PENDAHULUAN Setiap organisme mempunyai sistem pertahanan alami untuk menjinakkan radikal bebas. Terbentuknya radikal bebas yang bersifat prooksidan (pemacu oksidasi) diimbangi oleh tubuh dengan membentuk antioksidan (penangkal oksidasi). Sejumlah enzim dalam tubuh bertindak sebagai penangkal radikal bebas, seperti glutation, superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase. Dalam keadaan sehat, jumlah antioksidan di dalam tubuh dapat mengimbangi radikal bebas. Namun, dalam keadaan tertentu seperti sakit, stres, pekerja keras yang melebihi takaran biasanya, perokok berat, peminum alkohol, dan kondisi lingkungan yang tidak sehat dan tercemar oleh polusi dapat mengganggu pertahanan tubuh terhadap radikal bebas. Keadaan ini disebut dengan stres oksidatif. Keadaan ini mendasari terjadinya berbagai penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas seperti penyakit kanker, jantung koroner, dan penyakit degeneratif lainnya (Astawan 2009). Untuk meminimumkan efek buruk dari stres oksidatif dibutuhkan suplemen antioksidan dari luar tubuh. Kanker merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas dan telah menjadi penyakit yang sangat ditakuti saat ini. Kanker merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia maupun di Indonesia. Di dunia, 12% kematian disebabkan oleh kanker dan menjadi pembunuh nomor 2 setelah penyakit kardiovaskular (Kemenkes 2012). Berdasarkan data dari survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 2002, kanker menjadi penyakit penyebab kematian keenam di Indonesia. Sekitar 70 persen penderita kanker mulut rahim (serviks) baru menyadari terkena kanker dan berobat ke rumah sakit dalam kondisi kanker stadium lanjut (Soehartati 2012). Akhir-akhir ini, berbagai metode terapi penyakit kanker telah banyak dilakukan, salah satu di antaranya ialah kemoterapi. Kemoterapi menghambat pertumbuhan kanker dengan menghambat proliferasi atau membunuh sel kanker tersebut. Namun, metode ini tidak efektif. Ketidakefektifan metode ini disebabkan oleh kesulitan dalam mendesain senyawa kemoterapi yang mempunyai aktivitas antikanker tinggi, tetapi efek sampingnya rendah terhadap sel normal (Gibbs 2000). Kesulitan ini menyebabkan penelitian antikanker dari bahan alam banyak dilakukan. Obat dari bahan alam menjadi solusi terbaik dalam mencegah dan mengobati kanker karena lebih aman dan menimbulkan efek samping yang lebih kecil bila dibandingkan dengan kemoterapi (Djadjanegara & Wahyudi 2010). Secara empiris, bagian buah tanaman tin (Ficus carica L.) telah digunakan sebagai antioksidan dan antikanker. Buah tin merupakan sumber penting komponen bioaktif seperti fenol, benzaldehida, terpenoid, flavonoid, dan alkaloid yang memiliki sifat antioksidan dan telah menunjukan efek hambat in vitro terhadap proliferasi berbagai sel kanker (Joseph & Raj 2011). Daun tin mengandung flavonoid, steroid/triterpenoid, alkaloid, dan tanin (Sirisha et al. 2010; Krishna et al. 2007). Menurut Sidi (2010), daun tin digunakan untuk mengobati penyakit batu ginjal karena mengandung alkaloid dan saponin yang bermanfaat sebagai diuretik. Belum ada laporan ilmiah pemanfaatan ekstrak daun tin sebagai obat antikanker, hanya sebatas sebagai obat antikanker yang digunakan sebagai obat luar dan dijelaskan dalam kitab klasik karangan Ibnu Sina (Lanskya et al. 2008). Penelitian ini bertujuan menentukan aktivitas antioksidan dan aktivitas hambat proliferasi sel kanker HeLa dari fraksi ekstrak teraktif daun tin. TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Tin (Ficus carica L.) Dalam bahasa Inggris, tanaman tin (Gambar 1) disebut fig. Kebanyakan orang sering menyebutnya sebagai tanaman ara. Tanaman ini mempunyai nama Latin Ficus carica L. Tanaman yang telah ada sekitar ribuan tahun lalu ini dapat tumbuh subur dan berbuah lebat di tengah terik matahari, bahkan di padang pasir sekalipun. Oleh karena itu, tanaman ini terkadang disebut pohon kehidupan. Tanaman ini juga dapat ditemukan di daerah beriklim kontinental dengan musim panas (Sobir & Mega 2011). Tanaman tin berasal dari Asia Barat, tumbuh di daerah pantai Balkan hingga Afganistan (Nix 2010). Tanaman tin juga dapat tumbuh di Asia Tenggara, toleran terhadap kekeringan dan suhu dingin (-9 ºC), tetapi tetap membutuhkan unsur-unsur hara yang optimum untuk menjaga mutu buahnya. Pertumbuhannya membutuhkan pencahayaan sebagian atau penuh, dan kelembapan ratarata hingga kering.