Redefinisi Pengaturan Larangan Kepemilikan Tanah Pertanian

advertisement
BAB II
PENGATURAN TENTANG TANAH ABSENTEE DI INDONESIA
A." LANDREFORM DI INDONESIA
A.1. Pengertian Landreform
Tanah merupakan salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup dan
penghidupan bangsa dalam mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang
terbagi secara adil dan merata, maka tanah adalah untuk diusahakan atau digunakan
bagi pemenuhan kebutuhan yang nyata. Pemilikan tanah pada masa sebelum UUPA
tidak dibatasi, sehingga muncul tuan–tuan tanah. Sedang dipihak lain terdapat pihak
yang tidak mempunyai tanah.1
Dengan lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1960 mengenai Undang- Undang Pokok
Agraria sebagai implementasi dari Pasal 33 ayat (3)2 UUD 1945, maka terciptalah
unifikasi dalam bidang hukum agraria di Indonesia dan menghapuskan dualisme
hukum pada masa kolonial dimana peraturan yang berlaku didasarkan pada hukum
ada dan hukum barat. UUPA selain merupakan politik hukum pertanahanyang baru
bagi bangsa Indonesia juga merupakan suatu titik tolak perombakan struktur
pertanahan yang di sebut Landreform di Indonesia.3
Landreform berasal dari kata-kata dalam bahasa Inggris yang terdiri dari kata
“Land” dan “Reform”. Land artinya tanah, sedangkan Reform artinya perubahan dasar
atau perombakan untuk membentuk/membangun/menata kembali struktur pertanian.
1
Mintarsih Sri Kuntarti, Op. Cit., hal. 1
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh Negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
3
Hustiati, Agrarian Reform di Philipina dan Perbandingannya dengan Landreform di Indonesia,
(Bandung:Mandar Maju, 1990), hal: 28.
2
Jadi arti Landreform adalah perombakan struktur pertanian lama dan pembangunan
struktur pertanian lama menuju struktur pertanian baru.4
Boedi Harsono secara tegas membedakan antara Landerform dalam arti sempit
dan Landrefrom dalam arti luas. Landreform dalam arti sempit merupakan
serangkaian tindakan dalam rangka Agrarian Reform Indonesia yang meliputi
perombakan mengenai pemilikan dan penguasan tanah serta hubungan-hubungan
hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah. Sedangan Landreform dalam
arti luas disebut sebagai Agrarian Reform.5
Selain itu Landreform juga diartikan sebagi perubahan dasar (perombakan)
struktur pertanahan yang berarti bukan sekedar tambal sulam, landreform meliputi
program untuk melakukan tindakan-tindakan yang saling berhubungan satu sama lain
yang bertujuan untuk menghilangkan penghalang-penghalang dibidang sosial
ekonomi yang timbul dari kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam struktur
pertanahan.6
A.2. Dasar Hukum Landreform
Sebagai pelaksanaan dari Pasal 17 UUPA yang mengatur tentang batas
minimum dan maksimum penguasaan dan pemilikan hak atas tanah, Pemerintah telah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.56 Tahun
1960 pada tanggal 29 Desember 1960 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1960.
Perpu No. 56/1960 ini kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang No. 56 Prp
Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (LN 1960 no. 174),
4
I Nyoman Budi Jaya, Op. Cit., hal : 9.
Boedi Harsono, Op. Cit., hal: 3-4
6
Chadidjah Dalimunthe, Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Permasalahanya, (Medan: USU,
2005), hal: 39
5
Penjelasannya dimuat dalam TLN No. 5117. UU No. 56/1960 merupakan Undangundang landreform di Indonesia, yang mengatur tiga masalah didalamnya yaitu :7
1. Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian.
2. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan
tanah-tanah itu menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.
3. Soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan.
A.3. Tujuan Dan Objek Landreform
A.3.1. Tujuan Landreform
Tujuan Landreform di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua)
bagian, yaitu tujuan secara umum dan tujuan secara khusus. Secara umum
landreform bertujuan : Untuk mempertinggi taraf hidup dan penghasilan
petani
penggarap,
sebagai
landasan
pembangunan
ekonomi
menuju
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Secara khusus :
berdasarkan tujuan secara umum di atas, maka landreform di Indonesia
diarahkan agar dapat mencapai 3 (tiga) aspek sekaligus, yaitu :8
a. Tujuan Sosial Ekonomis:
1) Memperbaiki
keadaan
sosial
ekonomi
rakyat
dengan
memperkuat hak milik serta memberi isi dan fungsi sosial pada
hak milik.
2) Memperbaiki produksi nasional khususnya sektor pertanian
guna mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat.
7
8
Boedi Harsono, Op. Cit. Hal: 370
I Nyoman Budi Jaya, Op.cit, hal : 11
b. Tujuan Sosial Politis:
1) Mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan
tanah yang luas.
2) Mengadakan pembagian yang adil atas sumber-sumber
penghidupan rakyat tani berupa tanah dengan maksud agar ada
pembagian hasil yang adil.
c. Tujuan Mental Psikologis.
1) Meningkatkan kegairahan kerja bagi para petani penggarap
dengan jalan memberikan kepastian hak mengenai pemilikan
tanah.
2) Memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dengan
penggarapnya.
Selanjutnya Sadjarwo dalam kedudukannya sebagai Menteri Agraria
pada pidatonya yang mengantarkan Rancangan UUPA di hadapan sidang
Pleno DPR-GR tanggal 12 September 1960 antara lain menyatakan bahwa : “
Perjuangan perombakan hukum agraria kolonial dan penyusunan hukum
agraria nasional terjalin erat sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk
melepaskan diri dari cengkraman, pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan,
khususnya perjuangan rakyat tani untuk membenaskan diri dari kekangankekangan feodalisme atas tanah dan pemerasan kaum modal asing. Itulah
sebabnya maka landreform di Indonesia tidak dapat di pisahkan dengan
revolusi nasional Indonesia. Oleh karenanya landeform Indonesia mempunyai
tujuan:
a. Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat
tani yang berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian hasil yang
adil pula, dengan merombak struktur pertanahan sama sekali secara
revolusioner, guna merealisir keadiln sosial;
b. Untuk melaksanakan prinsip: tanah untuk tani, agar tidak terjadilagi tanah
sebagai objek spekulasi dan objek pemerasan;
c. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga
Negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita, yang berfungsi sosial.
Suatu pengakuan dan perlindungan terhadap privat bezit, yaitu hak milik
sebagai hak terkuat, bersifat perseorangan dan turun temurun, tetapi
berfungsi sosial.
d. Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dan
penguasan secara tanah besar-besaran dengan tak terbatas, dengan
menyelenggarakan batas maksimun dan batas minimum untuk setiap
keluarga. Segai kepala keluargan dapat seorang laki-laki ataupun wanita.
Dengan demikian mengikis pula sistem liberalisme dan kaptalisme atas
tanah dan memberikan perlindungan terhadap golongan yang ekonomis
lemah;
e. Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggaranya
pertanian yang intensif secara gotong-royong dalam bentuk koperasi dan
bentuk gotong-royong lainnya, untuk mencapai kesejahteraan yang merata
dan adil, dibarengi dengan sistem perkreditan yang khusus di tujukan
kepada golongan tani.”9
Boedi Harsono menyatakan bahwa penyelenggaran landreform di
Indonesia mempunyai tujuan: “Untuk mempertinggi penghasilan dan taraf
hidup para petani terutama petani kecil dan petani penggarap tanah, sebagai
9
Boedi Harsono, Op.Cit. Hal: 365
landasan atau prasyarat untuk menyelenggakan pembangunan ekonomi
menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”10
A. P Parlindungan menyatakan bahwa tujuan Landreform di Indonesia
haruslah disesuaikan dengan UUPA itu sendiri, karena UUPA adalah sebagai
induk dari Landreform. Oleh karena itu apa yang menjadi tujuan UUPA juga
merupakan tujuan Landreform, yaitu:
1. Meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang
merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagian dan
keadilan bagi negara dan rakyat terutama rakyat tani dalam kerangka
masyarakat yang adil dan makmur.
2. Meletakan dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
hukum.
3. Meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kepastian hukum mengenai
hak-hak atas tanah abagi rakyat seluruhnya.
A.3.2. Objek Landreform
Tanah-tanah
yang
menjadi
obyek
landreform
yang
akan
diredistribusikan pada petani penggarap menurut ketentuan Pasal 1 PP No.
224 Tahun 1961, meliputi :
a. Tanah-tanah selebihnya dari batas maksimum sebagaimana yang
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960.
b. Tanah-tanah yang diambil oleh pemerintah, karena pemiliknya
bertempat tinggal di luar daerah kecamatan letak tanahnya atau karena
pemilikan tanah absentee menyebabkan:
a). Penguasaan tanah yang tidak ekonomis
10
Ibid, Hal: 367
b). Menimbulkan sistem penghisapan
c). Ditelantarkan
c. Tanah-tanah swapraja dan bekas swapraja yang dengan berlakunya
ketentuan UUPA menjadi hapus dan beralih kepada Negara.
d. Tanah-tanah lain yang langsung dikuasai oleh Negara misalnya bekas
tanah partikelir, tanah-tanah dengan Hak Guna Usaha yang telah
berakhir waktunya, dihentikan atau dibatalkan.
e. Tanah-tanah lain, tidak termasuk di dalamnya tanah-tanah wakaf dan
tanah-tanah untuk peribadatan.
Tanah-tanah obyek landreform sebelum dibagi-bagikan kepada petani
penggarap, terlebih dahulu dinyatakan sebagai tanah-tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara.
A.4. Program Landreform
Pembangunan pertanian harus merupakan usaha
yang terpadu dengan
pembangunan daerah dan pedesaan. Dalam hubungan ini diperlukan langkah-langkah
mengendalikan secara efektif masalah penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah
sehingga bumi, air dan ruan angkasa sesuai dengan asas adil dan merata. Untuk
mewujudkan langkah-langkah tersebut maka Pemerintah pada situasi dan kondisi saat
itu mengadaka Program Landreform.
Program Landreform meliputi:11
1. Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah.
2. Larangan pemilikan tanah secara absentee/guntai.
11
Boedi Harsono, Op.cit, hal : 367
3. Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang
terkena larangan absentee/guntai, tanah-tanah bekas Swapraja dan tanah-tanah
Negara.
4. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang
digadaikan.
5. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian.
6. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan
tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.
Pelaksanaan landreform bertujuan melakukan penertiban dan pengaturan serta
penataan penguasaan tanah pertanian yang melebihi batas maksimum pemilikan
tanah, pemilikan tanah pertanian secara absentee, tanah-tanah bekas swapraja, tanah
partikelir, tanah-tanah bekas perkebunan dan tanah-tanah negara yang di garap oleh
rakyat.12
Untuk mencegah semakin banyaknyan petani yang mempunyai tanah yang
sangat kecil dan penggunaan tanah pertanian menjadi non pertanian dilarang
mengalihkan tanah pertanian tanpa izin.13
B." TANAH ABSENTEE SEBAGAI OBJEK LANDREFORM
B.1. Pengertian Tanah Absentee
Kata absentee berasal dari kata latin “absentee” atau “absentis”, yang berarti
tidak hadir. Absentee adalah yang tidak ada atau tidak hadir di tempatnya, atau
12
13
Chadidjah Dalimunthe, Op. Cit. hal: 45
Ibid.
landlord yaitu pemilik tanah bukan penduduk daerah itu, tuan tanah yang bertempat
tinggal di lain tempat.14
Pemilikan tanah pertanian secara absentee atau di dalam bahasa Sunda :
“Guntai” yaitu pemilikan tanah yang letaknya di luar tempat tinggal yang empunya.
(“Absent” artinya tidak hadir, tidak ada di tempat).15
Sedangkan dalam Pasal 3 ayat (1) PP No 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan
Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian yang mengatur sebagai berikut :
“Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak
tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya
kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan
letak tanah tersebut”.
Selanjutnya Pasal 3d PP No. 224 Tahun 1961 jo. PP No. 41 Tahun 1964 berbunyi
sebagai berikut :
“Dilarang untuk melakukan semua bentuk memindahkan hak baru atas tanah
pertanian yang mengakibatkan pemilik tanah yang bersangkutan memiliki bidang
tanah di luar Kecamatan di mana ia bertempat tinggal”
Dari ketentuan diatas terdapat beberapa esensi yang merupakan ketentuan dari
larangan kepemilikan tanaah pertanian secara absentee, antara lain:16
1. Pemilik tanah pertanian wajib bertempat tinggal di Kecamatan tempat letak
tanahnya.
2. Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar Kecamatan tempat letak
tanahnya, wajib mengalihkan hak atas tanahnya atau pindah ke Kecamatan letak
tanah tersebut.
14
John M. Echols dan Hasan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 1996), hal : 3
Boedi Harsono, Op. Cit. Hal: 385
16
http://denbagusrasjid.wordpress.com/2010/09/04/kepemilikan-tanah-absentee-dan-landreform-di-indonesia/ di
unduh pada tanggal 21 Mei 2013
15
3. Dilarang memindahkan atau mengalihkan hak atas tanah pertanian kepada orang
atau badan hukum yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Kecamatan
tempat letak tanahnya.
4. Larangan pemilikan tanah secara absentee hanya mengenai tanah pertanian.
Pemilikan tanah pertanian secara absentee menurut Peraturan Perundangundangan tidak diperbolehkan, karena pada prinsipnya melanggar asas dalam Pasal 10
UUPA yang mengatur bahwa setiap orang dan badan hukum yang mempunyai
sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya di wajibkan mengerjakan atau
mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.
Pemilikan tanah secara absentee dilarang oleh Undang-Undang karena letak
tanah tersebut berada diluar kecamatan yang berbeda dengan tempat tinggal pemilik
tanah sehingga tidak dapat mengerjakan tanhnya secara aktif. Tetapi larangan tersebut
tidak berlaku terhadap pemilik yang tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan
kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan asal jarak tempat tinggal pemilik itu
dan tanahnya menurut pertimbangan pada waktu itu masih memungkinkannya untuk
mengerjakan tanahnya tersebut secara efisien.17
B.2. Filosofi dan Tujuan Diadakannya Larangan Pemilikan Tanah Pertanian
Secara Absentee
Dulu sebelum di undangkannya UUPA tanah-tanah berada di tangan segelitir
tuan-tuan tanah saja, sebagian besar rakyat Indonesia sebagai petani penggarap dan
buruh tani saja. Untuk mengakhiri sistem pertuanan tanah ini, pemerintah
mengadakan Program Landreform. Salah satu Program Landreform adalah larangan
17
Lihat Pasal 3 ayat (2) PP Nomor 224 Tahun 1961
kepemilikan tanah pertanian secara absentee. Dasar filosofi diadakannya larangan
kepemilikan tanah pertanian secara absentee di dalam Penjelasan Umum UUPA di
jelaskan bahwa pada asasnya tanah pertanian harus dikerjakan atau di usahakan secara
secara aktif oleh pemiliknya sendiri.18
Menurut Boedi Harsono, tujuan adanya larangan ini adalah agar hasil yang
diperoleh dari pengusahaan tanah itu sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat
pedesaan tempat letak tanah yang bersangkutan, karena pemilik tanah akan bertempat
tinggal di daerah penghasil.19
Pada umumnya tanah-tanah pertanian letaknya adalah di desa, sedang mereka
yang memiliki tanah secara absentee umumnya bertempat tinggal di kota. Orang yang
tinggal di kota memiliki tanah pertanian di desa tentunya tidak sejalan dengan prinsip
tanah pertanian untuk petani. Orang yang tinggal di kota sudah jelas bukan bukan
termasuk kategori petani. Tujuan melarang pemilikan tanah pertanian secara absentee
adalah agar hasil yang diperoleh dari pengusahaan tanah pertanian sebagian besar
dapat dinikmati oleh masyarakat petani yang tinggal di pedesaan, bukan dinikmati
oleh orang kota yang tidak tinggal di desa.20
Gejala yang tampak adalah bahwa di satu pihak pemilik semula yang
menggantungkan hidupnya pada produk pertanian justru terdepak dari tanahnya
karena kebutuhan akan uang, dan di pihak lain ada orang yang mempunyai kelebihan
modal yang menginginkan penumpukan tanah sebagai sarana investasi. Maka yang
terjadi adalah gejala menjadi buruh di atas tanah “miliknya” sendiri.21
18
Penjelasan Umum UUPA
Boedi Harsono, Op. Cit. Hal: 385
20
Ariska Dewi, Op. Cit. Hal: 36
21
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta :
Penerbit Buku Kompas, 2005), hal : 21.
19
Pemilikan tanah pertanian secara absentee ini, menimbulkan penggarapan
yang
tidak
efisien,
misalnya
tentang
penyelenggaraannya,
pengawasannya,
pengangkutan hasilnya, juga dapat menimbulkan sistem-sistem penghisapan. Ini
berarti bahwa para petani penggarap tanah milik orang lain dengan sepenuh
tenaganya, tanggung jawabnya dan segala resikonya, tetapi hanya menerima sebagian
dari hasil yang dikelolanya.
Di sisi lain, pemilik tanah yang berada jauh dari letak tanah dan tidak
mengerjakan tanahnya tanpa menanggung segala resiko dan tanpa mengeluarkan
keringatnya akan mendapatkan bagian lebih besar dari hasil tanahnya.
B.3. Dasar Hukum yang Mengatur Larangan Pemilikan Tanah Pertanian Secara
Absentee
Secara yuridis, dasar hukum mengenai larangan pemilikan tanah pertanian
secara absentee telah dituangkan dalam Pasal 3 PP No 224 Tahun 1961 dan PP No 41
Tahun 1964 (tambahan Pasal 3a s/d 3e). Kedua Peraturan Pemerintah ini merupakan
aturan pelaksanaan dari ketentuan yang tertuang dalam Pasal 10 UUPA, yang
bertujuan untuk mencegah terjadinya sistem pemerasan yang dilakukan terhadap
golongan ekonomi lemah.22
Dalam Pasal 10 UUPA23 telah dikemukakan bahwa yang mempunyai tanah
pertanian wajib mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, sehingga
kemudian diadakanlah ketentuan untuk menghapuskan pemilikan tanah pertanian
secara apa yang disebut absentee yaitu pemilikan tanah yang letaknya di luar wilayah
kecamatan tempat tinggal pemilik tanah.
22
Boedi Harsono, Op. Cit. Hal: 385
Pasal 10 UUPA: “Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian
pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara
pemerasan”
23
Pada pokoknya dilarang memiliki tanah di luar kecamatan tempat letaknya
tanahnya. Larangan tersebut tidak berlaku terhadap pemilik yang bertempat tinggal di
kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan,
asal jarak tempat pemilik itu dan tanahnya, masih memungkinkannya untuk
mengerjakan tanah tersebut secara efisien.24
Menurut ketentuan Pasal 3 PP No. 224 Tahun 1961 disebutkan bahwa:
Ayat (1)
Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan
letak tempat tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib
mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan
tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan tempat letak tanah
tersebut.
Ayat (2)
Kewajiban dalam ayat (1) tidak berlaku bagi pemilik tanah yang
bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan
letak tanah, jika jarak antara tempat tinggal dan tanahnya masih
memungkinkan mengerjakan tanah itu secara efisien, menurut
pertimbangan Panitia Landreform Daerah Tingkat II.
Ayat (3)
Dengan tidak mengurangi ketentuan pada ayat (2) pasal ini, maka
jika pemilik tanah berpindah tempat atau meninggalkan tempat
kediamnya ke luar kecamatan tempat letak tanah itu selama 2 tahun
berturut-turut, ia wajib memindahkan hak milik atas tanahnya
kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan itu.
Ayat (4)
Ketentuan ayat (1) dan (3) tidak berlaku bagi mereka yang
menjalankan tugas Negara, menunaikan kewajiban agama atau
mempunyai alasan khusus lainnya yang dapat di terima Menteri
24
Lihat Pasal 3 ayat (2) PP Nomor 224 Tahun 1961
Agraria. Bagi pegawai-pegawai negeri dan pejabat-pejabat militer
serta yang dipersamakan dengan mereka, yang sedang menjalankan
tugas Negara, perkecualian tersebut pada ayat ini terbatas pada
pemilikan tanah pertanian sampai seluas 2/5 dari luas maksimum
yang ditentukan untuk daerah yang bersangkutan menurut UndangUndang Nomor 56 Prp Tahun 1960.
Ayat (5)
Jika kewajiban tersebut pada ayat (1) dan (3) tidak dipenuhi, maka
tanah yang bersangkutan di ambil oleh Pemerintah, untuk kemudian
dibagi-bagikan menurut ketentuan Peraturan ini.
Ketentuan Pasal 3 PP No. 224 Tahun 1961 masih harus dilengkapi dengan PP
No. 41 Tahun 1964 yang memberikan ketentuan yang lebih tegas melalui Pasal 3a
sampai Pasal 3e yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3a ayat (1)
Pemilik
tanah
pertanian
yang
berpindah
tempat
atau
meninggalkan tempat kediamannya keluar kecamatan tempat
letak tanah itu selam 2 tahun berturut-turut, sedang dia
melaporkan kepada pejabat setempat yang berwenang maka
dalam jangka waktu 1 tahun terhitung sejak berakhirnya jangka
waktu
2
tahun
tersebut
diatas
ia
diwajibkan
untuk
memindahkan hak milik atas tanahnya kepada orang lain yang
bertempat tinggal di kecamatan letak tanah itu.
Pasal 3a ayat (2)
Jika pemilik tanah yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini
berpindah
tempat
tinggal
atau
meninggalkan
tempat
kediamannya ke luar kecamatan tempat letak tanah itu,
sedangkan ia tidak melaporkan kepada pejabat setempat yang
berwenang, maka dalam jangka waktu 2 tahun terhitung sejak
ia meninggalkan tempat kediamannya itu diwajibkan untuk
memindahkan hak milik atas tanahnya kepada orang lain yang
bertempat tinggal di kecamatan letak tanah itu.
Pasal 3b ayat (1)
Pegawai Negeri dan Anggota Angkatan Bersenjata serta orang
lain yang dipersamakan dengan mereka, yang telah berhenti
dalam menjalankan tugas Negara dan yang mempunyai ahak
atas tanah pertanian di luar kecamatan tempat tinggalnya dalam
waktu 1 tahun terhitung sejak ia mengakhiri tugasnya tersebut
diwajibkan pindah ke kecamatan
letak tanah itu atau
memindahkan hak milik atas tanahnya kepada orang lain yang
bertempat tinggal di kecamatan dimana letak tanah tersebut.
Pasal 3c ayat (1)
Jika seseorang memiliki hak atas tanah pertanian di luar
kecamatan dimana ia bertempat tinggal, yang diperolehnya dari
warisan , maka dalam jangka waktu 1 tahun terhitung sejak si
pewaris meninggal diwajibkan untuk memindahkan kepada
orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan dimana tanah
itu tertelak atau pindah ke kecamatan letak tanah itu.
Pasal 3d
Dilarang melakukan semua bentuk memindahkan hak baru atas
tanah pertanian yang mengakibatkan pemilik tanah yang
bersangkutan memiliki bidang tanah di luar kecamatan dimana
ia bertempat tinggal.
Pasal 3e
Tidak di penuhinya ketentuan-ketentuan tersebut dalam PasalPasal 3a, 3b, 3c, dan 3d mengakibatkan baik tanah maupun
pemilik tanah-tanah yang bersangkutan dikenakan ketentuan-
ketentuan tersebut dalam Pasal 3 ayat (5) dan (6) PP No. 224
Tahun 1961.
Di dalam pasal-pasal tersebut sudah di cantumkan secara tegas mengenai
pengaturan mengenai kepemilikan tanah pertanian secara absentee. Jika kewajiban
tersebut tidak dilaksanakan atau terjadi pelanggaran terhadap larangan tersebut maka
tanah yang bersangkutan akan diambil alih oleh Pemerintah untuk kemudahan
diredistribusikan dalam rangka program landreform, dan kepada bekas pemilik
diberikan ganti rugi menurut ketentuan yang berlaku. Pemberian ganti rugi ini diatur
dalam Pasal 6 dan Pasal 7 PP No. 224 Tahun 1961.
B.4. Pengecualian Larangan Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 Tentang Pemilikan tanah
Pertanian Secara Absentee/Guntai Bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri dinyatakan
bahwa pengecualian yang diberikan kepada Pegawai Sipil tersebut diberlakukan juga
kepada:25
a. Pensiunan Pegawai Negeri;
b. Janda Pegawai Negeri dan janda pensiunan Pegawai Negeri selama tidak menikah
lagi dengan seorang bukan Pegawai Negeri atau pensiunan Pegawai Negeri;
c. Karyawan dan pensiunan karyawan yang sebelum berlakunya UU No. 8 Tahun
1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sudah memiliki tanah pertanian secara
absentee/guntai;
d. Janda dari yang disebut opada huruf (c) selama ia tidak menikah lagi dengan
seseorang bukan Pegawai Negeri atau pensiunan Pegawai negeri.
25
Lihat PP Nomor 4 Tahun 1977
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah tersebut juga mengatur tentang
seorang Pegawai Negeri dalam waktu 2 tahun menjelang masa pensiun,
diperbolehkan membeli tanah secara absentee seluas sampai 2/5 dari batas maksimum
penguasaan untuk Daerah Tingkat II yang bersangkutan.26 Dasar pertimbangan dari
ketentuan tersebut adalah bahwa dewasa ini umumnya sukar bagi para pensiunan
tersebut untuk berpindah tempat letak tanah itu meskipun pemilikan tanah itu
dimaksudkan untuk jaminan di hari tua setelah pensiun.27
C." BEKERJANYA HUKUM DALAM MASYARAKAT
C.1. Faktor-Faktor yang Mendorong Bekerjanya Hukum dalam Masyarakat.
Di Indonesia fungsi hukum di dalam pembangunan adalah sebagai sarana
pembaharuan masyarakat. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa adanya ketertiban
di dalam pembangunan merupakan sesuatu yang dipandang penting dan sangat
diperlukan. Di samping itu hukum sebagai tata kaidah dapat berfungsi sebagai sarana
untuk menyalurkan arah kegiatan warga masyarakat ke tujuan yang dikehendaki oleh
perubahan terencana tersebut. Sudah tentu fungsi tersebut seyogyanya dilakukan di
samping hukum sebagai sarana sistem pengendalian sosial.28
Untuk memahami bekerjannya hukum, dapat dilihat fungsi hukum itu dalam
masyarakat. Fungsi hukum dimaksud, dapat diamati dari beberapa sudut pandang
seperti yang sebagian telah dikemukakan, yaitu:29
1. Fungsi hukum sebagai sosial kontrol dalam masyarakat.
Fungsi hukum sosial kontrol merupakan aspek yuridis normatif dari kehidupan
sosial masyarakat atau dapat di sebut pemberi definisi dari tingkah laku yang
menyimpang serta akibat-akibatnya seperti larangan-larangan, perintah-perintah,
26
Lihat Pasal 6 PP Nomor 4 Tahun 1977
Lihat konsideran PP Nomor 4 Tahun 1977
28
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung : Angkasa,1986), hal 69
29
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal: 37-39
27
pemidanaan, dan ganti rugi. Sebagai alat pengendalian sosial, hukum dianggap
berfungsi untuk menetapkan tingkah laku yang baik dan tidak baik atau perilaku
yang menyimpang dari hukum, dan sanksi hukum terhadap orang yang
mempunyai perilaku yang tidak baik.
2. Fungsi hukum sebagai alat untuk mengubah mayarakat.
Hukum berfungsi sebagai alat untuk mengubah masyarakat yang disebut oleh
Roscoe Pound a Tool of Social Enginnering. Perubahan masyarakat dimaksud
terjadi bila seseorang atau sekelompok orang mendapatkan kepercayaan dari
masyarakat sebagai pemimpin lembaga-lembaga kemasyarakatan. Pelopor
perubahan memimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial dan didalam
melaksanakan hal itu langsung tersangkut tekanan-tekanan untuk melakukan
perubahan, dan mungkin pula menyebabkan perubahan-perubahan pada lembagalembaga lainnya.
3. Fungsi hukum sebagai simbol pengetahuan masyarakat.
Merupakan makna yang dipahami oleh seseorang dari suatu perilaku warga
masyarakat tentang hukum.
4. Fungsi hukum sebagai instrumen politik.
Dapat dipahami bahwa dalam sistem hukum di Indonesia peraturan perundangundangan merupakan produk bersama DPR dengan pemerintah sehingga antara
hukum dan politik amat susah di pisahkan.
5. Fungsi hukum sebagai alat integrasi.
Setiap masyarakat senantiasa mempunyai berbagai kepentingan dari warganya.
Diantara kepentingan itu ada yang sesuai dengan kepentingan lain dan ada juga
yang tidak sesuai sehingga menyulut konflik dengan kepentingan lain oleh karena
itu, hukum berfungsi sebelum terjadi konflik dan sesudah terjadi konflik.
Dalam beberapa peraturan atau kebijakan hukum yang dibuat oleh Pemerintah
sering tidak berjalan sesuai dengan keinginan dan tujuan yang ingin dicapai.
Kenyataan yang demikian disebabkan karena hukum tidak akan dapat berjalan atau
berfungsi dengan sendirinya tanpa ditunjang oleh kondisi sosial, politik, ekonomi, dan
budaya masyarakat setempat. Sehingga berfungsinya hukum harus melibatkan juga
beberapa faktor, yaitu:30
1. Kaidah hukum atau peraturan itu sendiri harus sistematis, tidak bertentangan baik
secara vertikal maupun secara horizontal dan dalam pembuatannya harus
disesuaikan dengan persyaratan yuridis yang telah ditentukan;
2. Penegak hukum haruslah mempunyai pedoman berupa peraturan yang tertulis
yang menyangkut ruang lingkup tugasnya dengan menentukan batas-batas
kewenangan dalam pengambilan kebijaksanaan, yang paling penting adalah
kualitas petugas memainkan peranan penting dalam berfungsinya hukum ;
3. Adanya fasilitas yang diharapkan dapat mendukung pelaksanaan kaidah hukum
yang telah ditetapkan. Fasilitas disini terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai
faktor pendukung untuk mencapai tujuan ;
4. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut.
Upaya penegakan hukum erat kaitannya dengan faktor bekerjanya hukum.
Adapun faktor-faktor tersebut menurut Soerjono Soekanto adalah sebagai berikut:31
1. Faktor hukumnya sendiri/peraturan itu sendiri.
Campur tangan hukum yang semakin meluas ke dalam bidang kehidupan
masyarakat menyebabkan masalah efektivitas penerapan hukum semakin penting.
Oleh karena hukum mempunyai fungsi di dalam masyarakat. Fungsi hukum yang
30
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1993), hal : 14
31
Soerjono Soekanto, Op.cit hal : 5
diharapkan adalah melakukan usaha untuk menggerakkan rakyat agar bertingkah
laku sesuai dengan cara-cara baru untuk mencapai suatu keadaan masyarakat yang
dicita-citakan.
Semakin hukum itu dipakai dengan efektif untuk mengarahkan tingkah
laku manusia, semakin berhasil pula pembangunan itu dijalankan. Suatu sikap
tindakan atau perilaku hukum dianggap efektif, apabila sikap tindak atau perilaku
pihak lain menuju pada tujuan yang dikehendaki, artinya apabila pihak lain
tersebut mematuhi hukum.32
2. Faktor petugas/penegak hukum.
Penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mencakup
ruang lingkup yang sangat luas, sebab menyangkut petugas pada strata atas,
menengah, dan bawah. Artinya, di dalam melaksanakan tugas-tugas penerapan
hukum, petugas seyogianya harus memiliki suatu pedoman, diantaranya peraturan
tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup tugas-tugasnya. Faktor petugas
dalam memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum. Kalau peraturan
sudah baik, tetapi kualitas penegak hukumnya rendah maka akan ada masalah.
Demikian sebaliknya, apabila peraturanya buruk, sedangkan kualitas penegak
hukumnya baik mungkin pula akan timbul masalah-masalah.33
32
Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Peranan Sanksi, (Bandung : Remadja Karya, 1988), hal
:3
33
Zainuddin Ali, Op. Cit, hal: 63-64
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hokum.
Fasilitas atau sarana amat penting untuk mengefektifkan suatu aturan
tertentu. Ruang lingkup sarana dimaksud, terutama saran fisik yang berfungsi
sebagai faktor pendorong.34
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin
penegakan hukum dapat berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut
antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi
yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dll. Apabila hal
tersebut tidak terpenuhi maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuan.35
4. Faktor masyarakat.
Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga
masyarakat. Yang dimaksud disini adalah kesadarannya untuk mematuhi suatu
peraturan perundang-undangan, yang sering disebut derajad kepatuhan masyarakat
terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang
bersangkutan36
C.2. Perubahan Sosial Masyarakat Mendorong Terjadinya Pembaharuan
Hukum.
Bisa terjadi suatu hukum tidak berjalan karena masyarakat berubah. Dalam
kehidupan bermasyarakat selalu terdapat proses atau interaksi sosial, dan dalam
interaksi sosial tersebut pasti terjadi perubahan-perubahan baik dalam hubungan itu
sendiri maupun dalam nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku
organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat,
34
Ibid.
Ariskha Dewi, Op. Cit. Hal: 49
36
Zainiddin Ali, Op. Cit. Hal: 64
35
kekuasaan/ wewenang, dan sebagainya.37 Menurut Lawang (1984) perubahan sosial
merupakan proses dimana dalam suatu sistem sosial terdapat perbedaaan-perbedaan
yang dapat diukur yang dapat terjadi dalam suatu kurun waktu tertentu.
Hukum dibuat oleh masyarakat untuk masyarakat. Jika suatu hukum yang di
buat disuatu masa tidak di kehendaki lagi karena adanya perubahan, maka hukum
tersebut harus dicabut/dihapus, atau diganti dengan hukum yang baru. Jika tidak maka
nampaknya hukum tersebut tidak berjalan atau tidak efektif.
M. Friedman dalam bukunya yang berjudul The Legal System A Social Science
Perspective, 1975 menyebutkan bahwa sistem hukum terdiri atas perangkat struktur
hukum (berupa lembaga hukum), substansi hukum (peraturan perundang-undangan)
dan kultur hukum atau budaya hukum. Ketiga komponen ini mendukung berjalannya
sistem hukum di suatu negara. Secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang
terdapat dalam masyarakat mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat pengaruh,
apa yang disebut dengan modernisasi atau globalisasi baik itu secara evolusi maupun
revolusi.
Jika hukum tidak mengalami perubahan maka akan menemui banyak kendala
baik itu yang berhadapan langsung dengan rasa keadilan masyarakat maupun
persoalan penegakan hukum (law enforcement). Tuntutan perubahan yang terjadi
mendorong hukum, untuk melakukan pemulihan-pemulihan terhadap eksistensinya
dalam masyarakat. Selama perubahan hukum dilakukan responsif dan mengikuti
“irama” hukum yang hidup dalam masyarakat, maka hukum akan selalu selaras
dengan kehidupan masyarakat.38
37
38
Rianto Adi, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2012). Hal: 106
http://www.uin-malang.ac.id di unduh pada tanggal 20 Mei 2013
Menurut Robert Sutterland ada 4 faktor yang menyebabkan perubahan sosial
(Social Change):
1. Inovation: karena ada pembaharuan.
2. Ivention: penemuan teknologi di bidang industri, mesin, dst.
3. Adaptation: suatu proses meniru suatu cultur, gaya yang ada di masyarakat lain.
4. Adopsim: ikut dalam penggunaan penemuan teknologi.
Proses terjadinya perubahan-perubahan pada masyarakat di dunia pada dewasa
ini merupakan suatu gejala yang normal yang pengaruhnya menjalar dengan cepat ke
bagian-bagian lain dari dunia, antara lain berkat adanya komunikasi modern dengan
taraf teknologi yang berkembang dengan pesatnya. Penemuan-penemuan baru di
bidang teknologi, terjadi suatu revolusi, modernisasi pendidikan dan lain-lain kejadian
yang di suatu tempat dengan cepat dapat diketahui oleh masyarakat-masyarakat lain
yang bertempat tinggal jauh dari pusat terjadinya peristiwa tersebut di atas.
Perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai, kaidah-kaidah,
pola-pola perilaku, organisasi, struktur lembaga-lembaga sosial, stratifikasi sosial,
kekuasaan, interaksi sosial dan lain sebagainya.39
Lajunya perubahan sosial yang membawa dampak pada perubahan hukum
tidak serta merta diikuti dengan kebutuhan secara langsung berupa peraturan
perundang-undangan. Persoalan ini sudah masuk dalam ranah mekanisme dalam
lembaga perwakilan rakyat. Tetapi kebutuhan masyarakat agar hukum mampu
mengikuti sedemikian besar agar jaminan keadilan, kepastian hukum dapat terus
terpelihara.
39
http://bantur.malangkab.go.id di unduh pada tanggal 20 Mei 2013
D." TEORI HUKUM MURNI HANS KELSEN
Teori hukum murni adalah teori hukum positif. Ia merupakan teori tentang
hukum positif umum, bukan tentang tatanan hukum khusus. Ia merupaka teori hukum
umum, bukan penafsiran tentang norma hukum nasional maupun internasional
tertentu, namun ia menyajikan teori penafsiran. Sebagai sebuah teori, ia terutama
dimaksudkan untuk mengetahui dan menjelaskan tujuannya. Teori ini berupaya
menjawab pertanyaan apa itu hukum dan bagaimana hukum itu ada, bukan bagaimana
ia semestinya ada. Ia merupakan ilmu hukum (yurisprudensi), bukan politik hukum.40
Menurut asal-usulnya, teori hukum murni merupakan suatu bentuk
pemberontakan yang ditujukan terhadap ilmu hukum yang ideologis, yaitu ajaran
yang hanya mengembangkan hukum sebagai alat pemerintahan suatu rezim dari
negara-negara totaliter.41
Teori ini hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk
peraturan-peraturan yang ada. Menurut Kelsen teori hukum murni adalah teori hukum
positif. Ia berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab pertanyaan “apakah
hukumnya?” dan bukan “bagaimanakah hukum yang seharsunya?”. Karena titik tolak
yang demikian itulah maka Kelsen berpendapat, bahwa keadilan sebagaimana
lazimnya dipersoalkan hendaknya dikeluarkan dari ilmu hukum. Dasar pokok teori
Kelsen adalah sebagai berikut :42
1. Tujuan teori tentang hukum, adalah untuk mengurangi kekalutan dan
meningkatkan kesatuan (unity).
2. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehandak, keinginan. Ia adalah pengetahuan
tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada.
40
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, (Bandung: Nusamedia, 2011). Hal: 1.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Abadi, 2006). Hal: 278.
42
Ibid, hal: 279.
41
3. Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam.
4. Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan
persoalan efektivitas norma-norma hukum.
5. Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari
isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik.
6. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu seperti
antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.
Hans Kelsen dalam teorinya yakni teori hukum Murni adalah keinginan untuk
membebaskan ilmu hukum dari anasir-anasir atau unsur-unsur social, ekonomi,
politik, budaya dan lain sebagainya. Hukum diwajibkan bebas nilai, dan harus
terbebas dan tidak tercemari oleh unsur-unsur yang bersifat ideologis. Keadilan
menurut Kelsen dipandang sebuah konsep ideologis. Ia melihat dalam keadilan
sebuah ide yang tidak rasional dan teori hukum murni tidak dapat menjawab tentang
pertanyaan apa yang membentuk keadilan, karena pertanyaan ini tidak dapat dijawab
secara ilmiah. Jika keadilan harus diidentikkan dengan legalitas, dalam arti tempat,
keadilan berarti memelihara sebuah tatanan (hukum) positif melalui aplikasi
kesadaran atasnya.43
Teori hukum murni ini menurut Kelsen adalah sebuah teori hukum yang
bersifat positif. Sehingga kemudian dapat disimpulkan bahwa teori hukum ini ingin
berusaha menjawab pertanyaan tentang “apa hukum itu?” tetapi bukan pertanyaan
“apa hukum itu seharusnya”. Teori ini mengkonsentrasikan pada hukum saja dan
43
http://saifulanam99.blogspot.com/2013/01/teori-hukum-murni-dan-permasalahannya.html di unduh pada
tanggal 18 September 2013.
menginginkan lepas dengan ilmu pengetahuan yang lainnya, dengan atas dasar bahwa
ilmu hukum berdiri sendiri dan merupakan sui generis.44
Kelsen sekali lagi ingin memisahkan pengertian hukum dari segala unsur yang
berperan dalam pembentukan hukum seperti unsur-unsur psikologi, sosiologi, sejarah,
politik, dan bahkan juga etika. Semua unsur ini termasuk ide hukum atau isi hukum.
Isi hukum tidak pernah lepas dari unsur politik, psikis, social budaya dan lain-lain.
Sehingga pengertian hukum menurut Hans Kelsen adalah hukum dalam konteks
formalnya, yaitu sebagai peraturan yang berlaku secara yuridis, itulah hukum yang
benar menurut perspektif teori hukum murni (das reine Recht).
44
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, (Yogjakarta: Gajah Mada University
Press, 2005). Hal 1-3.
Download