PERKEMBANGAN PERBANKAN SYARIAH DALAM MENGHADAPI TANTANGAN ZAMAN Nurul Ichsan Abstrak Tulisan ini mengulas tentang perjalanan perbankan syariah nasional yang mau tak mau harus sanggup menjadi pemain di negara sendiri dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia, akan tetapi memiliki kualitas yang sangat lemah di bidang ekonomi. Pada akhirnya, impian untuk adanya sistem perbankan syariah dapat diwujudkan oleh masyarakat muslim yang peduli dengan hukum Allah, dengan lahirnya perbankan syariah yang modern, yang bersifat universal, terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Sebuah sistem perbankan yang diimpikan itu adalah suatu sistem perbankan yang menghadirkan bentuk-bentuk aplikatif dari konsep ekonomi syariah yang dirumuskan secara bijaksana dalam konteks modern sehingga diharapkan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia dan dapat merubah sejarahnya. Perjalanan ini baru dimulai sehingga banyak tantangan dan rintangan yang dihadapai, semoga bangsa Indonesia dapat menikmati layanan sistem perbankan syariah yang lebih baik dan nyaman serta memiliki dukungan kuat dari pemerintah di masa masa selanjutnya. A. PENDAHULUAN Islam yang berarti keselamatan merupakan satu-satunya agama yang sifatnya universal dan memiliki kesempurnaan di segala aspek yang dapat diaplikasikan oleh manusia dalam kehidupannya. Agama Islam tidak hanya untuk satu kaum, tidak hanya untuk satu bangsa, Islam menampung semua, ras semua bangsa, semua manusia yang hidup di muka bumi. Agama Islam merupakan agama yang di bawa oleh Nabi Adam As, Ibrahim AS sehingga terakhir oleh Baginda Muhammad SAW. Islam adalah agama samawi yang turun dari Allah SWT bukan agama atau jalan hidup yang lahir dari ide dan pengalaman spiritual seseorang, bukan agama buatan manusiaIslam melarang seluruh manusia untuk berbuat keji sesama manusia lainnya, termasuk kekejian yang lahir dari sistem rente, bunga, interest atau riba. Islam amat sangat membenci dan memerangi sistem riba yang ada di muka bumi ini dengan bentuk dan jenisnya yang beragam, seperti dalam sistem perdagangan dan ekonomi saat ini. Apalagi sistem keuangan modern saat ini seperti dunia perbankan, dunia yang penuh dengan sistem bunga amatlah sulit pada awalnya kita bicara perbankan bebas bunga. Tapi mungkin karena banyak merugikan manusia maka manusia mulai melirik dan melihat sistem perdagangan yang sudah lama diajarkan Islam dari abad ke enam Masehi yaitu sistem bagi hasil “Profit Lost Sharing” yang sekarang kelihatannya menurut pengamatan mereka lebih menguntungkan banyak manusia daripada merugikan manusia Maka lahirlah kini perbankan dengan sistem bagi hasil yang sekarang lebih dikenal dengan bank syariah yang makin hari makin mempesona dan cantik, makin terlihat gagah dan mempesona dan akhirnya banyak yang membuka cabang atau bahkan membuat baru bank syariah walaupun bank yang membuka sistem perbankan syariah ini belum tentu sama “niatnya” dengan orang orang yang memerangi riba. Sehingga kini berkembanglah perbankan syariah di tanah air Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim dengan ekonomi yang mayoritas dikuasai non muslim, Alhamdulillah. Akan tetapi dengan makin berkembangnya sistem perbankan bebas bunga yang diterapkan oleh bank syariah, kian hari maka makin terasa berat dan mulai terlihat benih benih hasil perjuangan ummat Islam dalam mewujudkan perbankan syariah yang murni syariah. Sepanjang rentang waktu itu rintangan dan tantangan terus dilewati, sampai sekarang tahun 2012 ini jelas terlihat munculnya bank bank syariah yang berasal dari bank konvensional, ada bank BCA syariah yang dikenal dengan “Bank Cina Asli” dimana dulu mungkin dua puluh tahun yang lalu tidak terfikir oleh kita akan munculnya BCA syariah. Begitu juga dengan lembaga keuangan syariah lainnya seperti pegadaian syariah dan BMT yang makin hari makin semarak dan banyak jumlahnya dengan aset dan nilai transaksi yang tidak sedikit. Hal ini jelas menggambarkan adanya kata “syariah” menimbulkan makin jelasnya umat Islam dalam perjuangan menegakkan hukum Allah di muka bumi, khususnya dalam bidang ekonomi semoga perjuangan mereka mereka yang ingin menegakkan hukum Allah ini mendapatkan keredaan dan balasan di sisi Allah SWT, amin. B. SEKILAS PROSES PEMBENTUKAN BANK SYARIAH Konsep teoritis mengenai Bank Islam modern muncul pertama kali pada tahun 1940an, dengan gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil. Berkenaan dengan ini dapat disebutkan pemikiran-pemikiran dari penulis antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang lebih terperinci mengenai gagasan pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul A’la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962) . Secara kelembagaan yang merupakan Bank Islam pertama adalah Myt-Ghamr Bank. Didirikan di Mesir pada tahun 1963, dengan bantuan permodalan dari Raja Faisal Arab Saudi dan merupakan binaan dari Prof. Dr. Abdul Aziz Ahmad El Nagar. Myt-Ghamr Bank dianggap berhasil memadukan manajemen perbankan Jerman dengan prinsip muamalah Islam dengan menerjemahkannya dalam produk-produk bank yang sesuai untuk daerah pedesaan yang sebagian besar orientasinya adalah industri pertanian. Namun karena persoalan politik, pada tahun 1967 Bank Islam Myt-Ghamr ditutup. Kemudian pada tahun 1971 di Mesir berhasil didirikan kembali Bank Islam dengan nama Nasser Social Bank, hanya tujuannya lebih bersifat sosial daripada komersil.1 Alergi Politik terhadap perbankan Islam tidak hanya terjadi di Mesir, tetapi juga di beberapa belahan dunia Islam lainnya. Perbankan Islam seringkali tidak dipercaya karena diduga punya kaitannya dengan gerakan fundamentalis Islam. Hal ini juga terjadi di Indonesia yang mayoritas beragama Islam tetapi dikuasai ekonominya oleh orang non Islam sehingga negara Indonesia termasuk terlambat dalam hal penegakan hukum perbankan syariah dan tidak ada swasta yang dapat mendirikan bank swasta yang bersifat bebas bunga. Bank Islam pertama yang bersifat swasta adalah Dubai Islamic Bank, yang didirikan tahun 1975 oleh sekelompok usahawan muslim dari berbagai negara. Pada tahun 1977 berdiri dua bank Islam dengan nama Faysal Islamic Bank di Mesir dan Sudan. Dan pada tahun itu pula pemerintah Kuwait mendirikan Kuwait Finance House. 2 Secara internasional, perkembangan perbankan Islam pertama kali diprakarsai oleh Mesir. Pada Sidang Menteri Luar Negeri Negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi Pakistan bulan Desember 1970, Mesir mengajukan proposal berupa studi tentang pendirian Bank Islam Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan (International Islamic Bank for Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of Islamic Banks). Inti usulan yang diajukan dalam proposal tersebut adalah 1 Zainul Arifin, memahami Bank Syariah, Alvabet, Jakarta, 2000, h.11, lihat juga di buku Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, PT Grafindo Persada, Jakarta, 2010, h. 23 2 Mervyn K. Lewis & Latifa M. Algaoud, Perbankan Syariah , Prinsip, Praktik, dan Prospek, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2001 bahwa sistem keuangan bedasarkan bunga harus digantikan dengan suatu sistem kerjasama dengan skema bagi hasil keuntungan maupun kerugian. 3 Proposal tersebut diterima, dan Sidang menyetujui rencana pendirian Bank Islam Internasional dan Federasi Bank Islam. Bahkan sebagai tambahan diusulkan pula pembentukan badan-badan khusus yang disebut Badan Investasi dan Pembangunan Negaranegara Islam (Investment and Development Body of Islamic Countries), serta pembentukan perwakilan-perwakilan khusus yaitu Asosiasi Bank-bank Islam (Association of Islamic Banks) sebagai badan konsultatif masalah-masalah ekonomi dan perbankan Islam . Pada Sidang Menteri Luar Negeri OKI di Benghazi, Libya bulan Maret 1973, usulan sebagaimana disebutkan di atas kembali diagendakan. Bulan Juli 1973, komite ahli yang mewakili negara-negara Islam penghasil minyak bertemu di Jeddah untuk membicarakan pendirian Bank Islam. Rancangan pendirian bank tersebut, berupa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dibahas pada pertemuan kedua, bulan Mei 1972. Pada Sidang Menteri Keuangan OKI di Jeddah tahun 1975 berhasil disetujui rancangan pendirian Islamic Development Bank (IDB) dengan modal awal 2 milyar dinar dan beranggotakan semua negara anggota OKI . Sidang Menteri Keuangan OKI di Jeddah 1975, menyetujui rancangan pendirian Bank Pembangunan Islami atau Islamic Development Bank (IDB) dengan modal awal 2 milyar SDR (Special Drawing Right). Semua negara anggota OKI menjadi anggota IDB. Kini, bank yang berpusat di Jeddah Arab Saudi itu telah memiliki lebih dari 43 negara anggotannya. 4 Pada tahun-tahun awal beroperasinya, IDB mengalami banyak hambatan karena masalah politik. Meskipun demikian, jumlah anggotanya makin meningkat, dari 22 menjadi 43 negara itu menunjukan hasil perjuangan yang serius dari para ekonom muslim. IDB juga terbukti mampu memainkan peran yang sangat penting dalam memenuhi kebutuhankebuuhan negara-negara Islam untuk pembangunan. Bank ini memberikan pinjaman bebas bunga untuk proyek infrastuktur dan pembiayaan kepada negara anggota berdasarkan partisipasi modal negara tersebut. Dana yang tidak dibutuhkan dengan segera digunakan bagi 3 Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, PT Grafindo Persada, Jakarta, 2010, h. 23, lihat juga M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori Pe Praktik, Jakarta, GIP, 2001, h. 21 4 ibid perdagangan luar negeri jangka panjang dengan menggunakan sistem murabahah dan ijarah.5 Sejak saat itu mendekati awal dekade 1980-an, Bank-bank Islam bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh dan Turki. Secara garis besar lembaga-lembaga perbankan Islam yang bermunculan itu dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni sebagai Bank Islam Komersial (Islamic Commercial Bank), seperti Faysal Islamic Bank (Mesir dan Sudan), Kuwait Finance House, Dubai Islamic Bank, Jordan Islamic Bank for Finance and Investment, Bahrain Islamic Bank dan Islamic International Bank for Finance and Development; atau lembaga investasi dengan bentuk international holding companies, seperti Daar Al-Maal Al-Islami (Geneva), Islamic Investment Company of the Gulf, Islamic Investment Company (Bahama), Islamic Investment Company (Sudan), Bahrain Islamic Investment Bank (Manama) dan Islamic Investment House (Amman). Di Indonesia diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan awal periode 1980-an, para tokoh yang terlibat dalam pilar tersebut adalah Karnaen Perwataatmadja, M Dawan Raharjo, A.M. Saefuddin, M. Amien Azis dan lain-lain. Beberapa uji coba pada skala yang relative terbatas telah diwujudkan. Di antaranya adalah Baitul Tamwil Salman, Bandung, yang sempat tumbuh mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa dalam bentuk koperasi, yakni koperasi Ridho Gusti. 6 Akan tetapi prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank Islam di Indonesia baru dilakukan pada tahun 1990. Majelis ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 agustus 1990 menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada musyawarah nasional IV MUI yang berlangsung di hotel Sahid Jaya Jakarta, 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat munas IV MUI, dibentuklah kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja yang disebut tim perbankan MUI, bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak terkait. 7 Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut di atas. Akte Pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada tanggal 1 November 5 M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori Pe Praktik, Jakarta, GIP, 2001, h.21 Ibid 7 Karnaen Perwataatmadja, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1992, h. 84 6 1991. Pada saat penandatanganan akte pendirian ini terkumpul pembelian saham sebanyak Rp84 miliar. Pada tanggal 3 November 1991, dalam acara silaturahmi Presiden Istana Bogor, dapat dipenuhi dengan total komitmen modal disetor awal sebesar Rp106.126.382.000,00. Dengan modal awal tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992, Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi. Hingga September 1999, Bank Muamalat Indonesia telah memiliki lebih 45 outlet yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya , Balikpapan , dan Makasar. Pada awal pendirian Bank Muamalat Indonesia, keberadaan bank syariah ini belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan nasional. Landasan hukum operasi bank yang menggunakan sistem syariah ini hanya dikategorikan sebagai “bank dengan sistem bagi hasil”, tidak terdapat rincian landasan hukum syariah serta jenisjenis usaha yang diperbolehkan. Hal ini sangat jelas tercermin dari UU No. 7 Tahun 1992, dimana pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil diuraikan hanya sepintas lalu dan merupakan “sisipan” belaka. Di Indonesia, bank syariah yang pertama didirikan pada tahun 1992 adalah bank Muamalat Indonesia. Walaupun perkembangannya “agak terlambat” tetapi bank syariah terus berkembang. Bila pada periode tahun 1992-1998 hanya ada satu unit Bank Syariah, maka pada tahun 2005 jumlah bank syariah di Indonesia bertambah menjadi 20 unit, yaitu 3 bank umum syariah dan 17 unit usaha syariah. Sementara itu, jumlah bank perkreditan rakyat (BPRS) hinnga akhir 2004 bertambah menjadi 88 buah.8 Kelahiran Bank Islam di Indonesia relatif terlambat dibandingkan dengan negaranegara lain sesama anggota OKI. Hal tersebut merupakan ironi, mengingat pemerintah RI yang diwakili Menteri Keuangan Ali Wardana, dalam beberapa kali sidang OKI cukup aktif memperjuangkan realisasi konsep bank Islam, namun tidak diimplementasikan di dalam negeri. KH Hasan Basri, yang pada waktu itu sebagai Ketua MUI memberikan jawaban bahwa kondisi keterlambatan pendirian Bank Islam di Indonesia karena political-will belum mendukung. Selanjutnya sampai diundangkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, BMI merupakan satusatunya bank umum yang mendasarkan kegiatan usahanya atas syariat Islam di Indonesia. Baru setelah itu berdiri beberapa Bank Islam lain, yakni Bank IFI membuka cabang Syariah 8 Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, PT Grafindo Persada, Jakarta, 2010 pada tanggal 28 Juni 1999, Bank Syariah Mandiri (BSM) yang merupakan konversi dari Bank Susila Bakti (BSB), anak perusahaan Bank Mandiri, serta pendirian lima cabang baru berupa cabang syariah dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Per bulan Februari 2000, tercatat di Bank Indonesia bank-bank yang sudah mengajukan permohonan membuka cabang syariah, yakni: Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh. Perkembangan perbankan syariah pada era reformasi ditandai dengan disetujuinya Undang-Undang No.10 Tahun 1998. Dalam Undang-Undang tersebut diatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Undang-Undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah. Peluang tersebut ternyata disambut antusias oleh masyarakat perbankan. Sejumlah bank mulai memberikan pelatihan dalam bidang perbankan syariah bagi para stafnya. Sebagian bank tersebut ingin menjajaki untuk membuka divisi atau cabang syariah dalam institusinya. Sebagian lainnya bahkan berencana mengkonversi diri sepenuhnya menjadi bank syariah. Hal demikian diantisipasi oleh Bank Indonesia dengan mengadakan “pelatihan Perbankan Syariah” bagi para pejabat Bank Indonesia dari segenap bagian, terutama aparat yang berkaitan langsung seperti DPNP (Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan), kredit, pengawasan , akuntansi , riset dan moneter. Contoh yang mengesankan adalah BSM (Bank Syariah Mandiri), Sebagai Bank Syariah, BSM merupakan bank milik pemerintah pertama yang melandaskan operasionalnya pada prinsip syariah. Secara struktural, BSM berasal dari Bank Susila Bakti (BSB), sebagai salah satu anak perusahaan di lingkup Bank Mandiri (ex BDN), yang kemudian dikonversikan menjadi bank syariah penuh. Dalam rangka melancarkan proses konversi menjadi bank syariah, BSM menjalin kerja sama dengan Tazkia Institute, terutama dalam bidang pelatihan dan pendampingan konversi. salah satu bank yang dimiliki oleh Bank Mandiri yang memiliki aset ratusan triliun dan networking yang sangat luas, BSM memiliki beberapa keunggulan komparatif dibanding pendahulunya. Demikian juga perkembangan politik terakhir di Aceh menjadi blessing in disguise kepada BSM untuk dikelola secara syariah. Langkah besar ini jelas akan menggelembungkan aset BSM dari posisi pada akhir tahun 1999 sejumlah Rp 400.000.000.000,00 (empat ratus miliar rupiah) menjadi diatas 2 hingga 3 triliun. Perkembangan ini diikuti pula dengan peningkatan jumlah cabang BSM, yaitu dari 8 menjadi lebih dari 20 buah. Perkembangan Bank syariah di Indonesia kini telah menjadi tolak ukur keberhasilan eksistensi ekonomi syariah. Perbankan syariah sebenarnya dapat menggunakan momentum ini untuk menunjukkan bahwa perbankan syariah benar-benar tahan dan kebal krisis dan mampu tumbuh dengan signifikan. Oleh karena itu perlu langkah-langkah strategis untuk merealisasikannya.Langkah strategis pengembangan perbankan syariah yang telah di upayakan adalah pemberian izin kepada bank umum konvensional untuk membuka kantor cabang Unit Usaha Syariah (UUS) atau konversi sebuah bank konvensional menjadi bank syariah. Langkah strategis ini merupakan respon dan inisiatif dari perubahan Undang – Undang perbankan no. 10 tahun 1998. Undang-undang pengganti UU no.7 tahun 1992 tersebut mengatur dengan jelas landasan hukum dan jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Tabel 1.1 Perkembangan Bank Syariah Indonesia 1998 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Indikasi KP/UUS KP/UUS KP/UUS KP/UUS KP/UUS KP/UUS KP/UUS KP/UUS BUS 1 2 3 3 3 3 5 6 UUS - 8 15 19 20 25 27 25 BPRS 76 84 88 92 105 114 131 139 Sumber : BI, Statistik Perbankan Syariah, 2009. Keterangan : BUS = Bank Umum Syariah UUS = Unit Usaha Syariah BPRS = Bank Perkreditan Rakyat Syariah KP/UUS = Kantor Pusat/Unit Usaha Syariah Tabel 1.1 menunjukkan perkembangan perbankan syariah berdasarkan laporan tahunan BI 2009 (Desember 2009). secara kuantitas, pencapaian perbankan syariah sungguh membanggakan dan terus mengalami peningkatan dalam jumlah bank. Jika pada tahun 1998 hanya ada satu Bank Umum Syariah dan 76 Bank Perkreditan Rakyat Syariah, maka pada Desember 2009 (berdasarkan data Statistik Perbankan Syariah yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia) jumlah bank syariah telah mencapai 31 unit yang terdiri atas 6 Bank Umum Syariah dan 25 Unit Usaha Syariah. Selain itu, jumlah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) telah mencapai 139 unit pada periode yang sama. Adapun nama-nama Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang ada di Indonesia tahun 2010 sekarang kurang lebih dari 16 antara lain seperti: 1. Bank BNI Syariah 2. Bank BRI Syariah 3. Bank Maybank Syariah Indonesia 4. Bank Mega Syariah Indonesia 5. Bank Muamalat Indonesia 6. Bank Syariah Bukopin 7. Bank Syariah Mandiri 8. Bank Victoria Syariah 9. Pan Indonesia Bank Syariah 10. CIMB Niaga Syariah 11. OCBC NISP Syariah 12. Bank Danamon Syariah 13. Bank Riau Kepri Syariah 14. BCA Syariah 15. Bank BJB Syariah 16. Bank Permata Syariah Adapun statistik terakhir tahun 2010 jumlah BUS menjadi 11, UUS menjadi 23 dengan jumlah kantor 300 dan BPRS sejumlah 150 dengan jumlah kantor 286. 9 Ini menunjukan betapa perjalan menuju pemurnian dunia perbankan berjalan semakin baik dan terus membaik sesuai dengan harapan kita umat Islam. Dengan demikian peluang kedepan 9 www.bi.go.id, tanggal akses 12 September 2012 jelas akan menunjukan eksistensi bank syariah akan bisa lebih dapat diterima oleh masyarakat luas di negara Indonesia. C. PERKEMBANGAN HUKUM PERBANKAN SYARIAH DI TANAH AIR Sebagaimana telah dikemukakan, secara teoritis Bank Islam baru dirintis sejak tahun 1940-an dan secara kelembagaan baru dapat dibentuk pada tahun 1960-an. Di Indonesia kenyataannya baik secara teoritis maupun kelembagaan, perkembangan Bank Islam bahkan lebih kemudian. Eksistensi Bank Islam secara hukum positif dimungkinkan pertama kali melalui Pasal 6 huruf m Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pasal 6 huruf m beserta penjelasannya tidak mempergunakan sama sekali istilah Bank Islam atau Bank Syariah sebagaimana dipergunakan kemudian sebagai istilah resmi dalam UUPI, namun hanya menyebutkan: “menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah." Di dalam Pasal 5 ayat (3) PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum pun hanya disebutkan frasa “Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil” dan di penjelasannya disebut “Bank berdasarkan prinsip bagi hasil”. Begitu pula dalam Pasal 6 ayat (2) PP No. 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat hanya menyebutkan frasa “Bank Perkreditan Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil” yang dalam penjelasannya disebut “Bank Perkreditan Rakyat yang berdasarkan bagi hasil”. Kesimpulan bahwa “bank berdasarkan prinsip bagi hasil” merupakan istilah bagi Bank Islam atau Bank Syariah baru dapat ditarik dari Penjelasan Pasal 1 ayat (1) PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam penjelasan ayat tersebut ditetapkan bahwa yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip muamalat berdasarkan Syari’at dalam melakukan kegiatan usaha bank. 10 Melihat ketentuan-ketentuan yang ada dalam PP No. 72 Tahun 1992, keleluasaan untuk mempraktekkan gagasan perbankan berdasarkan syariat Islam terbuka 10 Peri Umar Farouk, Sejarah Hukum Perbankan Syari'ah Di Indonesia lihat di www.inlawnesia.net seluas-luasnya, terutama berkenaan dengan jenis transaksi yang dapat dilakukan. Pembatasan hanya diberikan dalam hal : 1. Larangan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil (maksudnya kegiatan usaha berdasarkan perhitungan bunga) bagi Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil. Begitu pula Bank Umum atau BPR yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil dilarang melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil. 2. Kewajiban memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas melakukan pengawasan atas produk perbankan baik dana maupun pembiayaan agar berjalan sesuai dengan prinsip Syari’at, dimana pembentukannya dilakukan oleh bank berdasarkan hasil konsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada saat berlakunya UU No. 7 Tahun 1992, selain ketiga PP tersebut di atas tidak ada lagi peraturan perundangan yang berkenaan dengan Bank Islam. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa eksistensi Bank Islam yang telah diakui secara hukum positif di Indonesia, belum mendapatkan dukungan secara wajar berkenaan dengan praktek traksaksionalnya. Hal ini dapat dilihat misalnya dari tidak seimbangnya jumlah dana yang mampu dikumpulkan dibandingkan dengan penyalurannya di masyarakat. Bagi BMI tidak ada kesulitan untuk mengumpulkan dana berupa tabungan dan investasi dari masyarakat, namun untuk penyalurannya masih sangat terbatas, mengingat belum adanya instrumen investasi yang berdasarkan prinsip syariah yang diatur secara pasti, baik instrumen investasi di Bank Indonesia, Pemerintah, atau antar-bank. Tidak mengherankan bilamana dalam Laporan Keuangan BMI pada masa tersebut dapat ditemukan satu pos anggaran atau account yang diberi istilah sebagai “Pendapatan Non Halal”, yakni pendapatan yang didapat dari transaksi yang bersifat perbankan konvensional. Perkembangan lain yang patut dicatat berkaitan dengan perbankan syariah pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah berdirinya Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI berdiri secara resmi tanggal 21 Oktober 1993 dengan pemrakarsa MUI dengan tujuan menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain di kalangan umat Islam di Indonesia. Dengan demikian dalam transaksi-transaksi atau perjanjian-perjanjian bidang perbankan syariah lembaga BAMUI dapat menjadi salah satu choice of forum bagi para pihak untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan transaksi atau perjanjian tersebut. Perkembangan kemudian berkenaan dengan BAMUI, melalui Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 menetapkan di antaranya perubahan nama BAMUI menjadi Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) dan mengubah bentuk badan hukumnya yang semula merupakan Yayasan menjadi ‘badan’ yang berada di bawah MUI dan merupakan perangkat organisasi MUI. Meskipun pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 perkembangan perbankan syariah masih sangat terbatas, namun sebagaimana disebutkan oleh Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, SH merupakan salah satu tonggak sejarah yang sangat penting khususnya di dalam kehidupan umat Islam dan pada umumnya bagi perkembangan Hukum Nasional. Dalam makalahnya yang berjudul “Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional” beliau mengatakan sebagai berikut : “Undang-undang Perbankan No. 7 Tahun 1992 membawa era baru dalam sejarah perkembangan hukum ekonomi di Indonesia. Undang-undang tersebut memperkenalkan “sistem bagi hasil” yang tidak dikenal dalam Undang-undang tentang Pokok Perbankan No. 14 Tahun 1967. Dengan adanya sistem bagi hasil itu maka Perbankan dapat melepaskan diri dari usaha-usaha yang mempergunakan sistem “bunga”. … Jika selama ini peranan Hukum Islam di Indonesia terbatas hanya pada bidang hukum keluarga, tetapi sejak tahun 1992, peranan Hukum Islam sudah memasuki dunia hukum ekonomi (bisnis).” Pada tahun 1998 eksistensi Bank Islam lebih dikukuhkan dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Undang-undang tersebut, sebagaimana ditetapkan dalam angka 3 jo. angka 13 Pasal 1 Undang-undang No. 10 Tahun 1998, penyebutan terhadap entitas perbankan Islam secara tegas diberikan dengan istilah Bank Syari’ah atau Bank Berdasarkan Prinsip Syari’ah. Pada tanggal 12 Mei 1999, Direksi Bank Indonesia mengeluarkan tiga buah Surat Keputusan sebagai pengaturan lebih lanjut Bank Syariah sebagaimana telah dikukuhkan melalui Undang-undang No. 10 Tahun 1998, yakni : 1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum, khususnya Bab XI mengenai Perubahan Kegiatan Usaha dan Pembukaan Kantor Cabang Syariah; 2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah ; dan 3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. Selanjutnya berkenaan dengan operasional dan instrumen yang dapat dipergunakan Bank Syariah, pada tanggal 23 Februari 2000 Bank Indonesia secara sekaligus mengeluarkan tiga Peraturan Bank Indonesia, yakni : 1. Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah , yang mengatur mengenai kewajiban pemeliharaan giro wajib minimum bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; 2. Peraturan Bank Indonesia No. 2/8/PBI/2000 tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, yang dikeluarkan dalam rangka menyediakan sarana penanaman dana atau pengelolaan dana antarbank berdasarkan prinsip syariah; dan 3. Peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) , yakni sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip Wadiah yang merupakan piranti dalam pelaksanaan pengendalian moneter semacam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam praktek perbankan konvensional. Berkenaan dengan peraturan-peraturan Bank Indonesia di atas, relevan dikemukakan dalam hal ini mengenai tugas Bank Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah, sebagaimana disebutkan dalam Undangundang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UUBI). Pasal 10 ayat (2) UUBI memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk menggunakan cara-cara berdasarkan prinsip syariah dalam melakukan pengendalian moneter. Kemudian Pasal 11 ayat (1) UUBI juga memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek suatu Bank dengan memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Dipandang dari sudut lain, dengan demikian UUBI sebagai undang-undang bank sentral yang baru secara hukum positif telah mengakui dan memberikan tempat bagi penerapan prinsip-prinsip syariah bagi Bank Indonesia dalam melakukan tugas dan kewenangannya. Disamping peraturan-peraturan tersebut di atas, terhadap jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, Bank Syariah juga wajib mengikuti semua fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), yakni satu-satunya dewan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Sampai saat ini DSN telah memfatwakan sebanyak 43 fatwa, melingkupi fatwa mengenai produk perbankan syariah, lembaga keuangan non-bank seperti asuransi, pasar modal, gadai serta berbagai fatwa penunjang transaksi dan akad lembaga keuangan syariah, yakni sebagai berikut:11 No. NOMOR FATWA TENTANG 1 01/DSN-MUI/IV/2000 Giro 2 02/DSN-MUI/IV/2000 Tabungan 3 03/DSN-MUI/IV/2000 Deposito 4 04/DSN-MUI/IV/2000 Murabahah 5 05/DSN-MUI/IV/2000 Jual Beli Salam 6 06/DSN-MUI/IV/2000 Jual Beli Istishna 7 07/DSN-MUI/IV/2000 Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) 8 08/DSN-MUI/IV/2000 Pembiayaan Musyarakah 9 09/DSN-MUI/IV/2000 Pembiayaan Ijarah 10 10/DSN-MUI/IV/2000 Wakalah 11 11/DSN-MUI/IV/2000 Kafalah 12 12/DSN-MUI/IV/2000 Hawalah 13 13/DSN-MUI/IX/2000 Uang Muka dalam Murabahah 11 http://www.mui.or.id 14 14/DSN-MUI/IX/2000 Sistem Distribusi Hasil Usaha dalam LKS 15 15/DSN-MUI/IX/2000 Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam LKS 16 16/DSN-MUI/IX/2000 Diskon dalam Murabahah 17 17/DSN-MUI/IX/2000 Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menundanunda Pembayaran 18 18/DSN-MUI/IX/2000 Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif dalam LKS 19 19/DSN-MUI/IX/2000 Al-Qardh 20 20/DSN-MUI/IX/2000 Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah 21 21/DSN-MUI/X/2001 Pedoman Umum Asuransi Syari’ah 22 22/DSN-MUI/III/2002 Jual Beli Istishna Paralel 23 23/DSN-MUI/III/2002 Potongan Pelunasan Dalam Murabahah 24 24/DSN-MUI/III/2002 Safe Deposit Box 25 25/DSN-MUI/III/2002 Rahn 26 26/DSN-MUI/III/2002 Rahn Emas 27 27/DSN-MUI/III/2002 Al-Ijarah al-Muntahiya bi al-Tamlik 28 28/DSN-MUI/III/2002 Jual Beli Mata Uang (al-Sharf) 29 29/DSN-MUI/VI/2002 Pembiayaan Pengurusan Haji LKS 30 30/DSN-MUI/VI/2002 Pembiayaan Rekening Koran Syari’ah 31 31/DSN-MUI/VI/2002 Pengalihan Utang 32 32/DSN-MUI/IX/2002 Obligasi Syari’ah 33 33/DSN-MUI/IX/2002 Obligasi Syari’ah Mudharabah 34 34/DSN-MUI/IX/2002 L/C Impor Syari’ah 35 35/DSN-MUI/IX/2002 L/C Ekspor Syari’ah 36 36/DSN-MUI/X/2002 Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia 37 37/DSN-MUI/X/2002 Pasar Bank Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah 38 38/DSN-MUI/X/2002 Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (Sertifikat IMA) 39 39/DSN-MUI/X/2002 Asuransi Haji 40 40/DSN-MUI/X/2003 Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di bidang Pasar Modal 41 41/DSN-MUI/III/2004 Obligasi Syariah Ijarah 42 42/DSN-MUI/V/2004 Syariah Charge Card 43 43/DSN-MUI/VIII/2004 Ganti Rugi (Ta’widh) Produk perbank syariah yang terdiri dari produk penghimpunan dana (funding), penyaluran dana (lending), dan kegiatan bidang jasa (service). Pada tahap awal perbankan syariah mendasarkan ketentuan hukumnya pada ketentuan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) perkembangan berikutnya substansi dari fatwa tersebut kemudian menjadi hukum positif dengan dimasukkannya ke dalam peraturan Bank Indonesia (PBI).12 Selain itu Bank Indonesia juga telah mengeluarkan peraturan yang didasari dari fatwa MUI yaitu antara lain seperti pada tahun 2005 : PBI No. 7/46/PBI/2005 tentang akad penghimpunan dan penyaluran dana bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah. Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Penyempurnaan Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan merupakan langkah maju dalam perkembangan perbankan, terutama bagi perbankan syariah. Dalam undang-undang ini perbankan syariah diberikan perlakuan yang sama equal treatment dengan perbankan konvensional. Padahal jika dilihat 12 Abdul Ghofur Anshori, Pembentukan Bank Syariah Melalui Akuisisi dan Konversi, UII Press Yogyakarta, 2010, h. 40 jumlahnya, ketika undang-undang itu disahkan, baru ada satu bank syariah –Bank Muamalatdan sekitar 70 BPR Syariah.13 Disahkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 telah membuka kesempatan lebih luas bagi bank syariah untuk berkembang. Undang-undang ini bahkan tidak saja menyebut bank syariah secara berdampingan dengan bank konvensional dalam pasal demi pasal, tetapi juga menyatakan secara rinci prinsip produk perbankan syariah, seperti Murabahah, Salam, Istisna, Mudharabah, Musyarakah dan Ijarah; padahal dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tetang Perbankan, nama syariah pun sama sekali tidak disebut. Meskipun tidak menyebut secara eksplisit, undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebenarnya telah cukup memberikan keleluasaan bagi bank syariah untuk mengembangkan sendiri produknya, sebab undang-undang itu hanya mengikat sistem perbankan konvensional. Hal itu dapat dilihat, baik dari sisi teoritis maupun praktis, perbankan syariah telah mendapat tempat khusus. Sebagai contoh dalam perpajakan ada ketentuan yang tidak mengenakan pajak jual-beli atas penjualan oleh sebuah bank syariah, sepanjang penjualan itu merupakan bisnis murni bank syariah, karena memang prinsip operasinya mengharuskan seperti itu. Oleh karena itu secara teoritis semestinya produk bank syariah telah berkembang karena Bank Muamalat telah didirikan sejak tahun 1992. 14 Selanjutnya hukum perbankan syariah mulai menaiki tangga yang lebih tinggi dan memasuki pintu sistem hukum perbankan yang lebih mapan dengan keluarnya UndangUndang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dimana jelas jelas undang undang ini akan lebih memihak kepada sistem hukum yang Islami dan memberikan kepastian dan eksistensi perbankan yang didasari hukum fiqh Islam. Era baru perbankan syariah dianggap sebagai era “pemurnian”, setelah disahkan Undang-undang Perbankan Syariah yang pengundangnnya dalam Lembaran Negara dilakukan tanggal 16 Juli 2008. Undang undang tentang perbankan syariah ini memperkenalkan beberapa muatan baru dan lembaga hukum baru yang ditujukan untuk 13 Bandingkan dengan 400 bank konvensional dan 8000 BPR konvensional. Cecep Maskanul Hakim, Problem Pengembangan Produk Dalam Bank Syariah, Tim Penelitian dan Pengembangan Bank Syariah-DPNP, BI, mantan staf yang membidangi pengembangan produk aset Bank Muamalat lihat di http://www.bi.go.id 14 menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.15 Dalam pengembangan sistem hukum perbankan syariah ini dilakukan dalam kerangka wujudnya sistem dual-banking system atau sistem perbankan ganda dalam kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API), untuk menghadirkan alternatif jasa perbankan yang semakin lengkap kepada masyarakat Indonesia. Secara bersama-sama, sistem perbankan syariah dan perbankan konvensional secara sinergis mendukung mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.16 Karakteristik sistem hukum perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Dalam konteks pengelolaan perekonomian makro, meluasnya penggunaan berbagai produk dan instrumen keuangan syariah akan dapat merekatkan hubungan antara sektor keuangan dengan sektor riil serta menciptakan harmonisasi di antara kedua sektor tersebut. Semakin meluasnya penggunaan produk dan instrumen syariah disamping akan mendukung kegiatan keuangan dan bisnis masyarakat juga akan mengurangi transaksi-transaksi yang bersifat spekulatif, sehingga mendukung stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian kestabilan harga jangka menengah-panjang. Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong 15 Abdul Ghofur Anshori, Pembentukan Bank Syariah Melalui Akuisisi dan Konversi, UII Press Yogyakarta, 2010 16 http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Perbankan+Syariah/ pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan. Untuk memberikan pedoman bagi stakeholders perbankan syariah dan meletakkan posisi serta cara pandang Bank Indonesia dalam mengembangkan perbankan syariah di Indonesia, selanjutnya Bank Indonesia pada tahun 2002 telah menerbitkan “Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia”. Dalam penyusunannya, berbagai aspek telah dipertimbangkan secara komprehensif, antara lain kondisi aktual industri perbankan syariah nasional beserta perangkat-perangkat terkait, trend perkembangan industri perbankan syariah di dunia internasional dan perkembangan sistem keuangan syariah nasional yang mulai mewujud, serta tak terlepas dari kerangka sistem keuangan yang bersifat lebih makro seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI) maupun international best practices yang dirumuskan lembaga-lembaga keuangan syariah internasional, seperti IFSB (Islamic Financial Services Board), AAOIFI dan IIFM. 17 Pengembangan perbankan syariah diarahkan untuk memberikan kemaslahatan terbesar bagi masyarakat dan berkontribusi secara optimal bagi perekonomian nasional. Oleh karena itu, maka arah pengembangan perbankan syariah nasional selalu mengacu kepada rencana-rencana strategis lainnya, seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API), Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI), serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Dengan demikian upaya pengembangan perbankan syariah merupakan bagian dan kegiatan yang mendukung pencapaian rencana strategis dalam skala yang lebih besar pada tingkat nasional. “Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia” memuat visi, misi dan sasaran pengembangan perbankan syariah serta sekumpulan inisiatif strategis dengan prioritas yang jelas untuk menjawab tantangan utama dan mencapai sasaran dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, yaitu pencapaian pangsa pasar perbankan syariah yang signifikan melalui pendalaman peran perbankan syariah dalam aktivitas keuangan nasional, regional dan internasional, dalam kondisi mulai terbentuknya integrasi dgn sektor keuangan syariah lainnya. 18 17 18 http://www.bi.go.id ibid Dalam jangka pendek, perbankan syariah nasional lebih diarahkan pada pelayanan pasar domestik yang potensinya masih sangat besar. Dengan kata lain, perbankan syariah nasional harus sanggup untuk menjadi pemain domestik akan tetapi memiliki kualitas layanan dan kinerja yang bertaraf internasional. Pada akhirnya, sistem perbankan syariah yang ingin diwujudkan oleh Bank Indonesia adalah perbankan syariah yang modern, yang bersifat universal, terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Sebuah sistem perbankan yang menghadirkan bentuk-bentuk aplikatif dari konsep ekonomi syariah yang dirumuskan secara bijaksana, dalam konteks kekinian permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia, dan dengan tetap memperhatikan kondisi sosio-kultural di dalam mana bangsa ini menuliskan perjalanan sejarahnya. Hanya dengan cara demikian, maka upaya pengembangan sistem perbankan syariah akan senantiasa dilihat dan diterima oleh segenap masyarakat Indonesia sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan negeri. Dengan demikian secara garis besar sejarah hukum perbankan syariah di Indonesia dapat digolongkan menjadi empat tahapan yaitu: a. Era sebelum Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan b. Era Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan c. Era Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan d. Era Undang Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Sampai terbitnya Undang Undang No 10 Tahun 1998 Indonesia telah melewati tahapan pembinaan, yaitu tahapan perkenalan yang ditandai dengan diberlakukannya Undang Undang nomor 7 Tahun 1992, dan tahapan pengakuan yang ditandai dengan diberlakukannya Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998. Tahapan berikutnya adalah tahapan pemurnian dengan diberlakukannya Undang undang khusus mengatur perbankan syariah yaitu Undang Undang nomor 21 tahun 2008.19 Secara garis besar ketentuan dalam undang undang tersebut kegiatan yang dapat dilakukan bank syariah adalah kegiatan penghimpunan dana (funding), penyaluran dana (lending), dan kegiatan bidang jasa (service). Kegiatan usaha dimaksud adalah terealiasisi dalam produk produk perbankan syariah yang disediakan. Produk penghimpunan dana 19 Abdul Ghofur Anshori, Pembentukan Bank Syariah Melalui Akuisisi dan Konversi, UII Press, Yogyakarta, 2010, h. 17 adalah produk simpanan berupa giro, tabungan, atau bentuk alinnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan investasi berupa deposito, tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Sementara yang termasuk dalam kategori penyaluran dana adalah produk perbankan di bidang pembiayaan yakni berupa pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah, akad musyarakah, pembiayaan berdasarkan akad murabahah, Salam, istishna’, pembiayaan berdasarkan akad qardh, pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah berdasarkan akad ijarah dan atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahia bittamlik. 20 Produk perbankan di bidang jasa terdiri dari pengambilalihan utang berdasarkan akad hawalah, usaha kartu kredit atau kartu pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau pihak ketiga berdarkan prinsip syariah, melakukan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan prinsip syariah, menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan prinsip syariah, memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah berdasarkan prinsip syariah, melakukan fungsi sebagai wali amanat berdasarkan akad wakalah, dan memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan prinsip syariah.21 Melihat minat masyarakat yang semakin meningkat serta didorong oleh adanya perkembangan yang terjadi di negara lain BI kemudian mengeluarkan regulasi berupa PBI antara lain: 1. PBI No. 10/16/PBI/2008 tentang teknis kegiatan usaha bank syariah 2. PBI No. 10/17/PBI/2008 tentang produk bank syariah dan unit usaha syariah 3. PBI No. 11/31/PBI/2009 tentang Perubahan kegiatan usaha bank konvensional menjadi bank syariah disertai uji fit and proper test bank syariah dan unit usaha syariah Dengan adanya berbagai undang undang dan peraturan pemerintah tersebut maka banyaklah bank swasta yang kemudian melakukan akuisis ataupun konversi dari bank 20 21 Ibid, h.22 Ibid.h., 23 konvensional menjadi bank syariah, hatta HSBC sekarang juga melirik sistem perbankan syariah guna menarik nasabah lebih banyak lagi dan melayani nasabah yang ingin menggunakan jasa sistem perbankan syariah. D. STRATEGI KEDEPAN MENGHADAPI TANTANGAN ZAMAN Sebagai langkah konkrit upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia, maka Bank Indonesia telah merumuskan sebuah Grand Strategi Pengembangan Pasar Perbankan Syariah, sebagai strategi komprehensif pengembangan pasar yang meliputi aspek-aspek strategis, yaitu: Penetapan visi 2010 sebagai industri perbankan syariah terkemuka di ASEAN, pembentukan citra baru perbankan syariah nasional yang bersifat inklusif dan universal, pemetaan pasar secara lebih akurat, pengembangan produk yang lebih beragam, peningkatan layanan, serta strategi komunikasi baru yang memposisikan perbankan syariah lebih dari sekedar bank. Selanjutnya berbagai program konkrit telah dan akan dilakukan sebagai tahap implementasi dari grand strategy pengembangan pasar keuangan perbankan syariah, antara lain adalah sebagai berikut:22 Pertama, menerapkan visi baru pengembangan perbankan syariah pada fase I tahun 2008 membangun pemahaman perbankan syariah sebagai Beyond Banking, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.50 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 40%, fase II tahun 2009 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah paling atraktif di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.87 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 75%. Fase III tahun 2010 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah terkemuka di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.124 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 81%. Kedua, program pencitraan baru perbankan syariah yang meliputi aspek positioning, differentiation, dan branding. Positioning baru bank syariah sebagai perbankan yang saling menguntungkan kedua belah pihak, aspek diferensiasi dengan keunggulan kompetitif dengan produk dan skema yang beragam, transparans, kompeten dalam keuangan dan beretika, teknologi informasi yang selalu up-date dan user friendly, serta adanya ahli investasi keuangan syariah yang memadai. Sedangkan pada aspek branding adalah “bank syariah lebih dari sekedar bank atau beyond banking”. 22 http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Perbankan+Syariah/ Ketiga, program pemetaan baru secara lebih akurat terhadap potensi pasar perbankan syariah yang secara umum mengarahkan pelayanan jasa bank syariah sebagai layanan universal atau bank bagi semua lapisan masyarakat dan semua segmen sesuai dengan strategi masing-masing bank syariah. Keempat, program pengembangan produk yang diarahkan kepada variasi produk yang beragam yang didukung oleh keunikan value yang ditawarkan (saling menguntungkan) dan dukungan jaringan kantor yang luas dan penggunaan standar nama produk yang mudah dipahami. Kelima, program peningkatan kualitas layanan yang didukung oleh SDM yang kompeten dan penyediaan teknologi informasi yang mampu memenuhi kebutuhan dan kepuasan nasabah serta mampu mengkomunikasikan produk dan jasa bank syariah kepada nasabah secara benar dan jelas, dengan tetap memenuhi prinsip syariah; dan Keenam, program sosialisasi dan edukasi masyarakat secara lebih luas dan efisien melalui berbagai sarana komunikasi langsung, maupun tidak langsung (media cetak, elektronik, online/web-site), yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang kemanfaatan produk serta jasa perbankan syariah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Adapun strategi utama menurut Iman Hilman dalam konsep pengembangan bank syariah di masa depan adalah “transformasi” terutama harus dilakukan oleh kalangan internal perbankan syariah. Transformasi itu adalah 1. Transformasi dari produk syariah ke korporat syariah 2. Transformasi dari sentimen emosional ke rasional profesional 3. Transformasi dari pelanggan muslim ke pelanggan umum 4. Transformasi dari pengusaha besar kepada oreintasi yang lebih adil 5. Transformasi dari motif investasi ke akumulasi modal.23 Sedangkan menurut Purnomo Sidi konsep pengembangan bank syariah di masa depan dapat dilakukan dengan langkah langkah berikut: Langkah pertama, pengembangan usaha yang perlu dilakukan banks syariah di masa depan yaitu menciptakan sumber dana yang stabil untuk mendukung proses penciptaan investasi dengan lebih baik 23 Iman Hilman, Perbankan Syariah Masa Depan, Senayan Abadi, Jakarta, 2003 h, 14 Langkah kedua, yaitu masalah ketidakjelasan pendapatan masa depan, dapat diminimalisasi dengan menempatkan deposan tidak hanya sebagai sleeping partnership, tetapi juga sebagai mitra yang sebanding dengan pengusaha Langkah ketiga, yaitu penciptaan produk pruduk keuangan baru dalam perbankan syariah. Langkah keempat, yaitu pemerintah harus mengambil inisiatif untuk menciptakan suatu sistem pendidikan ekonomi yang telah memasukkan konsep syariah di dalamnya. Langkah kelima, perlu adanya langkah riil dari pihak bank syariah untuk meningkatkan penelitian dan pengembangan24 Selain itu pengembangan perbankan syariah agar dapat mengatasi hambatan dan tantangan di era yang akan datang menurut Ardy Luthfi Siregar dapat dilakukan dengan mengambil contoh dengan sebidang segi tiga yang dinamakan segitiga fungsional pengembangan bank syariah, dimana di sisi pertama adalah mengenai development & human resources, yang kedua adalah marketing system & internal procedure, sedangkan yang ketiga adalah support & technologi. Dari konsep ini diyakini jika dijalankan dengan baik, didukung oleh manajemen yang baik, karyawan yang punya skill baik, dan tidak melupakan satu bagian sudut dengan sudut yang lain, maka target untuk pengembangan perbankan syariah menuju masa depan akan merupakan achievment, bukan lagi sekedar target. 25 E. KESIMPULAN Perjalanan perbankan syariah yang berasal dari pemikiran dari alim ulama, cendekiawan, ahli hukum dan para ekonom muslim yang berusaha menegakkan hukum Allah di muka bumi pada awalnya sangatlah tabu dibicarakan, sangat fundamentalis, apalagi namanya “syariah” sangat sulit diterima bahkan ditentang keras dari segala pihak, oleh karenanya wajarlah apabila orang dulu akan pesimis adanya sistem keuangan yang bebas dari riba dan menggunakan sistem yang dibolehkan oleh ajaran Islam, apalagi di tanah air kita yang mana perekonomian berputar kencang di lingkungan nonmuslim. Namun kini apabila mereka masih hidup, dan mereka melihat perkembangan yang ada sekarang maka akan terkejutlah mereka, karena banyaknya bank syariah yang ada sekarang ini di Indonnesia, apalagi bank syariah yang tumbuh sekarang begitu kuatnya dan menjanjikan bagi nasabahnya, banyak keuntungannya, bahkan bank yang notabenenya 24 25 Ibid, h., 30 Ibid,h. ,111 terkenal dengan bank (pemiliknya) nonmuslim kini membuka usaha yang bernama “bank syariah” atau “unit usaha syariah”, karena mencari untung. Terlepas dari niat untung duniawi ataupun mencari keredaan Allah, yang pasti bank syariah tengah melangkah pasti menuju tangga yang lebih tinggi lagi guna memberikan kenyamanan dan pelayanan yang lebih baik lagi dari sekarang, kita adalah saksi sejarah, patut buat kita untuk terus memperjuangkan hal ini demi tegaknya hukum Allah di muka bumi, amin. DAFTAR PUSTAKA Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, PT Grafindo Persada, Jakarta, 2010 Abdul Ghofur Anshori, Pembentukan Bank Syariah Melalui Akuisisi dan Konversi, UII Press Yogyakarta, 2010 FILA, Mengapa Saya Memilih Bank Syariah, BMI, Jakarta, 2003 Iman Hilman, dkk, Perbankan Syariah Masa Depan, Senayan Abadi, Jakarta, 2003 Karnaen Perwataatmadja, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1992 Mervyn K. Lewis & Latifa M. Algaoud, Perbankan Syariah , Prinsip, Praktik, dan Prospek, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2001 Muhammad Muslehuddin, Sistem Perbankan Dalam Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1994 M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, GIP, Jakarta, 2001 Zainul Arifin, memahami Bank Syariah, Alvabet, Jakarta, 2000 http://www.bi.go.id http:// www.inlawnesia.net http://www.mui.or.id