BAB 5 PENUTUP 5.1. KESIMPULAN Teologi feminis dibangun berdasarkan keprihatinan terhadap kaum perempuan. Beberapa ahli yang bekecimpung di dalam gerakan teologi feminis mendefenisikan teologi feminis yang dirangkum oleh penulis menjadi usaha pembebasan dari pihak perempuan dan laki-laki yang menyadari bahwa perempuan dan laki-laki adalah ciptaan Allah dan karenanya perempuan pun berhak atas relasi bersama Allah yang akan memperhatikan pengalaman kaum perempuan, the full humanity of women, dan bebas melakukan kritik teologis terhadap teks-teks androsentrik yang diwariskan oleh kaum laki-laki bagi gereja sehingga sumbangan dari teologi feminis bagi perempuan dan gereja adalah sebuah penafsiran yang membebaskan perempuan dari dominasi budaya patriarkal yang membelenggu selama ini. Studi hermeneutik feminis terhadap teks Yoh 20:11-18 menghasilkan sebuah pemahaman baru bahwa pemuridan yang sederajat mencakup perempuan dan laki-laki, kaya dan miskin, orang sehat dan orang sakit, orang benar dan orang berdosa, dan orang Yahudi dan non Yahudi. Sebagai sebuah pemuridan yang menerima perempuan bergabung dalam komunitasnya, Maria Magdalena adalah seorang perempuan yang menjadi bukti kesederajatan dalam kemuridan ini. Bahkan dari studi hermeneutik feminis ditemukan bahwa Maria Magdalenalah model dan teladan kemuridan sejati dalam pemuridan yang sederajat ini. Dalam budaya patriarkal, perempuan adalah the 67 second class namun Yesus datang dengan pembebasan terhadap perempuan. Dan rupanya gereja perdana tidak siap dengan pembebasan ini.1 Penemuan hasil studi hermeneutik terhadap Maria Magdalena tidak saja memperlihatkan dia sebagai seorang perempuan yang utuh sebagai manusia tetapi juga menunjukkan bahwa dalam usaha feminis yang diperjuangkan oleh penulis injil Yohanes sekalipun tidak benar-benar feminis karena ia terjebak dalam pola pemikiran patriarkal sehingga penafsirannya tidak benar-benar murni dan membebaskan dan bahkan terjebak dalam diskriminasi secara tidak langsung terhadap Maria Magdalena namun ia telah menampilkan Maria Magdalena juga sebagai model dari gerakan solidaritas dalam kesederajatan, teladan kemuridan yang sederajat dan apostle apostolarum. Penemuan ini tidak mengesampingkan temuan lainnya bahwa dalam usaha seorang feminis yang belum benar-benar berangkat dari sudut pandang seorang perempuan Yahudi, usaha ini juga memperoleh bias-bias patriarkal dengan menampilkan profil Maria Magdalena dengan kesan sebagai pelacur, jebakan penggunaan matafor dan keberpihakan terhadap tradisi kerabbian Yahudi yang menekankan pada hukum pentahiran. Karena itu, penting untuk membaca untuk membaca teks sebagaimana teks itu harus dibaca. Jika sebuah teks harus dibaca dengan pendekatan feminis maka kacamata feminis perlu digunakan. Hal ini akan menolong penafsir untuk mengetahui dari susut pandang mana ia harus berdiri dan melakukan penafsiran. Sebagai contoh, buku Perempuan-Perempuan Pemberani karya Wilson Nadeak berusaha menampilkan peran-peran perempuan dalam Alkitab tetapi usahanya tidak benar-benar berangkat dari 1 Clare Prophet, Elizabeth. Mary Magdalene and the Divine Feminine. (Gardiner: Summit University Press, 2005) 11. 68 perspektif perempuan Yahudi. Ia melakukan penafsiran dari sudut pandang seorang laki-laki dalam budaya patriarkal dan malah melakukan diskriminasi terhadap perempuan terutama dalam pembahasannya mengenai Maria Magdalena. Ia memang telah mencoba namun jika usahanya dilihat dari sudut pandang teologi feminis usaha ini justru sama sekali tidak sedang menonjolkan perempuan-perempuan dalam Alkitab sebagai perempuan pemberani dalam pengalaman mereka dengan Allah tetapi justru mengutamakan pengalaman laki-laki dimana perempuan hanya kebetulan berperan dalam pengalaman-pengalaman tersebut. Kesimpulan pada bagian ini ditujukan bagi perempuan-perempuan Kristen yang sedang berjuang menemukan dan menegakkan kembali gambaran kemanusiaannya yang utuh mengenai diri sendiri dan kesadaran bahwa di dalam dirinya sebagai perempuan, Allah ingin setiap perempuan menegaskan citra diri Allah tersebut dalam peranperannya di keluarga, gereja dan masayarakat. Perempuan tidak lagi terbelenggu oleh pemahaman bahwa perempuan ditindas oleh laki-laki melainkan pada usaha bagaimana menegaskan keperempuannya: perempuan memiliki potensi yang hanya dapat diekspresikan dan direalisasikan oleh dirinya sendiri. Allah telah memungkinkan dia melalui kisah Maria Magdalena dan kini saatnya perempuan harus bertanggung jawab terhadap kemungkinan yang dianugerahkan Allah tersebut. 5.2. SARAN 5.2.1. Bagi Gereja 5.2.1.1. Perempuan bukan the second class, bukan pintu gerbang iblis, ia adalah manusia, ia menggambarkan Allah pada dirinya sendiri, dan ia utuh sebagai ciptaan Allah. Gereja perlu melihat perempuan sebagaimana Allah melihat perempuan. Hanya jika gereja mampu memahami bahwa perempuan memiliki 69 kedudukan yang sederajat dengan laki-laki, gereja mampu membiarkan perempuan mengalami dan mengukir pengalamannya bersama Allah dan mengembalikan gelar apostle apostolarum kepada perempuan-perempuan yang memang pantas untuk gelar tersebut. 5.2.1.2. Gereja menyadari bahwa perempuan dan laki-laki adalah gambar dan rupa Allah. Karena itu, gereja perlu memberikan hak yang sama kepada perempuan dan laki-laki untuk memasuki pemuridan yang sederajat dimana laki-laki dan perempuan memperoleh hak yang sama dalam hal jabatan imamat seperti di gereja Katholik Roma. Hukum pentahiran tidak berlaku lagi dalam komunitas Yesus sehingga tidak alasan untuk tidak memberikan kesempatan kepada perempuan untuk memimpin sebagai pastor atau imam dalam gereja Katholik. 5.2.1.3. Sudah saatnya bagi gereja untuk mengajak jemaatnya membaca Alkitab dari sudut pandang perempuan. Jika gereja melakukan ini, ia memungkinkan setiap perempuan memasuki relasi yang benar dan jujur dengan Allah serta melihat Allah sebagai ibu sehingga perempuan menyadari bahwa ia memang adalah gambar dan rupa Allah. 5.2.2. Bagi Keluarga Kristen 5.2.2.1. Suami dan isteri memiliki kedudukan yang setara di hadapan Tuhan, anak-anak pun demikian. Karena itu sudah sepantasnyalah jika setiap keluarga Kristen menempatkan diri sebagai murid-murid Yesus yang sedang memasuki sebuah perjalanan bersamaNya dalam pemuridan yang sederajat. 5.2.2.2. Anak laki-laki dan perempuan dipandang sebagai pribadi-pribadi yang unik yang memiliki hidup dan pengalaman pribadi bersama Allah. Karena itu, sangat baik jika keluarga mulai memperhatikan kebutuhan untuk membaca Alkitab 70 dari perspektif anak dan mulai memperkenalkan kepada mereka Allah yang tidak saja bersifat maskulin tetapi juga feminin. 5.2.2.3. Bagi keluarga yang masih menekankan keutamaan anak laki-laki seperti keluarga Sumba, Batak, dan Toraja agar menyadari bahwa anak perempuan pun anugerah Allah yang perlu diterima, diakui, dan dihargai. 5.2.3. Bagi Sekolah-Sekolah Ideologi ditanamkan di sekolah. Jika sekolah menanamkan ideologi yang salah maka siswa akan tumbuh dengan ideologi yang salah tersebut. Sekolah perlu merevisi kurikulum dan buku ajar agar lebih bersikap adil terhadap peran perempuan dan laki-laki, memposisikan mereka dalam pemuridan yang sederajat dari gerakan Yesus, memberi peluang dan kepercayaan bagi perempuan dan laki-laki untuk mengasah kemampuan dan mengembangkan bakatnya serta membimbing mereka untuk dapat meneladani model pemuridan yang sederajat seperti Maria Magdalena: solider, saksi dan teladan. 5.2.4. Bagi Fakultas Teologi Menyadari betapa pentingnya teologi feminis di Perguruan Tinggi dan betapa sulitnya penulis belajar otodidak mengenai teologi feminis, maka penulis berharap mata kuliah studi gender dan hermeneutik feminis tidak hanya berbobot 3 SKS saja tetapi diberikan secara lebih mendalam lagi bagi mahasiswa. Bila perlu, MK hermeneutik feminis diajarkan terpisah dari studi gender sebab berdasarkan pengalaman dalam MK ini, mahasiswa lebih banyak diberi pengetahuan tentang gender daripada mengenai teologi feminis. Padahal jika memperhatikan konteks Indonesia, teologi feminis merupakan kebutuhan 71 mendesak sebab diskriminasi terhadap perempuan karena budaya patriarkal justru banyak ditemui di Indonesia. 5.2.5. Bagi Lembaga Alkitab Indonesia Perlu melanjutkan usaha yang dilakukan penulis ini. Dibutuhkan sikap terbuka terhadap kebutuhan perempuan untuk membaca Alkitab dari perspektif perempuan. Presentasi keterlibatan perempuan dalam teologi feminis di Indonesia masih sangat kurang padahal jika memperhatikan konteks Indonesia, Indonesia adalah Negara yang sangat sarat budaya patriarkal yang diwariskan oleh baik agama-agama suku maupun tradisi-tradisinya. Sekaranglah saatnya membebaskan perempuan dari penjara yang membelenggunya bahkan dari Alkitab yang selama ini diyakini. 72