perempuan dan laki-laki

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Pada dasarnya manusia diciptakan menjadi dua jenis kelamin yang berbeda ;
perempuan dan laki-laki. Masing-masing dari jenis kelamin tersebut memiliki
anatomi tubuh yang berbeda. Perbedaan anatomi antara kedua jenis kelamin tersebut
berfungsi untuk menjamin reproduksi manusia, sehingga manusia dapat melestarikan
spesiesnya, kebudayaan dan kehidupannya di dunia. Tetapi pada kenyataannya,
perbedaan anatomi tubuh kedua jenis kelamin tersebut dijadikan sebagai alat yang
menentukan bahwa laki-laki sebagai jenis kelamin yang mendominasi dan superior,
sedangkan perempuan dinilai sebagai jenis kelamin yang didominasi dan inferior.
Kaum laki-laki dianggap lebih berkuasa karena organ seksual mereka, penis,
yang sering dikorelasikan sebagai simbol superioritas dan kekuasaan. Hal ini
didasarkan pada kebudayaan patriarki yang memiliki ideologi phallosentris 1. Menurut
Jacque Lacan, pembentukan identitas manusia dibentuk dalam dunia yang dikontrol
oleh phallus. Phallus dalam kebudayaan patriarki bukan sekedar menjadi penanda
dari alat kelamin laki-laki (penis), melainkan lambang kekuasaan dan aktivitas yang
1
Istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan anggapan masyarakat bahwa phallus atau penis
merupakAan simbol kekuatan dan meyakini bahwa atribut maskulinitas merupakan definisi norma
kultural (Humm, 2007: 340).
1
mensubordinasi lawan jenisnya yang tidak memiliki penis, yaitu kaum perempuan.
Hal tersebut menyebabkan perempuan memandang dirinya sendiri sebagai “hommes
manqués” yaitu laki-laki yang kurang sempurna atau “tidak lengkap” karena tidak
memiliki penis. Ketidakpemilikan akan penis dianggap sebagai kekurangan dan
menyebabkan kaum perempuan merasa inferior atau rendah diri (Selden, 1985 : 148).
Keadaan biologis kaum perempuan yang dapat mengandung dan melahirkan
seorang anak dijadikan sebagai faktor pendukung untuk menempatkan perempuan
dalam ranah domestik dan menjauhkan mereka dari bidang ekonomi, politik, ilmu
pengetahuan yang umumnya dikuasai oleh laki-laki. Keadaan biologis kaum
perempuan dijadikan sebagai dasar yang membatasi kehidupan sosial kaum
perempuan. Sebuah ungkapan dalam bahasa latin“Tota mulier in utero” yang berarti
perempuan tidak lain adalah sebuah kandungan ; sangat mereprentasikan
marginalisasi yang dialami kaum perempuan tersebut (Selden, 1985 : 137).
Kekuasaan laki-laki telah memberikan suatu konstruksi ideologi bahwa
memiliki kedudukan yang lebih rendah memang merupakan kodrat perempuan. Para
wakil rakyat, pendeta, ahli filsafat, penulis, ahli ilmu pengetahuan, yang pada
umumnya profesi tersebut dilakukan oleh laki-laki, telah menunjukkan bahwa
kedudukan wanita yang rendah diinginkan di surga dan bermanfaat di bumi (Beauvoir
via Selden, 1985 : 137). Dalam budaya patriarki, laki-laki dianggap sebagai soi atau
“diri”, sedangkan perempuan dianggap sebagai l’autre atau “liyan” atau pihak lain
yang merupakan sebuah konsep yang dipertentangkan dengan “diri” (Irigaray, 2005 :
44). Dalam kehidupan kaum perempuan terikat dalam suatu hubungan yang berat
2
sebelah dengan laki-laki, kaum perempuan hanya dianggap sebagai pelengkap dan
kaum laki-laki adalah pusatnya.
Kekuasaan bagi kaum laki-laki dan kelemahan bagi kaum perempuan tersebut
menyebabkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender ini meliputi ketidakadilan
dalam ruang lingkup sosial dan ekonomi, wacana serta keadaan biologis perempuan.
Hal ini menyebabkan opresi terhadap kaum perempuan dalam berbagai bidang
kehidupannya. Kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat, bagaimana
seharusnya perempuan bertingkah laku, peran perempuan dalam masyarakat, bahkan
tujuan akhir perempuan dalam kehidupan sosial ditentukan oleh kebudayaan yang
dikonstruksi oleh laki-laki.
Konstruksi sosial yang terus menerus diaplikasikan dalam kehidupan
masyarakat akhirnya membentuk suatu pandangan negatif terhadap kaum perempuan
yang meliputi fungsi, peran, dan kedudukan mereka dalam kehidupan bermasyarakat.
Salah satunya adalah stereotipe bahwa perempuan adalah kaum yang lemah yang
memiliki kecenderungan bergantung untuk bergantung kepada kaum laki-laki. Oleh
karena itu, kaum laki-laki memiliki kekuasaan untuk mengontrol perempuan dalam
berbagai hal seperti reproduksi, seksualitas, sistem pembagian kerja dan sebagainya
(Sugihastuti, 2007 : 83).
Beberapa teori dalam ilmu pengetahuan juga memberikan keterbatasan dalam
mendefinisikan peran serta kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat. Teori
3
psikoanalisis Sigmund Freud memandang kekurangan perempuan akan penis
menyebabkan mereka memiliki Penis-Envy. Penis-Envy merupakan keinginan
perempuan untuk sebuah penis dan berharap suatu saat sebuah penis akan tumbuh di
tubuhnya. Perempuan iri terhadap terhadap kaum laki-laki yang beruntung karena
memiliki penis (Horney, 1939: 101). Menurut Freaud penis envy perasaan inferior
pada perempuan dianggap sebagai sebuah akibat dari rasa malu karena tidak memiliki
penis (Horney, 1939: 104). Hal tersebut menyebabkan pandangan yang menilai kaum
perempuan sebagai jenis kelamin yang lebih lemah menyiratkan bahwa menjadi
seorang perempuan berarti menjadi inferior, khususnya dalam kebudayaan patriarki.
Perasaan rendah diri atau inferior yang membuat seseorang merasa bahwa
dirinya tidak setara dan tidak memiliki kemampuan sebaik orang lain dikenal dengan
istilah inferioritas. Inferioritas pada perempuan juga disebabkan kurangnya kekuatan
fisik dan kecerdasan perempuan. Perempuan telah menderita sepanjang hidupnya
karena status inferior yang diberikan pada dirinya oleh masyarakat, serta
menginginkan perempuan tersebut untuk menurunkan status inferior yang dimilikinya
kepada anak perempuannya (Brachfeld, 1951: 220).
Konstruksi sosial menyebabkan stereotipe yang salah terhadap kaum
perempuan dan hal tersebut sudah berlangsung sejak lama dalam kehidupan manusia.
Terkadang perempuan secara tidak sadar menganggap bahwa inferioritas yang lekat
dengan citra kaum perempuan merupakan hal yang wajar dan bahkan menganggap
bahwa hal tersebut merupakan sikap bawaan yang sejak lahir telah melekat pada diri
4
mereka.
Kebudayaan patriarki yang terkesan lebih mengistimewakan laki-laki
seolah-olah menjadi pembenaran atas dominasi kaum laki-laki terhadap kaum
perempuan dan juga menjadi alasan bagi kaum perempuan untuk tidak berusaha
menyetarakan diri mereka dengan kaum laki-laki
Berdasarkan hal di atas karya sastra seringkali menjadi cerminan dari
ketidakadilan yang dialami oleh kaum perempuan. Sastra menghasilkan representasi
mengenai perbedaan gender yang memberi sumbangan pada pandangan sosial bahwa
laki-laki dan perempuan memiliki nilai yang berbeda (Jones, 1998 : 322).
Novel Une Vie karya Guy de Maupassant merupakan salah satu karya sastra
yang merefleksikan ketidakadilan bagi kaum perempuan. Novel ini menceritakan
tentang kehidupan seorang perempuan bernama Jeanne, mulai dari masa muda hingga
masa tuanya dan juga berbagai penderitaan yang dialami olehnya.
Une Vie menceritakan kehidupan seorang perempuan muda bernama Jeanne
yang dibesarkan dalam keluarga kaya. Semasa mudanya Jeanne menghabiskan waktu
bersekolah di biara. Jeanne adalah sosok gadis yang pintar, ceria serta selalu optimis
dan memiliki wajah yang cantik. Jeanne selalu ingin mengetahui bagaimana
kehidupan sesungguhnya yang terjadi di luar biara dan ia selalu bermimpi tentang
cinta sejatinya. Setelah keluar dari biara, Jeanne bertemu dengan pemuda tampan
bernama Julien, tak lama kemudian setelah mereka saling kenal, Julien melamar
Jeanne dan Jeanne menerima lamarannya. Jeanne merasa impiannya menjadi
5
kenyataan dan kehidupannya berjalan sesuai dengan yang selalu ia harapkan. Tetapi
saat seluruh impian Jeanne menjadi kenyataan justru merupakan awal dari
penderitaan dalam hidupnya dan mengalami berbagai ketertindasan dalam kehidupan
pernikahannya. Pada akhirnya, Jeanne menjadi sosok perempuan yang inferior dan
hanya meratapi seluruh penderitaannya.
Novel Une Vie merupakan novel pertama karya Guy de Maupassant. Novel
Une Vie dikenal juga dengan judul lain yaitu L'Humble Vérité
yang awalnya
merupakan cerita berseri diterbitkan di sebuah koran Prancis bernama Gil Blas pada
tahun 1883. Kemudian di tahun yang sama, setelah cerita L’Humble Verité di koran
Gil
Blas selesai, cerita berseri tersebut diterbitkan menjadi sebuah novel dan
mengalami perubahan judul menjadi Une Vie.
Inferioritas dalam diri tokoh utama, Jeanne, dalam novel Une Vie menarik
untuk dikaji, sebab dilihat dari latar belakang keluarga Jeanne, latar belakang
pendidikannya yang cukup baik dan status ekonomi serta sosialnya yang lebih tinggi
dibandingkan dengan suaminya, seharusnya ia tidak memiliki perasaan inferior yang
begitu besar, justru ia memiliki berbagai alasan untuk merasa superior. Tetapi Jeanne
menjadi sosok perempuan yang sangat didominasi oleh suaminya dan tidak berani
menentang pendapat Julien. Selain itu kepribadian Jeanne berubah drastis semenjak
pernikahannya dan ia kehilangan kontrol atas kehidupannya sendiri.
6
Penelitian ini menggunakan teori kritik sastra feminis psikoanalisis dan teori
Feminine Psychology yang dijabarkan oleh Karen Horney untuk menganalisis
bentuk-bentuk inferioritas perempuan yang tercerminkan pada tokoh Jeanne serta
penyebab dan dampak dari inferioritas tersebut.
1.2
Rumusan Masalah
Tokoh utama dalam novel Une Vie merupakan seorang perempuan muda yang
bernama Jeanne. Jeanne berasal dari keluarga terhormat dan memiliki kepribadian
yang ambisius, ceria dan optimis. Dia memiliki berbagai kelebihan yang dapat
menjadi pondasi kepercayaan diri yang baik. Setelah pernikahannya, seluruh impian
Jeanne menjadi kenyataan, tetapi di saat itu juga kehidupan Jeanne mulai berubah
menjadi lebih buruk. Dia memiliki perasaan inferior terhadap suaminya dan menjadi
sosok perempuan lemah yang tidak memiliki kontrol atas kehidupannya sendiri. Halhal yang dialami oleh tokoh utama tersebut menimbulkan pertanyaan sebagai berikut:
1.
Bagaimana bentuk-bentuk inferioritas yang ditunjukkan oleh tokoh
Jeanne dalam novel Une Vie ?
2.
Apa saja penyebab dan dampak dari inferioritas yang dialami oleh
tokoh Jeanne dalam novel Une Vie ?
1.3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk inferioritas
perempuan yang tercerminkan pada tokoh Jeanne dalam novel Une Vie, mengetahui
penyebab dan dampak apa saja yang ditimbulkan dari inferioritas tersebut. Setelah
7
mendapatkan hasil analisis dari permasalahan penelitian, diharapkan penelitian ini
dapat menunjukkan bahwa keadaan biologis kaum perempuan serta konstruksi sosial
yang tidak adil terhadap citra kaum perempuan tidak dapat dijadikan sebagai alasan
untuk menempatkan posisi kaum perempuan di bawah kaum laki-laki. Selain itu
diharapkan juga kaum perempuan dapat menghindari inferioritas serta lebih
menyadari potensi mereka sebagai individu yang utuh dan dapat menjadi setara
dengan kaum laki-laki.
1.4
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah novel Une Vie karya Guy de Maupassant,
edisi GF-Flammarion yang diterbitkan tahun 1973 di Paris. Penelitian karya sastra ini
akan menganalisis bentuk, penyebab dan dampak dari inferioritas perempuan yang
dialami oleh tokoh utama dalam novel ini.
1.5
Tinjauan Pustaka
Inferioritas perempuan, novel Une Vie, serta pengaplikasian teori feminisme
psikoanalisis dalam karya sastra konsep sudah digunakan dalam penulisan beberapa
skripsi, buku, jurnal dan tesis sebelumnya. Penelitian ini menggunakan skripsi, jurnal,
buku dan tesis tersebut sebagai bahan referensi.
Penelitian dengan menggunakan novel Une Vie sudah pernah dilakukan oleh
Dyan Swandayani dalam skripsinya yang berjudul “Roman Une Vie karya Guy De
Maupassant : Sebuah Analisis Struktural” (Jurusan Sastra Prancis, Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, 1995). Skripsi ini menganalisis
8
roman Une Vie dengan menggunakan metode struktural dan metode psikologis.
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah penyebab tokoh utama hampir
bunuh diri serta bagaimana perkembangan perilaku tokoh utama. Dengan
menggunakan metode strukturalisme akan dianalisis unsur intrinsik novel Une Vie
seperti alur,penokohan, latar dan tema. Sedangkan dengan menggunakan metode
psikologi, perkembangan perilaku tokoh utama dalam novel Une Vie dianalisis dalam
skripsi ini.
Selain itu terdapat juga sebuah buku yang berjudul Profil D’une Oevre: Une
Vie Maupassant karya Véronique Ehrsam dan Jean Ehrsam yang diterbitkan di Paris
pada tahun 1993. Profil D’une Oevre: Une Vie Maupassant ini merupakan buku yang
mengulas unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Une Vie karya Guy de
Maupassant, seperti karakter-karakter tokoh dalam novel Une Vie, setting, gaya
bahasa, serta keadaan sosial budaya pada masa novel tersebut dibuat. Buku tersebut
juga membahas pesimisme yang digambarkan Guy de Maupassant melalui karakter
tokoh utama novel yang bernama Jeanne.
Terdapat juga sebuah jurnal berjudul Imagery as a Means Psychological
Revelation in Maupassant’s “Une Vie” karya Richard B. Grant yang dimuat dalam
Studies in Philology, Vol. 60, No. 4 (Oct., 1963) menganalisis bagaimana
penggambaran karakter tokoh-tokoh dalam novel Une Vie. Selain itu, artikel ini juga
membahas bagaimana Guy de Maupassant mengekspresikan
pesimisme melalui
kisah hidup tokoh utama dalam novel. Guy de Maupassant selaku pengarang novel,
9
seolah-olah berusaha untuk menyampaikan realitas kehidupan yang tidak selalu
menyenangkan dan terkadang tidak sesuai dengan harapan, kepada para pembaca,
melalui jalan cerita kehidupan tokoh utama novel Une Vie yang memiliki akhir kisah
yang tidak bahagia.
Penelitian mengenai inferioritas perempuan sudah banyak dilakukan, salah
satunya dalam skripsi yang berjudul “Citra Inferioritas Perempuan dalam Cerpen
Juusan’ya Karya Higuchi Ichiyou” karya Ulil Maulida Noviana (Jurusan Sastra
Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2013). Skripsi
ini membahas bagaimana tokoh perempuan digambarkan dalam cerpen Juusan’ya
serta apa saja bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang dialami kaum perempuan
dalam lingkup budaya patriarki Jepang. Digunakan teori kritik sastra feminis untuk
menganalisis peran dan citra tokoh perempuan dalam cerpen Juusan’ya dan
ketidakadilan gender yang dialami oleh tokoh utama. Berdasarkan hasil analisis,
tokoh utama dalam cerpen tersebut digambarkan sebagai sosok perempuan yang
lemah dan memiliki sikap inferior,pasif dan tertindas. Sedangkan bentuk-bentuk
ketidakadilan gender yang dialami adalah subordinasi, stereotip, dan kekerasan fisik.
Terdapat juga penelitian yang menganilisis citra inferioritas perempuan yang
berjudul “Citra Inferioritas Perempuan dalam Novel Nyai Dasima: Tragedi Wanita
asal Desa Kuripan karya Rahmat Ali: Kritik Sastra Feminis” karya Itsna Hadi
Saptiawan (Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, 2007). Skripsi ini membahas tentang tokoh utama dalam novel
10
Nyai Dasima yang sering menerima tindakan, subordinasi dan marginalisasi dari
kaum laki-laki. Dengan menggunakan analisis aliran feminisme sosial, penulis skripsi
ini membuktikan bahwa ketidakadilan terhadap kaum perempuan tidak semata-mata
disebabkan oleh perbedaan biologis, tetapi cenderung disebabkan oleh konstruksi
sosial terhadap perbedaan gender yang menempatkan kedudukan sosial kaum
perempuan lebih rendah daripada kaum laki-laki.
Teori feminime psikoanalisis juga sudah banyak digunakan dalam berbagai
penelitian. Salah satunya sebuah tesis yang berjudul “Makna Seksualitas dalam Novel
Noruwei No Mori Karya Haruki Murakami; Analisis Feminis Psikoanalisis” sebuah
tesis yang ditulis oleh Sarah Matari ( S2 Sastra Universitas Gadjah Mada, 2014).
Penelitian ini membahas tentang seksualitas di dalam novel Noruwei no Mori karya
Haruki Murakami dijadikan sebagai kekuatan untuk melepaskan keteganganketegangan dari masalah yang dihadapi. Penelitian ini menggunakan teori Feminisme
Psikoanalisis dari Juliet Mitchell untuk melihat bagaimana makna seksualitas di
dalam kehidupan seorang individu. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa seksualitas
digunakan oleh pengarang sebagai reaksi terhadap perubahan sosial yang terjadi di
Jepang pada Pasca Perang Dunia II. Melalui seksualitas yang ada di dalam novel juga
dapat diketahui bagaimana redefinisi makna seksualitas, seksualitas pada akhirnya
dijadikan kekuatan dari kesadaran pengarang untuk menunjukkan bahwa laki-laki
memiliki kuasa penuh terhadap perempuan.
11
Selain itu terdapat juga sebuah skripsi yang berjudul “Cermin Hasrat Ophelia
pada Teks Puisi Anna Akhmatova dan Marina Tsetaeva : Sebuah Kajian Feminisme
Psikoanalisis” karya Rieke Saraswati (Jurusan Sastra Rusia, Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Indonesia Depok, 2010). Skripsi ini menggunakan teori feminisme
psikoanalisis dalam buku “Understanding Human Nature” Alfred Adler dan
“Feminine Psychology” Karen Horney untuk menentang kompleks maskulin yang
terdapat dalam teks puisi tersebut dan teori hasrat dari Jacques Lacan untuk
menganalisis hasrat seksusal tokoh Ophelia.
Penelitian yang menerapkan teori psikoanalisis Karen Horney dalam karya
sastra juga sudah pernah dilakukan. A. Arum Candra meneliti film La Pianiste dalam
skripsinya yang berjudul “Kecemasan Neurotik Tokoh Utama dalam film La
Pianiste” (2008). Skripsi ini meneliti kecemasan neurotik pada tokoh utama dalam
film La Pianiste dengan menggunakan teori psikoanalisis dari Sigmund Freud dan
teori kecemasan neurotik Karen Horney. Penelitian ini berkesimpulan bahwa
kecemasan neurotik yang dialami oleh tokoh utama dalam film La Pianiste
diakibatkan oleh intervensi dari ibunya dalam kehidupan publik dan privatnya.
Selanjutnya, untuk mengatasi kecemasan yang diderita tokoh tersebut, dia melakukan
kebutuhan-kebutuhan neurotik seperti mendekati orang lain, melawan orang lain dan
menjauhi orang lain.
Letak perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya adalah penelitian ini mengaplikasikan teori kritik sastra
12
feminis psikoanalisis serta teori Feminine Psychology menurut Karen Horney unutk
menganalisis bentuk-bentuk inferioritas perempuan yang tercerminkan pada tokoh
Jeanne dalam novel Une Vie dan mengetahui penyebab serta dampak dari inferioritas
tersebut.
1.6
Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan Teori Kritik Sastra Feminis Psikoanalisis dan
teori Feminine Psychology oleh Karen Horney untuk menganalisis bentuk-bentuk
inferioritas perempuan yang tercerminkan pada tokoh Jeanne, penyebab keadaan
tersebut, serta dampak apa saja yang ditimbulkan dari inferioritas tersebut pada
kehidupan sang tokoh utama.
1.6.1
Kritik Sastra Feminis Psikoanalisis
Kritik sastra feminis adalah kegiatan memberikan penilaian baik buruk
terhadap suatu karya sastra dengan menggunakan perspektif feminisme (Wiyatmi
2012: xvi). Kritik sastra feminis berawal dari hasrat para feminis untuk menunjukkan
citra wanita dalam karya penulis-penulis pria yang menampilkan citra wanita sebagai
mahluk yang dengan berbagai cara ditekan, disalahtafsirkan, serta disepelekan oleh
tradisi patriarkial yang dominan (Djajanegara 2000: 27).
Kehadiran kritik sastra feminis tidak dapat dipisahkan dari kemunculan
gerakan feminisme yang berkembang di masyarakat. Tanpa ada kemunculan
pemikiran dan gerakan feminisme, tidak mungkin muncul kritik sastra feminis
(Wiyatmi 2012: 10).
13
Maggie Humm dalam Ensiklopedia Feminisme (2007) menjabarkan bahwa
feminisme merupakan ideologi pembebasan perempuan dengan keyakinan bahwa
perempuan
mengalami
ketidakadilan
karena
jenis
kelaminnya.
Feminisme
menawarkan berbagai analisis mengenai penyebab, pelaku dari penindasan
perempuan. Feminisme memiliki kepentingan khusus dalam pembentukan kultural
terhadap gender, termasuk dalam sastra. Sastra dapat membentuk sebuah representasi
atas identitas dan dunia perempuan (Humm, 2007: 157-158).
Salah satu jenis dari kritik sastra feminis adalah kritik sastra feminis
psikoanalisis. Kritik satra feminis psikoanalisis merupakan salah satu tipe kritik sastra
yang mengkaji aspek gender dalam karya sastra dengan menggunakan kerangka teori
psikoanalisis. Kritik sastra ini merupakan salah satu cara memahami dan mengkaji
karya sastra dengan menggunakan perspektif feminisme psikoanalisis (Wiyatmi
2011: 81-83)
Femisnisme Psikoanalisis merupakan salah satu aliran feminisme yang
mengkaji ketidaksetaraan gender, khususnya ketertindasan perempuan berdasarkan
teori psikoanalisis. Feminisme psikoanalisis percaya bahwa penjelasan fundamental
atas cara bertindak perempuan berakar dari psike perempuan terutama dari cara
berpikir perempuan. Munculnya feminisme psikoanalisis berawal dari penolakan para
feminis yang menolak pemikiran Freud tentang teori kompleks kastrasi serta penis
envy pada perempuan ( Tong 2008: 190).
14
Tong menambahkan bahwa Freud mengemukakan perempuan merasa inferior
karena mereka terlahir tanpa penis. Sebagai seorang anak, perempuan memperhatikan
penis ayah atau saudara laki-lakinya yang terlihat secara jelas dan besar dibandingkan
dengan organ seksual mereka yang kecil dan tersembunyi (klitoris). Oleh karena itu
perempuan mulai mengidentifikasikan laki-laki sebagai pihak yang superior. Dengan
kata lain, inferioritas yang dialami perempuan terjadi karena keadaan biologisnya
(kekurangan anak perempuan akan organ penis pada tubuhnya). Selain itu karena
tidak harus merasa khawatir dikastrasi, anak perempuan menjadi tidak termotivasi
seperti anak laki-laki (Tong 2008: 196).
Berdasarkan gagasan Freud tersebut, Betty Friedan via Tong menganggap
gagasan Freud tersebut sebagai sebuah determinisme biologis terhadap kaum
perempuan. Menurut Friedan, Freud mengangap anatomi sebagai takdir, berarti peran
reproduksi, identitas gender, dan kecenderungan seksual perempuan ditentukan oleh
tidak adanya penis pada perempuan dan setiap perempuan yang tidak mengikuti
takdir tersebut akan dianggap tidak normal (Tong, 2008: 197).
Friedan juga berpendapat bahwa Freud mendorong perempuan untuk
beranggapan bahwa ketidaknyamanan serta ketidakpuasan perempuan disebabkan
oleh tidak adanya penis pada tubuh mereka, dan bukan karena ketidakadilan status
sosial, ekonomi dan budaya yang lebih menguntungkan laki-laki. Freud juga
mengisyaratkan pada perempuan bahwa mereka dapat menyalurkan keinginan
mereka untuk memiliki penis dengan memiliki bayi (penis dapat digantikan dengan
15
bayi). Freud juga telah mendorong perempuan untuk menjadi reseptif, pasif,
bergantung pada orang lain dan selalu siap untuk mencapai apa yang seharusnya
menjadi “tujuan akhir” dari kehidupan seksual mereka yaitu kehamilan (Tong 2008 :
196-197).
Freud memberikan warisan sebuah pandangan dalam psikoanalisis yang
menilai kaum laki-laki sebagai pihak maskulin yang menjadi norma, sedangkan kaum
perempuan sebagai pihak feminin hanya menjadi versi yang “dikebiri” dari norma
tersebut. Psikoanalisis seharusnya menjadi alat unutk menganalisis penindasan atas
kaum perempuan, tetapi justru dijadikan senjata untuk melawan perempuan dalam
budaya patriarki ( Jones, 1998: 277)
Psikoanalisis merupakan suatu tahap untuk memahami pemebntukan
kesadaran dan sejarah, terutama yang berkaitan dengan penentuan kesadaran akan
jenis kelamin (Irigaray, 2005: 10). Psikoanalisis dapat memberi bantuan besar untuk
membebaskan kaum perempuan dari budaya patriarki, jika saja psikoanalisis tidak
mendefinisikan perempuan sama dengan tidak menjadi laki-laki. Baik dalam teori,
maupun praktiknya psikoanalisis mengajarkan bahwa menjadi perempuan tidak lebih
baik daripada menjadi laki-laki melalui teori penis-envy. Pembebasan perempuan
bukan berarti “menjadi laki-laki” atau iri pada benda maskulin, tetapi perempuan
harus mengembalikan nilai gender kepada dirinya sendiri serta subjektivitasnya
sebagai seorang perempuan (Irigaray,2005 : 93)
16
Psikoanalis feminis seperti Alfred Adler dan Karen Horney berpendapat
bahwa identitas gender, perilaku gender, serta orientasi seksual pada perempuan dan
laki-laki bukanlah hasil dari fakta biologis, melainkan hasil dari nilai-nilai sosial
(Tong, 2008 : 200).
Para feminis psikoanalisis mengklaim bahwa ketidaksetaraan gender berakar
dari rangkaian perkembangan awal kehidupan manusia, yang mengakibatkan laki-laki
memandang dirinya sebagai maskulin, dan perempuan memandang dirinya sebaga
feminin dan juga cara masyarakat memandang bahwa maskulinitas lebih baik
daripada femininitas. Eksploitasi terhadap perempuan berlandaskan pada perbedaan
jenis kelamin, sehingga solusinya hanya didapatkan melalui perbedaan jenis kelamin.
Kebudayaan patriarki seharusnya melihat masyarakat yang seutuhnya sebagai
campuran sifat-sifat positif antara feminitas dan maskulinitas ( Tong, 2008: 190).
Salah satu hambatan terbesar untuk mewujudkan hal tersebut adalah dominasi
budaya patriarki atas seluruh kehidupan manusia selama berabad-abad. Seharusnya
masyarakat menyeimbangkan kembali kekuasaan antara kedua jenis kelamin dengan
cara memberikan penilaian ulang atau mengkonstruksi ulang nilai-nilai budaya
terhadap femininitas (Irigaray, 2005: 11-12).
1.6.2
Feminine Psychology oleh Karen Horney
Feminine Psychology dijabarkan oleh Karen Horney dalam bukunya yang
berjudul New Ways In Psychoanalysis yang diterbitkan di Inggris pada tahun 1939.
17
Karen Horney menentang seluruh pandangan Sigmund Freud terhadap perempuan,
khususnya
keadaan
psikologis
perempuan.
Freud
menilai
bahwa
seluruh
permasalahan, keterbatasan dan inferioritas yang dialami oleh perempuan terjadi
karena perempuan tidak memiliki penis. Freud via Horney ( 1939 : 101- 102)
mengemukakan bahwa peristiwa paling mengecewakan pada tahap perkembangan
seorang anak perempuan adalah ketika ia menyadari bahwa ia tidak memiliki penis
seperti anak laki-laki. Saat itu juga anak perempuan menyadari ia telah terkastrasi.
Anak perempuan tersebut kemudian memiliki keinginan yang besar untuk memiliki
sebuah penis dan berharap suatu saat sebuah penis akan tumbuh di tubuhnya dan
merasa iri pada kaum laki-laki yang memiliki penis, hal ini dikenal dengan istilah
penis-envy.
Karen Horney menentang pendapat Sigmund Freud mengenai penis-envy
tersebut. Menurutnya keadaan fisik tubuh seorang perempuan tidak menjadi faktor
penyebab perempuan ingin menjadi seperti
laki-laki. Mengutip pendapat Alfred
Adler, Horney menjelaskan bahwa keinginan tersebut juga dibentuk oleh faktor
budaya yang mengkonstruksi kualitas-kualitas atau hak istimewa seperti keberanian,
kemerdekaan, sukses, kebebasan seksual, hak untuk memilih pasangan identik
dengan kaum laki-laki, sedangkan kaum perempuan biasanya dianggap tidak dapat
memiliki keistimewaan tersebut. Harapan untuk menjadi seperti laki-laki yang tidak
dapat terpenuhi akan menyebabkan inferioritas pada perempuan (Horney, 1939: 108109).
18
Menurut Karen Horney keadaan fisik perempuan yang tidak memiliki penis
ataupun faktor kebudayaan tidak bisa semata-mata dianggap sebagai penyebab dari
inferioritas yang dialaminya. Penyebab dari inferioritas harus ditemukan dari analisis
terhadap individu dan situasi kehidupan individu tersebut. Dalam rangka untuk
menemukan faktor penyebab itu tidak perlu didasarkan pada kecenderungan wanita
untuk mendasarkan inferioritas nya pada kenyataan bahwa dia adalah seorang wanita:
melainkan harus menunjukkan kepada perempuan bahwa setiap orang yang berasal
dari kelompok minoritas atau kelompok yang kurang beruntung, cenderung
menggunakan status mereka sebagai alasan atas perasaan inferioritas yang mereka
alami, padahal status atau keadaan mereka bukan menjadi penyebab utama atas
inferioritas mereka tetapi terdapat faktor-faktor lain. Salah satu faktor yang paling
sering menyebabkan inferioritas adalah kegagalan untuk hidup sesuai dengan anganangan atau cita-cita yang diciptakan bagi diri sendiri (Horney, 1939: 109).
Freud juga menambahkan bahwa keadaan biologis perempuan menyebabkan
perempuan juga memiliki hubungan khusus dengan masokisme. Rasa sakit pada saat
menstruasi dianggap sebagai representasi imajinasi masokistik yang ingin dirasakan
oleh perempuan, sedangkan rasa sakit pada saat melahirkan dianggap sebagai kilmaks
dari kepuasan masokistik . Selain itu, ketakutan dasar pada perempuan adalah rasa
takut kehilangan cinta setara dengan ketakutan laki-laki pada pengebirian. Menurut
teori psikoanalitik sikap seseorang terbentuk setelah sikap seksualnya dibentuk dan
feminitas dinilai menjadi dasar dari masokisme. Mayoritas dari perempuan dinilai
pada dasarnya ingin menjadi penurut dan bergantung pada orang lain. Untuk
19
mendukung asumsi ini, masokisme dalam budaya kita dijadikan dinilai lebih sering
dialami oleh perempuan dibandingkan dengan laki-laki ( Horney, 1939: 110 - 111).
Horney menentang teori psikoanalisis Freud tersebut, kemudian menjelaskan
bahwa masokisme bukan merupakan sekedar sebuah fenomena seksual primer tetapi
lebih kepada hasil dari konflik tertentu dalam hubungan interpersonal. Horney
menilai bahwa masokisme tidak bisa begitu saja dikorelasikan terhadap feminitas.
Dia juga berbendapat bahwa kita tidak harus menilai dari faktor biologis tetapi dari
faktor budaya, untuk mengetahui faktor-faktor yang berperan dalam mengembangkan
tren masokisme pada perempuan. Menurutnya fenomena masokis merupakan upaya
untuk mendapatkan keamanan dan kepuasan dalam hidup melalui ketidakberdayaan
atau kelemahan dan ketergantungan (Horney, 1939 : 112).
Faktor budaya memberikan kontribusi pada salah satu kelemahan terbesar
wanita, yaitu ketergantungan terhadap orang lain yang dinilai sebagai salah satu sifat
alamiah perempuan . Selain itu keberhasilan dan makna hidup seorang perempuan
hanya dapat dinilai dari kehadiran, suami, anak dan keluarga dalam hidupnya. Sejarah
telah menunjukkan bahwa perempuan bisa bahagia dan merasa puas akan hidupnya
jika telah memenuhi kondisi tersebut. Faktor-faktor seperti ini, menurut penilaian
Horney, bertanggung jawab atas kecenderungan perempuan untuk menjadi pribadi
yang masokis (Horney, 1939 : 113).
Aspek lain yang mempengaruhi penilaian perempuan yang berlebihan
terhadap cinta adalah sebuah pandangan yang beranggapan bahwa cinta dan
pengabdian merupakan cita-cita dan visi dari kehidupan setiap perempuan. Bagi
20
perempuan, suami dan anak merupakan satu-satunya sumber kebahagian, rasa aman
dan kehormatan dalam hidupnya. Perempuan memandang cinta sebagai sebuah nilai
kebenaran, sedangkan bagi laki-laki cinta tidak dipandang sebagai hal yang sangat
penting karena mereka harus melakukan aktivitas lain yang berhubungan dengan
pekerjaan mereka. Faktor-faktor kebudayaan seperti itu yang menyebabkan
perempuan memiliki penilaian berlebihan terhadap cinta dan memiliki harapan yang
besar terhadapnya. Selain itu, hal itu pula yang menyebabkan perempuan lebih takut
akan kehilangan cinta dibandingkan dengan kaum laki-laki (Horney, 1939: 114-115).
Ketidakpuasan dalam cinta sering menyebabkan perasaan inferior. Terkadang
muncul sebuah pertanyaan lebih lanjut apakah perempuan lebih sering merasa
inferior dibandingkan dengan laki-laki.
Pertanyaan tersebut sulit untuk dijawab
dengan sekedar mengukur dari keadaan biologis perempuan dan laki-laki saja, tetapi
terdapat perbedaan antara perasaan inferior yang dialami oleh laki-laki dan
perempuan; pada laki-laki, inferioritas yang dialaminya tidak disebabkan karena
perannya sebagai laki-laki dalam masyarakat, sedangkan pada perempuan inferioritas
sering disebabkan karena ia dilahirkan sebagai perempuan (Horney, 1939: 116-117).
Horney juga percaya bahwa perasaan inferior yang dialami perempuan tidak
ada hubungannya dengan feminitas, tetapi perempuan menggunakan implikasi
budaya feminitas sebagai penyamaran untuk sumber dari inferioritas yang
sebenarnya, yang pada dasarnya sama saja antara pria dan wanita. Tapi, beberapa
budaya tertentu menyebabkan perempuan mudah kehilangan kepercayaan diri
mereka. Jika kepercayaan diri seseorang tergantung pada besarnya cinta yang dia
21
terima, maka orang tersebut membangun pondasi kepercayaan diri di atas sesuatu
yang terlalu kecil dan mudah goyah. Terlalu kecil karena ia berarti meninggalkan
nilai-nilai kepribadian yang baik sebagai dasar sebuah kepercayaan diri, dan terlalu
goyah karena kepercayaan dirinya tergantung pada faktor eksternal atau orang lain,
seperti pasangannya. Selain itu, hal ini sangat mudah menyebabkan ketergantungan
emosional pada kasih sayang serta apresisasi yang diberikan oleh orang lain sehingga
ia akan merasa tidak berharga jika tidak dicintai atau dihargai oleh orang lain atau
pasangannya (Horney, 1939: 116-117).
Semasa hidupnya Karen Horney mengalami sendiri cara masyarakat
membatasi perkembangan kreatif perempuan. Ia mengklaim bahwa perasaan inferior
yang dimiliki oleh perempuan bukan berasal dari kesadaran perempuan akan
kastrasinya, melainkan kesadaran akan subordinasi sosialnya. Horney via Tong
mengakui walaupun perempuan secara simbolis terkastrasi (perempuan tidak
memiliki kekuatan atau kekuasaan yang direpresentasikan oleh penis), ia menolak
konsep bahwa perempuan tidak dapat sehebat laki-laki dan posisinya lebih rendah
dari laki-laki hanya karena tidak memiliki penis. Ia berargumentasi bahwa
kebudayaan patriarkial pertama-tama memaksa perempuan untuk menjadi feminin
(pasif, masokistik, narsistik) kemudian meyakinkan perempuan bahwa mereka suka
menjadi seperti itu ( Tong, 2008 : 201-202).
1.7
Metodologi Penelitian
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif. Metode deskriptif kualitatif merupakan prosedur pemecahan masalah yang
22
diselidiki dengan menggambarkan keadaan objek penelitian berdasarkan fakta yang
tampak atau sebagaimana adanya. Metode ini juga bertujuan untuk melukiskan fakta
atau karakteristik objek penelitian secara faktual dan cermat (Wiyatmi, 2012: 45).
Selain itu, untuk mempermudah melakukan analisis digunakan metode bantu
membaca sebagai perempuan atau reading as a woman yang dikemukakan oleh
Jonathan Culler. Reading as a woman merupakan konsep pembacaan karya sastra
yang menekankan perhatian pada pengalaman perempuan sebagai pembaca. Reading
as a woman merupakan usaha untuk membongkar praduga dan kekuasaan laki-laki
yang patriarkis yang selama ini menguasai pencipataan karya sastra. Konsep ini juga
dapat diterapkan oleh pembaca laki-laki dengan memosisikan dirinya sebagai
perempuan. Artinya, pembaca dituntut
untu memosisikan dirinya dengan
memperhatikan
perempuan
pengalamannya
sebagai
yang
selalu
dibatasi
kepentingannya (Culler, 1983: 45-51). Konsep tersebut kemudian dijabarkan dalam
langkah-langkah pembacaan sebagai berikut :
1. Memosisikan diri sebagai pembaca perempuan, yang berarti bahwa pembaca
perempuan harus memperhatikan pengalaman perempuan dengan melihat
sebagai seorang perempuan yang selalu dibatasi kepentingannya.
2. Konsep pembaca perempuan mengarah kepada pernyataan kontinuitas di
antara pengalaman perempuan secara sosial, struktur familial, dan
pengalaman mereka sebagai pembaca. Kontinuitas dilakukan dengan
23
menganggap penting situasi dan psikologi karakter perempuan dalam karya
pengarang.
3. Mengidentifikasikan karakter perempuan dengan karakter
tokoh laki-laki
yang telah menentang kepentingan mereka sebagai perempuan.
4. Menentukan karakteristik dan pengalaman ketertindasan tokoh perempuan
tersebut, kemudian membawa tokoh dan pengalamannya tersebut ke dalam
kehidupan masyarakat.
Berdasarkan penjabaran di atas, maka tahap-tahap yang ditempuh dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menentukan novel yang akan diteliti, yaitu Une Vie karya Guy de
Maupassant.
2. Menentukan permasalahan yang akan diteliti, dalam hal ini adalah bentuk,
penyebab, serta dampak dari inferioritas perempuan yang dialami oleh tokoh
Jeanne dalam novel Une Vie.
3. Melakukan kajian pustaka untuk memahami sejumlah konsep teoretik yang
relevan dengan fokus permasalahan yang telah ditentukan dan penelitianpenelitian yang membahas masalah yang sama atau mirip dengan penelitian
ini untuk menghindari duplikasi atau plagiat dari penelitian-penelitian
sebelumnya.
24
4. Memilih data-data primer yang sesuai dengan tema penelitian ini. Data-data
tersebut berupa
petikan kalimat dan dialog yang mencerminkan bentuk,
penyebab dan dampak inferioritas dari tokoh Jeanne dalam novel Une Vie.
5. Mengklasifikasikan data ke dalam tiga kategori, yaitu: bentuk-bentuk
inferioritas yang dialami Jeanne, penyebab dan dampak dari inferioritas
tersebut.
6. Mencari data sekunder berupa buku referensi, artikel, jurnal mengenai kritik
sastra feminis psikoanalisis dan psikologi feminis.
7. Menganalisis permasalahan dengan menggunakan teori yang telah ditentukan.
8. Menarik kesimpulan dari hasil penelitian
1.8
Sistematika Penyajian
Karya tulis ini terdiri dari empat bab. Bab I skripsi ini terdiri dari latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, landasan teori, metode penelitian,
tinjauan pustaka, ruang lingkup penelitian serta sistematika penyajian.
Bab II dan III berisi mengenai pengaplikasian teori pada pembahasan yang
berisi tentang analisis terhadap permasalahan yang didapatkan dari objek material.
Bab IV merupakan penutup yang berisi kesimpulan serta hasil dari analisis
penelitian ini.
25
26
Download