BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
1. Masalah Penelitian
Pengalaman hidup yang dialami manusia merupakan titik tolak hidup
beragama. Sejak zaman dahulu, manusia menghadapi gejala-gejala hidup tertentu
yang tidak dapat ditangkap secara rasional semata. Pengalaman yang dialami
manusia ditanggapi sebagai sebuah misteri. Theo Huijbers (1992: 58),
menyatakan bahwa suatu misteri tidak pernah dimengerti, namun tidak dapat
disangkal keberadaannya dalam pengalaman manusia.
Manusia selalu sadar akan suatu kenyataan misterius yang dihayati
sebagai asal dan tujuan dari segala sesuatu. Manusia mengungkapkan
kesadarannya itu dengan keanekaragaman bentuk dan cara. Kenyataan misterius
tersebut dipahami manusia sebagai suatu kekuatan atau suatu sosok yang disebut
Tuhan. Usaha menyelami dan menggambarkan Tuhan diwarnai oleh kebutuhan,
kecenderungan, keinginan, dan pikiran tiap-tiap individu.
Hidup manusia terdiri atas banyak bidang. Bidang yang berkaitan dengan
erat dengan misteri akan Tuhan tersebut yakni bidang religius. Huijbers(1992: 5859) menuliskan dalam bukunya bahwa bidang hidup yang paling dasar yaitu
bidang biologis. Manusia yang berada pada tahap bidang biologis yakni manusia
lahir,
berkembang,
dan
melakukan
perbuatan-perbuatan
untuk
memperkembangkan hidupnya seperti makan dan minum. Bidang-bidang hidup
2
manusia selanjutnya yaitu bidang ekonomis, sosial dan politik. Manusia yang
berada dalam bidang ini meliputi manusia segala kegiatan manusia dalam
hubungannya dengan barang-barang, dengan sesama manusia, dan peraturan
negara. Bidang selanjutnya yakni bidang intelektual di mana manusia
mengembangkan kemampuan rasionya, kemudian bidang estetis di mana manusia
mengembangkan
nilai
keindahan,
bidang
moral
di
mana
manusia
mengembangkan nilai kebaikan, dan bidang yang terakhir yaitu bidang religius
yaitu bidang di mana manusia mengembangkan nilai kesucian.
Sejarah umat manusia mencatat bahwa perkembangan kehidupan religius
manusia menurut garis evolusi cenderung menaik. Artinya, bahwa sejak
kehidupan primitif, manusia telah meyakini adanya kenyataan di luar dirinya yang
mempunyai kekuatan lebih besar daripada manusia. Di dalam kebudayaan
manusia primitif, terlihat suatu kesadaran religius yang cukup murni. Tuhan
dihayati sebagai pencipta, pemilik, dan Tuhan kehidupan. Kehidupan religius
manusia terus meningkat dan mulai tercampur dengan unsur-unsur duniawi,
misalnya kesuburan alam yang didewakan serta bencana alam yang disebabkan
kemarahan dewa (Dister, 1982: 48).
Pengalaman religius merupakan sebuah kebenaran yang faktual karena
bersumber pada pengalaman hidup manusia. Dister menjelaskan bahwa sebagai
makhluk yang berakal budi, manusia mengetahui kebenaran yang faktual dan
akali (Dister, 1982: 19). Sumber kebenaran akali berasal dari akal budi atau rasio
yang menalar. Contoh kebenaran akali yakni di bidang logika dan matematika.
Sumber kebenaran faktual yaitu pengalaman manusia. Apabila fakta-fakta tertentu
3
merupakan fakta material yang mempunyai sifat ruang dan waktu, maka
pengalaman yang diperlukan yakni pengalaman inderawi, sedangkan apabila
fakta-fakta yang bersangkutan mempunyai dimensi rohani atau melampaui ruang
dan waktu, maka yang diperlukan yaitu pengalaman rohani. Pengalaman religius
merupakan salah satu contoh dari pengalaman yang berdimensi rohani.
Dister (1982: 19) menjelaskan bahwa sejak zaman kuno sampai kini
selalu ada orang memberi kesaksian tentang pengalaman mereka di ranah religius.
Manusia yang mampu memberi kesaksian iman akan Tuhan dipahami sebagai
manusia yang telah mengalami pengalaman religius. Syarat mutlak supaya
seseorang dapat meyakini bahwa sebuah wahyu berasal dari Tuhan yakni
keyakinan bahwa adanya Tuhan. Keyakinan adanya Tuhan ini dimungkinkan oleh
pengalaman-pengalaman manusia itu sendiri yang lazim diistilahkan sebagai
pengalaman keagamaan.
Pengalaman religius menjadi sangat penting dalam kehidupan beragama
manusia hingga saat ini karena melalui pengalaman religius tersebut, manusia
dapat menguatkan iman kepercayaan seseorang terhadap keyakinan adanya
Tuhan. Filsuf Romano Guardini (Dister, 1985: 37) mengatakan bahwa
pengalaman religius dapat tahan uji dan mempertahankan diri di tengah
perubahan-perubahan zaman. Cara dan bentuk kongkrit pengalaman religius akan
berbeda-beda sesuai dengan tahap kebudayaan. Hal ini mengindikasikan bahwa
ada hubungan antara pengalaman religius dengan kemampuan manusia
memandang dunia secara simbolis. Pernyataan di atas mengandung arti bahwa
sejarah kuno mencatat manusia zaman dahulu mengenal Tuhan yang menyatu
4
dengan alam, selanjutnya berkembang menjadi Tuhan yang berelasi dengan alam,
hingga Tuhan yang sekuler dengan alam. Van Peursen mengistilahkannya dengan
alam pikiran mitis, ontologis, dan fungsional (Peursen 1988: 233).
Cara dan bentuk yang berbeda-beda dari pengalaman religius tersebut
akan hilang ditelan perubahan zaman tetapi pengalaman religius manusia akan
tetap ada. Hal ini terjadi karena disebabkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi
mengharuskan manusia untuk berubah pandangan bahwa penghayatan akan
Tuhan sebagai penyebab yang setara dengan penyebab-penyebab lain yang dapat
ditunjukkan oleh ilmu empiris. Kausalitas Tuhan merupakan kausalitas
transenden. Perubahan pandangan meyakini bahwa Tuhan merupakan kausalitas
transenden dan bukannya kausalitas intra-mundan (yang dapat diselidiki lewat
ilmu empiris) membuat pengalaman religius seseorang berubah bentuknya tetapi
tidak melenyapkannya sama sekali.
Salah satu tokoh yang pemikirannya berkaitan dengan pengalaman
religius ialah Karl Rahner. Rahner hidup pada zaman yang tergolong unik. Rahner
hidup dalam kehidupan agama Katolik tertentu dan meninggal dalam situasi
agama Katolik yang berbeda dengan masa sewaktu ia dilahirkan. Semasa Rahner
dilahirkan, agama Katolik dengan otoritas kepausannya menganggap satu-satunya
jalan keselamatan manusia kepada Tuhan adalah dengan jalan agama Katolik,
agama selain agama Katolik tidak diakui akan dapat membawa keselamatan bagi
manusia. Rahner dapat dikatakan meninggal dalam suasana di mana agama
Katolik berubah pandangan bahwa lewat agama selain Katolik, manusia juga akan
mencapai keselamatan. Lewat karya-karyanya, Rahner berperan besar dalam
5
perubahan tersebut. Dapat dikatakan bahwa Rahner mempunyai andil besar untuk
mengubah agama Katolik dari sifat eksklusif menjadi inklusif. Awal mulanya,
Rahner tidak diakui oleh otoritas Gereja Katolik tetapi pada tahun 1960-an ketika
Gereja Katolik mengadakan konsili Vatikan II, Rahner duduk sebagai ahli
teologinya. Rahner disebut-sebut sebagai salah seorang yang berpengaruh dalam
konsili tersebut (Kilby, 2001: 11).
Karen Kilby (2001: 11) menyatakan bahwa Rahner harus diperhitungkan
bukan hanya di kalangan para pemikir yang paling berpengaruh, namun juga di
kalangan pemikir yang paling menarik perhatian dalam teologi modern. Rahner
memiliki ciri khas dalam pemikiran keagamaannya, yaitu dengan ditempatkannya
pengalaman pada pusat pemikirannya tanpa mengesampingkan kepercayaan akan
arti penting sebuah dogma agama. Pemikiran Rahner sangat sistematis. Tulisantulisan yang dihasilkan mencerminkan gaya dan corak neo-skolastik. Hal ini
disebabkan pengaruh Thomas Aquinas demikian kuat dalam pemikiran Rahner.
Kilby (2001: 13) menjelaskan bahwa neo-skolastik merupakan sistem intelektual
yang sangat terstruktur. Sistem pemikiran ini menawarkan suatu dunia yang
tertata rapi, sehingga sejumlah permasalahan yang ada memungkinkan untuk
dipahami, diperdalam, dan dipecahkan. Lewat karya-karyanya, Rahner berusaha
untuk menerima pemikiran Katolik Roma sebagaimana adanya, Namun Rahner
juga tidak mengabaikannya, tetapi Rahner berusaha mengubahnya dari dalam.
Rahner menunjukkan bahwa segala sesuatu tidaklah tertata rapi sebagaimana yang
terlihat dalam sistem keagamaan Katolik, tetapi terdapat ruang bagi ide-ide baru,
pemikiran baru, serta keterlibatan agama Katolik dengan dunia modern.
6
Penempatan pengalaman manusia sebagai pusat pemikiran untuk
memandang sebuah dogma agama tersebut mengubah pandangan orang-orang
pada umumnya yang mempercayai begitu saja dogma agama. Hal ini
menunjukkan bahwa hubungan antara misteri Yang Ilahi dengan manusia ada
unsur yang menghubungkannya yaitu pengalaman religius manusia. Rahner dapat
dikatakan sebagai tokoh yang mengembangkan teologi transendental atau teologi
pengalaman yang didasarkan pada keyakinan bahwa Tuhan merupakan misteri
absolut dalam kehidupan manusia (Kilby, 2001: 13-14).
Pengalaman religius manusia menjadi salah satu pokok pembahasan
dalam diskursus kefilsafatan khususnya filsafat agama. Penelitian ini disusun
untuk membedah pengalaman religius yang dipahami oleh seorang tokoh, teolog,
dan filsuf agama terbesar yaitu Karl Rahner. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan
kontribusi atau relevansinya antara pemikiran Rahner dengan
kehidupan beragama di Indonesia dalam hal toleransi beragama. Topik toleransi
agama sudah sangat akrab dan menjadi bahan diskusi banyak orang. Namun yang
terjadi, toleransi agama masih belum terealisasikan secara maksimal dalam
kehidupan masyarakat Indonesia. Toleransi beragama Indonesia seperti berjalan di
tempat dan ada kecenderungan semakin dikuatkannya pembenaran suatu agama.
Toleransi dan kebenaran merupakan dua hal yang dapat dikatakan kontras karena
jika kebenaran agama semakin ditonjolkan, kecenderungan manusia akan fanatik
dan eksklusif terhadap agamanya sendiri yang tentu saja hal ini menjadi suatu
hambatan besar bagi terciptanya kehidupan bertoleransi agama di Indonesia.
7
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
a. Apa hakikat pengalaman religius menurut Karl Rahner?
b. Apa relevansi pemikiran Rahner dalam konteks toleransi hidup beragama
di Indonesia?
3. Keaslian Penelitian
Peneliti belum banyak menemukan penelitian tentang pemikiran Karl
Rahner secara filosofis. Beberapa penelitian serupa yang telah ditemukan antara
lain :
1. “Konsep Manusia menurut Karl Rahner”. Skripsi atas nama Stephanus
Kurniawan tahun 1993.
Stephanus Kurniawan dalam
skripsinya
menjelaskan konsep pemikiran Karl Rahner yang ditinjau dengan sudut
pandang filsafat manusia.
2. “Misteri Yang kudus dalam pengalaman religius menurut Rudolf Otto.
Skripsi tahun 2001 oleh Ajat S. Hasan. Skripsi ini membahas pemikiran
Rudolf Otto tentang pengalaman religius manusia yakni bagaimana
hubungan manusia dengan Tuhan dengan mengambil spesifikasi objek
yaitu misteri yang kudus.
Peneliti menemukan beberapa jurnal ilmiah bertemakan pengalaman religius.
Jurnal-jurnal tersebut antara lain :
8
1. “Appreciative
Awareness:
The
Feeling
Dimension
in
Religious
Experience” oleh J.J. Muller tahun 1984. Muller menjelaskan kesadaran
dan perasaan yang dialami seseorang dalam menjalani hubungan dengan
Tuhan dalam situasi doa. Muller memperbandingkan cara ritual doa yang
dilakukan orang Barat dengan Orang Timur.
2. “The Poetics of Religious Experience: The Islamic Context” oleh Aziz
Esmail tahun 1998. Aziz Esmail meneliti pengalaman religius yang
dituliskan lewat karya seni terutama puisi-puisi dari Jalal al-Din Rumi,
Ibnu al- Arabi hingga filsuf Al-Ghazali. Kesimpulan yang didapat Aziz
Esmail bahwa ekspresi penyair lewat puisi menunjukkan pengalaman
religius merupakan sebuah pencarian akan kebenaran.
3. “ The Significance of Religious Experience” oleh Howard Wettstein tahun
2008. Howard Wettstein menulis hubungan pengalaman religius dengan
pengalaman hidup manusia. Pengalaman hidup manusia hendaknya tidak
hanya didasarkan atas dogma agama yang bersifat metafisika saja tetapi
nyata yang didasarkan atas pengalaman religius yang dialami manusia.
Berdasarkan hasil temuan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada
penelitian yang sama dengan penelitian yang hendak disusun.
4. Manfaat yang diharapkan
Penelitian Filsafati ini diharapkan membawa manfaat:
a. Bagi peneliti, penelitian ini memberikan pemahaman yang menyeluruh
dan mendalam tentang pemikiran filosofis Karl Rahner.
9
b. Bagi Ilmu, menjadi wacana baru dalam bidang filsafat khususnya filsafat
agama berkaitan dengan pengalaman religius.
c. Bagi bidang penelitian terkait, bermanfaat sebagai inventaris kepustakaan,
wahana diskusi, dan memperkaya kajian teoritis filsafat agama dengan
memperkenalkan Karl Rahner bukan sebagai seorang teolog tetapi sebagai
seorang filsuf besar.
d. Bagi Pembangunan Bangsa dan Negara, menjadi pembelajaran baru
berkaitan pemikiran Rahner tentang pengalaman religius untuk dapat
dipraktekkan dalam kehidupan heterogenitas keberagamaan di Indonesia.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan :
1. mendeskripsikan secara filosofis pemikiran Karl Rahner tentang
pengalaman religius manusia
2. mengkaji relevansi pemikiran Rahner tentang pengalaman religius dalam
konteks hidup toleransi beragama di Indonesia.
C. Tinjauan Pustaka
Pengalaman religius seringkali dipahami sebagai pengalaman individu
yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun karena pengalaman religius
menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhannya. Namun tidak dapat
disangkal pengalaman religius manusia termasuk problem of religion khususnya
10
filsafat agama karena pengalaman tidak hanya dialami oleh satu atau beberapa
orang saja. William James berusaha untuk menjembatani permasalahan
pengalaman religius manusia tersebut dengan membuat kategorisasi agama
menjadi dua yaitu agama institusional dan agama personal (Aslan, 2003: 299).
Kategori pertama James menjelaskan bahwa yang dimaksud agama institusional
adalah agama yang berpusat pada pemujaan dan pengorbanan, prosedur-prosedur
keagamaan yang dilakukan berhubungan dengan ilahi, dan fokus pada teologi,
upacara serta organisasi keagamaan (James, 2004: 89). Agama institusional
dengan demikian dapat diartikan sebagai sebuah seni eksternal atau seni untuk
menyenangkan Tuhan.
Kategori kedua yaitu agama personal. Agama personal merupakan agama
yang bersifat lebih pribadi, minat utama yakni watak batin manusia sendiri seperti
kesadaran, rasa kesepian, ketidakberdayaan sehingga pertolongan Tuhan baik itu
muncul sebagai penebusan atau balasan masih dominan. James menekankan
agama personal merupakan hubungan yang berjalan langsung dari hati ke hati,
dari jiwa ke jiwa, antara manusia dengan penciptanya (James, 2004: 90).
Jika membahas tentang pengalaman beragama, pertama-tama yang
dibicarakan yakni tentang pengalaman. Yuwono Murjoko (1981: 7) menjelaskan
pengalaman merupakan suatu pengetahuan yang timbul bukan pertama-tama dari
pikiran melainkan dari pergaulan praktis di dunia. Pergaulan tersebut merupakan
pergaulan yang bersifat langsung, intuitif, dan afektif dengan orang dan benda.
Unsur penting pengalaman yakni emosi dan keinderawian manusia sehingga
11
pengalaman dapat disebut sebagai pengetahuan pasif yaitu manusia mengalami
maka manusia merasakan.
Pengalaman religius memiliki kecenderungan ke arah kategori agama
yang kedua yaitu agama personal. Hal ini dikuatkan oleh tulisan Theodore M.
Steeman (1971: 15) bahwa :
“ Every experience is at the same time a self-experience. I am not just
aware of the object before me or of the sound that I hear, but I am aware
that it is I who see the object or hear the music. Therefore, even in its
religious experience not only reveals the Sacred to me but also myself. I
become aware of my being related to the Sacred and in that sense discover
who I am. I am given to myself in a different way once I have experienced
that I am related to or stand in a relationship with the Sacred beyond.
Dister (1982: 18) menyatakan gejala agama yang terdapat pada bangsa
manusia adalah gejala agama evolutif. Artinya bahwa keberagamaan manusia
berkaitan dengan kebudayaan manusia. Di Dunia Barat, perkembangan
keberagamaan manusia bahkan tidak dapat dipandang lagi sebagai sesuatu yang
ada dengan sendirinya dan keberagamaan manusia khususnya pengalaman religius
telah menjadi salah satu persoalan dalam kehidupan mereka.
Penyebab pengalaman religius dapat menjadi persoalan dalam kehidupan
keberagamaan manusia khususnya di dunia Barat adalah proses rasionalisasi.
Proses rasionalisasi pengalaman religius tersebut telah dimulai sejak timbulnya
filsafat dalam kebudayaan Yunani kuno. Hal demikian terjadi ketika manusia
sadar dalam hidupnya selain ada hal yang rasional, ada juga hal yang irasional.
Maksud irasional tersebut adalah yang tidak berasal dari rasio atau sekurangkurangnya tidak atau belum dapat diolah oleh rasio. Bidang yang tergolong
irasional yaitu bidang perasaan, khayalan, dan nafsu (Dister, 1982: 19).
12
Bagi orang-orang zaman kebudayaan Yunani kuno, misteri Ilahi
menyatakan diri dalam gejala ekstase dan mimpi serta fenomena-fenomena yang
bersifat irasional. Namun, setelah timbulnya filsafat sejak Sokrates, mulailah
proses rasionalisasi. Proses rasionalisasi tersebut berdampak pada segala sesuatu
yang bersifat irasional termasuk di dalamnya adalah perasaan atau pengalaman
religius, pandangan mitis, dan mantra magis. Lambat laun, pengalaman religius
mulai terdesak karena perkembangan ilmu pengetahuan berkembang ke arah
rasional sehingga mencurigai segala sesuatu yang bersifat irasional. Terdesaknya
pengalaman religius karena proses rasionalisasi tersebut tidak berarti bahwa
pengalaman religius lenyap seluruhnya. Dister (1982: 20) mengungkapkan proses
rasionalisasi tersebut membuat manusia modern semakin bersikap kritis terhadap
pengalaman religius. Orang cenderung mencurigai pengalaman keagamaannya
karena unsur khayalan dan angan-angan yang dapat terkandung di dalamnya
justru karena coraknya yang irasional tersebut.
Pengalaman religius berkaitan erat dengan sesuatu Yang Kudus. Hal ini
tampak dalam upacara-upacara keagamaan tertentu. Apabila ada agama tertentu
yang melakukan upacara-upacara religius yang dianggap bersifat magi, hal ini
mengandung makna bahwa agama sebagian besar dihayati sebagai sarana untuk
menampilkan kekuatan-kekuatan ajaib yang sebenarnya salah satu unsur dari
pengalaman religius (Huijbers, 1992: 63).
Apabila disepakati bahwa pengalaman religius merupakan titik tolak
hidup beragama, maka kedudukan seorang beragama menjadi jelas karena suatu
pengalaman religius telah mengarahkan perhatiannya kepada asal hidup manusia.
13
Asal hidup manusia tersebut merupakan sesuatu yang lebih tinggi daripada
manusia itu sendiri. Pengalaman-pengalaman religius dapat membuat manusia
menyatakan suatu keagungan Tuhan. Dampak yang ditimbulkan dari keyakinan
tersebut yaitu sabda Tuhan (yang disampaikan lewat Nabi dan kitab suci) tidak
asing lagi bagi eksistensi manusia di dunia. Hal demikian dapat terjadi karena
kepercayaan muncul dari eksistensi manusia sendiri, yang mengalami dunia
sebagai suatu rahasia, sehingga dunia dapat menjadi simbol atau lambang
kehadiran Tuhan di dunia (Huijbers, 1992: 64). Singkatnya, pengalaman religius
manusia merupakan suatu pengalaman yang membawa manusia ke arah sebuah
kepercayaan, tentu saja kepercayaan akan adanya realitas mutlak yang disebut
Tuhan.
D. Landasan Teori
Pengalaman religius merupakan salah satu problem of religion terutama
filsafat agama. Dister menunjukkan dalam bukunya (1982: 19) bahwa pengalaman
religius telah menjadi persoalan filsafat agama sejak kehidupan manusia sendiri
yang membuka ke arah religiositas. Hal ini dapat terjadi karena religiositas
tersebut berkaitan erat dengan kebudayaan dan kebudayaan berkaitan erat dengan
keberagaman manusia. Akhirnya keinderawian, afeksi, dan emosi yang terdapat
dalam kebudayaan yang religius ini memiliki peranan besar dalam pengalaman
rohani manusia. Dister memandang bahwa filsafat agama sebagai suatu kajian
filosofis mampu untuk menjelaskan permasalahan bagaimana pengalaman religius
itu dialami dan dipahami oleh manusia.
14
Filsafat agama mempunyai tugas melanjutkan pekerjaan teologi dengan
memanfaatkan kemampuan akal atau rasio manusia. Johnstone (1992: 14)
mendefinisikan filsafat agama merupakan suatu penafsiran dan tanggapan orang
terhadap sesuatu yang sakral dan supernatural. Syarif Hidayatullah (2006: 134)
mengungkapkan filsafat dan agama sesungguhnya mendapatkan titik temu pada
bidang yang sama yaitu the Ultimate Reality. Filsafat agama dapat diartikan
sebagai upaya pencarian akan realitas yang absolut dengan analisis manusia
menggunakan akal yang dimiliki.
Karl Rahner seperti yang dikutip oleh Amsal Bakhtiar (1997: 15)
menjelaskan filsafat agama merupakan sebuah antropologi metafisik yang harus
bersifat teologi dasar, yaitu manusia sebagai pribadi bebas yang tidak dapat tidak
berhadapan dengan Tuhan tanpa kesediaan Tuhan untuk mewahyukan diriNya.
Rahner mengatakan ciri khas filsafat agama yaitu keterbukaan siap sedia dan
kesediaan yang terbuka bagi teologi. Rahner memahami filsafat agama harus
mampu untuk menunjukkan secara filosofis tentang agama dan Tuhan. Bagi
Rahner, bagaimanapun juga proses mempertanyakan hakikat agama harus sampai
kepada pengenalan Tuhan transenden, absolut, dan personal.
Geddes Mac Gregor seperti yang dikutip Amsal Bakhtiar (1997: 16)
memahami objek pembahasan filsafat agama harus dibedakan antara hal yang
menarik hati dalam agama dan berpikir tentang agama. Hal ini mengindikasikan
bahwa Gregor membedakan antara aktivitas hati dan aktivitas akal manusia. Hal
demikian dapat didefinisikan filsafat agama diharapkan mampu mempergunakan
akal yang dimiliki manusia untuk memahami sesuatu yang supernatural dalam
15
manusia sehingga pengalaman religius manusia tidak hanya berkutat dengan
urusan hati manusia yang menjadikan pengalaman religius menjadi sesuatu yang
abstrak dan tak mampu dipahami oleh manusia.
Penggunaan filsafat sebagai alat bantu atau instrumen dalam pemikiran
teologi seperti yang dipahami oleh Rahner (1970: 21), bahwa filsafat
mengusahakan suatu yang lebih dari sekadar refleksi transendental untuk
menghasilkan sebuah agama aktual. Revolusi keagamaan seperti inilah yang
ditawarkan oleh Rahner bahwa dalam memahami dan mengenal Tuhan bukan
semata-mata menggunakan daya kemampuan dari hati tetapi pentingnya
menggunakan akal budi.
E. Metode Penelitian
1. Bahan Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan sebuah penelitian kepustakaan dengan
berdasarkan dua macam bahan yaitu pustaka utama dan pustaka sekunder. Pustaka
utama adalah tulisan-tulisan dari Karl Rahner, sedangkan pustaka sekunder
merupakan materi yang bersumber dari buku, jurnal, artikel, dan tulisan lain yang
terkait dengan tema penelitian ini.
a. Pustaka utama
1) Hearers of the word (1969)
2) Spirit in the World (1968) (Translated by William Dych)
b. Pustaka Sekunder:
16
1) Dister, Nico Syukur. 1985. Filsafat Agama Kristiani. Kanisius:
Yogyakarta.
2) Kilby, Karen. 2001. Karl Rahner. Kanisius: Yogyakarta.
3) James, William. 2004. Perjumpaan dengan Tuhan: Ragam Pengalaman
Religius (Diterj dari Judul asli The Varietes of Religious Experience oleh
Gunawan Admiranto). Mizan Media Utama: Bandung.
4) Tallon, Andrew. 1984. Karl Rahner: Philosopher (1904-1984). Jurnal
Philosophy Today.
2. Jalan penelitian
Proses penelitian ini dilaksanakan melalui tahapan sebagai berikut:
a. Inventarisasi data. Pada tahap ini penulis mengumpulkan data yang dapat
dibagi menjadi dua bagian. Pembagian data tersebut berdasarkan pada
objek material dan objek formal penelitian. Data yang pertama berisi
pustaka tentang filsafat agama, khususnya tentang pengalaman religius.
Data yang kedua berisi tentang pustaka mengenai pemikiran Karl Rahner
yang terdapat dalam karya-karyanya. Data-data tersebut dikumpulkan
sebanyak mungkin melalui penelusuran di berbagai perpustakaan maupun
melalui penelusuran internet.
b. Pengklasifikasian data. Jika pada tahap pengumpulan data penulis
mengumpulkan data sebanyak mungkin, maka pada tahap ini data yang
telah diperoleh mulai diklasifikasikan dan dipilah-pilah berdasarkan bab
17
dan sub-bab yang telah penulis susun sesuai dengan rencana dan
kebutuhan.
c. Analisis data. Data yang telah diklasifikasikan mulai dianalisis sesuai
dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian
d. Penyajian data, yaitu memaparkan hasil analisis secara sistematis dan
teratur berdasarkan sub-sub bab yang telah ditentukan. Penyajian data
diawali dari pokok-pokok pikiran atau unsur-unsur yang paling mendasar
dan sederhana, kemudian menuju pada pokok pembahasan yang lebih
rumit.
3. Analisis Hasil
Data dalam penelitian ini dianalisis menggunakan metode sebagai berikut:
a. Hermeneutika dengan tiga unsur metodis yaitu deskripsi, verstehen
(pemahaman), dan interpretasi. Unsur metodis deskripsi: konsep-konsep
pemikiran filsuf dijabarkan dan dijelaskan sehingga dapat dipahami pola
pemikiran tersebut, paham-paham apa saja yang mempengaruhinya dan
kemungkinannya berpengaruh terhadap pemikira lain. Verstehen: data
yang telah dikumpulkan akan dipahami karakteristik masing-masing
kemudian diketahui makna tiap-tiap data. Selanjutnya interpretasi:
pemahaman atas data yang telah diperoleh dan diketahui maknanya
melalui penerjemahan karya filsuf.
18
b. Heuristika, metode ini digunakan untuk menemukan suatu paradigma baru
dari pemikiran Karl Rahner yang kemudian diharapkan dapat berperan
bagi kehidupan beragama yang heterogenitas di Indonesia.
F. Hasil yang Dicapai
1. Pemahaman tentang pengalaman religius Karl Rahner dalam ranah filsafat
khususnya filsafat agama
2. analisis hasil relevansi pemikiran Rahner tentang pengalaman religius
dalam konteks toleransi beragama di Indonesia
G. Sistematika Penulisan
Penulisan hasil penelitian ini dipaparkan sesuai dengan sistematika
berikut:
Bab I, memaparkan penjelasan umum tentang penelitian ini. Secara
berurutan terdiri latar belakang penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka,
landasan teori, metode penelitian, hasil yang akan dicapai, dan sistematika
penelitian.
Bab II, berisi paparan filsafat agama yang berkaitan dengan pengalaman
religius, terdiri dari pengertian filsafat agama, pengalaman religius sebagai
problem filsafat agama, serta tipe-tipe pengalaman religius dari beberapa tokoh.
Bab III berisi biografi intelektual Karl Rahner beserta apa yang
melatarbelakangi pemikirannya. Pada bagian ini juga akan dijabarkan secara garis
besar usaha pembaharuan Gereja yang terdiri dari sebelum dan sesudah Konsili
19
Vatikan II beserta hasilnya; subbab riwayat hidup Karl Rahner dan karyanya;
tokoh-tokoh yang mempengaruhi yang terdiri dari Thomas Aquinas dan
Heidegger; serta pokok pikiran Rahner yang terdiri dari filsafat transendental
Rahner, wahyu atau rahmat, sejarah dan simbol, serta dinamika akal budi.
Bab IV, memaparkan hasil analisis atas pemikiran Karl Rahner tentang
pengalaman religius. Urutan penyusunan hasil analisis penelitian ini adalah
manusia sebagai roh sejarah dan roh pendengar, Kristen anonim sebagai sebuah
kesatuan dalam keberagaman, pengalaman religius Rahner, serta relevansi
pemikiran Rahner dalam konteks toleransi beragama di Indonesia.
Bab V merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan umum dan
mengusulkan beberapa saran oleh peneliti.
Download