Ancaman dari Istri Bukan Yahudi: suatu tinjauan sosio

advertisement
BAB I
A. Latar Belakang Masalah
Pada hakekatnya manusia tidak akan berkembang tanpa adanya perkawinan, karena
dengan adanya perkawinan menyebabkan adanya keturunan dan keturunan menimbulkan
keluarga yang berkembang menjadi kerabat dan akhirnya menjadi kelompok masyarakat. 1
Keluarga terdiri dari pribadi-pribadi tetapi juga merupakan bagian dari jaringan sosial yang
lebih besar, kedudukan utama setiap keluarga ialah fungsi pengantara pada masyarakat
besar.2 Goode menjelaskan bahwa, keluarga memiliki hubungan dengan masyarakat sebagai
sebuah sistem yang saling mendukung. Apabila masyarakat sebagai sebuah sistem yang besar
mendukung keluarga sebagai sub sistem sosial yang lebih kecil, atau sebagai syarat agar
keluarga itu dapat bertahan maka kedua macam sistem ini harus saling berhubungan dalam
banyak hal penting.3
Faktanya banyak ditemukan dalam keluarga, yang mengalami permasalahanpermasalahan atau kekacauan. Kekacauan dalam keluarga dapat ditafsirkan sebagai pecahnya
suatu unit keluarga, terputusnya atau retaknya struktur peran sosial jika satu keluarga atau
beberapa anggota gagal menjalankan kewajiban perannya. 4 Bertolak dari defenisi ini salah
satu kekuacauan utama dari keluarga ialah pembatalan pernikahan atau perceraian. Perceraian
adalah putusnya suatu hubungan sebagai suami-istri.5 Terputusnya keluarga karena
1
Hadi Kusuma, Hilma, Hukum Perkawinan Adat (Bandung : Liberty, 1997), 22.
William J. Goode, Sosiologi Keluarga (Jakarta : PT Bina Aksara, 1983), 3.
3
Goode, Sosiologi, 6-8.
4
R K. Merton and R A. Nisbet, Contemporary Social Problems (New York: Hartcourt, Brace &
World, 1961), 370.
5
Departemen pendidikan., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama,
2008), 261.
2
perceraian disebabkan karena salah satu dari kedua pasangan itu memutuskan untuk saling
meninggalkan, dengan demikian berhenti melaksanakan kewajiban dan perannya. 6
Dalam perspektif budaya, perceraian dapat disebabkan oleh budaya yang berlaku
pada suatu bangsa di mana masyarakat itu berada, yang juga dapat dipengaruhi oleh unsurunsur lain seperti: ilmu pengetahuan, pengalaman, kepercayaan dan keagamaan yang di anut
oleh masyarakat.7 Di Jepang perceraian dikaitkan dengan berlakunya sistem keluarga luas
yang menganut garis keturunan patrilinear dan kekuasan patriakhal, yang mengakibatkan
ketidakpuasan pihak istri terhadap mertuanya. Pada negara-negara Islam, perceraian
dikaitkan dengan norma agama yang memperbolehkan para suami menjatuhkan talak kepada
istrinya. Dan di negara Amerika Serikat, perceraian dikaitkan dengan proses urbanisasi,
industrialisasi serta beralihnya sistem keluarga luas menjadi keluarga konjugal. Di Indonesia
dalam peraturan undang-undang mengenal tiga jenis bentuk pembuburan perkawinan: 1),
oleh kematian; 2) karena perceraian; 3) karena putusan hakim, ditekankan bahwa perceraian
dan putusan hakim disebut secara terpisah.8
Seperti yang dilansir oleh media-media elektronik beberapa waktu yang lalu, dimana
beberapa mahasiswa dan alumni fakultas hukum UI menghadap mentri agama guna
memberikan petisi untuk meninjau ulang hukum perkawinan UU pasal 1 ayat 2 tahun 1974
yang menunjuk paling pertama kepada hukum agama masing-masing pemeluk.9 Pasal
tersebut menyatakan; perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu”. Jadi perkawinan yang sah menurut hukum
perkawinan nasional adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan hukum
6
Goode, Sosiologi, 185.
T.O. Irohim, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1999), 137-138
8
J. Prins, Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia), 61.
9
http://www.beritasatu.com/nasional/207471-syarat-sah-perkawinan-menurut-hukum-agamadigugat.html, diunduh pada Minggu, 12 September 2014, pukul 23.00 WIB.
7
yang berlaku, yaitu dalam agama Islam, Kristen/Katolik, Hindu/Budha dan Konghucu. 10 Oleh
karena itu bila aturan ini diterapkan bagi orang Kristen maka tidak ada kemungkinan untuk
kawin dengan melanggar „hukum agamanya sendiriā€Ÿ, demikian berlaku bagi agama lainnya.
Berarti dengan adanya peraturan tersebut terlihat adanya suatu upaya pengontrolan dari
agama terhadap siapa yang boleh kita nikahi dan tidak boleh kita nikahi di Indonesia. Cerita
ini mengingatkan tentang kisah Ezra yang juga pernah melakukan hal yang sama yaitu ia
tidak memperbolehkan adanya pernikahan diantara mereka yang berbeda etnis karena
merujuk terhadap kepercayaan yang berbeda.
Pada tahun 538 SZB, orang Israel diizinkan pulang dari pembuangan di Babilonia ke
Yerusalem oleh Koresh, raja Persia. Pemulihan Yehuda digambarkan terjadi dalam empat
tahap masing-masing dihubungkan dengan pemimpin Yahudi dari pembuangan yang di utus
ke Yehuda di bawah otoritas Persia. Ezra dan Nehemia merupakan orang-orang yang kembali
pada gelombang ketiga dan kempat setelah gelombang pertama dibawah pimpinan Sesbazar,
dan gelombang ke dua bawah kepimpinan Zerubabel pada tahun 520 ZSB.11 Sebagai sebuah
komunitas, mereka tidak mempunyai kemerdekaan politik, bangsa ini tidak lagi mempunyai
raja dan kebijakan bagi orang asing. Ketika itu orang Israel tidak lagi berbahasa Ibrani, tetapi
mereka berbahasa Aram yang mereka adopsi dari Babilonia pada saat pembuangan. Lebih
lagi Ezra mendapati bahwa orang-orang Israel telah melakukan kawin campur dengan
penduduk negeri yakni orang Kanaan, Het, Feris, Yebus, Amon, Moab, Mesir, Amori.
Disinilah keprihatinan itu muncul, terjadi krisis identitas yang hebat dikalangan YahudiIsrael. Oleh karena itu dibuatlah hukum-hukum ini agar dapat mengembalikan identitas
mereka, salah satunya ialah aturan-aturan yang mengharuskan orang-orang Israel yang telah
10
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinanan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat dan
Hukum Agama, (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1990), 1.
11
David L. Baker, Mari Mengenal Perjanjian Lama (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2004), 76-77.
melakukan kawin campur untuk menceraikan bahkan mengusir istri dan anak-anak mereka
dari komunitas Israel di saat itu.12
Ada banyak aturan-aturan Ezra bagi komunitas Yahudi yakni aturan perkawinan dan
perceraian. Untuk mengatur tentang perkawinan Ezra tidak memperbolehkan laki-laki atau
perempuan Israel yang mau mengambil istri dari penduduk negri atau disebutnya “perempuan
asing”; Jadi sekarang janganlah kamu memberikan anak-anak perempuanmu kepada anak
laki mereka, ataupun mengambil anak-anak permpuan untuk anak lelakimu (Ezra 9:12).
Fokus dari penulisan ini melihat aturan-aturan Ezra tentang perceraian bagi orang-orang
Israel yang telah melakukan pernikahan, bahkan katanya pula ‘dan lakukanlah apa yang
berkenan kepadaNya dan pisahkanlah dirimu dari penduduk negri dan perempuanperempuan asing itu!’ (Ezra 10:11b).
Dari periode sebelum Ezra, kita temukan bahwa perkawinan dengan perempuan asing
bukanlah hal yang baru dalam kitab Keluaran dan Ulangan. Orang-orang seperti Muza yang
menikahi Sipora anak Yitro dari Median (Keluaran 2:21), adapula Salomo yang menikahi
putri raja Firaun orang Mesir dan istri-istri lainya yang berasal dari Het, Moab, Edom dan
Sidon. Ataupun kisah Rut yang adalah perempuan Moab dan menikah dengan laki-laki Israel,
yang kemudian meninggal. 13
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dijelaskan diatas timbullah pertanyaan bahwa
mengapa sehingga Ezra tidak memperbolehkan perkawinan dengan perempuan asing
sedangkan dalam kitab-kitab Keluaran atau Ulangan memperbolehkan perkawinan dengan
orang asing. Dengan demikian penulisan ini bertujuan untuk mengakaji mengapa Ezra
mengharuskan adanya perceraian dengan perempuan asing, ketika dalam tradisi-tradisi atau
12
Norman K. Gottwald, The Hebrew Bible; A Social Literary Introduction (Philadelphia : Foortress
Press, 1987), 101-103.
13
Baker, Mari Mengenal, 61.
hukum Yahudi tidak melarang percampuran dengan perempuan asing dan bahaya apa sajakah
yang akan timbulkan oleh perempuan asing?, dan apakah perempuan asing di pandang
sebagai ancaman? jika benar maka mengapa demikian?.
Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka penulis
akan mengadakan penelitian melalui tesis dengan judul:
ANCAMAN DARI ISTRI BUKAN YAHUDI
( Suatu Analisa Sosio-Feminis Terhadap Kewajiban Menceraikan Perempuan Asing
Menurut Ezra 9-10 )
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang dikemukakan di atas, rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Mengapa dalam Kitab Ezra mengharuskan adanya perceraian terhadap perempuan asing?
2. Bahaya apakah yang ditimbulkan oleh perempuan asing, sehingga mereka harus
disingkirkan dari komunitas ?
C. Tujuan Penelitian
Dari perumusan masalah tersebut, maka tujuan yang akan dicapai melalui penelitian
ini adalah ;
1. Menganalisis Kitab Ezra yang mengharuskan adanya perceraian dengan perempuan
asing.
2. Mengidentifikasi bahaya yang ditimbulkan oleh perempuan asing, sehingga mereka
harus disingkirkan dari komunitas.
D. Batasan Masalah
Untuk menghindari berbagai pemahaman lain diluar penulisan tesis ini, maka penulis
merasa perlu untuk memberi batasan yang jelas tentang ruang lingkup penelitian. Penelitian
ini berfokus pada hukum-hukum atau aturan dalam Kitab Ezra 9-10 yang mengharuskan
perceraian terhadap perempuan asing.
E. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini antara lain:
1. Manfaat Teoritis:
-
Memberikan gagasan pemikiran yang baru (sebagai referensi) bagi masyarakat
pada umumnya dan bagi umat Kristen pada khususnya menyangkut perceraian
terhadap perempuan asing dalam Ezra 9-10.
2. Manfaat Praktis:
-
Mengembangkan ilmu berteologi, khususnya studi Biblika dalam PL untuk
menjadi teolong yang lebih baik dengan memberikan sebuah teori baru yang kritis
terhadap teks Kitab Suci.
-
Mengajak pembaca pada umumnya dan umat Kristen pada khususnya untuk
membaca teks kitab suci tidak secara harafiah melainkan dengan sikap kritis.
Membaca teks secara baru diperlukan, sehingga makna dari teks kitab suci dapat
diterima dengan baik untuk pertumbuhan iman.
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Pendekatan
Adapun jenis pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini yaitu pendekatan
kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan data yang dinyatakan
secra verbal kulifikasi bersifat teoritis.14 Data berfungsi sebagai bukti dalam menguji
kebenaran atau tidak kebenaran hipotesi, pengolahan data dilakukan secara rasional dengan
mempergunakan pola berfikir tertentu menurut hukum logika. Pendekatan secara kualitatif ini
menyusun model yang secara berkelanjutan disesuaikan dengan fakta di lapangan.
Pendekatan ini mendefinisikan validitas, reabilitas, dan objektivitas dengan versi yang
berbeda dari kebiasaan yang sering digunakan dalam penelitian-penelitian klasik.15
2. Metode Penelitian
Data akan dianalisa melalui studi hermeneutik. Studi hermeneutik merupakan model
interpertasi dan eksplanasi; khususnya studi tentang prinsip-prinsip unum dari interpretasi
kitab suci.16 Analisa data ini diharapkan dapat memberikan makna (making sense of) terhadap
data, menafsirkan (interpreting), atau mentransfomasikan (transforming) data yang akhirnya
sampai pada kesimpulan-kesimpulan.17
Studi hermeneutik yang diguanakan dalam penelitian ini adalah metode feminis dan
sosio-historis. Elizabeth Schüssler Fiorenza dalam J. B. Banawiratma menyebutkan bahwa
feminisme bukan sekedar pandangan hidup atau perspektif teoritis, tetapi suatu pembebasan
kaum perempuan menuju perubahan sosial dan gerejani. Dengan demikian, pendekatanpendekatan terhadap teks Alkitab dengan menggunakan perspektif ini dapat membebaskan
kaum perempuan dan merekonstruksi perannya dari berbagai penafsiran yang dirumuskan
dalam bahasa androsentris.18 Metode sosio-historis berkaitan dengan “sejarah dalam teks”
dan “sejarah dari teks”. Pendekatan sejarah dan sosial merupakan dua pendekatan yang
14
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yokyakarta: Gadjah Mada University Press,
1983), 32.
15
16
Lexy J. Moleong., Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), 7.
Richard E. Palmer, Hermeneutik: Teori Baru Mengenai Interpertasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005), 4.
17
Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif (Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2008),101.
J. B. Banawiratma, “Beberapa Tantangan terhadap Usaha Bertologi Dewasa ini,” dalam Budi
Susanto, ed, Teologi dan Praksis Komunitas Post Modern (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 42.
18
berbeda namun saling melengkapi, pendekatan ini digunakan untuk merekonstruksi
kehidupan Israel Kuno. Pendekatan sosial bertujuan untuk memahami hubungan-hubungan
perempuan dengan komunitas sosial dan bagaimana peran-peran mereka yang berhubungan
dengan berbagai aturan-aturan dalam Israel kuno.
Jadi metode hermeneutik dengan pendekatan sosio-historis adalah cara untuk melihat
berbagai latar belakang sejarah dan juga situasi atau keadaan sosial yang terjadi pada masa
atau zaman tertentu, dengan lebih mendalam.19
3. Teknik Pengumpulan Data
Dengan demikian, pendekataa sosio-feminis merupakan cara untuk melihat teks
penelitian ini dari sudut pandang pembaca pada masa kini dan tidak terlepas dari berbagai
latar belakang sejarah serta situasi yang terjadi pada masa tertentu sehingga mempengaruhi
teks. Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa studi pustaka. Dengan demikian,
melalui metode ini diharapkan penulis dapat menganalisa dan memperoleh berbagai
informasi, khusunya yang berkaitan dengan masalah.
19
Norman K. Gottwald, Sociological Method in The Study of Acient Israel,” dalam Norman K.
Gottwald, ed., The Bible and Liberation; Polotical and Social Hermeneutucs (Marynoll-New York: Orbis
Books, 1983), 26-36.
Download