102 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Ketentuan batas minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian adalah berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, yang merupakan perwujudan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Implikasi hukum terhadap pelanggaran penguasaan dan pemilikan tanah pertanian yang di bawah batas minimum menimbulkan sanksi pidana berupa pelanggaran yang berakibat hukuman kurungan atau denda namun belum berjalan efektif karena tidak ada tindak lanjut peraturan perundangan yang lebih bersifat operasional seperti PP dan juga belum adanya tata cara penegakan hukum apabila terjadi pelanggaran serta belum jelasnya lembaga yang berkompeten apabila terjadi pelanggaran 2. Implementasi Ketentuan Batas Minimum Pemilikan dan Penguasaan Tanah Pertanian di Kabupaten Bantul adalah tidak berjalan efektif. Banyak warga di desa yang berada di wilayah Kabupaten Bantul memiliki lahan kurang dari 2 (dua) hektar. Hal tersebut terjadi karena adanya proses alih fungsi lahan yang terjadi karena faktor ekonomi merupakan salah satu penyebab terjadinya alih fungsi lahan pertanian 103 ke non pertanian, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini mendorong para pemilik lahan pertanian khususnya sawah untuk menjual lahan yang dimilikinya karena terdesak kebutuhan hidup. Kemudian faktor diversifikasi jenis matapencaharian terjadi sebagai upaya strategi dalam bertahan hidup, dimana seseorang akan meninggalkan pekerjaan bertani sebelumnya dan berpindah pekerjaan lain yang dianggap akan lebih menguntungkan. 3. Faktor Yang menjadi Kendala Implementasi Ketentuan Batas Minimum Pemilikan dan Penguasaan Tanah Pertanian di Kabupaten Bantul diantaranya Penyebab pertama, kebijakan yang kontradiktif terjadi karena di satu pihak pemerintah berupaya melarang terjadinya alih fungsi, tetapi industri/manufaktur dan di sisi lain sektor non kebijakan pertanian pertumbuhan lainnya justru mendorong terjadinya alih fungsi lahan-lahan pertanian. Yang kedua, cakupan kebijakan yang terbatas. Peraturan-peraturan tersebut di atas baru dikenakan terhadap perusahaanperusahaan/ badan hukum yang akan menggunakan tanah dan/atau akan merubah tanah pertanian ke non pertanian. Perubahan penggunaan tanah sawah ke non pertanian yang dilakukan secara individual/peorangan belum tersentuh oleh peraturan-peraturan tersebut. Padahal perubahan fungsi lahan yang dilakukan secara individual secara langsung diperkirakan cukup luas. Kendala konsistensi perencanaan disebabkan karena Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dilanjutkan dengan mekanisme pemberian ijin lokasi adalah instrumen utama dalam pengendalian 104 untuk mencegah terjadinya konversi lahan sawah beririgasi teknis. Dalam kenyataannya banyak RTRW yang justru merencanakan untuk mengkonversi tanah sawah beririgasi teknis menjadi non pertanian B. Saran 1. Masalah pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah pertanian kiranya sudah tidak relevan lagi dikarenakan kondisi tanah semakin terbatas, dan perkembangan zaman, perkembangan masyarakat serta perkembangan teknologi yang semakin maju kiranya sangat relevan jika peraturan tersebut diadakan peninjauan kembali dengan melihat kondisi pada saat sekarang agar lebih mudah dilaksanakan pada taraf implementasi. 2. Pemerintah Daerah perlu juga memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah agar lahan pertanian tidak terkonversi menjadi tanah non pertanian. Pemerintah Daerah perlu membentuk regulasi yang dapat mengakomodir kepentingan ketahanan pangan nasional dengan mempertahankan lahan-lahan pertanian pangan strategis dari peruntukan pemanfaatan lainnya. Selanjutnya regulasi ini harus menjadi salah satu pedoman di dalam menentukan sistem perizinan pemanfaatan ruang. Regulasi yang disusun juga harus dapat memberikan jaminan perlindungan hukum guna menghindari terjadinya paksaan, ketidakadilan, pelanggaran atas hak asasi manusia dan mengakui hak komunitas atau masyarakat lokal.