Media Kedokteran Hewan Vol. 21, No. 3, September 2005 Peneraan Antibodi Serum Mencit (Mus musculus) Sebelum dan Setelah Imunisasi dengan Sediaan Antifertilitas Zona Pelusida-3 Kambing Determination of Antibody in Serum of Mice (Mus musculus) Before and After Immunizations Using Antifertility Agent Goat Fraction-3 Zona Pellucida Tjuk Imam Restiadi 1 , Imam Mustofa 1 dan Suwarno 2 1 Laboratorium Kebidanan Veteriner, 2 Laboratorium Virologi dan Imunologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Abstract The aim of the study was to determine th e changing of optical density of antibody of mice (Mus musculus) immunized with 40 μg of fraction 3 of goat zona pellucida (gZP3) as an anti fertility agent. Each of the mice injected three times, once as the first immunization and twice as booster in 14 days interval respectively. The first immunization, gZP3 suspension was diluted with Complete Freund’s Adjuvant (CFA), meanwhile the booster gZP3 suspension was diluted with Incomplete Freund’s Adjuvant (IFA) 1:1. Blood samples collection for serum were carried out four times, i.e. before first immunization, before first booster, before second booster and after second booster. The measurement of antibody mice in serum using Elisa technique indicated the increasing (p<0.05) of optical density serum from after the first immunization until before the second booster injection. It could be concluded that gZP3 was effective as an immuno contraceptive substance. Key Words : fraction-3 of goat zona pellucida, pregnancy rate, litter size. Pendahuluan Zona pelusida mamalia merupakan lapisan glikoprotein ekstraseluler yang berperan penting pada interaksi antara sel spermatozoa dengan sel telur pada saat fertilisasi (Gupta et al., 1997; Tsubamoto et.al., 1999). Zona pelusida mengandung tiga jenis glikoprotein yang spesifik secara biokimiawi atau imunologi yaitu ZP1, ZP2 dan ZP3. Diantara tiga komponen glikoprotein tersebut, ZP3 yang berperan penting dalam fertilisasi, karena ZP3 berfungsi sebagai reseptor primer pengenalan terhadap spermatozoa (Tsubamoto et al., 1999). Sehingga ZP3 merupakan antigen potensial untuk target imunokontrasepsi (Gupta et al., 1997; McCartney and Mate, 1999; Sumitro dan Aulani’am, 2001; Aulani’am et al., 2003). Penelitian-penelitian menggunakan zona pelusida berbagai spesies untuk imuno-kontrasepsi sampai saat ini belum sampai pada tahap produksi secara komersial. Beberapa efek samping masih dijumpai khususnya terhadap ovarium (Kerr et al., 1998), yai tu terjadinya gangguan folikulogenesis dan penekanan terhadap primordial follicle pool (Paterson et al., 1999; Hasegawa et al., 2002). Perubahan komposisi struktur fungsional ovarium tersebut dapat menimbulkan 127 perubahan profil hormon estrogen dan progesteron, sehingga menimbulkan perubahan siklus birahi. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menggunakan ZP3 kambing (goat zona pellucida 3, gZP3) ternyata tidak mempengaruhi siklus birahi hewan coba (Mulyati dkk., 2003) dan efektif mencegah kebuntingan tanpa diikuti efek abortivum (Mustofa dkk., 2004a). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui perubahan antibodi dalam serum sebelum dan sesudah imunisasi dengan gZP3. Metode Penelitian Bahan imunokontrasepsi untuk penelitian ini (Zona Pelusida-3 Kambing, gZP3) diperoleh dari penelitian sebelumnya (Mustofa dkk., 2003 ; Mustofa dkk., 2004b). Teknis preparasi gZP3 dilakukan di Tropical Disease Center (TDC) Universitas Airlangga, sebagai berikut. Ovarium kambing diperoleh dari Rumah Potong Hewan Pegirikan, Surabaya. Oosit dikumpulkan dengan cara aspirasi folikel-folikel berdiameter 2–5 mm pada ovarium. Oosit dibebaskan dari reruntuhan sel-sel kumulus dengan cara dipindahkan Tjuk Imam Restiadi dkk.; Peneraan Antibodi Serum Mencit (Mus musculus) Sebelum dan … tiga kali dari petri ke petri yang berisi media Phosphate Bufer Saline (PBS). Pemindahan dilakukan menggunakan pipet mikro dengan pengamatan menggunakan mikroskop disecting pada pembesaran 40 kali. Zona pelusida (Zp) dari oosit di bawah pengamatan mikroskop disecting dipecah secara manual menggunakan dua jarum tuberkulin untuk membebaskannya dari ooplasma. Zona pelusida selanjutnya dihisap satu per satu sambil dihitung jumlahnya kemudian dikumpulkan pada tabung Eppendorf 1,5 ml untuk diproses lebih lanjut. Penentuan masing-masing komponen zo na pelusida kambing (gZP) berdasarkan massa molekul relatif (Mr) dilakukan dengan SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulphate - Polyacrylamide Gel Electrophoresis) menggunakan electrophoresis set mini protein gel (BioRad). Pada penelitian ini running gel digunakan dengan konsentrasi 12 %. Elusi untuk mengisolasi gZP3 (band urutan ketiga) dilakukan dengan elektroforesis horisontal. Eluat dikonfirmasi kebenarannya (apakah benar band gZP3 yang telah diisolasi) dengan cara di-running ulang dalam SDSPAGE. Mencit (Mus musculus) betina 10 ekor diimunisasi secara subkutan dengan 40 µg gZP3 dalam larutan Freund’s Adjuvant (FA) dengan dua kali booster. Imunisasi pertama dengan suspensi gZP3 dilarutkan dalam Complete Freund’s Adjuvant (CFA) perbandingan 1 : 1, booster dilakukan dua kali dengan pelarut Incomplete Freund’s Adjuvant (IFA) perbandingan 1 : 1, dengan interval 14 hari. Pengambilan contoh darah untuk koleksi serum dilakukan dari arteri orbitalis sebanyak empat kali, yaitu sebelum imunisasi, setelah penyuntikan pertama (sebelum booster pertama), setelah booster pertama (sebelum booster kedua), dan setelah imunisasi (setelah booster kedua). Peneraan antibodi serum dengan teknik Elisa indirek (Burgess et al., 2000) dilakukan di Laboratorium Virologi dan Imunologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Data nilai Optical Density antibodi yang diperoleh dianalisis dengan uji Anova yang dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil pada taraf kepercayaan 5 %. Uji statistik dilakukan dengan menggunakan Aplikasi Statistik SPSS for Windows (Santosa, 2001). Hasil dan Pembahasan Sebagaimana diketahui zona pelusida mamalia merupakan lapisan glikoprotein ekstra seluler yang memegang peranan penting dalam inisiasi interaksi antara sel spermatozoa dengan sel telur (Greenhouse et al., 1999; Harris et al., 1999), untuk selanjutnya menghasilkan fertilisasi (Gupta et al., 1997 ; Tsubamoto et.al., 1999). Pengikatan antigen zona pelusida tersebut dengan antibodinya akan menghambat fusi gamet dan menimbulkan kegagalan fertilisasi (Naz et al., 1995 ; Aitken et al. 1996 ; Ndolo et al., 1996). Massa molekul relatif (Mr) ZP3 kambing adalah 82 kDa (Mustofa dkk., 2003). Menurut Austyn and Wood (1994) molekul protein dengan Mr lebih dari 10 kDa efektif sebagai imunogen. Respon imun terjadi dengan terbentuknya antibodi spesifik terhadap molekul gZP3. Menurut Lee dan Chi (1985) suatu bahan efektif sebagai antifertilitas apabila menimbulkan angka infertilitas lebih dari 60 %. Pada penelitian sebelumnya, imunisasi dengan 20 μg dan 40 μg gZP3 berturut-turut dengan angka infertilitas 80 % dan 100 % (Mustofa dkk., 2004a). Pada penelitian ini menggunakan dosis 40 μg gZP3. Titer antibodi serum sebelum dan sesudah masing-masing penyuntikan pada proses imunisasi dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 1. Tabel 1. Nilai Optical Density Serum Me ncit (Mus musculus) Sebel um dan Setelah Penyuntikan dengan Zona Pelusida 3 (ZP3) Kambing. Wa kt u Pen genc eran 20 40 80 160 320 640 Sebelum Imunisasi 0.542 a) 0.494 a) 0.373 a) 0.256 a) 0.171 a) 0.101 a) Sebelum Booster 1 0.921 b) 0.853 b) 0.643 b) 0.441 b) 0.294 b) 0.175 b) Sebelum Booster 2 1.355 c) 1.259 c) 0.951 c) 0.652 c) 0.434 c) 0.258 c) Setelah Imunisasi 1.490 c) 1.351 c) 1.020 c) 0.699 c) 0.466 c) 0.277 c) Superskrip berbeda pada kolom sama, berbeda bermakna (p<0,05). 128 Media Kedokteran Hewan Vol. 21, No. 3, September 2005 1.6 1.4 Optical Density 1.2 1.0 Sebelum Imunisasi 0.8 Sebelum Booster I Sebelum Booster II 0.6 Setelah Imunisasi 0.4 0.2 0.0 20 40 80 160 320 640 Pengenceran (kali) Gambar 1. Kurva nilai optical density serum mencit (Mus musculus) sebelum dan setelah penyuntikan dengan zona pelusida 3 (ZP3) kambing. Pada penelitian ini terdapat kenaikan nyata (p<0,05) nilai optical density antibodi dalam serum antara sebelum imunisasi, setelah penyuntikan pertama (sebelum booster pertama), sampai dengan setelah booster pertama (sebelum booster kedua). Nilai optical density antibodi tersebut relatif tetap sama tinggi (p>0,05) antara setelah booster pertama (sebelum booster kedua) dan setelah imunisasi (setelah booster kedua) pada pengenceran 20 sampai dengan 640 kali. Pada data tersebut tampak serum mencit sebelum imunisasi ternyata juga menunjukkan adanya nilai optical density. Hal ini berarti pada mencit betina kontrol tersebut memiliki antibodi terhadap zona pelusidanya sendiri (autoimunitas). Auto antibodi terhadap zona pelusida tersebut dapat dikenali oleh gZP3, antigen yang dipakai pada uji Elisa. Data ini menjadi penjelasan data sebelumnya (Mustofa dkk., 2004a). bahwa imunisasi mencit (Mus musculus) dengan substansi yang heterolog, yaitu gZP3 mampu mencegah kebuntingan. Elisa untuk menera titer antibodi dalam serum dengan antigen homolog menghasilkan reaksi positif paling kuat, namun reaksi silang dapat terjadi (Sadler et al., 2000; Hasegawa et al., 2002; Paterson et al., 2002; Srivastava et al., 2002). Anti serum terhadap peptida zona pelusida babi, kelinci dan manusia paling kuat bereaksi terhadap peptida yang homolog, tetapi dapat terjadi reaksi silang dengan derajat yang berbeda-beda dari ketiganya (Hasegawa et al., 2002). Pembentukan antibodi dalam individu berdasarkan waktu pemaparannya dapat dibedakan menjadi dua tahap, yaitu respon imun primer dan 129 respon imun sekunder (Herscowitz, 1993 ; Austyn and Wood, 1994 ; Goldsby et al., 2000). Penyuntikan suatu substansi asing ke dalam tubuh hewan akan menghasilkan antibodi spesifik dalam darah setelah beberapa waktu, yang disebut periode induktif atau periode laten. Antibodi dapat dideteksi 5–7 hari sesudah penyuntikan protein yang larut air. Setelah timbulnya antibodi pertama dimulailah biosintesis aktif antibodi sehingga terjadi peningkatan konsentrasi antibodi secara logaritmik, yang mencapai titer antibodi tertinggi setelah 8–12 hari. Kadar antibodi setelah imunisasi adalah selisih antara angka sintesis dengan angka katabolik antibodi. Apabila angka ini sama, maka kadar antibodi konstan (fase plateau). Apabila angka katabolik lebih besar daripada angka sintesis, maka respon imun memasuki fase penurunan (Herscowitz, 1993). Respon imun primer pada umumnya ditandai oleh keberadaan imunoglobulin M (IgM) yang lebih dominan daripada imunoglobulin G (IgG) (Herscowitz, 1993 ; Goldsby et al., 2000). Pemaparan kedua terhadap imunogen yang sama menyebabkan penambahan respon imun menyolok berupa munculnya sel-sel imunokompeten dan antibodi yang dipercepat. Pada respon sekunder periode laten lebih pendek, angka sintesis antibodi lebih cepat, puncak titer antibodi bertahan lebih lama, daya gabung antibodi lebih tinggi, lebih banyak terdapat sel memori, dan lebih banyak IgG (Herscowitz, 1993; Austyn and Wood, 1994; Goldsby et al., 2000). Pada analisis antigenik ditemukan perbedaan relatif kecil berdasarkan substansi rangkaian asam amino dan ikatan disulfida diantara IgG, yaitu subkelas IgG1, IgG2, IgG3 dan IgG4 (Bernier, 1993). Tjuk Imam Restiadi dkk.; Peneraan Antibodi Serum Mencit (Mus musculus) Sebelum dan … Menurut Barber and Fayrer-Hosken (2000), pada hewan yang diimunisasi dengan preparat yang berasal dari zona pelusida, level IgG dalam sistem sirkulasi berkorelasi positif dengan infertilitas yang terjadi. IgG tersebut akan terikat pada glikoprotein ZP3 (reseptor spermatozoa) selama oosit masih berada dalam folikel de Graaf. Setelah ovulasi ikatan antara IgG dengan ZP akan ditambah oleh ikatan antibodi yang ada dalam oviduk. Ikatan antara IgG dengan ZP menyebabkan blokade terhadap reseptor fertilisasi. Kesimpulan Imunisasi mencit (Mus musculus) betina dengan gZP3 menyebabkan terjadinya peningkatan (p<0,05) titer antibodi sebelum dan sesudah masing-masing imunisasi pertama, sampai dengan penyuntikan booster pertama. Nilai optical density antibodi tersebut relatif tetap tinggi antara booster pertama maupun booster kedua. Dengan demikian, imunisasi menggunakan gZP3 cukup dilakukan dua kali, yaitu sekali imunisasi pertama dan sekali booster. Ucapan Terimakasih Penelitian ini merupakan bagian dari Penelitian Hibah Bersaing XI/2 tahun 2004, yang diketuai oleh penulis kedua. Ucapan terimakasih disampaikan kepada Ditbinlitabmas Ditjen Dikti, Depdiknas yang telah membiayai penelitian ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Saudari Helen, Laboran Tropical Disease Center yang membantu preparasi gZP3, dan Bapak Puryoto serta Saudari Widya Pratitisari, yang telah membantu pelaksanaan penelitian pada hewan coba. Daftar Pustaka Aitken, R.J., M. Paterson, and M. van Duin 1996. The potential of the zona pellucida as a target for immunocontraception. Am J Reprod Immunol 35 (3) : 175-80. Aulani’am, S.B. Sumitro, S. Hardjopranjoto, Sutiyoso and T.Soendoro. 2003. Bovine Zona Pellucida 3 Deglycosylated (bZP3dG) and The Prospect for Immunocontraceptive Vaccione. Media Kedokteran Hewan 19(3) :117 – 120. Austyn, J.N. and K.J. Wood. 1994. Principle of cellular and molecular immunology. Oxford : Oxford University Press, Pp 39-46. Barber, M.R. and R.A. Fayrer-Hosken. 2000. Possible mechanisms of mammalian immunocontraception. J Reprod Immunol 46: 103–124. Bernier, G.M. 1993. Antibodi dan imunoglobulin : Struktur dan fungsi. Dalam : Bellanti, J.A. (Eds) Immunology III. Terjemahan A.S. Wahab. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, Hal 86 - 95. Burgess, G.W. 2000. Teknologi elisa dalam diagnosis dan penelitian. Penerjemah : Wayan T. Artama. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Hal. 56-69. Epifano, O. and J. Dean. 1994. Biology and structure of the zona pellucida: a target for immunocontraception. Reprod Fertil Dev 6 (3) : 319-30. Goldsby, R.A., T.J. Kindt and B.A. Osborne. 2000. Kuby immunology. 4th Ed. New York : W.H. Freeman and company, Pp 10-15. Greenhouse S, Castle PE, and Dean J, 1999. Antibodies to human ZP3 induce reversible contraception in transgenic mice with humanized zonae pellucidae. Hum Reprod 1999 Mar ; 14(3):593-600. Gupta, S.K., P. Jethanandani, A. Afzalpurkar, R. Kaul and R. Santhanam. 1997. Prospects of zona pellucida glycoproteins as immunogens for contraceptive vaccine. Hum Reprod 3(4): 311-24. Harris, J.D., C.A. Seid, Fontenot, G.K. and Liu H.F. 1999. Expression and purification of recombinant human zona pellucida proteins. Protein Expr Purif 1999 Jul;16(2):298-307. Hasegawa, A., Y. Hamada, M. Shigeta, and K. Koyama. 2002. Contraceptive potential of synthetic peptides of zona pellucida protein (ZPA). J Reprod Immunol 53 : 91-98. Herscowitz, H.B. 1993. Imunofisiologi : Fungsi sel dan interaksi seluler dalam pembentukan antibodi. Dalam : Bellanti, J.A. (Eds) Immunology III. Terjemahan A.S. Wahab. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, Hal 127-136. Kerr, L.E., M. Paterson and R.J. Aitken. 1998. Molecular basis of sperm – egg interaction and the prospect for immunocontraception. J Reprod Immunol. 40 : 103-118. Lee, E.B. and H.C. Chi. 1985. Female infertility evaluation of natural products. Proceeding from the UNESCO Regional Workshop. Seoul, Pp 18-22. McCartney, C.A. and K.E. Mate. 1999. Cloning and characterisation of a zona pellucida 3 cDNA from a marsupial, the brushtail possum Trichosurus vulpecula. Zygote 7 (1) : 1-9. Mulyati, S., I. Mustofa, dan S. Utama. 2004. Pengaruh Zona Pelusida Fraksi 3 (ZP3) Kambing Sebagai Bahan Antifertilitas terhadap Sikus Birahi Mencit (Mus musculus) Media Kedokteran Hewan 20 (1) : 22 – 25. 130 Media Kedokteran Hewan Mustofa, I., L. Mahaputra, F.A. Rantam dan A. Hinting. 2003. Pembakuan Epitop Reseptor Fertilisasi pada Zona Pelusida Kambing sebagai Bahan dasar Vaksin Kontrasepsi Masa Depan. Penelitian Hibah Bersaing XI/1. Mustofa, I., S. Mulyati dan L. Mahaputra. 2004a. Pengaruh Imunisasi dengan Zona Pelusida - 3 Kambing terhadap Angka Kebuntingan dan Jumlah Anak pada Mencit (Mus musculus). Media Kedokteran Hewan 20 (1) : 22 – 25. Mustofa, I., L. Mahaputra, F.A. Rantam dan T.I. Restiadi. 2004b. Isolasi Zona Pelusida-3 Kambing dan Identifikasi Karakter Reseptor Fertilisasi dengan Uji Imunofluoresen. Media Kedokteran Hewan 20 (3) : 116 - 120. Naz, R.K., A. Sacco, O. Singh, R. Pal and G.P. Talwar . 1995. Development of contraceptive vaccines for humans using antigens derived from gametes (spermatozoa and zona pellucida) and hormones (human chorionic gonadotrophin): current status. Hum Reprod 1(1) : 1-18 . Ndolo, T.M., M. Oguna, C.S. Bambra, B.S. Dunbar and E.D. Schwoebel. 1996. Immunogenicity of zona pellucida vaccines. J Reprod Fertil Suppl 50 : 151-8. Paterson, M, M.R. Wilson, Z.A. Jennings, M. van Duin and R.J. Aitken. 1999. Design and evaluation of a ZP3 peptide vaccine in a homologous primate model. Mol Hum Reprod 5 (4) : 342-52. 131 Vol. 21, No. 3, September 2005 Paterson, M, Z.A. Jennings, M.R. Wilson and R.J. Aitken. 2002. The contraceptive potential of ZP3 and ZP3 peptides in a primate model. J Reprod Immunol 53 : 99–107. Sadler, K., P.H. Bird. L.E. Brown and D.C. Jackson. 2000. The antigenic and immunogenic properties of synthetic peptide immunocontraceptive vaccine candidates based on gamete antigens. Vaccine 18 (2000) 416 - 425 Santosa, S. 2001. Buku pelatihan SPSS satistik parametrik. Jakarta : PT Elex Media Komputindo, Hal 56-70. Srivastava, N.R., P. Santhanam, S. Sheela, S.S. Mukund, B.S. Thakral, Malik and S.K. Gupta. 2002. Evaluation of the immunocontraceptive potential of Escherichia coli-expressed recombinant dog ZP2 and ZP3 in a homologous animal model. Reproduction123 : 847–857. Sumitro, S.B. and Aulanni’am. 2001. Zona pellucida 3 (ZP3) has proper biochemical properties to be considered as candidate antigen for immunocontraceptive vaccine. Reprotech 1(1) : 51-53. Tsubamoto, H., N. Yamasaki, A. Hasegewa and K. Koyama. 1999. Expression of a recombinant porcine zona pellucida glycoprotein ZP1 in mammalian cells. Protein Expr Purif 17(1):8-15.