Prosiding SENTIA 2016 – Politeknik Negeri Malang Volume 8 – ISSN: 2085-2347 PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT Rochadi Santoso [email protected] STIE Ekuitas Bandung Abstrak Perjanjian dan agunan kredit merupakan suatu hal yang lumrah dan sudah biasa dilakukan dalam dunia perbankan, perjanjian dan agunan kredit selalu melibatkan dua belah pihak yaitu pihak bank sebagai peminjam dan pihak debitur sebagai pihak peminjam. Dalam pelaksanaan proses simpan pinjam seringkali debitur mengeluhkan tentang ketidakpahaman mereka akan ikatan perjanjian dan agunan kredit yang dibuat oleh pihak bank, padahal pemahaman tersebut sangat diperlukan oleh debitur agar terjalin rasa percaya antara bank dan debitur. Pihak bank perlu menjelaskan dengan detail, rinci, singkat dan mudah dimengerti tentang perjanjian yang akan dibuat, hal tersebut bertujuan untuk menghindari kesalahpahaman debitur. Pihak bank pun perlu menjelaskan tentang kegunaan agunan kredit dan menjelaskan kepada debitur tentang penilaian nilai agunan apabila debitur menanyakannya. Perlu diyakinkan kepada debitur bahwa perjanjian yang dibuat telah sesuai dengan undang-undang pemerintah. Kata kunci : Agunan, debitur mengenai besarnya hutang yang diterima dari kreditur dan belum dibayar. Surat pengakuan hutang dibuat secara tertulis dengan akta notaris supaya autentik, dipercaya kebenarannya, dan mempunyai nilai pembuktian yang sempurna. • Dengan adanya suatu Perjanjian Kredit maka terjadi suatu Perikatan antara kreditur dan debitur. Perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak didalam lapangan harta kekayaan dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak yang lainnya berhak menerima prestasi itu. • Dari rumusan itu dapat disimpulkan unsur-unsur perikatan, yaitu : 1. Adanya hubungan hukum, yaitu hubungan yang menimbulkan akibat hukum antara dua pihak / lebih. 2. Dua Pihak, yaitu dalam perikatan setidaktidaknya ada dua pihak, yang satu pihak berhak untuk menuntut kepada pihak yang lain, berarti pihak yang satu memiliki hak dan pihak yang lain mempunyai kewajiban. Tidak menutup kemungkinan, bahwa dalam perikatan lebih dari dua pihak, artinya terdapat lebih dari seorang kreditur dan lebih dari seorang debitur. 3. Harta Kekayaan, artinya hubungan hukum dua pihak tsb harus terletak dalam lapangan kekayaan, seperti perjanjian, kepemilikan, gadai dsb. 4. Adanya Prestasi. Prestasi adalah sesuatu yang harus dipenuhi atau dilaksanakan oleh masing- masing pihak dalam perikatan tsb. Menurut pasal I. Pendahuluan Sebagaimana kita ketahui bersama, sesuai dengan Undang-undang RI No.7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang RI No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, disebutkan bahwa bank adalah sebagai berikut : 1. Sebagai penghimpun dana dalam bentuk Simpanan, 2. Sebagai penyalur dana dalam bentuk Kredit, 3. Sebagai penyedia jasa dalam Transaksi Keuangan. Berdasarkan Instruksi Presedium Kabinet No.15/EK/IN/10/1966 tanggal 10 Oktober 1966 secara tegas menyebutkan bahwa “Dilarang melakukan pemberian kredit tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara Bank dengan Debitur atau antara Bank Sentral dan Bank-bank lainnya”. Hal ini dipertegas kembali oleh Surat Edaran Bank Indonesia No.03/1093/UPK/KPD yang ditujukan kepada bank Devisa tanggal 29 Desember 1970, butir 4 menyebutkan : untuk pemberian kredit harus dibuat surat perjanjian kredit. II. Perjanjian Kredit • Dengan adanya pemberian kredit, maka terjadi adanya perjanjian utang piutang antara kreditur dan debitur. Pada prinsipnya perjanjian tersebut tidak selalu harus tertulis, dengan lisanpun perjanjiannya tetap sah dan mengikat bagi para pembuatnya dan hal ini berlaku sebagai undangundang bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut. • Dengan demikian surat pengakuan hutang merupakan pernyataan sepihak dari debitur H-30 Prosiding SENTIA 2016 – Politeknik Negeri Malang 1234 KUHPerdata, prestasi itu dapat berupa : a. Memberikan atau menyerahkan sesuatu, Misalnya : Jual-beli; Sewa-menyewa dll. b. Berbuat sesuatu, Misalnya : Perjanjian membuat lukisan c. Tidak berbuat sesuatu.Misalnya : Perjanjian tidak mendirikan, tembok, Perjanjian tidak mendirikan perusahaan sejenis dll. Volume 8 – ISSN: 2085-2347 1. Perjanjian diberi nama perjanjian kredit, 2. Perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis. • Perjanjian kredit merupakan ikatan atau bukti tertulis perjanjian antara Bank dengan Debitur disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap orang mudah untuk mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian kredit. • Perjanjian kredit termasuk salah satu jenis / bentuk akta yang dibuat sebagai alat bukti. Dalam praktek Bank terdapat 2 (dua) bentuk perjanjian kredit, yaitu : 1. Perjanjian Kredit yang dibuat di bawah tangan dinamakan akta di bawah tangan. Artinya perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh Bank (dalam bentuk standard / standaard form) kemudian ditawarkan kepada Debitur untuk disepakati dan ditanda-tangani antara Bank dan Debitur. Bentuk perjanjian kredit yang dibuat sendiri oleh Bank tersebut termasuk jenis Akta Dibawah Tangan. III. Syarat Sahnya Perjanjian Berdasarkan pasal 1320 KUHPerdata disebutkan bahwa syarat untuk sahnya suatu perjanjian adalah sbb.: 1. Sepakat mereka untuk mengikatkan dirinya 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian, 3. Mengenai hal atau obyek tertentu, 4. Suatu sebab (causal) yang halal. • Syarat ke 1 dan syarat ke 2 disebut syarat subyektif, karena menyangkut orang atau pihak-pihak yang membuat perjanjian, sebagai subyek yang membuat perjanjian. • Syarat ke 3 dan syarat ke 4 disebut sebagai syarat obyektif, karena menyangkut mengenai obyek yang diperjanjikan oleh orang-orang atau subyek yang membuat perjanjian. Menurut beberapa pendapat bahwa Perjanjian Kredit dikuasai oleh ketentuan-ketentuan KUHPerdata, karena perjanjian kredit mirip dengan perjanjian pinjam uang / pinjam meminjam. KUHPerdata pasal 1754 menyebutkan bahwa Pinjam Meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barangbarang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula. Mengacu pada Pasal 1 ayat 11 UU RI No.7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU RI No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, disebutkan bahwa kredit adalah … penyediaan uang atau tagihan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain. • Instruksi Presedium Kabinet No.15/EK/IN/10/1966 tanggal 10 Oktober 1966 secara tegas menyebutkan bahwa “Dilarang melakukan pemberian kredit tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara Bank dengan Debitur atau antara Bank Sentral dan Bank-bank lainnya. • Surat Bank Indonesia No.03/1093/UPK/KPD yang ditujukan kepada bank Devisa tanggal 29 Desember 1970, butir 4 menyebutkan : untuk pemberian kredit harus dibuat surat perjanjian kredit. Dengan keputusan-keputusan tersebut, pemberian kredit oleh Bank kepada Debitur menjadi pasti, bahwa : 2. Perjanjian Kredit yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris yang dinamakan Akta Otentik atau Akta Notariil. Dalam perjanjian ini yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah seorang Notaris. Dalam perjanjian kredit di bawah Tangan terbagi dalam 2 (dua) kemungkinan, yaitu yang disebut Legalisasi dan Waarmerking a. Legalisasi • Supaya akta dibawah tangan tidak mudah dibantah atau disangkal kebenaran tandatangan yang ada dalam akta tersebut dan untuk memperkuat pembuktian formil, materiil, dan pembuktian di depan hakim / pengadilan, maka akta yang dibuat dibawah tangan sebaiknya dilakukan Legalisasi. • Legalisasi artinya menyatakan kebenaran yaitu pernyataan benar dengan jalan memberi pengesahan oleh pejabat yang berwenang atas akta dibawah tangan meliputi tandatangan, tanggal dan tempat dibuatnya akta dan isi akta. • Dengan adanya legalisasi, maka para pihak yang membuat perjanjian dibawah tangan tidak dapat mengingkari lagi keabsahan tandatangan, tempat dan tanggal dibuatnya akta, karena isi akta dibawah tangan dibacakan dan diterangkan sebelum para pihak membubuhkan tandatangannya. • Legalisasi akta dibawah tangan oleh Notaris, maka kekuatan hukum akta-akta dibawahtangan yang dilegalisasi secara yuridis tidak mengubah status alat bukti dari akta dibawah tangan menjadi akta otentik. Akta dibawah tangan tetap bukan alat bukti yang sempurna. Tetapi sebagai alat bukti akta H-31 Prosiding SENTIA 2016 – Politeknik Negeri Malang dibawah tangan yang dilegalisasi berkekuatan hukum seperti akta otentik. • Dengan demikian akta dibawah tangan yang dilegalisasi mempunyai kekuatan hukum pembuktian seperti akta otentik, baik pembuktian materiil, formil dan pembuktian di depan hakim / pengadilan. • Pejabat yang diberikan wewenang untuk melakukan legalisasi yaitu : Notaris, Ketua Pengadilan Negeri, Bupati Kepala Daerah dan Walikota (sesuai ordonansi staatblad 1916 No.43 dan 46) b. Waarmerking • Selain legalisasi terhadap akta dibawahtangan, ada juga yang disebut Waarmerking. • Waarmerking dapat diartikan pengesahan, yaitu pengesahan atas akta dibawahtangan oleh pejabat berwenang yang ditunjuk oleh undang-undang atau peraturan lain. • Secara yuridis dalam waarmerking Notaris hanya sekedar mencatat perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak di dalam daftar yang disediakan untuk itu sesuai urutan yang ada. • Kekuatan hukum waarmerking secara yuridis tidak mengubah status alat bukti dari akta dibawahtangan menjadi akta otentik. Karena Notaris hanya melakukan pendaftaran dan pencatatan terhadap akta yang diajukan kepadanya dan pada prinsipnya Notaris tidak melakukan pengesahan apapun terhadap akta itu, sehingga tidak mengubah kekuatan akta dibawah tangan yang di waarmerking sebagai alat bukti seperti akta otentik. • Pejabat yang berwenang untuk melakukan waarmerking akta / surat adalah : Notaris, Ketua Pengadilan Negeri, Bupati Kepala Daerah dan Walikota. • Dengan mengetahui kekuatan pembuktian akta otentik dan akta dibawah tangan yang dilegalisasi atau di waarmerking, maka untuk memperoleh bukti yang sempurna dalam membuat perjanjian kredit, sebaiknya dibuat dengan akta otentik atau setidak-tidaknya akta dibawah tangan yang dilegalisasi. Misalnya perjanjian kredit yang nilainya besarbesar atau menengah dibuat dengan akta otentik. Sedangkan untuk kredit-kredit yang relatif nilainya kecil-kecil perjanjian kreditnya dibuat akta dibawah tangan dengan dilakukan legalisasi. Volume 8 – ISSN: 2085-2347 meminta agunan / jaminan tambahan berupa benda. Benda yang dimaksud dapat berupa benda tetap dan atau benda bergerak. Collateral (Jaminan atau Agunan) yaitu harta benda milik debitur atau pihak ke 3 yang diikat sebagai tanggungan / jaminan andaikata terjadi ketidak mampuan debitur untuk menyelesaikan hutangnya sesuai dengan yang telah diperjanjikan (sesuai dengan Perjanjian Kredit). Atau Collateral /agunan adalah barang-barang yang diserahkan calon debitur sebagai jaminan terhadap kredit yang diterimanya. Dalam pengertian hukum perbankan , istilah “jaminan” berbeda dengan istilah “agunan”. Sebagai pembanding dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Pokok-pokok Perbankan, tidak dikenal istilah agunan, yang ada adalah istilah jaminan. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, memberikan pengertian yang tidak sama dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967. Arti jaminan menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 diberi istilah “agunan” atau “tanggungan”, sedangkan jaminan menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, mempunyai pegertian yaitu : “keyakinan atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”. Dalam penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undangundang nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, menyatakan bahwa : Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitur. Sedangkan istilah agunan dalam pasal 1 angka 23 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 10 Tahun 1998, disebutkan sebagai berikut : “Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah”. Dengan pengertian tersebut di atas berarti, istilah “agunan” sebagai terjemahan collateral merupakan bagian dari istilah “jaminan” pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah. Berarti IV. Pengikatan Agunan Bank dalam memberikan kredit kepada masyarakat penuh dengan risiko, yaitu risiko tidak kembalinya kredit, sebagai akibat terjadinya wanprestasi debitur. Hal ini mengakibatkan tidak terbayarnya kredit secara keseluruhan atau sebagian yang menjurus kepada kredit Macet atau Kredit Bermasalah / Non Performing Loan. Untuk mengatasi risiko kemacetan tersebut bank biasanya H-32 Prosiding SENTIA 2016 – Politeknik Negeri Malang pengertiam “jaminan” lebih luas dari pada pengertian “agunan” , dimana agunan berkaitan dengan “barang” sementara “jaminan” tidak hanya berkaitan dengan “barang”, tetapi berkaitan pula dengan character, capacity, capital, dan condition of economy dari nasabah debitur yang bersangkutan. Sedangkan dalam pasal 1131 KUH Perdata, menyebutkan / memberikan pengertian bahwa : • “jaminan” adalah “segala kekayaan debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak , baik yang sudah ada, maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan bagi segala perikatannya”. Dengan kondisi tersebut, maka sebetulnya tidak ada kredit yang tidak terjamin, karena semua harta kekayaan debitur, baik yang sudah ada dan sudah dimiliki maupun yang akan ada / akan dimiliki, secara keseluruhan menjadi jaminan bagi perikatannya dengan krediturkreditur lain. Dalam perspektif hukum perbankan, agunan dibedakan atas 2 (dua) macam yaitu “agunan pokok” dan “agunan tambahan”. Hal ini dapat dilihat dalam Penjelasan atas pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Agunan Pokok adalah barang, surat berharga, atau garansi yang berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan, seperti barang yang dibeli dengan kredit yang dijaminkan, proyek yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan, maupun tagihan debitur. Sedangkan Agunan Tambahan adalah barang, surat berharga, atau garansi yang tidak berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan, yang ditambahkan sebagai agunan. • Dengan keterangan-keterangan tersebut di atas, maka timbul pengertian Jaminan / Agunan sebagai berikut : • Jaminan Pokok, yaitu jaminan yang merupakan sumber daripada pengembalian hutang debitur dan atau merupakan sesuatu / barang-barang yang dibiayai dengan kredit / hutang, ini dapat berbentuk usaha dari debitur itu sendiri. • Jaminan Tambahan, yaitu barang / benda yang diserahkan debitur kepada kreditur sebagai sumber pengembalian hutang debitur apabila debitur cidera janji atau wanprestasi, ini dapat berbentuk barang / benda di luar usaha debitur. Volume 8 – ISSN: 2085-2347 menyebutkan bahwa Hukum kebendaan berkaitan erat dengan hukum keperdataan, hal ini disebabkan hukum benda merupakan salah satu bidang hukum dari hukum perdata (Frieda Husni Hasbullah, 2002, 7). • Dengan demikian hukum kebendaan merupakan salah satu subsistem dari hukum harta kekayaan, yaitu segala ketentuan hukum yang mengatur hubungan hukum antara seseorang dengan objek dari hak milik atau dengan kata lain hukum kebendaan adalah ketentuan hukum yang mengatur mengenai kebendaan. • Jaminan / Agunan , terbagi : 1. Jaminan Perorangan 2. Jaminan Kebendaan : a. Tidak Berwujud b. Berwujud : b.1. Barang Bergerak b.2. Barang Tidak Bergerak VI. Fungsi Jaminan / Agunan Jaminan /agunan ini biasanya mempunyai fungsi, antara lain, yaitu : a. Sebagai pembayar hutang / kredit apabila debitur tidak mampu melunasi hutangnya / kreditnya dengan jalan menjual / melelang agunan / jaminan. b. Sebagai akibat dari fungsi pertama, merupakan salah satu faktor penentu jumlah kredit yang diberikan (kecuali dalam hal-hal khusus, seperti kredit program dll) c. Sebagai pendorong motivasi debitur. Dengan adanya pengikatan jaminan kredit oleh bank, debitur merasa takut akan kehilangan hartanya. Hal ini akan mendorong debitur untuk berupaya segera melunasi kreditnya kepada bank sesuai yang telah diperjanjikan. VII. Prinsip-prinsip/ Azas Jaminan / Agunan Jaminan harus memenuhi syarat2 sebagai jaminan / agunan. Azas tersebut dikenal dengan Mast Principles, yaitu : a. Marketability, adanya pasaran yang cukup luas atas jaminan tersebut sehingga banyak calon pembeli. b. Ascertainability of Value, dimaksudkan agar jaminan yang diberikan mempunyai suatu standard harga tertentu. c. Stability of Value, jaminan yang diberikan hendaknya tidak menurun harganya bahkan kalau mungkin terus meningkat / naik dimasa yang akan datang. Jadi arti stabil tidak merosot / turun harganya. d. Transferability, jaminan yang diberikan harus mudah dipindahtangankan baik secara phisik maupun secara yuridis. V. Macam dan Jenis Jaminan / Agunan • Macam dan jenis jaminan / agunan ini pada dasarnya tidak terlepas dari hukum kebendaan. Rahmadi Usman dalam bukunya Hukum Jaminan Keperdataan (halaman 27), H-33 Prosiding SENTIA 2016 – Politeknik Negeri Malang jaminan atas utang dari pihak peminjam dan pihak yang mengikatkan dirinya disebut penanggung atau penjamin. VIII. Macam-macam / Jenis-jenis Pengikatan Agunan Dalam ketentuan KUHPerdata yang mengatur tentang prinsip-prinsip hukum jaminan, lembaga jaminan (Gadai dan Hipotek) dan mengatur tentang penanggungan utang, dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada yang berpiutang untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya, dengan mengecualikan biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya tersebut harus didahulukan (pasal 1150 KUHPerdata). 4. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, mengatur lembaga jaminan yang disebut Hak Tanggungan. Lembaga jaminan Hak Tanggungan digunakan untuk mengikat objek jaminan utang yang berupa tanah atau bendabenda yang berkaitan dengan tanah yang bersangkutan. Dengan berlakunya Undang-undang No.4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, maka Hipotek yang diatur oleh KUHPerdata dan crediet verband yang sebelumnya digunakan untuk mengikat tanah sebagai jaminan utang, selanjutnya tidak dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengikat tanah sebagai jaminan utang atau dengan kata lain sejak dikeluarkannya UU No.4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan pada tanggal 9 April 1996, pengikatan objek jaminan utang berupa tanah sepenuhnya dilakukan melalui lembaga jaminan hak tanggungan. 2. Hipotek Lembaga Jaminan yang diatur oleh ketentuan KUHPerdata, pasal 1162 sampai dengan pasal 1232 adalah hipotek. Dengan keluarnya Undangundang No.4 tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, objek jaminan utang yang berupa tanah sudah tidak dapat diikat dengan hipotek. Hipotek pada saat ini hanya dapat digunakan untuk mengikat objek jaminan utang yang ditunjuk oleh ketentuan peraturan perundang undangan yang lain. Misalnya objek jaminan utang yang berupa kapal laut yang berukuran 20 M3 atau lebih dan berbendera Indonesia diikat dengan hipotek. 3. Volume 8 – ISSN: 2085-2347 5. Undang-undang No.42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia Undang-undang No.42 Tahun 1999 adalah tentang lembaga jaminan yang disebut jaminan fidusia. Jaminan fidusia adalah lembaga jaminan yang dapat digunakan untuk mengikat objek jaminan yang berupa barang bergerak dan barang tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. Objek jaminan fidusia tetap dalam penguasaan pemiliknya. Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu barang atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa barang yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemiliknya. Dalam undang-undang ini barang sebagai objek jaminan fidusia disebut benda. Ciri-ciri jaminan fidusia di antaranya adalah memberikan hak kebendaan, memberikan hak didahulukan kepada kreditur, memungkinkan kepada pemberi jaminan fidusia untuk tetap menguasai objek jaminan utang, memberikan kepastian hukum dan mudah di-eksekusi. Penanggungan Utang Penanggungan Utang diatur dalam KUHPerdata dalam pasal 1820 sampai dengan pasal 1850. Penanggungan utang merupakan jaminan utang yang bersifat perorangan, namun dalam pelaksanaannya dapat diartikan pula dapat diberikan oleh suatu badan. Dalam praktek seharihari penanggungan utang ini lazim disebut dengan borgtocht. Penanggungan utang adalah : Suatu persetujuan yang dibuat oleh seorang pihak ketiga untuk kepentingan pihak pemberi pinjaman dengan mengikatkan dirinya guna memenuhi perikatan peminjam bila pihak peminjam wanprestasi terhadap pihak pemberi pinjaman (pasal 1820 KUHPerdata). Dengan demikian penanggung utang adalah suatu perjanjian penjaminan utang yang sangat terkait kepada perorangan (individu atau badan hukum) yang mengikatkan dirinya sebagai 6. Cessie Penyerahan (levering) benda yang bergerak pada umumnya dilakukan dengan penyerahan yang nyata (feiteliijke levering), kecuali benda tidak berwujud dilakukan dengan Cessie, sebagaimana diatur dalam Pasal 612 dan Pasal 613 KUHPerdata. Penyerahan nyata tersebut sekaligus penyerahan yuridis (juridische levering). H-34 Prosiding SENTIA 2016 – Politeknik Negeri Malang Penilaian jaminan /agunan ini meliputi jenis jaminan, lokasi, bukti kepemilikan, dan status hukumnya. Pada hakikatnya bentuk jaminan tidak hanya berbentuk kebendaan, tetapi juga yang tidak berwujud. Penilaian jaminan / agunan dapat dilihat dari 2 (dua) segi yaitu : a. Segi Ekonomis, yaitu nilai ekonomis dari barang barang yang akan digunakan. b. Segi Yuridis, yaitu apakah jaminan tersebut memenuhi syarat-syarat yuridis untuk digunakan / dipakai sebagai jaminan Volume 8 – ISSN: 2085-2347 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Undang-undang No.4 tahun 1996 tentang Hak dan Tanggungan Undang-undang No.42 Jaminan Fidusia IX Kesimpulan 1. Perjanjian kredit yang dibuat oleh pihak bank seluruhnya telah mengacu kepada KUH Perdata dan Undang undang . 2. Debitur berhak mendapat penjelasan tentang isi perjanjian kredit, sebelum debitur menandatangani surat perjanjian. 3. Penilaian suatu agunan dapat dilihat dari segi ekonomi dan yuridis. DAFTAR PUSTAKA KUH Perdata Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Pokok-pokok Perbankan H-35 Tahun 1999 Tentang