Bumi Manusia dalam al-Qur`an

advertisement
BUMI MANUSIA DALAM Al-QUR’AN1
Oleh Abd Moqsith Ghazali
(Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta]
Email: [email protected]
Pengantar
Masyarakat semenanjung jazirah Arab sebelum al-Qur’an
diturunkan terkonsentrasi ke dalam dua ruang, kota dan desa. Mereka
yang tinggal di kota disebut Arab (al-‘arab), sedangkan yang tinggal di
desa disebut A’rab (al-A’rab). Berbeda dengan masyarakat desa yang
hidup di tenda-tenda dan berpindah-pindah tempat tinggal, masyarakat
kota cenderung menetap dan memiliki tempat tinggal sendiri. Kehidupan
masyarakat desa amat tergantung kepada alam; mereka mendekati mata
air untuk minum dan padang rumput untuk makanan binatang
gembalaannya. Dari binatang itu, mereka memerah susu, memakan
daging, dan memanfaatkan bulu-bulunya. Jika alam di sekitaran tak lagi
memberikan cukup makanan, mereka akan pindah ke daerah lain dengan
suasana alam yang masih perawan dan subur.
Khalil Abdul Karim berkata bahwa masyarakat desa itu (al-a’rab)
tak menyukai kehidupan bercocok tanam. Mereka lebih suka berperang,
berdebat, dan membunuh. Bagi mereka, rezeki hanya bisa diperoleh
melalui pedang dan panah mereka. Itu sebabnya, sebagian dari mereka
suka mengubur anak-anak perempuan mereka. Bukan hanya karena anak
perempuan itu tak membanggakan secara sosial, melainkan juga karena
tak menghasilkan secara ekonomi. Anak perempuan itu tak bisa
mengangkat pedang, tak bisa memanah, dan tak pandai menunggang kuda
untuk berperang. Karena itu, menurut mereka, perempuan tak pantas
untuk mendapatkan waris bahkan ia adalah barang yang bisa diwariskan.
Al-Qur’an pun merekam kebiasaan sebagian masyarakat desa saat itu yang
suka membunuh setiap bayi perempuan yang lahir. Dalam suasana
1 Artikel ini dimuat di Jurnal ULUMUL QUR’AN, Jurnal Kebudayaan dan
Peradaban, No. 01/XXI/2012, diterbitkan oleh LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat)
dan ICMI.
Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 69
Bumi Manusia dalam al-Qur’an
peperangan, tak tertutup kemungkinan anak-anak perempuan itu akan
menjadi tangkapan perang untuk selanjutnya dijadikan budak.
Tentang perlakuan kejam mereka terhadap anak perempuan itu,
disebutkan dalam al-Qur’an (al-Nahl [16]: 58-59), “apabila seseorang dari
mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan, hitamlah
(merah padamlah) mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan
dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan
kepadanya. Apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan
ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup).
Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”. Bahkan,
perlakuan buruk terhadap perempuan ini tak hanya terkonsentrasi di
desa, melainkan juga dilakukan oleh sebagian masyarakat kota. AlQurthubi dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Jilid V, hlm. 468-469)
menyebut kebiasaan Bani Mudhar, Bani Khuza’ah, dan Bani Tamim yang
membunuh anak-anak perempuan dalam keadaan hidup.
Sedangkan masyarakat kota Arab tampak lebih maju dan
berperadaban. Orang-orang kaya dari penduduk kota itu memakai pakaian
yang halus, alas kaki impor, sorban yang berkilau, mengkonsumsi
makanan penuh gizi. Rumah mereka penuh dengan perabot mewah
seperti kristal. Mereka yang tinggal di Thaif dan Yaman tak hanya
bercocok tanam, tapi juga berbisnis. Bahkan, mereka kerap melakukan
perjalanan bisnis hingga ke luar daerah. Al-Qur’an merekam kebiasaan
pedagang-pedagang Quraish di Mekah yang suka bepergian untuk
kepentingan bisnis ke luar daerah tanpa mempedulikan musim.
Disebutkan dalam al-Qur’an (al-Quraish [106]: 1-2), “karena kebiasaan
orang-orang Quraish, yaitu kebiasaan mereka bepergian pada musim
panas dan dingin” (li ilafi Quraish, rihlah al-syita’ wa al-shaif). Berbagai
buku sejarah mengisahkan bahwa ketika berumur sembilan tahun--ada
yang berkata 12 tahun--, Muhammad SAW bersama pamannya (Abu
Thalib) pergi bersama kafilah saudagar ke negeri Syiria. Jauh sebelum
diangkat menjadi nabi, Muhammad ibn Abdullah juga aktif berkunjung ke
luar kota untuk kepentingan bisnis Khadijah (kelak menjadi istri Nabi
Muhammad).
Berbeda dengan masyarakat desa yang sebagian besar--kalau tidak
seluruhnya--buta huruf; tidak bisa membaca dan menulis, maka
masyarakat kota sebagian sudah bisa membaca dan menulis. Masyarakat
kota dikenal pandai menggubah puisi bahkan secara spontan. Puisi-puisi
Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 69
Bumi Manusia dalam al-Qur’an
yang terbaik kemudian digantung di dinding Ka’ba, disebut al-Mu’allaqat.
Yang menarik, sekalipun Jazirah Arab terhampar cukup luas, dalam
percakapan sehari-hari, mereka menggunakan bahasa yang sama, yaitu
bahasa Arab. Dengan demikian, puisi-puisi hasil gubahan para penyair
Yaman bisa dengan mudah dipahami oleh orang-orang yang ada di
Mekah. Dengan bahasa yang sama itu juga orang Mekah tak perlu
penterjemah untuk membangun komunikasi bisnis dengan orang Yaman,
Thaif, Yatsrib, dan Yamamah. Kehadiran al-Qur’an yang berbahasa Arab
itu menyebabkan al-Qur’an bisa dengan cepat tersebar ke seluruh Jazirah
Arab. Keindahan diksi al-Qur’an bisa dinikmati oleh masyarakat Arab.
Jika ditelusuri, penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an
sesungguhnya lebih merupakan alat untuk menyampaikan pesan. Artinya,
bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an itu merupakan wasilah (jalan) dan
bukan ghayah (tujuan). Oleh karena audience dari wahyu adalah
masyarakat yang berbahasa Arab, maka al-Qur’an pun hadir dalam bentuk
bahasa Arab. Bahkan, tak sedikit peminat studi ilmu al-Qur’an yang
berkata bahwa bahasa Arab al-Qur’an adalah bahasa Arab dalam dialek
Quraish, karena Nabi Muhammad sendiri keturunan suku Quraish. Allah
berfirman dalam al-Qur’an (Fushshilat [41]: 44), “Jika Kami jadikan alQur’an itu suatu bacaan dalam bahasa selain bahasa Arab, tentu mereka
(orang-orang kafir) itu akan berkata, “Apakah (mungkin al-Qur’an
dalam bahasa) bukan Arab, sedangkan dia (Nabi Muhammad) adalah
orang Arab?”. Katakan (hai Muhammad), “al-Qur’an itu adalah petunjuk
dan obat bagi mereka yang beriman. Sedangkan mereka yang tak
beriman itu, pada telinga mereka ada sumbat dan ada kebutaan pada
mata mereka. Mereka itu seolah-olah mendapat panggilan dari tempat
nun jauh (sehingga mereka tak mendengar dan tak menyadari)”.
Paparan di atas itu hanya sebagai pintu masuk untuk menegaskan
bahwa al-Qur’an turun dalam suatu konteks. Al-Qur’an berdialog dengan
masyarakat Arab yang berbahasa Arab. Artinya, ada ayat-ayat dalam alQur’an yang turun sebagai respons terhadap situasi masyarakat ketika itu.
Dan tentu, ada pula ayat-ayat yang bukan merupakan respons spesifik alQur’an terhadap masyarakat Arab, tapi lebih merupakan gugusan nilainilai yang bersifat universal. Universalitas al-Qur’an yang menyebabkan
al-Qur’an tak hanya bermanfaat buat orang Arab, tapi juga yang non Arab
seperti Persia, Afrika, Melayu, India, dan lain-lain.
Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 69
Bumi Manusia dalam al-Qur’an
Konteks Al-Qur’an
Al-Qur’an turun dalam konteks masyarakat kota saat itu. Marshall
Hodgson berkata bahwa ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad pada
esensinya bersifat kota (urban) secara radikal. Itu sebabnya, al-Qur’an tak
banyak memberi respons terhadap masyarakat desa di Jazirah Arab.
Fokus perhatian al-Qur’an lebih banyak mengarah ke pusat-pusat
peradaban di Jazirah Arab seperti Mekah, Thaif, Yatsrib (Madinah),
Yamamah, dan sebagian Arab Selatan (Yaman). Buku-buku sejarah
mencatat tentang keistimewaan kota-kota itu. Jika Mekah misalnya
dikenal sebagai pusat bisnis, maka Yamamah kesohor sebagai pusat
pertanian. Sekalipun bidang pertanian lebih menonjol di Thaif dan
Yatsrib, di dua kota itu juga berkembang bidang perindustrian atau
kerajinan. Jika di Yatsrib, berkembang kerajinan penempaan emas, maka
di Thaif banyak para pandai besi.
Walau tak sebesar di Thaif, di Mekah pun tumbuh industri
modifikasi khusus kulit. Ini karena tanah yang kering dan udara yang
panas tak memungkinkan bagi tumbuhnya tanaman-tanaman hijau di
Mekah. Bukit-bukit yang menjulang di Mekah adalah tumpukan batu-batu
dan pasir tanpa tumbuhan. Al-Qur’an menggambarkan Mekah dengan “bi
wadin ghair dzi zar’in” (lembah yang tak bisa ditanami). Dalam suasana
alam yang demikian, mata pencaharian utama masyarakat Mekah adalah
berniaga. Kata “tajir” yang berarti “pedagang” memang tak disebut dalam
al-Qur’an. Namun, kata “tijarah” yang bermakna perniagaan diulangulang sampai sembilan kali. Di al-Qur’an juga ada kata-kata yang terkait
dengan jual beli (syara, isytara, ba’a), pinjam-meminjam (qardh,
yuqridhu), takaran dan timbangan (mizan, mitsqal). Ini menunjukkan
bahwa perniagaan merupakan salah satu tema sentral dalam kehidupan
masyarakat Arab ketika itu. Menurut Philip K Hitti (hlm. 130), jauh
sebelum dilintasi jalur perdagangan rempah-rempah, sejak lama Mekah
telah menjadi tempat persinggahan dalam perjalanaan antara Ma’rib dan
Gazza. Di lembah Mekah yang tandus, pertanian menjadi mustahil.
Kebutuhan akan bahan pokok makanan lebih banyak diimpor dari luar.
Berbeda dengan Mekah yang kering kerontang, Thaif adalah daerah
yang subur. Thaif adalah negeri yang mendekati gambaran al-Qur’an
tentang surga (QS, Ibrahim [47]: 15). Thaif menghasilkan anggur dan
minuman beralkohol yang dikenal dengan sebutan nabidz. Sedangkan
Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 69
Bumi Manusia dalam al-Qur’an
khamr yang banyak dikonsumsi masyarakat Arab dan yang kerap
didendangkan para penyair adalah produk impor dari Hauran dan
Libanon. Adalah kurma yang menjadi primadona pertanian di
Semenanjung Arab. Buah kurma sangat dikenal luas di dunia, banyak
diminati dan bernilai tinggi. Dimakan bersama susu, buah kurma
merupakan makanan utama orang-orang Arab. Bahkan, Nabi dikisahkan
pernah melakukan proses penyerbukan pohon kurma di Madinah. Para
penulis Arab menyebut ratusan jenis kurma yang terdapat di Madinah dan
sekitarnya.
Hewan yang menjadi kendaraan masyarakat Arab adalah unta,
keledai, dan kuda. Nabi diceritakan memberikan maskawin perkawinan
puluhan unta kepada Khadijah. Bagi orang-orang Arab, unta tak hanya
berfungsi sebagai “bahtera gurun”, melainkan juga karunia Tuhan yang
tiada tara. Al-Qur’an (al-Nahl [16]: 5-8) menggambarkan terutama
kelebihan binatang unta, “dan Dia telah menciptakan binatang ternak
untuk kalian; padanya ada bulu yang menghangatkan dan berbagaibagai manfaat, dan sebagiannya kalian makan. Dan kalian memperoleh
pandangan yang indah padanya ketika kalian membawanya ke
kandang dan ketika kalian melepaskannya ke tempat penggembalaan.
Dan ia memikul beban-beban kalian ke suatu negeri yang kalian tidak
sanggup sampai kepadanya melainkan dengan kesukaran-kesukaran
(yang memayahkan) diri. Tuhan kalian benar-benar Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang. Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bighal, dan
keledai agar kamu menungganginya dan menjadikannya perhiasan.
Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya”. Tentang unta,
Khalifah Umar ibn Khattab pernah berkata bahwa kemakmuran orang
Arab bergantung pada kesehatan unta-untanya. Demikian istimewanya
binatang Arab itu hingga al-Qur’an (QS, al-Ghashiyah [88]: 17) menantang
kita untuk berfikir tentang keterciptaan unta, “afala yanzhuruna ila al-ibil
kayfa khuliqat” (maka apakah mereka tidak memperhatikan unta,
bagaimana ia diciptakan).
Dengan kendaraan darat seperti unta dan kuda itu, orang-orang
lebih mudah untuk melakukan perjalanan hingga daerah-daerah terjauh di
luar Hijaz. Orang Arab disebut ‘arab karena mereka suka bergerak,
melancong ke berbagai negeri. Kata ‘arab satu akar kata dengan ‘arubah
yang berarti gerobak. Disebut demikian, karena gerobak selalu bergerak
aktif. Masyarakat Arab adalah sekumpulan orang yang tak memiliki
Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 69
Bumi Manusia dalam al-Qur’an
mobilitas tinggi. Ayahanda Nabi Muhammad, Abdullah ibn Abdul
Muthalib, meninggal dunia dalam perjalanan pulang dari Syam. Ia
meninggal dunia di Yatsrib, sementara Nabi Muhammad masih berumur
dua bulan dalam kandungan.
Dengan beragam aktivitas perekonomian itu, kelas menengah
tumbuh dengan pesat. Jumlah orang kaya meningkat. Namun,
ketimpangan
sosial-ekonomi
terjadi
dimana-mana.
Praktek
perekonomian yang tidak etis dan eksploitatif menyebar. Ada oligarki dan
monopoli terhadap sumber daya ekonomi. Banyak pedagang-pedagang
Mekah yang melakukan praktek riba, penumpukan komoditi, curang
dalam takar-menakar dan timbang menimbang. Akibatnya jurang pemisah
antara yang kaya dan yang miskin terus menganga. Al-Qur’an
menyinggung kebiasaan orang-orang yang suka menumpuk-numpuk harta
tersebut. Allah berfirman (QS, al-Humazah [104]: 1-3), “Kecelakaanlah
bagi setiap pengumpat lagi pencela yang mengumpulkan harta dan
menghitung-hitung. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat
mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan
dilemparkan ke dalam neraka Huthamah”. Praktek monopoli dan
oligarki ekonomi ini terus berlangsung hingga disyariatkannya ketentuan
zakat di Madinah. Zakat disyariatkan agar komoditi tak hanya berputar di
kalangan konglomerat saja (kayla yakuna duwlatan bayna al-aghniya
minkum). Zakat terutama diperuntukkan untuk melindungi orang fakir
dan miskin.
Jika dikelompokkan struktur masyarakat yang menjadi lanskap
kehadiran adalah sebagai berikut. Pertama, masyarakat komunal.
Peperangan antar suku dan kabilah kerap terjadi. Dalam hukum primitif
gurun, darah harus dibayar dengan darah; tidak ada hukum yang harus
diterapkan selain pembalasan yang setimpal. Bahkan, tidak jarang
peperangan bisa meletus karena soal-soal sepele seperti berebut mata air,
tersinggung dengan perlakun suku lain. Menurut Philip K Hitti dalam
bukunya History of The Arab (hlm. 111-112), salah satu peperangan antara
suku-suku badui yang paling awal dan paling terkenal adalah perang
Basus yang terjadi pada akhir abad ke kelima antara Bani Bakr dan
keluarga dekat mereka dari Bani Taghlib di Arab sebelah timur laut. Kedua
suku itu beragama Kristen dan mengklaim sebagai keturunan Wa’il.
Konflik di antara mereka muncul karena seekor unta kepunyaan suku Bakr
yang bernama Basus dilukai oleh kepala suku Taghlib. Perang itu
Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 69
Bumi Manusia dalam al-Qur’an
diperkirakan menelan waktu 40 tahun dengan kerugian yang tak sedikit
dari kedua belah pihak. Perang baru berhenti setelah masing-masing
merasa kelelahan dalam berperang.
Perang lain yang tak kalah tenarnya adalah perang Dahis dan alGhabra. Perang itu melibatkan ‘Abs dan suku saudara perempuannya,
Dzubyan di Arab tengah. Wangsa Ghathafan adalah leluhur kedua suku
itu. Peristiwanya dipicu oleh tindakan curang orang-orang Dzubyan dalam
sebuah balapan antara kuda yang bernama Dahis milik kepala suku ‘Abs
(Qais ibn Zuhair) dan keledai yang bernama al-Ghabra milik kepala suku
Dzubyan (Hudaifah ibn Badar). Lalu Asadi atas perintah Khudaifah
memukul wajah Qais dan meletuslah perang. Ribuan orang meninggal
dalam peperangan ini. Peperangan itu terjadi pada abad ke enam, tidak
terlalu lama dari ditandatanganinya kesepakatan damai Basus, dan
berhenti selama beberapa dekade hingga datang Islam.
Bahkan, ketika baru berumur 15 tahun, Nabi Muhammad
dikisahkan pernah terlibat dalam Perang Fijar. Perang ini melibatkan
beberapa suku. Suku Quraish, Kinanah, dan Asad dalam satu kelompok
melawan suku Hirah yang dipimpin Num’man ibn al-Mundhir pada
kelompok yang lain. Perang ini berlangsung selama empat tahun dan baru
berhenti setelah ditempuh jalan perdamaian; bahwa yang memiliki korban
manusia lebih kecil harus membayar ganti rugi sebanyak jumlah kelebihan
korban itu kepada pihak lain. Ada yang berkata, bahwa tugas Muhammad
dalam perang ini adalah mengumpulkan anak-anak panah dari pihak
lawan untuk diberikan kepada paman-pamannya. Muhammad Husain
Haikal menceritakan bahwa beberapa tahun sesudah kenabiannya, Nabi
Muhammad berkata, “aku mengikutinya (Perang Fijar) bersama pamanpamanku, juga ikut melemparkan panah dalam perang itu; aku tidak suka
kalau tidak ikut melaksanakan”.
Suku-suku di Jazirah Arab tersebar di mana-mana. Yang satu
dengan yang lain tak saling memiliki hubungan. Yang kerap terjadi di
antara mereka adalah perang. Suku-suku itu terpecah-pecah dan saling
bermusuhan. Karena itu, perang di antara mereka tak terhindarkan hingga
berdirinya negara Madinah yang tak didasarkan pada basis kesukuan dan
kabilah melainkan negara yang bertumpu pada agama atau keyakinan.
Jika sebelum Islam, mereka bangga dan fanatik dengan gelar kesukuan
seperti al-Taimi, al-‘ady, dan al-najjary, maka setelah Islam datang
mereka lebih bangga dengan gelar yang berhubungan dengan moral
Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 69
Bumi Manusia dalam al-Qur’an
seperti al-shiddiq (yang jujur), al-faruq (pembeda antara yang benar dan
yang salah), dan lain-lain. Dalam konteks itulah, ayat al-Qur’an (alHujurat [49]: 10) menegaskan bahwa seluruh orang beriman adalah
bersaudara (innama al-mukminun ikhwatun).
Dengan
dasar
ayat
ini,
Nabi
Muhammad
banyak
mempersaudarakan umat Islam, misalnya Abdurrahman dipersaudarakan
dengan Sa’ad ibn Rabi’, Abu Bakar dengan Kharijah ibn Zaid, Umar ibn
Khattab dengan Utsman ibn Malik, Utsman ibn Affan dengan Aus ibn
Tsabit, Ammar ibn Yasir dengan Khudaifah ibn al-Yaman, Thalhah ibn
Abdullah dengan Ka’ab ibn Malik, Hamzah ibn Abdul Muthalib dengan
Zaid ibn Haritsah. Tidak kurang dari 80 sampai 90-an orang yang
dipersaudarakan
Nabi
Muhammad.
Secara
umum,
Nabi
mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Itu sebabnya,
fanatisme tak lagi bersandar pada suku (tribalism) dan darah, melainkan
pada agama dan keyakinan Islam. Ajaran Islam yang dibawa Nabi
Muhammad adalah titik temu seluruh orang beriman saat itu.
Ketika Islam hadir, peperangan antar suku mereda, tapi perang
antara kaum musyrik Mekah dengan orang Islam dan antara umat Islam
dan pengikut Yahudi di Madinah terus terjadi. Dalam konteks itulah, ayatayat yang berbicara tentang jihad dan perang melawan orang kafir Mekah
dan Yahudi Madinah terus turun. Bahkan, sebagian besar isi dan
kandungan surat Bara’ah dalam al-Qur’an adalah tentang perang. Bukubuku sejarah dan al-Qur’an sendiri mencatat terjadinya sejumlah
peperangan yang melibatkan umat Islam. Di antaranya adalah Perang
Badar, Perang Uhud, Perang Hunain, Perang Khandaq, dan lain-lain.
Perang ini terpaksa dilakukan Nabi Muhammad dan umat Islam sebagai
upaya pertahanan diri dari serangan orang-orang Musyrik Mekah.
Kedua, masyarakat pagan, penyembah berhala. Al-Qur’an
menceritakan kebiasaan orang-orang Arab yang suka menyembah berhala.
Ada berbagai sesembahan mereka. Al-lata yang berarti “Sang Dewi” adalah
kuil dari batu karang besar yang disembah oleh suku Tsaqif di Thaif.
Orang Thaif berthawaf mengelilingi al-Lata. Di Nakhlah (terletak antara
Mekah dan Thaif), ada berhala al-Uzza berupa pohon milik Bani Ghatafan.
Berhala orang-orang Yatsrib adalah adalah al-Manat, terbuat dari batu
hitam yang ditempatkan dalam bangunan khusus yang dipahat
menyerupai tubuh perempuan. Upacara pemujaan tak diselenggarakan di
rumah-rumah, melainkan datang ke tempat dipancangkannya berhala-
Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 69
Bumi Manusia dalam al-Qur’an
berhala itu. Kaum pagan Arab memandang bahwa berhala-berhala itu
adalah puteri-puteri Tuhan (banat Allah). Allah berfirman dalam alQur’an (al-Najm [53]: 19-20), “apakah patut kalian (orang-orang Musyrik)
menganggap al-Lata, al-Uzza, dan al-Manat yang ketiga yang terkemudian
(sebagai anak-anak perempuan Allah). Berhala-berhala itu tak dibangun
dengan desain dan arsitektur yang indah. Semuanya dibangun dengan
sangat sederhana.
Sesembahan lain yang diagungkan masyaralat pagan Arab adalah
Hubal. Berhala itu berbentuk manusia yang tangan kanannya patah dan
terbuat dari batu akik merah. Ia dibawa pertama kali dibawa oleh ‘Amr ibn
Luhay al-Khuzai dari kota Ma’arib. Ada riwayat yang mengisahkan bahwa
Hubal pernah diletakkan di dalam Ka’bah sebagai simbol berhala terbesar.
Dengan perantaraan Hubal, masyarakat Arab meminta keberkahan dan
keselamatan dari berbagai musibah. Di samping menyembah Hubal,
masyarakat Arab pagan juga menyembah Ba’al yang berasal dari
peradaban Israel purba, yaitu abad ke 13 SM. Semuanya jenis berhala itu
menumpuk di sekitar Ka’bah. Berbagai buku tarikh menceritakan bahwa
ketika terjadi penaklukan kota Mekah (fathu Makkah), Nabi Muhammad
mendapati 360 patung di sekitar Ka’bah termasuk Hubal.
Jika merujuk pada al-Qur’an, orang-orang Arab ketika itu bukan
tak percaya kepada Allah. Mereka mempercayai keberadaan-Nya. Disebut
dalam al-Qur’an (al-Zumar [39]: 38 bahwa apabila ditanya kepada mereka
tentang pencipta langit dan bumi, mereka akan menjawab Allah. Kaum
pagam Arab juga mengenal Allah sebagai pemilik Ka’bah, Rabb al-Bayt
(QS, al-Quraish [106]: 3]. Ini sebagai bukti bahwa jejak tauhid yang
diajarkan para nabi sebelum Muhammad masih terasa hingga beberapa
tahun sebelum Muhammad diangkat menjadi nabi. Jika Nabi Ismail
berdakwah di sekitaran Mekah, maka Nabi Syuaib diutus ke Madyan dan
Nabi Hud diutus kepada kaum ‘Ad yang tinggal di Ahqaf, daerah dekat
Hadramaut Yaman. Nabi Shaleh diutus kepada kaum Tsamud yang
bermukim di al-Hijr, daerah antara Hijaz dan Tabuk sekarang.
Berbeda dengan kepercayaan monoteisme Islam, orang-orang Arab
pagan itu memandang Allah sebagai Tuhan Tertinggi yang didampingi
oleh tuhan-tuhan kecil atau dewa-dewa yang lebih rendah. Dalam kondisi
yang terdesak, mereka biasanya mengesakan Allah dengan penuh
ketulusan. Disebut dalam al-Qur’an (al-Ankabut [29]: 65), “apabila
mereka menaiki sebuah bahtera (yang sedang digulung ombak), mereka
Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 69
Bumi Manusia dalam al-Qur’an
berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Tetapi,
tatkala Allah menyelematkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka
(kembali) mempersekutukan (Allah)”. Dalam suasana normal, masyarakat
Arab pagan itu menyembah berhala-berhala dan ketika kondisi darurat
mereka akan menyembah Allah. Bagi mereka, Allah terlalu tinggi tak
terjangkau sehingga membutuhkan berhala-berhala sebagai perantara.
Ketika dikecam, mereka berkata bahwa dirinya tak sedang menyembah
berhala. Menurut mereka, berhala itu hanya sarana pendekatan diri
kepada Allah. Allah merekam ungkapan mereka itu dalam al-Qur’an (alZumar [39]: 3), “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya
mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”.
Dengan demikian, kehadiran Islam sesungguhnya hendak
mentauhidkan Tuhan yang sudah ada dalam keyakinan masyarakat Arab
pagan tersebut. Juga untuk mengukuhkan ajaran para nabi yang telah
lama tumbuh di sebagian masyarakat Arab. Kelompok Hanifiyah di Mekah
adalah orang-orang yang mengikuti ajaran tauhid yang dibawa Nabi
Ibrahim dan Nabi Ismail. Di antara mereka adalah Waraqah ibn Naufal,
Qus ibn Saidah al-Ayadi, Umayyah ibn Abi Shalt al-Tsaqafi, Utaibah ibn
Rabiah al-Tsaqafi, Umair ibn Jundub al-Juhni, Khalid ibn Sinan ibn Qais,
Ka’ab ibn Luay ibn Ghalib al-Qurashi (salah seorang kakek-buyut Nabi
Muhammad), dan lain-lain. Ajaran Taurat Nabi Musa menyebar di
Khaibar, Taima, Wadi al-Qura, Yatsrib, dan Fadak. Sementara agama
Nashrani menyebar di bagian selatan seperti di Najran, Ma’arib, Shan’a,
Aden. Karena itu kehadiran Nabi Muhammad dengan al-Qur’annya tak
mendapat resistensi dari tokoh-tokoh awal agama Yahudi, Nashrani, dan
kelompok Hanifiyah. Ini karena apa yang terkandung dalam al-Qur’an
lebih banyak merupakan afirmasi terhadap apa yang mereka yakini.
Dalam al-Qur’an (al-A’la [87]: 18-19) sendiri disebutkan, “inna hadza lafi
al-shuhuf al-ula, shuhuf Ibrahim wa Musa” (sesungguhnya (isi) al-Qur’an
ini telah terkandung dalam kitab-kitab terdahulu, yaitu kitab-kitab Nabi
Ibrahim dan Nabi Musa).
Ketiga, masyarakat patriarkhi. Masyarakat Arab adalah sekelompok
orang yang lebih mengunggulkan laki-laki ketimbang perempuan.
Masyarakat Arab menentukan silsilah keturunan berdasarkan jalur ayah.
Perempuan tak pernah dicantumkan sebagai nama marga betapapun
hebatnya si perempuan. Kedudukan seseorang dalam strata sosial amat
ditentukaan oleh tinggi-rendahnya garis keturunan ayahandaanya. Jika
Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 69
Bumi Manusia dalam al-Qur’an
sang ayah dari kelas bangsawan, maka tinggilah status sosial anakanaknya. Sebaliknya, jika si ayah dari kelas sosial rendahan, maka
rendahlah kelas sosial anak-anaknya. Untuk menjaga kelas sosial
seseorang, maka sejak zaman pra-Islam telah diterapkan konsep kafa’ah
(kesetaraan) dalam perkawinan. Itu sebabnya, perkawinan dengan budak
tak diperkenankan. Budak laki-laki hanya boleh menikah dengan budak
perempuan. Tidak jarang dijumpai perempuan yang tak menikah sampai
tua karena tak ditemukan laki-laki yang setara secara sosial dengan
dirinya.
Dalam kehidupan bermasyarakat dan berumah tangga, masyarakat
patriarkhi lebih memberikan kewenangan kepada laki-laki daripada
perempuan dalam pengambilan keputusan. Laki-laki juga pada umumnya
lebih diberi peluang untuk mengejar prestasi ketimbang perempuan. Lakilaki diposisikan sebagai pemimpin dalam keluarga, sementara perempuan
adalah makhluk yang dipimpin. Efek kepemimpinan dalam rumah tangga
ini adalah: ayah diberi hak untuk menjadi wali nikah buat anak gadisnya;
laki-laki punya hak berpoligami bahkan tanpa batas, laki-laki adalah ahli
waris tunggal. Berbeda dengan laki-laki, perempuan sebelum Islam
umumnya lebih banyak diposisikan sebagai obyek ketimbang subyek.
Bahkan, Mazdak di Persia pada abad ke-5 pernah menganjurkan
kepemilikian perempuan secara kolektif. Ia beranggapan bahwa
keburukan kerap terjadi akibat egoisme laki-laki yang ingin memonopoli
perempuan. Menurutnya, perempuan sebaiknya adalah milik bersama
seluruh laki-laki.
Sampai al-Qur’an diturunkan dominasi laki-laki atas perempuan
masih tetap terlihat. Di antaranya adalah firman Allah dalam al-Qur’an
(al-Nisa’ [4]: 34), “laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, oleh karena
Allah telah memberikan kelebihan di antara mereka di atas sebagian yang
lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”
(al-rijalu qawwamuna ‘ala al-nisa’ bima fadhdhala Allah ba’dhahum ‘ala
ba’dhin wa bima anfaqu min amwalihin). Ayat ini sekedar
mendeskripsikan tentang tradisi masyarakat Arab yang cenderung
mengangkat suami sebagai pemimpin keluarga. Tentu ayat ini tak
menjelaskan seluruh relasi laki-laki dan perempuan dalam keluarga Arab
saat itu. Sebab, kerap dikisahkan bahwa di sebagian keluarga saat itu
terdapat beberapa orang istri yang mengambil kedudukan lebih tinggi
ketimbang suami. Leila Ahmed menempatkan Khadijah sebagai istri yang
Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 69
Bumi Manusia dalam al-Qur’an
menduduki tempat penting dalam keluarga Nabi Muhammad.
Menurutnya, kekayaan melimpah yang dimiliki Khadijah telah
membebaskan Nabi Muhammad dari urusan mencari nafkah dan
memungkinkannya menempuh kehidupan kontemplasi sebelum
Muhammad diangkat menjadi nabi.
Kehadiran Islam banyak mengubah kedudukan perempuan. Tak
sebagaimana sebelumnya, al-Qur’an menegaskan bahwa perempuan
punya hak untuk mendapatkan warisan walau tak sebanyak bagian lakilaki. Jika zaman pra-Islam, perempuan tak mendapatkan warisan, maka
pada zaman Islam perempuan (anak perempuan, istri, saudari
perempuan) adalah ahli waris sebagaimana laki-laki. Begitu juga, jika
periode sebelum Islam, laki-laki bisa menikahi perempuan dalam jumlah
yang tak terbatas, maka dalam periode Islam dibatasi dengan maksimal
empat perempuan atau istri. Jika sebelum Islam, perempuan boleh
dibunuh, maka al-Qur’an menegaskan keharamannya untuk membunuh
jiwa. Ditegaskan dalam al-Qur’an, barangsiapa yang membunuh satu jiwa,
maka sama dengan membunuh semua jiwa. Dan barangsiapa
menghidupkan satu jiwa, maka sama dengan menghidupkan semua jiwa.
Bagaimana Memahaminya Kini?
Penjelasan demi penjelasan di atas menyampaikan kita pada
sebuah kesimpulan umum bahwa al-Qur’an turun dalam suatu konteks
kesejarahan. Dalam ilmu al-Qur’an, konteks yang melatari kehadiran alQur’an itu disebut asbab al-nuzul, yaitu sebab-sebab yang mengitari
turunnya al-Qur’an. Al-Wahidi, sebagaimana dikutip al-Suyuthi dalam alItqan fi ‘Ulum al-Qur’an, berkata bahwa tak mungkin seseorang bisa
mengerti makna al-Qur’an tanpa mengetahui kisah dan sebab
kehadirannya (la yumkinu ma’rifat tafsir al-ayat duna al-wuquf ‘ala
qishshatiha wa bayan nuzuliha). Ibn Taymiyah juga berkata bahwa
mengetahui sebab turunnya suatu ayat akan membantu seseorang dalam
memahami makna dan pengertian ayat tersebut (ma’rifat sabab al-nuzul
yu’inu ‘ala fahm al-ayat).
Asbab al-nuzul sendiri, ada yang bersifat personal-individidual dan
ada yang bersifat sosial, yaitu menyangkut struktur dan relasi-relasi sosialekonomi-politik masyarakat Arab ketika al-Qur’an itu turun. Itu sebabnya,
al-Syathibi mempersyarakatkan seorang mujtahid adalah orang yang
mengerti adat-kebiasaan bahkan sosio linguistik masyarakat Arab. Dengan
Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 69
Bumi Manusia dalam al-Qur’an
perkataan lain, seorang mujtahid tak cukup hanya mengerti peristiwaperiswa personal yang menyertai turunnya al-Qur’an melainkan juga perlu
mengerti peristiwa-peristiwa struktural yang menjadi lanskap kehadiran
al-Qur’an. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, al-Qur’an misalnya
turun dalam konteks masyarakat pagan, masyarakat patriarkhi,
masyarakat komunal-tribal dalam suasana Mekah yang tandus-kering dan
Madinah yang sedikit lebih subur.
Konteks-konteks itu, suka atau tidak, terekam dengan baik dalam
kitab suci al-Qur’an dan tentu saja menjadi sebab kehadirannya. Itu
sebabnya tak keliru ketika seseorang berkata bahwa al-Qur’an dalam
beberapa hal merupakan cerminan dari kondisi dan adat istiadat yang
berkembang ketika itu. Ketika al-Qur’an berkata bahwa Allah mengutus
setiap Rasul melalui “lisan kaumnya” (bi lisani qawmihi, QS, 14: 4), itu
merupakan justifikasi doktrinal atas gagasan bahwa pesan wahyu telah
diadaptasikan pada lingkungan budaya, sejarah, dan linguistik manusia.
Dari berbagai adat kebiasaan masyarakat Arab itu ada yang dimodifikasi
dan dilanjutkan oleh Islam. Tapi, ada juga yang dibuang karena sudah tak
relevan dengan konteks zaman dan capaian peradaban. Salah satu contoh
dari tradisi masyarakat Arab pra-Islam yang dimodifikasi untuk kemudian
dilanjutkan oleh Islam adalah kebiasaan masyarakat berthawaf di Ka’bah,
sa’i, dan berkemah di sekitar bukit Arafah. Sementara tradisi masyarakat
Arab yang dibuang sama sekali adalah tradisi menyembah berhala dan
patung. Ungkapan Arab yang relavan adalah al-muhafazhah ‘ala al-qadim
al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (memelihara tradisi lama
yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik).
Islam tak menentang tradisi, tapi Islam menolak kecenderungan
sekelompok orang yang menuhankan tradisi. Al-Qur’an mengkritik
kebiasaan masyarakat yang menempatkan tradisi leluhur sebagai sesuatu
yang benar tanpa perlu ada kritik. Kecenderungan masyarakat Arab yang
menuhankan tradisi leluhur itu dideskripsikan al-Qur’an (al-Zuhruf [43]:
23-24, “Demikianlah, Kami (Allah) tidak pernah mengutus sebelum
engkau (Muhammad) seorang pemberi peringatan (Rasul) dalam suatu
negeri, melainkan orang yang hidup mewah di negeri itu berkata,
“sesungguhnya kami telah mendapatkan leluhur kami berjalan di atas
suatu tradisi, dan kami tentulah mengikuti jejak mereka”. Dia (Rasul) itu
berkata, “Apakah (kalian akan mengikuti mereka) sekalipun aku datang
kepadamu semua dengan yang lebih benar daripada yang kamu dapatkan
Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 69
Bumi Manusia dalam al-Qur’an
leluhurmu berada di atasnya?”. Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami
menolak apa yang menjadi tugasmu itu”.
Dalam pandangan al-Qur’an, tak seluruh unsur dalam tradisi itu
baik. Karena itu, bersikap kritis terhadap tradisi sangat dibutuhkan
terutama untuk kepentingan transfomasi sosial. Al-Qur’an pun tak
menutup mata terhadap tindakan tidak manusiawi dan diskriminatif
terhadap perempuan. Kehadiran al-Qur’an bahkan untuk menata relasi
sosial laki-perempuan yang berkeadilan. Al-Qur’an pun memberikan kritik
sangat keras terhadap ketimpangan ekonomi di Semenanjung Arabia saat
itu. Al-Qur’an tak membiarkan masyarakat Arab pagan yang menyembah
berhala. Kehadiran al-Qur’an justru untuk merombak keyakinan
masyarakat Arab yang tak rasional itu. Dengan itu, ada perubahan praktek
dan ritus peribadatan, dari menyembah berhala ke menyembah Allah
SWT. Jika dalam politeisme setiap tuhan merepresentasikan satu wajah
personal, maka Tuhan dalam monoteisme yang dibawa al-Qur’an adalah
Allah Yang Satu dengan kuasa yang mutlak-tak terbatas.
Semangat transformasi al-Qur’an yang demikian itu, saya kira perlu
terus diletastarikan dengan beberapa cara berikut. Pertama, al-Qur’an tak
cukup hanya dibaca untuk kepentingan ritual ibadah. Makna-makna
terdalam al-Qur’an harus diungkap demi kerja perlindungan terhadap
kelompok yang tertindas baik secara ekonomi maupun sosial-politik.
Pengungkapan terhadap makna al-Qur’an itu bisa dilakukan dengan
penghampiran yang bersifat historis. Menurut Sachiko Murata dan
William C. Chittick, ketika orang ingin menyatakan bahwa al-Qur’an bisa
dipahami dengan kondisi-kondisi hostoris, para mufasir al-Qur’an bisa
berkata bahwa lingkungann historis itu dengan sendirinya merupakan
ayat-ayat Allah. Yang satu adalah ayat Tuhan yang terakumulasi dalam
kitab suci, sedangkan yang lain merupakan ayat Tuhan yang terhampar
dalam masyarakat.
Kedua, kita perlu mengetahui jenis-jenis transformasi yang
ditempuh al-Qur’an. Suatu waktu al-Qur’an menempuh perubahan secara
radikal, dan pada waktu yang lain perubahan itu dilakukan secara
bertahap. Politeisme dalam semua bentuknya seperti penyembahan
berhala dikomplain al-Qur’an sejak awal. Konsep tauhid yang
dikampanyekan al-Qur’an tak dinegosiasikan dengan tradisi penyembahan
patung dan berhala yang sedang berlangsung di lingkungan masyarakat
Arab ketika itu. Bahkan, disebut dalam al-Qur’an bahwa dosa syirik adalah
Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 69
Bumi Manusia dalam al-Qur’an
dosa yang tak terampuni. Allah berfirman dalam al-Qur’an (al-Nisa’ [4]:
116), “Sesungguhnya Allah tak mengampuni dosa menyekutukan (sesuatu)
dengan Dia (Allah), dan Dia (Allah) mengampuni dosa yang selain syirik
itu bagi siapa saja yang dikendakinya. Barangsiapa yang
mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya yang
bersangkutan telah tersesat sejauh-jauhnya”.
Namun, terhadap perilaku dan tindakan sosial yang tak terkait
dengan tauhid, al-Qur’an melakukan perubahan secara gradual. Misalnya,
praktek meminum khamr yang sudah berlangsung lama bahkan telah
menjadi tradisi masyarakat Arab secara kolektif tak diharamkan al-Qur’an
secara sekaligus. Al-Qur’an mengawali responsnya dengan menjelaskan
sisi-sisi negatif dari minuman khamr, lalu tak diperkenankannya
menimum khamr ketika hendak shalat hingga dinyatakan bahwa
meminum khmar itu adalah haram. Pengaharaman khamr jauh
belakangan, hanya beberapa tahun sebelum Rasulullah meninggal dunia.
Ini karena sejak awal telah dipahami bahwa mengubah kebiasaan
masyarakat yang sudah berurat-berakar membutuhkan proses penahapan
untuk mengubahnya.
Penahapan aturan seperti yang dilakukan al-Qur’an ini saya kira
amat diperlukan dalam konteks pembuatan kebijakan publik atau undangundang dalam dunia modern sekarang. Artinya, setiap pembuat kebijakan
publik perlu memperhatikan kondisi obyektif dan tingkat kesiapan
masyarakat sekiranya sebuah undang-undang hendak diterapkan.
Kebijakan publik atau undang-undang yang dibuat tanpa memperhatikan
keadaan masyarakat yang menjadi obyek kebijakan itu hanya akan
mengantarkan produk perundangan tersebut berupa tumpukan kata-kata
yang tak berguna.
Ketiga, hermeneutika perlu dipertimbangkan sebagai salah satu
metodologi untuk membaca teks al-Qur’an. Hermeneutika biasanya
dipahami sebagai ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah
kata atau peristiwa di masa lalu bisa dipahami dan tetap bermakna secara
eksistensial dalam konteks situasi sekarang. Rudolf Bultmann berkata,
biasanya hermeneutika dipakai untuk menjembatani jurang antara masa
lalu dan masa kini. Banyak para penafsir al-Qur’an kontemporer
berpendapat bahwa dimensi-dimensi baru dari sebuah teks lama termasuk
teks al-Qur’an akan bisa ditemukan jika sang penafsir menggunakan
hermeneutika.
Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 69
Bumi Manusia dalam al-Qur’an
Hermeneutika tentu tak perlu diposisikan sebagai metode tunggal
dan pokok untuk membaca al-Qur’an. Ia harus kita letakkan sebagai
pelengkap dari metode penafsiran al-Qur’an yang sudah ada dalam Islam
seperti ushul fikih. Sebab, banyak kata dan kalimat yang tak bisa ditembus
dengan ushul fikih, tapi ia bisa diungkap makna terdalamnya sekiranya
kita menggunakan hermeneutika. Namun, perlu dicatat, sebagaimana
ushul fikih memiliki keterbatasan dan tak bisa diabsolutkan, maka
demikian juga halnya dengan hermeneutika. Wallahu A’lam bis Shawab.
Daftar Pustaka
Abd Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun
Toleransi Berbasis al-Qur’an, Depok: KataKita, 2009
Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Kairo: Dar al-Hadits, 2002.
Duncan S. Ferguson, Biblical Hermeneutics: An Introduction, London:
SCM Press, Tanpa Tahun.
Ibn Ishaq, al-Sirah al-Nabawiyah, Kairo: Quththa’ al-Tsaqafah, 1998
Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Kairo: Dar al-Hadits, 1992
Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr,
Tanpa Tahun
Jawad Ali, al-Mufashshal fi Tarikh al-‘Arab Qabla al-Islam, Beirut: Dar
al-Ilm li al-Malayin, Tanpa Tahun.
Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy: Agama, Budaya dan Kekuasaan,
Yogyakarta: LKiS, 2002
Leila Ahmed, Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern
Debate, Yale University Press, 1992
M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW: Dalam
Sorotan al-Qur’an dan Hadits-Hadits Shahih, Jakarta: Lentera
Hati, 2011.
Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, Jakarta: Paramadina, 1999
Muhammad Husain Haikal, Hayat Muhammad, Kairo Dar al-Ma’arif,
Tanpa Tahun
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis
tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan,
Jakarta: Paramadina, 1995.
Philip K Hitti, History of the Arabs: From the Earliest Times to the
Present, New York: Palgrave Macmillan, 2002
Jurnal Ulumul Qur’an, 01/XXI/2012 69
Bumi Manusia dalam al-Qur’an
Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, Evanston:
Northwestern University Press, 1969.
Sachiko Murata & William C. Chittik, The Vision of Islam, Yogyakarta:
Suluh Press, 2005.
Download