ANALISIS PENGARUH VARIABEL PENERIMAAN

advertisement
ANALISIS PENGARUH VARIABEL PENERIMAAN
DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI
DAERAH DI ERA DESENTRALISASI
(Studi Kasus Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan
Malang Tahun 2004-2009)
SKRIPSI
Disusun oleh :
Dihan Lucky
0710210051
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Meraih Derajat Sarjana Ekonomi
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2011
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul:
“Analisis Pengaruh Variabel Penerimaan Daerah Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Daerah Di Era Desentralisasi (Studi Kasus Kabupaten/Kota
Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009)” sesuai dengan waktu yang
diharapkan.
Penyusunan penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi syarat dalam
mencapai derajat Sarjana Ekonomi pada Jurusan Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.
Skripsi
yang
mengulas
tentang
pengaruh variabel penerimaan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di
era desentralisasi, menguraikan bagimana pengaruh variabel penerimaan daerah
terhadap
pertumbuhan
ekonomi
daerah
di
era
desentralisasi.
Penulis
mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat yang positif bagi
pembaca dan rekan-rekan Mahasiswa Fakultas Ekonomi terutama jurusan
Ekonomi Pembangunan. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada yang terhormat:
1.
Allah SWT, karena karunia dan anugerah-Nya yang telah Dia berikan.
2.
Bapak Dr. Ghozali Maski, SE., MS. selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, pikiran dan tenaga untuk memberikan bimbingan sehingga
dapat terselesaikannya skripsi ini.
3.
Bapak Gugus Arianto, SE., MSA., Ph.D. Ak. selaku Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Brawijaya Malang.
4.
Bapak
Dr. Ghozali Maski, SE.,
MS.
selaku
Ketua Jurusan Ekonomi
Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang.
5.
Bapak Prof. Dr. Chandra Fajri Ananda, SE, MSc. selaku kepala Pusat Pengkajian
Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.
6.
Ibu Ir. Nur Prima Walujowati, MM. selaku sekretaris Pusat Pengkajian Kebijakan
Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.
7.
Seluruh staf kantor Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi
Universitas Brawijaya.
8.
Buat kedua Orang Tuaku Bapak Drs. Masudi, Msi. dan Ibu Enna Handayani
beserta Kakak dan Adik tercinta Dihan Provita dan Dihan Mas’ada yang telah
memberikan bantuan moral dan semangat serta nasehat yang membuat penulis
tergugah untuk menyelesaikan skrisp ini.
9.
Buat Nurina Ayuningtiyas, yang selalu menjadi penggugah semangat dalam
menyelesaikan skripsi ini.
10.
Buat semua temen-temen semanggi barat 19 A yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini terutama dalam dunia “pengeprinant” dan
“hiburan”.
11.
Buat keluarga besar di Malang yang memberi warna di kehidupan penulis.
12.
Buat temen yang akan jadi ekonom, Mas Wink, Eka, Kukuh, Dhani, Kurnia dan
Arum lulusnya barengan, oyi!.
13.
Teman-teman seperjuangan Ekonomi Pembangunan 2007, dan kakak tingkatku
angkatan 2004, 2005 dan 2006. Penulis mengucapkan terimakasih banyak atas
saran dan pengalamannya yang membuat penulis untuk mengerjakan skripsi ini.
14.
Semua pihak yang tidak mungkin penulis menyebiutkan satu per satu yang telah
banyak membantu dalam penyelesaian laporan ini.
Dalam hal penyusunan skripsi ini, penulis telah berusaha semaksimal
mungkin, namun penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu saran, pendapat dan kritik dari pembaca yang sifatnya
membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga isi skripsi ini bisa
bermanfaat bagi kita semua.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Malang, Januari 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ....................................................................................
Daftar Isi ..............................................................................................
Daftar Tabel .........................................................................................
Dafta Gambar ......................................................................................
Abstraksi ..............................................................................................
i
iv
vii
viii
x
BAB I : PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang ...................................................................................
1
1.2.Rumusan Masalah ............................................................................. 8
1.3.Tujuan Penelitian................................................................................ 9
1.4.Manfaat Penelitian.............................................................................. 9
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Landasan Teori .................................................................................. 10
2.1.1.Desentralisasi Menciptakan Kemandirian Daerah ................ 10
2.1.2.Desentralisasi Fiskal Meningkatkan Penerimaan Daerah.....
13
2.1.3.Teori Pertumbuhan Baru Yang Berdasar Pada Sistem
Produksi ..............................................................................
15
2.1.4.Teori Pertumbuhan Harrod-Domar Yang Berdasar Pada
Investasi ..............................................................................
16
2.1.5.Teori Pertumbuhan Agregat Yang Berdasar Pada Fungsi
Produksi ..............................................................................
19
2.1.6. Pengaruh Pajak Terhadap Keseimbangan Pendapatan
Nasional ..............................................................................
2.1.7.Hubungan
Variabel
Penerimaan
Daerah
21
Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi ........................................................ 23
2.1.7.1.Hubungan Pajak dan Retribusi Daerah Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi...........................................
23
2.1.7.2.Hubungan Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi
Khusus, dan Dana Bagi Hasil Pajak Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi...........................................
26
2.2.Penelitian Terdahulu ..........................................................................
29
2.3.Kerangka Pemikiran Penelitian...........................................................
31
2.4.Hipotesa Penelitian ............................................................................ 32
BAB III : METODE PENELITIAN
3.1.Pendekatan Penelitian ....................................................................... 34
3.2.Tempat dan Waktu Penelitian............................................................. 34
3.3.Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Penelitian ..................
34
3.4.Metode Pengumpulan Data................................................................
36
3.5.Metode Analisis.................................................................................. 37
3.6.Model Analisis ....................................................................................
39
3.7.Uji Hasil Estimasi................................................................................
41
BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.Gambaran Umum Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang...... 43
4.1.1.Kondisi Geografis dan Demografi Kabupaten/Kota Wilayah
Karesidenan Malang............................................................
4.1.2.Kondisi
Perekonomian
Kabupaten/Kota
Wilayah
Karesidenan Malang............................................................
4.1.3.Kondisi
Perkembangan
Variabel-Variabel
43
45
Penerimaan
Daerah Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang........ 50
4.1.3.1.Kondisi Penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah
Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang.........
51
4.1.3.2.Kondisi Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus,
Dana Bagi Hasil Pajak Kabupaten/Kota Wilayah
Karesidenan Malang ................................................
63
4.2.Pengujian Hasil Estimasi Persamaan Regresi Data Panel ................. 79
4.3.Pembahasan Hasil ............................................................................. 83
4.3.1.Variabel Penerimaan Daerah Menciptakan Pertumbuhan
Ekonomi ..............................................................................
4.3.2.Permasalahan
Variabel
Penerimaan
Daerah
Dalam
Menciptakan Pertumbuhan Ekonomi ...................................
4.3.3.Optimalisasi
Variabel
Penerimaan
Daerah
86
90
Dalam
Menciptakan Pertumbuhan Ekonomi ...................................
91
4.3.4.Strategi Pembangunan Yang Efisien Untuk Menciptakan
Pertumbuhan Ekonomi ........................................................ 94
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.Kesimpulan ........................................................................................
96
5.2.Saran ................................................................................................. 97
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
No
Judul
Hal
1.Wilayah Administratif, Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Kepadatan
Penduduk Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang........................
44
2.Hasil Uji Hausman ...................................................................................
79
3.Hasil Estimasi Model Regresi Data Panel Dengan Model Random .........
80
DAFTAR GAMBAR
No
Judul
Hal
1.Grafik PDRB Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun
2007-2009 .............................................................................................
2.Grafik
Jumlah
Penerimaan
Daerah
Kabupaten/Kota
Wilayah
Karesidenan Malang Tahun 2007-2009 .................................................
3.Grafik
Jumlah
Penerimaan
Variabel
Penerimaan
5
6
Daerah
Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan MalangTahun 2009 ...................
7
4.Skema Hubungan Antara Variabel Penerimaan Daerah Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Daerah.............................................................. 31
5.Grafik Perkembangan PDRB Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan
Malang Tahun 2004-20009 ....................................................................
46
6.Grafik Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan
Malang Tahun 2004-2009 ......................................................................
47
7.Grafik Penerimaan Pajak Daerah Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan
Malang Tahun 2004-2009 ......................................................................
52
8.Grafik Jumlah Proporsi Pajak Daerah Terhadap Jumlah Total
Penerimaan Daerah Di Masing-masing Wilayah Kabupaten/Kota
Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 (%) .............................
9.Grafik
Penerimaan
Retribusi
Daerah
Kabupaten/Kota
54
Wilayah
Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 .................................................
58
10.Grafik Jumlah Proporsi Retribusi Daerah Terhadap Jumlah Total
Penerimaan Daerah Di Masing-masing Wilayah Kabupaten/Kota
Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 (%) .............................
60
11.Grafik Peneriman Dana Alokasi Umum Kabupaten/Kota Wilayah
Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 .................................................
63
12.Grafik Jumlah Proporsi Dana Alokasi Umum Terhadap Jumlah Total
penerimaan Daerah Di Masing-masing Wilayah Kabupaten/Kota
Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 (%) .............................
66
13.Grafik Penerimaan Dana Alokasi Khusus Kabupaten/Kota Wilayah
Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 .................................................
69
14.Grafik Jumlah Proprosi DAK Terhadap Jumlah Total Penerimaan
Daerah
Di
Masing-masing
Wilayah
Kabupaten/Kota
Wilayah
Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 (%)...........................................
71
15.Grafik Penerimaan Dana Bagi Hasil Pajak Kabupaten/Kota Wilayah
Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 .................................................
74
16.Grafik Jumlah Proporsi Penerimaan Dana Bagi Hasil Pajak Terhadap
Jumlah Total penerimaan Daerah Di Masing-masing Kabupaten/Kota
Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 (%) .............................
17.Grafik
Jumlah
Pengeluaran
Daerah
Kabupaten/Kota
76
Wilayah
Karesidenan Malang Tahun 2009 ..........................................................
87
ABSTRAKSI
Sistem pemerintahan desentralisasi dibentuk salah satunya untuk
menciptakan pembangunan daerah dengan memanfaatkan potensi-potensi yang
dimiliki daerah. Salah satu alat ukur untuk mengetahui keberhasilan
pembangunan yaitu melalui pertumbuhan ekonominya. Kabupaten/kota wilayah
Karesidenan Malang merupakan suatu wilayah yang berada di Propinsi Jawa
Timur. Di wilayah ini setelah sistem desentralisasi berjalan 10 tahun
pertumbuhan ekonomi di setiap kabupaten/kota berbeda-beda, hal ini salah
satunya disebabkan kareba tidak mampunya kabupaten/kota memanfaatkan
potensi daerah secara baik dan maksimal sehingga akibatnya terjadi
kesenjangan penerimaan daerah antara daerah yang satu dengan yang lainnya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh variabel
penerimaan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi, dimana variabel
penerimaan daerah khususnya yang berasal dari pajak daerah, retribusi daerah,
DAU, DAK, dan DBH pajak. Pada penelitian ini menggunakan teori pertumbuhan
Solow yang berdasar pada fungsi produksi dan Harrod Domar yang berdasar
pada investasi.
Data yang digunakan adalah data PDRB harga konstan 2000 yang
diterbitkan oleh masing-masing BPS kabupaten/kota wilayah Karesidenan
Malang dan data penerimaan daerah berdasarkan perhitungan APBD
kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang mulai tahun 2004-2009. Analisis
yang digunakan adalah menggunakan regresi data panel dengan metode TSLS
dengan bantuan perangkat lunak eviews 6.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua variabe penerimaan daerah l
retribusi daerah, DAU, DAK, DBHP penerimaan daerah berpengaruh positif
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi sedangkan variabel pajak daerah
berpengaruh negatif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan α 10%.
Pada akhirnya peran pemerintah daerah melalui penerimaan daerah
dapat melakukan pengeluaran daerah yang akhirnya diharapkan mampu
menciptakan pertumbuhan ekonomi.
Kata Kunci : pertumbuhan ekonomi, variabel penerimaan daerah : pajak daerah,
retribusi Daerah, DAU, DAK, DBH pajak, kabupaten/kota wilayah Karesidenan
Malang
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Sistem pemerintahan desentralisasi di Indonesia mulai dirintis pada tahun
1999 tetapi baru dapat terlaksana tahun 2001. Di tahun 2001, berarti sistem
pemerintahan di Indonesia mengalami perubahan yang cukup besar yang
semula menganut sistem pemerintahan yang sentralisasi kini dirubah menjadi
sistem
pemerintahan yang
desentralisasi.
Dimana
sistem
pemerintahan
desentralisasi dibentuk dengan tujuan untuk mengatasi permasalahan yang ada,
yang mana permasalahan tersebut tidak dapat diatasi saat sistem pemerintahan
yang ada sebelumnya. Seperti diketahui bahwa sebelum diterapkannya sistem
pemerintahan
desentralisasi,
banyak
permasalahan
yang
dihadapi
oleh
Indonesia terutama mengenai masalah perekonomian, misalnya pembangunan
ekonomi yang tidak merata, banyaknya potensi daerah yang tidak dapat di
manfaatkan secara baik serta banyaknya tindakan-tindakan menyimpang yang
dilakukan oleh pihak-pihak tertentu seperti korupsi, nepotisme, kolusi.
Selain itu, tujuan lain dibentuknya sistem pemerintahan desentralisasi,
yaitu untuk menciptakan suatu pemerintahan daerah yang mandiri, efisien tetapi
tetap diawasi oleh pemerintah pusat. Sehingga dengan adanya sistem
pemerintahan yang mandiri dan efisien, diharapkan mampu menampung
aspirasi-aspirasi masyarakatnya serta mampu menggali sumber pendapatan
daerah yang nantinya berguna bagi pendapatan nasional. Untuk merealisasikan
tujuan dibentuknya sistem pemerintahan yang desentralisasi maka pemerintah
pusat
mengeluarkan
Undang-undang
Nomor
22
Tahun
1999
tentang
pemerintahan daerah yang sekarang telah dirubah menjadi Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat yang
sekarang telah dirubah menjadi Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004.
Dengan dikeluarkannya undang-undang ini berarti hakekat dari sistem
pemerintahan desentralisasi yang berupa kewenangan yang lebih besar dalam
pengurusan maupun pengelolaan daerah, termasuk pengelolaan keuangan,
dapat dilakukan dengan nyata oleh pemerintah daerah. Sehingga hal ini sesuai
dengan pendapat Mardiasmo (2002) bahwa dalam era desentralisasi tidak lagi
sekedar menjalankan instruksi dari pusat, tetapi benar-benar mempunyai
keleluasaan untuk meningkatkan kreativitas dalam mengembangkan potensi
yang ada. Dimana pemerintah daerah diharapkan semakin mandiri, mengurangi
ketergantungan terhadap pemerintah pusat, bukan hanya terkait dengan
pembiayaan, tetapi juga terkait dengan (kemampuan) pengelolaan daerah.
Pengelolaan daerah yang dimaksud dalam sistem pemerintahan
desentralisasi, khususnya mengenai penerimaan dan pengeluaran daerah. Yang
mana hal ini di dalam sistem pemerintahan desentralisasi dikenal dengan istilah
desentralisasi fiskal. Dengan adanya desentralisasi fiskal diharapkan pemerintah
daerah dapat menggali potensi-potensi yang dimiliki oleh masing-masing
daerahnya, dimana potensi-potensi daerah ini nantinya dapat digunakan sebagai
sumber penerimaan daerah. Selain itu, dengan adanya desentralisasi fiskal yang
berlandaskan pada undang-undang nomor 33 tahun 2004 dapat memberikan
keleluasaan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan daerahnya
sehingga nantinya dapat digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan
ekonomi. Sumber penerimaan daerah menurut Humes (dalam Muluk, 2006)
dalam sistem pemerintahan desentralisasi berasal dari 3 sumber yaitu
pendapatan asli daerah (PAD), dana tranfer dari pemerintah pusat (dana
perimbangan) dan pinjaman.
Berdasarkan dari 3 sumber penerimaan daerah tersebut, diharapkan
penerimaan pemerintah daerah saat sistem desentralisasi diterapkan lebih
banyak berasal dari pendapatan asli daerah dari pada dari dana perimbangan
atau dana pinjaman. Artinya dengan adanya sistem pemerintahan desentralisasi,
proporsi penerimaan daerah dari pendapatan asli daerah harus lebih besar dari
dana perimbangan atau dana pinjaman. Sumber penerimaan daerah dari
pendapatan asli daerah berdasarkan undang-undang no 33 tahun 2004 terdiri
dari 4 sumber. Dimana dari 4 sumber tersebut hanya pajak dan retribusi daerah
yang memiliki jumlah proporsi penerimaan yang besar terhadap jumlah
penerimaan daerah. Sumber penerimaan daerah yang lain yang sering dijadikan
pilihan sebagai sumber penerimaan ketika sistem pemerintahan desentralisasi
yaitu dari dana perimbangan. Dimana sumber yang memiliki proporsi paling
besar terhadap penerimaan daerah dari dana perimbangan ini yaitu berasal dari
dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK) dan dana bagi hasil pajak
(DBH Pajak).
Penerimaan daerah dalam sistem pemerintahan desentralisasi sangat
berguna bagi pembangunan ekonomi, hal ini di sesuai dengan pendapat Bahl
(2002) bahwa selama desentralisasi fiskal harus diikuti oleh kemampuan daerah
untuk memperoleh penerimaan daerah karena penerimaan daerah sangat
penting sebagai dana dalam melakukan pembangunan. Sehingga jika dana yang
tersedia besar maka kegiatan untuk melakukan pembangunan juga akan besar.
Karena penerimaan daerah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam
pembangunan, maka karena hal inilah yang membuat sistem pemerintahan
desentralisasi memberikan keleluasaan yang lebih terhadap daerah-daerah
dengan tujuan agar daerah dapat menggali dan memanfaatkan potensi-potensi
yang dimilikinya dengan baik.
Pembangunan ekonomi yang terbentuk karena adanya penerimaan
daerah, merupakan suatu kegiatan untuk menciptakan dan meningkatkan
kesejahteraan rakyat secara adil dan merata. Salah satu tolak ukur penting
dalam menentukan pembangunan ekonomi ini adalah pertumbuhan ekonomi.
Dimana menurut Schumpeter (dalam Budiono 1992) pertumbuhan ekonomi
dapat diartikan sebagai peningkatan output masyarakat yang disebabkan oleh
semakin banyaknya faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi
tanpa ada perubahan cara-cara atau teknologi itu sendiri. Pertumbuhan ekonomi
suatu daerah biasanya ditunjukkan dengan meningkatnya produksi barang dan
jasa yang diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
PDRB yang dijadikan sebagai tolak ukur pertumbuhan ekonomi di dalam
sistem pemerintahan desentralisasi tenyata belum mampu dihasilkan dengan
baik
oleh
daerah-daerah
di
Indonesia
meskipun
sistem
pemerintahan
desentralisasi telah berjalan selama 10 tahun. Salah satunya di kabupaten/kota
wilayah Karesidenan Malang, meskipun kabupaten/kota wilayah Karesidenan
Malang merupakan kabupaten/kota yang didukung oleh potensi daerah yang
cukup besar seperti Kabupaten Lumajang memiliki pasir besi yang melimpah,
Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu yang memiliki ragam obyek
wisata maupun Kabupaten Pasuruan dan Kota Pasuruan yang merupakan pusat
industri dan kerajinan, tetapi potensi-potensi ini belum dapat dioptimalkan secara
baik.
Selain itu, kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang juga memiliki
beberapa infrastruktur yang cukup mendukung untuk melakukan kegiatan
ekonomi dan menggali potensi daerah, seperti jalan yang sudah cukup bagus
untuk dilalui. Namun, dengan memiliki potensi dan infrasrtukutur tersebut
pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota ini masih terjadi variasi antara daerah
yang satu dengan yang lainnya, dimana pertumbuhan PDRB kabupaten/kota
wilayah Karesidenan Malang dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, yaitu sebagai
berikut :
Gambar 1
Grafik PDRB Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang Tahun 20072009
Sumber : BPS (data diolah)
Pada gambar 1 dapat dilihat bahwa dalam kurun waktu 3 tahun terakhir
belum semua kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang menunjukkan kinerja
ekonomi yang baik dari tahun 2007-2009. Dimana di era desentralisasi fiskal
yang telah dimulai tahun 2001, ternyata hanya kabupaten/kota tertentu yang
memiliki PDRB tinggi yaitu Kabupaten Malang dan Kota Malang. Sedangkan
Kabupaten/Kota yang pertumbuhannya sangat jauh di bawah pertumbuhan
ekonomi Kabupaten Malang dan Kota Malang yaitu Kota Pasuruan, Kota
Probolinggo dan Kota Batu.
Pertumbuhan ekonomi yang tidak merata ini menunjukkan bahwa era
desentralisasi fiskal di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang, yang mana
meskipun daerah diberi kewenangan dalam mengatur keuangan daerahnya
ternyata banyak kabupaten/kota yang belum menunjukkan perubahan signifikan
terhadap PDRBnya. Dimana hal ini disinyalir bahwa masih terdapat ketimpangan
penerimaan daerah di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang meskipun
desentralisasi fiskal yang telah berjalan selama 10 tahun. Dimana penerimaan
daerah kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang selam 3 tahun terakhir yaitu
sebagai berikut :
Gambar 2
Grafik Jumlah Penerimaan Daerah Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan
Malang Tahun 2007-2009
Sumber : BPS (data diolah)
Berdasarkan gambar 2 diketahui bahwa dalam kurun waktu 3 tahun
terakhir memang terjadi ketimpangan penerimaan daerah antar kabupaten/kota
wilayah Karesidenan Malang. Dimana kabupaten/kota yang memiliki penerimaan
daerah terbesar yaitu Kabupaten Malang sedangkan penerimaan daerah
kabupaten/kota yang lainnya berada jauh di bawah di Kabupaten Malang
terutama Kota Pasuruan, Kota Batu dan Kota Probolinggo. Seperti yang telah
diketahui bahwa penerimaan daerah bersumber dari 3 sumber penerimaan.
Dimana sumber utama penerimaan daerah saat sistem desentralisasi berasal
dari pendapatan asli daerah terutama dari pajak dan retribusi daerah, serta yang
berasal dari dana perimbangan terutama dari DAU, DAK, dan DBH pajak. Jumlah
penerimaan daerah yang berasal dari pajak, retribusi, DAU, DAK, dan DBH pajak
tahun 2009 di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang yaitu sebagai berikut
:
Gambar 3
Grafik Jumlah Penerimaan Variabel Penerimaan Daerah Kabupaten/Kota
Wilayah Karesidenan MalangTahun 2009
Sumber : BPS (data diolah)
Pada gambar 3, diketahui bahwa di tahun 2009 jumlah variabel
penerimaan daerah terbesar di semua kabupaten/kota wilayah Karesidenan
Malang terbesar dihasilkan melalui dan alokasi umum, sedangkan untuk variabel
lainnya masih jauh dibawah variabel penerimaan dana alokasi umum.
Sedangkan untuk semua jumlah variabel penerimaan daerah, baik itu pajak
daerah, retribusi daerah, DAU, DAK, dan DBH pajak hampir paling besar
terdapat di Kabupaten Malang. Dengan demikian berarti hal ini sesuai dengan
penjelasan dari gambar 2 bahwa jumlah penerimaan daerah yang besar yang
terdapat di Kabupaten Malang, ternyata juga diikuti oleh variabel-variabel
penerimaan daerah seperti pajak daerah, retribusi daerah, DAU, DAK serta DBH
pajak yang juga besar jika dibandingkan dengan kabupaten/kota wilayah
Karesidenan Malang.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pertumbuhan
ekonomi di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang akan tinggi jika
penerimaan daerah yang diperoleh oleh daerah juga tinggi. Dimana hal ini juga
akan diikuti oleh variabel penerimaan daerah yang meliputi pajak daerah,
retribusi daerah, DAK, DAU, dan DBH pajak, yang mana hal ini terjadi di
Kabupaten Malang. Hal ini berlaku juga untuk hal sebaliknya, dimana ini terjadi di
Kota Batu, bahwa berdasarkan penjelasan di atas diketahui bahwa penerimaan
daerah di Kota Batu sangat kecil sehingga berdampak pada pertumbuhan
ekonominya yang juga rendah.
Berdasarkan latar belakang diatas maka penelitian ini menganalisis
bagaimana pengaruh variabel penerimaan daerah khususnya pajak daerah,
retribusi daerah, DAU, DAK, dan DBH pajak terhadap pertumbuhan ekonomi.
Sehingga penelitian ini oleh penulis dituangkan dalam skripsi yang berjudul
“Analisis Pengaruh Variabel Penerimaan Daerah Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Daerah Di Era Desentralisasi (Studi Kasus Kabupaten/Kota
Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009)”
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan
masalah dalam penelitian ini, yaitu bagaimana pengaruh variabel-variabel
penerimaan daerah khususnya pajak daerah, retribusi daerah, DAU, DAK, dan
dana bagi hasil pajak terhadap pertumbuhan ekonomi (PDRB) Kabupaten/Kota
Wilayah Karesidenan Malang di era desentralisasi pada tahun 2004-2009?
1.3.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan
dari penelitian ini yaitu mengetahui pengaruh hubungan variabel-variabel
penerimaan daerah khususnya pajak daerah, retribusi daerah, DAU, DAK, dan
dana bagi hasil pajak terhadap pertumbuhan ekonomi (PDRB).
1.4.
Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis :
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu
kontribusi akademis dalam upaya mengidentifikasikan pengaruh variabelvariabel pendapatan daerah khususnya pajak daerah, retribusi daerah,
DAU, DAK, dan dana bagi hasil pajak terhadap pertumbuhan ekonomi.
2. Manfaat Praktis :
Sebagai media yang memberikan masukan dan dapat digunakan
sebagai dasar pertimbangan pemerintah daerah Wilayah Kabupaten/Kota
Karesidenan Malang ataupun lembaga terkait dalam upaya peningkatan
pertumbuhan ekonomi daerah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Landasan Teori
2.1.1. Desentralisasi Menciptakan Kemandirian Daerah
Di Indonesia, usaha untuk mempromosikan desentralisasi perencanaan
dan pelaksanaan pelayanan di daerah memperoleh titik terang dengan
dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah
daerah dan undang-undang No 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dimana istilah desentralisasi
tidak mudah untuk didefinisikan karena meliputi kelembagaan yang sangat luas.
Hal ini sama seperti apa yang telah diungkapkan oleh Bird (1993) bahwa
desentralisasi sering mengandung arti apapun, sesuai dengan orang yang
menggunakan isitilah tersebut untuk kepentingannya sendiri. Tetapi secara
umum desentralisasi dapat diartikan sebagai pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat ke level pemerintahan yang ada di bawahnya.
Menurut Sarundajang (2002), tujuan diciptakannya pemerintahan yang
desentralisasi setidak-tidaknya akan meliputi empat aspek, yaitu : pertama, dari
segi politik yang mana untuk mengikutsertakan, menyalurkan, inspirasi dan
aspirasi masyarakat, baik untuk kepentingan daerah sendiri maupun untuk
mendukung politik dan kebijaksanaan nasional dalam rangka pembangunan
dalam demokrasi di lapisan bawah. Kedua, dari segi manajemen pemerintahan,
untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan,
terutama
dalam
memperluas
memberikan
jenis-jenis
pelayanan
pelayanan
dalam
terhadap
berbagai
masyarakat
bidang
dengan
kebutuhan
masyarakat. Ketiga, dari segi kemasyarakatan, untuk meningkatkan partisipasi
serta
menumbuhkan
kemandirian
masyarakat
dalam
melakukan
usaha
pemberdayaan masyarakat, sehingga masyarakat semakin mandiri, dan tidak
terlalu banyak tergantung pada pemberian pemerintah serta memiliki daya saing
yang kuat dalam proses penumbuhan. Dan terakhir dari segi ekonomi
pembangunan, untuk melancarkan pelaksanaan program pembangunan guna
tercapainya kesejahteraan rakyat yang semakin meningkat.
Secara umum menurut Osoro (2003) konsep desentralisasi terdiri atas
desentralisasi
politik,
desentralisasi
administratif,
desentralisasi
fiskal,
desentralisasi ekonomi. Dimana desentralisasi administratif yaitu, pelimpahan
wewenang yang dimaksudkan untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung
jawab, dan sumber-sumber keuangan untuk menyediakan pelayanan publik.
Desentralisasi administratif ini dikelompokkan menjadi tiga bentuk yaitu (i)
Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari pemerintahan pusat kepada pejabat
yang berada dalam garis hirarki dengan pemerintah pusat di daerah, (ii) devolusi,
pelimpahan kepada pemerintahan pada tingkat yang lebih rendah dalam bidang
keuangan atau tugas pemerintahan dan pihak pihak pemerintah daerah
mendapat
disrction
yang
tidak
terkontrol
dari
pemerintah
pusat,
(iii)
Pendelegasian, pelimpahan wewenang untuk tugas tertentu kepada organisasi
yang berada diluar struktur birokrasi reguler yang dikontrol secara tidak langsung
oleh pemerintah pusat.
Asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan menurut
Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 mencakup empat hal, yaitu : pertama,
memberikan
kesempatan
dan
keleluasaan
kepada
daerah
untuk
menyelenggarakan otonomi daerah. Kedua, otonomi yang nyata, artinya daerah
punya keleluasaan dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang
tertentu yang secara nyata ada. Ketiga, Otonomi yang bertanggung jawab. Dan
keempat, otonomi untuk daerah provinsi diberikan secara terbatas yaitu
kewenangan lintas kabupaten, kewenangan yang belum dilaksanakan kabupaten
dan kewenangan lainnya menurut PP No 25 tahun 2000. Sehingga berdasarkan
asas tersebut, dengan adanya sistem pemerintahan yang desentralisasi ini
nantinya diharapkan dapat menciptakan suatu pemerintahan yang mandiri.
Dimana hal ini dikarenakan dengan sistem pemerintahan yang desentralisasi ini
segala urusan tentang pemerintahnnya dan daerahnya diserahkan kepada
pemerintahan daerah masing-masing, sehingga nantinya pemerintah daerah ini
mampu membuat kebijakan yang tepat untuk daerahnya.
Meskipun desentralisaasi berangkat dari gagasan yang positif, namun hal
itu tidak berarti menimbulkan dampak negatif, sekiranya ada tiga dampak negatif
yang ditimbulkan desentralisasi yaitu pertama, pentingnya persatuan dan
kesatuan nasional. Hal ini, khususnya, dikuwatirkan bagi negara-negara
berkembang yang relatif baru berdiri, dimana persatuan dan kesatuan nasional
masih rapuh sehingga devolusi kekuasaan ke daerah dapat mengarah kepada
disintegrasi. Kedua, keinginan untuk menjamin standar penyediaan barang dan
jasa publik yang sama, yaitu setiap warga negara berhak atas suatu standar
pelayanan jasa/barang publik yang sama, meskipun tinggal di daerah dengan
kapasitas ekonomi dan sumber daya yang berbeda-beda. Peran pemerintah
pusat dalam hal ini sangat diperlukan dalam menjamin penyediaan barang dan
jasa publik dalam standar yang sama antar pemeritah daerah. Ketiga,
pemerintah daerah yang kurang efisien. Sering kali bentuk keberhasilan
penyelenggaraan pemerintah daerah di tingkat pusat ataupun di daerah sangat
diitentukan oleh manajemen pemerintahan dan manajemen otonomi daerah yang
efisien.
Di dalam otonomi daerah, dari empat konsep yang dimiliki oleh
desentalisasi, maka desentralisasi fiskal merupakan salah satu konsep yang
sangat penting terutama dalam hal yang berhubungan dengan pertumbuhan
ekonomi daerah. Hal ini dikarenakan desentralisasi fiskal sangat berhubungan
dengan anggaran baik itu sebagai penerimaan maupun pengeluaran yang akan
dilakukan.
2.1.2. Desentralisasi Fiskal Meningkatkan Penerimaan Daerah
Desentralisasi fiskal merupakan pelimpahan kewenangan di bidang
penerimaan anggaran atau keuangan ke pemerintah daerah, yang saat
sentralisasi baik secara administrasi maupun pemanfaatan diatur oleh atau
dilakukan oleh pemerintah pusat (UU No. 33 Tahun 2004). Desentralisasi fiskal
dibentuk untuk mengintensifikasikan peranan dan sekaligus pemberdayaan
daerah
dalam
pembangunan.
Dimana
faktor
yang
menentukan
dalam
desentralisasi fiskal yaitu pertama, sejauh mana pemerintah daerah diberi
wewenang
kemampuan
untuk
menentukan
daerah
untuk
alokasi
untuk
meningkatkan
pengeluarannya.
penerimaan
Kedua,
pendapatan
asli
daerahnya.
Menurut Demelo (2000) desentralisasi fiskal merupakan salah satu
komponen dari desentralisasi, sehingga nantinya dengan adanya desentralisasi
fiskal ini diharapkan dapat mendorong efisiensi sektor publik, juga akuntabilitas
publik dan transparansi dalam menyediakan jasa publik serta pembuatan
keputusan yang transparan dan demokratis. Selain itu, menurut World Bank
(dalam Khusaini, 2006) Keuntungan porensial dari pengembangan desentralisasi
fiskal ke daerah adalah dapat meningkatkan efisiensi pelayanan publik,
mengurangi biaya informasi, dan mengurangi biaya transaksi. Selain itu, dengan
adanya desentralisasi fiskal ini, karena penerimaan daerah juga diserahkan ke
pemerintah daerah sehingga
pemerintah daerah berusaha memperoleh
penerimaan daerah yang cukup besar yang salah satunya dengan menggali
potensi-potensi daerah yang selama sistem pemerintahan sentralisasi belum
tersentuh. Dengan potensi daerah dapat digali maka diharapkan penerimaan
daerahnya dapat naik dari sebelumnya.
Untuk menciptakan pelaksanaan suatu desentralisasi fiskal agar berjalan
dengan baik, maka pemerintah daerah harus berpedoman pada hal-hal berikut
ini (Khusaini, 2006) :
a. Adanya pemerintah pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan
dan law enforcement.
b. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam
melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah.
Di Indonesia terdapat tiga indikator di dalam pelaksanaan desentralisasi
fiskal yaitu :
1) Desentralisasi Pengeluaran
Menurut Kerk dan Woller (dalam Khusaini, 2006), variabel ini didefinisikan
sebagai rasio pengeluaran total masing-masing kabupaten/kota (APBD)
terhadap total pengeluaran pemerintah (APBN). Dimana penelitian yang baik
yang dilakukan oleh Zhang dan Zou maupun oleh Philips dan Woller (dalam
Khusaini, 2006) bahwa desentralisasi fiskal mempunyai pengaruh negatif
terhadap pertumbuhan ekonomi.
2) Desentralisasi Pengeluaran Pembangunan
Menurut Zhang dan Zou (dalam Khusaini, 2006), variabel ini didefinisikan
sebagai rasio antara total pengeluaran pembangunan masing-masing
kabupaten/kota (APBD) terhadap total pengeluaran pembangunan nasional
(APBN). Dimana jika hubungan variabel ini dengan pertumbuhan ekonomi
positif, maka pemerintahan lokal dalam posisi yang baik untuk melakukan
investasi di sektor publik.
3) Desentralisasi Penerimaan
Menurut Philips dan Woller (dalam Khusaini, 2006), variabel ini didefinisikan
sebagai rasio antara total penerimaan masing-masing kabupaten/kota
(APBD), tidak termasuk subsidi terhadap total penerimaan pemerintah.
Variabel ini mengekspresikan besaran relatif antara pendapatan pemerintah
daerah terhadap pemerintah pusat.
Dengan diadakannya desentralisasi fiskal ini, nantinya diharapkan
pemerintah daerah dapat menggunakan anggaran telah tersedia secara efisien
mungkin sehingga anggaran yang telah ditetapkan dapat sesuai dengan rencana
dan tepat sasaran . Dengan rencana yang dapat dilaksanakan maka nantinya
pertumbuhan ekonomi dapat meningkat, dimana hal ini sesuai dengan tujuan
dibentuknya otonomi daerah dengan sistem pemerintahan yang desentralisasi.
2.1.3. Teori Pertumbuhan Baru Yang Berdasar Pada Sistem Produksi
Teori ini memberikan kerangka teoritis untuk menganalisis pertumbuhan
yang bersifat endogen, Pertumbuhan ekonomi merupakan hasil dari dalam
sistem ekonomi. Teori ini menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi lebih
ditentukan oleh sistem produksi, bukan berasal dari luar sistem. Kemajuan
teknologi merupakan hal yang endogen, pertumbuhan merupakan bagian dari
keputusan pelaku-pelaku ekonomi untuk berinvestasi dalam pengetahuan. Peran
modal lebih besar dari sekedar bagian dari pendapatan apabila modal yang
tumbuh bukan hanya modal fisik saja tapi menyangkut modal manusia (Romer,
1994).
Akumulasi modal merupakan sumber utama pertumbuhan ekonomi.
Definisi modal/kapital diperluas dengan memasukkan model ilmu pengetahuan
dan modal sumber daya manusia. Perubahan teknologi bukan sesuatu yang
berasal dari luar model atau eksogen tapi teknologi merupakan bagian dari
proses pertumbuhan ekonomi. Dalam teori pertumbuhan endogen, peran
investasi dalam modal fisik dan modal manusia turut menentukan pertumbuhan
ekonomi
jangka
panjang.
Tabungan
dan
investasi
dapat
mendorong
pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan ( Mankiw, 2000).
2.1.4. Teori Pertumbuhan Harrod-Domar Yang Berdasar Pada Investasi
Menurut Harrod-Domar (dalam Jhingan, 2008), investasi merupakan
kunci proses pertumbuhan ekonomi, khususnya mengenai watak ganda yang
dimiliki oleh investasi. Pertama, investasi dapat menciptakan pendapatan yang
biasanya
dikenal
dengan
dampak
permintaan.
Kedua,
investasi
dapat
memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan
stock modal yang biasanya dikenal dengan dampak pengeluaran. Karena itu,
selama investasi netto tetap berlangsung, pendapatan nyata dan output akan
senantiasa membesar.
Namun, untuk mempertahankan tingkat ekuilibrium pendapatan dari tahun
ke tahun, baik pendapatan nyata maupun output tersebut harus meningkat
dengan laju yang sama dengan kapasitas produktif yang meningkat. Dimana jika
ini tidak terjadi maka perbedaan keduanya akan menimbulkan kelebihan
kapasitas atau kapasitas menganggur. Hal ini akan memaksa pengusaha
membatasi pengeluaran investasinya sehingga akan berpengaruh buruk pada
perekonomian yaitu menurunkan pendapatan dan pekerjaan pada periode dan
akan menggeser perekonomian keluar jalur ekuilibrium pertumbuhan. Jadi jika
ingin mempertahankan pekerjaan dalam jangka panjang, maka investasi harus
senantiasa diperbesar sehingga pertumbuhan ekonomi dapat tercapai.
Berikut ini model asumsi yang dipakai oleh Dommar dan Harrod, untuk
menjelaskan faktor-faktor yang yang dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi
yaitu :
1) Model Domar
Domar membangun modelnya dengan mengansumsikan bahwa investasi
di satu pihak menghasilkan pendapatan dan dipihak lain menaikkan kapasitas
produktif. Dimana kenaikkan kapasitas produksi, dapat dijelaskan dari sisi
penawaran. Misalnya laju investasi tahunan adalah I, dan kapasitas produksi
tahunan perdolar modal yang baru ditanam rata-rata sama dengan s
(menggambarkan rasio kenaikkan pendapatan nyata atau output terhadap
kenaikkan modal output marginal). Sehingga disini kapasitas produktif dolar I
yang di investasikan adalah I.s dollar pertahun.
Tetapi dengan investasi baru ini akan mengorbankan investasi lama. Oleh
karena itu investasi baru akan bersaing dengan investasi lama, karena ada
persaingan ini maka output pabrik lama akan berkurang dan kenaikkan output
tahunan (kapasitas produksi) dari perekonomian akan sedikit lebih kecil dari pada
I.s, sehingga dapat dinyatakan dengan Iσ, dimana σ (sigma) menggambarkan
potensi netto produktivitas rata-rata sosial dari investasi (=ΔY/I). Sehingga Iσ
lebih kecil dari pada Is karena Iσ merupakan jumlah netto potensi kenaikkan
output perekonomian tersebut. Hal inilah yang oleh Dommar disebut dengan
kenaikkan output yang dapat dihasilkan oleh perekonomian dari sisi penawaran.
Sedangkan kenaikkan yang diperlukan dalam permintaan agregrat,
digambarkan oleh Dommar dengan multiplier Keynesian. Misalkan kenaikkan
rata-rata
pendapatan
dinyatakan
dengan
ΔY,
kenaikkan
investasi
ΔI,
kecenderungan menabung dengan α (=ΔS/ΔY). Maka kenaikkan pendapatan itu
akan sama dengan multiplikator (1/ α) kali dengan kenaikkan dalam investasi,
sehingga : ΔY =
.
2) Model Harrod
Model Harrod didasarkan pada 3 macam laju pertumbuhan, yaitu pertama
laju pertumbuhan aktual (G), yang ditentukan oleh rasio tabungan dan rasio
modal-output yang nantinya akan menunjukkan variasi siklis jangka pendek
dalam laju pertumbuhan. Kedua, model pertumbuhan terjamin (Gw) yang
merupakan laju pertumbuhan pendapatan kapasitas penuh dalam perekonomian.
Terakhir, laju pertumbuhan alamiah (Gn) merupakan optimum kesejahteraan
atau laju pertumbuhan potensial atau laju pertumbuhan pekerjaan penuh.
Model Harrod untuk laju pertumbuhan aktual (G), yaitu GC = S, dimana G
merupakan laju pertumbuhan output pada periode tertentu yang dapat
dinyatakan dengan ΔY/Y, C merupakan tambahan netto terhadap modal yang
didefinisikan sebagai rasio investasi terhadap kenaikkan pendapatan (I/ ΔY), dan
S merupakan menabung rata-rata yaitu S/Y. Sehingga dengan rasio tersebut
maka akan diperoleh I = S, atau tabungan sama dengan investasi, dimana
hubungan terjadi dengan syarat S tergantung Y, I tergantung pada tambahan
pendapatan (ΔY), yang biasanya digunakan sebagai prinsip percepatan.
Laju pertumbuhan terjamin terjadi karena produsen merasa puas atas apa
yang mereka kerjakan sehingga disebut juga sebagai ekuilibrium usaha atau
permintaan dianggap cukup tinggi oleh para pengusaha untuk menjual apa yang
sudah diproduksi dan mereka akan terus berproduksi dengan laju pertumbuhan
yang sama sehingga penawaran dan permintaan akan tetap pada ekuilibrium.
Dimana persamaannya yaitu : Gw Cr = s.
Dimana Gw merupakan laju pertumbuhan pendapatan dalam kapasitas
penuh yang akan sepenuhnya memanfaatkan stock modal yang sedang
membengkak sehingga akan memuaskan pengusaha atas jumlah investasi yang
mereka tanam (Gw = nilai ΔY/Y). Cr merupakan modal yang dibutuhkan,
menunjukkan jumlah modal (rasio modal output).
2.1.5. Teori Pertumbuhan Agregat Yang Berdasar Fungsi Produksi
Glasson (Dalam Hakim, 2004) menyatakan bahwa teori pertumbuhan
regional jangka panjang harus memperhitungkan faktor-faktor yang dianalisis
jangka pendek yang diasumsikan konstan, seperti penduduk, upah, harga
tekhnologi dan distribusi pendapatan. Mobilitas faktor-faktor terutama tenaga
kerja dan modal harus menjadi pertimbangan yang sangat penting. Pada
umumnya orang sependapat bahwa pertumbuhan regional dapat terjadi sebagai
akibat dari penentu-penentu endogen atau eksogen, yakni faktor-faktor yang
terdapat pada daerah yang bersangkutan ataupun faktor-faktor di luar daerah
atau kombinasi dari keduanya. Faktor-faktor penentu penting dari dalam daerah
meliputi distribusi faktor-faktor produksi seperti tanah, tenaga kerja dan modal.
Sedangkan salah satu faktor penentu dari luar daerah yang penting adalah
tingkat permintaan dari daerah lain terhadap komoditi yang dihasilkan oleh
daerah tersebut.
Suatu pendekatan yang lebih baru untuk menjelaskan faktor penentu
endogen dari pertumbuhan ekonomi regional adalah melalui penggunaan model
ekonomi makro. Model ini berorientasi pada segi penawaran dan berusaha
menjelaskan output regional menurut faktor-faktor regional tertentu yang
masingmasing dapat dianalisa secara sendiri-sendiri (Glasson, 1997) dan dapat
dituliskan sebagai berikut :
On = fn (K, L, Q, Tr, T, So)
Keterangan :
On
= output potensial dari daerah n
K
= Modal (Kapital)
L
= Tenaga Kerja
Q
= Tanah
Tr
= Sumber daya pengangkutan
T
= Tekhnologi
So
= Sistem Sosial Politik
Apabila dirumuskan menurut faktor-faktor yang lebih penting dan lebih
mudah dikuantitaskan, maka rumus mengenai persamaan pertumbuhan sebagai
berikut :
On = a n k n + (1-an) ln + tn
Keterangan :
O, k, l, t = tingkat pertumbuhan output, modal, tenaga kerja dan
tekhnologi
a
= bagian pendapatan yang diperoleh modal (yakni produk
marginal dari modal)
Berdasarkan ketiga teori pertumbuhan yang dijelaskan di atas, dimana
dapat disimpulkan bahwa suatu pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor produksi yang dimiliki. Jika faktor produksi yang dimiliki ini
meningkat kemungkinan besar pertumbuhan ekonomi juga akan meningkat.
Faktor produksi yang dimaksud di dalam 3 teori pertumbuhan diatas meliputi
tenaga kerja, akumulasi modal, teknologi. Faktor produksi khususnya yang
berhubungan akumulasi dan teknologi, di dalam teori pertumbuhan ekonomi
biasanya sangat erat berhubungan dengan kegiatan investasi, yang mana
investasi disini memiliki dua makna yaitu pertama, investasi dapat menciptakan
pendapatan yang biasanya dikenal dengan dampak permintaan. Kedua, investasi
dapat
memperbesar
kapasitas
produksi
perekonomian
dengan
cara
meningkatkan stock modal yang biasanya dikenal dengan dampak pengeluaran.
Dengan
adanya
teori
pertumbuhan
yang
menyatakan
bahwa
pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh faktor produksi, yang di dalam
faktor produksi tersebut salah satunya merupakan akumulasi modal. Di dalam
era desentralisasi fiskal maka penerimaan daerah merupakan salah satu modal
yang dapat digunakan oleh daerah untuk melakukan kegiatan pengeluaran
sehingga
nantinya
dapat
menciptakan
pertumbuhan
ekonomi.
Dengan
penerimaan daerah yang dapat dijadikan modal dalam era desentralisasi maka
hal ini sesuai dengan beberapa teori pertumbuhan yang telah dijelaskan
sehingga dapat diketahui bahwa penerimaan daerah ini merupakan salah satu
faktor produksi yang dimiliki daerah untuk menciptakan output maupun investasi
sehingga dengan adanya ouput dan investasi ini nantinya dapat mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi. Namun, jika melihat perkembangan di dalam penerimaan
daerah, maka terdapat beberapa penerimaan daerah yang mengakibatkan
pertumbuhan ekonomi menjadi menurun, dimana hal ini dapat dijelaskan melalui
keseimbangan pendapatan nasional.
2.1.6. Pengaruh Pajak Terhadap Keseimbangan Pendapatan Nasional
Keseimbangan pendapatan nasional yaitu pendapatan yang diperoleh
dari jumlah konsumsi, investasi, pembelian pemerintah dan nilai ekspor impor,
dimana jika digambarkan sebagai rumus sebagai berikut :
Y=C+I+G+X–M
Berdasarkan rumus tersebut diketahui bahwa pengeluaran pemerintah
(G) di biayai oleh penerimaan pemerintah, yaitu pajak (T) setelah dikurangi
tranfer (Tr). Penerimaan pajak oleh pemerintah akan mengurangi konsumsi (C),
namun pemberian tranfer menambah konsumsi, sehingga karena inilah konsumsi
merupakan fungsi dari pendapatan, pajak, dan tranfer. Akibatnya, dengan
peningkatan penerimaan atau pendapatan pemerintah (T) maka juga akan
menurunkan pendapatan nasional, akan tetapi sebaliknya peningkatan tranfer
dan peningkatan belanja atau pembelian pemerintah akan meningkatkan
pendapatan nasional.
Dengan demikian maka dari keseimbangan pendapatan nasional ini,
keseimbangan
pendapatan
regional
daerah
(PDRB)
dipengaruhi
oleh
pendapatan pemerintah daerah dan belanja pemerintah daerah. Maka
berdasarkan rumusan pendapatan nasional diketahui bahwa peningkatan
pendapatan daerah kususnya pajak daerah akan menurunkan PDRB, sehingga
peningkatan realisasi PAD yang diperoleh dari pajak akan menurunkan PDRB.
Namun peningkatan realisasi anggaran belanja daerah akan meningkatkan
PDRB. Dengan kata lain, jika realisasi pendapatan lebih besar dari pajak daerah
dari realisasi belanja maka PDRB akan turun. Begitu juga sebaliknya jika
realisasi pendapatan lebih rendah dari realisasi belanja maka PDRB akan naik.
Sehingga karena capaian belanja daerah terhadap PDRB adalah positif, dimana
realisasi belanja daerah akan memacu tinggi di sektor-sektor yang dapat
menciptakan pertumbuhan ekonomi.
2.1.7. Hubungan Variabel Penerimaan Daerah Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi
Penerimaan daerah yaitu semua penerimaan melalui rekening kas umum
daerah, yang menambah ekuitas dana, merupakan hak daerah dalam satu tahun
anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah (permendagri nomor 13
tahun 2006, pasal 23), dimana menurut Humes (dalam Muluk, 2006) bahwa
selama desentralisasi fiskal ini prinsip sumber penerimaan daerah itu ada tiga
yaitu pendapatan asli daerah, dana tranfer dari pemerintah pusat dan pinjaman.
Dari ketiga sumber tersebut sebagian besar penerimaan daerah selama ini
banyak yang berasal dari pendapatan asli daerah khususnya dari pajak dan
retribusi daerah serta dari dana tranfer dari pemerintah pusat khususnya dana
alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana bagi hasil. Maka dari itu penelitian
ini mencoba mencari hubungan pengaruh variabel-variabel penerimaan daerah
khususnya pajak, retribusi daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan
dana bagi hasil pajak terhadap pertumbuhan ekonomi. Yang mana di dalam teori
pertumbuhan ekonomi diatas variabel-variabel penerimaan daerah ini merupakan
salah satu faktor produksi untuk menciptakan output.
2.1.7.1.
Hubungan Pajak dan Retribusi Daerah Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi
Pajak daerah menurut Undang-undang Nomor 34 tahun 2000 yang
merupakan undang-undang perubahan atas Undang-undang Nomor 18 tahun
1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah merupakan iuran wajib yang dilakukan
oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang
seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah
daerah dan pembangunan daerah. Sedangkan berdasarkan Undang-undang
yang sama, retribusi daerah merupakan pungutan yang dilakukan oleh
pemerintah sebagai akibat adanya kontra prestasi yang diberikan oleh
pemerintah daerah atau pembayaran tersebut didasarkan atas prestasi atau
pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah yang langsung dinikmati
secara perorangan oleh warga masyarakat dan pelaksanaannya didasarkan atas
peraturan yang berlaku.
Berdasarkan pengertian dari pajak dan retribusi di atas, dapat
disimpulkan bahwa pajak dan retribusi daerah merupakan sumber utama
pendapatan daerah yang diperoleh dari dalam daerahnya sendiri. Maka dari itu
jika berpedoman kepada teori pertumbuhan baru (endogen) maupun agregrat,
dimana pertumbuhan ekonomi tergantung kepada pertambahan penyediaan
faktor-faktor produksi (penduduk, tenaga kerja, dan akumulasi modal) dan tingkat
kemajuan teknologi. Maka retribusi daerah ini dapat dimasukkan ke dalam salah
satu faktor produksi khususnya akumulasi modal. Dengan retribusi daerah
diproksikan sebagai akumulasi modal, berarti hal ini juga sesuai dengan teori
pertumbuhan ekonomi baru atau agregrat yang menyatakan bahwa faktor
produksi
yang
digunakan
untuk
meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi,
diutamakan faktor produksi yang berasal dari endogen atau di dalam daerahnya
sendiri. Dimana diketahui bahwa retribusi daerah dapat diperoleh oleh daerah
dengan menggali dari dalam daerahnya sendiri, sehingga dapat disimpulkan
besarnya penerimaan pajak dan retribusi daerah ini sangat tergantung dari
intensive yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk melakukan penarikkan
pajak dan retribusi daerah ini.
Berdasarkan model teori pertumbuhan baru maupun agregrat yang
banyak mendasarkan fungsinya pertumbuhannya kepada fungsi produksi
Y = f(K,L,N,t), maka dapat disimpulkan bahwa Y dapat disebut juga sebagai
variabel output yang merupakan pertumbuhan ekonomi, dimana di dalam
penelitian ini pertumbuhan ekonomi diukur dengan menggunakan Produk
Regional Bruto Domestik (PDRB), sedangkan f(K,L,N,t) yang merupakan faktor
produksi yang disebut dengan variabel input yang digunakan untuk menghasilkan
output Y, dimana seperti yang dijelaskan di atas bahwa retribusi daerah ini
masuk di dalamnya sebagai akumulasi modal. Berdasakan teori pertumbuhan
tersebut kita ketahui bahwa variabel input khususnya retribusi daerah memiliki
kedudukan yang sangat penting, karena dapat menentukan besarnya jumlah
output yang akan dihasilkan. Hal ini dikarenakan retribusi daerah berperan
sebagai modal untuk melakukan pembangunan, sehingga dapat merangsang
kegiatan ekonomi yang akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi
(produksi PDRB).
Dimana Bahl (1999) berpendapat bahwa desentralisasi fiskal harus diikuti
oleh kemampuan pemerintah daerah untuk memperoleh penerimaan dari dalam
daerah, karena dengan kemampuan memperoleh penerimaan dari dalam daerah
ini, maka pemerintah daerah akan memiliki sumber dana pembangunan yang
besar. Dimana penerimaan daerah ini memiliki dampak positif, tetapi khusunya
hanya untuk retribusi daerah. Retribusi daerah akan memiliki dampak positif jika
penerimaan retribusi digunakan oleh pemerintah untuk membangun berbagai
infrastruktur dan membiayai berbagai pengeluaran publik sehingga dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Sedangkan untuk pajak daerah memiliki akan berdampak negatif karena
dengan pajak ini akan mengurangi surplus konsumen dan produsen. Dimana hal
ini seperti telah dijelaskan di dalam keseimbangan pendapatan nasional bahwa
dengan adanya pajak maka konsumsi di dalam masyarakat akan berkurang,
dimana hal ini disebabkan karena terjadi biaya tambahan ketika akan melakukan
konsumsi. Karena kegiatan konsumsi di dalam masyarakat akan berkurang
sehingga hal ini juga akan berpengaruh terhadap produksi barang dan jasa yang
secara otomatis akan berkurang sehingga hal ini mengakibatkan aktivitas
ekonomi yang juga semakin lesu yang pada akhirnya akan berdampak terhadap
pertumbuhan ekonomi yang juga mengalami penurunan.
2.1.7.2.
Hubungan Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi
Hasil Pajak Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Bentuk dana tranfer yang diberikan oleh pemerintah pusat ke pemerintah
daerah selama desentralisasi fiskal ini, paling besar berasal dari proporsi dana
alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana bagi hasil pajak. Dimana dana
alokasi umum bertujuan untuk pemerataan keuangan antar daerah melalui
penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan belanja pegawai,
kebutuhan fiskal, dan potensi daerah (Suhadak dan Trilaksono, 2007) sehingga
nantinya tidak terjadi kesenjangan antara daerah yang satu dengan daerah yang
lainnya selama sistem desentralisasi ini diterapkan. Dana alokasi khusus
dimaksudkan untuk mendanai kegiatan khusus yang menjadi urusan daerah
sekaligus sebagai prioritas nasional, sesuai dengan fungsi perwujudan tugas
kepemerintahan dibidang tertentu, khususnya dalam upaya pemenuhan
kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat (Suhadak dan
Trilaksono, 2007). Dan dana bagi hasil pajak merupakan bagian dari daerah
yang bersumber dari penerimaan pajak berasal dari pajak bumi dan bangunan,
bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, pajak penghasilan, dan pajak
orang pribadi dalam negeri. Yang mana dalam menentukan besarnya sudah
diatur didalam undang-undang (Basuki, 2007).
Berdasarkan pengertian dari dana alokasi umum dan dana bagi hasil
pajak, dimana dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pemerintah pusat
memberikan dana tranfer tersebut dalam upaya kegiatan untuk menambah
modal yang dimiliki oleh daerah. Pertama, jika melihat dana alokasi umum, dana
alokasi ini diberikan pemerintah pusat untuk menyeimbangkan anggaran
pemerintah daerah agar tidak terjadi kesenjangan, dimana alokasi dana ini
sebagian besar oleh pemerintah daerah untuk membayar gaji pegawai yang
sangat besar sehingga membuat anggaran pemerintah menjadi defisit. Dengan
anggaran yang defisit yang dapat diatasi serta mendapat bantuan keuangan
maka pemerintah daerah dapat melakukan rencana-rencana yang sebelumnya
telah ditetapkan. Kedua, dana bagi hasil pajak, yang mana dana ini diberikan
oleh pemerintah pusat untuk menambah penerimaan daerah, sehingga nantinya
dapat
menambah
modal
yang
dimiliki
oleh
daerah
untuk
melakukan
pembangunan daerah. Dengan adanya penambahan modal yang dilakukan oleh
pemerintah daerah berarti ini sesuai dengan teori pertumbuhan baru, dimana di
dalam teori tersebut menyatakan bahwa akumulasi modal merupakan faktor
utama dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, karena dengan adanya
akumulasi modal maka daerah dapat meningkatkan beberapa kegiatan yang
berhubungan dengan kegiatan produksi misalnya menciptakan kemajuan
teknologi dan meningkatkan ilmu pengetahuan.
Sedangkan
untuk
dana
alokasi
khusus,
berdasarkan
pengertian
sebelumnya, dana alokasi khusus ini digunakan oleh pemerintah pusat untuk
melakukan pembangunan terutama pembangunan infrastruktur, dengan adanya
pembangunan infrastruktur ini berarti pemerintah melakukan investasi dalam
bentuk peralatan. Karena dana alokasi khusus sangat erat berkaitan dengan
kegiatan investasi, maka dana alokasi khusus ini juga dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Dimana hal ini sesuai dengan teori pertumbuhan ekonomi
Harrod-Domar dan teori pertumbuhan ekonomi baru. Seperti yang sudah
dijelaskan diatas bahwa teori pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar menyatakan
pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat tercapai jika terdapat kegiatan
investasi, karena investasi merupakan hal yang sangat penting dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dimana Investasi dalam bentuk dana
alokasi khusus yang telah dijelaskan diatas, menurut model pertumbuhan
Harrod-Domar merupakan investasi yang memiliki makna investasi yang dapat
memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan
stock modal atau tambahan netto terhadap modal yang didefinisikan sebagai
rasio investasi terhadap kenaikkan pendapatan yang nantinya dapat memacu
pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan terdapat kemudahan yang diterima
untuk melakukan kegiatan ekonomi karena telah terdapat sarana dan prasarana
yang telah dibangun untuk menunjang kegiatan ekonomi tersebut. Dimana
dengan adanya infrastruktur ini nantinya dapat membantu dan mempermudah
proses output sehingga dapat meningkatkan hasil produksi dari sebelumnya dan
akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sehingga hal ini sesuai
dengan apa yang telah diungkapkan oleh Sukirno (2007) kegiatan investasi
memungkinkan suatu masyarakat terus menerus meningkatkan kegiatan
ekonomi dan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan nasional dan
kemakmuran masyarakat.
Selain itu, hubungan antara dana alokasi umum, dana alokasi khusus,
dan dana bagi hasil pajak terhadap pertumbuhan ekonomi, juga sesuai dengan
pendapat Wilson dan Game (dalam Muluk, 2006), yaitu bahwa bantuan
pemerintah atau dana tranfer diberikan oleh pemerintah pusat agar pemerintah
daerah dapat menyediakan pelayanan dasar tertentu untuk memenuhi
kepentingan
masyarakat
serta
dapat
meningkatkan
pengeluaran
dalam
pelayanan tertentu. Selain itu Devas dan Davey (dalam Muluk, 2006)
memaparkan jika bantuan diberikan untuk menyesuaikan sumber daya lokal
dengan komitmen pengeluaran keseluruhan yang didasarkan pada anggaran
yang telah disetujui.
Dengan demikian pemberian dana alokasi umum, dana alokasi khusus,
dan dana bagi hasil pajak menurut teori pertumbuhan ekonomi yang telah
dijelaskan memiliki pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
2.2.
Penelitian Terdahulu
Penelitian terhadap pertumbuhan ekonomi yang dipengaruhi oleh variabel
pendapatan
dan
variabel
pengeluaran
daerah,
juga
pernah
dilakukan
sebelumnya oleh beberapa peneliti yang lain yaitu diantaranya :
1) Masyhuri (2007). Menganalisis penerimaan pendapatan asli daerah dan
pertumbuhan
ekonomi
Kabupaten
Merangin.
Hasil
penelitian
ini
menunjukkan bahwa pendapatan asli daerah berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan
ekonomi
Kabupaten
Merangin
yang
diukur
dengan
menggunakan produk domestik regional bruto. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut maka memiliki kesamaan dengan hipotesa dengan penelitian ini
terutama tentang pendapatan asli daerah yang mana di dalam penelitian ini
pendapatan asli daerah lebih dikhususkan hanya kepada pajak dan retribusi
daerah. Dimana pajak dan retribusi daerah yang dilakukan di dalam
penelitian ini juga memiliki pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan
ekonomi.
2) Mulyadi (2005). Menganalisis tentang peranan penerimaan dan pengeluaran
pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi propinsi-propinsi di Indonesia
tahun 1991-1999. Dimana hasil dari penelitian ini yaitu pengeluaran
pembangunan, pengeluaran rutin dan penerimaan daerah mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di 26
propinsi di Indonesia. Dengan adanya hasil penelitian yang telah dilakukan
oleh Mulyadi, berarti terjadi kesamaan dengan dengan hipotesa yang telah
diberikan oleh peneliti di dalam penelitian ini yaitu bahwa penerimaan daerah
memeliki hubungan yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
3) Mar’isa (2010). Menganalisis tentang pengaruh dana alokasi umum, dana
alokasi khusus, dan belanja modal terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi
kabupaten dan kota di propinsi Sumatera Utara. Dimana hasil dari penelitian
ini yaitu bahwa secara parsial dana alokasi khusus, dana alokasi umum, dan
belanja modal memiliki pengaruh signifikan positif terhadap tingkat
pertumbuhan ekonomi. Sehingga dengan hasil penelitian tersebut berarti
terjadi kesamaan dengan hipotesa yang akan dilakukan oleh penelitian ini
yaitu bahwa dana alokasi umum, dana alokasi khusus memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
4) Citra (2001). Menganalisis tentang hubungan antara pajak daerah, retribusi
daerah, dan pengeluaran pemerintah terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi
kota kediri. Diketahui bahwa variabel pengeluaran pemerintah daerah secara
signifikan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan
variabel pajak daerah dan retribusi daerah mempunyai dampak yang negatif
terhadap pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut
memiliki kesamaan dengan hipotesa dengan penelitian ini baik itu dari pajak
daerah, retribusi daerah, maupun pengeluaran pemerintah, dimana pajak
dan retribusi daerah memiliki pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi.
2.3.
Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 4
Skema Hubungan Antara Variabel Penerimaan Daerah Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Otonomi
Daerah/Desentalisasi
Desentralisasi Fiskal
Penerimaan daerah
PAD
Pajak
Pinjaman
Retribusi
DAU
Dana Tranfer
DAK
DBH
Pajak
Belanja daerah
Pertumbuhan Ekonomi
Daerah
Berdasarkan skema hubungan antar variabel penerimaan daerah
terhadap pertumbuhan ekonomi daerah diatas dapat diketahui bahwa selama
sistem pemerintahan desentralisasi sumber penerimaan daerah berasal dari 3
sumber yaitu pendapatan asli daerah (PAD), pinjaman daerah, dan dana tranfer
daerah (dana perimbangan). Dimana selama sistem desentralisasi ini diterapkan
diharapkan bahwa sumber penerimaan daerah lebih banyak berasal dari PAD
artinya proporsi penerimaan PAD harus lebih besar dari dana perimbangan.
Namun, jika sumber penerimaan yang berasal dari PAD ini kecil maka
pemerintah pusat memberi intensive bantuan pemerintah daerah melalui dana
perimbangan, sehingga dana perimbangan ini dapat juga disebut sebagai
sumber penerimaan kedua yang ada saat sistem pemerintahan desentralisasi.
Di dalam PAD sumber penerimaan yang paling besar di dalam
penyusunannya berasal dari pajak dan retribusi daerah sedangkan dari dana
perimbangan, sumber yang memiliki proporsi paling besar yaitu dari DAU, DAK,
dan DBHP. Maka dari 5 variabel penerimaan daerah ini lah nantinya akan diteliti
bagaimana pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Dimana kita ketahui
bahwa untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi ini maka penerimaan ini harus
dialokasikan kepada belanja daerah sehingga jika belanja daerah yang dilakukan
tepat maka pertumbuhan ekonomi dapat dicapai. Seperti yang telah dijelaskan
pada subbab sebelumnya bahwa retribusi, DAU, DAK, DBHP dapat digunakan
sebagai modal di dalam melakukan belanja daerah sedangkan pajak daerah
ternyata memiliki dampak yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi hal ini
dikarenakan pajak daerah dapat mengurangi penerimaan dan akhirnya
mempengaruhi konsumsi.
2.4.
Hipotesa Penelitian
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah pajak daerah,
retibusi daerah, DAU, DAK dan DBHP secara simultan berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah. Secara parsial pengaruh variabel-variabel
tersebut dihipotesaskan sebagai berikut :
1. Diduga variabel pajak daerah berpengaruh negatif signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah.
2. Diduga variabel retribusi daerah berpengaruh positif signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah.
3. Diduga variabel dana alokasi umum berpengaruh positif signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah.
4. Diduga variabel dana alokasi khusus berpengaruh positif signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah.
5. Diduga variabel dana bagi hasil pajak berpengaruh positif signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini akan menganalisis pengaruh variabel-variabel penerimaan
daerah khususnya pajak daerah, retribusi daerah, dana alokasi umum, dana
alokasi khusus dan dana bagi hasil pajak terhadap pertumbuhan ekonomi daerah
melalui belanja daerah khususnya belanja langsung maupun belanja tidak
langsung. Dimana nantinya penelitian ini menggunakan pendekatan secara
diskriptif kuantitatif.
3.2.
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian
yang
menganalisis
tentang
pengaruh
variabel-variabel
penerimaan daerah khususnya pajak daerah, retribusi daerah, dana alokasi
umum, dana alokasi khusus dan dana bagi hasil pajak terhadap pertumbuhan
ekonomi daerah, dilakukan di Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang
selama era desentralisasi. Hal ini dikarenakan selama era desentralisasi, ratarata pertumbuhan Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang masih memiliki
rata-rata dibawah pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Timur. Adapun periode
analisis penelitian ini menggunakan data pada kurun waktu tahun 2004-2009.
3.3.
Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Penelitian
Beberapa definisi operasional variabel dan identifikasi variabel dalam
penelitian ini memiliki batasan sebagai berikut :
1) Pertumbuhan Ekonomi (dependen). Yang dimaksud pertumbuhan
ekonomi dalam penelitian ini adalah jumlah produk barang dan jasa yang
dihasilkan oleh berbagai unit produksi dalam suatu daerah dalam jangka
waktu tertentu. Pertumbuhan ekonomi wilayah Karesidenan Malang
digambarkan dalam PDRB atas harga konstan 2000 tahun 2004-2010
karena data ini menunjukkan pertumbuhan riil daerah.
2) Pajak Daerah (independen). Yang dimaksud pajak daerah dalam
penelitian ini adalah besarnya penerimaan pajak daerah yang tercantum
didalam APBD Kabupaten Malang, Kota Malang, Kota Batu, Kabupaten
Pasuruan, Kota Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kota Probolinggo,
Kabupaten Lumajang, yang dinyatakan dalam rupiah.
3) Retribusi Daerah (independen). Yang dimaksud retribusi daerah dalam
penelitian ini adalah besarnya penerimaan retribusi daerah yang
tercantum didalam APBD Kabupaten Malang, Kota Malang, Kota Batu,
Kabupaten Pasuruan, Kota Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kota
Probolinggo, Kabupaten Lumajang, yang dinyatakan dalam rupiah.
4) Dana Alokasi Umum (independen). Yang dimaksud dana alokasi umum
dalam penelitian ini adalah besarnya penerimaan dana alokasi umum
yang tercantum didalam APBD Kabupaten Malang, Kota Malang, Kota
Batu, Kabupaten Pasuruan, Kota Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kota
Probolinggo, Kabupaten Lumajang, yang dinyatakan dalam rupiah.
5) Dana Alokasi Khusus (independen). Yang dimaksud dana alokasi khusus
dalam penelitian ini adalah besarnya penerimaan dana alokasi khusus
yang tercantum didalam APBD Kabupaten Malang, Kota Malang, Kota
Batu, Kabupaten Pasuruan, Kota Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kota
Probolinggo, Kabupaten Lumajang, yang dinyatakan dalam rupiah.
6) Dana Bagi Hasil Pajak (independen). Yang dimaksud dana bagi hasil
pajak dalam penelitian ini adalah besarnya penerimaan dana bagi hasil
pajak yang tercantum didalam APBD Kabupaten Malang, Kota Malang,
Kota Batu, Kabupaten Pasuruan, Kota Pasuruan, Kabupaten Probolinggo,
Kota Probolinggo, Kabupaten Lumajang, yang dinyatakan dalam rupiah.
7) Belanja Tidak Langsung (dependent dan independent). Yang dimaksud
belanja tidak langsung dalam penelitian ini adalah besarnya belanja tidak
langsung yang tercantum didalam APBD Kabupaten Malang, Kota
Malang, Kota Batu, Kabupaten Pasuruan, Kota Pasuruan, Kabupaten
Probolinggo, Kota Probolinggo, Kabupaten Lumajang, yang dinyatakan
dalam rupiah.
8) Belanja Langsung (dependent dan independent). Yang dimaksud belanja
tidak langsung dalam penelitian ini adalah besarnya belanja tidak
langsung yang tercantum didalam APBD Kabupaten Malang, Kota
Malang, Kota Batu, Kabupaten Pasuruan, Kota Pasuruan, Kabupaten
Probolinggo, Kota Probolinggo, Kabupaten Lumajang, yang dinyatakan
dalam rupiah.
3.4.
Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Malang, Badan Pusat
Statistik Kota Malang, Badan Pusat Statistik Kota Batu, Badan Pusat Statistik
Kabupaten Pasuruan,
Badan Pusat Statistik Kota Pasuruan, Badan Pusat
Statistik Kota Probolinggo, Badan Pusat Statistik Kabupaten Probolinggo, Badan
Pusat Statistik Kabupaten Lumajang, serta sumber lain yang terkait. Data yang
diperoleh dalam bentuk berkala (time series) dan lintas sektor (cross section)
dengan periode dari tahun 2004 sampai dengan 2009 (6 tahun), sehingga hasil
penelitian ini merupakan hasil penggunaan data selama periode tersebut.
3.5.
Metode Analisis
Untuk memenuhi tujuan penelitian ini yaitu mengetahui besarnya
pengaruh variabel penerimaan daerah khususnya pajak daerah, retribusi daerah,
dana alokasi umum, dana alokasi khusus dan dana bagi hasil pajak terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah, maka penelitian ini akan menggunakan alat
analisa Regresi Data Panel dengan metode Two Stage Least Square (2SLS).
Dimana tujuan estimasi menggunakan data panel ini adalah agar dapat diperoleh
hasil estimasi yang lebih baik dengan terjadinya peningkatan jumlah observasi
yang berimplikasi pada peningkatan derajat kebebasan, selain itu kelebihan dari
penggunnaan data panel ini penulis akan memiliki tingkat fleksibilitas yang tinggi
dalam menentukan model terhadap perbedaan perilaku diantara tiap-tiap individu
(Greene, 2003).
Selain itu, menurut Baltagi (2005) terdapat beberapa kelebihan estimasi
dengan menggunakan data panel, yaitu sebagai berikut:
1. Dapat
mempertimbangkan
heterogenitas
dengan
memperkenalkan
variable - variabel individu spesifik.
2. Dapat memberikan data yang lebih informatif, lebih bervariabilitas, kurang
kolinearitas antar variabel, derajat bebas yang lebih besar, dan lebih
efisien.
3. Data panel lebih sesuai untuk mempelajari dinamika perubahan.
4. Dapat secara lebih baik mendeteksi dan mengukur efek yang tidak dapat
diamati dalam data cross sheet dan time-series.
5. Dapat meminimalisasi bias yang mungkin ditimbulkan oleh agresif data
individu.
6. Dapat membuat jumlah observasi dalam estimasi parameter populasi
menjadi semakin besar, sehingga mengurangi kemungkinan kolinearitas
antar variabel bebas.
Teknik regresi data panel ini menggunakan penggabungan antara data time
series dengan data
cross section kemudian data dari penggabungan ini
diberlakukan sebagai satu kesatuan pengamatan yang nantinya digunakan untuk
mengestimasi model.
Dari
hasil
perhitungan
dengan
data
tersebut
diharapkan
dapat
memberikan beberapa implikasi teoritis tentang pengaruh pengaruh variabel
pendapatan khususnya pajak daerah, retribusi daerah, dana alokasi umum, dana
alokasi khusus dan dana bagi hasil pajak terhadap pertumbuhan ekonomi
daerah. Oleh karena itu, ketika datanya digunakan sebagai data panel guna
membuat regresi, maka hasilnya cenderung akan lebih baik dibandingkan
dengan hanya menggunakan data time series atau cross section saja. Akan
tetapi, dengan penggabungan data ini, baik perbedaan individu maupun antar
waktu tidak dapat terlihat. Atau dengan kata lain intercept baik antar individu
maupun antar waktu tidak dapat berubah. Untuk mengatasi permasalahan
tersebut, ada dua buah teknik yang biasanya digunakan dalam membuat data
panel, yaitu Fixed Effect Model dan Random Effect Model.
Di dalam pemilihan model antara Fixed Effect (Efek Tetap) dan Random
Effect (Efek Acak) dilakukan dengan menggunakan Uji Hausman. Uji Hausman
merupakan salah satu bentuk chi-square test dan dilakukan berdasarkan bentuk
kuadrat dan selisih antara konsisten estimator dengan efisien estimator. Pada
model analisis data panel dengan efek tetap diperoleh estimator yang konsisten,
sedangkan pada model analisis data panel dengan efek acak diperoleh
estimatoryang efisien. Untuk itu dilakukan uji hipotesa apakah efek individu tidak
berkorelasi atau berkorelasi dengan variabel bebas.
Hipoetsa pengujian ini sebagai berikut :
Ho = Random effect model
H1 = Fixed effect model
Perhitungan Hausman test m β0 menggunakan aplikasi eviews, jika nilai
hausman test hasil pengujian lebih besar dari X2 tabel maka hipotesa nol ditolak
sehingga model yang kita gunakan adalah model fixed effect dan sebaliknya, jika
hasil pengujian hausman test lebih kecil dari X2 tabel maka hipotesa satu ditolak
yang kita gunakan adalah model random effect.
3.6.
Model Analisis
Berdasarkan metode analisis diatas yang mana untuk mengestimasi
pengaruh Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana
Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil Pajak, terhadap pertumbuhan
ekonomi (PDRB) melalui belanja daerah khususnya belanja langsung maupun
belanja tidak langsung, yang menggunakan analisa regresi model data panel
dengan metode 2SLS. Maka digunakan 3 model, yang mana ke 3 model tersebut
adalah sebagai berikut :
1. LBTLit = β0 + β1LPD + β2LRD + β3LDAU + β4LDAK + β5LDBHP + εit
2. LBLit = β0 + β1LPD + β2LRD + β3LDAU + β4LDAK + β5LDBHP + εit
3. LPDRBit = β0 + β1BTL + β2LBL
Dimana :
LPDRBit
= Produk Domestik Regional Bruto
LBTL
= Belanja Tidak Langsung
LBL
= Belanja Langsung
LPD
= Pajak Daerah
LRD
= Retribusi Daerah
LDAU
= Dana Alokasi Umum
LDAK
= Dana Alokasi Khusus
LDBHP
= Dana Bagi Hasil Pajak
β0
= Konstanta
β1 – β6
= Koefisien parameter
ε
= Disturbance Error
i
= Jumlah Unit cross section, ada 8 wilayah yaitu
Kabupaten Malang, Kota Batu, Kota Malang,
Kabupaten Pasuruan, Kota Pasuruan, Kota
Probolinggo, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten
Lumajang.
t
= Jumlah unit Times series 6 tahun dari T.A. 20042009
Dimana baik variabel indpendent maupun dependent di dalam model di atas di
log kan, dengan tujuan agar hasil dari estimasi yang diharapkan hasil yang
didapat dapat lebih jelas sehingga pengaruh antara variabel dependentnya
terhadap variabel independentnya dapat lebih dimengerti.
3.7.
Uji Hasil Estimasi
1) Uji t
Uji statistik t digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel
independen terhadap variabel dependen. Perhitungan t (t-statistik) merupakan
suatu perhitungan untuk mencari signifikansi variabel independen terhadap
variabel dependen. Nilai dari t- statistik yang telah diketahui, kemudian
dibandingkan dengan nilai t-tabel dengan menggunakan dua arah pada derajat
kepercayaan tertentu. Variabel independen dikatakan signifikan terhadap
variabel dependen apabila nilai t-statistik variabel independen terletak di dalam
daerah kritis atau dengan kata lain bahwa nilai t-statistik lebih besar dari nilai ttabel, hal ini berarti terdapat pengaruh yang cukup berarti dari variabel
independen terhadap variabel dependen. Begitu sebaliknya apabila nilai tstatistik lebih kecil dari nilai t-tabel, maka dapat dikatakan tidak terdapat
pengaruh yang berarti.
2) Uji F
Uji F pada dasarnya digunakan untuk menunjukkan pengaruh (signifikan)
variabel independen yang dimasukkan dalam model secara bersama-sama
(simultan) terhadap variabel tak bebas. Nilai F statistik dapat dihitung dengan
melihat nilai dari F tabel. Nilai F statistik dikatakan signifikan apabila nilainya
terletak di dalam daerah kritis, atau hipotesisnya dapat diuraikan sebagai berikut:
1. H0 : β1 = β2 = β3 = β4 = β5 = β6 = 0
Jumlah pajak daerah, retribusi daerah, DAU, DAK, belanja tidak
langsung
dan
belanja
langsung
secara
bersama-sama
tidak
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di wilayah karisidenan
Malang.
2. Ha : β1 ≠ β2 ≠ β3 ≠ β4 ≠ β5 ≠ β6 ≠ 0
Jumlah pajak daerah, retribusi daerah, DAU, DAK, belanja tidak
langsung dan belanja langsung bersama-sama berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi di wilayah karisidenan Malang.
Nilai F statistik dihitung dengan formula sebagai berikut :
F=
=
Mengikuti distribusi F dengan derajat kebebasan k-1 dan n-k, Keterangan :
n
= jumlah observasi
MSS
= jumlah kuadrat yang dijelaskan
RSS
= rata-rata jumlah kuadrat
K
= jumlah parameter (termasuk intersep)
ESS
= jumlah kuadrat residual
R2
= koefisien determinan
3) Uji R2 (Koefisien Determinan)
Koefisien determinan di gunakan untuk mengukur seberapa jauh
kemampuan suatu model dalam menerangkan variabel dependen atau dengan
kata lain untuk mengukur tingkat hubungan antara variabel dependen dengan
semua
variabel
independen
secara
bersama-sama.
Untuk
menghitung
determinasi (R2) dapat menggunakan formula sebagai berikut :
R2 =
=1–
Persamaan di atas menunjukan proporsi total jumlah kuadrat (TSS) yang
diterangkan oleh variabel bebas dalam model. Sedangkan sisanya dijelaskan
oleh variabel independen lain yang belum/tidak dimasukkan dalam model.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang
4.1.1. Kondisi
Geografis
dan
Demografi
Kabupaten/Kota
Wilayah
Karesidenan Malang
Karesidenan Malang merupakan salah satu wilayah karesidenan yang
dimiliki oleh propinsi Jawa Timur. Secara geografis wilayah Karesidenan Malang
memiliki delapan wilayah yang terdiri dari 4 kabupaten dan 4 kota. Dimana 4
kabupaten tersebut yaitu Kabupaten Malang, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten
Probolinggo, Kabupaten Lumajang, sedangkan 4 kota tersebut yaitu Kota
Malang, Kota Batu, Kota Pasuruan, dan Kota Probolinggo. Kabupaten/kota yang
terletak di bagian utara wilayah Karesidenan Malang yaitu Kabupaten
Probolinggo sehingga dengan demikian sebelah utara wilayah Karesidenan
Malang berbatasan langsung dengan Selat Madura. Kabupaten/kota yang
terletak di bagian barat wilayah Karesidenan Malang yaitu Kabupaten Malang,
sehingga sebelah barat wilayah Karesidenan Malang berbatasan dengan
Kabupaten Blitar dan Kabupaten Kediri. Kabupaten/kota yang terletak di bagian
selatan wilayah Karesidenan Malang yaitu Kabupaten Malang dan Kabupaten
Lumajang sehingga hal ini membuat di sebelah selatan wilayah Karesidenan
Malang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia, serta Kabupaten/kota
yang terletak di bagian timur wilayah Karesidenan Malang yaitu Kabupaten
Lumajang dan Kabupaten Probolinggo sehingga di bagian timur wilayah
Karesidenan Malang berbatasan langsung dengan Kabupaten Situbondo dan
Kabupaten Jember.
Secara demografi di bagian barat sampai selatan kabupaten/kota wilayah
Karesidenan Malang hampir sebagian besar daerahnya berhawa sejuk, hal ini
dikarenakan dibagian barat dan selatan wilayah Karesidenan Malang merupakan
daerah pegununungan yang berhawa sejuk, misalnya pegunungan yang terdapat
di daerah ini yaitu Gunungan Semeru, Gunung Kawi, Gunung Bromo dan
Gunung Arjuno. Sedangkan secara administratif dan luas wilayah kabupaten/kota
wilayah Karesidenan Malang akan ditampilkan pada tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1
Wilayah Administratif, Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Kepadatan
Penduduk Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang
Jumlah
Kepadatan
Penduduk
Penduduk
Kabupaten/Kota
Administratif
Luas Wilayah
511
Kab Malang
33 Kecamatan
4.576,00 km2 2.339.000 jiwa
jiwa/km2
874
Kota Batu
3 Kecamatan
202,30 km2
177.000 jiwa
jiwa/km2
6.171
Kota Malang
5 Kecamatan
110,06 km2
814.000 jiwa
jiwa/km2
1.190
Kab Pasuruan
24 Kecamatan
1.474,00 km2 1.369.295 jiwa
jiwa/km2
13.034
2
Kota Pasuruan
3 Kecamatan
13,58 km
177.000 jiwa
jiwa/km2
Kab
598
Probolinggo
24 Kecamatan
1.696,17 km2 1.004.967 jiwa
jiwa/km2
Kota
7.924
2
200.000 jiwa
Probolinggo
5 Kecamatan
25,24 km
jiwa/km2
558
Kab Lumajang
21 Kecamatan
1.790,90 km2 1.000.000 jiwa
jiwa/km2
Sumber : BPS
Kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang merupakan wilayah yang
mempunyai jumlah infrastruktur yang lengkap seperti infrastruktur jalan, dimana
hampir di semua kabupaten/kota memiliki infrastruktur jalan sangat baik hal ini
ditambah dengan rencana pemerintah yang akan membangun infrastruktur jalan
lintas selatan. Selain itu, kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang juga
memiliki sarana tranportasi yang cukup lengkap seperti bandara abdurahman
saleh, terminal yang ada di setiap kabupaten/kota, maupun stasiun yang juga
terdapat hampir si semua kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang.
4.1.2. Kondisi Perekonomian Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang
Salah satu yang menjadi tolok ukur di dalam keberhasilan pembangunan
yang dilakukan oleh pemerintah daerah yaitu dengan melihat perkembangan
perekonomian wilayah tersebut. Hal ini dikarenakan bidang ekonomi merupakan
bidang yang memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap bidang-bidang yang
lainnya. Akibatnya, karena bidang ekonomi memiliki pengaruh yang besar
terhadap bidang-bidang yang lainnya, maka bidang ekonomi sering digunakan
sebagai bahan evaluasi dan perencanaan secara makro oleh pemerintah daerah.
Dimana untuk melihat perkembangan bidang ekonomi wilayahnya, pemerintah
daerah sering menggunakan alat ukur Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
terutama PDRB yang berdasarkan harga konstan. PDRB yang berdasarkan
harga konstan merupakan PDRB yang sudah memperhitungkan unsur tingkat
inflasi maupun unsur-unsur lainnya yang mempengaruhi perekonomian sehingga
PDRB ini akan lebih memiliki tingkat kebenaran dan keakuratan yang tinggi.
Dimana kondisi perekonomian kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang
sebagai berikut :
Gambar 5
Grafik Perkembangan PDRB Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang
Tahun 2004-2009
Sumber : BPS (data diolah)
Berdasarkan gambar 5, dalam rentang kurun waktu 6 tahun (tahun 20042009) diketahui bahwa pertumbuhan perekonomian kabupaten/kota wilayah
Karesidenan Malang yang mana merupakan output dari jumlah PDRB, masih
terjadi kesenjangan antara kabupaten/kota yang satu dengan yang lainnya.
PDRB paling tinggi di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang terdapat di
Kabupaten Malang dan Kota Malang. Dimana berdasarkan gambar 5 PDRB yang
dihasilkan oleh Kabupaten Malang dan Kota Malang memiliki jumlah hampir dari
dua kali lipat jika dibandingkan dengan jumlah PDRB yang dihasilkan oleh
kabupaten/kota lain yang berada di wilayah Karesidenan Malang. Sedangkan
pertumbuhan perekonomian yang paling rendah terletak di Kota Batu, Kota
Pasuruan, dan Kota Probolinggo, yang masih di bawah 2 juta rupiah.
Meskipun dalam enam tahun terakhir PDRB kabupaten/kota wilayah
Karesidenan Malang sangat didominasi oleh Kabupaten Malang dan Kota
Malang, tetapi jumlah PDRB setiap kabupaten/kota yang berada di wilayah
Karesidenan Malang setiap tahunnya mengalami peningkatan. Namun, meskipun
jumlah PDRB yang dihasilkan oleh kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang
ini setiap tahunnya selalu meningkat tetapi hal sebaliknya jika dilihat laju
pertumbuhannya,
dimana
laju
pertumbuhan
PDRB
setiap
tahunnya
di
kabupaten/kota Karesidenan Malang ini selalu mengalami fluktuatif yang artinya
meskipun pada tahun sebelumnya terjadi kenaikkan tetapi pada tahun berikutnya
terjadi penurunan. Dengan kata lain, laju pertumbuhan PDRB ini masih sangat
tidak konstan di setiap tahunnya. Dimana penjelasan mengenai laju pertumbuhan
PDRB kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang dalam kurun waktu 2004
sampai 2009 akan dijelaskan berdasarkan gambar grafik di bawah ini.
Gambar 6
Grafik Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan
Malang Tahun 2004-2009
Sumber : BPS (data diolah)
Berdasarkan gambar 6 dapat diketahui jika laju pertumbuhan PDRB di
kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang dalam kurun waktu 2004 sampai
2009 masih sangat berfluaktif. Dimana berdasarkan garfik tersebut antara tahun
2004 dan 2005 kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang yang laju
pertumbuhan PDRBnya mengalami kenaikkan yaitu Kabupaten Pasuruan, Kota
Pasuruan, Kota Probolinggo Kabupaten Probolinggo, dan Kota Batu, sedangkan
kabupaten/kota lainnya laju pertumbuhan PDRBnya mengalami penurunan.
Dimana antara tahun 2004-2005 ini kabupaten/kota yang mengalami kenaikkan
cukup tinggi yaitu Kota Batu yang semula di tahun 2004 sebesar 5,49% dan di
tahun 2005 menjadi 6,40% sedangkan di tahun yang sama kabupaten/kota di
wilayah Karesidenan Malang yang laju pertumbuhan PDRBnya mengalami
penurunan tajam yaitu Kabupaten Malang, dimana pada tahun 2004 laju
pertumbuhan PDRB Kabupaten Malang sebesar 5,47% dan mengalami
penurunan di tahun 2005 menjadi 4,97%.
Sedangkan antara tahun 2005-2006, hampir semua kabupaten/kota
wilayah Karesidenan Malang laju pertumbuhan PDRBnya mengalami kenaikkan
termasuk kabupaten/kota yang sebelumnya mengalami penurunan, kecuali Kota
Pasuruan yang laju pertumbuhan PDRBnya mengalami penurunan semula
sebesar 5,83% turun menjadi 5,65%. Sedangkan kabupaten/kota yang laju
pertumbuhan PDRBnya yang semula mengalami penurunan, di tahun ini laju
pertumbuhan PDRB mengalami kenaikkan yang sangat tinggi seperti Kabupaten
Malang yang semula di tahun 2005 laju pertumbuhannya PDRBnya hanya
sebesar 4,97% mengalami kenaikkan di tahun 2006 menjadi 5,67%.
Di tahun 2006-2007, berdasarkan gambar 6 kabupaten/kota yang laju
pertumbuhan PDRBnya masih tetap mengalami kenaikkan yaitu Kabupaten
Pasuruan, Kota Probolinggo, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang,
Kabupaten Malang, sedangkan untuk kabupaten/kota lainnya yang berada di
wilayah Karesidenan Malang laju pertumbuhan PDRBnya mengalami penurunan.
Sedangkan untuk tahun 2007-2008 hampir sebagian besar kabupaten/kota yang
berada di wilayah Karesidenan Malang laju pertumbuhan PDRBnya mengalami
penurunan, sedangkan kabupaten/kota
yang mampu meningkatkan laju
pertumbuhan PDRBnya yaitu hanya Kota Pasuruan, Kota Malang, dan Kota
Batu. Dimana untuk Kota Batu pada tahun ini merupakan laju pertumbuhan
PDRB yang paling tinggi dalam kurun waktu enam tahun terakhir yaitu sebesar
6,86%.
Di tahun 2009 laju pertumbuhan PDRB di semua kabupaten/kota wilayah
Karesidenan Malang mengalami penurunan yang sangat tajam termasuk
kabupaten/kota yang sebelumnya masih mengalami kenaikkan. Dimana
kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang yang laju pertumbuhan PDRB yang
paling rendah di tahun 2009 yaitu Kabupaten Pasuruan. Berdasarkan gambar 6
dan gambar 6 dapat disimpulkan bahwa meskipun pertumbuhan perekonomian
suatu kabupaten/kota sedang mengalami kenaikkan setiap tahunnya secara
berturut-turut, namun hal ini belum tentu diikuti oleh laju pertumbuhan PDRBnya
karena terdapat beberapa faktor, baik itu faktor internal maupun faktor eksternal
yang sangat mempengaruhi laju pertumbuhan PDRB.
Pertumbuhan perekonomian suatu daerah dari sisi internal sangat
dipengaruhi oleh dua hal yaitu penerimaan daerah dan pengeluaran daerah.
Dimana penerimaan daerah dan pengeluaran daerah ini saling terkait untuk
menciptakan pertumbuhan perekonomian yang tinggi. Namun, jika dilihat
peranannya antara penerimaan dan pengeluaran daerah untuk menciptakan
suatu pertumbuhan perekonomian yang tinggi maka kedudukan penerimaan
daerah berada di atas pengeluaran daerah. Hal ini dikarenakan penerimaan
daerah menjadi penentu untuk melakukan pengeluaraan apa yang akan
dilakukan sehingga dengan kata lain pengeluaraan daerah ini sangat tergantung
kepada seberapa besar penerimaan daerah yang dapat diperoleh. Dimana yang
nantinya penerimaan tersebut dapat digunakan untuk melakukan pengeluaran
daerah yang dapat menciptakan pertumbuhan perekonomian daerah.
4.1.3.
Kondisi
Perkembangan
Variabel-Variabel
Penerimaan
Daerah
Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang
Suatu penerimaan daerah di era desentralisasi, di dalam penyusunannya
terdiri dari beberapa variabel-variabel penerimaan daerah yang digolongkan
berdasarkan asal sumber dari penerimaan daerah itu di dapat. Namun, meski
desentralisasi telah berjalan selama 10 tahun tetapi penerimaan daerah tetap
saja masih bergantung hanya kepada dua variabel yaitu variabel yang berasal
dari pendapatan asli daerah dan variabel yang berasal dari dana perimbangan.
Untuk penerimaan daerah yang berasal dari variabel pendapatan asli daerah
tidak semuanya dari variabel ini dapat menghasilkan penerimaan yang besar
terhadap penerimaan daerah, tetapi hanya ada dua variabel yang selama ini
dijadikan sumber utama oleh pemerintah daerah yaitu variabel yang berasal dari
pajak daerah dan retribusi daerah. Hal ini dikarenakan pajak dan retribusi daerah
merupakan suatu potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah sehingga
besar kecilnya penerimaan daerah yang berasal dari variabel-variabel ini sangat
tergantung dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah di masing-masing
daerah.
Sedangkan untuk penerimaan daerah yang berasal dari variabel dana
perimbangan, hanya ada tiga vairabel yang menghasilkan penerimaan yang
besar selama desentralisasi yaitu dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan
dana bagi hasil pajak. Hal ini dikarenakan untuk dana alokasi umum, merupakan
dana digunakan oleh pemerintah pusat untuk melakukan pemerataan atau
dengan kata lain dana yang digunakan untuk membantu penerimaan daerah
yang masih minim sehingga nantinya tidak terjadi ketimpangan antara daerah
yang satu dengan yang lainnya sehingga karena hal inilah dana alokasi umum
bagi daerah yang merupakan sumber penerimaan yang tinggi khususnya bagi
daerah yang penerimaan dari dalam daerahnya masih kecil. Sedangkan dana
alokasi khusus juga merupakan penerimaan yang besar juga hal ini dikarenakan
dana alokasi khusus ini memang digunakan oleh pemerintah pusat untuk
melakukan pembangunan sehingga nantinya dapat meningkatkan pertumbuhan
perekonomian. Dan yang terakhir, dana bagi hasil pajak memang digunakan oleh
pemerintah pusat untuk menambah penerimaan daerah sehingga nantinya dapat
digunakan oleh pemerintah untuk melakukan pengeluaran-pengeluaran yang
sangat berguna bagi daerahnya.
Kondisi penerimaan daerah di era desentalisasi yang sangat bergantung
kepada variabel penerimaan daerah seperti pajak daerah, retribusi daerah, dana
alokasi umum, dana alokasi khusus dan dana bagi hasil pajak, ternyata juga
berlaku bagi kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang selama desentralisasi
ini.
Dimana
kondisi
variabel-variabel
penerimaan
daerah
tersebut
di
kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang sebagai berikut.
4.1.3.1. Kondisi Penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah Kabupaten/Kota
Wilayah Karesidenan Malang
Pajak dan Retribusi daerah merupakan salah satu variabel penerimaan
daerah yang berasal dari dalam daerahnya sendiri. Dimana sejak diterapkannya
sistem desentralisasi pajak dan retribusi daerah merupakan sumber penerimaan
utama bagi daerah untuk memperoleh penerimaan daerah. Dimana kondisi pajak
di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang selama tahun 2004-2009
digambarkan pada grafik berikut :
Gambar 7
Grafik Penerimaan Pajak Daerah Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan
Malang Tahun 2004-2009
Sumber : BPS (data diolah)
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa pajak daerah merupakan
salah satu variabel penerimaan daerah yang menjadi tumpuan utama daerahdaerah saat diperlakukannya sistem pemerintahan yang desentralisasi. Dimana
jika dilihat berdasarkan gambar 7 diketahui bahwa selama tahun 2004-2009
penerimaan daerah dari variabel pajak daerah di kabupaten/kota wilayah
Karesidenan Malang paling tinggi hanya terdapat di tiga wilayah yaitu Kabupaten
Pasuruan, Kabupaten Malang, dan Kota Malang. Ketiga wilayah ini, penerimaan
pajak daerah telah dapat memberikan penerimaan daerah diatas 20 milyar
rupiah. Sedangkan untuk kabupaten/kota lain yang berada di wilayah
Karesidenan Malang ini penerimaan pajak daerah masih belum begitu besar
nilainya yaitu masih berada di bawah 10 milyar rupiah.
Jika melihat rentang waktu 6 tahun terakhir penerimaan pajak daerah di
kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang, Kabupaten Pasuruan merupakan
kabupaten yang selalu menerima pajak daerah paling besar dan paling konstan
dikisaran 37 milyar rupiah sampai 41 milyar rupiah. Namun, di tahun 2009
penerimaan pajak daerah Kabupaten Pasuruan ini masih dibawah Kota Malang,
yang mana di tahun 2009 Kota Malang berhasil menerima penerimaan pajak
daerah sebesar 46 milyar rupiah sehingga penerimaan pajak daerah 2009 Kota
Malang
ini
merupakan
penerimaan
pajak
daerah
tertinggi
di
antara
kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang selama 6 tahun terakhir.
Dimana penerimaan pajak daerah Kota Malang ini setiap tahunnya selalu
mengalami kenaikkan yaitu di tahun 2004 yang semula hanya 26 milyar rupiah
dan akhirnya ditahun 2009 menjadi 46 milyar rupiah. Sedangkan untuk
kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang yang masih rendah dalam
memperoleh penerimaan daerah dari penerimaan pajak daerah yaitu Kota
Pasuruan. Dimana penerimaan pajak daerah Kota Pasuruan selama 6 tahun
terakhir hanya masih dikisaran kurang lebih 4 milyar rupiah, yang mana ini
merupakan kebalikan dari penerimaan pajak daerah yang diperoleh oleh daerah
tentangganya yaitu Kabupaten Pasuruan. Selain itu, meskipun Kota Batu
penerimaan pajak daerahnya selalu kecil tetapi dalam 6 tahun terakhir selalu
terjadi kenaikkan dalam penerimaannya. Yang mana di tahun 2004 semula
hanya dikisaran 3 milyar rupiah karena setiap tahunnya mengalami kenaikkan
sehingga di tahun 2009 menjadi dikisaran 5 milyar rupiah.
Penerimaan pajak daerah di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang
dalam kurun waktu 6 tahun terakhir memang selalu besar, khususnya di tiga
wilayah yaitu Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Malang, dan Kota Malang.
Namun jika dilihat kontribusinya terhadap seluruh jumlah penerimaan daerah
yang diperoleh masing-masing daerah di setiap tahunnya, belum tentu
penerimaan pajak daerah ini memiliki kontribusi yang juga besar yang mana
sesuai dengan nilai yang dicapai. Hal ini dikarenakan dalam penerimaan daerah
masih banyak variabel-variabel yang lain, yang berkontribusi. Maka untuk itu
untuk
mengetahui
besarnya
kontribusi
penerimaan
pajak
daerah
di
kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang dalam kurun waktu 6 tahun terakhir
di masing-masing daerah, maka akan dijelaskan berdasarkan gambar grafik di
bawah ini.
Gambar 8
Grafik Jumlah Proporsi Pajak Daerah Terhadap Jumlah Total Penerimaan
Daerah Di Masing-masing Wilayah Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan
Malang Tahun 2004-2009 (%)
Sumber : BPS (data diolah)
Berdasarkan gambar 8, dimana proporsi penerimaan pajak daerah
terhadap jumlah seluruh penerimaan daerah di kabupaten/kota wilayah
Karesidenan Malang antara tahun 2004 sampai tahun 2009 masih belum begitu
besar. Mengingat tujuan sistem pemerintahan desentralisasi ini diterapkan,
supaya daerah-daerah memperoleh sumber penerimaan utamanya dari dari
potensi daerajnya sendiri yang salah satunya berasal dari pajak daerah. Yang
mana besar proporsi penerimaan pajak daerah terhadap jumlah seluruh
penerimaan daerah sebagai berikut.
Pertama, Kabupaten Pasuruan. Dimana pada tahun 2004 proporsi
penerimaan pajak daerah Kabupaten Pasuruan hanya sebesar 3,66% dari
seluruh jumlah total penerimaan daerah yang dimiliki oleh Kabupaten Pasuruan.
Di tahun 2005, proporsi penerimaan pajak daerah naik sangat signifikan yang
semula hanya 3,66% naik hampir dua kali lipatnya yaitu menjadi 6,77%. Namun,
di tahun 2006, 2007, 2008, dan 2009 proporsi penerimaan pajak daerah
terhadap seluruh jumlah total penerimaan daerah selalu mengalami penurunan
yaitu 5,88%, 5,2%, 4,65% dan 4,43%.
Kedua, Kota Pasuruan. Proporsi penerimaan pajak daerah di kota
Pasuruan ini selama tahun 2004-2009 bisa dikatakan sangat kecil sekali dalam
menambah penerimaan daerah memang terjadi kenaikkan antara tahun 20042005 sebesar 0,13 % proporsi yang semula di tahun 2004 sebesar 2,09%
menjadi 2,99% ditahun 2005 dan di tahun 2005 inilah proporsi penerimaan pajak
daerah yang paling tinggi di Kota Pasuruan selama kurun waktu 6 tahun terkahir.
Di tahun 2006 dan 2007 proporsi penerimaan pajak daerah terus mengalami
penurunan menjadi 1,89% dan 1,56%. Namun, di tahun 2008 proporsi
penerimaan pajak daerah di Kota Pasuruan ini mengalami kenaikkan kembali
meskipun hanya sebesar 0,01% menjadi 1,57%, tetapi di tahun 2009 proporsi
penerimaan pajak daerah ini mengalami penurunan kembali menjadi 1,52%.
Ketiga, Kota Probolinggo. Antara tahun 2004 dan 2005 jumlah proporsi
penerimaan pajak daerah terhadap jumlah seluruh penerimaan daerah dikota ini
terjadi kenaikkan yang semula di tahun 2004 sebesar 2,43%, ditahun 2005
menjadi 2,55%. Ditahun 2005 inilah merupakan jumlah proporsi penerimaan
pajak daerah tebesar di dalam jangka waktu 6 tahun terakhir. Namun, ditahun
2006, 2007 proporsi penerimaan pajak daerah terus mengalami penurunan
sampai sebesar 1,44%. Ditahun 2008 proporsi penerimaan pajak daerah kembali
naik menjadi 1,54% tetapi pada tahun 2009 kembali mengalami penurunan
menjadi 1,39%.
Keempat, Kabupaten Probolinggo. Proporsi penerimaan pajak daerahnya
dari tahun 2004 sampai 2007 selalu mengalami penurunan. Dimana yang ditahun
2004 sebesar 1,82% selalu mengalami penurunan menjadi 1,68%, 1,26%, dan
1,21%. Meskipun di tahun 2008 proporsi penerimaan pajak daerah kembali
mengalami
kenaikkan
menjadi
1,54%.
Namun,
ditahun
2009
proporsi
penerimaan pajak daerah di kabupaten ini kembali mengalami penurunan
menjadi 1,13%.
Kelima, Kabupaten Lumajang. Proporsi penerimaan pajak daerah di
kabupaten ini hampir sama dengan kabupaten/kota yang lainnya yang berada di
wilayah Karesidenan Malang. Dimana ditahun 2004 dan 2005 yang selalu
mengalami kenaikkan dari 2,18% menjadi 2,26% tetapi ditahun 2006,2007, dan
2008 selalu mengalami penurunan 1,56%, 1,38%, 1,35%. Dan ditahun 2009
kembali mengalamii kenaikkan menjadi 1,49%.
Keenam, Kabupaten Malang. Proporsi penerimaan pajak daerah di
kabupaten ini paling besar terjadi di tahun 2005 sebesar 3,35% yang semula di
tahun 2004 sebesar 3,16%. Namun, setelah terjadi proporsi penerimaan pajak
daerah yang besar, di tahun 2006 terjadi penurunan yang sangat signifikan yaitu
menjadi 2,23%. Di tahun 2007 dan 2008 memang terjadi kenaikkan proporsi
penerimaan pajak daerah meskipun tidak terlalu besar menjadi 2,26% dan 2,3%.
Tetapi kenaikkan ini tidak terjadi lama karena di tahun 2009 proporsi penerimaan
pajak daerah kembali turun menjadi 2,14%.
Ketujuh, Kota Malang. Proporsi penerimaan pajak daerah di Kota Malang
merupakan proporsi penerimaan pajak daerah paling besar di kabupaten/kota
wilayah Karesidenan Malang. Dimana proporsi penerimaan pajak daerah di kota
ini dalam 9 tahun terakhir selalu memiliki proporsi diatas 5,9%. Meskipun terjadi
penurunan dari tahun 2006 sampai 2008, tetapi penurunan ini tidak pernah
melebihi dibawah proporsi 5,9%.
Kedelapan, Kota Batu. Proporsi penerimaan pajak daerah di Kota Batu
memang terjadi penurunan ditahun 2006 menjadi 2,07%, yang semula proporsi
penerimaan pajak daerah ini sebesar 2,68%, dan 2,73%. Tetapi di tahun 2007,
2008, dan 2009 proporsi penerimaan pajak daerah ini selalu mengalami
kenaikkan yaitu 2,51%, 2,98%, dan 3,02%. Dimana dengan kenaikkan proporsi
pajak daerah di tahun 2007, 2008, 2009 ini menjadikan Kota Batu sebagai
daerah di kabupaten/kota Malang yang dalam waktu 3 tahun terakhir selalu
mengalami kenaikkan proporsi penerikaan pajak daerah.
Proporsi
penerimaan
pajak
daerah
di
kabupaten/kota
wilayah
Karesidenan Malang meskipun dalam 6 tahun terakhir kebanyakan mengalami
penurunan dari pada kenaikkan. Tetapi jika melihat jumlah penerimaan pajak
daerahnya setiap tahunnya selalu mengalami kenaikkan, tetapi penurunan
proporsi penerimaan pajak daerah ini di karenakan terjadi kenaikkan jumlah yang
sama di sumber penerimaan daerah yang lainnya.
Gambar 9
Grafik Penerimaan Retribusi Daerah Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan
Malang Tahun 2004-2009
Sumber : BPS (data diolah)
Berdasarkan gambar 9 di atas tentang penerimaan retribusi daerah
kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang selama 9 tahun terakhir, diketahui
bahwa penerimaan retribusi daerah paling rendah terdapat di Kota Batu masih
sebesar di bawah 10 milyar rupiah. Dimana berdasarkan gambar 9, bahwa di
tahun 2004 dan 2005 kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang yang mampu
memperoleh penerimaan retribusi daerah di atas 10 milyar rupiah hanya 5
kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Pasuruan, Kota Probolinggo, Kabupaten
Lumajang, Kabupaten Malang, dan Kota Malang. Sedangkan 3 kabupaten/kota
lainnya yang berada di wilayah Karesidenan Malang masih memperoleh
penerimaan daerah dari retribusi daerah masih di bawah 10 milyar rupiah.
Di tahun 2006 dan 2007 penerimaan retribusi daerah di kabupaten/kota
wilayah Karesidenan Malang di masing-masing kabupaten/kota terus mengalami
kenaikkan, sehingga hal ini membuat
di tahun 2006 kabupaten/kota yang
penerimaan retribusi daerahnya melebihi 10 milyar rupiah terdapat di 6
kabupaten/kota yang semula hanya 5 kabupaten/kota. Dimana kabupaten/kota
yaitu sama dengan kabupaten/kota di tahun 2005 ditambah dengan Kabupaten
Probolinggo. Di tahun 2007 terdapat kabupaten/kota wilayah Karesidenan
Malang yang penerimaan retribusi daerahnya mengalami kenaikkan sangat
signifikan yaitu Kabupaten Malang, dimana penerimaan retribusi daerah di
Kabupaten
Malang
mampu
mencapai lebih dari
30
milyar rupiah. 3
kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang mampu memperoleh penerimaan
retribusi daerah lebih dari 20 milyar rupiah. Sedangkan kabupaten/kota yang
penerimaan retribusi daerahnya masih dibawah 10 milyar rupiah terdapat di 2
kabupaten/kota yaitu Kota Pasuruan dan Kota Batu.
Di tahun 2008, penerimaan retirubusi daerah di kabupaten/kota wilayah
Karesidenan Malang, hampir semua di daerah penerimaan retribusi ini terus
mengalami kenaikkan, tetapi khusunya untuk Kabupaten Malang yang semula di
tahun 2007 penerimaan retribusi daerahnya sangat naik signifikan melebihi 30
milyar rupiah, kini mengalami penurunan menjadi di bawah 20 milyar rupiah.
Kabupaten yang mengalami kenaikkan penerimaan retribusi daerah yang cukup
signifikan ini terdapat di Kabupaten Lumajang yang mencapai melebihi 30 milyar
rupiah dan Kabupaten Probolinggo yang mampu mencapai 25 milyar rupiah yang
sebelumnya hanya sebesar 15 milyar rupiah. Sedangkan untuk kabupaten/kota
lainnya memang terjadi kenaikkan tetapi tidak terlalu signifikan.
Di tahun 2009, penerimaan retribusi daerah di kabupaten/kota wilayah
Karesidenan Malang, terdapat yang penerimaan retribusinya mengalami
kenaikkan dan mengalami penurunan. Dimana kabupaten/kota yang mengalami
kenaikkan yaitu Kabupaten Pasuruan, Kota Pasuruan, Kabupaten Lumajang,
Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu. Khusus Kabupaten Lumajang
penerimaan retribusi daerah di tahun 2009 ini merupakan penerimaan tertinggi
dari 6 tahun terakhir yaitu melebihi dari 35 milyar rupiah, bahkan penerimaan
retribusi daerah ini merupakan penerimaan retribusi tertinggi di antara
kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang selama 6 tahun terkhir. Sedangkan
kabupaten/kota yang penerimaan retribusi daerahnya mengalami penurunan
yaitu kabupaten Kota Probolinggo dan Kabupaten Probolinggo.
Gambar 10
Grafik Jumlah Proporsi Retribusi Daerah Terhadap Jumlah Total
Penerimaan Daerah Di Masing-masing Wilayah Kabupaten/Kota Wilayah
Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 (%)
Sumber : BPS (data diolah)
Berdasarkan gambar 10, diketahui bahwa proporsi penerimaan retribusi
daerah
terhadap
kabupaten/kota
jumlah
masih
total
tidak
penerimaan
terlalu
besar.
daerah
di
masing-masing
Dimana
di
masing-masing
kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang ini proporsi penerimaan retribusi
daerah masih dibawah 8%. Dimana berarti setelah sistem pemerintahan
desentralisasi diterapkan selama 10 tahun, penerimaan daerah dari pendapatan
asli daerah terutama retribusi daerah masih sangat rendah. Yang mana seperti
yang telah dijelaskan diatas, bahwa retribusi daerah merupakan salah satu
sumber penerimaan yang akan menjadi sumber penerimaan daerah utama
selama sistem desentralisasi diterapkan, sehingga penerimaan retribusi ini
belumlah berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Dimana perkembangan
proporsi penerimaan retribusi daerah di kabupaten/kota wilayah Karesidenan
Malang antara tahun 2004-2009 yaitu sebagai berikut.
Pertama, Kabupaten Pasuruan. Dimana proporsi penerimaan retribusi
daerah di kabupaten ini dalam kurun waktu 6 tahun terakhir masih di bawah 3%,
memang pernah tejadi penurunan proporsi penerimaan retribusi daerah antara
tahun 2005 dan 2006, tetapi setelah tahun 2006 proporsi penerimaan retribusi
daerah
selalu mengalami kenaikkan di tahun 2009 menjadi sebesar 2,5%.
Kedua, Kota Pasuruan, dimana proporsi penerimaan retribusi daerah di kota ini
lebih baik dari pada Kabupaten Pasuruan, meskipun dari tahun 2004 sampai
2007 terjadi penurunan jumlah proporsi tetapi di tahun 2008 telah kembali
kenaikkan menjadi 2,71% dan di tahun 2009 proporsi penerimaan retribusi
daerah meningkat menjadi 3,61%.
Ketiga, Kota Probolinggo. Proporsi penerimaan retribusi daerah di daerah
ini merupakan proporsi penerimaan retribusi daerah yang paling tinggi selama 6
tahun terakhir jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya yang berada di
wilayah Karesidenan Malang. Dimana proporsi penerimaan retribusi daerah
paling tinggi terjadi di tahun 2005 sebesar 7,88%. Namun, di tahun 2006 sampai
2007 proporsi penerimaan retribusi daerah ini selalu mengalami penurunan
hingga menjadi 5,59%. Di tahun 2008 proporsi penerimaan retribusi kembali
terjadi kenaikkan menjadi 6,01%. Namun, di tahun 2009 proporsi penerimaan
retribusi daerah kembali mengalami penurunan menjadi sebesar 5,21%.
Keempat, Kabupaten Probolinggo. Kabupaten ini proporsi penerimaan retribusi
daerah antara tahun 2004-2007 masih di bawah 3%. Namun terjadi kenaikkan
secara signifikan ditahun 2008 menjadi 6,02%, tetapi kenaikkan ini hanya terjadi
1 tahun, dan di tahun 2009 kembali penurunan yang sangat signifikan menjadi
5,21%.
Kelima, Kabupaten Lumajang, proporsi penerimaan retribusi daerah di
kabupaten ini masih juga dibawah 5%. Meskipun pernah terjadi penurunan
ditahun 2005 sampai 2006 yang semula 5,32% menjadi 4,41% tetapi ditahun
berikut-berikutnya yaitu tahun 2007,2008, dan 2009, proporsi penerimaan
retribusi daerah di kabupaten ini terus mengalami kenaikkan sampai 2009
menjdai sebesar 5,23%. Keenam, Kabupaten Malang, proporsi penerimaan
retribusi daerah di Kabupaten Malang dalam kurun waktu selalu berfluktuatif
artinya dari tahun ke tahun sering terjadi kenaikkan dan penurunan. Misalnya
ditahun 2005 terjadi kenaikkan menjadi 2,53% yang semula hanya 1,78% ditahun
2004. Ditahun 2006 terjadi penurunan menjadi 2,04%, ditahun 2007 terjadi
kenaikkan menjadi 3,11%, Tahun 2008 kembali mengalami penurunan menjadi
1,41% dan ditahun 2009 kembali mengalami kenaikkan menjadi 1,78%.
Ketujuh, Kota Malang, dimana proporsi penerimaan retribusi daerah di
kota malang ini selama tahun 2004 sampai 2009 selalu mengalami penurunan,
yang semula ditahun 2004 proporsi penerimaan retribusi daerah sebesar 4,53%
mengalami penurunan hingga tahun 2009 hingga menjadi sebesar 3,15%.
Kedelapan, Kota Batu. Proporsi penerimaan retribusi daerah di Kota Batu
merupakan
proporsi
penerimaan
retribusi
daerah
yang
terendah
jika
dibandingkan dengan kabupaten/kota yang lainnya yang ada di wilayah
Karesidenan Malang, dimana proporsi penerimaan daerah di Kota Batu ini dalam
6 tahun terakhir masih di bawah 2%.
4.1.3.2. Kondisi Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi
Hasil Pajak Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang
Penerimaan daerah di era desentralisasi, selain bersumber dari
penerimaan dalam daerah yang dijadikan sebagai sumber utama untuk
melakukan pengeluaran. Penerimaan daerah yang sering diterima oleh daerahdaerah
biasanya
bersumber
dari
tranfer
antar
pemerintah
atau
dana
perimbangan. Namun, meskipun terdapat sumber penerimaan lainnya tetapi
sumber penerimaan lain ini, di dalam sistem pemerintahan desentralisasi tidak
boleh melebihi sumber penerimaan yang berasal dari dalam daerah. Sumber
yang berasal dari dana perimbangan yang sering dijadikan sumber pendapatan
terutama yang berasal dari dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana
bagi hasil pajak. Dimana perkembangan dari variabel dana perimbangan yang
sering digunakan yaitu sebegai berikut.
Gambar 11
Grafik Peneriman Dana Alokasi Umum Kabupaten/Kota Wilayah
Karesidenan Malang Tahun 2004-2009
Sumber : BPS (data diolah)
Penerimaan dana alokasi umum kabupaten/kota wilayah Karesidenan
Malang berdasarkan gambar 11, diketahui bahwa antara tahun 2004 sampai
2009 penerimaan dana alokasi umum tertinggi di miliki oleh Kabupaten Malang
sedangkan kabupaten/kota yang menerima dana alokasi umum ini paling rendah
yaitu Kota Pasuruan dan Kota Batu. Dimana perkembangan penerimaan dana
alokasi umum setiap tahunnya di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang
dalam 6 tahun terakhir sebagai berikut.
Pada tahun 2004, kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang yang
penerimaan dana alokasi umumnya melebihi 200 milyar rupiah terdapat di 5
kabupaten/kota yaitu Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten
Lumajang, Kabupaten Malang dan Kota Malang. Dimana khusus untuk
Kabupaten Malang penerimaan dana alokasi umumnya di tahun 2004 ini telah
melebihi 500 milyar rupiah. Sedangkan untuk 3 kabupaten/kota lainnya yang
berada di wilayah Karesidenan Malang masih dibawah 200 milyar rupiah, dimana
kabupaten/kota tersebut yaitu Kota Pasuruan, Kota Probolinggo, dan Kota Batu.
Di tahun 2005, penerimaan dana alokasi umum di kabupaten/kota wilayah
Karesidenan Malang hampir sama dengan penerimaan dana alokasi umum di
tahun 2004. Dimana di tahun 2005 kabupaten/kota yang mengalami perubahan
penerimaan dana alokasi umum yaitu terjadi di Kabupaten Malang, yang mana
dana alokasi umum di Kabupaten Malang ini terjadi kenaikkan yang cukup
signifikan. Di tahun 2006, penerimaan dana aloaksi umum hampir di semua
kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang mengalami peningkatan, sehingga
di tahun 2006 ini kabupaten/kota yang penerimaan dana alokasi umumnya
melebihi 400 milyar rupiah terdapat di Kabupaten Probolinggo, Kabupaten
Pasuruan,
Kabupaten
Lumajang,
dan
Kabupaten
Malang,
sedangkan
kabupaten/kota yang penerimaan dana alokasi umumnya masih di bawah 200
milyar rupiah yaitu Kota Pasuruan dan Kota Batu.
Di tahun 2007 dan 2008, penerimaan dana alokasi umum terjadi
peningkatan di hampir semua kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang.
Dimana dengan terjadi kenaikkan penerimaan dana alokasi umum setiap
tahunnya, ini membuat Kabupaten Malang memperoleh penerimaan dana alokasi
umum hingga melebihi 900 milyar rupiah di tahun 2008. Penerimaan dana
alokasi umum ini merupakan penerimaan dana alokasi umum yang tertinggi jika
dibandingkan dengan penerimaan dana alokasi umum yang diperoleh oleh
daerah-daerah lainnya. Sedangkan di tahun 2008 ini semua kabupaten/kota
wilayah Karesidenan Malang telah memperoleh penerimaan dana alokasi umum
melebihi 200 milyar rupiah.
Di tahun 2009, penerimaan dana alokasi umum di sebagian besar
kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang masih mengalami peningkatan
seperti di Kabupaten Pasuruan, Kota Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kota
Probolinggo, dan Kota Batu. Sedangkan kabupaten/kota wilayah Karesidenan
Malang yang penerimaan dana alokasi umumnya mengalami penurunan yaitu di
Kabupaten Lumajang, Kabupaten Malang, dan Kota Malang. Dimana di tahun
2009 ini, semua kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang telah menerima
penerimaan dana alokasi umum telah melebihi 200 milyar rupiah.
Gambar 12
Grafik Jumlah Proporsi Dana Alokasi Umum Terhadap Jumlah Total
penerimaan Daerah Di Masing-masing Wilayah Kabupaten/Kota Wilayah
Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 (%)
Sumber : BPS (data diolah)
Berdasarkan gambar 12, bahwa jumlah proporsi penerimaan dana alokasi
umum (DAU) di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang selama diterapkan
sistem pemerintahan desentralisasi yang sudah berjalan 10 tahun, masih sangat
besar bahkan di rentang waktu 2004-2009 proporsi penerimaan DAU ini, masih
memiliki proporsi melebihi 50%. Dengan demikian berarti sumber penerimaan
daerah kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang ini, masih sangat
tergantung dari dana tranfer atau dana perimbangan khususnya dana alokasi
umum. Dimana perekembangan proporsi penerimaan DAU di masing-masing
daerah setelah sistem desentralisasi berjalan selama 6 tahun, yaitu sebagai
berikut.
Pertama, Kabupaten Pasuruan. Proporsi penerimaan DAU di kabupaten
ini memang pernah dibawah 40% tetapi hal itu terjadi di tahun 2004, sedangkan
untuk tahun-tahun selanjutnya seperti tahun 2005, 2006, 2007, 2008, 2009
proporsi penerimaan DAU memiliki proporsi yang sangat besar terhadap jumlah
total penerimaan daerah. Dimana proporsi penerimaan DAU telah melebihi 60%,
meskipun di tahun 2009 terjadi penurunan proporsi penerimaan DAU yang
semula 70% menjadi 65% tetapi proporsi ini masih sangat besar jika
dibandingkan dengan proporsi penerimaan-penerimaan daerah yang lainnya.
Kedua, Kota Pasuruan. Proporsi penerimaan DAU di kota ini di tahun
2004 sangat besar sekali yaitu di atas 70%, yang mana proporsi penerimaan
DAU ini merupakan proporsi terbesar selama 6 tahun terakhir. Ditahun
berikutnya proporsi penerimaan DAU ini memang turun di tahun 2005 dan naik
ditahun 2006, tetapi kembali mengalami penurunan lagi di di tahun 2007 dan
2008. Dan akhirnya di tahun 2009 proporsi penerimaan DAU di Kota Pasuruan ini
kembali naik menjadi 68,78% yang sebelumnya sebesar 64%.
Ketiga, Kota Probolinggo. Proporsi penerimaan DAU di Kota Probolinggo
dalam 6 tahun terakhir memang selalu mengalami fluktuatif, artinya setiap
tahunnya proporsi penerimaan DAU ini sering terjadi perubahan. Misalnya antara
tahun 2004 dan 2005 terjadi penurunan proporsi penerimaan DAU, ditahun 2006
mengalami kenaikkan, di tahun 2007 mengalami penurunan, ditahun 2008
mengalami kenaikkan, dan akhirnya di tahun 2009 proporsi penerimaan DAU
kembali mengalami penurunan menjadi 59,79%. Meskipun proporsi penerimaan
DAU sering berfluktuatif, namun proporsi penerimaan DAU di kota ini juga masih
sangat besar yang melebihi 50%.
Keempat,
Kabupaten
Probolinggo.
Proporsi
penerimaan
DAU
di
kabupaten ini di 6 tahun terakhir paling rendah di tahun 2008 sebesar 63%.
Namun, di tahun 2004, 2005, 2006, 2007 proporsi penerimaan DAU hampir
melebihi 70%, begitu juga dengan tahun 2009 yang mencapai 77%. Kelima,
Kabupaten Lumajang. Proporsi penerimaan DAU di kabupaten ini di 6 tahun
terakhir hampir konstan di antara kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang,
yaitu selalu dikisaran 72% sampai 77%, meskipun ditahun 2009 proporsi
penerimaan DAU mengalami penurunan tetapi proporsinya tetap di atas 70%.
Keenam, Kabupaten Malang, untuk proporsi penerimaan DAU dalam 6
tahun terakhir di kabupaten ini juga masih sangat besar yaitu masih di atas 70%,
misalnya di tahun 2004 proporsi penerimaan DAU di Kabupaten Malang
mencapai hampir 81%, di tahun 2005 mencapai 76,9%, tahun 2006 mencapai
77,9%, tahun 2007 mencapai 75,54%, tahun 2008 mencapai 74,1%, dan ditahun
2009 mencapai 74,2%. Ketujuh, Kota Malang, jika proporsi penerimaan DAU di
Kabupaten Malang tertinggi pada tahun 2004, tetapi di Kota Malang di tahun
2006. Dimana proporsi penerimaan DAU di tahun 2006 proporsi penerimaan
DAU mencapai 81%, yang mana di tahun sebelumnya hanya 62% ditahun 2004,
dan 59% di tahun 2005. Sedangkan setelah proporsi penerimaan DAU yang
sangat tinggi di tahun 2006, maka ditahun 2007, 2008, 2009 terus mengalami
penurunan, yaitu sebesar 67%, 65,5%, dan 65%.
Kedelapan, Kota Batu, proporsi penerimaan DAU di kota ini masih di
bawah Kabupaten/Kota tetangganya yaitu Kabupaten Malang dan Kota Malang.
Dimana proprosi penerimaan DAU masih dikisaran 50% sampai 65%. Meskipun
dikisaran tersebut Kota Batu pernah memiliki proporsi penerimaan DAU yang
sangat tinggi yaitu di tahun 2007 yang mencapai 83%, yang mana proporsi
penerimaan ini merupakan proporsi terbesar yang di antara kabupaten/kota di
wilayah Karesidenan Malang selama 6 tahun terkahir. Namun, setelah memiliki
proporsi penerimaan yang besar di tahun 2007, ditahun selanjutnya proporsi
penerimaan DAU di Kota Batu terus mengalami penurunan yaitu 66,8% di tahun
2008 dan 64,9% di tahun 2009.
Gambar 13
Grafik Penerimaan Dana Alokasi Khusus Kabupaten/Kota Wilayah
Karesidenan Malang Tahun 2004-2009
Sumber : BPS (data diolah)
Berdasarkan gambar 13, diketahui bahwa penerimaan dana alokasi
khusus (DAK) di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang dalam 6 tahun
terakhir ada yang mengalami peningkatan maupun penurunan penerimaan di
masing-masing kabupaten/kota. Dimana pada tahun 2004, penerimaan DAK di
kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang masih di bawah 20 milyar rupiah.
Dengan kabupaten/kota yang memiliki penerimaan DAK terbesar di tahun 2004
yaitu Kabupaten Pasuruan sebesar 11,5 milyar rupiah, Kabupaten Lumajang 9,5
milyar rupiah dan Kota Batu sebesar 10,6 milyar rupiah.
Di tahun 2005, penerimaan DAK kabupaten/kota wilayah Karesidenan
Malang hampir semuanya mengalami peningkatan, kecuali Kabupaten Pasuruan.
Dimana di tahun 2005 Kabupaten Pasuruan penerimaan DAKnya mengalami
penurunan dari 11,5 milyar rupiah menjadi 4 milyar rupiah, sedangkan untuk
kabupaten/kota yang lainnya mengalami peningkatan hampir dua lipat dari tahun
2004. Kabupaten/kota yang peningkatan penerimaan DAKnya paling signifikan
yaitu Kabupaten Malang, yang mana penerimaan DAK kabupaten ini di tahun
2004 hanya sebesar 4 milyar rupiah sedangkan di tahun 2005 ini meningkat
menjadi 35,6 milyar rupiah. Di tahun 2006, penerimaan DAK kabupaten/kota
wilayah Karesidenan Malang hampir semuanya meningkat dua kali lipat, kecuali
Kabupaten yang besar penerimaan DAKnya masih tetap seperti tahun 2005 yaitu
sebesar 35,6 milyar rupiah. Sedangkan kabupaten yang mengalami peningkatan
cukup signifikan yaitu Kabupaten Pasuruan, yang mana di tahun 2005
penerimaan kabupaten ini mengalami penurunan sehingga penerimaan DAKnya
sebesar 4 milyar rupiah, kini di tahun 2006 meningkat menjadi 30,5 milyar rupiah.
Di tahun 2007, penerimaan DAK kabupaten/kota wilayah Karesidenan
Malang di semua kabupaten/kota meningkat. Kabupaten/kota yang peningkatan
penerimaan DAKnya tidak terlalu besar yaitu Kota Batu, yang mana di tahun
2006 penerimaan DAKnya hanya sebesar 17,9 milyar rupiah dan di tahun 2007
menjadi 18,8 milyar rupiah. Sedangkan kabupaten/kota yang penerimaan
DAKnya naik sangat signifikan yaitu Kabupaten Malang yang ditahun 2006
sebesar 35,6 milyar rupiah dan di tahun 2007 menjadi 68 milyar rupiah. Di tahun
2008, hampir di sebagian besar kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang
penerimaan DAKnya masih tetap masih mengalami peningkatan, kecuali
Kabupaten Probolinggo. Dimana penerimaan DAK di kabupaten ini mangalami
penurunan dari yang semula di tahun 2007 sebesar 52 milyar rupiah dan di tahun
2008 menjadi sebesar 31,7 milyar rupiah.
Di tahun 2009, penerimaan DAK kabupaten/kota wilayah Karesidenan
Malang hampir di semua kabupaten/kota tetap mengalami peningkatan kecuali
Kabupaten Pasuruan dan Kota Malang. Yang mana untuk Kabupaten Pasuruan
penerimaan DAKnya menjadi 67 milyar rupiah yang sebelumnya sebesar 76
milyar rupiah sedangkan Kota Malang menjadi 20,6 milyar rupiah yang
sebelumnya sebesar 31,7 milyar rupiah. Untuk penerimaan DAK terbesar di 6
tahun terakhir terdapat di Kabupaten Malang yaitu sebesar 93,9 milyar rupiah.
Gambar 14
Grafik Jumlah Proprosi DAK Terhadap Jumlah Total Penerimaan Daerah Di
Masing-masing Wilayah Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan Malang
Tahun 2004-2009 (%)
Sumber : BPS (data diolah)
Berdasarkan gambar 14, diketahui bahwa proporsi penerimaan DAK
kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang terhadap jumlah total penerimaan
daerah dalam 6 tahun terakhir masih di bawah 12%. Yang mana perkembangan
proporsi
penerimaan
DAK
di
masing-masing
kabupaten/kota
wilayah
Karesidenan Malang dalam waktu 6 tahun terakhir atau tepatnya setelah sistem
pemerintahan desentraslisasi diterapkan yaitu sebagai berikut.
Pertama, Kabupaten Pasuruan, proporsi penerimaan DAK di kabupaten
ini memang pernah mengalami penurunan yaitu di tahun 2005 menjadi 0,7%
yang semulanya di tahun 2004 sebesar 1,1%. Namun setelah di tahun 2005 ini
yang mengalami penurunan jumlah proporsi penerimaan DAK, memasuki tahun
2006, 2007, 2008, 2009 proporsi penerimaan DAK ini naik sangat signifikan yaitu
menjadi 4%, 6%, 8%, dan 9%. Kedua, Kota Pasuruan, perkembangan proporsi
penerimaan DAK di kota ini dalam 6 tahun terakhir cukup baik. Dimana dari
tahun 2004 sampai 2009 jumlah proporsi penerimaan DAK kota ini selalu naik
yaitu 2004 sebesar 3%, 2005 sebesar 6%, 2006 sebesar 8%, 2007 sebesar 10%,
2008 sebesar 10,3%, dan di tahun 2009 sebesar 11,5%.
Ketiga, Kota Probolinggo. Proporsi penerimaan DAK di Kota Probolinggo
dalam 6 tahun terakhir, memang pernah terjadi penurunan di tahun 2007, yang
pada tahun sebelumnya yaitu tahun dari 2004, 2005, 2006 proporsi penerimaan
DAKnya selalu mengalami kenaikkan. Namun, setelah tahun 2007 yang
mengalami penurunan proporsi penerimaan DAK, di tahun 2008 dan 2009
proporsi penerimaan DAK ini kembali mengalami kenaikkan yaitu yang semula di
tahun 2007 proporsi penerimaan DAK sebesar 7,71% menjadi 8,7% di tahun
2008 dan 8,8% di tahun 2009. Keempat, Kabupaten Probolinggo, dimana
proporsi penerimaan DAK di kabupaten ini selalu mengalami kenaikkan dari
tahun 2004 sampai tahun 2007 yaitu sebesar 2,5 % di tahun 2004, 3,3% di tahun
2005, 4,9% di tahun 2006 dan 7,9% di tahun 2007. Sedangkan di tahun 2008
dan 2009 proporsi penerimaan DAK di kabupaten ini mengalami penurunan yaitu
di tahun 2008 proporsi penerimaan DAK menjadi 7,6% dan di tahun 2009
sebesar 6,51%.
Kelima, Kabupaten Lumajang, perkembangan proporsi penerimaan DAK
di kabupaten dalam 6 tahun terakhir selalu mengalami kenaikkan dari tahun 2004
sampai 2009, dimana proporsi penerimaan DAK di tahun 2004 proporsi
penerimaan DAK sebesar 2,6% dan sampai ditahun 2009 proporsi penerimaan
DAKnya sebesar 9,7%. Dimana proporsi penerimaan DAK yang dalam 6 tahun
terakhir selalu mengalami peningkatan ini hanya terjadi hanya di Kabupaten
Lumajang. Keenam, Kabupaten Malang, proporsi penerimaan DAK di kabupaten
ini tahun 2004 memiliki proporsi yang sangat kecil yaitu hanya sebesar 0,6%,
tetapi di tahun 2005 proporsi penerimaan DAK ini, mengalami kenaikkan yang
sangat signifikan yaitu sebesar 5%. Namun di tahun 2006 proporsi penerimaan
DAK di kabupaten ini kembali mengalami penurunan sehingga menjadi sebesar
3,5%, dan akhirnya di tahun 2007, 2008, 2009 proprosi penerimaan DAK di
kabupaten ini terus mengalami kenaikkan sehingga menjadi 5%, 6% dan 7%.
Ketujuh, Kota Malang, perkembangan proporsi penerimaan DAK di Kota
Malang memiliki rata-rata masih di bawah 5% dalam 6 tahun terakhir. Dimana di
tahun 2004 proporsi penerimaan DAK masih sebesar 1,6%, dan terjadi
peningkatan di tahun 2005 dan 2006 menjadi sebesar 2% dan 4,6%. Namun di
tahun 2007 proporsi penerimaan DAK mengalami penurunan menjadi sebesar
4,3% dan di tahun 2008 kembali mengalami kenaikkan menjadi sebesar 4,4%
yang selanjutnya di tahun 2009 proporsi penerimaan DAK di kota ini kembali
mengalami penurunan yang sangat signifikan sehingga porporsi penerimaan
DAK menjadi sebesar 2,8%. Kedelapan, Kota Batu, dimana proporsi penerimaan
DAK di kota ini memang terjadi penurunan antara tahun 2004 dan 2005, dimana
proporsi penerimaan DAK di tahun 2005 hanya sebesar 5,5,% yang sebelmunya
5,8%. Namun di tahun 2006, 2007, 2008, 2009 proporsi penerimaan DAK di kota
ini selalu mengalami kenaikkan yaitu sebesar 7% di tahun 2006, 8% di tahun
2007, 9,4% di tahun 2008, dan 9,8% di tahun 2009.
Gambar 15
Grafik Penerimaan Dana Bagi Hasil Pajak Kabupaten/Kota Wilayah
Karesidenan Malang Tahun 2004-2009
Sumber : BPS (data diolah)
Berdasarkan
gambar 15, perkembangan penerimaan dana bagi hasil
pajak (DBH Pajak) di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang dalam 6 tahun
terakhir hampir di semua kabupaten/kota mengalami peningkatan. Penerimaan
DBH pajak tertinggi di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang dalam 6
tahun terakhir terdapat di Kabupaten Pasuruan sebesar 115 milyar rupiah.
Sedangkan perkembangan penerimaan DBH pajak dalam 6 tahun yaitu sebagai
berikut.
Pertama, di tahun 2004, penerimaan DBH pajak di tahun 2004 di
kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang ini terdapat 3 kabupaten/kota yang
penerimaan DBH pajaknya mampu mencapai diatas 30 milyar rupiah, dimana
kabupaten/kota tersebut yaitu Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Malang, dan
Kota Malang. Sedangkan kabupaten/kota yang penerimaan DBH pajaknya di
bawah 20 milyar rupiah terdapat di 2 kabupaten/kota yaitu Kota Pasuruan dan
Kota Probolinggo, dan kabupaten/kota lainnya yang berada di wilayah
Karesidenan Malang ini penerimaan daerahnya masih dikisaran 20 – 30 milyar
rupiah.
Kedua,
tahun
2005,
perkembangan
penerimaan
DBH
pajak
di
kabupaten/kota wilayah Kresidenan Malang di tahun ini hampir di semua
kabupaten/kota mengalami peningkatan penerimaan DBH pajak, kecuali Kota
Probolinggo dan Kabupaten Lumajang. Sedangkan di tahun 2005, penerimaan
DBH pajak tertinggi terdapat di Kabupaten Pasuruan sebesar 49 milyar rupiah,
diikuti oleh Kabupaten Malang sebesar 41,8 milyar rupiah dan Kota Malang
sebesar 41,7 milyar rupiah. Ketiga tahun 2006, dimana perkembangan
penerimaan DBH pajak pada tahun ini masih mengalami peningkatan termasuk
Kota Probolinggo yang pada tahun 2005 penerimaan DBH pajaknya mengalami
penurunan. Sedangkan untuk Kabupaten Lumajang penerimaan DBH pajaknya
tetap mengalami penurunan, yang semula di tahun 2005 sebesar 20,6 milyar
rupiah dan di tahun 2006 menjadi sebesar 18,6 milyar rupiah.
Keempat, tahun 2007, untuk perkembangan penerimaan DBH pajak di
kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang di tahun ini, semua kabupaten/kota
penerimaan DBH pajaknya mengalami peningkatan. Di mana peningkatan
penerimaan DBH pajak yang paling signifikan terdapat di kabupaten Malang,
yang semula di tahun 2006 sebesar 52,5 milyar rupiah sedangkan di tahun 2007
menjadi sebesar 64 milyar rupiah. Kelima tahun 2008, dimana pada tahun
perkembangan penerimaan DBH pajak di kabupaten/kota wilayah Karesidenan
Malang masih tetap terjadi peningkatan di semua kabupaten/kota. Di tahun ini
penerimaan DBH pajak tertinggi terdapat di Kabupaten Malang yaitu sebesar 77
milyar rupiah.
Keenam, tahun 2009, dimana perkembangan penerimaann DBH pajak
pada tahun ini masih tetap di sebagian besar kabupaten/kota mengalami jumlah
penerimaan DBH pajaknya, sedangkan kabupaten/kota yang penerimaan DBH
pajaknya mengalami penurunan yaitu terdapat di Kota Pasuruan, yang semula
sebesar 25,2 milyar rupiah kini menjadi 24,5 milyar rupiah dan Kota Malang yang
semula sebesar 77 milyar rupiah kini menjadi 72 milyar rupiah. Sementara itu
kabupaten/kota yang mengalami peningkatan penerimaan DBH pajak yang
signifikan terdapat di Kabupaten Pasuruan yaitu sebesar 115,5 milyar rupiah
yang semula di tahun 2008 hanya sebesar 69 milyar rupiah.
Gambar 16
Grafik Jumlah Proporsi Penerimaan Dana Bagi Hasil Pajak Terhadap
Jumlah Total penerimaan Daerah Di Masing-masing Kabupaten/Kota
Wilayah Karesidenan Malang Tahun 2004-2009 (%)
Sumber : BPS (data diolah)
Berdasarkan
gambar
16,
proporsi
penerimaan
DBH
pajak
di
kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang selama 6 tahun terakhir masih
sangat rendah yaitu sebesar dibawah 12%. Dimana perkembangan proporsi
penerimaan DBH pajak di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang selam 6
tahun berdasarkan kabupaten/kota masing-masing sebagai beikut.
Pertama,
Kabupaten
Pasuruan.
Dimana
perkembangan
proporsi
penerimaan DBH pajak selama 6 tahun terkahir di kabupaten ini sering
berfluktuatif. Dimana peningkatan proporsi penerimaan DBH pajak terjadi dari
tahun 2004, 2005 yaitu sebesar 3,8% menjadi 8,7%. Namun di tahun 2006 dan
2007 proporsi penerimaan DBH pajak mengalami penuruan di kabupaten ini
mengalami penurunan menjadi 8,6% dan 7,2%. Dan di tahun 2008 dan 2009,
penerimaan DBH pajak di kabupaten ini sebesar 8,2% dan 12,5%.
Kedua, Kota Pasuruan. Dimana proporsi penerimaan DBH pajak di Kota
ini di tahun 2004 dan 2005 memang terjadi peningkatan yaitu 7,77% menjadi
7,8%, tetapi di tahun 2006 sampai 2007 proporsi penerimaan DBH pajaknya
mengalami penurunan yaitu menjadi 7,3% dan 5,7%. Di tahun 2008 dan 2009
proporsi penerimaan DBH pajak ini kembali mengalami peningkatan kembali
menjadi 7,2% dan 7,3%. Ketiga, Kota Probolinggo, proporsi penerimaan DBH
pajak di kota ini terjadi penurunan dari tahun 2004 sampai 2007 yaitu sebesar
11% di tahun 2004, 9,54% di tahun 2005, 7,8% di tahun 2006, dan 7,7% di tahun
2007. Sedangkan di tahun 2008 dan 2009 proporsi penerimaan DBH pajak di
kota ini mengalami peningkatan yaitu sebesar 8,7% dan 8,8%.
Keempat. Kabupaten Probolinggo. Proporsi penerimaan DBH pajak di
kabupaten ini juga sering berfluktuatif. Di tahun 2004 dan 2005, proporsi
penerimaan DBH pajak mengalami peningkatan yaitu 7,4% dan 8,8%.
Sedangkan 2006 dan 2007, proporsi penerimaan DBH pajak mengalami
penurunan yaitu menjadi 7,1% dan 6,9%. Ditahun 2008 penerimaan DBH pajak
kembali mengalami peningkatan sehingga menjadi sebesar 8,9% yang
selanjutnya di tahun 2009 kembali mengalami penurunan menjadi 6,9%. Kelima,
Kabupaten Lumajang, Proporsi peneriman DBH pajak di kabupaten ini selama 6
tahun terakhir merupakan proporsi penerimaan DBH pajak yang paling kecil di
bandingkan dengan kabupaten/kota yang lainnya yang berada di wilayah
Karesidenan Malang. Di tahun 2004 sampai 2006 proporsi penerimaan DBH
pajak do kabupaten ini terus mengalami penurunan, yaitu 6,1%, 5,3%, 3,2%. Di
tahun 2007 proporsi penerimaan DBH pajak mengalami kenaikkan menjadi
4,65%, tetapi di tahun 2008 proporsi penerimaan DBH pajak kembali mengalami
penurunan yaitu menjadi 4,63% yang di tahun 2009 proporsi DBH pajak ini
kembali mengalami peningkatan yaitu sebesar 5%.
Keenam, Kabupaten Malang. Proporsi penerimaan DBH pajak di
kabupaten ini sama dengan Kabupaten Lumajang yiatu di tahun 2004 sampai
2006 mengalami penurunan, di tahun 2007 dan 2008 mengalami kenaikkan yang
selanjutnya di tahun 2009 kembali mengalami penurunan menjadi 5,6%. Ke
tujuh, Kota Malang, proporsi penerimaan DBH pajak di kota ini, merupakan
proporsi
yang
memiliki
rata-rata
tertinggi
jika
di
bandingkan
dengan
kabupaten/kota lainnya yang berada di wilayah Karesidenan Malang. Namun di
tahun 2004 sampai 2008 penerimaan DBH pajak di kota ini selalu mengalami
penurunan yaitu menjadi 11,9% di tahun 2004, 11,3% di tahun 2005, 11,2% di
tahun 2006, 9,8% di tahun 2007, dan 9,7% di tahun 2008. Tetapi di tahun 2009
proporsi penerimaan DBH di kota ini kembali mengalami peningkatan menjadi
11,7%.
Kedelapan, Kota Batu. Proprosi penerimaan DBH Pajak di Kota ini juga
seperti di kabupaten/kota lainnya yaitu sering berfluktuatif. Di tahun 2004 dan
2005, proporsi penerimaan DBH pajak mengalami peningkatan yaitu dari 6,8%
menjadi 8,1%. Namun, di tahun 2006 proporsi penerimaan DBH pajak di kota ini
mengalami penurunan yaitu menjadi 7,3%. Sedangkan di tahun 2007, 2008,
2009 proporsi penerimaan DBH pajak selalu mengalami peningkatan yaitu
menjadi 9,9% di tahun 2007, 11,3% di tahun 2008, dan 12,3% di tahun 2009.
4.2. Pengujian Hasil Estimasi Persamaan Regresi Data Panel
Pada regresi data panel dalam penelitian ini yang bertujuan untuk
mengetahui bagaimana pertumbuhan ekonomi daerah dipengaruhi oleh
penerimaan pajak daerah (PD), penerimaan retribusi daerah (RD), penerimaan
dana alokasi umum (DAU), penerimaan dana alokasi khusus (DAK), dan
penerimaan dana bagi hasil pajak (DBHP) melalui belanja daerah khususnya
belanja langsung dan belanja tidak langsung. Dengan menggunakan 3 teknik
permodelan dalam bentuk model random. Dimana model random ini dipilih,
karena berdasarkan pada dua alasan, yaitu :
1. Berdasarkan uji Hausman, dimana jika nilai
hitung lebih besar jika dari
tabel maka yang digunakan adalah model random, tetapi jika hal
sebaliknya yang di peroleh maka yang digunakan adalah model fixed.
Atau jika nilai P-value > 5% maka yang dipilh model random, tetapi jika
sebaliknya maka yag dipilh model fixed. Dimana setelah di uji
menggunakan uji hausman maka hasilnya sebagai berikut (lebih
lengkapnya lihat di lampiran 1,2,3) :
Tabel 2
Hasil Uji Hausman
Model
Test Summary
Chi-Sq.
Chi-Sq.
Prob.
Statistic
d.f.
Model
Cross-section
4.272.432
5
0.5109
1
random
Model
Cross-section
2.836.128
5
0.7252
2
random
Model
Cross-section
9.997.027
2
0.0671
3
random
Catatan : signifikan level 5%
Berdasarkan pada tabel 2 diketahui bahwa dari 3 model, semuanya
memiliki nilai probabilitas melebihi 5% yaitu model 1 sebesar 51%, model
kedua sebesar 72% dan model ketiga sebesar 6,7 %. Dengan adanya
hasil tersebut maka artinya semua model yang diterapkan merupakan
model random.
2. Berdasarkan saran dari beberapa ahli ekonometrika, dimana dikatakan
bahwa jika data panel yang dimiliki memiliki jumlah waktu (T) lebih kecil
jika dibandingkan dengan jumlah individu (N) maka di sarankan untuk
menggunakan model random (Nacrhowi dan Usman, 2006).
Dimana hasil estimasi regresi data panel dalam penelitian ini yang menggunakan
model random, dengan jumlah observasi sebanyak 48 yang diolah dengan
menggunakan eviews 6, ditampilkan dalam tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3
Hasil Estimasi Model Regresi Data Panel Dengan 3 Model Random
Variable Coefficient Prob.
Estimasi
Nilai
Model 1
PD
-0,0814
0,0968
R-squared
0,83028
RD
1,9812
0,0297
Prob(F0,00000
statistic)
DAU
0,6929
0,0000
DAK
0,4744
0,0656
DBHP
0,6410
0,0663
Model 2
PD
0,6470
0,0702
R-squared
0,757007
RD
0,5373
0,0719
Prob(F0,00000
statistic)
DAU
0,0939
0,0304
DAK
2,8382
0,0001
DBHP
1,2656
0,0277
Model 3
BTL
4.99E-06 0.0029
R-squared
0,826723
BL
4.52E-06 0.0436
Prob(F0,00000
statistic)
Catatan : Signifikan level 10%
Berdasarkan pada tabel 3 dapat diketahui bahwa hasil uji estimasi regresi data
panel yang telah dilakukan berdasarkan 3 model yaitu sebagai berikut (lebih
lengkapnya lihat di lampiran 1,2,3) :
a. Model 1 (BTL = f(PD, RD, DAU, DAK, DBHP))
Dimana di dalam model 1 ini, memiliki nilai R2 sebesar 0,83, artinya bahwa
kelima variabel independentnya mampu menjelaskan variabel dependentnya
sebesar 83%, sedangkan sisanya 17% dijelaskan oleh variabel lainnya di
luar model ini. Sedangkan untuk uji F-statistiknya, memiliki nilai sebesar 0,00
sehingga menunjukkan hasil yang signifikan. Dan untuk uji t, yang digunakan
untuk mengetahui signifikansi atau pengaruh masing-masing variabel
independent terhadap dependentnya. Dimana di dalam model 1, semua
variabel independent yaitu pajak daerah, retribusi daerah, dana alokasi
umum, dana alokasi khusus dan dana bagi hasil pajak berpengaruh atau
signifikan terhadap variabel dependentnya dengan signifikansi sebesar 10%.
Adapun koefisien regresi dari masing-masing variabel yang signifikan adalah
sebagai berikut :
1. -0,08 PD, artinya jika penerimaan pajak daerah naik sebesar 1 persen
maka akan menyebabkan turunnya belanja tidak langsung sebesar 0,08
persen.
2. 1,98 RD, artinya jika penerimaan pajak daerah naik sebesar 1 persen
maka akan menyebabkan naiknya belanja tidak langsung sebesar 1,98
persen.
3. 0,69 DAU, artinya jika penerimaan pajak daerah naik sebesar 1 persen
maka akan menyebabkan naiknya belanja tidak langsung sebesar 0,69
persen.
4. 0,47 DAK, artinya jika penerimaan pajak daerah naik sebesar 1 persen
maka akan menyebabkan naiknya belanja tidak langsung sebesar 0,47
persen.
5. 0,64 DBHP, artinya jika penerimaan pajak daerah naik sebesar 1 persen
maka akan menyebabkan naiknya belanja tidak langsung sebesar 0,64
persen.
b. Model 2 (BTL = f(PD, RD, DAU, DAK, DBHP))
Dimana di dalam model 2 ini, memiliki nilai R2 sebesar 0,75, artinya bahwa
kelima variabel independentnya mampu menjelaskan variabel dependentnya
sebesar 75%, sedangkan sisanya 25% dijelaskan oleh variabel lainnya di
luar model ini. Sedangkan untuk uji F-statistiknya, memiliki nilai sebesar 0,00
sehingga menunjukkan hasil yang signifikan. Dan untuk uji t, yang digunakan
untuk mengetahui signifikansi atau pengaruh masing-masing variabel
independent terhadap dependentnya. Dimana di dalam model 2 ini semua
variabel independent yaitu pajak daerah, retribusi daerah, dana alokasi
umum, dana alokasi khusus dan dana bagi hasil pajak berpengaruh atau
signifikan terhadap variabel dependentnya dengan signifikansi sebesar 10%.
Adapun koefisien regresi dari masing-masing variabel yang signifikan adalah
sebagai berikut :
1. 0,64 PD, artinya jika penerimaan pajak daerah naik sebesar 1 persen
maka akan menyebabkan naiknya belanja langsung sebesar 0,64
persen.
2. 0,53 RD, artinya jika penerimaan pajak daerah naik sebesar 1 persen
maka akan menyebabkan naiknya belanja langsung sebesar
0,53
persen.
3. 0,09 DAU, artinya jika penerimaan pajak daerah naik sebesar 1 persen
maka akan menyebabkan naiknya belanja langsung sebesar 0,09
persen.
4. 2,83 DAK, artinya jika penerimaan pajak daerah naik sebesar 1 persen
maka akan menyebabkan naiknya belanja tidak langsung sebesar 2,83
persen.
5. 1,26 DBHP, artinya jika penerimaan pajak daerah naik sebesar 1 persen
maka akan menyebabkan naiknya belanja tidak langsung sebesar 1,26
persen.
c. Model 3 (PDRB = f(BTL, BL))
Dimana di dalam model 3 ini, memiliki nilai R2 sebesar 0,82, artinya bahwa
kedua variabel independentnya mampu menjelaskan variabel dependentnya
sebesar 82%, sedangkan sisanya 18% dijelaskan oleh variabel lainnya di
luar model ini. Sedangkan untuk uji F-statistiknya, memiliki nilai sebesar 0,00
sehingga menunjukkan hasil yang signifikan. Dan untuk uji t, yang digunakan
untuk mengetahui signifikansi atau pengaruh masing-masing variabel
independent terhadap dependentnya. Dimana di dalam model 3 ini semua
variabel independent yaitu belanja langsung dan belanja tidak langsung
berpengaruh atau signifikan terhadap variabel dependentnya dengan
signifikansi sebesar 10%.
Adapun koefisien regresi dari masing-masing variabel yang signifikan adalah
sebagai berikut :
1. 4,99 BTL, artinya jika penerimaan belanja tidak langsung naik sebesar 1
persen maka akan menyebabkan naiknya pertumbuhan ekonomi sebesar
4,99 persen.
2. 4,52 BL, artinya jika penerimaan belanja langsung naik sebesar 1 persen
maka akan menyebabkan naiknya pertumbuhan ekonomi sebesar 4,52
persen.
4.3. Pembahasan Hasil
Berdasarkan hasil estimasi yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa
penerimaan daerah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi daerah harus
melalui belanja daerah. Dimana hal ini tercermin pada model yang diterapkan
yaitu model 1 dan 2 yaitu melihat hubungan kelima variabel penerimaan daerah
ini terhadap ini belanja daerah, baik itu belanja langsung maupun belanja tidak
langsung. Berdasarkan model 1 dapat diketahui bahwa terdapat satu variabel
yang memiliki hubungan negatif terhadap belanja tidak langsung yaitu pajak
daerah sedangkan untuk keempat variabel yang lain memiliki hubungan yang
positif dengan belanja tidak langsung. Sedangkan untuk model kedua diketahui
bahwa kelima variabel penerimaan daerah memiliki hubungan yang positif yang
signifikan terhadap belanja tidak langsung. Karena untuk mengetahui pengaruh
variabel penerimaan daerah terhadap pertumbuhan melalui belanja daerah,
maka penerimaan tersebut harus dialokasikan ke dalam belanja daerah sehingga
disini merupakan alasan dibuatnya model 3 yaitu pertumbuhan ekonomi yang
dipengaruhi oleh belanja langsung dan belanja tidak langsung. Dimana seperti
yang telah dibahas ternyata belanja tidak langsung maupun belanja tidak
langsung juga berpengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Dengan demikian berarti semua variabel penerimaan daerah kecuali pajak
daerah yang dijadikan variabel independent di dalam penelitian ini memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Pajak daerah ini memiliki hubungan negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi, hal ini dikarenakan kenaikkan pajak daerah yang membawa efek
negatif terhadap belanja tidak langsungnya, sehingga juga membawa dampak
yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Yang mana bahwa pajak
daerah memiliki hubungan yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi juga
diperkuat
oleh
keseimbangan
pendapatan
nasional.
Dimana
di
dalam
keseimbangan tersebut dinyatakan bahwa pajak dapat mengurangi konsumsi
seingga karena konsumsi berkurang maka penerimaan juga akan berkurang
sehingga pertumbuhan ekonomi daerah juga akan berkurang.
Sementara itu, untuk kelima variabel independent lainnya yaitu retribusi
daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus dan dana bagi hasil pajak yang
memiliki pengaruh positif dan signifikan dengan derajat kepercayaan 10%.
Sehingga hal ini sesuai dengan pendapat Mar’isa (2010) yang menyatakan
bahwa dana alokasi umum, dana alokasi khusus, serta dana bagi hasil pajak
merupakan masih menjadi sumber pendapatan utama untuk melakukan
pengeluaran yang nantinya diharapkan dapat menciptakan pertumbuhan
ekonomi. Selain itu, hasil estimasi yang menyatakan bahwa retribusi daerah,
dana alokasi umum, dana alokasi khusus serta dana bagi hasil pajak ini yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, berarti sesuai juga dengan teori
pertumbuhan ekonomi.
Di dalam teori pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar, dana alokasi khusus
dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi karena dana alokasi khusus
merupakan suatu investasi dari pemerintah, yang nantinya dapat menciptakan
suatu pertumbuhan ekonomi. Seperti diketahui dana alokasi khusus merupakan
dana yang digunakan oleh pemerintah untuk melakukan pembangunan
infrastruktur, sehingga dengan adanya infrastruktur ini diharapkan dapat
meningkatkan kegiatan perekonomian suatu daerah. Sedangkan untuk retribusi
daerah, dana alokasi umum dan dana
bagi hasil pajak, menurut teori
pertumbuhan baru maupun agregrat dapat digunakan sebagai suatu modal untuk
menciptakan suatu pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan retribusi daerah
merupakan dana yang dapat diperoleh oleh daerah setelah daerah tersebut
memberi imbalan jasa sedangkan dana alokasi umum, diberikan kepada
pemerintah daerah oleh pemerintah pusat untuk mengurangi kesenjangan antar
daerah terutama bagi daerah yang sumber pendapatan daerahnya sangat kecil,
yang nantinya dana alokasi umum ini dapat digunakan oleh pemerintah daerah
untuk melakukan pengeluaran. Dan terkahir dana bagi hasil pajak juga
merupakan sumber penerimaan tambahan yang berasal dari bagi hasil pajak
setelah memanfaatkan potensi yang ada daerahnya, yang nantinya diharapkan
dapat digunakan untuk melakukan pengeluaran sehingga dapat menciptakan
pertumbuhan ekonomi.
Akhirnya, hipotesis pada penelitian ini yang telah dikemukaan di bab
sebelumnya dapat terjawab, bahwa penerimaan pajak daerah berpengaruh
negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan retribusi daerah, dana
alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana bagi hasil pajak berpengaruh
positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dikatakan tepat.
4.3.1. Variabel Penerimaan Daerah Menciptakan Pertumbuhan Ekonomi
Variabel penerimaan daerah yang berpengaruhi positif di dalam penelitian
ini yang meliputi retribusi daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan
dana bagi hasil pajak daerah dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi,
dikarenakan varaibel-variabel ini digunakan sebagai modal untuk melakukan
pengeluaran yang dilakukan oleh daerah sehingga nantinya dari pengeluaran ini
diharapkan dapat menciptakan suatu pertumbuhan ekonomi. Dimana di era
desentralisasi fiskal daerah-daerah diberi keleluasaan
untuk melakukan
pengelolaan keuangan daerah baik itu dari segi penerimaan maupun dari segi
pengeluaran, yang mana keleluasaan ini diberikan agar pemerintah daerah dapat
memanfaatkan
dengan
baik
potensi-potensi
daerah
yang
dimiliki
agar
memperoleh pendapatan yang lebih besar dari dalam daerah sehingga
mengurangi ketergantungan terhadap bantuan dari pemerintah pusat yang
biasanya dalam bentuk dana perimbangan. Selain itu dengan adanya
keleluasaan ini diharapkan pemerintah daerah dapat mengalokasikan dana-dana
penerimaan yang telah diperoleh untuk melakukan pengeluaran yang benarbenar dapat memacu pertumbuhan ekonomi.
Wilayah yang dijadikan obyek di dalam penelitian ini yaitu kabupaten/kota
wilayah Karesidenan Malang, variabel-variabel penerimaan baik itu pajak daerah,
retribusi derah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, maupun dana bagi
hasil pajak digabungkan menjadi satu di setiap daerah yang nantinya digunakan
sebagai modal untuk melakukan pembangunan ekonomi yang nantinya
diharapkan dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi di masing-masing daerah.
Dimana pengeluaran yang dilakukan oleh kabupaten/kota wilayah Karesidenan
Malang di tahun 2009 sebagai berikut :
Gambar 17
Grafik Jumlah Pengeluaran Daerah Kabupaten/Kota Wilayah Karesidenan
Malang Tahun 2009
Sumber : BPS (data diolah)
Berdasarkan
gambar
17,
diketahui
bahwa
pengeluaran
daerah
kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang di tahun 2009 dibagi menjadi 2
yaitu belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja tidak langsung yang
dilakukan oleh pemerintah daerah saat sistem pemerintahan desentralisasi
meliputi belanja pegawai, belanja hibah, belanja tidak terduga, belanja bunga,
belanja subsidi, belanja bantuan keuangan, dan belanja bunga, dengan kata lain
belanja tidak langsung ini merupakan belanja yang bersifat konsumtif atau
ekonomis. Sedangkan belanja langsung saat sistem pemerintahan desentralisasi
meliputi belanja pegawai dan belanja barang dan jasa, dimana belanja langsung
ini merupakan belanja daerah yang memiliki sifat investasi. Berdasarkan gambar
18, diketahui bahwa belanja tidak langsung hampir di semua kabupaten/kota
wilayah Karesidenan Malang memiliki porsi yang lebih besar dari pada belanja
langsungnya kecuali di Kabupaten Kota Pasuruan dan Kota Batu.
Dari kedua jenis belanja yang dilakukan oleh pemerintah daerah
sebenarnya juga sama-sama dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi. Hal ini
berdasarkan teori pertumbuhan baru dan Harrod-Dommar, dimana jika
berdasarkan teori pertumbuhan Harrod Domar yang pertumbuhan ekonomi
diakibatkan oleh kegiatan investasi maka belanja langsung yang dilakukan oleh
pemerintah daerah masuk ke dalam teori pertumbuhan ini, yang mana belanja
langsung seperti apa yang telah dijelaskan diatas bahwa belanja langsung
merupakan belanja yang dilakukan oleh pemerintah seperti membeli peralatan
atau pembagunan infrastruktur yang nantinya dengan adanya belanja langsung
ini diharapkan dapat mempermudah proses produksi sehingga hasil dari produksi
tersebut dapat meningkat. Sedangkan jika berdasarkan teori pertumbuhan
endogen, maka belanja tidak langsung juga dapat meningkatkan pertumbuhan
ekonomi. Hal ini dikarenakan bahwa menurut teori pertumbuhan baru bahwa
pertumbuhan ekonomi dapat dicapai jika terdapat fungsi produksi yang salah
satunya yaitu modal, dimana di dalam belanja tidak langsung yang dilakukan
oleh pemerintah, belanja tidak langsung ini sebagian besar digunakan untuk
melakukan pembayaran gaji pegawai. Dimana gaji pegawai ini dapat dijadikan
modal karena dengan adanya gaji pegawai ini berarti kegiatan konsumsi akan
terpenuhi sehingga jika gaji pegawai terbayarkan maka kegiatan konsumsi yang
akan dilakukan oleh masyarakat juga akan menimgkat, akibatnya karena
kegiatan konsumsi naik maka produksi dari barang dan jasa akan meningkat pula
sehingga pertumbuhan ekonomi juga akan naik.
Namun, jika membandingkan dampak antara belanja langsung dan tidak
langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, maka belanja langsung memiliki
dampak yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi jika dibandingkan
dengan belanja tidak langsung. Hal ini dikarenakan pada belanja langsung,
merupakan belanja yang terdiri dari komponen-komponen belanja yang sifatnya
lebih untuk berinvestasi sehingga ini akan mempermudah dan menambah hasil
produksi. Dimana ini berbeda dengan belanja tidak langsung, yang mana di
dalam belanja tidak langsung ini masih terdapat komponen yang tidak dapat
menciptakan pertumbuhan ekonomi misalnya gaji pegawai, dimana meskipun
gaji pegawai ini dapat meningkatkan pertumbuhan melalui kegiatan konsumsi
tetapi gaji pegawai ini ternyata juga tidak dapat menciptakan pertumbuhan
ekonomi misalnya gaji pegawai yang telah dibayarkan tidak digunakan untuk
berkonsumsi melainkan untuk menabung, sehingga dengan kegiatan menabung
ini pertumbuhan ekonomi tidak dapat diciptakan meskipun kegiatan menabung
juga merupakan kegiatan investasi tetapi investasi yang dimilikinya tidak dapat
menciptakan kegiatan ekonomi.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa penerimaan dari
variabel-variabel penerimaan daerah yang digunakan untuk menciptakan
pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota wilayah Karesidenan Malang lebih
banyak disalurkan melalui belanja langsungya dari pada belanja tidak
langsungnya. Namun yang menyebabkan perbedaan pertumbuhan di antara
kabupaten/kota Karesidenan Malang lebih banyak disebabkan oleh jumlah
penerimaan daerah yang tidak merata atau masih terjadi kesenjangan
penerimaan antara yang satu dengan yang lainnya.
4.3.2. Permasalahan Variabel Penerimaan Daerah Dalam Menciptakan
Pertumbuhan Ekonomi
Permasalahan variabel-variabel penerimaan daerah untuk menciptakan
pertumbuhan ekonomi lebih banyak dikarenakan belum mampunya daerah untuk
menggali potensi-potensi penerimaan yang ada di dalam daerahnya meskipun
telah diberi keleluasaan dalam mengelolahnya. Dimana hal ini dibuktikan dengan
proporsi penerimaan yang berasal dari pendapatan asli daerah yang masih
memiliki proporsi sangat kecil terhadap jumlah seluruh penerimaan daerah, jika
dibandingkan dengan proporsi penerimaan daerah dari dana perimbangan.
Dengan kata lain meskipun sistem desentralisasi telah berjalan selama 10 tahun,
tetapi belum terbentuknya pemerintahan yang mandiri, hal ini dikarenakan
penerimaan daerah yang masih bergantung kepada dana perimbangan.
Sehingga karena hal inilah penerimaan daerah yang satu dengan daerah yang
lain terjadi ketimpangan yang cukup tinggi. Selain dikarenakan masalah
ketergantungan terhadap dana bantuan dari pemerintah pusat, pemerintah
daerah juga masih lemah terutama dalam hal kebijakan misalnya pertama,
masalah pemungutan di daerah yang masih rendah, dimana hal ini dikarenakan
pemungutan didasarkan kepada target yang telah ditetapkan, sehingga ketika
target ini telah dipenuhi maka pemerintah daerah dapat dikatakan telah berhasil
dalam pemungutan pendapatan ini. Kedua, kemampuan pengawasan yang
masih lemah, dimana diketahui bahwa selama sistem desentralisasi fiskal
diterapkan ternyata masih banyak tindakan-tindakan moral hazard yang
dilakukan seperti korupsi oleh orang-orang tertentu di daerah.
Dengan adanya penerimaan daerah yang masih relatif rendah, maka hal
ini akan berdampak kepada pengeluaran daerahnya. Hal ini dikarenakan antara
penerimaan daerah dan pengeluaran daerah memiliki hubungan yang timbal
balik artinya jika penerimaan daerah besar maka pengeluaran daerah juga akan
besar, begitu juga jika penerimaannya kecil maka pengeluaran daerahnya juga
akan kecil. Selain itu, banyaknya pemerintahan daerah di kabupaten/kota
Karesidenan Malang yang mengalokasikan penerimaan daerahnya untuk belanja
tidak langsung dari pada belanja langsung. Dimana seperti yang dijelaskan di
atas bahwa untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi maka sebaiknya
pemerintah lebih banyak menggunakan belanja langsungnya karena belanja ini
sangat erat dengan kegiatan investasi yang akhirnya memiliki peluang lebih
besar untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dari pada belanja tidak
langsung.
4.3.3. Optimalisasi Variabel Penerimaan Daerah Dalam Menciptakan
Pertumbuhan Ekonomi
Berdasarkan
penjelasan
di
atas
dapat
diketahui
bahwa
untuk
menciptakan suatu pertumbuhan ekonomi maka diperlukan suatu pengeluaran
daerah yang tepat dan cukup besar. Dimana pengeluaran daerah dapat
dilakukan jika terdapat suatu penerimaan daerah yang menopangnya, dengan
kata lain jika penerimaan daerah yang dimiliki cukup besar maka pengeluaran
daerah yang dapat dilakukan juga cukup besar begitu juga sebaliknya jika
penerimaan daerah yang dimiliki sangat kecil maka pengeluaran yang dapat
dilakukan juga akan kecil. Dimana berdasarkan penjelasan sebelumnya bahwa
permasalahan dari variabel penerimaan daerah untuk menciptakan pertumbuhan
ekonomi yaitu dikarenakan terjadinya kesenjangan pendapatan antar daerah
yang artinya daerah-daerah belum mampu memanfaatkan potensi daerah secara
baik dan maksimal, hal ini dikarenakan ketergantungan pemerintah daerah
terhadap pemerintah pusat yang masih sangat tinggi. Untuk mengatasi
permasalahan ini maka terdapat dua cara yang dapat ditempuh oleh pemerintah
daerah yaitu melalui :
a. Intensifikasi
Di dalam upaya intensifikasi ini, merupakan cara pemerintah untuk
memperbesar penerimaan daerah dengan cara melakukan pemungutan lebih
giat, ketat, dan teliti. Dimana kegiatan yang harus dilakukan oleh pemerintah
daerah yaitu :
1. Memperbaiki aspek organisasi pengelolaan pendapatan asli daerah yang
sesuai dengan kebutuhan yang terus berkembang, yaitu dengan dengan
cara menerapkan secara optimal sistem dan prosedur yang sudah diatur
dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 102
Tahun 1990 tentang tentang sistem dan prosedur perpajakan, retribusi
daerah, dan pendapatan daerah lainnya. Dimana dengan kegiatan ini
diharapkan dapat memberikan informasi yang cepat dan akurat, sehingga
pola koordinasi dapat lebih terarah, sistem pengawasan dapat lebih baik,
dapat memberikan dampak untuk meningkatkan pendapatan asli daerah
yang lebih baik karena dapat meningkatkan jumlah wajib pajak dan
retribusi daerah, meningktakan cara-cara penetapan pajak dan retribusi,
meningkatkan sistem pembekuan sehingga mudah untuk dilakukan
penagihan.
2. Memperbaiki
aspek
adiministrasi
maupun
operasional
seperti
penyesuaian administrasi pungutan, penyesuaian tarif, dan penyesuaian
sistem pelaksanaan pungutan.
3. Peningkatan pengawasan dan pengendalian, dimana dengan hal ini
bertujuan untuk mengurangi tindakan-tindakan penyimpangan yang
akhirnya dapat merugikan pemerintah daerah seperti penyimpangan
rencana maupun penyimpangan yuridis.
4. Meningkatkan kegiatan penyuluhan kepada masyarakat untuk kesadaran
membayar pajak dan retribusi daerah.
5. Meningkatkan sumber daya manusia (SDM) pengelolaan PAD, dimana
hal ini dilakukan agar tujuan yang dilakukan dapat tercapai. Peningkatan
SDM ini dapat dilakukan seperti dengan cara mengikutsertakan aparat
dalam kursus keuangan daerah.
b. Ekstensifikasi
Upaya ekstensifikasi, merupakan cara yang ditempuh oleh pemerintah
untuk menggali sumber-sumber pendapatan asli daerah yang baru. Dimana
meskipun upaya ekstensifikasi ini untuk menciptakan sumber pendapatan yang
baru tetapi upaya ini tidak boleh bertentangan dengan kebijakan pokok nasional,
sehingga dengan demikian berarti upaya ekstensifikasi merupakan kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah yang tidak merugikan masyarakat. Dimana kegiatan
ekstensifikasi dapat dilakuakan dengan cara :
1. Memperluas obyek dan pungutan penerimaan daerah yang nantinya
dapat digunakan sebagai penghasil penerimaan daerah, hal ini
dikarenakan masih banyak obyek di daerah-daerah yang harusnya
digunakan sebagai obyek pajak, disertai pungutan yang dikenakan masih
relatif kecil.
2. Menciptakan daya tarik dan iklim yang kondusif bagi investor lokal
maupun investor asing untuk menanamkan modalnya di kabupaten/kota
tersebut.
3. Memberikan kemudahan bagi investor asing maupun lokal untuk
menanamkan modalnya di daerah dengan menghilangkan birokrasi yang
berbelit-belit.
Meskipun terdapat peningkatan penerimaan daerah maka pengeluaran
yang dilakukan oleh pemerintah, sebaiknya lebih mengarah ke pengeluaran yang
lebih efisien. Dimana seperti diketahui di atas bahwa selama sistem
pemerintahan yang desentralisasi, pengeluaran pemerintah ini lebih banyak
digunakan untuk kegiatan yang masih bersifat konsumtif dari pada untuk
kegiatan yang bersifat investasi yang mana hal ini tercermin dari belanja tidak
langsungnya yang lebih besar dari pada belanja langsungnya.
4.3.4. Strategi
Pembangunan
Yang
Efisien
Untuk
Menciptakan
Pertumbuhan Ekonomi
Pembangunan yang efisien yang dilakukan oleh pemerintah tentu dapat
menciptakan suatu pertumbuhan ekonomi, dimana selama sistem pemerintahan
yang desentralisasi pembangunan yang efisien dapat dicapai melalui cara-cara
berikut ini :
a. Meningkatkan produktivitas. Meningkatkan produktivitas untuk kegiatan
apa saja dengan cara menggunakan input tertentu untuk menghasilkan
lebih banyak output yang dihasilkan.
b. Menghapus sebab-sebab biaya ekonomi yang tinggi. Dimana saat sistem
pemerintahan yang desentralisasi ini hal ini sering terjadi seperti
banyaknya pungutan-pungutan yang tidak resmi sehingga banyak
merugikan beberapa pihak.
c. Menentukan batas konsumsi maksimal secara layak. Dimana seperti
diketahui bahwa selama ini masyarakat memiliki sifat konsumtif dan
materialistis yang cukup besar.
d. Memperbaiki kualitas SDM (produksi, efisiensi, dan bermoral). Dimana
diketahui bahwa
faktor untuk menentukan keberhasilan bukan saja
tersedianya faktor produksi yang cukup melainkan sumber manusia juga
harus benar.
e. Kerjasama antar daerah. Kerjasama antar daerah ini perlu dilakukan
untuk menciptakan suatu efisiensi sehingga dapat menciptkan suatu
efisiensi untuk menghasilkan suatu output.
f.
Mempertahankan fungsi lingkungan. Hal ini dikarenakan lingkungan
merupakan sumber utama untuk menghasilkan output terutama barangbarang yang berasal dari bahan mentah sehingga dengan adanya
lingkungan ini kegiatan ekonomi dapat berjalan secara terus menerus.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan hasil analisis maka kesimpulan yang dapat di
tarik dalam penelitian ini adalah bahwa selama priode pengamatan 6 tahun
(2004-2009), variabel penerimaan daerah yang diwakili oleh pajak daerah,
retribusi daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana bagi hasil
pajak ternyata terdapat satu variabel yang negatif signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah yaitu variabel pajak daerah sedangkan keempat
variabel yang lainnya memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi sehingga hal ini sesuai dengan hipotesis penelitian.
Variabel penerimaan daerah yang memiliki pengaruh positif terhadap
pertumbuhan ekonomi, dapat menciptakan suatu pertumbuhan ekonomi karena
variabel penerimaan daerah digunakan untuk menopang pengeluaran daerah
dan dari pengeluaran daerah inilah pertumbuhan ekonomi dapat diciptakan.
Namun, meskipun sistem pemerintahan desentralisasi ini telah berjalan selama
10 tahun tetapi banyak potensi-potensi daerah yang belum dapat dimanfaatkan
secara baik dan maksimal serta masih tingginya ketergantungan pemerintah
daerah ke pemerintah pusat. Dimana hal ini dibuktikan dalam 6 tahun terakhir
bahwa proporsi dari pendapatan asli daerah yang masih kalah besar jika
dibandingkan dengan dana dari dana perimbangan yang diwakili oleh dana
alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana bagi hasil pajak. Akibatnya terjadi
kesenjangan pendapatan antara daerah yang satu dengan yang lainnya. Karena
terdapat kesenjangan pendapatan inilah maka pertumbuhan ekonomi selama
sistem desentralisasi ini diterapkan juga terjadi perbedaan yang mencolok antara
daerah yang satu dengan yang lainnya. Dimana situasi ini ditambah dengan
pengeluaran daerah yang banyak digunakan untuk pengeluaran yang bersifat
konsumtif dari pada pengeluaran yang bersifat investasi, hal ini dibuktikan
dengan di beberapa daerah bahwa belanja tidak langsung yang lebih besar dari
pada belanja langsungnya.
5.2.
Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukan di atas, maka saran yang
akan diajukan di dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut :
1. Sebaiknya pemerintah daerah selama sistem desentralisasi ini diterapkan
mampu mengurangi ketergantungan kepada pemerintah pusat, terutama
dalam hal penerimaan daerah. Hal ini dikarenakan tujuan diterapkannya
sistem
pemerintah
yang
desentralisasi
yaitu
untuk
menciptakan
pemerintahan yang mandiri.
2. Untuk menciptakan pemerintahan yang mandiri maka pemerintah daerah
sebaiknya mampu menggali potensi-potensi daerah yang dimilikinya
dengan baik dan maksimal dan tidak merugikan masyarakat dan
menurunkan pertumbuhan ekonomi. Dimana cara menggali potensi
daerah dapat dilakukan dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi.
Intensifikasi yaitu menggali potensi daerah dengan cara melakukan
pemungutan dengan giat, teliti dan ketat. Dimana cara ini dapat dilakukan
dengan
menciptakan
dan
mengevaluasi
yang
ada
sebelumnya.
Ektensifikasi yaitu mencari tau menambah potensi-potensi daerah yang
lainnya (baru) misalnya menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk
mendatangkan investor.
3. Penerimaan daerah yang telah di peroleh sebaiknya digunakan oleh
pemerintah harus lebih banyak untuk pengeluaran daerah yang sifatnya
investasi bukan lagi untuk konsumtif artinya belanja langsung harus lebih
besar dari pada belanja tidak langsungnya. Hal ini dikarenakan untuk
menciptakan pertumbuhan ekonomi, belanja langsung memiliki dampak
yang lebih besar karena sangat erat dengan kegiatan investasi. Dimana
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa investasi lebih cepat
menciptakan pertumbuhan ekonomi dari pada konsumsi.
4. Strategi
pembagunan
yang
dapat
dilakukan
oleh
daerah
untuk
menciptakan pertumbuhan ekonomi yaitu dengan cara meningkatkan
produktivitas, menghapus sebab-sebab biaya ekonomi yang tinggi,
menentukan batas konsumsi maksimal secara layak, memperbaiki
kualitas SDM (produksi, efisiensi, dan bermoral), kerjasama antar daerah
tetap baik, dan mempertahankan fungsi lingkungan.
LAMPIRAN 1
MODEL 1
HASIL UJI HAUSMAN
Correlated Random Effects - Hausman Test
Equation: Untitled
Test cross-section random effects
Test Summary
Cross-section random
Chi-Sq.
Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
4.272432
5
0.5109
Random
Var(Diff.)
Prob.
-0.081378
1.981188
0.692852
0.474419
0.640959
24.906837
4.889135
0.028655
1.594897
4.401088
0.0010
0.0015
0.0017
0.0008
0.0024
Cross-section random effects test comparisons:
Variable
PD
RD
DAU
DAK
DBHP
Fixed
-8.257796
5.126888
0.919946
1.681639
3.060087
Cross-section random effects test equation:
Dependent Variable: BTL
Method: Panel Two-Stage Least Squares
Date: 02/08/11 Time: 18:33
Sample: 2004 2009
Periods included: 6
Cross-sections included: 8
Total panel (unbalanced) observations: 47
Instrument list: C PD RD DAU DAK DBHP
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
PD
RD
DAU
DAK
DBHP
-4.35E+10
-8.257796
5.126888
0.919946
-1.681639
3.060087
4.70E+10
5.391213
2.898760
0.203048
1.645927
2.556871
-0.927233
-1.531714
1.768649
4.530686
-1.021698
1.196809
0.0360
0.0134
0.0085
0.0000
0.0314
0.0239
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
Instrument rank
0.869744
0.823771
8.57E+10
18.91871
0.000000
13.000000
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
3.20E+11
2.04E+11
2.50E+23
2.078731
2.50E+23
HASIL UJI REGRESI DATA PANEL DENGAN METODE TSLS DAN
MODEL RANDOM
Dependent Variable: BTL
Method: Panel Two-Stage EGLS (Cross-section random effects)
Date: 02/08/11 Time: 18:34
Sample: 2004 2009
Periods included: 6
Cross-sections included: 8
Total panel (unbalanced) observations: 47
Swamy and Arora estimator of component variances
Instrument list: C PD RD DAU DAK DBHP
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PD
RD
DAU
DAK
DBHP
C
-0.081378
1.981188
0.692852
0.474419
0.640959
-1.38E+10
2.039202
1.874479
0.112130
1.055546
1.461678
3.22E+10
-0.039907
1.056927
6.179005
0.449454
0.438509
-0.427614
0.0968
0.0296
0.0000
0.0655
0.0663
0.0671
Effects Specification
S.D.
Cross-section random
Idiosyncratic random
1.74E+10
8.57E+10
Rho
0.0397
0.9603
Weighted Statistics
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
Instrument rank
0.830281
0.809584
8.49E+10
40.11529
0.000000
6.000000
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
2.87E+11
1.95E+11
2.96E+23
1.985631
2.96E+23
Unweighted Statistics
R-squared
Sum squared resid
0.842691
3.01E+23
Mean dependent var
Durbin-Watson stat
3.20E+11
1.946983
LAMPIRAN 2
MODEL 2
HASIL UJI HAUSMAN
Correlated Random Effects - Hausman Test
Equation: Untitled
Test cross-section random effects
Test Summary
Cross-section random
Chi-Sq.
Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
2.836128
5
0.7252
Random
Var(Diff.)
Prob.
0.646976
0.537277
0.093922
2.838229
1.265649
13.718025
2.585014
0.015287
0.869792
2.397976
0.0719
0.0335
0.0220
0.0615
0.0407
Cross-section random effects test comparisons:
Variable
PD
RD
DAU
DAK
DBHP
Fixed
1.976697
2.085128
0.245550
2.369358
-0.015979
Cross-section random effects test equation:
Dependent Variable: BL
Method: Panel Two-Stage Least Squares
Date: 02/08/11 Time: 18:37
Sample: 2004 2009
Periods included: 6
Cross-sections included: 8
Total panel (unbalanced) observations: 47
Instrument list: C PD RD DAU DAK DBHP
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
PD
RD
DAU
DAK
DBHP
-2.37E+10
1.976697
2.085128
0.245550
2.369358
-0.015979
3.54E+10
4.065281
2.185830
0.153110
1.241122
1.928026
-0.669079
0.486239
0.953930
1.603755
1.909045
-0.008288
0.0508
0.0629
0.0346
0.0118
0.0064
0.0993
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
Instrument rank
0.802787
0.733182
6.46E+10
11.53351
0.000000
13.000000
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
2.09E+11
1.25E+11
1.42E+23
1.923868
1.42E+23
HASIL UJI REGRESI DATA PANEL DENGAN METODE TSLS DAN
MODEL RANDOM
Dependent Variable: BL
Method: Panel Two-Stage EGLS (Cross-section random effects)
Date: 02/08/11 Time: 18:36
Sample: 2004 2009
Periods included: 6
Cross-sections included: 8
Total panel (unbalanced) observations: 47
Swamy and Arora estimator of component variances
Instrument list: C PD RD DAU DAK DBHP
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PD
RD
DAU
DAK
DBHP
C
0.646976
0.537277
0.093922
2.838229
1.265649
1.63E+10
1.675854
1.480823
0.090306
0.818897
1.148612
2.58E+10
0.386057
0.362823
1.040048
3.465915
1.101894
0.629395
0.0701
0.0718
0.0304
0.0001
0.0276
0.0532
Effects Specification
S.D.
Cross-section random
Idiosyncratic random
2.08E+10
6.46E+10
Rho
0.0941
0.9059
Weighted Statistics
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
Instrument rank
0.757007
0.727374
6.29E+10
25.54583
0.000000
6.000000
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
1.65E+11
1.21E+11
1.62E+23
1.698392
1.62E+23
Unweighted Statistics
R-squared
Sum squared resid
0.764225
1.70E+23
Mean dependent var
Durbin-Watson stat
2.09E+11
1.623110
LAMPIRAN 3
MODEL 3
HASIL UJI HAUSMAN
Correlated Random Effects - Hausman Test
Equation: Untitled
Test cross-section random effects
Test Summary
Cross-section random
Chi-Sq.
Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
9.997027
2
0.0671
Random
Var(Diff.)
Prob.
0.000008
0.000003
0.000000
0.000000
0.0016
0.0065
Cross-section random effects test comparisons:
Variable
BTL
BL
Fixed
0.000005
0.000005
Cross-section random effects test equation:
Dependent Variable: PDRB
Method: Panel Two-Stage Least Squares
Date: 02/08/11 Time: 18:41
Sample: 2004 2009
Periods included: 6
Cross-sections included: 8
Total panel (unbalanced) observations: 47
Instrument list: C BTL BL
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
BTL
BL
2945930.
4.99E-06
4.52E-06
675965.3
2.66E-06
3.55E-06
4.358108
1.874312
1.271862
0.0001
0.0688
0.0211
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
Instrument rank
0.826723
0.784574
1908572.
19.61449
0.000000
10.000000
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
5484901.
4112061.
1.35E+14
1.491506
1.35E+14
HASIL UJI REGRESI DATA PANEL DENGAN METODE TSLS DAN
MODEL RANDOM
Dependent Variable: PDRB
Method: Panel Two-Stage EGLS (Cross-section random effects)
Date: 02/08/11 Time: 18:39
Sample: 2004 2009
Periods included: 6
Cross-sections included: 8
Total panel (unbalanced) observations: 47
Swamy and Arora estimator of component variances
Instrument list: C BTL BL
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
BTL
BL
C
4.99E-06
4.52E-06
2373306.
2.50E-06
3.49E-06
896958.3
3.158902
0.785632
2.645949
0.0029
0.0436
0.0113
Effects Specification
S.D.
Cross-section random
Idiosyncratic random
1748345.
1908572.
Rho
0.4563
0.5437
Weighted Statistics
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
Instrument rank
0.826723
0.784574
1908572.
19.61449
0.000000
10.000000
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
2251012.
2525723.
1.89E+14
1.137342
1.89E+14
Unweighted Statistics
R-squared
Sum squared resid
0.436559
4.38E+14
Mean dependent var
Durbin-Watson stat
5484901.
0.491102
DAFTAR PUSTAKA
APBD data series. www.djpk.go.id diakses pada tanggal 25 Oktober 2010
Badan Pusat Statistik Jawa Timur dan Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Propinsi Jawa Timur. (2009). Produk Domestik Regional Bruto
Kabupaten/Kota Se Jawa Timur 2004-2008. Katalog BPS 9218.35
Badan Pusat Statistik Jawa Timur dan Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Propinsi Jawa Timur. (2010). Produk Domestik Regional Bruto
Triwulanan 2009. Katalog BPS 9203.35
Bahl, Roy. 1999. Implementation Rules For Fiscal Decentralization. Working
Paper, Georgia State University
Baltagi, Badi. 2004. Econometric Analysis of Panel Data. John Wiley & Sons, Ltd
Basuki. 2007. Pengelolaan Keuangan Daerah. LP3ES. Jakarta
Bird, R.M. 1993. Threading The Fiscal Labyrinth : Some Issues Fiscal
Decentralization, National Tax Journal, 46 (3) : 207-227
Boediono, 1999. Teori Pertumbuhan Ekonomi Seri Sinopsis. Edisi Pertama.
Cetakan Keenam. BPFE. Yogyakarta
Citra, Veronica Apsari. 2001. Hubungan antara Penerimaan Pajak Daerah,
Retibusi Daerah, dan Pengeluaran Pemerintah Daerah Terhadap Tingkat
Pertumbuhan Ekonomi Kota Kediri. Skripsi S1 Program Sarjana Fakultas
Ekonomi Universitas Brawijaya Malang. (tidak dipublikasikan)
De Mello JR. 2000. Fiscal Decentralization and Intergovermental Fiscal Relations
: A Cross-Country Analysis. World Development. Vol 28, No 2, 365-380
Djojohadikusumo, Sumitro. 1994. Perkembangan Pemikiran Ekonomi “Dasar
Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan”. PT Pustaka
LP3ES Indonesia. Jakarta
Elmi, Bachrul. 2002. Keuangan Pemerintah Daerah Otonom Di Indonesia.
Gramedia. Jakarta
Erani, Ahmad Yustika. 2008. “Desentralisasi Ekonomi Di Indonesia”, Kajian
Teoritis dan Realitas Empiris. Malang
Firdaus, Muhammad dan Toni Irawan. 2009. Ekonometrika Untuk Data Panel
(Aplikasi Eviews dan Stata). Workshop. Universitas Brawijaya. Malang
Gujarati, Damodar. 2006. Ekonometrika Dasar. Erlangga. Jakarta
Hakim, Abdul. 2004. Ekonomi Pembangunan. Ekonisia. Yogyakarta
Jhingan. 2008. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. PT Raja Grafindo
Persada. Jakarta
Khusaini, Mohammad. 2006. Ekonomi Publik Desentralisai Fiskal dan
Pembangunan Daerah. BPFE Universitas Brawijaya. Malang
Mankiw, N Gregory. 2000. Teori Makro Ekonomi. Edisi kelima. Erlangga. Jakarta
Mar’isa, Filzah. 2010. Pengaruh Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan
Belanja Modal Terhadap Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan
Kota Di Propinsi Sumatera Utara. Skripsi S1 Program Sarjana Fakultas
Ekonomi Unversitas Sumatera Utara. Diakses tanggal 16-10-2010
Mardiasmo. 2002. Otonomi Daerah Sebagai Upaya Memperkokoh Basis
Perekonomian Daerah. http://ekonomirakyat.org./edisi_4/artikel_3.htm.
Diakses pada tanggal 06 September 2010
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Penerbit Andi
Offset. Yogyakarta
Masyhuri. 2007. Analisis Pendapatan Asli Daerah dan Pertumbuhan Ekonomi
Kabupaten Merangin. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol 28, No.4
Muluk, Kharul. 2006. Desentralisasi dan Pemerintah Daerah. Banyumedia
Publihsing. Malang Pustaka Utama. Jakarta
Mulyadi, Rudy. 2005. Peranan Pengeluaran dan Penerimaan Daerah Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Propinsi-Propinsi Di Indonesia Tahun 1991-1999.
Tesis S2 Program Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia. diakses tanggal 16-10-2010
Nachrowi, Jalal dan Hardius Usman. 2000. Penggunaan Teknik Ekonometri. Raja
Grafindo Persada. Jakarta
Osoro, Nehemiah E. 2003. ‘’Institution, Decentralization and Growth’’. Ad-Hoc
Expert Group Meeting. Fiscal Policy and Growth in Afrika
Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah
Republik Indonesia. 2000. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak
dan Retribusi Daerah
Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Sarundajang. 2002. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Pustaka Sinar
Harapan. Jakarta
Suhadak dan Trilaksono. 2007. Paradigma Baru Pengeloalaan Keuangan
Daerah dalam Penyusunan APBD di Era Otonomi. Banyumedia
Publishing. Malang
Sukirno, Sadono. 2007. Ekonomi Pembangunan : Proses, Masalah dan Dasar
Kebijakan. Edisi Kedua. Raja Grafindo. Jakarta
Widjaja, HAW. 2002. Otonomi Daerah Dari Daerah Otonom. Raja Grafindo
Persada. Jakarta
_______________, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
Download