Untitled - DJPB@KKP

advertisement
KATA PENGANTAR
Indonesia mempunyai potensi perikanan budidaya yang luar biasa untuk pengembangan bisnis
baik skala nasional maupun internasional yang mencangkup perikanan air tawar, payau dan laut,
dengan berbagai komoditas unggulan untuk pasar dalam negeri maupun luar negeri. Potensi
perikanan budidaya mencapai 17,92 Ha, dengan pemanfaatan yang baru mencapai 21,9% untuk air
payau, 10,7% untuk air tawar dan 2,7% untuk air laut. Selain potensi pengembangan, teknologi dan
dukungan kebijakan investasi serta ketersediaan sumber daya manusia yang berpengalaman dan
berkompeten menjadikan investasi perikanan budidaya semakin menarik. Berbagai dukungan
tersebut menjadikan Indonesia pada tahun 2013 menjadi produsen perikanan terbesar ke-dua di
dunia setelah China (FAO, 2015).
Guna mendorong pertumbuhan investasi tersebut, maka Kementerian Kelautan dan Perikanan
secara berkesinambungan melakukan upaya promosi investasi baik tingkat nasional maupun
internasional, melalui salah satu kegiatan tahunan yaitu Indonesian Aquaculture (INDOAQUA) dan
Forum Informasi Teknologi Akuakultur (FITA). Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, INDOAQUA
dan FITA 2016 akan dikolaborasikan dengan event internasional serupa yaitu APA (Asian Pacific
Aquaculture); dan International Symposium on Tilapia (ISTA). Meeting yang akan diselenggarakan
pada tanggal 26-29 April 2016 di Surabaya. Bentuk kegiatan berupa pameran teknologi dan bisnis,
seminar inovasi dan teknologi, temu bisnis, coaching clinic, promosi investasi serta berbagai lomba
yang relevant untuk menarik minat stakeholder bergabung di bidang perikanan budidaya. Kegiatan
lainnya adalah promosi wisata Indonesia melalui farm tour dan tourism tour.
Indonesia adalah negara dengan kekayaan sumberdaya alam yang luar biasa.Salah satunya
adalah kekayaan sumberdaya alam, yang dapat dimanfaatkan untuk sektor perikanan budidaya.
Potensi lahan budidaya laut (11,8 juta ha), lahan budidaya payau (2,3 juta ha) dan lahan budidaya air
tawar (2,5 juta ha), baru sebagian kecil dimanfaatkan. Nilai potensi perikanan budidaya secara
keseluruhan yang mencapai US$ 63 - 80 miliar per tahun, harus terus di dorong pemanfaatannya,
salah satunya dengan meningkatkan investasi di sektor perikanan budidaya.
Untuk mempromosikan potensi ekonomi dan bisnis perikanan budidaya dan sekaligus untuk
menarik investor di bidang perikanan budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB), melaksanakan INDONESIAN AQUACULTURE 2015
(INDOAQUA-2015), sebagai barometer pengembangan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi
terapan, serta sumber inspirasi bisnis perikanan budidaya, pada tanggal 28-31 Oktober 2015 di
Indonesia Convention Exhibition, BSD City, Tanggerang-Banten.
Guna menggali informasi yang lebih mendalam dalam inovasi dan teknologi bidang perikanan
budidaya, maka akan dilakukan juga kegiatan Pararel Seminar dalam berbagai topik. Paralel seminar
akan berlangsung dari tanggal 27 – 29 April 2016. Beberapa topik yang dipresentasikan antara lain :
finfish, rumput laut, alga, kekerangan, ikan hias, nutrisi dan pakan, probiotik, hatcehry, lingkungan,
keamanan pangan, pengelolaan kesehatan ikan, kualitas air, genetik dan breeding, sistem budidaya,
ekonomi dan investasi hingga teknologi pengolahan dan topik lainnya.
Prosiding ini berisi makalah lengkap materi seminar yang dilaksanakan selama
penyelenggaraan INDOAQUA - APA 2016. Semoga prosiding ini, dapat memberikan manfaat bagi
masyarakat pembudidaya dan seluruh pihak terkait dengan perikanan budidaya, sehingga mampu
mendorong pengembangan perikanan budidaya yang berkelanjutan dan maju.
Jakarta, Agustus 2016
Penyusun
APPLICATION OF COMMODITIES DIVERSIFICATION SYSTEM FOR GROUPER AND GIANT
TREVALLY (Caranx sp) AS DEVELOPMENT STRATEGY EFFORTS IN FISH FARMING
Umar Rifai dan Doortje A. Horhoruw
Mariculture Development Center of Ambon
Abstract
Aquaculture effort in this time that bloom enough fast especially marine culture.
One of commodities that still manjadi commodities fish is the best groupers the example
grouper tiger fish (Epinephelus fuscoguttatus) dan cantang grouper fish (Epinephelus
lanceolatus x E. fuscoguttatus). Groupers fish more incited in line with increase it fish
request grouper, good to fulfil in country especially in serve hotels request and
restaurant the class international, also as commodities eksport recently the request ever
greater in the form of alive. Temporary seafish other enough potential developed longly
maintenance short between 4 - 6 months local commodities kind likes trevally/bubara
fish (Caranx sp), this fish is enough solds out market and request also especially for
restaurants need. Fish bubara this has several superiorities among others; fast growth
level, tall tolerance towards environment change, prone seed from nature so that simple
aquaculture technique with treatment and hold back towards disease. One of
aquaculture method that can be developed diversification commodities system.
Diversification commodities system is activity develos aquaculture more one collectiv in
one business unit. Blend several commodities that has long different maintenances is
maintained in one business cange floating net unit. Efforts develop diversification
commodities system with take care several marine culture economical commodities that
has long different maintenance can streamline maintenance time and can efficient
capital because quicker economy rotation with harvest not too long for local
commodities and supposed can increase work spirit and aquaculture effort development
opportunity voluminouser.
Culture cantang grouper fish, grouper tiger fish and trevally fish done at KJA size
3x3m2 with size net 3x3x3m3 thickky disperse 300-500 /net tail. Disperse grouper tiger
as much as 5000 sizes 10 cm and bubara fish as much as 10.000 size tail 10,5 cm and fish
kerapu cantang as much as 5000 sizes 9 cm. Woof gift activity covers: done woof gift a
day 2 times that is morning and evening with ad-libitum ratio 5- 10% from heavy fish
body per day. Woof is added vitamin with dose 3 gr/kg woof that mixed in woof trash
with frequency one week 2 times. Based on study result application diversification
commodities system groupers dan trevally fish at part eery regency culture sample area
west, so inferential long fish maintenance trevally fish effective be done during 4 until 6
months has achieved consumption size 350 gram - 500 gram with production result total
3.640 kg. Growth groupers cantang fish during maintenance 8 months has achieved
average 755 gram/tails 0,95%/day growth rate and SR end 84%. growth grouper tiger fish
during maintenance 10 months has achieved average 525 gram/tails 0,85%/day growth
rate and SR end 77%. This system development effort analysis result proper be
developed as one of the method that can give effective aquaculture technique solution,
efficient and give added value for fisherman.
Keyword : diversification, commodities, grouper, giant trevally
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
1
1. PENDAHULUAN
Pembangunan perikanan budidaya menuju kedaulatan, kemandirian dan
keberlanjutan, terus didorong untuk meningkatkan kesejahteraan dan perekonomian
pembudidaya khususnya dan masyarakat pada umumnya. Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Perikanan Budidaya Laut
Ambon (BPBL Ambon) Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB), bekerja keras dan
bekerja sama dengan stakeholder, untuk mewujudkan tiga hal tersebut.
Usaha perikanan budidaya ikan saat ini yang telah berkembang cukup pesat
khususnya budidaya ikan laut. Salah satu komoditas yang masih manjadi komoditas
unggulan adalah ikan kerapu (Grouper). Ikan kerapu semakin digalakkan sejalan dengan
bertambahnya permintaan ikan kerapu, baik untuk memenuhi dalam negeri khususnya
dalam melayani permintaan hotel-hotel dan restoran bertaraf internasional, maupun
sebagai komoditas eksport yang akhir-akhir ini semakin besar permintaannya dalam
bentuk hidup.
Budidaya ikan kerapu membutuhkan lama pemeliharaan yang berbeda-beda
tergantung jenis kerapu yang dibudidayakan, seperti jenis ikan kerapu bebek
(Cromileptes altivelis) dan kerapu sunu (Plectropoma sp) memiliki waktu pemeliharaan
yang cukup lama rata rata bisa mencapai 18 – 24 bulan. Mengingat lamanya
pemeliharaan tersebut diperlukan strategi usaha yang lebih efektif dengan memilih jenis
ikan kerapu yang lama pemeliharaannya lebih singkat seperti kerapu macan (Epinephelus
fuscoguttatus) dengan lama pemeliharaan rata-rata 10 – 15 bulan dan kerapu hibrid
contohnya kerapu cantang (Epinephelus lanceolatus x E. fuscoguttatus). Ikan kerapu
cantang merupakan hasil persilangan antara ikan kerapu macan dan ikan kerapu kertang.
Ikan kerapu cantang sendiri memiliki kelebihan dengan pertumbuhan yang lebih cepat
dalam waktu 8 - 10 bulan sudah mencapai ukuran konsumsi. Kedua jenis ikan kerapu ini
dipasaran cukup dimanati khususnya pasar lokal yang saat ini permintaannya cukup
besar untuk memenuhi kebutuhan rumah makan dan restoran.
Sementara ikan laut lain yang cukup potensi dikembangkan dengan lama
pemeliharaan yang singkat antara 4 – 6 bulan adalah jenis komoditas lokal seperti ikan
Bubara/Kuwe (Caranx sp), ikan ini cukup laku dipasaran dan permintaan yang cukup
besar juga terutama untuk kebutuhan restoran-restoran. Ikan bubara ini memiliki
beberapa keunggulan antara lain; tingkat pertumbuhan cepat, toleransi tinggi terhadap
perubahan lingkungan, mudah mendapat bibit dari alam sehingga teknik budidaya
sederhana serta perawatan dan tahan terhadap penyakit (Rifai,U. 2013).
Menjawab tantangan teknologi pembesaran ikan laut saat ini yang semakin
berkembang maka diperlukan teknologi yang bertujuan untuk lebih meningkatkan
efisiensi dan efektifitas budidaya sehingga kegiatan pembudidayaan/pembesaran
semakin kompetitif, ekonomis dan menguntungkan untuk diusahakan.
Salah satu metode budidaya yang dapat dikembangkan adalah Sistem diversifikasi
komoditas. Sistem diversifikasi komoditas merupakan kegiatan mengembangan budidaya
lebih satu komoditas secara bersama dalam satu unit usaha. Usaha budidaya tidak
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
2
tertumpuh pada satu komoditas saja tapi dengan beberapa komoditas. Perpaduan
beberapa komoditas yang memiliki lama pemeliharaan yang berbeda dipelihara dalam
satu unit usaha keramba jaring apung (KJA bisa memberikan perputaran ekonomi yang
cepat dan pendapatan pembudidaya bisa meningkat dimana sambil menunggu
pemeliharaan ikan kerapu (macan dan cantang) yang mencapai 8-15 bulan, pembudidaya
sudah dapat panen ikan bubara mulai bulan keempat dan bulan-bulan berikutnya. Dalam
jangka waktu tersebut ikan bubara bisa dipelihara selama 2 siklus.
Upaya mengembangkan sistem diversifikasi komoditas dengan memelihara
beberapa komoditas ekonomis budidaya yang memiliki lama pemeliharaan yang berbeda
bisa mengefektifkan waktu pemeliharaan dan bisa mengifisienkan modal karena
perputaran ekonomi lebih cepat dengan panen yang tidak terlalu lama untuk komoditas
lokal dan diharapkan bisa meningkatkan semangat kerja dan peluang pengembangan
usaha budidaya yang lebih produkktif.
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengkaji aplikasi system diversifikasi
komoditas pada ikan kerapu dan ikan bubara sebagai strategi pengembangan usaha
budidaya ikan yang efektif dan efisien.
2. BAHAN DAN METODE
2.1. Tempat dan Waktu
Monitoring pengambilan data dilakukan pada kawasan pengembangan
percontohan budidaya laut BPBL Ambon melalui kelompok Sinar Laut di Dusun Pelita
Jaya Desa Ety Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku.
Waktu kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Maret 2015 sampai bulan Februari 2016.
2.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan selama kegiatan ini adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Daftar Alat yang Digunakan Selama Kegiatan
No.
Alat
Fungsi
1.
Timbangan
Mengukur berat ikan
2.
Mistar ukur
Mengukur panjang ikan
3.
YSI-85
Mengukur parameter salinitas dan suhu air
4.
pH Meter
Mengukur pH air
5.
Secci Disk
Mengukur kecerahan air
6.
Kamera
Mengdokumentasikan kegiatan
7.
Alat tulis menulis
Mencatat hasil kegiatan
8.
Serok
Mengambil ikan
Bahan yang digunakan selama kegiatan ini adalah sebagai berikut :
Tabel 2. Daftar Bahan yang Digunakan Selama Kegiatan
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Bahan
Benih kerapu Macan
Benih kerapu Cantang
Benih ikan Bubara
Pakan rucah
Obat-obatan
Jumlah
5000 ekor (uk.9cm)
5000 ekor (uk.10cm)
10000 ekor (uk.10.5cm)
2000 kg
2 kg
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
Fungsi
Komoditas yang dipelihara
Komoditas yang dipelihara
Komoditas yang dipelihara
Pakan ikan budidaya
Pengobatan
3
6.
7.
Air Tawar
Vitamin
2 kg
Perendaman
Meningkatkan daya tahan tubuh
Sementara wadah pemeliharaan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah sebagai
berikut :
Tabel 3. Daftar Wadah yang Digunakan Selama Kegiatan
No.
1.
1.
2.
Bahan
Keramba Jaring Apung
Waring
Jaring
Jumlah
10 unit
20 buah
60 buah
Fungsi
Wadah pemeliharaan
Wadah pemeliharaan benih
Wadah pemeliharaan ikan
2.3. Metode Kerja
Adapun metode kerja pada kegiatan ini adalah sebagai berikut :
a. Benih
1. Benih ikan kerapu macan dan ikan kerapu cantang yang digunakan dalam kegiatan ini
berasal dari BPBL Ambon sementara benih ikan bubara berasal dari tangkapan
nelayan.
2. Benih yang dipelihara dibagi ke 10 anggota kelompok, masing-masing anggota
kelompok memperoleh ikan kerapu macan dan kerapu cantang 500 ekor/anggota,
sementara benih ikan bubara masing-masing 1000 ekor/anggota.
b. Pemeliharaan Benih
1. Tahap awal benih dipelihara didalam waring ukuran 2 x 1,5 x 1,5m3 selama kurang
lebih 1 bulan.
2. Benih selanjutnya dipelihara dalam keramba jaring apung dengan kepadatan 3005000 ekor per kotak jaring apung ukuran 3 x 3 x 3 m3.
3. Penebaran kerapu macan dan ikan bubara dilakukan pada pada bulan April 2015 dan
ikan kerapu cantang ditebar pada bulan Juni 2015.
4. Selanjutnya dengan bertambahnya ukuran benih maka padat pemeliharaan dikurangi
dan benih dipelihara menurut ukuran, artinya benih yang berukuran seragam
dipelihara dalam kurungan yang sama. Benih yang berukuran seragam dipelihara
dalam 1 unit jaring apung untuk menghindari kompetisi dan kanibalisme.
c. Pemberian Pakan
1. Pemeliharaan benih selajutnya menggunakan pakan berupa ikan segar seperti ikan
make, ikan momar, komu dan sebagainya.
2. Dosis pemberian pakan 5% - 10% dari berat total ikan dan diberikan 2 kali per hari
(jam 08.00 dan 16.00) secara ad-libitum.
3. Pemberian vitamin dengan dosis 3 gr/kg pakan untuk memacu perkembangan dan
pertumbuhan serta ketahanan tubuh ikan diberikan frekuensi seminggu 2 kali.
d. Monitoring Pertumbuhan
1. Untuk mendapatkan data pola pertumbuhan dilakukan pengukuran terhadap panjang
dan berat setiap bulan sekali.
2. Teknik pengukuran adalah dengan teknik sampling, yaitu dengan mengambil 10 %
dari populasi benih/ikan yang dipelihara.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
4
3. Benih yang terambil diukur panjang totalnya dengan menggunakan alat ukur (mistar),
kemudian ditimbang dangan menggunakan timbangan triple beam (kapasitas 10kg ±
0,01 kgg) atau timbangan duduk (kapasitas 1 kg ± 0,01) secara kolektif.
e. Pengukuran Parameter Lingkungan
Untuk mendukung data yang diperoleh dilakukan pengamatan terhadap kualitas
air meliputi : suhu ( ⁰C ), kecerahan (m), salinitas (ppt), dan pH.
2.4. Analisa Data
Parameter yang diukur selama kegiatan ini adalah
1. Tingkat kelangsungan hidup (survival rate) :
SR 
Jumlah ikan akhir
Jumlah ikan awal
x100 %
2. Pertumbuhan ikan
Laju Pertumbuhan Harian (LPH) :
LPH = LN(Wt) – LN (W0) X 100%
H
W0 = Bobot ikan rata-rata awal pemeliharaan
Wt = Bobot ikan rata-rata per hari ke-h
h = Lama pemeliharaan
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Data hasil pertumbuhan ikan selama pemeliharaan dapat dilihat melalui tabel di
bawah ini :
Tabel 4. Data Pertumbuhan Ikan Kerapu Cantang, Ikan Kerapu Macan dan Ikan
Bubara yang Dipelihara di KJA.
PANJANG
AWAL
PANJANG
AKHIR
(CM)
(CM)
775.00 ± 35.35
10.00 ±
1.41
40.00 ± 14.14
525.00 ± 35.35
45.00 ± 7.07
500.00 ± 84.85
BERAT AWAL
BERAT AKHIR
(GRAM)
(GRAM)
Kerapu Cantang
80.00 ± 14.14
Kerapu Macan
Bubara
KOMODITAS
LPH
SR
(%)
(%)
27.00 ±
1.41
0.95
84.00
9.00 ± 1.41
26.75 ±
1.06
0.85
77.00
10.50 ±
2.12
22.50 ±
2.12
1.34
91.00
Tabel 4 di atas menujukkan data pertumbuhan ikan kerapu cantang, ikan kerapu
macan dan ikan bubara dimana menampilkan data berat awal, berat akhir, panjang awal,
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
5
panjang akhir, laju pertumbuhan harian (LPH) dan tingkat kelangsungan hidup atau
survival rate (SR).
Pertambahan Berat dan Panjang Ikan
Berdasarkan hasil pengukuran pertambahan berat ikan dapat dilihat melalui grafik
dibawah ini :
Gambar 1. Grafik Pertambahan Berat Ikan Kerapu Cantang, Kerapu Macan dan Ikan
Bubara Selama Pemeliharaan.
Data pertumbuhan ikan kerapu cantang dari berat awal 80 gram/ekor dan panjang
12 cm maka pada akhir pemeliharaan mencapai rata-rata 775 gram/ekor dengan
panjang akhir 27 cm dengan lama pemeliharaan 8 bulan. Berdasarkan hasil pengamatan
pemeliharaan ikan kerapu yang terlihat pada gambar grafik pertambahan berat di atas
menujukkan pertumbuhan ikan kerapu cantang lebih cepat pertumbuhannya di banding
dengan kerapu macan. Dimana hasil pengkajian dan pengujian yang dilakukan oleh BBAP
Sitobondo (2012) bahwa ikan kerapu cantang yang dipelihara selama 10 bulan bisa
mencapai berat berat 2500 gram. Hasil data pengujian pembesaran ikan kerapu cantang
di KJA oleh Maulida,L (2015) diperoleh data berat ikan lebih 1 kg dengan panjang 46 cm
dengan lama pemeliharaan kurang dari 12 bulan.
Pertumbuhan ikan kerapu macan dari berat awal 40 gram/ekor dan panjang 9 cm
maka pada akhir pemeliharaan selama 10 bulan mencapai rata-rata 525 gram/ekor
dengan panjang akhir 27 cm. Hal ini sesui dengan hasil kegiatan pembesaran kerapu
macan di KJA oleh Rifai, dkk (2008) bahwa dengan lama pemeliharaan selama 10 bulan
diperoleh berat rata-rata 510 gram dengan panjang ikan 27,5 cm. Grafik pertambahan
panjang ditampilkan melalui gambar di bawah ini :
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
6
Gambar 2. Grafik Pertambahan Panjang Ikan Kerapu Cantang, Kerapu Macan dan Ikan
Bubara Selama Pemeliharaan.
Sementara pertumbuhan ikan bubara dari berat awal 45 gram/ekor dan panjang
10,5 cm maka pada akhir pemeliharaan selama 6 mencapai rata-rata 500 gram/ekor
dengan panjang akhir 22.5 cm. Hasil pengujian pemeliharaan ikan bubara di KJA oleh
Hariyano dkk. (2010) bahwa hasil pembesaran ikan bubara memperoleh pertumbuhan
dari berat rata-rata 25 gram/ekor dipelihara selama 5 bulan mencapai 550 gram/ekor
dengan SR 87,5% dan laju pertumbuhan 0,9% serta konversi pakan 4,70. Efisiensi pakan
22%.
Laju Pertumbuhan
Pengetahuan dasar yang sangat dibutuhkan bagi pelaksanaan budidaya ikan dalam
hubungannya dengan hasil adalah data pertumbuhan. Laju pertumbuhan merupakan
peningkatan dalam satuan panjang atau bobot per unit waktu. Data pertumbuhan yang
umum dipakai untuk perhitungan yaitu bobot. Hal ini dimaklumi karena hasil panen dan
pemasarannya dinyatakan dalam bobot. Pada umumnya pertumbuhan bobot ikan
berlainan dengan burung atau mamalia. Ikan tidak berhenti tumbuh setelah mencapai
kematangan seksual. Kurva pertumbuhan bobot ikan secara umum merupakan grafik
sigmoid. Besarnya nilai laju pertumbuhan harian (LPH) tergantung jenis dan ukuran ikan
yang ditebarkan (Hariyano, 2008).
Berdasarkan tabel 4 menujukkan rata-rata laju pertumbuhan harian (LPH) ikan
kerapu cantang 0,95%/hari, ikan kerapu macan 0,85%/hari dan ikan bubara 1,34%/hari .
Menurut Anonim (2003) bahwa kerapu macan nilai LPH 2,5 sampai 3,0 %/hari. Menurut
Hariyano (2009) bahwa ikan bubara memiliki laju pertumbuhan harian 0,90 – 1,71%/hari.
Menurut Sudirman dan Karim (2008) bahwa laju pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh
jenis pakan, jumlah yang diberikan dan mutu pakan.
Survival Rate (Tingkat Kelangsungan Hidup)
Tingkat kelangsungan hidup Ikan (SR) ke tiga jenis ikan selama pemeliharaan
termasuk masih baik dan tinggi dimana kerapu cantang tingkat SR mencapai rata-rata
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
7
84% , kerapu macan dengan SR mencapai rata-rata 77% dan ikan bubara diakhir
pemeliharaan mencapai SR rata-rata 91%. Pencapaian SR yang agak rendah pada ikan
kerapu macan karena selama pemeliharaan terjadi serangan penyakit bakteri sehingga
menyebabkan sebagian kecil ikan mengalami kematian.
Antisipasi serangan penyakit pembudidaya melakukan perendaman rutin dengan
air tawar dan pemberian vitamin dengan mencampurkan di pakan rucah. Sementara ikan
yang terkena penyakit dilakukan karantina di kotakan lain sambil dilakukan pengobatan.
Menurut Rifai, dkk (2013) bahwa penambahan vitamin pada pakan ikan segar
berguna untuk menambah kekebalan tubuh ikan sehingga tahan terhadap serangan
penyakit dan tumbuh secara normal, disamping itu dapat mencegah pertumbuhan tidak
normal seperti lordosis dan scoliosis atau tubuh bengkok dan kerdil karena
perkembangan tulang belakang yang tidak sempurna. Manfaat lain adalah dapat
meningkatkan sintasan ikan atau menurunkan tingkat kematian, meningkatkan nafsu
makan, meningkatkan agresifitas ikan dan warna tubuh lebih cerah. Dosis pemberian
vitamin sebanyak 3-5 gr/kg pakan dengan cara mencampurkan ke dalam pakan yang
sudah dipotong kemudian direndam/didiamkan selama 15-30 menit. Pemberian vitamin
dapat dilakukan sekaligus dengan frekuensi pemberian 1- 2 kali seminggu.
Kualitas Air
Berdasarkan hasil pemantuan kualitas air selama pemeliharaa dapat dilihat melalui
tabel dibawah ini :
Tabel 5. Hasil Pengukuran Kualitas Selama Pemeliharaan Ikan di KJA
No.
1.
Parameter Kualitas air
Suhu (0C)
29,1-30,3
DO (ppm)
5,3-6,0
pH
8,4-8,5
Salinitas (ppt)
30-32
Kecerahan (m)
3-10
Berdasarkan hasil pemantuan kualitas air diperoleh kisaran suhu 29,1-30,3 0C, DO
5,3–6,0 ppm, pH 8,4–8,5, salinitas 30–32 ppt dan kecerahan >3. Kisaran kualitas air ini
berdasarkan SNI masih layak untuk pembesaran ikan . Berdasarkan SNI tahun 2011
dalam Anonim (2012) tentang pembudidayaan ikan, kualitas air yang baik untuk
pertumbuhan ikan budidaya adalah suhu 27-290C, DO 5 ppm, pH 8-8,2, salinitas 31-33
ppt dan kecerahan >2 meter.
Kondisi kualitas air sebagai sumber utama untuk kegiatan budidaya di perairan
lokasi budidaya percontohan pada umumnya telah memenuhi kreteria yang
dipersyaratkan.
Suhu perairan pada umumnya baik untuk usaha budidaya laut karena perubahan
suhu harian maupun tahunan sangat kecil. Hasil pengukuran suhu berada pada kisaran
29,1–30,3 (0C). Suhu air laut biasanya cendrung konstan, perubahan suhu yang tinggi
dapat mempengaruhi proses metabolisme atau nafsu makan, aktifitas tubuh dan syaraf.
Suhu optimum untuk pertumbuhan ikan kerapu berdasarkan SNI adalah 26-32°C.
Menurut Yunianto D. dkk (2013) bahwa suhu air dipengaruhi oleh musim, garis lintang,
ketinggian, waktu, sirkulasi udara, penutupan awan, aliran serta kedalaman. Suhu air
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
8
berubah karena adanya perubahan kondisi lingkungan dan mempengaruhi laju
metabolisme ikan yang dipelihara. Suhu air yang meningkat akan meningkatkan laju
metabolisme tetapi peningkatan yang tajam akan menurun laju makan (feeding rate)
sehingga menurunkan laju metabolisme.
Salinitas berhubungan dengan tekanan osmosis dan mempengaruhi kesimbangan
ion dari organisme air, termasuk ikan. Kombinasi antara suhu dan salinitas yang tidak
tepat akan mempengaruhi pemberian pakan, laju konversi pakan dan pertumbuhan.
Hasil pengukuran salinitas berada pada kisaran 30,0-32,0 ppt. Fluktuasi salinitas ini dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan nafsu makan ikan kerapu, selain itu sering mengalami
stratifikasi perbedaan salinitas yang menghambat terjadinya difusi oksigen secara
vertikal. Salinitas yang ideal untuk ikan kerapu 30-34 ppt (Rifai,dkk. 2013).
Kandungan oksigen terlarut yang paling minim yang dapat ditoleransi oleh
organisme budidaya adalah 4,0 ppm. Hasil pengukuran oksigen terlarut (DO) berada
pada kisaran 5,3 – 6,0 ppm. Ketersediaan oksigen terlarut dalam kegiatan budidaya
sangat dibutuhkan bagi kehidupan ikan laut. Konsentrasi oksigen dalam air dapat
mempengaruhi pertumbuhan, konversi pakan dan mengurangi daya dukung perairan.
Ikan kerapu yang budidayakan di Karamba Jaring Apung membutuhkan konsentrasi
oksigen terlarut lebih dari 5 ppm. Sementara untuk ikan bubara menurut Hariyano dkk
(2010) bahwa ikan bubara yang dibudidayakan di keramba jaring apung membutuhkan
konsentrasi oksigen terlarut lebih dari 5 ppm dan ikan bubara diketahui pertumbuhannya
sangat baik pada pH normal yaitu 8,0 – 8,2.
Oksigen dibutuhkan oleh organisme untuk menghasilkan energi melalui
pencernaan dan asimilasi makanan dan menjaga keseimbangan osmotik. Kebutuhan
oksigen ini bervariasi menurut jenis ikan, tingkat perkembangan dan ukuran ikan sangat
bergantung pada suhu air. Karena itu, pemberian pakan, konversi makanan,
pertumbuhan dan kesehatan ikan yang dipelihara dipengaruhi oleh suplai oksigen. Air
yang mengandung bahan partikel yang tinggi meningkatkan kebutuhan oksigen di bagian
dasar (bentik) yang sangat besar sehingga akan mengurangi kandungan oksigen di KJA
maupun disekitar KJA. Selanjutnya lokasi penempatan KJA yang baik dibutuhkan perairan
dengan dasar yang memiliki arus datar (buttom carrent) yang baik serta perlu berhatihati dengan perairan yang sangat mengalami stratifikasi atau perairan yang memiliki
resiko ledakan populasi fitoplankton karena berpotensi menurunkan kadar oksigen
terlarut secara periodik.
pH dinyatakan konsentarasi ion hidrogen (H+) dalam suatu larutan (air). pH air
yang tinggi dapat merusak lamella insang dan menyebabkan kematian ikan serta
mempengaruhi toksitas beberapa jenis polutan dan logam berat. pH normal air laut
berkisar antara 7,5 dan 8,5 dimana perairan dengan kondisi terumbu karang yang baik
nilai pH air akan stabil karena adanya kapitas buffer ion Ca+ (Boyd, 1990). Hasil
pengukuran pH berada pada kisaran 8,4 – 8,5. Perairan dengan pH netral atau sedikit
kearah basa sangat ideal Nilai pH dapat menentukan kondisi perairan budidaya asam
atau basa. Kondisis untuk pemeliharan ikan laut. Perairan dengan pH rendah
menyebabkan aktifitas tubuh menurun atau ikan menjadi lemah, mudah terkena infeksi
dan tingkat mortalitas tinggi. Ikan kerapu diketahui pertumbuhannya sangat baik pada
pH normal air laut yaitu 7,0 - 8,52. (Rifai,dkk. 2013).
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
9
Tingkat kecerahan berdasarkan pengukuran 3 - 10 meter. Perairan yang tingkat
kecerahannya tinggi sampai tembus dasar perairan merupakan indikator perairan yang
cukup jernih. Sebaliknya perairan yang tingkat kecerahannya sangat rendah menandakan
tingkat bahan organik terlarut sangat tinggi, perairan ini dikategorikan cukup subur dan
tidak baik untuk pembesaran ikan. Perairan seperti ini meyebabkan cepatnya
perkembangan organisme penempel seperti lumut, cacing, dan kekerangan yang
menimbulkan media pemeliharaan cepat kotor. Kecerahan perairan lokasi yang ideal
untuk pembesaran di Karamba Jaring Apung lebih dari 3 meter.
Hasil Panen dan Analisa Usaha
Dari hasil penggujian system ini maka pada bulan Agustus 2015 kelompok
pembudidaya telah di dahului dengan panen ikan bubara secara bertahap selama 3
bulan. Sistem panen yang digunakan pada budidaya ikan bubara di kelompok
berdasarkan hasil pemantauan adalah sistem panen secara bertahap. Tujuan dari sistem
panen ini untuk memanen ikan yang telah memenuhi ukuran komsumsi (350-500 g).
Ukuran ini biasanya dijual dengan harga Rp.40.000,-50.000,-/kg atau Rp.15.000,-/ekor.
Para pembudidaya ikan pada umumnya melakukan panen pada pagi hari untuk
menghindari cuaca yang panas. Perlengkapan dan peralatan yang biasa digunakan serok
dan drum plastik untuk memudahkan pengangkutan dan pemanenan. Hasil panen
bubara kelompok dapat dilihat melalui tabel di bawah ini :
Agustus 2015
No.
Nama
Anggota
1.
Herman
2.
September 2015
Oktober 2015
Total
Ikan
Panen
(ekor)
Total
Berat
Ikan
Panen
(kg)
970
388
Jumlah
Ikan
Panen
(ekor)
66
Berat
Ikan
Panen
(kg)
26,4
Jumlah
Ikan
Panen
(ekor)
500
Berat
Ikan
Panen
(kg)
200
Jumlah
Ikan
Panen
(ekor)
404
Berat
Ikan
Panen
(kg)
161.6
La
Mursalim
100
40
316
126.4
556
222.4
972
388.8
3.
Dadi
Suryadi
695
278
182
72.8
93
37.2
970
388
4.
Sugali S.
445
178
200
80
305
122
950
380
5.
La Mustik
448
179.2
350
140
152
60.8
950
380
6.
La
Suryaman
243
97.2
425
170
282
112.8
950
380
7.
Fahrudin
218
87.2
377
150.8
375
150
970
388
8.
Jamal Ode
661
264,4
100
40
114
45.6
875
350
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
10
9.
Ode Mallo
100
40
345
138
305
122
750
300
10.
La Harisi
131
52.4
212
84.8
400
160
743
297.2
Total
3107
1242.8
3007
1202.8
2986
1194.4
9100
3640
Tabel 6. Hasil Panen Ikan Bubara Kelompok Sinar Laut pada Bulan Agustus, September dan
Oktober 2015.
Pada tahap pertama bulan Agustus 2015 jumlah ikan bubara yang terpanen
kelompok sebanyak 3.107 ekor dengan berat 1.242,8 kg, selanjutnya pada tahap kedua
bulan September 2015 jumlah ikan yang terpanen sebanyak 3.007 ekor dengan berat
1.202,8 kg dan tahap akhir bulan Oktober 2015 jumlah ikan yang terpanen sebanyak
2.986 ekor dengan berat 1.194,4 kg. Total ikan bubara yang berhasil dipanen adalah
9.100 ekor dengan berat total 3.640 kg.
Berikut ini analisa usaha pembesaran ikan kerapu cantang, ikan kerapu macan
dan ikan bubara disajikan melalui tabel di bawah ini :
Tabel 7. Analisa Usaha Budidaya Ikan Kerapu Cantang, Kerapu Macan dan Ikan
Bubara di KJA
NO
I.
VOLUME
SATUAN
HARGA
NILAI
10
unit
15,000,000
150,000,000
80
buah
1,500,000
90,000,000
2
INVESTASI
Keramba Jaring Apung 3x3m2(4
kotak/unit)
Jaring untuk Pemeliharaan(3x3x3m3)
3
Waring (2x1.5x1.5m3)
20
buah
500,000
10,000,000
4
Peralatan kerja
10
paket
500,000
5,000,000
5
Perahu
10
unit
1,000,000
10,000,000
1
JUMLAH
MODAL KERJA
II.
1
2
3
URAIAN
265,000,000
Benih :
a.K.Cantang 10 cm (Rp 20.000/EKOR)
5,000
ekor
20,000
100,000,000
b.K.Macan 9 cm (Rp 13.500/EKOR)
5,000
ekor
13,500
67,500,000
c.Bubara 10 cm (Rp 2.000/EKOR)
10,000
ekor
2,000
20,000,000
Pakan Rucah :
a. K.Cantang (FCR 6)
16,380
kg
3,000
49,140,000
b. K. Macan(FCR 6)
12,128
kg
3,000
36,382,500
c. Bubara(FCR 5)
18,200
kg
3,000
54,600,000
Vitamin dan Obat-Obatan
10
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
paket
1,000,000
10,000,000
11
337,622,500
1
JUMLAH
JUMLAH MODAL
Investasi
2
Modal kerja
337,622,500
JUMLAH
RUGI-LABA
602,622,500
III.
IV.
1
2
a. Hasil Produksi k.Cantang 0,65
kg/ekor(SR 84%=4.200 ek)
b. Hasil Produksi k.Macan 0,525
kg/ekor(SR 77%=3.850 ek)
c. Hasil Produksi Bubara 0,4
kg/ekor(SR 91%=9100 ek)
JUMLAH
285,000,000
2,730
kg
90,000
245,700,000
2,021.3
kg
90,000
181,912,500
3,640
kg
45,000
163,800,000
591,412,500
Biaya Operasional
a. Modal Kerja
337,622,500
b.Penyusutan 20%
NO.
53,000,000
JUMLAH
390,622,500
KEUNTUNGAN/SIKLUS
200,790,000
Komponen Keragaan Usaha/Siklus
Satuan
Nilai
1
Biaya Total
Rp
394,622,500
2
Penerimaan Total
Rp
591,412,500
3
Keuntungan
Rp
200,790,000
4
Payback period
5
Return of Investasi (ROI)
6
B/C Ratio
tahun
0.66
%
51,40
1.51
Pada akhir kegiatan ini hanya bubara yang sudah dapat panen dan diambil
datanya sementara ikan kerapu cantang dan ikan kerapu macan masih menunggu untuk
panennya. Berdasarkan hasil analisa usaha dari ketiga komoditas ini pada tabel 7
menujukkan hasil pendapatan sebesar Rp. 200.790.000,00 setelah total hasil produksi
dikurangi dengan biaya operasional. Hasil perhitungan untuk playback period (periode
pengembalian) dimana diperoleh 0,66 tahun artinya dalam jangka setengah tahun sudah
bisa mengembalikan modal dari pendapatan yang diperoleh.
Return of Invesment (ROI) merupakan nilai keuntungan yang diperoleh pengusaha
dari setiap jumlah uang yang diinvestasikan dalam periode waktu tertentu.dengan
analisis ROI dapat mengukur sampai seberapa besar kemampuan dalam mengembalikan
modal yang telah ditananamkan. Dari hasil analisa terbut diperoleh nilai ROI sebesar
51,40 % artinya dari modal Rp 100,00 yang diinvestasikan akan menghasilkan
keuntungan sebesar 51,40%.
Perhitungan yang terpenting dalam analisa usaha ini adalah kelayakan usaha yang
dihitung atau disebut Benefit Cost Ratio (B/C) dimana nilainya harus lebih besar dari satu
karena jika nilainya 1 atau kurang dari satu berarti usaha tersebut belum mendapatkan
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
12
keuntungan, semakin kecil nilai ratio ini, makin besar kemungkinan perusahaan
menderita kerugian. Berdasarkan hasil perhitungan B/C dari tabel analisa usaha di atas
diperoleh nilai B/C di atas nilai 1, artinya kegiatan usaha system diversifikasi komoditas
ikan kerapu dan bubara ini layak dikembangkan sebagai salah satu metode yang bisa
memberikan teknik budidaya yang efektif, efisien dan memberikan nilai tambah bagi
pembudidaya.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian aplikasi sistem diversifikasi komoditas ikan kerapu dan
ikan bubara di kawasan percontohan budidaya Kabupaten Seram Bagian Barat, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut : (1) Sistem diversifikasi komoditas dapat memberikan
jaminan keberlanjutan usaha dan perkembangan usaha yang efektif dan efisien; (2) Hasil
analisa usaha pengembangan sistem ini menujukkan layak dikembangkan sebagai salah
satu metode yang bisa memberikan solusi teknik budidaya yang efektif, efisien dan
memberikan nilai tambah bagi pembudidaya.
Saran
Perlu dilakukan pengembangan sistem diversifikasi komoditas yang lebih luas lagi
pada beberapa komoditas ekonomis lainnya seperti ikan kakap dan ikan bawal.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2003. Laporan Tahunan 2002. Pusat Riset Perikanan Budidaya DKP, Jakarta.
Anonim. 2012. Kumpulan Standar Nasional Indonesia (SNI) Bidang Pembudidayaan Air
Payau dan Laut. Direktorat Pembudidayaan. Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
BBAP Situbondo. 2012. Ikan Kerapu Cantang : Hibrida antara Ikan Kerapu Macan Betina
dengan Ikan Kerapu Kertang. Bbapsitubondo, Situbondo.
Hariyano. 2008. Pembesaran Bubara (Caranx sp) di Keramba Jaring Apung. Balai
Budidaya Laut Ambon. Laporan Tahunan 2008. Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya . Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Hariyano. 2009. Pembesaran Bubara (Caranx sp) di Keramba Jaring Apung. Balai
Budidaya Laut Ambon. Laporan Tahunan 2009. Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya . Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Nontji, 1988. Laut
Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta
Hariyano. Hendarto N. Dan Mahu R. 2010. Pembesaran Bubara (Caranx sp) di Keramba
Jaring Apung. Balai Budidaya Laut Ambon. Laporan Tahunan 2010. Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya . Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Maulida L. 2015. Budidaya Ikan Kerapu Cantang Sistem KJA Di Greges, Surabaya Barat.
Lisa-m-r-fpk09. unair.ac.id.
Rifai, U., Niwan, H. dan Raunsay, Y. 2008. Teknik Pembesaran Kerapu Macan (Epinephelus
foscuguttatus) di Keramba Jaring Apung. Laporan Tahunan 2008. Balai
Budidaya Laut, Ambon.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
13
Rifai, U., Slamet, H. dan
Noebaety, E. 2013. Mengenal Kerapu dan Teknik
Pemeliharaannya di Keramba Jaring Apung. Balai Budidaya Laut Ambon.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ambon.
Sudirman, H. dan Karim, M.Y. 2008. Ikan Kerapu : Biologi, Eksploitasi, Manajemen dan
Budidayanya. Yarsif Watampone, Jakarta.
Yunianto D. dan Syaripuddin. 2013. Pengaruh Musim Terhadap Kualitas Air di Balai
Budidaya Laut Ambon. Jurnal Teknologi Budidaya Laut. Volume 3. Balai
Budidaya Laut Ambon. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ambon.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
14
APPLICATION OF DIGESTIVE ENZYME ON YOUNG HUMPBACK GROUPER Cromileptes
altivelis REARING FEED
by
Yuwana Puja, Agus Hermawan and Amran
The succes of Humpback grouper Cromileptes altivelis culture depends on some factors
such as seed quality, feed quality and environmental condition. Regarding to the feed
absorbtion, the effecteveness of difestive enzyme is very important for fish growth. The
application of the digestive enzyme is to enhanch feed efficiency and survival rate of the
fish. The objectives of the present study were to know the effect of digestive enzyme on
survival rate (SR), growth rate (SGR) and feed convertion ratio (FCR) of humpback
grouper. The study was done from August to October 2015 in Main Center for Marine
Aquaculture, Lampung. Fish was reared in 2 m3 volume of rectangular concret cement
tank and stocking dencity was 100 fishes /m3. Animal was fed with formula feed and
feeding frequencies was three times/day with dosage was 3 %/TBW/day. The were two
treatments in this trial e.g; Formula feed plus digestive enzyme 5 g/kg of feed and
without enzyme as control. Fish growth sampling was done for every two weeks as long
as 2.5 months. The result showed that GR, SR and FCR for treatment A, respectively as
1.21%/TBW/day; 97.4 % and 1.31; better than control (1.12/TBW/day for SGR; 95.5 % for
SR and 1.65 for FCR). This study suggested that digestive enzyme application for
humpback grouper grow out is very useful.
Key words: humpback grouper, digestive enzyme, survival rate, growth rate, feed
convertion Ratio
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
15
Pendahuluan
Kerapu Bebek termasuk komoditas yang telah berhasil dipijahkan di Balai Besar
Perikanan Budidaya Laut Lampung. Keberhasilan pembenihan ini telah diiringi dengan
teknologi pembesarannya.Untuk mendapatkan kelengkapan teknologi budidayanya,
pada tahun 2015 ini dilakukan kegiatan perekayasaan pemberian enzyme pencernaan
untuk meningkatkan aktifitas pencernaan dan akhirnya akan meningkatkan efektifitas
penyerapan pakan untuk pertumbuhannya. Penambahan enzyme juga bertujuan untuk
meningkatkan pertumbuhan dan memperkecil nilai FCR.
Tujuan perekayasaan ini adalah untuk Mengetahui pengaruh pemberian enzyme
pencernaan terhadap pertumbuhan ikan Kerapu Bebek fase pembesaran dan
memperoleh hasil pengujian imunitas ikan yang telah diberikan enyme pada pakan.
Kegiatan perekayasaan dilakukan pada bulan Agustus s/d Oktober 2015 di bangsal
pendederanan dan penggelondongan Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung.
Bahan dan Metoda
Bahan
- Benih Kerapu Bebek
- Selang dan pemberat aerasi
- Pakan buatan kerapu (pellet)
- Multi vitamin
- Bakteri Patogen
- Obat-obatan (acriflavin)
- Bahan desinfektan (kaporit)
- Enzym pencernaan
- Bahan perekat
Peralatan yang digunakan
- Filter fisik (sand filter)
- Filter bag
- Peralatan pendukung : serok, selang aerasi, ember, gayung, perangkat
pengudaraan dan distribusi air laut, alat tulis, penggaris, timbangan.
- Bak pemeliharaan benih dan sistem aerasi
- Peralatan pengukuran kualitas air
- Serok
- Wadah pakan
Metoda
Kegiatan pengujian aplikasi enzyme pencernaan dalam budidaya Kerapu bebek
(Cromileptes altivelis ), difokuskan pada perekayasaan terhadap aplikasi enzyme
pencernaan pada pakan pendederan dan penggelondongan, serta uji imunitas pada ikan
yang telah diberi enzym.
1. Aplikasi enzyme pencernaan pada pakan pendederan
- Wadah: Bakukuran 2 m3 m 4 buah
- Benih: hasil pembenihan
- Pakan : pakan buatan dan pemberian pakan 3 kali / hari dengan dosis 3 %/ BB/hari
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
16
- Padat tebar 100 ekor/m3
- Perlakuan : A. Pakan formula dengan penambahan enzyme pencernaan 5 gr/kg
B. Kontrol : Tanpa penambahan enzyme pencernaan
- Setiap perlakuan dilakukan 2 ulangan
- Pengambilan data: Sintasan (SR), Pertumbuhan, FCR dan Kualitas air
- Lama pengujian: 1,5 bulan
- Sampling : 2 minggu sekali
2. Aplikasi enzyme pencernaan pada pakan penggelondongan
- Wadah: Bak ukuran 2 m3 m, 4 buah
- Benih: hasil pendederan
- Pakan : pakan buatan dan pemberian pakan 3 kali/hari dengan dosis3%/BB/hari
- Padat tebar 100 ekor/m3
- Perlakuan : A. Pakan formula dengan penambahan enzyme pencernaan 5 gr/kg
B. Kontrol : Tanpa penambahan enzyme pencernaan
- Setiap perlakuan dilakukan 2 ulangan
- Pengambilan data: Sintasan (SR), Pertumbuhan, FCR dan Kualitas air
- Lama pengujian: 1,5 bulan
- Sampling : 2 minggu sekali
- Penghitungan laju pertumbuhan spesifik (SGR) menggunakan rumus:
SGR = {[Wt/Wo]1/t – 1} x 100 %
dimana :
SGR = laju pertumbuhan spesifik harian (%)
Wt = Berat individu rata-rata (gr)
Wo = Berat individu rata-rata awal penebaran (gr)
t = Waktu
- Penghitungan rasio konversi pakan (FCR) dengan rumus:
∑F
∑F = Total pakan yang dikonsumsi (gram)
FCR = ------------------------ Wt = Total Bobot ikan akhir (gr)
(Wt-Wo) + (Wd)
Wo = Total bobot ikan awal (gr)
Wd = Total bobot ikan mati (gr)
- Penghitungan sintasan (SR) dengan rumus:
( Jml ikan awal - Jml ikan mati )
SR = --------------------------------------------- X 100 %
Jml awal
3. Uji imunitas ikan yg diberi enzyme pencernaan
- Wadah: Bak ukuran 2 m3
- Ikan: Hasil pengujian Pendederan
- Penentuan LD-50 bakteri Patogen
- Uji Tantang
- Uji Laju pagositas
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
17
Hasil Kegiatan
1. Aplikasi Enzym Pencernaan Pada Pendederan
a. Hasil pengamatan
Selama pengujian, diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 1. Hasil kegiatan rekayasa teknologi pendederan kerapu bebek dengan aplikasi
enzym pencernaan
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Parameter Utama
Berat awal rata-rata (gr/ekor)
Berat akhir rata-rata (gr/ekor)
Panjang awal rata-rata (cm)
Panjang akhir rata-rata (cm)
Jumlah awal (ekor)
Jumlah akhir (ekor)
Laju Pertumbuhan Harian (%)
FCR
Sintasan (%)
Hasil
A
20,5
61,66
10,1
15.37
250
224
1,175
1,57
89,6
B
20,5
59.78
10,2
15,05
250
204,5
1,145
1,65
81,8
b. Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan laju pertumbuhan harian menunjukkan hasil yang
hampir sama, dengan nilai pada perlakuan A(1,175), lebih tinggi daripada perlakuan B
(1,145). Hasil ini lebih tinggi dari hasil pengujian pembesaran Kerapu bebek oleh Minjoyo
(2009), dengan nilai kisaran laju pertumbuhan : 0,71 – 0,76 % dengan pemeliharaan
selama 4 bulan.
Dari hasil laju pertumbuhan yang diperoleh, secara umum pengujian aplikasi
enzym tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan di bandingkan dengan kontrol. Hal
ini mungkin disebabkankarena aktivitas enzim pencernaan yang digunakan masihrendah
sehingga manfaatnya untuk menghidrolisis protein pakan kecil.
Soni ( 2013), mengatakan bahwa pemberian enzym lebih nyata berpengaruh
diaplikasikan pada pakan dengan low protein. Penambahan enzim protease (aktivitas
0,1945unit/g) dalam pakan sebesar 0,05-0,4% mampu meningkatkan kecernaan protein
pakan tetapi belum mampu meningkatkan pertumbuhan ikan kerapu bebek (Palinggi
2006)
Nilai konversi pakan pada perlakuan A sebesar 1,57, sedikit lebih baik dibanding
pada kontrol sebesar 1,65. Hal ini meninjukkan bahwa pada perlakuan penambahan
enzym, menunjukkan hasil lebih efisien dalam penggunaan pakan.
Sedangkan untuk hasil sintasan yang dihasilkan menjukkan hasil bahwa pada
perlakuan A menghasilkan nilai SR sebesar 89,6 %. Hasil ini lebih tinggi daripada pada
perlakuan B sebesar 81,8 %.
2. Aplikasi Enzym Pencernaan Pada Penggelondongan
a. Hasil pengamatan
Data hasil pengukuran berat pada fase penggelondongan selama pengujian adalah
sebagai berikut :
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
18
Tabel 2. Hasil pengamatan berat pada fase penggelondongan
Sampling
1
2
3
4
5
6
Enzim (g)
57
63
77
92
111,25
132,85
Kontrol (g)
57
61,75
75
88,5
106,25
124,95
Kemudian dari data tersebut jika digambarkan dengan grafik, dapat dilihat pada
Gambar 1. berupa grafik pertambahan berat rata-rata selama pengujian, sebagai berikut:
Gambar 1. Grafik pertambahan berat rata-rata antar perlakuan selama pengujian
Data lain yang diperoleh selama pengujian, seperti data SGR, data SR dan data FCR
selama pengujian dapat dilihat pada Tabel 3 berikut :
Tabel 3. Hasil akhir parameter SGR, SR dan FCR .
PARAMETER
A (dengan
B (Kontrol)
enzym)
Tanpa enzym
SGR
1,21
1,12
SR
97,4
95,7
FCR
1,31
1,65
a. Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan nilai SGR pada pemeliharaan fase penggelondongan, hasil
lebih baik ditunjukkan pada perlakuan A(1,21 %), kemudian perlakuan B (1,12 % ). Dari
hasil laju pertumbuhan yang diperoleh, menunjukkan penambahan enzym tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan di bandingkan dengan kontrol.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
19
Kemudian untuk hasil sintasan yang dihasilkan menunjukkan hasil bahwa pada perlakuan
A menghasilkan nilai SR lebih baik dengan nilai sebesar 97,4 %. Hasil ini lebih tinggi
daripada pada perlakuan B sebesar 95,7 % Dari nilai konversi pakan pada perlakuan A
sebesar 1,31, memberikan hasil lebih baik dibanding pada kontrol sebesar 1,65. Hal ini
meninjukkan bahwa pada perlakuan penambahan enzym, menunjukkan hasil lebih
efisien dalam penggunaan pakan.
3. Uji Imunitas Ikan yang diberi enzim pencernaan
Hasil pengamatan pada gejala awal setelah disuntik dengan Vibrio sp, menunjukkan ikan
hilang nafsu makannya, menyendiri, kulit berwarna gelap, dan berenang miring di
permukaan air. Kematian mulai terjadi pada hari ke 3 pengamatan.
Tabel 4. Pengamatan sintasan sampai akhir kegiatan :
Bak
Jumlah ikan awal
Jumlah ikan akhir
Sintasan
(ekor)
(ekor)
(%)
Kontrol
10
0
0
Perlakuan enzim
10
9
90
Ikan yang diberi enzim pada pakannya, memiliki ketahanan tubuh yang lebih kuat
terhadap bakteri patogen
Pengamatan Tingkat kesehatan ikan
Dari hasil pengamatan didapatkan bahwa tidak ditemukan parasit pada ikan kerapu
bebek selama kegiatan. Pengamatan terhadap organ dalam tubuh ikan, terdapat
pembengkakan pada ginjal dan thymus pada ikan di dua perlakuan.
Pengamatan bakterial pada organ dalam ikan dari kedua perlakuan menunjukkan adanya
infeksi bakteri pada hati, limpa dan ginjal. Bila membandingkan kedua data kesehatan
ikan, dapat disimpulkan bahwa enzim pencernaan tidak memberikan pengaruh positif
terhadap daya tahan tubuh.
Kesimpulan
Dari hasil kegiatan pendederan dan penggelondonga dengan aplikasi penambahan
enzym pencernaan maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
- Berdasarkan hasil pengamatan laju pertumbuhan harian tertinggi pada fase
pendederan, terdapat pada perlakuan A(1,175), kemudian perlakuan B (1,145). Dari
hasil laju pertumbuhan yang diperoleh, secara umum pengujian aplikasi enzym tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan di bandingkan dengan kontrol.
- Nilai Konversi pakan pendederan pada perlakuan A sebesar 1,57, sedikit lebih baik
dibanding pada kontrol sebesar 1,65. Hal ini meninjukkan bahwa pada perlakuan
penambahan enzym, menunjukkan hasil lebih efisien dalam penggunaan pakan.
- Hasil sintasan fase pendederan, yang dihasilkan menjukkan hasil bahwa pada
perlakuan A menghasilkan nilai SR sebesar 89,6 %. Hasil ini lebih tinggi daripada pada
perlakuan B sebesar 81,8 %.
- Nilai SGR pada pemeliharaan fase penggelondongan, hasil lebih baik ditunjukkan pada
perlakuan A(1,21 %), kemudian perlakuan B (1,12 % ).
- Hasil sintasan fase penggelondongan yang dihasilkan menunjukkan hasil bahwa pada
perlakuan A menghasilkan nilai SR lebih baik dengan nilai sebesar 97,4 %. Hasil ini
lebih tinggi daripada pada perlakuan B sebesar 95,7 %
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
20
- Nilai konversi pakan pada fase penggelondongan menunjukkan bahwa pada
perlakuan A sebesar 1,31, memberikan hasil lebih baik dibanding pada kontrol
sebesar 1,65. Hal ini menunjukkan bahwa pada perlakuan penambahan enzym,
menunjukkan hasil lebih efisien dalam penggunaan pakan.
- Ikan yang diberi enzim pada pakannya, memiliki ketahanan tubuh yang lebih kuat
terhadap bakteri patogen
- Pengamatan bakterial pada organ dalam ikan dari kedua perlakuan menunjukkan
adanya infeksi bakteri pada hati, limpa dan ginjal.
Rekomendasi
- Pemberian enzym pencernaan dapat diaplikasikan pada pemeliharaan ikan Kerapu
Bebek, dengan penerapan pada formulasi kadar protein lebih rendah dari kandungan
protein produk pakan yang beredar saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 2010. Pembesaran Kerapu Macan dan Kerapu Tikus di Karamba Jaring
Apung. JUKNIS Seri No. 7 Kementerian Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya. Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung.
Effendi, H. 2000. Telaahan Kualitas Air. IPB. Bogor.
Giri, N. A. 1998. Aspek nutrisi dalam pembenihan ikan kerapu. Loka Penelitian Perikanan
Pantai Gondol, Bali.
Halver, John, E., and Ronald W. Hardy. Fish Nutrition. Academic Press. 525 Street Suite
1900, San Diego, California, United States of America.
Huet, M. 1994. Textbook of fish culture: breeding and cultivation of fish (2nd edition).
Fishing New Books. Cambridge.
Koesharyani, Isti, Des Roza, Ketut Mahardika, Fris Johnny dan Zafran. Penuntun Diagnosa
Penyakit Ikan II. Penyakit Ikan Laut dan Krustase di Indonesia.Balai Besar Riset
Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali, Indonesia
Minjoyo, H dkk, 2009. Rekayasa Teknologi Produksi Kerapu Tikus dengan Peningkatan
Padat Tebar di Karamba Jaring Apung dengan dasar jaring bertingkat. Laporan Tahunan
BBPBL Tahun 2009.
Soni, F.M, 2013. Aplikasi Enzim Pada Ikan Untuk Meningkatkan Efisiensi Pakan. Balai
Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. 23 hal.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
21
SUSTAINABILITY STATUS OF THE GROUPER MARICULTURE
IN FLOATING CAGES IN THE INNER OF AMBON BAY, MALUKU PROVINCE
Lutfi Hardian Murtiono*, Umar Rifai, Abdul Gani, Herlina Tahang
Center Fishery Mariculture of Ambon
ABSTRACT
Sustainable aquaculture is an implementation of the concept of sustainable
development in the aquaculture sector that is synonymous with sustainable
environment. The meaning of sustainability in the field of aquaculture is not only seen in
terms of the environment but is also expected to provide economic benefits for farmers
in the long term. The concept of sustainable development oriented to the three
dimensions of sustainability, ie economic, social and ecological. The paradigm of
sustainable fisheries system suggests that the development of sustainable fisheries
should accommodate four main aspects, namely: ecological sustainability, sustainability
of socio-economic, community sustainability, and institutional sustainability. Inner of
Ambon Bay designated as a marine aquaculture area in spatial plan of the city of Ambon.
Analysis of sustainability status from dimensions of ecological, economic, social,
technological and institutional have to do in order to support sustainability of
mariculture. Multidimensional approach with Rapfish software (Rapid appraisal for
fishery) that have been modified was used in this study.
The analysis showed that ecological dimension has an index of "44.02" and
categorized as less sustainable. Of the fourteen attributes were analyzed, there were
seven sensitive attributes ie water quality, utilization of existing water, the use of the
feed material, the level of utilization of the waters, threats to water, certification of Good
Aquaculture Practices (GAP) and the carrying capacity of the waters.
Sustainability indexes of economic dimension was "42.42" and its categorized as
less sustainable. Leverage analysis showed that of the eleven attributes that affect the
sustainability of the economic dimension, there were five sensitive attributes ie
marketing chain, subsidy level, the income of farmers, market breadth and price
fluctuations.
Sustainability indexes of social dimensions was "56.88" and categorized fairly
sustainable. Leverage analysis showed that of the seven attributes , obtained four
sensitive attributes, ie status and frequency of conflicts, the understanding of the
environment, the main livelihood and the level of unemployment.
Sustainability index of technological dimension was "52.33" and categorized fairly
sustainable. Analysis of leverage on nine attributes, there were six important attributes
that affect the sustainability index on technological dimension ie artificial feed
technology, seed availability, infrastructure support, the availability of facilities and
infrastructure of cages, experiences in cultivation technology, and disease control.
Sustainability index of institutional dimension was "53.41" and categorized fairly
sustainable. There were five important attributes of the nine attributes that affect of the
institutional dimension sustainability index, ie institutional of seed, institutional of the
fund, government support, institutional of the market and institutional of farmers.
Keywords : sustainability, mariculture, floating net cages, The Inner Bay of Ambon.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
22
PENDAHULUAN
Budidaya laut merupakan kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang
mampu memberikan kontribusi cukup besar terhadap pendapatan daerah, peningkatan
kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan lapangan kerja baru dan perolehan devisa
negara (Mansyur et al., 2005). Berdasarkan data statistik perikanan, Maluku merupakan
10 besar provinsi produsen perikanan budidaya dengan jumlah produksi mencapai
592.053 ton. Bahkan untuk produksi ikan kerapu nasional, Maluku berkontribusi
sebanyak 1.023 ton (11,99%) dan menjadi produsen kerapu ke 4 di Indonesia (KKP,
2013). Maluku ditetapkan sebagai Lumbung Ikan Nasional (LIN) oleh pemerintah karena
potensi perikanannya. Sektor yang diharapkan dalam mendorong peningkatan volume
produksi perikanan yaitu dari perikanan tangkap dan perikanan budidaya, khususnya
budidaya laut. Guna mendukung program tersebut, Pemerintah Kota Ambon
menetapkan Teluk Ambon Dalam sebagai lokasi perikanan budidaya keramba jaring
apung dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Ambon tahun 2011 – 2031
(Bappekot Ambon, 2011).
Meskipun ditetapkan sebagai kawasan pengembangan budidaya laut, namun
banyak ditemui kegiatan lain di Teluk Ambon Dalam yaitu sebagai daerah perikanan
tangkap, pelabuhan pangkalan TNI Angkatan Laut dan Polairud, pelabuhan kapal Pelni,
kapal tradisional antar pulau dan ferry penyeberangan, jalur transportasi laut, tempat
pembuangan limbah minyak dan air panas oleh PLN, dermaga perbaikan kapal, tempat
penambangan pasir dan batu, kawasan konservasi, tempat rekreasi dan olahraga, tempat
pendidikan dan penelitian serta pemukiman penduduk (Selano et al., 2009). Melihat
kondisi tersebut, sangatlah jelas jika ancaman keberadaan teluk sangat tinggi dan
tentunya berimbas pada kegiatan budidaya laut yang sedang dikembangkan di perairan
Teluk Ambon Dalam. Aktivitas budidaya laut memiliki permasalahan yang dinamis dan
komplek serta tidak terlepas dari pengaruh aktivitas di sekitar teluk. Hal tersebut sangat
mempenagruhi kondisi biofisik perairan dan daya dukung dari perairan tersebut, kondisi
sosio-ekonomi, kelembagaan dan teknologi yang membentuk suatu sistem yang
kompleks (Marzuki et al., 2014).
Dalam upayanya mempertahankan keberlanjutan usaha budidaya yang sedang
berkembang di kawasan perairan Teluk Ambon Dalam, perlu diterapkan konsep
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) untuk dapat melihat kondisi
mengenai kegiatan ini. Keberlanjutan meliputi hal yang kompleks terlebih ketika harus
mengintegrasikan berbagai informasi dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi (Alder et al.,
2000). Pembangunan berkelanjutan adalah pemanfaatan sumberdaya untuk memenuhi
kebutuhan generasi saat ini dan yang akan datang dengan tetap memperhatikan
keselamatan lingkungan (WCED, 1987). Inti dari konsep pembangunan berkelanjutan
adalah bahwa tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan harus saling mendukung dan terkait
dalam proses pembangunan, sehingga tidak terjadi trade off antar tujuan (Munasinghe,
1993). Pengembangan terhadap aspek-aspek dalam pembangunan berkelanjutan dapat
dilihat dari dimensi-dimensi yang menyusunnya. Etkin (1992) dalam Galopin (2003)
menyebutkan empat dimensi dalam pembangunan berkelanjutan sebagai indikator, yaitu
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
23
ekologi, ekonomi, sosial budaya dan etika. Dalal-Clayton and Bass (2002) menyebutkan
bahwa dimensi ekonomi, ekologi, sosial budaya, kelembagaan, politik dan keamanan
sebagai unsur penilaian dalam pembangunan berkelanjutan. Sedangkan referensi lain
menambahkan dimensi teknologi sebagai salah satu kriteria dalam pembangunan
berkelanjutan (Nurmalina, 2008).
Secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui indeks keberlanjutan
kegiatan budidaya kerapu dengan sistem keramba jaring apung di perairan Teluk Ambon
Dalam dari dimesi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan, dan (2)
menentukan atribut yang sensitif dari setiap dimensi.
METODE PENELITIAN
Waktu dan lokasi penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan April – Juni 2015. Lokasi penelitian di Teluk
Ambon Dalam, Ambon, Provinsi Maluku.
Gambar 1. Lokasi penelitian.
Jenis dan sumber data
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey dengan menggunakan
kuesioner sebagai alat pengumpulan data. Responden kuesioner adalah pembudidaya
ikan kerapu sistem keramba jaring apung yang dipilih secara acak (random) serta pakar
dari instansi terkait yang dipilih secara sengaja (purposive).
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi langsung, wawancara
terstruktur, wawancara terarah dan teknik pencatatan. Jenis data yang dikumpulkan
berupa data primer dan sekunder. Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengamatan di lapangan dan stakeholder yang
menjadi sasarn evaluasi keberlanjutan. Data sekunder diperoleh dari studi literature dan
referensi yang relevan dengan kebutuhan.
Analisis data
Analisis keberlanjutan budidaya laut sistem keramba jaring apung dilakukan
dengan menggunakan software yang dikembangkan oleh Pusat Perikanan University of
British Columbia, yaitu Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries) yang telah dimodifikasi
(Fauzi and Anna, 2002; Kavanagh and Pitcher, 2004; Pitcher and Preikshot, 2001). Rapfish
menggunakan teknik statistika multi dimensional scalling (MDS) untuk melakukan
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
24
penilaian secara cepat terhadap status keberlanjutan suatu sistem. Prinsip dalam MDS
adalah pengukuran jarak yang dinamakan euclidien distance, seperti formula berikut :
…1)
Teknik MDS menghitung nilai S stress untuk mengetahui goodness of fit dari model
yang dibangun, dimana model yang baik memiliki nilai S stress kurang dari 0,25 (Alder et
al., 2000). Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat atribut yang paling sensitif dan
berkontribusi dalam mempengaruhi keberlanjutan budidaya laut sistem keramba jaring
apung di perairan Teluk Ambon Dalam. Faktor dominan terhadap keberlanjutan
ditentukan berdasarkan nilai root mean square (RMS) terbesar, apabila salah satu atribut
dihilangkan (Kavanagh and Pitcher, 2004). Pada penelitian ini, pemilahan terhadap
atribut dominan menggunakan analisis pareto untuk setiap dimensi keberlanjutan.
Analisis Monte Carlo dilakukan untuk menilai aspek ketidakpastian dalam multi
dimensional scalling. Selain itu analisis Monte Carlo digunakan untuk mempelajari
pengaruh kesalahan dalam pembuatan skor atribut, pengaruh variasi pemberian skor
akibat perbedaan opini atau penilaian peneliti yang berbeda, stabilitas iterasi, kesalahan
pemasukan data atau adanya data yang hilang, tingginya nilai stress (Kavanagh and
Pitcher, 2004).
Dimensi keberlanjutan budidaya laut sistem keramba jaring apung di perairan
Teluk Ambon Dalam dilihat dari lima dimensi keberlanjutan yang merupakan
pengembangan dari tigadimensi keberlanjutan (Munasinghe, 1993), yaitu ekologi,
ekonomi, sosial, teknologi, dan kelembagaan. Sebanyak 50 atribut indikator
keberlanjutan terdiri atas 14 atribut dimensi ekologi, 11 atribut dimensi ekonomi, 7
atribut dimensi sosial, 9 atribut dimensi teknologi dan 9 atribut dimensi kelembagaan.
Penilaian (scoring) setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan
setiap individu. Skor yang diberikan berupa nilai “buruk” (bad) dan nilai “baik” (good).
Pemberian skor pada setiap atribut mulai dari 0 – 3, yang tergantung pada keadaan
masing-masing atribut yang diartikan mulai dari buruk sampai baik.
Penyusunan indeks keberlanjutan setiap dimensi dikategorikan menurut Kavanagh
and Pitcher (2004) sebagai berikut : (a) Nilai indeks 0 – 24,99 (kategori tidak
berkelanjutan); (b) 25,00 – 49,99 (kategori kurang berkelanjutan); (c) 50,00 – 74,99
(kategori cukup berkelanjutan); dan (d) 75,00 – 100 (kategori berkelanjutan).
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
25
START
Review Attributes
(meliputi berbagai kategori &
skoring kriteria)
Identifikasi & Pendefinisian Perikanan
(didasarkan kriteria yang konsisten)
Skoring Perikanan
(mengkonstruksi reference point untuk good dan bad serta
anchor)
Multidimensional Scalling Ordination
(untuk setiap atribut)
Simulasi Monte Carlo
(Analisis ketidakpastian)
Analisis Leverage
(Analisis anomali)
Analisis Keberlanjutan
Gambar 2. Elemen proses aplikasi Rapfish (Alder et al., 2000).
Gambar 3. Ruang lingkup atribut setiap dimensi keberlanjutan yang akan dianalisis
menggunakan Rapfish
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keberlanjutan Budidaya Laut Sistem KJA di Teluk Ambon Dalam
Dimensi Ekologi
Hasil analisis keberlanjutan dimensi ekologi menunjukkan besarnya nilai indeks
keberlanjutan adalah “44,02”. Nilai hasil analisis tersebut berada pada kategori “kurang
berkelanjutan”, yang berarti bahwa kondisi ekologi lingkungan perairan Teluk Ambon
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
26
Dalam kurang mendukung untuk kegiatan budidaya laut sistem keramba jaring apung
sehingga tidak dapat mencapai produksi yang maksimal. Hasil analisis leverage yang
dilakukan terhadap 14 (empat belas) atribut dalam dimensi ekologi memperlihatkan
tujuh atribut yang paling sensitif terhadap indeks keberlanjutan dimensi ekologi, yaitu
kualitas air (4,86), pemanfaatan perairan eksisting (4,86), penggunaan bahan pakan
(3,94), tingkat pemanfaatan perairan (3,94), ancaman terhadap perairan (3,85),
sertifikasi CBIB (2,44) dan daya dukung perairan (2,20).
Permasalahan yang dihadapi dalam dimensi ini adalah keberadaan teluk yang
dikelilingi oleh aktivitas antropogenik di pesisir yang berpotensi menimbulkan cemaran
bahan organik sehingga dapat mempengaruhi kualitas perairan. Selain itu, penggunaan
pakan rucah (trash fish) yang digunakan oleh semua pembudidaya di Teluk Ambon Dalam
berperan dalam mempengaruhi keberlanjutan budidaya laut, khususnya pada dimensi
ekologi. Umumnya pembudidaya kurang memperhatikan manajemen pemberian pakan
yang diberikan pada kultivan budidaya. Kebutuhan jumlah pakan harian tidak
diperhitungkan dengan baik dan menganggap ikan kerapu sebagai ikan karnivora
pemberian pakan harus diberikan secara adlibitum atau sampai kenyang. Akibatnya sisa
pakan banyak terbuang ke perairan dan berpotensi menimbulkan pencemaran di
perairan. Menurut Iwama (1991) bahwa kualitas dan manajemen pemberian pakan
mempengaruhi keberadaan limbah akuakultur. Penggunaan pakan rucah berpeluang
memberi potensi cemaran lebih tinggi di perairan melalui sisa pakan yang terbuang ke
perairan jika dibandingkan dengan pakan buatan (pellet). Sisa pakan rucah pada ikan
kerapu jenis E. aerolatus mengandung 36-40% N dan lebih tinggi jika dibandingkan
dengan pakan buatan yang hanya berkisar 20-30% N (Leung et al., 1999). Bahkan Chu
(1994) menyebutkan jika kandungan N dalam sisa pakan rucah yang terbuang ke perairan
tujuh belas kali lebih tinggi dibandingkan dengan pakan buatan.
Daya dukung perairan merupakan salah satu atribut penting dalam dimensi
ekologi. Hasil analisa SIG pada penelitian ini menunjukkan bahwa luasan perairan yang
sesuai untuk budidaya kerapu dengan sistem keramba jaring apung adalah 504,29 ha
atau 44,92% dari luas Teluk Ambon Dalam. Ketersediaan lahan yang cukup luas
memberikan peluang untuk pengembangan usaha budidaya ke depannya. Penetapan
zonasi budidaya laut sistem keramba jaring apung dalam RTRW Kota Ambon lebih
menegaskan peranan perairan ini sebagai kawasan budidaya laut.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
27
Gambar 4. Hasil analisis leverage dalam dimensi ekologi
Dimensi Ekonomi
Hasil analisis MDS dalam tinjauan dimensi ekonomi diperoleh nilai indeks
keberlanjutan sebesar “42,42”. Mengacu pada kisaran penilaian indeks
keberlanjutan,maka nilai ini termasuk dalam kategori “kurang berkelanjutan”.
Sedangkan analisis leverage dari sebelas atribut dalam dimensi ekonomi memperlihatkan
lima atribut yang sensitif, yaitu rantai pemasaran (6,87), tingkat subsidi (6,69),
pendapatan pembudidaya (6,16), serapan pasar (5,86) dan fluktuasi harga (5,59).
Ketergantungan pembudidaya di Teluk Ambon Dalam pada bantuan pemerintah
masih tinggi terutama untuk masalah permodalan. Bentuk program bantuan dari
pemerintah selama ini berupa unit keramba jaring apung beserta perlengkapannya
seperti jaring dan rumah jaga, bibit dan pakan, serta bantuan teknis. Secara umum
pembudidaya menyatakan bahwa budidaya ikan kerapu ini masih belum memberikan
hasil sesuai yang diharapkan. Tingkat kelulushidupan yang masih rendah, lamanya masa
pemeliharaan serta tingginya biaya pemeliharaan menjadi faktor-faktor yang
mempengaruhi hasil panen mereka.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
28
Gambar 5. Hasil analisis leverage dimensi ekonomi
Dimensi Sosial
Nilai indeks keberlanjutan kegiatan budidaya laut sistem KJA di Teluk Ambon
Dalam untuk dimensi sosial adalah sebesar “56,88”. Nilai ini menunjukkan bahwa dalam
tinjauan dimensi sosial, kegiatan budidaya laut dikategorikan “cukup berkelanjutan”.
Sedangkan analisis leverage terhadap tujuh atribut dalam dimensi sosial memperlihatkan
adanya empat atribut penting yang mempengaruhi indeks keberlanjutan dalam dimensi
sosial, yaitu status dan frekuensi konflik (6,11), pemahaman terhadap lingkungan (4,61),
mata pencaharian utama (3,23) dan tingkat pengangguran (3,08).
Secara umum, pembudidaya kurang memahami peran lingkungan dalam
mempengaruhi keberhasilan budidayanya. Beberapa tindakan yang terlihat antara lain
masih membuang sisa pakan dan air hasil treatment atau perlakuan terhadap ikan
budidaya yang mengandung bahan kimia langsung ke perairan sekitar, manajemen pakan
yang kurang baik, membuang ikan yang mati di sekitar perairan. Minimnya pengetahuan
pembudidaya tentang masalah lingkungan berdampak merugikan bagi pembudidaya
sendiri.
Gambar 6. Hasil analisis leverage dimensi sosial.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
29
Dimensi Teknologi
Hasil analisis MDS terhadap sembilan atribut berpengaruh pada dimensi teknologi
menghasilkan nilai indeks keberlanjutan sebesar “52,33”, yang menunjukkan kategori
“cukup berkelanjutan”. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan teknologi dalam
pengembangan budidaya laut di Teluk Ambon Dalam cukup mendukung. Analisis
leverage terhadap sembilan atribut dimensi teknologi memperlihatkan enam atribut
yang berpengaruh, yaitu teknologi pakan buatan (9,10), ketersediaan benih (6,59),
dukungan infrastruktur (5,78), ketersediaan sarana dan prasarana KJA (5,70), penguasaan
teknologi budidaya (4,62) dan pengendalian hama dan penyakit (4,38).
Saat ini seluruh pembudidaya di Teluk Ambon Dalam menggunakan pakan rucah
(trash fish) sebagai pakan untuk kultivan budidaya mereka. Hal ini dilakukan karena
ketersediaan pakan rucah yang lebih mudah diperoleh dengan harga yang terjangkau jika
dibandingkan harus mendatangkan pakan buatan dari luar pulau. Namun hendaknya
sudah mulai diperhatikan upaya pengendalian limbah dari penggunaan pakan dalam
budidaya ini, karena nilai FCR dari pakan rucah cukup tinggi dan berpotensi menimbulkan
cemaran limbah organik yang lebih tinggi dibandingkan pakan buatan. Peran pemerintah
disini, khususnya lembaga yang terkait dengan teknis budidaya perlu memikirkan upaya
penyediaan pakan buatan yang terjangkau bagi pembudidaya untuk mengurangi bahkan
menggantikan penggunaan pakan rucah.
Gambar 7. Hasil analisis leverage dimensi teknologi
Dimensi Kelembagaan
Hasil analisis multi dimension scalling memperlihatkan nilai indeks keberlanjutan
dalam dimensi kelembagaan sebesar “53,41” yang dikategorikan “cukup berkelanjutan”.
Hal ini menunjukkan bahwa kondisi kelembagaan serta regulasi yang ada cukup
mendukung kegiatan budidaya laut sistem KJA di perairan Teluk Ambon Dalam.
Sedangkan untuk analisis leverage terhadap sembilan atribut dalam dimensi
kelembagaan, terdapat lima atribut penting, yaitu kelembagaan perbenihan (8,45),
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
30
kelembagaan permodalan (8,25), dukungan pemerintah (7,91),kelembagaan pasar (6,76)
dan kelembagaan pembudidayaan (5,60).
Atribut “Kelembagaan perbenihan” menjadi atribut yang sangat sensitif terhadap
keberlanjutan budidaya laut sistem keramba jaring apung di Teluk Ambon Dalam pada
dimensi kelembagaan. Hal ini mengingat akan pentingnya ketersediaan benih yang
berkualitas untuk menjamin tingkat sintasan selama masa pemeliharaan hingga panen.
Selain itu keberadaan lembaga perbenihan di sekitar lokasi budidaya akan mampu
menekan biaya pengadaan benih, jika dibandingkan harus didatangkan dari luar Ambon.
atribut “kelembagaan permodalan” menjadi atribut yang penting dalam kegiatan
budidaya laut sistem keramba jaring apung di Teluk Ambon Dalam pada dimensi
kelembagaan. Salah satu permasalahan bagi pembudidaya adalah ketersediaan modal
awal untuk usaha maupun operasional dalam berbudidaya. Budidaya ikan kerapu
membutuhkan waktu yang relatif lebih lama dan biaya yang cukup besar. Hasil
wawancara dari pembudidaya umumya mereka mengalami kesulitan finansial selama
pemeliharaan maupun untuk kebutuhan hidup sehari-hari, meskipun sarana dan
prasarana budidaya dibantu oleh pemerintah. Biaya operasional tertinggi adalah untuk
pembelian pakan yang berupa ikan rucah atau trash fish. Selain itu untuk pengajuan ke
lembaga perbankan masih mengalami kesulitan dalam hal tingkat kepercayaan dari bank
untuk mendukung budidaya ikan kerapu.
Gambar 8. Hasil analisis leverage dimensi kelembagaan
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
31
Gambar 9. Diagram layang (kite diagram) keberlanjutan budidaya laut sistem KJA
di Teluk Ambon Dalam.
Hasil validasi terhadap nilai simulasi Rapfish untuk masing-masing dimensi
menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) yang cukup tinggi yaitu berkisar 0,94 – 0,96.
Sedangkan nilai stress berkisar antara 0,13 – 0,15 pada setiap dimensi. Dari nilai-nilai
tersebut di atas, menunjukkan bahwa atribut-atribut yang digunakan untuk menilai
status keberlanjutan dari masing-masing dimensi adalah cukup memadai. Kavanagh and
Pitcher (2004) menyebutkan bahwa semua atribut yang digunakan dalam penilaian
status keberlanjutan dianggap cukup akurat dan dapat dipertanggungjawabkan apabila
memiliki nilai stress <0,25 dan nilai koefisien determinasi (R²) mendekati nilai 1,0.
Tabel 1. Hasil analisis MDS, analisis Monte Carlo dan analisis statistik.
Indeks keberlanjutan
Statistik
Dimensi
Selisih
Iterasi
Monte
MDS
Stress
R²
Carlo
Dimensi Ekologi
44,02
44,05
0,03
0,13
0,96
3
Dimensi Ekonomi
42,42
42,80
0,38
0,13
0,94
2
Dimensi Sosial
56,88
55,97
0,91
0,15
0,94
3
Dimensi Teknologi
52,33
51,41
0,92
0,13
0,95
2
Dimensi Kelembagaan
53,41
53,25
0,16
0,13
0,95
2
KESIMPULAN
Status keberlanjutan budidaya laut sistem keramba jaring apung di Teluk Ambon
Dalam untuk dimensi sosial, teknologi dan regulasi-kelembagaan berada pada tingkatan
“cukup berkelanjutan”, sedangkan dimensi ekologi dan ekonomi berstatus “kurang
berkelanjutan”. Atribut sensitif pada dimensi ekologi yaitu : kualitas perairan,
pemanfaatan perairan eksisting, bahan pakan, tingkat pemanfaatan perairan, ancaman
terhadap lingkungan perairan, sertifikasi CBIB dan daya dukung lingkungan perairan.
Atribut sensitif pada dimensi ekonomi yaitu : rantai pemasaran, tingkat subsidi,
pendapatan pembudidaya, serapan pasar dan fluktuasi harga. Atribut sensitif pada
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
32
dimensi sosial antara lain : status dan frekuensi konflik, pemahaman terhadap
lingkungan, mata pencaharian utama dan tingkat pengangguran. Untuk atribut sensitif
pada dimensi teknologi yaitu : teknologi pakan dan penyedia pakan buatan, ketersediaan
benih, dukungan infrastruktur, ketersediaan sarana dan prasarana KJA, penguasaan
teknologi budidaya, pengendalian hama dan penyakit. Sedangkan pada dimensi regulasikelembagaan memiliki atribut sensitif antara lain : kelembagaan perbenihan,
kelembagaan permodalan, dukungan pemerintah, kelembagaan pasar dan kelembagaan
pembudidaya.
DAFTAR PUSTAKA
Alder, J., Pitcher, T.J., Preikshot, D., Kaschner, K., Ferriss, B., 2000. How Good is Good?: A
Rapid Appraisal Technique for Sustainability Status of Fisheries of The North
Atlantic, in: See Around Us Methodology Review. Fisheries Centre, University of
British Columbia. Vancouver, Canada, pp. 136–182.
Bappekot Ambon, 2011. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Ambon Tahun 20112031. Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappekot) Ambon, Ambon.
Chu, J.C.W., 1994. Environmental Management of Mariculture: The Effect of Feed Types
on Feed Waste. Regional Workshop on Seafarming and Grouper Aquaculture
103–108.
Fauzi, A., Anna, S., 2002. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan :
Aplikasi Pendekatan Rapfish (Studi Kasus Perairan Pesisir DKI Jakarta). Jurnal
Pesisir dan Lautan 4 (3), 43–55.
Iwama, G.K., 1991. Interactions between aquaculture and the environment. Critical
Reviews
in
Environmental
Control
21
(2),
177–216.
doi:10.1080/10643389109388413
Kavanagh, P., Pitcher, T.J., 2004. Implementing Microsoft Excel Software for Rapfish : A
Technique for the Rapid Appraisal of Fisheries Status. Fisheries Centre Research
Reports 12 (2), 75 p.
KKP, 2013. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2013. Pusat Data Statistik dan Informasi,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta. p 188.
Leung, K.M.Y., Chu, J.C.W., Wu, R.S.S., 1999. Nitrogen Budgets for the Areolated Grouper
Epinephelus areolatus Cultured Under Laboratory Conditions and in Open-sea
Cages. Marine Ecology Progress Series 186, 271–281.
Mansyur, A., Tarunamulis, U., Pantjara, P., Hasnawi, H., 2005. Identifikasi Lokasi Lahan
Budidaya Laut di Perairan Teluk Kupang Nusa Tenggara Timur. Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia 11 (5), 9–29.
Marzuki, M., Nurjaya, I.W., Purbayanto, A., Budiharso, S., Supriyono, E., 2014.
Sustainabiliy Analysis of Mariculture Management In Saleh Bay of Sumbawa
District. Environmental Management and Sustainable Development 3 (2), 127.
doi:10.5296/emsd.v3i2.6427
Munasinghe, M., 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. World
Bank Environment Paper No. 3. Environmental Department of The World Bank,
Washington DC.
Nurmalina, R., 2008. Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Sistem Ketersediaan Beras
di Beberapa Wilayah Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi 26 (1), 47–79.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
33
Pitcher, T.J., Preikshot, D., 2001. RAPFISH : A Rapid Appraisal Technique to Evaluate the
Sustainability Status of Fisheries. Fisheries Research 49, 255–270.
Selano, D.A.J., Adiwilaga, E.M., Dahuri, R., Muchsin, I., Effendi, H., 2009. Sebaran Spasial
Luasan Area Tercemar dan Analisis Beban Pencemar Bahan Organik Pada
Perairan Teluk Ambon Dalam. Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan) 19 (2),
96–106.
WCED, 1987. Report of the World Commission on Environment and Development: Our
Common Future. United Nations, Oslo, Norway.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
34
THE EFFECTIVENESS AND EFFICIENCY
OF MARINE FISH SEED’S TRANSPORTATION
Khabibbulloh, dan Hariyano
Mariculture Development Center of Ambon
[email protected]
ABSTRACT
Grouper is a fish species that is marketed in living conditions so that aspects of
handling and transportation during harvest very important to note that the grouper
aquaculture products which include seed and fish consumption is not adversely affected.
While marketing snapper is also not a big issue because it can be marketed in the form of
life and death are not as grouper only marketed alive. The purpose is to obtain
information on the number of seeds and the length of time required in the
transportation of seed grouper, tiger grouper and snapper size of 5-6 cm of effective,
safe and efficient.
Monitoring results indicate the time required in the transport of seed grouper size 6 cm
to the type of feed pellets that are effective, safe and efficient is 17 hours. white snapper
seed size 5 cm for optimal transported takes 18 hours with a density of 250 fish / white
snapper Seed box measuring 6 cm (B) for transport took 16 hours with the optimal
density of 200 fish / box. the time required in the transport of tiger grouper seed 10 and
11 cm maximum is 20 hours so that should be a reduction in the density of each box on
the tiger grouper seed size 11 cm in the transport process by considering the cost of
delivery and the number of seeds that can be transported.
Keywords : Effectiveness, efficiency, seed transportation.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
35
1. PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai potensi sumberdaya ikan yang
sangat melimpah. Pembangunan di sektor perikanan dan kelautan selain sebagai
penyokong kebutuhan protein hewani bagi masyarakat, juga membuka lapangan kerja,
menambah pendapatan masyarakat serta sebagai sumber devisa negara. Komoditas
perikanan dan kelautan juga mempunyai nilai tambah yang lebih tinggi karena sebagian
besar merupakan komoditas eksport.
Pemanfaatan perairan laut dan pantai serta sumberdayanya untuk kegiatan budidaya
ikan telah lama dikembangkan dan terus ditingkatkan. Salah satu pemanfaatan perairan
laut pantai yang menjanjikan prospek yang bagus adalah budidaya ikan kerapu. Beberapa
jenis ikan kerapu seperti ikan kerapu lumpur (Epinephelus suillus), kerapu macan
(Epinephelus fuscoguttatus), kerapu bebek/ tikus (Cromileptis altivelis) potensial untuk
dibudidayakan.
Sumberdaya yang mencukupi dan pasar yang menjamin harga tinggi merupakan
sebagian dari penyebab berkembangnya budidaya ikan kerapu. Dewasa ini pemasaran
ikan kerapu terus berkembang khususnya di Singapura, Hongkong, Taiwan China dan
Jepang. Ikan kerapu merupakan jenis ikan yang dipasarkan dalam kondisi hidup sehingga
aspek handling dan transportasi saat panen sangat penting diperhatikan agar produk
hasil budidaya ikan kerapu yang meliputi benih dan ikan konsumsi tetap terjaga
kualitasnya.
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui jumlah benih dan lama waktu
yang diperlukan dalam transportasi benih kerapu bebek ukuran 6 cm yang efektif, aman
dan efisien.
2. BAHAN DAN METODE
2.1. Alat dan Bahan
Alat :
- Styrofoam box standar(Lebar dalam 36 cm, Panjang dalam 69 cm, Tinggi 24,5 cm,
Ketebalan 3 cm)
- Kantong plastik ukuran 50 cm x 120 cm x 0,7 mm (1 kantong plastik per box)
- Karet pengikat
- Isolasi / lakban
- Termometer
Bahan :
- Benih kerapu bebek, kerapu macan serta kakap putih
- Es batu 1 kg dibungkus kertas dan plastik, 1 buah tiap box
- Air laut 12 liter
- Oksigen
2.2. Metode Kerja
a. Perlakuan Kerapu Bebek
Perlakuan dalam uji coba ini adalah lama waktu packing /transportasi dan kepadatan
benih kerapu bebek 6 cm tiap box.
 Perlakuan A. Kepadatan 100 ekor dengan lama waktu packing 15, 16 dan 17 jam
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
36
 Perlakuan B. Kepadatan 125 ekor dengan lama waktu packing 15, 16 dan 17 jam
 Perlakuan C. Kepadatan 150 ekor dengan lama waktu packing 15, 16 dan 17 jam
b. Perlakuan Kerapu Macan
Perlakuan dalam uji coba ini adalah lama waktu packing /transportasi dan ukuran benih
kerapu macan tiap box.
 Perlakuan A. Ukuran 10 cm/ekor dengan lama waktu packing 20 dan 22 jam
 Perlakuan B. Ukuran 11 cm/ekor dengan lama waktu packing 20 dan 22 jam.
c. Perlakuan
Perlakuan dalam uji coba ini adalah lama waktu packing/transportasi dan kepadatan
benih kakap putih dengan ukuran yang berbeda yaitu 5 dan 6 cm. Uji coba A adalah
benih dengan ukuran 5 cm dan uji coba B adalah benih kakap merah dengan ukuran 6 cm
 Perlakuan A1 : Kepadatan 125 ek/kantong (250 ek/box) dengan lama waktu packing
15, 16 , 17 dan 18 jam
 Perlakuan A2 : Kepadatan 150 ek/kantong (300 ek/box) dengan lama waktu packing
15, 16 , 17 dan 18 jam
 Perlakuan A3: Kepadatan 175 ek/kantong (350 ek/box) dengan lama waktu packing
15, 16 , 17 dan 18 jam
 Perlakuan B1 : Kepadatan 100 ek/kantong (200 ek/box) dengan lama waktu packing
15, 16 , 17 dan 18 jam
 Perlakuan B2 : Kepadatan 125 ek/kantong (250 ek/box) dengan lama waktu packing
15, 16 , 17 dan 18 jam
 Perlakuan B3: Kepadatan 150 ek/kantong (300 ek/box) dengan lama waktu packing
15, 16 , 17 dan 18 jam
d. Persiapan benih ikan kerapu yang akan ditransportasikan.
 Benih ikan laut yang akan ditransportasikan telah diseleksi dengan ukuran yang
seragam dan tidak ada yang cacat atau sakit.
 Benih ikan laut yang akan di kirim dipuasakan selama 24 jam
 Selanjutnya benih di masukkan ke keranjang dan dihitung sesuai dengan jumlah dan
ukuran ikan yang akan ditransportasikan.
e. Persiapan bahan dan peralatan
 Menyiapkan air laut yang telah disaring dengan filter bag (50 mikron)
 Suhu diturunkan hingga 24 oC dengan pemberian es batu yang telah dibungkus plastik
agar es batu yang mencair tidak menurunkan salinitas air laut yang akan digunakan
dalam transportasi.
 Plastik packing diisi air laut yang telah dipersiapkan sebelumya kurang lebih 12 liter
f. Pelaksanaan Packing
 Ikan dalam keranjang dimasukan dalam kantong plastik dan diberi oksigen. Kantong
tidak boleh terlalu kencang agar tidak mudah pecah.
 Ikat kantong plastik dengan karet.
 Masukkan kedalam styrofoam box standar dan berikan es batu untuk menjaga
stabilitas suhu.
 Rekatkan styrofoam box standar dengan lakban (tape)
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
37
g. Semua box dibuka untuk diamati kondisi ikan dan air selanjutnya ditutup kembali
untuk pengamatan tiap jamnya. Sampai di dapat data hasil pengamatan baik itu
kerapu bebek, kerapu macan serta ikan kakap putih, kemudian di lakukan pencatatan
3. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
3.1. Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis)
Tabel 1. Kondisi ikan kerapu bebek setelah uji coba
Perlakuan
Lama Waktu Packing (Jam)
15 jam
16 jam
Keterangan
17 jam
A = Isi 100 ekor/
box
Baik
Baik
Baik
Kondisi air :
Suhu air akhir 26 oC dan sedikit
keruh, terdapat muntahan pakan
B = Isi 125 ekor/
box
Baik
Baik
Baik
Kondisi air :
Suhu air akhir 26,2 oC dan sedikit
keruh
C = Isi 150 ekor/
box
Mati 2 ekor
Mati 4 ekor
Mati 10
ekor
Kondisi air :
Suhu air akhir 26,4 oC dan sedikit
keruh
Dari data uji coba yang dilakukan terlihat bahwa benih kerapu bebek ukuran 6 cm (pakan
pelet) untuk ditransportasikan membutuhkan waktu maksimal 17 jam dengan kepadatan
125 ekor/ box . Waktu 17 jam terhitung sejak awal melakukan packing hingga sampai ke
tempat budidaya.
Saat melakukan pengujian untuk perlakuan A, ikan sempat mengalami muntah. Hal ini
dikarenakan lama waktu pemuasaan kurang. Untuk perlakuan A dan B semua ikan
dengan waktu packing 15 ,16 dan 17 jam tetap dalam kondisi baik karena masih terdapat
cukup cadangan oksigen dalam kantong plastik dan suhu yang rendah membentu untuk
menurunkan tingkat metabolisme ikan. Hal ini dapat dilihat dari kondisi ikan yang masih
segar. Pada perlakuan C terjadi kematian yang berbanding lurus dengan lama waktu
packing. Semakin lama waktu packing semakin banyak benih ikan kerapu tikus yang mati.
Suhu merupakan parameter lingkungan yang sangat besar pengaruhnya pada hewan
akuatik. Ikan merupakan hewan poikilothermal yaitu bahwa mereka memiliki suhu tubuh
yang sama dengan suhu lingkungan sekitarnya. Suhu mempengaruhi kelarutan oksigen di
dalam air serta menyebabkan interaksi berbagai faktor lain dalam parameter kualitas air.
Suhu juga mempengaruhi proses-proses fisiologis seperti tingkat respirasi, efisiensi
pakan, pertumbuhan, tingkah laku dan reproduksi
Peningkatan suhu sampai 10 0C akan menyebabkan peningkatan kegiatan metabolisme
dua sampai tiga kali lipat. Sebagai contoh: tingkat konsumsi oksigen ikan akan lebih
tinggi 2 sampai 3 kali lipat pada suhu 30 0C dibanding pada suhu 20 0C. oleh karena itu,
faktor ketersediaan oksigen sangat penting bagi ikan yang hidup di daerah panas.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
38
Tingkat konsumsi oksigen ikan bervariasi tergantung pada suhu, konsentrasi oksigen
terlarut, ukuran ikan, tingkat aktivitas, waktu setelah pemberian pakan dan lain
sebagainya. (Hanggono, 2006).
4. Biologi Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)
Tabel 2. Kondisi ikan kerapu macan setelah uji coba
Perlakuan
Lama waktu transportasi (jam)
20 jam
A
Ukuran 10 cm
B
Ukuran 11 cm
Keterangan
22 jam
Hidup semua
Mati 1 ekor
Mati 3 ekor
Kondisi air :
Suhu air akhir 27 oC dan sedikit
keruh
Mati 5 ekor
Kondisi air :
Suhu air akhir 27 oC dan sedikit
keruh
Untuk transportasi benih kerapu dilakukan perhitungan dengan tepat waktu untuk
sampai tujuan dan kepadatan benih serta ukurannya. Dari data uji coba yang dilakukan
terlihat bahwa benih kerapu macan ukuran 10
cm untuk ditransportasikan
membutuhkan waktu maksimal 20 jam dengan kepadatan 100 ekor/ box . Hal ini
ditunjukkan dengan waktu uji coba lebih dari 20 jam (22 jam) terjadi kematian benih.
Sedangkan untuk benih kerapu macan ukuran 11 cm lama waktu transportasi sebaiknya
kurang dari 20 jam atau dapat dilakukan pengurangan kepadatan benih tiap box.
5. Biologi Kakap Putih (Lates calcariver)
Tabel 3. Jumlah benih kakap putih setelah ujicoba (5 cm)
Lama Waktu Packing (Jam)
Kepadatan
benih/kantong (ek)
Keterangan
15 jam
16 jam
17 jam
18 jam
A1 = 125 ek/kantong
250 ek/box
0
0
0
0
Kondisi air normal
Suhu air akhir 26,5 oC
A2 = 150 ek/kantong
300 ek/box
4
5
6
6
Kondisi air normal
Suhu air akhir 26,5 oC
A3 = 175 ek/kantong
350 ek/box
7
8
14
nd
Kondisi air keruh
Suhu air akhir 26,5 oC
 nd : no data
Dari data uji coba yang dilakukan pada Tabel 3, Terlihat bahwa benih kakap putih ukuran
5 cm (A) untuk ditransportasikan membutuhkan waktu optimal 18 jam dengan
kepadatan 250 ekor/box (A1). Hal ini terlihat dari tidak ditemukannya kematian pada
benih di kedua kantong dalam box yang sama. Sedangkan untuk kepadatan lebih dari 250
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
39
ekor/box ditemukan kematian pada tiap kantong dan semakin meningkat seiring dengan
bertambahnya waktu transportasi dan kepadatan pada tiap boxnya.
Tabel 4. Jumlah beniih kakap putih setelah uji coba (6 cm)
Lama Waktu Packing (Jam)
Kepadatan
benih/kantong (ek)
Keterangan
15
jam
0
16 jam
17 jam
18 jam
0
1
2
Kondisi air normal
Suhu air akhir 26,5 oC
B2 = 125 ek/kantong
250 ek/box
4
7
33
nd
Air sangat keruh
Suhu air akhir 26,5 oC
B3 = 150 ek/kantong
300 ek/box
5
11
17
26
Kondisi air keruh
Suhu air akhir 26,5 oC
B1 = 100 ek/kantong
200 ek/box
 nd : no data
Dari data ujicoba yang dilakukan pada Tabel 4, Terlihat bahwa untuk benih kakap putih
yang berukuran 6 cm (B) untuk ditransportasikan membutuhkan waktu optimal 16 jam
dengan kepadatan 200 ekor/box (B1) . Kematian pada benih kakap putih mulai terjadi
saat waktu ditingkatkan menjadi 17 jam terhitung sejak awal melakukan packing hingga
sampai ke tempat budidaya. Sedangkan untuk kepadatan lebih dari 200 ekor/box
ditemukan kematian pada tiap kantong dan semakin meningkat seiring dengan
bertambahnya waktu transportasi dan kepadatan pada tiap boxnya.
Saat melakukan pengujian untuk perlakuan A3 dengan waktu 17 dan 18 jam (nd) terjadi
banyak kematian karana kantung plastik packing agak kempes karena packing yang
kurang bagus. Begitu pula dengan perlakuan B3 untuk waktu 17 dan 18 jam. Air dalam
kantung plastik yang agak keruh dikarenakan lama waktu pemuasaan kurang. Hal ni
dapat menyebabkan kandungan amonia didalam air meningkat yang dapat
menyebabkan kematian ikan yang ditransportasikan. Amonia yang ada di dalam air
berasal dari proses pembongkaran,ekskresi ikan dan pembusukan oleh mikroba.
Untuk perlakuan A dan B pada Tabel 4, kondisi ikan dengan waktu transportasi yang
optimal tetap dalam kondisi baik karena masih terdapat cukup cadangan oksigen dalam
kantong plastik dan suhu yang rendah membantu untuk menurunkan tingkat
metabolisme ikan. Hal ini dapat dilihat dari kondisi ikan yang masih segar. Suhu
merupakan parameter lingkungan yang sangat besar pengaruhnya pada hewan akuatik.
Ikan merupakan hewan poikilothermal yaitu bahwa mereka memiliki suhu tubuh yang
sama dengan suhu lingkungan sekitarnya. Suhu mempengaruhi kelarutan oksigen di
dalam air serta menyebabkan interaksi berbagai faktor lain dalam parameter kualitas air.
Suhu juga mempengaruhi proses-proses fisiologis seperti tingkat respirasi, efisiensi
pakan, pertumbuhan, tingkah laku dan reproduksi Tingkat konsumsi oksigen ikan
bervariasi tergantung pada suhu, konsentrasi oksigen terlarut, ukuran ikan, tingkat
aktivitas, waktu setelah pemberian pakan dan lain sebagainya. (Hanggono, 2006).
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
40
4. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan :
 waktu yang diperlukan dalam transportasi benih kerapu bebek ukuran 6 cm dengan
jenis pakan pelet yang efektif, aman dan efisien adalah 17 jam
 waktu yang diperlukan dalam transportasi benih kerapu macan 10 dan 11 cm
maksimal adalah 20 jam
 Benih kakap putih ukuran 5 cm untuk ditransportasikan membutuhkan waktu
optimal 18 jam dengan kepadatan 250 ekor/box
 Benih kakap putih yang berukuran 6 cm (B) untuk ditransportasikan membutuhkan
waktu optimal 16 jam dengan kepadatan 200 ekor/box
Saran:
 Perlu dilakukan uji coba untuk ukuran benih ikan yang lebih besar dengan spesies
yang berbeda pada ikan kerapu bebek.
 Perlu dilakukan pengurangan kepadatan tiap box pada ukuran benih kerapu macan
11 cm pada proses transportasi dengan mempertimbangkan biaya pengiriman dan
jumlah benih yang dapat terangkut.
 Perlu dilakukan uji coba dengan ukuran kantung plastik packing yang berbeda untuk
satu box standar pada pengiriman ikan kakap putih.
DAFTAR PUSTAKA
Darmansyah, 2000. Informasi Cara Pengumpulan dan Pengangkutan Ikan Kerapu Untuk
Kebutuhan Dalam dan Luar Negeri. Materi Training Pembenihan Kerapu
Lolitkanta Gondol - JICA. Gondol - Bali
Hanggono, B. 2006. Manajemen Lingkungan dan Kualitas Air. Makalah disampaikan pada
Pelatihan Teknologi Pembenihan Kerapu di BBAP Situbondo, 3 – 8 Juli 2006.
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara, Penerbit Djembatan-Jakarta.
Nybakken,J.W. 1988. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologi, Gramedia-Jakarta.
Randall,J.E. 1987. A Preliminary Synopsis of the Groupers (Perciformes: Serranidae;
Epinephelinae) of the Indo Pacific Region In: J.J. Polovina, S. Ralston (editors),
Tropical Snapper and Groupers: Biology and Fisheries Manageement. Westview
Press. Inc., Boulder and London.
Suriawan, A., Purnomo, S.J., Lestari, Y., Subyakto, S., 2006. Petunjuk Teknis Pembenihan
Ikan Kerapu Tikus Skala Rumah Tangga. Seksi Standarisasi dan Informasi. Balai
Budidaya Air Payau Situbondo. 42 p.
Suriawan, A., Sitorus, P.2006. Panen dan Transportasi Ikan Kerapu. Makalah Pelatihan
Budidaya Ikan Kerapu di Unit Pembinaan Pembenihan Udang Windu Situbondo
23 – 31 Agustus 2006. Balai Budidaya Air Payau Situbondo. 8 p.
Tampubolon, G.H. dan E. Mulyadi, 1989. Sinopsis Kerapu di Perairan Indonesia.
Semarang.
Yoshimitsu, T., H. Eda and K. Hiramatsu. 1986. Groupers Final Report Marineculture
Research and Development in Indonesia. ATA 192. JICA.
Slamet. B. dan A. Supriatna, 1992, Kebutuhan Pakan Harian Larva Ikan Kerapu Macan
(Epinephelus fuscoguttatus), Bulletin Penelitian Perikanan Spesial Edition,
Bojonegara-Serang. Jawa Barat.
Allen, GR,1985. FAO Species Catalogue. Vol.6. Snappers of The World. FAO. Rome.208pp
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
41
UJI MULTILOKASI PERTUMBUHAN IKAN KERAPU HIBRIDA TIKTANG
(Epinephelus microdon x Epinephelus lanceolatus)
DI KARAMBA JARING APUNG
Oleh :
Mizab Asdary, Jaka Wiyana, Komsatun, Iskandar
ABSTRAK
Hibridisasi antara kerapu batik (Epinephelus Microdon) dengan kerapu raksasa
(Epinephelus lanceolatus) telah berhasil dilakukan dan hasilnya dikenal sebagai "tiktanghybrid" kerapu (Epinephelus Microdon> <Epinephelus lanceolatus). kegiatan
pemeliharaan dilakukan untuk mengamati perilaku biologis dan pengujian pembesaran
tiktang-hybrid kerapu di keramba jaring apung. Kegiatan rekayasa diharapkan untuk
menghasilkan teknologi ikan kerapu pemeliharaan hybrid efektif dan berlaku. Hasil dari
kegiatan ini dimanfaatkan teknologi pembesaran tiktang-hybrid kerapu di floatting jaring
apung yang berguna bagi petani. Pertumbuhan panjang dan berat ikan kerapu tiktanghybrid yang lebih baik dari pertumbuhan kerapu macan, tapi lebih lambat dari
pertumbuhan "cantang hybrid" kerapu. Pertambahan panjang kerapu tiktang lebih cepat
daripada pertumbuhan kerapu macan, akan tetapi lebih lambat daripada pertumbuhan
kerapu cantang. SGR adalah 0,19 + 0,03 sampai dengan 0,34 + 0,14. GR adalah . GR
adalah 0,9-1. SGR dan GR relatif lebih tinggi daripada umumnya kerapu GPS. Dari
perhitungan di atas SR adalah 65 -83%. Dari data tersebut terlihat bahwa kerapu tiktang
memiliki kisaran SR yang relatif masih tinggi. FCR 1:8 terlihat bahwa membuktikan bahwa
penggunaan komposisi pakan pellet tersebut efektif. Hasil pengukuran parameter fisik
dan kimia kualitas air di keramba jaring apung di 3 lokasi Situbondo, Bali (Teluk
Pegametan), dan Jepara (Karimunjawa) menunjukkan bahwa nilai suhu berkisar 26,8330,64 ° C. nilai pH berkisar 7,76-8,21, nilai rata-rata DO berkisar 5,60-7,38 mg / L, nilai
salinitas 32-35 ‰, nilai nitrat berkisar 0,00-0,10 mg / L, nilai nitrit 0,00-0,25 mg / L, nilai
amonia 0,25-0,75 mg / L, nilai kadar fosfat 0,10-0,50 mg / L menunjukkan bahwa kualitas
air di lokasi sesuai dengan nilai standar kualitas air yang optimal untuk budidaya. Kerapu
Tiktang-hybrid yang merupakan hasil hibridisasi antara kerapu batik dengan spesies
kerapu kerapu kertang yang berguna untuk meningkatkan keragaman jenis produksi
dalam pembangunan masa depan perikanan.
Keywords :
Kerapu tiktang, uji multilokasi, hibridisasi, pebandingan pertumbuhan
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
42
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Komoditas ikan laut khususnya ikan kerapu pada umumnya merupakan mata
dagangan internasional yang harganya mahal, dan permintaannya semakin meningkat.
Saat ini permintaan ikan kerapu di pasar Asia cukup tinggi, terutama Hongkong, China,
Singapore, Taiwan dan Jepang.
Terbukanya peluang pasar jenis ikan laut/payau dapat membawa dampak pada
upaya eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya ikan di alam makin intensif sehingga
dikhawatirkan dapat mengganggu sediaan alaminya. Untuk menjamin kesinambungan
produksi jenis ikan laut/payau sebagai salah satu penghasil devisa potensial di sektor
perikanan dan kelautan, maka pengembangan budidayanya merupakan alternatif yang
perlu terus dikembangkan. Dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai penghasil
produk kelautan dan perikanan terbesar tahun 2015, Kementerian Kelautan dan
Perikanan menetapkan perikanan budidaya sebagai ujung tombak penghasil produk
perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan akan memacu produksi perikanan
budidaya tahun 2014 sebesar 16,89 juta ton atau meningkat 353% dibanding produksi
tahun 2009 sebesar 4,78 juta ton.
Guna mengantisipasi kedua hal tersebut, dan dengan didukung keberhasilan
pembenihan ikan kerapu, maka untuk memenuhi permintaan pasar yang ada harus
dimulai dari sekarang pengembangan budidayanya. Sumberdaya yang mencukupi serta
pasar yang menjamin harga tinggi akan mendorong berkembangnya budidaya ikan-ikan
laut khususnya ikan kerapu. Dengan demikian usaha budidaya laut dengan sistem KJA di
samping merupakan usaha perekonomian untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat
pesisir juga merupakan kegiatan yang tepat sebagai usaha pelestarian sumberdaya
perikanan.
Menurut Aji et al., (1989) dan Ahmad et al., (1991) Indonesia yang memiliki
potensi areal untuk budidaya laut sekitar 81.000 km2 tersebut, bila 30 % dari potensi
yang ada dimanfaatkan secara optimal untuk budidaya laut khususnya kerapu, maka
kebutuhan benih kerapu diperkirakan paling sedikit 5 milyar ekor per tahun (Sugama et
al., 2001). Optimalisasi potensi tersebut akan berdampak pada kegiatan di Unit
Pelaksana Teknis Pusat salah satunya Balai Perikanan Budidaya Air Payau Situbondo
dalam menyediakan benih ikan kerapu dan teknik budidaya KJA yang lebih terprogram
serta teknis budidaya yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Salah satu upaya yang
dilakukan BPBAP Situbondo adalah melakukan hibridisasi ikan kerapu. Hibridisasi adalah
salah satu metode pemuliaan dalam upaya mendapatkan strain baru yang mewarisi sifatsifat genetik dan morfologis dari kedua tetuanya dan untuk meningkatkan
hiterozygositas. Dalam pengamatan perkembangan pertumbuhan ikan kerapu hibrida,
contohnya ikan kerapu kustang, pertumbuhannya cepat dibandingkan dengan jenis
spesies induknya betinanya (kerapu bebek/tikus) dan sangat tahan terhadap penyakit
(Mizab, 2013).
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
43
1.2. Tujuan
Tujuan dari kegiatan ini adalah :
- Untuk mengetahui pengaruh lingkungan di sekitar keramba jaring apung terhadap
ikan kerapu Hibrida tiktang yang dipelihara
- Untuk mengetahui pertumbuhan dan survival rate (SR) ikan kerapu Hibrida tiktang
di keramba jaring apung (KJA)
- Untuk mengetahui perbandingan pertumbuhan ikan kerapu hibrida tiktang di
multilokasi
1.3 Sasaran (output)
Diperolehnya teknologi pembesaran ikan kerapu hibrida tiktangdi KJA dan
dihasilkan ikan kerapu hibrida tiktang konsumsi ukuran 300-400 gram dan perbandingan
pertumbuhan ikan kerapu hibrida tiktang di multilokasi.
1.4 Hasil (outcome)
Dimanfaatkannya teknologi pembesaran ikan kerapu hibrida tiktangdi KJA
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hibridisasi
Hibridisasi atau persilangan merupakan suatu upaya untuk mendapatkan
kombinasiantara populasi yang berbeda dan diharapkan menghasilkan individu-individu
yang unggulatau menghasilkan strain baru sehingga diharapkan dapat tumbuh dengan
cepat, tahan terhadap penyakit bahkan perubahan lingkungan yang ekstrim (Hickling,
1968 dalam Ismi et al., 2013). Benih ikan hibridisasi selain dapat menambah diversifikasi
spesies juga mempunyai prospek budidaya yang berpeluang untuk meningkatkan
produksi perikanan di masa datang (Sunarma et al., 2007). Karena itu pada ikan kerapu
perlu adanya peningkatan produksi dan kualitas benih melalui hibridisasi sehingga dapat
membantu kebutuhan benih pada perikanan budidaya dan pembenihannya dapat
diterapkan di masyarakat sebagai usaha yang menguntungkan.
Salah satu jenis kerapu hybrida adalah kerapu Cantang yang sudah dapat
dikembangkan dengan baik dari benih hingga menjadi ikan konsumsi (Ismi, 2012a).
Untuk menambah diversitas ikan kerapu, tim perekayasa Balai Perikanan Budidaya Air
Payau Situbondo (BPBAP Situbondo) telah berhasil mengembangkan ikan Kerapu
hibridisasi antara ikan Kerapu Batik dan ikan Kerapu Kertang yang diberi nama ikan
Kerapu Tiktang (Epinephelus microdon x Epinephelus lanceolatus).
2.2 Biologi Ikan Kerapu Hibrid Tiktang
2.2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Kerapu Batik
Adapun klasifikasi dari ikan Kerapu Batik menurut Bleeker (1849) sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Famili : Serranidae
Genus : Epinephelus
Spesies : Epinephelus polyphekadion
Sinonim : Epinephelus microdon
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
44
Gambar 10. Ikan Kerapu Batik
Ikan Kerapu Batik termasuk dalam famili Serranidae dengan genus Epinephelus
yang memiliki nama lain di pasar luar negeri yakni small tooth rock-cod, camouflage
grouper, dan marble grouper. Ikan Kerapu Batik memiliki morfologi sebagai berikut,
bagian atas kepala cembung. Kepala, badan, dan sirip berwarna cokelat pucat dan
tertutup bintik-bintik berwarna cokelat gelap. Pada kepala dan badan terdapat bercak
berwarna hitam tumpang tindih dengan bintik-bintik hitam tersebut. Pada bagian
pangkal ekor tampak jelas sebuah bercak hitam. Terdapat banyak bintik-bintik putih pada
sirip dan beberapa di bagian kepala dan badan. Ujung sirip ekor membulat berbentuk
busur. Ukuran terbesar yang pernah dilaporkan 61 cm panjang standar dan bobotnya 4,o
kg. Ikan kerapu batik betina mencapai matang kelamin pada ukuran ukuran bobot antara
0,5-1,8 kg dan panjang total antara 32,0-43,0 cm. Jantannya matang gonad pada ukuran
bobot lebih dari 1,9 kg dan panjang total 44 cm (Jitunews.com, 2015)
2.2.2Klasifikasi dan Morfologi Ikan Kerapu Kertang
Ikan Kerapu Kertang memiliki keunikan dan perbedaan bila dibandingkan dengan
ikan kerapu lainnya yaitu mempunyai daya tahan tubuh yang tinggi dan pertubuhannya
cepat. Adapun klasifikasi dari ikan Kerapu Kertang menurut Fishbase ( 2015), sebagai
berikut:
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebeata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Subordo : Porcoidea
Famili : Serranidae
Genus : Epinephelus
Spesies : Epinephelus lanceolatus
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
45
Gambar 11. Ikan Kerapu Kertang
Menurut Heemstra dan Randall (1993), menyatakan bahwa ikan Kerapu Kertang
(Epinephelus lanceolatus) mempunyai mulut yang besar dan ekor bulat. Pada ukuran
juvenile mempunyai corak hitam tidak beraturan dan tanda-tanda kuning, sedangkan
setelah dewasa berwarna hijau keabu-abuan dengan titik kecoklatan serta terdapat
banyak noda hitam kecil pada sirip. Ikan Kerapu Kertang dapat tumbuh mencapai ukuran
270 cm dengan berat lebih dari 400 kg.
2.2.3Klasifikasi dan Morfologi Ikan Ikan Kerapu Tiktang
Ikan Kerapu Tiktang adalah hasil perkawinan silangan antara ikan Kerapu Batik
(Epinephelus microdon) dan ikan Kerapu Kertang (Epinephelus lanceolatus). Hibridisasi
pada ikan Kerapu Batik x ikan Kerapu Kertang dengan cara kawin buatan (pemijahan
intensif), dimana pemijahan ikan yang terjadi diberikan rangsangan hormon untuk
mempercepat pematangan gonad, serta proses ovulasinya dilakukan secara buatan yaitu
dengan teknik pengurutan (stripping).
Terdapat perbandingan pada morfologi antara ikan Kerapu Batik, ikan Kerapu
Kertang dan ikan Ikan Kerapu Tiktang. Masing-masing perbandingan tersebut dapat
dilihat pada Tabel.
Tabel 2. Perbandingan morfologi ikan Kerapu Batik, Hibridisasi Tiktang dan Kertang
No
Kerapu Batik
Ikan Kerapu Tiktang
Kerapu Kertang
1.  Bagian atas kepala Bentuk tubuh sedikit kompres Bentuk tubuh compres
cembung.
dan kepala cembung.
dan sedikit membulat
2.
 Kepala, badan, dan
Warna
tubuh
abu-abu
sirip berwarna cokelat kehitaman dan terdapat
pucat dan tertutup bitnik-bintik berwarna cokelat
bintik-bintik berwarna gelap.
cokelat gelap.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
Warna tubuh abu-abu
kehitaman dengan 4
garis melintang yang
kurang begitu jelas
(samar-samar)
46
No
3.
Kerapu Batik
 Terdapat
banyak
bintik-bintik putih pada
sirip dan beberapa di
bagian
kepala
dan
badan.
Ikan Kerapu Tiktang
Terdapat banyak bintik-bintik
putih berserta bitnik-bintik
hitam
pada
sirip
dan
beberapa di bagian kepala
dan badan.
4.
 Pada
kepala dan
badan terdapat bercak
berwarna
hitam
tumpang tindih dengan
bintik-bintik
hitam
tersebut.
berwarna hitam tumpang
tindih dengan bintik hitam
juga banyak tersebar di
kepala dan didekat sirip
pectoral dengan jumlah yang
berlainan pada setiap individu
5.
 Tinggi
Sirip
punggung
semakin Sirip punggung semakin
melebar kearah belakang
melebar
kearah
belakang
badan pada
sirip punggung pertama
biasanya lebih tinggi
dari pada sirip dubur.
7.  Ujung sirip ekor
membulat
berbentuk
busur.
8. Bentuk mulut lebar,
superior (bibir bawah
lebih panjang dari bibir
atas)
9. Tipe
sisik
stenoid
(bergerigi)
10. Bentuk gigi runcing
(canine)
Bentuk ekor rounded
Kerapu Kertang
Semua sirip (pectoral,
anal, ventral, dorsal dan
caudal ) dengan dasar
berwarna
kuning
dilengkapi
dengan
bintik-bintik hitam
Bintik
hitam
juga
banyak tersebar di
kepala dan didekat sirip
pectoral dengan jumlah
yang berlainan pada
setiap individu
Bentuk ekor rounded
Bentuk mulut lebar, superior Bentuk mulut lebar,
(bibir bawah lebih panjang superior (bibir bawah
dari bibir atas)
lebih panjang dari bibir
atas)
Tipe sisik stenoid (bergerigi)
Tipe
sisik
stenoid
(bergerigi)
Bentuk gigi runcing (canine)
Bentuk gigi runcing
(canine)
2.2.4 Reproduksi Ikan Kerapu Hibrid Tiktang
Ikan Kerapu Tiktang memiliki sistem reproduksi yang sama seperti ikan kerapu pada
umumnya. Ikan kerapu bersifat hermafrodit protogenos yaitu akan mengalami
perubahan kelamin dari betina menjadi jantan setelah melewati ukuran tertentu
(Soeharmanto, 2011). Perubahan kelamin betina menjadi jantan terjadi setelah
mencapai ukuran sekitar 3kg. Ikan Kerapu bersifat soliter tetapi pada saat akan memijah
ikan kerapu akan bergerombol (mass spawn).
Menurut Efendi (2002) dalam Wahyudi (2009), menyatakan bahwa ikan Kerapu
merupakan jenis ikan bertipe hermaprodit protogini, dimana proses differensiasi gonad
berjalan dari fase betina ke fase jantan. Ikan kerapu memulai siklus hidupanya sebagai
ikan betina kemudia berubah menjadi ikan jantan.Di perairan Indo-Pasifik waktu puncak
ikan kerapu untuk memijah adalah malam hari pada beberapa hari sebelum bulan
purnama. Hasil pengamatan di wilayah perairan Indonesia, musim pemijahan ikan kerapu
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
47
terjadi pada bulan Juni-September dan November-Februari (Sugama, 1995 dalam
Soeharmanto, 2011).
2.3 Kualitas Air
Kualitas air adalah kondisi kualitatif air yang diukur dan atau diuji berdasarkan
parameter-parameter tertentu dan metode tertentu berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku (Pasal 1 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor
115 tahun 2003). Kualitas air dapat dinyatakan dengan parameter kualtas air. Parameter
ini meliputi parameter fisika, kimia dan biologi. Parameter kualitas air tersebut dapat
merefleksikan keseluruhan kondisi perairan yang dilihat dan dapat menyimpulkan
kondisi yang sebenarnya. Kualitas air sangat mempengaruhi kehidupan organisme.
2.3.1 Parameter Fisika
2.3.1.1 Suhu
Suhu pada air mempengaruhi aktivitas metabolism organisme, karena itu penyebaran
organisme dibatasi oleh suhu. Suhu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
kehidupan biota air. Secara umum, laju pertumbuhan meningkat sejalan dengan dengan
kenaikan suhu. Namun, suhu juga dapat menekan kehidupan ikan bahkan menyebabkan
kematian bila peningkatan suhu terjadi secara drastis (Kordi, 2005).
2.3.2 Parameter Kimia
2.3.2.1 Derajat Keasaman (pH)
pH air mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan
jasad renik. Perairan yang bersifat asam akan menjadi kurang produktf bahkan dapat
membunuh ikan budidaya. Pada pH rendah (asam), kandungan oksigen terlarut akan
berkurang sehingga mengakibatkan selera makan ikan akan berkurang. Hal sebaliknya
terjadi pada kondisi perairan dengan pH tinggi (basa). Berdasarkan hal itu, kisaran pH
yang baik untuk usaha budidaya ikan kerapu berkisar antara pH 6,5 – 9,0 dan kisaran
optimal adalah pH 7,5-8,7 (Kordi dan Andi, 2009).
2.3.2.2 Oksigen Terlarut (DO)
Menurut Wibisono (2005), konsentrasi gas oksigen sangat dipengaruhi oleh suhu.
Semakin tinggi suhu, maka semakin berkurang kadar oksigen terlarut yang terkandung.
Pada perairan laut, oksigen terlarut (Dissolved Oksigen) berasal dari dua sumber yakni,
dari atmosfer dan dari hasil fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan laut. Keberadaan
oksigen terlarut sangat memungkinkan untuk langsung dimanfaatkan oleh organisme
untuk kelangsungan hidup seperti pada proses respirasi dimana oksigen diperlukan untuk
proses pembakaran (metabolisme) bahan organik sehingga terbentuk energi yang diikuti
dengan pembentukkan karbondioksida (CO2) dan uap air (H2O).
2.3.2.3 Salinitas
Kadar garam (salinitas) menggambarkan kandungan garam-garam yang terlarut dalam
perairan yang membedakan jenis air menjadi tawar, payau dan asin. Salinitas secara
langsung dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan perkembangbiakan organisme,hal
ini terkait dengan frekuensi penggenangan. Salinitas air akan meningkat pada siang hari
seiring dengan peningkatan suhu dan proses penguapan (evaporasi) yang terjadi di
perairan (Putra, 2013).
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
48
2.3.2.4 Nitrat
Effendi (2003), menjelaskan bahwa nitrat adalah bentuk nitrogen utama dalam perairan
alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan alga. Nitrat sangat mudah larut
dalam air dan stabil. Nitrat dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di
perairan.. Nitrat merupakan nutrien yang dapat mempercepat pertumbuhan organisme
juga dapat menurunkan konsentrasi oksigen terlarut di dalam perairan (Armita, 2011).
2.3.2.5 Nitrit
Kandungan nitrit pada perairan yang diperbolehkan menurut SNI 06-6989,9 (2004)
adalah 0,01-1,00 mg/L. Nirit biasanya ditemukan dalam jumlah yang sedikit dalam
perairan alami dibandingkan dengan kadar nitrat. Hal itu karena, nitrit tidak stabil jika di
perairan terdapat oksigen (Effendi, 2000). Nitrit merupakan bentuk peralihan antara
ammoniak dan nitrat (nitrifikasi) dan juga antara nitrat dan nitrogen (denitrifikasi).
Ammoniak hasil dekomposisi yang akan berubah menjadi nitrit melalui proses nitrifikasi
oleh bakteri nitrifikasi. Keberadaan nitrit di perairan ditentukan oleh proses penambahan
bahan organik menjadi bahan anorganik oleh bakteri pembusuk.
2.3.2.6 Ammoniak
Menurut Andayani (2005) dalam Putra (2013), ammoniak merupakan hasil ekskresi atau
pengeluaran (kotoran) dari organisme yang berbentuk gas. Selain itu ammoniak dapat
berasal dari pakan yang tidak dimanfaatkan oleh ikan sehingga larut dalam ar. Ammoniak
adalah salah satu produk dekomposisi senyawa organik di perairan.
2.3.2.7 Fosfat
Menurut Effendi (2003) phosfat merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan dan
algae aquatik serta sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan. Ditambahkan
oleh Romimohtarto dan Juwana (1999) bahwa daur ulang fosfat, banyak interaksi yang
terjadi antara tumbuh-tumbuhan dan hewan, antara senyawa organik dan anorganik,dan
antara kolom air dan permukaan serta substrat. Misalnya, beberapa hewan
membebaskan sejumlah besar fosfat terlarut dalam kotorannya. Fosfat ini kemudian
terlarut dalam air sehingga tersedia bagi tumbuh-tumbuhan. Sebagian senyawa fosfat
anorganik mengendap sebagai mineral ke dasar laut (Armita, 2011).
2.4 Teknik Pemeliharaan Ikan Kerapu Tiktang
2.4.1 Penyediaan Benih
Ikan kerapu tiktang (Epinephelus sp) termasuk ikan buas, sifat kanibalismenya
mulai kelihatan pada umur lebih 40 hari sampai ukuran pemeliharaan. Sifat kanibalisme
sangat menonjol terutama pada kondisi tertentu seperti pada saat kekurangan makanan
dan adanya perbedaan ukuran. Sifat kanibalisme ini menimbulkan kerugian, karena
terlalu tingginya tingkat kematian terutama pada fase pemeliharaan pemeliharaan. Ikan
yang berukuran lebih besar akan selalu memangsa ikan yang lebih kecil dalam satu
wadah pemeliharaan. Untuk mengatasi kanibalisme ini dilakukan pemilahan ukuran atau
grading, minimal setiap satu minggu pada fase pemeliharaan atau sesuai dengan
kebutuhan. Grading dilakukan dengan memilah langsung ukuran ikan yang seragam dari
setiap bak pemeliharaan. Untuk menjaga ikan supaya tidak stres pada waktu grading
harus dilakukan dalam air yang dilengkapi dengan aerasi (Evalawati, 2006).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam adaptasi yaitu :
- Waktu penebaran (sebaiknya pagi atau sore hari, atau saat cuaca ( teduh)
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
49
- Sifat kanibalisme yang cenderung meningkat pada kepadatan yang tinggi
- Aklimatisasi, terutama suhu dan salinitas.
Cara aklimatisasi yang dilakukan pada benih saat pengangkutan tertutup adalah
sebagai berikut : Kantong plastik dimasukkan ke dalam karamba. Setelah beberapa saat
kantong plastik dapat dibuka, kemudian air karamba dimasukkan sedikit demi sedikat
dan diukur suhu dan salinitasnya. Jika salinitasnya sama atau berbeda 1-2 ppt, benih bisa
ditebar langsung setelah suhunya sesuai.
2.4.2 Manajemen Pemberian Pakan
Salah satu usaha dalam meningkatkan pertumbuhan ikan kerapu yaitu dengan
pemberian pakan secara berkelanjutan dan teratur. Pakan merupakan salah satu faktor
terpenting dalam menunjang keberhasilan pemeliharaan. Pada proses pemeliharaan
awal cukup hanya dengan menggunakan pakan buatan (pellet) dengan frekuensi
sebanyak 2 – 5 kali dalam sehari dengan pellet (Sugama et al,2001). Pada tahapan
pemeliharaan, pakan diberikan dengan cara ditebarkan secara ad satiation sebanyak 3–5
% dari total biomassa/hari (Ismi et al.,2013).
2.4.3 Grading (Pemilahan Ukuran)
Grading adalah suatu cara dalam kegiatan pemeliharaan untuk memilih benih yang
ukurannya tidak seragam, sehingga diperoleh benih dengan ukuran yang sama
(seragam). Selain untuk memperoleh benih yang seragam, tujuan lain dari pemilahan
adalah untuk mengurangi sifat kanibal. Kerapu adalah jenis ikan yang mempunyai sifat
kanibalisme. Oleh sebab itu, pemilahan ukuran dilakukan sejak awal pemeliharaan
sehingga kematian bisa diperkecil (Ismi et al., 2012b).
Grading bertujuan untuk memilih ukuran yang sama gunanya menekan
kanibalisme. Dari satu jaring menjadi beberapa jaring sesuai ukuran yang sama. Grading
dilakukan secara rutin pada saat ukuran sudah tidak sama, biasanya grading dilakukan
setiap 5-7 hari sekali (Ismi et al., 2012b).
2.4.4 Hama dan Penyakit
Menurut Fauzi (2008), jenis hama yang potensial mengganggu usaha budidaya ikan
kerapu dalam budidaya ini adalah ikan buntal, burung, dan penyu. Sedang jenis penyakit
infeksi yang sering menyerang ikan kerapu adalah penyakit akibat serangan parasit
(parasit crustacea dan flatworm) dan penyakit akibat serangan virus (VNN (Viral Nervous
Necrosis)).
Pencegahan hama dan penyakit pada pemeliharaan ikan kerapu dilakukan dengan
merendam ikan kerapu tersebut dalam air tawar secara berkala. Perendaman dengan air
tawar ini dimaksudkan untuk menghilangkan parasit-parasit yang menempel pada
permukaan tubuh ikan kerapu. Perendaman dengan air tawar dilakukan setiap 7-10 hari
sekali. Perendaman dengan air tawar dapat dilakukan di bak fiber 1 m3 dengan volume
air antara 50-60 % dari volume bak. Lamanya perendaman yang dilakukan adalah 10-15
menit dengan kepadatan ikan kerapu dalam bak sebesar 100-150 ekor ikan (Fauzi, 2008).
2.4.5 Panen
Pemanenan pemeliharaan ikan kerapu ini dapat dilakukan dengan hati-hati agar
ikan tidak stress. Panen yang dilakukan secara tidak tepat dapat mengakibatkan
kematian benih (Subyakto dan Cahyaningsih, 2005). Pemanenan dapat dilakukan dengan
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
50
menyesuaikan permintaan pasar. Pemanenan ikan kerapu harus dilakukan secara benar
karena ikan ini termasuk peka terhadap perubahan lingkungan. Sebelum panen benih
diberokan atau dipuasakan dulu selama 12-24 jam. Pemberokan ini dilakukan dengan
tujuan mengurangi kegiatan metabolisme sehingga kualitas air selama proses
pemanenan dan pengangkutan tetap terjaga. Pemanenan sebaiknya dilakukan pada
waktu pagi hari, sore hari atau malam hari untuk menghindari fluktuasi suhu yang terlalu
tinggi (Utomo, 2003).
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Waktu Pelaksanaan
Kegiatan ini direncanakan akan dilaksanakan di keramba jaring apung (KJA) BPBAP
Situbondo. Waktu pelaksanaan direncanakan dimulai bulan Agustus sampai dengan
bulan Desember 2015.
3.2. Bahan
- Benih ikan kerapu Hibrida tiktang ukuran 7-10 cm
- Pakan pelet MR 205, 207, 209
- Pakan segar
- Vitamin
- Formalin
3.2. Alat
- Alat yang digunakan dalam kegiatan perekayasaan ini adalah alat yang dapat
mengukur parameter lingkungan secara in-situ. Adapun alat-alat yang digunakan
dapat dilihat pada Tabel 1
Tabel 1. Daftar Alat, Spesifikasi dan Fungsinya
No.
Alat
Spesifikasi
Fungsi
Tempat
Pengukuran
1. pH meter
Waterproof pHTester Pengukuran nilai
In-Situ
30
pH
2. Refraktometer
Pocket Refraktometer
Pengukuran
In-Situ
Atago
salinitas
3. DO digital
Thermometer Dekko
Pengukuran DO
In-Situ
4.
5.
Thermometer
Air
Raksa
Ammonia Test Kit
6.
Phospate Test Kit
7.
Nitrate Test Kit
SERA Ammonia Test
Kit
SERA Phospate Test
Kit
SERA Nitrate Test Kit
8.
Nitrite Test Kit
SERA Nitrite Test Kit
9
Timbangan
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
-
Pengukuran suhu
In-Situ
Pengukuran
Amoniak (NH3)
Pengukuran
Fosfat (PO4)
Pengukuran Nitrat
(NO3)
Pengukuran Nitrit
(NO2)
Pengukuran berat
In-Situ
Digital
In-Situ
In-Situ
In-Situ
In-Situ
51
10.
11.
Serok / seser
Petakan KJA @ 3 x 3
x 3 m3
Tangkai alumunium
HDPE
Menangkap ikan
Tempat
pemeliharaan
In-Situ
-
3.3. Metode Pelaksanaan
3.3.1. Metode Kegiatan Budidaya Ikan Kerapu Hibrida di KJA
Budidaya ikan kerapu dalam karamba jaring apung (KJA) akan berhasil dengan baik
dalam pengertian tumbuh cepat dan kelangsungan hidup tinggi bila pemilihan jenis ikan
yang cocok, ukuran benih yang ditebar cukup dan kepadatan penebaran sesuai.
Pemilihan jenis ikan kerapu yang akan ditebarkan dalam keramba jaring apung (KJA)
sangat mempengaruhi keberhasilan usaha pembesaran yang dilakukan. Kesalahan dalam
memilih jenis ikan bisa mengakibatkan kerugian yang besar. Semua jenis ikan kerapu
potensial untuk dibesarkan dalam keramba jaring apung (KJA) dilaut.
3.3.2. Pemilihan benih kerapu yang baik
Ukuran seragam, bebas penyakit, tenang serta tidak membuat gerakan yang tidak
beraturan atau gelisah tapi akan bergerak aktif bila ditangkap, mempunyai respon yang
baik (dapat menyergap makanan dengan cepat), warna sisik cerah, sorot mata terang,
sisik dan sirip lengkap serta tidak cacat tubuh. Diharapkan benih yang siap tebar sudah
divaksin.
3.3.3. Penebaran benih
Ikan dari fase pendederan 7-10 cm dapat di pindah ke keramba jaring apung (KJA)
dengan jaring besar ukuran 3 x 3 x 3 m dengan kepadatan optimum per jaring 250 ekor.
Selanjutnya ikan dapat dipelihara sampai mencapai ukuran konsumsi (300-500 gram).
3.3.4. Uji Multilokasi
Ikan dari fase pendederan 7-10 cm dari kegiatan perekayasaan sebelumnya di level
pendederan diterima untuk dibesarkan di KJA. Untuk perbandingan hasil
pertumbuhannya maka dibuat 2 pembanding. Sebelumnya direncanakan dilakukan
kegiatan perbandingan pemeliharaan di Ambon dan Batam. Berkaitan dengan kondisi di
lapangan maka dilakukan perbandingan pemeliharaan di KJA dengan petani Bali dan
Jepara. Jumlah ikan dibagi menjadi 3 populasi masing-masing 1000 ekor. Untuk
selanjutnya dilakukan monitoring pertumbuhan, dan survival rate.
3.3.5 Tingkat Kelangsungan Hidup
Survival Rate (SR) atau tingkat kelangsungan hidup adalah persentase jumlah
ikan terakhir yang bertahan hidup dari jumlah ikan awal
3.3.6. Pakan dan Konversi Pakan
Benih kerapu yang baru ditebar di beri pakan pelet komersial (benih dari panti
pembenihan yang menggunakan pakan pelet). Setelah  7-10 hari pelet dapat di campur
dengan ikan rucah dengan komposisi : pakan pellet 30% +rucah 70%. Pemberian ikan
rucah (potongan ikan) disesuaikan dengan ukuran mulut ikan dan diberikan dua kali
sehari yaitu pagi dan sore hari.
Konversi pakan merupakan parameter yang digunakan untuk melihat
pertumbuhan yang terkait dengan jumlah pakan yang diberikan, yaitu mengetahui
jumlah berat makanan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan atau penambahan berat
badan ikan.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
52
3.3.6. Pertumbuhan dan Pengukuran
Pengukuran ikan kerapu dilakukan setiap 2 minggu sekali. Pengukuran meliputi
pertumbuhan panjang dan berat. Pengukuran tersebut dilakukan dengan cara random
sampling. Kegiatan ini juga dalam rangka melakukan grading ukuran. Selanjutnya
dihitung panjang, berat, meliputi SGR (laju pertumbuhan harian) dan pertumbuhan
mutlak (GR).
3.3.7 Uji Penyakit
Dilakukan pengecekan penyakit dengan PCR untuk VNN dan irridovirus jika
diperlukan atau setiap 2 bulan.
3.3.7 Panen dan Pasca Panen
Ukuran panen dapat disesuaikan dengan permintaan pasar. Biasanya ukuran yang
dikehendaki pasar (ukuran konsumsi) adalah 300 - 500 gram per ekor ikan. Lama
pemeliharaan untuk mencapai ukuran konsumsi (berbeda antara satu jenis dengan jenis
lainnya. Selama masa pemeliharaan, sebaiknya dilakukan seleksi ukuran sejak bulan
ketiga untuk mengurangi variasi ukuran ikan atau untuk membuat ukuran panen yang
relatif sama. Ikan kerapu mempunyai harga jual yang tinggi biasanya dalam keadaan
hidup. Untuk itu penanganan pasca panen juga harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR)
Dari kegiatan perekayasaan Pembesaran ikan kerapu hibrida tiktang di KJA,
diperoleh hasil ikan kerapu Tiktang seperti terlihat dalam tabel :
Tabel 2. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Ikan Kerapu Hybrid Tiktang di Multilokasi :
Situbondo, Bali, dan Jepara
Lokasi
Situbondo
Bali
Jepara
SR
83
72
65
Hasil tersebut membuktikan bahwa penggunaan komposisi pakan pellet 30% + rucah
70% efektif dalam pemeliharaan ikan kerapu tiktang. Penggunaannya pun aplikatif
karena jenis pakan pelet dan rucah sudah biasa digunakan untuk kegiatan pembesaran
ikan. Juga terlihat daya tahan ikan kerapu tiktang ini relatif tinggi sehingga cocok untuk
dikembangkan dalam kegiatan budidaya di KJA.
4.2. Pertumbuhan
Dari kegiatan perekayasaan Pembesaran ikan kerapu hibrida tiktang di KJA,
diperoleh hasil pertumbuhan panjang ikan kerapu Tiktang seperti terlihat dalam pada
berikut :
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
53
Tabel 3. Data Perbandingan Pertumbuhan (Panjang ) Kerapu Macan, Cantang, dan Tiktang
di Multilokasi : Situbondo, Bali, dan Jepara
Kerapu
Kerapu
Kerapu
Kerapu
Kerapu Tiktang
Cantang
Tiktang (Data Tiktang (Data
Macan (Data
(Data Primer)
(Data
Primer) Bali
Primer) Jepara
Mggu
Sekunder)
Situbondo
Sekunder)
Ke
1
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
26
28
30
32
34
36
38
40
Panjang (cm)
Panjang (cm)
Panjang (cm)
7–8
9 – 10
11 – 12
12 – 13
13 – 14
14 – 15
15 – 16
16 – 17
17 – 18
7-9
15 – 16
7-8
11,9 + 1,0
7-8
11,4 + 0,9
7-8
10,5 + 1,2
17 – 18
16,1 + 0,3
15,6 + 0,2
14,1 + 1,1
20 - 22
19,35 + 1,15
18,8 + 0,7
17,5 + 0,7
-
-
22,3 + 0,4
20,8 + 0,9
21 + 1,5
-
-
23,7 + 1,1
22,5 + 1,0
23,3 + 0,5
25 + 0,6
24,2 + 0,4
24,1 + 0,1
27 + 1,2
26 + 0,7
25,7 + 0,6
Dari kegiatan perekayasaan Pembesaran ikan kerapu hibrida tiktang di KJA,
diperoleh hasil pertumbuhan berat ikan kerapu Tiktang seperti terlihat dalam tabel
berikut :
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
54
Tabel 4. Data Perbandingan Pertumbuhan (Berat) Kerapu Macan, Cantang, dan
Tiktang di Multilokasi : Situbondo, Bali, dan Jepara
Kerapu
Kerapu
Kerapu
Kerapu
Tiktang
Tiktang
Tiktang
Macan
Kerapu Cantang
(Data
(Data
(Data
(Data
(Data
Sekunder)
Mggu
Primer)
Primer)
Primer)
Sekunder)
Ke
Situbondo
Bali
Jepara
Berat
Berat
Berat
Berat
Berat
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
(gram)
1
30 + 3
40 + 10
2
4
40 + 3
50 + 4
100 + 15
125 + 18
6
65 + 4
150 + 20
8
10
12
85 + 6
100 + 8
115 + 10
175 + 22
200 + 24
263 + 26
14
16
18
130 + 10
150 + 12
326 + 30
370 + 40
-
-
20
22
-
24
26
28
30
32
34
36
38
40
30 + 5
29 + 5
28 + 8
80 + 8
78 + 6
77 + 8
221 + 15
215 + 05
210 + 15
-
255 + 20
243 + 15
225 + 25
-
-
265 + 15
253 + 16
245 + 13
-
-
280 + 20
265 + 25
243 + 26
-
-
310 + 15
305 + 12
280 + 45
Specific growth rate (SGR) atau laju pertumbuhan spesifik merupakan laju
petumbuhan harian atau persentase pertambahan bobot per hari. SGR pada
pemeliharaan kerapu tiktang :
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
55
Tabel 5. Specific Growth Rate Ikan Kerapu Hybrid Tiktang di Multilokasi : Situbondo,
Bali, dan Jepara
Lokasi
Situbondo
Bali
Jepara
SGR
0,34 + 0,14
0,21 + 0,04
0,19 + 0,03
Disini terlihat bahwa SGR relatif lebih tinggi daripada umumnya kerapu GPS.
Tabel 6. Growth Rate Ikan Kerapu Hybrid Tiktang di Multilokasi : Situbondo, Bali, dan
Jepara
Lokasi
Situbondo
Bali
Jepara
GR (gr/hari
1
0,97
0,9
4.6. FCR
Konversi pertambahan berat yang dibandingkan dengan pakan yang dihabiskan
selama pemeliharaan kerapu tiktang (A) : diberi pakan pellet 30% +rucah 70% FCR nya
adalah :
Tabel 7. FCR Ikan Kerapu Hybrid Tiktang di Multilokasi : Situbondo, Bali, dan Jepara
Lokasi
Situbondo
Bali
Jepara
FCR
1:8
1:8
1:8
FCR di masing-masing tempat adalah 1: 8. Disini terlihat bahwa FCR pemeliharaan
kerapu tiktang relatif sama dengan pemeliharaan pada kerapu jenis lainnya. Hasil
tersebut membuktikan bahwa penggunaan komposisi pakan pellet tersebut efektif.
Penggunaannya pun aplikatif karena jenis pakan pelet dan rucah sudah biasa digunakan
untuk kegiatan pembesaran ikan.
4.5. Kualitas Air
Tabel 8. Hasil Pengukuran Kualitas Air Selama Masa Pemeliharaaan Multi Lokasi
Lokasi
Parameter
Standar
Situbondo
Bali
Jepara
Suhu °C
26,83-29,20
30,528,50 – 30,50Chua & Teng (1978) dalam
30,64
Langkosono (2007) 24-31ºC
Kordi (2005) 24-32ºC
pH
7,76-8,21
8,00
8,00 Kepmen LH No 51 th 2204 Baku
Mutu Air Laut 7,00 – 8,50
Supratno (2006) 7,7 – 8,5.
pH 7,5-8,7 (Kordi dan Andi, 2009).
DO (mg/L)
5,60 – 7,22 5,35-5,71
5,90-7,38 Kepmen LH No 51 th 2204 Baku
Mutu Air Laut 7  >5 mg/L
Salinitas
32 – 35
31-32
32-35 Chua & Teng (1978) dalam
‰.
Langkosono (2007)  30-33‰.
Nitrat
0,00 – 0,1
0,086 Kepmen LH No 51 th 2204 Baku
(mg/L)
0,091
Mutu Air Laut  0,008 mg/L
Nitrit
0,00 – 0,25
SNI 19-6964.1 (2003)  0,01 –
(mg/L)
1,00 mg/L.
Ammoniak 0,25 – 0,75
0,069 - 0,281SNI 19-6964.1 (2003)  0,01 –
(mg/L)
1,00 mg/L.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
56
Fosfat
(mg/L)
0,10 – 0,50
-
0,11 - 0,25 Kepmen LH No 51 th 2204  <
0,015 mg/L.
Dari tabel di atas terlihat perairan di karamba jaring apung ikan Kerapu Tiktang
dapat dikatakan telah memenuhi syarat untuk budidaya ikan. Beberapa faktor kualitas air
tidak terukur karena keterbatasan alat. Secara keseluruhan dengan melihat performance
akhir dari ikan hybrid yang dipelihara maka 3 lokasi tersebut sesuai untuk lokasi
pemeliharaan ikan hybrid tiktang.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Hasil dari kegiatan Perekayasaan yang di Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP)
Situbondo adalah sebagai berikut:
1.Ikan Kerapu Tiktang merupakan spesies baru hasil perkawinan silang antara induk
ikan Kerapu Batik dan Kerapu Kertang. Kerapu Tiktang masih dalam tahap penelitian
pasca rekayasa sebelum dirilis oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan
2.Data Lapangan
- Pertumbuhan panjang dan berat
Pertambahan panjang kerapu tiktang lebih cepat daripada pertumbuhan kerapu
macan, akan tetapi lebih lambat daripada pertumbuhan kerapu cantang
- SGR
Dari perhitungan di atas SGR adalah 0,19 + 0,03 sampai dengan 0,34 + 0,14. SGR
relatif lebih tinggi daripada umumnya kerapu GPS.
- SR
Dari perhitungan di atas SR adalah 65 -83%. Dari data tersebut terlihat bahwa
kerapu tiktang memiliki kisaran SR yang relatif masih tinggi.
- FCR
Dari perhitungan di atas SR adalah FCR 1:8
3. Kualitas Air
Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia dari kualitas air pada media
pemeliharaan Ikan Kerapu Tiktang (Epinephelus sp.) di multilokasi (Situbondo – Laut
Jawa, Bali – Teluk Pegametan, Jepara - Karimunjawa menunjukan bahwa menunjukan
bahwa kondisi perairan sesuai untuk kegiatan budidaya ikan kerapu.
4. Pertumbuhan benih kerapu tikitang (panjang dan berat) lebih cepat dibanding dengan
benih kerapu macan.
5. Kerapu tiktang hasil hibridisasi antara kerapu batik dengan kerapu kertang merupakan
alternatif diversitas spesies pengembangan kerapu di masa mendatang.
5.2 Saran
Perlu dilakukan kegiatan lanjutan perkeyasaan secara multilokasi agar didapatkan
data-data yang lebih valid untuk menunjang kegiatan rilis dan pengembangan
produksinya.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
57
LAMPIRAN
Pengukuran pH menggunakan pH Meter
Pengukuran salinitas dengan Refraktometer
Pengukuran DO secara in-situ menggunakan DO
Meter (karantina)
Pengukuran DO dan suhu menggunakan DO
Meter
Pengukuran nitrat, nitrit, fosfat dan ammonia
menggunakan SERA Test Kit
Pengukuran suhu menggunakan Thermometer
Hg di KJA
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
58
Pemberian pakan dengan pelet
Pengukuran panjang ikan
Pemindahan ikan ke KJA
Pemindahan ikan ke KJA
Pengukuran berat ikan
Pengukuran panjang ikan
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
59
DAFTAR PUSTAKA
Armita, Dewi. 2011. Analisis Perbandingan Kualitas Air di Daerah Budidaya Rumput Laut
dengan Daerah Tidak Ada Budidaya Rumput Laut di Dusun Malelaya, Desa
Punaga, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar. Skripsi. Fakultas
Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin: Makassar.
Chua, T. E. & Teng, S. K. 1978. Effects of Feeding Frequency on The Growth of Young
Estuary Grouper, Epinephelus tauvina Forskal, Culture in Floating Net Cages.
Aquaculture. 14: 31–47.Effendi, Hefni. 2003. Telaah Kualitas Air. Penerbit
Kanisius: Yogyakarta
Heemstra, P.C., & J.E> Randall. 1993. Epinephelus lanceolatus Giant Grouper.
http://www.fishbase.sinica.edu.tw. Diakses pada Sabtu 5 September 2015.
Hickling, C. 1968. Fish Hybridization. Proc. Of World Symp. On Warm Water Pond Fish
Culture. FAO Fish Rep., 44: 1-10.
Jitunews.com. 2015. (online) Kerapu Batik, Grouper Cantik Berharga Mahal.
http://www.jitunews.com/read/10912/kerapu-batik-grouper-cantikberharga-mahal/. Diakses pada 5 September 2015.
Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup No.51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air
Laut. KLH: Jakarta.
Kordi. 2005. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan. Rineka Cipta: Jakarta
Langkosono. 2007. Budidaya Ikan Kerapu (Serranidae) dan Kualitas Perikanan. Neptunus.
14(1): 61-67.
Nazir, Mohammad. 2009. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia: Jakarta
Mizab Asdary et al , 2013. Hasil Kegiatan Perekayasaan Pembesaran Ikan Kerapu Hibrida
Kustang Di Bak Terkontrol, Laporan Hasil Perekayasaan. Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Air Payau Situbondo.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Putra. 2013. Teknik Pengelolaan Kualitas Air untuk Kultur Rotifera (Branchious sp) di Balai
Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo, Jawa Timur. Laporan Magang. Fakultas
Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Maritim Raja Ali Haji: Tanjung
Pinang.
Romimohtarto, K., dan Juwana, S. 1999. Biologi Laut. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: Jakarta.
SNI. 2003. Kualitas Air Laut (Cara Uji Nitrit secara Spektrofotometri). 19-6964.1-2003.
BSN: Jakarta.
Soeharmanto, Dwi., A. Bohari Muslim, Bambang Hanggono & Santoso. 2011. Peningkatan
Pemijahan Ikan Kerapu Kertang (Epinephelus lanceolatus) dengan Perubahan
Pola Penyuntikan Hormon pada Induk. Jurnal Perekayasaan Budidaya Payau &
Laut. ISSN; 1907-6843 Vol. IV Nomor 7 Tahun 2011. Hal 21-28
Subyakto, S. dan Cahyaningsih, S. 2005. Pembenihan Ikan Kerapu Skala Rumah Tangga.
Agromedia: Jakarta.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
60
Sugama, K., Tridjoko, Slamet, B., Ismi, S., Setiadi. E., & Kawahara, S. 2001. Manual for the
Seed Production on Humpack Grouper, Cromileptes altivelis. Gondol
Reasearch Institute for Mariculture and JICA, 37 pp.
Supratno, Tri K.P. 2006. Evaluasi Lahan Tambak Pesisir Jepara untuk Pemanfaatan
Budidaya Ikan Kerapu. Universitas Diponegoro: Semarang.
Wahyudi, Dzikri. 2009. Isolasi Promotor B-action Ikan Kerapu Kertang (Epinephelus
lanceolatus). Universitas Brawijaya: Malang
Wibisono. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Grasindo: Jakarta
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
61
PERBEDAAN LEVEL PROTEIN PAKAN TERHADAP PERTUMBUHAN ABALON (Haliotis
squamata) PROTEIN LEVEL IN ABALON TILLERS (Haliotis squamata) BREEDING
Hamzah1, Sugeng Raharjo1, Mohd. Syaichudin1, Suhardi A.B.S.1, Mutmainnah1,
Zainuddin2, Siti Aslamyah2
1
Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar
2
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin
Abstrak
Usaha mendapatkan alternatif pakan buatan untuk abalon penting dilakukan untuk
mengganti pakan alami yang berupa rumput laut Gracillaria sp agar jumlah dan kualitas
pakan abalon tidak tergantung oleh musim. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi
level protein pakan dengan kinerja pertumbuhan dan kelulusan hidup abalon H.
squamata, melalui pemberian pakan dengan kadar protein 52%, 43%, 32%, dan 22%
untuk masa pemeliharaan tiga bulan. Bahan pakan berupa tepung tempe, tepung ikan,
tepung kepala udang, ekstrak rumput laut Gracillaria sp. Penelitian ini menggunakan
benih abalon H. squamata yang digunakan berukuranantara 40,5-45,3 mm dengan
berat rata-rata 12,98 g sebanyak 240 benih. Level protein 22% dan 43% memiliki nilai
pertumbuhan bobot spesifik yang sama namun berbedaan secara signifikan (P<0,5)
dengan level protein lainnya, dan tidak adanya perbedaan yang signifikan (P>0,5) antara
pada pertumbuhan panjang cangkang spesifik, sintasan. Peneliti menyarankankandungan
protein pakan buatan yang baik untuk pembesaran abalon H. squamata sebesar 22%.
Kata kunci : abalon, pakan, protein.
Abstract
Efforts to obtain artificial feed for abalone is feed abalone important to replace the
natural food from seaweed Gracillaria sp so the amount and quality of feed abalone do
not depend on the season.The aim of the study was to evaluate the level of protein feed
on the growth performance and survival of abalone (H.squamata), through the
measurement of protein retention rate, the level of feed consumption and feed utilization
effectiveness. To observe the protein level of feed for abalone (H. squamata) is important
because protein are the largest component in the preparation of artificial food. The size
of abalone (H. squamata) was between 40.5 to 45.3 mm with an average weight of 12.98
g 240 for seed. Feed to be used is feed with a protein content of 52%, 43%, 32%, and 22%,
for three-month breeding period. The results showed that the protein level of 22% and
43% have a specific growth rate of the same weight, but berbedaan significantly(P<0.5)
with other protein levels, and no significant difference (P>0.5) between all feed with a
protein level of feed consumption rate, feed utilization efficiency, protein retention,
growth in shell length specific, survival rate and water quality maintenance. So disaran
for artificial feeding for the maintenance of seedlings abalone should use the feed with
22% protein value.
Keywords: abalon, feed, protein.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
62
PENDAHULUAN
Abalon (Haliotis squamata) merupakan kelompok moluska laut yang di Indonesia
dikenal dengan nama kerang mata tujuh, siput lapar kenyang. Abalon merupakan
gastropoda laut dengan satu cangkang yang hidup di daerah pasang surut yang tersebar
mulai dari perairan tropis sampai subtropis.Saat ini abalon termasuk jenis kekerangan
yang mulai dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan protein alternatif selain ikan.
Memiliki nilai gizi yang cukup tinggi dengan kandungan protein 54,13%, lemak 3,20%,
serat 5,60%, abu 9,11% dan kadar air 27,96% (Sofyan dkk., 2006).
Pada kegiatan budidaya abalon tentunya tidak terlepas dari masalah.Berbagai
kendala kegiatan budidaya abalon salah satunya berupa tingkat pertumbuhan abalon
yang sangat lambat (Susanto dkk., 2009). Kelambanan pertumbuhan abalon selain
disebabkan oleh faktor genetik juga disebabkan oleh asupan nutrisi yang kurang karena
selama ini masih menggunakan pakan alami berupa rumput laut.
Pemberikan pakan berupa rumput laut untuk pemeliharaan abalon memiliki
kelemahan diantaranya nilai konversi pakan yang tinggi, selain itu jumlah dan kualitas
bergantung
pada
musim.
Upaya
untuk
melakukan
pemberianpakanbuatandalambudidayaabalon
di
negeri
inimasihjarangdilakukan.Sementara di luar negeri pemberian pakan buatanuntuk
budidayaabalon telah dikembangkan, seperti diJepang, Taiwan, Amerika Serikat,
danAustralia.Percobaan pakan di Taiwan menunjukkan bahwa pertumbuhan
abalonmenggunakan pakan buatanadalah 65%lebih besardaripadaabalon yang
diberipakan makroalga (Kuncoro dkk., 2013).
Keunggulan penggunaan pakan buatan selain kandungan nutrisinya dapat disusun
berdasarkan kebutuhan dan perkembangan abalon, juga dapat disiapkan setiap
waktu.Pemberian
pakanbuatan
dengan
nilai
dan
sumberprotein
tertentudiharapkanmampumenghasilkan abalon berkualitas berupa berat badan yang
lebihbesar,panjang cangkang, kandungan proteinyangrelatiftinggi dan cita rasa yang
lebih baik (Patadjai dkk., 2012).
Protein pada pakan buatan merupakan salah satu nutrien yang penting karena
dapat membangun serta mempertahankan massa otot. Menurut Najib (2010), tinggi
rendahnya nilai persentase penambahan berat sangat dipengaruhi oleh kandungan
protein dalam suatu pakan, rendahnya jumlah protein dalam pakan akan menyebabkan
lambatnya pertumbuhan dan rendahnya penambahan berat. Pada penelitian yang
dilakukan Cho et al (2008), pakan dengan kandungan protein 37,6% untuk abalon
Haliotis discus-hannai Ino. lebih efesien pertumbuhannya dibandingkan lainnya.
Meskipun telah banyak penelitian yang mengungkapkan pemberian pakan buatan
untuk abalon, namun hingga sekarang berapa level optimal pakan buatan untuk
pertumbuhan abalon H. squamata belum banyak yang mengungkapkannya. Berdasarkan
hal tersebut, perlu dilakukanevaluasi level protein pakan dengan kinerja pertumbuhan
dan kelulusan hidup abalon H. squamata, melalui pemberian pakan dengan kadar
proteintertentu.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
63
BAHAN DAN METODE
Lokasi Penelitian
Penelitian ini bersifat kuantitatif, dilakukan Penelitian ini dilaksanakan di Divisi
Pembenihan Abalon Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar yaitu pada bulan Maret
2015 sampai pada bulan Juni 2015.
Materi Penelitian
Hewanuji yangdigunakan dalampenelitian ini adalah abalon H. squamatadengan
ukuran43,28±1,67 mm, bobot 12,98±1,34 g sebanyak 240 benih. Kemudian dibagi ke
dalam 20 ekor untuk empat perlakuan dan tiga ulangan. Wadah percobaan berupa
keranjang plastik ukuran 60x50x30 cm, yang dimasukkan dalam bak pemeliharaan bentuk
persegi empat volume 500 L dengan pergantian air sistem sirkulasi.
Pakanyangdigunakanberbentukflekdengankomposisibahanbakusepertiterlihat
pada
Tabel 1, dari komposisi bahan baku tersebut, maka kandungan protein pakan yang akan
digunakan adalah sekitar 52%, 43%, 32% dan 22%.Abalon diberi pakan sebanyak 5 % dari
biomassa perhari, pemberian pakan dilakukan sekaliper haripadapukul 17.00 WITA.
Desain Penelitian
Penelitian ini di desain dalam rancangan acak lengkap (RAL), dengan 4 perlakuan
level protein pakan, masing-masing dengan 3 kali pengulangan. Perlakuan tersebut
antara lain : pakan A : 52% protein pakan, pakan B : 43% protein pakan, pakan C : 32%
protein pakan dan pakan D : 22% protein pakan.
Pengumpulan Data
Parameter yang diamati selama percobaan berupa pertumbuhan abalon yang
meliputi panjang cangkang, dan bobot,Pengamatan dan perhitungan laju pertumbuhan
harian dilakukan pada awal dan akhir kegiatan penelitian dengan mengacu persamaan
rumus :
Persamaan bobot spesifik
(Wt – Wo)
Gs (g) =
x 100%
T
di mana :
G = Pertumbuhan bobot harian (g)
Gs= Pertumbuhan bobot spesifik (g)
Wo= Bobot abalon pada awal penelitian (g)
Wt= Bobot abalon pada akhir penelitian (g)
t = Lama pemeliharaan (90 hari)
Persamaan panjang cangkang spesifik
(Lt – Lo)
Ls (mm) =
x 100%
t
di mana :
L = Pertumbuhan panjang cangkang harian (mm)
Gs= Pertumbuhan panjang cangkang spesifik (mm)
Wo= Panjang cangkang abalon pada awal penelitian (mm)
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
64
Wt= Panjang cangkang abalon pada akhir penelitian (mm)
t = Lama pemeliharaan (90 hari)
Pengamatan sintasan (kelulusanhidup) dilakukan pada akhir kegiatan penelitian
dengan mengacu pada rumus :
Nt
S (%) =
x 100
No
Di mana : S = Sintasan, Nt = Jumlah akhir percobaan (ind) dan No = Jumlah awal
percobaan (ind).
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) dan data yang
menunjukkan pengaruh, maka analisis lanjutan dengan W-Tuckey.
HASIL
Pertumbuhan abalonyang diperoleh selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.
Hal tersebut menunjukkan pertumbuhan cangkang abalon yang diberikan pakan buatan
dengan kandungan protein yang berbeda, tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan
(P>0,5) antara pakan dengan kandungan protein 52%, 43%, 32%, dan 22%.Sementara
untuk pertumbuhan bobot abalonmenunjukkan perbedaan yang signifikan (P<0,5).
Artinya pakan dengan nilai protein 52% berbeda dengan pakan pakan lainnya, sementara
pakan pakan dengan nilai protein 22% hingga 43% memiliki pengaruh pertumbuhan
untuk bobot abalon yang sama atau tidak ada perbedaan pertumbuhan abalon dengan
pemberian pakan yang bernilai protein 22% hingga 43%. Sehingga perbedaan nilai
protein pakan menyebabkan perbedaan pertumbuhan bobot abalon, namun tidak
menyebabkan perbedaan pertumbuhan cangkang abalon.
Pertumbuhan abalon berupa pertambahan panjang, lebar dan bobot
memperlihatkan bahwa perlakuan pakan dengan kadar protein 22% lebih tinggi jika
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hasil ini menunjukkan bahwa pakan yang
D(22%) yang disusun atas bahan protein dari tepung tempe, tepung ikan, dan tepung
kepala udang lebih berimbang jumlahnya dan nilai kandungan proteinnya mendekati
kandungan protein pakan alami abalon berupa Gracillaria verucosa dengan nilai protein
sebesar 8,0651%.
Pertumbuhan panjang cangkang spesifik secara individu lebih tinggi pada
pemberian pakan dengan nilai protein 22% dimana pertumbuhan panjang cangkang
harian spesifik 7,33±1,89%dengan bobot spesifik 5,89±1,08% , kemudian berturut-turut
perlakuan dengan nilai protein 43, 32, dan 52%.
Berdasarkan data Tabel 3 dapat diketahui bahwa sintasan abalon secara statistik
tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (P>0,05). Artinya tidak ada perbedaan
sintasan abalon dengan pemberian pakan yang bernilai protein 22% hingga 52%.
Meskipun secara individu lebih tinggi pada pemberian pakan dengan nilai protein 22 dan
53% dimana keduanya memilikisintasan yang sama yaitu 85%.
PEMBAHASAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan cangkang abalon secara statsitik
tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (P>0,05). Artinya tidak ada perbedaan
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
65
pertumbuhan abalon dengan pemberian pakan yang bernilai protein 20% hingga
52%.Sementara untuk pertumbuhan bobot abalon menunjukkan perbedaan yang
signifikan (P<0,5).Pakan dengan kandungan protein 22% dan 43% berbeda dengan pakan
lainnya, dimana pakan dengan kandungan protein 22% hingga 43% memberikan
pengaruh pertumbuhan untuk bobot abalon yang lebih baik jika bandingkan dengan
pakan dengan kandungan protein 32% dan 52%. Hasil ini memperlihatkan bahwa pakan
dengan komposisi sumber protein yang berimbang antara protein hewani dan protein
nabati lebih baik jika dibandingkan dengan pakan yang hanya tersusun dari salah satu
sumber protein.Dimana pemberian pakan dengan nilai protein 22% memberikan
pengaruh pertumbuhan bobot spesifik lebih tinggi dengan nilai sebesar
5,90±1,08%.Sehingga dari penelitian ini dapat disebutkan bahwa pakan terbaik untuk
abalon H. squamata berada pada nilai protein 22%.Selain itu, dengan pemberian pakan
dengan kadar protein 22% tentunya lebih hemat dibandingkan kadar protein yang lebih
tinggi.. Penelitian yang sama diperlihatkan pada ikan Pacu (Piaractus mesopotamicus)
yang diberi pakan buatan dengan nilai protein 22%-25%, hasilnya tidak berpengaruh
nyata terhadap pertumbuhan ikan Pacu (Abimorad & Carneiro, 2007). Namun hasil yang
berbeda diperlihatkan pada penelitian pada ikan salmon yang diberi pakan dengan
mengatur nilai perbandingan protein dan lemak, dimana ikan salmon yang diberi pakan
dengan nilai protein rendah yaitu 34% dan nilai lemak 36% menunjukkan perbedaan
yang signifikan dengan pemberian pakan dengan nilai protein tinggi yaitu 39% dan nilai
lemak 32% (Karalazos et al., 2007).
Komposisi cangkang moluska terdiri atas 95%-99% kalsium karbonat dan 5%
lainnya terdiri atas bahan organik (Zhang & Zhang, 2006). Pada penelitian ini
memperlihatkan bahwa peningkatan protein tidak meningkatkan kinerja pertumbuhan
cangkang abalon H. squamata, hasil yang berbeda didapatkan pada ikan duri perak
(Puntius gonionotus) dimana pemberian pakan buatan dengan nilai protein 20%, 25%,
30%, 35%, dan 40%, menunjukkan hasil berupa pemberian pakan 30% lebih efektif
kinerja pertumbuhannya dibandingkan dengan pakan lainnya (Mohanta et al., 2008).
Pada penelitian ini dengan pemberian pakan untuk nilai protein 22% memberikan
pertambahan pertumbuhan bobot spesifik yang lebih baik, yaitu 5,90±1,08% dalam 3
bulan pemeliharaan. Hasil yang hampir sama juga dikemukan oleh Cho et al (2008),
pertumbuhan abalon H. discus-hannai yang diberi pakan dengan nilai protein 37,6 %
lebih baik jika dibandingkan dengan pakan dengan nilai protein 38,3%; 36,5%; 36,8%; dan
10,5%. Adapun komposisi bahan pakan untuk 37,6% yaitu tepung ikan (20%), tepung
kedelai (20%), tepung kepala udang (13%), dextrin (13,6%), tepung terigu (5%), minyak
kedelai (4%), sodium alginate (22%), vitamin (2%), dan mineral (4%). Namun hasil yang
agak berbeda diperlihatkan pada benih ikan meksiko silverside (Menidia estor) dimana
pada perlakuan pemberian pakan dari nilai protein 25%, 30%, 35%, 45%, 50%, dan 55%,
yang terbaik pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya pada tingkatan nilai protein
antara 40% dan 50% (Martinez-palacioset.al., 2007).
Pada penelitian ini menunjukkanbahwa sintasan abalon dari semua level protein
tidak ada perbedaanmeskipun nilai protein pakan yang dikomsumsi berbeda, artinya
abalon dapat hidup dengan pemberian pakan buatan meskipun nilai proteinnya rendah.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
66
Sehingga dalam budidaya abalon dapat dilakukan subtitusi pakan dari pakan alami yang
berupa Gracillaria sp ke pakan buatan dengan nilai protein tertentu.
Hasil ini juga menunjukkan bahwa pakan yang D (22%) lebih mendekati kandungan
protein pakan alaminya abalon berupa Gracillaria sp sebagaimana yang kemukakan oleh
Nurfajrie dkk (2014), hasil analisa proximat berbagai jenis rumput laut, yang tertinggi
adalah jenis Gracillaria verucosa dengan nilai protein sebesar 8,0651%, Ulva sp sebesar
6,4387%, Gracillaria arcuata 7,0652% dan yang terendah pada rumput laut E. spinosum,
yaitu 4,128%.
Keseimbangan komponen nutrisi pakan berupa protein, karbohidrat, dan lemak
harus juga diperhatikan dalam pemberian pakan buatan untuk abalon karena
sebagaimana yang sampaikan Mohanta et al (2007), pemberian pakan untuk ikan duri
perak yang terbaik pada nilai protein 25% dan karbohidrat34%, namun protein dapat
berada pada kisaran 25%-30% dan karbohidrat pada kisaran 26%-34%.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa level protein 22% dan 43%
memiliki nilai pertumbuhan bobot spesifik yang sama namun berbedaan secara signifikan
(P<0,5) dengan level protein lainnya, dan tidak adanya perbedaan yang signifikan (P>0,5)
antara pada pertumbuhan panjang cangkang spesifik, sintasan.Kandungan protein pakan
22%sudah cukup baik dalam menunjang kinerja pertumbuhan dan sintasan abalon.
DAFTAR PUSTAKA
Abimorad E.G & Carneiro D.J. (2007).Digestibility and performance of Pacu (Piaractus
mesopotamicus) juvebil-feed diet containing different protein, lipid and
carbohydrate levels.Aquaculture Nutrition Vol. 13.1-9
Cho S,H., Park J., Kim C., & Yoo J.H. (2008). Effect of casein substitution with fishmeal,
soybean meal and crustacean meal in the diet of the abalone Haliotis
discushannai Ino. Aquaculture Nutrition.Vol. 14. 61-66.
Kuncoro A., Sudaryono A., Sujangka A., Setyabudi H., & Suminto.(2013). Pengaruh
pemberian pakan buatan dengan sumber proteinyang berbeda terhadap efisiensi
pakan,
laju
pertumbuhan,dan
kelulushidupanbenih
abalone
hybrid.JournalofAquacultureManagementandTechnology.Volume2, Nomor3,5663.
Karalazos V., Bendiksen E.A., Dick J.R., & Bell J.G. (2007). Effects of dietary protein, and
fat level and rapeseed oil on growth and tissue fatty acid composition and
metabolism in Atlantic salmon (Salmon salar L.) reared at low water
temperatures. Aquaculture Nutrition Vol. 13; 256-265.
Najib M. (2010). Uji potensi pakan alami makroalga (Gracilaria gigas dan Euchema
cottoni) dan pakan buatan (pelet) untuk pembesaran abalone tropis Haliotis
asinina ,Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya. Balai Budidaya Laut Lombok.Lombok.
Nurfajrie, Suminto, &Rejeki S. (2014).Pemanfaaatan berbagai jenis makroalga untuk
pertumuhan abalaon (Haliotis squamata) dalam budidaya pembesaran.Jurnal of
Aquaculture Management and Technology Volume 3, Nomor 4, halaman 142150.
Martinez-Palacios C.A., Rios-Duran M.G., Ambriz-Cervantes L., Jauncey K.J., & Ross L.G.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
67
(2007).Dietary protein requirement of juvenile Mexican Silverside (Menidia estor
Jordan 1879), a stomachless zooplanktophagous fish.Aquaculture Nutrition Vol.
13; 304-310.
Mohanta K.N., Mohanty S.N., & Jena J.K. (2007). Protein-sparing effect of carbohydrate in
silver barb, Puntius gonionotus fry. Aquaculture nutrition Vol. 13; 311-317.
Mohanta K.N., Mohanty S.N., Jena J.K., & Sahu N.P. (2008). Protein requirement of silver
barb, Puntius gonionotus fingerlings.Aquaculture Nutrition Vol. 14; 143-152.
Patadjai A.B.,MetusalachJ.,Genisa& Tahir A. (2012).
Analisiskualitasdaging
abalon,Haliotisasininayang diberipakanformulasidanpakan alami (Disertasi).
Makassar:Universitas Hasanuddin.
Sofyan Y., Bagja I., Sukriadi, Yana A.,& Dadan K.W. (2006).Pembenihan abalon (Haliotis
asinina) di Balai Budidaya Laut Lombok.Departemen Kelautan dan Perikanan.
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Laut Lombok.
Susanto B., Rusdi I., Ismi S., & Rahmawati R.(2009).Pemeliharaan yuwana abalon (Haliotis
squamata) turunan F-1 secara terkontrol dengan jenis pakan berbeda.Laporan
akhir.Program Insentif.Peningkatan Kemampuan Penelitian dan Perekayasa.Dewa
Riset Nasional.Kementerian Negara Riset dan Teknologi.11 hlm.
Zhang C& Zhang R.(2006).Matrix proteins in the outher shells of molluscs.Marine
Biotechnology, Volume8 : p. 572-786.
Lampiran 1 :
Tabel 1. Komposisi bahan penyusun pada setiap perlakuan
Bahan Baku
Komposisi Bahan (%)
B (43%)
C (32%)
55,00
12,00
10,00
40,00
10,00
22,00
17,00
18,00
1,50
1,50
3,00
3,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
0,5
0,5
A (52%)
80,00
2,00
5,00
5,00
1,50
3,00
1,00
1,00
1,00
0,5
Tepung tempe
Tepung ikan
Tepung kepala udang
Ekstrak E. cottoni
Tepung “agar “
Tepung “jelly”
Minyak ikan
Mineral
Vitamin
CMC
Total
100
100
D (22%)
15,00
16,00
15,00
46,00
1,50
3,00
1,00
1.00
1,00
0,5
100
100
Tabel 2. Pertumbuhan abalon
Pertumbuhan
Perlakuan
A (52%)
Panjang Cangkang Spesifik (%)
Bobot Spesifik (%)
4,43±0,67a
1,62±0,37a
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
68
B (43%)
7,10±0,65a
5,65±0,51b
C (32%)
5,10±3,14a
2,34±1,69a
D (22%)
7,33±1,89a
5,90±1,08b
Tabel 3. Sintasan
Perlakuan
Sintasan (%)
A (52%)
85,00±0,00a
B (43%)
83,33±2,89ab
C (32%)
76.67±5,77b
D (22%)
85,00±0.00a
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
69
PROTEIN LEVEL IN ABALON TILLERS (Haliotissquamata) BREEDING
Hamzah, SugengRaharjo, Mohd.Syaichudin, Suhardi A.B.S.,Mutmainnah
BalaiPerikananBudidaya Air PayauTakalar
Abstract
Efforts to obtain artificial feed for abalone is feed abalone important to replace the
natural food from seaweed Gracillariasp so the amount and quality of feed abalone do
not depend on the season. The aim of the study was to evaluate the level of protein feed
on the growth performance and survival of abalone (H.squamata), through the
measurement of protein retention rate, the level of feed consumption and feed
utilization effectiveness. To observe the protein level of feed for abalone (H. squamata)
is important because protein are the largest component in the preparation of artificial
food. The size of abalone (H. squamata) was between 40.5 to 45.3 mm with an average
weight of 12.98 g 240 for seed. Feed to be used is feed with a protein content of 52%,
43%, 32%, and 22%, for three-month breeding period. Different value of abalone feed
protein had no significant effect on the abalone growth performance and survival. The
value of good feed protein for abalone (H. squamata) was enlarged by 22%.
Keywords: abalon, feed, protein
Tabel 1.The composition of constituents in each treatment
Raw material
Tempeh flour
Fish flour
Shrimp heads flour
ExtractE. cottoni
Flour “agar “
Flour “jelly”
Fish oil
Mineral
Vitamin
A (52%)
80.00
2.00
5.00
5.00
2.00
3.00
1.00
1.00
1.00
Composition (%)
B (43%)
C (32%)
55.00
12.00
10.00
40.00
10.00
22.00
17.00
18.00
2.00
2.00
3.00
3.00
1.00
1.00
1.00
1.00
1.00
1.00
D (22%)
15.00
16.00
15.00
46.00
2.00
3.00
1.00
1.00
1.00
Tabel 2.Abalone growth
Treatment
A (52%)
B (43%)
C (32%)
D (22%)
Growth
Specific shell
Specific weights
length (%)
(%)
a
4.43±0.67
1.62±0.37a
7.10±0.65a
5.65±0.51a
a
5.10±3.14
2.34±1.69a
7.33±1.89a
5.90±1.08a
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
70
Tabel 3.Survival rate
Treatment
A (52%)
B (43%)
C (32%)
D (22%)
Survival
85.00±0.00a
83.33±2.89a
76.67±5.77a
85.00±0.00a
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
71
PRELIMINARY
Abalone (Haliotissquamata) is a marine mollusk that group in Indonesia known as
the shells of abalone, snails hunger satiety. Abalone is a marine gastropod with a shell
that lives in tidal areas stretching from the tropics to temperate waters. Currently
abalone including the type of oyster that was developed to meet the needs of
alternative protein than fish. Has a high nutritional value of the protein content of
54.13%, 3.20% fat, 5.60% fiber, 9.11% ash and moisture content of 27.96% (Sofyan et
al., 2006).
On abalone farming activities must not be separated from the problem. Various
obstacles abalone aquaculture one form of abalone growth rates were very slow
(Susanto et al., 2009). Growth of abalone in addition to inaction caused by genetic
factors also caused by lack of nutrition because still use the natural food form of
seaweed.
Feeding the form of seaweed for the maintenance of abalone has drawbacks
including high feed conversion value, in addition to the amount and quality depending
on the season. Attempts to make artificial feeding in abalone farming in this country is
still rare. While abroad artificial feeding for abalone aquaculture have been developed,
such as in Japan, Taiwan, USA, and Australia. Experiments feed in Taiwan showed that
the growth of abalone using artificial feed is 65% larger than abalones fed macroalgae
(Kuncoro et al., 2013).
Benefits of the use of artificial feed in addition to the nutritional content can be
arranged based on the needs and development of abalone, can also be prepared each
time. Artificial feeding with a certain value and a source of protein is expected to
produce quality abalone in the form of greater weight, shell length, relatively high
protein content and taste better (Patadjai et al., 2012).
The proteins on artificial feed is one of the essential nutrients because it can build
up and maintain muscle mass. According to Najib (2010), the intensity of the percentage
weight gain is strongly influenced by the protein content in a feed, the low amount of
protein in the diet will lead to slow growth and poor weight gain. In the study
conducted Cho et al (2008), feed with a protein content of 37.6% for abalone Haliotis
discus-hannaiIno. growth more efficiently than others.
Despite the many studies that reveal the artificial feeding of abalone, but until
now what the optimal level of artificial feed for growing abalone H. squamata not much
to reveal. Based on this, it is necessary to evaluate the level of protein feed with the
performance of growth and the survival of abalone H. squamata, through feeding with
high levels of certain proteins.
MATERIALS AND METHODS
Location research
This research is quantitative, conducted research was conducted at the Division
Abalone Breeding Center Brackish Water Aquaculture Takalar in March 2015 until June
2015.
Material research
Test animals were used in this study is the abalone H. squamata with the size of
43.28 ± 1.67 mm, weight of 12.98 ± 1.34 g of 240 seeds. Then divided into 20 fish for
four treatments and three replications. Containers experiment in the form of a plastic
basket size 60x50x30 cm, inserted in a tub maintenance rectangular shape with a
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
72
turnover volume of 500 L water circulation system. Feed used shaped spots with raw
material composition as shown in Table 1, from the raw material composition, the
protein content of feed to be used is about 52%, 43%, 32% and 22%. Abalone were fed
as much as 5% of biomass per day, feeding is done once per day at 17.00 pm.
Research design
This study was designed in a completely randomized design (CRD) with 4
treatments protein level of feed, each with three repetitions. The treatments include:
feed A: 52% protein feed, the feed B: 43% protein feed, feed C: 32% protein feed and
feed D: 22% protein feed.
Data collection
The parameters were observed during the trial in the form of growth that
includes abalone shell length and weight, observations and calculations performed daily
growth rate at the beginning and end of the research activities by referring the equation
formula:
Equation specific weight
(Wt – Wo)
Gs (g) =
x 100%
t
where:Gs = Growth specific weight (g)
Wo = weight of abalone at baseline (g)
Wt = Weight of abalone at the end of the study (g)
t = Length of maintenance (90 days)
Equation specific shell length
(Lt – Lo)
Ls (mm) =
x 100%
t
where: Ls= specific growth in shell length (mm)
Wo= length of abalone shells at baseline (mm)
Wt= length of abalone shells at the end of the study (mm)
t = Length of maintenance (90 days)
Observation of survival (the survival) at the end of the research activities with reference
to the formula:
Nt
S (%) =
x 100
No
Where: S = Survival
Nt = Total end of the experiment (ind)
No = Number of start of the experiment (ind).
Data analysis
Data were analyzed by analysis of variance (ANOVA) and data showing the
influence, then further analysis of the W-Tuckey.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
73
RESULTS
Abalone growth obtained during the study are shown in Table 2. It shows the
growth of abalone shells given artificial feed with different protein content, did not
show a significant difference (P> 0.5) between the feed with a protein content of 52%,
43% , 32% and 22%. As for the growth of abalone weight showed a significant difference
(P <0.5). This means that feed the protein value 52% in contrast to feed other feed,
while feed feed with a protein value of 22% to 43% have a growing influence on the
weight of abalone that is equal to or no difference in the growth of abalone by feeding
valuable protein 22% to 43%. So the difference in the value of the feed protein causes
weight difference abalone growth, but does not cause differences in the growth of
abalone shells.
The growth of abalone in the form of the length, width and weight of the feed
showed that treatment with a protein content of 22% higher when compared to other
treatments. These results indicate that feed D (22%) were prepared on the protein
material from soybean flour, fish meal and shrimp head flour more balanced in number
and value of its protein content closer to the protein content of the natural food
abalone form Gracillariaverucosa the protein value of 8.0651 %.
Growth of specific individual shell length were higher in feeding with protein
value 22% where a specific daily growth in shell length 7.33 ± 1.89% with a specific
weight of 5.89 ± 1.08%, and then successively treated with the protein value 43, 32, and
52%.
Based on the data in Table 3 it can be seen that the abalone survival rate showed
no statistically significant difference (P> 0.05). This means that there is no difference in
the survival rate of abalone by feeding valuable protein 22% to 52%. Although
individually higher in feeding with protein values of 22 and 53% where both have the
same survival rate is 85%.
DISCUSSION
This study shows that the growth of abalone shells did not show statistically
significant differences (P> 0.05). This means that there is no difference in the growth of
abalone by feeding valuable protein 20% to 52%. As for the growth of abalone weight
showed a significant difference (P <0.5). Feed with a protein content of 22% and 43% in
contrast to other feed, where feed with a protein content of 22% to 43% to give effect
to the growth of abalone weight better when compared with the feed with a protein
content of 32% and 52%. These results show that feed with a balanced composition of
sources of protein include animal protein and vegetable protein is better than the feed
which is only composed of a source of protein. Where feeding with protein value of 22%
influenced the growth of higher specific weight with a value of 5.90 ± 1.08%. So, from
this study may be mentioned that the best feed for abalone H. squamata is at a value of
22% protein. In addition, by feeding the protein content of 22% certainly more efficient
than a higher protein content .. The same study shown in Pacu fish
(Piaractusmesopotamicus) fed artificial protein value 22% -25%, the result was not
significant the Pacu fish growth (Abimorad&Carneiro, 2007). However, different results
are shown in the study in salmon fed with adjusting the ratio of protein and fat, where
the salmon fed with protein value low at 34% and the fat 36% showed a significant
difference by feeding with high protein value ie 39% and 32% fat values (Karalazos et al.,
2007).
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
74
Shells of molluscs composition consisting of 95% -99% calcium carbonate and 5%
consisting of organic material (Zhang & Zhang, 2006). In this study showed that
increasing protein did not improve growth performance H. squamata abalone shell, the
different results obtained on silver barb fish (Puntiusgonionotus) where artificial feeding
with protein values of 20%, 25%, 30%, 35%, and 40 %, show the results in the form of
feeding 30% more effective growth performance compared with other feed (Mohanta
et al., 2008).
In this study, the feeding of protein value added growth of 22% gives a better
specific weight, namely 5.90 ± 1.08% within 3 months of maintenance. Almost the same
results are also raised by Cho et al (2008), the growth of abalone H. discus-hannai fed
with protein value of 37.6% better than the feed with a protein value of 38.3%; 36.5%;
36.8%; and 10.5%. The composition of the feed material to 37.6% ie fish meal (20%),
soybean meal (20%), flour shrimp heads (13%), dextrin (13.6%), wheat flour (5%),
soybean oil ( 4%), sodium alginate (22%), vitamin (2%), and minerals (4%). But the
results were somewhat different shown in fish seed Mexico silverside (Menidiaestor)
where the treatment of the feeding of protein value 25%, 30%, 35%, 45%, 50% and 55%,
the best growth and survival in stage protein value of between 40% and 50% (Martinezpalacios et.al., 2007).
In this study showed that the survival rate of abalone from all the protein level
there is no difference even if the value of different protein feed consumed, meaning
abalone can live with artificial feeding despite low protein values. Thus, in the
cultivation of abalone do feed substitution of natural food in the form of artificial feed
gracillariasp to the value of a particular protein.
These results also showed that feed D (22%) approximates protein natural food
abalones form gracillariasp as pointed out by Nurfajrie et al (2014), the results of
analysis Proximate various types of seaweed, the highest is the type gracillariaverucosa
the protein value of 8.0651%, 6.4387% of Ulvasp, Gracillariaarcuata 7.0652% and the
lowest in E. spinosum seaweed, which is 4.128%.
Balance component feed nutrients such as protein, carbohydrates, and fats
should also be considered in the provision of artificial feed for abalone because as
convey Mohanta et al (2007), feeding on fish spines silver best in value of 25% protein
and carbohydrate 34%, but protein may be in the range of 25% -30% and carbohydrates
in the range of 26% -34%.
CONCLUSIONS AND RECOMMENDATIONS
Based on these results it can be concluded that the protein level of 22% and 43%
have a specific growth rate of the same weight but berbedaan significantly (P <0.5) with
other protein levels, and no significant difference (P> 0.5) among the specific shell
length growth, survival rate. Feed protein content of 22% is good enough to support the
growth performance and survival rate of abalone.
LITERATURE
Abimorad E.G &Carneiro D.J. (2007).Digestibility and performance of Pacu
(Piaractusmesopotamicus) juvebil-feed diet containing different protein, lipid
and carbohydrate levels.Aquaculture Nutrition Vol. 13.1-9
Cho S,H., Park J., Kim C., &Yoo J.H. (2008). Effect of casein substitution with fishmeal,
soybean meal and crustacean meal in the diet of the abalone Haliotis
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
75
discushannaiIno. Aquaculture Nutrition.Vol. 14.61-66.
Kuncoro A., Sudaryono A., Sujangka A., Setyabudi H., &Suminto.(2013). Pengaruh
pemberian pakan buatan dengan sumber protein yang berbeda terhadap
efisiensi pakan,laju pertumbuhan, dan kelulushidupan benih abalone hybrid.
Journalof Aquaculture Managementand Technology. Volume2, Nomor 3, 5663.
Karalazos V., Bendiksen E.A., Dick J.R., & Bell J.G. (2007). Effects of dietary protein, and
fat level and rapeseed oil on growth and tissue fatty acid composition and
metabolism in Atlantic salmon (Salmon salar L.) reared at low water
temperatures. Aquaculture Nutrition Vol. 13; 256-265.
Najib M. (2010). Ujipotensipakanalamimakroalga (GracilariagigasdanEuchemacottoni)
danpakanbuatan
(pelet)
untukpembesaran
abalone
tropisHaliotisasinina ,DepartemenKelautandanPerikananDirektoratJenderalPer
ikananBudidaya. BalaiBudidayaLaut Lombok.Lombok.
Nurfajrie,Suminto,&RejekiS.(2014).Pemanfaaatanberbagaijenismakroalgauntukpertumu
hanabalaon
(Haliotissquamata)
dalambudidayapembesaran.Jurnal
of
Aquaculture Management and Technology Volume 3, Nomor 4, halaman 142150.
Martinez-Palacios C.A., Rios-Duran M.G., Ambriz-Cervantes L., Jauncey K.J., & Ross L.G.
(2007).Dietary protein requirement of juvenile Mexican Silverside
(Menidiaestor
Jordan
1879),
a
stomachlesszooplanktophagous
fish.Aquaculture Nutrition Vol. 13; 304-310.
Mohanta K.N., Mohanty S.N., & Jena J.K. (2007). Protein-sparing effect of carbohydrate
in silver barb, Puntiusgonionotus fry. Aquaculture nutrition Vol. 13; 311-317.
Mohanta K.N., Mohanty S.N., Jena J.K., &Sahu N.P. (2008). Protein requirement of silver
barb, Puntiusgonionotus fingerlings.Aquaculture Nutrition Vol. 14; 143-152.
PatadjaiA.B.,MetusalachJ.,Genisa&TahirA.(2012).Analisiskualitasdagingabalon,Haliotisa
sininayangdiberipakanformulasidanpakanalami(Disertasi).
Makassar:UniversitasHasanuddin.
Sofyan Y., Bagja I., Sukriadi, Yana A., &Dadan K.W. (2006).Pembenihanabalon
(Haliotisasinina)
di
BalaiBudidayaLaut
Lombok.DepartemenKelautandanPerikanan.DirektoratJenderalPerikananBudid
aya. BalaiBudidayaLaut Lombok.
Susanto B., Rusdi I., Ismi S., &Rahmawati R. (2009).Pemeliharaanyuwanaabalon
(Haliotissquamata)
turunan
F-1
secaraterkontroldenganjenispakanberbeda.Laporanakhir.Program
Insentif.PeningkatanKemampuanPenelitiandanPerekayasa.DewaRisetNasional.
Kementerian Negara RisetdanTeknologi.11 hlm.
Zhang C & Zhang R. (2006).Matrix proteins in the outher shells of molluscs.Marine
Biotechnology, Volume 8 : p. 572-786.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
76
Produksi Clownfish Hybrid Varian Picasso (Amphiprion percula picasso) dengan Padat
Tebar Yang Berbeda di Keramba Jaring Apung
Narulitta Ely, Sunarto dan Syaripuddin
Abstrak
Clownfish di alam merupakan ikan omnivore (pemakan hewan dan tumbuhan),
makanannya berupa invertebrate kecil yang sesuai dengan bukaan mulutnya seperti
crustacean, cacing renik, larva ikan, algae juga diketahui memenuhi 20 – 25% kebutuhan
nutrisinya. Berbeda dengan clownfish yang dibudidayakan dimana kebanyakan
pakannya adalah pakan buatan (pellet).
Kegiatan budidaya telah diupayakan melalui keberhasilan breeding guna
menghasilkan benih yang berkualitas. Namun hal itu belumlah cukup, mengingat yang
dinikmati dari ikan hias adalah corak warna dan keindahan bentuk tubuhnya. Pengaruh
pakan memegang peranan penting dalam pembentukan warna dari ikan hias. Guna
memberikan keleluasaan gerak serta kompetisi pakan agar didapat pertumbuhan yang
optimal perlu diperhatikan kepadatan tebar di keramba Jaring Apung. Padat tebar erat
kaitannya dengan produksi dan pertumbuhan ikan.
Dengan demikian pada kegiatan perekayasaan ini dicoba menggunakan padat
tebar yang berbeda pada pemeliharaan clownfish Picasso di keramba jaring apung (KJA).
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui efektifitas penggunaan padat
tebar yang berbeda terhadap pertumbuhan dan kelulusan hidup (SR) clownfish
Picasso(Amphiprion percula picasso) di KJA. Kegiatan ini dilakukan pada bulan April Juli 2015 di Karamba Jaring Apung Teluk Ambon.
Pemeliharaan benih di KJA menggunakan wadah pemeliharaan berupa waring
bentuk kotak dengan ukuran 1 x 1 x 1 m. Perlakuan padat tebar 100 ekor/m3, 150 ekor/
m3, dan 200 ekor/ m3 masing- masing dua kali ulangan. Benih dipelihara selama dua
bulan dan selama masa pemeliharaan benih diberi pakan pellet dengan fekuensi
pemberian pakan dua kali sehari. Pengukuran sampel dan pengambilan data parameter
kualitas air media pemeliharaan dilakukan dua minggu sekali.
Pertambahan panjang clownfish Picasso tertinggi terjadi pada padat tebar 200
ekor yaitu sebesar 1.88 cm diikuti padat tebar 150 ekor/ m3 sebesar 1.5 cm dan
terendah pada padat tebar 100 ekor/ m3 yaitu sebesar 1.03 cm. Nilai sintasan pada
ketiga perlakuan menunjukkan bahwa sintasan tertinggi terjadi pada perlakuan padat
tebar 150 ekor/ m3 sebesar 90% diikuti perlakuan padat tebar 100 ekor/ m3 sebesar
70% dan perlakuan padat tebar 200 ekor/ m3 sebesar 55%. Dari beberapa parameter
kualitas air selama masa pemeliharaan menunjukkan bahwa kisaran kualitas air pada
media pemeliharaan clownfish Picasso masih dalam kondisi yang sesuai untuk
pemeliharaan clownfish Picasso dimana suhu berkisar antara 26.2 – 29.6°C,salinitas 30.5
– 33.5 ppt, pH 8.1 – 8.3 dan DO antara 4.34 – 5.91 mg/l.
Kata Kunci : Clownfish Picasso, Padat Tebar, KJA
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
77
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Clownfish berasal dari family Pomacentridae. Salah satu family terbesar dalam
komunitas ikan karang hingga saat ini diketahui ada sekitar 28 spesies. 27 spesies
diantaranya termasuk dalam marga Amphiprion dan dua lainnya marga Premnas.
Bentuknya yang cenderung bulat, ikan clown umumnya berwarna kuning oranye,
kemerahan, hitam dan putih dengan motif badan cenderung berupa garis putih.
Motifnya yang berwarna menyala dengan gerakan yang lucu ini yang membuatnya
dijuluki badut/Nemo Picasso.
Clownfish di alam merupakan ikan omnivore (pemakan hewan dan tumbuhan),
makanannya berupa invertebrate kecil yang sesuai dengan bukaan mulutnya seperti
crustacean, cacing renik, larva ikan, algae juga diketahui memenuhi 20 – 25% kebutuhan
nutrisinya. Berbeda dengan clownfish yang dibudidayakan dimana kebanyakan
pakannya adalah pakan buatan (pellet).
Kegiatan budidaya telah diupayakan melalui keberhasilan breeding guna
menghasilkan benih yang berkualitas. Namun hal itu belumlah cukup, mengingat yang
dinikmati dari ikan hias adalah corak warna dan keindahan bentuk tubuhnya. Pengaruh
pakan memegang peranan penting dalam pembentukan warna dari ikan hias. Guna
memberikan keleluasaan gerak serta kompetisi pakan agar didapat pertumbuhan yang
optimal perlu diperhatikan kepadatan tebar di keramba. Padat tebar erat kaitannya
dengan produksi dan pertumbuhan ikan.
Dengan demikian pada kegiatan perekayasaan ini dicoba menggunakan padat
tebar yang berbeda pada pemeliharaan clownfish di keramba jaring apung.
1.2. Tujuan
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui efektifitas penggunaan padat
tebar yang berbeda terhadap pertumbuhan dan sintasan (SR) clownfish (Amphiprion
percula picasso) di KJA.
1.3. Waktu dan Tempat
Kegiatan ini dilakukan pada bulan April - Juli 2015 di Karamba Jaring Apung Teluk
Ambon.
BAHAN DAN METODE
3.1. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang diperlukan untuk mendukung kegiatan perekayasaan
pemeliharaan clownfish picasso (Amphiprion percula picasso) dengan padat tebar
berbeda terhadap pertumbuhan dan sintasan (SR) clownfish (A. percula picasso) di KJA
dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 1. Alat dan bahan
No
Alat / Bahan
Kebutuhan
Keterangan
1 Benih Clownfish
900 ekor
Hewan uji
( A. percula Picasso)
2 waring ukuran 1 x 1 x 1 m (m3)
6 buah
Wadah pemeliharaan
3 KJA ukuran 3 x 3 x 3 m
1 buah
Wadah pemeliharaan
4 Pakan pellet
2 bag
Makanan ikan
5 Pemberat
12 bh
Penegang waring
6 cover penutup
6 buah
Pelindung waring
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
78
7
8
9
10
11
shelter dari pipa paralon
Mistar
Ember
Tanggo
ATK
18 buah
1 buah
3 buah
3 buah
1 set
Tempat sembunyi
Pengukur panjang
Penampung ikan
Penyerok ikan
Pencatatan &
pembuatan laporan
3.2. Metode Kerja
Bersama ini diberikan cara dan strategi pengujian:
1. Tahapan persiapan dan pemeliharaan benih yang akan dibesarkan di KJA :
a. Sediakan wadah pemeliharaan berupa waring dengan ukuran yang ada.
b. Pasang wadah pemeliharaan pada KJA sehingga terbentuk kotak dengan bantuan
pemberat pada keempat sisi pada bagian dasar waring.
c. Siapkan cover menutup waring.
2. Saat Pengujian :
a. Sediakan wadah pemeliharaan pengujian sebanyak 6 buah dengan ukuran
1x1x1m
b. Seleksi benih ikan dengan ukuran panjang ±2 cm dengan kriteria sehat, tidak
cacat, pergerakan aktif dan pola warna yang merata.
c. Masukkan benih ke dalam wadah yang telah disiapkan sesuai perlakuan padat
tebar 100 ekor/m3, 150 ekor/m3, dan 200 ekor/m3 masing- maing dua kali
ulangan.
d. Beri cover dan shelter untuk mencegah penetrasi panas langsung yang dapat
membuat ikan stress dan mati serta melindungi ikan dari predator burung laut.
e. Benih dipelihara selama dua bulan dan selama masa pemeliharaan benih diberi
pakan pellet dengan fekuensi pemberian pakan dua kali sehari.
3. Pengambilan data:
Selama pengujian pengamatan yang dilakukan meliputi :
a. Pengamatan jumlah kelulusan hidup benih (SR)
b. Panjang benih (cm)
c. Kualitas air
Data yang telah diperoleh dikumpulkan untuk kemudian diolah menjadi :
- Survival Rate (SR)
SR = Jumlah Ikan Yang Hidup X 100%
Jumlah ikan awal tebar
- Data pertambahan panjang (pertumbuhan)
- Data Parameter Kualitas Air Media Pemeliharaan
Dilakukan dengan menganalisa data kualitas air yang diterima dari hasil pengujian
oleh laboratorium kualitas air.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
79
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengambilan data pemeliharaan benih clownfish di KJA selama dua bulan dapat
dilihat pada tabel-tabel di bawah ini :
Tabel 2. Rata-rata Hasil Pengukuran Panjang Benih Clownfish di KJA
Panjang Benih Clownfish
Periode
26 April
10 Mei
24 Mei
7 Juni
21 Juni
1 Juli
Pertambahan Panjang
Padat Tebar
100 ekor/m3
(cm)
2.0
2.35
2.41
2.65
2.83
3.03
1.03
Padat Tebar
150 ekor/m3
(cm)
2.0
2.57
2.79
3.0
3.29
3.5
1.5
Padat Tebar
200 ekor/m3
(cm)
2.0
2.78
2.95
3.2
3.57
3.88
1.88
Apabila disajikan dalam bentuk grafik, pertumbuhan benih clownfish dapat dilihat pada
grafik dibawah ini:
Gambar 1. Pertambahan panjang clownfish selama pemeliharaan
Pertambahan panjang tertinggi terjadi pada padat tebar 200 ekor/m3 yaitu
sebesar 1.88 cm diikuti padat tebar 150 ekor/m3 sebesar 1.5 cm dan terendah pada
padat tebar 100 ekor /m3 yaitu sebesar 1.03 cm.
Berdasarkan tiga perlakuan diatas, pertumbuhan ikan clownfish mengalami
pertambahan panjang selama dua bulan pemeliharaan. Pertumbuhan terjadi apabila
ikan hidup pada lingkungan yang optimum (suhu, pH dan oksigen) serta kebutuhan
makanan yang mencukupi. Pada perekayasaan ini makanan berupa pakan pellet yang
diberikan masih sesuai dengan perbandingan padat tebar.
Kelulusan Hidup/survival rate (SR)
Nilai Kelulusan hidup/ survival rate (SR) benih selama dua bulan pemeliharaan
dapat dilihat pada table 3 di bawah ini:
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
80
Tabel 3. Rata-rata Hasil Perhitungan SR Benih Clownfish di KJA
SR Benih Clownfish
Padat Tebar
Periode
100 ekor /m3
(%)
150 ekor /m3
(%)
200 ekor /m3
(%)
26 April
100
100
100
10 Mei
100
100
97
24 Mei
95
99
97
7 Juni
79
95
63
21 Juni
72
92
60
1 Juli
70
90
55
Apabila disajikan dalam bentuk grafik ,pertumbuhan benih clownfish dapat dilihat pada
gambar dibawah ini:
Gambar 2. Rata-rata Hasil Perhitungan SR Benih Clownfish di KJA
Nilai sintasan pada ketiga perlakuan menunjukkan bahwa sintasan tertinggi terjadi pada
perlakuan padat tebar 150 ekor/m3 sebesar 90% diikuti perlakuan padat tebar 100
ekor/m3 sebesar 70% dan perlakuan padat tebar 200 /m3 sebesar 55%.
Kualitas Air Media Pemeliharaan Clownfish di KJA
Kualitas air media pemeliharaan selama dua bulan pengujian dapat dilihat pada tabel 4
di bawah ini :
Tabel 4. Rata-rata Hasil Pengukuran Parameter Kualitas Air Laut di KJA
Minggu
Suhu (⁰C)
Salinitas (ppt)
pH
DO (mg/L)
0
29.20
31.30
8.20
5.70
I
29.27
31.33
8.20
5.79
II
29.57
32.57
8.20
5.68
III
28.27
33.47
8.27
4.99
IV
28.00
32.50
8.27
4.90
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
81
V
26.33
33.17
8.23
4.51
Dari beberapa parameter kualitas air selama masa pemeliharaan menunjukkan
bahwa kisaran kualitas air pada media pemeliharaan clownfish masih dalam kondisi
yang sesuai untuk pemeliharaan clownfish dimana suhu berkisar antara 26.2 –
29.6°C,salinitas 30.5 – 33.5 ppt dan DO antara 4.34 – 5.91 mg/l.
Kualitas air dapat mempengaruhi pertumbuhan biota air. Jika kualitas air dalam suatu
perairan seperti suhu, pH, dan oksigen terlarut dalam air berada di luar kisaran
optimum, maka pertumbuhannya akan terhambat. Pengukuran kualitas air selama
penelitian meliputi suhu, oksigen terlarut (DO) dan pH.
Clownfish hidup pada kisaran suhu 27 - 30°C ; salinitas 28 – 32 ppt; DO min 4.5
mg/l dan pH 8.0 – 8.4 ( Basir, A.E dkk, 2014). Dengan demikian kualitas air media
pemeliharaan benih clownfish selama masa pemaliharaan di Keramba Jaring Apung
berada pada kisaran normal.
IV. Kesimpulan
Dari hasil kegiatan di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Pertambahan panjang tertinggi terjadi pada padat tebar 200 ekor/m3
2. Nilai sintasan pada ketiga perlakuan menunjukkan bahwa sintasan tertinggi terjadi
pada perlakuan padat tebar 150 ekor/m3
DAFTAR PUSTAKA
Basir, A.E., Abdul Gani dan Herlina Tahang. 2014. Teknik Pembesaran Ikan Clown. Seri
Budidaya Laut No. 5. Budidaya Ikan Hias Clown. Balai Perikanan Budidaya Laut
Ambon.
Direktorat Produksi, 2014. Budidaya Ikan Hias Clownfish (Amphiprion sp.). Leaflet.
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.
Henro Minjoyo, Suryadi Saputra dan Lucky Marzuki Nasution, 2013. Pembesaran
Clownfish (Amphiprion ocellaris) di Keramba Jaring Apung. Buletin Balai
Budidaya Laut No:32 Tahun 2013 ISSN : 0853-4411. Balai Besar Pengembangan
Budidaya Laut Lampung.
Ketur Maha Setiawati, dkk, 2011. Petunjuk Teknis Pembenihan Ikan Hias Klon
Amphiprion ocelaris dan Amphiprion percula. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Budidaya Laut Lampung.
SNI 7778:2012. Produksi Clownfish/Clownfish (Amphiprion ocellaris). Badan Standarisasi
Nasional.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
82
USE OF DIFFERENT TYPE OF FEED IN THE BLACK PHOTON CLOWNFISH (Amphiprion
percula) CULTURE IN RECIRCULATION SYSTEM
Hamida Pattah, Narulita Ely, Marwa, Rusli Raiba
Mariculture Development Center of Ambon
Email : [email protected]
ABSTRACT
Development of marine ornamental fish farming have been done by the
Mariculture Development Center of Ambon since 2014. The culture of ornamental fish
was done in controlled tanks and floating net cages. The main problem in the cultivation
of ornamental fish clownfish black photon is the type of feed appropriate to support
growth not yet found. The objectives of the research were to determine the
development of the body color, growth and survival rate of Black photon clownfish
seed. This research used three treatments of different feed type were artemia cysts (A),
artificial feed otohyme brand (B), artificial feed brand Magna (C).
The results showed no difference in the absolute growth and the survival rate of black
photon clownfish seed. The treatment which fed with artificial feed brand otohyme (B)
gave higher growth (1,6 cm) and survival rate (100%). The other treatments showed
1,37 cm growth and survival rate 87% (C), and 1,23 cm and 85% (A).
Key words : type of feed, Black photon clownfish, growth rate, survival rate
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
83
1. Pendahuluan
Ikan sebagai mahluk hidup di dalam kehidupannya membutuhkan bahan
makanan sebagai sumber energi dan gizi yang diperlukan dalam melakukan aktifitasnya
yang mencakup pertumbuhan dan perkembangan serta reproduksi yang dilakukannya.
Pada habitat alaminya yaitu perairan bebas sumber makanan yang diperlukan ikan telah
tersedia dengan sendirinya pada kondisi terkait dengan pola rantai makanan yang ada di
perairan tersebut.
Ketersediaan pakan di perairan bebas memungkinkan ikan untuk memilih dan
mencari sumber makanan yang dibutuhkannya tanpa terbatas ruang dan waktu.
Sedangkan ikan yang dibudidayakan dalam suatu aquarium relatif tidak mempunyai
alternatif lain dalam memilih dan mencari sumber makanan karena ruang gerak dan
habitatnya dibatasi. Situasi ini mengarahkan ikan dalam suatu kondisi ketergantungan
pakan yang disuplai dari luar lingkungannya. Ketersediaan pakan alami yang ada di
dalam perairan tersebut semakin menipis dengan bertambahnya ukuran ikan dan
bahkan pada waktu tertentu akan mengakibatkan habisnya pakan alami tersebut.
Besarnya populasi ikan dalam suatu perairan antara lain ditentukan oleh makanan
yang tersedia. Dari makanan ini ada beberapa faktor yang berhubungan dengan
populasi tersebut yaitu jumlahdan kualitas makanan yang tersedia, mudahnya tersedia
makanan, lama masa pengambilan dan cara memakan ikan. Jenis-jenis makanan yang
dimakan suatu spesies ikan biasanya tergantung pada kesukaan terhadap jenis makanan
tertentu, ukuran dan umur ikan, musim serta habitat hidupnya.
Kebiasaan makan ikan meliputi jenis, kuantitas dan kualitas makanan yang
dimakan oleh ikan. Tidak semua jenis makanan yang tersedia di sekitarnya dimakan dan
dapat dicerna dengan baik oleh ikan. Faktor-faktor yang menentukan dimakan atau
tidaknya suatu jenis organisme makanan oleh ikan yaitu, ukuran makanan, ketersediaan
makanan, warna terlihatnya makanan, dan selera ikan terhadap makanan, sedangkan
jumlah makanan yang dibutuhkan oleh suatu spesies ikan tergantung kepada kebiasaan
makanan, kelimpahan makanan, konversi makanan, serta suhu air, juga kondisi umum
dari spesies ikan tersebut.
Ikan nemo atau ikan clown berasal dari family Pomacentridae. Salah satu family
terbesar dalam komunitas ikan karang hingga saat ini diketahui ada sekitar 28 spesies.
27 spesies diantaranya termasuk dalam marga Amphipriondan dua lainnya marga
Premnas.Bentuknya yang cenderung bulat, Clownfish umumnya berwarna kuning
oranye, kemerahan, hitam dan putih dengan motif badan cenderung berupa garis putih.
Motifnya yang berwarna menyala dengan gerakan yang lucu ini yang membuatnya
dijuluki badut/klown. Clownfish merupakan ikan omnivore (pemakan hewan dan
tumbuhan), makanannya berupa invertebrate kecil yang sesuai dengan bukaan
mulutnya seperti crustacean, cacing renik, larva ikan, algae juga diketahui memenuhi 20
– 25% kebutuhan nutrisinya. Berbeda dengan clownfish yang dibudidayakan dimana
kebanyakan pakannya adalah pakan buatan (pellet). Pertumbuhan ikan nemo akan
mengalami peningkatan apabila pakan yang dikonsumsi secara kuantitas dan kualitas
terpenuhi. Oleh karena itu melalui kegiatan perekayasaan ini telah diuji cobakan pakan
komersial dengan kandungan protein yang berbeda dan artemia instan untuk
mengetahui Pertumbuhan clownfish dan menentukan pakan komersil yang terbaik
untuk usaha pembesaran clownfish.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
84
Tujuan dari kegiatan perekayasaan ini adalah untuk menentukan jenis pakan yang
tepat untuk pertumbuhan clownfish.
2. METODE PENELITIAN
2.1. Waktu dan Tempat
Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2015 bertempat di
hatchery Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon. Sumber benih ikan hias clownfish yang
digunakan dalam kegiatan ini berasal dari harchery ikan hias BPBL Ambon.
2.2. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah sebagai berikut:
A. Alat
Alat yang digunakan adalah :
- Filter biologi
- Aquarium
- Pompa
- Kontener plastic
- Heater
- Penggaris
- Tanggo
B. Bahan
Bahan yang digunakan adalah:
- Pakan artemia instan dengan kandungan protein 65%
- Pakan buatan dengan kandungan protein 50%
- Pakan buatan dengan kandungan protein 67%
- Benih clownfish
2.3. Metode kerja
2.3.1. Persiapan
Kegiatan ini dilakukan di semi indoor HPI BPBL Ambon. Diawali dengan
mempersiapkan air laut steril pada tiga buah wadah pemeliharaan dan satu buah
akuarium yang berisi air laut sebagai penampungan air. Air kemudian disterilkan dengan
menggunakan kaporit dosis 10 ppm dan kemudian dinetralkan dengan thiosulfate atau
diaerasi kuat selama 24 jam. bahan uji berupa clownfish jenis black photon yang
diperoleh dari hasil pemijahan secara alami di BPBL Ambon. Benih dimasukkan kedalam
3 buah kontener plastic volume 80 liter yang diisi 65 liter air laut. Setiap kontener
ditebar benih sebanyak 100 ekor.
2.3.2. Pemeliharan Benih
Benih dipelihara dengan system resirkulasi. Pakan diberikan setiap hari dengan
frekuensi pemberian 3 x sehari yaitu pada pagi, siang dan sore haridengan perlakuan
jenis yang berbeda. Perlakuan A = pakan artemia instan dengan kandungan protein 65%,
B = pakan buatan dengan kandungan protein 50%, C = pakan buatan dengan kandungan
protein 47%. Pemberian pakan dilakukan secara adlibithum.
2.3.3. Pengambilan Data
Data yang diperoleh dari kegiatan ini adalah berupa panjang total benih setiap 2
minggu untuk mengetahui laju pertumbuhan dan jumlah benih pada awal dan akhir
pemeliharaan untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup benih.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
85
2.4. Analisa Data
Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan panjang mutlak benih clownfish
dan kelangsungan hidup (SR).
 Pertumbuhan panjang mutlak
Menurut Effendie, 1979 pengukuran pertumbuhan panjang mutlak dilakukan
secara periodik dari awal hingga akhir penelitian dengan mengukur panjang ikan betok.
Lm = Lt - Lo
Dimana :
Lm: Pertumbuhan panjang mutlak (cm)
Lt: Panjang rata-rata pada akhir penelitian (cm)
Lo: Panjang rata-rata pada awal penelitian (cm)
 Perhitungan kelangsungan hidup (SR)
SR = Nt/No X 100%
Dimana :
SR : Kelangsungan hidup (%)
Nt : Jumlah ikan pada akhir pemeliharaan (individu)
No : Jumlah ikan pada akhir pemeliharaan (individu)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. HASIL
Hasil pemeliharaan benih Clownfishdengan jenis pakan yang berbeda, dapat dilihat pada
tabel 1.
Tabel 1. Pertumbuhan dan sintasan Clownfish selama pemeliharaan.
Perlakuan Jenis Pakan
Variabel
WaktuPemeliharaan (hari)
Panjang Awal (cm)
Pertambahan Panjang Akhir (cm)
Pertumbuhan (cm)
Sintasan (%)
A
B
C
(Artemia
(Pakan
(Pakan
instan/kandungan buatan/kandungan buatan/kandungan
protein 65%)
protein 50%)
protein 47%)
90
90
90
2.50
2.53
2.55
3.73
4.13
3.92
1.23
1.6
1.37
85
100
87
Data yang diperoleh memperlihatkan bahwa pada akhir pemeliharaan perlakuan
B (pakan buatan dengan kandungan protein 50%) memberikan pertumbuhan yang baik
yaitu 1,6 cm dengan SR 100% dibandingakan dengan perlakuan C (pakan buatan dengan
kandungan protein 47%) yaitu 1,37 cm dan SR 87% dan perlakuan A (artemia instan
dengan kandungan protein 65%) yaitu 1,23 cm dan SR 85. Pertumbuhan Clownfish
selama pemeliharaan dapat dilihat pada grafik berikut.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
86
Gambar 1. Grafik Pertumbuhan Benih Clownfish dengan Jenis Pakan Berbeda
Tabel 2. Data kualitas air media pemeliharaan selama pengujian
Minggu ke
Suhu
(⁰C)
Salinitas
(ppt)
pH
DO
(mg/L)
Nitrit Amonia
(mg/L)
(mg/L)
I
25.5
34.87
8.01
4.18
0.938
<0.050
II
24.4
34.10
8.07
4.89
>1
<0.050
III
24.4
35.28
8.13
4.75
0.088
0.533
IV
25.5
33.17
8.16
4.16
0.031
0.099
V
25.5
33.23
8.15
4.29
0.043
<0.050
VI
27.3
28.79
7.90
5.55
0.001
<0.050
VII
27.7
30.00
7.92
4.82
<0.002
<0.050
VIII
27.6
33.17
7.86
4.48
<0.002
<0.050
3.2. PEMBAHASAN
Pertumbuhan adalah pertambahan ukuran panjang atau berat dari satu unit
kehidupan secara bertahap dalam hitungan waktu. Pertumbuhan dipengaruhi oleh dua
factor yaitu factor internal dan eksternal. Faktor internal umumnya sulit dikontrol,
diantaranya adalah keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit. Faktor eksternal yang
utama yang mempengaruhi pertumbuhan ialah makana dan suhu perairan (Effendie,
1997).
Pertumbuhan mutlak yang dihasilkan perlakuan B (pakan buatan dengan
kandungan protein 50%) lebih tinggi yaitu 1,6 cm, bila dibandingkan dengan perlakuan A
(artemia instan dengan kandungan protein 65%) yaitu 1,23 cm dan C (pakan buatan
dengan kandungan protein 47%) 1,37 cm . Hal ini diduga disebabkan karena ukuran
pakan pada perlakuan B sesuai dengan ukuran bukaan mulut ikan sehingga ikan
mempunyai selera makan yang cukup tinggi dengan demikian energy untuk
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
87
pertumbuhannya terpenuhi. Selain itu juga kandungan protein pada perlakuan B cukup
tinggi yaitu 50 %sehingga dapatmenghasilkan pertumbuhan yang tinggi. Sesuai dengan
pernyataan Sugama (1986) bahwa untuk pertumbuhan permberian pakan harus
memperhatikan kandungan gizi pakan yang diberikan. Pada perlakuan C (pakan buatan
dengan kandungan protein 47%) memiliki pertumbuhan yang cukup rendah yaitu 1,37
cm diduga karena kandungan protein yang terkandung dalam pakan belum terpenuhi
untuk pertumbuhannya. Menurut Masyamsir 2001, kandungan protein untuk ikan
omnivore adalah 50%. Sedangkan pada perlakuan A (artemia instan dengan kandungan
protein 65%) memiliki kandungan protein yang cukup tinggi, namun ukuran pakan
sangat kecil sehingga ikan kurang mengkonsumsi pakan yang diberikan. Effendi 2004
menyatakan bahwa saat nafsu makan berkurang, asupan pakan ke dalam tubuh ikan
tersebut akan berkurang sehingga energy untuk pemeliharaan dan pertumbuhan tidak
terpenuhi. Hal tersebut bila berlangsung lama dapat menyebabkan kematian.
Ikan mengkonsumsi makanan pertama-tama untuk memenuhi kebutuhan
energinya. Kandungan energy dalam pakan berkaitan erat dengan konsumsi pakan.
Menurut Robinson et.al(2001) dalam Akbar, S.,dkk (2012) energy dalam pakan akan
mempengaruhi asupan pakan pada ikan yang diberi makan secara ad libitum. Jika energi
dalam pakan terlalu tinggi, ikan akan cepat kenyang sehingga menghentikan konsumsi
pakannya. Pertumbuhan ikan akan lebih baik jika mendapatkan nutrisi dari pakan
tambahan atau buatan. Karena nutrisi yang masuk ke dalam tubuh ikan lebih lengkap
dan cukup, (Christiansen and Jobling, 1990 dalam Akbar, S.,dkk, 2012). Pemberian
pakan buatan dalam pemeliharaan benih Clownfish berpengaruh secara dominan
terhadap pertumbuhan ikan karena pakan berfungsi sebagai pemasok energy untuk
memacu pertumbuhan dan mempertahankan hidupnya (Melianawaty dan Suwirya,
2005dalam Akbar, S.,dkk, 2012).
Tingkat kelangsungan hidup ikan atau survival rate (SR) akan menentukan jumlah
produksi yang diperoleh. Pada ikan kelangsungan hidup ikan berkaitan erat dengan
ukuran. Ikan-ikan yang beukuran kecil (benih) akan lebih rentan terhadap parasite,
penyakit dan penanganan yang kurang hati-hati sehingga memiliki SR yang rendah
(Hepher dan Pruginim, 1981). Pada kegiatan ini, tingkat kelangsungan hidup tertinggi
diperoleh pada perlakuan B yaitu 100% dibandingkan dengan perlakuan C 87% dan
perlakuan A 85%. Hal ini diduga bahwa ikan pada perlakuan B memiliki nafsu makan
yang tinggi sehingga daya tahan tubuhnya kuat terhadap perubahan lingkungan.
Dibandingkan dengan ikan pada perlakuan C dan A yang nafsu makannya rendah,
sehingga kondisi ikan tidak mampu bertahan dengan perubahan lingkungan. Hoar, 1979
menyatakan bahwa sintasan ikan dipengaruhi oleh kondisi fisik-kimia perairan. Secara
alamiah setiap organisme mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungannya dalam batas-batas tertentu atau
disebut tingkat toleransi. Kematian ikan terjadi pada minggu II dan III, hal ini diduga
karena suhu media pemeliharaan 24,4oC mengakibatkan ikan tidak mampu bertahan
dan bila didukung dengan kondisi ikan yang lemah maka ikan tersebut akan mati. Untuk
itu, pada pemeliharaan selanjutnya sudah diberi heater pada wadah pemeliharaan
untuk mengatur suhu air media sehingga mortalitas dapat ditekan.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
88
4. PENUTUP
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa jenis pakan yang
tepat untuk pemeliharaan Clownfish varian black photon adalah pakan buatan dengan
kandungan protein 50%.
Memperhatikan kesimpulan yang diperoleh pada kegiatan ini, maka dapat
disarankan dalam melakukan pemeliharaan Clownfish varian black photon dapat
menggunakan pakan buatan dengan kandungan protein 50% dan pengontrolan kualitas
air dilakukan secara rutin agar tidak terjadi perubahan yang cukup drastis.
5. DAFTAR PUSTAKA
Akbar, S. Marsoedi. Soemarno san E. Kusnendar. 2012. Pengaruh Pemberian Pakan yang
Berbeda Terhadap Pertumbuhan Ikan Kerapu Macan (Epinephelus
fuscoguttatus) Pada Fase Pendederan di Keramba Jaring Apung.Jurnal
Teknologi Pangan Vol. 1 No.2.
Effendie, M. 1979. Metode Biologi Perikanan. Bogor: Yayasan Dewi Sri.
Effendie, M. 1997. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.
http://o-fish.com/Direktorilkan Laut/Ikan Badut.htm
http://en.wikipedia.org/wiki/Amphiprioninae
Masyamsir, 2001. Membuat pakan Ikan Buatan. Departemen Pendidikan Nasional.
Jakarta
Prihadi, D. J. 2011. Pengaruh Jenis dan waktu Pemberian Pakan Terhadap Tingkat
Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Ikan kerapu Macan (Epinephelus
fuscoguttatus) Dalam Keramba Jaring Apung Di Balai Budidaya Laut lampung.
Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran-Bandung.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
89
Culturing White Shrimp (L. vannamei) with Different Stocking Density
in Floating Net Cages
Marwa, I.G. Pattipeilohy, Rochman Subiyanto.
Mariculture Development Center of Ambon
Email: [email protected]
ABSTRACT
Culturing vaname shrimp in floating net cage is a new technology and it has been
done by Mariculture Development Center of Ambon. The objective of this study was to
know the growth rate and survival rate of Vannamei shrimp that cultured in floating
cages in different stocking density. In this activity, shrimp vaname kept in floating cage
size 8x4x4 m, fed with trash fish and stocked with three treatments of stocking density
ie A1), 195 ind/m3; A2). 234 ind/m3; and A3). 273 ind/m3.
The results showed that absolute growth in each treatments were 0,089 g/day
(A1), 0,080 g/day (A2), and 0,075 g/day (A3). While the survival rate was obtained in
each treatments were 90% (A1), 75% (A2) and 65% (A3).
Key words : vannamei shrimp, stocking density, growth rate, survival rate, floating cage.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
90
1. PENDAHULUAN
Permintaan udang vaname sangat besar baik pasar lokal maupun internasional,
karena memiliki keunggulan nilai gizi yang sangat tinggi serta memiliki nilai ekonomis
yang cukup tinggi menyebabkan pesatnya budidaya udang vaname. Perkembangan
kegiatan budidaya perikanan yang pesat dengan penerapan sistem intensif telah
memunculkan permasalahan berupa penurunan daya dukung tambak bagi kehidupan
ikan/udang yang dibudidayakan. Dampak lanjut yang ditimbukkan adalah terjadinya
serangkaian serangan penyakit yang menimbulkan kerugian besar. Penurunan produksi
terutama disebabkan karena kegagalan budidaya udang di tambak akibat timbulnya
berbagai macam penyakit terutama white spot dan vibriosis. Rukyani dkk. (2001)
menyebutkan bahwa munculnya berbagai macam penyakit tersebut merupakan
indikator telah terjadinya degradasi lingkungan. Berbagai upaya telah banyak dilakukan
oleh pemerintah maupun oleh pihak swasta/pelaku pertambakan sendiri dalam
mengatasi masalah tersebut.
Kelangsungan hidup (Survival Rate) sudah lama menjadi penyebab tersendatnya
budidaya udang, dan rendahnya kelangsungan hidup pada udang dipengaruhi oleh
banyak faktor, antara lain pemilihan induk, cara budidaya, sifat udang yang kanibal,
kualitas air dan pakan (Ali, 2009). Menurut Suwoyo dan Mangampa (2010), rendahnya
kualitas air pada media pemeliharaan dapat mengakibatkan rendahnya tingkat
pertumbuhan, kelangsungan hidup dan frekuensi ganti kulit serta peningkatan bakteri
merugikan.
Selain daripada itu, Pembukaan lahan tambak baru akan merusak ekosistem
mangrove di daerah pesisir pantai. Permasalahan tersebut muncul ketika budidaya
dilakukan pada lingkungan yang terbatas (kolam atau tambak) dan menyikapi hal
tersebut, langkah antisipatif yang dilakukan oleh BPBL Ambon melalui penerapan
teknologi budidaya dan merupakan solusi untuk mencegah kerusakan yang lebih serius,
adalah melakukan kegiatan budidaya udang vaname di KJA.
Dengan memperhatikan sifat biologi dari udang vaname yang mampu hidup pada
kisaran salinitas 5 – 45 ppt dengan salinitas optimal 10 – 30 ppt, maka budidaya udang
vaname dapat dilakukan di KJA. Budiaya udang di KJA merupakan teknologi baru dalam
budidaya udang sehingga perlu diketahui faktor-faktor yang dapat meningkatkan
produksi udang vaname.
Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi adalah dengan usaha pembenihan
secara intensif melalui peningkatan padat tebar. Padat penebaran berhubungan dengan
produksi dan pertumbuhan ikan (Hickling, 1971) dan Menurut Hepher dan Pruginin
(1981), peningkatan kepadatan akan diikuti dengan penurunan pertumbuhan (critical
standing crop) dan pada kepadatan tertentu pertumbuhan akan berhenti (carrying
capacity). Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, peningkatan kepadatan harus
disesuaikan dengan daya dukung (carrying capacity). Faktor-faktor yang mempengaruhi
carrying capacity antara lain adalah kualitas air, pakan dan ukuran ikan. Pada keadaan
lingkungan yang baik dan pakan yang mencukupi, peningkatan kepadatan akan disertai
dengan peningkatan hasil (produksi).
Selain itu, sebagaimana yang dinyatakan oleh McCormick et.al (1998) dalam
Ninef (2002), bahwa padat penebaran yang tinggi akan menyebabkan tingkat
persaingan terhadap makanan dan ruang menjadi tinggi yang akan menurunkan tingkat
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
91
kelulushidupan suatu organisme. Ruang gerak juga merupakan faktor luar yang
mempengaruhi laju pertumbuhan, dengan adanya ruang gerak yang cukup luas ikan
dapat bergerak dan memanfaatkan unsur hara secara maksimal (Anonimous, 1993).
Pada padat penebaran yang tinggi ikan mempunyai daya saing di dalam memanfaatkan
makanan, unsur hara dan ruang gerak, sehingga akan mempengaruhi laju pertumbuhan
ikan tersebut, dan pada udang yang mempunyai sifat kanibalisme pada saat moulting
akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidupnya dan berdampak pada hasil
Produksi. Oleh karena itu perlu diketahui padat penebaran budidaya udang vaname di
KJA yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup.
Tujuan dari kegiatan ini adalah, untuk mengetahui laju pertumbuhan dan
kelangsungan hidup tertinggi udang vaname yang ditebar dengan kepadatan berbeda di
KJA.
2. MATERI DAN METODE
Kegiatan ini dilakukan di KJA BPBL Ambon, pada bulan maret-mei 2015, adapun
alat dan bahan yang digunakan adalah sebagai berikut :
A. Alat
Alat yang digunakan adalah :
- KJA ukuran 8x4x4 m
- Waring
- Ancho
- Mesin penghancur daging
- Timbangan elektrik dengan ketelitian 0,0001 gram.
- Bak fiber vol 10 m3
B. Bahan
Bahan yang digunakan adalah :
- Benih udang vaname
- Pakan rucah
- Vitamin C
- Scoot emultion
Metode kerja:
Kegiatan ini bersifat eksperimen dengan cara mengamati perkembangan udang
vaname yang dipelihara di KJA dengan padat penebaran yang berbeda.
Untuk memperoleh data pertumbuhan dan tingkat kelulusan hidup udang
vaname, dilakukan beberapa tahapan seperti di bawah ini:
a.) Persiapan
Kegiatan ini dilakukan di KJA BPBL Ambon. Diawali dengan mempersiapkan bahan uji
berupa pascalarva udang vaname (PL-12). Sebelum ditebar di KJA, benih diadaptasikan
di bak fiber ukuran 10 ton selama 2 minggu.
b.) Pemeliharaan Benih di KJA
Pemeliharaan benih dilakukan dengan cara sebagai berikut:
 Benih ditebar kedalam 3 Kotakan KJA ukuran 8x4x4 m. Dengan kepadatan benih
yang tebar pada masing-masing kotakan merupakan perlakuan dari kegiatan ini
yaitu:
A1.195 ekor/m3
A2.234 ekor/m3
A3. 273 ekor/m3
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
92
 Pakan ikan rucah diberikan setiap hari sebanyak 3% - 15% dari total biomass udang
dengan frekuensi pemberian disesuaikan dengan waktu pemeliharaan
Waktu
Frekuensi dan Waktu Pemberian Pakan
Pemeliharaan
H1-H13
1x
100%
pagi
H14- 29
2x
50% : 50%
pagi dan sore
H30-H43
3x
30% : 30% : 40%
Pagi, sore (16.00) dan malam (20.00)
H44-H57
3x
30% : 30% : 40%
Pagi, sore (16.00) dan malam (20.00)
pagi, siang, sore dan malam
H58-H100
4x
25%:20%:20%:25%
(07.00; 11.00; 15.00; 19.00)
 Pemeliharaan udang dilakukan selama 70 hari dan waring diganti setiap 1 bulan
sekali.
c.) Pengambilan Data
Data yang diperoleh dari kegiatan ini adalah berupa berat udang vaname setiap 2
minggu untuk mengetahui laju pertumbuhan dan jumlah benih pada awal dan akhir
pemeliharaan untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup udang.
Analisa Data
One Way ANOVA
Untuk menguji hipotesis adanya pengaruh padat tebar terhadap laju pertumbuhan
udang vaname, digunakan analisis data One Way Analysis Of Variance (one way
ANOVA) yang dianalisis dengan program Excel.
Laju Pertumbuhan Mutlak (Absolute Growth Rate)
Perhitungan laju pertumbuhan Mutlak lebih instruktif dibanding ukuran yang lain,
di mana pada saat pertumbuhan terjadi secara linier (Fuiman and Werner, 2002).
Model tersebut adalah :
Wt2 - Wt1
AGR =
t2 – t1
Dimana : AGR = Laju Pertumbuhan Mutlak (g/hari)
Wt1 = Berat pada waktu t1 (g)
Wt2 = Berat pada waktu t2 (g)
t1 = Waktu Pengukuran ke-1
t2 = Waktu Pengukuran ke-2
Kelangsungan Hidup (SR)
Survival Rate (SR) benih dihitung dengan menggunakan Formula:
Jumlah Udang Panen
Survival Rate (SR)
=
x 100%
Jumlah Udang Tebar
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pertumbuhan
Makhluk hidup memerlukan nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan dan
kelangsungan hidupnya, Makanan sangat berperan dalam pertumbuhan yaitu
menyediakan bahan mentah untuk proses metabolisme guna menghasilkan sel-sel baru
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
93
untuk jaringan, otot dan organ yang sedang tumbuh. Seperti halnya arthropoda lainnya,
pertumbuhan udang vaname tergantung pada dua faktor yaitu frekuensi molting (waktu
antara molting) dan pertumbuhan (berapa pertumbuhan pada setiap molting baru).
Frekuensi molting erat kaitannya dengan ukuran udang, jika udang tumbuh frekuensi
molting meningkat, sedangkan frekuensi molting dipengaruhi oleh faktor kondisi
lingkungan dan nutrisi.
Pada tambak yang alami, alga dan bakteri yang berkembang pada kolom air
adalah sumber nutrisi yang penting bagi udang vaname, dan meningkatkan
pertumbuhan sebesar 50% dibanding tambak yang jernih. Dapat dikatakan bahwa
udang tumbuh optimum pada tambak yang berimbang dengan komunitas mikroba
(Marguensis, 2012). Terkait dengan kegiatan perekayasaan ini, udang vaname dipelihara
di KJA yang kondisi lingkungannya dapat menyediakan alga dan bakteri alami bagi udang
vaname selain daripada pakan yang diberikan. Oleh karena itu pertumbuhan udang
vaname yang diuji cobakan pada kegiatan ini mengalami pertumbuhan berat yang
ditunjukkan dengan terjadinya peningkatan berat udang.
Gambar 1. Grafik Pertumbuhan Udang Vaname Pada Padat Tebar Berbeda.
Berdasarkan hasil pemeliharaan selama 70 hari di KJA, diperoleh berat rata-rata
udang vaname pada padat tebar 195 ekor/m3 adalah 9,02 g, kemudian secara berturutturut diikuti oleh padat tebar 234 ekor/m3 dan 273 ekor/m3 yaitu 8,05 g dan 7,55 g.
Begitu pula dengan laju pertumbuhan mutlaknya, udang yang ditebar dengan
kepadatan 195 ekor/m3 mempunyai laju pertumbuhan mutlak lebih tinggi yaitu 0,127
g/hari dibandingkan dengan padat tebar 234 ekor/m3 dan 273 ekor/m3 yang
mempunyai laju pertumbuhan mutlak 0,114 g/hari dan 0,106 g/hari.
Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi padat penebaran, pertumbuhan berat
dan pertumbuhan mutlak mengalami penurunan. Hal ini sejalan dengan pernyataan
Effendi, dkk. (2006), bahwa pertumbuhan panjang mutlak dan laju pertumbuhan
individu (g/hari) mengalami penurunan dengan meningkatnya padat penebaran.
Selanjutnya dikatakan bahwa pencapaian hasil panen yang optimal dapat diperoleh
dengan dukungan faktor produksi yang baik misalnya pemilihan lokasi yang tepat, padat
tebar yang optimal, kulitas pakan tinggi, pemberian pakan yang optimal dan
pencegahan serta penanggulangan penyakit yang tepat dan benar.
Menurut Marguensis (2012), padat penebaran benur vaname adalah 100-125
ekor/m2, dan bila kepadatan ingin ditingkatkan harus dilihat daya dukung tambak dan
sarana pendukung lainnya karena padat penebaran optimum tergantung daya dukung
tambak dan sistem budidaya. Pada kegiatan ini, perlakuan padat penebaran
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
94
ditingkatkan, karena mempertimbangkan tempat dan sistem budidaya yang dilakukan di
KJA. Dan berdasarkan hasil analisis sidik ragam, nilai Fhit < Ftab (0,05) yang berarti bahwa
pertumbuhan udang vaname yang dipelihara dengan padat tebar berbeda memberikan
pengaruh yang tidak berbeda. Sedangkan berdasarkan hasil yang diperoleh diakhir
kegiatan menunjukkan bahwa berat rata-rata benih yang dipelihara dengan padat tebar
195 ekor/m3 lebih besar daripada 234 ekor/m3 dan 273 ekor/m3.
Perbedaan bobot udang vaname pada akhir kegiatan diasumsikan karena padat
tebar 195 ekor/m3 merupakan kepadatan terendah yang mempunyai ruang gerak lebih
besar, kompetisi untuk memperoleh makanan dan tekanan (stresor) berkurang sehingga
energi yang diperoleh dari pakan yang dikonsumai dapat digunakan secara optimal
untuk aktivitas, pemeliharaan dan pertumbuhan. Sesuai dengan pernyataan Fujaya
(2004) bahwa Energy dibutuhkan untuk aktivitas, pemeliharaan, dan pertumbuhan.
Selain itu, penggunaan oksigen terlarut dalam air meningkat pada kepadatan tinggi
sehingga mempengaruhi jumlah pakan yang dikonsumsi dan berdampak pada
pertumbuhan udang. Menurut Syahid dkk. (2006), Dengan kepadatan rendah, ikan
mempunyai kemampuan memanfaatkan makanan dengan baik dibandingkan dengan
kepadatan yang cukup tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil dari kegiatann ini, yang mana
padat tebar 195 ekor/m3 adalah kepadatan terendah diantara perlakuan tetapi
mempunyai laju pertumbuhan mutlak dan berat rata-rata tertinggi.
2. Kelangsungan Hidup (SR)
Udang vaname yang dipelihara dengan padat tebar berbeda mempunyai nilai SR
berbeda, diduga karena adanya persaingan ruang yang dapat meningkatkan stress pada
benih. Kematian pada udang umumnya disebabkan oleh kanibalisme dan kondisi
lingkungan. Sifat kanibalisme meningkat ketika terjadi moulting, dan pada kepadatan
yang tinggi, tingkat kanibalisme juga tinggi sehingga mengakibatkan tingkat kematian
udang meningkat dan jumlahnya berkurang. Hasil kegiatan ini menunjukkan, padat
tebar 195 ekor/m3 mempunyai SR tetinggi yaitu 90%, kemudian diikuti oleh padat tebar
234 ekor/m3 dan 273 ekor/m3 secara berturut-turut mempunyai SR 75% dan 65%.
Padat penebaran secara langsung berpengaruh terhadap kelangsungan hidup,
karena udang mempunyai sifat kanibal terhadap lainnya (Tjoronge, 2005), selanjutnya
dikatakan bahwa kedalaman air tambak untuk budidaya udang vaname yang baik
adalah 150 – 180 cm. Pada kegiatan ini, digunakan waring dengan kedalaman 4 meter
untuk menyediakan ruang gerak yang lebih besar bagi udang vaname karena
memperhatikan kebiasaannya yang aktif berenang di kolom air.
195 ekor/m3 merupakan padat tebar terendah bila dibandingkan dengan
perlakuan lainnya, sehingga udang vaname mempunyai ruang gerak yang lebih luas dan
kemungkinan untuk menghindari pemangsaan lebih besar dengan berlindung di dasar
waring. Syahid dkk. (2006), menyatakan bahwa kepadatan benih udang yang terlalu
padat menyebabkan terjadinya variasi kematian benih yang berbeda-beda, sebagai
akibat dari adanya sifat kanibal. Selanjutnya dikatakan bahwa apabila keadaan dasar
wadah yang digunakan terlalu sempit dibandingkan dengan jumlah benih yang
ditampung akan menyebabkan bertumpuknya benih satu sama lain, akibatnya akan
terjadi persaingan tempat. Dalam hal ini udang vaname mempunyai sifat yang lebih
suka berenang di kolom air daripada berdiam di dasar waring, kecuali udang yang telah
molting akan menempati dasar waring sampai kulitnya menjadi keras dan dapat
melakukan pergerakan/berenang. Kedalaman jaring 4 m membuat jarak antara kolom
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
95
air dengan dasar waring menjadi agak jauh sehingga kemungkinan pemangsaan
terhadap udang yang molting menjadi lebih kecil, hal inilah yang membuat sehingga SR
pada pemeliharaan udang vaname di KJA menjadi lebih tinggi (65-90%). Selain daripada
itu, pakan yang selalu tersedia pada anco membuat udang tidak kekurangan pakan
sehingga naluri untuk memangsa sesamanya menjadi rendah, sesuai dengan
Anonimous, (2000) yang menyatakan bahwa, kekurangan pakan akan memperlambat
laju pertumbuhan sehingga dapat menyebabkan kanibalisme, sedangkan kelebihan
pakan akan mencemari perairan sehingga menyebabkan udang stres dan menjadi lemah
serta nafsu makan menurun.
Kualitas air merupakan faktor fisika-kimia yang dapat mempengaruhi lingkungan
media pemeliharaan dan secara tidak langsung akan mempengaruhi proses
metabolisme udang. Parameter kualitas air yang perlu diperhatikan adalah: salinitas,
suhu, pH, DO. Berdasarkan Marguensis (2012), udang vaname mampu hidup pada
kisaran salinitas 5 – 45 ppt dengan salinitas optimal 10 – 30 ppt; kisaran suhu 240 –
320C dengan suhu optimal 280 – 300C; mampu bertahan pada oksigen 0,8 ppm selama 3
– 4 hari tetapi disarankan DO 4 ppm, PH air 7 – 8,5.
Tabel 1. Kualitas Air Pemeliharaan Udang Vaname di KJA.
No. Parameter Kualitas Air
Satuan
Nilai Kisaran
1. Salinitas
ppt
32,0 – 33,5
0
2. Suhu
C
28,3 – 30,9
3. DO
mg/l
4,43 – 5,92
4. pH
7,90 – 8,40
Berdasarkan hasil kegiatan ini, parameter kualitas air tersebut masih berada pada
kisaran optimum untuk pertumbuhan udang vaname, karena secara rutin dilakukan
pembersihan dasar waring dari kotoran/kulit udang yang molting dan pemeliharaan
dilakukan di KJA sehingga sirkulasi air terjadi secara alami dengan baik.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa, udang vaname
yang ditebar dengan kepadatan 195 ekor/m3 di KJA mempunyai laju pertumbuhan
mutlak dan kelangsungan hidup tertinggi yaitu 0,127 g/hari dan 90%.
Saran yang dapat diberikan terkait kegiatan ini, yaitu memperhatikan hasil yang
diperoleh, maka dapat disarankan untuk budidaya udang vaname di KJA sebaiknya
menggunakan padat tebar 195 ekor/m3. dan melakukan uji coba penggunaan pakan
buatan untuk pemeliharaan udang vaname di KJA.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 1993. Pedoman Teknis Pembenihan Ikan Bandeng. Departemen Pertanian,
Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan Jakarta. hal. 37.
Anonimous. 2000. Petunjuk Teknis Budidaya Udang Windu. Dirjen Perikanan Tim MMC
Daerah Jawa Timur. PT. Aquatik Consultans dan Konsorsium.
Badare, A. I. 2001. Pengaruh Pemberian Beberapa Makroalga Terhadap Pertumbuhan
dan Kelulushidupan Juvenil Abalone (Holiotis spp) Yang Dipelihara Dalam
Kurungan Terapung. Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian
Undana: Kupang.
Effendi, I., H. J. Bugri dan Widanarni, 2006. Pengaruh padat penebaran terhadap
kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih ikan gurami osphronemus
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
96
gouramy lac. Ukuran 2 cm. Jurnal Akuakultur Indonesia 5(2). IPB. Bogor. Hal.
127-135
Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan. Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. PT. Rineka Cipta.
Jakarta.
Hepher, B., dan Y. Pruginin. 1981. Commercial fish farming with special reference to fish
culture in Israel. John Willey and Sons, New York. 261 hal.
Hickling, C.F. 1971. Fish culture. Faber and Faber, London. 348 hal.
Ninef, M. C. H. 2002. Pengaruh Padat Penebaran Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan
dan Kelulushidupan Juvenil Abalon (Holiotis spp) Yang Dipelihara Dalam
Kurungan Apung. Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan. UHT:
Surabaya.
Mangampa, M. Busran dan Suswoyo, H. S. 2008. Optimalisasi Padat Tebar Terhadap
Kelangsungan hidup Tokolan Udang Windu Dengan Sistem Aerasi di Tambak.
www.yahoo.com. 02 juli 2008.
Marguensis, M. 2012. Budidaya Udang Vaname. http://vanamei.blogspot.co.id/. 3
Desember 2012.
Suwoyo, H.S. dan Mangampa, M. 2010.Aplikasi probiotik dengan konsentrasi berbeda
pada pemeliharaan udang Vaname (Litopenaeus Vaname). Prosiding Forum
Inovasi Teknologi Akuakultur. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros.
Maros.
Syahid, M. Subhan, A. dan Armando, R. 2006. Budidaya Udang Organik Secara
polikultur. Penebar swadaya: Jakarta.
Tjoronge, M. 2005. Polikultur Rumput Laut Gracillaria sp. dan Ikan Bandeng (Chanos
chanos) Dengan Padat Penebaran Yang Berbeda. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan. 11 (7).
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
97
WHITE SHRIMP Litopenaeus vannamei CULTURE WITH DIFFERENT WATER DEPTH IN
FLOATING NET-CAGES
Herno Minjoyo, Silfester Basi Dhoe, and Akhmad Murtadho
Main Center for Maricultulture, Lampung
ABSTRACT
Indonesia has coastal line number 3 in the world that is compossed of street and
bay that is very potensial for marine fish culture including vannamei shrimp farming in
floating net-cages. Base on that reason, the study on vannamei shrimp culture in
floating net-cages had done to know the prospect of that culture. The observation on
the culture of shrimp vananmei with different net-cages depth was done e.g. (A) 2 m
water depth; (B) 3 m water depth; and (C) 4 m water depth, and the initial seed size
was PL 10 (Post larvae 10). The study has been done from July 29th to November 26th
2015 (as long as 118 days). Vannamei shrimp was reared in happa net about 1,5
months and changed with waring-net (mesh size 4 mm) with net size 2.5 m x 3.5 m and
water depth depend on the treatment. Animal was feed with shrimp commercial diet
with dosage according to shrimp feed factory manual with feeding frequwency 6
times/day ( 06.00; 09.00; 12.00; 16.00; 20.00 and 23.00). To know shrimp development,
sampling was done every 7 days after 1 month rearing. The result of study showed that
the best survival rate, harvest size and production per m³ was treatment A (75.333 %;
73.69 and 1.022 kg /m³) followed with B (65.33 %, 78.39 and 0.85 kg/m³) and C (52.39
%; 89.41 and 0.648 kg/m³ ). The best of the feed convertion ratio was treatment B
(1.84) and followed with treatment A (1.99) and C (2.58). The last observation was the
total harvest per net-cages, treatment C was 23.35 kg and followed with B (22.95 kg)
and A (18.4 kg).
Key Words : Vannamei Shrimp, Floating Net-Cages Culture, Survival Rate, Feed
Convertion Ratio, Different Water Depth
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
98
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia selain mempunyai lahan tambak yang luas juga memiliki perairan teluk
dan selat dan perairan tepi pantai yang sangat luas. Panjang garis pantai Indonesia
sekitar 83.000 km. Sebagaian besar dari perairan pantai tersebut kemungkinan besar
dapat dan cocok untuk budidaya udang vaname di Karamba Jaring Apung terutama
pada perairan yang cukup terlindung dan aman untuk melakukan budidaya udang
vaname.
Udang vaname merupakan spesies intruduksi dari luar negeri dan saat ini
merupakan komoditas budidaya udang ditambak yang menggantikan udang windu yang
sampai saat ini belum bangkit seperti masa jayanya. Teknologi budidaya udang vaname
sudah sangat mapan dari berbagai jenis tingkatan teknologi budidaya udang tambak
intensif hingga supra intensif.
Hasil perekayasaan budidaya udang vaname di Karamba Jaring Apung dengan
benih awal berupa tokolan dengan padat tebar 75 ekor/m³ menghasilkan sintasan 92,7
% dengan size panen 53,49 dan rasio konversi pakan 2,05. Meskipun demikian kita
belum mengetahui seberapa dalam kolom air yang dapat mendukung sintasan, rasio
konversi pakan dan laju pertumbuhan yang baik.
Tujuan dari studi ini untuk mengetahui sintasan, pertumbuhan/size panen dan
rasio konversi pakan udang vaname yang dipelihara pada kedalaman wadah berbeda.
Sementara sasaran dari perekayasaan ini untuk mendapatkan standar teknologi
budidaya udang vaname di karamba jaring apung. Informasi dari hasil studi ini
diharapkan dapat berguna bagi para pembaca dan dapat digunakan sebagai bahan
acuan untuk pengembangan selanjutnya
Waktu dan Tempat
Perekayasaan budidaya udang vaname di Karamba Jaring Apung dilakukan pada
bulan Maret samapi Juli 2015 di Teluk Hurun Balai Besar Perikanan Budidaya Laut
Lampung
BAHAN DAN METODE
- Benur PL10 dipelihara didalam Happa ukuran 2,5 x 3,5 m x sesuai dengan perlakuan
(kedalaman wadah) yg dilapisi/dipasang dalam waring/jaring
- Perlakuan:Kedalaman wadah: A. 2 m; B. 3 m dan C. 4 m
- Dipelihara dalam happa :1,5 bulan
- Padat tebar: 100 ekor/m³
- Setelah 1,5 bulan udang dipelihara dalam Happa diganti dengan waring sesuai
dengan perlakuan kedalam wadah selama 2,5 bulan
- Penggantian Happa atau waring setiap 3 minggu sekali
- Dosis pakan: sesuai dengan petunjuk pabrik pakan (Tabel 1)
Tabel 1. Dosis pakan, frekwensi dan waktu pemberian pakan udang vaname di KJA
No
Ukuran Udang
(PL/g)
Ukuran pakan
(mm)
1
PL10-1 g
0,425 x 0,75
10-8
2
1-2
0,75 x 1
8-7,5
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
Dosis
Pakan (%)
Frekwensi
Pemberian
Pakan (x/hari
6x
Waktu
Pemberian
Pakan
06.00; 09.00;
12.00; 15.00;
18.00 dan
99
3
2-5
1 x 2,5
7,5-5
4
5
6
5-14
14-22
>22
1,8 x 2,0
1,8 x 4
2x5
5-3
3-1,7
< 1,7
22.00
- Lama pemeliharaan: 4 bulan
- Frekwensi pemberian pakan : 6 kali/24 jam
- Sampling: 1- 2 minggu sekali
- Penghitungan hasil pengamatan:
a. Sintasan (SR):
Jumlah udang panen
SR: ----------------------------- x 100 %
Jumlah tebar awal
b. Size (Ukuran ) panen:
Jumlah sample udang
Size panen =
--------------------------------Berat Sample udang
c. Penghitungan rasio konversi pakan (FCR) dengan rumus:
∑F
∑F = Total pakan yang dikonsumsi (gram)
FCR = ------------------------ Wt = Total Bobot ikan akhir (gr)
(Wt-Wo) + (Wd )
Wo = Total bobot ikan awal (gr)
Wd = Total bobot ikan mati (gr)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pelaksanaan pengamatan budidaya udang vaname di karamba jaring apung (KJA)
dengan kedalaman wadah berbeda telah dilakukan sejak 29 Juli sampai dengan 26
November 2015. Data hasil pengamatan perekayasaan disajikan pada Tabel 2 dan
Gambar 1, sementara hasil monitoring parameter kualitas air dilokasi kegiatan
tercantum dalam Tabel 3.
Tabel 2. Hasil pengamatan parameter utama budidaya udang vaname benur PL10
dengan kedalaman wadah berbeda
No
Parameter
Perlakuan
2m
3m
4m
1
Berat awal rerata udang (g/ekor)
0,001
0,001
0,001
2
Berat akhir rerata udang (g/ekor)
13,57
12,76
11,288
3
Padat tebar ( ekor/m³)
100
100
100
4
Pertambahan berat rerata (g/ekor)
13,569
12,759
11,287
5
Jumlah awal udang (ekor)
1800
2700
3600
6
Jumlah akhir udang (ekor)
1356
1764
1886
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
100
7
Jumlah pakan( kg)
36,616
42,228
60,243
8
9
SR (%)
FCR
75,333
1,99
65,33
1,84
52,39
2,58
10
Size panen
73,69
78,39
89,41
11
Jumlah panen per jaring (kg)
18,4
22,95
23,350
12
Jumlah panen per m³ (kg)
1,022
0,85
0,648
Berat (g)
Gambar 1. Grafik pertumbuhan budidaya udang vaname di Karamba Jaring Apung tebar
benur PL 10 dengan kedalaman wadah berbeda selama 118 hari
Tabel 3. Data Parameter Kualitas Air di Lokasi Budidaya Udang Vaname
No
Parameter
Satuan
Hasil
Spesifikasi Metode
Baku Mutu
1
Ph
-
7,38-8,89
SNI 06-69.89.11-2004
7-8,5
2
DO
mg/l
3,94-6,09
APHA.2005.4500-0-G
>4
3
Suhu
ºC
28,9-30,4
APHA.2005.4500-0-G
Alami
4
Salinitas
Psu
32-33
APHA.2005.2520C
30-34
5
Nitrit
mg/l
0,025-0,199
SNI 19-6964.1-2003
0,05
6
Nitrat
mg/l
0,016-0,373
APHA.2005.4500NO3
0,008
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
101
7
Amoniak
mg/l
0,011-1,09
SNI 19-6964.3-2003
0,3
8
Phosfat
mg/l
0,059-0,631
SNI 06-6989.31-2005
Perairan:
0,015
Tambak:
0,5-1
Dari hasil yang didapat bahwa sintasan, size panen/pertumbuhan dihasilkan pada
kedalaman wadah 2 m yaitu 75,333 % dan 73,69 sementara rasio konversi pakan yang
terbaik pada perlakuan kedalaman 3 m (1,84). Sintasan dan size panen pada kedalaman
3 m yaitu 65,33 % dan 78,39. Sintasan yang didapat pada budidaya udang vaname di
Karamba Jaring Apung dengan benih tebar benur PL 10 masih sebanding dengan
budidaya di tambak intensif. Namun demikian pertumbuhan/size panen pada kegiatan
budidaya dengan kedalaman berbeda juga masih tertinggal jika dibandingkan dengan
budidaya udang vaname dengan kedalaman yang sama (2 m) pada kegiatan bulan
Maret sampai dengan 13 Juli 2015 (61,7). Ini dimungkinkan oleh salinitas pada waktu
sebelumnya yaitu 31-32 psu sedangkan salinitas pada Tabel 3 selalu 32-33 psu.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Sintasan dan size panen terbaik pada kedalam wadah 2 m (75,33 %) dan 73,69
sementara rasio konversi pakan terbaik pada kedalaman wadah 3 m (1,84).
Saran
Walaupun kedalaman terbaik pada kedalaman wadah 2 m untuk tebar benur PL
10 masih perlu dilakukan uji coba pada kedalaman 2,5 m.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, 2013. Budidaya Udang Vaname di Tambak. Balai Budidaya Air Payau
Sitobondo. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Kementerian Kelautan dan
Perikanan: 60 hal
SNI 01-7246-2006: Produksi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) di Tambak dengan
Teknologi Intensif.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
102
Pematangan Gonad dan Pemijahan Induk
Lobster (Panulirus sp)1
Oleh :
Febriko Sapto D2, Dony Prastowo3, A. Haryono4 dan Ach. Iskandar4
Abstrak
Di Indonesia terdapat enam jenis lobster yang mempunyai nilai ekonomis tinggi
di pasar, yaitu lobster mutiara (Panulirus ornatus), lobster batu (Panulirus penicillatus),
lobster pasir (Panulirus homarus), lobster pakistani (Panulirus polyphagus), lobster
batik (Panulirus longipes) dan lobster bambu (Panulirus versicolor). Harga lobster relatif
stabil, mengingat permintaan negara-negara pengimpor lobster yang hingga saat ini
belum terpenuhi, harga lobster akan cenderung meningkat. Tingginya permintaan pasar
akan komoditas lobster juga mendorong permintaan benih lobster oleh pembudidaya
lobster. BPBAP Situbondo sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya berupaya melakukan kegiatan kerekayasaan pematangan gonad
dan pemijahan induk lobster, dengan harapan dapat membantu penyediaan benih
lobster.
Metode yang digunakan pada perekayasaan ini adalah pematangan gonad induk
lobster dengan perbaikan nutrisi pakan berupa; ikan rucah, kekerangan, bulu babi dan
seaweed. Pematangan gonad induk dilakukan pada bak beton 10 ton dan Karamba
jaring apung (KJA) yang berukuran 3x3x3 m. Pemberian pakan dilakukan setiap hari,
dengan rasio pemberian terbanyak pada sore menjelang malam.
Dari kegiatan ini diperoleh informasi perlakuan C (pakan campuran
kekerangan+bulubabi+seaweed) memberikan hasil terbaik, hal ini ditunjukkan dengan
tingginya prosentase induk yang matang gonad (55.5%) dibandingkan dua perlakuan
lainnya, perlakuan A (12,5%) dan perlakuan B (25,0%). Induk-induk yang digunakan
pada kegiatan ini merupakan udang lobster hasil tangkapan alam yang berukuran >200
gr/ekor (CL 60 mm) untuk induk betina dan >300 gr/ekor (CL 70 mm) untuk induk
jantan. Pemijahan induk ditandai dengan induk betina yang membawa spermatoforik
(kantung sperma). Produksi nauplisoma tiap ekor induk ± 10.000-20.000 ekor
nauplisoma.
Kualitas air media pemeliharaan secara biologis kurang mendukung pemeliharaan induk
dan produksi nauplisoma dengan total bakteri antara 1,2x106 - 6,4x106 CFU/ml.
1
Makalah telah diseminarkan pada Seminar Hasil Perekayasaan di BPBAP Situbondo tgl 1-2
Desember 2015
2
Perekayasa pada BPBAP Situbondo (WP)
3
Perekayasa pada BPBAP Situbondo (ES)
4
Litkayasa pada BPBAP Situbondo (ES)
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
103
Abstract
There are six kinds of lobster in Indonesia that has high economic value in the
market, Panulirus ornatus, Panulirus penicillatus, Panulirus homarus, Panulirus
polyphagus, Panulirus longipes and Panulirus versicolor. Lobster prices are relatively
stable, given the demand-importing countries lobster, which until now have not been
fulfilled, lobster prices will tend to rise. Market demand for commodities also boosted
demand for seed lobster lobster lobster farmers. BADC Situbondo as a Technical
Implementation Unit of the Directorate General of Aquaculture attempt to perform
engineering activities gonadal maturation and spawning spiny lobster, in hopes of
helping the provision of seeds lobster.
The method used in this engineering is the gonadal maturation spiny lobster
with improved nutrition in the form of feed; trash fish, oyster, sea urchins and seaweed.
Gonadal maturation in net cage measuring 3x3x5 m. The feeding is done every day, with
the provision of the highest ratios in the late afternoon.
Information obtained from this engineering activity, treatment C (feed mixture
sea urchins + oyster + seaweed) provides the best results, as shown by the high
percentage of the broodstock mature (55.5%) compared two other treatments,
treatment A (12.5%) and treatment B (25.0%). The broodstock used in this activity is a
natural catches lobsters measuring > 200 g (CL 60 mm) for female and > 300 g (CL 70
mm) for male. Characterized by the spawning female who brings spermatoforik (sperm
sac). Production of nauplisoma for single breeding for each female ± 10.000 - 20.000
nauplisoma. Water quality media are biologically less support for breeding and
production of nauplisoma with total bacteria between 1,2 x 106 - 6,4 x 106 CFU / ml.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
104
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Udang lobster laut (Panulirus sp.) atau dikenal sebagai udang barong merupakan
komoditas perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Lobster dikenal dengan
dagingnya yang halus serta rasanya yang gurih dan lezat. Jika dibandingkan dengan
udang jenis lainnya, lobster memang jauh lebih enak. Tidak salah jika makanan ini
merupakan makanan yang bergengsi yang hanya disajikan di restoran-restoran besar
dan hotel-hotel berbintang. Karena harganya yang mahal, lobster biasanya hanya
dikonsumsi oleh kalangan tertentu.
Di Asia, Jepang dan Hongkong merupakan pengimpor lobster terbesar.
Masyarakat di kedua negara ini terkenel sebagai penggemar masakan laut, termasuk
lobster. Di Jepang, lobster biasanya disajikan dalam bentuk lobster rebus, dan
digunakan untuk menghormati tamu-tamu asing. Selain itu, lobster sering kali disajikan
dalam acara pernikahan sebagai pengganti kado.
Di Indonesia terdapat enam jenis lobster yang mempunyai nilai ekonomis tinggi
di pasar, yaitu lobster mutiara (Panulirus ornatus), lobster batu (Panulirus penicillatus),
lobster pasir (Panulirus homarus), lobster pakistani (Panulirus polyphagus), lobster
batik (Panulirus longipes) dan lobster bambu (Panulirus versicolor). Harga lobster
mutiara biasanya lebih tinggi dibandingkan lima jenis lobster lainnya, dapat mencapai 23 kali lipat dibandingkan dengan lobster bambu. Kondisi fisik (morfologis) lobster pun
sangat menentukan tingkat harga. Lobster yang masih hidup, sehat, dan tidak cacat
cenderung lebih mahal. Sementara, lobster yang cacat atau mati, harganya jauh lebih
murah untuk semua jenis.
Harga lobster relatif stabil. Kalaupun mengalami fluktasi (pada musim lobster),
perubahannya relatif kecil. Mengingat permintaan negara-negara pengimpor lobster
yang hingga saat ini belum terpenuhi, harga lobster akan cenderung meningkat. Hal ini
merupakan peluang bagi para nelayan dan pembudidaya untuk mengembangkan usaha
penangkapan dan budidaya lobster. Tingginya permintaan pasar akan komoditas
lobster juga mendorong permintaan benih lobster oleh pembudidaya lobster. Selain
memenuhi permintaan pasar, usaha budidaya juga dimaksudkan untuk menjaga
keseimbangan produksinya. Guna memenuhi permintaan pasar akan benih lobster,
BPBAP Situbondo sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya berupaya melakukan kegiatan kerekayasaan pemetangan gonad
dan pemijahan induk lobster, dengan harapan dapat membantu penyediaan benih
lobster.
1.2. Tujuan
Tujuan dari kegiatan kerekayasaan ini adalah untuk memacu pematangan gonad induk
dengan pemberian pakan yang berbeda dan pemijahan induk lobster.
1.3. Sasaran
Sasaran dari perekayasaan ini adalah diperoleh metode pematangan gonad dan
pemijahan induk lobster.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
105
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Biologi dan Morfologi Lobster
Lobster secara umum memiliki tubuh yang berkulit sangat keras dan tebal,
terutama di bagian kepala, yang ditutupi oleh duri-duri besar dan kecil. Mata lobster
agak tersembunyi di bawah cangkang ruas abdomen yang ujungnya berduri tajam dan
kuat. Lobster memiliki dua pasang antena, yang pertama kecil dan ujungnya bercabang
dua disebut juga sebagai kumis. Antena kedua sangat keras dan panjang dengan pangkal
antena besar kokoh dan ditutupi duri-duri tajam, sedangkan ekornya melebar seperti
kipas. Warna lobster bervariasi tergantung jenisnya, pola-pola duri di kepala, dan warna
lobster biasanya dapat dijadikan tanda spesifik jenis lobster.
Menurut Subani (1984), udang karang atau lobster memiliki ciri-ciri yaitu badan
besar dan dilindungi kulit keras yang berzat kapur, mempunyai duri-duri keras dan
tajam, terutama dibagian atas kepala dan antena atau sungut, bagian belakang
badannya (abdomen) dan lembaran ekornya. Pasangan kaki jalan tidak mempunyai
chela atau capit, kecuali pasangan kaki lima pada betina. Pertumbuhan udang karang
sendiri selalu terjadi pergantian kulit atau molting, udang karang memiliki warna yang
bermacam-macam yaitu ungu, hijau, merah, dan abu-abu serta membentuk pola yang
indah. Memiliki antena yang tumbuh dengan baik, terutama antena kedua yang
melebihi panjang tubuhnya.
Seluruh tubuh lobster terdiri dari ruas-ruas yang tertutup olek kerangka luar
yang keras, bagian kepala terdiri dari 13 ruas dan bagian dada terdiri dari 6 ruas (Subani,
1984). Menurut Sudradjat (2008), cephalothoraxs tertutup oleh cangkang yang keras
(carapace) dengan bentuk memanjang kearah depan. Pada bagian ujung cangkang
tersebut terdapat bagian runcing yang disebut cucuk kepala (rostrum). Mulut terletak
pada kepala bagian bawah, diantara rahang-rahang (mandibula). Sisi kanan dan kiri
kepala ditutup oleh kelopak kepala dan dibagian dalamnya terdapat insang. Mata
terletak dibagian bawah rostrum, berupa mata majemuk bertangkai yang dapat
digerakkan.
Gambar 1. Morfologi Lobster
Jenis kelamin lobster bisa ditentukan dari letak alat kelaminnya. Alat kelamin
jantan terletak diantara kaki jalan kelima, berbentuk lancip, dan menonjol keluar.
Sementara, alat kelamin betina terletak diantara kaki jalan ketiga, berbentuk dua
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
106
lancipan. Lobster jantan biasanya berukuran lebih kecil dibandingakan dengan lobster
betina. Hal ini diperkuat oleh Carpenter & Niem (1998) dalam Kadafi, et.al., jenis
kelamin lobster ditentukan dengan melihat letak gonopores. Gonopores lobster jantan
terletak pada kaki jalan kelima, sedangkan lobster betina terletak pada kaki jalan ketiga.
Selain dari letaknya, penentuan jenis kelamin lobster juga dapat dilakukan dengan
memperhatikan ukuran badannya.
2.2. Distribusi dan Habitat Panulirus sp
Udang karang (Panulirus sp) hidup pada beberapa kedalaman tergantung pada
jenis spesies dan lingkunga yang cocok. udang karang (Panulirus sp) dapat hidup pada
kedalaman 5 – 30 meter (Subani, 1977 in Hasrun, 1996). Udang karang berduri
mempunyai penyebaran yang sangat luas mulai dari daerah temperate hingga
daerah tropik (45O lintang utara sampai 45O lintang selatan). Hidup mulai dari daerah
intertidal sampai perairan yang dalam. Banyak spesies yang hidup pada substrat yang
berbatu-batu, lumpur atau pasir dan membuat lubang. Palinuridae menyukai hidup
pada lubang atau celah-celah batu karang serta dasar dari terumbu karang. Jenis-jenis
udang ini menyebar dari daerah litoral sampai kedalaman 400 m di daerah tropik dan
sub tropik.
Genus-genus dari panulirudae dalam pengelompokan taksonominya
menggunakan ciri morfologi dan berhubungan erat dengan letak geografis atau garis
lintang dan juga kedalaman air. Sebagai contoh, untuk perairan dangkal di
daerah equator akan dijumpai genus Panulirus (Kanciruk, 1980).
Keanekaragaman jenis Panulirus sp di perairan daerah tropika lebih besar dari
pada di daerah sub-tropika, tetapi kelimpahannya relatif rendah. Lobster (Panulirus sp)
hidup pada perairan terumbu karang sampai pada kedalaman beberapa meter.
Biasanya mendiami tempat-tempat yang terlindung di antara batu-batu karang
dan jarang ditemukan dalam kelompok yang berjumlah besar. Banyak terdapat
diperairan barat Sumatera, selatan Jawa, perairan Nuasa Tenggara Timur, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Utara dan Halmahera.
Habitat alami lobster adalah kawasan terumbu karang di perairan-perairan yang
dangkal hingga 100 m di bawah permukaan laut. Lobster berdiam di dalam lubanglubang karang atau menempel pada dinding karang. Aktivitas organisme ini relatif
rendah. Lobster yang masih muda biasanya hidup di perairan karang di pantai dengan
kedalaman 0,5-30 m
Habitat yang paling disukai adalah perairan dengan dasar pasir yang ditumbuhi
rumput laut (seagrass). Hal ini diperkuat oleh Chan (1998) dalam Saputra, habitat udang
karang (lobster) pada umumnya adalah di perairan pantai yang banyak terdapat
bebatuan / terumbu karang. Terumbu karang ini disamping sebagai barrier (pelindung)
dari ombak, juga tempat bersembunyi dari predator serta berfungsi pula sebagai daerah
pencari makan. Akibatnya daerah pantai berterumbu ini juga menjadi daerah
penangkapan lobster bagi para nelayan. Hal ini dapat dilihat dari cara nelayan
mengoperasikan alat tangkap (bintur) di daerah bebatuan di pantai. Setelah menginjak
dewasa, lobster akan bergerak ke perairan yang lebih dalam, dengan kedalaman antara
7-40 m. Perpindahan ini biasanya berlangsung pada siang dan sore hari.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
107
2.3. Pakan dan Kebiasaan Makan Lobster
Lobster bersifat nokturnal dimana banyak melakukan aktivitasnya pada malam
hari, terutama aktivitas mencari makan. Sementara, pada siang hari lobster beristirahat
dan tinggal di goa-goa karang atau di celah-celah batu. Diharapkan, para pembudidaya
lobster memanfaatkan sifat ini, yakni melakukan pemberian pakan pada malam hari
dengan dosis yang lebih besar dibandingkan dengan pemberian pakan pada siang hari.
Dengan sifat nokturnal tersebut, tampak bahwa lobster senang bersembunyi di
tempat-tempat yang gelap. Di alam, lobster bersembunyi pada lubang-lubang yang
terdapat di sisi terumbu karang. Oleh karena itu, tempat budidaya lobster perlu
dilengkapi dengan tempat perlindungan atau tempat persembunyian (Shelter). Di alam,
lobster banyak mengkonsumsi beberapa jenis, baik dari golongan hewan (zooplankton,
invertebrate, dan vertebrate), tumbuhan (phytoplankton maupun tumbuhan air) dan
organisme mati (detritus).
2.4. Reproduksi dan Siklus Hidup Lobster
Pada saat tertentu, biasanya lobster berpindah ke perairan yang lebih dalam
untuk melakukan pemijahan. Lobster betina yang telah matang telur biasanya
berukuran (dari ujung telson sampai ujung rostrum) sekitar 16cm, sedangkan lobster
jantan sekitar 20cm. Seekor lobster jantan dapat membuahi banyak telur yang
kemudian disimpan di bagian bawah perut lobster betina.
Lobster memiliki siklus hidup yang kompleks. Siklus hidup lobster mengalami
beberapa tingkatan yang berbeda pada tiap jenis. Lobster termasuk binatang yang
mengasuh anaknya walaupun hanya sementara. Menurut Subani (1978), sistem
pembuahan lobster terjadi di luar badan induknya (external fertilization). Indung telur
nya berupa sepasang kantong memanjang terletak mulai dari belakang perut (stomach)
dibawah jantung (pericarduim) yang dihubungkan keluar oleh suatu pipa peneluran
(oviduct) dan bermuara di dasar kaki jalannya yang ketiga.
Menurut Moosa dan Aswandy (1984), ukuran panjang total lobster jantan dewasa
kurang lebih 20 cm, dan betina kurang lebih 16 cm, sedangkan umur pertama kali
matang gonad yaitu ditaksir antara 5 tahun – 8 tahun. Pada waktu pemijahan lobster
mengeluarkan sperma (spermatoforik) dan meletakkannya di bagian dada (sternum)
betina mulai dari belakang celah genital (muara oviduct) sampai ujung belakang
sternum.
Peletakan spermatoforik ini terjadi beberapa saat sebelum peneluran terjadi.
Spermatoforik yang baru saja dikeluarkan sifatnya lunak, jernih dan kemudian lama
kelamaan agak mengeras dan berubah warna agak menghitam dan membentuk selaput
pembungkus bagian luar atau semacam kantong sperma.
Pembuahan terjadi setelah telur-telur dikeluarkan dan ditarik kearah abdomen
yaitu dengan cara merobek selaput pembungkus oleh betina dengan menggunakan
cakar (kuku) yang berupa capit terdapat pada ujung pasangan kaki jalannya. Lobster
yang sedang bertelur melindungi telurnya dengan cara meletakkan atau menempelkan
dibagian bawah dada (abdomen) sampai telur tersebut dibuahi dan menetas menjadi
larva atau biasa disebut burayak atau tumpayak (Moosa dan Aswandy, 1984). Menurut
Hasrun (1996), lobster betina kadang-kadang dapat membawa telur antara 10.000 100.000 butir, sedangkan pada jenis-jenis yang besar bisa mencapai 500.000 hingga
jutaan telur. Banyak sedikitnya jumlah telur tergantung dari ukuran lobster air laut
tersebut.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
108
Menurut Prisdiminggo (2002), lobster mempunyai periode pemijahan yang
panjang puncaknya pada bulan November sampai Desember. Setiap individu hanya
sekali memijah setahun. Tetapi pada musim perkembangbiakan, lobster dapat
melakukannya lebih dari satu kali pemijahan. Waktu pemijahan sangat berhubungan
dengan temperatur.
Kualitas dan kuantitas benih yang akan dihasilkan dalam pembenihan lobster
sangat dipengaruhi oleh induk yang digunakan. Calon induk lobster yang akan
dikembangbiakkan harus memenuhi beberapa persyaratan, yakni berumur lebih dari
1,5-2,0 tahun, dengan berat lebih dari 0,3 kg/ekor untuk induk jantan dan 0,2 kg/ekor
untuk induk betina, sudah matang gonad (ditandai dengan warnanya yang lebih
cemerlang dengan panjang kerapas minimal 65 mm), serta sehat dan tidak cacat
(Prisdiminggo, 2002).
Gambar 2. Siklus Hidup Lobster
2.5. Jenis Lobster
Menurut Moosa dan Aswandy (1984), lobster mendiami suatu perairan tertentu
menurut jenisnya. Berikut jenis-jenis lobster laut :
Panulirus hommarus (lobster hijau pasir) biasanya ditemukan hidup di perairan karang
pada kedalaman belasan meter, dalam lubang-lubang batu granit atau vulkanis. Jenis ini
sering ditemukan berkelompok dalam jumlah yang banyak dan pada saat masih muda
lebih suka hidup di perairan yang keruh. Menurut Chan (1998) dalam Saputra, jenis
Panullirus hommarus hidup pada perairan pantai yang jernih pada bebatuan dan karang
berpasir. Lobster ini biasa disebut scapolled spiny lobster/spiny lobster mempunyai
punggung berwarna kebiru-biruan, kehijau-hijauan atau cokelat kemerah-merahan, dan
terdapat bintik-bintik besar dan kecil berwarna kuning terang. Pada bagian badan
terdapat garis kuning, melintang pada bagian sisi belakang segmen abdomen. Selain itu,
terdapat bercak-bercak pada bagian kakinya.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
109
Gambar 3. Panulirus hommarus
 Panulirus peniculatus (lobster batu) atau pronghorn spiny/spiny lobster mempunyai
bentuk tubuh berwarna hijau tua atau hijau-kehitaman dengan sapuan warna coklat
melintang.
Lobster
jantan
biasanya
berwarna
lebih
gelap
dari
betina. Jenis Panulirus penicillatus biasanya mendiami perairan dangkal berkarang (tidak
jauh dari pantai) di bagian luar terumbu karang pada kedalaman 1-4 m, dengan air yang
jernih dan berarus kuat.
Gambar 4. Panulirus peniculatus
 Panulirus longipes (lobster merah/bintik seribu) mampu beradaptasi pada berbagai
habitat, namun lebih menyukai perairan yang lebih dalam, pada lubang-lubang batt
karang. Pada malam hari, sering ditemukan pada tubir-tubir batuan dan kadang-kadang
tertangkap di perairan yang relatif dangkal (sekitar 1m) dengan air yang jernih dan
berarus kuat. Hal ini diperkuat oleh Chan (1998) dalam Saputra, habitat spesies P.
longipes adalah perairan karang atau bebatuan yang dangkal (tapi kadang-kadang
dijumpai juga pada kedalaman 130 meter). Perairan yang disukai yang jernih, dengan
arus seang, atau kadang-kadang sedikit keruh. Lobster ini disebut long legged spiny,
mempunyai warna tubuh merah kecoklatan terang, merah kecoklatan gelap, atau
kemerahan. Terdapat bintik-bintik putih dan setiap ruas kaki bergari-garis coklat atau
kekuning-kuningan memanjang. Spesies ini diperkirakan memiliki dua varietas, yaitu
Panulirus longipes femoritiga dan Panulirus longipes longipes.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
110
Gambar 5. Panulirus longipes
Panulirus ornatus (lobster mutiara) lebih menyukai terumbu karang yang agak dangkal
dan sering tertangkap di perairan yang agak keruh, pada karang karang yang tidak
tumbuh dengan baik, di kedalaman 1-8m. Lobster ini disebut ornate spiny, mempunyai
tubuh berwarna hijau berbelang-belang kuning. Pada bagian abdomen terdapat bintik
berwarna kuning.
Gambar 6. Panulirus ornatus
Panulirus versicolor (lobster bambu) senang berdiam di tempat-tempat yang
terlindung di antara batu-batu karang, pada kedalaman hingga 16m. Jenis ini jarang
terlihat berkelompok dalam jumlah banyak. Lobster ini disebutpainted spiny, yang
masih muda mempunyai bentuk tubuh berwarna kebiru-biruan atau keungu-unguan.
Sedangkan lobster dewasa berwarna hijau terang dengan sapuan warna merah,
terutama pada bagian punggung. Bagian kepala berwarna kehitam-hitaman dengan
bercak-bercak putih tersebar pada cangkang kepala. Pada setiap ujung segmen terdapat
guratan berbentuk pipa hitam dengan garis putih di bagian tengahnya. Antena
berwarna coklat muda kekuning-kuningan. Pada kaki didominasi oleh warna putih.
Gambar 7. Panulirus versicolor
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
111
Panulirus poliphagus (lobster pakistan) banyak ditemukan hidup di perairan karang
yang keruh dan sering kali juga ditemukan di dasar perairan yang berlumpur agak
dalam. Lobster ini disebut juga mud spiny mempunyai bentuk badan berwarna coklat.
Setiap ujung ruas tubuhnya terdapat guratan berbentuk pipa berwarna putih dan coklat
gelap.
Gambar 8. Panulirus poliphagus
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Bahan dan Alat
Bahan :
 Induk lobster
 Pakan induk
Alat :
 Bak pemeliharaan induk
 Jaring pemeliharaan
 Peralatan lapangan
 Peralatan pengukur kualitas air
3.2. Metode
Pematangan gonad induk lobster dilakukan dengan dua metode yaitu
pematangan gonad pada bak terkontrol dan pematangan gonad pada karamba jaring
apung (KJA).
A. Pematangan Gonad Pada Bak Terkontrol
1. Desain perekayasaan ini menggunakan dua perlakuan pakan yang berbeda
dengan dua ulangan dan satu perlakuan kontrol dengan dua ulangan.
2. Persiapan bak pemeliharaan induk lobster.
3. Induk yang baru datang diaklimatisasikan terlebih dahulu dengan media bak
pemeliharaan. Selama proses aklimatisasi, calon dinduk diberi pakan berupa ikan
rucah dengan dosis 4-6% dari total biomass, dengan frekwensi pemberian dua kali
sehari.
4. Setelah proses aklimatisasi calon induk selama kurang lebih satu minggu, induk
lobster kemudian diberikan pakan perlakuan. Dosis yang diberikan adalah 4/6 %
dari total biomass pada tiap perlakuan.
a. Perlakuan A pakan kontrol berupa ikan rucah.
b. Perlakuan B pakan berupa kekerangan.
c. Perlakuan C berupa pakan campuran kekerangan+bulubabi+seaweed.
5. Frekuensi pemberian pakan sebanyak dua kali sehari, terutama diberikan pada
sore hari menjelang malam dengan porsi pemberian agak banyak.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
112
6. Pemeliharaan harian berupa penggantian air media 100% pada pagi hari dan
penyiponan sisa pakan dan kotoran.
7. Paremeter yang diamati adalah tingkat kematangan gonad induk lobster baik
induk jantan maupun betina dilakukan tiap 5 hari sekali. Jumlah kematian,
penambahan berat dan panjang relatif, serta analisa kualitas air dilakukan 10 hari
sekali.
8. Sebagai data pendukung, pengukuran kualitas air dilakukan secara berkala yaitu:
salinitas, temperatur dan oksigen terlarut dilakukan setiap hari serta amoniak dan
nitrit dilakukan setiap 10 hari sekali.
B. Pematangan Gonad Pada Karamba Jaring Apung (KJA)
1. Desain perekayasaan ini menggunakan dua perlakuan pakan yang berbeda
dengan dua ulangan dan satu perlakuan kontrol dengan dua ulangan.
2. Persiapan jaring pemeliharaan induk lobster.
3. Induk yang baru datang diaklimatisasikan terlebih dahulu dengan media jaring
pemeliharaan. Selama proses aklimatisasi, calon dinduk diberi pakan berupa ikan
rucah dengan dosis 4-6% dari total biomass, dengan frekwensi pemberian dua kali
sehari.
4. Setelah proses aklimatisasi calon induk selama kurang lebih satu minggu, induk
lobster kemudian diberikan pakan perlakuan. Dosis yang diberikan adalah 4/6 %
dari total biomass pada tiap perlakuan.
a. Perlakuan A pakan kontrol berupa ikan rucah.
b. Perlakuan B pakan berupa kekerangan.
c. Perlakuan C berupa pakan campuran kekerangan+bulubabi+seaweed.
5. Frekuensi pemberian pakan sebanyak dua kali sehari, terutama diberikan pada
sore hari menjelang malam dengan porsi pemberian agak banyak.
6. Pemeliharaan harian berupa penggantian jaring pemeliharaan tiap dua minggu
sekali, sekaligus dilakukan sampling panjang dan berat induk.
7. Paremeter yang diamati adalah tingkat kematangan gonad induk lobster baik
induk jantan maupun betina dilakukan tiap 5 hari sekali. Jumlah kematian,
penambahan berat dan panjang relatif, serta analisa kualitas air dilakukan 10 hari
sekali.
8. Sebagai data pendukung, pengukuran kualitas air dilakukan secara berkala yaitu:
salinitas, temperatur dan oksigen terlarut dilakukan setiap hari serta amoniak dan
nitrit dilakukan setiap 10 hari sekali.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari kegiatan perekayasaan ini diperoleh Informasi sebagai berikut :
1. Pematangan Gonad Induk
Pematangan gonad induk lobster dilakukan dengan peningkatan nutrisi pakan
yang diberikan, yaitu berupa ikan rucah, kekerangan, bulubabi dan seaweed. Pada
perlakuan C (pakan campuran kekerangan+bulubabi+seaweed) memberikan hasil
terbaik, hal ini ditunjukkan dengan tingginya prosentase induk yang matang gonad
(55.5%) dibandingkan dua perlakuan lainnya, perlakuan A (12,5%) dan perlakuan B
(25,0%). Kematangan gonad induk dapat dilihat pada sepanjang abdomen, untuk induk
betina akan tampak garis memanjang yang berwarna kuning kemerahan, sedangkan
pada induk jantan akan tampak garis memanjang yang berwarna putih.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
113
Pakan perlakuan C menghasilkan prosentase induk matang gonad tertinggi
dikarenakan kandungan nutrisi pada pakan perlakuan C mempunyai kandungan nutrisi
yang lengkap untuk perkembangan gonad induk lobster terutama gonad bulu babi.
Gonad bulu babi mengandung asam lemak total 60,37%. Kandungan asam lemak
tertinggi yaitu asam palmitat sebesar 18,44%. Gonad bulu babi juga mengandung asam
lemak tak jenuh omega-3 sebesar (3,16-3,99)%, omega-6 (9,21-13,88)%, omega-9 (3,955,01)%, EPA (2,3-2,89)% dan DHA (0,38-0,73)%. Asam amino yang terkandung di dalam
gonad bulu babi ini yaitu 15 jenis yang terdiri atas 8 jenis asam amino esensial dan 7
jenis asam amino non-esensial (Afifudin, et al, 2014). Data pematangan gonad tersaji
pada tabel 1. sebagai berikut :
Tabel 1. Data Kematangan Gonad Lobster
No
Jenis Lobster
Perlakuan A
1 P. longipes
(batik)
2 P.
hommarus (pas
ir)
Tangg
al
Sampli
ng
Informasi Induk
Betina
Jantan
Ber
CL
TK Ber
CL
TK
at
(m
G
at
(m
G
(gr)
m)
(gr)
m)
Keterangan
23/04/
2015
23/04/
2015
169
60
0
Belum berkembang
260
85
0
Belum berkembang
3
P.
hommarus (pas
ir)
23/04/
2015
286
75
Belum berkembang
4
P.
hommarus (pas
ir)
23/04/
2015
165
70
Belum berkembang
5
P.
hommarus (pas
ir)
23/04/
2015
117
70
0
141
70
Belum berkembang
6
P.
hommarus (pas
ir)
23/04/
2015
113
70
0
Belum berkembang
7
P.
hommarus (pas
ir)
23/04/
2015
204
75
0
Belum berkembang
8
P.
hommarus (pas
ir)
23/04/
2015
175
65
0
Telur berkembang, sudah
terlihat dalam abdomen
Perlakuan B
9 P.
hommarus (pas
ir)
23/04/
2015
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
325
80
Belum berkembang
114
10
P.
hommarus (pas
ir)
23/04/
2015
11
P.
hommarus (pas
ir)
23/04/
2015
220
75
0
Belum berkembang
12
P.
hommarus (pas
ir)
23/04/
2015
165
65
0
Telur berkembang, sudah
terlihat dalam abdomen
13
P.
peniculatus (ba
tu)
P.
peniculatus (ba
tu)
23/04/
2015
169
60
0
Belum berkembang
23/04/
2015
246
80
0
Belum berkembang
15
P.
peniculatus (ba
tu)
23/04/
2015
238
80
0
Belum berkembang
16
P.
peniculatus (ba
tu)
23/04/
2015
14
Perlakuan C
17 P.
hommarus (pas
ir)
23/04/
2015
182
341
255
80
75
85
Sperma terlihat jelas
dalam abdomen
0
0
Belum berkembang
Telur berkembang, sudah
terlihat dalam abdomen
18
P.
hommarus (pas
ir)
23/04/
2015
250
19
P.
hommarus (pas
ir)
23/04/
2015
240
75
0
Telur berkembang, sudah
terlihat dalam abdomen
20
P.
hommarus (pas
ir)
23/04/
2015
235
70
0
Telur berkembang, sudah
terlihat dalam abdomen
21
P.
hommarus (pas
ir)
23/04/
2015
245
75
0
Belum berkembang
22
P.
hommarus (pas
ir)
23/04/
2015
250
75
Belum berkembang
23
P.
hommarus (pas
ir)
23/04/
2015
190
65
Belum berkembang
24
P.
hommarus (pas
ir)
23/04/
2015
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
275
75
85
0
Sperma terlihat jelas
dalam abdomen
Sperma terlihat jelas
dalam abdomen
115
25
P.
hommarus (pas
ir)
23/04/
2015
215
70
Belum berkembang
Gambar 9. Perkembangan Kematangan Telur
Kematangan telur I
Kematangan telur
II
Kematangan telur
III
Kematangan telur IV
2. Pemijahan Induk
Induk-induk yang digunakan pada kegiatan ini merupakan udang lobster hasil
tangkapan alam yang berukuran >200 gr/ekor (CL 60 mm) untuk induk betina dan >300
gr/ekor (CL 70 mm) untuk induk jantan. Sebelum memijah induk betina terlebih dahulu
akan ganti kulit (molting). Pemijahan induk terjadi secara alami, yaitu ditandai dengan
beberapa induk betina yang mengejar-ngejar induk jantan terutama pada saat sore hari
hingga malam hari. Apabila kondisi tersebut terjadi, dapat dipastikan beberapa induk
betina akan membawa kantong sperma (spermatoforik) pada pangkal kaki jalan ke-4
dan 5. Menurut Moosa dan Aswandy (1984), ukuran panjang total lobster jantan
dewasa kurang lebih 20 cm, dan betina kurang lebih 16 cm, sedangkan umur pertama
kali matang gonad yaitu ditaksir antara 5 tahun – 8 tahun. Pada waktu pemijahan
lobster mengeluarkan sperma (spermatoforik) dan meletakkannya di bagian dada
(sternum) betina mulai dari belakang celah genital (muara oviduct) sampai ujung
belakang sternum.
Peneluran terjadi beberapa hari setelah induk betina membawa kantong sperma,
telur yang dikeluarkan akan di erami pada bagian abdomen tepatnya pada bagian kaki
renang selama 5-7 hari sebelum akhirnya menetas menjadi nauplisoma. Perkembangan
telur akan mengalami beberapa tahapan warna, yang diawali warna kuning muda,
kuning tua (orange), merah bata, abu-abu dan menetas. Hal ini sesuai dengan pendapat
(Moosa dan Aswandy, 1984), pembuahan terjadi setelah telur-telur dikeluarkan dan
ditarik kearah abdomen yaitu dengan cara merobek selaput pembungkus oleh betina
dengan menggunakan cakar (kuku) yang berupa capit terdapat pada ujung pasangan
kaki jalannya. Lobster yang sedang bertelur melindungi telurnya dengan cara
meletakkan atau menempelkan dibagian bawah dada (abdomen) sampai telur tersebut
dibuahi dan menetas menjadi larva atau biasa disebut burayak atau tumpayak.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
116
Gambar 10. Pemijahan induk lobster
Pemijahan induk
Pemijahan induk
Spermatoforik
Matang Gonad
Gambar 11. Perbedaan induk jantan dan betina
Induk Jantan
Induk Betina
Data pengamatan pemijahan induk lobster tersaji pada tabel 2. sebagai berikut;
No
Jenis Lobster
Tangg
al
Sampli
ng
Informasi Induk
Betina
Jantan
Ber
CL
TK Ber
CL
TK
at
(m
G
at
(m
G
(gr)
m)
(gr)
m)
Keterangan
1
P. hommarus
(pasir)
23/04/
2015
80
IV
Warna telur coklat abu-abu,
pindah ke bak penetasan
2
P. hommarus
(pasir)
23/04/
2015
70
III
Warna telur kuning gelap,
pindah ke bak penetasan
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
117
3
P. hommarus
(pasir)
23/04/
2015
65
II
Warna telut orange, pindah
ke bak penetasan
Tabel 3. Data pengamatan pemijahan induk lobster
No
Jenis
Lobster
Tangg
al
Sampl
ing
1
Informasi Induk
Betina
Jantan
Ber CL TK Ber CL TK
at
(m G
at
(m G
(gr) m)
(gr) m)
75
I
P.
22/08
hommarus
/2015
(pasir)
2 P.
22/08
70 III
hommarus
/2015
(pasir)
3 P.
22/08
75
II
hommarus
/2015
(pasir)
Tabel 4. Data pengamatan pemijahan induk lobster
No
Jenis
Lobster
Tangg
al
Sampl
ing
1
P.
hommarus
(pasir)
P.
hommarus
(pasir)
20/11
/2015
2
Telur awal TKG I (warna
kuning muda)
70
Warna telut orange, pindah
ke bak penetasan
II
Ikatan telur pada kaki
renang
Warna telur kuning muda,
pindah ke bak penetasan
Warna telur kuning gelap,
pindah ke bak penetasan
Informasi Induk
Betina
Jantan
Ber CL TK Ber CL TK
at
(m G
at
(m G
(gr) m)
(gr) m)
65
I
20/11
/2015
Keterangan
Keterangan
Warna telur kuning muda,
pindah ke bak penetasan
Warna telut orange, pindah
ke bak penetasan
Telur TKG III (warna merah
bata)
Gambar 12. Perkembangan Telur
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
118
3. Produksi Noulpisoma
Induk-induk yang sudah mengerami telur selanjutnya dipindahkan ke dalam bak
penetasan untuk memudahkan pengamatan telur dan pemanenan nauplisoma yang di
hasilkan. Penanganan nauplisoma yang dihasilkan harus dilakukan secara hati-hati agar
supaya tidak mengalami luka maupun cacat terutama bagian kaki-kakinya yang panjang.
Pada kegiatan ini menggunakan dua metode yaitu;
1. Pemanenan nauplisoma dengan cara diseser, selanjutnya nauplisoma dipelihara pada
bak baru.
2. Pemindahan induk, selanjutnya nauplisoma dipelihara pada bak penetasan.
Namun kedua metode tersebut masih kurang maksimal, hal ini sangat berpengaruh
pada nauplisoma yang dihasilkan, dari hasil pengamatan di laboratorium nauplisoma
yang dihasilkan banyak mengalami luka, cacat pada organ pergerakan dan terserang
parasit.
Gambar 13. Pemanenan Nauplisoma
Nauplisoma di seser dari bak penetasan
Nauplisoma yang terkumpul
pada scop net
Gambar 14. Nauplisoma yang baru menetas
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
119
Tabel 5. Data Produksi Nauplisoma
No
1
2
Jenis
Lobster
P.
polyphagu
s
(Pakistan)
P.
hommarus
(pasir)
Informasi Induk
CL
(mm
)
130
Kelam
in
TKG
Tanggal
Masuk
Betina
I
80
Betina
Keterangan
03/06/2
015
Tanggal
Spawni
ng
08/06/2
015
Warna telur coklat abu-abu,
pindah ke bak penetasan
II
03/06/2
015
10/06/2
015
Warna telur kuning gelap,
pindah ke bak penetasan
3
P.
hommarus
(pasir)
70
Betina
II
03/06/2
015
10/06/2
015
Warna telut orange, pindah
ke bak penetasan
4
P.
hommarus
(pasir)
70
Betina
II
03/06/2
015
12/06/2
015
Warna telut orange,
produksi naupli ± 15.000
ekor
5
P.
hommarus
(pasir)
65
Betina
I
03/06/2
015
10/06/2
015
Telur digugurkan
6
P.
hommarus
(pasir)
70
Betina
II
03/06/2
015
12/06/2
015
Warna telut orange,
produksi naupli ± 15.000
ekor
7
P.
hommarus
(pasir)
P.
hommarus
(pasir)
65
Betina
I
03/06/2
015
10/06/2
015
Digunakan untuk sample
histopatologi
70
Betina
II
03/06/2
015
14/06/2
015
Warna telut orange,
produksi naupli ± 20.000
ekor
P.
hommarus
(pasir)
70
Betina
II
03/06/2
015
17/06/2
015
Warna telut orange,
produksi naupli ± 15.000
ekor
8
9
4. Kualitas Air
Kualitas air media pemeliharaan induk secara fisik masih memenuhi persyaratan
pemeliharaan induk, namun secara biologis tidak memenuhi persyaratan, hal ini tampak
jelas pada total bakteri media pemeliharaan masih sangat tinggi diatas batas ambang
kondisi optimal pemeliharaan.
Kondisi diatas sangat berpengaruh pada kesehatan induk yang dipelihara, hasil
pengamatan menunjukkan bahwa induk yang dipelihara sering mengalami serangan
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
120
penyakit, terutama dari jenis bakteri dan virus. Penyakit yang sering muncul pada saat
pemeliharaan induk antara lain :
 Busuk sirip ekor dan kaki renang yang ditimbulkan oleh bakteri
 Insang hitam yang ditimbulkan oleh jamur
 Milky desease yang ditimbulkan oleh virus
Tabel 6. Data pengamatan kualitas air media pemeliharaan induk lobster
Parameter
kualitas air
Suhu
Salinitas
Ph
Alkalinitas
Ammonia
Nitrit
Total
bakteri
Lokasi Sample
Satuan
O
C
ppt
ppm
ppm
ppm
CFU/ml
Bak
Induk 1
31
34
7,96
131
0,755
0,007
5,6x106
Bak
Induk 2
33
34
7,98
127
0,725
0,001
6,4x106
Kondisi optimal
KJA 1
KJA 2
KJA 3
32
33
33
30 – 31
34
7,77
129
0,685
0,025
1,4x106
30-33
6,5 – 8
10 – 400
< 0,02
< 0,1
Maks104
34
7,96
130
0,675
0,06
1,2x106
34
7,98
128
0,700
0,017
1,2x106
VI.KESIMPULAN
1. Perlakuan C (pakan campuran kekerangan+bulubabi+seaweed) memberikan hasil
terbaik, dengan prosentase induk yang matang gonad (55.5%) dari total populasi.
2. Pemijahan induk ditandai dengan induk betina yang membawa spermatoforik
(kantung sperma).
3. Pemanenan nauplisoma harus dilakukan secara hati-hati, sehingga diperoleh
nauplisoma dengan kualitas yang bagus.
4. Kualitas air media pemeliharaan secara biologis kurang mendukung pemeliharaan
induk dan produksi nauplisoma dengan total bakteri antara 1,2x106 - 6,4x106 CFU/ml.
PUSTAKA
Effendie, M.I. 1997. Metoda Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta.
Isna Kurniati Afifudin, Sugeng Heri Suseno, dan Agoes M. Jacoeb. 2014. ProfilAsam
Lemak dan Asam Amino Gonad Bulu Babi. Departemen Teknologi Hasil Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB
Darmaga, Jalan Agatis, Bogor 16680 Jawa Barat
Kadafi, Muammar, et.al., 2006. Aspek Biologi dan Potensi Lestari Sumberdaya Lobster
(Panulirus spp.) di Perairan Pantai Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen. Jurnal
Perikanan VIII(1).
Kanna, Iskandar. 2006. Lobster. Kanisius. Yogyakarta.
Moosa, M.K. dan I. Aswandy. 1984. Udang Karang (Panulirus spp.) dari Perairan
Indonesia. LON LIPI. Jakarta
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
121
Phillips, B.F., J.S. Cobb, and R.W. George, 1980. General Biology. In Cobb, J.S., and B.P.
Phillips (eds.). The Biology and Management of Lobsters. Volume I. Physiology
and Behavior. Academic Press.
Saputra, Suradi Wijaya. 2009. Status Pemanfaatan Lobster (Panulirus sp) di Perairan
Kebumen. Jurnal Saintek Perikanan Vol. 4, No. 2
Subani, W., 1987. Perikanan Udang Barong (Spiny Lobster) dan Prospek Masa Depannya.
Bulletin Penelitian Perikanan Volume I (3). Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perikanan, Jakarta.
______1984. Studi Mengenai Pergantian Kulit Udang Barong (Spiny Lobster, Panulirus
spp)
Kaitannya dengan Hasil Tangkapan. Laporan Penelitian Perikanan Laut.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
122
PENGGUNAAN MEDIA CONWY DAN GUILLARD DALAM KULTUR PLANTLET RUMPUT
LAUT KOTONIKappaphycus alvarezii
Oleh :
Valentina Retno Iriani dan Zahriah Anis
Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung
ABSTRACT
One of the obstacles in the cultivation of seaweed that is the availability of seeds
in sufficient quantities with high quality. At this time these obstacles have been
overcome through tissue culture technology. Tissue culture activities of Kappaphycus
alvarezii of the laboratory scale can be performed properly.. There are several medium
used in tissue culture activities, among others: Conwy, PES, VS, f / 2, Z9 and Guilard. This
test will be conducted on cultureof Kappaphycus alvarezii plantlets on Conwy and
Guilard medium in different concentrations.
These trials activities carried out in tissue culture laboratory BBPBL Lampung from
April to July 2015. Seaweed plantlets were obtained from SEAMEO BIOTROP Bogor.
Plantlets were cultured in a volume of 1000 ml Erlenmeyer. Initial weight of seaweed is
0.2 grams. Treatments were culturing plantlets in liquid Conwy (C) and Guilard (G)
medium in different concentrations. The treatment were C1. 0.5 ml / L; C2. 1 ml / L; C3.
1.5 ml / L; G1. 0.5 ml / L; G2. 1 ml / L; G3. 1.5 ml / L. There were 2 replicationsin each
treatment.The culture placed on a shelf culture completed with a fluorescent lamp
(light intensity of 1500 lux). Room temperature around 20-25 ºC. Subculture done once
a week. Parameters measured were weight, length and diameter of thalus.
That provide the highest yields for thallus weight gain, respectively are treated
G2; G1; C2; C1; C3 and G3 (As for the value in sequence is as follows 0.73 g; 0.70 g; 0.59
gr; 0.51 gr; 0:49 gr and 0:40 gr). As for the thallus length respectively are treated C1; G1;
G3; G2, C3 and C2 (value respectively are as follows 0.49 cm; 0.48 cm; 0.47 cm; 0.45 cm;
0.31 and 0.29 cm).
Keywords : cottonii seaweed, Conwy, Guillard
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
123
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Rumput laut kotoni (K. alvarezii) merupakan salah satu komoditas penting karena
memiliki beberapa keunggulan antara lain mudah dibudidayakan, modal yang
diperlukan relatif sedikit, dan usia panen singkat. Rumput laut merupakan komoditas
yang tepat untuk digunakan dalam program pemberdayaan masyarakat pesisir, selain
itu permintaan pasar masih sangat tinggi.
Salah satu kendala yang dihadapi dalam pengembangan budidaya rumput laut
adalah keterbatasan bibit yang kontinyu dan berkualitas. Yang terjadi saat ini
penggunaan bibit rumput laut dari hasil budidaya dengan cara stek secara terus
menerus menyebabkan rumput laut yang dihasilkan mengalami penurunan kualitas
seperti kadar karaginan, daya tahan terhadap penyakit, pertumbuhan dan sebagainya.
Dalam usaha menghasilkan bibit rumput laut yang unggul, SEAMEO BIOTROP
Bogor telah berhasil mengembangbiakkan rumput laut Kotoni melalui teknologi kultur
jaringan. Keberhasilan ini langsung direspon oleh BBPBL Lampung untuk melakukan
perekayasaan perbanyakan bibit rumput laut hasil kultur jaringan tersebut.
Pertumbuhan yang baik akan dicapai jika rumput laut mendapatkan nutrisi yang
cukup dari lingkungannya. Nutrisi yang baik bagi rumput laut adalah nitrogen dan
fosfor. Umumnya unsur fosfor diserap dalam bentuk ortofosfat sedangkan nitrogen
diserap dalam bentuk nitrat, nitrit dan ammonium (Dawes dalam Kurniawan, 2006)
Di BIOTROP, kegiatan perbanyakan bibit pada skala laboratorium, menggunakan
media Provasoli Enrich Seawater (PES). Selain, media PES, beberapa media juga
merupakan sumber N dan P yang baik bagi pertumbuhan rumput laut, di antaranya
media Conwy dan Guillard.
Berdasarkan kajian tersebut, maka upaya perekayasaan mengenai perbanyakan
bibit rumput laut skala laboratorium menggunakan berbagai jenis media perlu
dilakukan.. Kegiatan perekayasaan dilaksanakan untuk mengetahui jenis media dan
dosis yang paling baik dalam perbanyakan bibit rumput laut skala laboratorium.
Diharapkan keberhasilan dalam kegiatan perekayasaan ini dapat meningkatkan produksi
rumput laut hasil kultur jaringan.
1.2. Tujuan
Kegiatan perekayasaan ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan dosis media yang
paling efektif dalam perbanyakan bibit rumput laut skala laboratorium yang
menghasilkan pertumbuhan dan performayang terbaik.
1.3. Sasaran
Sasaran dari perekayasaan ini adalah didapatkannya jenis media/media yang paling
efektif dalam pemeliharaan bibit rumput laut pada skala laboratorium.
II. MATERI DAN METODE
Kegiatan perbanyakan bibit rumput laut ini dilakukan di laboratorium kultur
jaringanBBPBL Lampung pada bulan Aprilsampai dengan Juli2015.
2.1. Materi :
- Bibit rumput laut hasil kultur jaringan (dari media cair) dari BIOTROP Bogor.
- Bahan kimia Pro Analys (PA) untuk pembuatan media Conwy dan Guillard.
- Bahan analisa kualitas air.
- Alkohol, aquades dan aquabides
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
124
- Peralatan perbanyakan bibit rumput laut di laboratorium : rak kultur, laminar
flow, peralatan gelas (Erlenmeyer, beaker glass, gelas ukur, petri dish),
peralatan aerasi (hi-blow, selang aerasi, pemberat, kran aerasi), autoclave,
timbangan analitik, UV sterilizer, pinset, pisau bedah, bunsen.
- Peralatan pendukung (screen net, ember, gayung, dan distribusi air laut, alat
tulis, kamera, mikroskop).
2.2. Metode:
Tahap Persiapan.
a. Sterilisasi
- Melakukan sterilisasiperalatan gelas yang akan dipakai kultur dengan cara
direndam menggunakan larutan kaporit 100 ppm, kemudian dicuci dengan air
tawar dan disemprot alkohol 70% lalu ditiriskan. Peralatan aerasi disterilkan
dengan cara yang sama dengan di atas, kemudian dilakukan perebusan.
- Melakukan sterilisasi air.
Air laut disaring menggunakan sand filter, kemudian dialirkan melalui UV
sterilizer kemudian diautoclave dan dimasukkan ke dalam wadah kultur.
b. Pembuatan Media (Conwy dan Guillard)
Komposisi media Conwy/Walne dan cara pembuatannya.
Siapkan 750 ml akuades di dalam beakerglass.Larutkan komponen di bawah ini satu
persatu secara berurutan.pastikan setiap komponen benar-benar larut, sebelum
memasukkan komponen berikutnya. Setelah semua bahan larut, tambahkan akuades
hingga volume larutan menjadi 1000 ml.
Komponen
Kuantitas
Na2EDTA
45 gr
FeCl3•6H2O
1.5 gr
H3BO3
33.6 gr
NaH2PO4•2H2O
20 gr
MnCl2
0.5 gr
NaNO3
100 gr
Trace
metal 1 ml
solution
Komposisi Trace metal solution
Larutkan masing-masing bahan di bawah ini ke dalam 100 ml akuabides. Untuk
membuat media Conwy, masing-masing larutan trace metal ditambahkan sebanyak 1
ml.
ZnCl2
2.1 gr
CoCl2•6H2O
2.0 gr
CuSO4•5H2O
2.0 gr
(NH4)6Mo7O24•4H2O
0.9 gr
Akuabides
100 ml
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
125
Komposisi media Guillard and Rhyter (F Media Modification) dan cara pembuatannya
Siapkan 750 ml akuades di dalam beakerglass.Larutkan komponen di bawah ini satu
persatu secara berurutan.pastikan setiap komponen benar-benar larut, sebelum
memasukkan komponen berikutnya. Setelah semua bahan larut, tambahkan akuades
hingga volume larutan menjadi 1000 ml.
Komponen
Na2EDTA
FeCl3•6H2O
NaH2PO4•2H2O
MnCl2
NaNO3
Trace metal solution
Kuantitas
10 gr
2.9 gr
10 gr
3.6 gr
84.148 gr
1 ml
Komposisi Trace Metal Solution
Larutkan masing-masing bahan di bawah ini ke dalam 100 ml akuabides. Untuk
membuat media Guillard, masing-masing larutan trace metal ditambahkan sebanyak
1ml.
Komponen
CuSO4•5H2O
ZnSO4•7H2O
CoCl2•6H2O
NaMoO4•H2O
Akuabides
Kuantitas
1.96 gr
4.4 gr
2 gr
1.26 gr
100 ml
Tahap Pengujian
- Pemeliharaan rumput laut dilakukan di ruang ber-AC dengan suhu ruangan 20° C.
- Kultur ditempatkan pada rak yang diberi penyinaran dengan lampu TL
berintensitas cahaya sekitar 1500 lux.
- Rumput laut dikultur pada Erlenmeyer volume 1000 ml
- Berat awal rumput laut adalah 0,2 gram per perlakuan.
- Subkultur dilakukan seminggu sekali di dalam laminar air flow cabinet dan semua
kegiatan dilakukan secara aseptis.
- Waktu pemeliharaan selama 3 bulan.
- Perlakuan yang diberikan adalah :
Media Conwy
A. 0,5 ml/lt (C 0,5)
B. 1,0 ml/lt (C 1,0)
C. 1,5 ml/lt (C 1,5)
MediaGuillard
A. 0,5 ml/lt (G 0,5)
B. 1,0 ml/lt (G 1,0)
C. 1,5 ml/lt(G 1,5)
- Pada setiap perlakuan dilakukan 2 kali ulangan.
- samplingdilakukan seminggu sekali meliputi berat thallus dan jumlah thallus.
- Pengukuran kualitas air dilakukan pada awal dan akhir pemeliharaan.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
126
Pengamatan dan pengambilan data
Parameter yang diamati adalah :
- Laju PertumbuhanSpesifik menggunakan rumus sebagai berikut :
SGR = {(Wt/Wo)1/t}-1} x 100 %
Wt = panjang rata-rata akhir (mm)
W0 = panjang awal (mm)
- Data yang diperoleh kemudian ditabulasikan, dirata-ratakan untuk dianalisis
secara deskriptif.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Data hasil pengamatan yang sudah dirata-ratakan disajikan pada tabel dan diagram
berikut:
Pertumbuhan rumput laut dikatagorikan dalam pertumbuhan somatik dan
pertumbuhan fisiologi.Pertumbuhan somatik merupakan pertumbuhan yang diukur
berdasarkan pertambahan berat atau panjang thallus, sedangkan pertumbuhan fisiologi
dilihat berdasarkan reproduksi dan kandungan koloidnya (Kamlasi, 2008).Laju
pertumbuhan dihitung menurut pertambahan berat terhadap bibit yang ditanam dan
dinyatakan dalam persen per hari.
Pemupukanbiasanyadilakukandenganmaksudmenyediakanunsur
hara
padamediatempat hiduptanaman karena ketersediaan unsurharayang dapat
diseraptanamanmerupakanfaktoryangmempengaruhi
pertumbuhan.Menurut
(Sukandar,1978dalamArsyad,2013),
pemupukanadalah
memberikanunsur
harakepadatanamandapat tumbuhcepat, subur, dansehat.
Mediamengandung
unsurharamakro
danunsur
haramikroyangsangat
dibutuhkanolehtanaman.Kandunganunsurharanitrogendalambentukklorofil
yangberpengaruh
pada
fotosintesis
dan
tanaman
yang
paling
).
banyakmengambildalambentuknitrat(NO3)danamonium(NH4
Peranannitrogendalamtanamanterutamasebagai
bahan
dasaratau
penyusunanproteindalam
pembentukanklorofil
karenaitunitrogenmerupakan
unsurharayang sangat seringmembatasihasil tanaman(Indranada, 1986).
atau
Rumputlautmenyerapunsurfosfor dalambentukionorthophospat(PO3-)
phospat organik dalam bentukglysero phospat denganmemproduksi alkalin phospat
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
127
aseekstra selular.
Menurut (Lingga, 1999) bahwa sebagian besarfosfor
dalamtanaman berperan sebagai zatpembangun danterikatdalam senyawasenyawaorganikdansebagian kecil dalambentukanorganiksebagai ion-ionphospat.
Pada uji coba menggunakan media Conwy, hasil pertumbuhan terbaik diperoleh pada
perlakuan media Conwy dengan dosis 1,0 ml/liter yaitu sebesar 1,655923%, diikuti
perlakuan media Conwy dosis 0,5ml/liter sebesar 1,512789 % dan perlakuan media
Conwy dosis 1,5 ml/liter sebesar 1,495637 %. Sedangkan Pada uji coba menggunakan
mediaGuillard, hasil pertumbuhan terbaik diperoleh pada perlakuan mediaGuillard
dengan dosis 1,0 ml/liter yaitu sebesar 1,850738 %, diikuti perlakuan media Guilllard
dosis 0,5ml/liter sebesar 1,80683% dan perlakuan media Guillard dosis 1,5 ml/liter
sebesar 1,317467 %. Jika dibandingkan antara perlakuan media Conwy dengan media
Guillard, maka hasil terbaik ditunjukkan oleh perlakuan media Guillard dosis 1,0 ml/liter.
Komposisi nutrien pada media Conwy dan Guillard, yang mempengaruhi pertumbuhan,
terutama pada pembentukan protein (asam amino) dan lemak (asam lemak) adalah
nitrogen dan Fe (Endar, Vivi et. al., 2012).
Komposisi Fe pada media Guillard lebih tinggi daripada media Conwy. Menurut Amsler
(2008), FeCl3 (besi) memiliki kemampuan untuk mereduksi nitrat menjadi nitrit dan
nitrit menjadi amonium. Amonium adalah sumber nitrogen. Nitrogen adalah nutrien
yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan alga (Kaplan et.al., 1986).
Tabel Kualitas Air Perlakuan Media Conwy
Parameter Satuan
Perlakuan
Baku
mutu
Conwy 0,5 ml
Conwy 1,0 ml
Conwy 1,5 ml
pH
Awal
Akhir
Awal
Akhir
Awal
Akhir
7,485
7,46
7,33
7,335
7,07
7,46
7-8,5
DO
mg/l
7,15
6,73
7,4
6,895
6,8
7,1
>4
Suhu
°C
21,35
23,3
21,4
22,95
21,25
22,2
alami
Salinitas
ppt
32
35
32
35,5
32
37,5
27-34
Nitrit
mg/l
0,075
0,0455
0,0735
0,0375
0,0655
0,028
0,05
Nitrat
mg/l
1,056
4,29
1,7705
5,32
2,955
7,02
1-3
Amoniak
mg/l
0,3005
0,246
0,247
0,328
0,162
0,162
0,3
Phosphat
mg/l
0,247
2,18
0,4685
3,675
0,621
5,715
0,010,021
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
128
Tabel Kualitas Air Perlakuan MediaGuillard
Parameter Satuan
Perlakuan
Guillard 0,5 ml
Guillard 1,0 ml
Guillard 1,5 ml
Awal
Akhir
Awal
Akhir
Awal
Akhir
Baku
Mutu
pH
-
7,7
7,555
7,49
7,39
7,395
7,395
7-8,5
DO
mg/l
7,425
7,085
7,245
7,55
7,31
6,555
>4
Suhu air
°C
21,2
21,65
21,3
22,15
21,2
22,25
Alami
Salinitas
psu
32
35,5
32
36,5
32
37,5
Nitrit
mg/l
0,077
0,052
0,0707
0,0445
0,07
0,0045
2734
0,05
Nitrat
Amoniak
mg/l
mg/l
1,2035
0,0815
2,74
0,4555
2,1455
0,092
4,805
0,5515
2,253
0,0755
3,726
0,156
1-3
0,3
Phosphat
mg/l
0,1035
1,0685
0,239
1,0115
0,327
3,055
0,010,021
Kualitas air pada kedua perlakuan dapat dilihat pada tabel di atas. Sebagian besar
parameter kualitas air masih memenuhi peryaratan budidaya rumput laut. Salinitas
pada akhir uji coba mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan
karena selama waktu pemeliharaan terjadi penguapan yang berakibat terhadap naiknya
salinitas.
Kandungan phosphat pada akhir uji coba, pada beberapa perlakuan juga lebih
tinggi dari baku mutu. Kemungkinan tingginya kandungan phosphat pada akhir uji coba
berasal dari lapukan rumput laut yang mati dan sisa bahan organik.
Sumberalamifosfatdalamperairanberasaldarierositanah,kotoranbuanganhewan,lapukan
tumbuhan,
buanganindustri,hanyutanmedia,limbahdomestik,hancuranbahanorganik
dan mineral-mineralfosfat(Susana,1989).
IV. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan terbaik didapatkan
dari penggunaan media Guillard dengan dosis 1,0 ml/liter.
IV. REFERENSI
Arsyad.G,2013.PengaruhPanjangThallusBerbedaDenganDenganBerat
AwalYangSama
Terhadap PertumbuhanBibitRumputLaut(K. Alvarezii). FakultasIlmuKelautan
Dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.
Aslan.L.M,1998.Budidaya Rumput LautKasinus.Yogyakarta
Bond, M.M. et. al. 2010. Pengelolaan Air Pada Pembenihan Air Laut.Balai Budidaya laut
Batam.
Damar, A., Wardiatno, Y., Yuli N, Nyoman MNN dan Unggul A. 1992. Studi
Kemungkinan Budidaya Algae Laut Gracilaria lichenoides di Tambak di Perairan
Pantai Selatan Kabupaten Pandeglang Jawa Barat. Institut Pertanian Bogor.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
129
Doty, MS. 1971. Measurement of Water Movement in Reference to Benthic Algae
Growth. Botanica Marina. p 32-35
Effendi, H., 2007. Telaah Kualitas Air-Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Indranada.K,1986.Pengolahan KesuburanTanah.PT.Bina Aksara.Jakarta.
KepMen Lingkungan Hidup No. 51 Th 2004.Baku mutu air laut untuk biota laut.
Kurniawan, AD. 2006. Studi Kemampuan Penyerapan Unsur Hara (N dan P) oleh
Gracillaria sp. dalam Skala Laboratorium (Skripsi). Manajemen Sumberdaya
Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Lingga.P,1999.HidroponikBercocokTanamTanpaTanah.PenebarSwadaya.
Jakarta.Hal33-37.
Patadjai, R.S. 1993. Pengaruh Media TSP Terhadap Pertumbuhan dan Kualitas Rumput
Laut Gracilaria gigas Harv (Tesis). Program Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Program Manual Penyiapan Standar Teknologi Perbanyakan Bibit Rumput Laut Kotoni
(Kappaphycus alvarezii) Hasil Kultur Jaringan. 2014
PP No 24. 1991. Pengendalian pencemaran lingkungan laut PP No 24. Th 1991.
Purba, SB. 1991. Laju Pertumbuhan dan Mutu Rumput Laut Euchema alvarezii (Doty)
yang Ditanam pada Sistem Monoline dan Multilines Lepas Dasar di Perairan
Pantwi Geger, Nusa Dua Bali (Skripsi). Manajemen Sumberdaya Perairan.
Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.
Susana, T.1989.kadarFosfatdiBeberapaMuara SungaiTelukJakartaProsiding
SeminarEkologilautdan Pesisir.P3O-LIPI.Jakarta.
Tang, U.M. dan Affandi, R. 2002. Fisiologi Hewan Air. Pekan Baru.UNRI Press.
Yanti, A. 2007. Studi Pertumbuhan Beberapa Alga Merah Genus Gracilaria dari Pantai
Batunampak
Kabupaten Sukabumi (Skripsi).
Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.Institut Pertanian
Bogor.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
130
PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI Kappaphycus alvarezii HASIL KULTUR JARINGAN
DENGAN VARIASI JARAK BERBEDA DARI BIBIR PANTAI
Andi Elman1*) Akmal1), Lideman1), Hamzah1), Syamsul Bahri1), Mutmainna1), IGP. Agung2),
Syamsir Syam2), Ilham3), Muh. Suaib3),Muh. Amri4), Sugeng Raharjo5)
Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar
ABSTRACT
Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan laju pertumbuhan dan produksi
rumput laut Kappaphycus alvarezii hasil kultur jaringan dengan variasi jarak tanam dari
pantai. Ada 3 (tiga) percobaan jarak budidaya dari bibir pantai terdiri dari; A. =100 m
dari pantai; B. 200 m; dan C. 300 m dari pantai. Bibit rumput laut yang digunakan adalah
bibit hasil kultur jaringan jenis Kappaphycus sp didatangkan dari Seameo Biotrop Tajur,
Bogor, Jawa Barat. Bibit K. alvarezii ditimbang dengan bobot awal 2-4 gr/simpul, bibit
diikatkan pada tali PE No.1,5 mm dan dimasukkan dalam keranjang, selanjutnya diikat
pada tali rentang PE No. 5 mm dengan jarak antar tali simpul 15 cm. Penanaman bibit
dengan metode lepas dasar longline yang berukuran panjang tali rentang 30 m. Data
yang diamati adalah pertumbuhan, produksi dan produktivitas. Pengujian variasi jarak
berbeda dari pantai terhadap pertumbuhan, produksi dan produktivitas serta parameter
kualitas air dilakukan analisa secara deskriptif. Hasil menunjukkan laju pertumbuhan
harian rumput laut kultur jaringan asal Seameo Biotrop Bogor yang dibudidayakan
dengan jarak tanam dari bibir pantai berkisar antara 1,33%/hari-1–2,47%/hari-1. Jarak
pada perlakuan B (200 m) lebih tinggi laju pertumbuhan hariannya (2,47%/hari-1) di
banding dengan perlakuan A (100 m) dan C (300 m) masing-masing (1,33%/hari-1) dan
(1,87%/hari-1). Rendahnya laju pertumbuhan harian karena rumput laut kultur jaringan
masih proses adaptasi dari laboratorium ke kondisi perairan laut wilayah Takalar.
Sedangkan rumput laut hasil kultur jaringan (generasi III) yang diperoleh dari BBPBL
Lampung yang dibudidayakan selama 35 hari di pantai Laguruda BPBAP Takalar memiliki
laju pertumbuhan harian berkisar antara 3,00%/hari-1-3,55%/hari-1 jauh lebih kecil
dibandingkan laju pertumbuhan harian rumput laut hasil kultur jaringan yang
dipeliharan di pantai BBPBL Lampung 9,43%/hari-1-13.46%/hari-1. Adapun produksi dan
produktivitas berkisar antara 11,90-32,10 g-1 (rata-rata 20,57 gr-1) dan 1,70-4,59 g/m-1
(rata-rata 2,94 g/m-1). Selanjutnya, jarak tanam dari bibir pantai 200 m (perlakuan B)
diperoleh produksi dan produktivitas tertinggi masing-masing 32,10 g-1 dan 4,59 g/m-1
dan terendah jarak tanam dari bibir pantai 300 m (perlakuan C) masing-masing 11,90 g-1
dan 1,70 g/m-1 lebih rendah dibanding dengan jarak tanam dari bibir pantai 100 m
(perlakuan A) masing-masing 17,70 g-1 dan 2,53 g/m-1. Rendahnya produksi dan
produktivitas diduga karena bibit kultur jaringan masih proses aklimatisasi dari
laboratorium ke kondisi perairan laut. Sedangkan bibit rumput laut hasil kultur jaringan
(generasi III) tahun 2014 yang diperoleh dari BBPBL Lampung dan dibudidayakan selama
35 hari di pantai Laguruda BPBAP Takalar memiliki produks dan produktivitas masingmasing 750,0-1.060,0 g-1 (rata-rata 913,33 g-1) dan 25,00-35,33 g/m-1 (rata-rata 30,44
g/m-1).
Kata Kunci : Variasi Jarak Tanam, Pertumbuhan, Produksi, Kultur Jaringan, K. alvarezii
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
131
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Budidaya rumput laut menggunakan metode longline dari bibit yang telah
berulang kali digunakan, yaitu dari rumput laut sisa panen periode sebelumnya yang
sengaja tidak ikut dipanen untuk dijadikan bibit pada periode berikutnya. Padahal,
diperlukan bibit rumput laut yang berkualitas dari sisi produksi biomassanya (kuantitas)
maupun kandungan gel strength dan kualitas agar. Bibit rumput laut sampai saat ini
sepenuhnya masih mengandalkan bibit yang berasal dari alam. Jika kondisi tersebut
berlangsung lama maka terdapat kemungkinan akan terjadi kekurangan bibit. Menurut
Suryati et al (2007), teknik kultur jaringan menjanjikan perbanyakan benih secara
berkesinambungan dan berkualitas tinggi. Produksi biomassa rumput laut yang optimal
akan dapat tercapai dengan adanya bibit rumput laut yang berkualitas, baik produksi
biomassanya (kuantitas) ataupun kandungan gel strenght dan kualitas karaginannya.
Produksi biomassa rumput laut Kappaphycus sp.dari bibit kultur jaringan dibudidayakan
di media skala laboratorium dengan memperhatikan kualitas air, diantaranya salinitas,
suhu, pH, kecerahan,serta nutrien untuk pertumbuhan berupa nitrat, phospat. Dengan
ketersediaan air yang berkualitas dan nutrient, maka proses fotosintesis dapat berjalan
dengan optimal sehingga Kappaphycus sp.dapat bertumbuh dengan optimal pula.
Masalah kemerosotan mutu dari benih rumput laut yang berasal dari alam dapat
ditangani dengan beberapa teknik. Salah satu teknik untuk mengatasi kemerosotan
mutu dari benih rumput laut yaitu dengan perbanyakan bibit melalui metode kultur
jaringan seperti yang telah berhasil dilakukan (Suryati dkk. 2007; Suryati dan
Mulyaningrum 2009). Perbanyakan bibit melalui teknik kultur jaringan memiliki
beberapa keunggulan dibandingkan melalui teknik stek pada umumnya. Keunggulan
dari produksi bibit dengan kultur jaringan antara lain tidak bergantung pada pengaruh
musim, sifat bibit dari hasil kultur jaringan identik dengan induknya, bias diproduksi
dalam jumlah yang banyak meskipun tempat terbatas, kualitas yang baik, dan relatif
tersedia setiap saat. Selain itu menurut Reddy et al. (2003) rumput laut hasil kultur
jaringan dapat tumbuh 1,5 sampai 1,8 kali lebih cepat dibandingkan rumput laut dari
hasil penanaman di laut yang berada di India.
Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, dapat dibantu dengan teknik
pengembangbiakan melalui kultur jaringan. Kultur jaringan merupakan suatu metoda
dalam mengisolasi bagian dari tanaman (pada rumput laut adalah tallus) serta
menumbuhkannya dalam kondisi yang aseptik dalam wadah tertutup, sehingga bagian
tersebut dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap kembali
seperti induknya (Gunawan, 1987). Keunggulan teknik kultur jaringan adalah
perbanyakan secara berkesinambungan dan berkualitas tinggi, mempunyai sifat yang
identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar dengan waktu
yang singkat, memudahkan dalam transportasi ke suatu tempat, kesehatan dan mutu
bibit lebih terjamin, serta bibit dapat tumbuh dengan cepat (Anonim, 2010).
Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan kegiatan perekayasaan terkait
hubungan antara faktor eksternal dan faktor internal, sehingga dapat ditentukan
perekayasaan yang baik untuk bibit dan faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap
kuantitas dan kualitas rumput laut Kappaphycus sp. Oleh karenanya BPBAP Takalar
perlu melakukan kegiatan perekayasaan yang mengarah pada peningkatan kuantitas
dan kualitas rumput laut Kappaphycus sp dalam produksi budidaya yang selanjutnya
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
132
diharapkan akan berdampak ke arah peningkatan kemampuan dan peningkatan
ekonomi kesejahteraan masyarakat pembudidaya rumput laut.
2. Tujuan
Untuk meningkatkan laju pertumbuhan dan produksi rumput laut Kappaphycus
alvarezii hasil kultur jaringan dengan variasi jarak tanam dari pantai.
3. Kegunaan
Sebagai bahan informasi dan penggunaan Perekayasaan ini diharapkan dapat
memberikan informasi dasar mengenai ; gambaran aplikasi pengujian rumput laut K.
alvarezii hasil kultrur jaringan terhadap pertumbuhan dan produksi yang dibudidayakan
dengan variasi jarak berbeda.
METODOLOGI
1. Waktu dan Tempat
Perekayasaan ini akan dilaksanakan Bulan Agustus-Oktober 2015. Lokasi
perekayasaan dilaksanakan di Kawasan Budidaya rumput laut di Dusun Je’ne Desa
Laguruda, Kecamatan Sanrobone Kabupaten Takalar, Propinsi Sulawesi Selatan.
2. Bahan dan Alat
Adapun bahan dan alat yang digunakan dalam perekayasaan dapat dilihat pada
Tabel di bawah ini :
Tabel 1. Bahan yang akan digunakan pada kegiatan Rekayasa Pengujian Pertumbuhan
dan Produksi Kappaphycus alvarezii Hasil Kultur Jaringan Dengan Variasi Jarak Berbeda
Dari Bibir Pantai.
No Nama Bahan
Fungsi
1. Rumput laut K. alvarezii hasil kultur jaringan
Sebagai organisme uji
2. Tali plastik PE(Ø No. 10, 5, 3 dan 1,5 mm)
Sarana budiaya
3. Botol dan jergen
Pelampung
Tabel 2. Alat yang akan digunakan pada kegiatan Rekayasa Rekayasa Pengujian
Pertumbuhan dan Produksi Kappaphycus alvarezii Hasil Kultur Jaringan Dengan Variasi
Jarak Berbeda Dari Bibir Pantai.
No Nama Alat
Fungsi
1. Mistar Geser
Mengukur panjang sampel
2. Timbangan digital
Menimbang bahan dan sampel
3. Peralatan analisis kualitas air
Mengukur parameter kualitas air.
(Spektrofotometer, Termometer digital,
Hand-Refraktometer, pH meter)
Sumber : Data sekunder
3. Prosedur Kerja
Bibit rumput laut yang digunakan adalah bibit hasil kultur jaringan jenis
Kappaphycus sp didatangkan dari Seameo Biotrop, Bogor, Jawa Barat. Bibit K. alvarezii
hasil kultur jaringan ditimbang dengan bobot awal 2-4 gr/simpul, bibit diikatkan pada
tali PE No.1,5 mm dan dimasukkan dalam keranjang, selanjutnya diikat pada tali rentang
PE No. 5 mm dengan jarak antar tali simpul 15 cm. Penanaman bibit dengan metode
lepas dasar longline yang berukuran panjang tali rentang 30 m.
Selama pemeliharaan, tanaman dibersihkan dari tumbuhan dan lumpur yang
mengganggu, sehingga tidak menghalangi tanaman dari sinar matahari dan
mendapatkan makanan. Jika ada tali bentangan yang lepas ikatannya, sudah lapuk atau
putus, segera diperbaiki dengan cara megencangkan ikatan atau mengganti dengan tali
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
133
baru. Perkembangan rumput laut yang dibudidayakan disampling setiap 7 hari sekali
dan pemeliharaan dilakukan selama 45 hari.
Aplikasi pengujian menitikberatkan pada uji laju pertumbuhan harian, produksi
dan produktivitas dengan variasi jarak berbeda dari pantai. Adapun satuan percobaan
jarak budidaya dari bibir pantai terdiri dari; A. =100 m dari pantai; B. 200 m; dan C. 300
m dari pantai.
Pengamatan dan sampling perkembangan rumput laut yang dibudidayakan
diiukur dengan menimbang setiap 7 hari sekali dan budidaya dilakukan selama 45 hari.
Data dilakukan dengan cara dideskripsikan. Data-data yang diperoleh dalam bentuk
tabel dan grafik untuk mengetahui perbandingan laju pertumbuhan, produksi biomassa,
dan produktivitas dengan variasi jarak dari bibir pantai.
Uji Pengukuran laju pertumbuhan harian dihitung dengan menggunakan rumus
Dawes dkk., (1993 dalam Hurtado dkk., 2001) sebagai berikut :
Ln (Wt / Wo)
LPH =
t
x 100
-1
dimana : LPH = Laju pertumbuhan
bobot harian/hari (%/hari )
t
Wo = Berat bibit awal (0 hari)
Wt = Berat tanaman setelah t hari
t= Lama penanaman (hari)
Produksi (P) rumput laut dihitung berdasarkan selisih jumlah bobot akhir
pengamatan dengan jumlah bobot awal pengamatan dari semua rumpun rumput laut
menggunakan persamaan berikut (Winberg, 1971):
P = (∑W t - ∑W 0)
dimana :
P = Produksi rumput laut (kg)
Wo = Berat bibit awal (0 hari)
Wt = Berat tanaman setelah t hari
Produktivitas (Pv) dihitung berdasarkan selisih jumlah bobot akhir pengamatan
dengan jumlah bobot awal pengamatan dari semua rumput laut dibagi dengan panjang
tali dihitung dengan menggunakan rumus sesuai petunjuk Masyahoro (2007) sebagai
berikut:
∑ W t – ∑W o
Pv =
L
dimana :
L
Pv = Produktivitas rumput laut (kg/m)
Wt = Bobot akhir rumput laut (kg)
Wo = Bobot awal rumput laut (kg)
L = Panjang tali ris (m)
4. Analisis Data
Data yang diamati adalah pertumbuhan, produksi dan produktivitas rumput laut
hasil kultur jaringan yang dibudidayakan dengan variasi jarak berbeda dari pantai..
Untuk mengetahui pengaruh pengujian variasi jarak berbeda dari pantai terhadap
pertumbuhan, produksi dan produktivitas rumput laut kultur jaringan serta parameter
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
134
kualitas air dilakukan analisa secara deskriptif berdasarkan kelayakan hidup pada awal
dan akhir perekayasaan.
HASIL DAN PEMABAHASAN
1. Pertambahan bobot basah
Pengukuran rata-rata pertambahan bobot basah K. alvarezii hasil kultur jaringan
setiap perlakuan selama perekayasaan disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Grafik Pertambahan bobot basah rumput laut selama perekayasaan pada
setiap pengujian jarak tanam dari bibir pantai.
Berdasarkan Gambar 1. menunjukkan bahwa hasil penimbangan bobot awal
rata-rata dengan jarak perlakuan A=100 m (2,74 g), B=200 m (2,64 g) dan jarak
perlakuan C=300 m (2,16 g) meningkat rata-rata bobot basah pada sampling I (hari 7)
yaitu pada jarak perlakuan A=100 m (2,91 g), B=200 m (3,13 g) dan jarak perlakuan
C=300 m (2,63 g). Selanjutnya, rata-rata pertumbuhan bobot basah pada perlakuan B
jarak 200 m (8,88 gr) lebih tinggi dibanding dengan perlakuan A jarak 100 m (5,27 gr)
dan C jarak 300 m (5,40 gr) pada umur yang sama (49 hari). Hal ini, menunjukkan
kenaikan rata-rata bobot basah seiring dengan waktu pemeliharaan pada semua
perlakuan jarak tanam dari pantai. Perambahan rata-rata bobot basah rumput laut K.
alvarezii hasil kultur jaringan yang berada pada jarak 100 m dan 200 m dari bibir pantai
sedikit lambat pada hari ke-7, mengindikasikan mulai beradaptasi dan beraklimatisasi
dengan lingkungan perairan sehingga relatif menghambat pertumbuhan. Pertumbuhan
rumput laut K. alvarezii hasil kultur jaringan yang berada pada jarak 200 m dari bibir
pantai meningkat setelah hari ke-7. Menurut Damar et al. (1992), pada 7 hari pertama
pemeliharaan merupakan waktu tanaman untuk beraklimatisasi. Selama aklimatisasi
inilah rumput laut menyerap nutrisi yang ada di perairan sekitarnya. Setelah masa
aklimatisasi terlewati, maka tanaman segera menggunakan energi untuk
pertumbuhannya, yaitu membentuk tunas-tunas muda yang tumbuh dengan cepat
serta memperbesar diameter talusnya. Perbedaan rata-rata pertumbuhan bobot
rumput laut K. alvarezii hasil kultur jaringan pada masing-masing jarak tanam dari bibir
pantai diduga karena karakteristik ekologis perairan yang berbeda menjadi salah satu
faktor perbedaan rata-rata pertumbuhan bobot pada setiap variasi jarak tanam.
Menurut Atmadja (2007) bahwa rumput laut termasuk tumbuhan yang dalam proses
metabolismenya memerlukan kesesuaian faktor-faktor fisika dan kimia perairan seperti
gerakan air, suhu, kadar garam, nutrisi atau zat hara (seperti nitrat dan fosfat), dan
pencahayaan sinar. Rendahnya pertumbuhan rumput laut pada jarak 100 m dan 300 m
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
135
dari bibir pantai diduga ada beberapa kondisi ekologis baik fisika, kimia maupun kondisi
ekologis lainnya yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut. Perairan yang
mengandung partikel lumpur satu dari beberapa faktor ekologis yang menghambat
pertumbuhan rumput laut menjadi lebih rendah. Hal ini mengacu pada keberadaan
partikel lumpur yang melekat di bagian rumput laut yang hampir merata di setiap
rumpun terdeteksi pada saat pengontrolan yang dilakukan sekali dalam sepekan.
Parenrengi dkk. (2010) menyatakan bahwa arus yang membawa partikel zat padat yang
akan menempel pada talus rumput laut akan mengganggu proses fotosintesis. Sumber
partikel lumpur tersebut diduga substrat dasar yang cenderung berpasir dan berlumpur.
Selain itu faktor lain yang dianggap berpengaruh ialah ketersedian unsur hara dalam hal
ini nitrat, kisaran salinitas, serta kecepatan arus kurang berperan aktif dalam
mendukung pertumbuhan rumput laut tersebut.
2. Laju Pertumbuhan Harian
Laju pertumbuhan harian rumput laut K. alvarezii setiap perlakuan jarak tanam
dari bibir pantai yang berbeda selama perekayasaan disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Histogram batang Laju pertumbuhan harian rumput laut pada setiap
perlakuan selama percobaan
Berdasarkan Gambar 2, menunjukkan bahwa laju pertumbuhan harian bibit kultur
jaringan asal Seameo Biotrop Bogor yang dibudidayakan dengan jarak tanam dari bibir
pantai berbeda berkisar antara 1,33%/hari-1–2,47%/hari-1. Jarak tanam dari bibir pantai
pada perlakuan B (200 m) lebih tinggi laju pertumbuhan hariannya (2,47%/hari-1) di
banding dengan jarak tanam dari bibir pantai pada perlakuan A (100 m) dan C (300 m)
masing-masing (1,33%/hari-1) dan (1,87%/hari-1). Rendahnya laju pertumbuhan harian
karena bibit kultur jaringan masih proses adaptasi dari laboratorium ke kondisi perairan
laut wilayah Takalar. Sedangkan bibit rumput laut hasil kultur jaringan (generasi III)
yang diperoleh dari BBPBL Lampung yang dibudidayakan selama 35 hari di pantai
Laguruda BPBAP Takalar memiliki laju pertumbuhan harian berkisar antara 3,00%/hari-13,55%/hari-1 jauh lebih kecil dibandingkan laju pertumbuhan harian rumput laut hasil
kultur jaringan yang dipelihara di pantai BBPBL Lampung 9,43%/hari-1-13.46%/hari-1
(Sulistiani, dkk. 2012). Beberapa referensi menunjukkan bahwa rumput laut hasil kultur
jaringan lebih tinggi laju pertumbuhan hariannya dibanding dengan rumput laut bibit
konvensional.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
136
3. Produksi dan Produktivitas
Produksi dan produktivitas rumput laut K. alvarezii setiap perlakuan jarak tanam
dari bibir pantai yang berbeda selama perekayasaan disajikan pada Gambar 3.
A
B
Gambar 3. Histogram batang produksi (A) dan produktivitas (B) rumput laut pada
setiap perlakuan selama percobaan
Berdasarkan Gambar 3, menunjukkan bahwa produksi dan produktivitas bibit
rumput laut kultur jaringan asal Seameo Biotrop Bogor yang dibudidayakan dengan
jarak tanam dari bibir pantai berbeda masing-masing berkisar antara 11,90 - 32,10 g-1
(rata-rata 20,57 g-1) dan 1,70 - 4,59 g/m-1 (rata-rata 2,94 g/m-1). Selanjutnya, jarak
tanam dari bibir pantai 200 m (perlakuan B) diperoleh produksi dan produktivitas
tertinggi masing-masing 32,10 g-1 dan 4,59 g/m-1 dan terendah jarak tanam dari bibir
pantai 300 m (perlakuan C) masing-masing 11,90 g-1 dan 1,70 g/m-1 lebih rendah
dibanding dengan jarak tanam dari bibir pantai 100 m (perlakuan A) masing-masing
17,70 g-1 dan 2,53 g/m-1. Rendahnya produksi dan produktivitas diduga karena bibit
kultur jaringan masih proses aklimatisasi dari laboratorium ke kondisi perairan laut.
Sedangkan bibit rumput laut hasil kultur jaringan (generasi III) tahun 2014 yang
diperoleh dari BBPBL Lampung dan dibudidayakan selama 35 hari di pantai Laguruda
BPBAP Takalar memiliki produksi dan produktivitas masing-masing 750,0-1.060,0 gr-1
(rata-rata 913,33 gr-1) dan 25,00-35,33 gr/m-1 (rata-rata 30,44 gr/m-1).
4. Parameter Kualitas Air
Pertumbuhan dan produksi rumput laut juga ditentukan oleh lingkungan tempat
hidupnya. faktor-faktor lingkungan sepertu suhu, cahaya, pH, salinitas dan nutrisi
berkolerasi dengan pertumbuhan, fotosintesis, dan respirasi rumput laut. Faktor
lingkungan yang sesuai akan menghasilkan laju pertumbuhan yang maksimal. Adapun
hasil pengukuran dan kisaran parameter kualitas air budidaya rumput laut K. alvarezii di
perairan Laguruda Kecamatan Sanrobone Kabupaten Takalar selama kegiatan
kerekayasaan disajikan pada Tabel 3.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
137
Tabel 3. Hasil pengukuran dan kisaran parameter kualitas air selama kegiatan
perekayasaan di Perairan Desa Laguruda Kecamatan Sanrobone Kabupaten Takalar.
Parameter Kualitas Lingkungan Perairan
Jarak dari Bibir
pantai (m)
Suhu
(0C)
Salinitas
(ppt)
pH
Alkalinitas
(mg/L)
DO
(mg/L)
Amonia
(mg/L)
Nitrit
(mg/
L)
Phosphat
(mg/L)
Turbidity
(NTU)
A (100)
27-32
31-35
7,837,99
124,03146,06
2,993.84
< 0,006
<
0,01
3
< 0.074
3.3011,00
B (200)
27-32
31-35
7,767,99
128,91151,51
2,933,78
< 0,006
<
0,01
3
< 0.074
0,656,00
C (300)
27-32
31-35
7,807,96
124,85152,60
2,833,67
< 0,006
<
0,01
3
< 0.074
0,954,10
Sumber : Data hasil pengukuran Laboratorium Uji BPBAP Takalar
Parameter suhu yang diperoleh selama perekayasaan berkisar 27-32,00C. Kisaran
yang diperoleh sesuai dilaporkan Trono dan Ohno (1989; dalam Ask dan Azanza, 2002),
pada daerah tropis pertumbuhan K. alvarezii yang cepat dan produksi biomassa yang
tinggi selama sebulan dengan ditandai suhu berkisar 25–300C. Setiyanto dkk. (2008),
menyatakan kisaran suhu perairan yang baik untuk rumput laut K. alvarezii adalah 27300 C dengan fluktuasi harian 40C. Suhu yang tinggi dapat menyebabkan protein
mengalami denaturasi, serta merusak enzim dan membrane sel. Suhu sangatlah penting
dalam proses metabolisme rumput laut, karena kecepatan metabolisme rumput laut
meningkat seiring dengan peningkatan suhu.
Kisaran salinitas yang didapatkan selama perekayasaan berkisar 31,0–35,0 ppt.
Nilai salinitas cenderung tinggi karena diduga adanya intensitas cahaya yang tinggi dan
aliran arus yang sedang dan merata sehingga memperlihatkan bahwa salinitas perairan
ini cukup menunjang pertumbuhan dan perkembangan rumput laut. Menurut
Soejatmiko dan Wisman (2003), salinitas yang cocok untuk budidaya K. alvarezii antara
30-35 ppt (optimum 33 ppt). Kisaran salinitas yang diperoleh Mathieson dan Dawes
(1974 dalam Aks dan Azanza, 2002) mencapai 30,0–40,0 ppt.
pH perairan yang diperoleh selama perekayasaan berkisar 7,76-7,99. Kisaran pH
air laut ini ternyata berada dalam ambang batas toleransi mendukung pertumbuhan
rumput laut K. alvarezii. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chapman (1980) pH yang
diperoleh terhadap pertumbuhan K. alvarezii 6,80-9,60. Perubahan pH selama
perekayasaan relatif kecil karena perairan mempunyai sistem penyangga terhadap
perubahan ion yang drastis. Menurut Sujatmiko dan Wisman (2003), pH perairan yang
baik untuk budidaya K. alvarzii berkisar antara 7-9 dengan kisaran optimum 7,3-8,2.
Kondisi keasaman perairan memiliki peranan penting dalam pertumbuhan rumput laut,
karena pH akan sebanding dengan kandungan karbon organik diperairan yang sangat
diperlukan dalam proses fotosintesis.
Alkalinitas yang diperoleh selama perekayasaan berkisar 124,03-152,60 ppm dan
alkalinitas optimal pada nilai 90-150 ppm. Kisaran kandungan alkalinitas yang diperoleh
masih berada dalam batas optimal untuk pertumbuhan rumput laut. Alkalinitas mampu
menetralisir keasaman di dalam air, Secara khusus alkalinitas sering disebut sebagai
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
138
besaran yang menunjukkan kapasitas pembufferan dari ion bikarbonat, dan tahap
tertentu ion karbonat dan hidroksida dalam air. Ketiga ion tersebut dalam air akan
bereaksi dengan ion hydrogen sehingga menurunkan kemasaman dan menaikkan pH.
Kandungan ammonia yang diperoleh selama perekayasaan berkisar <0,006 ppm.
Kisaran kandungan ammonium yang diperoleh masih berada dalam batas optimal untuk
pertumbuhan rumput laut. Kandungan ammonia yang diperoleh selama perekayasaan
relatif rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Kune (2007), yang hanya diperoleh
pada kisaran 0,025–0,048 ppm.
Kandungan phospat yang diperoleh selama perekayasaan berkisar <0,074 ppm.
Kisaran kandungan phospat yang diperoleh masih berada dalam batas optimal untuk
pertumbuhan rumput laut. Kandungan phospat yang diperoleh selama perekayasaan
relatif tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Pongarrang, dkk (2013), kandungan
phospat yang hanya diperoleh pada kisaran 0,0197-0,0235 mg/l.
Turbidity atau kekeruhan digunakan untuk menyatakan derajat kejernihan di
dalam air yang disebabkan oleh bahan-bahan yang melayang. Kekeruhan ini biasanya
terdiri dari partikel organik maupun anorganik, yang pada umumnya tidak terlihat
dengan mata telanjang. Pengukuran kekeruhan ini adalah merupakan test kunci dari
suatu kualitas air.
Kekeruhan pada suatu cairan biasanya disebabkan oleh beberapa hal diantaranya
yaitu partikel-partikel mikroskopis seperti mikro organisme yang ada pada cairan
tersebut, zat padat terlarut dan lainnya. Kekeruhan dilihat pada konsentrasi
ketidaklarutan, keberadaan partikel pada suatu cairan yang diukur dalam satuan
Nephelometric Turbidity Units (NTU). Penting untuk diketahui bahwa kekeruhan adalah
ukuran kejernihan sampel, bukan warna. Air dengan penampilan keruh atau tidak
tembus pandang dapat dipastikan memiliki tingkat atau kadar kekeruhan yang tinggi,
sementara air yang jernih atau tembus pandang pasti memiliki kadar kekeruhan lebih
rendah. Nilai kekeruhan yang tinggi dapat disebabkan oleh partikel yang terlarut dalam
air seperti lumpur, tanah liat, mikroorganisme, dan material organik. Berdasarkan
keterangan diatas, kekeruhan bukan merupakan ukuran langsung dari partikel-partikel
akan tetapi merupakan suatu ukuran bagaimana sebuah partikel menghamburkan
cahaya dalam suatu cairan.
SIMPULAN DAN SARAN
a) Penggunaan rumput laut K. alvarezii bibit hasil kultur jaringan meningkat
pertumbuhan biomassa seiring waktu pemeliharaan.
b) Laju Pertumbuhan harian, produksi dan produktivitas rumput laut K. alvarezii bibit
hasil kultur jaringan tertinggi dengan jarak tanam 200 m dari bibir pantai.
c) Perlunya perekayasaan lanjutan dengan melihat pertumbuhan dan kualitas rumput
laut kultur jaringan generasi II dan seterusnya dalam pengembangan budidaya
rumput laut yang berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Kultur Jaringan. http://www.docstoc.com/docs/24951553/kultur
jaringan. [30 April 2014].
Ask, E. I. and V. R. Azanza. 2002. Advances in Cultivation Technology of Commercial
Eucheumatoid Species: A Review wth Suggestions For Future Research.
Journal of Aquaculture 206. 257 – 277.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
139
Atmadja, W., S. 2007. Apa Rumput Laut itu sebenarnya? Divisi Penelitian dan
Pengembangan Seaweed. Kelompok Studi Rumput Laut Kelautan. UNDIP.
Semarang. 8 hal.
Chapman, V.J. and D.J. Chapman. 1980. Seaweeds and Their Uses. 3th ed., Chapman
and Hall, 333 p.
Gunawan LW. 1987. Tekik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Pusat
Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 252p
Hurtado, A. Q., R. F. Agbayani, R. Sanares, and de Castro-Mallare Ma. 2001. The
Seasonality and Economic Feasibility of Cultivating Kappaphycus striatum in
Panagatan Cays. Caiuya, Antique. Philliphines. Elsevier. Aquaculture 199 : 295–
310.
Kune, S. 2007. Pertumbuhan Rumput Laut Yang Dibudidaya Bersama Ikan Baronang.
Jurnal Agrisistem. Vol. 3 No. 1. ISSN 1858-4330
Masyahoro, A., 2007. Model Pertumbuhan Populasi Rumput Laut. Laporan Pelaksanaan
Pelatihan Teknik Budidaya dan Pengolahan Rumput Laut. Kerjasama Dinas
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Parigi Moutong dengan PKSPLTropis
Fakultas Pertanian Untad.
Parenrengi, A., Syah, R., dan Suryati, E., 2010. Budi Daya Rumput Laut Penghasil
Karaginan (Karaginofit). Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan
Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 52 hal.
Pongarrang, D., A. Rahman, dan Wa Iba. 2013. Pengaruh Jarak Tanam dan Bobot Bibit
Terhadap Pertumbuhan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Menggunakan
Metode Vertikultur. Program Studi Budidaya Perairan FPIK Universitas Halu
Oleo . Kampus Hijau Bumi Tridharma Anduonohu Kendari 93232. Jurnal Mina
Laut Indonesia. Vol. 03 No. 12 Sep 2013. ISSN : 2303-3959. Hal 94– 112.
Reddy, C.R.K., Kumar, G.R.K., Siddahanta, A.K.M dan Tewari, A., 2003. In Vitro Somatic
Embriogenesis and Regeneration of Somatic Embryos from Pigmented Callus
of Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty (Rhodophyta, Gigartinales). J. Phycol., 39:
610-616.
Setiyanto D, I Efendi dan KJ Antara., 2008. Pertumbuhan Kappaphycus alvarezii var
Maumare, var Sacol dan Eucheuma cottonii di perairan Musi Buleleng. J. Ilmu
Kelautan. 13 (3):171-176.
Soejatmiko, W dan Wisman I. A. 2003. Teknik Budidaya Rumput Laut dengan Metode
Tali Panjang. www.iptek.net.id/ttg/artlkp/artikel1 8.htm. Diakses pada
Tanggal 20 Maret 2015.
Sulistiani E., Soelistyowati DT., Yani SA. 2012. Acclimatization and Field Cultivation of
Regenerated Cottonii Seaweed (Kappaphycus alvarezii Doty) from Tissu
Culture in coastal Waters. Research Report 2012. SEAMEO BIOTROP. Bogor.
Suryati, E., Mulyaningrum, SRH., 2009. Regenerasi Rumput Laut Kappaphycus alvarezii
(Doty) Melalui Induksi Kalus dan Embrio dengan Penambahan Hormon
Perangsang Tumbuh Secara in vitro. J. Ris. Akuakultur. 1: 39-45.
Suryati, E., Tenriulo, A., dan Rezeki, S., 2007. Isolasi protoplas rumput laut (Kappaphycus
alvarevii) menggunakan enzyme komersial dan viscera mas (Pila polita).
Prosiding Pengembangan Teknologi Budidaya Perikanan. Badan Riset Kelautan
dan Perikanan. Jakarta. 132-136.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
140
KUALITAS KANDUNGAN KARAGINAN, VISKOSITAS, GEL STRENGHT, DAN LOGAM
BERAT PADA RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii HASIL KULTUR JARINGAN YANG
DIBUDIDAYAKAN DENGAN METODE LONGLINE
Akmal1*), Andi Elman1), Lideman1), Hamzah1), Syamsul Bahri1), Mutmainna1)
Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar
ABSTRAK
Bertujuan untuk mengetahui kualitas kandungan karaginan, gel strength,
viskositas, dan logam berat rumput laut Kappaphycus alvarezii hasil kultur jaringan yang
dibudidayakan dengan metode longline. Rumput laut hasil budidaya berumur 49 hari
diambil secara acak dari setiap bentangan (bagian pangkal, tengah, dan ujung tali)
kemudian dikeringkan. Rumput laut tersebut kemudian di analisa kualitas kandungan
Karaginan, viskositas,gel strength dan logam berat. Analisa data dilakukan secara
deskriptif. Hasil rumput laut K alvarezii kultur jaringan yang dibudidayakan selama 49
hari di perairan Laguruda Takalar mengandung kadar karaginan berkisar antara 38,7680,76% (rata-rata 61,47%). Hasil ini menunjukkan kandungan karaginan yang lebih
tinggi,sedangkan kandungan karaginan masing-masing 44,1% dan 40,27% diperoleh dari
rumput laut kultur jaringan setelah pemeliharaan 35 hari di Propinsi Lampung dan di
Gerupuk, Pulau Lombok Propinsi Nusa Tenggara Barat. Perbedaan ini kemungkinan
dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik ekologis masing-masing lokasi baik itu faktor
fisika, faktor kimia, maupun faktor ekologis lainnya. Adapun nilai viskositas yang
dihasilkan pada rumput laut hasil kultur jaringan berkisar antara 30,0-40,0 cps (ratarata 36,67 cps). Viskositas tersebut memenuhi standar karaginan yang dikeluarkan oleh
FAO, yakni minimal 5 cps. Kandungan logam berat Pb 0,311 ppm dan Cd 0,049 ppm
berasal dari berat kering yang terdapat dalam rumput laut kultur jaringan hasil
budidaya.
Kata Kunci : Karaginan, Viskositas, Gel Strenght, Logam berat, Kultur Jaringan, K.
alvarezii.
_______________________________________________
*)
Author Balai Perikanan Budidaya Air Paya Takalar
1)
Perekayasa di BPBAP Takalar
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
141
THE QUALITY OF CARRAGEENAN CONTENT , VISCOSITY , GEL STRENGHT , AND HEAVY
METALS ON SEAWEED Kappaphycus alvarezii THE TISSUE CULTURE CULTIVATED WITH
THE LONGLINE METHODS
Akmal1*), Andi Elman1), Lideman1), Hamzah1), Syamsul Bahri1), Mutmainna1),
Brackishwater Aquaculture Centres Takalar Regency, South Sulawesi, Indonesia
ABSTRACT
Aims to know the quality of carrageenan content, viscosity, gel strength, and
heavy metal seaweed kappaphycus alvarezii cultivated in the tissue culture with the
longline methods. Seaweed the results of cultivation age 49 days taken at random of
any disquisition (a part of the , central , and the end of a rope ) then dried. Seaweed is
then in analysis the quality of carrageenan content, viscosity, gel strength and heavy
metals. Data analysis be done in descriptive. The seaweed tissue culture cultivated for
49 day in waters Laguruda Takalar containing levels carrageenan ranged from 38,7680,76% (average 61,47%). This result indicates the carrageenan higher , while the
carrageenan each 44,1% and 40,27% obtained from seaweed tissue culture after
maintenance 35 day in the Province of Lampung and in Gerupuk , Lombok Island
Province of West Nusa Tenggara. The difference it would probably influenced by the
characteristic of ecological each location whether it is factors physics, chemical factors,
and other factors ecological. One of viscosity produced on seaweed the tissue culture
ranges from 30,0-40,0 cps (average 36,67 cps). The viscosity meet the standard of
carrageenan issued by FAO , minimum of 5 cps. The heavy metals Pb 0,311 ppm and Cd
0,049 ppm derived from heavy dry contained in seaweed cultivated in the tissue
culture.
Keywords : Carrageenan, viscosity, gel strenght, heavy metal, tissue culture, K. alvarezii.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
142
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Budidaya rumput laut menggunakan metode longline dari bibit yang telah
berulang kali digunakan, yaitu dari rumput laut sisa panen periode sebelumnya yang
sengaja tidak ikut dipanen untuk dijadikan bibit pada periode berikutnya. Padahal,
diperlukan bibit rumput laut yang berkualitas dari sisi produksi biomassanya (kuantitas)
maupun kandungan gel strength dan kualitas agar. Bibit rumput laut sampai saat ini
sepenuhnya masih mengandalkan bibit yang berasal dari alam. Jika kondisi tersebut
berlangsung lama maka terdapat kemungkinan akan terjadi kekurangan bibit. Untuk
menanggulangi permasalahan tersebut, dapat dibantu dengan teknik
pengembangbiakan melalui kultur jaringan.
Salah satu teknik untuk mengatasi kemerosotan mutu dari benih rumput laut
yaitu dengan perbanyakan bibit melalui metode kultur jaringan. Kultur jaringan
merupakan suatu metoda dalam mengisolasi bagian dari tanaman (pada rumput laut
adalah tallus) serta menumbuhkannya dalam kondisi yang aseptik dalam wadah
tertutup, sehingga bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi
tanaman lengkap kembali seperti induknya (Gunawan, 1987). Teknik kultur jaringan
menjanjikan perbanyakan benih secara berkesinambungan dan berkualitas tinggi
(Suryati et al., 2007). Produksi biomassa rumput laut yang optimal akan dapat tercapai
dengan adanya bibit rumput laut yang berkualitas, baik produksi biomassanya
(kuantitas) ataupun kandungan gel strenght dan kualitas karaginannya. Karaginan
merupakan senyawa polisakarida galaktosa. Kualitas karaginan berkaitan erat dengan
faktor-faktor pada saat budidaya, pemanenan, dan penanganan pascapanen serta
metode ekstraksinya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan kegiatan perekayasaan terkait
hubungan antara faktor eksternal dan faktor internal, sehingga dapat ditentukan
perekayasaan yang baik untuk bibit dan faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap
kualitas rumput laut Kappaphycus sp hasil kultur jaringan. Oleh karenanya BPBAP
Takalar perlu melakukan kegiatan perekayasaan yang mengarah pada peningkatan
kualitas rumput laut Kappaphycus sp hasil kultur jaringan yang selanjutnya diharapkan
akan berdampak ke arah peningkatan ekonomi kesejahteraan masyarakat pembudidaya
rumput laut.
1.2. Tujuan
Untuk mengetahui kualitas kandungan karaginan, viskositas, gel strength, dan
logam berat rumput laut Kappaphycus alvarezii hasil kultur jaringan yang di
budidayakan dengan metode longline.
1.3. Kegunaan
Perekayasaan ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar mengenai;
kandungan karaginan, viskositas, gel strength, dan logam berat rumput laut K. alvarezii
hasil kultur jaringan yang di budidayakan dengan metode longline.
METODOLOGI
2.1. Waktu dan Tempat
Perekayasaan ini akan dilaksanakan Bulan Agustus-Nopember 2015. Analisa
kualitas rumput laut hasil kultur jaringan di laboratorium terpadu Kualitas Air Fakultas
Ilmu Keluatan dan Perikanan UNHAS Makassar dan Laboratorium Uji BPBAP Takalar,
Propinsi Sulawesi Selatan.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
143
2.2. Bahan dan Alat
Adapun bahan yang digunakan dalam perekayasaan antara lain; rumput laut
kultur jaringan hasil budidaya, Isopropil Alkohol dan Alkohol 96% . Sedangkan alat yang
digunakan antara lain; Timbangan digital, Peralatan analisis kualitas air
(Spektrofotometer, Termometer digital, Hand-Refraktometer, pH meter), Viscosimeter
Brookfield, Oven, dan Atomic Absorption Spectriphotometer (AAS).
2.3. Prosedur Kerja
Rumput laut hasil budidaya dari masing-masing bentang untuk setiap tali ris
diambil secara acak untuk diekstrak kandungan karaginannya (Yunizal et al., 2000).
Karaginan hasil ekstraksi dianalisis parameter Gel Strength (Metode Faridah et al.,
2006), viskositas (FMC Corp, 1977), dan logam berat (AAS).
Aplikasi pengujian menitikberatkan pada kualitas rumput laut berupa yaitu;
kandungan karaginan, gel strength, viskositas dan logam berat. Pengamatan dan data
dilakukan dengan cara dideskripsikan. Data-data yang diperoleh dalam bentuk tabel
untuk mengetahui kualitas kandungan karaginan, gel strength, viskositas, dan logam
berat dari hasil budidaya rumput laut metode Longline di perairan Laguruda, Kecamatan
Sanrobone, Takalar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis pengukuran dan pengujian parameter kandungan karaginan,
viskositas, dan gel strenght rumput laut K. alvarezii hasil kultur jaringan yang
dibudidayakan dengan metode longline disajikan pada tabel di bawah ini :
Tabel 1. Kandungan karaginan, viskositas, dan kekuatan gel rumput laut K. alvarezii
Hasil kultur jaringan yang dibudidaya metode longline.
Parameter
Kode
Sampel
Karaginan (%)
Viskositas (cps)
Kekuatan Gel (g Force)
1
64,90
40,00
1,04
2
38,76
30,00
0,77
3
80,76
40,00
0,71
Rataan
61,47
36,67
0,84
Sumber : Data Hasil Pengujian Laboratorium Kualitas Air FIKP UNHAS
Berdasarkan Tabel 1, rumput laut K alvarezii kultur jaringan asal Seameo Biotrop
Bogor yang dibudidayakan selama 49 hari pemeliharaan di perairan Laguruda Takalar
mengandung kadar karaginan berkisar antara 38,76-80,76% (rata-rata 61,47%). Hasil ini
lebih tinggi kandungan karaginannya, sedangkan rumput laut kultur jaringan yang di
panen 35 hari pada uji coba penanaman pertama di Propinsi Lampung dan di Gerupuk,
Pulau Lombok Propinsi Nusa Tenggara Barat, masing-masing 44,1% dan 40,27%
(Sulistiani dkk, 2012). Namun, rumput laut kultur jaringan generasi (III) asal BBPBL
Lampung yang di uji coba di BPBAP Takalar, kandungan karaginannya hanya 38,11%
(Anonim, 2014). Perbedaan kadar karaginan diduga masih dipengaruhi oleh perbedaan
karakteristik ekologis masing-masing lokasi baik itu faktor fisika, faktor kimia, maupun
faktor ekologis lainnya. West (2001) bahwa jumlah karaginan bervariasi sesuai dengan
faktor-faktor ekologis seperti cahaya, nutrisi, gelombang dan suhu, selain itu
dipengaruhi pula oleh gelombang, dukungan pertukaran ion, dan kandungan air pada
saat pengeringan. Menurut Doty (1985), tentang standar kadar karaginan bagi rumput
laut sebesar 40%. Tingginya kadar karaginan dipengarauhi oleh kondisi ekologis yang
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
144
mendukung bagi perkembangan rumput laut. Selain itu, Pergerakan arus yang cukup
untuk proses difusi unsur hara sehingga mempercepat pertumbuhan dimana karaginan
terbentuk pada dinding sel rumput laut terutama pada thallus yang cukup umur.
Menurut (Hurtado et al., 2001; Paula and Pereira, 2003; Mendoza et al., 2006) bahwa
jumlah dan kualitas karaginan yang berasal dari budidaya laut bervariasi, tidak hanya
berdasarkan varietas, tetapi juga umur tanaman, sinar, nutrien, suhu dan salinitas.
Adapun nilai viskositas yang dihasilkan pada rumput laut hasil kultur jaringan berkisar
antara 30,0-40,0 cps (rata-rata 36,67 cps) lebih rendah, sedangkan nilai viskositas
rumput laut kultur jaringan yang di panen 35 hari pada uji coba penanaman pertama di
Propinsi Lampung (173,6 cps) dan dari rumput laut bibit stek (236,3 cps) (Sulistiani dkk,
2012). Nilai viskositas dilakukan untuk mengukur kekentalan, secara umum viskositas
yang ditetapkan untuk Natrium Alginat sebesar 10-5000 cps per 1% larutan air (Manik et
al., 2004). Viskositas merupakan sifat yang menonjol dari alginat untuk dipakai dalam
industri pangan maupun non pangan (Senior, 2004). Viskositas tersebut memenuhi
standar karaginan yang dikeluarkan oleh FAO, yakni minimal 5 cps. Selanjunya nilai gel
strenght yang dihasilkan pada rumput laut hasil kultur jaringan berkisar antara 0,71-1,04
g forse (rata-rata 0,84 g forse) lebih rendah sedangkan rumput laut hasil kultur jaringan
yang telah 6 kali dibudidayakan nilai gel strenghtnya 69,53 g/cm2 (Sulistiani, dkk. 2012).
Pencemaran pada badan air adalah masuknya ion logam berat pada biota di
dalam air, salah satu biota tersebut adalah rumput laut K. alvarezii. Peningkatan pada
kadar logam berat di perairan diikuti oleh peningkatan kadar zat tersebut dalam
organisme-organisme dalam air dan khususnya pada rumput laut dikarenakan rumput
laut mudah menyerap logam berat khususnya logam berat Kadmium, hal tersebut
memungkinkan rumput laut berpotensi untuk mengakumulasi logam berat Kadmium.
Dari hasil pengujian logam berat Pb dan Cd pada rumput laut K. alvarezii hasil kultur
jaringan disajikan pada tabel di bawah ini :
Tabel 2. Kandungan Pb dan Cd pada rumput laut K. alvarezii hasil kultur jaringan yang
dibudidayakan di Perairan Laguruda, Sanrobone, Kabupaten Takalar.
No.
Parameter Logam Berat
Nilai Pengukuran (ppm)
1
Cd
0,047
2
Pb
0,311
Sumber : Data Hasil Pengujian Laboratorium Uji BPBAP Takalar
Nilai konsentrasi logam berat Cadmium (Cd) yang diperoleh sebesar 0,047 ppm
pada rumput laut kultur jaringan hasil budidaya di perairan Laguruda Takalar,
sedangkan hasil yang diperoleh di perairan Pamekasan Madura sebesar 0,0182 dan
0,0262 ppm (Setiabudi, dkk. 2014). Sedangkan nilai konsentrasi logam berat Pb yang
diperoleh sebesar 0,311 ppm sedangkan analisis logam Pb yang dilakukan pada
karaginan menghasilkan sebesar 15,975 ppm (Hidayah, dkk. 2013). Berdasarkan data
pada hasil perekayasaan ini logam berat Cd pada rumput laut kultur jaringan hasil
budidaya di perairan Laguruda Sanrobone Takalar tidak melebihi nilai ambang batas
yang di tentukan SNI 01-26-1998 yaitu sebesar 0,1 ppm, yaitu batas maksimal yang di
tetapkan untuk pencemaran logam berat Cd pada rumput laut, tetapi logam berat Pb
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
145
pada rumput laut kultur jaringan hasil budidaya di perairan Laguruda Sanrobone Takalar
melebihi nilai ambang batas yang di tentukan SNI 01-26-1998.
SIMPULAN DAN SARAN
1) Kualitas yang dihasilkan pada rumput laut K. alvarezii kultur jaringan hasil
budidaya diperoleh kadar karaginan 61,47%, nilai viskositas 36,67 cps, dan nilai
gel strenght 0,84 g forse.
2) Nilai konsentrasi logam berat Cd dan Pb yang diperoleh masing-masing 0,047
ppm dan 0,311 ppm.
3) Perlunya rekayasa lanjutan mengenai sifat Fisik dan Kimia rumput laut hasil kultur
jaringan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2014. Review Perkembangan Rumput Laut Hasil Kultur Jaringan Asal BBPBL
Lampung Di Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar.
Faridah, D.N., Kusumaningrum, H.D., Wulandari, N., dan Indrasti, D. 2006. Penuntun
Praktikum Analisis.
FMC Corp. 1977. Carragenan. Marine Colloid Monograph Number One. Springfield, New
Jerney. USA Marine Colloids Division FMC Corporation. Hlm 23-29.
Gunawan LW. 1987. Tekik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Pusat
Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 252p
Hidayah, R. Harlia. Gusrizal. A.Sapar. 2013. Optimasi Konsentrasi Kalium Hidroksida
Pada Ekstraksi Karaginan Dari Alga Merah (Kappaphycus alvarezii) Asal Pulau
Lemukutan. Program Studi Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura.
JKK, tahun 2013, volume 2 (2), hal. 78-83 ISSN 2303-1077
Hurtado A.Q., Agbayani R.F., Sanares R., and Mallare T.R.D.C., 2001. The seasonality and
economic feasibility of cultivating Kappaphycus alvarezii in Panagatan, Caluya,
Antique, Philipines. Aquaculture. 199 : 295-310.
Mendonza W.G., Ganzon-Fortes. E.T., Villanueva R.D., Romero .J.B., Montano M.N.E.,
2006. Tissue age as factor affecting carrageenan quantity in farmed
Kappaphycus striatum. Bot Mar. 49: 57-64.
Paula E.J and Pereira R.T.L., 2003. Factors affecting growth rates of Kappaphycus
alvarezii (Doty) Doty ex P. Silva (Rhodophyta Solieriaceae) in subtropical
waters of Sao Paulo State, Brazil. Proceedings of the XVII International
Seaweed Symposium. Oxford University Press. New York. 381-388.
Saputra, R., R.S. Patadjai, dan A.M. Balubi. 2013. Analisis Pertumbuhan dan Kadar
Karaginan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii pada Lokasi Berbeda di Perairan
Sekitar Penambangan Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara. Jurnal
Mina Laut ndonesia. Vol.03 No. 12 Sep, 2013 (55-67) ISSN : 2303-3959.
Program Studi Budidaya Perairan FPIK Universitas Halu Oleo Kampus Hijau
Bumi Tridharma Kendari 93232
Setiabudi, D., M. Arief dan BS. Rahardja. 2014. Analisis Perbedaan Nilai Konsentrasi
Logam Berat Cadmium (Cd) Pada Rumput Laut (Eucheuma cottonii) Di Perairan
Pamekasan dan
Sumenep–Madura. Fakultas Perikanan dan Kelautan
Universitas Airlangga. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan Vol. 6 No. 2.
Hal.201-206.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
146
SNI, 01-26-1998. Rumput Laut Kering Direktorat Jenderan Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Jakarta. 23 hlm.
Sulistiani E., Soelistyowati DT., Yani SA. 2012. Acclimatization and Field Cultivation of
Regenerated Cottonii Seaweed (Kappaphycus alvarezii Doty) from Tissu
Culture in coastal Waters. Research Report 2012. Seameo Biotrop. Bogor.
Suryati, E., Tenriulo, A., dan Rezeki, S., 2007. Isolasi protoplas rumput laut (Kappaphycus
alvarevii) menggunakan enzyme komersial dan viscera mas (Pila polita).
Prosiding Pengembangan Teknologi Budidaya Perikanan. Badan Riset Kelautan
dan Perikanan. Jakarta. 132-136.
Wahyuni, E.A. A. Arisandi, dan A. Farid. 2012. Study Karakteristik Biologi Rumput Laut
Kappaphycus alvarezii Terhadap Ketersediaan Nutrien Di Perairan Kecamatan
Bluto Sumenep. Seminar nasional Kedaulatan pangan dan Energi 2012 Fakultas
Pertanian. Universitas Trunojoyo. Madura.
West, J., 2001. Agarophytes and Carrageenophytes. University of California, Berkeley.
28:286-287.
Yamamoto H, 1978. Systematic and Anatomical Study of The Genus Gracilaria in Japan.
Mem. Fac. Fish. Hokkaido university, 25(2): 98-138
Yunizal, Murtini, J.T., Utomo, B.S., dan Suryaningrum, T.D. 2000. Teknologi Pemanfaatan
Rumput Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Eksplorasi Laut dan
Perikanan, Jakarta. p. 1–11.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
147
SEA CUCUMBER (Holothuria scabra) SEED PRODUCTION TECHNIQUE
Dwi Handoko Putro, Suciantoro, Asmanik and Silfester Basi Dhoe
Abstract
Sea cucumber is one of Indonesia’s marine resources which have great potential
market, great demand and great price. Most of the world sea cucumber production is
come from natural populations. Therefore sea cucumber aquaculture is very important
to develop. On Holothuria scabra seed production at Main Center for Marine
Aquaculture (MCMA) Lampung, used thermal shock method which prove that effective
and safety for brood stock.
Thermal shock was done by exposing brood stock in the coastal pond from
morning to afternoon which have temperature 30 – 32oC. The sudden different
temperature between 3 – 5oC will be stimulated brood stock to spawning.
Larval rearing was done in fiber/concrete with a volume 4 – 10 m3.It can produce
1000 – 2000 juveniles per cycle. Feeds which were usedduring larval rearing are
Chaetocheros spp., Nannochloropsis sp. or both of them with 3 X 105 cells/ml.
The first nursery can be done at indoor or semi outdoor and for second nursery
can be done at semi outdoor or out door. After 2 months of culture, seeds reached the
size of 3 – 5 gram in first nursery and 10 – 25 gram in second nursery. Since the nursery
step was already done successfully with survival rateup than 60%.
Keywords: Sea cucumber, Holothuria scabra, Thermal shock, Chaetoceros spp,
Nannochloropsis sp., Larvae and Coastal pond.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
148
PENDAHULUAN
Teripang adalah salah satu kekayaan alam Indonesia yang ramai diperbincangkan
di dunia perdagangan namun sepi dibicarakan dikalangan budidaya. Sampai saat ini
produk olahan teripang hampir seluruhnya mengandalkan eksploitasi dari alam.
Kenyataan lain yang juga perlu dipertimbangkan adalah hukum pasar dimana
kelangkaan suatu produk menyebabkan meningkatnya permintaan pasar yang sekaligus
berakibat semakin intensifnya eksploitasi produk tersebut. Dampak yang jelas terlihat
saat ini adalah tajamnya penurunan populasi teripang di alam.
Kenyataan di atas apabila terjadi secara terus menerus akan memicu terjadinya
kepunahan. Kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan apabila tidak segera
mendapatkan perhatian dari semua fihak. Pemerintah, pengusaha dan masyarakat
menjadi kunci yang dapat menghindari/mencegah terjadinya kepunahan teripang.
Tanggung jawab dan kepedulian serta partisipasi semua fihak baik yang terkait secara
langsung ataupun tidak, menjadi modal utama untuk melestarikan sekaligus
mengembangkan budidaya teripang.
Salah satu jenis teripang bernilai ekonomis penting yang telah dikaji oleh Balai
Besar Perikanan Budidaya Laut (BBPBL), Lampung adalah Teripang Pasir (Holothuria
scabra). Sampai saat ini sebagian teknologi produksi benihnya telah diketahui mulai dari
teknik pemijahan, pemeliharaan larva hingga fase pendederan.Tempat pemeliharaan
induk adalah kolam air laut yang mengandalkan pasang surut untuk penggantian
airnya.Teknik pemijahan yang terbukti efektif dan aman untuk induk adalah termal
shock (kejut suhu).
Pemeliharaan larva dapat menggunakan bak yang terbuat dari bahan fiber atau
semen yang terletak di dalam ruangan. Meskipun derajat kelangsungan hidupnya masih
rendah, namun dapat menghasilkan juvenile 1.000 – 2.000 ekor per siklus. Kegiatan
pendederan benih Teripang Pasir dapat dilakukan di indoor atau semi outdoor.
Sedangkan untuk kegiatan penggelondongan dapat dilakukan di out door ataupun di
kolam laut. Kegiatan pendederan dan penggelondongan selama 2 bulan dapat
menghasilkan angka kehidupan diatas 60%.
PEMELIHARAAN INDUK DAN PEMATANGAN GONAD
Tempat yang digunakan untuk pemeliharaan induk Teripang Pasir di BBPBL
Lampung berupa kolam laut seluas ±500 m2. Untuk memudahkan pengelolaan dan
penangan induk, digunakan kurungan tancap berbentuk persegi berukuran 5 X 5 X 1
meter. Kerangka kurungan tancap dapat menggunakan kayu gelam atau pipa PVC 2
inchi dangan ukuran mata jaring ½ - ¾ inchi.
Kepadatan tebar induk atau calon induk selama pemeliharaan adalah 1 – 2
ekor/m2. Selama pemeliharaan tidak diberi makan secara rutin dan hanya
mengandalkan kesuburan pakan alami yang ada di dalam kolam laut. Untuk menjaga
kesuburan kolam laut, dilakukan pemupukan berupa pupuk organic 1 – 2 kali sebulan
sebanyak 20 kg. Cara pemupukan dilakukan dengan menempatkan pupuk dalam karung
yang diberi lubang dan ditenggelamkan di dasar kolam.
Selama pemeliharaan dan pematangan induk, pergantian air kolam hanya
mengandalkan pasang surut yang terjadi 2 kali sehari. Pengecekan dilakukan pada sore
atau malam hari saat induk mulai aktif mencari makan. Pengecekan dapat dilakukan
secara berkala 3 – 4 hari sekali menggunakan senter disekeliling kolam.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
149
PEMIJAHAN INDUK
Pemijahan induk Teripang Pasir dapat dilakukan saat bulan gelap atau bulan
terang. Tahap awal adalah melakukan seleksi tehadap induk yang sehat dan terlihat
gemuk. Induk yang baik untuk dipijahkan berukuran 500 – 1.000 gram. Mengingat
sulitnya menentukan jantan dan betina, seleksi dilakukan secara acak terhadap 30 – 40
ekor induk. Seleksi dilakukan pada pagi hari dan sebaiknya sebelum matahari terik.
Induk yang telah diseksi selanjutnya ditempatkan 4 – 5 ekor dalam keranjang
yang dibungus dengan jarring atau dalam tudung saji. Keranjang dan tudung saji
kemudian digantung 5 – 10 cm di bawah permukaan air atau diapungkan menggunakan
bingkai dari PVC. Penjemuran dilakukan dari pagi hingga sore hari antara 8 – 9 jam. Suhu
media kolam laut dapat mencapai 32 – 33oC apabila matahari bersinar cerah. Sore
harinya induk dibawa ke laboratorium untuk dibersihkan dari kotoran yang menempel.
Induk selanjutnya ditempatkan dalam wadah pemijahan yang berisi air laut segar
dengan suhu antara 26 – 28oC. Terjadi perbedaan suhu yang mendadak antara 3 – 5 oC
inilah yang akan merangsang induk untuk memijah.
Teripang Pasir tidak memerlukan wadah yang khusus untuk pemijahan baik
bentuk maupun volumenya, namun sebaiknya volumenya lebih dari 70 liter. Wadah
pemijahan dapat berbentuk bulat atau persegi dari bahan plastic, kaca, fiber atau
semen.
Pemijahan induk biasanya terjadi pada malam hari antara pukul 18.00 – 23.00
WIB.Tanda-tanda induk yang memijah salah satunya adalah reaksi induk yang terlihat
sering menggeliat. Induk yang siap untuk memijah akan mengangkat tubuh bagian
depan sambil terus bergoyang-goyang. Pemijahan akandiawali dengan pengeluaran sel
sperma dari induk jantan secara terus menerus. Induk jantan yang matang gonad penuh
akan mampu mengeluarkan sel sperma selama 1 jam atau lebih. Sedangkan
pengeluaran sel telur oleh induk betina biasanya terjadi beberapa saat setelah induk
jantan mengeluarkan sel sperma. Pengeluaran sel telur biasanya terjadi secara bertahap
setiap 15 – 30 menit.Setelah pemijahan selesai, induk harus segera dipindahkan untuk
mengurangi peluang rusaknya telur akibat aktifitas induk.
PEMANENAN DAN PENETASAN TELUR
Pemanenan telur dapat dilakukan sesaat setelah pemijahan selesai atau keesokan
harinya. Apabila pemanenan dilakukan esok paginya, telur hasil pemijahan perlu diberi
aerasi dengan kekuatan sedang karena telur bersifat cenderung mengendap. Meskipun
demikian, pemanenan sebaiknya dilakukan setelah pemijahan selesai.
Tahapan pemanenan dimulai dengan memanen seluruh telur hasil pemijahan dan
menampung dalam screen net 60 mikron. Screen net ditempatkan dalam wadah
penetasan dan diberi aliran air secara terus menerus hingga menetas. Pemberian air
mengalir selain memberikan kondisi yang optimum selama penetasan, juga
dimaksudnya untuk membersihkan sel sperma yang menempel di permukaan telur.
Proses penetasan akan berlangsung hingga 31 jam setelah terjadinya pembuahan.
Proses perkembangan telur mengikuti pola perkembangan 2n yaitu dari 1 sel, 2 sel, 4
sel, 8 sel dan seterusnya hingga multi sel, blastula yang akhirnya menetas menjadi
gastrula (Gambar). Larva hasil penetasan dapat dihitung dan siap ditebar dalam bak
pemeliharaan larva.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
150
PEMELIHARAAN LARVA
Wadah pemeliharan larva dapat berbentuk bulat, oval atau persegi terbuat dari
bahan fiber atau semen dengan volume 4 – 10 m3. Penebaran larva dapat dilakukan pagi
atau sore bahkan malam hari dengan kepadatan 1 ekor /ml. Selama pemeliharaan
pakan yang diberikan berupa Chaetocheros spp atau Nannochoropsis sp atau campuran
dari keduanya. Pemberian pakan dilakukan sejak hari pertama dengan kepadatan 3 X
105 sel/ml.Frekuensi pemberian 1 – 2 kali sehari tergantung keberadaan pakan di dalam
media pemeliharaan. Pemberian pakan tambahan berupa alga bentik yang didominasi
oleh diatom diberikan setelah larva menempel yaitu pada umur diatas 15 hari.
Selama perkembangannya, larva akan mengalami metamorphosis dari auricularia,
doliolaria, pentactula, juvenile dan benih (Gambar). Selain mengalami perubahan
bentuk, larva juga mengalami perubahan sifat hidup dari planktonis (melayang), semi
planktonis (melayang tetapi dapat menempel) dan settle (menempel). Fase planktonis
terjadi saat larva pada stadia auricularia dan fase semi planktonis pada stadia doliolaria.
Sedangkan pada stadia pentactula dan juvenile, larva sepenuhnya telah menempel di
dinding atau dasar bak ataupun pada substrat lain yang terdapat dalam media lain
dalam media pemeliharaan.Oleh karenanya, pada umur 10 hari dilakukan pemberian
kolektor dalam wadah pemeliharaan larva.
Kolektor yang digunakan dapat terbuat dari bahan, plastic, screen, PVC atu bahan
lainnya. Pemasangan kolektor dimaksudkan untuk menambah luas permukaan
menempel dan sebagai pelindung bagi larva atau juvenil. Mengingat larva dan juvenile
memiliki pergerakan yang terbatas, sebaiknya kolektor yang digunakan telah banyak
ditumbuhi oleh alga bentik. Selain itu kolektor akan memudahkan pemanenan nantinya.
Pemanenan dilakukan setelah 45 – 60 hari pemeliharaan dengan cara parsial atau
pemanenan total dan biasanya juvenile telah mencapai ukuran 1 – 2 cm. Pertumbuhan
larva/ juvenil umumnya tidak seragam sehingga pemanenan harus dilakukan secara
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
151
hati-hati. Juvenil yang masih kecil masih mampu menempel dengan kuat sehingga
berpeluang terjadinya kerusakan anggota tubuh.
Ket: Berturut-turut (Auricularia awal, Auricularia akhir, Doliolaria, Pentactula dan
Juvenil)
PENDEDERAN DAN PENGGELONDONGAN
Prinsip pemeliharaan pada fase pendederan dan penggelondongan pada dasarnya
hampir sama. Namun pada penggelondongan kita dapat menggunakan jarring tancap di
dalam kolam air laut sebagai wadah pemeliharaan. Untuk lebih jelasnya dapt dilihat
dalam table di bawah ini.
PENDEDERAN
PENGGELONDONGAN
Wadah
Bak fiber,semen
Bak fiber, semen, kolam laut
Lokasi
Indoor, semi outdoor
Semi outdoor, outdoor
Substrat
Pasir
Pasir, lumpur
Padat Tebar
50 – 100 ek/m2
10 – 25 ek/m2
Pakan
Alga bentik
Alga bentik
Penggantian air
Air mengalir
Air mengalir, tergantung pasang
Pemeliharaan
2 bulan
2 bulan
Ukuran panen
3 – 5 gram
10 – 25 gram
SR
>60%
>60%
KESIMPULAN
 Pemeliharaan dan pematangan induk dapat dilakukan di kolam air laut
 Kematangan gonad dan pimijahan dapat terjadi pada gepap bulan atau terang
bulan
 Metode pemijahan yang efektif dan aman untuk induk adalah termal shock (kejut
suhu)
 Jenis pakan selama pemeliharaan larva adalah Chaetoceros spp, Nannochoropsis
spa tau campuran keduanya
 Jenis pakan untuk fase pendederan dan penggelondongan adlah alga bentik yang
didominasi oleh diatom
 Survival rate selama pemeliharaan larva masih tergolong rendah yaitu 0,015%
 Survival rate pada fase pendederan dan penggelondongan dapat mencapai 60%
lebih.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
152
DAFTAR BACAAN
Anonimous (1987). Laporan Survey Potensi Pengembangan Budidaya Laut di Propinsi
Lampung. Balai Budidaya Laut, Lampung.
Ambo Tuwo (2004). Status of Sea Cucumber Fisheries and Farming in Indonesia. In
Advances in Sea Cucumber Aquaculture and Management.Food and Agriculture
Organization of The United Nations.
Cholik, F., Arianti dan R. Arifuddin. 1986. Pengelolaan Kualitas Air Kolam Ikan. Infis
Manual Seri No. 36. Jakarta
Conand, C., 1990. Holothurians in the Fisheries Resources of Pacific Island Countries.
Food and Agriculture Organization of United Nation (FAO). Rome.
Darsono, P. 2003. Teripang Berhasil Dibudidayakan. Majalah Trubus seri No. 403 edisi
Juni 2003.
James, D.B., Rajapandian, B.K. Baskar and C.P. Gopinathan. 1989. Succesful Induced
Spawning and Rearing of The Holothurian, Holothuria (Metriatyli) scabra Jaeger
at Tuticorin. Tuticorin Research Centre of CMFRI, Tuticorin in Marine Fisheries
Information.
Notowinarto dan D.H. Putro. 1988. Teknik Pembenihan Teripang. Laporan Balai
Budidaya Laut Lampung.
Notowinarto dan D.H. Putro. 1992. Pemijahan Teripang Putih (Holothuria scabra)
dengan Metode Manipulasi Lingkungan. Buletin Balai Budidaya Laut Lampung 4
Notowinarto dan D.H. Putro. 1992. Pengamatan Pendahuluan Perkembangan Larva
Teripang Putih (Holothuria scabra). Buletin Balai Budidaya Laut Lampung 5.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
153
PENGEMASAN DAN PENGIRIMAN BIBIT RUMPUT LAUT KOTONI
(Kappaphycus alvarezii) HASIL KULTUR JARINGAN TANPA AIR
Nico Runtuboy, Andi Permata, Edi Supriatna, Slamet Abadi
Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung
Abstrak
Salah satu komoditi laut yang menjadi prioritas untuk dikembangkan adalah
rumput laut Kotoni (Kappaphycus alvarezii). Rumput laut jenis ini mejadi prioritas
karena memiliki keunggulan seperti peluang pasar terbuka, teknologi budidaya mudah
dan murah, umur panen pendek serta menyerap banyak tenaga kerja. Upaya untuk
pengembangannya terus dilakukan melalui pengiriman bibit dari daerah produsen ke
daerah pengembangan. Masalah yang dihadapi adalah bibit yang dikirim selalu
mengalami kematian ketika tiba di lokasi tujuan. Uji coba peking dan pengiriman bibit
rumput laut terus dilakukan dengan prinsip bibit yang dikirim dari daerah produsen
harus hidup sampai daerah tujuan. Proses packing dan pengiriman bibit rumput laut
dikenal dua sistim yaitu sistim terbuka dan sistim tertutup. Sistim terbuka adalah salah
satu teknik packing dimana bibit yang akan dikirim, dipacking pada satu wadah dan bibit
tersebut masih berhubungan dengan lingkungan luar. Sistim tertutup adalah metode
packing dimana bibit rumput laut yang dipacking tidak berhubungan dengan lingkungan
luar. Uji coba sistim terbuka dilakukan dengan 4 perlakuan masing-masing 2 ulangan.
Perlakuan 1 sebagai kontrol : dimana bibit dimasukan ke dalam keranjang lalu diamati
perkembangannya. Perlakuan 2 : bibit dimasukan dalam keranjang lalu disiram air laut
setiap 5 jam, Perlakuan 3 : bibit dimasukan dalam kantong plastik yang telah diberi
beberapa lubang. Perlakuan 4 : bibit dimasukan dalam karung yang telah diberi
beberapa lubang. Bibit dari ke empat perlakuan tersebut ditempatkan di tempat yang
tidak terkena sinar matahari langsung. Uji coba sistim tertutup dilakukan dengan 3
perlakuan dan masing-masing 2 ulangan. Perlakuan I sebagai kontrol : dimana bibit
dimasukan dalam styrofoam lalu dilakban rapat lalu diamati setiap 5 jam. Perlakuan II :
bibit dimasukan ke dalam kotak styrofoam yang telah diisi tiga bongkahan es batu lalu
dilakukan re-peking setelah 50 jam. Perlakuan III : bibit dimasukan ke dalam kotak
styrofoam yang telah diisi tiga bungkus es cura lalu dilakukan pengamatan setiap 5 jam
setelah jam ke 24. Hasil uji coba sistim terbuka diperoleh hasil perlakuan I bibit dapat
bertahan 15 jam, perlakuan II : bibit dapat bertahan 25 jam, perlakuan III : bibit dapat
bertahan 25 jam dan perlakuan IV : bibit dapat bertahan 25 jam. Hasil yang diperoleh
pada sistim tertutup perlakuan I : bibit dapat bertahan 20 jam, perlakuan II : bibit dapat
bertahan 75 jam dan perlakuan III : bibit dapat bertahan 50 jam.
Kata kunci : Rumput laut Kotoni, Pengemasan, Sisim terbuka, Sistim tertutup
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
154
PENDAHULUAN
a. Latar belakang
Salah satu komoditas unggulan dalam program minapolitan adalah rumput laut
Kotoni (Kappaphycus alvarezii). Jenis rumput laut ini sangat tepat digunakan untuk
pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat pesisir. Beberapa keunggulan rumput
laut Kotoni adalah mudah dibudidayakan dan tidak memerlukan teknologi tinggi. Lokasi
budidayanya dapat dilakukan di daerah pantai dengan masa pemeliharaan yang relatif
singkat dan modal yang digunakan tergolong murah. Faktor penting lainnya adalah
permintaan pasar yang selalu tinggi dan stabil dari waktu ke waktu.
Kendala yang terjadi di lapangan adalah penggunaan bibit hasil dari kegiatan
budidaya sebelumnya dengan cara stek. Cara ini dilakukan secara terus menerus
sehingga terjadi penurunan kualitas hasil panen. Dampak yang ditimbulakan adalah
penurunan tonase hasil panen, penurunan kadar karaginan, penurunan pertumbuhan
dan ketahanan terhadap penyakit. Upaya untuk mengatasi permasalahan di atas adalah
tidak menggunakan bibit hasil stek tetapi hasil dari kebun bibit yang telah diprogram
untuk keperluan bibit.
Dalam usaha menghasilkan bibit rumput laut yang unggul, SEAMEO BIOTROP
Bogor telah berhasil mendapatkan bibit baru rumput laut Kotoni melalui teknologi
kultur jaringan. Sebagai tindak lanjut dari keberhasilan tersebut, BBPBL Lampung
melakukan bekerjasama dengan SEAMEO BIOTROP untuk melakukan perekayasaan
perbanyakan bibit rumput laut hasil kultur jaringan skala laboratorium hingga produksi
secara masal.
Hasil tersebut akan dikembangkan di lapangan lalu didistribusikan ke daerahdaerah yang membutuhkan. Permasalahan yang dihadapi adalah dalam kondisi normal
bibit rumput laut tersebut hanya dapat bertahan selama 20 jam. Hasil uji coba tahun
2011 pengemasan dan pengiriman bibit rumput laut sistim tertutup dapat bertahan
hingga 55 jam. Hingga saat ini daerah-daerah yang ditempuh dari lokasi budidayanya
sekitar 55 jam telah dapat dilayani. Sedangkan kondisi di lapangan menunjukan bahwa
terdapat beberapa lokasi budidaya di Indonesia yang harus ditempuh lebih dari 55 jam.
Berdasarkan kondisi ini maka kegiatan kerekayasaan tahun 2015 ini adalah melakukan
pengemasan dan pengangkutan lebih dari 55 jam.
Metode yang digunakan adalah pengemasan dan pengangkutan sistim terbuka
dan sistim tertutup. Pengemasan dan pengangkutan sistim terbuka adalah suatu cara
mengangkut ikan/non-ikan dalam keadaan hidup dimana komoditi yang dikemas
masih berhubungan langsung dengan udara luar. Sedangkan pengemasan dan
pengangkutan sistim tertutup adalah suatu cara mengangkut ikan/non-ikan dalam
keadaan hidup dimana komoditi yang dikemas masih berhubungan langsung dengan
udara luar.
Khusus untuk komoditi rumput laut pengemasan dan pengangkutan sistim ini
tidak menggunakan air (kering). Prinsip peking sistim tertutup ini adalah menurunkan
suhu dalam media pengangkutan agar bibit rumput laut yang dikemas memiliki daya
tahan yang lebih lama.
b. Tujuan dan Sasaran
Tujuan yang ingin dicapai pada perekayasaan ini adalah sebagai berikut:
 Mengetahui teknik packing dan pengankutan bibit rumput laut
 Bibit rumput laut dapat tersebar ke seluruh wilayah Indonesia yang memiliki
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
155
potensi untuk pengembangannya.
c. Waktu dan Tempat
Kegiatan ini dilakukan dari bulan April sampai Desember 2015 bertempat di
Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung .
I. METODE
Metode yang digunakan adalah pengemasan dan pengangkutan sistim terbuka
dan sistim tertutup. Pengemasan dan pengangkutan sistim terbuka adalah suatu cara
mengangkut ikan/non-ikan dalam keadaan hidup dimana komoditi yang dikemas
masih berhubungan langsung dengan udara luar. Sedangkan pengemasan dan
pengangkutan sistim tertutup adalah suatu cara mengangkut ikan/non-ikan dalam
keadaan hidup dimana komoditi yang dikemas masih berhubungan langsung dengan
udara luar.
Rancangan pengemasan dan pengangkutan sistim terbuka dilakukan 4 perlakuan
dengan 2 ulangan menggunakan bibit 15 kg setiap wadah.
Masing-masing perlakuan adalah :
 perlakuan A : kontrol
 perlakuan B : bibit disiram setiap 5 jam
 perlakuan C : bibit dimasukan kedalam karung yang dibolongi
 perlakuan B : bibit dimasukan kedalam kantong plastik yang dibolongi
Rancangan pengemasan dan pengangkutan sistim tertutup dilakukan dengan 3
perlakuan masing-masing 2 ulangan menggunakan bibit 15 kg setiap wadah.
Masing-masing perlakuan adalah :
 perlakuan A : kontrol
 perlakuan B : melakukan repacking setelah 55 jam
 perlakuan B : packing menggunakan es curah
2.1. Alat dan Bahan
Peralatan dan bahan yang digunakan dalam perekayasaan pengemasan dan
pengangkutan bibit rumput laut sistim terbuka dan tertutup adalah :
Tabel 1. Peralatan dan bahan yang digunakan
No
ALAT DAN BAHAN
Pengemasan sistim terbuka
Pengemasan sistim tertutup
1
Alat :
Alat :
Kotak styrofoam, Karung, kantong
Kotak styrofoam, Dakron, Timbamgan,
plastik, timbangan, gunting,
gunting, lakban, es batu, koran, karet.
2
Bahan : bibit rumput laut
Bahan : bibit rumput laut
2.2 Prosedur kerja
2.2.1 Pengemasan dan pengiriman sistim terbuka
Pengemasan dan pengiriman bibit rumput laut sistim terbuka adalah suatu bentuk
pengemasan bibit dimana sebelum dikirim, bibit dikemas dalam wadah dimana bibit
tersebut masih berhubungan dengan lingkungan luar.
Pengemasan dan pengiriman bibit rumput laut kotoni hasil kultur sistim terbuka
dilakukan dengan empat cara yaitu 1). Bibit hasil panen dimasukan dalam keranjang dan
dibiarkan terbuka, 2). Bibit hasil panen dimasukan dalam keranjang dan dibiarkan
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
156
terbuka dan dilakukan penyiraman setiap 5 jam, 3). Bibit hasil panen dimasukan dalam
karung yang telah dibuat lubang dan 4). Bibit hasil panen dimasukan dalam plastik yang
telah dibuat lubang. Kemudian wadah dari keempat perlakuan tersebut diletakan pada
tempat yang memiliki kondisi lingkungan yang sama. Yaitu suatu tempat yang terlindung
dari sinar matahari langsung, terhidar dari air tawar.
Kegiatan pengematan dilakukan sebagai berikut : untuk perlakuan I dilakukan
penyiraman dengan air laut setiap 5 jam, mengevaluasi tampilan bibit tersebut dan
mencatat hasilnya. Sedangkan untuk perlakuan II sampai IV dilakukan evaluasi dengan
melihat bentuk thalus dan mencatat hasilnya setiap 5 jam.
Gambar 1. Pengemasan sistim terbuka
2.2.2 Pengemasan dan pengiriman bibit rumput laut sistim tertutup
Pengemasan dan pengiriman bibit rumput laut sistim tertutup adalah suatu bentuk
pengemasan bibit rumput laut sebelum dikirim dimana bibit yang telah dikemas tidak
berhubungan langsung dengan lingkungan luar. Kegiatan ini terdiri dari 3 perlakuan
yaitu :
1) Pengemasan tanpa perlakuan
Dilakukan dengan cara menyiapkan kotak styrofoam, bibit hasil panen ditiriskan
selama 3 – 10 menit lalu dimasukan dalam kotak tanpa ditekan kemudian kotak
tersebut ditutup dan dilakban rapat. Pengamatan tentang kondisi bibit dilakukan setiap
5 jam.
2) Pengemasan ulang (Re – packing)
Pengemasan dilakukan dengan cara menyiapkan kotak styrofoam, pada bagian
dasar kotak tersebut diletakan 3 bongkahan es batu yang telah dibungkaus plastik dan
koran. Bagian atas dari bongkahan es tersebut diberi lapusan dakron atau busa yang
berfungsi untuk menyerap air. Bibit hasil panen ditiriskan sekitar 5 – 10 menit lalu
disusun diatas lapisan dakron tanpa ditekan hingga kotak tersebut penuh. Pada bagian
atas bibit tersebut ditutup dengan dakron/busa lalu kotak tersebut ditutup dengan
tutup styrofoam aslinya dan dilakban rapat. Setelah 50 jam, dilakukan pengemasan
ulang (re-packing).
Pengemasan ulang dilakukan dengan cara menggantikan kemasan bongkahan es
dalam kotak tersebut dengan kemasan yang baru. Berdasarkan uji coba tahun 2011
bibit yang dikemas sistim tertutup dapat bertahan 55 jam. Maka kegiatan pengamatan
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
157
dilakukan dengan cara membuka dan mengamati setiap kotak setiap 5 jam mulai dari
jam ke 50.
3). Pengemasan menggunakan es cura
Pengemasan dilakukan dengan cara menyiapkan kotak styrofoam. Pada bagian
dasar kotak tersebut diletakan 3 bongkus es cura yang telah dibungkaus plastik dan
koran. Bagian atas dari bongkusan es cura tersebut diberi lapisan dakron atau busa yang
berfungsi untuk menyerap air. Bibit hasil panen ditiriskan sekitar 3 – 10 menit lalu
disusun diatas lapisan dakron tanpa ditekan hingga kotak tersebut penuh. Pada bagian
atas bibit tersebut ditutup dengan dakron/busa lalu kotak tersebut ditutup dengan
tutup styrofoam aslinya dan dilakban rapat. Pengamatan keadaan bibit dilakukan
setelah jam ke 15 dengan cara membuka setiap kotak setiap 5 jam.
Gambar 2. Sususnan rumput laut dalam Styrofoam sistim tertutup
a
c
d
c
b
Keterangan Gambar :
a)
b)
c)
d)
Styrofoam
Es batu
Dakron
Rumput laut
Gambar 3. Styrofoam yang telah diberi es batu dan dakron
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
158
II.HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 2. Hasil pengamatan kondisi bibit pada pengemasan sistim terbuka saat kotak
dibuka
Perlakuan
Dicek jam ke
20
25
Waktu
5
10
15
30
I kontrol
x
x
x
II (disiram)
x
x
x
x
x
25 jam
III (dlm karung)
x
x
x
x
x
25 jam
IV (dlm kantong plastik)
x
x
x
x
x
25 jam
15 jam
Perlakuan I (kontrol) adalah kegiatan dimana bibit sampel dimasukan dalam keranjang
lalu diamati kondisinya setiap 5 jam. Hasil tanpak bahwa bibit sample tersebut hanya
dapat hidup sampai 15 jam. Setelah itu muncul gejala kematian yang ditandai dengan
ciri-ciri bibit mulai layu dan ujung thalus keriput dan derwarna ungu.
Perlakuan II dilakukan dengan cara dilakukan penyiraman terhadap bibit dalam
keranjang setiap 5 jam. Hasilnya tanpak bibit dapat hidup lebih lama yaitu 5 jam.
Sedangkan perlakuan III dan IV relatif sama yaitu bibit dimasukan dalam karung dan
kantong plastik lalu dibuat lubang-lubang pada kedua wadah tersebut lalu dilakukan
pengamatan setiap 5 jam. terhadap kondisi bibit yang dikemas. Hasilnya terlihat bahwa
bibit yang dikemas dalam kedua wadah tersebut memiliki daya tahan yang sama yaitu
25 jam
Gambar 4. Pengemasan sistim terbuka menggunakan karung dan kantong plastik
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
159
Tabel 3. Hasil pengamatan kondisi bibit pada pengemasan sistim tertutup saat kotak
dibuka
Dicek jam ke
Perlakuan
Waktu
5 10 15 20
80
I kontrol
x x
25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75
x
15 jam
II (Re-packing)
III (Es curah)
x
x
x
x
x
x
x
x x
x x x x
x
75 jam
55 jam
Perlakuan I (kontrol) adalah kegiatan dimana bibit sampel dimasukan dalam kotak
dan dilakban rapat lalu diamati kondisinya dengan cara membuka masing-masing kotak
setiap 5 jam. Hasilnya tanpak bahwa bibit sample tersebut hanya dapat hidup sampai
20 jam. Setelah itu muncul gejala kematian yang ditandai dengan ciri-ciri bibit mulai layu
dan ujung thalus keriput dan derwarna ungu.
Perlakuan II dilakukan dengan cara dilakukan pengemasan ulang pada jam ke 50
dengan cara mengganti semua kemasan bungkusan es dalam kotak. Hasilnya tanpak
bahwa bibit dapat hidup sampai 75 jam. Sedangkan perlakuan III yaitu pengemasan
dengan menggunakan es cura. Penggunaan es cura pada kegiatan ini untuk
mengantisipasi kesulitan mendapatkan bongkahan es di lokasi pengemasan di daerah.
Kegiatan pengamatan dilakukan setalah 15 jam pengemasan. Hasilnya terlihat bahwa
bibit yang dikemas dapat bertahan hingga 55 jam.
Gambar 5. Sebelah kiri rumput yang mati (pucuk berwarna ungu), sebelah kanan bibit
yang segar
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
160
III. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kegiatan perekayasaan tersebut maka diambil beberapa kesimmpulan
sebagai berikut :
1. Pada kemasan sistim terbuka tanpa perlakuan (kontrol) bibit dapat bertahan 15
jam.
2. Pada kemasan sistim terbuka dengan perlakuan bibit disiram setiap 5 jam, bibit
dapat bertahan 25 jam
3. Pada kemasan sistim terbuka dengan perlakuan bibit dikemas menggunakan karung
dan katong plastik yang dibolongi, bibit dapat bertahan 25 jam
4. Pada kemasan sistim tertutup tanpa perlakuan, bibit dapat bertahan 15 jam
5. Pada kemasan sistim tertutup dengan perlakuan pengemasan ulang (re-packing),
bibit dapat hidup hingga 75 jam
6. Pada kemasan sistim tertutup dengan perlakuan pengemasan menggunakan es
curah bibit dapat bertahan hingga 50 jam
7. Apabila waktu tempuh dari daerah penghasil bibit rumput laut ke daerah tujuan
ditempuh dalam waktu kurang dari 15 jam, maka pengemasan dilakukan dengan
sistim terbuka dan tertutup
8. Apabila waktu tempuh dari daerah penghasil bibit rumput laut ke daerah tujuan
ditempuh lebih dari 15 jam, maka pengemasan dilakukan dengan sistim tertutup
DAFTAR PUSTAKA
Aji, N., 1991. Budidaya rumput laut. Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal
Perikanan. Balai Budidaya Laut Lampung.
Atmadja, W.S., A. Kadi; Sulistijo dan Rachmaniar. 1996. Pengenalan Jenis-jenis
Rumput Laut Indonesia. Puslitbang Oseanologi-LIPI. Jakarta.
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2004. Petunjuk Teknis Budidaya Laut Rumput
Laut Eucheuma spp. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta:
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2005. Profil Rumput Laut Indonesia.
Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta
Runtuboy, N. Slamet Abadi 2011. Rekayasa Teknologi Packing dan Pengiriman bibit
Rumput laut (kappaphycus alvarizii). Laporan Tahunan Balai Budidaya Laut Lampung
tahun Anggaran 2011.
Runtuboy, N . 2008. Teknologi Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii (Kappaphycus
alvarezii). Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
161
Produksi Udang Windu dengan
Pengelolaan Media Pemeliharaan dengan Sistem Biofloks
Oleh :
Supito; Zaenal Arifin dan Darmawan AD
Abstrak
Teknologi bioflok dengan aplikasi bakteri pengurai untuk mendegrasi bahan organik
sisa pakan dan kotoran udang sehingga dapat menghindari terbentuknya senyawa
beracun seperti ammonia dan nitrit.
Kajian dilakukan pada 4 petak tambak dengan luas 0,4 Ha. Persiapan tambak dilakukan
untuk perbalikan lingkungan tambak dan mencegah penularan patogen penyakit. Pada
tebar 150.000 per petak (37,5 ekor/m2). Umur pemeliharaan 132 hari. Aplikasi
probiotik dilakukan dengan aplikasi bakteri probiotik yang menngandung bakteri
bacillus sp dengan dosis awal adalah 1 kg/L per ha. Untuk mempertahan pertumbuhan
dan kelimpahan bakteri probiotik dilakukan penambahan sumber karbon (molase)
dengan dosis 2-5% dari total pakan yang diaplikasikan 2 kali seminggu.
Pertumbuhan mutlak udang windu yang dihasilkan 22,3-23,9 g/ekor dengan rataan
23,24 ±0,7962 g/ekor. Kelangsungan hidup 51-57%. Rataan laju pertumbuhan harian
(ADG) 0,18±0,0061. Produksi udang yang dihasilkan adalah 1.801-1.901 kg/ petak
(4,503-4,988 kg/ha). Parameter kualitas air amonia maksimum 0,480 ppm dan Nitrit
maksimum 0,9 ppm. Bahan organik air maksimum 247 ppm. Kandungan total bakteri
mencapai 5,1x105 CFU dangan dominasi bakteri vibrio maksimum 11,4%. Salinitas
selama pemeliharaan 32-55 ppt. Ketebalan flok yang diukur dengan tabung inhoff
dipertahankan pada kisaran 20 cc/L Pengelolaan air dengan teknik bioflok mampu
membuat kondisi media pemeliharaan yang lebih stabil dan mampu mengendalikan
pembentukan amonia dan nitrit.
Improvement Tiger Shrimp Production with Biofloks system Water management
in The Pond
Supito*; Zaenal Arifin. and Darmawa Adiwijaya*
Main Center for Brackhiswater Aquaculture Develompmet
Abstract
Aquaculture management with bioflock technology for tiger shrimp culture through
addition of probiotic bacteria to improve decomposition proccess organic material form
over feed and shrimp feces degrade so as to avoid of toxic compounds such as ammonia
and nitrite.
Study was conducted on fourth ponds. Pond square was 4000 m2. Pond preparation
was do for improve pond environment and avoid of pathogen. Stocking density of post
larvae was 150.000 pices per metre (37,5 pieces per m2).
The maintain for growth and abundance of probiotic bacteria was be added a carbon
source for the balance C/N ratio. Application of probiotics with the Bacillus sp.
bacterium with dose is 1 kg /L/ha. Controlling abudance of probiatic backteria with
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
162
apply molasses dose 2-5 % form total feed was used in the pond. Application molases
was do two time per week.
Results growth shrimp 22,3-23,9 g/ind with Average Day Growth (ADG) 23,24 ±0,7962
Survival rate 51-57%.
Averege daily grouth rate (ADG) was 0,18±0,0061g/days.
Shrimp production is 1.801-1.901 kg/ pond (4,503-4,988 kg/ha). Water quality of
amonia maksimum was 0,48 ppm and Nitrite maksimum was 0,9 ppm. Total organic
metric (TOM). Avarege of total bacteria wa 5,1 x 105 CFU with total vibrio sp bacteria
less 11,4%. The salinity of water during culture period was 32-55 ppt. Abudance of
bioflock was 20 cc/L that was measuer with inhoff tube. Bioflocs management system
showed stable water quality parameters during aquaculture. Ammonia and nitrite can
be reduced in conditions below the threshold.
Keywords: Tiger shrimp, Bioflocs system
I.
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Permasalahan utama pada kegitan budidaya udang intensif adalah masalah limbah sisa
pakan dan kotoran udang. Peningkatan pertumbuhan udang akan menyebabkan
peningkatkan jumlah penggunaan pakan serta jumlah kotoran dalam petak tambak yang
pada akhirnya akan meningktkan kotoran (waste) yang akan berabahaya untuk biota
pemeliharaan. Peningkatan kotoran dalam wadah pemeliharaan akan dapat
menyebabkan tertuknya senyawa toksis yang dapat mematikan udang. Oleh karena itu
diperlukan rekaysa teknologi budidaya daudang dengan sistem pemeliharaan yang
mampu meminimalisir pementukan senyawa toksis untuk udang. Kegiatan rekayasa
teknologi budidaya udang harus mampu mengeliminir pangaruh sisa pakan dan kotoran
udang.
Pengelolaan media pemeliharaan dengan sistem bioflok dengan penumbuhan bakteri
pengurai dengan aplikasi probiotik. Untuk menjaga pertumbuhan dan klimpahan
bakteri probiotik dalam media pemeliharaan dilakukan dan penambahan sumber
karbon untuk pengaturan kesimbangan C/N rasio. Pertumbuhan probiotik akan
mendegrasi bahan organik sisa pakan dan kotoran udang sehingga akan menghindari
terbentuknya senyawa beracun untuk udang yang dipelihara seperti senyawa ammonia
dan nitrit. Dengan dapat menekan pembentukan senyawa yang bersifat toksit pada
udang, dapat mengurangi penambahan air media dari luar, sehingga dapat menekan
penularan penyakit.
Penguraian bahan organik dari sisa pakan dan kotoran udang oleh bakteri probiotik
dapat menghasilkan biomas berupa floks-floks bakteri atau bioflock yang dapat
berfungsi sebagai pakan alami. Menurut Ansari et al.,(2012), bioflok merupakan
komunitas mikroba yang terdiri dari bakteria, protozoa dan zooplankton, sebagai
suplemen pakan udang mengandung asam amino methionin, vitamin, mineral dan
enzim yang dapat membantu proses pencernaan pakan pada udang. Apabila dalam
tambak telah terbentuk bioflok maka diharapkan akan dapat menghemat pakan yang
diberikan pada udang karena bioflok dapat digunakan sebagai subsitusi pakan bagi
udang yang dibudidayakan. Pembentukan flok-floks bakteri akan mampu menekan atau
bahan mengurangi penggunaan pakan tambahan yang pada akhirnya akan mampu
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
163
menurunkan konversi pakan dan biaya produksi. Maka upaya untuk efisiensi biaya
produksi harus dilakukan, satu diantaranya adalah menggunakan teknologi bioflok
(Avnimelech, 1999; 2007; Schryver et al, 2008).
Untuk menciptakan media pemeliharaan udang windu yang nyaman, serta mampu
memanfaatkan kembali limbah kotoran udang dan sisa pakan menjadi biomas perlu
dilakukan kajian budidaya udang windu dengan pengelolaan lingkungan dengan sistem
bioflok.
1.2. Tujuan
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memperbaiki media melalui sistem bioflok
sehingga mampu menekan terbentuknya senyawa toksik dan dapat menekan efisiensi
penggunaan pakan untuk meningkatkan produktivitas tambak
1.3. Sasaran
Parameter ammonia< 1 ppm; Nitrit< 1 pmm dan Pertumbuhan udang dengan ADG
>0,2; SR > 60%.
II. BAHAN DAN METODE
2.1. Bahan dan Alat
2.1.1. Bahan
No.
Uraian
1.
Benih Udang
2.
Pakan
3.
Kaporit
4.
saponin
5.
Kaptan
6.
TSP
7.
Nitrogen (ZA)
8.
Probiotik
9.
Molase
10.
Multivitamnin
11.
Feed additive herbal (alicin)
12.
Benih ikan nila
13.
Benih glondong bandeng
Alat
Peralatan
Kincir
Pompa 8”
Peralatan lapangan (jala,
timbangan, seser,ember,
anco, rakit
Jumlah
Satuan
400.000 Ekor
10.500 Kg
50 Gln
200 Kg
6000 kg
50 Btg
800 kg
30 kg
300 kg
2 kg
2 kg
2500 ekor
1500 ekor
2.2.2.
Jumlah
16 buah
2 buah
Masing-masing 1 unit
Manfaat
Difusi Oksigen
Suplai air
Peralatan panen
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
164
2.2. Waktu dan Tempat
Kegiatan perekayasaan ini dilaksaknakan dari bulan Januari-Desember 2015.
Tambak yang digunakan perekayasaan adalah tambak seri H dengan luasan masingmasing 5.000 m2 milik BBPBAP Jepara.
2.3. Metode
2.3.1. Persiapan Lahan budidaya
Persiapan wadah budidaya
Persiapan wadah budidaya dimaksudkan untuk mengoptimalkan kondisi lahan
budidaya sehingga mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang windu.
Desain tata letak Wadah budidaya terdiri dari petak sterilisasi/tandon, petak
pembesaran udang dan petak pengolah limbah dengan biofilter. Perbaikan konstruksi
petakan tambak untuk membuat tambak kedap kedap sehingga tidak ada rembesan air
antar petakan atau petakan dengan saluran untuk mencegah terjadinya potensi transfer
pathogen. Pembuatan sentral drain di tengah petakan tambak untuk memudahkan
pengambilan lumpur dan sisa pakan selama pemeliharaan dengan cara disipon maupun
dengan pengeluaran melalui saluran out let. Pemasangan biosekuriti dengan pagar
keliling kawasan tambak kajian untuk mencegah masuknya pathogen atau carier
penyakit.
Untuk memperbaiki kulitas dasar tambak dilakukan pengeringan dan pembersihan
kotoran lumpur organik. Aplikasi desinfektan pada dasar tambak untuk membunuh bibit
virus/bakteri dan bibit blu green alga (BGA) dengan aplikasi larutan HCl.
Persiapan air
Pengisian air pada petak tandon, petak pembesaran hingga kedalaman air minimal 100
cm. Aplikasi desinfektan dengan menggunakan clorin (ca-hyphocloride 60 EC) dengan
dosis 25-30 ppm untuk membasmi bakteri pathogen dan virus dan krustaesida dengan
dosis 1,5 ppm untuk membunuh karier penyait virus berupa udang atau crustacean liar.
Setelah aplikasi bahan desinfekatan air didiamkan selama minimal 5 hari agar semua
bahan menjadi netral.
Pengapuran dan pemupukan
Jenis kapur yang digunakan adalah kapur kaptan dan dolomit. Jumlah kapur yang
digunakan bergantung pada pH perairan. Jika kondisi pH perairan sudah berada pada
diatas nilai 7,5 maka kapur tidak diaplikasikan,
Pemupukan dilakukan untuk menumbuhkan plankton pada awal pemeliharaan. Dosis
pupuk yang digunakan adalah 5 ppm dengan dosis perbandingan pupuk Nitrogen (ZA)
dan TSP adalah 5:1. Stimulasi plankton (jika diperlukan) pada petak pembesaran udang
dilakukan dengan menambahkan inokulum dari kultur Chlorella murni yang telah
diendapkan.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
165
Penumbuhan bakteri probiotik
Prinsip dari teknologi bioflok adalah menumbuhkan mikroorganisme terutama bakteri
heterotrop di air tambak yang dimaksudkan untuk menyerap komponen polutan,
amonia yang ada di air tambak. Agar dapat terbentuk bioflok, maka rasio C/N di air
tambak budidaya udang pola intensif harus > 10 : 1, kemudian sedikit dilakukan
penggantian air dan diberi aerasi yang kuat dan merata, sehingga oksigen tidak pernah
lebih rendah dari 4 ppm. Bakteri heterotrof dalam air tambak akan berkembang pesat
apabila di air tambak ditambahkan sumber C karbohidrat yang langsung dapat
dimanfaatkan, yaitu mollase. Selanjutnya bakteri tersebut akan menggunakan N
anorganik terutama amonia dalam air dan disintesa menjadi protein bakteri dan juga sel
tunggal protein yang dapat digunakan sebagai sumber pakan bagi udang atau ikan yang
dipelihara (Hari, et al., 2004). Aplikasi probiotik mulai dilakukan dengan aplikasi bakteri
probiotik yang menngandung bakteri bacillus sp dengan dosis awal adalah 1 kg/L per ha
dan penggunaan molase dengan dosis 2 ppm.
2.3.2. Penebaran benih
Penebaran benih menggunakan benih yang bebas virus yang telah dilakukan uji PCR.
Salinitas media pemeliharaan benih juga telah di sesuaikan dengan mendia
pemeliharaan air tambak. Padat tebar benih adalah 40 ekor/m2.
2.3.3. Pemeliharaan
Pengelolaan air
Pengelolaan air diarahkan pada sistem bioflok. Aplikasi probiotk dilakukan setiap 1
hingga 2 kali seminggu dengan dosis probiotik 1 kg/ha. Untuk mempertahankan
keseimbangan C/N rasio pada kisaran 12-20 dilakukan aplikasi sumber karbon (molase)
dengan dosis 2,5-5% dari total pakan yang telah diberikan selama 1 minggu. Aplikasi
molase dapat dilakukan bersamaan dengan aplikasi bakteri probiotik.
Peambahan air selama pemeliharaan hanya dilakukan untuk mempertahankan
ketinggian air. Penambahan air hanya dilakukan untuk mengganti air yang hilang karena
penguapan atau rembesan atau pada saat kondisi darurat pada saat kualitas air
menurun. Perlakukan untuk mempertahankan kualitas air adalah dengan dilakukan
penyiponan kotoran dasar tambak yang dilakukan secara periodic.
Pengelolaan pakan
Pemberian pakan menggunakan pakan komersial dengan kadar protein pada awal
pemeliharaan sekitar 38%. Dosis pemberian berkisar 50% biomas (awal pemeliharaan)
dan menurun hingga 2.5% menjelang akhir pemeliharaan. Frekuensi pemberian pakan
2-5 kali/hari sesuai dengan berat udang. Jumlah pakan di anco sekitar 0.5 % (berat
udang 3 gram) dan meningkat hingga 1 %. Waktu kontrol di anco mulai 2 jam dan
menurun hingga 1,5 jam. Sebagai acuan jumlah pakan, frekuensi pemberian dapat
dilihat pada tabel berikut.
Berat
rata-rata
(g)
0,01-0,70
0,70-2,00
Waktu makan dan jumlah pakan (%)
Frekuensi
2x
3x
05.00
50
40
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
11.00
16.00
22.00
50
40
20
Saat
monitoring
(jam)*
166
2,00-4,00
4,00-5,00
5,00-8,00
8,0010,00
10,0018,00
18,0020,00
22,00
4x
4x
5x
5x
30
30
25
25
20
20
10
10
30
30
15
15
20
20
30
30
3,0
2,5
2,5
2,5
5x
25
10
15
30
2,0
5x
25
10
15
30
2,0
5x
25
10
15
30
1,0
* setelah pemberian pakan
Monitoring Kualitas air
Monitoring kualitas air dilakukan sejak persiapan lahan hingga menjelang panen.
Pengamatn kualitas air harian adalah parameter suhu, Oksigen terlarut, pH, kepadatan
flok dan kecerahan. Pengamatan mingguan adalah paramater bahan organik,
alkalinitas, TAN (NH3 dan NH4+), nitrit, nitrat, populasi plankton, bakteri (Total bakteri
dan bakteri vibrio).
Monitoring pertumbuhan dan sintasan
Monitoring pertumbuhan dilakukan setelah udang berumur 40 hari atau lebih dengan
cara sampling. Sampling menggunakan jala tebar dilakukan minimal 3 kali dalam satu
petak. Jumlah dan berat udang dihitung dan sekaligus memperhatikan tingkat
keseragaman udang. Sampling dilakukan tiap 7- 10 hari sekali dan data ini digunakan
untuk perhitungan jumlah pakan periode pemeliharaan berikutnya. Sedangkan
monitoring kesehatan udang dapat dilakukan setiap saat melalui anco. Pada anco,
kondisi udang seperti agresifitas, respon pakan (kondisi usus dan feces) dapat diketahui.
2.3.4. Panen
Pemanenan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi udang (berat, periode
molting) dan harga serta efisiensi usaha. Untuk itu, penentuan jumlah total pakan yang
digunakan dan estimasi produksi mutlak dilakukan. Panen dilakukan pada siang hari
untuk memperkecil udang yang moulting.
III. Hasil dan Pembahasan
3.1. Pertumbuhan udang.
Pertumbuhan dan ADG udang uji dapat dilihat pada tabel 3. Hasil pengukuran
pertumbuhan mutlak udang selama pemeliharaan 110 hari pada petak H5 adalah 21,0
g/ekor dengan rata-rata ADG 0,20 g/hari dan pada petak H6 adalah 20,5 g/ekor
dengan ADG 0,21 g/hari (Tabel 3). Dari tabel tersebut dapat dinyatakan bahwa
pertumbuhan mutlak pada kedua petak relatif sama.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
167
Tabel 3. Data pertumbuhan udang windu dengan sistem bioflok
Umur (hari)
30
40
50
60
70
80
90
100
110
Petak H5
ABW (g)
4,2
5,9
7,8
9,4
11,5
13,8
16,1
18,2
21
Petak H6
ADG (g)
0,17
0,19
0,16
0,21
0,23
0,23
0,21
0,28
ABW (g)
4,5
6
7,6
9,6
11,2
14,2
16,5
18,5
20,5
ADG (g)
0,15
0,16
0,2
0,16
0,3
0,23
0,2
0,2
Gambar 1. Grafk pertumbuhan mutlaks (ABW)
Dari gambar 1 dan 2, dapat dinyatakan bahwa pertumbuhan mutlak dan laju
pertumbuhan harian (ADG) selama pemeliharaan
pada kedua petak kajian
menunjukkan peningkatan hingga pemeliharaan umur 80 hari. Selanjutnya laju
pertumbuhan harian cenderung menurun hingga panen umur 110 hari. Hal ini diduga
sebagai akibat musim kemarau sehingga salinitas terus meningkat hingga 56 ppt.
Perlakukan penambahan air setiap hari sebanyak 5 -10% setelah umur pemeliharaan ke
60 tidak mampu menahan kenaikan salinitas. Musim kemarau dengan panas yang tinggi
dan tiupan angin yang kuat mengakibatkan proses penguapan ar tambak semakin
meningkat sehingga salinitas air tambak cenderung meningkat.
Gambar 2. Grafik laju pertumbuhan harian ADG
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
168
3.2 Produksi
Data berat apada akhir pemeliharaan, ADG, size, sintasan dan produksi dapat dilihat
pada Tabel 4. Perlakukan yang sama dengan pemeliharaan sistem biofloks pada kedua
petak kajian menunjukkan produksi yang dihasilkan tidak jauh berbeda. Produksi
udang yamg dihasilkan pada petak H5 adalah 1.935 kg (produktivitas 3,870 kg/ha/MT)
dan petak H6 adalah 2,017 kg ( 4.034 kg/ha/MT). Dengan tingkat kelangsungan hidup
pada petak H5 sebesar 46 % dan petak H6 sebesar 49 %. Produksi yang dihasilkan ini
lebih tinggi dari hasil kajian sebelumnya dengan produksi 1.315 kg ( 3.287 kg/ha/MT)
dan 1.322 kg (3.306 kh/ha/MT). Kajian sebelumnya dapat mencapai tingkat
kelangsungan hidup 60,1-61,5 % (Supito et.al, 2014).
Peningkatan produktivitas pada kajian kedua diduga pemeliharaan dilakukan pada
musim kemarau sehingga ada pengaruh suhu terhadap laju konsumsi pakan yang pada
akhirnya pertumbuhan lebih baik. Faktor lain diduga kepadatan yang lebih rendah
karena kelangsungan hidup yang lebih rendah pada kajian kedua menyebabkan ruang
gerak dan ketersediaan makanan yang tercukup sehingga lajau pertumbuhan
meningkat.
Tabel 4. Data tabel produksi udang
No
Uraian
H5
H6
1
Jumlah tebar/petak
200.000
200.000
2
Umur pemeliharaan (hari)
110
110
3
Ukuran
21
20,5
4
ADG
0,21
0,21
5
Size ekor/kg
48
49
5
SR (%)
46%
49%
6
Produksi per petak (kg)
1.935
2.017
7
Produktivitas kg/ha
3.870
4.034
3.2 Kualitas lingkungan
3.2.1 Kualitas air
Hasil pengukuran kualitas air selama pemeliharaan adalah sebagai berikut:
Tabel 5. Data kualitas air tambak udang semi heterotrof sistem
Parameter
Tambak H5
Tambak H6
1. Salinitas
33-55
33-54
2. suhu
28-33
28-32
3. Oksigen
3.1-5,0
3,0- 5,13
4. Kecerahan
20-40
20-45
5. pH
7,5 - 8,3
7,5 - 8,5
6. Alkalinitas (ppm)
62–188
99 – 195
7. Bahan organic
75– 380
75 -395
(ppm)
8. NH3
< 0,5
<0,6
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
169
9. NO2
10. densitas flok (cm3)
a.
b.
c.
d.
<12
Maksimum 35
<8
Maksimum 40
Salinitas
Salinitas air tambak pada saat penebaran adalah 33 ppt karena pada saat musim
kemarau. Selanjutnya salinitas cenderung naik karena semalam pemeliharaam
umur 1 bulan hanya dilakukan penambahan air untuk mempertahankan
ketinggian air tambak. Pengaruh musim kemarau sehingga pengupakan cukup
tinggi hingga salintas naik hingga 55 ppt. pada musism kemarau salinitas air
sumber adalah 36 ppt. Dengan cuaca yang cerah serta angin yang kencang pada
musim kemarau ini, salinitas air tambak bisa naik sekitar 1-2 ppt per hari. Untuk
mencegah kenaikan salinita yang tinggi dilakukan penambahan air sumber 5-10%
per 1-2 hari seklai sehingga mampu mengandalikan kenaikan air kurang dari 1 ppt
per hari.
Temperatur
Hasil pengamatan temperatur rataan harian (Tabel 3) selama pemeliharaan
terendah adalan 28 oC yang diamati pada pagi hari dan tertinggi adalah 33oC yang
diamati pada sore hari. Temperatur berpengaruh terhadap aktivitas metabolisme
terutama laju komsumsi pakan. Oleh karena itu pemberian pakan disesuaikan
dengan laju komsumsi oleh udang dengan cara mengontrol pakan pada anco.
Jumlah pakan dianco adalah 0,6-1% dari julah total pemberian dan lama
pengamatan 1-2 jam. Bila pakan di anco tidak habis, maka jumlah pakan yang
diberikan segera dikurangi hingga 20-40%. Sebaliknya bila pakan habis sebelum
waktu pengamatan, maka jumlah pemberian pakan ditambak sekitar 20 %.
Dengan cara ini untuk menghindari kelebihan pakan yang akan menyebabkan
peningkatan kotoran pada dasar tambak.
Oksigen terlarut.
Kandungan oksigen terlarut selama pemeliharan dapat dipertahankan minimal 3
ppm pada kedua petak. Cara yang dilakukan adalah dengan mengatur tataletak
kincir dengan jumlah yang disesuaikan sehingga selruh kolom air petak tambak.
Fluktuasi nilai oksigen terlarut harian cenderung pada teknologi bioflok ini pada
kisaran 1-2 ppm. Letak dn arah kincr di atur sehingga seluruh kolom air pada
petak tambak bergerak atau mengalir. Cara ini dilakukan untuk mencegah
pengendapan kotoran organik pada dasar tambak.
Beberapa pengamatan menunjukkan bahwa nilai kelarutan oksigen pagi hari lebih
tinggi dari pada sore hari. Hal ini diduga peranan bakteri probiotik yang dominan
dalam kolom air pada malam hari kecepatan untuk mendegradasai bahan organik
cenderumg lebih lambat sehingga tidak banyak menggunakan oksigen terlarut.
Sebaliknya pada siang hari dengan peningkatan suhu media menyebabkan
kecepatan bakteri probiotik mendegrasi bahan organik meningkat serta
meningkat pula penyerapan oksigen terlarut.
Kecerahan
Hasil pengukuran kecerahan selama pemeliharaan adalah pada petak H5 20-45
cm dan petak H5 adalah 20-40 cm. Berdasarkan pengamatan dilapangan flok
bakteri terbetuk setelah pemeliharaan 45 hari. Terbentuk flok bakteri ditandai
terbentuknya busa (foam) berwarna putih akibat pengadukan kincir air. Busa
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
170
e.
f.
g.
tersebut sebagai indikasi terjadinya proses penguraian bahan organik sisa pakan
dan kotoran udang menjadi flok bakteri. Warna air tambak setelah terjadinya flok
bateri berwarna hijua kecoklatan dan stabil hingga panen.
Diduga aplikasi sumber karbon berupa molase dengan dosis 5 % dari crude total
pakan (dengan kandungan protein 36%) mampu membuat keseimbangan C/N
rasio sekitar >16. Pada kondisi keseimbangan C/N rasio yang tinggi dapat
mengakibatkan pertumbuhan bakteri probiotik mampu berkembang untuk
menguraikan sisa pakan dan kotoran udang serta bahan organik lainnya.
pH
Hasil pengamatan pH air selama pemeliharaan patak H5 adalah 7,5-8,3; dan petak
H6 adalah 7,5-8,5. dengan fluktuasi harian pada pagi dan sore anara 0,1-0,3.
Kestabilan nilai pH diduga karena dominasi bakteri probiotik yang dominan
disbanding plankton. Pada proses penguraian oleh bakteri probiotik sangat
tergantung dari kesimbangan C/N rasio dan kelarutan oksigen untuk
mendegradasi kotoran bahan orgnaik menjadi Nitrat dan senya organik lainnya.
Pada kondisi keseimbang C/N rasio yang cukup >16 dan kandungan oksigen
terlarut yang tinggi, dapat menghindari terbetuknya senyawa toksin untuk udang
seperti ammonia dan nitrit. Dengan proses tersebut diduga menyebabkan
kestabilan nilai pH yang lebih baik, dengan fluktuasi harian yang rendah.
Berbeda dengan proses fotosintesa, plankton maupun makroalga memerlukan
akan menyerap karbon dioksida (CO2) untuk proses fotosintesa. Perubahan
kesimbangan CO2 kan menyebabkan berubahnya kandungan karbonat dalam air
sehingga dapat menyebabkan perubahan nilai pH air. Kondisi ini menyebabkan
fluktuasi harian nilai pH yang lebih tinggi (lebih nilai 0,5). Sebagai akibatnya
fluktuasi oksigen terlurt harian pagi dan sore hari juga tinggi.
Alkalinitas
Hasil pengamatan salinitas selama pengamatan berkisar petak kedua petak kajian
(Tabel 5) menunjukkan pada kisaran nilai yang layak untuk udang. Perlakukan
yang dilakukan untuk mempertahankan nilai alkalinitas adalah aplikasi kapur tiap
2 hari sekali dengan dosis 5 ppm. Waktu aplikasi kapur dilakukan pada malam hari
dan dilakukan setelah terjadi hujan. Hal ini diduga air hujan merupakan air murni
yang dapat mengurangi kosentrai mineral dalam air tambak. Oleh karena itu perlu
dilakukan penambahan mineral setelah terjadi hujan.
Kemelimpahan dan floks
Flok-floks bakteri terbentuk setelah umur pemeliharaan 1,5 bulan. Yag ditandai
adanya busa putih akibat pengadukan kincir. Warna air cenderung kecoklatan
keruh (masir) yang terbentuk karena suspense flok bakteri. Hasil pengukuran
dengan tabung imhoff kepadatan flok berkisar 40 cc. Peningkatan kelimpahan
flok setelah umur 55 hari. Pada bulan pertama pemelihran hanya 10-12 cc dn
meningkt setelah usia pemelihraan bulan ke dua. Hal ini diduga karena
penambahan sumber karbon yang mengakibatkan peningkatan keseimbangan
C/N rasio. Ikan dan udang dapat mengakumulasi nutrien dari pakan yang
diberikan berkisar 5-40%. Dari data yang ada diketahui bahwa rerata nutrien
yang dapat tertahan dalam tubuh ikan dan udang adalah 13 % carbon, 29 %
nitrogen, dan 16 % posfor. Rendahnya jumlah karbon sebagai konsekuensi dari
banyaknya fraksi karbon pakan yang lepas akibat respirasi. Data ini menunjukkan
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
171
h.
i.
rendahnya retensi nutrien dalam tubuh kultivan, sehingga sisanya seperti
nitrogen (75%) dan posfor (80%) terakumulasi di dasar tambak. (Avnimelech dan
Ritvo, 2003). Oleh karena itu perlu penambahan sumber karbon organik untuk
meningkatkan kesimbangan C/N rasio.
Pada perairan yang mempunyai keseimbangan C/N ratio yang baik akan
meningkatkan tumbuhnya Total Bakteri Heterotrop (TBH) sehingga mempercepat
proses penguraian limbah organik. Dari beberapa jenis bakteri heterotrop ini
diduga ada yang bersifat bakteri ansosigenik, yaitu bakteri yang dalam proses
metabolismenya menguraikan bahan organik tidak menggunakan oksigen sebagai
sumber energi (Widiyanto, 2002).
Kandungan bahan organik total
Kandungan bahan organik air tambak selama pemeliharan mencapai 395 ppm.
Namum demikian tidak membahayakan untuk udang. Hal ini karena proses
degradasi bahan organik tersebut berlangsung cepat dan tidak membentuk
senyawa toksik ammonia dan nitrit. Data pengukuran ammonia dan nitrit masih
kurang dari 0,1 ppm dan tidak membahayakan udang. Hal ini diduga peranan
oksigen dari aerasi yang cukup tinggi selama pemeliharaan. Akumulasi bahan
organik yang berlebih menjadi pemicu kondisi lingkungan yang anaerob
(Avnimelech et al., 2004) masih dapat dicegah bila mampu meningkatkan
kelarutan oksigen ( Avnimelech et al., 2004).
Pada awal pemeliharaan bahan organik air sudah cukup tinggi yaitu sekitar 95-97
ppm. Ini diduga karena kandungan bahan organik sumber air sudah cukup
tinggi. Penggunaan kaporit sebagai desinfektan dan sekaligus sebagai oksidator
tidak dapat menekan kandungan bahan organik air pada awal pemeliharaan
kurang dari 60 ppm. Peranan petak tandon hanya sebagai pengendapan kotoran
sementara belum dapat mengurangi bahan organik. Semakin tambah umur
pemeliharaan dan semakian tambahnya jumlah pakan yang digunakan
mengakibatkan peningkatan kandungan bahan organik hingga mencapai 295
ppm. Hal ini diduga karena telah terbentuknya flok bakteri yang juga
mengandung protein
Amonia
Nilai Amonia (NH3) tertinggi pada kedua petak adalah 0,6 dan nitrit adalah 0.7
ppm. Parameter ammonia it dalam sistem budidaya bioflok sangat rendah
mengingat data bahan organik cukup tinggi. Hal ini diduga peranan probiotik
sangat mendukung untuk mencegah pembentukan ammonia. Amonia sangat
beracun untuk udang dan biasanya terjadi pada nilai pH tinggi diatas nilai 9.
Diduga peranan penambahan sumber karbon mampu mereduksi pembentukan
Amonia. Hari et al., (2004) telah melakukan percobaan pembesaran udang (P.
monodon) skala laboratoris dan skala massal di tambak tentang pengaruh
penambahan sumber karbon. Hasil percobaan menunjukkan bahwa penambahan
karbohidrat (tepung tapioka) secara signifikan menurunkan TAN (Total ammonia
nitrogen) dan meningkatkan populasi bakteri heterotropik baik di kolom air
maupun di sedimen. Penambahan karbon organik sangat efektif menurunkan
amonia yang dihasilkan olek ekskrei udang atau sisa pakan yang tidak termakan.
Setiap 0,1 ppm Amonia dapat diturunkan dengan molase 20 g/m3 air
(Avnimelech, 1999)
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
172
j.
Nitrit.
Hasil pengukuran nitrit mencapai12 ppm. Namun demikian tidak menjadikan
toksik bagi udang maupun ikan yang ada pada saluran buang. Berdasarkan
kandungan nitritnya terjadi fenomena baru. Beberapa praktisi budidaya udang di
jawa timur melaporkan bahwa kandungan nitrit mencapai 30 ppm juga tidk
mematikan udang. Diduga toksisitas nitrit rendah apabila terjadi pada salinitas
yang tinggi. Namun demikin untuk mengatasi nitrit meningkat, dilakukan dengan
membuat oksigen terlarut pada media air tinggi.
IV. Kesimpulan dan Saran
4.1 Kesimpulan
Dari hasil kegiatan pemeliharaa udang windu sistem bioflok dapat disimpulkan:
a.Sintasan atau kelangsungan hidup udang 46 % dan 49 %. Yang diduga karena
proses aklimastisasi saat penebaran dan pemeliharaan musim kemarau yang
cenderung salinitas naik.
b.Produksi udang yamg dihasilkan adalah petak H5 adalah 1.935 kg (produktivitas
3,870 kg/ha/MT) dan petak H6 adalah 2,017 kg ( 4.017 kg/ha/MT). Dengan laju
pertumbuhan harian (ADG) sebesar 0,21 g/hari.
c.Dengan teknik bioflok kuaitas air terutama amonia bisa dikendalikan kurang dari 1
ppm walaupun kandungan total bahan orgnik tinggi. Parameter nitrit yang
mencapai 12 ppm, tidak menjadi toksik bagi udang.
4.2. Saran
Perlu dilakukan kajian lanjutan pemeliharaan udang windu dengan sistem bioflok
dengan padat penebaran yang lebih tinggi untk menghasilkan produktivitas yang
optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Avnimelech, Y., 1999. Nitrogen control and protein recycling: Activated suspension
ponds. The Advocate, April:23-24.
Avnimelech, Y., G. Ritvo., and M. Kocha., 2004. Evaluating the active redox and organic
fractions in pond bottom soils: EOM, easily oxidized material. Aquaculture xx,xxx-xxx.
Avnimelech, Y., 2009. Biofloc Technology – A Practical Guide Book. The World
Aquaculture Society, Boton Rouge, Louisiana, United States.
McIntosh, R.P. 2000. Changing Paradigms in Shrimp Farming: IV. Low protein feed and
feeding strategy. The Advocate : 45-50.
Supito dan Darmawan AD, 2014., Budidaya udang windu dengan sistem biofloks,
Laporan tahunan BBPBAP Jepara.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
173
SPERMATOPHORE RECOVERY OF WHITE SHRIMP (Litopenaeus vannamei) BY FEMALE
INOCULATION AND ADDITION MANGOSTEEN EXTRACT
Lutfi Anshory1, Ngurah Sedana Yasa2, IBM Suastika Jaya3 I Komang Andrat4
National Broodstock Center for Shrimp and Mollusk, Karangasem-Bali
Phone. 085100724144, Fax (021)29608000
PO.Box.107,Tromol Pos 80811; Website : www.bpiu2kkarangasem.com
Abstract
One of the main problem of white shrimp production was “male reproductive
tract degenerative syndrome” (MRTDS). It can be seen on male reproduction organs
which abnormality and low mating success caused by melanisation, is a progressive
blackening of the spermatophore caused infertile and rejected. This would impact a
production lost so it need to be concerned. The aim of this study was determined the
best sex ratio and nutrition diet fulfilled to reduce spermatophore melanisation on
male white shrimp (L. Vannamei) broodstock.
Male of white shrimp was captive in sex ratio of 100%; 90%; 70% and 50%. In
nutrition diet project, it fed with antioxidant addition contain mangosteen extract. The
data analized was spermatophore melanization every 10 days until 30 days. The result
of sex ratio showed terminal ampoul melanized was fluctuative. The most blackened
began from 90%; 50%; 70%; then 100%. The result of nutrition diet also showed
terminal ampoul melanized was fluctuative. Shrimp with antioxidant diet seemed has
higher terminal ampoule melanization. Antioxidant still ineffective contribution to keep
spermatophore well. Spermatophore melanization recovery happened on three
shrimps.
Based on this study, it can be conclude that as many as female shrimp added
to shrimp culture and addition of antioxidant nutrition diets, then it wasn’t always
reduce the probability to spermatophore melanization on white shrimp L vannamei.
The amount of melanization shrimps and melanization percentage was still
fluctuative.
Keywords : melanization, white shrimp (L vannamei), sex ratio, antioxidant diet,
spermatophore recover
I. INTRODUCTION
1.1Background
One of purpose in white shrimp broodstock was produced the best performance
of eggs and sperm. There are several problems of white shrimp broodstock in any
species which cultured in captivy. For example, male white shrimp problem known as
“male reproductive tract degenerative syndrome” (MRTDS) (Talbot et al.,1989). This can
be happened because of low sperm performance and maturation. The symptom can
be seen in male reproduction organ which abnormality and low mating success
caused by melanisation, is a progressive blackening of spermatophore. At this
condition, those male white shrimp with this symptom would be considered as infertile
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
174
so it would be rejected in broodstock selection. This would impact a production lost of
broodstock white shrimp that farmer had targeted so it need to be concerned.
Melanization was a process of enzyme prophenoloxidase activated due to the
respond of foreign agent stimulus such as bacteria, fungi, multicelular parasite, or as a
result of tissue damage (Cerenius and Söderhäll, 2004). In the other side, melanization
process in male reproduction organ in broodstock center was thought to result from
some factor such as temperature (Pascual et al,1998;Perez- Velazquez et al.,2001;),
bacteria infection (Alfaro et al, 1993), inapproppiate diet (Goimier et al.,2006), or simply
as a response to the lack of mating receptive females in captivy (Parnes et al.,2006).
This study will focus on reducing spermatophore damage in male broodstock
white shrimp (Litopenaeus vannamei) by sex ratio formulation where female
broodstock white shrimp will be given in male population and also by nutrition addition
where vitamin C and mangoosteen as antioxidant diet will be given in male population.
1.2 The aim
The aim of this study was determined the best sex ratio and nutrition diet
fulfilled to reduce spermatophore melanization on male white shrimp (L. Vannamei)
broodstock
1.3 Target
The target of this study was reduced the male white shrimp (L. Vannamei)
rejected in broodstock selection so the target of production would be reached.
II. LITERATURE REVIEW
2.1 Anatomy of Male White Shrimp Reproductive System
Anatomy of male white shrimp reproductive system explained by Talbot et al
(1989), with definitions of functions of the vas deferens and terminal ampoule (Figure
1). In the subgenus Litopenaeus, Alfaro (1994) made some ultrastructural observations
including the definitions of the place for spike elongation which occurs gradually in the
vas deferens. The proximal vas deverens transports spermatids from testes into the
ascending vas deferens medial. The primary and secondary layers of spermatophores
are synthesized in the ascending and descending vas deferens. The main body and
sperm sac of spermatophores are formed in one of the two channels of vas deferens.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
175
Terminal ampoule is histological complex with separated chambers for the assembling
of additional spermatophores subunits: dorsal plate and adhesive (Talbot et al, 1989).
Figure 1. Reproduction system of male Penaeus (Litopenaeus). A:Anatomy
location. B: Isolated reproduction system.
Sperm of penaeoid shrimp are unistellate, have a non-motile spike, and undergo
acrosome reaction during sperm–egg interaction. Sperm cells consist of a spike, a
hemispherical cap, a nucleus, a filamentous meshwork between the nucleus and
hemispherical cap, and a hemispherical rim of cytoplasmic particles. Sperm of P.
vannamei and P. occidentalis have a similar length whereas P. stylirostris is bigger.
2.2 Male White Shrimp Spermatophore Problem
Male Reproductive System Melanization (MRSM) is a condition that affects open
thelyca shrimps: P. vannamei, P. stylirostris and P. setiferus (Chamberlain et al, 1983).
MRSM is a condition that stars in the ampoules and progresses towards the vas
deferens, melanizing spermatophores and sperm ducts, causing irreversible sterility and
death. Pioneering research dealing with the cause of this condition revealed the
presence of Vibrio (Brown et al., 1979) and Pseudomonas (Chamberlain et al., 1983), but
infectivity was not accomplished.
A particular condition happened to P. setiferus, then named by Talbot et al (1989)
as Male Reproductive Tract Degenerative Syndrome (MRTDS). The MRTDS is a condition
that generates a dramatic decrease in sperm count and increase in percentage of
abnormal sperm from spermatophores. At day 35 from capture, spermatophores show
no living sperm, but nomelanization of spermducts is observed.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
176
2.3 ProPO system and recognition proteins
In shrimp, as in all crustaceans, a dark pigmented spot appears after an animal
is injured. This is due to the action of phenoloxidase (PO), which promotes
hydroxylation of phenols and oxidation of o-phenols to quinones, necessary for the
melanization process observed in response to foreign intruder in the hemocoele
and during wound healing. Quinones are subsequently transformed, by a nonenzymatic reaction, to melanin and often deposited around encapsulated objects, in
hemocyte nodules and at sites of fungal infections in the cuticle. Although a direct
antimicrobial activity has been described for melanin and its precursors, the production
of reactive oxygen species such as superoxide anions and hydroxyl radicals during the
generation of quinoids also has an important antimicrobial role. In addition, biological
reactions such as phagocytosis, encapsulation and nodulation are also activated.
PO is present in the hemolymph as an inactive pro-enzyme called proPO. The
transformation from proPO to PO involves several reactions known as the proPO
activating system. This system is specifically activated by bacterial cell walls. The proPO
activating system is considered a constituent of the immune system and is probably
responsible, at least in part, for the non-self recognition process of the defence
mechanism in crustaceans and insects.
III. MATERIALS AND METHODOLOGY
3.1 Experimental Time and Place
The experiment take place at Multiplication Center 6, National Broodstock Center
for Shrimp and Mollusk, which located at Karangasem, Bali from September to
November.
3.2 Experimental Materials
Instruments that needed for this experiment are instruments for supply clean
seawater (sedimentation, stored, pump, etc), aeration system, electricity system, and
fiber ponds with spesification Width x Length x Height: 80 cms x 80 cms x
100 cms. Tools that needed for this experiment are tools for fill clean seawater in ponds
(water hose, filterbag, etc), sampling tools (bucket, washbasin, fishnet, etc), observation
tools (thermometer, refractometer, DO-meter, pH meter, scales, ruler, etc), cleaning
tools (brush, sponge, etc). Materials that needed for this experiment are white shrimps
from Multiplication center of National Broodstock Center for Shrimp and Mollusk at the
age of 6 month as much as 128 mature male L. vannamei with normal spermatophore,
12 mature male L. vannamei with melanized spermatophore, and 22 mature
female L. vannamei. In addition, another materials are manufactured pellet diet,
vitamin C powder, mangosteen extract, materials for water quality and bacteria
experiment, water probiotic, seawater, and freshwater.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
177
3.3 Experimental Methodology
Clean seawater that had sediment, flowed to ponds until 500 liters. The ponds then
filled up with L. vannamei at the age 6 months. In sex ratio experiment, the
spermatophore of male L. vannamei seemed white and clean. There are 4 ponds
prepared with population 25 shrimps, respectively. Male of white shrimp was captive in
sex ratio of 100%; 90%; 70% and 50%. Ratio of male and female are A1 pond is 25:0;
A2 pond is 22:3; C pond is 18:7; and D pond is 13:12. In nutrition diet experiment,
it fed with antioxidant addition contain mangosteen extract. Male in B1 and B2 ponds
have white and clean spermatophore with population 25 shrimps, respectively. In B3
pond, melanized spermatophore have
12 shrimps. Shrimps in B1 and B3 pond fed with antioxidant addition contain
mangosteen extract while in B3 pond fed with just an manufactured pellet diet.
The amount of diet was 5% from shrimp biomass per pond for 5 times per day
at 05.00 a.m, 09.00 a.m, 02.00 p.m, 07.00 p.m, and 12.00 p.m. Control of fed efectivity
observed when there was pellet left when siphon the pond. Water quality
management for L. vannamei growth at this experiment by water exchange as much as
30 – 40% per 2 – 3 days, probiotic addition at dose 0,02 ppm, and siphon when water
exchange.
3.4 Terminal Ampoule Width Measurement
The data analized was spermatophore melanization that measured Width x Length
with ruler (accuracy 1 mm) once per 10 days. Spermatophore damage observed since
first time damage until the damage of whole part of the spermatophore (normal
shrimp) and since the whole damage until recovery (melanized shrimp) once per 10
days. Another data observed were about bacteria include total bacteria, yellow vibrio
bacteria, and green vibrio bacteria. The experiment were done in 30 days of culture.
After the culture was finished, the normal and melanized spermatophore were
isolated then physic condition were measured ( weight and length) and bacteria lived
(yellow vibrio and green vibrio).
IV. RESULT AND DISCUSSION
4.1 Sex Ratio Experiment
Result of this experiment showed in the first week, there is no melanized
spermatophore in all of four ponds. Spermatophore in four ponds were still in normal
condition. In the second week, melanization began to be seen in each four ponds. In A1
pond, melanization occured only caused some blackening spermatophore but it hasn’t
viewed like a blot. In A2 pond, melanization happened quiet a lot at this 4 shrimps.
In A3 pond, melanization happened only to 1 shrimp and there was a black mark in
spermatophore. In A4 pond, melanization happened to 2 shrimps
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
178
The result of extensive melanized terminal ampoul test, showed fluctuative
value. In A1 pond contain 100% male that should the most heavy melanization, but
just happen by light. Likewise the A4 pond looks like melanization occur higher than A3
pond. However, it appears that the A2 pond reflects the highest value significantly
compared to three other pond (Table 2 and Table 3).
Table 2. Result of melanization test at day of 20 with sex ratio experiment
No
1
2
3
4
Total
Extensive melanized terminal ampoul (cm2)
A1
A2
A3
0,01
0,01
0,01
0,00
0,02
0,00
0,00
0,01
0,00
0,00
0,01
0,00
0,01
0,05
0,01
A4
0,01
0,01
0,00
0,00
0,02
Note: A1 = Pond contain 25 male shrimps (100% male)
A2 = Pond contain 22 male shrimps and 3 female shrimps (90% male) A3 = Pond contain
18 male shrimps and 7 female shrimps (70% male) A4 = Pond contain 13 male shrimps
and 12 female shrimps (50% male)
Table 3. Result of melanization test at day of 30 with sex rasio experiment
No
1
2
3
4
5
Total
Extensive melanized terminal ampoul (cm2)
A1
A2
A3
0,00
0,02
0,01
0,00
0,02
0,00
0,00
0,01
0,00
0,00
0,01
0,00
0,00
0,01
0,00
0,00
0,07
0,01
A4
0,02
0,01
0,00
0,00
0,00
0,03
Note: A1 = Pond contain 25 male shrimps (100% male)
A2 = Pond contain 22 male shrimps and 3 female shrimps (90% male) A3 = Pond contain
18 male shrimps and 7 female shrimps (70% male) A4 = Pond contain 13 male shrimps
and 12 female shrimps (50% male)
The entire result of extensive terminal ampoul test were summarized into
melanized percentage in Table 4 and Figure 3. These results didn’t indicate the
circumtances in accordance with the study of Parnes et al (2006) that shown as lack
of mating receptive females increase the probability to melanized spermatophore.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
179
Table 5. Amount of melanized shrimps with antioxidant diet experiment
Time of Sampling
Day of 10
Day of 20
Day of 30
Amount of melanized shrimps (individual)
B1
2,00
3,00
4,00
B2
1,00
1,00
5,00
The result of extensive melanized terminal ampoul test, showed in B3 pond,
spermatophore recovery occured into 2 shrimps on day of 20. The spermatophore were
initially some of black, back to normal of white. On day of
30, spermatophore recovery increased to 3 shrimps. This expected because the
recovered shrimps were at the light melanization so it can be restored, while those
remain heavy melanization were still melanized. In B1 pond (antioxidant diet) extensive
melanized terminal ampoul seemed higher than B2 pond (regular diet). Antioxidant
hadn’t given good effect to keep spermatophore health (Table 6, Table 7, and Table
8).
Table 6. Result of melanization test on day of 10 with antioxidant diet experiment
No
1
Extensive melanized terminal ampoul (cm2)
B1
B2
0,01
0,01
B3
0,01
2
0,01
0,00
0,70
3
0,00
0,00
0,06
4
0,00
0,00
0,70
5
0,00
0,00
0,12
6
0,00
0,00
1,40
7
0,00
0,00
0,08
8
0,00
0,00
0,70
9
0,00
0,00
0,02
10
0,00
0,00
0,10
Total
0,02
0,01
3,89
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
180
Table 7. Result of melanization test on day of 20 with antioxidant diet experiment
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Total
Extensive melanized terminal ampoul (cm2)
B1
B2
0,01
0,01
0,01
0,00
0,08
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,10
0,01
B3
0,06
0,15
0,70
0,02
0,70
0,70
0,12
0,01
0,00
0,00
2,46
Table 8. Result of melanization test on day of 30 with antioxidant diet experiment
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Total
Extensive melanized terminal ampoul (cm2)
B1
B2
0,01
0,02
0,02
0,02
0,12
0,01
0,06
0,07
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,21
0,12
B3
0,70
0,15
0,20
0,70
0,70
1,05
0,00
0,00
0,00
3,50
It can be seen the data on the antioxidant diet to spermatophore recovery was still
fluctuative (Table 9, Figure 5, and Figure 6). Melanization percentage seemed higher in
B2 pond instead of B1 pond. In B3 pond, fluctuative melanization percentage due to
the mortality of light melanized shrimps so the
percentage of melanized spermatophore was higher as before. Whole of the test result
showed the value need to be reviewed for compliance with Leung-Trujillo and Lawrence
(1988) whom reported decreses spermatophore quality has been associated with
ascorbic acid deficiency. Although consumed antioxidant diet, melanization still
happened in spermatophore of shrimps with antioxidant diet. The antioxidant had
given wasn’t absorbed well to the shrimps. However, reduction of melanization in B3
pond showed there was any effect of antioxidant to reduce melanization.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
181
Table 9. Percentage of melanization with antioxidant diet experiment
Percentage of melanized shrimps (%)
B1
B2
Time of sampling
Day of 10
0,06
0,05
Day of 20
0,40
0,06
Day of 30
1,68
0,71
B3
25,26
15,97
27,78
Note: B1 = Pond contain 25 male normal shrimps fed with pellet+antioxidantt diet
B2 = Pond contain 25 male normal shrimps fed with pellet diet
B3 = Pond contain 12 male melanized shrimps fed with antioxidant diet
Result of isolated spermatophore test indicated the physical state of the weight and
length were not significantly different. Result of bacteria test from spermatophore
showed value below 1x101 colony, so that bacteria didn’t affect the occurance of
melanization. This result was contrast with research of Alfaro et al (1993) which
reported that bacterial infection is associated with the melanised spermatophore
condition. However, Diamond (2008) have reported that that the spermatophore
damage can not be associated with the presence of bacteria in the reproductive tract.
Table 10. The isolated sperrmatophore from male shrimp of sex ratio and
antioxidant diet experiment
Sex Ratio
Antioxidant Diet
No Parameter test
Normal
Melanized
Normal
Melanized
spermatophore spermatophore spermatophore spermatophore
1 Physic condition
a. Weight
0,047 g
0,047 g
0,085
0,089
b. Length
3,20 cms
3,20 cms
3,40 cms
3,20 cms
2 Bacteria test
a. Yellow vibrio <1x101 colony <1x101 colony <1x101 colony <1x101 colony
b. Green vibrio
<1x101 colony <1x101 colony <1x101 colony <1x101 colony
V. CONCLUTION AND SUGGESTION
5.1 Conclution
Based on result of this study, it can be conclude that as many as female
shrimp added to shrimp culture and addition of antioxidant nutrition diets, then it
wasn’t always reduce the probability to spermatophore melanization on white shrimp L
vannamei. The amount of melanization shrimps and melanization percentage was still
fluctuative.
5.2 Suggestion
Female inoculation and addition mangosteen extract test correlation with
melaniazation of male broodstock L. vannamei in large scale culture would be needed.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
182
STRATEGI USAHA TAMBAK RAKYAT DENGAN MENERAPKAN MANAJEMEN BUDIDAYA
BERBASIS TEKNOLOGI
oleh
Supito, dan Darmawan Adiwijaya
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Abstrak
Permasalahan tambak tradisional adalah serangan penyakit yang disebabkan oleh
penerapan teknologi dan bioskurity yang
tidak tepat.
Dampak lain dapat
menularkan penyakit virus pada kawasan tambak yang lebih luas. Manajemen
pengelolaan tambak rakyat dengan mengoptimalkan ketersediaan sarana dan
permodalan sehingga mampu meningkatkan produktivitas.
Kajian dilakukan pada tambak rakyat dangan intensifikasi teknologi sehingga mampu
menciptakan kualitas air media pemeliharaan dengan permodalan yang sesuai. Desain
dan kontruksi tambak dengan luasan 500 m2-2000m2 dapat dibangun pada lahan
tambak tradisional, sehinga sisa luasan dapat digunakan sebagai biofilter. Penggunaan
sarana aerasi untuk menjaga kualitas air yang optimal. Manajemen air dengan sistem
resirkulasi dengan pemanfaatan ikan herbivore.
Dari hasil kajian dihasilkan produksi 500 kg-800 kg per petak atau 8-10 ton/Ha/MT.
dengan umur pemeliharaan 3 bulan dengan ukuran panen size 60-70 kg/ekor. Biaya
produksi sekitar Rp 35.000-37.000,- /kg/mt diperlukan biaya operasional sebesar 18,5
juta hingga 29,6 juta. Dengan harga jual Rp. 60.000-65.000/kg maka keuntungan
adalah Rp. 28.000/kg. Permodalan yang dibutuhkan sebanding dengan permodalan
tambak sederhana seluas 1 Ha, tapi dengan resiko kegagalan yang lebih tinggi.
Kata kunci: usaha tambak skala rakyat
BUSINESS STRATEGY SHRIMP SMALL SKILL FARMER BY APPLYING MANAGEMENT
CONDUCTING BASE ON TECHNOLOGY.
Supito* and Darmawan*
Main Center for Brackhiswater Aquaculture Develompmet Jepara Central Java
Abstract
Problems of traditional shrimp farms is infection of disease that was caused by
the application of technology and biosecurity improper. Other impacts can transmit viral
diseases in more area. Management of traditional farming with optimizing the
availability of facilities and capital investment so as to increase the productivity.
The study was conducted on traditional farming with intensification technology
so as to improv water quality maintenance with the appropriate investment. Design
and construction of pond with an area of 500 m2-2000m2 can be built in a traditional
farm land, so that the another pond can be used as a biofilter area. The use of aeration
to maintain optimal water quality. Water management used of a recirculation system
with macroalgae and herbivore fish.
The results of such studies the showing that shrimp production of 500-800
kg/plot or 8-10 tonnes/ha/MT the age of 3 months of crop size 60-70 individual/kg.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
183
Production cost of about IDR 35.000 – 37.000, -/kg/mt required operating costs of 18.529.6 million per pond. Shrimp price of IDR 60.000-65.000/kg so the profit is IDR.
28.000/kg. The investment small skill farmer conducting base on technology, required in
proportion to the investment traditional pond area of 1 ha, but with a higher risk of
failure.
Keywords: Traditional farming
I. Pendahuluan
1.1. Latar belakang
Komoditas perikanan khususnya udang penaeid mempunyai prospek yang baik
untuk dikembangkan. Kebutuhan pasar ekspor komoditas udang penaeid masih belum
terpenuhi, bahkan cenderung meningkat volumenya. Harga pasar udang baik serta
margin keuntungan yang tinggi, menyebabkan prospek usaha budidaya udang masih
menjadikan kegiatan usaha yang menguntungkan. oleh karena diperlukan startegi
pengembangan tambak idle atau tambak rakyat dengan menajemen budidaya dan
inovasi teknologi budidaya yang sesuai dengan karakteristik lahan dan ketersediaan
sarana dan prasarana untuk meningkatkan produksi dan produktivitas. Hal ini
mengingat potensi luas lahan tambak yang sangat luas untk dapat dikembangkan.
Menurut data stastitik periknan budidaya (2014) luas potensi lahan tambak adalah
2.964.331 Ha dan existing tambak adalah 657.346 Ha yang terdiri sekitar 16.680 Ha
tambak intensif; 38.920 ha adalah tambak semi intensif dan sisanya sederhana sebesar
601.746 Ha masih dikelola secara tradisional. Strategi pengembangan tambak
tradisional dengan inovasi teknologi budidaya udang yang tepat, mempunyai potensi
yang besar untuk meningkatan produksi, pendapatan pembudidaya dan dapat
menciptakan peluang tenaga kerja.
Dari hasil studi lapangan, permasalahan utama pada kawasan tambak
tradisional, adalah penerapan teknologi budidaya yang kurang tepat yang karena tidak
seimbang ketersediaan sarana dan prasarana yang ada dengan luas lahan budidaya.
Kondisi ini menyebabkan penerapan teknik budidaya udang yang baik (CBIB) tidak
dapat diterapkan secara optimal. Teknik budidaya secara tradisional tidak mampu
menyediakan sarana budidaya yang standar, dan mengelola kualitas lingkungan yang
optimal untuk pemeliharaan udang. Pengelolaan air pada petak pembesaran udang
tidak mampu dilakukan secara maksimum untuk menciptakan lingkungan dengan
parameter kualitas air yang baik dan stabil sesuai persayaratan kualitas air untuk udang
selama pemeliharaan. Sebagai dampaknya adalah parameter kualitas air menjadi
rendah yang pada akhirnya udang terserang penyakit dan gagal panen.
Penerapan biosekurity untuk pengendalian penyakit tidak dapat dilakukan
secara maksimum sehingga menyebabkan potensi yang besar akan terserang penyakit
virus. Infeksi penyakit virus pada salah satu petak tambak tradisional yang tidak segera
dilakukan pengendalian, akan berpotensi besar dapat menyebar pada kawasan yang
lebih luas. Penyakit virus pada udang apabila tidak dilakukan pengendalian dengan baik
akan mudah menular. Pathogen virus akan menular melalui melalui media air yang
dibuang pada saluran-saluran. Krustacea dan udang yang hidup pada saluran tersebut
akan tertular penyakit virus dan bisa sebagai carier penyakit. Sebagai akibatnya seluruh
kawasan tambak tersebut akan terinfeksi panyakit virus. Oleh karena itu perlu
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
184
manajemen pengelolaan kawasan tambak sederhana/tradisional
agar dapat
berproduksi dengan baik dan tidak menjadikan tambak rakyat tersebut sebagai
penyebab permasalah timbulnya penyakit.
Oleh karena diperlukan inovasi teknologi budidaya udang pada kawasan
tambak tradisional dan strategi manajemen budidaya yang efisien dan efektif melalui
intensifikasi teknologi dengan penerapan Cara budidaya Ikan/Udang yang Baik dengan
manajeman klaster. Dengan inovasi teknologi tersebut akan mampu menciptakan
lingkungan budidaya yang baik sesuai kebutuhan hidup udang sehingga akan dapat
mengendalikan penularan penyakit pada kawasan tambak rakyat. Dengan inovasi
teknologi dapat mengendalikan penyebaran penyakit pada kawasan tambak sederhana.
Secara manajeman usaha inovasi teknologi tersebut mampu meningkatkan peluang
keberhasilan dan keuntungan yang optimum.
1.2. Maksud dan tujuan
Tujuan dari perekayasaan manejemen usaha budidaya skala rakyat, untuk menghasilkan
inovasi teknologi pada tambak tradisional melalui manajemen budidaya yang sesuai
dengan kemampuan pembudidaya tradisional. Dapat memberikan strategi manajemen
budidaya udang pada kawasan tambak rakyat untuk meningkatkan peluang
keberhasilan dan peningkatan produksi dan produktivitas.
II. Metoda
2.1. Alat dan bahan
2.1.1 Alat
Peralatan yang digunakan adalah merupakan inovasi peralatan yang ada pada tambak
tradisonal. Alat yang digunakan adalah petak tambak, pompa air, sarana aerasi berupa
kincir air (pudhal weel), kincir berangkai dan peralatan panen. Penggunaan dan inovasi
peralatan disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik lahan tambak, sehingga dapat
dengan mudah digunakan dengan efektif dan efisien.
2.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan adalah sarana budidaya meliputi, benih udang vaname, pakan
udang, probiotik, feed additive, pupuk dan bahan lainnya yang direkomendasikan.
2.1.3. Waktu dan tempat.
Kajian ini dilakukan di tambak rakyat pada tambak kawasan tradisional di Pekalongan,
Tambak di Pantai Selatan jogjakarta dan kawasan tambak di Pati Jawa Tengah. Kajian
telah dilakukan mulai tahun 2014 dan kawasan tambak di Tangerang.
2.2. Metoda
2.2.1. Pemilihan lokasi
Tambak kajian adalah tambak sederhana atau tambak tradisonal. Lokasi tambak
terletak pada daerah estuarin atau kawasan yang masih terkena pengaruh pasang surut
air laut sehingga letak tambak ada yang dekat dengan garis pantai dan ada pula yang
jauh dari pantai, namun masih mendapatkan sumber air yang cukup untuk proses
budidaya udang. Lokasi tambak juga terhindar dari banjir dan terdapat akses
tranportasi yang cukup untuk pengangkutan alat dan bahan operasional serta hasil
panen dengan mudah (Anonimous, 2014).
2.2.2. Tata letak desain dan konstruksi tambak
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
185
Desain dan tata letak tambak pembesaran udang vaname,
dengan
mengoptimalkan kondisi tambak tradisional yang telah ada. Hal ini dilakukan untuk
menekan seifisien mungkin biaya konstruksi tambak. Desain dan tata letak tambak
diatur sehingga petak pembesaran udang dapat dikelilingi oleh pematang yang kuat
dan kedap atau saluran atau petak tambak yang dikelola sebagai barrier atau pagar
biosekurity.
Desain petak tambak dalam satu unit budidaya udang terdiri dari petak
pebesaran dan petak tandon atau resevoar. Perbadingan petak pembesaran terutama
pada lokasi yang jauh dari pantai maksimum 50% dari petak resevoar. Dengan desain
tersebut pengelolaan air untuk pemeliharaan udang dapat dilakukan dengan resirkulasi.
Konstruksi tambak udang dapat dibangun dengan luasan 500 m2 hingga 2000 m2
dengan bentuk petakan persegi panjang yang disesuaikan dengan desaian tataletak dan
kontruksi tambak yang ada. Kontruksi pematang dibuat kedap dan mampu diisi air
untuk proses budidaya dengan ketinggian minimal 80 cm. Sistem pembuangan air
dapat dibuat pembuangan terpusat (cenral drain) agar kotoran dapat terbuang secara
grafitasi ke petak pembuang limbah atau resevoar. Penggunaan Ukuran petak tambak
yang kecil pada kajian ini secara teknis lebih mudah untuk mengelola air. Secara
manajeman usaha budidaya udang, investasi dan biaya operasional yang digunakan
juga kecil sehingga pembudiaya tradisional mempunyai kemampuan pembiayaan.
Sebelum rekonstruksi
Setelah rekonstruksi
P
T
U
U
A
P
Gambar 1. Rekonstruksi tambak kajian pada kawasan tambak rakyat
dengan luasan 1500-200 m2.
Konstruksi petak tambak dapat terbuat dari tanah, pasir, lining (lapisan) baik
menggunakan plastik maupun menggunakan pasangan batu bata. Prinsip dasar
kontruksi tambak harus kedap dengan tingkat rembesan maksimum 10% tiap minggu
agar efektif dalam pengelolaan air dan tidak dasar tambak tidak mudah teraduk karena
penggunaan kincir atau aerasi.
Pemasangan pagar biosekuriti atau fencing dilakukan pada pematang utama
yang mengelilingi kawasan tambak untuk mencegah masuknya hama maupun carier
penyakit masuk dalam unit pembesaran. Pagar biosekuriti dapat digunakan plastik,
waring kasa dengan cara pemasangan tegak dan ketinggian minimal 30 cm. Plastik
masuk ke dalam pematang sekitar 10 cm.
2.2.3. Persiapan tambak
Kegiatan persiapan tambak adalah perbaikan dasar tambakn pada seluruh unit
budidaya baik petak pembesaran, petak tandon/biofilter, dan saluran buang.
Pengeringan dasar tambak untuk memperbaiki atau mempercepat penguraian bahan
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
186
organik dasar, terutama untuk dasar tambak dari tanah. Pembersihan kotoran organik
dasar tambak berupa sisa pakan dan kotoran udang dari siklus sebelumnya. Dasar
tambak yang dilapisi (lining) plastik dilakukan perbaikan pada plastik yang sobek atau
lobang. Pemberatasan hama baik ikan liar atau udang liar dengan menggunakan
saponin dan chlorin.
2.2.4. Persiapan air
a. Sterlisasi air media
Pengisian air pada pada seluruh petak dalam unit budidaya (petak
tandon/biofilter dan pembesaran). Pengisian air dapat dilakukan dilakukan pada saat
air pasang, pemasukan air memanfaatkan gravitasi pasang surut atau dengan pompa
hingga ketinggian air pada petak penbesaran udang sekitar 80 cm. Untuk mencegah
hama ikan liar dan udang liar pada pengisian air dilakukan penyaringan dengan
menggunakan waring kasa mesh size 1 mm.
Perlakuan sterilisasi air dengan menggunakan disinfektan dosis 30 ppm (bahan
aktif chlorin 60 - 65%) atau dosis 15-20 ppm (bahan aktif chlorin 90%) yang disebar
secara merata pada seluruh kolom air pada petak pembesaran udang. Untuk
mempercepat pengadukan dapat dihidupkan kincir kurang lebih 2 jam. Air tambak
selanjutnya didiamklan selama sekitar 1 - 2 hari untuk agar bahan aktif clorin dapat
mensterilkan air tambak. Setelah 2 hari air didiamkan, dilakukan pengadukan
menggunakan kincir untuk mempercepat proses penetralan bahan aktif chlorin
b. Penumbuhan Plankton/Flok
Penumbuhan plankton dapat dilakukan dengan aplikasi pupuk organik berupa
pupuk fermentasi. Cara pembuatan pupuk fermentasi untuk merangsang pertumbuhan
plankton dengan menggunakan wadah/reactor fermentasi berupa drum (200 - 300 lt).
Bahan bahan berupa molasi sekitar 15 kg; katul yang halus 50 kg; pakan udang powder
(D-0) 10 kg atau pupuk ZA 100 g sebagai sumber nitrogen dan ragi roti atau mauripan 3
kg dimasukan dalam reaktor dan diaduk merata. Selanjutya bahan di tutup rapat
dengan plastik. Aplikasi pupuk fermentasi ini dapat digunakan setelah 24-36 jam.
Adapun teknik Penumbuhan plankton sebagai penyeimbang kualitas air (water
stability) dilakukan pada awal pemeliharaan. Kegiatan penumbuhan plankton dilakukan
paling cepat 5 hari setelah perlakukan sterilisasi air tambak. Aplikasi kapur carbonat
(CaCO3)/kaptan 15‐20 ppm dengan dosis untuk meningkatkan alkalinitas hingga
mencapai minimal 90 ppm. Penambahan pupuk Nitrogen dosis 5 ppm dan phospat
dengan dosis 1 ppm. Pupuk phospat sebelum ditebar dicairkan terlebih dahulu agar
mudah larut dalam air tambak.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
187
2.3. Pemilihan dan penebaran benih
Pemelihan benih udang yang baik merupakan salah satu kunci sukses
keberhasilan pemeliharaan. Benih berasal dari unit pembenihan yang bersertifikat dan
sisertai surat keterangan sehat. Benih vaname tidak terdeteksi virus WSSV, TSV, IMNV;
IHHNV. Dilengkapi laporan hasil uji dari laboratorium. Secara visual ukuran seragam
(>95%) panjang minimal
0,8 cm (PL 10). Informasi salinitas air tambak perlu
disampaikan pada unit pembenihan agar dapat dilakuan aklimasi benih terhadap
salinitas.
Sebelum di tebar, dilakukan adaptasi suhu dengan cara mengapungkan kantong dalam
air atau menambah air sedikit demi sedikit dalam kantong tempat benur. Sambil
adaptasi suhu dilakukan penghitungan jumlah benih dalam kantung untuk memastikan
jumlah benih yang akan di tebar. Sebelum ditebar benih dapat di tambah pakan
artemia. Penebaran benih udang pada usaha skala rakyat adalah 50 - 150 ekor/m2
dengan tergantung ketersediaan sarana dan prasarana.
2.4. Pengelolaan air
2.4.1. sistem pengelolaan air
Sistem pengelolaan air pada tambak skala rakyat ini dapat menggunakan sistem
semi resirkulasi maupun resirkulasi. Untuk tambak yang dekat dengan sumber air yang
cukup dan kedap air dapat menggunakan air dengan sistem buang atau sekali pakai.
Untuk lokasi tambak yang berada pada kawasan tambak yang sumber air terbatas
dengan sistem resirkulasi atau semi resirkulasi dengan mengolah dan memafaatkan
kembali air buangan petak pembesaran. Oleh karena itu desain tambak dengan
merekontruki tambak tradisional menjadi petak-petak udang dengan luasan hingga
2000 m2 dan sisanya sebagai petak resivoar atau petak tandon (Gambar 1).
Untuk pengendalian penularan penyakit baik jenis viral atau bakterial, setiap
penggunaan air baru dilakukan sterilsasai meggunakan klorin yang bahan aktif 65 %
dosis 30 ppm dan bahan aktif 90% dengan dosis 15-20 ppm. Setelah klorin netral
(setelah 36 jam) aiar tersebut digunakan untuk menambah atau mengganti ar petak
udang. Air buangan dari petak udang dapat digunakan kembali setelah dilakukan
perbaikan dengan penurunan bahan organik menggunakan biofilter berupa tanaman air
atau makroalga (lumut dan ganggang) dan ikan herbivora berupa ikan bandeng dan atau
nila dengan kepadatan 0,1-0,2 ekor/m2 (1000-2000 ekor/ha). Dengan sistem resirkulasi
ini biasanya penambahan air dilakukan 2 kali seminggu.
Untuk menjamin pengelolaan lingkungan yang baik dan stabil diperlukan inovasi
penggunaan aerasi untuk dapat menciptakan kualitas air yang stabil terutama
kandungan oksigen terlarut. Beberapa invovasi aerasi yang telah digunakan pada usaha
tambak skala rakyat adalah modifikasi peralatan aerasi (gambar 2).
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
188
Gambar 2. Modifikasi aerasi kincir ganda
Penggunaan kincir/aerasi dengan penempatan diatur sesuai dengan bentuk petak
tambak sehingga seluruh kolom air dapat mengalir/gerakan dengan kecepatan
maksimal
0,8 m/menit.. Pengaturan arah arus air dengan kincir juga dapat
mengompulkan/mengalokasi kan kotoran dalam petak tambak untuk dapat dibuang
keluar petak dan dapat menggerakan seluruh kolom air dalam petak sehingga terjadi
sirkulasi dan kualitas air merata. Jumlah kincir pada kajian ini adalah untuk luas 1000
m2 adalah 2 buah baik kicir tunggal maupun kincir berangkai. Untuk efisiensi
oporasional kincir disesuaikan dengan kondisi kualitas air terutama oksigen terlarut.
Pada kondisi darurat terutama malam hari oksigen bila kalarutan oksigen kurang 3 ppm
dapat diaplikasikan peroksida dengan dosis
1 - 2 ppm setiap jam hingga kelarutan
oksigen menjadi normal kembali atau lebih dari 3 ppm.
Gambar 3. Penempatan kincir pada tambak dengan luas 1000 m2.
2.4.2. Pengendalian pertumbuhan plankton
Teknik pengelolaan kestabilan plankton selama pemeliharaan adalah dengan
Pemupukan susulan secara rutin dengan pupuk nitrogen setiap 4 - 7 hari dengan dosis 2
ppm hingga air berwarna hijau kecoklatan. Pemupukan posfat dihentikan pada saat
pakan sudah mencapai sekitar 1.500 kg/ha (tambak lining) karena pakan buatan
tersebut dapat meningkatkan kandungan posfat (PO4) lebih dari 0,25 ppm (supito et.al
2014). Pemberian pupuk dihentikan setelah air berwarna hijau kecoklatan dengan
kecerahan 40. Pengukuran kecerahan harian sekitar jam 09.00 pagi. Nilai kecerahan
yang optimum adalah 30 - 40 cm.
Aplikasi bakteri probiotik untuk mempercepat penguraian kotoran udang dan
sisa pakan (bahan organik) agar tidak terbentuk senyawa toksit berupa amonia, nitrit
menjadi senyawa nitrat dan amonium. Amonium dan nitrat yang terbentuk dapat
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
189
berfungsi sebagai nitrien untuk kesetabilan pertumbuhan plankton flok bakteri.
Perlakukan untuk penumbuhan probiotik mulai dilakukan 7 hari, setelah sterilisasi,
selanjutnya secara rutin dilakukan tiap seminggu 1 - 2 kali dengan dosis 100 g/ha
tambak untuk probiotik dalam bentuk tepung (powder).
Cara aplikasi probiotik dengan menebar secara langsung bakteri ke tambak.
Sebelum ditebar dilakukan aktivasi bakteri agar bakteri dapat berkembang biak sesuai
dangan kondisi air media tambak udang. perlakukan aktivasi bakteri dilakukan pada
wadah aktivasi berupa ember kapasitas 20 liter. Air tambak yang akan di tebari
probiotik di masukan dalam ember dan di tambahkan sumber karbon (molase) sekitar
250 ml dan diaduk merata. Nilai pH diukur dan bila kurang dari 6 tambahkan kapur
sekitar 50 - 100 g agar pH naik menjadi 7, agar bakteri probiotik berkembang sesuai
dengan pH air tambak. sebagai sumber nitrogen dilakukabn penambahan pupuk
Urea/ZA dosis 100 g dan aduk merata. Selanjutnya dimasukan probiotik sekitar 100 g
atau 100 ml dan aduk secara merata. Biarkan spora bakteri berkembang selama 0,5 - 1
jam dan kemudian ditebar pada tambak. Untuk mempertahankan pertumbuhan bakteri
probiotik (bioflok) dilakukan dengan aplikasi bakteri secara rutin 2 kali seminggu.
Untuk mengendalikan dominasi palnkton atau flok bakteri dapat dilakukan melalui
pengukuran pH harian. Nilai pH iar yang ideal adalah antara 7,3 - 8,0, kisaran fluktuasi
pH 0,2 - 0,5 yang menujukkan bahwa kesimbangan plankton dan bakteri dalam air
seimbang. Apabila pH kurang dari 7,5 dilakukan penambahan kapur dengan dosis 2 - 5
ppm hingga nilai pH mencapai 7,5. Sebaliknya apabila pH air lebih dari 8 lakukan
penambahan molase (sumber karbon) dengan dosis 1 - 2 ppm hingga nilai pH turun
mencapai 8 (Supito dan Darmawan, 2007)
Pengukuran kualitas air secara harian dilakukan terhadap parameter suhu antara 280 320C; pH antara 7,3 - 8,0 dengan kisaran harian 0,2 - 0,5; oksigen terlarut minimal 3
ppm; kecerahan minimal 40 cm; warna air hijau kecoklatan. Pengukuran kualitas air
secara mingguan adalah Alkalinitas 90 - 200 ppm; Total bahan organik maksimum 250
ppm dan Kelimpahan dan jenis plankton dominasi
chloropiceae (Tendencia et.al,
2004) dan diatom minimal 80% dan Total bakteri maksimum 105 dengan total vibrio
maksimum 10%. Pengamatan kondisi lumpur dasar tambak dibagian central drain.
Lakukan penyiponan bila sudah terjadi penumpukan lumpur dasar tambak mulai umur
pemeliharaan 45 hari, penyiponan berikutnya dilakukan tiap 10 - 15 hari tergantung
ketebalan lumpur.
2.5. Pengelolaan pakan
Pakan buatan (pellet) mulai diberikan dari penebaran benih dengan dosis
disesuaikan dengan laju konsumsi pakan. Laju konsumsi pakan sangat ditentukan oleh
kondisi lingkungan media air. Pinsip pemberian pakan adalah bagaimana memberikan
jumlah pakan yang tepat sesuai dengan laju konsumsi udang. jumlah pakan di tambah
bila laju konsumsi pakan tinggi dan sebaliknya jumlah pakan dikurangi bila laju konsumsi
pakan menurun. Hal ini untuk untuk udang untuk menghindari sisa pakan pada
tambakyang dapat menyebabkan kualitas lingkungan menurun. Jumlah dan ukuran
pakan udang dapat digunakan standar SNI pakan udang vaname intensif dan lama
waktu kontrol anco untuk mengetahui laju konsumsi pakan seperti pada Tabel 1
(Anonim, 2014).
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
190
Untuk mengetahui pertumbuhan mutlak udang dilakukan samping pertumbuhan
dengan menggunakan jala tebar. Sampel udang diambil sekitar 50-100 ekor per petak
untuk diukur berat/bobot rata-rata. Bila sampel udang mengalami stres karena
pengukuran penimbangan, sebaiknya tidak perlu dikembalikan dalam petak
pembesaran. Sampling pertumbuhan dailakukan 7-10 hari sekali.
Tabel 1. Dosis pemberian pakan udang vaname
Waktu
Umur
Berat
Dosis
Frekuensi
kontrol di
udang
udang
Bentuk pakan
pakan
pakan
anco
(hari)
(g/ekor)
(%)
(kali/hari)
(jam)
1 - 15
0,05 - 1,0
Tepung (
75 - 25
2
Powder
16 - 30
1,1 - 2,5
Remah(crumble
25 - 15
2-3
)
31 - 45
2,6 - 5,0
Remah(crumble
15 - 10
4
2,0 - 3,0
)
45 - 60
5,1 - 8,0
Pelet
10 - 7
4
2,0 - 2,5
61 - 75
8,1 - 11,0
pelet
7-5
4
1,5 - 2,0
76 - 90
11,1 - 14,5
pelet
5-3
4
1,5 - 2,0
91 - 105 14,6 - 18,0
pelet
5-3
4-6
1,0 - 1,5
106 18,1 - 22,0
pelet
3-2
4-6
1,0 - 1,5
120
2.6. Panen
Panen udang pada usaha skala rakyat ini dilakukan apabila udang sudah mencapai
ukuran konsumsi dengan margin harga yang tinggi. Panen biasanya dilakukan kalau
udang sudah mencapai ukuran 70 ekor/kg dengan masa pemeliharaan 70-90 hari. Ada 2
sistem panen yaitu panen parsial dan sistem panen total. Panen parsial dilakukan untuk
mengurangi kepadatan atau biomas udang bila sudah mencapai 1 kg/m2 atau 10
ton/Ha. Jumlah udang yang di panen parsial adalah 25-30% dari estimasi total biomas
udang dalam tambak.
Sebelum dilakukan panen dilakukan kontrol kondisi udang. Panen dihindari bila banyak
udang yang i moulting/ganti kulit. Untuk mencegah udang ganti kulit saat panen lakukan
pengapuran untuk peningkatan pH air hingga 9 menjelang panen. Cara lain dengan tidak
melakukan pergantian air 2 hari sebelum panen. Panen sebaiknya dilakukan dengan
proses yang cepat untuk menhindari kerusakan udang.
III. Hasil dan Pembahasan
3.1 Hasil Produktivitas tambak
Hasil produksi tambak kajian di pekalongan yang dilakukan selama 3 siklus
pemeliharaan dengan luas total 1 H yang terdiri dari petak pemeliharan 2 petak ukuran
1800 m2 dan 2000 m2; petak resevoar dan biofilter seluas 6,2 Ha dapat dilihat pada
Tabel 2. Produksi tambak dengan luas 500 m2 di daerah pati dan luas 1000 m2 do
daerah pantai selatan jogjakarta dapat dilihat pada Tabel 3
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
191
Tabel 2. Hasil kajian di tambak pekalongan
Keterangan
Siklus I
Siklus II
Siklus III
Musim tanam
Feb- Juni
Juli-Nopember
Maret-Agustus
300.000
Jlh Tebar (ekor)
250.000
275.000
Umur panen
93
(hari)
92
97
Ukuran panen
15
(g)
14,5
16,6
67
Size (ekor/kg)
68
64
SR (%)
88
98
3.250
4.200
90
4.050
Jlh Panen (kg)
Biaya produksi
(Rp)
Pendapatan
(Rp)
Keuntungan
(Rp)
150.000.000
90.000.000
120.000.000
263.250.000
146.250.000
193.200.000
56.250.000
73.200.000
113.250.000
Tabel 3. Produksi udang pada tambak 500 m2 dan 1000m2
Uraian
tambak 1000 m2
tambak 500 m2
Jlh Tebar (ekor)
100.000
50.000
Umur panen (hari)
80
75
Ukuran panen (g)
14
12
Size (ekor/kg)
71,4
83
SR (%)
85
95
Jlh Panen (kg)
1.190
546
Biaya produksi (Rp)
42.962.400
20.355.320
Pendapatan (Rp)
77.350.000
32.760.000
Keuntungan (Rp)
34.387.600
12.404.680
3.2 Pembahasan
3.2.1. manajemen teknis budidaya
Berdasarkan hasil kajian usaha budidaya udang skala rakyat dengan mengatur
luas petakan yang lebih kecil menunjukkan peluang keberhasilan yang cukup baik. Hal
ini dibandingkan dengan cara budidaya tradisional yang masih sangat tergantung pada
kondisi alam. Pada kenyataanya di lapangan menujukkan bahwa permasalahan utama
pada tambak tradisional adalah adalah pertumbuhan lambat dan gagal panen udang
karena serangan penyakit virus. Infeksi penyakit virus tambak tradisional dan tidak
dilakukan tindakan sterilisasi diduga sebagai penyebab menyebarkan pathogen
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
192
penyakit virus tersebut pada kawasan. Kondisi ini dapat menginfeksi penyakit pada
kegiatan usaha budidaya udang pada kawasan tersebut.
Pengendalian lingkungan pada kisaran parameter yang sesuai dengan
kebutuhan hidup udang menjadi salah satu kunci keberhasilan budidaya udang. Oleh
karena itu ketersediaan permodalan usaha, sarana dan demensi luas dan konstruski
petak tambak akan menentukan kemudahan dalam pengelolaan lingkungan budidaya.
Ada beberapa kelebihan dengan model usaha budidaya udang skala rakyat yang bisa
membuat peluang keberhasilan lebih tinggi.
Desain petak tambak yang lebih kecil dengan luasan 500-2000 m2, akan memudahkan
dalam pengelolaan air. Dengan petak tambak yang ukuran tersebut memudahkan
untuk melakukan sirkulasi air dalam petak tambak dengan optimal. Seluruh kolom air
dalam petak tambak dapat bergerak sehingga dapat menyebabkan kualitas air terutama
oksigen terlarut merata pada seluruh bagian petak tambak. Air yang bergerak dengan
kecepatan minimal 8 m/menit dan dapat membuat kotoran dan sisa pakan melayang
dalam kolom air. Kandungan oksigen terlarut pada kolom air yang tinggi maka kotoran
tersebut akan mudah diuraikan oleh bakteri probiotik untuk membentuk nutrien untuk
plankton maupun flok-flok bakteri.
Pendekatan penggunaan teknologi budidaya udang diarahkan pada penerapan
biosekurity secara maksimum mulai dari penggunaan benih dan sarana lainnya untuk
mencegah penularan penyakit. Yang kedua diarahkan pada pengelolaan lingkungan
budidaya udang atau kualitas air agar stabil pada kisaran paremater sesuai dengan
kebutuhan biologis udang. Untuk mempertahankan lingkungan budidaya yang baik
maka saat ini telah berkembang pengelolaan air sistim heterotrof atau biofloks serta
sistem semi heteotrof yang memanfaatkan bioflok dan plankton untuk memperbaiki
kualitas air. Prinsip dasar pengelolaan sistem heterotrof maupun semi heterotrof adalah
untuk mencegah pembusukan kotoran udang, sisa pakan dan bahan kotoran lainnya
dalam tambak. Bakteri probiotik yang diaplikasikan akan merombak bahan organik
menjadi unsur hara untuk plankton dengan mencegah terbentuknya senyawa beracun
seperti Amonia, Nitrit dan Asam belerang. Agar proses kerja probiotik maksimum perlu
media air yang seimbang C/N ratio >20 dan kandungan oksigen terlarut yang tinggi >3
ppm (Supito et.al 2014).
Pengelolaan air dapat dilakukan dengan sistem resirkulasi dengan teknologi
semi flok sistem dengan mengendalikan keseimbangan plankton dan bakteri. Bakteri
sebagai pengurai sisa pakan dan kotoran udang menjadi unsur hara yang akan diserap
oleh makroalga. Pemanfaatan ikan herbivora untuk mengendalikan pertumbuhan
alga/makrolga. Hasil kajian menunjukkan ikan nila dapat mengendalikan bakteri vibrio
sp (Tendencia at.al., 2004). Dengan sistem pengelolaan air tersebut dapat meningkatkan
nilai tambak produksi ikan, dan mencegah penggunaan air baru sehingga akan dapat
menekan biaya perbaikan kualitas air (sterilisi air baru).
Budidaya udang tradisional yang hanya mengandalkan peningkatan oksigen
terlarut dari hasil fotosintesa plankton pada siang hari dan difusi dari udara tidak dapat
mencukupi kebutuhan oksigen untuk udang dengan standar minimal 3 ppm. Hasil
pengamatan pada tambak tradisional (Gambar 4) menunjukkan bahwa kecenderungan
oksigen terlarut akan menurun hingga kurang dari 1 ppm pada malam hari setelah
pemeliharaan sekitar 1 bulan. Kondisi ini sesuai yang dilaporkan beberapa pembudidaya
tradisional bahwa banyak terjadi kematian udang setelah pemeliharaan 1 bulan.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
193
.
Gambar 1. Grafik kelarutan oksigen pada tambak tradisional/sederhana
Oleh karena itu perlu dilakukan penerapan teknologi yang tepat pada tambaktambak tradisional terutama untuk mengatasi permasalah oksigen terlarut. Inovasi
teknologi peralatan aerasi (Gambar 2) dapat dilakukan dengan memanfaatan peralatan
yang sederhana. Permasalahan utama adalah pengendalian oksigen terlarut utuk
menjamin ketahanan udang baik terhadap infeksi atau serang penyakit serta lalu
pertumbuhan yang tinggi. Oksigen terlarut minimal adalah 3 ppm. Untuk dapat
mempertahankan kelarutan oksigen terlarut minimal 3 ppm harus disiapkan aerasi.
Oleh karena itu untuk memberikan peluang keberhasilan yang tinggi teknologi budidaya
udang dengan menejemen klaster adalah semi intensif. Dengan teknologi semi intensif
kebutuhan oksigen terlarut pada malam hari dapat dipertahankan minimal 4 ppm
dengan kincir baik kincir tunggal, kincir barangkai bahkan pompa yang digunakan untuk
menyemprotkan air tambak pada malam hari. Dengan inovasi tersebut, kegaitan
budidaya udang skala rakyat ini dapat diterapkan pada kawasan-kawasan tambak yang
tidak terjangkau aliran listrik.
3.2.2. Manajemen usaha budidaya udang skala rakyat
Manajeman usaha budidaya udang skala rakyat dengan luas petak pembesaran
yang lebih kecil memerlukan biaya oprasional yang terjangkau. Modal biaya operasional
dengan luas tambak kajian dengan 500m2 sekitar Rp 20 juta dan luas tambak 1000 m2
sekitar Rp.40 juta. Sehingga dengan permodalan tersebut masih dapat dilakukan oleh
pembudaya tradisional. Beberapa pembudidaya tradisonal melaporkan bahwa biaya
oprasional teknologi tradisional mencapai sekitar 25 jt per ha. Namun demikan peluang
keberhasilan budidaya skala rakyat ini lebih tinggi.
Usaha budidaya dapat dilakukan secara bertahap mulai dari 1 petak dan dapat
ditambah jumlah petaknnya sesuai dengan ketersediaan sarana dan prasarana. Namun
demkian perlu diperhatikan perbandingan luas petak untuk pembesaran dan petak
untuk tandon atau biofilter. Sebagai gambaran agar dapat dilakukan pengelolaan air
secara resirkulasi, petak pengolah limbah, dan resevoar minimal 50% dari luas petak
pembesaran udang. dengan perbandingan tersebut.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
194
IV. Kesimpulan dan saran
4.1. Kesimpulan
Dari hasil kajian budidaya udang skala rakyat pada kawasan tambak tradisonal
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.Dari hasil kajian, manajemen usaha budidaya udang skala rakyat dapat diterapkan
dengan merubah cara budidaya tradional dengan inovasi teknologi yang mampu
mengendalikan lingkungan budidaya serta bioskurity mempunyai peluang
keberhasilan yang lebih baik.
2.Biaya oprasional usaha budidaya udang skala rakyat yang disesuaikan dengan
ketersdiaan sarana dan prasarana untuk luas 1000 m2 sekitar RP 40 juta. Jumlah
ini setara dengan pengelolaan budidaya sederhana dengan resiko gagal yang
tinggi.
4.2. Saran
Adapun saran dari hasil kajian ini adalah sebagai berikut:
1.Masih perlu dilakukan kajian lanjutan dengan inoasi teknologi untuk
meningkatkan produktivitas dan keuntungan.
2.Perlu pengembangan pada kawasan tambak dengan komitmen yang kuat antar
3.pembudidaya dalam penerapan SOP budidaya sesuai dengan kondisi
ketersediaan sarana serata dalam penerapan biosekuriti.
V. Daftar Pustaka
Anonim,. 2007. Penerapan Best Management Practices (BMP) Pada Budidaya Udang
Windu (Penaeus Monodon Fabricius) Intensif. Juknis. Departemen Kelautan
dan Perikanan. Ditjen. Perikanan Budidaya. Balai Besar Pengembangan
Budidaya Air Payau. Jepara. 68 p.
Anonim, 2014. Statistik Perikanan Budadaya. Kementrian Kalautan dan Perikanan,
Direktorat Perikanan Budidaya
Anonim, 2014., Produksi udang vaname (Litopenaeus vannamei) intensif di tambak
metode lining, BSN
Avnimelech, Y ., and G. Ritvo., 2003. Shrimp and fish pond soil: processes and
management. Aquaculture 220,549-567.
Avnimelech, Y., G. Ritvo., and M. Kocha., 2004. Evaluating the active redox and organic
fractions in pond bottom soils: EOM, easily oxidized material. Aquaculture
xx,xxx-xxx
Boyd, CE., 2003. Bottom Soil and`Water Quality Management in Srimp Ponds.
Department of Fisheries and Allied Aquaculture. Auburn University. Journal
of Appliet Aquaculture (Food Product Press an imprint of the Haworth Press.
Inc) Vol 3 No.1/2. page 11-33
Tendencia, E.A., Dela-Pena M.R., Fermin, A.C., Lio-pio, G., Choresca, C.H, and Inui, Y.
2004. Antibacterial activity of tilapia Tilapia hornorum against Vibrio harveyi,
Aquculture 232, 145-152.
Supito dan Darmawan Adiwidjaya.“Teknik Budidaya Udang windu Intensif dengan
Green Water System Melalui Penggunaan Pupuk Nitrat dan Penambahan
Sumber Carbon”. 2007. 17 halaman.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
195
Supito. et.al. 2014. Petunjuk teknis budidaya udang vaname tambak demfarm. Balai
Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya, Kementrian Kelauatan dan Perikanan
Lampiran 1. Biaya Oprerasional tambak 500 m2
No
A
1
2
3
13
B
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
C.
D
Biaya Operasional tambak vaname luas 500 m2
Uraian
jlh sat Harga sat
Biaya investasi
biaya rekonstruksi tambak
1
2.000.000
pipa outlet dan inlet
2
250.000
Saringan dll (unit)
2
100.000
Peralatan lapangan (kincir)
2
4500000
JUMLAH
Biaya Operasional
biaya persiapan
1
500.000
kaporit atau TCCA (kg)
45
22.000
crustaecida atau Betasin (galon)
5
120.000
Benih vaname F1 (padat tebar 100 ekr/m) 50.000
38
Pakan (kg)
764
14.050
Feed additive (vitamin ) (kg)
1
200.000
bakteri probiotik (kg)
1
150.000
Molase/tetes tebu (kg)
40
4.000
Kapur (CaCO3) mesh 500
200
750
Pupuk Anorganik (ZA)
20
3.500
Pupuk TSP
10
4.000
energi /BBM
491
7.500
Jumlah
Jumlah penyusutan Biaya investasi (10%)
Total Biaya Produksi
Produksi
Panen (SR 80%, 20 g)
546
60.000
Keuntungan
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
Jumlah (Rp)
2.000.000
500.000
200.000
9.000.000
11.700.000
500.000
990.000
600.000
1.900.000
10.739.820
200.000
150.000
160.000
150.000
70.000
40.000
3.685.500
19.185.320
1.170.000
20.355.320
0
32.760.000
12.404.680
196
Lampiran 2. Biaya Operasional Tambak Luas 1000 m2.
Kebutuhan Biaya Operasional tambak vaname intensif 1000m2
No
Uraian
jlh sat
Harga sat
Jumlah (Rp)
A Biaya investasi
1 biaya rekonstruksi tambak
1
10.000.000
10.000.000
2 pipa outlet dan inlet
6
250.000
1.500.000
3 Plastik
1000
5.000
5.000.000
13 Peralatan lapangan (kincir)
2
4500000
9.000.000
JUMLAH
25.500.000
B Biaya Operasional
1 biaya persiapan
1
1.000.000
1.000.000
2
kaporit atau TCCA (kg)
90
22.000
1.980.000
3 crustaecida atau Betasin (galon)
10
120.000
1.200.000
Benih vaname F1 (padat tebar 100
4 ekr/m)
100.000
38
3.800.000
5 Pakan (kg)
1.666
13.900
23.157.400
6 Feed additive (vitamin ) (kg)
1
200.000
200.000
7 bakteri probiotik (kg)
1
150.000
150.000
8 Molase/tetes tebu (kg)
100
4.000
400.000
9 Kapur (CaCO3) mesh 500
500
750
375.000
10 Pupuk Anorganik (ZA)
50
3.500
175.000
11 Pupuk TSP
25
4.000
100.000
12 energi /BBM
1.050
7.500
7.875.000
Jumlah
40.412.400
Jumlah penyusutan Biaya investasi
(10%)
2.550.000
Total Biaya Produksi
42.962.400
C. Produksi
0
Panen
1.190
65.000
77.350.000
D Keuntungan
34.387.600
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
197
Teknik Pengendalian Penyakit Kotoran Putih (White Feces Syndrome)
Pada Budidaya Udang Vaname di tambak
Oleh
Supito; Maskar Jayadi, Arif Gunarso dan I Rizkiyanti
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
Abstrak
Serangan penyakit yang dikenal dengan kotoran putih pada budidaya udang
vaname saat ini telah menurunkan produktivitas udang vaname. Studi ekplorasi pada
beberapa tambak yang terinfeksi untuk mengetahui penyebab dan teknik pengendalian
dan pengobatan telah dilakukan dan dapat mencegah infeksi penyakit kotoran putih.
Metoda ekplorasi dilakukan dengan mengamati kualitas air meliputi kandungan
bahan organik (TOM); total bakteri dan vibrio; kestabilan plankton, serta identifikasi
jenis bakteri pada udang yang terserang penyakit. Tindakan pengendalian dilakukan
dengan perbaikan kualitas air dengan mengendalikan bahan organik, menjaga
kestabilan plankton dan aplikasi probiotik dengan pengaturan keseimbangan C:N:P
rasio. Teknik pemuasaan (fasting) dan aplikasi feed additive berupa antibiotik alami dari
ekstrak bawang putih (alicyn) dan vitamin untuk meningkatkan efektivitas bahan masuk
pada pencernaan udang.
Hasil kajian menunjukkan bahwa udang yang terserang penyakit berak putih pada
intestinumnya terdapat jenis bakteri Vibrio alginolyticus, Vibrio parahaemolyticus dan
Vibrio vulnificus. Media air tambak mengandung dominasi bakteri vibiro sebesar 12%
dari total bakteri dan kandungan bahan organik (TOM) lebih dari 250 ppm. Teknik
pemuasaan, penambahan alicyn dan vitamin, pengendalian dominasi vibrio kurang dari
10% dengan aplikasi probiotik serta pembuangan lumpur dasar tambak serta pergantian
air untuk menurunkan kandungan bahan organik mampu untuk mencegah serangan
penyakit tersebut. Produksi tambak masih dapat dipertahankan pada tingkat
kelangsungan hidup > 70% dengan laju rataan pertumbuhan harian (ADG) sebesar
0,11-0,25 g/hari.
Kata kunci : pencegahan, penyakit, kotoran putih
The Control of White Feces Syndrome In Vannamei Shrimp Aquaculture
Supito*, Maskar Jayadi, Arif Gunarso and Ita Rizkiyanti
Main Center for Brackhiswater Aquaculture Develompmet. Jepara Central java
Abstract
White feces disease on vannamei shrimp farming has currently lower
productivity. Exploration study on infected farms to determine the cause and control
techniques and treatments have been done to prevent infectious of white feces
diseases.
The method of exploration study has done by observing the water quality
include the content of organic matter (TOM); total bacteria and vibrio; the stability of
the plankton and identification species of bacteria in diseased shrimp. Control measures
carried out by the improvement of water quality by controlling the organic matter,
maintain the stability of the plankton and application of probiotics to balance C,N,P
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
198
ratio. Fasting techniques and applications of natural antibiotic feed additive from garlic
extract (alicyn) and vitamins to increase the effectiveness of the material to the
digestive shrimp.
The results showed that shrimp white feces disease there are several in the
intestinum are species of bacteria Vibrio alginolyticus, Vibrio parahaemolyticus and
Vibrio vulnificus. Pond water contains vibrio bacteria dominance more than 12% of the
total bacteria. Tottal and organic matter (TOM) more than 250 ppm. Fasting technique,
alicyn and vitamins application, controlling vibrio dominance less than 10% with the
application probiotics well as the disposal of sludge pond bottom and water changes to
reduce content of organic matter could be for prevent disease. Ponds production be
maintained on the survival rate of > 70% with average daily growth rate (ADG) 0.11 0.25 g.
Keywords: prevention, white feces disease
I. Pendahuluan
1.1. Latar belakang
Perkembangan budidaya udang vaname hinggga saat ini terus meningkat baik
jumlah luas kawasan tambak pembesaran, maupun penerapan teknologi budidaya
dalam rangka meningkatkan produktivitas. Penerapan teknologi yang kurang tepat
seperti penambahan padat penebaran yang tidak didukung dengan sarana penunjang
yang memadai untuk menciptakan lingkungan budidaya yang optimal untuk
pemeliharaan udang vaname, dapat menyebabkan resiko kegagalan yang tinggi. Salah
satu permasalahan yang saat ini terjadi adalah serangan penyakit kotoran putih atau
dikenal dengan berak putih atau white feces syndrome atau WFS (flegel et.al, 2014).
Secara visual pada udang yang terserang penyakit ini akan terlihat kotoran udang
berwarna putih memanjang dan mengapung pada permukaan air, eksoskeleton nampak
lembek dan ditemukan infeksi protozoa sehingga menyebabkan insang gelap
(Limsuwan, 2010) dan udang menjadi keropos.
Udang yang terserang penyakit berak putih menyebabkan nafsu makan
menurun serta laju pertumbuhan yang menurun sangat drastis. Kematian udang terjadi
secara bertahap sehingga menyebabkan kelangsungan hidup udang rendah. Kondisi
udang yang terserang berak putih semakin lama semakin keropos sehingga bobot
rataan udang menurun. Kondisi ini menyebabkan kualitas udang menurun sehingga
harga jual juga menurun. Secara ekonomis, serangan penyakit kotoran putih akhir-akhir
ini telah menimbulkan kerugian yang cukup besar karena konversi pakan yang tinggi
sehingga menyebabkan usaha budidaya udang vaname tidak menguntungkan.
Oleh karena itu perlu dilakukan studi eksplorasi untuk mengkaji fenomena
munculnya serangan penyakit kotoran putih serta perekayasaan teknologi untuk
pengendaliannya. Kegiatan studi eksplorasi dilakukan pada tambak-tambak yang
terserang penyakit kotoran putih dengan mengamati kualitas lingkungan media
pemeliharaan udang. Tindakan pengendalian dilakukan dengan teknik pencegahan dan
pengobatan dengan menggunakan bahan yang direkomendasikan untuk menekan
infeksi penyakit kotoran putih.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
199
1.2 Maksud dan tujuan
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui fenomena terjadinya serangan
penyakit kotoran berak putih pada tambak udang vaname, sehingga dapat dilakukan
tindakan pengendalian.
II.Metoda
2.1 Alat dan bahan
Alat yang digunakan untuk melakukan kegiatan studi eksplorasi adalah peralatan
kualitas air meliputi (pH meter, disolved oxygem (DO) meter); alat pengamatan densitas
dan dominasi plankton (planktonet dan mikroskop), alat dan bahan analisa total bakteri
dan total vibrio sp dengan metoda ALT (Angka Lempeng Total) serta identifikasi jenis
bakteri Vibrio yang ditemukan. Adapun bahan yang digunakan untuk tindakan
pencegahan dan pengobatan adalah ekstrak bawang putih, probiotik dan multivitamin.
2.2. Metodologi
Pengamatan dan pengambilan sampel dilakukan di beberapa kawasan tambak di Jepara,
Rembang,Tuban dan Sumbawa. Perlakuan pengendalian penyakit kotoran putih
dilakukan pada tambak BBPBAP Jepara (Blok F) dengan jumlah 6 petak. Waktu
pelaksanaan mulai Januari - September 2015.
2.2.1. Studi eksplorasi
Studi ekplorasi dilakukan pada tambak yang terindikasi penyakit kotoran putih
dimana secara visual ditunjukkan adanya kotoran yang mengambang pada permukaan
air. Pengambilan sampel udang yang sakit dan pengamatan kualitas lingkungan yang
meliputi kandungan total bakteri dan vibrio sp, jenis bakteri vibrio, warna air, dominasi
plankton dan kandungan bahan organik total (TOM).
2.2.2. Pengendalian penyakit kotoran putih.
Kegiatan pengendalian pada tambak yang terserang penyakit kotoran putih
dilakukan pada tambak BBPBAP Jepara blok F sebanyak 2 petak yang terserang
penyakit. Adapun perlakuan yang dilakukan, melalui perbaikan kualitas air dan menjaga
kestabilannya selama pemeliharaan adalah sebagai berikut:
a.Pengelolaan air.
Pengelolaan air pada tambak udang yang telah terserang penyakit kotoran putih
dilakukan untuk menjaga kestabilan plankton. Dominasi plankton selama
pemeliharaan diarahkan pada plankton jenis Chloropiceae sp sehingga warna air
cenderung kehijauan. Pemupukan susulan secara rutin dengan pupuk nitrogen dan
posfat (Urea dan TSP dengan perbandingan 5:1) setiap 4 - 7 hari dengan dosis 1-2
ppm hingga air berwarna hijau kecoklatan. Aplikasi pupuk posfat dihentikan bila
kandungan posfat (PO4) lebih dari 0,25 ppm. Pemberian pupuk dihentikan setelah air
berwarna hijau kecoklatan dengan kecerahan kurang dari 30 cm (Supito et.al., 2014)
Pengaturan jumlah dan arah kincir dilakukan dengan prinsip seluruh kolom air bisa
bergerak dan dapat melokalisir kotoran (sisa pakan, kotoran udang dan
plankton/bakteri yang mati) pada bagian yang mudah dibuang. Penyiponan kotoran
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
200
yang terkumpul di bagian tengah tambak di lakukan untuk mengurangi kotoran (total
bahan organik).
Pergantian air sebanyak 5-10% perhari dari petak tandon yang telah disiapkan
diperlukan untuk pengenceran air tambak yang sudah pekat bila kecerahan kurang
dari 20 cm serta warna air cenderung mengarah ke hijau gelap atau hijau kebiruan.
Setelah dilakukan penambahan atau pergantian air dilakukan pemupukan dengan
menggunakan pupuk nitrogen (Urea/ZA) untuk meningkatkan nilai N/P rasio dengan
dosis 1 ppm. Pemupukan susulan ini dilakukan tiap 3-4 hari hingga warna air
kehijauan atau hijau kecoklatan dangan dominasi plankton jenis Chloropiceae.
b. Aplikasi probiotik.
Aplikasi probiotik dilakukan pada media pemeliharaan dan pada udang melalui
aplikasi pakan. Aplikasi probiotik pada media pemeliharaan dengan tujuan untuk
mempercepat penguraian bahan organik sehingga tidak terbentuk senyawa beracun
seperti amonia dan nitrit. Aplikasi bakteri probiotik juga untuk mendesak dominasi
bakteri vibrio sp yang cenderung bersifat patogen. Aplikasi probiotik mulai dilakukan
7 hari, setelah sterilisasi, selanjutnya aplikasi secara rutin dilakukan 1 - 2 kali tiap
minggu.
Cara yang paling sederhana dan mudah untuk menghitung penambahan C-organik
dari protein pakan, dengan cara sederhana suplementasi karbohidrat dapat dihitung
sbb :
% protein pakan x 0.16 x 50% x ___4_____
50% x 40%
Keterangan :
4 (C/N rasio dalam jaringan mikrobial),
50% (Kandungan C) dalam CHO,
40% (efisiensi sintesa protein mikrobial).
Dengan demikian, semakin tinggi kandungan protein pakan maka keseimbangan C/N
rasio akan semakain rendah, sehingga akan semakin banyak dibutuhkan karbohidrat
sebagai sumber C-organik. Pakan udang dengan kandungan protein sebesar 35 %
C/N rasio pakan (kandungan protein 35%) dihitung dari : _____50%___ = 8.93 ~ 9
0.16 x 0.35
Nilai CN ratio 8-9 masih sangat rendah, oleh karena itu masih membutuhkan
penambahan sumber karbohidrat. Idiealnya untuk menumbuhkan bioflok optimal
diperlukan nilai C/N ratio 16-20. C/N rasio setelah penambahan karbohidrat dapat
dihitung sebagai berikut:
Banyak sumber karbon organik yang dapat digunakan, salah satu jenis sumber
karbon yang termasuk karbohidrat sederhana adalah tetes tebu (molase), reaksinya
cepat sehingga cocok untuk digunakan pada awal pembentukan, selanjutnya bisa
digantikan dengan karbohidrat kompleks (tepung tapioka, terigu, dll). Jumlah atau
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
201
dosis sumber karbon dalam aplikasi di lapangan disesuaikan dengan kondisi air
sebagai indikator adalah nilai pH air.
Teknik aplikasi probiotik pada media pemeliharaan dengan metoda aktivasi bakteri.
Adapaun caranya adalah dengan menebar langsung probiotik yang telah di aktivasi.
Cara aktivasi probiotik adalah dengan persiapan wadah aktivasi berupa ember
(volume 20 L) dan diisi air tambak yang akan di tebar probiotik. Tambahkan sumber
karbon (molase) sekitar 250 cc dan diaduk merata. Selanjutnya diukur nilai pH air
dalam wadah aktivasi. Bila kurang dari 6 tambahkan kapur sekitar 50 - 100 g agar
nilai pH naik menjadi 7. Sumber nitrogen untuk pertumbuhan probiotik dilakukan
dengan penambahkan pupuk Urea/ZA dosis 100 g dan aduk merata. Penambahan
probiotik sekitar 100 g atau 100 mL dan aduk secara merata. Biarkan spora bakteri
berkembang selama 0,5 - 1 jam kemudian ditebar pada tambak (Supito et.al, 2014).
Aplikasi probiotik dilakukan juga pada udang dengan tujuan untuk memperbaiki
pencernaan melalui pengkayaan pada pakan. Hal ini udang yang terserang penyakit
kotoran putih ditemukan adanya bakteri vibrio sp pada usus udang. Aplikasi
probiotik pada pakan bertujuan untuk mendesak dominasi bakteri vibrio pada usus.
Cara pengkayaan pada pakan adalah dengan mencapur 3-5 g probiotik; 10 cc
molase, 3 g ekstrak bawang putih dan 3 cc multivitmin per kg pakan. Bahan-bahan
tersebut di campur dan diencerkan dengan air secukupnya. Campuran bahan
tersebut selanjutnya di campurkan pada pakan pellet dan dikeringkan dengan cara
diangin anginkan. Pencampuran ini bisasanya dilakukan 1 jam sebelum pemberian.
c. Manajemen pemberian pakan
Udang memiliki cara makan dengan dikerikiti sedikit demi sedikit yang berbeda
dengan cara makan ikan yang langsung di telan setiap butiran pakan. Pengkayaan
pakan pelet dengan beberapa bahan tambahan (feed additive) diduga akan banyak
yang lepas dan larut dalam air bila butiran pakan tersebut terendam dalam air.
Kondisi ini terutama pada bahan tambahan yang mudah larut dalam air seperti
vitamin C. Oleh karena itu diperlukan teknik pemberian pakan pada udang yang
tepat dengan memperhatikan tingkah laku kebiasaan makan udang. Hal ini dilakukan
agar laju konsumsi udang tinggi sehingga pakan yang diberikan cepat habis dimakan,
salah satu tekniknya adalah dengan pemuasaan.
Pemuasaan bertujuan agar udang lapar, karena pada saat kondisi lapar nafsu makan
udang akan meningkat, sehingga laju konsumsi pakan juga meningkat. Pemuasaan
dilakukan pada malam hingga pagi hari. Pemberian pakan yang telah diperkaya
dengan feed additive dilakukan pada saat kondisi lingkungan baik yaitu pada siang
hari dengan demikian laju konsumsi udang akan meningkat.
Jumlah dosis pakan yang diperkaya dikurangi hingga 50% dari jumlahnya. Hal ini
dilakukan agar dosis feed additive lebih tinggi. Alasan lain adalah agar pakan tidak
terlalu lama terendam air atau pakan cepat habis dikonsumsi udang. Dengan cara
tersebut pakan yang telah diperkaya dengan feed additivie bisa lebih efektif masuk
pada pencernaan udang. Selanjutnya sisa dosis pakan diberikan 1-2 jam setelah
pemberian pakan yang diperkaya dengan feed additive habis yang diamati melalui
kontrol anco.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
202
III. Hasil dan Pembahasan
3.1 Hasil.
3.1.1. Produksi.
Hasil kegiatan pemeliharaan udang vaname adalah seperti Tabel 1.
Tabel 1. Produksi tambak uang vaname
KODE PETAK / TAMBAK
Uraian
F1
F2
F3
F4
F5
F6
produksi (kg)
4.388 4.225
4.499 2.467
4.313 3.850
Bobot rataan (g)
15,01 14,94
16,54
9,94
14,06 13,01
size (ekor/kg)
67
67
60
101
71
77
SR (%)
91%
88%
85%
78%
96%
92%
Pakan
6450
5950
6800
3750
6250
5500
FCR
1,47
1,41
1,44
1,52
1,45
1,51
Catatan: petak F4 dan F6 terserang WFS pada umur 62 hari dan 75 hari.
Pada kajian tersebut terjadi serangan penyakit kotoran putih pada petak F4
pada umur pemeliharaan hari ke 62 dan pada petak F6 terjadi pada hari ke 75.
Secara visual serangan peyakit berak putih di tandai dengan terlihatnya kotoran
putih mengambang di permukaan air, nafsu makan udang menurun dengan
drastis, warna air cenderung berubah ke warna hijau gelap.
Serangan penyakit kotoran putih dapat menghambat laju pertumbuhan
sehingga produktivitas juga menurun dibanding kondisi tambak yang normal.
Dari 6 petak tambak, petak F4 dan F6 yang terserang menghasilkan
produktivitas lebih rendah dari petak lain. Namun demikian dengan perlakukan
pengendalian melalui perbaikan lingkungan dan melalui pengkayaan pakan
masih dapat dipertahankan sehingga masih menghasilkan kelangsungan hidup
lebih dari 78 % pada petak F4 dan 92% pada petak F6.
3.1.2. Pertumbuhan udang.
Pertumbuhan mutlak udang vaname yang terserang kotoran putih cenderung
stagnan. Hal ini disebabkan juga oleh nafsu makan dan laju konsumsi yang menurun.
Secara visual usus udang terlihat terisi penuh dengan warna merah bahkan keputihan.
Data pertumbuhan udang mutlak dapat dilihat pada Tabel 2.
DOC
51
58
65
72
79
86
93
F1
5,65
7,5
9,71
10,77
12,42
14,05
15,01
Tabel 2. Pertumbuhan multak
KODE PETAK / TAMBAK
F2
F3
F4
6,36
6,11
5,33
7,51
8,24
7,05
9,78
10,02
7,97
11,04
11,41
8,89
13,39
13,15
9,2
14,26
14,44
9,5
14,94
16,54
9,94
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
F5
6,32
7,95
9,16
10,42
12,59
14
14,06
F6
4,97
6,82
8,12
10,08
13,1
13,61
13,7
203
Pengamatan laju komsumsi pakan di anco juga menurun dengan drastis.
Perlakukan pengurangan pakan bahkan pemuasaan perlu dilakukan agar tidak banyak
sisa pakan yang dapat menyebabkan lingkungan tambak menurun. Pengurangan pakan
pada saat laju komsumsi pakan turun dapat dikurangi hingga 50%. Pengamatan laju
konsumsi pakan melalui kontrol anco harus dilakukan dengan cermat. Pada saat laju
konsumsi pakan meningkat, maka jumlah pakan perlu tambahkan hingga kondisi laju
konsumsi pakan normal. Dengan perlakukan ini dari kajian yang dilakukan masih dapat
menekan FCR pakan sekitar 1,5.
Laju pertumbuhan harian (ADG) udang yang normal rata-rata 0,18-0,22 g/hari.
Sedangkan laju pertumbuhan harian udang yang terserang penyakit kotoran putih ratarata 0,11 g/hari. Kondisi yang parah di tandai dengan jumlah kotoran putih yang
mengambang cukup banyak dan pertumbuhan yang stagnan. Beberapa kasus
dilaporkan serangan penyakit kotoran putih ini menyebabkan udang keropos dan
bahkan pertumbuhan mutlak menurun. Sebagai dampak udang yang kropos, maka
bobot tubuh menurun, sehingga harga pasar akan jatuh.
Gambar 2. Grafik rata-rata pertumbuhan harian (ADG) dengan 0,1 g/hari.
3.1. Kajian permasalahan serangan penyakit berak putih.
Berdasarkan studi eksplorasi dengan pengamatan secara langsung di lapangan,
menunjukkan bahwa gejala klisnis serangan penyakit berak putih pada kondisi
lingkungan adalah sebagai berikut:
3.1.1 Kandungan bakteri
Hasil pemeriksaan secara laboratorium menunjukkan bahwa, sampel air
tambak yang terserang penyakit berak putih menunjukan adanya infeksi bakteri vibrio.
Analisa total bakteri dan total vibrio di media pemeliharaan menunjukkan peningkatan
dominasi bakteri vibrio sp antara 12 - 22,5% dari nilai total bakteri. Beberapa studi
menunjukkan bahwa kandungan bakteri vibrio sp pada media pemeliharaan udang yang
sehat kurang dari 10% dari kandungan total bakteri.
Peningkatan dominasi bakteri vibrio sp pada media pemeliharaan diduga
karena peningkatan kandungan bahan organik akibat kelebihan pakan, kotoran udang,
plankton flok bakteri yang tidak dapat terdegradasi dengan sempurna. Pengelolaan
lingkungan tambak udang seharusnya mampu meminimalisir sisa pakan dan kotoran
udang yang ada dengan pengaturan manajemen pakan dan air dengan baik.
Dari hasil pengamatan secara langsung pada beberapa tambak yang terserang
penyakit berak putih, serangan penyakit banyak terjadi pada umur pemeliharaan
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
204
setelah 45 hari. Penerapan teknologi budidaya saat ini melalui pergantian air yang
sedikit (penambahan hanya untuk mempertahankan ketinggian air) diduga
menyebabkan peningkatan bahan organik dari sisa pakan dan kotoran dari udang dalam
tambak. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa peningkatan bahan organik
menyebabkan peningkatan populasi kepadatan bakteri vibrio.
Tabel 3. Analisa total vibrio pada udang vaname
NO
Parameter
Total
Total BAL
Keterangan
Pengamatan
Vibrio
(CFU/ml)
(CFU/ml)
1
Tambak F4:
- Hepatopankreas
TNTC
Udang sakit
- Usus
3,9 x 104
7,9 x 103
- Haemolimp
3,0 x 102
2
Tambak F6:
- Hepatopankreas
TNTC
Udang sakit
- Usus
1,4 x 105
3,2 x 103
- Haemolimp
7,1 x 102
3
Tambak Supra:
- Hepatopankreas
4,3 x 104
Udang
sehat/normal
- Usus
TNTC
3,9 x103
- Haemolimp
0
Sumber: Lab MKHA BBPBAP Jepara
Berdasarkan hasil identifikasi bakteri yang ditemukan pada hepatopankreas,
usus dan hemolimp udang yang terserang penyakit berak putih adalah jenis Vibrio
alginolitycus, V. parahaemolyticus dan V. vulnificus yang merupakan bagian dari
bakteri yang ditemukan dalam kasus penyakit berak putih. Sebagai pembanding, analisa
untuk udang yang sehat tidak menunjukan adanya kandungan bakteri vibrio pada
hemolimp udang (Tabel 3). Masuknya bakteri dalam hemolimp, bisa mengindikasikan
kondisi stress pada udang (Lightner, 1988) bahkan dapat menyebabkan septicemia
(Lightner, 1977). Infeksi bakteri tersebut hingga masuk dalam hemolimp memang belum
bisa dijelaskan dengan detail. Namun demikian diduga infeksi bakteri patogen vibrio
terjadi pada saat dominasi yang tinggi di lingkungan dan masuk melalui makanan yang
dikonsumsi pada media. Dalam kasus penyakit berak putih, udang dengan infeksi berat
(> 100 gregarin dalam 1 cm midgut usus) diduga dapat menyebabkan kerusakan pada
mukosa usus (lapisan usus yang mampu menyerap nutrisi) sehingga menyebabkan
bakteri patogen vibrio masuk ke dalam hemolimp dan bersifat mematikan.
3.1.2. Kualitas air
Hasil studi pengamatan di beberapa tambak yang terserang penyakit berak
putih sering terjadi pada air tambak yang warna airnya cenderung hijau pekat atau hijau
gelap atau kadang-kadang terjadi pada warna air tambak yang berwarna coklat.
Serangan penyakit berak putih juga sering terjadi pada kondisi air tambak yang berubah
secara drastis atau mendadak dari warna hijau ke coklat atau sebaliknya. Berdasarkan
fenomena warna air tambak yang hijau menunjukkan bahwa air tambak didominasi oleh
plankton, terutama plankton dari jenis Chloropiceae. Perubahan warna air dari hijau
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
205
cerah menjadi hijau gelap bahkan ke arah biru menunjukkan pergeseran dominasi oleh
blue green algae (alga hijau-biru).
Perubahan warna air pada tambak udang diduga menunjukkan perubahan
dominasi partikel terlarut dalam air. Perubahan warna air secara mendadak/drastis
menunjukkan indikasi terjadinya kematian plankton dalam jumlah besar yang diikuti
suksesi atau pertumbuhan plankton lain yang bisa mendominasi. Kematian plankton ini
diduga sebagai penyebab utama perubahan kualitas air. Perombakan atau degradasi
plankton yang mati pada kondisi kelarutan oksigen rendah akan menyebabkan kualitas
air menurun.
Densitas plankton yang tinggi pada perairan menyebabkan laju proses
fotosintesa yang meningkat pada siang hari. Sebagai dampak proses fotosintesa yang
besar menyebabkan nilai pH air naik terutama pada siang hingga sore dengan cuaca
yang cerah hingga mencapai nilai 9. Pada nilai pH yang tinggi mencapai lebih dari 9
menyebabkan ion ammonium berubah menjadi ammonia yang dapat menyebabkan
keracunan pada udang.
3.2.Pencegahan Penyakit Berak Putih
Berdasarkan fenomena terjadinya serangan penyakit berak putih, dari hasil
studi ekplorasi dari beberapa lokasi tambak, maka tindakan pencegahan dapat
dilakukan dengan teknik sebagai berikut:
3.2.1.Pengelolaan Kemelimpahan Plankton.
Kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan udang akan baik bila dipelihara pada
lingkungan yang stabil sesuai dengan kebutuhan biologis udang. Kestabilan parameter
kualitas air tambak dengan fluktuasi yang rendah, menyebabkan udang dapat hidup
nyaman dan sehat. Oleh karena itu perlu manajemen pengelolaan lingkungan terutama
media air tambak untuk mengendalikan kualitas yang sesuai diperlukan udang dan
mencegah terjadinya fluktuasi yang luas atau besar.
Penumbuhan plankton pada air tambak diarahkan untuk dominasi Chloropiceae dan
diatom. Pengamatan secara visual dominasi Chloropiceae pada air tambak terlihat
warna hijau kecoklatan (Gambar 1). Untuk dapat mempertahankan plankton dominasi
Chloropiceae dapat dilakukan dengan mengatur perbandingan N:P rasio. Phytoplankton
membutuhkan rasio N : P = 106 : 16 : 1 (Redfield, 1934). Spesifik untuk pertumbuhan
diatom mempunyai rasio
C:Si:N:P = 106:15:16:1. Secara spesifik dominasi
pertumbuhan plankton ditentukan oleh keseimbangan N:P rasio sebagai berikut:
• N/P = 8 kondusif bagi bluegreen algae (cyanobacteria)
• N/P = 10 kondusif bagi plankton coklat (diatomae)
• N/P = 12 kondusif bagi dinoflagellata
• N/P = 20-30 kondusif bagi plankton hijau (chlorella)
Dominasi plankton dari jenis bluegreen algae, dapat dilakukan dengan mengatur
kesimbangan N:P rasio lebih besar dari 10. Nitrogen diukur dengan menghitung Total
Amonia Nitrogen (TAN). Sedangkan posfat dihitung dalam bentuk orto fosfat (PO4).
Fosfat merupakan faktor pembatas dari pertumbuhan plankton. Kandungan posfat
dalam perairan agar plankton tumbuh adalah minimal 0,25 ppm. Dari konsep tersebut
untuk menumbuhkan plankton selain bluegreen algae, maka perlu aplikasi pupuk
ammonium dan posfat dengan N:P rasio lebih dari 10. Pupuk TSP dengan kandungan
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
206
36% diperlukan minimal 7 kg/ha (0,7 ppm), sementara pupuk ammonium dengan
kandungan 46 % diperlukan minimal 54 kg/ha (5,4 ppm).
Gambar 1. Warna air hijau kecoklatan (semi-flok)
Menurut (Avnimelech dan Ritvo, 2003), ikan dan udang dapat mengakumulasi
nutrien dari pakan yang diberikan berkisar 5-40%. Dari data yang ada diketahui bahwa
rerata nutrien yang dapat tertahan dalam tubuh ikan dan udang adalah 13 % carbon, 29
% nitrogen, dan 16 % fosfor. Rendahnya jumlah karbon sebagai konsekuensi dari
banyaknya fraksi karbon pakan yang lepas akibat respirasi. Data ini menunjukkan
rendahnya retensi nutrien dalam tubuh kultivan, sehingga sisanya seperti nitrogen
(75%) dan fosfor (80%) terakumulasi di dasar tambak. Dengan semakin bertambahnya
umur pemeliharaan, semakin meningkat bobot rataan udang, meningkat pula jumlah
penggunaan pakan udang. Sebagai dampaknya adalah juga semakin meningkat pula
nitrogen dan fosfat dalam air tambak, sehingga dapat merubah keseimbangan N:P rasio.
Perubahan kesimbangan N:P rasio dalam air tambak tersebut dapat merubah
kesimbangan dominasi plankton.
Akumulasi nitrogen dan fosfat dari pemberian pakan udang menyebabkan
peningkatan kesuburan sehingga pertumbuhan plankton pesat serta kemelimpahan
plankton yang tinggi. Dari hasil kajian tambak yang dilapisi (lining) dengan plastik HDPE,
sehingga faktor kesuburan tanah dapat diabaikan, peningkatan fosfat (PO4) meningkat
hingga mencapai 0,25 ppm setelah pemberian pakan mencapai sekitar 1.500 kg/Ha
(kandungan protein pakan 36%). Secara visual dengan melihat warna dan tingkat
kecerahan air, pertumbuhan plankton akan mulai subur setelah pemeliharaan 25 hari.
Kondisi ini menunjukkan bahwa telah terjadi penyuburan air tambak dari dampak
pemberian pakan (Tabel 4).
Penggunaan pupuk perlu dihitung agar tidak terjadi keseimbangan N:P rasio
yang rendah yang dapat menyebabkan pergeseran dominasi plankton ke arah bluegreen
algae. Penambahan pupuk ammonium perlu ditambahkan untuk meningkatkan
kesimbangan N:P rasio dengan dosis 2-5 ppm sehingga warna air menjadi hijau
kecoklatan. Namun demikian perlu mempertahankan kemelimpahan plankton agar
tidak terjadi blooming plankton pada kisaran kecerahan sekitar 30-40 cm.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
207
Tabel 4. Kemelimpahan plankton pada tambak lining (HDPE)
Dampak lain dari pertumbuhan plankton, dapat menyebabkan fluktuasi nilai pH
harian yang luas dan cenderung pada nilai pH yang tinggi. Dominasi plankton dalam air
tambak, nilai pH air bisa menjadi mencapai nilai 9 pada sore hari dengan fluktuasi
antara pagi dan sore mencapai nilai 1. Pada nilai pH yang tinggi pada sore hari dan bila
tidak didukung aerasi yang baik bisa menyebabkan pembentukan ammonia yang
bersifat racun pada udang serta udang sulit ganti kulit. Kondisi ini bisa menyebabkan
ketahanan tubuh udang lemah sehingga mudah terserang penyakit. Masalah lain adalah
pada kondisi kemelimpahan plankton yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan
respirasi pada malam hari sehingga dapat menyebabkan defisit oksigen.
3.2.2. Pengelolaan Probiotik
Budidaya udang vaname saat ini yang telah berkembang adalah budidaya sistem
heterotrof dengan aplikasi konsorsium bakteri probiotik dengan tujuan untuk
merombak bahan organik sisa pakan dan kotoran udang menjadi flok bakteri. Dengan
cara ini dapat mencegah pembentukan senyawa ammonia dan nitrit. Pertumbuhan
bakteri dalam media air akan ditentukan keseimbangan C/N rasio sebagai berikut:
1.Nilai C/N = 5 – 10 akan kondusif bagi plankton dan bakteri hemoautotroph, tetapi
kurang kondusif bagi bakteri heterotroph. Air tambak dengan kondisi
keseimbangan C/N rasio yang rendah secara visual terlihat warna kehijauan.
Sebagai dampak pertumbuhan plankton akan subur adalah nilai pH air cenderung
tinggi dengan fluktuasi yang luas. Fluktuasi pH harian pagi dan sore yang ideal
adalah 0,2-0,5.
2.Nilai C/N = 10–20 akan kodusif bagi plankton, bakteri chemoautotroph dan bakteri
heterotroph. Konsorsium bakteri pengurai dan plankton dapat tumbuh secara
seimbang. Air tambak berwarna hijau kecoklatan karena terjadi keseimbangan
plankton dan flok bakteri yang terbentuk. Pada keseimbangan ini nilai pH air
dapat diatur pada kisaran 7,5 - 8 dengan fluktuasi harian 0,2-0,5.
3.Nilai C/N = > 20 akan kondusif bagi bakteri heterotroph, tetapi kurang kondusif bagi
plankton dan bakteri chemoautotroph. Pertumbuhan bakteri terutama bakteri
fermentasi yang akan mendegradasi karbon akan mendominasi. Secara visual air
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
208
tambak berwarna kecoklatan. Dampak dari dominasi bakteri probiotik akan
menyebabkan nilai pH air menjadi cenderung rendah (kurang dari 7,5)
Kestabilan kualitas air tambak sangat ditentukan oleh keseimbangan unsur
biotik dan abiotik dalam media air. Unsur biotik sangat ditentukan oleh keseimbangan
kelimpahan plankton dan mikroorganime (bakteri). Untuk menjaga kestabilan kualitas
air tambak, pengelolaan air diarahkan pada teknologi semi heterotrof atau semi flok.
Bakteri probiotik berfungsi untuk mempercepat penguraian bahan organik dari sisa
pakan, kotoran udang dan plankton yang mati. Pada kondisi aerob dengan kelarutan
oksigen yang tinggi, hasil penguraian dari bahan organik tersebut akan menghasilkan
senyawa hara (senyawa an-organik) yang dapat diserap oleh plankton untuk
pertumbuhan. Beberapa jenis plankton dapat menyerap unsur hara dalam bentuk
ammonia, dan nitrit sehingga dapat mencegah peningkatan senyawa tersebut yang
dapat meracuni udang. Pada konsep ini peranan aerasi juga sangat penting sebagai
penyedia oksigen terlarut, membuat partikel tetap terlarut dalam kolom air serta untuk
mengatur sirkulasi air merata dalam petak tambak.
Gambar 2. Konsep pengelolaan air tambak udang sistem semi flok
Banyak sumber karbon organik yang dapat digunakan. Salah satu jenis sumber
karbon yang termasuk karbohidrat sederhana adalah tetes tebu (molase), reaksinya
cepat sehingga cocok untuk digunakan di awal pembentukan, selanjutnya bisa
digantikan dengan karbohidrat kompleks (tepung tapioka, terigu, dll). Jumlah atau dosis
sumber karbon dalam aplikasi di lapangan disesuaikan dengan kondisi air sebagai
indikator adalah nilia pH air.
Nilai pH air tambak udang dipertahankan pada kisaran 7,5-8. Aplikasi jumlah
karbon yang terlalu banyak akan menyebabkan proses fermentasi yang meningkat
sehingga dapat menyebabkan nilai pH menurun hingga kurang dari 7,5. Cara yang
dilakukan adalah dengan menaikan pH air dengan aplikasi kaptan dengan dosis 5 ppm
setiap hari hingga nilai pH mencapai 7,5.
Sebaliknya bila jumlah aplikasi sumber karbon kurang, menyebabkan dominasi
plankton dan nilai pH naik hingga lebih dari 8. Cara untuk menurunkan nilai pH dengan
aplikasi sumber karbon (molase) dosis 1-5 % dari total pakan setiap hari hingga nilai pH
mencapai 8.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
209
3.3. Aplikasi Antibiotik Alami
Tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan penggunaan antibiotik alami
berupa ekstrak bawang putih. Bawang putih mengandung antibiotik alisin yang mampu
mengendalikan bakteri gram positif maupun gram negatif. Secara komersial ekstrak
bawang putih sudah beredar dalam bentuk tepung.
Aplikasi ekstrak bawang putih sebaiknya dilakukan mulai dari awal
pemeliharaan. Dosis yang dilakukan adalah 3-5 g/kg pakan udang atau 10-20 gr/kg
pakan untuk ekstrak segar pemberian selama 5 minggu berturut-turut mampu
menurunkan jumlah gregarin dari mid gut usus udang windu (Chutchawanchaipan et al.
2004). Pemberian dilakukan setiap hari dengan cara mencampurkan ekstrak bawang
putih pada pakan kemudian dikering anginkan selama ½ jam. Pakan selanjutnya
diberikan pada udang terutama pada waktu laju komsumsi pakan tinggi yang biasanya
terjadi pada siang dan sore hari.
Berdasarkan cara makan udang, yaitu dengan mengkerikiti pakan, diduga tidak
semua antibiotik yang ditempelkan (coating) akan dapat masuk dalam tubuh udang.
Namun demikian dengan cara tersebut dapat meningkatkan ketahanan tubuh udang.
Dari beberapa kajian dengan cara ini dapat mencegah serangan berak putih.
3.4. Pengkayaan Pakan dengan Feed Additive
Cara lain untuk pencegahan penyakit pada udang vaname adalah dengan
meningkatkan ketahanan tubuh udang dengan penambahan feed additive yang
mengandung multivitamin. Beberapa feed additive produk komersial telah membuat
formula agar feed additive yang diperkaya pada pakan buatan dapat masuk dalam
tubuh udang.
Pada awalnya feed additive komersial dalam bentuk tepung (powder), teknik
aplikasi dengan menggunakan perekat (binder) pada pakan udang. Seperti halnya
pengunaan antibiotik di atas karena cara makan udang yang dikerikiti, diduga banyak
feed additive yang larut dalam air tambak. Untuk meningkatkan daya serap yang lebih
tinggi dalam tubuh udang, beberapa feed additive komersial di kemas dalam bentuk
minyak (cair). Mineral feed additive dilapisi dengan minyak (oil base) sehingga tidak
mudah larut dalam air.
Cara aplikasi dengan mencampur dengan pakan sehingga dapat menempel pada
pori-pori pakan. Selanjutnya pakan dikering anginkan selam ½ jam, setelah pakan kering
diberikan pada udang. Dosis feed additive adalah 5-10 cc/kg pakan. Pemberian
diberikan tiap hari dengan sekali frekuensi pemberian pada saat laju komsumsi pakan
meningkat (pada siang hingga sore hari).
Dengan cara pemberian pakan tersebut menunjukkan hasil yang lebih baik
untuk pegobatan pemyakit kotoran putih. Hal ini di tunjukkan mulai berkurangnya
kotoran yang mengambang dan udang mulai normal walaupun laju pertumbuhan
rendah. Secara visual kotoran putih mulai berkurang setelah 2-3 hari perlakuan (petak
F4). Kondisi ini diikuti laju konsumsi pakan juga mulai meningkat.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
210
IV. Kesimpulan
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan studi ekplorasi dari beberapa kawasan tambak, dengan manajemen
budidaya udang yang baik pencegahan serangan penyakit berak putih dapat dilakukan
dengan cara:
1.Tindakan pengendalian melalui perbaikan lingkungan, pengkayaan dengan ekstrat
bawang putih melalui pakan dengan teknik pemberian pakan yang baik mampu
menekan kematian sehingga dihasilkan produksi dengan SR> 70% dan pertumbuhan
harian > 0,11 g/hari.
2.Pengelolaan lingkungan terutama media air tambak udang diarahkan pada teknik semi
flok yaitu mengatur kesimbangan dominasi plankton dan bakteri probiotik dengan
mengatur pH 7,5-8. Serta keseimbangan rasio N:P 16-20; dan rasio C:N 10-20
3.Aplikasi probiotik sesuai dengan fungsinya; terutama keberadaan Bacillus yang
mampu menekan bakteri vibrio
4.2 Saran
Perlu dilakukan kajian lanjutan pengendalian serangan kotoran putih untuk
meningkatkan produktivitas dan produksi udang
Daftar Pustaka
Avnimelech, Y ., and G. Ritvo., 2003. Shrimp and fish pond soil: processes and
management. Aquaculture 220,549-567.
Avnimelech, Y., G. Ritvo., and M. Kocha., 2004. Evaluating the active redox and organic
fractions in pond bottom soils: EOM, easily oxidized material. Aquaculture
xx,xxx-xxx
Bell TA, Lightner DV (1988) A handbook of normal shrimp histology. Baton
Lightner DV (1977) Shrimp deseases. in : Sindermann,(Ed) Deseases diagnostic and
control in north america aquaculture, Elsevier,Amsterdam,pp.10-77
Lightner DV (1988) Deseases of penaeid shrimp.in : Sindermann,C.J., Lightner, D.V. (Eds)
Deseases diagnostic and control in north america marine aquaculture, 2nd edn.
Elsevier,Amsterdam,p.8.
Limsuwan, C. 2010. White faeces disease in thailand. www.nicovita.com.pe
Siriporn sriurairatama; V bonwawiyat; W Gongnongie; C Laosutthipong; j Hirancan; T.W.
flegel 2014, White deases syndrom of shrimp arises from tranformation,
sloughing and agregation of hepatopankreatic microfili into vermiform bodies
superficially resembling gregarines, Ploss one. www plosoone. org
Supito. et.al. 2014. Petunjuk teknis budidaya udang vaname tambak demfarm. Balai
Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya, Kementrian Kelauatan dan Perikanan
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
211
APLIKASI SUPLEMEN PERTUMBUHAN rGH
PADA BUDIDAYA BANDENG SEMI INTENSIF5
Oleh :
Agus Suriawan6, M. Murdjani2, Sugeng Asmoro7 dan Sarman Efendi3
Abstrak
Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi ikan bandeng adalah dengan
menambahkan produk suplemen pada pakan. Salah satu bahan yang dapat digunakan
adalah produk “rGH (recombinan growth hormon)”. Tujuan dari perekayasaan ini adalah
untuk meningkatkan pertumbuhan ikan bandeng yang dipelihara di tambak dengan
menggunakan pakan yang diperkaya dengan rGH.
2 petak lahan seluas ± 5000 m2 yang disekat menjadi 2 dengan menggunakan
jaring untuk membedakan 2 perlakuan rGH dan kontrol. Metode pada perekayasaan
terdiri dari : Persiapan tambak pendederan, Persiapan tambak budidaya, Penebaran dan
pemeliharaan ikan bandeng dan Aplikasi rGH dan pemberian pakan. 10 mg/kg pakan
rGH diaplikasikan setiap minggu. rGH dicampur 1 liter larutan PBS dan 20 gram/kg
pakan kuning telur, dikocok hingga tercampur merata, dan ditambahkan 10 ml minyak
ikan. Larutan disemprotkan dengan sprayer. Sebagai kontrol adalah 0 mg/kg pakan atau
pakan tanpa hormon + bahan pengkaya minyak ikan cod (K). Pakan buatan kemudian
dikering-anginkan pada suhu ruang selama 1 jam dan pakan dapat langsung digunakan.
Pakan diberikan sebanyak 4 % total berat biomass yang dibagi menjadi 2 kali pemberian
pakan.
Dari hasil analisa data budidaya Ikan Bandeng selama 77 hari dengan
Independent-Samples T test menunjukkan aplikasi rGH memberikan efek yang
signifikan (p<0,05) pada pertambahan berat dan panjang yang berimplikasi pada nilai
persentase SGR. Pada sampling akhir berat rata-rata
Ikan Bandeng dengan
suplementasi rGH yaitu 218,61 ± 10,23 gram dan kontrol 174,36 ± 9,60 gram.
Sedangkan pertambahan panjang dengan suplementasi rGH yaitu 28,83 ± 0,44 cm dan
kontrol 26,78 ± 0,45 cm. Hasil perhitungan persentase rata-rata Spesific Growth Rate
(SGR) (%cm dan %gram) aplikasi rGH memberikan hasil yang lebih tinggi dari kontrol
berturut-turut adalah 0,56 ± 0,06 % cm/hari dan 0,41 ± 0,09 % cm/hari. Sedangkan nilai
SGR berdasarkan berat adalah 1,30 ± 0,40 % g/hari dan 0,83 ± 0,16 % g/hari. Aplikasi
rGH memberikan persentase hasil panen ukuran size 3-4 dan size 5-6 yang lebih besar
dibandingkan kontrol 0 %. Begitu pula dengan persentase ukuran panen undersize (size
≥ 7) menunjukkan persentase yang lebih kecil. Sintasan hasil panen (SR) pada kedua
perlakuan tidak jauh berbeda yaitu 75,68 % pada perlakuan rGH dan 77 % pada kontrol.
Nilai FCR pada perlakuan rGH lebih rendah dibandingkan control yaitu 1,51 dan 1,62.
Suplementasi rGH pada pakan Ikan Bandeng 10 mg / kg pakan memberikan
peningkatan pertumbuhan, peningkatan berat rata-rata hasil panen dan nilai FCR yang
lebih rendah.
Kata kunci : rGH, Ikan Bandeng
5
Makalah disampaikan pada Asia-Pasific Aquaculture 2016, 26-29 April 2016 di Surabaya
Perekayasa BPBAP Situbondo
7 Pengawas BPBAP Situbondo
6
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
212
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ikan bandeng (Chanos chanos) merupakan salah satu komoditas utama yang
mendukung industrialisasi perikanan budidaya. Balai Perikanan Budidaya Air Payau
Situbondo turut serta mengembangkan komoditas Ikan Bandeng dalam rangka
mendukung program-program pengembangan spesies ikan komersial yang termasuk
dalam lingkup industrialisasi. Ikan bandeng banyak diusahakan oleh para petambak di
perairan payau dan kegiatan budidaya ikan bandeng di tambak telah dikembangkan
cukup lama. Hal ini didukung oleh potensi sumberdaya alam yang sangat baik terutama
tersedianya benih ikan bandeng (nener) baik secara alami maupun dari hasil
pembenihan di panti – panti pembenihan (hatchery), namun produksi dan
produktivitasnya relatif masih rendah. Rendahnya produksi dan produktivitas ini antara
lain disebabkan karena masih terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan petani tambak
tentang teknis budidaya ikan bandeng.
Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi ikan bandeng adalah dengan
menambahkan
produk suplemen pada pakan bandeng untuk memacu
pertumbuhannya atau untuk meningkatkan kualitas pakan ikan bandeng dengan
menggunakan pakan dengan kadar protein yang lebih rendah. Salah satu bahan yang
dapat digunakan adalah produk “rGH”.
Suplemen hormon pertumbuhan rekombinan (rGH) merupakan protein yang
diproduksi oleh bioreaktor seperti bakteri Escherichia coli yang membawa vektor
ekspresi gen hormon pertumbuhan. Penggunaan rGH juga merupakan prosedur yang
relatif aman, karena yang dimodifikasi adalah bakteri yang memproduksi rGH saja,
sehingga ikan yang diberikan rGH tidak dikategorikan sebagai organisme genetically
modified organism/GMO (Acosta et al. 2007). Hal tersebut karena rGH tidak
ditransmisikan ke keturunan ikan selanjutnya. Berbagai rGH ikan telah berhasil
diproduksi seperti rGH ikan salmon (Sekine et al. 1985), rGH ikan flounder (Jeh et al.
1998), rGH orange-spotted grouper (Li et al. 2003); rGH ikan patin siam (Poen 2009),
rGH ikan mas “rCcGH”, rGH ikan gurame “rOgGH” dan rGH ikan kerapu kertang “rElGH”
(Alimuddin et al. 2010). Dari hasil penelitian Irmawati et al. (2012) diketahui bahwa
tingkat produksi rElGH lebih tinggi daripada rCcGH dan rOgGH. Dosis rElGH untuk
menghasilkan peningkatan pertumbuhan yang sama pada ikan gurame juga lebih
rendah daripada rCcGH (Irmawati et al. 2012), sehingga penggunaan rElGH lebih efisien
daripada rCcGH. Oleh karena itu, pada perekayasaan ini digunakan rElGH sehingga
diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan, dan tingkat kelangsungan hidup pada
budidaya ikan bandeng.
Pada perekayasaan sebelumnya aplikasi suplemen pertumbuhan rGH 6 mg/lt
dengan metode perendaman dapat meningkatan berat mutlak 23,14 – 36,85 % dan
panjang mutlak 13,34 – 17,58 % serta kelangsungan hidup sebesar 94,6 % lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol (Darmawiyanti, et al., 2014). Hasil yang sama diperoleh
oleh Sofiat et al. (2014), pada pendederan benih bandeng dengan suplementasi rGH
dengan dosis 5 mg/kg pakan memberikan hasil pertumbuhan terbaik. Dengan aplikasi
rGH pada pakan bandeng dengan kadar protein yang lebih rendah (15 - 17 %) pada
budidaya secara semi intensif diharapkan dapat meningkatkan produksi dan
menurunkan
biaya
produksi
pada
budidaya
bandeng.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
213
1.2. Tujuan Perekayasaan
Tujuan dari perekayasaan ini adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ikan bandeng
yang dipelihara di tambak dengan menggunakan pakan yang diperkaya dengan “rGH”
1.3. Sasaran Perekayasaan
Sasaran dari perekayasaan ini adalah dihasilkan ikan bandeng ukuran 4-5
ekor/kg yang dipelihara di tambak selama 3-4 bulan dengan biaya produksi yang
rendah.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ikan Bandeng
Ikan bandeng merupakan salah satu komoditas dari perairan payau. Ikan
bandeng (Chanos chanos) sejenis ikan laut dari familias Chanidae, ordo Malacopterygii.
DiSulawesi selatan dikenal sebagai ikan bolu . Badannya langsing berbentuk torpedo
dengan sirip ekor yang bercabang, berwarna putih keperak-perakkan. Sepintas mirip
ikan salem. Tetapi dagingnya tidak berwarna merah, melainkan putih susu, sampai
diberbagai negara berbahasa inggris dikenal sebagai milkfish. Cirri utamanya adalah sirip
dubur jauh dibelakang sirip punggung, sirip ekor panjang bercagak dengan keeping
sebelahatas lebih panjang. Ciri umum yang mudah dikenal : tubuh memanjang agak
pipih, mataditutupi lapisan lemak, pangkal sirip punggung dan dubur ditutupi sisik
sikloid lunak warna hitam kehijau-hijauan dan keperak-perakkan. Dibagian sisi ada sisik
tambahanyang besar pada pangkal sirip dada dan sirip perut. Bandeng jantan, warna
sisik tubuh cerah, dan mengkilap keperak-perakkan, jugamemiliki 2 lubang kecil
dibagian anus yang tampak jelas pada jantan dewasa. Bandeng betina dapat dikenali
dari perutnya yang agak buncit, dan terdapat 3 buah lubang dibagiananus yang tampak
jelas pada betina dewasa. Dialam, biasanya bandeng jantan lebih banyak ditemukan,
mencapai 60-70 % jumlah populasi dibandingkan bandeng betina. Dilaut panjang
badannya dapat mencapai 1 meter, tetapi dalam tambak ia tidak dapat melebihi ukuran
50 cm. selain karena factor ruang, juga karena memang sengaja dipungut sebelum
menjadi dewasa benar. Jenis bandeng ini tersebar mulai dari pantaiAfrika Timur sampai
ke kepulauan Tuamotu, sebelah timur Tahiti, dan dari Jepangselatan sampai Australia
utara.
2.2. Hormon Pertumbuhan Rekombinan
Penggunaan protein hormon pertumbuhan rekombinan (rGH) ikan diduga
sebagai salah satu metode alternatif untuk meningkatkan pertumbuhan ikan budidaya.
Penggunaan protein rGH ikan dalam meningkatkan produktivitas atau pertumbuhan
ikan budidaya dilakukan dengan prosedur yang aman, sehingga ikan yang diberi rGH
bukan merupakan organisme GMO (Acosta et al. 2007) dan rGH tersebut tidak
ditransmisikan ke keturunannya. Pada ikan teleostei secera khusus telah banyak pustaka
yang menyatakan dampak hormon pertumbuhan rekombinan dapat mempercepat
pertumbuhan (McLean et al. 1997). Bioaktivitas protein rGH dalam meningkatkan
pertumbuhan telah dilaporkan pada beberapa jenis ikan seperti ikan rainbow trout
(Onchorhynchus mykiss) dengan menggunakan rGH ikan salmon (Moriyama et al. 1993),
ikan mas dengan menggunakan rGH ikan giant catfish (Pangasianodon gigas)
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
214
(Promdonkoy et al. 2004), dan ikan flounder (Paralichtys olivaceus) dengan
menggunakan rGH juga dari ikan flounder (Jeh et al. 1998).
Pemberian 0,5% rGH dalam pakan selama 12 minggu pada juvenil ikan sea
bream hitam menunjukkan perbedaan bobot sebesar 41,67% dengan ikan kontrol
setelah pemeliharaan selama 18 minggu (Tsai et al. 1997). Sedangkan pada benih ikan
baronang, pemberian rGH sebesar 0,5 μg/g bobot tubuh sebanyak 1 kali per minggu
selama 4 minggu dapat meningkatkan bobot tubuh sebesar 20% dari kontrol
(Funkenstein et al. 2005).
Lesmana (2010) melaporkan bahwa pemberian rGH yang berbeda pada ikan nila
melalui teknik penyuntikan atau injeksi dengan meningkatkan bobot 20,94% (rGH ikan
kerapu kertang), 18,09% (rGH ikan mas), dan 16,99% (rGH ikan gurami). Pemberian
melalui penyuntikan dapat dikatakan kurang aplikatif dan memperlihatkan respons yang
lambat, hal ini diduga terjadi karena reseptor memerlukan faktor intermediat atau
waktu untuk mengenali rGH yang diinjeksikan. Berbeda dengan penelitian Utomo (2010)
bahwa penyuntikan rGH ikan mas pada ikan mas meningkatkan pertumbuhan sebesar
106,56% bila dibandingkan dengan ikan mas yang tidak diinjeksi. Lesmana (2010)
melaporkan bahwa pemberian rGH yang berbeda pada ikan nila melalui teknik
penyuntikan atau injeksi dengan meningkatkan bobot 20,94% (rGH ikan kerapu
kertang), 18,09% (rGH ikan mas), dan 16,99% (rGH ikan gurami). Pemberian melalui
penyuntikan dapat dikatakan kurang aplikatif dan memperlihatkan respons yang
lambat, hal ini diduga terjadi karena reseptor memerlukan faktor intermediat atau
waktu untuk mengenali rGH yang diinjeksikan. Berbeda dengan penelitian Utomo (2010)
bahwa penyuntikan rGH ikan mas pada ikan mas meningkatkan pertumbuhan sebesar
106,56% bila dibandingkan dengan ikan mas yang tidak diinjeksi.
2.3. Metode Penggunaan Hormon Pertumbuhan Rekombinan (rGH)
Aplikasi rGH dapat dilakukan melalui metode injeksi, perendaman dan melalui
pakan. Pemberian rGH melalui penyuntikan telah berhasil dilakukan pada ikan rainbow
trout (Onchorhynchus mykiss) (McLean et al. 1997), channel catfish (Ictalurus punctatus)
(Silverstein et al. 2000), dan ikan mujair (Oreochromis mossambicus) (Leedom et al.
2002). Metode Perendaman rGH pada ikan gurami dapat meningkatkan pertumbuhan
hingga 75,04% (Putra 2011). Pemberian HPr melalui pakan telah dilakukan oleh
Moriyama et al. (1993) pada ikan rainbow trout.
Morse (1984) menyatakan bahwa hormon pertumbuhan sapi dapat
mempercepat pertumbuhan pasca larva abalon (Haliotis rufescens) melalui
perendaman. Demikian pula pada eastern oyster (Virginica crassostrea) rGH rainbow
7
8
trout dapat meningkatkan pertambahan bobot larva pada dosis 10 dan 10 M selama 5
jam dengan interval 7 hari dengan metode perendaman (Paynter dan Chen 1991).
Acosta et al. (2009) menyatakan bahwa pemberian GH ikan nila dengan metode
perendaman pada larva ikan mas koki dapat meningkatkan bobot tubuh hingga 3,5 kali
dibandingkan kontrol.
Teknik penyuntikan dirasa kurang aplikatif karena ikan harus diinjeksi satu per
satu. Oleh karena itu, dibutuhkan metode yang lebih efisien dan efektif dalam
penerapan pemberian rGH, sehingga diharapkan dapat meningkatkan efektivitas
penyerapan rGH untuk meningkatkan laju pertumbuhan ikan. Sementara pemberian
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
215
rGH melalui oral masih menjadi perdebatan karena ada kemungkinan rGH yang
diberikan akan dicerna sebagai protein sebelum mencapai organ target.
III. BAHAN DAN METODA
3.1. Bahan dan Alat
Bahan yang dibutuhkan dalam perekayasaan adalah :
Gelondongan bandeng dengan berat rata-rata ± 50 g dengan panjang rata-rata ± 17
cm.
Pakan buatan dengan kadar protein 17-19 % dan 21-23 %
Bahan pengkayaan komersial
Hormon pertumbuhan rekombinan / recombinant growth hormone RGH, diproduksi
dari kloning hormon pertumbuhan ikan kerapu kertang (Alimuddin et al. 2010).
Strain bakteri E. coli BL21 dipilih sebagai bioreaktor untuk memproduksi protein
rekombinan GH kerapu kertang (rElGH). Konstruksi gen ElGH pada plasmid pCold
berasal dari laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik , FPIK IPB.
Sedangkan produksi rElGH dilakukan di laboratorium bioteknologi BPBAP
Situbondo
Pupuk organik dan Pupuk anorganik
Alat yang dibutuhkan dalam perekayasaan adalah :
 Wadah pemeliharaan berupa petakan tambak 5000 m2
 Sprayer, Peralatan lapangan dan Alat pengukur kualitas air
3.2. Metode
Pada kegiatan perekayasaan ini dilakukan pada 2 petak lahan seluas ± 5000 m2 yang
disekat menjadi 2 dengan menggunakan jaring untuk membedakan 2 perlakuan yang
digunakan yaitu penggunaan benih yang diperkaya dengan rGH dan kontrol. Adapun
metode pada perekayasaan terdiri dari :
a. Persiapan tambak pendederan
 Lahan dikeringkan selama 1 minggu
 Setelah pengeringan tambak sempurna, dilakukan pemupukan dengan pupuk
organik 500 kg dan pupuk anorganik (TSP dan Urea) masing-masing 40 kg yang
disebarkan secara merata keseluruh dasar tambak.
 Memasukkan air setinggi 20 cm dan pintu air ditutup rapat kemudian biarkan
selama 7 -10 hari sampai terbentuk pakan alami yaitu plakton dan kelekap.
Selanjutnya air dinaikkan menjadi 40 cm
Pemupukan susulan dapat dilakukan apabila pakan alami mulai habis, digunakan
pupuk anorganik dengan dosis 20 – 30 kg/Ha
b. Persiapan tambak budidaya
 Lahan dikeringkan selama 1 minggu
 Jaring penyekat dengan tinggi 1,5 meter dipasang ditengah petakan.
 Tambak diisi dengan air dengan ketinggian minimal 80 cm.
 Selanjunya tambak disaponin dengan dosis 10 ppm untuk mematikan ikan liar.
 Kincir air dipasang sebanyak 2 buah.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
216
 Setelah 3 hari tambakdapat ditebar dengan gelondongan bandeng
c. Penebaran dan pemeliharaan ikan bandeng
Benih bandeng didederkan terlebih dahulu hingga mencapai ukuran
gelondongan berat rata-rata ± 50 g dengan panjang rata-rata ± 17 cm.
Benih bandeng ditebar dengan kepadatan 10.000 ekor (2 ekor/m2)
Benih Bandeng selanjutnya diadaptasikan dengan pakan buatan selama 2
minggu. Setelah repon terhadap pakan buatan cukup baik maka aplikasi rGH
mulai dilakukan.
Proses budidaya dilakukan selama 120 hari.
d. Aplikasi rGH dan pemberian pakan
Dosis rGH yang diberikan adalah 10 mg/kg pakan yang diaplikasikan setiap
minggu.
Suplemen RGH ditambahkan kedalam pakan komersial dengan teknik
penyalutan dengan mencampur 1 liter larutan PBS dengan 20 gram/kg pakan
kuning telur, dikocok hingga tercampur merata. Kemudian ditambahkan rGH
sesuai dosis dan ditambahkan 10 ml bahan pengkaya dengan kandungan utama
minyak ikan cod. Larutan digunakan dengan cara disemprotkan dengan sprayer.
Sebagai kontrol adalah 0 mg/kg pakan atau pakan tanpa hormon + bahan
pengkaya minyak ikan cod (K). Pakan buatan kemudian dikering-anginkan pada
suhu ruang selama 1 jam, pakan dapat langsung diberikan atau disimpan pada
ruangan bersuhu sekitar 16o C.
Pakan diberikan sebanyak 4 % total berat biomass yang dibagi menjadi 2 kali
pemberian pakan.
e. Pengamatan
Pada kegiatan uji coba ini pengamatan yang dilakukan meliputi :
a. Pertumbuhan (pertumbuhan panjang relatif dan rerata pertambahan berat)
yang dilakukan 10 hari sekali.
b. Sintasan (tingkat kelangsungan hidup), dihitung pada akhir kegiatan
c. FCR
d. Kualitas air, yang diukur secara periodik setiap 10 hari sekali.
f. Analisis statistik
Semua data yang diperoleh akan dianalisa dengan menggunakan program SPSS
statistical package versi 18.0 untuk Windows dan Microsoft Excel. Hasil analisa akan
dipresentasikan dalam rata-rata ± SE (Standard error) dan perbedaan antara perlakuan
akan di investigasi dengan menggunakan Independent-Samples T test. Untuk data yang
tidak terdistribusi normal akan dianalisa dengan Mann Whitney U test. Semua
perbedaan signifikan pada data akan ditampilkan pada tingkat kepercayaan P<0.05.
IV. HASIL KEGIATAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Kegiatan
a. Pertumbuhan
Penambahan rGH pada pakan Ikan Bandeng memberikan hasil pertambahan
berat dan panjang yang signifikan dibandingkan dengan kontrol. Dari hasil analisa data
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
217
budidaya Ikan Bandeng selama 77 hari dengan Independent-Samples T test
menunjukkan aplikasi rGH memberikan efek yang signifikan (p<0,05) pada pertambahan
berat dan panjang yang berimplikasi pada nilai persentase SGR. Pada sampling akhir
pemeliharaan selama 77 hari pertambahan berat rata-rata Ikan Bandeng dengan
suplementasi rGH yaitu 218,61 ± 10,23 gram dan kontrol 174,36 ± 9,60 gram (Gb. 1).
Sedangkan pertambahan panjang dengan suplementasi rGH yaitu 28,83 ± 0,44 cm dan
kontrol 26,78 ± 0,45 cm (Gb.2).
Gambar 1. Perbandingan pertambahan berat (gram) antara ikan bandeng yang di
suplementasi dengan rGH dan kontrol proses budidaya
Gambar 2. Perbandingan pertambahan panjang (cm) antara ikan bandeng yang di
suplementasi dengan rGH dan kontrol selama proses budidaya
Hasil perhitungan persentase Rata-rata Spesific Growth Rate (SGR) (%cm dan
%gram) antara Ikan Bandeng yang di suplementasi dengan rGH memberikan hasil yang
lebih tinggi dari kontrol. SGR berdasarkan data panjang Ikan Bandeng yang di
suplementasi dengan rGH dibandingkan dengan kontrol berturut-turut adalah 0,56 ±
0,06 % cm/hari dan 0,41 ± 0,09 % cm/hari. Sedangkan nilai SGR berdasarkan berat
adalah 1,30 ± 0,40 % g/hari dan 0,83 ± 0,16 % g/hari
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
218
Gambar 3. Perbandingan berat rata-rata budidaya bandeng dengan menggunakan
pakan dengan kadar protein 21-23 % dan kadar protein 17-19 % yang disuplementasi
rGH.
Hasil analisa dengan Independent-Samples T test pada perbandingan berat ratarata data budidaya Ikan Bandeng dengan pakan berkadar protein 17-19 % yang di
suplementasi dengan rGH dibandingkan dengan budidaya Ikan Bandeng dengan pakan
berkadar protein 21-23 % memberikan hasil yang tidak signifikan (Gb. 3).
b. Kualitas air
Tabel 1. Hasil pengukuran kualitas air pada tambak budidaya Ikan Bandeng selama
kegiatan perekayasaan
No
1
2
3
4
5
Parameter Kualitas Air
Satuan
Nilai
o
Suhu
C
29 - 30
pH
7,8 - 8,2
Salinitas
ppt
10 - 20
Kecerahan
cm
30 - 40
pH tanah
6
Hasil rata-rata kualitas air yang diukur secara periodik 14 hari sekali menujukkan
hasil yang masih sesuai dengan standar budidaya bandeng di tambak.
c. Data hasil panen, SR, size panen, dan FCR
Dari data hasil panen yang disajikan pada gambar 4. menunjukkan aplikasi rGH
memberikan hasil panen yang lebih baik dibandingkan dengan control yang dilihat dari
aspek persentase distribusi berat hasil panen. Pemeliharaan Ikan bandeng dengan
pemberian rGH memberikan persentase hasil panen ukuran size 3-4 dan size 5-6 yang
lebih besar dibandingkan kontrol 0 %. Begitu pula dengan persentase ukuran panen
undersize (size ≥ 7) menunjukkan persentase yang lebih kecil pada pemeliharaan Ikan.
Sintasan hasil panen (SR) pada kedua perlakuan tidak jauh berbeda yaitu 75,68 %
pada perlakuan rGH dan 77 % pada kontrol. Nilai FCR pada perlakuan rGH lebih rendah
dibandingkan control yaitu 1,51 dan 1,62.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
219
Gambar 4. Distribusi ukuran hasil panen ikan bandeng dengan 3 ukuran berbeda
4.2. Pembahasan
Penggunaan protein hormon pertumbuhan rekombinan (rGH) ikan sebagai salah satu
metode alternatif untuk meningkatkan pertumbuhan ikan budidaya, telah banyak
diteliti. Pada ikan teleostei secera khusus telah banyak pustaka yang menyatakan
dampak hormon pertumbuhan rekombinan dapat mempercepat pertumbuhan (McLean
et al. 1997). Bioaktivitas protein rGH dalam meningkatkan pertumbuhan telah
dilaporkan pada beberapa jenis ikan seperti ikan rainbow trout (Onchorhynchus mykiss)
dengan menggunakan rGH ikan salmon (Moriyama et al. 1993), ikan mas dengan
menggunakan rGH ikan giant catfish (Pangasianodon gigas) (Promdonkoy et al. 2004),
dan ikan flounder (Paralichtys olivaceus) dengan menggunakan rGH juga dari ikan
flounder (Jeh et al. 1998).
Pada ikan, peran growth hormon (GH) berlangsung hampir di semua proses
fisiologis dalam tubuh termasuk regulasi ion, keseimbangan osmosis, metabolisme
lemak-protein dan karbohidrat, pertumbuhan tulang keras dan tulang rawan,
reproduksi dan fungsi imun (Reinecke et al, 2005 dalam Subaidah, 2013). Pada
perekayasaan ini, suplementasi rGH (rGH) pada pakan Ikan Bandeng 10 mg / kg pakan
memberikan peningkatan pertumbuhan yang signifikan. Pada perekayasaan
sebelumnya aplikasi suplemen pertumbuhan rGH 6 mg/lt dengan metode perendaman
dapat meningkatan berat mutlak 23,14 – 36,85 % dan panjang mutlak 13,34 – 17,58 %
serta kelangsungan hidup sebesar 94,6 % lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol
(Darmawiyanti, et al., 2014). Hasil yang sama diperoleh oleh Sofiat et al. (2014), pada
pendederan benih bandeng dengan suplementasi rGH dengan dosis 5 mg/kg pakan
memberikan hasil pertumbuhan terbaik.
Mekanisme kerja GH yang memacu pertumbuhan dapat terjadi secara langsung
maupun tidak langsung. Secara langsung GH memacu pertumbuhan dengan
merangsang pelepasan somatomedin dan mempengaruhi metabolisme protein
karbohidrat dan lemak (Moriyama & Kawauchi, 2001). Sedangkan mekanisme tidak
langsung adalah dengan menstimulasi pertumbuhan linear skeleton yang difasilitasi
oleh insulin growth factor-1 (IGF-1). Sintesis dan pelepasan IGF-1 diawali dengan
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
220
masuknya rangsangan eksternal yang diintregasikan oleh otak menjadi suatu perintah
ke kelenjar pituitari untuk mensintesis dan mensekresikan GH. GH masuk ke dalam
jaringan pembuluh darah, selanjutnya berikatan dengan reseptor spesifik yaitu growth
hormon reseptor (GHR) di beberapa organ target terutama hati untuk menstimulasi
sintesis dan pelepasan IGF-1 (Bolander, 2004)
Mclean (1997) menyatakan peningkatan pertumbuhan yang disebabkan efek
dari GH disebabkan karena adanya modifikasi pada ruang pembentukan nutrient.
Sebagai indikasi pada penelitian pada ikan pasifik salmon adalah dengan menurunnya
kadar cadangan lemak pada ikan perlakuan yang berkorelasi dengan pertumbuhan
tulang dan peningkatan kadar protein. Alternatif lainya adalah GH menstimulasi
dekomposisi protein rata-rata lebih tinggi dari lemak. Efek lain dari penambahan rGH
pada pakan Ikan Bandeng adalah konversi pakan yang lebih baik yang ditunjukkan
dengan nilai FCR yang lebih rendah. Devlin et al. (1994b) menyatakan aplikasi GH dapat
meningkatkan efisiensi konversi pakan.
Pada perekayasaan ini pemberian dosis 10 mg/kg pakan diaplikasikan setiap
seminggu sekali. Jika dihitung secara komersial, pemberian rGH pada Ikan Bandeng tidak
menguntungkan dikarenakan harga jual ikan bandeng yang rendah. Untuk menurunkan
biaya produksi pada perekayasaan ini digunakan pakan bandeng dengan kadar protein
yang rendah yang berkisar antara 17-19 persen. Jika dibandingkan dengan hasil
budidaya bandeng dengan pakan berprotein 21 – 23 persen, tingkat pertumbuhan ikan
bandeng dengan pakan yang berprotein lebih rendah yang ditambahkan rGH. Tetapi jika
dihitung dengan penggunaan dosis rGH 10 mg/kg maka biaya produksi masih lebih
tinggi. Maka diperlukan perekayasaan dengan menggunakan dosis rGH yang lebih
rendah sehingga biaya produksi dapat turunkan.
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan
Suplementasi rGH pada pakan Ikan Bandeng 10 mg / kg pakan memberikan peningkatan
pertumbuhan, peningkatan berat rata-rata hasil panen dan nilai FCR yang lebih rendah.
5.2. Rekomendasi
Perlu dilakukan perekayasaan lebih lanjut tentang dosis rGH dan level protein pakan
yang lebih rendah untuk menekan biaya produksi
DAFTAR PUSTAKA
Acosta J, Morales R, Morales A, Alonso M, Estrada MP. 2007. Pichia pastoris expressing
recombinant tilapia growth hormone accelerates the growth of tilapia.
Biotechnology Lett. 29: 1671-1676.
Acosta JR, Estrada MP, Carpio Y, Ruiz O, Morales R, Martinez E, Valdes J, Borroto C,
Besada V, Sanchez A, Herrera F. 2009. Tilapia somatotropin polypeptides :
potent enhancers of fish growth and innate immunity. Biotechnologia
Aplicada, 26:267-272.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
221
Alimuddin, Lesmana I, Sudrajat AO, Carman O, Faizal I. 2010. Production and bioactivity
potential of three recombinant growth hormones of farmed fish. Indonesian
Aquaculture Journal, 5:11-16.
Bolander FF, 2004. Molecular Endocrinology , 3nd ed. London (GB): Elsevier Academic
Pr.
Darmawiyanti, V., Sofiati, Indah K., Widodo A.P., 2014 Penggunaan Suplemen
Pertumbuhan RGH Pada Pendederan Ikan Bandeng Chanos Chanos Forskal Di
Bak Terkontrol. Makalah Perekayasaan. Balai Perikanan Budidaya Air Payau
Situbondo
Devlin,RH., Byatt, JC., McLean,E., Clarke, WC., Donaldson, EM., Yaseki TY., Krivi, GG.,
Jaworski., EG. 1994b. Bovine Placental Lactogen is a Potent Stimulation of
growth and Displays strong binding to hepatic receptor sites of coho salmon,
Gen. Comp. Endocrinology. 95, 31-41.
Funkenstein B, Dyman A, Lapidot Z, de Jesus-Ayson EG, Gertler A, Ayson FG. 2005.
Expression and purification of a biologically active recombinant rabbitfish
(Siganus guttatus) growth hormone. Aquaculture, 250:504-515.
Handoyo B. 2012. Respons benih ikan sidat terhadap hormon pertumbuhan rekombinan
ikan kerapu kertang melalui perendaman dan oral. [Tesis]. Departemen
Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.
Irmawati, Alimuddin, Zairin M, Suprayudi MA, Wahyudi AT. 2012. Peningkatan laju
pertumbuhan benih ikan gurame (Osphronemus goramy Lac.) yang direndam
dalam media yang mengandung hormon pertumbuhan ikan mas. Jurnal
Iktiologi Indonesia (in press).
Jeh HS, Kim CH, Lee HK, Han K. 1998. Recombinant flounder growth hormone from
Escherichia coli: overexpression, efficient recovery, and growth-promoting
effect on juvenile flounder by oral administration. Journal Biotechnology,
60:183-193.
Leedom TA, Uchida K, Yada T, Richman NH, Byatt JC, Collier RJ, Hirano T, Grau EG. 2002.
Recombinant bovine growth hormone treatment of tilapia: growth response,
metabolic clearance, receptor binding and immunoglobulin production.
Aquaculture, 207:359–380.
Lesmana I. 2010. Produksi dan Bioaktivitas Protein Rekombinan Hormon Pertumbuhan
Dari Tiga Jenis Ikan Budidaya. [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
222
Li Y, Bai J, Jian Q, Ye X, Lao H, Li X, Luo J, Liang X. 2003. Expression of common carp
growth hormone in the yeast Pichia pastoris and growth stimulation of
juvenile tilapia (Oreochromis niloticus). Aquaculture 216 : 329-341.
McLean,E., Devlin,RH.,Byatt, JC., Clarke, WC., Donaldson, EM., Impact of a controlled
release formulation of recombinant bovine growth hormone upon growth and
seawater adaptation in coho (Oncorhynchus kisutch) and chinook
(Oncorhynchus tshawytscha) salmon, Aquaculture, Volume 156, Issues 1–2, 14
October 1997, Pages 113-128,
Moriyama & Kawauchi, 2001. Growth Regulation by growth hormon and insulin-like
growth factor-I in teleosts. Otsuchi Mar. Sci. 26:23-27.
Poen S. 2009. Cloning, over-expression and characterization of growth hormone from
stripped catfish (Pangasianodon hypophthalmus). [tesis]. Master of Science
(Genetic Engineering) Graduate School, Kasetsart University.
Promdonkoy B., Warit S, Panyim S. 2004. Production of a biologically active growth
hormone from giant catfish (Pangasianodon gigas) in Escherichia coli.
Biotechnology Letter, 26:649-653.
Sakai M, Kajita Y, Kobayashi M, Kawauchi H.1997. Immunostimulating effect of growth
hormone : in-vivo administration of growth hormone in rainbow trout
enhances resistance to Vibrio anguillarum infection. Vet Immunol
Immunopathol.
Sekine S, Mizukami T, Nishi T, Kuwana Y, Saito A, Sato M, Itoh S, Kawauchi H. 1985.
Cloning and expression of cDNA for salmon growth hormone in Escherichia
coli. Proc. Natl. Acad. Sci. USA, 82:4306-4310.
Sofiati, Triastutik, G. Wiwin Mukti A dan Sugeng Harjono, Ribut Wijayaning P dan Faries.,
2014. Penggunaan suplemen pertumbuhan rGH Pada benih bandeng Makalah
Perekayasaan. Balai Perikanan Budidaya Air Payau Situbondo
Subaidah, 2013. Respon Pertumbuhan dan Imunitas Udang Vaname Litopenaeus
vannamei Terhadap Pemberian Hormon Pertumbuhan Rekombinan Ikan
Kerapu Kertang. Ringkasan Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor.
Tsai HJ, Hsih. MH, Kuo JC. 1997. Escherichia coli produced fish growth hormone as a
feed additive to enhance the growth of juvenile black seabream
(Acanthopagrus schlegeli). J. Appl. Ichthyol., 13:78-82.
Utomo DSC, 2010. Produksi dan Uji Bioaktivitas Protein Rekombinan Hormon
Pertumbuhan Ikan Mas. [tesis]. Depertemen Budidaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
223
Wong A, Zhou H, Jiang Y, Ko W. 2006. Feedback Regulation of Growth Hormone
Synthesis and Secretion in Fish and The Emerging Concept of
Intrapituitary Feedback Loop. Comparative Biochemistry and Physiology Part
A 144 (2006) 284-305
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
224
APPLICATION OF NURSERY FEED FOR MILKFISH
WITH LOCAL RAW MATERIAL1)
By :
2)
Veni Darmawiyanti , Sofiati2) and M. Murdjani3)
ABSTRA CT
Feed is the highest cost components in aquaculture so that it becomes the
determining factor profits. Nowadays due to higher feed prices, to reduce the cost of
production of many farmers who use commercial feed with protein content under the
SNI . The high feed prices caused by the majority of commercial feed raw materials
dependent on imported products. One solution to reduce the price of feed is to produce
feed On Farm Feed. Use of local raw materials in the manufacture of feed on farm feed
are also expected to be a solution to lower feed prices. Engineering activity was done in
an effort to find a formula feed nursery for fish-based feed raw materials locally and
also to study the response of the growth in nursery feed milkfish with quality under the
SNI .
The method in this activity was to compare three treatments, namely A. Feed
control diet with 30 % protein content , B. Formula feed with local ingredients with a
protein content of 23 % , C. Formula feed with local material + enzyme with a protein
content of 23 % . Engineering activity results showed that the growth rate in a row
following treatment A. 2.01 + 0.38 %, followed by treatment of C. 1.59 + 0.50 % and +
0.35 1.03 B. Treatment % . A level of feed digestibility. 00:47 95.51 % + 95.67 + C.
Followed by treatment and treatment B. 00:55 89.67 % + 2.70 % .
Keywords : Feeding , Nursery of Milkfish , Local Ingredients
1)Paper presented at Asian-Pacific Aquaculture, 2016. Hotel Grand City,Surabaya
26-29 April 2016
2)Specialist Engineer, BADC Situbondo
3)Principal Engineer, BADC Situbondo
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
225
APPLICATION OF NURSERY FEED FOR MILKFISH
WITH LOCAL RAW MATERIAL
By :
Veni Darmawiyanti, Sofiati and M. Murdjani
I.
INTRODUCTION
1.1.Background
The increase in fisheries production was influenced by several factors, including the
availability of seed or fry quality and sustainable, healthy aquatic media and feed
quality. Feed is the highest cost components in aquaculture so that it becomes the
determining factor profits. Until now feed into obstacles because the price fluctuates
widely. The high feed prices caused by the majority of commercial feed raw materials
dependent on imported products. The use of local raw materials is often constrained
factors material quality and sustainability of supply. But based on local feed ingredients
should continue to be developed as an attempt to overcome the constraints of feed
supply. One solution to reduce the price of feed is to produce feed On Farm Feed. Feed
on-farm feed is expected to shorten the chain of food production that will lower
production costs, and ultimately lower the price of feed on fish farmers. The use of local
raw materials in the manufacture of feed on farm feed are also expected to be a
solution to lower feed prices. Therefore it takes effort to develop materials based
premix raw materials locally applicable.
Nowadays due to higher feed prices, to reduce the cost of production of many
farmers who use commercial feed with protein content under the SNI . However, if the
use of artificial feed with a protein content below the requirements of SNI benefit has
not been known . Engineering activity was done in an effort to find a formula feed
nursery for fish-based feed raw materials locally and also to study the response of the
growth in nursery feed milkfish with quality under the SNI.
1.2.
Goals and Objectives
The purpose of this activity is to find a nursery feed formula milkfish-based on feed
ingredients locally . Targets to be achieved is obtained by separating the feed formula
that is economical and support the successful cultivation of milkfish.
II . LITERATURE REVIEW
2.1. Milkfish, Chanos chanos Forskal
In taxonomy, this fish belongs to a class of Pisces, Teleostei subclass,
Malacopterygii order, family and genus Chanos Chanidae. In nature milkfish was
migratory fish from the sea at 35 ppt salinity brackish area close to the mouth of the
river to 15-20 ppt salinity and even to the point of fresh water. Therefore, these fish are
classified as fish euryhaline (able to deal with salinity changes are very large). If viewed
in morphology, digestive tract in fish consists of the pharynx, esophagus, ventriculus,
intestine and anus. Teeth and tools chewers no food at all and very small mouth.
Although fish have gills filter but not large enough to ensure that fish depend only on
plankton. Research on gut fish on the beach showed that the main food are diatoms,
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
226
algae and residual rough, rhyzopoda and gastropods. Research on milkfish fry intestinal
contents in an enlargement shows that the main food are rotting vegetation, blue algae,
diatoms and protozoa mixed with bacteria (Hartati 1986).
2.2.
Raw materials alternative feed for fish
The availability and price of commercial feed is often fluctuates because it
depends on imported materials and the dollar exchange rate world . One effort to
overcome these obstacles is to use alternative raw materials in their usage does not
compete with humans, is cheap and easy to obtain. Some alternative feed ingredients
rich in protein and cheap is the feed material and by-products of plant origin and feed
raw materials from algae .
Some types of plants and by-products are often used for fish feed rations such as
corn, soybeans and soybean meal , rice bran and tofu . Corn is composed of three types:
Yellow corn rather red and white corn . Yellow corn and red better than white corn
because of the carotene content of vitamin A is high . Before use of corn to be ground
smooth for easy mixing . The use of corn in the composition of fish meal is by 10-30 % .
Corn protein content of about 9 % ( Murtidjo , 2001) .
Pulp tofu is a waste of industrial manufacturing know, if not treated properly can
pollute the environment. Total pulp tofu production are available, do not compete with
human needs ( because it is not edible ) and nutritional content is high enough that the
protein content ranged between 21.3 - 27 % , crude fiber and fat 16 -23 % 4.5 -17 % (
Kompiang et al., 1997) . Utilization of pulp tofu constrained by high fiber and low
digestibility .
Rice bran is a by product of rice milling potential as a food fish . Rice bran is
composed of three kinds of material origin is bran / grain that is the part that contains a
lot of crude fiber and minerals, white membrane that is the part that contains protein,
vitamin B1, fats and minerals, and the third is a carbohydrate substance that is part of
easily digestible, Rice bran protein content varies greatly depending on the process that
is about 7-14 % .
Soybeans and soybean meal feed ingredients were potential as a source of
vegetable protein content was highest. Besides being easily digested, amino acid
content is also high, except the amino acid Cistin. If combined with corn which contains
Cistin, then soybeans and soybean meal was excellent as complementary. Crude
Soybean contains anti nutrients growth of anti - trypsin inhibitor. Therefore, raw
soybeans to be roasted first and then ground into flour. The use of soybean meal in fish
feed composition can reach 20 % .
Source material useful as an alternative feed ingredient vegetable protein
sparring effect for marine fish is an energy source other than the protein so that the
protein can be maximized its use for growth . This is because the source of vegetable
feed ingredients are generally high in carbohydrates . Marine finfish better able to
convert energy from protein than carbohydrates or fats . Therefore, efforts should be
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
227
sought to be pursued carbohydrates and fats as an energy source , so that the protein
can be maximized for growth.
III . MATERIALS AND METHODS
3.1. Material test
The materials needed in the implementation of the activities include:
• Milkfish fry size of 2-3 g
• Raw material feed: fishmeal, pulp tofu, rice bran, corn flour, soybean meal, starch,
fish oil, vitamin mix, mineral mix, enzymes .
• Chemical analysis: chromium oxide, nitric acid, perchloric acid, distilled water
3.2. Equipment Field
Equipment needed in activities including:






Fiberglass tub volume of 0.5 m3
Plastic Container volume of 60 L
Plastic scoop and scoopnet
Siphon pipe
Unit aerator
Reversible portable pump
3.3. Management of feeding
Test design was designed as follows :
treatment of feed consisting of 3 feed formula is A. preservation of seed by feeding
controls ( protein content min 30 % ) ; B. maintenance of seed with artificial feeding
based on local ingredients ( protein content min 20 % ) , C. maintenance of seed with
artificial feeding based on local ingredients ( protein content min 20 % ) , with the
addition of the enzyme. Formula for engineering artificial feed is shown in Table 1 below
.
Each treatment will be carried out 3 times replications.
Tabel 1. Feed Test
Fish Meal
Pulp Tofu
Soybean meal
Rice bran
Corn flour
Starch
Fish oil
Vitamin
Mineral
Binder
antioksidan
enzyme
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
A
30
20
13
18.5
10
6
0.2
0.3
2
0.01
-
Treatment
B
5
20
20
18
19.5
10
5
0.2
0.3
1
0.01
-
C
5
20
20
18
19.5
10
5
0.2
0.3
1
0.01
1
228
Nutrition (DM %)
Raw protein
Raw fat
Water
Ash
Crude fibre
BETN
34
13.69
8.4
11.44
5.45
28.10
23.06
13.86
23.03
7.72
9.99
39.78
23.06
13.86
23.03
7.72
9.99
39.78
Maintenance of milkfish fry
 Maintenance is carried out in fiberglass tub capacity of 0.5 m3, indoor to
maintain quality controlled environment.
 Milkfish fry was hatchery production of BADC Situbondo + acclimatized for 2
weeks to be able to adapt to the environment and feed test
 The timing of that 36-day observation of the growth response and 30 days of
observation digestibility of feed.
 Stocking density 500 fries / container
 To maintain the condition remains good medium for the growth of the test
animals do siphon and change the water. Percentage replace the water carried
stadia and conditions
 tailored to the media, so too do the treatment siphon. When the primary
vessel is already dirty, do siphon.
 The feedin was done 3 times a day (08:00, 12:00, 16:00 pm) with the amount
of feed rations 5% weigh of total biomass.
 Checking visually fish was done 3 times / day ie morning, noon and night.
Checking the quality of water as the temperatures do every day while other
water quality once a week.
 Observations response feed intake and digestibility done by maintenance in a
plastic container volume of 60 L. Fish gets the feed that has been given
indicator and analyzed feces.
 Every month checking test animal growth (weight and length)
 End engineering also made observations on the level of survival (Survival Rate
/ SR).
3.4. The test parameters
Test parameters to be observed growth response parameters , among others :
the level of food consumption, absolute growth ( G ), the growth rate and survival rate
of seeds, while to know the quality of the feed and its effectiveness was observed
nutritional quality of feed.
3.5. Data processing
Treatments will do two replications and observation data will be analyzed
descriptively to determine whether different types of artificial feed provides different
growth responses to the development of the seed .
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
229
IV . RESULTS AND DISCUSSION
The first stage in the preparation of feed formula is the data collection nutrient
content of feed ingredients. The data collection nutrient content of feed ingredients is
done by analyzing the content of which includes the proximate analysis of crude
protein, crude lipid content, water content, ash content, crude fiber content and extract
materials without nitrogen. The results of proximate analysis of feed raw materials
shown in Table 2 below .
No
1
2
3
4
5
Table 2. The results of proximate analysis of feed ingredients
Parameter Unit
Test results
Fish
Pulp
Rice
Soybean
Corn
Meal
Tofu
bran
meal
flour
The
%
63.93
21.1
6
49.81
10.8
protein
content
The fat
%
10.99
14.7
9.4
2.5
4.7
content
The ash
%
17.6
0
8.7
7.74
17.5
content
Water
%
9.43
81.94
12.5
10.78
10.9
content
Crude
%
3.74
25.43
8.4
13.85
3.1
fibre
content
Starch
0.4
0.54
1.55
12.8
13.16
Proximate above content data used as basis for the preparation of feed formulas
treatment. On the application of engineering activities of local raw materials in feed fish
this enlargement, feed isonitrogen treatment. A feed containing protein treatment of at
least 30 % in accordance with the requirements of protein nursery only fish on the ISO
7308 : 2009 artificial feed for intensive fish farming . While feed treatment B and C are
fed with a low protein content to determine whether the fish class enlargement can
give a good response to the protein content under the SNI .
Parameter Test engineering biology of milkfish in BADC Situbondo include growth
rate, survival and feed consumption. Growth is influenced by several factors inside and
outside factors. Factor in include the nature of heredity, disease resistance and the
ability to use food, while external factors include the nature of physics, chemistry and
biology. Dietary factors and the water temperature is outside of the main factors that
can affect the growth of fish. Fish growth can occur if the amount of food eaten exceeds
the requirements for maintenance of his body and is closely related to the availability of
protein in the diet, because protein is a substance grow and the source of energy
needed for growing fish. Based on observation 4 sampling was last seen that the control
treatment with a protein content of at least 30% showed the best growth response.
Treatment of feed with a base of local ingredients with a protein content of 23%
indicates growth responses under control treatment. Of the two treatments C
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
230
treatment showed improvement in every sampling, while the fish to feed treatment B
showed growth rate decreased during the observation.
Figure 1. Milkfish fish weight gain between treatments during the observation
The growth response observed to determine the effect of different feed treatments
include absolute growth ( G ) , specific growth rate ( % SGR ) , feed conversion and
survival rate during maintenance . Data are shown in Table 3 below .
Table 3. Milkfish growth response to treatment different feed
TREATMENT
W0
Ln
Ln
%
%
Wt g
Gg
FCR
g
W0 Wt
SGR
SR
A
2.01 +
3.01 6.202 1.10 1.82 3.19
1.68 87
0.38
B
1.03 +
3.30 4.79 1.19 1.57 1.49
3.18 80
0.35
C
1.59 +
2.50 4.42 0.92 1.49 1.92
1.76 91
0.50
% of
digestibility
95.51 +
0.47
89.67 +
2.70
95.67 +
0.55
Engineering activity results showed that the observation of fish weight gain
during treatment, feed control treatment gives the highest weight gain 3:19 g followed
by treatment of C. 1.92 g and B are 1:49 g. While the growth rate response following
successive treatment A. 2:01 + 0:38% followed by treatment of C. 1:59 + 0:50% and
treatment B. 1:03 + 0:35%. A treatment with a protein content of at least 30% is indeed
in accordance with the requirements of the nursery needs fish. With a growth rate of
2:01% is obtained feed conversion of 1: 1.68. According Boonyaratpalin (1997) needs
protein fish feed on the seeds 0.5-0.8 g size range of 30-40% in the feed. While on
treatment of local materials, although the protein content of feed B and C at 23%, but
the use of enzymes in treatment C respond better growth. Feed C is locally based feed
ingredients with the addition of the enzyme showed the pace of growth is better
(1:59%) when compared to the feed B (without the addition of enzyme) is 1:03%. The
use of the enzyme increased the level of feed digestibility from 89.67% to 95.67%
thereby increasing the efficiency of utilization of nutrients in the feed. The level of feed
digestibility even higher treatment C 12:17% from the level of digestibility of feed
controls.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
231
One of the efforts to reduce the role of protein as an energy source in the diet is
to maximize the use of carbohydrates and dietary fat as an energy source ( protein
sparring effect) . Carbohydrates are the macro elements most inexpensive nutrient feed
as a source of energy than other sources of protein and fat. Effect of carbohydrate feed
on the growth of fish depends on the source, content, digestibility, amount eaten,
environmental conditions and the type of fish ( Brauge et al., 1994) .
Factual problems faced is the physiological constraints associated with less
efficient utilization of carbohydrates feed the fish. The ingestion of carbohydrates into
simpler molecules in the gastrointestinal tract of fish involves the enzyme amylase.
Amylase enzyme activity is lower in the digestive tract of fish compared to humans and
terrestrial animals can utilize carbohydrates feed above 50 % . As a result, the supply of
glucose as an energy source derived from carbohydrates to be low. Even blood glucose
more easily obtained from the process of gluconeogenesis. This occurs because the
maximum utilization of carbohydrates which lack cell metabolism as an energy source
so that the energy metabolism of the cell is filled with the overhaul of a number of
proteins and fats . Consequently, the use of feed protein for growth becomes less
efficient .
One alternative to solving the problems in the cultivation of fish intensively by
boosting the activity of exogenous enzyme amylase in the digestive tract milkfish. The
use of enzymes in feed digestibility aims to help improve the digestibility of feed.
Increased feed digestibility of carbohydrates can increase response glycolysis
carbohydrates to produce energy. In the end use of the protein as an energy source can
be reduced and the utilization of carbohydrates as an energy source can be improved.
Protein is expected to only be used for growth and replacement of damaged tissues, not
as a source of energy. Increased use of carbohydrates by fish is expected to increase the
levels of carbohydrates and reduced levels of protein in the composition of artificial
feed so that the feed price can be lowered.
The survival rate test fish also varies between treatments. The highest survival
rate in treatment C is 91 %, and the lowest in treatment B is 80 %. The survival rate of
fish is thought to be affected by water quality maintenance media. In this engineering
activities medium used is water media that have been through the screening process.
During maintenance strived to circulate water in conditions around 12 hours / day.
Media monitoring of water quality is shown in Table 4 below .
Table 4. Monitoring of water quality media
Treatment
Temperature oC
A
B
C
28-30
28-29
28-29
Salinity
ppt
29-35
30-35
29-35
pH
7.6-8
7.6-7.8
7.6-7.7
Dissolved
oxygen mg/L
4-5
4-5
4-5
Nitrit
mg/L
< 0.001
< 0.001
< 0.001
Ammonia
mg/L
< 0.001
< 0.001
< 0.001
Based on observations of water quality , shows that the conditions for a decent
media pisciculture except parameter test salinity. 29-30 ppt salinity media that is high
enough for fish nursery. In nature milkfish undergo migration from the sea for spawning
and then the seed will come back around the river, developing a large estuary with
lower salinity. Thus during the nursery more fish in brackish water areas. But on the wet
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
232
laboratory conditions is insufficient to supply fresh water so that salinity is too high
maintenance media for separating fish . Suspected factors causing high salinity media
maintenance fish survival rate below 90 % during maintenance .
V.
CONCLUSIONS AND RECOMMENDATIONS
From the observation, nursery feed formula of milkfish based feed ingredients
locally with the addition of enzymes provide a better response, namely the growth rate
of 20.96 % higher than the feed with local materials without the enzyme. With a protein
content of only 23 %, the feed has similar control diet digestibility and growth response
given close of growing fish with control diet .
Application of local materials feed formula with a protein content under the SNI
recommended for use in semi-intensive pond along with natural food, so as to provide
optimal results .
REFERENCES
Boonyaratpalin, M. 1997 . “Nutrient requirements of marine food fish cultured in
South Asia”. Aquaculture Journal Vol 151: 283-313.
Brauge, C. F. Medale, dan G. Corraze. 1994. “Effect of dietary carbohydrate levels on
growth, body composition and glycaemia in rainbow trout, Oncorhynchus
mukiss, reared in seawater” Aquaculture Journal Vol. 123: 109-120.
Hartati S, 1986. Biologi Bandeng (Chanos chanos Forskal). Fakultas Pertanian Universitas
Gajah Mada. Yogyakarta (ID).
Hidayat, A.R, Islamiyati, R., 2006. Nilai Nutrisi Ampas Tahu yang difermentasi dengan
Berbagai
Level
Ragi
Tempe.
Repository.
Unhas.
repository.unhas.ac.id/.../NILAI%20NUTRISI%20Ampas tahu
Kompiang, I.P., T.Purwadaria, T. Hayati and Supriyati. 1997. Bioconvertion of Sago
(Metroxylon sp.) Waste Current Status of Agricultural Biotecnology in Indonesia
AARD Indonesia pp. 523 -526
Murtidjo, B.A. 2001. Pedoman Meramu Pakan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.
SNI 01-6150-1999, 1999. Produksi benih ikan Bandeng kelas benih sebar. SNI Perikanan
Budidaya. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Kementerian Kelautan dan
Perikanan. Jakarta (ID).
SNI 7308-2008, 2008. Pakan buatan untuk ikan bandeng skala intensif. SNI Perikanan
Budidaya. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Kementerian Kelautan dan
Perikanan. Jakarta (ID).
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
233
Produksi Induk Ikan Nila Salin (Oreochromis sp) : Performa Pertumbuhan dan
Reproduksi Dalam Upaya Penyediaan Benih Untuk Budidaya
Mohamad Soleh*, Agustien N**. dan Khaemudin***
Abstrak
Ikan nila salin (Oreochromis sp) saat ini tidak lagi hanya menjadi ikan konsumsi
lokal namun telah menjadi komoditas ekspor andalan dan bernilai ekonomis tinggi.
Awalnya komoditas ikan ini hanya digunakan sebagai ikan biofilter dalam budidaya
udang di tambak kemudian berkembang menjadi ikan budidaya baik di tambak maupun
budidaya dengan sistim keramba jaring apung (KJA) di laut. Terhadap salinitas tinggi,
benih ikan nila air tawar sangat rendah toleransinya sehingga perlu disiapkan benih dari
induk yang toleran salinitas tinggi. Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP)
Jepara telah menghasilkan beberapa strain induk dan benih unggul nila salin/asin yang
selama pemeliharaannya dilakukan dalam media air asin/laut.
Kegiatan bertujuan untuk menghasilkan induk unggul nila salin (toleran salinitas
tinggi) melalui uji tantang langsung salinitas 35 ppt pada populasi awal benih nila air
tawar.
Metode produksi induk nila salin unggul dilakukan dengan membesarkan benih
nila air tawar hasil pemuliaan hingga ukuran induk siap memijah. Tahap pertama benih
nila air tawar (ukuran panjang 3-5 cm/ekor) diuji tantang/stress pada salinitas tinggi (35
ppt) selama 2 jam atau populasi benih yang hidup sekitar 50 %. Tahap kedua, benih
yang hidup atau lolos uji stress dibesarkan dalam air laut hingga ukuran induk. Wadah
berupa bak volume 4 m3 , padat tebar benih 200-250 ekor/4 m3. Ikan diberi pakan
komersial (protein > 25 %, dosis 15-4 % biomas, frekwensi 3 kali sehari) dan pakan
diperkaya dengan enzim dari ekstrak buah papaya (dosis 50 ml/kg pakan). Benih ikan
adalah nila hitam (strain GESIT/Sultana, Kunti dan Srikandi) dan nila merah (strain
Larasati). Pemijahan induk dalam salinitas media 10-15 ppt, rasio jantan dan betina 1 :
3. Dosis pakan untuk pemijahan induk : 1-2 % biomas/hari, frekwensi pakan 3 kali/hari.
Pergantian air selama pembesaran dengan sistim sirkulasi dan air mengalir.
Hasil pembesaran induk ikan nila salin strain Gesit/Sultana (nila hitam)
menunjukkan pertumbuhan dengan waktu lebih cepat yaitu 4 bulan dibanding strain
Larasati (nila merah) dalam waktu 6 bulan. Rata-rata bobot tubuh nila strain
Gesit/Sultana 152,2316 g/ekor, sintasan 61,1 %, FCR 1:2,4548 dan ADG 2,07 sedangkan
pada strain Larasati 144,2467 g/ekor, sintasan 50,23 %, FCR 1:4,757 dan ADG 0,6860.
Rerata produktifitas telur atau larva per gram bobot/berat tubuh tiap induk ikan nila
hitam adalah 4,47 dan 3,78 dan 2,78 masing-masing untuk strain Gesit/Sultana (27
sampel induk), Kunti (13 sampel induk) dan Srikandi (4 sampel induk). Pada pemijahan
induk strain Gesit/Sultana dalam media air tawar (0 ppt) diperoleh produksi telur atau
larva per gram berat induk ikan adalah 3,60 (23 sampel).
*)
Perekayasa Utama, **) Perekayasa Muda,***) Perekayasa Pertama, Balai Besar
Perikanan Budidaya Air Payau, CBFA Jepara, 2016. Dipresentasikan pada APA 2016,
Surabaya tanggal 26-29 April 2016.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
234
Saline Tilapia (Oreochromis sp) Broodstock Production : Growth and Reproductive
Performance as effort the seed supply for culture
Abstract
Recently saline or salt tilapia (Oreochromis sp) is not as a local cunsume only but
is once of an export commodity with high value right now. Initially this species as a
biofiltre on shrimp brackiswater culture and then as culture species in pond and
floating net system in the sea as well. Concerning to high salinity, freshwater tilapias
offspring have low tolerance so it was important prepared from high salinity tolerance
of broodstock. Center For Brackishwater Fisheries Aquaculture Jepara has produced
some strain saline tilapias broodstock and offspring as well and during its rearing in the
sea water.
The aim of the experiment is to produce saline tilapias broodstock (high salinity
tolerance) through direct stress test in high salinity (35 ppt) on freshwater offspring
populations.
Methods of it broodstock production was executed by rearing freshwater
offspring of genetic improvement till size which is ready to spawn. Initial step is direct
stressed to the freshwater offsprings (size 3-5 cm/pcs) in high salinity (35 ppt) during 2
hours or if the population remain around 50 %. Secondly, rearing live offsprings in the
sea water till broodstock size. , The fish take place in the conctreat tank, volume 4 m 3
and stocking density is 200-250 pcs/4 m3. The fish fed by commercial pellet (25 %
protein content, dosage 15-4 % biomass, 3 times a day) and enriched by enzyme of
papaya extract (dosage 50 ml/kg of food). The strain of the fish are Gesit or Sultana,
Kunti and Srikandi (black tilapia) and Larasati (red tilapia) . Spawning of the breeder in
water salinity 10-15 ppt, male and female ratio is 1:3. Food dosage is 1-2 % of biomass a
day and frequency 3 times. Water exchange by circulation and flow water system.
Result showed that broodstock of Gesit/Sultana strain (black tilapia) growth
fastes more than Larasati strain (red tilapia) is 4 months and 6 months, respectively. The
average final body weight is 152.2316 g/pcs , survival rate is 61.1 %, FCR is 1:2.4548
and ADG is 2.07 (Gesit/Sultana strain) while Larasati strain is 144.2467 g/pcs, survival
rate is 50.23 %, FCR is 1:4.757 and ADG is 0.6860. Comparing an average productivities
of eggs or larvae/g body weight of broodstock among black tilapia : Gesit/Sultana, Kunti
and Srikandi strain are 4.47; 3.78 and 2.78, respectively. The data obtained from 27
samples, 13 samples and 4 samples, respectively. In freshwater (salinity 0 ppt)
spawning, Gesit/Sultana strain produced 3.60 eggs or larvae/g body weight of brooder
(from 23 samples).
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
235
PENDAHULUAN
Budidaya ikan nila telah berkembang secara luas di Indonesia, sebagian besar
hasil produksinya diperoleh dari usaha budidaya di air tawar, dan hanya sekitar 4 % yang
diproduksi dari budidaya air payau (KKP, 2011). Tahun 2014, produksi ikan nila
diproyeksikan sebesar 1.242.900 ton, meningkat 329 % dari tahun 2009 atau sebesar 27
% setiap tahunnya (Anonim, 2013). Diperkirakan produksinya meningkat tiap tahunnya.
Budidaya ikan nila di air payau belakangan ini cenderung naik karena teknik
budidayanya tidak rumit, permintaan konsumen tinggi dengan harga yang kompetitif
baik di tingkat lokal maupun ekspor. Di pasar lokal harga jual ikan nila mencapai lebih
dari Rp. 20.000,- per kg untuk ukuran 5-6 ekor/kg. Mudahnya budidaya ikan nila
menyebabkan ikan ini diberi julukan “aquatic chiken”.
Permasalahan penyakit virus pada budidaya udang windu di tambak beberapa
dekade lalu masih menyisakan trauma bagi pembudidaya untuk beraktifitas. Walaupun
ada yang beraktifitas jumlahnya terbatas dan taknologi budidayanya dalam skala
sederhana. Perpindahan budidaya udang windu ke komoditas udang vaname lebih
banyak dilakukan oleh pembudidaya yang cukup modal dengan teknologi maju dan
hanya sebagian kecil oleh pembudidaya skala sederhana. Dengan demikian banyak
tambak udang di air payau yang tidak dioperasionalkan atau nganggur (idle).
Diperkirakan sekitar 30-50 % lahan tambak marjinal belum termanfaatkan secara
optimal untuk budidaya (Anonim, 2013). Selain itu adanya perubahan fenomena alam
berupa gelombang besar atau naiknya permukaan air laut yang dapat menimbulkan
abrasi pantai maka banyak tambak yang tergerus dan air pasang besar masuk hingga ke
wilayah pertanian yang menyebabkan lahan tergenang oleh air laut. Lahan-lahan
tersebut menjadi tidak aman untuk budidaya udang di tambak maupun aktifitas
pertanian lainnya. Kondisi lahan ini masih dapat ditingkatkan produksinya melalui
budidaya nila salin sistim “pen culture”. Bahkan belakangan ini mulai dikembangkan
budidaya ikan nila di laut dengan sistim keramba jaring apung (Jaspe and Caipang,
2011). Kemungkinan lain pemanfaatan ikan nila salin adalah sebagai umpan hidup untuk
penangkapan ikan tuna sistim pole and line. Berdasarkan hal-hal tersebut maka
komoditas ikan nila salin memiliki potensi yang sangat besar untuk pengembangannya
di masa mendatang.
Program seleksi genetik pada ikan nila di Indonesia telah berjalan beberapa
dekade lampau dan lebih dipusatkan pada budidaya air tawar dan kajian performanya
terhadap strain-strain tilapia yang ada belum dievaluasi pada perairan payau (Putra
et.al., 2013). Pada era tahun 2010 an, program pemuliaan atau seleksi genetik mulai
dikembangkan pada ikan nila yang mampu hidup dan berkembang secara baik di media
payau atau asin. Di Indonesia, beberapa strain ikan nila telah dikaji kemampuan hidup
dan perkembang biakannya di air payau atau laut antara lain adalah strain
GESIT/Sultana, Srikandi, Pandu, Kunti, Larasati (Soleh dkk., 2012 a-b-c dan 2014 a-b),
strain Best, Nirwana, Sultana, Red NIFI dan Nila Merah (Anonim, 2013), strain GESIT,
GIFT, Nirwana dan Nila merah (Putra et.al., 2013). Jaspe dan Caipang (2011)
menggunakan tilapia O. mossambicus, O. spirolus, O. niloticus GIFT dan O. aureus dalam
proses hibridisasi di media air payau.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
236
Pada umumnya benih nila air tawar performa kehidupannya relatif rendah saat
dipelihara di tambak air payau atau asin, rata-rata sekitar 50 % tingkat hidupnya. Jaspe
and Caipang, (2011) menyebutkan bahwa nila air tawar strain Oreochromis niloticus
memilki toleransi yang rendah terhadap level salinitas tinggi, namun cukup baik dalam
pertumbuhan. Di lain pihak O. mossambicus merupakan jenis eurihalin, tetapi
pertumbuhan rendah. Red tilapia hybrid strain Florida, tumbuh baik dalam salinitas
tinggi (Watanabe et al 2006 dalam Jaspe and Caipang, 2011). Untuk meningkatkan daya
tahan yang tinggi terhadap salinitas tinggi perlu disiapkan benih nila salin yang
diproduksi dari indukan yang benar-benar toleran terhadap salinitas tinggi. Untuk
mendapatkan daya toleransi terhadap salinitas yang tinggi dari strain-strain tilapia,
Anonim (2013) melakukan uji stress salinitas tinggi (35 ppt) pada benih nila air tawar
dengan berat 100 g/ekor dan dipelihara dalam salinitas 20 ppt hingga mencapai ukuran
induk. Uji stress salinitas tinggi dengan maksud agar muncul gen toleran salinitas tinggi
pada induk ikan nila hingga muncul hal tersebut kepada keturunannya. Pada kajian
tahun 2014, Soleh dkk. (un publish) telah melakukan uji stress salinitas tinggi (35 ppt)
pada populasi benih nila air tawar berbagai strain hasil dari kegiatan pemuliaan dengan
ukuran panjang 3-5 cm/ekor atau berat antara 2-3 g/ekor. Ikan dipelihara hingga ukuran
induk dan selama pemeliharaannya menggunakan media air laut. Putra et.al (2013)
melakukan pembesaran ikan nila dalam hapa di tambak (salinitas 1-21 ppt) selama
sekitar 120 hari dengan ukuran panjang benih 2-3 cm/ekor dan berat sekitar 0,6 g/ekor
dengan kepadatan tebar benih 5 ekor/m2.
Tujuan dari kajian ini adalah menghasilkan induk ikan nila yang toleran terhadap
salinitas tinggi (air laut), memiliki performa pertumbuhan dan sintasan serta reproduksi
optimal. Benih yang dihasilkan memiliki daya tahan yang tinggi terhadap fluktuasi
salinitas, cepat tumbuh dan sintasan tinggi dalam kegiatan budidaya.
BAHAN DAN METODE
Uji stress salinitas tinggi pada benih
Produksi induk nila salin atau asin diawali dengan pengujian tingkat ketahanan
benih terhadap salinitas 35 ppt. Benih berasal dari nila air tawar keturunan induk hasil
program pemuliaan oleh unit pembenihan yang telah diakui oleh pemerintah.
Berbagai strain nila hasil pemuliaan dapat digunakan dalam produksi induk unggul nila
asin baik katagori nila hitam maupun nila merah. Nila hitam meliputi strain
GESIT/Sultana (BBPBAT Sukabumi), strain Srikandi (Balitbang Air Tawar, Sukamandi) dan
strain Kunti (Balai Benih Ikan Sentral, Janti, Boyolali) sedangkan nila merah adalah strain
Larasati (Balai Benih Ikan Sentral, Janti, Boyolali). Ukuran panjang total benih antara 3-5
cm/ekor. Benih ikan nila diadaptasi dalam media air tawar hingga kondisinya sehat,
kemudian dimasukkan langsung kedalam media dengan salinitas 35 ppt (saat salinitas
air laut tinggi atau penambahan ditambah dengan larutan garam hingga salinitas yang
diinginkan). Kepadatan benih uji adalah 1 ekor/1 liter media. Uji daya tahan benih
dalam waktu 2 jam atau dihentikan bila populasi benih diketahui hanya tersisa 50 %.
Selanjutnya benih hasil uji dipindahkan kedalam media air salinitas 20 ppt selama 24
jam untuk menjaga kondisi normal kemudian dipindahkan ke media air laut untuk
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
237
didederkan dan dibesarkan menjadi induk siap pijah. Selama pembesaran hingga
menjadi induk nila asin, menggunakan media air laut salinitas > 30 ppt.
Pemeliharaan calon induk
Induk nila asin unggul diproduksi dengan membesarkan benih nila air tawar hasil
uji stress atau uji daya tahan pada media salinitas tinggi (35 ppt). Benih yang lolos uji
stress dibesarkan dalam media air laut hingga ukuran induk dan siap memijah. Wadah
pemeliharaan induk berupa bak volume 4 m3 (2 x 2 x 1 m) atau berukuran lebih besar
untuk produksi masal. Pemeliharaan ikan dengan sistim modular, dipindah ke wadah
lain yang telah dipersiapkan. Jumlah kepadatan tebar benih awal adalah 40-50
ekor/m2. Pengaturan padat tebar ikan adalah 40 - 50 ek/m2 (hingga berat 20 g/ek); 30 40 ek/m2 (hingga berat 50 g/ek); 20 - 30 ek/m2 (hingga berat 100 g/ek); 10 - 20 ek/m2
(hingga berat 200 g/ek). Ikan diberi pakan komersial (protein > 25 %, dosis 15-4 %
biomas, frekwensi 3 kali sehari) dan pakan diperkaya dengan enzim dari ekstrak buah
papaya (dosis 50 ml/kg pakan). Selama pembesaran menjadi induk, ikan dipelihara
dalam media air laut (salinitas sekitar 30 ppt). Penggantian air dilakukan tiap hari sekali
hingga air tinggal 10-30 % dari volume wadah bersamaan dengan pembersihan kotoran
dan selanjutnya dengan sistim air mengalir hingga hari berikutnya. Setiap bulan
dilakukan sampling pertumbuhan dan sintasan ikan untuk penentuan padat tebar dan
kebutuhan pakan.
Pemijahan induk
Pemijahan menggunakan induk ikan nila salin hasil pembesaran di media air laut
dan proses pemijahan dalam media bersalinitas 10-15 ppt, volume wadah 4 m3. Induk
ikan dipilah antara kelamin jantan dan betina, ditampung dalam wadah terpisah hingga
dilakukan seleksi kematangan gonad masing-masing. Seleksi kematangan gonad betina
dilakukan 10-15 hari setelah pemisahan kelamin dan induk betina yang siap pijah
dimasukkan dalam wadah pemijahan dan 4-7 hari kemudian dimasukkan induk jantan.
Rasio induk jantan dan betina adalah 1 : 3 dengan kepadatan tebar 1 kg/m3 media
pemijahan. Pengelolaan pakan, dosis 1-2% biomas/hari, protein pakan 25%, frekwensi
pemberian pakan 3 x sehari .dan pakan diperkaya dengan ekstrak buah papaya.
Penggantian air pemijahan adalah 50 % volume media tiap seminggu sekali.
Pengamatan parameter kualitas media, suhu tiap hari dan oksigen terlarut (DO) 2 kali
dalam seminggu. Pemanenan telur atau larva dilakukan setelah larva mulai nampak
berenang di permukaan media pemijahan atau setelah masa pemeliharaan induk sekitar
30 hari. Sampel induk yang memijah diamati produktifitas telur maupun larvanya saat
masih dierami dalam mulut induk ikan betina.
HASIL DAN BAHASAN
Toleransi benih terhadap salinitas
Uji tantang atau stress dilakukan untuk mengetahui daya tahan atau toleransi
ikan nila air tawar terhadap tekanan salinitas tinggi melalui cara perendaman benih ikan
dalam air bersalinitas 35 ppt, selama waktu 2 jam (Gambar 1). Tujuan dari uji stress
salinitas tinggi agar muncul gen toleran salinitas tinggi dari ikan nila sehingga
menunjukkan performa yang lebih baik selama pemeliharaan dalam media air laut.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
238
Tingkat toleransi ikan terhadap salinitas tinggi diukur dengan besarnya sintasan (tingkat
kehidupan) dari ikan. Ikan yang lolos atau hidup dari uji stress tersebut dilanjutkan
pemeliharaannya dalam air laut sebagai populasi awal induk toleran salinitas tinggi
(induk nila salin/asin). Pada kajian ini diamati pola atau perilaku ikan saat uji stress
salinitas tinggi dan diamati kondisi ikan tiap 15 menit sekali. Populasi benih uji sebanyak
100 ekor dalam volume media air 100 liter.
Pola ketahanan benih nila air tawar sebagai calon induk nila salin melalui
perlakuan stress langsung dalam salinitas 35 ppt, selama waktu lebih dari 2 jam
ditunjukkan sebagaimana pada Gambar 1. Pada 15 menit pertama, ikan nampak masih
berada di dasar wadah dan air permukaan mulai berbuih (pada menit ke 30) dan ikan
masih di dasar wadah. Timbulnya buih atau lendir karena proses osmoregulasi ikan dan
ikan menjadi tertekan atau stress. Munculnya stress pada ikan ditandai dengan
keluarnya lendir dan berakhir dengan kematian ikan. Tanda-tanda ikan mulai berkurang
keseimbangannya terlihat dari ikan berenang di tengah media air (teramati pada menit
ke 45). Pada menit ke 60, sebagian populasi ikan berenang lemah di permukaan air dan
ikan mulai berenang tidak normal, posisi tubuh miring dan adanya perubahan warna
tubuh, teramati pada menit ke 90. Pada menit ke 105, populasi ikan semakin banyak
yang berenang di permukaan air dan perubahan warna tubuh semakin tajam (gelap)
dan ikan semakin banyak yang berada di permukaan air, yang teramati pada menit ke
120. Ikan yang sedang mengalami stress dan kondisinya sekarat menunjukkan
perubahan perilaku dan warna tubuh berbeda dari kondisi normalnya. Ikan nila
berwarna agak gelap karena pengaruh stress maka warna tubuhnya berubah semakin
gelap, sedang ikan nila berwarna merah maka warna tubuhnya menjadi semakin pucat.
Terhitung sekitar 50 % ikan mulai sekarat, mengapung dan sebagian dalam kondisi
lemah di dasar wadah yang teramati pada menit ke 150. Pada menit ke 180, ikan
semakin banyak di dasar wadah dan hanya sekitar 30 % yang bertahan hidup.
Gambar 1. Pola ketahanan benih nila air tawar melalui uji stress salinitas 35 ppt
Pada dasarnya ikan tilapia memiliki toleransi terhadap salinitas yang lebar bahkan
dapat mencapai > 45 ppt. Pada pengujian ini, semua strain benih air tawar diuji stress
salinitas 35 ppt dan sintasan benih diperoleh sekitar 50 % dalam waktu 2 jam.
Perpanjangan waktu uji hingga 3 jam, sintasan benih turun menjadi sekitar 31 %
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
239
(Gambar 1). Perschbacher (1992) dalam Cnaani et.al. (2011), menyebutkan bahwa
aklimatisasi tarhadap salinitas tinggi hasilnya akan berbeda antar berbagai jenis ikan
dan waktu serta tingkat salinitas awalnya. Aklimatisasi satu tahap pada ikan tilapia
jenis Oreochromis mossambicus yaitu dari salinitas intermediate (medium) ke air laut
langsung, dibutuhkan waktu 1 hari tanpa terjadinya kematian sedangkan pada jenis O.
aureus dalam waktu 4 hari dan O. niloticus dalam waktu 8 hari. Yao et al. (2008)
dalam Cnaani et.al. (2011), melakukan uji stress pada benih O. niloticus air tawar
dengan berat antara 8-12 g/ekor dipindahkan ke air laut langsung atau peningkatan
salinitas secara bertahap, pengamatan kehidupannya 3 hari kemudian. Pemindahan
langsung kedalam salinitas 17 ppt, diperoleh kehidupan benih antara 80-90 %.
Peningkatan salinitas yang lebih tinggi kehidupan/sintasan benih hanya diperoleh 3040 % (kematian ikan cukup tinggi). Aklimatisasi secara bertahap hingga salinitas 30 ppt
selama lebih dari 2 hari, diperoleh sintasan benih cukup tinggi antara 78-81 %. Oleh
karena itu pemindahan ikan secara bertahap dari air tawar ke air laut maka ikan lebih
toleran terhadap salinitas tinggi dibanding pemindahan secara langsung. Muir and
Robert (1993) bahwa setelah ikan masuk kedalam air laut, terjadi perubahan
elektrolisit dalam darah dan jaringan untuk sementara waktu dan kondisi ikan akan
kembali stabil dalam waktu satu minggu. Pada uji ketahanan dalam air laut (salinitas
35 atau 40 ppt) titik kritis yang baik untuk pengamatan kehidupan antara 1-3 hari.
Pertumbuhan dan sintasan (survival rate) ikan
Strain ikan nila salin (Oreochromis sp) yang dibesarkan menjadi induk adalah hasil
dari uji stress langsung dalam salinitas 35 ppt dan benih selamanya dipelihara dalam
media air laut dengan sistim air mengalir hingga menjadi induk. Oleh karena itu daya
tahan benih relatif tinggi dalam salinitas yang tinggi. Pada kajian ini digunakan benih
air tawar berukuran panjang 3-5 cm atau berat sekitar 2-3 g/ekor dan dipelihara
hingga menjadi induk selamanya dalam air laut. Tabel 1 menggambarkan performa
ikan nila salin/asin strain GESIT dapat mencapai berat rata-rata/ekor > 150 g selama
waktu 4 bulan pemeliharaan (sejak dari ukuran benih tebar). ADG ikan 2,0795 dengan
FCR 1:2,4548 dan total pakan selama pemeliharaan adalah 46.066,75 g.
Tabel 1. Performa ikan nila salin strain GESIT selama pemeliharaan dalam air laut
Periode
sampling
Jumlah
ikan
(ekor)
Sintasan/
survival
rate (%)
Biomas
ikan
(g)
Rerata
panjang
(cm)
Rerata
berat
(g)
Jumlah
pakan
harian
(g)
Total
pakan
per
bulan
(g)
Awal
tebar
189
100
474,39
5,4166±0,3049
2,5100
71,1585
(15 %)
2.134,75
1
182
96,30
2.306,16
8,1166±0,3754
12,7184
230,6161
(10 %)
7.425,0
2
150
78,46
9.150,0
14,5099±0,5239
62,3146
640,50
(7 %)
19.215,0
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
240
3
132
69,39
14.410,0
17,7566±0,6067
109,5794
576,40
(4 %)
4
116
61,10
18.807,0
18,2716±0,5626
152,2316
-
17.292,0
Pada benih strain nila LARASATI dengan perlakuan yang sama, diperoleh
performa sebagaimana Tabel 2. Untuk mencapai berat sekitar 150 g/ekor dibutuhkan
waktu sekitar 6 bulan (2 bulan lebih lambat dibandingkan dengan strain GESIT). ADG
ikan 0,6860 dengan FCR 1:4,757 dan total pakan selama pemeliharaan adalah 67.411,5
g.
Tabel 2. Performa ikan nila salin strain LARASATI selama pemeliharaan dalam air laut
Periode Jumla Sintasan Bioma
Rerata
Rerata
Jumla
Total
samplin
h
/
s
panjang
berat
h
pakan
g
ikan
survival
ikan
(cm)
(g)
pakan
per
(ekor) rate (%)
(g)
harian bulan
(g)
(g)
Awal
200
100
625
4,7522±0,3135
3,1255
93,75 2.812,
tebar
(15 %)
5
1
198
98,4
2.309 8,9333±0,4058
8,7090
230,9
6.927
(10 %)
2
184
87,70
3.550 11,5978±0,545 22,2656 248,5
7.455
7
(7 % )
3
164
76,57
7.740 13,3060±0,365 55,7741 541,8 16.254
6
(7 % )
4
143
66,64
9.190 16,5852±0,700 74,6328 643,3 19.299
1
(7 %)
5
123
61,50
12.220 17,1355±0,657 111,577 488,8 14.664
3
1
(4 %)
6
112
50,23
13.750 18,0266±0,901 144,246
Ttlg)
7
7
Pada kajian ini digunakan ikan nila strain GESIT (Genetically Supermale Indonesia
Tilapia) air tawar hasil pemuliaan dari BBPBAT Sukabumi, Jawa Barat. Nila ini secara
genetik diarahkan untuk menjadi nila jantan super. Perbaikan genetisnya yaitu
menciptakan chromosome sex YY yang dibuat dengan metode rekayasa khromosom sek
nila jantan normal (XY) dan betina (XX). Keunggulannya rekayasa ini adalah dihasilkan
benih yang sekitar 90 % berkelamin jantan dan sisanya adalah kelamin betina,
pertumbuhan 30 % lebih cepat dari ikan aslinya pada kondisi media air tawar.
Berdasarkan keunggulan tersebut dipilih strain GESIT untuk pengembangan indukan
ikan yang toleran salinitas tinggi melalui stressing salinitas tinggi. Pada salinitas
pemeliharaan sekitar 30 ppt (air laut) menunjukkan performa pertumbuhan berbeda.
Selama 4 bulan pemeliharaan diperoleh berat rata-rata sekitar 150 g/ekor (Tabel 1).
Kondisi yang relatif sama terlihat pada nila strain LARASATI (Nila merah strain Janti) dari
Balai Benih Ikan Sentral, Boyolali, Jawa Tengah yang merupakan persilangan dari ikan
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
241
nila hitam dan nila putih atau agak merah.
Keunggulan strain ini adalah
pertumbuhannya seperti nila putih/merah namun respon pakannya seperti nila hitam
dan waktu pemeliharaannya lebih cepat dari ikan aslinya (dalam media air tawar).
Selama 6 bulan pemeliharaan dalam media air laut (salinitas sekitar 30 ppt) diperoleh
berat rata-rata sekitar 144 g/ekor (Tabel 2). Berdasarkan hasil pertumbuhan kedua
strain tersebut, maka untuk mencapai ukuran berat yang relatif sama dibutuhkan lama
waktu pemeliharaan yang berbeda. Selain perbedaan strain ikan, wadah pemeliharaan
ikan ikut pula berperan dalam pencapaian bobot individu. Pada pembesaran nila di
tambak dengan ukuran panjang benih tebar 5-8 cm/ekor dapat dicapai berat sekitar 200
g/ekor dalam waktu 2,5 bulan, sedangkan dalam wadah kolam untuk mencapai ukuran
berat yang sama dibutuhkan waktu 4 bulan (Anonim, 2011). Hal lainnya yang dapat
berpengaruh pada pertumbuhan adalah kepadatan tebar ikan.
Pengujian ini
menggunakan kepadatan tebar ikan 40-50 ekor/m2 dan diduga jumlahnya cukup tinggi
sehingga ruang gerak ikan menjadi terbatas dan secara tidak langsung menghambat
pertumbuhan. Putra et.al (2013) menggunakan benih ukuran panjang 2-3 cm/ekor dan
berat sekitar 0,6 g/ekor dengan kepadatan tebar benih 5 ekor/m2 dalam pembesaran di
tambak .
Salinitas yang tinggi umumnya menghambat pertumbuhan ikan nila air tawar
yang digunakan dalam pengujian ini. Hal ini berhubungan dengan proses osmoregulasi
ikan yang terjadi selama ikan dalam lingkungan media air asin. Enerji dari pakan yang
seharusnya menjadi daging banyak digunakan untuk keseimbangan tubuh dalam
mempertahankan kehidupannya. Pada tabel 1 dan 2 menunjukkan pertumbuhan ikan
yang lambat selama pemeliharaan dalam media air laut. Pertumbuhan yang normal
dalam air tawar, selama waktu 4-6 bulan berat ikan rata-rata dapat mencapai lebih dari
ukuran tersebut. Akan tetapi dalam media salinitas tinggi (air laut) pertumbuhannya
menjadi lambat. Pertumbuhan O. niloticus pada salinitas tinggi secara nyata lebih
rendah dibandingkan pada salinitas rendah (Fineman, K. 1988 dalam Cnaani et.al. 2011),
walau tingkat kehidupannya tidak dipengaruhi oleh salinitas. Salinitas tinggi nampaknya
dapat menekan atau setidaknya memperlambat pertumbuhan, serta permulaan
reproduksinya. Hasil pengujian Putra et.al. (2013) diperoleh pertumbuhan ikan nila
yang rendah atau lambat (SGR < 1,5 %/hari) selama 124 hari percobaan dalam salinitas
akhir 21 ppt. Selain karena faktor salinitas pertumbuhan ikan dipengaruhi pula oleh
faktor penurunan kualitas air di tambak. Terdapat beberapa hasil laporan bahwa
salinitas tinggi menurunkan atau memperlambat pertumbuhan ikan nila. Liu et.al.
(2008) mendapatkan pertumbuhan nila hybrid (O. niloticus x O. aureus) menurun pada
salinitas diatas 10 ppt, dan Cnaani and Hulata (2011) mendapatkan pertumbuhan O.
niloticus dalam pemeliharaan di air laut yang 60 % lebih lambat dibanding nile tilapia
dalam air tawar.
Pada pembesaran calon induk /induk nila strain GESIT selama dalam media air
laut (salinitas sekitar 30 ppt) diperoleh rata-rata FCR = 1:2,4548 dengan rata-rata ADG
2,0795. Nilai FCR tergolong masih tinggi dengan ADGnya relatif masih rendah. Diduga
faktor salinitas tinggi selama pemeliharaan memperlambat pertumbuhan ikan sehingga
jumlah total pakan ikan yang digunakan cukup tinggi. Performa lebih ekstrim terlihat
pada pertumbuhan ikan nila strain LARASATI dengan FCR mencapai 1:4,757 dan ADG
0,680. Putra et.al. (2013), melakukan pemeliharaan ikan nila strain merah dan hitam di
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
242
tambak (salinitas awal 1 ppt hingga 21 ppt pada akhir pemeliharaan) selama 4 bulan
diperoleh nilai FCR antara 1:0,9-1:1,27. Strain tilapia merah secara umum tumbuh lebih
cepat dalam salinitas relatif rendah (1-21 ppt) dibanding 3 strain nila hitam lainnya
(Gesit, Gift dan Nirwana). Anonim (2011) melakukan pemeliharaan ikan nila di tambak
selama 4 bulan, diperoleh FCR 1:1,3 dengan ADG mencapai 4,1 g/hari. Dalam
populasinya terdapat perbedaan pertumbuhan ikan nila kelamin jantan dan betina. Nila
kelamin jantan tumbuh 40% lebih cepat dari pada nila betina. Pada kelamin betina,
setelah mencapai ukuran 200 g pertumbuhannya melambat, sedangkan kelamin jantan
tetap tumbuh pesat. Seperti halnya kelompok ikan nila Oreochromis sp. , terdapat jenis
ikan lain yang karakternya mirip yaitu ikan jenis Cichlasoma uropthalsmus yang toleran
terhadap salinitas 0 – 38 ppt (euryhaline). Kelompok ikan ini tumbuh baik pada
lingkungan isotonik (Muir and Robert, 1993). Martinez-Palcios (1987) dalam Muir and
Robert (1993) menguji ikan tersebut dengan memindahkan langsung dari kondisi air
tawar ke salinitas 0, 10, 20 dan 30 ppt untuk melihat pertumbuhan benih C.
uropthalmus. Pertumbuhan terbaik diperoleh pada salinitas 10 dan 20 ppt. Berat tubuh
akhir, tambahan berat, specific growth rate (SGR), food intake dan rasio konversi pakan
(FCR) selalu lebih baik dalam lingkungan media salin tersebut.
Secara keseluruhan sintasan induk dari 2 strain ikan uji selama masa
pemeliharaan di air laut (sekitar 30 ppt) adalah 61,10 % dan 50,23 % masing-masing
untuk strain GESIT dan LARASATI. Sintasan tersebut diperoleh selama 4 bulan
pemeliharaan (strain GESIT) dan 6 bulan (strain LARASATI). Penurunan sintasan ikan
terjadi setiap selesainya kegiatan sampling pertumbuhan yang diduga terjadinya
kematian dari ikan yang terkena sampling pertumbuhan. Kemungkinan lain yang dapat
menurunkan populasi disebabkan oleh penggunaan kepadatan tebar ikan yang cukup
tinggi. Hasil kajian Putra et.al. (2013) yang memelihara 4 strain ikan (GESIT, GIFT,
NIRWANA, Red Tilapia) di tambak selama 124 hari diperoleh sintasan yang relatif rendah
antara 39-48 %. Pada lingkungan media salinitas tinggi ikan nila sensitif terhadap
penanganan dan mudah timbul infeksi sekunder (luka-luka pada kulit tubuh ikan)
sehingga cenderung menurunkan populasi. Wabah penyakit dan kematian tinggi dapat
muncul dalam pemeliharaan tilapia di salinitas tinggi dibanding pada pemeliharaan di
lingkungan air tawar (Chang & Plumb 1996 dalam Jaspe and Caipang, 2011). Pada
pemeliharaan Oreochromis niloticus diperoleh sintasan 90 – 95 % dalam salinitas 12,813,5 ppt (Kumar et.al., 2009). Anonim (2011), melalkukan pemeliharaan ikan nila di
tambak selama 4 bulan diperoleh tingkat kelangsungan hidup/Survival Rate (SR) sebesar
80%.
Reproduksi induk
Induk ikan nila salin tiap strain diukur tingkat reproduksinya dari individu sampel
ikan nila hitam (strain GESIT, KUNTI dan SRIKANDI) yang memijah dalam bentuk telur
atau larva diperoleh masih dalam kondisi masih dierami dalam mulut induk betina dari
seluruh sampel. Seluruh induk betina dipijahkan dalam salinitas antara 10-15 ppt. Pada
pengamatan performa reproduksi induk nila salin strain GESIT generasi awal (G-0)
ditunjukkan sebagaimana Tabel 3. Tingkat produktifitas telur atau larva bervariasi
terhadap berbagai ukuran panjang dan berat sampel induk uji dan produktifitas induk
tidak berbanding lurus dengan ukuran panjang atau beratnya. Dari 13 sampel induk
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
243
yang diamati, terdapat individu induk berukuran berat lebih kecil menghasilkan jumlah
telur atau larva lebih banyak dibanding induk yang berukuran lebih besar. Namun
demikian secara umum induk yang berukuran lebih besar cenderung menghasilkan
jumlah telur atau larva yang lebih banyak. Selain itu waktu kematangan gonad antar
induk yang dipijahkan nampak tidak bersamaan karena saat panen diperoleh larva yang
dierami oleh induk betina sudah dalam kondisi dapat langsung berenang sedangkan
yang lainnya masih dengan kuning telur (belum dapat berenang). Rasio jumlah larva
yang dihasilkan per gram berat tubuh induk menunjukkan nilai cukup tinggi antara 3-5
ekor/g berat tubuh induk atau rata-rata 4,47. Pada periode pemijahan induk G-0 strain
GESIT ini tidak teramati hasil produksi dalam bentuk telur (Tabel 3).
Tabel 3. Performa reproduksi induk nila salin strain GESIT/Sultana generasi
awal (G-0) yang dipijahkan dalam salinitas media 10-15 ppt
Panjang
Berat
Jumlah
Rasio
Jumlah
Rasio
total
tubuh
telur
telur/
larva
larva/
tubuh
(g)
(butir)
g berat
(ekor)
g berat
(cm)
tubuh
tubuh
21,0
160
800*
5,00
*
21,3
165
820
4,96
20,0
130
700*
5,38
**
22,5
225
1.317
5,85
18,5
110
574**
5,21
**
18,2
105
367
3,49
21,7
230
768**
3,33
**
21,5
200
820
4,10
22,0
235
1.050*
4,47
*
20,5
220
1.000
4,54
20,7
210
1.100*
5,23
*
19,5
125
417
3,25
19,0
120
408*
3,40
R=4,47
Keterangan * = larva berenang
** = larva dengan kuning telur
R = rerata
Sebagai perbandingan produktifitas telur induk ikan dilakukan pengamatan
reproduksinya melalui pemijahan dalam media air tawar (0 ppt). Hasil pengamatannya
pemijahan induk sebagaimana pada Tabel 4. Pada periode pemijahan ini diperoleh
jumlah induk sampel 23 ekor dan teramati sebanyak 4 ekor memijah dalam bentuk
telur dengan kisaran rasio 2,0-5,8 butir telur/g bobot ikan atau rerata 4,59 dan teramati
dalam bentuk larva langsung dapat berenang maupun masih dengan kuning telur pada
kisaran rasio 2,20-5,70 ekor larva/g bobot tubuh induk atau rerata 3,60.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
244
Tabel 4. Performa reproduksi induk nila salin strain GESIT/Sultana generasi awal
(G-0) yang dipijahkan dalam media air tawar (salinitas 0 ppt)
Panjang
Berat
Jumlah
Rasio
Jumlah
Rasio
total
individu
telur
telur/
larva
larva/
(cm)
(g)
(butir)
g berat
(ekor)
g berat
tubuh
tubuh
*
21,0
200
475
2,37
21,0
200
559*
2,79
***
20,0
175
350
2,00
21,0
200
552**
2,76
22,0
225
766*
3,40
19,2
150
669*
4,46
*
20,0
150
535
3,56
21,0
200
1.040*
5,02
***
21,5
200
1.168
5,84
21,5
200
500**
2,50
24,0
250
1.140**
4,56
23,0
200
600**
3,00
***
22,0
150
870
5,80
23,0
200
1.000*
5,00
22,0
200
748*
3,74
20,5
200
740**
3,70
*
21,2
225
886
3,93
20,5
150
615**
4,10
***
26,0
300
1.423
4,74
23,5
300
1.710**
5,70
26,0
300
757**
2,52
*
24,0
250
780
3,12
21,0
250
550*
2,20
R = 4,59
R = 3,60
Keterangan * = larva berenang
** = larva dengan kuning telur
*** = telur belum menetas
R = rerata
Pada pemijahan induk ikan nila salin strain Kunti, diperoleh hasil produksi telur
dan larva sebagaimana disajikan dalam Tabel 5. Dari 13 ekor sampel induk yang
dipijahkan hanya didapatkan satu induk menghasilkan telur dengan rasio 3,71 butir/g
bobot tubuh induk sedangkan sisanya dalam bentuk larva berenang maupun masih
dengan kuning telur pada kisaran rasio 2,24-5,55 ekor/g bobot tubuh induk atau rerata
3,78.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
245
Tabel 5. Performa reproduksi induk nila salin strain Kunti generasi awal (G-0) yang
dipijahkan dalam media salinitas 10-15 ppt
Panjang
Berat
Jumlah
Rasio
Jumlah
Rasio
total
tubuh
telur
telur/
larva
larva/
tubuh
(g)
(butir)
g berat
(ekor)
g berat
(cm)
tubuh
tubuh
**
21,5
150
783 (((
5,22
22,0
200
742
3,71***
*
19,0
100
224
2,24
20,5
180
1.000**
5,55
*
21,5
200
1.100
5,50
21,3
200
1.000*
5,00
**
22,7
250
1.100
4,40
21,3
225
945**
4,20
*
21,0
200
645
3,22
21,6
210
690*
3,28
*
22,5
240
862
3,59
22,0
300
1.500*
5,00
*
21,7
200
500
2,25
3,71
R= 3,78
Keterangan * = larva berenang
** = larva dengan kuning telur
*** = telur belum menetas
R = rerata
Pada pemijahan induk ikan nila salin strain Srikandi, seluruhnya diperoleh hasil
produksi larva sebagaimana disajikan dalam Tabel 6. Dari 4 ekor sampel induk yang
dipijahkan tidak didapatkan induk yang menghasilkan telur dan seluruh induk memijah
dalam bentuk larva berenang maupun masih dengan kuning telur pada kisaran rasio
2,59-3,30 ekor/g bobot tubuh induk atau rerata 2,78.
Tabel 6. Performa reproduksi induk nila salin strain Srikandi generasi awal (G-0) yang
dipijahkan dalam salinitas media 10-15 ppt
Panjang
Berat
Jumlah
Rasio
Jumlah
Rasio
total
tubuh
telur
telur/
larva
larva/
tubuh
(g)
(butir)
g berat
(ekor)
g berat
(cm)
tubuh
tubuh
*
21,5
300
777
2,59
22,0
280
727**
2,60
*
22,5
325
1.075
3,30
21,8
310
812*
2,63
R=2,78
Keterangan * = larva berenang
** = larva dengan kuning telur
R = rerata
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
246
Pada pengujian ini dicoba strain-strain induk nila salin warna hitam (GESIT/Sultana,
Kunti dan Srikandi) yang dipijahkan dalam salinitas 10-15 ppt untuk optimalisasi
keberhasilan pembuahan. Dari jumlah sampel induk yang dipijahkan, secara umum
induk nila salin strain GESIT relatif lebih produktif dibandingkan dengan strain Kunti dan
Srikandi (Tabel 3, 4, 5 dan 6). Hasil pemijahan induk strain GESIT dalam salinitas 10-15
ppt dan air tawar (0 ppt) diperoleh poduktifitas telur atau larva yang relatif berimbang
dan bahkan lebih tinggi (Tabel 3 dan 4). Pada pemijahan nila strain Gesit dalam salinitas
10-15 ppt, dengan berat induk 225 g dapat menghasilkan larva 1.317 ekor dengan rasio
5,85 ekor/g bobot tubuh induk (Tabel 3). Pada pemijahan dalam air tawar (0 ppt)
dengan ukuran berat 105 g menghasilkan 367 ekor larva dengan rasio 3,49 ekor/g bobot
tubuh induk (Tabel 3) dan berat 300 g dapat menghasilkan 1.423 butir telur dengan
rasio 4,74 butir/g tubuh induk dan 1.710 ekor larva dengan rasio 5,70 ekor/g tubuh
induk (Tabel 4). Menurut Jaspe and Caipang (2011), ikan tilapia berukuran berat
minimal 70 g adalah kandidat ideal untuk produksi telur yang baik. Menurut Anonim
(2011), sejak umur 4 bulan ikan nila sudah mulai memijah dan induk betina yang matang
kelamin dapat menghasilkan telur antara 250-1.100 butir dengan rasio jumlah telur per
gram bobot tubuh adalah 1-4 butir. Ridha and Cruz (2000) dalam Jaspe and Caipang
(2011) menyebutkan bahwa tilapia memiliki fekunditas telur yang rendah dan
pemijahannya tidak sinkron. Selain ukuran induk yang digunakan, jumlah telur atau
larva yang dihasilkan dapat dipengaruhi pula oleh musim. Dalam bulan-bulan kemarau,
umumnya induk betina menghasilkan telur lebih awal sekitar 15 hari setelah penebaran,
sedangkan selama bulan dingin atau penghujan induk betina menghasilkan telur 1 bulan
setelah proses pemijahan (Jaspe and Caipang, 2011).
KESIMPULAN
Perlakuan uji stress salinitas tinggi (35 ppt) dalam mendapatkan induk ikan nila
toleran salinitas tinggi dapat dilakukan pada ikan berukuran benih (3-5 cm/ekor) dan
pembesarannya di bak hingga berukuran induk siap memijah selamanya dalam media
air laut bersalinitas sekitar 30 ppt. Pertumbuhan induk nila salin hitam strain
GESIT/Sultana relatif lebih cepat dibandingkan nila merah strain LARASATI dengan
ukuran berat tubuh dan sintasannya relatif berimbang. Tingkat produktifitas telur
maupun larva per gram berat tubuh diantara induk nila hitam strain GESIT yang
dipijahkan dalam salinitas 10-15 ppt
menghasilkan rasio relatif lebih besar
dibandingkan strain Kunti dan Srikandi. Rasio produktifitas telur atau larva dari nila
strain GESIT yang dipijahkan dalam media air payau dan media air tawar memiliki nilai
yang berimbang.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Petunjuk Teknis Pembenihan dan Pembesaran Ikan Nila, Oreochromis
niloticus. Dinas Kelautan dan Perikanan, Provinsi Sulawesi Tengah. 32 halaman.
Anonim. 2013. Benih Hibrida Ikan Nila Salina (Oreochromis sp.). Pusat Teknologi
Produksi Pertanian, Deputi Bidang Agroindustri dan Bioteknologi, Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta. 69 halaman.
Cnaani, A.; A. Velan and G. Hulata. 2011. Improving Salinity Tolerance in Tilapias: A
Review. Institute of Animal Science, Agricultural Research Organization, Volcani
Center PO Box 6, Bet Dagan 50250, Israel. Proceedings of The Ninth
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
247
International Symposium on Tilapia in Aquaculture. Liu Liping and Kevin
Fitzsimmons (Eds). Shanghai Ocean University, Shanghai, China. 22-24 April
2011. p. 193-201.
Jaspe, C.J. and C.M.A. Caipang. 2011. Small scale hatchery and larval rearing techniques
for local strains of saline-tolerant tilapia, Oreochromis spp. ABAH Bioflux. Animal
Biology and Animal Husbandry. International Journal of the Bioflux Society.
Volume 3, Issue 1. p. 71-77.
Kumar, A., A. Bhatnagar, S. K. Garg, and S. N. Jana. 2009. Growth performance of Nile
tilapia, Oreochromis niloticus (Linn.) in relation to provision of substrate and
supplementary feeding, and grown in brackish water ponds. Asian Fisheries
Science 22:1,211–1,233.
Luan, T. D., I. Olesen, J. Ødegård, K. Kolstad, and N. C. Dan. 2008. Genotype by
environment interaction for harvest body weight and survival of Nile tilapia
(Oreochromis niloticus) in brackish and freshwater ponds. In From the Pharaohs
to the Future: Proceedings of the Eighth International Symposium on Tilapia in
Aquaculture, edited by H. Elghobashy, K. Fitzsimmons and A. S. Diab, 231–240.
Cairo, Egypt: Egypt Ministry of Agriculture.
Muir, J.F. and R.J. Robert. 1993. Recent Advances in Aquaculture IV. Institute of
Aquaculture Blackwell Scientific Publication. First published. 340 pp.
Putra, Nana S.S.U., Imran Lapong, Michael A. Rimmer, Sugeng Raharjo and Navneet K.
Dhand. 2013. Comparative Performance of Four Strains of Nile Tilapia
(Oreochromis niloticus) in Barckish Water Ponds in Indonesia. Brackishwater
Aquaculture Center, Takalar-South Sulawesi-Indonesia; ACIAR Field Support
Office, Makassar-South Sulawesi-Indonesia and Faculty of Veterinary Science,
University of Sydney, Camden, Australia. Journal of Applied Aquaculture,
25:293–307, 2013.
Soleh, M.; M. Mardjono dan L. Ruliaty. 2012 a. Peningkatan Produktivitas Induk Ikan Nila
(Oreochromis sp) Melalui Pemijahan Inter dan Intra Species Pada Media Salin.
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau, Jepara. Bulletin Budidaya Mina.
Volume 12. 11 halaman.
Soleh, M.; A. Fairus Mai Soni dan Tri Supratno K.P. 2012 b. Pertumbuhan dan Sintasan
Benih Ikan Nila Strai Gesit Pada Media Air Payau. Balai Besar Pengembangan
Budidaya Air Payau, Jepara. Bulletin Budidaya Mina. Volume 12. 7 halaman.
Soleh, M.; Suhartono dan A. Fairus Mai Soni. 2012 c. Aplikasi Ekstrak Buah Pepaya Untuk
Peningkatan Pertumbuhan Benih Ikan Nila Gesit Salin. Balai Besar Pengembangan
Budidaya Air Payau, Jepara. Bulletin Budidaya Mina. Volume 12. 10 halaman.
Soleh, M.; M. Rizal dan Ita R. 2014 a. Performa Pertumbuhan dan Ketahanan Benih Nila
Salin Melalui Vaksinasi. Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau, Jepara.
Indoaqua 2014 di Jakarta. 21 halaman.
Soleh, M.; A. Fairus May Soni. 2014 b. Penggunaan Ekstrak Buah Pepaya Pada
Pendederan Benih Nila Salin Sebagai Alternatif Efisiensi Pakan. Balai Besar
Perikanan Budidaya Air Payau, Jepara. Indoaqua 2014 di Jakarta. 12 halaman.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
248
Produksi Udang Windu dengan
Pengelolaan Media Pemeliharaan dengan Sistem Biofloks
Oleh :
Supito; Zaenal Arifin dan Darmawan AD
Abstrak
Teknologi bioflok dengan aplikasi bakteri pengurai untuk mendegrasi bahan organik
sisa pakan dan kotoran udang sehingga dapat menghindari terbentuknya senyawa
beracun seperti ammonia dan nitrit.
Kajian dilakukan pada 4 petak tambak dengan luas 0,4 Ha. Persiapan tambak dilakukan
untuk perbalikan lingkungan tambak dan mencegah penularan patogen penyakit. Pada
tebar 150.000 per petak (37,5 ekor/m2). Umur pemeliharaan 132 hari. Aplikasi
probiotik dilakukan dengan aplikasi bakteri probiotik yang menngandung bakteri
bacillus sp dengan dosis awal adalah 1 kg/L per ha. Untuk mempertahan pertumbuhan
dan kelimpahan bakteri probiotik dilakukan penambahan sumber karbon (molase)
dengan dosis 2-5% dari total pakan yang diaplikasikan 2 kali seminggu.
Pertumbuhan mutlak udang windu yang dihasilkan 22,3-23,9 g/ekor dengan rataan
23,24 ±0,7962 g/ekor. Kelangsungan hidup 51-57%. Rataan laju pertumbuhan harian
(ADG) 0,18±0,0061. Produksi udang yang dihasilkan adalah 1.801-1.901 kg/ petak
(4,503-4,988 kg/ha). Parameter kualitas air amonia maksimum 0,480 ppm dan Nitrit
maksimum 0,9 ppm. Bahan organik air maksimum 247 ppm. Kandungan total bakteri
mencapai 5,1x105 CFU dangan dominasi bakteri vibrio maksimum 11,4%. Salinitas
selama pemeliharaan 32-55 ppt. Ketebalan flok yang diukur dengan tabung inhoff
dipertahankan pada kisaran 20 cc/L Pengelolaan air dengan teknik bioflok mampu
membuat kondisi media pemeliharaan yang lebih stabil dan mampu mengendalikan
pembentukan amonia dan nitrit.
Improvement Tiger Shrimp Production with Biofloks system Water management
in The Pond
Supito*; Zaenal Arifin. and Darmawa Adiwijaya*
Main Center for Brackhiswater Aquaculture Develompmet
Abstract
Aquaculture management with bioflock technology for tiger shrimp culture through
addition of probiotic bacteria to improve decomposition proccess organic material form
over feed and shrimp feces degrade so as to avoid of toxic compounds such as ammonia
and nitrite.
Study was conducted on fourth ponds. Pond square was 4000 m 2. Pond preparation
was do for improve pond environment and avoid of pathogen. Stocking density of post
larvae was 150.000 pices per metre (37,5 pieces per m2).
The maintain for growth and abundance of probiotic bacteria was be added a carbon
source for the balance C/N ratio. Application of probiotics with the Bacillus sp.
bacterium with dose is 1 kg /L/ha. Controlling abudance of probiatic backteria with
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
249
apply molasses dose 2-5 % form total feed was used in the pond. Application molases
was do two time per week.
Results growth shrimp 22,3-23,9 g/ind with Average Day Growth (ADG) 23,24 ±0,7962
Survival rate 51-57%.
Averege daily grouth rate (ADG) was 0,18±0,0061g/days.
Shrimp production is 1.801-1.901 kg/ pond (4,503-4,988 kg/ha). Water quality of
amonia maksimum was 0,48 ppm and Nitrite maksimum was 0,9 ppm. Total organic
metric (TOM). Avarege of total bacteria wa 5,1 x 105 CFU with total vibrio sp bacteria
less 11,4%. The salinity of water during culture period was 32-55 ppt. Abudance of
bioflock was 20 cc/L that was measuer with inhoff tube. Bioflocs management system
showed stable water quality parameters during aquaculture. Ammonia and nitrite can
be reduced in conditions below the threshold.
Keywords: Tiger shrimp, Bioflocs system
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Permasalahan utama pada kegitan budidaya udang intensif adalah masalah limbah sisa
pakan dan kotoran udang. Peningkatan pertumbuhan udang akan menyebabkan
peningkatkan jumlah penggunaan pakan serta jumlah kotoran dalam petak tambak yang
pada akhirnya akan meningktkan kotoran (waste) yang akan berabahaya untuk biota
pemeliharaan. Peningkatan kotoran dalam wadah pemeliharaan akan dapat
menyebabkan tertuknya senyawa toksis yang dapat mematikan udang. Oleh karena itu
diperlukan rekaysa teknologi budidaya daudang dengan sistem pemeliharaan yang
mampu meminimalisir pementukan senyawa toksis untuk udang. Kegiatan rekayasa
teknologi budidaya udang harus mampu mengeliminir pangaruh sisa pakan dan kotoran
udang.
Pengelolaan media pemeliharaan dengan sistem bioflok dengan penumbuhan bakteri
pengurai dengan aplikasi probiotik. Untuk menjaga pertumbuhan dan klimpahan
bakteri probiotik dalam media pemeliharaan dilakukan dan penambahan sumber
karbon untuk pengaturan kesimbangan C/N rasio. Pertumbuhan probiotik akan
mendegrasi bahan organik sisa pakan dan kotoran udang sehingga akan menghindari
terbentuknya senyawa beracun untuk udang yang dipelihara seperti senyawa ammonia
dan nitrit. Dengan dapat menekan pembentukan senyawa yang bersifat toksit pada
udang, dapat mengurangi penambahan air media dari luar, sehingga dapat menekan
penularan penyakit.
Penguraian bahan organik dari sisa pakan dan kotoran udang oleh bakteri probiotik
dapat menghasilkan biomas berupa floks-floks bakteri atau bioflock yang dapat
berfungsi sebagai pakan alami. Menurut Ansari et al.,(2012), bioflok merupakan
komunitas mikroba yang terdiri dari bakteria, protozoa dan zooplankton, sebagai
suplemen pakan udang mengandung asam amino methionin, vitamin, mineral dan
enzim yang dapat membantu proses pencernaan pakan pada udang. Apabila dalam
tambak telah terbentuk bioflok maka diharapkan akan dapat menghemat pakan yang
diberikan pada udang karena bioflok dapat digunakan sebagai subsitusi pakan bagi
udang yang dibudidayakan. Pembentukan flok-floks bakteri akan mampu menekan atau
bahan mengurangi penggunaan pakan tambahan yang pada akhirnya akan mampu
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
250
menurunkan konversi pakan dan biaya produksi. Maka upaya untuk efisiensi biaya
produksi harus dilakukan, satu diantaranya adalah menggunakan teknologi bioflok
(Avnimelech, 1999; 2007; Schryver et al, 2008).
Untuk menciptakan media pemeliharaan udang windu yang nyaman, serta mampu
memanfaatkan kembali limbah kotoran udang dan sisa pakan menjadi biomas perlu
dilakukan kajian budidaya udang windu dengan pengelolaan lingkungan dengan sistem
bioflok.
1.2 Tujuan
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memperbaiki media melalui sistem bioflok
sehingga mampu menekan terbentuknya senyawa toksik dan dapat menekan efisiensi
penggunaan pakan untuk meningkatkan produktivitas tambak
1.3 Sasaran
Parameter ammonia< 1 ppm; Nitrit< 1 pmm dan Pertumbuhan udang dengan ADG
>0,2; SR > 60%.
II. BAHAN DAN METODE
2.1
Bahan dan Alat
2.1.1 Bahan
No.
Uraian
1.
Benih Udang
2.
Pakan
3.
Kaporit
4.
saponin
5.
Kaptan
6.
TSP
7.
Nitrogen (ZA)
8.
Probiotik
9.
Molase
10.
Multivitamnin
11.
Feed additive herbal (alicin)
12.
Benih ikan nila
13.
Benih glondong bandeng
Alat
Peralatan
Kincir
Pompa 8”
Peralatan lapangan (jala,
timbangan, seser,ember,
anco, rakit
Jumlah
Satuan
400.000 Ekor
10.500 Kg
50 Gln
200 Kg
6000 kg
50 Btg
800 kg
30 kg
300 kg
2 kg
2 kg
2500 ekor
1500 ekor
2.2.2.
Jumlah
16 buah
2 buah
Masing-masing 1 unit
Manfaat
Difusi Oksigen
Suplai air
Peralatan panen
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
251
2.2 Waktu dan Tempat
Kegiatan perekayasaan ini dilaksaknakan dari bulan Januari-Desember 2015.
Tambak yang digunakan perekayasaan adalah tambak seri H dengan luasan masingmasing 5.000 m2 milik BBPBAP Jepara.
2.3 Metode
2.3.1 Persiapan Lahan budidaya
Persiapan wadah budidaya
Persiapan wadah budidaya dimaksudkan untuk mengoptimalkan kondisi lahan
budidaya sehingga mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang windu.
Desain tata letak Wadah budidaya terdiri dari petak sterilisasi/tandon, petak
pembesaran udang dan petak pengolah limbah dengan biofilter. Perbaikan konstruksi
petakan tambak untuk membuat tambak kedap kedap sehingga tidak ada rembesan air
antar petakan atau petakan dengan saluran untuk mencegah terjadinya potensi transfer
pathogen. Pembuatan sentral drain di tengah petakan tambak untuk memudahkan
pengambilan lumpur dan sisa pakan selama pemeliharaan dengan cara disipon maupun
dengan pengeluaran melalui saluran out let. Pemasangan biosekuriti dengan pagar
keliling kawasan tambak kajian untuk mencegah masuknya pathogen atau carier
penyakit.
Untuk memperbaiki kulitas dasar tambak dilakukan pengeringan dan pembersihan
kotoran lumpur organik. Aplikasi desinfektan pada dasar tambak untuk membunuh bibit
virus/bakteri dan bibit blu green alga (BGA) dengan aplikasi larutan HCl.
Persiapan air
Pengisian air pada petak tandon, petak pembesaran hingga kedalaman air minimal 100
cm. Aplikasi desinfektan dengan menggunakan clorin (ca-hyphocloride 60 EC) dengan
dosis 25-30 ppm untuk membasmi bakteri pathogen dan virus dan krustaesida dengan
dosis 1,5 ppm untuk membunuh karier penyait virus berupa udang atau crustacean liar.
Setelah aplikasi bahan desinfekatan air didiamkan selama minimal 5 hari agar semua
bahan menjadi netral.
Pengapuran dan pemupukan
Jenis kapur yang digunakan adalah kapur kaptan dan dolomit. Jumlah kapur yang
digunakan bergantung pada pH perairan. Jika kondisi pH perairan sudah berada pada
diatas nilai 7,5 maka kapur tidak diaplikasikan,
Pemupukan dilakukan untuk menumbuhkan plankton pada awal pemeliharaan. Dosis
pupuk yang digunakan adalah 5 ppm dengan dosis perbandingan pupuk Nitrogen (ZA)
dan TSP adalah 5:1. Stimulasi plankton (jika diperlukan) pada petak pembesaran udang
dilakukan dengan menambahkan inokulum dari kultur Chlorella murni yang telah
diendapkan.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
252
Penumbuhan bakteri probiotik
Prinsip dari teknologi bioflok adalah menumbuhkan mikroorganisme terutama bakteri
heterotrop di air tambak yang dimaksudkan untuk menyerap komponen polutan,
amonia yang ada di air tambak. Agar dapat terbentuk bioflok, maka rasio C/N di air
tambak budidaya udang pola intensif harus > 10 : 1, kemudian sedikit dilakukan
penggantian air dan diberi aerasi yang kuat dan merata, sehingga oksigen tidak pernah
lebih rendah dari 4 ppm. Bakteri heterotrof dalam air tambak akan berkembang pesat
apabila di air tambak ditambahkan sumber C karbohidrat yang langsung dapat
dimanfaatkan, yaitu mollase. Selanjutnya bakteri tersebut akan menggunakan N
anorganik terutama amonia dalam air dan disintesa menjadi protein bakteri dan juga sel
tunggal protein yang dapat digunakan sebagai sumber pakan bagi udang atau ikan yang
dipelihara (Hari, et al., 2004). Aplikasi probiotik mulai dilakukan dengan aplikasi bakteri
probiotik yang menngandung bakteri bacillus sp dengan dosis awal adalah 1 kg/L per ha
dan penggunaan molase dengan dosis 2 ppm.
2.3.2 Penebaran benih
Penebaran benih menggunakan benih yang bebas virus yang telah dilakukan uji PCR.
Salinitas media pemeliharaan benih juga telah di sesuaikan dengan mendia
pemeliharaan air tambak. Padat tebar benih adalah 40 ekor/m2.
2.3.3 Pemeliharaan
Pengelolaan air
Pengelolaan air diarahkan pada sistem bioflok. Aplikasi probiotk dilakukan setiap 1
hingga 2 kali seminggu dengan dosis probiotik 1 kg/ha. Untuk mempertahankan
keseimbangan C/N rasio pada kisaran 12-20 dilakukan aplikasi sumber karbon (molase)
dengan dosis 2,5-5% dari total pakan yang telah diberikan selama 1 minggu. Aplikasi
molase dapat dilakukan bersamaan dengan aplikasi bakteri probiotik.
Peambahan air selama pemeliharaan hanya dilakukan untuk mempertahankan
ketinggian air. Penambahan air hanya dilakukan untuk mengganti air yang hilang karena
penguapan atau rembesan atau pada saat kondisi darurat pada saat kualitas air
menurun. Perlakukan untuk mempertahankan kualitas air adalah dengan dilakukan
penyiponan kotoran dasar tambak yang dilakukan secara periodic.
Pengelolaan pakan
Pemberian pakan menggunakan pakan komersial dengan kadar protein pada awal
pemeliharaan sekitar 38%. Dosis pemberian berkisar 50% biomas (awal pemeliharaan)
dan menurun hingga 2.5% menjelang akhir pemeliharaan. Frekuensi pemberian pakan
2-5 kali/hari sesuai dengan berat udang. Jumlah pakan di anco sekitar 0.5 % (berat
udang 3 gram) dan meningkat hingga 1 %. Waktu kontrol di anco mulai 2 jam dan
menurun hingga 1,5 jam. Sebagai acuan jumlah pakan, frekuensi pemberian dapat
dilihat pada tabel berikut.
Berat
rata-rata
(g)
0,01-0,70
0,70-2,00
Waktu makan dan jumlah pakan (%)
Frekuensi
2x
3x
05.00
50
40
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
11.00
16.00
22.00
50
40
20
Saat
monitoring
(jam)*
253
2,00-4,00
4,00-5,00
5,00-8,00
8,0010,00
10,0018,00
18,0020,00
22,00
4x
4x
5x
5x
30
30
25
25
20
20
10
10
30
30
15
15
20
20
30
30
3,0
2,5
2,5
2,5
5x
25
10
15
30
2,0
5x
25
10
15
30
2,0
5x
25
10
15
30
1,0
* setelah pemberian pakan
Monitoring Kualitas air
Monitoring kualitas air dilakukan sejak persiapan lahan hingga menjelang panen.
Pengamatn kualitas air harian adalah parameter suhu, Oksigen terlarut, pH, kepadatan
flok dan kecerahan. Pengamatan mingguan adalah paramater bahan organik,
alkalinitas, TAN (NH3 dan NH4+), nitrit, nitrat, populasi plankton, bakteri (Total bakteri
dan bakteri vibrio).
Monitoring pertumbuhan dan sintasan
Monitoring pertumbuhan dilakukan setelah udang berumur 40 hari atau lebih dengan
cara sampling. Sampling menggunakan jala tebar dilakukan minimal 3 kali dalam satu
petak. Jumlah dan berat udang dihitung dan sekaligus memperhatikan tingkat
keseragaman udang. Sampling dilakukan tiap 7- 10 hari sekali dan data ini digunakan
untuk perhitungan jumlah pakan periode pemeliharaan berikutnya. Sedangkan
monitoring kesehatan udang dapat dilakukan setiap saat melalui anco. Pada anco,
kondisi udang seperti agresifitas, respon pakan (kondisi usus dan feces) dapat diketahui.
2.3.4 Panen
Pemanenan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi udang (berat, periode
molting) dan harga serta efisiensi usaha. Untuk itu, penentuan jumlah total pakan yang
digunakan dan estimasi produksi mutlak dilakukan. Panen dilakukan pada siang hari
untuk memperkecil udang yang moulting.
III. Hasil dan Pembahasan
3.1 Pertumbuhan udang.
Pertumbuhan dan ADG udang uji dapat dilihat pada tabel 3. Hasil pengukuran
pertumbuhan mutlak udang selama pemeliharaan 110 hari pada petak H5 adalah 21,0
g/ekor dengan rata-rata ADG 0,20 g/hari dan pada petak H6 adalah 20,5 g/ekor
dengan ADG 0,21 g/hari (Tabel 3). Dari tabel tersebut dapat dinyatakan bahwa
pertumbuhan mutlak pada kedua petak relatif sama.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
254
Tabel 3. Data pertumbuhan udang windu dengan sistem bioflok
Umur (hari)
30
40
50
60
70
80
90
100
110
Petak H5
ABW (g)
4,2
5,9
7,8
9,4
11,5
13,8
16,1
18,2
21
Petak H6
ADG (g)
0,17
0,19
0,16
0,21
0,23
0,23
0,21
0,28
ABW (g)
4,5
6
7,6
9,6
11,2
14,2
16,5
18,5
20,5
ADG (g)
0,15
0,16
0,2
0,16
0,3
0,23
0,2
0,2
Gambar 1. Grafk pertumbuhan mutlaks (ABW)
Dari gambar 1 dan 2, dapat dinyatakan bahwa pertumbuhan mutlak dan laju
pertumbuhan harian (ADG) selama pemeliharaan
pada kedua petak kajian
menunjukkan peningkatan hingga pemeliharaan umur 80 hari. Selanjutnya laju
pertumbuhan harian cenderung menurun hingga panen umur 110 hari. Hal ini diduga
sebagai akibat musim kemarau sehingga salinitas terus meningkat hingga 56 ppt.
Perlakukan penambahan air setiap hari sebanyak 5 -10% setelah umur pemeliharaan ke
60 tidak mampu menahan kenaikan salinitas. Musim kemarau dengan panas yang tinggi
dan tiupan angin yang kuat mengakibatkan proses penguapan ar tambak semakin
meningkat sehingga salinitas air tambak cenderung meningkat.
Gambar 2. Grafik laju pertumbuhan harian ADG
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
255
3.2 Produksi
Data berat apada akhir pemeliharaan, ADG, size, sintasan dan produksi dapat dilihat
pada Tabel 4. Perlakukan yang sama dengan pemeliharaan sistem biofloks pada kedua
petak kajian menunjukkan produksi yang dihasilkan tidak jauh berbeda. Produksi
udang yamg dihasilkan pada petak H5 adalah 1.935 kg (produktivitas 3,870 kg/ha/MT)
dan petak H6 adalah 2,017 kg ( 4.034 kg/ha/MT). Dengan tingkat kelangsungan hidup
pada petak H5 sebesar 46 % dan petak H6 sebesar 49 %. Produksi yang dihasilkan ini
lebih tinggi dari hasil kajian sebelumnya dengan produksi 1.315 kg ( 3.287 kg/ha/MT)
dan 1.322 kg (3.306 kh/ha/MT). Kajian sebelumnya dapat mencapai tingkat
kelangsungan hidup 60,1-61,5 % (Supito et.al, 2014).
Peningkatan produktivitas pada kajian kedua diduga pemeliharaan dilakukan pada
musim kemarau sehingga ada pengaruh suhu terhadap laju konsumsi pakan yang pada
akhirnya pertumbuhan lebih baik. Faktor lain diduga kepadatan yang lebih rendah
karena kelangsungan hidup yang lebih rendah pada kajian kedua menyebabkan ruang
gerak dan ketersediaan makanan yang tercukup sehingga lajau pertumbuhan
meningkat.
Tabel 4. Data tabel produksi udang
No
Uraian
H5
H6
1
Jumlah tebar/petak
200.000
200.000
2
Umur pemeliharaan (hari)
110
110
3
Ukuran
21
20,5
4
ADG
0,21
0,21
5
Size ekor/kg
48
49
5
SR (%)
46%
49%
6
Produksi per petak (kg)
1.935
2.017
7
Produktivitas kg/ha
3.870
4.034
3.2 Kualitas lingkungan
3.2.1 Kualitas air
Hasil pengukuran kualitas air selama pemeliharaan adalah sebagai berikut:
Tabel 5. Data kualitas air tambak udang semi heterotrof sistem
Parameter
Tambak H5
Tambak H6
1. Salinitas
33-55
33-54
2. suhu
28-33
28-32
3. Oksigen
3.1-5,0
3,0- 5,13
4. Kecerahan
20-40
20-45
5. pH
7,5 - 8,3
7,5 - 8,5
6. Alkalinitas (ppm)
62–188
99 – 195
7. Bahan organic
75– 380
75 -395
(ppm)
8. NH3
< 0,5
<0,6
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
256
9. NO2
10. densitas flok (cm3)
a.
b.
c.
d.
<12
Maksimum 35
<8
Maksimum 40
Salinitas
Salinitas air tambak pada saat penebaran adalah 33 ppt karena pada saat musim
kemarau. Selanjutnya salinitas cenderung naik karena semalam pemeliharaam
umur 1 bulan hanya dilakukan penambahan air untuk mempertahankan
ketinggian air tambak. Pengaruh musim kemarau sehingga pengupakan cukup
tinggi hingga salintas naik hingga 55 ppt. pada musism kemarau salinitas air
sumber adalah 36 ppt. Dengan cuaca yang cerah serta angin yang kencang pada
musim kemarau ini, salinitas air tambak bisa naik sekitar 1-2 ppt per hari. Untuk
mencegah kenaikan salinita yang tinggi dilakukan penambahan air sumber 5-10%
per 1-2 hari seklai sehingga mampu mengandalikan kenaikan air kurang dari 1 ppt
per hari.
Temperatur
Hasil pengamatan temperatur rataan harian (Tabel 3) selama pemeliharaan
terendah adalan 28 oC yang diamati pada pagi hari dan tertinggi adalah 33oC yang
diamati pada sore hari. Temperatur berpengaruh terhadap aktivitas metabolisme
terutama laju komsumsi pakan. Oleh karena itu pemberian pakan disesuaikan
dengan laju komsumsi oleh udang dengan cara mengontrol pakan pada anco.
Jumlah pakan dianco adalah 0,6-1% dari julah total pemberian dan lama
pengamatan 1-2 jam. Bila pakan di anco tidak habis, maka jumlah pakan yang
diberikan segera dikurangi hingga 20-40%. Sebaliknya bila pakan habis sebelum
waktu pengamatan, maka jumlah pemberian pakan ditambak sekitar 20 %.
Dengan cara ini untuk menghindari kelebihan pakan yang akan menyebabkan
peningkatan kotoran pada dasar tambak.
Oksigen terlarut.
Kandungan oksigen terlarut selama pemeliharan dapat dipertahankan minimal 3
ppm pada kedua petak. Cara yang dilakukan adalah dengan mengatur tataletak
kincir dengan jumlah yang disesuaikan sehingga selruh kolom air petak tambak.
Fluktuasi nilai oksigen terlarut harian cenderung pada teknologi bioflok ini pada
kisaran 1-2 ppm. Letak dn arah kincr di atur sehingga seluruh kolom air pada
petak tambak bergerak atau mengalir. Cara ini dilakukan untuk mencegah
pengendapan kotoran organik pada dasar tambak.
Beberapa pengamatan menunjukkan bahwa nilai kelarutan oksigen pagi hari lebih
tinggi dari pada sore hari. Hal ini diduga peranan bakteri probiotik yang dominan
dalam kolom air pada malam hari kecepatan untuk mendegradasai bahan organik
cenderumg lebih lambat sehingga tidak banyak menggunakan oksigen terlarut.
Sebaliknya pada siang hari dengan peningkatan suhu media menyebabkan
kecepatan bakteri probiotik mendegrasi bahan organik meningkat serta
meningkat pula penyerapan oksigen terlarut.
Kecerahan
Hasil pengukuran kecerahan selama pemeliharaan adalah pada petak H5 20-45
cm dan petak H5 adalah 20-40 cm. Berdasarkan pengamatan dilapangan flok
bakteri terbetuk setelah pemeliharaan 45 hari. Terbentuk flok bakteri ditandai
terbentuknya busa (foam) berwarna putih akibat pengadukan kincir air. Busa
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
257
e.
f.
g.
tersebut sebagai indikasi terjadinya proses penguraian bahan organik sisa pakan
dan kotoran udang menjadi flok bakteri. Warna air tambak setelah terjadinya flok
bateri berwarna hijua kecoklatan dan stabil hingga panen.
Diduga aplikasi sumber karbon berupa molase dengan dosis 5 % dari crude total
pakan (dengan kandungan protein 36%) mampu membuat keseimbangan C/N
rasio sekitar >16. Pada kondisi keseimbangan C/N rasio yang tinggi dapat
mengakibatkan pertumbuhan bakteri probiotik mampu berkembang untuk
menguraikan sisa pakan dan kotoran udang serta bahan organik lainnya.
pH
Hasil pengamatan pH air selama pemeliharaan patak H5 adalah 7,5-8,3; dan petak
H6 adalah 7,5-8,5. dengan fluktuasi harian pada pagi dan sore anara 0,1-0,3.
Kestabilan nilai pH diduga karena dominasi bakteri probiotik yang dominan
disbanding plankton. Pada proses penguraian oleh bakteri probiotik sangat
tergantung dari kesimbangan C/N rasio dan kelarutan oksigen untuk
mendegradasi kotoran bahan orgnaik menjadi Nitrat dan senya organik lainnya.
Pada kondisi keseimbang C/N rasio yang cukup >16 dan kandungan oksigen
terlarut yang tinggi, dapat menghindari terbetuknya senyawa toksin untuk udang
seperti ammonia dan nitrit. Dengan proses tersebut diduga menyebabkan
kestabilan nilai pH yang lebih baik, dengan fluktuasi harian yang rendah.
Berbeda dengan proses fotosintesa, plankton maupun makroalga memerlukan
akan menyerap karbon dioksida (CO2) untuk proses fotosintesa. Perubahan
kesimbangan CO2 kan menyebabkan berubahnya kandungan karbonat dalam air
sehingga dapat menyebabkan perubahan nilai pH air. Kondisi ini menyebabkan
fluktuasi harian nilai pH yang lebih tinggi (lebih nilai 0,5). Sebagai akibatnya
fluktuasi oksigen terlurt harian pagi dan sore hari juga tinggi.
Alkalinitas
Hasil pengamatan salinitas selama pengamatan berkisar petak kedua petak kajian
(Tabel 5) menunjukkan pada kisaran nilai yang layak untuk udang. Perlakukan
yang dilakukan untuk mempertahankan nilai alkalinitas adalah aplikasi kapur tiap
2 hari sekali dengan dosis 5 ppm. Waktu aplikasi kapur dilakukan pada malam hari
dan dilakukan setelah terjadi hujan. Hal ini diduga air hujan merupakan air murni
yang dapat mengurangi kosentrai mineral dalam air tambak. Oleh karena itu perlu
dilakukan penambahan mineral setelah terjadi hujan.
Kemelimpahan dan floks
Flok-floks bakteri terbentuk setelah umur pemeliharaan 1,5 bulan. Yag ditandai
adanya busa putih akibat pengadukan kincir. Warna air cenderung kecoklatan
keruh (masir) yang terbentuk karena suspense flok bakteri. Hasil pengukuran
dengan tabung imhoff kepadatan flok berkisar 40 cc. Peningkatan kelimpahan
flok setelah umur 55 hari. Pada bulan pertama pemelihran hanya 10-12 cc dn
meningkt setelah usia pemelihraan bulan ke dua. Hal ini diduga karena
penambahan sumber karbon yang mengakibatkan peningkatan keseimbangan
C/N rasio. Ikan dan udang dapat mengakumulasi nutrien dari pakan yang
diberikan berkisar 5-40%. Dari data yang ada diketahui bahwa rerata nutrien
yang dapat tertahan dalam tubuh ikan dan udang adalah 13 % carbon, 29 %
nitrogen, dan 16 % posfor. Rendahnya jumlah karbon sebagai konsekuensi dari
banyaknya fraksi karbon pakan yang lepas akibat respirasi. Data ini menunjukkan
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
258
h.
i.
rendahnya retensi nutrien dalam tubuh kultivan, sehingga sisanya seperti
nitrogen (75%) dan posfor (80%) terakumulasi di dasar tambak. (Avnimelech dan
Ritvo, 2003). Oleh karena itu perlu penambahan sumber karbon organik untuk
meningkatkan kesimbangan C/N rasio.
Pada perairan yang mempunyai keseimbangan C/N ratio yang baik akan
meningkatkan tumbuhnya Total Bakteri Heterotrop (TBH) sehingga mempercepat
proses penguraian limbah organik. Dari beberapa jenis bakteri heterotrop ini
diduga ada yang bersifat bakteri ansosigenik, yaitu bakteri yang dalam proses
metabolismenya menguraikan bahan organik tidak menggunakan oksigen sebagai
sumber energi (Widiyanto, 2002).
Kandungan bahan organik total
Kandungan bahan organik air tambak selama pemeliharan mencapai 395 ppm.
Namum demikian tidak membahayakan untuk udang. Hal ini karena proses
degradasi bahan organik tersebut berlangsung cepat dan tidak membentuk
senyawa toksik ammonia dan nitrit. Data pengukuran ammonia dan nitrit masih
kurang dari 0,1 ppm dan tidak membahayakan udang. Hal ini diduga peranan
oksigen dari aerasi yang cukup tinggi selama pemeliharaan. Akumulasi bahan
organik yang berlebih menjadi pemicu kondisi lingkungan yang anaerob
(Avnimelech et al., 2004) masih dapat dicegah bila mampu meningkatkan
kelarutan oksigen ( Avnimelech et al., 2004).
Pada awal pemeliharaan bahan organik air sudah cukup tinggi yaitu sekitar 95-97
ppm. Ini diduga karena kandungan bahan organik sumber air sudah cukup
tinggi. Penggunaan kaporit sebagai desinfektan dan sekaligus sebagai oksidator
tidak dapat menekan kandungan bahan organik air pada awal pemeliharaan
kurang dari 60 ppm. Peranan petak tandon hanya sebagai pengendapan kotoran
sementara belum dapat mengurangi bahan organik. Semakin tambah umur
pemeliharaan dan semakian tambahnya jumlah pakan yang digunakan
mengakibatkan peningkatan kandungan bahan organik hingga mencapai 295
ppm. Hal ini diduga karena telah terbentuknya flok bakteri yang juga
mengandung protein
Amonia
Nilai Amonia (NH3) tertinggi pada kedua petak adalah 0,6 dan nitrit adalah 0.7
ppm. Parameter ammonia it dalam sistem budidaya bioflok sangat rendah
mengingat data bahan organik cukup tinggi. Hal ini diduga peranan probiotik
sangat mendukung untuk mencegah pembentukan ammonia. Amonia sangat
beracun untuk udang dan biasanya terjadi pada nilai pH tinggi diatas nilai 9.
Diduga peranan penambahan sumber karbon mampu mereduksi pembentukan
Amonia. Hari et al., (2004) telah melakukan percobaan pembesaran udang (P.
monodon) skala laboratoris dan skala massal di tambak tentang pengaruh
penambahan sumber karbon. Hasil percobaan menunjukkan bahwa penambahan
karbohidrat (tepung tapioka) secara signifikan menurunkan TAN (Total ammonia
nitrogen) dan meningkatkan populasi bakteri heterotropik baik di kolom air
maupun di sedimen. Penambahan karbon organik sangat efektif menurunkan
amonia yang dihasilkan olek ekskrei udang atau sisa pakan yang tidak termakan.
Setiap 0,1 ppm Amonia dapat diturunkan dengan molase 20 g/m3 air
(Avnimelech, 1999)
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
259
j.
Nitrit.
Hasil pengukuran nitrit mencapai12 ppm. Namun demikian tidak menjadikan
toksik bagi udang maupun ikan yang ada pada saluran buang. Berdasarkan
kandungan nitritnya terjadi fenomena baru. Beberapa praktisi budidaya udang di
jawa timur melaporkan bahwa kandungan nitrit mencapai 30 ppm juga tidk
mematikan udang. Diduga toksisitas nitrit rendah apabila terjadi pada salinitas
yang tinggi. Namun demikin untuk mengatasi nitrit meningkat, dilakukan dengan
membuat oksigen terlarut pada media air tinggi.
IV. Kesimpulan dan Saran
4.1 Kesimpulan
Dari hasil kegiatan pemeliharaa udang windu sistem bioflok dapat disimpulkan:
d.Sintasan atau kelangsungan hidup udang 46 % dan 49 %. Yang diduga karena
proses aklimastisasi saat penebaran dan pemeliharaan musim kemarau yang
cenderung salinitas naik.
e.Produksi udang yamg dihasilkan adalah petak H5 adalah 1.935 kg (produktivitas
3,870 kg/ha/MT) dan petak H6 adalah 2,017 kg ( 4.017 kg/ha/MT). Dengan laju
pertumbuhan harian (ADG) sebesar 0,21 g/hari.
f.Dengan teknik bioflok kuaitas air terutama amonia bisa dikendalikan kurang dari 1
ppm walaupun kandungan total bahan orgnik tinggi. Parameter nitrit yang
mencapai 12 ppm, tidak menjadi toksik bagi udang.
4.2. Saran
Perlu dilakukan kajian lanjutan pemeliharaan udang windu dengan sistem bioflok
dengan padat penebaran yang lebih tinggi untk menghasilkan produktivitas yang
optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Avnimelech, Y., 1999. Nitrogen control and protein recycling: Activated suspension
ponds. The Advocate, April:23-24.
Avnimelech, Y., G. Ritvo., and M. Kocha., 2004. Evaluating the active redox and organic
fractions in pond bottom soils: EOM, easily oxidized material. Aquaculture xx,xxx-xxx.
Avnimelech, Y., 2009. Biofloc Technology – A Practical Guide Book. The World
Aquaculture Society, Boton Rouge, Louisiana, United States.
McIntosh, R.P. 2000. Changing Paradigms in Shrimp Farming: IV. Low protein feed and
feeding strategy. The Advocate : 45-50.
Supito dan Darmawan AD, 2014., Budidaya udang windu dengan sistem biofloks,
Laporan tahunan BBPBAP Jepara.
Buku Prosiding I Indoaqua – APA 2016
260
APPLICATION MINAGROW TO GROWTH UP RABBIT FISH SEEDS (Siganus guttatus)
Hamka, Marwan, Jumriadi dan Haruna
Abstract
Engineering activity is intended to determine the effectiveness of minagrow use are
mixed into feed to improve the growth rate and survival of rabbit fish seeds. For uses are
as an information in the maintenance rabbit fish seed to can be applied in society. This
activity is carried on fiber round tank indoor volume of 500 L tranparent to four
treatments. The engineering activities are carried out in this activity is the tank A
(artificial feed minagrow + 2 ppm); tank B (artificial feed minagrow + 3 ppm); tank C
(artificial feed + minagrow 4 ppm); and tank D (artificial feed / control). Dose feed for all
treatments are the same in the amount of 3-5% / BB. This activity is done by 3 cycles with
a stocking density of 50 tail / tank with an average weight of 1.00 g and an average
length of 3.4 cm. The results obtained for the growth activities of the absolute weight is
tank A (3.42 ± 0.15 g); tank B (3.16 ± 0.36 g); tank C (3.16 ± 0.25 g); and tank D (2.66 ±
0.27 g). While for the specific growth rate is tank A (2.10%); tank B (1.73%); tank C
(1.82%); and tank D (1.39%). The survival rate (SR) were obtained in all treatments was
100%. The results of water quality measurements still in normal range to support
maintenance activities rabbit fish seed.
Keywords: Minagrow, Growth, Rabbit Fish Seed
APLIKASI MINAGROW UNTUK MEMACU PERTUMBUHAN BENIH IKANBERONANG LADA
(Siganus guttatus)
Hamka, Marwan, Jumriadi dan Haruna
ABSTRAK
Kegiatan perekayasaan ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas penggunaan
minagrow yang dicampurkan dalam pakan untuk meningkatkan laju pertumbuhan dan
kelangsungan hidup benih ikan beronang lada. Sedangkan kegunaannya adalah sebagai
bahan informasi dalam pemeliharaan benih ikan beronang lada yang nantinya dapat
diterapkan dalam masyarakat. Kegiatan ini dilakukan pada bak fiber berbentuk bulat
volume efektif 500 ltrdalam ruangan (indoor) yang tembus cahaya sebanyak empat
perlakuan. Adapun kegiatan perekayasaan yang dilakukan dalam kegiatan ini adalah
pada bak A (pakan buatan + minagrow 2 ppm); bak B (pakan buatan + minagrow 3 ppm);
bak C (pakan buatan + minagrow 4 ppm); dan bak D (pakan buatan/kontrol). Dosis pakan
untuk semua perlakuan adalah sama yaitu sebesar 3 - 5%/BB. Kegiatan ini dilakukan
sebanyak 3 siklus dengan padat tebar 50 ekor/bak dengan berat rata-rata 1,00 gr dan
panjang rata-rata 3,4 cm. Adapun hasil kegiatan yang didapatkan untuk pertumbuhan
berat mutlak adalah Bak A (3,42 ± 0,15 grm); Bak B (3,16 ± 0,36 grm); Bak C (3,16 ± 0,25
grm); dan Bak D (2,66 ± 0,27 grm). Sedangkan untuk laju pertumbuhan spesifik adalah
Bak A (3,97%); Bak B (5,02%); Bak C (4,52%); dan Bak D (3,38%). Tingkat kelangsungan
hidup (SR) yang didapatkan pada semua perlakuan adalah sebesar 100%. Adapun hasil
pengukuran kualitas air masih menunjukkan kisaran yang normal untuk mendukung
kegiatan pemeliharaan benih ikan beronang.
Kata kunci : Minagrow, pertumbuhan, benih ikan beronang
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ikan beronang (Siganus guttatus) merupakan salah satu komoditas perikanan
yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Saat ini sudah banyak masyarakat yang
membudidayakannya dengan menggunakan benih dari alam. Penggunaan benih alam
secara kontinyu yang disertai dengan eksploitasi ikan beronang yang berlebihan
mendorong berkurangnya populasi ikan beronang di laut (Sunyoto dan Munstahal,
1997).
Untuk mengantisipasi berkurangnya populasi beronang dilaut, kegiatan budidaya
yang selama ini mengandalkan benih alam perlu ditunjang dengan kegiatan pembenihan
beronang. Kegiatan pembenihan beronang ini diharapkan natinya dapat menunjang
ketersediaan benih untuk kegiatan budidaya, sehingga kegiatan budidaya ikan beronang
dapat berkesinambungan. Keberhasilan dari usaha pemeliharaan benih ikan beronang
apabila dapat menekan tingkat kematian serendah mungkin atau meningkatnya tingkat
kelangsungan hidup benih ikan beronang serta diperolehnya pertumbuhan yang optimal.
Upaya ini dapat dilakukan dengan pengendalian berbagai faktor yang mempengaruhi
kelangsungan hidup maupun pertumbuhannya.
Seperti diketahui hakekat pertumbuhan adalah perubahan ukuran panjang dan
bobot dalam kurun waktu tertentu, dan pertumbuhan ikan oleh beberapa faktor internal
dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud melipui: genetik, umur, seks, kematangan
gonad dan kemampuan memanfaatkan makanan yang diberikan. Sedangkan yang
termasuk faktor eksternal diantaranya kualitas air, makanan, kepadatan populasi serta
hama dan penyakit (Huet, 1971).
Makanan merupakan salah satu faktor eksternal yang dalam menunjang benih
ikan beronang. Secara umum ikan pada mulanya akan memanfaatkan pakan untuk
kelangsungan hidupnya dan apabila terdapat kelebihan energi baru dapat dimanfaatkan
untuk pertumbuhan. Sehingga untuk meningkatkan produksi biomassa dalam suatu
usaha budidaya pakan harus diberikan dalam jumlah yang cukup dan kualitas yang baik
dalam arti pakan tersebut memenuhi kebutuhan nutrisi organisme budidaya maupun
pemilihan bahan baku yang memenuhi syarat.
Pemberian pakan buatan dengan kandungan protein yang cukup tinggi tentunya
akan dapat memacu pertumbuhan ikan dengan lebih baik lagi, namun demikian biaya
produksi juga akan lebih meningkat sebagai akibat harga pakan yang berprotein tinggi
juga cukup mahal. Sehubungan dengan hal tersebut maka di BPBAP Takalar dilakukan
kegiatan perekayasaan dengan penambahan ”minagrow” pada pakan untuk memacu
pertumbuhan benih ikan beronang tanpa menggunakan pakan yang berprotein tinggi.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
2
1.2. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengetahui efektifitas penambahan minagrow
pada pakan buatan yang optimal dalam meningkatkan laju pertumbuhan dan
kelangsungan hidup benih ikan beronang lada.
Kegunaan dari kegiatan ini adalah sebagai bahan informasi dalam pemeliharaan
benih ikan beronang lada yang nantinya dapat diterapkan dalam masyarakat.
BAB II
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Kegiatan ini dilakukan pada tahun anggaran 2015 (Oktober -Desember) bertempat
di Unit Pembenihan Kerapu dan Beronang Balai Budidaya Air Payau Takalar, Desa
Bontoloe Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar.
3.2 . Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah benih ikan beronang, pakan
buatan, obat-obatan dan kemikalia. Sedangkan alat yang digunakan yaitu bak fiber,
ember, perlengkapan aerasi, filter bag, timbangan elektrik, DO meter, pH meter,
Thermometer, Handrefraktometer, dll.
3.3. Prosedur Kerja
Perekayasaan ini dilakukan dengan menggunakan bak fiber volume 1 ton
sebanyak 4 buah yang terletak dalam unit pendederan (semi indoor) dengan perlakuan
sebagai berikut :
- Bak A (pakan buatan + 2 ppm minagrow)
- Bak B (pakan buatan + 3 ppm minagrow)
- Bak C (pakan buatan + 4 ppm minagrow)
- Bak D (Kontrol)
Sedangkan prosedur pelaksanaan dalam kegiatan perekayasaan ini adalah sebagai
berikut:
a. Prosedur pencampuran Minagrow ke dalam pakan
Menimbang minagrow sesuai dosis yang diinginkan
Menyiapkan larutan PBS sebanyak ± 100 ml/kg pakan dan kuning telur sebanyak
20mg/kg pakan
Melarutakan minagrow yang telah ditimbang sesuai dosis ke dalam PBS
kemudian
ditambahkan kuning telur dan dicampur hingga homogen. Larutan tersebut
kemudian disemprotkan secara merata pada 1 kg pakan.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
3
-
Pakan yang dicampurkan minagrow selanjutnya dikeringudarakan selama 10-15
menit. Pakan dapat langsung diberikan pada ikan dengan frekuensi 3 kali
seminggu masing-masing interval 3 hari. Pakan yang masih tersisa dapat
disimpan pada suhu 4oC.
b. Prosedur pelaksanaan kegiatan
Adapun kegiatan dalam pelaksanaan perekayasaan ini adalah sebabagai berikut :
- Menyiapkan 4 buah bakfiber. Bak dicuci dengan air tawar dan detergen yang
mana
-
sebelumnya bak telah didesinfektan dengan kaporit 100 ppm
-
Menyiapkan sistem aerasi pada masing-masing bak pemeliharaan.
-
Mengisi bak pemeliharaan dengan air laut yang telah melalui sand filter
-
Memasukkan benih ikan beronang dengan kepadatan 100 ekor/bak (panjang ratarata 5,3 cm dan berat rata-rata 1,89 gr).
-
Pemberian pakan buatan pada setiap perlakuan dengan dosis 3-5%/BB dengan
frekwensi pemberian pakan sesuai dengan perlakuan yang ada.
-
Sebagai data penunjang dilakukan pengukuran kualitas air pada setiap perlakuan.
Parameter kualitas air yang diamati meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut, pH
dan amoniak.
3.4. Pengukuran Peubah
Peubah yang diamati dalam kegiatan ini adalah tingkat kelangsungan hidup (SR).
a. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR)
Tingkat kelangsungan hidup dalam kegiatan ini dihitung dengan menggunakan
rumus Effendie (1979), yaitu :
SR = (Nt/No) x 100%
Dimana :
SR = Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt = Jumlah hewan uji pada akhir pengujian (ekor)
No = Jumlah hewan uji pada awal pengujian (ekor)
b.
Pertumbuhan Berat Mutlak
Pertumbuhan mutlak individu dihitung dengan menggunakan rumus Effendie
(1979), yaitu:
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
4
W = Wt – Wo
dimana:
W = Pertumbuhan mutlak individu hewan uji (gr)
Wt = Bobot rata-rata individu hewan uji pada akhir perlakuan (gr)
Wo = Bobot rata-rata individu hewan uji pada awal perlakuan (gr)
c.
Laju Pertumbuhan Spesifik (LPS)
Pengukuran laju pertumbuhan spesifik menggunaakan rumus Jouncey and Ross
(1982) sebagai berikut :
Dimana :
LPS
W2
W1
t
3.5.
=
=
=
=
Laju PertumbuhanSpesifik (%/hari)
Bobot hewan uji pada akhir penelitian (gr)
Bobot hewan ujiawal penelitian (gr)
Lamanya waktu pemeliharaan (hari)
Analisa Data
Pengamatan yang dilakukan selama kegiatan perekayasaan ini adalah
pengukuran pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup. Sedangkan untuk parameter
penunjang dilakukan pengukuran beberapa parameter kualitas air. Data selanjutnya
diolah dan dianalisa dengan sistem komparatif dan deskriptif.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pertumbuhan Berat Mutlak
Pertumbuhan merupakan suatu proses biologi yang kompleks dan terjadi apabila
ada kelebihan energi dan materi yang berasal dari pakan yang dimakan. Energi yang
masuk ke dalam tubuh benih beronang haruslah mencukupi nilai tertentu agar masih
tersedia energi yang dapat digunakan untuk pertumbuhan Effendi (1979). Pertumbuhan
berat mutlak benih ikan beronang yang diberi pakan buatan dengan frekwensi
pemberian yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pertumbuhan Berat Mutlak Benih Ikan Beronang (Siganus guttatus) pada Setiap
Bak Pemeliharaan.
Waktu Pengamatan (Minggu)
Perlakuan
Rata-Rata
I
II
III
IV
V
A
0,67
0,65
0,83
0,91
0,98
0,81 ± 0,14
B
0,78
0,86
1,15
0,98
1,22
1,00 ± 0,19
C
0,73
0,96
0,81
0,94
1,04
0,90 ± 0,12
D
0,64
0,54
0,89
0,86
0,62
0,71 ± 0,16
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
5
Berdasarkan hasil yang didapatkan padaTabel 1 terlihat bahwa semua perlakuan
menunjukkan adanya pertumbuhan yang cukup signifikan. Pertumbuhan berat mutlak
tertinggi didapatkan pada perlakuan B (pakan buatan + minagrow 3 ppm), kemudian
disusul perlakuan C (pakan buatan + minagrow 4 ppm), selanjutnya perlakuan A (pakan
buatan + minagrow
2 ppm), dan yang terendah didapatkan padaperlakuan D
(kontrol). Nilai pertumbuhan berat mutlak pada perlakuan B berbeda secara signifikan
dengan perlakuan D. Pada semua perlakuan menunjukkan adanya pertambahan bobot
individu dengan semakin bertambahnya waktu pemeliharaan.Kisaran pertumbuhan
berat mutlak rata-rata yang diperoleh selama kegiatan berlangsung adalah 0,81 gr ± 0,14
untuk perlakuan A; 1,00 gr ± 0,19 untuk perlakuan B; 0,90gr ± 0,12 untuk perlakuan C;
dan0,71 ± 0,16 untuk perlakuan D.Adapun kisaran berat mutlak yang didapatkan sampai
akhir kegiatan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Grafik Pertumbuhan Berat Mutlak Rata-Rata pada Setiap Bak PemeliharaaN.
Pada Gambar 1 terlihat bahwa secara umum tingkat pertumbuhan pada bak
pemeliharaan yang menggunakan tambahan minagrow pada pakan menunjukkan
pertumbuhan yang cukup signifikan dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan
bahwa dengan adanya penambahan minagrow pada pakan dapat memacu pertumbuhan
benih ikan beronang.
Tingginya pertumbuhan benih ikan beronang yang diperoleh pada bak
pemeliharaan B (4,99 gr), hal ini diduga disebabkan dosis pemberian minagrow yang
diberikan cukup efektif dan sesuai dengan kebutuhan benih ikan beronang, sehingga
nutrisi tercukupi untuk meningkatkan pertumbuhan dan mempertahankan tingkat
kelangsungan hidupnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa dengan adanya pemberian
minagrow pada pakan mengakibatkan pakan yang dikonsumsi oleh ikan lebih mudah
dicerna oleh ikan beronangsehingga energi yang digunakan oleh ikan untuk mencerna
pakan lebih sedikit. Sehingga energi yang tersisa cukup besar untuk dimanfaatkan bagi
pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih.
Rendahnya pertumbuhan berat mutlak yang didapatkan pada bak D/Kontrol
(3,55 gr), hal ini diduga karena kandungan protein yang ada pakan tidak mencukupi
untuk menunjang pertumbuhan dari ikan tersebut. Dimana energi yang dihasilkan dalam
mencerna protein yang terdapat dalam pakan tersebut hanya sebagian besar
dimanfaatkan oleh ikan dalam mencerna pakan dan untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya.Sehingga energi yang tersisa dalam tubuh ikan tersebut tidak
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
6
cukup untuk menunjang pertumbuhan yang optimal. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Cholik, dkk (1995) bahwa pertumbuhan biomassa dapat terjadi bila makanan yang
diabsorbsi melebihi jumlah makanan yang dibutuhkan oleh tubuh untuk hidup.
4.2. Laju Pertumbuhan Spesifik
Berdasarkan hasil pengamatan pada kegiatan perekayasaan tentang aplikasi
minagrow untuk memacu pertumbuhan benih ikan beronang maka didapatkan laju
pertumbuhan spesifik mingguan seperti yang terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Grafik Laju Pertumbuhan Spesifik Mingguan pada Setiap Bak Pemeliharaan.
Pada Gambar 2 terlihat bahwa laju pertumbuhan spesifik (LPS) tertinggi pada
minggu pertama didapatkan pada bak pemeliharaanB(pakan + minagrow 3 ppm)
sedangkan yang terendah didapatkan pada bak pemeliharaan A (pakan + minagrow 2
ppm). Nilai LPSyang didapatkan pada minggu I pada Bak B(8,02%) berbeda secara
signifikan dengan nilai LPS yang didapatkan pada bak A (3,5%). Pada pengamatan
minggu II nilai LPS yang tertinggi didapatkan pada Bak C (pakan + minagrow 4 ppm) dan
nilai LPS yang terendah didapatkan pada Bak D. Nilai LPS yang didapatkan pada bak C
(6,57%) berbeda secara signifikan dengan nilai LPS pada bak D (3,61%), namun tidak
berbeda secara signifikan dengan nilai LPS yang didapatkan pada Bak B (5,52%).
Secara umum laju pertumbuhan spesifik pada semua bak pemeliharaan
cenderung mengalami penurunan pada setiap minggunya, hal ini diduga karena ukuran
ikan semakin membesar sehingga laju pertumbuhannya juga semakin kecil. Hasil
pengukuran laju pertumbuhan spesifik rata-rata dapat dilihat pada Gambar 3.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
7
Gambar 3. Grafik Laju Pertumbuhan Spesifik Rata-rata pada Setiap Bak Pemeliharaan.
Berdasarkan Gambar 3. terlihat bahwa nilai laju pertumbuhan spesifik rata-rata
tertinggi didapatkan pada perlakuan B (5,02%), kemudian perlakuan C(4,52%),
selanjutnya perlakuan A (3,97%), dan nilai terendah didapatkan pada perlakuan D
(3,38%). Tingginya nilai laju pertumbuhan spesifik rata-rata yang didapatkan pada
perlakuan B menunjukkan bahwa pemberian minagrow yang dicampurkan kedalam
pakan dengan doisis 3 ppm memberikan laju pertumbuhan yang cukup baik
dibandingkan dengan perlakuan lainnya dan berbeda secara signifikan dengan kontrol
(tanpa minagrow).
Secara umum bahwa nilai LPS pada semua perlakuan yang menggunakan
tambahan minagrow memberikan nilai pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan
dengan tanpa minagrow (kontrol), hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya
penambahan minagrow dapat memacu pertumbuhan benih ikan beronang. Namun
demikian dari beberapa dosis penambahan minagrow yang digunakan terlihat bahwa
pada penambahan minagrow dengan dosis 3 ppm menunjukkan laju pertumbuhan yang
cukup tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
4.3. Tingkat Kelangsungan Hidup
Hasil pengamatan jumlah ikan beronang yang berhasil bertahan hidup pada
semua perlakuan selama kegiatan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Pengamatan Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Ikan Beronang pada
Semua Bak Pemeliharaan.
Perlakuan
A
B
C
D
Jumlah
(ekor)
100
100
100
100
Kelangsungan Hidup
(SR)
100%
100%
100%
100%
Berdasarkan hasil pada Tabel 2. terlihat bahwa tidak ada terjadi kematian benih
pada setiap bak pemeliharaan selama kegiatan perekayasaan ini berlangsung. Tingginya
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
8
sintasan benih ikan beronang yang didapatkan pada setiap bak pemeliharaan, hal ini erat
kaitanya dengan tingginya pakan yang dikonsumsi benih dan ketersediaan protein yang
cukup. Semakin tinggi pakan yang dikonsumsi benih ikan beronang maka ketersediaan
energi dalam tubuh benih juga tinggi sehingga mendukung proses fisiologi pada benih
seperti untuk tumbuh dan mempertahankan kelangsungan hidupnya. Menurut Effendi,
(1979) menyatakan bahwa ketersediaan makanan akan mempengaruhi sintasan ikan.
protein mempunyai fungsi bagi tubuh yaitu sebagai zat pembangun yang membentuk
berbagai jaringan baru untuk pertumbuhan, zat pengatur dan zat pembakar (Murtidjo,
2001)
4.4. Kualitas Air
Selama penelitian berlangsung dilakukan pengukuran parameter fisika-kimia air
media pemeliharaan benih ikan beronang, meliputi : Suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut
dan amoniak. Nilai kisaran parameter kualitas air dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kisaran Parameter Kualitas Air Media Pemeliharaan Benih Ikan Beronang pada
Setiap Pemeliharaan.
PARAMETER
Suhu (ºC)
Salinitas (ppt)
pH
O2 (ppm)
Amoniak
PERLAKUAN
A
29 - 31
30 - 33
7,9 - 8,5
5,3 - 6,6
0,042 - 0,072
B
29 - 31
30 - 33
7,3 - 8,5
5,4 - 6,7
0,038 - 0,065
C
29 - 31
30 - 33
7,2 - 8,2
5,5 - 6,7
0,036 - 0,064
D
29 – 31
30 - 33
7, - 8,3
5,5 - 6,5
0,040 - 0,070
Suhu air media pemeliharaan selama penelitian berkisar antara 28-31 ºC. Kisaran
tersebut masih layak untuk pertumbuhan dan kehidupan benih ikan beronang. Suhu
yang optimal untuk kehidupan ikan berkisar antara 25 – 33 oC, namun suhu ideal adalah
27 – 32 oC dengan perubahan yang tidak ekstrim (Kordi, 2005).
Kisaran pH air yang didapatkan pada semua perlakuan masihdalam batas yang
yang layak untuk kehidupan organisme perairan. Ikan beronang tumbuh optimal pada
pH 7,2 – 8,5. Bahkan pada pH 6,5 pun ikan beronang masih hidup dengan baik, tetapi
pertumbuhannya lambat (Sunyoto dan Munstahal, 1997). Lebih lanjut dikatakan Idris
(2008)bahwa pH yang optimal 7,85 – 8,52 pada bak pemeliharaan ikan beronang.
Kandungan Oksigen terlarut (O2) selama penelitian berkisar antara 5,3-6,7 ppm.
Nilai kisaran tersebut menunjang pertumbuhan ikan beronang. Menurut Kasry (1996)
kandungan oksigen terlarut 4 ppm merupakan standar yang tidak boleh kurang untuk
kelayakan kehidupan organisme dalam perairan. Ikan beronang mampu mentelorir
oksigen hingga 2 ppm, dan kelarutan oksigen 3 - 4 ppm sangat baik untuk ikan beronang.
Sebaliknya kelarutan oksigen yang sangat tinggi (lebih dari 8 ppm) juga tidak baik bagi
ikan karena dapat menyebabkan penyakit gelembung gas (Kordi, 2005).
Nilai kisaran amoniak yang didapatkan pada setiap perlakuan masih kisaran yang
layak untuk menunjang pertumbuhan dan mempertahankan kelangsungan hidup benih
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
9
beronang. Amoniak merupakan hasil ekskresi atau pengeluaran kotoran ikan yang
berbentuk gas. Selain itu, amoniak bisa berasal dari pakan yang tidak termakan oleh
biota sehingga larut dalam air. Kadar amoniak yang terkandung dalam perairan
merupakan hasil proses penguraian bahan organik. Kandungan amoniak dipengaruhi
oleh pH dan temperatur. Menurut Sutika (1989), amoniak akan berpengaruh secara
langsung dan tidak langsung terhadap ikan yang dipelihara.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kegiatan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Penambahan minagrow pada pakan dapat memacu pertumbuhan benih
ikan beronang.
2. Penambahan minagrow pada pakan dengan dosis 3 ppm memberikan hasil
pertumbuhan yang lebih baik dalam pemeliharaan benih ikan beronang.
3. Tingkat kelangsungan hidup yang didapatkan pada semua bak pemeliharaan
100%.
4. Parameter kualitas air selama penelitian masih dalam kisaran yang layak
bagi kelangsunganhidupbenih ikan beronang.
5.2. Saran
Untuk mendapatkan pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup yang optimal
pada pemeliharaan benih ikan beronang maka disarankan menambahkan minagrow
pada pakan.
DAFTAR PUSTAKA
Cholik, F., A,. G., Jagatraya, R., P. Poernomo dan A. Jausi. 2005. Akuakultur. Tumpuan
Harapan Masa Depan Bangsa. PT. Victoria Kreasi Mandiri.
Effendi, H. 2000. Telaah Kualitas air. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Jurusan
Manajemen Sumberdaya Perairan. Institut Pertanian Bogor.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas air. Kanisius. Yogyakarta.
Effendie, M. I., 1997. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor.
Faidar., J. H. Laore, D. S. Kusumawati, 2009. Teknik Pembenihan Ikan Beronang (Siganus
guttatus). Kumpulan Makalah. Pertemuan Teknis Litkayasa. Pusat Riset Perikanan
Budidaya. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan
Perikanan.
Gaspersz, V., 1991. Metode perancangan percobaan untuk ilmu pertanian, ilmu teknik
dan ilmu biologi. Armico, Bandung.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
10
Hamka. 2006. Upaya Pematangan Gonad Ikan Beronang (Siganus guttatus)Melalui
Pemberian Pakan Buatan dan Pakan Alami (Gracillaria sp.) pada Bak Terkontrol.
Laporan Tahunan. Balai Budidaya Air Payau Takalar.
Idris, M. 2005. Pengaruh Pemberian Pakan Egg Custard Dengan Dosis Yang Berbeda
Terhadap Pertumbuhan dan Sintasan Benih Ikan Kerapu Macan (Epinephelus
fuscoguttatus). Skripsi Fakultas Pertanian, Jurusan Pertanian, Universitas
Muhammadiyah Makassar.
Kordi, M., G., H. 2005. Budidaya Ikan Beronang. Rineka Cipta. Jakarta.
Mujiman, A., 1989. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sahwan., F., M. 2005. Pakan Ikan dan Udang. Kanisius. Yogyakarta.
Sunyoto, P. and Munstahal, 1997. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis penting. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Sutika, N., 1990. Ilmu Air, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Universitas Padjajaran Bandung.
Widyatmoko. 1994. Nutrisi dan Teknologi Pakan. Departemen Pertanian. Balai Budidaya
Air Payau Jepara.
Tarwijah. 2001. Pembenihan Ikan Beronang (Siganus spp). Booklet Jenis-Jenis Komoditi
Laut Ekonomis Penting Pada Usaha Pembenihan. Direktorat Bina Pembenihan,
Dirjen Perikanan, Departemen Pertanian, Jakarta
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
11
IMPROVEMENT THE MANAGEMENT OF LIGHTING ON LARVAL REARING OF RABBIT FISH
(Siganus guttatus)
Hamka, Jumriadi, Haruna dan Marwan
Abstract
Survival rate (SR) who still lower were obtained in the maintenance of rabbit fish larvae
cause needed improvements in maintenance techniques. This activity aims to improve
the survival rate of larvae. While the goal may be material information in developing
rabbit fish larvae rearing technique. This activity is carried out for 3 (three) periods
(cycles) with concrete tank measuring 2.18 x 1.56 x 1 m3 (effective volume 3 tons) in
indoor or 3 (three) pieces (tank A; tank B; and tank C). The activities carried out in this
engineering is to extend the periode of illumination on larvae rearing tanks. Older lighting
done on larvae rearing tank is 11 hours (control); 15 hours (tank B); and 24 hours (tank C).
Larvae stocking density of 40,000 tail / tank are stocked in each bath larvae rearing.
Measurement of survival rate (SR) is calculated at the time the larvae was 7 days (D7)
visually and when the 30-day-old larvae (D30) by counting the number of juveniles
produced directly on each tub maintenance. The survival rate (SR) on average were
obtained at the time D7 is tank A (23%); tank B (45%); and tank C (30%). While the
survival rate (SR) on average were obtained when the D30 is tank A (0.67%); tankB
(4.33%) and tankC (0.67%). Results of water quality measurements still the normal range
to support maintenance rabbit fish larvae activities.
Keywords: Lighting, Baronang Larvae, Survival Rate
PENINGKATAN TATALAKSANA PENCAHAYAAN PADA PEMELIHARAAN
LARVA IKAN BERONANG (Siganus guttatus)
Hamka, Jumriadi, Harunadan Marwan
ABSTRAK
Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan tingkat kelangsungan hidup larva.
Sedangkan sasarannya diharapkan dapat menjadi bahan informasi dalam
mengembangkan teknik pemeliharaan larva ikan beronang.Kegiatan ini dilakukanselama
3 periode (siklus) dalam bak beton berukuran 2,18 x 1,56 x 1 m3 (volume efektif 3 ton)
dalam ruangan indoor sebanyak 3 buah (Bak A; Bak B dan Bak C). Adapun kegiatan yang
dilakukan dalam perekayasaan ini adalah dengan memperpanjang masa pencahayaan
pada bak-bak pemeliharaan larva. Lama pencahayaan yang dilakukan pada bak
pemeliharaan larva adalah bak A (10 jam); bak B (15 jam); dan bak C (24 jam).Padat
penebaran larva sebanyak
40.000 ekor/bak yang ditebar padamasing-masing bak
pemeliharaan larva. Pengukuran tingkat kelangsungan hidup (SR) dihitung pada saat
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
12
larva berumur 7 hari (D7) secara visual (pengamatan langsung pada masing-masing
perlakuan)dan pada saat larva berumur 30 hari (D30) dengan menghitung langsung
jumlah juvenil yang dihasilkan pada masing-masing bak pemeliharaan. Tingkat
kelangsungan hidup (SR) rata-ratayang didapatkan pada saat D7adalah pada bak A (23%);
bak B (45%) dan bak C(30%). Sedangkan tingkat kelangsungan hidup (SR) rata-rata yang
didapatkan pada akhir kegiatan (D30)pada setiap bak pemeliharaan yaitu bak A (0,67%);
bak B(4,33) dan bak C (0,67%). Hasil pengukuran kualitas air masih menunjukkan kisaran
yang normal untuk mendukung kegiatan pemeliharaan larva ikan beronang.
Kata kunci : Pencahayaan,Larva beronang, Kelangsungan hidup
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Beberapa jenis ikan laut yang ekonomis dan merupakan komoditas budidaya
umumnya ada tiga golongan yaitu kerapu, kakap dan beronang. Selain kerapu dan
kakap, ikan beronang juga memiliki banyak jenis. Di daerah Indonesia dikenal sekitar 12
jenis ikan beronang. Ikan beronang (Siganus) mempunyai tubuh yang lebar dan pipih.
Mulutnya kecil karena beronang memang bukan ikan pemangsa melainkan ikan pemakan
tumbuhan (herbivora). Oleh sebab itu ia sering ditemukan di lingkungan perairan yang
banyak ditumbuhi lamun (sea grass) dan alga yang lebat. Sebagai ikan untuk konsumsi,
beronang makin banyak penggemarnya. Ada tiga jenis yang dagingnya tebal yakni :
Siganus guttatus, Siganus javus dan Siganus canaliculatus (Nontji, 1987). Di makassar
ikan beronang bakar sangat terkenal.
Akhir-akhir ini telah dicoba usaha untuk membudidayakannya. Namun,
sayangnya pemasokan benih ikan budidaya siap tebar dari usaha panti benih belum ada
sama sekali (khususnya untuk wilayah Indonesia Timur). Benih ikan beronang yang
digunakan masih mengandalkan dari usaha penangkapan di alam. Dengan demikian, ada
kemungkinan akan terjadi eksploitasi penangkapan ikan di alam secara berlebihan. Hal
ini tentu saja akan merusak keseimbangan ekosistem di masa mendatang.
Untuk mengatasi hal tersebut maka diperlukan upaya untuk melakukan kegiatan
pembenihannya.
Namun dalam kegiatan pembenihan ikan beronang tingkat
kelangsungan hidupnya masih rendah bahkan masih sering didapakan kematian secara
massal utamanya pada fase endogenous ke fase eksogenous yaitu fase dimana larva
untuk pertamakalinya mencari makan dari luar. Tingginya tingkat mortalitas pada fase
ini yaitu dimana larva tidak dapat memanfaatkan pakan yang ada. Salah satu penyebab
larva tidak mampu memanfaatkan pakan yang ada karena ukuran pakan tersebut tidak
sesuai dengan bukaan mulut larva.
Selain itu faktor cahaya dalam hal ini lama penyinaran dalam kegiatan
pemeliharaan larva juga merupakan kendala utama, dimana lama penyinaran
(pencahayaan) berpengaruh terhadap aktifitas larva dalam mencari makanan yang ada
air media pemeliharaan. Secara teoritis bahwa semakin lama waktu pencahayaan
tentunya kesempatan larva untuk mendapatkan makanan juga semakin lama, namun
demikian tentunya juga larva membutuhkan suatu fase untuk istirahat. Sehubungan
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
13
dengan hal tersebut maka dalam kegiatan peningkatan tatalaksana pemeliharaan larva
ikan beronang pada kegiatan ini dilakukan dengan memperpanjang waktu pencahayaan
sebagai upaya untuk memperpanjang waktu larva untuk memanfaatkan pakan yang ada.
1.2
Tujuan dan Sasaran
Tujuan dari kegiatan ini adalah mengetahui tingkat efektifitas peningkatatan
tatalaksana dalam pemeliharaan larva ikan beronang dengan memperpanjang lama
pencahayaan terhadap tingkat kelangsungan hidup larva.
Sasaran dari kegiatan ini adalah sebagai bahan informasi dalam pengembangan
kegiatan pembenihan ikan beronang dalam meningkatkanproduksi benih ikan beronang
dalam mendukung kegiatan pembudidayaan.
BAB II
METODOLOGI
3.1.
Waktu dan Tempat
Kegiatan ini dilakukan pada tahun anggaran 2015 (Mei - September) bertempat di
Unit Pembenihan Kerapu dan Beronang Balai Budidaya Air Payau Takalar, Desa
Mappakalompo Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar.
3.3 Alat dan Bahan
Adapun peralatan yang digunakan dalam mendukung kegiatan perekayasaan ini
adalah sebagai berikut:
1. Bak pemeliharaan larva (bak beton) volume 3 ton
2. Lampu TL 40 watt
3. Peralatan lapangan
4. Sistem distribusi air
5. Filter bag
6. Sistem aerasi
7. Saringan 60 mikron
8. Ember
9. Mikroskop
Sedangkan bahan yang digunakan dalam mendukung kegiatan perekayasaan ini
adalah sebagai berikut:
1. Telur ikan beronang
2. Tiram (trocopor)
3. Kaporit 60%
4. Obat-obatan
5. Formalin
6. Fitoplankton
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
14
3.3.
Prosedur Kerja
Perekayasaan ini dilakukan dengan menggunakan bak beton volume 3 ton
sebanyak 3 buah yang terletak dalam unit hachery (indoor) dengan perlakuan sebagai
berikut :
- Bak A (lama pencahayaan 10 jam/kontrol)
- Bak B (lama pencahayaan 15 jam)
- Bak C (lama pencahayaan 24 jam)
Adapun kegiatan dalam pelaksanaan perekayasaan ini adalah sebabagai berikut
- Menyiapkan 3 buah bak beton. Bak dicuci dengan air tawar dan detergen yang
mana sebelumnya bak telah didesinfektan dengan kaporit 100 ppm
- Menyiapkan sistem aerasi pada masing-masing bak pemeliharaan.
- Mengisi bak pemeliharaan dengan air laut yang telah melalui sand filter
- Memasukkan larva ikan beronang dengan kepadatan 40.000 ekor/bak
- Pemberian pakan berupa trocopor tiramdan brachionus pada masing-masing bak
pemeliharaan sesuai dengan kebutuhan.
- Kegiatan ini dilakukan selama empat siklus.
Sebagai data penunjang dilakukan pengukuran kualitas air pada setiap perlakuan.
Parameter kualitas air yang diamati meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut, pH dan
amoniak.
3.4. Pengukuran Peubah
Peubah yang diamati dalam kegiatan ini adalah tingkat kelangsungan hidup (SR)
pada saat larva berumur 7 hari (D7) dan pada saat berumur 30 hari (D30).
a. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Status D7
Tingkat kelangsungan hidup dalam kegiatan ini dilihat berdasarkan kepadatan
larva yang ada dalam bak pemeliharaan larva pada saat D7. Adapun kriteria dari
kepadatan larva tersebut adalah sebagai berikut :
Jumlah larva banyak sekali (++++ / 70% –90%)
-
Jumlah larva banyak (+++ / 50% ≤ x < 70%)
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
15
-
Jumlah larva sedang (++ / 30% ≤ x < 50%)
-
Jumlah larva sedikit (+ / <30%)
-
Tidak ada larva (-)
b. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Status D30
Tingkat kelangsungan hidup dalam kegiatan ini dihitung dengan menggunakan
rumus Effendie (1979), yaitu :
SR = (Nt/No) x 100%
Dimana :
SR = Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt = Jumlah hewan uji pada akhir pengujian (ekor)
No = Jumlah hewan uji pada awal pengujian (ekor)
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Status D7
Berdasarkan hasil pengamatan pada kegiatan perekayasaan tentang peningkatan
tatalaksana pada pemeliharaan larva ikan beronang, diperoleh data hasil seperti yang
terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Beronang pada Saat Larva Berumur 7 hari
(D7) Selama TigaSiklus.
Periode
I
II
III
A
++
+
++
Kode Bak
B
+++
++
+++
C
+++
+
++
Berdasarkan pada Tabel 1, terlihat bahwa pada pemeliharaan siklus I jumlah
larva yang hidup untuk mencapai hari keempatpada Bak A sudah mulai berkurang cukup
drastis (jumlah larva dalam kategori sedang), sedangkan pada bak lainnya yaitu pada Bak
B dan bak C (jumlah larva masih dalam kategori banyak). Pada pengamatan siklus II
jumlah larva yang hidup pada Bak A sama dengan pada bak C yaitu dalam kategori
sedikit, sedangkan pada bak B jumlah larva yang bertahan hidup dalam kategori sedang.
Tingginya mortalitas untuk kegiataan pemeliharaan larva padabak A
dibandingkan dengan bak B dan bak Cpada siklus I dan siklus II diduga sebagai akibat
tingkat konsumsi larva terhadap pakan yang diberikan dalam air media pemeliharaan
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
16
pada bak A cukup rendah dibandingkan pada bak B dan Bak C. Rendahnya tingkat
konsumsi larva ini salah satu penyebabnya diduga karena lama pencahayaan pada bak
pemeliharaan A dibandingkan dengan bak pemeliharaan B dan C lebih singkat. Sehinggga
waktu yang digunakan larva pada bak pemeliharaan A untuk mencari/memanfaatkan
pakan yang ada dalam air media pemeliharaan juga lebih singkat.
Pada pemeliharaan siklus IIIjumlah larva yang hidup untuk mencapai hari
kelimapada masing-masing bak pemeliharaan adalah untuk Bak A dan Bak C jumlah larva
yang bertahan hidup dalam kategori sedang sedangkan pada Bak B jumlah larva dalam
kategori banyak. Dengan masih banyaknya larva yang bertahan sampai hari kelima pada
Bak B menunjukkan bahwadengan adanya penambahan waktu pencahayaan dengan
menggunakan lampu TL (lama pencahayaan 15 jam) cukup efektif meningkatkan tingkat
kelangsungan hidup larva sampai mencapai D7. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Grafik Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Beronang pada Masing-Masing
Perlakuan Status D7
Pada Gambar 1. terlihat bahwauntuk kegiatan pemeliharaan larva pada bakA
jumlah larva yang mampu bertahan hidup untuk mencapai D7pada setiap siklusnya
cukup rendah yaitu hanya dalam jumlah kategori sedikit sampai sedang sedang (10% 30%), tingginya mortalitas yang didapatkan pada Bak A untuk setiap siklusnya
menunjukkan bahwa waktu pencahayaan yang relatif lebih pendek mengakibatkan larva
tidak mempunyai kesempatan yang lebih lama untuk memanfaatkan pakan yang ada
dalam air media pemeliharaan.Dari hari hasil pengamatan di bawah mikroskop
menunjukkan bahwa larva yang mengalami kematian pada bak pemeliharaan (bak A) isi
lambungnya kosong.Indikasi ini mulai terlihat pada saat larva berumur D4 dimana kondisi
larva lemah dan tidak ada makanan yang ada dalam isi lambung larva. Hal ini
menunjukkan bahwa larva yang mati tidak berhasil mendapatkan pakan yang diberikan
dalam air media pemeliharaan.
Ketidakberhasilan larva dalam memangsa pakan yang ada pada saat larva
berumur 3-4 hari maka akan menyebabkan adanya kematian massal pada saat larva
tersebut berumur 5 hari,hal ini disebabkan karena gelembung minyak yang merupakan
energi untuk larva pada saat D7 telah habis sehingga tidak ada lagi sumber energi dalam
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
17
tubuh larva yang dapat digunakan untuk bertahan hidup. Hal ini sesuai pernyataan
Prastowo, B.W. (1999) bahwa adanya kegagalan dalam kegiatan pembenihan beronang
disebabkan masih rendahnya tingkat kelangsungan hidup pada masa transisi dari fase
endogenous ke fase eksogenous feeding, dimana pada saat itu larva tidak dapat
memanfaatkan pakan yang tersedia dalam media pemeliharaannya sehingga terjadi
kematian massal.
4.2. Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Status D30
Pada saat larva berumur 30 hari sebagian besar larva telah berubah menjadi
juvenil (benih yang menyerupai ikan dewasa). Benih beronang yang dihasilkan pada
setiap bak pemeliharaan ukurannya tidak seragam (belantik) seperti halnya pada
pembenihan ikan kerapu bebek maupun kerapu macan, namun demikian benih ikan
beronang tidak kanibal seperti halnya kerapu macan. Tetapi benih yang berukurang lebih
besar cenderung mengejar benih yang berukurang jauh lebih kecil dan dipatuk-patuk.
Meskipun tidak sampai dimakan tetapi hal ini dapat menyebabkan kematian pada benihbenih tersebut. Adapun tingkat kelangsungan hidup yang didapatkan pada kegiatan ini
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Beronang pada Saat Larva Berumur 30 hari
(D30).
Periode
I
II
III
A
1%
0%
1%
Tingkat Kelangsungan Hidup (SR)
B
C
5%
2%
4%
0%
4%
1%
Secara umum tingkat kelangsungan hidup yang didapatkan pada akhir kegiatan
untuk semua perlakuan adalah masih cukup rendah. Hal ini menunjukkan masih
banyaknya yang perlu dikaji dan dikembangkan dalam kegiatan pemeliharaan larva ikan
beronang lada.Grafik tingkat kelangsungan hidup larva ikan beronang yang didapatkan
pada akhir kegiatan dapat dilihat pada Gambar 2.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
18
Gambar 2. Grafik Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Ikan Beronang pada Akhir
Kegiatan (D30).
Berdasarkan Gambar 2 terlihat bahwa tingkat mortalitas pada semua perlakuan
adalah cukup tinggi dimana nilai kelangsungan hidup tertinggi yang didapatkan hanya
5%.
Rendahnya tingkat kelangsungan hidup yang didapatkan pada akhir
kegiatantentunya hal ini sangat erat kaitannya dengan tinginya tingkat mortalitas larva
yang didapatkan pada fase endogenous ke fase eksogenous (D7), dimana semakin tinggi
tingkat kelulushidupan larva untuk mencapai D7 maka peluang larva untuk mencapai
ukuran benih (D30) juga lebih tinggi. Begitu pulah sebaliknya semakin rendah
kelulushidupan larva untuk status D7 maka peluang larva untuk mencapai ukuran benih
(D30) juga semakin rendah, bahkan tidak jarang terjadi kematian secara massal pada
sebelum larva mencapai umur 15 hari.
Adanya larva yang mampu bertahan hidup sampai akhir kegiatan yang
selanjutnya menjadi benih meskipun dalam nilai prosentase rata yang masih rendah
pada setiap bak pemeliharaan yaitu pada bak A dan bak C (0,67%) dan bak B (4,33%)
menunjukkan bahwa dengan adanya perpanjangan waktu pencahayaan (15jam)pada bak
pemeliharaan mampu meningkatkan tingkat kelangsungan hidup larva. Hal ini
disebabkan karena tingkat kelangsungan hidup yang didapatkan pada Bak B
menunjukkan perbedaan yang cukup signifikandibandingkan dengan kegiatan
pemeliharaan pada Bak A dan bak C
4.3. Kualitas Air
Kualitas air merupakan salah satu faktor penting dalam kegiatan pemeliharaan
larva ikan beronang , karena kualitas air dapat berpengaruh langsung terhadap
pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan. Nilai kisaran parameter kualitas air
selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kisaran Parameter Kualitas Air yang Didapatkan Selama Kegiatan Berlangsung.
Parameter
o
Suhu ( C)
O2 Terlarut (ppm)
Salinitas (ppt)
pH
Amoniak (ppm)
A
28 – 29
5,35 – 6
29 – 30
7,0 – 7,56
0,001 – 0,035
Kisaran Kualitas Air
B
28 – 29,5
5,30 – 6,2
29 – 30
7,0 – 7,32
0,001 – 0,027
C
28 – 29,5
5,35 – 6,2
29 – 30
7,2 – 7,6
0,001 – 0,030
Dari nilai kisaran beberapa parameter kualitas air pada Tabel 3 memperlihatkan
bahwa secara umum nilai tersebut masih berada pada kondisi yang layak untuk suatu
kegiatan pemeliharaan larva ikan beronang.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
19
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang didapatkan pada kegiatan perekayasaan ini maka dapat
disimpulkan bahwa dengan lama pencahayaan 15 jam memberikan tingkat kelangsungan
hidup rata-rata yang lebih tinggi (4,33%) dibandingkan dengan 10 jam (0,67%) dan 24
jam (0,67%).
5.2. Saran
Masih perlu dilakukan kajian lebih lanjut tentang lama pencahayaan yang optimal
untuk mendapatkan tingkat kelangsungan hidup yang optimal pada saat larva pertama
kali membutuhkan makanan dari luar.
DAFTAR PUSTAKA
Bryan, P.G. and B.B. Madraisau, 1977. Larval Rearing and Development of Siganus
lineatus (Piscea :
Siganidae) from Hatching Through Metamorphosis
Aquaculture 10 : 243 – 252.
Duray, M.N., 1998. Biology and Culture of Siganids. SEAFDEC Aquaculture Deaprtement
Tingbauan, Iloilo. Philipphines.
Effendie, M.L. 1979. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara, Jakarta. Hal. 92 –
100.
Gundemann, N., D.M. Popper and Lichtowich, 1983. Biology and life cycle of Siganus
vermiculatus (Siganidae, Pisces). Pacifik Science, 37 (2) : 165.
Kordi, K.M.G.H. 1992. Budidaya Ikan Beronang. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan.
Prastowo, B.W. 1999. Pengembangan Teknologi Pengelolaan Induk/Benih Ikan
Beronang (Siganus spp.). Direktorat Jenderal Perikanan. Balai Budidaya Air
Payau Jepara.
Soletchnik, P., 1984. Aspect of nutrition and reproduction in Siganus guttatus with
emphasis on applications in aquaculture. SEAFDEC Aquaculture Department,
Iloilo, Philippines (Terminal Report).
Sunyoto, P. and Munstahal, 1997. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis penting. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Taslihan, A., M. Murdjani, C. Purbomartono & E.Kusnendar. 2000. Bakteri patogen
penyebab penyakit mulut merah pada ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis).
J. Perikanan, II(2): 57-62.
Taslihan, A., M. Murdjani, C. Purbomartono & E.Kusnendar. 2000. Bakteri patogen
penyebab penyakit mulut merah pada ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis).
J. Perikanan, II(2): 5762.
Todar, K., 2002. The Mechanism of Bacterial Pathogenecity. Todar’s Online Textbook of
Bacteriology. University of Wisconsin-Madison Department of Bacteriology. P 118.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
20
Aplikasi Sistem Bioreaktor Sederhana dalam Pemeliharaan
Nannochloropsis oculata
Sitti Faridah*, Abd. Gafur, Haruna dan Khairil Jamal
Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP)
Abstrak
Peranan Nannochloropsis oculata dalam kegiatan pembenihan di BPBAP Takalar
sangat penting dalam menunjang kegiatan pembenihan seperti pembenihan kerapu,
bandeng, kepiting bakau dan rajungan. Namun ketersediaan N.oculata masih belum
mencukupi karena keterbatasan tempat/wadah kultur. Kegiatan ini bertujuan untuk
mengetahui efektifitas penerapan sistem bioreaktor sederhana dalam pemeliharaan
N.oculata. Perekayasaan ini dilakukan dengan membandingkan antara pemeliharaan
N.oculata sistem konvensional dengan sistem bioreaktor sederhana. Sistem konvensional
menggunakan bak kultur dengan volume 20 ton yang dilakukan pada ruangan terbuka
menggunakan pupuk urea, TSP, ZA dan plant activator sedangkan sistem bioreaktor
sederhana dilakukan di dalam ruangan tertutup dengan dinding ruangan dilapisi terpal
berwarna silver dengan volume 80 L dan dilengkapi pencahayaan menggunakan lampu
LED dan TL menggunakan pupuk walne. Dari hasil pengamatan dapat diketahui jika pada
puncak pertumbuhan terjadi pada hari ke-6 pada sistem konvensional dan hari ke-7 pada
sistem bioreaktor sederhana hal ini dapat diketahui karena kepadatan N.oculata tertinggi
pada hari tersebut dan terjadi penurunan pada hari ke-8 hingga ke-11. Kepadatan
tertinggi diperoleh pada sistem bioreaktor sederhana yaitu 44,2 x 106 sel/mL dan sistem
konvensional yaitu 21,850 x 106 sel/mL. Berdasarkah hal tersebut dapat diketahui jika
penerepan sistem bioreaktor lebih efektif dalam meningkatkan kepadatan N.oculata
dibandingkan sistem kovensional.
Kata Kunci: Bioreaktor, Nannochloropsis oculata, Konvensional, dan Pembenihan.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
21
Abstract
Nannochloropsis oculata role in seeding activities in Centers Brackishwater
Aquaculture (CBA) Takalar very important in supporting activities such as seeding
grouper, milkfish, mud crab and crab. However, the availability of N.oculata still not
sufficient due to the limited space /container culture. This activity aims to determine the
effectiveness of the application of the bioreactor system is simple in maintenance
N.oculata. This engineering is done by comparing the maintenance N.oculata
conventional system with a simple bioreactor system. Conventional systems using bath
culture with a volume of 20 tonnes were carried out in open space using urea, TSP, ZA
and plant activator as fertilizer while the bioreactor system simply done in a closed room
with walls covered with tarpaulin silver with a volume of 80 L and equipped with lighting
using LED lights and TL use fertilizer walne. From the observation can be known if the
peak growth occurred on the 6th day in the conventional system and the 7th day in a
simple bioreactor system this can be known as N.oculata highest density on the day and
decrease at day 8 up to 11. The highest density was obtained in a simple bioreactor
system that is 44.2 x 106 cells/mL and a conventional system that is 21.850 x 106 cells/mL.
Base on it can be known if bioreactor system aplication is more effective in improving
N.oculata density compared to conventional systems.
Keywords: bioreactor, Nannochloropsis oculata, Conventional, and Hatchery.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Nannochloropsis oculata.merupakan alga bersel tunggal dari golongan alga hijau
(Chloropyta) yang telah dimanfaatkan secara komersial karena gizinya yang tinggi (Srihati
dan Carolina, 1995). Nannochloropsis oculata.memiliki peranan dalam memenuhi
kebutuhan manusia diantaranya sebagai makanan tambahan atau suplemen karena
kandungan nutrisinya lengkap (Royan, dkk. 2010). Meningkatnya permintaan
akanNannochloropsis oculata. merupakan peluang dilakukannya
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Nannochloropsis oculata adalah
suhu, salinitas, intensitas cahaya dan pH. Keberhasilan media dan semua peralatan yang
digunakan selama kultur, pemupukan serta aerasi yang diberikan secara terus menerus.
Suhu, merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap proses metabolisme dan
fotosintesi. Nannochloropsis oculata masih dapat bertahan hidup pada suhu 400C, tetapi
tidak tumbuh.Kisaran suhu 250C–300Cmerupakan kisaran suhu yang optimum untuk
Pertumbuhan Nannochloropsis oculata (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).Salinitas bagi
Nannochloropsis oculata sangat penting untuk mempertahankan tekanan osmotik antara
protoplasma dengan air sebagai 3 lingkungan hidupnya. Karena dapat mempengaruhi
proses metabolisme. Nannochloropsis oculata dapat tumbuh pada salinitas 0 –35 ppt.
Salinitas 30 – 32 ppt merupakan salinitas optimum untuk pertumbuhan Tetraselmis chuii.
Derajat Keasaman (pH), berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan fitoplankton.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
22
Kisaran pH yang optimal bagi pertumbuhan Nannochloropsis oculata adalah 8 – 9,5 (Fogg
and Thake, 1987).
Intensitas Cahaya, Secara fisiologi cahaya mempunyai pengaruh baik langsung
maupun tidak langsung. Pengaruhnya pada metabolism secara tidak langsung
memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan. Proses perkembangan yang
dikendalikan cahaya ditemui pada semua tahap pertu mbuhan. Karena peranan yang
mendasar dari fotosintesis didalam metabolism tanaman, maka cahaya merupakan salah
satu faktor lingkungan terpenting (Fitter dan Hay, 1991).
Peranan cahaya dalam fotosintesis adalah membantu menyediakan energi untuk
diubah menjadi energi kimia dengan bantuan klorofil.Klorofil adalah substansi yang
berwarna hijau sehingga klorofil kelihatan berwarna hijau. Proses fotosintesis dapat
dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal maupun internal. Faktor eksternal yang mungkin
berpengaru h adalah cahaya, karbon dioksida, air, suhu dan mineral. Faktor internal yang
dapat mempengaruhi proses fotosintesis antara lain struktur sel, kondisi klorofil, dan
produk fotosintesis serta enzim-enzim dalam daun /organ fotosisntesis (Abidin, 1987).
Sama seperti tumbuhan lainnya,Nannochloropsis oculata juga memerlukan tiga
komponen penting untuk tumbuh, yaitu sinar matahari, karbon dioksida dan air.
Nannochloropsis oculata menggunakan sinar matahari untuk menjalankan proses
fotosintesis. Fotosintesis merupakan proses biokimia penting pada tumbuhan alga,dan
beberapa bakteri untuk mengubah energi matahari menjadi energi kimia. Energi kimia ini
akan digunakan untuk menjalankan reaksi kimia, misalnya pembentukan senyawa gula,
fiksasi nitrogen menjadi asam amino, dll. Nannochloropsis oculata menangkap energi
dari sinar matahari selama proses fotosintesis dan menggunakannya untuk mengubah
substansi anorganik menjadi senyawa gula sederhana. Penanaman Nannochloropsis
oculata untuk menghasilkan biomassa mungkin akan sedikit lebih sulit karena alga
membutuhkan perawatan yang sangat baik dan mudah terkontaminasi oleh spesies lain
yang tidak diinginkan (Diharmi, 2001).
Berdasarkan hasil penelitian Diharmi, (2001), melakukan kultur spirulina pada
berbagai intensitas cahaya, yaitu 2000 lux, 3000 lux, dan 4000 lux. Kandungan biomassa
tertinggi diperoleh pada kultur dengan intensitas 4000 lux. Menurut Sri Cahyaningsih,
dkk., (2006), Untuk kultur semi massal maupun massal dengan ruang terbuka intensitas
cahaya lebih baik diberikan dibawah 10.000 lux dan biasanya dua belas jam dalam
keadaan gelap dan dua belas jam dalam keadaan terang. Pada umumnya didalam ruang
kultur, intensitas cahaya yang dibutuhkan berkisar antara 500 hingga 5000 lux. Intensitas
cahaya optimum untuk pertumbuhan Nannochloropsis oculata adalah 2000 sampai
10.000 lux (Taw, 1990).Cahaya merupakan sumber energi utama dalam fotosisntesis, dan
secara tidak langsung berpengaruh terhadap proses pertumbuhan tanaman pada
umumnya dan pada khususnya terhadap pertumbuhan Tetraselmis chuii. Namun energi
yang diberikan oleh cahaya bergantung pada kualitas cahaya, intensitas cahaya, dan
waktu
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
23
TUJUAN
Perekayasaan Aplikasi sistem bioreactor sederhana dalam pemeliharaan
Nannochloropsis oculatabertujuan untuk :
(a)
Membandingkan produktivitas pemeliharaan Nannochloropsis oculata antara
(b)
sistem bioreaktor sederhana dengan sistem konvensional.
Diperoleh sistem/model yang terbaik dalam memaksimalkan produktivitas
pemeliharaan N. oculata.
II. METODOLOGI
a. Waktu dan Tempat
Kegiatan rekayasa teknologi produksi phytoplankton tahun 2015 dilaksanakan
mulai bulan Januari - Juni 2015 dilaksakanan laboratorium divisi produksi
phytoplankton dan zooplankton di Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar, Desa
Mappakalompo, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar.
b. Alat dan Bahan
Bahan yang dibutuhkan dalam kegiatan perekayasaan ini adalah bibit
Nannochloropsis sp, air laut, air tawar, aquades, kaporit, thiosulfat, pupuk walne,
vitamin, ruangan yang dilengkapi dengan rak, lampu Tl, stekker, stop kontak, kabel
listrik, lem, slang aerasi, kran aerasi, pemberat, kertas label,pulpen, kertas, kapas,
pinset, handrefraktometer, haemocytometer, mikroskop, hand counter, cover glass,
pipet tetes, pipet skala, slang spiral, peralatan aerasi, plastik bening untuk digunakan
dalam kegaitan kultur, pompa celup 1’, fiber 1 ton, AC, chlorin test, alat sterilisasi air
dari UV, timba, sabun cair, alat penggosok, filter bag, saringan kapas, dan lainnya.
c. Metode
Perekayasaan ini dilakukan dalam ruangan dan rak kultur yang telah dimodifikasi
menggunakan dinding berwarna perak sehingga pemantulan cahaya lampu bisa lebih
maksima sehingga intensitas cahaya pada ruangan kultur dapat lebih dimaksimalkan.
Perekayasaan ini menggunakan ruangan berukuran 1,5 x 2 m yang semua dindingnya
diberi warna silver/perak, pada ruangan ini juga akan diberikan rak kultur yang telah
dimodifikasi sehingga pemantulan cahaya lampu (intensitas cahaya) yang digunakan
untuk kultur lebih maksimal. Rak yang digunakan berukuran 1,5 x 0,6 x 1,5 m yang
dibagi menjadi dua bagian di mana bagian yang diberikan alas kaca pada setiap raknya
dan bagian kedua yang tidak diberikan kaca untuk digunakan dalam kegiatan kultur
dengan sistem bioreactor.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
24
Gambar 1. Proses kultur Nannochloropsis oclatamenggunakan
Bioreaktor Sederhana
Wadah yang digunakan dalam kegiatan kultur chlorella adalah plastic PE yang
bening sehingga cahaya yang masuk lebih maksimal dan setiap wadah dilengkapi dengan
peralatan aerasi. Untuk air media pemeliharaan digunakan air laut yang salinitasnya
telah disesuaikan untuk Nannochloropsis oculata yaitu 27 – 30 ppt, jika salinitas air laut
lebih tinggi maka akan dilakukan pengenceran menggunakan air tawar. Namun terlebih
dahulu dilakukan sterilisasi air menggunakan kaporit dan dinetralkan menggunakan
sodium thiosulfat. Sebelum diberikan bibit Nannochloropsis oculata sebanyak 15 – 30 %
dari volume wadah sesuai dengan kepadatan yang diinginkan, terlebih dahulu dilakukan
pemberian pupuk walne. Pengamatan kepadatan N. oculata yang dikultur dilakukan
setiap hari hingga fase mort dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mencapai setiap
fase (Fase lag, fase logaritmik, fase stationer dan fase mort) dicatat. Pengambilan sampel
untuk dilakukan analisa proksimat pada fase puncak/logaritmik. Intensitas cahaya diukur
pada pagi dan malam.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
25
Gambar 2. Proses kultur Nannochloropsis oclata menggunakan Sistem Konvensional
3.3. Menetapkan Sistem Perolehan dan Pengolahan Data
a. cara perhitungan pengencaran air laut
Untuk memperoleh salinitas air pemeliharaan yang diinginkan, terlebih dahulu dilakukan
pengukuran salinitas air laut dan air tawar menggunakan handrefraktometer, kemudian
dimasukkan ke dalam metode sederhana dalam pemcampuran air denganmenggunakan
rumus bujursangkar, berikut ini:
SLSC
ST
SC
Xy
SL
Dimana :
SL
=
SC
=
STSC =
diinginkan (nilai mutlak)
SLSC =
diinginkan (nilai mutlak)
STSC
Salinitas air tawarST = Salinitas air laut
Salinitas yang diinginkan
Selisih antara salinitas air tawar dengan salinitas yang
Selisih antara salinitas air laut dengan salinitas yang
Perhitungan volume air yang diinginkan :
Untuk air tawar yang dibutuhkan dapat diperoleh menggunakan rumus
Untuk air laut yang dibutuhkan dapat diperoleh menggunakan rumus
:
:
b. Cara menghitung kepadatan plankton
Untuk mengetahui keberhasilan dalam pembibitan dari jenis plankton
yang dikehendaki perlu diketahui tingkat kepadatannya (Mujiman, 1984). Alat
yang digunakan untuk mengukur kepadatan adalah Haemacytometer (Thoma)
dengan bantuan mikroskop.
Cara penghitungan Tetraselmis chuii sama dengan cara penghitungan Chlorella
sp. Estimasi kepadatan sel alga dapat di hitung sebagai berikut :
1. Dalam 400 kotak (bila kepadatan rendah) Jumlah sel x 104/ml = a sel/ml
2. Dalam beberapa kotak (bila kepadatan terlalu tinggi)
Rata-rata jumlah sel x 400 x 104/ml = a sel/ml
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
26
III. HASIL KEGIATAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Kegiatan
Hasil yang diperoleh dalam kegiatan pemeliharaan N. oculata dapat dilihat pada
tabel dan gambar grafik berikut ini :
Gambar 4. Hasil pengukuran kepadatan harianNannochloropsis oculata selama
pemeliharaan dengan sistem bioreaktor sederhana dan sistem konvensional.
Waktu yang dibutuhkan untuk memelihara Nannochloropsis oculatadalam
kegiatan perekayasaan adalah 10 hari, karena kepadatan sudah mulai mengalami
penurunan hari ke delapan pada hari ke empat, hal ini terjadi karena kondisi cuaca yang
berawan sehigga intensitas cahaya yang masuk rendah serta suhu makin turun.
Tabel 1. Hasil pengukuran parameter kualitas airdalam perekayasaan di ruang dan rak
yang telah dimodifikasi dan tidak dimodifikasi.
Parameter
Kisaran dan rerata Hasil Pengukuran
Konvensional
0
suhu ruangan ( C)
Bioreaktor Sederhana
-
20-25
suhu air (0C)
18-32
18-22
salinitas (ppt)
28-36
28-29
pH
7.5-7.8
7.5-7.8
∞
± 1848
Intensitas cayaha (lux)
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
27
5.2. Pembahasan
Dari grafik dapat diketahui jika kepadatan pada hari pertama rendah pada sistem
bioreaktor sederhana yaitu 2 juta cell per ml sedangkan sistem konvensional 5 juta sel
per ml, pada hari kedua kepadatan N. oculata, pada sistem konvensional mengalami
penurunan sekitar 4 juta sel per ml sedangkan sistem bioreaktor sederhana mengalami
peningkatan yaitu 3 juta sel per ml,pada hari kedua N.oculata mengalami fase lag atau
adaptasi terhadap lingkungan dimana pada fase ini N.oculata yang hidup hanya yang
mampu beradaptasi dengan lingkungannya, selain itu pada sistem konvensional faktor
iklim dan cuaca berfluktuatif karena dilakukan di luar ruangan sehingga tidak dapat
dikontrol. Hal ini sesuai dengan pendapat Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) bahwa
selama fase lag, pertumbuhan tidak secara nyata terlihat karena fasi ini dinamakan juga
fase adaptasi, pada fase ini ukuran sel umumnya meningkat tetapi secara fisiologis
fitoplankton sangat aktif dan terjadi proses sintesis protein baru dimana proses
metabolisme terjadi dan masih beradaptasi terhadap kondisi lingkungannya tetapi belum
terjadi pembelahan sel hingga kepadatan sel belum meningkat.
Pada hari ketiga hingga keenam, kepadatan N.oculata terus mengalami
peningkatan baik pada sistem konvensional maupun sistem bioreaktor sederhana, hal ini
menunjukkan terjadi fase eksponensial dimana fase ini diawali oleh pembelahan sel
dengan laju pertumbuhan tetap pada kondisi kultur yang optimum dan laju
pertumbuhan pada fase ini mencapai maksimal karena pada fase ini sel melakukan
konsumsi nutrient dan proses fisiologis lainnya (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995),
meskipun kedua sistem mengalami peningkatan kepadatan N.oculata pada hari ketiga
hingga ke enam, tetapi kepadatan pada sistem bioreaktor sederhana yang lebih tinggi
dibandingkan sistem konvensional hal ini mungkin terjadi karena dalam proses
perkembangan N. oculata, energi yang digunakan untuk melakukan pertumbuhan harus
dibagi dengan penyesuaian dengan kondisi lingkungan yang berfluktuasi, berbeda
dengan sistem bioreaktor sederhana, dimana energi yang digunakan untuk pertumbuhan
dapat lebih maksimal karena kondisi lingkungan yang lebih terkontrol.
Dari grafik ini juga dapat kita diketahui jika kepadatan yang tertinggi N. oculata di
hari keenam pada sistem konvensional yaitu 21 juta sel per ml sedangkan sistem
bioreaktor sederhana terjadi pada hari ketujuh yaitu 40 juta sel per ml, tetapi setelah itu
terjadi penurunan secara perlahan-lahan hingga hari kesepuluh. Pada saat ini terjadi fase
kematian dimana pada fase ini laju kematian lebih cepat daripada laju reproduksi, jumlah
sel menurun secara geometrik dan penurunan kepadatan mikroalga ditandai dengan
perubahan kondisi optimum yang dipengaruhi oleh suhu, cahaya, pH air dan jumlah hara
yang ada dan beberapa kondisi lingkungan yang lain (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).
Dari tabel 2, dapat diketahui jika intensitas cahaya pada sistem konvensional
menunjukkan nilai tak terhingga sedangkan sistem bioreaktor sederhana ± 1848 lux,
namun intensitas cahaya yang tinggi dan cenderung berfluktuatif tidak dapat menjamin
pertumbuhan fitoplankton akan lebih baik daripada intensitas cahaya lebih rendah tetapi
tetap. Hal ini sesuai dengan pendapat Darley (1982) bahwa pertambahan intensitas
cahaya pada mulanya akan membantu proses awal pertumbuhan sel, namun setelah
intensitas cahaya meningkat melebihi batas optimum bisa menjadi faktor penghambat.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
28
Lebih lanjut dikatakan bahwa cahaya merupakan sumber energi dalam proses
fotosintesis yang berguna untuk pembentukan senyawa karbon organik. Intensitas
cahaya yang terlalu tinggi dapat menyebabkan fotoinhibiting dan pemanasan (Cotteau,
1998; Taw, 1990). Parameterkualitas air pada sistem konvensional berfluktuatif
terutama pada parameter suhu dan salinitas sedangkan sistem bioreaktor sederhana,
parameter kualitas air tidak berfluktuasi karena masih dapat dikontrol.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kegiatan perekayasaan ini maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Pertumbuhan N. oculata lebih baik pada sistem bioreaktor sederhana dari pada
2.
sistem konvensional.
Sistem bioreaktor sederhana dapat digunakan sebagai sistem alternatif dalam
pemeliharaan N. oculata.
DAFTAR PUSTAKA
Coetteau, P. 1998. Alga Production. University of Gent, Rome.
Djarijah, Abbas Siregar. 1995. Pakan Ikan Alami. Kanisius. Yogyakarta
Effendie, I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta.
Eyster, C. 1978. Nutrient Concentration Requirements for Chlorellasorokiniana. Available
from the author or the Mobile college Library, Mobile, Alabama 36613. 78-81.
Foog, G.E. dan B. Thake. 1987. Algal Cultures and phytoplankton ecology 3rd. The Univ. Of
Wisconsin Press. London.
Fujaya, Y. 1999. Fisiologi Ikan. Rineka Cipta. Yakarta.
Hariati, A.M. 1989. Makanan Ikan. Diktat Kuliah Universitas Brawijaya. Malang. 155 hal.
Halver, J. E. 1989.Fish Nutrition.Second Edition.Academic Press, Inc. London.
Huet, M. 1971. Text-book of Fish Culture: Breeding and Cultivation of Fish Fishing New
Book Ltd. England
Isnansetyo, Alim dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton,
Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Kanisius. Yogyakarta
Murtidjo,
Bambang
Agus.
2001.
Pedoman
Meramu
Pakan
Ikan.
Kanisius.YogyakartaProgram manual pakan alami 2015.
Sachlan, M. 1982. Planktonologi.Fakultas Perternakan dan Perikanan Universitas
Diponerogo. Semarang.
Sheehan, J., T. Dunahay, J. Benemann, P. Roessler, (1998). A look Back at The U.S.
Department of Energy’s Aquatic Speciest`
Wirosaputro, S. 2002. Chlorella Untuk Kesehatan Global Teknik budidaya dan pengolahan
buku II.Gajah Mada University Press.Yogyakarta.
Sachlan, M. 1982. Planktonologi.Fakultas Perternakan dan Perikanan Universitas
Diponerogo. Semarang.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
29
Sriharti dan Carolina. 2000. Pengaruh Media Terhadap Kualitas Algae Bersel Tunggal
(Scenedesmis sp). Jurnal: Seminar Nasional Biologi.
Taw, N. 1990. Petunjuk Pemeliharaan Kultur Murni dan Massal Mikroalga. Proyek
Pengembangan Budidaya Udang. United Development Program Food ang
Agriculture Organization of United Nations.
Zonneveld, N., E.A. Huisman dan J.H. Boon. 1991. Prinsip-prinsip Budidaya Ikan.
Gramedia
Pustaka
Utama.
Jakarta
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
30
SUSTAINABILITY OF THE MASS PRODUCTION OF Nannochloropsis oculata THROUGH
ALKALINITY STABILITY OF CULTURE MEDIA
Mohammad Syaichudin, Abdul Gafur, Endah Soetanti, Suhardi ABS
Center for Brackishwater Aquaculture Development Takalar, Indonesia.
Abstract
Mass production Nannochloropsis oculata for aquaculture, requires a qualified biomass
input. Classic problem that extreme weather conditions are hot and rainy, thereby
disrupting the exponential growth of the culture period were low and short lived. In
tackling the shortage of free carbon dioxide in the culture medium, then the increase in
alkalinity engineering technology through the addition of calcium carbonate (chalk) so as
to stabilize the alkalinity of the culture medium Nannochloropsis oculata. The
engineering goal to improve the optimization of mass culture Nannochloropsis oculata
growth by maintaining alkalinity stability culture media. Testing is done with the addition
of dolomite on the third day, fifth and so on, for 15 days, the control without the
addition of lime in 20 m3 Tank. Based on the results of testing at extreme conditions of
salinity media that is 35 ppt, the testing bath to survive until the end of the DOC 15 with
a salinity of 41 ppt, while dying on DOC control 9. The level of alkalinity control continues
to decline, while in the tub can be maintained on condition testing optimal.
Nannochloropsis oculata peak growth at the highest test tub on DOC 5-14, while the
exponential growth in control tanks only on DOC 5-8. This proves that this technology
can extend the life span of the exponential growth of the culture Nannochloropsis
oculata mass scale, and can be a reference to improve the stability of plankton growth in
normal and extreme winter conditions.
Keywords : alkalinity, exponential growth, extreme weather
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
31
INTRODUCTION
In mass culture of Nannochloropsis oculata in conventional system, often having
some problems, such as the age of the culture that is short (about 5-7 days), the culture
of death in extreme season and low densities of production. Based on our observations,
where there are limiting factors in culture of Nannochloropsis oculata, such as nutrients,
light, and carbon dioxide. Therefore necessary engineering culture so that the life is
longer and n density of productio more stable. As we know that in the conventional
system of mass culture on a daily the levels of alkalinity on the culture medium
decreased to low level until death.
To overcome the existing obstacles it is necessary to manipulate the alkalinity of
culture medium by adding dolomite lime with interval 15-25 ppm in 2-3 days after
inoculation of seeds that carried out repeatedly, in addition to overcoming nutrient
deficiencies then done refertilizer (remanuring) with a half dose from the first of culture
with an interval of 5-6 day culture period. With this system can maintain the stability of
alkalinity and nutrient availability in the culture medium of mass Nannochloropsis
oculata, so that exponential growth can be maintained longer. Economically also more
effective and efficient so that the production cost can be reduced.
Ecologically, the life of Nannochloropsis oculata is influenced by several
environmental quality parameters, such as: fertility (nutrients), pH, salinity, light intensity
and temperature. Moreover, like higher plants, Nannochloropsis oculata also require
sufficient sunlight for photosynthesis. The needs of light intensity depends on the
conditions of culture and density of Nannochloropsis oculata. On a laboratory scale, the
culture on erlenmeyer only needed 1000 lux and on the mass scale required 5000-10000
lux. The light source other than direct sun can also be done by using light manipulation.
Pillay T, 1988 found Nannochloropsis oculata grow well at the optimum
temperature ranging between 25 - 350C. Kurniastuty and Isnansetyo, A., 1995 said
Nannochloropsis oculata still be alive at a temperature of 400 C but it can not grow.
Unlike the Lavens, P and Sorgeloos, P, 1996 as saying at a temperature of 35 0 C causes of
death in Nannochloropsis oculata, while the optimum temperature in the range of 20 240C, and temperature tolerant to Nannochloropsis oculata between 16-270 C.
Nannochloropsis oculata have extreme tolerance to changes in salinity. Most species
grow well in salinity lower than its original habitat (Lavens P and Sorgeloos P., 1996). The
range for growth Nannochloropsis oculata salinity between 0-35 ppt, but the optimum
range between 20-24 ppt (Anonymous, 1991).
Carbon dioxide dissolved in water in the form of carbonic acid (H2CO3) is less than
1% and this acid dissociates very strong. Carbon dioxide content of water is essentially a
function of the biological activity. Wherever the process of respiration is faster than the
accumulation of carbon dioxide in photosynthesis. Water ponds in the early morning are
usually carbon dioxide are in a saturated condition. Bicarbonate result of the dissociation
of carbonic acid, further dissociates into carbonate (HCO3- = H+ + CO32-) (Boyd, 1988).
Photosynthesis activity in a variety of organisms are the main source of oxygen in aquatic
environments. Since light is known to give energy to the process of photosynthesis, then
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
32
this can only happen if they are in the area of the water column that are light (photik or
euphotik zone). At depths where oxygen production by algae equilibrium with the
respiration of algae called the compensation depth, while the dark areas underneath
called aphotik zone where respiration exceeds production of oxygen (Goldman and
Horne, 1983).
Natural waters usually contain more bicarbonate ions rather than the result of
ionization of carbonic acid in the water saturated with carbon dioxide. Carbon dioxide in
nature will reacted with rocks and soil to form bicarbonate, such as ilustrated in two
alkaline earth carbonate, namely calcite (CaCO3) and dolomite (CaMg (CO3)2). Calcite and
dolomite has a low solubility, but solubility increases by the action of carbon dioxide.
Reactions that involving forms of bicarbonate to form or carbonate is an equilibrium
reaction and the amount of carbon dioxide must be present to make a bicarbonate as
solution. If the amount of carbon dioxide at equilibrium increases or decreases, it is
associated with changes in the concentration of bicarbonate ions (Boyd, 1990).
Total alkalinity usually expressed in equivalent of calcium carbonate. Bicarbonate,
carbonate, ammonia, hydroxide, phosphate, silicate and some organic acids can react to
neutralize hydrogen ions, so that all this material is alkaline and is responsible for the
alkalinity of the water. Water that used for aquaculture, bicarbonate and carbonate ions
usually responsible significantly to the measurement of alkalinity. Alkalinity can be
divided into bicarbonate alkalinity and carbonate alkalinity, and some water alkalinity
hydroxide. The alkalinity of natural waters range from 5 to more than 500 mg/l. Total
alkalinity that high usually associated with limestone deposits around the ground. Pond
with a low total alkalinity commonly in sandy soil areas, while at the loamy soil that often
contains calcium carbonate tends to have a higher total alkalinity. The sea water have an
average of total alkalinity of 116 mg / l (Boyd, 1990).
When carbon dioxide is added to the solution that containing carbonate or
bicarbonate, the pH of the solution will decrease. A drop in pH is a result of the carbon
dioxide which is the source of hydrogen ions to react with the carbonate or bicarbonate.
In natural waters, carbon dioxide released during respiration and also diffusion from the
atmosphere. The amount of carbon dioxide that enter through diffusion is not
necessarily, nor loss of carbon dioxide which can cause the pH to rise. Bicarbonate can
support as a water buffer against pH changes. If the H+ ions increases, it will react with
bicarbonate to form carbon dioxide so that the water equilibrium constant (K1) can be
maintained and the changes of pH are very small. Likewise, an increase in OH- ions only
lose a hydrogen ion while as carbon dioxide and water will react to form more hydrogen
ions in order to maintain the equilibrium constant and can prevent the changes of pH
significantly. For the record in terms buffer, carbon dioxide is an acid and bicarbonate ion
as the salt. The calculation of the actual pH of bicarbonate and carbon dioxide to look a
little harder than the equation above. However water has a medium or high alkalinity
tend to be stronger buffer than water that has a low alkalinity (Boyd, 1990).
During the day light (daylight), aquatic plants will remove the carbon dioxide in the
water for photosynthesis. Plants and animals alike issued karbondiosida into the water in
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
33
the process of respiration. However during the light of day sooner water plants use
carbon dioxide than when issued in respiration. The influence of photosynthesis can be
seen clearly in the equation, if carbon dioxide is taken then the carbonate will
accumulate and hydrolyzed and raise the pH. Plants can continue to use the carbon
dioxide that is available in small quantities at a pH above 8.3 and bicarbonate can be
absorbed by plants and carbon from bicarbonate is used for photosynthesis. In the pond,
pH can rise more than 8.3. Where low bicarbonate concentration, water into the poor
buffer and the pH value of during the period of photosynthesis average 9-10. On the
evening, accumulation of carbon dioxide and pH decreases.
In some waters, calcium ions associated with bicarbonate and carbonate ions, so
that when the carbonate is increased in concentration that can be associated, calcium
carbonate will precipitate because these components are relatively poorly soluble
(KspCaCO3 = 10-8.30). The precipitated calcium carbonate tends to pH medium, but at a pH
of 9 or more may occur during photosynthesis in water containing a high concentration
of calcium. In other waters, sodium and potassium associated with bicarbonate and
carbonate. The pH of the water can be high-level rise, till 10-12 during the period of
photosynthesis quickly. The result of this phenomenon as sodium carbonate and
potassium carbonate is more soluble than calcium, resulting in the accumulation amount
of carbonate ions which then hydrolyzed which produce hydroxide ions.
To maintain the viability and continuity are some Nannochloropsis oculata culture
techniques. Nannochloropsis oculata culture is usually done by some levels, starting from
laboratory scale culture (small scale) to mass culture. According Gapasin RSJ and Marten,
C.L., 1990, the start of culture from a volume of 20 liters by the starter 10 liters. Further
mass cultured in containers with a capacity of 100 liters by starter 30 liters of culture
results before using mass fertilizer Ammonium phosphate, Urea and Ammonium sulfate.
After 3-4 days of culture has changed color from dark green to green light. Furthermore
developing from 100 liters to 300 liters, 300 liters developed into 1 ton and 1 ton
developed for starter 10 ton with long maintenance of each level averages 3-4 days.
Alternatively, starting from a laboratory culture volume of 100 ml subsequently used as a
starter for 1 liter of culture. Strater 1 liter used for culturing 10 liters, from here in the
culture at 200 liters. Next to the mass culture that is down to 0.5 tons (Pillay. T.V.R.,
1988).
While the mass culture in Cholik, F. et al, 1993 can be done in two ways: batch
culture system and dilution system. Batch culture system is recommended to avoid
contaminants. Culture begins with pure stock inoculum from the laboratory. After
reaching a density of 20-30 million cells/ml was transferred to mass tank that ten times
to the original volume. On dilution system, the culture was performed in a large tank
then fertilizered and inoculated. After reaching a density of 10-20 million cells/ml
harvesting half or one third, then add a new sea water until full and refretilizered again.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
34
METHODOLOGY
Unit testing activities carried out at Feed Natural Cultur in Centre for
Brackishwater Aquaculture Development (CBAD) Takalar from February to October 2015.
Preparation of the facilities and infrastructure that will be used for the implementation
of the activities of engineering, such as : bath culture and seeds of Nannochloropsis
oculata. Materials used include : disinfection media (chlorine), technical fertilizer and
dolomite lime, while the tools used include : suction pump, microscopy,
haemocytometer, chlorine test and others.
Preparation begins with a culture medium of sea water is filtered by the filter bag
and filter cotton and accommodated in concrete tanks measuring 20 m3. Then performed
the sterilization with 10 ppm chlorine. Seawater diklorin if it will be used first checked
using chlorine test (take 5 ml of seawater and drops 2 drops of chlorine test, if the color
of the sea water turns into amber means the active ingredient chlorine still going strong),
selanjutkan do neutralization using sodium thiosulfate (1/3 of total chlorine) and aerated
until neutral. Further checking back chlorine content, take 5 ml of seawater and drops 2
drops of chlorine test, if the color of the water turns bright / clear means of sea water
has a neutral and ready for use.
Culture medium water which has been sterilized transferred to concrete tanks
measuring 4 x 5 m (volume 20 m3) amount of 16 m3 (80% by volume). Furthermore
Nannochloropsis oculata seeds or inoculan put in the tanks that had contained a number
of media culture 4 m2 (20%). Then do the fertilization with manure composition, among
others : ZA 60 ppm, 40 ppm Urea, TSP 30 ppm, 10 ppm NPK, EDTA 5 ppm and Daxon 2
ppm (formula of CBAD Takalar) and aeration run slowly. The aeration do not too strong,
that often triggered excessive foam that disrupts the growth, can even cause death.
Density Nannochloropsis oculata were counted using haemocytometer tool with the help
of hand counter.
In the testing tank, implementation of dolomite lime additions to the culture medium is
done at an interval of 2-3 days after inoculation seedlings carried out repeatedly, with
the addition of dolomite lime dose of 15-25 ppm. In addition to overcoming nutrient
deficiencies then do refertilizer (remanuring) with ½ dose of fertilizer early, this
application is done at an interval of 5-6 days of culture period. In this way can maintain
the stability of alkalinity and nutrient availability in the culture medium of mass
Nannochloropsis oculata, so that exponential growth can be maintained longer.
RESULTS AND DISCUSSION
The test results I at 15 DOC, the growth of Nannochloropsis oculata occurs peak I
in the tank testing the 5th day, that is 14 million cells/ml and peak II on the 10th day is
16.7 million cells/ml, whereas in the control peak I on 4 th day 9.7 million cells/ml and
peak II on the 8th day is 9.3 million cells/ml. It appears that the exponential growth in the
test tank can survived until the 15th day at the end of the test, but in the control tanks
only survived until 10 th day and died on the 11th day. This shows that the addition of
dolomite lime can extend the exponential growth of the mass culture of Nannochloropsis
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
35
oculata up to 33% survival of microalgae culture when compared with controls, and can
be a reference to improve the stability of the growth of plankton Nannochloropsis
oculata in extreme conditions. The used of dolomite lime in the test I do on days 3 th, 6th,
10th and 13th, this is done to maintain the alkalinity of an aqueous medium for the
process of photosynthesis, the condition of water salinity media extreme early cultures
up to 35 ppt, and at the end of the activity at 41 ppt but the condition of culture still
survives, while the control on the 11th day where the salinity of culture average 40 ppt
have experienced death. Besides that, the level of alkalinity in control tanks continued to
decline, while in the tank testing can still be maintained in optimum condition.
While the results of analysis test II (14 DOC), it appears that the highest peak
growth Nannochloropsis oculata both on the test tank or the control tank that is on the
5th day of 24.5 million cells/ml. The exponential growth in the control can survive until
the 9th day, while in the testing tank is still able to survive until the end of the activity
(day 14). This proves that engineering alkalinity of cuture media can be a reference to
improve the stability of the growth of plankton Nannochloropsis oculata in a variety of
extreme
conditions.
Based on the test results I and II, it can be the right time for harvesting plankton, which is
the culture period day 5 th until day 10 th, where the density of plankton in peak
condition.
The following will describe some efficacy testing in extreme summer heat, where
the salinity to 35 ppt initial culture. Based on the test results I (15 DOC), it appears that
the growth peak I Nannochloropsis oculata on the testing tank that is 14 million cells/ml
(day 5) and peak II is 16.7 million cells/ml (day 10), while in control tank the peak I only
amounted to 9.7 million cells/ml (day 4) and peak II yaiti 9.3 million cells/ml (day 8). The
exponential growth in the testing tank may survive until the end of activity (day 15),
while the control tanks can last until the 10th day and the subsequent death at day 11 th.
Figure 1. Graph of exponential growth and alkalinity of culture media Nannochloropsis
oculata on testing I.
The used of dolomite lime is done on day 3 th, 6th, 10th and 13th made to maintain
the alkalinity of the water that required media in the process of photosynthesis. Salinity
of the first culture reached 35 ppt, and at the end of the 15th day can reach 41 ppt, but in
control tank on day 11 th when the salinity 40 ppt Nannochloropsis oculata have
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
36
experienced death, while the alkalinity levels in controls continued to decline but at
testing tank can be maintained in optimum condition.
Based on the results of the first test up to 15 days from the DOC appears that
growth is the highest peak on the tank testing of Nannochloropsis oculata that on day 5 th
at 14 million cells / ml, whereas in control on day 4 th only amounted to 9.7 million
cells/ml. The exponential growth in the testing tank can survive until the 15th day, but the
control tank just up to day 10 th and died on the 11th day. This shows that the addition of
dolomite lime can extend the exponential growth of the culture Nannochloropsis oculata
mass scale up to 33% survival culture Nannochloropsis oculata when compared with
controls, and can be a reference to improve the stability of the growth of plankton
Nannochloropsis oculata in conditions of extreme, as in the dry season, but further
testing will be done in the dry season.
Figure 2. Graph of exponential growth and alkalinity of culture media Nannochloropsis
oculata on testing II.
Remanuring the first test conducted on day 5 th and day 12 th with a half dose of
fertilizer at the beginning of the culture, this is done to address nutrient deficiencies in
the culture medium which is a limiting factor of the growth of phytoplankton. The use of
dolomite lime is done on day 3 th, 6th, 10th and 13th in the first test, this is done to
maintain the alkalinity of water media for the process of photosynthesis, where water
quality conditions can be seen in the following table. Condition water salinity media
extreme early cultures up to 35 ppt, and at the end of the 15th day can reach 41 ppt but
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
37
in control on day 11th when the salinity 40 ppt microalgae Nannochloropsis oculata have
experienced death, while the level of alkalinity in the control continues to decline but the
test tank can still be maintained in optimum condition.
Carbon dioxide dissolved in water in the form of carbonic acid (H2CO3) is less than
1% and this acid dissociates very strong. Carbon dioxide in water is essentially a function
of the biological activity. Wherever the process of respiration is faster than the process
of photosynthesis in the accumulation of carbon dioxide (Boyd, 1988). Photosynthesis
activity in a variety of organisms are the main source of oxygen in aquatic environments.
Since light is known to give energy to the process of photosynthesis, then this can only
happen if they are in the water column that are light (photik or euphotik zone). At depths
where oxygen production by algae equilibrium with the respiration of algae called the
compensation depth, while the dark areas underneath called aphotik zone where
production exceeds respiration of oxygen (Goldman and Horne, 1983).
While based on the test results II (14 DOC) that data obtained from the graph
below. Appears on the test II chart that growth is the highest peak of Nannochloropsis
oculata both on the test or the control tank that is on the 5th day of 24 million cells/ml.
The exponential growth in the control tank to day 9th, while in the testing tank continued
right up until the end of the culture activities (day 14).
Conditions of extreme salinity of the initial culture media reached 36 ppt, and at
the end of the 14th day can reach 41 ppt, whereas in the control tank alkalinity levels
continue to decline, but the test can still be maintained in optimum condition. In this
phase testing II, the used of dolomite lime as much as 20 ppm, performed on days 4 th, 8
th
and 11 th. Remanuring on testing II conducted on day 5 th and day 11 th with a half dose
of fertilizer at the beginning of the culture, this is done to address nutrient deficiencies in
the culture medium which is a factor limiting the growth of phytoplankton.
CONCLUSIONS
Application of mass production technology on Nannochloropsis oculata sustained
through stabilization alkalinity of this culture medium is most appropriate in areas where
extreme winter conditions become a limiting factor for the continuity of the production
of natural food. In addition, the use of this technology can be done at all levels of culture
system Nannochloropsis oculata, both laboratory scale and mass scale, both indoors and
outdoors.
Besides, the application of this technology to optimize and maintain the
sustainability of the mass culture of Nannochloropsis oculata with periods of life (long
life) is longer, so it can make effective and streamline the production of natural food, and
can prevent the failure of production that often appear in various seasons of extreme so
that the application of technology can guarantee and maintain the contuinity of natural
food supply, in support of the sustainability of fish seed business profitable.
Possible negative effects are to be anticipated that the use of the type and dose level
lime improper, thus causing the opposite effect, be death Nannochloropsis oculata being
cultured.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
38
REFERENCES
Boyd, E.C.1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Alabama Agricultural
Experiment Station. Auburn University. Alabama. USA. 482 ha
Conceicao L.E.C, Yufera M, Makridis P, Morais S and Teresa M,. 2010. Review Article Live
Feeds For Early Stages of Fish Rearing. Aquaculture Research 41, 2010. 613-640
Soriano M.E., Nunes S.O., Carneiro M.A.A dan Pereira D.C., 2009a. Nutrients' Removal
From Aquaculture Wastewater Using The Macroalgae Gracilaria birdiae. Biomass
and Bioenergy. Volume 33, Issue 2. Hal 327-331.
Pillay, T.V.R. 2004. Aquaculture and Environment (Second Edition). Blackwell Scientific
Publications. 196 hal
Effendi,H. 2000. Telaah Kualitas Air (Bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan
perairan). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.IPB.Bogor.258 hal
Huguenin J.E, and Colt J. 2002. Design and Operating Guide For Aquaculture Seawater
Systems (Second Edition). Development in Aquaculture and Fisheries Science -33.
Pp. 328.
Isnansetyo, A dan Kurniastuty, 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton.
Penerbit Kanisius.
Jager, JH (1967). Introduction to research in UV Photobiology. Englewood Cliffs, NJ,
Prentice Hall, Inc.
Lavens P dan Sorgeloos P., 1996. Manual on the production and use of live food for
aquaculture. Technical Paper. Belgium.Published by Food and Agriculture
Organization of the United Nations.
Lekang O.I., 2007. Aquaculture Engineering. Blackwell Publishing. Page. 354.
Manahan, S.E., 1994. Environmental Chemistry (Sixth Edition). Lewis Publisher. USA. 811
hal.
Pillay, T V R. 1993. Aquaculture (Principles and Practices). Fishing News Book.
Pillay T, 1988. Aquaculture Principles and Practices.Roma
Richmond A. 2004. Handbook of Microalgal Culture (Biotechnology and Applied
Phycology). Blackwell Science Ltd. pp. 566-23
Stottrup J G and McEvoy L A . 2003. Live Feeds in Marine Aquaculture. Blackwell Science
Ltd. pp.318
Svobodova Z, Lloyd R, Máchová J and Vykusová B. 1993. Water Quality and Fish Health.
Food and Agriculture Organization of the United Nations Rome. 66 hal.
Tebbut, T. H. Y., 1992. Principles of Water Quality Control. Fourth Edition. Pergamon
Press. 251 hal.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
39
Pioner Pakan Mandiri Aceh yang Sukses
Ibnu Sahidhir*, Ari Prakoso
Balai Perikanan Budidaya Air Payau Ujung Batee Aceh
Isu pakan ditanggapi secara serius oleh Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, KKP
dengan membuat program nasional bernama GERPARI (Gerakan Pakan Mandiri).
Program GERPARI lebih difokuskan untuk ikan-ikan air tawar. Di Aceh, BPBAP Ujung
Batee memasyarakatkan pakan mandiri ke lingkup institusi pendidikan dan pembudidaya
dalam bentuk percobaan pakan, training, pelayanan pembuatan pakan, pendampingan
pembuatan pakan dan manajemen pakan. Pemasyarakatan pakan mandiri dimulai
dengan ujicoba variasi berbagai formula pakan untuk ikan herbivor dan omnivor
(bandeng dan nila). Balai telah melakukan pelayanan publik dalam bentuk pembuatan
pakan untuk mahasiswa. Sedangkan pelatihan yang meliputi pembuatan pakan dilakukan
di Aceh Barat dan manajemen pakan di Aceh Tamiang, Aceh Timur, Lhokseumawe dan
Pidie Jaya. Balai membantu berdirinya pabrik pakan mini masyarakat dengan nama
‘Sekolah Pakan Ikan Rakyat (Bina Pakan Mandiri)’ di Limpuk, Darussalam. Supervisi rutin
dilakukan dengan topik utama yakni membuat formulasi pakan, pemrosesan pakan,
suplementasi pakan, pakan untuk pengobatan, manajemen pakan dan pengelolaan air
serta pengenalan pakan alami. Bahan baku diperoleh dan diolah secara lokal sehingga
dapat dihasilkan harga pokok pakan yang layak secara ekonomis. Usaha masyarakat ini
mulai berekspansi ke daerah sekitarnya yakni bekerja sama dengan BBI Jantho dan
pembudidaya Brayeun, Aceh Besar. FCR terendah yang tercatat adalah sekitar 1,1, untuk
budidaya ikan nila.
Kata kunci:pakan mandiri, perkembangan, Aceh
Successful pioneer of home-made fish feed in Aceh
Ibnu Sahidhir*, Syafrizal,Muslim, Ari Prakoso
Abstract
Fish feed is seriously addressed by Directorate General of Aquaculture, Ministry of
Marine Affairs and Fisheries lead to national program called GERPARI (Gerakan Pakan
Mandiri, Home-made Fishfeed Movement). The program focused to freshwater fish. In
Aceh, the Center (BPBAP of Ujung Batee) socialized it to educational institution and fish
farmer such as making fish feed for research and other special purposes in the center,
fish feed training, supervision of feed processing and feeding management in farm.
Introducing of home-made fish feed began with trial in the Center for various
combination of formula for omnivorous fish. The Center have served public demand for
making fish feed especially for university student. Training of making fish feed was
conducted in Aceh Barat then feed management training was conducted in Aceh
Tamiang, Aceh Timur, Lhokseumawe and Pidie Jaya. The Center have guided
establishment of mini fish feed manufacture of fish farmer called ‘Sekolah Pakan Ikan
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
40
Rakyat” in Limpuk, Darussalam. Supervision have been being conducted regularly i.e.
feed formulation and processing, supplementation, prophylactic and medicated feed,
feed management, water quality management and live feed introduction. Ingredients
was acquired and processed locally lead to economically feasible. This effort extends to
other place and now cooperates with, BBI of Jantho, Aceh Besar and Brayeun farmer try
to culture tilapia. The lowest feed conversion ratio recorded was 1,1 for tilapia culture.
Keywords:Home-made fish feed, development, Aceh
1. Pendahuluan
Harga pakan yang selalu meningkat telah mengurangi keuntungan pembudidaya
ikan secara signifikan. Masalah ini memicu pembudidaya untuk mengusahakan pakan
buatan sendiri. Isu tersebut ditanggapi secara serius oleh Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya, KKP dengan membuat program nasional bernama GERPARI (Gerakan Pakan
Mandiri)(Akuakultur 2015). Program GERPARI lebih difokuskan untuk ikan-ikan air tawar.
Program ini membantu pembudidaya ikan dan institusi pemerintah lokal dengan
pengadaaan mesin pakan, bahan baku dan pendampingan ahli.
Terkait dengan biaya, harga pakan mandiri harus terjangkau oleh masyarakat
pembudidaya ikan. Oleh karena itu ditekankan bagi pembudidaya untuk memanfaatkan
bahan-baku lokal. Lebih dari itu, kualitas pakan akan menjadi penentu keberhasilan
pakan mandiri. Formula pakan, bahan baku dan cara pembuatan pakan adalah faktor
utama yang menentukan kualitas pakan secara biologis.
Tulisan ini mengangkat sosialisasi pakan mandiri yang dilakukan oleh BPBAP
Ujung Batee di Aceh. Kegiatan tersebut berupa pemasyarakatan pakan mandiri ke
lingkup institusi pendidikan dan pembudidaya yang diwujudkan dalam bentuk
pembuatan pakan di Balai, training, pelayanan pembuatan pakan, pendampingan
pembuatan pakan dan manajemen pakan.
2. Metode
Tulisan ini dibuat dalam bentuk laporan kegiatan yang mencakuplingkup wilayah
provinsi Aceh selama tahun 2014-2015. Ulasan perkembangan sosialisasi program pakan
mandiri dijelaskan secara kategoris sebagai berikut:
1. Uji coba pakan Pemasyarakatan pakan mandiri dimulai dengan ujicoba di balai untuk
berbagai formula pakan untuk ikan bandeng dan nila.
2. Pelayanan publik Balai telah melakukan pelayanan publik dalam bentuk perbantuan
dalam ujicoba pakan untuk mahasiswa.
3. Training pembuatan pakan dan manajemen pakan
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
41
Pelatihan pembuatan pakan dilakukan di Aceh Barat. Training manajemen pakan
diadakan di Aceh Tamiang, Aceh Timur, Lhokseumawe dan Pidie Jaya.
4. Pendampingan pembuatan pakan dan manajemen pakan dalam budidaya
Balai membantu berdirinya pabrik pakan mini masyarakat dengan nama ‘Bina Pakan
Mandiri (Sekolah Pakan Ikan Rakyat)’ di Limpuk, Darussalam. Supervisi rutin
dilakukan dengan topik utama yakni membuat formulasi pakan, pemrosesan pakan,
suplementasi pakan, pakan untuk pengobatan, manajemen pakan dan pengelolaan
air serta pengenalan pakan alami.
3. Hasil dan Pembahasan
Pemasyarakatan pakan mandiri disambut dengan antusias oleh masyarakat.
Pihak-pihak yang terkait dengan budidaya ikan merasa bahwa pakan adalah komponen
vital dalam keberlangsungan bisnis. Kemampuan untuk memahami dan bahkan
menguasai komponen ini berarti mengurangi risiko kegagalan budidaya. Ujicoba pakan
dengan formula sederhana terbukti dapat diterima oleh komoditas ikan budidaya.
Akademisi tertarik untuk melakukan ujicoba berbagai macam suplemen untuk
menguatkan fungsi pakan secara khusus. Namun hal yang penting untuk digaris bawahi
adalah bahwa keberhasilan pembuatan pakan apung sangat didukung oleh kemampuan
permesinan pebisnis pakan.
3.1. Uji coba formula pakan
Pemasyarakatan pakan mandiri dimulai dengan ujicoba di balai untuk berbagai
formula pakan untuk ikan omnivor. Formula pakan nabati untuk larva bandeng
menunjukkan perbedaan yang tidak berarti bila dibandingkan dengan pakan pabrik.
Demikian pula pakan gamal untuk pendederan bandeng dan ikan nila. Sedangkan
formula pakan untuk pembesaran ikan nila terlihat mampu memperbaiki FCR dan
meningkatkan kesehatan usus ikan nila (Tabel 1).
Tabel 1. Formula pakan yang diujicobakan untuk ikan bandeng dan ikan nila
Bahan baku
Tepung kedelai
Larva bandeng
70%
Gelondongan
Pembesaran
bandeng dan
ikan nila
nila
20%
Tepung kepala ikan
40%
50%
Tepung jagung
10%
18%
Tepung gamal
20%
Tepung dedak
15%
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
15%
42
Tepung terigu
10%
Tepung Skeletonema
5%
Tepung kanji
5%
5%
Tepung arang
5%
2%
Ragi
2%
Minyak sayur
3%
5%
100%
100%
Total
100%
Suplementasi pakan telah berhasil untuk fungsi-fungsi khusus. Penambahan
arang sebesar 2% dapat menurunkan FCR dan memperbaiki kesehatan saluran cerna
ikan. Selanjutnya, pemberian allicin dengan dosis 100-400 ppm ke dalam pakan dapat
meningkatkan kelangsungan hidup ikan nila secara nyata. Lebih lanjut, fermentasi nanas
dan rumput laut latoh (selain juga bisa sebagai sumber bahan baku baru) dapat
mempercepat pengisian gonad induk betina ikan nila. Sedangkan fermentasi kedelai dan
ikan dapat menggantikan peran Nannochloropsis sebagai pakan rotifer.
Foto 1. Latoh sebagai bahan baku dan suplemen pakan ikan; dan lab pakan BPBAP
Ujung Batee
3.2. Pelayanan publik
Lab pakan telah memberikan bimbingan dalam pembuatan pakan terhadap 11
mahasiswa. Topik yang paling diminati mahasiswa adalah suplemen pakan. Selain aspek
biaya yang relatif rendah, pengujian suplemen juga mudah dan cepat terlihat hasilnya.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
43
Foto 2. Pengujian suplemen pakan untuk ikan nila payau oleh mahasiswa
Suplemen yang diuji berfungsi untuk memperbaiki efisiensi pakan dan kesehatan ikan
dan udang. Topik tentang formula pakan untuk ikan khusus dan pengolahan bahan baku
pakan relatif kurang diminati (Tabel 2.).
Tabel 2. Kegiatan Pelayanan Publik
No
Nama
Institusi
Kegiatan
Waktu
Masniar
Universitas
Syiah Kuala
Membuat pakan ikan papuyu
April, 2015
2
Agustiawati
Universitas
Abul Yataama
Membuat tepung kedelai
April, 2015
3
Cut Nurul
Universitas
Abul Yataama
Membuat tepung kedelai
April, 2015
4
Silman
Universitas
Abul Yataama
Membuat pakan fermentasi
kedelai untuk nila
Mei, 2015
5
Mayana
Universitas
Syiah Kuala
Membuat pakan prebiotik
bawang merah untuk papuyu
Mei, 2015
6
Lina
Universitas
Abul Yataama
Suplemen bromelain untuk nila
Mei, 2015
7
Abdurrazak
Universitas
Abul Yataama
Suplemen quercetin untuk nila
Mei, 2015
1
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
44
8
Yasir
Universitas
Abul Yataama
Suplemen allicin untuk nila
Mei, 2015
9
Marlinda
Universitas
Abul Yataama
Membuat pakan bersuplemen
beta-karoten alami untuk windu
Juni 2015
10
Ferliadi
Universitas
Abul Yataama
Membuat pakan caulerpa untuk
nila
Juni 2015
11
Kadiron
Universitas
Abul Yataama
Membuat pakan herbal untuk
windu
Juni 2015
3.3. Training pembuatan pakan dan manajemen pakan
Pelatihanpertama untuk pengenalan pembuatan pakan secara sederhana
dilakukan di Aceh Barat. Training tersebut bertujuan untuk memperkenalkan langkahlangkah yang umumnya dilakukan dalam pembuatan pakan. Bahan-bahan lokal
diperkenalkan kepada peserta agar dapat disadari keberadaan dan kelimpahannya.
Peserta sangat antusias dan berkeinginan untuk dilatih lebih jauh.
Training manajemen pakan diadakan di Aceh Tamiang, Aceh Timur,
Lhokseumawe dan Pidie Jaya. Kegiatan assessment dan sosialisasi CBUB/BMP
Udang(Cara Budidaya Udang yang Baik) bekerjasama dengan AAC (Aceh Aquaculture
Cooperative) untuk petambak di 4 lokasi budidaya yakni Aceh Tamiang, Aceh Timur,
Lhokseumawe, dan Pidie Jaya. Kegiatan ini dilakukan dari tanggal 3-7 Juni 2015 dan
dihadiri oleh 169 pembudidaya udang.
Foto 3. Pembudidaya dengan suplemen pakan BPBAP Ujung Batee pada pelatihan
pembuatan pakan; diskusi manajemen pakan udang di tambak pada pelatihan CBUB
Lab pakan, pada kegiatan ini, menyajikan topik khusus tentang manajemen
pakan udang. Kepada para peserta dijelaskan teknik-teknik mengefisienkan pakan. Selain
itu dijelaskan juga tentang peran pakan terhadap perjangkitan penyakit dan menurunnya
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
45
kualitas lingkungan. Fokus ditekankan pada penyakit “white feces syndrome” untuk Pidie
Jaya. Penjelasan lebih lanjut adalah penanganan pakan alami di tambak tradisional yakni
efek blooming tanaman air dan pemupukan berlebih.
3.4. Pendampingan pembuatan pakan dan manajemen pakan dalam budidaya
Kelompok pembuatan pakan ikan mandiri ‘Sekolah Pakan Ikan Rakyat (Bina
Pakan Mandiri)’ yang diusahakan oleh M. Faikal Novarios didirikan dengan supervisi
BPBAP Ujung Batee. Proses supervisi ini dapat dilihat pada Tabel 3. Usaha ini dimulai
pada akhir tahun 2014. Selain mengejar profit, visi usaha ini adalah mengedepankan
pengembangan masyarakat dalam bidang perikanan budidaya. Pemilik usaha
berkomitmen untuk menggandeng masyarakat dan juga lembaga pendidikan di sekitar
tempat usaha untuk lebih peduli terhadap sektor budidaya perikanan. Sebagian dari
kolam disediakan secara gratis untuk masyarakat yang ingin mencoba budidaya ikan dan
bagi mahasiswa budidaya perairan untuk penelitian tahap akhir.
Bisnis berorientasi sosial ini juga memanfaatkan bahan baku lokal yang kurang
termanfaatkan. Tepung ikan dibuat sendiri dengan bahan baku ikan rucah dan ikan
tongkol lokal dari TPI Lam Pulo, Banda Aceh dan TPI Pusong, Aceh Utara. Pembuatan
tepung ikan melalui proses perebusan, pengepresan, pengilingan, pengeringan dan
penepungan. Limbah perikanan tangkap seperti kepala dan organ dalam ikan juga sedang
diusahakan untuk dimanfaatkan sehingga meningkat nilai ekonominya dengan
pembuatan silase ikan. Bahan baku lain seperti dedak halus diambil dari penggilingan
padi lokal. Bahan baku suplemen pakan juga diperoleh dari bahan baku lokal. Semua
bahan baku ditepungkan dan diramu dengan memperhatikan kebutuhan fisiologis ikan
target dalam hal ini lele.
Pakan yang diproduksi adalah pakan apung, dibuat dengan mesin extruder
produk China dengan kapasitas real 75 kg/jam. Untuk mencapai hasil tersebut, berbagai
macam ujicoba telah dilakukan. Bahkan setelah dimodifikasi, sekarang mesin ekstruder
dapat berproduksi real sekitar 100 kg/jam. Pakan yang dibuat dapat mengapung dengan
daya tahan di air lebih dari 3 jam. Pakan masih diberikan sebatas pada ikan lele milik
pribadi. FCR terendah yang pernah tercatat adalah 0,75 dengan kandungan tepung ikan
sekitar 15%.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
46
Foto 4. Kelompok Bina Pakan Mandiri (Sekolah Pakan Ikan Rakyat) dengan kolam lele
dan mesinnya
Saat ini kelompok Bina Pakan Mandiri dapat membuat pakan apung yang dikonsumsi
oleh usaha budidaya sendiri. Penanganan kesehatan ikan dilakukan secara holistik
bermula dari meminimalkan munculnya penyakit sampai strategi kuratif yang aman
dengan aplikasi herbal.
Tabel 3. Kegiatan supervisi pakan
No Kegiatan
1
2
3
Waktu
Status
Membuat formulasi pakan I
Maret
Diterapkan
Uji daya apung extruder (30-85% tepung ikan)
Maret
Terukur
Membuat pakan
Membuat formulasi pakan II
Mei
Diterapkan
Uji proksimat
Mei
Diuji
Membuat tepung arang sebagai suplemen
April
Diterapkan
Membuat fermentasi nanas
April
Diterapkan
Membuat silase mikrobial
April
Dibuat
Pengujian quercetin
April
Diuji dan diterapkan
Pengujian allicin
April
Diuji dan diterapkan
Membuat suplemen pakan
Pakan untuk pengobatan
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
47
4
5
Manajemen air untuk mendukung kinerja pakan
Pemakaian serasah
Mei
Diterapkan
Pemakaian Bekafish sebagai probiotik
Mei
Diterapkan
Pembuatan RABAL untuk air
Juni
Dibuat ulang
Pemupukan
Juni
Diterapkan
Kultur Azolla
Juni
Dibuat ulang
Kultur kutu air
Juni
Dibuat ulang
Mengembangkan pakan alami
4. Penutup
Pakan ikan mulai dikenal lebih dekat oleh masyarakat Aceh khususnya akademisi
dan praktisi budidaya perikanan. Kesuksesan pengembangan pakan mandiri di
masyarakat diawali dari tertanamnya keyakinan kuat dalam masyarakat pembudidaya
ikan bahwa kemandirian pakan adalah dasar yang kuat untuk memperoleh kesuksesan
budidaya secara jangka panjang. Setelah itu, pembelajaran terus menerus harus
dilakukan masyarakat sampai semua harapan kemandirian pakan terpenuhi secara
tuntas. Perkembangan pakan mandiri di Aceh telah memiliki pijakan awal yang baik yakni
diterimanya sudut pandang tersebut. Eksekusi di lapangan juga menunjukkan bibit
keberhasilan yang menonjol. Tugas selanjutnya adalah menjaga momentum dengan
variasi program yang direncanakan secara strategis agar terjadi percepatan ke arah
kemandirian pakan.
Referensi
Akuakultur. 2015. “Gerpari Untuk Indonesia Mandiri,” February.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
48
Pakan alami perifiton untuk mensubstitusi enzim pracerna
pada pemeliharaan benih nila payau
Ibnu Sahidhir*, Lina Mutiara Sinaga1, Azwar Thaib1, Syafrizal, Muslim
1
Universitas Abul Yatama
Abstrak
Cara efektif untuk menekan limbah ammonia sekaligus menyediakan pakan alami adalah
dengan mengembangkan komunitas organisme penempel yang terdiri dari makhluk
fotosintetik dan heterotrof. Keanekaragaman kemampuan fisiologis anggota dalam
komunitas ini dapat menyediakan nutrisi yang lengkap dan berkualitas tinggi bagi benih
nila. Perekayasaan ini bertujuan untuk menguji efek bromelain, suatu enzim pracerna
yang ditambahkan pada pakan sebelum diberikan ke ikan, pada berbagai dosis pada
kondisi wadah berperifiton. Pengujian dilakukan dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan. Tiap
unit ulangan adalah hapa silinder berdiameter 60 cm dan tinggi 90 cm yang sekaligus
berfungsi sebagai substrat perifiton. Wadah diisi benih nila sebanyak 45 ekor berukuran
@+0,5 gr dengan demikian ratio berat dan luas perifiton adalah 0,5 gr per 4 dm 2.
Bromelain diberikan ke pakan dengan cara top dressing, masing-masing diberikan
dengan level dalam pakan yakni, 0 ppm,100 ppm, 200 ppm, 300 ppm, 400 ppm (b/b).
Pakan dengan kadar protein 38% diberikan sebanyak 4% dari berat ikan per hari dengan
frekuensi 2 kali sehari. Hasil kegiatan menunjukkan bahwa dosis 100-400 ppm bromelain
tidak berpengaruh terhadap laju pertumbuhan spesifik (6,78-7,08%), FCR (0,37-0,4) dan
SR (92-97%) (p>0,05). Semua perlakuan mengalami penurunan FCR tiap minggu. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pada sistem perifiton tidak diperlukan pemberian
suplemen enzim pada pakan.
Kata kunci: bromelain, perifiton, ikan nila payau
Periphyton live feed to substitute predigested enzyme
for brackishwater tilapia nursery
Ibnu Sahidhir*, Lina Mutiara Sinaga1, Azwar Thaib1, Syafrizal, Muslim
1
Universitas Abul Yatama
Abstrak
An effective way to reduce ammonia and provide live feed is developing periphyton
contained photosynthetic and heterotrophic organisms.High diversity of the periphyton
community could provide complete and qualified nutrition for tilapia fingerlings. The
study aimed to test bromelain, a predigested enzymes delivered to feed before feeding,
at several levels of dosage in periphyton system. The test was conducted by 5 treatments
and 3 replications. Bromelain was delivered to feed by top dressing, i.e. 0 ppm, 100 ppm,
200 ppm, 300 ppm, 400 ppm (w/w). To promote growing of periphyton community a
cylinder-formed small mesh size hapa with dimension 60 cm in diameter and 90 cm high
was used as each unit of replication. A unit of hapa contained 45 tilapia fingerlings sized
+0,5 gr then ratio of weight/periphyton substrate was 0,5 gr/4dm2. The tilapia was
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
49
reared in brackishwater condition (10-12 ppt) and fed 4% of body weight/day with
feeding frequency twice a day. The result showed that dosage range of bromelain 100400 ppm was not significantly influenced specific growth rate (6,78-7,08%), feed
conversion ratio (0,37-0,4) and survival rate (92-97%) (p>0,05). In all treatment FCR
decreased everyweek significantly. Here, It is concluded that predigested enzymes are
not recquired for tilapia cultured in periphyton system
Keywords: bromelain, periphyton, brackishwater tilapia
1. Pendahuluan
Pakan mudah dicerna karena adanya enzim. Enzim memiliki
makromolekul/substrat spesifik untuk dipotong. Golongan besar enzim pencerna pakan
yakni lipase untuk mencerna lemak, karbohidrase khusus mencerna karbohidrat. Benih
membutuhkan protein dengan kualitas tinggi. Kemudahan mencerna protein akan
mengurangi energi dalam pencernaan dan mempercepat pemanfaatan protein.
Bromelain adalah jenis protease cysteineyakni enzim yang memotong protein
secara hidrolisis pada ikatan asam amino cysteine. Bromelain berasal dari nanas baik
batang maupun buahnya. Bromelain pada buah lebih aktif dibanding pada batang.
Bromelain biasa digunakan untuk melunakkan daging dan aktif secara optimal pada suhu
50-600C (Grzonka, Kasprzykowski, and Wiczk 2007)
Benih ikan nila di kolam terbiasa memakan pakan alami sebagai pakan
tambahan. Selain zooplankton, pakan alami tersebut biasanya menempel di permukaan
wadah pemeliharaan dan disebut sebagai perifiton yakni kumpulan mikroba dan
mikrozoa yang menempel pada substrat(Beyers and Odum 1993). Organisme ini menjadi
sumber gizi yang berkualitas bagi ikan dan udang dan mampu meningkatkan
pertumbuhan dengan signifikan (Azim et al. 2004).
Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui efek bromelain pada benih ikan nila
payau yang dipelihara dalam wadah yang ditumbuhi perifiton.
2. Prosedur kegiatan
Wadah yang digunakan untuk memelihara benih sekaligus menumbuhkan
perifiton adalah hapa silinder berukuran lubang kecil dengan dimensi diameter 60 cm
dan tinggi 90 cm. Sebanyak 15 hapa ditempatkan dikolam tanah seluas 600 m2. Salinitas
awal adalah 10 ppt.
Pengujian memiliki 5 perlakuan dan 3 ulangan yakni pakan dengan dosis
bromelain 0 ppm, 100 ppm, 200 ppm, 300 ppm, dan 400 ppm. Benih ikan nila dengan
berat rerata 0,6 gr diperoleh dari BPBAP Ujung Batee dan telah diadaptasikan ke air
payau. Kualitas air yang diukur yakni salinitas, DO, pH dan suhu.
Bromelain adalah produk Xi ‘An TCM Biological Technology dari China dan
mengandung bromelain sekitar 500.000 unit enzim/gr. Bromelain dilarutkan ke dalam air
dan diberikan ke pakan sesuai dengan konsentrasi yang diinginkan. Pakan lalu disimpan
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
50
dalam refrigerator sebelum dipakai. Pakan diberikan dengan dosis 4%berat tubuh/hari.
Variabel yang diukur adalah sebagai berikut mengikuti formula (NRC 2011):
Kelangsungan hidup/SR (%)
= (jumlah ikan akhir/jumlah ikan awal) x 100
Berat perolehan/weight gain (gr)
= berat akhir-berat awal
Laju pertumbuhan spesifik/SGR(%)
= 100 x (logeberat akhir - loge berat awal)/jumlah
hari
Rasio konversi pakan/FCR
= Pakan yang diberikan/Berat perolehan
Data dianalisis dengan programSPSS 20.0 dengan uji multivariate ANOVA test dan t test
bonferroni correction. Pengujian mikroskopis dilakukan untuk mengamati perifiton di
hapa dan usus ikan nila yakni dengan mikroskop cahaya Olympus perbesaran 400x .
3. Hasil dan Pembahasan
Pemberian enzim bromelain menunjukkan tidak ada perbedaan dalam SR, SGR and FCR
(p>0,05)(Table 1).
Table 1. Performance biologis ikan nila payau yang diberi pakan dengan bromelain
Variables
Bromelain
0 ppm
100 ppm
200 ppm
300 ppm
400 ppm
SR (%)
91,9 + 4,6a
94,1 + 4,8a
91,1 + 2,2a
96,3 + 1,3a
94,1 + 1,3a
Weight gain (g)
3,85 + 0,34a
3,68 + 0,24a
3,60 + 0,05a
3,61 + 0,14 a
3,79 + 0,30 a
SGR (%)
7,08 + 0,13a
6,87 + 0,21a
6,93 + 0,24a
6,78 + 0,09a
6,83 + 0,22a
FCR
0,37 + 0,01 0,40 + 0,01a
0,40 + 0,03a
0,39 + 0,01a
0,39 + 0,02a
a
SR, survival rate kelangsungan hidup; SGR, specific growth ratelaju pertumbuhan spesifik;
FCR, feed conversion ratio rasio konversi pakan
Nilai disajikan dalam bentuk rerata+ standar deviasi. Nilai dengan huruf diatas yang
berbeda menunjukkan berbeda nyata, p<0,05, n0=45
Secara mingguan terlihat bahwa kematian benih mulai muncul pada minggu ke-2 pada
semua perlakuan (Grafik 1a). Benih meningkat beratnya setiap minggu pada semua
perlakuan (Grafik 1b). SGR juga naik tiap minggu berkebalikan dengan FCR yang turun
terus (Grafik 1c dan 1d).
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
51
Grafik 1. Performance biologis ikan nila payau yang diberi pakan berenzim bromelain
diamati tiap minggu
Kualitas air masih dalam batas yang wajar untuk pemeliharaan benih ikan yakni
DO 3,3-6,9 ppm, pH 7,6-8,0, suhu 27-300C, salinitas 10-12 ppt.
Pengamatan mikroskopis menunjukkan bahwa pada hapa tertempel banyak organisme
perifiton. Alga berfilamen menempel dan membuat anyaman pada permukaan hapa.
Sedangkan diatom mengisi ruang kosong dan didominasi oleh kelompok pennate
dibanding centric. Protozoa penempel dan rotatoria juga berkembang. Nematoda
bergerak menggeliat diantara organisme. Dalam usus nila ditemukan kerangka rotifer
dan diatom centric. Jenis lain mungkin telah telah tercerna.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
52
a.
b.
c.
d.
Kerangka perifiton
Diatom dan alga hijau biru
Metazoa penempel
Nematoda
Parameter pertumbuhan terlihat tidak berbeda nyata. Pengujian enzim proteolitik
pada udang juga terlihat tidak mempengaruhi pertumbuhan, walaupun efeknya dapat
memotong rantai protein (Divakaran and Velasco 1999). Pakan alami mengandung enzim
yang dapat mengautolysis dirinya sendiri di dalam saluran pencernaan ikan (Moss,
Divakaran, and Kim 2001). Bioavailabilitas nutrisi dalam pakan alami juga lebih terjamin
dibanding pakan buatan yang mungkin rusak karena efek pemrosesan pakan.
Kesimpulan
Quercetin and allicin supplementation in fish diet improved survival rate of tilapia
fingerlings to almost 95% and 98% respectively. Both of them could be functioned as
prophylaxis to reduce random negative effect of periphyton organisms. The more
prolonged daily treatment could be investigated further to confirm its negative side
effect.
References
Azim, M.E., M.A. Wahab, P.K. Biswas, T. Asaeda, T. Fujino, and M.C.J. Verdegem. 2004.
“The Effect of Periphyton Substrate Density on Production in Freshwater
Polyculture
Ponds.”
Aquaculture
232
(1–4):
441–53.
doi:10.1016/j.aquaculture.2003.08.010.
Beyers, Robert J., and Howard T. Odum. 1993. “Stream Microcosms.” In Ecological
Microcosms, 209–33. Springer Advanced Texts in Life Sciences. Springer New
York. http://link.springer.com/chapter/10.1007/978-1-4613-9344-3_10.
Divakaran, S., and M. Velasco. 1999. “Effect of Proteolytic Enzyme Addition to a Practical
Feed on Growth of the Pacific White Shrimp, Litopenaeus Vannamei (Boone).”
Aquaculture Research 30 (5): 335–39. doi:10.1046/j.1365-2109.1999.00333.x.
Grzonka, Z., F. Kasprzykowski, and W. Wiczk. 2007. “Cysteine Protease.” In Industrial
Enzymes, edited by J. Polaina and A.P. MacCabe, 181–95. Netherlands: Springer.
Moss, S M, S Divakaran, and B G Kim. 2001. “Stimulating Effects of Pond Water on
Digestive Enzyme Activity in the Pacific White Shrimp, Litopenaeus Vannamei
(Boone).” Aquaculture Research 32 (2): 125–31. doi:10.1046/j.13652109.2001.00540.x.
NRC. 2011. “Basic Concepts and Methodology.” In Nutrient Requirements of Fish and
Shrimp, 6–14. Washington D.C.: The National Academic Press.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
53
THE ADVANTAGES TECHNOLOGY OF MOINA sp MASS CULTURE
WITH CHLORELLA sp AS MEDIA
Taufik Shidik Adi Nugroho 1), Lilik Masrifa2), Astuti 3),Sutikno 4)
Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Sungai Gelam Jambi
The requirement of live feed for fish larvae can not be avoided in freshwater
aquaculture. Dependency of live feed on natural catching and abroad imported causes
impact on the high cost of production. It needs to be surmounted with the using of live
feed which can be cultivated and produced on mass scale independently by the farmers.
Moina sp is the solution of this problems in order to optimalize aquaculture freshwater
fisheries.business efficiency.
The fertilizer of Moina sp cultivation consisting of fish meal, soybean meal, bran,
dolomite andChlorella sp inoculant,while for Chlorella sp media cultivation are fish meal,
soybean meal, bran, urea, TSP, dolomite and Chlorella sp inoculant. The advantages
technology of Moina sp cultivation by using media Chlorella sp are the cultivation
techniques can increase crop yield / production Moina sp and the sustainability of
cultivationcan be done throughout the year due to the fertilizer formula that can keep the
availability of Chlorella sp, this formula also can maintain the purity ofChlorella sp and
prevent from various types of plankton / other aquatic organism
contamination.Furthermore, the product can be used as fresh and frozen Moina sp for
several fish larvae feeding such as catfish, carp, gourame, etc. This technology is very
applicable because of the materials, containers and necessary equipment readily available
around the farmers.
Moina sp harvest ranges from 800 to 3500 gr with yields often obtained 2,000 gr/cycle.
The using of Moina sp which produced independently enable to make fisheries
aquaculture activities more efficient because of reducing operational cost and increasing
the benefit. Thus, strongly recommended to perform Moina sp cultivation to support and
applied in freshwater aquaculture activities. Hopefully, It can reduce cost production and
get the effective and efficient freshwater aquaculture methods.
KEUNGGULAN TEKNOLOGI BUDIDAYA MOINA sp DENGAN MEDIA CHLORELLA sp
Taufik Shidik Adi Nugroho 1), Lilik Masrifa2), Astuti 3), Sutikno 4)
1)
Perekayasa Muda di Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Sungai Gelam
2,3,4)
Staf Teknis di Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Sungai Gelam
ABSTRAK
Kebutuhan pakan alami sebagai pakan larva ikan tidak dapat dihindari dalam
budidaya perikanan. Ketergantungan ketersediaan pakan alami pada alam dan import
dari luar negeri berakibat terhadap harga yang tinggi sehingga berdampak pada tingginya
biaya produksi usaha budidaya. Hal ini perlu disiasati dengan penggunaan pakan alami
yang dapat dibudidayakan serta diproduksi secara massal dan mandiri oleh para
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
54
pembudidaya. Moina sp adalah solusi bagi permasalahan ketersediaan pakan bagi larva
ikan dalam rangka efisiensi usaha budidaya perikanan khususnya perikanan air tawar.
Satu siklus budidaya Moina sp volume 3000 liter menggunakan pupuk yang
terdiri dari tepung ikan, tepung kedelai, dedak, dolomite dan Chlorella sp. Sedangkan
untuk budidaya Chlorella sp digunakan pupuk yang terdiri dari tepung ikan, tepung
kedelai, dedak, urea, TSP dan dolomite.Keunggulan dari teknologi budidaya pakan alami
Moina sp ini anatara lain produk yang dihasilkan dapat berupa Moina sp hidup dan beku,
keberlanjutan budidaya yang dapat dilakukan sepanjang tahun yang disebabkan oleh
komposisi / dosis pupuk yang dapat menjamin ketersediaan Chlorella sp sebagai media /
pakan utama pada budidaya Moina sp, dosis pupuk yang dapat menjaga kemurnian dan
mencegah Chlorella sp dari kontaminasi berbagai jenis plankton dan binatang air lain dan
teknik budidaya yang dapat meningkatkan hasil panen/produksi Moina sp. Moina sp
dapat digunakan dalam bentuk hidup dan beku untuk pakan beberapa larva ikan seperti
Patin,Gurame, lele, dll. Dalam aplikasinya teknologi ini sangat aplikatif untuk UPR karena
bahan, wadah dan peralatan yang diperlukan mudah diperoleh disekitar masyarakat.
Moina sp yang dihasilkan (volume media 3.000 liter) berkisar antara 800 s.d 3500
g dengan jumlah panen yang sering diperoleh sebanyak 2000 g/siklus (4-5 hari
pemeliharaan). Penggunaan Moina sp yang diproduksi secara mandiri memungkinkan
efisiensi dalam kegiatan budidaya perikanan karena dapat menekan biaya operasional
dan meningkatkan keuntungan. Dengan demikian sangat direkomendasikan untuk
melakukan budidaya Moina sp untuk diaplikasikan dalam kegiatan budidaya perikanan
untuk menekan biaya produksi sehingga diperoleh metode usaha budidaya perikanan
yang efektif dan efisien.
I.
PENDAHULUAN
Pakan alami merupakan salah satu kunci keberhasilan pada budidaya perikanan
khususnya pada fase pendederan. Ketergantungan ketersediaan pakan alami pada alam
dan produk import dari luar negeri seperti cacing tubifex dan artemia berakibat terhadap
tingginya harga pakan alami yang berdampak pada meningkatnya biaya produksi. Hal ini
perlu disiasati dengan penggunaan pakan alami yang dapat dibudidayakan serta
diproduksi secara massal dan mandiri oleh para pembudidaya. Moina sp adalah solusi
bagi permasalahan ketersediaan pakan bagi benih ikan dalam rangka efisiensi usaha
budidaya perikanan khususnya perikanan air tawar. Moina sp digunakan sebagai pakan
alami pada pemeliharaan larva ikan di hatchery dan sebagai pakan alami pada proses
pendederan ikan di kolam. Moina sp hasil budidaya dapat digunakan sebagai starter
penumbuhan pakan alami pada persiapan kolam pendederan atau dapat juga digunakan
untuk mensuplai pakan alami dengan cara memasukkan kedalam kolam pendederan
secara berkala. Makanan Moina sp di alam terdiri dari fitoplankton, partikel bahan
organik, dan wadahteri.
Kelebihan dari Moina sp antara lain memiliki nilai gizi yang tinggi dan memiliki
ukuran yang sesuai dengan bukaan mulut larva serta dapat dibudidayakan secara massal.
Selain itu, penggunaannya sebagai pakan larva pada kegiatan pembenihan relatif aman
karena dapat mengurangi resiko terpaparnya penyakit pada ikan. Budidaya Moina sp
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
55
secara massal dilakukan dengan menggunakan Chlorella sp sebagai media. Bahan-bahan
pupuk yang digunakan berasal dari bahan organik dan unorganikseperti tepung ikan,
tepung kedelai, dedak, urea, dan TSP. Sumber bahan pupuk tersebut dikombinasikan
menjadi pupuk untuk persiapan media Chlorella sp dan budidaya Moina sp.
II.
BAHAN DAN METODA
2.1.1
Persyaratan teknis penerapan teknologi
Persyaratan teknis yang harus dipenuhi oleh pembudidaya untuk melakukan
teknologi ini yaitu memiliki wadah, sumber air yang cukup, bahan pupuk dan instalasi
pendukung lainnya. Wadah yang digunakan dapat berupa wadah semen / wadah kayu
bervolume 3.000 liter dengan kedalaman / tinggi air media ±1 meter yang diletakkan
pada tempat terbuka / terkena sinar matahari. Sumber air dapat berupa air waduk, rawa
atau sumur. Bahan pupuk yang dibutuhkan terdiri dari tepung ikan, tepung kedelai,
dedak, urea, TSP dan kapur dolomite sedangkan instalasi pendukung yang digunakan
adalah aerator/hiblow (kekuatan HP-150, AC 230V 50 Hz, 125 W), pompa submersible,
listrik dan peralatan panen seperti kantong plankton net / serok halus, ember, dll.
2.1.2
Persiapan MediaChlorella sp.
Persiapan media Chlorella sp skala massal dilakukan pada volume 3.000 liter. Pada
budidaya skala ini dapat dilakukan secara berkesinambungan dengan menggunakan
beberapa wadah. Adapun prosedur kerjanyanya adalah sebagai berikut :
1. Memasukkan air sebanyak 2500 liter dimasukkan kedalam wadah budidaya.
2. Memasukkan Inokulan Chlorella sp. sebanyak 500 liter kedalam wadah budidaya
sehingga total volume yang terisi adalah 3.000 liter.
3. Memasukkan pupuk yang terdiri dari : 3.000 g urea, 750 g TSP, 300 g tepung ikan,
300 g tepung kedelai, dan 600 g dedak dan 300 g kapur dolomite ke dalam air
media.
4. Memberikan aerasi sebanyak 15 titik pada media budidaya.
5. Melakukan budidaya Chlorella sp selama ± 10 hari.
6. Melakukan pemanenan media Chlorella sp dengan kepadatan ± 2x107 cell/ml
untuk digunakan sebagai inokulan kedalam 5 wadah budidaya Moina sp dan 1
wadah persiapan media Chlorella sp selanjutnya dengan volume masing-masing
sebanyak 500 liter.
7. Melakukan budidaya Chlorella sp selanjutnya dengan mengikuti tahapan
budidaya no.1 s.d no. 6 tersebut diatas secara berkesinambungan dengan tetap
menjaga tingkat kemurnian Chlorella sp.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
56
Catatan :
 Untuk melakukan budidaya massal Chlorella sp pertama kali cukup
menggunakan inokulan Chlorella sp sebanyak 500 ml. Budidaya Chlorella sp akan
membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat dipanen / mencapai puncak
kepadatan (± 2-3 minggu dengan kondisi cukup sinar matahari)
 Untukmenjaga kemurnian Chlorella sp, setiap 2 minggu sekali dilakukan
budidaya Chlorella sp dalam wadah dengan menggunakan inokulan yang berasal
dari kultur murni Chlorella sp skala laboratorium (optional).
2.1.3
Budidaya Moina sp.
Budidaya massal Moina sp dilakukan pada media Chlorella sp volume 3.000 liter.
Pada budidaya skala ini dapat dilakukan secara berkesinambungan dengan cara
melakukan budidaya dengan menggunakan 5 wadah.Adapun prosedur budidaya massal
Moina sp. adalah sebagai berikut :
1. Memasukkan air sebanyak 2500 liter dimasukkan kedalam wadah budidaya.
2. Memasukkan Inokulan Chlorella sp. sebanyak 500 liter kedalam wadah budidaya
sehingga total volume yang terisi adalah 3.000 liter.
3. Memasukkan pupuk yang terdiri dari : 300 g tepung ikan, 300 g tepung kedelai,
dan 300 g dedak dan 300 g kapur dolomite ke dalam air media.
4. Memasukkan Inokulan Moina sp. sebanyak 200 gram kedalam wadah budidaya.
5. Memberikan aerasi sebanyak 15 titik pada media budidaya.
6. Melakukan budidaya Moina sp. selama 5 – 7 hari.
7. Melakukan pemanenan Moina sp.dengan indikasi antara lain kepadatan Moina
sp terlihat melimpah dan warna media budidaya berubah dari hijau menjadi
kecokelatan.
8. Melakukan budidaya Moina sp. selanjutnya dengan mengikuti tahapan budidaya
no.1 s.d no. 7 tersebut diatas secara berkesinambungan.
Catatan :
 Untuk melakukan budidaya massal Moina sp pertama kali dapat menggunakan
sedikit inokulan/bibit. Budidaya Moina sp akan membutuhkan waktu lebih lama
untuk dapat dipanen / mencapai puncak kepadatan.
2.1.4 Pemanenan Moina sp.
Pemanenan Moina sp dilakukan dengan menjaring / menyaring Moina sp dengan
menggunakan kantong yang terbuat dari planktonet. Teknik panen dengan menjaring
Moina sp dilakukan dengan menarik jaring yang terbuat dari plankton net atau kain halus
dari salah satu ujung wadah hingga ke ujung wadah yang lain. Setelah penarikan jaring
selesai, jaring diangkat dari wadah kemudian dinding kantong jaring disiram dengan air
dari bagian luar agar Moina sp. berkumpul di tengah kantong jaring sambil menggulung
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
57
kedua ujung jaring masing-masing ke arah luar. Sedangkan teknik panen dengan
menyaring Moina sp dilakukan dengan memasang alat panen berupa kantong plankton
net pada bagian outlet wadah budidaya untuk selanjutnya melakukan penyaringan
Moina sp. dari air media yang dikeluarkan melalui outlet tersebut. Langkah selanjutnya
adalah menyiapkan baskom yang berisi air kemudian memindahkan Moina sp. yang
dipanen ke dalam baskom dengan menyaringnya terlebih dahulu dengan serok kasar
supaya kotoran yang berupa jentik nyamuk, cacing, dll dapat tersaring. Selanjutnya
penyaringan Moina sp. dilakukan kembali dengan serok halus untuk memisahkan Moina
sp. dari air dan selanjutnya dapat digunakan sebagai pakan larva ikan. Untuk dapat
dilakukan panen Moina sp tiap hari maka digunakan beberapa wadah sebagai tempat
budidaya Moina sp dan stok media Chlorella sp.
2.1.5
Pasca Panen
Hasil pemanenan Moina sp ini digunakan sebagai pakan ikan dalam bentuk hidup
dan beku. Adapun cara pengemasan Moina sp beku adalah dengan mencampur Moina sp
dan air dengan perbandingan 1:1 (1 kg Moina sp ditambah dengan 1 liter air) dan
mengemas dalam kantong plastik untuk kemudian dibekukan dan disimpan dalam
freezer. Penambahan air dalam pengemasan Moina sp beku bertujuan agar Moina sp
beku dapat mengapung pada saat pemberian pakan pada larva sehingga pemberian
pakan dapat merata. Pengiriman Moina sp beku dapat dilakukan dengan terlebih dahulu
membungkus Moina sp beku dengan koran kemudian mengemas di dalam sterofoam.
Moina sp beku masih dalam keadaan baik sampai dengan 18 jam perjalanan pengiriman.
Sedangkan untuk Moina sp hidup hanya dapat dikemas (dalam kantong packing
beroksigen) dengan kepadatan rendah.
Hasil Panen Moina sp dengan media 3000 liter berkisar antara 800 gram s.d 3.500
gram dengan jumlah panen yang sering diperoleh sebanyak 2000 gram. Hasil produksi
Moina sp beku di BPBAT Jambi sudah didistribusikan ke beberapa wilayah di propinsi
Jambi dan Riau. Berikut adalah grafik fluktuasi panen Moina sp :
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
58
2.1.6
Keunggulan Teknologi Budidaya Moina sp Dengan Media Chlorella sp dan
Produk Pasca Panennya
a) Memproduksi Moina sp secara massal dan berkelanjutan dengan produk
pasca panen berupa Moina sp hidup dan beku.
b) Produk pasca panen Moina sp hidup (kadar protein ± 55 %) dapat digunakan
untuk paqkan larva ikan di hatchery dan suplay pakan alami pada kegiatan
pendederan ikan di kolam
c) Produk pasca panen beku dapat digunakan sebagai pakan larva ikan
pengganti cacing tubifex serta dapat disimpan dalam jangka waktu lama (2-3
bulan) dengan kadar protein ± 47 %.
d) Stabil dalam menjaga pertumbuhan dan perkembangan Moina sp dengan
hasil panen 1,7 s.d 2 kg per bak media / siklus (1 siklus : 5-7 hari
pemeliharaan).
e) Formula pupuk pada persiapan media Chlorella sp :
 Menjaga media Chlorella sp dari kontaminasi jenis zooplankton atau
binatang air lainnya serta menjaga kemurnian Chlorella sp.
 Menjaga ketersediaan media Chlorella sp sepanjang musim.
f) Instalasi pendukung berupa 15 titik aerasi (oksigen terlarut ≥ 4 mg/l)dapat
meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan Moina sp lebih maksimal.
g) Bahan, wadah dan peralatan mudah diperoleh sehingga teknologi ini sangat
aplikatif bagi pembudidaya ikan (UPR).
h) Membuka peluang segmen usaha baru berdampingan dengan usaha
pembenihan ikan.
III.
PUSTAKA
Bachtiar Yusuf dan Tim Lentera, 2003. Menghasilkan Pakan Alami Untuk Ikan Hias.
Agromedia Pustaka, Depok, Indonesia.
Hara shiro, 2007. Technique of Moina Culture. Lecture Note for Training on Pangasius sp
Seed Production Technique at Bati Center Cambodia. September 27-29, 2007.
Horvart et al, 1984. Special Methods in Pond Fish Husbandry. Akademiai Kiado,
Budapest. Halver Corporation, Seattle USA.
Siregar Abbas, 1995. Pakan Ikan Alami. Kanisius. Yogyakarta, Indonesia.
Hamid, M.A, 2009. Budidaya Moina sp dengan Media Chlorella sp. Makalah disampaikan
pada World Ocean Conference Manado, Tanggal 11 – 15 Mei 2009. 14 Hlmn
Rottman, et al, 2003. Techniques culture of Moina. IFAs Florida. 8 Hlmn
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
59
FEED FORMULATION FOR GONAD MATURATION OF STRIPED CATFISH BROODSTOCK
(Pangasianodonhyphopthalmus)
Rianasari, Irwan, Ediwarman, A.N.Shulikin, Solaiman
Sungai Gelam Freshwater Aquaculture Development Center
Email: [email protected]
ABSTRACT
The aim of this research is to increase reproductive potential of striped catfish female
including the gonad rematuration, gonad somatic index, fecundity, egg diameter and
hatching rate. Fish were treated by formulated feeds and control feeds (commercial
feeds contained 30% protein). Feeds were formulated using local feedstuff such as fish
meal, shrimp meal,rice bran, copra meal, vitamin mix, vitamin E, vitamin C, corn oil,
pytase enzyme and tapioca as binder. It contained 37,57% protein, 7,38% lipid, 10,35%
crude fiber, 24,28% ash, and 14.32% moisture. Fifty female (average weight ±2,5
kg/fish)and twenty male broodstock were selected in the pond and used for this
experiment. Fish were fed on formulated feeds two times a day with feeding rate 3% of
biomass and spawned per month.
The tested parameters such as gonad somatic index, fecundity, egg diameter, number of
spawned fish and hatching rate. Results of the experiment indicated that formulated
feeds stimulated gonad development and increased number of spawned fish, gonad
somatic index 14,90%, fecundity 488.869 eggs/female and hatching rate 59,73%. But the
egg diameter did not different between treatment. As for control treatment the value of
gonad somatic index, fecundity and hatching rate was 11,62%, 400.500 eggs/female and
40,4%, respectively. Thus,formulated feedswas low cost (Rp.9.000/kg) and gave the best
reproduction performance during in dry season.
Table 1. Composition of formulated feeds experimented
Ingredients
Amount (%)
Fish meal
54
Shrimp meal
15
Copra meal
15
Rice bran
12
Vitamin mix
1,5
Vitamin E
0,05
Vitamin C
0,05
Pytase enzyme
0,05
Tapioca
1,2
Corn oil
1,15
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
60
Table 2.Number of spawned fish, Value of Egg diameter, GSI, Fecundity and Hatching
rate in the control and formulated feed
Parameter
Formulated Feed
Control Feed
Number of spawned fish
(5 times selection)
59
53
Egg diameter (mm)
1,026
1,007
Gonad somatic index (%)
14,90
11,62
Fecundity (eggs/female)
488.869
400.500
59,73
40,4
Hatching rate (%)
Keywords: Striped catfish, Formulated Feed, Gonad Maturation
FEED FORMULATION FOR GONAD MATURATION OF STRIPED CATFISH BROODSTOCK
(Pangasianodonhyphopthalmus)
I. INTRODUCTION
Striped Catfish (Pangasianodonhypophthalmus) is one of
freshwater fish that
haseconomic value. It is widely cultivated in the waters of the island of Sumatra, Java and
Kalimantan. Seed production of Striped catfish by induce breeding method has been
carried out by farmers but the results are not satisfied yet. It is caused bydifficulty of
getting mature gonad broodstocks and the low hatchability of eggs. This is closely related
to the quality of feed (Watanabe et al. 1984a, b; and Mokoginta et al. 2000). Usually,
striped catfishbroodstocksarefedby commercial feed which is not specially made in
accordance withnutritional requirements of reproduction. Protein level for reproduction
often approach or exceed 40% crude protein, while grow-out diets may contain as little
as 25-30%.
Elements of nutrients that must be available in broodstocks feed, including vitamin E and
fatty acids. The types of catfish requirement of vitamin E ranged from 60-240 mg / kg of
feed (Gatlin et al (1992)). Vitamin E can accelerate the achievement of mature gonads
time and increase the number of eggs (Izquierdo et al., 2001). Meinelt et al (1999)
showed that freshwater fishesneed fatty acids linoleic (ω6) greater than the supply ω3
fatty acids. Essential fatty acids serve as a precursor of prostaglandin compounds which
act as hormones. If the eggs are deficiency of essential fatty acid then embryogenesis
process will failed and generate a low degree of hatching eggs (Mokoginta et al (1992)).
It is therefore important to improve the performance of reproduction by developing
quality of feed nutrients. It utilizes the local feed stuffs in order to reduce cost
production so the farmers can make their own fish feed. The aimsof this research isto
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
61
determine the effect of feed formulations to gonad maturation and egg quality of striped
catfish (Pangasianodonhypophthalmus).
2. MATERIALS AND METHODS
2.1 Feed Treatment
Experimented diet was formulated feed in the form of pellet. It consists of fish meal,
shrimp meal, rice bran, copra meal, corn oil, vitamin mix, vitamin E, vitamin C,
enzymepytase and tapioca as binder. While control diet is commercial feed for fish growout with protein content of 30%.
Table 1. Composition of formulated feedsexperimented
No
1
2
2
4
5
8
9
10
11
12
Ingredients
Fish meal
Shrimp meal
Rice bran
Copra meal
Tapioca Flour
Corn Oil
Vitamin mix
Vitamin E
Vitamin C
Pytase
Total*
Total Ingredients (kg)
675
173,53
131,64
171,88
12
11,5
15.00
0.50
0.50
0.50
1,192
Level (%)
54
15
12
15
1,2
1,15
1,5
0.05
0.04
0.04
100.00
2.2 Broodstock
Adult female and male of striped catfish were obtainedfrom a generation of superior
broodstock BPBAT Sungai Gelam age ± 2.5 years old and body weight between 2.926 to
3.126 kg /. Striped catfish broodstockswere stockedwith 50 females and 20 males in
pond (150m2).
2.3 FishMaintenance
Experiment conducted on Pangasianodonhypophthalmus gonad maturity with two
groups. First group were fed on commercial feed for fish grow-out with protein content
of 30%. Group two were fed on formulated feed. Feed given as much as 3% of the weight
of the biomass with a frequency 2 times/day.
First selection was conducted after 2 months of feeding. Striped catfish was spawned
with ovaprim stimulation at a dose 0,5 ml/kg body weight. 1/3 dose on first injection and
2/3 of the dose in the second injection at 6-hour intervals. After 6 hours from the second
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
62
injection at a temperature 27-31°C, the broodstock was checked to determine if it was
ready to be ovulated by striping. Sperm of male was taken and added by sodium
chloride 0.9% solution.Fertilization was conducted by mixing eggs and sperms, then
stirred slowly using chicken feathers and add fresh water while stirring. To eliminate the
adhesiveness, the fertilized egg was washed with a solution of red soil and washed with
clean water, then subsequently hatched in hatcheries funnel with a density of 500 cc /
funnel.
Sampling conducted on body weight and eggs.Eggs sample were collected from each
treatment to measure the diameter of egg.
2.4 Data Collection
Oocytdiameter were takenfrom females bycannulation. Kanulator inserted into female
genital as deep as ± 10 cm and then pulled slowly along ± 3-5 cm. The eggs were taken
(at least 100 eggs) and soaked with a Serra’ssolution. Egg diameter was measured using a
microscope equipped with amicrometer ocular at 40X magnification. Egg somatic index
(ESI) was obtained by comparing the number of ovulated eggs (gram) with fish body
weight (kg).
Data hatching eggs was obtained by counting the number of larvae divided by the
number of eggs. It carried out 5-10 hours after the eggs hatch or within an interval of 2428 hours after fertilization at a temperature range of 28-30 °C. The water temperature,
dissolved oxygen (DO), and pH levels of water in ponds were regularly monitored.
III. RESULTS
3.1 Biochemical composition of fish feed ingredients
Biochemical composition of fish feed ingredients (% in dry weight basis) was given
in Table 2.
Table 2. Biochemical composition of fish feed ingredients.
Crude Crude
Ash
CrudeProt
Lipid
Fiber
N
Moistur
(%)
ein(%)
Ingredients
(%)
(%)
o
e (%)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Trash fish
8.02
31.43 44.89
5.12
1.06
Shrimp meal
12.71
29.19 54.06
4.40
8.05
Trash meal
13.56
30.76 51.19
3.50
7.59
Copra meal
12.73
8.06
20.17
12.73 16.38
PKM meal
7.44
4.59
15.89
6.89
20.38
Rice bran
8.84
14.58 8.39
3.92
31.46
The moisture content of fish feed ingredients is the highest (13,56%) in shrimpcrab mix meal and the least (7,44%) in PKM meal. The crude protein of fish feed
ingredients is the highest (54,06%) in shrimpmeal and the least (8,39%) in rice bran.The
crude lipid of fish feed ingredients is the highest (12,73%) in copra meal and the least
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
63
(3.92%) in rice bran. The ash content of fish feed ingredients is the highest (31,43%) in
trash fish and the least (4.59%) in PKM meal.Out of six ingredients, copra meal (12.73%)
or PKM meal (6.89%) were used as the source of lipid. Trash fish (44.89%), flour shrimp
(54.06%) and trash meal (51.19%) were used as protein source.Rice bran was used as the
source of carbohydrate.Fatty acids wasobtained from corn oil while tapioca flour as an
adhesive (binder).
3.2 Biochemical composition of control and formulated feeds experimented
Table 3.Biochemicalcomposition of formulated and control feed
Moisture (%)
Ash (%)
Crude protein (%)
Crude lipid (%)
Crude fiber (%)
Formulated feed
12,10
24,28
37,57
7,38
6,07
Control feed
11,15
9,33
30
6,69
5
Biochemical composition of control and formulated feeds experimented (% in dry weight
basis) is given in Table 3. The crude protein of formulated feed was 37.57%. This is in
accordance with SNI 7548: 2009that the minimum protein level for broodstock was 35%.
Protein is an essential component needed for reproduction and major components of
the egg yolk (Kamler, 1992). Commercial feed contains only 30% crude protein.
Deficiencyamount of protein was less suitable for reproduction of freshwater
fish.Lipidcontent informulated feed (7,38%)was in accordance with SNI required a
minimum of 7% lipid. Lipid and essential fatty acid was one nutrient determinant in the
development of gonad maturity in order to increase the quality of eggs (Watanabe et al.,
1988). According to Meinelt et al. (1999) freshwater fish required a greater ω6 (linoleat
fatty acid).
Crude fiber content in formulated feed was 6.07% while the commercial diet
(control) was 5%. It was compliant with SNI levels of up to 8% fiber. But formulatedfeed’s
ash content was still high at 24.56% while commercial diet (control) was only 9.33%. It is
hard to qualify the SNI maximum level ash content of 12%. This was caused by the use of
shrimp meal /trashshrimp-crab meal which still had a shell (skin).Phytase enzyme was
addedin feed formulated. Phytate found in many legumes (legumes, nuts and seeds).
Phytate composed 1-2% weight of cereals and oil-yielding. Anti-nutritional substances
are compounds that when provided either directly or indirectly to organism in a certain
amount could lead to metabolic disorders and / or unavailability of a nutrient for the
body. Phytatewas antimineral because of the presence of phytate, the minerals essential
could not be digested and absorbed. Phytic acidbinded to metal ions eg Zn 2+, Cu 2+, Mn
2+, Mg 2+, Fe3 + and Ca2 +. Metal ions could not be digested or absorbed. Phytic acid
showed rakhitogenik(bone disease caused by the lacks of calcium) and binded to the
mineral form insoluble salts. Phytase enzyme activity optimum at pH 5.0 to 5.2 a
temperature of 50-52 ° C (Astuti, 2014). In addition to the enzyme phytase, vitamin E was
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
64
also added to formulatedfeed. One function of vitamin E was an antioxidant that prevent
the oxidation of lipid (Halver (1989) in Yulfiperius et al (2003)). The higher levels of
vitamin E in the diet of broodstock would be followed by the higher content of vitamin E
in eggs. Furthermore, increased levels of vitamin E in eggs will be followed by an increase
in fat content in eggs. According to Kamler (1992) in Yulfiperius et al (2003) lipid was
deposited in the eggs and served as a source of energy and controlling the buoyancy of
eggs, embryos and larvae. Lipid was a major source of energy during embryogenesis.
3.3 Productivity of striped catfish broodstock
In the first selection of August, the number of spawned broodstock on the treatment of
formulatedfeed as many as 42 females (87.5%), September 33 females (70.2%), October
40 females (86.95%), November 41 females (85.41 %) and December 35
females(74.46%). While the number of spawned broodstock on control feed in August 41
females (91.1%), September 26 females (59%), October 7 females (14.89%), November
38 females (79.16%) and December 37 females (82.22%).
Overall the amount of spawned broodstock on the treatment of formulated feed was
191 females whereas the control diet was 149 females and the average of percentage
spawned broodstockobtained was 80.90% (formulated feed) and 65.27% (control feed).
Graph the number of spawned broodstockbetween formulated and control feed was
given in Figure 1.
Figure 1 . Graph the number of spawned broodstock between formulated and control
feed.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
65
Figure 2.Graph the number of matured broodstock between formulated and control
feed.
According to Hamid et al (2009) an easy way to assess the maturity of gonad broodstock
was checking the conditions of the abdomen. It was divided into three categories:
a. Category 1 or 0: abdominal fat or a little fat, indicating the volume of eggs is still
small. The abdomen was not mushy, rather hard and genital was not blushed.
Category 1 was not selected for spawning.
b. Category 2: abdominal fat, egg volume quite a lot. The abdomen was mushy
when it was pressed, the curve would not quickly returned into shape. Genital
was a little red. This second category can be selected for spawning, when
broodstockcan not be found in the category 3.
c. Categories 3: Abdominal fat at all, the volume of eggs aplenty. The abdomen was
mushy, when it was pressed,the curve would quickly returned into shape, genital
was red.
The amount of the matured broodstock (category 3) of formulated feed as many as 59
individuals (33.01%), while 53 control diet (35.42%).
Total spawned broodstockby induced breeding method can be seen in Figure 3. In the
treatment of formulatedfeed, the number of injected female as much as 5 females in
August, in 7 females September, 6 females in October, 5 females November and 9
females December. While the number of induced female in the control diet in August as
many as 3 females, 3 females in September,2 females in October, 5 females in November
and 6 females in December. In August,there were three females did not ovulated on
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
66
formulated feed treatment (out of 5 induced females) and 6 females in
October.Ovulation was affected by hormone and environment. Overall percentage of
ovulated broodstock in the treatment of formulated feed 71.87% while control feed
100%. Total ovulated broodstocks can be seen in Figure 4.
But the percentage of the hatched eggs females in the treatment formulated feed at
100% while in control feed 89.47%. One of the factors that could cause the eggs did not
hatch was deficiency the essential fatty acid. Essential fatty acids serve as a precursor of
prostaglandin compounds which act as hormones. If the eggs less of essential fatty acid
the embryogenesis will fail (on cell division and organogenesis 16-32) and will generate a
low degree of hatching eggs (Mokoginta et al (1992) in Utomo (2013)).Total hatched eggs
females can be seen in Figure 5.
Figure 3.Graph the number of induced females between formulated and controlfeed
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
67
Figure 4.Graph the number of ovulated females betweenformulated and controlfeed
Figure 5.Graph the number of hatched eggs females between formulated and control
feed
Table 4.Comparison Productivity of Broodstock In Treatment formulated and
Control Feed
Parameter
Formulated Feed
Control Feed
Induced females
32
19
71,87
100
100
89,47
Eggs Diameter (mm)
1,026
1,007
ESI (%)
14,90
11,62
148.200
113.173
HR (%)
59,73
40,4
Number of produced larvae /kg
BW (ekor)
89,932
47,741
Ovulation rate (%)
Hatched eggs females (%)
Fecundity (eggs/kg)
There weresignificant difference in productivity of broodstock in treatment of
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
68
formulated feed and control feed. Eggs diameter on formulated feed was 1,026 mm
while the control diet only 1,007 mm. The ESI of formulated feed was 14.90% while the
control diet 11.62%. Fecundity on treatment formulated feed 148 200 eggs / kg while
control feed 113 173 eggs / kg broodstock. The number of produced larvae / kg
onformulated feed was 89.932 while the control feed 47.741. The average hatchability
onformulated feed was 59.73%, while the control diet was 40.4%.
Production of striped catfish larvae feed on formulated feed as much as 6,821,752
individuals (23 females) and control diet 2,702,545 individuals (16females). The
experimental results indicated formulated feed gave significant effect on gonadal
maturation and egg quality of striped catfish broodstock. Formulated feed was expected
to overcome the problems of the difficulty of getting the mature gonads and the low
hatchability of eggs as one way to gain optimal catfish breeding byby improving the
quality of feed nutrients.
IV. CONCLUSIONS
1.
Formulated feed is performed to repair quality of broodstock feed nutrients.
2.
Productivity of striped catfish broodstock in treatment formulated feed is higher
than control feed.
3.
Formulated feed can overcome the problems of limited matured gonads and the
low quality of eggs with low cost.
REFERENCES
Astuti, Ari Tri. 2014. Makanan dan Analisa Zat Gizi. www.slideshare.net/liciastreiz/zatanti-gizi-30376932. Tanggal diakses 23 Oktober 2015
Hamid ,M.A et al.2009. ANALISA EFEKTIVITAS MANAGEMEN INDUK DAN PEMBENIHAN
IKAN
PATIN
SIAM
(Pangasianodonhypophthalmus)
DI
BBAT
JAMBI.JurnalAkuakulturIndonesia, 8(1): 29-35
Izquierdo, M.S., H. Fernandez-Palacios, A.G.J. Tacon. 2001. Effect of broodstock nutrition
on reproductive performance of fish. Aquaculture, 197: 25 - 42.
Mayunar.
2000.
Aplikasihormon Human Chorionic Gonadotropin (HCG)
padapemijahanikankakapputih,
Latescalcarifer.
Prosisiding
Seminar
NasionalPerikananPenangkapandanBudidayaPerairan.Hal.124-133.
Mokoginta, I., D.S. Moeljohardjo, T. Takeuchi, K. Sumawidjayadan D. Fardiaz. 1995.
Kebutuhanasamlemakesenssialuntukperkembanganindukikanlele,
Clariasbatrachus, Linn. J. Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. III (2) : 4150.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
69
Mokoginta, I., D. Jusadi, M. Setiawati, T. Takeuchi and M.A. Suprayudi.2000. The effect
of different levels of dietary n-3 fatty acid on the eggs quality of catfish
(Pangasianodonhypophthalmus). JSPS-DGHE.International Symposium, Sustainable
Fisheries in Asia in the New Millenium.p : 252 - 256.
Rahayuni,
E.
Dkk.
2013.ProduksiBenihHibridadanCalonIndukPatin
(Pangasianodonhypophthalmus).LaporanTahunanBalaiPerikananBudidaya
Tawar Jambi.Hal. 13 – 31.
Siam
Air
Sukendi. 2005. PengaruhkombinasipenyuntikanhCGdanekstrakkelenjerhipofisaikan mas
(Cyprinuscarpio
L)
terhadapdayarangsangovulasidankualitastelurikanbaung
(Mystusnemurus CV). JurnalPerikanandanKelautan 10, 2 (2005) : 75-81.
Utomo,
BambangPriyo.
2013.
PeningkatanMutuReproduksiIkan
TawarMelaluiPerbaikanNutrisiPakanInduk. SEAMEO BIOTROP-Bogor
Air
Watanabe, T.A, T. Arakawa, C. Kitajima and S. Fujita. 1984a. Effect of nutritional quality
of broodstock diets on reproduction of red sea bream. Nippon Suisan Gakkaishi
50(3):495-501.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
70
Evaluasi kombinasi mikrobial flok dan mikroalga Spirulina platensis
Dalampakan juvenil cobia (Rachycentron canadum)terhadap kinerja
pertumbuhan dan respons fisiologis berupa perendaman air tawar
Suryadi Saputra1. Muhammad Agus Suprayudi2. Enang Harris2. Mia Setiawati2.
Widanarni2. Suciantoro1
1
Main Center for Marine Aquaculture, Lampung.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasikombinasimikrobial flok dan mikroalga
Spirulina
platensis
(MFMS)dalampakanjuvenil
cobia
terhadapkinerjapertumbuhandanrespons stress setelahdiberikanperlakuanperendaman
air tawarselama 15 menitdenganaerasi. Ikandipeliharadalambakbetonselama 40
harikemudiandiambil
data
kinerjapertumbuhannya.
Selanjutnyasetelahdiaklimatisasiselamaseminggu, ikandirendamdalam air tawar. Data
responsfisiologismelalui pengukuran kadar glukosa dan kortisol. Sebelum diberi
perlakuan (0 jam) dan setelah 1, 2, 4, 6, 24 jam.
Ikan yang diberikanpakan MFMS 15% menunjukkanpertumbuhan yang
lebihcepatdengankonversipakan yang lebihrendahdibandingkontroldanperlakuanlainnya.
Hasil pengukuranterhadapkadarkortisolsetelah 1 jam, diperolehbahwaikan yang
diberikanpakan MFMS 15 dan 30% tidakmengalamipeningkatankortisol, hasil yang
berbedadengankontrol. Kadar glukosamengalamikecenderunganmeningkatmulaidari jam
ke-1 dantertinggipada jam ke-2 kemudiankembalimenurunpada jam ke-4
hinggaterjadikeseimbanganfisiologis
di
jam
ke-6
padasemuaperlakuan.
Dengandemikianikan yang diberikanpakan MFMS 15 dan 30% tidakmengalami stress
setelahdiberikanperlakuanperendaman air tawar.
Key words:mikrobial, mikroalga, Spirulina, glukosa, kortisol, stres, cobia
1. Pendahuluan
Cobia (Rachycentron canadum) merupakan salah satu kandidat ikan laut yang
menarik untuk dibudidayakan dalam industri akuakultur dunia (Kaiser and Holt 2005 ;
Liao et al. 2004), hal ini dikarenakan pertumbuhan yang cepat dan efisien konversi pakan
(Zhou et al. 2011), kualitas daging yang baik dan ketersediaannya yang terbatas di alam
(Kaiser and Holt 2005), namun demikian, juvenil cobia seperti hal ikan lainnya,
merupakan ikan yang sensitif terhadap kegiatan budidaya.Aktivitas akuakultur yang
menyebabkan ikan stres antara lain :padat tebar tinggi, perubahan suhu, salinitas,
oksigen terlarut dan perendaman air tawar pada ikan laut.
Dalam budidaya ikan laut, aktivitas perendaman dalam air tawar pada ikan laut
merupakan salah satu kegiatan rutin yang dilakukan, dengan tujuan untuk melepaskan
ektoparasit yang menempel pada seluruh tubuh ikan selama 10-30 menit.Hal ini akan
mempengaruhi keseimbangan kadar air dan garam dalam tubuh ikan, keseimbangan ini
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
71
berkaitan dengan proses osmoregulasi. Bila keseimbangan tekanan osmosis tidak diatur
maka ikan laut akan mengalami dehidrasi (Wedemeyer 1996). Perubahan salinitas yang
drastis akibat perendaman mengakibatkan perubahan pola osmoregulasi pada ikan
sehingga ikan menjadi stres (Fujaya 2004). Keberhasilan mengatasi stres akibat tekanan
osmosis tergantung pada kemampuan ikan mereorganisasi energi substansial dalam
periode waktu yang relatif pendek (Tseng and Hwang 2008). Kemampuan ikan dalam
menghadapi stres fisiologis, tidak terlepas dari bahan baku penyusun pakan yang
digunakan, sehingga energi yang dipasok dari pakan digunakan untuk pertumbuhan
sebagian untuk pemulihan dari stres dan kesehatan ikan.
Mikrobial flok merupakan bahan baku pakan yang terbaharukan dan dihasilkan
dari konversi nitrogen anorganik terutama amoniak oleh bakteri heterotrof menjadi
biomassa mikroba yang mengandung nutrien protein19-58%, lemak2-39%, karbohidrat
27-59%, abu 2-17% dan vitamin C (Crab et al. 2010 ; Crab et al. 2009 ; Crab 2010).
Penelitian secara in situ menunjukkan bahwa mikrobial flok dapat meningkatkan
pertumbuhan udang dan ikan nila (De Schryver et al. 2008). Sedangkan Mikroalga
merupakan pakan alami yang telah lama digunakan untuk larva udang dan ikan. Spirulina
platensis merupakan salah satu mikroalga penting untuk pertumbuhan dan
perkembangan larva ikan. S.platensis mengandung nutrien antara lain protein sebesar
60-70%, lemak 4-7%, karbohidrat 13.6%, provitamin A, β karoten dan pigmen antioksidan
seperti karatenoid dan fikosianin (Carrieri et al. 2010). Hasil penelitian menunjukkan
S.platensis dimanfaatkan sebagai suplement dalam pakan ikan dan udang (Silva-Neto et
al. 2012), substitusi tepung ikan hingga 40% pada ikan nila (Olivera-Novoa et al. 1998),
substitusi hingga 75% tanpa memberikan efek negatif terhadap kelangsungan hidup dan
pertumbuhan pada udang (Macias-Sancho et al. 2014).
Kombinasi mikrobial flok dan mikroalga Spirulina platensis (MFMS) yang
terkandung dalam pakan formulasi diharapkan dapat memberikan dampak yang positif
terhadap pertumbuhan dan kesehatan ikan. Kuhn et al. (2009) mengatakan bahwa
Mikrobial flok dapat dikatakan sebagai probiotik dan dapat meningkatkan pertumbuhan
pada udang. Moreira et al. (2011) menyatakan Spirulina mengandung fikosianin, vitamin
A dan E, fenolik dan asam lemak yang sangat penting untuk aktivitas fisiologis.
Informasi pemanfaatan tepung mikrobial flok dan mikroalga S.platensisuntuk
mengurangi atau menggantikan tepung ikan dan tepung kedelai dalam pakan ikan laut,
masih sedikit sehingga dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengevaluasi
kombinasi mikrobial flok dan mikroalga S.platensisdalam pakan juvenil cobia terhadap
kinerja pertumbuhan dan respons stres perendaman air tawar.
2. Bahan dan Metode
Penelitian ini dilaksanakan bulan Desember 2014 sampai Januari 2015 yang
bertempat di Laboratorium Basah Balai Besar Perikanan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung.
Analisis proksimat dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ikan dan Kesehatan Ikan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor sedangkan analisis kadar kortisol
dan glukosa dilakukan di Laboratorium Isotop/Radioaktif Balai Penelitian Ternak Bogor
Pakan yang digunakan dalam penelitian ini berupa pellet kering. Pakan uji yang
diberikan memiliki kandungan energi yang hampir sama (isoenergi) dan kadar protein
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
72
yang hampir sama. Perbedaan pada pakan uji adalah kandungan protein yang berasal
dari sumbangan protein tepung mikrobial flok dan mikroalga Spirulina platensis
(MFMS).Rasio dari kombinasi kedua tepung tersebut yaitu mikrobial flok 75% dan
S.platensis 25%.Perlakuan pakan pada penelitian ini, yaitu: 0% (tanpa mendapat
sumbangan protein dari MFMS), 15%, 30% dan 45% MFMS. Komposisi hasil analisis
proksimat pakan uji disajikan pada Tabel 1.
Juvenil ikan cobia yang digunakan berasal pembenihan dariMain Centre for
Mariculture (BBPBL) Lampung, Indonesiadengan bobot tubuh awal 41.4±0.06g sebanyak
180 ekor. Ikan dipelihara pada waring (ukuran 100 x 100 x 150 cm) dalam bak beton
(ukuran 200 x 200 x 200 cm) dengan kepadatan 15 ekor/waring selama 40 hari. Aerasi
dan inlet diatur homogen disemua waring dan sirkulasi air dengan sistem terbuka dengan
pergantian air sebanyak 100% setiap hari. Sebelum perlakuan, ikan diaklimatisasi selama
7 hari. Setelah itu, ikan dipuasakan terlebih dahulu selama 24 jam dengan tujuan
menghilangkan sisa pakan dalam saluran pencernaan. Pemberian pakan dilakukan secara
at satiation dengan frekuensi dua kali sehari pada pukul 08.00 dan 14.00 WIB. Untuk
mempertahankan kualitas air, setiap hari dilakukan penyiponan dua kali sehari setelah
satu jam ikan diberi pakan.
Table 1. Proximate analysis of experimental diets
Ingredients
Fish meal
Mixed microbial floc and
S.platensis meal
Soybean meal
Meat and bone meal
Wheat meal
Tapioca meal
Squid oil
Vitamins premix
Attractant
Puremethyl cellulose
Proximate composition
Crude Protein
Crude fat
Ash
Crude fiber
Nitrogen free extract
Energy (kcal/kg dry matter)
C/P
0
18.4
MFMS (%)
15
30
18.1
16.2
45
15.9
0.0
14.8
28.8
44.8
53.6
13.5
2.0
3.0
2.5
3.0
2.0
2.0
35.3
13.5
2.0
3.0
6.3
3.0
2.0
2.0
21.0
13.5
2.0
3.0
8.5
3.0
2.0
2.0
1.1
13.5
2.0
3.0
12.7
3.0
2.0
2.0
36.95
6.26
13.70
2.57
40.52
430.02
11.64
38.65
10.82
15.10
1.25
34.18
454.99
11.77
38.18
12.38
15.52
2.13
31.79
456.79
11.96
38.15
17.03
18.34
1.22
25.25
472.15
12.38
Pemeliharaan ikan cobia lanjutan untuk mengetahui respons stres, sisa ikan
dimasukan dalam bak beton (ukuran 200 x 200 x 200 cm) sebanyak 4 buah dan masingmasing bak dimasukan ikan sebanyak 30 ekor. Setelah diaklimatisasi selama seminggu
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
73
dengan asumsi ikan sudah kembali normal, ikan diberi perlakuan stres dengan dilakukan
perendaman dalam air tawar yang diberi aerasi selama 15 menit dan kemudian ikan
dikembalikan ke dalam bak
Untuk mengetahui kinerja pertumbuhan juvenil cobia, maka dilakukan sampling
seminggu sekali dengan mengukur bobot tubuh ikan uji. Setiap hari dilakukan pencatatan
pemberian pakan untuk mengetahui jumlah konsumsi pakan. Setelah pemeliharaan
berakhir, dilakukan penimbangan bobot tubuh akhir.
Untuk mengetahui respons stres juvenil cobia, maka dilakukan sampling dengan
mengambil 3 ekor ikan pada masing-masing perlakuan untuk diambil darahnya.
Pengambilan darah juvenil cobia dilakukan pada sebelum perendaman dan setelah 1
jam, 2 jam, 4 jam, 6 jam dan 24 jam perendaman dengan waktu pengambilan masingmasing sekitar 1 menit dan ikan tidak dikembalikan lagi ke dalam bak perlakuan. Sampel
darah diambil dengan menggunakan needle 23G dan shyrink 1 mL pada pembuluh darah
ekor dan darah yang diambil sebanyak kira-kira 1 mL dan langsung dimasukan dalam
coolbox agar tidak terjadi pembekuan darah. Darah juvenil cobia yang telah terkumpul,
kemudian disentrifuse selama 5 menit dengan suhu 4 oC agar terpisah antara sel darah
dan serumnya. Serum disedot dengan menggunakan mikropipet (0.1-100 mL) dan
dimasukan dalam mikrotube 1 mL dan kemudian dibawa ke laboratorium untuk
dianalisis.
Parameter uji untuk kinerja pertumbuhan yaitu : tingkat kelangsungan hidup (SR) =
(jumlah akhir ikan / jumlah awal ikan) x 100% ; Berat total (WG%) = 100 x (berat total
akhir ikan– berat total awal ikan) x (berat total awal ikan)-1; Laju pertumbuhan harian
(SGR) = {[(rerata bobot akhir – rerata bobot awal) x (hari)-1] -1 }x 100% ;Konversi pakan
(FCR) = (pakan.g) x (berat tubuh ikan.g)-1.
Metode yang digunakan untuk analisis nutrienpakanmengikuti prosedur AOAC
(1995) yaitu untuk analisis proksimat kadar air dilakukan dengan metode Gravimetric,
kadar protein dengan metode Kjeldhal, kadar lemak dengan metode Soxhlet, kadar abu
dengan metode Gravimetric dan serat kasar dengan metode Vansus. Sedangkan analisis
kortisol dan glukosa dengan metode Radioimmunoassay (RIA).
Rancanganpercobaan pada penelitian ini menggunakan RAL dengan 4 perlakuan
dan 3 ulangan dianalisis menggunakan ANOVA dan uji lanjut menggunakan Uji Tukey
dengan selang kepercayaan 95%.
3. Hasil
Pemberian pakan kombinasi tepung mikrobial flok dan mikroalga S.platensis
(MFMS) pada juvenil cobia selama 40 hari tidak mempengaruhi tingkat kelangsungan
hidup. Namun ikan yang diberikan pakan MFMS 15% menunjukan kinerja pertumbuhan
yang lebih cepat (berat akhir, berat badan dan pertumbuhan spesifik harian) dibanding
kontrol (0%) dengan konversi pakan yang tidak berbeda dengan kontrol. Sebaliknya cobia
yang mengkonsumsi pakan MFMS 45%, ikan mengalami pertumbuhan yang lambat
(berat akhir, berat badan, dan pertumbuhan spesifik harian) dengan konversi pakan yang
lebih tinggi dan berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 2).
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
74
Table 2. Growth performanceof juvenile cobia fed with MFMS during 40 days rearing
period.
MFMS (%)
0
15
30
45
41,38±
41,37
41,44±
41,43
Initial weight(g)
0,1
±0,07
0,1
±0,04
111,66
125,4
104,43
87,00
Final weight (g)
±6,9ᵃ
3±1,7ᵇ
±5,6ᵃ
±3,1ᶜ
169.83
203.2
151.90
109.9
Weight gain (%)
±16.2ᵃ
1±4.4ᵇ
±13.1ᵃ
9±7.3ᶜ
Survival rate (%)
100
100
100
100
Specificgrowth
2.51±0.
2.81±
2.33±0
1.87±
rate (%/day)
2ᵃ
0.04ᵇ
.1ᵃ
0.1ᶜ
Feedconvertion
2.02±0.
1.93±
2.40±0
2.98±
ratio
1ᵃ
0.2ᵃ
.2ᵇ
0.2ᶜ
Data expressed as mean ± SD (n = 3)
Value in the same line with different superscript letters are significantly different
(P<0.05)
Hasil pengukuran serum darah juvenil cobia yang diberi pakan berbeda, setelah
dilakukan perendaman dalam air tawar yang diberi aerasi selama 15 menit, diperoleh
hasil yang berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberikan pakan MFMS
memberikan pengaruh yang berbeda terhadap respons stres juvenil cobia (Gambar 1 dan
2). Hasil pengukuran kadar kortisol juvenil cobia diperoleh bahwa ikan yang diberikan
pakan MFMS `15 dan 30% kadar kortisolnya menurun di jam ke 1 dan kembali normal di
jam ke 2, sedangkan ikan kontrol meningkat hingga pada puncaknya pada jam ke 1 dan
kembali normal pada jam ke 2. Hal yang berbeda ditemukan pada perlakuan pakan
MFMS 45%, ikan yang diberi pakan tersebut mengalami peningkatan kortisol pada jam ke
1, kemudian turun dan puncaknya pada jam ke 4. Semua perlakuan menunjukkan kondisi
normal pada jam ke 6 (Gambar 1).
Parameter
Figure1.
Time course of cortisol responses of juvenile cobia fed with MFMS following
experimental immersion of the fish in fresh water
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
75
Hasil analisis kadar glukosa serum darah juvenil cobia pada Gambar 2,
memperlihatkan tren yang meningkat setelah direndam pada semua perlakuan,
puncaknya pada jam ke 2 dan menurun kembali normal setelah jam ke 6 hingga jam ke
24. Namun nilai glukosa tertinggi diperoleh pada juvenil cobia yang diberi pakan MFMS
15%, sebaliknya nilai terrendah ditemukan pada ikan yang diberikan pakan MFMS 45%.
Figure2.
Table 3.
Time course of glucose responses of juvenilecobia fedwith
following experimental immersion of the fish in freshwater
Haemotological responses of juvenilecobia
Pre
1
Cortisol
0
4,69±0,4
(ng/ml)
15
6,21±2,3
30
Glucose
(mg/dl)
MFMS following
Time (Hours) after immersed
MFMS
(%)
Parameter
fedwith
MFMS
2
4
6
24
12,87±4,2ᵃ
6.60±0.7ᵃ
6.44±0.5
5.21±0.8
4.77±1.0
4.72±1ᵇ
5,61±1,4ᵃᵇ
6,33±1,4
5.27±1.5
5,04±1,6
6.44±0.3
3.81±0.7ᵇ
6.03±1ᵇ
5.60±0.4
5,52±3,1
6.58±0.4
45
4,55±0,4
6,67±1ᵇ
3.38±0.1ᵇ
8,93±3,8
6.00±0.5
6.08±1.5
0
15
30
45
77.32±32,8
75,39±21,2
92,91±15,9
64.61±2.9
110,88±32,5
108.058±20.2
121,73±45,7
79,47±2,5
142,19±42,8
173,38±32,2
144,22±13,9
116,53±34,1
118,57±21,7ᵃ
103,88±8,9ᵃ
85.8±13.5ᵃᵇ
40.82±22.9ᵇ
90,09±18,8ᵃᵇ
103.76±15.9ᵃ
85.117±3.7ᵃᵇ
65.91±6.1ᵇ
84,44±5,6ᵃ
76,19±7,6ᵃ
69,97±9,1ᵃ
59,35±11,8ᵇ
experimental immersion of the fish in freshwater
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
76
4. Pembahasan
Pemanfaatan sumber protein alternatif yang berasal dari mikrobial flok dan
mikroalga Spirulina platensis sebagai suplement maupun substitusi dengan sumber
proteien lainnya, sudah dilakukan pada beberapa organisme akuakultur. Crab et al.
(2009) memanfaatkan mikrobial flok untuk pakan ikan nila, Kuhn et al. (2009) yang
mensubstitusi tepung ikan dan soybean dengan mikrobial flok diperoleh hasil bahwa
udang yang diberikan pakan mikrobial flok 7.8% dan 15% menunjukkan hasil lebih baik
dan berbeda nyata dengan kontrol. Teimouri et al, (2013) menambahkan tepung
mikroalga Spirulina platensis pada pakan rainbow trout dan Macias-Sancho et al. (2014)
mensubtitusi tepung ikan hingga 75% tanpa berbeda nyata dibanding kontrol pada udang
vanamei dengan memanfaatkan mikroalga Spirulina platensis.
Pada penelitian ini, terjadi peningkatan kinerja pertumbuhan pada juvenil cobia
yang diberi pakan yang mengandung mikrobial flok dan mikroalga Spirulina platensis
(MFMS). Pertumbuhan yang lebih cepat dan berbeda nyata dengan kontrol diperoleh
pada ikan yang diberikan pakan MFMS 15%, demikian pula ikan yang diberikan pakan
MFMS 30%, namun tidak berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa
kombinasi kedua bahan baku tersebut memiliki keseimbangan asam amino yang dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan kinerja pertumbuhan ikan. Hal yang berbeda
diperoleh pada ikan yang diberikan pakan MFMS 45%, kinerja pertumbuhannya lambat
dan berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini disebabkan kandungan asam amino yang tidak
seimbang, terutama asam amino arginin dan lisin yang sangat diperlukan pada ikan muda
(juvenil). Degradasi arginin akan mengakibatkan penggunaan lisin meningkat sehingga
pertumbuhan menjadi lebih lambat. Lisin dibutuhkan ikan dalam pertumbuhannya,
kekurangan asam amino lisin akan mengakibatkan ikan menjadi kehilangan selera makan
dan pertumbuhan ikan menjadi lambat pada ikan japanese sea bass (Mai et al. 2006).
Respon fisiologis juvenil cobia setelah perendaman dalam air tawar selama 15
menit dengan aerasi, yang ditampilkan pada gambar 1,2 dan tabel 3, menunjukkan
bahwa, terjadi fluktuasi kadar kortisol dan glukosa pada serum darah juvenil cobia, hal ini
mengindikasikan ikan merespons perubahan lingkungan yang terjadi yaitu akibat
perubahan drastis salinitas yang tiba-tiba. Fujaya (2004) mengatakan perubahan salinitas
yang drastis akibat perendaman mengakibatkan perubahan pola osmoregulasi pada ikan
sehingga ikan menjadi stres dan Tseng and Hwang (2008) mengemukakan bahwa
keberhasilan mengatasi stres akibat tekanan osmosis tergantung pada kemampuan ikan
mereorganisasi energi substansial dalam periode waktu yang relatif pendek sehingga
energi yang dipasok dari pakan untuk pertumbuhan sebagian digunakan untuk
pemulihan dari stres.
Pada penelitian ini, juvenil cobia yang diberikan pakan MFMS 15 dan 30%, dalam
mengatasi stres akibat perubahan tekanan osmosis pada waktu pendek (jam ke-1)
dengan menjaga keseimbangan pola osmoregulasinya yaitu dengan menurunkan kadar
kortisol diiringi dengan peningkatan kadar glukosa, pada jam ke-2, kadar kortisol
meningkat bersamaan peningkatan puncaknya kadar glukosa dalam upaya kembali
dalam kondisi homeotasis (Gambar 1&2). Dengan demikian respon ikan yang diberi
pakan MFMS 15 dan 30% ini menunjukkan bahwa pakan MFMSmampu mereduksi efek
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
77
negatif stres akibat perendaman. Respon yang serupa diperoleh oleh Hastuti et al.
(2004), penambahan 1,5 ppm Cr+3-ragi pada pakan ikan gurame setelah diberikan
tekanan suhu, kadar kortisol dan glukosanya rendah. Kemampuan juvenil cobia dalam
menekan stres merupakan andil dari pakan MFMS yang mengandung nutrisi berasal dari
bakteri mikrobial flok dan mikroalga Spirulina platensis yang pada beberapa penelitian
sebelumnya, memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan dan kelangsungan
hidup ikan atau udang yang dibudidayakan. Kuhn et al. (2009) menyatakan bahwa
bakteri dan organisme lainnya dalam mikrobial flok yang terbentuk dapat berfungsi
sebagai probiotik. Lin et al. (2010) mengemukakan tepung S platensis dapat memberikan
pengaruh yang positif terhadap kesehatan pada ikan dan udang dan Moreira et al. (2011)
menjelaskan bahwa S platensis mengandung fikosianin, vitamin A dan E, fenolik dan
asam lemak yang secara bersamaan menekan aktifitas fisiologis penting.
Sedangkan juvenil cobia yang diberi pakan tanpa mengandung MFMS dan MFMS
45%, kadar kortisol dan kadar glukosa meningkat pada jam ke-1, hal ini menunjukkan
ikan mengalami stres akibat tekanan perendaman.Hasil yang sama dilaporkan oleh
Trushenski et al. (2010), juvenil cobia pada perlakuan terpapar di udara selama 1 menit
dan 0.5 jam pada perlakuan air dangkal selama 15 menit yang diberi aerasi, Costas et al.
(2011) pada ikan Senegalese sole yang selama 3 menit dipapar di udara dan Cnaani and
Mclean (2009) pada ikan cobia yang terpapar di udara selama 1 menit. Dengan demikian
pakan juvenil cobia yang tanpa kandungan MFMS atau MFMS 45% menunjukkan respon
fisiologis akibat adanya perlakuan. Respon juvenil cobia kembali dalam kondisi
homestasis ditemukan pada jam ke-6, hal yang sama dinyatakan oleh Iwama et al, (2006)
bahwa pada kebanyakan ikan kadar kortisol meningkat 1 jam setelah adanya tekanan
dan kembali ke level awal setelah 6 jam. Demikian pula hasil yang sama pada ikan cobia
diperoleh oleh Cnaani and Mclean (2009) dan Trushenski et al. (2010).
5. Simpulan
Juvenil cobia yang diberikan pakan kombinasi mikrobial flok dan mikroalga
Spirulina platensis (MFMS) sebesar 15%, memperlihatkan kinerja pertumbuhan yang
terbaik. Pakan MFMS dapat diberikan hingga 30%, oleh karena tidak berbeda nyata
dengan kontrol dan tanpa memberikan dampak negatif terhadap kinerja pertumbuhan.
Juvenil cobia yang diberikan pakan MFMS 15 dan 30% memiliki kemampuan untuk
menjaga keseimbangan pola osmoregulasinya setelah direndam air tawar, sehingga ikan
tidak mengalami stres.
DAFTAR PUSTAKA
Cnaani, A., E. McLean. 2009. Time-course response of cobia (Rachycentroncanadum) to
acute stress. Aquaculture, 289:140-142.
Costas, B., L.E.C. Conceicao, C. Aragao, J.A. Martos, I. Ruiz-Jarabo, J.M. Mancera, A.
Afonso.
2011.
Physiological
responses
of
Senegalese
sole
(SoleasenegalensisKaup, 1858) after stress challenge: Effects on non-spesific
immune parameters, plasma free amino acids and energy metabolism.
Aquaculture, 316:68-76
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
78
Fujaya, Y. 2004. Fisiologiikan. DasarPengembanganTeknikPerikanan. RinekaCipta, Jakarta.
179p
Iwama, G.K., L.O.B. Afonso, M.M. Vijayan. 2006. Stress in fishes. In: Evans D. H. Claiborne
J. B. The Physiology of fishes. 319-342. Taylor and Francis. 3rd edition. USA.
601p.
Kaiser, J.B. and G.J. Holt. 2005. Species Profile Cobia. SRAC Publication No. 7202. 6 p
Kuhn, D.D., G.D. Boardman, A.L. Lawrence, L. Marsh, G.J. Flick, 2009. Microbial flocs
generated in bioreactors is a superior replacement ingredient for fishmeal or
soybean meal in shrimp feed. Aquaculture, 296:51-57.
Liao, I.C., T.S. Huang, W.S. Tsai, C.M. Hsueh, S.L. Chang, E.M. Leano. 2004. Cobia culture
in Taiwan: current status and problems. Aquaculture, 237:155-165
Lin, Y.C., C.M. Tayag, C.L. Huang, W.C. Tsui, J.C. Chen. 2010. White shrimp
Litopenaeusvannamei that had received the hot-water extract of
Spirulinaplatensis showed earlier recovery in immunity and up-regulation of
gene expressions after pH stress. Fish Shellfish Immunol., 29:1092-1098.
Moreira, L.M., A.S.R. Rocha, C.L.G. Ribeiro, R.S. Rodrigues, L.A.S. Soares. 2011. Nutritional
evaluation of single-cell protein produced by Spirulinaplatensis. Afr. J. Food Sci.,
5:799-805.
Trushenski, J., M. Schwarz, R. Takeuchi, B. Delbos, L.A. Sampaio. 2010. Physiological
responses of cobia Rachyecentroncanadum following exposure to low water
and air exposure stress challenges. Aquaculture, 307:173-177.
Tseng, Y.C., H. Pung-Pung. 2008. Some insights into energy metabolism for
osmoregulation in fish. Comp. Biochem. and Physiol. Part C. 148:419-429
Wedemeyer, G.A. 1996. Physiology of Fish in Intensive Culture System. Chapman and
Hall. New York. 227p.
Zhou, Q.C., J. Zhao, P. Li, H. Wang. L. Wang. 2011. Evaluation of poultry by-product meal
in commercial diets for juvenil cobia (Rachycentroncanadum). Aquaculture.
322-323:122-127.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
79
PENGGUNAAN TEPUNG MIKROALGA NANNO POWDER SEBAGAI SUMBER PROTEIN
NABATI PADA PAKAN FORMULA IKAN COBIA (Rachycentron canadum)
Amran, Edi supriyatna, Kuswadi, Yuwana Puja
Balai Besar Perikanan Budidaya Laut
ABSTRAK
Salah satu kendala dalam pengembangan pakan buatan ikan laut adalah
ketergantungan terhadap tepung ikan sebagai sumber protein utama. Hingga saat ini
tepung ikan sebagai sumber protein hewani belum tergantikan. Untuk mengurangi
ketergantungan tersebut perlu alternatif sumber protein lain selain tepung ikan yaitu
protein nabati. Sumber protein nabati dari mikro alga ketersediaanya di alam masih
sangat melimpah namun pemanfaatannya belum banyak dilakukan. Balai Besar
Perikanan Budidaya Laut Lampung telah memproduksi secara mandiri tepung mikroalga
yang diketahui memiliki kandungan protein tinggi. Hal ini dapat dimanfaatkan sebagai
sumber protein nabati selain tepung ikan. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk
mengetahui pertumbuhan ikan Cobia yang diberi pakan menggunakan sumber protein
nabati pada fase pembesaran di Keramba Jaring Apung (KJA). Ujicoba dilakukan
menggunakan benih Ikan Cobia ukuran 100-150 gr/ekor (panjang 20-30 cm/ekor)
dipelihara di KJA ukuran 3 x 3 x 3 meter sebanyak 4 buah. Pakan yang diberikan berupa
pakan formula buatan sendiri dalam bentuk pellet kering. Pengujian terdiri dari 2
perlakuan dan 2 kali ulangan. Perlakuan yang diberikan : A (pakan formula dengan
sumber protein nabati Nanno Powder) ; B (Control/pakan formula tanpa Nanno powder).
Sumber protein nabati yang digunaan berasal dari jenis alga Nannocloropsis dalam
bentuk powder hasil produksi BBPBL Lampung. Sampling dilaksanakan 2 minggu sekali
dengan mengambil sample sebanyak 10% dari setiap jarring.Hasil kegiatan menunjukan
Laju Pertumbuhan, Konfersi pakan dan Sintasan pada pakan dengan Protein Nabati
memperoleh hasil lebih baik dibandingkan dengan pakan Kontrol. Nilai SGR, FCR dan
Sintasan pada Pakan Protein Nabati berturut-turut 0,93%/BB/hari, 1,66 dan 90%
sementara Pakan Kontrol berturut-turut 0,84%BB/hari, 1,96 dan 80%. Terdapat
penambahan harga pada pakan dengan penambahan Protein Nabati namun setelah
dilakukan analisa dengan menghitung Biaya Pakan Per Kg Ikan maka diperoleh hasil yang
lebih menguntungkan jika menggunakan pakan dengan Protein Nabati.
KATA KUNCI : Pakan buatan, Ikan Cobia, mikroalga, Protein nabati, Nanno Powder,
pengganti tepung ikan
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
80
PENDAHULUAN
Ikan Cobia (Rachycentron canadum) merupakan salah satu jenis ikan yang menarik
perhatian masyarakat akuakultur baik di bidang penelitian maupun komersial untuk
dibudidayakan. Hal ini disebabkan performa pertumbuhannya yang cepat, tingginya
efisiensi konversi pakan dan mudah beradaptasi pada pemeliharaan di keramba serta
sangat tahan terhadap penyakit (Saputra, et al., 2010). Salah satu kendala dalam
pengembangan pakan buatan ikan laut (termasuk pakan ikan Cobia) adalah adanya
ketergantungan terhadap tepung ikan sebagai sumber protein utama. Hal ini
dikarenakan sebagian besar ikan laut merupakan ikan karnivora (pemakan daging).
Sebagai ikan karnivora maka ikan Cobia membutuhkan kandungan protein yang relatif
tinggi di dalam pakannya. Hingga saat ini tepung ikan sebagai sumber protein hewani
belum tergantikan. Alimudin (2005) melaporkan sampai saat ini para peneliti belum
menemukan pengganti minyak ikan sebagai penyuplai utama asam lemak omega-3 rantai
panjang yang tidak jenuh highly unsaturated fatty acids (HUFA) terutama asam
eikosapentanat (EPA, C20:5n-2) dan dokosaheksanat (DHA, C22:6n-3), baik untuk ikan
budidaya maupun untuk konsumsi manusia. Kedua asam lemak tersebut sangat
dibutuhkan oleh ikan budidaya laut untuk kelangsungan hidup dan
pertumbuhannya.Ketergantungan terhadap tepung ikan secara langsung maupun tidak
langsung telah memicu kenaikan harga pakan ikan. Tepung ikan sebagai bahan baku
pakan butatan menjadi bahan yang langka dan mahal. Untuk mengurangi
ketergantungan tersebut perlu alternatif sumber protein lain selain tepung ikan. Salah
satu alternatif sumber protein selain tepung ikan adalah protein nabati (sumber protein
dari tumbuh-tumbuhan). Sumber protein nabati dari mikro alga ketersediaanya di alam
masih sangat melimpah namun pemanfaatannya belum banyak dilakukan. Balai Besar
Perikanan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung telah memproduksi secara mandiri tepung
mikro alga yang diketahui memiliki kandungan protein tinggi. Tepung mikro alga yang
berasal dari Nanochloropsis sp. mengandung 30 – 50 gr protein per 100 gram berat
kering. Hal ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein nabati selain tepung ikan.
Pada tahun 2014 telah dilaksanakan perekayasaan pakan formula pada pembesaran Ikan
Cobia di KJA dengan menggunakan sumber protein nabati dari jenis Nanochloorpsis sp.
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan ikan Cobia yang
diberi pakan menggunakan sumber protein nabati pada fase pembesaran di Keramba
Jaring Apung (KJA). Sasarannya adalah untuk memperoleh laju pertumbuhan, sintasan
dan FCR yang mendekati/ menyamai pakan dengan sumber protein dari hewani.
Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Oktober – Desember 2014. Tempat
dilaksanakan kegiatan di KJA milik BBPBL Lampung tepatnya di perairan sekitar Pulau
Lahu, Teluk Lampung.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
81
MATERI DAN METODE
Benih Ikan Cobia ukuran 100-150 gr/ekor (panjang 20-30 cm/ekor) dipelihara di
KJA ukuran 3 x 3 x 3 meter sebanyak 4 buah. Padat penebaran sebanyak 20 ekor/jaring.
Pengujian terdiri dari 2 perlakuan dan 2 kali ulangan. Perlakuan yang diberikan sebagai
berikut :
A : Pakan formula dengan sumber protein nabati Nanno Powder
B : Control (pakan formula tanpa Nanno powder)
Pakan yang diberikan berupa pakan formula buatan sendiri dalam bentuk pellet
kering. Sumber protein nabati yang digunaan berasal dari jenis alga Nannochloropsis
dalam bentuk powder atau tepung. Frekuensi pemberian pakan 2 kali/hari pada pagi dan
menjelang siang. Pemberian pakan secara adlibitum dengan pencatatan pakan setiap
hari. Teknik pemberian pakan secara adsatiation (menambahkan pakan hingga kenyang).
Pencatatan pakan dilakukan setiap hari dengan membuat/ menimbang stok harian. Jika
pakan stok tidak habis data pakan yang dicatat adalah jumlah pakan yang dikonsumsi.
Adapun komposisi dan kandungan pakan uji seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi dan kandungan pakan uji
Bahan
Tepung Ikan (gram)
Tepung Kedelai
Nanno Powder
Tepung jagung
Tepung Terigu
CMC
Minyak Nabati
Minyak Cumi
Mineral
Vitamin Premix
TOTAL
Protein Kasar (%)
Lemak (%)
Serat Kasar (%)
Kadar Abu (%)
Komposisi (per 1000 g pakan)
Kontro
Protein Nabati
l
597,5 g
600 g
150 g
150 g
2,5 g
0
80 g
80 g
70 g
70 g
20 g
20 g
40 ml
40 ml
20 g
20 g
10 g
10 g
10 g
10 g
1000 g
1000 g
Kandungan :
42.3
42.2
11.9
11.9
3
3
13.3
13.3
Sampling dilaksanakan 2 minggu sekali dengan mengambil sample sebanyak 10%
dari setiap jaring. Sampling dilakukan dengan cara mengukur bobot dan panjang ikan.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
82
Untuk mengetahui sintasan selama pemeliharaan dilakukan pencatatan terhadap jumlah
ikan yang mati dengan menghitung populasi ikan di dalam jaring.
Untuk mengurangi serangan parasit pada ikan peliharaan dilakukan perendaman
dengan air tawar secara rutin minimal 2 minggu sekali. Pergantian jaring dilakukan 2
minggu sekali. Sampling kualitas air dilakukan 1 kali/minggu. Pengeloloaan kesehatan
ikan dilakukan melalui perendaman dengan air tawar 1 kali/minggu, dan bila ditemukan
luka dilakukan perendaman dengan Acriflavine. Untuk menjaga kualitas air dilakukan
pergantian jaring 2 minggu sekali
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kegiatan aplikasi pakan formula pada pembesaran Ikan Cobia di KJA menggunakan
sumber protein nabati telah dilaksanakan. Hasil pengamatan terhadap beberapa
parameter dapat dilihat seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Pemeliharaan Penggunaan Sumber Protein Nabati pada
pembesaran Ikan Cobia di KJA
Parameter
Berat Awal (gram/ekor)
Panjang Awal (cm/ekor)
Berat akhir (gr/ekor)
Panjang akhir (cm/ekor)
Pertambahan Berat (gram)
Pertambahan Panjang (cm)
SGR (% BB/hari)
FCR
SR (%)
Protein Nabati
112
26.13
190
32.79
78
6.66
0.93
1.66
90
Kontrol
112
26.13
180.28
31.21
68.28
5.08
0.84
1.96
80
Laju pertumbuhan Spesifik
Pertumbuhan merupakan pertambahan ukuran baik bobot maupun panjang dalam
suatu periode atau waktu tertentu (Effendie, 2000). Pertumbuhan berat, panjang
maupun hasil perhitungan laju pertumbuhan spesifik (SGR) yang diperoleh selama uji
coba menunjukan adanya perbedaan yang signifikan dari perlakuan penggunaan sumber
protein nabati dan kontrol. Dari hasil uji coba tersebut, parameter SGR ikan Cobia lebih
tinggi pada perlakuan Protein nabati (0,93 %BB/hari) dibandingkan kontrol (0,84
%BB/hari). Hal ini diduga karena dengan adanya protein nabati dalam pakan berupa
mikro alga yang dapat membantu meningkatkan fungsi kecernaan dalam tubuh. Dalam
berbagai studi terdapat korelasi kandungan mikro alga terhadap proses biokimia dalam
tubuh (Brown, 2002). Dalam biomassa mikroalga terkandung bahan-bahan penting yang
sangat bermanfaat, misalnya protein, karbohidrat, lemak dan asam nukleat (Borowitzka,
1998)
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
83
Alimudin (2005) melaporkan sampai saat ini para peneliti belum menemukan
pengganti minyak ikan sebagai penyuplai utama asam lemak omega-3 rantai panjang
yang tidak jenuh highly unsaturated fatty acids (HUFA) terutama asam eikosapentanat
(EPA, C20:5n-2) dan dokosaheksanat (DHA, C22:6n-3), baik untuk ikan budidaya maupun
untuk konsumsi manusia.
Lemak mikroalga pada umumnya terdiri dari asam lemak tidak jenuh, seperti
linoleat, eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahexaenoic acid (DHA) (Skjak-Braek,
1992). Mikroalga mengandung lemak dalam jumlah yang besar terutama asam
arachidonat (AA, 20:4ω6) (yang mencapai 36% dari total asam lemak) dan sejumlah asam
eikosapentaenoat (EPA, 20:5ω3) (Fuentes, et al., 2000). Selain itu, lemak mikroalga juga
kaya akan asam lemak poli tidak jenuh (PUFA) dengan 4 atau lebih ikatan rangkap.
Sebagai contoh, yang sering dijumpai yaitu eicosapentaenoic acid (EPA, C20:5) dan
docosahexaenoic acid (DHA, C22:6) (Chisti, 2007). Biomassa mikroalga adalah sumber
yang kaya akan beberapa nutrien, seperti asam lemak ω3 dan ω6, asam amino esensial
(leusin, isoleusin, valin, dan lain-lain) serta karoten (Becker, 1994). Beberapa mikroalga
menyajikan spektrum asam lemak yang lebih besar, ketika dibandingkan dengan
tanaman yang mengandung minyak, selain itu juga mengandung struktur molekul
dengan lebih dari 18 atom karbon (Belarbi et al., 2000).
Menurut Anonim (2012) jenis ikan karnivora membutuhkan tingkat protein yang
lebih tinggi dibandingkan ikan herbivora yaitu 40 – 50% (berat kering) untuk
pertumbuhan yang optimal. Mudjiman (2004) menambahkan bahwa protein sangat
dibutuhkan oleh tubuh ikan baik untuk menghasilkan tenaga maupun untuk
pertumbuhan bagi ikan. Protein merupakan sumber tenaga yang paling utama dimana
didalamnya terdapat asam-asam amino yang sangat dibutuhkan oleh ikan. Li (2006)
menyatakan bahwa fungsi utama protein adalah untuk pertumbuhan. Protein
merupakan sumber utama energi bagi ikan.
Konversi Pakan
Berdasarkan Tabel 2 terlihat nilai FCR pada perlakuan protein nabati (FCR 1,6)
ternyata lebih rendah dibandingkan kontrol (1,9). Hal ini menggambarkan bahwa pakan
yang diberikan hampir sepenuhnya dimanfaatkan oleh ikan. Nilai konversi pakan
dipengaruhi oleh jumlah pakan yang diberikan, bobot ikan pada awal dan akhir
pemeliharaan serta bobot ikan yang mati pada saat pemeliharaan selama uji coba.
Semakin kecil konversi pakan semakin efisien pemanfaatan pakan dalam tubuh ikan dan
semakin baik mutu pakan tersebut, karena pemanfaatan pakan yang optimal
menghasilkan pertumbuhan yang baik bagi ikan Cobia.
Peningkatan laju pertumbuhan erat hubungannya dengan konversi dan efensiensi
pakan. Indikator yang digunakan oleh (Li et al., 2006) untuk menentukan efektivitas
pakan adalah tinggi rendahnya efensiensi pakan. Tingginya efensiensi pakan yang
ditandai dengan rendahnya nilai rasio konversi pakan menunjukan penggunaan pakan
yang efisien, sehingga hanya sedikit pakan yang dirombak untuk memenuhi kebutuhan
energi metabolisme selebihnya digunakan untuk pertumbuhan.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
84
Sintasan
Sintasan perlakuan (90%) dan kontrol (80%) memperlihatkan sintasan pada
perlakuan protein nabati lebih tinggi dibandingkan kontrol. Tingginya tingkat
kelangsungan hidup pada perlakuan protein nabati diduga karena terpenuhinya
kebutuhan gizi dari pakan yang diberikan. Selain itu terjaganya faktor lingkungan dalam
media pemeliharaan yang dapat menunjang kelangsungan hidup ikan dan mengurangi
kondisi stres yang memungkinkan terjadinya kematian selama pemeliharaan. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Amrina (2009) yang mengatakan bahwa faktor yang
mempengaruhi kelangsungan hidup organisme ditentukan oleh ketersediaan pakan yang
sesuai dan dari faktor lingkungan itu sendiri.
Analisa Kelayakan Pakan
Analisa biaya pakan atau kajian kelayakan pakan dilakukan untuk mengetahui
efisiensi penggunaan suatu jenis pakan berdasarkan Biaya Pakan per Kilo Gram Hasil Ikan
setelah membandingkan harga pakan dan nilai FCR yang diperoleh. Dengan analisa
tersebut akan tergambar nilai ekonomis/efisiensi pakan. Semakin rendah biaya pakan
untuk memproduksi ikan berarti akan semakin efisien pakan yang digunakan. Berikut di
tampilkan analisa kelayakan pakan uji (Tabel 3).
Tabel 3. Analisa kelayakan masing-masing pakan uji berdasarkan biaya pakan per kilo
gram hasil
Parameter
Pakan dengan
Protein Nabati
Pakan Kontrol
Harga Pakan (Rp/Kg)
16.500
14.000
Nilai FCR
1,6 : 1
1,9 : 1
Biaya Pakan per Kg Ikan (Rp/Kg)
25.600
26.600
Berdasarkan analisa sederhana kelayakan pakan di atas maka diketahui bahwa
pakan dengan menggunakan Protein Nabati memberikan keuntungan Rp 1000 rupiah per
Kg hasil. Meskipun harga Pakan dengan Protein Nabati lebih tinggi (Rp 16.500/ Kg pakan)
dibandingkan pakan kontrol (Rp 14.000/Kg pakan) namun secara ekonomis lebih
menguntungkan. Hal ini dikarenakan nilai FCR pakan dengan protein nabati lebih rendah
dibandingkan pakan kontrol. Pakan dengan Protein nabati memberikan laju
pertumbuhan yang lebih tinggi sehingga masa pemeliharaan lebih singkat (lebih
menguntungkan). Disamping itu nilai Sintasan juga lebih tinggi dibandingkan pakan
kontrol. Dengan demikian penggunaan Pakan dengan Protein Nabati lebih
menguntungkan secara ekonomis.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
85
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kegiatan yang telah dilakukan dapat disimpulkan :
1. Laju Pertumbuhan, Konversi Pakan dan Sintasan pada Pakan Buatan
menggunakan Tepung Mikroalga Nanno Powder memberikan hasil lebih baik
dibandingkan Kontrol (pakan buatan tanpa tepung mikroalga).
2. Nilai SGR, FCR dan SR pada Pakan menggunakan Tepung Mikroalga berturutturut : 0,93 %BB/hari, 1,66 dan 90%.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, S., 2000. Meramu Pakan Ikan Kerapu. PT. Penebar Swadaya. Jakarta, 55 hal.
Amrina, W.R., W. Iba, A. Rahman, 2013. Pemberian Silase Ikan Gabus pada Pakan Buatan
Bagi Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Udang Vaname (Litopenaeus
vannamei) Pada Stadia Post Larva.Jurnal Mina Laut Indonesia, Vol. 0 2 No. 0 6 Jun
2013: 90 -99.
Anonim, 2012. Teknologi Produksi Bahan Baku Pakan. Program Alih Jenjang D4 Bidang
Akuakultur SITH, ITB – VEDCA – SEAMOLEC
Effendie H. 2000.Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan. Yogyakarta: Kanisius. 230 hal
Li, P., Galtin III, D.M., 2006. Nucleotide nutrition in fish: Current knowledge and future
application. Aquaculture 2(51) : 141– 152.
Mudjiman, A. 2004. Makanan Ikan Edisi Revisi. Penebar Swadaya. Jakarta. 87 hal.
Wiramiharja, Y., Hernawati R., Harahap I.M., Yukisu Niwa, 2007. Nutrisi dan Bahan Pakan
Ikan Budidaya. BBAT Jambi dan JICA.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
86
FORMULASI PAKAN UNTUK PEMATANGAN GONAD INDUK PATIN SIAM
(Pangasianodon hypophthalmus)
Rianasari1), Irwan1), Ediwarman1), A.N. Shulikin2), Solaiman2)
1)
Perekayasa di BPBAT Sungai Gelam
2)
Litkayasa di BPBAT Sungai Gelam
ABSTRAK
Pada umumnya pakan induk yang digunakan dalam proses pembenihan patin
adalah pakan komersil untuk pembesaran dan bukan pakan yang dibuat khusus untuk
induk, sehingga hasil yang diperoleh tidak optimal baik dari segi kualitas maupun
kuantitas benih. Salah satu cara untuk memperbaiki performa/kinerja reproduksi antara
lain dengan cara melakukan perbaikan kualitas nutrisi pakan induk. Percobaan ini
bertujuan untuk menguji kualitas pakan induk ikan patin siam terhadap perkembangan
gonad dan kualitas telur.
Pakan uji yang digunakan dalam percobaan ini adalah pakan buatan (formulasi)
berbentuk pellet dengan bahan baku tepung ikan, tepung udang, dedak, tepung kopra
yang diberi minyak jagung, vitamin mix, vitamin E, vitamin C dan enzim pytase serta
tapioca sebagai perekat (binder). Adapun sebagai pakan kontrol yaitu pakan komersil
untuk pembesaran dengan kandungan protein 30%. Induk ikan Patin yang digunakan
berumur ± 2,5 tahun, bobot antara 2,926 - 3,126 kg/ekor dan berasal dari satu generasi
induk unggul BPBAT Jambi. Masing-masing kolam (kolam perlakuan dan kolam kontrol)
diisi induk ikan sebanyak 50 ekor betina dan 20 jantan.
Hasil pengujian proksimat pakan induk formulasi menunjukkan kadar protein kasar
37,57%, lemak kasar 7,38%, serat kasar 6,07%, kadar abu 24,28% dan kadar air 12,10%.
Formulasi pakan induk ini dapat mengatasi permasalahan sulitnya mendapatkan induk
matang gonad serta rendahnya daya tetas telur yakni dengan persentase induk bertelur
setiap bulan 80,90%, tingkat ovulasi 71,87% dan daya tetas telur 59,73%. Produktivitas
induk patin siam dengan pemberian pakan induk formulasi dari segi jumlah larva yang
dihasilkan/kg induk lebih tinggi dibandingkan pakan pembesaran (kontrol).
Kata kunci : Formulasi, Pakan induk, Pematangan gonad
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
87
FEED FORMULATION FOR GONAD MATURATION OF STRIPED CATFISH BROODSTOCK
(Pangasius hyphopthalmus)
Rianasari, Irwan, Ediwarman, A.N.Shulikin, Solaiman
Sungai Gelam Freshwater Aquaculture Development Center
Email: [email protected]
ABSTRACT
The aim of this research is to increase reproductive potential of striped catfish female
including the gonad rematuration, gonad somatic index, fecundity, egg diameter and
hatching rate. Fish were treated by formulated feeds and control feeds (commercial
feeds contained 30% protein). Feeds were formulated using local feedstuff such as fish
meal, shrimp meal,rice bran, copra meal, vitamin mix, vitamin E, vitamin C, corn oil,
pytase enzyme and tapioca as binder. It contained 37,57% protein, 7,38% lipid, 10,35%
crude fiber, 24,28% ash, and 12,10% moisture. Fifty female (average weight ±2,5 kg/fish)
and twenty male broodstock were selected in the pond and used for this experiment.
Fish were fed on formulated feeds two times a day with feeding rate 3% of biomass and
spawned per month.
The tested parameters such as gonad somatic index, fecundity, egg diameter, number of
spawned fish and hatching rate. Results of the experiment indicated that formulated
feeds stimulated gonad development and increased number of spawned fish, gonad
somatic index 14,90%, fecundity 488.869 eggs/female and hatching rate 59,73%. But the
egg diameter did not different between treatment. As for control treatment the value of
gonad somatic index, fecundity and hatching rate was 11,62%, 400.500 eggs/female and
40,4%, respectively. Thus,formulated feeds was low cost (Rp.9.000/kg) and gave the best
reproduction performance during in dry season.
Table 1. Composition of formulated feeds experimented
Ingredients
Amount
(%)
Fish meal
54
Shrimp meal
15
Copra meal
15
Rice bran
12
Vitamin mix
1,5
Vitamin E
0,05
Vitamin C
Pytase enzyme
Tapioca
Corn oil
0,05
0,05
1,2
1,15
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
88
Table 2. Number of spawned fish, Value of Egg diameter, GSI, Fecundity and Hatching
rate in the control and formulated feed
Parameter
Formulated Feed
Control Feed
Number of spawned
59
53
fish
(5 times selection)
Egg diameter (mm)
1,026
1,007
Gonad somatic index
14,90
11,62
(%)
Fecundity
488.869
400.500
(eggs/female)
Hatching rate (%)
59,73
40,4
Keywords: Striped catfish, Formulated, Feed, Gonad Maturation
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
89
FORMULASI PAKAN UNTUK PEMATANGAN GONAD INDUK PATIN SIAM
(Pangasianodon hypophthalmus)
I. PENDAHULUAN
1.2 Latar Belakang
Ikan patin siam (Pangasianodon hypophthalmus.) merupakan ikan perairan tawar
yang mempunyai nilai ekonomis penting yang banyak dibudidayakan di perairan pulau
Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Ikan ini merupakan salah satu spesies introduksi yang
telah dibudidayakan sejak tahun 1979, baik di kolam maupun di sangkar bambu
(keramba) dengan menggunakan benih dari hasil pemijahan buatan.
Usaha pembenihan ikan patin siam secara terkontrol dengan metoda kawin suntik
telah dilakukan oleh panti-panti benih swasta maupun pemerintah, namun hasilnya
belum memuaskan karena sulitnya mendapatkan induk matang gonad serta rendahnya
daya tetas telur. Hal ini sangat terkait pada kualitas pakan yang digunakan (Watanabe et
al. 1984a,b; dan Mokoginta et al. 2000). Pada umumnya pakan induk yang digunakan
dalam proses pembenihan patin adalah pakan komersil untuk pembesaran dan bukan
pakan yang dibuat khusus untuk induk, sehingga hasil yang diperoleh tidak optimal baik
dari segi kualitas maupun kuantitas benih.
Salah satu cara untuk memperoleh hasil pembenihan ikan patin yang optimal yaitu
dengan memperbaiki performa/kinerja reproduksi, dimana reproduksi dapat
ditingkatkan antara lain dengan cara melakukan perbaikan kualitas nutrisi pakan induk.
Unsur nutrien yang harus ada dalam pakan induk ikan antara lain vitamin E dan asam
lemak. Gatlin et al (1992) dalam Utomo (2013) meyatakan bahwa untuk jenis-jenis ikan
catfish kebutuhan vitamin E berkisar antara 60-240 mg/kg ransum ikan. Dari penelitian
Meinelt et al (1999) dalam Utomo (2013) dapat diketahui bahwa ikan air tawar termasuk
ke dalam ikan yang membutuhkan asam lemak linoleat (ω6) yang lebih besar
dibandingkan dengan kebutuhan asam lemak ω3. Minyak jagung mengandung asam
lemak linoleat yang tinggi yaitu 53%. Asam lemak esensial berfungsi sebagai prekursor
dari senyawa prostaglandin yang berperan sebagai hormon. Jika telur kekurangan asam
lemak esensial maka berlangsungnya proses embryogenesis akan gagal (pada
pembelahan sel ke-16,32 dan organogenesis) dan akan menghasilkan derajat tetas telur
yang rendah (Mokoginta et al (1992) dalam Utomo (2013)).
Formulasi pakan pada kegiatan ini dengan menggunakan bahan baku lokal.
Percobaan ini bertujuan untuk menguji kualitas pakan induk ikan patin siam terhadap
perkembangan gonad dan kualitas telur.
1.2 Tujuan
Untuk mengetahui pengaruh penggunaan pakan induk formulasi terhadap
perkembangan gonad dan kualitas telur ikan patin (Pangasius hypophthalmus).
1.3. Manfaat
Untuk mendapatkan informasi mengenai kualitas pakan induk formulasi terhadap
pematangan gonad dan peningkatan kualitas telur ikan patin.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
90
II. BAHAN DAN METODA
Percobaan ini dilaksanakan di Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Jambi (BPBAT
Jambi), desa Sungai Gelam, Kecamatan Sungai Gelam, Kab. Muaro Jambi Propinsi Jambi,
dimulai pada bulan Januari sampai dengan bulan Desember 2015.
2.1 Pakan Uji
Pakan uji yang digunakan dalam percobaan ini adalah pakan buatan (formulasi)
berbentuk pellet dengan bahan baku tepung ikan, tepung udang, dedak, tepung kopra
yang diberi miinyak jagung, vitamin mix, vitamin E, vitamin C dan enzim pytase serta
tapioca sebagai perekat (binder). Adapun sebagai pakan kontrol yaitu pakan komersil
untuk pembesaran dengan kandungan protein 30%.
Analisa proksimat dilakukan terhadap semua bahan baku yang digunakan,
kemudian dilanjutkan penyusunan ransum sesuai dengan standar kebutuhan nutrient
bagi induk ikan patin siam dengan formula dan jumlah bahan yang digunakan sebagai
berikut (Tabel 1).
Tabel 1. Komposisi pakan uji per 1.000 kg untuk induk ikan patin siam
No
1
2
2
4
5
8
9
10
11
12
Bahan Baku
Tepung ikan
Tepung Udang
Dedak Poles/halus
Tepung Kopra
Tepung Tapioka
Minyak Jagung
Vitamin mix
Vitamin E
Vitamin C
Pytase
Jumlah*
Jml. Bahan (kg)
Jml. Bahan (%)
675
173,53
131,64
171,88
12
11,5
15.00
0.50
0.50
0.50
1,192
54
15
12
15
1,2
1,15
1,5
0.05
0.04
0.04
100.00
2.2 Ikan Uji
Induk ikan Patin yang digunakan berumur ± 2,5 tahun, bobot antara 2,926 - 3,126
kg/ekor dan berasal dari satu generasi induk unggul BPBAT Jambi. Masing-masing kolam
(kolam perlakuan dan kolam kontrol) diisi induk ikan sebanyak 50 ekor betina dan 20
jantan.
2.3 Pemeliharaan Ikan
Wadah yang digunakan adalah kolam berukuran 500 m2. Jumlah kolam yang
digunakan sebanyak 2 buah terdiri dari 1 kolam untuk pemeliharaan induk perlakuan dan
1 kolam untuk pemeliharaan induk kontrol.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
91
Induk yang diseleksi di pelihara di kolam, diberi pakan uji dengan pemberian pakan
formulasi dan komersial (kontrol) sebanyak 3% dari bobot badan dengan frekuensi
pemberian 2 kali sehari yakni pagi dan sore.
Setelah 2 bulan pemeliharaan dilakukan pengecekan kondisi gonad awal. Ikan
diseleksi dan dipilih yang mempunyai tingkat kematangan gonad dan bobot tubuh yang
seragam. Untuk memudahkan pengontrolan tingkat kematangan gonad, setiap ikan
betina diberi tanda berupa taging dengan menggunakan microcip pada bagian tubuhnya.
Selanjutnya ikan ditempatkan dalam wadah sesuai dengan perlakuan.
Sampling dilakukan terhadap bobot tubuh, dan pengambilan sampel telur untuk
mengukur diameter telur. Sampling pertama dilakukan pada awal percobaan dan
selanjutnya setiap 30 hari sekali sampai induk matang gonad dan siap untuk dipijahkan.
Semua induk yang matang gonad akan dipijahkan pada waktu yang bersaman.
Selama percobaan dilakukan 5 kali pemijahan atau sampai didapatkan induk yang sama
memijah 2 kali (rematurasi) sebanyak 50%.
Pemijahan dilakukan dengan penyuntikan hormone ovaprim [1 ml ovaprim® (Syndel
Laboratories, Canada) mengandung 20 µg GnRHa (D-Arg6, Trp7, Leu8, Pro9, Net)] 0,6
cc/kg induk pada bagian pectoral. Penyuntikan dilakukan dua kali yaitu 1/3 bagian dosis
pada penyuntikan pertama dan 2/3 bagian dosis pada penyuntikan kedua dengan
interval waktu 6 jam. Setelah 6 jam dari penyuntikan kedua pada suhu 27-31OC, induk
dicek untuk mengetahui apakah telur siap untuk diovulasikan dan jika sudah siap
diovulasikan, telur dikeluarkan dengan cara striping dan selanjutnya dilakukan
pembuahan.
Sebelum telur diovulasikan, dilakukan pengambilan sperma jantan dengan cara
striping. Jumlah jantan yang diambil spermanya 2 kali jumlah induk betina yang
dipijahkan. Sperma yang diambil ditambahkan larutan sodium chlorida 0,9%.
Pembuahan dilakukan dengan cara telur dan sperma dicampur kemudian diaduk
secara perlahan dengan menggunakan bulu ayam secara merata dan ditambahkan air
tawar sambil diaduk. Setelah ± 1 menit telur yang dibuahi tadi dicuci dengan air bersih.
Untuk menghilangkan daya rekatnya, telur yang telah dibuahi dicuci dengan larutan
tanah merah dan dicuci dengan air bersih selanjutnya ditetaskan dalam corong
penetasan dengan kepadatan 500 cc/corong.
2.4 Pengumpulan Data
Data diameter oocyt (telur) diperoleh dengan mengambil sampel telur didalam
gonad secara kanulasi. Kanulator dimasukan kedalam lubang genital induk betina
sedalam ± 10 cm kemudian penyedot kanulator ditarik perlahan-lahan sepanjang ± 3-5
cm. Telur yang diambil (minimal 100 butir) direndam dengan larutan sera. Diameter telur
diukur menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer okuler pada
pembesaran 40X. Selanjutnya dibuat diameter minimum telur dapat ovulasi untuk
menentukan struktur tingkat kematangan telur.
Data fekunditas atau egg somatic index (ESI) diperoleh dengan cara
membandingkan jumlah telur (butir atau gram) yang diovulasikan dengan bobot tubuh
ikan (kg). Jumlah telur yang diovulasikan ditimbang dengan timbangan elektrik,
kemudian diambil sampel telur sebanyak 0,5 gram dan dihitung satu persatu dan
selanjutnya dikalikan dengan bobot keseluruhan telur.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
92
Data penetasan telur diperoleh dengan cara menghitung jumlah larva yang
menetas dibagi dengan jumlah telur yang ditetaskan, dilakukan setelah 5–10 jam setelah
telur menetas atau dalam selang waktu 24 - 28 jam setelah pembuahan pada kisaran
suhu 28-30 OC. Larva yang telah menetas akan dipanen dan dihitung untuk masingmasing corong penetasan.
2.5 Analisa Proksimat dan Kualitas Air
Analisa proksimat bahan pakan, dan pakan meliputi protein kasar diukur dengan
metoda Kjeldahl; lipid dengan metoda ekstraksi Soxlet dan serat kasar (SNI 01-28911992), sedangkan kadar air dan abu dilakukan dengan pemanasan contoh selama 2 jam
masing-masing pada suhu 135° dalam oven dan 600°C dalam furnace.
Analisa kualitas air diukur selama pemeliharaan meliputi parameter suhu,
pH,oksigen terlarut, amonia, nitrat dan nitrit.
2.6 Analisa Data
Data induk (jumlah induk bertelur,matang telur,induk disuntik, induk ovulasi dan
induk dengan telur menetas) dan kualitas telur mencakup serta diameter telur,
fekunditas, derajat penetasan telur dan jumlah larva yang dihasilkan dianalisa secara
deskriptif.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Analisa proksimat
Hasil analisa bahan pakan formulasi dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah ini:
Tabel 2. Hasil analisa proksimat bahan pakan formulasi
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Jenis Bahan
Ikan rucah
Tepung udang
Tepung
sampah togok
Tepung kopra
Tepung PKM
Dedak halus
Tepung
tapioka
K. Air
(%)
8.02
12.71
13.56
12.73
7.44
8.84
Protein
Kasar (%)
Lemak
Kasar
(%)
Serat
Kasar
(%)
31.43
29.19
30.76
44.89
54.06
51.19
5.12
4.40
3.50
1.06
8.05
7.59
8.06
4.59
14.58
0.13
20.17
15.89
8.39
0.12
12.73
6.89
3.92
0.23
16.38
20.38
31.46
0.79
K.Abu
(%)
12.77
Dari hasil pengujian proksimat bahan baku yang ada sumber protein yang besar
diperoleh dari ikan rucah (44.89%) , tepung udang (54,06%) dan tepung sampah togok
(51,19%). Sumber lemak bisa diperoleh dari tepung kopra (12,73%) ataupun tepung PKM
(6,89%). Sumber asam lemak ω6 diperoleh dari minyak jagung dan penggunaan tepung
tapioca sebagai perekat (binder).
Hasil analisa proksimat pakan induk formulasi dan pakan kontrol dapat dilihat pada
Tabel 3 di bawah ini:
Tabel 3. Hasil uji proksimat pakan induk formulasi dan pakan kontrol
Pakan induk formulasi
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
Pakan kontrol
93
Kadar air (%)
Kadar abu (%)
Kadar protein kasar (%)
12,10
24,28
37,57
11,15
9,33
30
Kadar lemak kasar (%)
Kadar serat kasar (%)
7,38
6,07
6,69
5
Hasil pengujian proksimat pakan induk formulasi menunjukkan kadar protein
37,57%. Hal ini sesuai dengan SNI 7548:2009 bahwa kadar protein minimal untuk induk
patin 35%. Protein merupakan komponen esensial yang dibutuhkan untuk reproduksi
dan komponen utama dari kuning telur (Kamler, 1992). Pada pakan komersil kadar
protein hanya 30%. Jumlah protein yang kurang dan tidak adanya penambahan vitamin E
secara khusus pada pakan komersil kurang sesuai untuk reproduksi ikan air tawar.
Kadar lemak pada pakan induk formulasi 7,38% sesuai dengan SNI yang
mensyaratkan minimal lemak 7%. Lemak dan asam lemak esensial merupakan salah satu
nutrient penentu dalam perkembangan induk agar menghasilkan kuantitas dan kualitas
telur dari telur maupun sperma yang lebih baik (Watanabe et al., 1988). Menurut
Meinelt et al. (1999) ikan air tawar termasuk dalam ikan yang membutuhkan ω6 lebih
besar. Pada pembuatan pakan induk formulasi sumber lemak dan asam lemak ω6
masing-masing diperoleh dari kopra dan minyak jagung.
Kadar serat kasar pakan induk formulasi 6,07% sedangkan pakan komersil
(kontrol) 5%. Hal ini sudah memenuhi persyaratan SNI kadar serat maksimal 8%. Namun
pada pakan formulasi nilai kadar abu masih tinggi yakni 24,28% sedangkan pakan
komersil (kontrol) hanya 9,33%. Hal ini masih belum memenuhi SNI yakni kadar abu
maksimal 12%. Ini diduga disebabkan oleh penggunaan tepung udang/sampah togok
yang masih memiliki cangkang (kulit).
Pada formulasi pakan induk ditambahkan enzim fitase. Fitat banyak terdapat
pada legume (polong-polongan, kacang-kacangan dan biji-bijian). Fitat menyusun 1-2%
berat dari serealia dan bijian penghasil minyak. Zat anti gizi adalah senyawa yang apabila
diberikan baik langsung maupun tidak langsung pada organisme dalam jumlah tertentu
dapat mengakibatkan gangguan metabolisme dan/atau tidak tersedianya suatu unsur gizi
bagi tubuh. Fitat bersifat antigizi yakni antimineral karena dengan adanya fitat maka
mineral-mineral esensial menjadi tidak tersedia karena tidak bisa dicerna dan diserap.
Asam fitat dapat berikatan dengan ion logam misal Zn2+, Cu2+, Mn2+, Mg2+, Fe3+ dan Ca2+.
Ion logam tidak dapat dicerna atau diserap. Asam fitat menunjukkan sifat rakhitogenik
(dapat menimbulkan penyakit tulang karena tubuh kekurangan kalsium) dan mengikat
mineral membentuk garam tidak larut. Aktivitas optimum enzim fitase pada pH 5,0-5,2
suhu 50-52°C (Astuti, 2014)
Selain enzim fitase, vitamin E juga ditambahkan pada formulasi pakan induk. Salah
satu fungsi vitamin E adalah sebagai antioksidan yang dapat mencegah terjadinya
oksidasi lemak (Halver (1989) dalam Yulfiperius et al (2003)). Makin tinggi kadar vitamin
E dalam pakan induk akan diikuti pula dengan makin tinggi kandungan vitamin E di telur.
Selanjutnya peningkatan kadar vitamin E dalam telur akan diikuti oleh peningkatan
kandungan lemak dalam telur. Menurut Kamler (1992) dalam Yulfiperius et al (2003)
lemak yang ditimbun dalam telur berperan sebagai sumber energy dan pengendali daya
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
94
apung telur, embrio dan larva. Lemak merupakan sumber energy utama selama
embryogenesis dan harus diupayakan agar selalu dalam kondisi optimal. Salah satu jalan
adalah dengan memberikan vitamin E ke dalam pakan induk untuk mencegah terjadinya
oksidasi lemak.
3.2 Produktifitas Induk Patin
Pada seleksi pertama di bulan Agustus jumlah induk bertelur pada perlakuan
pakan formulasi sebanyak 42 ekor (87,5%), di bulan September 33 ekor (70,2%), Oktober
40 ekor (86,95%), November (85,41%) dan Desember 35 ekor (74,46%). Sedangkan
jumlah induk bertelur pada pakan kontrol yakni bulan Agustus 41 ekor (91,1%),
September 26 ekor (59%), Oktober 7 ekor (14,89%), November 38 ekor (79,16%) dan
meningkat di Desember 37 ekor (82,22%). Jika dihitung secara keseluruhan jumlah induk
bertelur untuk perlakuan pakan formulasi sebanyak 191 ekor sedangkan pakan kontrol
149 ekor dan nilai rata-rata persentase induk bertelur diperoleh pakan formulasi 80,90%
sedangkan pakan kontrol 65,27%.
Jumlah induk bertelur pada perlakuan pakan formulasi berada pada kisaran di atas
70% dan lebih stabil. Sedangkan jumlah induk bertelur pada pakan kontrol mengalami
penurunan di bulan September (59%) dan terutama di bulan Oktober 14,89% saat kondisi
air sedang menurun akibat musim kemarau.
Grafik jumlah induk bertelur per bulan antara perlakuan pakan formulasi dan
kontrol dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1 . Grafik jumlah induk bertelur pada pakan formulasi
dan pakan kontrol.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
95
Gambar 2 . Grafik jumlah induk matang telur pada pakan formulasi
dan pakan kontrol.
Dari jumlah induk yang bertelur dalam satu kolam, tidak semua telur induk betina
matang sempurna atau induk layak disuntik. Menurut Hamid et al (2009) Untuk
memudahkan dalam menilai kematangan gonad induk patin siam setiap waktu
pemijahan maka kondisi abdomen dibagi menjadi 3 katagori, yaitu :
a. Katagori 1 atau 0 : abdomen tidak gendut atau sedikit gendut, menandakan volume telur
masih sedikit. Jika diraba tidak lembek, agak keras. Genital tidak memerah. Katagori 1 ini
tidak dipilih untuk dipijahkan.
b. Katagori 2 : abdomen gendut, volume telur cukup banyak. Jika diraba lembek, tetapi jika
abdomen ditekan, maka lekukan tidak cepat kembali. Genital agak memerah. Katagori 2
ini bisa dipilih untuk dipijahkan, bila tidak ditemukan induk dengan katagori 3.
c. Katagori 3 : abdomen gendut sekali, volume telur banyak sekali. Jika diraba lembek, dan
jika abdomen ditekan, lekukan bekas tekanan cepat kembali. Genital memerah
Secara visual pada kolam perlakuan pakan formulasi lebih banyak induk dengan
perut membesar (gendut) lebih banyak dibandingkan perut kempes, Jika perut diraba
lembek, dan jika ditekan lekukan bekas tekanan cepat kembali, genital memerah dan
volume telur banyak. Selain itu saat kanulasi dilakukan ciri-ciri telur yang diamati yakni
ukuran seragam, volume besar, tidak banyak cairan dan warna telur tidak
bening/transparan. Jika dihitung secara keseluruhan jumlah induk matang telur (katagori
3) untuk perlakuan pakan formulasi sebanyak 59 ekor (33,01%) sedangkan pakan kontrol
53 ekor (35,42%).
Jumlah induk yang dipijahkan dengan metode kawin suntik dapat dilihat pada
Gambar 3. Pada perlakuan pakan formulasi, jumlah induk betina disuntik pada perlakuan
pakan formulasi sebanyak 5 ekor di bulan Agustus, di bulan September 7 ekor, bulan
Oktober sebanyak 6 ekor, bulan November sebanyak 5 ekor dan Desember 9 ekor .
Sedangkan jumlah induk betina disuntik pada pakan kontrol yakni di bulan Agustus
sebanyak 3 ekor , bulan September 3 ekor, Oktober 2 ekor, November 5 ekor dan
Desember 6 ekor. Pada bulan Agustus dari kolam perlakuan pakan formulasi sebanyak 3
ekor induk tidak ovulasi (dari 5 ekor induk yang disuntik) dan di bulan Oktober sebanyak
6 ekor induk tidak ovulasi (dari 6 ekor induk yang disuntik). Diduga saat seleksi awal di
bulan Agustus (setelah 2 bulan pemberian pakan) kondisi induk sebagian besar sudah
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
96
lewat matang (overripe) sehingga kurang optimal. Sedangkan di bulan Oktober terjadi
penurunan kualitas air akibat musim kemarau dan kabut asap yang mengakibatkan suhu
air di bak pemberokan menjadi dingin karena terhalangnya sinar matahari dan juga tidak
dapat dilakukan pergantian air di kolam. Hal ini juga terihat pada kolam kontrol yaitu
sulitnya mendapatkan induk yang matang telur, hanya ditemukan 2 ekor saja. Secara
keseluruhan persentase jumlah induk ovulasi pada perlakuan pakan formulasi 71,87%
sedangkan pakan kontrol 100%. Jumlah induk ovulasi dapat dilihat pada Gambar 4.
Namun persentase jumlah induk menetas pada perlakuan pakan formulasi 100%.
Sedangkan pada pakan kontrol 89,47% karena dari 5 ekor induk yang ovulasi sebanyak 2
ekor induk telurnya tidak menetas di bulan November. Salah satu faktor yang bisa
menyebabkan telur tidak menetas yakni kekurangan asam lemak esensial. Asam lemak
esensial berfungsi sebagai prekursor dari senyawa prostaglandin yang berperan sebagai
hormon. Jika telur kekurangan asam lemak esensial maka berlangsungnya proses
embryogenesis akan gagal (pada pembelahan sel ke-16,32 dan organogenesis) dan akan
menghasilkan derajat tetas telur yang rendah (Mokoginta et al (1992) dalam Utomo
(2013)). Jumlah induk (telur menetas) dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 3. Grafik jumlah induk yang disuntik pada pakan formulasi dan pakan kontrol
Gambar 4.Grafik jumlah induk ovulasi pada pakan formulasi dan pakan kontrol
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
97
Gambar 5.Grafik jumlah induk (telur menetas) pada pakan formulasi dan pakan kontrol
Tabel 4. Perbandingan Produktifitas Induk Patin Siam Pada Perlakuan Pakan formulasi dan Pakan
Kontrol
Parameter
Pakan formulasi
Pakan kontrol
Jumlah induk disuntik (ekor)
32
19
Tingkat ovulasi (%)
Tingkat telur menetas (%)
Diameter telur (mm)
ESI (%)
Fekunditas (butir/kg)
HR (%)
Jumlah larva /kg BW (ekor)
71,87
100
1,026
14,90
148.200
59,73
89,932
100
89,47
1,007
11,62
113.173
40,4
47,741
Jika dibandingkan produktifitas induk patin siam perlakuan pakan formulasi
dengan pakan kontrol maka dapat dilihat adanya perbedaan signifikan.Diameter telur
perlakuan pakan formulasi 1,026 mm sedangkan pakan kontrol 1,007 mm. Adapun ESI
perlakuan pakan formulasi 14,90% sedangkan pakan kontrol 11,62%. Fekunditas
perlakuan pakan formulasi 148.200 butir/kg induk sedangkan pakan kontrol 113.173
butir/kg induk. Jumlah larva yang dihasilkan/kg induk perlakuan pakan formulasi adalah
89,932 ekor sedangkan pakan kontrol 47,741 ekor. Adapun daya tetas rata-rata
perlakuan pakan formulasi adalah 59,73%, sedangkan pakan kontrol adalah 40,4%.
Produksi larva patin siam dengan perlakuan pakan formulasi sebanyak 6.821.752 ekor
(32 ekor induk disuntik) dan pakan kontrol 2.702.545 ekor (19 ekor induk disuntik).
Gambar 6. Grafik tingkat kelangsungan hidup pakan formulasi dan pakan kontrol
Tingkat kelangsungan hidup induk antara perlakuan pakan formulasi dan pakan
kontrol dapat dilihat pada Gambar 6. Jumlah induk yang mati setelah pemijahan pada
pakan kontrol yaitu sebanyak 3 ekor di bulan November sedangkan pada pakan formulasi
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
98
tidak terjadi kematian induk. Faktor yang menyebabkan kematian tersebut diduga
karena teknik penanganan induk dan buruknya kualitas air saat musim kemarau. Selain
itu jika ditinjau dari aspek pakan, pakan formulasi yang dibuat ditambahkan vitamin C
untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Hal ini diduga berpengaruh baik terhadap tingkat
kelangsungan hidup. Adapun kisaran nilai kualitas air selama pemeliharaan dapat dilihat
pada Tabel 5.
Tabel 5. Kisaran nilai kualitas air pemeliharaan induk patin siam
Formulasi
Kontrol
Suhu
(°C)
pH
22,4 26,6
22,9 26,9
5,46 7,10
5,29 7,11
Oksigen
terlarut
(mg/L)
0,1 - 4,11
0,28 - 4,16
Amonia
(mg/L)
Nitrit
(mg/L)
Nitrat
(mg/L)
0,30 2,02
0,29 2,77
0,14 0,58
0,11 0,68
0,55 1,88
0,50 1,58
Hasil percobaan menunjukkan pakan induk formulasi yang diberi pada induk patin
siam berpengaruh signifikan terhadap pematangan gonad dan kualitas telur. Formulasi
pakan induk ini diharapkan dapat mengatasi permasalahan sulitnya mendapatkan induk
matang gonad serta rendahnya daya tetas telur karena salah satu cara untuk
memperoleh hasil pembenihan ikan patin yang optimal yaitu dengan memperbaiki
performa/kinerja reproduksi melalui perbaikan kualitas nutrisi pakan induk.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Produktivitas induk patin siam dengan pemberian pakan induk formulasi dari segi
jumlah larva yang dihasilkan/kg induk lebih tinggi dibandingkan pakan pembesaran
(kontrol).
2. Formulasi pakan induk ini dapat mengatasi permasalahan sulitnya mendapatkan induk
matang gonad serta rendahnya daya tetas telur yakni dengan persentase induk
bertelur setiap bulan 80,90%, tingkat ovulasi 71,87% dan daya tetas telur 59,73%.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, Ari Tri. 2014. Makanan dan Analisa Zat Gizi. www.slideshare.net/liciastreiz/zatanti-gizi-30376932. Tanggal diakses 23 Oktober 2015
Hamid ,M.A et al.2009. ANALISA EFEKTIVITAS MANAGEMEN INDUK DAN PEMBENIHAN
IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypophthalmus) DI BBAT JAMBI. Jurnal Akuakultur
Indonesia, 8(1): 29-35
Izquierdo, M.S., H. Fernandez-Palacios, A.G.J. Tacon. 2001. Effect of broodstock
nutrition on reproductive performance of fish. Aquaculture, 197: 25 - 42.
Mayunar. 2000. Aplikasi hormon Human Chorionic Gonadotropin (HCG) pada pemijahan
ikan kakap putih, Lates calcarifer. Prosisiding Seminar Nasional Perikanan
Penangkapan dan Budidaya Perairan. Hal. 124-133.
Mokoginta, I., D.S. Moeljohardjo, T. Takeuchi, K. Sumawidjaya dan D. Fardiaz. 1995.
Kebutuhan asam lemak esenssial untuk perkembangan induk ikan lele, Clarias
batrachus, Linn. J. Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. III (2) : 41-50.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
99
Mokoginta, I., D. Jusadi, M. Setiawati, T. Takeuchi and M.A. Suprayudi. 2000. The effect
of different levels of dietary n-3 fatty acid on the eggs quality of catfish
(Pangasius hypophthalmus). JSPS-DGHE. International Symposium, Sustainable
Fisheries in Asia in the New Millenium. p : 252 - 256.
Rahayuni, E. Dkk. 2013. Produksi Benih Hibrida dan Calon Induk Patin Siam
(Pangasianodon hypophthalmus). Laporan Tahunan Balai Perikanan Budidaya Air
Tawar Jambi. Hal. 13 – 31.
Sukendi. 2005. Pengaruh kombinasi penyuntikan hCG dan ekstrak kelenjer hipofisa ikan
mas (Cyprinus carpio L) terhadap daya rangsang ovulasi dan kualitas telur ikan
baung (Mystus nemurus CV). Jurnal Perikanan dan Kelautan 10, 2 (2005) : 75-81.
Utomo, Bambang Priyo. 2013. Peningkatan Mutu Reproduksi Ikan Air Tawar Melalui
Perbaikan Nutrisi Pakan Induk. SEAMEO BIOTROP-Bogor
Watanabe, T.A, T. Arakawa, C. Kitajima and S. Fujita. 1984a. Effect of nutritional quality
of broodstock diets on reproduction of red sea bream. Nippon Suisan Gakkaishi
50(3):495-501.
Lampiran 1. Biaya operasional pembuatan pakan induk
No
Bahan
Baku
9
Tepung
ikan
Tepung
Udang
Dedak
halus
Tepung
Kopra
Tpg.
Tapioka
Minyak
Jagung
Vitamin
mix
Vitamin
E
Vitamin
C
10
Pytase
1
2
3
4
5
6
7
8
Amount
(g/100g)
Kadar
Air
%
Jumlah
Bahan
Jml.
Harga
Bahan/kg
(Rp)
Jumlah
Harga
(Rp)
54
20
540
587
6,500
3,815,500
15
13.56
150
173.5307728
4,500
780,888
12
8.84
120
131.6366828
2,100
276,437
15
12.73
150
171.8803713
2,500
429,701
1.2
0
12
12
8,000
96,000
1.15
0
11.5
11.5
30,000
345,000
1.5
0
15
15
23,500
352,500
0.05
0
0.5
0.5
500,000
250,000
0.05
0
0.5
0.5
100,000
50,000
0.05
0
0.5
0.5
48,000
24,000
Jml +KA
Jumlah
(%)
100
1000
1104.047827
Protein
pakan
(%)
39,77
Harga Pakan/Kg
(dari Bahan)
Biaya-biaya (Peny. Alat 125, Upah 300, Solar/oli 200,
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
6,420,026
6,420.03
100
Karung 100)
Biaya produksi
pakan/kg…………………………………………………………
Keuntungan
(12.5%)……………………………………………………………….
Harga Jual ke
pembudidaya ikan
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
1,000
7,420
928
8,348
101
THE IMPROVEMENT BROODSTOCK MANAGEMENTTECHNIQUES FOR SUCCESSFUL
HATCHERY BUSINESS HOVEN’S CARP (Leptobarbus hoevenii Bleeker) 1)
Nurul Tri Jayanti2), Ena Sutisna2), Wahyu Budi Wibowo2), Ma’in2)
Engineer at Sungai Gelam Freshwater Aquaculture And Development Center (SGFADC),
[email protected]
Abstract
Hoven’s carp (Leptobarbus hoevenii Bleeker), a local freshwater fish cultivation is
already quite developed in the community, either grow out or fish hatchery. This activity
aims to increase production in the fish hatchery operationsof hoven’s carp. The
improvementbroodstock management techniques for succesfull hatchery business
hoven’s carp that has been done in BPBAT Sungai Gelam is increasing the precision and
technical skills / personnel in the selection process to determine the male and female
which mature gonads because it affects the number of larvae / seeds produced.
Estimates of the number of males and females will breed conducted before the selection
to determine the number of larvae/seed to generate, because the breeding broodstock
exceeds the capacity of larval rearing container / seed will increase production
costs.Additionally, the improved container for the incubation of the broodstock as well
as the treatment of the female before and after artificial spawning (stripping) gave a
positive result is to reduce the mortality rate holding both before, during and after the
spawning is done spending eggs or sperm (stripping). Next, determine the readiness time
for the larvae stocked into the pond also improve Survival Rate larvae and affect
production costs incurred.
Keywords: Broodstock, Hoven’s Carp (Leptobarbus hoevenii Bleeker), Success, Hatchery
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
102
PERBAIKAN TEKNIK PENGELOLAAN INDUK UNTUK KEBERHASILAN USAHA
PEMBENIHAN IKAN JELAWAT
(Leptobarbus hoevenii BLeeker)1)
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ikan Jelawat (Leptobarbus hoevenii Bleeker)merupakan salah satu ikan asli
perairan Indonesia dengan daerah penyebaran di pulau Kalimantan dan
Sumatera.Habitat ikan ini meliputi sungai, danau dan perairan umum
lainnya.Domestikasi Di BPBAT Sungai Gelam telah dilakukan sejak tahun 2006, dan
sampai sekarang BPBAT Sungai Gelam terus mengembangkan teknologi pembenihan dan
pembesaran Ikan Jelawat.
Ikan jelawat, merupakan ikan air tawar lokal yang budidayanya sudah cukup
berkembang di masyarakat, baik pembesaran maupun pembenihannya. Saat ini benih
ikan jelawat sudah dapat diproduksi secara massal melalui metode pemijahan buatan
(Hardjamulia 1992). Keberhasilan pemijahan buatan tersebut harus didukung teknik
pengelolaan induk yang baik sehingga benih yang diperoleh / diproduksi memiliki kualitas
yang baik dan kuantitas tinggi serta induk tersebut dapat digunakan kembali untuk
keberlanjutan proses pemijahan buatan berikutnya. Untuk itusebagai bagian dari
teknologi pembenihan, teknik pengelolaan induk yang meliputi pemeliharaan induk,
penanganan induk pra pasca stripping (pemijahan buatan) perlu dikuasai dengan baik.
1.2. Tujuan
Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan hasil produksi dalam usaha
pembenihan ikan Jelawat (Leptobarbus hoevenii Bleeker).
2. METODE
2.1. Waktu Dan Tempat
Kegiatan ini dilaksanakan di Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Sungai Gelam
Jambi Mulai bulan Januari 2014 s.d Desember 2015.
2.2. Prosedur Kerja
2.2.1. Pemeliharaan Induk Jelawat
Pemeliharaan induk dilakukan dalam 3 wadah yang berbeda, dengan luas kolam
250 m2dan KJA berukuran.Untuk kolam dilakukan penyekatan untuk memisahkan antara
induk jantan dan induk betina, hal ini dilakukan untuk menghindari persaingan yang tidak
seimbang antara induk jantan dan betina dalam hal ini biasanya induk betina cenderung
menang dalam persaingan makan) (Handoyo et al,2010) , selain itu jumlah nutrisi yang
diberikan berbedauntuk kematangan telur induk betina dan sperma induk jantan. Induk
yang dipelihara dengan rerata bobot tubuh 1,6 - 3 kg.Pemberian pakan buatan
komersialberbentuk apung (protein 30-32%) dilakukan 2 kali sehari secara at
satiationdengan kombinasi pakan hijauan yang diberikan 1 minggu 2 kali secara at
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
103
satiation. Pengecekan kualitas air dilakukan 2 minggu sekali yang meliputi suhu, pH , dan
Oksigen terlarut.
2.2.2. Seleksi Induk Siap Pijah
Ketepatan dalam proses seleksi untuk menentukan induk jantan dan betina
matang gonad harus diperhatikan, karena mempengaruhi jumlah larva/benih yang akan
dihasilkan. Seleksi induk matang gonad dilakukan dengan memperhatikan karakter
fenotipenya, yang dapat diketahui dengan melihat ciri - ciri fisik induk jantan dan betina
yang matang gonad (siap pijah).
Ciri - ciri induk matang gonad adalah sebagai berikut :
 Induk betina
 Perut membesar kearah genital
 Genital berwarna kemerahaan
 Bila perut ditekan akan terasa lunak dan elastis
 Pergerakan lambat
 Induk jantan
 Bila diurut kearah belakang atau genital akan keluar cairan berwarna putih susu
 Sirip dada terasa kasar
Estimasi jumlah jantan dan betina yang akan dipijahkan perlu dilakukan sebelum
melakukan seleksi untuk menentukan jumlah larva/benih yang ingin dihasilkan, karena
memijahkan induk melebihi kapasitas wadah pemeliharaan larva/benih akan
meningkatkan biaya produksi. Untuk pemijahan buatan ikan jelawat perbandingan induk
jantan dan betina yaitu 2:1.Untuk seleksi induk jantan dan betina yang siap untuk
dipijahkan dapat dilihat dari umur induk dan rerata bobot induk. Untuk seleksi induk
betina yang siap dipijahkan berumur minimal 2-3 tahun dengan rerata bobot tubuh 1,6 3 kg sedangkan untuk induk jantan yang siap dipijahakan berumur 2 tahun dengan ratarata bobot tubuh 1,5 -2 kg. Setelah kegiatan seleksi induk selesai, ikan jelawat dibawa ke
bak pemberokan atau inkubasi induk dan 1 jam sebelum penyuntikan dilakukan seleksi
ulang di bak pemberokan. Ikan yang tidak terseleksi langsung dikembalikan ke dalam
kolam.Seleksi kedua ini bertujuan untuk mengetahui TKG secara maksimal.Selama
kegiatan berlangsung air dalam bak hanya setinggi punggung ikan.Hal ini dilakukan untuk
mempermudah ketika menangkap induk ikan jelawat yang bersifatsuka meloncat.
2.2.3. Pemijahan
Induk – induk ikan jelawat yang telah terseleksi siap ditampung bak pemberokan
sebelum dilakukan pemijahan.Pemijahan ikan jelawat dilakukan secara buatandengan
carapenyuntikan(induced breeding) menggunakan hormon ovaprim atau kombinasi
ovaprim dan HCG. Penyuntikan dilakukan secara intramuscular pada pangkal bagian
belakang sirip punggung.Untuk penyuntikan menggunakan hormon ovaprim, Induk
betina dilakukan 3 kali penyuntikan dengan dosis 0,7 ml/kg induk. Interval waktu antara
suntikan pertama dan kedua yaitu 12 jam, sedangkan interval waktu penyuntikan kedua
dan ketiga yaitu 6 jam. Induk jantan dilakukan satu kali penyuntikan dengan dosis
0,3ml/ekor induk bersamaan dengan penyuntikan kedua induk betina. Sedangkan, untuk
penyuntikan kombinasi ovaprim dan HCG, induk betina dilakukan 2 kali penyuntikan
yaitu suntikan pertama menggunakan HCG dengan dosis 500 IU/kg bobot tubuh,
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
104
selanjutnya setelah 24 jam dilanjutkan penyuntikan ke dua menggunakan ovaprim 0.3 ml
/kg bobot tubuh.
Pengecekan ovulasi dilakukan paling cepat 4 jam dari penyuntikan terakhir.
Apabila sudah ada induk betina yang ovulasi, maka segera dilakukan stripping induk
jantan untuk proses spermiasi. Sperma ditambahkan larutan NaCl 0,9% dengan
perbandingan 1 : 3. Telur dan sperma ditampung dalam satu wadah yang bersih dan
kering. Kemudian dilakukan fertilisasi dengan cara mencampur sperma ke dalam telur
lalu diaduk perlahan hingga tercampur rata dengan menggunakan bulu ayam.
Tambahkan air bersih untuk mengaktifkan sperma, setelah terjadi pembuahan maka
dilakukan pencucian telur 3-4 kali hingga telur bersih dari sisa sperma
2.2.4. Penetasan Telur
Telur di tetaskan di tempat penetasan yang sudah di sediakan (fiber atau corong).
Telur yang bagus akan menetas 18 - 24 jam setelah ovulasi. Salah satu tanda telur yang
bagus dan menetas, pada wadah penetasannya tidak banyak terdapat busa atau buih
yang berbau amis. Setelah telur menetas semua maka dilakukan pergantian air pada
wadah penetasan, hal ini bertujuan untuk menjaga kualitas air tetap optimal dan tidak
menyebabkan kematian pada larva yang baru menetas. Pemanenan larva dilakukan 48
jam setelah telur menetas atau setelah kondisi larva dapat bergerak aktif (tidak
mengendap).
2.2.5. Pemeliharaan Larva
Larva dapat ditebar langsung ke kolam pada umur 3 hari (tanpa pemberian
Artemia) atau dipelihara terlebih dahulu di hatchery selama 6-7 hari sebelum tebar ke
kolam, apabila kondisi larva dan kolam pendederan belum siap tebar. Penghitungan
jumlah larva dilakukan secara sampling volumetrik.Padat tebar yang digunakan untuk
pemeliharaan larva di kolam adalah 300-400 ekor /m2 sedangkan pada pemeliharaan di
hatchery padat tebar adalah 40 ekor/liter air.Pakan pada pemeliharaan larva umur 3 hari
di kolam yaitu pakan komersial berbentuk tepung.Pada pemeliharaan di hathery, larva
diberi makan nauplii Artemia selama 3 hari, pada hari pertama larva belum makan dan
mulai makan pada hari ketiga.Frekuensi pemberian pakan larva 5 kali dalam sehari.Pada
pemeliharaan di hatchery, pergantian air dilakukan pada hari ke 2 dan ke 4, sedangkan
sifon dan pembersihan wadah pemeliharaan dilakukan setiap hari sampai larva siap tebar
kolam (umur 7 hari). Kisaran suhu air pemeliharaan dijaga pada kisaran 27-29 0C. Oksigen
terlarut air pemeliharaan larva dikisaran 5-7 mg/L. Air yang digunakan merupakan air
yang telah difilter dan diendapkan terlebih dahulu.Penggunaan obat-obatan seminimal
mungkin tidak dilakukan dalam pemeliharaan larva.Pengamatan pertumbuhan dan
kesehatan larva dilakukan rutin setiap harinya.Panen larva yang dipelihara di hatchery
dilakukan setelah larva makan Artemia selama 4 haridan larva sudah berenang sangat
aktif dan respon terhadap pakan maupun gangguan sehingga sudah siap ditebar dikolam.
2.1. Parameter Yang Diamati
Dari seluruh tahapan kegiatan parameter yang diamati meliputi
 Jumlah Induk Betina Yang Ovulasi (%)
 Jumlah Induk Jantan yang spermiasi (%)
 Survival Rate (Kelangsungan Hidup) Induk
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
105
 Hatching Rate
 Survival Rate (kelangsungan hidup) Larva
2.2. Parameter Yang Diukur
Kualitas Air meliputi Suhu, DO, pH, Amoniak, Nitrat, Nitrit, Ammonium, Kesadahan,
dan Alkalinitas.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil perbaikan – perbaikan teknik pengelolaan induk yang telah
dilakukan di BPBAT Sungai Gelam dari tahun 2014 s.d 2015 di peroleh hasil sebagai
berikut:
Tabel 1. Perbaikan – Perbaikan Dalam Pengelolaan Induk Yang Telah Dilakukan Di BPBAT
Sungai Gelam Dari Tahun 2014 s.d 2015
No
1
2
3
4
Kondisi Awal
Perbaikan
Hasil
-Masih adanya
kesalahan dalam
penentuan
jantan dan
betina yang siap
pijah
-Memijahkan
induk melebihi
kapasitas
produksi
-Meningkatkan
keterampilan teknisi
dalam melakukan
proses selkesi induk
- Ketepatan teknisi/personil
dalam menentukkan jantan dan
betina yang siap pijah, sehingga
meningkatkan jumlah induk
betina yang ovulasi
- Melakukan estimasi
jumlah induk jantan
dan betina yang akan
dipijahkan
- Wadah
inkubasi induk
(bak fiber) yang
diletakkan di
bawah, sehingga
menyulitkan
teknisi pada saat
melakukan
penyuntikan
induk, serta
mempengaruhi
suhu air wadah
inkubasi induk
(waktu laten
lebih lama)
-Penutup wadah
inkubasi induk
kurang
sempurna
menutup ,
sehingga ada
induk yang mati
karena
melompat dari
wadah
pemeliharaan
- Pemberian kaki
penyangga untuk
wadah inkubasi induk
(bak fiber)
- Diperoleh larva/benih sesuai
dengan kebutuhan dan wadah
pemeliharaan yang tersedia,
meningkatkan Hatching rate dan
kelangsungan hidup larva
- Memudahkan teknisi/personil
pada saat melakukan
penyuntikan, menigkatkan suhu
air wadah pemeliharaan
sehingga mempengaruhi waktu
laten.
- Merubah tutup bak
fiber dengan
menggunakan kayu
(lebih berat)
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
- Mengurangi mortalitas induk
yang diakibatkan induk
melompat keluar dari bak fiber
106
5
- Induk pasca di
anestesi
kemudian di
stripping
langsung di
kembalikan ke
kolam
pemeliharaan
induk pada hari
yang sama,
mengakibatkan
induk banyak
yang mati
- Induk pasca
dilakukan stripping
diinkubasi terlebih
dahulu di dalam
hatchery selama ± 24
jam atau sampai ikan
terlihat sudah siap
untuk dilepas kembali
ke kolam
pemeliharaan
- Mengurangi mortalitas induk
pasca anestesi dan stripping
Tabel 2. Parameter – Parameter Yang Diamati Sebelum Dan Sesudah Perbaikan Teknik
Pengelolaan Induk
Parameter Yang Diamati
Jumlah Betina Yang Ovulasi (%)
Jumlah Jantan Yang Spermiasi (%)
Kelangsungan Hidup Induk Pasca
Pemijahan (%)
Hatching Rate (%)
Kelangsungan Hidup Larva (%)
Sebelum Perbaikan
60.00 - 83.33
90 – 97
Sesudah Perbaikan
75.00 - 100.00
90 – 97
80.00 - 97.00
42.85 - 80.00
35.00 - 61.24
44.28 - 63.60
32.00 - 62.58
93.39 - 99.7
Kualitas Air
Hasil pengukuran parameter kualitas air selama masa pengamatan adalah seperti
pada Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Rerata Nilai Kisaran Kualitas Air
Kolam Induk
Wadah
Inkubasi
Induk
Wadah
Penetasan
Telur
Wadah
pemeliharaan
Larva
Suhu
(0 c)
26.6
28.7
26.1
27.2
26.2
27.2
26.5
27.9
DO
(mg/l)
Ph
NH3(mg/l)
NH4+
(mg/l)
2.86 4.38
6.61
7.24
0.25 0.92
0.35 1.14
3 - 4.4
6.8 7
0.13 0.31
0.17 0.31
0.05 0.27
0.06 0.33
0.14 0.27
0.18 0.29
4.45 5
33.99
7.15
7.50
6.69
7.15
NO2(mg/l)
0.009
0.211
0.007
0.021
0.008
0.031
0.005
0.011
NO3(mg/l)
Kesadahan
(mg/l)
0.06 0.81
20 - 32
0.06 0.11
-
0.05 0.09
-
0.04 0.09
-
Dengan memperhatikan nilai parameter kualitas air di atas secara keseluruhan
masih mendukung untuk proses pemeliharaan induk,penetasan telur, dan pemeliharaan
larva ikan Jelawat. Hasil ini sesuai dengan pendapat Brotowijoyo (1995), kisaran suhu air
optimal untuk budidaya ikan air tawar adalah 15-29oC. pH air 6,5-8 dan DO berkisar
antara 5-8 mg/l. Menurut Nuzliani (2003), nilai NH3 yang baik untuk budidaya ikan
adalah kurang dari 0,3 mg/l, dengan demikian nilai NH3 di media penetasan sedikit lebih
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
107
tinggi dari nilai rekomendasi. Tingginya konsentrasi NH3 pada media tetas diduga telur
yang tidak menetas (membusuk) mempercepat meningkatkan kadar NH3 selain hasil
proses metabolisme telur dan larva juga diduga memberikan peningkatan konsentrasi
amoniak di media tetas
KESIMPULAN
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil kegiatan ini adalah sebagai berikut:
1. Jumlah induk jantan yang spermiasi maupun betina yang ovulasi mengalami kenaikan
sejalan dengan menurunnya mortalitas induk mati karena melompat dari wadah
inkubasi.
2. Daya tetas telur ikan Jelawat tidak berbeda nyata antara sebelum maupun sesudah
dilakukan perbaikan cara pengelolaan induk pra dan pasca stripping.
3. Kualitas air selam kegiata masih dalam kisaran norma unuk budidaya.
4. Berdasarkan hasil perhitungan analisis usaha, usaha pembenihan ini layak dilakukan
DAFTAR PUSTAKA
Handoyo B, Setiowibowo C, Yustiran Y. 2010. Cara mudah budidaya dan
peluang bisnis ikan baung dan ikan jelawat. Bogor (ID): IPB Press.
Handoyo, B. Fadhillah, H. Pembenihan Ikan Jelawat. 2006. Laporan Tahunan Hasil
Perekayasaan Balai Budidaya Air Tawar Jambi.BBAT Jambi.Jambi.
Handoyo, B. Fadhillah, H. Produksi Benih dan Calon Induk Ikan Jelawat. 2007. Laporan
Tahunan Hasil Perekayasaan Balai Budidaya Air Tawar Jambi.BBAT Jambi.Jambi.
Handoyo, B. Mubinun, Fadhillah, H. 2007. Keberhasilan Pertama Pembenihan Ikan
Jelawat (Leptobarbushoevenii) di BBAT Jambi Melalui Perbaikan Manajemen
Induk.Poster disampaikan dalam Indonesian Aquaculture 2007.Bali.
Hardjamulia A. 1992. Informasi teknologi budidaya ikan jelawat Leptobarbus
hoevenii.Balai Penelitian Perikanan Air Tawar. Bogor.
Rimalia, A. 2014.Perbandingan induk jantan dan betina terhadap keberhasilan
pembuahan dan daya tetas telur ikan jelawat. Ziraa’ah. Volume 39 No.
3.Hal.114 -118. Jurusan Perikanan. Fakultas Pertanian. Universitas Banjarbaru.
ISSN 2355-3545.
Wibowo, W.B, E. Sutisna, Suryana. 2014. Produksi benih ikan jelawat (Leptobarbus
hoevenii, Bleeker). Laporan Tahunan Hasil Kegiatan Kerekayasaan. Balai
Perikanan Budidaya Air Tawar Jambi.18 Hal.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
108
CARRYING CAPACITY OF TELUK LAKE, JAMBI CITY FOR COMMUNITY-BASED RED
TILAPIA (Oreochromis sp.) CULTURE IN FLOATING NET CAGE1)
Janu D. Kristianto2), Sunardi, and Iskandar
ABSTRACT
Lake is one of ecosytem form than occupies a relative small area on the surface of
the earth as compared to sea and land habitats. For humans, utilization is more
important than the expanse of lands. Since 1985, Teluk Lake began to be used as the
location of fish cultivation with floating net cage culture (FNCC). The number of FNCC in
2012 reached ± 878 unit of 64 fish farmers and it will increase related to determination
of Jambi Province as one of Minapolitan fishery cultivation in order to increase fish
production. Utilization of Teluk Lake as media for fish cultivation on floating cage is
necessary to encourage the management of common resources is to be kept sustainable.
Studies on carrying capacity and utilization of Teluk Lake Jambi City for community-based
fish cultivation in FNCC aims to know how the use of this lake that have been
implemented by the local community and to find out how the carrying capacity Teluk
lake that used to fish farming activities in floating cage. Carrying capacity is determined
by calculating water polution load capacity of lake for fish farming activities in floating
cage. Data that used are primary and secondary data. Methods used in this study is
qualitative and quantitative methods with a descriptive approach.
Tabel 1. LCWP analysis for Teluk Lake for Red Tilapia Aquaculture activities in cage 2012
Lake Characteristics
Symbol
D. Carrying amount FNC Aquaculture for Red Tilapia in Teluk Lake
 FCR Red Tilapia
Value
FCR
1,8
ton feed/ton fish
 Total P content in the feed
Ppakan
13
Kg P/ ton feed
 Levels of P-total in the Red
Tilapia
 Total P coming from fish waste
Pikan
3,4
Kg P/ ton fish
PLP= FCR*Ppakan-Pikan
20
Kg P/ ton fish
 FNC Fish production
 The amount of fish feed in FNC
LI = Laikan/PLP
LP = LI * FCR
517,617
931,710
Ton fish/years
Ton feed/years
 The mean estimate of Harvest
Fish in FNC
 Ideal number FNC
-
0,6
Ton fish/years/units
Laikan/Estimasi Rerata
panen Ikan KJA
862,695
unit
Description :1) BLH Kota Jambi, 2012,
2)
Analisa Laboratorium Kesehatan Ikan dan Lingkungan BBAT Jambi, 2013
Result showed that carrying capacity of Teluk lake for fish farming in FNCC is equal
517,617 tons of fish per year with estimate amount of feed given to fish in floating cage
is as many as 931,710 ton per year assuming total P were entered into the lake through
fish waste as much 20 k P/ton of fish. Ideal number of floating cage based on lake
carrying capacity accounting should be 862,695 unit ~ 863 unit. Operating floating cage
currently is 878 unit so that it is necessary reduction in the amount of 15 unit and if they
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
109
want to add a new one, it should be an improvement or replacement of existing floating
cage at lake. Utilization of Teluk Lake for fish farming is done simple by local communities
and number of existing floating cage already slightly exceed the carrying capacity of lake
if related from existing concentration of total P in water.
I. INTRODUCTION
Lake is one of ecosystem forms than occupies a relative small area on the surface
of the earth as compared to sea and land habitats (Zaibal, 1998).The existence of the lake
ecosystem provides beneficial functions for human life (household , industrial , and
fisheries). In Jambi city, there is one of lakes that called Teluk Lake. Since 1985, Teluk
Lake began to be used as location for fish culture with floating net (FNC ). Nowadays,
there are 878 FNCplots and it willincreased.Utilization Teluk Lake for fish aquaculture
provides positive and negative impact. It is necessary to encourage the management of
this common property resources. Sustainable management of the lake have tobe
conducted so that the sustainability of this resource can support fish farming activities.
There are four (4) aspects that need to be assessed in lake utilization–based
community, ie Aquaculture teknology aspects , environmental aspects , social economi
aspects and institutional aspects as well as the added external involvement . In addition,
information regarding the carrying capacity of the lake for fish farming is necesarry too
(Kosehendrajana, 2009).Utilization public property freely and uncontrolled can damage
the environment . Based on that matter, it is important to conduct research on carrying
capacity and utilization of Teluk Lake as animpact of the activity of fish Aquaculture in
cage -based society. So benefits of the presence of Teluk Lake as a place for fish farming
activities can be continued and environmentally friendly in future
Based on this background, three are some problem; (1) how did carrying capacity
of teluk lake support fish aquaculture in cage today; (2) how did utilization of teluk lake
for fish aquaculture in FNC carried out by communities around the lake; (3) how did
recommendation made for management pattern of teluk lake for fish aquacultureon FNC
based sustainable community. The purpose of this research are to find out condition of
carrying capacity of teluk lake that used for fish aquaculture in FNC, to find out
management of teluk lake for fish aquaculture in FNC of that carried out by communities
around the lake and to find out recommendation of management patterns on teluk lake
for fish aquaculture in FNC based sustainable community.
There is have 2 (two) benefits of the research, (1) theoretical benefitthis
information is expected to contribute the scientific development of natural resource
management planning and environmental management systems in particular
information about utilization system of lakeecosystem for Fish Aquaculture in
comprehensive and integrated study and (2) practical benefits, the results of this study
are expected to be recommendation/information for JambiGovernment and community
/ fish farmers in designing development of Teluk Lake management for the Fish
aquaculture activities based community with sustainable development considerations.
II. FRAMEWORK
Teluk Lake is a natural lake that is one of its functions as a media for aquaculture
with FNC system. Utilization of the lake for fish farming cause both positive and negative
effects to community and the environment of lake. The affect of rapid and uncontrolled
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
110
utilization of lake for fish farming decrease carrying capacity of lake.Assessment of the of
water quality status and the lake carrying capacity in cage fish farming became important
to do in order to maintain and to preserve the existence of the lake in future. Moreover,
the existence of local communities and fish farmers in lakemanagement became a key to
success in resource management process.
Community involvement in managing directly interpreted as a form of
participation to concern, to formulate, to plan, to implement, to evaluate and to
supervise something that became his needs. Community involvement in the
management of resouce is influenced by four (4) factors ie technological, environmental,
socioeconomic and institutional supporting factor of local government. Management
with community participation of FNC fish farmers and water carrying capacity assesment
are expected to control the environmental impact before the more severe damage and it
can be used recommendation for lake management planning as sustainable fish farming
media in cage (Pic. 1)
Picture 1. Framework of Research
III. LOCATION AND RESEARCH METHODS
This study was conducted to describe the carrying capacity and utilization of Teluk
Lake to fish farming activities in FNC -based community. Type of research used in this
research is descriptive that describe the issue is qualitative and supported by
quantitative methods. Qualitative approach is used to describe how the lake utitlization
for fish farming in the FNC-based community. Quantitative approach is used to
determine the amount of the carrying capacity of Teluk Lake supporting fish farming in
cage.Location of the research located in Teluk Lake , District of Danau Teluk, Jambi City,
Jambi Province. It was conducted during the five (5 ) months (Pic. 2)
Analysis of water quality used storet method, a method for determining water
quality status based on the Ministry of Environment RI No. 115/2003. Analysis is done by
comparing the data quality of the lake water with water quality standards in accordance
with the value system of US - EPA (Environmental Protection Agency) in this case the
Water Quality Standard Class III ( for freshwater aquaculture).
Analysis of carrying capacity on Teluk Lake in FNC fish farming activities was
measured by the presence of total phosphorus ( total - P) through the calculation of
water pollution load capacity (WPLC) lake for aquaculture in accordance with Regulation
from Ministry of Environment No. 28/2009.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
111
CharacteristicsData of FNC Farmers is analyzedusing distribution frequency and to
know the community participation in lakemanagement conducted triangulation data to
cross check from interviews , observation and respondentssurvey. Then data is analyzed
through three (3) stage ie data reduction, data presentation (display ) and conclusions.
Picture 2. Teluk Lake, Jambi City
IV.
RESULT AND DISCUSSION
Teluk Lake located in border zone between Pasir Panjang, Tanjung Pasir dan Olak
Kemang distric, Teluk Lake subdistrict, Jambi city:
a. North  Muaro Jambi Regency
b. South  Batanghari River
c. East  Olak Kemang District
d. West Tanjung Pasir District
Topography with altitude range 10-30 dpl and slope range 2-8%. Tropical climate with
rainfall
2.053
mm/year,
and
average
temperature
26,40C.Teluk lake is flooding lake, with biggest water debit entry through Olak Kemang
river by 11 m3/second and water flow debit 0,4 m3/second .The depth of Teluk Lake in
the rainy season reach 14 m and 8 m in dry season.
Based on direct measurement dan water quality measurement data from BLH,
Jambi city obtained result of skoret analysis -33. this value represent mistmatch esult of
measurement and monitoring of lake water quality had exceeded maximum limit of
water quality class III. Parameters that exceeded the quality standar are pH, BOD, NO 3,
Zinc, Total Coli, Oil and fat.Based on water quality status from storet analaysis value
showed that water quality of teluk lake in medium polluted condition (Water quality
status class C). (Table. 1).
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
112
Table 1. Water Quality of Teluk Lake Per Year Since 2006 until 2013
Phytoplankton Analysis in Teluk Lake, Endorina is the most chlorophyceae that
found in every station. Phytoplankton abundance in Teluk lake is 26.924 – 75.475 ind/l. It
showed that Teluk lake is eutropic lake, Diversity Index (H’) : 1,21 – 2,61, Uniformity
Index (E) : 0,39 – 0,83 and Dominance Index(C) : 0,10 – 0,55. Analysis of
Macrozoobenhtos Communitiies in Teluk LakeTubifex is the most oligochaeta class which
found in Stasion I and III. Stasiun II : bivalia and gastropoda class. The abundance of
macrozoobenthos : 314 – 1,090 ind/m2, Diversity Index (H’) : 1,29 – 1,68, Uniformity
Index (E) : 0,66 – 0,86 and Dominance Index(C) : 0,23 – 0,34.
Based on DTBPA, carrying capacity of Teluk Lake, Jambi city that supported fish
culture is 517,617 ton fish per years and number of feed given 931,710 ton/years by
estimation total p from uneaten feed and feces lost into lake 20 kg P/ton. Based on
DTBPA calculation, ideal amount of cages for fish culture can operate ranged 862, 695
unit ~ 863 unit (Table 2).
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
113
Table 2. Carrying Capacity Lake for Aquaculture FNC in Teluk Lake, Jambi 2013
Recomendation utilization of Teluk Lake for fish culture in FNC based society are
business license of fish farming,double net aquaculture system, feed management,
technical improvement of human resource in fish aquaculture, reactivate the
institutional of fish farmerand spatial arrangement of lake utilization
V. CONCLUSION
Based on DTBPA Carrying capacity of Teluk Lake, Jambi city that supported fish
aquaculture in FNC is 517,617 ton fish per year by assumption total-p from uneaten fish
and feces lost into lake 20 kg P/ton fish. Ideal amount of cages should operated in Teluk
Lake is 862,695 unit-862 unit ( based on DTBPA calculation). Therefore, the presence of
878 unit FNC in Teluk Lake has already exceeded the carrying capacity of lake.
Utilization of Teluk Lake for fish aquaculture in cage based on technological aspect,
social economic, enviromental and institutional aspect not meet prerequisites fish
aquaculture based community. This is indicated by the placement pattern of adjacent
cages, high stocking density (compared with SNI), conflict between fish farmers and
other users of lake , over carrying capacity, and not active fish farmer institution in Teluk
Lake. Beside that, external involvement ( in this case local government) in lake
management for fish aquaculture is still low
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
114
Pattern of Lake utilization for fish aqauculture in FNC based community is one of
solution to anticipate the increasing of amount FNC that operated in Teluk Lake so not
threaten carrying capacity and sustainability lake for fish aquaculture and other uses.
Recommendation of lake utilization pattern for fish aquaculture in FNC based community
is to release business lisence fish aquaculture in order to control and not damage
enviroment, to use fish maintenance sytem by double net, feed management, technical
improvement of fish farmers, to reactive fish farmers group in order coordination
between farmer, government and stakeholder and site selection of lake utilization in the
form of written rules.
BIBLIOGRAPHY
Abduh, M. 2004. Program Perikanan Berbasis Budidaya (Culture Based Fisheries). Pusat
Riset Perikanan Budidaya. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen
Kelautan dan Perikanan RI, Jakarta
Agustiyani, D. 2004. Proses Terjadinya Penyuburan (eutrofikasi) dan Dampaknya di
Perairan. Manajemen Bioregional Jabodetabek Profil dan Strategi Pengelolaan
Sungai dan Aliran Sungai. LIPI. Cibinong Bogor.
Ardi. 2002. Pemanfaatan Makrozoobentos Sebagai Indikator kualitas Perairan Pesisir.
Program Pasca Sarjana. Institut pertanian Bogor. Bogor.
Arnstein. 1969. A Ladder of Citizen Participation. Journal of The American Institute of
Planners.
Azwar, Z.I., N. Suhenda, O. Praseno. 2004. Manajemen Pakan Pada Usaha Bididaya Ikan
di keramba jaring apung. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar.
Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Bogor.
Bakri, A. 1998. Limnological Characteristic, Eutrophication and Cyanobacterial Blooms in
an Inland Reservoir. Journal of Arid Environments. Australia
Barus, T.A. 2004. Pengantar Limologi : Studi Tentang Ekosistem Air Daratan. USU Press.
Medan
Basmi, J. 1995. Planktonologi : Produksi Primer. Fakultas Perikanan IPB.Bogor
Beveridge, M.C.M dan J.M. Muir. 1987. Current Status and Potential of Freshwater Cage
Culture in Southeast Asia. Arch Hydrobiol Beih.
Beveridge, M.C.M. 1996. Cage Aquaculture. Fishing Second Edition. News Books. London
Boyd, C.E. 1990. Water Quality in Pond for Aquaculture. Birmingham Publishing
Company. Alabama.
Brannen, J. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Pustaka Pelajar
Offset. Yogyakarta.
Cernea, M.M. 1991. Putting People First : Sociological Variable in Rural Development.
2’nd Edition. Oxford University Press. London
Cohen, J.M and N.T. Uphoff. 1997. Rural Development Participation Concepts and
Measures for Project Design, Implementation and Evaluation. Rural
Development Monograph No. 2. Dipublikasikan oleh the Rural Committe Center
for Interpretation Studies, Cornell University.
Cole, G.A. 1988. Text Book of Limnology 3’th Edt. Waveland Press Inc. USA
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
115
Creswell, J.W. 2002. Research Design Qualitatif and Quantitative Approaches (Desain
Penelitian Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif). KIK Press. Jakarta.
Davis, M.L., dan D.A. Cornwell. 1991. Introduction to Environmental Enggineering Second
Edition. Mc. Graw Hill Inc. New York
Dhahiyat, Y. 2011. Ekologi Perairan. Unpad Press. Bandung
Effendie, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkunga
Perairan. Kanisius. Yogyakarta
Gather, R., dan D.M. Imboden. 1985. Lake Restoration in Stumm W (ed). Chemical
Processed in Lake. John Willey and Sons Inc. Kanada
Goldmen, C.R., dan A.J. Horne. 1989. Limnology. Mc. Graw Hill Company. New York.
Gunawan, B., K. Takeuchi, O. S. Abdoellah. 2004. Challenges to Community Participation
in Watershed Management : Analysis of Fish Farming Activities at Saguling
Reservoir West Java – Indonesia. Published.
Heddy, S & Kurniati, M. 1994. Prinsip-Prinsip Dasar Ekologi. Raja Grafindo Persada ;
Jakarta. Hal 58
Hendersend, B., H.R. Markland. 1987. Decaying Lakes, The Origin and Control of Culture
Eutrophication. John Willey and Son, Inggris
Hidayat, U. 1995. Keanekaragaman Makrozoobentos invertebrata Sebagai Kualitas Air
Danau Lido Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bagor, Jawa Barat. Skripsi Fakultas
MIPA Universitas Pakuan Bogor. Bogor. Hal 1-12.
Ilyas, S. 1990. Petunjuk Teknis Pengelolaan Perairan Umum Bagi Pengembangan
Perikanan. Seri Pengembangan Hasil Penelitian Perikanan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Iskandar, J. 2001. Manusia, Budaya dan Lingkungan : Kajian Ekologi Manusia. Humaniora
Utama Press. Bandung.
Iskandar, J. 2009. Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan. Program studi
Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Padjadjaran. Bandung.
Jorgensen, S.E. 1989. Use of Model. Guedelines of Lakes Management. Vol 1:71-89.
Principles of Lakes Management International Lake Environment Foundation.
Shiga-Japan.
Kartamiharja, E.S. 1998. Pengembangan dan Pengelolaan Budidaya Ikan Dalam Keramba
Jaring Apung Ramah Lingkungan di Perairan Waduk dan Danau Serbaguna.
Prosiding simposium perikanan indonesia II:174-182. Ujung Pandang.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2008. Pedoman Pengelolaan Ekosistem Danau.
Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian
Kerusakan Lingkungan KLH. Jakarta
Kenchington, R.A. dan B.E.T Huson. 1984. Coral Reef Management Handbook. Jakarta
Indonesia. UNESCO Regional Officer for Science and Technology in South-East
Asia.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 Tentang Pedoman
Penentuan Status Mutu Air. Kementerian Negera Lingkungan Hidup. Jakarta
Kibria, G., D. Nugegoda dan P. Lam, R. Fairlough. 1996. Aspect of Phosphorus Pollution
from Aquaculture. Naga the ICLARM Quarterly, July 1996. 20-24
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
116
Koeshendrajana, S., A.W Wijaya, F.N. Priyatna, P. Martosuyono, dan S. Sukimin. 2009.
Kajian Eksternalitas dan Keberlanjutan Perikanan di Perairan Waduk Jatiluhur.
Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan
dan Perikanan RI. Jakarta.
Koswara, B. 2011. Dasar Dasar Pengelolaan Danau dan Waduk. BPP-PSPL Press.
Pekanbaru.
Krismono, A., K. Purnomo, dan D.W.H. Tjahjo. 1992. Proses pembalikan umbalan dan
dampak terhadap kegiatan perikanan. Prosiding temu karya ilmiah pengkajian
alih teknologi budidaya ikan dalam keramba mini, Bogor
Krismono dan N.A. Wahyudi. 2001. Analisis Kebijakan Pengelolaan KJA sebagai Salah Satu
Kegiatan Pengelolaan Danau dan Waduk. Analisis Kebijakan Pembangunan
Perikanan. Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi, Badan Riset
Kelautan dan Perikanan, DKP. Jakarta.
Krismono. 2004. Optimalisasi Budidaya Ikan dalam KJA di Perairan Waduk Sesuai Daya
Dukung. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar. Departemen Kelautan dan
Perikanan RI, Bogor.
Kusumastanto, T. 1998. Penyusunan Konsep Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Yang Berakar Pada Masyarakat. Kerjasama Dirjen Bangda Depdagri dengan
PKSPL-IPB.
Laksana, B. S. 2005. Pengaruh budidaya ikan keramba apung terhadap status tropik di
perairan sungai (studi kasus kegiatan budidaya ikan di Sungai Karang IntanKecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan). Pascasarjana
Unpad. Bandung.
Lynch, F., M.R. Hollnsteiner and L.C. Covar. 1974. Data Gathering by Social Survey. Trial
Edition. Philippines Social Science Council. Inc., Quezon City. Philippines.
Machbub, B. 2010. Model Perhitungan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau dan
Waduk. Jurnal Sumber Daya Air, Vol. 6 No. 2. P. 103-204. Jakarta.
Madrie. 1986. Beberapa Faktor Penentu Partisipasi Anggota Masyarakat dalam
Pembangunan Pedesaan. Tesis Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Mc Donald, M.E., C.A. Tikkanen, R.P. Axler, C.P. Larsen, dan G. Host. 1996. Fish Simulation
Culture (FIS-C). A. Bioenergetics Based Model for Aquacultural Waste Load
Application. Aquacultural Enginering. 15 (4): 243-259.
Meade, J.W. 1991. Aquaculture Management. Anavi Book Van Nostrand Reinhold. 175
hlm.
Mitchell, B., B. Setiawa, D.H. Rahmi. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Mubyarto. 1984. Strategi Pembangunan Pedesaan. P3PK. UGM. Yogyakarta.
Nastiti, A.S., S, Nuroniah., S.E. Purnamaningtyas, E.S. Kartamiharja. 1998. Daya Dukung
Perairan Waduk Jatiluhur untuk Budidaya Ikan dalam Keramba Jaring Apung.
Pusat Riset Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan RI.
Jakarta.
Ndahawali, D. H. 2002. Dampak Budidaya Ikan Terhadap Kualitas Air, Studi Kasus
Budidaya Ikan Jaring Apung di Danau Tondano, Minahasa, Sulut. Tesis Magister
Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Jakarta
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
117
Nikijuluw, V.P.H. 1994. Co-Management sebagai Paradigma Baru Pemanfaatan
sumberdaya Perikanan Secara Berkelanjutan dalam Inovasi Teknologi Pertanian
Seperempat Abad Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Tomasu Offset
Printing. Jakarta.
Nikijuluw, V.P.H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pusat Pemberdayaan
dan Pembangunan Regional (P3R) dengan PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta
Nuryanto, S. 2001. Model Eutrofikasi Akibat Kegiatan Perikanan Sistem Karamba Jaring
Apung (KJA) di Waduk Saguling, Jawa Barat. Pascasarjana IPB. Bogor.
OECD Organization for Economic Coorperation and Development. 1982. Eutrophication
of Waters. OECD Publication Office. Paris
Odum, E.P. 1989. Dasar Dasar Ekologi Edisi Ketiga. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta
Payne, A.L. 1986. The Ecology of Tropical Lakes and Rivers. John Wiley and Son.
Singapura.
Pennak. 1978. Freshwater Invertebrates of The United States, second edition. John
Wiley&Sons, Inc: United States of America.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 28 Tahun 2009 tentang Daya
Tampung Beban Pencemaran Air Danau/atau Waduk. Kementerian Negara
Lingkungan Hidup RI. Jakarta
PKSPL, 1998. Penyusunan Konsep Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan yang
Berakar dari Masyarakat. Kerjasama Dirjen Bangda dan Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB. Bogor
Poernomo, K., A. Krismono dan A. Sarmita. 1993. Penataan Ruang Beberapa Waduk di
Jawa dan Lampung Dalam Rangka Pengembangan Usaha Perikanan. Prosiding
Puslitbangkan No, 31/1993. Deptan, Balitbangtan Puslitbangkan. Jakarta
Pomeroy. R.S. and M.J. Williams, 1994. Fisheries Co-Management and Small Scale
Fisheries : A Policy Brief. ICLARM. Manila.
Prihadi. T.H. 2004. Upaya Perbaikan Lingkungan Untuk Menunjang Kesinambungan
Budidaya Ikan Dalam Keramba Jaring Apung (KJA). Pusat Riset Perikanan
Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Jakarta
Rachman. 2003. Produktivitas Primer dan komunitas Plankton di Danau Buatan Kawasan
Pemukiman Ogan Permata Indah Jakabaring Palembang. Universitas PGRI.
Palembang
Raharjo. 1996. Masalah Komunikasi di Pedesaan dalam Pembangunan Desa dan Lembaga
Swadaya Masyarakat. CV. Rajawali. Jakarta
Ridwan, 2002. Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian. Alfabeta Bandung
Ruttner. 1997. Fundamental of Limnology. University of Toronto Press. Kanada
Ryding, S.O. dan W. Rast, 1989. The Control of Eutrophication of Lakes and Reservoirs.
Man and Biosphere Series. Vol I. The Parthenon Publishing Group : 314 pp.
Sachalan, M. 1980. Planktonologi. Fakultas Perikanan Universitas Padjadjaran.Bandung.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
118
Saeni, M.S. 1989. Kimia Lingkungan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ditjen
Pendidikan Tinggi. Pusat Antara Universitas Ilmu Hayati. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Sastropoetro, S. 1998. Partisipasi, Komunikasi, Persuasi dan Disiplin dalam Pembangunan
Nasional. Penerbit Alumni. Bandung
Schmittou, H.R. 1991. Cage Culture. A Method of Fish Production in Indonesia. FRDP
Central Research Institute for Fisheries. Jakarta - Indonesia
Setiana, A. 1996. Nitrate and Phosphorus : Leaching and The Impact to Reservoir Water
Quality. Jurnal Alam (1) : 32-35
Siagian, M. 2009. Strategi Pengembangan Keramba Jaring Apung Berkelanjutan di
Waduk. Unpad Press. Bandung
Soemarwoto, O. 1983. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit
Djambatan. Bandung.
Southwick, C.H. 1976. Ecology and Quality of Our Environment 2’nd Edition. D. Van No
Stran Company. New York.
Sudrajat, M. 2009. Dampak Budidaya Ikan Jaring Apung di Waduk Cirata Terhadap
Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Lokasi dan Pembangunan Ekonomi
Kabupaten Cianjur. Pascasarjana IPB. Bogor.
Suyatna, 1982. Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan. IIP. Jakarta.
Tjondronegoro, S.M.P. 1983. Gegala Organisasi dan Pembangunan Berencana Dalam
Masyarakat Pedesaan di Jawa. LPSP-IPB. Bogor.
Thorp H. J., A. P. Covich. 1991. Ecology and Classification of North American Freshwater
Invertebrates. Academic Press Inc : New York.
Tulungen, J.J. 2003. Panduan Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Berbasis
Masyarakat. USAID-BAPPENAS. Jakarta.
Turner, C.E. 1988. Cedes of Practice and Manual of Procedure for Consideration on
Introductions and Transfer of Marine and Freshwater Organism. EIFAC / CECPI.
Occasional Paper No. 23. 44 hlm.
Wetzel, R.G. 2001. Limnology. Lake and River Ecosystem. 3th. Academic Press, New York,
London : 1006 p.
Widigdo, B. 2000. Penyusunan Kriteria Ekologis untuk Pemulihan dan Pelestarian
Kawasan Pesisir di Pantura Jawa Barat. PKSPL. Bogor
Widyastuti, E. 2005. Model Pengelolaan Berkelanjutan Budidaya Ikan dalam Keramba
Jaring Apung di Waduk (Studi Kasus di Perairan Waduk PB Soedirman).
Pascasarjana IPB. Bogor.
Wikarta, E.K., T. P. Sendjaja, Y. Dahiyat, A. Rodjak. 2010. Eksternalitas Pencemaran
Sumber Daya Air : Teori dan Aplikasi. Unpad Press. Bandung.
Zainal, S. 1998. Implementation of Extension for Net Cage Aquaculture in Indonesian
Reservoir : Pitfulls and Prospect. FAO Fisheries Technology Papers.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
119
CASES OF BACTERIAL INFECTIOUS DISEASES IN THE GROUPER AND THE ECONOMIC
ANALYSIS ON MARINE CAGE CULTURE IN PANDEGLANG, BANTEN PROVINCE
Putri Ramdhani, Ratna Amalia Kurniasih & Dinarti
Center of Fish Diseases and Environment Investigation
[email protected]
ABSTRACT
Gouper aquaculture is growing up in Indonesia, especially in the grouper marine cage
culture, however grouper marine cage culture has some problem such disease and bad
environmental. Bacterial infection is one of the diseases in grouper with clinical sign like
ulcer in the body and fin rot. Water in aquaculture is not just for live but as an
intermediary for pathogen, so that bad environment cause fish stress and diseases
transmissions becomes faster.Sampling has done on marine cage culture belonging Mr.
Sam located in Kp. Cisaat, Banten Province. Sample was fish with pathogen clinical sign
like weaker body, ulceration, or decrease appetite and has 18-22 cm for long body.
Ulceration caused by bacterial, parasite or virus, therefore laboratory examination
should be carried out for diagnose Water quality has done for supporting data like
temperature, pH, DO and salinity. From the examinition results obtained iridovirus and
VNN negative and positive bacteria. The cause of death due to huge losses for farmer,
therefore economic analysis has done to determine the amount of losses and it is
expected to be reference feasibility grouper aquaculture on marine cage culture
KEYWORDS : Grouper; cage; diseases; economic; water quality
INTRODUCTION
Grouper mariculture at several locations in Indonesia is growing, especially grouper fish
farming in floating net cages (KJA). This is due to the supply of breed stock is available
regularly either in amount or size. Hatchery in Gondol, northern part of Bali, has been
growing and is able to ensure supply of seeds. At beginning the larva grouper depend on
the natural supply in which the amount and time limited and irregular. Therefore, the
government encourages all efforts leading to grouper aquaculture activities, especially
through the net in the sea (Subiyanto et al., 2001).
The problem is the occurrence of the disease. One of the diseases found in fish grouper is
a bacterial infectious disease with clinical sign of the ulcer on the body, and fin rot
(Koesharyani & Zafran, 1997; Zafran et al., 1998; Koesharyani et al., 2001; Wijayati &
Djunaidah, 2001; Johnny & Roza, 2002; Johnny & Prisdiminggo, 2002).
METHOD
Sampling was conducted in marine cage grouper owned by Mr. Sam, Kampung Cisaat,
District Pandeglang, Banten Province. The fish which taken as a sample was a fish with
sign infected by the pathogen, such as weak body, arising ulcers, or decreased appetite
with size 18-22 cm. Water parameters measured include temperature using a
thermometer, pH using a pH meter, the solubility of oxygen in water is calculated using a
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
120
DO meter and salinity using a refractometer. Bacterial cultivation was carried out using
Tryptic Soy Agar (TSA) and Thiosulphate Citrate Bile Salt Sucrose Agar (TCBSA) media,
then incubated at 25-28˚C for 24-48 hours. Histopathology sample preserved with buffer
formalin. Blood smears observation was conduct with Giemsa staining with methanol.
RESULT AND DISCUSSION
ANAMNESA
The Marine cage ownership is a group at cultivation. This Marine cage has 30 plots with
each plot filled four nets (A, B, C, D), each measuring 2.5 x 2.5 x 2 m2. The commodities
are cultivated in cage grouper. There are four types of groupers filling each mesh include
kerapu tikus, kerapu macan, kerapu cantik, dan kerapu cantang. Maintenance period of
grouper is 6 months. And grouper cultivation has been carried out for 1.5 years. Stocking
densities used range from 300 individuals / plot. Grouper cultivated seed imported from
Bali. The age of fish in the cage varies as larvas released every month. They were
vaccinated before.Feeding given in 3 times a day. Noon and evening are fresh fish from
fisherman arround.On the noomlight fish bought and stored in low temperatures. Based
on interviews, there was no indication if there formalin on fresh fish. Besides fresh feed,
fish also given artificial feed in the form of pellets derived from PT. Cargil.
Figures 1 and 2. The location grouper in floating net cages owned by Mr Sam
The mortality in grouper began in the last of six month. It caused by extreme weather in
which rain and warm season in a day. Since then the deaths began to increase to 100 fish
/ day. These deaths occur only in humpback grouper, not the other groupers but lately it
seems the disease began to spread on grouper duck. The case also does not occur in
different cage units. Currently the mortality rate began to decline, approximately 30 fish
/ day. The total calculation of mortality rate of this incident was 90% (from 23,000 fish
remaining 2,300 or 10% of its course)
NECROPSY DAN CLINICAL SIGN
Finding samples from the sick fish cage C3 and D27, In this case, fish has pale gills and
eyes yellowish, as image below.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
121
Figure 3.The results of necropsy grouper in floating cages in the district. Pandeglang
Clinical Sign such as weakness, lethargy, swimming at the base. Changes in anatomical
pathology observed externally in the form of redness in the mandible and fins as well as
lesions
LABORATORY EXAMINATION
In this study, Laboratory observation was used to examine the bacteria, histopathology
and viruses, with the results shown below.
1. Viruses Examination
There are three types of the virus commonly found in the cultivation of grouper that Viral
Necrosis Virus (VNN), Grouper Iridovirus (GIV) and Lympocysticvirus. VNN caused mass
deaths on larvae while iridovirus caused death of larva stage and adult. Otherwise the
death caused by lympocysticvirus relatively low, even though it potentially degrade
quality of product (Hakim Aziz, et al; 2014). Therefore, based on clinical sign (having fin)
then was examined by PCR viral diseases. The results obtained as the table below:
Code sample
Iridovirus
VNN
C3
Negatif
Negatif
D27
Negatif
Negatif
2. Bacterial Examination
Examination of the bacteria was performed on organ blood, liver and gills. It is because
these organs are sterile organ, different from the outer surface of the part directly
affected by the environment. A series of test on identification bacteria are obtained with
gram staining, physiological, and biochemical, and also examination smear of blood. The
result of blood smear examination is positive rod-shaped bacteria. As for the results of
the examination of other target organs showed the results of Vibrio alginolyticus. This is
in accordance with the result of the identification bacteria and smear of blood that rodshaped found.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
122
3. Histophatological examination
While the results of histopathological examination of the liver showed degeneration of
fat characterized by the vacuole-fat vacuoles and granulomatous inflammation restricted
to connective tissue.
Degenerasi of fat
Granulomatosa
The changing of liver in fatten degeneration is accumulation of abnormal fat parechymal
hepart cells. In Histopathology there is fat vacuoles (degeneration of fat) or water
(Hydropic) in cells, both small and large. In some cells, the nukleus was keep although
there is displaced to the side of cytoplasmic vacuoles of fat (Robbins and Kumar, 1992).
In Kurniasih (2013) degeneration of fat caused by poor feed quality, or chronic disease.
While granulomatous caused by localized nodules, it condense and became white to
grey. This is in accordance with the results of examination of bacteria and smears of
blood that that bacterial infection.
WATER QUALITY EXAMINATION
The results of water quality measurements at the time of the survey in cage could be
seen in the table below in which some parameters of DO, pH, temperature within the
optimum value.
No
Parameter
C3 cage
D27 cage
C27 cage
Optimum
value*
Tolerance
Value*
1
DO (mg/L)
7,62
8,07
7,60
4–7
3 – 10
2
pH
8,0
7,8
7,9
7,5 – 8,5
7–9
3
Salinity (‰)
31
35
31
15 - 25
5 – 35
4
Temperature
(°C)
29,2
28,9
29,2
29 - 30
21 - 32
5
NH3 (mg/L)
ttd
ttd
ttd
0
1
6
NO2 (mg/L)
ttd
ttd
ttd
0
0.25
7
TOM (mg/L)
0,0205
0,0218
0,0070
<10
8
Alkalinity (mg/L)
120,00
121,00
120,40
33 - 60
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
123
BUSINESS ANALYSIS
The variable production cost of humpback grouper Kerapu bebek (Chromileptes altivelis)
within density of 300 fish / plots with an area of 2.5 x 2.5 x 2 m or equal to 24 fish / m3.
Using assumption feed conversion ratio (FCR) was 3.5. This is according with Fauzi, et al
opinion (2008) in which the FCR groupers are feed pellets ranged from 3 to 3.55 while for
trash fish for 4 - 5. The harvest is greater than 400 grams and the culture period ranges in
6 months. Assuming the survival rate is above 85%. Harvest is above 400 grams. The
result of production is 102 kg / plot or 12,240 kg in 120 plots. While for the fixed costs,
assuming for 8 years of use, and maintenance costs with a value of 10% of the
investment cost.Is Rp. 29.25 million / year. By mortality cases in Mr.Sam floating net with
SR 10% causes the result production is only about 1.440kg / 120 plots.
CONCLUSION
The result of examination shows that a disease caused by the bacterium Vibrio
alginolyticus. It causes losses in business. So it is important to control the disease in the
fish cultivation.
REFERENCE
Evan Yan, Dinarti, Swastika Dita Soraya and Suherman (2012) Penyakit Bakterial;
Penyakit Ikan Kerapu, Loka Pemeriksaan Penyakit Ikan dan Lingkungan
Fauzi, I. Mokoginta and D. Yaniharto (2008) Rearing of Humpback Grouper (Cromileptes
altivelis) Fed on Pellet and Trash Fish in Cage Culture System; Jurnal Akuakultur
Indonesia, 7(1)
Fris Johnny 1, Prisdiminggo2 dan Des Roza1 (2012), PENYAKIT INFEKSI BAKTERI PADA IKAN
KERAPU DI KERAMBA JARING APUNG TELUK EKAS, KABUPATEN LOMBOK TIMUR,
NUSA TENGGARA BARAT
http://ikbalfarabi007.blogspot.co.id/2012/11/penyakit-infeksi-bakteri-pada-ikan.html
Kurniasih (2012) Materi Patologi Umum dalam Bimbingan teknis Patologi; Loka
Pemeriksaan Penyakit Ikan dan Lingkungan
Muhammad Aziz Hakim, Indriasih dan Wiwin Wiyani, (2014) Penyakit Viral; Penyakit Ikan
Kerapu, Loka Pemeriksaan Penyakit Ikan dan Lingkungan
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
124
EFFECT OF CRUDE EXTRACT SAMBILOTO (Andrographissp) LEAVES IN CONTROLLING
REPRODUCTION OF FEMALES SALINE TILAPIA (Oreochromisniloticus)
Mohammad Syaichudin, Suhardi A.B.S, Abdul Gafur
Abstract
The classic problem in saline tilapia culture that maturity before adulthood and frequent
mating behavior, it is spurring the development of a variety of techniques to control
tilapia reproduction undesirable. The advantage of the growth control reproduction is
superior, because the fish will divert more energy to the growth not for reproductive
behavior. The method has existed largely unsustainable and difficult to access by
traditional culturer. Therefore, it is necessary to develop an alternative method for
controlling the ripening prematurely that economical and sustainable, such as the use of
herbs as alternative proper substitution of chemicals and pharmaceuticals. Sambiloto
(Andrograhissp) that contains the active compound andrographolida can cause infertility
through the mechanism of inhibition of production of progesterone that play a role in
the maturation of the gonads. Engineering aims to examine the role of crude extract of
sambiloto in the control of gonadal maturation saline tilapia females. The design of the
testing is done by comparing the tilapia females fed the result of addition of crude
extract of bitter leaf with the control without addition, which the two-month test period.
Test animals used were female tilapia fish measuring 15 cm and weighing 90 g in a 10 m 3
concrete tank container given by the black net with stocking density 6.5 indv/m2. Based
on the test results are obtained absolute length growth (Lm) in the control is 6.05 cm
while 6.88 cm of sambiloto (bitter) treatment, where treatment sambiloto look higher
0.83 cm. While the rate of absolute weight growth (Wm) in the sambiloto treatment look
higher 19.53 g compared with controls. The main target of engineering that is controlling
the female tilapia reproduction, information that obtained showed on the control
treatment gived gonadal maturity level reaches 100%, while 81.25% in sambiloto
treatment, it is proved that the extract of sambiloto in this activity could inhibit gonadal
maturation in the saline tilapia females reached 18.75%. Phytoestrogen compounds such
as isoflavonoids, flavonoids, lignans and coumestans believed to have capabilities such as
sex hormones, and can block estrogen biosynthesis by acting as aromatase inhibitors and
estrogen receptor antagonists in gonadal germ cells. Therefore, this material is
considered potentially useful in encouraging sex reversal or delay gonadal maturation in
fish, especially in the control of reproduction of tilapia in aquaculture so that productivity
will increase.
Keywords: gonadal maturation, phytoestrogens, reproduction.
INTRODUCTION
Saline tilapia is one of the leading in the development of brackish water in the
future, in addition to having a wide tolerance of level salinity (eurihaline), this fish also
has a taste more savory than those reared in freshwater pools. The level of demand for
export in the form of fillets and domestic needs are high, making alternative crop to be
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
125
cultivated in ponds of brackish. A classic problem in the cultivation of tilapia that
maturity before adulthood and frequent mating behavior, it is spurring the development
of a variety of techniques to control unwanted tilapia reproduction. The advantage of the
control reproduction is superiority in growth, because the fish will divert more energy to
growth and not for reproductive behavior.
Synthetic compounds use in aquaculture has created resistant bacteria, immunesuppression and destablisation of helpful bacterial population as well as environmental
pollution. Synthetic compounds with estrogenic activity disrupt normal endocrine
function in wildlife populations and humans. These have created interest in the
development of alternatives including the re-examination of using plant derivatives.
Therefore natural immune stimulants like glucans, chitin and chitosan, vitamin C and E,
some polysaccharides and polyribonucleotide are being used to replace
chemotherapeutic agents (Emeka et.al 2014)..
With increased domestic demand is also high, it is necessary efforts to improve the
productivity of saline tilapia fish farming. One effort to do that is to make saline tilapia
become sterile using herbal remedies anti-fertility, expected fish sterile will terminate of
spermatogenesis on males tilapia and occurs prevention of ovulation in females tilapia,
so that the energy used for the process of spermatogenesis and ovulation will be
converted to the growth of saline tilapia. Will eventually obtained increased productivity
and improve feed conversion ratio, so the saline tilapia fish farming will grow fast.
The idea of using herbal extracts to produce population of monosex tilapia in
aquaculture is new, and which operate on the principle of synthetic hormones sex
reversal in fish farming. Some herbal extracts contain phytochemicals (phytoestrogens)
that is similar to the functional structure of the steroid hormone estradiol in animals.
They are able to produce estrogenic effects in animals (Fowler, 1983; Lehtinen and Tana,
2001). Bennetts et al. (1946) first discovered the interference effects of phytoestrogens
on the fertility of sheep and cows grazing on clover (Trifoliumsubterraneum). Findings
Bennetts et al. (1946) can adjust the speed on research phytoestrogens, which then led
to the discovery of the nature phytoestrogenic in some humans foodstuffs include rice,
soy, wheat, grains, potatoes, and other insulating two potential substances of estrogenic
of Trifoliumsubterraneum (Bradburry and White, 1954) in Gabriel et.al. 2015.
Based on the results of research conducted in India to test male rats, bitter in the
form of dry leaf powder with a powder dose of 105 mg / kg body weight administered
daily for 60 days. The result was able to stop spermatogenesis (development and
maturation of sperm cells). Besides, it also has also conducted research on female mice,
namely by giving the bitter powder, sun-dried, with a dose of 2 g / kg body weight per
day for 6 weeks. It was reported that bitter antifertilitas also have an effect on female
mice. This is indicated by the absence of experimental animals 5 times pregnant after
mating with a fertile male animals and not be bitter. Based on that study concluded that
Sambiloto can prevent ovulation.In Bangladesh, Sambiloto often used as an anti-fertility.
Furthermore, the reported of potential phytochemical or phytoestrogens to
control the reproduction of tilapia, has various consequences on a variety of
physiological processes in animals such as :antistress, the promotion of growth, appetite
stimulation, tonic and immune stimulation, and antimicrobial properties (Citarasu 2010;
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
126
Chakraborty and Hanz 2011; Chakraborty et al., 2012). Currently, the herbal extracts are
preferred over synthetic drugs because it is cost effective, environmentally friendly and
produce less resistant to disease because of the diversity (Logambal et al., 2000; Olusola
et al., 2013). Reportedly, in humans, many women prefer phytoestrogens as an
alternative to hormone replacement therapy (HRT) and estrogen replacement therapy
(ERT), because they do not pose a risk of breast cancer, endometrial cancer, or irregular
bleeding (Brzezinski and Debi, 1999 ;. Wade et al, 1999 ;. Wagner et al, 2001) in Gabriel
et.al. 2015.
Although, interest switched from synthetic medications to herbal extracts had
increaded on fish farming, over the last 20 years, more attention has been directed to
study herbal extracts such as growth, digestion and enhancing immuno-stimulants in
fish. Currently, very little research done on phytoestrogens as inhibitors of reproduction
in tilapia culture. Future research examine the application of phytoestrogens in tilapia
culture with investigating the herbal extract from; Quillajasaponaria (Angeles et al, 2015)
and Trigonellafoenum-graecum- (Francis et al, 2001 ;. 2002; 2005; Stadtlander et al.,
2008), Azadirachtaindica (Jegede and Fagbenro 2008), Hibiscus rosa-sinesis ( Jegede,
2010), Carica papaya (Jegede, 2011; Abdelhak et al, 2013 .; Ampofo-Yeboah, 2013); Aloe
vera (Jegede, 2011) Moringaoleifera (Ampofo-Yeboah, 2013), Basella alba (Ghosal and
Chakraborty 2014), soybean (El-Sayed et al., 2012), and Tribulusterrestris (Omitoyin et
al., 2013).
Neem leaves may also be effective in inhibiting reproduction Tilapia zilli. In 2010
Jegede reported similar histologic changes in the gonads, by entering the leaves of
Hibiscus rosasinesis at 3.0 MPD-1 in tilapia diets. In 2011, he further incorporate aloe
latex on a diet of tilapia 2.0 mL kg-1 diet. Similar findings were obtained when the seeds
of papaya (Carica papaya) given to tilapia basal diet at 120 kg-1 diet (Abdelhak et al.,
2013). During the study reported significant gonad histological changes at high doses,and
the study confirms that, effects (sterility) of papaya seeds with high doses is permanent,
while medium and low doses can have reversible effects (Abdelhak et al., 2013). These
findings support the initial research, which reported that the cheetah in captivity with
fertility always reduced when cats consume a diet of soy products, are turned upside
down when the diet was removed (Setchell et al., 1987).
Based on the above, then on the engineering is done preliminary testing using
crude extract of Andrographispaniculata (bitter) in controlling and inhibiting
reproduction of saline tilapia (O. niloticus) females in cultivation. With the application of
Andrographispaniculata extract optimally, is expected to be a solution for improving the
production of saline tilapia, so in the end result may also increase aquaculture
production. Where in general, a method that has existed largely unsustainable and
difficult to access traditional cultivators. Therefore, it is necessary to develop an
alternative method to control ripening prematurely economical and sustainable, such as
the use of herbs as alternative that proper substitution of chemicals and
pharmaceuticals. One of them is bitter (Andrograhissp) that contains the active
compound andrographolida can cause infertility through the mechanism of inhibition of
the production of progesterone play a role in the maturation of the gonads.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
127
METHODOLOGY
This activity was conducted in February and November 2015 in the Brackish Water
Aquaculture Development Centre Takalar, located in the village Boddia, District
Galesong, Takalar, South Sulawesi Province.Preparation facilities and infrastructure that
will be used for the implementation of the activities of engineering, such as: concrete
tank 10 m3, black net, saline tilapia brood females, feed mains, bitter botanicals, calipers
or a ruler, and electric scales. While the means of supporting research that soft net small,
bucket sampling, rock aeration, aeration hose and faucet aerators. For testing water
quality using a refractometer, thermometer, pH meter, DO meter and
spectrophotometer.
Wet bitter leaf is dried and blended until crushed to a powder simplicia leaves.
Simplicia leaves (1 kg) was then boiled in a container containing distilled water until
reach volume of 5.000 ml to boil and leave for one day and sought protected from light.
After that the process is carried out extortion. Results of extortion stored in a sealed
container and placed in a cool place and protected for two days and do not do the
stirring. Furthermore, the separation between the supernatant / residue and the filtrate,
the next process the filtrate from the extract is taken and stored in a refrigerator at a
temperature of 40C.
Additional feed is done with a dose of 80 ml / 1000 g of feed. Weight calculation
basis of feeding the fish into fish food daily that is 3% of the body weight.The feed to be
given first performed additionof extract paniculataaccording to treatment engineering
which has been planned. For the first time pick up on a number of extracts of bitter with
appropriate dosage and enter in a hand sprayer, then spray feed it flat and winds. To
reduce the bitter taste in the feed coating is carried out using chicken egg whites or
starch and the wind dried back to dry and ready to feed given to test animals.
The design of the testing is done by comparing the tilapia females that fed using
the result of addition of crude extract of bitter leaf and control without addition, where
the testing period for two months. This test compares the extract of bitter and control. In
the bath is placed a square mesh with a size of 2 m x 3 m x 1 m, for testing and control.
Furthermore, the introduction of saline tilapia broodstock female candidates, on the
vessel testing and control that each given test animals with a stocking density of 6.5 fish /
m2. Test animals used are tilapia females measuring 15 cm and weighs 90 g. In the early
stages do acclimatization for 2 weeks using feed normally, and then at a later stage to
the testing carried out for 6 weeks, where on the vessel control stick with regular feed
while in the experimental tank that has been added with crude extract of bitter at a dose
of 3% by weight body. The feeding is done 3 times a day, the morning, afternoon and
evening. Further observation of water quality and the performance of the test animals.
Data collected at the end of the activity that is the highest percentage of parent
tilapia females mature gonads and are not mature gonads, this is done by looking at the
maturity level of gonads through the examination by means of massaging the abdomen
females and see eggs or yellow fluid issued by tilapia copy.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
128
RESULTS AND DISCUSSION
Based on test results for two months of maintenance , the data showed maturity
level of gonads brood fish saline tilapia quite interesting, where the control tank
obtained level of maturity gonad 100% or whole tilapia saline females are maturing
gonads, while the bath treatment bitter that are maturing the prospective parent
females 81.25%. From these results, it is evident that the crude extract of bitter in this
activity could inhibit gonadal maturation in the saline tilapia females amounted to
18.7%.Herbal compounds (phytoestrogens) such as isoflavonoids, flavonoids, lignans and
coumestans among others, are believed to possess the ability to mimic or function like
sex hormones, and are able to block biosynthesize and estrogen by acting as aromatase
inhibitors and antagonists to nuclear estrogen receptor in gonad germ cell (Das et al.,
2012), and therefore may be considered as potential means for inducing sex reversal or
to delay maturity in fish. Especially in controlling the reproduction of tilapia in
aquaculture.
Based on tests performed on placental tissue in humans showed that
andrographolida sodium succinate obtained from bitter quite effective in inhibiting the
production of human progesterone, a hormone which is needed for a successful
pregnancy. Sambiloto only work for a particular network, meaning that only the intended
effect on the network without causing a disruptive influence or damage to other tissues
were normal despite the highest test dose. The researchers concluded that a compound
derived from andrographolida another can also be contraceptives. Another study on
female mice were used dehydroandrographolida, showed that doses can affect the
pregnancy is 250 mg / kg body weight.
Fig 1. Graph percentage of gonads maturation of the female saline tilapia (Experimental Tank and
Control Tank)
Fig 2.Graph percentage of gonads maturation of the female saline tilapia
Currently, very few studies that explore phyto estrogen as an inhibitor of
reproduction in tilapia culture. The following future research that examines the
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
129
application of phytoestrogens in tilapia culture with investigating the herbal extract
from; Quillajasaponaria (Angeles et al, 2015) and Trigonellafoenum-graecum- (Francis et
al, 2001;. 2002; 2005; Stadtlander et al., 2008), Azadirachtaindica (Jegede and Fagbenro
2008), Hibiscus rosa-sinesis ( Jegede, 2010), Carica papaya (Jegede, 2011; Abdelhak et al,
2013 .; Ampofo-Yeboah, 2013); Aloe vera (Jegede, 2011) Moringaoleifera (AmpofoYeboah, 2013), Basella alba (Ghosal and Chakraborty 2014), soybean (El-Sayed et al.,
2012), and Tribulusterrestris (Omitoyin et al., 2013).
A study showed swollen spermatids nuclei, increased interstitial cells and focal
necrosis in testes; and hydropic degeneration, ruptured follicles, granulomatous
inflammation in the interstitium and necrosis ovaries when Neem (Azadirachtaindica)
leaves were incorporated in Tilapia zillibasal diet at 2.0 g. kg-1 (Jegede and Fagbenro,
2008). So, like it is said in many studies that endocrine disrupting compounds (EDCs)
including phytoestrogens may impair animal reproduction either by exerting impacts on
gonad differentiation, direct effect on the gonad or delay maturation. Neem leaves may
be an effective reproductive inhibitor in Tilapia zilli.(Gabriel et.al 2015).In 2010 Jegede
reported similar gonadal histological changes, by incorporating Hibiscus rosasinesisleaves at 3.0 gkg-1 in tilapia diet. In 2011, he further incorporated Aloe veralatex in
Nile tilapia diet at 2.0 mL kg-1 diets (table 3). Similar findings were obtained when
pawpaw (Carica papaya) seedswere included in Nile tilapia basal diet at 120kg-1 diets
(Abdelhak et al., 2013) in (Gabriel et.al 2015)..
Contrary to what is expected of phytoestrogens in tilapia culture, soybean meal
was reported to sharply reduced the percentage of males when it was added to Nile
tilapia diet and further cautioned tilapia farmers to avoid using soybean as a source of
protein during sex reversal treatment (El-Sayed et al., 2012). Obaroh and Achionye-Nzeh
(2011) reported that the use of Azadirachtaindica leaf extract can be used to control
reproduction of Oreochromisniloticus in efeisien and develop the sustainability of tilapia.
Overall, despite the crude extract of bitter have been able to control reproduction
in saline tilapia aquaculture female, but further research is still needed so as to inhibit
reproduction in total, either through engineered dose and extraction techniques further.
In addition, the combination with other materials is also potential in controlling
reproduction saline tilapia females can also be performed simultaneously. But that is
quite encouraging that the results obtained on the growth of the absolute length,
wherein the control tank increased to 6.05 cm, while in the testing tank with biiter
extract increased to 6.88 cm, it is likely that the treatment bitter slightly higher 0.83 cm.
Similarly, the growth rate by weight, wherein the testing tank of bitter seen weight
growth of saline tilapia females seem higher 19.53 g compared with the control, where
control 142.03 g and bitter treatment 161.56 g.
CONCLUSIONS AND RECOMMENDATIONS
Based on the test results can be concluded that :
- Treatment of sambilotocan inhibiting gonadal maturation in the saline tilapia females
amounted to 18.75% compared to controls. It is likely, such as isoflavonoid
phytoestrogen compounds, flavonoids, lignans and coumestans contained in herbal
extracts believed to have capabilities such as sex hormones, and can block estrogen
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
130
biosynthesis by acting as aromatase inhibitors and estrogen receptor antagonists in
gonadal germ cells. Therefore, this material is considered potentially useful in
encouraging sex reversal or delay gonadal maturation in fish, especially in the control of
reproduction of tilapia in aquaculture.
- The data is quite encouraging that the growth of the absolute length of the control tank
increased to 6.05 cm, while in the testing tank increased to 6.88 cm, it appears that the
treatment bitter slightly higher 0.83 cm. Similarly, the growth rate by weight, wherein
the basin testing of bitter seen weight growth of saline tilapia females seem higher 19.53
g compared with the control tank.
- Overall application of this extract has a positive output, especially in controlling
reproduction in females saline tilapia aquaculture research is still needed so as to inhibit
further reproduction in total, either through engineered dose and extraction techniques
further. In addition, the combination with other materials is also potential in controlling
reproduction saline tilapia females can also be performed simultaneously.
REFERENCES
Abdelhak M.E., Madkour F.F., Ibrahim M.A., Sharaf M.S., Sharaf M.M. and D.A,
Mohammed, 2013.Effects of pawpaw, Carica papaya seeds meal on the
productive performance and histological characters of gonads in Nile tilapia,
Oreochromisniloticus. IJAR, 3 (12): 34-37.
Ampofo-Yeboah A, 2013. Effect of phytochemical feed additives on gonadal development
in Mozambique Tilapia, Oreochromismossambicus. PhD thesis, 254 pp.
Stellenbosch University, South Africa, http://scholar.sun.ac.za.
Angeles I.P. and Y-H Chien, 2015. Dietary effect of Quillajasaponariaand /or Yucca
schidigeraextract on growth and survival of common carp Cyprinuscarpio and
their antioxidant capacity and metabolic response upon low dissolved oxygen.
The Israeli Journal of Aquaculture-Bamidgeh, IJA_64.2014.1165.
El-Sayed M.A.B., Abdel-Aziz H.E.S. and M.H. Abdel-Ghani, 2012. Effects of phytoestrogens
on sex reversal of Nile tilapia (Oreochromisniloticus) larvae fed diets treated with
17�-methyltestosterone. Aquaculture, 360: 58-63.
Emeka U, Iloegbunam N.G, Gbekele-Oluwa A.R and Bola M. 2014.Natural Products and
Aquaculture Development.IOSR Journal of Pharmacy and Biological Sciences
(IOSR-JPBS) e-ISSN: 2278-3008, p-ISSN:2319-7676. Volume 9, Issue 2 Ver. IV (MarApr. 2014), PP 70-82 www.iosrjournals.org.
Das R., Rather M.A., Basavaraja N., Sharma R. and U. K. Udit, 2012.Effect of nonsteroidal
aromatase inhibitor on sex reversal of Oreochromismossambicus (Peter,
1852).The Israel Journal of Aquaculture-Bemidgeh, 64-69, IJA_64.2012.703.
Francis G., Levavi-Sivan B., Avitan A. and K. Becker, 2002.Effects of long term feeding
Quillajasaponinson sex ratio, muscle and serum cholesterol and LH levels in Nile
tilapia (OreochromisniloticusL).Comp. Biochem. Phys. C, 133: 593-603.
Francis G., Makkar H.P.S. And K. Becker, 2001. Effects of Quillajasaponins on growth,
metabolism, egg production, and muscle cholesterol in individually reared Nile
tilapia (Oreochromisniloticus). Comp. Biochem. Phys. C, 129:105–114.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
131
Francis G., Makkar H.P.S. and K. Becker, 2005.Quillajasaponins – a natural growth
promoter for fish.Anim. Feed Sci. Tech., 121: 147–157.
Gabriel N.N, Qiang J, Kpundeh M.D and PaoXu. 2015. Use of herbal extracts in controlling
reproduction in tilapia culture : Trends and prospects - A reviewThe Israeli
Journal of Aquaculture - Bamidgeh, IJA_67. (2015).
Jegede T, 2010. Control of reproduction in Oreochromisniloticus(Linnaeus 1758) using
Hibiscus rosa-sinensis(Linn.) leaf meal as reproduction inhibitor. J. Agr. Sci., 2:
149- 154.
Jegede T, 2011. Effects of Aloe vera(Liliaceae) on the gonad development in Nile tilapia
(Oreochromisniloticus) (Linnaeus 1758). In: Fitzsimmons, K., &Liping, L (eds),
Proceedings of the 9th International symposiums on tilapia aquaculture, 222-227
pp. Aquafish CRSP, Shanghai, China.
Jegede T. and O. Fagbenro. 2008. Histology of gonads in Tilapia zillii(Gervais) fed Neem
(Azadirachtaindica) leaf meal diets. 8th International symposium on
tilapiaaquaculture. Cairo, Egypt.
Stadtlander T, Focken U, Levavi-Sivan B, Dweik H, Qutob M, Abu-Lafi S et al., 2008.
Treatment
with
saponins
from
Trigonellafoenum-graecumand
Quillajasaponariainfluences sex ratio in Nile tilapia (Oreochromisniloticus) larvae.
In: Fitzsimmons K, Liping L (eds.) proceedings of the 8th international
symposiums on tilapia aquaculture. Cairo, Egypt. 355-364 pp.
Ghosal I. and B.S. Chakraborty, 2014. Effects of the aqueous leaf extract of Basellaalbaon
sex reversal Nile tilapia, OreochromisniloticusL. IOSR J. Pharm. Biol. Sci9: 162 164.
ObarohI.O, and Achionye-Nzeh G.C. 2011. Effect of Crude Extract of Azadirachtaindica
Leaves at Controlling Prolific Breeding in Oreocrhomisniloticus (Linneaus, 1758).
Asian Journal of Agricultural Research 5(5) : 277-282.2100. ISSN 1819-1894.
Knowledge Review Malaysia
Omitoyin B.O., Ajani E.K. and H.O. Sadiq, 2013. Preliminary investigation of
Tribulusterrestri(Linn, 1753) extracts as natural sex reversal agent in
Oreochromisniloticus(Linn. 1758) larvae. Int. J. Aquacult., 3:133-137.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
132
EVALUASI KANDUNGAN LOGAM BERAT (Pb, dan Cd)
PADA BUDIDAYA KERANG HIJAU (Perna viridis) DI PROPINSI LAMPUNG SEBAGAI
UPAYA MENJAMIN KEAMANAN PANGAN 1
Oleh :
Kurniastuty,2 Verly Dharmawati 3dan Muawanah4
ABSTRACT
Green mussle is one of fisheries product that are cheap, easy for culture and consumed
by the number of the people. Green mussle (Perna viridis) are filter feeder organism that
can be accumulated pollution agent as heavy metal. Green mussle should be higyenic
and free from pollution before consumed. Main Center for Mariculture Development
(MCMD) Lampung has been analyzed green mussle and water for 2 parameters (Pb and
Cd) at 6 green mussle site area in Lampung. Analyze result of Green mussle di Lampung
Province showed that green mussle have detected Pb and Cd. The concentration of Pb
(0,274 – 2,220) mg/kg and Cd (0,435-1,183) mg/kg. For water analysis, concentration of
Pb 0,053 – 0,374 mg/l and Cd 0,018-0,029 mg/l. Analyze result of water in green mussle
location showed that concentration of heavy metal Pb and Cd are over the standard
quality. Green mussle in 3 location are safety for consume because the concentration of
heavy metal Pb and Cd are under the standard quality. Occurencies of heavy metal in
water at green mussle site location should be prepared as an early warning and some
effort should be made by preventive treatment action to find out food safety for fisheries
product.
Key words : Green mussle, Perna viridis, heavy metal, higyenic,
1
Disampaikan pada Asian Pacific Aquaculture, di Grand City, Surabaya, 26-29 April 2016
Perekayasa Utama pada Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung
3
Perekayasa Muda pada Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung.
4
Analis laboratorium pada Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung.
2
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
133
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Saat ini perkembangan usaha perikanan masyarakat, khususnya usaha budidaya kerang
hijau mulai berkembang di masyarakat. Kondisi ini sangat didukung oleh adanya
beberapa faktor antara lain: pangsa pasar yang bagus, teknologi budidaya yang sangat
sederhana dan murah serta ketersediaan benih alam yang sangat melimpah.
Kerang hijau sebagai salah satu produk perikanan yang murah dan banyak dikonsumsi
masyarakat harus terjamin keamanannya. Sebagai produk perikanan yang banyak
diminati masyarakat kerang hijau harus aman dan bebas dari bahan-bahan pencemar
seperti logam berat. Sebagai hewan filter feeder, kerang hijau sangat berpotensi
menyerap bahan-bahan pencemar seperti logam berat. Adanya logam berat dalam
produk perikanan seperti kerang hijau ini sangat membahayakan kesehatan manusia.
Oleh karena itu keamanan pangan (food safety) di sektor perikanan khususnya kerang
hijau harus diperhatikan.
Analisa kandungan logam berat merupakan salah satu cara yang harus dilakukan dalam
menjaga dan menjamin sistem keamanan pangan (Food Safety). Hasil analisa ini
diharapkan dapat memberikan informasi tentang kelayakan standar mutu produk kerang
hijau, terutama untuk mengetahui kandungan logam beratnya sehingga produk yang
dihasilkan aman untuk dikonsumsi.
Tujuan dilakukannya analisa logam berat pada produk perikanan seperti kerang hijau
adalah untuk mengetahui kadar logam berat pada produk perikanan yang dibudidayakan
di suatu lokasi budidaya dan memastikan bahwa hasil budidaya bebas bahan cemaran,
higienis dan aman dikonsumsi.
Selain menganalisa kandungan logam berat pada produk perikanan, perlu juga dilakukan
analisa kandungan logam berat pada air di lokasi budidaya itu dilakukan. Hal ini untuk
mengetahui seberapa besar kandungan logam berat di perairan dapat terakumulasi di
dalam daging produk, baik itu ikan maupun kerang hijau.
Peningkatan kadar logam berat dalam air laut akan mengakibatkan logam berat yang
semula dibutuhkan untuk proses-proses metabolisme oleh organisme akan berubah
menjadi racun bagi organisme tersebut. Kondisi ini selain dapat mengakibatkan kematian
organisme, juga dapat menyebabkan efek negatif bagi orang yang mengkonsumsi
makanan dari hasil laut jika logam berat di laut meningkat. Logam berat Pb, Hg dan Cu
termasuk logam yang beracun (toksik) untuk manusia,yaitu menyebabkan kerusakan
jaringan terutama hati dan ginjal (Darmono, 1995) .
Timbal (Pb) dan Cadmium (Cd) dalam jumlah berlebihan sangat membahayakan
kesehatan manusia. Timbal (Pb) dapat menyebabkan kerusakan jaringan, dan syaraf.
Pada orang dewasa dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah, gangguan
pencernaan, kerusakan ginjal, kerusakan syaraf, sulit tidur, sakit otak dan sendi,
perubahan “mood” dan gangguan reproduksi., sedangkan pada anak-anak paparan
timbal yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan otak, penghambatan
pertumbuhan, kerusakan ginjal, gangguan pendengaran, mual, sakit kepala, kehilangan
nafsu makan dan gangguan pada kecerdasan (Anonymous, 2009)
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
134
Kadmium (Cd) bersifat carsinogen dan bersifat racun kumulatif. Selain saluran
pencernaan dan paru-paru, organ yang paling parah akibat mencerna cadmium adalah
ginjal (Anonymous, 2009)
1. 2 Tujuan
Tujuan evaluasi ini adalah untuk mengetahui kandungan logam berat Pb dan Cd pada
kerang hijau (Perna viridis) yang dibudidayakan di suatu lokasi budidaya di Lampung dan
memastikan bahwa hasil budidaya bebas bahan cemaran, higienis dan aman dikonsumsi.
II. ALAT DAN METODA
2.1. Alat
Peralatan yang digunakan untuk analisa logam berat adalah : tanur, hotplate,
spectrofotometer dan AAS (Atomic Absorbtion Spectrofotometer).
2.2. Metoda
Preparasi Sampel
Dalam menganalisa kandungan logam berat baik pada produk maupun pada air budidaya
preparasi sampel sangat penting dilakukan. Preparasi akan berpengaruh terhadap hasil
analisa. Sampel yang akan dianalisa seperti kerang hijau (Perna viridis) dan air laut
diambil dari perairan, kemudian dibawa ke Laboratorium untuk dianalisa. Untuk
menghindari rusaknya sampel selama perjalanan, maka dilakukan pengawetan.
Pengawetan untuk air laut dilakukan dengan cara penambahan HNO3 atau HCl sampai pH
2, sedangkan untuk pengawetan sampel kerang dilakukan dengan cara pendinginan.
Untuk preparasi sampel air digunakan seperangkat peralatan gelas.
Analisa Logam Berat Pb, Cd
Analisis Pb, dan Cd pada daging kerang dilakukan mengikuti prosedur standar mutu
kekerangan di Indonesia yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN), SNI-012368-1991 untuk Timbal (Pb) dan SNI-01-2361-1991 untuk Cd.
Untuk analisa logam berat pada air laut metode yang digunakan mengacu pada buku
metode analisis air laut, sedimen dan biota yang dikeluarkan oleh LIPI (Hutagalung Horas
P., dkk. 1997).
Kadar ion-ion Na, Cl, Mg, Ca, K dan sulfat dalam air laut pada umumnya sangat tinggi dan
dapat menyebabkan gangguan pada analisa logam berat, sehingga penentuan kadar
logam berat dalam air laut secara langsung dengan AAS akan menghasilkan data yang
tidak akurat. Untuk menghilangkan ion-ion tersebut maka sampel air laut harus
diekstraksi terlebih dulu sebelum proses analisa, untuk memekatkan sampel air sehingga
kadarnya dapat terdeteksi dengan AAS. Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk
proses ekstraksi yaitu: APDC (amonium pirolidin ditiokarbamat), NaDDC (natrium dietil
ditio karbamat) dan pelarut organik MIBK (metil isobutil keton).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Evaluasi kandungan logam berat pada kerang hijau dan air laut dilakukan berdasarkan
data yang diperoleh dari Laboratorium Penguji Balai Besar Perikanan Budidaya Laut
Lampung. Sampel kerang hijau berasal dari perairan Sukaraja dan kota karang Bandar
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
135
lampung, Sragi, Ketapang, dan Legundi, Lampung Selatan serta Lampung Timur. Hasil
analisa kandungan logam berat pada kerang hijau dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan
grafik kandungan logam berat pada kerang hijau dapat dilihat pada Gambar 1 dan
Gambar 2.
Tabel 1. Analisa kandungan logam berat pada daging kerang hijau
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Lokasi
Sukaraja
laut,
Bandar
Lampung
Kota
karang,
Bandar
Lampung
Legundi, Lampung Selatan
Sragi, Lampung Selatan
Ketapang, Lampung Selatan
Lampung Timur
Baku Mutu
Parameter
Pb (mg/kg)
Cd (mg/kg)
1,639
0,435
2,078
1,183
1,992
1,900
2,220
0,274
2 *
1,025
0,941
0,966
0,452
1*
Keterangan :
* SK Dirjen POM No. 3725/B/5K/VII/89
Hasil analisa logam berat Pb pada kerang hijau yang diambil dari 6 lokasi, yaitu Sukaraja
laut dan Kota Karang Bandar Lampung, Legundi, Sragi dan Ketapang Lampung Selatan
dan Lampung Timur menunjukkan bahwa nilai Pb di dua lokasi yaitu ; Kota Karang
Bandar Lampung dan Ketapang, Lampung Selatan sudah di atas baku mutu (>2 mg/kg),
tiga lokasi lainnya, yaitu; Sukaraja Bandar Lampung, Legundi dan Sragi Lampung Selatan
nilainya hampir mendekati baku mutu, sedangkan kandungan Pb pada kerang hijau di
Lampung Timur masih jauh di bawah baku mutu. Menurut SK Dirjen POM No.
3725/B/SK/VII/89 batas maksimum cemaran logam berat Pb pada makanan (untuk ikan
dan hasil olahan) adalah 2 mg/kg.
Hasil analisa logam berat Cd pada kerang hijau dari 6 lokasi, dua lokasi yaitu Kota Karang
Bandar Lampung dan Legundi Lampung Selatan nilainya sudah di atas batas maksimum
baku mutu yang dipersyaratkan (> 1 mg/kg), dua lokasi nilainya sudah mendekati baku
mutu, yaitu Sragi dan Ketapang Lampung Selatan, dan dua lokasi nilainya masih jauh di
bawah baku mutu yaitu Sukaraja Laut Bandar Lampung dan Lampung Timur.
Gambar 1. Konsentrasi Pb pada daging kerang hijau
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
136
Berdasarkan hasil analisa parameter logam berat Pb dan Cd dalam daging kerang hijau
seperti yang disajikan pada Tabel 1. diperoleh nilai konsentrasi Pb antara 0,274 – 2,220
mg/kg dan konsentrasi Cd antara 0,435 – 1,183 mg/kg. Konsentrasi teringgi ditemukan
pada kerang hijau di Ketapang, Lampung Selatan, sedangkan konsentrasi terendah
ditemukan pada kerang hijau di Labuhan Maringgai, Lampung Timur.
Gambar 2. Konsentrasi Cd pada daging kerang hijau
Berdasarkan analisa logam berat Pb dan Cd di 6 lokasi budidaya kerang hijau di Lampung
dapat dikatakan bahwa kerang hijau di Sukaraja laut, Bandar Lampung, Sragi, Lampung
Selatan dan Lampung Timur masih aman dikonsumsi. Akan tetapi untuk kerang hijau di
Sragi Lampung Selatan meskipun nilainya masih di bawah batas maksimum baku mutu
yang dipersyaratkan, tetapi harus diwaspadai karena nilainya hampir mendekati batas
maksimum baku mutu.yang dipersyaratkan.
Adanya logam berat dalam daging kerang hijau tidak terlepas dari lingkungan perairan
dimana kerang hijau itu hidup. Berdasarkan analisa kandungan logam berat yang
dilakukan terhadap air laut di beberapa lokasi budidaya kerang hijau di Lampung secara
kuantitatif dapat dikatakan bahwa konsentrasi logam berat Pb dan Cd nilainya sudah
melewati batas maksimum baku mutu air laut bagi biota laut yang ditetapkan dalam Kep
Men Lingkungan Hidup no 51 Th 2004, dimana baku mutu untuk logam berat Pb yaitu
0,008 mg/l, dan Cd 0,001 mg/l. Grafik konsentrasi logam berat pada air laut di lokasi
kerang hijau dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4.
Gambar 3. Konsentrasi Pb pada air laut di lokasi kerang hijau
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
137
Gambar 4. Konsentrasi Cd pada air laut di lokasi kerang hijau
Hasil analisa kandungan logam berat pada air laut di lokasi budidaya kerang hijau dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Analisa kandungan logam berat pada air laut di lokasi budidaya kerang hijau.
No.
Lokasi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Parameter
Pb (mg/g)
Cd (mg/g)
0,135
0,022
0,292
0,029
0,374
0,022
0,053
0,018
0,008 *
0,001*
Sukaraja laut
Kota karang
Legundi
Sragi
Ketapang
Lampung Timur
Baku Mutu
Keterangan :
* Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004.
Darmono (1995) mengemukakan bahwa, Jenis biota lunak seperti kekerangan, keong
dsb. atau yang mobilitasnya lamban tidak dapat meregulasi semua jenis logam seperti
hewan air lainnya termasuk logam non esensial seperti : Pb, Cd dan Hg, kecuali logam
esensial Cu dan Zn.
Adanya kandungan logam berat seperti Pb. dan Cd pada produk pangan perlu
diwaspadai, karena kedua parameter tersebut cukup berbahaya bagi kesehatan manusia.
Pb merupakan logam yang sangat beracun terutama terhadap anak-anak. Secara alami
ditemukan pada tanah. Timbal dalam jumlah banyak secara langsung menyebabkan
kerusakan jaringan, termasuk kerusakan jaringan mukosal. Sistem yang paling sensitif
adalah system sintetis jaringan darah (hematopoietic) sehingga biosintetis haema
terganggu. Semua sel-sel yang sedang aktif berkembang sensitive terhadap timbal.
Timbal juga dapat merusak syaraf . Sekitar 99 % timbal yang masuk ke dalam tubuh
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
138
orang dewasa dapat diekskresikan setelah beberapa minggu, sedangkan untuk anakanak hanya 32 % yang dapat diekskresikan. (Anonymous, 2009).
Kadmium (Cd) dan senyawanya bersifat carsinogen dan bersifat racun kumulatif.
Sebanyak 5 % Cd diserap melalui saluran pencernaan dan terakumulasi dalam hati dan
ginjal. Selain saluran pencernaan dan paru-paru, organ yang paling parah akibat
mencerna Cd adalah ginjal (Anonymous, 2009).
Sumber logam berat dapat berasal dari limbah industri yang dibuang ke lingkungan laut.
Pada air laut lepas, kontaminasi logam biasanya terjadi secara langsung dari atmosfer
atau karena tumpahan minyak dari kapal tanker yang melewatinya, sedangkan di daerah
pantai, kontaminasi logam kebanyakan berasal dari mulut sungai yang terkontaminasi
oleh limbah buangan industri/pertambangan. Daerah pantai memiliki kandungan logam
berat lebih tinggi daripada daerah laut lepas (Darmono, 1995).
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi adanya variasi nilai kisaran bahan-bahan
cemaran ke dalam suatu perairan. Selain pola arus yang turut mengantarkan limbah
sampai ketitik yang lebih jauh, faktor musim juga ikut berpengaruh dimana masuknya air
hujan dan air daratan akan membantu mengurangi kepekatan bahan-bahan cemaran,
sehingga konsentrasinya menjadi lebih rendah.
Menurut Darmono, (1995), kandungan logam dalam air dapat berubah-ubah dan sangat
tergantung lingkungan dan iklim. Pada musim hujan kandungan logam berat lebih kecil
karena proses pelarutan, sedangkan pada musim kemarau kandungan logam berat akan
lebih tinggi karena logam akan menjadi terkontaminasi.
Tingginya kandungan logam berat pada kerang hijau di beberapa lokasi kerang hijau di
Lampung disebabkan karena faktor cuaca. Pengambilan sampel kerang hijau dilakukan
pada bulan November 2015. Sepanjang tahun 2015 terjadi musim panas yang
berkepanjangan dan jarang terjadi hujan, sehingga bahan-bahan cemaran di perairan
menjadi pekat dan konsentrasinya menjadi lebih besar yang akan berpengaruh pada
konsentrasi logam berat kerang hijau.
IV. Kesimpulan
 Berdasarkan tinjauan di atas dapat disimpulkan bahwa akumulasi logam berat
dalam daging kerang hijau sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan
tempat hidupnya.
 Berdasarkan analisa yang dilakukan terhadap air laut di lokasi budidaya kerang
hijau, kandungan logam berat Pb dan Cd pada air laut di semua lokasi budidaya
kerang hijau sudah menunjukkan nilai di atas ambang batas maksimum yang
dipersyaratkan.
 Kerang hijau di 3 lokasi (Sukaraja, Sragi, Maringgai) aman untuk dikonsumsi karena
konsentrasi logam berat Pb dan Cd pada kerang hijau berada di bawah baku mutu
yang dipersyaratkan.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
139
DAFTAR PUSTAKA
APHA. 2004. Standart method for the examination of water and waste water. APHAAWWA-WPCF.Washington DC. 1193 p.
Anonymous. 2009. Batas Maksimum Cemaran Logam Berat dalam Pangan. SNI 7387.
2009. Jakarta.
Anonymous. 2004. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004. Jakarta
Anonymous. 1989. Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan No.
03725/B/SK/VII/89.
Clark, R.B. 1992. Marine Pollution. Third edition Clarendon Press. Oxford.
Darmono, 1995. Logam dalam Sistem Biologi Mahluk Hidup. Penerbit Universitas
Indonesia.
Fardiaz, S. 1992. Polusi air dan udara. Penerbit Kanisius. Jogjakarta.
Hutagalung Horas P., dkk. 1997. Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota. Buku 2.
LIPI. Jakarta
Sorense, E.M. 1991. Metal Poisoning in Fish. CRC. Press. Florida.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
140
Kajian prevalensi dan faktor risiko kejadian white spot syndrome virus pada budidaya
udang di provinsi Lampung dan Banten
by
Arief Taslihan, Maskur, Sri Mukti Astuti
Abstrak
Penyakit bercak putih viral, yang disebabkan White Spot Syndrome Virus hingga saat ini
masih menjadi ancaman bagi budidaya udang di Indonesia, karena mengakibatkan
kematian pada usia dini, antara satu hingga dua bulan, bahkan pada akhir-akhir ini udang
umur kurang dari satu hingga sudah mulai terserang. Pengendalian penyakit akibat WSSV
karenany perlu dilakukan, melalui pendekatan surveilan dengan tujuan untuk
mengetahui prevalensi dan faktor risiko pada kasus WSSV. Kegiatan surveilan dilakukan
di sentra budidaya udang di wilayah Lampung dan Banten. Metode yang dilakukan
adalah surveilan aktiv. Pengambilan contoh dilakukan secara random pada petakan
tambak, dan purposiv untuk udang di setiap tambak yang terpilih. Sebanyak sebanyak
183 sampel yang dikumpulkan dari wilayah Lampung Selatan, Pandeglang dan Serang.
Hasil surveilan didapatkan bahwa prevalensi WSSV Lampung Selatan 54,3%, Serang
88,9% dan Pandeglang 100%. Beberapa faktor risiko yang signifikan dengan P <5% dan
sangat signifikan dengan P < 1% adalah pemupukan tambak (P = 0,0217), skrining benih
sebelum tebar (P = 0,0257), desinfeksi air (P = 0,0101) dan sistem penggantian air (P =
0,0001).
Kata kunci: prevalensi WSSV, budidaya udang, faktor risiko
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
141
Prevalence and risk factor study of white spot syndrome virus in shrimp aquaculture in
Lampung and Banten province
by
Arief Taslihan, Maskur, Sri Mukti Astuti
Abstract
White spot viral disease, caused White Spot Syndrome Virus have still a threat to
shrimp farming in Indonesia, because it resulted in death at an early age, between one to
two months, even in the late shrimp lifespan of less than one to have started developing.
Disease control program were need to be perform, through surveillance approach in
order to determine the prevalence and risk factors in the case of WSSV. Active
surveillance was carried out in the shrimp farming centers in Lampung and Banten
province. Sampling was carried out by two stage systematic sampling, by first selected
farm, then selected ponds in every farm. Shrimp pond was point out as sample unit,
taken randomly on pond, and purposiv for shrimp in each pond were elected. A total of
183 samples collected from the area of South Lampung, Pandeglang and Serang. Analysis
done using Statistix as software. Based on surveillance results showed that the
prevalence of WSSV South Lampung 54.3%, 88.9% Serang and Pandeglang 100%. Some
risk factors are significant with P <5% and very significant with P <1% is a pond
fertilization (P = 0.0217), screening the seed before stocking (P = 0.0257), water
disinfection (P = 0.0101) and replacement of water systems (P = 0.0001).
Latar Belakang
Penyakit terkait dengan kematian masal pada budidaya udang hingga saat ini
masih didominasi oleh WSSV, yang mengakibatkan kerugian hingga lebih dari tiga trilyun
rupiah. Kejadian WSSV hampir terjadi setiap musim tanam terjadi di area pertambakan
udang, baik intensiv maupun tradisional, sehingga mengakibatkan trauma bagi sebagian
pembudidaya untuk memelihara udang. Namun demikian masih banyak pembudidaya
yang bertahan untuk membudidayakan udang dengan upaya mengurangi risiko
terjadinya wabah di tambak mereka. Faktor risiko yang berusaha dikendalikan sangat
variatif, sehingga perlu penelusuran yang lebih terukur agar budidaya udang lebih
berhasil mengantisipasi masalah penyakit tersebut.
White spot syndrome virus
White spot syndrome virus atau virus penyebab penyakit bercak putih merupakan
virus paling ganas dibandingkan dengan virus lain yang menyerang udang windu, seperti
Monodon Baculo Virus (MBV) dan Hepatopancreatic Parvo-like Virus (HPV). Penyakit
bercak putih telah mengakibatkan penurunan produksi udang di tambak dari tahun
ketahun. Ciri penyakit adalah ditandai dengan terbentuknya bercak putih seperti panu
berukuran setengah sampai lima milimeter (Gambar 4). Penyakit bercak putih pertama
kali diidentifikasi pada tahun 1993 di Jepang (Chou et al., 1995). Wabah WSSV ini pada
tahun 1996 diketahui sudah menyebar di beberapa negara kawasan Asia Tenggara
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
142
(Flegel, 1997). Serangan WSSV sangat merugikan pembudidaya di kawasan yang
terserang, dengan kerugian mencapai milyaran rupiah (Chou et al. 1995;
Wongteerasupaya et al., 1995; Lightner, 1996; Flegel, 1997; Lotz, 1997). Penyakit becak
putih secara klinis ditandai dengan adanya bercak berwarna putih di sebelah dalam
eksoskeleton, mulai dari bagian karapas hingga pangkal abdomen terakhir. Infeksi WSSV
secara histologis, ditandai dengan hipertrofid inti sel pada jaringan sel epitel kutikuler,
jaringan ikat (Lightner, 1996).
Gambar 1. Penyakit bercak putih, ditandai dengan bercak berukuran 0,5 – 1 mm di bagian karapas
udang yang terinfeksi (Lightner, 1996)
Serangan penyakit yang diakibatkan WSSV dapat mengakibatkan kematian
mencapai 100% dalam waktu yang sangat singkat, tiga hari sejak gejala pertama tampak.
Udang yang terserang biasanya berenang ke tepi dekat pematang, lemah, kehilangan
nafsu makan, dan akhirnya mati (Flegel, 1997).
Agen penyebab bercak putih
Penyebab penyakit bercak putih viral adalah virus berbahan genetik DNA (Gambar
5), non-occluded virion berbentuk ovoid atau ellipsoid hingga batang, berukuran
diameter 80 – 120 nm dan memiliki panjang 250 – 380 nm (OIE, 2012).
Gambar 2. Virion White Spot Syndrome Virus, dengan tambahan serupa flagel yang merupakan
perluasan dari protein capsid (Lo et al., 2012)
Virus memiliki amplop tersusun dari lipid dan protein sehingga seperti membran,
menyebabkan virion relatif terlindung. Virus penyakit bercak putih ini termasuk genus
whispovirus dalam keluarga Nimaviridae meskipun berasal dari berbagai wilayah
geografik dan memiliki keragaman genetik berbeda-beda (Lo et al., 2012) Virion
berbentuk batang hingga elips, dengan amplop berlapis 3 dan total berukuran 380 nm
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
143
(Yang et al., 2001). Bahan genetik WSSV secara total memiliki genom 300.000 base-pairs,
dengan komposisi 41% G+C. Melalui analisis sekuen diketahui memiliki 181 ORF (Open
Reading Frame) yang mengode protein fungsional.
Virus bercak putih (WSSV) memiliki gen chitinase yang berfungsi untuk mencerna
kitin yang terdapat pada karapas udang yang merupakan inangnya (Yang, et al., 2001).
Terkait dengan sifat patogenisitas, virus
memiliki kemampuan anti apoptosis,
kemampuan untuk mencegah sel inang untuk bunuh diri (Wang, et al., 2004). Virus juga
mampu mengorup ubiquitin, yaitu mekanisme sintesis ensim protease-pengurai protein
dengan menggunakan mekanisme sel inang (Zhilong, et al., 2005).
Transmisi virus
Penelitian terhadap penularan WSSV telah banyak dilakukan, dan diketahui bahwa
virus penyebab penyakit bercak putih dapat ditularkan oleh beberapa jenis krustase
(Lightner, 1996; Flegel and Pasharawipas, 1998). Penularan secara mekanik dapat
dilakukan oleh cacing polychaeta (Vijayan et al., 2005; OIE, 2012), bahkan burung
(Vanpatten et al., 2004). Penularan penyakit dapat terjadi secara horisontal maupun
vertikal. Beberapa peneliti telah melaporkan tentang penularan WSSV melalui air (Chou
et al., 1998). Hasil penelitian dari Chang et al. (1998) menunjukkan bahwa dengan
menggunakan probe DNA WSBV dilabel digoxigenin dapat dideteksi pada udang liar,
kepiting dan lobster yang diinfeksi WSSV secara buatan.
White spot syndrome virus juga dapat dideteksi pada semua irisan jaringan
organisme yang diuji secara hibridisasi in-situ (Chang et al., 1998). Sel positif DNA WSSV
juga diamati pada insang, perut, epidermis cuticuler, kelenjar antenna, hepatopankreas,
mata majemuk, otot, jantung dan jaringan reproduktif beberapa jenis udang laut, yaitu
Trachipenaeus curvirostris, Metapenaeus ensis, dan Exopalaemon orientalis,. Rajungan,
Portunus sanguinolentus dan Charybdis granulata, DNA WSBV dapat dideteksi di insang,
perut, hepatopankreas, otot dan jaringan reproduktif (Anonimous 2012). Lobster,
Panulirus versicolor dan Panulirus penicillatus, sel positif terinfeksi virus dapat diamati di
insang, lambung, epidermis kutikular dan hepatopankreas. Udang air tawar,
Macrobrachium sp. dan Procambarus clarkia, DNA WSBV diamati hanya pada insang,
epidermis cuticuler dan hepatopankreas. Penularan virus juga dapat dilakukan melalui
cacing laut jenis Nereis sp. (Vijayan et al., 2005).
Selain melalui perantaraan inang perantara, penularan virus dapat dilakukan
secara mekanik oleh perantaraan burung. Sejenis burung camar yang diberi pakan udang
terinfeksi WSSV, selang tiga hari kemudian kotorannya masih terdeteksi WSSV.
Beberapa burung bangau sering dijumpai pada tambak yang sedang terkena wabah, dan
ikut makan udang terinfeksi virus. Burung dapat menularkan virus ke tambak sehat yang
berada dalam satu kawasan dengan tambak yang terkena wabah tersebut (Vanpatten et
al., 2004).
Epidemiologi Penyakit Bercak Putih Viral
Penyakit bercak putih viral, saat ini telah ditetapkan sebagai penyakit bersifat
endemik di wilayah budidaya udang di Asia. Kematian yang ditimbulkan bisa mencapai
100% hanya dalam waktu tiga sampai lima hari sejak kematian pertama terjadi. Beberapa
peneliti bahkan mengategorikan sebagai penyakit pandemik, karena telah menyebar
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
144
secara lintas benua. Kajian epidemiologik terkait penyakit bercak putih viral telah
dilakukan oleh beberapa peneliti (Corsin et al., 2005). Penggunaan pendekatan kajian
epidemiologis mempunyai peranan penting dalam pengelolaan kesehatan hewan
akuatik, karena dapat meningkatkan pengelolaan kesehatan ikan, analisis resiko, dan
pengendalian penyakit (Subasinghe, 2005).
Epidemiologi adalah kajian yang komprehensif, mempelajari penyakit pada aras
populasi berupa keberadaan, tingkatan, distribusinya, serta faktor apa saja yang menjadi
penyebab terjadinya penyakit (Corsin et al., 2005). Pengumpulan data yang paling baik
pada kajian epidemiologi adalah melalui kegiatan surveillance (Lotz et al., 2001)
Salah satu manfaat kegiatan surveillance adalah dapat mengetahui prevalensi
suatu jenis patogen pada suatu waktu. Selain itu, melalui kegiatan survei dapat
menentukan perkembangan suatu patogen pada kurun waktu tertentu. Kajian
epidemiologis ini dapat dipergunakan untuk menentukan prioriotas penyakit serta
mengembangkan strategi pengendaliannya. Kegiatan monitoring juga dapat untuk
menentukan sejauh mana efektifitas sistem pengendalian penyakit yang dilakukan
(Cameron, 1999).
Thrusfield (1986) menyebutkan bahwa terjadinya wabah tergantung pada rasio
reproduktif dasar (R0), yaitu jumlah individu yang dapat diinfeksi oleh individu terinfeksi
(infectious organism) selama periode infeksius. Suatu epidemi hanya dapat terjadi jika R0
lebih besar dari satu, yaitu jika rerata suatu individu terinfeksi mampu menginfeksi lebih
dari satu hewan lain. Lebih lanjut dikemukakan, salah satu langkah untuk menurunkan R0
adalah dengan cara menjarangkan padat penebaran.
Prevalensi
Prevalensi WSSV sangat beragam, dari < 1% pada populasi di alam hingga
mencapai 100% pada populasi udang di tambak (Lo dan Kou, 1998). Prevalensi induk
windu dilaporkan antara 67% dan 74% di Taiwan (Kou et al., 1999 dalam East et al.,
2005). Belum ada data yang pasti tentang besarnya tingkat prevalensi virus bercak putih
pada tambak udang windu di Indonesia, namun diperkirakan lebih dari 50%. Selain
prevalensi, hingga saat ini belum diketahui secara pasti faktor utama apa yang memicu
timbulnya wabah. Beberapa laporan menyebutkan faktor terkait dengan timbulnya
wabah adalah karena hujan, temperatur dingin, serta perubahan kondisi lingkungan yang
terjadi secara drastis. Faktor musim juga berkaitan erat dengan tingkat prevalensi WSSV.
Withyachumnarnkul et al. (2003) melaporkan bahwa pada bulan Januari sampai dengan
Mei, induk windu di laut yang positif WSSV hanya 0-6%, tetapi pada bulan lain induk
windu yang positif WSSV antara 6-18%. Prevalensi mencapai puncaknya pada bulan
September sampai Nopember.
Faktor terkait timbulnya wabah penyakit di tambak
Faktor lingkungan merupakan faktor yang sangat penting yang memicu timbulnya
penyakit (Lotz et al., 2001). Timbulnya wabah penyakit yang diikuti kematian di tambak
sebagian besar disebabkan karena perubahan lingkungan yang mendadak, seperti
perubahan salinitas air yang terjadi secara tiba-tiba (OIE, 2012). Virus penyebab penyakit
bercak putih biasanya menyerang udang pada pergantian dari musim kemarau ke hujan,
yakni pada bulan temperatur rendah (masa bediding), serta perubahan lingkungan
tambak. Perubahan lingkungan yang terjadi di tambak, umumnya terkait dengan sistem
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
145
manajemen di tambak. Pertumbuhan fitoplankton yang cepat dan berlebihan (blooming)
akan diikuti kematian alga secara mendadak. Pembusukan bahan organik di tambak akan
diikuti penurunan kadar oksigen. Kadar oksigen yang rendah inilah yang menjadi pemicu
terjadinya wabah penyakit bercak putih dan kematian (Kusnendar 2006).
Kondisi lingkungan tanah tambak, seperti kondisi tanah asam juga dapat menjadi
pemicu timbulnya penyakit bercak putih atau jenis penyakit lain. Pertumbuhan udang
akan terhambat apabila dipelihara pada tanah asam dengan pH rendah (Taslihan dan
Supito, 2005).
Faktor yang mempunyai peranan penting pada terjadinya wabah penyakit
diantaranya adalah temperatur, kadar oksigen terlarut dalam air, keasaman dan salinitas.
Temperatur. Tinggi rendahnya temperatur air akan berpengaruh besar terhadap sistem
ketahanan udang terhadap penyakit. Penurunan temperatur dari 27oC ke 18oC selama 24
jam mengakibatkan penurunan Total Hemocyte Count (THC) sebesar 40% dan
peningkatan Phenol Oxydase (PO) secara nyata pada udang Penaeus stylirostris (Le
Moullac dan Haffner, 2000). Udang windu mempunyai toleransi temperatur yang sangat
luas. Udang windu masih dapat bertahan hidup pada temperatur antara 30-34oC tanpa
mengalami kematian. Udang mengalami kematian hingga 50% pada temperatur 36oC
(Anonimous, 1978). Temperatur rendah antara 7-10oC mengakibatkan kematian hingga
50% (LT50) selama 10 jam, sedangkan temperatur tertinggi yang masih dapat ditolerir
oleh udang hingga 39oC (Motoh, 1981).
Rahman et al. (2007) menyatakan bahwa udang yang diinfeksi WSSV, kemudian
dipelihara pada temperatur 27oC mengalami kematian 100%, sedangkan udang yang
diinfeksi WSSV dan dipelihara pada temperatur 33oC tidak mengalami kematian.
Temperatur yang kondusif untuk WSSV adalah berkisar antara 18oC sampai dengan 30oC
(Song et al. dan Vidal dalam OIE, 2012).
Tujuan
Tujuan kegiatan surveillance adalah:
Menentukan prevalensi WSSV di daerah Lampung dan Banten
Menentukan faktor risiko terkait penyakit yang disebabkan WSSV
METODE
Peralatan yang dipergunakan dalam kegiatan surveillance adalah berupa alat
pemeriksaan kualitas tanah (pH) dan air (pH, salinitas, temperatur, kecerahan), peralatan
pengambilan sampel berupa jala dan seser. Peralatan untuk pembedahan dan preservasi
sampel berupa dissecting set dan botol sampel bervolume 50 ml. Bahan yang
dipergunakan untuk preservasi sampel berupa alkohol 80%, preservative Davidson.
Metode diagnosis yang dipilih untuk pengujian WSSV Real time-PCR (qPCR). Tingkat
sensitifitas metode adalah 95%, dan spesifisitas uji 95%. Diagnosis terhadap EMS adalah
dengan menggunakan histopatologi.
Pengambilan sampel
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
146
Metode yang dipilih untuk pengambilan adalah two stage systematic sampling.
Pertama memilih farm/kelompok pembudidaya, kemudian memilih tambak. Unit
epidemiologi adalah kecamatan
Jumlah sampel ditentukan berdasarkan rumus 4 PQ/L2, P adalah prevalensi yang
diasumsikan terjadi di wilayah yang akan dilakukan kajian, sedangkan Q ditentukan
sebagai tambak yang tidak terserang (1-P), dan L merupakan galat (error), ditentukan
sebesar 5%. Besaran jumlah sampel sangat ditentukan oleh prevalensi yang diasumsikan
terjadi di suatu wilayah. Asumsi prevalensi dapat berasal dari informasi hasil penelitian
survei atau surveillance sebelumnya, laporan dari pembudidaya atau laporan petugas
lapangan berdasarkan kegiatan surveillance pasif.
Sampel yang dimaksud adalah berupa tambak sebagai unit sampling terkecil yang
cara pengambilannya ditentukan secara sistematik. Udang dan organisme lain yang
dicurigai sebagai karier ditentukan dengan cara purposif, yaitu apabila terjadi tanda
penyakit atau kematian masal, selanjutnya diambil sebagai sampel sebanyak 14 ekor
(ditentukan berdasarkan detect disease.
Kegiatan surveillance dilakukan di dua propinsi, yaitu Provinsi Lampung dan
Banten. Kabupaten Lampung Selatan dipilih mewakili provinsi Lampung, sedangkan
untuk propinsi Banten dipilih kabupaten Serang dan Pandeglang dan propinsi Jawa
Timur dipilih kabupaten Banyuwangi. Pemilihan kabupaten berdasarkan asumsi bahwa
daerah terpilih dianggap mewakili masing-masing propinsi dengan asumsi prevalensi
WSSV adalah 12,5%, tingkat kepercayaan 95%, dan galat 5%, maka jumlah sampel
tambak udang yang harus diambil sebagai sampel adalah n = 4 PQ/L2 = 4
(0,1)(0,90)/(0,05)(0,05) = 144 tambak. Untuk meningkatkan validitas data kemudian
dihitung dengan desain efek (Design Effect) ntuk mendapatkan presisi jumlah tambak
penentuan jumlah tambak perfarm/kelompok. Varian S² = P(1-P) = 0,9 (0,1)= 0,09, varian
dalam farm  ρ = S₁²/ S² (ρ= Koef intra kelas = 0,05)  S₁² = 0,0045, S₂² = S²- S₁² =
0,0855, np = √ S₂² / S₁² , maka jumlah tambak per farm= 4,358899 ~ 5. DE = 1+(np)ρ =
1,217945, maka npps =144 (jumlah tambak semula) x DE =175 tambak jadi jumlah farm =
28, jumlah tambak per farm = 5.
Sampling akan dilaksanakan staf dinas, masyarakat akuakultur lain yang telah
diberikan pelatihan tentang sistem pengambilan sampel. Pelatihan akan dilaksanakan
oleh Direktorak Kesehatan Ikan dan Lingkungan. Sebelum pengambilan sampel juga akan
dilakukan pelatihan penyegaran di lapangan.
Sampel dari tambak akan dikumpulkan dalam botol sampel (plastik poly ethylene),
bervolume 50 ml, diisi dengan alkohol 80% sebanyak 35 ml. Botol diberi label berisi kode
tambak. Selanjutnya sampel terkumpul akan dikirim ke laboratorium uji. Apabila
diperlukan untuk analisa histopatologi untuk kasus diduga EMS, maka akan disertakan
larutan fiksasi Davidson.
Laboratorium uji yang akan dirujuk untuk pengujian sampel adalah LPPIL Serang,
BBPBAP Jepara, BBAP Situbondo, BBPBL Lampung, dan BLUPB Karawang. Laboratorium
memiliki kompetensi dan mengacu pada ISO 17025.
Hasil dan Pembahasan
Hasil kegiatan surveilan yang dilakukan pada beberapa wilayah didapatkan bahwa,
WSSV ditemukan di semua area surveilan. Prevalensi untuk setiap daerah berbeda, dan
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
147
sangat dipengaruhi oleh tingkat pengelolaan tambak. Pada tambak yang menerapkan
cara budidaya yang baik secara teoritis tingkat prevalensi penyakit juga lebih rendah
dibandingkan tambak yang tidak menerapkan cara berbudidaya yang baik. Faktor musim
tanam juga berpengaruh terhadap tinggi rendahnya prevalensi penyakit.
Penerimaan sampel
Sampel yang berhasil dikumpulkan selama kegiatan surveilan masih belum
memenuhi target karena berbagai alasan. Salah satu alasan yang utama adalah tambak di
wilayah pertambakan di provinsi Banten, meliputi kabupaten Pandeglang, Serang dan
Tangerang sebagian besar tidak beroperasi. Tambak di wilayah Banten didominasi oleh
tambak tradisional, terutama di wilayah Serang. Tambak tradisional pada umumnya
beroperasi secara tidak terjadual, menunggu pada kondisi iklim yang bagus. Selama
tahun 2015, dengan kondisi cuaca yang tidak menentu, banyak pembudidaya yang
menebar bandeng dibandingkan udang, hal ini karena kegagalan berbudidaya udang
pada periode sebelumnya. Pengumpulan sampel pada periode ke dua, yaitu tambak
berumur 2 bulan juga mengalami kendala, karena pada umumnya tambak tradisional
mengalami kematian masal sehingga pada pengambilan sampel periode ke dua tidak ada
lagi tambak beroperasi, hal ini terjadi di wilayan Banyuwangi.
Analisa deskriptif status pertambakan di wilayah surveilan
Secara umum kegiatan tambak di Banyuwangi terbagi menjadi berbagai tingkat
kategori teknologi yaitu, tradisional monokultur 18,1%, polikultur dengan bandeng 6,9%,
polikultur udang dengan nila 6,3%, semiitensiv 1,9% dan intensiv 66,9%. Melihat proporsi
tambak berdasarkan kategori teknologi yang ada, tambak udang di Banyuwangi
mayoritas adalah tambak intensiv, hal ini berbeda dengan tambak di wilayah lain yang
didominasi oleh tambak tradisional.
Pengeringan tambak dilakukan oleh 5,%, sedangkan sebagian besar 94,4% tidak
melakukan pengeringan tambak, hal ini disebabkan karena sebagian besar tambak
intensiv di wilayah Banyuwangi merupakan tambak konstruksi beton (konkret).
Penerapan biosekuriti melalui antara lain didapatkan bahwa tambak melakukan
desinfeksi air sebanyak 68,1%, dan tidak melakukan desinfeksi air sebanyak 31,9%.
Penapisan benih sebelum tebar dilakukan oleh 68,8%, sedangkan 31,3% tidak melakukan
penapisan benih sebelum tebar. Fencing dilakukan oleh 71,9% tambak, sedangkan yang
tidak memagari tambak sebanyak 28,1%. Sebanyak 73,6% menyatakan tidak ada masalah
pada kesehatan udang yang mereka peliharan, dan hanya 26,4% yang melaporkan ada
masalah pada kesehatan udang.
Pakan yang digunakan oleh pembudidaya terdiri dari berbagai berbagai merek
pakan, dan ada juga kombinasi berbagai merek. Tambak intensiv, untuk setiap
perusahaan pertambakan (farm) hanya menggunakan satu merek pakan, sedangkan
untuk tambak tradisional umumnya menggunakan lebih dari satu merek selama
pemeliharaan.
Prevalensi WSSV
Prevalensi WSSV di beberapa wilayah kabupaten menunjukkan adanya berbagai
variasi dari berbagai pelaksanaan surveilan. Data prevalensi dari beberapa kabupaten
dan periode pengambilan disajikan pada Tabel 3. Prevalensi di kabupaten Lampung
Selatan menunjukkan adanya kecenderungan terjadinya penurunan dari periode
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
148
pengambilan sampel I dan pengambilan ke II, tetapi kemudian mengalami sedikit
peningkatan pada periode pengambilan ke III. Terjadinya fluktuasi disebabkan karena
faktor musim, dimana pada pengambilan pertama dilakukan pada musim kemarau
panjang, kesulitan ganti air sehingga banyak tambak yang kemudian karena kesulitan
ganti air mengalami serangan penyakit. Prevalensi WSSV di Banyuwangi menunjukkan
terjadinya penurunan dari periode pengambilan I, II dan III. Pada periode pengambilan
pertama yang dilakukan pada awal tahun, prevalensi WSSV mencapai 35%, kemudian
menurun pada pengambilan ke II, sebesar 16% dan mengalami penurunan mencapai 0%
pada periode pengambilan ke II. Prevalensi WSSV di wilayah propinsi Banten, yang
meliputi kabupaten Tangerang, Serang dan Pandeglang menunjukkan kecenderungan
fluktuatif, pada periode pengambilan sampel I prevalensi mencapai 88,9% untuk
kabupaten Serang, dan 100% untuk kabupaten Pandeglang. Pada pengambilan sampel
periode ke II terjadi penurunan menjadi 0% untuk wilayah Tangerang dan Serang,
sedangkan Pandeglang tingkat prevalensi sebesar 30,8%. Pada periode pengambilan
sampel ke III, terjadi peningkatan kembali menjadi 88,9% untuk Tangerang, 80% untuk
Serang dan 57,9% untuk Pandeglang.
Tabel 3. Prevalensi WSSV pada kegiatan surveilan di wilayah propinsi Lampung
(kabupaten Lampung Selatan), Banten (kabupaten Tangerang, Pandeglang dan Serang)
dan Jawa Timur (Banyuwangi)
Prevalensi WSSV (%) pada sampling ke
No
Kabupaten
I
II
III
Keterangan
1
Lampung Selatan
54,3
28,0
38,0
Prevalensi fluktuatif
2
Tangerang
Tt
-*
88,9
Prevalensi fluktuatif
3
Serang
88,9
-*
80,0
Prevalensi fluktuatif
4
Pandeglang
100
30,8
57,9
Prevalensi fluktuatif
Keterangan:
Angka romawi, periode pemeliharaan
Angka arab, periode pengambilan sampel pada satu musim tanam
* tidak ada data, sampel tidak terkumpul karena tidak ada aktifitas pemeliharaan
Lampung Selatan 54,3%, Serang 88,9% dan Pandeglang 100%.
Teknologi pertambakan juga berpengaruh terhadap prevalensi di masing-masing
kabupaten. Kejadian WSSV di kabupaten Lampung Selatan, pada pengambilan sampel
periode ke II, tambak intensiv memiliki tingkat prevalensi lebih tinggi dibandingkan
dengan tambak tradisional, tetapi pada periode ke III tambak tradisional (Tabel 4).
Kejadian di kabupaten Banyuwangi justru sebaliknya, prevalensi WSSV tertinggi terjadi di
kawasan tambak tradisional (Tabel 5). Perbedaan besarnya prevalensi antara kawasan
tambak tradisional dan tambak intensiv disebabkan, di wilayah kabupaten Banyuwangi,
tambak intensive berada pada klaster yang jauh dari kawasan tambak tradisional, yang
mengumpul
di
wilayah
kecamatan
Muncar.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
149
Tabel 4. Prevalensi WSSV pada kegiatan surveilan di wilayah kabupaten Lampung Selatan
No
Tipe tambak
Prevalensi WSSV (%) pada sampling ke
II
III
Keterangan
I
1
2
3
Tradisional
Intensiv
Lampung
Selatan
Total sampel
Sampel tbk tradisional
Sampel tbk intensiv
54,3%
26,0
35,0
28,0
54,2
9,7
38
171
131
40
113
72
41
Penurunan prevalensi
Keterangan: Pengambilan sampel periode I dan II dilakukan pada bulan September
Tabel 5. Prevalensi WSSV pada kegiatan surveilan di wilayah kabupaten Banyuwangi
berdasarkan tingkatan teknologi
No
Tipe tambak
1
Tradisional
2
Intensiv
3
Kabupaten
Banyuwangi
Total sampel
Total sampel tradisional
Total sampel intensiv
Prevalensi WSSV (%) pada sampling ke
I-1
I-2
II-1
Mei 2015 Juni 2015 Nopember 2015
83,0
50,0
0
15,5
7,0
0
35,0
16,0
0
163
53
110
144
30
114
143
30
103
Keterangan
Penurunan
prevalensi
Penurunan
prevalensi
Penurunan
prevalensi
Keterangan:
Angka romawi, periode pemeliharaan
Angka arab, periode pengambilan sampel pada satu musim tanam
Analisa faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian WSSV
Prevalensi WSSV tertinggi terjadi pada tambak tradisional, monokultur udang
yang mencapai 15,6% untuk wilayah Banyuwangi. Prevalensi di tambak semiintensiv
terkecil, diikuti dengan polikultur udang udang dengan nila. Prevalensi WSSV tambak
intensiv termasuk rendah, apabila dilihat dari proporsi sampel yang diambil. Hasil
selengkapnya proporsi prevalensi WSSV pada tambak berdasar tipe budidaya, konstruksi,
fencing dan desinfeksi air serta asal benih disajikan pada Tabel 6.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
150
Tabel 6. Sebaran prevalensi WSSV berdasarkan tipe budidaya, Asal benih, lokasi,
penerapan biosekuriti
Parameter
Prevalensi WSSV
Tipe Budidaya
Monokultur udang
Polikultur udang dengan nila/mujaer
Polikultur udang dengan bandeng
Semiintensiv (kepadatan 5-50 ekor/m2)
Intensiv (kepadatan > 50 ekor/m2)
Tipe konstruksi tambak
Tanah
Konstruksi beton
Lapis plastik
Keberadaan pagar keliling
Tambak tidak berpagar keliling
Tambak dengan pagar keliling
Status desinfeksi air
Tidak dilakukan desinfeksi
Dilakukan desinfeksi
Asal benih
Primalarva
Pasifik
Suma
Dewi Windu
CP
STP
Lokal
15,6
4,4
6,3
1,3
7,5
26,9
7
5
22,5
12,5
26,9
8,1
1,3
0
5,0
0
1,3
0
27,5
Faktor risiko terkait serangan penyakit dan ratio ganjil (Odd Ratio, OD)
Pada prinsipnya, penyakit dan kematian pada hewan budidaya tidak terjadi begitu
saja. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit, diantaranya adalah
keberadaan patogen dan faktor pemicu timbulnya stres. Faktor pemicu timbulnya
penyakit dan kematian disebut sebagai faktor risiko (Risk factor). Faktor risiko bisa
tunggal, dapat juga terjadi secara simultan.
Hasil analisis terhadap data questioner yang dikumpulkan terkait dengan
pelaksanaan surveilan diperoleh beberapa faktor yang menjadi pemicu. Faktor tersebut
memiliki tingkat kepercayaan 95%. Beberapa faktor risiko adanya yang signifikan dengan
P <5% dan sangat signifikan dengan P < 1%. Faktor risiko dengan P < 5% tersebut adalah
pemupukan tambak dengan P = 0,0217, skrining benih sebelum tebar dengan P = 0,0257,
dan tingkat kepercayaan 99%, yaitu desinfeksi air menggunakan kaporit, dengan P =
0,0101 dan sistem penggantian air dengan P = 0,0001. Hasil analisa kekuatan faktor (P)
disajikan pada Tabel 12. Sampel Banyuwangi menunjukkan bawa faktor risiko wilayah
kecamatan, konstruksi tambak, rembesan, fencing, desinfeksi air, udang liar di sekitar
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
151
tambak, skrining benih, asal benih, merek pakan menunjukkan pengaruh yang signifikan
pada P <0,01 (Tabel 9) untuk kasus Lampung Selatan dan Banten, serta wilayah
Banyuwangi (Tabel 10).
Tabel 9. Analisa Chi-Square, faktor risiko yang berperan dalam menyebabkan terjadinya
wabah yang disebabkan oleh penyakit untuk sampel Lampung dan Banten (n=180)
No.
Faktor Risiko
P
1
Persiapan tambak melalui pengeringan
0,0602
(Ponddry)
2
Pemupukan tambak (Fertilizer)
0,0217*
3
Penyediaan tandon air (Reservoir)
0,8570
4
Kedalaman air (Waterdepth)
0,1287
5
Desinfeksi air menggunakan kaporit
0,0101**
(Cadosage)
6
Pemagaran tambak (Fencing)
0,1442
7
Pengujian benih sebelum tebar (Testfry)
0,0257*
8
Kehilangan air akibat rembesan (Waterloss)
0,0595*
9
Sistem penggantian air (Waterexch)
0,0001**
10
Keberadaan udang liar di sekitar petak
0,2980
tambak (Wildshrimp)
Keterangan: *) berbeda nyata **) berbeda sangat nyata (n=163)
Sampel yang dianalisa meliputi Lampung Selatan dan Banten
Beberapa faktor juga dengan analisa rasio ganjil, dan didapatkan bahwa beberapa
parameter seperti tambak tidak kedap memiliki peluang terjadi serangan 17 kali lipat
dibandingkan tambak yang kedap. Keberadaan tambak intensiv yang berdekatan dengan
tambak tradisional memiliki peluang 5 kali tertular penyakit dibandingkan tambak
intensiv yang tidak berhubungan dengan tambak tradisional. Skrining benih apabila
dilakukan akan menekan risiko terjadi wabah penyakit seperlima kali dibandingkan benih
ditebar yang tanpa skrining terlebih dahulu. Tambak yang sangat luas memiliki peluang
terjadi serangan WSSV 2,7 kali dibandingkan tambak dengan ukuran 3000 m2.
Pengeringan tambak menekan risiko terjadi wabah penyakit, kemudian tambak yang
dilengkapi dengan petak tandon akan menekan terjadinya wabah menjadi sepertiga.
Data analisa rasio ganjil (Odd Ratio, OD).
Tabel 11. Analisa rasio ganjil (Odd Ratio, OD) pada kegiatan surveilan di Lampung Selatan
dan Banten
No
Prediktor
Rasio ganjil
1
Tambak tidak kedap
16,9
2
Aspek biosekuriti, tambak intensive berdampingan
dengan tambak tradisional
5,0
3
Pemilihan benih
4,6
4
Luas tambak
2,7
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
152
5
Pengeringan tambak sebelum tebar
6
Keberadaan reservoir
0,0002 – 0,1
0,3
Keterangan:
OR = 1, faktor risiko tidak berpengaruh
OR > 1 risiko meningkatkan kasus penyakit
OR < 1 risiko menurunkan kasus penyakit
Berdasarkan hasil analisis data yang dikumpulkan selama kegiatan surveilan,
beberapa parameter dinyatakan merupakan parameter kunci, P < 0,05 (signifikan) dan P
< 0,01 (sangat signifikan). Parameter yang perlu dikendalikan atau dilakukan perbaikan
adalah terkait dengan melakukan pemupukan tambak, uji benih sebelum tebar,
memperbaiki konstruksi pematang untuk mencegah kehilangan air, dan parameter yang
betul-betul perlu diperhatikan adalah melakukan desinfeksi air dan pergantian air.
Pemupukan tambak berperanan penting untuk menumbuhkan fitoplankton, dan
menyeimbangkan antara kebutuhan Nitrogen, karbon dan fosfor. Tambak yang berhasil
berproduksi dicirikan dengan pertumbuhan fitoplankton yang stabil, dengan kisaran
kecerahan antara 25 – 40 cm pada pembacaan Secchi Disc. Pertumbuhan fitoplankton
yang tidak stabil, adanya dominasi alga jenis BGA menyebabkan terjadinya gangguan
pada kesehatan udang, sehingga udang mudah terinfeksi oleh patogen.
Uji benih bertujuan agar benih yang ditebar di tambak adalah benih yang betulbetul sehat. Memaksakan benih tebar yang berasal dari sumber yang tidak jelas,
mengandung patogen akan memudahkan terjadinya wabah (outbreak) yang dapat
berakibat kematian pada usia dini. Kematian dini ini banyak dijumpai pada tambak
tradisional, yang menebar benih dari pembenihan yang kualitasnya tidak diketahui
dengan baik. Hasil surveilan menunjukkan bahwa prevalensi WSSV yang tinggi dijumpai
pada tambak tradisional yang menebar benih tanpa dilakukan skrining. Hal ini
membuktikan bahwa peran skrining sangat penting untuk menunjang keberhasilan
budidaya, minimal memperpanjang umur pemeliharaaan. Hasil Odd Ratio menunjukkan
bahwa tambak yang ditebar dengan benih yang tidak diskrining memiliki risiko terjadinya
infeksi WSSV sebesar 4,6 kali dibandingkan tambak yang ditebar dengan benih yang
ditebar benih yang telah diskrining.
Kebocoran tambak memiliki korelasi yang positif dengan tingginya prevalensi
WSSV. Penularan virus umumnya terjadi melalui air, sehingga tambak yang bocor akan
memudahkan masuknya air dari luar petakan tambak yang membawa virus, sehingga
menimbulkan penularan. Konstruksi tambak berpengaruh pada tingginya prevalensi
WSSV (Tabel 4). Tambak intensiv di kabupaten Banyuwangi sebagian besar sudah
menggunakan tambak beton (concrete) atau lapis plastik, sedangkan tambak tradisional
sebagian besar tambak tanah yang sebagian besar tingkat rembesannya sangat tinggi.
Tambak dengan tingkat kebocoran yang tinggi diamati pada tambak tradisional.
Lokasi tambak yang berhubungan satu dengan yang lain memiliki kejadian
terinfeksi WSSV sebesar 2,2 kali dibandingkan tambak yang tidak berhubungan satu
dengan lainnya. Tambak di wilayah Muncar umumnya berhubungan satu dengan lainnya
dan posisi saling berdekatan, ternyata memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
153
Tambak dengan tingkat kebocoran yang tinggi, karenanya rentan untuk terjadinya
penularan penyakit dibandingkan tambak yang kedap, yang tidak memungkinkan adanya
rembesar air dari sekitarnya. Analisis juga diperkuat dengan analisa Odd Ratio, yang
diperoleh bahwa kekedapan tambak memiliki nilai OD 16,9 yang berarti tambak bocor
memiliki kesempatan untuk tertular penyakit 17 kali dibandingkan tambak tidak bocor.
Desinfeksi air pemeliharaan bertujuan agar air digunakan untuk pemeliharaan udang
telah bebas dari karier penyakit. Beberapa jenis krustase biasanya ikut terbawa air yang
dipompa masuk ke dalam tambak. Krustase liar merupakan karier bagi virus, terutama
WSSV pada daerah endemik penyakit tersebut. Melakukan desinfeksi air akan
mengeliminasi krustase liar tersebut dan mencegah adanya penularan dari karier ke
udang budidaya. Analisa OD juga menunjukkan bahwa penyediaan reservori menekan
risiko terjadi penularan sebesar 0,3 kali.
Pergantian air juga merupakan parameter yang muncul dalam analisa. Pergantian
air dengan air yang baik akan memperbaiki kondisi air tambak, terutama pada saat
pertumbuhan fitoplankton mengalami kondisi blooming (pertumbuhan berlebihan).
Pergantian air yang baik juga akan mengencerkan senyawa yang bersifat toksik di
tambak, seperti senyawa nitrogen dalam bentuk amoniak total. Pengeluaran kotoran
dasar yang dilanjutkan dengan penggantian air juga akan memperbaiki lingkungan hidup
udang sehingga mencegah udang menjadi stres.
Referensi
AAHRI. 2006. Infectious Myonecrosis. AAH March 2006 Report. Chapter 4.1.9.
BBPBL. 2009. Laporan Hasil Active Surveillance Penyakit Virus : TSV, WSSV, PvNv Dan
IMNV Pada Budidaya Udang Vanamei Di Kabupaten Pesawaran Dan Kabupaten
Lampung Selatan. Laporan Balai Besar Pengembagan Budidaya Laut Lampung.
Basoeki, G. 2011. Corporate Communication Department, PT Central Proteina Prima Tbk.
Corsin, F., T. T. Phi, L. H. Phuoc, N. T. N. Tinh, N. V. Hao, C. V. Mohan, J. F. Turnbull, and K.
L. Morgan. 2002. Problems and solutions with the design and execution of an
epidemiological study of white spot disease in blak tiger shrimp. Preventive
Veterinary Medicine 53: 117-132.
Corsin, F., M. Georgiadis, K. L. Hammell, B. Hill. 2009. Guide fo aquatic animal health
surveillance. Published by The World Organization for Animal Health (OIE)
Flegel, T. W. L. Nielsen, V. Thamavit, S. Kongtim, and T. Pasharawipas. 2004. Presence of
multiple virus in non-diseased, cultivated shrimp at harvest. Aquaculture 240
(2004) 55-68.
Flegel, T.W. 2006. The special danger of viral pathogens in shrimp translocated for
aquaculture. Sci. Asia 32, 215–231.
Lightner, D. V., C. R. Pantoja, B.T. Poulos, K.T.F. Tang, R.M. Redman, T. Pasos de Andrade
and J. R. Bonami. 2004. Infectious myonecrosis: new disease in Pacific white
shrimp. Glob Aquac Advocate 7, 85.
Lightner. 2005. Review of white spot disease of shrimp and other decapod crustaceans.
Martin, S. W. A. H. Meek, P. Willberg. 1987. Veterinary Epidemiology, Principles and
Methods. Iowa State Univeristy Press/Ames. Pp.: 24-27.
Ministerial decree. 2007. Penetapan Jenis-jenis Penyakit Ikan Yang Berpotensi Menjadi
Wabah Penyakit Ikan. KEP.33/MEN/2007.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
154
Nunes AJP, Martins PCC, Gesteira TCV (2004) Produtores sofrem com as mortalidades
decorrentes do virus da mionecrose infeccisa (IMNV). Panorama da
AQUICULTURA, Maio/Junho, p 37–51
Nuraini, Y. L., S. Subyakto, B. Hanggono dan G. Triastutik. 2006. Active Surveillance
Infectious Myonecrosis Virus (Imnv) Pada Udang Vanamei Di Jawa Timur Dan
Bali. Laporan BBAP Situbondo.
Petrie, A and Watson, P. 2006. Statistics for Veterinary and Animal Science. Blackwell
Publishing. Hongkong.
Senapin, S., K. Phewsaiya, M. Briggs, T. W. Flegel. 2007. Outbreaks of infectious
myonecrosis virus (IMNV) in Indonesia confirmed by genome sequencing and use
of an alternative RT-PCR detection method.
Subasinghe, R. P. and Bondad-Reantaso, M. G. Biosecurity in Aquaculture: International
Agreements and Instruments, their Compliance, Prospects, and Challenges for
Developing Countries. In: Scarfe, D. A. and Lee, C-S. Aquaculture Biosecurity
Prevention, Control, and Eradication of Aquatic Animal Disease. World
Aquaculture Society. Blackwell Publishing.
Taslihan, A., I M. Suithe, Maskur. 2013. Kajian epidemiologis White spot syndrome virus
(WSSV) dan Infectious myo necrosis virus di area budidaya udang vanamei di
Cirebon dan Indramayu, Jawa Barat. Paper presented in Gadjah Mada University
2013.
Taslihan, A. 2014. Study of Prevalence And Risk Factors of White Spot Syndrome Virus
(WSSV) in Tiger Shrimp (Penaeus monodon Fabricius) at Traditional Ponds.
Verinary Journal, Udayana University.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
155
LAND BIOREMEDIATION BY UTILIZE OF AQUACULTURE
Hasanuddin1), Muyassir2), Muchlisin3), Abidin Nur4) and Kevin Fitzsimmon5)
1)
staf of Brackish-water Aquaculture Development Center, Email :
[email protected]
2)
Lecturer of Faculty Agriculture University of Syiah Kuala, Email:
[email protected]
3)Lecture of faculty marine and fisheries Universitas of Syiah Kuala,
Email:[email protected]
4) Research development of Brackish-water Aquaculture Development Center, Email :
[email protected]
5)Profesor of Arizona University, USA, Emial : [email protected]
Abstract: The decreasing of land productivity was caused by low quality of soil and water
due to accumulation of waste and organic matters from aquaculture practices. It is very
crucial to find the practical technique to overcome this problem. Therefore, the
objectives of present study were to evaluate the effect of bioremediation method using
three species of aquatic organisms; tilapia (Tilapia nilotica), tiger prawn (Penaeus
monodon Fab) and milkfish (Chanos chanos). The completely randomized design was
utilized in this study, the treatment was: (A) control, (B) shrimp at stocking density of 4
shrimp/m2, (C) milkfish at stocking density of 2 fish/m2, (D) tilapia at stocking density of 2
fish/m2, (E) shrimp-milkfish at stocking density of 2 shrimp/m2 and 4 fish/m2, (F) shrimptilapia at stocking density of 2 shrimp/m2 and 4 fish/m2, (G) milkfish-tilapia at stocking
density of
1 fish/m2 and 1 fish/m2, and (H) shrimp-milkfish-tilapia at stocking
density of 4 shrimp/m2, 1 fish/m2 and
1 fish/m2. Every treatment was done at three
replications. The experimental unit was 24 aquaculture ground ponds of 3 m x 8 m in
size. The result showed that the aquaculture biota was gave a significant effect on the
soil quality (organic matter, C-organic, phosphorus and iron). Based on Duncan
Post Hoc Multiple Range Test showed that Tilapia can be the best bioremediator for
aquaculture because it can reduce the organic matter (24.6%) and C-organic 24.8%, and
strongly recommended to apply the tilapia culture to rehabilitate the pond of organic
matter, due to the previous cycle of production waste or sources of organic matter such
as ‘lab-lab’ / klekap and aquatic macrophytes.
Keywords: fish-pond, aquaculture biota and bioremediation.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
156
INTRODUCTION
A decrease in land productivity ponds, cause decreasing quality of pond bottom
soil due to the accumulation of waste and organic matter from previous cultivation
material, such as food remains, waste biota farming, pharmaceuticals, fertilizers,
plankton and water plants. In addition, the pond bottom is always flooded, it was not
drying pond bottom soil, especially in the traditional causes, the oxidation process in
battom soil does not happen perfectly, so that the pond bottom soil quality declines.
Particularly in Aceh, mud bottom is generally not disposed either in deeper and shallow
ponds area because it requires energy, time and additional costs, so that the production
cost will increase.
To overcome these problems is necessary to look for alternative methods to
improve soil quality ponds more effective and economic, one way that can be achieved is
by using the natural bioremediator, because bioremediation technologies is the one
methods of land conservation that can be applied to aquaculture. Panigrahi and
Mohapatra., (2007) stated that using of living organisms as a way to eliminate
environmental pollution, restore contaminated sites, and prevent the pollution, which is
an approach to environmentally friendly and sustainable farming, aims to prevent and
control diseases in aquaculture.
Among the natural bioremediator allegedly can improve soil quality on pond
bottom is nile (Tilapia nilotica) and milk-fish (Chanos Chanos). Nile is generally
omnivorous but tend herbivores. This is accordance with El-Sayed (2006), tilapia like
algae, phytoplankton, zooplankton, bacteria, benthic invertebrates, insect larvae, fish,
eggs and detritus vertebrates. Furthermore Fitzsimmon and Somamiharja (2006) stated
that tilapia activity "stirring" the bottom of ponds for foraging and nest building, can
increase oxidation pond bottom, so that the development of bacterial pathogens and
parasites, and also can release trapped nutrients in sediment, thus increasing the fertility
of the water and trigger the development of algae.
Milk-fish are active swimmers and clustered on the surface of the water usually,
causing ripples on the surface, these conditions can increase the diffusion of oxygen into
the water and can filter plankton from the water as the food, it’s can control the
blooming of plankton in the ponds and his habit eat lab-lab and moss growt on the pond
bottom, so it can prevent the supplay organic matter into based soil in the pond. This is
consistent with the statement Mahasri (2005) milkfish can be used as a bio-filter,
because the filter feeding plankton in particular way ciliate pathogenic for tiger shrimp.
According to eating habits including herbivorous, and foods preferred are lab-lab, moss
growing on the pond bottom.
Based on the living habits of tilapia and milkfish mentioned above, it’s could be
expected as a natural bioremediator in the aquaculture pond so that the accumulation of
organic material on the pond bottom can be reduced, this condition will bring a positive
effect on the quality of the pond bottom soil.
MATERIALS AND METHODS
This research conducted in the community pond, Neuhen village, District Mesjid
Raya, Aceh Besar district. for soil chemical parameter was analized in Soil and Plant
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
157
Research Laboratory, and total microorganisms and soil respiration were analized at the
Soil Biology Laboratory of Agriculture Faculty of Syiah Kuala University, This research
conducted during about 6 months totally including preparation process started from May
to October, 2014.
The fish species used for this research were tilapia (Tilapia nilatica) size of 2 to 2.5
cm (average 11.5 g) with total number 432 pcs, milkfish (Chanos Chanos) size 7-8 cm
(average 15 g ) with number 432 pcs and tiger shrimp (Penaeus monodon) PL27 size
(length of 2 to 2.5 cm) and a combination of the aquaculture biota.
Experimental units used the small ponds with size of 3 m x 8 m, depth of 70 cm
and total number was 24 units, which are arranged in parallel two rows, each row consist
was 12 units. at the center line of the pond area has a secondary channel (3 m wide x 45
m leght), which is connected with two ponds reservoir (210 m2 each), each pond
equipped with a 3-inch size water inlet pipe.
This research utilized the completely randomized design, the treatment ware: (A)
control, (B) shrimp at stocking density of 4 shrimp/m2, (C) milkfish at stocking density of
2 fish/m2, (D) tilapia at stocking density of 2 fish/m2, (E) shrimp-milkfish at stocking
density 4 shrimp/m2 and 2 fish/m2 (F) shrimp-tilapia at stocking density of 4 shrimp/m2
and 2 fish/m2, (G) milkfish-tilapia at stocking density of 1 fish/m2 and 1 fish/m2, and (H)
shrimp-milkfish-tilapia at stocking density of 4 shrimp/m2 + 1 fish/m2 + 1 fish/m2. Every
treatment was three replications with total were 24 treatments.
Drying of test pond carried out for 7 days, then fill in of water through filtration
and sedimentation process, through the main channel into the test pond respectively
through water intakes, the water level was about 60 -70 cm, then left for 10 days and
then stoked with the fish spesies, there are not feeding and fertilizing during the
research. And the period was during 122 days culture.
The soil parameters be analized were soil pH, potential redoxs, organic matter, Corganic, N-total, total P, C/N rasio, iron, mangan, total microorganism and soil
respiration, and some production data was measured was production (kg/ha) in the end
of the test as supporting data for this research.
Soil sampling was utilized iron spoon with 3 inch diameter and 10-15 cm depth, as
much as 7 sub-sample with the same volume, following the pattern of the S-Shapen
(Boyd et al., 2002) with a distance of 0.8 meter / horizontal samples (Fig.1), the next 7
sub-samples made in the composite and 500 g was taken and put into the plastic that
free from direct sunlight, wind and dust, and then labeling most importance for each
sample before sent them to laboratory for analisis.
8 mm
0,8 mm
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
3 mm
158
Figure 1. Illustration pola S-shapen for soil sampling.
Measurement of soil quality parameters was 3 phases, namely (1) before the test
(before stoked of fish) (2) during rearing period (40 days, 81 days) and (3) the end of the
test.
Processing the data was utilized SPSS program, with the statistical model was one
way ANOVA because in this study aimed to compare the average population of each
parameter soil quality to the treatment, and after be analyzed interaction between
treatments was undertook with post hoc multiple comparisons with Duncan model
approach.
As for knowing the degree of unidirectional relationship between soil quality
parameters (both posifive and negative) was used Spearman's correlation analysis
models.
RESULTS AND DISCUSSION
The results of this study indicate a change before and after treatments, from each
of the parameters tested, for soil pH values increased from 1.8 to 11.1% from some
treatments, while the redox potential increased for some treatments, while the milkfish
treatment decreased the potential redox, while the organic material and C-organic
decreased in treatment monokulture 9.9 to 24.6% and an increase on the control
treatment and polyculture 3.1 to 35.3%, while the value of N-Total decreased in the
treatment of tilapia up 28.2%, while in the other treatment changes little value, ranging
between -3.0 to 9.7% and control treatment increased the N-total was 48.3%, while the
value of P declined in each treatment ranges 50.6 to 88.2%, the highest was 88.2% in the
milkfish treatment and shrimp-milkfish-tilapia treatment polyculture was 86.7%, while
the lowest was in tilapia treatment was 57.5% and 50.6% on control treatment, while C /
N ratio decreased in the control treatment, shrimp and milkfish, while other treatments
have increased the range from 5.9 to 35.6%, the highest was in the treatment of shrimpmilkfish, while the iron value increased for each treatments, the highest was in the
milkfish treatment about 187.3% and the lowest on a shrimp-milkfish-tilapia polyculture
treatment was 3.2%, while manganese content increased in each treatment ranged from
18.1 to 75%, except in the treatment of shrimp-milkfish-tilapia polycuture decreased
15.1%, while total microorganisms and soil respiration increased repectively, between
22.6 to 314.4% and 108.4 to 256.4%, for more detail changes in the value of each
parameter of the treatment can be seen in table 1 and 2.
Results of statistical analysis using one-way ANOVA showed no significantly
influence on the treatment of aquaculture biota of the soil quality; such soil pH (sig =
0.333), redox potential (sig = 0.838), N-total (sig = 0.167), C/N ratio (sig = 0.521),
manganese (sig = 0.053), total microorganisms (sig = 0.873) and soil respiration (sig =
0.881) because the value P (sig) were > 0.05, but significantly influence on the levels of
organic matter (sig = 0.007), C-organic (sig = 0.008), phosphate (sig = 0.000) and iron (sig
= 0.022) because the value P (sig) were < 0.05.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
159
Organic materials are the most important components in relation to the
environmental quality of water and soil, as a source of nutrients, However under certain
circumstances be toxic to aquatic biota, including fish, organic matter content influenced
by the physical, biological activity and soil chemical processes, as steated by Brussaard
(1994), that the decomposition process of organic matter influenced by three main
factors; soil organisms, physical environment, and quality of organic matter. Soil
microorganisms function to revamp organic materials with utilize of carbon as energy,
the decomposition process of organic matter can release a lot of nutrients into the soil in
a form usable by plants, called is mineralization process, and affect on water quality
(Boyd, 1992). Furthermore Widiyanto (2006) stated, that the accumulation of organic
matter can spur the growth of heterotrophic microorganisms and pathogens bacteri,
eutrophication, the formation of toxic compounds (ammonia and nitrite), and decrease
the dissolved oxygen concentration.
Foth (1991) stated, that the reduction of oxygen in the soil will be followed
reduction process of several chemical parameters including soil nitrate, manganese,
ferrous sulfate and sulfite. and Soetomo (1990) stated, that the number ammonia in the
pond will increase in line with the activity of the decomposite process of organic matter
and increased water temperature.
Based on the analysis it appears that the polyculture system had increased the
organic matter, while in monoculture system had decrease the organic matter and the
best one was treatment of tilapia about 24.6%, the same conditions occurred in the
levels of C-organic found in the treatment of tilapia, This was due to the close
relationship between the organic matter and C-organic, wherein the organic matter
contains about 45% to 50% carbon (Boyd et al., 2002).
The ability of tilapia can degrade organic matter caused the tilapia has a habit of
life, doing the digging and actively move on looking food and create puddles nest on the
pond bottom, so that sediment buildup in the battom surface of pond which contained
organic matter can be oxidased, so that, improve and speed up the process miniralisasi
which can reduce the amount of organic matter.
While test results of containt organic matter in each pond test that overall
classified as mineral soil because containt of organic matter ≤ 3% (Huang et al., 2009)
and meet the standard quality requirements of pond soil for simple technology of
tigershrimp culture because < 5% (SNI.7310.2009) and <4% (Baliao and Tookwinas,
2002), while based on the content of C-organic is belonging to soil miniral with midle
organic matters because they're ranged from 1.0 to 3.0%, which is the category of the
best land for aquaculture ( Boyd et al., 2002).
Observated of phosphorus levels showed before the test ranged from 2.937 to
15.473 ppm and after the test decreased in all treatment be 1.237 to 2.063 ppm, those
values phosphorus levels indicated that the testing land belonging to the fertility rate
was very low because the average of all treatments was < 4 ppm (Balai Penelitian Tanah,
2005).
While Prasad and Power (1997) says that, the concentration of phosphate in the
soil solution is generally about 0.05 mg 1-1 and rarely exceeds 0.3 mg 1-1 in soil without
fertilization. While research data shows that the value of the phosphate obtained above
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
160
was phosphate concentration of land in general, this may be caused by the high value of
total mikroorganime who perform the decomposition of organic matter thereby
increasing
the
levels
of
phosphate
in
the
soil
(Prasad
and
Power,1997;Soegiman,1982;Atmojo,2003).
In addition, the soil respiration rate which is a source of oxygen for the
microorganisms to perform the decomposition of organic matter, after treatment
increased by around 108 to 256.4%, with a range of 3.53 to 5.00 mg C-CO2 kg -1 soil.
Besides, the data quality of the water (Tabel 3) showed that the levels of total
organic matter, nitrate, nitrite, ammonia and phosphate water ware belonging to the
levels of the high and on top of the value of the maximum limit, it can be support of
effect a low phosphate and organic matters in the sediment pond bottom because it has
released into the water media, as stated by Madjid (2007), that the process of
decomposition of organic matter through mineralization or immobilization of essential
nutrients produce nutrients nitrogen, phosphate and sulfur, and the nutrients are used
by phytoplankton for growth, and allegedly plankton die is a source of organic matters
that dissolve in water.
A decrease in phosphate concentration of about 88.2% on the treatment of
milkfish was suspected the milkfish as fast swimmers that can help to improve the
oxidation of iron compounds, and hydroxida aluminum in the soil, so that absorb
phosphate levels, while the treatment of shrimp-bandeng-nila had decrease of
phosphate levels around 86.7%, allegedly these polyculture result in activity of the fish
and shrimp can stir the base layer of sediment is greater thus increasing the oxidation of
iron compounds and hydroxide aluminum that can absorb phosphate levels as well
(Boyd, 2012). This was supported by the high content of iron in the soil, which exceeds
400 mg/l which is a maximum limit, based on statements Baliao and Tookwinas (2002).
Furthermore, high levels of iron and possibly aluminum and calcium can also be a
potential reduction in the levels of phosphate through the formation compounds of iron,
aluminum and calcium phosphates, its meaning that if the iron content is high so the soil
phosphate levels will be bound with iron and form a bond that is not soluble in water
(Brady 2002 in Boyd, 2012; Boyd et al., 2002; Prasad and Power, 1997).
In this case, the treatment may increase the levels of phosphate is the best
treatment because the levels of phosphate in the water, available in limited quantities,
but it is very important needed by phytoplankton, thus showing the treatment of tilapia
is the best treatment because it can minimize the decreased of phosphate smallest, but
this value not significantly different from other treatments and significantly different
with treatment milkfish and shrimp-milkfish-tilapia.
Iron levels in the test pond generally is in high amounts before treatment ranged
from 251.05 to 423.61 mg/l, after testing has increased the range
382.59 to 698.59 mg/l with the highest on milkfish treatment and the lowest on
treatment of shrimp-milkfish-tilapia thus treated shrimp-milkfish-tilapia can minimize the
increase of iron levels about 3.2% while other treatments can improve iron levels ranged
from 178.3 to 7.6% or an average of 33.5%, so that declared as the best treatment to
stabilize the environmental conditions on iron levels in the pond soils of aquaculture. It
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
161
also can reduce the manganese content of about 15.1% while other treatments
increased manganese levels about 18.1 to 75%.
Lower the increased of iron levels is in the treatment of shrimp-milkfish-tilapia, assump
that change the soil pH is in stable condition at a pH value of 7.12 and lower than the
other treatments, which resulted in the
solubility of iron compound was smallest,
while other treatments the soil pH values was higher and the range of 7,21 to 7.66 that
caused the increase in iron content, is inversely proportional to some researchers had
previously stated that the solubility of the iron compound and aluminum will increase
with decreasing pH value.
As presented by Boyd (2012) that, the solubility of iron and aluminum phosphorus
compounds soluble increased when the pH drops, for example, a decrease in pH of 7 to 5
for AlPO4.2H2O compound and a decrease in pH 9 to 7 for CA5 (PO4) 3OH) compound.
While foth (1991) state, if the pH drops below 5.5 causes iron and aluminum dissolved
can be increased, and cause the fixation of phosphorus such as iron and aluminum
phosphate, it is supported by Prasad and Power (1997) said that the process of fixation
or return phosphate and the formation of these compounds are known as "the results of
the phosphate reaction". Further Boyd (2012) saids that the oxidation and hydroxides of
iron and aluminum can be dissolved increases with decreasing pH, as an indication that
the bottom sediments contain much iron is characterized by conditions of sediment
brownish or more black, because of anaerobic conditions so that during the cultivation
process, the ups and downs soil chemistry, does not directly affect the rise and fall of the
iron, because the iron concentration is affected by increasing oxigen levels in sediment
layers periodically.
Which is utilized by microorganisms in the decomposition of organic matter, which
is influenced by temperature, and iron concentration can only be controlled by
optimizing the soil chemical processes such as soil respiration, soil pH and temperature
are closely related to the total number of microorganisms and amount of organic matter
(Boyd et al., 2002).
In addition, soil pH and redox potential are two interrelated factors in influencing
the level of solubility and availability of nutrients, and its transformation in the soil.
Redox potential can be used to determine the level of oxidation and reduction in the
water, soil or sediment ponds (Boyd, 1992).
Furthermore, the results showed that the treatment of shrimp-tilapia and
treatment-shrimp-milkfish-tilapia can improve soil respiration rate respectively 256.4%
and 226.3%, it is suspected due to combination of tilapia with the others aquaculture
biotas can increase the stirring of pond battom, while the treatment of milkfish-tilapia
seen an increase in lower, due to the level of survival rate and biomass tilapia lower,
activity of tilapia movement in foraging and digging sediments to make nests, predicted
could increase the oxidation process of organic matter was higher, so it can help improve
soil respiration.
While milkfish and polyculture farming with milkfish can increase the value of the
redox potential of about 3.7 to 11.5%, it is because milkfish have a rapid movement and
frequntly higher, so that can help to improve the diffusion of oxygen in the pond bottom
sediments. In addition, tilapia treatment can also reduce levels of N-total highest and
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
162
drastic (28.2%) (Figure 2.c). it is different from other treatments, that N-Total in water
and soil can be shaped NO3, NO2, NH3- (nitrate, nitrite and ammonia) and organic
nitrogen form; nitrite and ammonia is very toxic to fish and shrimp in ponds (FAO, 1986);
(Widiayanto, 2006).
While changes in the rise and fall parameters of the soil quality with various
treatments and the differences among the treatments, looks very fluctuative from period
of observation before stocking, 40 days, 81 days and 122 days, in almost all parameters
of the soil quality (Figure 2) unless the levels of iron and manganese in sight the
increased drastically over time sampling
(Figure 3.a.b).
Results of Anova test shows treatment of aquaculture biotas significanly affected
to organic matter, organic C, phosphorus and iron. the correlation analysis (Spearman's
Correlation Analysis), providing information that the interaction of the various soil
qualities are observed as shown in Table 4 , where the interaction between soil quality
are positively correlated and there are negative correlation.
Tablel 4 shows the relationship strong and positive interactions between organic
materials with C-Organic, N-total, and C / N ratio, while phosphorus showed a strong
relationship and a positive interaction with the redox potential, and total
microorganisms. While iron, positive and strong interaction with soil pH, manganese and
soil respiration, and for more detail see on Tabel 4.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
163
(i)
Figure 2. Fluctuations in soil quality during the test (a) Potential redok, (b)
Organic matter, (c) N-total, (d) C-Organic (e) C / N ratio, (f) Phosphorus
(g) Total microorganisms, (h ) soil respiration (i) soil pH
(a)
(b)
Figure 3. Fluctuations in the quality of the soil during the test (a) Fe (iron) (b)
manganese (Mn)
Soil quality
parameters
Redox
potentia Organic CPhosph C/N
l
matter organic N-Total orus
Ratio Iron
Soil pH
**
Soil pH
Redox potential
**
-.278
**
-.278
**
C-organic
-.296
N-Total
*
-.213
**
-.539
.522
**
C/N Ratio
**
.441
Manganese
.336
Total
Microorganism
-.292
**
**
.995
.523
.310
**
**
**
**
*
-.237
**
**
-.391
**
-.356
.270
**
-.296
.995
.452
Iron
Soil respiration
-.539
**
-.517
Organic matter
Phosphorus
**
-.517
*
**
-.416
*
-.213
.523
.534
.534
**
**
.522
**
**
*
**
-.238 .443
.336
**
**
-.292
**
-.356
.270
*
.310
**
**
-.416
**
-.504
*
**
**
*
**
**
-.391
-.237 .452
**
-.238
.443
.441
Total
Soil
Mangan Microor respirati
ese
ganism on
-.515
**
-.424
.374
**
**
-.531
**
-.504
**
-.515
**
-.424
.374
**
**
-.531
.698
.698
**
*
-.310
.364
**
**
*
-.310
*
-.284
*
**
.414
**
**
**
-.284
.414
.364
-.379
**
-.379
Table 4. Analysis results of the relationship between soil quality parameters
(Spearman’s Correlation Analysis)
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
164
Notes :
**. Significant relationship at the level 99 %
*. Significant relationship at the level 95 %
= negative correlation
= positive correlation
Production Data
From this study it appears that tilapia can function as the best bioremediator
because the production data showed that biomass production and total biomass
production of tilapia (Table 5) did not show any relationship or influence on the ability of
tilapia as the best bioremediator, it is can be seen from the tilapia biomass data on the
treatment shrimp-tilapia with biomass production of tilapia 950.67 g/24m2 while
treatment tilapia with smaller biomass was 779.46 g /24m2. These data demonstrate the
ability of tilapia with monoculture cultivation system as the best bioremadiator of lands
supported more significantly. This study shows the results that tilapia can function as
bioremediator but the species of tilapia is not a local species of Indonesia.
Table 5. Production Datas
Treatment
Biomass
(gr/24 m2)
Production
(gr/m2)
Control
Shrimp
442,73
18,45
Milkfish
Tilapia
1.236,77
779,46
200,17
51,53
32,48
8,34
Shrimp-milkfish
Shrimp-tilapia
Milkfish-tilapia
Shrimp-milkfish-tilapia
1.167,97
626,73
950,67
649,43
400,10
142,37
1.246,63
464,10
48,67
26,11
39,61
27,06
16,67
5,93
51,94
19,34
Besides having reproduction rates concise and easy to breed in public waters, so in
aquaculture system for the purpose of rehabilitation and fisheries production, should be
based on the concept of environmentally friendly farming and conservative on fish
resources in an effort to protect, preserve and exploit fishery resources, including
ecosystems, species and genetic to ensure the existence, availability, and sustainability
while maintaining and improve the quality of the value and diversity of fish resources (RI
Government Regulation No. 60 2007). hence the need to take measures as follows:
1. Do not release the broodstock, seeds, eggs tilapia fish into public waters.
2. Seed stocking must be certificated monosex.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
165
3. Harvesting is done before the breeding process.
4. After harvesting, must resterilize of fishpond of tilapia that may remain.
5. Improving the ability of farmers about the importance of conserving fishery
resources,
through formal and non-formal education.
CONCLUSIONS
1. Aquaculture biota affected to the soil quality of aquaculture pond was organic matter,
organic carbon, phosphorus and iron
2. Tilapia can be the best bioremediator for aquaculture because it can reduce the
organic matter (24.6%) and C-organic 24.8%
3. To rehabilitate the pond of organic matter, due to the previous cycle of production
waste or sources of organic matter such as ‘lab-lab’ / klekap and aquatic
macrophytes, it is strongly recommended to apply the tilapia culture.
Acknowledgements.
This research was supported by :
•
ACIAR under project FIS/2007/124 ‘Diversification of small-holder coastal
aquaculture in Indonesia’ for analysis of water and soil quality;
•
AquaCRSP for construction of the trial ponds. I thank to my supervisors Dr Muyassir
and Prof. Muchlisin ZA (Syiah Kuala University, Banda Aceh), Dr Mike Rimmer (Project
Leader of ACIAR Project FIS/2007/124), Professor Kevin Fitzsimmons (University of
Arizona) for advice, encouragement and reference material.
References
Atmojo, S.W. 2003. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya
Pengelolaannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kesuburan Tanah. Fakultas
Pertanian. Universitas Sebelas Maret.
Avnimelech, Y., G. Ritvo. 2003. Shrimp and fish pond soils: Processes and management.
Aquaculture, 220: p. 549 – 567.
Balai Penelitian Tanah. 2005. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk.
Departemen Pertanian, Bogor
Baliao, D.D dan S. Tookwinas. 2002. Manajemen Budidaya Udang yang Baik dan Ramah
Lingkungan di Daerah Mangrove. Petunjuk Pelaksanaan Penyuluhan Akuakultur,
No 35. Southeast Asian Fisheries Development Center. Association Southeast
Asian Nations.
Boyd, C.E. 1992. Shrimp pond bottom soil and sediment management. In: Wyban, J. Proc.
of the Special Session on Shrimp Farming, World Aquatic Society, Baton Rouge.
Boyd, C.E., 2012. Aquaculture Pond Fertilization: Impacts of Nutrient Input on
Production, First Edition. Edited by Charles C. Mischke. John Wiley & Sons, Inc.
Published. P 6 – 11
Boyd, C.E., C.H. Wood, T. Thunjai. 2002. Aquaculture Pond Bottom Soil Quality
Management. Auburn University, Alabama.
Brussaard, L. 1994. Interrelationships between biologi activities, soil properties and soil
management. In D.J. greenland & I. Szabolcs, eds. Soil resilience and sustainable
land use. P 309 – 329.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
166
FAO, 1986. Shrimp culture: pond design, operation and management. Version 2, Food
and Agriculture Organizations. Rome
Fitzsimmon, K., A. Somamiharja. 2006. Polikultur udang-tilapia, salah satu alternatif
upaya pemulihan usaha budidaya tambak udang yang berkesinambungan di
propinsi Aceh. Lokakarya. Langkah awal bagi petambak udang di Aceh, menuju
usaha budidaya tambak lestari. FAO. Hotel Cakra Donya, Banda Aceh.
Foth, H.D. 1991. Dasar-dasar ilmu tanah, (Terjemahan Purbayanti, E.D et al). Gajah Mada
University Press. Yokyakarta, Indonesia.
Huang, P.T., M Patel., M.C.Santagata., A. Bobet., 2009. Final Report. Classification of
Organic Soils. School of Civil Engineering. Purdue University.
Madjid, A. 2007. Dasar-dasar Ilmu Tanah: Bahan Ajar Online. Fakultas Pertanian.
Universitas SriwijayaPalembang. [http://dasar2ilmutanah.blogspot.com].
Mahasri, G. 2005. Kemampuan ikan bandeng sebagai filter biologis dalam menekan
munculnya ciliata patogen pada budidaya udang windu (Penaeus Monodon Fab.)
di tambak. Journal Ilmu Kelautan, 10 (4): p.199 – 204.
Panigrahi, A., A. Mohapatra. 2007. Bioremediation: an environmental friendly approach
for sustainable aquaculture. Enviromental Biotechnology, APH Publising
Coorperation, India.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 60 tahun 2007. Tentang Konservasi
Sumberdaya Ikan.
Prasad, R., J.F. Power. 1997. Soil fertility management for sustainable aqriculture. CRC
Press LLC. USA.
SNI 7310. 2009. Produksi udang windu (Penaeus monodon) di tambak dengan teknologi
sederhana. ICS.65.150.
Soegiman, 1982. Ilmu Tanah. Bhratara Karya Aksara, Jakarta
Soetomo, M. 1990. Teknik Budidaya Udang Windu. Sinar Baru Bandung, Bandung, P 180.
Widiyanto, 2006. Seleksi Bakteri Nitrifikasi dan Denitrifikasi untuk Bioremediasi di
tambak Udang. Ringkasan disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian
Bogor. P 39.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
167
Long term data of monitoring (1998 – 2015) :
Characteristic of Water quality at Hurun Bay Lampung
By :
Muawanah, Tri Haryono,WahyuWidiatmoko and Kurniastuty
Main Center for Mariculture, Lampung
E-mail : [email protected]
Abstract
The Main Center for Mariculture Lampung is the first originator of marine aquaculture
activities of commercial fish species such as groupers, white snapper, pompano and so
on by using floating net cages (KJA), and has been going for about 28 years. Utilization of
land areas both land and waters in the Hurun bay more diverse and improved from time
to time, where these activities over along time will affect the quality of the environment.
Therefore, it is necessary to monitor the activities of water quality characteristics.
Monitoring activities carried out every a week includes the parameters temperature, DO,
pH, salinity, brightness (done in situ), phosphate and DIN (Dissolved inorganic nitrogen).
In 18 years gained as much as 682 times the frequency of monitoring. Results of
measurements of salinity of between 20 to 33 ppt, the lowest value obtained in the first
week of June 2005 as the impact of major floods in through the canals and rivers.
Temperature values between 28.6 to 340 C, the highest temperature obtained in the
period January 2001. Concentration of DO between 3.10 to 7.02 mg/l, the lowest
concentration obtained in the second week in period February 2009 as a result of the
high abundance of plankton especially diatoms, in general, the concentration of DO has a
pattern of decline over time. The pH value is obtained between 7.20 to 8.89, a decrease
in pH can be eliminated lasted temporary because of the nature of seawater buffer it
self. Concentration of DIN which is an accumulation of three N-containing compounds
area ammonia, nitrite and nitrate obtained between 0.003 to 4.585 mg/l, the highest
concentration obtained in the first week of July 2015 as the impact of discharges of
harvesting shrimp ponds in bulk,. Phosphate concentration between 0.001 to 1.090 mg/,
the highest concentration obtained in the first week of July 2015. In general chart DIN
and phosphate concentrationis almost the same pattern that increases over time. Results
of monitoring in general it can be concluded that the fluctuations in the concentration
parameter is influenced by several factors such astopography, hydrology, waste volume.
Monitoring activities are expected to assist in the implementation of environmental
management for sustainable management of aquaculture activities and the Early
Warning System in an integrated manner so as to reduce the level of disease in biota
farming.
Keywords : water quality, the Hurun Bay Lampung, DIN (Dissolved inorganicnitrogen)
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
168
I. Pendahuluan
TELUK HURUN
Teluk Hurun merupakan lokasi pertama sebagai tempat kegiatan budidaya ikan
laut dengan sistem karamba jaring apung, dirintis oleh BBL(Balai Budidaya Laut, saat itu)
pada tahun 1987 dengan komoditas unggulan kakap putih (Seabass). Memasuki tahun
1990 berhasil dikembangkan komoditas unggulan baru yaitu kerapu bebek (Cromileptes
altivelis) dan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), dimana keduanya masih
menjadi primadona sampai sekarang. Jumlah karamba yang digunakan pada awal
kegiatan sebanyak 4 unit dengan luas 20 m x 20 m dan sekarang telah mencapai jumlah
ratusan unit. Komoditas yang dibudidayakan juga semakin beragam antara lain ikan cobia
(Rachycentron canadum), kakap merah (Lutjanus sp), kerapu kertang (Epinephelus
lanceolatus), bawal bintang (Trachinotus blochii Lecepede), kerapu sunu (Plectropomus
sp) dan clown fish (Amphiprion ocellaris).
Pemanfaatan perairan dan daratan di Teluk Hurun dan sekitarnya dari waktu ke
waktu semakin multi sektoral, saat ini peruntukannya untuk kegiatan budidaya perikanan
laut khususnya kerapu, budidaya tiram mutiara, pengembangan area tambak, tempat
rekreasi, perumahan, pengedokan kapal nelayan serta tempat sauh kapal-kapal besar
lintas Samudera. Di sisi lain kerusakan dan alih fungsi hutan serta sungai dari hulu sampai
hilir juga menjadi salah satu masalah di sekitar Teluk Hurun.
Aktivitas-aktivitas tersebut di atas sangat berpengaruh terhadap percepatan
degradasi lingkungan di Teluk Hurun dalam kurun 12 tahun terakhir ini [1 ; 8] dan tentu
dalam perjalanan waktu berikutnya berpotensi terus menurun mengingat saat sektor
wisata bahari berkembang sangat cepat. Hal itu ditandai dengan sedimantasi yang cukup
tinggi, penurunan nilai kecerahan, peningkatan bahan-bahan organik terutama senyawasenyawa N dan P dengan fluktuasi yang tinggi [8]. Kondisi perairan dengan status
eutrofikasi menjadi pemicu blooming plankton [3; 13], beberapa jenis diantaranya
bersifat harmful. Jenis-jenis plankton yang pernah mengalami blooming di Teluk Hurun
adalah Cochlodinium polykrikoides, Chaetoceros socialis, Alexandrium, Noctiluca
scintillans, Pyrodinium bahamense, Dinophysis caudata dan Trichodesmium sp., periode
blooming dan kelimpahan tertera dalam tabel 1.
Blooming C. Polykrikoides di Teluk Hurun dan sekitarnya (Mutun, Pulau Tangkil,
Lempasing, Pulau Kubur dan Pantai Puri Gading) atau hampir separuh perairan Kota
Madya Bandar Lampung, pada pertengahan Oktober – awal Desember 2012 merupakan
fenomena langka sekaligus kejadian pertama selama lebih kurang 26 tahun program
monitoring BBPBL. Kematian ikan di karamba sangat banyak dan massal, kerugian yang
ditimbulkan cukup besar, terlebih kerugian secara immaterial, karena balai kehilangan
75% induk-induk kerapu kualitas unggul hasil persilangan F1 sehingga siklus pemijahan
terputus untuk beberapa waktu dan suplay benih ke masyarakat pembudidaya juga
menurun tajam. Memasuki Januari – April 2013 dan Juni - Juli 2013 serta akhir bulan
Maret 2014 sampai minggu ke tiga bulan April 2014 dan minggu ke satu – dua bulan
Maret 2015 Cochlodinium kembali blooming di Teluk Lampung dan juga menyebabkan
kematian massal ikan-ikan cobia dan bawal bintang di KJA BBPBL.
Sedangkan Noctiluca scintillans memiliki frekuensi blooming cukup sering hampir
setiap tahun di Teluk Hurun, dampak yang ditimbulkannya adalah meningkatnya
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
169
penyakit bakterial pada ikan-ikan budidaya [5; 7]. Di Perairan seluruh dunia terdapat
lebih kurang 5000 spesies fitoplankton laut, dari jumlah tersebut sekitar 2% diketahui
berbahaya atau beracun [15]. Di Indonesia ada 31 jenis fitoplankton yang diidentifikasi
sebagai HABs dan 7 diantaranya dapat menyebabkan Red Tide [8]. Dengan
teridentifikasinya Cochlodinium polykrikoides dan chaetoceros socialis maka jumlahnya
menjadi 33, namun demikian tidak menutup kemungkinan jumlahnya bertambah dari
waktu ke waktu. Beberapa kali kejadian HAB’s di Teluk Lampung khususnya di Teluk
Hurun telah menyebabkan kematian massal ikan-ikan budidaya di KJA (Karamba Jaring
Apung) dan peningkatan penyakit bakterial [7; 11], sehingga para pembudidaya
mengalami kerugian yang cukup besar. Untuk itu dalam pengelolaan kawasan pesisir,
BBPBL Lampung secara konsisten melakukan kegiatan monitoring lingkungan perairan
secara terintegrasi dan berkesinambungan sebagai upaya aplikasi Early warning System.
III. METODE
2. 1. Waktu dan lokasi
Pengambilan sampel air laut dilakukan secara berkala (satu minggu sekali) di area
KJA dan atau kondisional, dari Januari 1998 sampai Desember 2015 antara jam 08.00 –
16.00 WIB.
Gambar 1. Lokasi sampling (Teluk Hurun)
2. 2. Metode
Sampel diambil secara komposit antar beberapa titik di KJA. Pengambilan sampel
diambil pada kedalaman 3 meter yaitu mengikuti kedalaman jaring KJA menggunakan
botol kemmerer dan untuk penyaringan sampel plankton digunakan planktonnet 20 µm.
Sampel kemudian disimpan dalam botol-botol plastik, dan untuk sampel plankton
diawetkan dengan lugol. Sampel plankton kemudian diidentifikasi dan dihitung
kelimpahannya dengan mikroskope binokuler (perbesaran 10 x 10) pada paparan
sedgewick rafter counting cell mengacu pada Standard Methode APHA (2005).
Pengukuran kualitas air dilakukan secara in situ meliputi parameter pH, DO, suhu,
salinitas, kecerahan dan arus. Pengujian konsentrasi nutrien meliputi amonia (NH3—N),
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
170
nitrat (NO3—N), nitrit (NO2—N) dan Orto-fosfat (O-PO4—P) dilakukan di laboratorium
Kesehatan Ikan dan lingkungan BBPBL mengacu pada metode pengujian Standar
Nasional Indonesia (SNI)
III. HASIL DAN BAHASAN
Hasil pengukuran kualitas air selama periode 1998 - 2015 disajikan dengan grafik
pada gambar 1 sampai dengan 6, masing-masing untuk parameter salinitas,
temperatur/suhu, oksigen terlarut (DO), pH, DIN (Dissolved Inoranic Nitrogen) dan Ortofosfat.. Dalam kurun 18 tahun telah diperoleh frekwensi monitoring sebanyak 682 kali.
Gb. 1.Fluktuasi nilai salinitas (ppt) di Teluk Hurun
Gb. 2. Fluktuasi nilai temperatur /suhu (0C) di Teluk Hurun
Gb. 3. Fluktuasi konsentrasi DO (ppm / mg/l) di Teluk Hurun
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
171
Gb. 4. Fluktuasi nilai pH di Teluk Hurun
Gb. 5. Fluktuasi konsentrasi DIN (ppm / mg/l) di Teluk Hurun
Gb. 6. Fluktuasi konsentrasi PO4 (ppm / mg/l) di
Teluk Hurun
Hasil pengukuran salinitas pada gambar 1 yaitu antara 20-33 ppt, nilai terendah 20
ppt diperoleh pada minggu pertama Juni 2005 sebagai dampak dari banjir besar yang
masuk lewat kanal dan sungai. Pada saat curah hujan tinggi masukan air tawar dari kanal
dan sungai mengitari garis pantai sisi kanan (dermaga) dan akan tertahan lebih lama di
ujung mulut teluk yang merupakan daerah pembelokan karena adanya dorongan arus
dari luar Teluk Hurun.
Nilai Suhu antara 28,6 – 34 0C, suhu tertinggi 34 0C diperoleh pada periode Januari
2001. Nilai temperatur antara lain dipengaruhi oleh letak geografis, topografis, lama
penyinaran dan kedalaman perairan, dimana permukaan air merupakan lapisan yang
peka terhadap perubahan temperatur.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
172
Konsentrasi DO antara 3,10 – 7,02 mg/l, konsentrasi terendah 3,10 mg/l diperoleh
pada periode minggu ke dua Februari 2009 sebagai dampak dari tingginya kelimpahan
plankton khususnya diatom, secara umum konsentrasi DO memiliki pola menurun dari
waktu ke waktu.
Nilai pH diperoleh antara 7,20 -- 8,89, penurunan pH berlangsung temporer karena
dapat tereliminir dari sifat buffer air laut itu sendiri. Nilai pH rendah diperoleh pada hasil
monitoring minggu ke III Oktober 2004, dimana kondisi perairan keruh dan banyak
mengandung partikel-partikel lumpur akibat masuknya buangan air hujan yang sangat
melimpah dari sungai dan kanal. Bagi ikan –ikan budidaya penurunan pH yang cukup
tinggi dapat menyebabkan produksi mukus insang yang berlebihan dan menyebabkan
gangguan pernafasan ( Irianto, 2005).
Konsentasi DIN yang merupakan akumulasi dari tiga senyawa yang mengandung N
yaitu ammonia, nitrit dan nitrat diperoleh antara 0,003 – 4,585 mg/l, konsentrasi
tertinggi diperoleh pada periode minggu pertama Juli 2015 sebagai dampak buangan dari
kegiatan panen tambak udang secara massal,. Konsentrasi fosfat antara 0,001 – 1,090
mg/, konsentrasi tertinggi diperoleh pada periode minggu pertama Juli 2015. Secara
umum grafik konsentrasi DIN dan fosfat berpola hampir sama yaitu meningkat dari
waktu ke waktu. Nitrogen dan fosfor adalah senyawa penting sebagai nutrien bagi
tumbuhan air. Di perairan nitrat merupakan salah satu sumber nitrogen yang paling
dominan. Sedangkan fosfor di perairan dominan dalam bentuk ortofosfat. Pengayaan
nutrien merupakan pemicu blooming plankton di perairan yang juga dapat menyebabkan
gangguan kesehatan ikan (Sachoemar, et al., 20016).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari seluruh parameter yang dimonitoring, beberapa parameter menunjukkan nilai
yang sudah diatas ambang batas untuk persyaratan kegiatan budidaya laut sebagaimana
yang tertuang dalam Kep.Men. Lingkungan Hidup no. 51 tahun 2004. Fluktuasi
nilai/konsentrasi parameter sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
topografi, kondisi hidrologi, volume limbah.
Kegiatan monitoring diharapkan dapat membantu dalam pelaksanaan manajemen
pengelolaan lingkungan secara terinterasi dan efektif sebagai Early Warning System, oleh
karena itu disarankan adanya networking yang dapat diakses secara cepat dan mudah
manakala terjadi trouble di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Alongi, D. M., A. D.
McKinnon, R. Bruckman, L. A. Trott, M. C. Undu, Muawanah,
Rahmansyah. 2010. The fate of organic matter derivate from small-scale fish cage
aquaculture in coastal waters of Sulawesi and Sumatra, Indonesia. Australian
Institute of Marine science.
Campas, M., Simon, B.P., Marty, J-L. 2007. Biosensors to detect marine toxins: Assesing
seafood safety. Talanta. 72: 884-895
Fukuyo, Y. 2010. Effect of Harmful Algal Blooms - the Development of Aquaculture.
Asian Natural Environmental Science Center the University of Tokyo. Seminar
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
173
Nasional Dampak Pencemaran Lingkungan Laut Terhadap Produktifitas
Sumberdaya Kelautan. Kementrian Kelautan dan Perikanan. Hotel Red - p, Jakarta,
tanggal 14 – 15 Mei 2010.
Jeong, H.J., Yoo, Y.D., Kim, J.S., Kim, T.H., Kim, J.H., Kang, N.S., Yih, W. 2004. Mixothropy
in the phototrophic harmful alga Cochlodinium polykrikoides (Diniphycean) : Prey
spesies, the effects of prey concentration and grazing impact. J Euk Microbiol 51,
563 - 569
Kurniastuty, R. Purnomowati, T. Tusihadi dan J. Dewi. 2010. Monitoring Kesehatan ikan
di sentra-sentra KJA di Teluk Lampung. Laporan Tahunan, TA. 2009. Kementrian
Kelautan dan Perikanan. Direk - rat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar
Pengembangan Budidaya laut, Lampung, 2010.
Muawanah, Nira S., Hendrian - and A. Triana. 2004. Kelimpahan Plankton Penyebab Red
Tide, Pyrodinium bahamense Di Teluk Hurun Lampung Selatan. Buletin Teknik
Litkayasa Akuakultur. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Vol III, No. 2.
Desember 2004. hal : 1 – 6.
Muawanah, Nira S. dan A. Triana. 2006. Dampak blooming organisme penyebab Red Tide
Noctiluca scintillans terhadap kegiatan usaha budidaya ikan kerapu di Karamba
Jaring Apung (KJA). Buletin Teknik Litkayasa Akuakultur. Departemen Kelautan dan
Perikanan, Jakarta. Vol.V. No.1.
Muawanah. 2010a. Degradasi Lingkungan di Teluk Lampung. Lampung post. Selasa, 20
April 2010.
Muawanah, Kurniastuty, Wahyu Widiatmoko dan Tri Haryono. 2012. Kelimpahan
Cyanobakteria Trichodesmium sp. Di Pulau Siuncal Teluk Lampung. Buletin
Budidaya Laut. Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung. Derek - rat
Jenderal Perikanan Budidaya. Kementian Kelautan dan Perikanan. (In Press).
Muawanah, Kurniastuty, Tri Haryono dan Wahyu Widiatmoko. 2013. Dominasi plankton
HAB’ di Teluk Hurun. Bulletin Budidaya Laut No.34 tahun 2013. Kementrian
Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. BBPBL Lampung
Muawanah, Kurniastuty, Wahyu Widiatmoko dan Tri Haryono. 2014. Blooming HAB’s
Chaetoceros socialis dan Cochlodinium polykrikoides Dan Pengaruhnya Pada
Kegiatan Budidaya Ikan Di Karamba Jaring Apung (KJA) Di Teluk Hurun Lampung.
Bulletin Budidaya Laut No.35 tahun 2014. Kementrian Kelautan dan Perikanan.
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. BBPBL Lampung.
Praseno, D. P. dan Sugestiningsih, 2000. Retaid di Perairan Indonesia. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Oseanologi – LIPI. Jakarta.
Sachoemar, S. I., Muawanah and T. Yanagi. 2006. Seasonal variability of water quality at
Hurun Bay, Southern coastal area of Sumatra, Indonesia. International Coastal
research Center. Ocean Research Institute, The University of - kyo. Coastal Marine
Science, Vol. 30, No. 1.
Sidabutar, T., D.P. Praseno and Y. Fukuyo. 2001. Harmful algal blooms in Indonesia
waters. In Harmful algal blooms 2000. Hallegraff, G.M., Blackburn, S.I., Bloch, C.J.
and Lewis, R. J. (eds). P. UNESCO, Paris
Steidinger K. A. and K. Tangen. 1997. Dinoflagellates : Identifying Marine Phytoplankton.
Academic Press. San Diego, California, USA.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
174
Metode Aglutinasi Untuk Identifikasi Cepat
Bakteri Aeromonas hydrophila pada Ikan Air Tawar
*)
Padel Purnama. S.Pi*); Indri Astuti, S.S.T.Pi
*) PHPI Ahli di BPBAT Sei Gelam
Abstrak
Bakteri Aeromonas hydrophila merupakan bakteri gram negatif yang sangat
merugikan pada kegiatan budidaya air tawar. Serangan bakteri ini menyebabkan
penyakit MAS (Motile Aerosomonas Septicemia) yang berakibat fatal. Tanda serangan
penyakit ini bisa dilihat dari kerusakan klinis pada tubuh ikan, namun ciri ini tidak
bisa menjadi landasan karena banyak serangan penyakit lain yang menimbulkan ciri
yang serupa. Identifikasi lebih lanjut dilakukan dengan cara konvensional (pengujian
biokimia dan morfologis) pada biakan murni hasil isolasi. Kendala dari pengujian
konvensional ini adalah tingkat kesulitan tinggi dalam pelaksanaanya, kemudian
membutuhkan waktu yang cukup panjang. Selain itu karena tergantung skill masingmasing analis, hasil dari uji konvensional sering terdapat perbedaan pada pembacaan
hasil akhir (karena banyak variabel yang diuji).
Metode yang lebih akurat dalam mendeteksi keberadaan bakteri Aeromonas
adalah dengan metode aglutinasi. Metode ini memanfaatkan mekanisme pertahanan
antibodi spesifik terhadap antigen yang dihasilkan oleh jenis bakteri Aeromonas
hydrophila. Karena sifatnya yang spesifik, antigen dari bakteri tertentu hanya akan
bereaksi terhadap jenis antibodi tertentu juga. Mekanismenya adalah hubungan antara
gembok dengan anak kunci. Reaksi yang dihasilkan adalah terjadinya penggumpalan
(aglutinasi) yang merupakan bentuk respon sistem imun tubuh. Pada metode
aglutinasi, antibodi spesifik A. hydrophila direaksikan dengan isolat bakteri yang telah
dimurnikan pada slide glass. Jika bakteri tersebut adalah A. hydrophila akan terbentuk
gumpalan-gumpalan pada slide glass, sedangkan jika negatif campuran antibodi dan
bakteri akan tetap homogen. Reaksi aglutinasi yang terjadi adalah spesifik untuk antigen
bakteri A. hydrophila, jika bakteri lain meskipun sama-sama gram negatif tidak akan
menimbulkan gumpalan pada slide glass. Karakteristik inilah yang menjadi pembeda dan
jaminan akurat jenis bakteri yang kita identifikasi.
Antibodi spesifik A. hydrophila didapatkan dari isolasi serum darah kelinci yang
telah disuntik bakteri A. hydrophila yang telah dilemahkan. Tahapan produksi antibodi
spesifik dimulai dengan melemahkan isolat murni bakteri A. hydrophila dengan formalin
dan suhu panas untuk menghasilkan substansi antigen A. hydrophila (Ag.A). Selanjutnya
antigen diencerkan dengan larutan fisiologis sampai kosentrasi 109 (standar McFarland).
Ag.A diinjeksikan pada kelinci dengan dosis bertahap setiap minggu selama 4 minggu
(0.5 ml; 1 ml; 2 ml; 3 ml). Panen serum darah kelinci yang berisi antibodi spesifik
dilakukan pada minggu ke V. Peyimpanan serum dalam Natrium Azida 0.1 % bisa
digunakan untuk pengujian bakteri selama 1 tahun.
Kata kunci; Aeromonas hydrophila, identifikasi, antigen, antibodi spesifik, aglutinasi
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
175
Agglutination Method for Fast Identification bacteria Aeromonas hydrophila on
Freshwater Fish
Padel Purnama. S.Pi; Indri Astuti, S.S.T.Pi
Abstract
Aeromonas hydrophila are gram-negative bacteria that are very harmful on
freshwater aquaculture activity. This bacterium attacks causes the MAS (Motile
Aeromonas Septicemia) disease which is fatal. Signs of this disease can be seen from the
clinical damage on body of the fish, but this characteristic cannot be the basis, because
of many other diseases attack that causes similar characteristics. Further identification
conducted by the conventional method (biochemical and morphological test) on pure
culture from isolation results. Obstacles of conventional testing are the high degree of
difficulty in implementation, and require considerably long time. Moreover, because
depending on the skill of each analyst, the results of conventional tests often there
difference on reading of final result (because many variables tested).
More amlurate method in detecting the presence of bacteria Aeromonas is the
agglutination method. This method utilizes a defense mechanism of specific antibody
against antigen which is produced by Aeromonas hydrophila bacteria. Because of specific
characteristic, antigen from certain bacteria will only react to particular type of antibody
as well. The mechanism is connection between the lock with a key. The resulting
reaction is clumping (agglutination) which is a form of the system immune response. In
the agglutination method, specific antibody reacted with purified isolate of A. hydrophila
bacteria was on a glass slide. If those bacteria are A. hydrophila will be formed clots on
glass slide, whereas if negative mixture of antibody and bacteria will remain
homogeneous. Agglutination reaction that omlurs is specific for A. hydrophila bacterial
antigens, if other bacteria although both gram negative will not cause clots on glass
slide. This characteristic distinguishing and amlurately guarantee type of bacteria which
is we identify.
A. hydrophila specific antibody obtained from rabbit blood serum isolation that
has been injected with weakened A. hydrophila bacteria. Specific antibody production
stages starting with debilitating pure isolate of A. hydrophila bacteria with formalin
and hot temperatures to produce the antigen substance A. hydrophila (Ag.A).
Furthermore antigen diluted with physiological solution until 109 concentrations
(standard McFarland). Ag.A injected into rabbit with gradual dose every week for
duration 4 weeks (0.5 ml, 1 ml, 2 ml, 3 ml). Rabbit blood serum harvest that containing
specific antibody conducted at week V. Storage serum in 0.1% Sodium azide can be used
in testing bacteria for duration 1 year.
Keywords; Aeromonas hydrophila, identification, antigen, specific antibody, agglutination
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
176
I. PENDAHULUAN
Latar belakang
Dalam perkembangan kegiatan budidaya air tawar yang tumbuh pesat, sistem
intensif monokultur merupakan pilihan utama. Sistem budidaya intensif ini
memungkinkan perencanaan produksi dan keseragaman hasil panen mudah diraih.
Dampak negatif dari situasi ini adalah munculnya jenis-jenis penyakit secara cepat dan
masif dalam lingkungan budidaya. Tanpa penanganan dan pengendalian yang baik
serangan penyakit akan menyebabkan kegagalan dalam kegiatan produksi (Sinieszko
et.al, 1981).
Pada budidaya air tawar serangan patogen dari agen bakteri masih dominan
sebagai penyebab kematian ikan. Salah satu jenis bakteri yang dengan prevalensi cukup
tinggi adalah gram negatif Aeromonas hydrophila, bakteri ini menyerang hampir semua
jenis ikan air tawar yang dibudidayakan mulai dari ikan mas, nila, lele, dan patin.
Seranganya pada semua fase produksi, pada saat pembesaran di wadah bisa
menyebabkan kematian yang dikenal dengan MAS (Motile Aeromonas Septicemia)
(Alifudin et.al, 2001). Penyakit ini bersifat akut dan menimbulkan kerugian luar biasa
besar pada kegiatan budidaya ikan mas baik di karamba ataupun budidaya kolam. .
Secara klinis penyakit MAS menimbulkan luka pada lapisan permukaan tubuh, kemudian
pendaharan, dan kerusakan sirip. Tanpa penanganan yang baik serangan penyakit
bisa menimbulkan kegagalan proses produksi. Setiap tahun serangan penyakit ini belum
menunjukkan tren penurunan signifikan (Sinieszko et.al, 1981).
Langkah penting sebelum tindakan penanganan penyakit bisa dilakukan adalah
tahapan indentifikasi dan deteksi dini. Indentifikasi penyakit yang benar merupakan
kunci dari penanganan serangan penyakit (Stickney et.al,. 2000). Hal ini disebabkan
tindakan penanganan menggunakan antibiotik ditujukan untuk jenis bakteri dengan
karakter spesifik. Deteksi patogen secara dini dan benar bermanfaat untuk penanganan
lebih cepat dan meminimalisir penggunaan antibiotik. Penggunaan zat aktif yang
terkandung dalam obat ikan harus secara hati-hati karena memiliki resiko pencemaran
perairan dan efek imunitas (Stoskopf et.al, 1993).
Secara umum tanda kilinis sudah bisa memberikan indikasi serangan patogen,
akan tetapi seringkali ciri klinis tidak secara spesifik menjadi pembeda serangan bakteri
tertentu. Hal ini dikarenakan banyak bakteri patogen menyerang organ yang hampir
sama dan tidak spesifik. Uji lebih lanjut adalah metode konvensional bakteri. Uji
konvensional adalah serangkaian tes secara biokimia dan morfologis pada biakan murni
hasil isolasi (Buller et.al, 2004). Pada uji ini didapatkan sifat-sifat dan karakter dari
bakteri tersebut, kemudian dicocokan dengan buku identifikasi yang menjadi rujukan
(Manual Bergey’s). Metode uji konvensional sudah menjadi standar yang diadopsi oleh
hampir seluruh laboratorium di dunia. Kelemahan dari metode ini adalah proses
pengujian yang memakan waktu dan analis dengan skill yang baik. Hal ini dikarenakan
serangkaian fase pengujian menggunakan media dan bahan uji tertentu yang bisa lebih
dari 15 jenis pengujian (Buller et. al, 2004). Untuk mengetahui secara detail sifat dan
karakter bakteri patogen, metode konvensional berperan penting. Akan tetapi dalam
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
177
rangka penanganan penyakit secara cepat penggunaan metode konvensional sulit
diterapkan. Kendala lain adalah hasil intrepretasi jenis bakteri yang ditemukan
seringkali terdapat perbedaan diantara analis, sehingga tingkat keyakinanya belum
mencapai 100 %.
Alternatif metode deteksi patogen A. hydrophila yang bisa diterapkan dalam
mendukung penanganan secara cepat adalah secara serologi (Buller et.al, 2004).
Teknik ini menggunakan metode aglutinasi antigen bakteri. Metode ini memanfaatkan
mekanisme pertahanan antibodi spesifik terhadap antigen yang dihasilkan oleh jenis
bakteri Aeromonas hydrophila. Seperti diketahu setiap jenis bakteri memiliki susunan
jenis dinding sel dan karakter morfologi yang sepesifik, meskipun dari genus yang sama.
Karakter bakteri yang berbeda ini berarti setiap bakteri memiliki tipe zat perangsang
kekebalan tubuh /antibodi yang berbeda pula. Zat perangsang munculnya antibodi pada
inang ini disebut antigen, biasanya berupa protein atau polisakarida, tetapi dapat juga
berupa molekul lainnya, termasuk molekul kecil (hapten) yang bergabung dengan
protein-pembawa atau carrier. Dengan sifat pengenalan antibodi ini tingkat akurasi dari
metode aglutinasi lebih baik dari metode konvensional.
Tujuan
Tujuan dari kegiatan ini adalah penerapan metode alternatif uji aglutinasi
untuk identifikasi penyakit bacterial MAS selain metode yang umum digunakan seperti
uji biokimia.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
178
II. BAHAN DAN METODE
2.1 Bahan dan Alat
Bahan dan peralatan yang diperlukan adalah; isolat bakteri A. hydrophila, kelinci dewasa
(2 kg up),syringe, larutan fisiologis 85% NaCl, formaldehyde, standar McFarland,
media agar TSA, alkohol 70%, akuades, sarung tangan, masker, tabung reaksi,
waterbath, hot plate, thermometer, sentrifuse, votex mixer dan ose.
2.2 Prosedur kerja
a. Perbanyakan Isolat bakteri A. hydrophila
Isolat bakteri A. hydrophila yang digunakan adalah isolat lokal yang diisolasi dari ikan
mas KJA Sungai Batanghari Provinsi Jambi yang terkena serangan penyakit MAS (Motile
Aeromonas Septicemia) tahun 2014. Isolat murni kemudian diuji secara konvensional
untuk memastikan karakteristiknya sesuai dengan referensi. Hasil pengujian sebagian
sifat biokimia sebagai berikut;
Tabel 1. Hasil uji biokimia morfologis isolat A. hydrophila
No
Pengujian
Hasil pengujian
1
Gram
negatif
2
Morfologi
Batang pendek
3
Hemolisis
Beta hemolisis
4
Katalase
Positif
5
Oksidase
Positif
6
H2S
Negatif
7
Indol
Positif
8
Motilitas
Positif
9
NO2
Positif
10
Urease
Negatif
11
Glukosa
Positif
Ket 1) Metode pengujian dan identifikasi merujuk pada Cowan and Steel (1970)
Isolat bakteri kemudian diperbanyak menggunakan media agar TSA dan dilakukan
pemanenan sel utuh setelah inkubasi 24 jam (340 C). Proses pemanenan secara
manual menggunakan ose dan larutan fisiologis 85%. Sel utuh suspensi bakteri disimpan
dalam larutan fisiologis (perbandingan 1:1) untuk persiapan pembuatan antigen. Untuk
pembanding dalam uji aglutinasi isolat standar Aeromonas hydrophila ATML® 49140
diperbanyak dengan prosedur yang sama.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
179
b. Pembuatan dan Inaktivasi antigen
Bakteri A. hydrophila memiliki dua jenis antigen, yaitu antigen somatik (Polivalent
O/Ag. O) dan antigen flagellar (Polivalent H/ Ag.H). Antigen somatik berasal dari
dinding sel bakteri, sedangkan antigen flagellar terkait sifat motil yang dimiliki oleh
bakteri tersebut. Metode preparasi kedua jenis antigen adalah sebagai berikut (Williams
et.al, 1977).
- Antigen O
1) Suspensi bakteri disentrifuse 3000 rpm 20 menit,
2) Lakukan pencucian 3 kali dengan cara; buang supernatan, tambahkan larutan
fisiologis, homogenkan dan sentrifuse 3000 rpm 10 menit,
3) Buang supernatan, pellet ditambah larutan fisiologis (perbandingan
1:2) dan homogenkan,
4) Rendam dalam air pada waterbath (suhu 1000C) selama 2.5 jam,
5) Sentrifuse 3000 rpm 10 menit, buang supernatan,
6) Untuk penyimpanan antigen tambahkan larutan formalin 0.3 % (perbandingan 1:1),
7) Antigen siap diinjeksikan
- Antigen H
1) Suspensi bakteri disentrifuse 3000 rpm 20 menit,
2) Lakukan pencucian 3 kali dengan cara; buang supernatan, tambahkan larutan
fisiologis, homogenkan dan sentrifuse 3000 rpm 10 menit,
3) Buang supernatan, pellet ditambah larutan formalin 0.6 %
(perbandingan 1:3) homogenkan,
4) Inokulasi pada suhu 370C selama 24 jam,
5) Sentrifuse 3000 rpm 10 menit, buang supernatan,
6) Untuk penyimpanan antigen tambahkan larutan formalin 0.3 % (perbandingan 1:1),
7) Antigen siap diinjeksikan
c. Penyuntikan antigen
Antigen yang diinjeksikan pada kelinci dilarutkan dengan larutan fisiologis sampai
konsentrasi sel 109 (Standar McFarland). Penyuntikan kedua jenis antigen pada kelinci
setiap minggu dengan dosis sebagai berikut;
1) Penyuntikan I
0,5 ml
2) Penyuntikan II 1 ml
3) Penyuntikan III 2 ml
4) Penyuntikan IV 3 ml
d. Uji titer antibodi
Uji titer antibodi dilakukan sehari sebelum minggu kelima setelah pemeliharaan. Uji titer
dilakukan dengan pengenceran serial pada 11 tabung reaksi yang berisi larutan
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
180
fisiologis, serum darah kelinci dan antigen bakteri. Pengukuran titer antibodi dengan
pengenceran serial serum dari tabung reaksi no.1 sampai no.10.
1) Tabung no.1 berisi 1,9 ml larutan fisiologis dan 0,1 ml serum darah kelinci, tabung 2
s/d 11 berisi 1 ml larutan fisiologis,
2) 1 ml dari tabung 1 dipindahkan ketabung berikutnya dan seterusnya pengenceran
serial sampai tabung no.10 (tabung no.10 dibuang 1 ml),
3) Masing-masing tabung diberi antigen sebanyak 1 ml kosentrasi 5x108 (Standar
McFarland),
4) Inkubasi 24 jam suhu ruang,
5) Amati penggumpalan pada dasar tabung untuk menentukan nilai titer (tabung 1
bernilai titer 20, tabung berikutnya kelipatan 2 dari sebelumnya).
e. Panen darah dan pembuatan serum
Panen darah kelinci dilakukan pada minggu kelima. Panen darah menggunakan syrinnge
sebanyak 10-15 ml tanpa pemberian antikoagulan (alsever), miringkan darah hingga ada
ruang, tunggu sampai beku dan terjadi pemisahan serum (lapisan bening). Ambil
serum, jika tidak terlalu jelas pemisahan serum dengan gumpalan darah pisahkan
dengan sentrifuse 3000 rpm 10 menit.
f. Uji slide aglutinasi
Untuk uji aglutinasi menggunakan; slide glass mikroskop standar, ose, larutan fisiologis,
mikropipet/syringe dan suspensi antigen/sel bakteri. Uji slide aglutinasi dilakukan pada 5
jenis suspensi sel bakteri untuk melihat tingkat akurasi dari serum antibodi yang
dipanen. Berikut kelima jenis target pengujian;
1)
2)
3)
4)
5)
Antigen O tersuspensi dalam larutan fisiologis,
Antigen H tersuspensi dalam larutan fisiologis,
Whole cell koloni bakteri dari Isolat lokal A. hydrophila,
Whole cell koloni bakteri dari Isolat ATCC A. hydrophila,
Whole cell koloni bakteri dari Isolat lokal gram negatif lain dalam hal ini
menggunakan Edwardsiella tarda
Masing-masing target disuspensikan dengan 0.1 ml serum antibodi dan 0.1 larutan
fisiologis pada permukaan slide glass sampai berwarna keruh/homogen. Kemudian
diamati apakah terjadi penggumpalan pada suspensi atau tidak ada perubahan (tetap
keruh).
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
181
III. HASIL dan PEMBAHASAN
Hasil
Setelah pemeliharan selama 5 minggu dilakukan pengukuran titer antibodi dalam
darah kelinci dan dilakukan panen serum darah. Tabel 2. berikut berisi nilai titer antibodi
masing-masing jenis antigen yang diinjeksikan pada kelinci.
No
Antigen
1
Antigen O
2
Nilai titer antibodi
Jumlah
panen
(ml)
darah
Jumlah serum (ml)
Kelinci A
640
15.1
10,2
Kelinci B
640
15.4
10.4
Kelinci C
5120
14
9.1
Kelinci D
10240
15
10
Antigen H
Jumlah antibodi didalam serum darah kelinci cukup tinggi untuk bisa memberikan
dampak koagulasi yang diperlukan dalam uji aglutinasi. Seperti yang disampaikan oleh
(Garvey et.al, 1977), diperlukan nilai titer ≥320 untuk antigen O dan untuk antigen
H>5000. Serum antibodi yang telah dipisahkan dari darah diujikan pada antigen
bakteri dan koloni bakteri utuh yang telah dimurnikan, selanjutnya dilakukan juga
ujicoba pada isolat standar ATML. Berikut Tabel 3. hasil pengujian slide aglutinasi dari
serum antibodi;
No
Serum
antibodi
Hasil uji aglutinasi
Antigen O
tersuspensi
Antigen H
tersuspensi
Isolat lokal A.
hydrophila
Isolat ATCC A.
hydrophila
Edwardsiella
tarda
Kelinci A
●
○
●
●
○
Kelinci B
●
○
●
●
○
Kelinci C
○
●
●
●
○
Kelinci D
○
●
●
●
○
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
182
Dari tabel diatas diketahui antibodi yang terdapat didalam serum hanya bereaksi pada
jenis antigen yang spesifik. Dimana serum berisi antibodi Ag. O hanya menggumpalkan
suspensi antigen O, begitu juga sebaliknya pada antigen H. Sedangkan pada isolat utuh
A. hydrophila baik lokal dan ATML memberikan hasil yang sama, semua serum
antibodi memperlihatkan adanya aktivitas penggumpalan antigen. Hal ini terjadi baik
pada serum yang berisi antibodi Ag.O ataupun Ag.H, hal ini dikarenakan pada sel utuh
koloni bakteri masih terdapat kandungan kedua jenis antigen tersebut. Dalam
penggunaan dilapangan ada kemungkinan variasi spesies bakteri A. hydrophila
dalam komposisi dinding selnya. Sehinga pada saat dilapangan uji aglutinasi bisa
dikatakan positif jika salah satu atau kedua jenis serum mampu menggumpalkan sel
bakteri. Karena perbedaan minor dalam komposisi dinding sel tidak merubah identitas
antigen yang dihasilkan. Sedangkan pengujian pada jenis bakteri lain meskipun samasama gram negatif memberikan hasil yang berbeda, dimana kedua jenis serum tidak
mampu menggumpalkan sel bakteri. Hal ini disebabkan oleh sifat pengenalan
antibodi yang bersifat spesifik.
Diskusi dan pembahasan
Metode aglutinasi slide dengan sel bakteri utuh memanfaatkan prinsip sistem
kekebalan tubuh. Pada mamalia seperti kelinci memiliki sel darah putih yang
bertindak sebagai sistem imun, komponen serum darah akan bereaksi terhadap benda
asing/mikroba yang masuk kedalam tubuh. Zat asing yang menginduksi respon
kekebalan yang disebut antigen, biasanya terdiri dari molekul besar seperti protein
dan polisakarida (Delisi et.al 1941). Dalam hal ini adalah antigen merupakan whole cell
bakteri dilemahkan kemudian diinjeksikan. Sistem imun tubuh akan memproduksi
antibodi serum untuk menetralisir ancaman tersebut, mekanisme fagositas dan
penggumpalan molekul antigen ditujukan untuk melawan serangan dari luar (Corbell
et.al, 1975). Untuk menetralkan serangan antigen antibodi akan diproduksi tubuh dalam
jumlah besar. Antibodi yang diproduksi oleh sel-B limfosit memiliki karakter
pengikat/binding zat antigen yang masuk kedalam tubuh mamalia. Pada tubuh kelinci
antibodi disekresi komponen kekebalan induk sel-B (Delisi et.al 1941). Kemudian
informasi terkait karakter dan susunan antigen tersebul dalam sel memori sistem imun
(Austin et.al, 2007), sehingga apabila datang serangan berikutnya tubuh bisa resisten
dengan keberadaan serum antibodi.
Mekanisme inilah yang menjadi elemen penting dalam identifikasi bakteri A.
hydrophila dengan aglutinasi slide. Kuncinya adalah membiarkan sistem kekebalan
tubuh
kelinci
bereaksi
terhadap
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
183
antigen A. hydrophila kemudian memproduksi antibodi yang spesifik. Sehingga
introduksi antigen bakteri perlu dilakukan dengan dosis bertahap, agar kelinci bisa
memproduksi serum antibodi dalam jumlah yang diinginkan tanpa menyebabkan
kematian. Dalam proses produksi serum antibodi kelinci yang digunakan perlu diisolasi
dari serangan jenis bakteri lain yang kemungkinan juga patogen terhadap ikan air
tawar. Hal ini ditujukan agar kelinci memproduksi satu jenis antibodi saja.
Karena sifatnya yang spesifik, antigen dari bakteri tertentu hanya akan bereaksi
terhadap jenis antibodi tertentu juga. Mekanismenya adalah hubungan antara gembok
dengan anak kunci. Reaksi yang dihasilkan adalah terjadinya penggumpalan (aglutinasi)
oleh antibodi didalam serum darah terhadap molekul-molekul asing yang dikenalinya.
Hal ini merupakan bentuk respon sistem imun tubuh terhadap zat antigen bakteri.
Dalam penerapan metode aglutinasi, antibodi spesifik A. hydrophila yang diproduksi
dari serum darah mamalia direaksikan dengan isolat sel utuh bakteri pada slide glass.
Tujuanya agar antigen yang terkandung didalam sel utuh bakteri akan dikenali oleh
antibodi didalam serum (Austin et.al, 2007). Jika bakteri tersebut adalah A.
hydrophila akan terbentuk gumpalan-gumpalan pada slide glass, sedangkan jika negatif
campuran antibodi dan bakteri akan tetap homogen. Reaksi aglutinasi yang terjadi
adalah spesifik untuk antigen bakteri A. hydrophila, jika bakteri lain meskipun termasuk
gram negatif tidak akan menimbulkan gumpalan pada slide glass. Sejalan dengan
penelitian yang dilakukan sejauh ini (Gorlich, 1985 dalam Austin et.al, 2007) pada
produksi antibodi monoklonal bakteri A.salmonicida, secara jelas mampu mengenali
bakteri yang virulen. Karakteristik inilah membuat tingkat akurasi tinggi dalam
pengenalan bakteri pada metode slide aglutinasi.
V. KESIMPULAN
Metode aglutinasi slide efektif digunakan untuk deteksi cepat keberadaan bakteri A.
hydrophila dilapangan. Langkah ini penting dalam rangkan penanganan penyakit ikan air
tawar MAS yang seringkali
menyebabkan
kematian.
Dibandingkan metode
konvensional (uji morfologis dan biokimia) metode ini lebih cepat dan akurat. Prinsip
utamanya adalah reaksi penggumpalan oleh antibodi serum (dari darah kelinci) terhadap
antigen bakteri A. hydrophila. Serum darah diperoleh melalui penyuntikan bertingkat
antigen bakteri A. hydrophila pada kelinci. Dalam setiap uji hanya diperlukan sedikit
serum darah (0.05 s/d 0.1 ml) sehingga pengujian dalam jumlah banyak dimungkinkan.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
184
Referensi
Alifudin, M., dkk. 2001. Uji Adaptasi Usaha Penanggulangan Penyakit Pada Budidaya
Ikan Hias di DKI Jakarta.
Laporan Akhir Penelitian Kerjasama LP-IPB dengan BPTP/PAATP Wilayah DKI Jakarta, 26
pg.
Austin, Bryan and D. A. Austin. 2007. Bacterial Fish Pathogens : Diseases of Farmed and
Wild Fish, Fourth
Edition. Praxis Publishing. Chichester, UK.
Buller, Nicky B. 2004. Bacteria from fish and other aquatic animals : a practical
identification manual. CABI Publishing, Cambridge. USA
Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology, Vol I and Vol II. (1984) Holt, J.G. (ed.)
Lippincott Williams and
Wilkins, Baltimore, Maryland.
Cowan, S.T. and Steel, K.J. 1970. Manual for the Identification of Medical Bacteria.
Cambridge. University Press, Cambridge.
Corbell, M.J., 1975. The Immune Response in fish: A review. J. Fish Biol., 7: 539-563.
De Lisi, Charles. 1941. Antigen antibody interactions (Lecture notes in biomathematics ;
vol. 8). Springer- Verlag. New York.
Garvey, Justine S. , Natalie E. Cremer, and Dieter H. Sussdorf. 1977. Methods in
Immunology: A Laboratory
Text for Instruction and Research. W. A. Benjamin Inc. Reading, MA. USA
Klesius Philip H, Craig A. Shoemaker, Joyce J. Evans, Chhorn Lim. 2001. Vamline :
Prevention of Diseases in Aquatic Animal in Nutrition and Fish Health ed Chhorn
Lim and Carl D. Webster. The Haworth Press, Inc. USA.
Parker, Rick. 2012. Aquaculture Science, Third Edition. Delmar. 5 Maxwell Drive. NY-USA.
668 page. Plumb, Jhon A., 2011. Health Maintenance and Principle Microbial
Diseases of Cultured Fishes 3rd Edition. Iowa State University. USA. 328 page.
Stickney, Robert. R. 2000. Encyclopedia of Aquaculture. Jhon-Willey Sons Inc. Canada.
1068 page. Stoskopf, Michael K. 1993. Fish Medicine. W.B. Saunders Company.
USA. 882 page.
Sinieszko, S.F. and Herbert R. A. 1981. Disease of Fishes. Laboratory for Research of Fish
Disease, Nir-David. Israel. 127 page.
Williams, Curtis A., 1977. Methods in immunology and immunochemistry Volume IV :
Agglutination, Complement, Neutralization, and Inhibition. ACADEMIC PRESS, NYUSA.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
185
OXYTETRACYCLINE WITHDRAWAL TIME and RESIDUE IN TILAPIA (Oreochromisniloticus)
AFTER ORAL ADMINISTRATION in FEED
Ratna Amalia Kurniasih*, Rd. Kusyadi
[email protected]
Oxytetracycline is one of common antibiotic that has a wide use in aquaculture. This
antibiotic becomes one of best choice because its effect in many diseases. However the
antibiotic usage does not followed by public education to use antibiotic safely. The
determination of withdrawal time in fish aquaculture is taking an important part in food
safety and quality assurance. The aim of this study is to understand residue and
determine withdrawal time of oxytetracycline 10 days post treatment. Many residue
studies still ongoing and this study may support to monitor and control the concentration
of oxytetracycline. Two groups of tilapia were prepared to this study, control and
treated. Each group was divided in three fiber tanks and each tank contain of 70 fish. All
of the fish was kept in fiber tanks with appropriate water quality aeration and were fed
either medicated or non-medicated commercial feed at the rate of 3% of fish body
weight per day. Oxytetracycline was applied in treated group with the dose 1gr/4kg fish
body weight. The antibiotic was mixed with the feed and given 3 times per day for 10
days. Water quality (temperature, pH, dissolved oxygen, ammonia, and nitrite) was
examined during the study. Water temperature during this study was between 24.332.3oC (approximately 27,6oC).
The fish was sampled for each tank (5 fish per tank) during treatment period (day 0, 1, 3,
5, 7, and 9) and post treatment (day 0, 1, 2, 4, and 5). Liver and edible tissue (muscleskin) of fish was collected and tested for OTC by ELISA. The result of this study shows that
the highest oxytetracycline residue in muscle-skin and liver is 204.89 ± 77.65µg/kg and
541.27µg/kg, respectively. This result explains that in Tilapia oxytetracycline is easier to
be residue in liver than in muscle. Withdrawal time in this study was analyzed by statistic
correlation and regression. Withdrawal time calculation based on the time post
treatment at which the tissue OTC concentration in the muscle depleted below the MRL
(Maximum Residue Limit). Graphic 1 shows the statistical analysis withdrawal time of
oxytetracyline in tilapia by oral administration. Table 1 describes withdrawal time
calculation. From the table we conclude that for this study, withdrawal time of
oxytetracycline is 3 days post treatment. This result indicates that the concentration of
oxytetracycline is under residue limits and the product is safe to consume.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
186
Graphic 1. Statistical analysis withdrawal time of oxytetracycline in tilapia
Table 1. The determination of oxytetracycline withdrawal time in tilapia
I. INTRODUCTION
1.1 Background
In aquaculture, the use of antibiotic to control the disease is not a common thing.
Antibiotic have been choose because of its effect which may treat the disease faster than
the other medication. However the usage of antibiotic was not followed by public
education about the kind of safe antibiotic for fish, environment, and human. The public
especially the farmers have not yet known how to use antibiotic properly.
Antibiotic that have allowed in aquaculture based on Decree of Ministry of Marine
Affairs and Fisheries np 52 year 2014 consist of three groups such as quinolone,
macrolide, and tetracycline. Oxytetracycline is one of quinolone antibiotic that have been
used widely to control fish disease. Oxytetracycline have broad spectrum which may
control bacterial infection caused by Aeromonas, Psudomonas, and Haemophilus. Even
though this antibiotic effective to control fish disease, the use of it still restricted. The
safety of oxytetracycline to human and animal (in this term is for fish) along with its
efficacy to the disease still need specific study for each product.
The European Union and several countries with its policy has determined certain
level from the antibiotic which allowed in fish product (MRL = Maximum Residues Limit).
Meanwhile, Indonesia has issued a decree through Directorate General of Aquaculture
Ministry of Marine Affairs and Fisheries which explained quality standard of antibiotic.
Regarding to this decree, a lot of study for residue and withdrawal time determination
has been done include oxytetracyline to control and monitor its level.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
187
II. Material and Method
Fish
This study used 420 local tilapias (Oreochromisniloticus)with the average body
weight 65 – 80 gram. The fish was divided into 2 groups, control and treatment. Each of
groups contains 3 repetition groups (each of repetition group contains 70 tilapias). The
fish was reared in fiber tanks with close water system and appropriate water quality and
aeration. The fish was feed by commercial feed 3% of total body weight for each tank
which divided into three times feeding a day during the study. The treatment period was
determined for 10 days. During the treatment period, the treatment group fish was fed
by feed mix antibiotic. Then during 5 days post treatment period all the fish was fed with
commercial feed without antibiotic. The fish was acclimatized for 1 week before the
study was started.
Oxytetracycline Preparation and Administration
Each gram of this antibiotic contains 400mg oxytetracycline. The dose that has
been used for this study is 1gr/4kg fish body weight. The administration of antibiotic
mixed in feed was conducted for 10 days of study (three times a day). Ten percent from
total feed for each day was mixed with antibiotic for three giving times. The preparation
of medicated feed was conducted one day before the treatment. Antibiotic – feed mixing
process was used commercial binder. After administration of antibiotic, the fish was
reared for 5 days.
The sampling
Fish sampling during the study was conducted in two periods, treatment period
and rearing period or post treatment. The sampling was random sampling for 5 fish in
each tank. During the treatment period the fish was sampled 6 times on day 0, 1, 3, 5, 7,
and 9. Meanwhile in post treatment, the sampling was done on day 0 (day 10 of
treatment period), 1, 2, 4, and 5 after the treatment period. The enable tissue and liver
for sampled with was taken for the test. The muscle-skin of fish was pooled for each
tank, whether liver was pooled for each group, treatment and control.
The sampling also conducted for water and feed. The feed with and without
antibiotic was conducted for oxytetracycline test. Physical water quality test was
conducted one time a day during the study. Water sampling for chemistry test has done
for three times (day 0, 10, and 15). The water chemistry tests include ammonia and
nitrite parameter. Water physical test include temperature, dissolved oxygen, and pH.
Oxytetracycline Concentration Analysis
The feed and fish was analyzed for oxytetracycline level with ELISA (Enzyme-linked
Immunosorbent Assay) based on the procedure on test kit.
Withdrawal Time Determination
Withdrawal time was determined with statistic correlation and regression. The
determination of withdrawal time was determinate by the time when the oxytetracycline
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
188
under the MRL (Maximum Residue Limit) or until it is not detected in fish. Based on
Decree of Directorate General of Aquaculture, the MRL that has accepted for
oxytetracycline
III. RESULT and DISCUSSION
The aim of this study is to understand oxytetracycline residue in tilapia after 10
days of treatment period in feed and to determine withdrawal time of oxytetracycline
refers to MRL (Maximum Residue Limit). MRL value that has been determined for
oxytetracycline was 100µg/kg. However the consensus in Indonesia has determined the
MRL for withdrawal time determination was 0,5 MRL or 50µg/kg.
This study was held for 15 days with 10 days treatment period and 5 days rearing
period post treatment. Before the study has started, the fish was sampled to know the
concentration of oxytetracycline. It can be seen in table 1.
Table 1.Oxytetracycline concentration in fish (muscle and liver) before the treatment
Sample
Day
Concentration of Oxytetracycline (µg/kg)
Muscle-skin
0
2.03
Liver
0
36.61
Based on table 1, liver and muscle-skin of tilapia contain oxytetracycline though in small
concentration. The dose of oxytetracycline that has been used during the treatment
period is 1gr/4kg fish body weight. Before treatment, concentration of oxytetracycline in
feed was examined for feed with and without antibiotic. Table 2 explain that the feed
without antibiotic has no oxytetracycline whether for medicated feed the concentration
of oxytetracycline is 390,54µg/kg.
Table 2. Concentration of Oxytetracycline in Feed
Sample
Day
Concentration of Oxytetracycline (µg/kg)
Feed without antibiotic
0
0.00
Medicated feed (1 gr/4 kg
0
390.54
bw)
During the treatment, fish sampling was done on day 1, 3, 5, 7, and 9. Each tank was
sampled for 5 fish randomly. Then the fish was tested for oxytetracycline in muscle-skin
and liver.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
189
Table 3. Concentration of oxytetracycline in muscle-skin of tilapias during the treatment
period
Tank
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
Da
y
1
3
5
7
9
Control
1.21
0.00
0.00
0.45
0.89
1.74
1.45
3.99
0.00
87.81
88.26
52.07
32.23
4.17
5.23
Concentration of Oksitetrasiklin (µg/kg)
Treatment Mean of control Mean of treatment
dose 1 g/4 group± Standard group± Standard
kg bw
Deviation
Deviation
196.22
0.4 ± 0.7
195.30 ± 50.19
144.66
245.02
134.09
1.03 ± 0.66
144.98 ± 9.54
148.99
151.87
193.37
1.81 ± 2.02
198.16 ± 23.82
177.10
224.01
144.66
76.05 ± 20.77
187.83 ± 38.40
200.63
218.20
115.44
13.88 ± 15.90
204.89 ± 77.65
244.34
254.90
Figure 1. Graphic concentration of oxytetracycline(µg/kg) in muscle-skin during
the treatment period
During the treatment period, the highest concentration of oxytetracycline was
obtained on day-9, 204.89 ± 77.65µg/kg. The increase of oxytetracycline was observed
on day-7. The lowest concentration of oxytetracycline was obtained on day-3 144.98 ±
9.54µg/kg. In liver, the highest concentration of oxytetracycline was found on day 5,
541,27µg/kg. And the lowest concentration as seen on table 4 and figure 2 was on day 3
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
190
and 7, 435,50µg/kg and 439,04 µg/kg. This result shows that in muscle-skin and liver,
concentration of oxytetracycline higher than themaximum residue limit. Based on
Directorate General of Aquaculture no 61 year 2013, MRL for fish commodity is
100µg/kg.
There are several factors that affect the variation of oxytetracycline concentration
in organ and tissues. Study of Salte and Liestol (1983) in Chen et al (2004) mention the
differences in medicated feed intake, stomach emptying rate, the absorption of the drug
(OTC is known to have a low bioavailability), and metabolic and excretory capabilities of
the fish in handling the drug could make the variation of concentration drug in tissue.
Feeding method and frequency of feed a day also may contributed to the differences of
oxytetracycline concentration in tissue. Referring to Studies of O’Hara et al (1997) in
Chen et al (2004), channel catfish that feed twice daily has higher oxytetracycline
concentrations in liver and muscle than a once-daily feeding approach. An additional
factor worthy of consideration is that OTC can form complexes with cations and can
leach from feed in the freshwater environment. Water environment also affect the
concentration of oxytetracycline in tissue. Fish in lower temperature groups had higher
liver-to-serum ratios and lower muscle–skin-to-serum ratios. This suggests that the liver
is impacted to a greater degree by low temperature than muscle–skin, and therefore low
temperature tends to reduce OTC elimination.
Table 4.Concentration of Oxytetracycline in liver of tilapias during treatment period
Day
Concentration of Oxytetracycline (µg/kg)
Control
Treatment Dose 1 gr/4 kg bw
1
40.00
519.20
3
32.89
435.50
5
40.91
541.27
7
61.53
439.04
9
21.16
479.36
Figure 2.Graphic Concentration of Oxytetracycline in liver (µg/kg) during
treatment period
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
191
After the treatment both control and treatment group was fed with commercial
feed. The sampling of fish during rearing period was aimed to know the concentration of
oxytetracycline. Then the result may calculated by statistic correlation regression to
determine the withdrawal time of oxytetracycline. Concentration of oxytetracycline in
muscle –skin and liver post treatment was showed in table 5, 6, and figure 3.
Table 5. Concentration of oxytetracycline in muscle-skin of tilapias post treatment
Tank
Day
Control
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
0
1
2
4
5
11.77
9.44
4.77
1.91
2.63
4.51
0.45
0.00
0.00
0.20
0.00
0.00
4.52
2.38
7.27
Concentration ofOxytetracycline (µg/kg)
Treatment
Mean of treatment Mean of control group
Group
group ± Standard ± Standard Deviation
Deviation
201.63
195.37±78.92
8.66±3.56
113.50
270.97
57.02
63.88±7.05
3.02±1.34
63.52
71.10
27.13
43.00±26.32
0.15±0.26
28.50
73.38
13.05
16.93±8.22
0.07±0.12
11.37
26.37
9.88
10.84±2.19
4.72±2.45
9.29
13.35
Table 6. Concentration of Oxytetracycline in liver of tilapias post treatment
Day
0
1
2
4
5
Concentration of Oxytetracycline (µg/kg)
Control
Treatment Group
55.44
665.81
33.76
153.51
32.94
64.20
18.35
54.72
31.19
28.77
Table 5 and 6 shows the concentration of oxytetracycline post treatment. The
concentration on day 0 (last day of treatment) still has higher concentration.
Nevertheless this concentration decrease respectively on day 1, 2, 4, and 5 post
treatments (figure 3). This result also shows the lowest concentration of oxytetracycline
was on the last day of study. Liver which has the higher concentration than muscle-skin
still has its high concentration until day 5 post treatments. All of oxytetracycline
concentration in liver and muscle-skin already are below the MRL till the last day of
study.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
192
Figure 3. Graphic Concentration of Oxytetracycline in muscle-skin and liver (µg/kg)
post treatment
The determination of withdrawal time in this study uses statistic correlation
regression. Withdrawal time analysis is based on estimated time for oxytetracycline in
organ or tissue to depleted below the MRL (Maximum Residue Limit). Based on DGA’s
Decree no 61 year 2013, MRL for fish product is 100µg/kg, however this study use the
consensus agreement, 0,5MRL or 50µg/kg. Concentration of oxytetracycline during
rearing period becomes the data to determine the withdrawal time. Figure 3 shows the
graphic of statistic correlation regression withdrawal time of oxytetetracycline in tilapia.
Figure 5.1.Statistical analysis withdrawal time of oxytetracycline in tilapia
The green line in figure 3 shows the log concentration of 0.5MRL (1.7µg/kg). Line
equation for log concentration 0.5MRL was y=-0.241x + 2,407. The blue line is the log
mean concentration of oxytetracycline. The withdrawal time was determined with the
cutting line between upper limit and log concentration of 0.5MRL. Based on the figure 5
and table 7, withdrawal time of 1gr oxytetracycline /4kg body weight in feed for 10 days
in tilapia was 3 days post treatment. And the time for oxytetracycline depleted
completely was 10 days post treatment.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
193
Table 7.Withdrawal time determination of oxytetracycline in tilapia after administration
in feed
Description
0,5 MRL
log 0,5 MRL (y)
waktu (hari) (x)
WT = 0,5 MRL
50 µg/kg
1.70
3
Some studies revealed the depletion time or withdrawal time of oxytetracycline
with different dose and exposure time. Study withdrawal time from Chen et alin 2004
showed that in red tilapia (Oreochromismosambicus)that has administrated with
80mg/kg oxytetracycline in feed for 10days, with temperature was 27.3oC and 28.4oC has
depletion time 2 days and 2 hours. The result from Paschoalet al (2012)with similar study
by using tilapia, 80mg/kg oxytetracycline for 5 days found the withdrawal time was 6
days after last administration of medicine. Another study by Sojung (2013) in tilapia that
has treated with 75mg/kg oxytetracycline for 10 days got 0.5MRL 14 days after last
administration day.
In fish, oxytetracycline was eliminated by glomerular filtration. However this
process was very slow because the elimination through enterohepatic circulation
(Baggot, 2001). The variation of withdrawal time in various study may influenced by
several factors such as species, dose, the exposure time of antibiotic, water quality, and
differences of MRL in every countries. Different species may have different metabolism,
so that the pharmacokinetics should be various. The dose and the duration of
administration also may affect withdrawal time. The greater dose and the longer
duration of exposure, the greater medicine has absorbed by fish (Webby et al., 2014).
As the author has mentioned before, temperature hold the important thing in
withdrawal time study. During the study, the water temperature has shown in table 8.
The water temperature in this study is quite good and stable except in first day which is
higher than optimum value. The temperature during the study was between 24.3 -32.3oC
(mean 27.6oC). Meanwhile the value of pH, dissolved oxygen, and nitrite, is quite good
for aquaculture. Ammonia parameter for every treatment tanks was over the optimum
value. The higher parameter of ammonia caused by closed water system and the
cleaning time with siphon and water change was not conducted everyday
IV. CONCLUSION
In this study, tilapia which feed with oxytetracycline 1gr/4kg body weight in feed
for 10 days have the highest concentration of oxytetracycline in muscle-skin on day 9,
204.89 ± 77.65µg/kg. The highest oxytetracycline residue in liver is541.27 µg/kg. This
result shows that for this study, oxytetracycline was residue in liver than in muscle-skin.
Oxytetracycline withdrawal time determination use correlation regression with
line equation y=-0.241x + 2,407 (variable y is log concentration of oxytetracycline and
variable x is day). By the equation, to reach 0,5MRL, the limit of allowed oxytetracycline
level in fish, the tilapia need 3 days after the last treatment period.
REFERENCES
Baggot, J.D. 2001.The Physiological Basics of Veterinary Clinical Pharmacology.Blackwell
Science
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
194
Chen, C.Y., R. G. Getchell, G. A. Wooster , A. L. Craigmill, P. R. Bowser. 2004.
Oxytetracycline Residues in Four Species of Fish after 10-Day Oral Dosing in Feed.
Journal of Aquatic Animal Health 16:208–219, 2004
Sojung, D. 2013. Determination of Withdrawal Time ofOxytetracycline and its Effication
On Tilapia (Oreochromisniloticus) infected by Bacteria Streptococcus iniae.
Paschoal JA, Bicudo ÁJ, Cyrino JE, Reyes FG, Rath S. 2012. Depletion Study and Estimation
of The Withdrawal Period for Oxytetracycline in Tilapia Cultured in Brazil.J Vet
PharmacolTher. 2012 Feb;35(1):90-6. doi: 10.1111/j.1365-2885.2011.01294.x.
Epub 2011 Apr 6.
Webby,
AndriHariadi,
DiteFajarSuprapto,
JamilahHayati.
2014.
Masa
HentiAntibiotikOxytetracyclinepadaIkanPatin.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
195
PIPER BETEL LEAF EXTRACT SPRAYED ON FEED TO CONTROL Aeromonas hydrophila
DISEASE IN CATFISH (Clarias sp)
Manja Meyky Bond*, Betutu Senggagau, and Tanjung Penataseputro
Abstract
Motile Aeromonas Septicemia (MAS) disease caused by pathogenic agent such as
Aeromonas hydrophila mostly attack catfish in fresh water aquaculture. It occurs during
rainy seasons and happens on juvenile and growth fish. Generally, the fish had dropsy
and ulcer and also wound in the body. If it could not separately well, it would cause 100%
mortality. Antibiotics always uses to handling the disease, but usually not recommended
for food safety. It could contaminate the water and residue remains in fish and bacterial
resistance if the doses are not suitable as should be. Some of medical plants have natural
antibiotics substances. It could be used to kill pathogenic bacterial in general. Piper betel
leaf is one of the medical plants which have natural antibiotics. The piper betel leaf
extracts are known as herbal medicine in aquaculture fish disease. Many studies had
conducted this extract with any kind methods. The study aims to observe effectiveness
of piper betel leaf extract sprayed on fish feed to the survival rate of catfish juveniles
from the infectious bacterial diseases.About 5 kg of fresh piper betel leaf dried in oven
with 500C during 24 hours and then mashed it to be simplicia. The extraction used by
maceration method. There were 2 different type concentrations of piper betel leaf
extract. The 5% and 10% of piper betel leaf extract made by diluting 100 g and 200 g
simplicia respectively in 2000 ml of 96% ethanol during 24 hours. Fish feed prepared by
spraying the piper betel leaf extract and homogenized it. The experiments used
completely randomized design with 2 replicates. About 50 catfish (Clarias sp) juveniles
with 5-8 cm length respectively cultured in 6 tanks of 1000 ml circulated fiberglass. They
were fed around 30 days by fish feed which had sprayed with 0%, 5% and 10% of piper
betel leaf extract. After that, the challenge test was conducted. Around 50 juveniles were
injected with 107 cfu/ml of Aeromonas hydrophila inoculum broth. The survival rates
were observed during 20 days.The results showed that piper betel leaf extract had
significantly (p < 0.05) controlled Aeromonas hydrophila disease in catfish juveniles. The
5% of piper betel leaf extract had highest result of catfish juveniles survival rates.
Keywords: betel leaves, herbal extracts, catfish, Aeromonashydrophila,
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
196
INTRODUCTION
The main problems that occurin aquaculture activities are pests and fish diseases
andpollutedwaters in aquaculture environment. Vaccines, antibiotics, immunostimulant
and other chemical drugs wereused to control it. Almost fish farmer used antibiotics to
handling it. Unfortunately, it is not recommended for food safety. The usage of
antibiotics in aquaculture always unpredicted administration for time and doses. In this
case, antibiotics would be contaminated in aquaculture environment, residue in fish
meat, and stimulating pathogenic bacteria resistances.
Aeromonashydrophila, freshwater pathogenic bacteria attacked catfish farming in
the rainy season.Juveniles and growth catfish which had been infected must be
separated from others to prevent its spread. The fish swam abnormal, no appetite
eating, and showed ulcer, dropsy and wound around the body.It could be caused
mortality up to 80-100%. However, its kind of pathogenic bacteria that would be
disadvantages for fish farmerand could be decreasingaquaculture production. Proper
technology, therefore, needed to control this disease.
Medicinal plants or herbal used to control fish disease safely as an alternative
prevention.Indonesia as a tropical country has a wealth of potential medicinal plants.
Many types of plants that contain compounds are antimicrobial. Some plants contain
compounds are bactericidal (bacteria-killing), and bacteristatic (bacterial growth
inhibition).From several experiments reported that phyto-pharmacy effectives to resolve
fish disease and have some advantages, such as: First, it can be a natural material
substitute for antibiotics to control bacteria diseases. Second, environmental friendly,
easy destroyed / biodegradable, andit does not cause residues in fish and humans. Third,
easy obtained and available. Fourth, its economic and not expensive.
Some of phyto-pharmacy can be used as natural antibiotics to control fish diseases
are garlic (Alliumsativum), and tropical almond leaf (Terminaliacattapa). Other research
reported thatanother materials can be used as antibiotics are piper betel leaf (Piperbetle,
L), guava leaf (Psidiumguajava, L), common dandelion (Taraxacumofficinale) and bitter
leaf (Androgaphispaniculata). Piper betel leaves are known have antioxidants,
antiseptics, bactericides, and fungicides activities. Bitter leaf hasanti-bacterial properties,
and guava leaves have anti-bacterial and also anti-viral activities.
There were many studies reported utilizations of piper betel leaf extract to control
fish diseases, i.e. African catfish (Clariassp) (Sutama, 2002; Wahjuningrum, et al., 2007),
Goldfish (Cyprinuscarpio) (Maryani& Rosita 2006), Neon-tetra fish (Herawati, 2009), Tiger
grouper (Epinephelusfuscoguttatus) (Dewiet al., 2010), Fresh water lobster larvae
disinfectant (Khasani&Sopian, 2010), Mekong catfish (Mulia&Husin, 2012) and Tilapia
GIFT (Yuniarani, 2013). Based on the information above, therefore, it is necessary to
examine application technology frompiper betel leaves extract to control bacterial
disease in fish farmed. The study aims to observe effectiveness of piper betel leaf extract
sprayed on fish feed to the survival rate of catfish juveniles from the infectious bacterial
diseases.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
197
MATERIALS AND METHOD
Materials in this study are fresh piper betel leaves, catfish juveniles (5-8 cm
length), Aeromonashydrophilainnoculum bacteria, 96% ethanol solution, Trypticase Soy
Agar (TSA) medium, bacteria physiological solutions. Equipment used in this activities are
as follows : 1000 m3 circulated fiberglass tank,aeration and water installations, nursery
equipments, analytical balance, grinder, filter, ovens, incubator, centrifuge, refrigerator,
vacuum rotary evaporator, syringe (vaccine injector), and glassware.
Preparation of piper betel leaf extract
Fresh piper betel leaves put in the oven with temperature of 50ºC during 24 hours.
After it had dried, piper betel leaves crushed using a grinder. To get finer simplicia, it was
screened with coconut milk filter.Piper betel leaf extract divided into 2 type
concentrations, 5 % and 10 %. The extraction process used maceration method. About
100 g (5%) and 200 g (10%) of piper betel leaf simplicia respectively dissolved in 2000 ml
of 96% ethanol.Maceration performed for 1 x 24 hours at room temperature. Then, the
extraction was filtered using a screen net. Evaporation needed to eliminate ethanol
influences in theextraction. After evaporation, piper betel leaf extract were
concentrated. It saved into bottle and placed in refrigerator.
Preparation of fish feed mixed piper betel leaf extract
Fish feed was weighed according to the 3% of fish biomass. About 5% and 10% of
piper betel leaf extract sprayed into feed respectively.Homogenized it until the extract
distributed throughout the feed. Let the moment for 3-5 minutes, then,the feed was
inserted toa plastic container and stored in the refrigerator.
Preparation of Aeromonashydrophila inoculums bacteria
Pure isolates ofAeromonashydrophilawere inoculated in TSA medium, then,
incubated for 24 hours at 28ºC. After incubation, the bacteria were re-inoculated with
scratch method in to 5 new Petri dish containing TSA medium and incubated for 24
hours.Aeromonashydrophila were harvested slowly by adding bacteria physiological
solutions on to medium surfaces. Then, centrifuged for 10 minutes and taken part of the
filtrate, repeated up to 3 times flushing. After washing, filtrate of bacteria turbidity
compared using the tube McFarland. The density of Aeromonashydrophiladesired test
amounted to 107cfu/ml. Solution volume for bacteria challenge test was 100 ml.
Experiments Design
Aeromonashydrophila Bacteria Challenge Test against Catfish
Experimental design to observe survival rate of catfish juveniles used completely
randomized design (CRD) with two replications. The treatments werefed catfish with
feed mixed 0%, 5% and 10% of piper betel leaf extract respectively. Feed given three
times daily for 30 days. After adapting to the feed, catfish werechallenge tested with
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
198
Aeromonashydrophila. About 50 catfish juveniles per treatments were intra-peritoneal
injected by 0.1 ml of 107cfu/ml of Aeromonashydrophila.
Observation Data
The observation data of this study was survival rate of catfish juveniles after
getting treatment feeding with feed mixed piper betel leaf extracts to
Aeromonashydrophila challenge tested. Observations were made during the two weeks
after test bacteria injection. The formula of survival rate is followed:
Data Analysis
Survival rate data were analyzed using one-way analysis of variance (one- way ANOVA)
with MS. Excel 2007 program.
RESULTS AND DISCUSSION
The survival rate of catfish juveniles after challenge testwith Aeromonashydrophilawere
shown in table 1.
Table1. Survival rate (%) of catfish (Clarias sp) juveniles after challenge test was
conducted
Piper betel leaf extract
1
2
Mean ± SD
0%
20
16
18 ± 2.83
5%
98
100
99 ± 1.41
10%
42
80
61 ± 26.87
On the table 1 showed that 5% of piper betel leaf extract sprayed in feed gave the
best result for survival rate of catfish juveniles up to 99 ± 1.41% followed by 10 % and
0%. There were 61 ± 2.83% and 18 ± 2.83% respectively. One-way Analysis of Variance
(ANOVA) was conducted to determine the differences between the treatments. Table 2
was shown below.
Table 2. One-way ANOVA of Survival Rate
Source of Variation
Between groups
Within groups
Total
SS
6569.33
732
7301.33
df
2
3
5
MS
3284.67
244
F hit
13.46
P-value
0.031
Table 2 described that piper betel leaf extract had significantly (p < 0.05) different
to the survival rate of catfish juveniles. It showed that the piper betel leaf extract could
be positive impact on the survival rate of catfish juveniles. Piper betel leaf extract
contains essential oils that are capable to inhibit Gram-positive and negative bacteria
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
199
activities (Darwis, 1992) and A. hydrophilainclude in the group of Gram-negative bacteria
(Plumb, 1999). Sutama(2002) reported that survival rate of African catfish juveniles were
up to 100%(5 fish) after fed by 0.2 g of piper betel leaf extract mixed in 100 g offeed.
Wahjuningrum etal. (2007) reported that catfish juveniles were fed with a mixture of
bitter leaves, guava leaves and piper betel leaves extractscould survive up to 75% after
challenge tested with A. hydrophila bacteria. There were differences data results
between the studies. It might be caused by the number of catfish tested, size, and the
concentrations of leaf extract that mixed in the feed. However, it could be said that the
administration of piper betel leaf extract was mixed into the feed have a significant
influence on the survival rate of catfish from MAS (Motile Aeromonas Septicemia)
diseases orA. hydrophilainfection. Furthermore,Sutama (2002) said that the use of herbal
plant extracts can cure inflammation, hemorrhage and ulcers caused by A.
hydrophilabacterial diseases. The active compounds of piper betel leaves such as
terpenoids are potentiallyused as antibacterial (Sukadanaet al., 2008). It can inhibit
bacteria growthand damage the cell walls led to lyses, changing the permeability of the
cytoplasm membrane causing leakage of nutrients from within the cells, protein cell
denatured and inhibit the enzyme activity in bacterial cells (Herbert, 1995).
CONCLUSIONS
1. Piper betel leaf extract administration had significantly different to the survival rate of
catfish juveniles from A. hydrophilainfection.
2. 5% of piper betel leaf extract mixed in feed gave the best survival rate up to 99%.
3. Piper betel leaf extract can be used as an alternative method for the control of
bacterial disease.
REFERENCES
Dewi, J., H. Marnis and T.Tusihadi, 2010.The administration of piper betel
leaves(Piperbetle L.) powderas bacterial disease controlling in Tiger Grouper
(Epinephelusfuscoguttatus) culture. Indonesian Aquaculture Proceeding. Chapter
VI: 183-189.
Herawati, V.E. 2009. Utilization of piper betel leaves (Piperbetle, L) toresolve
ectoparasites in Ornamental Fish Tetra. Aquatics PENA Vol. (1) 1: 8-13.
Herbert. R.B, 1995, Biosynthesis of Secondary Metabolites, 2nd edition, 1st printing,
BambangSrigandono (eds), IKIP Press Semarang.
Khasani, I and A. Sopian. 2012. Effectiveness of betel leaf extract as disinfectant materials
for fresh water lobster (Macrobrachiumrosenbergii). The Aquaculture Technology
Innovation Forum Proceedings.p: 977-981.
Maryani and Rosita. 2006. Effectiveness of guava leaves extracts (Psidiumguajava L.)
bitter leaves(Andrographispaniculata)extracts,and betel leaf (Piperbetle l.)
extracts to controlAeromonashydrophila infections in Goldfish (Cyprinuscarpio
L.). Journal of Tropical Fisheries 1 (2): 132-139.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
200
Mulia, D.S. and A. Husin. 2012. Effectiveness of the Betel Leaf Extract to controlMekong
catfish from Aeromonashydrophilainfected. Research Report. FKIP
UniversitasMuhammadiyahPurwokerto.12 pages.
Plumb, J.A. 1999. Health Maintenance and Principal Microbial Diseases of Cultured
Fishes.Iowa State University Press, Ames, Iowa.p: 194-203.
Sukadana, I M., Santi, Sri Rahayu., &Juliarti., N.K. 2008. Antibacterial Activity Compounds
Group TriterpenoidFrom Seeds Papaya (Caricapapaya, L)). Journal of Chemistry.
2. 15-18.
Sutama, I.K.J. 2002.Effectiveness of guava leaf extract (Psidiumguajava L.), Bitter
(AndrographispaniculataNees) and DaunSirih (Piper betle L.) against
Aeromonashydrophila Bacterial Infections L31 on Dumbo Catfish
(Clariassp).Scription. Not published. Bogor Agricultural Institute. Bogor. 68 p.
Wahjuningrum, D., Tarono and S.L. Figures. 2007. Effectiveness of Mixed Stew Sambiloto
(Andrographispaniculata (Burm.f.) Ness), Leaf Guava (Psidiumguajava L.) and
betel leaf (Piperbetle L.) for Prevention MAS (Motile Aeromonas Septicemia)
Disease in Dumbo Catfish ( Clarias sp). Journal of Aquaculture Indonesia 6 (2):
127-133.
Yuniarani, N. 2013.The Influence of piper betel leaf Extract (Piperbetle L) addition in the
feed to tilapia GIFT health level.Feed Soundness Gift Tilapia
(Oreochromisniloticus). Essay.FPIK Padjadjaran University. Bandung.
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
201
PRELIMINARY ANALYSIS OF HEAVY METAL CONTENT IN GREEN MUSSELS MEAT
MONITORED IN THE BANTEN PROVINCE
Sofian Ansori, Silvian Rusminar, Ellis Mursitorini
[email protected]
Abstract
The Mussels products originating from the province of Banten, especially mussels
become the main target of monitoring by Center of Fish Diseases and Environmental
Investigation. Heavy metal are found in the waters include the Banten province. The
green mussels (Perna viridis L) become an indicator pollutant of heavy metal. Heavy
metals were tested on mussels products are Lead (Pb), Cadmium (Cd), and Mercury (Hg).
The preparation method for analized green mussels is digestion by microwave and
analyzed by AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer ). Sampling is done on three
points , namely district of Tangerang , Serang and Pandeglang district. From that three
points of heavy metals the high concentration is Lead 2.42 mg/kg in tangerang district
and 2.91 mg/kg in Serang district and 2.21 mg/kg in Pandeglang district (Figure 2). From
Maximum limit of the heavy metal in the food product specified by SNI 7387.2.2009. The
maximum concentration to lead (Pb) is 1.5 mg/kg, Cadmium (Cd) and Mercury (Hg) are 1
mg/kg .
At the 3-point district that is above the threshold are Serang, tangerang and Pandeglang
district . Lead in waters originating from the fumes or flue gas motor engine which then
diffuse in water bodies. This area is a transport route through which many fishing boats
and vessels transporting goods. It's just above the threshold value is Lead (Pb) so that
need for routine monitoring of meat mussels in Banten . Monitoring needs to be done at
least 2 times a year during the rainy season and summer .
Key word : Green mussels (Perna viridis L), AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer)
I. Introduction
Heavy metals can decrease water quality , in addition the pollutant of the heavy
metal in the water environment will precipitate under the waters that would form the
sedimen. Heavy metal in the enviroment can survive for quite long thousands years and
also be concentrated into fisheries live and feed such as shrimp , crab and mussels. The
mussels as one indicator for pollutant in the water will have heavy metals in their body
and resistant to heavy metal contamination. A Mussels is a marine animal that absorb
pollutants higher than with other types of marine life as it is lived , slow to avoid
themselves from the effects of pollution and have a high tolerance towards certain heavy
metal concentration.
Green mussel (Perna viridis L) is one of family spesises two shellfish (bivalves). Green
mussel is fishery commodities in Indonesia that has been cultivated as one of the business areas
of coastal communities especially in the Banten province. There are three district that have a
green mussels cultivation such as Tanjung anom in Tangerang district, Teluk banten in Serang
district and Teluk Panimbang in pandeglang district. Green mussels is the most popular because
have economic value, good nutrient and food for consumption. But behind that advantages green
Buku Prosiding II Indoaqua – APA 2016
202
mussel is resistant to heavy metal. Commonly the heavy metals contamination is source of
pollution, especially that many pollutant dissolved in water and deposited under waters. The
green mussels obtain their food by filtering phytoplankton that live nearby, or more commonly
known as filter feeders. Heavy metals are often taken into the body mussels include Pb, Cr, Cd,
Hg, Zn. Heavy metal residues are often analyzed of lead (Pb), cadmium (Cd) and Mercury (Hg), it’s
from the toxicity of these metals are quite high. These heavy metal In addition, the metal content
in the territorial waters depends on the location of the mussels live which are often carried out
many human activities include tourism activities of society, fumes or fuels from engine motor
which then diffuse to the water bodies. A huge industry in the field of oil, chemicals, textiles and
other major industries that produce hazardous waste will decrease the water quality and increase
a heavy metal pollutants. The heavy metal were tested and analyzed with Atomic Absorption
Spctrofotometer graphite furnce (GFAAS) for lead (Pb) and Cadmium, while mercury (Hg) with
Atomic Absorption Spctro
Download