi 41% G+C. Melalui analisis sekuen diketahui memiliki 181 ORF (Open Reading Frame) yang mengode protein fungsional. Virus bercak putih (WSSV) memiliki gen chitinase yang berfungsi untuk mencerna kitin yang terdapat pada karapas udang yang merupakan inangnya (Yang, et al., 2001). Terkait dengan sifat patogenisitas, virus memiliki kemampuan anti apoptosis, kemampuan untuk mencegah sel inang untuk bunuh diri (Wang, et al., 2004). Virus juga mampu mengorup ubiquitin, yaitu mekanisme sintesis ensim protease-pengurai protein dengan menggunakan mekanisme sel inang (Zhilong, et al., 2005). Transmisi virus Penelitian terhadap penularan WSSV telah banyak dilakukan, dan diketahui bahwa virus penyebab penyakit bercak putih dapat ditularkan oleh beberapa jenis krustase (Lightner, 1996; Flegel and Pasharawipas, 1998). Penularan secara mekanik dapat dilakukan oleh cacing polychaeta (Vijayan et al., 2005; OIE, 2012), bahkan burung (Vanpatten et al., 2004). Penularan penyakit dapat terjadi secara horisontal maupun vertikal. Beberapa peneliti telah melaporkan tentang penularan WSSV melalui air (Chou et al., 1998). Hasil penelitian dari Chang et al. (1998) menunjukkan bahwa dengan menggunakan probe DNA WSBV dilabel digoxigenin dapat dideteksi pada udang liar, kepiting dan lobster yang diinfeksi WSSV secara buatan. White spot syndrome virus juga dapat dideteksi pada semua irisan jaringan organisme yang diuji secara hibridisasi in-situ (Chang et al., 1998). Sel positif DNA WSSV juga diamati pada insang, perut, epidermis cuticuler, kelenjar antenna, hepatopankreas, mata majemuk, otot, jantung dan jaringan reproduktif beberapa jenis udang laut, yaitu Trachipenaeus curvirostris, Metapenaeus ensis, dan Exopalaemon orientalis,. Rajungan, Portunus sanguinolentus dan Charybdis granulata, DNA WSBV dapat dideteksi di insang, perut, hepatopankreas, otot dan jaringan reproduktif (Anonimous 2012). Lobster, Panulirus versicolor dan Panulirus penicillatus, sel positif terinfeksi virus dapat diamati di insang, lambung, epidermis kutikular dan hepatopankreas. Udang air tawar, Macrobrachium sp. dan Procambarus clarkia, DNA WSBV diamati hanya pada insang, epidermis cuticuler dan hepatopankreas. Penularan virus juga dapat dilakukan melalui cacing laut jenis Nereis sp. (Vijayan et al., 2005). Selain melalui perantaraan inang perantara, penularan virus dapat dilakukan secara mekanik oleh perantaraan burung. Sejenis burung camar yang diberi pakan udang terinfeksi WSSV, selang tiga hari kemudian kotorannya masih terdeteksi WSSV. Beberapa burung bangau sering dijumpai pada tambak yang sedang terkena wabah, dan ikut makan udang terinfeksi virus. Burung dapat menularkan virus ke tambak sehat yang berada dalam satu kawasan dengan tambak yang terkena wabah tersebut (Vanpatten et al., 2004). Epidemiologi Penyakit Bercak Putih Viral Penyakit bercak putih viral, saat ini telah ditetapkan sebagai penyakit bersifat endemik di wilayah budidaya udang di Asia. Kematian yang ditimbulkan bisa mencapai 100% hanya dalam waktu tiga sampai lima hari sejak kematian pertama terjadi. Beberapa peneliti bahkan mengategorikan sebagai penyakit pandemik, karena telah menyebar Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 144 secara lintas benua. Kajian epidemiologik terkait penyakit bercak putih viral telah dilakukan oleh beberapa peneliti (Corsin et al., 2005). Penggunaan pendekatan kajian epidemiologis mempunyai peranan penting dalam pengelolaan kesehatan hewan akuatik, karena dapat meningkatkan pengelolaan kesehatan ikan, analisis resiko, dan pengendalian penyakit (Subasinghe, 2005). Epidemiologi adalah kajian yang komprehensif, mempelajari penyakit pada aras populasi berupa keberadaan, tingkatan, distribusinya, serta faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya penyakit (Corsin et al., 2005). Pengumpulan data yang paling baik pada kajian epidemiologi adalah melalui kegiatan surveillance (Lotz et al., 2001) Salah satu manfaat kegiatan surveillance adalah dapat mengetahui prevalensi suatu jenis patogen pada suatu waktu. Selain itu, melalui kegiatan survei dapat menentukan perkembangan suatu patogen pada kurun waktu tertentu. Kajian epidemiologis ini dapat dipergunakan untuk menentukan prioriotas penyakit serta mengembangkan strategi pengendaliannya. Kegiatan monitoring juga dapat untuk menentukan sejauh mana efektifitas sistem pengendalian penyakit yang dilakukan (Cameron, 1999). Thrusfield (1986) menyebutkan bahwa terjadinya wabah tergantung pada rasio reproduktif dasar (R0), yaitu jumlah individu yang dapat diinfeksi oleh individu terinfeksi (infectious organism) selama periode infeksius. Suatu epidemi hanya dapat terjadi jika R0 lebih besar dari satu, yaitu jika rerata suatu individu terinfeksi mampu menginfeksi lebih dari satu hewan lain. Lebih lanjut dikemukakan, salah satu langkah untuk menurunkan R0 adalah dengan cara menjarangkan padat penebaran. Prevalensi Prevalensi WSSV sangat beragam, dari < 1% pada populasi di alam hingga mencapai 100% pada populasi udang di tambak (Lo dan Kou, 1998). Prevalensi induk windu dilaporkan antara 67% dan 74% di Taiwan (Kou et al., 1999 dalam East et al., 2005). Belum ada data yang pasti tentang besarnya tingkat prevalensi virus bercak putih pada tambak udang windu di Indonesia, namun diperkirakan lebih dari 50%. Selain prevalensi, hingga saat ini belum diketahui secara pasti faktor utama apa yang memicu timbulnya wabah. Beberapa laporan menyebutkan faktor terkait dengan timbulnya wabah adalah karena hujan, temperatur dingin, serta perubahan kondisi lingkungan yang terjadi secara drastis. Faktor musim juga berkaitan erat dengan tingkat prevalensi WSSV. Withyachumnarnkul et al. (2003) melaporkan bahwa pada bulan Januari sampai dengan Mei, induk windu di laut yang positif WSSV hanya 0-6%, tetapi pada bulan lain induk windu yang positif WSSV antara 6-18%. Prevalensi mencapai puncaknya pada bulan September sampai Nopember. Faktor terkait timbulnya wabah penyakit di tambak Faktor lingkungan merupakan faktor yang sangat penting yang memicu timbulnya penyakit (Lotz et al., 2001). Timbulnya wabah penyakit yang diikuti kematian di tambak sebagian besar disebabkan karena perubahan lingkungan yang mendadak, seperti perubahan salinitas air yang terjadi secara tiba-tiba (OIE, 2012). Virus penyebab penyakit bercak putih biasanya menyerang udang pada pergantian dari musim kemarau ke hujan, yakni pada bulan temperatur rendah (masa bediding), serta perubahan lingkungan tambak. Perubahan lingkungan yang terjadi di tambak, umumnya terkait dengan sistem Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 145 manajemen di tambak. Pertumbuhan fitoplankton yang cepat dan berlebihan (blooming) akan diikuti kematian alga secara mendadak. Pembusukan bahan organik di tambak akan diikuti penurunan kadar oksigen. Kadar oksigen yang rendah inilah yang menjadi pemicu terjadinya wabah penyakit bercak putih dan kematian (Kusnendar 2006). Kondisi lingkungan tanah tambak, seperti kondisi tanah asam juga dapat menjadi pemicu timbulnya penyakit bercak putih atau jenis penyakit lain. Pertumbuhan udang akan terhambat apabila dipelihara pada tanah asam dengan pH rendah (Taslihan dan Supito, 2005). Faktor yang mempunyai peranan penting pada terjadinya wabah penyakit diantaranya adalah temperatur, kadar oksigen terlarut dalam air, keasaman dan salinitas. Temperatur. Tinggi rendahnya temperatur air akan berpengaruh besar terhadap sistem ketahanan udang terhadap penyakit. Penurunan temperatur dari 27oC ke 18oC selama 24 jam mengakibatkan penurunan Total Hemocyte Count (THC) sebesar 40% dan peningkatan Phenol Oxydase (PO) secara nyata pada udang Penaeus stylirostris (Le Moullac dan Haffner, 2000). Udang windu mempunyai toleransi temperatur yang sangat luas. Udang windu masih dapat bertahan hidup pada temperatur antara 30-34oC tanpa mengalami kematian. Udang mengalami kematian hingga 50% pada temperatur 36oC (Anonimous, 1978). Temperatur rendah antara 7-10oC mengakibatkan kematian hingga 50% (LT50) selama 10 jam, sedangkan temperatur tertinggi yang masih dapat ditolerir oleh udang hingga 39oC (Motoh, 1981). Rahman et al. (2007) menyatakan bahwa udang yang diinfeksi WSSV, kemudian dipelihara pada temperatur 27oC mengalami kematian 100%, sedangkan udang yang diinfeksi WSSV dan dipelihara pada temperatur 33oC tidak mengalami kematian. Temperatur yang kondusif untuk WSSV adalah berkisar antara 18oC sampai dengan 30oC (Song et al. dan Vidal dalam OIE, 2012). Tujuan Tujuan kegiatan surveillance adalah: Menentukan prevalensi WSSV di daerah Lampung dan Banten Menentukan faktor risiko terkait penyakit yang disebabkan WSSV METODE Peralatan yang dipergunakan dalam kegiatan surveillance adalah berupa alat pemeriksaan kualitas tanah (pH) dan air (pH, salinitas, temperatur, kecerahan), peralatan pengambilan sampel berupa jala dan seser. Peralatan untuk pembedahan dan preservasi sampel berupa dissecting set dan botol sampel bervolume 50 ml. Bahan yang dipergunakan untuk preservasi sampel berupa alkohol 80%, preservative Davidson. Metode diagnosis yang dipilih untuk pengujian WSSV Real time-PCR (qPCR). Tingkat sensitifitas metode adalah 95%, dan spesifisitas uji 95%. Diagnosis terhadap EMS adalah dengan menggunakan histopatologi. Pengambilan sampel Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 146 Metode yang dipilih untuk pengambilan adalah two stage systematic sampling. Pertama memilih farm/kelompok pembudidaya, kemudian memilih tambak. Unit epidemiologi adalah kecamatan Jumlah sampel ditentukan berdasarkan rumus 4 PQ/L2, P adalah prevalensi yang diasumsikan terjadi di wilayah yang akan dilakukan kajian, sedangkan Q ditentukan sebagai tambak yang tidak terserang (1-P), dan L merupakan galat (error), ditentukan sebesar 5%. Besaran jumlah sampel sangat ditentukan oleh prevalensi yang diasumsikan terjadi di suatu wilayah. Asumsi prevalensi dapat berasal dari informasi hasil penelitian survei atau surveillance sebelumnya, laporan dari pembudidaya atau laporan petugas lapangan berdasarkan kegiatan surveillance pasif. Sampel yang dimaksud adalah berupa tambak sebagai unit sampling terkecil yang cara pengambilannya ditentukan secara sistematik. Udang dan organisme lain yang dicurigai sebagai karier ditentukan dengan cara purposif, yaitu apabila terjadi tanda penyakit atau kematian masal, selanjutnya diambil sebagai sampel sebanyak 14 ekor (ditentukan berdasarkan detect disease. Kegiatan surveillance dilakukan di dua propinsi, yaitu Provinsi Lampung dan Banten. Kabupaten Lampung Selatan dipilih mewakili provinsi Lampung, sedangkan untuk propinsi Banten dipilih kabupaten Serang dan Pandeglang dan propinsi Jawa Timur dipilih kabupaten Banyuwangi. Pemilihan kabupaten berdasarkan asumsi bahwa daerah terpilih dianggap mewakili masing-masing propinsi dengan asumsi prevalensi WSSV adalah 12,5%, tingkat kepercayaan 95%, dan galat 5%, maka jumlah sampel tambak udang yang harus diambil sebagai sampel adalah n = 4 PQ/L2 = 4 (0,1)(0,90)/(0,05)(0,05) = 144 tambak. Untuk meningkatkan validitas data kemudian dihitung dengan desain efek (Design Effect) ntuk mendapatkan presisi jumlah tambak penentuan jumlah tambak perfarm/kelompok. Varian S² = P(1-P) = 0,9 (0,1)= 0,09, varian dalam farm ρ = S₁²/ S² (ρ= Koef intra kelas = 0,05) S₁² = 0,0045, S₂² = S²- S₁² = 0,0855, np = √ S₂² / S₁² , maka jumlah tambak per farm= 4,358899 ~ 5. DE = 1+(np)ρ = 1,217945, maka npps =144 (jumlah tambak semula) x DE =175 tambak jadi jumlah farm = 28, jumlah tambak per farm = 5. Sampling akan dilaksanakan staf dinas, masyarakat akuakultur lain yang telah diberikan pelatihan tentang sistem pengambilan sampel. Pelatihan akan dilaksanakan oleh Direktorak Kesehatan Ikan dan Lingkungan. Sebelum pengambilan sampel juga akan dilakukan pelatihan penyegaran di lapangan. Sampel dari tambak akan dikumpulkan dalam botol sampel (plastik poly ethylene), bervolume 50 ml, diisi dengan alkohol 80% sebanyak 35 ml. Botol diberi label berisi kode tambak. Selanjutnya sampel terkumpul akan dikirim ke laboratorium uji. Apabila diperlukan untuk analisa histopatologi untuk kasus diduga EMS, maka akan disertakan larutan fiksasi Davidson. Laboratorium uji yang akan dirujuk untuk pengujian sampel adalah LPPIL Serang, BBPBAP Jepara, BBAP Situbondo, BBPBL Lampung, dan BLUPB Karawang. Laboratorium memiliki kompetensi dan mengacu pada ISO 17025. Hasil dan Pembahasan Hasil kegiatan surveilan yang dilakukan pada beberapa wilayah didapatkan bahwa, WSSV ditemukan di semua area surveilan. Prevalensi untuk setiap daerah berbeda, dan Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 147 sangat dipengaruhi oleh tingkat pengelolaan tambak. Pada tambak yang menerapkan cara budidaya yang baik secara teoritis tingkat prevalensi penyakit juga lebih rendah dibandingkan tambak yang tidak menerapkan cara berbudidaya yang baik. Faktor musim tanam juga berpengaruh terhadap tinggi rendahnya prevalensi penyakit. Penerimaan sampel Sampel yang berhasil dikumpulkan selama kegiatan surveilan masih belum memenuhi target karena berbagai alasan. Salah satu alasan yang utama adalah tambak di wilayah pertambakan di provinsi Banten, meliputi kabupaten Pandeglang, Serang dan Tangerang sebagian besar tidak beroperasi. Tambak di wilayah Banten didominasi oleh tambak tradisional, terutama di wilayah Serang. Tambak tradisional pada umumnya beroperasi secara tidak terjadual, menunggu pada kondisi iklim yang bagus. Selama tahun 2015, dengan kondisi cuaca yang tidak menentu, banyak pembudidaya yang menebar bandeng dibandingkan udang, hal ini karena kegagalan berbudidaya udang pada periode sebelumnya. Pengumpulan sampel pada periode ke dua, yaitu tambak berumur 2 bulan juga mengalami kendala, karena pada umumnya tambak tradisional mengalami kematian masal sehingga pada pengambilan sampel periode ke dua tidak ada lagi tambak beroperasi, hal ini terjadi di wilayan Banyuwangi. Analisa deskriptif status pertambakan di wilayah surveilan Secara umum kegiatan tambak di Banyuwangi terbagi menjadi berbagai tingkat kategori teknologi yaitu, tradisional monokultur 18,1%, polikultur dengan bandeng 6,9%, polikultur udang dengan nila 6,3%, semiitensiv 1,9% dan intensiv 66,9%. Melihat proporsi tambak berdasarkan kategori teknologi yang ada, tambak udang di Banyuwangi mayoritas adalah tambak intensiv, hal ini berbeda dengan tambak di wilayah lain yang didominasi oleh tambak tradisional. Pengeringan tambak dilakukan oleh 5,%, sedangkan sebagian besar 94,4% tidak melakukan pengeringan tambak, hal ini disebabkan karena sebagian besar tambak intensiv di wilayah Banyuwangi merupakan tambak konstruksi beton (konkret). Penerapan biosekuriti melalui antara lain didapatkan bahwa tambak melakukan desinfeksi air sebanyak 68,1%, dan tidak melakukan desinfeksi air sebanyak 31,9%. Penapisan benih sebelum tebar dilakukan oleh 68,8%, sedangkan 31,3% tidak melakukan penapisan benih sebelum tebar. Fencing dilakukan oleh 71,9% tambak, sedangkan yang tidak memagari tambak sebanyak 28,1%. Sebanyak 73,6% menyatakan tidak ada masalah pada kesehatan udang yang mereka peliharan, dan hanya 26,4% yang melaporkan ada masalah pada kesehatan udang. Pakan yang digunakan oleh pembudidaya terdiri dari berbagai berbagai merek pakan, dan ada juga kombinasi berbagai merek. Tambak intensiv, untuk setiap perusahaan pertambakan (farm) hanya menggunakan satu merek pakan, sedangkan untuk tambak tradisional umumnya menggunakan lebih dari satu merek selama pemeliharaan. Prevalensi WSSV Prevalensi WSSV di beberapa wilayah kabupaten menunjukkan adanya berbagai variasi dari berbagai pelaksanaan surveilan. Data prevalensi dari beberapa kabupaten dan periode pengambilan disajikan pada Tabel 3. Prevalensi di kabupaten Lampung Selatan menunjukkan adanya kecenderungan terjadinya penurunan dari periode Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 148 pengambilan sampel I dan pengambilan ke II, tetapi kemudian mengalami sedikit peningkatan pada periode pengambilan ke III. Terjadinya fluktuasi disebabkan karena faktor musim, dimana pada pengambilan pertama dilakukan pada musim kemarau panjang, kesulitan ganti air sehingga banyak tambak yang kemudian karena kesulitan ganti air mengalami serangan penyakit. Prevalensi WSSV di Banyuwangi menunjukkan terjadinya penurunan dari periode pengambilan I, II dan III. Pada periode pengambilan pertama yang dilakukan pada awal tahun, prevalensi WSSV mencapai 35%, kemudian menurun pada pengambilan ke II, sebesar 16% dan mengalami penurunan mencapai 0% pada periode pengambilan ke II. Prevalensi WSSV di wilayah propinsi Banten, yang meliputi kabupaten Tangerang, Serang dan Pandeglang menunjukkan kecenderungan fluktuatif, pada periode pengambilan sampel I prevalensi mencapai 88,9% untuk kabupaten Serang, dan 100% untuk kabupaten Pandeglang. Pada pengambilan sampel periode ke II terjadi penurunan menjadi 0% untuk wilayah Tangerang dan Serang, sedangkan Pandeglang tingkat prevalensi sebesar 30,8%. Pada periode pengambilan sampel ke III, terjadi peningkatan kembali menjadi 88,9% untuk Tangerang, 80% untuk Serang dan 57,9% untuk Pandeglang. Tabel 3. Prevalensi WSSV pada kegiatan surveilan di wilayah propinsi Lampung (kabupaten Lampung Selatan), Banten (kabupaten Tangerang, Pandeglang dan Serang) dan Jawa Timur (Banyuwangi) Prevalensi WSSV (%) pada sampling ke No Kabupaten I II III Keterangan 1 Lampung Selatan 54,3 28,0 38,0 Prevalensi fluktuatif 2 Tangerang Tt -* 88,9 Prevalensi fluktuatif 3 Serang 88,9 -* 80,0 Prevalensi fluktuatif 4 Pandeglang 100 30,8 57,9 Prevalensi fluktuatif Keterangan: Angka romawi, periode pemeliharaan Angka arab, periode pengambilan sampel pada satu musim tanam * tidak ada data, sampel tidak terkumpul karena tidak ada aktifitas pemeliharaan Lampung Selatan 54,3%, Serang 88,9% dan Pandeglang 100%. Teknologi pertambakan juga berpengaruh terhadap prevalensi di masing-masing kabupaten. Kejadian WSSV di kabupaten Lampung Selatan, pada pengambilan sampel periode ke II, tambak intensiv memiliki tingkat prevalensi lebih tinggi dibandingkan dengan tambak tradisional, tetapi pada periode ke III tambak tradisional (Tabel 4). Kejadian di kabupaten Banyuwangi justru sebaliknya, prevalensi WSSV tertinggi terjadi di kawasan tambak tradisional (Tabel 5). Perbedaan besarnya prevalensi antara kawasan tambak tradisional dan tambak intensiv disebabkan, di wilayah kabupaten Banyuwangi, tambak intensive berada pada klaster yang jauh dari kawasan tambak tradisional, yang mengumpul di wilayah kecamatan Muncar. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 149 Tabel 4. Prevalensi WSSV pada kegiatan surveilan di wilayah kabupaten Lampung Selatan No Tipe tambak Prevalensi WSSV (%) pada sampling ke II III Keterangan I 1 2 3 Tradisional Intensiv Lampung Selatan Total sampel Sampel tbk tradisional Sampel tbk intensiv 54,3% 26,0 35,0 28,0 54,2 9,7 38 171 131 40 113 72 41 Penurunan prevalensi Keterangan: Pengambilan sampel periode I dan II dilakukan pada bulan September Tabel 5. Prevalensi WSSV pada kegiatan surveilan di wilayah kabupaten Banyuwangi berdasarkan tingkatan teknologi No Tipe tambak 1 Tradisional 2 Intensiv 3 Kabupaten Banyuwangi Total sampel Total sampel tradisional Total sampel intensiv Prevalensi WSSV (%) pada sampling ke I-1 I-2 II-1 Mei 2015 Juni 2015 Nopember 2015 83,0 50,0 0 15,5 7,0 0 35,0 16,0 0 163 53 110 144 30 114 143 30 103 Keterangan Penurunan prevalensi Penurunan prevalensi Penurunan prevalensi Keterangan: Angka romawi, periode pemeliharaan Angka arab, periode pengambilan sampel pada satu musim tanam Analisa faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian WSSV Prevalensi WSSV tertinggi terjadi pada tambak tradisional, monokultur udang yang mencapai 15,6% untuk wilayah Banyuwangi. Prevalensi di tambak semiintensiv terkecil, diikuti dengan polikultur udang udang dengan nila. Prevalensi WSSV tambak intensiv termasuk rendah, apabila dilihat dari proporsi sampel yang diambil. Hasil selengkapnya proporsi prevalensi WSSV pada tambak berdasar tipe budidaya, konstruksi, fencing dan desinfeksi air serta asal benih disajikan pada Tabel 6. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 150 Tabel 6. Sebaran prevalensi WSSV berdasarkan tipe budidaya, Asal benih, lokasi, penerapan biosekuriti Parameter Prevalensi WSSV Tipe Budidaya Monokultur udang Polikultur udang dengan nila/mujaer Polikultur udang dengan bandeng Semiintensiv (kepadatan 5-50 ekor/m2) Intensiv (kepadatan > 50 ekor/m2) Tipe konstruksi tambak Tanah Konstruksi beton Lapis plastik Keberadaan pagar keliling Tambak tidak berpagar keliling Tambak dengan pagar keliling Status desinfeksi air Tidak dilakukan desinfeksi Dilakukan desinfeksi Asal benih Primalarva Pasifik Suma Dewi Windu CP STP Lokal 15,6 4,4 6,3 1,3 7,5 26,9 7 5 22,5 12,5 26,9 8,1 1,3 0 5,0 0 1,3 0 27,5 Faktor risiko terkait serangan penyakit dan ratio ganjil (Odd Ratio, OD) Pada prinsipnya, penyakit dan kematian pada hewan budidaya tidak terjadi begitu saja. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit, diantaranya adalah keberadaan patogen dan faktor pemicu timbulnya stres. Faktor pemicu timbulnya penyakit dan kematian disebut sebagai faktor risiko (Risk factor). Faktor risiko bisa tunggal, dapat juga terjadi secara simultan. Hasil analisis terhadap data questioner yang dikumpulkan terkait dengan pelaksanaan surveilan diperoleh beberapa faktor yang menjadi pemicu. Faktor tersebut memiliki tingkat kepercayaan 95%. Beberapa faktor risiko adanya yang signifikan dengan P <5% dan sangat signifikan dengan P < 1%. Faktor risiko dengan P < 5% tersebut adalah pemupukan tambak dengan P = 0,0217, skrining benih sebelum tebar dengan P = 0,0257, dan tingkat kepercayaan 99%, yaitu desinfeksi air menggunakan kaporit, dengan P = 0,0101 dan sistem penggantian air dengan P = 0,0001. Hasil analisa kekuatan faktor (P) disajikan pada Tabel 12. Sampel Banyuwangi menunjukkan bawa faktor risiko wilayah kecamatan, konstruksi tambak, rembesan, fencing, desinfeksi air, udang liar di sekitar Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 151 tambak, skrining benih, asal benih, merek pakan menunjukkan pengaruh yang signifikan pada P <0,01 (Tabel 9) untuk kasus Lampung Selatan dan Banten, serta wilayah Banyuwangi (Tabel 10). Tabel 9. Analisa Chi-Square, faktor risiko yang berperan dalam menyebabkan terjadinya wabah yang disebabkan oleh penyakit untuk sampel Lampung dan Banten (n=180) No. Faktor Risiko P 1 Persiapan tambak melalui pengeringan 0,0602 (Ponddry) 2 Pemupukan tambak (Fertilizer) 0,0217* 3 Penyediaan tandon air (Reservoir) 0,8570 4 Kedalaman air (Waterdepth) 0,1287 5 Desinfeksi air menggunakan kaporit 0,0101** (Cadosage) 6 Pemagaran tambak (Fencing) 0,1442 7 Pengujian benih sebelum tebar (Testfry) 0,0257* 8 Kehilangan air akibat rembesan (Waterloss) 0,0595* 9 Sistem penggantian air (Waterexch) 0,0001** 10 Keberadaan udang liar di sekitar petak 0,2980 tambak (Wildshrimp) Keterangan: *) berbeda nyata **) berbeda sangat nyata (n=163) Sampel yang dianalisa meliputi Lampung Selatan dan Banten Beberapa faktor juga dengan analisa rasio ganjil, dan didapatkan bahwa beberapa parameter seperti tambak tidak kedap memiliki peluang terjadi serangan 17 kali lipat dibandingkan tambak yang kedap. Keberadaan tambak intensiv yang berdekatan dengan tambak tradisional memiliki peluang 5 kali tertular penyakit dibandingkan tambak intensiv yang tidak berhubungan dengan tambak tradisional. Skrining benih apabila dilakukan akan menekan risiko terjadi wabah penyakit seperlima kali dibandingkan benih ditebar yang tanpa skrining terlebih dahulu. Tambak yang sangat luas memiliki peluang terjadi serangan WSSV 2,7 kali dibandingkan tambak dengan ukuran 3000 m2. Pengeringan tambak menekan risiko terjadi wabah penyakit, kemudian tambak yang dilengkapi dengan petak tandon akan menekan terjadinya wabah menjadi sepertiga. Data analisa rasio ganjil (Odd Ratio, OD). Tabel 11. Analisa rasio ganjil (Odd Ratio, OD) pada kegiatan surveilan di Lampung Selatan dan Banten No Prediktor Rasio ganjil 1 Tambak tidak kedap 16,9 2 Aspek biosekuriti, tambak intensive berdampingan dengan tambak tradisional 5,0 3 Pemilihan benih 4,6 4 Luas tambak 2,7 Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 152 5 Pengeringan tambak sebelum tebar 6 Keberadaan reservoir 0,0002 – 0,1 0,3 Keterangan: OR = 1, faktor risiko tidak berpengaruh OR > 1 risiko meningkatkan kasus penyakit OR < 1 risiko menurunkan kasus penyakit Berdasarkan hasil analisis data yang dikumpulkan selama kegiatan surveilan, beberapa parameter dinyatakan merupakan parameter kunci, P < 0,05 (signifikan) dan P < 0,01 (sangat signifikan). Parameter yang perlu dikendalikan atau dilakukan perbaikan adalah terkait dengan melakukan pemupukan tambak, uji benih sebelum tebar, memperbaiki konstruksi pematang untuk mencegah kehilangan air, dan parameter yang betul-betul perlu diperhatikan adalah melakukan desinfeksi air dan pergantian air. Pemupukan tambak berperanan penting untuk menumbuhkan fitoplankton, dan menyeimbangkan antara kebutuhan Nitrogen, karbon dan fosfor. Tambak yang berhasil berproduksi dicirikan dengan pertumbuhan fitoplankton yang stabil, dengan kisaran kecerahan antara 25 – 40 cm pada pembacaan Secchi Disc. Pertumbuhan fitoplankton yang tidak stabil, adanya dominasi alga jenis BGA menyebabkan terjadinya gangguan pada kesehatan udang, sehingga udang mudah terinfeksi oleh patogen. Uji benih bertujuan agar benih yang ditebar di tambak adalah benih yang betulbetul sehat. Memaksakan benih tebar yang berasal dari sumber yang tidak jelas, mengandung patogen akan memudahkan terjadinya wabah (outbreak) yang dapat berakibat kematian pada usia dini. Kematian dini ini banyak dijumpai pada tambak tradisional, yang menebar benih dari pembenihan yang kualitasnya tidak diketahui dengan baik. Hasil surveilan menunjukkan bahwa prevalensi WSSV yang tinggi dijumpai pada tambak tradisional yang menebar benih tanpa dilakukan skrining. Hal ini membuktikan bahwa peran skrining sangat penting untuk menunjang keberhasilan budidaya, minimal memperpanjang umur pemeliharaaan. Hasil Odd Ratio menunjukkan bahwa tambak yang ditebar dengan benih yang tidak diskrining memiliki risiko terjadinya infeksi WSSV sebesar 4,6 kali dibandingkan tambak yang ditebar dengan benih yang ditebar benih yang telah diskrining. Kebocoran tambak memiliki korelasi yang positif dengan tingginya prevalensi WSSV. Penularan virus umumnya terjadi melalui air, sehingga tambak yang bocor akan memudahkan masuknya air dari luar petakan tambak yang membawa virus, sehingga menimbulkan penularan. Konstruksi tambak berpengaruh pada tingginya prevalensi WSSV (Tabel 4). Tambak intensiv di kabupaten Banyuwangi sebagian besar sudah menggunakan tambak beton (concrete) atau lapis plastik, sedangkan tambak tradisional sebagian besar tambak tanah yang sebagian besar tingkat rembesannya sangat tinggi. Tambak dengan tingkat kebocoran yang tinggi diamati pada tambak tradisional. Lokasi tambak yang berhubungan satu dengan yang lain memiliki kejadian terinfeksi WSSV sebesar 2,2 kali dibandingkan tambak yang tidak berhubungan satu dengan lainnya. Tambak di wilayah Muncar umumnya berhubungan satu dengan lainnya dan posisi saling berdekatan, ternyata memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 153 Tambak dengan tingkat kebocoran yang tinggi, karenanya rentan untuk terjadinya penularan penyakit dibandingkan tambak yang kedap, yang tidak memungkinkan adanya rembesar air dari sekitarnya. Analisis juga diperkuat dengan analisa Odd Ratio, yang diperoleh bahwa kekedapan tambak memiliki nilai OD 16,9 yang berarti tambak bocor memiliki kesempatan untuk tertular penyakit 17 kali dibandingkan tambak tidak bocor. Desinfeksi air pemeliharaan bertujuan agar air digunakan untuk pemeliharaan udang telah bebas dari karier penyakit. Beberapa jenis krustase biasanya ikut terbawa air yang dipompa masuk ke dalam tambak. Krustase liar merupakan karier bagi virus, terutama WSSV pada daerah endemik penyakit tersebut. Melakukan desinfeksi air akan mengeliminasi krustase liar tersebut dan mencegah adanya penularan dari karier ke udang budidaya. Analisa OD juga menunjukkan bahwa penyediaan reservori menekan risiko terjadi penularan sebesar 0,3 kali. Pergantian air juga merupakan parameter yang muncul dalam analisa. Pergantian air dengan air yang baik akan memperbaiki kondisi air tambak, terutama pada saat pertumbuhan fitoplankton mengalami kondisi blooming (pertumbuhan berlebihan). Pergantian air yang baik juga akan mengencerkan senyawa yang bersifat toksik di tambak, seperti senyawa nitrogen dalam bentuk amoniak total. Pengeluaran kotoran dasar yang dilanjutkan dengan penggantian air juga akan memperbaiki lingkungan hidup udang sehingga mencegah udang menjadi stres. Referensi AAHRI. 2006. Infectious Myonecrosis. AAH March 2006 Report. Chapter 4.1.9. BBPBL. 2009. Laporan Hasil Active Surveillance Penyakit Virus : TSV, WSSV, PvNv Dan IMNV Pada Budidaya Udang Vanamei Di Kabupaten Pesawaran Dan Kabupaten Lampung Selatan. Laporan Balai Besar Pengembagan Budidaya Laut Lampung. Basoeki, G. 2011. Corporate Communication Department, PT Central Proteina Prima Tbk. Corsin, F., T. T. Phi, L. H. Phuoc, N. T. N. Tinh, N. V. Hao, C. V. Mohan, J. F. Turnbull, and K. L. Morgan. 2002. Problems and solutions with the design and execution of an epidemiological study of white spot disease in blak tiger shrimp. Preventive Veterinary Medicine 53: 117-132. Corsin, F., M. Georgiadis, K. L. Hammell, B. Hill. 2009. Guide fo aquatic animal health surveillance. Published by The World Organization for Animal Health (OIE) Flegel, T. W. L. Nielsen, V. Thamavit, S. Kongtim, and T. Pasharawipas. 2004. Presence of multiple virus in non-diseased, cultivated shrimp at harvest. Aquaculture 240 (2004) 55-68. Flegel, T.W. 2006. The special danger of viral pathogens in shrimp translocated for aquaculture. Sci. Asia 32, 215–231. Lightner, D. V., C. R. Pantoja, B.T. Poulos, K.T.F. Tang, R.M. Redman, T. Pasos de Andrade and J. R. Bonami. 2004. Infectious myonecrosis: new disease in Pacific white shrimp. Glob Aquac Advocate 7, 85. Lightner. 2005. Review of white spot disease of shrimp and other decapod crustaceans. Martin, S. W. A. H. Meek, P. Willberg. 1987. Veterinary Epidemiology, Principles and Methods. Iowa State Univeristy Press/Ames. Pp.: 24-27. Ministerial decree. 2007. Penetapan Jenis-jenis Penyakit Ikan Yang Berpotensi Menjadi Wabah Penyakit Ikan. KEP.33/MEN/2007. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 154 Nunes AJP, Martins PCC, Gesteira TCV (2004) Produtores sofrem com as mortalidades decorrentes do virus da mionecrose infeccisa (IMNV). Panorama da AQUICULTURA, Maio/Junho, p 37–51 Nuraini, Y. L., S. Subyakto, B. Hanggono dan G. Triastutik. 2006. Active Surveillance Infectious Myonecrosis Virus (Imnv) Pada Udang Vanamei Di Jawa Timur Dan Bali. Laporan BBAP Situbondo. Petrie, A and Watson, P. 2006. Statistics for Veterinary and Animal Science. Blackwell Publishing. Hongkong. Senapin, S., K. Phewsaiya, M. Briggs, T. W. Flegel. 2007. Outbreaks of infectious myonecrosis virus (IMNV) in Indonesia confirmed by genome sequencing and use of an alternative RT-PCR detection method. Subasinghe, R. P. and Bondad-Reantaso, M. G. Biosecurity in Aquaculture: International Agreements and Instruments, their Compliance, Prospects, and Challenges for Developing Countries. In: Scarfe, D. A. and Lee, C-S. Aquaculture Biosecurity Prevention, Control, and Eradication of Aquatic Animal Disease. World Aquaculture Society. Blackwell Publishing. Taslihan, A., I M. Suithe, Maskur. 2013. Kajian epidemiologis White spot syndrome virus (WSSV) dan Infectious myo necrosis virus di area budidaya udang vanamei di Cirebon dan Indramayu, Jawa Barat. Paper presented in Gadjah Mada University 2013. Taslihan, A. 2014. Study of Prevalence And Risk Factors of White Spot Syndrome Virus (WSSV) in Tiger Shrimp (Penaeus monodon Fabricius) at Traditional Ponds. Verinary Journal, Udayana University. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 155 LAND BIOREMEDIATION BY UTILIZE OF AQUACULTURE Hasanuddin1), Muyassir2), Muchlisin3), Abidin Nur4) and Kevin Fitzsimmon5) 1) staf of Brackish-water Aquaculture Development Center, Email : [email protected] 2) Lecturer of Faculty Agriculture University of Syiah Kuala, Email: [email protected] 3)Lecture of faculty marine and fisheries Universitas of Syiah Kuala, Email:[email protected] 4) Research development of Brackish-water Aquaculture Development Center, Email : [email protected] 5)Profesor of Arizona University, USA, Emial : [email protected] Abstract: The decreasing of land productivity was caused by low quality of soil and water due to accumulation of waste and organic matters from aquaculture practices. It is very crucial to find the practical technique to overcome this problem. Therefore, the objectives of present study were to evaluate the effect of bioremediation method using three species of aquatic organisms; tilapia (Tilapia nilotica), tiger prawn (Penaeus monodon Fab) and milkfish (Chanos chanos). The completely randomized design was utilized in this study, the treatment was: (A) control, (B) shrimp at stocking density of 4 shrimp/m2, (C) milkfish at stocking density of 2 fish/m2, (D) tilapia at stocking density of 2 fish/m2, (E) shrimp-milkfish at stocking density of 2 shrimp/m2 and 4 fish/m2, (F) shrimptilapia at stocking density of 2 shrimp/m2 and 4 fish/m2, (G) milkfish-tilapia at stocking density of 1 fish/m2 and 1 fish/m2, and (H) shrimp-milkfish-tilapia at stocking density of 4 shrimp/m2, 1 fish/m2 and 1 fish/m2. Every treatment was done at three replications. The experimental unit was 24 aquaculture ground ponds of 3 m x 8 m in size. The result showed that the aquaculture biota was gave a significant effect on the soil quality (organic matter, C-organic, phosphorus and iron). Based on Duncan Post Hoc Multiple Range Test showed that Tilapia can be the best bioremediator for aquaculture because it can reduce the organic matter (24.6%) and C-organic 24.8%, and strongly recommended to apply the tilapia culture to rehabilitate the pond of organic matter, due to the previous cycle of production waste or sources of organic matter such as ‘lab-lab’ / klekap and aquatic macrophytes. Keywords: fish-pond, aquaculture biota and bioremediation. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 156 INTRODUCTION A decrease in land productivity ponds, cause decreasing quality of pond bottom soil due to the accumulation of waste and organic matter from previous cultivation material, such as food remains, waste biota farming, pharmaceuticals, fertilizers, plankton and water plants. In addition, the pond bottom is always flooded, it was not drying pond bottom soil, especially in the traditional causes, the oxidation process in battom soil does not happen perfectly, so that the pond bottom soil quality declines. Particularly in Aceh, mud bottom is generally not disposed either in deeper and shallow ponds area because it requires energy, time and additional costs, so that the production cost will increase. To overcome these problems is necessary to look for alternative methods to improve soil quality ponds more effective and economic, one way that can be achieved is by using the natural bioremediator, because bioremediation technologies is the one methods of land conservation that can be applied to aquaculture. Panigrahi and Mohapatra., (2007) stated that using of living organisms as a way to eliminate environmental pollution, restore contaminated sites, and prevent the pollution, which is an approach to environmentally friendly and sustainable farming, aims to prevent and control diseases in aquaculture. Among the natural bioremediator allegedly can improve soil quality on pond bottom is nile (Tilapia nilotica) and milk-fish (Chanos Chanos). Nile is generally omnivorous but tend herbivores. This is accordance with El-Sayed (2006), tilapia like algae, phytoplankton, zooplankton, bacteria, benthic invertebrates, insect larvae, fish, eggs and detritus vertebrates. Furthermore Fitzsimmon and Somamiharja (2006) stated that tilapia activity "stirring" the bottom of ponds for foraging and nest building, can increase oxidation pond bottom, so that the development of bacterial pathogens and parasites, and also can release trapped nutrients in sediment, thus increasing the fertility of the water and trigger the development of algae. Milk-fish are active swimmers and clustered on the surface of the water usually, causing ripples on the surface, these conditions can increase the diffusion of oxygen into the water and can filter plankton from the water as the food, it’s can control the blooming of plankton in the ponds and his habit eat lab-lab and moss growt on the pond bottom, so it can prevent the supplay organic matter into based soil in the pond. This is consistent with the statement Mahasri (2005) milkfish can be used as a bio-filter, because the filter feeding plankton in particular way ciliate pathogenic for tiger shrimp. According to eating habits including herbivorous, and foods preferred are lab-lab, moss growing on the pond bottom. Based on the living habits of tilapia and milkfish mentioned above, it’s could be expected as a natural bioremediator in the aquaculture pond so that the accumulation of organic material on the pond bottom can be reduced, this condition will bring a positive effect on the quality of the pond bottom soil. MATERIALS AND METHODS This research conducted in the community pond, Neuhen village, District Mesjid Raya, Aceh Besar district. for soil chemical parameter was analized in Soil and Plant Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 157 Research Laboratory, and total microorganisms and soil respiration were analized at the Soil Biology Laboratory of Agriculture Faculty of Syiah Kuala University, This research conducted during about 6 months totally including preparation process started from May to October, 2014. The fish species used for this research were tilapia (Tilapia nilatica) size of 2 to 2.5 cm (average 11.5 g) with total number 432 pcs, milkfish (Chanos Chanos) size 7-8 cm (average 15 g ) with number 432 pcs and tiger shrimp (Penaeus monodon) PL27 size (length of 2 to 2.5 cm) and a combination of the aquaculture biota. Experimental units used the small ponds with size of 3 m x 8 m, depth of 70 cm and total number was 24 units, which are arranged in parallel two rows, each row consist was 12 units. at the center line of the pond area has a secondary channel (3 m wide x 45 m leght), which is connected with two ponds reservoir (210 m2 each), each pond equipped with a 3-inch size water inlet pipe. This research utilized the completely randomized design, the treatment ware: (A) control, (B) shrimp at stocking density of 4 shrimp/m2, (C) milkfish at stocking density of 2 fish/m2, (D) tilapia at stocking density of 2 fish/m2, (E) shrimp-milkfish at stocking density 4 shrimp/m2 and 2 fish/m2 (F) shrimp-tilapia at stocking density of 4 shrimp/m2 and 2 fish/m2, (G) milkfish-tilapia at stocking density of 1 fish/m2 and 1 fish/m2, and (H) shrimp-milkfish-tilapia at stocking density of 4 shrimp/m2 + 1 fish/m2 + 1 fish/m2. Every treatment was three replications with total were 24 treatments. Drying of test pond carried out for 7 days, then fill in of water through filtration and sedimentation process, through the main channel into the test pond respectively through water intakes, the water level was about 60 -70 cm, then left for 10 days and then stoked with the fish spesies, there are not feeding and fertilizing during the research. And the period was during 122 days culture. The soil parameters be analized were soil pH, potential redoxs, organic matter, Corganic, N-total, total P, C/N rasio, iron, mangan, total microorganism and soil respiration, and some production data was measured was production (kg/ha) in the end of the test as supporting data for this research. Soil sampling was utilized iron spoon with 3 inch diameter and 10-15 cm depth, as much as 7 sub-sample with the same volume, following the pattern of the S-Shapen (Boyd et al., 2002) with a distance of 0.8 meter / horizontal samples (Fig.1), the next 7 sub-samples made in the composite and 500 g was taken and put into the plastic that free from direct sunlight, wind and dust, and then labeling most importance for each sample before sent them to laboratory for analisis. 8 mm 0,8 mm Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 3 mm 158 Figure 1. Illustration pola S-shapen for soil sampling. Measurement of soil quality parameters was 3 phases, namely (1) before the test (before stoked of fish) (2) during rearing period (40 days, 81 days) and (3) the end of the test. Processing the data was utilized SPSS program, with the statistical model was one way ANOVA because in this study aimed to compare the average population of each parameter soil quality to the treatment, and after be analyzed interaction between treatments was undertook with post hoc multiple comparisons with Duncan model approach. As for knowing the degree of unidirectional relationship between soil quality parameters (both posifive and negative) was used Spearman's correlation analysis models. RESULTS AND DISCUSSION The results of this study indicate a change before and after treatments, from each of the parameters tested, for soil pH values increased from 1.8 to 11.1% from some treatments, while the redox potential increased for some treatments, while the milkfish treatment decreased the potential redox, while the organic material and C-organic decreased in treatment monokulture 9.9 to 24.6% and an increase on the control treatment and polyculture 3.1 to 35.3%, while the value of N-Total decreased in the treatment of tilapia up 28.2%, while in the other treatment changes little value, ranging between -3.0 to 9.7% and control treatment increased the N-total was 48.3%, while the value of P declined in each treatment ranges 50.6 to 88.2%, the highest was 88.2% in the milkfish treatment and shrimp-milkfish-tilapia treatment polyculture was 86.7%, while the lowest was in tilapia treatment was 57.5% and 50.6% on control treatment, while C / N ratio decreased in the control treatment, shrimp and milkfish, while other treatments have increased the range from 5.9 to 35.6%, the highest was in the treatment of shrimpmilkfish, while the iron value increased for each treatments, the highest was in the milkfish treatment about 187.3% and the lowest on a shrimp-milkfish-tilapia polyculture treatment was 3.2%, while manganese content increased in each treatment ranged from 18.1 to 75%, except in the treatment of shrimp-milkfish-tilapia polycuture decreased 15.1%, while total microorganisms and soil respiration increased repectively, between 22.6 to 314.4% and 108.4 to 256.4%, for more detail changes in the value of each parameter of the treatment can be seen in table 1 and 2. Results of statistical analysis using one-way ANOVA showed no significantly influence on the treatment of aquaculture biota of the soil quality; such soil pH (sig = 0.333), redox potential (sig = 0.838), N-total (sig = 0.167), C/N ratio (sig = 0.521), manganese (sig = 0.053), total microorganisms (sig = 0.873) and soil respiration (sig = 0.881) because the value P (sig) were > 0.05, but significantly influence on the levels of organic matter (sig = 0.007), C-organic (sig = 0.008), phosphate (sig = 0.000) and iron (sig = 0.022) because the value P (sig) were < 0.05. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 159 Organic materials are the most important components in relation to the environmental quality of water and soil, as a source of nutrients, However under certain circumstances be toxic to aquatic biota, including fish, organic matter content influenced by the physical, biological activity and soil chemical processes, as steated by Brussaard (1994), that the decomposition process of organic matter influenced by three main factors; soil organisms, physical environment, and quality of organic matter. Soil microorganisms function to revamp organic materials with utilize of carbon as energy, the decomposition process of organic matter can release a lot of nutrients into the soil in a form usable by plants, called is mineralization process, and affect on water quality (Boyd, 1992). Furthermore Widiyanto (2006) stated, that the accumulation of organic matter can spur the growth of heterotrophic microorganisms and pathogens bacteri, eutrophication, the formation of toxic compounds (ammonia and nitrite), and decrease the dissolved oxygen concentration. Foth (1991) stated, that the reduction of oxygen in the soil will be followed reduction process of several chemical parameters including soil nitrate, manganese, ferrous sulfate and sulfite. and Soetomo (1990) stated, that the number ammonia in the pond will increase in line with the activity of the decomposite process of organic matter and increased water temperature. Based on the analysis it appears that the polyculture system had increased the organic matter, while in monoculture system had decrease the organic matter and the best one was treatment of tilapia about 24.6%, the same conditions occurred in the levels of C-organic found in the treatment of tilapia, This was due to the close relationship between the organic matter and C-organic, wherein the organic matter contains about 45% to 50% carbon (Boyd et al., 2002). The ability of tilapia can degrade organic matter caused the tilapia has a habit of life, doing the digging and actively move on looking food and create puddles nest on the pond bottom, so that sediment buildup in the battom surface of pond which contained organic matter can be oxidased, so that, improve and speed up the process miniralisasi which can reduce the amount of organic matter. While test results of containt organic matter in each pond test that overall classified as mineral soil because containt of organic matter ≤ 3% (Huang et al., 2009) and meet the standard quality requirements of pond soil for simple technology of tigershrimp culture because < 5% (SNI.7310.2009) and <4% (Baliao and Tookwinas, 2002), while based on the content of C-organic is belonging to soil miniral with midle organic matters because they're ranged from 1.0 to 3.0%, which is the category of the best land for aquaculture ( Boyd et al., 2002). Observated of phosphorus levels showed before the test ranged from 2.937 to 15.473 ppm and after the test decreased in all treatment be 1.237 to 2.063 ppm, those values phosphorus levels indicated that the testing land belonging to the fertility rate was very low because the average of all treatments was < 4 ppm (Balai Penelitian Tanah, 2005). While Prasad and Power (1997) says that, the concentration of phosphate in the soil solution is generally about 0.05 mg 1-1 and rarely exceeds 0.3 mg 1-1 in soil without fertilization. While research data shows that the value of the phosphate obtained above Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 160 was phosphate concentration of land in general, this may be caused by the high value of total mikroorganime who perform the decomposition of organic matter thereby increasing the levels of phosphate in the soil (Prasad and Power,1997;Soegiman,1982;Atmojo,2003). In addition, the soil respiration rate which is a source of oxygen for the microorganisms to perform the decomposition of organic matter, after treatment increased by around 108 to 256.4%, with a range of 3.53 to 5.00 mg C-CO2 kg -1 soil. Besides, the data quality of the water (Tabel 3) showed that the levels of total organic matter, nitrate, nitrite, ammonia and phosphate water ware belonging to the levels of the high and on top of the value of the maximum limit, it can be support of effect a low phosphate and organic matters in the sediment pond bottom because it has released into the water media, as stated by Madjid (2007), that the process of decomposition of organic matter through mineralization or immobilization of essential nutrients produce nutrients nitrogen, phosphate and sulfur, and the nutrients are used by phytoplankton for growth, and allegedly plankton die is a source of organic matters that dissolve in water. A decrease in phosphate concentration of about 88.2% on the treatment of milkfish was suspected the milkfish as fast swimmers that can help to improve the oxidation of iron compounds, and hydroxida aluminum in the soil, so that absorb phosphate levels, while the treatment of shrimp-bandeng-nila had decrease of phosphate levels around 86.7%, allegedly these polyculture result in activity of the fish and shrimp can stir the base layer of sediment is greater thus increasing the oxidation of iron compounds and hydroxide aluminum that can absorb phosphate levels as well (Boyd, 2012). This was supported by the high content of iron in the soil, which exceeds 400 mg/l which is a maximum limit, based on statements Baliao and Tookwinas (2002). Furthermore, high levels of iron and possibly aluminum and calcium can also be a potential reduction in the levels of phosphate through the formation compounds of iron, aluminum and calcium phosphates, its meaning that if the iron content is high so the soil phosphate levels will be bound with iron and form a bond that is not soluble in water (Brady 2002 in Boyd, 2012; Boyd et al., 2002; Prasad and Power, 1997). In this case, the treatment may increase the levels of phosphate is the best treatment because the levels of phosphate in the water, available in limited quantities, but it is very important needed by phytoplankton, thus showing the treatment of tilapia is the best treatment because it can minimize the decreased of phosphate smallest, but this value not significantly different from other treatments and significantly different with treatment milkfish and shrimp-milkfish-tilapia. Iron levels in the test pond generally is in high amounts before treatment ranged from 251.05 to 423.61 mg/l, after testing has increased the range 382.59 to 698.59 mg/l with the highest on milkfish treatment and the lowest on treatment of shrimp-milkfish-tilapia thus treated shrimp-milkfish-tilapia can minimize the increase of iron levels about 3.2% while other treatments can improve iron levels ranged from 178.3 to 7.6% or an average of 33.5%, so that declared as the best treatment to stabilize the environmental conditions on iron levels in the pond soils of aquaculture. It Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 161 also can reduce the manganese content of about 15.1% while other treatments increased manganese levels about 18.1 to 75%. Lower the increased of iron levels is in the treatment of shrimp-milkfish-tilapia, assump that change the soil pH is in stable condition at a pH value of 7.12 and lower than the other treatments, which resulted in the solubility of iron compound was smallest, while other treatments the soil pH values was higher and the range of 7,21 to 7.66 that caused the increase in iron content, is inversely proportional to some researchers had previously stated that the solubility of the iron compound and aluminum will increase with decreasing pH value. As presented by Boyd (2012) that, the solubility of iron and aluminum phosphorus compounds soluble increased when the pH drops, for example, a decrease in pH of 7 to 5 for AlPO4.2H2O compound and a decrease in pH 9 to 7 for CA5 (PO4) 3OH) compound. While foth (1991) state, if the pH drops below 5.5 causes iron and aluminum dissolved can be increased, and cause the fixation of phosphorus such as iron and aluminum phosphate, it is supported by Prasad and Power (1997) said that the process of fixation or return phosphate and the formation of these compounds are known as "the results of the phosphate reaction". Further Boyd (2012) saids that the oxidation and hydroxides of iron and aluminum can be dissolved increases with decreasing pH, as an indication that the bottom sediments contain much iron is characterized by conditions of sediment brownish or more black, because of anaerobic conditions so that during the cultivation process, the ups and downs soil chemistry, does not directly affect the rise and fall of the iron, because the iron concentration is affected by increasing oxigen levels in sediment layers periodically. Which is utilized by microorganisms in the decomposition of organic matter, which is influenced by temperature, and iron concentration can only be controlled by optimizing the soil chemical processes such as soil respiration, soil pH and temperature are closely related to the total number of microorganisms and amount of organic matter (Boyd et al., 2002). In addition, soil pH and redox potential are two interrelated factors in influencing the level of solubility and availability of nutrients, and its transformation in the soil. Redox potential can be used to determine the level of oxidation and reduction in the water, soil or sediment ponds (Boyd, 1992). Furthermore, the results showed that the treatment of shrimp-tilapia and treatment-shrimp-milkfish-tilapia can improve soil respiration rate respectively 256.4% and 226.3%, it is suspected due to combination of tilapia with the others aquaculture biotas can increase the stirring of pond battom, while the treatment of milkfish-tilapia seen an increase in lower, due to the level of survival rate and biomass tilapia lower, activity of tilapia movement in foraging and digging sediments to make nests, predicted could increase the oxidation process of organic matter was higher, so it can help improve soil respiration. While milkfish and polyculture farming with milkfish can increase the value of the redox potential of about 3.7 to 11.5%, it is because milkfish have a rapid movement and frequntly higher, so that can help to improve the diffusion of oxygen in the pond bottom sediments. In addition, tilapia treatment can also reduce levels of N-total highest and Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 162 drastic (28.2%) (Figure 2.c). it is different from other treatments, that N-Total in water and soil can be shaped NO3, NO2, NH3- (nitrate, nitrite and ammonia) and organic nitrogen form; nitrite and ammonia is very toxic to fish and shrimp in ponds (FAO, 1986); (Widiayanto, 2006). While changes in the rise and fall parameters of the soil quality with various treatments and the differences among the treatments, looks very fluctuative from period of observation before stocking, 40 days, 81 days and 122 days, in almost all parameters of the soil quality (Figure 2) unless the levels of iron and manganese in sight the increased drastically over time sampling (Figure 3.a.b). Results of Anova test shows treatment of aquaculture biotas significanly affected to organic matter, organic C, phosphorus and iron. the correlation analysis (Spearman's Correlation Analysis), providing information that the interaction of the various soil qualities are observed as shown in Table 4 , where the interaction between soil quality are positively correlated and there are negative correlation. Tablel 4 shows the relationship strong and positive interactions between organic materials with C-Organic, N-total, and C / N ratio, while phosphorus showed a strong relationship and a positive interaction with the redox potential, and total microorganisms. While iron, positive and strong interaction with soil pH, manganese and soil respiration, and for more detail see on Tabel 4. (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 163 (i) Figure 2. Fluctuations in soil quality during the test (a) Potential redok, (b) Organic matter, (c) N-total, (d) C-Organic (e) C / N ratio, (f) Phosphorus (g) Total microorganisms, (h ) soil respiration (i) soil pH (a) (b) Figure 3. Fluctuations in the quality of the soil during the test (a) Fe (iron) (b) manganese (Mn) Soil quality parameters Redox potentia Organic CPhosph C/N l matter organic N-Total orus Ratio Iron Soil pH ** Soil pH Redox potential ** -.278 ** -.278 ** C-organic -.296 N-Total * -.213 ** -.539 .522 ** C/N Ratio ** .441 Manganese .336 Total Microorganism -.292 ** ** .995 .523 .310 ** ** ** ** * -.237 ** ** -.391 ** -.356 .270 ** -.296 .995 .452 Iron Soil respiration -.539 ** -.517 Organic matter Phosphorus ** -.517 * ** -.416 * -.213 .523 .534 .534 ** ** .522 ** ** * ** -.238 .443 .336 ** ** -.292 ** -.356 .270 * .310 ** ** -.416 ** -.504 * ** ** * ** ** -.391 -.237 .452 ** -.238 .443 .441 Total Soil Mangan Microor respirati ese ganism on -.515 ** -.424 .374 ** ** -.531 ** -.504 ** -.515 ** -.424 .374 ** ** -.531 .698 .698 ** * -.310 .364 ** ** * -.310 * -.284 * ** .414 ** ** ** -.284 .414 .364 -.379 ** -.379 Table 4. Analysis results of the relationship between soil quality parameters (Spearman’s Correlation Analysis) Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 164 Notes : **. Significant relationship at the level 99 % *. Significant relationship at the level 95 % = negative correlation = positive correlation Production Data From this study it appears that tilapia can function as the best bioremediator because the production data showed that biomass production and total biomass production of tilapia (Table 5) did not show any relationship or influence on the ability of tilapia as the best bioremediator, it is can be seen from the tilapia biomass data on the treatment shrimp-tilapia with biomass production of tilapia 950.67 g/24m2 while treatment tilapia with smaller biomass was 779.46 g /24m2. These data demonstrate the ability of tilapia with monoculture cultivation system as the best bioremadiator of lands supported more significantly. This study shows the results that tilapia can function as bioremediator but the species of tilapia is not a local species of Indonesia. Table 5. Production Datas Treatment Biomass (gr/24 m2) Production (gr/m2) Control Shrimp 442,73 18,45 Milkfish Tilapia 1.236,77 779,46 200,17 51,53 32,48 8,34 Shrimp-milkfish Shrimp-tilapia Milkfish-tilapia Shrimp-milkfish-tilapia 1.167,97 626,73 950,67 649,43 400,10 142,37 1.246,63 464,10 48,67 26,11 39,61 27,06 16,67 5,93 51,94 19,34 Besides having reproduction rates concise and easy to breed in public waters, so in aquaculture system for the purpose of rehabilitation and fisheries production, should be based on the concept of environmentally friendly farming and conservative on fish resources in an effort to protect, preserve and exploit fishery resources, including ecosystems, species and genetic to ensure the existence, availability, and sustainability while maintaining and improve the quality of the value and diversity of fish resources (RI Government Regulation No. 60 2007). hence the need to take measures as follows: 1. Do not release the broodstock, seeds, eggs tilapia fish into public waters. 2. Seed stocking must be certificated monosex. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 165 3. Harvesting is done before the breeding process. 4. After harvesting, must resterilize of fishpond of tilapia that may remain. 5. Improving the ability of farmers about the importance of conserving fishery resources, through formal and non-formal education. CONCLUSIONS 1. Aquaculture biota affected to the soil quality of aquaculture pond was organic matter, organic carbon, phosphorus and iron 2. Tilapia can be the best bioremediator for aquaculture because it can reduce the organic matter (24.6%) and C-organic 24.8% 3. To rehabilitate the pond of organic matter, due to the previous cycle of production waste or sources of organic matter such as ‘lab-lab’ / klekap and aquatic macrophytes, it is strongly recommended to apply the tilapia culture. Acknowledgements. This research was supported by : • ACIAR under project FIS/2007/124 ‘Diversification of small-holder coastal aquaculture in Indonesia’ for analysis of water and soil quality; • AquaCRSP for construction of the trial ponds. I thank to my supervisors Dr Muyassir and Prof. Muchlisin ZA (Syiah Kuala University, Banda Aceh), Dr Mike Rimmer (Project Leader of ACIAR Project FIS/2007/124), Professor Kevin Fitzsimmons (University of Arizona) for advice, encouragement and reference material. References Atmojo, S.W. 2003. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya Pengelolaannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kesuburan Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Avnimelech, Y., G. Ritvo. 2003. Shrimp and fish pond soils: Processes and management. Aquaculture, 220: p. 549 – 567. Balai Penelitian Tanah. 2005. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Departemen Pertanian, Bogor Baliao, D.D dan S. Tookwinas. 2002. Manajemen Budidaya Udang yang Baik dan Ramah Lingkungan di Daerah Mangrove. Petunjuk Pelaksanaan Penyuluhan Akuakultur, No 35. Southeast Asian Fisheries Development Center. Association Southeast Asian Nations. Boyd, C.E. 1992. Shrimp pond bottom soil and sediment management. In: Wyban, J. Proc. of the Special Session on Shrimp Farming, World Aquatic Society, Baton Rouge. Boyd, C.E., 2012. Aquaculture Pond Fertilization: Impacts of Nutrient Input on Production, First Edition. Edited by Charles C. Mischke. John Wiley & Sons, Inc. Published. P 6 – 11 Boyd, C.E., C.H. Wood, T. Thunjai. 2002. Aquaculture Pond Bottom Soil Quality Management. Auburn University, Alabama. Brussaard, L. 1994. Interrelationships between biologi activities, soil properties and soil management. In D.J. greenland & I. Szabolcs, eds. Soil resilience and sustainable land use. P 309 – 329. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 166 FAO, 1986. Shrimp culture: pond design, operation and management. Version 2, Food and Agriculture Organizations. Rome Fitzsimmon, K., A. Somamiharja. 2006. Polikultur udang-tilapia, salah satu alternatif upaya pemulihan usaha budidaya tambak udang yang berkesinambungan di propinsi Aceh. Lokakarya. Langkah awal bagi petambak udang di Aceh, menuju usaha budidaya tambak lestari. FAO. Hotel Cakra Donya, Banda Aceh. Foth, H.D. 1991. Dasar-dasar ilmu tanah, (Terjemahan Purbayanti, E.D et al). Gajah Mada University Press. Yokyakarta, Indonesia. Huang, P.T., M Patel., M.C.Santagata., A. Bobet., 2009. Final Report. Classification of Organic Soils. School of Civil Engineering. Purdue University. Madjid, A. 2007. Dasar-dasar Ilmu Tanah: Bahan Ajar Online. Fakultas Pertanian. Universitas SriwijayaPalembang. [http://dasar2ilmutanah.blogspot.com]. Mahasri, G. 2005. Kemampuan ikan bandeng sebagai filter biologis dalam menekan munculnya ciliata patogen pada budidaya udang windu (Penaeus Monodon Fab.) di tambak. Journal Ilmu Kelautan, 10 (4): p.199 – 204. Panigrahi, A., A. Mohapatra. 2007. Bioremediation: an environmental friendly approach for sustainable aquaculture. Enviromental Biotechnology, APH Publising Coorperation, India. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 60 tahun 2007. Tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. Prasad, R., J.F. Power. 1997. Soil fertility management for sustainable aqriculture. CRC Press LLC. USA. SNI 7310. 2009. Produksi udang windu (Penaeus monodon) di tambak dengan teknologi sederhana. ICS.65.150. Soegiman, 1982. Ilmu Tanah. Bhratara Karya Aksara, Jakarta Soetomo, M. 1990. Teknik Budidaya Udang Windu. Sinar Baru Bandung, Bandung, P 180. Widiyanto, 2006. Seleksi Bakteri Nitrifikasi dan Denitrifikasi untuk Bioremediasi di tambak Udang. Ringkasan disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. P 39. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 167 Long term data of monitoring (1998 – 2015) : Characteristic of Water quality at Hurun Bay Lampung By : Muawanah, Tri Haryono,WahyuWidiatmoko and Kurniastuty Main Center for Mariculture, Lampung E-mail : [email protected] Abstract The Main Center for Mariculture Lampung is the first originator of marine aquaculture activities of commercial fish species such as groupers, white snapper, pompano and so on by using floating net cages (KJA), and has been going for about 28 years. Utilization of land areas both land and waters in the Hurun bay more diverse and improved from time to time, where these activities over along time will affect the quality of the environment. Therefore, it is necessary to monitor the activities of water quality characteristics. Monitoring activities carried out every a week includes the parameters temperature, DO, pH, salinity, brightness (done in situ), phosphate and DIN (Dissolved inorganic nitrogen). In 18 years gained as much as 682 times the frequency of monitoring. Results of measurements of salinity of between 20 to 33 ppt, the lowest value obtained in the first week of June 2005 as the impact of major floods in through the canals and rivers. Temperature values between 28.6 to 340 C, the highest temperature obtained in the period January 2001. Concentration of DO between 3.10 to 7.02 mg/l, the lowest concentration obtained in the second week in period February 2009 as a result of the high abundance of plankton especially diatoms, in general, the concentration of DO has a pattern of decline over time. The pH value is obtained between 7.20 to 8.89, a decrease in pH can be eliminated lasted temporary because of the nature of seawater buffer it self. Concentration of DIN which is an accumulation of three N-containing compounds area ammonia, nitrite and nitrate obtained between 0.003 to 4.585 mg/l, the highest concentration obtained in the first week of July 2015 as the impact of discharges of harvesting shrimp ponds in bulk,. Phosphate concentration between 0.001 to 1.090 mg/, the highest concentration obtained in the first week of July 2015. In general chart DIN and phosphate concentrationis almost the same pattern that increases over time. Results of monitoring in general it can be concluded that the fluctuations in the concentration parameter is influenced by several factors such astopography, hydrology, waste volume. Monitoring activities are expected to assist in the implementation of environmental management for sustainable management of aquaculture activities and the Early Warning System in an integrated manner so as to reduce the level of disease in biota farming. Keywords : water quality, the Hurun Bay Lampung, DIN (Dissolved inorganicnitrogen) Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 168 I. Pendahuluan TELUK HURUN Teluk Hurun merupakan lokasi pertama sebagai tempat kegiatan budidaya ikan laut dengan sistem karamba jaring apung, dirintis oleh BBL(Balai Budidaya Laut, saat itu) pada tahun 1987 dengan komoditas unggulan kakap putih (Seabass). Memasuki tahun 1990 berhasil dikembangkan komoditas unggulan baru yaitu kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), dimana keduanya masih menjadi primadona sampai sekarang. Jumlah karamba yang digunakan pada awal kegiatan sebanyak 4 unit dengan luas 20 m x 20 m dan sekarang telah mencapai jumlah ratusan unit. Komoditas yang dibudidayakan juga semakin beragam antara lain ikan cobia (Rachycentron canadum), kakap merah (Lutjanus sp), kerapu kertang (Epinephelus lanceolatus), bawal bintang (Trachinotus blochii Lecepede), kerapu sunu (Plectropomus sp) dan clown fish (Amphiprion ocellaris). Pemanfaatan perairan dan daratan di Teluk Hurun dan sekitarnya dari waktu ke waktu semakin multi sektoral, saat ini peruntukannya untuk kegiatan budidaya perikanan laut khususnya kerapu, budidaya tiram mutiara, pengembangan area tambak, tempat rekreasi, perumahan, pengedokan kapal nelayan serta tempat sauh kapal-kapal besar lintas Samudera. Di sisi lain kerusakan dan alih fungsi hutan serta sungai dari hulu sampai hilir juga menjadi salah satu masalah di sekitar Teluk Hurun. Aktivitas-aktivitas tersebut di atas sangat berpengaruh terhadap percepatan degradasi lingkungan di Teluk Hurun dalam kurun 12 tahun terakhir ini [1 ; 8] dan tentu dalam perjalanan waktu berikutnya berpotensi terus menurun mengingat saat sektor wisata bahari berkembang sangat cepat. Hal itu ditandai dengan sedimantasi yang cukup tinggi, penurunan nilai kecerahan, peningkatan bahan-bahan organik terutama senyawasenyawa N dan P dengan fluktuasi yang tinggi [8]. Kondisi perairan dengan status eutrofikasi menjadi pemicu blooming plankton [3; 13], beberapa jenis diantaranya bersifat harmful. Jenis-jenis plankton yang pernah mengalami blooming di Teluk Hurun adalah Cochlodinium polykrikoides, Chaetoceros socialis, Alexandrium, Noctiluca scintillans, Pyrodinium bahamense, Dinophysis caudata dan Trichodesmium sp., periode blooming dan kelimpahan tertera dalam tabel 1. Blooming C. Polykrikoides di Teluk Hurun dan sekitarnya (Mutun, Pulau Tangkil, Lempasing, Pulau Kubur dan Pantai Puri Gading) atau hampir separuh perairan Kota Madya Bandar Lampung, pada pertengahan Oktober – awal Desember 2012 merupakan fenomena langka sekaligus kejadian pertama selama lebih kurang 26 tahun program monitoring BBPBL. Kematian ikan di karamba sangat banyak dan massal, kerugian yang ditimbulkan cukup besar, terlebih kerugian secara immaterial, karena balai kehilangan 75% induk-induk kerapu kualitas unggul hasil persilangan F1 sehingga siklus pemijahan terputus untuk beberapa waktu dan suplay benih ke masyarakat pembudidaya juga menurun tajam. Memasuki Januari – April 2013 dan Juni - Juli 2013 serta akhir bulan Maret 2014 sampai minggu ke tiga bulan April 2014 dan minggu ke satu – dua bulan Maret 2015 Cochlodinium kembali blooming di Teluk Lampung dan juga menyebabkan kematian massal ikan-ikan cobia dan bawal bintang di KJA BBPBL. Sedangkan Noctiluca scintillans memiliki frekuensi blooming cukup sering hampir setiap tahun di Teluk Hurun, dampak yang ditimbulkannya adalah meningkatnya Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 169 penyakit bakterial pada ikan-ikan budidaya [5; 7]. Di Perairan seluruh dunia terdapat lebih kurang 5000 spesies fitoplankton laut, dari jumlah tersebut sekitar 2% diketahui berbahaya atau beracun [15]. Di Indonesia ada 31 jenis fitoplankton yang diidentifikasi sebagai HABs dan 7 diantaranya dapat menyebabkan Red Tide [8]. Dengan teridentifikasinya Cochlodinium polykrikoides dan chaetoceros socialis maka jumlahnya menjadi 33, namun demikian tidak menutup kemungkinan jumlahnya bertambah dari waktu ke waktu. Beberapa kali kejadian HAB’s di Teluk Lampung khususnya di Teluk Hurun telah menyebabkan kematian massal ikan-ikan budidaya di KJA (Karamba Jaring Apung) dan peningkatan penyakit bakterial [7; 11], sehingga para pembudidaya mengalami kerugian yang cukup besar. Untuk itu dalam pengelolaan kawasan pesisir, BBPBL Lampung secara konsisten melakukan kegiatan monitoring lingkungan perairan secara terintegrasi dan berkesinambungan sebagai upaya aplikasi Early warning System. III. METODE 2. 1. Waktu dan lokasi Pengambilan sampel air laut dilakukan secara berkala (satu minggu sekali) di area KJA dan atau kondisional, dari Januari 1998 sampai Desember 2015 antara jam 08.00 – 16.00 WIB. Gambar 1. Lokasi sampling (Teluk Hurun) 2. 2. Metode Sampel diambil secara komposit antar beberapa titik di KJA. Pengambilan sampel diambil pada kedalaman 3 meter yaitu mengikuti kedalaman jaring KJA menggunakan botol kemmerer dan untuk penyaringan sampel plankton digunakan planktonnet 20 µm. Sampel kemudian disimpan dalam botol-botol plastik, dan untuk sampel plankton diawetkan dengan lugol. Sampel plankton kemudian diidentifikasi dan dihitung kelimpahannya dengan mikroskope binokuler (perbesaran 10 x 10) pada paparan sedgewick rafter counting cell mengacu pada Standard Methode APHA (2005). Pengukuran kualitas air dilakukan secara in situ meliputi parameter pH, DO, suhu, salinitas, kecerahan dan arus. Pengujian konsentrasi nutrien meliputi amonia (NH3—N), Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 170 nitrat (NO3—N), nitrit (NO2—N) dan Orto-fosfat (O-PO4—P) dilakukan di laboratorium Kesehatan Ikan dan lingkungan BBPBL mengacu pada metode pengujian Standar Nasional Indonesia (SNI) III. HASIL DAN BAHASAN Hasil pengukuran kualitas air selama periode 1998 - 2015 disajikan dengan grafik pada gambar 1 sampai dengan 6, masing-masing untuk parameter salinitas, temperatur/suhu, oksigen terlarut (DO), pH, DIN (Dissolved Inoranic Nitrogen) dan Ortofosfat.. Dalam kurun 18 tahun telah diperoleh frekwensi monitoring sebanyak 682 kali. Gb. 1.Fluktuasi nilai salinitas (ppt) di Teluk Hurun Gb. 2. Fluktuasi nilai temperatur /suhu (0C) di Teluk Hurun Gb. 3. Fluktuasi konsentrasi DO (ppm / mg/l) di Teluk Hurun Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 171 Gb. 4. Fluktuasi nilai pH di Teluk Hurun Gb. 5. Fluktuasi konsentrasi DIN (ppm / mg/l) di Teluk Hurun Gb. 6. Fluktuasi konsentrasi PO4 (ppm / mg/l) di Teluk Hurun Hasil pengukuran salinitas pada gambar 1 yaitu antara 20-33 ppt, nilai terendah 20 ppt diperoleh pada minggu pertama Juni 2005 sebagai dampak dari banjir besar yang masuk lewat kanal dan sungai. Pada saat curah hujan tinggi masukan air tawar dari kanal dan sungai mengitari garis pantai sisi kanan (dermaga) dan akan tertahan lebih lama di ujung mulut teluk yang merupakan daerah pembelokan karena adanya dorongan arus dari luar Teluk Hurun. Nilai Suhu antara 28,6 – 34 0C, suhu tertinggi 34 0C diperoleh pada periode Januari 2001. Nilai temperatur antara lain dipengaruhi oleh letak geografis, topografis, lama penyinaran dan kedalaman perairan, dimana permukaan air merupakan lapisan yang peka terhadap perubahan temperatur. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 172 Konsentrasi DO antara 3,10 – 7,02 mg/l, konsentrasi terendah 3,10 mg/l diperoleh pada periode minggu ke dua Februari 2009 sebagai dampak dari tingginya kelimpahan plankton khususnya diatom, secara umum konsentrasi DO memiliki pola menurun dari waktu ke waktu. Nilai pH diperoleh antara 7,20 -- 8,89, penurunan pH berlangsung temporer karena dapat tereliminir dari sifat buffer air laut itu sendiri. Nilai pH rendah diperoleh pada hasil monitoring minggu ke III Oktober 2004, dimana kondisi perairan keruh dan banyak mengandung partikel-partikel lumpur akibat masuknya buangan air hujan yang sangat melimpah dari sungai dan kanal. Bagi ikan –ikan budidaya penurunan pH yang cukup tinggi dapat menyebabkan produksi mukus insang yang berlebihan dan menyebabkan gangguan pernafasan ( Irianto, 2005). Konsentasi DIN yang merupakan akumulasi dari tiga senyawa yang mengandung N yaitu ammonia, nitrit dan nitrat diperoleh antara 0,003 – 4,585 mg/l, konsentrasi tertinggi diperoleh pada periode minggu pertama Juli 2015 sebagai dampak buangan dari kegiatan panen tambak udang secara massal,. Konsentrasi fosfat antara 0,001 – 1,090 mg/, konsentrasi tertinggi diperoleh pada periode minggu pertama Juli 2015. Secara umum grafik konsentrasi DIN dan fosfat berpola hampir sama yaitu meningkat dari waktu ke waktu. Nitrogen dan fosfor adalah senyawa penting sebagai nutrien bagi tumbuhan air. Di perairan nitrat merupakan salah satu sumber nitrogen yang paling dominan. Sedangkan fosfor di perairan dominan dalam bentuk ortofosfat. Pengayaan nutrien merupakan pemicu blooming plankton di perairan yang juga dapat menyebabkan gangguan kesehatan ikan (Sachoemar, et al., 20016). IV. KESIMPULAN DAN SARAN Dari seluruh parameter yang dimonitoring, beberapa parameter menunjukkan nilai yang sudah diatas ambang batas untuk persyaratan kegiatan budidaya laut sebagaimana yang tertuang dalam Kep.Men. Lingkungan Hidup no. 51 tahun 2004. Fluktuasi nilai/konsentrasi parameter sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain topografi, kondisi hidrologi, volume limbah. Kegiatan monitoring diharapkan dapat membantu dalam pelaksanaan manajemen pengelolaan lingkungan secara terinterasi dan efektif sebagai Early Warning System, oleh karena itu disarankan adanya networking yang dapat diakses secara cepat dan mudah manakala terjadi trouble di lapangan. DAFTAR PUSTAKA Alongi, D. M., A. D. McKinnon, R. Bruckman, L. A. Trott, M. C. Undu, Muawanah, Rahmansyah. 2010. The fate of organic matter derivate from small-scale fish cage aquaculture in coastal waters of Sulawesi and Sumatra, Indonesia. Australian Institute of Marine science. Campas, M., Simon, B.P., Marty, J-L. 2007. Biosensors to detect marine toxins: Assesing seafood safety. Talanta. 72: 884-895 Fukuyo, Y. 2010. Effect of Harmful Algal Blooms - the Development of Aquaculture. Asian Natural Environmental Science Center the University of Tokyo. Seminar Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 173 Nasional Dampak Pencemaran Lingkungan Laut Terhadap Produktifitas Sumberdaya Kelautan. Kementrian Kelautan dan Perikanan. Hotel Red - p, Jakarta, tanggal 14 – 15 Mei 2010. Jeong, H.J., Yoo, Y.D., Kim, J.S., Kim, T.H., Kim, J.H., Kang, N.S., Yih, W. 2004. Mixothropy in the phototrophic harmful alga Cochlodinium polykrikoides (Diniphycean) : Prey spesies, the effects of prey concentration and grazing impact. J Euk Microbiol 51, 563 - 569 Kurniastuty, R. Purnomowati, T. Tusihadi dan J. Dewi. 2010. Monitoring Kesehatan ikan di sentra-sentra KJA di Teluk Lampung. Laporan Tahunan, TA. 2009. Kementrian Kelautan dan Perikanan. Direk - rat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar Pengembangan Budidaya laut, Lampung, 2010. Muawanah, Nira S., Hendrian - and A. Triana. 2004. Kelimpahan Plankton Penyebab Red Tide, Pyrodinium bahamense Di Teluk Hurun Lampung Selatan. Buletin Teknik Litkayasa Akuakultur. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Vol III, No. 2. Desember 2004. hal : 1 – 6. Muawanah, Nira S. dan A. Triana. 2006. Dampak blooming organisme penyebab Red Tide Noctiluca scintillans terhadap kegiatan usaha budidaya ikan kerapu di Karamba Jaring Apung (KJA). Buletin Teknik Litkayasa Akuakultur. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Vol.V. No.1. Muawanah. 2010a. Degradasi Lingkungan di Teluk Lampung. Lampung post. Selasa, 20 April 2010. Muawanah, Kurniastuty, Wahyu Widiatmoko dan Tri Haryono. 2012. Kelimpahan Cyanobakteria Trichodesmium sp. Di Pulau Siuncal Teluk Lampung. Buletin Budidaya Laut. Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung. Derek - rat Jenderal Perikanan Budidaya. Kementian Kelautan dan Perikanan. (In Press). Muawanah, Kurniastuty, Tri Haryono dan Wahyu Widiatmoko. 2013. Dominasi plankton HAB’ di Teluk Hurun. Bulletin Budidaya Laut No.34 tahun 2013. Kementrian Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. BBPBL Lampung Muawanah, Kurniastuty, Wahyu Widiatmoko dan Tri Haryono. 2014. Blooming HAB’s Chaetoceros socialis dan Cochlodinium polykrikoides Dan Pengaruhnya Pada Kegiatan Budidaya Ikan Di Karamba Jaring Apung (KJA) Di Teluk Hurun Lampung. Bulletin Budidaya Laut No.35 tahun 2014. Kementrian Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. BBPBL Lampung. Praseno, D. P. dan Sugestiningsih, 2000. Retaid di Perairan Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi – LIPI. Jakarta. Sachoemar, S. I., Muawanah and T. Yanagi. 2006. Seasonal variability of water quality at Hurun Bay, Southern coastal area of Sumatra, Indonesia. International Coastal research Center. Ocean Research Institute, The University of - kyo. Coastal Marine Science, Vol. 30, No. 1. Sidabutar, T., D.P. Praseno and Y. Fukuyo. 2001. Harmful algal blooms in Indonesia waters. In Harmful algal blooms 2000. Hallegraff, G.M., Blackburn, S.I., Bloch, C.J. and Lewis, R. J. (eds). P. UNESCO, Paris Steidinger K. A. and K. Tangen. 1997. Dinoflagellates : Identifying Marine Phytoplankton. Academic Press. San Diego, California, USA. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 174 Metode Aglutinasi Untuk Identifikasi Cepat Bakteri Aeromonas hydrophila pada Ikan Air Tawar *) Padel Purnama. S.Pi*); Indri Astuti, S.S.T.Pi *) PHPI Ahli di BPBAT Sei Gelam Abstrak Bakteri Aeromonas hydrophila merupakan bakteri gram negatif yang sangat merugikan pada kegiatan budidaya air tawar. Serangan bakteri ini menyebabkan penyakit MAS (Motile Aerosomonas Septicemia) yang berakibat fatal. Tanda serangan penyakit ini bisa dilihat dari kerusakan klinis pada tubuh ikan, namun ciri ini tidak bisa menjadi landasan karena banyak serangan penyakit lain yang menimbulkan ciri yang serupa. Identifikasi lebih lanjut dilakukan dengan cara konvensional (pengujian biokimia dan morfologis) pada biakan murni hasil isolasi. Kendala dari pengujian konvensional ini adalah tingkat kesulitan tinggi dalam pelaksanaanya, kemudian membutuhkan waktu yang cukup panjang. Selain itu karena tergantung skill masingmasing analis, hasil dari uji konvensional sering terdapat perbedaan pada pembacaan hasil akhir (karena banyak variabel yang diuji). Metode yang lebih akurat dalam mendeteksi keberadaan bakteri Aeromonas adalah dengan metode aglutinasi. Metode ini memanfaatkan mekanisme pertahanan antibodi spesifik terhadap antigen yang dihasilkan oleh jenis bakteri Aeromonas hydrophila. Karena sifatnya yang spesifik, antigen dari bakteri tertentu hanya akan bereaksi terhadap jenis antibodi tertentu juga. Mekanismenya adalah hubungan antara gembok dengan anak kunci. Reaksi yang dihasilkan adalah terjadinya penggumpalan (aglutinasi) yang merupakan bentuk respon sistem imun tubuh. Pada metode aglutinasi, antibodi spesifik A. hydrophila direaksikan dengan isolat bakteri yang telah dimurnikan pada slide glass. Jika bakteri tersebut adalah A. hydrophila akan terbentuk gumpalan-gumpalan pada slide glass, sedangkan jika negatif campuran antibodi dan bakteri akan tetap homogen. Reaksi aglutinasi yang terjadi adalah spesifik untuk antigen bakteri A. hydrophila, jika bakteri lain meskipun sama-sama gram negatif tidak akan menimbulkan gumpalan pada slide glass. Karakteristik inilah yang menjadi pembeda dan jaminan akurat jenis bakteri yang kita identifikasi. Antibodi spesifik A. hydrophila didapatkan dari isolasi serum darah kelinci yang telah disuntik bakteri A. hydrophila yang telah dilemahkan. Tahapan produksi antibodi spesifik dimulai dengan melemahkan isolat murni bakteri A. hydrophila dengan formalin dan suhu panas untuk menghasilkan substansi antigen A. hydrophila (Ag.A). Selanjutnya antigen diencerkan dengan larutan fisiologis sampai kosentrasi 109 (standar McFarland). Ag.A diinjeksikan pada kelinci dengan dosis bertahap setiap minggu selama 4 minggu (0.5 ml; 1 ml; 2 ml; 3 ml). Panen serum darah kelinci yang berisi antibodi spesifik dilakukan pada minggu ke V. Peyimpanan serum dalam Natrium Azida 0.1 % bisa digunakan untuk pengujian bakteri selama 1 tahun. Kata kunci; Aeromonas hydrophila, identifikasi, antigen, antibodi spesifik, aglutinasi Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 175 Agglutination Method for Fast Identification bacteria Aeromonas hydrophila on Freshwater Fish Padel Purnama. S.Pi; Indri Astuti, S.S.T.Pi Abstract Aeromonas hydrophila are gram-negative bacteria that are very harmful on freshwater aquaculture activity. This bacterium attacks causes the MAS (Motile Aeromonas Septicemia) disease which is fatal. Signs of this disease can be seen from the clinical damage on body of the fish, but this characteristic cannot be the basis, because of many other diseases attack that causes similar characteristics. Further identification conducted by the conventional method (biochemical and morphological test) on pure culture from isolation results. Obstacles of conventional testing are the high degree of difficulty in implementation, and require considerably long time. Moreover, because depending on the skill of each analyst, the results of conventional tests often there difference on reading of final result (because many variables tested). More amlurate method in detecting the presence of bacteria Aeromonas is the agglutination method. This method utilizes a defense mechanism of specific antibody against antigen which is produced by Aeromonas hydrophila bacteria. Because of specific characteristic, antigen from certain bacteria will only react to particular type of antibody as well. The mechanism is connection between the lock with a key. The resulting reaction is clumping (agglutination) which is a form of the system immune response. In the agglutination method, specific antibody reacted with purified isolate of A. hydrophila bacteria was on a glass slide. If those bacteria are A. hydrophila will be formed clots on glass slide, whereas if negative mixture of antibody and bacteria will remain homogeneous. Agglutination reaction that omlurs is specific for A. hydrophila bacterial antigens, if other bacteria although both gram negative will not cause clots on glass slide. This characteristic distinguishing and amlurately guarantee type of bacteria which is we identify. A. hydrophila specific antibody obtained from rabbit blood serum isolation that has been injected with weakened A. hydrophila bacteria. Specific antibody production stages starting with debilitating pure isolate of A. hydrophila bacteria with formalin and hot temperatures to produce the antigen substance A. hydrophila (Ag.A). Furthermore antigen diluted with physiological solution until 109 concentrations (standard McFarland). Ag.A injected into rabbit with gradual dose every week for duration 4 weeks (0.5 ml, 1 ml, 2 ml, 3 ml). Rabbit blood serum harvest that containing specific antibody conducted at week V. Storage serum in 0.1% Sodium azide can be used in testing bacteria for duration 1 year. Keywords; Aeromonas hydrophila, identification, antigen, specific antibody, agglutination Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 176 I. PENDAHULUAN Latar belakang Dalam perkembangan kegiatan budidaya air tawar yang tumbuh pesat, sistem intensif monokultur merupakan pilihan utama. Sistem budidaya intensif ini memungkinkan perencanaan produksi dan keseragaman hasil panen mudah diraih. Dampak negatif dari situasi ini adalah munculnya jenis-jenis penyakit secara cepat dan masif dalam lingkungan budidaya. Tanpa penanganan dan pengendalian yang baik serangan penyakit akan menyebabkan kegagalan dalam kegiatan produksi (Sinieszko et.al, 1981). Pada budidaya air tawar serangan patogen dari agen bakteri masih dominan sebagai penyebab kematian ikan. Salah satu jenis bakteri yang dengan prevalensi cukup tinggi adalah gram negatif Aeromonas hydrophila, bakteri ini menyerang hampir semua jenis ikan air tawar yang dibudidayakan mulai dari ikan mas, nila, lele, dan patin. Seranganya pada semua fase produksi, pada saat pembesaran di wadah bisa menyebabkan kematian yang dikenal dengan MAS (Motile Aeromonas Septicemia) (Alifudin et.al, 2001). Penyakit ini bersifat akut dan menimbulkan kerugian luar biasa besar pada kegiatan budidaya ikan mas baik di karamba ataupun budidaya kolam. . Secara klinis penyakit MAS menimbulkan luka pada lapisan permukaan tubuh, kemudian pendaharan, dan kerusakan sirip. Tanpa penanganan yang baik serangan penyakit bisa menimbulkan kegagalan proses produksi. Setiap tahun serangan penyakit ini belum menunjukkan tren penurunan signifikan (Sinieszko et.al, 1981). Langkah penting sebelum tindakan penanganan penyakit bisa dilakukan adalah tahapan indentifikasi dan deteksi dini. Indentifikasi penyakit yang benar merupakan kunci dari penanganan serangan penyakit (Stickney et.al,. 2000). Hal ini disebabkan tindakan penanganan menggunakan antibiotik ditujukan untuk jenis bakteri dengan karakter spesifik. Deteksi patogen secara dini dan benar bermanfaat untuk penanganan lebih cepat dan meminimalisir penggunaan antibiotik. Penggunaan zat aktif yang terkandung dalam obat ikan harus secara hati-hati karena memiliki resiko pencemaran perairan dan efek imunitas (Stoskopf et.al, 1993). Secara umum tanda kilinis sudah bisa memberikan indikasi serangan patogen, akan tetapi seringkali ciri klinis tidak secara spesifik menjadi pembeda serangan bakteri tertentu. Hal ini dikarenakan banyak bakteri patogen menyerang organ yang hampir sama dan tidak spesifik. Uji lebih lanjut adalah metode konvensional bakteri. Uji konvensional adalah serangkaian tes secara biokimia dan morfologis pada biakan murni hasil isolasi (Buller et.al, 2004). Pada uji ini didapatkan sifat-sifat dan karakter dari bakteri tersebut, kemudian dicocokan dengan buku identifikasi yang menjadi rujukan (Manual Bergey’s). Metode uji konvensional sudah menjadi standar yang diadopsi oleh hampir seluruh laboratorium di dunia. Kelemahan dari metode ini adalah proses pengujian yang memakan waktu dan analis dengan skill yang baik. Hal ini dikarenakan serangkaian fase pengujian menggunakan media dan bahan uji tertentu yang bisa lebih dari 15 jenis pengujian (Buller et. al, 2004). Untuk mengetahui secara detail sifat dan karakter bakteri patogen, metode konvensional berperan penting. Akan tetapi dalam Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 177 rangka penanganan penyakit secara cepat penggunaan metode konvensional sulit diterapkan. Kendala lain adalah hasil intrepretasi jenis bakteri yang ditemukan seringkali terdapat perbedaan diantara analis, sehingga tingkat keyakinanya belum mencapai 100 %. Alternatif metode deteksi patogen A. hydrophila yang bisa diterapkan dalam mendukung penanganan secara cepat adalah secara serologi (Buller et.al, 2004). Teknik ini menggunakan metode aglutinasi antigen bakteri. Metode ini memanfaatkan mekanisme pertahanan antibodi spesifik terhadap antigen yang dihasilkan oleh jenis bakteri Aeromonas hydrophila. Seperti diketahu setiap jenis bakteri memiliki susunan jenis dinding sel dan karakter morfologi yang sepesifik, meskipun dari genus yang sama. Karakter bakteri yang berbeda ini berarti setiap bakteri memiliki tipe zat perangsang kekebalan tubuh /antibodi yang berbeda pula. Zat perangsang munculnya antibodi pada inang ini disebut antigen, biasanya berupa protein atau polisakarida, tetapi dapat juga berupa molekul lainnya, termasuk molekul kecil (hapten) yang bergabung dengan protein-pembawa atau carrier. Dengan sifat pengenalan antibodi ini tingkat akurasi dari metode aglutinasi lebih baik dari metode konvensional. Tujuan Tujuan dari kegiatan ini adalah penerapan metode alternatif uji aglutinasi untuk identifikasi penyakit bacterial MAS selain metode yang umum digunakan seperti uji biokimia. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 178 II. BAHAN DAN METODE 2.1 Bahan dan Alat Bahan dan peralatan yang diperlukan adalah; isolat bakteri A. hydrophila, kelinci dewasa (2 kg up),syringe, larutan fisiologis 85% NaCl, formaldehyde, standar McFarland, media agar TSA, alkohol 70%, akuades, sarung tangan, masker, tabung reaksi, waterbath, hot plate, thermometer, sentrifuse, votex mixer dan ose. 2.2 Prosedur kerja a. Perbanyakan Isolat bakteri A. hydrophila Isolat bakteri A. hydrophila yang digunakan adalah isolat lokal yang diisolasi dari ikan mas KJA Sungai Batanghari Provinsi Jambi yang terkena serangan penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia) tahun 2014. Isolat murni kemudian diuji secara konvensional untuk memastikan karakteristiknya sesuai dengan referensi. Hasil pengujian sebagian sifat biokimia sebagai berikut; Tabel 1. Hasil uji biokimia morfologis isolat A. hydrophila No Pengujian Hasil pengujian 1 Gram negatif 2 Morfologi Batang pendek 3 Hemolisis Beta hemolisis 4 Katalase Positif 5 Oksidase Positif 6 H2S Negatif 7 Indol Positif 8 Motilitas Positif 9 NO2 Positif 10 Urease Negatif 11 Glukosa Positif Ket 1) Metode pengujian dan identifikasi merujuk pada Cowan and Steel (1970) Isolat bakteri kemudian diperbanyak menggunakan media agar TSA dan dilakukan pemanenan sel utuh setelah inkubasi 24 jam (340 C). Proses pemanenan secara manual menggunakan ose dan larutan fisiologis 85%. Sel utuh suspensi bakteri disimpan dalam larutan fisiologis (perbandingan 1:1) untuk persiapan pembuatan antigen. Untuk pembanding dalam uji aglutinasi isolat standar Aeromonas hydrophila ATML® 49140 diperbanyak dengan prosedur yang sama. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 179 b. Pembuatan dan Inaktivasi antigen Bakteri A. hydrophila memiliki dua jenis antigen, yaitu antigen somatik (Polivalent O/Ag. O) dan antigen flagellar (Polivalent H/ Ag.H). Antigen somatik berasal dari dinding sel bakteri, sedangkan antigen flagellar terkait sifat motil yang dimiliki oleh bakteri tersebut. Metode preparasi kedua jenis antigen adalah sebagai berikut (Williams et.al, 1977). - Antigen O 1) Suspensi bakteri disentrifuse 3000 rpm 20 menit, 2) Lakukan pencucian 3 kali dengan cara; buang supernatan, tambahkan larutan fisiologis, homogenkan dan sentrifuse 3000 rpm 10 menit, 3) Buang supernatan, pellet ditambah larutan fisiologis (perbandingan 1:2) dan homogenkan, 4) Rendam dalam air pada waterbath (suhu 1000C) selama 2.5 jam, 5) Sentrifuse 3000 rpm 10 menit, buang supernatan, 6) Untuk penyimpanan antigen tambahkan larutan formalin 0.3 % (perbandingan 1:1), 7) Antigen siap diinjeksikan - Antigen H 1) Suspensi bakteri disentrifuse 3000 rpm 20 menit, 2) Lakukan pencucian 3 kali dengan cara; buang supernatan, tambahkan larutan fisiologis, homogenkan dan sentrifuse 3000 rpm 10 menit, 3) Buang supernatan, pellet ditambah larutan formalin 0.6 % (perbandingan 1:3) homogenkan, 4) Inokulasi pada suhu 370C selama 24 jam, 5) Sentrifuse 3000 rpm 10 menit, buang supernatan, 6) Untuk penyimpanan antigen tambahkan larutan formalin 0.3 % (perbandingan 1:1), 7) Antigen siap diinjeksikan c. Penyuntikan antigen Antigen yang diinjeksikan pada kelinci dilarutkan dengan larutan fisiologis sampai konsentrasi sel 109 (Standar McFarland). Penyuntikan kedua jenis antigen pada kelinci setiap minggu dengan dosis sebagai berikut; 1) Penyuntikan I 0,5 ml 2) Penyuntikan II 1 ml 3) Penyuntikan III 2 ml 4) Penyuntikan IV 3 ml d. Uji titer antibodi Uji titer antibodi dilakukan sehari sebelum minggu kelima setelah pemeliharaan. Uji titer dilakukan dengan pengenceran serial pada 11 tabung reaksi yang berisi larutan Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 180 fisiologis, serum darah kelinci dan antigen bakteri. Pengukuran titer antibodi dengan pengenceran serial serum dari tabung reaksi no.1 sampai no.10. 1) Tabung no.1 berisi 1,9 ml larutan fisiologis dan 0,1 ml serum darah kelinci, tabung 2 s/d 11 berisi 1 ml larutan fisiologis, 2) 1 ml dari tabung 1 dipindahkan ketabung berikutnya dan seterusnya pengenceran serial sampai tabung no.10 (tabung no.10 dibuang 1 ml), 3) Masing-masing tabung diberi antigen sebanyak 1 ml kosentrasi 5x108 (Standar McFarland), 4) Inkubasi 24 jam suhu ruang, 5) Amati penggumpalan pada dasar tabung untuk menentukan nilai titer (tabung 1 bernilai titer 20, tabung berikutnya kelipatan 2 dari sebelumnya). e. Panen darah dan pembuatan serum Panen darah kelinci dilakukan pada minggu kelima. Panen darah menggunakan syrinnge sebanyak 10-15 ml tanpa pemberian antikoagulan (alsever), miringkan darah hingga ada ruang, tunggu sampai beku dan terjadi pemisahan serum (lapisan bening). Ambil serum, jika tidak terlalu jelas pemisahan serum dengan gumpalan darah pisahkan dengan sentrifuse 3000 rpm 10 menit. f. Uji slide aglutinasi Untuk uji aglutinasi menggunakan; slide glass mikroskop standar, ose, larutan fisiologis, mikropipet/syringe dan suspensi antigen/sel bakteri. Uji slide aglutinasi dilakukan pada 5 jenis suspensi sel bakteri untuk melihat tingkat akurasi dari serum antibodi yang dipanen. Berikut kelima jenis target pengujian; 1) 2) 3) 4) 5) Antigen O tersuspensi dalam larutan fisiologis, Antigen H tersuspensi dalam larutan fisiologis, Whole cell koloni bakteri dari Isolat lokal A. hydrophila, Whole cell koloni bakteri dari Isolat ATCC A. hydrophila, Whole cell koloni bakteri dari Isolat lokal gram negatif lain dalam hal ini menggunakan Edwardsiella tarda Masing-masing target disuspensikan dengan 0.1 ml serum antibodi dan 0.1 larutan fisiologis pada permukaan slide glass sampai berwarna keruh/homogen. Kemudian diamati apakah terjadi penggumpalan pada suspensi atau tidak ada perubahan (tetap keruh). Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 181 III. HASIL dan PEMBAHASAN Hasil Setelah pemeliharan selama 5 minggu dilakukan pengukuran titer antibodi dalam darah kelinci dan dilakukan panen serum darah. Tabel 2. berikut berisi nilai titer antibodi masing-masing jenis antigen yang diinjeksikan pada kelinci. No Antigen 1 Antigen O 2 Nilai titer antibodi Jumlah panen (ml) darah Jumlah serum (ml) Kelinci A 640 15.1 10,2 Kelinci B 640 15.4 10.4 Kelinci C 5120 14 9.1 Kelinci D 10240 15 10 Antigen H Jumlah antibodi didalam serum darah kelinci cukup tinggi untuk bisa memberikan dampak koagulasi yang diperlukan dalam uji aglutinasi. Seperti yang disampaikan oleh (Garvey et.al, 1977), diperlukan nilai titer ≥320 untuk antigen O dan untuk antigen H>5000. Serum antibodi yang telah dipisahkan dari darah diujikan pada antigen bakteri dan koloni bakteri utuh yang telah dimurnikan, selanjutnya dilakukan juga ujicoba pada isolat standar ATML. Berikut Tabel 3. hasil pengujian slide aglutinasi dari serum antibodi; No Serum antibodi Hasil uji aglutinasi Antigen O tersuspensi Antigen H tersuspensi Isolat lokal A. hydrophila Isolat ATCC A. hydrophila Edwardsiella tarda Kelinci A ● ○ ● ● ○ Kelinci B ● ○ ● ● ○ Kelinci C ○ ● ● ● ○ Kelinci D ○ ● ● ● ○ Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 182 Dari tabel diatas diketahui antibodi yang terdapat didalam serum hanya bereaksi pada jenis antigen yang spesifik. Dimana serum berisi antibodi Ag. O hanya menggumpalkan suspensi antigen O, begitu juga sebaliknya pada antigen H. Sedangkan pada isolat utuh A. hydrophila baik lokal dan ATML memberikan hasil yang sama, semua serum antibodi memperlihatkan adanya aktivitas penggumpalan antigen. Hal ini terjadi baik pada serum yang berisi antibodi Ag.O ataupun Ag.H, hal ini dikarenakan pada sel utuh koloni bakteri masih terdapat kandungan kedua jenis antigen tersebut. Dalam penggunaan dilapangan ada kemungkinan variasi spesies bakteri A. hydrophila dalam komposisi dinding selnya. Sehinga pada saat dilapangan uji aglutinasi bisa dikatakan positif jika salah satu atau kedua jenis serum mampu menggumpalkan sel bakteri. Karena perbedaan minor dalam komposisi dinding sel tidak merubah identitas antigen yang dihasilkan. Sedangkan pengujian pada jenis bakteri lain meskipun samasama gram negatif memberikan hasil yang berbeda, dimana kedua jenis serum tidak mampu menggumpalkan sel bakteri. Hal ini disebabkan oleh sifat pengenalan antibodi yang bersifat spesifik. Diskusi dan pembahasan Metode aglutinasi slide dengan sel bakteri utuh memanfaatkan prinsip sistem kekebalan tubuh. Pada mamalia seperti kelinci memiliki sel darah putih yang bertindak sebagai sistem imun, komponen serum darah akan bereaksi terhadap benda asing/mikroba yang masuk kedalam tubuh. Zat asing yang menginduksi respon kekebalan yang disebut antigen, biasanya terdiri dari molekul besar seperti protein dan polisakarida (Delisi et.al 1941). Dalam hal ini adalah antigen merupakan whole cell bakteri dilemahkan kemudian diinjeksikan. Sistem imun tubuh akan memproduksi antibodi serum untuk menetralisir ancaman tersebut, mekanisme fagositas dan penggumpalan molekul antigen ditujukan untuk melawan serangan dari luar (Corbell et.al, 1975). Untuk menetralkan serangan antigen antibodi akan diproduksi tubuh dalam jumlah besar. Antibodi yang diproduksi oleh sel-B limfosit memiliki karakter pengikat/binding zat antigen yang masuk kedalam tubuh mamalia. Pada tubuh kelinci antibodi disekresi komponen kekebalan induk sel-B (Delisi et.al 1941). Kemudian informasi terkait karakter dan susunan antigen tersebul dalam sel memori sistem imun (Austin et.al, 2007), sehingga apabila datang serangan berikutnya tubuh bisa resisten dengan keberadaan serum antibodi. Mekanisme inilah yang menjadi elemen penting dalam identifikasi bakteri A. hydrophila dengan aglutinasi slide. Kuncinya adalah membiarkan sistem kekebalan tubuh kelinci bereaksi terhadap Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 183 antigen A. hydrophila kemudian memproduksi antibodi yang spesifik. Sehingga introduksi antigen bakteri perlu dilakukan dengan dosis bertahap, agar kelinci bisa memproduksi serum antibodi dalam jumlah yang diinginkan tanpa menyebabkan kematian. Dalam proses produksi serum antibodi kelinci yang digunakan perlu diisolasi dari serangan jenis bakteri lain yang kemungkinan juga patogen terhadap ikan air tawar. Hal ini ditujukan agar kelinci memproduksi satu jenis antibodi saja. Karena sifatnya yang spesifik, antigen dari bakteri tertentu hanya akan bereaksi terhadap jenis antibodi tertentu juga. Mekanismenya adalah hubungan antara gembok dengan anak kunci. Reaksi yang dihasilkan adalah terjadinya penggumpalan (aglutinasi) oleh antibodi didalam serum darah terhadap molekul-molekul asing yang dikenalinya. Hal ini merupakan bentuk respon sistem imun tubuh terhadap zat antigen bakteri. Dalam penerapan metode aglutinasi, antibodi spesifik A. hydrophila yang diproduksi dari serum darah mamalia direaksikan dengan isolat sel utuh bakteri pada slide glass. Tujuanya agar antigen yang terkandung didalam sel utuh bakteri akan dikenali oleh antibodi didalam serum (Austin et.al, 2007). Jika bakteri tersebut adalah A. hydrophila akan terbentuk gumpalan-gumpalan pada slide glass, sedangkan jika negatif campuran antibodi dan bakteri akan tetap homogen. Reaksi aglutinasi yang terjadi adalah spesifik untuk antigen bakteri A. hydrophila, jika bakteri lain meskipun termasuk gram negatif tidak akan menimbulkan gumpalan pada slide glass. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan sejauh ini (Gorlich, 1985 dalam Austin et.al, 2007) pada produksi antibodi monoklonal bakteri A.salmonicida, secara jelas mampu mengenali bakteri yang virulen. Karakteristik inilah membuat tingkat akurasi tinggi dalam pengenalan bakteri pada metode slide aglutinasi. V. KESIMPULAN Metode aglutinasi slide efektif digunakan untuk deteksi cepat keberadaan bakteri A. hydrophila dilapangan. Langkah ini penting dalam rangkan penanganan penyakit ikan air tawar MAS yang seringkali menyebabkan kematian. Dibandingkan metode konvensional (uji morfologis dan biokimia) metode ini lebih cepat dan akurat. Prinsip utamanya adalah reaksi penggumpalan oleh antibodi serum (dari darah kelinci) terhadap antigen bakteri A. hydrophila. Serum darah diperoleh melalui penyuntikan bertingkat antigen bakteri A. hydrophila pada kelinci. Dalam setiap uji hanya diperlukan sedikit serum darah (0.05 s/d 0.1 ml) sehingga pengujian dalam jumlah banyak dimungkinkan. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 184 Referensi Alifudin, M., dkk. 2001. Uji Adaptasi Usaha Penanggulangan Penyakit Pada Budidaya Ikan Hias di DKI Jakarta. Laporan Akhir Penelitian Kerjasama LP-IPB dengan BPTP/PAATP Wilayah DKI Jakarta, 26 pg. Austin, Bryan and D. A. Austin. 2007. Bacterial Fish Pathogens : Diseases of Farmed and Wild Fish, Fourth Edition. Praxis Publishing. Chichester, UK. Buller, Nicky B. 2004. Bacteria from fish and other aquatic animals : a practical identification manual. CABI Publishing, Cambridge. USA Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology, Vol I and Vol II. (1984) Holt, J.G. (ed.) Lippincott Williams and Wilkins, Baltimore, Maryland. Cowan, S.T. and Steel, K.J. 1970. Manual for the Identification of Medical Bacteria. Cambridge. University Press, Cambridge. Corbell, M.J., 1975. The Immune Response in fish: A review. J. Fish Biol., 7: 539-563. De Lisi, Charles. 1941. Antigen antibody interactions (Lecture notes in biomathematics ; vol. 8). Springer- Verlag. New York. Garvey, Justine S. , Natalie E. Cremer, and Dieter H. Sussdorf. 1977. Methods in Immunology: A Laboratory Text for Instruction and Research. W. A. Benjamin Inc. Reading, MA. USA Klesius Philip H, Craig A. Shoemaker, Joyce J. Evans, Chhorn Lim. 2001. Vamline : Prevention of Diseases in Aquatic Animal in Nutrition and Fish Health ed Chhorn Lim and Carl D. Webster. The Haworth Press, Inc. USA. Parker, Rick. 2012. Aquaculture Science, Third Edition. Delmar. 5 Maxwell Drive. NY-USA. 668 page. Plumb, Jhon A., 2011. Health Maintenance and Principle Microbial Diseases of Cultured Fishes 3rd Edition. Iowa State University. USA. 328 page. Stickney, Robert. R. 2000. Encyclopedia of Aquaculture. Jhon-Willey Sons Inc. Canada. 1068 page. Stoskopf, Michael K. 1993. Fish Medicine. W.B. Saunders Company. USA. 882 page. Sinieszko, S.F. and Herbert R. A. 1981. Disease of Fishes. Laboratory for Research of Fish Disease, Nir-David. Israel. 127 page. Williams, Curtis A., 1977. Methods in immunology and immunochemistry Volume IV : Agglutination, Complement, Neutralization, and Inhibition. ACADEMIC PRESS, NYUSA. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 185 OXYTETRACYCLINE WITHDRAWAL TIME and RESIDUE IN TILAPIA (Oreochromisniloticus) AFTER ORAL ADMINISTRATION in FEED Ratna Amalia Kurniasih*, Rd. Kusyadi [email protected] Oxytetracycline is one of common antibiotic that has a wide use in aquaculture. This antibiotic becomes one of best choice because its effect in many diseases. However the antibiotic usage does not followed by public education to use antibiotic safely. The determination of withdrawal time in fish aquaculture is taking an important part in food safety and quality assurance. The aim of this study is to understand residue and determine withdrawal time of oxytetracycline 10 days post treatment. Many residue studies still ongoing and this study may support to monitor and control the concentration of oxytetracycline. Two groups of tilapia were prepared to this study, control and treated. Each group was divided in three fiber tanks and each tank contain of 70 fish. All of the fish was kept in fiber tanks with appropriate water quality aeration and were fed either medicated or non-medicated commercial feed at the rate of 3% of fish body weight per day. Oxytetracycline was applied in treated group with the dose 1gr/4kg fish body weight. The antibiotic was mixed with the feed and given 3 times per day for 10 days. Water quality (temperature, pH, dissolved oxygen, ammonia, and nitrite) was examined during the study. Water temperature during this study was between 24.332.3oC (approximately 27,6oC). The fish was sampled for each tank (5 fish per tank) during treatment period (day 0, 1, 3, 5, 7, and 9) and post treatment (day 0, 1, 2, 4, and 5). Liver and edible tissue (muscleskin) of fish was collected and tested for OTC by ELISA. The result of this study shows that the highest oxytetracycline residue in muscle-skin and liver is 204.89 ± 77.65µg/kg and 541.27µg/kg, respectively. This result explains that in Tilapia oxytetracycline is easier to be residue in liver than in muscle. Withdrawal time in this study was analyzed by statistic correlation and regression. Withdrawal time calculation based on the time post treatment at which the tissue OTC concentration in the muscle depleted below the MRL (Maximum Residue Limit). Graphic 1 shows the statistical analysis withdrawal time of oxytetracyline in tilapia by oral administration. Table 1 describes withdrawal time calculation. From the table we conclude that for this study, withdrawal time of oxytetracycline is 3 days post treatment. This result indicates that the concentration of oxytetracycline is under residue limits and the product is safe to consume. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 186 Graphic 1. Statistical analysis withdrawal time of oxytetracycline in tilapia Table 1. The determination of oxytetracycline withdrawal time in tilapia I. INTRODUCTION 1.1 Background In aquaculture, the use of antibiotic to control the disease is not a common thing. Antibiotic have been choose because of its effect which may treat the disease faster than the other medication. However the usage of antibiotic was not followed by public education about the kind of safe antibiotic for fish, environment, and human. The public especially the farmers have not yet known how to use antibiotic properly. Antibiotic that have allowed in aquaculture based on Decree of Ministry of Marine Affairs and Fisheries np 52 year 2014 consist of three groups such as quinolone, macrolide, and tetracycline. Oxytetracycline is one of quinolone antibiotic that have been used widely to control fish disease. Oxytetracycline have broad spectrum which may control bacterial infection caused by Aeromonas, Psudomonas, and Haemophilus. Even though this antibiotic effective to control fish disease, the use of it still restricted. The safety of oxytetracycline to human and animal (in this term is for fish) along with its efficacy to the disease still need specific study for each product. The European Union and several countries with its policy has determined certain level from the antibiotic which allowed in fish product (MRL = Maximum Residues Limit). Meanwhile, Indonesia has issued a decree through Directorate General of Aquaculture Ministry of Marine Affairs and Fisheries which explained quality standard of antibiotic. Regarding to this decree, a lot of study for residue and withdrawal time determination has been done include oxytetracyline to control and monitor its level. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 187 II. Material and Method Fish This study used 420 local tilapias (Oreochromisniloticus)with the average body weight 65 – 80 gram. The fish was divided into 2 groups, control and treatment. Each of groups contains 3 repetition groups (each of repetition group contains 70 tilapias). The fish was reared in fiber tanks with close water system and appropriate water quality and aeration. The fish was feed by commercial feed 3% of total body weight for each tank which divided into three times feeding a day during the study. The treatment period was determined for 10 days. During the treatment period, the treatment group fish was fed by feed mix antibiotic. Then during 5 days post treatment period all the fish was fed with commercial feed without antibiotic. The fish was acclimatized for 1 week before the study was started. Oxytetracycline Preparation and Administration Each gram of this antibiotic contains 400mg oxytetracycline. The dose that has been used for this study is 1gr/4kg fish body weight. The administration of antibiotic mixed in feed was conducted for 10 days of study (three times a day). Ten percent from total feed for each day was mixed with antibiotic for three giving times. The preparation of medicated feed was conducted one day before the treatment. Antibiotic – feed mixing process was used commercial binder. After administration of antibiotic, the fish was reared for 5 days. The sampling Fish sampling during the study was conducted in two periods, treatment period and rearing period or post treatment. The sampling was random sampling for 5 fish in each tank. During the treatment period the fish was sampled 6 times on day 0, 1, 3, 5, 7, and 9. Meanwhile in post treatment, the sampling was done on day 0 (day 10 of treatment period), 1, 2, 4, and 5 after the treatment period. The enable tissue and liver for sampled with was taken for the test. The muscle-skin of fish was pooled for each tank, whether liver was pooled for each group, treatment and control. The sampling also conducted for water and feed. The feed with and without antibiotic was conducted for oxytetracycline test. Physical water quality test was conducted one time a day during the study. Water sampling for chemistry test has done for three times (day 0, 10, and 15). The water chemistry tests include ammonia and nitrite parameter. Water physical test include temperature, dissolved oxygen, and pH. Oxytetracycline Concentration Analysis The feed and fish was analyzed for oxytetracycline level with ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assay) based on the procedure on test kit. Withdrawal Time Determination Withdrawal time was determined with statistic correlation and regression. The determination of withdrawal time was determinate by the time when the oxytetracycline Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 188 under the MRL (Maximum Residue Limit) or until it is not detected in fish. Based on Decree of Directorate General of Aquaculture, the MRL that has accepted for oxytetracycline III. RESULT and DISCUSSION The aim of this study is to understand oxytetracycline residue in tilapia after 10 days of treatment period in feed and to determine withdrawal time of oxytetracycline refers to MRL (Maximum Residue Limit). MRL value that has been determined for oxytetracycline was 100µg/kg. However the consensus in Indonesia has determined the MRL for withdrawal time determination was 0,5 MRL or 50µg/kg. This study was held for 15 days with 10 days treatment period and 5 days rearing period post treatment. Before the study has started, the fish was sampled to know the concentration of oxytetracycline. It can be seen in table 1. Table 1.Oxytetracycline concentration in fish (muscle and liver) before the treatment Sample Day Concentration of Oxytetracycline (µg/kg) Muscle-skin 0 2.03 Liver 0 36.61 Based on table 1, liver and muscle-skin of tilapia contain oxytetracycline though in small concentration. The dose of oxytetracycline that has been used during the treatment period is 1gr/4kg fish body weight. Before treatment, concentration of oxytetracycline in feed was examined for feed with and without antibiotic. Table 2 explain that the feed without antibiotic has no oxytetracycline whether for medicated feed the concentration of oxytetracycline is 390,54µg/kg. Table 2. Concentration of Oxytetracycline in Feed Sample Day Concentration of Oxytetracycline (µg/kg) Feed without antibiotic 0 0.00 Medicated feed (1 gr/4 kg 0 390.54 bw) During the treatment, fish sampling was done on day 1, 3, 5, 7, and 9. Each tank was sampled for 5 fish randomly. Then the fish was tested for oxytetracycline in muscle-skin and liver. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 189 Table 3. Concentration of oxytetracycline in muscle-skin of tilapias during the treatment period Tank 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 Da y 1 3 5 7 9 Control 1.21 0.00 0.00 0.45 0.89 1.74 1.45 3.99 0.00 87.81 88.26 52.07 32.23 4.17 5.23 Concentration of Oksitetrasiklin (µg/kg) Treatment Mean of control Mean of treatment dose 1 g/4 group± Standard group± Standard kg bw Deviation Deviation 196.22 0.4 ± 0.7 195.30 ± 50.19 144.66 245.02 134.09 1.03 ± 0.66 144.98 ± 9.54 148.99 151.87 193.37 1.81 ± 2.02 198.16 ± 23.82 177.10 224.01 144.66 76.05 ± 20.77 187.83 ± 38.40 200.63 218.20 115.44 13.88 ± 15.90 204.89 ± 77.65 244.34 254.90 Figure 1. Graphic concentration of oxytetracycline(µg/kg) in muscle-skin during the treatment period During the treatment period, the highest concentration of oxytetracycline was obtained on day-9, 204.89 ± 77.65µg/kg. The increase of oxytetracycline was observed on day-7. The lowest concentration of oxytetracycline was obtained on day-3 144.98 ± 9.54µg/kg. In liver, the highest concentration of oxytetracycline was found on day 5, 541,27µg/kg. And the lowest concentration as seen on table 4 and figure 2 was on day 3 Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 190 and 7, 435,50µg/kg and 439,04 µg/kg. This result shows that in muscle-skin and liver, concentration of oxytetracycline higher than themaximum residue limit. Based on Directorate General of Aquaculture no 61 year 2013, MRL for fish commodity is 100µg/kg. There are several factors that affect the variation of oxytetracycline concentration in organ and tissues. Study of Salte and Liestol (1983) in Chen et al (2004) mention the differences in medicated feed intake, stomach emptying rate, the absorption of the drug (OTC is known to have a low bioavailability), and metabolic and excretory capabilities of the fish in handling the drug could make the variation of concentration drug in tissue. Feeding method and frequency of feed a day also may contributed to the differences of oxytetracycline concentration in tissue. Referring to Studies of O’Hara et al (1997) in Chen et al (2004), channel catfish that feed twice daily has higher oxytetracycline concentrations in liver and muscle than a once-daily feeding approach. An additional factor worthy of consideration is that OTC can form complexes with cations and can leach from feed in the freshwater environment. Water environment also affect the concentration of oxytetracycline in tissue. Fish in lower temperature groups had higher liver-to-serum ratios and lower muscle–skin-to-serum ratios. This suggests that the liver is impacted to a greater degree by low temperature than muscle–skin, and therefore low temperature tends to reduce OTC elimination. Table 4.Concentration of Oxytetracycline in liver of tilapias during treatment period Day Concentration of Oxytetracycline (µg/kg) Control Treatment Dose 1 gr/4 kg bw 1 40.00 519.20 3 32.89 435.50 5 40.91 541.27 7 61.53 439.04 9 21.16 479.36 Figure 2.Graphic Concentration of Oxytetracycline in liver (µg/kg) during treatment period Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 191 After the treatment both control and treatment group was fed with commercial feed. The sampling of fish during rearing period was aimed to know the concentration of oxytetracycline. Then the result may calculated by statistic correlation regression to determine the withdrawal time of oxytetracycline. Concentration of oxytetracycline in muscle –skin and liver post treatment was showed in table 5, 6, and figure 3. Table 5. Concentration of oxytetracycline in muscle-skin of tilapias post treatment Tank Day Control 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 0 1 2 4 5 11.77 9.44 4.77 1.91 2.63 4.51 0.45 0.00 0.00 0.20 0.00 0.00 4.52 2.38 7.27 Concentration ofOxytetracycline (µg/kg) Treatment Mean of treatment Mean of control group Group group ± Standard ± Standard Deviation Deviation 201.63 195.37±78.92 8.66±3.56 113.50 270.97 57.02 63.88±7.05 3.02±1.34 63.52 71.10 27.13 43.00±26.32 0.15±0.26 28.50 73.38 13.05 16.93±8.22 0.07±0.12 11.37 26.37 9.88 10.84±2.19 4.72±2.45 9.29 13.35 Table 6. Concentration of Oxytetracycline in liver of tilapias post treatment Day 0 1 2 4 5 Concentration of Oxytetracycline (µg/kg) Control Treatment Group 55.44 665.81 33.76 153.51 32.94 64.20 18.35 54.72 31.19 28.77 Table 5 and 6 shows the concentration of oxytetracycline post treatment. The concentration on day 0 (last day of treatment) still has higher concentration. Nevertheless this concentration decrease respectively on day 1, 2, 4, and 5 post treatments (figure 3). This result also shows the lowest concentration of oxytetracycline was on the last day of study. Liver which has the higher concentration than muscle-skin still has its high concentration until day 5 post treatments. All of oxytetracycline concentration in liver and muscle-skin already are below the MRL till the last day of study. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 192 Figure 3. Graphic Concentration of Oxytetracycline in muscle-skin and liver (µg/kg) post treatment The determination of withdrawal time in this study uses statistic correlation regression. Withdrawal time analysis is based on estimated time for oxytetracycline in organ or tissue to depleted below the MRL (Maximum Residue Limit). Based on DGA’s Decree no 61 year 2013, MRL for fish product is 100µg/kg, however this study use the consensus agreement, 0,5MRL or 50µg/kg. Concentration of oxytetracycline during rearing period becomes the data to determine the withdrawal time. Figure 3 shows the graphic of statistic correlation regression withdrawal time of oxytetetracycline in tilapia. Figure 5.1.Statistical analysis withdrawal time of oxytetracycline in tilapia The green line in figure 3 shows the log concentration of 0.5MRL (1.7µg/kg). Line equation for log concentration 0.5MRL was y=-0.241x + 2,407. The blue line is the log mean concentration of oxytetracycline. The withdrawal time was determined with the cutting line between upper limit and log concentration of 0.5MRL. Based on the figure 5 and table 7, withdrawal time of 1gr oxytetracycline /4kg body weight in feed for 10 days in tilapia was 3 days post treatment. And the time for oxytetracycline depleted completely was 10 days post treatment. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 193 Table 7.Withdrawal time determination of oxytetracycline in tilapia after administration in feed Description 0,5 MRL log 0,5 MRL (y) waktu (hari) (x) WT = 0,5 MRL 50 µg/kg 1.70 3 Some studies revealed the depletion time or withdrawal time of oxytetracycline with different dose and exposure time. Study withdrawal time from Chen et alin 2004 showed that in red tilapia (Oreochromismosambicus)that has administrated with 80mg/kg oxytetracycline in feed for 10days, with temperature was 27.3oC and 28.4oC has depletion time 2 days and 2 hours. The result from Paschoalet al (2012)with similar study by using tilapia, 80mg/kg oxytetracycline for 5 days found the withdrawal time was 6 days after last administration of medicine. Another study by Sojung (2013) in tilapia that has treated with 75mg/kg oxytetracycline for 10 days got 0.5MRL 14 days after last administration day. In fish, oxytetracycline was eliminated by glomerular filtration. However this process was very slow because the elimination through enterohepatic circulation (Baggot, 2001). The variation of withdrawal time in various study may influenced by several factors such as species, dose, the exposure time of antibiotic, water quality, and differences of MRL in every countries. Different species may have different metabolism, so that the pharmacokinetics should be various. The dose and the duration of administration also may affect withdrawal time. The greater dose and the longer duration of exposure, the greater medicine has absorbed by fish (Webby et al., 2014). As the author has mentioned before, temperature hold the important thing in withdrawal time study. During the study, the water temperature has shown in table 8. The water temperature in this study is quite good and stable except in first day which is higher than optimum value. The temperature during the study was between 24.3 -32.3oC (mean 27.6oC). Meanwhile the value of pH, dissolved oxygen, and nitrite, is quite good for aquaculture. Ammonia parameter for every treatment tanks was over the optimum value. The higher parameter of ammonia caused by closed water system and the cleaning time with siphon and water change was not conducted everyday IV. CONCLUSION In this study, tilapia which feed with oxytetracycline 1gr/4kg body weight in feed for 10 days have the highest concentration of oxytetracycline in muscle-skin on day 9, 204.89 ± 77.65µg/kg. The highest oxytetracycline residue in liver is541.27 µg/kg. This result shows that for this study, oxytetracycline was residue in liver than in muscle-skin. Oxytetracycline withdrawal time determination use correlation regression with line equation y=-0.241x + 2,407 (variable y is log concentration of oxytetracycline and variable x is day). By the equation, to reach 0,5MRL, the limit of allowed oxytetracycline level in fish, the tilapia need 3 days after the last treatment period. REFERENCES Baggot, J.D. 2001.The Physiological Basics of Veterinary Clinical Pharmacology.Blackwell Science Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 194 Chen, C.Y., R. G. Getchell, G. A. Wooster , A. L. Craigmill, P. R. Bowser. 2004. Oxytetracycline Residues in Four Species of Fish after 10-Day Oral Dosing in Feed. Journal of Aquatic Animal Health 16:208–219, 2004 Sojung, D. 2013. Determination of Withdrawal Time ofOxytetracycline and its Effication On Tilapia (Oreochromisniloticus) infected by Bacteria Streptococcus iniae. Paschoal JA, Bicudo ÁJ, Cyrino JE, Reyes FG, Rath S. 2012. Depletion Study and Estimation of The Withdrawal Period for Oxytetracycline in Tilapia Cultured in Brazil.J Vet PharmacolTher. 2012 Feb;35(1):90-6. doi: 10.1111/j.1365-2885.2011.01294.x. Epub 2011 Apr 6. Webby, AndriHariadi, DiteFajarSuprapto, JamilahHayati. 2014. Masa HentiAntibiotikOxytetracyclinepadaIkanPatin. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 195 PIPER BETEL LEAF EXTRACT SPRAYED ON FEED TO CONTROL Aeromonas hydrophila DISEASE IN CATFISH (Clarias sp) Manja Meyky Bond*, Betutu Senggagau, and Tanjung Penataseputro Abstract Motile Aeromonas Septicemia (MAS) disease caused by pathogenic agent such as Aeromonas hydrophila mostly attack catfish in fresh water aquaculture. It occurs during rainy seasons and happens on juvenile and growth fish. Generally, the fish had dropsy and ulcer and also wound in the body. If it could not separately well, it would cause 100% mortality. Antibiotics always uses to handling the disease, but usually not recommended for food safety. It could contaminate the water and residue remains in fish and bacterial resistance if the doses are not suitable as should be. Some of medical plants have natural antibiotics substances. It could be used to kill pathogenic bacterial in general. Piper betel leaf is one of the medical plants which have natural antibiotics. The piper betel leaf extracts are known as herbal medicine in aquaculture fish disease. Many studies had conducted this extract with any kind methods. The study aims to observe effectiveness of piper betel leaf extract sprayed on fish feed to the survival rate of catfish juveniles from the infectious bacterial diseases.About 5 kg of fresh piper betel leaf dried in oven with 500C during 24 hours and then mashed it to be simplicia. The extraction used by maceration method. There were 2 different type concentrations of piper betel leaf extract. The 5% and 10% of piper betel leaf extract made by diluting 100 g and 200 g simplicia respectively in 2000 ml of 96% ethanol during 24 hours. Fish feed prepared by spraying the piper betel leaf extract and homogenized it. The experiments used completely randomized design with 2 replicates. About 50 catfish (Clarias sp) juveniles with 5-8 cm length respectively cultured in 6 tanks of 1000 ml circulated fiberglass. They were fed around 30 days by fish feed which had sprayed with 0%, 5% and 10% of piper betel leaf extract. After that, the challenge test was conducted. Around 50 juveniles were injected with 107 cfu/ml of Aeromonas hydrophila inoculum broth. The survival rates were observed during 20 days.The results showed that piper betel leaf extract had significantly (p < 0.05) controlled Aeromonas hydrophila disease in catfish juveniles. The 5% of piper betel leaf extract had highest result of catfish juveniles survival rates. Keywords: betel leaves, herbal extracts, catfish, Aeromonashydrophila, Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 196 INTRODUCTION The main problems that occurin aquaculture activities are pests and fish diseases andpollutedwaters in aquaculture environment. Vaccines, antibiotics, immunostimulant and other chemical drugs wereused to control it. Almost fish farmer used antibiotics to handling it. Unfortunately, it is not recommended for food safety. The usage of antibiotics in aquaculture always unpredicted administration for time and doses. In this case, antibiotics would be contaminated in aquaculture environment, residue in fish meat, and stimulating pathogenic bacteria resistances. Aeromonashydrophila, freshwater pathogenic bacteria attacked catfish farming in the rainy season.Juveniles and growth catfish which had been infected must be separated from others to prevent its spread. The fish swam abnormal, no appetite eating, and showed ulcer, dropsy and wound around the body.It could be caused mortality up to 80-100%. However, its kind of pathogenic bacteria that would be disadvantages for fish farmerand could be decreasingaquaculture production. Proper technology, therefore, needed to control this disease. Medicinal plants or herbal used to control fish disease safely as an alternative prevention.Indonesia as a tropical country has a wealth of potential medicinal plants. Many types of plants that contain compounds are antimicrobial. Some plants contain compounds are bactericidal (bacteria-killing), and bacteristatic (bacterial growth inhibition).From several experiments reported that phyto-pharmacy effectives to resolve fish disease and have some advantages, such as: First, it can be a natural material substitute for antibiotics to control bacteria diseases. Second, environmental friendly, easy destroyed / biodegradable, andit does not cause residues in fish and humans. Third, easy obtained and available. Fourth, its economic and not expensive. Some of phyto-pharmacy can be used as natural antibiotics to control fish diseases are garlic (Alliumsativum), and tropical almond leaf (Terminaliacattapa). Other research reported thatanother materials can be used as antibiotics are piper betel leaf (Piperbetle, L), guava leaf (Psidiumguajava, L), common dandelion (Taraxacumofficinale) and bitter leaf (Androgaphispaniculata). Piper betel leaves are known have antioxidants, antiseptics, bactericides, and fungicides activities. Bitter leaf hasanti-bacterial properties, and guava leaves have anti-bacterial and also anti-viral activities. There were many studies reported utilizations of piper betel leaf extract to control fish diseases, i.e. African catfish (Clariassp) (Sutama, 2002; Wahjuningrum, et al., 2007), Goldfish (Cyprinuscarpio) (Maryani& Rosita 2006), Neon-tetra fish (Herawati, 2009), Tiger grouper (Epinephelusfuscoguttatus) (Dewiet al., 2010), Fresh water lobster larvae disinfectant (Khasani&Sopian, 2010), Mekong catfish (Mulia&Husin, 2012) and Tilapia GIFT (Yuniarani, 2013). Based on the information above, therefore, it is necessary to examine application technology frompiper betel leaves extract to control bacterial disease in fish farmed. The study aims to observe effectiveness of piper betel leaf extract sprayed on fish feed to the survival rate of catfish juveniles from the infectious bacterial diseases. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 197 MATERIALS AND METHOD Materials in this study are fresh piper betel leaves, catfish juveniles (5-8 cm length), Aeromonashydrophilainnoculum bacteria, 96% ethanol solution, Trypticase Soy Agar (TSA) medium, bacteria physiological solutions. Equipment used in this activities are as follows : 1000 m3 circulated fiberglass tank,aeration and water installations, nursery equipments, analytical balance, grinder, filter, ovens, incubator, centrifuge, refrigerator, vacuum rotary evaporator, syringe (vaccine injector), and glassware. Preparation of piper betel leaf extract Fresh piper betel leaves put in the oven with temperature of 50ºC during 24 hours. After it had dried, piper betel leaves crushed using a grinder. To get finer simplicia, it was screened with coconut milk filter.Piper betel leaf extract divided into 2 type concentrations, 5 % and 10 %. The extraction process used maceration method. About 100 g (5%) and 200 g (10%) of piper betel leaf simplicia respectively dissolved in 2000 ml of 96% ethanol.Maceration performed for 1 x 24 hours at room temperature. Then, the extraction was filtered using a screen net. Evaporation needed to eliminate ethanol influences in theextraction. After evaporation, piper betel leaf extract were concentrated. It saved into bottle and placed in refrigerator. Preparation of fish feed mixed piper betel leaf extract Fish feed was weighed according to the 3% of fish biomass. About 5% and 10% of piper betel leaf extract sprayed into feed respectively.Homogenized it until the extract distributed throughout the feed. Let the moment for 3-5 minutes, then,the feed was inserted toa plastic container and stored in the refrigerator. Preparation of Aeromonashydrophila inoculums bacteria Pure isolates ofAeromonashydrophilawere inoculated in TSA medium, then, incubated for 24 hours at 28ºC. After incubation, the bacteria were re-inoculated with scratch method in to 5 new Petri dish containing TSA medium and incubated for 24 hours.Aeromonashydrophila were harvested slowly by adding bacteria physiological solutions on to medium surfaces. Then, centrifuged for 10 minutes and taken part of the filtrate, repeated up to 3 times flushing. After washing, filtrate of bacteria turbidity compared using the tube McFarland. The density of Aeromonashydrophiladesired test amounted to 107cfu/ml. Solution volume for bacteria challenge test was 100 ml. Experiments Design Aeromonashydrophila Bacteria Challenge Test against Catfish Experimental design to observe survival rate of catfish juveniles used completely randomized design (CRD) with two replications. The treatments werefed catfish with feed mixed 0%, 5% and 10% of piper betel leaf extract respectively. Feed given three times daily for 30 days. After adapting to the feed, catfish werechallenge tested with Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 198 Aeromonashydrophila. About 50 catfish juveniles per treatments were intra-peritoneal injected by 0.1 ml of 107cfu/ml of Aeromonashydrophila. Observation Data The observation data of this study was survival rate of catfish juveniles after getting treatment feeding with feed mixed piper betel leaf extracts to Aeromonashydrophila challenge tested. Observations were made during the two weeks after test bacteria injection. The formula of survival rate is followed: Data Analysis Survival rate data were analyzed using one-way analysis of variance (one- way ANOVA) with MS. Excel 2007 program. RESULTS AND DISCUSSION The survival rate of catfish juveniles after challenge testwith Aeromonashydrophilawere shown in table 1. Table1. Survival rate (%) of catfish (Clarias sp) juveniles after challenge test was conducted Piper betel leaf extract 1 2 Mean ± SD 0% 20 16 18 ± 2.83 5% 98 100 99 ± 1.41 10% 42 80 61 ± 26.87 On the table 1 showed that 5% of piper betel leaf extract sprayed in feed gave the best result for survival rate of catfish juveniles up to 99 ± 1.41% followed by 10 % and 0%. There were 61 ± 2.83% and 18 ± 2.83% respectively. One-way Analysis of Variance (ANOVA) was conducted to determine the differences between the treatments. Table 2 was shown below. Table 2. One-way ANOVA of Survival Rate Source of Variation Between groups Within groups Total SS 6569.33 732 7301.33 df 2 3 5 MS 3284.67 244 F hit 13.46 P-value 0.031 Table 2 described that piper betel leaf extract had significantly (p < 0.05) different to the survival rate of catfish juveniles. It showed that the piper betel leaf extract could be positive impact on the survival rate of catfish juveniles. Piper betel leaf extract contains essential oils that are capable to inhibit Gram-positive and negative bacteria Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 199 activities (Darwis, 1992) and A. hydrophilainclude in the group of Gram-negative bacteria (Plumb, 1999). Sutama(2002) reported that survival rate of African catfish juveniles were up to 100%(5 fish) after fed by 0.2 g of piper betel leaf extract mixed in 100 g offeed. Wahjuningrum etal. (2007) reported that catfish juveniles were fed with a mixture of bitter leaves, guava leaves and piper betel leaves extractscould survive up to 75% after challenge tested with A. hydrophila bacteria. There were differences data results between the studies. It might be caused by the number of catfish tested, size, and the concentrations of leaf extract that mixed in the feed. However, it could be said that the administration of piper betel leaf extract was mixed into the feed have a significant influence on the survival rate of catfish from MAS (Motile Aeromonas Septicemia) diseases orA. hydrophilainfection. Furthermore,Sutama (2002) said that the use of herbal plant extracts can cure inflammation, hemorrhage and ulcers caused by A. hydrophilabacterial diseases. The active compounds of piper betel leaves such as terpenoids are potentiallyused as antibacterial (Sukadanaet al., 2008). It can inhibit bacteria growthand damage the cell walls led to lyses, changing the permeability of the cytoplasm membrane causing leakage of nutrients from within the cells, protein cell denatured and inhibit the enzyme activity in bacterial cells (Herbert, 1995). CONCLUSIONS 1. Piper betel leaf extract administration had significantly different to the survival rate of catfish juveniles from A. hydrophilainfection. 2. 5% of piper betel leaf extract mixed in feed gave the best survival rate up to 99%. 3. Piper betel leaf extract can be used as an alternative method for the control of bacterial disease. REFERENCES Dewi, J., H. Marnis and T.Tusihadi, 2010.The administration of piper betel leaves(Piperbetle L.) powderas bacterial disease controlling in Tiger Grouper (Epinephelusfuscoguttatus) culture. Indonesian Aquaculture Proceeding. Chapter VI: 183-189. Herawati, V.E. 2009. Utilization of piper betel leaves (Piperbetle, L) toresolve ectoparasites in Ornamental Fish Tetra. Aquatics PENA Vol. (1) 1: 8-13. Herbert. R.B, 1995, Biosynthesis of Secondary Metabolites, 2nd edition, 1st printing, BambangSrigandono (eds), IKIP Press Semarang. Khasani, I and A. Sopian. 2012. Effectiveness of betel leaf extract as disinfectant materials for fresh water lobster (Macrobrachiumrosenbergii). The Aquaculture Technology Innovation Forum Proceedings.p: 977-981. Maryani and Rosita. 2006. Effectiveness of guava leaves extracts (Psidiumguajava L.) bitter leaves(Andrographispaniculata)extracts,and betel leaf (Piperbetle l.) extracts to controlAeromonashydrophila infections in Goldfish (Cyprinuscarpio L.). Journal of Tropical Fisheries 1 (2): 132-139. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 200 Mulia, D.S. and A. Husin. 2012. Effectiveness of the Betel Leaf Extract to controlMekong catfish from Aeromonashydrophilainfected. Research Report. FKIP UniversitasMuhammadiyahPurwokerto.12 pages. Plumb, J.A. 1999. Health Maintenance and Principal Microbial Diseases of Cultured Fishes.Iowa State University Press, Ames, Iowa.p: 194-203. Sukadana, I M., Santi, Sri Rahayu., &Juliarti., N.K. 2008. Antibacterial Activity Compounds Group TriterpenoidFrom Seeds Papaya (Caricapapaya, L)). Journal of Chemistry. 2. 15-18. Sutama, I.K.J. 2002.Effectiveness of guava leaf extract (Psidiumguajava L.), Bitter (AndrographispaniculataNees) and DaunSirih (Piper betle L.) against Aeromonashydrophila Bacterial Infections L31 on Dumbo Catfish (Clariassp).Scription. Not published. Bogor Agricultural Institute. Bogor. 68 p. Wahjuningrum, D., Tarono and S.L. Figures. 2007. Effectiveness of Mixed Stew Sambiloto (Andrographispaniculata (Burm.f.) Ness), Leaf Guava (Psidiumguajava L.) and betel leaf (Piperbetle L.) for Prevention MAS (Motile Aeromonas Septicemia) Disease in Dumbo Catfish ( Clarias sp). Journal of Aquaculture Indonesia 6 (2): 127-133. Yuniarani, N. 2013.The Influence of piper betel leaf Extract (Piperbetle L) addition in the feed to tilapia GIFT health level.Feed Soundness Gift Tilapia (Oreochromisniloticus). Essay.FPIK Padjadjaran University. Bandung. Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 201 PRELIMINARY ANALYSIS OF HEAVY METAL CONTENT IN GREEN MUSSELS MEAT MONITORED IN THE BANTEN PROVINCE Sofian Ansori, Silvian Rusminar, Ellis Mursitorini [email protected] Abstract The Mussels products originating from the province of Banten, especially mussels become the main target of monitoring by Center of Fish Diseases and Environmental Investigation. Heavy metal are found in the waters include the Banten province. The green mussels (Perna viridis L) become an indicator pollutant of heavy metal. Heavy metals were tested on mussels products are Lead (Pb), Cadmium (Cd), and Mercury (Hg). The preparation method for analized green mussels is digestion by microwave and analyzed by AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer ). Sampling is done on three points , namely district of Tangerang , Serang and Pandeglang district. From that three points of heavy metals the high concentration is Lead 2.42 mg/kg in tangerang district and 2.91 mg/kg in Serang district and 2.21 mg/kg in Pandeglang district (Figure 2). From Maximum limit of the heavy metal in the food product specified by SNI 7387.2.2009. The maximum concentration to lead (Pb) is 1.5 mg/kg, Cadmium (Cd) and Mercury (Hg) are 1 mg/kg . At the 3-point district that is above the threshold are Serang, tangerang and Pandeglang district . Lead in waters originating from the fumes or flue gas motor engine which then diffuse in water bodies. This area is a transport route through which many fishing boats and vessels transporting goods. It's just above the threshold value is Lead (Pb) so that need for routine monitoring of meat mussels in Banten . Monitoring needs to be done at least 2 times a year during the rainy season and summer . Key word : Green mussels (Perna viridis L), AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer) I. Introduction Heavy metals can decrease water quality , in addition the pollutant of the heavy metal in the water environment will precipitate under the waters that would form the sedimen. Heavy metal in the enviroment can survive for quite long thousands years and also be concentrated into fisheries live and feed such as shrimp , crab and mussels. The mussels as one indicator for pollutant in the water will have heavy metals in their body and resistant to heavy metal contamination. A Mussels is a marine animal that absorb pollutants higher than with other types of marine life as it is lived , slow to avoid themselves from the effects of pollution and have a high tolerance towards certain heavy metal concentration. Green mussel (Perna viridis L) is one of family spesises two shellfish (bivalves). Green mussel is fishery commodities in Indonesia that has been cultivated as one of the business areas of coastal communities especially in the Banten province. There are three district that have a green mussels cultivation such as Tanjung anom in Tangerang district, Teluk banten in Serang district and Teluk Panimbang in pandeglang district. Green mussels is the most popular because have economic value, good nutrient and food for consumption. But behind that advantages green Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016 202 mussel is resistant to heavy metal. Commonly the heavy metals contamination is source of pollution, especially that many pollutant dissolved in water and deposited under waters. The green mussels obtain their food by filtering phytoplankton that live nearby, or more commonly known as filter feeders. Heavy metals are often taken into the body mussels include Pb, Cr, Cd, Hg, Zn. Heavy metal residues are often analyzed of lead (Pb), cadmium (Cd) and Mercury (Hg), it’s from the toxicity of these metals are quite high. These heavy metal In addition, the metal content in the territorial waters depends on the location of the mussels live which are often carried out many human activities include tourism activities of society, fumes or fuels from engine motor which then diffuse to the water bodies. A huge industry in the field of oil, chemicals, textiles and other major industries that produce hazardous waste will decrease the water quality and increase a heavy metal pollutants. The heavy metal were tested and analyzed with Atomic Absorption Spctrofotometer graphite furnce (GFAAS) for lead (Pb) and Cadmium, while mercury (Hg) with Atomic Absorption Spctro