Penanganan Pelanggaran Pemilu

advertisement
Seri Demokrasi Elektoral
Buku 15
Penanganan
Pelanggaran Pemilu
Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan
www.kemitraan.or.id
Seri Demokrasi Elektoral
Buku 15
Penanganan
Pelanggaran Pemilu
Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan
www.kemitraan.or.id
Penanganan Pelanggaran Pemilu
Penanganan Pelanggaran Pemilu
BUKU 15
Penanggung Jawab :
Utama Sandjaja
Tim Penulis :
Ramlan Surbakti
Didik Supriyanto
Topo Santoso
Editor :
Sidik Pramono
Penanggung Jawab Teknis :
Setio. W. Soemeri
Agung Wasono
Nindita Paramastuti
Seri Publikasi :
Materi Advokasi untuk Perubahan Undang-undang Pemilu
Cetakan Pertama :
September 2011
ISBN 978-979-26-9677-6
Diterbitkan oleh:
Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan
Jl. Wolter Monginsidi No. 3,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110, INDONESIA
Phone +62-21-7279-9566, Fax. +62-21-720-5260, +62-21-720-4916
http://www.kemitraan.or.id
ii
Daftar Singkatan
Bawaslu
:
Badan Pengawas Pemilihan Umum
DKPP
:
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
DPD
:
Dewan Perwakilan Daerah
DPR
:
Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD
:
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota
KPU
:
Komisi Pemilihan Umum
KPUD
:
Komisi Pemilihan Umum Provinsi
atau Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota
KUHP
:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
MA
:
Mahkamah Agung
MK
:
Mahkamah Konstitusi
Panwaslu
:
Panitia Pengawas Pemilihan Umum
Pemilu
:
Pemilihan Umum
PN
:
Pengadilan Negeri
PT
:
Pengadilan Tinggi
PTUN
:
Pengadilan Tata Usaha Negara
UU
:
Undang-Undang
iii
Penanganan Pelanggaran Pemilu
Kata Pengantar
Direktur Eksekutif Kemitraan
Indonesia yang adil, demokratis dan sejahtera yang dibangun di atas praktek
dan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik yang berkelanjutan adalah
visi dari Kemitraan yang diwujudkan melalui berbagai macam program dan
kegiatan. Kemitraan yakin bahwa salah satu kunci pewujudan visi di atas
adalah dengan diterapkannya pemilihan umum yang adil dan demokratis.
Oleh karena itu, sejak didirikannya pada tahun 2000, Kemitraan terus menerus
melakukan kajian dan menyusun rekomendasi kebijakan terkait reformasi
sistem kepemiluan di Indonesia.
Salah satu upaya yang saat ini dilakukan Kemitraan adalah dengan menyusun
seri advokasi demokrasi elektoral di Indonesia yang terdiri dari 3 (tiga)
bagian dan secara lebih rinci terdiri dari 16 (enam belas) seri advokasi. Pada
bagian pertama tentang Sistem Pemilu terdiri dari 8 seri advokasi yang
meliputi; Merancang Sistem Politik Demokratis, Menyederhanakan Waktu
Penyelenggaraan, Menyederhanakan Jumlah Partai Politik, Menyetarakan Nilai
Suara, Mempertegas Basis Keterwakilan, Mendorong Demokratisasi Internal
Partai Politik, Meningkatkan Keterwakilan Perempuan, dan Memaksimalkan
Derajat Keterwakilan Partai Politik dan Meningkatkan Akuntabilitas Calon
Terpilih.
Pada bagian kedua tentang Manajemen Pemilu, terdiri dari 5 seri advokasi
yakni; Meningkatkan Akurasi Daftar Pemilih, Mengendalikan Politik Uang,
Menjaga Kedaulatan Pemilih, Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam
Pemilu, dan Menjaga Integritas Proses Pemungutan dan Perhitungan Suara.
Pada bagian ketiga tentang Penegakan Hukum Pemilu, terdiri dari 3
seri advokasi yakni; Membuka Ruang dan Mekanisme Pengaduan Pemilu,
Menangani Pelanggaran Pemilu, dan Menyelesaikan Perselisihan Pemilu.
Seri advokasi demokrasi elektoral tersebut disusun melalui metode yang
tidak sederhana. Untuk ini, Kemitraan menyelenggarakan berbagai seminar
publik maupun focus group discussions (FGDs) bersama dengan para pakar
pemilu di Jakarta dan di beberapa daerah terpilih. Kemitraan juga melakukan
studi perbandingan dengan sistem pemilu di beberapa negara, kajian dan
iv
simulasi matematika pemilu, dan juga studi kepustakaan dari banyak referensi
mengenai kepemiluan dan sistem kenegaraan.
Kami mengucapkan terimakasih kepada seluruh tim di Kemitraan terutama
di Cluster Tata Pemerintahan Demokratis yang telah memungkinkan seri
advokasi demokrasi elektoral ini sampai kepada tangan pembaca. Kepada
Utama Sandjaja Ph.D, Prof. Ramlan Surbakti, Didik Supriyanto, Hasyim Asy’ari,
August Mellaz, Topo Santoso, Sidik Pramono, Setio Soemeri, Agung Wasono,
dan Nindita Paramastuti yang bekerja sebagai tim dalam menyelesaikan buku
ini. Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada seluruh pihak yang telah
memberikan kontribusi pemikiran selama buku ini kami susun yang tidak
dapat kami sebutkan satu-per-satu.
Kami berharap, seri advokasi demokrasi elektoral ini mampu menjadi rujukan
bagi seluruh stakeholder pemilu di Indonesia seperti Depdagri, DPR RI, KPU,
Bawaslu, KPUD, Panwaslu dan juga menjadi bahan diskursus bagi siapapun
yang peduli terhadap masa depan sistem kepemiluan di Indonesia.
Kami menyadari seri advokasi demokrasi elektoral ini masih jauh dari
sempurna, sehingga masukan untuk perbaikan naskah dari para pembaca
sangat diharapkan untuk penyempurnaan ide dan gagasan reformasi sistem
kepemiluan pada masa yang akan datang. Tujuan kami tidak lain dari keinginan
kita semua untuk membuat pemilihan umum sebagai sarana demokratis
yang efektif dalam menyalurkan aspirasi rakyat demi kepentingan rakyat dan
negara Republik Indonesia.
Akhirnya kami ucapkan selamat membaca!
Jakarta, Juli 2011
Wicaksono Sarosa
v
Penanganan Pelanggaran Pemilu
vi
Daftar Isi
Daftar Singkatan.................................................................................................iii
Kata Pengantar....................................................................................................iv
BAB I
Pendahuluan.................................................................................1
BAB II Kepatuhan dan Penegakan Hukum Pemilu............................5
A. Pembagian Sengketa dan Pelanggaran Pemilu................................9
B. Pelanggaran Pidana Pemilu (Tindak Pidana Pemilu).......................10
C. Pelanggaran Administrasi Pemilu..........................................................16
D. Penanganan Pelanggaran Kode Etik
melalui Dewan Kehormatan.....................................................................19
E. Sengketa Hukum Lainnya.........................................................................20
BAB III Beberapa Catatan.........................................................................23
A. Kelemahan dalam Penegakan Hukum.................................................24
B. Penerapan Tindak Pidana Pemilu...........................................................27
C. Soal Batasan Waktu......................................................................................28
BAB IV Penutup..........................................................................................33
Daftar Pustaka......................................................................................................34
vii
Penanganan Pelanggaran Pemilu
viii
BAB I
Pendahuluan
“Sanksi bagi pelanggaran pemilu harus jelas, konsisten, dan efektif. Jika tidak,
akan muncul banyak pelanggaran yang akan menghasilkan lebih banyak
konflik.” 1
Melihat situasi perkembangan dunia dewasa ini, demokrasi tidak langsung
atau demokrasi keterwakilan merupakan penerapan realitas politik. Pemilihan
umum adalah sebuah alat untuk memilih wakil rakyat. Oleh karenanya, jika
pemilu tidak terlaksana dengan kompetitif, jujur, dan adil; dapat dikatakan
absennya suatu demokrasi. Pemilu demokratis adalah landasan bagi
pemerintahan yang terlegitimasi. Jika tidak ada pemilu yang demokratis,
pemerintah akan kehilangan legitimasi dan dukungan dari rakyatnya.
Pemilu demokratis yang sah atau bebas dan adil tidak terbatas apakah lembaga
Komisi Pemilihan Umum berlaku imparsial dan efektif, tetapi juga bagaimana
peran kandidat melaksanakan kampanye dengan bebas dan mendapat
dukungan dari rakyat. Hal yang berkaitan erat terhadap pemilu yang bebas
dan adil adalah apakah sumber-sumber pemerintah digunakan dengan benar
selama proses pemilu; apakah militer bersikap netral dan bertindak sebagai
organisasi profesional; dan apakah kepolisian dan pengacara menegakkan
kewajiban dan melindungi mereka yang melaksanakan hak sipil dan politik.
Selain itu, isu penting lainnya adalah apakah institusi pengadilan bertindak
imparsial dan efektif; apakah media menghadirkan pemberitaan dan
informasi yang akurat serta bertindak selaku watchdog terhadap pemerintah
dan proses politik, dan apakah media menyediakan akses kepada kandidat
dan cakupan tujuan para kandidat.2
Elemen penting selama proses ini adalah pembentukan kepercayaan rakyat
menjelang pemilu. Jika rakyat tidak merasa terlibat secara bebas untuk
mengelola pilihan politik, mendapat informasi memadai sesuai keperluan
dan tujuannya, sebagaimana hak pilihnya dihormati; proses pemilu menjadi
tidak signifikan. Para kandidat harus mendapat kesempatan yang sama untuk
1
Todung Mulya Lubis, “Pemilu 2004 Tanpa Pengawasan”, 10 September 2002.
2
Merloe, Patrick, Pemilihan Umum Demokratis: Hak Asasi, Kepercayaan Masyarakat dan Persaingan
Yang Adil. Jakarta: Dinas Penerangan Amerika Serikat, 1994, h. 1.
1
Penanganan Pelanggaran Pemilu
memenangi suara –pada “tingkat berkompetisi yang fair”. Lebih jauh, para
kandidat juga harus merasakan keterlibatan dalam proses dan menghargai
hasil pemilu. Dengan demikian, pemilu menjadi begitu dekat sebagai kegiatan
peralihan yang terlaksana sebelum dan sesudah pemilu.3
Sebuah lembaga yang bertanggung jawab mengatur administrasi
penyelenggaraan pemilu harus independen dan mampu mengadakan proses
pemilu yang adil dan efektif. Jika tidak, masyarakat tidak akan mempercayai
hasil pemilu. Lebih lanjut, penting adanya evaluasi terhadap institusi pemilu,
termasuk penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan, yang memantau
aspek-aspek tersebut secara memadai dan melaksanakan tindakan efektif
guna menghindari permasalahan dan kecurangan. Hal ini untuk memastikan
kesetaraan di dalam proses peradilan dan perlakuan yang sama dan
perlindungan hukum bagi para kandidat.
Seperti diutarakan di atas, demokrasi mempersyaratkan kebebasan, keadilan,
dan pemilu yang berkala.4 Dalam negara demokrasi terdapat kesetaraan
politik. Untuk mencapai kesetaraan politik, setiap warga negara harus
mempunyai kesempatan yang sama dan efektif dalam pemungutan suara
dan seluruh suara harus dihitung secara bersama.5
Lantas, apakah prakondisi pemilu yang bebas dan adil? Dari berbagai literatur,
terdapat 15 standar yang dikenal masyarakat internasional yang mencakup
beberapa area: (1) adanya kerangka hukum pemilu, (2) sistem pemilu, (3) distrik
pemilu atau batas unit pemilu, (4) hak memilih dan dipilih, (5) kelembagaan
komisi pemilihan umum, (6) pendaftaran pemilih, (7) akses suara bagi partai
politik dan kandidat, (8) kampanye pemilu yang demokratis, (9) akses media
dan keterbukaan informasi dan kebebasan berpendapat, (10) pembiayaan
dan pendanaan kampanye, (11) ketersediaan kotak suara, (12) perhitungan
suara dan tabulasi, (13) peran keterwakilan partai politik dan kandidat, (14)
pemantau pemilu, serta (15) kepatuhan dan penegakan hukum pemilu.6
3
Ibid.
4
Dahl, Robert A, Perihal Demokrasi – Menjelajah Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001, h. 132.
5
Ibid.
6
Lihat International IDEA, (2002) dan International IDEA, Kerangka Hukum Pemilu Indonesia
Tahun 2004, Jakarta: IDEA, 2004.
2
Standar ke-15 adalah kepatuhan dan penegakan hukum perundang-undangan
pemilu. Standar ini menjadi penting dicatat karena kerangka hukum harus
menyediakan mekanisme efektif dan perbaikan bagi kepatuhan hukum dan
penegakan atas hak-hak pemilu serta memberikan hukuman bagi pelakupelaku tindak pidana pemilu. Kerangka hukum pemilu harus diatur sedetail
mungkin untuk melindungi hak-hak sipil.7
7
International IDEA, 2002, op.cit., 93.
3
Penanganan Pelanggaran Pemilu
4
BAB II
Kepatuhan dan Penegakan Hukum
Pemilu
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku
dalam lalu-lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Jika melihat pada standar terakhir (kepatuhan
dan penegakan hukum pemilu), adalah penting untuk memastikan
pelaksanaan pemilu yang adil.
Berkaitan dengan standar tersebut, dikemukakan bahwa:
“Kerangka hukum harus menyediakan bagi setiap pemilih, kandidat, dan
partai politik kesempatan untuk menyampaikan keberatan kepada pihak
KPU yang atau pengadilan yang berwenang ketika pelanggaran atas hakhak kepemiluan jelas terjadi. Undang-undang harus mempersyaratkan
lembaga KPU atau pengadilan memberikan keputusan segera untuk
menghindari pihak yang dirugikan hilang hak pemilunya. Undangundang harus memberikan kesempatan untuk mengajukan gugatan
pada pihak KPU yang lebih tinggi atau pengadilan dengan otoritas
mengkaji dan membuat keputusan yurisdiksi terkait kasus tersebut.
Keputusan akhir pengadilan harus dikeluarkan dengan segera.”8
Perundangan-undangan pemilu harus melindungi proses politik dari
pelanggaran, rintangan, pengaruh buruk, kepentingan tertentu, penipuan,
kecurangan, intimidasi, dan segala bentuk tindakan ilegal, dan praktik korup.
Sanksi nonpidana maupun pidana harus dijatuhkan terhadap pelanggaran
oleh penyelenggara pemilu maupun penegak hukum. Kesempatan untuk
menggugat hasil pemilu dan penyelesaian masalah bagi pihak yang dirugikan
harus disediakan oleh undang-undang. Proses pengajuan keberatan dan
laporan pelanggaran harus diatur. Dampak pelanggaran terhadap hasil pemilu
juga harus diatur di dalam undang-undang. Setiap pihak yang mengajukan
keberatan, menyangkal hasil pemilu atau hak partai politik lainnya harus
8
Ibid, 93-94.
5
Penanganan Pelanggaran Pemilu
mendapat akses atas keadilan dan penyelesaian masalah.9
Terkait penegakan hukum pemilu tersebut, setidaknya ada tiga hal yang mesti
diberi perhatian mendalam.
Pertama, berkaitan dengan perlindungan proses politik dari pelanggaran,
rintangan, pengaruh buruk, kepentingan tertentu, penipuan, kecurangan,
intimidasi, dan segala bentuk tindakan ilegal, dan praktik korup. Sanksi
nonpidana dan pidana harus dijatuhkan kepada para pelanggarnya. Ketentuan
ini menitikberatkan pada hukum substansi atau materiil seperti jenis-jenis
pelanggaran, dan sanksi terhadap pelanggaran. Tujuan yang ingin dicapai
adalah “perlindungan proses pemilu dari kecurangan”. Penegakan hukum
merupakan faktor pencegah terhadap pelanggaran atau kecurangan yang
mengancam integritas pemilu. Setiap pelanggaran harus dikoreksi. Institusi
yang berbeda dengan mekanismenya masing-masing dapat bertanggung
jawab untuk menegakkan integritas itu, yang secara spesifik tertuang dalam
kerangka hukum.10
Kedua, terkait dengan hak untuk menggugat hasil pemilu dan pihak yang
dirugikan untuk menyelesaikan masalah. Hal ini harus termuat dalam undangundang. Proses petisi pemilu harus mengatur berbagai hal yang diperlukan.
Ketentuan tersebut memberikan penekanan terhadap hukum acara seperti
bagaimana pihak yang dirugikan (kandidat atau partai politik) dalam pemilu
dapat memperjuangkan haknya dengan memprotes hasil pemilu.
Berkaitan dengan pentingnya mekanisme menggugat hasil, Phil Green dan
Louise Olivier menyebutkan bahwa:11
“Mekanisme untuk menggugat suatu hasil sangat dibutuhkan di setiap
tahapan proses perhitungan. Hal ini membantu memastikan proses
pemilu menjadi transparan, aparat pemilu menunjukkan akuntabilitasnya,
dan hasil pemilu yang dapat diterima masing-masing pihak. Pihak yang
dirugikan dan kandidat harus dapat menggugat hasil berdasarkan
9
United Nations, loc.cit.
10
Dobrzynska, Agnieska, “Enforcement of Electoral Integrity”, September 08, 2006. http://
aceproject.org/aceen/topics/
11
Phil Green and Louise Olivier, “Challenging Results (Mechanisms for Challenging Results)”,
August 10, 2007. http://aceproject.org/ace-en/topics/vc
6
informasi yang faktual dan memenuhi syarat independen dan jajak
pendapat yang adil sesuai dengan kebajikan masing-masing kasus.
Mekanisme efektif untuk menggugat hasil menambah kredibilitas hasil
pemilu. Jika satu pihak tidak puas atas pelaksanaan pemilu, kemampuan
yang efektif untuk menggugat hasil akan memastikan adanya kesalahan
riil diperbaiki, dan bentuk-bentuk penipuan teridentifikasi dan
terselesaikan. Kebalikannya, jika suatu pertimbangan tanpa suatu dasar
yang kuat, proses gugatan hasil pemilu harus memberikan masyarakat
dengan informasi tersebut. Hal ini akan meningkatkan kredibilitas dari
hasil pemilu.”
Penting bagi tersedianya batasan waktu untuk penanganan kasus pemilu.
Proses yang bekepanjangan dapat membuat ketidakstabilan sensitif pada
politik, dan akhirnya menuju ketidakpastian. Berkaitan dengan alasanalasan tersebut, penting bahwa keberatan pemilu dapat diselesaikan secara
cepat, efisien, dan transparansi yang maksimal dan akuntabel. Selain itu,
penting juga gugatan tidak menghambat proses pemilu.12 Keterlambatan
dalam membentuk parlemen dan pemerintahan juga akan berujung pada
ketidakpastian politik dan sipil.13
Ketiga, berhubungan dengan dampak pelanggaran terhadap hasil pemilu.
Bentuk ketentuan ini harus disusun oleh undang-undang. Berkaitan
dengan ini ditekankan apakah negara mempunyai kerangka hukum yang
menggabungkan aturan tentang dampak pelanggaran dengan hasil pemilu.
Dengan ketiadaan ketentuan tersebut, putusan pidana atas tindak pidana
pemilu yang dilakukan tidak akan memberikan dampak terhadap hasil
pemilu –oleh karenanya tidak akan berjalan efektif. Kelemahan dari ketentuan
ini akan mendorong beberapa partisipan untuk memobilisasi suara melalui
cara negatif atau cara yang ilegal karena implikasi pelanggaran yang tidak
signifikan, misalnya ancaman diskualifikasi atas kursi yang telah diperoleh.
Di Inggris, salah satu penyebab diskualifikasi adalah manakala peserta pemilu
terbukti melakukan tindak pidana pemilu. Diskualifikasi ini diterapkan kepada
orang yang jelas terbukti melakukan tindak pidana pemilu14 atau pernah
12
Ibid.
13
Ibid.
14
Representation of the People Act 1983, sections 159, 160, 173 and 174.
7
Penanganan Pelanggaran Pemilu
menjalani hukuman penjara dalam jangka waktu setahun atau lebih.15
Dapat disimpulkan bahwa keberadaan ketentuan pelanggaran-pelanggaran
pemilu dalam undang-undang pemilu menjadi sangat penting karena motif
dan peluang melanggar undang-undang pemilu tetap menjadi ancaman
potensial. Beberapa peserta pemilu cenderung mengambil keuntungan dari
ketiadaaan ketentuan. Perilaku yang salah ini menunjukkan kualitas proses
demokrasi, menciptakan kerugian bagi pihak lain dan publik pada umumnya.
Perilaku yang tidak baik selama proses pemilu juga merupakan pelanggaran
kepercayaan publik dan tindakan ilegal. Untuk menghadapi masalah tersebut,
institusi yang berbeda dan mekanismenya dapat bertanggung jawab untuk
menegakkan pemilu yang berintegritas sebagaimana dimandatkan oleh
legislasi dan kerangka hukum masing-masing negara.
Dalam kerangka hukum menyangkut penegakan atas pelanggaran pemilu,
terdapat hal-hal yang perlu dipertimbangkan. Di antaranya, pertama, perilaku
yang tidak wajar, baik langsung atau tidak langsung, memengaruhi hasil
pemilu seharusnya dilarang.
Kedua, tindak pidana pemilu harus mencakup segala tindakan yang dilakukan
yang mengancam proses pemilu; sehingga subyek tindak pidana pemilu harus
tidak hanya dibatasi kepada kandidat, namun harus pula mencakup anggota
masyarakat, pemilih, kandidat, dan partai politik, lembaga penyelenggara, staf,
aparat pemerintah, staf keamanan, penegak hukum, dan bahkan masyarakat
asing.
Ketiga, ketentuan terkait dengan tindak pidana pemilu harus melindungi
secara memadai setiap tahapan pemilu. Alasannya, pada masing-masing
tahapan, setiap tindak pidana terhadap hak mendasar masyarakat, baik
secara langsung maupun tidak langsung, dapat saja memengaruhi hasil
pemilu. Karena seluruh tahapan pemilu sangat penting dalam proses pemilu,
ketentuan-ketentuan terkait tindak pidana pemilu tidak hanya berfokus pada
tahap tertentu (misalnya, tahap kampanye), tetapi juga kecurangan yang
terjadi dalam pendaftaran pemilih yang banyak didukung oleh partai-partai
politik atau kandidat tertentu yang justru belum terdaftar. Situasi ini, baik
secara langsung maupun, tidak memengaruhi hasil pemilu. Hal yang sama
juga terjadi dalam manipulasi perhitungan suara.
15
8
Representation of the People Act 1983, section 1.
A. Pembagian Sengketa dan Pelanggaran Pemilu
Sengketa hukum dan pelanggaran pemilu dapat dibagi menjadi enam jenis,
yakni: (1) pelanggaran pidana pemilu (tindak pidana pemilu); (2) sengketa
dalam proses pemilu; (3) pelanggaran administrasi pemilu; (4) pelanggaran
kode etik penyelenggara pemilu; (5) perselisihan (sengketa) hasil pemilu; dan
(6) sengketa hukum lainnya.
Masing-masing masalah hukum pemilu itu diselesaikan oleh lembagalembaga yang berbeda. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 mengenai
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD hanya menyebut dengan
tegas tiga macam masalah hukum, yaitu: pelanggaran administrasi pemilu,
pelanggaran pidana pemilu, dan perselisihan hasil pemilu. Dua macam
jenis masalah hukum lainnya, meskipun tidak disebut secara tegas dalam
UU No. 10/2008, tetapi secara materi diatur, yaitu pelanggaran kode etik
penyelenggara pemilu dan sengketa dalam proses atau tahapan pemilu.
Sementara sengketa hukum lainnya tidak diatur diatur secara eksplisit, baik
nama maupun materinya, tetapi praktik mengakui keberadaanya, yaitu
masalah hukum lainnya.
Penting diingat bahwa tidak semua persoalan hukum yang terjadi adalah
sengketa hukum atau pelanggaran pemilu. Kenapa hal ini perlu dibatasi?
Karena jika diartikan terlampau luas, hal itu sangat menyulitkan dalam
memfokuskan pengawasan pemilu. Misalnya saja pelanggaran lalu lintas
pada masa kampanye. Hal ini bukanlah pelanggaran kampanye pemilu karena
merupakan pelanggaran atas perundang-undangan umum. Sama halnya jika
penyelenggara pemilu dituduh melakukan korupsi, tentu hal ini menyangkut
undang-undang korupsi dan bukan perundang-undangan pemilu.
Uraian di bawah hanya membahas penegakan atas tindak pidana pemilu,
pelanggaran administrasi pemilu, dan kode etik.
9
Penanganan Pelanggaran Pemilu
B. Pelanggaran Pidana Pemilu (Tindak Pidana Pemilu)
B.1 Mengapa Perlu Ada Ketentuan Pidana Pemilu?
Berdasarkan standar internasional, kerangka hukum harus mengatur sanksi
untuk pelanggaran undang-undang pemilu.16 Banyak negara menciptakan
aturan pelanggaran pemilu dalam undang-undang pemilu mereka. Setiap
ketentuan pidana yang dibentuk untuk keperluan hukum harus merefleksikan
tujuan penyusunan undang-undang. Misalnya: “Setiap upaya tindakan
pencegahan pelanggaran, praktik korup, dan praktik-praktik ilegal di pemilu;
dan aturan tentang gugatan pemilu.”
Dalam rangka penegakan demokrasi, upaya perlindungan integritas
pemilu sangat penting. Oleh karenanya, pembuat undang-undang harus
mengatur beberapa praktik curang atau pelanggaran pidana pemilu. Dalam
keterkaitannya dengan peraturan pemilu, UU tidak hanya mengatur proses
pemilu, tetapi mereka juga melarang perlakuan yang dapat menghambat
esensi pemilu yang bebas dan adil.
Berdasarkan deskripsi di atas, dapat disimpulkan bahwa maksud penyusunan
peraturan pelanggaran pemilu tidak hanya melindungi peserta pemilu (partai
politik atau kandidat), tetapi juga lembaga pelaksana dan pemilih. Ketentuan
tentang pelanggaran pemilu ditujukan untuk melindungi proses pemilu dari
segala bentuk pelanggaran. Perlindungan ini akan meningkatkan kualitas
pelayanan yang ditujukan oleh perwakilan terpilih atau pimpinan pemerintah
dalam merepresentasikan aspirasi pemilih.
Untuk menjamin pemilu yang bebas dan adil, diperlukan perlindungan bagi
para pemilih, bagi para pihak yang mengikuti pemilu, maupun bagi rakyat
umumnya dari segala ketakutan, intimidasi, penyupan, penipuan, dan praktikpraktik curang lainnya yang akan memengaruhi kemurnian hasil pemilihan
umum. Jika pemilihan dimenangi melalui cara-cara curang (malpractices), sulit
dikatakan bahwa para pemimpin atau para legislator yang terpilih di parlemen
merupakan wakil-wakil rakyat dan pemimpin sejati. Guna melindungi
kemurnian pemilu yang sangat penting bagi demokrasi itulah para pembuat
16
10
International IDEA, International Electoral Standards, Guidelines for Reviewing the Legal
Framework of Elections, Stockholm: International Institute for Democracy and Electoral
Assistance, 2002, h. 93.
undang-undang telah menjadikan sejumlah perbuatan curang dalam pemilu
sebagai suatu tindak pidana. Dengan demikian, undang-undang tentang
pemilu di samping mengatur tentang bagaimana pemilu dilaksanakan, juga
melarang sejumlah perbuatan yang dapat menghancurkan hakikat free and
fair election itu serta mengancam pelakunya dengan hukuman.
B.2Batasan
Untuk memberikan batasan mengenai apa yang dimaksud dengan tindak
pidana pemilu, pembahasan ini mengacu pada ketentuan sebagaimana
disebut pada Pasal 252 UU No. 10/2008, yang secara garis besar menyatakan
sebagai pelanggaran terhadap ketentuan pidana pemilu yang diatur dalam
undang-undang tersebut.17 Berdasarkan rumusan dalam ketentuan itu, dapat
diartikan bahwa tidak semua tindak pidana yang terjadi pada masa pemilu
atau yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu, digolongkan sebagai
tindak pidana pemilu.
Sebagai contoh, pembunuhan terhadap lawan politik pada saat berkampanye,
atau seorang calon anggota DPR yang diduga melakukan penipuan. Meski
peristiwanya terjadi pada saat tahapan pemilu berlangsung atau berkaitan
dengan kontestan pemilu tertentu, namun karena pidana tersebut tidak diatur
dalam Undang-undang Pemilu; perbuatan itu tidak digolongkan sebagai
tindak pidana pemilu. Perbuatan tersebut adalah tindak pidana umum yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Begitu juga tindak pidana lainnya yang bisa jadi berkaitan dengan pemilu,
tetapi tidak diatur dalam UU Pemilu. Misalnya, penyimpangan keuangan
dalam pengadaan surat suara bukanlah tindak pidana pemilu, melainkan
tindak pidana korupsi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa tindak pidana
pemilu dipandang sebagai sesuatu tindakan terlarang yang serius sifatnya
dan harus diselesaikan agar dapat tercapai tujuan mengadakan ketentuan
pidana itu untuk melindungi proses demokrasi melalui pemilu.
Tindak pidana pemilu diatur pada Bab XXI, mulai Pasal 260 sampai Pasal 311
17
Pasal 252 UU No. 10/2008 selengkapnya berbunyi: Pelanggaran pidana Pemilu
adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam
Undang-Undang ini yang penyelesaiannya dilaksanakan melalui pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum.
11
Penanganan Pelanggaran Pemilu
UU No. 10/2008. Mengingat kebiasaan di Indonesia, undang-undang diubah
setiap pemilu, kemungkinan pengaturan tindak pidana pemilu ini juga
mengalami perubahan dalam UU Pemilu yang akan datang. Jadi, uraian ini
hanya membahas tindak pidana pada UU Pemilu terakhir.
Subyek tindak pidana pemilu ini meliputi pengurus partai politik; pelaksana
kampanye; calon anggota DPR, DPD, DPRD; penyelenggara pemilu, pengawas
pemilu; hingga setiap orang. Dari segi kesalahan, tindak pidana pemilu ada
yang berunsur sengaja dan kealpaan. Dari segi sanksi, tindak pidana pemilu
diancam sanksi penjara dan denda yang diancam secara kumulatif (ada kata
“dan”) dan tidak alternatif seperti pada UU No. 12/2003. Artinya, terdakwa yang
terbukti bersalah harus dijatuhi penjara dan denda sekaligus. Untuk sanksi
penjara, ada ancaman pidana minimum dan maksimum.
Dengan demikian, dari segi politik hukum, sejak di dalam KUHP, para pembuat
undang-undang telah melihat adanya sejumlah perbuatan yang berkaitan
dengan pemilu yang berbahaya bagi pencapaian tujuan pemilihan sehingga
harus dilarang dan diancam dengan pidana. Terlihat kecenderungan
peningkatan cakupan dan peningkatan ancaman pidana dalam beberapa
undang-undang pemilu yang pernah ada di Indonesia. Misalnya, jumlah
tindak pidana pemilu pada UU No. 10/2008 lebih dua kali lipat dibanding
tindak pidana pemilu yang diatur dalam UU No. 12/2003.
Hal ini dapat dipahami sebagai suatu politik hukum pembuat undangundang guna mencegah terjadinya tindak pidana ini. Masalahnya, apakah
kriminalisasi yang dilakukan sudah tepat? Dalam UU No. 10/2008, hampir
seluruh penambahan tindak pidana adalah menyangkut penyelenggara
pemilu. Termasuk di antaranya adalah hal-hal yang masuk wilayah administrasi
pemilu dan layak diberi sanksi administrasi atau kode etik, namun justru
diancam dengan sanksi pidana.
Tindak pidana pemilu harus diproses melalui sistem peradilan pidana, yakni
melalui kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Hal serupa terjadi di negaranegara lain. Sanksi pidana adalah yang paling keras sehingga hanya negara
melalui pengadilan yang bisa menjatuhkan saksi untuk pelaku tindak pidana
pemilu. Hal ini berbeda dengan sanksi administrasi di mana pemerintah
atau lembaga negara (seperti Komisi Pemilihan Umum) yang diberi wewenang
dapat menjatuhkan sanksi administrasi, tanpa melalui proses peradilan.
Karenanya, jika ada peserta pemilu melakukan pelanggaran administrasi, KPU
12
atau KPUD yang mendapat penerusan laporan atau temuan dari pengawas
pemilu, dapat memproses dan menjatuhkan sanksi administrasi kepada
pelanggar tersebut.
B.3 Subyek atau Pelaku Tindak Pidana Pemilu
Sepanjang sejarah pemilu di Indonesia, yang dapat menjadi subyek tindak
pidana pemilu adalah manusia selaku pribadi kodrati. Dengan kata lain,
korporasi atau badan hukum dan partai politik bukanlah subyek tindak
pidana pemilu. Meskipun dalam Pasal 282 (lembaga survei), Pasal 284 dan 285
(perusahaan pencetakan suara), Pasal 307 dan 308 (lembaga yang melakukan
penghitungan cepat) dari UU No. 10/2008 menyebut lembaga atau perusahaan
sebagai subyek atau pelaku tindak pidana, ketentuan tersebut sebetulnya
tidak tepat sebab dalam pasal-pasal itu sanksi pidananya kumulatif penjara
dan denda. Hanya manusia saja yang bisa dijatuhi sanksi penjara.
Dengan demikian, subyek tindak pidana dalam UU No. 10/2008 sebenarnya
adalah orang, bukan lembaga/perusahaan/korporasi. Penyebutan kata
lembaga/perusahaan dalam Undang-Undang tersebut tidak disertai dengan
siapa yang mewakili lembaga/perusahaan yang harus bertanggung jawab.
Meskipun demikian, karena UU No. 10/2008 menyebut subyek “lembaga” atau
“perusahaan”; jika terjadi tindak pidana mengenai pasal-pasal yang memuat
kata “lembaga” atau “perusahaan” tersebut, harus ada dari pihak “lembaga”
atau “perusahaan” tersebut yang bertanggung jawab secara pidana.
Dalam peraturan hukum pidana, orang yang dapat dipidana adalah
orang yang dapat dipersalahkan telah melakukan suatu perbuatan yang
dilarang, yaitu orang yang melakukan suatu perbuatan yang dilarang atau
melakukan perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang undangundang. Jadi, harus dicari siapakah orang dalam “lembaga” atau “perusahaan”
yang bertanggung jawab terhadap perbuatan atau akibat yang dilarang
undang-undang. Untuk itu, setiap kasus harus dilihat satu persatu dan tidak
bisa digeneralisir. Di samping itu, ajaran hukum pidana juga mengenai
adanya penyertaan pidana, termasuk di dalamnya orang yang turut serta,
menggerakkan, menyuruh melakukan tindak pidana, atau membantu tindak
pidana.
13
Penanganan Pelanggaran Pemilu
B.4 Perubahan dari Undang-Undang Pemilu Sebelumnya
Jumlah tindak pidana pemilu pada UU No. 10/2008 meningkat dua kali lipat
daripada yang diatur dalam undang-undang pemilu sebelumnya (UU No.
12/2003). Ada perkembangan yang cukup drastis dalam undang-undang
terbaru ini, yaitu semakin beratnya ancaman hukuman minimal dan maksimal
terhadap pelaku tindak pidana pemilu tersebut, baik berupa denda maupun
sanksi penjara yang dapat dijatuhkan sekaligus.
Misalnya saja, tindak pidana pemalsuan surat untuk menjalankan suatu
perbuatan dalam pemilu, dalam UU No. 12/2003 hanya diancam dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan
belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 600.000 (enam ratus ribu
rupiah) atau paling banyak Rp 6.000.000 (enam juta rupiah). Dalam UU No.
10/2008, perbuatan seperti itu diancam dengan pidana penjara paling singkat
36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan
denda paling sedikit Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan
paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
Dalam UU No. 10/2008, ada peningkatan jumlah ketentuan pidana terhadap
tindakan menyimpang atau pelanggaran yang mungkin dilakukan oleh
penyelenggara pemilu dalam menjalankan tugas-tugas kepemiluan, yakni
15 ketentuan pidana terhadap anggota KPU dan aparatnya serta 2 ketentuan
bagi jajaran pengawas pemilu.
B.5 Penanganan Tindak Pidana Pemilu
Dari segi hukum acara, terdapat perkembangan, yakni ditentukannya waktu
penyelesaian yang singkat –mulai dari penyidikan hingga pemeriksaan di
sidang pengadilan. Ketentuan waktu-singkat ini dapat dikatakan sudah
sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai dari pengaturan pidana pemilu
itu sendiri. Tindak pidana pemilu dapat dipandang sebagai sesuatu tindakan
terlarang yang serius sifatnya. Karena itu, tindak pidana itu harus diselesaikan
dalam waktu singkat agar tujuan mengadakan ketentuan pidana pemilu itu
dapat tercapai, yakni untuk melindungi proses demokrasi melalui pemilu.
Meski demikian, sebetulnya pembatasan waktu di dalam UU No. 10/2008
terlampau singkat sehingga justru mengakibatkan banyak pelanggaran yang
secara materiil terjadi tidak bisa diproses lebih lanjut.
14
Perkembangan penting dalam penyelesaian tindak pidana Pemilu 2009
dibandingkan dengan Pemilu 2004 paling tidak menyangkut lima hal, yaitu: (1)
waktu penyelidikan/penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan di pengadilan
lebih cepat; (2) waktu dan mekanisme alur pergerakan berkas perkara diatur
lebih detail; (3) pemeriksaan perkara dilakukan oleh hakim khusus; (4) putusan
pengadilan negeri boleh dibanding ke pengadilan tinggi, tanpa membedakan
besar ancaman hukumannya; dan (5) adanya keharusan pengadilan untuk
memutus perkara pidana pemilu yang dapat mempengaruhi perolehan suara
peserta pemilu, paling lambat lima hari sebelum hasil pemilu ditetapkan
secara nasional.18
Ketentuan tersebut pada kenyataannya telah “mengubur” banyak laporan
tindak pidana pemilu baik yang sedang diproses pengawas pemilu, disidik
polisi, ditangani jaksa, ataupun yang masuk pengadilan.
Penyelesaian pelanggaran pidana pemilu dilaksanakan melalui pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum.19 Penegak hukum yang berperan
dalam penyelesaian tindak pidana pemilu adalah kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan. Dalam pemilu, kepolisian bertugas dan berwenang melakukan
penyidikan terhadap laporan atau temuan tindak pidana pemilu yang
diterima dari pengawas pemilu dan menyampaikan berkas perkara kepada
penuntut umum sesuai waktu yang ditentukan. Penuntut umum bertugas
dan berwenang melimpahkan berkas perkara tindak pidana pemilu yang
disampaikan oleh penyidik/Polri ke pengadilan sesuai waktu yang ditentukan.
Perkara tindak pidana pemilu diselesaikan oleh Peradilan Umum, di tingkat
pertama oleh pengadilan negeri, di tingkat banding dan terakhir oleh
pengadilan tinggi. Pengadilan negeri dan pengadilan tinggi memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara tindak pidana pemilu menggunakan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, ditambah beberapa ketentuan
khusus dalam UU Pemilu. Pemeriksaan dilakukan oleh hakim khusus, yaitu
hakim karier yang ditetapkan secara khusus untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus perkara pidana pemilu. Putusan pengadilan tinggi tidak dapat
dilakukan upaya hukum lain.
Meskipun disebut hakim khusus, pada kenyataannya kesiapan dan
18
Lihat pasal 257 UU No. 10/2008
19
Pasal 252 UU No. 10/2008.
15
Penanganan Pelanggaran Pemilu
kemampuan khusus ini tentang berbagai peraturan pemilu masih kurang,
sehingga perlu ditingkatkan lagi. Artinya, hakim khusus ini mestinya bukan
hakim yang “sekadar” mendapat surat perintah sebagai hakim khusus pemilu,
tetapi mesti disiapkan secara mendalam tentang kepemiluan dan tentang
kepidanaan. Jadi, para hakim tersebut tidak cukup hanya menguasai hukum
pidana dan acara pidana, tetapi seluk-beluk kepemiluan juga mesti dikuasai.
C. Pelanggaran Administrasi Pemilu
Pelanggaran administrasi pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan
Undang-Undang Pemilu yang bukan merupakan ketentuan pidana pemilu
dan terhadap ketentuan lain yang diatur dalam peraturan KPU.20 Ketentuan
dan persyaratan menurut undang-undang pemilu tentu saja bisa berupa
ketentuan-ketentuan dan persyaratan-persyaratan yang diatur, baik dalam
undang-undang pemilu maupun dalam keputusan-keputusan KPU yang
bersifat mengatur sebagai aturan pelaksanaan dari undang-undang pemilu.
Mengacu kepada pemahaman seperti ini, tentu saja jumlah dari pelanggaran
administrasi ini sangat banyak. Sebagai contoh dari ketentuan menurut
Undang-Undang Pemilu adalah: “Untuk dapat menggunakan hak memilih,
warga negara Republik Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih.”Dengan
ketentuan seperti ini, apabila ada orang yang tidak terdaftar sebagai pemilih
ikut memilih pada hari pemungutan suara, artinya telah terjadi pelanggaran
administrasi. Contoh dari persyaratan menurut Undang-Undang Pemilu
adalah: “syarat pendidikan, syarat usia pemilih, dan sebagainya.” Ketentuan dan
persyaratan juga banyak dijumpai dalam keputusan KPU. Misalnya mengenai
kampanye pemilu, di mana terdapat banyak pelanggaran administrasi seperti
menyangkut tempat-tempat pemasangan atribut kampanye, larangan
membawa anak-anak di bawah 7 tahun atau larangan berkonvoi lintas daerah.
Dalam hal penyelesaian tindak pidana pemilu, undang-undang memberi
aturan atau mekanisme mulai dari pelaporannya, penyidikan, penuntutan,
hingga peradilannya (paling tidak ditentukan batasan waktunya), serta
penyelesaian tindak pidana pemilu yang juga memberi aturan mengenai
batasan waktu, bahkan juga tahapan penyelesaian sengketanya. Sebaliknya,
pada pelanggaran administrasi ini, Undang-Undang Pemilu hanya menyatakan
bahwa laporan yang merupakan pelanggaran administrasi diserahkan kepada
20
16
Pasal 248 UU No. 10/2008.
KPU. Jadi tidak jelas bagaimana KPU menyelesaikan pelanggaran administrasi
ini serta berapa lama KPU dapat menyelesaikannya.
Pelanggaran administrasi pemilu diteruskan kepada KPU, KPU Provinsi, dan
KPU Kabupaten/Kota sesuai tingkatannya paling lama 1 (satu) hari setelah
diputuskan oleh Pengawas Pemilu. Penerusan laporan dilampiri dengan
salinan laporan pelapor dan hasil kajian terhadap laporan.
Beberapa contoh pelanggaran administrasi pemilu adalah sebagai berikut:
pemasangan alat peraga peserta kampanye, seperti poster, bendera, umbulumbul, spanduk, dan lain lain dipasang sembarangan. Undang-Undang
melarang pemasangan alat peraga di tempat ibadah, tempat pendidikan,
lingkungan kantor pemerintahan; Peraturan KPU melarang penempatan
alat peraga kampanye di jalan-jalan utama atau protokol dan jalan bebas
hambatan atau jalan tol. Arak-arakan atau konvoi menuju dan meninggalkan
lokasi kampanye rapat umum dan pertemuan terbatas tidak diberitahukan
sebelumnya kepada polisi sehingga tidak memiliki kesempatan untuk
mengatur perjalanan konvoi. Selain itu, peserta konvoi sering keluar dari
jalur yang telah ditetapkan oleh panitia. Kampanye rapat umum dilakukan
melebihi waktu yang ditentukan. Kampanye melintasi batas daerah pemilihan.
Perubahan jenis kampanye, dalam hal ini KPU dan peserta pemilu sudah
menetapkan bahwa parpol tertentu melakukan kampanye terbatas di tempat
tertentu, namun dalam pelaksanaannya kampanye terbatas tersebut berubah
menjadi kampanye rapat umum yang pada akhirnya juga diikuti oleh arakarakan.
Apakah sanksi pelanggaran administrasi pemilu? Pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan tentang pelaksanaan kampanye Pemilu Anggota DPR,
DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dikenai sanksi
sesuai ketentuan tentang peraturan perundang-undangan dan peraturan
perundang-undangan lain yang terkait.21 Bawaslu dan KPU menetapkan secara
bersama-sama sanksi terhadap pelanggaran administrasi oleh pelaksana dan
peserta kampanye, selain sanksi administrasi yang terdapat dalam UU No.
10/2008 dan UU No. 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Menurut hemat Penulis, hal tersebut tidak tepat karena KPU dan Bawaslu adalah
pelaksana dan pengawas pemilu, bukan pembuat norma penting pemilu,
21
Pasal 125 ayat (2) UU No.10/2008 dan Pasal 90 ayat (2) UU No. 42/2008.
17
Penanganan Pelanggaran Pemilu
apalagi menentukan sanksi. Jadi semestinya UU Pemilu menetapkan secara
jelas apa saja pelanggaran administrasi pemilu serta sanksi untuk masingmasing pelanggaran itu. Sayangnya, pembuat UU Pemilu tidak melakukan
itu, justru hanya membuat definisi umum dari pelanggaran administrasi dan
membiarkan apa sanksi pelanggaran itu kepada KPU dan Bawaslu. Pada UU
Pemilu ke depan, mestinya kekurangan ini diperbaiki.
Bagaimana penyelesaian pelanggaran administrasi pemilu? Penyelesaian
pelanggaran administrasi pemilu ini dimaksudkan untuk menjaga kemandirian,
integritas, akuntabilitas, dan kredibilitas penyelenggara pemilu. Penyelesaian
pelanggaran administrasi pemilu ini bertujuan untuk memastikan
penyelenggaraan pemilusecara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil. Pelanggaran administrasi pemilu diselesaikan oleh KPU, KPU Provinsi,
dan KPU Kabupaten/Kota berdasarkan laporan dari Bawaslu, Panwaslu
Provinsi, dan Panwaslu Kabupaten/Kota sesuai dengan tingkatannya. Laporan
pelanggaran administrasi pemilu dapat disampaikan oleh warga negara
Indonesia yang mempunyai hak pilih; pemantau pemilu; atau peserta Pemilu.
Laporan pelanggaran administrasi pemilu disampaikan secara tertulis kepada
Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan,
Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri, dengan
memuat nama dan alamat pelapor; pihak terlapor; waktu dan tempat kejadian
perkara; serta uraian kejadian.
Dalam proses pemeriksaan dokumen laporan pelanggaran administrasi
pemilu; KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dapat menggali, mencari,
dan menerima masukan dari berbagai pihak untuk kelengkapan dan kejelasan
pemahaman laporan pelanggaran tersebut.
Di dalam perkembangannya, Bawaslu menghendaki agar pihaknya diberi
wewenang mengawasi dan sekaligus menjatuhkan sanksi administrasi itu. Hal
ini kemudian direspons positif oleh legislatif dalam UU Penyelenggara Pemilu
yang baru. Aspirasi Bawaslu ini didasari pada kesulitan dalam praktik, di mana
saat terjadi pelanggaran administrasi yang mestinya diselesaikan secara cepat,
tidak bisa dilakukan karena proses penerusan laporan dari pengawas pemilu
ke KPU/KPUD tidak segera cepat diproses dan diberi putusan serta tindakan.
Hal ini disebabkan juga karena tidak ditentukannya jenis-jenis pelanggaran
secara tegas dan sanksinya oleh UU serta tidak adanya unit khusus di KPU/
KPUD yang menerima, memproses, dan menjatuhkan sanksi administrasi.
18
Menurut hemat Penulis, Bawaslu atau Panwaslu dapat saja diberi wewenang
menyelesaikan pelanggaran administrasi pemilu yang sifatnya tidak terlampau
serius dan butuh penanganan segera.
D. Penanganan Pelanggaran Kode Etik melalui Dewan
Kehormatan
Pelanggaran kode etik adalah pelanggaran terhadap prinsip-prinsip moral
dan etika penyelenggara pemilu yang berpedoman kepada sumpah dan/atau
janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu dan asas
penyelenggara pemilu yang diberlakukan dan ditetapkan oleh KPU. Maksud
kode etik adalah untuk menjaga kemandirian, integritas, akuntabilitas, dan
kredibilitas penyelenggara pemilu. Sedangkan tujuan kode etik adalah
memastikan terselenggaranya pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil.
Menurut UU Penyelenggara Pemilu lama (UU No. 22/2007), untuk memeriksa
pengaduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang
dilakukan oleh anggota KPU dan anggota KPU Provinsi, dibentuk Dewan
Kehormatan KPU yang bersifat ad hoc yang ditetapkan dengan keputusan KPU.
Dewan Kehormatan KPU tersebut berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas
3 (tiga) orang anggota KPU dan 2 (dua) orang dari luar anggota KPU. Dewan
Kehormatan KPU terdiri atas seorang ketua merangkap anggota dan anggota.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, Dewan Kehormatan KPU menetapkan
rekomendasi yang bersifat mengikat. KPU wajib melaksanakan rekomendasi
Dewan Kehormatan KPU.22
Hal ini kemudian berubah, di dalam UU Penyelenggara Pemilu yang
lahir 2011, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (yang memeriksa
pelanggaran kode etik, baik untuk KPU maupun Bawaslu) atau disingkat DKPP
bersifat permanen dan bertugas menangani pelanggaran kode etik serta
berkedudukan di ibukota negara. Keanggotaannya pun lebih beragam, yaitu
ada unsur KPU, Bawaslu, partai politik, masyarakat, dan unsur pemerintah.
22
Pasal 111 UU No. 22/2007.
19
Penanganan Pelanggaran Pemilu
E. Sengketa Hukum Lainnya
Salah satu masalah hukum lain yang kerap muncul adalah gugatan terhadap
keputusan penyelenggara pemilu mengenai peserta pemilu. Hal terakhir
ini tidak diatur penyelesaiannya dalam UU No. 10/2008. Sengketa ini terjadi
antara pihak yang merasa dirugikan (khususnya partai politik atau bakal
calon) dengan penyelenggara pemilihan yang mengeluarkan keputusan itu.
Undang-Undang Pemilu tidak menegaskan atau mengatur dengan jalan
bagaimana dan melalui lembaga apa pihak-pihak yang dirugikan oleh
keputusan KPU dapat menyelesaikan keberatannya. Karena UU Pemilu tidak
mengaturnya, kerap kali para pihak yang merasa dirugikan mengajukan
gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara atau ke Peradilan Umum. Kasus
gugatan partai-partai yang dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai
peserta pemilu oleh KPU ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan
contoh dari sengketa hukum ini.
Pengertian Sengketa Tata Usaha Negara, sebagaimana disebut pada Pasal 1
butir 4 UU No. 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, adalah sengketa
yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan
hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat
maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Sedangkan Keputusan Tata Usaha Negara, sebagaimana disebut pada Pasal
1 butir 3 Undang-Undang tersebut, adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan
hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Berdasarkan pengertian di atas, sengketa tata usaha negara sedikitnya
mengandung unsur-unsur: (1) adanya keberatan individu atau badan hukum
perdata atas suatu putusan tata usaha negara; (2) adanya penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan (3) putusan tersebut
bersifat konkret, individual, dan final.
20
Keputusan-keputusan yang diambil oleh KPU terkait dengan penyelenggaraan
pemilu pada praktiknya termasuk dalam kategori “putusan tata usaha negara”.
Pada beberapa tahapan pemilu dan pemilihan kepala daerah 2004-2008,
beberapa pihak yang merasa dirugikan oleh keputusan KPU/KPUD juga
menggunakan haknya untuk menggugat keputusan penyelenggara pemilu
tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Bahkan, salah satu gugatan atas
putusan KPU Provinsi Riau dikabulkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara
Pekanbaru dan dikuatkan oleh PT TUN Medan. Pada Pemilu 2009, gugatan
empat partai yang oleh KPU dinyatakan tidak lolos sebagai peserta Pemilu
2009 dikabulkan oleh PTUN Jakarta, dan kemudian berdasar putusan KPU itu
partai-partai politik tersebut diterima sebagai peserta Pemilu 2009.
Apakah Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu sengketa atas putusan KPU/KPUD dalam penyelenggaraan
Pemilu 2009? Berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU No.
9/2004 tentang Perubahan atas UU No. 5/1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, dalam pasal 2 disebutkan ada 7 (tujuh) jenis keputusan yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang tidak termasuk
dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang
tersebut. Salah satu di antaranya adalah Keputusan Komisi Pemilihan Umum,
baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.
Meskipun demikian, putusan dari PTUN ini juga perlu dikritisi karena dengan
tidak adanya ketentuan khusus yang mengaturnya di UU Pemilu, proses di
PTUN (begitu juga di PN) bisa berlangsung lama dan sering kali bermasalah.
Masalah tersebut adalah: Pertama, secara substansi putusan itu mungkin
kurang selaras dengan maksud dan tujuan dalam UU Pemilu dan juga kurang
respeknya para pihak (penyelenggara khususnya) atas putusan-putusan dari
PTUN karena memang tidak diatur dalam UU Pemilu.
Kedua, putusan yang diambil sudah melewati tahapan-tahapan tertentu
sehingga sering tidak dilaksanakan karena tahapannya sudah terlewati.
21
Penanganan Pelanggaran Pemilu
22
BAB III
Beberapa Catatan
Sebagai rangkuman dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa dalam
penyelesaian keenam masalah hukum dalam pemilu, lembaga yang
menangani dan prosesnya berbeda. Penyelesaian masalah hukum dalam
pemilu dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.1
Masalah Hukum dalam Pemilu
No
Masalah
Hukum
Lembaga
yang
Berwenang
Proses
1
Pelanggaran
pidana pemilu
(tindak pidana
pemilu)
Sistem peradilan
pidana
(kepolisian,
kejaksaan,
pengadilan)
Laporan mula-mula diajukan kepada
pengawas pemilu yang kemudian
diteruskan kepada polisi yang
akan menyidiknya; jaksa menuntut,
dan pengadilan memeriksa
dan memutus. Bisa banding ke
Pengadilan Tinggi yang memutus di
tingkatan terakhir.
2
Sengketa dalam
tahapan/proses
pemilu
Pengawas
pemilu
Diselesaikan melalui proses ADR.
UU Pemilu yang lama (UU No.
12/2003 mengatur tahapan dan
mekanisme penyelesaian sengketa
ini, sementara dalam UU Pemilu
yang baru (UU No. 10/2008 hal ini
tidak diatur sehingga diserahkan
penyelesaiannya kepada Pengawas
Pemilu.
23
Penanganan Pelanggaran Pemilu
No
Masalah
Hukum
Lembaga
yang
Berwenang
Proses
3
Pelanggaran
administrasi
pemilu
KPU, KPUD
Dilaporkan kepada pengawas
pemilu atau langsung diterima oleh
KPU atau KPUD. Pada pelanggaran
administrasi ini undang-undang
pemilu hanya menyatakan
bahwa laporan yang merupakan
pelanggaran administrasi
diserahkan kepada KPU. Jadi tidak
jelas bagaimana KPU menyelesaikan
pelanggaran administrasi ini
serta berapa lama KPU dapat
menyelesaikannya.
4
5
Pelanggaran
Kode Etik
Perselisihan
(sengketa) hasil
pemilu
Dewan
Kehormatan
Mahkamah
Konstitusi
Dilaporkan oleh Bawaslu atau
Panwaslu, dibentuk Dewan
Kehormatan, pemberian
rekomendasi, pelaksanaan
rekomendasi
Pasangan calon mengajukan
permohonan kepada MK paling
lambat 3 x 24 jam sesudah
pengumuman resmi hasil pemilihan
umum.
6
Sengketa
hukum lainnya
Peradilan Umum Tidak diatur dalam UU Pemilu. Di
atau Peradilan
dalam praktik kerap kali dilakukan
Tata Usaha
dengan proses yang berlaku di
Peradilan Tata Usaha Negara
Negara
(sebagai perkara tata usaha negara)
dan Peradilan Umum (sebagai
perbuatan melawan hukum).
A. Kelemahan dalam Penegakan Hukum
Jika jarak hukum dengan praktiknya kian jauh, hukum itu jadi aturan yang sekarat
bahkan mati. Aturan yang dilanggar berkali-kali tapi tidak bisa ditegakkan dan
pelakunya tidak dijatuhi sanksi, akan menjadi sia-sia pengaturannya. Dalam
pelaksanaan Pemilu 2004 dan 2009, Panwaslu di seluruh Indonesia membawa
ribuan kasus ke sistem peradilan pidana. Ironisnya, meski dalam ribuan kasus
pelakunya dinyatakan “guilty” karena pelanggaran tindak pidana pemilu, ada
beberapa tindak pidana pemilu yang hampir-hampir “tidak pernah teruji”
24
di pengadilan, misalnya tindak pidana pemilu yang berkaitan dengan dana
kampanye.
Apakah hal ini karena memang tidak ada yang melakukan? Ataukah undangundangnya tidak mencukupi? Ataukah karena pengawasan dan penegakannya
yang kurang?
Klarifikasi di lapangan yang dilakukan baik oleh pemantau maupun pengawas
membuktikan banyaknya keganjilan dan bukti-bukti awal pelanggaran
dalam soal ini. Faktor-faktor, baik hukum maupun nonhukum, tidak mustahil
menghambat penegakannya.
Secara normatif, jika terbukti, ancamannya cukup berat, yaitu “eliminasi”
dari proses pemilu. Dalam konteks pemilihan kepala daerah nanti, tentu ini
menjadi sulit ditegakkan (paling tidak secara sosiologis ada hambatan). Kalau
memang tujuan yang ingin dicapai dari aturan ini tidak mungkin dijalankan
dalam praktiknya; ke depan, aturan-aturan yang sulit ditegakkan ini mesti
dikaji ulang atau dipertajam.
Meskipun telah ada gebrakan dari pengawas pemilu di beberapa daerah
yang memproses mereka yang diduga melakukan tindak pidana pemilu ke
polisi, bukan berarti upaya menjerat pelanggar aturan pemilu senantiasa
mulus. Paling tidak ada empat masalah penegakan hukum pemilu yang mesti
ditingkatkan pembahasannya.
Pertama, apakah ada kesamaan persepsi antara pengawas pemilu di satu sisi
dengan penegak hukum (polisi-jaksa-hakim) di sisi lain;
Kedua, adakah penggunaan “diskresi” dalam menyelesaikan tindak pidana
pemilu;
Ketiga, bagaimana kesiapan pengawas pemilu dan penegak hukum dalam
menghadapi berbagai tekanan;
Keempat, adakah konsistensi dalam penegakan hukum pemilu?
Kesamaan persepsi antara pengawas pemilu di satu sisi dengan penegak
hukum di sisi lain merupakan satu kondisi yang penting yang menentukan
nasib kasus-kasus yang diteruskan pengawas pemilu ke sistem peradilan
25
Penanganan Pelanggaran Pemilu
pidana. Sikap tegas pengawas pemilu yang membawa temuan-temuan
tindak pidana pemilu ke polisi akan menjadi tidak bermakna jika saja polisi
tidak sepakat dengan pengawas pemilu, khususnya menyangkut perbuatan
mana yang sudah memenuhi unsur-unsur tindak pidana pemilu. Terhentinya
penanganan suatu kasus kadang malah jadi “blunder” bagi pengawas pemilu
karena kemungkinan akan ada “serangan balasan” berupa pengaduan pihak
lain ke polisi. Oleh sebab itu, kesamaan persepsi antara pengawas pemilu
dengan penegak hukum menjadi sangat penting.
Yang kedua, kerap kali penegakan suatu peraturan dikaitkan dengan dua sisi
dilematis antara keinginan menjaga ketenteraman atau kedamaian dengan
penegakan hukum. Hal ini menjadi sangat relevan dalam kaitan tindak pidana
berkaitan bidang politik seperti pemilu ini, sebab upaya penegakan hukum
kepada seseorang mungkin akan berhadapan dengan sikap konfrontatif
dari massa pendukung sang tersangka atau terdakwa. Terkadang faktor
tidak terlalu besarnya kuantitas kecurangan juga menjadi alasan untuk tidak
menangani suatu kasus sesuai hukum yang ada.
Di tengah posisi dilematis ini, bagaimana pengawas pemilu bersikap?
Tampaknya, upaya menempuh jalur yang sesuai dengan apa yang tertulis
dalam “aturan main” pemilu merupakan pilihan bagi para pelaksana
aturan. Bukankah aturan itu untuk dipatuhi? Dan bukankah terlalu banyak
pertimbangan subyektif hanya akan membuat ketidakpastian dan juga
ketidakadilan bagi pihak lain? Maka, alih-alih memilih secara subyektif setiap
kasus, bukankah sebaiknya jika pengawas pemilu –jika memang ada temuan
tindak pidana pemilu– segera menyerahkan kepada pihak penegak hukum?
Biarlah nantinya masyarakat yang akan menilai bagaimana sistem peradilan
pidana menyikapi berbagai kecurangan pemilu.
Yang tidak kalah pentingnya adalah konsistensi dalam penegakan aturan
pemilu. Sikap tegas yang hanya ditujukan di awal, atau terhadap sebagian
pihak saja, atau di daerah tertentu saja, hanya akan membuat masyarakat
tidak hormat dan bersikap sinis pada penegakan hukum pemilu. Tentu ini
sangat berbahaya sebab kualitas pelaksanaan pemilu bisa sangat berkurang
dan terdegradasi. Oleh sebab itu, langkah awal pengawas pemilu dalam
membawa kasus-kasus kecurangan kepada penegak hukum menjadi langkah
awal yang baik yang harus diikuti langkah serupa secara konsisten.
26
Memang, Pemilu 2009 telah berjalan dan menghasilkan wakil rakyat, wakil
daerah, dan pemimpin nasional. Namun jangan lupakan berbagai kelemahan
yang secara substansial perlu diperbaiki. Perlu direnungkan bahwa tujuan
pengaturan pemilu agar pemilu berjalan lancar dan bebas akan gagal jika
kekosongan hukum belum bisa diatasi, jika ketidakadilan dan diskriminasi
masih terus terjadi dan jika jarak antara hukum dan praktik pemilu kian
menganga. Jadi, pada konteks inilah evaluasi pemilu penting dilakukan.
B. Penerapan Tindak Pidana Pemilu
Masalah dalam penanganan tindak pidana dalam UU No. 10/2008 yang khas
pemilu (tidak ada padanannya dalam KUHP) muncul selama Pemilu 2009.
Sebagai contoh, melakukan kampanye di luar jadwal (Pasal 269), pelanggaran
pidana dalam kampanye (Pasal 270), politik uang (Pasal 274), dana kampanye
melebihi batas (Pasal 276). Dalam menghadapi tindak pidana pemilu semacam
ini, acapkali terjadi kegamangan baik di kalangan pengawas pemilu bahkan
juga di kalangan penegak hukum. Penyebabnya karena kurang dipahaminya
sejarah pembentukan pasal-pasal pidana itu (penafsiran historis), maksud/
tujuan dibuatnya pasal pidana itu (penafsiran teleologis/fungsional), dan
kaitan pasal pidana itu dengan ketentuan lain dalam undang-undang atau
peraturan terkait (penafsiran sistematis).
Pertanyaan yang lain adalah, sejauh mana ketentuan perundang-undangan
yang mengatur mengenai tindak pidana pemilu telah dilaksanakan dalam
penyelesaian kasus itu di pengadilan? Adakah perbedaan pemahaman dalam
melihat satu atau beberapa unsur tindak pidana pemilu? Apa argumentasi
hakim dalam memberikan putusan pada kasus-kasus itu? Pertanyaan
ini penting mengingat dalam beberapa kasus, hakim ternyata berbeda
pandangan: ada hakim yang berpandangan sempit yang melihat secara teknis
arti setiap kata dalam undang-undang, ada juga hakim yang berpandangan
lebih luas, yakni di samping melihat arti harfiah yang muncul dari setiap unsur
juga melihat secara teleologis atau maksud dibuatnya suatu aturan.
Idealnya, seorang hakim dalam mengadili perkara tindak pidana pemilu
seperti “money politics” ini harus memahami “bahasa politik” –dalam arti tidak
berpandangan hukum secara sempit, misalnya semua harus terbukti dari katakata secara tegas. Dalam dunia politik, upaya mempengaruhi bisa dilakukan
dengan berbagai cara. Dalam politik, cara mempengaruhi berbagai macam,
27
Penanganan Pelanggaran Pemilu
ada yang diucapkan dengan kata-kata, ada yang dengan memberi isyarat atau
tanda-tanda, tetapi substansinya atau isinya adalah untuk mempengaruhi
orang untuk memilih partainya.
Tindakan dengan isyarat itu sebetulnya memang bagian dari upaya politik
dan itu sudah dikategorikan mempengaruhi atau memaksa, mengajak
untuk melanggar undang-undang atau ketentuan. Jadi hakim juga perlu
pemahaman atau konteks politik dari suatu peristiwa, tidak hanya hukum saja.
Hakim perlu memahami ketentuan pidana pemilu sesuai konteksnya, sebab
pemilu itu suatu kegiatan politik, yaitu mempengaruhi orang untuk memilih
suatu tanda gambar atau suatu parpol atau suatu calon.
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa pada beberapa kasus majelis
hakim berusaha memahami tindak pidana pemilu secara lebih luas dan
memperhitungkan perbuatan-perbuatan yang dituduhkan dengan aspekaspek politik yang bisa dilakukan dengan berbagai cara itu. Hakim berusaha
untuk menggali isyarat-isyarat dari dunia politik yang meliputi perbuatan
penyuapan dalam pemilu. Sementara majelis hakim pada kasus lainnya
memahami secara lebih sempit atau lebih ketat terhadap unsur-unsur dari
tindak pidana yang dituduhkan yang menyebabkan sulitnya pembuktian
tindak pidana itu. Pada putusan terakhir ini tampaknya ada perbedaan
antara majelis hakim dengan maksud dibuatnya peraturan itu yang
memperhitungkan aspek-aspek politik.
C. Soal Batasan Waktu
Batas waktu pelaporan 3 (tiga) hari yang diatur dalam UU No. 10/2008 hampir
sama dengan ketentuan serupa dalam Pasal 131 UU No. 12/2003. Akan tetapi
terdapat perbedaan penting, yaitu pelaporan kepada Bawaslu atau Panwaslu
pada UU No. 12/2003 diberi batas 7 (tujuh) hari. Jadi, ketentuan yang lama itu
lebih lama 4 (empat) hari dibanding ketentuan pada UU No. 10/2008. Aturan ini
sebetulnya telah diajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi
pada tahun 2009, tetapi Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ketentuan
batas waktu dalam undang-undang itu tidak bertentangan dengan konstitusi.
Padahal, dipersingkatnya batas waktu pelaporan dari 7 (tujuh) hari pada
UU No. 12/2003 menjadi hanya 3 (hari) pada UU No. 10/2008 merupakan
suatu kemunduran dalam penegakan hukum pemilu. Ketentuan tersebut
tidak memperhitungkan kondisi di berbagai daerah di Indonesia sehingga
28
berakibat banyak tindak pidana pemilu tidak bisa diproses lebih lanjut karena
sudah dianggap kedaluwarsa.
Jika dibandingkan, betapa kontras dan tidak logisnya ketentuan ”daluwarsa”
dalam UU No. 10/2008 dengan KUHP. Ketidakadilan itu sungguh terlihat
dengan membandingkan antara perbuatan yang serius (mengubah hasil
pemilu) dalam Pasal 298 UU No. 10/2008 yang bisa dihukum hingga 60
bulan tetapi hak menuntutnya akan hapus hanya dalam waktu 3 (tiga) hari,
sementara perbuatan yang sangat ringan (mengemis) dalam Pasal 504 yang
diancam kurungan 6 minggu ternyata masa daluwarsanya 1 tahun (sesuai
Pasal 78 ayat 1 KUHP).
Dikaitkan dengan maksud dan asas pemilu, ketentuan ”daluwarsa” yang sangat
singkat menyebabkan kemungkinan lolosnya banyak pelaku tindak pidana
pemilu dan kemungkinan terpilihnya anggota DPR, DPD, dan DPRD melalui
proses yang curang yang melanggar hukum. Hal ini jelas-jelas bertentangan
dengan ketentuan konstitusi maupun undang-undang.
Penetapan batas waktu pelaporan pelanggaran pemilu yang sangat singkat
dalam UU No. 10/2008 telah dengan jelas melanggar hak negara dalam
menghukum seorang pelaku tindak pidana (jus puniendi). Sesuai pendapat
para sarjana hukum pidana, batasan waktu (daluwarsa) ini seyogianya hanya
diterapkan untuk tindak pidana yang sangat ringan saja. Untuk tindak pidana
yang berat, sebagian bahkan berpendapat tidak perlu ada batas daluwarsa.
Dalam UU No. 10/2008 ancaman pidana maksimalnya mulai 6 bulan, 1 tahun,
2 tahun, 3 tahun, 4 tahun, 5 tahun dan 6 tahun. Jadi, jika mengacu pada
Pasal 78 tersebut, semestinya masa daluwarsa dalam UU No. 10/2008 adalah
berkisar antara 6 tahun (untuk tindak pidana pemilu yang diancam penjara
6 bulan, 1 tahun, atau 2 tahun) dan 12 tahun (untuk tindak pidana pemilu
yang diancam penjara 3, 4, 5 atau 6 tahun). Sekali lagi, batasan waktu 3 (tiga)
hari adalah sangat kontras, tidak adil, dan tidak logis karena semestinya masa
daluwarsanya 6 tahun atau 12 tahun.
Tindak pidana pemilu ini termasuk berat karena ancaman pidananya, tetapi
juga serius dampaknya karena seseorang pelaku tindak pidana pemilu yang
tidak dipidana (akibat lewatnya batas waktu) bisa menjadi wakil rakyat, baik
di DPR, DPD, maupun DPRD. Tentu saja hal ini tidak sesuai dengan maksud
diadakannya aturan mengenai tindak pidana pemilu dalam UU Pemilu.
29
Penanganan Pelanggaran Pemilu
Mengapa ada ketentuan yang membatasi masa pelaporan pelanggaran
pemilu dalam UU No. 10/2008? Salah satu alasan yang sering didengar adalah
bahwa proses penyelesaian pelanggaran pemilu mesti sudah selesai sebelum
tahapan pemilu selesai agar proses pidana tidak mengganggu agenda pemilu,
agar setelah pemilu selesai (dan para anggota DPR, DPD, atau DPRD dilantik)
tidak ada lagi masalah-masalah yang mengungkitnya.
Dengan demikian segala proses penyelesaian pelanggaran dan sengketa
lebih singkat dan cepat dibanding tindak pidana biasa. Ini dikenal sebagai jalur
cepat atau ”fast track” dalam proses penyelesaian pelanggaran dan sengketa
pemilu. Contoh paling jelas dari argumen pembuat UU ini terlihat dari Pasal
257 (1) UU No. 10/2008 yang menyatakan bahwa putusan pengadilan terhadap
kasus pelanggaran pidana pemilu yang menurut Undang-Undang ini dapat
memengaruhi perolehan suara peserta pemilu harus sudah selesai paling
lama 5 (lima) hari sebelum KPU menetapkan hasil pemilu secara nasional.
Akibat dari pengaturan semacam ini adalah tidak bisa diprosesnya berbagai
manipulasi dan tindak pidana lainnya terhadap berita acara atau sertifikat
hasil penghitungan suara pada masa-masa paling krusial dalam pemilu,
yakni tahapan rekapitulasi suara di tingkat PPK, KPU Kabupaten/Kota, dan
KPU Provinsi. Dengan demikian, pengaturan untuk mempercepat proses
penyelesaian tindak pidana pemilu dengan semangat di atas, jelas telah
menyebabkan atau menyediakan lubang menganga untuk dilakukannya
kecurangan pemilu tanpa bisa ditangani oleh penegak hukum. Hal ini tentu
saja ironis dan tentu bukan ini yang diharapkan dalam suatu proses pemilu
yang demokratis.
Tentang waktu penyelesaian pelanggaran, mesti dipertimbangkan hal-hal
berikut:
Pertama, yang berada di jalur cepat atau ”fast track” semestinya hanya
penyelesaian pelanggaran administrasi, sengketa dalam proses, dan sengketa
hasil pemilu karena penyelesaian masalah-masalah ini memang sangat
mempengaruhi tahapan-tahapan pemilu yang ada yang memang ada limitasi
waktunya jelas (misalnya penetapan peserta pemilu, pencalonan, kampanye,
pemungutan dan penghitungan suara, dan penetapan hasil). Jika tidak dibatasi
waktu secara tegas dan jelas, proses pemilu bisa tersendat dan tertunda dan
pada akhirnya menggangu jalannya pemerintahan. Sedangkan, untuk tindak
pidana pemilu, masalahnya adalah berkaitan dengan penemuan adanya suatu
30
tindak pidana, memproses orang yang disangka/dituduh melakukan tindak
pidana itu, dan menjatuhkan pidana karena ia melakukan kesalahan. Semua ini
tidak hanya menyangkut perbuatannya tetapi juga kesalahan orangnya. Tentu
ini berbeda dengan penyelesaian untuk pelanggaran administrasi maupun
sengketa. Yang dicari dalam penyelesaian pidana adalah kebenaran materiil.
Tentu semua harus dilakukan secara cermat, teliti, hati-hati, serta tidak bisa
tergesa-gesa. Jika targetnya adalah waktu, akan banyak tindak pidana pemilu
yang tidak tersentuh hukum, dan hak memidana dari negara akan hilang atas
tindak pidana-tindak pidana itu. Dampak lainnya, akan hilangnya kepercayaan
masyarakat pada hukum dan negara yang membiarkan banyak tindak pidana
lolos dari jerat hukum karena lewat masa yang luar biasa pendek, yaitu 3 (tiga)
hari. Jadi, kesimpulannya, pembuat UU telah keliru menyamaratakan batasan
waktu pelaporan 3 (tiga) hari untuk semua jenis pelanggaran atau sengketa.
Seharusnya tindak pidana pemilu memiliki batas waktu daluwarsa yang lebih
masuk akal (jika disesuaikan dengan di Pasal 78 KUHP, daluwarsanya 6 tahun
atau 12 tahun, bukan hanya 3 hari).
Kedua, seandainya pun pembuat UU ingin mempercepat proses atau
setidaknya membatasi lamanya penyelesaian tindak pidana pemilu (sehingga
tidak terjadi penyelesaian yang sangat lama seperti pada Pemilu 1999),
semestinya pembatasan itu dilakukan pada tindakan penyidikan, penuntutan,
atau pemeriksaan di pengadilan, dan bukan dengan membatasi masa
pelaporan 3 (tiga) hari sesudah kejadian. Ketentuan untuk membatasi masa
penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di pengadilan bisa dilakukan
sebagaimana juga diatur dalam beberapa undang-undang khusus lainnya.
Dengan adanya pembatasan waktu ini, diharapkan ada kepastian bahwa
tindak pidana pemilu akan selesai sesuai dengan waktu yang masuk akal dan
tidak berlarut-larut. Akan tetapi, batasan waktu tidak seharusnya diterapkan
pada masa pelaporan tindak pidana pemilu, sebab ada kalanya suatu peristiwa
baru diketahui beberapa hari, minggu, bulan, atau bahkan tahun, setelah
dilakukannya tindakan itu. Untuk menjamin adanya keadilan dan kesamaan,
ketentuan itu disesuaikan saja dengan ketentuan mengenai daluwarsa dalam
Pasal 78 KUHP. Atau, jika pembuat UU ingin mengadakan aturan yang khusus,
bisa saja batas waktu itu dibuat lebih masuk akal, misalnya 1-6 tahun sesudah
kejadian.
Ketiga, penyelesaian yang cepat dengan membatasi waktu pelaporan
hanya 3 (tiga) hari sesudah kejadian hanya akan bermakna ”kepastian”, yaitu
dengan ”menghanguskan” semua laporan yang dilakukan lebih dari 3 (tiga)
31
Penanganan Pelanggaran Pemilu
hari dan hanya akan memproses semua laporan yang masuk selama 3 (tiga)
hari sesudah kejadian. Hal ini mungkin akan memudahkan penegak hukum
karena mereka akan mudah dalam menolak menangani perkara. Akan tetapi
akibatnya banyak tindak pidana ”menguap” dan pelakunya tidak tersentuh
hukum. Rakyat tidak mendapat keadilan. Proses pemilu diwarnai pelanggaran
yang tidak diproses secara layak. Para pelaku tidak mendapat sanksi dan tidak
akan jera untuk mengulangi lagi di masa depan. Singkatnya, pengaturan
batasan pelaporan yang singkat justru merusak asas pemilu, khususnya agar
pemilu dijalankan secara jujur dan adil.
32
BAB IV
Penutup
Dari uraian di atas, secara ringkas dapat dilihat beberapa persoalan dalam
penanganan pelanggaran pemilu.
Pertama, kriminalisasi yang banyak dilakukan di dalam UU No. 10/2008 masih
belum menemui sasaran, dengan banyak ancaman sanksi pidana atas hal-hal
yang lebih tepat dikenakan sanksi lainnya, baik sanksi administrasi maupun
kode etik.
Kedua, efektivitas penggunaan ketentuan pidana terkait dana kampanya
kurang terbukti, baik karena proses dan mekanisme audit maupun karena
sulitnya membongkar pelaporan dana kampanye yang tidak akurat atau yang
fiktif. Begitu juga ketentuan pidana terkait “money politics” justru menimbulkan
ironi, di satu sisi sulit membuktikan praktik politik uang dalam jumlah besar
oleh pelaku elite dengan mengatasnamakan berbagai jenis sumbangan atau
sayembara. Sementara “pelaku” kelas bawah mudah terkena pasal politik
uang hanya dengan tindakan-tindakan sepele.
Ketiga, batasan waktu dalam pelaporan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan
di pengadilan, serta proses banding ternyata di satu sisi bermaksud baik agar
proses dan hasil pemilu tidak banyak diungkit-ungkit, tapi juga berdampak
buruk berupa musnahnya banyak perkara yang mungkin secara materiil
memang memenuhi unsur tindak pidana pemilu.
Keempat, pengaturan pelanggaran administrasi sangat lemah karena diatur
terlalu umum, tidak diatur jenis pelanggaran administrasi serta jenis sanksinya,
serta bagaimana proses penyelesaiannya. Selain itu, di tubuh KPU juga tidak
dibentuk unit atau bidang khusus yang bertugas dan berwenang menerima,
menangani, dan menyelesaikan pelanggaran administrasi.
Kesimpulan tersebut memperlihatkan bahwa masih harus dilakukan sejumlah
perbaikan untuk pengaturan penanganan pelanggaran pemilu serta
penguatan dalam pelaksanaannya nanti.
33
Penanganan Pelanggaran Pemilu
Daftar Pustaka
Haris, Syamsuddin (ed), Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia & PPW-LIPI, 1998.
International Institute for Democracy and Electoral Assistance, Standarstandar Internasional Pemilihan Umum – Pedoman Peninjauan
Kembali Kerangka Hukum Pemilu, Jakarta: IDEA, 2002.
IFES, Seminar Reeport of the Controlling the Illegal Influence of Money
Politics and Regulating Political Finance, Jakarta 11 Juli 2000.
Jhingta, Hans Raj, Corrupt Practices in Elections – A Study Under The
Representation of The People Act, 1951, New Delhi: Deep & Deep
Publications, 1996.
J. Kristiadi (ed), Menyelenggarakan Pemilu yang Bersifat Luber dan Jurdil,
Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1997.
Koirudin, Profil Pemilu 2004 (Evaluasi Pelaksanaan, Hasil dan Perubahan
Peta Politik Nasional Pasca Pemilu Legislatif 2004, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004.
Merloe, Patrick, Pemilihan Umum Demokratis: Hak Asasi, Kepercayaan
Masyarakat dan Persaingan Yang Adil. Jakarta: Dinas Penerangan
Amerika Serikat, 1994
Panitia Pengawas Pemilu, Laporan Pengawasan Pemilu 1999, Jakarta, 1999.
Panitia Pengawas Pemilu, Laporan Pengawasan Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Buku 1 – 8, Jakarta, 2004.
34
Rachagan, Sothi, Law and the Electoral Process in Malaysia, Kuala Lumpur:
University of Malaya Press, 1993.
Santoso, Topo, “Pelanggaran Pemilu 2004 dan Penanganannya”, dalam
Jurnal Demokrasi & HAM, Vol. 4, No. 1, 2004.
Santoso, Topo Santoso dan Didik Supriyanto, Mengawasi Pemilu Mengawal
Demokrasi, Jakarta: Raja Grafindo, 2004.
Santoso, Topo, Siti Noordjanah, dan Rita, Etika dalam Pemilu 2004 –
Problematika dalam Penerapannya, Jakarta: Kedeputian Bidang
Dinamika Masyarakat Kementerian Riset dan Teknologi, 2005.
Santoso, Topo, Tindak Pidana Pemilu, Jakarta: Rajawali Press, 2005.
Santoso, Topo et al, Penegakan Hukum Pemilu, Jakarta: Perkumpulan
untuk Pemilu dan Demokrasi, 2006.
Santoso, Topo, Hukum dan Proses Demokrasi, Jakarta: Kemitraan, 2008.
Silaban, Sintong, Tindak Pidana Pemilu (Suatu Tinjauan dalam Rangka
Mewujudkan Pelaksanaan Pemilu yang Jujur dan Adil), Jakarta: Sinar
Harapan, 1992.
Sykes, J.B. (ed), The Concise Oxford Dictionary of Current English (7th ed),
New York: Oxford University Press, 1982.
35
36
Penyidikan dan
penyerahan
berkas ke JPU
Pengembalian
berkas belum
lengkap ke polisi
4
5 hari sesudah
laporan
diterima
Jika perlu
keterangan
tambahan
3
3 hari sesudah
laporan
diterima
Pengawas
Pemilu
Tindak lanjut
laporan ke polisi
3 hari
sesudah
kejadian
Pelapor
2
Terdakwa
Laporan
Proses
14 hari
sesudah
terima
laporan
pengawas
pemilu
Polisi
3 hari
sesudah
terima
berkas
JPU
Proses dan Waktu yang Paling Lama yang Diperlukan
(Sesuai UU No. 10/2008)
1
No
LAMPIRAN 1
PN
PT
Penanganan Pelanggaran Pemilu
37
Menyampaikan
berkas kembali
ke JPU sesudah
diperbaiki
Melimpahkan
berkas ke PN
Memeriksa dan
memutus perkara
Mengajukan
banding
Melimpahkan
berkas
permohonan
banding
Memeriksa dan
memutus
6
7
8
9
10
Proses
5
No
3 hari
sesudah
putusan
Terdakwa
Pelapor
Pengawas
Pemilu
3 hari
sesudah
terima
berkas
Polisi
5 hari
sesudah
menerima
berkas dari
polisi
JPU
3 hari
sesudah
berkas
permohonan
banding
diterima
7 hari sejak
penerimaan
berkas
PN
7 hari
sesudah
permohonan
banding
diterima
PT
Proses
Penyampaikan
putusan kepada
penuntut umum
Pelaksanaan
putusan
No
11
12
Terdakwa
Pelapor
Pengawas
Pemilu
Polisi
38
3 hari
sesudah
putusan
diterima
JPU
3 hari
sesudah
putusan
dibacakan
PN
3 hari
sesudah
putusan
dibacakan
PT
Penanganan Pelanggaran Pemilu
LAMPIRAN 2
Pelapor
Bawaslu/
Panwaslu
No
Proses
1
Menyampaikan
laporan kepada
pengawas pemilu
2
Tindak lanjut
laporan ke KPU/
KPU Provinsi/KPU
Kab/Kota
3 hari sesudah
laporan
diterima
Jika perlu
keterangan
tambahan
5 hari sesudah
laporan
diterima
KPU/KPU Provinsi/
KPU Kabupaten/
Kota
3 hari
sesudah
kejadian
3
Pemeriksaan
laporan
7 hari sesudah
laporan diterima dari
Bawaslu/Panwaslu
4
Pengambilan
keputusan23
14 hari setelah
dokumen
pelanggaran diterima
dari Bawaslu/
Panwaslu
23
23
Menurut Pasal 250 UU No. 10/2008, KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memeriksa
dan memutus pelanggaran administrasi pemilu dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak
diterimanya laporan dari Bawaslu, Panwaslu Provinsi, atau Panwaslu Kabupaten/Kota.
39
Penanganan Pelanggaran Pemilu
40
ISBN 978-979-26-9677-6
Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan
Jl. Wolter Monginsidi No. 3
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110
INDONESIA
Telp +62-21-7279-9566
Fax. +62-21-720-5260, +62-21-720-4916
http://www.kemitraan.or.id
Download