1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Masalah Penelitian Pengalaman hidup yang dialami manusia merupakan titik tolak hidup beragama. Sejak zaman dahulu, manusia menghadapi gejala-gejala hidup tertentu yang tidak dapat ditangkap secara rasional semata. Pengalaman yang dialami manusia ditanggapi sebagai sebuah misteri. Theo Huijbers (1992: 58), menyatakan bahwa suatu misteri tidak pernah dimengerti, namun tidak dapat disangkal keberadaannya dalam pengalaman manusia. Manusia selalu sadar akan suatu kenyataan misterius yang dihayati sebagai asal dan tujuan dari segala sesuatu. Manusia mengungkapkan kesadarannya itu dengan keanekaragaman bentuk dan cara. Kenyataan misterius tersebut dipahami manusia sebagai suatu kekuatan atau suatu sosok yang disebut Tuhan. Usaha menyelami dan menggambarkan Tuhan diwarnai oleh kebutuhan, kecenderungan, keinginan, dan pikiran tiap-tiap individu. Hidup manusia terdiri atas banyak bidang. Bidang yang berkaitan dengan erat dengan misteri akan Tuhan tersebut yakni bidang religius. Huijbers(1992: 5859) menuliskan dalam bukunya bahwa bidang hidup yang paling dasar yaitu bidang biologis. Manusia yang berada pada tahap bidang biologis yakni manusia lahir, berkembang, dan melakukan perbuatan-perbuatan untuk memperkembangkan hidupnya seperti makan dan minum. Bidang-bidang hidup 2 manusia selanjutnya yaitu bidang ekonomis, sosial dan politik. Manusia yang berada dalam bidang ini meliputi manusia segala kegiatan manusia dalam hubungannya dengan barang-barang, dengan sesama manusia, dan peraturan negara. Bidang selanjutnya yakni bidang intelektual di mana manusia mengembangkan kemampuan rasionya, kemudian bidang estetis di mana manusia mengembangkan nilai keindahan, bidang moral di mana manusia mengembangkan nilai kebaikan, dan bidang yang terakhir yaitu bidang religius yaitu bidang di mana manusia mengembangkan nilai kesucian. Sejarah umat manusia mencatat bahwa perkembangan kehidupan religius manusia menurut garis evolusi cenderung menaik. Artinya, bahwa sejak kehidupan primitif, manusia telah meyakini adanya kenyataan di luar dirinya yang mempunyai kekuatan lebih besar daripada manusia. Di dalam kebudayaan manusia primitif, terlihat suatu kesadaran religius yang cukup murni. Tuhan dihayati sebagai pencipta, pemilik, dan Tuhan kehidupan. Kehidupan religius manusia terus meningkat dan mulai tercampur dengan unsur-unsur duniawi, misalnya kesuburan alam yang didewakan serta bencana alam yang disebabkan kemarahan dewa (Dister, 1982: 48). Pengalaman religius merupakan sebuah kebenaran yang faktual karena bersumber pada pengalaman hidup manusia. Dister menjelaskan bahwa sebagai makhluk yang berakal budi, manusia mengetahui kebenaran yang faktual dan akali (Dister, 1982: 19). Sumber kebenaran akali berasal dari akal budi atau rasio yang menalar. Contoh kebenaran akali yakni di bidang logika dan matematika. Sumber kebenaran faktual yaitu pengalaman manusia. Apabila fakta-fakta tertentu 3 merupakan fakta material yang mempunyai sifat ruang dan waktu, maka pengalaman yang diperlukan yakni pengalaman inderawi, sedangkan apabila fakta-fakta yang bersangkutan mempunyai dimensi rohani atau melampaui ruang dan waktu, maka yang diperlukan yaitu pengalaman rohani. Pengalaman religius merupakan salah satu contoh dari pengalaman yang berdimensi rohani. Dister (1982: 19) menjelaskan bahwa sejak zaman kuno sampai kini selalu ada orang memberi kesaksian tentang pengalaman mereka di ranah religius. Manusia yang mampu memberi kesaksian iman akan Tuhan dipahami sebagai manusia yang telah mengalami pengalaman religius. Syarat mutlak supaya seseorang dapat meyakini bahwa sebuah wahyu berasal dari Tuhan yakni keyakinan bahwa adanya Tuhan. Keyakinan adanya Tuhan ini dimungkinkan oleh pengalaman-pengalaman manusia itu sendiri yang lazim diistilahkan sebagai pengalaman keagamaan. Pengalaman religius menjadi sangat penting dalam kehidupan beragama manusia hingga saat ini karena melalui pengalaman religius tersebut, manusia dapat menguatkan iman kepercayaan seseorang terhadap keyakinan adanya Tuhan. Filsuf Romano Guardini (Dister, 1985: 37) mengatakan bahwa pengalaman religius dapat tahan uji dan mempertahankan diri di tengah perubahan-perubahan zaman. Cara dan bentuk kongkrit pengalaman religius akan berbeda-beda sesuai dengan tahap kebudayaan. Hal ini mengindikasikan bahwa ada hubungan antara pengalaman religius dengan kemampuan manusia memandang dunia secara simbolis. Pernyataan di atas mengandung arti bahwa sejarah kuno mencatat manusia zaman dahulu mengenal Tuhan yang menyatu 4 dengan alam, selanjutnya berkembang menjadi Tuhan yang berelasi dengan alam, hingga Tuhan yang sekuler dengan alam. Van Peursen mengistilahkannya dengan alam pikiran mitis, ontologis, dan fungsional (Peursen 1988: 233). Cara dan bentuk yang berbeda-beda dari pengalaman religius tersebut akan hilang ditelan perubahan zaman tetapi pengalaman religius manusia akan tetap ada. Hal ini terjadi karena disebabkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi mengharuskan manusia untuk berubah pandangan bahwa penghayatan akan Tuhan sebagai penyebab yang setara dengan penyebab-penyebab lain yang dapat ditunjukkan oleh ilmu empiris. Kausalitas Tuhan merupakan kausalitas transenden. Perubahan pandangan meyakini bahwa Tuhan merupakan kausalitas transenden dan bukannya kausalitas intra-mundan (yang dapat diselidiki lewat ilmu empiris) membuat pengalaman religius seseorang berubah bentuknya tetapi tidak melenyapkannya sama sekali. Salah satu tokoh yang pemikirannya berkaitan dengan pengalaman religius ialah Karl Rahner. Rahner hidup pada zaman yang tergolong unik. Rahner hidup dalam kehidupan agama Katolik tertentu dan meninggal dalam situasi agama Katolik yang berbeda dengan masa sewaktu ia dilahirkan. Semasa Rahner dilahirkan, agama Katolik dengan otoritas kepausannya menganggap satu-satunya jalan keselamatan manusia kepada Tuhan adalah dengan jalan agama Katolik, agama selain agama Katolik tidak diakui akan dapat membawa keselamatan bagi manusia. Rahner dapat dikatakan meninggal dalam suasana di mana agama Katolik berubah pandangan bahwa lewat agama selain Katolik, manusia juga akan mencapai keselamatan. Lewat karya-karyanya, Rahner berperan besar dalam 5 perubahan tersebut. Dapat dikatakan bahwa Rahner mempunyai andil besar untuk mengubah agama Katolik dari sifat eksklusif menjadi inklusif. Awal mulanya, Rahner tidak diakui oleh otoritas Gereja Katolik tetapi pada tahun 1960-an ketika Gereja Katolik mengadakan konsili Vatikan II, Rahner duduk sebagai ahli teologinya. Rahner disebut-sebut sebagai salah seorang yang berpengaruh dalam konsili tersebut (Kilby, 2001: 11). Karen Kilby (2001: 11) menyatakan bahwa Rahner harus diperhitungkan bukan hanya di kalangan para pemikir yang paling berpengaruh, namun juga di kalangan pemikir yang paling menarik perhatian dalam teologi modern. Rahner memiliki ciri khas dalam pemikiran keagamaannya, yaitu dengan ditempatkannya pengalaman pada pusat pemikirannya tanpa mengesampingkan kepercayaan akan arti penting sebuah dogma agama. Pemikiran Rahner sangat sistematis. Tulisantulisan yang dihasilkan mencerminkan gaya dan corak neo-skolastik. Hal ini disebabkan pengaruh Thomas Aquinas demikian kuat dalam pemikiran Rahner. Kilby (2001: 13) menjelaskan bahwa neo-skolastik merupakan sistem intelektual yang sangat terstruktur. Sistem pemikiran ini menawarkan suatu dunia yang tertata rapi, sehingga sejumlah permasalahan yang ada memungkinkan untuk dipahami, diperdalam, dan dipecahkan. Lewat karya-karyanya, Rahner berusaha untuk menerima pemikiran Katolik Roma sebagaimana adanya, Namun Rahner juga tidak mengabaikannya, tetapi Rahner berusaha mengubahnya dari dalam. Rahner menunjukkan bahwa segala sesuatu tidaklah tertata rapi sebagaimana yang terlihat dalam sistem keagamaan Katolik, tetapi terdapat ruang bagi ide-ide baru, pemikiran baru, serta keterlibatan agama Katolik dengan dunia modern. 6 Penempatan pengalaman manusia sebagai pusat pemikiran untuk memandang sebuah dogma agama tersebut mengubah pandangan orang-orang pada umumnya yang mempercayai begitu saja dogma agama. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara misteri Yang Ilahi dengan manusia ada unsur yang menghubungkannya yaitu pengalaman religius manusia. Rahner dapat dikatakan sebagai tokoh yang mengembangkan teologi transendental atau teologi pengalaman yang didasarkan pada keyakinan bahwa Tuhan merupakan misteri absolut dalam kehidupan manusia (Kilby, 2001: 13-14). Pengalaman religius manusia menjadi salah satu pokok pembahasan dalam diskursus kefilsafatan khususnya filsafat agama. Penelitian ini disusun untuk membedah pengalaman religius yang dipahami oleh seorang tokoh, teolog, dan filsuf agama terbesar yaitu Karl Rahner. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi atau relevansinya antara pemikiran Rahner dengan kehidupan beragama di Indonesia dalam hal toleransi beragama. Topik toleransi agama sudah sangat akrab dan menjadi bahan diskusi banyak orang. Namun yang terjadi, toleransi agama masih belum terealisasikan secara maksimal dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Toleransi beragama Indonesia seperti berjalan di tempat dan ada kecenderungan semakin dikuatkannya pembenaran suatu agama. Toleransi dan kebenaran merupakan dua hal yang dapat dikatakan kontras karena jika kebenaran agama semakin ditonjolkan, kecenderungan manusia akan fanatik dan eksklusif terhadap agamanya sendiri yang tentu saja hal ini menjadi suatu hambatan besar bagi terciptanya kehidupan bertoleransi agama di Indonesia. 7 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Apa hakikat pengalaman religius menurut Karl Rahner? b. Apa relevansi pemikiran Rahner dalam konteks toleransi hidup beragama di Indonesia? 3. Keaslian Penelitian Peneliti belum banyak menemukan penelitian tentang pemikiran Karl Rahner secara filosofis. Beberapa penelitian serupa yang telah ditemukan antara lain : 1. “Konsep Manusia menurut Karl Rahner”. Skripsi atas nama Stephanus Kurniawan tahun 1993. Stephanus Kurniawan dalam skripsinya menjelaskan konsep pemikiran Karl Rahner yang ditinjau dengan sudut pandang filsafat manusia. 2. “Misteri Yang kudus dalam pengalaman religius menurut Rudolf Otto. Skripsi tahun 2001 oleh Ajat S. Hasan. Skripsi ini membahas pemikiran Rudolf Otto tentang pengalaman religius manusia yakni bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan dengan mengambil spesifikasi objek yaitu misteri yang kudus. Peneliti menemukan beberapa jurnal ilmiah bertemakan pengalaman religius. Jurnal-jurnal tersebut antara lain : 8 1. “Appreciative Awareness: The Feeling Dimension in Religious Experience” oleh J.J. Muller tahun 1984. Muller menjelaskan kesadaran dan perasaan yang dialami seseorang dalam menjalani hubungan dengan Tuhan dalam situasi doa. Muller memperbandingkan cara ritual doa yang dilakukan orang Barat dengan Orang Timur. 2. “The Poetics of Religious Experience: The Islamic Context” oleh Aziz Esmail tahun 1998. Aziz Esmail meneliti pengalaman religius yang dituliskan lewat karya seni terutama puisi-puisi dari Jalal al-Din Rumi, Ibnu al- Arabi hingga filsuf Al-Ghazali. Kesimpulan yang didapat Aziz Esmail bahwa ekspresi penyair lewat puisi menunjukkan pengalaman religius merupakan sebuah pencarian akan kebenaran. 3. “ The Significance of Religious Experience” oleh Howard Wettstein tahun 2008. Howard Wettstein menulis hubungan pengalaman religius dengan pengalaman hidup manusia. Pengalaman hidup manusia hendaknya tidak hanya didasarkan atas dogma agama yang bersifat metafisika saja tetapi nyata yang didasarkan atas pengalaman religius yang dialami manusia. Berdasarkan hasil temuan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada penelitian yang sama dengan penelitian yang hendak disusun. 4. Manfaat yang diharapkan Penelitian Filsafati ini diharapkan membawa manfaat: a. Bagi peneliti, penelitian ini memberikan pemahaman yang menyeluruh dan mendalam tentang pemikiran filosofis Karl Rahner. 9 b. Bagi Ilmu, menjadi wacana baru dalam bidang filsafat khususnya filsafat agama berkaitan dengan pengalaman religius. c. Bagi bidang penelitian terkait, bermanfaat sebagai inventaris kepustakaan, wahana diskusi, dan memperkaya kajian teoritis filsafat agama dengan memperkenalkan Karl Rahner bukan sebagai seorang teolog tetapi sebagai seorang filsuf besar. d. Bagi Pembangunan Bangsa dan Negara, menjadi pembelajaran baru berkaitan pemikiran Rahner tentang pengalaman religius untuk dapat dipraktekkan dalam kehidupan heterogenitas keberagamaan di Indonesia. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan : 1. mendeskripsikan secara filosofis pemikiran Karl Rahner tentang pengalaman religius manusia 2. mengkaji relevansi pemikiran Rahner tentang pengalaman religius dalam konteks hidup toleransi beragama di Indonesia. C. Tinjauan Pustaka Pengalaman religius seringkali dipahami sebagai pengalaman individu yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun karena pengalaman religius menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhannya. Namun tidak dapat disangkal pengalaman religius manusia termasuk problem of religion khususnya 10 filsafat agama karena pengalaman tidak hanya dialami oleh satu atau beberapa orang saja. William James berusaha untuk menjembatani permasalahan pengalaman religius manusia tersebut dengan membuat kategorisasi agama menjadi dua yaitu agama institusional dan agama personal (Aslan, 2003: 299). Kategori pertama James menjelaskan bahwa yang dimaksud agama institusional adalah agama yang berpusat pada pemujaan dan pengorbanan, prosedur-prosedur keagamaan yang dilakukan berhubungan dengan ilahi, dan fokus pada teologi, upacara serta organisasi keagamaan (James, 2004: 89). Agama institusional dengan demikian dapat diartikan sebagai sebuah seni eksternal atau seni untuk menyenangkan Tuhan. Kategori kedua yaitu agama personal. Agama personal merupakan agama yang bersifat lebih pribadi, minat utama yakni watak batin manusia sendiri seperti kesadaran, rasa kesepian, ketidakberdayaan sehingga pertolongan Tuhan baik itu muncul sebagai penebusan atau balasan masih dominan. James menekankan agama personal merupakan hubungan yang berjalan langsung dari hati ke hati, dari jiwa ke jiwa, antara manusia dengan penciptanya (James, 2004: 90). Jika membahas tentang pengalaman beragama, pertama-tama yang dibicarakan yakni tentang pengalaman. Yuwono Murjoko (1981: 7) menjelaskan pengalaman merupakan suatu pengetahuan yang timbul bukan pertama-tama dari pikiran melainkan dari pergaulan praktis di dunia. Pergaulan tersebut merupakan pergaulan yang bersifat langsung, intuitif, dan afektif dengan orang dan benda. Unsur penting pengalaman yakni emosi dan keinderawian manusia sehingga 11 pengalaman dapat disebut sebagai pengetahuan pasif yaitu manusia mengalami maka manusia merasakan. Pengalaman religius memiliki kecenderungan ke arah kategori agama yang kedua yaitu agama personal. Hal ini dikuatkan oleh tulisan Theodore M. Steeman (1971: 15) bahwa : “ Every experience is at the same time a self-experience. I am not just aware of the object before me or of the sound that I hear, but I am aware that it is I who see the object or hear the music. Therefore, even in its religious experience not only reveals the Sacred to me but also myself. I become aware of my being related to the Sacred and in that sense discover who I am. I am given to myself in a different way once I have experienced that I am related to or stand in a relationship with the Sacred beyond. Dister (1982: 18) menyatakan gejala agama yang terdapat pada bangsa manusia adalah gejala agama evolutif. Artinya bahwa keberagamaan manusia berkaitan dengan kebudayaan manusia. Di Dunia Barat, perkembangan keberagamaan manusia bahkan tidak dapat dipandang lagi sebagai sesuatu yang ada dengan sendirinya dan keberagamaan manusia khususnya pengalaman religius telah menjadi salah satu persoalan dalam kehidupan mereka. Penyebab pengalaman religius dapat menjadi persoalan dalam kehidupan keberagamaan manusia khususnya di dunia Barat adalah proses rasionalisasi. Proses rasionalisasi pengalaman religius tersebut telah dimulai sejak timbulnya filsafat dalam kebudayaan Yunani kuno. Hal demikian terjadi ketika manusia sadar dalam hidupnya selain ada hal yang rasional, ada juga hal yang irasional. Maksud irasional tersebut adalah yang tidak berasal dari rasio atau sekurangkurangnya tidak atau belum dapat diolah oleh rasio. Bidang yang tergolong irasional yaitu bidang perasaan, khayalan, dan nafsu (Dister, 1982: 19). 12 Bagi orang-orang zaman kebudayaan Yunani kuno, misteri Ilahi menyatakan diri dalam gejala ekstase dan mimpi serta fenomena-fenomena yang bersifat irasional. Namun, setelah timbulnya filsafat sejak Sokrates, mulailah proses rasionalisasi. Proses rasionalisasi tersebut berdampak pada segala sesuatu yang bersifat irasional termasuk di dalamnya adalah perasaan atau pengalaman religius, pandangan mitis, dan mantra magis. Lambat laun, pengalaman religius mulai terdesak karena perkembangan ilmu pengetahuan berkembang ke arah rasional sehingga mencurigai segala sesuatu yang bersifat irasional. Terdesaknya pengalaman religius karena proses rasionalisasi tersebut tidak berarti bahwa pengalaman religius lenyap seluruhnya. Dister (1982: 20) mengungkapkan proses rasionalisasi tersebut membuat manusia modern semakin bersikap kritis terhadap pengalaman religius. Orang cenderung mencurigai pengalaman keagamaannya karena unsur khayalan dan angan-angan yang dapat terkandung di dalamnya justru karena coraknya yang irasional tersebut. Pengalaman religius berkaitan erat dengan sesuatu Yang Kudus. Hal ini tampak dalam upacara-upacara keagamaan tertentu. Apabila ada agama tertentu yang melakukan upacara-upacara religius yang dianggap bersifat magi, hal ini mengandung makna bahwa agama sebagian besar dihayati sebagai sarana untuk menampilkan kekuatan-kekuatan ajaib yang sebenarnya salah satu unsur dari pengalaman religius (Huijbers, 1992: 63). Apabila disepakati bahwa pengalaman religius merupakan titik tolak hidup beragama, maka kedudukan seorang beragama menjadi jelas karena suatu pengalaman religius telah mengarahkan perhatiannya kepada asal hidup manusia. 13 Asal hidup manusia tersebut merupakan sesuatu yang lebih tinggi daripada manusia itu sendiri. Pengalaman-pengalaman religius dapat membuat manusia menyatakan suatu keagungan Tuhan. Dampak yang ditimbulkan dari keyakinan tersebut yaitu sabda Tuhan (yang disampaikan lewat Nabi dan kitab suci) tidak asing lagi bagi eksistensi manusia di dunia. Hal demikian dapat terjadi karena kepercayaan muncul dari eksistensi manusia sendiri, yang mengalami dunia sebagai suatu rahasia, sehingga dunia dapat menjadi simbol atau lambang kehadiran Tuhan di dunia (Huijbers, 1992: 64). Singkatnya, pengalaman religius manusia merupakan suatu pengalaman yang membawa manusia ke arah sebuah kepercayaan, tentu saja kepercayaan akan adanya realitas mutlak yang disebut Tuhan. D. Landasan Teori Pengalaman religius merupakan salah satu problem of religion terutama filsafat agama. Dister menunjukkan dalam bukunya (1982: 19) bahwa pengalaman religius telah menjadi persoalan filsafat agama sejak kehidupan manusia sendiri yang membuka ke arah religiositas. Hal ini dapat terjadi karena religiositas tersebut berkaitan erat dengan kebudayaan dan kebudayaan berkaitan erat dengan keberagaman manusia. Akhirnya keinderawian, afeksi, dan emosi yang terdapat dalam kebudayaan yang religius ini memiliki peranan besar dalam pengalaman rohani manusia. Dister memandang bahwa filsafat agama sebagai suatu kajian filosofis mampu untuk menjelaskan permasalahan bagaimana pengalaman religius itu dialami dan dipahami oleh manusia. 14 Filsafat agama mempunyai tugas melanjutkan pekerjaan teologi dengan memanfaatkan kemampuan akal atau rasio manusia. Johnstone (1992: 14) mendefinisikan filsafat agama merupakan suatu penafsiran dan tanggapan orang terhadap sesuatu yang sakral dan supernatural. Syarif Hidayatullah (2006: 134) mengungkapkan filsafat dan agama sesungguhnya mendapatkan titik temu pada bidang yang sama yaitu the Ultimate Reality. Filsafat agama dapat diartikan sebagai upaya pencarian akan realitas yang absolut dengan analisis manusia menggunakan akal yang dimiliki. Karl Rahner seperti yang dikutip oleh Amsal Bakhtiar (1997: 15) menjelaskan filsafat agama merupakan sebuah antropologi metafisik yang harus bersifat teologi dasar, yaitu manusia sebagai pribadi bebas yang tidak dapat tidak berhadapan dengan Tuhan tanpa kesediaan Tuhan untuk mewahyukan diriNya. Rahner mengatakan ciri khas filsafat agama yaitu keterbukaan siap sedia dan kesediaan yang terbuka bagi teologi. Rahner memahami filsafat agama harus mampu untuk menunjukkan secara filosofis tentang agama dan Tuhan. Bagi Rahner, bagaimanapun juga proses mempertanyakan hakikat agama harus sampai kepada pengenalan Tuhan transenden, absolut, dan personal. Geddes Mac Gregor seperti yang dikutip Amsal Bakhtiar (1997: 16) memahami objek pembahasan filsafat agama harus dibedakan antara hal yang menarik hati dalam agama dan berpikir tentang agama. Hal ini mengindikasikan bahwa Gregor membedakan antara aktivitas hati dan aktivitas akal manusia. Hal demikian dapat didefinisikan filsafat agama diharapkan mampu mempergunakan akal yang dimiliki manusia untuk memahami sesuatu yang supernatural dalam 15 manusia sehingga pengalaman religius manusia tidak hanya berkutat dengan urusan hati manusia yang menjadikan pengalaman religius menjadi sesuatu yang abstrak dan tak mampu dipahami oleh manusia. Penggunaan filsafat sebagai alat bantu atau instrumen dalam pemikiran teologi seperti yang dipahami oleh Rahner (1970: 21), bahwa filsafat mengusahakan suatu yang lebih dari sekadar refleksi transendental untuk menghasilkan sebuah agama aktual. Revolusi keagamaan seperti inilah yang ditawarkan oleh Rahner bahwa dalam memahami dan mengenal Tuhan bukan semata-mata menggunakan daya kemampuan dari hati tetapi pentingnya menggunakan akal budi. E. Metode Penelitian 1. Bahan Penelitian Jenis penelitian ini merupakan sebuah penelitian kepustakaan dengan berdasarkan dua macam bahan yaitu pustaka utama dan pustaka sekunder. Pustaka utama adalah tulisan-tulisan dari Karl Rahner, sedangkan pustaka sekunder merupakan materi yang bersumber dari buku, jurnal, artikel, dan tulisan lain yang terkait dengan tema penelitian ini. a. Pustaka utama 1) Hearers of the word (1969) 2) Spirit in the World (1968) (Translated by William Dych) b. Pustaka Sekunder: 16 1) Dister, Nico Syukur. 1985. Filsafat Agama Kristiani. Kanisius: Yogyakarta. 2) Kilby, Karen. 2001. Karl Rahner. Kanisius: Yogyakarta. 3) James, William. 2004. Perjumpaan dengan Tuhan: Ragam Pengalaman Religius (Diterj dari Judul asli The Varietes of Religious Experience oleh Gunawan Admiranto). Mizan Media Utama: Bandung. 4) Tallon, Andrew. 1984. Karl Rahner: Philosopher (1904-1984). Jurnal Philosophy Today. 2. Jalan penelitian Proses penelitian ini dilaksanakan melalui tahapan sebagai berikut: a. Inventarisasi data. Pada tahap ini penulis mengumpulkan data yang dapat dibagi menjadi dua bagian. Pembagian data tersebut berdasarkan pada objek material dan objek formal penelitian. Data yang pertama berisi pustaka tentang filsafat agama, khususnya tentang pengalaman religius. Data yang kedua berisi tentang pustaka mengenai pemikiran Karl Rahner yang terdapat dalam karya-karyanya. Data-data tersebut dikumpulkan sebanyak mungkin melalui penelusuran di berbagai perpustakaan maupun melalui penelusuran internet. b. Pengklasifikasian data. Jika pada tahap pengumpulan data penulis mengumpulkan data sebanyak mungkin, maka pada tahap ini data yang telah diperoleh mulai diklasifikasikan dan dipilah-pilah berdasarkan bab 17 dan sub-bab yang telah penulis susun sesuai dengan rencana dan kebutuhan. c. Analisis data. Data yang telah diklasifikasikan mulai dianalisis sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian d. Penyajian data, yaitu memaparkan hasil analisis secara sistematis dan teratur berdasarkan sub-sub bab yang telah ditentukan. Penyajian data diawali dari pokok-pokok pikiran atau unsur-unsur yang paling mendasar dan sederhana, kemudian menuju pada pokok pembahasan yang lebih rumit. 3. Analisis Hasil Data dalam penelitian ini dianalisis menggunakan metode sebagai berikut: a. Hermeneutika dengan tiga unsur metodis yaitu deskripsi, verstehen (pemahaman), dan interpretasi. Unsur metodis deskripsi: konsep-konsep pemikiran filsuf dijabarkan dan dijelaskan sehingga dapat dipahami pola pemikiran tersebut, paham-paham apa saja yang mempengaruhinya dan kemungkinannya berpengaruh terhadap pemikira lain. Verstehen: data yang telah dikumpulkan akan dipahami karakteristik masing-masing kemudian diketahui makna tiap-tiap data. Selanjutnya interpretasi: pemahaman atas data yang telah diperoleh dan diketahui maknanya melalui penerjemahan karya filsuf. 18 b. Heuristika, metode ini digunakan untuk menemukan suatu paradigma baru dari pemikiran Karl Rahner yang kemudian diharapkan dapat berperan bagi kehidupan beragama yang heterogenitas di Indonesia. F. Hasil yang Dicapai 1. Pemahaman tentang pengalaman religius Karl Rahner dalam ranah filsafat khususnya filsafat agama 2. analisis hasil relevansi pemikiran Rahner tentang pengalaman religius dalam konteks toleransi beragama di Indonesia G. Sistematika Penulisan Penulisan hasil penelitian ini dipaparkan sesuai dengan sistematika berikut: Bab I, memaparkan penjelasan umum tentang penelitian ini. Secara berurutan terdiri latar belakang penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, hasil yang akan dicapai, dan sistematika penelitian. Bab II, berisi paparan filsafat agama yang berkaitan dengan pengalaman religius, terdiri dari pengertian filsafat agama, pengalaman religius sebagai problem filsafat agama, serta tipe-tipe pengalaman religius dari beberapa tokoh. Bab III berisi biografi intelektual Karl Rahner beserta apa yang melatarbelakangi pemikirannya. Pada bagian ini juga akan dijabarkan secara garis besar usaha pembaharuan Gereja yang terdiri dari sebelum dan sesudah Konsili 19 Vatikan II beserta hasilnya; subbab riwayat hidup Karl Rahner dan karyanya; tokoh-tokoh yang mempengaruhi yang terdiri dari Thomas Aquinas dan Heidegger; serta pokok pikiran Rahner yang terdiri dari filsafat transendental Rahner, wahyu atau rahmat, sejarah dan simbol, serta dinamika akal budi. Bab IV, memaparkan hasil analisis atas pemikiran Karl Rahner tentang pengalaman religius. Urutan penyusunan hasil analisis penelitian ini adalah manusia sebagai roh sejarah dan roh pendengar, Kristen anonim sebagai sebuah kesatuan dalam keberagaman, pengalaman religius Rahner, serta relevansi pemikiran Rahner dalam konteks toleransi beragama di Indonesia. Bab V merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan umum dan mengusulkan beberapa saran oleh peneliti.