Ummat Islam dan Pemilihan Umum dalam Negara Demokrasi

advertisement
Ummat Islam dan Pemilihan Umum dalam Negara Demokrasi Konstitusional
Oleh:
Dr. Zainal Arifin Hoesein, SH., MH
Pengantar
Keberadaan organisasi partai politik, memiliki posisi dan fungsi tersendiri dalam menata
dan mengembangkan sistem demokrasi. Di samping itu, partai politik juga dapat difungsikan
sebagai penghubung yang strategis (intermediate structure) dalam menata hubungan
pemerintahan dengan warga negara, sehingga keduanya memiliki akses informasi yang memadai
dan hubungan yang harmoni dan seimbang. Dalam perspektif ini, maka berjalannya sistem
kepartaian akan berpengaruh terhadap kehidupan demokrasi dalam suatu negara. Kondisi ini
akan tercapai manakala tradisi dan kultur berfikir bebas dapat tumbuh dengan subur, karena
dinamika kebebasan berfikir sangat berpengaruh terhadap tumbuh-kembangnya prinsip
kemerdekaan berserikat yang menjadi pilar bagi tumbuh dan berkembangnya alam demokrasi itu
sendiri. Dengan demikian, mendirikan dan sebaliknya membubarkan organisasi kepartaian
adalah hak setiap orang, dan dalam perspektif ini, maka tidak ada satu pihakpun yang dapat
memaksa untuk mendirikan atau membubarkan organisasi kepartaian kecuali oleh mereka
sendiri. Prinsip ini memberikan penegasan bahwa penguasa tidak dapat dengan semena-mena
membubarkan suatu partai politik hanya karena berbeda aliran atau pendapat terhadap suatu
masalah negara. Sebaliknya, partai politik juga tidak serta merta memiliki kekebalan dan
seenaknya melakukan aktifitasnya dengan menafikan berbagai ketentuan terutama yang menjadi
materi muatan UUD 1945. Oleh karena itu, kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 memiliki kebebasan bukan tanpa
batas, tetapi justeru pembatasnya adalah UUD 1945 itu sendiri.
Dalam konsep demokrasi, terkandung asas yaitu kedaulatan rakyat yang menentukan arah
jalannya pemerintahan. Perwujudan asas kedaulatan rakyat dalam kehidupan pemerintahan
tergambar dari keterlibatan rakyat secara intensif dalam memutuskan arah kebijakan
pemerintahan. Ukuran kedaulatan rakyat dapat dilihat seberapa jauh besaran peran yang
dimainkan rakyat serta semakin selarasnya kepentinganan rakyat dengan kebijakan pubstlik
yang srategis. Dalam perspektif ini maka partai politik memainkan perannya yaitu menjembatani
antara kepentinganan rakyat dengan kebijakan publik pemerintahan. Oleh karena itu, partai
politik sebagai suatu organisasi politik menempatkan diri pada posisi antara (intermediate
structure), sebagai jembatan yang menghubungkan kepentingan ideal negara (state) dengan
masyarakat/warga negara (society). Partai politik harus mampu menjadi organ penggerak
perubahan masyarakat menuju masyarakat yang unggul dan bermoral. Perubahan bagi parpol
adalah sunatullah dan harus disambut dengan senyum kreatif, sehingga partai politik tidak
pernah berhenti berfikir, bergerak, dan berkarya. Mengembangkan masyarakat yang modern dan
rasional merupakan upaya transformasi total agar terjadi perubahan-perubahan yang mendasar
baik pada lini individu, keluarga, kelompok sosial, pranata sosial mapun susunan
kemasyarakatan secara keseluruhan. Perubahan tersebut harus dilakukan secara simultan dan
sinergis agar timbul jalinan yang harmoni dan saling berpengaruh terhadap perubahan-perubahan
yang diinginkan menuju terwujudnya sumber daya manusia yang potensial. Hal ini berarti
perubahan pada dasarnya adalah rekayasa sosial yang teratur dan berkesinambungan (orderly
sustainable change). Oleh karen itu, untuk mengeliminasi kegagalan suatu pembangunan
masyarakat katatau rekayasa sosial sebagi bagian dari perencanaan pembangunan, maka salah
satu kunci yang harus diperhatikan adalah keterlibatan masyarakat itu sendiri yang ditempatkan
bukan hanya sebagai sasaran pembangunan, tetapi sebagai pelaku pembangunan. Hal ini berarti
masyarakat harus diberikan akses yang seluas-luasnya untuk ikut merencanakan pembangunan
wilayahnya. Keterlibatan masyarakat ini perlu diorganisir, dan didinamisir agar mereka mampu
mengaktualisasikan berbagai kebutuhan dan kepentingannya dalam suatu gagasan dan rencana
aksi yang aktual dan manageable. Keterlibatan masyarakat ini juga akan memberikan pengaruh
terhadap nilai tanggung jawab kolektif (colective responsibility velue) terhadap setiap gerak
perubahan. Sikap positif (positive thinking) terhadap perubahan, merupakan bagian dari
kemajuan itu sendiri. Oleh karena itu membangun sebagai sarana untuk mengarahkan perubahan
yang dikehendaki, maka merubah sikap masyarakat untuk bersikap positif terhadap setiap
perubahan merupakan bagian penting dari pembangunan itu sendiri. Hal ini berarti partai politik
memiliki fungsi ideal diantaranya adalah;
 Parpol sebagai sarana recruitment, yaitu bahwa organanisasi partai politik harus mampu
secara aktif melakukan recruitment anggota dan membinanya menjadi kader partai yang
handal yang memiliki kredibilitas dan kapabilitas sebagai penggerak perubahan masyarakat.
 Parpol sebagai sarana komunikasi politik atau artikulasi politik. Hal ini berarti partai politik
merupakan media atau alat (a tool) untuk menyampaikan aspirasi kepentingan (interest) dan
kebutuhan (needs) mayarakat/rakyat kepada rezim yang memimpin. Inilah hakekat fungsi
parpol sebagai penghubung antara rakyat dan pemerintah.
 Parpol sebagai sarana sosialisasi politik. Fungsi ini lebih ditekankan pada aspek pendidikan
politik kepada masyarakat mengenai kedudukan, fungsi, peran, dan tanggungjawab
masyarakat dalam kehidupan bernegara. Partisipasi politik ini menjadi penting, agar legitimasi
politik atas kebijakan publik dapat dipahami secara merata oleh masyarakat.
 Parpol sebagai sarana manajemen konflik. Parpol dituntut untuk mampu menjadi media dalam
menyelesaikan konflik yang diakibatkan perbedaan pandangan di tataran masyarakat.
Dalam tataran konsolidasi demokrasi, maka demokrasi merupakan “the only game in
town” (satu-satunya aturan yang berlaku). Keyakinan akan demokrasi tersebut bahkan tetap
terpelihara dalam situasi politik dan ekonomi yang sangat buruk sekalipun, sehingga mayoritas
rakyat tetap meyakini perubahan politik harus tetap dilakukan berdasarkan parameter-parameter
yang terdapat dalam prosedur demokrasi. Untuk melancarkan konsolidasi demokrasi tersebut,
terdapat beberapa agenda: 1) Memperluas akses warga Negara terhadap sistem peradilan dan
membangun suatu rule of law yang sesungguhnya; 2) Mengendalikan perkembangbiakan korupsi
politik yang dapat meningkatkan sinisme dan pengasingan dari proses politik; 3) Penguatan
pembuatan hukum dan kekuasaan investigatif badan legislatif sehingga menjadi badan yang
professional dan independen; 4) Desentralisasi kewenangan negara dan penguatan pemerintahan
daerah, sehingga demokrasi dapat lebih responsif dan bermakna bagi seluruh warga negara di
seluruh wilayah suatu negara; 5) Menciptakan partai-partai politik yang mampu memobilisasi
dan merepresentasikan kepentingan yang berkembang di masyarakat—bukan hanya kepentingan
personal para pemimpin dan lingkungan para politisi belaka; 6) Membangun kekuatan
masyarakat sipil dan media yang independen yang dapat memelihara modal sosial, partisipasi
warga, membatasi tetapi memperkuat kewenangan konstitusional dari negara; 7)
Memperkenalkan, baik di dalam maupun di luar sistem persekolahan, program pendidikan warga
yang baru yang dapat menumbuhkan kemampuan untuk berpartisipasi dan meningkatkan
toleransi, nalar, moderasi, dan kompromi, yang merupakan tanda dari kewargaan yang
demokratis. Agenda konsolidasi yang ambisius tersebut memerlukan adanya peningkatan aturan
hukum baru, penumbuhan lembaga-lembaga baru dan penguatan kapasitas lembaga-lembaga
negara, sistem kepartaian, dan masyarakat sipil.
Pemilu dalam Perspektif Transisi Demokrasi
Ketidakpastian dalam masa transisi menyebabkan tidak menentunya aturan dalam
berbagai kehidupan. Hal ini terjadi bukan hanya karena berbagai aturan dalam berbagai
kehidupan tersebut, bekerja dalam situasi perubahan yang terus menerus, tetapi juga karena
biasanya aturan tersebut dipertarungkan dalam suatu kompetisi politik yang sengit sebagaimana
yang dikemukakan oleh Guillermo O’Donnel dan Philippe C. Schmitter bahwa, para pelaku
politik tidak hanya berjuang untuk sekadar memuaskan kepentingan-kepentingan pribadi sesaat
dan atau kepentingan orang lain namun juga berjuang untuk menetapkan peraturan-peraturan
dan prosedur-prosedur yang konfigurasinya dapat menentukan siapa yang mungkin akan menang
atau kalah di masa mendatang. Sesungguhnya, peraturan-peraturan yang muncul akan sangat
menentukan sumber-sumber mana yang secara sah boleh dikerahkan ke dalam arena politik,
serta pelaku-pelaku mana yang diperkenankan masuk.1
Masa transisi ini ditandai dengan terjadinya liberasasi dan demokratisasi. Liberasasi
adalah ”proses pendefinisian ulang, perluasan, dan mengefektifkan hak-hak tertentu yang
melindungi individu dan kelompok-kelompok sosial dari tindakan sewenang-wenang atau tidak
sah yang dilakukan oleh negara atau pihak ketiga”.2 Liberasasi ini merupakan konsekuensi yang
muncul (seringkali tanpa diniatkan) dari proses transisi yang akhirnya sering memainkan peran
penting dalam menentukan kelanjutan proses transisi. Dalam masa transisi demokrasi yang perlu
mendapat perhatian cukup serius adalah antara mayoritas dan minoritas dalam pengambilan
keputusan. Kecenderungan yang tumbuh dalam paham demokrasi adalah prinsip ‘the rule of
majority’ menjadi instrumen untuk legitimasi kebijakan publik. Jika hal ini terus berkembang
tanpa adanya kontrol normatif, maka akan melahirkan kediktatoran baru atas nama demokrasi.
Demokratisasi mengacu pada proses-proses dimana aturan-aturan dan prosedur-prosedur
kewarganegaraan (citizenship) diterapkan pada lembaga-lembaga politik yang sebelumnya
dijalankan dengan prinsip lain (misalnya kontrol oleh kekerasan), atau diperluas sehingga
mencakup mereka yang sebelumnya tidak ikut menikmati hak dan kewajiban (misalnya
perempuan, anak-anak, etnis minoritas), atau diperluas sehingga meliputi isu-isu dan lembagalembaga yang semula tidak menjadi wilayah partisipasi masyarakat (misalnya liberalisasi
lembaga-lembaga pendidikan).3 Antara demokratisasi dan liberalisasi tidak selamanya berjalan
simultan. Tanpa jaminan kebebasan bagi individu dan kelompok sosial yang melekat dalam
liberalisasi, demokratisasi mungkin hanya akan berubah menjadi sekadar formalisasi belaka. Di
sisi lain tanpa pertanggungjawaban terhadap rakyat dan minoritas pemilih yang telah
terlembaga di bawah demokratisasi, liberalisasi akan mudah dimanipulasi dan dibatalkan demi
kepentingan mereka yang duduk di pemerintahan. Dari aspek hukum, situasi ketidakpastian
dalam masa transisi mengindikasikan tidak berjalannya proses-proses hukum yang bersifat stabil
dan otonom. Proses hukum beroperasi di tengah perubahan yang terus menerus dan dipengaruhi
1
Guillermo O’Donnel dan Phlippe C. Schmitter, , Transisi Menuju Demokrasi : Rangkaian Kemungkinan
dan Ketidakpasatian (terj. Transitions from Authoritarian Rules: Southern Europe), (Jakarta: LP3ES, 1993),
hal 6-7.
2
Ibid.
3
Sudjatmoko, , Pembangunan dan Kebebasan, (Jakarta: LP3ES, 1984), hal. 25.
oleh konflik di antara para pelaku politik. Dalam situasi seperti ini fungsi hukum yang dapat
diproyeksikan secara sosiologis adalah sebagai instrumen pengendali dan pemandu perubahan
sosial serta sebagai mekanisme integratif dalam mengelola berbagai konflik sosial yang terjadi.
Pada saat perubahan sosial politik yang terjadi di masa transisi, hukum dapat difungsikan untuk
mengontrol dan memandu perubahan tersebut ke arah terbentuknya rezim demokratik yang solid.
Secara teoritik, di sini hukum difungsikan sebagai instrumen bagi perubahan sosial ke arah
kondisi sosial tertentu. Hal itu dilakukan dalam kaitan dengan proses liberalisasi dan
demokratisasi. Dalam kaitan dengan liberalisasi, hukum diarahkan pada pemilihan hak-hak
individu dan kelompok yang selama rezim otoritarian direpresi. Amandemen UUD mengenai
HAM, misalnya merupakan salah satu proses liberalisasi melalui instrumen hukum. Perubahan
UU Politik (UU Patai Politik, Pemilu, dan Susduk MPR/DPR/DPRD) adalah proses liberalisasi
melalui instrumen hukum yang terbukti berhasil membentuk rezim yang demokratik.
Penggunaan instrumen hukum dalam proses demokratisasi dilakukan dengan pelembagaan
aturan-aturan dan prosedur-prosaedur kewarganegaraan. Ini, misalnya, dilakukan dengan
penegakkan pronsip-prinsip supremasi hukum dalam seluruh proses kehidupan sosial dan politik.
Di dalamnya termasuk penghilangan diskriminasi hukum, perluasan partisipasi publik dalam
proses hukum, serta peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam proses hukum dan
pemerintahan.
Dalam konteks yang sama, hukum pun berfungsi sebagai mekanisme integratif dan
pengelola konflik di tengah masa transisi. Dalam banyak kasus, persaingan politik yang sengit di
era transisi telah mengakibatkan konflik yang meluas. Apalagi di negar-negara dunia ketiga yang
masih kuat dipengaruhi oleh budaya patrimonalisme, persaingan politik tidak jarang menjadi
konflik sosial yang dahsyat. Di tengah situasi konflik tersebut hukum seringkali menjadi mandul
dan kehilangan relevansi. Konflik sosial dalam situasi seperti ini lebih sering memunculkan
mekanisme penyelesaian melalui kekerasan yang akhirnya mengakibatkan disintegrasi sosial
yang parah. Problem hukum yang muncul berkenaan dengan fungsi-fungsi hukum di era transisi
tersebut adalah kontekstualitas hukum dengan situasi transisi pada negara berkembang seperti
Indonesia. Fungsi-fungsi hukum yang diuraikan di atas merupakan kajian terhadap hukum pada
masyarakat yang memilki karakteristik impersonal, otonom, dan rasional. Dalam kaitan ini,
fungsi hukum sebagai instrumen perubahan sosial dibangun berdasarkan asumsi hukum sebagai
“an agency of power; an instrument of goverment.”4
Hal Ini berarti negara memilki otoritas yang kuat untuk menggerakkan perubahan melalui
instrumen hukum. Problematiknya dalam konteks masa transisi di Indonesia, hukum bekerja di
tengah perubahan drastis dan konflik yang sengit antara kekuatan-kekuatan politik. Dalam situasi
seperti itu, sulit diperoleh adanya otoritas yang kuat dan legitimatif bagi penggunaan hukum
sebagai instrumen perubahan sosial. Bukan saja otoritas pemerintahan menjadi lemah, tetapi
juga tidak memiliki legitimasi yang kuat di hadapan masyarakat, baik lembagaeksekutif,
legislatif maupun yudisial mengalami proses delegitimasi di hadapan masyarakat. Ini
mengakibatkan ketidakefektifan penegakan hukum di tengah masyarakat dewasa ini yang sering
ditandai oleh terjadinya penggunaan kekerasan dan main hakim sendiri dalam penyelesaian
berbagai konflik sosial. Dalam konteks ini hukum tidak dapat berfungsi semestinya sebagai
mekanisme integratif dan pengelola konflik sosial.5 Oleh karena itu, perlu diciptakan instrumen
yang memungkinkan seluruh konflik baik antara negara dengan warga negara, antar lembaga4
5
Roger Cotterell, The Sociology of Law: An Introduction, ( London: Butterworths, 1992), h. 44.
Ibid, hal. 45.
lembaga negara, maupun antar warga negara melalui mekanisme hukum. Sebab, perubahan yang
terjadi, jika tidak dikendalikan melalui mekanisme (hukum) yang berwibawa, maka konflik
tersebut kemungkinan berdampak pada kerusakan sosial yang dahsyat.
Dalam perspektif Pemilu, juga tidak dapat menghindarkan dari situasi transisi demokrasi
yang terjadi di Indonesia, karena Pemilu yang diselenggarakan baik memilih anggota legislative
maupun Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah telah
mengalami perubahan besar dan berdampak positif bagi masyarakat. Dampak posisitif tersebut
diantaranya adalah upaya pendewasaan masyarakat dalam berdemokrasi, baik dalam memilih
pemimpinnya, maupun dalam menentukan arah kebijakan pemimpinnya dalam kerangka
mewujudkan kesejahteraan bersama. Proses ini jika dikawal oleh isntrumen yang sesuai,
penyelenggara yang independent dan berintegritas, akan melahirkan pemimpin dan kebijakan
yang memenuhi prinsip ’legal, legitimate and competence’. Dalam perspektif ini, maka
instrument penyelenggaraan Pemilu harus disiapkan secara matang mulai dari kelembagaan
(lembaga penyelenggara, lembaga pengawas, lembaga penyelesai sengketa), perangkat
peraturan, mekanisme penyelenggaraan, pendanaan, dan budaya masyarakat. Tapi jika yang
terjadi sebaliknya, maka yang terjadi adalah terjadinya demokrasi transaksional bahkan muncul
keonaran demokrasi, kebingungan masyarakat, dan anarchisme, sehingga berdampak pada
demokrasi biaya tinggi.
Partai Politik Berbasis Agama (Islam) dalam Pemilu
Dinamika Partai Politik berbasis agama (Islam) mengalami pasang surut sejak Pemilu
pertama tahun 1955 sampai dengan Pemilu tahun 2009. Walaupun secara demografis jumlah
ummat Islam kurang lebih 85 % tetapi jumlah mayoritas ini tidak berbanding lurus dengan
jumlah perolehan suara dan kursi dalam Pemilu anggota legislative bahkan di beberapa daerah,
misalnya Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah jumlah ummat Islam yang
mayoritas tetapi dalam Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dimenangkan oleh
Calon di luar ummat Islam. Kondisi ini menunjukkan bahwa ummat Islam dalam perspektif
demografis tidak berbanding lurus dengan politik ummat Islam, sehingga organ politik Islam
belum mampu dan memiliki representasi kekuasaan untuk menjadi lokomotif perubahan menurut
doktrin Islam, walaupun dalam dunia ekonomi lambat laun prinsip syari’ah sudah melembaga
dalam system hukum nasional.
Pasang surut kepercayaan ummat Islam kepada partai yang berbasis agama (Islam) dalam
Pemilu sejak tahun 1955 sampai dengan 2009 dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Pemilu 1955
Pemilu tahun 1955 merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia
yang saat itu Negara Republik Indonesia baru berusia 10 tahun. Dalam perspektif historis,
sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan dipro-klamasikan, pemerintah waktu itu sudah
menyatakan keinginannya untuk menyelenggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu
dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3
Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat
tersebut menyebutkan, pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan
bulan Januari 1946. Oleh karena Negara dan pemerintahan saat itu masih dalam kondisi
belum stabil, maka penyelenggaraan Pemilu sebagaimana amanat Maklumat X Wakil
Presiden belum dapat dilaksanakan, dan baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah
kemudian tentu bukan tanpa sebab. Berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat
X, maka pemilu 1955 dilakukan dua kali, yaitu pertama, pada 29 September 1955 untuk
memlih anggota-anggota DPR, danyang kedua, pada 15 Desember 1955 untuk memilih
anggota-anggota Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu
yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada
Konstituante. Keterlambatan dan “penyimpangan” tersebut disebabkan antara lain oleh
ketidaksiapan pemerintah untuk menyelenggarakan pemilu, baik karena belum tersedianya
perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat
rendahnya stabilitas keamanan Negara, serta
sikap pemerintah yang enggan
menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Di samping
itu, penyebab lainnya adalah terjadinya serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini
terlibat peperangan. Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa
dan perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk
menyelenggarakan pemilu. Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan politik
untuk menyelengga-rakan pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun
1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu.
Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah
bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa
mayoritas warganegara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf, sehingga kalau
pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi. Pada Kabinet Mohammad
Natsir dari Masyumi, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai program
kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi. Setelah Kabinet Natsir
jatuh, maka 6 (enam) bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh
pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya
menyelenggarakan pemilu karena perintah Pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota
DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Namun demikian, pemerintahan Sukiman
juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang pemilu tersebut. Selanjutnya
UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada
tahun 1953 dan lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu yang menjadi payung hukum
Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan
demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949
yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi.
Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang pertama kali tersebut berhasil
diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955
bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini
diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon
perorangan. Hal yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkompetisi
secara sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan
menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya
kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. Karena
itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan
memenangkan pemilu dengan segala cara. Karena pemilu kali ini dilakukan untuk dua
keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Konstituante.
Dalam Pemilu 1955 ini ummat Islam terwakili dalam Partai Masyumi, Partai Nahdlatul
Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Pergerakan Tarbiyah Islamiyah
(Perti) dan hasilnya jika dijumlahkan adalah 43,5 % atau masih belum memiliki nilai
mayoritas. Secara rinci perolehan suara paratai politik dan perorangan peserta Pemilu tahun
1955 adalah sebagai beikut:
a. Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota DPR.
No. Partai/Nama Daftar
1. Partai Nasional Indonesia (PNI)
2. Masyumi
3. Nahdlatul Ulama (NU)
4. Partai Komunis Indonesia (PKI)
5. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)
6. Partai Kristen Indonesia (Parkindo)
7. Partai Katolik
8. Partai Sosialis Indonesia (PSI)
9. Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
10. Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti)
11. Partai Rakyat Nasional (PRN)
12. Partai Buruh
13. Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS)
14. Partai Rakyat Indonesia (PRI)
15. Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI)
16. Murba
17. Baperki
18. Persatuan Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro
19. Grinda
20. Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai)
21. Persatuan Daya (PD)
22. PIR Hazairin
23. Partai Politik Tarikat Islam (PPTI)
24. AKUI
25. Persatuan Rakyat Desa (PRD)
26. Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM)
27. Angkatan Comunis Muda (Acoma)
28. R.Soedjono Prawirisoedarso
29. Lain-lain
Jumlah
Suara
% Kursi
8.434.653 22,32 57
7.903.886 20,92 57
6.955.141 18,41 45
6.179.914 16,36 39
1.091.160 2,89
8
1.003.326 2,66
8
770.740 2,04
6
753.191 1,99
5
541.306 1,43
4
483.014 1,28
4
242.125 0,64
2
224.167 0,59
2
219.985 0,58
2
206.161 0,55
2
200.419 0,53
2
199.588 0,53
2
178.887 0,47
1
178.481 0,47
1
154.792 0,41
1
149.287 0,40
1
146.054 0,39
1
114.644 0,30
1
85.131 0,22
1
81.454 0,21
1
77.919 0,21
1
72.523 0,19
1
64.514 0,17
1
53.306 0,14
1
1.022.433 2,71
37.785.299 100,00 257
b. Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota Konstituante.
No. Partai/Nama Daftar
1. Partai Nasional Indonesia (PNI)
2. Masyumi
3. Nahdlatul Ulama (NU)
4. Partai Komunis Indonesia (PKI)
Suara
9.070.218
7.789.619
6.989.333
6.232.512
% Kursi
23,97 119
20,59 112
18,47
91
16,47
80
5. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)
6. Partai Kristen Indonesia (Parkindo)
7. Partai Katolik
8. Partai Sosialis Indonesia (PSI)
9. Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
10. Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti)
11. Partai Rakyat Nasional (PRN)
12. Partai Buruh
13. Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS)
14. Partai Rakyat Indonesia (PRI)
15. Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI)
16. Murba
17. Baperki
18. Persatuan Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro
19. Grinda
20. Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai)
21. Persatuan Daya (PD)
22. PIR Hazairin
23. Partai Politik Tarikat Islam (PPTI)
24. AKUI
25. Persatuan Rakyat Desa (PRD)
26. Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM)
27. Angkatan Comunis Muda (Acoma)
28. R.Soedjono Prawirisoedarso
29. Gerakan Pilihan Sunda
30. Partai Tani Indonesia
31. Radja Keprabonan
32. Gerakan Banteng Republik Indonesis (GBRI)
33. PIR NTB
34. L.M.Idrus Effendi
lain-lain
Jumlah
1.059.922
988.810
748.591
695.932
544.803
465.359
220.652
332.047
152.892
134.011
179.346
248.633
160.456
162.420
157.976
164.386
169.222
101.509
74.913
84.862
39.278
143.907
55.844
38.356
35.035
30.060
33.660
39.874
33.823
31.988
426.856
37.837.105
2,80
2,61
1,99
1,84
1,44
1,23
0,58
0,88
0,40
0,35
0,47
0,66
0,42
0,43
0,42
0,43
0,45
0,27
0,20
0,22
0,10
0,38
0,15
0,10
0,09
0,08
0,09
0,11
0,09
0,08
1,13
2. Pemilu Tahun 1971 s/d 1997
Setelah 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana.
Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu 1971, yakni tahun
1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5 tahun. Dari segi jadwal sejak
itulah pemilu teratur dilaksanakan. Satu hal yang nyata perbedaannya dengan
Pemilu-pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh
lebih sedikit, dua parpol dan satu Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya
pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah
partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan
Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan
Partai Demokrasi Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar.
16
16
10
10
8
7
3
5
2
2
3
4
2
2
2
2
3
2
1
1
1
2
1
1
1
1
1
1
1
514
Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997
pesertanya hanya tiga tadi. Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi
pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen.
Golkar bahkan sudah menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini
secara langsung dan tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan
legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah
birokrasi sipil dan militer. Berikut ini dipaparkan hasil dari 5 kali Pemilu
tersebut secara berturut-turut.
Hasil Pemilu 1977
Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi
masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem
proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah
mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu Golkar
meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen. Namun perolehan kursinya
menurun menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu
1971. Pada Pemilu 1977 suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI
Jakarta dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil
meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 persen, atau bertambah 5
kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971. Kenaikan
suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi. Ini seiring dengan
tampilnya tokoh utama Masjumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara PPP
di basis-basis Masjumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di basisbasis NU, sehingga kenaikan suara secara nasional tidak begitu besar. PPP
berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan
Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa
Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional tambahan kursi hanya 5.
PDI juga merosot perolehan kursinya dibanding gabungan kursi partai-partai
yang berfusi sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29 kursi atau berkurang 1
kursi di banding gabungan suara PNI, Parkindo dan Partai Katolik.
Selengkapnya perolehan kursi dan suara tersebut bisa dilihat pada tabel di
bawah ini.
N
o.
.
.
.
Partai
Suara
%
Kursi
% (1971)
Keteran
gan
1
Golkar
39.750.096
62,11 232
62,80
2
PPP
18.743.491
29,29
99
27,12 + 2,17
3
PDI
5.504.757
8,60
29
10,08
63.998.344 100,00 360
100,00
Jumlah
- 0,69
- 1,48
Hasil Pemilu 1982
Pemungutan suara Pemilu 1982 dilangsungkan secara serentak pada tanggal 4
Mei 1982. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi secara nasional Golkar
meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh. Hanya Jakarta dan
Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari PPP. Secara nasional
Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu berarti kehilangan masingmasing 5 kursi bagi PPP dan PDI Golkar meraih 48.334.724 suara atau 242
kursi. Adapun cara pembagian kursi pada Pemilu ini tetap mengacu pada
ketentuan Pemilu 1971.
No.
1.
2.
3.
Partai
Golkar
PPP
PDI
Jumlah
Suara DPR
48.334.724
20.871.880
5.919.702
75.126.306
%
Kursi % (1977) Keterangan
64,34
242
62,11
+ 2,23
27,78
94
29,29
- 1,51
7,88
24
8,60
- 0,72
100,00
364
100,00
Hasil Pemilu 1987
Pemungutan suara Pemilu 1987 diselenggarakan tanggal 23 April 1987
secara serentak di seluruh tanah air. Dari 93.737.633 pemilih, suara yang
sah mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen. Cara pembagian kursi juga
tidak berubah, yaitu tetap mengacu pada Pemilu sebelumnya. Hasil
Pemilu kali ini ditandai dengan kemerosotan terbesar PPP, yakni
hilangnya 33 kursi dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya mendapat
61 kursi. Penyebab merosotnya PPP antara lain karena tidak boleh lagi
partai itu memakai asas Islam dan diubahnya lambang dari Ka'bah kepada
Bintang dan terjadinya penggembosan oleh tokoh- tokoh unsur NU,
terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sementara itu Golkar
memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi. PDI, yang
tahun 1986 dapat dikatakan mulai dekat dengan kekuasaan, sebagaimana
diindikasikan dengan pembentukan DPP PDI hasil Kongres 1986 oleh
Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam, berhasil menambah perolehan
kursi secara signifikan dari 30 kursi pada Pemilu 1982 menjadi 40 kursi
pada Pemilu 1987 ini.
No. Partai
Suara
1.
Golkar 62.783.680
2.
PPP
13.701.428
3.
PDI
9.384.708
Jumlah
85.869.816
%
Kursi % (1982) Keterangan
73,16
299
68,34
+ 8,82
15,97
61
27,78
- 11,81
10,87
40
7,88
+ 2,99
100,00
400
Hasil Pemilu 1992
Cara pembagian kursi untuk Pemilu 1992 juga masih sama dengan
Pemilu sebelumnya. Hasil Pemilu yang pemungutan suaranya
dilaksanakan tanggal 9 Juni 1992 ini pada waktu itu agak mengagetkan
banyak orang. Sebab, perolehan suara Golkar kali ini merosot
dibandingkan Pemilu 1987. Kalau pada Pemilu 1987 perolehan suaranya
mencapai 73,16 persen, pada Pemilu 1992 turun menjadi 68,10 persen,
atau merosot 5,06 persen. Penurunan yang tampak nyata bisa dilihat pada
perolehan kursi, yakni menurun dari 299 menjadi 282, atau kehilangan 17
kursi dibanding pemilu sebelumnya. PPP juga mengalami hal yang sama,
meski masih bisa menaikkan 1 kursi dari 61 pada Pemilu 1987 menjadi
62 kursi pada Pemilu 1992 ini. Tetapi di luar Jawa suara dan kursi partai
berlambang ka’bah itu merosot. Pada Pemilu 1992 partai ini kehilangan
banyak kursi di luar Jawa, meski ada penambahan kursi dari Jawa Timur
dan Jawa Tengah. Malah partai itu tidak memiliki wakil sama sekali di 9
provinsi, termasuk 3 provinsi di Sumatera. PPP memang berhasil
menaikkan perolehan 7 kursi di Jawa, tetapi karena kehilangan 6 kursi di
Sumatera, akibatnya partai itu hanya mampu menaikkan 1 kursi secara
nasional. Yang berhasil menaikkan perolehan suara dan kursi di berbagai
daerah adalah PDI. Pada Pemilu 1992 ini PDI berhasil meningkatkan
perolehan kursinya 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987, sehingga
menjadi 56 kursi. Ini artinya dalam dua pemilu, yaitu 1987 dan 1992, PDI
berhasil menambah 32 kursinya di DPR RI.
No. Partai
1. Golkar
2. PPP
3. PDI
Jumlah
Suara
%
Kursi % (1987) Keterangan
66.599.331 68,10 282
73,16
- 5,06
16.624.647 17,01
62
15,97
+ 1,04
14.565.556 14,89
56
10,87
+ 4.02
97.789.534 100,00 400 100,00
Hasil Pemilu 1997
Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi yang digunakan tidak
berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971, 1977,
1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara diselenggarakan tanggal 29 Mei
1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu 1992
mengalami kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut suara
pendukungnnya. Perolehan suaranya mencapai 74,51 persen, atau naik
6,41. Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau
bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya. PPP juga menikmati
hal yang sama, yaitu meningkat 5,43 persen. Begitu pula untuk perolehan
kursi. Pada Pemilu 1997 ini PPP meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi
dibandingkan Pemilu 1992. Dukungan terhadap partai itu di Jawa sangat
besar. Sedangkan PDI, yang mengalami konflik internal dan terpecah
antara PDI Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri setahun menjelang
pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 persen, dan hanya mendapat
11 kursi, yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR dibandingkan Pemilu
1992. Pemilu kali ini diwarnai banyak protes. Protes terhadap kecurangan
terjadi di banyak daerah. Bahkan di Kabupaten Sampang, Madura,
puluhan kotak suara dibakar massa karena kecurangan penghitungan
suara dianggap keterlaluan. Ketika di beberapa tempat di daerah itu
pemilu diulang pun, tetapi pemilih, khususnya pendukung PPP, tidak
mengambil bagian.
No.
1.
2.
3.
Partai
Golkar
PPP
PDI
Jumlah
Suara
84.187.907
25.340.028
3.463.225
112.991.150
%
Kursi % (1992) Keterangan
74,51
325
68,10
+ 6,41
22,43
89
17,00
+ 5,43
3,06
11
14,90
- 11,84
100,00
425
100,00
3. Pemilu 1999
Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama setelah tumbangnya kekuasaan orde baru dan
munculnya gerakan reformasi. Periode akhir pemerintahan Orde Baru membawa perubahan
yang cukup besar dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia, terutama tatanan masyarakat,
dan perpolitikan Indonesia. Pada masa Orde Baru yang dikenal dengan praktek kekuasaan
otoriter membawa dampak pada kehidupan serba negara (etatisme), dan mandegnya
kepedulian/partisipasi masyarakat dalam membangun bangsa dan negara. Tetapi sejak
Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 menyatakan mengundurkan diri sebagai presiden dan
digantikan oleh Habiebie, sistem ketatanegaraan mengalami perubahan, yakni, kebekuan
sosial, budaya dan politik berubah, dan terjadi pencairan yang kadangkala pencairan tersebut
seolah-olah tidak terkontrol. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera
dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti, dan Pemilu dilaksanakan pada
7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan
diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik,
termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang
merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian
dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil
presiden yang baru. Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya
bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden
Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun
2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebelum
menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang Partai
Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan
DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang
diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta). Setelah RUU
disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum
(KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah.
Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu
sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini
dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali
ini adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang ada
dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai. Dalam sejarah
Indonesia tercatat, bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap,
pemerintahan Reformasi inilah yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah
proses alih kekuasaan. Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya
sebulan setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapanpersiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelum-nya. Habibie
menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke kekuasaan, meski persoalan yang
dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi,
sosial dan penegakan hukum serta tekanan internasional.
Hasil Pemilu 199 adalah sebagai berikut:
No. Nama Partai
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
PDIP
Golkar
PPP
PKB
PAN
PBB
Partai Keadilan
PKP
PNU
PDKB
PBI
PDI
PP
PDR
PSII
PNI Front
Marhaenis
PNI Massa
Marhaen
IPKI
PKU
Masyumi
PKD
PNI Supeni
Krisna
Partai KAMI
PUI
PAY
Partai Republik
Partai MKGR
PIB
Partai SUNI
PCD
PSII 1905
Masyumi Baru
PNBI
PUDI
PBN
Suara DPR
35.689.073
23.741.749
11.329.905
13.336.982
7.528.956
2.049.708
1.436.565
1.065.686
679.179
550.846
364.291
345.720
655.052
427.854
375.920
Kursi Tanpa
SA(stembus accoord.)
153
120
58
51
34
13
7
4
5
5
1
2
1
1
1
Kursi Dengan
SA(stembus accoord.)
154
120
59
51
35
13
6
6
3
3
3
2
1
1
1
365.176
1
1
345.629
1
1
328.654
300.064
456.718
216.675
377.137
369.719
289.489
269.309
213.979
328.564
204.204
192.712
180.167
168.087
152.820
152.589
149.136
140.980
140.980
1
1
1
1
-
1
1
-
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
46
47.
48.
PKM
PND
PADI
PRD
PPI
PID
Murba
SPSI
PUMI
PSP
PARI
PILAR
Jumlah
104.385
96.984
85.838
78.730
63.934
62.901
62.006
61.105
49.839
49.807
54.790
40.517
105.786.661
462
462
Pada Pemilu 1999 partai berbasis agama (Islam) yaitu PPP, PKB, PAN, PBB,
Partai Keadilan, PKU, PNU dan PSII belum juga mendapatkan suara mayoritas, dan hanya
memperoleh 169 kursi atau 36,38 %. Apabila dilihat dari realitas gerakan reformasi yang
digerakkan Amien Rais yang tokoh Muhammidayah dan PAN, Gus Dur PKB dan lain-lain,
ternyata dalam politik riil kepercayaan ummat Islam terhadap wakilnya di DPR melalui
partai politik baru 36,38 %. Apabila dibandingkan dengan hasil Pemilu zaman orde Baru,
maka perolehan suara dan kursi Parpol Islam pada Pemilu 1999 mengalami kenaikan sekitar
20%, tetapi masih lebih rendah sebanyak 7,3 % dibandingkan dengan perolehan suara kursi
Parpol Islam pada Pemilu 1955 (43,5 %).
4. Pemilu 2004
Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama setelah perubahan UUD 1945 yang mengedepankan
demokrasi konstitusional. Pada pemilu 2004 ini pertama kali dimulai pemilihan Presiden dan
Wakil presiden secara langsung. Namun demikian, penyelenggaraan Pemilu dalam era
demokrasi konstitusional masih sarat dengan pelanggaran terhadap asas-asas
penyelenggaraan Pemilu. Kesempatan lima tahunan untuk meraih kepercayaan rakyat belum
mampu dimanfaatkan oleh Parpol Islam karena perolehan suara dan kursi secara kumulatif
tidak jauh berbeda dengan perolehan suara dan kursi pada pemilu 1999 yaitu 37,56 % atau
terjadi kenaikan sebanyak 1, 18 %. Secara rinci dapat dilihat sebagai berikut:
Hasil Rekapitulasi Perolehan Suara Nasional Pemilu 2004
Dan Jumlah Perolehan Kursi Parpol di DPR RI
Ranking
Partai
Perolehan Suara
Jml. Kursi DPR RI
Suara
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Politik
Partai
Golongan
Karya
Partai
Demokrasi
Indonesia
Perjuangan
Partai
Kebangkitan
Bangsa
Partai
Persatuan
Pembangunan
Partai
Demokrat
Partai
Keadilan
Sejahtera
Partai
Amanat
Nasional
Partai Bulan
Bintang
Partai
Bintang
Reformasi
Partai Damai
Sejahtera
Partai Karya
Peduli
Bangsa
Partai
Keadilan dan
Persatuan
Indonesia
Partai
Persatuan
Demokrasi
Kebangsaan
Partai
Nasional
Jumlah
Persen
24.480.757
21,58
128
21.026.629
18,53
109
11.989.564
10,57
52
9.248.764
8,15
58
8.455.225
7,45
57
8.325.020
7,34
45
7.303.324
6,44
52
2.970.487
2,62
11
2.764.998
2,44
13
2.414.254
2,13
12
2.399.290
2,11
2
1.424.240
1,26
1
1.313.654
1,16
5
1.230.455
1,08
1
Banteng
Kemerdekaan
Partai Patriot
15
1.073.139
0,95
Pancasila
Partai
Nasional
16
923,159
0,81
Indonesia
Marhaenisme
Partai
Persatuan
17
Nahdlatul
895.610
0,79
Ummah
Indonesia
Partai
18
878.932
0,77
Pelopor
Partai
Penegak
19
855.811
0,75
Demokrasi
Indonesia
Partai
20
842.541
0,74
Merdeka
Partai Sarikat
21
679.296
0,60
Indonesia
Partai
22
Perhimpunan
672.952
0,59
Indonesia Baru
Partai Persatuan
23
657.916
0,58
Daerah
Partai Buruh
24
636.056
0,56
Sosial Demokrat
Total
113.462.414
100
Sumber : Pengumuman Hasil Rekapitulasi Perhitungan Suara Pemilu KPU
0
1
0
2
1
0
0
0
0
0
550
5. Pemilu 2009
Pada Pemilu 2009 terjadi perubahan dalam penghitungan hasil pemilu yakni
diterapkannya prinsip Parliamentary Threshold atau ambang batas suara yang
mendapatkan jatah kursi di parlemen (DPR). Kebijakan ini atau legal policy pembentuk
undang-undang ini justeru memperparah kondisi parpol Islam dalam Pemilu 2009 yakni
terdapat beberapa Parpol Islam yang tersingkir. Secara kumulatif perolehan suara dan
kursi parpol Islam dalam pemilu 2009 dengan prinsip Parliamentary Threshold atau yang
lolos dan memperoleh kursi di DPR hanya 24,15 % atau terjadi penurunan 13,41 % di
banding dengan pemilu 2004. Hal ini terjadi dikarenakan beberapa parpol Islam yang
tidak lolos dengan perolehan suara kumulatif sebanyak 5,33 % yaitu PBB (1,79 %),
PKNU (1,47%), PBR (1,21 %), PMB (0,40 %), PPNUI (0,14 %), dan PSI (0,14 %).
Sekalipun hasil perolehan suara parpol Islam yang lolos dan tidak lolos Parliamentary
Threshold digabungkan maka hanya memperoleh 29,47 % atau terjadi penurunan
sebanyak 8,09 % dibandingkan pemilu 2004. Secara rinci dapat dilihat pada table berikut
ini:
9 Partai Politik yang Berhasil Lolos dari Parliamentary Threshold dan
Perolehan Kursi dalam DPR Pemilu Legislatif 2009
No
Partai Politik Perolehan Suara
Kursi Parlemen
Perhitungan I
Revisi
Demokrat
20,85%
148
150
Golkar
14,45%
108
107
PDIP
14,03%
93
95
PKS
7,88%
59
57
PAN
6,01%
42
43
PPP
5,32%
39
37
PKB
4,94%
26
27
Gerindra
4,46%
30
26
Hanura
3,77%
15
18
Jumlah
100%
560
560
Sumber : KPU tgl 9 Mei 2009
Keterangan: Perhitungan perolehan kursi Parlemen / DPR bagi 9 Parpol yang lolos dari
Parliamentary Threshold tsb di atas dilaksanakan berdasarkan ketetapan dalam Bab XIII
Pasal 204 -212, UU No. 10 Tahun 2008 tentang
Hasil Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara Nasional
Pemilu Legislatif 2009
No
Partai Politik (No Pemilu) Jumlah Suara
Persentase
Demokrat (31)
21.703.137
20,85%
Golkar (23)
15.037.757
14,45%
PDIP (28)
14.600.091
14,03%
PKS (8)
8.206.955
7,88%
PAN (9)
6.254.580
6,01%
PPP (24)
5.533.214
5,32%
PKB (13)
5.146.122
4,94%
Gerindra (5)
4.646.406
4,46%
Hanura (1)
3.922.870
3,77%
PBB (27)
1.864.752
1,79%
PDS (25)
1.541.592
1,48%
PKNU (34)
1.527.593
1,47%
PKPB (2)
1.461.182
1,40%
PBR (29)
1.264.333
1,21%
PPRN (4)
1.260.794
1,21%
934.892
0,90%
PKPI (7)
PDP (16)
896.660
0,86%
Barnas (6)
761.086
0,73%
PPPI (3)
745.625
0,72%
PDK (20)
671.244
0,64%
RepublikaNusantara (21)
630.780
0,61%
PPD (12)
550.581
0,53%
Patriot (30)
547.351
0,53%
PNBK (26)
468.696
0,45%
Kedaulatan (11)
437.121
0,42%
PMB (18)
414.750
0,40%
PPI (14)
414.043
0,40%
Pakar Pangan (17)
351.440
0,34%
Pelopor (22)
342.914
0,33%
PKDI (32)
324.553
0,31%
PIS (33)
320.665
0,31%
PNI Marhaenisme (15)
316.752
0,30%
Partai Buruh (44)
265.203
0,25%
PPIB (10)
197.371
0,19%
PPNUI (42)
146.779
0,14%
PSI (43)
140.551
0,14%
PPDI (19)
137.727
0,13%
Merdeka (41)
111.623
0,11%
Jumlah
104.099.785
100%
Sumber : KPU tgl 9 Mei 2009
6. Pemilu 2014
I. Penutup
Perolehan suara dan kursi parpol berbasis Islam dalam pemilu sejak tahun 1955 sampai 2009
memiliki trend menurun seperti yang dringkaskan dalam table berikut ini:
Tahun
1955
1999
2004
2009
2014
% Perolehan suara
43,5
36,38
37,56
24,15
Keterangan
-7,30 % di banding 1955
+1,18 % di banding 1999
-13,41 % di banding 2004
Berdasarkan data tersebut di atas, timbul pertanyaan mengapa ummat Islam yang mayoritas
jumlahnya (lebih 85 %) justeru parpol berbasis Islam tidak menjadi pilihannya dalam pemilu
? dan masih banyak pertanyaan yang akan muncul yang harus dijawab oleh para
steakholders Parpol berbasis Islam dan para tokoh Ummat Islam serta ummat Islam itu
sendiri. Salah satu jawaban yang segera muncul adalah hasil tanggal 9 April 2014 sebagai
bagian dari penerapan demokrasi konstitusional. Oleh karena itu hasil tanggal 9 April 2014
tersebut akan menjawab doktrin bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis
tercermin dalam ’recruitment’ kepala pemerintahan, dan anggota perwakilan
(DPR/DPD/DPRD) serta cara pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan
publik oleh lembaga yang diberikan kewenangan dan tugas untuk kepentingan itu.
Persoalannya adalah bagaimana proses politik justeru tidak mencederai demokrasi itu sendiri.
Artinya produk politik yang digodok di lembaga perwakilan sebagai representasi rakyat
menghasilkan produk kebijakan yang mampu mendorong partisipasi dalam perwujudan
kesejahteraan bersama. Dalam perspektif ini, maka proses ’recruitment’ harus didasarkan
pada prinsip demokrasi yang dipandu oleh prinsip hukum (legal), dan akan menghasilkan
pemimpin yang diterima oleh sebagaian besar masyarakat (legitimate) karena kesalehan
intelektual, moral dan berkeinerja tinggi (competence).
Jakarta, 5 April 2014
Download