ANALISIS PENGARUH VARIABEL PENERIMAAN DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH DI ERA DESENTRALISASI (Studi Kasus Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009) SKRIPSI Disusun oleh : Dihan Lucky 0710210051 Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Meraih Derajat Sarjana Ekonomi JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2011 KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “Analisis Pengaruh Variabel Penerimaan Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah Di Era Desentralisasi (Studi Kasus Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009)” sesuai dengan waktu yang diharapkan. Penyusunan penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi syarat dalam mencapai derajat Sarjana Ekonomi pada Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Skripsi yang mengulas tentang pengaruh variabel penerimaan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di era desentralisasi, menguraikan bagimana pengaruh variabel penerimaan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di era desentralisasi. Penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat yang positif bagi pembaca dan rekan-rekan Mahasiswa Fakultas Ekonomi terutama jurusan Ekonomi Pembangunan. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Allah SWT, karena karunia dan anugerah-Nya yang telah Dia berikan. 2. Bapak Dr. Ghozali Maski, SE., MS. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran dan tenaga untuk memberikan bimbingan sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini. 3. Bapak Gugus Arianto, SE., MSA., Ph.D. Ak. selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang. 4. Bapak Dr. Ghozali Maski, SE., MS. selaku Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang. 5. Bapak Prof. Dr. Chandra Fajri Ananda, SE, MSc. selaku kepala Pusat Pengkajian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. 6. Ibu Ir. Nur Prima Walujowati, MM. selaku sekretaris Pusat Pengkajian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. 7. Seluruh staf kantor Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. 8. Buat kedua Orang Tuaku Bapak Drs. Masudi, Msi. dan Ibu Enna Handayani beserta Kakak dan Adik tercinta Dihan Provita dan Dihan Mas’ada yang telah memberikan bantuan moral dan semangat serta nasehat yang membuat penulis tergugah untuk menyelesaikan skrisp ini. 9. Buat Nurina Ayuningtiyas, yang selalu menjadi penggugah semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. 10. Buat semua temen-temen semanggi barat 19 A yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini terutama dalam dunia “pengeprinant” dan “hiburan”. 11. Buat keluarga besar di Malang yang memberi warna di kehidupan penulis. 12. Buat temen yang akan jadi ekonom, Mas Wink, Eka, Kukuh, Dhani, Kurnia dan Arum lulusnya barengan, oyi!. 13. Teman-teman seperjuangan Ekonomi Pembangunan 2007, dan kakak tingkatku angkatan 2004, 2005 dan 2006. Penulis mengucapkan terimakasih banyak atas saran dan pengalamannya yang membuat penulis untuk mengerjakan skripsi ini. 14. Semua pihak yang tidak mungkin penulis menyebiutkan satu per satu yang telah banyak membantu dalam penyelesaian laporan ini. Dalam hal penyusunan skripsi ini, penulis telah berusaha semaksimal mungkin, namun penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu saran, pendapat dan kritik dari pembaca yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga isi skripsi ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Wassalamualaikum Wr. Wb. Malang, Januari 2010 Penulis DAFTAR ISI Kata Pengantar .................................................................................... Daftar Isi .............................................................................................. Daftar Tabel ......................................................................................... Dafta Gambar ...................................................................................... Abstraksi .............................................................................................. i iv vii viii x BAB I : PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ................................................................................... 1 1.2.Rumusan Masalah ............................................................................. 8 1.3.Tujuan Penelitian................................................................................ 9 1.4.Manfaat Penelitian.............................................................................. 9 BAB II : TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Landasan Teori .................................................................................. 10 2.1.1.Desentralisasi Menciptakan Kemandirian Daerah ................ 10 2.1.2.Desentralisasi Fiskal Meningkatkan Penerimaan Daerah..... 13 2.1.3.Teori Pertumbuhan Baru Yang Berdasar Pada Sistem Produksi .............................................................................. 15 2.1.4.Teori Pertumbuhan Harrod-Domar Yang Berdasar Pada Investasi .............................................................................. 16 2.1.5.Teori Pertumbuhan Agregat Yang Berdasar Pada Fungsi Produksi .............................................................................. 19 2.1.6. Pengaruh Pajak Terhadap Keseimbangan Pendapatan Nasional .............................................................................. 2.1.7.Hubungan Variabel Penerimaan Daerah 21 Terhadap Pertumbuhan Ekonomi ........................................................ 23 2.1.7.1.Hubungan Pajak dan Retribusi Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi........................................... 23 2.1.7.2.Hubungan Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil Pajak Terhadap Pertumbuhan Ekonomi........................................... 26 2.2.Penelitian Terdahulu .......................................................................... 29 2.3.Kerangka Pemikiran Penelitian........................................................... 31 2.4.Hipotesa Penelitian ............................................................................ 32 BAB III : METODE PENELITIAN 3.1.Pendekatan Penelitian ....................................................................... 34 3.2.Tempat dan Waktu Penelitian............................................................. 34 3.3.Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Penelitian .................. 34 3.4.Metode Pengumpulan Data................................................................ 36 3.5.Metode Analisis.................................................................................. 37 3.6.Model Analisis .................................................................................... 39 3.7.Uji Hasil Estimasi................................................................................ 41 BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.Gambaran Umum Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang...... 43 4.1.1.Kondisi Geografis dan Demografi Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang............................................................ 4.1.2.Kondisi Perekonomian Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang............................................................ 4.1.3.Kondisi Perkembangan Variabel-Variabel 43 45 Penerimaan Daerah Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang........ 50 4.1.3.1.Kondisi Penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang......... 51 4.1.3.2.Kondisi Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil Pajak Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang ................................................ 63 4.2.Pengujian Hasil Estimasi Persamaan Regresi Data Panel ................. 79 4.3.Pembahasan Hasil ............................................................................. 83 4.3.1.Variabel Penerimaan Daerah Menciptakan Pertumbuhan Ekonomi .............................................................................. 4.3.2.Permasalahan Variabel Penerimaan Daerah Dalam Menciptakan Pertumbuhan Ekonomi ................................... 4.3.3.Optimalisasi Variabel Penerimaan Daerah 86 90 Dalam Menciptakan Pertumbuhan Ekonomi ................................... 91 4.3.4.Strategi Pembangunan Yang Efisien Untuk Menciptakan Pertumbuhan Ekonomi ........................................................ 94 BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN 5.1.Kesimpulan ........................................................................................ 96 5.2.Saran ................................................................................................. 97 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR TABEL No Judul Hal 1.Wilayah Administratif, Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang........................ 44 2.Hasil Uji Hausman ................................................................................... 79 3.Hasil Estimasi Model Regresi Data Panel Dengan Model Random ......... 80 DAFTAR GAMBAR No Judul Hal 1.Grafik PDRB Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2007-2009 ............................................................................................. 2.Grafik Jumlah Penerimaan Daerah Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2007-2009 ................................................. 3.Grafik Jumlah Penerimaan Variabel Penerimaan 5 6 Daerah Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan MalangTahun 2009 ................... 7 4.Skema Hubungan Antara Variabel Penerimaan Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah.............................................................. 31 5.Grafik Perkembangan PDRB Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-20009 .................................................................... 46 6.Grafik Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 ...................................................................... 47 7.Grafik Penerimaan Pajak Daerah Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 ...................................................................... 52 8.Grafik Jumlah Proporsi Pajak Daerah Terhadap Jumlah Total Penerimaan Daerah Di Masing-masing Wilayah Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 (%) ............................. 9.Grafik Penerimaan Retribusi Daerah Kabupaten/Kota 54 Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 ................................................. 58 10.Grafik Jumlah Proporsi Retribusi Daerah Terhadap Jumlah Total Penerimaan Daerah Di Masing-masing Wilayah Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 (%) ............................. 60 11.Grafik Peneriman Dana Alokasi Umum Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 ................................................. 63 12.Grafik Jumlah Proporsi Dana Alokasi Umum Terhadap Jumlah Total penerimaan Daerah Di Masing-masing Wilayah Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 (%) ............................. 66 13.Grafik Penerimaan Dana Alokasi Khusus Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 ................................................. 69 14.Grafik Jumlah Proprosi DAK Terhadap Jumlah Total Penerimaan Daerah Di Masing-masing Wilayah Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 (%)........................................... 71 15.Grafik Penerimaan Dana Bagi Hasil Pajak Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 ................................................. 74 16.Grafik Jumlah Proporsi Penerimaan Dana Bagi Hasil Pajak Terhadap Jumlah Total penerimaan Daerah Di Masing-masing Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 (%) ............................. 17.Grafik Jumlah Pengeluaran Daerah Kabupaten/Kota 76 Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2009 .......................................................... 87 ABSTRAKSI Sistem pemerintahan desentralisasi dibentuk salah satunya untuk menciptakan pembangunan daerah dengan memanfaatkan potensi-potensi yang dimiliki daerah. Salah satu alat ukur untuk mengetahui keberhasilan pembangunan yaitu melalui pertumbuhan ekonominya. Kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang merupakan suatu wilayah yang berada di Propinsi Jawa Timur. Di wilayah ini setelah sistem desentralisasi berjalan 10 tahun pertumbuhan ekonomi di setiap kabupaten/kota berbeda-beda, hal ini salah satunya disebabkan kareba tidak mampunya kabupaten/kota memanfaatkan potensi daerah secara baik dan maksimal sehingga akibatnya terjadi kesenjangan penerimaan daerah antara daerah yang satu dengan yang lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh variabel penerimaan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi, dimana variabel penerimaan daerah khususnya yang berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, DAU, DAK, dan DBH pajak. Pada penelitian ini menggunakan teori pertumbuhan Solow yang berdasar pada fungsi produksi dan Harrod Domar yang berdasar pada investasi. Data yang digunakan adalah data PDRB harga konstan 2000 yang diterbitkan oleh masing-masing BPS kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang dan data penerimaan daerah berdasarkan perhitungan APBD kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang mulai tahun 2004-2009. Analisis yang digunakan adalah menggunakan regresi data panel dengan metode TSLS dengan bantuan perangkat lunak eviews 6. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua variabe penerimaan daerah l retribusi daerah, DAU, DAK, DBHP penerimaan daerah berpengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi sedangkan variabel pajak daerah berpengaruh negatif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan α 10%. Pada akhirnya peran pemerintah daerah melalui penerimaan daerah dapat melakukan pengeluaran daerah yang akhirnya diharapkan mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi. Kata Kunci : pertumbuhan ekonomi, variabel penerimaan daerah : pajak daerah, retribusi Daerah, DAU, DAK, DBH pajak, kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sistem pemerintahan desentralisasi di Indonesia mulai dirintis pada tahun 1999 tetapi baru dapat terlaksana tahun 2001. Di tahun 2001, berarti sistem pemerintahan di Indonesia mengalami perubahan yang cukup besar yang semula menganut sistem pemerintahan yang sentralisasi kini dirubah menjadi sistem pemerintahan yang desentralisasi. Dimana sistem pemerintahan desentralisasi dibentuk dengan tujuan untuk mengatasi permasalahan yang ada, yang mana permasalahan tersebut tidak dapat diatasi saat sistem pemerintahan yang ada sebelumnya. Seperti diketahui bahwa sebelum diterapkannya sistem pemerintahan desentralisasi, banyak permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia terutama mengenai masalah perekonomian, misalnya pembangunan ekonomi yang tidak merata, banyaknya potensi daerah yang tidak dapat di manfaatkan secara baik serta banyaknya tindakan-tindakan menyimpang yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu seperti korupsi, nepotisme, kolusi. Selain itu, tujuan lain dibentuknya sistem pemerintahan desentralisasi, yaitu untuk menciptakan suatu pemerintahan daerah yang mandiri, efisien tetapi tetap diawasi oleh pemerintah pusat. Sehingga dengan adanya sistem pemerintahan yang mandiri dan efisien, diharapkan mampu menampung aspirasi-aspirasi masyarakatnya serta mampu menggali sumber pendapatan daerah yang nantinya berguna bagi pendapatan nasional. Untuk merealisasikan tujuan dibentuknya sistem pemerintahan yang desentralisasi maka pemerintah pusat mengeluarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang sekarang telah dirubah menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat yang sekarang telah dirubah menjadi Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004. Dengan dikeluarkannya undang-undang ini berarti hakekat dari sistem pemerintahan desentralisasi yang berupa kewenangan yang lebih besar dalam pengurusan maupun pengelolaan daerah, termasuk pengelolaan keuangan, dapat dilakukan dengan nyata oleh pemerintah daerah. Sehingga hal ini sesuai dengan pendapat Mardiasmo (2002) bahwa dalam era desentralisasi tidak lagi sekedar menjalankan instruksi dari pusat, tetapi benar-benar mempunyai keleluasaan untuk meningkatkan kreativitas dalam mengembangkan potensi yang ada. Dimana pemerintah daerah diharapkan semakin mandiri, mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat, bukan hanya terkait dengan pembiayaan, tetapi juga terkait dengan (kemampuan) pengelolaan daerah. Pengelolaan daerah yang dimaksud dalam sistem pemerintahan desentralisasi, khususnya mengenai penerimaan dan pengeluaran daerah. Yang mana hal ini di dalam sistem pemerintahan desentralisasi dikenal dengan istilah desentralisasi fiskal. Dengan adanya desentralisasi fiskal diharapkan pemerintah daerah dapat menggali potensi-potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerahnya, dimana potensi-potensi daerah ini nantinya dapat digunakan sebagai sumber penerimaan daerah. Selain itu, dengan adanya desentralisasi fiskal yang berlandaskan pada undang-undang nomor 33 tahun 2004 dapat memberikan keleluasaan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan daerahnya sehingga nantinya dapat digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan ekonomi. Sumber penerimaan daerah menurut Humes (dalam Muluk, 2006) dalam sistem pemerintahan desentralisasi berasal dari 3 sumber yaitu pendapatan asli daerah (PAD), dana tranfer dari pemerintah pusat (dana perimbangan) dan pinjaman. Berdasarkan dari 3 sumber penerimaan daerah tersebut, diharapkan penerimaan pemerintah daerah saat sistem desentralisasi diterapkan lebih banyak berasal dari pendapatan asli daerah dari pada dari dana perimbangan atau dana pinjaman. Artinya dengan adanya sistem pemerintahan desentralisasi, proporsi penerimaan daerah dari pendapatan asli daerah harus lebih besar dari dana perimbangan atau dana pinjaman. Sumber penerimaan daerah dari pendapatan asli daerah berdasarkan undang-undang no 33 tahun 2004 terdiri dari 4 sumber. Dimana dari 4 sumber tersebut hanya pajak dan retribusi daerah yang memiliki jumlah proporsi penerimaan yang besar terhadap jumlah penerimaan daerah. Sumber penerimaan daerah yang lain yang sering dijadikan pilihan sebagai sumber penerimaan ketika sistem pemerintahan desentralisasi yaitu dari dana perimbangan. Dimana sumber yang memiliki proporsi paling besar terhadap penerimaan daerah dari dana perimbangan ini yaitu berasal dari dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK) dan dana bagi hasil pajak (DBH Pajak). Penerimaan daerah dalam sistem pemerintahan desentralisasi sangat berguna bagi pembangunan ekonomi, hal ini di sesuai dengan pendapat Bahl (2002) bahwa selama desentralisasi fiskal harus diikuti oleh kemampuan daerah untuk memperoleh penerimaan daerah karena penerimaan daerah sangat penting sebagai dana dalam melakukan pembangunan. Sehingga jika dana yang tersedia besar maka kegiatan untuk melakukan pembangunan juga akan besar. Karena penerimaan daerah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam pembangunan, maka karena hal inilah yang membuat sistem pemerintahan desentralisasi memberikan keleluasaan yang lebih terhadap daerah-daerah dengan tujuan agar daerah dapat menggali dan memanfaatkan potensi-potensi yang dimilikinya dengan baik. Pembangunan ekonomi yang terbentuk karena adanya penerimaan daerah, merupakan suatu kegiatan untuk menciptakan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata. Salah satu tolak ukur penting dalam menentukan pembangunan ekonomi ini adalah pertumbuhan ekonomi. Dimana menurut Schumpeter (dalam Budiono 1992) pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai peningkatan output masyarakat yang disebabkan oleh semakin banyaknya faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi tanpa ada perubahan cara-cara atau teknologi itu sendiri. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah biasanya ditunjukkan dengan meningkatnya produksi barang dan jasa yang diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB yang dijadikan sebagai tolak ukur pertumbuhan ekonomi di dalam sistem pemerintahan desentralisasi tenyata belum mampu dihasilkan dengan baik oleh daerah-daerah di Indonesia meskipun sistem pemerintahan desentralisasi telah berjalan selama 10 tahun. Salah satunya di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang, meskipun kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang merupakan kabupaten/kota yang didukung oleh potensi daerah yang cukup besar seperti Kabupaten Lumajang memiliki pasir besi yang melimpah, Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu yang memiliki ragam obyek wisata maupun Kabupaten Pasuruan dan Kota Pasuruan yang merupakan pusat industri dan kerajinan, tetapi potensi-potensi ini belum dapat dioptimalkan secara baik. Selain itu, kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang juga memiliki beberapa infrastruktur yang cukup mendukung untuk melakukan kegiatan ekonomi dan menggali potensi daerah, seperti jalan yang sudah cukup bagus untuk dilalui. Namun, dengan memiliki potensi dan infrasrtukutur tersebut pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota ini masih terjadi variasi antara daerah yang satu dengan yang lainnya, dimana pertumbuhan PDRB kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, yaitu sebagai berikut : Gambar 1 Grafik PDRB Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 20072009 Sumber : BPS (data diolah) Pada gambar 1 dapat dilihat bahwa dalam kurun waktu 3 tahun terakhir belum semua kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang menunjukkan kinerja ekonomi yang baik dari tahun 2007-2009. Dimana di era desentralisasi fiskal yang telah dimulai tahun 2001, ternyata hanya kabupaten/kota tertentu yang memiliki PDRB tinggi yaitu Kabupaten Malang dan Kota Malang. Sedangkan Kabupaten/Kota yang pertumbuhannya sangat jauh di bawah pertumbuhan ekonomi Kabupaten Malang dan Kota Malang yaitu Kota Pasuruan, Kota Probolinggo dan Kota Batu. Pertumbuhan ekonomi yang tidak merata ini menunjukkan bahwa era desentralisasi fiskal di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang, yang mana meskipun daerah diberi kewenangan dalam mengatur keuangan daerahnya ternyata banyak kabupaten/kota yang belum menunjukkan perubahan signifikan terhadap PDRBnya. Dimana hal ini disinyalir bahwa masih terdapat ketimpangan penerimaan daerah di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang meskipun desentralisasi fiskal yang telah berjalan selama 10 tahun. Dimana penerimaan daerah kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang selam 3 tahun terakhir yaitu sebagai berikut : Gambar 2 Grafik Jumlah Penerimaan Daerah Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2007-2009 Sumber : BPS (data diolah) Berdasarkan gambar 2 diketahui bahwa dalam kurun waktu 3 tahun terakhir memang terjadi ketimpangan penerimaan daerah antar kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang. Dimana kabupaten/kota yang memiliki penerimaan daerah terbesar yaitu Kabupaten Malang sedangkan penerimaan daerah kabupaten/kota yang lainnya berada jauh di bawah di Kabupaten Malang terutama Kota Pasuruan, Kota Batu dan Kota Probolinggo. Seperti yang telah diketahui bahwa penerimaan daerah bersumber dari 3 sumber penerimaan. Dimana sumber utama penerimaan daerah saat sistem desentralisasi berasal dari pendapatan asli daerah terutama dari pajak dan retribusi daerah, serta yang berasal dari dana perimbangan terutama dari DAU, DAK, dan DBH pajak. Jumlah penerimaan daerah yang berasal dari pajak, retribusi, DAU, DAK, dan DBH pajak tahun 2009 di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang yaitu sebagai berikut : Gambar 3 Grafik Jumlah Penerimaan Variabel Penerimaan Daerah Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan MalangTahun 2009 Sumber : BPS (data diolah) Pada gambar 3, diketahui bahwa di tahun 2009 jumlah variabel penerimaan daerah terbesar di semua kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang terbesar dihasilkan melalui dan alokasi umum, sedangkan untuk variabel lainnya masih jauh dibawah variabel penerimaan dana alokasi umum. Sedangkan untuk semua jumlah variabel penerimaan daerah, baik itu pajak daerah, retribusi daerah, DAU, DAK, dan DBH pajak hampir paling besar terdapat di Kabupaten Malang. Dengan demikian berarti hal ini sesuai dengan penjelasan dari gambar 2 bahwa jumlah penerimaan daerah yang besar yang terdapat di Kabupaten Malang, ternyata juga diikuti oleh variabel-variabel penerimaan daerah seperti pajak daerah, retribusi daerah, DAU, DAK serta DBH pajak yang juga besar jika dibandingkan dengan kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang akan tinggi jika penerimaan daerah yang diperoleh oleh daerah juga tinggi. Dimana hal ini juga akan diikuti oleh variabel penerimaan daerah yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, DAK, DAU, dan DBH pajak, yang mana hal ini terjadi di Kabupaten Malang. Hal ini berlaku juga untuk hal sebaliknya, dimana ini terjadi di Kota Batu, bahwa berdasarkan penjelasan di atas diketahui bahwa penerimaan daerah di Kota Batu sangat kecil sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonominya yang juga rendah. Berdasarkan latar belakang diatas maka penelitian ini menganalisis bagaimana pengaruh variabel penerimaan daerah khususnya pajak daerah, retribusi daerah, DAU, DAK, dan DBH pajak terhadap pertumbuhan ekonomi. Sehingga penelitian ini oleh penulis dituangkan dalam skripsi yang berjudul “Analisis Pengaruh Variabel Penerimaan Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah Di Era Desentralisasi (Studi Kasus Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009)” 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu bagaimana pengaruh variabel-variabel penerimaan daerah khususnya pajak daerah, retribusi daerah, DAU, DAK, dan dana bagi hasil pajak terhadap pertumbuhan ekonomi (PDRB) Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang di era desentralisasi pada tahun 2004-2009? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui pengaruh hubungan variabel-variabel penerimaan daerah khususnya pajak daerah, retribusi daerah, DAU, DAK, dan dana bagi hasil pajak terhadap pertumbuhan ekonomi (PDRB). 1.4. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis : Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu kontribusi akademis dalam upaya mengidentifikasikan pengaruh variabelvariabel pendapatan daerah khususnya pajak daerah, retribusi daerah, DAU, DAK, dan dana bagi hasil pajak terhadap pertumbuhan ekonomi. 2. Manfaat Praktis : Sebagai media yang memberikan masukan dan dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan pemerintah daerah Wilayah Kabupaten/Kota Karesidenan Malang ataupun lembaga terkait dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Desentralisasi Menciptakan Kemandirian Daerah Di Indonesia, usaha untuk mempromosikan desentralisasi perencanaan dan pelaksanaan pelayanan di daerah memperoleh titik terang dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan undang-undang No 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dimana istilah desentralisasi tidak mudah untuk didefinisikan karena meliputi kelembagaan yang sangat luas. Hal ini sama seperti apa yang telah diungkapkan oleh Bird (1993) bahwa desentralisasi sering mengandung arti apapun, sesuai dengan orang yang menggunakan isitilah tersebut untuk kepentingannya sendiri. Tetapi secara umum desentralisasi dapat diartikan sebagai pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke level pemerintahan yang ada di bawahnya. Menurut Sarundajang (2002), tujuan diciptakannya pemerintahan yang desentralisasi setidak-tidaknya akan meliputi empat aspek, yaitu : pertama, dari segi politik yang mana untuk mengikutsertakan, menyalurkan, inspirasi dan aspirasi masyarakat, baik untuk kepentingan daerah sendiri maupun untuk mendukung politik dan kebijaksanaan nasional dalam rangka pembangunan dalam demokrasi di lapisan bawah. Kedua, dari segi manajemen pemerintahan, untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam memperluas memberikan jenis-jenis pelayanan pelayanan dalam terhadap berbagai masyarakat bidang dengan kebutuhan masyarakat. Ketiga, dari segi kemasyarakatan, untuk meningkatkan partisipasi serta menumbuhkan kemandirian masyarakat dalam melakukan usaha pemberdayaan masyarakat, sehingga masyarakat semakin mandiri, dan tidak terlalu banyak tergantung pada pemberian pemerintah serta memiliki daya saing yang kuat dalam proses penumbuhan. Dan terakhir dari segi ekonomi pembangunan, untuk melancarkan pelaksanaan program pembangunan guna tercapainya kesejahteraan rakyat yang semakin meningkat. Secara umum menurut Osoro (2003) konsep desentralisasi terdiri atas desentralisasi politik, desentralisasi administratif, desentralisasi fiskal, desentralisasi ekonomi. Dimana desentralisasi administratif yaitu, pelimpahan wewenang yang dimaksudkan untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber-sumber keuangan untuk menyediakan pelayanan publik. Desentralisasi administratif ini dikelompokkan menjadi tiga bentuk yaitu (i) Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari pemerintahan pusat kepada pejabat yang berada dalam garis hirarki dengan pemerintah pusat di daerah, (ii) devolusi, pelimpahan kepada pemerintahan pada tingkat yang lebih rendah dalam bidang keuangan atau tugas pemerintahan dan pihak pihak pemerintah daerah mendapat disrction yang tidak terkontrol dari pemerintah pusat, (iii) Pendelegasian, pelimpahan wewenang untuk tugas tertentu kepada organisasi yang berada diluar struktur birokrasi reguler yang dikontrol secara tidak langsung oleh pemerintah pusat. Asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan menurut Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 mencakup empat hal, yaitu : pertama, memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Kedua, otonomi yang nyata, artinya daerah punya keleluasaan dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada. Ketiga, Otonomi yang bertanggung jawab. Dan keempat, otonomi untuk daerah provinsi diberikan secara terbatas yaitu kewenangan lintas kabupaten, kewenangan yang belum dilaksanakan kabupaten dan kewenangan lainnya menurut PP No 25 tahun 2000. Sehingga berdasarkan asas tersebut, dengan adanya sistem pemerintahan yang desentralisasi ini nantinya diharapkan dapat menciptakan suatu pemerintahan yang mandiri. Dimana hal ini dikarenakan dengan sistem pemerintahan yang desentralisasi ini segala urusan tentang pemerintahnnya dan daerahnya diserahkan kepada pemerintahan daerah masing-masing, sehingga nantinya pemerintah daerah ini mampu membuat kebijakan yang tepat untuk daerahnya. Meskipun desentralisaasi berangkat dari gagasan yang positif, namun hal itu tidak berarti menimbulkan dampak negatif, sekiranya ada tiga dampak negatif yang ditimbulkan desentralisasi yaitu pertama, pentingnya persatuan dan kesatuan nasional. Hal ini, khususnya, dikuwatirkan bagi negara-negara berkembang yang relatif baru berdiri, dimana persatuan dan kesatuan nasional masih rapuh sehingga devolusi kekuasaan ke daerah dapat mengarah kepada disintegrasi. Kedua, keinginan untuk menjamin standar penyediaan barang dan jasa publik yang sama, yaitu setiap warga negara berhak atas suatu standar pelayanan jasa/barang publik yang sama, meskipun tinggal di daerah dengan kapasitas ekonomi dan sumber daya yang berbeda-beda. Peran pemerintah pusat dalam hal ini sangat diperlukan dalam menjamin penyediaan barang dan jasa publik dalam standar yang sama antar pemeritah daerah. Ketiga, pemerintah daerah yang kurang efisien. Sering kali bentuk keberhasilan penyelenggaraan pemerintah daerah di tingkat pusat ataupun di daerah sangat diitentukan oleh manajemen pemerintahan dan manajemen otonomi daerah yang efisien. Di dalam otonomi daerah, dari empat konsep yang dimiliki oleh desentalisasi, maka desentralisasi fiskal merupakan salah satu konsep yang sangat penting terutama dalam hal yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi daerah. Hal ini dikarenakan desentralisasi fiskal sangat berhubungan dengan anggaran baik itu sebagai penerimaan maupun pengeluaran yang akan dilakukan. 2.1.2. Desentralisasi Fiskal Meningkatkan Penerimaan Daerah Desentralisasi fiskal merupakan pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan anggaran atau keuangan ke pemerintah daerah, yang saat sentralisasi baik secara administrasi maupun pemanfaatan diatur oleh atau dilakukan oleh pemerintah pusat (UU No. 33 Tahun 2004). Desentralisasi fiskal dibentuk untuk mengintensifikasikan peranan dan sekaligus pemberdayaan daerah dalam pembangunan. Dimana faktor yang menentukan dalam desentralisasi fiskal yaitu pertama, sejauh mana pemerintah daerah diberi wewenang kemampuan untuk menentukan daerah untuk alokasi untuk meningkatkan pengeluarannya. penerimaan Kedua, pendapatan asli daerahnya. Menurut Demelo (2000) desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen dari desentralisasi, sehingga nantinya dengan adanya desentralisasi fiskal ini diharapkan dapat mendorong efisiensi sektor publik, juga akuntabilitas publik dan transparansi dalam menyediakan jasa publik serta pembuatan keputusan yang transparan dan demokratis. Selain itu, menurut World Bank (dalam Khusaini, 2006) Keuntungan porensial dari pengembangan desentralisasi fiskal ke daerah adalah dapat meningkatkan efisiensi pelayanan publik, mengurangi biaya informasi, dan mengurangi biaya transaksi. Selain itu, dengan adanya desentralisasi fiskal ini, karena penerimaan daerah juga diserahkan ke pemerintah daerah sehingga pemerintah daerah berusaha memperoleh penerimaan daerah yang cukup besar yang salah satunya dengan menggali potensi-potensi daerah yang selama sistem pemerintahan sentralisasi belum tersentuh. Dengan potensi daerah dapat digali maka diharapkan penerimaan daerahnya dapat naik dari sebelumnya. Untuk menciptakan pelaksanaan suatu desentralisasi fiskal agar berjalan dengan baik, maka pemerintah daerah harus berpedoman pada hal-hal berikut ini (Khusaini, 2006) : a. Adanya pemerintah pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan law enforcement. b. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah. Di Indonesia terdapat tiga indikator di dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal yaitu : 1) Desentralisasi Pengeluaran Menurut Kerk dan Woller (dalam Khusaini, 2006), variabel ini didefinisikan sebagai rasio pengeluaran total masing-masing kabupaten/kota (APBD) terhadap total pengeluaran pemerintah (APBN). Dimana penelitian yang baik yang dilakukan oleh Zhang dan Zou maupun oleh Philips dan Woller (dalam Khusaini, 2006) bahwa desentralisasi fiskal mempunyai pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. 2) Desentralisasi Pengeluaran Pembangunan Menurut Zhang dan Zou (dalam Khusaini, 2006), variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total pengeluaran pembangunan masing-masing kabupaten/kota (APBD) terhadap total pengeluaran pembangunan nasional (APBN). Dimana jika hubungan variabel ini dengan pertumbuhan ekonomi positif, maka pemerintahan lokal dalam posisi yang baik untuk melakukan investasi di sektor publik. 3) Desentralisasi Penerimaan Menurut Philips dan Woller (dalam Khusaini, 2006), variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total penerimaan masing-masing kabupaten/kota (APBD), tidak termasuk subsidi terhadap total penerimaan pemerintah. Variabel ini mengekspresikan besaran relatif antara pendapatan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Dengan diadakannya desentralisasi fiskal ini, nantinya diharapkan pemerintah daerah dapat menggunakan anggaran telah tersedia secara efisien mungkin sehingga anggaran yang telah ditetapkan dapat sesuai dengan rencana dan tepat sasaran . Dengan rencana yang dapat dilaksanakan maka nantinya pertumbuhan ekonomi dapat meningkat, dimana hal ini sesuai dengan tujuan dibentuknya otonomi daerah dengan sistem pemerintahan yang desentralisasi. 2.1.3. Teori Pertumbuhan Baru Yang Berdasar Pada Sistem Produksi Teori ini memberikan kerangka teoritis untuk menganalisis pertumbuhan yang bersifat endogen, Pertumbuhan ekonomi merupakan hasil dari dalam sistem ekonomi. Teori ini menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi lebih ditentukan oleh sistem produksi, bukan berasal dari luar sistem. Kemajuan teknologi merupakan hal yang endogen, pertumbuhan merupakan bagian dari keputusan pelaku-pelaku ekonomi untuk berinvestasi dalam pengetahuan. Peran modal lebih besar dari sekedar bagian dari pendapatan apabila modal yang tumbuh bukan hanya modal fisik saja tapi menyangkut modal manusia (Romer, 1994). Akumulasi modal merupakan sumber utama pertumbuhan ekonomi. Definisi modal/kapital diperluas dengan memasukkan model ilmu pengetahuan dan modal sumber daya manusia. Perubahan teknologi bukan sesuatu yang berasal dari luar model atau eksogen tapi teknologi merupakan bagian dari proses pertumbuhan ekonomi. Dalam teori pertumbuhan endogen, peran investasi dalam modal fisik dan modal manusia turut menentukan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Tabungan dan investasi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan ( Mankiw, 2000). 2.1.4. Teori Pertumbuhan Harrod-Domar Yang Berdasar Pada Investasi Menurut Harrod-Domar (dalam Jhingan, 2008), investasi merupakan kunci proses pertumbuhan ekonomi, khususnya mengenai watak ganda yang dimiliki oleh investasi. Pertama, investasi dapat menciptakan pendapatan yang biasanya dikenal dengan dampak permintaan. Kedua, investasi dapat memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stock modal yang biasanya dikenal dengan dampak pengeluaran. Karena itu, selama investasi netto tetap berlangsung, pendapatan nyata dan output akan senantiasa membesar. Namun, untuk mempertahankan tingkat ekuilibrium pendapatan dari tahun ke tahun, baik pendapatan nyata maupun output tersebut harus meningkat dengan laju yang sama dengan kapasitas produktif yang meningkat. Dimana jika ini tidak terjadi maka perbedaan keduanya akan menimbulkan kelebihan kapasitas atau kapasitas menganggur. Hal ini akan memaksa pengusaha membatasi pengeluaran investasinya sehingga akan berpengaruh buruk pada perekonomian yaitu menurunkan pendapatan dan pekerjaan pada periode dan akan menggeser perekonomian keluar jalur ekuilibrium pertumbuhan. Jadi jika ingin mempertahankan pekerjaan dalam jangka panjang, maka investasi harus senantiasa diperbesar sehingga pertumbuhan ekonomi dapat tercapai. Berikut ini model asumsi yang dipakai oleh Dommar dan Harrod, untuk menjelaskan faktor-faktor yang yang dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yaitu : 1) Model Domar Domar membangun modelnya dengan mengansumsikan bahwa investasi di satu pihak menghasilkan pendapatan dan dipihak lain menaikkan kapasitas produktif. Dimana kenaikkan kapasitas produksi, dapat dijelaskan dari sisi penawaran. Misalnya laju investasi tahunan adalah I, dan kapasitas produksi tahunan perdolar modal yang baru ditanam rata-rata sama dengan s (menggambarkan rasio kenaikkan pendapatan nyata atau output terhadap kenaikkan modal output marginal). Sehingga disini kapasitas produktif dolar I yang di investasikan adalah I.s dollar pertahun. Tetapi dengan investasi baru ini akan mengorbankan investasi lama. Oleh karena itu investasi baru akan bersaing dengan investasi lama, karena ada persaingan ini maka output pabrik lama akan berkurang dan kenaikkan output tahunan (kapasitas produksi) dari perekonomian akan sedikit lebih kecil dari pada I.s, sehingga dapat dinyatakan dengan Iσ, dimana σ (sigma) menggambarkan potensi netto produktivitas rata-rata sosial dari investasi (=ΔY/I). Sehingga Iσ lebih kecil dari pada Is karena Iσ merupakan jumlah netto potensi kenaikkan output perekonomian tersebut. Hal inilah yang oleh Dommar disebut dengan kenaikkan output yang dapat dihasilkan oleh perekonomian dari sisi penawaran. Sedangkan kenaikkan yang diperlukan dalam permintaan agregrat, digambarkan oleh Dommar dengan multiplier Keynesian. Misalkan kenaikkan rata-rata pendapatan dinyatakan dengan ΔY, kenaikkan investasi ΔI, kecenderungan menabung dengan α (=ΔS/ΔY). Maka kenaikkan pendapatan itu akan sama dengan multiplikator (1/ α) kali dengan kenaikkan dalam investasi, sehingga : ΔY = . 2) Model Harrod Model Harrod didasarkan pada 3 macam laju pertumbuhan, yaitu pertama laju pertumbuhan aktual (G), yang ditentukan oleh rasio tabungan dan rasio modal-output yang nantinya akan menunjukkan variasi siklis jangka pendek dalam laju pertumbuhan. Kedua, model pertumbuhan terjamin (Gw) yang merupakan laju pertumbuhan pendapatan kapasitas penuh dalam perekonomian. Terakhir, laju pertumbuhan alamiah (Gn) merupakan optimum kesejahteraan atau laju pertumbuhan potensial atau laju pertumbuhan pekerjaan penuh. Model Harrod untuk laju pertumbuhan aktual (G), yaitu GC = S, dimana G merupakan laju pertumbuhan output pada periode tertentu yang dapat dinyatakan dengan ΔY/Y, C merupakan tambahan netto terhadap modal yang didefinisikan sebagai rasio investasi terhadap kenaikkan pendapatan (I/ ΔY), dan S merupakan menabung rata-rata yaitu S/Y. Sehingga dengan rasio tersebut maka akan diperoleh I = S, atau tabungan sama dengan investasi, dimana hubungan terjadi dengan syarat S tergantung Y, I tergantung pada tambahan pendapatan (ΔY), yang biasanya digunakan sebagai prinsip percepatan. Laju pertumbuhan terjamin terjadi karena produsen merasa puas atas apa yang mereka kerjakan sehingga disebut juga sebagai ekuilibrium usaha atau permintaan dianggap cukup tinggi oleh para pengusaha untuk menjual apa yang sudah diproduksi dan mereka akan terus berproduksi dengan laju pertumbuhan yang sama sehingga penawaran dan permintaan akan tetap pada ekuilibrium. Dimana persamaannya yaitu : Gw Cr = s. Dimana Gw merupakan laju pertumbuhan pendapatan dalam kapasitas penuh yang akan sepenuhnya memanfaatkan stock modal yang sedang membengkak sehingga akan memuaskan pengusaha atas jumlah investasi yang mereka tanam (Gw = nilai ΔY/Y). Cr merupakan modal yang dibutuhkan, menunjukkan jumlah modal (rasio modal output). 2.1.5. Teori Pertumbuhan Agregat Yang Berdasar Fungsi Produksi Glasson (Dalam Hakim, 2004) menyatakan bahwa teori pertumbuhan regional jangka panjang harus memperhitungkan faktor-faktor yang dianalisis jangka pendek yang diasumsikan konstan, seperti penduduk, upah, harga tekhnologi dan distribusi pendapatan. Mobilitas faktor-faktor terutama tenaga kerja dan modal harus menjadi pertimbangan yang sangat penting. Pada umumnya orang sependapat bahwa pertumbuhan regional dapat terjadi sebagai akibat dari penentu-penentu endogen atau eksogen, yakni faktor-faktor yang terdapat pada daerah yang bersangkutan ataupun faktor-faktor di luar daerah atau kombinasi dari keduanya. Faktor-faktor penentu penting dari dalam daerah meliputi distribusi faktor-faktor produksi seperti tanah, tenaga kerja dan modal. Sedangkan salah satu faktor penentu dari luar daerah yang penting adalah tingkat permintaan dari daerah lain terhadap komoditi yang dihasilkan oleh daerah tersebut. Suatu pendekatan yang lebih baru untuk menjelaskan faktor penentu endogen dari pertumbuhan ekonomi regional adalah melalui penggunaan model ekonomi makro. Model ini berorientasi pada segi penawaran dan berusaha menjelaskan output regional menurut faktor-faktor regional tertentu yang masingmasing dapat dianalisa secara sendiri-sendiri (Glasson, 1997) dan dapat dituliskan sebagai berikut : On = fn (K, L, Q, Tr, T, So) Keterangan : On = output potensial dari daerah n K = Modal (Kapital) L = Tenaga Kerja Q = Tanah Tr = Sumber daya pengangkutan T = Tekhnologi So = Sistem Sosial Politik Apabila dirumuskan menurut faktor-faktor yang lebih penting dan lebih mudah dikuantitaskan, maka rumus mengenai persamaan pertumbuhan sebagai berikut : On = a n k n + (1-an) ln + tn Keterangan : O, k, l, t = tingkat pertumbuhan output, modal, tenaga kerja dan tekhnologi a = bagian pendapatan yang diperoleh modal (yakni produk marginal dari modal) Berdasarkan ketiga teori pertumbuhan yang dijelaskan di atas, dimana dapat disimpulkan bahwa suatu pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor produksi yang dimiliki. Jika faktor produksi yang dimiliki ini meningkat kemungkinan besar pertumbuhan ekonomi juga akan meningkat. Faktor produksi yang dimaksud di dalam 3 teori pertumbuhan diatas meliputi tenaga kerja, akumulasi modal, teknologi. Faktor produksi khususnya yang berhubungan akumulasi dan teknologi, di dalam teori pertumbuhan ekonomi biasanya sangat erat berhubungan dengan kegiatan investasi, yang mana investasi disini memiliki dua makna yaitu pertama, investasi dapat menciptakan pendapatan yang biasanya dikenal dengan dampak permintaan. Kedua, investasi dapat memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stock modal yang biasanya dikenal dengan dampak pengeluaran. Dengan adanya teori pertumbuhan yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh faktor produksi, yang di dalam faktor produksi tersebut salah satunya merupakan akumulasi modal. Di dalam era desentralisasi fiskal maka penerimaan daerah merupakan salah satu modal yang dapat digunakan oleh daerah untuk melakukan kegiatan pengeluaran sehingga nantinya dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi. Dengan penerimaan daerah yang dapat dijadikan modal dalam era desentralisasi maka hal ini sesuai dengan beberapa teori pertumbuhan yang telah dijelaskan sehingga dapat diketahui bahwa penerimaan daerah ini merupakan salah satu faktor produksi yang dimiliki daerah untuk menciptakan output maupun investasi sehingga dengan adanya ouput dan investasi ini nantinya dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Namun, jika melihat perkembangan di dalam penerimaan daerah, maka terdapat beberapa penerimaan daerah yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi menjadi menurun, dimana hal ini dapat dijelaskan melalui keseimbangan pendapatan nasional. 2.1.6. Pengaruh Pajak Terhadap Keseimbangan Pendapatan Nasional Keseimbangan pendapatan nasional yaitu pendapatan yang diperoleh dari jumlah konsumsi, investasi, pembelian pemerintah dan nilai ekspor impor, dimana jika digambarkan sebagai rumus sebagai berikut : Y=C+I+G+X–M Berdasarkan rumus tersebut diketahui bahwa pengeluaran pemerintah (G) di biayai oleh penerimaan pemerintah, yaitu pajak (T) setelah dikurangi tranfer (Tr). Penerimaan pajak oleh pemerintah akan mengurangi konsumsi (C), namun pemberian tranfer menambah konsumsi, sehingga karena inilah konsumsi merupakan fungsi dari pendapatan, pajak, dan tranfer. Akibatnya, dengan peningkatan penerimaan atau pendapatan pemerintah (T) maka juga akan menurunkan pendapatan nasional, akan tetapi sebaliknya peningkatan tranfer dan peningkatan belanja atau pembelian pemerintah akan meningkatkan pendapatan nasional. Dengan demikian maka dari keseimbangan pendapatan nasional ini, keseimbangan pendapatan regional daerah (PDRB) dipengaruhi oleh pendapatan pemerintah daerah dan belanja pemerintah daerah. Maka berdasarkan rumusan pendapatan nasional diketahui bahwa peningkatan pendapatan daerah kususnya pajak daerah akan menurunkan PDRB, sehingga peningkatan realisasi PAD yang diperoleh dari pajak akan menurunkan PDRB. Namun peningkatan realisasi anggaran belanja daerah akan meningkatkan PDRB. Dengan kata lain, jika realisasi pendapatan lebih besar dari pajak daerah dari realisasi belanja maka PDRB akan turun. Begitu juga sebaliknya jika realisasi pendapatan lebih rendah dari realisasi belanja maka PDRB akan naik. Sehingga karena capaian belanja daerah terhadap PDRB adalah positif, dimana realisasi belanja daerah akan memacu tinggi di sektor-sektor yang dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi. 2.1.7. Hubungan Variabel Penerimaan Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Penerimaan daerah yaitu semua penerimaan melalui rekening kas umum daerah, yang menambah ekuitas dana, merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah (permendagri nomor 13 tahun 2006, pasal 23), dimana menurut Humes (dalam Muluk, 2006) bahwa selama desentralisasi fiskal ini prinsip sumber penerimaan daerah itu ada tiga yaitu pendapatan asli daerah, dana tranfer dari pemerintah pusat dan pinjaman. Dari ketiga sumber tersebut sebagian besar penerimaan daerah selama ini banyak yang berasal dari pendapatan asli daerah khususnya dari pajak dan retribusi daerah serta dari dana tranfer dari pemerintah pusat khususnya dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana bagi hasil. Maka dari itu penelitian ini mencoba mencari hubungan pengaruh variabel-variabel penerimaan daerah khususnya pajak, retribusi daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana bagi hasil pajak terhadap pertumbuhan ekonomi. Yang mana di dalam teori pertumbuhan ekonomi diatas variabel-variabel penerimaan daerah ini merupakan salah satu faktor produksi untuk menciptakan output. 2.1.7.1. Hubungan Pajak dan Retribusi Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Pajak daerah menurut Undang-undang Nomor 34 tahun 2000 yang merupakan undang-undang perubahan atas Undang-undang Nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Sedangkan berdasarkan Undang-undang yang sama, retribusi daerah merupakan pungutan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai akibat adanya kontra prestasi yang diberikan oleh pemerintah daerah atau pembayaran tersebut didasarkan atas prestasi atau pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah yang langsung dinikmati secara perorangan oleh warga masyarakat dan pelaksanaannya didasarkan atas peraturan yang berlaku. Berdasarkan pengertian dari pajak dan retribusi di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak dan retribusi daerah merupakan sumber utama pendapatan daerah yang diperoleh dari dalam daerahnya sendiri. Maka dari itu jika berpedoman kepada teori pertumbuhan baru (endogen) maupun agregrat, dimana pertumbuhan ekonomi tergantung kepada pertambahan penyediaan faktor-faktor produksi (penduduk, tenaga kerja, dan akumulasi modal) dan tingkat kemajuan teknologi. Maka retribusi daerah ini dapat dimasukkan ke dalam salah satu faktor produksi khususnya akumulasi modal. Dengan retribusi daerah diproksikan sebagai akumulasi modal, berarti hal ini juga sesuai dengan teori pertumbuhan ekonomi baru atau agregrat yang menyatakan bahwa faktor produksi yang digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, diutamakan faktor produksi yang berasal dari endogen atau di dalam daerahnya sendiri. Dimana diketahui bahwa retribusi daerah dapat diperoleh oleh daerah dengan menggali dari dalam daerahnya sendiri, sehingga dapat disimpulkan besarnya penerimaan pajak dan retribusi daerah ini sangat tergantung dari intensive yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk melakukan penarikkan pajak dan retribusi daerah ini. Berdasarkan model teori pertumbuhan baru maupun agregrat yang banyak mendasarkan fungsinya pertumbuhannya kepada fungsi produksi Y = f(K,L,N,t), maka dapat disimpulkan bahwa Y dapat disebut juga sebagai variabel output yang merupakan pertumbuhan ekonomi, dimana di dalam penelitian ini pertumbuhan ekonomi diukur dengan menggunakan Produk Regional Bruto Domestik (PDRB), sedangkan f(K,L,N,t) yang merupakan faktor produksi yang disebut dengan variabel input yang digunakan untuk menghasilkan output Y, dimana seperti yang dijelaskan di atas bahwa retribusi daerah ini masuk di dalamnya sebagai akumulasi modal. Berdasakan teori pertumbuhan tersebut kita ketahui bahwa variabel input khususnya retribusi daerah memiliki kedudukan yang sangat penting, karena dapat menentukan besarnya jumlah output yang akan dihasilkan. Hal ini dikarenakan retribusi daerah berperan sebagai modal untuk melakukan pembangunan, sehingga dapat merangsang kegiatan ekonomi yang akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi (produksi PDRB). Dimana Bahl (1999) berpendapat bahwa desentralisasi fiskal harus diikuti oleh kemampuan pemerintah daerah untuk memperoleh penerimaan dari dalam daerah, karena dengan kemampuan memperoleh penerimaan dari dalam daerah ini, maka pemerintah daerah akan memiliki sumber dana pembangunan yang besar. Dimana penerimaan daerah ini memiliki dampak positif, tetapi khusunya hanya untuk retribusi daerah. Retribusi daerah akan memiliki dampak positif jika penerimaan retribusi digunakan oleh pemerintah untuk membangun berbagai infrastruktur dan membiayai berbagai pengeluaran publik sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan untuk pajak daerah memiliki akan berdampak negatif karena dengan pajak ini akan mengurangi surplus konsumen dan produsen. Dimana hal ini seperti telah dijelaskan di dalam keseimbangan pendapatan nasional bahwa dengan adanya pajak maka konsumsi di dalam masyarakat akan berkurang, dimana hal ini disebabkan karena terjadi biaya tambahan ketika akan melakukan konsumsi. Karena kegiatan konsumsi di dalam masyarakat akan berkurang sehingga hal ini juga akan berpengaruh terhadap produksi barang dan jasa yang secara otomatis akan berkurang sehingga hal ini mengakibatkan aktivitas ekonomi yang juga semakin lesu yang pada akhirnya akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi yang juga mengalami penurunan. 2.1.7.2. Hubungan Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil Pajak Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Bentuk dana tranfer yang diberikan oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah selama desentralisasi fiskal ini, paling besar berasal dari proporsi dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana bagi hasil pajak. Dimana dana alokasi umum bertujuan untuk pemerataan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan belanja pegawai, kebutuhan fiskal, dan potensi daerah (Suhadak dan Trilaksono, 2007) sehingga nantinya tidak terjadi kesenjangan antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya selama sistem desentralisasi ini diterapkan. Dana alokasi khusus dimaksudkan untuk mendanai kegiatan khusus yang menjadi urusan daerah sekaligus sebagai prioritas nasional, sesuai dengan fungsi perwujudan tugas kepemerintahan dibidang tertentu, khususnya dalam upaya pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat (Suhadak dan Trilaksono, 2007). Dan dana bagi hasil pajak merupakan bagian dari daerah yang bersumber dari penerimaan pajak berasal dari pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, pajak penghasilan, dan pajak orang pribadi dalam negeri. Yang mana dalam menentukan besarnya sudah diatur didalam undang-undang (Basuki, 2007). Berdasarkan pengertian dari dana alokasi umum dan dana bagi hasil pajak, dimana dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pemerintah pusat memberikan dana tranfer tersebut dalam upaya kegiatan untuk menambah modal yang dimiliki oleh daerah. Pertama, jika melihat dana alokasi umum, dana alokasi ini diberikan pemerintah pusat untuk menyeimbangkan anggaran pemerintah daerah agar tidak terjadi kesenjangan, dimana alokasi dana ini sebagian besar oleh pemerintah daerah untuk membayar gaji pegawai yang sangat besar sehingga membuat anggaran pemerintah menjadi defisit. Dengan anggaran yang defisit yang dapat diatasi serta mendapat bantuan keuangan maka pemerintah daerah dapat melakukan rencana-rencana yang sebelumnya telah ditetapkan. Kedua, dana bagi hasil pajak, yang mana dana ini diberikan oleh pemerintah pusat untuk menambah penerimaan daerah, sehingga nantinya dapat menambah modal yang dimiliki oleh daerah untuk melakukan pembangunan daerah. Dengan adanya penambahan modal yang dilakukan oleh pemerintah daerah berarti ini sesuai dengan teori pertumbuhan baru, dimana di dalam teori tersebut menyatakan bahwa akumulasi modal merupakan faktor utama dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, karena dengan adanya akumulasi modal maka daerah dapat meningkatkan beberapa kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan produksi misalnya menciptakan kemajuan teknologi dan meningkatkan ilmu pengetahuan. Sedangkan untuk dana alokasi khusus, berdasarkan pengertian sebelumnya, dana alokasi khusus ini digunakan oleh pemerintah pusat untuk melakukan pembangunan terutama pembangunan infrastruktur, dengan adanya pembangunan infrastruktur ini berarti pemerintah melakukan investasi dalam bentuk peralatan. Karena dana alokasi khusus sangat erat berkaitan dengan kegiatan investasi, maka dana alokasi khusus ini juga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dimana hal ini sesuai dengan teori pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar dan teori pertumbuhan ekonomi baru. Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa teori pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar menyatakan pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat tercapai jika terdapat kegiatan investasi, karena investasi merupakan hal yang sangat penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dimana Investasi dalam bentuk dana alokasi khusus yang telah dijelaskan diatas, menurut model pertumbuhan Harrod-Domar merupakan investasi yang memiliki makna investasi yang dapat memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stock modal atau tambahan netto terhadap modal yang didefinisikan sebagai rasio investasi terhadap kenaikkan pendapatan yang nantinya dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan terdapat kemudahan yang diterima untuk melakukan kegiatan ekonomi karena telah terdapat sarana dan prasarana yang telah dibangun untuk menunjang kegiatan ekonomi tersebut. Dimana dengan adanya infrastruktur ini nantinya dapat membantu dan mempermudah proses output sehingga dapat meningkatkan hasil produksi dari sebelumnya dan akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sehingga hal ini sesuai dengan apa yang telah diungkapkan oleh Sukirno (2007) kegiatan investasi memungkinkan suatu masyarakat terus menerus meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan nasional dan kemakmuran masyarakat. Selain itu, hubungan antara dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana bagi hasil pajak terhadap pertumbuhan ekonomi, juga sesuai dengan pendapat Wilson dan Game (dalam Muluk, 2006), yaitu bahwa bantuan pemerintah atau dana tranfer diberikan oleh pemerintah pusat agar pemerintah daerah dapat menyediakan pelayanan dasar tertentu untuk memenuhi kepentingan masyarakat serta dapat meningkatkan pengeluaran dalam pelayanan tertentu. Selain itu Devas dan Davey (dalam Muluk, 2006) memaparkan jika bantuan diberikan untuk menyesuaikan sumber daya lokal dengan komitmen pengeluaran keseluruhan yang didasarkan pada anggaran yang telah disetujui. Dengan demikian pemberian dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana bagi hasil pajak menurut teori pertumbuhan ekonomi yang telah dijelaskan memiliki pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi. 2.2. Penelitian Terdahulu Penelitian terhadap pertumbuhan ekonomi yang dipengaruhi oleh variabel pendapatan dan variabel pengeluaran daerah, juga pernah dilakukan sebelumnya oleh beberapa peneliti yang lain yaitu diantaranya : 1) Masyhuri (2007). Menganalisis penerimaan pendapatan asli daerah dan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Merangin. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendapatan asli daerah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Merangin yang diukur dengan menggunakan produk domestik regional bruto. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka memiliki kesamaan dengan hipotesa dengan penelitian ini terutama tentang pendapatan asli daerah yang mana di dalam penelitian ini pendapatan asli daerah lebih dikhususkan hanya kepada pajak dan retribusi daerah. Dimana pajak dan retribusi daerah yang dilakukan di dalam penelitian ini juga memiliki pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi. 2) Mulyadi (2005). Menganalisis tentang peranan penerimaan dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi propinsi-propinsi di Indonesia tahun 1991-1999. Dimana hasil dari penelitian ini yaitu pengeluaran pembangunan, pengeluaran rutin dan penerimaan daerah mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di 26 propinsi di Indonesia. Dengan adanya hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Mulyadi, berarti terjadi kesamaan dengan dengan hipotesa yang telah diberikan oleh peneliti di dalam penelitian ini yaitu bahwa penerimaan daerah memeliki hubungan yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi. 3) Mar’isa (2010). Menganalisis tentang pengaruh dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan belanja modal terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di propinsi Sumatera Utara. Dimana hasil dari penelitian ini yaitu bahwa secara parsial dana alokasi khusus, dana alokasi umum, dan belanja modal memiliki pengaruh signifikan positif terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi. Sehingga dengan hasil penelitian tersebut berarti terjadi kesamaan dengan hipotesa yang akan dilakukan oleh penelitian ini yaitu bahwa dana alokasi umum, dana alokasi khusus memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. 4) Citra (2001). Menganalisis tentang hubungan antara pajak daerah, retribusi daerah, dan pengeluaran pemerintah terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi kota kediri. Diketahui bahwa variabel pengeluaran pemerintah daerah secara signifikan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan variabel pajak daerah dan retribusi daerah mempunyai dampak yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut memiliki kesamaan dengan hipotesa dengan penelitian ini baik itu dari pajak daerah, retribusi daerah, maupun pengeluaran pemerintah, dimana pajak dan retribusi daerah memiliki pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. 2.3. Kerangka Pemikiran Penelitian Gambar 4 Skema Hubungan Antara Variabel Penerimaan Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah Otonomi Daerah/Desentalisasi Desentralisasi Fiskal Penerimaan daerah PAD Pajak Pinjaman Retribusi DAU Dana Tranfer DAK DBH Pajak Belanja daerah Pertumbuhan Ekonomi Daerah Berdasarkan skema hubungan antar variabel penerimaan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah diatas dapat diketahui bahwa selama sistem pemerintahan desentralisasi sumber penerimaan daerah berasal dari 3 sumber yaitu pendapatan asli daerah (PAD), pinjaman daerah, dan dana tranfer daerah (dana perimbangan). Dimana selama sistem desentralisasi ini diterapkan diharapkan bahwa sumber penerimaan daerah lebih banyak berasal dari PAD artinya proporsi penerimaan PAD harus lebih besar dari dana perimbangan. Namun, jika sumber penerimaan yang berasal dari PAD ini kecil maka pemerintah pusat memberi intensive bantuan pemerintah daerah melalui dana perimbangan, sehingga dana perimbangan ini dapat juga disebut sebagai sumber penerimaan kedua yang ada saat sistem pemerintahan desentralisasi. Di dalam PAD sumber penerimaan yang paling besar di dalam penyusunannya berasal dari pajak dan retribusi daerah sedangkan dari dana perimbangan, sumber yang memiliki proporsi paling besar yaitu dari DAU, DAK, dan DBHP. Maka dari 5 variabel penerimaan daerah ini lah nantinya akan diteliti bagaimana pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Dimana kita ketahui bahwa untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi ini maka penerimaan ini harus dialokasikan kepada belanja daerah sehingga jika belanja daerah yang dilakukan tepat maka pertumbuhan ekonomi dapat dicapai. Seperti yang telah dijelaskan pada subbab sebelumnya bahwa retribusi, DAU, DAK, DBHP dapat digunakan sebagai modal di dalam melakukan belanja daerah sedangkan pajak daerah ternyata memiliki dampak yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi hal ini dikarenakan pajak daerah dapat mengurangi penerimaan dan akhirnya mempengaruhi konsumsi. 2.4. Hipotesa Penelitian Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah pajak daerah, retibusi daerah, DAU, DAK dan DBHP secara simultan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Secara parsial pengaruh variabel-variabel tersebut dihipotesaskan sebagai berikut : 1. Diduga variabel pajak daerah berpengaruh negatif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. 2. Diduga variabel retribusi daerah berpengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. 3. Diduga variabel dana alokasi umum berpengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. 4. Diduga variabel dana alokasi khusus berpengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. 5. Diduga variabel dana bagi hasil pajak berpengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini akan menganalisis pengaruh variabel-variabel penerimaan daerah khususnya pajak daerah, retribusi daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus dan dana bagi hasil pajak terhadap pertumbuhan ekonomi daerah melalui belanja daerah khususnya belanja langsung maupun belanja tidak langsung. Dimana nantinya penelitian ini menggunakan pendekatan secara diskriptif kuantitatif. 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian yang menganalisis tentang pengaruh variabel-variabel penerimaan daerah khususnya pajak daerah, retribusi daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus dan dana bagi hasil pajak terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, dilakukan di Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang selama era desentralisasi. Hal ini dikarenakan selama era desentralisasi, ratarata pertumbuhan Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang masih memiliki rata-rata dibawah pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Timur. Adapun periode analisis penelitian ini menggunakan data pada kurun waktu tahun 2004-2009. 3.3. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Penelitian Beberapa definisi operasional variabel dan identifikasi variabel dalam penelitian ini memiliki batasan sebagai berikut : 1) Pertumbuhan Ekonomi (dependen). Yang dimaksud pertumbuhan ekonomi dalam penelitian ini adalah jumlah produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi dalam suatu daerah dalam jangka waktu tertentu. Pertumbuhan ekonomi wilayah Karesidenan Malang digambarkan dalam PDRB atas harga konstan 2000 tahun 2004-2010 karena data ini menunjukkan pertumbuhan riil daerah. 2) Pajak Daerah (independen). Yang dimaksud pajak daerah dalam penelitian ini adalah besarnya penerimaan pajak daerah yang tercantum didalam APBD Kabupaten Malang, Kota Malang, Kota Batu, Kabupaten Pasuruan, Kota Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kota Probolinggo, Kabupaten Lumajang, yang dinyatakan dalam rupiah. 3) Retribusi Daerah (independen). Yang dimaksud retribusi daerah dalam penelitian ini adalah besarnya penerimaan retribusi daerah yang tercantum didalam APBD Kabupaten Malang, Kota Malang, Kota Batu, Kabupaten Pasuruan, Kota Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kota Probolinggo, Kabupaten Lumajang, yang dinyatakan dalam rupiah. 4) Dana Alokasi Umum (independen). Yang dimaksud dana alokasi umum dalam penelitian ini adalah besarnya penerimaan dana alokasi umum yang tercantum didalam APBD Kabupaten Malang, Kota Malang, Kota Batu, Kabupaten Pasuruan, Kota Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kota Probolinggo, Kabupaten Lumajang, yang dinyatakan dalam rupiah. 5) Dana Alokasi Khusus (independen). Yang dimaksud dana alokasi khusus dalam penelitian ini adalah besarnya penerimaan dana alokasi khusus yang tercantum didalam APBD Kabupaten Malang, Kota Malang, Kota Batu, Kabupaten Pasuruan, Kota Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kota Probolinggo, Kabupaten Lumajang, yang dinyatakan dalam rupiah. 6) Dana Bagi Hasil Pajak (independen). Yang dimaksud dana bagi hasil pajak dalam penelitian ini adalah besarnya penerimaan dana bagi hasil pajak yang tercantum didalam APBD Kabupaten Malang, Kota Malang, Kota Batu, Kabupaten Pasuruan, Kota Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kota Probolinggo, Kabupaten Lumajang, yang dinyatakan dalam rupiah. 7) Belanja Tidak Langsung (dependent dan independent). Yang dimaksud belanja tidak langsung dalam penelitian ini adalah besarnya belanja tidak langsung yang tercantum didalam APBD Kabupaten Malang, Kota Malang, Kota Batu, Kabupaten Pasuruan, Kota Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kota Probolinggo, Kabupaten Lumajang, yang dinyatakan dalam rupiah. 8) Belanja Langsung (dependent dan independent). Yang dimaksud belanja tidak langsung dalam penelitian ini adalah besarnya belanja tidak langsung yang tercantum didalam APBD Kabupaten Malang, Kota Malang, Kota Batu, Kabupaten Pasuruan, Kota Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kota Probolinggo, Kabupaten Lumajang, yang dinyatakan dalam rupiah. 3.4. Metode Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Malang, Badan Pusat Statistik Kota Malang, Badan Pusat Statistik Kota Batu, Badan Pusat Statistik Kabupaten Pasuruan, Badan Pusat Statistik Kota Pasuruan, Badan Pusat Statistik Kota Probolinggo, Badan Pusat Statistik Kabupaten Probolinggo, Badan Pusat Statistik Kabupaten Lumajang, serta sumber lain yang terkait. Data yang diperoleh dalam bentuk berkala (time series) dan lintas sektor (cross section) dengan periode dari tahun 2004 sampai dengan 2009 (6 tahun), sehingga hasil penelitian ini merupakan hasil penggunaan data selama periode tersebut. 3.5. Metode Analisis Untuk memenuhi tujuan penelitian ini yaitu mengetahui besarnya pengaruh variabel penerimaan daerah khususnya pajak daerah, retribusi daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus dan dana bagi hasil pajak terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, maka penelitian ini akan menggunakan alat analisa Regresi Data Panel dengan metode Two Stage Least Square (2SLS). Dimana tujuan estimasi menggunakan data panel ini adalah agar dapat diperoleh hasil estimasi yang lebih baik dengan terjadinya peningkatan jumlah observasi yang berimplikasi pada peningkatan derajat kebebasan, selain itu kelebihan dari penggunnaan data panel ini penulis akan memiliki tingkat fleksibilitas yang tinggi dalam menentukan model terhadap perbedaan perilaku diantara tiap-tiap individu (Greene, 2003). Selain itu, menurut Baltagi (2005) terdapat beberapa kelebihan estimasi dengan menggunakan data panel, yaitu sebagai berikut: 1. Dapat mempertimbangkan heterogenitas dengan memperkenalkan variable - variabel individu spesifik. 2. Dapat memberikan data yang lebih informatif, lebih bervariabilitas, kurang kolinearitas antar variabel, derajat bebas yang lebih besar, dan lebih efisien. 3. Data panel lebih sesuai untuk mempelajari dinamika perubahan. 4. Dapat secara lebih baik mendeteksi dan mengukur efek yang tidak dapat diamati dalam data cross sheet dan time-series. 5. Dapat meminimalisasi bias yang mungkin ditimbulkan oleh agresif data individu. 6. Dapat membuat jumlah observasi dalam estimasi parameter populasi menjadi semakin besar, sehingga mengurangi kemungkinan kolinearitas antar variabel bebas. Teknik regresi data panel ini menggunakan penggabungan antara data time series dengan data cross section kemudian data dari penggabungan ini diberlakukan sebagai satu kesatuan pengamatan yang nantinya digunakan untuk mengestimasi model. Dari hasil perhitungan dengan data tersebut diharapkan dapat memberikan beberapa implikasi teoritis tentang pengaruh pengaruh variabel pendapatan khususnya pajak daerah, retribusi daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus dan dana bagi hasil pajak terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Oleh karena itu, ketika datanya digunakan sebagai data panel guna membuat regresi, maka hasilnya cenderung akan lebih baik dibandingkan dengan hanya menggunakan data time series atau cross section saja. Akan tetapi, dengan penggabungan data ini, baik perbedaan individu maupun antar waktu tidak dapat terlihat. Atau dengan kata lain intercept baik antar individu maupun antar waktu tidak dapat berubah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, ada dua buah teknik yang biasanya digunakan dalam membuat data panel, yaitu Fixed Effect Model dan Random Effect Model. Di dalam pemilihan model antara Fixed Effect (Efek Tetap) dan Random Effect (Efek Acak) dilakukan dengan menggunakan Uji Hausman. Uji Hausman merupakan salah satu bentuk chi-square test dan dilakukan berdasarkan bentuk kuadrat dan selisih antara konsisten estimator dengan efisien estimator. Pada model analisis data panel dengan efek tetap diperoleh estimator yang konsisten, sedangkan pada model analisis data panel dengan efek acak diperoleh estimatoryang efisien. Untuk itu dilakukan uji hipotesa apakah efek individu tidak berkorelasi atau berkorelasi dengan variabel bebas. Hipoetsa pengujian ini sebagai berikut : Ho = Random effect model H1 = Fixed effect model Perhitungan Hausman test m β0 menggunakan aplikasi eviews, jika nilai hausman test hasil pengujian lebih besar dari X2 tabel maka hipotesa nol ditolak sehingga model yang kita gunakan adalah model fixed effect dan sebaliknya, jika hasil pengujian hausman test lebih kecil dari X2 tabel maka hipotesa satu ditolak yang kita gunakan adalah model random effect. 3.6. Model Analisis Berdasarkan metode analisis diatas yang mana untuk mengestimasi pengaruh Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil Pajak, terhadap pertumbuhan ekonomi (PDRB) melalui belanja daerah khususnya belanja langsung maupun belanja tidak langsung, yang menggunakan analisa regresi model data panel dengan metode 2SLS. Maka digunakan 3 model, yang mana ke 3 model tersebut adalah sebagai berikut : 1. LBTLit = β0 + β1LPD + β2LRD + β3LDAU + β4LDAK + β5LDBHP + εit 2. LBLit = β0 + β1LPD + β2LRD + β3LDAU + β4LDAK + β5LDBHP + εit 3. LPDRBit = β0 + β1BTL + β2LBL Dimana : LPDRBit = Produk Domestik Regional Bruto LBTL = Belanja Tidak Langsung LBL = Belanja Langsung LPD = Pajak Daerah LRD = Retribusi Daerah LDAU = Dana Alokasi Umum LDAK = Dana Alokasi Khusus LDBHP = Dana Bagi Hasil Pajak β0 = Konstanta β1 – β6 = Koefisien parameter ε = Disturbance Error i = Jumlah Unit cross section, ada 8 wilayah yaitu Kabupaten Malang, Kota Batu, Kota Malang, Kabupaten Pasuruan, Kota Pasuruan, Kota Probolinggo, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang. t = Jumlah unit Times series 6 tahun dari T.A. 20042009 Dimana baik variabel indpendent maupun dependent di dalam model di atas di log kan, dengan tujuan agar hasil dari estimasi yang diharapkan hasil yang didapat dapat lebih jelas sehingga pengaruh antara variabel dependentnya terhadap variabel independentnya dapat lebih dimengerti. 3.7. Uji Hasil Estimasi 1) Uji t Uji statistik t digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Perhitungan t (t-statistik) merupakan suatu perhitungan untuk mencari signifikansi variabel independen terhadap variabel dependen. Nilai dari t- statistik yang telah diketahui, kemudian dibandingkan dengan nilai t-tabel dengan menggunakan dua arah pada derajat kepercayaan tertentu. Variabel independen dikatakan signifikan terhadap variabel dependen apabila nilai t-statistik variabel independen terletak di dalam daerah kritis atau dengan kata lain bahwa nilai t-statistik lebih besar dari nilai ttabel, hal ini berarti terdapat pengaruh yang cukup berarti dari variabel independen terhadap variabel dependen. Begitu sebaliknya apabila nilai tstatistik lebih kecil dari nilai t-tabel, maka dapat dikatakan tidak terdapat pengaruh yang berarti. 2) Uji F Uji F pada dasarnya digunakan untuk menunjukkan pengaruh (signifikan) variabel independen yang dimasukkan dalam model secara bersama-sama (simultan) terhadap variabel tak bebas. Nilai F statistik dapat dihitung dengan melihat nilai dari F tabel. Nilai F statistik dikatakan signifikan apabila nilainya terletak di dalam daerah kritis, atau hipotesisnya dapat diuraikan sebagai berikut: 1. H0 : β1 = β2 = β3 = β4 = β5 = β6 = 0 Jumlah pajak daerah, retribusi daerah, DAU, DAK, belanja tidak langsung dan belanja langsung secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di wilayah karisidenan Malang. 2. Ha : β1 ≠ β2 ≠ β3 ≠ β4 ≠ β5 ≠ β6 ≠ 0 Jumlah pajak daerah, retribusi daerah, DAU, DAK, belanja tidak langsung dan belanja langsung bersama-sama berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di wilayah karisidenan Malang. Nilai F statistik dihitung dengan formula sebagai berikut : F= = Mengikuti distribusi F dengan derajat kebebasan k-1 dan n-k, Keterangan : n = jumlah observasi MSS = jumlah kuadrat yang dijelaskan RSS = rata-rata jumlah kuadrat K = jumlah parameter (termasuk intersep) ESS = jumlah kuadrat residual R2 = koefisien determinan 3) Uji R2 (Koefisien Determinan) Koefisien determinan di gunakan untuk mengukur seberapa jauh kemampuan suatu model dalam menerangkan variabel dependen atau dengan kata lain untuk mengukur tingkat hubungan antara variabel dependen dengan semua variabel independen secara bersama-sama. Untuk menghitung determinasi (R2) dapat menggunakan formula sebagai berikut : R2 = =1– Persamaan di atas menunjukan proporsi total jumlah kuadrat (TSS) yang diterangkan oleh variabel bebas dalam model. Sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel independen lain yang belum/tidak dimasukkan dalam model. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang 4.1.1. Kondisi Geografis dan Demografi Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Karesidenan Malang merupakan salah satu wilayah karesidenan yang dimiliki oleh propinsi Jawa Timur. Secara geografis wilayah Karesidenan Malang memiliki delapan wilayah yang terdiri dari 4 kabupaten dan 4 kota. Dimana 4 kabupaten tersebut yaitu Kabupaten Malang, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, sedangkan 4 kota tersebut yaitu Kota Malang, Kota Batu, Kota Pasuruan, dan Kota Probolinggo. Kabupaten/kota yang terletak di bagian utara wilayah Karesidenan Malang yaitu Kabupaten Probolinggo sehingga dengan demikian sebelah utara wilayah Karesidenan Malang berbatasan langsung dengan Selat Madura. Kabupaten/kota yang terletak di bagian barat wilayah Karesidenan Malang yaitu Kabupaten Malang, sehingga sebelah barat wilayah Karesidenan Malang berbatasan dengan Kabupaten Blitar dan Kabupaten Kediri. Kabupaten/kota yang terletak di bagian selatan wilayah Karesidenan Malang yaitu Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang sehingga hal ini membuat di sebelah selatan wilayah Karesidenan Malang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia, serta Kabupaten/kota yang terletak di bagian timur wilayah Karesidenan Malang yaitu Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Probolinggo sehingga di bagian timur wilayah Karesidenan Malang berbatasan langsung dengan Kabupaten Situbondo dan Kabupaten Jember. Secara demografi di bagian barat sampai selatan kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang hampir sebagian besar daerahnya berhawa sejuk, hal ini dikarenakan dibagian barat dan selatan wilayah Karesidenan Malang merupakan daerah pegununungan yang berhawa sejuk, misalnya pegunungan yang terdapat di daerah ini yaitu Gunungan Semeru, Gunung Kawi, Gunung Bromo dan Gunung Arjuno. Sedangkan secara administratif dan luas wilayah kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang akan ditampilkan pada tabel 1 di bawah ini. Tabel 1 Wilayah Administratif, Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Jumlah Kepadatan Penduduk Penduduk Kabupaten/Kota Administratif Luas Wilayah 511 Kab Malang 33 Kecamatan 4.576,00 km2 2.339.000 jiwa jiwa/km2 874 Kota Batu 3 Kecamatan 202,30 km2 177.000 jiwa jiwa/km2 6.171 Kota Malang 5 Kecamatan 110,06 km2 814.000 jiwa jiwa/km2 1.190 Kab Pasuruan 24 Kecamatan 1.474,00 km2 1.369.295 jiwa jiwa/km2 13.034 2 Kota Pasuruan 3 Kecamatan 13,58 km 177.000 jiwa jiwa/km2 Kab 598 Probolinggo 24 Kecamatan 1.696,17 km2 1.004.967 jiwa jiwa/km2 Kota 7.924 2 200.000 jiwa Probolinggo 5 Kecamatan 25,24 km jiwa/km2 558 Kab Lumajang 21 Kecamatan 1.790,90 km2 1.000.000 jiwa jiwa/km2 Sumber : BPS Kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang merupakan wilayah yang mempunyai jumlah infrastruktur yang lengkap seperti infrastruktur jalan, dimana hampir di semua kabupaten/kota memiliki infrastruktur jalan sangat baik hal ini ditambah dengan rencana pemerintah yang akan membangun infrastruktur jalan lintas selatan. Selain itu, kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang juga memiliki sarana tranportasi yang cukup lengkap seperti bandara abdurahman saleh, terminal yang ada di setiap kabupaten/kota, maupun stasiun yang juga terdapat hampir si semua kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang. 4.1.2. Kondisi Perekonomian Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Salah satu yang menjadi tolok ukur di dalam keberhasilan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah yaitu dengan melihat perkembangan perekonomian wilayah tersebut. Hal ini dikarenakan bidang ekonomi merupakan bidang yang memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap bidang-bidang yang lainnya. Akibatnya, karena bidang ekonomi memiliki pengaruh yang besar terhadap bidang-bidang yang lainnya, maka bidang ekonomi sering digunakan sebagai bahan evaluasi dan perencanaan secara makro oleh pemerintah daerah. Dimana untuk melihat perkembangan bidang ekonomi wilayahnya, pemerintah daerah sering menggunakan alat ukur Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terutama PDRB yang berdasarkan harga konstan. PDRB yang berdasarkan harga konstan merupakan PDRB yang sudah memperhitungkan unsur tingkat inflasi maupun unsur-unsur lainnya yang mempengaruhi perekonomian sehingga PDRB ini akan lebih memiliki tingkat kebenaran dan keakuratan yang tinggi. Dimana kondisi perekonomian kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang sebagai berikut : Gambar 5 Grafik Perkembangan PDRB Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 Sumber : BPS (data diolah) Berdasarkan gambar 5, dalam rentang kurun waktu 6 tahun (tahun 20042009) diketahui bahwa pertumbuhan perekonomian kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang yang mana merupakan output dari jumlah PDRB, masih terjadi kesenjangan antara kabupaten/kota yang satu dengan yang lainnya. PDRB paling tinggi di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang terdapat di Kabupaten Malang dan Kota Malang. Dimana berdasarkan gambar 5 PDRB yang dihasilkan oleh Kabupaten Malang dan Kota Malang memiliki jumlah hampir dari dua kali lipat jika dibandingkan dengan jumlah PDRB yang dihasilkan oleh kabupaten/kota lain yang berada di wilayah Karesidenan Malang. Sedangkan pertumbuhan perekonomian yang paling rendah terletak di Kota Batu, Kota Pasuruan, dan Kota Probolinggo, yang masih di bawah 2 juta rupiah. Meskipun dalam enam tahun terakhir PDRB kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang sangat didominasi oleh Kabupaten Malang dan Kota Malang, tetapi jumlah PDRB setiap kabupaten/kota yang berada di wilayah Karesidenan Malang setiap tahunnya mengalami peningkatan. Namun, meskipun jumlah PDRB yang dihasilkan oleh kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang ini setiap tahunnya selalu meningkat tetapi hal sebaliknya jika dilihat laju pertumbuhannya, dimana laju pertumbuhan PDRB setiap tahunnya di kabupaten/kota Karesidenan Malang ini selalu mengalami fluktuatif yang artinya meskipun pada tahun sebelumnya terjadi kenaikkan tetapi pada tahun berikutnya terjadi penurunan. Dengan kata lain, laju pertumbuhan PDRB ini masih sangat tidak konstan di setiap tahunnya. Dimana penjelasan mengenai laju pertumbuhan PDRB kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang dalam kurun waktu 2004 sampai 2009 akan dijelaskan berdasarkan gambar grafik di bawah ini. Gambar 6 Grafik Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 Sumber : BPS (data diolah) Berdasarkan gambar 6 dapat diketahui jika laju pertumbuhan PDRB di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang dalam kurun waktu 2004 sampai 2009 masih sangat berfluaktif. Dimana berdasarkan garfik tersebut antara tahun 2004 dan 2005 kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang yang laju pertumbuhan PDRBnya mengalami kenaikkan yaitu Kabupaten Pasuruan, Kota Pasuruan, Kota Probolinggo Kabupaten Probolinggo, dan Kota Batu, sedangkan kabupaten/kota lainnya laju pertumbuhan PDRBnya mengalami penurunan. Dimana antara tahun 2004-2005 ini kabupaten/kota yang mengalami kenaikkan cukup tinggi yaitu Kota Batu yang semula di tahun 2004 sebesar 5,49% dan di tahun 2005 menjadi 6,40% sedangkan di tahun yang sama kabupaten/kota di wilayah Karesidenan Malang yang laju pertumbuhan PDRBnya mengalami penurunan tajam yaitu Kabupaten Malang, dimana pada tahun 2004 laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Malang sebesar 5,47% dan mengalami penurunan di tahun 2005 menjadi 4,97%. Sedangkan antara tahun 2005-2006, hampir semua kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang laju pertumbuhan PDRBnya mengalami kenaikkan termasuk kabupaten/kota yang sebelumnya mengalami penurunan, kecuali Kota Pasuruan yang laju pertumbuhan PDRBnya mengalami penurunan semula sebesar 5,83% turun menjadi 5,65%. Sedangkan kabupaten/kota yang laju pertumbuhan PDRBnya yang semula mengalami penurunan, di tahun ini laju pertumbuhan PDRB mengalami kenaikkan yang sangat tinggi seperti Kabupaten Malang yang semula di tahun 2005 laju pertumbuhannya PDRBnya hanya sebesar 4,97% mengalami kenaikkan di tahun 2006 menjadi 5,67%. Di tahun 2006-2007, berdasarkan gambar 6 kabupaten/kota yang laju pertumbuhan PDRBnya masih tetap mengalami kenaikkan yaitu Kabupaten Pasuruan, Kota Probolinggo, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Malang, sedangkan untuk kabupaten/kota lainnya yang berada di wilayah Karesidenan Malang laju pertumbuhan PDRBnya mengalami penurunan. Sedangkan untuk tahun 2007-2008 hampir sebagian besar kabupaten/kota yang berada di wilayah Karesidenan Malang laju pertumbuhan PDRBnya mengalami penurunan, sedangkan kabupaten/kota yang mampu meningkatkan laju pertumbuhan PDRBnya yaitu hanya Kota Pasuruan, Kota Malang, dan Kota Batu. Dimana untuk Kota Batu pada tahun ini merupakan laju pertumbuhan PDRB yang paling tinggi dalam kurun waktu enam tahun terakhir yaitu sebesar 6,86%. Di tahun 2009 laju pertumbuhan PDRB di semua kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang mengalami penurunan yang sangat tajam termasuk kabupaten/kota yang sebelumnya masih mengalami kenaikkan. Dimana kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang yang laju pertumbuhan PDRB yang paling rendah di tahun 2009 yaitu Kabupaten Pasuruan. Berdasarkan gambar 6 dan gambar 6 dapat disimpulkan bahwa meskipun pertumbuhan perekonomian suatu kabupaten/kota sedang mengalami kenaikkan setiap tahunnya secara berturut-turut, namun hal ini belum tentu diikuti oleh laju pertumbuhan PDRBnya karena terdapat beberapa faktor, baik itu faktor internal maupun faktor eksternal yang sangat mempengaruhi laju pertumbuhan PDRB. Pertumbuhan perekonomian suatu daerah dari sisi internal sangat dipengaruhi oleh dua hal yaitu penerimaan daerah dan pengeluaran daerah. Dimana penerimaan daerah dan pengeluaran daerah ini saling terkait untuk menciptakan pertumbuhan perekonomian yang tinggi. Namun, jika dilihat peranannya antara penerimaan dan pengeluaran daerah untuk menciptakan suatu pertumbuhan perekonomian yang tinggi maka kedudukan penerimaan daerah berada di atas pengeluaran daerah. Hal ini dikarenakan penerimaan daerah menjadi penentu untuk melakukan pengeluaraan apa yang akan dilakukan sehingga dengan kata lain pengeluaraan daerah ini sangat tergantung kepada seberapa besar penerimaan daerah yang dapat diperoleh. Dimana yang nantinya penerimaan tersebut dapat digunakan untuk melakukan pengeluaran daerah yang dapat menciptakan pertumbuhan perekonomian daerah. 4.1.3. Kondisi Perkembangan Variabel-Variabel Penerimaan Daerah Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Suatu penerimaan daerah di era desentralisasi, di dalam penyusunannya terdiri dari beberapa variabel-variabel penerimaan daerah yang digolongkan berdasarkan asal sumber dari penerimaan daerah itu di dapat. Namun, meski desentralisasi telah berjalan selama 10 tahun tetapi penerimaan daerah tetap saja masih bergantung hanya kepada dua variabel yaitu variabel yang berasal dari pendapatan asli daerah dan variabel yang berasal dari dana perimbangan. Untuk penerimaan daerah yang berasal dari variabel pendapatan asli daerah tidak semuanya dari variabel ini dapat menghasilkan penerimaan yang besar terhadap penerimaan daerah, tetapi hanya ada dua variabel yang selama ini dijadikan sumber utama oleh pemerintah daerah yaitu variabel yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah. Hal ini dikarenakan pajak dan retribusi daerah merupakan suatu potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah sehingga besar kecilnya penerimaan daerah yang berasal dari variabel-variabel ini sangat tergantung dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah di masing-masing daerah. Sedangkan untuk penerimaan daerah yang berasal dari variabel dana perimbangan, hanya ada tiga vairabel yang menghasilkan penerimaan yang besar selama desentralisasi yaitu dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana bagi hasil pajak. Hal ini dikarenakan untuk dana alokasi umum, merupakan dana digunakan oleh pemerintah pusat untuk melakukan pemerataan atau dengan kata lain dana yang digunakan untuk membantu penerimaan daerah yang masih minim sehingga nantinya tidak terjadi ketimpangan antara daerah yang satu dengan yang lainnya sehingga karena hal inilah dana alokasi umum bagi daerah yang merupakan sumber penerimaan yang tinggi khususnya bagi daerah yang penerimaan dari dalam daerahnya masih kecil. Sedangkan dana alokasi khusus juga merupakan penerimaan yang besar juga hal ini dikarenakan dana alokasi khusus ini memang digunakan oleh pemerintah pusat untuk melakukan pembangunan sehingga nantinya dapat meningkatkan pertumbuhan perekonomian. Dan yang terakhir, dana bagi hasil pajak memang digunakan oleh pemerintah pusat untuk menambah penerimaan daerah sehingga nantinya dapat digunakan oleh pemerintah untuk melakukan pengeluaran-pengeluaran yang sangat berguna bagi daerahnya. Kondisi penerimaan daerah di era desentalisasi yang sangat bergantung kepada variabel penerimaan daerah seperti pajak daerah, retribusi daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus dan dana bagi hasil pajak, ternyata juga berlaku bagi kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang selama desentralisasi ini. Dimana kondisi variabel-variabel penerimaan daerah tersebut di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang sebagai berikut. 4.1.3.1. Kondisi Penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Pajak dan Retribusi daerah merupakan salah satu variabel penerimaan daerah yang berasal dari dalam daerahnya sendiri. Dimana sejak diterapkannya sistem desentralisasi pajak dan retribusi daerah merupakan sumber penerimaan utama bagi daerah untuk memperoleh penerimaan daerah. Dimana kondisi pajak di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang selama tahun 2004-2009 digambarkan pada grafik berikut : Gambar 7 Grafik Penerimaan Pajak Daerah Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 Sumber : BPS (data diolah) Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa pajak daerah merupakan salah satu variabel penerimaan daerah yang menjadi tumpuan utama daerahdaerah saat diperlakukannya sistem pemerintahan yang desentralisasi. Dimana jika dilihat berdasarkan gambar 7 diketahui bahwa selama tahun 2004-2009 penerimaan daerah dari variabel pajak daerah di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang paling tinggi hanya terdapat di tiga wilayah yaitu Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Malang, dan Kota Malang. Ketiga wilayah ini, penerimaan pajak daerah telah dapat memberikan penerimaan daerah diatas 20 milyar rupiah. Sedangkan untuk kabupaten/kota lain yang berada di wilayah Karesidenan Malang ini penerimaan pajak daerah masih belum begitu besar nilainya yaitu masih berada di bawah 10 milyar rupiah. Jika melihat rentang waktu 6 tahun terakhir penerimaan pajak daerah di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang, Kabupaten Pasuruan merupakan kabupaten yang selalu menerima pajak daerah paling besar dan paling konstan dikisaran 37 milyar rupiah sampai 41 milyar rupiah. Namun, di tahun 2009 penerimaan pajak daerah Kabupaten Pasuruan ini masih dibawah Kota Malang, yang mana di tahun 2009 Kota Malang berhasil menerima penerimaan pajak daerah sebesar 46 milyar rupiah sehingga penerimaan pajak daerah 2009 Kota Malang ini merupakan penerimaan pajak daerah tertinggi di antara kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang selama 6 tahun terakhir. Dimana penerimaan pajak daerah Kota Malang ini setiap tahunnya selalu mengalami kenaikkan yaitu di tahun 2004 yang semula hanya 26 milyar rupiah dan akhirnya ditahun 2009 menjadi 46 milyar rupiah. Sedangkan untuk kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang yang masih rendah dalam memperoleh penerimaan daerah dari penerimaan pajak daerah yaitu Kota Pasuruan. Dimana penerimaan pajak daerah Kota Pasuruan selama 6 tahun terakhir hanya masih dikisaran kurang lebih 4 milyar rupiah, yang mana ini merupakan kebalikan dari penerimaan pajak daerah yang diperoleh oleh daerah tentangganya yaitu Kabupaten Pasuruan. Selain itu, meskipun Kota Batu penerimaan pajak daerahnya selalu kecil tetapi dalam 6 tahun terakhir selalu terjadi kenaikkan dalam penerimaannya. Yang mana di tahun 2004 semula hanya dikisaran 3 milyar rupiah karena setiap tahunnya mengalami kenaikkan sehingga di tahun 2009 menjadi dikisaran 5 milyar rupiah. Penerimaan pajak daerah di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang dalam kurun waktu 6 tahun terakhir memang selalu besar, khususnya di tiga wilayah yaitu Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Malang, dan Kota Malang. Namun jika dilihat kontribusinya terhadap seluruh jumlah penerimaan daerah yang diperoleh masing-masing daerah di setiap tahunnya, belum tentu penerimaan pajak daerah ini memiliki kontribusi yang juga besar yang mana sesuai dengan nilai yang dicapai. Hal ini dikarenakan dalam penerimaan daerah masih banyak variabel-variabel yang lain, yang berkontribusi. Maka untuk itu untuk mengetahui besarnya kontribusi penerimaan pajak daerah di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang dalam kurun waktu 6 tahun terakhir di masing-masing daerah, maka akan dijelaskan berdasarkan gambar grafik di bawah ini. Gambar 8 Grafik Jumlah Proporsi Pajak Daerah Terhadap Jumlah Total Penerimaan Daerah Di Masing-masing Wilayah Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 (%) Sumber : BPS (data diolah) Berdasarkan gambar 8, dimana proporsi penerimaan pajak daerah terhadap jumlah seluruh penerimaan daerah di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang antara tahun 2004 sampai tahun 2009 masih belum begitu besar. Mengingat tujuan sistem pemerintahan desentralisasi ini diterapkan, supaya daerah-daerah memperoleh sumber penerimaan utamanya dari dari potensi daerajnya sendiri yang salah satunya berasal dari pajak daerah. Yang mana besar proporsi penerimaan pajak daerah terhadap jumlah seluruh penerimaan daerah sebagai berikut. Pertama, Kabupaten Pasuruan. Dimana pada tahun 2004 proporsi penerimaan pajak daerah Kabupaten Pasuruan hanya sebesar 3,66% dari seluruh jumlah total penerimaan daerah yang dimiliki oleh Kabupaten Pasuruan. Di tahun 2005, proporsi penerimaan pajak daerah naik sangat signifikan yang semula hanya 3,66% naik hampir dua kali lipatnya yaitu menjadi 6,77%. Namun, di tahun 2006, 2007, 2008, dan 2009 proporsi penerimaan pajak daerah terhadap seluruh jumlah total penerimaan daerah selalu mengalami penurunan yaitu 5,88%, 5,2%, 4,65% dan 4,43%. Kedua, Kota Pasuruan. Proporsi penerimaan pajak daerah di kota Pasuruan ini selama tahun 2004-2009 bisa dikatakan sangat kecil sekali dalam menambah penerimaan daerah memang terjadi kenaikkan antara tahun 20042005 sebesar 0,13 % proporsi yang semula di tahun 2004 sebesar 2,09% menjadi 2,99% ditahun 2005 dan di tahun 2005 inilah proporsi penerimaan pajak daerah yang paling tinggi di Kota Pasuruan selama kurun waktu 6 tahun terkahir. Di tahun 2006 dan 2007 proporsi penerimaan pajak daerah terus mengalami penurunan menjadi 1,89% dan 1,56%. Namun, di tahun 2008 proporsi penerimaan pajak daerah di Kota Pasuruan ini mengalami kenaikkan kembali meskipun hanya sebesar 0,01% menjadi 1,57%, tetapi di tahun 2009 proporsi penerimaan pajak daerah ini mengalami penurunan kembali menjadi 1,52%. Ketiga, Kota Probolinggo. Antara tahun 2004 dan 2005 jumlah proporsi penerimaan pajak daerah terhadap jumlah seluruh penerimaan daerah dikota ini terjadi kenaikkan yang semula di tahun 2004 sebesar 2,43%, ditahun 2005 menjadi 2,55%. Ditahun 2005 inilah merupakan jumlah proporsi penerimaan pajak daerah tebesar di dalam jangka waktu 6 tahun terakhir. Namun, ditahun 2006, 2007 proporsi penerimaan pajak daerah terus mengalami penurunan sampai sebesar 1,44%. Ditahun 2008 proporsi penerimaan pajak daerah kembali naik menjadi 1,54% tetapi pada tahun 2009 kembali mengalami penurunan menjadi 1,39%. Keempat, Kabupaten Probolinggo. Proporsi penerimaan pajak daerahnya dari tahun 2004 sampai 2007 selalu mengalami penurunan. Dimana yang ditahun 2004 sebesar 1,82% selalu mengalami penurunan menjadi 1,68%, 1,26%, dan 1,21%. Meskipun di tahun 2008 proporsi penerimaan pajak daerah kembali mengalami kenaikkan menjadi 1,54%. Namun, ditahun 2009 proporsi penerimaan pajak daerah di kabupaten ini kembali mengalami penurunan menjadi 1,13%. Kelima, Kabupaten Lumajang. Proporsi penerimaan pajak daerah di kabupaten ini hampir sama dengan kabupaten/kota yang lainnya yang berada di wilayah Karesidenan Malang. Dimana ditahun 2004 dan 2005 yang selalu mengalami kenaikkan dari 2,18% menjadi 2,26% tetapi ditahun 2006,2007, dan 2008 selalu mengalami penurunan 1,56%, 1,38%, 1,35%. Dan ditahun 2009 kembali mengalamii kenaikkan menjadi 1,49%. Keenam, Kabupaten Malang. Proporsi penerimaan pajak daerah di kabupaten ini paling besar terjadi di tahun 2005 sebesar 3,35% yang semula di tahun 2004 sebesar 3,16%. Namun, setelah terjadi proporsi penerimaan pajak daerah yang besar, di tahun 2006 terjadi penurunan yang sangat signifikan yaitu menjadi 2,23%. Di tahun 2007 dan 2008 memang terjadi kenaikkan proporsi penerimaan pajak daerah meskipun tidak terlalu besar menjadi 2,26% dan 2,3%. Tetapi kenaikkan ini tidak terjadi lama karena di tahun 2009 proporsi penerimaan pajak daerah kembali turun menjadi 2,14%. Ketujuh, Kota Malang. Proporsi penerimaan pajak daerah di Kota Malang merupakan proporsi penerimaan pajak daerah paling besar di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang. Dimana proporsi penerimaan pajak daerah di kota ini dalam 9 tahun terakhir selalu memiliki proporsi diatas 5,9%. Meskipun terjadi penurunan dari tahun 2006 sampai 2008, tetapi penurunan ini tidak pernah melebihi dibawah proporsi 5,9%. Kedelapan, Kota Batu. Proporsi penerimaan pajak daerah di Kota Batu memang terjadi penurunan ditahun 2006 menjadi 2,07%, yang semula proporsi penerimaan pajak daerah ini sebesar 2,68%, dan 2,73%. Tetapi di tahun 2007, 2008, dan 2009 proporsi penerimaan pajak daerah ini selalu mengalami kenaikkan yaitu 2,51%, 2,98%, dan 3,02%. Dimana dengan kenaikkan proporsi pajak daerah di tahun 2007, 2008, 2009 ini menjadikan Kota Batu sebagai daerah di kabupaten/kota Malang yang dalam waktu 3 tahun terakhir selalu mengalami kenaikkan proporsi penerikaan pajak daerah. Proporsi penerimaan pajak daerah di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang meskipun dalam 6 tahun terakhir kebanyakan mengalami penurunan dari pada kenaikkan. Tetapi jika melihat jumlah penerimaan pajak daerahnya setiap tahunnya selalu mengalami kenaikkan, tetapi penurunan proporsi penerimaan pajak daerah ini di karenakan terjadi kenaikkan jumlah yang sama di sumber penerimaan daerah yang lainnya. Gambar 9 Grafik Penerimaan Retribusi Daerah Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 Sumber : BPS (data diolah) Berdasarkan gambar 9 di atas tentang penerimaan retribusi daerah kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang selama 9 tahun terakhir, diketahui bahwa penerimaan retribusi daerah paling rendah terdapat di Kota Batu masih sebesar di bawah 10 milyar rupiah. Dimana berdasarkan gambar 9, bahwa di tahun 2004 dan 2005 kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang yang mampu memperoleh penerimaan retribusi daerah di atas 10 milyar rupiah hanya 5 kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Pasuruan, Kota Probolinggo, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Malang, dan Kota Malang. Sedangkan 3 kabupaten/kota lainnya yang berada di wilayah Karesidenan Malang masih memperoleh penerimaan daerah dari retribusi daerah masih di bawah 10 milyar rupiah. Di tahun 2006 dan 2007 penerimaan retribusi daerah di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang di masing-masing kabupaten/kota terus mengalami kenaikkan, sehingga hal ini membuat di tahun 2006 kabupaten/kota yang penerimaan retribusi daerahnya melebihi 10 milyar rupiah terdapat di 6 kabupaten/kota yang semula hanya 5 kabupaten/kota. Dimana kabupaten/kota yaitu sama dengan kabupaten/kota di tahun 2005 ditambah dengan Kabupaten Probolinggo. Di tahun 2007 terdapat kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang yang penerimaan retribusi daerahnya mengalami kenaikkan sangat signifikan yaitu Kabupaten Malang, dimana penerimaan retribusi daerah di Kabupaten Malang mampu mencapai lebih dari 30 milyar rupiah. 3 kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang mampu memperoleh penerimaan retribusi daerah lebih dari 20 milyar rupiah. Sedangkan kabupaten/kota yang penerimaan retribusi daerahnya masih dibawah 10 milyar rupiah terdapat di 2 kabupaten/kota yaitu Kota Pasuruan dan Kota Batu. Di tahun 2008, penerimaan retirubusi daerah di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang, hampir semua di daerah penerimaan retribusi ini terus mengalami kenaikkan, tetapi khusunya untuk Kabupaten Malang yang semula di tahun 2007 penerimaan retribusi daerahnya sangat naik signifikan melebihi 30 milyar rupiah, kini mengalami penurunan menjadi di bawah 20 milyar rupiah. Kabupaten yang mengalami kenaikkan penerimaan retribusi daerah yang cukup signifikan ini terdapat di Kabupaten Lumajang yang mencapai melebihi 30 milyar rupiah dan Kabupaten Probolinggo yang mampu mencapai 25 milyar rupiah yang sebelumnya hanya sebesar 15 milyar rupiah. Sedangkan untuk kabupaten/kota lainnya memang terjadi kenaikkan tetapi tidak terlalu signifikan. Di tahun 2009, penerimaan retribusi daerah di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang, terdapat yang penerimaan retribusinya mengalami kenaikkan dan mengalami penurunan. Dimana kabupaten/kota yang mengalami kenaikkan yaitu Kabupaten Pasuruan, Kota Pasuruan, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu. Khusus Kabupaten Lumajang penerimaan retribusi daerah di tahun 2009 ini merupakan penerimaan tertinggi dari 6 tahun terakhir yaitu melebihi dari 35 milyar rupiah, bahkan penerimaan retribusi daerah ini merupakan penerimaan retribusi tertinggi di antara kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang selama 6 tahun terkhir. Sedangkan kabupaten/kota yang penerimaan retribusi daerahnya mengalami penurunan yaitu kabupaten Kota Probolinggo dan Kabupaten Probolinggo. Gambar 10 Grafik Jumlah Proporsi Retribusi Daerah Terhadap Jumlah Total Penerimaan Daerah Di Masing-masing Wilayah Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 (%) Sumber : BPS (data diolah) Berdasarkan gambar 10, diketahui bahwa proporsi penerimaan retribusi daerah terhadap kabupaten/kota jumlah masih total tidak penerimaan terlalu besar. daerah di masing-masing Dimana di masing-masing kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang ini proporsi penerimaan retribusi daerah masih dibawah 8%. Dimana berarti setelah sistem pemerintahan desentralisasi diterapkan selama 10 tahun, penerimaan daerah dari pendapatan asli daerah terutama retribusi daerah masih sangat rendah. Yang mana seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa retribusi daerah merupakan salah satu sumber penerimaan yang akan menjadi sumber penerimaan daerah utama selama sistem desentralisasi diterapkan, sehingga penerimaan retribusi ini belumlah berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Dimana perkembangan proporsi penerimaan retribusi daerah di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang antara tahun 2004-2009 yaitu sebagai berikut. Pertama, Kabupaten Pasuruan. Dimana proporsi penerimaan retribusi daerah di kabupaten ini dalam kurun waktu 6 tahun terakhir masih di bawah 3%, memang pernah tejadi penurunan proporsi penerimaan retribusi daerah antara tahun 2005 dan 2006, tetapi setelah tahun 2006 proporsi penerimaan retribusi daerah selalu mengalami kenaikkan di tahun 2009 menjadi sebesar 2,5%. Kedua, Kota Pasuruan, dimana proporsi penerimaan retribusi daerah di kota ini lebih baik dari pada Kabupaten Pasuruan, meskipun dari tahun 2004 sampai 2007 terjadi penurunan jumlah proporsi tetapi di tahun 2008 telah kembali kenaikkan menjadi 2,71% dan di tahun 2009 proporsi penerimaan retribusi daerah meningkat menjadi 3,61%. Ketiga, Kota Probolinggo. Proporsi penerimaan retribusi daerah di daerah ini merupakan proporsi penerimaan retribusi daerah yang paling tinggi selama 6 tahun terakhir jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya yang berada di wilayah Karesidenan Malang. Dimana proporsi penerimaan retribusi daerah paling tinggi terjadi di tahun 2005 sebesar 7,88%. Namun, di tahun 2006 sampai 2007 proporsi penerimaan retribusi daerah ini selalu mengalami penurunan hingga menjadi 5,59%. Di tahun 2008 proporsi penerimaan retribusi kembali terjadi kenaikkan menjadi 6,01%. Namun, di tahun 2009 proporsi penerimaan retribusi daerah kembali mengalami penurunan menjadi sebesar 5,21%. Keempat, Kabupaten Probolinggo. Kabupaten ini proporsi penerimaan retribusi daerah antara tahun 2004-2007 masih di bawah 3%. Namun terjadi kenaikkan secara signifikan ditahun 2008 menjadi 6,02%, tetapi kenaikkan ini hanya terjadi 1 tahun, dan di tahun 2009 kembali penurunan yang sangat signifikan menjadi 5,21%. Kelima, Kabupaten Lumajang, proporsi penerimaan retribusi daerah di kabupaten ini masih juga dibawah 5%. Meskipun pernah terjadi penurunan ditahun 2005 sampai 2006 yang semula 5,32% menjadi 4,41% tetapi ditahun berikut-berikutnya yaitu tahun 2007,2008, dan 2009, proporsi penerimaan retribusi daerah di kabupaten ini terus mengalami kenaikkan sampai 2009 menjdai sebesar 5,23%. Keenam, Kabupaten Malang, proporsi penerimaan retribusi daerah di Kabupaten Malang dalam kurun waktu selalu berfluktuatif artinya dari tahun ke tahun sering terjadi kenaikkan dan penurunan. Misalnya ditahun 2005 terjadi kenaikkan menjadi 2,53% yang semula hanya 1,78% ditahun 2004. Ditahun 2006 terjadi penurunan menjadi 2,04%, ditahun 2007 terjadi kenaikkan menjadi 3,11%, Tahun 2008 kembali mengalami penurunan menjadi 1,41% dan ditahun 2009 kembali mengalami kenaikkan menjadi 1,78%. Ketujuh, Kota Malang, dimana proporsi penerimaan retribusi daerah di kota malang ini selama tahun 2004 sampai 2009 selalu mengalami penurunan, yang semula ditahun 2004 proporsi penerimaan retribusi daerah sebesar 4,53% mengalami penurunan hingga tahun 2009 hingga menjadi sebesar 3,15%. Kedelapan, Kota Batu. Proporsi penerimaan retribusi daerah di Kota Batu merupakan proporsi penerimaan retribusi daerah yang terendah jika dibandingkan dengan kabupaten/kota yang lainnya yang ada di wilayah Karesidenan Malang, dimana proporsi penerimaan daerah di Kota Batu ini dalam 6 tahun terakhir masih di bawah 2%. 4.1.3.2. Kondisi Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil Pajak Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Penerimaan daerah di era desentralisasi, selain bersumber dari penerimaan dalam daerah yang dijadikan sebagai sumber utama untuk melakukan pengeluaran. Penerimaan daerah yang sering diterima oleh daerahdaerah biasanya bersumber dari tranfer antar pemerintah atau dana perimbangan. Namun, meskipun terdapat sumber penerimaan lainnya tetapi sumber penerimaan lain ini, di dalam sistem pemerintahan desentralisasi tidak boleh melebihi sumber penerimaan yang berasal dari dalam daerah. Sumber yang berasal dari dana perimbangan yang sering dijadikan sumber pendapatan terutama yang berasal dari dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana bagi hasil pajak. Dimana perkembangan dari variabel dana perimbangan yang sering digunakan yaitu sebegai berikut. Gambar 11 Grafik Peneriman Dana Alokasi Umum Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 Sumber : BPS (data diolah) Penerimaan dana alokasi umum kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang berdasarkan gambar 11, diketahui bahwa antara tahun 2004 sampai 2009 penerimaan dana alokasi umum tertinggi di miliki oleh Kabupaten Malang sedangkan kabupaten/kota yang menerima dana alokasi umum ini paling rendah yaitu Kota Pasuruan dan Kota Batu. Dimana perkembangan penerimaan dana alokasi umum setiap tahunnya di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang dalam 6 tahun terakhir sebagai berikut. Pada tahun 2004, kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang yang penerimaan dana alokasi umumnya melebihi 200 milyar rupiah terdapat di 5 kabupaten/kota yaitu Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Malang dan Kota Malang. Dimana khusus untuk Kabupaten Malang penerimaan dana alokasi umumnya di tahun 2004 ini telah melebihi 500 milyar rupiah. Sedangkan untuk 3 kabupaten/kota lainnya yang berada di wilayah Karesidenan Malang masih dibawah 200 milyar rupiah, dimana kabupaten/kota tersebut yaitu Kota Pasuruan, Kota Probolinggo, dan Kota Batu. Di tahun 2005, penerimaan dana alokasi umum di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang hampir sama dengan penerimaan dana alokasi umum di tahun 2004. Dimana di tahun 2005 kabupaten/kota yang mengalami perubahan penerimaan dana alokasi umum yaitu terjadi di Kabupaten Malang, yang mana dana alokasi umum di Kabupaten Malang ini terjadi kenaikkan yang cukup signifikan. Di tahun 2006, penerimaan dana aloaksi umum hampir di semua kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang mengalami peningkatan, sehingga di tahun 2006 ini kabupaten/kota yang penerimaan dana alokasi umumnya melebihi 400 milyar rupiah terdapat di Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Malang, sedangkan kabupaten/kota yang penerimaan dana alokasi umumnya masih di bawah 200 milyar rupiah yaitu Kota Pasuruan dan Kota Batu. Di tahun 2007 dan 2008, penerimaan dana alokasi umum terjadi peningkatan di hampir semua kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang. Dimana dengan terjadi kenaikkan penerimaan dana alokasi umum setiap tahunnya, ini membuat Kabupaten Malang memperoleh penerimaan dana alokasi umum hingga melebihi 900 milyar rupiah di tahun 2008. Penerimaan dana alokasi umum ini merupakan penerimaan dana alokasi umum yang tertinggi jika dibandingkan dengan penerimaan dana alokasi umum yang diperoleh oleh daerah-daerah lainnya. Sedangkan di tahun 2008 ini semua kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang telah memperoleh penerimaan dana alokasi umum melebihi 200 milyar rupiah. Di tahun 2009, penerimaan dana alokasi umum di sebagian besar kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang masih mengalami peningkatan seperti di Kabupaten Pasuruan, Kota Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kota Probolinggo, dan Kota Batu. Sedangkan kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang yang penerimaan dana alokasi umumnya mengalami penurunan yaitu di Kabupaten Lumajang, Kabupaten Malang, dan Kota Malang. Dimana di tahun 2009 ini, semua kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang telah menerima penerimaan dana alokasi umum telah melebihi 200 milyar rupiah. Gambar 12 Grafik Jumlah Proporsi Dana Alokasi Umum Terhadap Jumlah Total penerimaan Daerah Di Masing-masing Wilayah Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 (%) Sumber : BPS (data diolah) Berdasarkan gambar 12, bahwa jumlah proporsi penerimaan dana alokasi umum (DAU) di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang selama diterapkan sistem pemerintahan desentralisasi yang sudah berjalan 10 tahun, masih sangat besar bahkan di rentang waktu 2004-2009 proporsi penerimaan DAU ini, masih memiliki proporsi melebihi 50%. Dengan demikian berarti sumber penerimaan daerah kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang ini, masih sangat tergantung dari dana tranfer atau dana perimbangan khususnya dana alokasi umum. Dimana perekembangan proporsi penerimaan DAU di masing-masing daerah setelah sistem desentralisasi berjalan selama 6 tahun, yaitu sebagai berikut. Pertama, Kabupaten Pasuruan. Proporsi penerimaan DAU di kabupaten ini memang pernah dibawah 40% tetapi hal itu terjadi di tahun 2004, sedangkan untuk tahun-tahun selanjutnya seperti tahun 2005, 2006, 2007, 2008, 2009 proporsi penerimaan DAU memiliki proporsi yang sangat besar terhadap jumlah total penerimaan daerah. Dimana proporsi penerimaan DAU telah melebihi 60%, meskipun di tahun 2009 terjadi penurunan proporsi penerimaan DAU yang semula 70% menjadi 65% tetapi proporsi ini masih sangat besar jika dibandingkan dengan proporsi penerimaan-penerimaan daerah yang lainnya. Kedua, Kota Pasuruan. Proporsi penerimaan DAU di kota ini di tahun 2004 sangat besar sekali yaitu di atas 70%, yang mana proporsi penerimaan DAU ini merupakan proporsi terbesar selama 6 tahun terakhir. Ditahun berikutnya proporsi penerimaan DAU ini memang turun di tahun 2005 dan naik ditahun 2006, tetapi kembali mengalami penurunan lagi di di tahun 2007 dan 2008. Dan akhirnya di tahun 2009 proporsi penerimaan DAU di Kota Pasuruan ini kembali naik menjadi 68,78% yang sebelumnya sebesar 64%. Ketiga, Kota Probolinggo. Proporsi penerimaan DAU di Kota Probolinggo dalam 6 tahun terakhir memang selalu mengalami fluktuatif, artinya setiap tahunnya proporsi penerimaan DAU ini sering terjadi perubahan. Misalnya antara tahun 2004 dan 2005 terjadi penurunan proporsi penerimaan DAU, ditahun 2006 mengalami kenaikkan, di tahun 2007 mengalami penurunan, ditahun 2008 mengalami kenaikkan, dan akhirnya di tahun 2009 proporsi penerimaan DAU kembali mengalami penurunan menjadi 59,79%. Meskipun proporsi penerimaan DAU sering berfluktuatif, namun proporsi penerimaan DAU di kota ini juga masih sangat besar yang melebihi 50%. Keempat, Kabupaten Probolinggo. Proporsi penerimaan DAU di kabupaten ini di 6 tahun terakhir paling rendah di tahun 2008 sebesar 63%. Namun, di tahun 2004, 2005, 2006, 2007 proporsi penerimaan DAU hampir melebihi 70%, begitu juga dengan tahun 2009 yang mencapai 77%. Kelima, Kabupaten Lumajang. Proporsi penerimaan DAU di kabupaten ini di 6 tahun terakhir hampir konstan di antara kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang, yaitu selalu dikisaran 72% sampai 77%, meskipun ditahun 2009 proporsi penerimaan DAU mengalami penurunan tetapi proporsinya tetap di atas 70%. Keenam, Kabupaten Malang, untuk proporsi penerimaan DAU dalam 6 tahun terakhir di kabupaten ini juga masih sangat besar yaitu masih di atas 70%, misalnya di tahun 2004 proporsi penerimaan DAU di Kabupaten Malang mencapai hampir 81%, di tahun 2005 mencapai 76,9%, tahun 2006 mencapai 77,9%, tahun 2007 mencapai 75,54%, tahun 2008 mencapai 74,1%, dan ditahun 2009 mencapai 74,2%. Ketujuh, Kota Malang, jika proporsi penerimaan DAU di Kabupaten Malang tertinggi pada tahun 2004, tetapi di Kota Malang di tahun 2006. Dimana proporsi penerimaan DAU di tahun 2006 proporsi penerimaan DAU mencapai 81%, yang mana di tahun sebelumnya hanya 62% ditahun 2004, dan 59% di tahun 2005. Sedangkan setelah proporsi penerimaan DAU yang sangat tinggi di tahun 2006, maka ditahun 2007, 2008, 2009 terus mengalami penurunan, yaitu sebesar 67%, 65,5%, dan 65%. Kedelapan, Kota Batu, proporsi penerimaan DAU di kota ini masih di bawah Kabupaten/Kota tetangganya yaitu Kabupaten Malang dan Kota Malang. Dimana proprosi penerimaan DAU masih dikisaran 50% sampai 65%. Meskipun dikisaran tersebut Kota Batu pernah memiliki proporsi penerimaan DAU yang sangat tinggi yaitu di tahun 2007 yang mencapai 83%, yang mana proporsi penerimaan ini merupakan proporsi terbesar yang di antara kabupaten/kota di wilayah Karesidenan Malang selama 6 tahun terkahir. Namun, setelah memiliki proporsi penerimaan yang besar di tahun 2007, ditahun selanjutnya proporsi penerimaan DAU di Kota Batu terus mengalami penurunan yaitu 66,8% di tahun 2008 dan 64,9% di tahun 2009. Gambar 13 Grafik Penerimaan Dana Alokasi Khusus Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 Sumber : BPS (data diolah) Berdasarkan gambar 13, diketahui bahwa penerimaan dana alokasi khusus (DAK) di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang dalam 6 tahun terakhir ada yang mengalami peningkatan maupun penurunan penerimaan di masing-masing kabupaten/kota. Dimana pada tahun 2004, penerimaan DAK di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang masih di bawah 20 milyar rupiah. Dengan kabupaten/kota yang memiliki penerimaan DAK terbesar di tahun 2004 yaitu Kabupaten Pasuruan sebesar 11,5 milyar rupiah, Kabupaten Lumajang 9,5 milyar rupiah dan Kota Batu sebesar 10,6 milyar rupiah. Di tahun 2005, penerimaan DAK kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang hampir semuanya mengalami peningkatan, kecuali Kabupaten Pasuruan. Dimana di tahun 2005 Kabupaten Pasuruan penerimaan DAKnya mengalami penurunan dari 11,5 milyar rupiah menjadi 4 milyar rupiah, sedangkan untuk kabupaten/kota yang lainnya mengalami peningkatan hampir dua lipat dari tahun 2004. Kabupaten/kota yang peningkatan penerimaan DAKnya paling signifikan yaitu Kabupaten Malang, yang mana penerimaan DAK kabupaten ini di tahun 2004 hanya sebesar 4 milyar rupiah sedangkan di tahun 2005 ini meningkat menjadi 35,6 milyar rupiah. Di tahun 2006, penerimaan DAK kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang hampir semuanya meningkat dua kali lipat, kecuali Kabupaten yang besar penerimaan DAKnya masih tetap seperti tahun 2005 yaitu sebesar 35,6 milyar rupiah. Sedangkan kabupaten yang mengalami peningkatan cukup signifikan yaitu Kabupaten Pasuruan, yang mana di tahun 2005 penerimaan kabupaten ini mengalami penurunan sehingga penerimaan DAKnya sebesar 4 milyar rupiah, kini di tahun 2006 meningkat menjadi 30,5 milyar rupiah. Di tahun 2007, penerimaan DAK kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang di semua kabupaten/kota meningkat. Kabupaten/kota yang peningkatan penerimaan DAKnya tidak terlalu besar yaitu Kota Batu, yang mana di tahun 2006 penerimaan DAKnya hanya sebesar 17,9 milyar rupiah dan di tahun 2007 menjadi 18,8 milyar rupiah. Sedangkan kabupaten/kota yang penerimaan DAKnya naik sangat signifikan yaitu Kabupaten Malang yang ditahun 2006 sebesar 35,6 milyar rupiah dan di tahun 2007 menjadi 68 milyar rupiah. Di tahun 2008, hampir di sebagian besar kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang penerimaan DAKnya masih tetap masih mengalami peningkatan, kecuali Kabupaten Probolinggo. Dimana penerimaan DAK di kabupaten ini mangalami penurunan dari yang semula di tahun 2007 sebesar 52 milyar rupiah dan di tahun 2008 menjadi sebesar 31,7 milyar rupiah. Di tahun 2009, penerimaan DAK kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang hampir di semua kabupaten/kota tetap mengalami peningkatan kecuali Kabupaten Pasuruan dan Kota Malang. Yang mana untuk Kabupaten Pasuruan penerimaan DAKnya menjadi 67 milyar rupiah yang sebelumnya sebesar 76 milyar rupiah sedangkan Kota Malang menjadi 20,6 milyar rupiah yang sebelumnya sebesar 31,7 milyar rupiah. Untuk penerimaan DAK terbesar di 6 tahun terakhir terdapat di Kabupaten Malang yaitu sebesar 93,9 milyar rupiah. Gambar 14 Grafik Jumlah Proprosi DAK Terhadap Jumlah Total Penerimaan Daerah Di Masing-masing Wilayah Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 (%) Sumber : BPS (data diolah) Berdasarkan gambar 14, diketahui bahwa proporsi penerimaan DAK kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang terhadap jumlah total penerimaan daerah dalam 6 tahun terakhir masih di bawah 12%. Yang mana perkembangan proporsi penerimaan DAK di masing-masing kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang dalam waktu 6 tahun terakhir atau tepatnya setelah sistem pemerintahan desentraslisasi diterapkan yaitu sebagai berikut. Pertama, Kabupaten Pasuruan, proporsi penerimaan DAK di kabupaten ini memang pernah mengalami penurunan yaitu di tahun 2005 menjadi 0,7% yang semulanya di tahun 2004 sebesar 1,1%. Namun setelah di tahun 2005 ini yang mengalami penurunan jumlah proporsi penerimaan DAK, memasuki tahun 2006, 2007, 2008, 2009 proporsi penerimaan DAK ini naik sangat signifikan yaitu menjadi 4%, 6%, 8%, dan 9%. Kedua, Kota Pasuruan, perkembangan proporsi penerimaan DAK di kota ini dalam 6 tahun terakhir cukup baik. Dimana dari tahun 2004 sampai 2009 jumlah proporsi penerimaan DAK kota ini selalu naik yaitu 2004 sebesar 3%, 2005 sebesar 6%, 2006 sebesar 8%, 2007 sebesar 10%, 2008 sebesar 10,3%, dan di tahun 2009 sebesar 11,5%. Ketiga, Kota Probolinggo. Proporsi penerimaan DAK di Kota Probolinggo dalam 6 tahun terakhir, memang pernah terjadi penurunan di tahun 2007, yang pada tahun sebelumnya yaitu tahun dari 2004, 2005, 2006 proporsi penerimaan DAKnya selalu mengalami kenaikkan. Namun, setelah tahun 2007 yang mengalami penurunan proporsi penerimaan DAK, di tahun 2008 dan 2009 proporsi penerimaan DAK ini kembali mengalami kenaikkan yaitu yang semula di tahun 2007 proporsi penerimaan DAK sebesar 7,71% menjadi 8,7% di tahun 2008 dan 8,8% di tahun 2009. Keempat, Kabupaten Probolinggo, dimana proporsi penerimaan DAK di kabupaten ini selalu mengalami kenaikkan dari tahun 2004 sampai tahun 2007 yaitu sebesar 2,5 % di tahun 2004, 3,3% di tahun 2005, 4,9% di tahun 2006 dan 7,9% di tahun 2007. Sedangkan di tahun 2008 dan 2009 proporsi penerimaan DAK di kabupaten ini mengalami penurunan yaitu di tahun 2008 proporsi penerimaan DAK menjadi 7,6% dan di tahun 2009 sebesar 6,51%. Kelima, Kabupaten Lumajang, perkembangan proporsi penerimaan DAK di kabupaten dalam 6 tahun terakhir selalu mengalami kenaikkan dari tahun 2004 sampai 2009, dimana proporsi penerimaan DAK di tahun 2004 proporsi penerimaan DAK sebesar 2,6% dan sampai ditahun 2009 proporsi penerimaan DAKnya sebesar 9,7%. Dimana proporsi penerimaan DAK yang dalam 6 tahun terakhir selalu mengalami peningkatan ini hanya terjadi hanya di Kabupaten Lumajang. Keenam, Kabupaten Malang, proporsi penerimaan DAK di kabupaten ini tahun 2004 memiliki proporsi yang sangat kecil yaitu hanya sebesar 0,6%, tetapi di tahun 2005 proporsi penerimaan DAK ini, mengalami kenaikkan yang sangat signifikan yaitu sebesar 5%. Namun di tahun 2006 proporsi penerimaan DAK di kabupaten ini kembali mengalami penurunan sehingga menjadi sebesar 3,5%, dan akhirnya di tahun 2007, 2008, 2009 proprosi penerimaan DAK di kabupaten ini terus mengalami kenaikkan sehingga menjadi 5%, 6% dan 7%. Ketujuh, Kota Malang, perkembangan proporsi penerimaan DAK di Kota Malang memiliki rata-rata masih di bawah 5% dalam 6 tahun terakhir. Dimana di tahun 2004 proporsi penerimaan DAK masih sebesar 1,6%, dan terjadi peningkatan di tahun 2005 dan 2006 menjadi sebesar 2% dan 4,6%. Namun di tahun 2007 proporsi penerimaan DAK mengalami penurunan menjadi sebesar 4,3% dan di tahun 2008 kembali mengalami kenaikkan menjadi sebesar 4,4% yang selanjutnya di tahun 2009 proporsi penerimaan DAK di kota ini kembali mengalami penurunan yang sangat signifikan sehingga porporsi penerimaan DAK menjadi sebesar 2,8%. Kedelapan, Kota Batu, dimana proporsi penerimaan DAK di kota ini memang terjadi penurunan antara tahun 2004 dan 2005, dimana proporsi penerimaan DAK di tahun 2005 hanya sebesar 5,5,% yang sebelmunya 5,8%. Namun di tahun 2006, 2007, 2008, 2009 proporsi penerimaan DAK di kota ini selalu mengalami kenaikkan yaitu sebesar 7% di tahun 2006, 8% di tahun 2007, 9,4% di tahun 2008, dan 9,8% di tahun 2009. Gambar 15 Grafik Penerimaan Dana Bagi Hasil Pajak Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 Sumber : BPS (data diolah) Berdasarkan gambar 15, perkembangan penerimaan dana bagi hasil pajak (DBH Pajak) di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang dalam 6 tahun terakhir hampir di semua kabupaten/kota mengalami peningkatan. Penerimaan DBH pajak tertinggi di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang dalam 6 tahun terakhir terdapat di Kabupaten Pasuruan sebesar 115 milyar rupiah. Sedangkan perkembangan penerimaan DBH pajak dalam 6 tahun yaitu sebagai berikut. Pertama, di tahun 2004, penerimaan DBH pajak di tahun 2004 di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang ini terdapat 3 kabupaten/kota yang penerimaan DBH pajaknya mampu mencapai diatas 30 milyar rupiah, dimana kabupaten/kota tersebut yaitu Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Malang, dan Kota Malang. Sedangkan kabupaten/kota yang penerimaan DBH pajaknya di bawah 20 milyar rupiah terdapat di 2 kabupaten/kota yaitu Kota Pasuruan dan Kota Probolinggo, dan kabupaten/kota lainnya yang berada di wilayah Karesidenan Malang ini penerimaan daerahnya masih dikisaran 20 – 30 milyar rupiah. Kedua, tahun 2005, perkembangan penerimaan DBH pajak di kabupaten/kota wilayah Kresidenan Malang di tahun ini hampir di semua kabupaten/kota mengalami peningkatan penerimaan DBH pajak, kecuali Kota Probolinggo dan Kabupaten Lumajang. Sedangkan di tahun 2005, penerimaan DBH pajak tertinggi terdapat di Kabupaten Pasuruan sebesar 49 milyar rupiah, diikuti oleh Kabupaten Malang sebesar 41,8 milyar rupiah dan Kota Malang sebesar 41,7 milyar rupiah. Ketiga tahun 2006, dimana perkembangan penerimaan DBH pajak pada tahun ini masih mengalami peningkatan termasuk Kota Probolinggo yang pada tahun 2005 penerimaan DBH pajaknya mengalami penurunan. Sedangkan untuk Kabupaten Lumajang penerimaan DBH pajaknya tetap mengalami penurunan, yang semula di tahun 2005 sebesar 20,6 milyar rupiah dan di tahun 2006 menjadi sebesar 18,6 milyar rupiah. Keempat, tahun 2007, untuk perkembangan penerimaan DBH pajak di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang di tahun ini, semua kabupaten/kota penerimaan DBH pajaknya mengalami peningkatan. Di mana peningkatan penerimaan DBH pajak yang paling signifikan terdapat di kabupaten Malang, yang semula di tahun 2006 sebesar 52,5 milyar rupiah sedangkan di tahun 2007 menjadi sebesar 64 milyar rupiah. Kelima tahun 2008, dimana pada tahun perkembangan penerimaan DBH pajak di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang masih tetap terjadi peningkatan di semua kabupaten/kota. Di tahun ini penerimaan DBH pajak tertinggi terdapat di Kabupaten Malang yaitu sebesar 77 milyar rupiah. Keenam, tahun 2009, dimana perkembangan penerimaann DBH pajak pada tahun ini masih tetap di sebagian besar kabupaten/kota mengalami jumlah penerimaan DBH pajaknya, sedangkan kabupaten/kota yang penerimaan DBH pajaknya mengalami penurunan yaitu terdapat di Kota Pasuruan, yang semula sebesar 25,2 milyar rupiah kini menjadi 24,5 milyar rupiah dan Kota Malang yang semula sebesar 77 milyar rupiah kini menjadi 72 milyar rupiah. Sementara itu kabupaten/kota yang mengalami peningkatan penerimaan DBH pajak yang signifikan terdapat di Kabupaten Pasuruan yaitu sebesar 115,5 milyar rupiah yang semula di tahun 2008 hanya sebesar 69 milyar rupiah. Gambar 16 Grafik Jumlah Proporsi Penerimaan Dana Bagi Hasil Pajak Terhadap Jumlah Total penerimaan Daerah Di Masing-masing Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 (%) Sumber : BPS (data diolah) Berdasarkan gambar 16, proporsi penerimaan DBH pajak di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang selama 6 tahun terakhir masih sangat rendah yaitu sebesar dibawah 12%. Dimana perkembangan proporsi penerimaan DBH pajak di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang selam 6 tahun berdasarkan kabupaten/kota masing-masing sebagai beikut. Pertama, Kabupaten Pasuruan. Dimana perkembangan proporsi penerimaan DBH pajak selama 6 tahun terkahir di kabupaten ini sering berfluktuatif. Dimana peningkatan proporsi penerimaan DBH pajak terjadi dari tahun 2004, 2005 yaitu sebesar 3,8% menjadi 8,7%. Namun di tahun 2006 dan 2007 proporsi penerimaan DBH pajak mengalami penuruan di kabupaten ini mengalami penurunan menjadi 8,6% dan 7,2%. Dan di tahun 2008 dan 2009, penerimaan DBH pajak di kabupaten ini sebesar 8,2% dan 12,5%. Kedua, Kota Pasuruan. Dimana proporsi penerimaan DBH pajak di Kota ini di tahun 2004 dan 2005 memang terjadi peningkatan yaitu 7,77% menjadi 7,8%, tetapi di tahun 2006 sampai 2007 proporsi penerimaan DBH pajaknya mengalami penurunan yaitu menjadi 7,3% dan 5,7%. Di tahun 2008 dan 2009 proporsi penerimaan DBH pajak ini kembali mengalami peningkatan kembali menjadi 7,2% dan 7,3%. Ketiga, Kota Probolinggo, proporsi penerimaan DBH pajak di kota ini terjadi penurunan dari tahun 2004 sampai 2007 yaitu sebesar 11% di tahun 2004, 9,54% di tahun 2005, 7,8% di tahun 2006, dan 7,7% di tahun 2007. Sedangkan di tahun 2008 dan 2009 proporsi penerimaan DBH pajak di kota ini mengalami peningkatan yaitu sebesar 8,7% dan 8,8%. Keempat. Kabupaten Probolinggo. Proporsi penerimaan DBH pajak di kabupaten ini juga sering berfluktuatif. Di tahun 2004 dan 2005, proporsi penerimaan DBH pajak mengalami peningkatan yaitu 7,4% dan 8,8%. Sedangkan 2006 dan 2007, proporsi penerimaan DBH pajak mengalami penurunan yaitu menjadi 7,1% dan 6,9%. Ditahun 2008 penerimaan DBH pajak kembali mengalami peningkatan sehingga menjadi sebesar 8,9% yang selanjutnya di tahun 2009 kembali mengalami penurunan menjadi 6,9%. Kelima, Kabupaten Lumajang, Proporsi peneriman DBH pajak di kabupaten ini selama 6 tahun terakhir merupakan proporsi penerimaan DBH pajak yang paling kecil di bandingkan dengan kabupaten/kota yang lainnya yang berada di wilayah Karesidenan Malang. Di tahun 2004 sampai 2006 proporsi penerimaan DBH pajak do kabupaten ini terus mengalami penurunan, yaitu 6,1%, 5,3%, 3,2%. Di tahun 2007 proporsi penerimaan DBH pajak mengalami kenaikkan menjadi 4,65%, tetapi di tahun 2008 proporsi penerimaan DBH pajak kembali mengalami penurunan yaitu menjadi 4,63% yang di tahun 2009 proporsi DBH pajak ini kembali mengalami peningkatan yaitu sebesar 5%. Keenam, Kabupaten Malang. Proporsi penerimaan DBH pajak di kabupaten ini sama dengan Kabupaten Lumajang yiatu di tahun 2004 sampai 2006 mengalami penurunan, di tahun 2007 dan 2008 mengalami kenaikkan yang selanjutnya di tahun 2009 kembali mengalami penurunan menjadi 5,6%. Ke tujuh, Kota Malang, proporsi penerimaan DBH pajak di kota ini, merupakan proporsi yang memiliki rata-rata tertinggi jika di bandingkan dengan kabupaten/kota lainnya yang berada di wilayah Karesidenan Malang. Namun di tahun 2004 sampai 2008 penerimaan DBH pajak di kota ini selalu mengalami penurunan yaitu menjadi 11,9% di tahun 2004, 11,3% di tahun 2005, 11,2% di tahun 2006, 9,8% di tahun 2007, dan 9,7% di tahun 2008. Tetapi di tahun 2009 proporsi penerimaan DBH di kota ini kembali mengalami peningkatan menjadi 11,7%. Kedelapan, Kota Batu. Proprosi penerimaan DBH Pajak di Kota ini juga seperti di kabupaten/kota lainnya yaitu sering berfluktuatif. Di tahun 2004 dan 2005, proporsi penerimaan DBH pajak mengalami peningkatan yaitu dari 6,8% menjadi 8,1%. Namun, di tahun 2006 proporsi penerimaan DBH pajak di kota ini mengalami penurunan yaitu menjadi 7,3%. Sedangkan di tahun 2007, 2008, 2009 proporsi penerimaan DBH pajak selalu mengalami peningkatan yaitu menjadi 9,9% di tahun 2007, 11,3% di tahun 2008, dan 12,3% di tahun 2009. 4.2. Pengujian Hasil Estimasi Persamaan Regresi Data Panel Pada regresi data panel dalam penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana pertumbuhan ekonomi daerah dipengaruhi oleh penerimaan pajak daerah (PD), penerimaan retribusi daerah (RD), penerimaan dana alokasi umum (DAU), penerimaan dana alokasi khusus (DAK), dan penerimaan dana bagi hasil pajak (DBHP) melalui belanja daerah khususnya belanja langsung dan belanja tidak langsung. Dengan menggunakan 3 teknik permodelan dalam bentuk model random. Dimana model random ini dipilih, karena berdasarkan pada dua alasan, yaitu : 1. Berdasarkan uji Hausman, dimana jika nilai hitung lebih besar jika dari tabel maka yang digunakan adalah model random, tetapi jika hal sebaliknya yang di peroleh maka yang digunakan adalah model fixed. Atau jika nilai P-value > 5% maka yang dipilh model random, tetapi jika sebaliknya maka yag dipilh model fixed. Dimana setelah di uji menggunakan uji hausman maka hasilnya sebagai berikut (lebih lengkapnya lihat di lampiran 1,2,3) : Tabel 2 Hasil Uji Hausman Model Test Summary Chi-Sq. Chi-Sq. Prob. Statistic d.f. Model Cross-section 4.272.432 5 0.5109 1 random Model Cross-section 2.836.128 5 0.7252 2 random Model Cross-section 9.997.027 2 0.0671 3 random Catatan : signifikan level 5% Berdasarkan pada tabel 2 diketahui bahwa dari 3 model, semuanya memiliki nilai probabilitas melebihi 5% yaitu model 1 sebesar 51%, model kedua sebesar 72% dan model ketiga sebesar 6,7 %. Dengan adanya hasil tersebut maka artinya semua model yang diterapkan merupakan model random. 2. Berdasarkan saran dari beberapa ahli ekonometrika, dimana dikatakan bahwa jika data panel yang dimiliki memiliki jumlah waktu (T) lebih kecil jika dibandingkan dengan jumlah individu (N) maka di sarankan untuk menggunakan model random (Nacrhowi dan Usman, 2006). Dimana hasil estimasi regresi data panel dalam penelitian ini yang menggunakan model random, dengan jumlah observasi sebanyak 48 yang diolah dengan menggunakan eviews 6, ditampilkan dalam tabel 3 di bawah ini. Tabel 3 Hasil Estimasi Model Regresi Data Panel Dengan 3 Model Random Variable Coefficient Prob. Estimasi Nilai Model 1 PD -0,0814 0,0968 R-squared 0,83028 RD 1,9812 0,0297 Prob(F0,00000 statistic) DAU 0,6929 0,0000 DAK 0,4744 0,0656 DBHP 0,6410 0,0663 Model 2 PD 0,6470 0,0702 R-squared 0,757007 RD 0,5373 0,0719 Prob(F0,00000 statistic) DAU 0,0939 0,0304 DAK 2,8382 0,0001 DBHP 1,2656 0,0277 Model 3 BTL 4.99E-06 0.0029 R-squared 0,826723 BL 4.52E-06 0.0436 Prob(F0,00000 statistic) Catatan : Signifikan level 10% Berdasarkan pada tabel 3 dapat diketahui bahwa hasil uji estimasi regresi data panel yang telah dilakukan berdasarkan 3 model yaitu sebagai berikut (lebih lengkapnya lihat di lampiran 1,2,3) : a. Model 1 (BTL = f(PD, RD, DAU, DAK, DBHP)) Dimana di dalam model 1 ini, memiliki nilai R2 sebesar 0,83, artinya bahwa kelima variabel independentnya mampu menjelaskan variabel dependentnya sebesar 83%, sedangkan sisanya 17% dijelaskan oleh variabel lainnya di luar model ini. Sedangkan untuk uji F-statistiknya, memiliki nilai sebesar 0,00 sehingga menunjukkan hasil yang signifikan. Dan untuk uji t, yang digunakan untuk mengetahui signifikansi atau pengaruh masing-masing variabel independent terhadap dependentnya. Dimana di dalam model 1, semua variabel independent yaitu pajak daerah, retribusi daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus dan dana bagi hasil pajak berpengaruh atau signifikan terhadap variabel dependentnya dengan signifikansi sebesar 10%. Adapun koefisien regresi dari masing-masing variabel yang signifikan adalah sebagai berikut : 1. -0,08 PD, artinya jika penerimaan pajak daerah naik sebesar 1 persen maka akan menyebabkan turunnya belanja tidak langsung sebesar 0,08 persen. 2. 1,98 RD, artinya jika penerimaan pajak daerah naik sebesar 1 persen maka akan menyebabkan naiknya belanja tidak langsung sebesar 1,98 persen. 3. 0,69 DAU, artinya jika penerimaan pajak daerah naik sebesar 1 persen maka akan menyebabkan naiknya belanja tidak langsung sebesar 0,69 persen. 4. 0,47 DAK, artinya jika penerimaan pajak daerah naik sebesar 1 persen maka akan menyebabkan naiknya belanja tidak langsung sebesar 0,47 persen. 5. 0,64 DBHP, artinya jika penerimaan pajak daerah naik sebesar 1 persen maka akan menyebabkan naiknya belanja tidak langsung sebesar 0,64 persen. b. Model 2 (BTL = f(PD, RD, DAU, DAK, DBHP)) Dimana di dalam model 2 ini, memiliki nilai R2 sebesar 0,75, artinya bahwa kelima variabel independentnya mampu menjelaskan variabel dependentnya sebesar 75%, sedangkan sisanya 25% dijelaskan oleh variabel lainnya di luar model ini. Sedangkan untuk uji F-statistiknya, memiliki nilai sebesar 0,00 sehingga menunjukkan hasil yang signifikan. Dan untuk uji t, yang digunakan untuk mengetahui signifikansi atau pengaruh masing-masing variabel independent terhadap dependentnya. Dimana di dalam model 2 ini semua variabel independent yaitu pajak daerah, retribusi daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus dan dana bagi hasil pajak berpengaruh atau signifikan terhadap variabel dependentnya dengan signifikansi sebesar 10%. Adapun koefisien regresi dari masing-masing variabel yang signifikan adalah sebagai berikut : 1. 0,64 PD, artinya jika penerimaan pajak daerah naik sebesar 1 persen maka akan menyebabkan naiknya belanja langsung sebesar 0,64 persen. 2. 0,53 RD, artinya jika penerimaan pajak daerah naik sebesar 1 persen maka akan menyebabkan naiknya belanja langsung sebesar 0,53 persen. 3. 0,09 DAU, artinya jika penerimaan pajak daerah naik sebesar 1 persen maka akan menyebabkan naiknya belanja langsung sebesar 0,09 persen. 4. 2,83 DAK, artinya jika penerimaan pajak daerah naik sebesar 1 persen maka akan menyebabkan naiknya belanja tidak langsung sebesar 2,83 persen. 5. 1,26 DBHP, artinya jika penerimaan pajak daerah naik sebesar 1 persen maka akan menyebabkan naiknya belanja tidak langsung sebesar 1,26 persen. c. Model 3 (PDRB = f(BTL, BL)) Dimana di dalam model 3 ini, memiliki nilai R2 sebesar 0,82, artinya bahwa kedua variabel independentnya mampu menjelaskan variabel dependentnya sebesar 82%, sedangkan sisanya 18% dijelaskan oleh variabel lainnya di luar model ini. Sedangkan untuk uji F-statistiknya, memiliki nilai sebesar 0,00 sehingga menunjukkan hasil yang signifikan. Dan untuk uji t, yang digunakan untuk mengetahui signifikansi atau pengaruh masing-masing variabel independent terhadap dependentnya. Dimana di dalam model 3 ini semua variabel independent yaitu belanja langsung dan belanja tidak langsung berpengaruh atau signifikan terhadap variabel dependentnya dengan signifikansi sebesar 10%. Adapun koefisien regresi dari masing-masing variabel yang signifikan adalah sebagai berikut : 1. 4,99 BTL, artinya jika penerimaan belanja tidak langsung naik sebesar 1 persen maka akan menyebabkan naiknya pertumbuhan ekonomi sebesar 4,99 persen. 2. 4,52 BL, artinya jika penerimaan belanja langsung naik sebesar 1 persen maka akan menyebabkan naiknya pertumbuhan ekonomi sebesar 4,52 persen. 4.3. Pembahasan Hasil Berdasarkan hasil estimasi yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa penerimaan daerah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi daerah harus melalui belanja daerah. Dimana hal ini tercermin pada model yang diterapkan yaitu model 1 dan 2 yaitu melihat hubungan kelima variabel penerimaan daerah ini terhadap ini belanja daerah, baik itu belanja langsung maupun belanja tidak langsung. Berdasarkan model 1 dapat diketahui bahwa terdapat satu variabel yang memiliki hubungan negatif terhadap belanja tidak langsung yaitu pajak daerah sedangkan untuk keempat variabel yang lain memiliki hubungan yang positif dengan belanja tidak langsung. Sedangkan untuk model kedua diketahui bahwa kelima variabel penerimaan daerah memiliki hubungan yang positif yang signifikan terhadap belanja tidak langsung. Karena untuk mengetahui pengaruh variabel penerimaan daerah terhadap pertumbuhan melalui belanja daerah, maka penerimaan tersebut harus dialokasikan ke dalam belanja daerah sehingga disini merupakan alasan dibuatnya model 3 yaitu pertumbuhan ekonomi yang dipengaruhi oleh belanja langsung dan belanja tidak langsung. Dimana seperti yang telah dibahas ternyata belanja tidak langsung maupun belanja tidak langsung juga berpengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian berarti semua variabel penerimaan daerah kecuali pajak daerah yang dijadikan variabel independent di dalam penelitian ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Pajak daerah ini memiliki hubungan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, hal ini dikarenakan kenaikkan pajak daerah yang membawa efek negatif terhadap belanja tidak langsungnya, sehingga juga membawa dampak yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Yang mana bahwa pajak daerah memiliki hubungan yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi juga diperkuat oleh keseimbangan pendapatan nasional. Dimana di dalam keseimbangan tersebut dinyatakan bahwa pajak dapat mengurangi konsumsi seingga karena konsumsi berkurang maka penerimaan juga akan berkurang sehingga pertumbuhan ekonomi daerah juga akan berkurang. Sementara itu, untuk kelima variabel independent lainnya yaitu retribusi daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus dan dana bagi hasil pajak yang memiliki pengaruh positif dan signifikan dengan derajat kepercayaan 10%. Sehingga hal ini sesuai dengan pendapat Mar’isa (2010) yang menyatakan bahwa dana alokasi umum, dana alokasi khusus, serta dana bagi hasil pajak merupakan masih menjadi sumber pendapatan utama untuk melakukan pengeluaran yang nantinya diharapkan dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, hasil estimasi yang menyatakan bahwa retribusi daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus serta dana bagi hasil pajak ini yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, berarti sesuai juga dengan teori pertumbuhan ekonomi. Di dalam teori pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar, dana alokasi khusus dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi karena dana alokasi khusus merupakan suatu investasi dari pemerintah, yang nantinya dapat menciptakan suatu pertumbuhan ekonomi. Seperti diketahui dana alokasi khusus merupakan dana yang digunakan oleh pemerintah untuk melakukan pembangunan infrastruktur, sehingga dengan adanya infrastruktur ini diharapkan dapat meningkatkan kegiatan perekonomian suatu daerah. Sedangkan untuk retribusi daerah, dana alokasi umum dan dana bagi hasil pajak, menurut teori pertumbuhan baru maupun agregrat dapat digunakan sebagai suatu modal untuk menciptakan suatu pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan retribusi daerah merupakan dana yang dapat diperoleh oleh daerah setelah daerah tersebut memberi imbalan jasa sedangkan dana alokasi umum, diberikan kepada pemerintah daerah oleh pemerintah pusat untuk mengurangi kesenjangan antar daerah terutama bagi daerah yang sumber pendapatan daerahnya sangat kecil, yang nantinya dana alokasi umum ini dapat digunakan oleh pemerintah daerah untuk melakukan pengeluaran. Dan terkahir dana bagi hasil pajak juga merupakan sumber penerimaan tambahan yang berasal dari bagi hasil pajak setelah memanfaatkan potensi yang ada daerahnya, yang nantinya diharapkan dapat digunakan untuk melakukan pengeluaran sehingga dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi. Akhirnya, hipotesis pada penelitian ini yang telah dikemukaan di bab sebelumnya dapat terjawab, bahwa penerimaan pajak daerah berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan retribusi daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana bagi hasil pajak berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dikatakan tepat. 4.3.1. Variabel Penerimaan Daerah Menciptakan Pertumbuhan Ekonomi Variabel penerimaan daerah yang berpengaruhi positif di dalam penelitian ini yang meliputi retribusi daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana bagi hasil pajak daerah dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi, dikarenakan varaibel-variabel ini digunakan sebagai modal untuk melakukan pengeluaran yang dilakukan oleh daerah sehingga nantinya dari pengeluaran ini diharapkan dapat menciptakan suatu pertumbuhan ekonomi. Dimana di era desentralisasi fiskal daerah-daerah diberi keleluasaan untuk melakukan pengelolaan keuangan daerah baik itu dari segi penerimaan maupun dari segi pengeluaran, yang mana keleluasaan ini diberikan agar pemerintah daerah dapat memanfaatkan dengan baik potensi-potensi daerah yang dimiliki agar memperoleh pendapatan yang lebih besar dari dalam daerah sehingga mengurangi ketergantungan terhadap bantuan dari pemerintah pusat yang biasanya dalam bentuk dana perimbangan. Selain itu dengan adanya keleluasaan ini diharapkan pemerintah daerah dapat mengalokasikan dana-dana penerimaan yang telah diperoleh untuk melakukan pengeluaran yang benarbenar dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Wilayah yang dijadikan obyek di dalam penelitian ini yaitu kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang, variabel-variabel penerimaan baik itu pajak daerah, retribusi derah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, maupun dana bagi hasil pajak digabungkan menjadi satu di setiap daerah yang nantinya digunakan sebagai modal untuk melakukan pembangunan ekonomi yang nantinya diharapkan dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi di masing-masing daerah. Dimana pengeluaran yang dilakukan oleh kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang di tahun 2009 sebagai berikut : Gambar 17 Grafik Jumlah Pengeluaran Daerah Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2009 Sumber : BPS (data diolah) Berdasarkan gambar 17, diketahui bahwa pengeluaran daerah kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang di tahun 2009 dibagi menjadi 2 yaitu belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja tidak langsung yang dilakukan oleh pemerintah daerah saat sistem pemerintahan desentralisasi meliputi belanja pegawai, belanja hibah, belanja tidak terduga, belanja bunga, belanja subsidi, belanja bantuan keuangan, dan belanja bunga, dengan kata lain belanja tidak langsung ini merupakan belanja yang bersifat konsumtif atau ekonomis. Sedangkan belanja langsung saat sistem pemerintahan desentralisasi meliputi belanja pegawai dan belanja barang dan jasa, dimana belanja langsung ini merupakan belanja daerah yang memiliki sifat investasi. Berdasarkan gambar 18, diketahui bahwa belanja tidak langsung hampir di semua kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang memiliki porsi yang lebih besar dari pada belanja langsungnya kecuali di Kabupaten Kota Pasuruan dan Kota Batu. Dari kedua jenis belanja yang dilakukan oleh pemerintah daerah sebenarnya juga sama-sama dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi. Hal ini berdasarkan teori pertumbuhan baru dan Harrod-Dommar, dimana jika berdasarkan teori pertumbuhan Harrod Domar yang pertumbuhan ekonomi diakibatkan oleh kegiatan investasi maka belanja langsung yang dilakukan oleh pemerintah daerah masuk ke dalam teori pertumbuhan ini, yang mana belanja langsung seperti apa yang telah dijelaskan diatas bahwa belanja langsung merupakan belanja yang dilakukan oleh pemerintah seperti membeli peralatan atau pembagunan infrastruktur yang nantinya dengan adanya belanja langsung ini diharapkan dapat mempermudah proses produksi sehingga hasil dari produksi tersebut dapat meningkat. Sedangkan jika berdasarkan teori pertumbuhan endogen, maka belanja tidak langsung juga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan bahwa menurut teori pertumbuhan baru bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dicapai jika terdapat fungsi produksi yang salah satunya yaitu modal, dimana di dalam belanja tidak langsung yang dilakukan oleh pemerintah, belanja tidak langsung ini sebagian besar digunakan untuk melakukan pembayaran gaji pegawai. Dimana gaji pegawai ini dapat dijadikan modal karena dengan adanya gaji pegawai ini berarti kegiatan konsumsi akan terpenuhi sehingga jika gaji pegawai terbayarkan maka kegiatan konsumsi yang akan dilakukan oleh masyarakat juga akan menimgkat, akibatnya karena kegiatan konsumsi naik maka produksi dari barang dan jasa akan meningkat pula sehingga pertumbuhan ekonomi juga akan naik. Namun, jika membandingkan dampak antara belanja langsung dan tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, maka belanja langsung memiliki dampak yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi jika dibandingkan dengan belanja tidak langsung. Hal ini dikarenakan pada belanja langsung, merupakan belanja yang terdiri dari komponen-komponen belanja yang sifatnya lebih untuk berinvestasi sehingga ini akan mempermudah dan menambah hasil produksi. Dimana ini berbeda dengan belanja tidak langsung, yang mana di dalam belanja tidak langsung ini masih terdapat komponen yang tidak dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi misalnya gaji pegawai, dimana meskipun gaji pegawai ini dapat meningkatkan pertumbuhan melalui kegiatan konsumsi tetapi gaji pegawai ini ternyata juga tidak dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi misalnya gaji pegawai yang telah dibayarkan tidak digunakan untuk berkonsumsi melainkan untuk menabung, sehingga dengan kegiatan menabung ini pertumbuhan ekonomi tidak dapat diciptakan meskipun kegiatan menabung juga merupakan kegiatan investasi tetapi investasi yang dimilikinya tidak dapat menciptakan kegiatan ekonomi. Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa penerimaan dari variabel-variabel penerimaan daerah yang digunakan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang lebih banyak disalurkan melalui belanja langsungya dari pada belanja tidak langsungnya. Namun yang menyebabkan perbedaan pertumbuhan di antara kabupaten/kota Karesidenan Malang lebih banyak disebabkan oleh jumlah penerimaan daerah yang tidak merata atau masih terjadi kesenjangan penerimaan antara yang satu dengan yang lainnya. 4.3.2. Permasalahan Variabel Penerimaan Daerah Dalam Menciptakan Pertumbuhan Ekonomi Permasalahan variabel-variabel penerimaan daerah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi lebih banyak dikarenakan belum mampunya daerah untuk menggali potensi-potensi penerimaan yang ada di dalam daerahnya meskipun telah diberi keleluasaan dalam mengelolahnya. Dimana hal ini dibuktikan dengan proporsi penerimaan yang berasal dari pendapatan asli daerah yang masih memiliki proporsi sangat kecil terhadap jumlah seluruh penerimaan daerah, jika dibandingkan dengan proporsi penerimaan daerah dari dana perimbangan. Dengan kata lain meskipun sistem desentralisasi telah berjalan selama 10 tahun, tetapi belum terbentuknya pemerintahan yang mandiri, hal ini dikarenakan penerimaan daerah yang masih bergantung kepada dana perimbangan. Sehingga karena hal inilah penerimaan daerah yang satu dengan daerah yang lain terjadi ketimpangan yang cukup tinggi. Selain dikarenakan masalah ketergantungan terhadap dana bantuan dari pemerintah pusat, pemerintah daerah juga masih lemah terutama dalam hal kebijakan misalnya pertama, masalah pemungutan di daerah yang masih rendah, dimana hal ini dikarenakan pemungutan didasarkan kepada target yang telah ditetapkan, sehingga ketika target ini telah dipenuhi maka pemerintah daerah dapat dikatakan telah berhasil dalam pemungutan pendapatan ini. Kedua, kemampuan pengawasan yang masih lemah, dimana diketahui bahwa selama sistem desentralisasi fiskal diterapkan ternyata masih banyak tindakan-tindakan moral hazard yang dilakukan seperti korupsi oleh orang-orang tertentu di daerah. Dengan adanya penerimaan daerah yang masih relatif rendah, maka hal ini akan berdampak kepada pengeluaran daerahnya. Hal ini dikarenakan antara penerimaan daerah dan pengeluaran daerah memiliki hubungan yang timbal balik artinya jika penerimaan daerah besar maka pengeluaran daerah juga akan besar, begitu juga jika penerimaannya kecil maka pengeluaran daerahnya juga akan kecil. Selain itu, banyaknya pemerintahan daerah di kabupaten/kota Karesidenan Malang yang mengalokasikan penerimaan daerahnya untuk belanja tidak langsung dari pada belanja langsung. Dimana seperti yang dijelaskan di atas bahwa untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi maka sebaiknya pemerintah lebih banyak menggunakan belanja langsungnya karena belanja ini sangat erat dengan kegiatan investasi yang akhirnya memiliki peluang lebih besar untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dari pada belanja tidak langsung. 4.3.3. Optimalisasi Variabel Penerimaan Daerah Dalam Menciptakan Pertumbuhan Ekonomi Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa untuk menciptakan suatu pertumbuhan ekonomi maka diperlukan suatu pengeluaran daerah yang tepat dan cukup besar. Dimana pengeluaran daerah dapat dilakukan jika terdapat suatu penerimaan daerah yang menopangnya, dengan kata lain jika penerimaan daerah yang dimiliki cukup besar maka pengeluaran daerah yang dapat dilakukan juga cukup besar begitu juga sebaliknya jika penerimaan daerah yang dimiliki sangat kecil maka pengeluaran yang dapat dilakukan juga akan kecil. Dimana berdasarkan penjelasan sebelumnya bahwa permasalahan dari variabel penerimaan daerah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yaitu dikarenakan terjadinya kesenjangan pendapatan antar daerah yang artinya daerah-daerah belum mampu memanfaatkan potensi daerah secara baik dan maksimal, hal ini dikarenakan ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat yang masih sangat tinggi. Untuk mengatasi permasalahan ini maka terdapat dua cara yang dapat ditempuh oleh pemerintah daerah yaitu melalui : a. Intensifikasi Di dalam upaya intensifikasi ini, merupakan cara pemerintah untuk memperbesar penerimaan daerah dengan cara melakukan pemungutan lebih giat, ketat, dan teliti. Dimana kegiatan yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah yaitu : 1. Memperbaiki aspek organisasi pengelolaan pendapatan asli daerah yang sesuai dengan kebutuhan yang terus berkembang, yaitu dengan dengan cara menerapkan secara optimal sistem dan prosedur yang sudah diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 1990 tentang tentang sistem dan prosedur perpajakan, retribusi daerah, dan pendapatan daerah lainnya. Dimana dengan kegiatan ini diharapkan dapat memberikan informasi yang cepat dan akurat, sehingga pola koordinasi dapat lebih terarah, sistem pengawasan dapat lebih baik, dapat memberikan dampak untuk meningkatkan pendapatan asli daerah yang lebih baik karena dapat meningkatkan jumlah wajib pajak dan retribusi daerah, meningktakan cara-cara penetapan pajak dan retribusi, meningkatkan sistem pembekuan sehingga mudah untuk dilakukan penagihan. 2. Memperbaiki aspek adiministrasi maupun operasional seperti penyesuaian administrasi pungutan, penyesuaian tarif, dan penyesuaian sistem pelaksanaan pungutan. 3. Peningkatan pengawasan dan pengendalian, dimana dengan hal ini bertujuan untuk mengurangi tindakan-tindakan penyimpangan yang akhirnya dapat merugikan pemerintah daerah seperti penyimpangan rencana maupun penyimpangan yuridis. 4. Meningkatkan kegiatan penyuluhan kepada masyarakat untuk kesadaran membayar pajak dan retribusi daerah. 5. Meningkatkan sumber daya manusia (SDM) pengelolaan PAD, dimana hal ini dilakukan agar tujuan yang dilakukan dapat tercapai. Peningkatan SDM ini dapat dilakukan seperti dengan cara mengikutsertakan aparat dalam kursus keuangan daerah. b. Ekstensifikasi Upaya ekstensifikasi, merupakan cara yang ditempuh oleh pemerintah untuk menggali sumber-sumber pendapatan asli daerah yang baru. Dimana meskipun upaya ekstensifikasi ini untuk menciptakan sumber pendapatan yang baru tetapi upaya ini tidak boleh bertentangan dengan kebijakan pokok nasional, sehingga dengan demikian berarti upaya ekstensifikasi merupakan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang tidak merugikan masyarakat. Dimana kegiatan ekstensifikasi dapat dilakuakan dengan cara : 1. Memperluas obyek dan pungutan penerimaan daerah yang nantinya dapat digunakan sebagai penghasil penerimaan daerah, hal ini dikarenakan masih banyak obyek di daerah-daerah yang harusnya digunakan sebagai obyek pajak, disertai pungutan yang dikenakan masih relatif kecil. 2. Menciptakan daya tarik dan iklim yang kondusif bagi investor lokal maupun investor asing untuk menanamkan modalnya di kabupaten/kota tersebut. 3. Memberikan kemudahan bagi investor asing maupun lokal untuk menanamkan modalnya di daerah dengan menghilangkan birokrasi yang berbelit-belit. Meskipun terdapat peningkatan penerimaan daerah maka pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah, sebaiknya lebih mengarah ke pengeluaran yang lebih efisien. Dimana seperti diketahui di atas bahwa selama sistem pemerintahan yang desentralisasi, pengeluaran pemerintah ini lebih banyak digunakan untuk kegiatan yang masih bersifat konsumtif dari pada untuk kegiatan yang bersifat investasi yang mana hal ini tercermin dari belanja tidak langsungnya yang lebih besar dari pada belanja langsungnya. 4.3.4. Strategi Pembangunan Yang Efisien Untuk Menciptakan Pertumbuhan Ekonomi Pembangunan yang efisien yang dilakukan oleh pemerintah tentu dapat menciptakan suatu pertumbuhan ekonomi, dimana selama sistem pemerintahan yang desentralisasi pembangunan yang efisien dapat dicapai melalui cara-cara berikut ini : a. Meningkatkan produktivitas. Meningkatkan produktivitas untuk kegiatan apa saja dengan cara menggunakan input tertentu untuk menghasilkan lebih banyak output yang dihasilkan. b. Menghapus sebab-sebab biaya ekonomi yang tinggi. Dimana saat sistem pemerintahan yang desentralisasi ini hal ini sering terjadi seperti banyaknya pungutan-pungutan yang tidak resmi sehingga banyak merugikan beberapa pihak. c. Menentukan batas konsumsi maksimal secara layak. Dimana seperti diketahui bahwa selama ini masyarakat memiliki sifat konsumtif dan materialistis yang cukup besar. d. Memperbaiki kualitas SDM (produksi, efisiensi, dan bermoral). Dimana diketahui bahwa faktor untuk menentukan keberhasilan bukan saja tersedianya faktor produksi yang cukup melainkan sumber manusia juga harus benar. e. Kerjasama antar daerah. Kerjasama antar daerah ini perlu dilakukan untuk menciptakan suatu efisiensi sehingga dapat menciptkan suatu efisiensi untuk menghasilkan suatu output. f. Mempertahankan fungsi lingkungan. Hal ini dikarenakan lingkungan merupakan sumber utama untuk menghasilkan output terutama barangbarang yang berasal dari bahan mentah sehingga dengan adanya lingkungan ini kegiatan ekonomi dapat berjalan secara terus menerus. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan hasil analisis maka kesimpulan yang dapat di tarik dalam penelitian ini adalah bahwa selama priode pengamatan 6 tahun (2004-2009), variabel penerimaan daerah yang diwakili oleh pajak daerah, retribusi daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana bagi hasil pajak ternyata terdapat satu variabel yang negatif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah yaitu variabel pajak daerah sedangkan keempat variabel yang lainnya memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi sehingga hal ini sesuai dengan hipotesis penelitian. Variabel penerimaan daerah yang memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, dapat menciptakan suatu pertumbuhan ekonomi karena variabel penerimaan daerah digunakan untuk menopang pengeluaran daerah dan dari pengeluaran daerah inilah pertumbuhan ekonomi dapat diciptakan. Namun, meskipun sistem pemerintahan desentralisasi ini telah berjalan selama 10 tahun tetapi banyak potensi-potensi daerah yang belum dapat dimanfaatkan secara baik dan maksimal serta masih tingginya ketergantungan pemerintah daerah ke pemerintah pusat. Dimana hal ini dibuktikan dalam 6 tahun terakhir bahwa proporsi dari pendapatan asli daerah yang masih kalah besar jika dibandingkan dengan dana dari dana perimbangan yang diwakili oleh dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana bagi hasil pajak. Akibatnya terjadi kesenjangan pendapatan antara daerah yang satu dengan yang lainnya. Karena terdapat kesenjangan pendapatan inilah maka pertumbuhan ekonomi selama sistem desentralisasi ini diterapkan juga terjadi perbedaan yang mencolok antara daerah yang satu dengan yang lainnya. Dimana situasi ini ditambah dengan pengeluaran daerah yang banyak digunakan untuk pengeluaran yang bersifat konsumtif dari pada pengeluaran yang bersifat investasi, hal ini dibuktikan dengan di beberapa daerah bahwa belanja tidak langsung yang lebih besar dari pada belanja langsungnya. 5.2. Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukan di atas, maka saran yang akan diajukan di dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut : 1. Sebaiknya pemerintah daerah selama sistem desentralisasi ini diterapkan mampu mengurangi ketergantungan kepada pemerintah pusat, terutama dalam hal penerimaan daerah. Hal ini dikarenakan tujuan diterapkannya sistem pemerintah yang desentralisasi yaitu untuk menciptakan pemerintahan yang mandiri. 2. Untuk menciptakan pemerintahan yang mandiri maka pemerintah daerah sebaiknya mampu menggali potensi-potensi daerah yang dimilikinya dengan baik dan maksimal dan tidak merugikan masyarakat dan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Dimana cara menggali potensi daerah dapat dilakukan dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi yaitu menggali potensi daerah dengan cara melakukan pemungutan dengan giat, teliti dan ketat. Dimana cara ini dapat dilakukan dengan menciptakan dan mengevaluasi yang ada sebelumnya. Ektensifikasi yaitu mencari tau menambah potensi-potensi daerah yang lainnya (baru) misalnya menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk mendatangkan investor. 3. Penerimaan daerah yang telah di peroleh sebaiknya digunakan oleh pemerintah harus lebih banyak untuk pengeluaran daerah yang sifatnya investasi bukan lagi untuk konsumtif artinya belanja langsung harus lebih besar dari pada belanja tidak langsungnya. Hal ini dikarenakan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi, belanja langsung memiliki dampak yang lebih besar karena sangat erat dengan kegiatan investasi. Dimana seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa investasi lebih cepat menciptakan pertumbuhan ekonomi dari pada konsumsi. 4. Strategi pembagunan yang dapat dilakukan oleh daerah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yaitu dengan cara meningkatkan produktivitas, menghapus sebab-sebab biaya ekonomi yang tinggi, menentukan batas konsumsi maksimal secara layak, memperbaiki kualitas SDM (produksi, efisiensi, dan bermoral), kerjasama antar daerah tetap baik, dan mempertahankan fungsi lingkungan. LAMPIRAN 1 MODEL 1 HASIL UJI HAUSMAN Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob. 4.272432 5 0.5109 Random Var(Diff.) Prob. -0.081378 1.981188 0.692852 0.474419 0.640959 24.906837 4.889135 0.028655 1.594897 4.401088 0.0010 0.0015 0.0017 0.0008 0.0024 Cross-section random effects test comparisons: Variable PD RD DAU DAK DBHP Fixed -8.257796 5.126888 0.919946 1.681639 3.060087 Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: BTL Method: Panel Two-Stage Least Squares Date: 02/08/11 Time: 18:33 Sample: 2004 2009 Periods included: 6 Cross-sections included: 8 Total panel (unbalanced) observations: 47 Instrument list: C PD RD DAU DAK DBHP Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C PD RD DAU DAK DBHP -4.35E+10 -8.257796 5.126888 0.919946 -1.681639 3.060087 4.70E+10 5.391213 2.898760 0.203048 1.645927 2.556871 -0.927233 -1.531714 1.768649 4.530686 -1.021698 1.196809 0.0360 0.0134 0.0085 0.0000 0.0314 0.0239 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Instrument rank 0.869744 0.823771 8.57E+10 18.91871 0.000000 13.000000 Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR 3.20E+11 2.04E+11 2.50E+23 2.078731 2.50E+23 HASIL UJI REGRESI DATA PANEL DENGAN METODE TSLS DAN MODEL RANDOM Dependent Variable: BTL Method: Panel Two-Stage EGLS (Cross-section random effects) Date: 02/08/11 Time: 18:34 Sample: 2004 2009 Periods included: 6 Cross-sections included: 8 Total panel (unbalanced) observations: 47 Swamy and Arora estimator of component variances Instrument list: C PD RD DAU DAK DBHP Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. PD RD DAU DAK DBHP C -0.081378 1.981188 0.692852 0.474419 0.640959 -1.38E+10 2.039202 1.874479 0.112130 1.055546 1.461678 3.22E+10 -0.039907 1.056927 6.179005 0.449454 0.438509 -0.427614 0.0968 0.0296 0.0000 0.0655 0.0663 0.0671 Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random 1.74E+10 8.57E+10 Rho 0.0397 0.9603 Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Instrument rank 0.830281 0.809584 8.49E+10 40.11529 0.000000 6.000000 Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR 2.87E+11 1.95E+11 2.96E+23 1.985631 2.96E+23 Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid 0.842691 3.01E+23 Mean dependent var Durbin-Watson stat 3.20E+11 1.946983 LAMPIRAN 2 MODEL 2 HASIL UJI HAUSMAN Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob. 2.836128 5 0.7252 Random Var(Diff.) Prob. 0.646976 0.537277 0.093922 2.838229 1.265649 13.718025 2.585014 0.015287 0.869792 2.397976 0.0719 0.0335 0.0220 0.0615 0.0407 Cross-section random effects test comparisons: Variable PD RD DAU DAK DBHP Fixed 1.976697 2.085128 0.245550 2.369358 -0.015979 Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: BL Method: Panel Two-Stage Least Squares Date: 02/08/11 Time: 18:37 Sample: 2004 2009 Periods included: 6 Cross-sections included: 8 Total panel (unbalanced) observations: 47 Instrument list: C PD RD DAU DAK DBHP Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C PD RD DAU DAK DBHP -2.37E+10 1.976697 2.085128 0.245550 2.369358 -0.015979 3.54E+10 4.065281 2.185830 0.153110 1.241122 1.928026 -0.669079 0.486239 0.953930 1.603755 1.909045 -0.008288 0.0508 0.0629 0.0346 0.0118 0.0064 0.0993 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Instrument rank 0.802787 0.733182 6.46E+10 11.53351 0.000000 13.000000 Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR 2.09E+11 1.25E+11 1.42E+23 1.923868 1.42E+23 HASIL UJI REGRESI DATA PANEL DENGAN METODE TSLS DAN MODEL RANDOM Dependent Variable: BL Method: Panel Two-Stage EGLS (Cross-section random effects) Date: 02/08/11 Time: 18:36 Sample: 2004 2009 Periods included: 6 Cross-sections included: 8 Total panel (unbalanced) observations: 47 Swamy and Arora estimator of component variances Instrument list: C PD RD DAU DAK DBHP Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. PD RD DAU DAK DBHP C 0.646976 0.537277 0.093922 2.838229 1.265649 1.63E+10 1.675854 1.480823 0.090306 0.818897 1.148612 2.58E+10 0.386057 0.362823 1.040048 3.465915 1.101894 0.629395 0.0701 0.0718 0.0304 0.0001 0.0276 0.0532 Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random 2.08E+10 6.46E+10 Rho 0.0941 0.9059 Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Instrument rank 0.757007 0.727374 6.29E+10 25.54583 0.000000 6.000000 Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR 1.65E+11 1.21E+11 1.62E+23 1.698392 1.62E+23 Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid 0.764225 1.70E+23 Mean dependent var Durbin-Watson stat 2.09E+11 1.623110 LAMPIRAN 3 MODEL 3 HASIL UJI HAUSMAN Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob. 9.997027 2 0.0671 Random Var(Diff.) Prob. 0.000008 0.000003 0.000000 0.000000 0.0016 0.0065 Cross-section random effects test comparisons: Variable BTL BL Fixed 0.000005 0.000005 Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: PDRB Method: Panel Two-Stage Least Squares Date: 02/08/11 Time: 18:41 Sample: 2004 2009 Periods included: 6 Cross-sections included: 8 Total panel (unbalanced) observations: 47 Instrument list: C BTL BL Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C BTL BL 2945930. 4.99E-06 4.52E-06 675965.3 2.66E-06 3.55E-06 4.358108 1.874312 1.271862 0.0001 0.0688 0.0211 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Instrument rank 0.826723 0.784574 1908572. 19.61449 0.000000 10.000000 Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR 5484901. 4112061. 1.35E+14 1.491506 1.35E+14 HASIL UJI REGRESI DATA PANEL DENGAN METODE TSLS DAN MODEL RANDOM Dependent Variable: PDRB Method: Panel Two-Stage EGLS (Cross-section random effects) Date: 02/08/11 Time: 18:39 Sample: 2004 2009 Periods included: 6 Cross-sections included: 8 Total panel (unbalanced) observations: 47 Swamy and Arora estimator of component variances Instrument list: C BTL BL Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. BTL BL C 4.99E-06 4.52E-06 2373306. 2.50E-06 3.49E-06 896958.3 3.158902 0.785632 2.645949 0.0029 0.0436 0.0113 Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random 1748345. 1908572. Rho 0.4563 0.5437 Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Instrument rank 0.826723 0.784574 1908572. 19.61449 0.000000 10.000000 Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR 2251012. 2525723. 1.89E+14 1.137342 1.89E+14 Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid 0.436559 4.38E+14 Mean dependent var Durbin-Watson stat 5484901. 0.491102 DAFTAR PUSTAKA APBD data series. www.djpk.go.id diakses pada tanggal 25 Oktober 2010 Badan Pusat Statistik Jawa Timur dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Timur. (2009). Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota Se Jawa Timur 2004-2008. Katalog BPS 9218.35 Badan Pusat Statistik Jawa Timur dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Timur. (2010). Produk Domestik Regional Bruto Triwulanan 2009. Katalog BPS 9203.35 Bahl, Roy. 1999. Implementation Rules For Fiscal Decentralization. Working Paper, Georgia State University Baltagi, Badi. 2004. Econometric Analysis of Panel Data. John Wiley & Sons, Ltd Basuki. 2007. Pengelolaan Keuangan Daerah. LP3ES. Jakarta Bird, R.M. 1993. Threading The Fiscal Labyrinth : Some Issues Fiscal Decentralization, National Tax Journal, 46 (3) : 207-227 Boediono, 1999. Teori Pertumbuhan Ekonomi Seri Sinopsis. Edisi Pertama. Cetakan Keenam. BPFE. Yogyakarta Citra, Veronica Apsari. 2001. Hubungan antara Penerimaan Pajak Daerah, Retibusi Daerah, dan Pengeluaran Pemerintah Daerah Terhadap Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Kota Kediri. Skripsi S1 Program Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang. (tidak dipublikasikan) De Mello JR. 2000. Fiscal Decentralization and Intergovermental Fiscal Relations : A Cross-Country Analysis. World Development. Vol 28, No 2, 365-380 Djojohadikusumo, Sumitro. 1994. Perkembangan Pemikiran Ekonomi “Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan”. PT Pustaka LP3ES Indonesia. Jakarta Elmi, Bachrul. 2002. Keuangan Pemerintah Daerah Otonom Di Indonesia. Gramedia. Jakarta Erani, Ahmad Yustika. 2008. “Desentralisasi Ekonomi Di Indonesia”, Kajian Teoritis dan Realitas Empiris. Malang Firdaus, Muhammad dan Toni Irawan. 2009. Ekonometrika Untuk Data Panel (Aplikasi Eviews dan Stata). Workshop. Universitas Brawijaya. Malang Gujarati, Damodar. 2006. Ekonometrika Dasar. Erlangga. Jakarta Hakim, Abdul. 2004. Ekonomi Pembangunan. Ekonisia. Yogyakarta Jhingan. 2008. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta Khusaini, Mohammad. 2006. Ekonomi Publik Desentralisai Fiskal dan Pembangunan Daerah. BPFE Universitas Brawijaya. Malang Mankiw, N Gregory. 2000. Teori Makro Ekonomi. Edisi kelima. Erlangga. Jakarta Mar’isa, Filzah. 2010. Pengaruh Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Belanja Modal Terhadap Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota Di Propinsi Sumatera Utara. Skripsi S1 Program Sarjana Fakultas Ekonomi Unversitas Sumatera Utara. Diakses tanggal 16-10-2010 Mardiasmo. 2002. Otonomi Daerah Sebagai Upaya Memperkokoh Basis Perekonomian Daerah. http://ekonomirakyat.org./edisi_4/artikel_3.htm. Diakses pada tanggal 06 September 2010 Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Penerbit Andi Offset. Yogyakarta Masyhuri. 2007. Analisis Pendapatan Asli Daerah dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Merangin. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol 28, No.4 Muluk, Kharul. 2006. Desentralisasi dan Pemerintah Daerah. Banyumedia Publihsing. Malang Pustaka Utama. Jakarta Mulyadi, Rudy. 2005. Peranan Pengeluaran dan Penerimaan Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Propinsi-Propinsi Di Indonesia Tahun 1991-1999. Tesis S2 Program Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. diakses tanggal 16-10-2010 Nachrowi, Jalal dan Hardius Usman. 2000. Penggunaan Teknik Ekonometri. Raja Grafindo Persada. Jakarta Osoro, Nehemiah E. 2003. ‘’Institution, Decentralization and Growth’’. Ad-Hoc Expert Group Meeting. Fiscal Policy and Growth in Afrika Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah Republik Indonesia. 2000. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Sarundajang. 2002. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta Suhadak dan Trilaksono. 2007. Paradigma Baru Pengeloalaan Keuangan Daerah dalam Penyusunan APBD di Era Otonomi. Banyumedia Publishing. Malang Sukirno, Sadono. 2007. Ekonomi Pembangunan : Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan. Edisi Kedua. Raja Grafindo. Jakarta Widjaja, HAW. 2002. Otonomi Daerah Dari Daerah Otonom. Raja Grafindo Persada. Jakarta _______________, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah